Buku 038
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
dapat menyembunyikan kenyataan yang terjadi. Kedua kawannya menjadi semakin
terdesak dan teka-teki yang meliputi benaknya tentang pasukan kecilnya yang
seolah-olah hilang dihembus angin prahara.
Ki Tambak Wedi menjadi
ragu-ragu. Kalau ia memaksa diri untuk menundukkan Argapati yang telah terluka
itu, maka apakah yang terjadi bukan sebaliknya?
Yang mengejarnya kini adalah
pertanyaan tentang pasukan kecilnya. Bahkan kemudian ia mengambil kesimpulan,
“Pasti ada seseorang yang dengan rahasia membantu Argapati. Mungkin seorang
atau dua orang, tetapi mungkin sepasukan. Kalau mereka kemudian datang
mengepung aku, maka keadaan akan menjadi sulit. Apalagi kalau mereka berhasil
menangkap aku, maka kemenangan yang didapat Sidanti akan buyar tanpa arti.”
Akhirnya, Ki Tambak Wedi
terpaksa mengambil keputusan yang betapapun sakitnya. Ia terpaksa melepaskan
tekadnya yang bulat untuk membunuh Argapati. Meskipun dendam yang terungkat
kembali sejak beberapa puluh tahun yang lampau masih tetap menyala di dalam
hatinya, tetapi ia tidak boleh kehilangan akal. Ia tidak boleh terjerumus dalam
kesulitan didorong oleh perasaannya. Bagaimanapun juga, ia harus tetap sadar
dan mempergunakan nalarnya.
Karena itu, maka Ki Tambak
Wedi itu pun mengambil suatu keputusan yang tidak diduga-duga sebelumnya.
“Melarikan diri.”
Betapapun liciknya orang itu,
ketika tiba-tiba saja ia melompat mundur. Seleret sinar yang hitam mengkilat
meluncur ke dada Argapati. Untunglah, bahwa meskipun Argapati telah terluka,
tetapi ia masih memiliki kelincahan bergerak, sehingga ia masih mampu
menggerakkan tombaknya, menghantam sinar yang terbang seperti petir di udara.
Terdengar suara berdentum,
disusul oleh gemerincingnya sebuah gelang-gelang yang jatuh di atas batu-batu cadas.
Namun Ki Tambak Wedi mampu
memanfaatkan saat yang pendek itu. Selagi perhatian Argapati terpusat kepada
gelang-gelangnya yang terbang menyambar dada, maka saat itu dipergunakannya
sebaik-baiknya. Dengan cepatnya, hampir secepat gelang-gelangnya ia melompat
dan berlari meninggalkan gelanggang.
Kedua kawan-kawannya terkejut
melihat Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja meninggalkan gelanggang. Sejenak mereka
kehilangan akal, dan karena itulah, maka perlawanan mereka menjadi semakin
lemah. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, maka sebuah sengatan yang
nyeri telah menggetarkan jantungnya. Sesaat mereka menyadari, bahwa hampir
bersamaan mereka telah terluka.
Tetapi mereka tidak kuasa lagi
untuk melawan. Para pengawal dari Menoreh itu dapat mempergunakan keadaan
sebaik-baiknya. Yang terjadi kemudian adalah terlampau mengerikan. Kedua orang
itu hampir bersamaan pula memekik tinggi, ketika dada mereka sekali lagi
disobek oleh ujung senjata lawan. Dan hampir bersamaan pula mereka
terhuyung-huyung, dan selanjutnya jatuh tersungkur di tanah.
Argapati masih berdiri di sisi
sepasang Pucang Kembar sambil menggenggam tombaknya. Debar di dadanya masih
menghentak-hentak, serasa akan meledakkan jantung. Kemarahan, kebencian, dan
dendam menyala-nyala di hatinya. Tetapi ia tidak berdaya untuk melepaskan,
karena Ki Tambak Wedi telah hilang dari pandangan matanya menyusup ke dalam
rimbunnya dedaunan. Dorongan perasaannya ingin membawanya untuk mengejar orang
tua yang telah terlampau banyak menyakitkan hatinya itu. Bukan baru kemarin
atau kemarin dulu, bukan baru sepekan dua pekan, tetapi senjak berpuluh tahun
yang lampau, sepanjang umur Sidanti itu sendiri.
Tetapi pengalaman dan
kematangan telah mengekangnya. Ia menyadari bahaya yang tersembunyi di balik
rerungkudan itu. Gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi meluncur terlampau cepat
mengarah ke sasarannya. Bahaya itu tidak boleh diabaikan, sehingga betapapun
nafsunya melonjak-lonjak, tetapi ia tidak mengejar setan tua yang licik itu.
Ketika ia melihat dua orang
teman Ki Tambak Wedi tersungkur di tanah, hatinya berdesir. Demikian liciknya
orang itu, sehingga kawannya sendiri pun telah dikorbankannya.
Ia sadar, ketika melihat Kerti
dan kedua kawannya mendekatinya. Dengan nada rendah Kerti bertanya, “Ki Gede
terluka?”
Baru pada saat itulah,
seolah-olah pembuluh darah Ki Argapati dijalari oleh perasaan pedih dan nyeri
dari dadanya. Selama ia berkelahi, ia sama sekali tidak merasa, betapa pedihnya
luka di dadanya itu. Namun ketika lawannya telah hilang, maka perasaan sakit
itu tiba-tiba saja tumbuh dan mencekamnya.
Perlahan-lahan Ki Argapati
mengangguk, “Ya, aku terluka.”
Kerti melihat darah meleleh
dari luka di dada itu mewarnai baju, ikat pinggang kulit, dan kain panjangnya.
“Luka itu cukup parah, Ki
Gede,” desis salah seorang kawan Kerti.
Ki Gede Menoreh tidak
menjawab. Kelelahan dan darah yang mengalir membuatnya menjadi terlampau lemah.
Tiba-tiba saja ia terhuyung-huyung dan terpaksa berpegangan pada tangkai
tombaknya.
“Ki Gede,” Kerti terkejut
“Aku memerlukan pertolonganmu,
Kerti,” desis Ki Gede.
Dengan tergesa-gesa Kerti
menghampirinya. Tangan Ki Gede yang gemetar segera melingkar di leher Kerti
sambil bergumam lirih, “Aku terlampau bernafsu melawan Tambak Wedi, kau
mempunyai sesuatu yang dapat menahan arus darahku ini?”
“Ya, ya Ki Gede. Aku selalu
membawanya di dalam peperangan,” sahut Kerti.
Ki Gede Menoreh itu segera
dipapahnya menepi, dan didudukkannya di atas rerumputan. Dari kantong ikat
pinggang kulitnya, Kerti mengambil seberkas reramuan kering yang kemudian dikunyahnya.
Dengan obat itulah ia mencoba menahan arus darah dari luka Ki Gede Menoreh.
Tetapi luka itu cukup parah
dan darah yang mengalir agak deras sehingga obat itu tidak terlampau banyak
dapat menolongnya. Karena itu, maka dada Kerti pun menjadi berdebar. Darah
masih saja mengalir, dan Ki Argapati menjadi semakin lemah karenanya.
Ki Argapati sendiri pun
menyadari keadaannya. Karena itu, maka ia berusaha untuk tidak bergerak-gerak
lagi, supaya darahnya tidak semakin banyak mengalir dari lukanya.
Perlahan-lahan terdengar
Argapati berdesis, “Bagaimana Kerti, apakah obatmu dapat berpengaruh atas
aliran darah luka itu?”
Kerti menjadi agak ragu-ragu
menentramkan hati Argapati, ia menjawab, “Ya, Ki Gede. Agaknya obat itu akan
dapat menolong sekedarnya.”
Tetapi Ki Gede tidak dapat
dihiburnya dengan cara itu. Terdengar suara tertawanya perlahan sekali.
Katanya, “Agaknya obatmu kurang baik, Kerti. Tetapi itu bukan salahmu. Kau
sudah berusaha. Kalau usaha itu tidak berhasil, maka kita sudah tidak dapat
dipersalahkan lagi.”
“Tetapi obat itu berpengaruh
juga, Ki Gede.”
“Sedikit sekali. Tetapi
baiklah. Cobalah obatmu itu terus.”
Kerti pun mengunyah obat-obat
itu semakin banyak. Semua persedian yang ada padanya. Kemudian diusapkannya
pada luka Ki Argapati.
Namun meskipun demikian, darah
Ki Argapati masih saja mengalir dari lukanya. Pengaruh obat itu ternyata hanya
kecil sekali. Sehingga dengan demikian, Kerti dan kedua kawannya pun menjadi
cemas.
“Sebaiknya Ki Gede segera
kembali.”
Argapati yang lemah itu menarik
nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan sekali ia bertanya, “Kemana aku harus
kembali, Kerti?”
Kerti terdiam sejenak. Ia
telah mendengar pula tanda-tanda yang kurang menyenangkan, dan mereka yang
berada di bawah Pucang Kembar itu tidak tahu, apakah yang sebenarnya terjadi di
padukuhan induk Menoreh.
“Mungkin aku sudah tidak akan
dapat melihat rumah itu lagi,” desis Argapati.
“Tidak, Ki Gede. Kita akan
kembali pada suatu saat, seandainya kali ini kita tidak dapat bertahan. Tetapi
kita sudah menentukan tempat yang baik bagi pasukan kita, apabila kita terpaksa
mengundurkan diri. Bukankah pesan Ki Gede berbunyi demikian, meskipun saat itu
kita sama sekali tidak pernah membayangkan, bahwa kita akan mengalami bencana
ini?”
Ki Gede tidak menjawab.
Diangkatnya wajahnya yang pucat. Ditatapnya daun pucang yang bergerak-gerak
ditiup angin.
“Pohon ini sudah jauh
berubah,” desisnya di dalam hati, “kini daunnya sudah semakin jarang, dan
batangnya pun pasti akan segera rapuh. Beberapa puluh tahun yang lampau,
sepasang pucang itu tampak tegak perkasa, seolah-olah tidak akan pernah
mengalami hari-hari tuanya dan yang kemudian akan lenyap untuk seterusnya.”
Sekali lagi Ki Gede Menoreh
menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dikenangkannya masa-masa mudanya. Dengan
penuh dendam ia berperang tanding di bawah pucang itu. Tetapi ia masih muda.
Kini ia menjadi semakin tua, seperti sepasang batang pucang itu pula.
Ki Gede itu berpaling, ketika
ia mendengar Kerti berkata, “Marilah, Ki Gede. Kita berusaha untuk menemukan
pasukan Menoreh di manapun berada. Kita akan melihat, apakah mereka masih
berada di padukuhan induk atau tidak, dan kita akan mencari di mana mereka
mengundurkan diri seandainya mereka terpaksa terdesak.”
“Tanda-tanda yang aku dengar
agaknya tidak menyenangkan.”
Kerti menganggukkan kepalanya.
Ia pun sadar akan hal itu. Tetapi ia berkata, “Kita masih harus meyakinkan.
Mungkin pasukan Menoreh terdesak, tetapi kemungkinan untuk menemukan
keseimbangannya kembali dapat saja terjadi.”
Argapati mengangguk. Tetapi ia
berkata, “Aku sudah lemah sekali. Kalau darah ini tidak segera dapat
dihentikan, maka aku akan kehabisan. Kau tahu, akibat dari seseorang yang
kehabisan darah.”
“Ya, Ki Gede. Tetapi kita juga
tidak dapat tinggal di sini terus-menerus tanpa berbuat sesuatu.”
“Terserah kepadamu, Kerti.”
Kerti mengerutkan keningnya.
Dipandanginya kedua kawannya berganti-ganti. Ia menyadari, bahwa membawa Ki
Gede itu sama sekali bukan tugas yang ringan. Sepanjang jalan mungkin akan
ditemuinya orang-orang Sidanti, atau bahkan Ki Tambak Wedi. Apalagi mereka
bertemu dengan Ki Tambak Wedi, sedang Ki Gede berada dalam keadaan demikian,
maka yang akan terjadi sudah dapat dibayangkannya.
“Tetapi kita harus berusaha,”
namun kata-kata itu tidak terucap.
Kedua kawannya agaknya dapat
mengerti perasaan yang berada di dalam dada Kerti. Salah seorang dari mereka
berkata, “Marilah. Kita harus segera secepatnya.”
Serentak mereka bergeser maju.
Mereka akan mengangkat Ki Gede dan membawanya mencari pasukan Menoreh. Tetapi
salah seorang dari mereka bertiga harus bebas, sehingga apabila datang bahaya
setiap saat, maka seorang yang bebas itu akan dapat berbuat lebih dahulu untuk
melindungi kawan-kawannya yang lain, dan terutama Ki Gede yang sedang terluka
itu.
“Biarlah kami berdua yang
mengangkatnya,” berkata salah seorang dari mereka kepada Kerti. “Kau berjalan
di depan. Kau harus berusaha melindungi kami.”
Kerti mengangguk. “Baiklah,”
jawabnya.
Tetapi sebelum mereka
menyentuh Ki Gede Menoreh, yang menjadi semakin lemah itu, tiba-tiba seperti
disengat lebah mereka serentak meloncat berdiri. Senjata-senjata mereka segera
siap di tangan untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Dalam cahaya bulan yang
kekuning-kungingan, mereka melihat sesosok tubuh di dalam bayangan dedaunan.
Selangkah-selangkah ia maju, semakin lama semakin nyata.
Kerti dan kedua kawannya
menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka merenggang. Setapak, Kerti
melangkah maju. Dari mulutnya terdengar pertanyaan, “Siapa kau?”
Orang yang baru datang itu
tertegun. Tetapi tidak segera terdengar jawaban dari mulutnya.
Wajah Kerti dan kedua
kawan-kawannya menjadi semakin tegang. Mereka berdiri tegak, membelakangi Ki
Argapati yang menjadi semakin lemah dan berbaring di atas rerumputan. Dengan
senjata di tangan masing-masing, mereka siap menghadapi setiap kemungkinan.
Setapak lagi Kerti melangkah
maju sambil kertanya, “Siapa kau?”
Orang itu pun maju selangkah
pula. Tetapi Kerti masih belum dapat memandang wajah orang itu dengan jelas
dalam keremangan cahaya bulan yang semakin rendah di ujung barat.
“Siapa kau, dan apa maksudmu?”
pertanyaan Kerti menjadi semakin keras.
“Namaku Gupala,” jawab orang
itu.
Kerti dan kedua kawannya
mengerutkan kening mereka. Mereka belum pernah mendengar nama itu. Karena itu,
ingatan mereka segera hinggap kepada orang-orang liar yang telah membantu Ki
Tambak Wedi berkelahi melawan Ki Argapati.
Apakah ia termasuk salah
seorang dari mereka, atau justru orang yang khusus mendapat tugas dari Ki
Tambak Wedi? Pertanyaan itu telah mengetuk dada ketiga orang itu.
“Apakah maksudmu, kau belum
menjawab?” desak Kerti.
Orang itu menghela nafas.
Setapak ia maju. Kerti dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiaga. Tetapi
ternyata orang yang datang itu sama sekali tidak membawa senjata. Seandainya ia
kehilangan pedangnya, maka pasti masih membawa wrangkanya di lambungnya. Tetapi
orang itu sama sekali tidak berkesan, bahwa ia bersenjata.
“Maafkan,” berkata orang itu,
“aku membawa sesuatu untuk Ki Gede Menoreh.”
Dada Kerti dan kedua kawannya
berdesir. Bahkan jawaban yang didengar pula oleh Ki Gede Menoreh yang terluka,
telah sangat menarik perhatiannya.
“Obat. Obat untuk mengobati
lukanya.”
“Apakah yang kau bawa?”
bertanya Kerti.
Jawaban itu telah membuat
mereka yang mendengarnya terkejut. Orang itu sama sekali belum dikenalnya.
Dalam keadaan itu, tiba-tiba ia datang menawarkan obat untuk menyembuhkan
luka-luka di dada Ki Argapati.
Itulah sebabnya, maka
kecurigaan Kerti menjadi semakin meningkat. Tiba-tiba saja ia tidak mau
memperpanjang waktu lagi, karena ia tahu, bahwa luka Ki Gede benar-benar harus
segera mendapat perawatan. Maka katanya, “Sebutkan orang yang menyuruhmu datang
dengan membawa racun itu. Jangan kau sangka, bahwa kami terlampau bodoh untuk
menyerahkan nyawa kami kepada orang-orang yang tidak kami kenal.
“Oh,” jawab orang itu, “sama
sekali bukan. Bukan racun. Tetapi aku membawa obat dari ayahku. Ayahku tahu
benar, bawah Ki Gede sedang terluka. Itulah sebabnya, aku harus datang untuk
menyerahkan obat itu kemari.”
“Siapakah ayahmu,” bertanya
Kerti.
“Kiai Garit.”
Sekali lagi Kerti dan
kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Nama itu pun sama sekali belum pernah
mereka dengar. Sehingga karena itu, maka Kerti berkata, “Jangan terlampau
banyak bicara. Waktuku terlampau sedikit. Sekarang aku terpaksa membawamu untuk
sementara. Kalau ternyata kau benar-benar tidak bersalah aku akan
melepaskanmu.”
“Apakah maksudmu,” bertanya
orang itu.
“Kau terlampau mencurigakan.
Karena itu, kau harus ikut kami. Jangan melawan, supaya kami tidak berbuat
terlampau kasar.” Kerti pun kemudian berpaling kepada kawan-kawannya, “Marilah
kita bawa Ki Gede ke induk pasukan. Biarlah orang ini aku bawa pula bersama
kita.”
“Tunggu,” potong orang itu,
“apa pun yang akan kalian lakukan atasku, terserahlah. Tetapi aku minta obat
ini dapat kalian taburkan di atas luka itu, supaya Ki Gede tidak kehabisan
darah.”
“Omong kosong. Kau akan
membunuh dengan cara yang sangat licik.”
“Jangan salah mengerti. Aku
tidak mempunyai kepentingan apa pun untuk membunuhnya.”
“Jangan banyak bicara. Ayo,
berjalanlah di depan.”
Orang itu hampir tidak
mendapat kesempatan untuk menjawab, karena Kerti melangkah semakin dekat sambil
mengacungkan senjatanya. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun, ketika ia
mendengar Ki Gede memanggilnya perlahan-lahan, “Bawalah orang itu kemari.”
Kerti ragu-ragu sejenak.
Tetapi kemudian katanya, “Baiklah, Ki Gede.” Lalu kepada orang yang menyebut
dirinya bernama Gupala itu, “Mendekatlah. Tetapi jangan membuat aku kehilangan
kesabaran dan menghunjamkan pedang ini di punggungmu.”
Perlahan-lahan Gupala maju
mendekati Ki Gede yang sedang terbaring. Beberapa langkah daripadanya, Kerti
berdesis, “Berdirilah di sini.”
Orang itu pun berhenti dan
kemudian duduk di atas tanah.
“Kami belum pernah mengenalmu,
Ki Sanak,” berkata Argapagi lirih. “Apakah kau dapat membuktikan, bahwa kau
benar-benar bermaksud baik?”
Gupala menjadi bingung.
Jawabnya berterus terang, “Tidak, Ki Gede. Aku tidak dapat membuktikan dengan
cara apa pun, kecuali apabila Ki Gede bersedia mencoba menaburkan obat ini. Akan
tampak kemudian dengan cepat, bahwa darah itu akan segera berhenti”
“Dan membeku,” potong Kerti.
Dengan tegangnya ia berkata, “Jangan main-main dengan cara yang licik.”
Kemudian kepada Ki Gede ia berkata, “Marilah, Ki Gede, kita segera berjalan.
Kita akan kehabisan waktu. Mungkin mereka memperpanjang waktu termasuk cara
yang mereka perhitungkan pula. Karena itu, jangan hiraukan lagi orang ini.”
Ki Gede tidak segera menjawab.
Dicoba untuk memperhatikan wajah orang itu. Tetapi ia memang belum pernah mengenalnya.
“Maafkan, Ki Sanak,” desis
Argapati, “dalam keadaan serupa ini, aku wajib mencurigai setiap orang yang
belum aku kenal. Juga kau. Apa pun dapat terjadi atasku dalam keadaan ini.”
“Tetapi luka itu segera
memerlukan pertolongan sementara,” jawab Gupala.
“Pertolongan itu akan kami
usahakan. Tetapi dengan cara yang meyakinkan,” potong Kerti.
Gupala terdiam sejenak.
Agaknya ia sudah tidak mungkin lagi meyakinkan, bahwa obat yang dibawanya
adalah obat yang baik, benar-benar obat yang dapat memampatkan arus darah dari
luka.
Kecuali dari penolakan itu,
maka Gupala pun menjadi bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan. Kerti telah
mencoba menahannya dan akan membawanya serta.
Dalam kebingungan itu, ia
mendengar Kerti berkata, “Ayolah, kita sudah tidak mempunyai waktu lagi.
Ikutlah kami dan jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan membahayakan dirimu
sendiri.”
“Tetapi, tetapi,” sahut Gupala
terputus-putus, “aku bermaksud baik, ayahku pun bermaksud baik.”
“Jangan banyak bicara lagi,”
potong kawan Kerti.
Gupala menjadi ragu-ragu.
Apakah sebaiknya yang dilakukannya? Dalam pada itu ia melihat kedua kawan Kerti
berjongkok di samping Ki Gede Menoreh, siap untuk mengangkatnya. Sedang Kerti
sendiri berdiri di sampingnya dengan penuh kewaspadaan.
Namun tiba-tiba, Ki Gede yang
sudah lemah itu terperanjat. Bukan saja Ki Gede, tetapi semua orang yang berada
di bawah Pucang Kembar itu. Dalam keheningan malam, di sela-sela desah angin
yang lembut, tiba-tiba saja terdengar suara ledakan memekakkan telinga. Ledakan
cambuk yang dahsyat sekali, seperti ledakan petir yang bersabung di langit.
Sejenak orang-orang yang
berada di bawah Pucang Kembar itu terbungkam. Tidak seorang pun yang tahu,
apakah yang sedang mereka hadapi. Namun perlahan-lahan Ki Gede menari nafas
dalam-dalam. Kepalanya yang lemah perlahan-lahan terangguk kecil.
Ketika sekali lagi terdengar
ledakan cambuk yang dahsyat itu, maka seakan-akan Ki Gede menemukan suatu
keyakinan tentang sesuatu. Perlahan-lahan terdengar ia berguman, “He, Ki Sanak,
apakah kau kenal siapakah yang meledakkan cambuknya seperti ledakan petir di
udara itu?”
