Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 31-35

Kho Ping Hoo, SSuling Emas Dan Naga Siluman Jilid 31-35 Karena sampai lama gadis itu tak menjawab dan hanya menunduk, Sang Pangeran lalu melepaskan tangan kirinya yang berada di pundak kanan gadis itu, lalu dengan hati-hati
Anonim
Karena sampai lama gadis itu tak menjawab dan hanya menunduk, Sang Pangeran lalu melepaskan tangan kirinya yang berada di pundak kanan gadis itu, lalu dengan hati-hati menggunakan jari-jari tangan kiri memegang dagu gadis itu dan mengangkat muka itu perlahan-lahan menghadapinya. Muka yang agak pucat, kedua matanya terpejam dan beberapa butir air mata menitik turun dari mata itu ke atas kedua pipinya.

“Li Hwa.... jawablah, maukah engkau....?”

Li Hwa membuka mata dan sejenak mereka saling berpandangan, kemudian gadis itu mengangguk dan menggenggam cincin itu. “Hamba.... akan menyimpan cincin ini.... sampai akhir hayat....”

“Tok-tok-tokk!”

Keduanya terkejut sekali dan otomatis Li Hwa melangkah mundur, membalikkan tubuh memandang ke arah daun pintu itu.

“Siapa....?” Pangeran Kian Liong membentak dengan suara kereng.

“Saya, Pangeran. Harap buka pintu!” terdengar suara wanita dari luar pintu.

Mendengar suara ini, Sang Pangeran mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa dia menghadapi ancaman! Akan tetapi, dia bersikap tenang dan pura-pura tidak mengenal suara itu, lalu bertanya. “Saya siapa?”

“Saya Ibumu ke tiga, Pangeran.”

“Ahh, harap Ibu tidak mengganggu, saya ingin tidur.”

“Bukalah, Pangeran, dan tidak perlu lagi berpura-pura. Ibumu sudah tahu bahwa engkau menyembunyikan wanita pemberontak itu di dalam kamar!”

“Singgg....!” Li Hwa mencabut pedangnya.

Namun Pangeran Kian Liong memberi isyarat agar wanita itu bersikap tenang, bahkan dia lalu memegang dan menggandeng tangan kiri Li Hwa dan berbisik menyuruh gadis itu menyarungkan pedangnya. Kemudian dia berkata, menghadapi pintu.

“Tunggu, saya hendak keluar dengan teman saya.” Dan Pangeran itu lalu menggandeng tangan Li Hwa, diajaknya menghampiri pintu, membuka daun pintu dan melangkah keluar sambil menggandeng tangan gadis yang kini memakai pakaian pria yang agak kedodoran itu! Diam-diam Li Hwa merasa gelisah sekali, jantungnya berdebar tegang dan dia sudah siap untuk melawan kalau-kalau dia hendak diserang atau ditangkap.

Melihat Pangeran Mahkota itu melangkah dengan amat gagah menggandeng seorang ‘pemuda’ yang pakaiannya kebesaran, Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga itu terbelalak dan tahulah dia bahwa ‘pemuda’ itu tentu wanita pemberontak yang tengah dikejar-kejar. Tadi dia menerima laporan mata-matanya, yaitu seorang di antara para pelayan thaikam yang melihat Pangeran itu masuk ke kamar bersama wanita yang pakaiannya basah kuyup.

“Pangeran, tunggu! Engkau tidak boleh....”

“Apa?” Pangeran itu berhenti, membalik diri dan menghadapi wanita tua itu, kemudian memandang tajam kepada para pengawal yang datang bersama ibu suri itu, pandang matanya penuh tantangan, “Siapa berani menghalangi aku keluar dari sini? Siapa? Ingin kulihat orangnya yang berani menghalangiku!” Sikapnya amat gagah dan menantang sehingga semua pengawal menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata Pangeran itu.

Melihat ini, Pangeran Kian Liong tersenyum dan dia pun lalu menggandeng tangan Li Hwa dan terus diajak berjalan keluar. Sejenak Sam-thaihouw tertegun menyaksikan keberanian Pangeran itu dan kemudian dia pun sadar bahwa bagaimana pun juga, tidak akan ada pengawal yang berani menghalangi Pangeran Mahkota itu. Kalau dia yang mengerahkan pengawal pribadinya, tentu pengawalnya akan berani, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu amat tidak baik baginya. Betapa pun juga, Pangeran itu adalah Pangeran Mahkota, putera terkasih dari Kaisar, maka dia harus bersikap hati-hati.

Maka, dengan marah dan mendongkol sekali dia berkata, “Pangeran, tunggu saja nanti apa kata Sri Baginda kalau mendengar bahwa Pangeran telah meloloskan seorang pemberontak dan pembunuh Kaisar!”

Tetapi Kian Liong pura-pura tidak mendengarnya, terus mengajak Li Hwa keluar dari istana itu. Setiap pengawal dan penjaga yang masih sibuk mencari-cari ‘pemberontak’ wanita itu, begitu melihat Pangeran itu bergandengan tangan dengan seorang ‘pemuda’ yang mereka tentu saja kenal sebagai gadis pemberontak yang mereka kejar-kejar itu, berdiri tertegun, bengong dan tidak tahu harus berbuat apa, kemudian begitu bertemu dengan pandang mata Pangeran yang menantang, mereka memberi hormat dan menundukkan muka!

Li Hwa merasa betapa tubuhnya panas dingin saking tegangnya ketika dia digandeng oleh Pangeran itu keluar dari istana, melalui lorong-lorong dan ruangan-ruangan luas yang penuh dengan penjaga-penjaga. Diam-diam dia merasa makin terharu. Pangeran ini ternyata sungguh-sungguh menolongnya dan dia tahu bahwa untuk ini, Pangeran itu mengorbankan diri terancam oleh kemarahan Kaisar! Dia tidak dapat membayangkan bagaimana akan marahnya Kaisar kalau mendengar bahwa puteranya sendiri yang meloloskan orang yang hendak membunuhnya!

Akan tetapi, tak ada seorang pun berani menegur, apalagi menghalangi Pangeran yang menggandeng tangan gadis yang menyamar pria itu sampai mereka keluar dari pintu gerbang istana! Pangeran Kian Liong melewati penjaga terakhir di pintu gerbang dan terus mengajak Li Hwa berjalan keluar tembok istana dan berhenti di tempat yang gelap oleh bayangan tembok pagar dan pohon.

“Nah, dari sini engkau dapat melanjutkan perjalanan keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan, Li Hwa. Ingat, perlihatkan cincin dan suratku, dan kutanggung takkan ada seorang pun yang berani mengganggumu.”

Li Hwa menjatuhkan diri berlutut. “Pangeran telah menunjukkan budi kebaikan dan cinta kasih yang amat besar, untuk itu hamba Souw Li Hwa tidak akan melupakan selama hidup hamba....”

Pangeran Kian Liong membungkuk dan memegang kedua pundak gadis itu, menariknya bangun berdiri dan biar pun cuaca cukup gelap di tempat ini, terlindung bayangan tembok dan pohon, akan tetapi karena mereka berdiri berhadapan dekat sekali, mereka dapat saling melihat garis muka masing-masing.

“Li Hwa, kalau benar engkau tidak akan melupakan, kelak engkau tentu akan memenuhi janji datang kepadaku dan hidup bersamaku.”

Li Hwa merasa demikian terharu dan juga berbahagia sehingga dia agak terisak ketika berbisik, “Hamba bersumpah....” akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena bibir pangeran itu telah menutup mulutnya dalam sebuah ciuman yang mesra dan penuh kasih sayang.

Dalam dorongan gairah asmara yang bergelora, dibangkitkan oleh rasa terima kasih, gadis itu hanya merintih dan membalas ciuman itu dan merangkulkan kedua lengannya pada leher Sang Pangeran.

“Pemberontak, kalian hendak lari ke mana?”

Bentakan ini tentu saja membuat mereka terkejut, melepaskan ciuman dan rangkulan masing-masing dan Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Sesosok bayangan orang yang tinggi besar telah berada di situ, berdiri bertolak pinggang dengan sikap mengejek. Pangeran Kian Liong yang mengira bahwa orang itu tentu seorang di antara para penjaga pintu gerbang istana, menjadi marah.

“Hemm, manusia lancang. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?”

Akan tetapi, sikap dan jawaban orang itu sungguh mengejutkan hati Sang Pangeran. Orang itu tertawa bergelak, “Hoa-ha-ha-ha-ha, tentu saja aku tahu. Engkau adalah Pangeran yang mengkhianati Kaisar, membantu pembunuh melarikan diri!”

“Eh, siapa engkau? Dan mau apa kau?” Pangeran membentak, wajahnya berubah agak pucat karena maklum bahwa ada terjadi sesuatu yang luar biasa dan yang mengancam keselamatannya, terutama sekali keselamatan Li Hwa.

“Aku? Ha-ha-ha, aku adalah orang yang hendak menangkap kalian, mati atau hidup!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar orang tinggi besar ini bergerak maju.

Melihat ini, Li Hwa yang sudah memegang pedang di tangan kanannya itu segera menerjang, mendahului orang yang mengancam keselamatan Pangeran Kian Liong. Gerakannya cepat dan ganas sekali karena dara ini sudah menjadi marah dan nekat. Kalau orang ini hendak mencelakai Sang Pangeran, biarlah dia mengadu nyawa! Maka, seluruh kekuatan dan kepandaiannya dikerahkan dalam serangan-serangannya tanpa mempedulikan bagian pertahanan lagi.

Akan tetapi, orang tinggi besar itu hanya tertawa dan dengan lengan dan tangan kosong dia menangkis pedang nona itu.

“Trakkk!”

Sekali tangkis, pedang di tangan gadis itu patah menjadi dua seperti bertemu dengan benda yang luar biasa kerasnya! Li Hwa terkejut bukan main, akan tetapi dia tak mundur sama sekali.

“Keparat, jangan kau berani mengganggu Pangeran!” bentaknya dan dengan pedang buntung itu dia menerjang lagi, pedang buntungnya membacok dan tangan kirinya mengirim pukulan ke arah pusar lawan, gerakannya amat ganas.

“Bressss....!”

Orang tinggi besar itu memapaki dengan tendangan tanpa mempedulikan serangan gadis itu, yang pada waktu bertemu dengan tubuhnya yang kebal bagaikan menyerang orang-orangan dari karet yang amat kuatnya, sedangkan tendangan itu membuat tubuh Li Hwa terjengkang dan terbanting sampai berguling-gulingan.

“Li Hwa....!” Pangeran Kian Liong lari menghampiri dan berlutut, merangkul dara itu.

“Hamba tidak apa-apa, Pangeran. Paduka menyingkirlah, biar hamba mengadu nyawa dengan keparat ini!” Li Hwa bangkit lagi akan tetapi dia dirangkul oleh Pangeran Kian Liong.

Melihat ini, orang tinggi besar itu tertawa.

“Biarlah kami menyerah, engkau boleh menangkap kami dan kami tidak akan melawan,” kata Pangeran itu yang merasa khawatir kalau-kalau gadis yang dicintanya itu akan terluka atau tewas di tangan orang yang lihai itu.

“Ha-ha-ha, sungguh-sungguh lucu! Pangeran Mahkota berpacaran dengan perempuan pemberontak yang berusaha membunuh Kaisar, ayahnya sendiri. Ha-ha, sayang sekali, Pangeran, perintah yang tadi kuterima adalah menangkap kalian dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Bersiaplah kalian untuk mati bersama, mati yang mesra, ha-ha-ha!”

Orang tinggi besar itu menerjang maju. Pangeran Kian Liong dan Li Hwa yang maklum akan kesaktian orang itu hanya menanti datangnya pukulan maut tanpa dapat membela diri lagi.

“Dessss....!”

Tubuh orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan matanya terbelalak mencoba menembus kegelapan malam dalam pandang matanya ketika dia melihat seorang pria yang berlengan satu sudah berdiri di situ dan laki-laki itulah yang tadi menangkisnya!

“Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir....” Orang tinggi besar itu tergagap.

“Hemm, Sam-ok, keberanianmu melewati batas!” kata orang berlengan satu itu yang bukan lain adalah Kao Kok Cu.

Kiranya orang tinggi besar yang lihai itu adalah Sam-ok Ban-hwa Sengjin, maka pantas saja Li Hwa sama sekali tidak berdaya menghadapi datuk kaum sesat yang sakti ini. Karena usahanya digagalkan, biar pun dia tahu akan kesaktian Si Naga Sakti, Sam-ok menjadi nekat dan rasa penasaran membuat dia lupa diri! Tubuhnya sudah membuat gerakan berpusing cepat dan dia sudah mainkan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu ilmu Silat Thian-te Hong-i (Badai Mengamuk Langit Bumi).

Sambil berpusing, tubuhnya yang lenyap menjadi bayangan berpusing cepat itu telah meluncur ke arah Si Naga Sakti. Kao Kok Cu adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali, maka melihat gerakan lawan ini dia bersikap tenang-tenang saja dan hanya berloncatan ke kanan kiri, untuk menghindar setiap kali dari bayangan berpusing itu mencuat sinar yang merupakan serangan-serangan tangan atau kaki yang amat berbahaya dari Sam-ok.

Sementara itu, melihat munculnya pendekar sakti itu yang menolongnya, hati Pangeran Kian Liong menjadi lega dan dia lalu rnendekap Li Hwa, menciumnya satu kali dan berkata, “Li Hwa, cepat kau pergilah dari sini. Ingat, pergunakan cincin dan surat!”

Li Hwa terisak, “Pangeran.... selamat tinggal....”

“Jangan lupa pesanku, Li Hwa.”

Gadis itu lalu meloncat dan melarikan diri ke dalam kegelapan malam, menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Dengan cincin dan surat itu, tentu saja dia akan dengan mudah dapat keluar dari kota raja, karena di dalam surat itu Sang Pangeran memerintahkan agar gadis itu dilindungi dan siapa yang berani membangkang terhadap perintah gadis itu berarti membangkang terhadap perintahnya dan si pembangkang akan dihukum berat!

Sungguh terjadi perubahan besar sekali atas batin Li Hwa. Kalau tadi ketika memasuki istana dia merupakan seorang gadis yang penuh semangat permusuhan, serta penuh kebencian dan dendam terhadap Kaisar, kini dia meninggalkan kota raja dengan hati seperti tertinggal di istana penuh keharuan, kekaguman dan juga cinta kasih terhadap Pangeran Kian Liong, juga kedukaan bahwa dia harus berpisah dari Pangeran yang amat dikaguminya itu. Dia masih merasa putus asa untuk dapat berjumpa kembali dengan Pangeran yang dicintanya itu, sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa kelak dialah yang menjadi selir paling terkasih di antara para selir Pangeran Kian Liong setelah Pangeran itu menjadi Kaisar yang amat berkuasa kelak!

Sementara itu pertandingan antara Kao Kok Cu melawan Sam-ok tidak berjalan lama. Baru belasan jurus saja sudah dua kali tubuh Sam-ok terpental sampai jauh dan biar pun dia tidak mengalami luka parah, namun dadanya terasa sesak setiap kali dia bertemu tangan dengan pendekar sakti itu. Dan akhirnya Sam-ok lalu melompat dan melarikan diri karena kalau sampai datang pasukan pengawal, tentu dia akan celaka.

Kao Kok Cu tidak mengejar, melainkan berkata kepada Pangeran Kian Liong dengan tenang, “Sebaiknya Paduka kembali ke dalam istana.”

“Kembali engkau telah menyelamatkan aku, Paman,” jawab Pangeran Kian Liong yang lalu menambahkan, “Harap Paman menyimpan rahasia tentang apa yang Paman lihat pada malam hari ini.”

Kao Kok Cu mengangguk, paham bahwa yang dimaksudkan tentulah rahasia Pangeran itu yang mengenal diri gadis Siauw-lim-pai itu. Kemudian dia mengawal Sang Pangeran kembali ke istana, disambut oleh Wan Ceng, Wan Tek Hoat, dan Syanti Dewi. Lima orang ini bercakap-cakap dan Wan Tek Hoat yang pernah mengintai keadaan Im-kan Ngo-ok, menceritakan bahwa Im-kan Ngo-ok adalah tokoh-tokoh yang diperalat oleh Sam-thaihouw, demikian pula murid-murid Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-bi Mo-li. Pangeran Kian Liong yang sudah menduga akan hal ini, diam-diam marah sekali dan mengambil keputusan untuk tidak akan mendiamkan saja sepak terjang Sam-thaihouw yang amat membahayakan ayahnya itu.

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, setelah menanti sampai lama, dua pasang suami isteri pendekar itu dipersilakan memasuki ruangan makan pagi seperti yang dikehendaki oleh Kaisar, yaitu mereka diundang untuk makan pagi bersama Kaisar untuk bercakap-cakap. Dalam pertemuan ini hadir pula Pangeran Kian Liong yang sekalian membuat laporan kepada Kaisar tentang perjalanan ke Pulau Kim-coa-to.

Tetapi Kaisar agaknya hanya setengah hati mendengarkan laporan puteranya. Pandang matanya lebih banyak ditujukan kepada Syanti Dewi yang lebih sering menundukkan mukanya. Wan Tek Hoat, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, juga Sang Pangeran sendiri, dengan mudah dapat menduga bahwa Kaisar yang terkenal mata keranjang itu mulai tertarik oleh kecantikan Syanti Dewi yang memang luar biasa itu.

“Kami mendengar bahwa Anda memiliki ilmu silat amat lihai,” dalam suatu kesempatan Kaisar berkata, dan ditujukan kepada Syanti Dewi. “Timbul keinginan hati kami untuk menyaksikan, bagaimana seorang puteri yang demikian halus dan cantik, lemah lembut seperti Anda pandai main silat. Maka, hendaknya Anda suka memperlihatkan ilmu pedang Anda antuk membuka mata kami yang selalu haus untuk mengagumi ilmu silat yang baik.”

Semua orang diam-diam terkejut mendengar ini. Ini namanya sudah keterlaluan. Biar pun dia seorang kaisar, akan tetapi yang diperintahnya adalah tamu, dan seorang wanita yang baru saja menikah pula. Mana mungkin Kaisar memerintah orang yang bukan menjadi pengawal atau anak buahnya begitu saja, apalagi kalau orang itu seorang wanita seperti Syanti Dewi dan perintahnya untuk bermain silat lagi?

Syanti Dewi dengan sikap tenang lalu menjura. “Harap Paduka sudi mengampunkan hamba. Hamba hanya belajar sedikit, mana berani hamba memperlihatkan kejelekan di hadapan Paduka?”

“Aih, Anda terlalu merendahkan diri. Kami sendiri telah mendengar desas-desus, bahwa dewi dari Kim-coa-to selain cantik jelita seperti bidadari juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi, yang sukar dicari bandingannya. Kecantikan seperti bidadari itu telah kami buktikan dan malah melebihi desas-desus itu kenyataannya, hanya ilmu silat itu belum kami saksikan. Harap Anda jangan menolak, demi untuk menggembirakan suasana pagi ini.” Kaisar mendesak sambil tersenyum dengan sikap ceriwis, tanpa sungkan sedikit pun juga meski pun di situ hadir suami puteri itu, hadir pula puteranya dan suami isteri pendekar yang selama ini amat dikaguminya.

Syanti Dewi melirik ke arah suaminya, akan tetapi Tek Hoat duduk dengan tenang-tenang saja, jelas bahwa suaminya tidak hendak mencampuri dan menyerahkan Si Isteri untuk mengambil keputusan sendiri bagaimana cara menghadapi permintaan Kaisar itu.

Akan tetapi pada saat itu terdengar pemberitahuan dari pengawal yang berseru dengan suara lantang, “Yang Mulia Sam-thaihouw berkenan menghadap Sri Baginda Kaisar!”

Kaisar menoleh dan mengerutkan alisnya karena merasa terganggu, tetapi sebelum dia membantah, dan kiranya belum tentu Kaisar berani membantah kalau ibu suri ke tiga itu muncul, Sang Ibu Suri sudah memasuki ruangan itu dari pintu. Seorang nenek yang masih nampak jelas bekas-bekas kecantikannya, dengan muka yang dirias tebal, rambut yang ditambah dengan cemara tebal dan hitam digelung rapi, pakaian yang mewah sekali dan begitu dia muncul tercium bau semerbak wangi yang amat mencolok hidung. Tentu ada setengah botol minyak wangi yang dihamburkan di atas pakaian dan tubuhnya.

Setelah menghampiri meja itu, Sam-thaihouw lalu menjura ke arah Kaisar dan untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang tahu aturan, Kaisar juga bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang yang menjadi Ibu tirinya itu.

“Semoga Thian memberkahi Sri Baginda!” kata Sam-thaihouw.

“Semoga Ibu selalu dalam keadaan sehat,” balas Sri Baginda Kaisar.

Sam-thaihouw lalu memutar tubuh dan menghadapi Pangeran Kian Liong yang masih tetap duduk di atas bangkunya, bersikap tidak mengacuhkan ketika wanita ini masuk. Kemudian dengan gerakan lambat seperti gerakan teratur seorang pemain wayang, Sam-thaihouw mengangkat lengan kirinya, mengeluarkan tangannya yang tersembunyi di dalam lengan baju yang panjang, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Pangeran itu dan mulutnya mengeluarkan kata-kata lantang, “Sri Baginda sudah makan pagi bersama dengan seorang pengkhianat.”

Tentu saja Kaisar merasa terkejut sekali dan dengan alis berkerut dia memandang kepada ibu tirinya itu dan akhirnya bertanya, “Apa yang Ibunda maksudkan?”

“Tentu Sri Baginda telah memaklumi bahwa seorang di antara gerombolan pemberontak yang semalam menyerang Paduka, yaitu seorang penjahat wanita, telah berhasil lolos. Tahukah Paduka apa yang terjadi semalam? Saya telah melihat sendiri di mana adanya gadis pemberontak itu semalam!” Dia berhenti lagi, untuk menambah ketegangan dan memperbesar keinginan tahu kaisar.

“Di mana?” Kaisar mendesak dan memang Kaisar merasa terkejut, heran dan ingin tahu sekali.

“Di dalam kamar Pangeran Kian Liong!”

“Ahhh....” Kaisar terkejut sekali dan menoleh, memandang kepada puteranya.

“Bukan itu saja, Sri Baginda. Bahkan Pangeran Kian Liong juga telah ikut membantu pemberontak itu, membawanya sendiri sampai keluar dari dalam istana, menyelamatkan perempuan jahat itu dari tangan para pasukan pengawal. Itulah sebabnya maka saya berani mengatakan bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pengkhianat!”

Wajah Kaisar berubah merah serta sinar matanya jelas membayangkan kemarahan besar ketika kini dia memandang kepada Pangeran Kian Liong. Dua pasang suami-isteri pendekar itu memandang kepada Sang Pangeran dengan hati gelisah, akan tetapi juga mereka kagum bukan main ketika melihat betapa Pangeran itu kelihatan tenang-tenang saja, bahkan ada senyum bersembunyi di balik sinar matanya.

“Pangeran, apa jawabanmu sekarang? Benarkah apa yang tadi sudah dikatakan oleh Sam-thaihauw?” Karena di situ terdapat orang-orang lain sebagai tamu, maka sikap Kaisar terhadap puteranya itu kaku dan penuh aturan.

Pangeran Kian Liong mengangguk! “Harap Paduka dengarkan dengan sabar penjelasan hamba tentang gadis itu. Gadis itu datang bersama orang-orang Siauw-lim-pai yang tentu Paduka kenal, dan gadis itu datang bukan sebagai pemberontak melainkan ada kunjungan dengan urusan pribadi, yaitu antara Suhu-nya dan Paduka. Jadi urusan tadi malam adalah urusan dalam keluarga perguruan Siauw-lim-pai, tidak ada hubungannya dengan pemberontak dan Kaisar. Memang hamba telah menyuruh Nona itu pergi setelah hamba berhasil menyadarkannya akan kekeliruan tindakan murid-murid dari Siauw-lim-pai. Hamba juga menyuruh dia menyadarkan para murid Siauw-lim-pai bahwa menganggap Paduka sebagai murid Siauw-lim-pai adalah keliru, dan hamba ingatkan Paduka adalah Kaisar dan siapa pun yang menentang Paduka, dengan dalih apa pun, berarti memberontak. Hamba mengampuni dan menyelamatkan gadis itu demi untuk menghentikan rasa permusuhan dari para murid Siauw-lim-pai terhadap Paduka. Kalau Paduka tetap menganggap hamba bersalah, hamba hanya menyerahkannya kepada kebijaksanaan Paduka Ayahanda Kaisar!”

Mendengar jawaban yang terus terang ini, Kaisar mengangguk-angguk. Tentu saja dia mengerti apa yang telah terjadi. Dia pun mengenal tujuh orang suheng-suheng-nya dari Siauw-lim-pai yang telah tewas semua itu dan dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu murid dari suheng-nya yang datang bersama isterinya yang cantik beberapa bulan, bahkan sudah setahun yang lalu itu. Agaknya puteranya itu pun tahu akan hal itu dan betapa bijaksana puteranya yang tidak membuka rahasia itu. Biar pun dia kurang puas karena seorang di antara calon-calon pembunuhnya itu lolos, bahkan diselamatkan oleh puteranya sendiri, namun betapa pun juga puteranya berusaha untuk menghentikan permusuhan dalam hati para murid Siauw-lim-pai terhadap dirinya.

Melihat Kaisar mengangguk-angguk, diam-diam Sam-thaihouw merasa tidak puas sama sekali. Dia melihat kesempatan baik sekali untuk menjatuhkan Sang Pangeran yang dibencinya, untuk menjauhkan Pangeran ini dari ayahnya, dan untuk membangkitkan kebencian atau setidaknya kemarahan di hati Kaisar terhadap Pangeran Mahkota, akan tetapi melihat Kaisar itu justru mengangguk-angguk mendengar jawaban Pangeran Kian Liong, dia menjadi kecewa sekali.

“Sungguh keterangan yang bohong!” teriaknya. sambil menudingkan telunjuknya pada Pangeran Muda itu. “Pangeran telah jatuh cinta kepada gadis itu! Kedua mataku belum lamur, aku melihat sendiri betapa gadis itu memakai pakaian Pangeran! Dan betapa Pangeran menggandeng tangan gadis itu amat mesranya! Dan kalau pangeran sudah bersekongkol, bercinta dengan seorang musuh yang baru saja hendak membunuh Paduka, sungguh hal itu merupakan bahaya besar bagi Sri Baginda, seolah-olah mempunyai musuh di dalam selimut! Karena itu, sudah sepantasnya kalau Paduka mengeluarkan perintah menangkap pemberontak ini, pengkhianat ini dan menyelidikinya dengan cermat berapa jauh hubungannya dengan para pemberontak. Siapa tahu dia pula yang memungkinkan para pemberontak malam tadi itu memasuki istana....”

Pangeran Kian Liong bangkit berdiri, sikapnya masih tenang saja, akan tetapi suaranya lantang ketika dia memotong kata-kata nenek tirinya itu, “Tidakkah akan lebih lengkap lagi bagi Sri Baginda untuk mendengar cerita Sam-thaihouw tentang Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat itu yang kini menjadi kaki tangan Sam-thaihouw, termasuk juga Su-bi Mo-li, empat orang siluman betina itu?”

Sam-thaihouw terkejut mendengar itu, tetapi dia cepat menegakkan leher dan berkata dengan suara mengandung wibawa yang keluar dari keangkuhan dan keyakinan akan kekuasaannya, “Apa salahnya aku menggunakan tokoh-tokoh kang-ouw dari golongan mana pun juga? Dari golongan mana pun, mereka adalah rakyat yang setia kepada kerajaan, dan aku menggunakan mereka demi untuk menyelamatkan negara, bukan sebaliknya untuk mengkhianati Negara, bahkan Kaisar sendiri!” Sam-thaihouw kembali menyerang dan memang nenek ini pandai berdebat.

Mendengar perdebatan mereka, Kaisar menjadi bingung. Dia hanya menoleh kepada dua orang itu berganti-ganti mengikuti perdebatan itu dan nampaknya tertarik.

Pangeran Kian Liong tersenyum. Pangeran ini biar pun masih muda namun sebenarnya dia sangat cerdik dan memang tadi dia hanya memancing saja. Begitu mendengar pembelaan diri Sam-thaihouw, dia tersenyum dan merasa pancingannya berhasil dan merasa yakin akan kemenangannya. Memang jawaban inilah yang ditunggu-tunggunya.

“Sam-thaihouw menuduh saya bersekutu dengan pemberontak, padahal sudah jelas bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu bukan pemberontak dan saya hanya berusaha melenyapkan sikap bermusuhan mereka terhadap Kaisar. Akan tetapi Sam-thaihouw agaknya sengaja hendak menutup mata akan kenyataan siapa adanya Im-kan Ngo-ok! Sam-thaihouw kiranya dapat menceritakan kepada Sri Baginda, siapa adanya orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok? Siapakah adanya Sam-ok Ban-hwa Sengjin itu? Yang sudah berkali-kali hendak menculik saya ketika saya pergi ke Kim-coa-to?”

Wajah Sam-thaihouw menjadi agak pucat. Dia mulai bingung dan gelisah, memandang kepada wajah Kaisar, kemudian kepada wajah Sang Pangeran dan mulutnya sedikit bergerak-gerak, akan tetapi tidak mengeluarkan suara apa-apa.

“Kenapa Sam-thaihouw tidak mau berterus-terang saja? Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang kini menjadi orang yang paling dipercaya di antara Im-kan Ngo-ok oleh Sam-thaihouw, bukan lain adalah bekas koksu dari Nepal yang pernah mengatur pemberontakan dan penyerangan terhadap tanah air kita.”

Kaisar terkejut sekali mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali ibu tirinya itu, yang sejak dulu kelihatan amat setia kepadanya, ternyata diam-diam dia telah mengumpulkan tenaga-tenaga dari pihak musuh! Dia cepat menoleh dan memandang kepada nenek itu dan melihat betapa wajah yang tertutup bedak tebal itu menjadi pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan dan kedua kaki yang tertutup pakaian panjang itu menggigil, membuat tubuhnya bergoyang-goyang!

“Harap Ibunda menjelaskan apa artinya semua ini!” terdengar suara Kaisar yang kini kelihatan marah terhadap nenek itu.

“Saya.... saya.... tidak tahu akan hal itu.”

“Sam-thaihouw tidak tahu? Hemm, berbeda sekali dengan semua yang telah saya alami. Im-kan Ngo-ok berusaha untuk menculik saya ketika saya pergi Kim-coa-to, berusaha untuk merusak nama saya dan semua itu adalah atas perintah Sam-thaihouw. Bahkan nyaris mereka itu berani untuk membunuh saya dan hal itu tentu sudah terlaksana kalau saya tidak dilindungi oleh orang-orang gagah, temasuk orang-orang Siauw-lim-pai! Dan empat orang iblis betina Su-bi Mo-li itu pun pernah menculik putera kembar Paman Gak Bun Beng. Mereka pun mengaku bahwa perbuatan itu adalah atas perintah Sam-thaihouw! Usaha Sam-thaihouw dengan mempergunakan tenaga-tenaga macam bekas Koksu Nepal semua itu bukankah semata-mata untuk menyingkirkan saya agar kelak yang menggantikan kedudukan kaisar adalah pilihan Sam-thaihouw di mana Sam-thaihouw akan dapat memegang kekuasaan tertinggi?” Serangan ucapan Pangeran Kian Liong memang sudah diperhitungkan baik-baik dan wajah nenek itu nampak semakin ketakutan.

Kaisar semenjak tadi terus mendengarkan ucapan puteranya sambil menatap wajah Sam-thaihouw. Tanpa diketahui oleh nenek itu, Kaisar sesungguhnya amat mencinta dan sayang, juga kagum kepada puteranya itu, maka segala usaha nenek itu untuk memisahkan putera mahkota ini dari ayahnya sungguh merupakan usaha yang sia-sia, bahkan memukul diri sendiri! Baru sekaranglah Sam-thaihouw menyadari akan hal ini, dia merasa menyesal sekali atas kebodohannya sendiri. Menyesal, bingung dan juga ketakutan.

“Benarkah semua itu, Ibunda? Kalau tidak benar, harap Ibunda suka menyangkal dengan bukti-bukti!”

Sam-thaihouw sudah terpojok dan tidak mampu bicara lagi, akhirnya menundukkan mukanya.

Kaisar menjadi marah. Akan tetapi mengingat bahwa nenek, itu memiliki kekuasaan yang cukup besar dan mengingat akan jasa-jasanya di masa lampau, maka dia pun tidak memerintahkan pengawal untuk menangkapnya, melainkan hanya menudingkan telunjuk ke arah pintu sambil berkata, “Pergilah, Sam-thaihouw!”

Nenek itu lalu melangkah ke arah pintu, agak terhuyung dan dia seolah-olah dalam waktu beberapa menit saja telah berubah menjadi seorang nenek yang sudah amat tua dan lemah. Setelah tiba di luar pintu, dia dikawal oleh pasukan pengawal pribadinya meninggalkan tempat itu, akan tetapi sebelum tiba di kamarnya sendiri, dia roboh dan terpaksa digotong oleh para pengawalnya. Akan tetapi, tak lama kemudian, sebelum dia tiba di kamarnya, nenek ini telah menghembuskan napas terakhir. Kiranya dia tewas karena serangan jantungnya yang memang kurang begitu kuat sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Rasa penyesalan, kekagetan dan rasa takut dan bingung membuat jantung yang lemah itu terserang dan mengakibatkan dia tewas seketika!

Kematian Sam-thaihouw ini secara tidak langsung telah menyelamatkan Syanti Dewi! Atau setidaknya menghindarkan wanita cantik ini dari hal-hal yang amat tidak enak baginya. Sudah terasa olehnya, bahkan diketahui pula oleh suaminya dan oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti bahwa Kaisar yang berwatak mata keranjang itu telah tergila-gila kepada Syanti Dewi. Bahkan setelah minum arak agak banyak di pagi hari itu, kata-katanya mulai berani ditujukan kepada Syanti Dewi, seakan membayangkan kehendaknya agar Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi untuk sementara tinggal di istana sebagai tamu agungnya!

Akan tetapi, selagi mereka berenam masih melanjutkan percakapan setelah makan pagi, mendadak datang laporan bahwa Sam-thaihouw telah meninggal dunia secara mendadak. Hal ini tentu saja mengejutkan juga kepada Kaisar dan pertemuan itu segera diakhiri.

Peristiwa kematian Sam-thaihouw mendatangkan beberapa kesibukan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Hoat dan Syanti Dewi, dibantu oleh Pangeran Kian Liong, untuk meninggalkan istana dan pulang ke Bhutan tanpa menemui Kaisar lagi, cukup berpamit kepada Pangeran Kian Liong saja. Bahkan mereka tidak mau dikawal oleh pasukan, hanya menerima sebuah kereta kecil dengan dua ekor kuda dan hanya membawa surat dari Pangeran Kian Liong untuk Raja Bhutan, ayah Syanti Dewi.

Demikianlah, bagaikan sepasang burung baru terlepas dari sangkar emas yang mengancam akan mengurung mereka dan menghadapkan mereka kepada hal-hal yang amat tidak enak, bahkan mungkin sekali berbahaya, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi lolos dari kota raja, melakukan perjalanan yang amat jauh namun amat penuh dengan kebahagiaan mereka berdua, bagaikan sepasang pengantin baru melakukan tamasya di tempat-tempat sunyi nan indah. Mereka menuju ke Bhutan, naik kereta berdua dan kadang-kadang berhenti untuk mengaso atau untuk bercumbuan! Dunia penuh dengan keindahan terbentang luas di depan mereka, seolah-olah menjadi hadiah bagi mereka berdua yang sudah bertahun-tahun lamanya menderita kerinduan dan kesunyian yang mendatangkan kedukaan.

Biar pun Kaisar telah mengetahui rahasia Sam-thaihouw dan diam-diam telah menyuruh tangkap semua kaki tangan nenek itu yang tidak keburu melarikan diri dan melempar mereka ke dalam tahanan, namun demi menjaga nama baik keluar istana, kematian Sam-thaihouw menjadi peristiwa perkabungan resmi. Bahkan Kaisar melakukan upacara sembahyang seperti lajimnya, dan menerima ucapan bela sungkawa dari negara-negara tetangga.

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong muncul bersama guru mereka, yaitu sastrawan Pouw Tan, dan dua orang pemuda putera Milana yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarga-keluarga Kaisar ini lalu diantar oleh Pangeran Kian Liong untuk pergi menghadap Kaisar.

