Milana melarikan diri bersama sisa anak buahnya. Hatinya kacau dan
berduka sekali ketika mereka berhenti di dalam sebuah hutan dan mengubur
jenazah Si Lengan Buntung, Su Kak Liong dan lain-lain anak buahnya yang
tewas dalam pertempuran melawan anak buah Pulau Neraka. Dia merasa
penasaran sekali dan mukanya menjadi merah saking marah dan malu kalau
teringat betapa dia dipermainkan oleh pemuda tampan, putera Majikan
Pulau Neraka yang amat lihai itu.
Dia harus melapor kepada ibunya dan minta pelajaran ilmu silat yang
lebih tinggi lagi. Untung gadis tadi menolongnya, kalau tidak tentu dia
telah menjadi tawanan. Milana bergidik kalau teringat akan hal itu tak
dapat dia membayangkan apa yang akan terjadi kalau dia menjadi tawanan
pemuda yang gila itu! Thian-liong-pang telah mengalami kekalahan dan
penghinaan dari Pulau Neraka. Ibunya sendiri harus turun tangan
menghajar orang-orang Pulau Neraka.
Setelah selesai mengubur jenazah-jenazah itu, Milana mengajak sisa anak
buahnya yang tinggal delapan orang itu untuk melanjutkan perjalanan
malam itu juga. Rombongan ibunya berada di tempat yang tidak jauh lagi
dari situ. Tinggal dua hari perjalanan paling lama. Dia tidak akan
merasa aman sebelum bertemu dengan rombongan ibunya. Dua orang pembantu
utamanya, Si Lengan Buntung dan Su Kak Liong, serta beberapa orang lagi
telah tewas. Dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang dipimpin
pemuda lihai itu sebagai musuh, dia merasa kurang kuat.
Akan tetapi, ketika rombongan terdiri sembilan orang ini memasuki sebuah
hutan pada keesokan harinya, tiba-tiba tampak banyak orang berloncatan
dan mereka telah dikurung oleh belasan orang! Milana terkejut, akan
tetapi ketika melihat bahwa yang mengurung itu adalah orang-orang yang
berpakaian seperti orang kang-ouw dan bercampur dengan beberapa orang
hwesio dan tosu, maklumlah dia bahwa yang mengurungnya bukan orang-orang
Pulau Neraka seperti yang dikhawatirkannya, melainkan orang-orang
kang-ouw!
Milana cepat meloncat maju dan menghunus pedangnya. Tali suteranya telah
putus dan ditinggalkan ketika dia hampir tertawan oleh Wan Keng In,
maka kini satu-satunya senjata di tangannya hanyalah pedangnya. Melihat
bahwa yang memimpin para pengurung itu adalah seorang hwesio tinggi
besar bersenjata toya yang berjenggot pendek, dia cepat menghampiri dan
berkata, suaranya nyaring.
"Kami rombongan orang Thian-liong-pang sudah meninggalkan tempat yang
dijadikan tempat pertemuan, hendak kembali ke tempat kami. Mengapa
kalian masih menghadang di sini? Apa kehendak kalian dan siapakah
kalian? Dari partai dan golongan apa?"
"Kami adalah sisa rombongan yang telah dipaksa mundur oleh
Thian-liong-pang, dan karena kami merasa bahwa perjuangan kami sama,
maka kami bergabung dan mengambil keputusan untuk membasmi
Thian-liong-pang yang banyak menimbulkan bencana terhadap perjuangan
orang-orang gagah." Hwesio itu berkata sambil melintangkan toyanya.
"Hemmm... perjuangan orang-orang gagah apa? Perbuatan kacau para
pemberontak maksudmu?" Milana berkata dengan marah setelah kini dia
mendapat kenyataan bahwa sebagian besar di antara orang-orang itu adalah
benar anggota rombongan partai-partai yang telah dikalahkan di tanah
kuburan. Bahkan tiga orang hwesio itu adalah hwesio-hwesio
Siauw-lim-pai!
"Harap kalian suka tahu diri! Setelah kalian kalah dalam pertandingan
mengadu ilmu di tanah kuburan, mengapa kalian tidak pulang dan
melaporkan kepada Ketua masing-masing akan tetapi malah diam-diam
bergabung dan bersekongkol dengan para pemberontak untuk menghadang
kami?"
"Orang-orang Thian-liong-pang penjilat pemerintah asing! Membunuh kalian
bagi kami adalah kewajiban orang-orang gagah membunuh anjing-anjing
penjilat yang kotor!" Seorang di antara mereka yang berpakaian seperti
orang-orang kang-ouw, yang belum pernah dilihat Milana, membentak dan
sudah menerjang dengan bacokan goloknya.
Tentu mereka inilah pemberontak-pemberontak yang asli, sedangkan para
hwesio, tosu dan orang-orang partai hanyalah terbawa-bawa saja, terhasut
oleh kaum pemberontak yang tentu saja hendak melibatkan partai-partai
besar untuk membantu gerakan mereka.
Milana menangkis serangan golok itu dan segera ia dikeroyok oleh enam
orang yang menghujankan serangan. Agaknya para pengeroyok itu sudah
maklum bahwa dia adalah orang yang paling lihai di antara rombongannya,
maka kini yang diberi tugas mengeroyoknya adalah enam orang yang cukup
lihai, bahkan mereka itu semua bersenjata golok besar dan gerakan mereka
teratur sekali. Kiranya enam orang itu membentuk sebuah barisan golok
yang cukup kuat! Delapan orang anak buahnya sudah lemah dan lelah, apa
lagi tiga di antara mereka masih belum sembuh dari luka-luka yang
diderita dalam pertandingan yang lalu namun kini terpaksa mereka itu
mengangkat senjata melakukan perlawanan.
Milana sendiri sudah lelah dan kurang tidur, namun permainan pedangnya
membuat enam orang lawan yang membentuk barisan golok dan mengurungnya
itu kewalahan. Maka majulah tiga orang hwesio Siauw-lim-pai yang lihai
itu, ikut mengeroyok dengan senjata mereka. Setelah dikeroyok sembilan
barulah Milana merasa sibuk juga. Dia masih ingat bahwa tiga orang
hwesio hanya terbawa-bawa saja, maka dia tidak ingin membunuh. Justru
inilah yang membuat dia repot, karena sembilan orang pengeroyoknya itu
sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya dan semua serangan mereka
adalah serangan maut yang jelas membuktikan akan kebencian mereka
kepadanya dan mereka bermaksud membunuhya!
Pertandingan yang berjalan berat sebelah itu tidak berlangsung lama
karena di antara delapan orang anak buah Thian-liong-pang sudah roboh
lima orang. Hanya tiga orang yang masih melawan mati-matian, sedangkan
Milana sendiri yang dikeroyok sembilan orang baru berhasil merobohkan
tiga orang. Akan tetapi, tiga orang roboh, lima orang datang membantu
sehingga dara itu terpaksa harus terus memutar pedangnya untuk
melingkari diri dari hujan senjata sebelas orang yang menyambarnya dari
segala jurusan.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi lengking yang nyaring dan
menyeramkan sekali. Beberapa pengeroyok terhuyung begitu mendengar
lengking itu dan dari atas pohon-pohon meluncur sinar-sinar kecil-kecil
merah yang menyambar ke bawah, disusul meloncatnya bayangan orang
berkerudung. Hanya delapan orang di antara sebelas orang pengeroyok
Milana yang berhasil mengelak, sedangkan tiga orang lainnya roboh
terkena jarum merah berbau harum yang dilepas oleh orang yang berkedok
atau berkerudung itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati semua orang kang-ouw ketika
melihat bahwa yang muncul adalah wanita berkerudung yang menyeramkan,
Ketua dari Thian-liong-pang! Tak lama kemudian, muncul pula enam orang
wanita cantik yang menjadi pengawal atau pelayan Ketua itu, dipimpin
oleh Tang Wi Siang!
Orang-orang kang-ouw itu terkejut, akan tetapi mereka tidak takut biar
pun maklum bahwa kini keselamatan mereka terancam bahaya maut dengan
munculnya Ketua Thian-liong-pang bersama enam orang pelayan. Mereka
menjadi nekat dan segera Ketua Thian-liong-pang dan puterinya dikeroyok.
Terjadilah pertandingan yang kembali berat sebelah, akan tetapi
merupakan kebalikan dari pada tadi. Kini biar pun jumlahnya masih tetap
lebih banyak, rombongan orang kang-ouw itu yang terdesak hebat dan
sebentar saja Ketua Thian-liong-pang yang hanya mengamuk dengan tangan
kosong itu telah merobohkan enam orang pengeroyok dengan pukulan jarak
jauh yang amat dahsyat!
Berturut-turut para pengeroyok itu berkurang jumlahnya, bahkan dalam
waktu singkat saja Milana dan ibunya telah berhasil merobohkan semua
orang yang mengeroyok mereka! Kini yang masih terus melakukan perlawanan
hanya tiga orang hwesio Siauw-lim-pai dan tiga orang kang-ouw, termasuk
dua orang tosu Hoa-san-pai yang ditandingi oleh Tang Wi Siang dan
teman-temannya. Mereka ini pun sudah terdesak hebat dan agaknya tak lama
kemudian akan roboh pula.
Tiba-tiba kembali terdengar bunyi suara melengking, kali ini jauh lebih
hebat dari pada tadi, disusul suara orang yang berpengaruh sehingga
membuat semua orang tergetar jantungnya.
"Hentikan pertempuran...!"
Ketua Thian-liong-pang terkejut, menghentikan serangan dan menoleh.
Demikian pula tiga orang hwesio Siaw-lim-pai, dua orang tosu
Hoa-san-pai, dan seorang kang-ouw meloncat mundur dan menoleh. Berdebar
hati semua orang ketika melihat seorang laki-laki, entah kapan dan dari
mana datangnya, tahu-tahu telah berada di tengah-tengah mereka, seorang
laki-laki yang kaki kirinya buntung, berdiri tegak dengan tongkat kayu
sederhana membantu kaki tunggalnya.
Seorang laki-laki yang berwajah tampan sekali namun tampak diselimuti
awan duka yang membuat goresan mendalam di kulit wajahnya. Dia belum
sangat tua, akan tetapi seluruh rambutnya yang dibiarkan berurai di
sekeliling kepalanya sampai ke pundak dan punggung, semua telah berwarna
putih seperti benang-benang sutera perak.
"Pendekar Super Sakti...!" Seorang tosu Hoa-san-pai berbisik. Walau pun
bisikannya perlahan karena keluar dari hatinya dan tanpa disengaja,
namun karena keadaan di saat itu amat sunyi, tidak ada yang bicara atau
bergerak, maka suaranya terdengar jelas.
Laki-laki itu memang Suma Han, atau Pendekar Super Sakti, juga dikenal
sebagai Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Setelah terdengar suara
lirih tosu Hoa-san-pai menyebutkan nama julukan pria yang berwajah penuh
duka itu, keadaan menjadi makin sunyi.
"Han Han...!"
Suara ini lebih lirih dan oleh telinga lain hanya terdengar seperti
berkelisiknya angin di antara daun-daun pohon. Namun pendekar sakti itu
kelihatan terkejut dan tersentak kaget, memandang ke kanan kiri seperti
orang mencari-cari, kemudian diam, bengong terlongong. Tidak salahkah
telinganya menangkap suara lirih itu?
Hanya ada beberapa orang saja yang memanggilnya dengan nama itu, nama
kecilnya. Han Han! Dan suara lirih halus merdu itu amat dekat dengan
hatinya, seperti suara yang tidak asing baginya, akan tetapi dia tidak
yakin suara siapa yang menyebut nama kecilnya semerdu dan sehalus itu!
Dia menjadi bingung, kemudian teringat akan orang-orang di sekitarnya.
Dia menoleh ke arah wanita berkerudung dan berkata dengan suara keren
penuh wibawa.
"Sudah bertahun-tahun aku mendengar di dunia kang-ouw tentang keanehan
Thian-liong-pang yang selalu membikin geger dunia kang-ouw, menculiki
tokoh-tokoh kang-ouw, bahkan berita terakhir mengatakan bahwa
Thian-liong-pang membunuhi banyak tokoh kang-ouw yang menentang
pemerintah penjajah. Sekarang, kebetulan sekali Pangcu berada di sini
dan kebetulan pula aku dapat menyelamatkan nyawa para sahabat ini dari
ancaman maut, aku ingin bertanya, apakah maksud Thian-liong-pangcu
sebenarnya dengan semua perbuatan itu?"
Sunyi senyap menyambut ucapan pendekar yang ditakuti, dihormati, dan
disegani itu. Bahkan Tang Wi Siang sendiri mukanya berubah pucat dan
tidak berani mengangkat muka memandang, hanya menundukkan muka saja
seolah-olah silau jika memandang wajah yang mempunyai sepasang mata yang
kabarnya dapat membunuh lawan hanya dengan sinar mata itu!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang bengis dan ketus, suara yang
membuat para pendengarnya meremang bulu tengkuknya, karena nadanya
dingin melebihi salju, penuh tantangan dan seolah-olah mengandung
kebencian yang amat mendalam,
"Memang benar! Semua keributan di dunia kang-ouw itu akulah yang
melakukannya! Akulah yang bertanggung jawab! Aku yang memerintahkan anak
buahku! Habis, engkau mau apa? Dengarlah baik-baik! Semua perbuatanku
itu memang kusengaja untuk menantangmu, agar engkau datang menyerbu ke
tempatku. Kalau kau berani!"
Semua orang terkejut mendengar ini, namun terdengar suara isak tertahan
sehingga semua orang menoleh ke arah Milana. Dara itulah yang tadi
terisak seperti orang tersedak. Akan tetapi, dara itu kini menundukkan
mukanya dan semua orang kembali memandang ke arah Pendekar Super Sakti
dengan hati tegang, ingin mereka melihat apa yang akan terjadi
selanjutnya antara dua orang hebat itu.
Suma Han sendiri sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ucapan Ketua
Thian-liong-pang itu demikian ketus dan bengis terhadap dirinya, maka
dia terkejut dan heran sekali. "Apa? Menantang dan mengundangku?
Mengapa...?"
"Sudah terlalu lama aku ingin mencincang hancur engkau! Engkau... manusia yang tak berjantung! Manusia tiada perasaan!"
"Ehhh... heiiii? Mengapa? Apa... apa maksudmu?"
"Tak perlu banyak cakap lagi kau!"
Ketua Thian-liong-pang itu segera menyerang dengan hebat. Pedang yang
telah dicabutnya, padahal tadi ketika pengeroyokan dia sama sekali tidak
pernah mencabut pedangnya, kini bergerak cepat sekali, berubah menjadi
sinar putih yang bergulung-gulung menerjang ke arah tubuh Pendekar Super
Sakti. Sejenak timbul niat di hati Suma Han untuk benar-benar mencoba
dan menguji sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Ketua
Thian-liong-pang yang penuh rahasia ini dan untuk mengenal sumber ilmu
kepandaiannya.
Akan tetapi ia menjadi bingung juga ketika melihat bahwa ilmu pedang
yang dimainkan oleh wanita berkerudung itu adalah ilmu pedang campuran
yang sukar diketahui atau dikenal lagi dasarnya. Segala macam ilmu
pedang partai besar di dunia persilatan terdapat dalam gerakan ilmu
pedang ini! Belum pernah selamanya dia menyaksikan ilmu pedang seperti
itu, akan tetapi harus diakui bahwa gerakan wanita itu cepat sekali
sedangkan desing suara angin yang terbelah oleh pedang itu sendiri
menyatakan betapa kuatnya tenaga sinkang yang dimiliki wanita itu!
Terpaksa dia menangkis dengan tongkatnya dan balas menyerang, bukan
menyerang sungguh-sungguh, hanya untuk memaksa lawan itu mengeluarkan
jurus simpanannya agar ia dapat mengenal dasar ilmu silatnya. Akan
tetapi wanita berkerudung itu benar-benar hebat sekali karena sampai
belasan jurus, dalam serang-menyerang itu, tidak pernah dia
memperlihatkan dasar kepandaiannya, melainkan mainkan jurus campuran
dari pelbagai ilmu pedang yang sudah ‘dicurinya’ dari para tokoh yang
pernah diculiknya.
Memang Nirahai amat lihai dan cerdik. Dari ilmu-ilmu silat yang
dilihatnya, dia dapat mengambil inti sarinya yang terpenting, kemudian
menciptakan gabungan yang amat hebat, tentu saja dengan mendasarkan
kepandaiannya sendiri sebagai unsur pokok yang terpenting. Oleh karena
itu, sekarang Suma Han tidak dapat mengenal dasar ilmu pedangnya!
Suma Han memang tidak mempunyai niat untuk bertanding mati-matian. Enam
orang kang-ouw masih berada di situ, yaitu tiga orang hwesio, dua orang
tosu dan seorang kang-ouw yang tentu akan terancam keselamatan mereka
kalau tidak ditolongnya. Pula, dia sendiri menghadapi banyak urusan
besar. Mencari Pedang Hok-mo-kiam saja belum berhasil. Kalau dia harus
melayani tantangan Ketua Thian-liong-pang yang galak dan entah mengapa
selalu memusuhinya dan agaknya amat membencinya itu, berarti dia akan
melibatkan diri dengan banyak urusan yang memusingkan kepala!
Apa lagi sekarang terdapat kenyataan bahwa Thian-liong-pang yang
diketuai oleh wanita aneh ini, aneh dan amat lihai, telah mengabdi
kepada pemerintah! Kalau dia melayani tantangannya, berarti akan menjadi
berlarut-larut. Padahal dia belum berhasil mengambil tindakan terhadap
Koksu dan kaki tangannya yang telah menghancurkan Pulau Es tanpa alasan
sama sekali! Belum lagi masih banyak urusan yang harus dia selesaikan
secepatnya.
Pertama, dia harus merampas kembali pedang Hok-mo-kiam. Kedua, dia harus
minta pertanggungan jawab terhadap mereka yang telah menghancurkan
Pulau Es dan Pulau Neraka. Ketiga, dia harus mencari tahu bagaimana
dengan keadaan Lulu setelah Pulau Neraka dibakar! Ke empat, dia harus
menyelidiki pula keadaan isterinya, Puteri Nirahai, yang tidak
diketahuinya di mana. Dia sudah merasa amat rindu kepada mereka semua
itu. Kepada Lulu, kepada Puteri Nirahai, kepada anaknya dan anak Nirahai
yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu!
"Para sahabat kang-ouw, harap lekas pergi dari tempat ini!" Tiba-tiba Suma Han berkata.
"Tahan mereka! Jangan biarkan mereka pergi!" Ketua Thian-liong-pang
berteriak pula dari balik kerudungnya dengan suara yang bengis dan
nyaring.
"Mengapa tidak biarkan mereka pergi saja...?" terdengar Milana berkata perlahan.
Dara ini sejak tadi menangis secara diam-diam. Menangis tanpa berani
mengeluarkan suara atau air mata, takut kalau ketahuan ibunya. Betapa
dia tidak akan menangis, betapa jantungnya tidak akan terasa seperti
ditusuk-tusuk pisau kalau melihat keadaan seperti itu? Dia tahu bahwa
Pendekar Super Sakti itu adalah ayah kandungnya sendiri!
Untung bahwa Pendekar Super Sakti tidak mengenalnya, tentu telah lupa
karena tentu saja banyak terjadi perbedaan dan perubahan antara dia
ketika masih kecil dengan dia sekarang yang telah menjadi seorang dara
dewasa! Betapa tidak akan hancur hatinya melihat ibu kandungnya
bertanding dan memusuhi bahkan tampak seperti membenci ayah kandungnya
sendiri? Ingin sekali dia meloncat, ingin sekali dia terjun ke dalam
gelanggang pertandingan itu, untuk memisah mereka, untuk membujuk
ibunya. Akan tetapi dia tidak berani.
Kalau dia melakukan hal itu, tentu ibunya akan marah bukan main. Dia
tidak boleh membuka rahasia ibunya! Karena itulah dia merasa tertekan
perasaannya, merasa berduka sekali dan menangis dalam hatinya, kemudian,
tanpa disadarinya, ia mencela ibunya mengapa tidak membiarkan mereka
itu pergi saja? Bukan hanya mereka orang-orang kang-ouw itu, akan tetapi
terutama sekali ayah kandungnya! Kalau memang ibunya tidak suka kepada
ayah kandungnya, mengapa harus memusuhinya, tidak membiarkan pergi saja?
Suma Han mendengar suara gadis itu dan diam-diam ia merasa heran. Tadi
dia mendengar gadis itu terisak, biar pun isak yang ditahan, dan kini
mendengar gadis itu berkata demikian. Bukankah gadis itu seorang anggota
Thian-liong-pang yang paling penting, bahkan kalau tidak salah
pendengarannya tadi sebelum ia memperlihatkan diri, gadis itu adalah
puteri Ketua Thian-liong-pang. Puteri wanita berkerudung yang kejam itu!
Hemm, jalan satu-satunya untuk mengendalikan Thian-liong-pang adalah
puterinya ini. Pikiran ini menyelinap di dalam otaknya dan tiba-tiba dia
menggerakkan tongkatnya dengan pengerahan tenaga.
"Trangggg!"
Ketua Thian-liong-pang terkejut sekali karena tahu-tahu lawannya lenyap.
Tentu saja dia mengenal Pendekar Super Sakti dan maklum pula bahwa
pendekar itu telah menggunakan ilmunya yang mukjizat, yaitu Gerak Kilat
Soan-hong-lui-kun. Akan tetapi yang membuat dia terkejut adalah ketika
melihat bayangan pendekar itu mencelat ke arah puterinya, Milana yang
berdiri dengan muka tunduk. Nirahai mengeluarkan keluh perlahan dan
otomatis menyimpan pedangnya, berdiri dengan kedua kaki gemetar!
Milana sendiri kaget setengah mati ketika tiba-tiba tangan kanannya
disambar dan dipegang oleh tangan kiri Pendekar Super Sakti, kemudian
tampak sinar berkelebat ketika ujung tongkat itu telah menodong
lehernya.
"Tidak... tidak... jangan...!" Milana menjadi pucat, terbelalak memandang lelaki itu dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia sama sekali bukan takut terbunuh, melainkan merasa ngeri kalau
sampai ayah kandungnya itu tidak mengenalnya dan kesalahan tangan
membunuhnya. Sebagai seorang dara perkasa yang telah digembleng
kegagahan sejak kecil, mati bukan apa-apa baginya, tetapi mati di tangan
ayah kandungnya sendiri benar-benar merupakan hal mengerikan!
Suma Han sendiri terbelalak kaget melihat wajah cantik jelita itu, yang
tertimpa sinar matahari dan kelihatan pucat sekali. Betapa cantiknya
dara ini! Tentu amat disayang oleh ibunya. Ketua Thian-liong-pang yang
seperti iblis itu!
"Thian-liong-pangcu, lekas kau bebaskan para sahabat kang-ouw itu, kalau
tidak, aku terpaksa membunuh anakmu di depan matamu!" Suma Han
mengancam.
"Kau...! Kau...!" Nirahai tergagap-gagap sehingga mengherankan hati semua orang.
Tang Wi Siang juga merasa heran. Dialah seorang di antara mereka yang
mengenal siapa adanya Ketuanya yang selalu berkerudung itu. Pada waktu
Nirahai menguasai Thian-liong-pang, setelah mengalahkan semua tokohnya,
pernah dia memperkenalkan diri sehingga Tang Wi Siang tahu bahwa
Ketuanya adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar sendiri dan tahu bahwa
Milana adalah puterinya. Akan tetapi, dia tidak tahu siapa ayah Milana
dan dia pun tidak berani bertanya, karena bertanya berarti memancing
maut! Dia pun tidak berani bertanya ketika Nirahai membantu pemerintah
membasmi para pemberontak. Akan tetapi mengapa kini sikap Nirahai
demikian berubah? Mengapa kelihatan begitu ketakutan setelah puterinya
diancam oleh Pendekar Siluman?
"Pangcu, bolehkah saya suruh mereka pergi saja?" Tang Wi Siang mendekati ketuanya dan bertanya penuh hormat.
Nirahai mengangguk. "Yaaah, suruh mereka pergi."
"Kalian boleh pergi dari sini!" Tang Wi Siang berkata kepada tiga orang
hwesio, dua orang tosu dan seorang kang-ouw yang berpakaian seperti guru
silat itu.
Mereka berenam segera menjura ke arah Pendekar Super Sakti untuk
menghaturkan terima kasih, akan tetapi Suma Han segera berkata tanpa
menghentikan dorongan tongkatnya dari tenggorokan Milana, "Harap Cu-wi
segera pergi!"
Enam orang itu kemudian membawa jenazah kawan masing-masing dan pergi
dari situ dengan cepat. Setelah bayangan mereka lenyap, barulah Suma Han
berkata, "Thian-liong-pangcu, terpaksa kulakukan hal ini..."
"Kau... laki-laki pengecut!"
Suma Han menghela napas panjang. "Benar agaknya, akan tetapi ketahuilah
bahwa aku melakukan ini bukan karena takut bertanding melawanmu,
melainkan karena aku ingin mengambil jalan damai agar tidak jatuh
korban-korban lebih banyak lagi. Kini, terpaksa anakmu kubawa dulu, dan
baru akan kulepaskan dia, kukembalikan padamu kalau Thian-liong-pang
sudah menghentikan sepak terjangnya yang mengacaukan dunia kang-ouw!"
"Keparat, kembalikan anakku!" Nirahai membentak.
"Pangcu, selamat berpisah!" Suma Han menotok Milana, disambarnya tubuh
dara itu dan dia bersuit keras. Burung rajawali hitam menjawab suitannya
dari jauh dan terbang menghampiri.
"Suma Han! Kembali kau!" Nirahai mengejar, akan tetapi tentu saja dia
tidak dapat menyusul Suma Han yang berlompatan dengan ilmunya
Soan-hong-lui-kun, kemudian bahkan meloncat ke atas punggung rajawali
yang terbang rendah.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Tang Wi Siang dan
teman-temannya ketika mereka semua turut mengejar, mereka tidak melihat
lagi Pendekar Siluman yang pergi membawa puteri Ketua mereka naik di
punggung rajawali dan melihat Ketua mereka mendeprok di atas tanah
sambil menangis!
Sejenak mereka hanya dapat saling pandang dengan bingung. Akhirnya Tang
Wi Siang berlutut dan berkata, "Maaf, Pangcu. Kalau Pangcu menghendaki,
kami seluruh anggota dan pimpinan Thian-liong-pang sanggup untuk
dikerahkan dan mencari serta merampas kembali Nona Milana dari tangan
Pendekar Siluman!"
Nirahai mengangkat mukanya yang berkerudung, menahan isak dan bangkit
berdiri. Kedatangan anak buahnya membuat dia sadar kembali dan dapat
menguasai hatinya. Dia terlalu marah kepada Suma Han. Butakah mata
suaminya itu sehingga tidak mengenal anaknya lagi? Ataukah... Suma Han
memang sengaja berpura-pura tidak mengenal Milana dan sengaja membawa
Milana pergi untuk mengendalikannya?
Betapa pun juga, dia menangis bukan karena mengkhawatirkan keselamatan
anaknya. Sama sekali tidak! Dia sudah mengenal siapa adanya orang yang
pernah menjadi suaminya itu! Andai kata benar-benar Suma Han lupa bahwa
gadis itu anaknya sendiri sekali pun, dia tidak usah mengkhawatirkan
keselamatan Milana. Suma Han adalah seorang pria yang boleh dipercaya
sepenuhnya! Yang dia tangiskan adalah sikap Suma Han, orang yang
dicintanya sepenuh jiwa raga, akan tetapi juga menimbulkan sakit hati
dan bencinya!
"Mari kita pulang," katanya kepada Tang Wi Siang. "Dan suruh anak buah mengubur semua jenazah itu."
"Semua, Pangcu? Juga jenazah pihak musuh?"
"Semua! Aku hendak pulang lebih dulu. Jangan melibatkan diri dalam
pertempuran dengan siapa pun juga. Kalau sudah selesai, cepat pulang
menyusulku."
"Baik, Pangcu." Akan tetapi belum habis jawaban Wi Siang, tubuh wanita berkerudung itu telah berkelebat dan lenyap dari situ.
Tang Wi Siang menarik napas dalam. Dia kagum kepada Ketuanya itu, kagum
dan penuh hormat, juga merasa setia dan sayang karena selama ini Nirahai
telah bersikap baik sekali kepadanya, bahkan memberinya beberapa ilmu
silat yang tinggi. Akan tetapi, sampai sekarang belum juga dia dapat
mengenal watak Ketuanya itu, apa lagi tadi saat Ketuanya itu berhadapan
dengan Pendekar Siluman. Ia tahu bahwa Ketuanya amat sakti, semua tokoh
kang-ouw dan partai-partai persilatan yang besar tidak ada yang mampu
menandinginya. Dia ingin sekali menyaksikan, siapa yang lebih sakti
antara Ketuanya dan Pendekar Siluman! Hal yang benar-benar amat menarik
dan membuat dia ingin sekali tahu, sungguh pun hatinya tegang dan
gelisah memikirkan betapa Ketuanya yang tercinta itu bertanding melawan
Pendekar Siluman yang kabarnya dapat membunuh lawan hanya dengan sinar
matanya!
Tang Wi Siang sadar dari lamunannya dan ia cepat memerintahkan anak
buahnya untuk mengubur semua jenazah yang jatuh menjadi korban dalam
pertandingan tadi. Baru saja selesai dan mereka habis mencuci kaki dan
tangan, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang
pemuda tampan telah berdiri di depan mereka! Tang Wi Siang dan lima
orang gadis cantik para pelayan pembantunya siap menghadapi segala
kemungkinan, sedangkan anak buah Thian-liong-pang bekas pengikut Milana
yang tinggal tiga orang jumlahnya, menjadi kaget sekali dan cepat
seorang di antara mereka berkata,
"Tang-kouwnio, dia... dia... adalah putera Majikan Pulau Neraka..."
Tang Wi Siang terkejut sekali. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain
adalah Wan Keng In, tidak bicara apa-apa, hanya melangkah maju
menghampiri Tang Wi Siang dan lima orang gadis pelayan, matanya
memandang penuh selidik lalu menengok ke kanan kiri, seperti orang
mencari-cari.
Tadinya enam orang wanita itu mengira bahwa pemuda tampan yang disebut
sebagai putera Majikan Pulau Neraka ini tentu mata keranjang dan seorang
demi seorang, wajah para wanita ini sudah menjadi merah karena malu dan
marah. Akan tetapi ketika melihat pemuda itu seperti mencari-cari,
mereka menjadi heran.
"Mana dia...?" Tiba-tiba Wan Keng In bertanya, pertanyaan yang ditujukan
kepada mereka semua. Suaranya halus dan manis, akan tetapi mengandung
sesuatu yang membuat rombongan orang Thian-liong-pang itu bergidik
ngeri. Kecuali Tang Wi Siang, karena wanita ini telah memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan dia sama sekali tidak takut berhadapan dengan
orang yang dikatakan putera Majikan Pulau Neraka. Hanya seorang pemuda
remaja, pikirnya.
"Dia siapa yang kau cari?" Tang Wi Siang balas bertanya, suaranya dingin
sekali. Biar pun pangcunya sudah berpesan agar dia tidak membawa
orang-orangnya terlibat dalam pertempuran, akan tetapi kalau orang ini
tokoh besar Pulau Neraka, tentu saja dia tak tinggal diam.
"Siapa lagi? Nona cantik jelita puteri Ketua Thian-liong-pang! Di mana
dia? Kalian ini bukankah orang-orang Thian-liong-pang?" Wan Keng In
bertanya lagi.
"Benar kami orang-orang Thian-liong-pang. Engkau ini orang Pulau Neraka
mencari Nona Majikan kami, ada keperluan apakah?" Tang Wi Siang
membentak marah.
"Hemmm, dia harus menjadi isteriku. Dia calon isteriku!"
"Jahanam bermulut lancang!" Tang Wi Siang marah sekali dan tubuhnya
mencelat ka atas lalu turun menyambar dengan serangan dahsyat ke arah
kepala Wan Keng In!
Wanita itu memang memiliki ilmu kepandaian istimewa berdasarkan ginkang
yang luar biasa, yang diajarkan oleh Nirahai kepadanya, yaitu Ilmu
Yan-cu-sin-kun. Melihat datangnya serangan yang amat cepat itu,
tahu-tahu tangan kiri wanita itu memukul ke arah ubun-ubun kepalanya.
Wan Keng In terkejut juga, cepat ia miringkan kepala sambil melangkah
mundur. Akan tetapi, Ilmu Silat Yan-cu-si-kun (Silat Sakti Burung Walet)
benar-benar hebat sekali, karena begitu pukulannya luput, dan tubuhnya
melayang, cepat sekali tubuh wanita itu sudah berjungkir balik dan
tahu-tahu kedua tangannya telah memukul lagi dari kanan kiri mengarah
kedua pelipis!
"Plak-plak!"
Wan Keng In yang kaget sekali cepat menangkis dan tangkisan itu membuat
tubuh Tang Wi Siang terpelanting! Sekarang wanita inilah yang terkejut.
Kiranya pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Dia cepat meloncat dan
mengirim Pukulan Touw-sin-ciang (Pukulan Menembus Hati) yang mengandung
sinkang kuat.
"Plakk!" kembali Wan Keng In menangkis dan kali ini ia mengerahkan tenaga sehingga tubuh Tang Wi Siang terbanting keras.
Marahlah para anak buah Thian-liong-pang yang delapan orang banyaknya
itu melihat wanita kepercayaan Ketua mereka roboh. Cepat mereka mencabut
senjata dan menerjang maju, mengeroyok pemuda lihai itu. Tang Wi Siang
juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedangnya, mainkan ilmu Pedang
Bu-tong Kiam-sut yang sudah disempurnakan oleh Ketuanya. Wan Keng In
dikeroyok oleh sembilan orang yang semuanya bersenjata!
Namun pemuda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan dia tersenyum,
senyum yang membuat wajahnya makin menarik dan tampan. Dia tidak
mengeluarkan senjata sama sekali, hanya meloncat ke sana-sini sambil
berkata,
"Hemmm, Bibi yang cantik, engkau agaknya yang menjadi pimpinan rombongan
ini. Baiklah, aku akan membiarkan kalian menghadap Ketua kalian dan
katakan bahwa aku akan menyembuhkan kalian kalau puterinya dijodohkan
dengan aku. Kalau tidak, kalian akan tewas dan seluruh anggota
Thian-liong-pang akan kubasmi, kecuali puteri Ketua yang harus menjadi
isteriku, mau atau tidak!"
Tentu saja kata-katanya itu membuat Tang Wi Siang dan teman-temannya
menjadi amat marah, dan mereka tidak dapat menjawab saking marahnya,
hanya mempercepat gerakan mereka menyerang dengan pergerahan tenaga
sekuatnya. Ingin mereka mencincang hancur tubuh pemuda yang begitu
kurang ajar, hendak memaksa nona mereka menjadi isterinya dan mengancam
akan membasmi seluruh anggota Thian-liong-pang kalau kehendaknya tidak
dipenuhi! Mana di dunia ini ada kesombongan dan kekurang ajaran yang
sehebat itu?
Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara tertawa seperti
ringkik kuda dan tiga orang yang menyerang paling dekat dengannya
tiba-tiba menjadi lemas sehingga mereka tidak mampu mengelak atau
menangkis lagi ketika tangan kiri pemuda itu menepuk punggung mereka,
seorang sekali.
"Plak! Plak! Plak!" Tiga orang itu roboh terjungkal dan batuk-batuk, dari mulut mereka keluar darah merah.
Tang Wi Siang marah sekali, menggerakkan pedangnya dan menyerbu ke arah
perut pemuda itu sambil menggerakkan tangan kiri untuk memukul dengan
mengerahkan tenaga Touw-sim-ciang ke arah dada kiri Wan Keng In.
Pemuda itu mengelak sedikit untuk menghindarkan tusukan pedang, akan
tetapi dia agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan tangan kiri Wi
Siang yang ampuh itu. Tang Wi Siang merasa girang sekali karena
pukulannya mengenai sasaran yang tepat dan betapa pun lihainya pemuda
itu, pukulannya yang menembus jantung itu tentu akan merobohkahnya, atau
sedikitnya melukai isi dadanya.
"Plakkk!"
Betapa kaget hati Wi Siang ketika telapak tangannya melekat pada dada
kiri pemuda itu yang agaknya sama sekali tidak merasakan apa-apa dan
bahkan kini tangan kanan pemuda itu telah mencengkeram pergelangan
tangannya yang memegang pedang dan sekali memutar tubuhnya terbawa
membalik dan sebuah tepukan pada punggungnya membuat Tang Wi Siang
terguling, kepalanya terasa pening, tenggorokannya gatal membuat dia
terbatuk-batuk dan muntahkan darah merah!
Cepat sekali Wan Keng In bergerak, tubuhnya seperti lenyap dan beruntun
ia telah menepuk punggung lima orang gadis pelayan pembantu Tang Wi
Siang sehingga mereka ini hampir tidak tahu apa yang membuat mereka
roboh terguling, dan terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Sembilan orang
itu, termasuk Tang Wi Siang yang amat lihai, telah roboh dan terluka
oleh Wan Keng In dalam waktu beberapa menit saja!
Kalau Tang Wi Siang tidak terkena pancingannya, tidak mengira bahwa
pukulan Touw-sim-ciang sama sekali tidak dapat menembus kekebalan tubuh
Wan Keng In dan kalau wanita itu menggunakan ilmu silatnya untuk
mempertahankan diri, kiranya biar pun akhirnya dia akan roboh juga,
namun sedikitnya pemuda itu harus menggunakan waktu yang lebih lama.
Namun pemuda itu cerdik sekali dan dia sudah tahu akan kelihaian Tang Wi
Siang, maka ia sengaja membiarkan dirinya terpukul untuk dapat
merobohkan wanita itu dalam waktu yang lebih cepat.
"Bibi yang cantik, katakanlah kepada Ketuamu bahwa kalau dalam waktu
sebulan dia tidak menerima pinanganku dan tidak mengumumkan bahwa
puterinya telah menjadi tunangan Wan Keng In dari Pulau Neraka, kalian
akan mati dan aku akan datang sendiri ke sana untuk mengambil calon
isteriku dan membasmi Thian-liong-pang. Akan tetapi kalau dia menerima
pinanganku, Thian-liong-pang akan menjadi perkumpulan yang terkuat di
dunia karena bantuanku!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat,
bayangan pemuda itu lenyap dari dalam hutan.
Tang Wi Siang cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri di dalam
dadanya. Ia melihat bahwa semua anak buahnya sudah dapat berdiri akan
tetapi menyeringai tanda bahwa mereka pun menderita nyeri. Tahulah dia
bahwa mereka semua telah terluka di sebelah dalam tubuh oleh tepukan
pada punggung tadi.
"Buka bajumu!" Katanya kepada seorang anggota Thian-liong-pang pria yang
tadi telah dirobohkan. Orang itu membuka bajunya, setelah diperiksa
ternyata di punggungnya terdapat bekas jari yang berwarna merah!
"Hemmm, pukulan beracun, seperti yang kuduga," kata Tang Wi Siang yang
memang sudah menduga bahwa tokoh Pulau Neraka itu tentu menggunakan
pukulan beracun. "Manusia sombong itu! Apa dikira Pangcu kita tidak akan
dapat menyembuhkan pukulan beracun macam ini saja? Hayo, kita cepat
pulang menyusul Pangcu, membuat laporan agar Pangcu dapat mengobati kita
dan mencari si keparat itu untuk diberi hajaran!"
Biar pun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Tang Wi Siang
merasa gelisah dan tegang sekali karena dari pertandingan tadi saja dia
sudah maklum bahwa pemuda itu benar-benar memiliki kesaktian yang amat
luar biasa! Dengan perasaan tertekan sembilan orang itu melakukan
perjalanan tergesa-gesa, tanpa mengeluarkan kata-kata menyusul Ketua
mereka. Pikiran mereka tidak pernah terlepas dari tanda tiga buah jari
merah yang menempel di punggung mereka dan tersembunyi di bawah baju
masing-masing.
********************
"Hu-hu-huukkk...!" Milana tak dapat menahan kesedihan hatinya lagi
ketika dia sudah berdua saja dengan Pendekar Super Sakti di atas
punggung burung rajawali yang terbang tinggi menembus awan.