Gupala ragu sejenak. Namun
akhirnya ia menjawab, “Ya, Ki Gede. Aku mengenalnya. Ialah ayahku, yang aku
katakan menyuruhku menyerahkan obat ini kepada Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah benar kau anaknya?”
“Ya, Ki Gede”
Dalam keremangan cahaya bulan
tampak wajah Ki Gede yang pucat itu tersenyum. Ditatapnya wajah Gupala yang
bulat tubuhnya yang gemuk dan kaki-kakinya yang kokoh.
“Apakah kau satu-satunya anak
orang yang meledakkan cambuk itu?”
Sekali lagi Gupala menjadi
ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab sambil menggeleng, “Tidak, Ki Gede. Aku
adalah anaknya yang muda.”
“Berapa anaknya?”
“Dua,”
Ki Gede Menoreh diam sejenak.
Terasa lukanya menjadi semakin pedih dan tubuhnya menjadi semakin lemah. Kini
ia pun menjadi ragu-ragu. Suara campuk itu suatu isyarat yang penah dikenalnya
beberapa puluh tahun yang lampau, ketika ia masih menjadi seorang prajurit.
Setelah mereka berpisah, maka
jarang-jarang sekali mereka saling bertemu, dan bahkan hampir tidak pernah sama
sekali. Kabar tentang kawannya, manusia bercambuk itu pun semakin lama semakin
tidak bernah didengarnya lagi.
Kini, tiba-tiba ia mendengar
ledakan serupa. Ledakan cambuk itu, ketika ia sedang dalam keadaan yang sulit.
Kerti dan kedua kawannya pun
seolah-olah membeku pula. Dilihatnya wajah Ki Gede yang pucat itu, membayangkan
sebuah yang menjadi rahasia.
“Apakah Ki Gede mengenal suara
itu?” berkata Kerti.
Perlahan-lahan Ki Gede
menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan pula ia berdesis, “Panggil anak muda
yang bernama Gupala itu mendekat.”
Kerti menjadi ragu-ragu.
Tetapi ia berpaling dan berkata kepada Gupala, “Ki Gede memanggilmu.”
Gupala melangkah maju.
Kemudian berjongkok di samping Ki Gede.
“Apakah benar kau anaknya?”
“Ya, Ki Gede,” sahut Gupala.
“Coba, tujukkan kepadaku,
apakah kau mempunyai cambuk pula seperti ayahmu?”
Gupala tidak menjawab. Ia
masih tetap ragu-ragu. Tanpa disadarnya dipandanginya tombak pendek yang masih
tetap di dalam genggaman Ki Gede Menoreh.
“Gupala,” desis Ki Gede,
“kalau kau mempunyai juga, coba tunjukkanlah kepadaku.”
Gupala tidak dapat berbuat
lain. Dengan ragu-ragu ia meraih cambuknya yang melingkar di bawah bajunya.
Dengan tangan gemetar ditunjukkannya cambuk itu kepada Ki Gede Menoreh.
Tangan Ki Gede yang masih
lemah itu pun meraba cambuk Gupala. Terasa sesuatu yang aneh menjalari
perasaannya. Tiba-tiba ia berkata, “Buktikan kepadaku, bahwa kau anaknya. Kau
pasti pandai bermain cambuk pula. Kalau kau mampu meledakkan seperti ayahmu,
meskipun tidak sesempurna itu, maka aku percaya kepadamu dan kepada ayahmu.”
Gupala masih saja dicekam oleh
keragu-raguan. Tetapi ia berdiri juga dan melangkah beberapa langkah surut.
“Maafkan, Ki Gede,” katanya,
“aku akan mencobanya.”
“Silahkan,” sahut Ki Gede.
Kerti dan kedua kawannya
mengerutkan keningnya. Disiapkannya dadanya dan telinganya untuk mendengar
cambuk itu meledak, supaya dadanya tidak menjadi pedih dan telinganya menjadi
mengiang-ngiang.
Sesaat kemudian cambuk itu
meledak, memekakkan telinga, meskipun tidak sekeras suara cambuk yang lebih
dahulu. Namun demikian, Kerti dan kedua kawannya terpaksa menggeleng-gelengkan
kepalanya, karena serasa sesuatu kemudian menyumbat telinganya.
Argapati menangguk-anggukkan
kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia berkata lirih, “Kini aku percaya
kepadamu. Berikan obat itu kepada Kerti. Biarlah ia menaburkannya di atas
lukaku.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kenapa ayahmu itu tidak datang
sendiri kemari mengantar obat ini? Aku tidak akan mempersoalkan lagi, apalagi
ia sendiri sudi datang kepadaku dalam saat-saat yang seperti ini. Aku tidak
perlu bercuriga dan bertanya-tanya.”
Sejenak Gupala terdiam. Namun
sejenak kemudian ia mengambil obat dari kantong bajunya, menyerahkannya kepada
Kerti sambil menjawab, “Inilah obat itu. Menurut ayah, obat itu harus
ditaburkan di sekeliling luka dan pada luka itu sendiri.”
Kerti menerima obat itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergeser maju mendekati Ki
Argapati. Sementara itu Gupala berkata, “Menurut pesan ayah, ayah belum dapat
menemui Ki Gede sekarang. Ada sesuatu yang mencegahnya. Karena itu, ayah
menyuruhku menyerahkannya kepada Ki Gede.”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Gumannya, “Aku tidak tahu, apa yang telah menghalang-halangi
ayahmu menemui aku. Aku tidak pernah merasa mempunyai persoalan apa pun. Tetapi
baiklah, sampaikan kepadanya, bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian
ini. Aku berharap, bahwa pada suatu ketika kita akan dapat bertemu.”
Gupala mengangguk-angguk
kepalanya. Katanya, “Aku akan menyampaikannya kepada ayah.”
Sementara itu, Kerti telah
mulai menabur-naburkan obat yang terbungkus dengan daun kelaras.
Perlahan-lahan, merata di atas guratan luka yang panjang.
Sejenak kemudian, terasa arus
yang dingin menjalari pembuluh-pembuluh darah Ki Argapati. Perasaan pedih yang
menyengat-nyengat menjadi berangsur berkurang, meskipun tidak lenyap sama
sekali. Namun yang memberinya harapan adalah kemampuan obat itu memampatkan
lukanya, sehingga hampir tidak percaya kepada penglihatannya, Kerti berkata,
“Apakah benar, bahwa darah itu tiba-tiba saja berhenti mengalir?”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Meskipun tubuhnya terasa terlampau lemah, namun ia tersenyum,
“Sampaikan kepada ayahmu itu Gupala, aku benar-benar berterima kasih kepadanya.
Aku ingin segera bertemu dan meyakini, bahwa ia berputerakan seorang anak muda
segemuk kau ini?”
Terasa dada Gupala berdesir.
Tetapi ia tidak menyahut.
“Aku sekarang merasa, bahwa seolah-olah
aku tetap hidup lagi setelah aku meninjau ke daerah maut. Sebenarnya aku sama
sekali sudah tidak berpengharapan, karena darahku sudah tidak dapat dibendung
lagi oleh obat yang dibawa oleh Kerti. Tetapi obat ayahmu benar-benar obat yang
telah menumbuhkan harapanku kembali.”
“Mudah-mudahan, Ki Gede,”
sahut Gupala, “mudah-mudahan obat itu dapat menyembuhkan luka Ki Gede.”
“Tetapi sampaikan kepada
ayahmu, Gupala, bahwa pada saatnya aku ingin bertemu. Terserah kepadanya, kapan
ia bersedia. Kalau aku yang harus datang kepadanya, aku pasti akan datang.
Tetapi kalau ia bersedia datang kepadaku, akan aku terima dengan segala senang
hati.”
“Ya, Ki Gede. Aku akan
menyampaikannya,” jawab Gupala, kemudian, “kini perkenankanlah aku kembali
kepada ayah.”
Ki Argapati menganggukkan
kepalanya, “Baiklah, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih.”
Gupala pun segera minta diri.
Kemudian dengan langkah yang tetap, ditinggalkannya Ki Gede Menoreh yang
terbaring dilingkari oleh Kerti dan kedua kawannya.
Namun beberapa langkah
kemudian ia tertegun. Ia tidak dapat menahan dirinya yang dijalari oleh
sifat-sifat yang aneh. Karena itu, maka tiba-tiba ia berpaling. Dipandanginya
wajah Kerti yang samar-samar di dalam cahaya bulan yang bulat. Kemudian
tiba-tiba ia bertanya, “Kiai, Kiai Kerti. Bukankah nama Kiai demikian? Nah,
apakah Kiai masih ingin membawa aku beserta dengan kalian.”
Kerti mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak menjawab. Yang terdengar sekedar desis dari sela-sela bibirnya.
Karena Kerti tidak menjawab,
maka Gupala pun kemudian melangkahkan kakinya pula sambil berkata, “Terima
kasih, kalau Kiai tidak membutuhkan aku lagi.”
Yang terdengar kemudian adalah
suara tertawa tertahan.
Kerti mengatupkan bibirnya
rapat-rapat. Namun ia mendengar Argapati tertawa lirih, “Anak itu suka
bergurau.”
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah sebenarnya mereka itu, Ki
Gede?”
“Aku pernah mengenalnya.
Seorang yang baik hati. Tetapi sudah agak lama aku kehilangan hubungan. Kini
tiba-tiba ia datang ketika aku sedang di dalam bahaya. Orang itu memang seorang
ahli obat-obatan yang baik.”
“Apakah Ki Gede ingat,
siapakah namanya?”
“Nama tidak penting baginya.
Ia adalah seorang yang bersembunyi di belakang seribu satu macam nama.”
“Tetapi ia mempunyai kecirian
yang tidak berubah seperti perubahan namanya itu.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Desisnya, “Itulah yang sukar untuk dikatakan. Tetapi menurut
hematku, ia bukan seorang yang tidak berarti.”
“Orang yang hidupnya ditabiri
oleh seribu macam rahasia.”
“Tepat. Apa kau sangka, bahwa
anak yang bernama Gupala itu pun tidak berlatih merahasiakan dirinya? Aku tidak
yakin, bahwa ia anak orang bercambuk itu. Entahlah, aku tidak tahu, kenapa aku
berprasangka demikian.” Sejenak Ki Gede berhenti, lalu, “Tetapi sebaiknya kita
tidak usah menjadi pening karenanya.”
Kerti menganggukkan kepalanya.
Tetapi ia tidak menjawab. Dengan demikian, maka sejenak suasana dicekam oleh
kesenyapan. Yang terdengar hanyalah desir angin pada daun pucang yang bergerak-gerak,
seperti sedang melambai kepada bulan yang semakin rendah di ujung Barat.
Tiba-tiba kesenyapan itu
dipecahkan oleh gonggong anjing-anjing liar di kejauhan. Ki Gede yang masih
lemah itu pun berkata, “Apakah kalian akan berada di sini semalam suntuk?”
“Oh,” Kerti seolah-olah baru
tersadar dari lamunannya. Terbata-bata ia menjawab, “Tidak, Ki Gede. Marilah,
marilah kita berangkat ke induk pasukan.”
Kedua kawan Kerti pun kemudian
memapah Ki Gede. Kedua lengan Ki Gede melingkar di pundak kedua orang itu di
kedua sisinya, sedang Kerti dengan senjata terhunus berjalan di paling depan.
Mereka menyadari, bahwa perjalanan yang pendek itu adalah perjalanan yang
justru penuh dengan bahaya.
Sejenak mereka berjalan
tertatih-tatih di atas tanah berbatu cadas. Kemudian meloncati tebing-tebing
kecil, menyusup gerumbul-gerumbul liar, meninggalkan sepasang batang pucang
yang masih tegak menjulang tinggi, seolah-olah ingin meraih bulan yang bulat di
langit dengan daun-daunnya yang bergerak-gerak seperti jari jemari yang
panjang.
“Bukankah Ki Gede tadi sore
berangkat dengan naik kuda?” bertanya Kerti.
Ki Gede mengangguk, “Ya, aku
membawa seekor kuda.”
“Kami juga membawa kuda,”
berkata Kerti pula.
Merekapun segera berusaha
menemukan kuda-kuda itu. Dengan hati-hati Ki Gede dipapah, didudukkannya di
atas kudanya.
“Aku akan duduk di belakang Ki
Gede,” berkata Kerti.
Ki Gede tidak menjawab. Tetapi
ia mengangguk pula. Dipercayakannya saja dirinya yang terluka itu kepada
pengawal-pengawalnya.
Kerti pun kemudian duduk di
belakang Ki Gede Menoreh, sedang kudanya diserahkannya kepada kawannya.
Diikatkannya kendali kuda itu pada pelana kudanya sendiri, dan dengan demikian
maka kuda itu akan selalu mengikutinya.
Meskipun demikian, perjalanan
mereka belum berarti lepas sama sekali dari bahaya. Di sepanjang perjalanan
mereka akan dapat bertemu dengan sepasukan lawan. Sepasukan yang besar, atau
segerombol peronda yang nganglang dari pihak Sidanti.
Dengan demikian, maka mereka
pun tetap berhati-hati, setiap saat mereka harus bersiap menghadapi segala
macam kemungkinan yang datang dengan tiba-tiba. Apalagi pada saat itu, Ki
Argapati sedang dalam keadaan terluka cukup parah, sehingga tidak mungkin
baginya untuk berbuat sesuatu, apabila mereka bertemu dengan lawan.
Demikianlah, maka dalam
silirnya angin malam, kuda-kuda itu berjalan tidak terlampau cepat. Menyusur
jalan sempit di hutan-hutan perdu yang jarang.
“Kita harus berusaha mencari
jalan yang paling aman,” berkata Kerti, “Kalau benar padukuhan induk sudah
tidak dapat dianggap aman, maka kita harus menuju ke padesan yang lain.”
Argapati mengangguk perlahan.
Terdengar suaranya dalam, “Aku sudah menasehatkan, kalau terpaksa mereka tidak
dapat menahan diri dari arus kekuatan Sidanti, maka aku minta para keluarga
mereka disingkirkan ke Patemon. Sehingga seandainya pasukan Menoreh benar-benar
terdesak, aku kira mereka pun akan menyingkir ke padesan itu pula.
“Baiklah, aku akan melihat
padesan itu lebih dahulu,” berkata salah seorang kawan Kerti.
“Jangan sekarang. Nanti
setelah kita mendekati padesan itu. Di perjalanan setiap tenaga kami sangat
diperlukan.”
Pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari, bahwa memang seharusnya ia tidak
meninggalkan rombongan kecil yang parah itu.
Namun belum lagi mereka
terlampau jauh dari Pucang Kembar. Mareka mendengar derap kaki kuda dari arah
depan. Semakin lama semakin dekat, sehingga Kerti menarik kekang kudanya sambil
berdesis, “Apakah kalian mendengar pula?”
“Derap kaki-kaki kuda.”
“Ya. Derap itu menuju ke arah
ini.”
Wajah Kerti dan kawan-kawannya
segera menjadi tegang. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun mereka tidak
segera berbuat sesuatu.
“Kita menyingkir dahulu,”
terdengar suara Ki Argapati lambat, “kita bersembunyi di belakang semak-semak.”
“Oh,” seolah-olah Kerti baru
sadar dari angan-angannya. Tanpa menunggu lagi dibawanya kudanya masuk ke
belakang semak-semak yang agak rimbun. Demikian pula kedua kawannya pun
bersembunyi di balik dedaunan.
Tetapi Kerti segera meloncat
dari kudanya sambil berkata lirih, “Aku ingin melihat, siapakah mereka itu Ki
Gede.”
“Hati-hatilah.”
Kerti mengangguk sambil
berjalan tergesa-gesa, menyusup di bawah dedaunan untuk mengintip kuda-kuda
yang akan lewat di jalan sempit di mukanya. Jalan yang baru saja ditelusuri
pula.
Semakin dekat, maka tampaklah
kuda-kuda itu semakin jelas bersama penunggangnya. Tiga ekor kuda.
Kerti menahan nafasnya ketika
kuda-kuda itu menjadi semakin dekat. Semakin jelas olehnya, siapakah yang
berada di punggung kuda itu hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
“Benarkah mereka itu?”
Ketika kuda itu beberapa
langkah lagi lewat di depannya, maka tiba-tiba Kerti pun segera meloncat dari
dalam gerumbul, dan berdiri tegak di tepi jalan sambil memamggil, “He,
berhenti. Berhenti!”
Orang-orang berkuda itu terkejut.
Seekor di antara mereka telah mendahului. Mendengar teriakan itu segera kuda
itu berhenti sambil meringkik, kemudian dengan tangkasnya berputar menghadap ke
arah Kerti. Sedang dua ekor yang lain, yang masih belum melampaui Kerti segera
berhenti. Demikian tegang penunggangnya menarik kekang kuda itu, sehingga
kuda-kuda itu terlonjak berdiri.
Setelah kuda-kuda itu agak
tenang, maka bertanyalah Kerti, “Kemanakah kalian akan pergi?”
Ketiga orang itu hampir
bersamaan menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mareka berkata, “Kau
mengejutkan kami.”
“Aku harus hati-hati. Aku
tidak menyangka, bahwa kalian akan datang kemari.”
“Kami datang menyusul Ki
Argapati.”
“Kenapa? Bukankah Ki Argapati
berbesan bahwa tidak seorang pun boleh ikut campur dalam persoalan pribadinya?”
“Kami tidak akan mencampuri
persoalannya. Tetapi apabila Ki Gede sudah selesai, maka aku akan
memberitahukan, bahwa pasukan Menoreh terpaksa ditarik dari padukuhan induk.”
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Katanya dalam nada yang rendah, “Ki Gede sudah menduga. Suara
tanda yang mencemaskan terdengar dari bawah Pucang Kembar.”
“Darimana kau tahu bahwa Ki
Gede sudah menduga? Apakah kau sudah menemuinya?”
Kerti mengangguk. Katanya, “Ki
Gede sekarang ada di sini. Dadanya terluka agak parah.”
“He,” ketiga orang itu
terperanjat mendengar berita yang tidak terduga-duga itu.
Justru karena itu mereka
terdiam. Tetapi sorot mata mereka seakan-akan tidak mempercayai berita itu. Ki
Argapati tidak boleh terluka. Ki Argapati tidak akan dapat dilukai oleh siapa
pun.
Kerti melihat kebimbangan pada
sorot mata itu, sehingga ia perlu menjelaskan, “Ki Argapati memang terluka.”
Pengawal yang datang bertiga
di atas punggung kuda itu saling berpandangan sejenak, kemudian salah seorang
dari mereka bertanya dengan nada penuh kebimbangan, “Apakah kau berkata
sebenarnya?”
“Aku berkata sebenarnya.”
“Kalau kau berkata sebenarnya,
siapakah yang melukainya?”
“Ki Tambak Wedi.”
“He,” wajah-wajah itu pun
segera menjadi tegang, “apakah Ki Argapati tidak dapat menyamai kelebihan Ki
Tambak Wedi?”
“Bukan begitu. Tetapi bukan
saat kini kita bercerita. Kalau kau mengenal jalan yang paling baik, marilah
kita segera pergi ke induk pasukan yang telah ditarik itu.”
“Oh, baiklah.”
“Tunggu, aku akan memanggil Ki
Gede.”
Kerti pun kemudian meloncat
hilang di balik gerumbul, untuk memberitahukan kehadiran ketiga pengawal Tanah
Perdikan yang telah beruaha menghubungi Ki Gede untuk melaporkan keadaan
pasukannya.
Sejenak kemudian Ki Gede yang
terluka itu pun muncul pula dari balik gerumbul di atas punggung kuda bersama
Kerti yang menjaganya. Kehadirannya benar-benar telah membuat ketiga pengawal
yang baru datang itu menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa Ki Gede Menoreh
benar-benar terluka di dadanya.
“Marilah, berjalanlah di
depan. Jangan terlampau cepat,” barkata Kerti kepada ketiga pengawal itu.
Salah seorang dari mereka
agaknya masih ingin bertanya, tetapi Kerti mendahuluinya, “Jangan terlampau
banyak bertanya. Kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum Ki Tambak Wedi
kembali dengan membawa prajurit segelar sepapan.”
“Oh,” orang itu mengurungkan
niatnya, “marilah.”
Ketiganya segera mendahului
berjalan di depan. Kemudian Kerti yang sedang menjaga Ki Gede yang masih
terlampau lemah. Di belakang mereka adalah kedua kawan-kawan Kerti yang telah
ikut berkelahi melawan orang-orang Ki Tambak Wedi.
Perjalanan itu adalah
perjalanan yang tegang. Setiap saat mereka harus bersiap menghadapi segala
macam kemungkinan. Dalam keadaan itu, bagi Menoreh, tidak ada lagi batas yang dapat
digoreskan, yang akan memisahkan daerah kekuasaan pasukan Sidanti dan daerah
kekuasaan pasukan Samekta. Keduanya mungkin berada di segala tempat, dan
keduanya mungkin merondai segala jalan di telatah Tanah Perdikan Menoreh.
Sehingga dengan demikian, maka sukarlah bagi siapa pun untuk dapat segera
mengenal kawan atau lawan apabila mereka bertemu di perjalanan.
“Kita melingkari padukuhan
Supit,” berkata sahah seorang dari ketiga orang yang berkuda di depan.
“Kemana kita akan pergi?”
terdenger suara Ki Argapati.
“Kita akan pergi ke Karang
Sari, Ki Gede. Dan kita harus melingkari padukuhan Supit, supaya kita berjalan
dekat dengan daerah Wurawari.”
“Kenapa kita memilih jalan
Wurawari?” bertanya Kerti.
Ketiga orang yang berkuda di
depan itu tidak ada yang segera menjawab. Bahkan mereka sejenak saling
berpandangan.
“Kenapa?” desak Kerti.
Belum seorang pun yang
menjawab.
Ternyata kediaman mereka telah
menimbulkan kecurigaan pada Kerti, sehingga ia mendesak lebih keras lagi,
“Kenapa, he? Apakah ada rahasia yang harus kalian sembunyikan?”
“Tidak. Tidak sama sekali.
Tetapi aku ragu-ragu apakah beritaku tidak akan mengejutkan. Terutama bagi Ki
Gede.”