Dua orang pemuda ini lalu mengulang semua pengalamannya ketika beberapa tahun yang lalu mereka ditangkap oleh Su-bi Mo-li, mengulang semua yang telah diceritakan oleh Sang Pangeran kepada Kaisar. Mendengar penuturan ini, Kaisar menjadi semakin sadar bahwa selama ini ia telah berdekatan dengan orang-orang yang pada hakekatnya ingin menyeretnya ke dalam kekuasaan mereka.

Dengan terbongkarnya kebusukan Sam-thaihouw ini, maka terbongkar pula kepalsuan Lan-thaikam, orang kebiri yang dahulu pernah membantu Kaisar melakukan kecurangan dalam memperebutkan kekuasaan menggantikan kedudukan Kaisar Kang Hsi. Setelah diselidiki, ternyata Lan-thaikam ini menyimpan harta kekayaan yang banyaknya luar biasa, yang menyaingi isi gudang kekayaan Kaisar sendiri. Ribuan tail emas berada di dalam gudang rahasianya, belum lagi tanah yang tak terbatas luasnya!

Karena maklum bahwa antara Lan-thaikam dan mendiang Sam-thaihouw terdapat hubungan yang amat erat, dan bahwa terbongkarnya rahasia Sam-thaihouw itu akan membuat Lan-thaikam menjadi berhati-hati dan berbahaya, maka dengan rahasia Kaisar lalu membunuh thaikam ini dengan jalan menyuruh orang meracuninya! Maka, tidak lama kemudian, hanya beberapa hari setelah Sam-thaihouw meninggal, tewas pulalah thaikam tua itu yang dianggap sebagai kematian wajar karena usia tua sehingga tidak menimbulkan keributan.

Setelah upacara pemakaman Sam-thaihouw selesai, datang pula Kao Cin Liong dari barat. Jenderal Kao Cin Liong yang muda belia dan gagah perkasa ini telah berhasil menumpas pergolakan di barat. Jenderal muda ini disambut dengan upacara kebesaran ketika menghadap Kaisar dan menceritakan atau melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Kaisar yang mendengarkan dengan girang.

Kaisar menghujani jenderal muda dengan hadiah dan pujian, akan tetapi di dalam pertemuan yang dihadiri pula oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti dan Pangeran Kian Liong, Kaisar menyatakan rasa penasaran dan tidak puasnya dengan hilangnya pusaka istana Koai-liong Pokiam yang lenyap dicuri orang itu. Pasukan yang dikirim dari istana untuk menyelidiki hilangnya pedang pusaka ini ternyata telah mengalami kegagalan.

“Kiranya tidak ada orang lain kecuali Kao-goanswe (Jenderal Kao) yang akan dapat menemukan kembali pedang pusaka itu,” kata Kaisar antara lain, dan lalu melanjutkan. “Pedang itu sendiri tidaklah sangat penting dan istana masih mempunyai banyak pedang pusaka yang lebih baik lagi. Akan tetapi, hal ini menyangkut kehormatan istana. Sungguh memalukan sekali kalau sampai pemerintah tidak berdaya menghadapi seorang pencuri saja dan tidak dapat merampas kembali pedang yang dicuri. Lalu bagaimana akan kata dunia kang-ouw terhadap kebesaran istana sehingga para pengawal dan ponggawanya tidak mampu menangkap seorang maling saja?”

Jenderal Muda Kao Cin Liong menyatakan kesanggupannya dan baru setelah mereka semua kembali ke rumah gedung tempat tinggal jenderal muda itu, Pangeran Kian Liong yang ikut pula berkunjung ke situ mengajak mereka semua berunding. Dari Wan Tek Hoat, Pangeran ini telah mendengar tentang pedang Koai-liong-kiam. Di depan Kaisar, Pangeran itu memang tidak mengatakan sesuatu, karena tentu Kaisar akan marah sekali dan mungkin akan mengirim pasukan ke Lembah Suling Emas untuk merampas kembali pedang itu. Maka dia diam saja dan baru sekarang, dia menceritakan tentang pedang yang diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw itu, menceritakan kepada Cin Liong dan ayah bundanya, seperti yang didengarnya dari Tek Hoat.

“Menurut ceritanya itu, jelaslah bahwa pedang Koai-liong-kiam yang telah menjadi pusaka istana itu dahulunya adalah milik keluarga Cu di Lembah Suling Emas,” kata Kao Cin Liong. “Betapa pun juga, perintah Kaisar harus ditaati, dan pula, memang sudah belasan tahun pedang itu menjadi pusaka istana, maka kita pun berhak untuk menuntutnya dan untuk itu, tak perlu mempergunakan pasukan. Pangeran, hamba akan berangkat sendiri tanpa pasukan, karena menghadapi keluarga yang menurut cerita Paman Wan Tek Hoat kepada Paduka itu adalah keluarga sakti yang menyembunyikan diri, sebaiknya diambil jalan menurut kebiasaan kang-ouw, bukan dengan serbuan pasukan tentara.”

Sang Pangeran mengerutkan alisnya. “Tetapi, apakah tidak akan terlalu berbahaya? Perjalanan ke tempat itu, yang berada di Pegunungan Himalaya, amatlah jauhnya dan sukar sekali. Pula, menurut Paman Wan Tek Hoat, ilmu kepandaian keluarga Cu itu sungguh amat hebat, bahkan katanya jauh lebih hebat dari pada tingkat kepandaian Paman Wan Tek Hoat sendiri.”

“Memang berbahaya, akan tetapi itulah pekerjaan seorang pendekar, Pangeran,” kata Kao Kok Cu dengan tenang. “Dan kami berdua akan menemani Liong-ji (Anak Liong) untuk mencari pedang itu dan membawanya kembali ke istana.”

Mendengar ucapan itu, bukan main girangnya hati Pangeran itu. Terasa lapang dadanya, karena kalau pendekar itu bersama isterinya ikut, maka dia yakin bahwa pedang pusaka itu akan dapat didapatkan kembali dan dia tidak usah mengkhawatirkan keselamatan jenderal muda yang menjadi sahabat baiknya itu. Dia tertawa dan bangkit berdiri. “Kalau begitu, saya tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi.” Pangeran itu lalu kembali ke istana di mana telah menanti dua orang muda kembar yang masih ada hubungan keluarga dengan dia, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong.

Sementara itu, setelah Sang Pangeran kembali ke istana dikawal oleh pengawal-pengawalnya, barulah Kao Kok Cu dan isterinya mempunyai kesempatan untuk bicara secara bebas dengan putera mereka. Suami isteri ini merasa bangga sekali melihat betapa putera mereka kembali dari tugas ke barat dan mendapatkan sambutan yang meriah dari Kaisar. Mereka bertiga kini pesta sendiri dengan suasana santai dan bebas di ruangan gedung jenderal muda itu. Dalam kesempatan inilah suami isteri pendekar itu lalu bertanya kepada Cin Liong tentang Bu Siok Lan, gadis keluarga Bu itu.

Tentu saja Kao Cin Liong terkejut dan merasa heran bagaimana tiba-tiba orang tuanya bertanya tentang gadis itu. Dan melihat betapa ayah bundanya memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, tahulah dia bahwa mereka itu serius dan tentu telah terjadi sesuatu yang ada hubungannya dengan gadis itu, maka dia pun menjawabnya dengan terus terang.

“Ahh, Bu Siok Lan? Dia adalah puteri musuh, akan tetapi telah berjasa besar dalam usaha menyelamatkan pasukan yang terkepung di barat itu. Dan ibunya memang hebat, seorang Panglima Nepal yang tangguh sekali!”

Ayah bundanya mendengarkan dengan mata terbelalak heran ketika Cin Liong bercerita tentang usaha menyelamatkan pasukan yang terkepung itu dan betapa dia berhasil menyelundup ke markas musuh dan bahkan memperoleh kepercayaan dari Panglima Nandini, dan menjadi sahabat baik dari Bu Siok Lan, puteri panglima itu, sampai bagaimana akhirnya dia berhasil menyelamatkan pasukan dan mengalahkan musuh, menghancurkan siasat Panglima Nandini yang pandai itu.

“Nah, demikianlah ceritanya,” dia menutup kata-katanya. “Dan bagaimana Ayah dan Ibu dapat mengenal nama Bu Siok Lan? Apakah yang telah terjadi?” Kini dialah yang ingin sekali mendengar dari mereka tentang Siok Lan yang tak pernah dijumpainya semenjak mereka berpisah sebagai musuh.

“Jadi dia itu puteri Panglima Nepal? Sialan!” Wan Ceng mengepal tinjunya dan nampak marah sekali. “Ini penghinaan namanya!”

“Tenanglah, isteriku. Ingat bahwa ayahnya adalah Bu-taihiap, seorang pendekar besar yang pernah menyelamatkan Pangeran....”

“Tidak peduli ayahnya pendekar atau dewa sekali pun, ibunya adalah seorang Panglima Nepal, panglima musuh. Bagaimana mereka itu berani menemui kita dan bicara tentang perjodohan?” Nyonya itu berkata lagi dengan marah.

“Ayah, Ibu, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapakah mereka yang akan datang menemui Ayah Ibu dan bicara tentang perjodohan?” Cin Liong ingin sekali mendengar keterangan mereka.

Karena melihat isterinya marah-marah, Kao Kok Cu mewakili isterinya, memandang kepada puteranya dan bertanya, suaranya sungguh-sungguh, “Cin Liong, katakanlah, apakah ada hubungan cinta antara engkau dan Nona Bu Siok Lan itu?”

“Apa.... apa maksud Ayah....?” Cin Liong bertanya dengan heran.

“Mendengar penuturanmu tadi, jelaslah bahwa antara kau dan dia terdapat hubungan persahabatan, sungguh pun hubungan di pihakmu itu terjadi sebagai siasatmu untuk menyelamatkan pasukanmu yang terkepung. Akan tetapi di samping itu, apakah engkau jatuh cinta kepada gadis itu?”

Cin Liong mengerutkan alisnya dan membayangkan keadaan yang lalu ketika ia masih menjadi sahabat Siok Lan dan juga Ci Sian. Cintakah dia kepada Siok Lan? Terbayang wajah Ci Sian dan dia lalu menjawab tenang, “Tidak, Ayah! Aku memang suka padanya karena dia seorang gadis yang amat baik, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku cinta padanya.”

“Nah, apa kataku? Mereka itu tidak tahu malu!” Wan Ceng berkata lagi.

“Mengapakah mereka, Ibu?” Cin Liong bertanya.

“Keluarga yang tak tahu malu itu pernah bertemu dengan Pangeran Kian Liong dan hanya karena mereka kebetulan menyelamatkan Sang Pangeran maka mereka itu telah minta kepada Pangeran untuk menjadi perantara bagi mereka untuk memberitahukan kami bahwa mereka itu secara tak tahu malu sekali hendak mengikatkan perjodohan antara anak perempuan mereka itu denganmu!”

“Ahhh....!” Cin Liong terkejut juga mendengar berita ini. Tak pernah disangkanya bahwa Panglima Nandini, yang telah dikalahkannya, yang tentu malah mendendam kepadanya, kini malah hendak menjodohkan puterinya yang tunggal itu dengan dia!

“Kita harus menghadapi urusan ini dengan kepala dingin,” Kao Kok Cu berkata, sambil memandang kepada isterinya yang masih cemberut. “Jadi sudah jelas bahwa antara engkau dan gadis itu tidak ada hubungan cinta, Cin Liong?”

“Tidak, Ayah.”

“Dan bagaimanakah pendapatmu tentang uluran tangan mengadakan ikatan jodoh ini? Ingat, urusan perjodohan adalah urusanmu sendiri, Cin Liong, maka engkaulah yang berhak untuk memutuskan sendiri. Apalagi dalam hal ini, kami sebagai Ayah Bundamu belum pernah melihat gadis itu dan tidak tahu bagaimana watak-wataknya, sebaliknya engkau malah sudah bersahabat dengan dia sehingga engkau tentu mengerti pula bagaimana keadaan dan wataknya. Nah, bagaimana pendapatmu?”

Pemuda yang sudah menjadi jenderal dan sudah terbiasa dengan hal-hal yang hebat-hebat, bahaya yang besar-besar, namun sekali ini, ditanya tentang perjodohan, dia tidak mampu menyembunyikan rasa malunya dan wajahnya menjadi merah sekali.

“Ayah.... Ibu.... terus terang saja, aku belum mempunyai pikiran tentang perjodohan....”

“Jadi, berarti engkau menolaknya?”

“Ya, begitulah. Bukan menolak karena Siok Lan bukan seorang gadis yang baik, tetapi karena aku belum mempunyai pikiran untuk menikah, Ayah.”

“Baiklah, kalau begitu, kami dapat memberi jawaban yang tegas kalau sampai keluarga itu datang menemui kami.”

Urusan itu tidak diusik lagi dan keluarga ini lalu melanjutkan makan siang, kemudian Kao Kok Cu dan isterinya beristirahat, demikian pula Cin Liong yang baru saja pulang dan masih merasa lelah. Mereka mengambil keputusan untuk pergi atau berangkat melakukan tugas baru mencari pedang pusaka itu tiga hari kemudian.

Akan tetapi pada keesokan harinya, lewat pagi menjelang siang, serombongan tamu datang mengunjungi rumah Jenderal Kao Cin Liong. Cin Liong keluar menyambut dan terkejutlah dia ketika melihat Siok Lan yang datang bersama laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, dan tiga orang wanita cantik, seorang di antaranya dikenalnya sebagai Panglima Nandini!

Dia sudah diceritakan oleh ibunya yang mendengarnya dari Pangeran Kian Liong bahwa ayah Bu Siok Lan yang terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu memiliki banyak isteri, dan Panglima Nandini, ibu Siok Lan adalah seorang di antara isteri-isterinya, entah isteri yang keberapa! Baru saja Cin Liong keluar, dia sudah disusul oleh ibunya dan ayahnya.

Melihat Puteri Nandini dan Siok Lan yang sudah dikenalnya, Cin Liong segera maju memberi hormat dan bersikap biasa sebagai kenalan, seolah-olah puteri atau panglima itu bukan merupakan bekas panglima musuhnya. “Ahh, kiranya Bibi dan Adik Siok Lan yang datang berkunjung. Selamat datang, dan siapakah Paman dan para Bibi yang lain ini?”

Semenjak tadi, dengan sepasang mata yang mencorong tajam itu Bu-taihiap sudah memandang kepada pihak tuan rumah dan dia kagum bukan main melihat pemuda yang gagah perkasa itu, juga dia sedikit terkejut kemudian kagum memandang pria berlengan satu itu. Tak perlu diperkenalkan lagi, dia dapat menduga siapa adanya pria berlengan satu itu.

“Ah, kalau mataku yang sudah mulai tua ini tidak salah lihat, agaknya kami sekeluarga berhadapan dengan pendekar sakti yang namanya menjulang tinggi di langit, Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu, benarkah dugaan saya?” kata Bu-taihiap sambil menjura dengan sikap hormat namun terbuka dan sederhana.

Melihat sikap dan mendengar ucapan ini saja, Kao Kok Cu sudah merasa tertarik sekali. Dia dapat mengenal orang yang sikapnya terbuka dan membayangkan pemandangan yang luas dan tajam.

Dia pun cepat membalas penghormatan orang dan menjawab. “Dan saudara yang perkasa tentulah pendekar yang dikenal dengan Bu-taihiap, bukan?”

“Ha-ha-ha, orang macam saya ini mana pantas disebut pendekar oleh Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

“Silakan, silakan masuk, biarlah kami mewakili putera kami untuk mempersilakan tamu masuk ke ruangan dalam untuk bicara,” kata Kao Kok Cu, merasa tidak enak melihat betapa isterinya menerima kedatangan rombongan tamu itu dengan sikap cemberut dan muram.

“Terima kasih, akan tetapi biarlah saya memperkenalkan dulu keluarga kami. Memang benar bahwa saya adalah Bu Seng Kin, ayah Bu Siok Lan puteri kami yang telah dikenal oleh putera Taihiap. Dan dia adalah Puteri Nandini Ibu dari Siok Lan, yang ini adalah Tang Cun Ciu, dan dia itu adalah Gu Cui Bi. Mereka bertiga adalah isteri-isteri saya.” Tanpa sungkan-sungkian atau malu-malu, pendekar she Bu itu memperkenalkan isteri-isterinya yang cantik.

Terpaksa Wan Ceng membalas pengbormatan mereka, tetapi dia tetap mengerutkan alisnya dan cemberut. Akan tetapi karena suaminya telah mempersilakan mereka, maka terpaksa Wan Ceng mendahului mereka menuju ke ruang tamu di mana para tamu itu dipersilakan duduk.

Setelah mereka semua duduk di ruangan yang cukup luas itu, Kao Kok Cu yang maklum bahwa pertemuan ini tidak akan membawa kegembiraan bagi kedua pihak, tidak mau membuang banyak waktu lagi dan segera dia membuka kata-kata dengan suara tenang dan halus, “Kami sekeluarga mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada keluarga Bu yang telah datang mengunjungi kami. Mengingat bahwa hubungan antara kedua pihak hanya pernah dilakukan oleh putera kami Kao Cin Liong dengan puteri Cu-wi dan ibunya, maka apakah kunjungan ini hanya karena perkenalan itu ataukah ada keperluan lain?”

Bu Seng Kin tersenyum dan memandang kagum. Begitu bertemu, dia pun merasa suka dan kagum kepada pendekar berlengan satu itu, yang dilihatnya sebagai seorang yang benar-benar gagah, tidak berliku-liku dan bersikap jantan tanpa sungkan-sungkan. Dia menarik napas panjang.

“Kao-taihiap, maafkanlah kedatangan kami kalau kami mengganggu. Namun sebelum saya mewakili keluarga mengemukakan apa yang menjadi keperluan kunjungan kami, terlebih dahulu saya ingin bertanya apakah Taihiap sekalian telah mendengar sesuatu tentang keluarga kami dari Pangeran Mahkota Kian Liong?”

Si Naga Gurun Pasir mengangguk. “Benar, kami sudah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan beliau telah menyampaikan keinginan Bu-taihiap sekeluarga untuk dapat mengadakan ikatan jodoh antara anak-anak kita.”

Mendengar ini, Bu Siok Lan mengerling ke arah Cin Liong, akan tetapi pemuda itu menundukkan kepalanya dengan alis berkerut. Dapat dibayangkan betapa tidak enak rasa hati pemuda ini. Ia akan lebih suka dihadapkan dengan musuh-musuh yang ganas dari pada sekarang ini, di mana dia menghadapi hal yang tidak amat enak. Dia dapat menduga bahwa Siok Lan jatuh cinta kepadanya, dan agaknya keluarga Siok Lan telah mengambil keputusan untuk mengikatkan perjodohan antara dia dan Siok Lan. Kalau pihak wanita sudah mengemukakan keinginan seperti itu, dan pihak pria menolaknya, dan hal itu terpaksa harus dilakukannya karena dia tidak jatuh cinta kepada Siok Lan, maka tentu akan menimbulkan perasaan ditolak dan hal ini dapat mengakibatkan rasa terhina di pihak si wanita.

“Ah, Kao-taihiap telah bersikap terus terang dan terbuka, sungguh melegakan hati kami. Memang benar demikian, Taihiap. Saya sendiri baru sekarang berkesempatan melihat putera Taihiap yang gagah perkasa, akan tetapi Siok Lan dan Ibunya telah memperoleh kehormatan untuk bertemu dan berkenalan dengan putera Taihiap untuk mengikatkan perjodohan antara puteri kami Siok Lan dan putera Taihiap. Dan untuk membicarakan keinginan kami itulah maka sekarang kami sekeluarga datang bertemu dengan Taihiap sekeluarga.”

Bagi Kao Kok Cu, tugas menjadi wakil pembicara keluarganya ini pun tidaklah ringan. Dia juga merasakan, seperti juga puteranya, betapa tidak enaknya suasana saat itu. Akan tetapi sebelumnya dia sudah membicarakan urusan itu dengan isterinya dan puteranya, maka kini tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjawab dengan suara tenang namun tegas, “Harap Bu-taihiap sekeluarga suka memaafkan kami kalau kami terpaksa memberi jawaban yang tidak sesuai dengan harapan Cu-wi (Anda Sekalian). Setelah kami mendengar dari Pangeran Mahkota, kami bertiga telah membicarakan hal itu dan kami telah mengambil keputusan bahwa pada waktu ini, putera kami Kao Cin Liong belum mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri dalam perjodohan dengan siapa pun juga.”

Jawaban itu sungguh mengejutkan keluarga Bu dan kini Bu Seng Kin dan dua orang isterinya yang lain semua memandang pada Nandini dan puterinya, Siok Lan. Bukankah Nandini dan Siok Lan telah mengatakan, bahwa ‘ada apa-apa’ antara jenderal muda itu dan Siok Lan. Bukankah pinangan atau usul perjodohan ini sudah pasti akan diterima? Maka, penolakan halus ini sungguh di luar dugaan mereka dan amat mengejutkan. Apalagi Bu-taihiap yang merasa terpukul sekali, wajahnya menjadi pucat ketika dia menoleh kepada isterinya, Nandini.

Siok Lan sendiri mengangkat muka dengan kaget dan memandang kepada Cin Liong, tetapi pemuda itu bersikap tenang saja. Puteri Nandini yang merasa terpukul, terhina dan malu, lalu bangkit berdiri dan menegur Cin Liong, “Kao Cin Liong apakah engkau hendak mempermainkan Anakku?”

Mendengar kata-kata keras ini dan melihat sikap Nandini yang bangkit berdiri, Wan Ceng tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan dia pun bangkit berdiri. “Beginikah sikap seorang tamu yang baik? Ataukah tamu kami ini hanya seorang yang tidak tahu aturan dan liar?”

Dua orang wanita itu saling pandang dengan sinar mata berapi. Nandini lalu berkata lagi, ditujukan kepada Wan Ceng, dan karena memang dia itu seorang yang biasa memimpin pasukan dan tidak biasa bersikap sopan-santun, dia berkata dengan lantang dan sejujurnya, “Puteramu telah saling mencinta dengan puteriku, akan tetapi sekarang dia menolak puteriku dengan dalih belum ingin mengikatkan diri dalam perjodohan, bukankah itu bararti puteramu hendak mempermainkan puteriku?”

“Siapa mencinta puterimu?” Wan Ceng semakin marah. “Kalau anakku bersikap baik kepada kalian, apakah itu berarti dia mencinta puterimu?”

“Siok Lan!” Nandini yang sudah marah itu membentak puterinya. “Apa artinya ini? Kau bilang bahwa kalian sudah saling mencinta!”

Dapat dibayangkan betapa perihnya hati seorang gadis dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi, dengan muka pucat dia memandang kepada Cin Liong dan menjawab. “Aku memang cinta kepadanya, Ibu, dan.... aku yakin dia pun cinta padaku....”

“Cin Liong, aku percaya engkau cukup gagah untuk berkata sejujurnya dan memberi penjeiasan tentang hal ini,” terdengar Kao Kok Cu berkata kepada puteranya, suaranya tegas penuh wibawa.

“Aku tidak pernah mencintanya dan tidak pernah menyatakan cinta kepada Adik Siok Lan!” kata Jenderal Muda itu, suaranya juga tegas dan lantang sambil matanya menatap ke arah gadis itu, sehingga tidak dapat disangsikan lagi kebenarannya.

Dengan suara gemetar Nandini berseru, “Siok Lan....?”

Gadis itu menundukkan mukanya dan beberapa butir air mata menuruni pipinya. Dapat dibayangkan betapa hancur hati seorang dara menghadapi semua itu, di mana seorang pemuda yang dicintanya terang-terangan menyatakan bahwa tidak mencinta dirinya! Padahal tadinya dia sudah begitu yakin!

“Dia memang tak pernah menyatakan cinta, akan tetapi.... suaranya, pandang matanya, senyumnya..... ahhh, Ibu, bunuh saja aku....!” Dan dia pun menangis!

Wan Ceng sekarang merasa menang dan dia pun menjadi penasaran sekali. “Hemm, sungguh tidak tahu diri! Mana mungkin puteraku bisa jatuh cinta kepada anak seorang panglima pasukan musuh? Dan bagaimana pun juga, aku tidak sudi menjadi besan seorang Panglima Pasukan Nepal!”

“Jaga mulutmu!” Nandini membentak. “Jangan mencampurkan urusan jodoh dengan kedudukan!”

“Huh, kau mau apa? Kau kira aku takut kepadamu?” Wan Ceng menantang.

Kedua orang wanita itu sudah saling pandang bagaikan dua ekor singa betina yang memperebutkan anak mereka, akan tetapi pada saat itu, Kao Kok Cu sudah memegang lengan isterinya dan berbisik, “Tenanglah, mereka adalah tamu-tamu yang harus kita hormati.”

Sementara itu, Bu-taihiap juga melerai dan berkata kepada isterinya, “Hushhh, diamlah, kita adalah tamu-tamu dan pula penolakan pinangan adalah hal wajar, mengapa harus ribut-ribut?” Kemudian, pendekar ini dengan muka merah sekali menghadapi Kao Kok Cu, memberi hormat dan berkata, “Harap Kao-taihiap suka memaafkan kami yang tidak tahu diri. Memang tadinya kami sudah berpendapat bahwa tidak mungkin orang seperti Naga Sakti Gurun Pasir mau berbesan dengan kami yang bodoh. Maafkanlah dan kami mohon diri.”

Kao Kok Cu merasa tidak enak sekali. Dia pun balas memberi hormat dan berkata, “Harap Bu-taihiap tidak terlalu merendahkan diri. Taihiap juga tahu bahwa urusan jodoh adalah urusan anak-anak, dan kalau mereka tidak mau, tidak mungkin dipaksakan.”

“Kami mengerti, selamat tinggal.”

“Selamat jalan!”

Bu-taihiap bersama tiga orang isterinya dan Siok Lan yang ditarik oleh ibunya, pergi dari rumah itu dengan muka merah dan diam-diam Kao Kok Cu yang mengantar sampai ke depan itu maklum bahwa tanpa dapat dicegah lagi, tentu timbul semacam dendam antara keluarga Bu dan keluarga Kao, sungguh pun hal itu bukan karena kesalahan pihak keluarga Kao. Betapa pun juga, keluarga Bu tentu merasa terhina oleh peristiwa ini.

Dua hari kemudian, Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan putera mereka, Jenderal Kao Cin Liong, berangkat meninggalkan kota raja untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar, yaitu mencari dan merampas kembali Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) yang telah lenyap dicuri orang dari gudang pusaka istana beberapa tahun yang lalu…..

********************
“Bu-koko, sebaiknya jika engkau menanti dulu di sini, biarlah aku yang lebih dulu masuk menemui kakek. Setelah aku bicara dengannya, barulah aku akan memanggilmu. Hal ini untuk melancarkan pembicaraan antara kakek dan aku.”

Mendengar kata-kata Yu Hwi ini, Cu Kang Bu mengangguk dan dia menyentuh lengan kekasihnya. “Mudah-mudahan segalanya akan berjalan baik, Hwi-moi.” Dia tahu bahwa Yu Hwi menghadapi persoalan yang cukup menegangkan dan tidak enak bagi gadis itu yang terpaksa harus membicarakan tentang keputusan untuk membatalkan ikatan jodoh antara dia dan Kam Hong, yang berarti tentu saja menentang keputusan yang telah diambil oleh kakeknya, yaitu Sai-cu Kai-ong.

Matahari telah naik tinggi dan pemandangan di Puncak Bukit Nelayan itu indah sekali. Akan tetapi, rumah besar yang seperti istana kuno itu nampak sunyi sekali, sesunyi puncak-puncak lain di Pegunungan Tai-hang-san itu. Berdebar rasa jantung Yu Hwi ketika dia membuka pintu gerbang yang tidak terkunci itu. Tempat yang terlalu besar untuk kakeknya yang agaknya kini hanya dapat menyendiri saja di tempat ini, apalagi kalau tempat itu nampak kosong seperti itu, menjadi amat menyeramkan, seperti rumah kediaman para iblis dan siluman.

Tiba-tiba terdengar suara halus yang terdengar dari jauh di dalam gelap itu, akan tetapi terdengar jelas oleh Yu Hwi, “Siapa di luar....? Harap jangan mengganggu aku seorang tua yang sudah tidak ingin berurusan dengan siapa pun....!”

Mendengar suara ini, Yu Hwi berseru girang. “Kongkong...., ini aku, Yu Hwi yang datang....”

Hening sejenak, seolah-olah suara Yu Hwi itu mengejutkan pendengarannya, sampai lenyap gema suara gadis itu. Yu Hwi berdiri di ruangan depan yang luas, menanti sejenak dan dari dalam nampaklah seorang kakek yang pakaiannya sederhana, tubuh itu masih tinggi tegap dan gagah akan tetapi mukanya kelihatan amat tua dan tidak bersemangat, muka dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek! Mereka berhadapan dan saling pandang, kemudian Yu Hwi menjatuhkan diri berlutut.

“Kongkong....!”

“Yu Hwi.... engkaukah....? Benarkah engkau yang datang?”

Kakek itu mengejap-ngejapkan kedua matanya memandang wajah yang menengadah itu. Selama bertahun-tahun dia terus mengharap-harap kedatangan cucunya ini, bahkan kemudian pergi merantau bertahun-tahun mencarinya, sampai akhirnya membawanya ke Pegunungan Himalaya, namun semua usahanya sia-sia belaka dan akhirnya, semua harapan itu memudar dan setelah dia merasa bahwa tubuhnya telah terlalu tua dan sahabatnya, yaitu Sin-siauw Sengjin yang pada tahun-tahun terakhir bertapa di sebuah puncak berdekatan dengan puncak Nelayan di mana dia berada itu meninggal dunia, kakek ini tak lagi pergi mencari Yu Hwi, bahkan tak lagi mengharapkan kedatangannya. Dia mengira bahwa cucunya itu telah tiada lagi di dunia ini, dan harapannya melihat cucunya berjodoh dengan keturunan Suling Emas sudah membuyar.

Akan tetapi, pagi hari ini dia mendengar suara Yu Hwi dan bahkan kini dia berhadapan dengan cucunya itu! Dia masih mengenal wajah cantik itu dan keharuan yang amat sangat membuat kakek ini memejamkan mata dan menahan dua butir air mata yang hendak runtuh. Betapa pun juga, dia adalah bekas Raja Pengemis, seorang tokoh besar di dunia kang-ouw yang gagah perkasa, dan semenjak dia muda, menangis merupakan pantangan baginya. Namun, perjumpaan ini seolah-olah perjumpaan dengan seorang yang baru bangkit dari kematian, maka dia terkejut, heran, terharu dan girang sekali.

“Cucuku....!” Dia maju dan menyentuh kepala gadis itu.

“Kongkong...., ampunkanlah bahwa baru sekarang saya datang menghadap....!” Yu Hwi berkata dengan suara mengandung isak karena gadis ini pun merasa terharu sekali.

Semenjak kecil dia telah diculik dan dibawa pergi oleh orang yang kemudian menjadi gurunya yang tercinta, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling dan semenjak kecil dia terpisah dari kakeknya. Kemudian, setelah mereka saling bertemu kembali, ia melarikan diri ketika mendengar bahwa sejak kecil dia dijodohkan dengan Kam Hong! Dan sejak itu, kembali dia berpisah dari kakeknya dan baru sekarang mereka saling bertemu kembali.

“Yu Hwi.... Yu Hwi, ke mana sajakah engkau selama ini pergi? Betapa dengan susah payah aku mencari-carimu Yu Hwi....”

“Maaf, Kongkong, saya hanya mendatangkan banyak pusing dan susah saja kepada Kongkong selama ini.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Hemmm.... dan kedatanganmu ini pun hanya akan menimbulkan kecewa padaku, bukan?”

“Maaf... agaknya demikianlah... Kedatangan saya ini hanya untuk meresmikan putusnya pertalian jodoh yang Kong-kong adakan dahulu antara saya dengan Kam Hong.”

Akan tetapi ucapan itu sudah tidak lagi mendatangkan kekecewaan dalam hati kakek itu yang memang sudah tidak mengharapkan lagi dapat dilanjutkannya ikatan jodoh itu. Dia menarik napas panjang. “Sin-siauw Sengjin juga sudah meninggal dunia...., dia kiranya dapat memaafkan aku. Akan tetapi, pemutusan ikatan itu tidak mungkin dapat dilakukan sepihak saja, Yu Hwi, maka harus dibicarakan dengan yang bersangkutan, yaitu Kam Hong....”

“Hal itu sudah beres, Kongkong. Saya telah berjumpa dengan Kam Hong dan kami berdua sudah membicarakan tentang itu. Adalah Kam Hong yang menasehatkan agar saya datang kepadamu dan memberitahukan akan pemutusan ikatan itu agar resmi.”

Kakek itu mengangguk-angguk. Agaknya, kini sudah kehilangan kesungguhan hatinya tentang hal itu. “Sesukamulah.... sesukamulah...., tetapi kalau boleh aku mengetahui, kalau engkau masih menganggap aku sebagai Kakekmu, apakah sebabnya maka engkau memutuskan ikatan itu? Apakah tidak ada kecocokan antara engkau dengan Kam Hong....?”

“Sesungguhnya karena saya.... saya sudah menemukan calon suami saya sendiri, Kongkong.”

“Hemmm....”

“Bahkan dia pun mengantar saya menghadap Kongkong, tetapi saya suruh menanti di luar agar tidak mengejutkan hati Kongkong. Kalau Kongkong memperkenankan, saya akan memanggil dia masuk....” Yu Hwi memandang kepada kongkong-nya dengan ragu-ragu, lalu bangkit berdiri.

Untuk beberapa lamanya kakek itu memandang wajah cucunya. Harus diakui bahwa cucunya itu telah jauh lebih matang sekarang dan dia pun tahu bahwa bagi seorang wanita, cucunya itu telah lewat batas usia kepantasan untuk menikah dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada cucunya ini.

“Cukup, tahukah engkau berapa usiamu sekarang?”

Yu Hwi tersenyum. “Tentu saja, Kongkong. Antara dua puluh tujuh dan dua puluh delapan tahun.”

Sai-cu Kai-ong. menarik napas panjang. “Dan baru sekarang engkau menemukan calon suamimu? Berapa usia calon suamimu itu?”

“Dia sudah berusia tiga puluh tahun, Kongkong....,” jawab Yu Hwi.

Wajah kakek itu agak berseri mendengar ini. Setidaknya, cucunya memperoleh seorang calon suami yang sepadan usianya.

“Tentu saja aku ingin sekali berkenalan dengan calon cucu mantuku. Suruh dia masuk, Yu Hwi.”

Yu Hwi lalu membalikkan tubuhnya dan mengeluarkan kata-kata seperti sedang bicara dengan orang yang berdiri di depannya saja, perlahan-lahan dan biasa saja, “Bu-koko, Kongkong telah memperkenankan engkau masuk. Masuklah, Koko!”

Biar pun ucapan itu lirih saja, namun Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. Suaranya tadi mengandung getaran yang tinggi dan dengan getaran seperti itu, suara itu akan dapat dikirim sampai jauh. Itulah semacam Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang mengandalkan khikang yang amat kuat. Dia sendiri pun belum tentu sekuat itu!

Dan dari luar masuklah sesosok tubuh seorang pria yang membuat kakek itu kagum. Tubuh seorang pria yang tinggi besar seperti tokoh Kwan Kong dalam dongeng Sam Kok dan setelah pria muda itu tiba di depannya dan memberi hormat dengan sikap yang amat gagah, Sai-cu Kai-ong diam-diam merasa girang sekali. Keadaan pria ini sungguh merupakan obat yang mujarab untuk menghapus sama sekali sisa-sisa kekecewaan atas terputusnya tali perjodohan antara cucunya dengan Kam Hong. Pria ini sungguh tidak mengecewakan, bahkan mengagumkan. Begitu gagah perkasa dan jantan! Akan tetapi, di samping rasa puas ini pun dia merasa terkejut karena dia merasa seakan-akan pernah dia bertemu dengan pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini.

“Ehh.... rasanya.... aku pernah berjumpa dengan Sicu yang gagah ini....,” katanya sambil memandang wajah itu penuh selidik.

Pemuda perkasa itu segera menujura. “Tidak salah apa yang Locianpwe katakan. Kami sekeluarga di Lembah Suling Emas pernah menerima kehormatan dengan kunjungan Locianpwe beberapa tahun yang lalu.”

“Ahh, sekarang aku ingat....! Sicu adalah seorang di antara tiga saudara Cu yang sakti itu!”

Kembali Cu Kang Bu menjura. “Saya adalah Cu Kang Bu, saudara termuda dari Cu.”