Mula-mula dia merasa bahagia sekali dapat duduk membonceng ayah
kandungnya di atas punggung rajawali itu, hal yang sudah lama dia
impi-impikan. Akan tetapi dia teringat kembali kepada ibunya, teringat
akan peristiwa antara ibu dan ayahnya, akan permusuhan antara ibu dan
ayahnya dan akan rahasia ibunya yang tidak diketahui ayahnya.
Bagaimana dia dapat bergembira biar pun sekarang dia sedang membonceng
ayah kandungnya kalau ayahnya itu tidak mengenal dan dia tidak boleh
memperkenalkan diri? Dia tidak akan memperkenalkan diri sebagai Milana,
sebagai puteri Pendekar Super Sakti ini, demi menjaga rahasia ibunya.
Betapa pun juga dia harus membela ibunya! Dan dia pun kini mendapat
kesempatan untuk mengenal dari dekat orang macam apakah yang menjadi
ayah kandungnya ini.
"Eh, Nona mengapa engkau menangis?" Tiba-tiba Suma Han bertanya kepada
dara yang duduk di depannya, membelakanginya ketika ia mendengar dara
itu terisak.
"Apakah setelah menjadi tawananmu, aku tak boleh menangis?" Milana bertanya tanpa menoleh.
"Hemmm... wanita dan tangis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Tentu saja kau boleh menangis, akan tetapi kurasa, sebagai puteri
seorang ketua perkumpulan besar macam Thian-liong-pang, sangatlah
memalukan kalau harus memperlihatkan kekecilan hati dan menjadi seorang
yang cengeng."
Rasa panas membubung ke dada Milana dan dia menggigit bibir, mengusir
sisa tangis yang berada di dalam dadanya. "Aku tidak cengeng! Aku tidak
kecil hati!" bantahnya.
Suma Han yang duduk di belakangnya tersenyum. Ia maklum bahwa tentu
puteri Ketua Thian-liong-pang ini membencinya dan menganggapnya musuh,
akan tetapi semenjak tadi, dia sudah melihat perbedaan watak yang besar
sekali antara Ketua Thian-liong-pang dan puterinya ini.
Gadis ini sama sekali tidak berwatak kejam, liar dan ganas seperti
ibunya. Sebaliknya dara ini mempunyai watak lembut, terbukti dari
isaknya dan pencelaannya kepada ibunya ketika berada di hutan tadi.
Kini, kembali tampak sifat halusnya dengan isak yang tertahan-tahan akan
tetapi betapa pun juga, ada setitik darah ibunya sehingga dara ini
melawan perasaan sendiri dan kini berpura-pura memperlihatkan sikap
keras seperti sikap ibunya! Ahhh, betapa terbuka keadaan hati dan
pikiran dara ini baginya sehingga biar pun dara itu duduk
membelakanginya dan ia tak dapat melihat wajahnya yang memang belum
diperhatikannya benar-benar, dia sudah dapat menjenguk isi hati dan
mengenal wataknya!
"Kalau begitu mengapa menangis?"
Ih, betapa halus suara ayahnya! Orang yang memiliki suara halus dan
menggetarkan perasaan yang halus pula itu tak mungkin seorang jahat,
biar pun dijuluki Pendekar Siluman sekali pun! Bagaimana ibunya
mencacinya sebagai seorang yang pengecut, tidak berjantung, tiada
perasaan?
"Kenapa engkau menawan aku? Apakah benar untuk menekan Thian-liong-pang
agar tidak membantu pemerintah membasmi para pengacau dan pemberontak
lagi?"
Milana merasa betapa orang yang duduk di belakangnya itu menghela napas
panjang. Ingin sekali dia menengok dan memandang wajah yang menimbulkan
rasa sayang dan kagum di dalam hatinya itu, ingin melihat tarikan muka
itu dan sinar mata yang aneh itu. Akan tetapi, pada saat itu dia sedang
bersandiwara, harus beraksi seperti orang yang asing sama sekali, yang
tidak mengenal Pendekar Super Sakti, maka tidak akan sopanlah sebagai
seorang gadis tertawan kalau dia ingin memandang muka pria yang menawan.
"Nona, biarlah engkau mendengar hal yang sesungguhnya. Bukan menjadi
pendirianku untuk mempergunakan cara pemerasan seperti ini, untuk
menggunakan seorang gadis muda sebagai alat untuk menekan
Thian-liong-pang. Cara ini, tepat seperti pendapat ibumu, adalah cara
seorang pengecut. Kalau memang aku berniat menentang Thian-liong-pang,
tentu akan kupergunakan cara laki-laki, yaitu langsung menentangnya dan
menghadapinya seperti seorang gagah, tinggal melihat hasilnya, menang
atau kalah. Akan tetapi, setelah aku melihatmu di sana tadi... hemm, aku
berpendapat lain dan aku menawanmu dengan maksud lain pula..."
Berdebar keras jantung Milana dan dia menarik tubuh ke depan agar orang
yang berada di belakangnya itu jangan sampai tahu debar jantungnya. Dia
lupa bahwa yang duduk di belakangnya adalah seorang pendekar yang
memiliki kesaktian luar biasa sehingga pendengarannya sudah amat tajam,
dapat membedakan debar jantung yang berubah, apa lagi dari jarak
demikian dekat! Ayah kandungnya ini menawannya bukan untuk dipergunakan
sebagai sandera, bukan untuk memeras dan menekan Thian-liong-pang! Habis
untuk apa?
"Maksud apa lagi kalau bukan untuk menekan Ibuku?" tanyanya, menekan hatinya agar suaranya terdengar biasa.
Tentu saja Suma Han dapat membedakan pula suara menggetar yang terbawa
oleh perasaan tegang itu, dan dia tersenyum, menduga tentu gadis ini
mengira bahwa dia mempunyai niat yang bukan-bukan!
"Ketika aku melihatmu di sana tadi, timbul rasa kasihan di hatiku.
Betapa seorang gadis muda yang berdasarkan watak halus dan hati penuh
welas asih dan mulia, bergelimang dalam perbuatan-perbuatan rendah yang
dilakukan oleh Thian-liong-pang! Kalau dibiarkan saja, akhirnya tentu
anak itu akan menjadi rusak dan menjadi seorang wanita yang kejam, liar,
ganas dan berwatak iblis, seperti ibunya yang menjadi Ketua
Thian-liong-pang! Karena itu, timbul niatku untuk membawamu pergi dari
lingkungan kotor ini!"
Tiba-tiba Milana menoleh dan matanya terbelalak penuh kemarahan. "Tidak!
Biarkan aku kembali! Aku tidak peduli, aku lebih senang kalau menjadi
seperti Ibu! Dia tidak jahat, engkaulah yang jahat dan kejam! Engkau
telah membiarkan Ibuku merana dan sengsara dalam hidupnya!"
"Hahhh...? Apa maksudmu? Aku membikin Ibumu hidup sengsara?"
Milana terkejut sendiri. Dia telah kelepasan bicara. Cepat ia memutar
otak mencari alasan. "Tentu saja! Engkau telah menculik aku, anaknya,
bagaimana Ibu tidak merasa sengsara dalam hidupnya memikirkan
keselamatanku?"
"Ah, begitukah? Kalau dia masih mempunyai perasaan seperti seorang ibu
biarlah dia sadar bahwa dalam hidupnya, jauh lebih penting memikirkan
masa depan puterinya dari pada melampiaskan nafsu kemurkaan melalui
Thian-liong-pang. Biarkanlah dia menderita agar dia sadar. Kalau dia
sudah sadar, aku pun tentu saja tidak akan suka memisahkan seorang anak
dari ibu kandungnya." Setelah berkata demikian, Suma Han menepuk leher
rajawali dan menekan berat tubuhnya ke kiri sehingga burung itu segera
menukik ke kiri dan meluncur turun.
Burung itu meluncur cepat sekali sehingga biar pun Milana telah memiliki
kepandaian tinggi, dia merasa pening dan ngeri juga. Akan tetapi di
depan penawannya, atau bahkan ayah kandungnya, dia tidak mau
memperlihatkan kelemahannya, dan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya,
dia bertanya,
"Engkau mau membawa aku ke mana?"
"Engkau takut?"
Wah, ayahnya ini benar-benar amat waspada!
"Tidak!" jawabnya, akan tetapi suaranya gemetar juga ketika ia melirik
ke bawah dan melihat seolah-olah dia dibawa jatuh ke bawah dengan
kecepatan mengerikan!
"Jangan takut, menunggang burung ini lebih aman dari pada menunggang seekor kuda."
Milana tidak mejawab lagi karena percuma saja dia hendak menyembunyikan
rasa ngerinya. Setelah penculiknya tahu, tidak lagi berpura-pura dan
untuk mengusir rasa takutnya, dia memegangi tangan Pendekar Super Sakti
yang membiarkannya saja sambil diam-diam tersenyum karena Suma Han
maklum, bagi seorang yang belum biasa, betapa ngeri dan takutnya
menunggang burung rajawali, apa lagi kalau menukik turun. Dia sendiri
ketika mula-mula menunggang burung garuda di Pulau Es juga
berkunang-kunang dan merasa ngeri!
Burung itu hinggap di atas tanah di luar sebuah dusun. Suma Han meloncat
turun diikuti oleh Milana. Suma Han lalu mendorong tubuh burung
rajawali itu sehingga terlempar ke atas dan burung itu segera terbang
tinggi.
"Mengapa kita turun di sini? Engkau hendak membawaku ke mana?"
Sambil membalikkan tubuhnya rnenghadapi gadis itu Suma Han menjawab, "Kita akan pergi ke...."
Tiba-tiba Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya dan dia berdiri dengan
mata terbelalak dan mulut agak terbuka seperti terkena pesona ketika
memandang wajah dara itu. Baru sekarang dia dapat melihat wajah Milana
dengan jelas dan dari jarak dekat. Mulut itu! Mata itu! Mata yang
mengandung sinar seolah-olah dua ujung pedang yang amat runcing menusuk
sampai ke lubuk hati! Mata dan mulut yang sangat dikenalnya, tidak asing
sama sekali baginya, akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini dia
berjumpa dengan puteri Ketua Thian-liong-pang!
"Kau... kau kenapa, Paman?" Milana bertanya.
Suara Milana yang halus itu menyadarkan Suma Han. Dia menarik napas
panjang, lalu menggunakan kedua telapak tangannya untuk menggosok-gosok
matanya, kemudian menggosok seluruh mukanya terus ke leher dan lalu ke
tengkuknya yang dirasakan meremang tanpa dia ketahui sebabnya.
"Aaahhhh... tidak apa-apa..." Dia menghindarkan pandang matanya bertemu
dengan sinar mata gadis itu dan tak ingin lagi memandang wajah itu
lama-lama karena merasa aneh dan... ngeri! "Aku hendak membawamu ke kota
raja."
"Ke kota raja? Mengapa ke sana, Paman? Apakah engkau sekarang tinggal di
kota raja setelah... setelah... kudengar..." Karena Pulau Es merupakan
tempat tinggal ayah kandungnya, tempat yang sudah lama ia rindukan, maka
mendengar betapa pulau itu dibakar, Milana merasa terkejut dan duka,
maka sekarang dia pun merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya.
"Setelah Pulau Es dibakar? Tidak, aku tidak tinggal di kota raja atau di mana pun."
"Jadi, engkau sekarang tidak mempunyai tempat tinggal, Paman?"
Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam merasa betapa aneh
keadaan mereka berdua itu. Dia adalah penculik dan gadis itu yang
diculik dan ditawannya, akan tetapi mereka bercakap-cakap seperti
seorang paman dan keponakannya saja, saling bersimpati dan saling
menaruh kasihan!
"Kalau begitu, kenapa Paman hendak ke kota raja?"
"Aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah membakar Pulau Es
dan Pulau Neraka, dan aku akan merampas kembali Pedang Hok-mo-kiam..."
"...yang dicuri oleh Pendeta Iblis Maharya dan muridnya?"
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu?" tiba-tiba Suma Han bertanya dan
kembali dia merasa jantungnya seperti diguncang ketika memandang wajah
yang cantik jelita luar biasa itu.
Ingin rasanya Milana menampar mulutnya sendiri karena kelepasan bicara itu.
"Siapa yang tidak tahu, Paman? Hal itu sudah diketahui di dunia kang-ouw, dan aku mendengar dari Ibuku."
Suma Han tidak merasa heran. Peristiwa itu diketahui oleh orang lain,
juga oleh Gak Bun Beng. Andai kata pemuda itu tidak membicarakannya di
luar, bisa jadi saja kalau Tan-siucai atau Gurunya membual bahwa mereka
telah merampas Hok-mo-kiam dari tangan Pendekar Super Sakti sehingga
peristiwa itu diketahui oleh Ketua Thian-liong-pang yang lihai dan
berpengaruh.
"Hemm, begitukah? Benar, pedang itu akan kurampas kembali dari tangan
mereka. Aku mendengar bahwa kini mereka pun membantu Im-kan Seng-jin
Bhong Ji Kun dan berada di kota raja."
"Wah, Paman hendak mencari banyak musuh di kota raja. Bagaimana dengan aku?"
"Engkau ikut saja denganku, tidak akan ada yang berani mengganggu."
"Habis, untuk apa aku ikut kalau hanya disuruh menonton? Apakah Paman... ingin supaya aku membantu Paman?"
Suma Han tertawa. Bocah ini sungguh menyenangkan hatinya. Sikapnya
begitu halus dan wajar, sedikit pun juga tidak memperlihatkan sikap
bermusuhan padahal jelas bahwa dia telah membawanya secara paksa!
"Tidak, Nona. Engkau ikut saja denganku dan di waktu luang, aku akan mengajarkan ilmu kepadamu."
Hampir saja Milana bersorak saking girang hatinya. Di antara hal-hal
yang sangat dia rindukan adalah belajar ilmu dari ayah kandungnya, dari
Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang terkenal di
seluruh jagad! Akan tetapi dia menahan diri dan hanya kelihatan betapa
bibirnya yang merah dan berbentuk kecil mungil indah itu merekah dalam
senyum, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak dan bersinar-sinar
penuh keriangan hati. Hal ini tidak lepas dari pandangan mata Suma Han
sehingga diam-diam pendekar ini merasa terharu dan timbul rasa suka yang
mendalam di hatinya terhadap gadis ini, timbul pula niat hatinya untuk
menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi kepadanya!
"Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali!"
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Suma Han sendiri sampai terkejut. Bertahun-tahun
sudah dia tidak pernah tertawa. Akan tetapi kini, tanpa disadarinya, dia
telah tertawa begitu bebas, suara ketawa yang langsung keluar dari
dalam hatinya. Bocah ini telah menciptakan sesuatu yang amat aneh dalam
hatinya!
"Paman, kenapa kau tertawa?"
"Aku... tertawa...? Ahhhh, karena mendengar ucapanmu yang lucu tadi,
Nona. Kau bilang aku baik sekali padahal aku adalah penculikmu!"
"Biar pun begitu, sikapmu amat baik kepadaku, Paman, dan aku suka ikut
bersamamu. Aku merasa bahwa dengan ikut padamu, aku akan mengalami
hal-hal yang hebat, dan lagi, menerima pelajaran ilmu dari Pendekar
Super Sakti merupakan hal yang amat menyenangkan sekali. Bagaimana aku
tidak menjadi girang dan menganggap Paman seorang yang amat baik? Nanti
kalau bertemu dengan Ibu aku akan meyakinkan hatinya betapa baiknya budi
pekerti Paman."
Suma Han menghela napas. "Aaahhh... kalau ada yang menganggap baik tentu
ada yang menganggap sebaliknya, yaitu jahat. Dan aku sendiri tidak tahu
siapa yang lebih benar di antara mereka yang menyebut baik dan mereka
yang menyebutku jahat."
"Bagaimana ini? Aku tidak mengerti, Paman?"
"Tak usah kau pikirkan. Jangan merusak hatimu yang masih polos itu
dengan teka-teki hidup yang tiada habisnya, juga tiada gunanya. Eh,
Nona, engkau kuanggap sebagai muridku atau sebagai... keponakanku
sendiri. Ehh, aku jadi teringat kepada Kwi Hong! Ke mana gerangan
perginya bocah bengal yang sukar diurus itu?"
"Kwi Hong? Apakah Paman maksudkan bahwa keponakan Paman yang bernama Kwi Hong pergi tanpa pamit?"
Suma Han mengangguk. "Bocah itu nakalnya bukan main. Dia pergi merantau
tidak menggelisahkan karena ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk
menjaga diri. Namun, dia membawa pergi pedang Li-mo-kiam, itulah yang
menggelisahkan hatiku..."
Tiba-tiba Milana meloncat kaget. "Aihhh...! Kalau begitu diakah...?"
Terbayang olehnya seorang gadis yang telah menyelamatkannya ketika ia
hampir saja tertawan oleh Wan Keng In, seorang gadis yang keluar dari
dalam peti mati, dan yang memegang sebatang pedang yang mengeluarkan
sinar kilat! Gadis itu pula yang telah mengacau di rumah penginapan,
menyelidiki keadaan rombongan Thian-liong-pang! Ahhh, mengapa dia begitu
pelupa? Tentu gadis perkasa itu Kwi Hong!
"Heiii! Apa engkau pernah bertemu dengannya?" Suma Han bertanya kaget.
Milana mengangguk, tapi belum berani membuka mulut karena dia harus
menekan perasaannya yang terguncang. Bertemu dengan Kwi Hong dan dia
tidak mengenalnya, apakah Kwi Hong juga tidak mengenalnya ketika
menyelidiki rumah penginapan? Dan apakah Kwi Hong baru mengenalnya
ketika turun tangan menolongnya?
"Aku pernah bertemu dengan seorang gadis cantik yang membawa pedang
bersinar kilat, Paman. Dia pernah menyelidiki rombongan
Thian-liong-pang, hampir tertangkap olehku, akan tetapi dia lihai sekali
dan dapat meloloskan diri. Kemudian, dia muncul pula bersama
orang-orang Pulau Neraka!"
"Ah, kalau begitu bukan Kwi Hong! Tidak mungkin dia bersama orang-orang Pulau Neraka."
"Akan tetapi dia telah menolongku ketika aku hampir tertawan oleh pemuda iblis, putera Majikan Pulau Neraka."
"Apa? Coba kau ceritakan yang jelas, Nona."
Dengan singkat Milana menceritakan bentrokan yang terjadi antara
rombongan Thian-liong-pang yang dipimpinnya melawan rombongan Pulau
Neraka. "Mula-mula pihak kami sudah mendekati kemenangan, lalu tiba-tiba
muncul pemuda iblis yang lihai itu. Aku hampir saja tertawan olehnya,
kemudian muncul gadis itu dari dalam peti mati dan dengan sebatang
pedang yang bersinar kilat, dia telah menyelamatkan aku dengan membabat
putus tali sutera yang mengikatku. Karena aku maklum bahwa tempat itu
berbahaya bagi rombonganku, kemudian aku mengajak rombonganku segera
pergi meninggalkan tempat itu."
"Dan gadis itu bagaimana?"
"Entah, Paman. Ketika aku pergi, dia sedang bertanding dengan hebatnya
melawan pemuda iblis yang juga memegang sebatang pedang yang bersinar
kilat!"
"Hemmm, Sepasang Pedang Iblis...!" Suma Han berkata perlahan sambil mengerutkan alisnya.
Milana sudah mendengar dari Gak Bun Beng betapa sepasang pedang itu
telah ditemukan Bun Beng. Li-mo-kiam, pedang betina, diberikan oleh Bun
Beng kepada Kwi Hong sedangkan yang jantan, Lam-mo-kiam, terampas oleh
Wan Keng In putera Majikan Pulau Neraka. Akan tetapi dia pura-pura tidak
tahu karena kalau dia menyebut Bun Beng, tentu ayah kandungnya itu akan
mengenal dan dengan demikian, rahasia ibunya terbongkar.
"Apakah benar dia itu keponakanmu, Paman?"
"Agaknya begitulah. Dan dia tentu terancam bahaya..." Suma Han
menggeleng kepala. "Akan tetapi, dia keluar dari sebuah peti mati,
katamu? Hemm... kalau begitu dia bukan Kwi Hong."
Di dalam hatinya, Milana sekarang merasa yakin bahwa gadis yang meloncat
keluar dari peti mati itu pasti Kwi Hong. Setelah diingatkan, kini dia
dapat membayangkan wajah gadis itu dan dia merasa yakin bahwa gadis itu,
juga gadis yang pernah dia ‘lasso’ kakinya di atas genteng di rumah
penginapan, tentu Giam Kwi Hong orangnya! Akan tetapi, tentu saja dia
tidak berani menyatakan isi hatinya itu.
"Nona, kulanjutkan pertanyaanku yang tadi terganggu oleh persoalan Kwi
Hong yang bengal. Aku hendak bertanya, siapakah namamu, Nona?"
Kaget juga hati Milana mendengar pertanyaan ini. Ayahnya, ayah
kandungnya sendiri, menanyakan namanya. Tidakkah hal ini amat ganjil?
Ingin ia berteriak menyebutkan namanya, berteriak mengaku bahwa dia
adalah puteri Si Pendekar itu sendiri, ingin ia menangis dan mencela
ayahnya yang seolah-olah tidak mempedulikan anaknya! Akan tetapi Milana
terpaksa harus menekan keinginan hatinya ini karena ia harus melindungi
rahasia ibunya. Entah mengapa ibunya menyembunyikan diri di balik
kerudungnya itu, dia sendiri tidak tahu. Entah mengapa ibunya tidak mau
berbaik dengan ayahnya, tidak mau mengaku bahwa Ketua Thian-liong-pang
adalah ibunya, dia sendiri tidak tahu. Betapa pun juga, dia harus
membela ibunya, harus melindungi rahasianya.
"Paman, panggil saja aku... Alan..."
"Hemmm, nama palsu, ya?"
Milana mengangguk. "Maaf, Paman. Aku tidak boleh memperkenalkan namaku yang sebenarnya kepadamu..."
"Aku mengerti. Ibumu selalu bersembunyi di balik kerudung, penuh
rahasia, tentu anaknya pun penuh rahasia pula. Tak mengapalah, Alan, aku
akan menyebutmu Alan seperti yang kau kehendaki. Mari kita melanjutkan
perjalanan ke kota raja."
"Kenapa tidak menunggang rajawali saja, tidak melelahkan dan lebih
cepat?" Milana membantah karena memang amat menyenangkan hatinya
menunggang rajawali itu, berboncengan dengan ayahnya.
"Tidak, Alan. Dari sini ke kota raja hanya perjalanan tiga empat hari
saja dan melalui banyak dusun dan kota. Kalau kita menunggang rajawali,
tentu akan menarik banyak perhatian orang."
"Dan burung itu sendiri bagaimana?"
"Dia sudah jinak dan dia akan mengikuti aku dari angkasa. Setiap kali kubutuhkan, kupanggil tentu dia datang."
"Sungguh menyenangkan sekali mempunyai binatang peliharaan seperti itu,
Paman. Akan tetapi... aku pernah mendengar bahwa binatang peliharaan
Paman di Pulau Es bukan rajawali, melainkan garuda putih."
Suma Han menghela napas teringat akan dua ekor burung garudanya. "Mereka
telah tewas di tangan orang-orang yang merampas Hok-mo-kiam. Burung
rajawali ini pun dari Pulau Neraka, aku temukan dalam keadaan ketakutan
karena Pulau Neraka dibakar. Aku dapat menundukkannya dan sekarang dia
sudah jinak dan penurut."
Demikianlah, dua orang itu berjalan memasuki dusun sambil
bercakap-cakap. Mereka kelihatan begitu rukun, sama sekali tidak pantas
sebagai seorang yang ditawan dan penawannya, lebih patut sebagai
keluarga. Namun, hanya Milana seorang yang tahu bahwa mereka adalah anak
dan ayah, ayah kandung!
Dua hari kemudian, mereka telah tiba di tapal batas, kota raja hanya tinggal
lima puluh li jauhnya,
perjalanan setengah hari.
Karena mereka datang dari arah utara, mereka melalui daerah yang agak
tandus dan pada pagi hari itu, mereka beristirahat di sebuah kuil tua
yang sudah tidak dipakai lagi, di luar sebuah dusun.
Suma Han mengeluarkan bungkusan roti kering yang tinggal dua potong dan
sebuah guci terisi air yang diisi penuh dalam perjalanan tadi. Tanpa
bicara dia menyerahkan sepotong roti kering kepada gadis itu, yang
diterimanya tanpa berkata-kata pula, akan tetapi tidak segera dimakannya
karena Milana kini duduk sambil memandang ayah kandungnya.
Pendekar Sakti itu duduk bersandar dinding butut, kaki tunggalnya
ditekuk bersila, tongkat melintang di atas pahanya, tangan kiri memegang
roti kering sepotong. Melihat gadis itu tidak segera makan rotinya, dia
berkata, "Tinggal ini roti bekalku, akan tetapi perjalanan sudah dekat.
Makanlah, Alan."
Namun dara itu tidak mau makan rotinya. Melihat betapa ayah kandungnya
itu makan roti kering, kelihatan dipaksakan dan seret melalui
kerongkongan, hatinya menjadi terharu sekali.
"Paman, kasihan sekali engkau, hanya makan roti kering tawar dan air!
Aku pandai masak, Paman. Aku ingin memasakkan yang enak-enak untuk kau
makan."
Suma Han menunda makannya, memandang dara itu dengan heran dan
tersenyum. "Engkau aneh sekali. Di tempat sunyi seperti ini, andai kata
pandai masak sekali pun, apa yang hendak dimasak? Bahannya tidak ada,
bumbu-bumbunya pun tidak ada, yang ada hanya bahan bakar dan api!"
"Di selatan sana sudah tampak sebuah dusun, tentu ada yang menjual bahan
dan bumbu. Kalau Paman percaya kepadaku, aku akan ke sana membeli bahan
kemudian akan kumasakkan yang enak untuk Paman."
"Percaya? Tentu saja aku percaya kepadamu, Alan."
Wajah Milana berseri dan ia meloncat bangun. "Benarkah Paman percaya
kepadaku? Terima kasih, Paman. Aku akan pergi dulu mencari bahan
masakan!" Gadis itu membalikkan tubuh dan berlari keluar dari kuil tua.
"Heiii, Alan! Nanti dulu!"
Dara itu berhenti, menengok dan memandang dengan wajah kecewa. "Paman takut kalau aku melarikan diri?"
Suma Han tersenyum, menggeleng kepala dan mengeluarkan sebatang pedang
dari buntalannya. "Aku percaya kepadamu, akan tetapi kau bawalah pedang
ini untuk membela diri kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Milana. Ayah kandungnya, biar
pun belum tahu bahwa dia adalah puterinya, sudah menaruh kepercayaan dan
menaruh sayang kepadanya! Cepat ia berlari menghampiri pendekar itu
menerima pedang dan menjura, "Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali,
selain percaya bahwa aku tidak akan melarikan diri, juga engkau ingat
akan keselamatanku." Ia memandang pedang di tangannya, mencabut dari
sarungnya dan berseru girang. "Ah, pedang pusaka yang indah! Pedang
pusaka apakah ini, Paman?"
"Namanya Pek-kong-kiam, dahulu menjadi pegangan keponakanku. Akan tetapi
sekarang dia tidak memerlukannya lagi. Pergilah, Alan, dan
hati-hatilah."
Alan mengangguk, memasangkan pedang di pinggangnya kemudian berlari-lari
kecil meninggalkan kuil itu, dipandang oleh Suma Han dengan bengong.
Setelah bayangan dara itu lenyap, dia menarik napas panjang. "Ahhh, Suma
Han, apakah engkau benar-benar memiliki dasar watak yang kotor? Mengapa
engkau seperti tergila-gila kepada dara itu?" Ingin pendekar sakti ini
menempiling kepalanya sendiri.
Ada sesuatu dalam diri dara itu yang amat menarik hatinya, seperti besi
sembrani menarik besi! Ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia
merasa suka sekali, merasa ingin sekali berdekatan selalu, memandang
wajah jelita itu, melihat senyum yang cerah dan mata yang lebar seperti
matahari kembar itu. Seolah-olah dia berhadapan dengan seorang yang
sudah lama sekali dikenalnya, yang amat dekat dengan hatinya,
seolah-olah ada perasaan yang memenuhi hatinya bahwa sudah semestinya
dan sewajarnya kalau gadis itu selalu berada di dekatnya!
"Keparat!" Suma Han menepuk tanah di depannya. "Aihhh, Nirahai...
Lulu... kalianlah yang membuat aku menjadi begini! Aku rindu kepada
kalian, rindu akan kasih sayang wanita sehingga begitu bertemu dengan
gadis ini aku seperti orang tergila-gila!" Ia mengeluh lalu duduk
termenung. "Apakah yang harus kulakukan agar aku dapat berkumpul kembali
dengan Nirahai? Dengan Lulu?" Nirahai adalah isterinya, yang ia cinta
dan yakin bahwa isterinya itu pun mencintanya. Akan tetapi mengapa sikap
Nirahai seaneh itu? Mengapa? Dan Lulu? Ohhh nasib.....
Dia mencinta adik angkatnya itu, mencintanya dengan sepenuh hatinya,
bukan cinta saudara, melainkan cinta seorang pria terhadap wanita yang
pertama kali merebut kasihnya. Terkenang dia akan ucapan-ucapan Lulu
ketika mereka bertemu di Pulau Neraka. "Aku sudah bersumpah untuk
memilih antara dua kenyataan dalam hidupku. Menjadi isterimu atau
menjadi musuhmu!"
Demikianlah kata-kata Lulu yang masih menggores di hatinya. Tentu saja
dia sukar untuk dapat menerima tuntutan Lulu yang selain menjadi adik
angkatnya, juga sudah menikah dengan orang lain biar pun kini sudah
menjadi janda, dan mengingat bahwa dia sudah menjadi suami Nirahai!
Karena penolakannya, Lulu memusuhinya, sesuai dengan sumpahnya! Akan
tetapi, sekarang Pulau Neraka telah dibakar pemerintah, bagaimana nasib
wanita yang menjadi cinta pertamanya itu?
Bagaimana pula nasib Nirahai? Aihh, sikap Nirahai yang amat aneh, sama
anehnya dengan sikap Lulu. Masih terngiang di telinganya suara isterinya
itu penuh dengan kemarahan, "Kini aku tidak sudi menyembah-nyembah
minta kau bawa! Dan hanya dengan paksaan saja engkau akan dapat
membawaku ke Pulau Es. Dengan paksaan, kau dengar? Aku sudah cukup
menderita dan sakit hati karena kau biarkan, seolah-olah aku bukan
isterimu. Engkau laki-laki lemah, kejam dan canggung!"
Suma Han kembali menarik napas panjang, menundukkan muka dan menyangga
kepalanya dengan kedua tangan, seolah-olah kepalanya tiba-tiba menjadi
amat berat begitu dia terkenang kepada Lulu dan Nirahai. Apa yang harus
dia lakukan agar mereka berdua, wanita-wanita yang dicintanya itu dapat
berada di sampingnya, menyegarkan rasa dahaga yang selama ini dia
derita, menyembuhkan sakit rindu yang selama ini membuat hidupnya tanpa
gairah, memenuhi sisa hidupnya dengan kebahagiaan sebagai penebus
kesengsaraan yang sudah amat lama dirasakannya?
"Ahh, Lulu... Nirahai...!" Suma Han merasa jantungnya seperti diremas-remas.
Memang demikianlah manusia pada umumnya. Selama hidupnya, semenjak
dia mulai mengerti, manusia telah kehilangan kebebasan dan kewajarannya.
Mulailah datang kesengsaraan bersama dengan pengertian itu! Mulailah
manusia dicengkeram dan dikurung dalam sangkar yang berupa pikiran,
berupa gagasan yang dibentuk semenjak dia mengerti. Segala macam gerak
dan langkah hidup ditentukan oleh gagasan, oleh pikiran yang bukan lain
adalah Sang Aku yang penuh dengan loba, dengki, iri, takut, khawatir,
yang kesemuanya timbul karena iba diri, sayang diri yang didorong rasa
takut kehilangan kesenangan, kehilangan ketenteraman.
Suma Han adalah seorang pendekar besar, pendekar sakti, seorang yang
memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Namun semua itu hanyalah duniawi,
lahiriah belaka. Karena itu ilmu kepandaiannya tidak akan dapat
membebaskan dia dari pada duka dan khawatir. Dia berduka mengenakan dua
orang wanita yang dicintanya, dan dia khawatir kalau-kalau sisa hidupnya
akan tetap merana seperti yang dirasakannya selama ini.
Dua orang wanita yang dia tahu amat mencintanya, akan tetapi yang karena
keadaan tidak dapat hidup berdampingan dengannya. Karena keadaankah?
Ataukah karena jalan pikiran antara mereka yang tidak cocok? Ataukah
mereka berdua yang aneh? Apakah dia sendiri yang tidak pandai
menundukkan hati wanita? Tetapi sejak masih setengah dewasa dahulu, Lulu
selalu menurut akan semua kata-katanya! Mengapa sekarang berbeda?
Ahhh, tentu saja berubah, pikirnya. Dahulu Lulu mentaati segala
kata-katanya karena merasa sebagai adik angkatnya, dan sekarang...
wanita itu cintanya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria.
Teringat akan Lulu, dia terbayang akan pertemuannya dengan Lulu di Pulau
Neraka, teringat pula tentang Pulau Neraka yang telah dibumi hanguskan,
dan akan burung rajawali Pulau Neraka yang berhasil ia taklukkan dan
jinakkan. Rajawali! Dia terkejut karena tidak melihat burung itu ketika
ia tiba-tiba menengadah. Tadi masih tampak burung itu beterbangan di
atas kuil, kadang-kadang menyambar turun di depan kuil. Akan tetapi
sekarang tidak tampak!
Suma Han mencelat keluar mencari-cari burung itu dengan pandang matanya.
Namun tetap saja tidak tampak bayangan burung itu. Suma Han menjadi
curiga, kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring. Suara yang
keluar dari dadanya, dengan pengerahan khikang sehingga suara panggilan
itu bergema sampai jauh sekali.
Setelah mengeluarkan suara melengking sampai tiga kali berturut-turut,
Suma Han diam tak bergerak menanti jawaban. Tiba-tiba dari arah selatan
terdengar suara burung itu, bukan sebagai jawaban panggilan, melainkan
suara memekik kemarahan! Dia merasa heran sekali. Suara burung seperti
itu hanya dikeluarkan kalau burung itu berhadapan dengan musuh atau
terancam bahaya, atau sedang kesakitan!
Khawatir kalau-kalau burung itu terancam bahaya, Suma Han lalu
mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya lantas berloncatan cepat sekali
seperti terbang. Dia tidak memasuki dusun di sebelah selatan kuil karena
suara burung itu datangnya dari arah kiri dan kini sudah tampak olehnya
dari jauh burungnya sedang bertempur melawan seekor burung lain!
Burungnya terdesak karena burung rajawali lainnya yang menjadi lawan itu
bertubuh lebih besar.
Suma Han mempercepat loncatan-loncatannya mendaki sebuah anak bukit dan
tiba-tiba ia berdiri dengan jantung berdebar tegang, matanya tidak lagi
memandang ke arah burungnya yang sedang bertempur, melainkan ke arah
bawah karena di situ terjadi pertandingan lain yang lebih menegangkan
hatinya.
Dia kini melihat Alan, gadis tawanannya, puteri Ketua Thian-liong-pang
itu, sedang bertempur melawan seorang pemuda jangkung yang lebih lihai
sekali, ditonton oleh beberapa orang yang mukanya beraneka warna.
Anak-anak buah Pulau Neraka! Alan mempergunakan Pek-kong-kiam, menyerang
dengan gerakan yang cepat sekali sehingga tubuh dara itu lenyap
terbungkus sinar pedangnya sendiri yang bergulung-gulung dan berwarna
putih. Akan tetapi, pemuda jangkung itu menghadapinya dengan kedua
tangan kosong dan kelihatan bersilat seenaknya saja!
Dengan beberapa loncatan tinggi, tubuh Suma Han mencelat dan hinggap di
atas atap sebuah podok tua yang berdiri tak jauh dari tempat
pertandingan. Jantungnya makin berdegup tegang ketika melihat wajah
pemuda tampan itu. Wajah itu mirip sekali dengan mendiang Wan Sin Kiat,
suami Lulu! Melihat betapa di situ hadir enam orang yang mukanya
berwarna merah muda dan hijau pupus, mudah saja bagi Suma Han untuk
menduga, siapa adanya pemuda ini. Tentu inilah Wan Keng In, putera Ketua
Pulau Neraka, putera Lulu dan mendiang Wan Sin Kiat!
Bukan main hebatnya gerakan pemuda itu sehingga diam-diam Suma Han
merasa kagum sekali. Akan tetapi, melihat senyum dan sinar mata pemuda
itu, ada sesuatu yang membuat hati Suma Han kecewa, karena senyum dan
sinar mata pemuda itu membayangkan hal yang mengerikan, watak yang aneh
dan tak dapat dipercaya! Banyak sudah dia melihat senyum dan sinar mata
seperti itu yang hanya dimiliki oleh datuk-datuk golongan sesat. Apa
lagi ketika mendengar suara pemuda itu ketika berkata mengejek kepada
Alan, hatinya makin tidak enak lagi.
"Heh-heh-heh, Nona manis. Mengapa engkau masih nekat melawan aku?
Bukankah sudah jelas bahwa engkau bukan lawanku? Dan semenjak tadi aku
tidak pernah menyerangmu, karena aku tidak ingin melukaimu, tidak ingin
mengalahkanmu karena takut kalau engkau merasa tersinggung. Hal ini
sudah membuktikan betapa mendalam cintaku kepadamu, Nona!"
"Iblis keji, siapa sudi kepadamu?"
Gadis itu membentak dan mengirim sebuah tusukan ke arah ulu hati pemuda
itu. Suma Han yang berada di atas atap melihat betapa tusukan pedang itu
hebat sekali dan diam-diam dia terkejut karena mengenal jurus itu
berdasarkan Ilmu Pedang Sin-coa-kun (Ilmu Pedang Ular Sakti). Padahal
Ilmu Pedang itu adalah sebuah di antara ilmu-ilmu sakti dari Pendekar
Sakti Suling Emas! Akan tetapi ia teringat bahwa ibu dara itu adalah
Ketua Thian-liong-pang yang terkenal memiliki dan mengenal segala macam
ilmu silat yang diambilnya dengan segala macam cara pula, kalau perlu
dengan menculik tokoh-tokoh kang-ouw! Mungkin saja Ketua
Thian-liong-pang yang luar biasa itu berhasil pula mencuri dasar-dasar
Sin-coa Kiam-hoat yang bersumber dari Sin-coa-kun.
Akan tetapi dengan kagum Suma Han melihat betapa pemuda itu berhasil
mengelak dengan mudah, seolah-olah sudah mengenal jurus ini, kemudian
menggunakan Ilmu Pukulan Toat-beng-bian-kun yang amat hebat! Suma Han
mengerti bahwa Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas Pencabut
Nyawa) merupakan ilmu pukulan yang sakti dan ampuh dari Lulu yang
mendapatkan ilmu pukulan ini dari mendiang Nenek Maya yang sakti. Dia
sudah siap untuk menyelamatkan gadis itu dari pukulan itu ketika dengan
heran dia melihat bahwa pemuda itu bukan mempergunakan pukulan sakti
yang semestinya ditujukan ke arah leher itu diselewengkan menjadi sebuah
totokan ke arah pundak!
Akan tetapi, hampir Suma Han berseru kaget dan kagum melihat betapa nona
itu dapat mengelak secara tepat sekali, yaitu dengan berjongkok,
kemudian dari bawah kakinya menyambar merupakan sebuah tendangan yang
dibarengi dengan sabetan pedang. Kakinya menendang ke arah pusar
sedangkan pedangnya menyambar ke arah leher! Yang membuat Suma Han
terheran adalah cara gadis itu mengelak dari jurus Toat-beng-bian-kun,
demikian tepat dengan berjongkok seolah-olah dara itu telah mengenal
pula jurus Toat-beng-bian-kun! Apakah Ketua Thian-liong-pang juga sudah
berhasil mencuri ilmu peninggalan Nenek Maya itu? Sungguh tidak mungkin!
Kalau sudah demikian jauh, tentu Ketua Thian-liong-pang merupakan
seorang lawan yang luar biasa dan amat berat!
Setelah melihat dengan jelas bahwa ilmu kepandaian pemuda itu jauh lebih
tinggi dari pada ilmu kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang, apa
lagi setelah pemuda itu kini mengeluarkan ilmu dengan gerakan amat aneh,
sambil tertawa-tawa mempermainkan dara itu seperti seekor kucing
mempermainkan tikus sebelum diterkamnya, Suma Han lalu melayang dari
atas sambil berseru, "Tahan dulu...!"