“Bodoh kau,” bentak Kerti.
“Kepada siapa kau akan menyampaikan semua persoalan kalau tidak kepada Ki Gede?”
“Tetapi Ki Gede sedang
terluka,”
“Apa bedanya?”
Tetapi ketiga orang itu masih
tetap ragu-ragu. Meskipun mereka tidak berpaling, namun tampak bahwa mereka
menjadi gelisah.
“Katakanlah,” desis Ki Gede
Menoreh kemudian, “apa pun yang akan kau katakan, aku akan mendengarkannya. Aku
tidak boleh terpengaruh oleh keadaan apa pun. Adalah kewajibanku untuk
mendengar semua persoalan. Yang baik, dan yang menyulitkan sekalipun.”
Salah seorang dari ketiga
pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya wajah kedua
kawannya berganti-ganti. Tetapi yang dilihatnya wajah-wajah itu masih tetap
memancarkan kebimbangan hati.
“Katakanlah,” desak Ki Gede
dalam nada datar.
“Baiklah, Ki Gede. Tetapi
perkenankan aku menyampaikan penyesalan yang sedalam-dalamnya dari kakang
Samekta, Wrahasta, dan para pengawal seluruhnya.”
“Ya, ya.”
“Pandan Wangi belum tampak di
antara para prajurit yang mengundurkan diri.”
“He?” betapapun juga terasa
sesuatu menghentak di dada Ki Gede Menoreh. Ia tidak akan terkejut dan apalagi
bingung seandainya ia mendengar berita bahwa rumahnya telah menjadi karang
abang, karena dibakar oleh Sidanti. Ia tidak akan tersentak sehingga nafasnya
serasa terhenti, kalau ia mendengar bahwa seluruh padukuhan induk telah
diduduki oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi berita yang didengarnya ini adalah, bahwa
Pandan Wangi belum ada di antara para pengawal yang mngundurkan diri.
“Di manakah anak itu agaknya,”
terdengar suara Ki Argapati dalam nada yang dalam.
“Karena itulah maka aku
mencarinya kemari,” sahut Kerti.
“Oh, kau keliru,” potong salah
seorang dari ketiga orang berkuda itu. “Pandan Wangi ternyata telah menemui
Kakang Samekta, bahkan ikut bertempur di medan sebelah barat. Kemudian Kakang
Samekta meninggalkannya karena ia harus pergi ke medan yang baru. Ketika
pasukan itu mundur, Pandan Wangi tidak ada di antara mereka.”
Kecemasan yang dalam telah
tergores di dinding hati Ki Argapati. Pandan Wangi adalah satu-satunya
keturunan yang diharapkannya dapat menyambung namanya kelak, setelah ternyata
Sidanti tidak dapat diharapkannya lagi. Tetapi ternyata bahwa gadis itu hilang
di peperangan.
“Kenapa gadis itu dapat
terlepas sehingga ia sendiri terjun di dalam peperangan?” terdengar suara Ki
Argapati datar.
Meskipun Ki Argapati
seolah-olah hanya bergumam kepada diri sendiri, namun kata-kata itu telah
membuat Kerti tertunduk sambil berdesah, “Aku minta maaf Ki Gede. Bagaimana
kami di rumah mencoba menahannya. Tetapi tiba-tiba saja ia telah lenyap.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lemah, “Ya. Tidak seorang pun dapat
dipersalahkan. Anak itu mempunyai kaki untuk melangkah dan mempunyai kehendak
untuk mendorong kakinya itu. Anak itu memang keras kepala.”
Kerti tidak menjawab lagi.
Meskipun Ki Gede tidak langsung menyalahkannya, namun ia adalah salah seorang
yang diserahi untuk mengawasi anak itu. Dan ternyata anak itu kini hilang.
Tetapi Ki Argapati menjadi
semakin terperanjat ketika orang yang menyusulnya itu berkata, “Beberapa orang
melihat, Pandan Wangi terlibat dalam pertempuran melawan Ki Peda Sura. Ketika
pasukannya mundur, ia tertahan. Maksudnya dapat jelas kami tangkap, melindungi
kami yang mundur dari senjata Peda Sura yang ganas itu. tetapi akhirnya, ia
sendiri terpisah dari pasukannya.”
“Jadi Pandan Wangi bertempur
melawan Ki Peda Sura?” bertanya Argapati yang menjadi semakin cemas.
“Ya, Ki Gede.”
“Seorang melawan seorang?”
“Ya, Ki Gede.”
“Oh,” Ki Argapati menarik
nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya terdengar kata-kata dari sela-sela
bibirnya. “Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat melepaskannya. Peda Sura
belum akan dapat dilawannya. Meskipun ia mempunyai bekal yang cukup namun
pengalaman setan itu jauh lebih banyak dan luas. Ia tidak mempunyai batas bagi
perbuatannya. Apa pun dapat dilakukannya untuk mencapai tujuannya.”
Para pengawal yang mendengar
kata-kata itu pun menjadi semakin cemas pula. Tidak seorang pun yang dapat
membayangkan, apa yang telah terjadi dengan Pandan Wangi.
Dan tiba-tiba saja mereka
terperanjat ketika Ki Gede beekata, “Kita pergi ke bekas pertempuran itu. Aku
ingin melihat sendiri, apakah yang sudah terjadi.”
Dada Kerti menjadi
berdebar-debar. Betapapun ia merasa bersalah, namun diberanikan dirinya
berkata, “Ki Gede. Bukankah tempat itu masih terlampau berbahaya?”
“Ya, sangat berbahaya,” sahut
salah seorang dari ketiga pengawal yang menjemputnya. “Peda Sura agaknya
meninggalkan sekelompok orangnya di sekitar bekas pertempuran itu.”
“Apa pun yang akan terjadi aku
akan melihat,” kata-kata Argapati tiba-tiba menjadi tajam. “Aku ingin melihat,
apakah aku dapat menemukan mayat anakku. Kalau tidak maka ia pasti dibawa oleh
Peda Sura. Jika demikian, maka Pandan Wangi akan mengalami penderitaan yang
mengerikan.” Ki Gede berhenti sejenak. Lalu terdengar ia menggeram, “Kalau
demikian halnya, maka aku sendiri akan memimpin langsung pasukan Menoreh yang
ada untuk merebut kembali semua kedudukan. Aku harus menemukan Pandan Wangi
dalam segala kadaan dan menemukan kembali keutuhan Tanah Perdikan Menoreh,
meskipun kini sudah tersayat-sayat.”
Dada Kerti berdesir mendengar
kata-kata itu. Ki Gede adalah seorang yang keras hati. Hampir setiap
kata-katanya dilakukannya dengan baik. Karena itu maka dengan hati-hati ia
berkata, “Tetapi bukankah Ki Gede kini sedang terluka?”
“Lukaku tidak seberapa. Aku
sudah sembuh dan aku berterima kasih kepada orang bercambuk itu.”
“Tetapi,” Kerti masih mencoba
menahannya, “apabila Ki Gede langsung terjun di peperangan maka luka itu akan
berbahaya.”
“Jadi maksudmu, aku baiknya
tidur di pembaringan, sedang anakku dan seluruh Tanah Perdikan Menoreh sedang
dibakar oleh api kedengkian, nafsu dan pamrih yang melonjak-lonjak?” suara Ki
Gede menjadi semakin keras, dan bahkan hampir berteriak.
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi kecemasan yang merambat di dadanya menjadi semakin dalam
tergores di dinding jantungnya. Ki Gede sudah mulai menentukan sikap. Jika
demikian, maka sulitlah baginya, dan bagi siapa pun untuk mengurungkannya.
Kerti adalah seorang yang
sudah cukup lama berada di samping Ki Gede. Ia tahu benar sifatnya dan tabiatnya.
Namun pengetahuannya tentang watak Ki Gede itulah yang kini membuatnya bingung
dan tidak menentu.
“Cepat!” tiba-tiba Ki Gede
berteriak. “Pacu kuda ini.”
“Oh,” Kerti berdesah.
“Cepat, kau dengar?”
“Baiklah, Ki Gede.”
Kerti tidak dapat berbuat lain
kecuali mempercepat langkah kudanya. Dengan demikian maka yang lain pun menjadi
semakin cepat pula.
“Kita tidak hanya sekedar
lewat di daerah Wurawari. Tetapi kita akan singgah di padesan itu. Bukankah
maksudmu, pertempuran berlangsung di daerah itu? Bukankah begitu?” berkata Ki
Gede kepada ketiga pengawalnya yang berkuda di depan.
“Ya, Ki Gede,” jawbab salah
seorang dari mereka, “tetapi tempat itu benar-benar berbahaya. Kalau kita lewat
di sekitarnya, mungkin kita akan mendapat bahan untuk mengetahui di mana Pandan
Wangi berada. Tetapi kalau kita langsung masuk ke daerah Wurawari dalam keadaan
serupa ini, maka kita telah kehilangan perhitungan.”
“Persetan,” sahut Argapati,
“aku sendiri akan melihat daerah itu. Aku bukan seorang yang terlampau bodoh
dan tidak mempunyai perhitungan. Tetapi aku akan melihat bekas pertempuran.”
“Ki Gede,” suara Kerti
merendah, “bagaimana mungkin Ki Gede akan melakukannya? Baiklah, aku dengan
kedua kawanku inilah yang melihatnya. Kami dapat mempergunakan cara apa pun,
sambil bersembunyi atau merangkak di antara tumbuh-tumbuhan. Tetapi kami tidak
sedang terluka seperti Ki Gede saat ini.”
Terdengar Ki Gede Menoreh
menggeretakkan giginya. Seakan-akan ia sama sekali tidak mendengar kata-kata
Kerti itu. Bahkan ia berkata dengan lantangnya, “Kalau perlu aku akan masuk ke
padesan yang sudah diduduki pasukan Sidanti. Aku ingin tahu dengan pasti,
apakah yang sudah terjadi dengan Pandan Wangi.”
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Tubuh Ki Gede Menoreh masih terlampau lemah. Hanya kadang-kadang
saja ia menghentakkan dirinya, namun kemudian ia tersandar kembali ke dada
Kerti yang duduk di belakangnya.
“Jangan terlampau banyak
bergerak Ki Gede. Aku takut kalau luka itu kembali berdarah lagi,” berkata
Kerti kemudian.
Ki Gede tidak menjawab.
Tatapan matanya jauh menembus kabut malam yang keputih-putihan di bawah sinar
bulan yang sedang purnama. Setitik embun jatuh dari dahan di atas mereka.
Dingin.
Namun betapa hangatnya dada
Kerti yang gelisah itu. Kalau benar-benar Ki Gede kehilangan pengamatan diri
karena hilangnya Pandan Wangi, maka keadaan akan menjadi semakin sulit. Kalau
terjadi sesuatu atas Ki Gede, maka pasukan Menoreh akan kehilangan induknya,
seperti sapu lisi kehilangan suhnya. Mawut bertebaran terserak-serak di
halaman.
Ketika mereka telah melampaui
bulak di sebelah padukuhan Supit yang kecil, hati Kerti menjadi semakin
berdebar-debar. Sebentar lagi mereka akan sampai ke pategalan, berseberangan
dengan padukuhan kecil tempat pasukan Samekta menunggu gerombolan Ki Peda Sura.
Tiba-tiba ketiga pengawal yang
berkuda di depan merapat dan saling berbisik, “Kita bawa Ki Gede ke pategalan.
Bekas pertempuran di pategalan itu sajalah yang kita tunjukkan kepadanya supaya
ia tidak mendekat ke padesan di sebelah. Aku yakin bahwa di padesan itu pasti
dijaga oleh pasukan Sidanti.”
“Ya,” jawab yang lain, “dengan
demikian pasti akan lebih aman bagi Ki Gede.”
Mereka mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Dan dengan demikian maka mereka agak menjadi tenteram. Karena
mereka tahu, bahwa Ki Argapati benar sedang dalam keadaan parah.
Karena itu, ketika mereka
sampai ke simpang tiga yang menuju ke pategalan yang agak rimbun itu, ketiga
pengawal yang berada di depan itu pun berbelok.
“He, kenapa mereka berbelok,”
bertanya Ki Gede.
“Tunggu,” teriak Kerti.
Ketiga pengawal itu pun segera
menarik kekang kuda mereka. Salah seorang dari mereka berpaling sambil
meletakkan jari telunjuknya di depan mulut, “Sst, di padesan itu sedang
berjaga-jaga pasukan Sidanti,” desis salah seorang dari mereka setelah Kerti mendekat.
“Tetapi kenapa kalian berbelok
kemari?” bertanya Ki Argapati. “Bukankah kita masih harus maju lagi untuk
mencapai Wurawari?”
“Pertempuran itu terjadi di
pategalan itu Ki Gede,” jawab salah seorang dari mereka.
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Namun ia menggeram, “Aku ingin melihat.”
Mereka pun kemudian meneruskan
perjalanan itu. Ketika mereka sampai di ujung pategalan, maka mereka pun segera
berhenti. Satu-satu mereka turun dari kuda mereka dengan penuh kewaspadaan.
Tangan-tangan mereka telah melekat di hulu pedang masing-masing.
Dengan hati-hati Kerti
menolong Ki Gede turun dari kudanya dan memapahnya berjalan perlahan-lahan
memasuki pategalan yang sunyi itu. Sementara itu, seorang dari mereka berdiri
di luar pategalan untuk mengawasi kuda-kuda mereka.
Demikian mereka memasuki
pategalan itu, maka segera Ki Gede menggeram. Ketiga pengawal itu tidak
menipunya. Ki Gede masih sempat melihat bekas pertempuran. Bahkan masih
dilihatnya beberapa sosok mayat yang terbaring di tanah. Mayat-mayat itu akan
tinggal di tempatnya sampai besok. Kalau orang-orang Sidanti di padukuhan
sebelah sempat, maka mayat-mayat itu baru akan dikuburkan.
“Hem,” Ki Gede berdesah,
“perang yang kisruh.”
“Ya, Ki Gede, perang brubuh.”
Ki Gede tidak menyahut.
Perlahan-lahan sambil berpegangan leher Kerti ia melangkah maju semakin dalam.
Dilihatnya bekas peperangan itu dengan tegangnya. Hampir setiap mayat yang
dijumpainya ditatapnya dengan tajamnya dan bahkan kadang-kadang diamatinya
dengan seksama. Kadang-kadang memang dijumpainya mayat-mayat orang yang pernah
dikenalnya, Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Apakah pasukan Peda Sura
telah membersihkan medan ini dengan mengambil mayat kawan-kawannya dan mereka
yang terluka parah?” bertanya Ki Gede Menoreh.
“Aku kira belum, Ki Gede.
Mayat masih banyak berserakan. Kalau Ki Gede sempat memperhatikan seluruh bekas
medan ini.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Menilik korban yang jatuh, seharusnya pasukan Menoreh
tidak dapat terdesak mundur.”
“Kalau keadaan tidak berubah,
Ki Gede. Tetapi suara titir yang menjalar dari Timur telah menarik sebagian
pasukan ini bersama Ki Samekta seudiri. Sedangkan Pandan Wangi tetap berada di
medan ini.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Ia masih juga melangkah maju menyusur bekas medan yang
bosah-baseh.
“Aku akan menyusur garis surut
pasukan Menoreh,” tiba-tiba Ki Gede bergumam.
Kerti terperanjat. Sehingga
dengan serta-merta ia berkata, “Terlampau berbahaya Ki Gede.”
Ki Gede tidak menjawab, tetapi
ia melangkah terus sambil berpegangan pundak Kerti.
“Ki Gede masih terlampau
lelah. Seandainya tidak ada bahaya apa pun di perjalanan, maka Ki Gede akan
terlampau banyak membuang tenaga.”
“Aku tergantung di pundakmu.”
“Itu bukan berarti Ki Gede
tidak mengeluarkan tenaga.”
“Tetapi tenagaku masih cukup.
Jangan kau cemaskan. Aku tidak akan mati karena berjalan menyusur jalan surut
sampai ke tempatnya yang sekarang. Di sepanjang jalan mundur itu aku akan
mencari mayat Pandan Wangi.”
Kerti menjadi bingung. Tetapi
ia tidak dapat berhenti, karena Ki Gede yang tergantung di lehernya masih
benjalan selangkah-selangkah terus, meskipun dengan susah payah.
Tetapi yang mencemaskan Kerti
dan pengawal-pengawal yang lain, bukanlah tenaga yang akan dikeluarkan oleh Ki
Gede itu sendlri, meskipun hal itu pun harus mendapat perhatian, tetapi bahwa
di garis surut para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu, pasti akan ditemui
suatu pengawalan yang ketat dari orang-orang Sidanti.
“Ki Gede,” berkata salah
seorang dari ketiga pengawal yang menjemput Ki Gede, “kalau kita akan
menyelusur garis surut itu, berarti kita harus berjalan dari sini sampai ke
Karang Sari.”
Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Apabila ia ingin menyusur bekas peperangan sampai ke tempat para
pengawal itu menarik diri, memang ia harus berjalan dari pategalan itu, lewat
Wurawari melalui beberapa bulak lagi sampai ke Karang Sari.
Meskipun demikian Ki Gede
bergumam, “Tetapi aku akan menemukan puteriku di sepanjang daerah itu.”
Tak seorang pun yang segera
dapat menjawab. Mereka terpaksa berjalan menurut bekas-bekas peperangan di
pategalan itu. Semakin lama semakin menepi. Para pengawal yang menjemput Ki
Gede tahu benar, bahwa sebentar lagi mereka harus melalui daerah persawahan
yang terbuka semakin dekat dengan tempat-tempat yang mungkin dihuni oleh
orang-orang Sidanti.
Ketika mereka melangkah
semakin maju lagi, tiba-tiba salah seorang dari ketiga pengawal itu berkata,
“Ki Gede, tidak ada gunanya kita mencarinya lebih jauh.”
Ki Gede memandangnya dengan
penuh keheranan, “Kenapa?”
“Di sini Pandan Wangi
bertempur.”
“Aku tahu, aku tahu,“ jawab Ki
Gede, “tetapi bukankah mereka mundur?”
“Yang mundur adalah pasukan
pengawal. Pandan Wangi mencoba melindungi kami. Aku tahu, betapa besar tanggung
jawabnya sebagai putra Ki Gede. Kami sudah mencoba untuk membawanya serta.
Tetapi ia tidak bersedia. Sedang keadaan peperangan telah memaksa kami untuk
selangkah demi selangkah mundur terus, kalau kami tidak ingin binasa sesuai
dengan perintah Pandan Wangi sendiri sebagai pimpinan kami waktu itu sepeninggal
Samekta.”
Wajah Ki Gede menjadi semakin
tegang.
“Pandan Wangi terpaksa
bertempur seorang lawan seorang melawan Ki Peda Sura.”
Tiba-tiba terdengar Ki Gede
menggeram. Sejenak ia berdiri membeku tergantung di pundak Kerti. Namun
kemudian ia berkata lantang, “Kita kembali ke induk pasukan di Karang Sari. Aku
akan memimpin pasukan itu langsung ke padepokan induk. Aku harus menemukan
Pandan Wangi dalam keadaan apa pun.”
Para pengawalnya menjadi
berdebar-debar. Dan mereka mendengar Ki Gede berkata, “Di sini aku tidak
menemukan mayatnya. Anak itu pasti dibawa oleh Ki Peda Sura.”
Dada Kerti menjadi semakin
bergetar. Bahkan para pengawal itu menjadi terbungkam untuk sejenak. Namun
kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Apabila demikian, maka aku akan
tinggal di sini.”
“Untuk apa?”
“Aku akan mencoba mencari
sekali lagi. Lebih teliti di daerah peperangan ini.”
Ki Gede berpikir sejenak.
Kemudian katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi aku akan segera menyiapkan
pasukan yang ada. Aku tidak mau menunda lagi. Hilangnya Pandan Wangi adalah
karena salahku. Aku terlalu bernafsu untuk menjaga harga diriku dengan perang
tanding itu, sehingga keadaan Tanah Perdikan ini menjadi terpecah belah, dan
anakku satu-satunya itu hilang.”
Ki Gede tidak menunggu jawaban
apapun lagi. Bersama Kerti ia segera kembali ke kudanya.
“Cepat, kita pergi ke Karang
Sari.”
Seteiah menolong Ki Gede naik,
maka Kerti pun segera naik pula. Dua dari mereka tinggal di pategalan itu untuk
melihat kemungkinan yang mengerikan apabila hal itu terjadi atas Pandan Wangi.
Sedang Ki Gede dengan tergesa-gesa segera meneruskan perjalanan mereka ke
Karang Sari.
Di perjalanan itu Ki Gede
bergumam, ”Kita hindari daerah yang dikuasai Sidanti.”
Kerti mengerutkan keningnya.
Ia agak heran mendengar pesan itu. Selama ini Ki Gede agaknya sama sekali tidak
ingin menghindar dari kemungkinan bertemu dengan lawan, namun tiba-tiba pesan
itu diberikannya.
“Aku akan memimpin pasukan,“
geramnya kemudian.
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia tahu, bahwa Ki Gede merasa bahwa tugasnya masih belum
selesai, sehingga ia tidak mau tertahan lagi di perjalanan ini.
Kuda-kuda itu pun kemudian
berpacu dengan kencangnya. Debu yang keputih-putihan meloncat di belakang
kaki-kaki kuda yang berderap di jalan kecil di tengah-tengah bulak yang
panjang.
Sementara itu bulan di langit
sudah menjadi terlampau rendah. Di ujung Timur telah menyala cahaya fajar yang
kemerah-merahan. Semakin lama menjadi semakin cerah.
Di kejauhan terdengar suara
kokok ayam yang seakan-akan menjalar dari satu kandang ke kandang yang lain.
Sahut-menyahut tanpa menghiraukan apa saja yang telah terjadi di atas Tanah
Perdikan Menoreh yang sedang kemelut dibakar oleh api pertentangan di antara
mereka yang selama ini bersama-sama memelihara.
Apalagi setelah ada
orang-orang yang tidak dikenal mencoba memanfaatkan keadaan untuk kepentingan
mereka sendiri.
Kuda-kuda yang berlari di
tengah-tengah bulak itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan sebuah
padesan yang agak besar, yang
menjadi tempat pasukan Menoreh
menarik diri, Karang Sari.
“Apakah perempuan dan
anak-anak ada di Karang Sari itu pula?“ bertanya Ki Gede tiba-tiba.