Tentu saja Sai-cu Kai-ong menjadi terkejut, terheran dan juga diam-diam merasa girang sekali. Dia pernah menyaksikan kehebatan ilmu silat pemuda tinggi besar ini yang tidak kalah lihainya ketika melawan Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Pemuda seperti ini mungkin tak kalah dalam ilmu silatnya dibandingkan dengan keturunan Suling Emas, Kam Hong sekali pun! Gagal mempunyai cucu mantu seperti Kam Hong akan tetapi mendapatkan pengganti seperti ini tidaklah terlalu mengecewakan!

“Dan Cu-taihiap yang menjadi calon suami cucuku yang bodoh?”

Kang Bu adalah seorang pemuda yang jujur dan sederhana, maka disebut Taihiap itu dia cepat berkata, “Harap Locianpwe tidak menyebut Taihiap kepada saya karena keluarga kami sejak dahulu tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw. Tidak salah bahwa Hwi-moi dan saya telah bersepakat untuk menjadi suami isteri dan mohon doa restu dan ijin dari Locianpwe.”

Sai-cu Kai-ong tertawa gembira. “Ah, tentu saja! Sejak dahulu, bukankah Yu Hwi telah menentukan pilihannya sendiri? Yu Hwi, anak nakal, bagaimana engkau dapat bertemu dan bersahabat, hingga akhirnya berjodoh dengan Cu Kang Bu?”

“Kongkong, sesungguhnya Kang Bu Koko ini masih Susiok saya sendiri!”

“Susiok-mu? Engkau menjadi murid siapakah?”

“Cui-beng Sian-li Tan Cun Ciu adalah Subo saya....”

“Apa?! Orang yang sudah mengambil pedang pusaka dari istana itu?” Sai-cu Kai-ong menggeleng-gelengkan kepalanya.

Pantas saja cucunya menjadi demikian lihai, kiranya menjadi murid wanita yang sudah menggegerkan dunia kang-ouw ketika mencuri pedang pusaka dari gudang pusaka istana tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. “Sungguh nasibmu amat luar biasa, Cucuku. Sejak kecil sekali sudah menjadi murid seorang seperti Hek-sin Touw-ong, kemudian menjadi murid Cui-beng Sian-li, dan kini malah menjadi jodoh seorang seperti Cu Kang Bu!”

Yu Hwi lalu menceritakan kepada kongkong-nya segala hal yang telah dialaminya semenjak dia meninggalkan kakeknya itu dan juga tentang pertemuannya dengan Kam Hong. Setelah mendengarkan semua penuturan Yu Hwi, kakek itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang. Walau pun wajahnya masih memperlihatkan tanda bahwa dia merasa girang juga, kalau dia teringat betapa hubungan antara keluarga Kam dan keluarga Yu terjalin semenjak ratusan tahun yang lalu, dan kini, pada keturunan terakhir, dia gagal untuk mengikatkan perjodohan antara dua keluarga itu, hatinya terasa amat berduka.

“Kongkong, setelah kami berdua datang menghadap Kongkong, dan Kongkong dapat menyetujui ikatan jodoh antara kami, kami mohon agar Kongkong sudi bersama kami ke Lembah Suling Emas di mana kami akan meresmikan pernikahan kami dan agar Kongkong dapat memberi doa restu kepada kami!”

Kini kakek itu mengerutkan alisnya dan menjawab, “Sayang sekali, hal itu tidak mungkin aku lakukan, Yu Hwi. Tentu saja aku tidak keberatan kalau engkau berjodoh dengan Cu Kang Bu, akan tetapi aku sendiri tidak mungkin menghadiri pernikahan....”

“Kenapa, Kongkong?”

“Aku telah bersumpah untuk mengikatkan keluarga Kam dan keluarga Yu kita dalam ikatan perjodohan, namun aku telah gagal. Aku telah mengecewakan leluhur kita, bagai mana mungkin aku dapat menghadiri pernikahanmu dengan keluarga lain? Aku sudah tua dan aku akan tinggal di sini, mengasingkan diri sampai mati. Aku tidak akan keluar meninggalkan tempat ini, apa pun yang akan terjadi di luar. Nah, kalian kembaliiah ke barat dan jadilah suami isteri yang baik, tentu saja doa restuku menyertai kalian berdua.”

Jawaban ini menyedihkan hati Yu Hwi, akan tetapi karena semenjak kecil dia tidak bersama kakeknya, maka dia pun dapat menguasai hatinya. Maka untuk terakhir kalinya dia lalu berlutut di depan kakek itu untuk berpamit, diikuti pula oleh Cu Kang Bu karena kakek itu adalah calon kongkong-nya juga.

Melihat betapa dua orang itu berlutut di depannya, Sai-cu Kai-ong merasa tarharu juga. “Semoga Thian selalu melindungimu, Cucu-cucuku, Dan kalau kebetulan kalian bertemu dengan Kam Hong, katakanlah kepadanya bahwa sebelum aku mati aku ingin berjumpa dengannya, minta agar dia suka datang ke sini mengunjungiku.”

Demikianlah, setelah mendapat doa restu kakek itu, Yu Hwi dan Cu Kang Bu lalu meninggalkan Puncak Bukit Nelayan itu dan menuruni Pegunungan Tai-hang-san untuk kembali ke Lembah Suling Emas atau yang sekarang telah berubah namanya menjadi Lembah Naga Siluman. Mereka, termasuk juga Yu Hwi, tidak merasa bersedih, bahkan sebaliknya, mereka merasa gembira sekali karena mereka kini menuju pulang untuk segera melangsungkan pernikahan mereka! Mereka sudah mendapat persetujuan dan doa restu Sai-cu Kai-ong, bahwa ikatan jodah antara Yu Hwi dengan Kam Hong telah putus secara resmi. Tidak ada lagi yang menjadi penghalang atau ganjalan di antara mereka untuk dapat menikah dengan resmi.

Senang dan susah mirip ombak dalam samudera kehidupan, susul-menyusul dan datang silih berganti. Tangis dan tawa merupakan bumbu-bumbu kehidupan seperti masam dan manis dalam masakan. Selagi terbuai dalam kesenangan, kita tidak tahu bahwa kesusahan sudah berada di ambang pintu untuk mendapat giliran menguasai kita, menggantikan kesenangan yang terbang lalu tanpa meninggalkan bekas lagi.

Yu Hwi dan Kang Bu melakukan perjalanan menuju ke Lembah Naga Siluman dengan hati girang, bermesraan di sepanjang perjalanan, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat mereka melakukan perjalanan itu, terjadi sesuatu yang hebat di lembah itu. Apakah yang terjadi? Mari kita menengok keadaan lembah itu dan meninggalkan sepasang calon suami isteri, sepasang kekasih yang penuh kemesraan dan kebahagiaan itu…..

********************

Pada pagi yang cerah itu, Cu Pek In, gadis berusia delapan belas tahun yang selalu berpakaian pria, dengan rambut digelung ke atas dan ditutup sebuah topi pelajar itu, sedang berjalan pulang ke lembah dengan wajah riang. Dia baru saja kembali dari goa rahasia di mana Sim Hong Bu masih tekun ‘bertapa’ sambil menyempurnakan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Tidak ada orang yang mengetahui tempat rahasia itu kecuali keluarga Cu, bahkan selama Hong Bu bertapa di situ memperdalam ilmu pedang pusaka itu, tidak ada orang lain yang boleh masuk kecuali Pek In. Gadis inilah yang dalam waktu beberapa hari sekali datang menjenguk sambil membawakan bahan makanan untuk Hong Bu.

Pada pagi hari itu Pek In baru saja kembali dari kunjungannya kepada Hong Bu, pemuda yang dicintanya itu, dan karena sikap Hong Bu kepadanya cukup manis, maka hatinya gembira sekali pada pagi hari itu. Ia berjalan sambil kadang-kadang berloncatan dan bernyanyi-nyanyi gembira, lupa bahwa suara nyanyiannya ini sepenuhnya suara wanita, jauh berbeda dengan pakaiannya. Kalau dia tidak mengeluarkan suara, tentu dia akan disangka seorang pemuda yang amat tampan sekali. Sebagai seorang gadis, kecantikan Pek In biasa saja, tidak terlalu menonjol. Akan tetapi kalau dia dianggap pria karena pakaiannya, maka dia adalah seorang pria yang amat ganteng, dengan muka yang putih dan mata yang jeli dan menarik.

Sebagai puterti tunggal Cu Han Bu orang pertama dari keluarga Cu, tentu saja dara ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun, kini dia tidak tahu bahwa ada tiga pasang mata yang mengikuti gerak-geriknya dari jarak dekat! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian tiga orang yang membayanginya itu jauh lebih tinggi lagi dibandingkan dengan dia. Tiga orang ini baru melihatnya setelah dia berada di dekat lembah, dan memang sudah sejak kemarin tiga orang ini mengintai di lembah itu.

Tiga orang ini bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya. Mereka sudah tiba di pegunungan ini dan tahu bahwa Lembah Suling Emas yang dimaksudkan sebagai tempat tinggal keluarga Cu itu tentu di sekitar tempat ini. Akan tetapi mereka belum juga menemukan tempat itu, maka mereka kemudian menyembunyikan diri dan mengintai karena mereka merasa yakin bahwa pada suatu waktu tentu ada penghuni lembah yang keluar untuk suatu keperluan.

Sudah sehari semalam tiga orang sakti ini menanti dan akhirnya usaha mereka berhasil. Mereka melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dengan sikap gembira sekali. Keluarga Naga Sakti Gurun Pasir tentu saja dengan sekali pandang sudah tahu bahwa ‘pemuda’ yang berjalan seorang diri itu adalah seorang gadis. Mereka lalu membayangi dengan hati-hati. Mereka melihat bahwa dara yang berpakaian pria itu menuju ke tepi sebuah jurang yang amat lebar dan amat dalam, jurang yang pernah mereka datangi.

Ketika tiba di tepi jurang, seperti biasa Pek In menoleh ke kanan kiri dan belakang, setelah merasa yakin bahwa di tempat itu tidak terdapat orang lain, kemudian dia mengeluarkan suling emasnya dari balik bajunya dan meniup sulingnya. Terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan hati ketiga orang pengintai itu. Mereka maklum bahwa tiupan suling itu bukanlah tiupan biasa, melainkan tiupan seorang yang memiliki khikang yang kuat.

Tiga orang yang melakukan pengintaian itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan juga kekaguman ketika mereka melihat betapa dari dasar jurang itu kini nampak sehelai tambang yang cukup besar dan kuat, perlahan-lahan naik ke atas dan akhirnya melintang menyeberang jurang. Mengertilah mereka kini bahwa dara itu tadi mempergunakan suara suling untuk memberi tanda kepada orang-orang di seberang jurang yang tidak nampak, dan orang-orang itu telah menarik tambang yang merupakan jembatan dan jembatan tambang itu tadinya menjulur kendur ke bawah, tersembunyi kabut.

Memang benar dugaan mereka, karena sekarang dengan gerakan ringan sekali, dara berpakaian pria itu meloncat ke atas tambang itu dan berjalan di atas tali dengan gerakan yang lincah.

“Cepat, aku akan mendahuluinya dan kalian di belakangnya. Dia akan membawa kita ke seberang sana!” bisik Si Naga Sakti Gurun Pasir kepada isteri dan puteranya.

Wan Ceng dan Cin Liong mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar sakti itu, maka mereka mengangguk dan begitu pendekar itu berkelebat cepat meloncat ke depan, Wan Ceng dan Cin Liong juga meloncat dengan kecepatan kilat menuju ke tepi jurang. Bagaikan seekor burung saja, tubuh pendekar berlengan satu itu telah berada di atas tambang, dan gerakannya sedemikian ringannya sehingga Pek In yang berjalan di depan itu sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada orang yang mengikutinya.

“Nona, perlahan dulu!”

Ucapan itu mengejutkan Pek In dan dia menoleh sambil menunda langkahnya. Akan tetapi pada saat itu, orang yang tiba di belakangnya telah meloncat ke atas, melewati kepalanya dan tahu-tahu seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan berlengan satu telah berdiri di atas tambang di depannya!

Pek In memandang dengan mata terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang berani melakukan perbuatan yang amat berbahaya seperti itu, ialah meloncati atas kepalanya dan turun lagi ke atas tambang di depannya. Hanya seekor burung saja yang agaknya akan mampu melakukan hal itu! Akan tetapi, dia tidak sempat terheran-heran terlalu lama, karena tambang itu bergoyang di belakangnya dan ketika dia menengok, ternyata di belakangnya terdapat dua orang lain yang sudah berjalan di atas jembatan tambang itu. Dia telah dikepung dari depan dan belakang!

“Siapa kalian?! Mau apa kalian?” bentaknya, maklum bahwa dia tidak berdaya, dan bahwa para penjaga yang bertugas menarik dan mengendurkan tambang itu pun tidak berdaya karena kalau mereka itu mengendurkan tambang, bukan hanya tiga orang asing, itu yang akan terjerumus ke dalam jurang, akan tetapi dia juga karena dia berada di tengah-tengah antara mereka!

“Maaf, Nona. Kami hanya ingin agar Nona membawa kita ke seberang. Kami ingin bertemu dengan para penghuni Lembah Suling Emas!” kata Kao Kok Cu dan dia pun segera melangkah ke depan, mendahului gadis itu menyeberang.

Pek In tidak membantah karena tahu bahwa percuma saja membantah. Dia pun lalu melangkah ke depan, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya, “Tunggu dulu. Biarkan kami jalan lebih dulu!” Dan Pek In menghentikan langkahnya, menoleh.

Pada saat itu, nampak dua sosok tubuh melayang lewat dan seperti orang pertama dua orang itu pun melayang seperti burung terbang saja ke depannya melalui atas kepala dan kini mereka bertiga bersicepat mendahuluinya menyeberang! Tentu saja Pek In terkejut bukan main. Lembah itu telah didatangi oleh tiga orang yang kepandaiannya amat tinggi! Maka dia pun cepat menyeberang. Setelah dia menyeberang, dia memberi isyarat dengan tangannya dan para penjaga tambang lalu menurunkan lagi tambang itu sampai tidak nampak tertutup kabut yang bergantung di dalam jurang.

“Siapa kalian dan mau apa kalian memasuki tempat kami dengan paksa?” Pek In membentak setelah dia berhadapan dengan tiga orang itu. Dia memperhatikan mereka dan mendapat kenyataan bahwa selain orang pertama, yang buntung lengannya dan bersikap gagah tadi, juga wanita setengah tua dan pemuda yang berdiri di depannya itu membayangkan kegagahan yang mengagumkan.

“Nona, benarkah di sini yang dinamakan Lembah Suling Emas? Kami tidak sangsi lagi bahwa di sinilah Lembah itu, maka kami minta kepada Nona sukalah membawa kami bertemu dengan para penghuni lembah, yaitu keluarga Cu. Kami mempunyai keperluan yang penting untuk kami bicarakan dengan mereka.”

Sampai beberapa lamanya dara itu memandang kepada mereka dengan penuh selidik, kemudian tiba-tiba dia berkata sambil bertepuk tangan, “Aih, bukankah aku berhadapan dengan Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

Kao Kok Cu dan anak isterinya tertegun. Tak mereka sangka bahwa dara berpakaian pria ini memiliki pemandangan yang demikian tajamnya, dan sekali bertemu telah dapat mengenal mereka.

Dan memang Pek In dapat menduga siapa adanya mereka karena dara itu melanjutkan, “Dan kalau Paman ini Naga Sakti Gurun Pasir, tentu Bibi ini adalah isteri Paman dan dia ini tentulah Jenderal Kao Cin Liong, putera Paman!”

“Hemm, siapakah engkau, Nona? Dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?” Wan Ceng bertanya, sinar matanya tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah dara itu.

Cu Pek In tersenyum bangga. Memang dia memiliki pengetahuan yang amat luas tentang orang-orang kang-ouw yang belum pernah dilihatnya. Dia mendengar banyak keterangan dari ayah dan para pamannya, dan juga dari bibinya, Tang Cun Ciu. Dia pernah mendengar tentang Naga Gurun Pasir, dan cacad pada lengan yang buntung sebelah, maka ketika dia menyaksikan kehebatan kepandaian pria berlengan buntung itu, kemudian menyaksikan kelihaian wanita dan pemuda itu, tidak sukarlah baginya untuk menebak siapa adanya mereka. Apalagi dia pun sudah mendengar banyak tentang diri Jenderal Kao Cin Liong yang telah memperoleh kemenangan gemilang atas pasukan Nepal baru-baru ini.

“Namaku Cu Pek In dan kalau kalian hendak menjumpai Ayahku, marilah!”

Setelah berkata demikian, gadis yang lincah ini lalu berlari ke depan, meloncat dan menggunakan seluruh kepandaian ginkang-nya untuk berlari secepat mungkin. Tentu saja maksudnya untuk menguji kepandaian tiga orang ini. Dia memang memiliki ginkang yang hebat, maka larinya seperti terbang saja. Setelah lari cepat beberapa lamanya, dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya melihat bahwa tiga orang yang ditinggalkannya itu kini berada tepat di belakangnya, kelihatan berjalan seenaknya saja namun tak pernah tertinggal sedikit pun olehnya! Maka tahulah dia bahwa nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sekeluarganya bukan nama kosong belaka dan malah diam-diam dia merasa khawatir sekali karena dia belum tahu apa maksud kedatangan mereka, maksud bersahabat ataukah maksud bermusuh.

Dan pada saat itu, yang berada di dalam lembah hanyalah ayahnya dan Pamannya, Cu Seng Bu, sedangkan pamannya yang lain, Cu Kang Bu sedang pergi bersama Yu Hwi, juga Sim Hong Bu yang boleh diandalkan itu masih berada di dalam goa. Betapa pun juga, Pek In menenteramkan hatinya dengan penuh kepercayaan bahwa bagaimana saktinya pihak tamu, kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, dia percaya bahwa ayahnya dan pamannya yang kedua akan mampu menanggulanginya.

Lembah ini memang telah dilengkapi dengan alat-alat rahasia sehingga ketika Pek In membawa tiga orang tamunya itu sampai ke depan rumah besar keluarga Cu, maka dua orang gagah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, telah berada di situ menanti kedatangan mereka! Kiranya para penjaga yang tadi melihat kedatangan tiga orang yang setengah memaksa Pek In, diam-diam telah mengirim berita melalui alat rahasia sehingga sebelum gadis itu tiba bersama para tamu itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu telah mengetahui dan kini mereka telah menanti kedatangan Pek In di depan rumah.

Pek In mengerti bahwa tentu ayahnya telah mendengar dari para penjaga bahwa ada tamu yang amat lihai datang dengan cara memaksa Pek In, maka kini dia ingin mencoba ayah dan pamannya, dengan ucapan gembira, “Ayah, Paman, tahukah Ayah siapa yang datang sekali ini?”

Sejak tadi Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memang telah mencurahkan perhatian mereka kepada Kao Kok Cu dan diam-diam mereka terkejut sekali! Kalau ada pendekar yang amat tinggi kepandaiannya dan dia itu hanya berlengan satu, dengan isterinya yang cantik dan gagah penuh semangat, dan puteranya yang juga gagah perkasa dan memiliki mata seperti ayahnya, mata yang mencorong seperti mata naga, siapa lagi pendekar itu kalau bukan Si Naga Sakti Gurun Pasir yang hanya pernah mereka dengar namanya seperti dalam dongeng itu? Maka Cu Han Bu lalu menjura, diikuti oleh Cu Seng Bu yang juga sudah dapat menduga seperti kakaknya.

“Maaf, kalau dugaan kami keliru. Akan tetapi benarkah bahwa lembah kami yang buruk ini memperoleh kehormatan besar dengan kunjungan pendekar besar Si Naga Sakti Gurun Pasir beserta isteri dan puteranya?”

Kembali keluarga itu terkejut. Orang-orang lembah ini sungguh lihai. Naga Sakti Gurun Pasir boleh jadi amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak pernah keluar sehingga jarang ada yang mengenalnya, akan tetapi keluarga lembah ini sekali lihat telah dapat menebaknya dengan tepat.

Kao Kok Cu lalu balas menghormat dan berkata tenang. “Tidak salah dugaan itu, kami adalah keluarga Kao dan kami datang untuk bicara dengan majikan lembah.”

“Kami adalah keluarga Cu, pemilik lembah ini. Saya bernama Cu Han Bu dan dia adalah adik saya bernama Cu Seng Bu, dan dia itu adalah Cu Pek In, anak tunggal saya. Keluarga kami kebetulan hanya kami bertiga inilah yang saat ini berada di sini, oleh karena itu, Kao-taihiap sekeluarga silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan tamu.”

“Terima kasih.”

“Silakan!” Cu Han Bu mendahului para tamunya masuk, dan setelah tiga orang tamu itu mengikutinya, Cu Seng Bu dan Pek In lalu mengikuti pula dari belakang.

Yang disebut ruang tamu itu adalah sebuah ruangan yang amat luas dan di sinilah mereka dipersilakan duduk oleh pihak tuan rumah. Mereka berenam duduk mengelilingi sebuah meja besar.

Setelah memandang wajah Naga Sakti Gurun Pasir sejenak, akhirnya Cu Han Bu berkata, suaranya datar dan tegas, namun penuh hormat, “Kao-taihiap, setelah Taihiap sekeluarga berhadapan dengan kami, nah, silakan memberitahu keperluan apakah yang membawa Taihiap bertiga datang mengunjungi kami.”

Kao Kok Cu menarik napas panjang. Tugas yang dipikul bersama isteri dan puteranya itu sungguh bukan merupakan tugas yang enak di hati. Sudah menjadi peraturan umum yang tak tertulis di dunia kang-ouw bahwa orang yang telah dapat menguasai sebuah benda dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya, maka dia pun berhak menjadi pemilik benda itu. Akan tetapi, betapa pun juga, dia dan isterinya hanya membela puteranya yang mengabdi kepada Kaisar.

“Cu-taihiap, tiada lain kedatangan kami ini adalah untuk bicara dengan keluarga Cu tentang pedang Koai-liong-pokiam!”

Pada wajah Cun Han Bu dan Cu Seng Bu tidak nampak perubahan sesuatu, hanya Cu Pek In yang memandang dengan alis berkerut tanda bahwa hati dara ini merasa tidak senang. Cu Han Bu memandang tajam dan berkata, “Apakah Naga Sakti Gurun Pasir termasuk orang-orang yang hendak memperebutkan pedang pusaka itu seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang kang-ouw beberapa tahun yang lalu?” Pertanyaan ini merupakan serangan atau ejekan yang membuat Kao Kok Cu merasa agak bingung.

Akan tetapi dia ditolong oleh puteranya. Dengan suara lantang dan tegas Kao Cin Liong berkata, “Hendaknya Cu-lo-enghiong ketahui bahwa kami datang bukan atas nama pribadi, melainkan atas perintah Sri Baginda Kaisar. Saya adalah seorang panglima yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan kembali pedang Koai-liong-pokiam yang telah lenyap dicuri orang dari gedung pusaka istana beberapa tahun yang lalu. Dan Ayah Bunda saya hanya menemani saya dalam tugas ini.”

Ucapan itu tegas dan jelas. Dua orang saudara Cu itu saling pandang, dan sejenak mereka tidak dapat menjawab. Menghadapi orang-orang kang-ouw, mereka memang tidak usah merasa malu dan sungkan akan kenyataannya bahwa pedang itu dicuri oleh keluarga mereka, akan tetapi menghadapi utusan Kaisar lain lagi soalnya! Mereka bukan hanya dapat dituduh pencuri hina, akan tetapi bahkan juga sebagai pemberontak!

Kalau jenderal muda ini datang bersama pasukan besar, tentu mereka tidak dapat melawan dan terpaksa melarikan diri. Akan tetapi jenderal muda itu datang tanpa pasukan, hanya ditemani ayah bundanya, hal ini berarti bahwa mereka datang sebagai orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian sendiri, walau pun sebagai utusan Kaisar. Dan kedatangan orang gagah yang hendak merampas kembali pedang pusaka harus dihadapi dengan kegagahan pula, dengan kepandaian! Agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh jenderal muda itu, dan oleh karena itulah dia datang bersama ayah dan ibunya yang sakti.

Cu Han Bu mengangguk-angguk lalu berkata, “Tidak kami sangkal lagi bahwa pencuri pedang dari dalam gudang pusaka adalah seorang di antara keluarga kami. Akan tetapi hal itu hendaknya tidak dianggap sebagai pencurian, melainkan sebagai hak kami untuk mengambil kembali pedang pusaka keluarga kami yang dulu hilang. Pedang itu adalah buatan nenek moyang kami dan kami yang berhak atas pedang itu! Jadi, kami tidak merasa mencuri dari istana.”

“Hemm, kami tidak tahu dari mana asal pedang itu. Yang kami ketahui hanyalah bahwa pedang Koai-liong-pokiam itu berada di dalam gudang pusaka istana sebagai satu di antara benda-benda pusaka kerajaan. Tentang asal mulanya, seperti juga asal mula semua benda pusaka di istana, kami tidak tahu. Kenyataannya adalah bahwa pedang itu dicuri dari dalam gudang pusaka, dan untuk itulah kami datang, sebagai utusan Kaisar untuk mengambil kembali pedang itu. Kami harap keluarga Cu sadar akan hal ini dan suka mengembalikan pedang itu kepada kami, supaya memudahkan tugas kami sebagai utusan Kaisar.”

Jelaslah bahwa Cin Liong selalu mempergunakan nama Kaisar sebagai kesan bahwa dia sama sekali tidak berniat mencampuri urusan pedang pusaka dan hanya bertindak sebagai utusan, bukan mencampuri permusuhan atas nama pribadi. Dan ayahnya setuju dengan sikap puteranya, walau pun ibunya, Wan Ceng, bersungut-sungut dan menganggap puteranya itu terlalu merandahkan diri!

“Pedang itu kini tidak ada pada kami lagi,” kata Cu Han Bu dengan suara tenang.

Cin Liong memandang tajam penuh selidik dan penghuni lembah itu harus mengakui bahwa sinar mata pemuda itu membuat bulu tengkuknya meremang karena sepasang mata itu amat tajam dan mencorong.

“Cu-lo-enghiong, banyak tokoh kang-ouw menjadi saksi bahwa keluarga Cu berhasil mendapatkan pedang itu dari Yeti dan bahwa pencurinya dari istana adalah Cui-beng Sian-li yang menjadi keluarga di sini. Kalau pedang itu kini tidak ada pada keluarga Cu, lalu berada di mana?”

Cu Han Bu bangkit berdiri, alisnya berkerut. “Orang muda, engkau terlalu mendesak!”

Kao Cin Liong juga bangkit berdiri, sikapnya gagah. “Lo-enghiong, saya adalah utusan Kaisar, harap engkau orang tua tidak menyembunyikan di mana pedang itu kini.”

“Kalau aku tidak mau memberi tahu?”

“Kami akan menganggap bahwa engkau yang menyembunyikan pedang itu!”

“Hemm, pedang itu didapat dengan mengandalkan kepandaian dan karena pedang itu adalah milik keluarga kami, maka bagaimana pun juga harus kami pertahankan. Tapi, kami tidak ingin dianggap memberontak terhadap pemerintah. Nah, keluarga Kao, kami hanya mau memberitahukan di mana pedang itu sekarang berada....”

“Ayah....!” Pek In berseru akan tetapi ayahnya memberi isyarat dengan tangan agar puterinya itu duduk kembali yang segera ditaati oleh Pek In, akan tetapi dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Untuk mendapatkan keterangan dari kami, lebih dulu Sam-wi harus dapat mengalahkan keluarga Cu!”

“Bagus! Kenapa tidak dari tadi bicara begitu? Berliku-liku bukan sikap orang gagah!” bentak Wan Ceng yang sudah bangkit berdiri.

Akan tetapi Kao Kok Cu bersikap tenang, dan dia menyentuh lengan isterinya untuk menyabarkannya. Lalu ia menghadapi Cu Han Bu dengan suara yang terdengar tenang, sedikit pun tidak dipengaruhi amarah, namun terdengar penuh wibawa, “Saudara Cu Han Bu telah menyatakan kehendaknya. Kita bukan anak-anak kecil, juga bukan orang-orang yang suka mencari permusuhan. Kami datang untuk menemukan kembali pedang pusaka istana, dan Saudara Cu agaknya hendak mempertahankan pedang itu atau segan memberitahu di mana adanya pedang itu tanpa lebih dulu ditebus dengan adu ilmu. Nah, bagaimana syarat yang diajukan oleh kalian sebagai pihak tuan rumah?”

Cu Han Bu bersikap hati-hati sekali. Ketenangan Naga Sakti Gurun Pasir itu sedikit banyak mendatangkan rasa jeri di dalam hatinya, karena dia maklum bahwa seperti itulah sikap seorang pendekar sejati yang tidak ragu-ragu lagi akan kekuatan diri sendiri dan selalu bersikap tenang dalam menghadapi apa pun juga, tak lagi dapat dipengaruhi oleh rasa marah, rasa takut atau lain perasaan lagi, kokoh kuat seperti batu karang di tengah laut.

“Di pihak keluarga kami pada saat ini hanya ada saya dan Adik Cu Seng Bu. Kami berdua akan maju mewakili keluarga kami untuk menghadapi pihak utusan Kaisar,” kata Cu Han Bu, sengaja menggunakan sebutan utusan ‘Kaisar’ untuk menekankan bahwa mereka tidak menganggap keluarga Naga Sakti Gurun Pasir sebagai musuh-musuh pribadi.

“Hemm, dua lawan dua, itu sudah adil,” kata Cin Liong. “Saya dan Ayah akan maju menghadapi kalian. Akan tetapi bagaimana kalau di antara dua orang yang seorang kalah dan seorang lagi menang?”

“Yang menang akan saling berhadapan, sampai ada yang kalah,” sambung Cu Han Bu, tenang.

“Bagaimana kalau kami kalah?” tanya lagi Cin Liong.

Cu Han Bu tersenyum. “Kami tidak terlalu mengharapkan itu. Akan tetapi kalau pihak kami menang, kalian harus pergi dari sini dan bersumpah tidak akan mengganggu kami lagi dalam urusan pedang.”

“Tapi itu berarti mengabaikan perintah Kaisar!” Cin Liong berseru.

“Terserah! Tapi itulah perjanjian dalam adu ilmu ini, tentu saja kalau pihak kalian tidak keberatan.”

Cin Liong mengepal tinju. Kata ‘keberatan’ itu sama dengan ‘takut’!

“Baik.” jawabnya. “Kalau kami kalah, kami akan pergi dan kami bersumpah tidak akan mengganggu kalian dalam urusan pedang, dan aku sendiri akan mengundurkan diri dari kedudukanku di istana karena berarti tidak mampu melaksanakan perintah Kaisar!”

“Cin Liong....!” Wan Ceng berseru kaget, akan tetapi suaminya kembali menyentuh lengannya.

“Ucapan Liong-ji cukup tepat sebagai seorang gagah,” katanya tenang.

“Dan bagaimana kalau kalian yang kalah?” Cin Liong kini balas mendesak.

Cu Han Bu tidak tersenyum, melainkan memandang tajam. “Kalau kami yang kalah, kami akan memberitahukan di mana adanya pedang itu dan di samping itu, kami berdua akan menggunduli kepala dan mengasingkan diri, menghabiskan sisa hidup sebagai hwesio.”

“Ayah....!” Pek In berseru kaget, mukanya pucat.

“Pek In, seorang laki-laki harus mempunyai harga diri. Tadi Jenderal Muda Kao telah mempertaruhkan kedudukannya yang tinggi, maka keputusan itu patut dihormati dan diimbangi dengan keputusan kami mempertaruhkan keputusan kami pula. Dan, kalah dalam tangan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir merupakan kekalahan yang terhormat. Keputusanku tidak dapat dirubah pula.”

“Aku setuju dengan keputusan yang diambil Bu-twako,” sambung Cu Seng Bu yang memang sebelum mereka menghadapi keluarga Naga Sakti Gurun Pasir itu telah berunding dengan kakaknya dan keduanya mengambil keputusan ini.

“Baik sekali. Nah, kita boleh mulai,” kata Kao Kok Cu dengan tenang dan ia pun bangkit berdiri, siap untuk bertanding.

Akan tetapi Cin Liong sudah maju ke depan ayahnya. “Tidak, Ayah. Biarkan aku maju lebih dulu.”

Melihat ini, Kao Kok Cu tersenyum dan duduk kembali. Dia percaya penuh kepada puteranya yang telah mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya dan dia tahu bahwa biar pun masih muda, namun Cin Liong bukan orang yang sembrono, bahkan sudah banyak pengalamannya dalam menghadapi lawan yang pandai pada saat menjalankan tugas-tugas sebagai seorang panglima perang.

Kao Cin Liong sudah melangkah maju ke tengah ruangan di mana telah menanti Cu Seng Bu yang maju lebih dulu mewakili keluarga Cu.

Cu Seng Bu berdiri tegak dan menatap calon lawannya itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu masih muda sekali, paling banyak sembilan belas tahun atau dua puluh tahun usianya, dia berpikir. Biar pun pemuda itu putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dalam usia semuda itu, mana mungkin memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi? Rasanya mustahil kalau dia sampai kalah oleh seorang yang baru saja dewasa.

Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah. Sim Hong Bu, muridnya dan murid kakaknya juga sebaya dengan pemuda ini, dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian Sim Hong Bu akan melampaui dia kalau pemuda itu sudah dapat menguasai Koat-liong Kiam-sut secara sempurna.

Cu Seng Bu berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan). Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia tentu seorang ahli ginkang yang hebat, sehingga saking cepatnya dia bergerak, saking ringan tubuhnya, maka dia mendapat julukan itu, karena seolah-olah dia dapat berkelebat tanpa nampak bayangannya saking cepatnya. Oleh karena itu, dia menanti datangnya Cin Liong tanpa mencabut pedangnya, karena dia percaya bahwa dengan kecepatan gerakannya, dia akan mampu mengalahkan pemuda itu.

Kini mereka sudah berdiri, saling berhadapan dengan sinar mata saling pandang, saling menilai dan menyelidik.

“Kao-goanswe, kau majulah!” Cu Seng Bu menantang. “Engkau adalah tamu, maka silakan mulai lebih dahulu!”

Cin Liong tersenyum. Dia tahu bahwa dalam ilmu silat yang sudah tinggi tingkatnya, siapa maju menyerang lebih dulu berada di pihak yang lebih lemah. “Cu-lo-enghiong, pihakmulah yang menantang, maka silakan mulai lebih dulu, aku menanti,” katanya.

“Hemm, pemuda ini cukup tenang, sikap yang mengkhawatirkan dan berbahaya.” Cu Seng Bu pun tidak mau membuang waktu lagi, diam-diam dia mengerahkan semua tenaganya dan berseru nyaring, “Jaga seranganku!”

Belum juga habis ucapan itu keluar dari mulutnya, tubuhnya telah melesat ke depan dengan kecepatan yang mengejutkan dan tahu-tahu tangan kanannya yang membentuk paruh garuda yang runcing melengkung itu telah mematuk ke arah leher Cin Liong. Kecepatan itu amat mengejutkan, dan tenaga yang terkandung dalam serangan itu pun dahsyat bukan main.

Akan tetapi Cin Liong memiliki ketenangan ayahnya dan ketabahan ibunya. Dia menghadapi serangan dahsyat itu dengan mata tanpa berkedip, dan cepat namun tenang sekali dia sudah menggeser kaki ke kiri, mengelak dan mencari lubang pada lawan.

Akan tetapi, sungguh hebat lawannya itu karena begitu melihat serangannya gagal, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas serangan, Cu Seng Bu sudah merubah serangannya. Sekarang dari samping dia menubruk lagi, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, sedangkan tangan kanan tetap merupakan paruh garuda menotok ke arah pusar!

Gerakannya mirip dengan seekor burung garuda yang mencakar dan mematuk, akan tetapi berbeda dengan ilmu silat garuda yang lajim, terutama sekali gerakan kakinya yang berbeda, sedangkan tubuhnya meliuk seperti tubuh ular atau seperti leher bangau. Dan yang amat berbahaya adalah kecepatannya itulah. Dari serangan gagal tadi dia dapat melanjutkan serangan ke samping, ini menunjukkan bahwa orang itu selain ahli ginkang juga sudah menguasai setiap gerakannya dengan sempurna.

Namun Cin Liong tidak mau didesak. Dia mengelak ke bawah untuk menghindarkan cengkeraman pada ubun-ubun kepala dan dengan tangan kiri dia menangkis totokan pada pusarnya. Sedangkan tangan kanannya, pada saat itu juga, selagi tubuhnya merendah, sudah menghantam ke arah lutut kaki kiri lawan dengan tangan miring, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan kalau dia menggunakan golok membacok kaki itu, dan kalau mengenai sasaran, tentu sedikitnya sambungan lutut itu akan terlepas kalau tidak tulangnya remuk sama sekali.