Ketika itu Wan Keng In sudah berhasil mengempit pedang lawannya di bawah
lengan kiri ketika dara itu menusuk dadanya, dan tangan kanannya
bergerak menyambar untuk mencengkeram pundak Milana. Melihat ini, Suma
Han sudah menggerakkan tongkatnya yang berubah menjadi sinar yang
menyambar antara tangan Wan Keng In dan pundak Milana.
Melihat sinar ini Keng In cepat menarik kembali tangannya. Terpaksa dia
melepaskan kempitan pedang itu ketika ada sinar meluncur ke arah
dadanya. Ia meloncat mundur dan tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha-ha! Sudah
kudengar suara lengkinganmu tadi! Bukankah engkau ini yang berjuluk
Pendekar Siluman, bekas Majikan Pulau Es berkaki buntung yang sombong?"
Pemuda itu berdiri dengan tegak, kedua tangan bertolak pinggang, pandang
matanya yang tajam penuh kebencian, mulutnya tersenyum penuh ejekan.
Enam orang tokoh Pulau Neraka, dua wanita dan empat pria, menjadi
terkejut sekali mendengar ucapan pemuda itu. Mereka berenam telah
menjadi pucat menyaksikan munculnya Pendekar Siluman itu dan mereka
sudah menunduk dengan hati tergetar dan jeri. Kini mendengar ucapan tuan
muda mereka, benar-benar mereka menjadi kaget dan makin takut karena
maklum bahwa siauw-tocu mereka telah mengucapkan penghinaan terhadap
Pendekar Super Sakti itu!
Milana sudah marah sekali. Yang dimaki buntung sombong tadi adalah
ayahnya! Maka dengan muka merah dia sudah menusukkan pedangnya ke arah
perut pemuda itu sambil membentak, "Manusia iblis bermulut busuk!"
"Trangggg!"
Milana meloncat mundur ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah tongkat Pendekar Super Sakti!
"Bersabarlah dan biarkan aku yang bicara dengan dia," Suma Han berkata
halus ketika melihat dara itu memandangnya dengan mata terbelalak heran.
"Ha-ha-ha-ha, Nona yang cantik jelita! Apakah engkau tidak mengenal
keparat ini? Dia adalah Pendekar Siluman, Tocu Pulau Es, musuh besar
kami dan musuh besar Thian-liong-pang. Dia adalah musuh kita berdua,
Nona! Mari kita berdua membunuh manusia busuk ini!"
Milana ingin berteriak kepada pemuda itu, mengatakan bahwa dia adalah
puteri Pendekar Super Sakti, tetapi ditahannya karena dia harus
melindungi rahasia ibunya, maka terpaksa dia hanya menelan kemarahannya,
tidak menjawab ucapan pemuda itu. Hanya diam-diam dia merasa tidak puas
mengapa ayah kandungnya begitu sabar menghadapi pemuda yang demikian
menjemukan dan yang telah berani menghina Pendekar Super Sakti.
Tentu saja Milana tidak tahu mengapa Suma Han bersikap demikian sabar
terhadap Keng In. Wan Keng In adalah putera Lulu. Jangankan mengingat
akan ibunya, sedang mengingat akan ayahnya, Wan Sin Kiat yang pernah
menjadi sahabat baik Suma Han saja, pendekar ini tentu bersikap sabar
sekali dan banyak mengalah.
"Engkau tentu Wan Keng In, putera dari Majikan Pulau Neraka, bukan?"
Suma Han bertanya dengan suara halus mernandang wajah pemuda itu penuh
perhatian dan penyelidikan.
Wajah yang amat tampan, bentuk wajahnya seperti wajah Wan Sin Kiat.
Mulut dan matanya seperti mulut dan mata Lulu, akan tetapi sungguh
sayang sekali, karena persamaan itu hanya pada bentuknya saja, namun
sifatnya jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikannya seperti bumi dengan
langit. Senyum Lulu adalah senyum yang manis dan membuat dunia makin
cerah, senyum yang menimbulkan rasa gembira di hati siapa pun juga,
membuat orang yang menyaksikan senyum itu ingin tersenyum pula.
Sinar mata Lulu adalah sinar mata yang membayangkan kejujuran hati,
kepolosan dan kelembutan hati yang wajar dan tidak dibuat-buat. Akan
tetapi, senyum pemuda ini mendatangkan rasa ngeri. Walau pun senyum itu
menambah ketampanan wajahnya, namun mengandung sesuatu yang dingin
mengerikan hati orang yang melihatnya. Ada pun sinar mata pemuda itu
amat tajam menusuk, seolah-olah menjenguk isi hati orang yang
dipandangnya, akan tetapi mengandung sifat kejam dan penuh kebencian dan
ketidak percayaan, pandang mata orang yang sama sekali tidak mengenal
cinta kasih antara manusia.
"Benar, dan aku pula yang telah mengalahkan dan menghina murid dan
keponakanmu! Aku pula yang telah lama menanti munculmu, dan akan
menantangmu untuk mengadu nyawa. Kebetulan sekali sekarang kau muncul!
Pendekar Siluman Suma Han, aku Wan Keng In pada saat ini menantangmu
untuk bertanding mengadu nyawa kalau engkau berani!"
"Siauw-tocu...!" Seorang anak buahnya berseru kaget.
"Plakkk...!"
Entah bagaimana digerakkannya, tahu-tahu tangan Keng In telah menampar
dan tubuh anak buahnya itu terguling-guling sampai lima meter lebih,
kemudian berhasil bangun dengan muka bengkak dan ada tanda lima buah
jari tangan di pipinya!
Mendengar ucapan dan menyaksikan sikap itu, Suma Han merasa jantungnya
seperti ditusuk. Ahh, mengapa Lulu yang berwatak demikian lembut dan
menyenangkan dapat mempunyai anak seperti ini? Wan Sin Kiat bekas
sahabatnya dahulu, ayah dari anak ini pun seorang gagah perkasa. Mungkin
lebih keras dan liar dibandingkan dengan Lulu, juga berjiwa petualang,
akan tetapi tidak jahat apa lagi keji.
"Wan Keng In, tahukah engkau, dengan siapa kau bicara?"
"Tentu saja! Dengan Suma Han, Pendekar Siluman, yang juga disebut
Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es yang pandai ilmu sihir. Nah,
boleh coba sihir aku, atau boleh kau serang aku dengan ilmu-ilmumu yang
katanya setinggi langit itu!"
"Ah, anak muda... tidak pernahkah ibumu bicara tentang aku...?
"Jangan sebut-sebut nama Ibuku!" tiba-tiba pemuda itu membentak marah
sekali, lalu menudingkan telunjuknya ka arah hidung Suma Han sambil
berkata dengan keras dan penuh kebencian, "Karena orang macam engkau
inilah ibuku menderita sampai belasan tahun, hidup merana dan selalu
berduka! Karena orang macam engkaulah maka ibuku sampai menjadi Ketua
Pulau Neraka dan aku hidup di pulau itu sejak kecil! Dan karena ibulah
maka sekarang aku menantangmu untuk bertanding mati-matian, Suma Han!
"Wan Keng In, tahukah engkau bahwa mendiang Ayahmu, Wan Sin Kiat, adalah
juga seorang sahabat baikku, seperti saudaraku sendiri?"
"Tutup mulutmu yang palsu! Mendiang Ayahku mati karena engkau! Keparat!"
Keng In menerjang dengan hebat, menggunakan pedang Lam-mo-kiam yang
mengeluarkan sinar berkilat dan membawa hawa yang mengerikan. Serangan
itu dahsyat bukan main, dan hanya dengan menggunakan kelincahan Ilmu
Soan-hong-lui-kun saja Suma Han berhasil menghindarkan diri dari
sambaran sinar berkilat itu.
"Wan Keng In, Ibumu adalah adik angkatku!"
"Engkau membuat hidupnya sengsara! Kakak angkat macam apa engkau ini?
Telah kuambil keputusan untuk memusuhimu, dan sekarang aku akan
membunuhmu, bukan hanya karena Ibuku, akan tetapi juga karena engkau
menghalagi aku membawa pergi Nona calon isteriku ini."
"Orang muda, engkau tersesat. Ibumu akan berduka sekali melihat engkau seperti ini."
"Tak perlu banyak cakap lagi!" Wan Keng In sudah menerjang lagi dengan
lebih hebat lagi karena dia sudah marah, serangannya dahsyat, apa lagi
kini dia mempergunakan Lam-mo-kiam.
Sinar pedang itu berkilat dan menyambar dengan suara bercuitan. Suma Han
merasa berduka sekali melihat putera Lulu seperti itu, cepat ia
menggerakkan tongkatnya dan menangkis dari samping agar tongkatnya tidak
bertemu dengan mata pedang yang amat ampuh itu.
"Tranggg...!"
Keduanya terloncat mundur akibat benturan hebat antara pedang dan
tongkat. Wan Keng In tidak merasa heran ketika merasa betapa lengannya
tergetar karena dia sudah mendengar dan maklum bahwa Pendekar Super
Sakti merupakan lawan yang amat tangguh dan memiliki tenaga sinkang yang
jarang terdapat tandingannya. Akan tetapi Suma Han terkejut dan kagum
bukan main. Pemuda itu benar-benar amat hebat, dan dari benturan antara
tongkat dan pedang tadi, dia dapat mengukur kekuatan pemuda itu yang
jauh lebih besar kalau dibandingkan dengan tenaga sinkang yang dimiliki
Lulu!
Biar pun maklum akan ketangguhan lawan, Wan Keng In tidak menjadi
gentar, bahkan dia makin marah dan sudah menerjang dengan hebatnya. Dia
mengeluarkan seluruh ilmu pedang yang ia pelajari dari Cui-beng Koai-ong
dan dari ibunya, mengerahkan seluruh tenaganya yang mukjizat karena
gurunya, datuk pertama dari Pulau Neraka telah menggemblengnya dengan
latihan-latihan sinkang yang tidak lumrah sehingga dia menguasai
kekuatan sinkang yang bercampur dengan ilmu hitam.
Begitu pemuda itu mainkan pedangnya, mengerahkan sinkang menggunakan
tangan kiri membantu pedangnya mendorong-dorong ke depan, nampak betapa
tubuhnya diliputi kabut hitam dan dari dalam kabut itu mencuat
sinar-sinar kilat pedangnya melancarkan serangan maut ke arah Suma Han
secara bertubi-tubi.
Hati Pendekar Super Sakti merasa tidak karuan menghadapi serangan ini.
Berbagai perasaan bercampur aduk. Dia merasa terharu karena menyaksikan
putera Lulu sudah menjadi seorang pemuda dewasa, merasa kagum melihat
ilmu silat pemuda ini yang benar-benar amat hebat, jauh lebih tinggi
dari pada kepandaian Lulu, dan biar pun dasarnya tidak lebih hebat dari
pada dasar ilmu silat yang dimiliki Kwi Hong, namun pemuda ini tentu
tidak dapat terlawan oleh Kwi Hong karena selain memiliki ilmu pedang
yang aneh dan sinkang yang mengeluarkan kabut hitam, juga cara bertempur
pemuda ini nekat dan kejam, mengandung serangan-serangan ganas. Akan
tetapi di samping rasa keharuan dan kekaguman ini, dia juga merasa
berduka dan marah menyaksikan betapa keponakannya telah tersesat seperti
itu.
Sampai puluhan jurus Suma Han menggunakan kelincahan tubuhnya untuk
mencelat ke sana-sini menghindarkan diri, kadang-kadang mendorong pedang
dari samping. Melihat betapa sambaran tangan kiri pemuda itu bahkan
tidak kalah lihainya oleh pedang di tangan kanan, diam-diam Suma Han
maklum bahwa hanya gerak kilatnya saja yang akan mampu menandingi ilmu
pedang pemuda itu!
Mengenai tenaga sinkang, tentu saja dia masih menang beberapa tingkat.
Kalau dia menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun, tentu dia akan dapat
menggunakan ujung tongkatnya untuk merobohkan pemuda itu, juga dengan
sinkang-nya, ia bisa mengadu tenaga dan menangkan pertandingan. Akan
tetapi dia tidak tega melakukan hal ini, tidak tega melukai putera Lulu.
Tadinya dia ingin menggunakan kekuatan sihirnya, akan tetapi hal itu
tentu akan membuat pemuda itu tidak tunduk kepadanya, tidak membuatnya
dia kapok. Kalau dia ingin supaya pemuda itu menjadi jeri, dia harus
menundukkannya dengan ilmu kepandaian.
"Wan Keng In, aku tidak ingin bertanding denganmu. Katakanlah di mana Ibumu, aku ingin bicara dengannya!"
"Kau harus mati di tanganku, atau boleh kau membunuhku kalau mampu!"
Pemuda itu berteriak dan memutar pedangnya dengan cepat, mengirim
tusukan ke arah dada Suma Han disusul dorongan telapak tangan kiri dari
bawah mengarah pusar.
"Trakkkk...! Plakkk...!"
Suma Han tidak mengelak, melainkan menggerakkan tongkatnya menerima
pedang itu dari samping. Tangan kanannya menyambut dorongan telapak
tangan pemuda itu dengan telapak tangannya pula. Sepasang senjata dan
dua buah tangannya itu saling bertemu dan melekat! Keng In terkejut
bukan main. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa tongkat butut lawannya
itu dapat menyambut pedangnya, sedangkan pukulan tangan kirinya
mengandung hawa beracun yang amat ampuh, kini telapak tangannya juga
disambut oleh telapak tangan Pendekar Siluman, melekat dan tak dapat ia
tarik kembali seperti juga pedangnya yang melekat pada tongkat!
"Hemmm..., orang muda, kalau aku tidak mengingat Ibumu, tentu akan
kucabut saja tunas buruk seperti engkau ini. Pergilah!" Suma Han yang
mempergunakan tenaga sinkang-nya untuk mengatasi pemuda itu, mengerahkan
tenaga sakti dan tubuh Wan Keng In terlempar sampai enam tujuh meter ke
belakang.
Pemuda itu terhuyung akan tetapi tidak roboh, juga tidak terluka karena
memang lawannya tidak ingin melukainya. Wajah yang tampan itu menjadi
agak pucat. Wan Keng In seorang pemuda yang keras hati dan tidak
mengenal takut, juga dia benci sekali kepada orang yang dianggapnya
membikin sengsara ibunya itu. Akan tetapi dia bukan seorang bodoh dan
dia maklum bahwa kalau dia berlaku nekat menyerang terus, akhirnya dia
akan kalah dan celaka. Pertandingan membuktikan bahwa belum tiba saatnya
dia menantang Pendekar Super Sakti.
Dia harus menyempurnakan dulu ilmu kesaktian yang dia pelajari dari
gurunya, Cui-beng Koai-ong. Setelah memandang ke arah Suma Han dengan
mata mendelik beberapa menit lamanya, dia mendengus, membalikkan
tubuhnya dan berjalan pergi dari tempat itu, diikuti lima orang anak
buahnya yang pergi tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan
sama sekali tidak berani melirik ke arah Pendekar Siluman. Kekalahan
tuan muda mereka tadi mereka terima dengan sewajarnya karena memang
mereka maklum akan kesaktian pendekar kaki buntung itu.
Suma Han berdiri mengikuti pemuda itu dengan pandang matanya sampai
akhirnya bayangan pemuda dan lima orang anak buahnya itu lenyap di balik
anak bukit. Tiba-tiba terdengar olehnya suara seperti bisikan namun
cukup jelas, pemuda itu!
"Suma Han, ingat saja engkau! Kalau aku sudah selesai menamatkan ilmuku,
kelak akan kucari engkau untuk kita bertanding lagi mati-matian! Biar
pun kepandaianmu tinggi seperti siluman, engkau Si Kaki Buntung ini
akhirnya tentu akan mampus di tanganku!"
Wajah Suma Han menjadi merah sekali, akan tetapi diam-diam ia makin
kagum. Khikang yang disalurkan untuk mengeluarkan suara dari jarak jauh
itu sudah cukup hebat! Diam-diam dia merasa berduka.
Dia tidak akan peduli dan memusingkan kalau dia dimusuhi tokoh-tokoh
sesat dari mana pun juga dan betapa saktinya pun. Tetapi, dimusuhi
pemuda itu, putera Lulu, benar-benar merupakan hal yang membuatnya
berduka dan cemas. Sementara itu, tiada habis rasa heran dari hatinya
kalau mengingat betapa jujur, halus dan baik watak Lulu, sedangkan Wan
Sin Kiat juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan selalu menentang
kejahatan. Akan tetapi, mengapa putera mereka menjadi seorang pemuda
iblis seperti itu?
Suma Han menarik napas panjang. Ahh, tidak keliru kiranya bahwa watak
manusia dibentuk oleh keadaan sekitarnya. Anak itu semenjak kecil dibawa
oleh ibunya ke Pulau Neraka dan tentu saja setiap hari anak itu melihat
watak-watak penghuni Pulau Neraka yang terkenal ganas, liar kejam dan
palsu. Dan agaknya Lulu sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaan sebagai
Ketua Pulau Neraka, atau mungkin sekali terlalu memanjakan putera
tunggalnya itu sehingga pembentukan watak anak itu sepenuhnya dikuasai
oleh keadaan sekelilingnya!
Kembali Suma Han menarik napas panjang. Betapa akan hancur hati Lulu
kalau menyaksikan sepak terjang puteranya. Dia tahu bahwa Lulu sendiri
mempunyai perasaan hati yang aneh terhadapnya. Bisa mencinta sehingga
ingin menjadi isterinya, akan tetapi juga bisa membenci sehingga ingin
pula memusuhinya kalau tidak dapat menjadi isterinya. Akan tetapi andai
kata menjadi musuhnya, wanita itu tentulah seorang musuh yang gagah
perkasa dan jujur dan watak Lulu tak mungkin berubah biar pun sudah
menjadi Ketua Pulau Neraka.
"Paman, mengapa Paman berduka?" Tiba-tiba terdengar suara halus di sampingnya.
Suma Han seperti baru sadar dari mimpinya. Dia menoleh dan memaksa
bibirnya tersenyum ketika melihat Alan sudah berdiri di situ dan
memandangnya dengan sinar matanya yang lembut. Melihat wajah cantik dan
sinar mata lembut penuh kasih ini hati Suma Han menjadi makin sakit dan
duka. Dara jelita ini adalah puteri ketua Thian-liong-pang, seorang
wanita iblis berkerudung yang terkenal jahat dan kejam. Seorang wanita
seperti iblis itu dapat mempunyai puteri sebaik ini, mengapa sebaliknya
seorang wanita seperti Lulu mempunyai seorang putera sejahat itu?
"Paman, mengapa Paman kelihatan berduka?" Kembali Milana bertanya.
Tadi ketika melihat ayahnya bertanding melawan pemuda itu, dia menonton
dengan penuh kagum, tetapi juga kecewa karena ayahnya membebaskan pemuda
itu begitu saja tanpa melukainya sedikit pun. Kemudian ia melihat
ayahnya berdiri termenung seperti arca, dengan wajah yang tampan itu
sebentar merah sebentar pucat, berkali-kali menghela napas panjang
sambil memandang ke depan, ke arah perginya Wan Keng In dan anak buahnya
tadi.
"Ohh, tidak apa-apa, Alan. Hanya... eh, di mana rajawali kita?"
"Dia terbang dikejar oleh rajawali besar tadi, Paman. Dua ekor burung
tadi bertanding, dan rajawali peliharaan Paman terdesak dan luka-luka.
Mereka bertanding sambil terbang tinggi sehingga aku tidak dapat
membantu."
"Hemmm, biarlah. Burung itu memang berasal dari Pulau Neraka, agaknya
kini sudah ditundukkan kembali oleh bekas majikannya itu. Alan,
bagaimana engkau tadi dapat bertemu dan bertanding dengan dia?"
"Aku sedang menuju ke dusun untuk mencari bahan masakan ketika aku
bertemu dengan rombongan Pulau Neraka itu keluar dari dusun. Karena aku
tahu betapa jahatnya mereka, aku lalu melarikan diri akan tetapi mereka
mengejar dan aku tersusul di sini. Tentu saja aku melawan sedapatku,
akan tetapi dia lihai sekali. Paman, mengapa Paman tadi membiarkan dia
pergi? Orang seperti itu seperti seekor ular yang beracun dan jahat,
kalau tidak dibasmi, tentu kelak hanya akan mencelakai orang lain saja."
Suma Han menarik napas panjang. "Aku tak mungkin dapat membunuhnya,
Alan. Engkau tidak tahu... ahhh..." Wajah pendekar itu kelihatan berduka
sekali.
Melihat ini Milana merasa amat kasihan kepada ayah kandungnya. Tentu ada
sesuatu antara ayah kandungnya dengan Pulau Neraka, ada rahasia besar
yang membuat ayahnya itu bersikap lunak terhadap Wan Keng In.
"Aku tidak berhasil memasakkan sesuatu untukmu, Paman. Maafkan..."
"Tidak mengapa, Alan. Aku tadi sudah makan roti kering, cukup kenyang.
Marilah kita melanjutkan perjalanan. Kota raja tidak jauh lagi, di sana
tentu banyak rumah makan besar dan kita dapat makan sepuasnya."
Milana tidak membantah dan berangkatlah mereka berdua menuju ke selatan,
ke kota raja. Sebentar saja mereka sudah melalui jalan raya menuju kota
raja yang ramai dan tampak banyak penunggang kuda atau kereta-kereta
berkuda yang datang dari beberapa jurusan menuju ke kota raja, ada pula
yang bersimpang jalan, yaitu mereka yang baru saja meninggalkan kota
raja.
Sudah belasan tahun Suma Han tidak pernah muncul di kota raja. Biar pun
di dunia kang-ouw nama Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Tocu
Pulau Es merupakan nama yang paling menonjol dan amat terkenal, namun
jarang ada orang pernah melihat Pendekar Super Sakti, bahkan tokoh-tokoh
kang-ouw sebagian besar belum pernah bertemu dengan pendekar itu. Apa
lagi penduduk kota raja! Maka kini Suma Han dengan enak dapat memasuki
kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang, baik oleh penduduk mau pun
oleh para prajurit penjaga. Di kota raja, yang sudah lama
ditinggalkannya itu, tentu hanya beberapa gelintir orang saja yang
pernah bertemu dengannya dan mereka itu adalah orang-orang berkedudukan
tinggi seperti Thian Tok Lama, Koksu dan lain-lain yang tentu berada di
dalam gedung masing-masing dan tidak pernah berkeliaran di dalam kota.
Milana sendiri tidak asing di kota raja. Sudah sering dia keluar masuk
kota raja, akan tetapi dia pun tidak dikenal orang sebagai puteri Ketua
Thian-liong-pang. Oleh karena itu, dia pun memasuki pintu gerbang kota
raja di samping Suma Han dengan hati tenteram dan tidak khawatir dikenal
orang. Apa lagi sejak dia melakukan perjalanan di samping ayah
kandungnya, terutama setelah ayahnya itu menyelamatkan dengan mudah dari
tangan Wan Keng In, hati Milana menjadi tenang dan penuh kepercayaan
bahwa selama ia berada di samping ayahnya, tidak ada seorang pun yang
akan dapat mengganggunya!
Wajahnya berseri gembira ketika dia memasuki kota raja dengan ayahnya,
penuh kebanggaan karena kiranya tidak banyak orang yang dapat
berdampingan dengan Pendekar Super Sakti! Dia bukan hanya berdampingan,
bahkan dia adalah puterinya, puteri kandungnya biar pun hal ini masih
terpaksa harus dia rahasiakan dari pendekar itu sendiri.
Memang tidak aneh melihat seorang berkaki buntung di waktu itu. Banyak
terdapat orang-orang yang menderita cacad akibat perang penyerbuan bala
tentara Mancu yang baru saja padam.
Seperti halnya perang di bagian mana pun di permukaan bumi ini,
semenjak jaman sebelum sejarah sampai sekarang, perang mendatangkan mala
petaka yang amat mengenaskan hati. Setelah perang selesai, setelah hati
tidak lagi dikuasai oleh nafsu angkara murka, barulah tampak oleh mata
kita akan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perang, akibat yang
mendirikan bulu roma bagi orang yang masih memiliki sedikit saja cinta
kasih dan peri kemanusiaan.
Setelah perang padam, tampak bangunan-bangunan bekas terbakar,
kuburan-kuburan penuh makam baru, anak-anak yatim piatu, janda-janda
muda terjerumus ke dalam lembah pelacuran, penderita-penderita cacad
yang buntung lengannya, buntung kakinya, luka-luka tubuhnya dan ada pula
yang terluka jiwanya menjadi gila, gelandangan-gelandangan karena
kehilangan keluarga, kehilangan rumah, kehilangan mata pencarian, dan
dari kaum gelandangan ini timbul pengemis-pengemis, pencuri-pencuri,
atau ada yang menggabungkan dari dengan perampok-perampok. Mala petaka
ini yang tampak oleh mata, masih banyak mala petaka lain yang tidak
tampak, namun lebih mengerikan lagi, yaitu akibat perang berupa dendam
sakit hati dan iri yang menjadi bahan penciptaan perang baru!
Tidak ada untungnya, lahir mau pun batin, dalam sebuah perang.
Keuntungan yang tampak hanyalah keuntungan palsu yang di jadikan hiburan
manusia untuk menyelimuti kengerian akibat perang. Pemerintah Mancu
yang berhasil merebut tahta kerajaan dan kepemimpinan, mengatakan bahwa
mereka mendatangkan kemakmuran bagi rakyat dan telah berhasil
menumbangkan kekuasaan pemerintah lama yang penuh kelaliman. Namun,
semua itu hampa belaka, karena sungguh tidak mungkin menciptakan
perdamaian dengan peperangan!
Bangsa Mancu menggunakan berbagai alasan hiburan untuk perjuangan
mereka, yaitu memberantas kelaliman para pemimpin dan mendatangkan
kemakmuran bagi rakyat. Akan tetapi, setelah perang berakhir, yang
berubah dan berbeda hanyalah sifat dan caranya belaka, namun kelaliman
tetap ada, kemakmuran rakyat tetap hanya merupakan janji-janji yang
diulur-ulur panjang belaka.
Hal seperti ini akan terus berlangsung selama manusia belum sadar
akan perang yang terjadi di dalam diri manusia masing-masing sendiri.
Selama segala tindak, segala gerak, segala usaha merupakan akibat
langsung dari akal pikir yang paling suka memusatkan segala kepada AKU,
diriku, keluargaku, milikku, bangsaku, negaraku, agamaku, dan
selanjutnya. Selama AKU menguasai setiap orang manusia, maka sudah dapat
dipastikan bahwa segala peristiwa, termasuk perang, merupakan gerakan
demi kepentingan Sang AKU. Betapa pun banyak selimut yang dipergunakan
untuk menyembunyikan dasar ‘demi aku’ ini, yang disebut dengan banyak
kata-kata indah seperti perjuangan, kepahlawanan, demi nusa bangsa dan
lain-lain, namun sungguh sayang sekali, di dasar dari segala itu
bersembunyilah Sang Aku yang sebenarnya menjadi pendorong dari semua
gerak hidup. Dan selama AKU bercokol menjadi dasar yang mendorong semua
gerak hidup, maka yang timbul hanyalah pertentangan dan persoalan yang
mendatangkan kepuasan di satu pihak, kekecewaan di lain pihak, suka
duka, iri dengki, dendam dan sebagainya.
Setiap tampak akibat yang tidak baik, seluruh manusia sibuk mencarikan
kambing hitam agar diri sendiri tetap bersih! Semua manusia lupa bahwa
segala macam kemunafikan dan maksiat bukan berada di luar, melainkan
berada di dalam diri manusia sendiri! Semua manusia menujukan pandang
mata keluar tanpa mengingat untuk menujukan ke dalam biar semenit pun!
Bahagialah dia yang menujukan pandang mata ke dalam, menjenguk dan
mengenal diri pribadi dengan segala macam isinya, mengenal pikiran
sendiri yang membedal ke mana-mana dengan liarnya, tak terkendalikan!
Suma Han dan Milana berjalan seenaknya sambil menikmati pemandangan di
kota raja. Pemerintah Mancu telah membangun gedung-gedung besar yang
megah dan indah di sepanjang jalan di kota raja sehingga kota raja
nampak indah dan megah sekali, melebihi masa yang lalu. Kemajuankah ini?
Demikianlah kalau ditonton begitu saja, ditonton keadaan kota rajanya
dengan bangunan-bangunan baru yang besar dan indah.
Akan tetapi, adakah kemajuan dapat diukur dari keadaan bangunannya,
bukan dari keadaan manusianya? Kalau diketahui siapa pemilik
gedung-gedung itu, maka akan ditemuilah jawab dari segala sebab
timbulnya perang yang semenjak jaman dahulu selalu timbul. Gedung-gedung
itu tentu saja dimiliki oleh penguasa yang menang perang! Hanya
berganti bangunan baru dan penghuni, dari mereka yang dikalahkan kepada
mereka yang menang. Rakyat hanya dapat menonton dan dari menoton ini
diharapkan ucapan mereka ‘kita telah mengalami kemajuan-kemajuan’!
Biar pun banyak terdapat orang berkaki buntung sungguh pun tidak pernah
ada yang mengurai rambut seperti Suma Han, apa lagi kalau rambutnya yang
panjang itu sudah putih semua, dan banyak terdapat gadis-gadis muda
yang biasa merantau sebagai gadis-gadis kang-ouw, namun tetap saja Suma
Han dan Milana menarik perhatian orang. Laki-laki berkaki buntung itu
wajahnya tampan dan belum tua benar, namun rambutnya sudah putih semua
seperti benang-benang sutera perak sedangkan sinar matanya membuat
orang-orang yang bertemu pandang menundukkan muka atau mengalihkan
pandang mata dengan tengkuk dingin mengkirik. Ada pun dara remaja yang
berjalan dl samping laki-laki berkaki buntung ini, dengan wajah berseri
tersenyum-senyum, memiliki kecantikan yang luar biasa!
Suma Han melihat betapa banyak orang memandang mereka penuh perhatian,
maka dia lalu mengajak dara itu memasuki sebuah rumah penginapan.
Seorang pelayan menyambut mereka, mata pelayan itu tidak memandang
kepada Suma Han yang tidak menarik baginya, melainkan memandang kepada
Milana yang benar-benar merupakan pemandangan yang amat menggairahkan
hatinya!
"Beri kami dua buah kamar yang berdampingan," kata Suma Han. Pelayan itu
terkejut karena tadinya dia merasa seolah-olah terbang di sorga ke
tujuh dan berjumpa dengan seorang bidadari Sorga! Ketika ia menoleh dan
bertemu pandang dengan Suma Han, dia terkejut sekali, punggungnya
seperti disiram air dingin dan dia cepat membungkuk-bungkuk dan
mempersilakan mereka mengikutinya untuk memilih dua buah kamar yang
berdampingan.
Setelah menaruh barang bekal di kamar masing-masing dan makanan siang
yang dipesannya dari pelayan dan dihidangkan ke ruangan depan kamar
mereka, Suma Han dan Milana duduk di dalam kamar Suma Han,
bercakap-cakap.
"Kapankah Paman akan mulai menyelidik dan mencari musuh-musuh Paman?"
"Aku harus berhati-hati, Alan. Musuh-musuhku adalah orang-orang yang
berkedudukan tinggi dan tentu berada di dalam istana-istana yang terjaga
ketat oleh pasukan pengawal. Menyelidiki di siang hari tidaklah
mungkin, bahkan di malam hari pun amat berbahaya karena biar pun pasukan
yang baru tidak mengenalku, namun para perwira dan panglima tentu akan
mengenalku begitu bertemu denganku. Sesungguhnya, mencari mereka di kota
raja amat tidak leluasa bagiku, akan tetapi apa boleh buat, malam nanti
aku harus menyelidiki ke lingkungan istana, atau ke rumah Koksu karena
di sanalah berkumpulnya musuh-musuhku yang menjadi pembantu Koksu."
"Kalau bertemu dengan mereka, apa yang hendak Paman lakukan?" tiba-tiba Milana bertanya.
Mendengar pertanyaan ini, Suma Han termenung dan berpikir sejenak
sebelum menjawab. "Aku... aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang
telah merusak Pulau Es dan Pulau Neraka. Selama ini kami tidak pernah
menentang pemerintah, mengapa kini mereka menyerbu dan merusak Pulau Es?
Selain itu, karena Maharya dan Tan-siucai juga membantu Koksu, tentu
mereka berada di sini dan aku hendak minta kembali pedang Hok-mo-kiam
yang mereka rampas." Suma Han tidak mau menceritakan niatnya yang lain,
yaitu menyelidik dan mencari Nirahai yang disangkanya tentu kembali ke
kota raja!
"Paman, di antara musuh-musuhmu itu, siapakah yang paling lihai?"
"Hemm, hal ini agak sukar untuk ditentukan karena hanya beberapa orang
di antara mereka yang pernah bertanding melawanku, yaitu Thian-tok Lama,
Pendeta Maharya, dan mungkin beberapa orang panglima yang tertua.
Dengan Koksu sendiri, aku belum pernah bertanding dan kabarnya dia amat
lihai. Akan tetapi, kurasa dia tidaklah selihai Pendeta Maharya. Pendeta
dari barat itu benar-benar merupakan lawan yang tangguh, selain lihai
sekali ilmu silatnya, juga dia seorang yang memiliki ilmu sihir dan ilmu
hitam yang kuat."
"Akan tetapi, aku yakin Paman tentu akan dapat mengalahkan mereka!" kata
Milana dengan suara tegas dan pandang mata penuh kekaguman ditujukan
kepada wajah ayahnya. Melihat pandang mata gadis ini, Suma Han merasa
jantungnya berdebar!
"Aku dapat menandingi mereka satu lawan satu, tetapi kalau mereka
mengeroyok, apa lagi dibantu pasukan-pasukan pengawal yang kuat, belum
tentu aku akan dapat menang. Akan tetapi, kedatanganku bukan untuk
menantang mereka bertanding, hanya untuk minta kembali pedang dan minta
penjelasan dan pertanggungan jawab mereka mengapa Pulau Es dan Pulau
Neraka diserbu pasukan pemerintah."
"Mereka tentu akan mengeroyok dan menangkapmu, Paman!"
"Hemm, kalau memang demikian, apa boleh buat, terpaksa aku melawan."
Hati Milana merasa tidak enak sekali. Dia percaya bahwa ayahnya amat
sakti, akan tetapi dia tahu bahwa tepat seperti pengakuan ayahnya
sendiri, kalau banyak orang sakti maju mengeroyok ditambah
pasukan-pasukan pengawal kerajaan, mana mungkin ayahnya yang hanya
seorang diri itu kuat bertahan? Baru menyelidiki ke sana saja sudah amat
tidak leluasa bagi ayahnya! Berbeda dengan dia!
Ibunya adalah bekas puteri Kaisar dan bekas pahlawan yang berkedudukan
tinggi, bahkan kini Koksu sendiri sudah tahu, ibunya adalah ketua ketua
Thian-liong-pang dan kini Thian-liong-pang bekerja sama dengan Koksu,
membantu pemerintah menentang dan membasmi mereka yang hendak
memberontak! Kalau dia yang menyelidiki, kalau dia yang pergi kepada
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, minta kebijaksanaan Koksu itu untuk
membujuk pembantunya, Maharya mengembalikan Hok-mo-kiam, minta kepada
Koksu agar jangan mengeroyok dan menentang Pendekar Super Sakti, tentu
harapannya lebih besar. Koksu sudah mengenalnya, juga para pembantunya
sudah tahu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang yang kini
merupakan sekutu mereka!
"Alan, malam ini aku akan pergi menyelidik. Harap engkau menantiku di
sini saja dan jangan engkau pergi ke mana-mana. Keadaan di kota raja
berbahaya, di sini banyak terdapat orang pandai."
"Apakah Paman tidak mengajakku pergi menyelidiki?"
"Ah, aku hanya akan membawamu ke dalam bahaya, Alan. Dan pula, apa
perlunya? Tidak, kau tunggu saja di sini, aku pasti akan kembali sebelum
pagi."
Milana menunduk. "Baiklah, Paman. Akan tetapi sore ini aku ingin sekali pergi berjalan-jalan melihat pemandangan kota."
"Sesukamulah, akan tetapi harap kau berhati-hati. Engkau masih muda dan cantik jelita, akan banyak menghadapi godaan."
"Aku dapat menjaga diri, Paman. Eh, benarkah pendapat Paman bahwa aku...
cantik?" tanyanya dengan hati girang sekali. Ayahnya sendiri yang
memujinya, bagaimana hatinya tidak akan merasa bangga dan senang?
"Engkau adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, Alan."
"Terima kasih atas pujianmu, Paman. Nah, aku akan pergi berjalan-jalan. Harap Paman nanti berhati-hati kalau pergi menyelidiki."
Suma Han mengangguk. "Biar pun aku percaya bahwa dengan kepandaianmu,
tidak sembarang orang akan dapat mengganggumu, tetapi harap engkau suka
bersabar dan jangan menimbulkan keributan, juga jangan terlalu malam
kembali ke sini."
Milana mengangguk-angguk dan hatinya terharu. Pendekar itu menasehatinya
seperti kepada anaknya sendiri! Padahal dalam pengertian pendekar itu,
dia adalah seorang tawanan bahkan puteri musuhnya! Dengan hati senang
bercampur haru, Milana pergi meninggalkan rumah penginapan. Tentu saja
dia bukan berniat untuk berjalan-jalan, melainkan hendak menjumpai Bhong
Ji Kun, Koksu negara yang dia ketahui pula di mana letak gedungnya.
Akan tetapi, agar tidak menarik perhatian orang luar, dia pergi
berjalan-jalan lebih dahulu dan setelah malam tiba, keadaan cuaca mulai
gelap, barulah dia menuju ke gedung Koksu yang megah.
Sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang, tentu saja Milana merasa rendah
kalau harus datang menghadap Koksu seperti orang biasa. Apa lagi kalau
ia datang menghadap seperti itu, tentu dia akan berhadapan dengan para
penjaga dan diperlakukan seperti orang biasa saja. Tidak! Dia adalah
puteri Ketua Thian-liong-pang, tentu saja dia harus bersikap sesuai
dengan kedudukan ibunya yang tinggi dan lihai.
Dengan kepandaiannya, tidaklah sukar bagi Milana untuk berloncatan ke
atas genteng, melalui pagar tembok gedung Koksu dengan gerakan seperti
terbang cepatnya sehingga tidak tampak oleh para penjaga dan peronda,
kemudian dengan hati-hati dia menyelinap antara bayangan gelap, mencari
di mana adanya Koksu pada saat itu.
Masih untung bagi Milana bahwa pada saat itu, para pembantu Koksu yang
lihai semua sedang berkumpul di satu tempat, yaitu di ruangan dalam
tempat mereka sedang berunding, duduk mengelilingi sebuah meja besar di
ruangan itu menghadapi koksu. Andai kata orang-orang lihai seperti Thian
Tok Lama, Maharya, para panglima besar seperti Bhe Ti Kong dan
lain-lain berada di kamar masing-masing, juga koksu sendiri, maka
kemungkinan besar kedatangan Milana akan mereka ketahui semenjak tadi!
Milana berhasil mengintai dari luar jendela ruangan perundingan itu dan
dia melihat Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dihadap oleh Thian Tok Lama,
Maharya, dan enam orang panglima yang berpakaian gagah. Dia merasa heran
tidak melihat kehadiran Thai Li Lama dan Tan siucai. Tentu saja dia
tidak tahu bahwa kedua orang lihai ini telah tewas di tangan Gak Bun
Beng saat mereka dahulu bersembunyi dan mengintai pertandingan di gurun
tandus yang diadakan oleh Thian-liong-pang.
Selagi Milana hendak memperlihatkan diri dan menyatakan kedatangannya,
tiba-tiba ia mendengar suara Koksu menyebut-nyebut nama ibunya! Tentu
saja ia cepat menahan diri, bahkan menahan napas agar dapat mendengarkan
lebih jelas percakapan antara mereka.
"Puteri Nirahai telah menjadi ketua Thian-liong-pang dan telah membantu
kita membasmi para pemberontak. Akan tetapi, Kaisar belum tahu bahwa
Ketua Thian-liong-pang adalah puterinya! Hanya menerima pelaporan bahwa
Thian-liong-pang membantu pemerintah. Munculnya Nirahai benar-benar
membikin ruwet rencana kita, agaknya dia ingin berbaik kembali dengan
Kaisar. Dia lihai sekali dan dapat menggagalkan rencana kita yang sudah
hampir masak. Tidak ada jalan lain lagi, dia harus disingkirkan, harus
dibunuh!"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Milana mendengar ucapan itu.