“Tidak, Ki Gede,“ jawab salah
seorang pengawal, “mereka berada di Patemon.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali lagi terdengar ia menggeram, sementara langit menjadi semakin
cerah.
Namun agaknya Ki Gede tidak
ingin melihat matahari terbit dalam perjalanannya. Sehingga dengan memandangi
langit yang semburat merah kekuning-kuningan ia berkata, “Kerti, kita harus
sampai ke Karang Sari sebelum fajar.”
“Kita akan berusaha, Ki Gede,“
sahut Kerti sambil mempercepat kuda mereka pula.
“Aku harus segera
mempersiapkan pasukan Menoreh,” geram Ki Gede.
Kerti tidak menyahut. Tetapi
ia sudah tidak terlampau gelisah lagi. Mereka sudah tidak akan melampaui
tempat-tempat yang dapat dianggap berbahaya, yang mungkin menjadi tempat-tempat
bersembunyi bagi para peronda dari pihak Sidanti.
Karang Sari itu pun kemudian
telah berada di hadapan mereka. Sebuah padesan yang tidak begitu besar,
dikitari oleh rumpun bambu ori yang lebat, seolah-olah sengaja ditanam sebagai
benteng yang kuat untuk melindungi desa Karang Sari dari bahaya.
Di antara rumpun bambu ori
yang penuh dengan duri-duri yang tajam itu, terdapat sebuah lorong yang sempit
menyusup di bawah sebuah regol yang kuat. Itu adalah salah satu dari empat
jalan untuk memasuki desa Karang Sari di empat penjuru.
Ki Gede serasa tidak sabar
lagi menunggu langkah kaki kudanya. Ingin ia meloncat langsung memasuki desa
yang berpagar rapat itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada membiarkan
dirinya tetap duduk di atas punggung kuda bersama dengan Kerti.
Ketika mereka menjadi semakin
dekat, maka segera mereka melihat beberapa pengawal bersenjata berdiri di depan
regol desa. Sikap mereka menunjukkan kesiap-siagaan mereka. Senjata-senjata
telanjang tergenggam di tangan mereka dengan eratnya. Beberapa orang di antara
mereka menyongsong maju dengan tombak merunduk setinggi dada.
Beberapa puluh langkah dari
regol itu Kerti memperlambat langkah kudanya. Para pengawal yang lain kini
berada di belakangnya. Dengan dada berdebar-debar Kerti mengangkat tangan
kanannya ke atas tanpa senjata.
Dan sebelum ia menghentikan
kudanya terdengar salah seorang pengawal berteriak, “Ki Gede.”
Yang lain pun segera meloncat
keluar dari regol padesan itu. Berdesak-desakan. Dan mereka melihat, bahwa
sebenarnyalah yang berada di atas punggung kuda bersama dengan Kerti itu adalah
Ki Gede Menoreh.
Maka mereka pun segera
menyibak, memberi jalan supaya kuda Ki Gede Menoreh dapat melangkah maju.
Ketika sorot matahari yang
pertama jatuh di atas desa Karang Sari, maka Ki Gede pun telah berada di regol
desa itu. Di antara para pengawalnya ia merasa dirinya menjadi lebih baik.
Dengan dada yang gemetar ia berkata, “Kita harus menebus kekalahan ini.”
Sejenak pengawal-pengawalnya
terdiam memandangi wajah Ki Gede yang pucat. Namun kemudian seperti hentakan
yang melonjak dari dalam dada masing-masing, mereka berteriak menyambut, “Ya,
kita harus menebus kekalahan ini.”
Samekta dan Wrahasta yang
mendengar suara ribut itu segera berlari-lari ke luar dari rumah di ujung desa
itu, yang mereka pakai sebagai tempat untuk pimpinan para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh.
Mereka terperanjat ketika
mereka melihat Ki Argapati yang pucat duduk di atas punggung kuda dibantu oleh
Kerti.
“Apakah Ki Gede terluka,“
bertanya Samekta dengan serta-merta.
Ki Gede mengangguk
perlahan-lahan. Dipaudanginya wajah Samekta dan Wrahasta berganti-ganti.
Seolah-olah ia ingin melihat, apa saja yang telah mereka lakukan selama ini.
Sorot mata Ki Gede terasa
terlampau tajam menusuk dada kedua pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh
itu. Perlahan-lahan kepala mereka pun kemudian tertunduk. Seolah-olah Ki Gede
sedang mengamati ketidak-mampuan mereka mempertahankan Tanah Perdikan ini dari
kehancuran.
Ki Gede melihat kegelisahan di
wajah kedua orang itu, sehingga dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku tidak
dapat menyalahkan kalian dan menyalahkan siapa pun. Aku tahu bahwa kalian telah
berbuat sebanyak-banyaknya yang dapat kalian lakukan. Aku yakin bahwa semua
orang telah berjuang untuk mempertahankan Tanah ini, selain aku sendiri yang
asyik memanjakan perasaan tanpa nalar yang bening. Sekarang Tanah ini terluka
parah dan aku sendiri pun terluka pula.”
Semua orang menundukkan kepala
mereka. Tidak seorang pun yang berani menatap wajah Ki Argapati yang sayu dan
pucat.
Namun tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara Ki Gede, “Tetapi aku ingin memperbaiki kesalahan itu.
Sekarang aku akan memimpin sendiri pasukan Menoreh, merebut kembali daerah yang
terpaksa kalian lepaskan itu.”
Samekta hampir-hampir tidak
percaya kepada pendengarannya. Dengan pandangan yang aneh ditatapnya wajah Ki
Gede Menoreh. Tetapi mulutnya tidak segera dapat mengucapkan sesuatu.
“Jangan menjadi gelisah. Aku
sendiri yang akan memimpin pasukan Menoreh sekarang juga.”
“Tetapi,“ suara Samekta
terbata-bata, “tetapi bukankah Ki Gede sedang terluka.”
“Lukaku tidak seberapa. Aku
akan segera menjadi kuat lagi.”
“Tetapi Ki Gede memerlukan
beristirahat. Meskipun hanya satu hari ini. Mungkin besok Ki Gede telah menjadi
pulih kembali dan mampu memimpin pasukan Menoreh yang masih ada untuk merebut
kembali semua tempat yang telah terpaksa kita lepaskan.”
“Aku tidak dapat menunggu
sampai besok. Aku harus berangkat hari ini.”
Dada setiap orang yang
mendengar kata-kata Ki Gede itu bergetar. Terjadilah pergolakan di setiap dada.
Dorongan perasaan mereka, apalagi ketika mereka melihat Ki Gede sudah ada di
antara mereka, seakan-akan telah membakar jantung mereka dan mendidihkan darah
mereka. Hampir saja para pengawal itu berteriak, “Sekarang! Sekarang!“ Tetapi
apabila mereka lihat Ki Gede yang lemah dan pucat, betapapun ia masih tetap
dijalari oleh tekad yang menyala-nyala, mereka tidak akan dapat membenarkan
sikap yang tergesa-gesa itu. Sikap itulah yang menjadi teka-teki bagi mereka.
Ki Gede Menoreh tidak pernah kehilangan pengamatan, seperti kali ini.
Karena itu, maka baik para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maupun para pemimpinnya, tidak segera dapat
menyahut. Mereka seakan-akan terpukau dalam kediaman mereka. Membeku sambil
memandangi wajah Ki Gede yang pucat.
Karena tidak seorang pun yang
mengucapkan sepatah kata menyambut perintahnya, maka Ki Gede berkata pula,
“Kenapa kalian menjadi beku? Apakah kalian ragu-ragu, bahwa kita tidak mampu
lagi untuk merebut setiap kedudukan yang telah kita tinggalkan?”
Samekta menelan ludahnya.
Selangkah ia maju mendekati Ki Gede dengan dada yang berdebar-debar. Menurut
tanggapannya, pasti ada sesuatu yang menyebabkan Ki Gede menjadi terlampau
tergesa-gesa mengambil keputusan.
“Ki Gede,” berkata Samekta
dengan hati-hati, “marilah. Kami persilahkan Ki Gede beristirahat. Marilah,
kita membicarakannya dengan tenang.”
Tetapi Ki Gede Menoreh sama
sekali tidak berkenan di hati. Dengan keras ia menjawab, “Aku tidak akan
membicarakannya. Kalau kalian masih mengakui aku sebagai Kepala Tanah Perdikan,
maka aku akan memerintahkan kalian untuk bersiap sekarang.”
Setiap dada terasa berdesir
mendengar kata-kata Ki Gede itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Ki
Argapati tidak pernah demikian.
Namun Samekta masih mencoba
bertanya, “Ki Gede, apakah yang menyebabkan Ki Gede harus melakukannya
sekarang? Bagaimana seandainya besok atau setiap saat apabila Ki Gede sudah
pulih kembali.”
“O, kalian terlampau
memikirkan diri sendiri,“ suara Ki Argapati menjadi semakin keras. Kini ia
duduk tegak di atas punggung kudanya meskipun Kerti masih belum turun juga.
“Kalian tidak dapat merasakan, betapa sakit hatiku mengalami peristiwa ini.
Mungkin terlampau pribadi, dan mungkin kalian tidak mau terseret dalam
kepentingan ini. Kalau demikian baiklah. Aku akan mengambil jalan lain. Tetapi
aku harus mendapatkannya sekarang dalam segala keadaan.”
Samekta menjadi semakin tidak
mengerti. Dipandanginya sejenak wajah Wrahasta. Tetapi Wrahasta yang bertubuh
raksasa itu seakan-akan membeku di tempatnya. Di tubuhnya masih tergores
jalur-jalur merah, bekas-bekas luka oleh sentuhan senjata lawan ketika ia
bertempur mati-matian mempertahankan rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Agaknya karena sesuatu hal, maka ia tidak mati di peperangan itu. Seandainya
pada saat itu Pandan Wangi masih ada di dalam rumah itu, maka ia tidak akan
beranjak sampai ke ujung hidupnya.
“Baiklah,“ berkata Ki Argapati
kemudian, “beristirahatlah. Aku akan pergi sendiri.”
Samekta menjadi semakin
bingung. Kerti pun menjadi bingung pula. Apalagi ketika ia tersentuh tubuh Ki
Argapati yang menjadi terlampau panas. Panas oleh benturan yang terjadi di
dalam tubuhnya. Benturan antara obat yang memampatkan lukanya dengan warangan
yang ada pada ujung senjata Ki Tambak Wedi yang tergores di dada Ki Gede
Menoreh itu, meskipun tidak terlampau tajam.
“Ki Gede,“ berbisik Kerti
lirih, “tubuh Ki Gede menjadi terlampau panas. Mungkin terjadi sesuatu di dalam
tubuh Ki Gede.”
“Oh,“ desah Ki Argapati
“muugkin. Tetapi aku merasa semakin sehat. Aku sudah hampir pulih kembali.”
“Tetapi apakah agaknya yang
memaksa Ki Gede untuk berbuat sekarang?“ bertanya Kerti pula. “Mungkin karena
Ki Gede merasa kehilangan Pandan Wangi?”
“Sudah aku katakan,“ sahut Ki
Gede.
Namun agaknya pertanyaan Kerti
itu telah membuat Samekta, Wrahasta dan orang-orang lain menjadi terperanjat.
Dengan terbata-bata Samekta bertanya “Maksud Ki Gede. Ki Gede ingin menemukan
Pandan Wangi? Dan karena itu Ki Gede akan pergi sekarang?”
“Sudah aku katakan. Itulah
sebabnya maka aku sebut persoalan ini kalian anggap terlampau pribadi. Aku
terlampau mementingkan diriku sendiri, sekedar mencari anakku yang hilang itu.”
“Oh,” Samekta maju lagi
selangkah, “tidak Ki Gede. Tidak. Pandan Wangi sama sekali tidak hilang.”
“He?“ Ki Argapati terbelalak
mendengar kata-kata itu.
Samekta mengangguk lemah.
Ketika sekali lagi ia memandang wajah Ki Gede, maka wajah itu sudah menjadi
semakin pucat. Dan bahkan kini tubuh Ki Gede itu mulai menggigil. Agaknya
benturan di dalam darahnya menjadi semakin dahsyat. Bahkan Kerti mulai
bercuriga, apakah obat dari orang yang membawa cambuk dan mengaku bernama
Gupala itu bukan justru racun yang memperkuat warangan senjata Ki Tambak Wedi
yang tergores di dada Argapati.
Tetapi Kerti tidak bertanya
tentang hal itu.
“Ki Gede,” berkata Samekta
kemudian, “Pandan Wangi sudah kembali dengan selamat.”
“Siapa yang mengatakannya?“
bertanya Argapati.
“Ia ada disini.”
“Mana orangnya?”
“Ia sedang tidur. Ia terlampau
lelah karena ia bertempur melawan Ki Peda Sura.”
Argapati termenung sejenak.
Kata-kata Samekta itu seolah-olah sebuah mimpi saja yang mengganggunya.
Perlahan-lahan dirabanya tengkuknya. Terasa lehernya menjadi terlampau panas.
Tiba-tiba saja ia merasakan
tubuhnya menjadi terlampau lungkrah. Tulang-tulangnya seakan-akan terlepas dari
tubuhnya. Kini baru ia mengerti, betapa tubuhnya dalam keadaan yang parah.
Namun dengan demikian, ia
bertanya di dalam dirinya sendiri, “Apakah benar aku mendengar bahwa Pandan
Wangi ada di sini? Atau karena keadaanku, maka aku menjadi kehilangan
kesadaran, atau pingsan atau mimpi atau dalam keadaan apa pun. Tetapi itu hanya
sekedar bayangan didalam hati?”
Tetapi ia mendengar lagi Samekta
berkata, “Marilah Ki Gede, kami bawa Ki Gede kepadanya. Kepada Pandan Wangi.”
Ki Gede masih tetap ragu-ragu.
Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Marilah. Tetapi kalau
kalian menipuku, maka aku dapat berbuat apa saja di luar sadarku. Adalah di
luar nalar, kalau Pandan Wangi mampu melepaskan dirinya dari Peda Sura.”
Samekta tertegun sejenak.
Namun kemudian segera ia berputar dan melangkah ke rumah yang diperuntukkan
bagi Pandan Wangi.
Beberapa orang yang
mengerumuni Ki Gede segera menyibak ketika kuda Ki Gede melangkah pula maju
mengikuti Samekta.
Sementara itu Kerti masih juga
duduk dibelakang Ki Gede. Di belakang kuda itu para pengawal yang sedang tidak
bertugas di regol desa segera mengikutinya berbondong-bondong.
Samekta yang melangkah di
depan kuda Ki Gede berjalan semakin cepat. Seperti seorang senapati yang maju
di depan pasukannya di peperangan.
“Itulah rumah yang
dipergunakannya, Ki Gede,” berkata Samekta sambil menunjuk sebuah rumah yang
sedang di pinggir jalan di dalam lingkungan pagar batang-batang pring ori.
Ki Gede menjadi semakin
berdebar-debar. Sejenak maka luka dan keadaan dirinya sendiri terlupakan lagi.
Yang dipandanginya adalah pintu rumah yang kini telah berada di depannya.
Perlahan-lahan mereka memasuki
regol halaman yang tidak terlampau luas. Wrahasta segera menahan para pengawal
yang tidak berkepentingan agar mereka tidak turut masuk memenuhi halaman rumah
itu.
Suara ribut-ribut di luar
ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi yang sedang beristirahat di bilik dalam
rumah itu. Dengan hati yang berdebar-debar ia melangkah ke luar. Kedua
pedangnya tetap siap di lambungnya.
“Apakah yang diributkan oleh
orang-orang di luar itu bibi?” bertanya Pandan Wangi kepada seorang perempuan
tua pemilik rumah itu.
“Entahlah, Ngger. Aku belum
menjenguk juga.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan melihatnya sebentar.”
Perempuan tua yang lagi duduk
di belakang alat tenunnya itu menengadahkan wajahnya. Sambil memiringkan
kepalanya ia berkata, “Ya, aku memang mendengar orang ribut di halaman.” Tetapi
perempuan itu tidak beranjak dari tempatnya. Sejenak kemudian ia telah mulai
melemparkan jarum tenunnya lagi.
Pandan Wangi menarik nafas.
Agaknya perempuan tua itu tidak tertarik lagi kepada apa pun juga selain jarum
tenunnya yang besar itu.
“Apakah Paman tidak ada di
rumah?” bertanya Pandan Wangi pula.
“Tidak, Ngger. Pamanmu sedang
keluar,” jawabnya. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak berpaling.
Sekali lagi Pandan Wangi
menarik nafas.
Dan Pandan Wangi itu
terperanjat ketika ia mendengar desah langkah seseorang masuk. Sebelum ia
melihat orangnya, Pandan Wangi telah mendengar suara orang itu memanggilnya.
“Angger Pandan Wangi. Apakah
kau sudah bangun?”
“Paman Samekta,” desis Pandan
Wangi.
Samekta kini telah berdiri di
depan pintu. Katanya selanjutnya, “Aku telah mendengar suaramu. Tentu kau sudah
tidak tidur lagi.”
“Aku hanya dapat tidur
sekejap, Paman. Selebihnya aku hanya sekedar berbaring saja.” Pandan Wangi
berhenti sejenak, lalu, “Siapakah yang berada di luar selain Paman Samekta.”
“Marilah, lihatlah sendiri.”
“Siapa?”
“Wrahasta.”
“Ah,” Pandan Wangi berdesah.
“Ada yang lain lagi, Ngger,
marilah, lihatlah sendiri.”
Pandan Wangi masih juga
ragu-ragu. Tetapi Samekta mendesaknya. “Marilah, Ngger, lihatlah siapakah yang
menunggumu di luar.”
Samekta tidak menunggu jawaban
Pandan Wangi. Segera ia berbalik dan melangkah ke luar, melintas pendapa.
Dengan ragu-ragu Pandan Wangi
mengikutinya di belakang. Ketika ia melangkahi pintu, maka di bawah tangga
pendapa dilihatnya seekor kuda yang dipegangi oleh seorang pengawal. Di
belakang pengawal itu ia melihat Kerti sedang menolong seseorang turun dengan
susah payah dari kuda itu.
Tiba-tiba Pandan Wangi
terpekik, “Ayah.”
Dengan cepatnya Pandan Wangi
meloncat berlari menyongsong ayahnya yang baru saja turun dari punggung
kudanya. Menilik keadaannya, Pandan Wangi segera dapat mengetahui, bahwa
sesuatu telah terjadi atas ayahnya itu. Karena itu maka dadanya serasa
berhenti, seolah-olah menghentikan arus nafasnya.
Ki Argapati mendengar suara
anaknya. Sejenak ia menengadahkan dadanya. Dipandangmya seseorang yang berlari
ke arahnya. Seorang gadis dengan dua buah pedang di lambungnya
sebelah-menyebelah.
“Pandan Wangi.”
Pandan Wangi yang berlari-lari
itu langsung memeluk ayahnya yang lemah sambil berdesis, “Ayah, kenapa ayah?”
Ayahnya tidak segera menjawab.
Tetapi Pandan Wangi terperanjat ketika tubuhnya tersentuh badan ayahnya. ”Ayah
terlampau panas.”
Dengan tangannya yang lemah
dilayani oleh Kerti Ki Argapati membelai kepala puterinya. Terdengar suaranya
terlampau dalam, “Kau selamat Pandan Wangi.”
“Ya, Ayah, aku selamat,” sahut
Pandan Wangi, suaranya menjadi gemetar. Betapa ia bertahan, namun ia adalah
seorang gadis. Karena itu, maka terasa di pipinya air matanya mengalir
satu-satu.
“Aku mendengar kau terlibat
dalam perang tanding melawan Ki Peda Sura.”
“Ya, Ayah.”
“Hanya tangan Tuhanlah yang
dapat menyelamatkanmu.”
Pandan Wangi mengangguk. “Ya
ayah.”
Ki Argapati terdiam sejenak.
Tangannya masih membelai rambut puterinya yang kini menangis terisak-isak.
“Ki Gede,” berkata Kerti yang
melayaninya, “sebaiknya, silahkan Ki Gede naik dan beristirahat.”
“Oh,” Pandan Wangi berdesah
sambil melepaskan pelukannya. “Ya, Ayah. Silahkan Ayah naik. Apakah Ayah
terluka?”
Argapati mengangguk perlahan.
Terdengar suaranya semakin lirih, “Ya, aku terluka Wangi.”
“Dan tubuh Ayah terlampau
panas. Apakah luka itu berbahaya dan parah?”
Argapati tidak segera
menyahut. Dipalingkan wajahnya, beredar di halaman rumah itu. Dilihatnya
beberapa orang pengawal berdiri mematung. Yang lain menyilangkan tombaknya di
regol, supaya orang-orang yang tidak berkepentingan tidak masuk ke halaman.
“Ayah, apakah luka Ayah cukup
parah?”
Ki Argapati yang lemah itu
menggelengkan kepalanya. Desisnya, “Tidak Wangi. Lukaku tidak terlampau parah.”
“Tetapi Ayah sangat pucat dan
tubuh Ayah sangat panas.”
Ki Argapati mencoba tersenyum.
Namun tampak betapa ia menahan gejolak di dalam tubuhnya. Perasaan yang aneh
menjalar menyusur peredaran darahnya. Di dalam dadanya serasa menyala api yang
sangat panasnya.
“Angger,” potong Kerti
kemudian ketika Pandan Wangi masih ingin bertanya, “Biarlah Ki Gede Menoreh
naik ke rumah dan beristirahat.”
“O, marilah. Marilah Ayah.”
Kerti dan Pandan Wangi
kemudian membantu Ki Gede menaiki tangga pendapa. Perlahan-lahan mereka
melintas dan masuk ke ruang dalam.
“Bibi,” berkata Pandan Wangi
kepada perempuan tua yang sedang menenun di sudut ruang, “Ayahku minta ijin
untuk tinggal di rumah ini pula bersamaku, Bibi. Ayah sedang terluka.”
Perempuan tua itu berpaling
sejenak. Dipandanginya Argapati yang menjadi semakin lemah. Acuh tidak acuh ia
menjawab, “Silahkan. Bawalah masuk ke bilik sebelah.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Perempuan itu segera melanjutkan kerjanya tanpa memperhatikan lagi
orang-orang yang berada di dalam rumahnya.