Namun, Cu Seng Bu sungguh memiliki gerakan yang cepat bukan main karena tiba-tiba saja tubuhnya sudah melesat ke atas seperti burung terbang saja. Akan tetapi sungguh tidak diduganya bahwa pemuda itu pun memiliki kecepatan yang hebat karena melihat lawannya mencelat ke atas, Cin Liong juga meloncat mengejar dan mengirim pukulan dengan dahsyat dengan tangan terbuka. Pada saat itu, Cu Seng Bu juga menyambut lawan dengan tendangan tumit kakinya. Tak dapat dihindarkan lagi, tangan dan kaki itu saling bertemu selagi tubuh mereka masih di udara.

“Dessss....!”

Keduanya terpental dan keduanya dapat turun ke atas lantai dengan baiknya. Dan masing-masing merasakan getaran yang cukup hebat akibat benturan itu.

“Haiiittttt....!”

Cu Seng Bu sudah menyerang lagi, gerakannya indah, tangan kirinya terbuka melingkar ke depan merupakan serangan gertakan, tetapi yang sungguh-sungguh menyerang adalah tangan kanannya yang mencuat dari bawah lengan kiri itu, dan langsung menghantam ke arah dada lawan dari bawah dengan kecepatan luar biasa dan tenaga dahsyat. Itulah jurus yang disebut Hio-te-hoan-hwa (Mencari Bunga di Bawah Daun).

Cin Liong maklum bahwa jurus itu mempunyai banyak sekali perubahan, maka dia pun mengelak dengan menggeser kaki kiri ke belakang. Benar saja dugaannya, lawannya tiba-tiba telah merubah gerakan, tubuhnya merendah dan dari bawah kedua tangan itu menyambar bergantian ke atas, menyerang pusar dan perut, kemudian disambung dengan tendangan sambil bangkit berdiri, tendangan yang amat kuat mengarah pada dagunya! Itulah jurus Hai-ti-lauw-goat (Menyelam Laut Mencari Bulan)!

Cin Liong lalu menangkis sambil berloncatan dan selanjutnya dia pun membalas dengan jurus-jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu silat istimewa dari ayahnya. Tubuh Cin Liong meliuk-liuk bagai seekor naga beterbangan di angkasa, dan kedua tangannya membentuk cakar-cakar naga, serangannya datang dari atas dan bawah secara tidak terduga-duga karena tubuhnya yang naik turun dengan cepat dan lincah sekali.

Melihat betapa pemuda itu menguasai kelincahan seperti dia, Cu Seng Bu menjadi penasaran. Ketika dia melihat pemuda itu memukulnya dengan lengan kanan membuat gerakan melengkung dari samping mengarah pelipisnya, dia pun lantas mengerahkan tenaganya dan menangkis sambil membentak keras.

“Dukkk!”

Kedua lengan itu bertemu dan keduanya telah mengerahkan sinkang masing-masing. Kuda-kuda kaki Cin Liong tergeser dan dia mundur dua langkah, akan tetapi tubuh Cu Seng Bu terhuyung-huyung! Dari kenyataan ini saja terbukti bahwa dalam hal tenaga, ternyata Cu Seng Bu masih kalah setingkat!

Akan tetapi, Cu Seng masih penasaran dan berkali-kali mereka saling tangkis, tidak mengelak lagi, menggunakan kekerasan. Terdengar suara ‘dak-duk’ menggetarkan jika lengan mereka saling bertemu dan berkali-kali tubuh mereka tergetar dan terdorong atau terhuyung.

Perkelahian itu telah berlangsung sampai seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau menang, sungguh pun sudah beberapa kali Cu Seng Bu nampak terhuyung dan beberapa kali pula dia menyeringai seperti menahan sakit. Memang dalam benturan-benturan tenaga sinkang, dia kalah kuat dan dia mengalami guncangan hebat yang ditahan-tahannya. Sayang bahwa keluarga Cu biasanya memandang diri sendiri terlalu tinggi, dan sikap seperti ini menimbulkan sifat tidak mau kalah atau sukar menerima kenyataan bahwa dirinya kalah kuat. Setiap kekalahan mendatangkan rasa penasaran dan Cu Seng Bu menjadi semakin nekat.

Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan dahsyatnya dia menubruk maju, kedua tangannya didorongkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Melihat ini, Cu Han Bu sampai menggerakkan kedua tangan ke depan, seolah-olah ingin mencegah adiknya.

Sementara itu, melihat hebatnya serangan yang dia tahu seperti hendak mengadu nyawa ini, Cin Liong maklum bahwa dia harus berani mengambil keputusan. Maka dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya pun tiba-tiba meluncur ke depan dalam kedudukan seperti menelungkup, bagaikan seekor naga yang sedang terbang! Itulah ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Tanah) dan biar pun ilmu itu untuk seorang yang berlengan satu, namun Kao Kok Cu mengajarkan juga kepada Cin Liong. Tentu saja gerakannya menjadi kaku dan pemuda ini tidak sepenuhnya dapat menguasai ilmu ini, akan tetapi tenaga yang timbul karena ilmu ini amat dahsyatnya, terpusat kepada lengan yang menjulur ke depan.

“Bressss....!”

Hebat sekali pertemuan antara dua orang yang berilmu tinggi ini di udara. Seolah-olah ada dua bintang bertubrukan dan tubuh Cu Seng Bu terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya, kemudian terbanting ke atas lantai. Dia mengeluarkan keluhan lirih dan merangkak bangun, dari ujung mulutnya menitik darah segar. Dapat juga dia bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya, sebatang pedang lemas.

Akan tetapi, melihat keadaan adiknya, dan melihat betapa pemuda perkgsa itu masih berdiri tegak dalam keadaan segar. Cu Han Bu maklum bahwa adiknya telah kalah dan kalau dibiarkan maju lagi dengan berpedang, hal itu amat memalukan sebab merupakan suatu kenekatan yang terdorong oleh sikap tidak tahu diri dan tidak mau kalah.

“Cukup, Adik Seng Bu. Engkau sudah kalah dan biarkan aku yang maju sekarang!” kata Cu Han Bu sambil memegang lengan adiknya dan menariknya mundur dengan lembut.

Cu Seng Bu tidak membantah, melepaskan lagi gagang pedangnya dan dia menarik napas panjang berkali-kali, kelihatan menyesal sekali. “Adikmu ini tiada guna, Twako,” katanya dan tiba-tiba dia muntahkan darah segar.

“Mengasolah, Adikku,” kata kakaknya.

Cu Seng Bu menolak tangan Cu Pek In yang hendak memapahnya, dan dia pun lalu kembali ke tempat duduknya, duduk dengan kedua kaki dinaikkan, bersila dan mengatur pernapasan untuk mengobati luka di sebelah dalam dadanya akibat benturan hebat dengan lawan yang amat tangguh tadi.

Dia diam-diam menyesal mengapa tidak sejak semula dia menghadapi lawan itu dengan pedangnya. Kalau dia menggunakan pedang dan pemuda itu pun bersenjata, belum tentu dia kalah dan andai kata dia kalah pun, lebih banyak kemungkinan dia mati, tidak seperti sekarang ini, menderita luka dan tidak tewas sehingga dia harus menghadapi kekalahannya dan menderita rasa malu.

Melihat Cu Han Bu maju dan menoleh kepadanya, Cu Pek In lalu berseru, “Sambutlah, Ayah!”

Dan begitu tangan kanannya bergerak nampak sinar emas berkelebat menuju ke arah ayahnya itu yang mengangkat tangan kanan menyambutnya. Ternyata yang dilontarkan oleh dara itu adalah sebatang suling emas! Cu Han Bu memegang suling emas itu, memandangnya sebentar, menarik napas panjang lalu menggeleng kepala.

“Tidak, Pek In! Aku adalah penghuni Lembah Naga Siluman, bukan lagi Lembah Suling Emas!”

Dia tersenyum pahit mengenangkan kekalahannya terhadap Kam Hong yang lebih tepat berjuluk Suling Emas dan sejak kekalahannya itu, dia tidak ingin lagi mengingat tentang suling emas, apalagi mempergunakan suling emas sebagai senjata karena hal itu hanya mengingatkan akan kekalahannya dan seperti ejekan saja.

Dia lalu melontarkan kembali suling itu kepada putrinya yang menyambutnya dengan alis berkerut, penuh kekhawatiran karena dara ini maklum bahwa di antara semua senjata, bahkan dibandingkan dengan sabuk emas yang dipakai ayahnya, suling itu merupakan senjata yang paling ampuh bagi ayahnya.

Cu Han Bu sudah melolos sabuk emasnya dan berdiri tegak memandang kepada Kao Kok Cu, dengan sinar mata yang mempersilakan pendekar itu maju melawannya. Melihat ini, Kao Kok Cu juga sudah bangkit dari tempat duduknya.

Akan tetapi Cin Liong yang masih berdiri tegak dan belum kembali ke tempat duduknya, berkata, “Ayah, akulah yang wajib melaksanakan perintah dari Sri Baginda. Ayah hanya membantu saja kalau aku telah gagal. Oleh karena itu, sebelum aku kalah, harap Ayah jangan turun tangan terlebih dahulu. Marilah, lo-enghiong, mari kita tentukan hasil adu kepandaian ini. Ayah hanya akan maju kalau aku sudah kalah“

Cun Han Bu memandang kagum. Kalau saja keadaan tidak memaksa mereka itu saling berhadapan sebagai musuh, dia akan merasa bangga dan senang sekali mempunyai sahabat seperti keluarga Kao yang gagah perkasa ini. Maka dia pun menghampiri pemuda itu dengan sabuk emas dipegang gagangnya oleh tangan kanan sedangkan ujungnya yang lain dipegang oleh tangan kiri. Sikapnya kereng ketika dia berkata,

“Kao-goanswe, engkau sungguh hebat dan Adikku sudah kalah olehmu. Kalau sekarang aku pun kalah olehmu, maka berarti pihak kami mengaku kalah. Nah, silakan engkau mengeluarkan senjatamu!”

Kao Cin Liong telah mempelajari ilmu-ilmu sakti dari ayahnya dan dia telah digembleng sehingga kedua tangan dan kakinya seakan-akan sudah menjadi pengganti senjata. Seperti ayahnya, dia tidak pernah memegang senjata, kecuali kalau berpakaian dinas sebagai jenderal. Pedang yang tergantung di pinggangnya kalau dia berpakaian dinas hanya merupakan tanda pangkat belaka. Maka pada saat itu pun dia tidak membawa senjata.

Melihat ini, Wan Ceng lalu melolos pedangnya dan memandang kepada suaminya untuk minta persetujuan suaminya. Kao Kok Cu mengangguk dan isterinya lalu melontarkan pedang itu ke atas.

“Cin Liong, terimalah pedang ini!” serunya dan pedang itu meluncur ke atas, kemudian seperti mempunyai mata saja, pedang itu berputaran di udara lalu meluncur turun ke arah Cin Liong yang menerimanya dengan manis.

Itulah pedang Ban-tok-kiam! Pedang ini sangat berbahaya karena mengandung racun-racun yang amat hebat, nampak kehitaman seperti penuh karat, nampak menyeramkan sekali. Jangankan sampai tertusuk bagian tubuh yang penting, baru tergores saja sudah dapat membawa maut…..


Biar pun dia telah memiliki ilmu-ilmu silat tangan kosong yang lihai, akan tetapi jangan disangka bahwa Cin Liong asing dengan senjata. Sama sekali tidak, dia pandai mainkan delapan belas macam senjata, terutama ilmu pedang!

Melihat pemuda itu sudah memegang senjata, Cu Han Bu yang tidak mau bersikap sungkan-sungkan lagi lalu menggerakkan sabuk emasnya di atas kepala, diputar-putar makin lama makin cepat, lalu berkata, “Orang muda, lihat seranganku!”

Tiba-tiba dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar berkeredepan yang menyambar ke arah kepala Cin Liong, dibarengi dengan tangan kiri yang mencengkeram ke arah dada. Sungguh merupakan serangan yang amat dahsyat, sekaligus menyerang dengan sabuk emas dan tangan kiri. Entah mana di antara keduanya itu yang lebih berbahaya, karena harus diakui bahwa hawa pukulan tangan kiri yang mencengkeram itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan hawa pukulan sabuk emas yang menandakan bahwa tangan itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata itu.

Cin Liong bersikap waspada. Dia maklum bahwa lawannya ini lebih lihai dari pada Cu Seng Bu tadi. Sedangkan terhadap Cu Seng Bu ia pun hanya memperoleh kemenangan tipis, maka dia tahu bahwa sekali ini dia menghadapi lawan yang amat tangguh dan dia harus berhati-hati. Melihat serangan itu, dia pun menangkis dengan pedangnya ke atas, dan mendorongkan tangannya ke depan untuk menyambut cengkeraman tangan kiri lawan.

“Tringgg.... Plakkk!”

Keduanya terdorong mundur oleh pertemuan senjata dan tangan itu, dan Cin Liong dapat merasakan betapa tenaga orang ini amat kuat, lebih kuat dari pada tenaga Cu Seng Bu dan dia merasa betapa tubuhnya tergetar oleh dua adu tenaga tadi. Tetapi, Cin Liong tidak sempat berpikir lebih banyak lagi karena kini terdengar suara berdesing-desing dan pandang matanya menjadi silau melihat gulungan sinar keemasan yang menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya.

Gulungan itu membungkus diri Cu Han Bu, dan suara berdesing-desing itu makin lama makin nyaring. Sinar-sinar yang mencuat dari gulungan emas yang merupakan tembok benteng itu makin gencar menyerangnya sehingga pemuda ini terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya. Dia merasakan desakan yang amat kuat dari gulungan sinar keemasan itu dan setiap kali pedangnya menangkis, terdengar suara nyaring dan dia merasa telapak tangannya perih sekali!

Memang hebat sekali ilmu kepandaian Cu Han Bu itu. Untuk selama kurang lebih tiga puluh jurus sabuk emasnya merupakan gulungan sinar yang menghujankan serangan kepada Cin Liong, membuat pemuda itu sibuk sekali menangkis dan hampir tidak ada kesempatan untuk membalas serangan lawan. Kemudian secara mendadak gulungan sinar keemasan itu lenyap dan kini Cu Han Bu melakukan serangan satu-satu dengan gerakan lambat.

Akan tetapi, setiap kali sabuk emas itu menyambar terdengar suara angin dahsyat menghembus dan begitu Cin Liong menangkisnya, pemuda ini berseru kaget karena tenaga yang terbawa oleh sabuk itu sedemikian kuatnya sehingga kuda-kuda kakinya tergeser dan hampir dia terhuyung, dan selain tenaga yang amat kuat ini, juga dia merasa betapa ada hawa panas menjalar ke seluruh lengannya! Tahulah dia bahwa lawannya kini benar-benar telah mengerahkan seluruh tenaga simpanannya! Dia pun berusaha untuk balas menyerang, bahkan kini dia berusaha sedapat mungkin untuk menghindarkan pertemuan senjata secara langsung karena dia maklum bahwa tenaga sinkang-nya masih kalah kuat dibandingkan dengan orang ini.

Akan tetapi, gerakan Cu Han Bu yang lambat itu ternyata amat aneh dan di sekitar tubuhnya seolah-olah ada gulungan tenaga yang tak nampak sehingga tiap kali pedang Ban-tok-kiam di tangan Cin Liong balas menyerang, ujung pedang itu menyeleweng seperti ditangkis oleh hawa yang amat kuat. Sementara itu, setiap kali menyerang sabuk emas tidak dapat dielakkan lagi karena biar pun gerakan sabuk itu lambat, namun seolah-olah dapat mengikuti ke mana pun Cin Liong mengelak! Oleh karena ini, pemuda itu terpaksa menangkis dan menangkis lagi dan makin lama tangkisannya menjadi semakin lemah karena memang berat rasanya menangkis sabuk itu sehingga lewat beberapa lama kemudian, setiap kali menangkis dia tentu terhuyung ke belakang!

Patut diketahui bahwa ketika dia melawan Cu Seng Bu tadi, keadaannya dengan lawan itu seimbang hingga Cin Liong terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya. Oleh karena itu, setelah kini dia berhadapan dengan Cu Han Bu, yang memiliki kepandaian lebih tinggi dan juga tenaga lebih kuat dibandingkan dengan adiknya, tentu saja Cin Liong menjadi lelah dan semakin lama tenaganya menjadi semakin lemah. Betapa pun juga, dengan Ban-tok-kiam di tangannya, pedang yang juga ditakuti oleh Cu Han Bu yang mengenal pedang beracun yang amat berbahaya, dia masih mampu bertahan sampai seratus jurus dia belum juga kalah, walau pun sudah berkali-kali dia terhuyung ke belakang.

Tentu saja Wan Ceng memandang dengan penuh khawatir, alisnya berkerut dan beberapa kali dia mengepal tinju tangannya. Hanya Kao Kok Cu yang masih tetap tenang saja karena biar pun dia juga maklum bahwa puteranya itu akan kalah, namun dia percaya bahwa Cin Liong mampu menjaga diri sehingga tidak sampai terancam keselamatannya.

Cu Han Bu memang telah mengeluarkan semua kepandaiannya. Baginya, perkelahian itu adalah soal hidup atau mati, karena kalau dia kalah, biar pun andai kata dia masih hidup, namun dia dan adiknya seperti telah mati saja, akan mengundurkan diri dan menjadi pendeta dengan mencukur gundul kepala mereka. Inilah sebabnya mengapa dia menyerang dengan ganas tanpa mempedulikan lagi apakah serangannya itu akan menewaskan lawannya.

Melihat betapa lawannya itu semakin kuat dan semakin ganas, mendadak Cin Liong mengeluarkan pekik melengking nyaring dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, dia sudah mengeluarkan Ilmu Sin-liong Hok-te dengan menggunakan pedang Ban-tok-kiam. Tubuhnya meluncur ke depan, disambung oleh pedangnya, menerjang ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat.

Melihat ini Cu Han Bu terkejut. Dia maklum bahwa ilmu ini luar biasa sekali dan tadi adiknya juga kalah oleh ilmu ini. Maka dia pun meloncat ke depan menyambut, sambil memutar sabuk emasnya.

“Trannggg.... plakkkk....!”

Kini nampak pedang Cin Liong terlempar ke atas dan pemuda itu sendiri terguling! Akan tetapi dia sudah dapat meloncat lagi ke atas dan manyambar pedangnya, siap untuk menyerang lagi. Pada saat itu, Kao Kok Cu mencelat ke depan dari atas kursinya.

“Cukup, Cin Liong. Engkau telah kalah!” katanya.

Pemuda itu pun tidak membantah karena harus diakuinya bahwa dia telah kehilangan pedang tadi, dan juga pundaknya telah beradu dengan ujung sabuk emas dan biar pun tulang pundaknya tidak patah, namun lengan kirinya itu menjadi setengah lumpuh dan kalau digerakkan menjadi nyeri sekali pada pundaknya. Jelaslah bahwa kalau dia maju melawan lagi sama artinya dengan bunuh diri, maka dia pun menjura ke arah Cu Han Bu dan kembali ke tempat duduknya, disambut oleh ibunya yang segera memeriksa pundaknya.

Pundak itu matang biru! Wan Ceng cepat mengeluarkan koyo hitam, melumerkan koyo itu dengan hawa panas dari telapak tangannya dan menempelkan koyo itu di pundak puteranya, dan menyuruh puteranya menelan dua butir pel hitam. Kemudian keduanya duduk menonton pertandingan antara Kao Kok Cu dan Cu Han Bu dengan penuh perhatian setelah Wan Ceng menyimpan kembali pedang Ban-tok-kiam.

Sementara itu, tadi Kao Kok Cu telah menghadapi Cu Han Bu dan berkata, “Saudara Cu, sekarang keadaan kita satu-satu. Marilah kita menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.”

“Silakan kau mengeluarkan senjata, Kao-taihiap,” kata Cu Han Bu dengan sikap masih menghormat.

“Aku tidak pernah mempergunakan sanjata. Majulah!” tantang Naga Sakti Gurun Pasir.

Cu Han Bu percaya akan kata-kata ini dan tidak menganggap pendekar itu memandang rendah kepadanya. Maka dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan sudah memutar sabuk emasnya serta menyerang dengan gerakannya yang lambat namun mantap dan amat kuat itu.

Tadi ketika Cu Han Bu bertanding melawan Cin Liong, Kao Kok Cu sudah menyaksikan gerakan-gerakannya dan sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah matang, sekali lihat saja dia sudah tahu akan sifat-sifat ilmu silat lawan ini. Memang harus diakuinya bahwa jarang dia melihat orang memiliki ilmu silat sehebat keluarga Cu ini. Ilmu silat mereka adalah ilmu silat asli, ilmu silat keluarga yang telah dilatih secara sempurna sekali dan pada waktu itu, kiranya jarang menjumpai orang-orang dengan ilmu setinggi yang dimiliki keluarga Cu ini.

Karena dia sudah tahu akan sifat ilmu silat lawan, maka kini dia tahu bagaimana harus menghadapinya. Tadi dia memperhatikan gerakan Cu Han Bu. Ketika menghadapi Cin Liong, orang ini kadang-kadang mempergunakan kecepatan yang luar biasa selama beberapa puluh jurus, menghujankan serangan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, lalu dia mengubah gerakannya menjadi lambat-lambat sekali.

Akan tetapi Kao Kok Cu maklum bahwa justru kalau bergerak lambat-lambat inilah maka orang ini amat berbahaya karena di sini letak seluruh kekuatannya! Kalau Cu Han Bu bergerak perlahan-lahan dan lambat-lambat itu maka dia amat kuat dan seolah-olah tubuhnya dikelilingi oleh benteng yang tidak nampak dan kekuatan dalam yang dahsyat. Oleh karena itu, ketika Cu Han Bu mulai menyerang dengan gerakan lambat-lambat itu, Kao Kok Cu tidak mau membalas serangan, bahkan dia hanya mengelak saja selalu menanti lawan menyerang untuk dielakkan dengan amat mudah tentunya, karena memang serangan-serangan Cu Han Bu itu biar pun amat mantap dan kuat, namun lambat-lambat datangnya.

Karena tidak melihat lawan dapat dipancing dengan gerakan lambat, Cu Han Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan suara lengkingan tinggi yang menggetarkan jantung karena dia telah mengerahkan khikang-nya yang dihimpun ketika dia berlatih suling, dia mulai menyerang dengan cepat!

Diam-diam Kao Kok Cu merasa girang. Akan tetapi dia masih tetap mengelak ke sana-sini dan sekali-kali menangkis dengan tangan kanannya dan hanya membalas serangan lawan dengan cara sembarangan saja, dengan tamparan-tamparan tangan kanan yang mengandung angin bersuitan.

Melihat betapa lawannya bersikap tenang dan seperti tidak sungguh-sungguh. Cu Han Bu mulai marah! Dia mulai mengira bahwa Si Naga Sakti Gurun Pasir ini memandang ringan padanya! Gerakannya dipercepat hingga makin lama gulungan sinar keemasan itu menjadi makin lebar, dan tubuhnya lenyap sama sekali dalam bungkusan gulungan sinar!

Kao Kok Cu menanti sampai gerakan itu tiba pada kecepatan puncak, kemudian tiba-tiba dia membentak dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, seperti sebatang anak panah, atau seperti seekor naga terbang, menyerang ke depan, dan lengan baju kirinya yang ‘kosong’ itu bergerak-gerak dan seperti hidup!

Melihat ini, Cu Han Bu cepat menusukkan sabuk emasnya. Akan tetapi sabuk itu dapat ditangkap dan dilibat oleh lengan baju kiri itu yang hidup seperti seekor ular yang membelit, tidak mungkin dapat ditarik kembali dan otomatis gerakan sabuk itu pun terhenti. Cu Han Bu terkejut dan menjadi nekat, menghantamkan tangan kirinya.

Akan tetapi inilah kekeliruannya, karena pada saat itu Naga Sakti Gurun Pasir sedang mempergunakan Ilmu Sin-liong-hok-te dan kekuatan mukjijat memasuki tubuhnya, maka begitu pendekar ini menangkis dengan tangan kanannya, dua tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Cu Han Bu terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan sabuk emas itu patah menjadi dua, yang sepotong masih dipegang dan yang sepotong lagi berada dalam libatan lengan baju Naga Sakti Gurun Pasir!

Cu Han Bu bangkit berdiri, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah dan jelas dia menderita luka dalam yang hebat. Sejenak dia terbelalak memandang kepada Kao Kok Cu, kemudian mengerakkan tangannya hendak memukulkan sepotong sabuk emas itu ke arah kepalanya sendiri!

“Wuuuut.... tranggg....!”

Sepotong sabuk emas itu terpental dan terlepas dari pegangan, disambar potongan sabuk emas yang meluncur dari lengan baju Kao Kok Cu yang menyambitkannya ketika melihat bekas lawan itu hendak membunuh diri.

“Hanya kaum pengecut sajalah yang tidak berani menghadapi kekalahan dalam hidup!” terdengar suara Kao Kok Cu berkata, suara yang menggetar dan mengandung penuh kekuatan, sedemikian dahsyatnya sehingga seluruh benda di sekitar tempat itu pun ikut tergetar.

Cu Han Bu terkejut, memandang ke bekas lawannya dan menarik napas panjang, lalu jatuh terduduk, bersila dan memejamkan matanya. Kao Kok Cu membiarkan saja dia demikian itu seketika lamanya, oleh karena dia maklum bahwa kalau tidak cepat-cepat majikan lembah itu mengumpulkan hawa murni, dia tentu takkan dapat tertolong lagi. Cu Pek In lari menghampiri ayahnya, akan tetapi sebelum dia menyentuh ayahnya dia dicegah oleh Cu Seng Bu yang memegang lengan gadis itu. Cu Pek In memandang ayahnya dengan air mata menetes di kedua pipinya.

Suasana amat menyedihkan dan mengharukan hati keluarga Kao Kok Cu. Mereka ini tahu bahwa dengan berhasilnya mereka melaksanakan perintah kaisar, mereka pun berarti menghancurkan kebahagiaan keluarga Cu ini! Mereka merasa menyesal sekali, akan tetapi apa yang sudah terjadi tidak dapat diperbaiki kembali. Mereka bertiga memandang ke arah Cu Han Bu, seperti yang dilakukan oleh Cu Seng Bu dan Pek In, dan mereka menanti.

Tak lama kemudian, pernapasan yang tadinya memburu itu menjadi semakin tenang dan akhirnya terdengar Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu membuka matanya dan pertama kali dia menggerakkan mata, dia memandang ke arah Kao Kok Cu.

“Terima kasih, Naga Sakti Gurun Pasir, bukan karena engkau telah menyelamatkan aku, melainkan karena engkau telah mengingatkan aku yang hampir menjadi pengecut. Engkau benar, dan aku tidak akan takut menghadapi kegagalan. Kami telah kalah. Nah, dengarlah. Pedang itu berada pada muridku yang bernama Sim Hong Bu. Dialah yang berhak mewarisi pedang itu bersama ilmunya. Dan sekarang, dialah yang berhak atas pedang itu, bukan kami.“

Kao Cin Liong merasa kecewa karena tadinya dia mengharapkan bahwa kemenangan itu akan membuat keluarga ini menyerahkan pedang pusaka itu kembali. “Dan di mana adanya Sim Hong Bu itu, Lo-enghiong?”

Cu Han Bu tersenyum pahit. “Goan-swe, engkau boleh menangkapku, membunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat memaksa kami menjadi pengkhianat-pengkhianat yang mengkhianati dia yang menjadi muridku dan pewaris pedang pusaka kami!”

Cu Seng Bu dan Cu Pek In juga menentang pandang mata dengan sikap menantang. Kao Kok Cu maklum bahwa tiada gunanya memaksa karena orang-orang gagah seperti ini tentu akan lebih suka menyerahkan nyawa dari pada harus mengkhianati orang sendiri.

“Satu pertanyaan lagi, Saudara Cu Han Bu. Perlukah aku menggeledah di lembah ini untuk mencari Sim Hong Bu?”

Cu Han Bu memandang dengan sinar mata tajam. “Percuma, dia tidak berada di sini.”

“Biar aku akan mencarinya di sini, Ayah,” kata Cin Liong, tetapi ayahnya mencegah.

“Tidak perlu, Cin Liong. Saudara Cu Han Bu sudah mengatakan bahwa dia tidak ada di lembah ini. Dia sudah mengatakan sejujurnya dan aku yakin dia mempunyai cukup kehormatan untuk tidak membohongi kita. Mari kita pergi, kita akan mencari sendiri Sim Hong Bu!” Setelah berkata demikian, Kao Kok Cu menjura ke arah mereka dan berkata, “Perkenankan kami pergi dari sini, Saudara Cu, dan maafkan semua perbuatan kami.”

Kao Kok Cu bersama anak isterinya hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Cu Han Bu bangkit dan berkata dengan suara parau, “Kao Kok Cu!” Pendekar itu bersama isteri dan puteranya berhenti dan membalikkan tubuh, memandang dengan alis berkerut.

“Dengarlah! Hari ini kami keluarga Cu kalah olehmu, akan tetapi ingat, murid kami Sim Hong Bu yang kelak akan membuktikan bahwa kami tidak kalah olehmu, dan pedang Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka kami itu yang akan mengalahkanmu! Nah, mulai sekarang, aku dan Adikku akan mengasingkan diri sesuai dengan janji, menjadi hwesio dan bertapa di tempat sunyi. Biarlah murid kami itu yang kelak membalaskan kami. Pek In, antarkan tamu sampai menyeberang!”

Dengan muka pucat dan mata basah air mata, Cu Pek In memandang dengan mata penuh kebencian kepada keluarga Kao, lalu berkata, “Mari!” Dia pun lalu berjalan dengan tubuh ditegakkan, menuju ke arah jurang penyeberangan.

Kao Kok Cu dan anak isterinya mengikutinya karena mereka maklum bahwa kalau pihak tuan rumah menghendaki, sukar bagi mereka untuk dapat keluar dari lembah itu tanpa bahaya. Andai kata dirusak saja jembatan tambang itu, berarti mereka tidak tahu bagai mana harus keluar dari lembah yang terasing dari dunia luar dan hanya dihubungkan dengan dunia luar melalui jembatan tambang itu saja.

Tanpa mengeluarkan kata-kata, kemudian Pek In memberi isyarat kepada para penjaga. Jembatan tambang diangkat naik, gadis itu pun meloncat ke atas jembatan tambang itu diikuti oleh tiga orang tamunya. Setelah mereka semua tiba di seberang, gadis itu lalu berkata dengan sikap kaku, “Selamat jalan!”

Kao Cin Liong merasa kasihan. “Selamat tinggal, Nona, dan maafkan kami.”

Akan tetapi gadis itu telah meloncat kembali ke atas jembatan tambang dan berlari cepat, kembali menuju ke lembah. Kao Kok Cu lalu menarik napas panjang. “Sungguh sayang, Cin Liong, kita sudah menanam bibit kebencian di dalam hati keluarga yang demikian gagahnya.”

“Kita berada dalam tugas, Ayah, bukan urusan pribadi,” kata Cin Liong tenang.

“Benar! Kalau mereka itu benar-benar orang gagah tentu menyadari hal itu. Urusan ini urusan tugas perintah, bukan urusan pribadi, akan tetapi kalau mereka menganggap sebagai permusuhan perorangan dan mendendam kepada kita, adalah karena ketololan mereka sendiri!” kata Wan Ceng yang wataknya masih belum berubah, yaitu keras dan berani.

Kao Kok Cu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyangkal kebenaran ucapan isterinya dan puteranya, betapa pun juga, dia tahu bahwa bagi sebuah keluarga yang hebat seperti keluarga Cu itu, nama merupakan hal yang amat penting dan sekarang mereka itu kehilangan nama, oleh karena itu sudah pasti mereka merasa sakit hati. Pendekar ini masih mendengar ancaman Cu Han Bu dan dia sudah menganggap nama Sim Hong Bu sebagai nama yang mungkin kelak akan menimbulkan kesukaran baginya dan keturunannya.

Agaknya Wan Ceng dapat membaca kekhawatirannya di wajah suaminya, maka nyonya ini berkata dengan gagah, “Bekerja tidak boleh kepalang tanggung! Barusan kita telah mengalahkan keluarga itu, dan kini, bagaimana pun juga kita harus bisa mendapatkan orang yang bernama Sim Hong Bun itu dan merampas pedang pusaka istana sebelum urusan menjadi berlarut-larut.”

Kao Cin Liong mengangguk. “Ucapan Ibu benar sekali, dan saya kira murid mereka itu tentu tidak berada jauh dari lembah ini!”

Demikianlah, tiga orang itu lalu mulai mencari jejak Sim Hong Bu, akan tetapi karena mereka belum pernah melihat wajah pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu, tentu saja tidak mudah bagi mereka. Apalagi, seperti kita ketahui, pemuda itu menyembunyikan diri dalam sebuah goa rahasia untuk melatih ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut sampai sempurna.

Dan karena selama beberapa hari mereka menyelidiki tempat-tempat sekitar lembah itu, maka mereka melihat munculnya Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang baru kembali dari perjalanan mereka mengunjungi Sai-cu Kai-ong. Tiga orang itu bersembunyi, kemudian membayangi Yu Hwi dan Cu Kang Bu.

“Dia.... bukankah dia itu Ang-siocia, murid dari Hek-sin Touw-ong....?” Ceng Ceng atau Wan Ceng berbisik kepada suaminya.

Kao Kok Cu mengangguk. Kini dia pun ingat, itulah gadis yang dulu pernah membantu mendiang ayahnya, yaitu Jenderal Kao Liang ketika ayahnya itu ditawan Pangeran Nepal di sebuah benteng yang amat kuat. Gadis liar yang banyak akalnya dan yang pada dasarnya mempunyai watak yang gagah perkasa dan baik, seperti yang telah dibuktikannya ketika membantu ayahnya itu.

“Dan pria itu.... mungkinkah dia Sim Hong Bu?” bisik Cin Liong dengan jantung berdebar penuh harapan.

Pria itu nampak gagah perkasa, tinggi besar seperti raksasa dan memang pantaslah kalau menjadi murid keluarga Cu yang berilmu tinggi, walau pun raksasa ini agaknya sudah terlalu tua untuk menjadi murid mereka.

“Hemm, mungkin saja. Lihat, mereka menuju ke jurang pemisah lembah,” bisik Kao Kok Cu.

“Sebaiknya kita bertanya secara terus terang saja. Heiii, tunggu dulu....!” Wan Ceng berseru dan meloncat keluar, diikuti suaminya dan puteranya.

Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang sedang berjalan dengan asyik dan mesranya, sambil bergandengan tangan dan bercakap-cakap diseling senyum mesra, terkejut sekali dan cepat mereka saling melepaskan tangan dan membalikkan tubuh memandang kepada tiga orang yang muncul secara tiba-tiba itu.

Seorang pendekar seperti Si Naga Gurun Pasir tentu saja sukar dapat dilupakan orang, terutama sekali karena lengannya tinggal sebelah itu. Demikian pula dengan Yu Hwi, begitu melihat pendekar ini, dia terkejut sekali dan teringat, apalagi setelah dia melihat Wan Ceng, maka dengan gagap saking kaget dan juga gembiranya dia lantas berseru, “Bukankah.... bukankah saya berhadapan dengan Naga Sakti Gurun Pasir, Kao Kok Cu Taihiap bersama isteri?”

Ucapan kekasihnya ini membuat Cu Kang Bu juga terkejut bukan main. Pernah dia mendengar nama besar seperti nama tokoh dalam dongeng ini, dan kekasihnya pernah pula bercerita tentang pertemuan kekasihnya dengan pendekar sakti dan isterinya ini ketika kekasihnya membantu mendiang Jenderal Kao Liang, ayah dari pendekar sakti ini.

“Ingatanmu kuat sekali, Nona. Benar, aku adalah Kao Kok Cu dan ini adalah isteri dan putera kami.”

“Hemm, engkau tentu Ang-siocia, bukan?” Wan Ceng berkata sambil memandang tajam wajah gadis itu, akan tetapi lalu dia memandang wajah Cu Kang Bu sambil bertanya penuh curiga, “Dan siapakah dia ini?”

Ang-siocia atau Yu Hwi tertawa mendengar disebut nama julukannya yang sudah lama sekali tidak pernah didengarnya, yang hampir dilupakannya itu. “Ahhh, Bibi yang gagah perkasa, saya tidak berjuluk Ang-siocia lagi. Lihat, pakaian saya tidak merah, bukan? Dan dia ini adalah....” Wajahnya berubah dan dia tidak melanjutkan kata ‘tunangan’ itu. “.... bernama Cu Kang Bu.”