Jantungnya berdebar sangat keras sehingga ia khawatir kalau-kalau suara
detak jantungnya akan terdengar oleh mereka yang sedang mengadakan
perundingan di sebelah dalam, maka dia menekan dada dengan tangan dan
menekan perasaannya, memasang perhatian untuk mendengar terus.
"Akan tetapi dia adalah puteri Kaisar!" terdengar Thian Tok Lama berseru kaget.
"Kalau dia berhasil terbunuh dengan memakai kerudung sebagai Ketua
Thian-liong-pang yang kita buatkan bukti-bukti memberontak, andai kata
kemudian Kaisar sendiri mendengar bahwa dia puterinya, kiranya Kaisar
tidak akan menyalahkan kita. Bahkan akan menutup rahasia itu, karena
Kaisar tentu tidak ingin tersiar di luaran bahwa puterinya menjadi ketua
Thian-liong-pang yang memberontak!" kata Koksu lagi.
"Memang tepat apa yang dikatakan Koksu," terdengar pula suara Maharya
yang kaku. "Kalau Thian-liong-pang tidak dihancurkan lebih dulu, akan
merupakan kekuatan sebagai pembela kaisar dan untuk menghancurkannya,
jalan satu-satunya adalah membunuh Ketuanya. Memang dia lihai, akan
tetapi menurut penglihatanku, aku sendiri dapat menandinginya, dan kalau
aku dibantu oleh Thian Tok Lama, aku yakin dia akan dapat dibunuh.
Pihak Mongol sudah siap, tinggal menanti isyarat dari kita, kalau sampai
terhalang oleh utusan Thian-liong-pang, tentu akan tertunda lagi dan
mereka akan patah semangat dan mundur."
"Pihak Tibet juga sudah siap, tinggal menanti komando," kata Thian Tok Lama.
"Nah, kalau begitu, kita harus..." Mendadak Koksu menghentikan
kata-katanya karena dia melihat tubuh Maharya sudah bergerak meloncat ke
jendela sambil menyambar senjatanya yang mengerikan, yaitu tombak yang
matanya melengkung seperti bulan sabit.
"Braaakkk!" jendela itu hancur berkeping-keping dan terbuka, tubuh Maharya melesat keluar.
"Trang-trang-trang...!" Senjata di tangan Maharya itu ditangkis sampai tiga kali oleh pedang Pek-kong-kiam di tangan Milana.
"Eh, engkau... Nona...?" Maharya terkejut sekali ketika mengenal bahwa
orang yang diserangnya adalah puteri Ketua Thian-liong-pang! Dan pada
saat itu, Koksu, Thian Tok Lama dan panglima yang tadi berada di dalam
ruangan telah meloncat ke luar semua.
Keringat dingin membasahi dahi Milana. Serangan Maharya tadi benar-benar
hebat luar biasa. Selain pendeta itu dapat mengetahui kehadirannya di
luar jendela, juga begitu meloncat dan menerjang ke luar, senjata di
tangan pendeta itu telah langsung menyerangnya bertubi-tubi sehingga dia
harus cepat-cepat mengelak dan menangkis. Tangan kanannya terasa
tergetar hebat ketika dia menangkis senjata tombak bulan sabit di tangan
pendeta Maharya tadi.
Kalau saja dia tidak mendengarkan percakapan tadi, tentu Milana tidak
menjadi gentar menghadapi mereka yang tentu saja dianggapnya sekutu
ibunya. Akan tetapi kini, dia memandang mereka sebagai musuh-musuh yang
hendak membunuh ibunya! Tentu saja dia menjadi marah bukan main,
kemarahan yang disertai kekhawatiran akan nasib ibunya, lupa akan
keadaan dirinya sendiri yang sudah terkurung dan sedang terancam hebat
itu.
"Ah, kiranya Nona Milana yang datang. Ada keperluan apakah tiba-tiba
Nona datang berkunjung ke rumahku?" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
bertanya, matanya tajam memandang untuk menyelidiki apakah nona ini tadi
mendengar percakapan mereka atau tidak.
Milana bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa dia berada di goa
singa yang amat berbahaya. Kalau dia melampiaskan kemarahannya di saat
itu, sehingga dia harus bertanding melawan mereka, tentu dia akan
celaka. Maka dia memaksa sebuah senyum manis sambil berkata,
"Koksu, aku datang untuk bicara mengenai urusan penting denganmu."
"Ahhh, maafkan penyambutan kami tadi, Nona, karena kami tidak tahu bahwa engkau yang datang. Mari, silakan masuk."
Pintu ruangan itu dibuka lebar, kemudian mereka semua memasuki ruangan.
Milana dipersilakan duduk oleh Koksu yang masih ramah sikapnya. "Silakan
duduk, Nona Milana dan terimalah ucapan selamat datang dari kami dengan
secawan arak."
"Terima kasih, tidak usah, Koksu. Aku datang hanya untuk bicara sebentar
dan takkan lama di sini," jawab Milana, akan tetapi dia duduk juga
melihat semua orang sudah duduk.
"Apakah Nona datang seorang diri? Ataukah dengan Pangcu?" Koksu
bertanya, diam-diam mengerling ke arah jendela yang sudah pecah dan
terbuka karena ia khawatir kalau-kalau nona ini datang bersama ibunya
yang luar biasa lihainya itu.
"Aku datang sendiri untuk... untuk..." Milana menjadi bingung sekali.
Setelah mendengar percakapan tadi dan mendapat kenyataan bahwa mereka
semua ini adalah musuh-musuh yang merencanakan pembunuhan terhadap
ibunya, lenyap sama sekali keinginannya untuk membujuk Koksu agar
menyerahkan Pedang Hok-mo-kiam kepada Pendekar Super Sakti dan agar
tidak menentang ayahnya itu. Mana mungkin mereka mau memenuhi
permintaannya setelah ternyata bahwa mereka ini bukanlah sahabat
melainkan justru musuh yang berbahaya? Maka ketika hendak menyatakan isi
hatinya, dia menjadi ragu-ragu dan gugup.
Tiba-tiba terdengar Maharya membentak. "Engkau tentu sudah sejak tadi
datang, bukan? Mengakulah dengan jujur!" Ucapan ini bukan sembarangan,
melainkan suara yang disertai sinkang kuat sekali dan membawa pengaruh
sihir yang seolah-olah mencengkeram semua semangat dan kemauan Milana,
membuat dara itu tidak berdaya dan di luar kehendaknya sendiri, mulutnya
mengeluarkan suara hatinya.
"Memang aku sudah datang sejak tadi." Milana amat kaget mendengar pengakuannya sendiri yang keluar dari hati yang jujur.
"Dan engkau sudah mendengarkan percakapan kami? Hayo, jawab setulusnya!"
Kembali Maharya menghardik dengan suara yang bergema aneh dan penuh
wibawa.
Milana kini sudah memandang wajah kakek itu dan pandang matanya bertemu
dengan sinar mata yang mendelik dan amat tajam. Dia maklum bahwa dia
terpengaruh oleh kekuasaan sihir kakek itu, namun betapa pun dia
mengerahkan sinkang melawan, tetap saja dia tidak dapat menahan mulutnya
yang menjawab, "Benar, aku sudah mendengarkan percakapan kalian."
Koksu mengeluarkan seruan kaget dan kembali terdengar suara Maharya,
"Apakah engkau tahu apa yang kami percakapkan? Jawab dan jelaskan!"
Milana kini sudah hampir dapat mengatasi dirinya. Sinkang-nya sudah kuat
sehingga dia mampu melawan pengaruh mukjizat itu, dan selain ini, dara
ini mewarisi sinar mata tajam dari ayahnya sehingga pada dasarnya dia
memiliki sinar mata yang amat kuat. Akan tetapi dia belum lolos sama
sekali dari cengkeraman kekuasaan sihir Maharya, maka biar pun suaranya
sudah lemah tanda bahwa dia hampir dapat menguasai diri dan melawan
tenaga mukjizat yang mendorongnya untuk mengaku, masih saja terdengar
pengakuannya.
"Aku... aku tahu... bahwa kalian... hendak membunuh Ibuku... aihhh!"
Kini Milana sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia meloncat ke
belakang sambil mencabut Pedang Pek-kong-kiam yang tadi sudah dia
sarungkan kembali. Maklumlah dia bahwa dia sudah terlanjur membuat
pengakuan dan maklum bahwa tentu mereka itu tidak akan membiarkan dia
pergi menyampaikan rahasia itu kepada Ibunya.
Benar dugaannya, karena Koksu sudah berseru, "Dia harus kita tangkap!"
Semua orang bergerak dan bayangan mereka berkelebatan cepat sekali,
tahu-tahu Milana telah terkurung dan berada di tengah-tengah. Maharya
berada di depannya, Koksu dan Thian Tok Lama di kanan kirinya, sedangkan
enam orang panglima berada di belakangnya!
Milana berdiri dengan tegak, pedangnya melintang depan dada, tangan kiri
terangkat ke atas kepala, siap menghadapi serangan mereka. Seluruh urat
syaraf di tubuhnya menegang dan menggetar, matanya melirik ke depan,
kanan dan kiri, dagunya ditarik keras dan mukanya agak menunduk, kedua
kakinya berdiri dengan tumit diangkat sedikit karena dia maklum bahwa
menghadapi orang-orang lihai ini dia membutuhkan kecepatan gerak dan
ginkang-nya. Sampai agak lama mereka semua diam tak bergerak seperti
arca-arca batu, suasana menjadi amat tegang.
Tiba-tiba Maharya berkata dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Koksu.
Koksu ini adalah seorang peranakan India yang sudah menjadi Warga
Negara Mancu, akan tetapi karena sejak kecil dia tinggal di Nepal, maka
dia tidak mengerti bahasa India dan lebih paham bahasa Nepal. Karena
itulah maka Maharya bicara bahasa Nepal kepada murid keponakan itu, "Dia
tahu akan rahasia kita, harus kita bunuh sekarang, lebih cepat lebih
baik!"
Akan tetapi, dalam bahasa Nepal pula yang tak dimengerti oleh Milana dan
orang lain kecuali Thian Tok Lama, Koksu berkata, "Jangan dibunuh, dia
harus ditangkap untuk memancing dan memaksa ibunya menakluk!"
Menggunakan kesempatan selagi dua orang itu bicara dan yang lain
memperhatikan percakapan dalam bahasa asing itu, tiba-tiba Milana
meloncat dan memutar pedang Pek-kong-kiam melindungi tubuh dari serangan
di bawah kaki, sedangkan tubuhnya melayang ke arah jendela untuk
melarikan diri.
"Tranggg...!" Tiba-tiba Maharya sudah berkelebat dan mendahului Milana
menghadang di depan lubang jendela sehingga ketika Milana menerjang,
pendeta itu menangkis dengan senjatanya dan hampir saja Milana
melepaskan pedangnya saking kerasnya tangkisan itu yang membuat
tangannya tergetar hebat.
Yang lain-lain sudah mengejar dan mengepung, namun Milana sudah memutar
pedangnya dan mengamuk dengan hebat. Dia seorang dara yang tak mengenal
takut, percaya akan kepandaian sendiri dan dia mengambil keputusan untuk
melawan sampai titik darah terakhir. Ia maklum bahwa orang-orang ini
adalah musuh-musuh yang tak akan membiarkan ia hidup, maka hanya ada
satu jalan baginya, yaitu melawan mati-matian dengan dua kemungkinan,
tewas di tangan mereka atau berhasil lolos untuk menyelamatkan ibunya
yang terancam bahaya maut.....
"Wuuut-wuuuttttt...!"
Milana terkejut dan cepat melempar diri ke belakang dan berjungkir balik
tiga kali untuk meloloskan diri dari sinar merah yang menyambarnya dari
samping dan menyilaukan matanya.
"Tarr-tarrr!"
Kiranya yang menyambarnya dan yang kini meledak-ledak adalah pecut kulit
berwarna merah yang berada di tangan Koksu yang berdiri sambil
tersenyum mengejek di depannya.
"Pemberontak hina! Pengkhianat tak tahu malu!" Milana membentak marah.
"Selain hendak berkhianat terhadap pemerintah, engkau juga hendak
membunuh Ibuku! Manusia macam engkau ini mana bisa membunuh Ibuku? Lebih
dulu kau mampus di tanganku!" Sambil berkata demikian Milana sudah
menerjang maju dengan cepat sambil menggerakkan pedangnya secara ganas
namun hebat sekali. Koksu yang memandang rendah dara remaja itu, dengan
sembarangan mengebut dengan pecut merahnya.
"Singggg...! Tarrr... brettt!"
"Hayaaaa...!" Bhong Ji Kun berseru kaget.
Karena memandang rendah jurus yang dimainkan dara itu dan menangkis
secara sembarangan saja, ujung pecut merahnya telah terbabat putus.
Itulah jurus dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat yang hebat sekali, ilmu
pedang tingkat tinggi ciptaan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw,
kakek luar dari Pendekar Sakti Suling Emas! Dan Koksu ini dengan
sembrono telah berani memandang rendah karena dimainkan oleh seorang
dara remaja!
Suara bercuit yang datang dari belakang membuat Milana cepat memutar tubuh sambil membabatkan pedangnya menangkis.
"Tranggg!"
Sekali lagi pedangnya bertemu dengan senjata di tangan Maharya dan
hampir saja terlepas dari pegangannya. Cepat ia meloncat ke arah kiri,
pedangnya bergerak dan terdengar suara nyaring dua kali ketika ia
berhasil membuat dua batang golok patah disusul robohnya dua orang
panglima yang ikut mengeroyok akan tetapi belum sempat turun tangan
karena telah didahului oleh dara perkasa itu!
"Ihhh, keparat!" Koksu menjadi marah sekali, dengan pecut buntungnya dia menotok dari belakang, mengarah punggung Milana.
Dara itu meloncat ke depan menghindar, akan tetapi dia disambut oleh
pukulan Thian Tok Lama yang telah berjongkok dan mengirim dorongan
pukulan dengan tangan kiri. Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke
depan, menyambut tubuh Milana yang masih melayang turun.
"Siuuuuutttt!"
Milana yang merasa datangnya angin pukulan dahsyat menyambarnya,
terkejut bukan main. Dia berusaha untuk berjungkir balik, akan tetapi
tidak keburu dan terpaksa dia mengerahkan sinkang ke arah dada dan
perutnya untuk menahan serangan itu.
"Dessss!"
Angin pukulan menghantam perut Milana, membuat dara itu terjengkang dan
hampir terbanting keras kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri
miring dan menekan lantai dengan tangan, lalu meloncat bangun. Napasnya
sesak, mukanya pucat dan dia merasa dadanya sakit. Akan tetapi pada saat
itu, senjata di tangan Maharya kembali telah menyambar ke arah kakinya.
Agaknya pendeta ini akan merobohkannya tanpa membunuhnya, maka
menyerang ke arah kaki Milana. Tentu saja Milana yang tentu tidak
memperbolehkan kakinya dibabat senjata, meloncat ke atas, dan pedangnya
menyambar ke arah leher Maharya yang cepat mengelak ke belakang.
"Gadis berkepala batu!" Koksu membentak marah. Dia menjadi penasaran
sekali. Masa mereka bertiga, kakek-kakek yang berilmu tinggi, harus
mengeroyok seorang gadis remaja? Dengan marah dia menerjang dengan pecut
yang ujungnya buntung itu, dan kini pecut itu menjadi kaku,
dipergunakan sebagai tongkat menotok jalan darah di tengkuk Milana.
"Haiiiitttt!" Milana memutar tubuh, mengelebatkan pedang dengan niat
untuk membabat pecut Koksu agar putus tengahnya. Akan tetapi Koksu
tiba-tiba membuat pecut lemas dan pedang menyambar dibiarkannya lewat,
kemudian pecut yang sudah lemas itu menyusul dan melibat pedang Milana!
Dara itu berusaha menarik pedangnya, akan tetapi tidak berhasil.
"Brettt... auhhhhhh!" Milana melepaskan pedangnya dan meloncat ke
belakang. Paha kirinya tampak luka dan berdarah karena celana dan kulit
pahanya robek diserempet senjata Maharya. Akan tetapi, gadis yang
sedikitnya mewarisi watak keras dan berani mati dari ibunya ini, tidak
menjadi jeri, bahkan tangannya kanan kiri bergerak dengan cepat. Tampak
sinar-sinar menyambar dibarengi bau harum ke arah tiga orang kakek dan
empat orang panglima.
"Awas jarum!" teriak Maharya.
Untung dia berseru keras, sehingga empat orang panglima yang
dibandingkan tiga orang kakek itu jauh lebih rendah tingkat
kepandaiannya dapat cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan.
Koksu, Maharya dan Thian Tok Lama tentu saja dengan mudah dapat
meruntuhkan jarum-jarum yang menyambar mereka.
Thian Tok Lama kembali mengirim pukulan dari belakang kepada tubuh
Milana yang mengeluh perlahan dan roboh miring. Pahanya yang kiri
terluka berdarah dan perut serta dadanya juga terluka, biar pun tidak
amat parah namun membuat napasnya sesak dan tenaga sinkang-nya tak dapat
ia kerahkan.
"Iblis-iblis tua bangka tak tahu malu, mengeroyok seorang anak
perempuan!" Tiba-tiba terdengar suara dan tampak bayangan berkelebat
amat cepat memasuki ruangan itu melalui jendela yang tadi pecah oleh
Maharya.
Sukar diikuti pandangan mata bayangan itu dan tahu-tahu Pendekar Super
Sakti telah berdiri di situ, berkata halus kepada Milana. "Bangkitlah
dan duduk di punggungku!"
Milana girang bukan main melihat munculnya ayahnya ini. Cepat ia
meloncat bangun, menahan rasa nyeri di paha, perut dan dadanya, kemudian
ia meloncat ke punggung Suma Han, mengaitkan kedua kakinya yang panjang
di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengannya di atas kedua
pundak. Semua gerakan ini dilakukan selagi Suma Han berdiri dengan satu
kaki, sedikit pun tidak bergoyang dan pandang matanya ditujukan kepada
Maharya.
"Hemmm, kulihat engkau memperoleh kemajuan setelah berada di kota raja,
Maharya!" katanya halus namun nadanya penuh teguran dan ejekan. "Tetapi
hanya kemajuan lahiriah dan duniawi yang kau peroleh, sedangkan batinmu
makin mundur dan makin mendekati jurang kehancuran!"
"Pendekar Siluman! Engkau manusia kaki buntung sejak dahulu memang sombong! Apa kau kira aku takut kepadamu?" jawab Maharya.
Koksu yang melihat munculnya pendekar yang ditakuti ini, cepat
mengeluarkan suitan tiga kali untuk memberi aba-aba kepada para
pengawalnya sehingga terdengarlah suara hiruk pikuk di luar ruangan itu
dan puluhan orang pengawal telah mengurung tempat itu dengan ketat, siap
utuk melakukan penyerbuan dan pengeroyokan!
"Hemmm, sungguh Koksu negara sekarang ini sangat gagah perkasa!" Suma Han mengejek.
Im-kan Seng-jin Bbong Ji Kun berkata lantang. "Pendekar Siluman, engkau
datang seperti maling, tentu saja kami mempersiapkan orang untuk
mengepungmu! Engkau adalah Tocu dari Pulau Es, mengapa sekarang engkau
lancang mencampuri urusan kami dengan puteri Ketua Thian-liong-pang?"
"Bhong-koksu, aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia
sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja
datang ke sini untuk bicara dengan engkau dan Maharya!" Suara Suma Han
penuh wibawa dan sikapnya tetap tenang, sedikit pun tidak kelihatan
gentar biar pun menghadapi pengepungan orang-orang pandai ditambah
puluhan orang pasukan pengawal.
"Heh, Pendekar Siluman! Mau apa kau mencariku?!" Maharya membentak,
agaknya marah sekali karena menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh
Thai Li Lama dan muridnya, Tan Ki, dan juga yang merampas Hok-mo-kiam,
tentulah Pendekar Siluman ini.
"Maharya, perlukah kau bertanya lagi? Engkau telah membunuh Kakek
Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta
kembali pedang itu!"
Dapat dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi
diam-diam kakek ini percaya akan kata-kata Pendekar Siluman. Seorang
sakti seperti Si Kaki Buntung itu tentulah tidak akan mau bicara bohong
dan ucapannya tadi membuktikan bahwa pembunuh muridnya dan perampas
pedang Hok-mo-kiam bukanlah Pendekar Siluman.
"Kalau tidak kuberikan engkau mau apa?" tantangnya dan merasa tidak perlu lagi memberi tahu kehilangan pedang itu.
"Aku akan menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!" kata pula Suma Han.
Bhong Ji Kun tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali,
sungguh besar sekali mulutnya dan luar biasa kesombongannya! Pendekar
Siluman, engkau hanya seorang yang berkaki satu, kini menggendong gadis
yang luka parah itu, masih bicara sombong hendak menggunakan kekerasan
terhadap seorang pembantuku! Hemmm, setelah kau mengatakan keperluan
mencari Paman Guruku, sekarang ceritakan apa pula keperluanmu mencari
aku?"
"Bhong-koksu, engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus
bertanya, tetapi akulah yang ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau
memimpin pasukan menyerbu Pulau Es dan Pulau Neraka? Aku kini datang
untuk minta pertanggungan jawabmu, dan sebelum engkau menjelaskan,
jangan harap engkau akan lolos dari tanganku!"
"Ha-ha-ha, benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak
dahulu adalah seorang manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa
aku adalah seorang koksu negara, tentu saja apa yang kulakukan merupakan
tugas dari pemerintah! Suma Han, Pendekar Siluman, engkau menyerahlah
bersama gadis itu. Melawan pun takkan ada gunanya karena kalian telah
terkepung dan sebentar lagi datang pasukan yang ratusan orang jumlahnya.
Andai kata engkau mampu lolos dari gedung ini, engkau pun tak mungkin
dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara penjaga."
"Kalian memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya
mengandalkan pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah
Kerajaan Ceng tidak akan mengganggu Pulau Es dan Pulau Neraka yang
selamanya tidak pernah memberontak atau melawan pemerintah. Tentu karena
dorongan kehendakmu dan orang-orang macam Maharya inilah maka terjadi
penyerbuan. Bhong Ji Kun dan Maharya, aku menantang kalian menyelesaikan
urusan antara kita secara jantan, atau kita putuskan dan selesaikan di
ujung senjata!"
"Ha-ha-ha-ha, kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak
mengeluarkan tantangan. Serbu dan bunuh pemberontak-pemberontak ini!"
Bhong Ji Kun berseru sambil menudingkan pedang Pek-kong-kiam yang
dirampasnya dari tangan Milana tadi ke arah Suma Han sebagai isyarat
kepada para pengawalnya yang sudah mengurung di luar pintu dan jendela
ruangan itu.
"Alan, pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!"
Suma Han berbisik kepada gadis yang berada di gendongan punggungnya.
Dia bukanlah seorang nekat dan maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti
nafsu kemarahannya terhadap Bhong-koksu dan Maharya, tak mungkin ia
dapat menandingi ratusan, bahkan ribuan orang prajurit pengawal. Juga
dia tidak ingin menyebar maut di antara para prajurit itu, maka dia
mengambil keputusan untuk melarikan diri lebih dulu, mengobati luka-luka
Milana, kemudian mencari jalan untuk dapat berhadapan dengan
musuh-musuhnya tanpa campur tangan pasukan pengawal sehingga tertutup
dan terjaga kuat.
"Jangan harap dapat melarikan diri!" Bhong-koksu berteriak dan dari
pintu besar menyerbulah enam orang pengawal yang berpakaian sebagai
perwira-perwira dengan senjata di tangan.
Mereka serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki buntung
yang menggendong gadis terluka itu. Mereka belum pernah bertemu dengan
Suma Han, dan biar pun mereka sudah mendengar akan Pendekar Super Sakti
yang seperti dalam dongeng saja, sekarang melihat laki-laki berambut
panjang putih dan berkaki buntung sebelah itu, mereka jadi memandang
rendah. Apa lagi pria yang tidak kelihatan menyeramkan itu hanya
bersenjata sebatang tongkat butut, masih menggendong seorang gadis yang
terluka pula! Mereka yakin bahwa sekali serbu saja mereka tentu akan
dapat merobohkan Si Buntung itu.
"Rrrrtttttt!!"
Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan
tampak senjata para penyerbu beterbangan disusul robohnya tubuh mereka
malang melintang dan mereka tak mampu bangkit kembali, bahkan bergerak
pun tidak karena mereka sudah pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah
pintu setelah merobohkan enam orang penyerbu pertama, akan tetapi pintu
telah penuh dengan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.
"Tolol! Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!"
Bhong-koksu berseru memaki para pasukan anak buahnya. "Para panglima
pengawal, majulah membantu kami menangkap pemberontak!"
Anak buah pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hanya
karena seruan Koksu itu, akan tetapi juga mereka merasa ngeri melihat
betapa enam orang teman mereka roboh seolah-olah tanpa sebab. Mereka
melihat betapa enam orang teman mereka tadi menyerang dengan senjata
terangkat, akan tetapi tidak tampak pria kaki buntung itu bergerak, yang
tampak hanya berkelebatnya bayangan yang diselimuti sinar
bergulung-gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak tak bergerak
lagi, agaknya tewas! Mereka tidak tahu bahwa Suma Han tidak membunuh
mereka berenam, hanya merobohkan mereka dengan totokan yang membuat
mereka pingsan saja.
Sebelas orang panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di
tangan. Mereka menyingkirkan tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan
mayat dua orang panglima yang tadi roboh oleh pedang Milana, kemudian
bersama panglima-panglima tinggi terdahulu, yaitu Bhe Ti Kong dan tiga
orang lain, semua berjumlah lima belas orang panglima pengawal, kini
maju mengurung. Di luar barisan pengurung ini berdiri Bhong Ji Kun,
Thian Tok Lama, dan Maharya.
Koksu yang menganggap bahwa pecut merahnya yang sudah buntung itu tidak
berguna lagi, memegang pedang Pek-kong-kiam, Maharya yang memegang
senjata tombak bulan sabit juga bersiap-siap, sedangkan Thian Tok Lama
berdiri dengan tangan kosong karena dia lebih mengandalkan kedua tangan
berikut lengan bajunya dari pada senjata tajam. Tiga orang sakti ini
berdiri dengan mata terbelalak. Biar pun mereka mengandalkan pasukan
yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang cacat yang
menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jeri karena maklum
betapa saktinya lawan yang mereka hadapi sekarang.
Maharya berdiri dengan mata mendelik dan muka masih merah padam karena
marah dan juga tersinggung hatinya oleh ejekan Pendekar Super Sakti
tadi. Memang terjadi banyak perubahan pada pendeta dari barat ini. Biar
pun bentuk pakaiannya masih amat sederhana, hanya kain itu yang
dililit-lilitkan pada tubuh, namun kain itu bukan sembarang kain,
melainkan kain sutera yang mahal dan halus sekali. Kain pengikat
kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat kepala itu
dihias dengan beberapa butir mutiara yang besar dan berkilauan, dan
dilengkapi dengan sebuah bulu burung dewata yang indah!
Juga sepasang kakinya ‘ada kemajuan’ seperti yang diucapkan Suma Han
tadi. Kalau dahulu kedua kakinya telanjang, kini kedua kaki itu memakai
alas kaki dari kayu terukir halus dengan tombol terbuat dari pada emas
yang dijepit oleh ibu jari dan jari kedua kakinya. Hebatnya, biar pun
kakinya beralaskan kelom kayu, akan tetapi kedua kaki itu masih dapat
bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun!
Lima belas orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki
kepandaian tinggi dan bukanlah ahli-ahli silat sembarangan. Mereka itu
dipimpin oleh Bhe Ti Kong melakukan pengurungan dan membentuk barisan
bersenjata golok pedang atau senjata tombak trisula gagang pendek
seperti yang dipergunakan Bhe Ti Kong. Gerakan mereka rapi, dan begitu
Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan suara yang nyaring sekali,
tiba-tiba barisan itu bergerak dan mereka yang berdiri di belakang Suma
Han, sebanyak empat orang, telah menyerang dengan senjata mereka. Karena
tubuh belakang pendekar itu tertutup oleh tubuh Milana yang
digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam tubuh
Milana!
Dengan kaki tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi
empat orang itu, memandang dengan sinar mata aneh dan... empat orang itu
menghentikan serangan mereka, tubuh mereka kaku seperti arca dalam
posisi menyerang seolah-olah mereka telah terkena totokan yang membuat
tubuh mereka kaku! Padahal Suma Han sama sekali tidak pernah bergerak
dan ternyata bahwa sinar mata Pendekar Super Sakti inilah yang dalam
sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat
aneh dan melengking nyaring. Kiranya itu adalah semacam mantera yang
mempunyai daya pengaruh amat kuat, menggetarkan perasaan dan empat orang
itu tiba-tiba terguling roboh dan sadar! Mereka saling berpandangan
dengan heran, kemudian meloncat bangun dengan senjata di tangan, bingung
karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Bhe Ti Kong dan
kawan-kawannya menyerbu dari kanan kiri dan depan, sehingga belasan
batang senjata yang dahsyat menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.
Suma Han menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang
sudah tak terjaga lagi karena empat orang panglima tadi masih bengong
terlongong dan kacau, tongkatnya diputar cepat dan tubuhnya yang
mencelat ke belakang itu sudah sampai ke dinding, kaki tunggalnya
menyentuh dinding sehingga tubuhnya kembali mencelat ke depan, kini
dialah yang menyerbu barisan itu!
Para panglima terkejut melihat bayangan yang berkelebat cepat. Mereka
mengangkat senjata masing-masing dan terdengar bunyi nyaring
bertubi-tubi disusul teriakan mereka karena senjata mereka telah patah,
ada yang terlempar, dan lima orang di antara mereka terguling roboh
karena terdorong oleh hawa sakti yang membuat tubuh mereka menggigil
kedinginan. Tiga orang di antara mereka yang agak kuat sinkang-nya
berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak dapat
bangkit lagi dan pingsan!
"Mundur...!" Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia
dan teman-temannya bukanlah lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera
mengundurkan diri dan memimpin para panglima untuk memperketat penjagaan
dengan pasukan masing-masing.
Maharya kini menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan.
Gerakannya dahsyat sekali dan mulutnya terus berkemak-kemik membaca
mantera, kadang-kadang hanya berbisik-bisik, kadang-kadang nyaring
sedangkan matanya terus melotot menatap sepasang mata Pendekar Super
Sakti. Ternyata pendeta India ini menggunakan ilmunya untuk menolak
pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan kini dia menggerakkan
senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.
"Dessss!"
Maharya terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian
kuat tenaga dari pendekar itu, jauh lebih kuat dibandingkan dengan
dahulu, belasan tahun yang lalu ketika Pendekar Super Sakti bertanding
melawan Maharya. Maharya terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa
selama bertahun-tahun itu, Pendekar Super Sakti bertambah kuat sedangkan
dia bertambah lemah, hal ini selain pengaruh usia, juga karena selama
itu dia banyak memboroskan tenaga dengan berfoya-foya dan
bersenang-senang, sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam hidup
berprihatin.
"Singggggg...!" Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih cemerlang, mengarah leher Suma Han.
"Awas...!" Milana berseru kaget.
Dara ini sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang ayahnya dan
merangkulkan kedua lengan di leher, matanya yang indah bentuknya itu
terbelalak lebar, mukanya pucat dan ia khawatir sekali, bukan
mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ayah
kandungnya yang terkepung oleh banyak orang pandai itu.
"Trangggg!"
"Jangan khawatir, Alan...!"
Suma Han tanpa menoleh sudah berhasil menangkis pedang di tangan Bhong
Ji Kun dan diam-diam pendekar ini terkejut karena tangkisan yang
dilakukan untuk mengukur tenaga itu mendapat kenyataan bahwa tenaga
sinkang yang memegang pedang itu tidak kalah kuat dibandingkan dengan
Maharya! Ternyata bahwa Koksu itu merupakan orang yang amat lihai, dan
dia harus mencatat hal ini di dalam hatinya. Agaknya di dalam ilmu
silat, Koksu itu tidak kalah lihai dari Maharya yang ternyata adalah
paman gurunya sendiri, hanya mungkin kalah berbahaya karena Maharya
memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat. Orang pertama yang
tertangguh adalah Maharya, kedua adalah Koksu inilah.
"Kok-kok-kok! Wuuut-wuuut-wuuuttt!"
"Awas pukulan Si Gundul itu, Paman!" Milana kembali berseru kaget. Dia
sendiri sudah merasakan akibat hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama
itu yang telah melukainya biar pun pukulan itu dilakukan dari jarak
jauh.
Tentu saja tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara berkokok
seperti suara katak buduk yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena
pendeta Lama itu adalah musuhnya belasan tahun yang lalu. Dia memutar
tubuh dan menghadapi lawan ini dan tepat seperti dugaannya, Thian Tok
Lama telah berjongkok, tangan kiri menekan perut dan tangan kanan dengan
lengan dilonjorkan membuat gerakan mendorong tiga kali ke arah Suma
Han. Itulah pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan dari tangan kanannya itu
keluar uap hitam bergulung-gulung!
Tiga kali pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh
bedanya dengan pukulan Thian Tok Lama yang tadi merobohkan Milana.
Karena tidak ingin membunuh dara itu sesuai dengan kehendak Koksu, tadi
Thian Tok Lama hanya mempergunakan seperempat tenaganya saja, akan
tetapi kini, menghadapi musuh lama yang ia tahu amat tangguh itu, dia
mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul sampai tiga kali ke arah dada
kanan kiri dan pusar!
Suma Han memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian dia pun
mendorong ke depan dengan telapak tangan kirinya. Dari telapak tangan
ini meluncur tenaga sakti dahsyat sekali menyambut pukulan tiga kali
beruntun dari Thian Tok Lama.
Dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara
dengan amat hebat. Seketika uap hitam pertama yang datang melayang,
terhenti dan tersusul oleh gulungan uap hitam kedua dan ketiga,
berkumpul menjadi satu dan seperti terjadi dorong-mendorong, akan tetapi
akhirnya uap hitam yang telah terkumpul dan bergumpal-gumpal itu
kembali ke arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin lama makin cepat.
Thian Tok Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak
tangan terbuka. Wajahnya pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang
tanah menghias kepala dan mukanya. Dia maklum bahwa keselamatan nyawanya
terancam hebat. Untuk menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini
pukulannya Hek-in-hwi-hong-ciang telah membalik dan mengancam untuk
menghancurkan isi dada dan isi perutnya sendiri, ‘dipaksa’ kembali oleh
dorongan hawa sakti dari tangan Suma Han!
Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum
akan keadaan kawan mereka, maka serentak Maharya menyerang dengan
senjatanya. Serangan berbahaya sekali karena tombak bulan sabit itu
membabat ke arah kaki tunggal Suma Han, sedangkan pedang di tangan Bhong
Ji Kun menusuk lambung kiri!
Menghadapi serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han
meninggalkan Thian Tok Lama dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun,
kakinya mengenjot dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas sehingga
serangan kedua orang itu betapa pun cepatnya, tidak dapat mengenai
sasarannya. Milana sampai memejamkan mata saking ngerinya. Seolah-olah
terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang menyambar dekat dan
tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung
rajawali dengan ayah kandungnya ini, namun dibandingkan dengan kecepatan
gerakan burung itu, gerakan ayahnya ini lebih cepat lagi. Kalau dia
tidak erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh!
Akan tetapi, ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin
ngeri. Ayahnya telah turun lagi dan kini ayahnya dikeroyok tiga oleh
Maharya, Bhong Ji Kun, dan Thian Tok Lama yang menyerang secara
bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima belas orang panglima yang kini
tinggal tiga belas karena yang dua orang masih roboh pingsan, mengepung
dan membantu dengan kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba dari
belakang, kanan atau kiri. Milana merasa gelisah sekali. Lawan amat
banyak dan lihai, sedangkan ayahnya hanya seorang diri, dan masih
menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya gerakan ayahnya
menjadi terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi.
Kalau sampai ayahnya terpukul dan tewas, tentu dia sendiri pun tidak
akan selamat, dan... ibunya akan celaka pula. Sebaliknya, kalau ayahnya
berhasil meloloskan diri, biar pun dia sendiri tertawan, dia tidak akan
dibunuh karena bukankah dia hendak dipergunakan sebagai umpan untuk
memancing kedatangan ibunya? Kini ada ayahnya, kalau mendampingi ibunya,
biar pun dia tertawan apakah mereka berdua yang bergabung menjadi satu
tidak akan mampu membebaskannya? Andai kata tidak berhasil sekali pun,
yang pasti, ibunya akan selamat! Dia tidak boleh mementingkan diri
sendiri saja.
"Paman... beritahukan kepada Ibu... mereka tadi... berunding untuk
membunuh Ibu..." Milana berbisik di dekat telinga Suma Han yang menjadi
terheran-heran.
Tadi pun dia sudah merasa heran melihat Alan puteri Thian-liong-pang
dikeroyok dan dilukai. Bukankah menurut desas-desus, Thian-liong-pang
kini merupakan kaki tangan pemerintah? Mengapa puteri Ketuanya malah
dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut Alan, akan dibunuh?
"Jangan khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!" Suma Han menjawab, berbisik.
"Tidak... engkau saja pergi, Paman...," Milana berbisik pula.
Suma Han terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada
saat itu, tiba-tiba Maharya menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah
muka Suma Han, dan beberapa detik kemudian, Bhong Koksu menerjang dari
belakang dengan sebuah loncatan dahsyat, pedangnya membacok dari atas ke
bawah mengarah kepala Milana!
"Trangggg!"
Suma Han menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk
menangkis pedang yang menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang
panglima tinggi mendekat meja kecil bundar dan memutar meja itu.
Tiba-tiba saja lantai yang diinjak pendekar itu terbuka!
Milana yang melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya,
mana mungkin ayahnya dapat melepaskan diri dari bahaya? Cepat dia
melepaskan kedua kakinya yang mengempit pinggang dan kedua lengannya
yang merangkul leher, membiarkan tubuhnya terlepas dan terjatuh ke
bawah!
"Alan...!"
Suma Han sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biar pun
lantai itu terbuka ke bawah, namun ujung kakinya yang masih menyentuh
lantai tadi dapat dipergunakan untuk membuat tubuhnya mencelat ke kanan,
selain menghindarkan lubang jebakan, juga menghindarkan pedang dari
atas yang dibacokkan oleh Bhong-koksu. Akan tetapi, dapat dibayangkan
betapa kagetnya ketika tubuh Alan yang berada di gendongannya terlepas
dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak diduga-duganya, maka dia tidak
dapat mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih mencelat itu membuat
gerakan seekor burung walet dan matanya terbelalak melihat tubuh Alan
melayang jatuh ke dalam lubang jebakan yang lebarnya dua meter persegi
dan kelihatan gelap saking dalamnya.
"Alan...!" Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak, berkelebat memasuki lubang itu, menyusul Alan!
Lantai yang menjebaknya itu kini tertutup kembali secara otomatis. Bhong
Ji Kun dan para pembantunya dengan wajah pucat saling pandang, akhirnya
mereka tersenyum dan menarik napas lega.
"Hebat bukan main dia...!" Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.
"Heran sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua
Thian-liong-pang?" Maharya juga berkata, namun masih penasaran kerena
dia tidak tahu siapa yang merampas Hok-mo-kiam.
"Sudahlah, dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah
bersama gadis itu. Tidak mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik
untuk memancing datangnya Ketua Thian-liong-pang. Kalau kita berhasil
membasmi Pendekar Siluman dan Ketua Thian-liong-pang, ha-ha-ha, bereslah
urusan kita dan pasti akan berhasil!"
Tiba-tiba Bhong Ji Kun menepuk dahinya sendiri dan berkata, "Aih...
aihh! Mengapa aku begitu tolol? Tentu saja dia membela gadis itu
mati-matian, puteri Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"
Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu
itu dengan heran, tetapi hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya, "Harap
Koksu suka memberi tahukan kami. Mengapa dia menolong gadis itu?"
"Bubarkan dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh
periksa apakah mereka benar-benar telah berada di dalam kamar tahanan
dan perkuat penjagaan di luar kamar-kamar tahanan di bawah tanah!
Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk mendengar mengapa Suma Han
membela gadis itu mati-matian."
Para pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian
Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan tiga orang panglima tinggi
lainnya mememui Koksu dalam kamarnya.
"Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu
melarikan diri bersama Suma Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri
Milana itu anak Puteri Nirahai, dan melihat betapa Pendekar Super Sakti
membelanya mati-matian, maka tidak akan keliru kiranya dugaanku bahwa
dia adalah ayahnya!" Semua yang mendengarkan mengangguk-angguk. "Akan
tetapi hal ini harus dirahasiakan, karena kalau Kaisar mendengarnya,
biar pun puteri itu telah menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan
tergerak hatinya dan menaruh kasihan mendengar bahwa Beliau telah
mempunyai seorang cucu dari Puteri Nirahai."
Kemudian para pendengarnya mengangguk. Setelah mendengar pelaporan
panglima rendahan yang memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah
berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dan bahwa pendekar kaki
buntung itu tengah merawat luka-luka gadis itu, sedangkan penjagaan
dilakukan dengan kuat, Bhong Ji Kun tertawa senang kemudian mengajak
para pembantunya melanjutkan perundingan mengenai rencana mereka merebut
kekuasan Kaisar!
Betapa pun tinggi dan mahirnya tingkat ginkang Milana, namun dengan
perut dan dada terasa nyeri karena terguncang dan terluka oleh pukulan
Thian Tok Lama, sedangkan paha kirinya robek kulitnya, kiranya dia pasti
akan terbanting juga ke atas lantai kamar tahanan jikalau Suma Han
tidak cepat bertindak, melayang turun dan mendahuluinya, lalu
memondongnya sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas lantai!
Akan tetapi dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya
dia merasa makin gelisah dan terkejut sekali karena tadinya dia mengira
ayahnya itu telah berhasil membebaskan diri untuk memberi tahukan
ibunya. Siapa kira ternyata ayahnya itu malah menyusulnya ke bawah!
"Aihhhh... mengapa engkau berada di sini...?" Milana menegur penuh kekecewaan dan penyesalan.
"Hemmm, Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?"
Suma Han menegur setelah menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai
yang terbuat dari batu hitam.
Setelah menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab,
"Aku sengaja melepaskan diri agar Paman tidak terganggu dan dapat
meloloskan diri, kemudian memberi tahukan Ibu, sehingga Paman dan Ibu
dapat bekerja sama untuk membebaskan aku dan untuk menghadapi mereka
yang hendak membunuh Ibu. Siapa tahu, Paman justru menyusulku ke sini.
Apa perlunya Paman menyusulku, malah tidak membebaskan diri sendiri yang
aku yakin dapat Paman lakukan lebih mudah setelah tidak menggendongku?"
Suma Han tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini. "Perbuatanmu
itu baik dan cerdik, akan tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa
dirimu terluka cukup hebat dan akan berbahaya kalau tidak segera
diobati."
"Aku tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang
Paman... eh, maksudku agar Paman dapat memberi tahu Ibu..." Milana
menjadi gugup karena tentu saja dia tidak boleh menyatakan kecemasannya
akan keselamatan Pendekar Super Sakti yang ‘bukan apa-apa’ dengan dia!
"Mengapa Paman membiarkan diri terjun ke dalam lubang jebakan pula?"
"Alan yang baik dan bodoh! Biar pun menggendongmu, apa kau kira aku akan
begitu mudah mereka robohkan? Tidak, karena aku masih mempunyai harapan
besar untuk meloloskan diri. Tetapi engkau terjatuh ke dalam jebakan,
terpaksa aku menyusulmu karena tidak mungkin aku membiarkan engkau yang
terluka terjerumus ke dalam jebakan seorang diri. Kalau engkau tidak
terluka, mungkin lain lagi. Aku menyusulmu karena harus mengobatimu.
Engkau terkena pukulan beracun."
Diam-diam hati Milana menjadi girang dan terharu, maka terusirlah
kekecewaannya. Ayahnya ini benar-benar seorang pendekar tulen! Seorang
satria pilihan! Kalau saja ayahnya mengenal dia sebagai anak kandung,
hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi ayahnya tidak mengenalnya, bahkan dia
adalah puteri musuhnya, seorang tawanan, namun ayahnya ini rela
berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena tidak tega melihatnya
terluka dan ingin mengobatinya! Dia yang sejak kecil rindu akan kasih
sayang ayah, kini melihat sikap ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut
memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah kandungnya itu. Terhadap
orang bukan anaknya saja demikian baik budi, apalalagi kalau tahu dia
anaknya!
"Luka di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit...!"
"Hmm, kulit dan daging terobek kau bilang hanya tergores. Akan tetapi
luka di paha itu memang tidak berbahaya, yang harus segera diobati
adalah luka akibat pukulan Thian Tok Lama. Bagian mana yang terkena?"
"Di perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam perut."
"Hemmm, kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus
melihat tempat yang terpukul untuk menentukan sampai berapa hebat
lukanya. Cukup kau buka sedikit pakaianmu, memperlihatkan ulu hatimu dan
perut di atas pusar, sebentar saja."
Kalau saja laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biar
pun dia terluka parah dan hendak diobati, tentu dia tidak akan sudi
melakukannya. Akan tetapi setelah beberapa hari melakukan perjalanan
dengan Pendekar Super Sakti, setelah dengan penuh keyakinan mengenal
watak pendekar besar ini, andai kata pendekar ini bukan ayahnya sendiri
sekali pun, tentu Milana akan memenuhi permintaannya tanpa ragu-ragu.
Apa lagi ayahnya sendiri! Maka dengan gerakan wajar dan sedikit pun
tidak kelihatan malu-malu, dara itu lalu membuka pakaiannya dari depan
berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di kanan kiri
memperlihatkan bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar.
Suma Han yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa
tubuh dara yang sudah berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan
terbelalak, matanya terbuka lebar dan jelas sekali tampak dadanya
terguncang turun naik, napasnya agak memburu. Diam-diam Milana terkejut
bukan main, seperti kilat menyambar ke dalam kepalanya dugaan yang
mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya ini, salah mengenal
wataknya!
"Ini... apakah ini...?" tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar
dan jari tangannya menyentuh belahan dada di atas ulu hati di mana
tampak sebuah mata kalung terbuat dari emas berhiaskan batu kemala
berwarna hijau, berbentuk seekor burung Hong berbulu hijau.
Leher Milana seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan
penyesalan hatinya yang telah secara keji menuduh ayahnya seorang
laki-laki yang berwatak cabul dan mata keranjang. Kiranya ayahnya bukan
terpesona oleh kulitnya yang halus dan putih kekuningan, melainkan
terpesona oleh mata kalungnya!
"Itu hanya mata kalung, Paman."
"Mata kalung ini... burung Hong berbulu hijau... eh... aku... aku pernah
melihatnya... di dada seorang... aih, Alan, dari mana engkau memperoleh
benda ini?"
Ketika Milana mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan
ayahnya, dara ini mengkirik. Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar
Siluman oleh para musuhnya. Mata ayahnya benar-benar bukan seperti mata
manusia kalau sudah memandang seperti itu. Seolah-olah keluar sinar yang
melebihi ujung pedang tajamnya, yang menusuk dan langsung menembus dada
menjenguk isi hati! Milana menjadi khawatir sekali. Kalung ini adalah
pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai kalung seperti ini,
menurut penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar! Celaka
sekarang, tentu akan terbongkar rahasia ibunya, rahasianya!
"Ini...? Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah
Thian-liong-pang dari kamar pusaka istana Kaisar!" Milana melihat sinar
mata itu menjadi kecewa, seperti mata orang yang salah mengira. "Eh,
Paman. Mengapa Paman bersikap begini aneh? Hendak memeriksa lukaku
ataukah hendak memeriksa kalung?"
Suma Han menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang
matanya dari mata kalung itu, betapa tidak akan terguncang hatinya
melihat mata kalung itu. Dahulu ia pernah mengagumi mata kalung itu di
dada wanita lain yang sama halus dan putih seperti dada gadis ini!
"Ohhh... maafkan aku." Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan
perut dara itu, kemudian meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu
bangkit berdiri. "Ah, untung pendeta Tibet itu tidak menggunakan
seluruh tenaga Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya memang dia tidak berniat
membunuhmu. Lukamu tidak berbahaya, hanya terguncang saja. Bereskan
kembali bajumu."
Milana memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya. Kemudian Suma
Han memeriksa paha yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari
saku bajunya, dan begitu luka itu diberi obat bubuk berwarna merah, rasa
nyerinya hilang dan terasa dingin nyaman. Kemudian Suma Han duduk di
belakang dara itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung atas
dan bawah. Hanya beberapa menit saja dia melakukan pengobatan ini.
Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang amat
panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran di sekitar
perut dan dadanya. Setelah pendekar itu melepaskan kedua tangannya, rasa
nyeri di dalam dada dan perutnya lenyap sama sekali! Tentu saja dia
menjadi girang dan kagum bukan main!
"Terima kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang
sekali Paman tertawan di sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman
itu terampas oleh Koksu."
"Jangan menyesalkan semua hal yang sudah terjadi. Engkau perlu
beristirahat agar kesehatanmu cepat pulih sama sekali. Rebah dan
tidurlah."
Milana menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma
Han duduk menekuk kaki tunggalnya seperti orang bersila, alisnya
berkerut dan dia seperti orang termenung, sama sekali tidak mempedulikan
keadaannya, tidak memeriksa tempat tahanan seolah-olah tidak ada
pikiran untuk berusaha keluar dari situ! Wajah tampan yang dikelilingi
rambut putih itu kelihatan berduka sekali.
Milana merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena
tertawan ini? Mustahil! Ayahnya sengaja membiarkan dirinya tertawan,
hanya untuk dapat mengobatinya! Ah, tentu karena mata kalung tadi! Tentu
teringat akan Puteri Nirahai! Benarkah ini? Apakah ayahnya masih
mencinta ibunya? Kalau masih mencinta, seperti ibunya yang kadang-kadang
juga tampak mencinta ayahnya, mengapa mereka saling berpisah?
"Paman, kenapa Paman terkejut melihat kalungku? Siapakah yang dahulu pernah memakai kalung ini, Paman?"
Suma Han hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan
seolah-olah dia tidak melihat wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya
terdengar suara menggumam dari bibirnya yang tetap tertutup, melalui
hidung, "Hemmm..."
Sunyi sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana
merasa makin kasihan. Jelas, tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya!
Ingin dia mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi antara kedua
orang tuanya itu. Ibunya pun selalu menutup mulut kalau ditanya mengenai
hal ini, seakan-akan merasa tidak senang untuk bicara tentang itu.
Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat antara ayahnya dan Pulau
Neraka sehingga ayahnya bersikap demikian lunak terhadap Wan Keng In
yang jahat.
"Apakah engkau tidak percaya kepadaku?" Tiba-tiba Milana bertanya,
suaranya agak nyaring karena suara ini tanpa disadarinya timbul dari
hatinya, melalui mulut sehingga dia sendiri menjadi kaget.
Akan tetapi pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh
dan mereka saling berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa,
timbul sesuatu yang mengharukan dan mesra di hati Suma Han sehingga
timbul niat di hatinya untuk membuka semua isi hatinya, untuk membuka
semua rahasianya terhadap dara ini!
Hanya ada seorang saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa
Ciok Lin, bekas saudara seperguruannya di waktu dia kecil dahulu, yang
kini telah menjadi wakilnya urusan dalam di Pulau Es. Kepada wanita yang
dia tahu amat mencintanya itu, cinta sepihak, dia telah membukakan
semua rahasia hatinya, telah menumpahkan semua isi hatinya dan kini
perasaan seperti itu timbul ketika dia bertemu pandang dengan gadis ini!
"Alan, ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki itu tergantung di leher... isteriku."
"Aku pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, Tocu Pulau Es adalah seorang yang tidak beristeri."
"Aku pernah mempunyai isteri, Alan."
"Di manakah dia sekarang, Paman?"
"Entah di mana..."
"Kalung ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut
keterangan, hanya puteri-puteri Kaisar saja yang memakainya. Bagaimana
isteri Paman dapat memakai kalung seperti ini? Apakah Paman juga mencuri
dari istana lalu dihadiahkan kepadanya?" Milana memancing.
Suma Han menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah
sekali lagi memandang wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu
penuh keharuan dan penuh harapan mendengar ceritanya dia lalu berkata,
"Dengarlah, ia adalah seorang puteri Kaisar! Dia adalah Puteri Nirahai!
Dan dia telah meninggalkan aku! Ohhh...!"
Melihat betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana
tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan
tetapi dia menahan diri, menekan hatinya agar jangan menjeritkan sebutan
ayah, hanya jari tangannya saja yang diangkat menyentuh lengan pendekar
itu, suaranya agak tergetar.
"Paman... jangan... jangan bersedih..."
Suara yang penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan
dan tampaklah dua titik air mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan
memegang tangan gadis itu ketika melihat betapa gadis itu mencucurkan
air mata!
"Kau... kau menangis?"
Milana mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan
juga keharuan yang membayang di wajahnya karena biar pun bibirnya
tersenyum paksaan, sepasang matanya basah!
"Aku kasihan sekali padamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini baik hati? Mengapa dia begitu kejam?"
"Tidak! Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku... ah,
aku tidak tahu harus berbuat apa. Sebaiknya kau mendengar semua yang
terjadi antara aku dan isteriku."
"Baik, akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu kepadaku."
"Kami saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia
meninggalkan istana, meninggalkan Kaisar yang menjadi ayahnya dan
meninggalkan kedudukan mulia karena dia adalah seorang panglima
tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi setelah kami berdua melarikan
diri sebagai orang-orang buruan kerajaan, dan kami berkumpul sebagai
suami isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia mengajakku pergi
menghambakan diri ke Mongol, aku menolaknya dan dia pergi sendiri,
meninggalkan aku. Hidupku menjadi hampa, aku merana seorang diri,
kemudian aku kembali ke Pulau Es, di mana aku dahulu menggembleng diri
ketika masih muda sekali, dan menjadi Tocu di sana. Dan... begitulah...
agaknya kami berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh..."
Milana mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa
tidak setuju dengan tindakan ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami
yang dicintanya? Seorang isteri seharusnya mengikuti suaminya, ke mana
pun suaminya pergi!
"Apakah Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"
"Pernah kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia... dia telah mempunyai
seorang anak perempuan, dia anakku... anak kami... dia telah mengandung
saat pergi meninggalkan aku ke Mongolia." Suma Han tak dapat
melanjutkan ceritanya karena kembali dia melamun dan kelihatannya
berduka sekali.
Melihat itu, Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah
kandungnya itu, segera mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran
ayahnya.
"Paman, ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah
memperlihatkan sikap amat lunak. Ada hubungan apakah kiranya Paman
dengan dia? Dan mengapa dia mengatakan bahwa Paman telah merusak
penghidupan ibunya, telah membikin sengsara ibunya?"
Benar saja, pertanyaan ini memang membuat Suma Han sadar dan dapat
melupakan Nirahai. Akan tetapi, perhatiannya kini berpindah kepada Lulu
oleh pertanyaan itu dan kesedihan yang lebih besar lagi melanda hatinya!
"Engkau telah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar
seluruhnya, Alan. Ibu Keng In bernama Lulu, dan dia itu adalah adik
angkatku yang menikah dengan seorang sahabatku bernama Wan Sin Kiat,
seorang pemuda yang gagah perkasa dahulu. Mereka mempunyai seorang
putera, yaitu Wan Keng In."
Milana mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali.
"Apakah ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"
"Ah, sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang
amat gagah perkasa, bahkan dia akhirnya tewas karena gugur dalam
perjuangan."
"Aihhh, kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi Tocu Pulau
Neraka yang kabarnya ganas dan lihai seperti iblis? Dan mengapa pula
kemudian puteranya memusuhimu dan kulihat dia amat membencimu? Apakah
adik angkatmu itu yang telah menjadi Tocu Pulau Neraka, juga
membencimu?"
Suma Han mengangguk. "Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang di dunia ini membenciku..."
"Mengapa, Paman?"
"Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau
mendengar seluruhnya. Aku pun tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan
membenciku, sebelum aku bertemu dengan dia di Pulau Neraka, ketika aku
membebaskan Kwi Hong yang diculiknya. Seperti juga dengan Nirahai, aku
tadinya tidak tahu bahwa dia membenciku, baru kuketahui setelah aku
bertemu dengannya. Aku seorang manusia bodoh dan sangat canggung..."
Milana memegang tangan pendekar itu. "Tidak! Engkau seorang gagah
perkasa yang tiada keduanya di dunia! Engkau seorang yang paling jantan,
paling berbudi mulia di dunia ini!"
Mata Suma Han terbelalak, kemudian dia berkata lagi setelah gadis itu
melepaskan pegangan tangannya dan menunduk karena baru Milana sadar
bahwa kembali dia dikuasai hatinya.
"Ketika aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal
Ketua Pulau Neraka itu bukan lain adalah adik angkatku sendiri, Lulu.
Dari mulutnya sendiri aku mendengar pengakuannya yang luar biasa, bahwa
dia semenjak dahulu mencintaku, bukan sebagai adik angkat, melainkan
sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Dia menyalahkan aku yang
telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal kami saling mencinta,
katanya. Setelah memperoleh seorang putera, dia meninggalkan suaminya
karena tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa puteranya
pergi. Wan Sin Kiat gugur dalam perjuangan karena dia pun tahu akan isi
hati isterinya, bahwa isterinya itu sesungguhnya mencinta aku, maka Wan
Sin Kiat seolah-olah membunuh diri dengan berjuang secara nekat. Lulu
menyatakan bahwa dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau sebagai...
musuhku! Hampir sama dengan pendirian Nirahai yang katanya mencintaku
akan tetapi juga siap untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada
taranya."
Milana mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata,
seolah-olah pandang matanya bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti
yang bicara bergerak-gerak. Hatinya tertarik sekali, terbayang dalam
pikirannya semua pengalaman ayahnya, dan ia seolah-olah ikut pula hidup
dalam pengalaman itu, ikut merasa suka dukanya, merasa tegang, terharu
dan penasaran. Barulah sesudah pendekar itu berhenti bicara, ia
terlempar kembali ke dunia kenyataan dengan masih membawa semua perasaan
terharu dan penasaran.
"Paman, tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri Nirahai itu, bukan?"
"Tentu saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."
"Bagaimanna perasaan Paman terhadap Lulu itu? Apakah Paman juga cinta kepada wanita aneh itu?"
Suma Han mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin
juga menanyakan hal yang sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai
seorang wanita yang sudah lebih matang oleh usia dan lebih maklum akan
lika-liku cinta antara pria dan wanita yang mengandung banyak keanehan,
gadis itu masih penasaran dan mendesak.
"Bukan cinta kakak angkat?"
"Bukan, Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria
terhadap wanita. Bahkan semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta
pertamaku, dan aku tak pernah berhenti mencintanya. Antara kami terdapat
api cinta yang kekal, semenjak kami masih belum dewasa, akan tetapi
karena hubungan kami sebagai kakak dan adik angkat, kami berdua
menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah dia kukawinkan dan kami
saling berpisah, barulah terasa bahwa sesungguhnya kami saling mencinta
sebagai pria dan wanita! Aku menemukan cintaku yang kedua terhadap
Nirahai, akan tetapi gagal pula."
"Paman, kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng
In. Kiranya dia adalah putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi
dia masih keponakan Paman sendiri. Tentu Paman tidak sampai hati untuk
mencelakainya, untuk menghancurkan hati Lulu, wanita yang Paman cinta."
"Hemm, engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan. Memang demikianlah halnya."
"Paman, siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri
Nirahai ataukah Lulu?" Milana bertanya sambil miringkan tubuh,
menghindarkan pandang matanya dan kini dia tidak mengangkat muka,
melainkan merebahkan kepalanya di atas lantai dengan telinga menempel
lantai.
"Hemm, pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu
bahkan hatiku sendiri pun belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar
untuk dikatakan dan diukur siapa yang lebih kucinta, sungguh pun dasar
yang mendorong cinta kasihku berbeda. Terhadap Nirahai didorong oleh
anak kami itu, sedangkan terhadap Lulu didorong oleh masa muda kami...
heii, ada apakah, Alan?"
Suma Han terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak
penuh keheranan dan alisnya berkerut, wajahnya agak berubah. Atas
pertanyaannya, Alan menudingkan telunjuk ke lantai dan berbisik.
"Ada suara tertawa di bawah lantai!"
Suma Han mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia memiliki
kepandaian yang jauh lebih tinggi dari gadis itu, sinkang-nya amat kuat
dan pendengarannya tentu jauh lebih tajam. Kalau gadis itu dapat
mendengar suara ketawa, masa dia tidak mendengar apa-apa sama sekali?
Suma Han menggeleng kepala dan berkata tirih, "Alan, jangan bingung
sehingga engkau mendengar yang bukan-bukan. Percayalah, aku akan mampu
membawamu keluar dari tempat ini!"
Milana bangkit duduk dan berkata, "Benar-benar ada orang tertawa di
bawah lantai ini, Paman. Kalau tidak percaya, kau dengarlah sendiri!"
Suma Han memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah
lubang kecil di lantai itu, di mana tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya
melalui lubang kecil itulah dia mendengar suara dari bawah. Kalau
begitu mungkin juga! Suma Han lalu mendekatkan kepala pada lantai dan
menempelkan telinganya di dekat lubang lantai dan... tak salah lagi! Ada
suara orang tertawa-tawa dan bicara di bawah! Bahkan bukan hanya suara
satu orang, melainkan dua orang. Suara yang lucu karena diseling
tertawa-tawa dan yang dibicarakan juga hal-hal yang lucu, dijawab oleh
suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han tersentak kaget ketika
mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!
"Hemmm, kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai ini," katanya.
Ucapannya itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan
tubuhnya dan dia mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan
telinga di lantai karena begitu pun sudah cukup jelas baginya untuk
dapat menangkap percakapan di bawah, agar gadis itu dapat ikut
mendengarkan. Milana lalu cepat menempelkan telinganya tepat pada lubang
kecil itu dan begitu dia mendengar percakapan di bawah yang memasuki
telinganya secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia tak dapat menahan
diri, tertawa cekikikan karena merasa lucu!
"Heh-heh, sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!" terdengar suara parau yang tertawa-tawa dan lucu itu berseru.
"Dikeram seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?" terdengar suara wanita. "Dan siapa teman itu?"
"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkrik di sini. Hayo kita cari dia!"
Diam sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang
yang mencuri dengar itu untuk menduga behwa dua orang yang berada di
bawah lantai itu tentu sedang sibuk mencari jangkrik! Seperti dua orang
anak kecil saja!
"Celaka tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai
berbatu! Mana bisa mengeluarkan dia?" terdengar pula suara parau.
"Apa sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku tidak bisa menggalinya?"
"Wahhh, tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya
batunya yang tergali akan tetapi juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"
"Habis bagaimana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.
"Engkau memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana
mengeluarkan jangkrik dari lubangnya tanpa bahaya melukainya? Tentu saja
mengaliri lubangnya dengan air. Kalau dia terendam air di dalam
lubangnya, tentu dia akan keluar sendiri!"
"Akan tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu? Untuk minum saja
kadang-kadang kurang! Si bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak
menambah jatah minuman untuk kita!"
"Hssshhh! kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja? Dan
engkau betul memalukan sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari
air? Bukankah kita, seperti setiap orang manusia di dunia ini,
masing-masing mempunyai simpanan air yang cukup di dalam perut?"
"Ihhh! Suhu jorok sekali!"
"Kenapa jorok? Apanya yang jorok? Masa bicara tentang air kencing saja
dikatakan jorok? Siapa sih orangnya yang tidak mengenal air kencing?
Kalau aku kencingi lubang ini, masa jangkrik itu tidak akan cepat-cepat
keluar?"
"Suhu, jangan!" Terdengar mereka berdua tertawa-tawa. "Jangkrik itu
mungkin kuat bertahan di dalam lubangnya, akan tetapi aku yang tidak
kuat akan baunya!" Kembali mereka tertawa-tawa.
"Kalau Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"
"Wah-wah-wah, kau mengancam, ya? Kalau begitu biarlah jangkrik itu
mengerik di dalam lubangnya, akan tetapi engkau harus berlatih sekarang
juga, hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu."
Suma Han mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti
puteri Ketua Thian-liong-pang itu, melainkan dengan terheran-heran
mendengar murid atau keponakannya itu menyebut ‘suhu’ kakek yang
ugal-ugalan dan agaknya benar-benar seorang yang aneh sekali itu.
Keheranannya memuncak ketika tiba-tiba ia mendengar suara mendesir di
bawah itu. Itulah suara pedang yang digerakkan secara mukjizat! Tak
mungkin Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat itu, seperti badai
mengamuk, biar dia menggunakan Li-mo-kiam sekali pun! Akan tetapi, siapa
lagi kalau bukan Kwi Hong?
Kalau Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin
gerakan pedang yang dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran
bagaimana gadis dengan gurunya yang sinting itu bisa berada di dalam
kamar tahanan di bawah tanah, bahkan letaknya di bawah kamar tahanan
Suma Han? Kita tinggalkan dulu Suma Han yang terheran-heran untuk
mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama gurunya yang sinting itu.....
********************
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong yang tadinya tertawan
oleh Wan Keng In, dibebaskan oleh Bu-tek Siauw-jin, gurunya dan juga
paman guru Wan Keng In. Kemudian guru dan murid ini menuju ke kota raja,
akan tetapi Kwi Hong terpaksa harus mentaati kehendak gurunya untuk
melakukan perjalanan melalui padang pasir di utara untuk mencari racun
kelabang bagi keperluan Kwi Hong sendiri dalam menerima gemblengan ilmu
mukjizat yang tinggi dari kakek sinting itu.
Mereka tiba di tempat itu, sebuah pegunungan yang aneh, jauh dari dunia
ramai dan tidak ada seorang pun manusia di sekitar tempat itu. Kwi Hong
merasa heran bagai mana gurunya dapat menemukan tempat seperti ini.
Kadang-kadang mereka melalui hutan yang penuh pohon-pohon aneh, akan
tetapi ada bagian di pegunungan itu yang gundul tidak ada pohonnya sama
sekali, bahkan rumput pun tidak dapat tumbuh di situ seolah-olah
tanahnya mengandung racun yang membunuh semua tanaman. Ada pula bagian
yang penuh pasir, akan tetapi tampak bekas-bekas pohon, hanya tinggal
batangnya yang besar setinggi tiga empat meter, tanpa daun sehelai pun
dan sudah kering. Di tempat inilah Bu-tek Siauw-jin mencari kelabang!
Kakek itu berhenti di bagian yang penuh pasir dan di sana-sini tampak
sisa pohon mati itu, memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Di
sinilah... hmmm aku sudah mencium bau mereka dan tampak bekas mereka..."
Kwi Hong mengempiskan cuping hidungnya, mencium-cium, dan memang ada tercium bau amis yang aneh olehnya.
"Awas udara di sini beracun! Napas yang masuk harus dibakar dengan
sinkang!" kakek itu berkata sambil tertawa-tawa. Melihat sikap kakek itu
yang suka berkelakar, Kwi Hong memandang rendah dan bernapas seperti
biasa.
"Suhu... celaka...!" Tiba-tiba dia mengeluh, kepalanya pening, perutnya mual seperti diaduk dari dalam.
"Wah, bocah bandel! Sudah diberi tahu tidak percaya. Hayo cepat duduk
bersila, atur pernapasanmu." Kwi Hong cepat duduk bersila dan Bu-tek
Siauw-jin lalu menempelkan telapak tangan kirinya di punggung, membantu
gadis itu mengusir keluar hawa beracun dari dalam dada. Beberapa kali
Kwi Hong mengeluarkan hawa dari perut melalui mulut dan akhirnya
kepeningan kepalanya lenyap.
"Tempat ini penuh hawa beracun, jangan memandang rendah sebelum engkau
memakan racun kelabang!" kata kakek itu ketika Kwi Hong meloncat bangun.
Kini gadis itu berhati-hati sekali, bernapas dengan teratur dan
mempergunakan hawa murni dan sinkang-nya.
"Suhu, apa yang berkilauan itu?"
Tiba-tiba Kwi Hong menuding ke bawah. Tampak ada benda seperti batu permata yang sebesar kepalan tangan.
"Hemm, itu batu biasa."
"Ah, tidak mungkin, Suhu. Batu gunung biasa masa berkilauan seperti itu. Tentu batu mulia."
"Kau tidak percaya? Coba pegang baru kau tahu!"
Kwi Hong membungkuk dan tangannya mengambil batu itu. Tiba-tiba dia
berteriak dan melepaskan batu itu kembali, telapak tangannya telah
menjadi hitam dan terasa panas dan perih. Batu mengadung racun yang luar
biasa!
"Ha-ha-ha! Itulah air liur kelabang yang membasahi batu. Kelihatan
berkilauan menarik akan tetapi sebetulnya mengandung racun yang
berbahaya. Biar pun sinkang-mu sudah kuat, kalau tanganmu terkena racun
ini, tanpa mendapatkan obat anti racun yang tepat, lambat laun akan
membusuk, dan hancur seperti terkena penyakit kusta!"
"Kalau sudah tahu berbahaya, mengapa Suhu menyuruh aku memegangnya?" Kwi Hong menuntut.
"Heh-heh-heh, kalau belum jatuh terpeleset, mana bisa hati-hati?"
"Suhu membiarkan aku keracunan? Mana ada guru seperti ini?"
"Ha-ha-ha! Bodoh, aku hanya membikin engkau matang dalam pengalaman.
Terkena racun begitu saja, kalau ada aku apa artinya? Biar racun yang
seratus kali lebih hebat, selama aku masih menjadi gurumu, engkau tidak
akan celaka."
Bu-tek Siauw-jin mengeluarkan sebuah batu yang berwarna hijau dari saku
bajunya, menyambar tangan Kwi Hong dan menempelkan batu hijau itu kepada
tangan yang telapaknya berubah hitam.
Dalam waktu singkat semua hawa beracun telah tersedot oleh batu dan tangan gadis itu pulih seperti biasa.
"Batu ini sebuah benda pusaka yang ampuh!" Kwi Hong tertarik sekali dan ingin memilikinya.
"Ha-ha-ha! Batu macam ini saja apa artinya? Kalau engkau sudah selesai
berlatih ilmu, tidak perlu mengandalkan batu mati seperti ini!"
Kwi Hong menjadi bersemangat sekali. Ingin dia segera memiliki ilmu yang
dapat membuat dia kebal akan segala racun! Dia memang harus memiliki
kepandaian yang tinggi agar kelak ia dapat menandingi Wan Keng In,
pemuda yang amat dibencinya itu!
"Mari kita lekas mencari kelabang bertelur itu, Suhu!"
"Hushh! Bukan kelabang bertelur. Kalau sudah bertelur, tidak ada gunanya lagi. Yang kucari adalah kelabang bunting!"
Kwi Hong menghela napas menyabarkan hati. "Baiklah, kelabang bertelur,
kelabang bunting atau kelabang busung sama saja, yang perlu lekas kita
menemukannya."
"Tidak begitu mudah. Pergilah engkau ke hutan di sebelah kanan itu dan
engkau harus dapat menangkap hidup seekor ayam hutan betina yang gemuk.
Nah, pergilah cepat sebelum malam tiba!"
"Baik, Suhu," Kwi Hong membalikkan tubuh hendak meloncat pergi.
"Awas, jangan keliru. Yang betul-betul gemuk, lho, dan jangan yang terlalu tua, darahnya sudah kurang manis!"
Di dalam hatinya Kwi Hong mengomel. Gurunya ini cerewet benar, akan
tetapi karena maklum bahwa kecerewetan gurunya itu biar pun
dilebih-lebihkan menurut wataknya yang sinting, bukan tidak ada artinya,
maka dia hanya mengangguk dan mengingat baik-baik pesan itu lalu
melesat pergi dengan cepat. Tak lama kemudian gadis itu telah kembali
kepada gurunya, kedua tangannya memegang dua ekor ayam hutan betina yang
gemuk-gemuk!
"Ehh... kenapa dua ekor?"
"Yang seekor untuk kelabang bunting, yang seekor lagi untuk Suhu dan aku!"
"Ha-ha-ha-ha, kau pintar sekali!" Bu-tek Siauw-jin menerima seekor ayam,
mengikat kedua kaki ayam itu dan mencabuti bulunya. Ayam itu tentu saja
berkeok-keok kesakitan akan tetapi kakek sinting itu tidak peduli,
mencabuti terus sambil berkata,
"Eh, kenapa bengong saja? Lekas potong leher ayam itu dan bakar dagingnya."
Kwi Hong memutar leher ayam. Setelah binatang itu mati, dia mencabuti
bulu-bulunya, mengeluarkan isi perutnya yang diminta oleh gurunya untuk
kelabang di samping ayam hidup yang diberunduli semua bulunya. Kwi Hong
membuat api membakar daging ayam, kemudian bersama gurunya makan daging
panggang sambil menanti datangnya malam gelap.
"Menurut perhitunganku, sekarang tepat bulan purnama! Kelabang-kelabang
itu akan keluar dan kalau terjadi perebutan ayam mulus ini, engkau
jangan kaget dan diam saja. Setelah ayam itu diseret, barulah kita
mengikuti karena para pemenang itu terus akan membawa ayam ini kepada
kelabang betina yang bunting. Yang menang tentu kelabang jantan yang
terkuat, maka betinanya tentu juga paling hebat!"
"Menurut penuturan Suhu, kelabang jantannya sudah dibunuh oleh yang betina."
"Memang, di waktu terjadi perkawinan. Tetapi setelah bunting, tidak ada
lagi kelabang jantan yang mengganggunya, dan kelabang jantan yang
menyerahkan hadiah-hadiah adalah calon-calon pengantin-pengantin dan
calon bangkai karena pada waktu perkawinan mereka pun akan mati konyol.
Ha-ha-ha!"
Kwi Hong merasa ngeri dan membenci kelabang betina yang pekerjaannya
hanya kawin, membunuh pengantin jantan, dan bertelur saja itu! Akan
tetapi dia juga ngeri kalau mengingat bahwa dia harus makan perut
kelabang yang demikian menyeramkan, yang amat beracun, sedangkan air
liurnya saja sudah demikian hebatnya!
Malam tiba, kakek sinting itu membiarkan api unggun bernyala terus.
"Setelah bulan purnama muncul dan keadaan di sini cukup terang, baru api
ini kita padamkan. Betapa pun lihai dan beracun, kelabang-kelabang itu
takut melihat cahaya api. Kalau sekarang api kita padamkan, mereka akan
bermunculan dan tak hanya ayam dan isi perut ayam yang mereka serang,
akan tetapi juga mereka akan menyerang kita."
"Ihhhh...!" Kwi Hong mengkirik ngeri. "Kalau nanti bulan sudah muncul
dan api kita padamkan, mereka datang dan menyerang kita bagaimana?"
"Apa sukarnya? Kita meloncat ke atas pohon-pohon mati itu, mereka tidak akan mampu mengejar."
"Sekarang kita bisa meloncat ke sana, Suhu."
"Dasar bodoh! Kalau mereka kita biarkan datang sebelum bulan muncul dan
kita menyelamatkan diri ke atas pohon mati, bagaimana kita akan dapat
mengikuti ke mana mereka membawa pergi ayam yang kita umpankan itu?"
Sekarang mengertilah Kwi Hong dan dia merasa tegang. Bicara tentang
kelabang-kelabang itu, tidak ada nafsu makan lagi padanya sehingga sisa
daging ayam panggang itu diganyang habis oleh Bu-tek Siauw-jin, bahkan
agaknya dia masih belum puas karena terdengar suara keletak-keletuk
bunyi tulang-tulang sayap dan kaki ayam pecah-pecah karena gigitannya,
untuk diisap sumsumnya!
"Suhu, bulan sudah muncul. Lihat!" Tiba-tiba Kwi Hong yang sejak tadi
memandang ke arah timur berteriak sambil menudingkan telunjuknya.
"Biarkan dia naik agak tinggi sampai tempat ini terang betul," jawab
guruya yang masih enak-enak saja menggerogoti tulang kaki ayam.
Akhirnya bulan purnama sudah menyinarkan cahayanya yang cemerlang dan
daging berikut tulang ayam panggang sudah habis dikunyah hancur oleh
kakek sinting itu. Bu-tek Siauw-jin lalu melemparkan ayam gundul yang
diikat kakinya ke atas tanah di samping isi perut ayam yang dipanggang
tadi, kemudian memadamkan api dan mengajak muridnya meloncat ke atas dua
batang pohon mati yang berdampingan.
Dengan tergesa-gesa karena merasa ngeri, Kwi Hong mendahului gurunya
meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di atas puncak batang
pohon mati seperti seekor burung garuda sigapnya. Gurunya juga mencelat
ke atas dan hinggap di pohon kedua. Batang pohon yang tingginya lebih
dari tiga meter itu cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atasnya
sambil memandang ke bawah. Dari tempat itu jelas kelihatan ayam gundul
yang mereka pergunakan sebagai umpan karena cahaya bulan dengan
lembutnya menyinari seluruh tempat itu.
Kurang lebih dua jam mereka menanti, dua jam penuh ketegangan dan terasa
seperti dua pekan bagi Kwi Hong. Beberapa kali dia menoleh ke arah
gurunya dan melihat betapa gurunya itu duduk melenggut di atas puncak
batang pohon, tidur-tidur ayam kekenyangan daging ayam. Beberapa kali
tubuh kakek itu mendoyong ke sana-sini kelihatannya seperti akan jatuh,
akan tetapi selalu dia tersentak kaget sebelum terguling dan melenggut
lagi. Tentu saja hati Kwi Hong mendongkol sekali. Orang setengah mati
karena tegang, gurunya enak-enak melenggut, bahkan kini terdengar
dengkurnya perlahan.
Tiba-tiba Kwi Hong mencium bau yang amat keras, bau yang amis dan
memuakkan dan mendadak terdengar suara gurunya, "Awas, jangan berisik
dan atur napasmu, lawan hawa beracun. Mereka sudah datang!"
Kwi Hong cepat mengerahkan sinkang, mengatur pernapasan dan melindungi
paru-paru dengan hawa murni, matanya memandang ke bawah dengan
terbelalak dan sama sekali tidak berani mengeluarkan suara. Dilihatnya
ayam yang diikat itu masih bergerak-gerak, menggerakkan leher dan
berusaha melepaskan diri. Bau makin keras dan dari sebelah kanan
tampaklah kini olehnya benda yang berkilauan, bergerak-gerak mendekat.
Kelihatan panjang sekali, akan tetapi setelah dekat, barulah tampak
olehnya bahwa yang datang adalah barisan kelabang yang besar-besar dan
panjang-panjang! Karena binatang-binatang itu merayap beriringan, dari
jauh yang tampak hanya sinar berkilauan kulit mereka dan kelihatan
seperti sebuah benda atau ular yang panjang.
Terlihat tidak kurang dari lima belas ekor kelabang yang kulitnya merah
mengkikap, panjangnya masing-masing antara dua puluh sampai tiga puluh
senti meter! Kwi Hong bergidik. Sudah pernah dia melihat kelabang, akan
tetapi besarnya paling-paling hanya sebesar jari tangan dan panjangnya
tidak lebih dari sepuluh senti. Belum pernah dia melihat
kelabang-kelabang raksasa seperti itu!
Barisan kelabang itu makin dekat dengan umpan, dan makin ngeri pula rasa
hati Kwi Hong. Tiba-tiba ayam itu meronta dan berkeok-keok keras tanda
ketakutan dan Kwi Hong memejamkan kedua matanya melihat betapa belasan
ekor kelabang itu seperti terbang cepatnya mencelat ke depan,
memperebutkan ayam yang kelabakan sebentar, lalu tak bersuara lagi.
Barulah Kwi Hong berani membuka matanya.
Ayam itu telah mati, akan tetapi kini belasan ekor kelabang itu saling
serang, saling gigit dan saling terjang dengan hebat. Mereka
memperebutkan bangkai ayam seperti yang telah dituturkan oleh gurunya!
Kwi Hong melirik ke arah gurunya dan melihat kakek itu tersenyum-senyum
menyeringai lebar dan menggosok-gosok kedua tangannya kelihatan girang
sekali, bahkan mulutnya bergerak-gerak dan mengeluarkan air liur seperti
sikap seorang kelaparan melihat daging empuk! Kwi Hong bergidik!
Gurunya benar-benar bukan manusia! Baru saja mengganyang habis seekor
ayam panggang, hanya diambil sedikit olehnya, dan sekarang melihat
kelabang-kelabang gemuk, sudah keluar air liurnya! Benar-benar manusia
sinting, atau bukan golongan manusia! Betapa pun juga, harus dia akui
bahwa gurunya amat baik kepadanya, dan ilmu-ilmu yang diberikan
kepadanya benar-benar hebat!
Saking ganasnya kelabang-kelabang itu, pertempuran tidak berlangsung
lama. Sepuluh ekor kelabang yang lebih kecil sudah menggeletak tak
bergerak, mati. Empat ekor yang lebih besar dan agaknya luka-luka tidak
mempedulikan luka mereka dan dengan lahap mereka kini merasa puas dengan
isi perut ayam. Karena isi perut itu cukup banyak terutama ususnya yang
panjang, empat ekor kelabang itu memperoleh bagian yang cukup dan dari
atas mereka tampak seperti ulat-ulat sutera sedang lahap makan daun
murbei!
Kwi Hong melihat bahwa seekor kelabang yang terbesar dan tentu yang
telah keluar sebagai pemenang dalam perebutan tadi, kini menggondol
bangkai ayam gundul dan dia benar-bedar tercengang akan kekuatan
kelabang itu! Dengan mulut menggigit leher ayam, kelabang itu mampu
membawa bangkai ayam itu dengan gerakan cepat menuju ke sebuah di antara
pohon-pohon mati yang terbesar, memasuki sebuah lubang di bawah pohon
dan lenyap!
"Bagus! Tempatnya di bawah pohon itu! Mari...!" Bu-tek Siauw-jin tertawa
girang dan meloncat turun diikuti oleh Kwi Hong. Ketika dara itu
melayang turun, begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah menahan
jerit dan meloncat lagi melihat benda melintang di bawah kakinya. Benda
itu disangkanya kelabang, akan tetapi ternyata hanyalah kayu lapuk!
"Siapkan pedangmu!" Bu-tek Siauw-jin berbisik. "Aku akan mencabut pohon
itu dan kalau engkau melihat seekor kelabang yang amat besar dan gemuk,
jangan ragu-ragu, kau bacok putus bagian kepala dan ekornya, kemudian
bagian tengahnya cepat kau masukkan ke dalam botol ini dan tutup rapat."
Kakek itu menyerahkan sebuah botol kosong yang sudah dipersiapkan
sebelumnya.
Karena hatinya merasa tegang, Kwi Hong tidak dapat mengeluarkan suara,
hanya mengangguk-angguk. Kalau dia disuruh menghadapi lawan manusia,
biar musuhnya amat banyak dan seganas iblis, dara perkasa itu takkan
merasa gentar seujung rambut pun. Akan tetapi disuruh menghadapi
kelabang-kelabang yang menggelikan dan menjijikkan ini, benar-benar dia
merasa tegang dan semua bulu yang tumbuh di tubuhnya berdiri tegak!
Dengan hati-hati dia mencabut pedangnya, dipersiapkan di tangan kanan
yang agak gemetar, tangan kiri memegang botol dan pernapasan tetap
teratur agar tidak terserang hawa beracun yang amat hebatnya memenuhi
tempat itu. Dengan hati-hati dia lalu mengikuti gurunya menghampiri
pohon besar di mana kelabang raksasa yang membawa bangkai ayam tadi
lenyap.
Bu-tek Siauw-jin menghampiri pohon, merangkul batang pohon yang sebesar
tubuh manusia itu dengan kedua lengannya, berjongkok, kemudian bangkit
berdiri sambil mengerahkan tenaga menjebol batang pohon yang tingginya
tiga setengah meter itu. Terdengar suara keras ketika akar-akar kering
pohon itu patah-patah dan terjebol berikut tanahnya, disusul suara lebih
keras karena pohon itu telah dilemparkan jauh oleh kakek sinting.
Hampir Kwi Hong menjerit ketika melihat seekor kelabang besar merayap
keluar dan kelihatan marah sekali. Kelabang ini mulutnya masih menggigit
kepala ayam, kini seperti hendak menyerang kaki Kwi Hong. Gadis ini
melihat bahwa kelabang ini besar sekali, perutnya menggembung dan warna
kulitnya sama seperti Kelabang-kelabang yang tadi, merah darah akan
tetapi agak kehijauan dan mengeluarkan sinar mengkilap. Sekilas pandang
ia melihat bangkai ayam di dalam lubang bekas jebolan pohon dan di
samping bangkai ayam itu menggeletak pula kelabang besar yang tadi
membawa bangkai, sudah mati pula. Agaknya Sang ‘Ratu’ kelabang yang
bunting ini benar-benar amat ganas. Disanjung dan dirayu oleh kelabang
besar, dihadiahi bangkai ayam gundul gemuk, malah dibalas dengan
membunuhnya!
"Kelabang celaka!" Kwi Hong marah dan gemas sekali teringat akan ini, dua kali pedangnya berkelebat.
"Cres! Cress!"
Dia terkejut karena pedangnya bertemu dengan kulit yang amat alot dan
keras. Andai kata bukan Li-mo-kiam yang berada di tangannya, tentu dia
akan kecelik kalau tidak mengerahkan sinkang, karena kulit kelabang itu
ternyata amat tebal. Akan tetapi Li-mo-kiam adalah sebatang pedang
pusaka yang ampuhnya menggila, maka dua kali sabetan itu berhasil baik,
tubuh kelabang terpotong menjadi tiga, leher dekat kepala dan dekat
ekornya putus! Akan tetapi bagian tengahnya yang masih panjang itu
menggeliat-geliat hidup sehingga Kwi Hong merasa jijik untuk
mengambilnya.
"Bodoh, lekas masukkan botol!" Bu-tek Siauw-jin membentak.
Kwi Hong menabahkan hatinya, disambarnya bagian badan yang masih panjang
dan menggeliat itu. Hampir saja dilepaskannya kembali karena jari-jari
tangannya merasa geli dan jijik, seperti memegang ular saja. Akan tetapi
karena botol di tangan kirinya sudah siap, dia cepat memasukkan bagian
tubuh yang menggeliat-geliat itu ke dalam botol, menutupkannya
rapat-rapat kemudian hendak mengambil kembali pedangnya yang tadi dia
tancapkan di atas tanah ketika tangan kanannya mengambil tubuh kelabang.
"Aihhh...!" Kwi Hong menjerit dan tidak jadi mengambil pedang karena
melihat betapa seluruh tangan kanannya menjadi merah kehitaman dan
mulailah terasa kaku dan lumpuh!
"Itulah racunnya yang kuat sekali. Nih, pegang batu hijau ini!" Gurunya
menyerahkan batu hijau ke tangan kanan Kwi Hong yang keracunan. Gadis
itu menerima batu hijau dan menggenggamnya. Sebentar saja warna
tangannya putih kembali, racun yang amat jahat itu disedot habis oleh
batu hijau.
"Kau simpan batu itu dan tak akan ada racun dapat mempengaruhi kulitmu.
Akan tetapi kalau engkau sudah selesai berlatih dan sudah makan perut
kelabang bunting, tubuhmu lebih kebal dari racun, lebih hebat dari pada
batu hijau itu!"
Kakek ini tertawa-tawa, lalu dia mengambil bangkai kelabang jantan yang
berada di dalam lubang, kemudian mengajak Kwi Hong kembali ke tempat
tadi. Dapat dibayangkan betapa jijik hati Kwi Hong ketika melihat empat
ekor kelabang besar yang tadi dengan lahap makan isi perut ayam, kini
masih melingkar di tempat tadi, diam tak bergerak sama sekali dan tubuh
mereka menjadi gemuk dan menggembung seperti mau pecah. Seluruh isi
perut ayam habis bersih, dan anehnya, sepuluh ekor kelabang yang telah
mati tadi pun lenyap tak tampak bekasnya sama sekali.
"Ha-ha-ha, heh-heh-heh! Untung besar! Empat ekor ini benar-benar gembul
dan kiciak (pelahap dan segala macam dimakan tanpa jijik)! Bangkai
sepuluh ekor temannya sendiri masuk perut! Ha-ha-ha, kita pesta besar!
Engkau makan kelabang bunting, aku mengganyang lima ekor kelabang
gembul!"
Sambil berkata demikian, kakek sinting itu menggunakan kedua tangannya
menangkap empat ekor kelabang itu yang sama sekali tidak melawan atau
meronta karena memang sudah tak dapat bergerak saking kenyangnya! Dia
mengumpulkan empat ekor kelabang kekenyangan itu dengan bangkai kelabang
terbesar yang mati di dalam lubang betina. Empat kali telunjuknya
bergerak memukul dan empat ekor kelabang itu mati dengan kepala pecah.
"Sebetulnya, daging kelabang paling enak kalau digoreng dan dimakan
dengan cocol kecap, hemmm... sedap bukan main. Sayang di sini tidak ada
minyak, maka kita godok saja. Dimasak kuah juga enak sekali, kuahnya
sedap dan banyak vitamin! Heh-heh-heh!"
Kwi Hong merasa hendak muntah. Akan tetapi ditekannya persaan itu dan
berkata, "Suhu, aku khawatir takkan dapat menelan kelabang ini..." Dia
meletakkan botol terisi kelabang bunting itu ke depan suhu-nya.
"Eh-eh, bodoh! Apa engkau hendak menyia-nyiakan kesempatan baik
mendapatkan ilmu yang membuat tubuhmu kebal akan segala racun yang dapat
menimbulkan sinkang yang tiada tandingannya di dunia? Pula, apa kau
kira daging kelabang tidak enak?"
"Aku jijik, Suhu. Dan tentu saja tidak enak!"
"Wah-wah, picik sekali engkau. Heh, murid tolol. Kapankah engkau pernah makan daging kelabang?"
"Selama hidupku belum pernah!" jawab Kwi Hong cepat-cepat untuk
menyatakan bahwa selama ini, sebagai murid dan keponakan Pendekar Super
Sakti, dia hidup ‘bersih’!
"Itulah tololnya! Kalau selama hidupmu engkau belum pernah makan daging
kelabang, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa daging kelabang tidak
enak dan menjijikkan? He, Kwi Hong, jangan engkau meniru-niru
manusia-manusia yang berwatak munafik itu!"
"Hemm, urusan makan daging kelabang, mengapa menyangkut urusan orang berwatak munafik?" Kwi Hong terheran.
"Tentu saja sama! Orang-orang munafik itu pun begitu, hanya karena
membaca kitab atau mendengar ucapan mulut orang lain, tanpa membuktikan
dan menyatakan sendiri, sudah mengambil keputusan mati yang tak dapat
ditawar-tawar lagi! Sampai-sampai ada yang mati-matian bersumpah bahwa
dia mati-matian membenci dan memusuhi segala setan dan iblis!"
"Tentu saja, Suhu!"
Kakek sinting itu memandang muridnya dengan mata terbelalak, lalu
meloncat berdiri dan membanting-banting kedua kakinya, seperti anak
kecil yang rewel dan sudah siap menangis! "Apa? Engkau...? Muridku...?
Engkau pun ikut-ikutan latah dan munafik? Jadi engkau pun membenci dan
memusuhi setan dan iblis? Coba katakan, kenapa kau membenci mereka?"
"Hemm... karena mereka jahat, karena musuh manusia!"
"Ngawur! Apakah setan dan iblis itu ada? Pernahkah engkau bertemu dengan setan dan iblis?"
Melihat suhu-nya mencak-mencak dan memekik-mekik marah, Kwi Hong menjadi
gentar juga. Dia menggeleng kepala dan menjawab "Tidak pernah ada,
Suhu."
"Kau tidak pernah bertemu dengan setan atau iblis, engkau tidak tahu
apakah mereka itu ada atau tidak, bagaimana engkau sudah mengambil
keputusan memusuhi dan membenci mereka, bagaimana bisa mengatakan mereka
jahat dan musuhmu? Ehh, bocah tolol. Coba jawab lagi, pernahkah engkau
diganggu setan atau iblis? Dicubit? Dipukul? Dimaki atau ditipu? Hayo
jawab yang jujur! Pernahkah engkau diperlakukan jahat oleh setan atau
iblis? Kalau pernah, kapan dan di mana, dan bagaimana? Ceritakan!"
Kwi Hohg melongo. Gurunya ini benar-benar sinting, akan tetapi ditanya
seperti itu, dia tidak dapat menjawab. Tentu saja dia belum pernah
bertemu, dan kalau belum pernah bertemu, bagaimana mungkin dia bisa
diganggu. Bahkan ada atau tidaknya setan iblis masih merupakan teka-teki
yang tak dapat dijawab dengan kenyataan. Kembali dia menggeleng kepala,
"Belum pernah, Suhu!"
"Nah, itulah! Engkau pun termasuk seorang munafik, hanya untuk
plintat-plintut mengikuti ketahyulan manusia yang pura-pura suci saja.
Jangan engkau terseret oleh kebiasaan umum yang belum tentu benar.
Karena umum biasanya makan daging ayam, maka enak saja engkau makan
daging ayam. Karena umum tidak biasa makan daging kelabang, biar pun
selamanya engkau belum pernah merasakannya, mudah saja kau bilang tidak
enak dan menjijikkan. Munafik!"
Kwi Hong merasa bohwat (kehabisan akal), karena biar pun ucapan gurunya
kasar dan seenak perutnya sendiri, kebenarannya dalam ucapan itu sukar
dibantah. "Maafkanlah, Suhu. Akan tetapi benar enakkah daging kelabang?"
Suaranya halus dan penuh penyesalan itu sekaligus mengusir kemarahan
Bu-tek Siauw-jin yang sudah menyeringai kembali!
"Heh-heh-heh, engkau mau tahu rasanya? Pernahkah engkau makan daging udang?"
"Pernah, bahkan sering kali, Suhu. Ketika masih tinggal di Pulau Es, di
sebelah timur pulau terdapat bagian laut yang dihuni banyak udang besar,
sebesar lengan tangan dan sering kali anak buah kami menangkap
udang-udang besar itu."
"Pernah kau makan daging udang yang dipanggang dalam tanah liat?"
"Belum pernah. Bagaimana, Suhu?"
"Wah, kalau begitu engkau belum tahu benar-benar rasanya daging udang!
Apa lagi udang besar seperti itu. Mula-mula udang itu dilumuri tanah
liat basah cukup tebal sampai tidak kelihatan kulitnya, kemudian
dipanggang dan dibiarkan sampai tanah liat itu menjadi kering sekali.
Setelah tanah liat itu retak-retak dan mengeluarkan bau gurih, nah, itu
tandanya udangnya sudah matang. Kalau sudah tampak uap keluar dari
bungkusan tanah yang retak-retak, panggang udang itu boleh diangkat dari
api. Tanah liat yang sudah kering itu dikupas dan kulit udangnya tentu
akan terbawa dan terkupas pula karena melekat pada tanah liat dan kini
hanya tinggal daging udangnya, putih bersih kemerahan panas-panas beruap
dan sedap baunya. Rasanya? Wah, kalau digigit kenyal-kenyal akan tetapi
lunak, sedap manis... hemm!"
Kwi Hong menelan ludah. Timbul seleranya dan dia kemecer (mengeluarkan air liur) mendengar penuturan itu.
"Nah, daging kelabang pun rasanya sama dengan daging udang! Yang lima
ekor ini akan kupanggang dalam tanah liat, akan tetapi yang bunting itu
harus direbus, karena kalau dipanggang, racunnya banyak yang hilang.
Direbus juga enak, coba saja nanti."
Berkuranglah rasa jijik di hati Kwi Hong, Apa lagi setelah dia mencari
air sungai yang terdapat dalam bagian bukit yang subur, kemudian mereka
memasak kelabang dan memanggang yang lima ekor, gurunya tiada hentinya
menceritakan kelezatan daging kelabang yang dagingnya sejenis dengan
daging udang, kepiting, belalang, jangkrik, dan lain binatang yang
kulitnya keras.
Kesibukan memasak udang itu berlangsung sampai pagi, karena tidak mudah
bagi Kwi Hong mencari air dan daun-daun bumbu di dalam hutan di waktu
malam seperti itu, sungguh pun sinar bulan banyak membantunya. Akan
tetapi, akhirnya masakan-masakan itu selesai di waktu pagi.
"Nah, kau makan dulu seekor daging panggang sebagai cuci mulut!" kata Bu-tek Siauw-jin.
Kwi Hong tertawa. Benar-benar lucu. Masa cuci mulut dengan daging
panggang, dan lagi mana ada cuci mulut sebelum makan? Akan tetapi dia
tidak membantah dan bersama suhu-nya, dia mengupas tanah liat yang sudah
kering. Benar saja kulit kelabang itu ikut terkupas dan tampaklah kini
dagingnya yang putih kemerahan dan mengepulkan uap tipis yang sedap.
Melihat suhu-nya makan daging itu dengan lahapnya, Kwi Hong lalu
menggigit daging yang dipegangnya dan benar-benar gurunya tidak
membohong. Rasanya enak sekali, gurih dan enak manis, seperti daging
udang!
"Jangan dihabiskan, separuh saja. Yang separuh untuk nanti setelah kau makan daging rebus."
Kwi Hong tersenyum, tanpa membantah lagi dia mengambil panci kecil di
mana daging kelabang bunting itu telah dimasak. Bu-tek Siauw-jin
mengambil sebuah guci arak dan menuangkan arak ke dalam masakan itu. Uap
mengepul dan bau wangi arak merah itu bercampur dengan bau gurih sedap
namun ada pula bau yang amis dan keras.
"Makan dagingnya sedikit-sedikit saja agar tidak terlalu mengejutkan
tubuhmu. Jangan khawatir apa pun yang terasa olehmu, makan terus sampai
habis. Ingat, yang kau makan ini bukan hanya daging yang lezat, akan
tetapi terutama sekali obat untuk menyempurnakan latihan ilmu yang
kuajarkan kepadamu."
Kwi Hong mengangguk, menggunakan sepotong kayu menusuk daging itu dan
mulai menggigit dan memakan daging itu. Terpaksa ia memejamkan mata
karena berbeda dengan ketika makan daging kelabang panggang tadi, kini
daging kelabang yang direbus kelihatan putih dan besar, juga agak
kehitaman di sebelah dalamnya, hitam kehijauan dan dia tahu itu adalah
racun kelabang yang amat jahat!
Rasanya memang ada enaknya, akan tetapi lebih banyak tidak enaknya dari
pada enaknya. Memang ada bau sedap, akan tetapi hampir tertutup sama
sekali oleh bau amis dan keras bahkan bau arak itu pun tidak dapat
melenyapkan bau amis. Rasanya memang gurih, akan tetapi terasa pula
getir dan pahit, juga ada rasa keras yang membuat lidah terasa seperti
ditusuk-tusuk. Namun Kwi Hong dengan nekat mengunyah dan menelan. Hanya
sebentar mengunyah, tidak menunggu sampai lembut asal tidak terlalu
besar, lalu ditelannya!
Dia terus memejamkan mata dan biar pun terasa betapa dada dan perutnya
panas sekali ketika makanan itu ditelannya, dia makan terus. Biarlah
kalau dia akan mati karena ini, pikirnya. Sudah kepalang! Makin lama
hawa panas makin hebat sehingga terasa gerah sekali. Keringatnya
membasahi pakaian, seolah-olah dia merasa tubuhnya dipanggang. Akan
tetapi, Kwi Hong adalah seorang gadis yang berhati keras dan nekat. Dia
terus makan sampai akhirnya daging kelabang bunting habis ditelannya.
Kepalanya pening. Akan tetapi sebuah tangan menekan tengkuknya. Jari
tangan Bu-tek Siauw-jin menotok punggung, rasa ingin muntah yang timbul
hilang, kemudian telapak tangan gurunya menempel di punggungnya dan dari
telapak tangan itu menjalar hawa dingin sejuk yang melawan hawa panas
di tubuhnya. Akan tetapi sebentar saja tangan gurunya ditarik kembali
ketika Kwi Hong yang teringat akan Swat-im Sinkang, mengerahkan inti
tenaga dingin untuk melawan serangan hawa panas itu. Sinkang-nya sudah
amat kuat, apa lagi Im-kang yang didapatkannya ketika berlatih di Pulau
Es, bahkan lebih kuat dari pada Im-kang yang disalurkan gurunya tadi.
Hal ini adalah karena latihan Im-kang di Pulau Es merupakan puncak
latihan menghimpun hawa dingin yang sukar dapat dimiliki oleh mereka
yang berlatih di tempat panas.
"Bagus! Engkau dapat menahan hawa panas. Nah, makanlah sisa daging panggang itu."
"Suhu, aku sudah tidak ada nafsu lagi untuk makan daging..."
"Ih, jangan membantah! Ini perlu sekali untuk membuat perutmu kenyang dan terisi cukup..."
"Aku sudah kenyang sekali."
"Bodoh, kalau tidak kau isi sampai penuh sekali, mana dapat bertahan selama tiga hari tiga malam?"
"Apa maksudmu, Suhu?"
"Sudahlah, jangan banyak membantah. Kau makanlah sisa daging panggang ini dan habiskan!"
Karena maklum bahwa menghabiskan daging panggang ini termasuk
kepentingan latihan itu, bukan semata-mata untuk membikin kenyang atau
makan enak, Kwi Hong terpaksa makan habis sisa daging panggang. Perutnya
menjadi kenyang sekali.
"Sekarang, minum kuah dalam panci itu sampai habis."
"Wah, mana perutku kuat, Suhu? Sudah terlalu kenyang dan kuah itu banyak
sekali!" Kwi Hong membantah. Sebetulnya bukan soal terlalu kenyang,
akan tetapi dia merasa jijik kalau harus minum kuah itu. Baru dagingnya
saja tadi sudah begitu memuakkan, apa lagi kuahnya!
"Kwi Hong, tahukah engkau bahwa kuahnya ini yang jauh lebih penting?
Andai kata engkau tidak makan dagingnya, masih tidak mengapa, akan
tetapi kalau tidak minum kuahnya, kurasa akan sia-sia semua latihanmu.
Sari obat berada di dalam kuah inilah!"
Kwi Hong bergidik. Yang dimaksudkan suhu-nya dengan ‘sari obat’ tentulah
sari dan semua racun yang mengeram di dalam perut kelabang itu! Apa
boleh buat! Sudah terlalu jauh dia melangkah, andai kata mendaki gunung
sudah hampir sampai puncaknya. Dia mengangkat panci, membawa bibir panci
menempel bibirnya, memejamkan mata, menahan napas agar hidungnya tidak
mencium bau yang memuakkan itu, membuka mulut dan menuangkan isi panci
itu sekaligus ke dalam perutnya melalui mulut! Begitu isinya habis, Kwi
Hong mengeluh, panci kosong terlepas dari pegangannya dan terguling
pingsan! Bu-tek Siauw-jin sudah siap, menerima tubuhnya dan membiarkan
dara itu rebah terlentang di atas tanah sambil menyeringai dan
tersenyum-senyum puas.
"Engkau hebat, muridku. Engkau hebat! Ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang
dapat dilakukan Suheng kepadamu. Heh-heh-heh, betapa suheng akan
mencak-mencak kalau melihat muridnya kalah oleh muridku!"
Kalau tadi Kwi Hong tahu bahwa dia akan pingsan selama tiga hari tiga
malam, kiranya dia akan pikir-pikir dulu untuk minum kuah itu! Dan hal
ini sudah diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin maka tadi kakek sinting ini
setengah memaksa muridnya menghabiskan daging kelabang panggang agar
selama tiga hari tiga malam pingsan itu, muridnya tidak akan terlalu
kelaparan!
Pada pagi hari yang ke empat, Kwi Hong siuman, menggerakkan tangan,
mengeluh perlahan dan membuka mata. Ia merasa tubuhnya panas dan lapar
sekali. Ketika melihat gurunya duduk bersila tak jauh dari situ sambil
memandangnya dan tersenyum-senyum, Kwi Hong cepat bangkit duduk. Segera
ia memejamkan kedua matanya karena begitu ia bangkit duduk, matanya
berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut keras.
"Jangan tergesa-gesa, Kwi Hong. Tenang-tenang sajalah! Engkau baru saja bangkit dari kematian dan mulai hidup baru. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong membuka matanya kembali. "Apa yang terjadi, Suhu? Apakah aku tertidur?"
"Engkau tidur, juga pingsan, bahkan boleh dibilang mati selama tiga hari tiga malam! Dan engkau telah berhasil!"
Kwi Hong teringat kembali. "Aihh! Ketika minum kuah itu... aku lalu pingsan selama tiga hari tiga malam?"
Kwi Hong duduk bersila dan mulailah dia digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin
dengan ilmu yang mukjizat, yang diciptakan oleh kakek aneh ini selama
menyembunyikan diri. Kakek itu benar-benar amat tekun melatih muridnya,
bahkan dia kini yang mencarikan makan untuk muridnya agar Si Murid tidak
usah menghentikan latihan, dan hanya berhenti kalau perlu makan saja.
Sampai dua pekan Kwi Hong disuruh melatih diri.
Karena memang pada dasarnya gadis ini telah memiliki kekuatan sinkang
yang hebat berkat latihan yang ia terima dari Pendekar Super Sakti, maka
dalam waktu singkat saja dia sudah dapat menguasai ilmu-ilmu yang
diajarkan oleh kakek sinting itu, padahal bagi orang lain, belum tentu
akan dapat dikuasai dalam latihan bertahun-tahun! Kemudian, berdasarkan
tenaga mukjizat ini Bu-tek Siauw-jin menambahkan jurus-jurus yang aneh
dan dahsyat dalam ilmu pedang Kwi Hong. Juga dara ini dilatih
menggunakan pukulan-pukulan dengan telapak tangan, pukulan yang amat
hebat karena hawa pukulannya mengandung ancaman maut, mengandung hawa
beracun yang selamanya belum pernah dia pelajari.
Tanpa disadarinya, Kwi Hong yang semenjak kecil menerima
gemblengan-gemblengan pamannya dengan ilmu-ilmu tinggi yang bersih, kini
telah mempelajari ilmu-ilmu golongan hitam! Memang benar bahwa segala
ilmu dapat dipergunakan untuk kebaikan mau pun kejahatan, tergantung
manusianya. Akan tetapi, ilmu golongan sesat atau golongan hitam
mengandung sifat-sifat yang ganas, kejam dan dahsyat, sehingga sekali
turun tangan dapat merampas nyawa lawan dengan mudahnya!
Demikianlah sambil melatih diri setiap ada kesempatan, Kwi Hong diajak
oleh gurunya melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Dasar kakek
sinting, begitu tiba di kota raja, dia langsung saja menuju ke gedung
koksu, berdiri di depan pintu gerbang karena para penjaga melarang kakek
sinting ini masuk. Sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang, kakek
itu berteriak,
"Heh, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, keluarlah kamu dan hayo lawan aku
Bu-tek Siauw-jin! Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku meninggalkan
muridku ini karena aku tidak pantas lagi menjadi gurunya!"
Para penjaga yang tadinya menghadang dan melarang kakek ini melalui
pintu gerbang menjadi terkejut karena suara itu membuat mereka
terpelanting ke kanan kiri dan mereka tidak mampu bangkit lagi, tubuh
mereka menggigil dan mereka hanya dapat memandang dengan mata terbelalak
saja ketika kakek itu bersama dara jelita di sampingnya memasuki pintu
gerbang istana koksu seenaknya!
Kwi Hong juga terkejut, tidak menyangka bahwa gurunya akan bersikap
selancang ini. Mestinya, menurut pendapatnya, mereka menyelidik dan
menyusup ke dalam istana koksu di malam hari. Akan tetapi gurunya dengan
terang-terangan menantang sambil berteriak-teriak seperti itu! Mana ada
seorang koksu yang berpangkat tinggi ditantang begitu saja seperti
seorang anak kecil menantang berkelahi anak kecil?
Teriakan yang disertai khikang kuat itu tidak saja membuat para penjaga
di luar terpelanting, akan tetapi juga mengejutkan seluruh isi istana
koksu karena bangunan besar itu seolah-olah tergetar dan akan ambruk!
Berbondong-bondong keluarlah pasukan pengawal dengan senjata di tangan.
Akan tetapi mereka menjadi ragu-ragu ketika melihat bahwa yang berjalan
masuk dengan langkah lenggang kangkung itu hanyalah seorang kakek tua
sekali yang tubuhnya pendek, hanya setinggi pundak dara jelita yang
berjalan di sampingnya!
"Manusia lancang! Apakah engkau sudah bosan hidup berani mengacau gedung koksu?" Seorang perwira pengawal membentak.
"Heh-heh! Memang aku sudah bosan hidup!" jawab Bu-tek Siauw-jin
seenaknya saja. "Apakah engkau ini Giam-lo-ong tukang cabut nyawa?"
Perwira itu merasa diejek dan dihina, maka cepat ia mengayun goloknya
membacok ke arah kepala Bu-tek Siauw-jin. Kakek itu sama sekali tidak
bergerak, juga dara cantik yang berdiri di sebelahnya dengan wajah
dingin sama sekali tidak peduli.
"Wuuuuuttt... krekkkk!"
"Hayaa... aduuuuhhh...!" Perwira itu berteriak dan memegangi lengan
kanannya yang patah tulangnya, seperti juga goloknya yang patah ketika
bertemu dengan kepala kakek sinting itu!
Para anggota pasukan pengawal tentu saja memandang dengan bengong dan
tak seorang pun berani maju menyerang. Sementara itu, Bhong Koksu
sendiri bersama para pembantunya juga mendengar gema suara yang
mengandung khikang kuat itu dan kini berbondong-bondong mereka keluar
dari istana. Melihat munculnya koksu, para pasukan lupa akan rasa
ngerinya dan menyerbu ke depan untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin.
"Tahan...!" Seruan ini keluar dari mulut pendeta Maharya yang kemudian
berbisik kepada koksu, "Harap Taijin perintahkan pasukan mundur. Dia
adalah seorang yang tidak boleh dibuat main-main!"
"Semua pasukan mundur, biarkan kami menyambut tamu!" Koksu berseru dan
para panglima segera membubarkan pasukan pengawal yang sudah mengurung
dan hendak turun tangan mengeroyok.
Setelah para pasukan mundur, Bhong Ji Kun, Maharya dan Thian Tok Lama
bersama lima orang panglima tinggi termasuk Bhe Ti Kong, maju
menghampiri kakek pendek dan gadis cantik itu. Ketika mereka semua
mengenal Kwi Hong mereka terkejut dan diam-diam mereka siap untuk
mencabut senjata. Tentu saja mereka semua mengenal Giam Kwi Hong, murid
atau keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es yang dahulu
pernah mereka tawan dalam kapal ketika mereka menyerbu Pulau Es itu.
Tentu kedatangannya ada hubungannya dengan penyerbuan Pulau Es, akan
tetapi siapakah kakek pendek yang tertawa-tawa itu?
Bu-tek Siauw-jin tidak memandang kepada orang lain kecuali kepada
Maharya. Setelah memperhatikan pendeta India ini dari kepala sampai ke
kaki naik turun beberapa kali, akhirnya dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, bukankah engkau ini Si Maharya yang dulu sering kali
bertanding gulat melawan aku di lereng Himalaya?"
Maharya merangkap sepuluh jari tangannya ke depan hidung sebagai
penghormatan lalu menjawab sambil tertawa pula, "Siauw-jin, engkau masih
hidup? Sungguh panjang usiamu!"
"Ha-ha-ha, tentu saja usiaku panjang karena aku masih ingin membuat
engkau sekali lagi meniru bunyi kambing untuk menyatakan kalah.
Heh-heh-heh, Kwi Hong muridku, pernahkah engkau mendengar permainan adu
tenaga bergulat, dan yang kalah harus mengeluarkan bunyi seperti kambing
sebagai tanda menyerah?"
Kwi Hong semenjak tadi menyapu orang-orang di depannya itu dengan
pandang mata penuh kebencian, sikapnya dingin dan tangannya sudah
gatal-gatal untuk segera turun tangan menyerang dan membalas dendam.
"Belum pernah, akan tetapi aku tidak tertarik, aku lebih suka melihat pendeta busuk ini mengembalikan Hok-mo-kiam kepadaku!"
"Ha-ha-ha, nanti dulu, itu urusan kecil. Dahulu, di lereng Himalaya, aku
sering kali bergulat dengan Maharya ini dan entah sudah berapa kali dia
meniru bunyi kambing menyatakan kalah. Wah, dia pandai benar meniru
bunyi kambing, benar-benar seperti kambing tulen, ha-ha-ha!"
"Suhu, kurasa sekarang dia lebih pandai meniru bunyi anjing yang suka
menjilat telapak kaki orang berpangkat!" Kwi Hong berkata mengejek.
Bhong Koksu segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada
Bu-tek Siauw-jin yang dia dapat menduga tentu seorang yang amat sakti
sehingga paman gurunya begitu menghormat dan mengalah. "Harap maafkan
kalau saya tak mengenal Locianpwe yang agaknya sudah mengenal baik Paman
Guru Maharya. Kehormatan apakah yang akan Locianpwe berikan kepada kami
dengan kunjungan ini?" Koksu ini bersikap cerdik. Dia tahu bahwa gadis
ini adalah murid Pendekar Super Sakti, mengapa kini menyebut suhu kepada
kakek pendek ini? Setelah muncul sebagai murid kakek ini, dia bersikap
hati-hati dan sengaja tidak mau menegur Kwi Hong.
"Ha-ha-ha, engkau murid keponakan Si Maharya? Koksu, kalau begitu engkau tentu murid sahabat ahli pembuat pedang Nayakavhira!"
"Ahh! Locianpwe sudah mengenal mendiang guru saya?"
"Ha-ha-ha! Nayakavhira adalah sahabat kontan, tidak seperti Maharya ini
yang sejak mudanya dahulu licik dan curang. Jadi engkau muridnya? Aku
mendengar dahulu bahwa Nayakavhira hanya mempunyai seorang murid, yaitu
seorang pemuda tukang penggembala kuda!"
Wajah Koksu merah sekali karena dialah yang dimaksudkan itu. Dialah
penggembala kuda itu! Cepat ia menyembunyikan pecutnya, senjata yang
tadinya dibawanya untuk menghadapi musuh. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin
lebih cepat lagi, tangannya bergerak dan tahu-tahu pecut itu seperti
hidup, terlepas dari tangan Koksu dan berpindah ke tangannya.
"Bagus! Engkau penggembala kuda itu? Dan sekarang menggembalakan
orang-orang termasuk paman gurunya sendiri? Ha-ha-ha!" Kakek itu
mengembalikan pecutnya dan Koksu menjadi pucat. Cara kakek itu merampas
pecutnya tadi sudah membuktikan bahwa kakek ini benar-benar lihai bukan
main!
"Siauw-jin, engkau selamanya benar-benar seorang siauw-jin (manusia
rendah budi)!" Maharya membentak marah. "Apakah kedatanganmu mau mencari
permusuhan? Ataukah engkau masih mengingat akan hubungan lama dan kini
hendak mencoba kepandaianku! Boleh kau coba, mengenai ilmu silat, ilmu
sihir atau ilmu kebatinan!"
"Maharya, kembalikan pedang Hok-mo-kiam, kalau tidak, akan kubunuh sekarang juga engkau!"
"Bocah sombong!" Maharya membentak, tangan kirinya bergerak dan asap
hitam menyambar ke arah muka Kwi Hong. Hanya sebuah serangan ringan
saja, akan tetapi asap itu mengandung racun yang dapat membikin pingsan
lawan. Namun Kwi Hong hanya tersenyum, sedikit pun tidak mengelak
sehingga angin pukulan berikut asap itu mengenai mukanya.
Maharya terbelalak melihat betapa gadis itu sama sekali tidak
terpengaruh, baik oleh angin pukulannya mau pun oleh asap beracun! Kwi
Hong sudah menggerakkan jari tangan hendak mencabut pedang, akan tetapi
tiba-tiba gurunya menyentuh lengannya dan tertawa.
"Ha-ha-ha, Maharya. Melawan muridku saja engkau tidak akan menang, maka
engkau tidak menarik lagi menjadi lawan bertanding. Lawan mengadu
kecerdikan dengan teka-teki, engkau pun takkan menang. Dahulu pun,
teka-tekiku yang paling mudah sudah kuberi waktu tiga hari tiga malam
engkau masih tidak mampu memecahkannya. Apa lagi sekarang! Eh, Kwi Hong,
tahukah engkau bahwa teka-teki yang amat sederhana saja dia dahulu
tidak becus menebak. Teka-tekiku dahulu itu begini, biar semua orang
mendengar betapa mudahnya. Ada sebuah benda mati tercipta dari yang
hidup, berkepala dan bertubuh lengkap, akan tetapi seluruh anggota
tubuhnya, dari kepala sampai ke kakinya, semua menjadi satu. Nah, apa
itu?"
Kwi Hong termenung, mengasah otak dan anehnya, semua orang di situ semua
kelihatan mengerutkan alis, semua mencari pemecahan cangkriman ini,
termasuk para panglima dan para pasukan yang berdiri di tempat jauh akan
tetapi ikut mendengarkan kata-kata Si Kakek Pendek. Melihat ini Maharya
terkejut bukan main. Biar pun hanya berupa olok-olok dan teka-teki yang
dibuat kelakar, namun suara kakek itu ternyata telah mempengaruhi semua
orang sehingga mereka semua lupa keadaan dan ikut mencari jawabannya.
Ini saja sudah membuktikan betapa kuat sinkang kakek itu, betapa
mukjizat dan tidak akan menanglah dia kalau bertanding ilmu sihir!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara tertawa bergelak, suara tawa yang
melengking panjang dan bergema di udara seperti guntur, juga mirip suara
kuda meringkik, dan semua orang menjadi sadar dengan penuh keheranan
betapa mereka tadi sempat mencurahkan seluruh perhatian dan memeras otak
untuk mencari jawaban sebuah teka-teki, sungguh merupakan hal yang
janggal sekali pada saat seperti itu!
"Hemm, Maharya, engkau sekarang bisa tertawa. Kwi Hong, dia sekarang
memandang rendah karena dahulu telah kuberi tahu jawabannya."
"Suhu, apa sih jawabannya? Teka-tekimu itu aneh dan sukar sekali!"
"Jawabannya? Dengar baik-baik...!"
Kembali semua orang, termasuk Koksu sendiri, mendengarkan penuh
perhatian. Maharya terkejut dan pendeta ini maklum bahwa pada detik itu
kalau Si Kakek Pendek mau mempergunakan kekuatannya, bisa saja dia
mempengaruhi semua orang yang berada di situ, disuruh tidur tentu tidur,
disuruh apa saja tentu menurut karena mereka semua telah terjatuh ke
dalam cengkeraman kekuasaan hebat dari kakek pendek itu. Akan tetapi
Bu-tek Siauw-jin hanya mendemonstrasikan kekuatannya saja dan tidak mau
melakukan sesuatu, melainkan melanjutkan ucapannya yang sengaja
dihentikan sebentar untuk menguasai perhatian semua orang.
"Jawabannya adalah... semut dipelintir. Ha-ha-ha-ha!"
Semua orang memandang heran, termasuk Kwi Hong. "Eh, Suhu, mengapa semut dipelintir?"
"Heh-heh, bukankah semut itu kalau dipelintir, seluruh anggota tubuhnya
menjadi satu, sukar dibedakan mana kepala mana kaki lagi? Dan semut itu
tadinya hidup, maka benda yang berupa semut dipelintir itu tercipta dari
yang hidup dan tentu saja menjadi benda mati!"
Semua orang, termasuk Koksu, tersenyum menyeringai karena merasa dipermainkan seperti anak kecil oleh kakek yang sinting ini.
"Bertanding kesaktian, engkau tentu kalah, Maharya. Bertanding sihir,
engkau masih harus berguru seratus tahun lagi. Bertanding teka-teki pun
engkau tak akan menang..."
"Siauw-jin, aku hendak menantangmu untuk bertanding pengetahuan kebatinan!" tiba-tiba Maharya berkata tegas.
"Heh-heh, begitu? Boleh! Paling-paling engkau paham filsafat Hindu dan Buddha, dan aku sudah hafal semua."
"Harus memakai taruhan!" kembali Maharya berkata. "Tentu saja kalau kau berani, kalau tidak aku pun tidak akan memaksamu."
"Wah-wah, sejak dahulu engkau memang licik dan curang, bermulut manis
dan pandai menggunakan akal bulus! Tahu kau akal bulus? Kalau berdepan,
menyembunyikan kepala ke dalam perut, kalau ditinggal, menggigit dari
belakang! Akan tetapi jangan kira aku takut. Nah, apa taruhannya?"
"Begini! Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai hidup yang amat
pelik dan engkau harus dapat menjawabnya dengan tepat berikut uraian dan
alasannya agar jangan ngawur belaka. Kalau engkau mampu menjawab, kami
akan menerimamu sebagai tamu dan sahabat baik, dan semua permintaan Nona
yang menjadi muridmu ini tentu akan kami pertimbangkan baik-baik. Akan
tetapi kalau engkau tidak bisa menjawab, engkau dan muridmu harus pergi
dari sini tanpa banyak ribut lagi dan tidak boleh mencari perkara. Aku
beri waktu satu bulan kepadamu dan selama kau memikirkan jawabannya,
engkau boleh tinggal di dalam kamar tahanan bersama muridmu selama
sebulan dengan jaminan makan minum secukupnya. Bagaimana? Beranikah kau
menerima tantanganku ini?"
"Ha-ha-ha! Cukup adil! Boleh sekali, tetapi ingat, kalau sampai aku bisa
menjawab, segala permintaanku harus kau penuhi. Permintaanku tidak
banyak, hanya menantang Koksu, engkau dan dia ini... ehhh, bukankah aku
pernah melihat hwesio gendut ini di Tibet? Kalau tidak salah, ada
seorang lagi yang kurus kering, dua orang Lama dari Tibet..."
Thian Tok Lama merangkap kedua tangannya di depan dadanya. "Omitohud,
ingatan Locianpwe benar-benar tajam sekali. Memang pinceng adalah Thian
Tok Lama dari Tibet."
"Bagus! Dari India, dari Tibet, semua berkumpul di sini mengabdi kepada
Mancu, ya? Luar biasa. Nah, aku akan menantang kalian bertiga mengadu
ilmu, sedangkan permintaan muridku adalah... eh, Kwi Hong, apa
permintaanmu kalau aku menang bertaruh? Jangan malu-malu, katakan saja!"
"Suhu," Kwi Hong mengerutkan alisnya, hatinya kurang senang. "Mengapa
urusan ini dibuat main-main? Lebih baik sekarang saja gempur mereka!"
"Wah, jangan begitu! Apa kau mau merampas kesenanganku bertaruh? Jangan
khawatir, aku pasti menang. Nah, jika aku menang, apa permintaan dan
tuntutanmu?"
"Permintaanku, pertama Maharya harus mengembalikan Hok-mo-kiam dan
kupotong ujung hidungnya yang terlalu panjang karena dia telah berani
membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang. Kedua, Koksu yang
memimpin pasukan yang merusak Pulau Es harus membangun kembali pulau itu
seperti dahulu dan berlutut minta ampun ke depan Pendekar Super Sakti,
menerima segala hukuman dan keputusan yang dijatuhkan oleh Pendekar
Super Sakti."
"Nah, bagaimana, Maharya?"
Koksu hendak membantah. Tentu saja tuntutan itu amat berat dan tak
mungkin dilaksanakan. Biar pun kakek pendek ini lihai bukan main, akan
tetapi setelah berani memasuki istananya dan dikurung oleh ratusan
pengawal, bahkan kalau dia menggerakkan pasukan sampai ribuan orang pun
tidak sukar, perlu apa takut dan mengalah. Akan tetapi Maharya sudah
cepat menjawab,
"Boleh! Nah, mari kita masuk ke ruangan dalam untuk mulai bertanding pengetahuan ilmu kebatinan."
"Suhu...!" Kwi Hong menyatakan keraguannya dengan pandang mata.
Sungguh amat bodoh memasuki istana itu, sama saja dengan memasuki goa
harimau. Akan tetapi gurunya tersenyum lebar dan berkata, "Jangan
ragu-ragu, masuk saja. Hendak kulihat apa yang akan dikeluarkan dari
perut Maharya!"
Bagaikan seorang pahlawan yang pulang dari medan perang membawa
kemenangan, Bu-tek Siauw-jin berjalan penuh gaya. Dadanya diangkat
membusung, wajah berseri, mulutnya tersenyum-senyum dan matanya
memandang ke kanan kiri! Akan tetapi Kwi Hong berjalan dengan hati-hati,
agak menunduk dan sepasang matanya yang indah mengerling ke kanan kiri,
siap siaga menghadapi penyerangan gelap atau jebakan musuh.
Koksu kini mengerti bahwa Maharya hendak menundukkan kakek pendek itu
secara halus, maka dia pun diam saja, hanya diam-diam dia memberi
isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan persiapan dan
mengerahkan pasukan untuk menjaga dan mengurung. Ada pun Maharya
diam-diam memperhatikan Bu-tek Siauw-jin.
Puluhan tahun yang lalu dia memang pernah bertemu dengan Bu-tek
Siauw-jin di lereng Pegunungan Himalaya yang tinggi dan kakek ini dahulu
hanya mengaku berjuluk Siauw-jin saja, sebuah ‘julukan’ yang amat aneh
dan kiranya orang sedunia, apa lagi seorang tokoh kang-ouw yang berilmu,
tidak ada yang sudi menggunakannya karena Siauw-jin berarti manusia
rendah budi! Dan orang pendek itu sejak dahulu memang berwatak
ugal-ugalan, namun penuh rahasia dan memiliki ilmu yang aneh-aneh.
Memang Bu-tek Siauw-jin, tokoh atau datuk kedua Pulau Neraka ini amat
berbeda dengan suheng-nya, Cui-beng Koai-ong datuk pertama Pulau Neraka.
Kalau Cui-beng Koai-ong selalu menyembunyikan diri, lebih banyak
berdekatan dengan mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia dari pada
dengan manusia hidup dan mencari ilmu-ilmu hitam di dalam tanah-tanah
kuburan, sebaliknya Bu-tek Siauw-jin ini selain mencari ilmu-ilmu hitam
di kuburan, juga suka melakukan perantauan tanpa tujuan dengan
menggunakan nama samaran Siauw-jin dan tak pernah mengaku bahwa dia
datang dari Pulau Neraka. Karena itu, dia telah merantau sampai jauh ke
barat, melalui Himalaya, Tibet, sampai ke India dan Nepal. Akan tetapi
namanya tidak terkenal dan dia hanya dikenal oleh orang yang pernah
berjumpa dengannya sebagai seorang yang berotak miring atau berwatak
sinting. Di lain pihak, biar pun dia sendiri tidak terkenal, namun dalam
perantauannya ini Bu-tek Siauw-jin mengenal dunia kang-ouw dan mengenal
pula atau setidaknya mendengar nama para tokoh kang-ouw dan tahu akan
kelihaian dan keistimewaan mereka.
Mereka telah memasuki ruangan yang luas. Yang ikut masuk ke dalam
ruangan itu mengiringkan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong adalah Maharya,
Koksu, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan belasan orang panglima pengawal.
Namun tentu saja dengan diam-diam ruangan itu, juga gedung itu, telah
dikurung oleh pasukan yang melakukan penjagaan ketat.
Tanpa dipersilakan lagi, Bu-tek Siauw-jin lalu duduk di atas kursi,
menyambar seguci arak dan minum arak itu tanpa cawan dan tanpa penawaran
tuan rumah lagi. Arak itu dituangkan begitu saja ke mulut sampai
gucinya kosong! Kemudian ia mengembalikan guci kosong ke atas meja,
mengusap bibir dengan ujung lengan baju dekil dan berkata,
"Nah, keluarkan isi perutmu, Maharya. Pertanyaan tentang ilmu batin apa
yang hendak kau ajukan untuk kupecahkan dan jawab? Hayo, keluarkan
seluruh kepunsuanmu (kepandaianmu)!"
Semua orang mengambil tempat duduk, kecuali Kwi Hong yang hanya berdiri
di belakang gurunya, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan meraba
gagang pedang, wajahnya dingin. Kalau ada orang yang sudah mengenal Kwi
Hong sebelum ia menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, tentu kini akan
terheran-heran melihat betapa wajah dan sikap dara itu berubah sama
sekali. Kini wajah yang dahulu cerah dan riang itu kelihatan muram dan
dingin, sikapnya angkuh dan memandang rendah. Tanpa disadarinya oleh dia
sendiri, pengaruh ilmu mukjizat yang dimilikinya telah menguasai
batinnya!
Hal ini tidak diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin. Kakek ini adalah seorang
yang telah memiliki batin kuat sekali, dan memang memiliki dasar yang
baik sehingga dia dapat mengatasi pengaruh segala ilmu hitam yang
dipelajarinya. Berbeda dengan suheng-nya yang juga tercengkeram oleh
pengaruh ilmu hitam. Kini murid kakek ini, Kwi Hong, biar pun semenjak
kecil digembleng oleh Pendekar Super Sakti, kini tanpa disadarinya juga
mulai berubah sikapnya, menjadi dingin, murung dan kehalusan perasaannya
menipis, membuatnya tak pedulian dan kejam.....
"Bu-tek Siauw-jin," Maharya mulai bicara sedangkan semua orang
mendengarkan penuh ketegangan karena belum pernah mereka yang terdiri
dari orang-orang berilmu tinggi ini menyaksikan pertandingan seaneh ini,
pertandingan mengadu pengetahuan tentang ilmu batin! "Segala macam ilmu
kepandaian yang dimiliki manusia di dunia ini tidak ada artinya kalau
manusia tidak mengerti akan hidup dan inti hidup. Karena itu, mengapa
kita mesti berkelahi seperti anak kecil untuk menentukan siapa yang
lebih unggul? Sebaiknya kita menguji kematangan jiwa. Apakah engkau siap
untuk mencoba memecahkan dan menjawab pertanyaanku?"
"Wah, sejak dahulu kau memang tajam lidah! Lekas keluarkan pertanyaan
kentutmu itu, perlu apa banyak rewel?" Bu-tek Siauw-jin kena dibakar dan
dibuat tidak sabar oleh sikap Maharya yang memang sengaja merangsang
kemarahan lawannya.
"Bu-tek Siauw-jin, jawablah ini: Apakah yang dinamakan Aku yang sejati?"
"Apa lagi?"
"Cukup satu itu, karena yang satu itu sudah mencakup seluruh pengetahuan batin."
"Hemmm..., di dunia ini banyak sekali pengetahuan kebatinan berdasarkan
agama dan filsafat yang timbul dari tradisi bangsa-bangsa. Kurasa
tiap-tiap agama mempunyai jawaban yang berbeda-beda terhadap
pertanyaanmu itu, Maharya. Jawaban dari sudut pendangan agama apa yang
kau kehendaki?"
"Aku tidak akan menyangkut kepercayaan agama atau filsafat, karena
selama masih ada yang menyangkal, berarti belum tentu tepat. Jawaban
agama atau filsafat tentu akan menghadapi tantangan dari agama atau
filsafat lain. Aku menghendaki agar engkau dapat memecahkan ini dengan
tepat, disertai dengan alasan-alasan yang kuat, tidak peduli engkau
mengambil agama atau filsafat apa pun, asal benar. Hanya aku menghendaki
jawaban satu kali saja dan hanya yang satu kali itu yang berlaku, benar
atau salah. Kalau benar, kami siap memenuhi semua permintaanmu. Kalau
salah, engkau dan muridmu harus pergi dari sini dan selamanya tidak
boleh mengganggu kami lagi."
Bu-tek Siauw-jin benar-benar merasa terpukul. Tak disangkanya Maharya
akan mengajukan pertanyaan yang sedemikian hebat! Pertanyaan yang
mungkin sekali waktu akan menyelinap ke dalam hati setiap orang manusia
dan yang sudah ribuan tahun semenjak sejarah manusia tercatat, belum ada
jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu! Dia menggaruk-garuk kepalanya
dan menoleh kepada Kwi Hong. "Kwi Hong, monyet kurus ini benar-benar
lihai sekali. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan jawaban pertanyaan
itu. Terpaksa kita harus mengeram di dalam kamar tahanan untuk beberapa
hari, muridku."
Kwi Hong cemberut, "Suhu, perlu apa melayani segala macam obrolan? Harap
Suhu jangan kena dibujuk dan ditipu mentah-mentah oleh pendeta palsu
itu! Tanpa bantuan Suhu sekali pun, aku sanggup untuk membasmi mereka
semua ini!" Kwi Hong membuat gerakan dan tiba-tiba terdengar suara
berdesing dan tampak sinar kilat menyambar di dalam ruangan itu.
"Pedang Iblis...!" Koksu dan Thian Tok Lama berseru kaget menyaksikan pedang yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.
"Hushhh, sarungkan kembali pedangmu, muridku." Bu-tek Siauw-jin
menyentuh lengan Kwi Hong dan gadis itu terkejut karena merasa lengannya
tergetar. Suhu-nya telah mempergunakan tenaga dan ini tentu berarti
bahwa dia harus menyimpan pedangnya karena sesuatu yang amat gawat.
Sambil menghela napas dia menyimpan kembali pedangnya dan menundukkan
muka.
"Maharya, engkau tua bangka licik! Pertanyaanmu merupakan pertanyaan
seluruh manusia, akan tetapi karena waktunya sebulan, biarlah aku dan
muridku berdiam di dalam kamar tahanan sebagai tamu yang tidak agung.
Heh-heh-heh! Marilah, antar kami ke tempat kami!"
Dengan wajah berseri Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama sendiri
mengantar kedua orang itu ke dalam kamar tahanan yang berada di ruangan
bawah tanah, melalui anak tangga dan terowongan yang amat dalam. Mereka
berdua memasuki sebuah kamar yang ditunjuk, kemudian pintunya yang
terbuat dari baja yang amat kuat seperti pintu kerangkeng gajah itu
ditutup dan dikunci dari luar. Demikianlah, guru dan murid ini menjadi
orang-orang tahanan dan mereka selalu menerima jaminan makan dan minum
melalui jeruji di atas pintu kamar tahanan.
"Mengapa Suhu begini bodoh mau ditipu?" Kwi Hong menegur gurunya setelah mereka berada di dalam kamar tahanan.
"Wah, jangan murung, muridku yang manis! Tempat ini amat baik untuk kau
berlatih dan memperdalam ilmumu. Dengar baik-baik. Kulihat Maharya,
Koksu, dan Thian Tok Lama merupakan lawan-lawan yang tidak lemah. Apa
lagi di samping mereka masih ada belasan orang panglima dan mungkin
ribuan orang prajurit. Karena itu, sebelum kita turun tangan, engkau
harus menyempurnakan ilmu pedangmu yang baru lebih dulu, dan mematangkan
tenaga sinkangmu. Waktu yang sebulan ini kiranya cukup. Dan selain
engkau dapat berlatih, aku pun amat tertarik untuk mencari jawaban atas
pertanyaan Maharya itu."
Kwi Hong mengangguk-angguk. Kelihatannya saja gurunya ini sinting,
sebenarnya di balik watak sintingnya itu bersembunyi kecerdikan yang
mengagumkan. Maka dia pun tidak banyak cakap lagi dan berlatih dengan
tekunnya di dalam kamar tahanan, kadang-kadang saja menerima petunjuk
dari Bu-tek Siauw-jin. Ada pun kakek ini, untuk melewatkan waktunya
kadang duduk bersila dan mengerutkan kening, mengasah otak sampai
ubun-ubunnya mengepulkan uap putih, mencari jawaban atas pertanyaan yang
diajukan Maharya. Kalau sudah terlalu lelah dan jawaban yang tepat
belum juga dapat ditemukan, dia lalu bermain-main seperti anak kecil,
kadang-kadang mengumpulkan batu dan dibuatlah kelereng, bermain kelereng
sendirian sambil tertawa-tawa.
Telah tiga pekan mereka berada di dalam kamar itu dan ilmu pedang Kwi
Hong sudah mengalami kemajuan yang pesat sekali sehingga menggirangkan
hati gurunya. Akan tetapi, pertanyaan itu masih belum didapatkan
jawabnya oleh Bu-tek Siauw-jin! Saking kesalnya, ketika ia mendengar
jangkrik, ia girang sekali dan ingin benar ia menangkap jangkrik itu.
Mereka berdua tidak tahu bahwa pada saat itu percakapan mereka sedang
didengarkan oleh Suma Han dan Milana di dalam kamar tahanan yang berada
di atas mereka!
Melihat betapa gurunya ingin sekali menangkap jangkrik, dan karena
keadaan cuaca dalam kamar tahanan itu agak gelap, Kwi Hong kemudian
menyalakan lampu minyak sehingga kamar itu tidak begitu gelap lagi.
"Wah-wah, tidak mau mengerik lagi!" Bu-tek Siauw-jin berlutut di lantai,
menelungkup dan menempelkan telinganya di lantai yang penuh batu
berserakan, yaitu batu-batu yang dicokel keluar dari lantai oleh kakek
itu untuk dipakai sebagai gundu. "Wah, kenapa lampunya dinyalakan? Kalau
keadaan terang, tentu saja jangkrik itu mengira hari telah siang dan
tidak mau berbunyi."
"Memang sekarang bukan malam, Suhu."
"Benar, akan tetapi kalau tidak dinyalakan akan gelap, jangkrik itu
mengira malam dan berbunyi. Hayo padamkan lagi biar dia mengeluarkan
bunyi!"
"Aihh, Suhu ini aneh-aneh saja! Biar pun lampu dipadamkan, kalau Suhu
ribut-ribut begitu mana dia mau mengerik? Pula, sudah diketahui dia
berada di dalam lubang itu, biar dia mengerik sekali pun tentu dari
dalam lubang."
"Oya, kau benar aku yang salah. Kalau begitu, biar kukencingi!"
"Jangan, Suhu! Kamar ini menjadi makin bau! Karena kalau ditepuk-tepuk
di sekitar lubang, dia akan kaget dan akan keluar juga, atau kalau
ditiup lubangnya." Kini Kwi Hong mulai tertarik dan ia pun ikut berlutut
di dekat suhu-nya, mereka memandangi lubang jangkrik seolah-olah hal
menangkap jangkrik merupakan peristiwa yang terpenting di saat itu!
"Oya, kau benar dan aku salah!" Kembali kakek itu berkata. "Kalau
kukencingi, mana jangkrik itu kuat bertahan terkena kencingku? Tentu
akan mati pengap! Biar kutiup lubangnya dan kau tepuk-tepuk di sebelah
atas lubangnya."
Dua orang itu bekerja sama dengan asyik. Tiba-tiba dari dalam lubang itu
meloncat keluar seekor jangkrik yang segera ditangkap oleh tangan kakek
itu yang segera bersorak girang sambil menggenggam jangkrik itu.
Kwi Hong juga terseret dalam kegembiraan. Baru sekarang tampak wajahnya
berseri dan kembalilah dia seperti Kwi Hong yang lincah gembira. Akan
tetapi hanya sebentar saja. "Besarkah jangkriknya, Suhu? Merah atau
hitam bulunya?"
Mereka mengintai bersama ketika kakek itu membuka sedikit genggaman tangannya.
"Uhhhh!" Kwi Hong berseru geli dan menutupi mulutnya.
"Sialan dangkalan!" Bu-tek Siauw-jin memaki ketika melihat ke dalam
genggaman tangannya. "Ini namanya jangkrik upo (jangkrik kecil pemakan
nasi upo)! Jangkrik kecil tidak bisa diadu! Engkau penipu kecil seperti
Maharya saja!"
Kakek itu tiba-tiba membuka lebar mulutnya dan... jangkrik kecil itu
ditelannya bulat-bulat! Kala menjingnya bergerak dan berbunyi
"ceguk-ceguk!" ketika ia menelan jangkrik itu hidup-hidup!
"Ihhhh! Mengapa Suhu jorok (kotor) sekali? Masa jangkrik hidup-hidup
ditelan?" Kwi Hong mencela. Gurunya ini benar-benar aneh, kadang-kadang
dia pandang sebagai guru yang pandai, akan tetapi ada kalanya dia merasa
seperti berhadapan dengan seorang anak kecil yang memerlukan
teguran-teguran!
"Apa kau bilang? Kotor? Wah, menelan jangkrik mentah dan hidup masih
mending. Pernahkah engkau mendengar orang-orang sinting menelan cindil
(anak tikus) hidup-hidup? Coba bandingkan! Kan lebih gagah jangkrik dari
pada cindil? Jangkrik memiliki sifat jantan dan pemberani, tidak
seperti tikus-tikus cilik itu!"
Kwi Hong tidak mau membantah lagi. Payah memang berbantah dengan gurunya
yang pandai berdebat ini. Pula kegembiraannya telah hilang dan kembali
dara itu termenung dengan wajah muram dan dingin.
"Kwi Hong...!" Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang amat jelas,
seolah-olah Kwi Hong mendengar suara pamannya di dekat telinga dan
pamannya seperti berdiri di sampingnya. Kwi Hong mencelat kaget.
"Paman...!"
"Kwi Hong, dengan siapa engkau di situ dan mengapa?" kembali suara
Pendekar Super Sakti bergema memasuki ruangan kamar tahanan itu.
"Paman, di mana engkau? Suaramu begini dekat...!" Kwi Hong yang merasa
bingung itu tiba-tiba menjadi takut. Bagaimana dia harus menerangkan
kepada pamannya bahwa dia telah menjadi murid kakek sinting, Datuk Pulau
Neraka ini?
"Ha-ha-ha-ha! Sungguh lucu! Eh, bukankah Suma-taihiap, Pendekar Super
Sakti Tocu Pulau Es yang berada di atas itu? Maaf, maaf! Kita belum
pernah saling bertemu akan tetapi sudah bertahun-tahun aku kagum sekali
kepada Taihiap. Sekarang, secara aneh kita bertemu akan tetapi tak dapat
saling pandang! Ha-ha-ha!"
Karena kakek itu mengerahkan khikang maka suaranya meluncur melalui
lubang kecil itu ke kamar di atas dan terdengar jelas sekali oleh Suma
Han yang menjadi kagum dan maklum bahwa orang yang berada di bawah
bersama keponakannya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Siapakah Locianpwe yang telah mengenalku?" tanyanya, menahan rasa
penasaran karena tadi keponakannya menyebut ‘suhu’ kepada orang itu.
"Wah-wah, jangan menyebutku Locianpwe. Harap Taihiap ketahui bahwa aku
hanyalah seorang kakek tua bangka yang tidak ada harganya, hanya
keturunan para buangan di Pulau Neraka."
Suma Han makin terkejut dan teringatlah ia akan penuturan Alan puteri
Ketua Thian-liong-pang tentang keponakannya yang keluar dari lubang
kuburan! Suaranya memang berbeda akan tetapi siapa lagi yang begitu
lihai dan mengaku sebagai keturunan buangan Pulau Neraka kalau bukan
kakek mayat hidup yang pernah bertemu dan bertanding dengannya, yang
amat sakti itu sehingga hampir saja ia celaka? Akan tetapi, mungkinkah
Kwi Hong menjadi murid manusia iblis itu? Bukankah kakek iblis itu
menjadi guru Wan Keng In? Dia merasa bingung dan hatinya tegang.
"Apakah Cui-beng Koai-ong di bawah sana?" tanyanya penuh wibawa.
"Ha-ha-ha-ha, kiranya Taihiap sudah pernah bertemu dengan Suheng-ku itu?
Tidak, Taihiap. Aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin, sute-nya dan aku
mendapat kehormatan besar sekali untuk menjadi guru keponakanmu."
Kwi Hong berdiri dengan muka pucat. Dia tahu bahwa dia telah berbuat
sesuatu yang amat salah dalam pandangan pamannya. Dia adalah keponakan,
dan terutama sekali murid Pendekar Super Sakti. Bagaimana dia berani
menjadi murid orang lain? Hal ini sama saja dengan menghina guru atau
pamannya itu! Maka, sebelum pamannya mengucapkan sesuatu yang timbul
dari kemarahan, dia cepat mendahului, berkata dengan pengerahan khikang.
"Paman, harap suka mendengarkan penuturanku!" Cepat ia menuturkan
pertemuannya dengan Bu-tek Siauw-jin dan bagaimana ia sampai menjadi
muridnya. Betapa gurunya itu biar pun seorang Datuk Pulau Neraka, akan
tetapi sikapnya baik sekali, bahkan kini mereka ke kota raja karena
kakek itu hendak membantunya menghadapi musuh-musuhnya, Koksu dan kaki
kanannya.
"Sayang sekali, Suhu ditipu oleh Maharya. Suhu diajak bertaruh
memecahkan sebuah pertanyaan yang sulit. Suhu diberi waktu sebulan di
sini, dan sudah tiga pekan kami berada di sini, agaknya Suhu belum
berhasil! Harap Paman suka mengampunkan aku yang lancang... akan tetapi
sesungguhnya Suhu adalah seorang yang sakti dan amat baik, Paman."
Sunyi sejenak, hanya terdengar suara Bu-tek Siauw-jin tertawa kecil, agaknya merasa geli mendengarkan penuturan Kwi Hong tadi.
"Bu-tek Siauw-jin, setelah mendengar penuturan keponakanku, dan karena
dia sudah terlanjur menjadi muridmu, biarlah aku mengucapkan terima
kasih kepadamu. Pertanyaan apakah yang diajukan oleh Maharya kepadamu?
Aku akan membantumu mencarikan jawabannya."
"Bagus! Engkau benar-benar seorang pendekar tulen, Suma-taihiap! Tidak
saja tidak marah kepadaku yang merampas muridmu, akan tetapi juga
berterima kasih dan ingin membantuku memecahkan teka-teki. Wah, jika
engkau benar-benar bisa membantuku memecahkan pertanyaan itu,
benar-benar aku takluk dan mengangkat engkau sebagai sahabatku yang
paling jempol di dunia ini! Pertanyaannya adalah: Apakah yang dinamakan
Aku yang sejati? Nah, bantulah aku menjawabnya, Taihiap."
Suma Han yang tadinya mendekatkan mukanya di lantai kamar tahanan, kini
bangkit duduk dan kedua alisnya berkerut. Pertanyaan yang amat luar
biasa! Bagaimana menjawabnya? Dia sudah banyak membaca filsafat kuno
dari berbagai agama. Akan tetapi, apakah jawabannya yang tepat? Apakah
itu SENG yang merupakan anugerah Tuhan seperti yang dimaksudkan dalam
ujar-ujar Nabi Khong-cu? Apakah itu TAO seperti yang dimaksudkan dalam
Agama Tao? Ataukah Atman seperti yang disebut-sebut oleh pendeta-pendeta
Hindu. Ataukah Roh Suci? Mana yang benar?
Melihat ayah kandungnya duduk termenung diam tak bergerak seperti arca
itu, Milana ikut pula duduk di lantai. Luka-lukanya sudah sembuh,
tubuhnya tidak merasa nyeri lagi. Dia duduk bersila dan memikirkan
pertanyaan aneh itu. Hatinya bicara sendiri. Hemm, orang-orang tua ini
memang aneh! Apa gunanya? Apa untungnya kalau mengetahui AKU SEJATI?
Membuang-buang tenaga pikiran saja. Pula apa pun juga jawabannya, siapa
yang akan dapat memastikan apakah jawaban itu benar atau salah? Adakah
manusia yang pernah melihatnya atau bertemu dengan AKU SEJATI itu?
Mungkin ada, pikirnya. Kalau tidak ada mengapa disebut-sebut? Adanya
disebut, tentu ada yang pernah mengalami bertemu dengannya!
Lama kelamaan kepalanya menjadi pening memikirkan pertanyaan yang ruwet
itu. Jangankan mendapatkan jawaban, bahkan pertanyaan itu saja tidak
dimengertinya. Dia tidak mengenal yang disebut Aku Sejati itu. Mendengar
pun baru sekarang! Milana melirik ke arah ayahnya dan dia melihat
pendekar itu masih duduk termenung penuh kesungguhan. Dia tidak berani
mengganggu, bahkan kemudian menjauhinya dan untuk melewatkan waktu
Milana meraba-raba dinding untuk memeriksanya dan mencari kemungkinan
membobol dinding itu.
Tiba-tiba jari tangannya yang halus itu meraba permukaan dinding yang
tidak rata, ada lubang-lubang besar kecil, panjang pendek seperti
ukir-ukiran. Dia tertarik sekali dan cepat dia menggosok dan membuang
lumut-lumut hijau yang tumbuh di atas batu dinding. Maka tampaklah
ukiran huruf-huruf kecil di atas batu. Dengan penuh semangat dan amat
tertarik, Milana terus membersihkan batu dinding dan setelah bekerja
keras hampir satu jam lamanya, akhirnya dia dapat melihat sebaris huruf
yang cukup jelas. Saking girangnya, dia lupa akan ayahnya dan membaca
huruf-huruf itu dengan suara agak keras.
"Sesungguhnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran manusia."
"Apa kau bilang?" Tiba-tiba Suma Han menoleh dan bertanya seperti orang terkejut.
Milana juga kaget karena di luar kesadarannya dia telah membaca
huruf-huruf itu keras-keras, "Aku membaca ukir-ukiran huruf di dinding
ini, Paman."
Sekali berkelebat Suma Han telah berada di depan dinding itu dan membaca
ukiran huruf-huruf yang coretannya indah dan kuat itu, mula-mula hanya
perlahan, kemudian dibacanya lagi agak keras, diulang-ulangi. SESUNGGUHNYA YANG ADA ITU BUKAN, KARENA YANG ADA ITU DIADAKAN OLEH PIKIRAN MANUSIA.
Belum pernah dia bertemu dengan kalimat seperti itu, akan tetapi
seperti ada hubungannya dengan pertanyaan Maharya! Ia menggunakan
ingatannya, mengenang kembali ayat-ayat dalam kitab-kitab yang pernah
dibacanya. Tiba-tiba ia menepuk pahanya, "Hampir sama dengan makna dalam
kitab To-tik-keng ayat pertama!"
Milana yang biar pun telah banyak membaca tetapi sejak dulu memang tidak
menaruh minat terhadap kitab-kitab filsafat dan agama, lalu bertanya,
"Bagaimana bunyinya, Paman?"
Suma Han mengangkat mukanya dan mengerutkan kening, membaca ayat pertama kitab To-tik-keng seperti yang diingatnya:
Jalan (Tao) yang dapat dipergunakan sebagai jalan bukanlah Jalan (Tao) yang sejati.
Nama yang dapat dipergunakan sebagai nama bukanlah nama sejati.
Tanpa Nama adalah awal Bumi dan Langit.
Dengan Nama adalah ibu segala benda.
Tidak Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya.
Ada kalau kita ingin menyatakan keadaannya
keduanya berpasangan walau namanya berbeda
pasangan yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!
Tiba-tiba Milana memandang ayahnya dengan wajah berseri dan dia berseru,
"Wah! Kalau begitu amat cocok! Itulah jawaban untuk teka-teki yang
diajukan oleh pendeta Maharya itu, Paman!"
Suma Han melongo. "Hemm? Apa? Bagaimana? Bagaimana jawabannya?"
"Jawabannya adalah itu! Tidak ada apa-apa!"
"Ah, masa jawaban begitu? Engkau terpengaruh oleh kalimat terukir di
dinding itu, diperkuat pula oleh bunyi ayat pertama kitab To-tik-keng
yang memang ada persamaan dengan kalimat di dinding itu."
"Justeru keduanya cocok pula dengan jawaban pertanyaan Maharya. Jawaban ini sekaligus menghancurkan pertanyaan itu, Paman"
"Alan, engkau masih terlalu muda untuk mencampuri urusan ini. Yang
diajukan adalah pertanyaan gawat yang tak pernah dapat terjawab oleh
manusia, yaitu apakah yang dinamakan Aku Sejati? Kalimat di dinding dan
ayat pertama To-tik-keng sama sekali tidak menerangkan siapa sebetulnya
Aku Sejati!"
"Sudah jelas diterangkan bahwa sebetulnya tidak ada apa-apa, Paman! Yang
ada itu bukan, karena diadakan oleh pikiran manusia. Yang bisa
dinamakan bukanlah nama sejati! Awal Langit Bumi adalah Tanpa Nama. Jadi
jelas bahwa yang dikatakan Aku Sejati itu sesungguhnya bukanlah yang
sejati! Aku Sejati yang dimaksudkan itu hanyalah buatan pikiran manusia
saja, jadi palsu karena dia ada oleh pikiran yang mengada-ada! Yang
sejati tentu tidak bisa disebut dengan nama. Adakah manusia di dunia ini
yang sudah bertemu dengan Aku yang Sejati?"
"Husshh! Jangan engkau lancang, Alan. Tentu saja ada. Manusia-manusia
suci di jaman dahulu tentu sudah tahu akan Aku Sejati itu, mungkin di
jaman sekarang pun ada yang memiliki kesucian sedemikian tinggi sehingga
dapat mengerti dan bertemu dengan Aku-nya yang Sejati!"
"Ah, hal itu tidak mungkin, Paman!"
"Mengapa tidak mungkin?"
"Misalnya aku yang bertemu dengan Aku-ku yang Sejati, habis siapa itu
yang bertemu dan siapa pula yang ditemui? Apakah ada dua Aku? Yang palsu
dan yang sejati saling bertemu, yang palsu mau pun yang sejati,
hanyalah khayalan pikiran saja, Paman. Karena pikiran mengingat akan
pelajaran yang pernah dipelajarinya, pernah mendengar tentang Aku
Sejati, mencarinya, maka timbullah bayangan Aku Sejati yang bukan lain
juga khayalan pikiran sendiri belaka!"
Suma Han mengangguk-angguk. "Hm... hm... biar pun uraianmu itu tidak
berdasarkan filsafat-filsafat kuno, akan tetapi masuk diakal pula!" Suma
Han termenung, wajahnya makin lama makin terang. Beberapa kali dia
mengangguk-angguk dan menggumam. "Engkau hebat, Alan... engkau telah
membuka kesadaranku... engkau membuka mata batinku..."
Milana tidak mengerti dan terheran-heran. Akan tetapi dia kagum sekali
melihat betapa wajah Pendekar Super Sakti itu sekarang berubah, berseri
dan bersinar seolah-olah kemuraman yang tadinya selalu merupakan awan
menutupi wajah tampan itu kini terusir bersih.
"Terima kasih, Alan...!" Tiba-tiba Suma Han merangkul pundak dara itu, kemudian memeluknya, mencium dahinya.
Milana terkejut, mengira bahwa Suma Han hendak berbuat tidak sopan,
tetapi ketika ayahnya itu mencium dahinya, Milana terisak dan memejamkan
matanya. Ingin dia balas memeluk dan menjeritkan sebutan ayah, akan
tetapi perasaan ini ditahannya.
Suma Han memegang pundak gadis itu dan mendorongnya, memandang wajah
cantik itu dan Milana melihat betapa wajah ayahnya kini benar-benar
cemerlang dan penuh kebahagiaan.
"Ahhh, siapa sangka! Di tempat ini aku baru mendapatkan penerangan batin!"
"Apa... apa maksudmu, Paman?"
"Aku tidak hanya menemukan jawaban dari teka-teki Maharya saja,
melainkan jawaban dari segala macam pertanyaan di dunia ini! Aihhh,
semuanya karena engkau yang mulai menyalakan api penerangan itu, Alan.
Biar pun tidak kau sengaja, karena engkau polos, wajar, karena engkau
tidak tahu apa-apa itulah malah yang menyalakan api penerangan! Tahukah
engkau? Siapa yang sengsara, yang tidak bahagia, maka dia merindukan
kebahagiaan, ia mengejar kebahagiaan. Setelah dia merasa mendapatkan
kebahagiaan, maka kebahagiaan yang didapatkannya itu hanyalah
kebahagiaan palsu hasil khayalan pikirannya belaka, tidak akan bersifat
kekal. Orang bahagia tidak akan merasakan kebahagiaannya sudah menjadi
satu. Kalau terpisah, berarti tidak bahagia, dan kebahagiaan hanya
menjadi renungan saja! Ha-ha-ha! Dan semua pelajaran itu... ha-ha-ha,
semua itu sungguh menggelikan. Hanya permainan khayal, lelucon hidup!"
Milana memandang wajah ayahnya, mula-mula khawatir karena baru sekarang
dia melihat dan mendengar ayahnya itu tertawa bergelak. Akan tetapi
setelah melihat jelas bahwa suara ketawa itu sewajarnya, dia ikut merasa
gembira walau pun bingung juga karena tidak mengerti.
"Bagaimana, Paman? Apa hubungannya dengan teka-teki Maharya?"
"Sudah terjawab semua, Alan! Kebenaran bukanlah kebenaran kalau
dinyatakan oleh mulut dan pikiran! Kebahagiaan bukanlah kebahagiaan
kalau dinyatakan oleh pikiran. Aku Sejati pun bukan Aku Sejati kalau
dinyatakan oleh pikiran. Semua adalah khayalan pikiran karena
pelajaran-pelajaran yang pernah didengar atau dilihatnya meniru-niru dan
mengulang-ulang barang lama pusaka usang!"
"Wah, sekarang akulah yang menjadi bingung, Paman!" Milana berseru
sambil memijit-mijit pelipis kepalanya karena dia menjadi pening
mengikuti semua kata-kata ayahnya.
"Aku sendiri pun tidak mudah membebaskan semua yang menempel di dalam
benakku, Alan. Pikiran merupakan kertas putih bersih dan kalau sudah
terlalu penuh dengan coretan-coretan beraneka warna, tidaklah mudah
untuk membersihkannya, walau pun bukan tidak mungkin. Dan selama kertas
itu tidak kembali putih bersih dan kosong seperti semula, maka selalu
akan menjadi kabur oleh bekas-bekas goresan, bahkan akan diselundupi
goresan-goresan baru. Aihhh, kini aku mengerti mengapa kaum budiman di
jaman dahulu memuji dan mengagumi kehidupan anak-anak yang bagaikan
kertas putih belum ternoda oleh goresan-goresan kotor!"
Tiba-tiba dari bawah terdengar suara Bu-tek Siauw-jin. "Heiii! Pendekar
Super Sakti, Suma-taihiap! Lapat-lapat aku mendengar engkau bilang telah
mendapatkan jawaban. Betulkah itu? Kalau betul, harap segera
memberitahukan kepadaku, jangan menjual mahal!"
Suma Han tersenyum, lalu menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, temuilah Maharya
dan jawablah bahwa Aku Sejati yang dia tanyakan itu adalah khayalan
pikiran alias palsu!"
Hening sampai lama sekali di bawah. Karena mendengar jawaban itu, Bu-tek
Siauw-jin menjadi bingung dan terheran-heran, memeras otaknya
memikirkan jawaban yang dianggapnya aneh itu. Sekitar seperempat jam
kemudian, barulah terdengar suaranya. "Suma-taihiap, apakah engkau
memang sengaja memperolok-olokkan aku seorang tua? Jawaban itu bukanlah
jawaban!"
"Mengapa bukan jawaban? Itulah jawabannya yang paling tepat. Kalau
engkau menjawab dengan dasar filsafat sesuatu agama, tentu akan
dibantahnya dengan dasar filsafat lain. Akan tetapi jawaban ini
berdasarkan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Siapa yang dapat
membantah kenyataan? Dengarlah baik-baik, Bu-tek Siauw-jin. Dia bertanya
apakah yang dinamakan Aku Sejati, bukan? Nah, jawabannya yang dinamakan
Aku Sejati adalah bukan Aku Sejati, melainkan khayalan pikiran alias
palsu!"
"Kenapa begitu?"
"Karena, yang dapat dinamakan itu hanyalah Aku Sejati atas dasar
pelajaran yang pernah didengar dari seorang guru atau dari kitab,
sehingga menciptakan Aku Sejati khayalan pikiran. Jadi jelas bahwa yang
dinamakan Aku Sejati adalah bayangan khayalan pikiran, palsu."
"Hemm, seperti jawaban akal bulus, akan tetapi dapat kurasakan
kebenarannya. Bagai mana kalau dia tanya, ada atau tidakkah Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, harap jangan bodoh. Yang ditanyakan adalah apa yang
dinamakan Aku Sejati, bukan mempersoalkan ada atau tidaknya. Ada atau
tidaknya bukanlah persoalan manusia, bukan persoalan hidup."
"Kau benar aku salah. Aku takkan mau menjawab kalau dia tanyakan itu,
dan akan kutempiling kepalanya kalau dia mengajukan lain pertanyaan
karena yang dijanjikan hanya satu ini. Akan tetapi, Suma-taihiap, di
antara kita sendiri, apakah kau percaya akan adanya Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, percaya atau tidak percaya hanyalah merupakan
kebodohan. Kalau kita ingin mengerti, kita harus melakukan penyelidikan
dengan penuh perhatian dan kesungguhan. Setelah kita mengerti, tidak ada
lagi persoalan percaya atau tidak. Setelah kita melihat bahwa matahari
terbit dari timur, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak, bukan?
Setelah kita merasakan sendiri bahwa jantung kita berdenyut, tidak ada
persoalan lagi apakah kita percaya atau tidak akan hal itu. Percaya atau
tidak hanya timbul kalau kita belum mengerti, dan tidak ada gunanya
sama sekali. Selama kita didorong keinginan mengerti apakah ada Aku
Sejati, selama kita didorong keinginan mencarinya, kita tidak akan
pernah mengerti tentang Aku Sejati, atau Kebahagiaan, atau Cinta Kasih,
atau sebutan suci lain lagi. Mari kita sama-sama menyelidikinya, Bu-tek
Siauw-jin, dengan mengenal diri sendiri, mengenal nafsu-nafsu kita,
mengawasi kesemuanya itu dan menyadari apa yang kita hadapi saat ini.
Bebas dan bersihnya pikiran dari masa lampau dan semua goresannya
melenyapkan sang aku yang selalu menjadi pusat segala pemikiran, dan
pergerakan manusia sehingga timbullah pertentangan-pertentangan karena
perpisahan dan pemecahan-pemecahan antara aku dan engkau dan dia dan
mereka!"
"Wah-wah-wah! Aku jadi ingin sekali melihat wajahmu, Suma-taihiap! Belum
pernah selama hidupku aku mendengar orang berbicara seperti itu."
"Aku pun baru saja menemukan diriku sendiri. Akan tetapi cukuplah semua
itu, kini mari kita menjumpai Koksu dan para pembantunya."
"Kita?"
"Benar, karena aku akan turun ke bawah, akan kujebolkan lantai ini.
Hati-hati di bawah sana, Siauw-jin dan Kwi Hong, jangan tertimpa pecahan
lantai!"
Terdengar suara ledakan keras saat Suma Han dengan seluruh tenaganya
menerjang lantai dan lantai batu itu ambrol! Suma Han memegang lengan
Milana, dan membawa dara itu meloncat turun ke dalam kamar tahanan Kwi
Hong dan Bu-tek Siauw-jin.
Ketika Kwi Hong melihat Milana, dia terkejut sekali. Baru sekarang dia
mengenal gadis itu setelah gadis itu muncul, bersama pamannya. "Kau...
kau... Milana...!" teriaknya.
Milana juga terkejut. Setelah Kwi Hong mengenalnya, mana mungkin dia bisa mungkir lagi? "Kwi Hong...!" katanya dan ia terisak.
"Milana...? Engkau... engkau... Alan... engkau Milana...?" Suma Han
merasa seperti disambar petir ketika dia membalikkan tubuh dan memandang
wajah Milana. "Aihhh, betapa bodohku! Dan ibumu... Nirahai... dia...
dia..."
Milana masih menangis, dia mengangguk dan terdengar isaknya. "Be... benar Ayah...!"
Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, tangannya menangkap
lengan Milana dan tiba-tiba dia mencelat ke arah pintu. Terdengar suara
ledakan keras lagi, pintu kamar tahanan Bu-tek Siauw-jin pecah
berantakan dan tubuh Pendekar Super Sakti itu lenyap bersama Milana.
"Paman...!" Kwi Hong berseru, akan tetapi sia-sia saja karena pamannya
sudah tidak berada di situ lagi. Terdengar teriakan-teriakan di luar dan
disusul suara berdebukan robohnya para pengawal yang menjaga ketika
mereka itu secara berani mati mencoba untuk menghadapi larinya Pendekar
Super Sakti.
Bu-tek Siauw-jin menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas
panjang. "Waaah, aku kecelik! Paman atau gurumu itu sehebat itu, dan
engkau masih berguru kepadaku. Benar-benar aku merasa malu sekali!" Dia
terus menggeleng-geleng kepala dan mulutnya berkecap-kecap kagum,
"tsk-tsk-tsk!" tiada hentinya.
"Akan tetapi ilmu yang kau ajarkan kepadaku juga hebat, Suhu," bantah Kwi Hong.
"Sudahlah, mari kita keluar." Kakek itu lalu monyongkan mulutnya,
berteriak nyaring sekali, "Haiiiii! Maharya pendeta palsu! Hayo ke sini
dan terima jawabankuuuuu...!"
Bersama Kwi Hong, kakek itu melangkah keluar melalui daun pintu baja
yang sudah ambrol, berjalan seenaknya dan tertawa ha-ha heh-heh seperti
orang keluar dari kamar tidurnya sendiri saja.
"Ayah... harap jangan marah, Ayah... ampunkan aku, Ayah... dan janganlah
marah kepada Ibu... hu-hu-huuuk..." Milana yang dibawa lari ayahnya
yang mengamuk keluar, merobohkan siapa saja yang menghalanginya sehingga
mereka dapat keluar dari tembok kota raja, menangis di sepanjang jalan.
Suma Han berhenti, mukanya merah sekali, matanya mengeluarkan sinar
berapi, akan tetapi ketika dia menoleh dan memandang anaknya, dia
terisak dan memeluk Milana, mendekap kepala puterinya itu di dadanya dan
mengelus-elus rambut yang halus itu.
"Milana... ahhh, anakku... aku seperti buta tidak mengenalmu...! Milana,
betapa kejam hati ibumu, mengapa merendahkan diri seperti itu, menjadi
Ketua Thian-liong-pang, melakukan hal-hal keji dan menggegerkan dunia
kang-ouw? Mengapa dia begitu kejam menyeret engkau, anakku, ke dalam
kejahatan seperti itu? Di mana dia? Di mana Nirahai? Aku harus bertemu
dengannya dan menegurnya!"
"Ayah, jangan memarahi Ibu..."
"Aku akan mengajaknya bicara dan engkau sebagai anak boleh mendengarkan
dan mempertimbangkan siapa yang keliru dan siapa yang benar dalam hal
ini."
"Ayah, aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, Ibu atau engkau! Baiklah,
kalau Ayah ingin bertemu dengan Ibu. Rahasianya telah terbuka, bukan
karena salahku. Mari, Ibu berada di cabang kami dekat kota raja kalau
aku tidak salah duga!" Setelah berkata demikian, Milana lalu berlari
cepat diikuti ayahnya menuju ke markas Thian-liong-pang yang berada di
dekat kota raja dan yang baru saja didirikan setelah Thian-liong-pang
membantu pemerintah.
Para anggota Thian-liong-pang terkejut setengah mati ketika mereka
melihat Pendekar Super Sakti datang mengunjungi perkumpulan mereka.
Mereka yang belum pernah melihat pendekar ini memandang dengan mata
terbelalak ketika teman-temannya yang pernah bertemu dengan Suma Han
memberi tahu dengan bisik-bisik bahwa itulah Pendekar Siluman Tocu Pulau
Es yang amat terkenal itu.
Andai kata Suma Han datang seorang diri, biar pun jeri, agaknya mereka
masih akan menghadangnya, sedikitnya untuk bertanya dan menahannya di
luar sebelum mereka melapor kepada ketua mereka. Akan tetapi karena
kedatangan pendekar ini bersama Milana, tak ada seorang pun anggota
Thian-liong-pang yang berani mencegah mereka berdua memasuki gedung.
Bahkan ketika mereka tiba di ruangan dalam, dua orang tokoh
Thian-liong-pang, Sai-cu Lo-mo Toan Kok, dan Lui-hong Sin-ciang Chie
Kang, menyambut mereka dengan muka pucat melongo.
"Siocia, apa artinya ini...?" Sai-cu Lo-mo berseru kaget sambil mencelat bangun dari kursinya ketika melihat Suma Han.
"Nona, tahan dulu...!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang juga berseru dengan
ragu-ragu dan bingung karena tentu saja dia tidak berani lancang turun
tangan terhadap Tocu Pulau Es yang sudah diketahui kelihaiannya itu.
Milana membalikkan tubuh menghadapi mereka berdua. "Harap kedua kakek
suka mundur dan jangan mencampuri urusan kami. Ini adalah urusan
pribadi, sama sekali bukan urusan Thian-liong-pang. Kakek Bhok, di mana
Ibu?"
"Di dalam taman," jawab Sai-cu Lo-mo yang lalu memegang tangan kawannya
dan memberi isarat agar jangan bergerak ketika dua orang itu pergi
meninggalkan ruangan itu.
Sai-cu Lo-mo menjadi pucat wajahnya. Hanya dia seoranglah yang sudah
diberi tahu oleh ketua mereka bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super
Sakti, yaitu ketika dia dahulu melamar dara itu untuk cucu keponakannya,
Gak Bun Beng. Dan kini, pendekar itu, suami Ketua Thian-liong-pang,
telah datang dan agaknya rahasia ketua mereka telah terbuka! Dia dapat
membayangkan betapa hebatnya peristiwa ini, akan tetapi karena maklum
bahwa urusan itu adalah urusan keluarga, maka dia menarik tangan Chie
Kang dan berkata,
"Chie-sute, mari kita ke depan, jangan mencampuri urusan itu. Pangcu tentu akan membunuh kita kalau kita mencampurinya."
"Eh, apa yang terjadi, Suheng?"
"Sssstt, diamlah dan mari kita pergi ke depan saja."
Suma Han yang masih panas isi dadanya itu tidak pernah bicara, hanya
mengikuti Milana yang sudah lari ke belakang gedung memasuki taman yang
luas, di pinggir sebuah anak sungai yang airnya mengalir tenang. Tempat
ini adalah pemberian dari Koksu sebagai hadiah kepada Thian-liong-pang
dan merupakan cabang yang terbesar karena dari sinilah dipusatkan
kekuatan Thian-liong-pang yang membantu pemerintah membasmi para
pemberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw.
Tiba-tiba Milana berhenti dan terisak perlahan, mukanya membuat gerakan
ke depan untuk menunjukkan kepada ayahnya. Suma Han sudah melihat wanita
berkerudung yang duduk di bawah pohon di tepi anak sungai, kelihatan
melamun di tempat sunyi itu. Seketika kemarahannya membuyar seperti awan
tipis ditiup angin ketika ia melihat wanita berkerudung itu duduk
bersunyi seorang diri seperti itu. Kini dia mengenal betul bentuk tubuh
Nirahai di balik pakaian dan kerudung itu, biar pun mereka telah saling
berpisah lama sekali.
"Nirahai...!" Suara Suma Han gemetar dan kaki tunggalnya menggigil saat
dia mencelat ke dekat wanita itu dan berdiri dalam jarak tiga meter.
Wanita berkerudung itu memang Ketua Thian-liong-pang, Nirahai. Dia
mencelat berdiri sambil membalikkan tubuh, terkejut seperti disambar
petir.
"Han Han...!" Sepasang mata di balik kerudung itu memandang bingung,
akan tetapi dia melihat Milana menangis tak jauh dari situ, mengertilah
dia bahwa rahasia telah terbuka oleh Milana.
Sekali renggut saja dia telah melepas kerudungnya dan Suma Han terpesona
melihat wajah isterinya itu masih cantik jelita seperti dulu, masih
seperti ketika dia bertemu dengan Nirahai pada waktu Milana berusia
tujuh delapan tahun yang lalu, bahkan masih seperti waktu masih gadis
dahulu, seolah-olah baru kemarin mereka saling berpisah!
"Kau... kau mau apa datang ke sini...?" Nirahai bertanya, suaranya juga
gemetar dan kedua matanya seperti sepasang mata kelinci ketakutan,
pelupuk matanya bergerak-gerak, bibirnya dan cuping hidungnya bergerak
seperti hendak menahan tangis.
"Nirahai!" Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya penuh kemarahan karena
dia sudah marah lagi mengingat betapa isterinya telah menjadi Ketua
Thian-liong-pang. "Jadi engkaukah Ketua Thian-liong-pang yang selama ini
melakukan segala macam perbuatan keji dan rendah itu?"
Kalau tadinya Nirahai gemetar dan pucat, pandang matanya sayu dan dia
seperti setangkai kembang yang hampir layu dan kekeringan, haus akan
siraman cinta kasih, mendengar ucapan Suma Han itu tiba-tiba wajahnya
menjadi kemerahan, pandang matanya berapi dan tubuhnya berdiri tegak,
dada membusung, dagu terangkat dan terdengar ia berkata dengan suara
dingin tegas keras, seperti biasanya suara Ketua Thian-liong-pang.
"Benar! Memang aku telah melakukan itu semua dan tahukah engkau, Suma
Han? Seperti telah kukatakan padamu dahulu, semua itu kulakukan dengan
sengaja untuk menantangmu bertanding! Majulah, Suma Han Majikan Pulau Es
yang sombong dan lawanlah Ketua Thian-liong-pang sampai seorang di
antara kita menggeletak tanpa bernyawa di tempat ini!"
Setelah berkata demikian Nirahai menggerakkan tangannya dan kerudungnya
sudah kembali menutupi mukanya. Dia berdiri dan bertolak pinggang,
sepasang mata dari balik kerudung seolah-olah mengeluarkan sinar berapi
yang ditujukan penuh kebencian ke arah muka Suma Han.
"Nirahai! Aku tidak peduli untuk apa kau lakukan itu semua, juga tidak
peduli untuk menantang aku atau siapa juga. Akan tetapi, dengan
perbuatanmu yang tidak patut itu engkau telah menyeret anak kita Milana
ke dalam pecomberan! Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu
mementingkan perasaan hatimu sendiri, tidak ingat sama sekali akan
kepentingan anak kita!"
"Cukup!" Nirahai membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas tanah.
Pohon di sebelahnya tergetar dan banyak daunnya rontok oleh getaran itu.
Kemudian telunjuk kirinya menuding ke arah muka Suma Han dan dia
berkata, "Tak perlu kau menyebut-nyebut anak kita! Tengok tengkukmu
sendiri dan bercerminlah! Engkau menyalahkan aku, akan tetapi semenjak
Milana kulahirkan, pernahkah engkau datang mencarinya? Pernahkah engkau
sebagai ayahnya menimang anakmu itu satu kali saja? Engkau melupakan
anak kita, engkau hidup dengan angkuh dan sombong sebagai raja di Pulau
Es. Sang Pendekar Super Sakti yang bertahta di angkasa, begitu tinggi,
begitu sakti bagaikan dewa! Sekarang setelah Pulau Es hancur, engkau
pura-pura mencari anakmu, pura-pura datang mau menyalahkan aku?"
"Nirahai! Engkau tahu dan yakin aku tidak seperti itu! Biar pun aku
sekarang sudah tidak punya apa-apa, kalau engkau mau, kalau engkau sudi,
bersama Milana, marilah ikut bersamaku, sebagai isteriku yang tercinta,
marilah kita melanjutkan sisa hidup ini untuk mendidik anak kita..."
"Tidak sudi! Berulang kali engkau hendak membujuk rayu! Laki-laki pengecut!"
"Nirahai, engkau tetap keras kepala seperti dahulu! Engkau bahkan
kembali menjadi algojo membunuh orang-orang gagah dengan dalih menindas
pemberontakan. Semua ini tentu gara-gara bujukan Bhong Koksu. Baik,
sekarang juga akan kuhancurkan dia, membasmi Koksu berikut semua kaki
tangannya. Selamat tinggal, Nirahai!" Dengan wajah pucat dan mata
terbelalak penuh dengan sakit hati, Suma Han membalikkan tubuh dan
berloncatan pergi.
"Ayaahhh...! Ayaaahh... tungguuuu...!" Milana menjerit dan meloncat lalu
lari mengejar, tidak mempedulikan ibunya yang kini tidak berdiri tegak
lagi melainkan terhuyung ke belakang dan berpegang pada batang pohon
sambil menangis!
Mendengar jerit anaknya, Suma Han menghentikan loncatannya akan tetapi dia tetap berdiri tegak, tidak menoleh.
"Ayahh...!" Milana menubruk kaki ayahnya yang tinggal satu itu, menangis
tersedu-sedu. "Ayah, mengapa Ayah begini kejam? Ibu sudah banyak
menderita karena Ayah. Lupakah Ayah akan kesadaran Ayah tadi di dalam
tahanan? Mengapa Ayah hendak menurutkan nafsu hati yang terdorong oleh
ingatan? Apakah Ayah kembali hendak memasuki alam penghidupan seperti
boneka, dipermainkan oleh angan-angan dan pikiran sendiri yang palsu?
Ayahhh...!"
Lemas seluruh tubuh Suma Han mendengar ini. Dia lalu menghela napas
panjang dan berkata lirih, "Anakku... engkau jauh lebih bersih dari pada
aku atau ibumu, aku... aku hanya manusia lemah... manusia canggung yang
tidak tahu lagi apa yang akan kulakukan... aku tidak hanya cacad
lahiriah, akan tetapi juga cacad batiniah, lemah dan canggung. Mungkin
ibumu lebih benar. Biarkanlah aku pergi dulu, Milana..."
"Ayaaahhh...!" Milana menjerit, akan tetapi Suma Han sudah melesat jauh dan lenyap dari situ.
"Ibuuuuu...!" Milana yang menoleh ke arah ibunya, terkejut melihat
ibunya terhuyung-huyung dan hampir roboh terguling. Cepat ia lari
menghampiri, memeluknya dan kedua orang ibu dan anak ini
bertangis-tangisan.
"Ibu, mengapa kita menjadi begini?"
Nirahai memeluk puterinya, menahan isaknya. "Entahlah, anakku...
entahlah... aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi begini kalau
bertemu dengan ayahmu..."
"Ibu mencinta Ayah, aku yakin akan hal ini."
"Tidak ada manusia lain yang kucinta melainkan engkau dan ayahmu. Akan
tetapi dia sudah menyakiti hatiku, dan satu-satunya jalan untuk
memperbaiki hatiku yang rusak hanya..."
"Hanya bagaimana, Ibu?"
"Biar dia tahu sendiri. Engkau tentu akan membuka rahasia hatiku, seperti telah kau buka rahasia kerudungku kepadanya."
"Ah, tidak sama sekali, Ibu. Karena pertemuan kami dengan Kwi Hong di
dalam kamar tahanan di gedung Koksulah yang membuat rahasia itu
terbuka!"
"Di kamar tahanan gedung Koksu?" Nirahai menghentikan isaknya dan
memandang puterinya dengan heran. Milana lalu menceritakan pengalamannya
semenjak dia diculik oleh ayah kadungnya sendiri, menceritakan betapa
baik ayah kandungnya itu, betapa hampir saja dia terculik Wan Keng In
kalau tidak ada ayahnya yang menolong, kemudian tentang pengintaiannya
ke gedung Koksu.
"Ibu, mereka itu hendak membunuhmu! Persekutuan dengan Thian-liong-pang
yang diadakan oleh Koksu itu sebetulnya hanya hendak mencelakakan Ibu,
karena Koksu dan kaki tangannya mempunyai rencana pemberontakan dan
khawatir kalau-kalau Ibu membela kerajaan."
"Apa...?!" Keharuan dan kedukaan hati Nirahai lenyap tertutup oleh keheranan dan kemarahannya mendengar ini.
Milana lalu menceritakan sejelasnya akan semua percakapan yang ia curi di dalam ruangan istana Bhong Ji Kun.
Kemarahan Nirahai memuncak. "Si keparat Bhong Ji Kun! Manusia seperti
itu harus dibunuh, dia berbahaya bagi kerajaan!" Nirahai meloncat
bangun, semua kelemahan akibat keharuan dan kedukaan sudah lenyap dan
semangatnya bernyala-nyala kembali sebagai Ketua Thian-liong-pang yang
tegas!
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan muncullah Tang Wi Siang
bersama anak buahnya dengan langkah terhuyung-huyung, kemudian mereka
semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nirahai. Juga Sai-cu Lo-mo
dan Lui-hong Sin-ciang ikut memasuki taman, dan dengan kepala tunduk
Sai-cu Lo-mo berkata,
"Maaf, Pangcu. Saya sudah melarang mereka masuk, akan tetapi karena mereka terluka parah dan perlu segera menghadap Pangcu..."
Nirahai mengangkat tangan ke atas. "Tidak mengapa, Lo-mo. Eh, Wi Siang, apa yang telah terjadi?"
Dengan suara tersendat-sendat Tang Wi Siang yang biasanya gagah itu
menceritakan tentang perbuatan Wan Keng In yang melukai mereka semua di
dalam hutan. "Kami tidak mampu melawannya, Pangcu. Dia lihai bukan main,
iblis cilik Pulau Neraka itu. Dia sengaja memberi pukulan beracun pada
punggung kami dan menyuruh kami menghadap Pangcu. Dia... dia...
mengajukan pinangan kepada Nona Milana... Kalau dalam waktu sebulan
Pangcu tidak mengumumkan perjodohan antara Nona Milana dan Wan Keng In,
dia datang membasmi Thian-liong-pang...!"
"Bresss! Krrakkk!" Pohon di samping Ketua Thian-liong-pang itu tumbang oleh pukulan Nirahai yang menjadi marah bukan main.
"Bangsat cilik! Dia menggunakan nama Pulau Neraka untuk menghina Thian-liong-pang? Bangsat itu harus mampus di tanganku!"
"Harap Pangcu suka menaruh kasihan kepada Tang Toanio dan para anak buah yang terluka parah," tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata.
Nirahai menghampiri seorang anggota Thian-liong-pang yang berlutut di
depannya, merobek bajunya dan langsung dia terkejut melihat tapak tiga
jari tangan merah di punggung orang itu.
"Apakah semua terluka seperti ini?" tanyanya kepada Wi Siang.
Tang Wi Siang mengangguk. "Dia bilang bahwa dalam satu bulan kami akan
mati, kecuali kalau Pangcu menerima pinangannya, dia akan datang
menyembuhkan kami, demikianlah pesannya."
"Hemm, si keparat!" Nirahai memaki dan dia lalu memeriksa luka yang
kelihatannya tidak hebat itu, hanya merupakan ‘cap’ merah dari tiga buah
jari tangan. Ia mencoba dengan menyalurkan sinkang, telapak tangannya
ditempelkan di punggung untuk mengusir luka pukulan beracun itu. Namun
hasilnya sia-sia.
"Hemmm, pukulan beracun ini aneh sekali dan aku tidak mengenal racun apa
yang terkandung dalam hawa pukulan. Lo-mo, ambilkan pisau perak di
kamarku."
Sai-cu Lo-mo cepat pergi dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa
sebatang pisau tajam meruncing terbuat dari pada perak. Nirahai
menggerakkan ujung pisaunya menggurat tanda tapak jari tangan di
punggung orang itu yang menggigit bibir menahan rasa nyeri agar tidak
menjerit.
"Aihhh...!" Nirahai berseru kaget. Pisaunya menjadi hitam seperti
dibakar dan tanda guratan pisau itu memanjang ke bawah dan menjadi merah
pula seperti tanda tapak jari itu. Tiba-tiba orang itu meronta, dan
roboh bergulingan, berkelojotan dan merintih perlahan, kemudian tak
bergerak sama sekali. Ketika Nirahai memeriksanya, ternyata dia telah
mati!
Tentu saja semua orang menjadi kaget sekali, terutama Tang Wi Siang dan
teman-temannya yang terluka. Tang Wi Siang yang berlutut itu maju
mendekati ketuanya dan berkata, "Pangcu, harap Pangcu bunuh saja saya
dengan sekali pukul. Pukulan yang beracun ini agaknya hanya dapat
diobati oleh iblis cilik itu, dan saya lebih baik mati dari pada Nona
Milana diperisteri olehnya. Dari pada menanggung derita sebulan lamanya,
biarlah sekarang saja Pangcu membunuh saya."
Nirahai mengerutkan alisnya. "Jangan putus harapan, Wi Siang. Aku akan mencarikan obatnya. Waktu sebulan masih lama..."
"Percuma saja, Pangcu. Memang benar hanya dia atau akulah yang akan dapat menyembuhkan luka beracun itu!"
Nirahai dan semua orang cepat menengok. Mereka sama sekali tidak
mendengar ada orang datang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang
wanita cantik sekali biar pun usianya sudah tidak muda lagi, kurang
lebih empat puluh tahun. Akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan
pada wanita ini yaitu mukanya. Mukanya itu berwarna putih seperti kapur!
Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, akan tetapi begitu melihat
wanita ini, timbul rasa kasihan di dalam hati Milana! Gadis ini, dan
semua anggota Thian-liong-pang sama sekali tidak tahu bahwa pada saat
itu, wajah di dalam kerudung Ketua Thian-liong-pang menjadi pucat sekali
ketika dia mengenal wanita bermuka putih itu. Tentu saja Nirahai
mengenalnya karena wanita itu bukan lain adalah sumoi-nya sendiri ketika
mereka berdua dahulu menjadi murid Nenek Maya. Wanita bermuka putih dan
amat cantik itu bukan lain adalah Lulu!
"Bibi yang baik, benarkah Bibi dapat menyembuhkan mereka ini?" Milana
bertanya dan mengagumi wajah yang cantik itu. Sayang mukanya berwarna
putih seperti kapur karena sesungguhnya wanita itu cantik sekali,
terutama sekali matanya yang seperti bintang dan yang membuat dia merasa
suka adalah karena wajah wanita ini mirip-mirip dengan wajah ibunya
yang tersembunyi di balik kerudung.
Wanita ini mengangguk, mukanya tetap dingin sungguh pun sepasang mata
yang indah itu memandang Milana dengan pernyataan rasa tertarik dan
suka. "Tentu saja aku dapat menyembuhkan mereka dengan mudah."
Nirahai menjadi curiga. Apakah hubungan Lulu dengan Pulau Neraka? Dan ke
mana saja selama ini perginya? Dia lalu melangkah maju, merubah
suaranya menjadi suara Ketua Thian-liong-pang yang dingin dan berwibawa,
"Siapakah engkau? Dan bagaimana engkau begitu yakin akan dapat menyembuhkan luka mereka ini?"
Lulu menatap muka berkerudung itu, sesaat bertemu pandang, dan ia kagum
melihat sepasang mata yang begitu bersinar-sinar penuh semangat dan
wibawa. Orang ini memang patut menjadi Ketua Thian-liong-pang yang
terkenal, pikirnya.
"Aku merasa yakin, Pangcu. Tidak ada orang lain yang akan dapat
menyembuhkan mereka ini, biar pun engkau akan mendatangkan ahli-ahli
pengobatan dari mana pun juga, karena obat penawar racun ini hanya
terdapat di Pulau Neraka."
"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau bisa mendapatkan obat penawarnya?"
Lulu hanya menggerakkan bibir sedikit sebagai pengganti senyum. Melihat
ini, Nirahai bergidik. Dulu Lulu adalah seorang wanita yang periang,
jenaka dan ramah, mengapa sekarang menjadi segunduk es beku, dingin dan
mengerikan?
"Pangcu, Wan Keng In yang melukai anak buahmu ini adalah puteraku, tentu saja aku bisa menyembuhkan mereka!"
Terdengar seruan-seruan kaget dan marah. Tang Wi Siang sudah melompat
bangun dan memandang dengan mata terbelalak. "Engkau... Ketua Pulau
Neraka...?"
Lulu mengangguk dan berkata muak, "Bekas... ketua boneka..."
"Iblis betina!"
Para anggota Thian-liong-pang yang terluka itu kini serentak meloncat
bangun dan menyerang Lulu, dipelopori oleh Tang Wi Siang, bahkan diikuti
pula oleh beberapa orang anak buah Thian-liong-pang lain yang sudah
berada di situ. Tidak kurang dari dua puluh orang menyerbu Lulu, ada
yang memukul, ada yang mencengkeram, ada yang menendang.
Terdengar suara bak-bik-buk dan disusul teriakan-teriakan hiruk-pikuk
ketika tubuh dua puluh orang itu terlempar ke sana-sini dan terbanting
keras. Setelah semua penyerang roboh terjengkang, kini tampaklah Lulu
yang masih berdiri dengan tenang dan matanya yang indah itu mengerling
ke sekelilingnya dengan muka digerakkan ke kanan kiri. Melihat mereka
sudah mencabut senjata dan hendak bangkit lagi, Lulu mengangkat kedua
lengan ke atas dan berkata, suaranya melengking nyaring dan penuh wibawa
karena dikeluarkan dengan pengerahan khikang.
"Tahan...! Thian-liong-pangcu, mengapa engkau tidak menghentikan anak
buahmu yang lancang dan bodoh ini? Kalau aku datang dengan iktikad
buruk, perlu apa aku bicara lagi? Tanpa turun tangan pun, dengan
membiarkan mereka, anak buahmu yang terluka itu akan mati semua. Kalau
aku berniat jahat, perlu apa aku menawarkan penyembuhan?"
Nirahai sebetulnya tidak setuju dengan sikap anak buahnya tadi. Akan
tetapi dia terlalu heran mendengar Lulu mengaku sebagai Ketua Pulau
Neraka sehingga dia melongo dan tidak sempat melarang anak buahnya
menyerang Lulu yang akibatnya amat luar biasa itu, yaitu anak buahnya
terjengkang semua dan roboh seperti daun kering tertiup angin.
Kini dia cepat membentak, "Kalian ini benar-benar kurang ajar. Hayo
mundur semua dan jangan turun tangan kalau tidak ada perintah!" Kemudian
Nirahai menghadapi Lulu dan berkata, suaranya masih dingin, "Jadi
engkau adalah Majikan Pulau Neraka yang tersohor itu? Hemm, sungguh
aneh. Akan tetapi, bicara tidak ada gunanya sebelum ada bukti iktikad
baikmu. Tocu (Majikan Pulau), kau sembuhkan dulu anak buahku, barulah
kita bicara."
Lulu mengangguk dan merasa kagum. "Engkau patut menjadi Ketua
Thian-liong-pang. Buka baju kalian bagian punggung dan berlututlah
berjajar agar mudah aku mengobati kalian!"
Mereka yang terluka oleh pukulan Wan Keng In, yaitu Tang Wi Siang dan
anak buahnya, segera menyingkap baju dan memperlihatkan punggung yang
ada tandanya tapak tiga buah jari tangan merah, kemudian berlutut dan
berjajar menjadi barisan punggung telanjang yang lucu juga. Kalau
keadaan tidak demikian menegangkan, tentu kejadian ini akan menimbulkan
ketawa.
Lulu memandang sekelebatan saja dan maklum bahwa puteranya telah
menggunakan pukulan yang mengandung racun akar merah seperti yang
diduganya ketika tadi ia melihat akibat yang menewaskan seorang anggota
yang terluka pada waktu Ketua Thian-liong-pang menorehnya dengan pisau
untuk melihat darah dan menyelidiki racunnya. Dia mengeluarkan sebungkus
obat bubuk berwarna hijau. Dengan jari tangan kiri dia memukul punggung
itu untuk memunahkan hawa pukulan puteranya, kemudian tangan kanannya
melaburkan obat bubuk dan menekankannya ke atas tanda tapak jari merah
di punggung. Setelah selesai mengobati semua orang, dia berkata,
"Luka dipunggung akan terasa gatal-gatal dan mengeluarkan cairan,
kemudian dalam waktu sehari akan kering seperti bekas luka yang merobek
kulit. Kalian sudah sembuh, hanya sayang seorang di antara kalian tak
tertolong." Ia memandang mayat yang masih menggeletak di situ.
Nirahai menghampiri Tang Wi Siang yang sudah membereskan bajunya. "Bagaimana rasanya sebelah dalam tubuhmu?"
"Sesak napas dan rasa nyeri di perut sudah lenyap, Pangcu."
Nirahai lalu menjura kepada Lulu dan berkata, "Terima kasih atas
pertolongan Tocu, silakan Tocu masuk ke dalam di mana kita dapat
bicara."
Lulu tadi mendengar pelaporan Tang Wi Siang akan sebab perbuatan
puteranya yang melamar puteri Ketua Thian-liong-pang, maka dia
mengangguk karena dia pun ingin bicara akan hal itu. Tanpa bicara, kedua
orang wanita aneh itu berjalan menuju ke dalam gedung, hanya diiringkan
oleh Milana karena Nirahai memberi isyarat dengan gerak tangan kepada
Sai-cu Lo-mo dan yang lain-lain agar tidak mengganggu mereka.
Tiga orang wanita itu memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi meja. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Nirahai berkata,
"Sungguh tidak pernah kusangka bahwa hari ini Thian-liong-pang akan
menerima kunjungan Tocu Pulau Neraka dalam keadaan seperti ini!"
Lulu menarik napas panjang. "Harap jangan menyebut Tocu kepadaku karena
kini Pulau Neraka sudah tidak ada lagi. Aku hanyalah seorang perantauan
yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai anak buah..."
"Tetapi anak buah Pulau Neraka masih berkeliaran di mana-mana!" Milana berkata, membantah.
Kembali Lulu menarik napas panjang. "Itulah yang menyusahkan hatiku.
Puteraku itu... Ah, Pangcu, justru karena puteraku itulah maka aku
sekarang berhadapan denganmu, dan marilah kita bicara sebagai dua orang
ibu membicarakan masa depan kedua orang anaknya!"
Diam-diam Nirahai merasa terharu sekali. Wanita ini adalah Lulu! Lulu
yang dahulu amat riang gembira dan jenaka itu. Dan kini putera Lulu
ingin berjodoh dengan puterinya! Kalau saja keadaan ternyata lain, tidak
seperti sekarang ini, alangkah akan bahagianya peristiwa ini! Akan
tetapi, Lulu adalah Majikan Pulau Neraka, sudah berubah seperti iblis
betina, dan puteranya itu, demikian kejam dan kurang ajarnya!
"Maksudmu bagaimana, Tocu?" tanya Nirahai.
"Pangcu, terus terang saja, aku tidak sengaja masuk ke tempatmu untuk
mengobati luka anak buahmu. Aku dalam perjalanan ke kota raja, di tengah
jalan aku melihat anak buahmu yang terluka oleh pukulan Jari Tangan
Merah, sebuah pukulan dari Pulau Neraka. Aku terkejut dan diam-diam aku
mengikuti mereka. Setelah mereka masuk ke sini menghadapmu, aku
mengintai dan mencuri masuk taman, dan barulah aku tahu akan segala hal
yang hebat itu. Tahu bahwa mereka adalah anak buah Thian-liong-pang,
bahkan baru aku tahu bahwa mereka itu dilukai oleh puteraku, dan
terutama sekali, baru aku tahu bahwa puteraku jatuh cinta kepada
puterimu dan mengajukan pinangan kepadamu dengan cara itu!"
"Cara yang amat bagus!" Nirahai mencela.
Lulu menarik napas panjang. "Agaknya tidak perlu dibicarakan lagi hal
itu, Pangcu. Bukankah anak buahmu telah kusembuhkan? Hal itu berarti
penebusan kesalahan puteraku. Yang penting sekarang, setelah aku
mengetahui bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu, tentu dia inilah
puterimu dan aku tidak heran mengapa puteraku jatuh cinta kepada dara
yang cantik jelita ini, maka aku mempergunakan kesempatan ini untuk
mengajukan lamaran secara resmi."
"Tidak! Tidak bisa aku menerima ini! Puteramu begitu kurang ajar dan kejam!" Nirahai mengepal tangannya membentuk tinju.
"Sabarlah, Pangcu. Urusan jodoh adalah urusan dua orang anak yang hendak
menjalaninya, bukan urusan kedua orang ibunya yang hanya akan menjadi
penonton. Yang terpenting adalah anak-anak itu sendiri. Puteraku sudah
jelas mencinta puterimu, maka setelah kini puterimu hadir pula,
sebaiknya kita mendengar pendapatnya akan pinangan ini. Bukankah
sebaiknya begitu?"
Nirahai terkejut. Benar-benar berubah hebat sekali Lulu ini, bicaranya
sudah matang dan sikapnya begitu tenang! Dia merasa kalah bicara, maka
sambil menoleh kepada Milana dia bertanya,
"Hemmm, coba kau yang menjawab, Milana. Bagaimana pendapatmu dengan pemuda itu? Maukah kau menerima pinangannya?"
Wajah Milana seketika berubah merah sekali, akan tetapi mulutnya
cemberut dan ia bangkit berdiri. "Aku tidak sudi! Aku... aku benci
kepadanya!" Setelah berkata demikian, Milana membalikkan tubuh dan
meloncat pergi dan meninggalkan dua orang wanita itu.
Lulu pejamkan kedua matanya. Melihat wajah yang berwarna putih itu
membayangkan kedukaan, dan kedua mata itu terpejam, timbul rasa iba di
hati Nirahai terhadap bekas sumoi-nya itu.
"Tocu, kau maafkan sikap anakku."
Lulu membuka matanya, memandang heran, "Betapa anehnya! Aku mendengar
bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah seorang iblis betina yang kejam dan
tidak mengenal peri kemanusiaan. Sekarang, anakku telah melakukan
penghinaan kepadamu, dan anakmu baru bersikap sewajarnya seperti itu
saja engkau mintakan maaf. Pangcu, apakah engkau ini seorang dewi
berkedok iblis, ataukah seorang iblis bertopeng dewi? Aku memuji dan
kagum kepada puterimu. Memang seharusnya begitulah sikap orang
menghadapi urusan cinta. Kalau cinta mengaku cinta, kalau benci mengaku
benci, tidak boleh pura-pura yang akan mengakibatkan kehancuran dan
kesengsaraan seperti yang telah kualami!"
Jantung Nirahai berdebar keras. Rahasia apakah yang tersembunyi di balik
muka seperti topeng berwarna putih itu? Apakah yang dialami oleh Lulu
selama berpisah dengannya? Dahulu dia mendengar dari suaminya bahwa Lulu
telah menikah dengan Wan Sin Kiat dan tentu Wan Keng In adalah putera
Wan Sin Kiat. Apakah kini Wan Sin Kiat juga ikut menjadi pimpinan di
Pulau Neraka?
"Tocu, marilah kita melupakan sebentar bahwa aku adalah pangcu dari
Thian-liong-pang dan engkau Tocu dari Pulau Neraka, dan mari kita bicara
seperti dua orang wanita. Engkau tadi bilang bahwa menghadapi urusan
cinta tidak boleh berpura-pura karena akan mengakibatkan kesengsaraan
seperti yang kau alami. Maukah engkau menceritakan kepadaku?"
Lulu memandang sepasang mata di balik kerudung itu. "Andai kata engkau
membuka kerudungmu dan aku melihat engkau sebagai seorang manusia, tentu
aku lebih baik mati dari pada menceritakan isi hatiku. Akan tetapi,
berhadapan denganmu aku seperti berhadapan dengan bukan manusia, dan
engkau malah ibu dari gadis yang dicinta puteraku! Hemm, kau dengarlah
rahasia yang selama ini hanya kusimpan di dalam hatiku saja. Aku
membenarkan puterimu karena perjodohan yang dipaksakan akan membawa
akibat mengerikan, sebaliknya, cinta kedua pihak yang dipisahkan juga
mendatangkan kesengsaraan. Bukan hanya akibat yang menimpa diri sendiri
saja, akan tetapi juga menimpa kepada orang lain, kepada keturunan! Aku
sendiri mengalaminya. Aku mencinta seseorang, semenjak remaja puteri aku
cinta kepadanya, dan dia cinta kepadaku, akan tetapi kami berpura-pura,
malu untuk mengaku, sehingga aku dipaksa menikah dengan pria lain yang
kusangka dapat kucinta sebagai pengganti dia. Sampai aku mempunyai
seorang putera. Akan tetapi sia-sia belaka, aku tidak bisa memindahkan
cinta kasih. Akhirnya aku meninggalkan suamiku, sedangkan suamiku
membunuh diri secara tidak langsung dan halus... dan aku lalu membawa
anakku ke neraka dunia! Aihhh, itulah yang paling membuat hatiku
menyesal, aku telah merusak anakku sendiri sehingga dia menjadi seperti
itu...! Keng In... akulah yang membuat engkau rusak... kalau aku tidak
menuruti hati yang dirundung kerinduan, dimabuk cinta kasih, dan aku
rela berkorban, hidup di samping ayahmu, agaknya engkau sekarang telah
menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa dan terhormat...!"
Lulu menutup muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan kesedihannya
yang terpancar dari kedua matanya yang mulai membasah sehingga dia tidak
melihat betapa mata di balik kerudung itu memancarkan pandang mata yang
aneh sekali. Dia tidak tahu betapa jantung Nirahai seperti
diremas-remas mendengar penuturannya itu, biar pun dia tidak menyebut
nama karena Nirahai sudah dapat menduga siapakah pria yang dicinta oleh
Lulu itu! Suma Han. Tentu saja.....