Perempuan tua itu tidak
berpaling ketika Pandan Wangi menyahut, “Terima kasih, Bibi.”
Namun tiba-tiba perempuan itu
terbelalak. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Siapa? Siapa yang kau katakan
akan tinggal di rumah ini bersamamu?”
“Ayah, Bibi. Ayahku.”
“Maksudmu, Ki Gede Menoreh?”
“Ya, Bibi.”
“O,” dengan tergesa-gesa
perempuan tua itu melepaskan dirinya dari alat tenunnya. Dengan tergesa-gesa ia
berdiri dan berkata, “Maaf. Maafkan aku. Aku tidak menyadari bahwa yang datang
adalah Ki Gede Menoreh.”
Maka terbungkuk-bungkuk
perempuan tua itu melangkah ke bilik yang lain sambil berkata, “Di sini. Di
sinilah Ki Gede akan beristirahat.”
Dengan tergesa-gesa pula ia
mengemasi pembaringan di dalam bilik itu. Dibentangkannya tikar pandan yang
putih sambil bergumam, “Aku tidak menyangka, bahwa Ki Gede akan sudi singgah di
rumah ini.”
Ki Gede Menoreh yang terluka
itu pun segera dibaringkan di pembaringan itu. Tubuhnya ternyata menjadi
semakin panas, dan nafasnya menjadi tersengal-sengal.
Kerti, Samekta. Wrahasta,
Pandan Wangi, dan beberapa pemimpin pengawal yang lain menungguinya dengan
cemas.
Betapa garangnya Pandan Wangi,
namun sebagai seorang gadis yang menghadapi ayahnya yang terbujur dengan wajah
pucat dan tubuh menggigil, Pandan Wangi tidak dapat menyembunyikan perasaannya.
Betapa ia mumpuni mempergunakan sepasang senjatanya, namun untuk mengatasi
keadaan ayahnya ia tidak dapat mempergunakan kemampuannya mempergunakan sepasang
pedangnya.
Dalam keadaan yang demikian,
maka tidak ada yang dapat memberinya pengharapan selain Kekuasaan Yang
Tertinggi. Tidak ada senjata, tidak ada pedang, tombak atau apa pun juga yang
akan mampu menolongnya, selain Sumber Hidupnya.
Karena itu, maka baik Pandan
Wangi mau pun Ki Argapati sendiri, dalam keadaan demikian telah melepaskan
dirinya dari segala macam kemampuan diri, segala macam jenis senjata dan ilmu
yang paling dahsyat sekalipun. Kini mereka mencoba mendekatkan diri semakin
lekat kepada Penciptanya.
Namun ternyata Ki Gede Menoreh
yang telah lebih dalam menyadap pengalaman hidup, lebih cepat dapat
menyandarkan perasaannya. Ia lebih cepat meletakkan dirinya ke dalam tangan
Yang Maha Kuasa, dalam pasrah diri yang sedalam-dalamnya.
Karena itu, maka tiba-tiba ia
menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk tersenyum dan berkata lirih kepada
Pandan Wangi, “Pandan Wangi, kenapa kau menjadi terlampau cemas?”
“Ayah panas sekali, bahkan
menggigil.”
“Luka ini sudah diobati Wangi.
Jangan cemas.”
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Ia bahkan menjadi semakin curiga terhadap obat yang telah
ditaburkan di atas luka Ki Gede. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya, supaya Ki
Gede Menorek tidak menjadi cemas pula.
Tetapi ngaknya Ki Gede dapat
mengerti kecemasan yang tersirat di hati Kerti, sehingga sambil tersenyum ia
berkata, “Jangan mencemaskan obat yang telah kau taburkan di atas luka itu
Kerti. Aku percaya bahwa orang itu tidak akan berkhianat meskipun aku sudah
hampir tidak dapat mengingatnya lagi siapakah dan bagaimanakah bentuk
wajahnya.”
Kerti mengerutkan keningnya.
Namun ia bertanya pula, “Tetapi bukankah keadaan Ki Gede menjadi semakin
sulit.”
Ki Gede adalah seseorang yang
memiliki pengetahuan yang jauh lebih luas dari orang-orangnya. Dalam keadaan
yang demikian ia masih dapat membuat perhitungan atas dirinya sendiri. Katanya,
“Mudah-mudahan aku menjadi segera lebih baik, Kerti. Mungkin benturan antara
kekuatan racun pada senjata Tambak Wedi dan obat yang ditaburkan di atas
lukaku, telah terjadi di dalam arus darahku. Tetapi kalau aku mampu
mengatasinya, maka aku akan segera baik.”
Kerti tidak menjawab. Tetapi
kecemasan masih membayang di wajahnya, di wajah Wrahasta dan di wajah Samekta,
bahkan di wajah-wajah yang lain.
Dalam keadaan yang demikian,
ternyata bahwa orang-orang di sekitar Ki Gede itu tidak mampu lagi untuk
menenteramkan hati mereka sendiri, apalagi bagi yang sedang terluka. Setiap
kali mereka berdesah untuk melepaskan ketegangan yang menghimpit dada mereka.
Dalam ketegangan, mereka yang
berada di sekitar Ki Gede berdiri tegak dalam kediaman. Mereka memandang wajah
Ki Gede yang pucat dan suram. Yang dapat mereka lakukan hanyalah menunggu apa
yang akan terjadi atas Ki Gede kemudian. Namun di dalam hati mereka tidak sepi
dari doa dan harapan atas kemurahan Tuhan Maha Pencipta.
Nafas Ki Gede Menoreh pun
menjadi semakin deras. Arus panas di dalam darahnya menyebabkannya basah oleh
keringat.
Pandan Wangi akhirnya tidak
dapat menahan ketegangan di dalam dirinya sehingga terloncatlah pertanyaannya
kepada Kerti, “Paman, obat apakah yang telah dipergunakan oleh ayah?”
“Seseorang telah memberi obat
itu di bawah Pucang Kembar, Ngger.”
“Siapakah orang itu?”
Kerti mengaugkat bahunya
sambil berdesah, “Aku baru melihatnya sekali itu. Namanya Gupala.”
“Oh,” Pandan Wangi
terperanjat, “jadi ayah mempergunakan obat dari seseorang yang belum jelas bagi
Paman dan bagi ayah sendiri?”
Kerti menjadi ragu-ragu.
Dipandanginya wajah Ki Gede yang pucat. Namun sebelum Kerti menjawab, terdengar
suara Ki Gede lirih, “Aku tidak berprasangka jelek kepada anak yang gemuk itu,
Kerti. Aku harap bahwa aku akan menjadi semakin baik seteiah benturan yang
terjadi antara kekuatan racun dan obat itu mereda.”
Kerti tidak menjawab, dan
Pandan Wangi pun tidak bertanya lagi. Mereka kini berdiri seperti patung
menyaksikan Ki Gede yang terbaring diam sambil memejamkan matanya. Dicobanya
untuk memusatkan segenap sisa-sisa tenaganya dalam perjuangannya mengatasi
keadaan yang gawat pada dirinya. Tetapi Ki Gede meletakkan dirinya pada
lambaran yang mapan. Pasrah setulus hati kepada Kekuasaan Yang Tertinggi.
Ruangan itu kini menjadi sepi.
Perempuan tua pemilik rumah itu sudah tidak menenun lagi. Meskipun ia berdiri
di luar pintu, namun ia dapat ikut merasakan, betapa ketegangan mencengkam
ruang di dalam.
Hanya nafas-nafas yang
tertahan sajalah yang terdengar. Hampir tidak ada mata yang sempat berkedip.
Semuanya menatap wajah Ki Gede yang pucat pasi. Kadang-kadang mereka memandangi
nafasnya yang bekejaran dan dadanya yang menggelombang. Tangannya yang gemetar
bersilang di atas dadanya, sedang kedua kakinya terbujur lurus di bawah selimut
kain panjang.
Sekali-kali mereka melihat Ki
Gede menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali Pandan Wangi mengusap keringat yang
mengembun di kening ayahnya, perlahan-lahan sekali. Tetapi Pandan Wangi tidak
berani bertanya sesuatu.
Dadanya berdesir ketika ia
melihat tombak pendek ayahnya terbaring di sisi tubuh Ki Argapati itu. Belum
dimasukkan ke dalam selongsongnya, meskipun sudah berwrangka.
Tiba-tiba dendamnya kepada Ki
Tambak Wedi melonjak sampai ke ujung ubun-ubun. Kalau terjadi sesuatu atas
ayahnya, maka segala kesalahan adalah tanggung jawab iblis tua itu. Sejak
ayahnya kawin dengan ibunya yang sudah mengandung kakaknya Sidanti, kemudian kemelutnya
Tanah Perdikan Menoreh adalah akibat semata-mata dari kelahiran Sidanti, dan
akhirnya keadaan ayahnya yang parah saat ini.
Tanpa sesadarnya, maka Pandan
Wangi menggeretakkan giginya, sehingga Kerti berpaling ke arahnya. Orang tua
itu segera dapat menangkap betapa kemarahan menyala di hati gadis yang perkasa
itu.
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia segera menyadari, bahwa tidak ada seorang pun yang akan
mampu melawan Ki Tambak Wedi selain Ki Gede Menoreh. Apalagi di lingkungan
mereka terdapat orang-orang yang bernama Ki Peda Sura, Sidanti, Argajaya, dan
orang-orang yang tidak mereka kenal sebelumnya.
Dalam ketegangan keadaan itu,
Kerti mencoba menilai keadaan secermat-cermatnya. Pasukan Samekta telah
terpukul mundur, bahkan bersama-sama dengan para pengawal pilihan yang dipimpin
oleh Wrahasta. Tetapi apakah yang dapat dilakukan Samekta dan Wrahasta
menghadapi Sidanti dan Argajaya? Adalah suatu keajaiban bahwa Pandan Wangi
tidak terbunuh atau tertangkap ketika ia berkelahi melawan Ki Peda Sura. Tetapi
Pandan Wangi masih belum mengatakan, apakah sebabnya ia berhasil melepaskan
dirinya.
Angan-angan mereka itu segera
tersentak ketika mereka mendengar desah Ki Gede menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya, kemudian sekali lagi menarik nafas
dalam-dalam.
“Ayah,” desis Pandan Wangi. Ki
Gede tidak segera menjawab.
“Ayah, Ayah,” Pandan Wangi
menjadi pucat, “Ayah.”
Hampir saja ia menjerit sambil
memeluk ayahnya, apabila Kerti tidak segera menahannya, “Jangan, Ngger. Jangan
membuat ayah terkejut. Lihat, nafasnya menjadi semakin teratur.”
“Tetapi….”
Pandan Wangi menjadi semakin
bingung ketika Kerti tidak juga melepaskannya. Lenyaplah gambaran seorang
prajurit yang tangkas di peperangan. Yang ada kini adalah seorang gadis yang
kecemasan menunggui ayahnya, satu-satunya orang tuanya yang ada, yang sedang
dibelai maut.
“Tidak, Ngger. Lihatlah. Ayah
sedang mencoba mengatasi kesulitan yang ada di dalam dirinya dengan memusatkan
segenap kemampuanya dan kekuatan yang tersisa. Ayah sedang memohon kepada Tuhan
dengan segenap hatinya, segenap budinya. Marilah kita ikut berdoa di dalam
hati.”
“Tetapi, tetapi, bagaimanakah
keadaan ayah itu nanti.”
“Jangan cemas. Kita pasrahkan
keadaannya kepada Penciptanya. Tetapi menilik tata-lahir yang kasat mata,
keadaan ayahmu menjadi semakin baik.”
“Tetapi, tetapi, apakah obat
itu bukan justru menyesatkan?”
Pertanyaan itu menyentuh
perasaan Kerti yang betapapun kecilnya mempunyai dugaan serupa pula. Tetapi ia
yakin, bahwa Ki Gede sendiri, seorang yang hampir mumpuni, pasti dapat
membedakan, apakah yang sedang terjadi atas dirinya, sehingga karena Ki Gede
sendiri sama sekali tidak berprasangka, maka ia tidak berbuat apa-apa.
“Paman,” Pandan Wangi
mendesak, “apakah tidak ada reorang dukun yang cukup cakap untuk mengetahui,
apakah yang menyebabkan ayah menjadi terlampau panas dan parah seperti ini.”
Kerti tidak dapat menjawab
pertanyaan itu. Seandainya ada seorang dukun yang cakap tentang obat-obatan,
namun Ki Argapati sendiri telah mantap mempergunakan obat dari orang yang belum
begitu dikenalnya itu. Tetapi meskipun demikian, ikhtiar itu harus dilakukan.
Pendapat Pandan Wangi itu dapat diusahakan seandainya mungkin.
Karena itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berdesis, “Memang hal itu pun akan dapat kami
coba.”
Kerti pun kemudian berbisik
kepada seseorang yang berdiri di belakangnya, untuk menghubungi
pemimpin-pemimpin pengawal yang lain. Yang mungkin dapat memanggil seseorang
yang mampu menolong keadaan Ki Gede yang sedang parah itu.
Orang itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Aku akan mencoba.”
“Tetapi orang itu harus
benar-benar dapat dipercaya. Lebih baik apabila orang itu tinggal di daerah
ini. Orang yang selama ini selalu berhubungan dengan Ki Gede dalam soal obat-obatan
ternyata kini telah berada di pihak Sidanti.”
“Ki Wasi?” bertanya orang itu.
Kerti mengangguk. “Ya, orang
itu ternyata kini berpihak kepada lawan meskipun selama ini ia selalu dekat
dengan Ki Gede dalam soal obat-obatan.”
Pengawal itu mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi bukankah obat yang dipergunakan oleh Ki Gede ini
bukan obat dari Ki Wasi.”
Kerti menggelengkan kepalanya.
“Bukan, aku kira bukan.” Namun terbersit keragu-raguan di dalam dadanya. Apakah
anak yang gemuk itu bukan sekedar suruhan Ki Wasi untuk meracuni Ki Argapati?
“Ah, kenapa aku menjadi
terlampau cemas,” berkata Kerti di dalam hatinya. “Ki Gede telah mengenal
ciri-ciri orang yang memberinya obat. Agaknya Ki Gede mempercayainya. Kenapa
aku menjadi terlalu gelisah?”
Kerti mengangguk ketika
pengawal itu berkata, “Baiklah aku pergi sekarang. Mudah-mudahan di padesan ini
aku dapat menemukannya. Yang benar-benar baik dan dapat dipercaya.”
“Pergilah. Asal bukan Ki Wasi
dan Ki Muni. Kedua-duanya tidak lagi dapat dipercaya.”
Pengawal itu segera pergi
meninggalkan ruangan itu, untuk mencoba memenuhi permintaan Kerti dan Pandan
Wangi.
Pandan Wangi, Wrahasta, Kerti,
dan beberapa orang yang lain masih saja mengerumuni Ki Argapati dengan dada
yang dicengkam oleh ketegangan. Ki Argapati masih terbaring diam sambil
memejamkan matanya, dengan tangan bersilang di dadanya.
“Bagaimana keadaan ayah,
Paman?” Pandan Wangi berbisik dalam kecemasan yang mencengkam.
“Kita hanya dapat menunggu,
Ngger. Tetapi setidak-tidaknya keadaannya tidak menjadi semakin parah. Bahkan,
lihatlah, pernafasannya sudah jauh lebih baik dan teratur.”
“Ayah telah mengerahkan
tenaganya untuk mengatur jalan pernafasannya. Tetapi apakah ia dapat bertahan?”
Kerti tidak menjawab. Tetapi
kecemasan yang sangat membayang di matanya. Keningnya yang telah berkerut,
menjadi semakin berkerut-merut.
Wrahasta yang berdiri tegak di
samping Kerti, sama sekali tidak bergerak. Ia pun tidak kalah cemasnya dari
Kerti dan Samekta. Tetapi seperti juga Samekta, ia berusaha untuk menekan
kecemasannya di dalam hatinya. Apalagi mereka tidak melihat langsung seperti
Kerti, seseorang yang kurang mereka kenal memberikan obat kepada Ki Gede, dan
obat itu telah ditaburkan di atas lukanya.
Di halaman rumah itu, pengawal
yang mendapat tugas dari Kerti untuk mencari seorang dukun, segera melakukan
tugasnya. Dengan tergesa-gesa ia berlalu dari halaman rumah itu, menghubungi
seorang penduduk untuk menanyakan apakah di padukuhan itu ada seorang dukun
yang baik untuk mengobati luka-luka baru, luka-luka karena senjata dan racun.
Tetapi pengawal itu kecewa
ketika ia melihat orang itu menggelengkan kepala. ”Sayang, di desa ini tidak
ada seorang pun yang pantas untuk mengobati luka. Apakah Ki Gede terluka
parah?”
“Ya, Ki Gede terluka.”
“Apakah luka itu berbahaya
bagi jiwanya?”
Pengawal itu terdiam. Ia tidak
dapat menjawab pertanyaan itu. Namun kediamannya telah memberikan kesan kepada
orang yang bertanya kepadanya, bahwa memang keadaan Ki Gede cukup berbahaya.
Berita tentang keadaan Ki Gede
itu pun segera tersiar. Orang orang yang berdiri di luar halaman, di
gardu-gardu dan hampir di segala tempat, telah mempercakapkan keadaan Ki Gede
Menoreh. Mereka menjadi sangat berprihatin. Pada saat tanah perdikan ini
mengalami bencana, maka pada saat yang demikian Ki Gede berada dalam keadaan
luka parah, dan bahkan membahayakan jiwanya.
Pada saat orang-orang di
seluruh padesan itu sedang berdoa untuk keselamatan Ki Gede, seluruh pengawal
yang mundur ke dalam daerah itu, dan seluruh peududuk di daerah-daerah yang
masih setia kepadanya, mengharapkan kesembuhannnya, maka para pengawal di
jurusan timur padesan itu telah dikejutkan oleh suara panah sendaren yang
meluncur dari dalam daerah lingkungan bambu berduri.
Suara panah sendaren itu
benar-benar telah menarik perhatian para pengawal, sehingga pemimpin pengawal
yang berada di daerah itu segera memberikan perintah. ”Dua orang pergi bersama
aku.”
Ketiganya segera meloncat ke
atas punggung kuda berlari ke arah panah sendaren itu meluncur. Namun agaknya
mereka telah terlambat. Panah itu jatuh ke dalam sebuah pategalan yang agak
rimbun. Ketika kuda mereka mendekat, maka mereka melihat seekor kuda meluncur
dengan cepatnya, menerobos dedaunan berlari ke jurusan induk kademangan.
“Seorang pengbubung atau
petugas sandi dari Sidanti.”
“Marilah kita kejar,” geram
salah seorang pengawal itu.
Tetapi pemimpin pengawal itu
menggelengkan kepalanya, “Tidak akan dapat kita capai. Kuda itu tidak kalah
baiknya dengan kuda-kuda kita. Kita kalah waktu dan kita pasti akan terjebak.”
Tetapi panah itu sangat
menarik perhatian para pengawal, sehingga pemimpin pengawal itu berkata
seterusnya, ”Kita harus melaporkan, bahwa di dalam lingkungan kita pasti ada
petugas sandi Sidanti yang telah melepaskan panah sendaren itu.”
Ketiga pengawal berkuda itu
segera berpacu kembali. Dengan segera mereka pun berusaha menemui Samekta yang
sedang menunggui Ki Gede yang sedang sakit.
“Ada apa?” bertanya Samekta
berbisik.
Pemimpin pengawal itu
ragu-ragu sejenak. Beberapa langkah ia bergeser diikuti oleh Samekta yamg
mengerti maksud pengawal itu. Lalu katanya, ”Seseorang telah melepasksan panah
sendaren dari ujung desa ini.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Berita itu merupakan berita penting baginya.
“Kami bertiga sudah berusaha
untuk mengejar panah sendaren itu, karena kami yakin bahwa seseorang telah
menunggunya. Tetapi ternyata kami terlambat.”
“Kenapa?”
“Panah sendaren itu merupakan
sesuatu yang tiba-tiba bagi kami. Ketika kami berkuda menyusul arah panah itu,
maka seekor kuda yang lain telah berlari kencang-kencang dari petegalan
sebelah.”
“Apakah kalian tidak
mengejarnya?”
“Sudah terlampau jauh.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia dapat mengerti, bahwa mustahil para pengawal dapat berbuat
terlampau cepat dan tiba-tiba, memacu kudanya secepat anak panah pula.
Tetapi peristiwa itu tidak
akan dapat dibiarkannya saja. Maka sebelum ia menemukan pemecahan ia berkata,
”Awasi keadaan baik-baik. Usahakan untuk mengetahui, siapakah yang telah
melepaskan anak panah itu, atau setidak-tidaknya berusaha untuk mencegah,
jangan sampai hal serupa itu terulang.”
Pemimpin pengawal itu
menganggukkan kepalanya. Kemudian ia minta diri, meninggalkan rumah itu. Sekali
ia berpaling, mencoba memandang wajah Ki Gede dari sela-sela yang
mengerumuninya. Wajah itu masih juga pucat, dan mata Ki Gede masih saja
terpejam.
Kerti yang berdiri di samping
Pandan Wangi dengan gelisahnya menunggu orang yang disuruhnya mencari seorang
dukun yang mungkin dapat membantu Ki Argapati, tetapi orang itu masih juga
belum datang. Sedang keadaan Ki Gede merupakan teka-teki yang menegangkan bagi
mereka yang tidak begitu mengerti tentang persoalan serupa itu.
Dengan tergesa-gesa Kerti
menyongsongnya, ketika orang yang disuruhnya itu memasuki pintu. Tetapi ia
menjadi kecewa ketika orang itu mengangkat bahunya sambil berkata, ”Tidak ada.
Tidak ada seorang pun yang dapat melakukannya dengan meyakinkan. Di sini memang
ada dukun-dukun kecil yang hanya mampu mengobati luka-luka kecil. Mungkin sakit
sawan atau kerasukan. Tetapi tidak untuk melawan luka yaug begitu parah.”
Kerti menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia menjadi semakin cemas. Tetapi ia sama sekali tidak dapat berbuat
sesuatu. Perlahan-lahan ia melangkah kembali ke tempatnya di samping Pandan
Wangi.
“Bagaimana, Paman?” bisik Pandan
Wangi.
“Belum, Ngger. Orang itu belum
menemukan. Tetapi yang lain masih akan berusaha terus.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Kecemasan yang sangat membayang di wajahnya. Tetapi seperti juga
Kerti, ia pun tidak mampu berbuat apa-apa selain menunggu. Menunggu dan berdoa
di dalam hati. Ia masih mengharap, bahwa secepatnya akan ada orang yang datang
untuk membantu memperingan penderitaan Ki Gede dengan segala cara. Namun
sebenarnya ia tidak akan dapat mengharap siapa pun. Kerti pun tidak, karena
orang yang disuruhnya itu, tidak lagi berusaha untuk mendapatkan orang lain.
Tidak ada orang yang dapat diharapkannya lagi.
Namun sementara itu, seseorang
berjalan tertatih-tatih mendekati gardu penjagaan. Dengan nafas terengah-engah
ia berkata kepada para penjaga, ”Aku akan keluar, Ngger.”
“Apakah keperluanmu, Kek?”
bertanya seorang pengawal.
“Aku akan mencari seorang
dukun yang baik, yang mungkin mampu mengobati luka-luka Ki Argapati.”
“Kemana kau akan pergi?”
“Kemana pun juga. Ki Samekta
menyuruh aku mendapatkannya segera di mana pun.”
Beberapa orang pengawal saling
berpandangan sejenak. Ketika pemimpin pengawal menganggukkan kepalanya, maka
pengawal itu berkata, “Pergilah. Hati-hati, Kek. Keadaan semakin gawat.”
“O, tidak ada lagi halangannya
buat seorang seperti aku, Ngger. Aku sudah tua.”
“Tetapi kau harus hati-hati.
Apalagi kalau orang lain tahu bahwa kau mencari obat untuk Ki Argapati.”
“Baik, Ngger.”
Orang itu pun kemudian
berjalan tersuruk-suruk di panasnya matahari meninggalkan padesan yang
dilingkungi oleh pering ori yang rapat, membentengi tempat pemusatan pasukan
induk pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang terdesak dari padukuhan induk.
Berita tentang luka Ki
Argapati memang sudah tersebar sampai hampir seluruh tanah perdikan. Tetapi tidak
seorang pun di luar lingkungan pagar pring ori yang tahu keadaan sebenarnya
dari luka Ki Gede itu. Ki Tambak Wedi yang tahu benar tentang luka itu pun,
tidak dapat membayangkan akibatnya. Apakah yang kemudian terjadi dengan Ki Gede
itu. Apakah luka itu menjadi bertambah parah, ataukah Ki Gede dapat
mengabaikannya. Ketika Ki Tambak Wedi meninggalkannya, tampaknya Ki Gede masih
tetap segar dan mampu melawannya.
Karena itu, maka Ki Tambak
Wedi memerlukan keterangan. Yang diharapkannya adalah beberapa orang yang
memang sudah berada di dalam lingkungan pring ori itu, di padukuhan kecil
tempat induk pasukan Menoreh menempatkan dirinya.
Ketika seorang petugas
sandinya datang dan melaporkan bahwa sudah ada tanda panah sendaren dari
seseorang di dalam lingkungan pasukan Menoreh, maka harapan Ki Tambak Wedi
menjadi semakin besar untuk segera dapat mengetahui apakah yang telah terjadi
dengan Ki Argapati.
“Ia pasti segera datang,“
desisnya.
Sidanti mengannguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sekilas dilihatnya wajah Argajaya dengan
sudut matanya. Wajah itu pun sama sekali tidak memberikan kesan apa pun juga.
Sementara itu, orang tua yang
keluar dari daerah tertutup, pemusatan pasukan Menoreh semakin lama menjadi
semakin jauh dari regol desa. Ketika orang tua itu berbelok dan masuk ke dalam
daerah pategalan, maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam. Punggungnya yang
selama ini terbungkuk-bungkuk menjadi tegak kembali. Sambil menggeliat
ditekankannya kedua tangannya di lambungnya sambil bergumam lirih, “Hem, serasa
hampir patah punggungku.”
Sejenak kemudian orang itu
berpaling. Sama sekali tidak dilihatnya seseorang menyusulnya. Daerah itu
benar-benar merupakan daerah mati.
“Aku harus segera
menyampaikannya kepada Sidanti, bahwa luka Ki Argapati sangat parah, bahkan
hampir merenggut jiwanya,” katanya di dalam hati.
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ketika ia akan melangkahkan kakinya ia mendengar gemerisik di
sampingnya. Cepat ia meloncat dan bersiaga untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Sejenak kemudian dari balik
rimbunnya dedaunan, muncul seseorang sambil berkata, “Hem, aku sudah mengira.”
Orang tua itu terperanjat.
Orang yang muncul dari balik rimbunnya dedaunan itu adalah salah seorang
pengawal Menoreh.
“Apa yang kau duga?” bertanya
orang tua itu.
“Aku bercuriga melihat kau
keluar dari padesan untuk mencari obat buat Ki Argapati. Ki Samekta tidak akan
memerintahkan kepadamu, seandainya ia benar-benar memerlukan. Ternyata belum
terlampau jauh, kau telah membuka kedokmu. Kau ternyata tidak terlampau tua
seperti yang kau perankan. Kau belum begitu lemah dan belum saatnya berjalan
tersuruk-suruk. Bahkan agaknya kau masih mampu untuk bertempur.”
“Hem,” orang tua itu menarik
nafas, “Hidung petugas sandi pengawal Menoreh cukup tajam.”
“Bukankah kau juga orang
Menoreh? Kita pasti sudah pernah berjumpa sebelum ini. Aku pernah mengenalmu,
tetapi tidak tertatih-tatih dan tersuruk-suruk seperti keadaanmu pada saat kau
keluar dari regol desa itu. Itulah yang membuat aku bercuriga. Tetapi kau tetap
dilepaskan, seolah-olah kami sama sekali tidak menaruh perhatian atasmu. Nah,
sekarang, marilah kita kembali saja. Kalau kau tidak terlalu banyak ribut, maka
kau tidak akan mengalami nasib terlampau jelek.”
Orang tua itu mengerutkan
keningnya. Sesaat ia tegak seolah-olah membeku. Namun tiba-tiba, secepat kilat
ia mencabut sehelai keris kecil dari wrangkanya di bawah bajunya. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun lagi ia langsung menyerang, menusuk dada.
Tetapi pengawal dari Menoreh
itu pun telah mempersiapkan dirinya. Sehingga dengan demikian, maka ia pun
mampu untuk meloncat menghindari serangan itu.
“Hem, kau melawan, Kek?”
katanya.
Orang tua itu tidak menjawab,
Tetapi serangannya telah berulang lagi. Semakin lama semakin cepat. Kerisnya mematuk-matuk
dengan dahsyatnya seperti seekor belalang yang melenting-lenting untuk hinggap
di tubuh pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu.
Dengan demikian, maka petugas
sandi dari Menoreh itu tidak dapat terus-menerus menghindar dan menghindar.
Akhirnya ia pun harus bertempur pula.
Sesaat kemudian kedua
tangannya telah menggenggam sepasang pisau belati pendek, yang segera
terayun-ayun dengan dahsyatnya, menyambar-nyambar mengimbangi gerak keris
lawannya.
Demikianlah, maka perkelahian
itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-masing ternyata adalah
orang-orang terpilih. Orang orang yang memiliki beberapa kelebihan dari
kawan-kawan mereka sehingga mereka mendapat tugas untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya.
Setelah perkelahian itu berlangsung
beberapa saat, maka ternyata bahwa pengawal tanah perdikan yang sedang
bertempur itu memiliki beberapa kelebihan dari lawannya. Umurnya masih jauh
lebih muda dan nafasnya masih tetap segar, meskipun ia telah memeras
kemampuannya. Sedang orang tua yang bersenjata keris itu semakin lama telah
menjadi semakin susut tenaganya. Nafasnya mulai mengganggunya, dan ketuaannya
agaknya berpengaruh juga atas kelincahannya, meskipun sebenarnya ia tidak perlu
berjalan tertatih-tatih dan tersuruk-suruk.
Orang tua yang merasa dirinya
terdesak itu segera mengerahkan tenaganya. Dicobanya untuk mengimbangi
kemampuan lawannya. Tetapi ternyata bahwa lawannya pun berusaha sekuat
tenaganya untuk segera mengakhiri perkelahian itu.
Dalam keadaan serupa itu, maka
tidak ada jalan lain bagi orang tua itu daripada melarikan diri. Ia merasa
bahwa ia mempunyai kecakapan yang melebihi orang-oran kebanyakan. Ia mampu
berlari cepat sekali.
Namun sebelum ia mulai
melepaskan langkah pertamanya, tiba-tiba sekali lagi mereka dikejutkan oleh
gemerisik dedaunan di sekitar mereka. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu
meloncat surut ketika ia melihat bahwa orang yang datang itu adalah orang
Sidanti.
“Hem, aku sudah menyangka,”
desis orang itu.
“Apa?” bertanya orang tua yang
hampir kehabisan nafas sambil bertolak pinggang.
“Aku menyangka bahwa
perjalananmu terganggu.” Kemudian ia berpaling kepada petugas sandi yang baru
saja berkelahi itu, “Kau dapat menemukannya, bahwa ia adalah seorang petugas
kami?”
Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh itu menjawab, “Kita adalah orang-orang Menoreh. Sudah tentu kita sudah
pernah saling bertemu dan saling mengenal meskipun belum begitu rapat. Aku juga
pernah mengenal kau sebagai bekas pengawal tanah perdikan ini. Kau pun pasti
sudah mengenal aku pula.”
“Bukan aku yang bekas pengawal
tanah perdikan ini, tetapi kau.”
Pengawal itu mengerutkan
keningnya. Ditatapnya kedua orang pengikut Sidanti itu berganti-ganti.
“Jangan menyesal, karena kau
mengikuti aku,” berkata orang tua itu. “Memang sudah lazimnya terjadi di daerah
peperangan. Kalau seseorang gagal membinasakan lawannya, maka ia sendirilah
yang mungkin akan menjadi binasa. Bukankah begitu?”
Pengawal itu menganggukkan
kepalanya. “Ya, itu sudah aku sadari sebelumnya.”
Jawaban itu membuat kedua
orang pengikut Sidanti terdiam sejenak. Mereka saling berpandangan. Mau tidak
mau mereka harus mengagumi lawannya, yang menempatkan dirinya di atas landasan
yang mantap.
Dan sejenak kemudian pengawal
itu berkata pula, “Nah, sekarang bagaimana? Aku tetap dalam pendirianku. Kau,
Kek, harus kembali. Bahkan kalau mungkin kau yang baru saja menyusul, akan aku
tangkap pula.”
Orang tua, yang ternyata
petugas sandi itu, menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau terlampau dibutakan
oleh kesetiaanmu yang tidak akan ada artinya, sehingga kau tidak dapat melihat
yang terbentang di hadapan hidungmu. Kau berdiri berhadapan dengan kami berdua.
Melawan aku sendiri kau tidak segera dapat menang. Sehingga menurut takaran
yang wajar, kau tidak akan menang melawan kami berdua bersama-sama. Tetapi kau
masih juga berkata akan membawa aku kembali dan menangkap kawanku ini.”
“Apa pun yang akan terjadi
atasku.”
Lawannya, yang datang
kemudian, tertawa pendek. Katanya, “Orang-orang yang sampai saat ini masih juga
menjadi pengikut Argapati memang tergolong orang-orang gila serupa ini.”
“Terserahlah menurut
penilaianmu. Sebab aku yakin, bahwa kau sendiri sebenarnya dapat menimbang,
menilai dan membuat perbandingan-perbandingan, antara Ki Argapati dan Sidanti.
Siapakah yang salah dan siapakah yang benar.”
“Aku sudah menyangka, bahwa
kau akan berpendirian serupa itu. Orang-orang semacam kau ini memang dapat
berbuat membabi buta sampai sisa nyawamu yang terakhir. Karena itu, kami memang
tidak dapat berbicara dengan kau. Yang dapat kami lakukan adalah memaksa kau
dengan kekerasan untuk melihat kenyataan, bahwa mayatmu akan terkapar di
pategalan ini. Dengan demikian maka kedatanganku di sini tidak akan sia-sia.
Sebab sesuai dengan perhitungan Sidanti, memang mungkin sekali seseorang akan
mengikuti kakek ini keluar. Ternyata perhitungan itu benar. Sedang kalau aku
tidak juga segera kembali, maka tidak mustahil Sidanti akan mengirimkan lagi
lebih dari satu orang untuk menjemput aku. Jika demikian, maka kami berharap
dapat menangkap kau hidup-hidup. Keteranganmu tentang Ki Argapati dan daerah
pertahanannya yang terakhir pasti akan sangat kami butuhkan. Betapa pun juga
kau bersumpah setia, namun kami akan berusaha memeras segala macam keterangan
dari mulutmu. Selama kulitmu masih belum sekeras baja, dan dagingmu belum
menjadi batu.”
Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh itu mengerutkan keningnya. Debar di dalam dadanya menjadi semakin
cepat. Apa yang dikatakan oleh kedua orang itu memang tidak mustahil akan
terjadi atas dirinya apabila ia berhasil ditangkap hidup-hidup.
“Aku masih belum terlampau
jauh dari regol desa. Kalau aku berbasil membawa mereka keluar dari pategalan
ini, meloncati tikungan, maka pasti akan ada seorang yang dapat melihat kami,”
berkata orang itu di dalam hatinya. Maka dengan demikian ia bertekad untuk
dengan segala cara menyelesaikan tugasnya sebaik-baiknya. Tetapi ia pun
menyadari akibat yang paling parah dapat terjadi atasnya pula.
Orang itu mengangkat wajahnya
ketika ia mendengar orang itu, petugas sandi Sidanti itu berkata, “Bagaiamana?
Apa sudah kau pertimbangkan? Mati atau ikut kami. Ada dua kemungkinan dapat
terjadi atasmu apabila kau berada di antara kami. Kalau kau menyerah dengan
suka rela dan memberikan keterangan dengan sejujur-jujurnya, kau akan mendapat
tempat yang baik. Tetapi kalau kau terpaksa kami tangkap dengan kekerasan,
akibatnya akan lain.”
“Kemungkinan-kemungkinan itu
semuanya tidak aku kehendaki,” jawab pengawal itu.
“Aku sudah menduga, karena
itu, kami terpaksa melumpuhkan kau. Kalau mungkin menangkap kau hidup-hidup.
Kalau tidak membunuhmu dan membiarkan bangkaimu dimakan anjing liar di
pategalan ini.”
Pengawal itu tidak menjawab.
Tetapi ia telah bersiaga sepenuhnya. Kedua pisaunya yang telah siap di
tangannya digengggamnya erat-erat.
Kedua petugas dari pihak
Sidanti itu pun segera bersiap pula. Keduanya saling berpencar dan mencari
sudut-sudut serangan dari arah yang berbeda. Kakek tua dengan keris kecilnya
seolah-olah mendapat tenaga baru di dalam dirinya, sedang orang yang baru
datang itu, benar-benar masih cukup segar. Selain dari kesegaran tubuhnya, maka
di tangannya tergenggam sehelai senjata panjang. Pedang.
Tetapi pengawal yang hanya
seorang diri itu tidak akan menyerah. Ia dapat berusaha sedikit demi sedikit
berkisar dari tempatnya, dan muncul di tempat yang terbuka, dengan harapan
orang-orang yang berada di regol padesan tempat pemusatan pasukan Menoreh dapat
melihatnya, meskipun tidak terlampau jelas. Tetapi titik-titik yang
bergerak-gerak pasti akan menarik perhatian mereka.
Kedua pihak kini tidak lagi
saling berbicara. Mereka telah berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Seperti
mendung yang hitam tebal tergantung di langit.
Demikianlah maka sejenak
kemudian mereka telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Seorang berhadapan
dengan dua orang.
Dengan segala kemampuan yang
ada padanya, pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu bertahan. Sesuai dengan
rencananya, maka ia pun segera bergeser dari satu titik ke titik yang lain.
Supaya lawan-lawannya tidak segera menyadari caranya, maka arah yang pertama-tama
ditempuh justru masuk semakin dalam ke dalam pategalarn. Namun kemudian
melingkar-lingkar dan bergeser perlahan-lahan menepi.
Tetapi ternyata kedua lawannya
bukan orang-orang yang berotak terlampau tumpul. Sesaat kemudian dada pengawal
itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar salah seorang lawannya berkata,
“Ha, kau akan memancing kami keluar dari pategalan ini. Dengan demikian kau
akan mengharap, kawan-kawanmu di regol padesan sebelah dapat melihat kita yang
sedang berkelahi.”
Pengawal itu menggeram.
Sejenak kemudian dikerahkannya segenap kemampuannya sambil menggeretakkan
giginya.
Tetapi betapapun juga,
menghadapi dua orang lawan yang mempunyai kemampuan yang cukup, adalah
pekerjaan yang terlampau berat baginya. Sedangkan ia sadar kalau ia tidak
berhasil, maka rahasia tentang Ki Gede yang parah itu akan segera sampai ke
telinga Ki Tambak Wedi.
Kalau Ki Tambak Wedi kemudian
dapat mendengar tentang keadaan Ki Argapati maka tidak mustahil, bahwa ia akan
memanfaatkan keadaan. Ki Tambak Wedi dapat mengambil kesempatan selagi Ki
Argapati masih belum dapat bangkit dari pembaringannya dan memimpin perlawanan.
“Tidak ada orang lain yang
dapat melawan Ki Tambak Wedi selain Ki Argapati,” berkata pengawal itu di dalam
hatinya. Tetapi dalam pada itu ia pun harus mengakui kenyataan, bahwa ia tidak
akan dapat mengalahkan kedua lawannya itu, betapapun juga caranya. Apalagi
kedua lawannya itu mengerti, bahwa ia akan membawa mereka ke luar dari
pategalan supaya para pengawal yang bertugas di regol desa dapat melihat mereka
yang sedang berkelahi.
Tetapi agaknya kedua orang itu
tidak mau dipancingnya untuk hal itu.
“Jangan banyak tingkah,”
berkata salah seorang dari kedua orang yang berpihak kepada Sidanti, “Kau hanya
dapat memilih, menyerah atau terbunuh.”
Pengawal itu tidak menyahut,
tetapi terdengar ia menggeram. Tandangnya menjadi semakin garang. Sepasang
pisau belatinya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun untuk mengatasi
kedua lawannya memang terlampau sulit.
Semakin lama maka semakin
ternyata, bahwa ia menjadi kian terdesak. Tidak ada lagi usaha yang dapat
dilakukan. Seandainya ia berkeras hati untuk bertempur terus, maka sudah dapat
dipastikan bahwa ia akan mati. Kematiannya tidak akan banyak memberikan arti
bagi Menoreh. Sebab mayatnya akan berkubur tanpa diketahui oleh siapa pun juga.
Tidak ada orang yang tahu, apakah yang sudah terjadi atasnya dan tidak akan ada
orang yang tahu bahwa seseorang akan menyampaikan berita, keadaan Ki Gede
kepada Ki Tambak Wedi.
“Aku harus mencobanya,”
berkata pengawal itu.
Maka sekali lagi ia mencobakan
caranya. Memancing kedua lawannya menepi. Tetapi setiap kali lawannya itu
tertawa sambil berkata, “Ha, kami bukan anak-anak yang dapat kau jerat dengan
permainanmu.”
“Persetan!” teriak pengawal
itu. “Aku pun tidak mau mati di tangan kalian berdua.”
“Mau tidak mau, kami akan
membunuhmu.”
Tetapi setiap kali pengawal
itu selalu menghindar dan berloncatan menjauh.
“Pengecut!” teriak orang-orang
Sidanti, “Kau ternyata tidak cukup jantan untuk melakukan tugas sandimu.”
“He,” orang itu tertawa
pentdek, “seorang petugas sandi kadang-kadang memang memerlukan sikap yang
licik. Bahkan kadang kadang curang. Katakan, apakah kalian cukup jantan juga
berkelahi berpasangan melawan aku seorang diri?”
“Tetapi kau sudah terjun ke
arena. Prajurit hanya dapat dihentikan oleh maut apabila ia bertempur.”
“Hanya prajurit-prajurit yang
tidak mempunyai otaklah yang berpendirian demikian. Kakek ini pun tidak berbuat
demikian. Setelah ia terjun dalam perang tanding melawan aku, maka ia telah
mengingkari kejantanannya dengan membiarkan kau ikut bersamanya, bersama-sama
mengeroyok aku.”
“Persetan!” sahut kakek tua.
“Apa pun yang sudah kita lakukan maka aku berkeputusan, kau harus dibinasakan.”
Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh itu tidak sempat untuk menjawab. Kedua lawannya mendesaknya semakin
sengit. Tetapi ia telah bertekad untuk menghindarinya apabila keadaan memang
terlampau sulit baginya. Sebab hal itu akan lebih baik bagi pasukannya. Mereka
dapat mengerti dan mempersiapkan diri sebelumnya.
Tetapi ia harus menyesal,
bahwa ia terpaksa melepaskan orang yang hampir-hampir dapat ditangkapnya itu.
Orang itu pasti membawa berita tentang Ki Argapati sanpai ke telinga
lawan-lawannya.
“Apa boleh buat,” katanya di
dalam hati, “Aku tidak mampu mengatasinya.”
Dengan demikian maka ia
berusaha untuk menghindarkan diri dari perkelahian itu. Kedua orang lawannya
pun tidak berani mengejarnya terus, sebab dengan demikian, mereka akan keluar
dari pategalan dan pasti akan menumbuhkan kecurigaan kepada orang-orang Menoreh
di padesaan sebelah.
“Hem, kau benar-benar akan
lari,” berkata kakek tua itu, “baiklah. Bukan aku yang menyusul kau, tetapi
kaulah yang menyusul aku. Aku tahu maksudmu, supaya aku tidak dapat
menyampaikan berita sakitnya Ki Argapati kepadi Sidanti. Tetapi kau tidak
berhasil. Kau terpaksa membiarkan kami pergi. Kami akan segera menyampaikan
berita itu, dan kau dapat membayangkan akibatnya. Tanpa Argapati, prajurit
Menoreh akan menjadi lumpuh. Dengarlah bahwa di pihak Sidanti ada nama-nama Ki
Tambak Wedi, Sidanti sendiri, Ki Argajaya, Ki Peda Sura, dan masih banyak lagi.
Siapakah yang berada di pihakmu? Pandan Wangi? Cobalah renungkan. Dari mana
kalian akan memenangkan peperangan ini? Seandainya kekuatan prajurit di kedua
belah pihak seimbang, maka senapati-senapatinyalah yang akan menentukan
kemenangan.”
“Ada kelebihan di pihak kami
yang tidak kalian miliki,” jawab pengawal itu, “yaitu pengabdian yang tulus.
Kau tidak. Kau juga tidak. Orang-orang di pihakmu berkelahi karena
pamrih-pamrih pribadi.”
“Pamrih-pamrih itulah yang
telah mendorong kami untuk bertekad memenangkan peperangan ini. Pamrih-pamrih
yang kami sadari. Bukan kesetiaan yang buta seperti kalian. Sebab orang-orang
seperti kalian tidak lebih dari pancadan-pancadan yang hidup tetapi tidak mampu
untuk berpikir. Kalian akan menjadi alat tempat orang-orang besar di pihakmu
itu berdiri.”
“Itulah tekad kami. Sebab kami
percaya bahwa orang-orang yang akan berdiri di atas kami adalah orang-orang
yang benar berwenang dan benar-benar orang yang akan berpikir tentang kami dan
Tanah kami.”
Hampir bersamaan kedua orang
itu tertawa. Salah seorang daripada mereka itu berkata, “Jadilah seperti yang
kau ingini. Tetapi bagaimana sekarang? Mati, atau menyerah atau membiarkan kami
membawa berita tentang keadaan Ki Gede Menoreh?”
Pengawal itu tidak menjawab.
Ia benar-benar tersudut dalam keadaan tanpa dapat memilih. Karena itu, maka
kini ia berdiri tegak dengan sepasang senjata di tangannya, namun ia tidak
berbuat sesuatu ketika kedua lawannya itu melangkah surut, “Biarlah kami ampuni
kau sekali ini. Kau akan tetap hidup. Sebab aku tidak mau kau seret ke luar
pategalan ini.”
Pengawal itu tidak menjawab.
Kenyataan itu harus dihadapinya. Ia memang tidak mampu untuk melawan kedua
pengikut Sidanti itu, betapa pun juga ia memeras tenaganya. Tetapi ia pun tidak
mau mati sebelum menyampaikan kabar tentang petugas sandi itu kepada
pimpinannya.
Karena itu, dengan hati yang
bergolak ia terpaksa membiarkan kedua orang itu beringsut semakin jauh. Apalagi
ketika ia mendengar salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata, “Selamat
tinggal. Berita tentang Ki Gede Menoreh akan segera tersebar. Tetapi
mudah-mudahan Argapati sendiri tidak sempat mendengarnya karena lukanya yang
parah itu. Aku tidak yakin kalau ia akan dapat disembuhkan oleh dukun yang
betapa pun pandainya.”
Yang terdengar adalah
gemeretak gigi pengawal itu. Perasaannya menjadi terlampau pahit mengalami
peristiwa yang mengecewakan itu. Ia terpaksa membiarkan lawan-lawannya pergi
sambil mentertawakannya. Sedang suatu berita yang sangat penting akan mereka
bawa kepada lawan.
Sejenak kemudian kedua orang
itu pun lenyap di balik dedaunan yang rimbun, seperti lenyapnya harapan petugas
sandi dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu untuk mempertahankan rahasia
tentang sakitnya Ki Argapati.
“Peronda-peronda di gardu itu
terlampau malas,” ia menggeram. “Tidak seorang pun yang melihat, apa yang
telah, terjadi di sini.”
Dengan penuh penyesalan ia
melangkahkan kakinya kembali kepada pemimpinnya untuk segera melaporkan
peristiwa itu. Di dalam kepalanya telah terbayang berbagai kemungkinan yang
pahit bagi pasukan Menoreh. Ki Tambak Wedi pasti akan segera mempergunakan
kesempatan untuk menghantam pasukan induk yang masih belum berhasil menghimpun
diri sebaik-baiknya itu. Apalagi Ki Argapati sedang terluka parah dan Pandan
Wangi sedang dibebani oleh perasaan duka seorang gadis yang sedang nenunggui
ayahnya yang sudah mulai dibelai oleh tangan-tangan maut.
Dalam pada itu, tanpa setahu
pengawal itu, sepasang mata selalu mengikutinya dari balik rimbunnya dedaunan.
Dengan ragu-ragu seseorang melihat segala peristiwa yang terjadi. Hampir-hampir
ia tidak dapat menahan diri lagi, dan menerjunkan diri dalam arena perkelahian
itu. Tetapi ia selalu memegang pesan seseorang yang diseganinya. Dan pesan itu
berbunyi, “Jangan langsung mencampuri persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kita
harus menunggu, apabila saat itu telah datang, barulah kita menyatakan diri
dalam sikap yang pasti. Kini kita akan berbuat dalam kesempatan-kesempatan yang
sangat terbatas. Kita mengharap bahwa orang-orang yang sedang bertengkar itu
menemukan penyelesaian yang tidak terlampau parah.”
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya pengawal yang dengan tergesa-gesa meninggalkan
petegalan itu.
“Keadaan sudah terlampau
parah,” desisnya. “Aku kira tidak akan ada jalan untuk kembali dan menghindari
benturan-benturan yang lebih dahsyat lagi. Tetapi baiklah, aku menunggu.
Mungkin satu dua hari akan segera ternyata, sikap apa yang akan kami ambil.”
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia pun segera meninggalkan pategalan itu sambil bergumam, “Aku harus
melaporkannya. Kalau Ki Tambak Wedi mengetahui keadaan Ki Argapati, maka
keadaan memang dapat menjadi semakin panas.”
Maka dengan sigapnya orang itu
segera meloncat menyusup di antara rimbunnya pepohonan, sambil mengikatkan
sebuah cambuk yang berjuntai panjang di bawah bajunya.
Sementara itu, pengawal yang
baru saja berkelahi dengan orang-orang Sidanti berjalan semakin lama semakin
cepat, bahkan berlari-lari kecil. Dengan nafas terengah-engah ia mendekati
regol. Belum lagi ia mendekat terdengar ia mengumpat, “Kalian adalah
orang-orang gila yang malas.”
Pemimpin pengawal yang sedang
bertugas mengerutkan keningnya, “Kenapa?”
“Kalian telah berbuat suatu
kesalahan, sehingga orang tua yang berjalan tersuruk-suruk itu tolos dari
tanganku.”
“Kenapa justru aku yang
bersalah,” bertanya pemimpin itu.
“Aku tidak mampu melawan
mereka berdua.”
“Berdua?”
“Ya. Dan kau tidak mengirimkan
seorang pun untuk melihat apa yang telah terjadi. Kalau aku mati di pategalan
itu, maka tidak seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi dan bahwa berita
tentang sakitnya Ki Gede yang parah itu telah sampai ke telinga Tambak Wedi.”
“He, apakah kau sedang
bermimpi. Cobalah, katakan apa yang sebenarnya terjadi. Orang tua yang
tersuruk-suruk hampir mati itu dapat lolos dari tanganmu?”
“Kalian bukan petugas sandi.
Tetapi kalian harus dapat memperhitungkan bahwa gila sekali apabila Sidanti
benar-benar mengirimkan orang yang sudah tidak tegak lagi berjalan.”
Mereka saling berpandangan.
Dan mereka mendengar petugas sandi itu menceritakan serba singkat, apa yang
telah terjadi.”
“Sidanti mengirimkan orangnya
untuk melihat apa yang terjadi atas petugas sandinya, ketika menurut
perhitungannya jarak yang ditetapkannya terlampau jauh.”
“Jarak yang mana?”
“Antara panah sendaren dan
kedatangan orang yang mengirimkannya.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa bahwa ia tidak cukup cepat menanggapi
keadaan. Tetapi ia masih juga berkata, “Tetapi aku tidak dapat memperhitungkan
waktu serupa itu. Aku melepaskan kau mengikuti orang tua itu. Aku tidak tahu
batas waktu yang kau perlukan. Aku kira kau sedang mengikutinya sampai ke
pinggir sungai untuk kemudian membenamkan orang tua itu ke dalamnya.”
Petugas sandi itu tidak
menjawab. Tetapi ia bergumam, “Aku harus segera melaporkannya.”
Pemimpin peronda itu pun
bergumam, “Kita meninggalkan kewaspadaan. Keadaan akan cepat meningkat.”
“Nah, bukankah hal itu kau
sadari,” sahut pengawal yang baru saja bertempur melawan orang-orang Sidanti
itu.
“Kami, seisi padesan ini, dan
bahkan seluruh pasukan Menoreh akan menyadarinya. Sekarang, sampaikan laporan
itu, supaya kami mendapat perintah secara resmi, apa yang harus kami lakukan di
sini dan mungkin di seluruh daerah yang masih setia kepada Ki Argapati.”
Petugas sandi itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditinggalkannya regol desa itu, dan
dengan tergesa-gesa pergi menemui pimpinan tertinggi pengawal Tanah Perdikan
Menoreh, Samekta yang sedang menunggui Ki Argapati yang sedang sakit.
Sementara itu, Ki Argapati
yang sedang terbaring, masih juga memejamkan matanya. Sekali-sekali ia menarik
nafas dalam-dalam, dan sekali-sekali ujung ibu jari kakinya bergerak-gerak.
Namun kemudian diam kembali, seolah-olah sedang membeku.
Pandan Wangi mengerti, bahwa
ayahnya sedang memusatkan segenap kemampuannya, untuk menenangkan dirinya.
Ayahnya sedang mengatasi kesulitan yang terjadi di dalam tubuhnya akibat
benturan racun dari senjata Ki Tambak Wedi dan obat yang ditaburkan di atas
luka itu. Namun dalam kegelisahan ia sekali lagi bertanya perlahan-lahan kepada
Kerti, “Paman, manakah orang itu? Apakah ia akan menunggu sampai terlambat?”
“Tidak, Ngger,” bisik Kerti,
“tentu tidak. Sebentar lagi ia akan datang.”
Namun dalam pada itu, Kerti
telah dicengkam oleh. kegelisahannya yang baru. Sebab ia tahu benar, bahwa
tidak seorang pun lagi yang pergi mencari seorang dukun. Tetapi ia tidak sampai
hati untuk mengatakannya kepada Pandan Wangi yang kecemasan itu.
Samekta yang mendengar
pertanyaan Pandan Wangi itu pun menjadi gelisah pula. Dukun manakah yang akan
dapat mengobati keadaan Ki Gede yang sudah menjadi kian parah itu?
Namun bagaimana pun juga,
mereka masih mempunyai tempat untuk menggantungkan harapan. Mereka yakin akan
kekuasan Yang Maha Besar, sehingga segala sesuatu akan sangat tergantung
ditangan-Nya.
Dalam ketegangan itu,
seseorang masuk ke dalam ruangannya langsung menemui Samekta. Mereka berbisik
sejenak, kemudian Samekta bergeser dari tempatnya.
“Seseorang telah terlibat
dalam perkelahian melawan orang-orang Sidanti. Salah seorang dari mereka keluar
dari desa ini. Karena orang itu mencurigakan, maka seorang petugas sandi mengikutinya.
Tetapi kawannya sempat menolongnya, sehingga mereka lolos.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Desisnya, “Kenapa ia dapat keluar dari daerah ini tanpa pengawasan?”
“Perhitungan kami yang salah,”
pemimpin pengawal itu menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi dengan
seorang kakek-kakek dari seorang petugas sandinya.
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ketegangan semakin membayangi wajahnya. Ia sadar, sepertinya
pengawal menyadari, bahwa apabila berita itu sampai kepada Ki Tambak Wedi, dan
Ki Tambak Wedi meyakini akan kebenarannya karena mendengar langsung dari mulut
petugasnya, bukan sekedar berita dari mulut ke mulut bahwa Ki Argapati dalam
keadaan parah, maka keadaan akan cepat meningkat.
Karena itu, maka katanya,
“Kita harus segera mempersiapkan diri. Untuk sementara semua pasukan supaya
ditarik untuk melindungi desa ini dan desa pengungsian para keluarga. Tempat
tempat lain terpaksa kita lepaskan untuk sementara. Kita tidak boleh
terpotong-potong menjadi sayatan-sayatan kecil yang akan digulung sedikit demi
sedikit.”
Pemimpin pengawal itu
menganggukkan kepalanya.
“Tetapi apakah kau yakin bahwa
orang itu orang Sidanti.”
“Menurut laporannya, agaknya
cukup meyakinkan.”
“Di mana orang itu?”
“Ia menunggu di luar.”
Samekta segera melangkah
keluar. Ditemuinya petugas sandi yang langsung berkelahi melawan orang-orang
Sidanti. Dan ia pun segera mengulangi ceritanya, seperti cerita pemimpin
pengawal itu.
Sekali lagi Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada pemimpin pengawal itu ia berkata,
“Hubungi semua pemimpin. Pasukan berkuda supaya dipersiapkan. Mereka harus
dapat mengimbangi dengan cepat gerakan pasukan Sidanti. Kalau Sidanti datang
menyerang, maka pasukan itu harus meninggalkan tempat ini, menyerang
kedudukan-kedudukan Sidanti yang lemah untuk memecahkan perhatian mereka. Kalau
perlu, mereka terpaksa mengorbankan satu dua rumah yang kelak akan kita
perhitungkan untuk menimbulkan api.”
Pemimpin pengawal itu
menganggukkan kepalanya. Ia menyadari sepenuhnya perintah itu.
“Itulah yang harus kalian
kerjakan untuk sementara. Aku akan membicarakannya nanti, dan mungkin akan
datang perintah berikutnya bagi kalian.”
“Baik,” sahut pemimpin
pengawal itu, yang segera minta diri untuk mempersiapkan semua kekuatan yang
ada di pihak Ki Argapati. Mereka kini tidak akan dapat mundur lagi. Mereka
harus bertahan sampai kesempatan yang terakhir apabila Sidanti benar-benar
menyerang. Dan mereka harus mempersiapkan benar-benar pasukan berkuda yang akan
terbang ke segenap penjuru Tanah Perdikan ini. Cepat bergerak, dan cepat
menghilang apabila keadaan memaksa.
Ternyata berita itu telah
membuat Samekta menjadi semakin pening. Tetapi ia tidak akan segera
memberitahukannya kepada Pandan Wangi. Biarlah gadis itu melepaskan diri untuk
sementara dari persoalan perang. Biarlah ia menunggui ayahnya yang sedang
sakit, sebagai seorang gadis yang meletakkan harapannya, bahwa orang yang
sedang sakit itu kini merupakan satu-satunya orang tempat bergantung. Ia
tinggal satu-satunya orang yang akan dapat melindunginya.
Karena itu, maka diam-diam
digamitnya Wrahasta dan Kerti. Mereka bergeser beberapa langkah, dan dengan
perlahan-lahan sekali mereka membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan.
“Marilah kita bicarakan dengan
tenang,” minta Wrahasta.
“Tidak sekarang. Kalian dapat
memikirkannya, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Kita tidak akan dapat
meninggalkan Ki Gede dalam keadaannya. Aku sudah memberikan perintah sementara
untuk mempersiapkan semua kekuatan di tempat pengungsian dan desa ini. Tidak terpecah
belah, di samping satu kekuatan berkuda yang akan selalu mengimbangi gerakan
Sidanti. Pasukan itu harus dapat bergerak cepat, mencapai segala penjuru dengan
tiba-tiba dan melepaskan diri dengan tiba-tiba. Kalau perlu mereka harus
membuat gerakan di sekitar padukuhan induk untuk mengelabuhi Sidanti dan Ki
Tambak Wedi.”
Wrahasta dan Kerti
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadarnya, mereka berpaling dan
memandang Ki Gede yang sedang terbaring. Sedang Pandan Wangi dengan penuh
kecemasan berdiri di sisinya. Sekali Pandan Wangi meraba tubuh ayahnya.
Tiba-tiba saja ia hampir terpekik. Ketika ia tidak melihat Kerti berdiri di
sampingnya, maka segera ia berpaling mencarinya.
“Paman,” desis Pandan Wangi
ketika tampak olehnya Kerti berdiri bersama Samekta dengan Wrahasta , “Tubuh
Ayah sudah tidak panas lagi.”
Hampir terloncat Samekta,
Wrahasta, dan Kerti mendekat dengan tergesa-gesa. Hampir bersamaan pula mereka
meraba kaki Ki Gede. Dan benarlah kata Pandan Wangi, kaki itu sudah tidak panas
lagi. Tetapi justru dengan demikian Kerti menjadi berdebar-debar. Karena
apabila panas bagian kepala dan kaki tidak seimbang, maka keadaan yang demikian
akan sangat berbahaya bagi Ki Gede.
Karena itu, maka
perlahan-lahan Kerti beringsut maju. Perlahan-lahan pula dirabanya tangan Ki
Gede. Tangan itu pun kini sudah tidak panas pula. Kemudian dengan tangan
gemetar Kerti mencoba meraba leher Ki Argapati. Secercah warna yang cerah
membayang di wajahnya. Leher itu pun telah menjadi sejuk seperti tubuhnya
sendiri.
Dengan penuh pengharapan Kerti
berkata perlahan-lahan, “Ya. Tubuh Ki Gede sudah tidak panas lagi.”
“Pernafasannya pun telah
berjalan wajar,” sahut Wrahasta.
“Kita akan berdoa terus,”
gumam Samekta.
Kerti dan Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka memang selalu berdoa di dalam hati.
Ternyata doa mereka telah didengar-Nya.
Dengan penuh pegharapan kini
mereka menunggui Ki Gede yang sedang terbaring. Wajah-wajah mereka tidak lagi
dilukisi kecemasan dan kebingungan. Tetapi wajah-wajah itu tampak diwarnai oleh
kesegaran nafas Ki Argapati yang semakin lancar.
“Ayah,” Pandan Wangi berdesis
ketika ia melihat ayahnya membuka matanya.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Dalam sekali. Seolah-olah ia menjadi terlampau haus menghirup
kesegaran udara Tanah Perdikan Menoreh.
“Ayah,” Pandan Wangi
mengulangi.
Yang pertama-tama dipandang
oleh Ki Argapati adalah wajah puterinya. Kemudian orang-orang di sekitarnya.
Samekta, Wrahasta, Kerti, dan orang-orang lain.
Sekali lagi Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan berkata, “Mudah-mudahan aku
dapat mengatasi kesulitan di dalam diriku.”
Tubuh Ki Gede telah menjadi
sejuk. Agaknya darah Ki Gede pun mengalir dengan wajar.
Kepala Ki Argapati
bergerak-gerak. Ia mengangguk kecil sambil berkata lirih, “Obat yang kita
terima dari anak yang gemuk itu ternyata terlampau baik.”
“Bagaimana ayah?” potong
Pandan Wangi. “Apakah itu suatu bentuk pengkhianatan.”
“O, kau salah terima Wangi,”
jawab Ki Argapati. “Kita harus berterima kasih kepadanya. Tak ada obat
semujarab obat yang diberikan kepadaku. Seadainya aku tidak mendapat obat
daripadanya, maka keadaan ini akan sangat jauh berbeda, Wangi. Berterima kasih
pulalah kita kepada Yang Maha Bijaksana, yang telah mempertemukan aku dengan
orang bercambuk itu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Perlahan-lahan ia bertanya, “Orang bercambuk, Ayah?”
“Ya.”
Wajah Pandan Wangi menegang.
Tetapi ia tidak segera mengucapkan kata-kata. Teringatlah olehnya, seorang anak
muda yang menyebut dirinya sebagai seorang gembala. Seorang anak muda yang
mempersenjatai dirinya dengan cambuk.
“Kenapa Wangi? Apakah kau
heran mendengar sebutan orang bercambuk itu?”
Pandan Wangi beringsut
setapak. Perlahan-lahan ia mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ayah. Siapakah
orang bercambuk itu?”
“Aku tidak begitu jelas,
Wangi. Tetapi aku yakin, bahwa ia bermaksud baik.”
“Di manakah ayah mengenalnya
sebelum ini?”
“Ketika ayah masih muda, di
dalam lingkungan istana Demak.”
Pandan Wangi terkejut
mendengar jawaban itu. Dengan kening yang berkerut-merut ia bertanya, “Berapa
kira-kira umur orang bercambuk itu ayah?”
“Seumur ayah.”
“Tidak,” tiba-tiba Pandan
Wangi membantah. “Ia masih muda. Bahkan lebih muda dari Kakang Sidanti.”
Kini Ki Argapati-lah yang
mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam.
Digerakkannya tangannya sedikit, kemudian kakinya.
“Pandan Wangi,” orang tua itu
bergumam, “aku mengenalnya ketika kami masih sama-sama muda. Tidak mungkin ia
kini nampak lebih muda dari Sidanti.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu
tiba-tiba terbayang sebuah senyum di bibirnya, “O, barangkali kau pernah
melihat orang yang bersenjatakan sebuah cambuk? Seorang anak muda yang gemuk
hampir bulat?”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya. Namun tiba-tiba ia berkata, “Jangan bangun, Ayah. Lebih baik Ayah
berbaring sejenak, sampai keadaan Ayah menjadi cukup baik.”
Ki Argapati yang ingin mencoba
untuk bangkit meletakkan kepalanya kembali. Kerti dan Samekta pun mencegahnya
pula.
“Luka itu akan berdarah lagi
Ki Gede,” berkata Kerti.
“Ya, sebaiknya Ki Gede
beristirahat secukupnya,” sambung Samekta.
“Aku sudah merasa cukup baik.”
Pandan Wangi menggeleng,
“Belum, Ayah. Ayah masih perlu beristirahat.”
Ki Argapati
menganguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia kembali kepada persoalan orang
bercambuk. Katanya, “Bukankah yang kau lihat anak muda yang gemuk bulat? Anak
itulah yang memberi aku obat yang sangat baik ini.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Tetapi ia sudah tidak dicengkam oleh kecemasan yang hampir tidak
tertahankan. Wajah ayahnya, meskipun masih pucat, tetapi sudah tidak lagi
seputih kapas. Dengan ragu-ragu ia menjawab pertanyaan ayahnya, “Aku tidak
mengenal seorang anak muda yang gemuk bulat Ayah?”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Sejengkal ia beringsut. Kemudian, “Lalu siapakah yang kau maksud
dengan seorang yang masih lebih muda dengan Sidanti itu?”
Pandan Wangi tidak segera
menyahut. Ditatapnya wajah Kerti, Samekta, Wrahasta, dan orang-orang lain di
sekitarnya. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Beberapa orang pengawal pernah
juga melihatnya. Seorang gembala yang sering menggembalakan kambingnya di
sekitar daerah perbatasan sebelum kami menarik diri.”
“Oh,” Argapati tersenyum,
“sudah tentu bukan seorang gembala yang aku maksudkan. Yang aku maksudkan dengan
seorang bercambuk adalah seseorang yang mempergunakan cambuk sebagai ciri
pribadinya atau lebih tepat, sebagai senjatanya.”
“Ya, begitulah gembala itu
ayah. Seorang gembala yang masih muda semuda Kakang Sidanti, bahkan masih lebih
muda lagi.”
Argapati mengerutkan dahinya.
Sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Ditelekankannya tangannya pada dadanya
di bawah lukanya. Kemudian ia bergeser sedikit sambil bergumam, “Apakah ada
orang lain yang mempunyai ciri yang serupa. Tetapi bagaimanakah dengan anak muda
yang kau katakan itu? Apakah ia berbuat baik terhadap kau atau sebaliknya?”
“Ia seorang gembala, Ayah.”
“Hanya sekedar seorang
gembala? Di sini ada berpuluh-puluh gembala yang membawa cambuk. Tetapi agaknya
yang seorang ini agak lain. Apakah tanggapanmu memang demikian?”
Pandan Wangi tidak segera
menyahut. Tanpa sesadarnya ia memandang wajah Wrahasta dengan sudut matanya.
Tetapi orang yang bertubuh raksasa itu sedang menekurkan kepalanya.
“Ia mempunyai beberapa
kelebihan dari gembala-gembala yang lain, Ayah.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Sekilas ia melihat Wrahasta yang tiba-tiba mengangkat wajahnya.
“Apakah kelebihan itu?”
“Ia mampu berkelahi seperti
seorang pengawal.”
“Ah,” desah Argapati, “hampir
setiap anak muda di daerah ini dapat sekedar membela dirinya.”
“Bukan sekedar membela
dirinya,” sahut Pandan Wangi. Tetapi sejenak ia terdiam dalam keragu-raguan.
Argapati tidak segera
mendesaknya. Bahkan ia berkata, “Orang lain yang mempunyai ciri serupa itu,
sebuah cambuk, adalah seorang anak muda yang bertubuh gemuk. Ia menyebut
dirinya sebagai anak orang bercambuk yang tidak menampakkan diri. Mungkin orang
itulah yang pernah kau lihat dan mengaku sebagai seorang gembala, tetapi
mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain.”
“Tetapi anak muda itu tidak
gemuk, Ayah.”
“Apakah kau kenal namanya?”
Sekali lagi Pandan Wangi
menjadi ragu-ragu. Dan sekali lagi tanpa sesadarnya ia memandangi wajah
Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak sedang memandangnya, justru ia sedang
memandangi wajah Ki Gede yang menunggu jawaban anaknya.
Namun akhirnya Pandan Wangi
menyebutnya juga, “Namanya Gupita, Ayah.”
“He?” Argapati
mengingat-ingat. Sambil memandang wajah Kerti ia berkata, “Anak yang gemuk itu
menyebut dirinya bernama Gupala.”
“O,” dengan serta-merta Pandan
Wangi menyahut, “kalau begitu, kedua anak muda itu memang bersaudara. Menurut
Gupita, ia mempunyai seorang saudara laki-laki dan seorang ayah. Mereka adalah
gembala-gembala yang tinggal di tlatah Menoreh.”
Kini Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Hem, sekarang aku
mempunyai sedikit bayangan tentang mereka. Jadi ada dua anak muda yang mengaku
dirinya anak orang bercambuk itu.”
“Yang satu bernama Gupala dan
yang lain bernama Gupita,” Kerti menyahut.
“Ya, begitulah menurut
pengakuan mereka.” Argapati berhenti sejenak, lalu kepada Pandan Wangi ia
bertanya, “Wangi, apakah kelebihan gembala yang kau maksudkan itu? Apakah ia
sudah berbuat sesuatu yang menyatakan dirinya, sehingga kau mengambil
kesimpulan demikian tentang anak itu ?”
Pandan Wangi mengangguk
perlahan-lahan. Kini, ketika sekali lagi ia berpaling ke arah Wrahasta,
pandangan mereka pun beradu. Cepat Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Betapa
pun juga ia adalah seorang gadis. Hatinya berdebar ketika ia melihat sorot yang
aneh terpancar dari sepasang mata Wrahasta.
Sejenak Pandan Wangi berdiam
diri. Tanpa sesadarnya ia meraba-raba kaki ayahnya. Tetapi Argapati tidak tahu,
apakah yang sebenarnya bergetar di dalam dada puterinya. Ia tidak tahu, bahwa
Wrahasta menaruh hati kepada gadis itu, dan bahwa gembala yang memiliki cambuk
yang aneh itu telah menumbuhkan suatu perasaan yang aneh pada puterinya.
Karena itu, maka Ki Gede itu
mendesaknya, “Apakah kelebihan yang kau maksud pada gembala itu Wangi?”
Pandan Wangi tidak dapat
mengelak lagi sehingga dengan demikian betapa pun beratnya ia harus menjawab,
“Ayah, bukankah Ayah sudah mendengar bahwa aku terpaksa bertempur melawan Ki
Peda Sura karena aku terpisah dari pasukanku?”
Ki Argapati mengangguk.
“Dan bukankah Ayah tahu, bahwa
aku tidak akan mungkin mengalahkan Ki Peda Sura dalam keadaanku sekarang?”
Sekali lagi Argapati
mengangguk sambil berkata, “Tetapi kemampuanmu tidak terpaut banyak menurut
penilaianku, Wangi.”
“Ya, namun aku tidak akan
dapat melepaskan diriku dari padanya. Ia sudah bertekad untuk menangkap aku
hidup-hidup. Tanpa melukai kulitku dan apalagi membunuhku.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari, bahwa keadaan itu benar-benar
merupakan keadaan yang sangat berbahaya bagi puterinya. Ki Peda Sura yang
menyimpan pengalaman cukup di dalam dirinya merupakan lawan yang pasti tidak
akan dapat diimbangi oleh Pandan Wangi.
Tetapi ternyata bahwa Pandan
Wangi berhasil melepaskan dirinya dengan selamat, sehingga karena itu Ki Argapati
bertanya, “Tetapi kau selamat sampai saat ini, Wangi. Bahkan ketika aku
memasuki padesan ini dengan mata berkunang-kunang dan pikiran yang kusut karena
aku merasa kehilangan kau, kau sempat beristirahat dengan tenangnya.”
Pandan Wangi menundukkan kepalanya.
Tetapi ia bergumam, “Ya, Ayah. Aku sempat melarikan diri dari tangan Ki Peda
Sura dan pasukannya.”
“He, Ki Peda Sura dan
pasukannya?” Ki Argapati menjadi heran, “Jangan sombong, Anakku. Ki Peda Sura
sendiri pun pasti akan mampu menangkapmu kalau ia mau.”
“Benar, Ayah. Kami melepaskan
diri daripadanya. Bahkan kami sempat melukai Ki Peda Sura yang kemudian dipapah
oleh orang-orangnya meninggalkan medan, tepat pada saat pasukan Kakang Sidanti
datang membantu.”
“O,” Ki Argapati mengerutkan keningnya,
“aku menjadi pening. Bagaimana mungkin kau dapat berbuat demikian? Tetapi
siapakah yang kau maksud dengan kami?”
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu
sejenak. Sekali lagi ditatapnya wajah-wajah yang ada di seputar ayahnya
berbaring. Dan ketika tatapan matanya berbenturan dengan mata Wrahasta maka
sekali lagi Pandan Wangi tertunduk dalam-dalam.
“Ayah,” suara Pandan Wangi
menjadi terlampau dalam. Adalah terlampau sulit baginya untuk bercerita tentang
anak muda yang menyebut dirinya Gupita itu. Meskipun mereka bertemu di medan
perang, namun betapapun juga, Pandan Wangi adalah seorang gadis. Meskipun
demikian dipaksakannya ia bercerita.
“Itulah sebabnya aku
mengatakan bahwa gembala itu mempunyai kelebihan dari gembala-gembala yang
lain. Ketika aku sudah hampir kehilangan akal dalam perlawananku atas Ki Peda
Sura yang memang ingin menangkap aku hidup-hidup aku sudah memutuskan untuk
lebih baik mati daripada tertangkap. Aku dapat membayangkau apa yang akan
terjadi atas diriku, seandainya Peda Sura benar-benar dapat membawa aku
hidup-hidup.” Pandan Wangi berhenti sejenak. Tampaklah wajahnya menjadi
semburat merah. Suaranya menjadi semakin dalam dan hampir-hampir tidak
terdengar. Lalu sambungnya, “Dalam saat seperti itu. datanglah gembala yang
menyebut dirinya bernama Gupita. Ia mencoba melepaskan aku dari tangan Ki Peda
Sura, sehingga ketika kami melawan bersama-sama, Ki Peda Sura itu terluka.”
Ki Argapati mendengar cerita
itu dengan dada berdebar-debar. Ia menjadi semakin yakin, bahwa orang bercambuk
itu mempunyai kepentingan dengan daerah ini. Meskipun ia tidak tahu,
kepentingan apa saja yang mengikatnya, namun kehadirannya dalam keadaan seperti
ini membuat Ki Argapati berharap-harap cemas.
Berbeda dengan tanggapan
orang-orang lain yang berada di ruangan itu yang menganggap bahwa kehadiran
anak muda yang menyebut dirinya Gupita sebagai suatu kurnia, maka Wrahasta yang
bertubuh raksasa itu menangkapnya dari sudut yang berbeda. Ketika dengan sudut
matanya Pandan Wangi mencoba melihat kesan di wajah Wrahasta, maka terasa
sebuah desir yang lembut menyentuh jantungnya. Wajah anak muda yang bertubuh
raksasa itu mejadi tegang. Dan sejenak kemudian dengan suara gemetar ia
berkata, “Apakah Ki Gede dapat mempercayainya?”
Ki Gede menggerakkan
kepalanya. Ia mengerutkan keningnya ketika tampak olehnya wajah Wrahasta yang
menegang.
“Maksudmu, cerita Pandan
Wangi?” bertanya Ki Gede.
“Bukan,” jawab Wrahasta.
“Mungkin Pandan Wangi mengatakan sebenarnya apa yang dialaminya. Tetapi anak
yang menamakan dirinya Gupita itu.”
Ki Gede tidak segera menjawab.
Tapi tampaklah keheranan terpancar di pandangan matanya.
“Kita sama sekali belum
mengenalnya dengan baik. Kita tidak tahu, apakah maksudnya menolong Pandan
Wangi,” sambung Wrahasta. “Apakah itu bukan sekedar suatu permainan yang sudah
diatur olehnya dengan Sidanti dan Peda Sura?”
Pandan Wangi terkejut
mendengarnya. Maka tanpa sesadarnya ia menyahut, “Ki Peda Sura sendiri terluka
pada saat itu.”
Tiba-tiba saja Wrahasta
tertawa pendek. Dengan wajahnya yang aneh ia menjawab, “Itu mungkin sekali.
Dengan demikian ia akan berhasil mengelabuhi tanggapanmu atasnya. Gembala itu
akan mendapat kepercayaan daripadamu dan terlebih-lebih lagi dari Ki Gede.
Dalam suatu kesempatan ia akan menikam kita dari belakang.” Wrahasta berhenti
sejenak. Suara tertawanya telah lenyap. Dan dengan bersungguh-sungguh ia
berkata, “Tetapi seandainya tidak demikian, seandainya ia tidak mempunyai
hubungan dengan Sidanti maka ia pasti akan memanfaatkan keadaan di Tanah
Perdikan ini. Ia mungkin sekali akan mengail di air keruh untuk kepentingan
pribadinya.”
Sekali lagi wajah Pandan Wangi
menjadi semburat merah, bibirnya menjadi gemetar, tetapi tidak sepatah kata pun
yang meloncat. Sementara itu Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
mereka sengaja mereka berpaling dan saling memandang. Dari loncatan sorot mata
mereka, mereka telah saling berbicara. Mereka segera dapat menangkap isi hati
masing-masing. Dan mereka seolah-olah berbicara satu sama lain, “Wrahasta
merasa tersinggung, kenapa bukan ia sendirilah yang menolong Pandan Wangi.
Lebih daripada itu ia merasa khawatir, bahwa anak muda yang bernama Gupita itu
dapat mengganggu hubungan yang sedang dirintisnya dengan Pandan Wangi.” Namun
orang-orang tua itu tidak segara ikut serta menanggapi persoalan itu secara
langsung. Mereka harus berhati-hati. Dalam keadaan serupa ini, setiap percikan
kekecewaan akan dapat mengganggu keadaan yang semakin lama menjadi semakin
gawat.
Ki Gede yang tidak mengerti
persoalan yang sebenarnya tidak segera menjawab. Tetapi keheranannya masih
membayang di wajahnya. Kenapa tanggapan Wrahasta terlampau miring. Padahal
orang-orang yang menyatakan ciri pribadi mereka dengan cambuk itu, telah
menunjukkan maksud baik mereka.
Tetapi Ki Gede tidak segera
menyahut. Dicobanya untuk mengerti tanggapan Wrahasta. Betapa pun buramnya,
namun Ki Gede melihat juga arah yang dapat dipakai sebagai dasar pikiran
Wrahasta.
“Wrahasta terlampau
hati-hati,” berkata Ki Gede didalam hatinya. “Ia sendiri belum pernah mengenal
orang-orang bercambuk itu, sehingga kecurigaannya itu pun beralasan.”
Dengan demikian maka ruangan
itu menjadi sepi sejenak. Namun di dalam kesenyapan itu, dada Pandan Wangi
telah digelisahkan oleh gemuruhnya perasaannya. Ia mengerti, apakah sebabnya
Wrahasta bersikap demikian. Sebagai seorang gadis ia merasakan getaran yang
memancar dari hati anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tetapi sebagai seorang
gadis ia pun merasakan getar di dalam dadanya sendiri, apabila ia mengenang,
atau berbicara apalagi menyebut nama anak muda yang menyebut dirinya sebagai
seorang gembala itu.
Dalam keheningan itu terdengar
Ki Argapati bertanya, “Pandan Wangi, aku ingin mendengar, apakah yang
sebenarnya telah terjadi atasmu pada saat kau bertempur melawan Ki Peda Sura.
Aku ingin kau bercerita dari awal sampai akhir, berurutan seperti apa yang
telah terjadi sebenarnya.”
Terasa dada Pandan Wangi
berdentangan. Sebenarnya ia memang ingin menceritakan, sehingga bagian-bagian
yang paling kecil sekalipun. Ia ingin bercerita bahwa anak muda itu telah
menolongnya sehingga mereka jatuh berguling di atas tanah yang kotor. Ia ingin
bercerita bahwa anak muda yang menyebut dirinya bernama Gupita itu menarik
tangannya berlari-lari di atas pematang dan tanah yang becek berlumpur. Di atas
genangan air yang memantulkan cahaya bulan yang penuh, yang bergayutan di
langit yang biru bersih.
Tiba-tiba Pandan Wangi itu
mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia menggeram di dalam hatinya, “Tidak. Aku
adalah seorang dari sekian banyak pengawal Tanah Perdikan ini. Yang menarik
perhatianku seharusnya bukan pantulan cahaya bulan yang bulat. Bukan birunya
langit yang digantungi oleh bintang gemintang. Bukan selembar awan putih yang
hanyut dalam hembusan angin dari samodra. Bukan. Bukan. Yang penting bagiku,
Peda Sura telah kami lukai. Aku telah berhasil melepaskan diri dari tangannya
dan pasukanku telah berhasil mengundurkan diri dengan korban yang
sekecil-kecilnya.”
Namun justru dengan demikian,
tidak sepatah kata pun yang meloncat dari bibirnya.
Samekta dan Kerti pun menjadi
berdebar-debar pula. Ia tahu betapa sulitnya Pandan Wangi mengatakan apa yang
telah dialaminya menilik ceritanya yang baru dikatakannya sepotong-sepotong.
Apalagi ketika mereka melihat, wajah Wrahasta yang menjadi tegang. Apabila
Pandan Wangi menceritakan sekali lagi, bahkan lebih banyak lagi tentang anak
muda yang mengaku sebagai seorang gembala itu, maka mereka menjadi cemas bahwa
perasaan Wrahasta akan benar-benar terluka. Karena itu, maka sebelum Pandan
Wangi dapat mengatasi kebimbangannya, terdengar Samekta berkata, “Ki Gede, ada
banyak soal yang harus kita bicarakan. Sebenarnya Ki Gede masih harus banyak
beristirahat. Karena itu, sebaiknya cerita-cerita itu dapat ditunda untuk lain
kali. Sekarang kami mengharap Ki Gede menenteramkan hati, dan apabila mungkin tidur
meskipun hanya sekejap.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Tetapi kemudian ia berkata sambil tersenyum, “Kau benar Samekta. Aku memang
harus beristirahat. Tetapi mendengarkan cerita Pandan Wangi bagiku merupakan
suatu kesegaran baru di dalam diri yang tegang selama ini. Aku akan berbangga
dan bahkan mengagumi anak ini. Dengan demikian, segala kepahitan atas kekalahan
yang aku alami ini akan terhibur karenanya.”
“Tetapi bukankah Ki Gede tidak
kalah?” potong Kerti, “Semua yang terjadi, sehingga Ki Gede menderita luka,
bukanlah suatu kekalahan. Tetapi itu adalah suatu kecurangan. Ki Gede tidak
akan terluka apabila Ki Tambak Wedi sanggup bertempur beradu dada.”
Ki Gede tidak segera menjawab.
Namun tiba-tiba saja Pandan Wangi menyahut, “Apakah Tambak Wedi berbuat curang
sehingga Ayah terluka parah di dadanya?”
Kerti mengangguk. Jawabnya,
“Akalmu telah membawa aku menyaksikan apa yang terjadi. Karena kami menyangka
bahwa kau lari lagi dari halaman dan pergi ke Pucang Kembar, maka aku pun telah
pergi ke sana pula. Agaknya kau memang bermaksud demikian.”
Pandan Wangi tidak menyahut,
tetapi kepalanya ditundukkannya dalam-dalam, seolah-olah ia sedang mencoba
menyembunyikan perasaan yang mengambang di wajahnya.
“Hem,” tiba-tiba Samekta
menarik nafas dalam-dalam, “Kita telah terlibat lagi dalam suatu pembicaraan.
Biarlah Ki Gede beristirahat sejenak, agar lukanya menjadi semakin baik.
Apalagi apabila Ki Gede dapat tidur. Karena itu, maka marilah kita tinggalkan
ruangan ini.”
Mereka yang berdiri di seputar
pembaringan Ki Gede itu saling berpandangan sejenak. Kemudian terdengar suara
Kerti, “Baiklah. Sekarang marilah kita tinggalkan ruangan ini. Ki Gede memang
perlu beristirahat.”
Ketika Kerti dan Samekta
berpaling ke arah Wrahasta, maka dilihatnya wajah anak muda itu masih juga
tetap tegang.
“Marilah, Wrahasta,” berkata
Kerti sareh.
Wrahasta masih ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian ia bergumam, “Marilah.”
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kepada Ki Gede, “Kami minta diri sejenak, Ki Gede. Kami
masih menyimpan banyak persoalan. Nanti apabila Ki Gede sudah beristirahat,
kami akan menyampaikan persoalan-persoalan itu.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Ia menjadi ragu-ragu untuk sejenak. Terasa sesuatu yang kurang wajar terjadi di
antara orang-orangnya itu. Tetapi ia tidak dapat meraba, apakah yang kurang
itu. Meskipun demikian ia mengangguk sambil berkata, “Silahkan. Silahkan. Aku
memang ingin beristirahat. Tetapi aku minta Pandan Wangi tetap berada di sini
menungguiku. Mungkin aku haus atau lapar atau memerlukan apa pun.”
“Tentu, Ayah,” sahut Pandan
Wangi dengan serta-merta sebelum orang lain menyahut. Ia tidak mau apabila ia
harus menyingkir pula dari samping ayahnya. Ia ingin menungguinya, dan lebih
daripada itu, serasa dadanya dipenuhi oleh cerita yang harus ditumpahkannya
kepada ayahnya. Hanya kepada ayahnya.
Samekta dan Kerti saling
berpandangan sejenak. Tanpa mereka sadari keduanya memandang Wrahasta dengan
sudut mata mereka. Untunglah bahwa Wrahasta tidak memperhatikan sikap itu
sehingga tidak menimbulkan persoalan apa pun di dalam dirinya.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Kerti berkata, “Wangi, ayahmu minta kau tetap menungguinya.
Layanilah. Kami akan minta diri sejenak.”
“Silahkanlah, Paman,” sahut
Pandan Wangi.
Sejenak kemudian maka ruangan
itu pun telah menjadi lengang. Yang tinggal di dalamnya adalah Ki Argapati yang
berbaring di pembaringan bambu dan Pandan Wangi, yang menungguinya duduk di
pembaringan itu pula. Sementara itu Samekta, Kerti, Wrahasta, dan para pemimpin
yang lain pergi ke tempat yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan
sementara pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Supaya persoalan mereka,
terutama Wrahasta, terbatas pada masalah Tanah Perdikan, tidak langsung
menyentuh soal pribadi, maka Samekta segera membawa mereka ke dalam suatu
pembicaraan mengenai laporan yang didengarnya, bahwa seseorang dari desa ini
telah lolos untuk melaporkan keadaan Ki Gede yang senyatanya kepada Ki Tambak
Wedi.
“Laporan itu berbahaya bagi
kita di sini,” berkata Samekta, “sebab apabila Ki Tambak Wedi yakin akan
keadaan Ki Argapati, maka ia akan segera mengambil keputusan.”
Kerti dan Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bahaya itu memang terbayang di dalam kepala
mereka. Apabila dalam saat yang pendek Sidanti membawa seluruh pasukannya ke
desa ini, maka keadaan akan menjadi sangat gawat. Meskipun seluruh pasukan
pengawal yang tersebar di segala tempat ditarik, maka untuk mempertahankan
diri, pasti akan terlampau sulit.