“Ahhh....!” Cin Liong berseru, kecewa.

“Apakah masih saudara dengan sahabat-sahabat Cu Han Bu dan Cu Seng Bu?” tanya Kao Kok Cu.

Cu Kang Bu yang sudah lama mengagumi nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sudah cepat menjura dengan hormat dan menjawab, “Mereka itu adalah kakak-kakak saya dan saya merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan Kao-taihiap yang nama besarnya sudah lama saya dengar dari..... tunangan saya ini.“

Mendengar bahwa laki-laki gagah perkasa dan bertubuh raksasa ini adalah adik dari keluarga Cu yang merahasiakan di mana adanya Sim Hong Bu yang membawa pedang pusaka itu, Wan Ceng yang cerdik cepat bertanya, “Saudara Cu Kang Bu, dapatkan engkau memberitahu kami di mana adanya Sim Hong Bu....?”

“Sim Hong Bu....?” Kang Bu dan Yu Hwi berkata heran, tidak tahu bagaimana harus menjawab.

Mereka tidak tahu mengapa keluarga ini bertanya tentang murid itu, dan mereka meragu apakah mereka boleh memberitahukan kepada orang lain karena pemuda itu sedang menyembunyikan dirinya untuk menggembleng diri dan melatih ilmu pedang sampai sempurna. Bukankah Sim Hong Bu mempunyai tugas yang amat berat, yaitu kelak dialah yang harus mengangkat kembali nama keluarga lembah, dan menandingi, atau kalau mungkin mengalahkan Suling Emas?

Selagi mereka meragu, terdengar suara nyaring di belakang mereka. “Paman, jangan beritahukan! Ayah dan Paman Seng Bu telah terluka oleh mereka dan sedang menanti kedatangan Paman!”

Kiranya yang bicara itu adalah Cu Pek In yang memandang ke arah keluarga Kao itu dan dengan sinar mata penuh kebencian. “Mereka ingin merampas pedang pusaka kita, dan kalau mereka tahu di mana adanya dia, tentu akan dirampasnya pedang itu!”

Cu Kang Bu memandang dengan mata terbelalak, sedangkan Yu Hwi memandang pendekar sakti dan isterinya itu dengan wajah terheran-heran. “Bagaimana Ji-wi dapat melakukan hal seperti itu? Aku.... aku tidak peccaya....”

Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Kami adalah utusan Kaisar yang ingin supaya pedang pusaka yang dicuri dari gudang pusaka istana itu dikembalikan.”

Mengertilah kini Yu Hwi dan dia pun menjadi serba salah. Akan tetapi Kang Bu sudah menarik tangannya. “Mari, Hwi-moi, kita menengok kedua kakak kita yang terluka.” Dan mereka bertiga lalu lari ke arah jurang, menyeberangi jurang melalui jembatan tambang, meninggalkan tiga orang keluarga Kao yang hanya dapat memandang saja.

“Agaknya tak mungkin dapat diharapkan dapat menemukan Sim Hong Bu itu melalui mereka, dan harus dicari lebih jauh lagi!” kata pendekar itu yang lalu mengajak anak isterinya untuk meninggalkan lembah.

Akan tetapi mereka mencari terlalu jauh. Tak lama sesudah Cu Kang Bu dan Yu Hwi kembali ke lembah, dengan hati-hati sekali Cu Kang Bu lalu meninggalkan lembah untuk pergi ke goa tempat persembunyian Sim Hong Bu dan dia mengajak pemuda itu untuk pergi ke lembah. Keluarga Cu berduka cita, bukan hanya karena Cu Han Bu dan Cu Seng Bu kalah bertanding dan terluka parah, akan tetapi juga karena keputusan dua orang tokoh itu untuk selanjutnya mencukur gundul kepala mereka dan hidup sebagai pertapa yang mengasingkan diri!

“Sebelum kami berdua mencukur rambut dan kemudian meninggalkan tempat ini untuk mengasingkan diri sebagai pendeta, aku ingin terlebih dahulu menunaikan kewajibanku meresmikan pernikahan kalian, Kang Bu dan Yu Hwi. Keadaan kita sedang prihatin, oleh karena itu maafkanlah saudara tuamu ini bahwa terpaksa pernikahan kalian tidak diramaikan, cukup disaksikan oleh para pembantu murid kita di lembah dan dilakukan upacara sembahyang kepada leluhur kita. Sesudah itu, kalian berdualah yang kami serahi untuk mengurus lembah ini. Akan tetapi kalau kalian menghendaki untuk tinggal di tempat lain, terserah, asalkan semua anak buah dibubarkan lebih dulu dan jembatan yang menghubungkan lembah ini keluar dimusnahkan. Dan aku titip Pek In kepada kalian….” Cu Han Bu berhenti sebentar dan menarik napas panjang untuk menekan hatinya yang terharu melihat Pek In menangis terisak-isak.

“Dan engkau, Sim Hong Bu. Engkau adalah murid kami, juga pewaris pedang pusaka keluarga Cu. Bahkan engkau satu-satunya pewaris Ilmu Pedang Koa-liong Kiam-sut. Engkau sekarang menjadi buronan pemerintah, karena kaisar telah mengirim utusan untuk merampas pedang pusaka. Bersumpahlah bahwa engkau akan mempertahankan pedang pusaka kami itu, demi menjunjung nama keluarga kami!”

“Teecu bersumpah, Suhu,” kata Hong Bu dengan suara tegas. “Dengan taruhan nyawa, teecu akan mempertahankan pedang ini!”

“Bagus, hatiku lega mendengar itu. Dan engkau mempunyai tugas yang amat berat, Hong Bu. Selain mempertahankan pedang, juga untuk membela nama baik keluarga Cu dan Lembah Suling Emas yang terpaksa kita rubah menjadi Lembah Naga Siluman ini, kelak engkau harus membuktikan bahwa Koai-liong-kiam (Pedang Naga Siluman) tidak kalah terhadap Kim-siauw (Suling Emas). Carilah Kam Hong dan ajaklah dia bertanding untuk membuktikan siapa yang lebih unggul antara kalian, dengan demikian harapan kami selama ini tidak akan sia-sia.”

Tentu saja Hong Bu sudah pernah mendengar akan hal ini, hal yang sungguh membuat hatinya tidak enak. Dia amat kagum dan suka kepada Kam Hong, dan kenyataan bahwa dia kelak harus berhadapan dengan pendekar itu sebagai musuh, sungguh membuat hatinya tidak enak. Apalagi kalau dia teringat kepada Ci Sian yang menjadi sumoi dari pendekar besar itu! Akan tetapi, dia maklum bahwa dia tidak dapat menolak permintaan suhu-nya ini.

“Baik, Suhu. Pesan Suhu ini pasti akan teecu penuhi.”

“Masih ada lagi, muridku. Engkau melihat sendiri betapa Suhu-Suhu-mu telah terluka dan terpaksa menjadi hwesio karena dikalahkan oleh keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Aku yakin bahwa jika engkau sudah menyempurnakan latihan-latihanmu, engkau akan mampu mengalahkan dia. Maka aku menghendaki agar kelak engkau mencari Naga Sakti Gurun Pasir. Atas nama kami, balaslah kekalahan kami untuk mempertahankan kehormatan nama keluarga Cu!”

Sebenarnya, di lubuk hatinya, Sim Hong Bu tidak setuju dengan sikap suhu-nya. Suhu dan susiok-nya ini kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir bukan karena urusan pribadi seperti yang mereka ceritakan kepadanya tadi. Keluarga Kao itu datang sebagai utusan Kaisar dan kalau dalam pertandingan perebutan pedang itu keluarga Cu kalah, hal itu sudah wajar karena dalam setiap pertandingan tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pula, apa jeleknya kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya dipuja-puja seperti tokoh dewa dalam dongeng?

Tetapi dia tahu, suhu dan keluarga suhu-nya memang amat keras kepala, tidak dapat menerima kekalahan karena terlalu lama terbiasa dengan anggapan bahwa keluarga mereka adalah keluarga yang tidak pernah terkalahkan, keluarga yang menyimpan rahasia ilmu-ilmu dahsyat, dan nenek moyang mereka yang menciptakan benda-benda pusaka seperti Suling Emas dan Pedang Naga Siluman.

Cu Han Bu melihat keraguan muridnya dan diam-diam dia merasa agak malu juga. Dia agaknya dapat membaca apa yang menjadi keraguan hati muridnya, maka dia berkata lagi, “Hong Bu, ketahuilah bahwa kami tidak memiliki dendam sakit hati pribadi terhadap Naga Sakti Gurun Pasir. Pertentangan antara mereka dan kami hanya kebetulan saja karena puteranya menjadi jenderal dan utusan Kaisar. Akan tetapi, jika engkau sebagai murid dan pewaris keluarga kami tidak memperlihatkan bahwa kita tidak kalah oleh mereka, tentu dunia kang-ouw akan menganggap bahwa nama keluarga Cu adalah nama kosong belaka.”

“Baiklah, teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan,” akhirnya Hong Bu menjawab dan diam-diam dia mengeluh dalam hatinya karena selain dia kini karena pedang itu telah menjadi buronan pemerintah, juga dia sudah terlanjur berjanji akan menghadapi dua orang pendekar yang paling sakti di dunia ini!

“Ada satu hal lagi, muridku. Yaitu mengenai diri Sumoi-mu, Pek In. Telah kupikirkan dalam-dalam hal ini untuk waktu lama sekali. Aku akan merasa berbahagia sekali kalau kelak Pek In dapat menjadi isterimu, Hong Bu.”

Tentu saja Pek In menjadi malu dan menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan jantungnya berdebar-debar tegang.

Sebaliknya, wajah Hong Bu menjadi pucat, kemudian merah. Tak disangkanya gurunya akan membicarakan hal itu secara terbuka. Dia tahu betul bahwa sumoi-nya jatuh cinta kepadanya, dan dia pun sudah dapat menduga dari sikap suhu-nya bahwa suhu-nya juga setuju untuk mengambil dirinya sebagai mantu. Akan tetapi dia sendiri menyayang Pek In hanya sebagai murid suhu-nya. Tanpa disengajanya, tiba-tiba saja wajah Ci Sian terbayang di depan matanya.

“Suhu.... tentang hal ini.... teecu.... teecu sama sekali masih belum berpikir soal…. soal perjodohan....”

Cu Han Bu menarik napas panjang. “Hong Bu, kukatakan tadi bahwa aku akan merasa berbahagia kalau kelak engkau dapat berjodoh dengan Pek In. Tentu saja aku sama sekali tidak memaksamu. Urusan perjodohan adalah urusan dua orang dan terserah kepada kalian, aku tadi hanya mengatakan akan berbahagia kalau kalian berjodoh....“ Sampai di sini, Cu Han Bu memberi isyarat membubarkan pertemuan itu oleh karena kesehatannya belum pulih benar dan terlalu banyak bicara mendatangkan rasa nyeri di dadanya.

Demikianlah, pernikahan antara Yu Hwi dan Cu Kang Bu dilangsungkan dengan sangat sederhana, dengan pesta antara keluarga dan anak buah lembah itu tanpa dihadiri oleh seorang pun dari luar lembah, serta disaksikan arwah nenek moyang mereka yang mereka sembahyangi. Dan pada keesokan harinya, Sim Hong Bu harus meninggalkan lembah, membawa bekal emas dan perak secukupnya dan menyembunyikan pedang pusaka itu di balik jubahnya. Dua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu sendiri yang mengantarnya sampai ke luar dari lembah.

Kemudian, beberapa hari sesudah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu pergi menuju ke sebuah kuil yang berada di puncak sebuah bukit dekat lembah, lalu disaksikan oleh para hwesio mereka menggunduli rambut, menjadi hwesio lalu melakukan perjalanan untuk mengasingkan diri mereka, sesuai dengan janji mereka terhadap Si Naga Sakti Gurun Pasir!

Yu Hwi dan Cu Kang Bu kini menjadi majikan lembah. Akan tetapi baru sebulan setelah menikah, mereka telah ditimpa suatu peristiwa yang membingungkan hati mereka, yaitu lenyapnya Cu Pek In dari lembah! Di dalam kamar gadis itu mereka menemukan sehelai surat yang mengabarkan mereka bahwa gadis itu hendak pergi menyusul dan mencari Sim Hong Bu dan minta agar paman dan bibinya tidak mencarinya!

Cu Kang Bu menjadi bingung sekali. Dia yang diserahi untuk mengurus Pek In oleh kakaknya, akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa gadis itu untuk kembali? Setelah berunding dengan isterinya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk tinggal diam saja sambil manyimpan surat itu.

“Pek In jatuh cinta dan merasa ditinggalkan Hong Bu, maka dicari pun tidak akan ada gunanya,” demikian Yu Hwi berkata. “Dia sudah dewasa dan memiliki ilmu kepandaian cukup, maka perlu apa khawatir? Biarlah dia merantau memperluas pengetahuannya. Keputusan hati seorang gadis yang jatuh cinta tidak mungkin dirubah lagi dan percuma saja kalau kau cari dia juga.”

Demikianlah, Cu Kang Bu tidak pergi mencari Pek In karena dia dapat mengerti akan kebenaran kata-kata isterinya. Andai kata dicari dan dapat dia temukan, apakah dia akan menggunakan kekerasan memaksa Pek In tinggal di lembah? Tidak mungkin! Dia tahu bahwa keponakannya itu bukan hanya suka memakai pakaian pria, akan tetapi juga mempunyai kekerasan hati, kadang-kadang melebihi pria.....

********************

“Suhu....”

Kakek itu membuka matanya dan memandang dengan sinar mata sayu. Kakek itu kurus sekali dan mukanya pucat, tanda bahwa selain jarang makan, juga kakek ini kurang memperoleh sinar matahari. Memang sudah lama Sai-cu Kai-ong, kakek yang pernah menjadi Raja Pengemis dan menjadi tokoh kang-ouw yang disegani ini, mengasingkan diri di sebuah kamar di gedung besar seperti istana kuno itu, di Puncak Bukit Nelayan, seorang diri saja. Hidupnya terasa hampa setelah dia bertemu dengan cucunya, Yu Hwi yang telah memilih suami lain. Dia tidak ingin apa-apa legi selain menanti kematian.

Hidup ini baginya banyak dukanya dari pada sukanya, banyak kecewanya dari pada puasnya. Kekecewaannya yang terbesar adalah karena dia merasa bahwa dia adalah seorang yang tidak berbakti, seorang yang tidak dapat memenuhi kehendak mendiang ayahnya, mendiang nenek moyangnya. Dia telah gagal menjodohkan keturunan Kam dengan keturunan Yu, dan ini baginya merupakan pukulan berat, merasa bahwa dirinya put-hauw (tidak berbakti), seorang yang murtad.

Kata kebaktian masih selalu didengungkan orang, bahkan dianggap sebagai suatu sila kehidupan manusia beradab yang amat penting. Kebaktian dianggap sebagai ukuran kebudayaan, kesusilaan, bahkan kebaikan seseorang. Bagi kebanyakan orang tua, kata ‘hauw’ atau bakti sering dijadikan semacam pegangan atau senjata untuk menyerang anak-anaknya kalau anak-anak itu tidak menyenangkan hatinya, dan anak-anak itu, karena takut dianggap tidak berbakti atau murtad, maka mereka itu memaksa diri untuk melakukan apa-apa yang dianggap hauw (bakti) terhadap orang tua!

Berbakti adalah suatu sikap yang dipaksakan! Betapa tidak? Di balik kebaktian ini jelas terkandung pamrih! Jika orang ingin berbakti, jelas bahwa dia berpamrih untuk menjadi anak baik dan tentu karena anak yang berbakti itu mendapat berkah, banyak rejekinya, terhormat, terpandang dan sebagainya. Apakah artinya sikap berbakti kalau di dalam hati nuraninya tidak ada cinta kasih?

Kalau kita mempunyai sinar cinta kasih dalam batin kita, terhadap orang lain pun kita berhati penuh kasih, penuh iba, apalagi terhadap ayah bunda sendiri! Di mana ada kasih, maka kata berbakti itu tidak ada lagi karena dalam setiap perbuatannya terhadap orang tua, tentu penuh dengan kasih sayang yang tanpa pamrih! Berbakti karena tahu bahwa berbakti itu baik dan sebagainya hanya melahirkan sikap palsu dan dibuat-buat, melahirkan perbuatan dan ucapan yang tidak sama dengan isi hatinya. Hanya karena ingin berbakti, maka terjadilah kenyataan betapa mulut tersenyum berkata-kata halus sungguh pun di dalam hati memaki-maki. Pada lahirnya memberi ini dan itu padahal di dalam hatinya tidak rela!

Hal ini dapat kita lihat pada diri kita sendiri, pada kanan kiri kita, melihat kehidupan seperti apa adanya, menelanjanginya dan tidak tertipu oleh kulitnya belaka. Akan tetapi, kalau batin kita penuh cinta kasih, maka tidak akan ada caci maki di dalam hati, tidak ada rela atau tidak rela. Yang ada hanyalah kasih sayang saja!

Betapa kita manusia di dunia ini sudah kehilangan api cinta kasih! Kita mengorek-orek abunya dan mengejar-ngejar asapnya belaka. Kita rindu akan cinta kasih, ingin semua manusia di dunia ini, ingin seluruh isi mayapada ini, ingin para dewata, malaikat dan Tuhan, mencinta kita! Kita haus akan cinta kasih karena di dalam diri kita kehilangan cinta kasih itu! Kita mencari-cari dan mengejar-ngejar melalui kebaktian, kewajiban, menjadi orang baik, memuja-muja dan sebagainya lagi. Akan tetapi yang kita kejar-kejar itu hanyalah asapnya.

Cinta kasih tak mungkin dikejar-kejar, tak mungkin dapat diusahakan supaya ada, tak mungkin dapat dikuasai dan diikat, tak mungkin dapat dilatih seperti pengetahuan mati! Cinta kasih datang dengan sendirinya kalau batin kita terbuka, peka dan kosong, dalam arti kata bersih dari pada segala keinginan dan perasaan si-aku, yaitu keinginan untuk senang dan perasaan-perasaan iri, benci, marah, takut dan sebagainya.

Kita tidak mungkin memiliki batin yang peka dan ‘terbuka’, kalau masih ada kotoran-kotoran dari si-aku, yaitu pikiran yang selalu menjangkau, mencari-cari, mengejar dan menginginkan segala sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, lahir mau pun batin. Barulah kalau batin kita sudah penuh dengan sinar cinta kasih, segala perbuatan kita adalah benar, tidak pura-pura, tidak palsu, tanpa pamrih, wajar dan bersih seperti keadaan anak kecil yang belum dikuasai oleh aku-nya.

Ada yang berkata, “Tidak mungkin itu!”

Nah, siapakah yang berkata demikian itu? Marilah kita lihat baik-baik. Bukankah yang berkata itu adalah sang aku yang ingin baik, ingin dipenuhi cinta kasih, lalu melihat bahwa dia tidak mungkin hidup tanpa segalanya yang dianggapnya menyenangkan itu? Kita dapat mengamati ulah tingkah si-aku ini setiap saat dalam diri kita sendiri, dan ini merupakan langkah pertama ke arah kebijaksanaan
.

“Suhu....!” Kam Hong berkata lagi ketika melihat betapa kakek itu memandangnya seperti orang sedang mimpi, seolah-olah tidak mengenalnya lagi. “Suhu, teecu adalah Kam Hong….”

“Kam Hong....? Engkau Siauw Hong....?”

“Benar, Suhu, teecu adalah Siauw Hong,” kata Kam Hong dengan hati terharu. Tak disangkanya bahwa suhu-nya yang biasanya bertubuh tegap dan bersikap gagah penuh semangat itu, yang menghadapi dunia dengan hati ringan, kini kelihatan demikian tua dan lemah seperti orang kehilangan semangat.

“Dan Nona ini siapa....?”

“Teecu adalah Bu Ci Sian, Locianpwe,” jawab Ci Sian yang tadi masuk bersama Kam Hong.

Mendengar suara dara yang demikian nyaring dan bersih, Sai-cu Kai-ong membuka matanya lebih lebar. Kalau saja Yu Hwi yang berlutut di samping Kam Hong itu, pikirnya!

“Suhu, dia ini adalah Sumoi teecu, kita sama-sama mempelajari ilmu sejati dari Suling Emas,” kata Kam Hong.

Sai-cu Kai-ong terbelalak. “Apa….? Apa maksudmu? Apakah itu ilmu sejati dari Suling Emas? Bukankah engkau keturunan langsung dari Suling Emas, keluarga Kam?”

Dengan sabar Kam Hong lalu menceritakan semua pengalamannya di Pegunungan Himalaya, betapa dia bertemu dengan Ci Sian dan mereka berdua tanpa disengaja telah bertemu dengan jenazah kuno dari tokoh yang membuat suling emas, dan betapa dari jenazah itu mereka berdua menemukan ilmu sejati dari pencipta suling emas sehingga mereka menjadi kakak beradik seperguruan. Kemudian, dengan hati-hati sekali Kam Hong lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Yu Hwi di Lembah Suling Emas.

Kakek Itu menarik napas panjang. “Aku sudah tahu, Siauw Hong. Yu Hwi telah datang ke sini bersama tunangannya....”

“Cu Kang Bu....?”

“Benar, dan memang harus diakui bahwa pilihannya itu tidak keliru, akan tetapi tetap saja hatiku penuh kekecewaan bahwa ikatan perjodohan itu putus....”

“Harap Suhu suka tenangkan diri. Urusan jodoh tidak dapat dipaksakan, Suhu. Dan bukankah kata orang bahwa jodoh berada di tangan Tuhan? Anggap saja bahwa tidak ada jodoh antara teecu dan Yu Hwi dan hal itu tidak perlu dijadikan penyesalan benar.”

Sai-cu Kai-ong tersenyum pahit. “Ah, engkau tidak tahu betapa hal itu menjadi idaman nenek moyang kami sejak dahulu...., akan tetapi sudahlah. Yang sudah terjadi tidak mungkin diubah lagi. Siauw Hong, sekarang, ke mana engkau hendak pergi? Ketahuilah bahwa Sin-siauw Sengjin telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, di tempat pertapaannya, di puncak tak berapa jauh dari sini. Aku sendiri yang telah mengurus pemakamannya, di puncak itu juga.”

Kam Hong menarik napas panjang. Berita ini tidak mengejutkan hatinya sebab memang kakek itu sudah tua sekali. Akan tetapi sedikit banyak dia pun merasa terharu. Kakek itu bersusah payah merahasiakan keturunan Kam, kemudian mendidiknya sebagai guru kedua sesudah Sai-cu Kai-ong, dengan penuh kasih sayang.

“Teecu akan bersembahyang ke makam beliau, kemudian teecu berdua Sumoi akan pergi ke daerah Sin-kiang....”

“Hemm, engkau baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya dan kini hendak pergi ke daerah Sin-kiang? Ada keperluan apakah di tempat liar itu?”

“Teecu hendak mengantar Sumoi mencari sarang gerombolan Hek-i-mo....”

“Ah....?” Bekas Raja Pengemis itu nampak terkejut bukan main. “Hek-i-mo....? Sungguh berbahaya sekali. Mau apa kalian hendak ke sana?”

“Locianpwe, Ibu teecu tewas karena penyakit yang diderita setelah Ibu bertentangan dengan Hek-i-mo,” jawab Ci Sian.

“Hemm, jadi urusan balas dendam, ya?” Kakek itu bertanya, nada suaranya seperti orang kesal dan memang sesungguhnya dia merasa bosan karena sebagian besar dari pada hidupnya dia hanya menghadapi soal balas dendam saja di dalam dunia kang-ouw dan dia merasa muak dengan hal itu.

“Bukan itu saja yang terutama, Locianpwe. Teecu berpendapat bahwa jika gerombolan liar dan jahat macam Hek-i-mo tak dibasmi, maka lebih banyak orang lagi, orang-orang tidak berdosa, akan menjadi korban mereka. Dahulu Ibu pernah gagal, biarlah sekarang teecu sebagai anaknya melanjutkan usaha yang mulia itu, membersihkan dunia dari gerombolan jahat. Dan Kam-suheng sudah sanggup untuk membantu teecu.”

Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang. “Yah, kalian masih muda dan bersemangat besar. Akan tetapi, Siauw Hong, yakin benarkah engkau dan Sumoi-mu ini bahwa kalian akan mampu menghadapi Hek-i-mo? Ingat, entah sudah berapa banyaknya pendekar-pendekar yang tewas di tangan mereka sehingga sampai kini pun tidak ada lagi yang berani mencoba-coba menentangnya.”

“Tentu saja sebelum melihat kekuatan mereka, teecu tidak yakin, Suhu. Betapa pun juga, untuk menentang kejahatan dan membantu Sumoi, teecu sanggup dan berani.”

“Ci Sian, kalau mendiang Ibumu pernah berani menentang Hek-i-mo, tentu engkau keturunan keluarga yang hebat. Siapakah nama Ayahmu?”

Ditanya ayahnya, Ci Sian cemberut dan hatinya tidak senang. Siapa akan merasa senang mengaku Bu Seng Kin sebagai ayahnya kalau orang itu demikian gila wanita dan mempunyai isteri yang tidak kepalang banyaknya? Dia malu berayah Bu Seng Kin!

Melihat keraguan sumoi-nya, Kam Hong lalu mewakilinya menjawab, “Sumoi adalah puteri dari Bu Taihiap yang bernama Bu Seng Kin....“

“Ahh, pantas kalau begitu!” Sai-cu Kai-ong berseru girang. “Kiranya Ayahmu adalah pendekar besar itu!”

Akan tetapi Ci Sian sama sekali tidak kelihatan girang atau bangga dan hal ini dianggap oleh kakek itu sebagai sikap rendah hati yang amat baik. Setelah bercakap-cakap selama setengah hari, dan dalam kesempatan mana Ci Sian memasakkan makanan yang enak-enak untuk Sai-cu Kai-ong yang seakan-akan sudah memperoleh kembali kegembiraannya dalam pertemuan ini, mereka lalu mohon diri. Dan setelah mendapat keterangan di mana letak makam Sin-siauw Sengjin, Kam Hong bersama Ci Sian meninggalkan puncak Bukit Nelayan itu, diantar oleh Sai-cu Kai-ong sampai ke depan pintu dan kakek ini memandang ke arah dua orang muda itu sampai mereka lenyap dari pandangan mata.

Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang dan berkata lirih, “Jelas bahwa dia mencinta dara itu. Puteri Bu Taihiap! Dan Yu Hwi berjodoh dengan penghuni Lembah Suling Emas! Memang sayang sekali ikatan jodoh mereka itu putus, akan tetapi keduanya memperoleh pengganti yang sama sekali tidak mengecewakan. Semoga Yu Hwi hidup bahagia dengan suaminya dan Siauw Hong hidup bahagia dengan gadis she Bu itu.”

Kam Hong melakukan upacara sembahyang sederhana di depan makam Sin-siauw Sengjin, diikuti juga oleh Ci Sian yang sudah mendengar penuturan suheng-nya itu tentang diri kakek yang luar biasa itu. Mereka bermalam di makam itu semalam, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka menuruni puncak dan mulailah mereka dengan perjalanan mereka menuju ke Sin-kiang, daerah barat yang liar itu, untuk mencari Hek-i-mo, gerombolan penjahat yang dikabarkan amat ganas dan lihai sekali bagaikan segerombolan siluman. Perjalanan yang jauh, sukar dan berbahaya.....

********************
Kita tinggalkan dulu perjalanan kedua orang muda itu dan mari kita menengok dan berkenalan dengan yang dinamakan gerombolan Hek-i-mo. Gerombolan ini bersarang di Lereng Pegunungan Ci-lian-san yang terletak di perbatasan antara propinsi Sin-kiang dan Cing-hai. Di kedua propinsi ini, nama Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam) amat terkenal dan boleh dibilang merekalah yang menjadi pemerintah gadungan yang menguasai semua jalan-jalan raya yang menghubungkan kedua daerah itu.

Tidak ada perampok atau bajak sungai yang tidak tunduk kepada mereka, dan juga semua perusahaan pengawal dari kedua propinsi itu semua mengenal dan bersahabat dengan Hek-i-mo. Mereka semua dengan sikap hormat menyerahkan sejumlah ‘pajak’ atau ‘hadiah’ kepada perkumpulan ini agar pekerjaan mereka terjamin lancar.

Bukan hanya mereka yang berkepentingan lewat di daerah tapal batas kedua propinsi ini saja yang bersahabat dengan Hek-i-mo, bahkan juga para pembesar di Sin-kiang boleh dibilang sudah dikuasai oleh perkumpulan ini. Pembesar yang bersahabat dengan Hek-i-mo tentu akan dilindungi. Oleh karena itu, bukan merupakan pemandangan aneh kalau orang melihat satu dua orang anggota Hek-i-mo yang dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam, berkeliaran di kota-kota di daerah Sin-kiang atau Cing-hai sekali pun, dan menerima ‘sumbangan’ dari toko-toko yang besar.

Belasan tahun lamanya pengaruh Hek-i-mo terus merajalela tanpa ada yang berani menentangnya. Memang dahulu banyak juga pendekar-pendekar yang sudah berusaha menentang kekuasaan hitam ini, namun satu demi satu para pendekar penentang itu roboh, tewas atau terluka parah. Tidak ada seorang pun dapat menandingi Hek-i-mo dan akhirnya tidak ada lagi pendekar yang begitu bodoh untuk menyerahkan nyawa begitu saja.

Karena daerah ini terlalu jauh dari kota raja, dan juga karena Hek-i-mo tidak pernah terdengar memberontak, juga tidak melakukan kejahatan dengan mencolok, bahkan tak pernah merampok karena mereka ini tak pernah kekurangan ‘penghasilan’, maka tentu saja Hek-i-mo dapat bertahan sampai belasan tahun tanpa terganggu.

Di manakah letak kekuatan Hek-i-mo dan bagaimana kuatnya? Hek-i-mo dipimpin oleh seorang kakek yang kini usianya sudah sekitar enam puluh lima tahun dan selama belasan tahun ini dia hanya dikenal dengan nama julukannya, yaitu Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam) karena dia selalu memakai baju hitam-hitam dan tubuhnya yang seperti raksasa itu memang menyeramkan.

Kulit tubuhnya putih dan berbulu, karena memang dia mempunyai darah Han bercampur Kozak, ayahnya seorang Rusia Kozak dan ibunya seorang wanita Han. Wajahnya dapat dikatakan tampan dan gagah, akan tetapi sepasang matanya yang kebiruan itu amat tajam seperti mata setan, dan senyumnya selalu sinis, mengandung ejekan yang memandang rendah siapa pun juga. Raksasa ini rambutnya sudah putih semua, dan memang rambutnya itu agak keputihan, dan dalam usia lima puluh tahun, lima belas tahun yang lalu ketika dia pertama kali muncul di barat, rambutnya pun sudah putih.

Dahulu, sebelum dia dikenal sebagai Hek-i Mo-ong, namanya adalah Phang Kui, dan dia menggunakan she Phang yang menjadi she ibunya. Hek-I Mo-ong ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Selain ilmu silatnya yang tinggi, tenaganya yang amat besar, juga dia memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang dipelajarinya dari Tibet. Ilmu sihir atau ilmu hitamnya inilah yang amat ditakuti orang, dan mula-mula memang dia selalu mempergunakan ilmu hitam ini untuk mencari pengaruh dan menundukkan orang-orang.

Phang Kui ini memang cerdik. Begitu muncul, kurang lebih delapan belas tahun yang lalu, dia tak mau mengganggu orang baik-baik atau orang-orang pemerintah, melainkan merajalela di antara orang-orang jahat. Ditundukkannya semua perampok, bajak sungai, maling-maling dan semua orang jahat, ditundukkannya pula semua perkumpulan yang menggerakkan tempat-tempat perjudian atau pelacuran, semua ketua mereka satu demi satu dikalahkannya. Namanya mulai dikenal dan ditakuti dan kalau orang sudah ditakuti oleh golongan sesat, tentu saja penduduk juga menjadi takut!

Phang Kui menjadi ‘rajanya’ orang jahat dan dia dijuluki Hek-i Mo-ong! Dan mulailah orang-orang jahat mendekatinya dan menyanjungnya. Namun, Phang Kui tidak mau sembarangan memilih orang. Dia akhirnya berhasil mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang dipilihnya, yang memiliki kepandaian atau bakat ilmu silat, memiliki tubuh yang kuat. Dia mengumpulkan lima puluh orang yang digemblengnya sehingga mereka menjadi pasukan yang amat kuat, karena masing-masing anggota merupakan seorang ahli silat yang tangguh di samping mempelajari satu dua macam ilmu hitam.

Semenjak itulah, perkumpulan Hek-i-mo berdiri, beranggotakan lima puluh orang yang tangguh sekali. Kemudian, Hek-i Mo-ong mengumpulkan delapan orang murid yang terdiri dari orang-orang yang tadinya sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, di antara tokoh-tokoh hitam yang yang ditundukkannya. Mereka ini dianggap sebagai murid-murid kepala dan beberapa tahun kemudian, terkenal pulalah nama Hek-I Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) yang merupakan murid-murid dan wakil Hek-i Mo-ong. Delapan orang murid inilah yang mengurus segala urusan, dan juga mengepalai serta menggembleng anggota-anggota Hek-i-mo.

Sedangkan Hek-i-mo sendiri lebih banyak mendekam di dalam sarangnya, yaitu sebuah gedung yang cukup indah di lereng Pegunungan Ci-lian-san. Pekerjaannya hanyalah bersemedhi, makan enak, pesta-pesta, dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada delapan orang murid-muridnya, baik dalam hal ilmu silat atau ilmu hitam. Hanya kalau ada urusan-urusan penting sekali sajalah maka Hek-i Mo-ong keluar sendiri. Akan tetapi segala urusan harian yang tidak begitu penting, cukup diselesaikan oleh Hek-i Pat-mo saja.

Akan tetapi, sampai usia enam puluh lima tahun itu, Hek-i Mo-ong tak pernah menikah, walau pun di bagian belakang gedungnya terdapat bagian luas di mana hidup belasan orang wanita muda dan cantik yang merupakan sekumpulan wanita-wanita peliharaan atau selir-selirnya! Dia bukan seorang yang mata keranjang dan pengejar wanita, tetapi wanita-wanita muda cantik itu adalah ‘hadiah-hadiah’ dari kepala perampok, pimpinan piauw-kiok dan juga pembesar! Dia tidak menolaknya dan mengumpulkan wanita-wanita muda itu, akan tetapi hanya jarang-jarang dia menggauli mereka.

Juga Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu tak ada yang beristeri, sungguh pun usia mereka sudah antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Hal ini bukan berarti mereka tidak mau berdekatan dengan wanita, akan tetapi mereka tidak mau terikat dengan wanita seperti guru mereka, dan wanita itu bagi mereka hanyalah alat bersenang-senang, tiada lain!

Dan agaknya apabila mereka menghendaki seorang wanita cantik, maka wanita itu sudah pasti akan terjatuh oleh mereka, baik melalui ancaman, mau pun ilmu silat atau ilmu sihir. Betapa pun juga, suhu mereka sudah memperingatkan dengan keras para murid tidak mengganggu wanita-wanita keluarga pembesar atau keluarga golongan ‘sahabat-sahabat’ mereka dan hanya membatasi pada wanita-wanita dusun dan wanita-wanita gunung saja.

Malam itu adalah malam bulan purnama. Dan seperti biasa, pada malam-malam seperti itu, Hek-i Mo-ong tentu mengajak delapan orang muridnya untuk berlatih semedhi di tempat terbuka, untuk menampung sinar bulan purnama yang mempunyai hikmat untuk memperkuat ilmu hitam mereka.

Tetapi tidak seperti biasanya, malam itu merupakan malam istimewa bagi Hek-i Mo-ong karena ada urusan penting yang harus ditanganinya sendiri, yaitu dengan ditawannya tiga orang musuh yang berani datang menentang Hak-i-mo! Biar pun yang manghadapi musuh-musuh ini adalah murid-muridnya, bahkan yang menawan juga murid-muridnya, akan tetapi untuk memutuskan hukuman apa yang harus diberikan kepada mereka, harus dia sendiri yang menentukan.

Malam itu bulan amat terang, tidak ada awan hitam menghalang. Cahaya bulan yang misterius memandikan permukaan bumi, dan terutama sekali di tanah datar tertutup rumput di belakang rumah gedung yang menjadi sarang Hek-i-mo itu cahaya bulan nampak aneh dan mendatangkan hawa dingin yang mendirikan bulu roma. Sunyi sekali suasana di tempat itu, sebuah padang rumput yang luas di belakang gedung.

Semenjak tadi para anak buah Hek-i-mo sudah berkumpul. Mereka memang disuruh berkumpul di tempat itu untuk menyaksikan ‘pengadilan’ yang akan disidangkan untuk menjatuhkan hukuman kepada tiga orang tawanan. Karena sebagian dari mereka bertugas menjaga keamanan seperti biasa, maka yang berkumpul hanya sekitar tiga puluh orang, yang membentuk lingkaran lebar sakali di lapangan rumput itu, seperti pagar manusia yang aneh karena mereka semua berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengan di belakang, tidak bergerak seolah-olah tiga puluhan orang itu telah berubah menjadi arca. Pakaian mereka yang hitam membuat keadaan mereka itu lebih menyeramkan lagi. Hanya karena sinar bulan yang terang saja mereka dapat nampak, karena di malam hari tanpa bulan, mereka tidak akan kelihatan sama sekali. Pakaian mereka, sampai sepatu mereka, semua berwarna hitam.

Kemudian di bagian dalam lingkaran luas yang dibuat oleh tiga puluh orang itu, nampak sebuah lingkaran lain, sebuah lingkaran yang garis tengahnya kurang lebih empat lima meter, dan lingkaran itu pun merupakan lingkaran segi delapan yang dibentuk oleh delapan orang yang duduk teratur seperti Pat-kwa (Segi Delapan). Delapan orang ini berusia sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat, dengan sepasang mata yang berkilau tajam dan sikap mereka juga seperti arca, tanpa bergerak, duduk mereka bersila dan kedua lengan terletak di atas paha.

Di tengah-tengah lingkaran mereka itu terdapat sebuah bantal bundar berwarna merah, dan tak jauh dari situ nampak tubuh tiga orang yang terbelenggu kaki tangannya. Delapan orang itu adalah Hek-i Pat-mo, juga mereka semua mengenakan pakaian dan sepatu hitam, hanya lengan kanan mereka memakai sebuah gelang warna kemerahan. Kepala mereka memakai penutup kepala kain hitam pula sehingga mereka nampak lebih menyeramkan dari pada para anak buah yang tidak memakai penutup kepala, melainkan menggelung rambut mereka ke atas seperti kebiasaan pendeta tosu.

Tak lama kemudian, tiga puluh lebih anggota Hek-i-mo yang berdiri dengan kedua kaki terpentang itu, tiba-tiba menggerakkan kaki mereka dan kini kedua kaki itu merapat dan mereka berdiri tegak, memandang ke arah belakang gedung dengan sikap bagaikan pasukan memberi hormat kepada komandan mereka. Juga delapan orang Hek-i Pat-mo itu memandang ke arah pintu belakang gedung yang terbuka dari dalam dan dari pintu itu muncullah seorang laki-laki tinggi besar dengan langkah tenang.

Memang Ketua Hek-i-mo ini sangat menyeramkan. Muncul di terang bulan seperti itu, pakaiannya yang serba hitam itu membuat wajahnya makin nampak putih, demikian pula rambutnya seperti benang-benang perak saja, berkilauan tertimpa cahaya bulan. Kepalanya tidak ditutupi, dan rambutnya yang panjang itu dibiarkan awut-awutan di atas kedua pundaknya. Bertemu dengan orang ini di tempat gelap yang sunyi mungkin cukup membuat yang bertemu itu lari ketakutan, mengira bertemu dengan iblis.

Setelah memasuki lingkaran itu, Hek-i Mo-ong lalu duduk bersila di atas bantal bundar merah yang telah tersedia di situ, dan delapan orang muridnya mengangkat kedua tangan ke depan hidung, dengan tangan dirangkapkan seperti orang menyembah. Itulah penghormatan mereka sebagai murid kepada ketua mereka atau juga guru mereka.

Lingkaran itu cukup terang di bawah sinar bulan purnama. Hek-i Mo-ong memandang ke arah tiga tawanan yang terbelenggu kaki tangan mereka dan rebah miring. Tiga orang tawanan itu adalah tiga orang yang berpakaian ringkas seperti biasa dipakai oleh para kang-ouw. Seorang kakek berusia kurang lebih empat puluh tahun, seorang pemuda yang berusia antara dua puluh lima tahun dan seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh tahun. Mereka itu jelas tidak berdaya, sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan ada luka-luka berdarah di beberapa bagian tubuh mereka, namun sikap mereka masih gagah dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan pada saat Hek-i Mo-ong muncul, mereka memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.

“Siapakah dia?” Hek-i Mo-ong bertanya sambil menuding ke arah kakek itu.

Salah seorang di antara murid-muridnya, yang bersila berhadapan dengannya dan yang kumisnya amat lebat menutupi mulutnya, lalu berkata, “Namanya Cia Khun, adik dari Ciau-piauwsu dari kota Sin-ning.”

Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. “Balas dendam, ya? Cia-piauwsu tewas karena berani menentang Hek-i-mo, apa anehnya dengan itu? Tidak ada penasaran karena salahnya sendiri. Dan orang seperti kalian ini, dengan kepandaian yang rendah, berani mencoba untuk menentang kami? Sekarang kau sudah tertawan, mau bilang apa lagi?”

“Hanya hendak mengatakan bahwa engkau adalah seorang manusia iblis terkutuk!” Kakek yang bernama Cia Kun itu membentak.

Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. “Dan pemuda itu?” tanyanya tak acuh.

“Putera dari mendiang Cia-piauwsu,” jawab muridnya yang berkumis tebal.

“Gadis itu?”

“Puterinya.”

“Keduanya belum menikah?”

“Belum.”

“Sayang, sayang....! Nah, kalian bertiga orang-orang tiada guna ini, boleh pilih. Mati atau menebus nyawamu bertiga dengan seribu tail perak!”

“Iblis!” Kakek itu memaki. “Jangankan kami tidak punya uang sebanyak itu, andai kata punya sekali pun, tidak sudi kami memberikan kepada iblis macammu! Lebih baik kami mati!”

Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, masih hendak berlagak gagah-gagahan? Orang she Cia, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang dapat melarang?”

“Bunuhlah! Siapa takut mampus?” Kakek itu membentak dengan mata melotot.

Dua orang keponakannya hanya memandang dengan wajah agak pucat karena betapa pun juga, ngeri hati mereka melihat Ketua Hek-i-mo ini. Mereka bertiga dengan nekat datang untuk membalaskan kematian Cia-piauwsu, yaitu ketua perusahaan pengawalan yang tewas di tangan Hek-i-mo. Mereka disambut oleh delapan orang murid kepala Hek-i-mo dan dalam perkelahian satu lawan satu, mereka bertiga kalah semua, luka-luka dan tertawan. Baru ilmu kepandaian muridnya saja sudah sehebat itu, apalagi kepandaian gurunya ini.

Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara ketawa sekali lagi, lalu memberi perintah kepada seorang di antara delapan muridnya untuk mengambilkan lilin-lilin dari dalam rumah. Seorang murid yang duduk di bagian belakang menyanggupi, lalu meloncat bangun dengan cepat, tahu-tahu sudah lenyap dari situ dan memasuki rumah dari pintu belakang. Demikian cepat gerakan orang ini, apalagi karena pakaiannya hitam maka dia seolah-olah dapat menghilang saja, persis seperti lblis! Tak lama kemudian dia sudah datang lagi membawa sebungkus lilin. Bungkusan dibuka dan keluarlah lilin yang cukup banyak.

Hek-i Mo-ong mengambil sebatang lilin, lalu membuat gerakan aneh dan.... lilin yang sebatang itu menyala! Dia menaruh lilin di depannya, dan sungguh mengherankan, biar pun malam itu ada angin lembut bertiup, namun lilin yang bernyala itu sama sekali tidak terganggu. Nyala api lilin itu tetap anteng dan tidak bergerak.

Sambil tersenyum-senyum aneh Raja Iblis Hitam itu lalu mengepal-ngepal lilin-lilin tadi dengan kedua tangannya yang besar. Seperti terkena hawa panas, lilin-lilin itu menjadi lunak dan kakek raksasa ini lalu membentuk lilin-lilin putlh menjadi boneka-boneka, tiga buah boneka yang mirip dengan tiga orang tawanan itu. Seorang kakek, seorang pemuda dan seorang gadis!

Ketiga tawanan itu memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan dilakukan manusia iblis itu. Membuat boneka? Sudah gila agaknya orang itu, seperti anak kecil saja, membuat boneka di saat menyeramkan seperti itu. Akan tetapi delapan orang muridnya hanya memandang penuh perhatian, seperti murid-murid yang sedang mempelajari sesuatu, sedangkan barisan anggota Hek-i-mo yang kini sudah ikut duduk bersila, tetap dalam keadaan mengepung atau membuat lingkaran, memandang dengan takjub dan penuh hormat, sedikit pun tidak berbuat sesuatu atau mengeluarkan suara, bahkan hampir tidak berani bergerak.

Setelah selesai membuat boneka-boneka itu, Hek-i Mo-ong lalu mendirikan tiga buah boneka dari lilin putih itu di depannya sambil menyeringai girang. Mendadak tangan kirinya digerakkan ke arah para tawanan. Angin dahsyat menyambar dari tangannya, membuat rambut kepala tiga orang tawanan itu berkibar dan.... beberapa helai rambut mereka beterbangan ke arah kakek yang luar biasa ini. Hek-i Mo-ong telah mengambil masing-masing tiga helai rambut dari kepala tiga orang tawanan secara luar biasa sekali! Dan tiga helai rambut itu lalu dia pasangkan pada kepala boneka masing-masing. Sungguh aneh sekali semua ini, dan tiga orang tawanan itu mulai merasa seram karena mereka sudah mendengar bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli ilmu hitam seperti iblis sendiri.

Setelah tersenyum-senyum melihat hasil karyanya, kakek itu lalu memandang lagi ke arah tiga orang tawanannya. “Lepaskan belenggu mereka!” perintahnya.

“Tapi, Suhu, mereka itu sudah nekat, tentu akan mengamuk dan merepotkan!” kata Si Kumis Tebal.

“Ha-ha-ha, tidak. Mereka tidak akan mampu bergerak sebelum kuperintah!” jawab kakek ini, lalu dia menggunakan jari telunjuk untuk menotok kepala tiga buah boneka itu dan benar saja, setelah ketiga orang tawanan itu dibebaskan dari belenggu, mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan, walau pun mereka tidak merasakan nyeri dan sebenarnya jalan darah mereka berjalan normal. Mereka masih rebah dan hanya memandang pada boneka-boneka di depan kakek yang menyeramkan itu.

“Ha-ha-ha, murid-muridku, kalian lihatlah baik-baik. Biar pun aku bukan seorang ahli pembuat boneka, akan tetapi kalian dapat melihat dengan jelas bahwa tiga buah boneka ini adalah mereka bertiga, bukan? Kekurang sempurnaan pembuatan boneka ini dapat disempurnakan dengan pemasangan rambut asli mereka di kepala boneka masing-masing, inilah yang dinamakan ilmu Memindahkan Semangat Dalam Boneka. Kalian sudah kuajari caranya dan manteranya. Nah, dengarlah baik-baik, dan lihatiah.”

Kakek itu lalu mengembangkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan gemetar ke atas boneka-boneka itu. Semakin lama kedua tangannya gemetar semakin hebat dan mulutnya mengucapkan mantera-mantera dalam bahasa Tibet kuno. Dan delapan orang muridnya, Hek-i Pat-mo, memandang dengan penuh perhatian, dengan mata yang hampir tidak pernah berkedip.

Dan terjadilah keanehan yang menyeramkan. Tiga buah boneka yang rebah telentang di depan kakek itu mulai bergerak-gerak! Mula-mula hanya tiga helai rambut di kepala boneka-boneka itu yang bergerak-gerak seperti tertiup angin, dan agaknya gerakan rambut ini lalu menjalar ke dalam boneka-boneka itu dan mulailah boneka-boneka itu bergerak-gerak seperti kemasukan roh. Dan ketiga orang tawanan itu, yang kini tidak terbelenggu lagi, ikut pula bergerak-gerak dan gerakan tubuh mereka persis dengan gerakan boneka-boneka itu, atau mungkin sebaliknya, yaitu bagaimana pun mereka bergerak, boneka-boneka itu ikut pula bergerak.

“Lihat baik-baik, muridku, lihat baik-baik. Selama ini, ilmu yang kalian pelajari hanya teorinya saja, dan kita sekarang memperoleh kesempatan untuk mempraktekkannya dengan tawanan-tawanan bandel ini. Nah, aku mulai dengan laki-laki yang tua itu.”

Dia mengambil sebuah di antara boneka-boneka itu, memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya kemudian mengeluarkan sebatang jarum. Kembali dia mengucapkan mantera, dan mendadak dia memasukkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan boneka.

Terdengar suara mengaduh dari kakek tawanan dan kakek itu menggunakan tangan kanan untuk memegangi tangan kirinya yang tiba-tiba saja sudah berdarah, seperti juga tangan boneka tertusuk jarum itu yang mengeluarkan sedikit darah.

Hek-i Mo-ong terkekeh senang sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri ketika dia melihat darah, seperti seekor harimau kelaparan mencium bau darah. Dia menancapkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan kanan boneka dan kakek itu kembali mengeluh dan telapak tangan kanannya mengucurkan darah seperti baru saja ditusuk pedang yang amat runcing dan tajam. Kedua tangannya kini telah terluka berdarah, akan tetapi biar pun begitu, dia masih memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan sepasang mata terbelalak penuh kebencian.


Hek-i Mo-ong bukan tidak tahu akan kekerasan hati tawanannya, dan agaknya hal ini menambah keganasannya. Dia menusukkan jarum itu bertubi-tubi ke semua bagian tubuh mereka. Mula-mula ke arah kedua kakinya, kemudian lengannya, kedua pipinya, pundaknya. Mula-mula ke bagian tubuh yang tidak mematikan dan seluruh tubuh kakek itu mengeluarkan darah. Di bagian tubuh boneka yang tertusuk nampak bintik-bintik darah, tetapi di tubuh kakek itu darah mulai bercucuran membasahi seluruh pakaiannya.

Akan tetapi kakek itu tidak mengeluh lagi, bahkan lalu mengatupkan bibirnya menahan semua rasa nyeri. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan melihat betapa kakek itu berkelojotan tanpa mengeluarkan suara, dan pandang matanya masih ditujukan kepada penyiksanya dengan penuh kebencian. Ada keinginan hatinya untuk nekat dan menyerang kakek iblis itu, akan tetapi setiap kali dia hendak menggerakkan kaki tangannya, dia terguling lagi dan karena kini seluruh tubuhnya penuh luka-luka dan darahnya banyak yang terbuang, maka dia menjadi semakin lemas dan akhirnya hanya rebah dan menanti datangnya maut saja.

Hek-i Mo-ong agaknya sudah merasa bosan menyiksa lawannya, maka sekarang dia menusukkan jarumnya ke dada boneka sampai tembus. Kakek tawanan mengeluarkan sekali jerit tertahan, tubuhnya berkelojotan dan dari dada dan punggungnya mengucur darah, tidak banyak lagi dan tubuhnya pun terkulai lemas dan tak bernyawa lagi.

Sejak tadi dua orang keponakannya hanya dapat menonton dengan mata terbelalak penuh kengerian dan jantung berdebar-debar tegang. Mereka berdua juga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, seolah-olah ada tali yang tak nampak masih membelenggu mereka. Kini, melihat paman mereka itu sudah tidak bergerak lagi, mereka merasa sedih dan marah sekali, akan tetapi bercampur juga dengan perasaan lega karena paman mereka itu tidak akan menderita lagi. Maka mereka lalu menujukan pandang mata mereka kepada Hek-i Mo-ong dengan penuh kebencian, sedikit pun mereka tidak merasa takut walau pun mereka berdua maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan kakek iblis ini.

“Ha-ha-ha, kalian yang masih muda-muda, apakah tidak sayang akan hidup kalian? Sediakan seribu tail perak dan aku akan membebaskan kalian dari kematian,” berkata Hek-i Mo-ong, masih mencoba untuk membujuk dua orang muda itu. Baginya, tentu saja uang sebanyak itu jauh lebih penting dari pada nyawa dua orang yang tidak ada artinya itu.

Akan tetapi, dua orang muda itu sudah marah sekali. Selain mereka tidak mempunyai uang sebanyak itu, juga mereka tidak sudi takluk terhadap kakek iblis itu.

“Hek-i Mo-ong iblis tua bangka, siapa takut akan ancamanmu?” Pemuda itu berteriak marah dan berusaha untuk memperoleh kembali tenaganya agar dia dapat mengamuk dan menyerang kakek itu. Akan tetapi usahanya sia-sia saja karena setiap kali kaki dan tangannya dapat bergerak, segera ada tenaga lain yang membuatnya lumpuh kembali.

“Bagus, kau mau main gagah-gagahan? Nah, rasakan ini!” Kakek itu lalu menggunakan jarumnya yang telah menewaskan kakek tawanan tadi untuk menusuk-nusuk kepala boneka pemuda itu. Tusukannya tidak terlalu dalam, tetapi cukup untuk mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa pada pemuda itu.

Tiba-tiba saja pemuda itu dapat bergerak, mencengkeram dengan kedua tangannya pada kepalanya, menjambak-jambak rambutnya karena dia merasakan kenyerian yang tak tertahankan lagi. Dan dari balik rambut-rambut kepalanya itu mulai bercucuran darah yang menetes-netes di leher dan mukanya. Mengerikan sekali.

Hek-i Mo-ong adalah seorang ahli totok, maka tusukan-tusukannya ditujukan kepada jalan-jalan darah dan kini pemuda itu menggunakan sepuluh jari tangannya mencakar sana-sini, seluruh tubuhnya yang terasa sakit-sakit dan gatal-gatal, bergulingan dan mengeluarkan suara seperti gerengan seekor binatang buas. Seluruh tubuhnya kini mengeluarkan darah seperti halnya pamannya tadi, akan tetapi dia lebih tersiksa dari pada pamannya. Kemudian sambil tertawa bergelak Hek-i Mo-ong lalu memegang kedua kaki boneka yang sudah berbintik-bintik merah, dan menaruh boneka itu di atas api lilin yang bernyala di depannya.

Terdengar jeritan melengking yang amat mengerikan keluar dari mulut pemuda itu dan.... semua mata, terutama mata gadis itu, memandang terbelalak kepada tubuh pemuda itu. Sekarang tubuh pemuda itu, terutama di bagian mukanya, mulai berkeriput, mengering seperti terkena api, dan makin lama jeritannya makin lemah dan tubuhnya mulai meleleh, seperti lilin dibakar, berbareng dengan melelehnya boneka lilin yang terkena api itu. Bau sangit menusuk hidung.

Bukan hanya gadis itu yang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan peristiwa ini, bahkan para anggota Hek-i-mo juga memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Mereka itu ketakutan, membayangkan betapa akan mengerikan kalau sampai mereka terhukum oleh ketua mereka seperti itu. Hanya wajah Hek-I Pat-mo sajalah yang tidak berubah, bahkan sinar mata mereka berapi dan penuh kegembiraan dengan demonstrasi kekuatan ilmu hitam yang sangat mengerikan itu. Akhirnya Hek-i Mo-ong melemparkan sisa boneka pemuda yang telah terbakar itu, dan di situ nampak bekas tubuh pemuda itu yang telah menjadi seonggok daging terbakar yang mengeluarkan bau keras.

“He-he-he-he, bagaimana, Nona? Apakah engkau masih hendak berkeras kepala? Jika engkau mau berusaha mengeluarkan uang tebusan itu, mungkin engkau akan dapat hidup!”

“Siluman keparat! Untuk apa aku hidup lagi setelah engkau membunuh Paman dan Kakakku sekejam itu? Kau kira aku takut melihat siksaan itu? Siksalah aku, bunuhlah, akan tetapi jangan harap aku akan tunduk kepadamu, Iblis berwajah manusia!”

Kakek itu tidak marah, hanya terkekeh. “Murid-muridku, lihat baik-baik, boneka-boneka yang telah mengandung satu semangat dengan orang-orangnya itu bukan hanya dapat dipergunakan untuk mempengaruhi tubuh mereka, melainkan juga pikiran mereka. Lihatlah, aku akan membikin percobaan dengan gadis ini.”

Mendengar ini, gadis itu dengan mata terbelalak memandang ke arah boneka lilin yang memakai sehelai rambutnya itu. Mukanya pucat dan jelas ada kengerian hebat di dalam pandang matanya, namun ia tetap tidak sudi untuk menakluk.

Kakek itu mengambil guci arak yang terletak di sampingnya, kemudian menempelkan guci ke bibirnya dan dituangkan sedikit arak ke dalam mulutnya. Dia memejamkan mata sebentar, lalu disemburkan arak itu ke arah boneka yang dipegangnya, dan dengan sepasang mata yang tajam seperti mata setan itu dia menatap ke arah wajah boneka, mulutnya berkemak-kemik. Nampaklah boneka itu mengeluarkan uap tipis! Berbareng dengan itu, terdengar keluhan dari mulut gadis itu. Hek-i Pat-mo memandang kepada gadis itu untuk menyaksikan akibat dari ilmu hitam guru mereka.

Gadis itu mengeluh perlahan, kedua matanya terpejam, kemudian ia mengerang dan kedua tangannya bergerak, mula-mula ke arah dadanya, lalu ke arah kepalanya dan tubuhnya mulai bergulingan, mulutnya terengah-engah dan sikapnya seperti orang kepanasan. Makin lama, rintihannya makin sering dan keras, dan bangkitlah ia, matanya masih terpejam dan kini, seperti orang kegerahan yang berada di dalam kamar seorang diri, gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu sampai tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya.

la lalu bangkit berdiri, meliuk-liukkan tubuhnya seperti orang masih kegerahan, lalu membuka matanya. Bukan lagi mata yang bersinar keras hati dan penuh kebencian dari gadis tadi, melainkan sepasang mata yang penuh gairah! Dan seperti tertarik oleh besi semberani, gadis yang bertelanjang bulat itu menghampiri Hek-i Mo-ong, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan dengan erangan-erangan dan belaian kedua tangan, mulailah ia membelai dan merayu Hek-i Mo-ong! Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi gila, atau seorang yang kehausan karena nafsu birahi.

“Ha-ha-ha-ha!” Hek-i Mo-ong mendorongnya sampai terjengkang, kemudian kakek itu menggunakan tangan kiri mengambil beberapa ekor semut-semut merah yang berada di situ, memijit sedikit semut-semut itu dan ditempelkannya semut-semut yang kesakitan itu pada boneka lilin.

Semut-semut yang kesakitan itu tentu saja lalu menggigit tubuh boneka itu dan gadis itu menjerit-jerit lirih, tubuhnya terasa gatal-gatal dan sakit dan ia menggaruk sana-sini dan tentu saja tubuhnya yang telanjang bulat itu menggeliat-geliat, berkelojotan. Melihat ini, kalau Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja dengan dingin, delapan muridnya sudah memandang dengan mata melotot dan mulut berliur, mereka mulai terserang gairah nafsu menggelora. Melihat keadaan murid-muridnya ini, Hek-i Mo-ong malah tertawa.

“Heh-heh-heh, kalau kalian mau, bawalah ia. Akan tetapi sesudahnya, ia harus mati agar kelak tidak mendatangkan mara bahaya bagi kita.”

Seperti delapan ekor serigala dilepas dari kurungan, delapan orang murid kepala itu nampak gembira sekali. Seorang di antara mereka, yang merupakan murid tertua atau pimpinan dari Hek-i Pat-mo, lalu meloncat dan menyambar tubuh telanjang gadis itu, dipanggulnya dan setelah menjura kepada Hek-i Mo-ong, dia lalu meloncat pergi diikuti oleh tujuh orang adik-adik seperguruannya. Terdengar suara ketawa mereka, biar pun bayangan mereka sudah tidak nampak lagi dan pandang mata para anggota Hek-i-mo mengikuti bayangan mereka tadi dengan pandang mata penuh iri!

Akan tetapi, ketua mereka lalu menyuruh membersihkan tempat itu dan menyingkirkan dua mayat itu. Kemudian, dengan langkah gontai seolah-olah sedang berjalan-jalan dan tidak pernah terjadi sesuatu, Hek-i Mo-ong meninggalkan tempat itu untuk kembali ke gedungnya. Dia sudah menghukum tiga orang musuh yang berani melawannya, juga telah mendemonstrasikan kepandaian ilmu hitamnya.

Pertama untuk melatih dan memberi petunjuk kepada Hek-i Pat-mo, dan kedua untuk membuat para anggotanya semakin tunduk dan takut. Dia tahu bahwa gadis itu tentu akan tewas karena tidak mungkin dapat bertahan hidup setelah dikuasai oleh delapan orang murid kepala yang telah dikuasai oleh nafsu birahi yang menggelora itu. Dan dia tersenyum. Sekali-kali perlu juga semangat delapan orang muridnya itu dibangkitkan agar gairah hidupnya makin besar dan kesetiannya kepadanya semakin menebal.

Demikianlah keadaan Hek-i-mo yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong Phang Kui. Kakek ini bukan hanya lihai sekali ilmu sihirnya yang berdasarkan ilmu hitam, tetapi kabarnya juga amat lihai ilmu silatnya. Bahkan Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu pun hampir tak pernah menemui tandingan. Entah sudah berapa puluh atau ratus kali kaum pendekar atau mereka yang memiliki ilmu silat dan mencoba menentang Hek-i-mo, harus mengalami kekalahan terhadap delapan orang murid kepala ini. Sebagian besar di antara para pendekar yang berani menentang mereka akhirnya mengalami kematian menyedihkan, dan hanya sedikit yang dapat lolos dengan menderita luka yang cukup hebat.

Pada suatu malam bulan purnama yang sunyi. Angkasa bersih sekali sehingga nampak bulan purnama sepenuhnya, besar bulat dan terang tidak dihalangi sedikit pun awan tipis sehingga bulan nampak anteng tidak pernah bergerak dengan latar belakang langit yang hitam pekat di mana nampak bintang-bintang yang sinarnya menjadi lemah dan layu oleh sinar bulan. Tidak ada angin bersilir di padang rumput itu.

Hek-i Mo-ong duduk di atas setumpukan tengkorak manusia yang telah disusun menjadi tumpukan piramida yang menuding ke atas. Hek-i Mo-ong duduk di puncak tumpukan itu, di atas tengkorak paling atas. Amat mengherankan betapa dia dapat duduk bersila di atas sebuah tengkorak saja dan tumpukan itu tidak sampai runtuh didudukinya. Untuk dapat meloncat dan duduk tak bergerak di atas tumpukan tengkorak seperti itu tentu saja membutuhkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.

Di sekeliling kakek ini, di atas tumpukan tengkorak-tengkorak lain, akan tetapi tumpukan ini jauh lebih kecil dan rendah, duduklah Hek-i Pat-mo, bersila seperti suhu mereka pula, dan mereka itu duduk mengelilingi suhu mereka dalam bentuk segi delapan. Kiranya Hek-i Mo-ong Phang Kui sedang melatih diri bersama para murid-muridnya, bersemedhi untuk menerima dan mengumpulkan kekuatan yang terkandung di dalam sinar bulan purnama untuk memperkuat kekuatan sihir mereka!

Kalau mereka sedang berlatih seperti ini, tidak ada seorang pun anggota Hek-i-mo yang boleh mendekat. Mereka itu hanya diwajibkan untuk menjaga di luar pekarangan itu. Dan kalau mereka sedang berlatih seperti itu, suasananya menjadi amat menyeramkan, seolah-olah di sekitar daerah itu terasa adanya hawa yang penuh dengan kekuatan hitam yang mengerikan. Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak, seolah-olah alam berhenti dan mati. Yang menguasai alam di tempat itu adalah kesunyian yang tidak wajar.

Akan tetapi, kalau Hek-i Pat-mo bersila dengan tekun dan tenggelam dalam keheningan semedhi yang mereka buat, sebaliknya Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Tingkat kepandaian delapan orang muridnya belum mencapai tingkat setinggi yang dimilikinya sehingga jika dia dapat merasakan datangnya getaran yang tak wajar, murid-muridnya itu tidak mengetahuinya.

Hek-i Mo-ong sudah sejak tadi sadar dari semedhinya dan dia memandang lurus ke depan, tidak bergerak-gerak oleh karena dia sedang memperhatikan sekitar tempat itu, bukan dengan matanya melainkan dengan telinga dan perasaannya yang amat peka di saat itu. Dia tahu bahwa ada dua orang datang mendekati tempat itu, dua orang yang dia tahu bukan orang sembarangan karena getarannya terasa amat kuatnya oleh kepekaannya. Dia tahu bahwa dua orang yang dapat tiba di tempat itu, menembus penjagaan para anggota Hek-i-mo tanpa diketahui sama sekali, tentulah orang-orang yang berilmu tinggi.

Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika tiba-tiba muncul dua bayangan orang yang memang telah diduganya, karena tidak seperti yang disangkanya, dua orang yang muncul itu bukanlah orang-orang tua yang sepatutnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, melainkan dua orang muda, yaitu seorang pemuda dan seorang gadis remaja! Dia terkejut dan mengerahkan kekuatannya untuk menambah peka perasaannya, akan tetapi perasaannya itu tidak membohonginya. Getaran yang amat hebat itu memang datang dari dua orang muda yang telah berada di tempat itu!

Hek-i Mo-ong masih diam saja. Dia ingin melihat apa yang hendak dilakukan oleh dua orang muda itu. Yang dia herankan adalah betapa delapan orang murid kepala yang masih bersemedhi itu sama sekali belum juga sadar. Hal ini saja sudah menjadi tanda betapa lihainya dua orang muda ini, gerakannya sedemikian ringannya, jejak kaki mereka tidak mengeluarkan sedikit pun bunyi sehingga delapan orang muridnya yang amat lihai itu pun tidak dapat mendengar atau mengetahui apa-apa. Tanpa menoleh, hanya mengikuti mereka dengan pendengarannya, Hek-i Mo-ong diam saja dan terus memperhatikan.

Dua orang itu nampak saling pandang, lalu keduanya mengangguk dan tiba-tiba saja mereka berdua melakukan gerakan meloncat tinggi, melampaui delapan orang yang duduk mengelilingi guru mereka dalam bentuk segi delapan itu dan ketika mereka berdua turun, di depan Hek-i Mo-ong, hanya dalam jarak empat meter, kaki mereka sama sekali tidak mengeluarkan suara! Dan bahkan setelah kedua orang itu berada di dalam lingkaran delapan orang Hek-i Pat-mo itu, tetap saja Hek-i Pat-mo belum juga sadar!

Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong menjadi marah kepada delapan muridnya. Dia pun mengerahkan tenaga dan dengan tenaga batinnya dia membentak murid-muridnya itu yang tersentak kaget dan sadar dari semedhi mereka. Tentu saja mereka terbelalak memandang kepada pemuda dan gadis yang telah berdiri di situ, di dalam lingkaran mereka. Sungguh hal ini sangat mengejutkan hati mereka. Sejak kapan dua orang itu memasuki lingkaran mereka tanpa mereka ketahui? Tentu guru merekalah yang sudah melakukan ini, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba saja mereka itu mendengar bisikan suara guru mereka di dekat telinga masing-masing.

“Mereka adalah lawan-lawan lihai, hadapi mereka dengan kekuatan sihir untuk mencoba mereka!”

Barulah delapan orang itu terkejut bukan main. Maka mereka segera mengerahkan kekuatan batin mereka, dan sekali mereka mengerahkan tenaga, tubuh mereka sudah melayang turun dan mereka sudah berdiri mengepung dua orang muda itu dengan kedudukan segi delapan. Akan tetapi mereka tidak turun tangan menyerang, melainkan bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik membaca mantera.

Pemuda dan gadis itu memandang mereka dengan penuh kewaspadaan. Akan tetapi, alangkah kaget hati gadis remaja itu melihat betapa delapan orang yang mengepung itu, tiba-tiba saja mengeluarkan uap hitam dan tubuh mereka segera diselubungi uap hitam yang tentu saja membuat tubuh mereka hilang dan tidak nampak. Di dalam malam bulan purnama ini, peristiwa itu amat menyeramkan, seolah-olah delapan orang itu sedang menghilang atau berubah menjadi asap hitam, seperti yang terjadi pada setan-setan di dalam dongeng kuno.

Dua orang muda itu adalah Kam Hong dan Ci Sian. Seperti kita ketahui, mereka memang pergi ke barat mencari Hek-i-mo, musuh besar Ci Sian yang merasa sakit hati karena ibunya telah meninggal akibat penyerbuannya kepada Hek-i-mo dan terluka oleh gerombolan iblis itu. Di sepanjang perjalanan, dengan amat tekunnya Ci Sian melatih diri dengan ilmu yang mereka dapatkan dari catatan pada mayat Pangeran Cu Keng Ong itu.

Selain Ci Sian memang berbakat, juga Kam Hong mengajar dan membimbingnya dengan penuh kesungguhan hati, sehingga Ci Sian yang memang telah memiliki dasar dan bakat yang amat baik itu mulai dapat menguasai ilmu silat dan ilmu meniup suling berdasarkan pelajaran rahasia itu. Untuk keperluan ini, Kam Hong telah menyuruh buat sebuah suling yang bentuknya sama benar dengan suling emas di tangannya, juga suling ini terbuat dari pada emas, dibuat oleh seorang tukang pandai emas yang amat berpengalaman. Hanya bentuk suling itu lebih kecil, untuk disesuaikan dengan tenaga Ci Sian karena suling emas itu amat berat, lebih berat dari pada pedang pusaka.

Ketika malam itu mereka mendatangi sarang Hek-i-mo, kebetulan sekali mereka melihat kakek iblis itu bersama delapan orang murid kepala sedang berlatih ilmu hitam, maka dengan hati-hati sekali Kam Hong mengajak Ci Sian untuk menemui kakek itu. Dan kini, melihat Ci Sian agak gentar menghadapi ilmu hitam dari delapan orang Hek-i Pat-mo, Kam Hong segera mengerahkan khikang-nya dan tanpa mengeluarkan suara, dia telah mengirim suaranya kepada Ci Sian.

“Sumoi, jangan takut, itu hanya ilmu hitam, hadapi dengan tiupan sulingmu.”

Mendengar bisikan suara suheng-nya ini, ketabahan hati Ci Sian timbul kembali. Ia lalu mencabut suling emas dari ikat pinggangnya, dengan tenang ia menempelkan bibirnya yang merah tipis itu ke lubang suling, jari-jari kedua tangannya siap di lubang-lubang suling dan begitu ia meniup, terdengar suara lembut. Suara ini bukan seperti suara suling, melainkan bagai suara desir angin semilir yang menggerakkan daun-daun pohon dan menghidupkan suasana yang mati dan menyeramkan.

Akan tetapi, suara lembut seperti desir angin ini mengandung kekuatan yang dahsyat sekali, yang mengejutkan hati Pat-mo (Delapan Iblis) itu dan membuyarkan kekuatan sihir mereka sehingga uap hitam yang menyelubungi tubuh mereka pun perlahan-lahan lenyap seperti asap yang tertiup angin! Nampaklah kembali tubuh mereka yang masih berdiri dan bersedakap itu. Mereka merasa marah sekali, akan tetapi juga penasaran. Bagaimana seorang dara remaja hanya dengan suara sulingnya mampu memecahkan pengaruh kekuatan sihir mereka? Mereka sudah siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu, akan tetapi terdengar suara Hek-i Mo-ong yang terdengar penuh kekuatan khikang sehingga menggetarkan tempat itu.

“Pat-mo, mundur!”

Delapan orang murid kepala itu lalu membuat gerakan mundur secara otomatis, akan tetapi tetap mereka itu membentuk lingkaran segi delapan, hanya kini di luar atau di belakang guru mereka.

“Siapakah dua orang muda yang datang mengganggu kami?” Pertanyaan Hek-i Mo-ong ini terdengar manis, bahkan bersahabat.

Tetapi Kam Hong yang sudah mendengar banyak tentang raja iblis ini, telah menasehati sumoi-nya dan mereka berdua sudah berhati-hati dan waspada, mengerahkan tenaga batin mereka untuk menolak semua pengaruh. Kam Hong membiarkan sumoi-nya yang menghadapi musuhnya, maka dia pun diam saja mendengar pertanyaan itu, memberi kebebasan kepada Ci Sian untuk menghadapi baik dalam percakapan mau pun dalam pertempuran. Dia hanya akan membantu kalau memang sumoi-nya perlu dibantu saja. Ci Sian maklum akan hal ini, maka mendengar pertanyaan itu ia pun lalu melangkah maju.

“Apakah kami berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, ketua dari gerombolan Hek-i-mo?” Suara Ci Sian terdengar lantang dan bening, tanda bahwa sedikit pun ia tidak merasa gentar menghadapi orang-orang yang menyeramkan itu.

Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. Dia sudah sering menyaksikan sikap para pendekar muda yang datang dengan nyali besar, penuh keberanian namun yang pada akhirnya hanya akan menemui kematian, atau jika bernasib mujur, dapat meloloskan diri dengan membawa lari luka-lukanya. Dia tidak marah oleh sikap yang berani itu, malah merasa gembira, bagaikan seekor kucing yang melihat lagak seekor tikus muda yang penuh keberanian.

“Heh-heh-heh, engkau benar, Nona. Aku adalah Hek-i Mo-ong, dan mereka delapan orang ini adalah murid-murid dan wakilku yang disebut Hek-i Pat-mo.”

“Bagus!” Ci Sian berseru girang. “Akhirnya aku dapat juga berhadapan dengan iblis-iblis jahat yang telah menumpuk dosa. Hek-i Mo-ong, malam ini tibalah saatnya engkau dan murid-muridmu menebus dosa-dosa kalian yang bertumpuk-tumpuk. Bersiaplah engkau untuk mampus!”

“Aih-heh-heh-heh-heh, sabar dulu, Nona. Kalau mata tuaku tidak menipuku, aku selama hidup belum pernah bertemu denganmu, jadi tidak ada urusan antara kita. Mengapa engkau datang dengan hati mengandung permusuhan? Siapakah engkau?”

“Hek-i Mo-ong, ingatkah engkau akan nama Sim Loan Ci?”

Kakek itu masih tersenyum lebar, dan alisnya berkerut. “Hemm, seolah-olah nama itu tidak asing bagiku.... ya, tidak asing sama sekali, tentu pernah aku mendengarnya, akan tetapi aku sudah lupa lagi di mana.... Sim Loan Ci? Siapa itu?”

“Belasan tahun yang lalu, Sim Loan Ci pernah datang ke sini, bersama suaminya yang bernama Bu Seng Kin....“

“Oohhh.... ahh, tentu saja! Bu-taihiap....! Ha-ha-ha, Bu-taihiap yang terkenal di seluruh dunia itu, hanya untuk mengaku kalah olehku! Ha-ha, Bu-taihiap yang mata keranjang dan lihai, juga isterinya yang lihai. Akan tetapi, mereka itu bukan tandinganku! Hemm, Nona, aku memang mengenal mereka, dan apa hubunganmu dengan mereka? Apa hubungannya kedatanganmu malam ini dengan mereka?”

“Engkau telah melukai mereka!”

“Ha-ha-ha, anehkah itu? Dalam setiap perkelahian, tentu akan ada yang luka atau mati. Aku sudah lupa lagi. Terlalu banyak orang yang kulukai atau kubunuh, akan tetapi yang aku ingat hanya bahwa mereka itu bukan tandinganku. Mungkin saja aku telah melukai mereka. Habis, kenapa?”

“Ibuku, Sim Loan Ci, tewas karena luka-luka itu! Sekarang aku, puterinya, datang untuk membalas dendam atas kematian Ibuku itu!”

“Ha-ha-ha, jadi engkau ini puteri mereka? Wah, pantas! Puteri Bu-taihiap, tentu saja pandai dan perkasa. Sayangnya, Bu-taihiap itu terlalu sembrono, membiarkan puterinya datang ke sini untuk mengantar nyawa saja. Kenapa tidak dia sendiri yang datang ke sini? Aku lebih senang kalau dia datang sendiri ke sini sehingga aku akan menghadapi lawan yang seimbang!”

Ci Sian merasa dipandang rendah dan dia pun membentak, “Tua bangka sombong! Kau kira akan dapat bebas dari tanganku?”

Gadis ini pun sudah memasang kuda-kuda, tangannya yang kiri miring di depan dada sedangkan sulingnya di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala, menuding ke langit. Itulah kuda-kuda yang merupakan jurus pembukaan, bernama Suling Emas Menghadap Langit.

Melihat ini, Hek-i Mo-ong tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada Hek-i Pat-mo. Bagaikan iblis-lblis saja, delapan orang itu bergerak dan tahu-tahu mereka telah menggerakkan kaki mereka, bukan berloncatan, melainkan menggeser kaki ke depan membuat langkah aneh.

“Sett-sett sett....!”

“Sumoi, biar aku saja yang menghadapi Pat-mo ini, engkau bersiap saja menghadapi musuh besarmu!” tiba-tiba Kam Hong berseru.

Pemuda ini melihat bahwa biar pun tentu saja para murid ini tidak selihai gurunya, namun dia dapat menduga bahwa mereka ini terlatih untuk menjadi satu barisan. Dan satu barisan yang terdiri dari delapan orang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebuah tin (barisan) dari delapan orang biasanya mempunyai bentuk segi pat-kwa (segi delapan) dan pat-kwa-tin (barisan segi delapan) terkenal memiliki perubahan-perubahan yang amat aneh dan hebat.

Seorang dara seperti Ci Sian yang belum banyak pengalamannya dalam hal bertanding melawan orang-orang pandai, sungguh berbahaya sekali kalau dibiarkan menghadapi pat-kwa-tin sendirian saja. Pula, pihak lawan memakai siasat untuk melelahkan lawan, yaitu mula-mula disuruh maju delapan murid itu, baru kemudian andai kata delapan murid itu kalah, Si Guru yang akan maju. Kalau saja Ci Sian dibiarkan maju menghadapi pat-kwa-tin, andai kata ia dapat menang sekali pun, tentu sudah lelah dan kurang kuat untuk berhadapan dengan musuh besarnya.

Inilah sebabnya, Kam Hong maju menggantikan sumoi-nya menghadapi Hek-i Pat-mo. Nanti kalau Mo-ong maju, biarlah Ci Sian menghadapinya satu lawan satu sehingga lebih mudah baginya untuk menjaga dan membantu apabila sumoi-nya kalah kuat.

Hek-i Mo-ong terheran mendengar seruan pemuda itu, akan tetapi juga girang. Ketika dua orang muda tadi muncul, yang dia khawatirkan adalah Si Pemuda. Dari sikapnya yang pendiam, dari sinar matanya, dia dapat menduga bahwa pemuda itulah yang harus diawasinya dan yang agaknya akan menjadi lawan tangguh. Kini, menghadapi delapan orang muridnya, malah pemuda itu yang hendak maju dan agaknya pemuda itu akan membiarkan sumoi-nya nanti melawannya. Biarlah, pikirnya lega, biar murid-muridnya lebih dulu menguji Si Pemuda yang dia khawatirkan sebagai lawan tangguh, dan andai kata murid-muridnya kalah, suatu hal yang tidak mungkin sama sekali, tentu pemuda itu sudah terlalu lelah sehingga lebih ringan baginya untuk merobohkan mereka berdua.

Juga Ci Sian merasa heran mengapa suheng-nya malah hendak melawan delapan orang murid iblis itu. Akan tetapi baginya, Kam Hong bukan hanya seorang suheng atau seorang sahabat dalam perjalanan, melainkan juga seorang guru. Oleh karena itu, semua saran Kam Hong tentu takkan dibantahnya dan mendengar ucapan suheng-nya itu, ia pun sudah melompat ke belakang, berdiri tegak dengan suling siap di tangan kanan.

Sementara itu, Kam Hong sudah meloncat ke tengah lingkaran Pat-mo, dan sengaja membiarkan diri dikurung sebelum mereka bergerak mengurung. Dengan demikian, dia dapat berdiri tegak sambil memperhatikan semua perubahan yang mereka buat ketika mereka mulai memperketat kurungan. Diam-diam dia memperhatikan dan dari langkah-langkah kaki mereka, dia maklum bahwa delapan orang ini bukanlah ahli-ahli ginkang yang sangat pandai sehingga dia tidak usah terlalu mengkhawatirkan tentang kecepatan mereka.

Akan tetapi, setiap langkah kaki, atau setiap geseran kaki, nampak demikian mantap dan kuat, maka dia dapat menduga bahwa mereka semua rata-rata memiliki kekuatan sinkang yang tidak boleh dipandang ringan. Dan dia melihat mereka itu tidak bersenjata, juga tidak menyembunyikan senjata tajam di balik jubah hitam mereka.

Akan tetapi, Kam Hong sama sekali tidak berani memandang rendah kepada pihak lawan. Orang-orang yang tidak mempergunakan senjata dalam perkelahian, itu hanya berarti bahwa orang itu telah memiliki tingkat kepandaian yang sedemikian tingginya sehingga dia tidak membutuhkan senjata untuk membantunya, dan kaki tangannya yang penuh dengan tenaga sakti itu merupakan senjata-senjata yang cukup ampuh dan mematikan.

Setelah delapan orang Hek-i Pat-mo itu bergerak-gerak memutari Kam Hong, kadang-kadang berputar ke kiri lalu tiba-tiba berbalik ke kanan, jarak waktu perubahannya menurut hitungan-hitungan tertentu, sesuai dengan ilmu barisan mereka ciptaan Hek-i Mo-ong, pemuda ini memperhatikan dengan sudut matanya dan kekuatan telinganya.

Tapi, beberapa menit kemudian, pemuda ini terkejut karena dia merasa semangatnya terbetot dan hampir saja kakinya ikut bergerak. Ada kekuatan mukjijat yang membetot dan menariknya untuk mengikuti gerakan mereka, seperti orang-orang yang melihat penari-penari yang lemah gemulai menggerak-gerakkan tubuh lalu timbul keinginan untuk ikut menari. Cepat dia yang selalu waspada itu maklum bahwa dalam gerakan-gerakan itu terkandung kekuatan ilmu hitam yang mukjijat.

Maka Kam Hong memusatkan perhatiannya dan mengerahkan tenaga, membebaskan diri dari pengaruh mukjijat itu sehingga pikirannya menjadi terang, pandang mata dan pendengarannya menjadi terang kembali, tidak ada keinginan untuk mengikuti gerakan mereka lagi. Kini dia berdiri tegak dan tenang, sama sekali tidak bergerak, menanti gerakan lawan selanjutnya.

Bagaikan delapan orang penangkap ikan yang merasa betapa jalanya yang mereka pasang itu tidak mengenai ikan, atau ikannya telah lolos kembali dari jala begitu menyentuhnya, mereka menghentikan gerakan memutar-mutar itu dan tiba-tiba saja orang yang berada di depan Kam Hong sudah menyerangnya. Benar dugaan Kam Hong. Laki-laki baju hitam di depannya itu menyerang dengan cengkeraman tangan kanan dibarengi dengan totokan tangan kiri. Cengkeraman ditujukan ke arah kedua matanya dan totokan itu menuju ke arah dada. Serangan ini hebat dan ganas, mengandung tenaga sinkang yang kuat sungguh pun baginya tidaklah terlalu cepat.

Kam Hong menghadapi serangan ini dengan tenang dan perhatiannya terhadap tujuh orang lainnya tidak berkurang walau pun dia sedang menghadapi serangan dari depan. Dan kewaspadaannya ini menolongnya. Cengkeraman serta totokan dari depan itu ternyata hanyalah gerak pancingan belaka karena begitu Kam Hong mengelak dari serangan lawan di depannya, secara otomatis lawan yang berada di belakangnya telah menerjang dan menyerang dengan dahsyat, menghantam ke arah tengkuknya dengan pukulan tangan miring yang amat kuat!

Seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat seperti yang dimiliki Kam Hong telah memiliki tubuh yang begitu hidup sehingga seolah-olah di belakang tubuh ada matanya. Tanpa menoleh, ia tahu dengan persis bagaimana serangan itu datang mengancamnya. Dengan hanya memutar tumit kakinya, dia sudah miringkan tubuh sehingga sekarang serangan dari belakang itu tidak datang dari belakang lagi, tetapi dari sebelah kanannya dan sekali Kam Hong mengangkat lengan, hantaman itu tepat dapat ditangkisnya.

“Plakkk!”

Dan tubuh orang itu terpental, seolah-olah tangannya tadi bertemu dengan baja yang amat keras dan kuat, juga yang mengandung hawa dorongan kuat dan panas sekali!

Akan tetapi kembali telah datang serangan bertubi-tubi dan susul-menyusul dari delapan orang itu. Gerakan mereka bagai mesin yang sudah distel terlebih dahulu, begitu teratur dan saling menyambung. Kam Hong sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, sudah pernah pula menghadapi barisan-barisan silat seperti itu, maka dia tidak merasa gugup walau pun harus diakuinya bahwa barisan Hek-i Pat-mo ini benar-benar amat lihai dan berbahaya. Dia membenarkan tindakannya mewakili sumoi-nya tadi, karena biar pun tingkat kepandaian Ci Sian juga sudah tinggi, tapi menghadapi pengeroyokan teratur seperti itu bisa membuat dara yang belum banyak pengalaman itu menjadi gugup.

Delapan orang itu terus bergerak-gerak, saling bantu dan saling sambung melakukan penyerangan. Kam Hong juga menggerakkan tubuhnya, menangkis ke depan ke kanan kiri dan belakang, ke delapan penjuru dan kadang-kadang dia mengelak. Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan yang bergerak cepat, tertutup oleh gerakan delapan bayangan hitam yang kadang-kadang berputaran dan kadang-kadang berhenti di suatu tempat tertentu.

Dia tahu bagai mana harus menghadapi barisan Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan), maka dia pun sejak tadi mainkan ilmu silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) yang pernah dipelajarinya dari Sin-siauw Sengjin, kakek pewaris ilmu-ilmu dari Pendekar Suling Emas itu. Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu warisan nenek moyangnya, dan karena ilmu silat ini juga mempunyai dasar segi delapan, maka tentu saja amat tepat untuk menghadapi barisan pat-kwa itu.

Tiba-tiba terdengar suara berkerincing dan nyaring dan ternyata delapan orang kakek itu telah menggerakkan gelang yang melingkari pergelangan tangan kanan mereka. Gelang yang berwarna hitam kemerahan. Dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan digetarkan, maka terdengarlah suara berkerincingan itu!

Sungguh aneh sekali. Tadi mereka terus bergerak menyerang, dan tentu saja lengan kanannya berikut gelang itu bergerak pula, akan tetapi tidak terdengar sesuatu. Akan tetapi kini gelang itu mengeluarkan suara yang nyaring dan aneh. Agaknya ada sesuatu pada gelang-gelang itu yang mengandung rahasia. Suara nyaring yang amat halus itu seperti suara emas diketuk dengan nada tinggi dan menusuk telinga, bahkan rasanya menyusup ke dalam jantung!

Akan tetapi Kam Hong sudah mengerahkan sinkang-nya dan dia tidak terpengaruh. Hanya kini, delapan orang itu menyerangnya dengan gerakan yang sama, dan secara berbareng. Delapan lengan tangan yang disertai gelang hitam kemerahan itu serentak menyerangnya dengan gerakan yang sama dan berbareng, tapi dari delapan penjuru!

Melihat delapan lengan yang amat kuat itu menonjok arah dadanya dari delapan penjuru dan mendatangkan angin pukulan yang kuat, dia terkejut dan maklum bahwa gabungan tenaga itu akan kuat bukan main. Dia tidak berani menghadapi dengan kekerasan atau mengadu tenaga, maka tubuhnya mencelat ke atas dan delapan tangan itu berhenti dari delapan penjuru, saling bertemu angin pukulan mereka di tengah-tengah.

Akan tetapi, melihat lawan mereka melayang ke atas, mereka itu pun cepat menyerang ke atas, juga dengan gerakan yang sama. Angin pukulan dahsyat kini menyambar ke atas! Kam Hong maklum bahwa dia akan kerepotan menghadapi gaya serangan seperti itu, maka sambil meloncat, dia sudah mencabut suling emasnya dan berjungkir-balik, kini meluncur turun, didahului gulungan sinar emas dari suling yang diputar-putarnya.

Delapan orang itu mengandalkan penggabungan tenaga mereka, berani menyambut datangnya gulungan sinar emas itu, akan tetapi mereka terkejut ketika dari gulungan sinar emas itu keluar hawa yang amat kuat, yang mendorong mereka dan membuat penggabungan tenaga mereka buyar dan mereka terhuyung ke belakang. Cepat mereka berloncatan untuk mematahkan tenaga dorongan, dan kini sudah berdiri mengepung lagi dalam kedudukan pat-kwa, memandang pada benda mengkilap di tangan pemuda itu dengan melongo.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut bukan main menyaksikan suling itu. Tadi, ketika Ci Sian meniup suling emasnya, dia sudah terheran, hanya tidak menduga atau menghubungkan suling itu dengan nama pendekar dalam dongeng, yaitu Pendekar Suling Emas. Kini, menyaksikan suling di tangan Kam Hong dan sepak terjang pemuda itu, dia terkejut dan tanpa terasa lagi olehnya, mulutnya berseru keras, “Suling Emas....!”

Kam Hong memutar tubuhnya menghadapi Mo-ong, suling emas itu melintang di depan dadanya. Dia tersenyum dan menjura, lalu berkata, “Tidaklah salah dugaanmu, Hek-i Mo-ong. Aku bernama Kam Hong, keturunan dari Pendekar Suling Emas. Aku datang mengantar sumoi-ku yang ingin membalas dendam kepadamu dan aku setuju karena engkau dan gerombolanmu merupakan iblis-iblis berwajah manusia yang kudengar telah melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa.”

Marahlah Hek-i Mo-ong. “Bunuh dia!” bentaknya dan telunjuk kirinya menuding ke arah Kam Hong dan tiba-tiba saja dari telunjuk itu menyambar benda yang berkilauan ke arah tenggorokan Kam Hong!

“Tikkk....!”

Benda itu terpukul oleh suling dan lenyap ke dalam bumi. Sungguh itu merupakan senjata rahasia yang amat keji, yang amat kecil dan yang dilepaskan dari bawah kuku telunjuk yang panjang.

Mendengar perintah suhu mereka, Hek-i Pat-mo lalu saling memberi isyarat. Mereka mengeluarkan sesuatu dari balik jubah hitam mereka dan tahu-tahu kini tangan kiri mereka telah disambung dengan sebuah cakar setan yang berwarna hitam, dengan kuku-kuku melengkung runcing terbuat dari baja dan tak perlu diragukan lagi bahwa kuku-kuku baja itu sudah pasti mengandung racun ganas! Dan kini mereka bergerak menyerang dari delapan penjuru! Kuku cakar setan tangan kiri itu menyambar-nyambar dan tercium bau amis, sedangkan tangan kanan yang bergelang hitam kemerahan itu pun menyambar-nyambar mengeluarkan suara berkerincingan.

Menyaksikan kebuasan delapan orang itu, diam-diam Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia harus menang, pikirnya sambil melihat suheng-nya memutar suling emasnya. Kalau suheng-nya kalah, ia sendiri pun tidak tahu apakah ia akan mampu menghadapi iblis-iblis ini. Gerakan delapan orang itu sungguh dahsyat sekali, dan ia merasa menyesal mengapa suheng-nya masih saja mempergunakan ilmu-ilmu silatnya, yang lama…..

Dan memanglah, Kam Hong semenjak tadi mempergunakan ilmu-ilmunya yang lama. Pertama-tama tadi ia mainkan Pat-sian-kun, dan kini pun setelah memegang suling, ia masih melanjutkan dengan ilmu Pat-sian Kiam-hoat, menggunakan sulingnya sebagai pengganti pedang. Memang ilmu ini hebat sekali, tetapi delapan orang pengeroyoknya itu benar-benar amat tangguh. Meski Kam Hong dapat membela diri dengan sulingnya, namun dia tidak diberi kesempatan sama sekali untuk balas menyerang!

Kemudian Kam Hong mencoba untuk mengganti dengan ilmu-ilmu lain yang dimilikinya. Mula-mula dia mengubah Pat-sian Kiam-hoat dengan Hong-in Bun-hoat, yaitu ilmu silat yang gerakannya dilakukan dengan membuat huruf-huruf di udara, merupakan gerakan ilmu silat yang lihai sekali. Kemudian, karena ilmu ini juga kurang berhasil dipergunakan untuk menghadapi begitu banyak pengeroyok yang rata-rata memlilki ilmu silat tinggi, dia mengubah lagi ilmunya dan berturut-turut dia mainkan Khong-sim Sin-ciang, lalu Kim-kong Sin-Im yang membuat sulingnya mengaung-ngaung, lalu mencabut keluar kipasnya serta menggabungkan dengan sulingnya dalam permainan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).

Namun, tetap saja dia terdesak dan belum mampu merobohkan para pengeroyoknya. Memang, setiap kali dia mengganti ilmu, delapan orang pengeroyoknya itu terkejut dan terdorong, akan tetapi segera mereka menerima bisikan-bisikan guru mereka melalui pengiriman suara dari jauh sehingga mereka dapat segera mengubah gerakan mereka sesuai dengan petunjuk gurunya! Dengan demikian, walau pun delapan orang Hek-i Pat-mo itu yang maju mengeroyok Kam Hong, sesungguhnya yang dilawan Kam Hong adalah otak dari Hek-i Mo-ong yang mengatur semua gerakan para muridnya itu dengan bisikan-bisikannya.

Diam-diam Kam Hong terkejut. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu yang diwarisinya dari nenek moyangnya melalui Seng-siauw Sengjin adalah ilmu-ilmu yang amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, ternyata semua ilmu ini tidak mampu merobohkan delapan orang pengeroyoknya ini. Jelaslah bahwa mereka ini benar-benar merupakan gerombolan yang amat tangguh dan juga amat berbahaya, dan kalau tidak dibasmi, tentu akan mendatangkan banyak sekali korban.

Teringat dia akan hasil penyelidikannya di mana dikabarkan orang-orang kang-ouw bahwa entah sudah berapa ratus tokoh-tokoh kang-ouw yang gagah perkasa roboh dan tewas menghadapi Hek-i Pat-mo ini, juga dia teringat akan nasehat gurunya yang pertama, yaitu Sai-cu Kai-ong bahwa gerombolan Hek-i-mo itu amat berbahaya.

Memang tadinya Kam Hong tak hendak mengeluarkan ilmu barunya yang menjadi ilmu simpanannya. Dia telah memiliki banyak ilmu-ilmu silat tinggi dari nenek moyangnya, dan kalau tidak terpaksa sekali dia tidak akan menggunakan Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Ci Sian, bahkan yang sampai saat itu masih terus diperdalamnya karena ilmu itu merupakan ilmu yang amat luar biasa dan agaknya sampai mati pun orang tidak mungkin dapat mencapai titik kesempurnaannya.

Kini, dia tahu bahwa kalau dia bertahan terus dengan ilmu-ilmunya yang lain, sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan dan dia pun harus menghemat tenaganya. Siapa tahu, dia harus mengerahkan sepenuh tenaga nanti kalau Mo-ong sendiri yang maju dan kalau sumoi-nya tidak mampu menahan raja iblis itu.

Tiba-tiba Kam Hong mengubah gerakannya. Gerakannya itu lambat-lambat saja, akan tetapi dari suling yang dia gerakkan, terdengarlah suara melengking, mula-mula rendah dan lambat, akan tetapi sesuai dengan gerakan sinar suling, makin cepat sinar itu bergulung, makin besar sinarnya, makin tinggi melengking suara suling itu! Ini bukanlah ilmu Kim-kong Sin-im seperti yang pernah dimainkannya tadi.

Memang, Kim-kong Sin-im juga dapat membuat pedang atau suling mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung seperti suling bernyanyi, akan tetapi tidak seperti ilmu Kim-siauw Kiam-sut ini. Ilmu ini dibarengi dengan khikang yang amat kuat dan jangankan sinar suling yang bergulung-gulung itu, apalagi sulingnya sendiri, baru suaranya saja sudah mampu merobohkan lawan!

Melihat ini, lega dan giranglah hati Ci Sian. Suheng-nya mulai mengeluarkan Kim-siauw Kiam-sut dan memang hebat sekali akibatnya! Hek-i Mo-ong sendiri kellhatan terkejut dan bingung melihat betapa delapan orangnya menjadi kacau gerakannya dan terdesak hebat. Dia mencoba untuk mengirim suara, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa suaranya itu lenyap dan membuyar oleh getaran suara suling pemuda itu!

Memang hebat bukan main ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) ini. Begitu Kam Hong memainkannya dengan pengerahan tenaga sinkang sepenuhnya, didorong oleh kekuatan khikang yang telah dilatihnya dengan tekun semenjak dia menemukan ilmu itu, maka belum sampai dua puluh jurus saja, sinar suling yang keemasan itu dan suara melengking-lengking penuh getaran yang amat kuat itu telah mengurung dan mendesak delapan orang lawannya.

Akan tetapi, Kam Hong bukanlah seorang yang berhati kejam. Ketika dia menambahkan tenaga sedikit lagi, terdengar suara nyaring delapan kali dan delapan orang itu telah terpelanting ke kanan kiri, dan ketika mereka bangkit berdiri, ternyata cakar setan yang menyambung tangan kiri mereka itu telah hancur semua! Wajah mereka berubah pucat dan semakin mengerikan dalam sinar bulan purnama.

Delapan orang murid kepala dari Hek-i Mo-ong ini adalah orang-orang yang tidak biasa kalah dalam perkelahian. Bertahun-tahun mereka selalu menang menghadapi orang-orang kang-ouw yang berani menentang guru mereka, dan biar pun sudah memiliki kepandaian tinggi, mereka masih terus melanjutkan pelajaran mereka, belajar segala ilmu dari guru mereka sehingga semakin lama mereka itu menjadi semakin lihai. Maka, kini ketika menghadapi kekalahan mutlak melawan seorang pemuda, mereka merasa penasaran bukan main.

Mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit ini, karena selama ini, kemenangan demi kemenangan telah membangun suatu keyakinan di hati mereka bahwa selain guru mereka, tidak ada lagi orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkan mereka! Mereka saling bertukar pandang, kemudian tiba-tiba mereka itu sudah duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha, kedua lengan bersilang di depan dada, dan kedua mata terpejam. Lalu terdengarlah suara mereka, keluar dengan berbareng, suara yang terdengar oleh Ci Sian dan Kam Hong sebagai suara mengaum lirih, terdengarnya seperti, “Auuuummmm....!”

Akan tetapi bukan main kagetnya hati Kam Hong ketika suara itu terus berdengung dan suara itu seperti memiliki kekuatan gaib yang menyerangnya, mula-mula memasuki kedua telinganya dan terus menyusup masuk, tak tertahankan lagi, demikian kuatnya sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya digetarkan oleh suara itu. Dia mulai menggigil dan mukanya pucat.

Namun pemuda ini memiliki dasar yang amat kuat, sehingga dia yang selalu waspada itu sudah cepat menutup sulingnya. Dia membawa suling ke mulutnya, memegangi suling dengan hanya tangan kanan saja karena dia sudah meniup dengan pengerahan hawa khikang tingkat yang tinggi sekali sehingga dia tidak perlu menggunakan jari-jari untuk membuka dan menutup lubang-lubang suling. Tangan kirinya, telapak tangan itu, dia pergunakan untuk menekan dadanya dan dari saluran hawa hangat yang keluar dari telapak tangannya sendiri, mendatangkan getaran halus yang melindungi jantungnya. Dan terdengarlah kini suara melengking tinggi dan suara lengkingan itu mulai berlagu! Biar pun suling itu tidak dimainkan lubang-lubangnya, hanya dibiarkan terbuka dan ditiup, namun tenaga tiupan yang sudah mencapai kekuatan tinggi itu dapat mengatur sendiri lagunya dan naik turun menurut kehendak Kam Hong.

Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa! Pertandingan antara suara! Akan tetapi suara yang bagaimana! Bukan sembarangan suara, melainkan suara yang mengandung kekuatan dasyat untuk menjatuhkan lawan masing-masing!

Suara yang terus berdengung dari delapan orang itu amat kuatnya, dan walau pun langsung ditujukan kepada Kam Hong, namun Ci Sian sendiri merasakan akibatnya sehingga dara ini pun mengerahkan sinkang untuk melindungi dirinya. Karena suara itu ditujukan langsung kepada Kam Hong, maka dara ini hanya terserang getaran yang lemah saja. Tidak demikian dengan Kam Hong.

Akan tetapi, suara suling Kam Hong yang lembut itu, berbeda sekali pengaruhnya dari suara auman mereka. Suara suling ini memang amat halus, bersih, dan kuat bukan main, akan tetapi tidak mempunyai daya untuk mencelakakan orang, bahkan terdengar merdu dan menenangkan hati. Namun, bagi Hek-i Pat-mo, suara itu merupakan mala petaka! Suara itu menyambut auman mereka dan kini tenaga getaran suara auman mereka itu kembali dan menyerang mereka sendiri! Mereka merasakan gelombang suara yang menggetar ini, akan tetapi karena mereka merasa penasaran sekali, mereka menjadi nekat dan mereka bahkan mengerahkan tenaga mereka sepenuhnya dengan tekad membunuh atau dibunuh! Kalau mereka lebih kuat, tentu tangkisan lawan itu akan bobol dan lawan akan tewas seketika, dan kalau sebaliknya mereka kalah kuat, mereka tidak peduli lagi!

Melihat kenekatan ini, diam-diam Kam Hong terkejut sekali. Dia maklum bahwa lawan-lawannya itu hendak mengadu nyawa dan dia sudah tidak mempunyai jalan lain untuk menghindarkan adu tenaga itu. Kalau dia menghindar, berarti dia kalah, bahkan dia terancam bahaya maut. Maka dengan prihatin sekali, terpaksa dia pun memperkuat pengerahan khikang-nya, disalurkan melalui suara suling.

Sungguh mengerikan sekali suara auman yang bertemu dan bercampur dengan suara suling melengking-lengking itu. Getarannya sampai terasa amat jauh dan kini bukan hanya Ci Sian, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri terpaksa harus mengerahkan sinkang buat melindungi dirinya dari pengaruh getaran suara. Akan tetapi, kakek ini mengerutkan alisnya dan maklum bahwa para muridnya itu terancam bahaya maut. Dan dugaannya ternyata benar karena tidak lama kemudian, suara auman para muridnya itu menjadi semakin lemah, tergulung oleh lengkingan suara suling, bahkan kini wajah para muridnya itu nampak pucat, juga penuh keringat dan napas mereka terengah-engah.

Melihat hal ini, Hek-i Mo-ong yang maklum bahwa murid-muridnya akan celaka, tiba-tiba mengeluarkan teriakan melengking, atau lebih mirip gerengan seekor binatang buas. Tangan kirinya sudah mengeluarkan sebuah kipas merah sedangkan tangan kanannya mencabut keluar senjatanya Long-gee-pang (Tombak Gigi Srigala) dan dengan kipas merahnya itu dia mengipas ke arah Kam Hong. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda itu.

Akan tetapi, Ci Sian yang sejak tadi waspada dan sudah menduga bahwa kakek ini tidak dapat dipercaya kejujurannya, lalu meloncat ke depan dan menggunakan sulingnya untuk diputar cepat dan menyerangnya. Betapa pun juga, kipas merah itu lihai bukan main dan Kam Hong merasa betapa pihak lawan ditambah oleh tenaga yang amat hebat. Kiranya sambaran angin kipas itu menambah kuat getaran suara auman lawan.

Dia mengerahkan tenaganya dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan ketika tubuh delapan orang itu terjengkang, dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah dan mereka itu tidak bergerak-gerak lagi karena nyawa mereka telah melayang. Mereka itu tewas karena tenaga mereka sendiri yang membalik dan merusak isi dada mereka, terutama jantung mereka. Akan tetapi, Kam Hong juga terkejut sekali ketika merasa betapa dadanya agak sesak dan panas, tanda bahwa dia pun menderita luka dan hal ini terjadi karena delapan orang itu tadi dibantu oleh Hek-i Mo-ong secara tiba-tiba, di luar persangkaannya sehingga dia kurang dapat menjaga diri.

Sementara itu, Ci Sian sudah menyerang kakek raja iblis itu dengan sulingnya dan karena ia tahu bahwa lawannya itu amat sakti, maka Ci Sian tidak mau membuang banyak waktu, begitu maju ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang selama ini dilatihnya dengan amat tekun dibawah bimbingan Kam Hong.

Memang tak dapat disangkal bahwa kematangan dalam ilmu ini yang dimiliki oleh Ci Sian masih jauh dibandingkan dengan suheng-nya yang sudah lebih lama melatih diri. Akan tetapi Ci Sian telah menguasai dengan baik pokok-pokok dan dasar-dasarnya, dan karena Kam Hong memberi petunjuk dengan sungguh-sungguh, sedangkan dara itu pun dengan amat tekunnya berlatih, ditambah lagi dengan bakatnya yang luar biasa dalam hal ginkang sehingga ia memiliki gerakan yang amat cepat, maka ia bukan merupakan lawan yang ringan bagi ketua Hek-i-mo itu.

Hek-i Mo-ong sedang marah bukan main. Dia merasa amat terkejut dan berduka melihat delapan orang murid utamanya itu tewas dan dia merasa menyesal bukan main kenapa tadi menyuruh mereka maju. Kehilangan mereka sama saja baginya dengan kehilangan tangan kanannya, maka dengan kemarahan yang meluap-luap kini dia menghadapi Ci Sian. Dan memang kakek ini luar biasa ganas dan tangguhnya.

Tombak Long-gee-pang itu adalah semacam toya yang pada ujungnya dipasangi kaitan runcing tajam agak melengkung seperti gigi serigala, dan tentu saja ujung senjata itu mengandung racun yang amat berbahaya, telah bertahun-tahun direndam semua racun-racun yang paling jahat. Ia mainkan Long-gee-pang ini bagai orang memainkan tombak atau toya, akan tetapi dia lebih sering menggunakan sebelah tangan saja, yaitu tangan kanan untuk memainkan Long-gee-pang.

Sedangkan tangan kirinya hanya kadang-kadang saja membantu sebab tangan ini lebih sering memainkan kipas merahnya. Kipas merah ini ujungnya runcing dan dipergunakan untuk menotok jalan darah. Memang gerakan-gerakannya hebat sekali. Tombaknya itu bergulung-gulung sinarnya dan di antara gulungan sinar tombak itu nampak berkelebat sinar merah dari kipasnya. Angin dahsyat menyambar-nyambar keluar dari tiap gerakan tombaknya.

Ci Sian memutar sulingnya dan terdengar suara melengking-lengking. Sungguh pun tak sehebat permainan Kam Hong, namun ternyata dara ini telah menguasai inti dari ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut. Biar pun lawannya bergerak bukan hanya mengandalkan ilmu silat dan serangan tombak dan totokan-totokan kipas, melainkan juga dibantu oleh kekuatan ilmu hitam untuk menguasai semangat lawan, namun Ci Sian terlindung oleh suara yang keluar dari sulingnya, karena suara ini pun mengandung kekuatan khikang yang hebat.

Betapa pun juga, setelah lewat puluhan jurus, Ci Sian mulai merasakan betapa kuatnya kakek itu. Ia mulai merasa terdesak dan terhimpit, dan hanya berkat kelincahannya saja maka dia masih mampu menghindarkan diri dari cengkeraman-cengkeraman maut.

Selama itu, Kam Hong duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk mengobati lukanya. Akan tetapi, perhatiannya tidak pernah terlepas dari Ci Sian. Bagaimana pun juga, dia harus membantu sumoi-nya. Akan tetapi dalam keadaan terluka, tentu saja amat berbahaya untuk mengerahkan tenaga membantu sumoi-nya, apalagi kalau yang dilawannya itu seorang yang demikian sakti seperti raja iblis itu. Dan dalam jurus-jurus pertama, Ci Sian masih cukup kuat untuk dapat membela dan melindungi diri sendiri. Dia tahu bahwa seorang diri saja, Ci Sian masih terlalu hijau untuk dapat menandingi raja Iblis itu. Akan tetapi, dia harus mengobati lukanya lebih dulu kalau tidak ingin nanti tertimpa mala petaka kalau dia berhadapan dengan Hek-i Mo-ong.

Setelah rasa sesak dan panas di dadanya sudah agak berkurang, dan melihat pula betapa Ci Sian sudah terdesak hebat, Kam Hong sudah siap-siap untuk membantu sumoi-nya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring.

“Hek-i Mo-ong iblis yang kejam, akulah lawanmu! Ci Sian, jangan khawatir, mari kita sama-sama basmi Iblis ini!” Dan nampaklah sinar berkilauan dibarengi dengan suara berdengung-dengung amat kuatnya, bahkan dalam suara mengaung ini pun terkandung kekuatan yang mukjijat.

“Sim Hong Bu, bagus kau datang membantuku!” Ci Sian berseru girang. karena tadi ia memang sudah merasa terdesak hebat, kini muncul pemuda yang sudah dikenalnya sebagai seorang pemuda yang amat lihai itu, tentu saja ia merasa lega dan girang. Ia mengira bahwa suheng-nya telah terluka dan tidak dapat maju lagi.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut setengah mati ketika menangkis sinar pedang di tangan pemuda yang baru muncul itu dan merasa betapa lengannya tergetar hebat! Kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dibandingkan dengan dara remaja ini!

Ada pun Kam Hong yang melihat munculnya Sim Hong Bu, diam-diam melihat dengan penuh perhatian, mengikuti pertandingan itu dan melihat betapa gerakan-gerakan pedang pemuda itu memang hebat bukan main. Tahulah dia bahwa itulah Koai-liong pokiam, yaitu pedang pusaka yang terkenal itu, dimainkan dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut yang dibanggakan oleh keluarga Cu yang telah dikalahkannya. Keluarga Cu itu berkeinginan untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut!

Dan sekarang, dari tempat dia duduk bersila, dia melihat betapa Kim-siauw Kiam-sut dimainkan dengan suling emas oleh sumoi-nya, sedangkan Koai-liong Kiam-sut dimainkan oleh Sim Hong Bu, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai kawan. Dua ilmu pedang itu kini bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai dan diam-diam dia memandang bengong dan kagum. Sungguh mengherankan sekali karena begitu dipakai untuk bekerja sama, kedua ilmu pedang itu ternyata amat hebat, dapat saling mengimbangi bahkan saling cocok, saling isi dan saling melindungi!

Teringatlah dia bahwa kalau Kim-siauw Kiam-sut diciptakan oleh Kakek Cu Keng Ong yang merupakan nenek moyang keluarga Cu, maka Koai-liong Kiam-sut itu diciptakan pula oleh keturunannya, yaitu Cu Hak pembuat pedang itu. Dan ilmu pedang itu lalu ditemukan dan disempurnakan oleh Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti. Pantas saja ada kecocokannya karena penciptanya adalah seketurunan. Sedikit banyak pencipta Koai-liong Kiam-sut tentu mewarisi pula sebagian dari Kim-siauw Kiam-sut, seperti halnya keluarga Cu di lembah itu.

Melihat hasil kerja sama antara Ci Sian dan Hong Bu, Kam Hong kagum sekali, amat kuat dan bahkan saling mengisi kekosongan atau kelemahan masing-masing. Dapat dikatakan bahwa penggabungan itu malah membuat Kim-siauw Kiam-sut menjadi sempurna, dan membuat Koai-liong Kiam-sut menjadi lengkap! Dan dia melihat pula hal lain!

Dia melihat betapa Hong Bu selalu dengan mati-matian melindungi Ci Sian, dan di antara gerakan cepat mereka, dia dapat melihat pula sinar mata Hong Bu kalau melihat atau mengerling Ci Sian. Pemuda itu mencinta Ci Sian! Dan dia melihat pula betapa dua orang muda remaja ini memang serasi, cocok sekali, sebaya dan juga sama-sama gagah perkasa. Dan dia pun melihat betapa Ci Sian bertempur dengan wajah berseri dan tersenyum, tanda bahwa hati dara itu pun girang sekali bertemu dengan Hong Bu, apalagi dapat bersama-sama pemuda itu melawan musuh tangguh.

Padahal, dia mengenal benar watak Ci Sian dan andai kata yang membantunya itu orang lain, tentu Ci Sian akan marah dan menolak bantuan itu. Kini, melihat betapa Ci Sian malah girang dibantu Hong Bu, maka kenyataan ini hanya menjadi bukti bahwa Ci Sian juga mencinta, atau setidaknya merasa suka kepada pemuda ini. Teringat pula dia betapa Ci Sian pernah memuji-muji Hong Bu di depannya. Aneh, Kam Hong merasa jantungnya seperti tertusuk!

“Bodoh kau! Manusia lemah yang hanya mementingkan diri sendiri! Lemah dan bodoh!” Kam Hong mencela diri sendiri karena dia tahu apa artinya perasaan tertusuk itu. Dia merasa cemburu!

Bodoh, dia harus tahu diri, pikirnya penasaran. Cintanya kepada Ci Sian tidak benar, tidak wajar dan tidak tepat. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun! Dan Ci Sian baru delapan belas tahun! Dia terlalu tua untuk Ci Sian. Hong Bu itulah yang tepat menjadi jodoh Ci Sian, tentu usianya sebaya, atau kalau Hong Bu lebih tua pun selisihnya hanya satu atau dua tahun.

Dan Ci Sian telah mewarisi Kim-siauw Kiam-sut, hanya tinggal mematangkannya saja dengan jalan berlatih dan menggunakannya dalam praktek. Tidak ada lagi yang dapat diajarkannya kepada Ci Sian. Dan amat tidak baik kalau dia terus mengajak dara itu melakukan perjalanan bersama. Tidak baik bagi dara itu, dan juga bagi dirinya sendiri karena dia akan semakin terikat. Tidak, dia harus mengalah, dia harus mengundurkan diri, dia harus tahu diri.

Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan teriakan nyaring dan sebagai sambutan dari teriakan itu, puluhan orang berpakaian hitam bermunculan dari semua penjuru. Tahulah Kam Hong bahwa kakek itu merasa kewalahan dan memanggil anak buahnya. Maka dia pun lalu meloncat bangun dan siap dengan sulingnya. Ketika anak buah Hek-i Mo-ong hendak mengeroyok Hong Bu dan Ci Sian, Kam Hong telah menyerbu dan menyambut mereka dengan putaran sulingnya yang berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung. Dan biar pun anak buah Hek-i Mo-ong rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi suling di tangan Kam Hong tentu saja mereka itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat. Ke mana pun gulungan sinar emas itu menyambar, tentu sedikitnya ada dua orang anggota Hek-i Mo-ong yang roboh.

Dan para anggota Hek-i Mo-ong yang besar jumlahnya itu, sebagian lagi mengepung Hong Bu dan Ci Sian, akan tetapi mereka itu hanya bergerak-gerak tanpa ada yang berani ikut membantu ketua mereka karena gerakan tiga orang itu terlalu dahsyat bagi mereka. Apalagi ikut berkelahi, baru terlalu dekat saja mereka sudah mundur lagi oleh sambaran angin yang amat dahsyat. Dan ketua gerombolan itu sudah mulai lelah, dan mulai terdesak hebat. Bukan main marahnya kakek itu. Gerombolan yang dibentuknya dan telah berdiri dan terkenal di seluruh propinsi itu sebagai perkumpulan yang besar dan amat berpengaruh, yang sudah belasan tahun merajalela dan tidak ada yang berani melawan, kini mengalami ambang kehancuran.

Tiba-tiba kakek itu menggereng dan dia mengeluarkan beberapa buah benda hitam dari balik jubahnya. Begitu dia melempar dan membanting benda-benda hitam itu, terdengar ledakan-ledakan nyaring dan nampak asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat itu.

Melihat ini, Kam Hong cepat berteriak, “Hong Bu! Ci Sian! Mundur!”

Dua orang muda remaja itu juga terkejut dan tidak berani sembrono untuk mengejar kakek yang sudah lenyap di balik asap hitam itu. Mereka tahu apa maksud Kam Hong menyuruh mereka mundur dan mereka pun bersikap waspada. Kalau saja mereka mengejar, tentu jarak serang itu akan lebih dekat dan bahaya yang mengancam lebih besar. Kini mereka berdua memutar pedang dan suling, dan runtuhlah paku-paku dan jarum-jarum beracun yang tadi berhamburan menyerang mereka dari balik asap hitam. Dan asap itu sendiri pun mengeluarkan bau yang amat busuk, tanda bahwa asap itu mengandung racun pula.

Kam Hong, Hong Bu dan Ci Sian berloncatan jauh ke belakang menjauhi asap. Akan tetapi para anggota Hek-i-mo yang puluhan orang banyaknya itu mengurung dan menghujani mereka dengan senjata rahasia beracun. Dengan mudah mereka bertiga memutar suling dan pedang, membuat semua senjata rahasia itu runtuh dan mereka bertiga lalu dikeroyok.

Akan tetapi, karena Hek-i Mo-ong tidak nampak lagi, tentu saja anak buah Hek-i Mo-ong itu bukanlah lawan tiga orang pendekar muda yang perkasa ini. Berturut-turut robohlah mereka itu satu demi satu. Dan akhirnya, setelah lebih dari setengah jumlah anggota Hek-i-mo roboh dan setelah mereka sadar bahwa ketua mereka telah lari meninggalkan mereka, sisa anggota Hek-i-mo lalu melarikan diri, menghilang di malam gelap.

“Ehhh, di mana Suheng?” Tiba-tiba Ci Sian sadar bahwa suheng-nya tidak berada di tempat itu.

Tadi, di antara pertempuran keroyokan yang gaduh itu, Ci Sian melawan pengeroyokan di samping Hong Bu dan dia melihat Kam Hong memisahkan diri dan mengamuk di bagian lain. Akan tetapi setelah semua musuh pergi dan sebagian lagi roboh malang melintang di tempat itu, ia tidak lagi melihat Kam Hong.

Hong Bu juga melihat ke kanan kiri, bahkan lalu mereka berloncatan ke sana sini untuk mencari Kam Hong. Namun tidak nampak bayangan pendekar itu.

“Suheng....!” Ci Sian berteriak memanggil beberapa kali, namun tidak terdengar jawaban dan tidak nampak pula pendekar itu muncul. Maka mulailah la merasa khawatir.

“Mungkin dia mengejar Mo-ong,” kata Hong Bu.

Ci Sian mengangguk dan mengerutkan alisnya. “Mungkin, akan tetapi mengapa dia mengejar kalau dia sendiri yang menyuruh kita mundur tadi? Pula, mengejar seorang manusia iblis yang curang seperti Mo-ong itu amat berbahaya. Mari kita ikut mengejar dan membantunya.” Tanpa menanti jawaban Ci Sian sudah meloncat ke depan.

“Tunggu, Nona. Lihat ini....!”

Ci Sian berhenti dan membalikkan tubuhnya. la melihat Hong Bu menghampiri sebatang pohon tak jauh dari tempat itu dan di batang pohon itu nampak ada benda putih seperti kertas tertempel di bawah dahan rendah. Biar pun cuaca agak suram karena ada awan tipis lewat di bawah bulan, namun tulisan itu masih dapat dibaca.

“Ci Sian, ke sinilah dan baca surat ini. Agaknya Kam-twako yang meninggalkan surat ini!” kata Hong Bu.

Ci Sian segera berlari menghampirinya dan membaca tulisan di atas kertas putih itu.

Bu-sumoi yang baik,

Selesailah sudah tugasku mengajarkan Kim-siauw Kiam-sut kepadamu. Kini tidak ada gunanya lagi bagimu aku menemani. Biarlah kita saling berpisah di sini. Jaga dirimu baik-baik, Sumoi. Tiada pertemuan tanpa perpisahan dan aku tidak ingin perpisahan antara kita menimbulkan duka.

Suheng-mu : Kam Hong
.

“Ah, Suheng....!” Ci Sian mengeluh dan ia berdiri termangu-mangu, mengambil kertas itu dan merasa kehilangan sekali. Tak terasa lagi matanya terasa panas dan berlinang air mata. Mengapa suheng-nya meninggalkannya?

Hong Bu yang melihat keadaan Ci Sian merasa kasihan kepada dara itu. “Suheng-mu pergi meninggalkanmu? Ke manakah dia pergi?”

Ci Sian tersadar mendengar suara ini, sadar bahwa ia tidak sendirian di situ. Ia menarik napas panjang. “Aku sendiri tidak tahu mengapa dia tiba-tiba saja meninggalkan aku, tanpa pamit, hanya meninggalkan sehelai surat seperti ini.... sungguh aneh sekali....”

“Kalau aku boleh bertanya.... ke manakah engkau hendak pergi, Ci Sian? Dan ke mana pula Suheng-mu itu hendak pergi?”

Ci Sian menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, Hong Bu. Kami berdua tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami melakukan perjalanan bersama mencari Hek-i-mo buat membalas dendam atas kematian Ibuku, dan di sepanjang perjalanan Suheng mengajarkan ilmu kepadaku. Tapi.... ahhh, tak kusangka dia akan pergi begitu saja....”

Ci Sian benar-benar merasa kehilangan dan berduka. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa di dunia ini tidak ada lagi lain orang kecuali Kam Hong baginya. Dan Kam Hong pergi begitu saja meninggalkannya tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membantah atau menahannya.

“Jadi engkau tidak tahu dia akan pergi ke mana? Kalau engkau tahu, kita akan dapat mengejarnya.”

“Kita....?”

“Ya, aku akan membantumu, Ci Sian. Aku pun tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalananku ini. Aku mau membantumu mencari Kam-twako.”

“Mari kita pergi dulu dari tempat terkutuk ini!” Ci Sian berkata sambil melompat pergi.

Hong Bu mengejar dan mereka berlari-lari meninggalkan sarang Hek-i-mo itu. Mereka berlari terus dan Ci Sian terus berlari, membiarkan Hong Bu mengikutinya, tanpa bicara. Mereka keluar dari daerah itu akan tetapi ketika mereka tiba di luar kota, di jalan kecil yang sunyi, dan malam menjadi agak gelap karena bulan telah condong ke barat dan tertutup awan yang mulai berkumpul, Ci Sian berhenti berlari. Di tepi jalan terdapat sebuah pondok kosong, tempat para petani mengaso di waktu siang sehabis bekerja. Mereka duduk di atas bangku bambu di bawah pondok.

“Kita menanti sampai pagi di sini saja,” kata Ci Sian.

Hong Bu mengangguk. “Sebaiknya begitulah.”

Dan mereka pun hanya duduk diam, tidak ada yang mulai bicara. Suasana amat sunyi dan Hong Bu dapat merasakan betapa kesedihan menyelubungi hati dara itu. Dia merasa kasihan, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana dapat menghiburnya dan dia khawatir kalau-kalau salah bicara, maka dia memilih diam saja.

Berulang kali Ci Sian menarik napas panjang. Memang dara ini membiarkan pikirannya melayang-layang, membayangkan semua pengalamannya semenjak kecil sampai dia bertemu dengan Kam Hong dan mengalami banyak hal bersama. Kiranya pendekar itu melakukan perjalanan bersama hanya untuk dua hal, yaitu pertama untuk mengajarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang dahulu mereka temukan berdua, dan membantunya membalas dendam terhadap Hek-i-mo.

Tidak ada hal lain lagi kecuali itu! Tidak ada hal lain! Inilah yang membuat Ci Sian termenung dan merasa berduka. Dia.... dia tidak mencintaku! Demikian pikiran yang membuat Ci Sian merasa berduka. Kalau Kam Hong mencintanya, tidak mungkin mau meninggalkannya, meninggalkannya seorang diri saja di dunia ini. Kembali ia menarik napas panjang.

Hong Bu yang sejak dahulu telah jatuh hati kepada dara ini, dan sekarang dia merasa kagum bukan main karena tadi dia melihat sendiri betapa lihainya Ci Sian sekarang dengan ilmu sulingnya, merasa tidak tega. Dia dapat menduga bahwa Ci Sian merasa berduka ditinggalkan suheng-nya, dan merasa hidupnya kesepian, merasa sendirian saja di dunia yang luas ini.

“Bagaimana kalau engkau beristirahat dan tidur di sini? Biar kubuatkan api unggun dan aku menjaga di sini,” kata Hong Bu dengan lirih dan halus.

Hampir saja Ci Sian lupa dan mengira bahwa yang bicara itu adalah Kam Hong! Akan tetapi begitu ia menoleh dan melihat bahwa yang duduk di sampingnya dan yang bicara halus tadi adalah Hong Bu, ia menggeleng kepala. “Aku tidak mengantuk. Dan lebih baik tidak membuat api unggun. Setelah apa yang terjadi di sana tadi, tentu ada orang-orang jahat yang mengejar kita. Biarlah kita beristirahat sambil duduk di sini sampai pagi. Ehh, Hong Bu, bagaimana kau dapat muncul secara tiba-tiba dan membantuku menghadapi, raja iblis itu?” Tiba-tiba Ci Sian teringat dan perhatiannya mulai teralih kepada Hong Bu dan hal ini cukup untuk membuat ia melupakan kesedihannya karena ia seperti tidak merasa kesepian dan sendiri lagi.

Hong Bu tersenyum, tetapi senyum pahit. “Nasibku agaknya tidak lebih menyenangkan dari pada nasibmu, Ci Sian. Aku pun hidup sendirian saja di dunia ini, tiada sanak saudara, tiada handai taulan, bahkan tanpa tujuan sama sekali! Kadang-kadang kalau aku sedang berjalan seorang diri dan memandang ke atas, aku merasa seakan-akan menjadi segumpal kecil awan yang terpencil sendirian terbawa angin, entah hendak dibawa ke mana oleh angin itu. Kadang-kadang aku merasa kesepian dan bingung. Apalagi kalau teringat bahwa aku telah menjadi seorang buronan dan dikejar-kejar oleh orang-orang sakti yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan aku!”

“Ehhh? Kenapa? Apa dosamu maka engkau dikejar-kejar oleh Kaisar?”

Hong Bu menepuk pedang di pinggangnya. “Karena pedang inilah.”

“Koai-liong Po-kiam?”

“Ya, Koai-liong Po-kiam. Ci Sian, engkau pasti sudah mendengar riwayat pedang yang meributkan ini. Walau pun pedang ini buatan nenek moyang keluarga Cu, akan tetapi pernah lenyap dan tahu-tahu berada di Istana Kaisar tanpa ada yang tahu bagaimana. Kemudian Bibi guru Tang Cun Ciu mencurinya dari istana, yang sesungguhnya bagi kami bukan mencuri melainkan mengambil kembali hak milik keluarga Cu. Kemudian, karena oleh mendiang Supek Ouwyang Kwan yang dulu menjadi Yeti itu aku diangkat sebagai ahli waris ilmu Koai-liong Po-kiam dan pedangnya, maka pedang dan ilmu itu jatuh kepadaku.”

“Ya, dan engkau bersembunyi lalu berlatih di dalam goa itu,” kata Ci Sian.

“Benar, akan tetapi selagi aku beristirahat, baru-baru ini, di lembah kedatangan orang-orang sakti utusan Kaisar yang menuntut dikembalikannya pedang pusaka ini. Tentu saja Suhu Cu Han Bu dan Susiok Cu Seng Bu yang berada di lembah menentang dan terjadi pertempuran, dengan janji bahwa kalau pihak Suhu kalah, Suhu dan Susiok akan menjadi hwesio dan memberitahu di mana adanya pedang. Sebaliknya kalau utusan itu yang kalah, utusan itu tidak boleh mengganggu lagi. Nah, terjadi pertempuran dan akibatnya.... Suhu dan Susiok kini menjadi hweslo....”

“Hah....?!” Ci Sian terbelalak, kaget sekali. “Maksudmu.... kedua Locianpwe itu telah kalah?”

Hong Bu mengangguk.

“Tapi.... tapi menurut kata Suheng, Gurumu itu memiliki kesaktian yang luar biasa sekali, bahkan menurut Suheng, saat Suheng dan Gurumu pi-bu, Suheng mengalami kesulitan besar untuk memperoleh kemenangan tipis! Kalau begitu, alangkah saktinya utusan Kaisar ltu. Siapakah mereka itu?”

“Mereka adalah Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya. Dia bersama puteranya yang telah mengalahkan dan melukai Suhu dan Susiok.”

“Jenderal Muda Kao Cin Liong dan ayahnya? Ahhh....!” Ci Sian terkejut dan dia pun mengerti sekarang mengapa guru dan Susiok Hong Bu sampai kalah, sungguh pun hal itu juga amat mengherankan hatinya. Dia tahu bahwa Kao Cin Liong adalah seorang pemuda sakti, akan tetapi tidak pernah mengira bahwa jenderal muda itu akan mampu mengalahkan tokoh penghuni Lembah Suling Emas!

“Agaknya engkau telah mengenal mereka.”

“Tentu saja, aku mengenal baik Jenderal Muda Kao Cin Liong. Jadi, kini engkau menjadi buruan mereka?”

“Ya, karena pedang pusaka ada padaku, dan karena memenuhi perjanjian pi-bu itu Suhu memberitahukan mereka bahwa pedang ada padaku tanpa memberitahu aku berada di mana, maka tentu mereka itu akan mencariku dan kalau bertemu, tentu mereka akan menuntut agar aku menyerahkan pedang ini.”

“Dan engkau akan menyerahkan pedang itu?”

“Tidak!” jawab Hong Bu dengan tegas. “Aku sudah bersumpah kepada Suhu, bahwa aku akan mempertahankan pedang ini, karena pedang ini sesungguhnya adalah milik keluarga Cu dan aku telah menjadi ahli-warisnya. Betapa pun juga, akan kupertahankan dengan taruhan nyawa.“

Diam-diam Ci Sian memandang khawatir. “Ahh, engkau berada dalam keadaan yang amat tidak enak, Hong Bu.”

Hong Bu menarik napas panjang. “Memang, demikianlah kenyataannya. Tetapi bukan menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir sekeluarganya yang membuat hatiku merasa amat tidak enak, melainkan menghadapi.... Suheng-mu.”

“Ehhh....?” Ci Sian lalu teringat akan semua yang terjadi ketika suheng-nya melakukan pi-bu (adu ilmu silat) melawan penghuni lembah, dan kata-kata Cu Han Bu bahwa kelak akan terbukti keunggulan Koai-liong Kiam-sut terhadap Kim-siauw Kiam-sut. “Jadi kau.... kau hendak mewakili keluarga Cu untuk menentang Suheng? Engkau hendak menebus kekalahan Gurumu?”

“Begitulah pesan Suhu kepadaku ....“

Sebelum Hong Bu melanjutkan kata-katanya untuk menyatakan bahwa sesungguhnya dia sama sekali tidak setuju dan tidak ingin berhadapan dengan Kam Hong yang amat dikaguminya itu sebagai lawan, Ci Sian sudah segera meloncat keluar dari pondok dan mencabut sulingnya!

“Bagus! Tidak perlu kau bersusah payah mencari Suheng! Mari hadapilah aku kalau engkau masih penasaran! Aku juga merupakan ahli-waris Kim-siauw Kiam-sut dan jangan harap dengan ilmu pedang tumpulmu itu akan mampu menandingi Kim-siauw Kiam-sut kami!”

“Eh-eh.... Ci Sian....!” Hong Bu meloncat keluar pula dengan maksud untuk membantah, tetapi dia sudah disambut oleh sinar keemasan yang mengeluarkan bunyi melengking ketika suling di tangan Ci Sian itu bergerak menyambar dengan serangan yang amat hebat.

Hampir saja kepala Hong Bu kena disambar suling. Oleh karena datangnya serangan demikian dahsyat dan tak terduga-duga, terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan, barulah dia terlepas dari cengkeraman maut!

“Ehhh, nanti dulu, Ci Sian....!”

Akan tetapi Ci Sian sudah menyerang lagi sambil membentak, “Mau bicara apa lagi? Mari kita lihat siapa lebih unggul di antara kita!” Dan gulungan sinar kuning emas itu sudah menyembar dengan dahsyatnya.

“Tringgg....!” Bunga api berpijar pada saat pedang Koai-liong Po-kiam bertemu dengan suling emas di tangan Ci Sian.

Dara itu merasa tangannya tergetar hebat, akan tetapi ia kini bukan seorang dara yang lemah, maka dengan kecepatan kilat ia sudah menyerang lagi. Percuma saja bagi Hong Bu yang berkali-kali minta gadis itu bersabar sehingga terpaksa dia pun harus mainkan pedangnya karena serangan-serangan Ci Sian sama sekali tak boleh dipandang ringan. Gadis itu kini telah menguasai sebuah ilmu yang amat lihai, bahkan tadi pun mampu melawan seorang tokoh sakti seperti Hek-i Mo-ong.

Terjadilah perkelahian antara pedang dan suling yang amat hebat di waktu menjelang pagi itu. Suara beradunya kedua senjata itu terdengar berkali-kali dan pertandingan yang terjadi di tempat sunyi itu benar-benar amat hebat. Baik gerakan pedang mau pun suling keduanya mengeluarkan suara yang aneh. Pedang itu mengaung-ngaung seperti seekor naga yang marah, sedangkan suling itu mengeluarkan suara berlagu, sehingga nampaknya seolah-olah seekor naga yang sedang menari-nari diiringi musik yang gagah!

Ci Sian menyerang dengan sungguh-sungguh karena ia sudah marah sekali. Marah dan kecewa. Tadinya ia menganggap Hong Bu seorang pemuda yang amat menyenangkan, dan seorang sahabat yang boleh dipercaya. Akan tetapi ternyata tidak demikian! Hong Bu adalah seorang musuh yang hendak mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut! Maka dari itu, kemarahannya membuat gerakannya menjadi semakin hebat. Kekecewaan karena kenyataan bahwa pemuda ini adalah seorang musuh yang membuat Ci Sian menjadi nekat seperti itu, ditambah lagi dengan perasaan duka karena suheng-nya telah pergi meninggalkannya! Biarlah, pikirnya nekat, kalau aku kalah dan mati, biar suheng akan menyesal seumur hidup!

Sebaliknya, Hong Bu menjadi sibuk dan bingung bukan main. Dia telah jatuh cinta pada gadis ini, seorang gadis yang amat dikaguminya dan dicintanya. Akan tetapi gadis ini sekarang menyerangnya kalang-kabut dan nekat. Dia tadi telah berterus terang, hanya karena dia tidak ingin menyimpan rahasia terhadap Ci Sian, hanya karena dia ingin bersikap jujur. Akan tetapi sebelum dia menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan perintah gurunya, gadis itu telah menyerangnya demikian dahsyatnya hingga terpaksa dia harus membela diri.

Dan makin lama mereka bertanding, Hong Bu merasa makin tertarik. Tadi pun, ketika dia membantu Ci Sian menghadapi Hek-i Mo-ong, dia sudah melihat kenyataan yang amat mengherankan hatinya. Yaitu, bahwa ilmu pedangnya dapat bekerja sama dengan ilmu suling yang dimainkan Ci Sian. Bahkan terasa enak dan cocok, saling mengisi, saling melindungi dan bahkan saling melengkapi.

Karena itulah, ketika kini Ci Sian menyerangnya secara bertubi-tubi, timbul keinginan tahunya untuk mempelajari ilmu suling itu, apalagi ketika dia melihat bahwa pada dasarnya, dia seperti tidak asing dengan dasar gerakan dari Kim-siauw Kiam-sut. Biarlah dia melayani Ci Sian untuk beberapa lama sehingga dia dapat menyelami bagai mana sesungguhnya Kim-siauw Kiam-sut dan di mana letak ketangguhannya. Maka dia pun membela diri, bukan hanya menangkis dan mengelak, tetapi juga balas menyerang karena dia hendak melihat pula bagaimana ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu dalam pertahanan dan serangan balasan. Juga dia amat mengagumi kekuatan khikang dahsyat yang keluar dari suara suling itu ketika dimainkan sedemikian cepatnya oleh Ci Sian.

Sebetulnya, tidaklah aneh kenyataan yang dilihat oleh Hong Bu itu, seperti juga sudah dilihat oleh Kam Hong dan yang diduga dengan tepat oleh pendekar ini. Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, ciptaan Si Pencipta suling itu sendiri, yaitu Cu Keng Ong. Sedangkan Koai-liong Po-kiam adalah ilmu pedang ciptaan Cu Hak, seorang keturunan dari Cu Keng Ong yang lihai, yang telah membuat pedang Koai-liong Pok-kiam, dan ilmu pedang ini lalu disempurnakan oleh Ouwyang Kwan. Tentu saja penciptaan ilmu pedang ini menjadi amat dipengaruhi oleh Kim-siauw Kiam-sut, bahkan ilmu inilah yang menjadi sumbernya, maka pada dasarnya banyak terdapat persamaan-persamaan.

Dalam gembiranya karena dapat mempelajari ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu, Hong Bu lupa diri dan dia terus melayani Ci Sian sampai berjam-jam. Entah sudah berapa ratus jurus mereka bertanding dan Hong Bu selalu hanya menjaga diri saja, hanya kadang-kadang membalas serangan lawan kalau dia terlalu terdesak. Sampai matahari pagi menerangi bumi, kedua orang muda remaja itu masih saja bertanding!

Muka dan leher Ci Sian sudah basah oleh keringat dan dia sudah lelah sekali karena malam tadi dia sudah banyak memeras keringat ketika melawan Mo-ong. Maka dapat dibayangkan rasa gemas hati dara ini. Gemas dan marah sekali karena dia merasa dipermainkan! Kalau ia segera roboh dan tewas, ia tidak akan merasa penasaran. Akan tetapi sekarang ini keadaannya sungguh menggemaskan dan melelahkan, menang tidak kalah pun tidak!

Jurus apa pun yang dikeluarkannya, pihak lawan hanya sebentar saja terdesak, akan tetapi segera Hong Bu dapat memperbaiki kedudukannya lagi dan melawan dengan tangguhnya. Ia merasa seperti menghadapi dinding baja saja terhadap pemuda ini. Semua serangannya gagal total! Dan serangan-serangan pemuda itu agaknya tidak sungguh-sungguh, seolah-olah Hong Bu memandang rendah kepadanya.

Hal ini sungguh-sungguh membuat ia mendongkol dan marah sekali. Sudah dicobanya untuk mendesak dengan sekuat tenaga, tetapi, sesungguhnya latihan-latihannya belum cukup matang dan memang dia kalah tenaga dari Hong Bu. Maka sampai tangannya yang memegang suling rasanya seperti lumpuh dan napasnya sudah memburu, belum juga ada ketentuannya dalam pertandingan itu. Saking jengkelnya, beberapa butir air mata keluar dari kedua matanya tanpa dapat dicegah lagi!

“Tring-trangggg....!”

Keduanya melangkah mundur saking kerasnya senjata mereka beradu dan Hong Bu terbelalak.

“Ci Sian....! Kau.... kau menangis....?”

“Siapa menangis? Ahhh, kau.... kau.... manusia kejam!” Dan Ci Sian sudah menyerang lagi, tidak peduli betapa air matanya bertambah deras oleh pertanyaan pemuda tadi.

“Ah, maafkan aku.... ah, bukan maksudku.... aku hanya ingin memperhatikan ilmumu yang amat hebat itu, Ci Sian.... ahhh….”

“Tranggg....!”

Dan melihat Ci Sian menangis seperti itu, air matanya menetes-netes, tiba-tiba Hong Bu merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia memasukkan pedangnya di sarung pedang, dan berdiri sambil bersedakap. Suling itu menyambar datang dan Hong Bu memejamkan mata, tidak mengelak atau menangkis!

“Wuuuuttt....!”

Suling itu lewat di atas kepalanya karena Ci San terkejut setengah mati melihat pemuda itu tidak mengelak, maka ia tadi menyelewengkan serangannya, lalu tangan kirinya memukul ke arah pundak pemuda itu.

“Desss....!”

Tubuh Hong Bu terguling roboh. Biar pun tidak terlalu keras, namun pada waktu itu Ci Sian sudah memiliki sinkang yang sangat kuat, maka pukulannya tadi cukup untuk membuat Hong Bu yang sama sekali tidak mengerahkan sinkang itu terpelanting.

“Bangun! Hayo lawanlah! Pengecut!” Ci Sian memaki.

Hong Bu yang telentang itu memandang dan tersenyum. Dia pun berkeringat pada muka dan lehernya. “Tidak, Ci Sian, maafkan aku. Sungguh mati aku tidak bermaksud membikin engkau marah dan berduka sampai menangis....”

“Aku tidak menangis, keparat! Hayo bangkit dan lawanlah aku, mari kita lanjutkan dan bertanding sampai seorang di antara kita mampus!”

Akan tetapi Hong Bu hanya bangkit duduk dan menggeleng kepalanya. “Tidak, aku.... tidak sanggup lagi melawanmu, Ci Sian....“

“Pengecut kau, keparat! Jangan mempermainkan aku, kau!” Dan Ci Sian menggerakkan sulingnya ke atas, lalu suling itu menyambar ke bawah.

Akan tetapi Hong Bu hanya memandang, sedikit pun tidak pernah berkedip, seolah-olah dia siap menghadapi kematian dengan rela. Sinar keemasan yang menyambar turun itu berhenti dan ujung suling itu sudah menyentuh kulit leher Hong Bu, dan di bawah kulit itulah terdapat jalan darah yang mematikan. Sedikit saja suling itu ditotokkan, maka nyawa Hong Bu akan melayang! Namun, pemuda itu hanya tersenyum pahit.

“Aku tidak mempermainkan engkau, Ci Sian. Aku tidak mau melawanmu....”

“Hayo bangkit engkau, keparat! Atau.... hemm, kubunuh engkau sehingga mati konyol!” ujung suling itu menempel lebih ketat.

“Terserah kepadamu, Ci Sian. Aku akan rela mati di tanganmu. Memang lebih baik mati dari pada aku harus berhadapan denganmu sebagai musuh. Aku tak bisa memusuhimu, Ci Sian, dan aku rela mati di tanganmu karena aku.... aku cinta padamu....”

“Ihhhhh....!” Ci Sian meloncat ke belakang dan melepaskan sulingnya seolah-olah suling itu kini telah berubah menjadi seekor ular! Matanya terbelalak, dan air matanya masih menetes-netes turun ke atas kedua pipinya.

“Kau.... kau....”

Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena hatinya terasa seperti diremas-remas. Ia menjadi bingung, penuh dengan perasaan marah, menyesal, juga terharu. Tidak tahu ia harus bagaimana menanggapi pengakuan cinta itu. Hong Bu cinta padanya? Apakah cinta itu? Bagaimanakah cinta itu? Ia menjadi bingung dan karena bingung itulah ia menangis!

Hong Bu kini bangkit berdiri dan memandang dengan muka yang agak pucat. “Maafkan aku, Ci Sian.... mungkin aku menyinggung perasaanmu dengan pengakuanku itu.... Aku tahu bahwa aku tidak berharga untuk seorang dara seperti engkau.... akan tetapi, aku tidak dapat pula merahasiakan ini. Semenjak kita saling bertemu.... aku telah jatuh cinta padamu. Entah, begitulah kenyataannya dan kalau tadi aku melayanimu bertanding, maksudku hanya untuk melihat begaimana sesungguhnya ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu karena aku melihat betapa ilmu kita begitu serasi dan....”

Tetapi Ci Sian sudah menyambar sulingnya. Hong Bu siap untuk menerima serangan maut, akan tetapi gadis itu meloncat pergi dan lari secepatnya sambil masih menangis.

“Ci Sian....! Aku cinta padamu....!” Hong Bu melangkah beberapa tindak ke depan, dua tangannya diulur ke depan, akan tetapi dia hanya menarik napas panjang berulang kali, lalu menundukkan mukanya yang menjadi muram ketika melihat dara itu menghilang. Dia tidak mau mengejar, karena pengejarannya tentu akan menambah marah dan dia sama sekali tidak ingin membikin marah atau susah kepada dara yang dicintanya itu.

Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Tidak akan ada habis-habisnya kalau dibicarakan, dan di dunia ini terdapat entah berapa banyak kisah-kisah tentang cinta asmara dan akibat-akibatnya. Cinta asmara memiliki kekuasaan yang tidak terbatas! Dapat menundukkan manusia yang bagaimana kuatnya pun. Dapat membuat hati yang sekeras-kerasnya menjadi selunak-lunaknya, sebaliknya bisa mendatangkan kekerasan yang amat mengerikan. Cinta asmara dapat mengakibatkan perbuatan yang selembut-lembutnya dan sebaik-baiknya, tapi dapat pula mendatangkan perbuatan yang sekejam-kejamnya.

Betapa pun hidup tanpa cinta sama dengan pohon tanpa bunga, seperti bumi tanpa matahari, hampa dan tidak ada artinya sama sekali. Akan tetapi, tidak seperti yang kebanyakan dari kita kehendaki, yang dimaksudkan dengan cinta di sini bukanlah cinta orang lain kepada kita, melainkan yang terpenting adalah cinta kita kepada orang lain!

Cinta di dalam batin kita itulah api kehidupan, itulah kebajikan, itulah kebahagiaan. Dan cinta ini baru ada apabila batin sudah bersih dari pada kebencian, iri hati, dan keinginan untuk senang sendiri. Yang penting adalah sinar kasih itu bernyala dalam hati, dan ini baru terjadi apabila hati kita kosong dan terbuka. Keinginan akan cinta kasih orang lain terhadap kita tiada lain hanyalah keinginan untuk menikmati kesenangan melalui orang yang kita harapkan cintanya itu. Lain tiada.....

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar