Sepasang Pedang Iblis Bab 16-20

Kho Ping Hoo, Sepasang Pedang Iblis Bab 16-20. "Wi Siang kau bantulah Lo-mo menangkap bocah itu, pancing sedapatmu agar dia mengeluarkan seluruh ilmunya,"
Anonim
"Wi Siang kau bantulah Lo-mo menangkap bocah itu, pancing sedapatmu agar dia mengeluarkan seluruh ilmunya," bisiknya dengan tertarik sekali sambil duduk kembali ke atas kursinya untuk menonton dan mempelajari jurus-jurus yang dimainkan Bun Beng.

Tang Wi Siang kini sudah mengenal Bun Beng sebagai anak yang dahulu pernah menolongnya ketika ia bertanding melawan Thai Li Lama di pulau Sungai Huang-ho dan hampir celaka oleh ilmu sihir Lama itu. Dia meloncat dan menyerang Bun Beng dengan gerakan lincah sekali.

Bun Beng terkejut. Dia maklum bahwa wanita ini memiliki gerakan yang cepat luar biasa dan mungkin lebih lihai dari pada Sai-cu Lo-mo. Dan memang dugaannya benar, Tang Wi Siang menjadi orang yang paling disayang dan dipercaya oleh Nirahai di antara para pembantunya, maka wanita itu dia beri pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi dari pada pembantu-pembantu lain, bahkan Tang Wi Siang telah dia beri Ilmu Silat Yancu-sinkun (Ilmu Silat Burung Walet) yang mengandalkan gerakan ginkang tinggi sekali.

Menghadapi Sai-cu Lo-mo saja dia sudah merasa berat, bukan hanya karena kakek itu lihai sekali, juga ia merasa enggan untuk melukai orang tua paman ibunya ini. Sekarang ditambah lagi dengan Tang Wi Siang, dia benar-benar menjadi terancam hebat. Gerakan penyerangan Wi Siang demikian cepatnya seolah-olah kedua lengan wanita itu berubah menjadi enam dan karena Bun Beng harus menjaga jangan sampai ia tertawan oleh kakek itu, sebuah totokan tangan kiri wanita itu ke arah lehernya tak dapat ia elakkan lagi. Akan tetapi, ternyata tangan itu tidak dilanjutkan menotok, hanya mendorong pundaknya sehingga ia terpental dekat anak tangga.

Ia meloncat lagi dan sekilas pandang ia melihat muka berkerudung Ketua Thian-liong-pang yang sedang memandangnya penuh perhatian. Ia menjadi terkejut sekali, sadar bahwa Tang Wi Siang yang turun membantu Sai-cu Lo-mo tentu hanya mendesaknya agar dia mengeluarkan semua jurus ilmunya, yaitu Sam-po-cin-keng dan Si Ketua itu hendak menyaksikan dan mencuri ilmu itu dengan jalan melihat gerakan-gerakannya!

Bun Beng adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa betapa pun juga, dia takkan mampu menang karena kalau Si Ketua sendiri turun tangan, betapa pun dia melawan tetap akan percuma saja, maka dia mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan ilmunya agar tidak dicuri oleh Ketua itu. Tak mungkin engkau akan dapat mencuri jurus-jurus simpanan Siauw-lim-pai dan Sam-po-cin-keng, pikirnya dan kini ia melawan dengan gerakan sederhana sehingga dalam belasan jurus saja ia telah roboh tertotok oleh Sai-cu Lo-mo.

Nirahai menjadi terkejut, penasaran, dan marah. Dia pun mengerti bahwa pemuda bandel itu sengaja tidak memperlihatkan jurus-jurus aneh itu, dan sengaja membiarkan dirinya tertangkap!

"Lempar dia ke dalam penjara di bawah tanah!" bentak Ketua Thian-liong-pang. "Jangan keluarkan sebelum dia mentaati perintah!"

Sai-cu Lo-mo terkejut dan memandang Ketuanya. Akan tetapi sinar mata ketuanya jelas menyatakan tidak mau dibantah. Terpaksa Sai-cu Lo-mo diam saja melihat tubuh pemuda itu diseret oleh dua orang petugas yang membawa ke tempat tahanan di bawah tanah yang letaknya di sebelah belakang kompleks bangunan-bangunan sarang Thian-liong-pang.

Biar pun tubuhnya sudah lemas tertotok, ketika ia diseret pergi, Bun Beng masih mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang, "Lanjutkan pesta dan pertandingan!"

Dia merasa puas dapat menangkap kemarahan dan kejengkelan dalam suara itu. Dia telah kalah, dia telah gagal menolong para tokoh kang-ouw, namun sedikitnya dia telah berhasil membuat Ketua Thian-liong-pang kecewa, terhina dan marah-marah!

Tahanan di bawah tanah itu amat menyeramkan. Dua orang petugas yang kini menggotong tubuh Bun Beng, membawa pemuda itu memasuki lorong bawah tanah yang menurun melalui anak tangga batu. Lorong yang gelap dan di tiap tikungan terdapat pintu besi yang terjaga oleh dua orang anggota Thian-liong-pang. Setelah melalui tujuh pintu, sampailah mereka di sebuah kamar tahanan dan tubuh Bun Beng dilempar ke dalam kamar ini.

Bun Beng tidak memperhatikan tempat itu, juga tidak peduli ketika pintu kamar itu ditutup dari luar. Dia sibuk mengatur pernapasan, dan berusaha membebaskan totokan agar jalan darahnya mengalir normal kembali. Dia maklum bahwa tanpa usaha ini pun, akhirnya totokan itu akan punah, akan tetapi, hal itu akan makan waktu beberapa jam lamanya. Akhirnya dia berhasil memulihkan kembali jalan darahnya dan ia bangkit duduk, bersila dan menghimpun tenaga karena mulai saat itu dia harus berlaku hati-hati dan tenaganya harus pulih untuk meghadapi segala kemungkinan.

Sekitar sejam lamanya dia bersiulian, tidak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Setelah tenaganya pulih dan batinnya tenang kembali, baru Bun Beng menghentikan semedhinya dan membuka mata. Mula-mula yang ia dapati adalah bahwa kamar itu agak gelap, remang-remang dan lembab. Kemudian setelah membiasakan matanya dalam cuaca yang remang-remang itu, ia bangkit berdiri dan mulai menyelidiki kamar tahanan.

Sebuah kamar berdinding batu yang lebarnya tiga meter persegi, langit-langitnya juga batu, tingginya dari lantai ada empat meter. Tidak ada jendelanya, hanya terdapat sebuah pintu dari mana dia dilempar masuk. Pintu ini kecil hanya cukup dimasuki satu orang, dan terbuat dari baja tebal yang masuk ke dalam dinding batu. Kokoh kuat pintu itu, tak mungkin dibongkar.

Bun Beng menarik napas panjang karena sekali pandang saja dia maklum bahwa tidak mungkin lolos dari tempat ini menggunakan tenaga membongkar pintu atau menjebol dinding. Harus mencari akal. Namun, andai kata dia dapat keluar, bagaimana ia dapat lolos dari Thian-liong-pang? Lorong itu saja mempunyai tujuh buah pintu yang terjaga, belum lagi diingat bahwa kalau dapat keluar dari lorong bawah tanah, di atas sana masih ada tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang lihai, terutama sekali Ketuanya!

"Aku harus bersabar dan melihat perkembangan selanjutnya," akhirnya ia menghibur diri sendiri.

Betapa pun juga dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh, karena selain Sai-cu Lo-mo mengaku sebagai kakeknya itu tidak suka melihat keturunannya terbunuh, juga Ketua Thian-liong-pang agaknya ingin sekali mendapatkan ilmu silatnya, terutama sekali Sam-po-cin-keng! Betapa pun, dia masih memiliki ilmu sebagai ‘modal’ untuk hidup! Dengan pikiran ini, hatinya menjadi lebih tenang dan Bun Beng lalu mencari tempat duduk di lantai yang enak. Akan tetapi, mana ada tempat duduk yang enak?

Lantai itu terbuat dari batu pula, kasar dan agak basah karena selalu ada air menitik turun dan di atas lantai tampak rangka-rangka manusia berserakan! Bun Beng mengerutkan keningnya. Ada tujuh buah tengkorak manusia di dalam kamar mereka itu. Siapa tahu mungkin lebih banyak lagi, tersembunyi di balik batu-batu berlumut. Dia tidak peduli, akan tetapi rangka-rangka manusia di situ memperingatkannya bahwa kalau dia tidak mentaati perintah Ketua Thian-liong-pang dan tidak mau menjadi anggotanya, tanpa dibunuh pun dia akan mati di tempat ini, seperti rangka-rangka itu! Akan tetapi, mungkinkah kakek muka singa yang telah berani mati membelanya itu akan membiarkan dia mati?

Tidak! Dia tidak boleh mati kelaparan di tempat ini. Dia harus berusaha untuk keluar dari neraka ini. Mulailah Bun Beng melakukan penyelidikan. Mula-mula dia memeriksa pintu itu dan mencoba tenaganya. Namun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin ia menjebol pintu yang amat kuat itu. Dia lalu memeriksa dinding batu. Dinding yang amat kokoh, batu bertumpuk dengan tanah yang keras. Kokoh kuat tak mungkin dibongkar dengan tangan kosong.

Siapa tahu akan ada penjaga datang menyerahkan makanan, pikirnya. Kalau mereka, terutama kakek muka singa, tidak menghendaki dia mati, tentu mereka akan mengirim makanan dan minuman. Dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibiarkan mati begitu saja sebelum dibujuk.

Maka ia menghentikan pemeriksaannya dan kembali duduk di sudut kamar itu, bersila dan bersemedhi. Teringat ia akan semua pengalamannya di waktu kecil. Semenjak terseret oleh pusaran maut air Sungai Huang-ho, sudah berkali-kali dia terancam bahaya maut, bahkan terpaksa harus hidup di antara sekumpulan monyet, dibawa terbang burung raksasa dan jatuh terlepas ke atas laut, namun selalu dia tertolong! Kalau Thian menghendaki, sekali ini pun dia tentu akan selamat. Teringat akan kekuasaan Tuhan, Bun Beng menjadi tenang.

Manusia hidup tergantung dari kekuasaan Tuhan, mutlak dan seluruhnya! Tanpa kekuasaan Tuhan, manusia tak mungkin dapat hidup. Detik jantung yang memompa darah ke seluruh bagian tubuh, pernapasan yang memberi makan darah, semua berjalan otomatis tanpa dikuasai manusia. Dalam tidur sekali pun, detik jantung dan pompa paru-paru tetap bekerja, siapa yang mengerjakannya kalau bukan kekuasaan Tuhan?

Dalam keadaan sunyi gelap menghadapi ancaman maut ini, perasaan Bun Beng makin dekat dengan kekuasaan Tuhan. Teringatlah ia akan wejangan-wejangan gurunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, akan kekuasaan Tuhan dan betapa lemahnya manusia, betapa tidak ada artinya. Ingin ia tertawa karena geli hatinya kalau teringat akan wejangan suhu-nya dahulu. Bagaimana pula yang dikatakan gurunya itu akan kelemahan manusia?

Orang yang merasa dirinya pandai dan berkuasa adalah sebodoh-bodoh orang, demikian antara lain gurunya pernah berkata. Manusia memiliki puluhan ribu rambut dan bulu di tubuhnya, namun mengatur pertumbuhan sehelai rambut atau bulunya saja dia tidak mampu! Jangankan mengatur pertumbuhan kuku, mengatur detik jantung, menentukan mati hidupnya! Hanya oleh kehendak dan kekuasaan Tuhan sajalah manusia dapat hidup dan mati!

Pelajaran seperti ini memperkuat batin Bun Beng, memperbesar kepercayaannya kepada Tuhan sehingga dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya maut, karena ia sudah merasa yakin sepenuhnya, bahkan sudah berkali-kali mengalaminya dalam hidup, bahwa apa pun yang terjadi, baru dapat terjadi apabila Tuhan menghendaki.

Kalau Tuhan menghendaki dia mati, tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menghindarkannya dari kematian. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki dia hidup, juga tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membuat dia mati! Apa lagi hanya kekuasaan manusia, biar dia sesakti Ketua Thian-liong-pang sekali pun. Teringat akan semua ini Bun Beng tertawa. Ingin dia bertanya kepada Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu apakah dia mampu mengatur pertumbuhan rambut-rambutnya, tidak usah semua, sehelai saja!

Betapa pun juga, Tuhan takkan menolong manusia yang tidak berusaha menolong dirinya sendiri. Usaha atau ikhtiar merupakan kewajiban manusia yang sekali-kali tidak boleh dihentikan selama dia hidup. Ada pun akan jadinya, terserah kepada kekuasaan Tuhan, akan tetapi dia harus berusaha menyelamatkan diri. Kalau Tuhan menghendaki dia mati akan matilah dia. Mati dibunuh Ketua Thian-liong-pang, atau mati kelaparan di situ, atau mati dalam usahanya menyelamatkan diri, semua itu hanya dijadikan lantaran atau jalan, dipilih oleh Tuhan sebagai penyebab kematiannya.

Pikiran ini membuat Bun Beng menjadi tenang sekali, sedikit pun dia tidak merasa khawatir karena hatinya telah bebas dari pada keinginan hidup atau mati, sudah ia serahkan seluruhnya kepada keputusan Thian. Ia hanya memutar otaknya mencari jalan keluar, bagaimana harus menggunakan akal.

Setelah keadaan di dalam kamar tahanan itu gelap pekat, tanda tentu di luar ada api penerangan yang dipadamkan, Bun Beng merebahkan dirinya, terlentang di atas lantai batu yang lembab dan tertidurlah dia karena hatinya tenang. Sinar yang membuat keadaan gelap pekat itu menjadi remang-remang membangunkannya. Ia menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena cahaya yang kini sedikit menerangi kamar itu berbeda dengan cahaya semalam, cahaya matahari yang putih dengan cahaya lampu kemerahan.

Sebuah kepala nampak di balik jeruji baja di bagian atas pintu. Kepala Sai-cu Lo-mo! Kemudian, tangan kakek itu diulurkan di antara jeruji, membawa dua potong roti kering yang panjang dan seguci air.

Bun Beng dapat menangkap getaran suara penuh haru dan harap dalam kata-kata kakek itu. Ia menahan kilas pikiran untuk menangkap kedua lengan kakek yang diulur masuk melalui jeruji besi. Apa gunanya? Dia tidak akan dapat memaksa kakek ini, dan tidak dapat pula mencelakakannya. Ia menerima roti dan guci air.

"Terima kasih." Tanpa berkata-kata lagi pemuda ini makan roti kering. Dua potong roti itu cukup baginya untuk mengenyangkan perutnya, kemudian ia minum air jernih yang menyegarkan tubuhnya. Selesai makan dan minum, Bun Beng yang melihat kakek itu masih berdiri di luar pintu dan sejak tadi memandangnya bertanya.

"Sampai berapa lama aku akan ditahan di sini? Apakah makanan dan minuman diberi racun perampas ingatan agar aku suka membuka rahasia ilmu silat untuk dipelajari Pangcu-mu?"

Sai-cu Lo-mo menggeleng kepalanya. "Tidak, Bun Beng. Engkau adalah cucuku, engkau dianggap sebagai orang sendiri, tidak perlu Pangcu mempelajari ilmumu yang kelak akan ditukar dengan ilmu yang lebih tinggi oleh Pangcu sendiri. Bun Beng, tidak tahukah engkau bahwa kami bermaksud baik kepadamu? Engkau cucuku, hanya satu-satunya, maka engkau tidak akan dibunuh. Kalau engkau suka menjadi anggota Thian-liong-pang, engkau malah akan memperoleh kedudukan tinggi, sesuai dengan kepandaianmu."

Bun Beng menggeleng kepala. Biar pun dia harus berusaha meloloskan diri, akan tetapi tak pernah terpikir olehnya menukar keselamatannya dengan merendahkan diri menjadi anggota Thian-liong-pang yang ia anggap amat jahat dan keji!

"Percuma saja engkau membujuk. Aku tidak akan suka menjadi anggota Thian-liong-pang hanya untuk menyelamatkan nyawaku. Kalau aku berhasil keluar dari sini, aku tetap akan menentang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw."

"Ahhh, engkau tidak tahu, Bun Beng. Pangcu adalah seorang bijaksana, sama sekali bukan orang jahat. Bahkan dia telah merobah Thian-liong-pang dari kesesatannya, kembali ke jalan benar. Kalau dia melakukan penculikan atas diri tokoh-tokoh kang-ouw, itu sekali-kali bukan dengan niat mencelakakan mereka, melainkan hendak mempelajari dan menyaksikan jurus-jurus rahasia mereka yang telah diketahui Pangcu bagian teorinya saja. Kemudian mereka dibebaskan kembali. Pangcu adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat!"

"Hemmm, kalau memang sakti, mengapa masih ingin mencuri ilmu orang-orang lain?"

"Pangcu tidak akan menggunakan ilmu-ilmu itu, hanya ingin menghimpun, kemudian menciptakan ilmu baru untuk menandingi kehebatan To-cu Pulau Es."

Bun Beng mengerutkan keningnya. "Justeru itulah yang aku tidak suka! Aku kagum dan suka kepada Pendekar Siluman yang aku yakin adalah seorang yang selain sakti, juga amat bijaksana. Kalau Pangcu-mu memusuhi Pendekar Siluman, sudah pasti sekali aku berpihak kepada Majikan Pulau Es itu!"

Sai-cu Lo-mo kelihatan berduka. "Aihh, Bun Beng. Mengapa engkau menyusahkan hati seorang tua seperti aku? Apa perlunya engkau mencampuri segala urusan yang tiada sangkut-pautnya denganmu? Engkau menyerah dan taatlah, dan aku bersumpah bahwa kelak engkau tidak akan menyesal. Akan kau lihat sendiri kebaikan Thian-liong-pang!"

"Maaf, aku tetap tidak mau menjadi anggota Thian-liong-pang."

"Bun Beng, engkau tidak akan dapat keluar dari sini. Jalan satu-satunya adalah mentaati Pangcu dan aku hanya diperbolehkan membujukmu selama tiga hari. Kalau selama itu engkau belum menurut, engkau akan menjadi tahanan di sini selamanya! Dan engkau... engkau akan mati dengan sia-sia..."

"Menyesal sekali. Aku lebih memilih bahaya mati dari pada harus menuruti kehendak Pangcu-mu yang seperti iblis itu!"

Kakek itu menghela napas panjang, kemudian pergi dengan muka berduka. Selama tiga hari terus-menerus datang dan membujuk, namun tetap saja Bun Beng tidak mau menuruti bujukannya. Bahkan pemuda itu kini semakin tekun dengan penyelidikannya. Dibongkarnya batu-batu di lantai, di antara tulang-tulang rangka manusia, dan dia menemukan sebuah kapak bergagang panjang. Tentu kapak ini merupakan senjata dari seorang di antara mereka yang telah menjadi rangka itu. Kemudian ia memeriksa dinding, dinding di sebelah kanan pintu lebih berlumut dan dingin sekali. Kalau ia menempelkan telinganya di situ, terdengar bunyi air berkerosok. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa tentu dinding ini yang paling tipis sehingga dia dapat mendengar bunyi air bergerak. Akan tetapi mengapa ada air di balik dinding ini?

Setelah hari ketiga dan kakek muka singa menghabiskan bujukannya dengan sia-sia, kakek itu tidak muncul lagi. Setiap malam ada seorang penjaga melemparkan roti kering dan guci air ke dalam kamar tahanan. Dan mulailah Bun Beng bekerja. Dengan kapak gagang panjang itu dia mulai membongkar batu dinding kanan sekuat tenaga. Dia bekerja setelah penjaga melemparkan makanan. Setelah menghabiskan roti dan air, mulailah dia menghantami dinding batu dengan kapaknya. Dia mempunyai waktu sehari semalam lamanya. Besok malam, barulah ada penjaga datang untuk memberi makanan dan minuman. Dia harus berhasil selama sehari semalam ini, karena kalau tidak, tentu penjaga akan melihatnya dan dia akan ketahuan, yang berarti gagal!

Bun Beng bekerja dengan semangat menyala-nyala, tak pernah sedetik pun ia berhenti dan dia tidak mempedulikan kedua telapak tangannya yang sudah lecet-lecet dan otot-otot lengannya yang menggelepar-gelepar di dalam daging. Ia terus menghantamkan kapaknya dan satu demi satu batu dinding dapat ia bongkar. Batu itu keras sekali dan semalam suntuk dia hanya dapat membongkar sedalam satu meter. Namun belum tampak tanda-tanda bahwa dinding itu telah menipis!

Pada keesokan harinya Bun Beng masih terus bekerja, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, seluruh pikiran, perhatian, dan tenaga dikerahkan untuk menghantami batu-batu dengan kapaknya. Dia tidak tahu berapa lama dia bekerja, hanya bahwa dia harus berlomba dengan waktu. Betapa pun juga, hatinya mulai risau ketika dinding yang tadinya jelas itu mulai tampak suram tanda bahwa hari telah mulai sore dan sebentar lagi malam akan tiba dan berarti Si Penjaga akan datang mengantar roti dan air. Dia akan ketahuan dan akan gagal! Teringat akan ini, Bun Beng memperhebat ayunan kapaknya, menghantam dinding batu yang kini sudah ia gali sedalam dua meter lebih, tingginya seukuran tubuhnya. Batu-batu berserakan di dalam kamar itu, ia tendang-tendangi sehingga bertumpuk di kanan kiri dan belakangnya.

Malam tiba. Kegelapan cuaca kini diterangi seberkas cahaya kemerahan sinar lampu penerangan seperti biasa. Tak seberapa lama lagi penjaga tentu muncul. Bun Beng menghentikan kapaknya yang menjadi panas karena terus menerus menghantam batu keras. Dia terduduk, terengah-engah dan menghapus peluh sambil mengasah otak. Bagaimana sekarang? Dinding terkutuk itu tidak juga dapat ia tembus, agaknya setebal perut gunung!

Dan Si Penjaga sebentar lagi datang! Akan terbuang sia-sialah usahanya yang mati-matian selama sehari semalam! Tubuhnya terasa penat sekali, perutnya lapar dan kerongkongannya kering, haus. Lapar dan haus! Teringat akan ini, Bun Beng meloncat bangun dan lari ke pintu, menempelkan tubuhnya ke pintu yang lebarnya hanya sebesar orang. Kedua lengannya ia keluarkan dari celah-celah jeruji baja, mukanya ia tempelkan pada jeruji dan matanya mengerling ke arah datangnya penjaga.

Ketika ia melihat penjaga datang membawa roti dan guci air, Bun Beng berteriak-teriak memaki, "Penjaga keparat! Mengapa begitu lama? Aku sudah kelaparan dan hampir mati kehausan! Hayo cepat bawa roti dan air itu ke sini! Keparat jahanam engkau!"

Penjaga itu berhenti dan tertawa. "Ha-ha-ha, orang muda. Jangan kira aku tidak tahu akan akal bulusmu!"

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bun Beng mendengar ini. Ia makin merapat pada jeruji pintu, menutupi seluruh celah jeruji dengan kedua lengan di kanan kiri mukanya. "Apa... apa maksud-mu?"

Kembali penjaga itu tertawa dan berdiri agak jauh sehingga Bun Beng tidak akan mampu menjangkau dengan tangannya. "Ha-ha-ha, apa kau kira aku bodoh? Engkau tentu ingin agar aku mendekat sehingga engkau dapat menangkap dan membunuhku, bukan?"

Rasa lega menyelubungi hati Bun Beng. Ia membentak, "Memang aku ingin sekali mencekik lehermu dan mematahkan tulang punggungmu!"

"Jangan mimpi, aku lebih cerdik darimu. Begitu melihat engkau di pintu, aku sudah curiga karena biasanya engkau tidak mengacuhkan roti dan air yang kubawa untukmu. Tentu engkau hendak menggunakan akal, pikirku, maka aku tidak mau mendekat. Nah, nih, kau tangkap roti dan airmu. Ha-ha-ha!" Penjaga itu melemparkan roti dan guci air ke arah kedua tangan Bun Beng.

Dengan sengaja Bun Beng bergerak lambat. Roti dapat ditangkapnya, akan tetapi guci air itu luput dan jatuh ke atas lantai di luar pintu, airnya tumpah. "Jahanam, lekas ambilkan air untukku. Aku haus sekali!" Bun Beng berteriak-teriak akan tetapi penjaga itu tertawa.

"Rasakan kau!" katanya sambil berjalan pergi!

Bun Beng cepat mengambil kapaknya dan lupa makan. Dia mulai lagi bekerja, hatinya lega. Dia telah dapat memperpanjang waktu usahanya sehari semalam lagi! Batu-batu itu mulai mudah dibongkar karena tanahnya lembek dan basah, bahkan kini ada air menetes-netes memasuki kamar. Dia menggali terus penuh semangat.

Pada keesokan harinya lewat pagi, air yang menetes makin banyak, bahkan kini jelas terdengar bunyi riak air. Bun Beng mengapak terus, tampak ada batu bergerak, kapaknya terayun ke arah batu itu dan...

"Krasak-krasak... byuuuurrrr...!"

Bun Beng cepat meloncat ke samping, melempar kapaknya dan mepet pada dinding dekat lubang yang kini tiba-tiba pecah menjadi lebar terdorong oleh masuknya air seperti dituang. Bun Beng berdiri mepet dinding dengan muka pucat. Bahaya yang datang mengancamnya ini tidak kalah mengerikan. Memang benar dia telah berhasil membobol dinding, akan tetapi ternyata di belakang dinding itu adalah air yang entah berapa banyaknya, yang kini membanjiri kamar tahanan.

Bun Beng tidak mau panik, dan otak otaknya bekerja cepat. Jika ia menerobos lubang itu, tidak mungkin dia kuat menghadapi tenaga air yang menerjang masuk, maka ia hanya mepet dinding dekat lubang sambil mencengkeram dinding batu dengan kedua tangannya. Dia maklum bahwa kalau kamar itu telah penuh, air akan terus menerobos keluar melalui celah-celah jeruji pintu. Akan tetapi, mengingat bahwa lubang itu tidak begitu besar dan air yang menerobos tidak banyak, maka tekanan air dari luar lubang dinding tentu tidak begitu besar. Maka dengan kenekatan luar biasa, Bun Beng menanti sampai kamar itu penuh. Air naik dengan cepatnya sampai ke leher, dia memejamkan mata dan mengumpulkan napas sepenuh paru-parunya sambil menanti.

Bun Beng memang cerdik. Kalau dia panik dan berusaha keluar dari lubang dinding, selain air menerjang masuk, tentu dia akan terseret dan terbanting kembali sehingga membahayakan keselamatannya. Sebentar saja air menjadi penuh dan Bun Beng yang telah tenggelam di dalam air itu merasa betapa dorongan air dari lubang dinding yang jebol itu tidak begitu kuat lagi.

Cepat ia melepaskan cengkeraman tangannya pada dinding, berenang ke arah lubang dengan tangan meraba-raba karena ketika ia membuka matanya, dia tidak dapat melihat apa-apa, air itu keruh dan akhirnya dia dapat meraba dinding yang jebol. Dia merangkak, berpegangan pada pinggiran lubang, terus merayap keluar lubang itu. Ketika ia meluncur ke depan, tubuhnya terdorong ke atas dan tahulah dia bahwa dia berada di air yang dalam, entah telaga, sungai atau laut! Tak mungkin lautan, pikirnya, karena air tidak asin. Dia membiarkan dirinya meluncur ke atas, bahkan membantu dengan kaki tangannya karena dia harus dapat tiba di permukaan air. Dadanya seperti akan meledak karena sudah terlalu lama dia menahan napas!

Betapa girang hati Bun Beng ketika akhirnya kepalanya tersembul di permukaan air. Ia membuka mulut dan menghisap napas banyak-banyak sampai dadanya terasa nyeri. Ia terengah-engah, berganti napas dan membuka kedua matanya. Kiranya ia telah tiba di permukaan sebuah sungai yang amat lebar, sungai yang selain lebar juga dalam, dan airnya keruh. Demikian lebarnya sungai itu sehingga dari tempat ia muncul, yaitu di tengah-tengah, ia melihat kedua tepinya jauh sekali.

"Aduhhh...!"

Tiba-tiba secara otomatis Bun Beng mengerahkan sinkang membuat kakinya keras karena kakinya terasa digigit sesuatu dari bawah. Ia dapat menahan gigitan itu dengan sinkang-nya yang membuat kaki kirinya kebal, tetapi kini makhluk yang mengigitnya itu meronta dan hendak menyeretnya ke bawah.

Bun Beng menjadi marah. Cepat ia menarik kakinya dan tampaklah seekor ikan menggigit kakinya itu. Ikan yang besar sekali, sebantal besarnya.

"Ikan keparat!" Bun Beng membentak dan menendangkan kakinya.

Ikan itu mencelat karena gigitannya terlepas dan karena dia tidak dapat tahan lama di atas permukaan air. Akan tetapi kini Bun Beng melihat suara hiruk pikuk di kanan kirinya, air berguncang dan suaranya berkecipak, tampaklah kepala-kepala dan ekor ekor banyak ikan besar mengurungnya dan menyerangnya dari depan, kanan kiri dan belakang!

Bun Beng makin mendongkol. Dia mengenal ikan-ikan ini, semacam ikan lele yang tidak bersisik, kulitnya licin halus, kepalanya bulat mengkilap dan matanya seperti mata orang yang licik, gerakannya cepat sekali. Biasanya ikan macam ini merupakan bahan hidangan yang lezat, baik dipanggang mau pun dimasak atau digoreng sekali pun. Biasanya melihat seekor ikan seperti ini di darat menimbulkan selera. Akan tetapi pada saat itu, agaknya selera ikan-ikan itulah yang timbul melihat tubuh Bun Beng! Dan ikan-ikan ini, berbeda dengan yang biasanya dilihat Bun Beng, amatlah besarnya. Belum pernah ia melihat ikan lele sedemikian besarnya, biasanya hanya sebesar betis. Mungkin bukan ikan-ikan lele, karena tidak mempunyai kumis!

Bun Beng tidak memusingkan ikan apa-apa yang mengeroyoknya dan dia mulai mengamuk. Dengan tangan kanan, ia memukul seekor ikan yang menyerangnya dari depan sehingga tubuh ikan itu terlempar jauh di atas air, kemudian kaki tangannya bekerja memukul dan menendang ikan-ikan itu.

"Aupppp...!"

Karena lupa bahwa dia bukan sedang berada di darat, maka begitu dia main silat di air, tubuhnya tenggelam dan dia gelagapan. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya dan kini setelah tubuh atasnya timbul, ia hanya menggunakan kedua tangan saja untuk memukul dan mendorong ikan-ikan itu, sedangkan kedua kakinya dia pergunakan untuk menahan tubuhnya agar tidak tenggelam.

Bun Beng adalah seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, dan kalau hanya dikeroyok oleh ikan-ikan seperti itu saja, agaknya dia akan dapat mengalahkan para pengeroyoknya dengan mudah. Akan tetapi itu kalau di darat. Kalau di air, dialah yang repot sekali. Kepandaiannya berenang di air amat terbatas, bukan termasuk ahli, tentu saja dibandingkan dengan ikan-ikan yang memang hidupnya di air dia kalah jauh dan sebentar saja Bun Beng menjadi gelagapan dan sudah beberapa kali tubuhnya terkena gigitan ikan-ikan kelaparan itu.

Celaka, keluhnya. Baru saja terbebas dari kamar neraka, dia sudah diancam bahaya air, dan baru saja dia terbebas dari ancaman itu, kini dia kembali menghadapi maut di mulut ikan lele! Benar-benar menyebalkan bahaya yang sekali ini mengancamnya. Betapa tidak menyebalkan kalau dia harus mati di mulut ikan-ikan lele! Padahal, semestinya ikan-ikan lele itulah yang mati di mulut manusia. Betapa memalukan, seorang pendekar mati dikeroyok ikan lele! Tidak, dia tidak mau mati begitu remeh! Bun Beng melawan sedapatnya sambil berusaha berenang ke tepi sungai itu.

Tiba-tiba terdengar lengking nyaring disusul suara berkelepaknya sayap. Bun Beng mendengar ini, akan tetapi dia tidak dapat mengalihkan perhatiannya terhadap pengeroyokan ikan-ikan itu. Sekali ia memutar tubuh menghantam seekor ikan dengan tangan kanannya, membuat ikan itu terlempar dalam keadaan mati karena kepalanya pecah.

Tiba-tiba saja, seperti munculnya tadi, ikan-ikan itu menyelam dan lenyap, kecuali beberapa ekor yang telah menjadi bangkai. Dan sebelum Bun Beng sempat sadar akan datangnya bahaya lain, tahu-tahu pundaknya terasa nyeri dan tubuhnya sudah melayang ke atas!

Bun Beng terkejut sekali. Tubuhnya melayang tinggi dan di atas terdengar kelepak sayap burung! Ia memandang ke atas dan tepat seperti yang ia duga dan khawatirkan, pundaknya telah dicengkeram oleh kaki seekor burung rajawali yang besar dan ia dibawa terbang tinggi sekali!

"Sialan!" Bun Beng menyumpahi dirinya. Terlepas dari mulut ikan lele, kini masuk ke dalam cengkeraman rajawali raksasa yang buas! Mengapa dirinya selalu ditimpa kemalangan dan diancam bahaya maut yang mengerikan?

Teringat ia akan pengalamannya dahulu ketika ia diterbangkan seekor burung dan dia bersembunyi di dalam keranjang. Dia memandang penuh perhatian dan keningnya berkerut. Celaka! Burungnya yang itu-itu juga! Burung rajawali milik Pulau Neraka! Tak salah lagi, dia mengenal modelnya. Wah, wah, kalau burungnya ada, tentu pemiliknya ada. Bocah laki-laki menjemukan itu, bocah iblis yang keji dan sadis! Sekarang tentu sudah menjadi seorang pemuda, dan tentu lebih kejam dari pada dahulu.

Hampir saja Bun Beng memukul kalau saja dia tidak ingat bahwa dia bukan di atas tanah. Ia melirik ke bawah dan menjadi ngeri. Burung itu terbang tinggi sekali sehingga sungai yang besar itu kini tampak jelas seperti seekor naga jauh di bawah. Dan burung itu tidak lagi berada di atas sungai. Kalau dia memukul dan terlepas dari cengkeraman, tentu dia akan jatuh terbanting ke atas tanah dan remuk semua tulangnya! Maka ia lalu meraih ke atas dan tangannya memegang kaki burung erat-erat sambil melepaskan cengkeraman kaki burung yang masih mencengkeram pundaknya. Kini dialah yang memegang kaki burung, tidak berani melepaskan karena hal itu akan berarti kematian yang mengerikan baginya.

Tiba-tiba ia melihat seekor burung lain, juga amat besar, terbang cepat datang dari jauh. Sudah terdengar suara pekik burung itu melengking keras. Celaka, pikirnya, tak salah lagi tentulah bocah setan itu yang datang menunggang burungnya. Masih terlalu jauh untuk dapat dilihat apakah burung yang terbang datang itu ada penunggangnya atau tidak.

Ia memutar otaknya, mencari akal apa yang harus dilakukannya kalau sampai pemuda setan itu betul-betul datang. Kalau saja dia bisa naik ke atas punggung burung ini, dia akan mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan. Sama-sama menunggang burung, barulah ramai dan sebanding kalau bertempur. Kalau dia bergantung pada kaki burung, tentu saja dia tidak dapat melakukan perlawanan dengan baik, paling-paling dia hanya bisa melindungi tubuhnya dengan sebelah tangan, yang sebelah lagi harus ia pergunakan untuk bergantungan pada kaki burung.

Tiba-tiba burung yang membawanya itu melengking keras, lengking tanda kemarahan, dan ketika burung yang terbang datang itu sudah tampak dekat, hati Bun Beng agak lega karena tidak tampak ada penunggangnya. Namun kelegaan hatinya itu menjadi berubah seketika saat kedua ekor burung itu sudah saling serang dengan hebatnya. Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung yang baru datang adalah seekor burung garuda putih. Dia mengenal burung itu. Burung tunggangan Pendekar Siluman. Burung garuda dari Pulau Es! Tentu saja dua ekor burung yang menjadi musuh lama itu kini saling terjang mati-matian, saling cakar, saling patuk, saling kabruk sambil mengeluarkan suara melengking menulikan telinga.

Bun Beng yang celaka dalam pertarungan antar dua ekor burung raksasa itu. Betapa tidak? Tubuhnya tergantung di kaki burung rajawali dan di dalam pertandingan itu, kedua ekor burung saling terjang sehingga tubuh Bun Beng terbawa, terguncang, bahkan dia menjadi korban terkaman burung garuda yang tentu saja tidak dapat membedakan antara dia dari kaki burung lawan.

Bun Beng yang masih bergantung pada kaki rajawali menjadi serba salah. Mau membantu garuda putih dengan memukul tubuh rajawali, berarti dia seperti memukul diri sendiri. Kalau rajawali itu jatuh, bukankah berarti dia sendiri pun jatuh jatuh ke bawah? Mau membantu burung rajawali, dapat ia lakukan dengan jalan memukul garuda putih di waktu dua ekor burung itu saling kabruk, hatinya tidak mengijinkan karena dalam pertandingan antara kedua ekor burung itu otomatis dia berpihak kepada garuda putih yang menjadi peliharaan Pendekar Siluman yang ia kagumi. Membantu rajawali salah, membantu garuda pun tidak mungkin. Diam saja juga tidak baik karena dialah yang paling payah dalam pertadingan angkasa itu.

Bun Beng benar-benar merasa tersiksa sekali, tersiksa lahir batin. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan, montang-manting terdorong ke sana sini, kena patuk dan cakar hingga ia luka-luka dan tubuhnya terasa sakit-sakit, pakaiannya pun banyak yang terkoyak. Ini benar-benar menyiksa hatinya.

Dalam pertadingan biasa, biar pun melawan musuh yang jauh lebih pandai, sedikitnya dia bisa melawan, balas menyerang, atau kalau sudah merasa kalah, dapat melarikan diri. Akan tetapi sekarang ini sama sekali dia tidak berdaya. Membalas tidak bisa, melindungi tubuh sendiri pun tidak sempurna, melarikan diri pun... mana mungkin? Habislah ikhtiar sebagai manusia dan dalam keadaan seperti itu, tidak lain jalan lagi kecuali menyerahkan nasib ke tangan Tuhan! Dia hanya dapat menggunakan sebelah tangan untuk menangkis setiap ada bahaya patukan, cengkeraman atau kabrukan sayap yang mempunyai tenaga kwintalan!

Dalam pertandingan angkasa yang ramai itu, Si rajawali raksasa akhirnya terdesak hebat. Banyak bulu sayapnya membodol dan kepalanya berdarah. Hal ini tidak mengherankan. Dalam keadaan biasa saja, garuda putih dari Pulau Es yang terlatih itu merupakan lawan berat baginya, apa lagi sekarang sebelah kakinya diganduli orang, tentu saja hal ini membuat gerakannya kurang leluasa sehingga dia lebih banyak menerima patukan dan cengkeraman. Oleh karena itu, sambil mengeluarkan suara melengking bingung, seperti seekor ayam dikejar-kejar anak kecil, rajawali raksasa itu mulai menggerak-gerakkan kakinya yang diganduli Bun Beng, berusaha melepaskan orang yang menjadi pengganggu gerakannya.

Bun Beng maklum akan niat rajawali itu dan tentu saja dia tidak sudi disuruh turun begitu saja. Terlepas berarti melayang turun dari tempat yang tingginya ribuan kaki! Maka ia malah menggunakan tenaganya untuk memegang kaki rajawali itu sekuat mungkin sehingga biar pun rajawali itu berusaha untuk menendangkan kakinya, tubuh Bun Beng tetap saja tidak terlepas dari kakinya.

Namun kini keadaan Bun Beng makin payah. Kalau tadinya dia hanya menjaga diri dari serangan garuda putih yang sebetulnya menyerang Si rajawali dan tanpa disengaja menyerang Bun Beng pula, setelah rajawali itu kini berusaha melepaskannya, Bun Beng harus menghadapi dua serangan, yaitu dari garuda yang masih menyerang secara ngawur sehingga dirinya ikut diserang, dan dari rajawali yang hendak menendang dirinya supaya terlepas.

Tubuh Bun Beng terayun-ayun dan beberapa kali hampir saja pegangannya terlepas. Betapa pun juga, dia tidak berani memegang kaki rajawali itu dengan dua tangannya, karena tangan yang kanan ia perlukan untuk menjaga diri, menangkis terjangan garuda. Kepalanya menjadi pening dan tangan kirinya terasa penat sekali. Kalau sudah tidak kuat, dia mengganti tangan kiri dengan tangan kanan yang menggandul, sedang tangan kirinya yang penat itu ia pergunakan untuk melindungi tubuhnya dari terjangan garuda putih.

Burung garuda itu menyambar lagi, kini dari bawah. Agaknya garuda yang cerdik itu melihat betapa lawannya sibuk dengan kakinya. Otomatis paruh dan cakar garuda yang menerjang perut rajawali itu mengabruk pula tubuh Bun Beng yang tergantung.

"Celaka...!" Pemuda itu berseru keras.

Betapa pun ia hendak mempertahankan, tak mungkin ia menangkis serangan garuda sehebat itu hanya dengan tangan yang sudah penat. Gerakan menyelamatkan dirinya secara otomatis membuat ia menggunakan pula tangan kanan, lupa bahwa tangan kanannya tak boleh dilepaskan dari kaki rajawali. Begitu ia menggerakkan tangan kanan melepaskan kaki rajawali, tentu saja tubuhnya terlepas dan melayang ke bawah.

"Mampus aku sekarang...!" Ia mengomel karena jengkel akan kebodohannya sendiri, tetapi ia segera teringat dan disambungnya tenang, "...kalau Tuhan menghendaki...!"

Akan tetapi betapa mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dengan tubuh meluncur ke bawah sedemikian cepatnya, menuju ke arah tanah di bawah yang berbatu? Betapa pun lihainya, tidak mungkin ia dapat menguasai tubuhnya yang meluncur turun cepat sekali, seperti batu disambitkan.

Bukan main herannya rasa hati Bun Beng. Di saat kematian berada di depan mata ini, seperti dalam mimpi ia melihat wajah yang berubah-ubah. Pertama wajah Milana, kemudian berubah menjadi wajah Kwi Hong, dan berubah lagi menjadi wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai. Gila, ia menyumpah. Mengapa dalam menghadapi maut yang agaknya sekali ini tidak mungkin dapat ia elakkan lagi, pikirannya jadi kacau-balau dan ia teringat akan gadis-gadis itu? Inikah yang disebut watak mata keranjang seorang pria?

Ayahnya memperkosa ibunya! Ayahnya dan ibunya saling bunuh! Anak haram, kata Ketua Thian-liong-pang. Anak seorang datuk kaum sesat, sering kali ia mendengarnya. Dan dia masih cucu keponakan seorang tokoh Thian-liong-pang yang mukanya seperti singa. Orang macam apakah dia? Mati pun tidak akan ada yang kehilangan. Pikiran ini membuat dia makin tenang, karena ia berpendapat bahwa orang seperti dia ini kalau terus hidup pun hanya akan mengalami kesengsaraan dan penghinaan, mengalami tekanan batin dan tidak dihargai orang.

Satu-satunya orang yang paling baik terhadapnya adalah suhu-nya yang pertama, Siauw Lam Hwesio. Namun suhu-nya itu telah dibunuh secara mengerikan oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun koksu (guru negara) yang tinggi kurus itu bersama pembantu-pembantunya. Tidak, dia tidak boleh mati!

Biar pun kalau hidup ia mengalami kesengsaraan batin, akan tetapi dia harus hidup untuk menuntut balas atas kematian Siauw Lam Hwesio yang demikian menyedihkan! Dan dia masih meninggalkan sepasang pedang pusaka yang belum diambilnya. Sayang kalau pedang itu tersia-sia hilang di tempat rahasia itu. Kini timbul keinginan hatinya untuk menyerahkan pedang itu kepada Pendekar Siluman, satu-satunya orang yang dikaguminya di antara seluruh tokoh sakti di dunia ini.

"Aku tidak mau mati dulu...!!" Bun Beng berteriak diluar kesadarannya.

Tiba-tiba ia melihat seekor burung raksasa lain di bawahnya. Celaka, apakah ia dikejar dua ekor burung tadi? Ah, tidak, burung ini berada di bawahnya, bergerak-gerak terbang menyongsongnya, tentu akan menyerangnya pula. Dalam keadaan melayang dan meluncur turun ini, sedangkan untuk menjaga jatuhnya saja dia tidak mampu, bagaimana akan dapat mempertahankan diri kalau burung raksasa ini menyerangnya?

Ah, dia akan tertolong kalau dapat menangkap burung itu. Asal dapat menangkapnya, entah merangkul lehernya atau merangkul kakinya, pendeknya dia harus dapat mengunakan burung itu sebagai penyelamatnya dari kejatuhan yang tak dapat disangsikan lagi akan kehancuran tubuhnya. Kalau tadi timbul kengerian karena takut diserang burung baru ini, sekarang dia malah mengharap agar burung itu benar-benar menyerangnya. Karena kalau dia yang harus menuju ke burung itu, tentu saja tidak mungkin. Tanpa sayap mana mungkin dia bisa mengatur meluncurnya itu?

Makin dekat... dan Bun Beng kembali menyumpah, "Dasar awak sialan!"

Yang disangkanya burung raksasa itu ternyata hanya sebuah layangan besar sekali. Memang bentuknya seperti burung, bahkan dilukis seperti burung, akan tetapi tetap saja benda itu hanya sebuah layang-layang yang biasa menjadi permainan seorang kanak-kanak! Apa artinya sebuah layang-layang baginya dalam keadaan terancam bahaya maut seperti itu? Seakan-akan malah mengejeknya, bergerak-gerak ke kanan kiri dipermainkan angin.

Melihat betapa layang-layang itu bergerak-gerak seperti seekor burung yang menari-nari mengejeknya, timbul rasa panas di hati Bun Beng. Memang dia terancam bahaya maut, akan tetapi sedikit pun dia tidak takut. Mengapa harus diejek? Karena dia tidak berdaya membalas, kalau dia dapat tentu akan ditangkapnya layang-layang itu dan dicabik-cabiknya, maka Bun Beng hanya memejamkan matanya dan membiarkan tubuhnya meluncur terus ke bawah.

Teringat ia ketika dahulu ia jatuh pula dari kaki burung rajawali terbang dan berada di dalam keranjang, akan tetapi di bawahnya adalah laut luas sehingga dia terjatuh dengan empuk. Hanya satu perbedaannya, kalau dahulu di waktu dia masih kecil dia menjadi pingsan ketika meluncur turun, kini dia dapat mempertahankan diri dan tidak menjadi pingsan. Hal ini karena sinkang-nya sudah bertambah jauh lebih kuat, maka ia merasa dadanya sesak dan sukar bernapas, namun ia masih dapat menahannya dan masih dalam keadaan sadar sepenuhnya, merasakan betapa tubuhnya melayang turun dengan kecepatan yang mengerikan.

Tiba-tiba ia merasa kakinya nyeri dan luncuran tubuhnya tertahan, bahkan kini tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Ketika ia membuka mata, ia melihat bahwa kedua kakinya terlibat oleh sehelai tali yang cukup besar, sebesar kelingking. Tubuhnya yang bergantung itu bergoyang ke kanan kiri, akan tetapi tidak melucur ke bawah lagi. Ia melihat ke atas, di atas kepalanya, tidak begitu tinggi, hanya sejauh lima enam meter, tampak layang-layang raksasa tadi bergerak-gerak.

"Setan! Iblis! Siluman angkasa laknat! Engkau mengacau layang-layangku, si keparat!"

Tiba-tiba Bun Beng mendengar suara makian dari atas dan dengan mata terbelalak ia melihat bahwa di bawah layang-layang itu tampak seorang kakek berdiri di tali-temali layang-layang, seorang kakek yang bertubuh pendek, berjenggot panjang dengan rambut terurai lepas, melambai tertiup angin. Yang membuat ia terkejut adalah wajahnya berwarna kekuningan mendekati putih, hanya karena jenggot dan rambutnya sudah berwarna putih perak maka wajahnya tampak menguning! Seorang tokoh Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Orang dari mana lagi kalau bukan dari Pulau Neraka yang memiliki kulit kuning seperti dicat itu?

Timbul harapannya di hati Bun Beng. Kalau kakek itu dapat hidup di tali layang-layang, tentu ia pun dapat. Harapan untuk hidup membuat Bun Beng sadar dan cepat-cepat ia menggunakan kedua tangannya memegang tali layang-layang dengan erat, kemudian melepaskan kakinya dari belitan dan membalikkan tubuh sehingga kini dia bergantung pada tali layang-layang itu, kedua tangannya memegang erat dan kedua kakinya ia libatkan. Gerakan-gerakannya ini membuat layang-layang itu makin kacau gerakannya, bergoyang ke kanan kiri, kadang-kadang menukik turun dengan kecepatan mengerikan dan mengeluarkan bunyi angin bercuitan.

"Setan! Bodoh! Kiranya engkau hanya seorang pemuda tolol. Dari mana kau datang mengacau layang-layangku, heh? Lekas... wah celaka, pindahkan berat tubuhmu ke kanan, injakkan kakimu pada tali dan enjot tubuhmu ke atas. Wah-wah... celaka, bisa turun terus layang-layang ini. Sialan, kau merampas kegembiraanku!"

Tidak usah dimaki dan diperingatkan pun, Bun Beng sudah maklum betapa bahayanya ‘menunggang’ layang-layang dengan bergantungan pada talinya. Ketika layang-layang itu menukik turun, dia menjadi ngeri sekali. Mengertilah dia bahwa kakek Pulau Neraka yang aneh itu tadi ‘mengemudikan’ layang-layang secara aneh dan biar pun di dalam hatinya dia tidak suka kepada tokoh Pulau Neraka yang dianggapnya jahat, namun mendengar perintah itu, otomatis dia mentaatinya. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada kawan atau lawan, yang ada hanyalah orang senasib sependeritaan, kalau gagal sama-sama mati kalau berhasil sama-sama selamat.

Dia mengerahkan tenaganya ke kanan, menginjak tali layang-layang dan mengenjot tubuh ke atas. Benar saja, layang-layang yang kehilangan gandulan dan bobot di bawah itu segera menghentikan gerakan menukik ke bawah, kepalanya kembali ke atas dan kini layang-layang itu menjadi ‘odek’ (bergoyang-goyang ke kanan kiri cepat sekali) membuat tubuh Bun Beng terbawa goyang-goyang membuat kepalanya pening karena tubuhnya seperti dikocok ke kanan kiri.

"Setan udara! Apakah engkau sudah bosan hidup? Jangan pegang erat-erat, layang-layang menjadi odek tidak karuan, sialan!"

Biar pun dimaki-maki, Bun Beng yang maklum bahwa keselamatan mereka berdua tergantung dengan keahlian kakek itu, tidak menjadi marah dan bertanya.

"Habis bagaimana, Kakek yang baik?"

"Wah-wah, kau mulai menjilat-jilat, ya? Heiii, bukankah tampangmu pernah kulihat?"

Bun Beng menjadi bengong. Setelah kini layang-layang itu tidak menukik ke bawah, dia mendapat kesempatan untuk memandang wajah kakek itu penuh perhatian dan... teringatlah ia bersama Milana ditolong oleh kakek muka kuning yang aneh. Kiranya inilah orangnya! Tak salah lagi. Biar pun kini kelihatan lebih tua dan memakai sepatu pula, tidak bertelanjang kaki macam dulu, akan tetapi sikap aneh kakek itu malah bertambah dan sikap inilah yang mengingatkan dia. Akan tetapi dia pun teringat betapa dalam pertemuan-pertemuan pertama itu dia telah mengakali kakek ini untuk dapat melarikan diri bersama Milana, maka ia menganggap bahwa tidaklah cerdik untuk mengakuinya.

"Aku tidak pernah berjumpa dengan Locianpwe."

"Ahhh, bohong! Aku pernah melihat mukamu, hemm... kalau saja engkau sudah tua dan kepalamu botak... heiii, kau mau ke mana?"

Bun Beng tidak mau melayani kakek gila itu lebih lama lagi. Dia melihat ke bawah dan maklum bahwa kalau dia merosot turun melalui tali layang-layang itu, dia akan dapat sampai ke bumi dan dapat membebaskan diri. Maka kini dia mulai melorot turun sambil berkata, "Locianpwe, aku mau turun, tidak kerasan di sini!"

"Eh, eh, enak saja! Mana bisa?" Kakek itu tertawa bergelak dan tiba-tiba layang-layang itu menukik ke kiri, kemudian membuat gerakan melingkar sehingga tali itu pun menggantung dan ikut pula berputar.

"Wuuuttt!"

"Aihhhh...!" Bun Beng cepat mengelak dengan memindahkan tangan, bergantung pada tali agar jangan sampai terkena patukan layang-layang yang menyambar ke arah tubuhnya! Serangan aneh layang-layang itu luput, akan tetapi Bun Beng maklum bahwa dengan kepandaiannya yang dahsyat, tentu kakek itu akhirnya akan dapat memaksa ia meloncat turun dan akan hancurlah tubuhnya. Ia lalu menggerak-gerakkan tubuhnya, menarik-narik tali layang-layang itu sehingga kembali layang-layang itu menjadi kacau balau gerakannya.

"Ehhh... Ohhh... setan cilik! Jangan kacau layanganku!" Kakek itu terkejut dan memaki-maki.

Bun Beng tersenyum. "Kalau Locianpwe tetap menyerangku, aku pun akan tetap menarik-narik tali layangan sampai putus, biar kita berdua mampus!"

"Eh, jangan, eh... nanti dulu. Kalau talinya putus, aku bagaimana?"

"Masa bodoh. Aku akan jatuh dan mati seketika, tidak menderita. Tetapi Locianpwe akan terbawa terbang layang-layang putus, mungkin dibawa ke neraka!"

"Hahh-hoh kalau neraka memang tempatku. Akan tetapi jangan... biarlah kita berjanji, aku tidak akan menyerangmu akan tetapi kau jangan menarik-narik talinya."

"Aku berjanji takkan menarik-narik talinya, akan tetapi Locianpwe jangan menghalangi aku turun."

"Wah, perjanjian kentut! Mana bisa begitu? Aku tidak menyerangmu dan kau tidak menarik-narik tali, itu sudah satu lawan satu. Kalau ditambah lagi kau kubiarkan turun berarti kau minta dua memberi satu. Mana adil?"

"Kalau aku tidak boleh turun, apa artinya perjanjian ini? Locianpwe mau menang sendiri saja. Aku hendak turun, Locianpwe menghalang, maka aku menarik tali. Kalau Locianpwe tidak menghalangi aku turun, aku tidak akan menarik talinya, itu baru adil namanya."

"Wah, monyet cilik. Engkau benar pokrol bambu kering busuk! Ha-ha-ha, nah, kau turunlah, hendak kulihat bagaimana!" Tiba-tiba angin bertiup keras sekali membuat layang-layang itu terbang miring ke kiri.

"Wuuuutttt...!"

"Aihhh, celaka. Engkau jangan erat-erat memegang talinya, longgar-longgar saja, kau mengganggu kendaliku!" Kakek itu memindahkan berat tubuhnya dan meloncat ke pinggir kanan layang-layang itu.

"Siuuuttt...!" Kini layang-layang miring ke kanan dengan cepatnya sehingga tubuh Bun Beng terbawa melayang ke kiri kemudian ke kanan, membuat kepalanya pening dan jantungnya berdebar penuh kengerian.

"Aku mau turun, Locianpwe. Akan tetapi Locianpwe harus bersumpah tidak akan menyerangku!" Di dalam hatinya, pemuda ini masih curiga kepada kakek yang ia tahu amat cerdik dan curang itu.

"Apa? Bersumpah?" Kakek itu tertawa-tawa dan kini layang-layang kembali telah lurus dan tenang. "Boleh saja. Sudah sepuluh kali aku bersumpah dan lima puluh kali melanggarnya, sekarang ditambah lagi satu kali sumpah untuk dilanggar lima kali, tidak mengapalah!"

"Wah, sumpah seperti itu apa harganya?" Bun Beng mendongkol sekali dan maklum bahwa sumpah kakek ini tidak boleh dipercaya. Diam-diam ia merasa geli juga. Kakek ini curang ataukah jujur? Mengapa kebiasaan melanggar sumpah dia katakan secara terus terang macam itu? Tidak curang tidak jujur, melainkan gila agaknya!

"Kalau begitu, biar kutarik putus tali ini!" katanya dan mulai menarik-narik lagi.

"Eit-eit-eit-eiitt...! Jangan...! Biarlah, tanpa sumpah-sumpahan. Kau boleh turun tanpa kuhalangi, akan tetapi kau harus memberi-tahukan namamu."

Bun Beng berpikir. Kabarnya ayahnya seorang datuk kaum sesat. Orang-orang Pulau Neraka tentulah bukan dari golongan bersih, maka apa salahnya kalau dia mengaku? Sesama kaum tentulah tidak ada pertentangan.

"Baiklah, Locianpwe. Aku bernama Gak Bun Beng..."

"Astaga! Engkau bocah yang dulu kucari-cari? Bocah yang ditinggalkan Ibumu di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho? Ha-ha-ha, engkau putera Gak Liat Si Botak! Pantas saja aku seperti pernah melihat macammu, kiranya anak Si Gak Liat, Si Setan Botak. Ha-ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, tangan kanan memegangi tali layang-layang, tangan kiri menekan-nekan perutnya.

Mengkal sekali rasa hati Bun Beng menyaksikan lagak kakek itu. "Kakek gila, engkau terlalu menghina orang! Siapa sih engkau yang begini sombong? Dan apa hubunganmu dengan Ayah Bundaku?"

"Ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu masih terpingkal-pingkal, bahkan saking geli hatinya, air matanya bercucuran di atas pipinya yang kuning. "Namaku Ngo Bouw Ek, di dunia kang-ouw aku dijuluki Kwi-bun Lo-mo akan tetapi aku baru beberapa tahun merantau. Dalam perantauanku yang pertama, kebetulan sekali aku bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat Ayahmu. Kami bertanding dan aku membuat dia payah sampai terkencing-kencing! Ha-ha, dia datuk kaum sesat, mengaku kalah dan dia mengangkat aku sebagai kakak angkat! Lalu dia menceritakan bahwa yang membuat dia sering kali tak dapat tidur adalah perbuatannya atas diri Bhok Kim murid Siauw-lim-pai. Dia mendengar kabar bahwa wanita itu melahirkan seorang putera sebagai akibat perbuatannya yang memperkosa wanita itu. Dia berpesan agar aku kelak mengambil anaknya itu sebagai anak angkat. Ha-ha-ha, biar pun hasil perkosaan, namun Gak Liat amat sayang kepada anaknya karena memang dia tidak pernah punya keturunan. Demikianlah, ketika mendengar berita dia tewas bersama Ibumu, aku lalu menyuruh anak buahku untuk merampasmu, akan tetapi....."

"Anak buahmu keok semua oleh Pendekar Siluman! Sudahlah, aku tidak perlu mendengar lebih lanjut. Eh, apakah Locianpwe ini Majikan Pulau Neraka?"

Kakek itu mengangguk. "Aku memang Ketua Pulau Neraka... ehhh, maksudku, bekas ketua."

Bun Beng tidak ingin tahu lebih banyak tentang pulau itu, maka ia lalu melorot terus sambil berkata, "Sudahlah. Aku sudah mengaku namaku, sekarang aku akan turun."

"Wah, mana bisa? Kalau kau turun kemudian kau memutuskan tali layang-layang dari bawah, bukankah aku yang cia-lat?"

Bun Beng berhenti dan memandang ke atas, alisnya terangkat. "Apakah Locianpwe tidak percaya kepadaku? Aku bukanlah orang yang curang seperti Locianpwe!"

"Heh-heh-heh, siapa tahu? Engkau anak Setan Botak. Dalam hal kelicikan, kecurangan dan segala macam sifat busuk ini, di dunia tidak ada yang menyamai dia, siapa tahu sifat liciknya menurun kepadamu. Tunggu, aku pun akan turun!"

Bun Beng tidak peduli dan melanjutkan usahanya merosot turun melalui tali layang-layang, namun tiba-tiba kakek itu berteriak. "Wah, celaka tiga belas! Taufan datang...!"

Teriakan itu dikeluarkan dengan suara keras dan penuh rasa kaget, membuat Bun Beng menengok. Dari jauh tampak awan hitam datang cepat sekali dan tidak lama kemudian, layang-layang itu meliuk ke kiri dengan kekuatan yang hebat.

"Lekas kita turun, Locianpwe!"

"Tidak bisa, terlambat! Lekas kau naik ke sini kalau mau selamat!"

Bun Beng tidak mau menurut dan hendak merosot terus, tetapi mendadak tali layang-layang itu menegang dan bergetar hebat sehingga hampir saja ia tidak kuat bertahan memeganginya karena telapak tangannya terasa nyeri bukan main. Maklumlah dia bahwa kakek itu tidak membohong, sebab itu kini dia mulai merayap naik melalui tali layang-layang.

"Cepat pegang tanganku!" Kakek itu berkata, napasnya agak terengah karena dia yang sekarang mengulurkan tangan untuk membantu Bun Beng naik harus mengendalikan layang-layang yang menjadi liar itu dengan sebelah tangan saja. Bun Beng memegang tangan itu dan dia ditarik naik.

"Berdiri di sini dan pegang tali-temali di atasmu dengan tangan, hati-hati jangan banyak bergerak dan jangan terlalu erat. Turut dan contoh saja aku!"

Kakek itu tak dapat bicara banyak. Kini angin taufan telah mengamuk hebat, membuat layang-layang itu menjadi seperti seekor kuda binal dan tidak dapat dikendalikan lagi. Layang-layang itu kadang-kadang naik makin tinggi, tinggi sekali sampai melengkung seperti akan membalik dari arah angin, lalu terdorong kembali ke belakang dan talinya menegang, meliuk ke kiri sampai seperti tak pernah berakhir, kemudian terdorong ke kanan dan ada kalanya menukik ke bawah secara mengerikan karena kecepatannya luar biasa. Suara angin bercuitan menulikan telinga, dan tali layang-layang itu juga mengeluarkan bunyi berdering-dering seperti sehelai tali yang-kim ditabuh, suaranya kadang-kadang rendah sesuai dengan tinggi rendahnya getaran yang disebabkan oleh tarikan layang-layang yang terbawa angin taufan.

Kakek itu memaki-maki Bun Beng. "Sialan! Engkau bodoh seperti kerbau! Begini lho! Tekan kaki kanan ke depan, cepat. Bantu aku, dong! Bagaimana sih? Setan cilik tolol kau! Dengar baik-baik, jangan sampai layang-layang terus menukik, dan jangan sekali-kali menentang arah angin langsung. Bisa celaka kita! Pindahkan tenaga ke kaki kiri, kaki kanan lepas, tangan kanan menarik tali di atas, cepat! Nah, sekarang kaki kanan yang menekan, tangan kiri menarik. Hayo, seperti bermain layar, akan tetapi jauh lebih sukar, seratus kali lebih sukar!"

Payah juga Bun Beng mengikuti gerakan serta perintah kakek itu. Tenaga yang harus digunakan untuk melawan kekuatan angin ini merupakan tenaga seluruhnya, itu pun hampir tidak ada artinya terhadap kekuatan angin yang maha dahsyat itu. Kini kakek itu memerintahkan agar tenaga dirubah-rubah, bagaimana mungkin begitu mudah? Hampir beberapa detik harus dirubah lagi. Bun Beng merasa seluruh tubuhnya ngilu dan sakit-sakit, kedua kakinya menggigil dan kedua tangannya gemetar, hampir tak kuat memegang tali-temali layang-layang lebih lama lagi.

"Tolol! Jangan berhenti! Aku sendiri mana kuat mengemudikan layang-layang ini? Kalau tidak ada engkau di sini, tentu aku dapat, akan tetapi ditambah beratmu, benar-benar repot!"

Sementara itu angin bertiup makin keras, kini malah disertai kilat menyambar-nyambar, halilintar bermain-main di atas dan kanan kiri mereka. Cuaca menjadi gelap, bahkan kini percikan air-air halus yang amat kuat sehingga seperti berubah menjadi laksaan jarum-jarum kecil menerjang mereka.

"Celaka... celaka...!" Kakek itu makin repot dan jelas bahwa dia ketakutan.

Bun Beng yang biasanya senang menghadapi maut, menyaksikan sikap kakek itu jadi ketularan rasa takut. Memang keadaan amat mengerikan, dibawa oleh layang-layang dan dipermainkan angin taufan, halilintar dan hujan seperti itu!

"Dengar baik-baik kalau kau tidak ingin mati turut perintahku dan pelajari agar jangan sampai gagal. Taufan ini berbahaya sekali, untuk turun sekarang tidak mungkin. Satu-satunya jalan hanya mengemudikan layang-layang ini sebaik mungkin agar tidak sampai menukik turun atau talinya putus." Kakek itu sukar sekali bicara dengan jelas karena kencangnya angin meniup terbang suaranya. Terpaksa ia lalu merangkul Bun Beng dan berteriak. "Rangkul aku dan dekatkan telingamu pada mulutku!"

Setelah Bun Beng melakukan perintah ini, Kwi-bun Lo-mo lalu membisikkan pelajaran sedikit demi sedikit caranya menggerakkan tenaga pada kaki dan tangan, mengatur bobot, memindah-mindahkan tenaga dalam untuk mengimbangi serangan angin yang amat dahsyat. Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian sekalian mempraktekkan pelajaran itu mencontoh gerakan kakek aneh dan membantunya mengemudikan layang-layang.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan berbahaya itu dia telah menerima pelajaran ilmu rahasia yang sangat hebat, yaitu Ilmu Hoan-sinkang (Memindahkan Tenaga Sakti) yang tidak hanya dapat dipergunakan untuk mengemudikan layang-layang melawan serangan angin taufan yang maha dahsyat, tetapi juga merupakan ilmu yang dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan berat yang memiliki sinkang amat kuat! Ilmu ini merupakan ilmu tingkat tinggi yang dimiliki Ketua atau Majikan Pulau Neraka, dan selain Si Ketua sendiri, hanya kakek inilah orang kedua yang memilikinya, maka dia berani main-main dengan maut di tempat berbahaya itu, yaitu bermain dan mengemudikan layang-layang.

Mati-matian kedua orang itu bertempur dengan angin taufan, secara bersama-sama mengemudikan layang-layang yang mereka paksa untuk menuruti kehendak mereka, melawan kehendak angin. Sampai setengah hari lamanya angin taufan mengamuk dan selama setengah hari itu merupakan latihan yang amat hebat bagi Bun Beng, latihan terberat yang pernah ia alami selama hidupnya, akan tetapi karena keadaan yang memaksa, demi menolong nyawa, dalam waktu sependek itu ia telah berhasil memetik inti dari ilmu ini!

Menjelang senja barulah angin taufan itu mereda, hujan pun berhenti. Dengan pakaian basah kuyup kedua orang itu terengah-engah berdiri di atas tali dan berpegang pada tali layang-layang yang juga basah semua dan luntur gambarnya. Mereka kehabisan tenaga dan kini hanya mengandalkan kaki tangan yang sudah gemetar karena penat, tubuh menggigil kedinginan dan kehabisan tenaga. Akan tetapi kakek itu menyeringai tersenyum lebar memandang Bun Beng.

"Engkau hebat, orang muda. Ha-ha-ha, tidak percuma engkau menjadi putera Gak Liat, heh-heh-heh!"

Melihat betapa kakek itu bicara sebenarnya, tidak mengolok-olok dan memaki-maki lagi, Bun Beng berkata sungguh-sungguh. "Locianpwe yang hebat dan aku kagum sekali. Sebetulnya, macam apakah mendiang Ayah itu?"

"Gak Liat? Ya begitulah, seorang manusia seperti aku dan engkau ini," jawab kakek itu seenaknya.

"Akan tetapi banyak orang menyebutnya seorang jahat. Dan Locianpwe sendiri tadi mengatakan dia seorang yang licik dan curang."

"Memang dia licik dan curang, nomor satu di dunia mengenai kelicikannya. Akan tetapi kalau tidak licik, mana mungkin dia menjadi datuk kaum sesat? Tanpa kelicikan, mana mungkin dapat menonjol di dunia hitam?" Biar pun kakek itu mulai memuji ayahnya, namun pujian ini mendatangkan rasa tak puas di hati Bun Beng. Bagaimana hatinya akan senang dan puas kalau ayahnya dipuji sebagai seorang yang paling licik di dunia, sebagai seorang tokoh, bahkan datuk kaum sesat?

"Sudahlah, Locianpwe. Terima kasih atas pertolonganmu, aku hendak turun sekarang."

Setelah berkata demikian, Bun Beng merosot turun dan biar pun kedua telapak tangannya menjadi panas karena tenaganya sudah hampir habis, namun rasa nyeri itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan kesengsaraan selama setengah hari tadi dan ia merosot terus.

"He, tunggu! Apa kau kira aku selamanya akan tinggal di sini? Aku pun mau turun!" Kakek itu bergegas turun pula dari tali layang-layang yang kini terbang dengan anteng dibawa angin semilir halus.

Keduanya lalu merosot turun melalui tali layang-layang yang amat tinggi itu. Demikian tingginya layang-layang itu sehingga Bun Beng melihat pohon-pohon amat kecil di bawah, seperti rumput saja. Ia bergidik. Bukan main kakek bermuka kuning itu, main-main dengan maut seperti itu. Apa sih senangnya bermain-main dengan layang-layang yang begitu tinggi? Memang menegangkan, seperti seekor burung garuda terbang di angkasa, akan tetapi bagaimana kalau tali layang-layang putus? Bagaimana kalau kehabisan angin dan layang-layang itu melayang turun? Benar-benar permainan yang berbahaya dan gila!

"Ha, Bun Beng, aku amat girang dapat bertemu denganmu. Aku akan dapat memenuhi permintaan mendiang Ayahmu. Ikutlah bersamaku dan engkau akan memperoleh kepandaian hebat, apa lagi kalau Pangcu kami bersedia membimbingmu. Ketua kami adalah seorang yang memiliki kepandaian seperti..."

"Iblis!" Bun Beng menyambung. "Ketua Pulau Neraka tentu seorang iblis."

"Ha-ha-ha! Engkau seperti Ayahmu. Memang benar kepandaiannya hebat seperti iblis sendiri."

Bun Beng tidak menjawab dan mencari akal bagaimana dia akan dapat membebaskan diri dari kakek yang melorot turun di atasnya itu. Dia tidak sudi menjadi anggota Pulau Neraka seperti dia tidak mau menjadi anggota Thian-liong-pang. Biar dia dijanji akan diberi pelajaran ilmu yang tinggi, yang tidak diragukannya lagi, akan tetapi satu-satunya yang ia mau menjadi gurunya hanyalah Pendekar Siluman! Kalau Pendekar Siluman yang mengajaknya ke Pulau Es, tentu dia tidak akan menolak, bahkan akan menjadi girang sekali. Kini dia mencari akal bagaimana dapat melarikan diri dari kakek itu. Dia mempercepat gerakan kaki tangannya melorot turun, akan tetapi kakek itu tetap berada dekat di atas kepalanya!

Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil menggerak-gerakkan tangan ke bawah.

"Heiii...! Bangkotan busuk, pengecut laknat, jangan curang kau! Tunggu sampai aku turun dan kita boleh bertanding sampai selaksa jurus!"

Bun Beng cepat memandang ke bawah dan ia juga terkejut sekali. Di bawah sana ia melihat bahwa tali layang-layang itu oleh Si Kakek aneh diikatkan pada sebatang pohon besar dan ujung tali malah dikaitkan kuat-kuat pada sebuah batu karang yang kokoh. Kiranya setelah kakek itu berhasil menaikkan layang-layangnya sampai tinggi sekali, ia mengikat tali itu di sana kemudian agaknya kakek itu lalu memanjat ke atas melalui tali layang-layang untuk kemudian bermain-main di atas!

Dan kini di dekat pohon itu tampak seorang kakek bersorban dengan tubuh dibelit-belit kain kuning seperti mendiang Kakek Nayakavhira pembuat pedang yang dulu datang menunggang gajah dan juga pernah bertanding dengan kakek muka kuning ini! Di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki tampan, dan yang membuat Bun Beng merasa terkejut adalah ketika melihat betapa kakek bersorban itu menghampiri tali layang-layang dan agaknya hendak memutus tali itu!

"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa bergelak.

Agaknya Kwi-bun Lo-mo baru tahu bahwa kakek bersorban itu bukanlah kakek India penunggang gajah yang dulu pernah bertempur dengannya. Tentu saja Bun Beng mengerti bahwa kakek di bawah itu bukan Nayakavhira karena biar pun hampir sama, kakek di bawah itu lebih tinggi dan kurus, juga kulitnya lebih hitam.

"Setan India! Jangan curang, tunggu aku turun kalau berani!" Kembali Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil melorot makin cepat mengikuti Bun Beng, akan tetapi jarak antara mereka dengan tanah masih terlampau tinggi sehingga kalau sekarang tali itu diputus, mereka akan celaka!

"Bun Beng, kau melorot sambil bergantung. Jangan menghalangi aku. Kalau dia berani memutus tali, akan kuarahkan jatuhku ke tubuh si keparat itu!" Kwi-bun Lo-mo berseru dan Bun Beng melanjutkan gerakannya merosot sambil bergantung ke bawah.

"Ha-ha-ha, kalian berdua bermain-main dengan maut. Nah, mampuslah!" Orang India yang tertawa-tawa itu meloncat dekat dan menggerakkan tangan hendak memutus tali layang-layang.

Bun Beng sudah merasa ngeri, apa lagi setelah kini mengenal kakek India itu sebagai kakek sakti yang pernah bertanding melawan Pendekar Siluman, pertadingan yang amat luar biasa di mana kedua orang sakti itu mempergunakan ilmu sihir sehingga yang bertanding adalah bayangan atau semangat mereka!

Celaka, pikirnya, andai kata mereka dapat turun juga, ia merasa ragu-ragu apakah Kwi-bun Lo-mo mampu menandingi kakek yang memiliki ilmu sihir itu! Dan laki-laki yang berada di belakang kakek bersorban itu pun dia kenal, karena laki-laki itulah yang dahulu pernah menculik Kwi Hong, laki-laki berpakaian sastrawan yang setengah gila dan yang mencuri pedang pusaka buatan Kakek Nayakavhira!

Mendadak berkelebat bayangan yang gesit sekali dibarengi bentakan halus, "Iblis tua keparat!"

Muncullah seorang dara yang gerakannya gesit sekali. Bayangannya didahului sinar dari pedangnya yang dia gunakan untuk menerjang kakek bersorban dengan gerakan luar biasa. Pedangnya membentuk lingkaran pada ujungnya seolah-olah hendak mengguratkan lingkaran pada dada kakek bersorban. Menghadapi serangan hebat ini, kakek ini berseru kaget dan cepat meloncat mundur, tidak mendapat kesempatan untuk memutus tali layang-layang. Namun dara itu terus menyerangnya dengan gerakan luar biasa, pedangnya lenyap menjadi sinar bergulung-gulung yang seolah-olah merupakan awan atau kabut menggulung tubuh kakek bersorban!

"Hayo cepat turun!" Kwi-bun Lo-mo berseru.

Tanpa diperintah pun Bun Beng sudah mempercepat gerakannya merosot turun dan bukan main lega hatinya setelah kedua kakinya merasai tanah yang teguh dan kuat. Hampir saja ia terhuyung karena setelah kini menginjak tanah, tubuhnya masih terasa ringan seolah-olah tak berubah, seperti orang mabok arak. Akan tetapi semenjak tadi pandang matanya tidak terlepas dari dara yang masih menyerang kakek bersorban.

Bukan main hebatnya terjangan gadis itu dan jantung Bun Beng berdebar tegang ketika ia mengenal dara itu. Biar pun kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik, namun tidak salah lagi, dia itu adalah Giam Kwi Hong, murid atau juga keponakan Pendekar Siluman! Kakek bersorban itu, yang Bun Beng tahu amat sakti, sampai terdesak mundur, repot mengelak dari sambaran pedang di tangan Kwi Hong.

"Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau bukan tua bangka penunggang gajah!" Kwi-bun Lo-mo tertawa.

Pada saat Maharya, kakek India itu mencelat ke kanan untuk menjauhi sinar pedang Kwi Hong dan berada dekat dengannya, Kwi-bun Lo-mo cepat menghantam dengan kedua lengan didorongkan ke depan. Terdengar bunyi bersuit dan angin menyambar ke arah kakek bersorban yang cepat mendorongkan pula kedua tangannya menangkis.

"Dessss!" Dua tenaga sinkang raksasa bertemu dan kedua orang kakek itu terpental ke belakang.

"Wah-wah, kau hebat juga...!" Kwi-bun Lo-mo berseru kaget.

"Mundurlah kalian bertiga...!" Tiba-tiba Maharya membentak, suaranya menggeledek penuh wibawa yang aneh dan bagaikan menanti perintah yang tak dapat dibantah lagi karena segala kemauan hati mereka dikuasai perintah ini, Kwi-bun Lo-mo, Kwi Hong dan Bun Beng otomatis meloncat mundur sampai lima meter!

"Locianpwe, Nona Kwi Hong, awas dia mempunyai ilmu sihir! Jangan memandang matanya dan jangan mendengar suaranya!" Bun Beng cepat berteriak, kemudian ia mendahului menerjang laki-laki yang sejak tadi hanya menonton Maharya bertanding dengan Kwi Hong.

Laki-laki ini bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang tadi bengong memandang Kwi Hong dengan penuh gairah. Dia tadi tidak membantu karena tentu saja ia percaya penuh akan kesaktian gurunya. Akan tetapi melihat betapa dua orang yang secara aneh turun dari tali layang-layang itu bukan orang sembarangan pula, apa lagi kini Bun Beng meloncat maju dan menyerangnya dengan gerakan dahsyat, dia terkekeh, memandang rendah pemuda itu dan mengelak sambil balas menyerang.

Bun Beng menjadi heran melihat gerakan lawan yang luar biasa. Kedua kaki lawan tidak meninggalkan tanah, akan tetapi tubuhnya bisa meliuk-liuk dengan lemas, seperti sebatang pohon cemara pecut tertiup angin. Tubuh atas itu meliuk ke kiri, kemudian membalik sambil balas menyerang dengan tangan kanan menghantam perutnya. Ketika ia menangkis dan menggeser kaki kanan, tahu-tahu tangan kiri lawan sudah mencengkeram kepalanya, hal yang luar biasa sekali mengingat bahwa tangan kiri lawannya itu berada dalam posisi jauh. Tangan kiri itu tiba-tiba memanjang, seperti karet yang dapat mulur dan tahu-tahu jari-jari-nya telah dekat dengan kepalanya.

"Ehhh...!" Ia berseru dan cepat meloncat mundur sambil melepas tendangan ke arah lengan yang sudah ditarik kembali oleh Tan-siucai sambil terkekeh-kekeh.

Sementara itu Kwi Hong yang terheran-heran saat mendengar pemuda tampan itu dapat menyebut namanya, teringat bahwa Maharya memang pandai ilmu sihir, maka otomatis ia pun mentaati peringatan pemuda itu, tidak mau memandang mata kakek bersorban dan dengan kekuatan batinnya ia menulikan telinga agar jangan mendengar bentakan Si Kakek tukang sihir yang mengandung penuh daya melumpuhkan itu. Ia sudah menerjang maju lagi dengan tusukan pedangnya, disusul serangkaian serangan hebat yang membuat Maharya kembali terdesak.

Kwi-bun Lo-mo yang sekarang sudah dapat menguasai dirinya kembali setelah tadi terpengaruh sihir Maharya, merasa kagum kepada Bun Beng yang semuda itu sudah tahu akan ilmu kakek bersorban. Dia pun maklum bahwa ilmu sihir semacam I-hun-to-hoat untuk mempengaruhi pikiran orang mengandalkan kekuatan pandang mata dan getaran suara yang mengandung sinkang amat kuat, maka apabila dapat mengelakkan pandang mata dan suara itu tentu sihir itu tidak akan mempunyai daya kekuatan. Maka ia pun menutup pendengaran dan menghindarkan pertemuan pandang mata, lalu tertawa mengejek.

"He-heh-heh, kau dukun dari Himalaya yang busuk, tanpa sebab kau hendak memutus tali layang-layangku. Sekarang kau kena kutuk para dewamu, bertemu dengan seorang pemuda yang cerdik, seorang dara yang lihai sekali, dan aku yang akan mengirim nyawamu kembali ke puncak Himalaya!"

Sambil mengejek demikian, Kwi-bun Lo-mo maju pula menerjang, membantu Kwi Hong. Karena tokoh Pulau Neraka ini pun maklum bahwa Maharya bukanlah seorang lemah, bukan hanya mengandalkan ilmu sihirnya melainkan memiliki ilmu kepandaian hebat pula dan bertenaga sinkang kuat sekali, maka begitu menyerang ia pun mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus khas dari Pulau Neraka.

Kedua tangannya tiba-tiba berubah menjadi lunak seperti kapas, namun di balik telapak tangan yang menjadi lunak ini tersembunyi kekuatan dahsyat yang akan merusak sebelah dalam tubuh lawan jika bertemu dengan tangan lunak ini. Sesuai dengan namanya yaitu Toat-beng-bian-kun (Tangan Lemas Mencabut Nyawa), ilmu ini adalah ilmu baru yang diterimanya dari Ketua Pulau Neraka. Karena ilmu pukulan tangan kosong ini telah digabung dengan ilmu khas keturunan Pulau Neraka, yaitu hawa dan tenaga beracun yang membuat warna kulit mereka berubah, maka tentu saja pukulan-pukulan tangan yang kelihatannya lemas tak bertenaga dan lunak itu mengandung bahaya mengerikan dan setiap gerakan merupakan maut bagi lawan!

Maharya yang biasanya memandang rendah setiap lawan, kini terkejut sekali. Biar pun tadi ia kelihatan terdesak oleh gulungan sinar pedang Kwi Hong yang seperti kilat menyambar-nyambar, namun dia tidak gentar dan menghadapi dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, setelah sekali menangkis dan lengannya tersentuh tangan Kwi-bun Lo-mo yang mengandung Ilmu Toat-beng-bian-kun dan membuat lengannya panas dan gatal, ia terkejut bukan main, berteriak keras dan melompat mundur sambil menggerakkan kedua tangannya ke sebelah dalam pakaiannya.

Sekarang dia telah memegang sepasang senjata yang amat aneh. Tangan kirinya kini telah memakai sarung tangan yang berkilauan seperti emas, sedangkan tangan kanannya memegang seekor ular putih yang kecil dan panjangnya hanya dua kaki, akan tetapi ular putih itu masih hidup!

"Ha-ha-ha, dukun hitam, apa engkau mau main sulap mencari uang kecil? Bukan di sini tempatnya, melainkan di pasar! Aku tidak mempunyai uang kecil sepeser pun, apa lagi yang besar!" Sambil tertawa mengejek, Kwi-bun Lo-mo menerjang lagi dengan tangannya yang beracun, maklum bahwa pertemuan yang satu kali tadi, biar pun tentu saja tidak akan melukai lawan yang begitu pandai akan tetapi sedikitnya membuat hati lawan gentar.

Kwi Hong yang tidak banyak bicara sudah menusukkan lagi pedangnya. Kini Maharya tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kiri yang bersarung tangan emas itu menangkap pedang. Bukan main kagetnya Kwi Hong karena merasa pedangnya tergetar. Ia menarik kembali pedangnya dan pada saat itu Maharya melepas pedang sambil menggunakan tenaga sinkang mendorong.

"Aihhhhh!" Hanya dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik di udara sampai lima kali Kwi Hong dapat menghindarkan diri dari tolakan tenaga sinkang yang dapat melukai isi dadanya itu! Ia terkejut dan maklum bahwa selain sarung tangan yang dipakai kakek India itu tidak mempan senjata, juga bahwa tenaga kakek itu masih jauh melampaui tenaganya sendiri!

Kini Kwi-bun Lo-mo sudah menerjang maju, menggunakan tangan kanan memukul dengan tangan lunaknya yang beracun untuk memberi kesempatan gadis berpedang itu memulihkan kedudukannya. Maharya mengangkat tangan kiri, menangkis pukulan itu dan tangan kanannya digerakkan.

"Plakkk!" Kedua tangan bertemu dan Kakek Kwi-bun Lo-mo terkejut karena tangan bersarung emas itu kiranya sanggup menerima pukulan Toat-beng-bian-kun, dan kini secara tiba-tiba ular yang dipegang ekornya itu melayang dan menyambar lehernya dengan mulut terbuka lebar, mendesis dan menggigit! Ia cepat miringkan kepalanya akan tetapi tetap saja ular itu dapat menggigit pundaknya.

"Mampus kau!" Maharya berseru girang.

"Ha-ha-ha, gigitan cacing itu enak sekali rasanya, menambah vitamin di tubuhku. Suruh dia gigit lagi, dukun India! Ha-ha-ha!" Biar pun pundaknya mengeluarkan sedikit darah, akan tetapi Kwi-bun Lo-mo masih tertawa-tawa. Di dalam tubuhnya yang berkulit kuning itu telah mengalir darah yang penuh racun, mana dia takut akan segala gigitan ular beracun?

Kakek India itu terkejut sekali dan dengan marah dia lalu menyerang kedua orang pengeroyoknya, bukan hanya ularnya yang terayun-ayun mengancam lawan dengan gigitan beracun, juga tangan kirinya yang tidak takut menghadapi senjata tajam atau pukulan beracun itu merupakan tangan maut yang setiap saat menyambar hendak mencabut nyawa lawan.

Tan-siucai yang tadinya memandang rendah Bun Beng, menjadi terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali ilmu silatnya. Tadinya ia menganggap bahwa seorang muda seperti itu akan mudah ia robohkan dengan ilmunya ‘tangan panjang’, yaitu lengan yang dapat ia ulur sampai hampir dua kali panjang normal. Banyak sudah lawan yang roboh oleh ilmunya ini karena tidak menyangka-nyangka bahwa tangan itu dapat mulur seperti karet. Akan tetapi pemuda itu hanya sebentar saja terkejut, kemudian sudah dapat menjaga diri dan mengirim serangan dengan jurus-jurus yang dahsyat, yang mendatangkan angin keras dan membuat Tan-siucai bingung.

Maklum bahwa ia berhadapan dengan murid orang pandai, Tan-siucai berteriak keras dan tampaklah sinar hitam ketika ia mencabut pedangnya, sebatang pedang hitam yang mengeluarkan bau amis seperti telur itik membusuk. Dengan pedangnya ini ia menerjang dan mengobat-abitkan pedang, merupakan sinar yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Beng.

Bun Beng memang tadinya terkejut menyaksikan lengan yang bisa mulur panjang. Akan tetapi kemudian ia mendapat kenyataan bahwa lawannya itu biar pun bertenaga kuat dan memiliki ilmu aneh, tidaklah seberat yang ia kira dan tidak memiliki dasar ilmu silat yang tangguh. Maka ia sudah mendesak dengan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang kuat sehingga dua kali memukul bahu kanan dan menendang paha kiri lawan. Biar pun pukulan dan tendangan ini meleset dan tubuh lawan memiliki kekebalan, setidaknya lawannya menjadi panik sehingga mencabut pedang hitam!

Bun Beng tidak menjadi jeri, bahkan ia makin lega hatinya. Gerakan pedang itu lebih didorong rasa marah dari pada gerakan ilmu pedang yang tinggi nilainya, maka baginya pedang hitam itu tidaklah sebahaya tangan kosong yang dapat mulur mungkret tadi. Biar pun lengan itu masih dapat mulur, akan tetapi karena disambung pedang, lebih mudah dapat dilihat arah gerakannya, tidak seperti kalau kosong dapat mencengkeram, menangkap mendorong atau memukul, sukar sekali diduga.

Namun, harus ia akui bahwa lawannya mainkan pedang secara aneh dan istimewa, dengan ilmu pedang yang tidak dikenalnya sama sekali. Pedang itu selalu datang menyerangnya dengan tiupan angin, dan bukan hanya pedang yang menyerangnya melainkan selalu dibarengi dengan pukulan atau tendangan, seolah-olah seluruh daya serang lawan dikumpulkan untuk menghantamnya. Bun Beng harus mengandalkan kelincahan tubuhnya yang segera pulih kembali begitu ia menghadapi bahaya. Kalau begini terus, bagaimana aku bisa menang, pikirnya. Serangan lawan ini mengingatkan ia akan serangan angin taufan ketika ia berada di atas layang-layang bersama Kwi-bun Lo-mo. Serangan angin taufan!

Tiba-tiba ia ingat akan pelajaran kakek Pulau Neraka itu untuk menghadapi serangan angin taufan. Perhatikan dari mana angin menyerang, jangan ditentang, ikuti tiupannya tetapi harus dapat kau kendalikan sehingga mudah untuk menyimpang. Pindahkan hawa dan tenaga sakti sesuai dengan serangan angin, jangan biarkan kita terseret akan tetapi berusaha selalu berada di atasnya, menunggang angin. Demikianlah antara lain inti pelajaran yang ia terima di atas layang-layang sambil mencontoh gerakan kakek Pulau Neraka. Kini, serangan-serangan lawannya dengan pedang hitam itu seperti angin, mengapa tidak ia coba mengatasinya dengan pelajaran baru di atas layang-layang?

"Wuuuutttt!" Tan-siucai kembali menyerang dengan hebat, dengan semangat menyala dan keyakinan bahwa ia tentu akan dapat membunuh pemuda yang sudah tak mampu balas menyerang itu. Pedang hitamnya menusuk dada, tangan kirinya mendorong dengan pukulan ke arah pusar, dan kaki kanannya telah siap menyusulkan tendangan!

Sekarang Bun Beng tidak menggunakan cara mengelak seperti tadi. Dengan ilmu baru menundukkan angin taufan, tubuhnya yang tadinya miring, dengan kaki kanan di depan itu, ia pindahkan kaki dan tenaga pada kaki kiri, lalu kedua tangannya diangkat ke atas seolah-olah ia memegangi tali-temali layang-layang dan tubuhnya meloncat ke atas tinggi sekali sehingga pukulan dan tusukan lewat di bawah kakinya yang ditekuk ke dada. Tendangan lawan menyusul, ia terima dengan kedua kakinya, menginjak kaki lawan yang menendang dan meminjam tenaga ini ia ayun tubuhnya ke atas dan meluncur ke depan melalui atas kepala lawan, kemudian membalik dan memindahkan tenaga lagi ke kaki kiri yang turun menginjak lawan.

"Plakk! Augghhhh...!" pundak kanan Tan-siucai terkena injakan kaki Bun Beng, lumpuh rasa seluruh lengan kanannya dan pedang hitam itu terlepas. Bun Beng cepat turun menyambar dan pedang hitam telah berada di tangannya!

Tan-siucai membalik dan matanya merah saking marahnya memandang Bun Beng yang kini tersenyum-senyum memegang pedang hitam! Ia girang sekali karena dengan ilmu barunya itu ia berhasil! Pemuda ini memang cerdik sekali sehingga dia dapat menggunakan ilmu baru yang bagi orang lain tentu hanya dapat dipergunakan untuk mengendalikan layang-layang melawan angin taufan itu untuk melawan musuh yang lihai.

Sambil tersenyum, ia lalu menubruk maju dan menyerang Tan-siucai dengan pedang hitam. Tan-siucai memekik, tangan kirinya bergerak dan sinar putih yang amat terang menyilaukan mata berkelebat menangkis pedang.

"Cringggg!" kini Bun Beng yang kaget bukan main karena pedang hitam rampasan itu telah patah menjadi dua!

"Hok-mo-kiam...!" Ia berseru keras, cepat menjatuhkan diri bergulingan karena pedang putih yang kini berada di tangan lawan itu, setelah membabat patah pedangnya, sinarnya masih terus menerjangnya!

Ia meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak. Tak salah lagi, tentu itulah Hok-mo-kiam, pedang yang dibuat oleh Kakek Nayakavhira dan yang dicuri oleh pemuda sinting ini bersama gurunya, Kakek Maharya! Gentar juga hati Bun Beng menyaksikan pedang bersinar putih yang mengandung penuh wibawa mukjizat itu, dan ia siap siaga berkelahi mati-matian, mengandalkan kelincahannya karena apa artinya pedang buntung yang toh patah lagi kalau bertemu dengan Hok-mo-kiam?

Dia tahu bahwa Pendekar Siluman dan mendiang Kakek Nayakavhira memberi nama Hok-mo-kiam (Pedang Penakluk Iblis) pada pedang itu, yang khusus dibuat untuk menundukkan Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Teringatlah ia akan sepasang pedang bersinar kilat yang ia simpan di dalam goa rahasia di tempat tinggal para pemuja Sun-go-kong.

"Kembalikan pedang itu!" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah meninggalkan Kakek Maharya, menyerang Tan-siucai dengan pedang di tangannya. Serangan yang hebat sekali, dilakukan dengan tubuh masih melayang di udara, dengan kecepatan seperti kilat menyambar didorong oleh tenaga sinkang yang kuat sekali.

Biar pun otaknya sinting, Tan-siucai mengenal serangan maut. Dia lalu menggeser kaki ke kiri, menggerakkan pedangnya menangkis sambil mendorongkan tangan kirinya untuk mencegah dara perkasa itu memukulnya.

"Trangggg!" Tampak bunga api muncrat dan Tan-siucai memekik kaget, pedangnya terlepas akan tetapi cepat-cepat ia sambar kembali karena gadis itu tidak sempat menyerangnya lagi.

Ternyata bahwa kini Kwi Hong juga hanya memegang sebatang pedang buntung, persis seperti yang dialami Bun Beng. Dengan mata terbelalak, Kwi Hong memandang pedangnya dan diam-diam ia merasa amat kagum akan keampuhan Hok-mo-kiam yang dibuat oleh Kakek Nayakavhira itu. Pedangnya adalah pemberian pamannya, sebatang pedang pusaka yang cukup ampuh, namun sekali bertemu dengan Hok-mo-kiam menjadi patah! Padahal sudah jelas bahwa dia menang tenaga dan pedang di tangan Tan-siucai itu sampai terlepas. Ia makin marah dan penasaran, bertekad untuk merampas kembali pedang yang dulu dicuri oleh orang itu. Tubuhnya menerjang maju dengan pukulan-pukulan kilat yang biar pun Tan-siucai memegang sebatang pedang pusaka, akan berbahaya sekali bagi sastrawan sinting itu.

"Plakkkk!" Pukulan Kwi Hong tertangkis oleh tangan Maharya yang bersarung tangan. Kiranya kakek ini sudah meloncat meninggalkan Kwi-bun Lo-mo untuk melindungi muridnya, terutama menjaga agar pedang pusaka itu tidak terampas lawan.

"Ho-ho-ho, kau hendak lari ke mana, dukun keparat?" Kwi-bun Lo-mo tertawa dan melompat pula mengejar.

Kini pertandingan menjadi kacau-balau dan akhirnya kini Bun Beng dan Kwi-bun Lo-mo mengeroyok Maharya, sedangkan Kwi Hong masih bertanding melawan Tan-siucai. Karena maklum bahwa gadis itu berbahaya sekali, Tan-siucai memutar pedangnya dan berlindung di balik gulungan sinar pedang. Benar saja, sinar pedang itu demikian hebat dan mengandung wibawa yang amat kuat sehingga biar Kwi Hong lihai, gadis ini tidak berani sembrono mendesak maju, melainkan berusaha mencari lowongan tanpa terancam sinar pedang yang ia tahu amat ampuh.

"Nona yang perkasa! Bun Beng, mundur!" Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak keras dan terdengarlah ledakan disusul membubungnya asap hitam yang tebal, menggelapkan keadaan di situ. Ternyata kakek Pulau Neraka ini telah melempar sebuah senjata rahasia khas Pulau Neraka, senjata peledak yang mengeluarkan asap hitam beracun.

Kwi Hong dan Bun Beng melompat mundur, melihat betapa di tempat berdirinya dua orang lawan itu kini tertutup oleh asap hitam. Ketika asap membuyar tertiup angin dan mereka memandang, ternyata Tan-siucai dan Maharya telah lenyap dari tempat itu, tanpa meninggalkan bekas.

Kwi-bun Lo-mo mengerutkan alisnya, mengomel. "Sialan! Mereka benar-benar sangat lihai mampu menyelamatkan diri dari asap beracun. Dukun India itu benar-benar merupakan lawan yang lebih tangguh dari pada dukun penunggang gajah. Hayaa...!"

Kwi Hong melangkah maju dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu. "Tua bangka lancang! Kenapa kau melenyapkan mereka?"

Tanpa menanti jawaban, dengan pedang buntungnya Kwi Hong menyerang Kwi-bun Lo-mo. Serangannya hebat sekali dan pedang buntungnya itu masih amat berbahaya, membabat ke arah perut kakek itu yang tentu akan tersayat robek kalau-kalau sampai terkena.

"Aihhhh...!" Kwi-bun Lo-mo meloncat ke belakang dengan mata terbelalak dan balas menyerang sambil memaki, "Gadis liar, siluman galak!"

Kwi Hong miringkan tubuhnya dan membabat ke arah lengan yang memukulnya, akan tetapi kakek itu dapat menarik kembali lengannya.

"Tahan...!" Bun Beng berseru. "Nona Kwi Hong, dia bermaksud membantumu!"

"Membantu apa? Dia... ah, mukanya berwarna, dia tentu iblis dari Pulau Neraka!"

"Hemm, memang aku dari Pulau Neraka, habis kau mau apa?" Kakek itu menantang dengan marah.

"Aku mau membasmi orang-orang Pulau Neraka, dan engkau lebih dulu!" Kembali Kwi Hong menyerang.

"Iblis betina tak tahu diri!" Kwi-bun Lo-mo mengelak lagi.

Diam-diam dia terkejut karena biar pun pedangnya sudah buntung, nona ini merupakan lawan yang tangguh sekali. Gerakannya amat cepat, ilmu pedangnya aneh dan tenaga sinkang-nya sangat kuat, dapat diduga dari suara bercuitan ketika pedang buntung itu menyambar. Terpaksa dia mencelat lagi ke kanan untuk menghindar.

"Tahan! Locianpwe, dia itu adalah murid Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es!" Bun Beng berseru.

"Apa...?" Muka kakek itu berubah, matanya terbelalak. "Be... betulkah...?"

"Aku mengenalnya, masa membohong?"

Kwi Hong makin marah dan menuding dengan pedang buntungnya. "Kakek sialan! Apa kau pura-pura tidak mengenal aku yang pernah kalian culik ke Pulau Neraka?"

Kakek itu menggelengkan kepala. "Aku mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi aku sedang merantau keluar pulau, tidak tahu... maaf... aku tak berani mengganggu murid Pendekar Siluman tanpa seijin To-cu kami..."

"Tidak peduli, kau harus mampus!" Kwi Hong menyerang lagi.

Kwi-bun Lo-mo meloncat jauh ke belakang, kemudian melarikan diri! Kakek ini pernah merasai kelihaian Pendekar Siluman ketika ia bertanding melawan Nayakavhira, maka kini mendengar bahwa gadis ini murid pendekar sakti itu, dia menyangka bahwa tentu Pendekar Siluman berada pula di situ. Pula tanpa seijin To-cu, majikannya, mana dia berani mengganggu murid Majikan Pulau Es?

Kwi Hong hendak mengejar, akan tetapi Bun Beng meloncat menghadang dan berkata, "Sudahlah, Nona, perlu apa mengejar orang yang tidak mau melawan? Dahulu pun Pamanmu tidak mengejarnya."

Kwi Hong berhenti, karena maklum bahwa dia pun tak dapat menyusul kakek yang lari seperti terbang cepatnya itu, apa lagi kalau ia ingat bahwa kakek itu memiliki senjata rahasia peledak yang mengandung asap beracun berbahaya.

"Hemmm, aku mengenalmu sekarang," katanya sambil memandang wajah pemuda itu. "Engkau Gak Bun Beng..."

Bun Beng menjura sambil tersenyum. "Kuharap selama ini Nona dalam keadaan baik. Kulihat bahwa Nona telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari Pamanmu. Selamat!"

"Engkau mengejek?" Kwi Hong membentak marah.

Bun Beng melongo dan memandang dengan mata terbelalak. Kenapa Nona ini marah-marah? Dia menggelengkan kepala tanpa dapat menjawab.

"Engkau pasti mengejek, ya? Karena aku tidak mampu merampas kembali pedang itu, karena pedangku patah, karena aku tidak mampu membunuh kakek Pulau Neraka!" Pandang mata itu seperti mengeluarkan api yang menyerang Bun Beng.

Bun Beng mundur ketika dara itu melangkah maju dengan muka merah saking jengkel oleh kegagalannya.

"Hayo katakan engkau mengejekku, biar aku mempunyai alasan untuk menyerangmu!"

"Tidak! Tidak...! Wah, siapa mengejek, Nona? Sama sekali aku tidak mengejek. Bukan salahmu kalau pedang Nona patah, dan kalau tidak dibantu gurunya, kakek India itu, tentu Si Siucai gila sudah mampus olehmu dan pedangnya terampas."

Mendengar kata-kata ini, agak berkurang kemarahan Kwi Hong. Ia membanting kaki dan memandang pedangnya yang buntung, lalu membantingnya ke atas tanah sambil mengomel. "Sialan! Tentu Paman akan marah kepadaku karena pedang ini!"

Melihat wajah cantik jelita yang menjadi merah, mata yang membayangkan penyesalan dan kedukaan besar, hati Bun Beng tergerak. Teringatlah ia akan sepasang pedang yang ditinggalkannya di goa rahasia di tempat para pemuja Sun-go-kong, maka serta merta ia berkata, "Harap Nona jangan berduka, aku mempunyai sepasang pedang pusaka yang hebat, bahkan yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw."

"Sepasang pedang yang di... Pedang Iblis?" Kwi Hong memotong, matanya terbelalak, kedukaannya lenyap seketika.

Bun Beng mengangguk. "Agaknya benar Sepasang Pedang Iblis yang kudapatkan secara kebetulan sekali. Kini kusimpan di dalam goa rahasia. Kalau Nona suka, akan kuberikan sebatang kepada Nona, yang pendek. Pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang mendirikan bulu roma sehingga aku tidak berani mencabut seluruhnya, agaknya tidak kalah ampuh oleh pedang yang dicuri Tan-siucai tadi."

"Benarkah itu? Paman juga lagi mencari-cari pedang itu! Benarkah akan kau berikan kepadaku?" Sikap Kwi Hong telah berubah sama sekali, agaknya dia tidak ingat lagi akan kemarahan dan kedukaan hatinya. Wajahnya berseri dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya, amat indah seperti sepasang bintang pagi dalam pandangan Bun Beng.

"Benar, Nona. Pedang itu sepasang, boleh untukmu sebatang dan untukku sebatang."

Tiba-tiba wajah yang cerah itu kembali agak muram oleh berkerutnya sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu. "Bun Beng, bagaimana engkau bisa mendapatkan Siang-mo-kiam? Seluruh dunia kang-ouw mencari dan memperebutkannya. Bagai mana tiba-tiba kau bisa mengatakan kepadaku bahwa engkau menemukan pedang-pedang itu?" Dalam pertanyaan ini terkandung keraguan dan ketidak percayaan.

"Aku mendapatkannya secara kebetulan saja, Nona. Terjadinya ketika aku terjatuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho."

Dengan singkat Bun Beng menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi sengaja dia tidak menyebutkan tempat ia menyimpan sepasang pedang itu, juga tidak tentang kitab Sam-po-cin-keng. Kwi Hong mendengarkan dengan alis berkerut.

"Jadi ketika kita saling bertemu itu engkau telah menemukan Siang-mo-kiam?"

"Benar, aku tidak sempat bercerita, lagi pula pada waktu itu memang aku hendak merahasiakannya dari siapa pun juga."

"Hemmm, kalau begitu, mengapa kini mendadak engkau ingin memberikan sebatang kepadaku? Apa sebabnya?" Sambil berkata demikian, Kwi Hong memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Bun Beng kagum bukan main. Ahhh..., mata itu... bukan kepalang indahnya! Sejenak ia menentang pandang mata itu penuh kagum, namun sinar mata itu seperti sepasang pedang iblis sendiri yang menusuk, menembus mata sampai ke jantung! Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.

"Mengapa...? Aihhh, tak terpikir olehku... hemmm, agaknya karena melihat pedangmu patah, Nona. Karena melihat engkau berduka tadi..."

"Heh, omong kosong! Mengapa mendadak engkau menaruh perhatian seperti itu kepadaku? Apa hubungannya kedukaanku denganmu? Engkau merasa kasihan? Alasan yang dangkal dan kosong!" Kembali di dalam suaranya terkandung kecurigaan dan ketidak percayaan.

Cepat Bun Beng membantah. "Tidak! Tidak hanya itu, Nona. Sesungguhnya... pertama karena Nona telah menyelamatkan nyawaku tadi. Kalau tidak Nona keburu turun tangan, bukankah aku akan mati terjatuh dari atas kalau tali layangan itu diputus oleh kakek tadi? Untuk membalas budi Nona yang telah menyelamatkan nyawaku, apa artinya pemberian sebatang pedang? Pula, kedua memang aku merasa amat kagum kepada Paman Nona, dan satu-satunya orang di dunia ini yang aku ingin agar pedang yang diperebutkan itu dimilikinya, adalah Paman Nona, Pendekar Super Sakti. Maka, kebetulan sekali aku bertemu dengan Nona, bahkan Nona telah menolongku sehingga ada alasan bagiku untuk menyerahkan pedang."

Kwi Hong mengangguk-angguk, wajahnya kembali cerah dan ia mulai percaya kepada Bun Beng. Pemuda ini girang sekali menyaksikan perubahan wajah itu, memandang penuh kagum wajah cantik jelita yang matanya menunduk itu. Tiba-tiba wajah itu diangkat, pandang mata mereka saling bertaut dan dengan jantung berdebar Bun Beng melihat betapa alis yang bagus itu kembali dikerutkan, lalu terdengar suara gadis itu membentak marah.

"Aku tidak percaya kepadamu!"

Mula-mula Bun Beng tertegun, lalu menarik napas panjang, wajahnya membayangkan kekesalan dan kedukaan hati. "Hemm, agaknya Nona curiga kepadaku?"

"Siapa tahu kalau-kalau engkau ini amat licik, curang dan sengaja hendak menipuku?"

Bun Beng merasa jantungnya perih seperti ditusuk pedang. Dia mengangguk dan menjawab, "Aku mengerti, Nona. Tentu Nona curiga kepadaku mengingat bahwa aku adalah anak seorang tokoh hitam yang amat licik dan curang. Sudah banyak aku mendengar makian itu."

"Tidak peduli! Aku tidak mengatakan begitu dan tidak berpikir begitu. Hanya siapa mau percaya kepada seorang yang telah gulang-gulung bergaul dengan seorang iblis Pulau Neraka? Engkau datang bersama dia, tentu sahabat baiknya, atau siapa tahu engkau sudah menjadi anggota Pulau Neraka. Mereka adalah iblis-iblis kejam, tentu engkau juga bukan orang baik-baik. Bagaimana aku dapat percaya?"

Lega hati Bun Beng. Nona ini satu-satunya orang yang tidak menyinggung ayahnya. Alasan yang diucapkan untuk kecurigaannya memang tepat. Maka ia cepat-cepat menuturkan pengalamannya semenjak ia ditawan oleh Thian-liong-pang sampai berhasil lolos, dikeroyok ikan, diterkam rajawali yang kemudian bertempur melawan garuda dan akhirnya terlepas.

"Ketika melayang jatuh itulah aku tersangkut pada tali layang-layang yang dikemudikan oleh kakek Pulau Neraka itu. Baru pertama itulah aku berkenalan dengan dia dan kami sama-sama turun setelah terhindar dari angin taufan dan terancam maut oleh kakek India yang akan memutus tali. Untung Nona muncul dan menyerangnya."

Penuturan Bun Beng yang amat luar biasa seperti terjadi dalam dongeng itu membuat Kwi Hong melongo.

"Wah-wah... hebat sekali pengalamanmu!" Ia duduk di atas rumput. "Engkau menjadi tawanan Thian-liong-pang? Bukan main! Dan berhasil lolos? Eh, ceritakanlah, Bun Beng. Bagaimana kau bisa lolos dari Thian-liong-pang yang terkenal sekali amat kuat itu? Aku mendengar banyak orang pandai dan sakti di sana, bahkan tidak kalah saktinya oleh orang-orang Pulau Neraka!"

Melihat wajah itu betul-betul sudah percaya kepadanya, sudah cerah dan bekas-bekas kecurigaan dan ketidak-percayaan tidak tampak lagi, Bun Beng duduk pula di atas rumput. Mereka duduk berhadapan, bercakap-cakap dan merasa seperti telah menjadi sahabat lama.

Dengan terus terang Bun Beng menceritakan pengalamannya ketika berusaha menolong Ketua Bu-tong-pai dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw itu diadu oleh Ketua Thian-liong-pang untuk dicuri jurus simpanan mereka yang terpaksa digunakan dalam pertandingan itu. Kemudian betapa dia diaku sebagai cucu keponakan Si Muka Singa dan akan dijadikan anggota. Akan tetapi ia menolak dan akhirnya di jebloskan dalam penjara di bawah tanah.

"Sama sekali aku tidak tahu bahwa dinding itu menembus ke sungai yang besar di mana banyak terdapat ikan raksasa yang hampir saja membunuhku. Kalau tahu begitu, agaknya belum tentu aku berani membobol dinding itu. Heran, sungai apakah itu?"

Kwi Hong yang tertarik sekali berkata. "Apakah kau tidak tahu? Kini kita berada di lembah Sungai Huang-ho, dan sarang Thian-liong-pang berada di kota Cie-bun, di sebelah utara kota Cin-an. Sudah lama aku mendengar akan perbuatan Thian-liong-pang menculik orang-orang kang-ouw. Sayang Paman melarang aku bentrok dengan orang Thian-liong-pang, kalau tidak, tentu aku akan menyerbu ke sana. Hemm... kalau Paman mendengar bahwa orang-orang kang-ouw itu diculik untuk dicuri ilmu mereka tentu Paman akan tertarik sekali. Eh, Bun Beng, di manakah adanya goa rahasia di mana engkau menyembunyikan Siang-mo-kiam?"

"Aku tidak tahu namanya, hanya aku tahu jalan ke sana kalau sudah melihat bentuk gunungnya. Kalau tidak salah, dekat dengan laut karang ketika aku dibawa terbang burung rajawali yang kemudian bertanding dengan burung garuda yang kunaiki itu, dan aku terlepas ke bawah, aku jatuh ke dalam laut."

Kwi Hong memutar otaknya. "Hmm, tentu di Laut Utara. Mari kita cari ke sana. Sayang burung kami telah dibunuh oleh siucai sinting dan gurunya, kalau tidak, tentu dengan mudah kita bisa mencari sambil menunggang pek-eng."

"Apakah tidak ada garuda putih lagi di Pulau Es? Aku tadi melihat burung garuda putih menyerang rajawali yang mencengkeramku."

"Benarkah? Tentu burung garuda liar. Kami tidak mempunyai garuda lagi. Aku baru saja keluar dari Pulau Es, baru mendapat ijin dari Paman setelah berulang-ulang aku minta supaya diijinkan merantau. Aku ingin ke kota raja mencari dan menengok makam Ibuku. Akan tetapi sekarang bertemu denganmu, sebaiknya kita mencari Siang-mo-kiam, baru akan pergi ke kota raja. Marilah kita berangkat sebelum gelap, Bun Beng."

"Baiklah, Nona."

Mereka bangkit dan Kwi Hong berkata mencela. "Jangan sebut Nona, kenapa kau begini merendah? Menjemukan benar!"

"Habis, aku harus menyebut apa?"

"Apa kau tidak tahu namaku? Kalau kau mau bersahabat denganku, jangan merendah seolah-olah engkau ini orang bawahanku di Pulau Es. Sebut saja namaku!"

"Baiklah... Kwi Hong." Hati Bun Beng girang sekali.

Dara ini cantik menarik dan membuat hatinya berdebar aneh, membuat ia ingin selalu berdekatan dan bercakap-cakap dengannya. Pula, gadis inilah satu-satunya orang yang tidak menyebut-nyebut tentang kejahatan ayahnya. Dan yang lebih dari semua itu, gadis ini adalah murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, orang yang dikagumi dan dipuja di dalam hati.

"Tempat itu dahulu kutemukan setelah aku terjatuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho, sebuah gunung yang aneh dan terletak dekat laut. Tentu tidak jauh dari muara sungai. Sebaiknya kita mencari jejak mulai dari pulau di tengah muara sungai, dari mana aku terlempar dan jatuh ke dalam pusaran maut."

"Baik, memang mestinya begitu. Kalau tidak dapat menemukan tempat itu melalui darat, kita harus mengikuti jejakmu dahulu melalui pusaran maut."

Bun Beng terbelalak. "Apa...? Wah, itu berbahaya sekali, Kwi Hong!"

Gadis itu memandangnya dan menggeleng kepala. "Engkau pun tidak mati, bukan? Nah, kalau di waktu masih kecil dahulu saja bisa sampai di tempat itu melalui pusaran maut dengan selamat, mengapa sekarang tidak?"

"Ah, dahulu lain lagi. Aku terlempar ke sana bukan atas kehendakku, dan aku setengah pingsan ketika terbawa pusaran, agaknya memang Tuhan tidak menghendaki aku mati di waktu itu. Kalau sekarang aku harus terjun ke sana, hiiiiiih... ngeri sekali, aku tidak berani."

Kwi Hong cemberut. "Kalau kau tidak berani, aku berani! Pedang Siang-mo-kiam itu terlalu penting untuk dibiarkan di tempat itu. Terlalu berharga untuk dicari dengan taruhan nyawa. Kalau bisa kudapatkan dan kuperlihatkan kepada Paman, tentu dia akan girang sekali karena Paman pernah bilang bahwa kalau sepasang pedang iblis itu sampai muncul di dunia dalam tangan orang-orang sesat, sukar untuk ditundukkan dan dunia pasti akan kacau balau dan kejahatan merajalela. Nah, kau tahu betapa besar artinya kedua pedang itu, dan betapa pentingnya untuk didapatkan kembali."

Mereka mulai melakukan perjalanan dan Kwi Hong yang menjadi penunjuk jalan sampai mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho. Akan tetapi malam sudah tiba ketika mereka sampai di tepi sungai.

"Kita bermalam di tepi sungai ini, besok baru kita melanjutkan," kata gadis itu.

Bun Beng lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Tepi sungai itu sunyi senyap, akan tetapi menyenangkan sekali bagi Bun Beng. Tempatnya bersih, tanahnya tertutup rumput hijau seperti permadani, pohon-pohon dan bunga-bunga mendatangkan bau yang sedap dan segar, dan bulan hampir bulat muncul tak lama kemudian, membuat tempat itu menjadi indah, romantis, dan menyenangkan. Tentu saja ia tidak sadar bahwa yang membuat keadaan menjadi demikian indah adalah hadirnya Kwi Hong karena kalau tidak ada gadis itu di sana, belum tentu tempat sunyi ini akan tampak seindah malam itu!

Mereka duduk menghadapi api unggun. Enak dan nyaman, hangat. Bun Beng duduk melamun, merasa betapa selama hidupnya, baru sekarang inilah dia dapat mengalami kebahagiaan, merasa betapa senangnya hidup!

"Eh, Bun Beng, kenapa kau melamun saja?"

Bun Beng terkejut dan sadar dari lamunannya yang mengangkatnya ke angkasa. Ia memandang dan tidak dapat menjawab karena sepasang mata yang terkena sinar api unggun itu kelihatan begitu indah dan tajam berkilau.

"Apa perutmu tidak lapar?" Gadis itu bertanya saat melihat pemuda itu hanya melongo.

Mendengar ini, kontan perut Bun Beng berbunyi, seolah-olah menjawab pertanyaan itu. Dengan gugup ia menekan perut dengan tangannya sambil memaki dalam hati kepada perutnya yang tak tahu malu. Memang ia merasa lapar sekali. Apa lagi hawa begitu nyaman, pemandangan begitu indah, membuat perut yang kosong terasa sekali.

"Heiiii! Bagaimana?" Gadis itu kembali bertanya sambil menahan geli hatinya karena telinganya yang berpendengaran tajam dapat menangkap perut yang berkokok tadi.

"He? Apa?" Bun Beng bertanya gugup, masih merasa malu oleh perutnya.

"Lapar tidak?"

"Lapar sekali, Kwi Hong, tapi... makan apa...?"

"Betapa bodohnya! Ikan berkeliaran di dalam sungai masih bertanya makan apa?"

Bun Beng teringat dan meloncat bangun. "Tepat sekali! Mengapa aku begitu bodoh dan pelupa? Ikan-ikan yang mengeroyokku siang tadi! Aku harus membalas dendam, setidaknya harus kutangkap seekor, kupanggang sampai matang dan kita ganyang dagingnya!" Setelah berkata demikian, ia lari ke pinggir sungai dan langsung meloncat ke sungai.

"Byurrrrrr!" Air muncrat tinggi dan Kwi Hong terbelalak, kemudian tertawa terpingkal-pingkal dan menggeleng-geleng kepala.

"Sungguh orang aneh," gumamnya sambil berdiri di pinggir sungai menonton Bun Beng yang menyelam hendak menangkap ikan begitu saja dengan kedua tangan, lengkap dengan pakaiannya, bahkan sepatunya tidak dicopot!

Akan tetapi ia kagum sekali ketika tak lama kemudian Bun Beng sudah muncul lagi, memondong seekor ikan yang besarnya sebantal dan melemparkan ikan itu ke darat! Ikan itu menggelepar-gelepar di darat dan Bun Beng sudah berenang ke pinggir lalu mendarat pula, tersenyum lebar, pakaiannya basah kuyup, air menetes-netes dari seluruh pakaiannya, rambutnya pun basah kuyup dan kuncirnya melibat leher.

"Aihh, ikan sebesar ini mana bisa kita habiskan? Dan bagaimana pula membersihkan isi perutnya. Kaulah yang melakukannya itu, nanti aku yang memanggangnya."

"Jangan khawatir, Kwi Hong. Kalau tidak ada pisau, batu karang pun cukup tajam dan runcing."

Dengan gembira Bun Beng lalu mencari batu karang yang keras, menghampiri ikan. Sekali pukul dengan batu pecahlah kepala ikan itu dan ia segera membelah perut ikan dengan batu yang tajam, membuang isi perutnya ke sungai dan membersihkan kulit ikan yang tak bersisik itu dengan gosokan batu karang.

Kwi Hong sudah menyediakan sebuah ranting, menusuk ikan besar itu dari mulut sampai menembus ekor, kemudian memanggangnya di atas api unggun sambil menanti Bun Beng mencuci tangannya ke air sungai. Setelah pemuda itu duduk dekat api, dia mencela.

"Kau ini aneh sekali, mengapa menangkap ikan begitu saja dengan memakai pakaian lengkap? Lihat, pakaian dan sepatumu basah kuyup, tentu dingin sekali. Sebaiknya kau buka dan peras pakaianmu, panggang dekat api biar kering."

Muka Bun Beng tiba-tiba berubah merah. Bagaimana dia bisa menanggalkan pakaian di depan gadis itu? "Biarlah, diperas begini pun bisa, dan kalau aku duduk dekat api, sebentar juga kering."

Ia memeras rambut dan pakaiannya, melepas sepatunya dan menggeser duduknya dekat api. Beberapa kali Kwi Hong melirik kepadanya dengan pandang mata penuh rasa heran. Pemuda ini aneh sekali. Kadang-kadang pendiam dan canggung, akan tetapi gerak-geriknya amat menarik hatinya.

Bau sedap daging ikan dipanggang menusuk hidung, langsung merangsang selera mulut dan menambah lapar perut. Setelah matang, kedua orang itu lalu menyerbu daging ikan yang terasa sedap dan gurih sekali. Hanya separuh termakan oleh mereka. Terpaksa sisanya mereka buang lagi ke sungai.

"Sayang air sungai begitu kotor, bagaimana bisa minum?" Kwi Hong bertanya sambil mencuci tangannya yang penuh minyak ikan, juga mengusap bibirnya dengan air sungai, kemudian menggosoknya dengan sapu tangan.

"Aku akan mencari buah!" Sambil berkata demikian, Bun Beng meloncat dan lari pergi, mencari-cari pohon yang ada buahnya. Sampai jauh ia meninggalkan tepi sungai itu dan untung bahwa bulan bersinar terang sehingga akhirnya setelah payah mencari-cari, ia datang lagi membawa beberapa butir buah yang sudah masak.

Kemudian, keduanya duduk menghadapi api unggun yang menjadi makin besar setelah ditambah daun kering dan kayu oleh Kwi Hong. Hawa yang hangat, perut yang kenyang, membuat gadis itu merasa mengantuk dan ia menguap di belakang telapak tangannya.

"Ahh, aku ingin tidur. Bun Beng, kau berjagalah dulu, sambil mengeringkan pakaianmu. Nanti aku giliran menjaga dan kau tidur. Di tempat seperti ini, apa lagi baru saja kita bertemu dengan siucai sinting dan gurunya, tidak boleh kita berdua tidur semua tanpa ada yang menjaga."

"Baik, kau tidurlah, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan aku akan menjagamu."

Kwi Hong mundur agak menjauhi api unggun, kemudian merebahkan dirinya, miring menghadapkan mukanya ke api unggun dan memejamkan kedua matanya. Bun Beng kini berani menatap wajah itu sepuas hatinya. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, menyaksikan wajah yang kemerahan, dengan rambut yang agak mawut dan sebagian terurai menutup pipi dan dahi, melihat bulu mata yang menjadi panjang dan tebal membentuk bayang-bayang di pipi, hidung yang mancung dan cupingnya bergerak sedikit ketika bernapas dalam-dalam, bibir yang merah dan mengkilap terkena minyak daging ikan, ia merasa terharu sekali.

Ia membandingkan wajah ini dengan wajah Ang Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang pernah menarik hatinya. Keduanya sama cantik dan memiliki daya tarik masing-masing. Akan tetapi, melihat Kwi Hong tertidur tak jauh di depannya, ia harus mengaku bahwa Kwi Hong lebih cantik jelita. Teringatlah ia betapa dalam keadaan menghadapi maut, hanya tiga wajah orang yang terbayang olehnya. Wajah Kwi Hong, wajah Siok Bi dan wajah Milana! Akan tetapi, ketika itu ia membayangkan wajah Kwi Hong dan Milana di waktu mereka masih kecil. Betapa jauh perbedaannya setelah ia bertemu dengan Kwi Hong sekarang, demikian cantik dan menarik.....

Di dalam batin tiba-tiba Bun Beng mengutuk diri sendiri. Mengapa ia membayangkan wajah wanita-wanita cantik? Celaka, inikah yang membuat ayahnya dulu memperkosa ibunya? Ia bergidik ketika merasa betapa ada hasrat di hatinya untuk memeluk tubuh wanita yang berbaring di depannya itu, ingin mencium pipi itu, bibir itu! Keparat! Ingin ia menghantam kepalanya sendiri, menghancurkan kepala yang berisi pikiran busuk itu.

Apakah ia mewarisi watak ayahnya? Tidak! Ayahnya telah disebut datuk kaum sesat, tentu merupakan seorang yang sesat kelakuannya. Buktinya sampai memperkosa ibunya! Dia tidak akan melakukan hal seperti itu! Biar pun dia tertarik akan wanita-wanita cantik, dia akan memerangi perasaannya sendiri dan mencegah agar jangan sampai ia melakukan perbuatan terkutuk! Ia harus memilih seorang di antara mereka, bukan untuk diperkosa, bukan untuk dipermainkan, melainkan untuk dijadikan isteri! Kwi Hong ini! Ah, betapa akan bahagia hatinya kalau ia dapat memperisteri Kwi Hong.

Kwi Hong mengeluh perlahan dan menghela napas panjang, agaknya mimpi. Keluhan lirih dan helaan napas itu membuat dara itu tampak makin menarik sehingga Bun Beng terpaksa membuang muka, tidak kuat memandang lebih jauh karena jantungnya sudah berdenyut keras.

Memang tidak dapat terlalu disalahkan kalau Bun Beng diamuk nafsu birahi dan cinta. Usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh dua tahun lebih. Dalam usia sebanyak itu tentu saja timbul perasaan ini dan masih mengagumkan bahwa dia dapat menahan diri kalau diingat bahwa sejak kecil dia tak pernah menerima pendidikan tentang susila, tidak pernah menerima pendidikan ayah bunda sendiri.

Untung bahwa ia digembleng oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-pai sehingga batinnya cukup kuat, biar pun darahnya, darah ayahnya yang panas membuat ia condong untuk melakukan perbuatan menyeleweng. Namun, justeru nama buruk ayahnya membuat ia berkeras hati untuk menebus semua kesalahan ayahnya dengan perbuatan baik, bukan justru menambah kotor nama ayahnya dengan perbuatan seperti yang pernah dilakukan ayahnya.

Betapa bahagianya kalau ia dapat menjadi suami Kwi Hong, pikirnya lagi setelah hatinya tenang dan dia berani lagi memandang wajah Kwi Hong. Gadis itu kini telah rebah terlentang sehingga nampak tonjolan dadanya yang turun naik kalau bernapas lembut. Bibir itu setengah terbuka, seperti tersenyum menantang!

Betapa cantik jelitanya, betapa gagah perkasanya. Tadi pun sudah dia saksikan sendiri betapa lihai gadis ini. Dia sendiri meragukan apakah dia akan mampu melawan Kwi Hong. Betapa tidak gagah perkasa dan lihai kalau diingat bahwa dara ini adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti!

Tiba-tiba Bun Beng tertegun dan mengerutkan alisnya. Keponakan Pendekar Siluman! Aihhh, dia telah melamun terlalu jauh. Bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami keponakan Majikan Pulau Es? Mentertawakan! Dia, seorang anak yatim-piatu, bahkan disebut anak haram, putera mendiang datuk kaum sesat yang disebut Setan Botak, mana mungkin berjodoh dengan keponakan Majikan Pulau Es yang berkedudukan tinggi?

"Aihhhh, pikiran yang bukan-bukan," dia menarik napas panjang, berusaha mengusir keinginan hati yang tak mungkin terpenuhi itu.

Ia memaksa diri untuk mengalihkan keinginan hatinya. Bagaimana kalau Milana? Lebih tidak masuk di akal! Tanpa disengaja, ia telah menyaksikan peristiwa hebat yang mungkin menjadi rahasia Pendekar Siluman, Milana adalah puteri Pendekar Siluman itu! Puterinya dari seorang ibu yang amat cantik dan amat sakti! Lebih tidak mungkin lagi. Baik Kwi Hong, apa lagi Milana, tidak mungkin menjadi jodohnya. Kedudukan mereka terlalu tinggi baginya, seperti merindukan bintang-bintang di langit saja! Tinggal seorang lagi, Ang Siok Bi! Dia itulah yang tidak begitu tinggi kedudukannya, akan tetapi hal ini kalau dibandingkan dengan Kwi Hong atau Milana, kalau dibandingkan dengan dia, bahkan Siok Bi masih terlalu tinggi untuknya. Puteri Ketua Bu-tong-pai! Aihh, dia mimpi di siang hari! Tidak ada harapan seujung rambut pun!

"Dasar engkau manusia tak tahu diri!" Bun Beng berbisik dan menjambak kuncirnya, merasa terpukul dan rendah. Lama dia merenung memandang api unggun, diam-diam mengeluh dan menyalahkan ayah bundanya yang telah tiada.

"Sudahlah, aku manusia yang tiada harganya. Akan tetapi akan kubuktikan kepada mereka semua, kepada dunia kang-ouw, bahwa walau pun ayahku seorang manusia yang sejahat-jahatnya dan serendah-rendahnya, aku tidaklah serendah itu. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu melakukan hal-hal yang layak dilakukan seorang pendekar besar!"

Pikiran ini sedikitnya menghibur hatinya yang perih. Terhiburlah dia bahwa kini dia akan menyerahkan sebuah di antara Siang-mo-kiam kepada murid dan keponakan Majikan Pulau Es. Sepasang pedang itu diperebutkan oleh orang sedunia kang-ouw, bahkan Pendekar Siluman sendiri mencari-cari tanpa hasil. Sekarang justru dia yang berhasil menemukannya dan menyerahkan sebuah di antaranya kepada murid dan keponakan Majikan Pulau Es, bukankah hal ini sudah merupakan jasa yang besar? Dan dia akan melangkah lebih jauh lagi. Dia akan melakukan hal-hal yang besar, biar pun saat itu dia belum tahu apa gerangan hal-hal yang besar itu.

Bun Beng menambahkan kayu kering sehingga api unggun membesar. Pakaiannya sudah kering dan ia merasa tubuhnya hangat. Malam telah amat larut, akan tetapi dia tidak mau membangunkan Kwi Hong. Biarlah dia yang berjaga sampai pagi. Tidak tega dia mengganggu gadis itu yang tidur dengan nyenyaknya. Ia bersandar pada batang pohon, kadang-kadang menambah kayu pada api unggun, menjaga agar api itu tidak padam.

Pada keesokan harinya ketika terdengar kokok ayam hutan dan kegelapan malam mulai terusir oleh sinar matahari pagi yang kemerahan, Kwi Hong bangun dari tidurnya. Ia mengusap kedua matanya dan begitu membuka mata, melihat bahwa malam telah berganti pagi, melihat pula Bun Beng masih duduk bersandar pohon dekat api unggun, ia meloncat bangun dan membentak.

"Bun Beng, kau terlalu sekali!"

Bun Beng tersenyum, dia tidak merasa aneh lagi menyaksikan sikap gadis yang begitu mudah berubah seperti angin ini, tiba-tiba saja marah, kemudian marahnya berganti sikap ramah. Benar-benar seorang gadis yang penuh semangat berapi-api, "Maaf, Kwi Hong, apakah salahku?"

"Masih bertanya apa salahnya lagi! Enak-enak duduk semalam suntuk, membiarkan orang tertidur sampai pagi. Mengapa tidak kau bangunkan aku agar aku berganti melakukan penjagaan?"

"Aah, tidak mengapa, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan kau... tidurmu enak benar, tidak tega aku membangunkanmu."

Gadis itu memandang aneh. "Mengapa kau menyiksa diri untukku? Kau tidak tidur sama sekali?"

Ucapan ‘karena aku cinta padamu’ sudah berada di ujung lidah Bun Beng, namun cepat ditelannya kembali. "Aku duduk beristirahat sama dengan tidur. Urusan kecil ini masa mesti dibesar-besarkan?"

"Biar pun urusan kecil, akan tetapi aku tidak mau dikatakan tidak adil. Lain kali aku tidak mau begini, engkau harus tidur lebih dulu. Kau membikin aku merasa tidak enak saja!" Dengan uring-uringan Kwi Hong lalu pergi mencari sumber air untuk mencuci muka. Setelah ia kembali, ia melihat Bun Beng sudah mencuci muka di air Sungai Huang-ho.

"Mari kita melanjutkan perjalanan," kata Kwi Hong dan berangkatlah mereka menuju ke jurusan timur, ke arah muara Sungai Huang-ho. Tak lama kemudian Bun Beng mengenal daerah di mana dahulu dia dan suhu-nya, mendiang Siauw Lam Hwesio, berperahu menuju ke muara sungai. Peristiwa beberapa tahun yang lalu seperti terjadi kemarin saja dan teringat akan nasib gurunya, mukanya menjadi berduka dan ia menarik napas panjang.

"Mengapa kau berduka?" Tiba-tiba Kwi Hong bertanya, tidak galak lagi seperti tadi melainkan halus dan menaruh khawatir.

"Tiba-tiba aku teringat pada mendiang Guruku, Siauw Lam Hwesio. Dia tewas secara menyedihkan sekali." Dia lalu menceritakan tentang kematian gurunya di tangan koksu negara dan kaki tangannya, lalu menutup ceritanya, "Aku harus membalas kematian Suhu. Kelak aku harus mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun beserta tiga orang pembantunya yang ikut membunuh Suhu, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong!"

Kwi Hong mendengarkan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang. "Wah, musuh-musuhmu bukanlah orang sembarangan. Menurut Paman, dua orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apa lagi Im-kan Seng-jin! Lawan-lawan yang amat berat dan sakti."

"Aku tidak takut dan aku harus mencari mereka."

"Aku pun tidak takut, hanya bilang bahwa mereka lihai. Kelak aku akan membantumu, Bun Beng."

Bun Beng menoleh dan mereka berpandangan. Melihat sinar mata penuh rasa syukur dan berterima kasih dari pemuda itu, Si Dara membuang muka dengan perasaan jengah. "Biar pun mereka bukan musuhmu, aku pun akan menentang mereka dan Thian-liong-pang, juga Pulau Neraka!" katanya menambahkan, seolah-olah hendak mengalihkan perhatian Bun Beng bahwa dia menentang mereka bukan semata-mata untuk membantu Si Pemuda.

Mereka berjalan terus, berjalan cepat karena mereka kini mempergunakan ilmu lari cepat setelah Bun Beng mengatakan bahwa pulau di muara sungai itu tidak jauh lagi.

"Nah, itu dia pulaunya, dan di sanalah pusaran maut itu!" Bun Beng berteriak menuding dan mereka berlari cepat menghampiri pantai dari mana tampak pulau kecil di tengah muara yang dahulu menjadi medan pertempuran. Dari pantai itu tampak pula pusaran air dan Bun Beng masih bergidik ngeri melihat air berputar-putar itu, teringat akan pengalamannya beberapa tahun yang lalu.

"Lihat, Kwi Hong. Ketika terjadi pertandingan di pulau itu, aku terlempar dari atas tebing itu, tepat jatuh di pusaran maut."

Kwi Hong mengerutkan alisnya. "Hemmm..., dan setelah kau keluar dari lorong air kau mendarat di lambung gunung katamu dahulu? Gunung yang dekat dengan muara ini hanya sebelah sana itu. Kita harus menyeberang!"

Tempat itu sunyi sekali, akan tetapi dari jauh tampak layar-layar perahu nelayan pencari ikan. Bun Beng yang lebih senang kalau mencari pedang-pedang itu tidak melalui pusaran air, cepat berlari ke bawah dan akhirnya dapat memanggil seorang tukang perahu. Dengan biaya ringan mereka dapat diseberangkan oleh nelayan itu dan melanjutkan perjalanan mendaki gunung karang yang sukar dilalui. Namun berkat kepandaian mereka, mereka dapat juga mendaki dan setelah tiba di sebuah puncak batu karang yang tinggi, Bun Beng meloncat naik dan memandang ke sekeliling, mencari-cari.

Akhirnya ia berseru girang. "Nah, di sana itu agaknya, di seberang jurang lebar itu. Benar, tidak salah lagi, itu yang tampak seperti gerombolan tentulah hutan-hutan di mana mereka mencari akar dan daun obat! Dari sanalah aku diterbangkan rajawali. Nah, sungai berada di sana dan gunung yang puncaknya tinggi itulah tempat aku melayang... ahhh, tidak salah lagi. Mari kita ke sana!"

Akan tetapi, kegirangan Bun Beng yang mengenal tempat itu harus ditebus mahal sekali untuk menjadi kenyataan. Perjalanan amat sukar. Kadang-kadang mereka harus menuruni jurang yang amat dalam, melalui perjalanan yang curam dan kadang-kadang mereka harus mendaki batu karang yang runcing tajam mengakibatkan luka-luka pada telapak tangan. Sepatu mereka juga pecah-pecah.

Malam itu terpaksa mereka harus bermalam di antara batu-batu karang gundul dan terpaksa melalui malam dingin sekali tanpa api unggun karena di daerah di mana mereka bermalam itu tidak terdapat sepotong pun kayu. Juga perut mereka lapar bukan main, namun semangat mereka tetap tinggi. Kini Kwi Hong memaksa Bun Beng supaya tidur lebih dulu, akan tetapi betapa mendongkol dan menyesal hati Bun Beng ketika dia terbangun, ternyata hari telah menjadi pagi dan dara itu ‘membalas dendam’ tidak mau membangunkannya dan berjaga semalam suntuk. Ia mendongkol dan juga terharu sekali. Mereka baru saja melakukan perjalanan yang melelahkan namun gadis itu bersikeras berjaga semalam suntuk.

"Aihh, Kwi Hong. Mengapa kau begini sungkan, sedangkan kita telah menjadi sahabat dan mengalami kesukaran bersama?"

"Tidak akan puas hatiku kalau belum membalas. Aku paling tidak suka kalau merasa diri tidak adil. Setelah membalas, tentu saja hatiku lega dan lain kali kau harus tidak bersikap mengalah dan sungkan pula seperti yang kau lakukan malam kemarin."

Mereka melanjutkan perjalanan. Makin dekat tempat itu, makin yakinlah hati Bun Beng bahwa dia tidak keliru. Lewat tengah hari, kedua orang muda ini mendaki tebing tinggi menuju ke daratan di atas di mana dahulu para pemuja Sun-go-kong menyerahkan keranjang-keranjang obat kepada burung-burung rajawali dari Pulau Neraka! Baru saja mereka meloncat ke puncak yang datar itu, tiba-tiba menyambar banyak senjata rahasia yang ternyata adalah batu-batu karang kecil dari depan. Dengan mudah keduanya mengelak dan Bun Beng berteriak.

"Harap Cu-wi tidak menyerang! Aku Gak Bun Beng!"

Dari balik semak-semak bermunculan delapan belas orang. Ketika mereka melihat Bun Beng, orang-orang itu berteriak sambil lari menghampiri dan semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu. "Ah, kiranya Gak-inkong yang datang! Kami bersyukur sekali, In-kong. Kami melihat betapa In-kong diterbangkan burung rajawali dan mengira Gak-inkong sudah tewas...!"

Bun Beng tersenyum lebar. "Memang nyaris aku tewas, tetapi syukurlah Tuhan belum menghendaki demikian. Apakah Cu-wi baik-baik saja?"

"Terima kasih, In-kong. Semenjak peristiwa dahulu itu, kami tidak lagi mengalami gangguan, agaknya Dewa Sun-go-kong melindungi kami."

Mendengar ini, Bun Beng melirik kepada Kwi Hong dan gadis ini yang sudah mendengar tentang para pemuja Siluman Kera itu tersenyum. Gadis ini sebagai murid Pendekar Super Sakti, berhati polos dan jujur, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata,

"Sun-go-kong hanyalah tokoh dalam dongeng See-yu, mengapa kalian menyembah dan memujanya? Betapa bodohnya kalian ini orang-orang tua memuja tokoh dongeng kanak-kanak!"

Delapan belas orang yang kini sudah bangkit berdiri memandang kepada Kwi Hong dengan alis berkerut tanda tidak senang hati. "Hemm, Nona yang masih muda..., kalau saja engkau tidak datang bersama Gak-inkong dan menjadi sahabatnya, tentu kami tidak membiarkan engkau berkata selancang itu. Semua dewa yang dipuja memang hanyalah tokoh dongeng. Yang penting bukanlah tokoh dongengnya, melainkan hati si pemujanya! Gak-inkong, apakah Nona ini sahabatmu? Kalau bukan, dia tidak kami perkenankan berada di sini!"

Bun Beng diam-diam merasa menyesal mengapa Kwi Hong berlancang mulut, namun dia pun tidak dapat menyalahkan dara itu yang memang suka bicara terang-terangan menurutkan kata hatinya. "Dia sahabat baikku, harap Cu-wi suka memaafkannya."

Wajah delapan belas orang itu menjadi cerah kembali dan mereka sudah memaafkan Kwi Hong. Bahkan seorang di antara mereka, yang termuda, maju dan berkata sambil tertawa, "Sahabat baik Gak-inkong? Ha-ha cocok sekali. Cantik jelita dan patut menjadi sisihan In-kong yang tampan..."

"Plak! Aduh!" Orang itu terguling dan meraba pipinya yang sudah menjadi bengkak oleh tamparan Kwi Hong. Gerakan tangan dara itu cepat bukan main sehingga orang yang ditamparnya hampir tidak tahu bahwa dia ditampar, disangkanya ada halilintar menyambar pipinya!

Teman-temannya menjadi marah dan mereka sudah mengepal tinju, siap mengeroyok Kwi Hong sungguh pun diam-diam mereka terheran-heran. Mereka telah mempelajari Ilmu Sin-kauw-kun-hoat yang diberikan oleh Dewa Sun-go-kong kepada mereka, dan ilmu silat ini mengutamakan kegesitan sehingga mereka semua adalah ahli-ahli mengelak pukulan. Mengapa teman mereka tadi begitu mudah kena ditampar oleh dara ini?

"Tahan, Cu-wi sekalian! Nona ini adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es, harap Cu-wi tidak menimbulkan pertentangan!"

"Murid Pendekar Siluman...?" Terdengar seruan-seruan mereka dan semua orang memandang dengan mata terbelalak. Sebagai pejuang, tentu saja mereka sudah mendengar nama Pendekar Siluman yang dulu pernah menggegerkan musuh di Se-cuan.

Orang tertua dari mereka segera mengangkat tangan memberi hormat kepada Kwi Hong sambil berkata, "Mohon maaf, karena tidak mengenal kami bersikap kurang hormat kepada Lihiap."

Kemudian ia menghadapi Bun Beng dan bertanya, "Setelah bertahun-tahun In-kong meninggalkan kami, sekarang In-kong datang dengan tiba-tiba, apakah yang dapat kami lakukan untuk membantu In-kong dan Lihiap ini?"

Bun Beng tersenyum. "Terima kasih atas kebaikan Cu-wi sekalian. Aku datang hanya untuk menengok dan terutama sekali untuk mengambil sesuatu yang dahulu kusimpan di tempat ini. Harap Cu-wi tidak repot dan aku bersama Nona ini akan mencari dan mengambil sendiri benda yang kusimpan itu."

Orang-orang itu saling pandang. Mereka tidak tahu benda apakah yang disimpan oleh Bun Beng di situ, akan tetapi orang tertua dari mereka menjawab, "Silakan In-kong."

"Mari, Kwi Hong!" kata Bun Beng dengan sikap gembira.

Nona itu pun merasa gembira dan hatinya tegang, melompat dan mengikuti Bun Beng meninggalkan tebing itu, berlari-lari ke arah gunung di mana terdapat goa-goa batu yang sebagian besar tertutup alang-alang tinggi dan lebat.

Dengan hati berdebar Bun Beng mengajak gadis itu pergi ke daerah goa ini yang jauh juga dari tebing sehingga sekumpulan orang pemuja Sun-go-kong itu tidak tampak lagi, kemudian dengan mudah ia mencari goa kecil yang ia tutup dengan tumpukan batu sehingga sama sekali tidak kelihatan dari luar. Tanpa berkata sesuatu ia membongkar batu-batu itu, dibantu oleh Kwi Hong yang juga menjadi tegang hatinya. Siapa yang tidak berdebar hatinya kalau mengingat bahwa Sepasang Pedang Iblis itu berada di belakang tumpukan batu? Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan orang sedunia kang-ouw, bahkan yang dicari-cari tanpa hasil oleh pamannya!

Setelah tumpukan batu yang menutupi goa itu terbongkar semua, Bun Beng berseru girang melihat bungkusan kain yang kuning dan kotor. Ia mengenal itu, sehelai baju yang dipakai membungkus sepasang pedang. Baju itu sudah rusak dan kotor sekali, akan tetapi dengan penuh gairah Bun Beng menariknya dan dengan kedua tangan gemetar ia membuka bungkusan kain butut. Ternyata sepasang pedang itu masih utuh, sebatang agak pendek, sebatang lagi lebih panjang, akan tetapi bentuk gagang dan sarung pedangnya serupa. Ia menyerahkan yang pendek kepada Kwi Hong tanpa bicara. Bersama-sama mereka meneliti pedang itu dan membaca huruf-huruf kecil yang terukir di dekat gagang.

"Yang pendek ini adalah Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)...," kata Kwi Hong setelah membaca huruf-huruf di pedangnya.

"Dan ini adalah Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan)...," kata Bun Beng.

"Tepat seperti yang diceritakan Paman, ini adalah sepasang..."

"Sepasang Pedang Iblis! Ha-ha-ha, harus diberikan kepadaku!"

Bun Beng dan Kwi Hong terkejut bukan main mendengar suara di belakang mereka itu. Mereka cepat membalikkan tubuh dan ternyata yang tertawa dan bicara tadi adalah kakek India bersorban bersama muridnya Si Siucai Sinting! Bun Beng maklum bahwa mereka menghadapi bahaya besar dan dalam beberapa detik saja otaknya bekerja cepat, lalu ia berbisik kepada Kwi Hong. "Kau bawa semua pedang ini, serahkan Pamanmu, biar aku menahan..."

"Tidak..." Kwi Hong berbisik pula dan menolak pedang panjang yang diangsurkan kepadanya, "kita pergunakan pedang ini untuk melawan bersama. Pula, kalau kita masing-masing memegang satu, pedang itu berpencar dan kalau terampas orang tidak keduanya."

"Ha-ha-ha-ha! Orang-orang muda, sudah lama aku mencari Sepasang Pedang Iblis, dan melihat gerak-gerikmu kemarin, aku sudah sangat curiga, maka diam-diam kami membayangi kalian. Siapa kira, benar saja kalian telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, ha-ha-ha-ha!"

"Maharya!" Tiba-tiba Kwi Hong membentak marah. "Seorang tua bangka macam engkau ini apakah tidak tahu peraturan dunia kang-ouw? Dalam berlomba mencari pusaka, siapa yang mendapatkannya berarti sudah berjodoh! Kami sudah mendapatkannya dan pusaka ini adalah milik kami!"

"Ha-ha-ha! Bocah perempuan, sungguh tajam matamu dapat mengenal aku! Akan tetapi engkau tidak tahu riwayat Sepasang Pedang Iblis. Sepasang pedang itu adalah hak milikku. Karena itu, sudah semestinya kalian berikan kepada Maharya!" kakek India yang kini sudah pandai bicara bahasa daerah itu berkata dengan lidah kaku.

"Sombong dan pembohong besar engkau! Sepasang Pedang Iblis ini adalah milik pribadi Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam yang menjadi pujaan Pamanku, To-cu dari Pulau Es. Kemudian pusaka-pusaka ini diwariskan kepada kedua muridnya, kemudian ditemukan oleh Paman dan dikubur bersama jenazah kedua murid Mutiara Hitam. Setelah itu lenyap dan akhirnya kami yang menemukannya kembali. Bagaimana kau berani bilang menjadi milikmu? Tak tahu malu!"

Sastrawan sinting itu meloncat ke depan. "Ah, dia ini keponakan Suma Han si jahanam keparat? Guru, kita tangkap dia dan siksa sampai mati, biar terasa oleh Suma Han siluman keparat itu!"

Kwi Hong mendelik saking marahnya dan telunjuk kirinya menuding ke arah sastrawan itu. "Engkau Tan Ki orang gila! Paman sudah menceritakan kepadaku tentang engkau! Tunanganmu, Lu Soan Li tewas dalam perjuangan sebagai seorang wanita pendekar yang gagah perkasa, akan tetapi engkau ini manusia gila telah menyalahkan Paman, bahkan menjadi murid kakek iblis ini membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Sekarang harus kau kembalikan pedang pusaka itu atau kau akan mampus di tanganku!"

"Ha-ha-ha! Bocah ini sombong sekali! Eh, bocah yang manis dan galak, engkau tidak tahu. Biar pun Sepasang Pedang Iblis itu dibuat atas perintah Mutiara Hitam, akan tetapi pembuatnya adalah Kakekku Mahendra, maka akulah yang berhak memilikinya. Lebih baik kalian berikan sepasang pedang itu dan aku akan dapat membujuk muridku untuk membebaskan kalian berdua."

"Singggg!"

"Sratttt!"

Tampak dua sinar berkilat ketika Bun Beng dan Kwi Hong mencabut pedang masing-masing. Sinar ini amat terang sehingga mengejutkan Bun Beng dan Kwi Hong sendiri. Maharya terbelalak kagum dan tertawa lebar saking girangnya. "Sadhu! Sepasang Pedang Iblis yang mulia!" Ia berkata, kemudian menoleh kepada muridnya, "Pergunakan Hok-mo-kiam, mari kita rampas sepasang pedang ini!" Ia sendiri sudah memakai sarung tangan emas dan mengeluarkan senjata hidupnya, yaitu ular putih yang berbahaya.

"Kwi Hong, kau hadapi Siucai gila itu dan coba rampas pedangnya, biar aku menghalau kakek iblis ini!" kata Bun Beng dan tanpa menanti jawaban ia sudah menerjang maju, menyerang Maharya dengan Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar.

Maharya terkejut dan cepat meloncat ke belakang. Dia tidak berani sembarangan menangkis sebab maklum bahwa pedang buatan kakeknya itu benar-benar merupakan sebatang pedang yang amat ampuh. Bun Beng tidak memberi hati, meloncat ke depan dan melakukan serangan bertubi-tubi. Dia harus dapat menahan kakek ini untuk memberi kesempatan kepada Kwi Hong menghadapi Tan-siucai yang lebih lemah dibandingkan dengan gurunya yang sakti ini.

Sementara itu, Tan-siucai sudah mencabut Hok-mo-kiam dan tampak sinar kilat yang lebih terang dari pada sinar Sepasang Pedang Iblis, akan tetapi tidak mendatangkan wibawa yang mendirikan bulu roma seperti sepasang pedang itu yang telah menghisap darah entah berapa ribu manusia. Kwi Hong cepat menerjang maju dengan Li-mo-kiam di tangan, melakukan tusukan dan girang sekali ketika merasa betapa pedang itu seolah-olah menambah tenaga pada tangannya, begitu ringan dan seperti telah mendahului jurus yang ia mainkan untuk menyerang, seperti mempunyai nyawa dan terbang sendiri menuju ke arah lawan! Benar-benar sebatang pedang yang amat luar biasa!

"Cringggg...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika Li-mo-kiam bertemu dengan Hok-mo-kiam dan Kwi Hong terkejut karena merasa betapa pedangnya tergetar, seolah-olah menggigil dan takut setelah bertemu dengan pedang lawan. Padahal dia merasa bahwa dia masih menang tenaga menghadapi Tan-siu-cai. Maka ia menjadi waspada dan teringat bahwa pamannya dan mendiang Kakek Nayakavhira memang sengaja menciptakan Hok-mo-kiam untuk menghadapi dan melawan Sepasang Pedang Iblis!

Di lain pihak, Tan-siucai terkejut sekali. Pedangnya hampir terlepas dari tangannya ketika beradu dengan pedang lawan, lengannya tergetar dan ia maklum bahwa ia harus berhati-hati sekali menghadapi keponakan Pendekar Siluman yang memiliki sinkang yang amat kuat itu.

Setelah kini bertanding satu lawan satu dengan Kakek Maharya, Bun Beng harus mengaku dalam hati bahwa tingkat kepandaiannya masih belum cukup untuk menandingi lawan yang sakti ini. Pantas saja kakek ini dahulu berani menghadapi Pendekar Siluman, kiranya memang memiliki gerakan aneh dan setiap gerakan tangannya mengandung hawa yang panas dan di balik hawa panas ini masih ada pengaruh mukjizat yang membuat bulu tengkuk meremang, seperti bukan manusia yang ia lawan, melainkan iblis sendiri.

Bau harum aneh memuakkan yang keluar dari tubuh kakek tinggi kurus itu benar-benar membuat pikiran menjadi kacau. Untung bahwa sekali ini Bun Beng bersenjatakan Lam-mo-kiam yang juga memiliki wibawa amat mukjizat seolah-olah dalam pedang itu ada penghuninya sehingga pengaruh pedang iblis ini sedikit banyak dapat mengimbangi pengaruh kakek India. Kalau dia tidak memegang senjata ampuh ini, agaknya dia tidak akan mampu melawan sampai lama menghadapi kakek yang selain mahir ilmu silat aneh juga mahir ilmu sihir itu.

Bun Beng mainkan jurus-jurus ilmu pedang Siauw-lim-pai, mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan jurus-jurus pilihan yang jarang tandingnya, namun kakek itu selalu dapat mengelak dan menangkis dari samping dengan tangan kiri yang bersarung emas, sedangkan ular putih yang berbahaya itu terus menyambar-nyambar hendak menggigit, bahkan menyemburkan uap putih dengan suara mendesis-desis. Karena maklum bahwa semburan uap putih itu berbisa, Bun Beng kadang-kadang menahan napas dan mendorong dengan tangan kiri menggunakan hawa sinkang untuk mengusir uap putih.

Pertandingan berlangsung makin seru dan mati-matian. Bun Beng melihat mulut kakek itu berkemak-kemik, kemudian terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Ia terkejut bukan main, merasa betapa suara ketawa itu seolah-olah terdengar dari belakang punggungnya dan mendatangkan rasa dingin seperti es memasuki tulang punggung. Ia mengerahkan sinkang untuk menahan perasaan itu, dan saat ia memecah tenaganya, kakek itu mendesak dengan serangan kedua tangannya. Ia menjadi sibuk dan tiba-tiba ketika kakek itu kembali tertawa, ia terdorong oleh rasa yang amat kuat untuk ikut tertawa! Bun Beng yang cerdik masih ingat bahwa kakek ini mempergunakan sihir, maka ia melawan sekuat tenaga namun tetap saja mulutnya tersenyum!

Mendadak sekali, suara ketawa kakek itu berubah menjadi tangis dan Bun Beng merasa jantungnya seperti disayat-sayat, perasaan terharu meliputi seluruh hatinya dan betapa pun ia bertahan kuat-kuat, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya. Ia makin kaget dan diam-diam berseru, "Celaka!"

Maklum dia bahwa dia tidak akan menang menghadapi kakek ini dan biar pun dengan pedang Lam-mo-kiam ia akan dapat mempertahankan diri sampai lama, tetapi akhirnya ia akan kalah juga. Ia amat khawatir, bukan mengkhawatirkan dirinya melainkan mengkhawatirkan diri Kwi Hong.

"Kwi Hong...!" Ia berteriak, terengah-engah dan cepat membabat ke arah ular yang sudah mengancam leher. Ular itu ditarik kembali dan kini tangan yang bersarung emas itu mencengkeram ke arah pusarnya.

"Cringg!" Pedangnya menangkis dan kakek Maharya berteriak kaget karena tangannya yang terlindung sarung tangan itu terasa panas.

"Kwi Hong, larilah cepat! Beri tahu Pamanmu...!" Bun Beng berteriak sambil memutar pedangnya melindungi tubuh secepatnya.

Ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menulikan telinga terhadap suara yang keluar dari mulut Maharya, akan tetapi tidak mungkin ia menutup matanya sehingga kadang-kadang sinar matanya bersilang dengan sinar mata Maharya yang seolah-olah mengeluarkan api bernyala-nyala!

Kwi Hong mendengar teriakan Bun Beng, akan tetapi dia sama sekali tidak mau peduli. Mana mungkin dia melarikan diri? Dia sedang mendesak Tan-siucai yang biar pun memegang Hok-mo-kiam, namun tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh olehnya. Kalau Sastrawan sinting itu tidak memegang Hok-mo-kiam, tentu sudah sejak tadi mampus di ujung Li-mo-kiam.

Apa lagi ketika gadis ini mengerling dengan sudut matanya dan melihat betapa Bun Beng terdesak hebat oleh Maharya, dia makin tidak mau melarikan diri. Dia harus merobohkan Tan-siucai agar dapat membantu Bun Beng mengeroyok kakek yang sakti itu. Dia harus merampas Hok-mo-kiam dan hal ini amat penting, tidak kalah pentingnya dengan mempertahankan Sepasang Pedang Iblis, bahkan lebih penting dari pada keselamatan Bun Beng yang terancam oleh kakek iblis yang sakti. Maka ia terus mendesak Tan-siucai yang kini memutar pedang Hok-mo-kiam sehingga berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyelimuti tubuhnya, membuat Kwi Hong agak sukar untuk menembusnya.

Tiba-tiba Tan-siucai tertawa aneh dan terdengar suaranya, "Ha-ha-hi-hi, Nona manis, engkau melawan siapa? Aku sudah lenyap, bayanganku tidak tampak olehmu, siapa yang kau lawan? Apakah kau gila?"

Kwi Hong terkejut bukan main karena benar-benar bayangan lawannya itu lenyap dan tidak tampak olehnya. Yang tampak hanya gulungan sinar pedang Hok-mo-kiam yang terang seperti cahaya sinar matahari. Hampir saja sinar pedang mengenai lehernya kalau ia tidak cepat-cepat menjatuhkan diri karena dalam keadaan kaget dan bingung mencari musuhnya tadi ia bersikap lengah. Terdengar suara tertawa Tan-siucai dan sukar bagi Kwi Hong untuk menentukan dari mana datangnya suara tertawa ini karena bayangan orangnya tidak kelihatan.

Ia teringat bahwa sebagai murid kakek sakti ahli sihir itu Tan-siucai pandai pula main sihir, maka ia mengerahkan sinkang sekuatnya, sinkang yang dilatihnya di Pulau Es sehingga ia dapat menggabungkan hawa Im dan Yang di tubuh, menguatkan hatinya dan kini tampaklah olehnya bahwa Tan-siucai masih berada di tempatnya yang tadi, memutar pedang dan mendesaknya.

"Cring-trang-trang... aihhh...!" Tan-siucai terkejut dan untung ia masih dapat menangkis sambil terhuyung ke belakang. Ia maklum bahwa gadis itu dapat melihatnya, maka ia mengerahkan seluruh ilmu sihirnya sehingga kini bayangannya kadang-kadang lenyap, kadang-kadang tampak oleh Kwi Hong.

Hal ini membuat Kwi Hong terdesak hebat dan timbul rasa gentar di hatinya. Yang dilawannya memiliki ilmu setan, bagaimana ia dapat melawan orang yang pandai menghilang? Sedikit saja ia mengurangi pengerahan sinkang-nya, bayangan lawan lenyap. Terpaksa ia membagi tenaganya, sebagian untuk melawan pengaruh sihir sehingga kadang-kadang ia dapat melihat bayangan lawan, kadang-kadang tidak.

"Kwi Hong, larilah cepat... laporkan Pamanmu...!" Kembali ia mendengar teriakan Bun Beng.

"Ha-ha-ha, heh-heh, benar sekali. Kalau kau sudah mati nanti, terbangkan rohmu kepada Si Keparat Suma Han, suruh dia ke sini menerima kematian, ha-ha!"

"Iblis busuk!" Kwi Hong menyerang cepat sekali ketika ia dapat melihat bayangan Tan Ki yang tertawa-tawa. Siucai itu cepat menangkis, akan tetapi Kwi Hong hanya melakukan serangan tusukan sebagai pancingan saja, karena cepat sekali kakinya menendang.

"Desss! Aduhhh... keparat!" Tan-siucai terkena tendangan di samping pinggulnya dan terlempar ke belakang. Kwi Hong cepat mengejar, akan tetapi karena tendangan itu tidak tepat kenanya dan hanya melemparkan tubuh Tan-siucai dan mengagetkan saja, maka Tan-siucai sudah dapat memutar pedang melindungi tubuhnya sambil meloncat bangun.

"Siapa yang kau serang? Aku lenyap sama sekali dari penglihatanmu!" Ucapan ini berulang kali diucapkan Tan-siucai dengan suara menggetar dan kembali Kwi Hong kadang-kadang kehilangan bayangan lawan, membuat ia terdesak lagi.

"Kwi Hong... kau larilah... lekas...!" Bun Beng yang sudah pening oleh pengaruh sihir Maharya, berteriak sekuat tenaga.

Ia mengandalkan ilmu pedang Siauw-lim-pai, mainkan bagian yang bertahan sehingga tubuhnya terlindung gulungan sinar pedang kilat. Dia dapat menahan serangan ular dan tangan bersarung emas, akan tetapi tekanan kekuatan mukjizat dari sihir Maharya benar-benar membuat dia pening dan hanya dengan kebulatan tekadnya dan kemauannya saja untuk mempertahankan diri, pedang Lam-mo-kiam dan terutama melindungi Kwi Hong maka ia masih dapat bertahan.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan delapan belas orang pemuja Sun-go-kong yang mendengar pertempuran dan teriakan-teriakan Bun Beng kini telah berada di situ. Tanpa diminta dan tanpa komando, delapan belas orang ini sudah menerjang maju membantu Bun Beng dan Kwi Hong!

Namun, begitu sebagian besar mereka mengeroyok Maharya, kakek itu mengeluarkan gerengan keras yang menggetarkan seluruh urat syaraf, dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan dan lima orang sudah roboh susul-menyusul terkena hantaman tangan kiri bersarung emas sehingga pecah kepalanya dan sebagian terkena gigitan ular putih di tangan kanan kakek itu! Mereka yang mengeroyok Tan-siucai juga mengalami hal yang menyedihkan. Mereka menyerbu, tidak tahu akan keampuhan sinar pedang Hok-mo-kiam sehingga begitu kena disambar sinar ini, tiga orang roboh dan tewas seketika!

Delapan belas orang maju dan dalam sekejap mata saja delapan orang dari mereka tewas! Sisanya, yang sepuluh orang, menjadi kaget, berduka dan marah bukan main menyaksikan teman-teman mereka tewas sedemikian mudahnya, maka dengan nekat mereka maju untuk membalas dendam atau untuk tewas sekalian.

"Cu-wi, mundur...!" Bun Beng mencegah, akan tetapi sia-sia, mereka malah makin nekat.

"Ha-ha-ha, kalian yang sudah kehabisan tenaga dan setengah lumpuh masih mau melawanku?" Maharya berteriak.

"Jangan dengarkan!"

Bun Beng yang melihat kakek itu membuka mulut lebar memperingatkan, namun terlambat. Sepuluh orang itu tiba-tiba merasa kedua kaki mereka lemas tak bertenaga dan pada saat itu, menyambarlah sinar-sinar hitam dari tangan Tan-siucai dan Maharya. Itulah jarum-jarum hitam beracun dan tentu saja sepuluh orang yang sudah terpengaruh sihir itu tidak mampu mengelak lagi. Mereka mengeluh dan roboh dengan muka berubah menghitam dan nyawa melayang menyusul delapan orang teman mereka. Dalam sekejap mata saja, seluruh pemuja Sun-go-kong, bekas pejuang yang gigih tewas di tangan Maharya dan Tan-siucai dengan amat mudah dan secara sia-sia!

"Kakek iblis yang kejam!" Bun Beng berteriak marah, dan tiba-tiba permainan pedangnya berubah, ia telah mainkan ilmu rahasia yang dipelajarinya dari Kitab Sam-po-cin-keng, dan ternyata akibatnya hebat sekali. Maharya berteriak kaget, berusaha menangkis dengan tangan kirinya karena lingkaran-lingkaran aneh yang dibuat oleh sinar pedang Bun Beng membuat dia menjadi bingung.

"Brettt...! Ihhh!" Kakek Maharya mencelat mundur, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, kemarahannya memuncak ketika ia melihat betapa sarung tangannya terobek sedikit dan telapak tangannya berdarah!

"Lihat api...!" Kakek itu membentak.

Karena girang melihat hasil serangannya, Bun Beng menjadi lengah sehingga ia mendengar suara ini, melihat pula betapa kakek itu menggerakkan tangan kiri sambil mendorong ke arahnya dan... ia melihat pula api berkobar meluncur ke arah tubuhnya. Bun Beng terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi bola api itu terus mengejarnya dari atas. Bun Beng cepat memutar pedangnya dan pada saat ia sibuk melawan bola api yang seperti hidup itu, tiba-tiba tangan bersarung emas telah menghantam bagian punggungnya dengan sebuah tamparan keras.

"Plakkk!" Bun Beng berseru kaget dan tubuhnya terguling-guling, napasnya seperti tersumbat. Sadarlah dia bahwa kembali dia menjadi korban sihir, dan bola api itu sebetulnya tidak ada maka dia sampai kena dipukul. Dengan marah ia melompat bangun dan jurus pertahanan dari Sam-po-cin-keng telah menutup tubuhnya sehingga Maharya tidak dapat menyusulkan serangan maut kepada lawan yang telah terluka itu.

"Kwi Hong... lari...!" teriakan Bun Beng sekali ini terdengar lirih karena dadanya sesak dan napasnya terengah. Kwi Hong terkejut sekali, menoleh dan melihat betapa pemuda itu makin terdesak hebat. Ia marah bukan main karena belum juga mampu mengalahkan Tan-siucai.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dari atas disusul menyambarnya bayangan hitam yang besar. Bunyi kelepak sayap bercampur dengan pekik melengking dan tertawa nyaring memenuhi udara ketika bayangan hitam itu menyambar ke arah Bun Beng dan Maharya yang sedang bertempur. Sinar putih panjang dua buah, seperti dua ekor ular putih yang amat panjang, menyambar ke arah tangan Bun Beng sedangkan paruh besar burung rajawali menyambar ke arah tangan Maharya yang memegang ular putih.

Bun Beng berteriak kaget ketika tiba-tiba tangan kanannya menjadi lemas terkena totokan sinar putih dan selagi dia belum sempat mengembalikan tenaga untuk memegang gagang pedang erat-erat, Pedang Lam-mo-kiam telah terlibat tali putih dan terlepas dari tangannya. Juga Maharya berseru keras ketika tiba-tiba ia diserang oleh pukulan sayap dan selagi ia mengelak, ular putih telah terlempar dari tangannya. Dua orang yang sedang bertanding ini melompat mundur, memandang ke atas dan tampaklah oleh mereka seorang pemuda tampan menunggang seekor rajawali raksasa sedang tertawa-tawa memegangi pedang Lam-mo-kiam di tangan kanan dan ular putih yang dirampas rajawali di tangan kiri!

"Iblis cilik dari Pulau Neraka!" Bun Beng memaki. "Kembalikan pedangku!"

Pemuda di atas punggung rajawali itu hanya tertawa mengejek dan pada saat itu, segumpal asap hitam yang dilepas oleh Maharya secara diam-diam menyerang muka Bun Beng. Pemuda ini gelagapan, menyedot asap hitam dan seketika kepalanya pening, pandang matanya gelap dan ia terhuyung-huyung.

"Desss!" Kembali punggungnya dihantam tangan kiri Maharya dan ia roboh terguling. Namun ia masih sempat berteriak, "Kwi Hong, lari...!"

Kemudian ia merangkak bangun duduk bersila memejamkan mata dan berusaha mengusir pengaruh asap beracun yang membuatnya pening dan lemas, apa lagi punggungnya yang telah dua kali dihantam oleh tangan kiri Maharya yang lihai membuat napasnya sesak.

Maharya yang tadinya menyangka bahwa pemuda di punggung rajawali yang datang itu mungkin akan mengeroyoknya, telah merobohkan Bun Beng lebih dulu, kemudian kini ia mengacungkan tangannya ke atas. "Bocah setan, tak peduli engkau dari Pulau Neraka, turunlah sebelum engkau dan rajawalimu mampus di tangan Pendeta Sakti Maharya!"

Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera To-cu Pulau Neraka. Ia tertawa dan memainkan ular putih di tangan kirinya. "Heh-heh, setan tua. Ular putihmu ini baik sekali, tentu kau dapatkan di Himalaya, bukan?"

Diam-diam Maharya terkejut juga. Ular putihnya itu adalah seekor binatang yang racunnya ampuh sekali. Jarang ada orang sakti yang akan mampu menahan racun binatang itu dan sudah bertahun-tahun ia memelihara dan melatihnya sehingga ular itu akan menjadi ganas kalau dipegang orang lain. Mengapa kini di tangan pemuda itu, ularnya menjadi jinak sekali? Namun tidak peduli anak setan dari mana pemuda itu, dia harus merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan ular putih. Ia menggerakkan tangannya dan sinar hitam menyambar ke arah burung rajawali yang terbang rendah.

Pemuda itu memutar pedang Lam-mo-kiam dan burung rajawali mengibaskan sayapnya, namun tetap saja ada sebatang jarum mengenai kaki burung itu sehingga burung itu memekik keras dan terhuyung.

"Crakk!" Pedang Lam-mo-kiam bergerak dan kaki burung yang terkena jarum hitam itu telah dibuntungi penunggangnya!

"Setan tua itu membikin kakimu putus, hek-tiauw (rajawali hitam), hayo kita bunuh dia!" Pemuda itu berseru dan rajawali itu telah menyambar turun dengan penuh kemarahan.

Disambar oleh cakar dan paruh, dihantam oleh sayap yang besar, serta ditambah lagi serangan pedang Lam-mo-kiam dan ular putihnya sendiri benar-benar membuat Maharya menjadi kaget bukan main. Ia menggulingkan tubuhnya ke atas tanah dan hanya dengan jalan bergulingan ini ia terbebas dari bahaya maut.

Sementara itu, saat Kwi Hong melihat penunggang burung rajawali, mukanya berubah dan ia merasa gelisah sekali. Tentu saja dia mengenal Wan Keng In dan maklum bahwa pemuda Pulau Neraka itu merupakan musuh besar, sehingga tentu akan menambah lawannya.

Saat itu ia melihat Bun Beng terguling dan mendengar pesan terakhir pemuda itu. Tidak baik melawan terus, pikirnya. Melawan berarti akan kalah dan pedang Li-mo-kiam akan terampas pula. Apa artinya melawan kalau tidak akan dapat menolong Bun Beng dan merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan Pedang Hok-mo-kiam? Lebih baik seperti yang diminta Bun Beng, melarikan diri selagi ada kesempatan, kemudian melapor kepada pamannya karena kalau bukan pamannya sendiri yang turun tangan, bagaimana mungkin pedang-pedang itu dapat dirampas kembali?

Alisnya berkerut dan hatinya terasa sakit sekali ketika mengerling ke arah Bun Beng yang terpaksa harus ia tinggalkan. Ia berseru keras, pedangnya menyerang ganas sehingga Tan-siucai kaget dan meloncat mundur. Ketika ia memandang ke depan, gadis lawannya itu telah meloncat-loncat jauh dan melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar gurunya berteriak,

"Tan Ki... bantu aku...!"

Ia menengok dan terkejut sekali melihat pemuda yang menunggang burung rajawali itu sambil terkekeh-kekeh menyerang gurunya dari atas, menyambari gurunya seperti seekor burung mempermainkan tikus! Ia menjadi marah dan maju menyerang dengan pedangnya ketika pemuda di atas punggung rajawali itu kembali turun menyambar.

"Trangggg...! Bukkk!" Pemuda di atas punggung rajawali itu berseru kaget, sementara rajawalinya memekik kesakitan dan terbang tinggi. Pemuda itu kaget karena pedang laki-laki yang menangkisnya itu ternyata dapat membuat Lam-mo-kiam terpental dan tangannya tergetar, sedangkan pukulan tangan kiri bersarung emas Maharya telah mengenai paha rajawali itu.

Wan Keng In yang sudah memeriksa pedangnya dan maklum bahwa secara tidak terduga-duga dia telah mendapatkan sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang dicari-cari ibunya, tidak mau menempuh bahaya menghadapi dua orang di bawah yang ternyata lihai itu, apa lagi kini rajawalinya terluka berat, sebelah kakinya buntung dan bercucuran darah, sedangkan pahanya juga terluka oleh hantaman kakek sakti itu. Belum tentu rajawalinya akan kuat membawanya terbang ke Pulau Neraka, maka ia lalu menyuruh rajawalinya terbang tinggi dan kembali ke Pulau Neraka.

Maharya menyumpah-nyumpah. "Anak Iblis! Keparat jahanam! Dia sudah membawa lari ularku!"

"Dan Lam-mo-kiam juga dirampasnya. Semua ini kesalahan pemuda sialan itu! Kita bunuh saja dia!" Ia melangkah lebar dan mengayun Hok-mo-kiam ke arah leher Bun Beng yang masih duduk bersila mengatur pernapasan. Karena tidak sanggup membela diri lagi, Bun Beng tetap tidak bergerak, menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.

"Jangan!" Tiba-tiba Maharya berteriak dan Tan Ki menahan pedangnya, menoleh dan memandang gurunya dengan heran.

"Mengapa? Apakah Guru menaruh kasihan kepada bedebah ini?"

"Ha-ha-ha, hatiku sakit sekali karena gara-gara dia sarung tanganku robek, ularku lenyap dan Lam-mo-kiam juga hilang. Aku senang bukan main melihat dia mampus, akan tetapi amat enaklah kalau kau membunuhnya begitu saja. Kita harus membuat dia mati perlahan-lahan, biar dia menderita sampai empat puluh hari, mati tidak hidup pun bukan, baru benar-benar mampus, ha-ha-ha!"

Tan-siucai tertawa geli. "Maksudmu bagaimana, Guru?"

"Begini!" Maharya menghampiri Bun Beng dari belakang dan tangan kirinya yang memakai sarung tangan bergerak, jari-jarinya menusuk. Bun Beng maklum bahwa dirinya diserang, akan tetapi tubuhnya lemas, tenaganya habis sehingga melawan pun hanya akan menyiksa diri, maka dia diam saja menerima hantaman maut.

"Cusss! Cusss!"

Dua kali Maharya menggerakkan jari-jarinya yang menotok di belakang pinggang, kanan kiri tulang punggung. Bun Beng tidak merasakan sesuatu, hanya rasa pegal di tempat yang ditotok.

"Ha-ha-ha, aku mengacaukan jalan darahnya, menindas hawa pusar dan membalikkan hawa kundalini. Dia akan keracunan, kedua kakinya akan lumpuh, darahnya perlahan-lahan akan kotor dan menghitam dan dia setiap hari akan menderita hebat, sedikit demi sedikit nyawanya terancam, sampai empat puluh hari. Dia mati sekerat demi sekerat, ha-ha-ha!"

Tan-siucai juga tertawa-tawa, akan tetapi hatinya tidak puas ketika melihat betapa dua kali totokan gurunya itu tidak membuat Bun Beng kesakitan. "Terlalu enak kalau dia tidak diberi rasa, dan hatiku tidak puas kalau tidak menyiksanya tanpa membunuhnya."

Gurunya mengangguk. "Asal jangan kau gunakan sinkang agar tidak membunuhnya, sesukamulah."

"Kalau tidak gara-gara dia, kita tidak kehilangan dan tentu keponakan Pendekar Siluman sudah dapat kubekuk. Biar dia tahu rasa!" Tan-siucai mengayun kakinya, tanpa menggunakan tenaga sinkang menendang ke arah ulu hati Bun Beng.

"Ngekkk!" Walau pun tidak menggunakan sinkang, namun tendangan yang keras itu membuat Bun Beng terjungkal dan ia muntahkan darah segar.

"Desss!" Kini pipi kanan Bun Beng yang mukanya rebah miring itu diinjak sepatu. Ketika injakan yang keras ini membuat Bun Beng menggerakkan kepala sehingga bangkit duduk lagi, Tan-siucai menendang yang kiri.

"Desss!" Tendangan keras sekali ini membuat tubuh Bun Beng terjengkang, kepalanya pening, bibirnya berlepotan darah segar, mukanya bengkak-bengkak dan membiru.

Tan-siucai tertawa-tawa girang akan tetapi ia masih belum puas. Dengan langkah lebar ia menghampiri Bun Beng, dua kali kakinya bergerak ke arah kedua lutut Bun Beng, menendang keras sekali.

"Krak! Krak!"

Tanpa mengeluh Bun Beng terguling pingsan, sambungan kedua lututnya terlepas!

"Cukup, kalau terlalu berat dia tidak akan menderita sampai empat puluh hari. Mari kita pergi. Sayang sekali Sepasang Pedang Iblis terlepas dari tangan kita. Kita kejar bocah perempuan itu!" Guru dan murid itu sambil tertawa-tawa puas lalu berlari, bayangan mereka berkelebat dan tempat itu menjadi sunyi sekali.

Tubuh Bun Beng menggeletak menelungkup dalam keadaan pingsan, sedangkan tak jauh dari situ delapan belas buah mayat para pemuja Sun-go-kong malang-melintang! Menyeramkan sekali keadaan di situ, apa lagi ketika tampak beberapa ekor burung gagak hitam beterbangan dan berputaran di atas tempat itu, agaknya mereka sudah mencium bau mayat dan darah.

Bun Beng sadar dan membuka matanya ketika ia merasa pipinya sakit seperti ditusuk-tusuk pedang. Betapa mendongkol dan marah hatinya ketika ia melihat dua ekor burung gagak mematuki darah dari pipinya. Sekali mengibas dengan tangan, dua ekor burung itu terpental dan mati seketika. Gerakan ini membuat burung-burung gagak yang lain terbang ke atas dan Bun Beng bergidik. Burung-burung keparat itu pesta mematuki mayat-mayat, makan daging dan darah dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu.

Dengan hati terharu ia memandang ke sekeliling. Hatinya merasa sengsara sekali menyaksikan delapan belas orang itu telah menjadi mayat, dan lebih sakit lagi hatinya karena dia tidak dapat mengubur jenazah mereka. Kedua kakinya tak dapat ia gerakkan, sambungan lutut kedua kakinya terlepas dan rasa nyeri yang amat hebat menusuk tulang-tulangnya. Ia mengeluh dan bangkit duduk. Dengan jari tangannya ia menotok jalan darah di paha untuk melenyapkan rasa nyeri di lututnya, kemudian sedapat mungkin ia mengurut lutut-lututnya. Kemudian ia menggerakkan kedua tangannya, mengesot dan setengah merangkak meninggalkan tempat itu.

Dia harus pergi dari situ, tidak tega ia menyaksikan mayat-mayat itu dimakan burung. Mereka telah mati dalam membelanya. Ia menoleh sebentar dengan air mata membasahi bulu matanya, dia berbisik, "Sahabat-sahabatku sekalian, aku bersumpah kalau masih dapat sembuh dan hidup, aku akan membalas kematian kalian kepada Maharya dan Tan Ki." Kemudian ia merangkak terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit, terutama sekali dada dan perutnya. Ia maklum bahwa ia telah terluka hebat dan jalan darahnya menjadi kacau-balau, membuat setiap buku tulang terasa seperti ditusuki jarum.

Susah payah Bun Beng merangkak. Bagaimana ia dapat menuruni bukit yang terjal itu? Ah, bagaimana pula nasib Kwi Hong? Mudah-mudahan dia dapat melarikan diri, pikirnya dan ia menjadi agak lega. Biar pun dia mati, tentu Pendekar Super Sakti akan membalaskan sakit hatinya. Bertambah pula musuh-musuhnya, musuh yang amat sakti.

Musuh-musuh pertamanya, Koksu Negara Im-kan Seng-jin dan para pembantunya sudah merupakan lawan yang berat dan belum dapat ia jumpai, kini muncul pula musuh-musuh yang tidak kalah saktinya, yaitu Tan Ki dan gurunya yang pandai ilmu sihir! Dan dia maklum bahwa guru dan murid itu telah membuat dia menjadi seorang cacad dan tinggal menunggu maut. Pukulan beracun itu takkan dapat ia obati, apa lagi dengan kedua kaki tak dapat dipakai berjalan, apa dayanya? Namun dia tidak putus asa, tidak mau putus asa. Selagi ia masih hidup, dia akan berusaha menyembuhkan luka-lukanya, berusaha pergi dari tempat berbahaya ini!

Malam itu Bun Beng mengalami malam yang paling sengsara. Ia berusaha duduk bersila bersiulian, namun tetap saja ia tidak dapat mengerahkan tenaganya. Begitu ia mengerahkan sinkang, perutnya terasa panas seperti dibakar dan seluruh tubuh terasa gatal-gatal. Ia hanya dapat melatih pernapasan, menghirup udara segar, itu pun tidak dapat ia tarik ke pusar seperti biasa karena hal ini juga menimbulkan rasa nyeri yang sama.

Semalaman ia tidak tidur dan kalau ia teringat akan malam penuh bahagia bersama Kwi Hong, ia tersenyum pahit. Baru kemarin ia mengalami malam yang paling bahagia selama hidupnya, duduk menghadapi api unggun, menatap wajah gadis itu yang tidur nyenyak dan merasa betapa dunia menjadi amat indah. Kini perubahan itu seperti sorga dan neraka. Ia teringat akan wejangan Siauw Lam Hwesio bahwa memang demikianlah hidup. Sorga dan neraka penghidupan muncul dan lenyap saling berganti!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah terang tanah, Bun Beng melanjutkan usahanya menuruni bukit dengan merangkak perlahan-lahan. Betapa ia dapat melakukan perjalanan cepat kalau ia hanya mengandalkan kedua tangannya untuk menarik tubuhnya secara mengesot?

Tubuhnya terasa makin panas. Darah yang mengalir ke kepalanya seolah-olah membakar kepala dan menjelang tengah hari ia tidak kuat lagi. Ia rebah di bawah sebatang pohon dalam keadaan setengah pingsan. Ketika ia meletakkan pipinya yang masih membengkak dan nyeri berdenyut-denyut itu ke atas tanah berumput yang dingin basah, ia merasa betapa nikmatnya tidur seperti itu. Ingin ia tidak dapat bangun kembali, rebah seperti itu untuk selamanya!

Sebuah kaki bersepatu membalikkan tubuhnya yang menelungkup. Ia terlentang dan pandang matanya berkunang. Dalam keadaan setengah pingsan ia melihat beberapa orang berdiri mengelilinginya dan jantungnya berdebar penuh kemarahan ketika ia mengenal seorang di antara mereka adalah pemuda Pulau Neraka, si penunggang rajawali! Bagaimana pemuda ini bisa muncul kembali?

Pemuda yang datang bersama dua orang anggota Pulau Neraka bermuka merah tua itu adalah Wan Keng In. Pemuda ini tadinya hendak kembali ke Pulau Neraka menunggang rajawali yang terluka parah. Hatinya girang mendapatkan Lam-mo-kiam, akan tetapi juga kecewa karena dia tidak dapat mengalahkan kakek India dan sastrawan yang menjadi murid kakek itu. Kecewa karena dia tidak bisa mendapatkan pedang Li-mo-kiam karena ibunya tentu akan girang sekali kalau dia bisa mendapatkan Sepasang Pedang Iblis itu, bukan hanya yang jantan, pula, dia pun ingin sekali mendapatkan pedang Si Sastrawan yang mampu menandingi Lam-mo-kiam.

Dengan hati girang Wan Keng In melihat seekor burung rajawalinya terbang di udara. Ia bersuit nyaring dan ketika rajawali itu terbang dekat, ia lalu pindah ke atas punggung rajawali yang sehat. Ketika ia terbang rendah di pantai, ia melihat sebuah perahu hitam, perahu Pulau Neraka. Cepat ia turun dan ternyata perahu itu adalah perahu yang ditumpangi dua orang anggota Pulau Neraka bermuka merah. Biar pun ia agak kecewa mendapat kenyataan bahwa yang berada di perahu hanyalah dua orang anggota rendahan yang tidak dapat banyak diandalkan, namun ia girang juga dan cepat mengajak mereka untuk pergi ke bukit itu. Dia harus menyelidiki bukit itu. Siapa tahu pusaka-pusaka yang yang lain berada di situ.

Demikianlah, ketika di tengah jalan ia melihat Bun Beng yang menggeletak setengah pingsan, alisnya berkerut. "Inilah orangnya yang memegang pedang yang kurampas. Kepandaiannya lumayan juga. Eh, orang yang terluka parah, aku akan mengobatimu sampai sembuh, akan tetapi katakanlah, dari mana engkau mendapatkan Siang-mo-kiam? Dan mana yang sebatang lagi?"

Mendengar pertanyaan ini, Bun Beng menggeleng kepala tanpa menjawab. Biar pun benar-benar pemuda Pulau Neraka ini akan dapat menyembuhkannya, dia tetap tidak sudi memberi tahu kepada pemuda yang dibencinya itu tentang sepasang pedang iblis yang kini telah dirampasnya sebatang. Lebih baik dia mati dari pada memberi tahu bahwa pedang yang sebuah lagi dipegang Kwi Hong. Kalau pemuda ini naik burung rajawali mengejar dan mencari Kwi Hong dari atas, gadis itu bisa terancam bahaya.....

"Apakah engkau mendapatkannya di bukit ini? Apakah ada pusaka lain lagi? Kitab pelajaran kuno? Kulihat engkau menderita pukulan beracun yang amat berbahaya!" Wan Keng In mendesak lagi, akan tetapi Bun Beng menggeleng kepala dan memejamkan mata, tidak menjawab.

Keng In menggerakkan jari tangannya menotok pundak Bun Beng dan pemuda yang sudah terluka parah ini sama sekali tidak mampu bergerak. "Kalian bawa dia ke perahu dan bawa ke pulau, tentu Ibu akan mendapat akal untuk mengorek rahasia darinya. Dia lihai, akan tetapi dia terluka parah dan sudah kutotok. Akan tetapi, kalian harus tetap berhati-hati membawanya, jangan sampai gagal. Aku akan menyelidiki keadaan bukit ini dulu, cukup mencurigakan."

"Baik, Kongcu (Tuan Muda)." Dua orang anggota Pulau Neraka yang bermuka merah itu lalu mengangkat tubuh Bun Beng, menggotongnya dan membawanya turun dari bukit.

Semetara itu, Wan Keng In lalu mendaki puncak dan mencari-cari. Akan tetapi dia hanya menemukan mayat delapan belas orang gagah itu dan biar pun dia telah mencari sampai sehari penuh, dia tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kitab kecil pelajaran Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat. Biar pun yang ditemukan sama sekali bukan pusaka-pusaka yang diharapkan namun kitab ini ia kantongi dan ia bawa pergi setelah ia bersuit memanggil burung rajawali yang mengikuti perjalannya bersama dua orang anggotanya dari atas.

Sementara itu Bun Beng digotong oleh dua orang Pulau Neraka menuju ke pantai sunyi di mana mereka menyembunyikan perahu mereka, kemudian merebahkan Bun Beng di dekat perahu dan melayarkan ke laut. Bun Beng masih berusaha sedapat mungkin untuk membebaskan totokan. Dia memberontak di dalam hatinya. Tidak sudi ia dibawa ke Pulau Neraka! Dengan bujukan halus dari Kwi-bun Lo-mo saja dia masih tidak mau, apa lagi menjadi tawanan yang luka berat seperti sekarang ini, dan dibawa ke sana hanya untuk dipaksa mengaku tentang Sepasang Pedang Iblis!

Ia harus dapat melepaskan diri, karena kalau sampai ia dibawa ke Pulau Neraka, habislah harapannya. Bagaimana ia akan dapat keluar dari pulau itu? Dari pada hidup tersiksa lahir batin di sana, lebih baik mati sekarang karena berusaha melepaskan diri. Memang sukar mencari jalan bebas mengingat akan luka-lukanya, tubuhnya yang lemah dan kakinya yang tak dapat dipergunakan. Akan tetapi dia tidak memusingkan hal itu, pertama-tama dia harus dapat membebaskan totokan itu lebih dulu. Kedua kakinya memang tak dapat dipergunakan, akan tetapi ia masih mempunyai kedua tangan!

Lautan utara ini sunyi sekali. Hanya ada beberapa buah layar kecil tampak dari jauh, yaitu layar para nelayan yang untuk mencari nafkah hidupnya berani menempuh jarak jauh dan menentang ancaman bahaya maut di tengah laut yang kadang-kadang amat ganas itu.

Setelah perahu meninggalkan pantai, barulah Bun Beng berhasil membebaskan diri dari totokan. Dia mengeluh karena setelah kini berada di perahu dan di tengah laut, andai kata ia dapat membebaskan diri dari dua orang itu sekali pun, habis apa yang dapat ia lakukan? Dengan hati-hati Bun Beng merangkak mendekati langkan di pinggir geladak, menggunakan kesempatan selagi dua orang itu sibuk dengan kemudi dan layar. Ia menjangkau langkan dan menarik tubuhnya ke atas untuk mengintai ke luar. Sunyi di luar, tidak tampak perahu lain. Akan tetapi di kejauhan itu... ah, ada sebuah perahu kecil di sana, dengan seorang penumpangnya. Kalau saja ia dapat menarik perhatian orang itu, tentu orang itu seorang nelayan biasa yang akan suka menolongnya. Untung bahwa perahu layar Pulau Neraka ini sedang meluncur menuju ke perahu kecil di kejauhan itu.

"Heeiii... kau mau ke mana...?" Seorang bermuka merah yang kumisnya panjang melintang berteriak sambil loncat mendekat. Ia takut kalau-kalau tawanan itu meloncat ke luar perahu. Kalau sampai mereka kehilangan tawanan itu, hidup atau mati tentu kongcu akan marah sekali dan mengingat akan hukumannya, mereka bergidik.

"Kau tidak boleh ke mana-mana, hayo kembali ke sini!" Si Muka Merah berkumis itu menggerakkan tangan hendak menangkap Bun Beng.

"Dessss! Augghhhh...!" Pukulan tangan kanan Bun Beng yang dilakukan secara tiba-tiba itu mengenai kepala Si Kumis Panjang dengan tepat. Biar pun Bun Beng terluka, namun pukulannya itu cukup kuat untuk memecahkan kepala anggota Pulau Neraka tingkat rendahan itu sehingga tubuhnya terjerembab dalam keadaan tak bernyawa lagi!

"Heiii... keparat, apa yang kau lakukan?" Orang kedua cepat meloncat bangun tidak peduli lagi akan kemudi, perahu mulai terombang-ambing.

Dia lari mendekati, kaget menyaksikan temannya telah tewas, dan dengan marah dia mencabut golok lalu menyerbu Bun Beng yang masih duduk bersandar langkan. Melihat serbuan golok ini, Bun Beng maklum bahwa dia harus bekerja cepat. Ia tidak mempedulikan dada dan perutnya yang menjadi panas dan nyeri sekali, terpaksa ia mengerahkan tenaga seadanya dan tubuhnya mencelat ke atas, tangannya yang kiri memukul pergelangan tangan kanan lawan sehingga goloknya terlepas, tangan kanannya menampar pelipis.

"Plakk!" Orang itu roboh tanpa mengeluh.

Bun Beng juga terbanting jatuh di atas geladak. Ia melihat betapa perahu itu dengan layar berkembang tanpa kemudi, meluncur miring. Sekilas pandang ia melihat perahu kecil tadi tak jauh dari situ, maka sekali lagi ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya menekan geladak dan tubuhnya mencelat ke atas keluar dari langkan.

"Jebuuuurrrr...!" Bun Beng terbanting ke permukaan air laut dengan kepala lebih dulu. Bun Beng gelagapan, berusaha untuk berenang, akan tetapi orang yang kedua kakinya sudah tak dapat digerakkan, yang tubuhnya sudah terluka berat macam dia, mana mungkin dapat berenang? Dia hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya karena pengerahan tenaga tadi membuat napasnya terengah dan tubuhnya lemah sekali, tetap saja gerakan tangannya kurang kuat dan beberapa kali ia tenggelam sehingga terpaksa minum air laut yang asin.

Tiba-tiba Bun Beng merasa rambutnya dijambak ke atas dan tubuhnya timbul kembali ke permukaan air, kini tidak tenggelam lagi sehingga ia dapat menggunakan kedua tangan untuk menghapus mukanya yang gelagapan. Kuncir rambutnya terlibat dan dijambak ke atas, terasa pedas akan tetapi dia tidak marah karena hal ini malah menolongnya, membuat dia tidak tenggelam.

Akan tetapi ketika perlahan-lahan tubuhnya ditarik ke belakang dan ia menoleh, matanya terbelalak dan ia mendongkol juga karena ternyata yang mengait rambutnya adalah ujung pancing yang tangkainya dipegang oleh seorang wanita di atas sebuah perahu kecil! Dia memang ditolong, akan tetapi cara menolong itu benar-benar menghina sekali, seolah-olah dia hanya sebuah benda tak berharga, bahkan dia seperti menjadi seekor ikan aneh yang terkena pancing!

Betapa pun juga, hatinya lega ketika tahu-tahu tubuhnya melayang dan terjatuh ke dalam perahu, di atas geladak yang sempit. Ia terengah-engah, memejamkan mata, terasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sehingga mau tak mau Bun Beng mengeluh lirih.

"Hemmm, engkau telah tiga perempat mati, rusak luar dalam... hemmm, sungguh kasihan orang yang tak tahu diri ini, berani menentang Pulau Neraka. Aahh, kakinya lumpuh pula... heran, dalam keadaan begini, bagaimana dia bisa membunuh dua orang Pulau Neraka bermuka merah?"

Suara itu halus dan merdu sekali sehingga Bun Beng merasa seolah-olah mimpi. Ia cepat membuka matanya dan... segera dipejamkannya kembali. Sudah matikah dia? Beginikah rasanya mati dan bertemu bidadari? Kalau sudah mati, kenapa tubuhnya masih terasa nyeri semua dan kakinya masih tak dapat ia gerakkan? Kalau masih hidup, bagaimana mungkin ia bertemu bidadari di tengah lautan? Celaka, jangan-jangan dewi penjaga lautan. Kalau manusia biasa, tak mungkin begitu cantik seperti bidadari, begitu halus, suaranya pun tidak seperti suara manusia, begitu merdu seperti orang bernyanyi, dan mungkinkah seorang manusia semuda dan secantik jelita itu seorang diri saja di tengah lautan?

"Eh, aku seperti pernah mengenal orang ini, akan tetapi tidak mungkin, mukanya rusak begini mana bisa dikenal? Aihhhh, dia terkena pukulan beracun yang luar biasa! Aduh kasihan sekali, siapa sih orang yang malang ini...?"

Mendengar suara halus merdu itu yang menyatakan kasihan kepadanya, tak terasa pula kedua mata Bun Beng menjadi panas dan dua butir air mata bertitik turun. Tanpa membuka matanya ia berkata, "Mohon pertolongan Pouwsat (Dewi)... hamba masih belum ingin mati karena masih banyak tugas yang harus hamba laksanakan...! Harap Pouwsat tidak kepalang menolong hamba...!"

"Aihhhh... otaknya sudah miring pula. Sungguh kasihan. Agaknya penderitaan yang hebat ini membuat otaknya menjadi berubah miring. Tidak mengherankan, jarang ada orang di dunia ini masih dapat hidup setelah mengalami luka-luka parah luar dalam seperti dia ini. Aihhhh, sungguh sialan. Memancing setengah hari tidak mendapat ikan besar, hanya beberapa ekor ikan kecil. Sekali dapat yang besar, orang yang tidak waras luar dalam dan pikirannya, apa yang harus kulakukan dengan dia?"

Bun Beng menghentikan dugaannya yang bukan-bukan. Celaka dua belas, kiranya benar seorang manusia! Disangkanya Kwan Im Pouwsat! Mendengar ucapan terakhir itu, ia menghela napas dan berkata,

"Kalau kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, nah, lemparkan aku kembali ke laut. Siapa sih yang minta pertolonganmu tadi?"

"Aihhh... masih bisa marah? Jelas miring otaknya! Hemmm, mengapa nasibku selalu harus bertemu dengan orang yang jatuh ke laut? Sungguh aneh jaman sekarang ini banyak orang terapung-apung di laut."

Kini Bun Beng membuka matanya dan kebetulan dara itu pun memandangnya. Memang Bun Beng boleh dimaafkan kalau tadi menyangka wanita ini dewi laut atau bidadari karena memang dia seorang dara yang luar biasa cantiknya. Tubuhnya tinggi ramping dengan bentuk tubuh yang hebat, wajahnya begitu jelita seperti gambar, kulitnya putih halus seperti salju, gerak-geriknya ketika berdiri di geladak begitu lemah gemulai seperti batang pohon liu tertiup angin, pakaiannya indah sekali sesuai dengan orangnya, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu digelung tinggi di atas kepalanya, dihias dengan hiasan rambut terbuat dari mutiara. Seorang dara yang... bukan main.

Akan tetapi, begitu dua pasang mata itu saling pandang, hampir berbareng keduanya berseru.

"Nona Milana...!"

"Engkau... Gak-twako... aih, pantas aku seperti mengenalmu, kiranya engkau Gak Bun Beng! Aduh, bagaimana engkau sampai menjadi begini, Gak-twako?"

Bun Beng menarik napas panjang, lalu menggunakan kedua lengannya untuk bangkit duduk. Ia menyeringai kesakitan dan dengan sikap lemah lembut Milana membantunya duduk di atas geladak. Sejenak mereka saling pandang. Milana dengan penuh rasa kasihan. Bun Beng dengan penuh rasa kagum dan juga tidak enak hati karena ia berjumpa dengan dara yang sejak kecil berwatak halus ini dalam keadaan seperti itu. Dara itu kini telah dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak. Bukan main! Seorang dara tujuh belas tahun yang seperti dewi kahyangan! Debar jantung Bun Beng mengatasi segala rasa nyeri dan pemuda ini cepat mengalihkan pandang matanya, menunduk dan menghela napas panjang.

"Panjang sekali ceritanya, Nona. Akan tetapi yang jelas... aku dilukai oleh seorang kakek India bernama Maharya dan muridnya, Tan-siucai yang gila..."

"Ohhh? Mereka yang dulu membunuh Kakek Nayakavhira itu? Yang mencuri Pedang Hok-mo-kiam?"

"Benar, Nona Milana, engkau masih ingat itu semua? Ingat akan pengalaman kita bertahun-tahun yang lalu itu...?"

"Tentu saja aku ingat. Pengalaman hebat kita dengan kakek muka kuning, kemudian sampai kita berpisah kembali, selamanya tak dapat kulupa. Aihh, Gak-twako, kenapa mereka melukaimu seperti ini? Ini namanya sengaja menyiksa, mengapa kau tidak dibunuhnya akan tetapi disiksa seperti ini?"

"Gara-gara Sepasang Pedang Iblis...," jawabnya lirih dan kembali ia merintih serta menyeringai karena dadanya terasa sakit sekali.

"Sepasang Pedang Iblis?" Milana berseru kaget sekali.

"Benar dan aauuggghh..." Bun Beng tak dapat bertahan lagi. Pengerahan tenaga tadi ketika melawan dua orang itu membuat dadanya sakit sekali dan ia roboh pingsan!

Ketika Bun Beng siuman kembali, ia telah berada di atas kuda, di belakangnya duduk Milana. Rasa nyeri menguak ke seluruh tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengatasi debar jantungnya ketika ia merasa betapa tubuhnya setengah ditahan dan dipeluk oleh Milana. Bukan main! Di atas segala rasa nyeri, terasa olehnya kehangatan dan kelunakan tubuh dara itu, membuatnya cepat memejamkan mata kembali dan ingin pingsan terus!

Tetapi dara itu agaknya telah dapat mengerti bahwa dia telah siuman. Didorongnya tubuh Bun Beng ke depan. "Bagaimana, Gak-twako? Apakah kau kuat menunggang kuda bersamaku? Harap kau pertahankan, engkau harus mendapat perawatan yang baik. Agaknya Ibu akan dapat menolongmu..." Gadis itu bicara halus dan penuh iba.

Bun Beng memaksa tubuhnya untuk duduk tegak di atas kuda yang berjalan perlahan. "Aihhh... aku menyusahkan engkau saja, Nona. Ibumu seorang sakti, akan tetapi aku merasa sangsi apakah Beliau akan dapat menyembuhkan aku. Menurut kata kakek India itu, dalam waktu empat puluh hari aku akan mati sekerat demi sekerat. Melihat rasanya tubuhku, dia agaknya tidak membohong. Darahku telah keracunan, tidak ada yang akan dapat menyembuhkanku. Aahh, semua salahku sendiri, terlalu menurutkan kata hati tanpa mempertimbangkan dan tanpa menyadari bahwa kepandaianku masih amat rendah. Aku berani mengacau Thian-liong-pang... itulah mula-mula segala mala petaka yang menimpa diriku..."

"Apa? Kau mengacau Thian-liong-pang?"

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Milana mendengar ini. Thian-liong-pang adalah tempat tinggalnya karena ibunya adalah Ketua Thian-liong-pang. Akan tetapi hal ini harus dipegang rahasia, dan dia tidak dapat menceritakannya kepada siapa pun juga. "Mengapa kau memusuhi Thian-liong-pang?"

"Perkumpulan iblis busuk itu! Jahat sekali! Mereka menangkap tokoh-tokoh kang-ouw untuk dicuri ilmu mereka. Hemmm, dan Ketuanya amat ganas, kejam, licik dan sakti. Kiranya hanya Ayahmu, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es saja yang akan dapat membasmi Thian-liong-pang...!"

"Gak-twako, orang tidak perlu mencampuri urusan orang lain kalau belum diketahuinya betul keadaannya. Apakah engkau sudah mengenal Ketua Thian-liong-pang sehingga dia kau maki ganas, kejam, licik dan sakti? Kurasa, orang seperti engkau sekali pun akan dapat salah sangka, maka sebaiknyalah kalau kau tidak mencampuri urusan orang-orang lain, terutama Thian-liong-pang atau Pulau Neraka. Mereka amat berpengaruh dan lihai, tidak ada perkumpulan lain atau seorang gagah pun berani lancang menentang mereka."

Bun Beng mengerutkan alisnya. Mengapa puteri Pendekar Super Sakti, yang tentu memiliki ilmu yang tinggi seperti tadi dia saksikan sendiri ketika menolongnya dengan kail, mengeluarkan ucapan begitu jeri terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka? Dia merasa penasaran melihat sikap Milana seperti ketakutan.

"Nona, kalau engkau takut terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, mengapa kau menolongku? Lebih baik kalau kau tinggalkan aku di sini saja!"

Milana tersenyum sabar mendengar ucapan itu dan melihat betapa Bun Beng bergerak hendak turun dari kuda yang tentu merupakan hal yang sukar bagi pemuda itu karena kakinya lumpuh dan tenaganya habis. "Gak-twako, engkau benar-benar seorang yang amat tinggi hati! Aku menolongmu dengan hati tulus ikhlas dan kosong tanpa pamrih, hanya berdasarkan perasaan iba yang akan kulakukan terhadap siapa pun juga yang membutuhkan pertolongan seperti engkau. Mengapa harus kudasarkan kepada perasaan takut atau tidak? Twako, apakah engkau menganggap aku seorang pengecut dan penakut yang akan membiarkan orang terluka parah seperti engkau begitu saja tanpa berusaha mengobati dan menolongmu?"

Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang halus, sama sekali tidak mengandung kemarahan atau penyesalan sehingga diam-diam Bun Beng merasa terkejut dan teringatlah ia betapa ucapannya tadi kasar dan menyakitkan hati. Maka ia cepat berkata, "Maafkan aku, Nona. Bukan sekali-kali aku bermaksud bahwa Nona seorang penakut, hanya saja... aku telah dianggap musuh oleh Thian-liong-pang, bahkan kaum Pulau Neraka agaknya juga memusuhiku. Oleh karena itu, betapa hatiku akan merasa berdosa dan menyesal kalau engkau akan dimusuhi mereka pula karena engkau telah menolongku! Aku tidak ingin kau terseret dalam bahaya besar. Biarlah aku saja yang menjadi korban keganasan mereka, jangan sampai engkau terancam pula oleh bahaya."

Milana tersenyum. "Jangan khawatir, Twako. Aku dapat menjaga diri, dan aku tidak akan membiarkan engkau dalam keadaan seperti ini terganggu oleh siapa pun juga. Kurasa engkau belum mengenal betul Thian-liong-pang. Menurut pendapatku, Thian-liong-pang, kumaksudkan ketuanya, tidaklah begitu jahat seperti yang kau duga. Perbuatannya yang aneh seperti menculik tokoh-tokoh kang-ouw itu tentu ada latar belakangnya."

"Aku sudah tahu! Dia menculik mereka untuk diberi minum racun sehingga dalam keadaan mabok dan tidak ingat apa-apa mereka mau saja diadu agar mereka mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan dapat dicuri oleh Ketua itu! Dan engkau keliru kalau menganggap Thian-liong-pang tidak jahat! Anak buahnya adalah iblis-iblis yang kejam, yang suka membunuh orang tanpa berkejap mata."

"Kurasa tidak demikian, Twako. Kalau memang anak buah Thian-liong-pang ada yang menyeleweng, hal itu tentu di luar pengetahuan Sang Ketua, karena tentu yang menyeleweng akan dihukum. Ada pun Ketua itu sendiri, andai kata sampai membunuh orang, tentu ada sebab-sebabnya yang memaksanya. Aku tidak percaya bahwa dia jahat seperti iblis. Hanya engkaulah yang belum mengenalnya betul."

"Heii, kau seperti membelanya!" Bun Beng berkata penasaraan. "Engkau tidak tahu, aku telah ditahan dan dijebloskan dalam kamar tahanan di bawah tanah. Nyaris aku dibunuhnya kalau Si Kakek Muka Singa Sai-cu Lo-mo yang mengaku masih paman kakekku itu tidak membujuk Ketua Thian-liong-pang!"

"Ahhh, jadi begitukah?" Milana benar-benar terkejut. Baru sekarang dia mendengar bahwa pemuda ini adalah cucu keponakan Sai-cu Lo-mo!

"Nona, agaknya engkau mengenal betul keadaan Thian-liong-pang!"

"Sedikit banyak aku sudah mendengar tentang perkumpulan itu, Twako. Siapakah orangnya yang tidak mendengar tentang Thian-liong-pang yang terkenal? Sudahlah, engkau perlu cepat diobati. Aku mempunyai obat penguat badan, pencuci darah dan penyambung tulang patah. Tetapi racun yang mengancam keselamatan nyawamu tak dapat kuobati, agaknya Ibu akan dapat menolongmu, akan tetapi...." Milana menjadi bingung dan sangsi. Betapa mungkin ibunya akan suka menolong pemuda yang sudah memusuhi Thian-liong-pang ini?

"Akan tetapi apa, Nona?"

"Aku... aku harus mendapatkan air panas untuk mencuci luka-lukamu, dan obatku harus kugodok, maka kita membutuhkan alat dapur. Di depan ada sebuah dusun, di sana kau dapat beristirahat, Twako."

Kuda itu dilarikan cepat dan Bun Beng yang tidak dapat melihat wajah gadis yang duduk di belakangnya itu, tidak melihat betapa wajah itu penuh kekhawatiran. Juga keadaannya tidak memungkinkan dia setajam biasa, baik penglihatan mau pun pendengarannya, sehingga dia tidak tahu bahwa mereka berdua dibayangi oleh beberapa orang. Akan tetapi Milana tahu akan hal ini maka gadis itu menjadi gelisah, apa lagi karena dari gerakan dan tanda para pengejar itu dia tahu bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya!

Dalam keadaan setengah sadar karena menderita luka hebat itu, Bun Beng diturunkan dari atas kuda oleh Milana, dibantu oleh seorang petani yang rumahnya disewa gadis itu, dan dibaringkan di atas sebuah dipan kayu sederhana dalam ruangan rumah yang sederhana pula. Setelah petani itu meninggalkan rumahnya yang telah dibayar sewanya secara royal oleh Milana untuk waktu seminggu, Milana sibuk memasak obat, kemudian mencuci muka Bun Beng dengan air hangat, membersihkan darah dari pipi dan bibir, menaruh obat luka di tempat yang terobek sepatu Tan-siucai kemudian memberi obat yang telah dimasaknya.

Bun Beng menjadi terharu, bukan oleh pertolongan yang dianggapnya wajar karena hal itu dapat ia harapkan dari setiap orang manusia yang masih memiliki kasih sayang di antara manusia. Bukan, bukan pertolongan itu yang mengharukan hatinya, melainkan sentuhan-sentuhan jari tangan yang demikian lembut, pandang mata yang demikian halus, perhatian yang demikian penuh dicurahkan kepada dirinya. Kalau wajah itu tidak demikian cantik jelita dan masih amat muda, tentu dia tidak akan yakin bahwa yang merawatnya itu bukan ibunya! Hanya ibunya sendiri sajalah agaknya yang akan merawat anaknya seperti itu!

"Nah, biar pun obatku tak mungkin mengusir racun dari tubuhmu, setidaknya engkau akan merasa tenang dan tidak begitu menderita nyeri lagi, Twako. Dan obat yang kugosokkan pada lututmu itu, dalam waktu sepekan tentu akan memulihkan kembali sambungan kedua lututmu sehingga engkau akan dapat berjalan lagi."

"Nona Milana... terima kasih. Engkau...!"

"Husshhh... tidurlah, Twako. Aku akan masak bubur dan membuatkan minuman teh..."

Gadis itu menjauhi dipan dan mulai sibuk membuat bubur dan membelakangi Bun Beng karena dia hendak menyembunyikan wajahnya yang penuh kegelisahan. Dia bukan seorang ahli pengobatan, namun sedikit pengetahuan yang dimilikinya cukup membuat dia tahu bahwa pemuda itu menderita luka keracunan yang amat hebat. Biar pun ia tahu ibunya sakti, namun ibunya sendiri pun belum tentu dapat menyembuhkan pemuda itu. Yang membuat dia gelisah bukan main adalah kenyataan bahwa Bun Beng memusuhi Thian-liong-pang! Mungkinkah ibunya suka menolongnya?

Bun Beng dapat tidur pulas berkat obat Milana yang agaknya mengandung pula obat tidur. Hari telah mulai gelap dan Milana menyalakan tiga batang lilin di tempat lilin kuno yang tergantung di sudut ruangan. Beberapa kali dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar rumah dan dia tahu bahwa itu adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya. Bahkan dia mengenal pula siapa yang memimpin rombongan delapan orang Thian-liong-pang itu, ialah sepasang kakak beradik kembar yang amat lihai.

Dia tahu bahwa dua orang kembar itu, Su Kak Liong dan Su Kak Houw, adalah dua orang kepercayaan ibunya dan sudah sering diutus melakukan hal-hal berbahaya di luar perkumpulan yang selalu dilaksanakan dengan hasil baik. Sejak kecil Milana tidak pernah diberi tahu oleh ibunya akan urusan Thian-liong-pang, namun karena dia digembleng ilmu oleh ibunya sendiri, dia tahu bahwa kepandaian dua orang kembar ini hanya bertingkat sedikit di bawah tingkat pembantu-pembantu ibunya seperti Lui-hong Sin-ciang Chie Kang atau Sai-cu Lo-mo sendiri!

Apa lagi Su Kak Houw, setelah lengan kanannya lumpuh dalam sebuah pertempuran melawan orang pandai, menerima sebuah ilmu pukulan yang amat dahsyat dari ibunya. Ilmu ini didasari latihan khusus pada jari dan telapak tangan kiri dengan pengerahan sinkang dan gerakan khusus pula, membuat tangan kiri Su Kak Houw ini luar biasa kuatnya, dapat dipakai menangkis senjata-senjata logam yang kuat dan tajam, bahkan tangan itu dapat dipakai membacok seperti sebatang golok tajam. Karena inilah maka dia terkenal sebagai Toat-beng-to (Golok Pencabut Nyawa). Sebuah julukan yang lucu dan aneh karena selamanya tokoh ini tidak pernah menggunakan golok dalam pertandingan, apa lagi membunuh orang dengan golok. Dia hanya menggunakan lengan kirinya, namun lawannya yang terluka atau tewas, roboh dengan luka-luka seperti dibacok sebatang golok besar yang tajam!

Biar pun maklum bahwa pondok yang disewanya itu dikurung oleh sedikitnya delapan orang termasuk Si Kembar, Milana bersikap tenang-tenang saja. Dia merasa yakin bahwa selama Bun Beng berada bersamanya, tak ada seorang pun anggota Thian-liong-pang yang akan berani turun tangan! Maka dia pura-pura tidak tahu akan kehadiran mereka, sungguh pun dia tahu pula bahwa Si Kembar itu sengaja beberapa kali bergerak di depan jendela supaya terlihat oleh Milana dan supaya ditegur oleh puteri Ketua Thian-liong-pang itu. Namun, dia tidak mau menegur mereka dan terus melanjutkan mempersiapkan makan dan minum sederhana untuk Bun Beng dan dia sendiri.

Dugaan Milana tepat sekali. Kedua orang kembar she Su itu memimpin enam orang anggota Thian-liong-pang tingkat pertengahan bertugas melakukan penyelidikan dan pengejaran terhadap Gak Bun Beng yang berhasil lolos dari tempat tahanan di bawah tanah. Dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati mereka ketika melihat pemuda itu dalam keadaan luka berat, naik kuda bersama puteri Ketua mereka! Tentu saja hal ini membuat mereka bingung dan tidak bergerak turun tangan, bahkan menegur saja mereka tidak berani! Mereka merasa ngeri memikirkan kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan Ketua Thian-liong-pang terhadap mereka kalau mereka mengganggu Milana!

Sampai lama mereka memancing agar ditegur lebih dulu oleh Milana sehingga mereka dapat melapor akan tugas yang mereka terima dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi sungguh membuat mereka makin bingung ketika dara itu sama sekali tidak peduli, seolah-olah tidak melihat mereka. Akhirnya dua orang saudara kembar itu mengambil keputusan untuk memasuki pondok dan langsung menghadap Milana!

Ketika dua orang laki-laki yang mukanya menyeramkan, rambutnya awut-awutan itu muncul dari pintu pondok pada keesokan harinya, Bun Beng sudah bangun dari tidurnya, merasa tubuhnya tidak begitu tersiksa lagi oleh rasa nyeri, sungguh pun kedua kakinya masih lumpuh tak dapat digerakkan. Tidur semalam dengan nyenyak memulihkan tenaga di tubuh bagian atas.

Tampak olehnya Milana sedang memasak air di sudut pondok. Bun Beng menarik napas panjang dan hal ini terdengar oleh dara itu yang segera menoleh memandang dan tersenyum manis.

"Engkau sudah bangun? Bagaimana tubuhmu?"

Sejenak Bun Beng tak mampu menjawab, lehernya seperti tercekik. Sejak malam tadi, Milana kelihatan sibuk terus mengurus dan merawat dirinya. Apakah tidak tidur semalam? Dan melihat gadis itu di pagi hari ini, membuat Bun Beng terpesona. Belum pernah dia melihat wajah secantik itu. Bukan main! Meremehkan segala kecantikan yang pernah dilihat sebelumnya. Milana memiliki kecantikan yang aneh, tidak seperti biasa dan mengadung sesuatu khas yang takkan terdapat pada wajah selaksa orang gadis cantik lainnya.

"Aihh, kenapa engkau diam saja, Twako?"

Bun Beng menjadi gugup dan kedua pipinya merah sekali. "Maaf... eh, aku... aku sedang memikirkan bahwa sesungguhnya tidak perlu engkau bersusah payah untuk aku, Nona. Engkau terlalu baik dan aku merasa tidak layak menerima kebaikan yang berlebihan ini, membuat aku berhutang budi dan... bagaimana aku akan mampu membalasmu?"

Milana tersenyum lebar. "Ya jangan dibalas karena aku tidak menghutangkan apa-apa!" Sebelum pemuda itu menjawab, Milana mendahului dengan sikap dan suara bersungguh-sungguh, "Gak-twako, mengapa engkau masih saja memperlihatkan sikap sungkan? Bukankah kita berdua telah mengenal sejak kecil dahulu? Kalau seandainya aku yang tertimpa bencana seperti engkau sekarang ini dan bertemu denganmu, apakah engkau tidak akan sudi menolongku?"

"Ah, tentu saja!" jawab Bun Beng cepat.

"Kalau melihat engkau sungkan-sungkan seperti ini, agaknya engkau pun tentu akan segan dan sungkan menolongku."

"Demi Tuhan! Tidak, Nona. Aku pasti akan melaksanakan apa saja, malah kalau perlu mengorbankan nyawa untuk menolongmu!"

Milana tersenyum lagi dan membungkuk. "Terima kasih, Twako. Nah, kalau begitu kita sama-sama, bukan? Tidak ada hutang-pihutang budi, yang ada hanya kebetulan saja engkau yang membutuhkan pertolongan dan aku yang dapat menolongmu dan... ohhhh!" Milana cepat membalikkan tubuh memandang kepada dua orang pembantu ibunya yang memasuki pondok itu dengan sikap takut-takut. Bun Beng juga bangkit duduk di atas dipan, memandang kepada dua orang itu, sikapnya tenang.

"Kalian mau apa?" Milana yang merasa khawatir itu segera membentak. Dia tidak khawatir kalau orang-orang Thian-liong-pang ini menyerang Bun Beng, tentu tidak akan berani selama dia menjaga pemuda itu. Akan tetapi dia lebih khawatir kalau munculnya orang-orang itu akan membuka rahasianya, yaitu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, bahwa ibunya yang sudah dikenal Bun Beng sebagai isteri Pendekar Super Sakti itulah sesungguhnya Ketua Thian-liong-pang!

Kedua orang itu cepat menjura dengan penuh kehormatan kepada Milana, kemudian Su Kak Liong, yang tertua di antara mereka, tentu saja hanya lebih tua beberapa jam dari pada Su Kak Houw, berkata hormat.

"Harap Siocia (nona) sudi memaafkan kami yang lancang. Akan tetapi, karena kami melaksanakan perintah Pangcu terpaksa..."

"Cukup! Pergilah, aku tidak mau diganggu!" Milana membentak marah dan kedua orang itu menjadi pucat, saling memandang dengan bingung.

Yang lebih bingung lagi adalah Bun Beng. Kini dia mengenal kedua orang itu yang hadir ketika dia berada di Thian-liong-pang. Tak salah lagi, mereka adalah dua orang tokoh Thian-liong-pang dan agaknya utusan dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi mengapa mereka bersikap begitu hormat dan takut-takut terhadap Milana?

Su Kak Liong mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya, memperlihatkannya kepada Milana yang seketika menjadi pucat. Dara itu menutup mulut dengan jari tangan seolah-olah hendak menahan jeritnya, matanya terbelalak memandang ke arah benda kecil di atas telapak tangan Su Kak Liong yang ternyata adalah sebuah benda besi hitam berbentuk tengkorak kecil sekali.

"Ohhh... tidak...!" Milana berseru lirih.

"Siocia maklum apa artinya perintah ini. Kami harus membunuh dan menghadapi rintangan apa pun, karena kegagalan kami harus kami tebus dengan nyawa. Sekali lagi, harap sudi memaafkan kelancangan kami yang hanya kami lakukan dengan terpaksa sekali, untuk melaksanakan perintah Pangcu. Houw-te (Adik Houw), bunuh dia!"

Su Kak Houw sudah siap sejak tadi. Si Lengan Buntung ini pun maklum bahwa sekali kakaknya mengeluarkan tanda perintah membunuh dari Ketua mereka, tentu puteri ketua ini sekali pun tidak akan berani menghalangi tugas mereka. Maka, begitu mendengar perintah kakaknya sebagai pemegang tanda perintah itu, dia cepat melompat mendekati pembaringan Bun Beng, dilanjutkan dengan terjangannya yang dahsyat, sekaligus menggunakan tangan kirinya membacok dengan gerakan dan pengerahan tenaga sakti. Bacokan tangan miring yang dapat membacok putus baja dan besi, yang membuat dia dijuluki Toat-beng-to karena seolah-olah tangan kirinya berubah menjadi sebuah golok pusaka yang luar biasa ampuhnya!

Menghadapi serangan yang amat dahsyat ini, Bun Beng kehabisan akal dan biar pun dia mengambil keputusan untuk melawan dan tidak menyerahkan nyawanya begitu saja, namun ia maklum bahwa dia terancam bahaya maut. Akan tetapi, angin pukulan yang amat hebat itu mengingatkan dia akan suara angin ketika dia bersama kakek muka kuning Pulau Neraka naik layang-layang dan di serang badai. Teringat ia akan pelajaran dari kakek itu cara menghadapi serangan badai dan cara menyelamatkan layang-layang berikut dirinya.

"Menghadapi serangan angin yang lebih kuat, jangan sekali-kali melawannya secara langsung." demikian kakek muka kuning itu berteriak-teriak memberi petunjuk untuk mengatasi. "Kosongkan tenagamu dan turutilah gerak arus angin itu ke arah mana dia menyambar, kemudian belokkan dan buang ke depan. Pasti layang-layang ini akan dapat menguasainya."

Teringat akan pelajaran yang berkelebat di dalam benaknya pada detik nyawanya terancam maut itu, Bun Beng cepat membuat gerakan otomatis untuk melaksanakan pelajaran itu. Dia membatalkan niatnya hendak menangkis sambaran tangan kiri tokoh Thian-liong-pang itu, bahkan ketika tangan itu menyambar, didahului arus angin amat kuat menyambar ke arah lehernya, otomatis tubuhnya yang duduk itu meliuk ke belakang dan tenaganya sendiri cepat mengalir ke bagian tubuhnya yang kiri bersama arus tenaga yang datang itu. Ketika telapak tangan lawan itu sudah dekat dengan lehernya, tiba-tiba Bun Beng yang merasa betapa tenaga di seluruh lengan kirinya sudah bergabung dengan tenaga yang datang tadi, persis seperti ketika mengemudikan layang-layang, dia cepat membuang tenaga itu melalui tangan kirinya ke depan, membabat turun dari atas ke arah lengan kiri lawan.

"Crakkkk...!" terdengar jerit mengerikan.

Bun Beng melihat betapa Milana cepat meloncat ke samping dan tubuh lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dia ngeri sekali menyaksikan akibat dari gerakannya tadi, dan memandang dengan mata terbelalak ke arah lengan kiri lawan itu yang kini telah buntung! Ternyata bahwa babatan tangan kirinya tadi telah dapat membuat lengan lawan itu buntung sebatas pangkalnya! Tanpa disadari, Bun Beng telah dapat mewarisi dan menggunakan ilmu mukjizat dari Pulau Neraka, yaitu ilmu ’memindahkan tenaga’ yang amat hebat. Ada pun korban pertama dari ilmunya itu, yang terjadi tanpa ia sengaja, adalah Su Kak Houw tokoh Thian-liong-pang, sungguh pun tadi dia tahu bahwa hal itu dapat terjadi karena adanya bantuan dari Milana.

Ketika tadi Su Kak Houw melancarkan serangan, Milana yang maklum akan kehebatan tangan kiri Su Kak Houw cepat menyambar dari belakang dengan sebuah totokan kilat sehingga Su Kak Houw tadi terhenti. Andai kata tidak demikian, biar pun ilmu baru Bun Beng mukjizat, namun pemuda itu tetap saja terancam bahaya terkena pukulan sebelum lengan Su Kak Houw buntung!

Su Kak Liong terkejut sekali, cepat meloncat ke depan dan menerima tubuh adik kembarnya yang pingsan, dan dia mengambil pula lengan kiri adiknya. Dengan muka pucat Su Kak Liong memandang kepada Milana karena dia menduga bahwa tentu puteri Ketuanya itulah yang membuat lengan adiknya buntung. Dia tidak dapat melihat dan tak akan mau percaya bahwa pemuda yang sudah lumpuh kedua kakinya itu yang membuntungkan lengan adiknya yang lihai.

"Kami hanya melaksanakan tugas perintah Pangcu, akan tetapi Nona berlaku kejam. Kami tidak berani melawanmu, Nona, akan tetapi kami harus melaporkan peristiwa ini kepada Pangcu dan mohon pengadilan." Setelah berkata demikian, Su Kak Liong memondong tubuh adik kembarnya keluar dari pondok itu.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Nona..." Bun Beng berkata, menahan-nahan rasa nyeri hebat yang menyesakkan dada.

Milana menoleh kepadanya. "Aihh, Twako. Ilmu mukjizat apakah yang kau pergunakan tadi...? Ehhh... kau kenapa...?" Gadis itu meloncat dekat pembaringan di mana Bun Beng terengah-engah, kemudian pemuda itu menelungkupkan mukanya ke pinggir pembaringan untuk muntahkan darah segar!

"Kau... kau sudah terluka...!" Milana berseru khawatir, duduk di tepi pembaringan dan menyusuti darah dari bibir Bun Beng yang terengah-engah itu dengan sapu tangan.

Bun Beng merasa makin berterima kasih dan tidak enak. "Sudahlah, Nona... lebih baik kau tinggalkan aku di sini... pengerahan tenaga tadi memperhebat penyakitku, dan... kau tentu akan dimusuhi Thian-liong-pang... Tinggalkan aku, aku tidak mau kalau Nona sampai tersangkut dan terancam bahaya karena aku, orang yang sudah tiga perempat mati."

"Tidak! Aku harus membawamu kepada orang yang akan dapat mengobatimu, dapat mengeluarkan racun dari tubuhmu. Kalau kau berada di bawah perlindunganku, jangankan orang-orang Thian-liong-pang, biar segala setan iblis di dunia ini akan mengganggu pasti akan kulawan!"

Biar pun dadanya terasa sesak dan nyeri, Bun Beng terpaksa tersenyum juga mendengar ucapan yang keluar dari mulut yang mungil dan manis itu. Ia memandang wajah itu melalui kunang-kunang yang menari di depan matanya.

"Terserah kalau begitu, Nona Milana. Akan tetapi... aku hanya akan suka menerima budimu dengan hati berat kalau engkau suka berterus terang pula. Orang-orang Thian-liong-pang tadi bukanlah orang-orang yang berkedudukan rendah, dan ilmu kepandaian mereka yang tinggi membuktikan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Thian-liong-pang. Akan tetapi, mengapa mereka itu amat menghormati dan takut kepada Nona? Ada hubungan apakah antara Nona dengan Thian-liong-pang? Harap Nona suka berterus terang agar aku tidak menjadi bingung dan ragu-ragu."

Milana menjadi merah mukanya. Sampai lama dia saling berpandangan dengan Bun Beng dan melihat sinar mata tajam dan membayangkan kemauan yang kokoh kuat itu, tahulah dia bahwa tiada gunanya membohong terhadap pemuda ini, juga amat berbahaya kalau tidak berterus terang.

"Gak-twako, sesungguhnya hal ini merupakan rahasia besar bagiku. Akan tetapi, karena engkau bukanlah orang luar, kumaksudkan bahwa dahulu di waktu kecil engkau telah mengetahui keadaan kami, dan mengingat akan keadaanmu sekarang, bahwa aku harus menolongmu dan engkau telah menyaksikan pula tadi sikap para tokoh Thian-liong-pang, sebaiknya keberitahukan rahasia besar ini, bahwa aku... aku adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Ketua penuh rahasia yang mukanya selalu dikerudungi itu bukan lain adalah Ibuku sendiri."

"Ohhhh...!" Pengakuan ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Bun Beng sehingga ia terjengkang dan rebah pingsan di atas pembaringannya!

Ketika siuman kembali Bun Beng merasa dadanya masih nyeri akan tetapi tidak begitu sesak lagi dan kedua kakinya seolah-olah makin mati. Tubuhnya tergoncang-goncang dan ketika ia membuka mata, kiranya ia telah berada di atas punggung kuda lagi, dan Milana duduk di belakangnya.

"Ohhhh... engkau hendak membawaku ke mana, Nona?"

"Gak-twako, kenapa engkau masih selalu bersikap sungkan dan menyebutku Nona seolah-olah kita bukan sahabat lama? Gak-twako, setelah aku menyebut Twako (Kakak) padamu mengapa engkau tidak tidak mau menyebutku Adik?"

"Aihhh, mana aku berani, Nona Milana? Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang amat terhormat, sakti dari mulia. Engkau juga puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia! Aihhhh... Nona, sungguh aku terkejut setengah mati mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Ibumu. Sekarang... ah, makin keras permintaanku agar engkau tidak menolongku, Nona."

"Hemm, kenapa? Karena engkau dimusuhi Thian-liong-pang? Tidak peduli! Aku tetap akan melindungi dan mencarikan orang pandai yang akan dapat menyembuhkanmu." Suara dara itu tetap halus namun menyembunyikan tekad yang amat besar, kemauan yang tak mungkin dibelokkan oleh apa pun juga.

"Tapi Thian-liong-pang...?"

"Peduli amat! Kalau mereka datang hendak memaksakan kehendak mereka membunuhmu, akan kuhadapi mereka semua!"

"Akan tetapi, Nona. Tak mungkin demikian! Apakah engkau akan melawan Ibumu sendiri? Para tokoh Thian-liong-pang itu hanya melaksanakan tugas perintah Ibumu!"

"Tidak peduli!"

Ingin Bun Beng memandang wajah gadis itu, akan tetapi karena Milana duduk di belakangnya, tentu saja tidak mungkin ia menoleh ke belakang karena hal itu akan terlalu tidak sopan dan muka mereka tentu akan saling berdekatan. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika mendengar jawaban itu, maka untuk melepaskan keraguan hatinya yang berdebar tidak karuan itu, dia memberanikan diri berkata,

"Nona Milana, engkau berkeras menolongku dan menghadapi Ibumu sendiri? Ah, mengapa begini? Engkau membuat aku merasa tidak enak sekali! Ibumu tentu akan marah sekali kepadamu, Nona."

"Biarlah, aku tidak takut."

Hening sejenak, hanya suara derap kaki kuda yang mereka tunggangi itu terdengar memecah kesunyian hutan yang mereka lalui, namun bagi Bun Beng, detak jantungnya sendiri lebih keras dari pada derap kaki kuda.

"Nona Milana..."

"Ah, telingaku menjadi sakit mendengar sebutanmu nona berkali-kali itu, Twako. Sebut saja namaku, tanpa nona."

"Maaf, aku tidak berani. Nona Milana, kita bersama lahir sebagai manusia yang sejak kecil digembleng ilmu kekerasan dan kita mengutamakan kejujuran dan kegagahan. Kini kita berdua menghadapi hal yang amat rumit, yang bahwa engkau sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang bertekad melindungi aku dari keinginan Ibumu sendiri yang mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Kuharap kau suka menjawab dengan terus terang dan jujur, Nona. Mengapa engkau bersikap seperti ini?"

Hening pula sejenak, kemudian terdengar Milana balas bertanya, "Apa maksudmu, Twako? Aku tidak mengerti."

"Nona, mengapa engkau lebih memberatkan aku dari pada Ibumu? Jelas bahwa aku bersalah besar terhadap Ibumu sehingga kini Ibumu mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Namun mengapa engkau melindungiku mati-matian dan tidak enggan melawan Ibumu sendiri? Mengapa engkau lebih memberatkan aku dari pada Ibumu?"

Kini suasana menjadi hening, agak lama karena Milana memandang ke atas dengan alis berkerut, agaknya sukar baginya menemukan jawaban untuk pertanyaan Bun Beng itu. Berkali-kali ia menghela napas panjang, kemudian terdengar ia menjawab,

"Sukar sekali menjawab pertanyaanmu, Twako. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, agaknya aku sadar akan kekejaman Thian-liong-pang, sadar akan kesesatan Ibu dan kesalahannya terhadap engkau yang tak berdosa. Karena kesadaran itu maka aku berusaha menentang dan kebetulan bertemu denganmu yang terancam oleh Thian-liong-pang. Nah, puaskah kau dengan jawabanku, Twako?"

Bun Beng menggeleng kepala. "Aku tidak puas, Nona, karena jawaban itu terlalu dicari-cari, dan bukan itu sebabnya. Mengapa untuk menjadi sadar engkau harus menunggu sampai berjumpa denganku? Pula, untuk menyadarkan seorang ibu, tentu cukup dengan menegur dan mengingatkan. Masa sampai menentangnya dan membela orang lain? Maaf, Nona. Coba engkau bayangkan andai kata bukan aku yang kau jumpai, melainkan orang lain yang sama sekali tidak kau kenal, apakah engkau juga akan membelanya dari Ibumu dan Thian-liong-pang? Begitu banyak orang pandai, diculik oleh Thian-liong-pang untuk dicuri ilmunya, mengapa engkau mendiamkannya saja dan tidak ada seorang pun yang kau bela? Mengapa justru aku yang kau bela sehingga kau siap menghadapi pertentangan dengan perkumpulan Ibumu? Harap kau suka menjelaskan, dan mengaku secara jujur, apa sebabnya, Nona?"

Kini lebih lama lagi keadaan menjadi sunyi. Bun Beng mendengarkan dan menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi sunyi saja di belakangnya. Akhirnya terdengar Milana tertawa halus, suara tertawa yang jelas sekali bagi Bun Beng adalah suara untuk menutupi kegugupannya. "Hi-hik, engkau ini aneh-aneh saja, Gak-twako. Aku sampai menjadi bingung. Sudahlah, aku tak dapat menjawab karena aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku tiba-tiba ingin membelamu mati-matian. Karena engkau bertanya dengan demikian mendesak, agaknya engkau yang tahu akan sebabnya, Twako. Maka tolonglah engkau yang menjawabkan untukku."

"Nona Milana, tidaklah mengherankan kalau engkau sendiri tidak tahu, karena memang hal ini amat sulit dimengerti, hanya terasa oleh hati. Engkau bertemu denganku, lalu timbul hasrat untuk menolongku, melindungiku mati-matian bahkan rela bertentangan dengan Ibu sendiri. Hal ini tidak lain adalah karena cinta!"

"Heiiiii... aduuuhhh...!"

Tubuh Bun Beng terbanting dari atas punggung kuda karena dalam keadaan kaget setengah mati mendengar ucapan pemuda itu, Milana mengeluarkan suara melengking nyaring yang membuat kudanya meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas dan tergulinglah tubuh Bun Beng yang kedua kakinya lumpuh itu!

"Ohhh, Twako... kau tidak apa-apa?" Milana cepat meloncat turun dan berlutut di dekat Bun Beng yang sudah rebah terlentang.

Pemuda itu menggeleng kepala dan berusaha tersenyum, lalu ia bangkit duduk dengan menekankan kedua tangan pada tanah. Mereka saling berpandangan. "Aku mohon maaf sebesarnya atas ucapanku tadi, Nona. Bukan niatku untuk menghinamu, aku hanya bicara menurutkan suara hati. Maafkanlah aku yang lancang mulut."

"Engkau orang aneh!" Milana menyambar kedua lengan Bun Beng dan membawanya melompat ke atas kuda lagi. "Aku yang membikin kau terjatuh dari kuda, malah engkau yang minta maaf."

"Tentu saja, karena aku jatuh oleh kagetnya kuda, kuda kaget oleh lengkinganmu, dan engkau melengking oleh ucapanku. Jadi biang keladinya adalah aku sendiri, maka aku yang bersalah dan aku yang minta maaf."

"Kata-katamu tadi tidak perlu dimintakan maaf. Akan tetapi, aku menjadi makin heran. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta. Cinta yang bagaimana yang kau maksudkan? Yang ada dalam hatiku hanyalah perasaan ingin menolongmu. Apakah itu cinta yang mendorongnya ataukah perasaan lain, aku tidak tahu. Aku melihatmu, teringat akan masa lalu, dan aku kasihan kepadamu, maka aku ingin menolongmu, Twako. Kalau orang-orang Thian-liong-pang tadi kulawan, karena timbul penasaran dan kemarahan di hatiku, mengapa engkau yang sudah terluka dan dalam keadaan terancam maut ini masih mereka ganggu. Apakah ini semua sebab cinta? Aku tidak tahu dan tak dapat menjawab. Agaknya engkau adalah seorang ahli tentang cinta, Twako, maka tolonglah beri penjelasan dan kuliah tentang cinta."

Seketika merah kedua pipi Bun Beng dan ia menyeringai, tersenyum masam yang untung tidak tampak oleh dara yang duduk di belakangnya. "Wah, aku sendiri tidak tahu tentang itu, Nona, aku sendiri pun belum mengenal cinta..."

"Ah, kau bohong, Twako!"

"Sungguh mati!"

"Usiamu tentu telah banyak, setidaknya beberapa tahun lebih tua dari pada aku yang baru tujuh belas tahun."

"Aku enam tahun lebih tua, Nona. Akan tetapi, aku... aku belum pernah... eh, maksudku mengalami cinta, dan... eh, apa yang kita bicarakan ini? Sama-sama tidak tahu tentang cinta, akan tetapi sudah berani bicara. Mana bisa?" Bun Beng tertawa dan Milana juga tertawa. Tiba-tiba Bun Beng merasa betapa gembira hatinya. Aneh sekali!

Dia tahu bahwa dirinya terancam maut, sedikit sekali harapan dapat tertolong. Mengapa dia tidak merasa takut, tidak merasa khawatir dan tidak merasa berduka, bahkan hatinya penuh rasa gembira? Kedua kakinya masih lumpuh, dadanya masih nyeri, akan tetapi rasa gembira mengalahkan semua ini.

"Kau benar, Twako. Sekarang lebih baik kau ceritakan semua pengalamanmu mengapa engkau sampai terluka hebat seperti ini, dan dari mana engkau datang, bagaimana pula engkau menjadi tawanan orang-orang Pulau Neraka di perahu itu."

"Hemm, semua itu gara-gara Sepasang Pedang Iblis..."

"Ehhhh? Sepasang Pedang Iblis? Di mana kedua pedang pusaka itu?"

Bun Beng menarik napas panjang. Agaknya dara jelita ini pun terkena pula wabah ‘demam Sepasang Pedang Iblis’ yang diderita semua orang kang-ouw sehingga terjadi perebutan sejak dahulu. "Sayang pedang-pedang itu tidak berada di tanganku lagi, sungguh pun akulah yang menemukannya. Kalau tidak terampas orang tentu yang sebuah akan kuberikan kepadamu, Nona."

"Ahhh, suaramu itu! Apa kau kira aku terlalu ingin memperoleh pedang yang namanya saja begitu mengerikan? Tidak, Twako. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau Sepasang Pedang Iblis itu berada di tanganmu, sudah dapat ditentukan nyawamu akan tertolong!"

"Eh, kenapa begitu?"

"Ibu tentu akan girang sekali menerima sepasang pedang itu, dan akan berterima kasih kepadamu. Ibu tentu akan suka mengampunimu bahkan akan mengobatimu sampai sembuh. Betapa pun juga kalau dapat mengatakan di mana adanya pedang-pedang itu saja, Ibu tentu sudah menjadi girang sekali. Ceritakanlah, Twako bagaimana pedang itu terampas orang dan bagaimana pula engkau terluka hebat?"

"Yang melukai aku adalah seorang sakti yang berilmu tinggi dari negeri barat, namanya Maharya dengan murid-nya..."

"Aihhhh...! Tan-siucai dan gurunya yang dahulu mencuri pedang Hok-mo-kiam buatan Kakek Nayakavhira dan yang membunuh burung-burung garuda dari Pulau Es itu?"

Bun Beng mengangguk. "Ya, mengenai sepasang pedang itu, yang betina kuberikan kepada Nona Giam Kwi Hong dan..."

"Aihhhh! Enci Kwi Hong?" Milana berseru girang mendengar nama ini, akan tetapi suaranya tiba-tiba berubah lirih ketika gadis ini melanjutkan, "Kau... berikan pedang itu kepadanya?"

Bun Beng tidak mendengar perbedaan suara ini dan ia mengangguk. "Pedang betina kuberikan kepadanya, dan pedang jantan yang kubawa telah terampas..."

"Oleh Tan Ki dan Maharya?"

"Bukan, oleh pemuda iblis dari Pulau Neraka."

"Ohhh...!" Kaget bukan main hati Milana mendengar ini. Ibunya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang amat diinginkan itu ternyata telah terjatuh ke tangan Pulau Es dan Pulau Neraka! "Bagaimana bisa demikian?"

Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak bersama Kwi Hong dia mengambil sepasang pedang itu dari tempat ia menyembunyikannya, kemudian betapa mereka bertemu dengan Tan Ki dan Maharya, kemudian muncul pemuda lihai dari Pulau Neraka yang berhasil merampas Lam-mo-kiam dari tangannya. Milana mendengarkan dengan hati tertarik bercampur kecewa.

"Untung bahwa aku telah memberikan Li-mo-kiam kepada Nona Kwi Hong sehingga dapat dibawanya lari. Sayang bahwa Lam-mo-kiam terampas oleh pemuda iblis itu, kalau tidak, aku tentu dengan girang akan memberikan Lam-mo-kiam kepadamu, Nona Milana."

Ucapan yang menutup penuturannya ini membuat Bun Beng terbayang akan wajah Kwi Hong dan teringatlah ia akan perjalanannya berdua dengan nona itu. Diam-diam ia membandingkan Kwi Hong segan Milana. Kwi Hong juga tidak mau disebut nona, bahkan marah-marah sehingga terpaksa dia menyebut murid Pendekar Super Sakti itu dengan namanya saja. Akan tetapi sikap dan sifat Milana lain. Dara ini amat halus tutur sapa dan gerak-geriknya sehingga dia merasa sungkan untuk menyebut namanya begitu saja. Dara ini dengan sikapnya yang halus lemah lembut, memiliki wibawa yang agung dan membuat dia tak berani untuk bersikap tidak hormat!

"Gak-twako, engkau tentu tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu menjadi rebutan seluruh dunia kang-ouw. Setelah secara kebetulan kau mendapatkan pusaka-pusaka itu, mengapa dengan mudah saja kau berikan sebuah kepada Enci Kwi Hong?"

Bun Beng termenung mendengar pertanyaan ini dan diam-diam mukanya berubah tanpa dapat dilihat Milana yang duduk di belakangnya. Sejenak Bun Beng tak dapat menjawab, mengerutkan kening berpikir, kemudian baru ia menjawab setelah berpikir lama, "Kurasa tidaklah aneh, Nona. Untuk apakah aku memiliki dua batang pedang? Tidak ada buruknya kalau aku menyerahkan sebatang kepada Nona Kwi Hong, dan kenapa kepada dia kuserahkan Li-mo-kiam? Pertama, karena kebetulan menemaniku mengambil Sepasang Pedang Iblis. Kedua, karena dia adalah murid Pendekar Super Sakti yang amat kukagumi dan muliakan. Itulah sebabnya."

Hening sejenak sebelum Milana bertanya lagi. "Gak-twako, apakah engkau mencintai Enci Kwi Hong?"

"Hahh...?" Pertanyaan yang keluar dengan suara halus seperti berbisik itu benar-benar tak disangka-sangka, terlalu tiba-tiba datangnya membuat Bun Beng gelagapan seolah-olah dia dibenamkan ke dalam air. "Apa... apa maksudmu, Nona...?"

"Twako, semenjak masih kecil dahulu, sudah tampak betapa engkau dan Enci Kwi Hong cocok dan akrab sekali. Kini Pedang Li-mo-kiam adalah sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw akan rela mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan sebatang di antaranya. Akan tetapi engkau dengan mudah saja menyerahkannya kepada Enci Kwi Hong. Kalau engkau mencinta Enci Kwi Hong, hal itu tidaklah aneh lagi. Aku hanya ingin tahu apakah engkau mencinta Enci Kwi Hong?"

"Ahhhh, Nona Milana! Engkau membuat aku malu saja. Orang macam aku ini mana ada hak untuk mencinta seorang seperti dia? Dia adalah murid Pendekar Super Sakti, bahkan dia adalah keponakan Beliau! Mana mungkin dan mana pantas aku jatuh cinta kepadanya? Tidak, Nona, harap engkau jangan menyangka yang bukan-bukan. Aku menyerahkan Li-mo-kiam kepadanya hanya karena mengingat kepada gurunya dan pamannya, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulu Es yang kuhormati."

Tanpa terlihat oleh Bun Beng, pandang mata Milana termenung ketika ia mendengar jawaban itu. Sampai lama dia termenung sambil menjalankan kudanya menuruni lembah gunung, memasuki hutan kedua yang besar dan agak gelap. Hatinya tenang saja karena dia mengenal hutan ini, tahu bahwa dia sudah memasuki wilayah di luar kekuasaan Thian-liong-pang dan ia tahu benar bahwa ibunya melarang anak buahnya melakukan sesuatu di luar wilayah kekuasaannya untuk menjaga nama Thian-liongpang, kecuali utusan-utusan khusus yang ditugaskan untuk suatu keperluan. Dia bermaksud pergi ke kota Siang-bun di sebelah selatan hutan besar itu, di sana ia mendengar tinggal seorang tabib yang pandai. Siapa tahu barangkali tabib itu akan dapat menolong Bun Beng.

"Engkau merasa terlalu rendah untuk mencinta Enci Kwi Hong, Twako?"

Kembali pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan tidak tersangka-sangka, sehingga Bun Beng menjadi terkejut dan menjawab gagap, "Ya... ya... begitulah."

"Misalnya... terhadap diriku, bagaimana? Apakah engkau juga merasa terlalu rendah untuk jatuh cinta kepadaku? Ini hanya umpamanya saja, Twako."

Bun Beng terbelalak, jantungnya berdebar keras. Betapa jujur dan polos hati dara ini! Mukanya menjadi panas seperti dibakar rasanya. "Ahhh... mana aku berani, Nona? Lebih-lebih terhadapmu! Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, puteri Ketua Thian-liong-pang! Sedangkan aku... ahh, aku hanya anak yang tidak syah dari seorang tokoh hitam, datuk kaum sesat!"

Milana merasa terharu. "Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, Gak-twako. Bagiku, aku tidak menilai seseorang karena keturunannya, karena wajahnya mau pun karena kepandaian atau kedudukannya. Cinta adalah urusan hati, bukan urusan mata, urusan batin, bukan urusan lahir."

Jantung Bun Beng makin berdebar. Kata-kata yang amat aneh terdengar olehnya, kata-kata yang sukar sekali untuk diselami dan dikenal bagaimana isi hati orang yang mengucapkannya. Dia menjadi ragu-ragu dan penasaran, maka dia memberanikan hatinya bertanya.

"Maaf, Nona Milana. Sekali lagi aku bermulut lancang mengajukan pertanyaan ini. Apakah Nona mencintaku?"

Bun Beng dapat merasakan dengan punggungnya yang bersentuhan dengan tubuh dara itu, betapa Milana agak gemetar mendengar pertanyaan itu, akan tetapi jawaban yang keluar dengan halus itu tetap tenang. "Aku tidak tahu, Twako. Bagaimana aku tahu kalau aku sendiri tidak mengerti apa artinya cinta itu sendiri? Aku merasa suka kepadamu, dan merasa kasihan kepadamu. Hanya itulah yang terasa di hatiku, yang membuat aku mengambil keputusan bulat untuk membela dan menolongmu. Aku tidak tahu apakah suka dan kasihan itu sama dengan cinta. Bagaimana pendapatmu, Twako? Tahukah engkau apa sebetulnya cinta?"

Bun Beng tak dapat menjawab. Kuda itu berjalan terus perlahan-lahan, dan keduanya diam, seolah-olah tenggelam dalam lamunan tentang cinta. Bun Beng memandang ke depan ke arah pohon-pohon seolah-olah ingin mencari jawaban tentang arti cinta di antara daun-daun pohon, di antara sinar matahari dan bayangan benda-benda yang bersinar oleh cahaya matahari.....

Dahulu ketika ia mengenangkan wajah tiga orang wanita, wajah Kwi Hong, wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai, wajah Milana, ia pernah merenungkan tentang cinta. Kemudian, ketika ia masih kecil, pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai yang ternyata adalah ibu kandung Milana, juga membuatnya termenung dan mulailah ia berpikir tentang cinta. Cinta antara pria dan wanita, apa itu?

"Cinta adalah penyakit!" Tiba-tiba saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tidak hanya mengejutkan hati Milana, juga mengagetkan Bun Beng sendiri karena kata-katanya sendiri itu seperti terlompat ke luar tanpa disadarinya.

"Apa? Cinta adalah penyakit?" Milana berseru keras.

Karena sudah terlanjur, Bun Beng melanjutkan, mengikuti suara hatinya yang timbul di saat itu. "Cinta adalah sumber penyakit yang menciptakan penyakit-penyakit baru. Cinta yang dikenal pria dan wanita, sebenarnya tidak patut disebut cinta, bahkan mungkin bukan cinta yang sesungguhnya! Seorang wanita dan seorang pria saling berjumpa, saling mengagumi keelokan masing-masing, saling tertarik. Kemudian timbul hasrat ingin saling memiliki. Itulah cinta! Bukankah keinginan itu hanya nafsu belaka? Nafsu mendapatkan sesuatu demi kesenangan dan kepuasan diri sendiri? Karena itu menjadi sumber penyakit. Kalau keinginan tidak terkabul, juga timbul penyakit-penyakit baru seperti cemburu, kecewa dan lain-lain. Ketidak cocokan pikiran dan watak mendatangkan pertengkaran dan ke mana larinya cinta? Ketidak puasan dalam hubungan satu sama lain menimbulkan kekecewaan, ke mana larinya cinta? Cemburu yang menimbulkan kebencian, ke mana larinya cinta? Cinta yang dikenal sekarang, terutama oleh kaum pria, hanyalah nafsu dan si wanita hanyalah dijadikan alat penyenang hati dan badannya. Kalau kenyataan sebaliknya, terbanglah cintanya."

Milana membelalakkan mata, bergidik ngeri. "Aihhh, kau terlalu kejam, Twako! Kurasa tidak demikian buruk seperti yang kau sangka, atau karena kau belum mengenal, kau lalu mengawur saja tentang cinta. Cinta itu murni, halus, indah bagi wanita. Cinta itu bukan nafsu semata, lebih halus, lebih mendalam, mengenai perasaan hati. Wanita ingin dicinta, ingin dihargai, ingin dikagumi, ingin dimanja. Untuk itu, dia rela berkorban apa pun, rela menyerahkan badan dan nyawa untuk laki-laki yang mencintanya."

"Hemm, di mana ada keinginan, timbullah kekecewaan. Keretakan pun terjadilah seperti Ibu dan Ayahmu, eh, maaf...!" Bun Beng terkejut dan tiba-tiba saja terbukalah matanya mengenai keretakan hubungan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai.

"Kau keliru. Kekecewaan pun akan diterima oleh wanita yang mencinta dan dicinta. Suka sama dinikmati, duka sama dipikul. Itulah cinta..."

Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, memang ada perbedaan pendapat tentang cinta antara pria dan wanita, akan tetapi justeru perbedaan pendapat itulah yang menciptakan seninya, seni untuk menyesuaikan diri. Setiap perjuangan menghadapi kenyataan pahit dan usaha untuk mengatasinya, itulah seni hidup. Wanita lebih menggunakan perasaannya yang halus, karena itu cintanya lebih murni, tidak seperti pria yang menggunakan pikirannya sehingga timbullah dorongan-dorongan nafsu jasmani yang kadang-kadang berlebihan hingga memancing datangnya pertentangan dan persoalan..."

"Sssstt... ada orang..." Tiba-tiba Milana berbisik dan ketika Bun Beng mengangkat muka, ternyata di sana muncul lima orang Thian-liong-pang yang sikapnya kereng dan menyeramkan.

Milana menahan kudanya dan menghadapi lima orang itu dengan pandang mata penuh wibawa. Ia menggunakan lengan kiri dilingkarkan di pinggang Bun Beng, karena maklum bahwa sekali terguncang hebat, pemuda yang masih setengah lumpuh dari pinggang ke bawah itu akan dapat terpelanting dari atas punggung kuda. Tangan kanan memegang kendali kuda dan ia berkata nyaring,

"Kalian berlima menghadang perjalananku, ada maksud apakah?"

Seorang di antara mereka segera mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjawab, "Harap Siocia suka memaafkan kami dan suka memaklumi kedudukan dan keadaan kami sebagai petugas dan utusan Pangcu. Kami diperintah untuk menangkap atau membunuh pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini, dan kami sangat berharap agar Siocia suka menyerahkan kepada kami, mengingat bahwa kami adalah utusan-utusan Pangcu yang berkuasa penuh."

"Tidak. Aku juga bertugas sebagai manusia sudah mengambil keputusan melidungi Gak Bun Beng. Aku tidak mau menyerahkannya, dan tidak akan membolehkan kalian menangkap atau membunuhnya. Habis, kalian mau apa?"

"Srat-srat-sing-sing!" Tampak sinar kilat ketika lima orang itu mencabut golok masing-masing.

"Maaf, Siocia. Tidak melaksanakan perintah Pangcu berarti nyawa kami melayang secara sia-sia. Kalau memaksa sehingga bertentangan dengan Siocia, andai kata kami tewas sekali pun, kami tewas dalam menjalankan tugas sebagai anggota Thian-liong-pang yang setia. Tentu kami memilih mati sebagai anggota setia dari pada anggota yang murtad tidak menurut perintah Ketua."

"Hemm, jadi kalian hendak melawanku?" Milana membentak.

"Bukan melawan Siocia, hanya menjalankan tugas kami."

"Nona Milana, tinggalkan aku, harap jangan engkau turun tangan melawan orang-orangmu sendiri," kata Bun Beng.

"Tidak! Aku akan melindungimu dengan taruhan apa pun juga."

"Kalau begitu, biarlah aku menghadapi mereka, kau larikan saja kuda ini!" bisik Bun Beng.

Lima orang itu sudah berpencar mengurung kuda mereka dengan golok di tangan. Tiba-tiba seorang di antara mereka yang berada di sebelah kiri menggerakkan goloknya membacok ke arah tubuh Bun Beng. Pemuda ini yang menggantungkan tubuh di lengan Milana yang menahan pinggang, cepat mengikuti gerakan golok, menggunakan ilmu barunya, yaitu ilmu memindahkan tenaga, menggerakkan tubuh kemudian tangan kirinya bergerak membuang ke depan cepat mengenai punggung golok itu.

"Krekkk!" Golok itu patah menjadi dua, bahkan tangan yang memegang gagangnya menjadi kaku sehingga sisa golok itu terlepas pula. Orangnya meloncat mundur sambil menjerit kaget.

Orang kedua menerjang, disusul orang ketiga, ke empat dan ke lima. Gerakan mereka hebat, akan tetapi karena mereka itu tentu saja masih menjaga agar senjata mereka jangan sampai mengenai tubuh puteri Ketua mereka, maka gerakan mereka kaku dan tidak leluasa. Di lain pihak, Bun Beng yang melihat baik ilmunya yang baru itu, cepat menggunakan terus ilmu itu, tubuhnya mengikuti gerakan serangan golok dari atas, dari samping kanan atau kiri, kedua tangannya membabat dan memindahkan tenaga ayunan golok lawan untuk menyerang lawan itu sendiri.

Terdengar jerit-jerit kesakitan dan berturut-turut empat orang itu pun terhuyung, ada yang patah tulang lengannya. Ketika mereka meloncat bangun, kuda itu telah dikaburkan cepat-cepat oleh Milana! Mereka hanya berdiri bengong, terheran-heran karena mereka tidak tahu mengapa senjata mereka patah-patah dan tulang lengan mereka ada yang patah. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu seperti yang dimainkan pemuda yang hanya dapat menggerakkan tubuh bagian atas itu!

"Gak-twako, hebat bukan main ilmu pukulanmu tadi! Dalam keadaan lumpuh engkau masih mampu mengalahkan lima orang tokoh Thian-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau engkau tidak lumpuh, aku sendiri agaknya takkan kuat melawanmu!"

Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, engkau terlalu memuji, Nona. Lihat di depan itu, sekarang kita bertemu lawan tangguh."

Dara itu memandang dan ketika melihat seorang kakek tua yang bermuka bengis dan muka itu berwarna merah muda seperti dicat, terkejut dan berkata, "Wah, bukankah warna mukanya itu menunjukkan bahwa dia seorang dari Pulau Neraka?"

"Tidak salah lagi, dia seorang dari Pulau Neraka. Nona, lebih baik kau tinggalkan aku, biar aku hadapi sendiri orang-orang yang hendak menyerangku. Aku hanya menyeret engkau ke dalam pertentangan-pertentangan yang amat berbahaya, tidak hanya dengan kaum Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Ibumu sendiri bahkan dengan Pulau Neraka."

"Sudah! Jangan ulangi lagi permintaan seperti itu, Twako. Apa kau kira aku takut menghadapi Pulau Neraka? Kau lihat saja nanti!" Sambil berkata demikian, Milana mempercepat larinya kuda menghampiri kakek yang berdiri tegak itu.

"Berhenti!" Kakek itu membentak dengan pengerahan suara khikang hingga terdengar suaranya melengking dan membuat pohon-pohon seperti tergetar dan tiba-tiba kuda itu meringkik dan menunduk, keempat kakinya gemetar, matanya liar ketakutan.

"Orang tua, apa kehendakmu menghentikan perjalananku?" Milana bertanya, sedikit pun tidak merasa takut.

Kakek itu memandang agak heran melihat betapa dara muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakannya tadi, bahkan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Ia menudingkan tongkat hitamnya ke arah Bun Beng dan berkata, "Nona muda, aku menghendaki bocah itu! Ketahuilah bahwa Kongcu dari Pulau Neraka memerintahkan aku menangkap bocah ini, dan sebaiknya engkau tidak menentang kehendak Tuan Muda dari Pulau Neraka."

"Aku tidak peduli apakah engkau disuruh setan muda ataukah setan tua dari Pulau Neraka, dan aku tidak menentang siapa-siapa. Pemuda ini adalah seorang sahabatku, dan siapa pun tidak boleh mengganggunya. Pergilah dan jangan ganggu kami!"

Sinar mata kakek itu berapi-api, tanda bahwa dia marah sekali. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berilmu tinggi saja tidak berani memandang rendah Pulau Neraka, akan tetapi nona muda ini berani mengeluarkan kata-kata merendahkan dan menghina. Melihat sikap ini, cepat Bun Beng yang bermaksud menyelamatkan Milana berkata,

"Locianpwe dari Pulau Neraka agaknya tidak tahu siapa Nona ini. Dia adalah puteri dari Thian-liong-pangcu."

Sinar mata marah itu lenyap, terganti oleh keheranan dan kekagetan. "Aahhhh? Puteri Pangcu dari Thian-liong-pang?"

Milana tersenyum. "Kalau benar, mengapa? Thian-liong-pang tidak pernah takut terhadap Pulau Neraka. Sahabatku yang sakit parah ini berada dalam perlindunganku, kalau kau hendak memaksa dan merampasnya, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu!"

Kakek bermuka merah muda itu menjadi bimbang. Biar pun dia tidak pernah takut terhadap lawan yang bagaimana pun, tetapi mendengar nama puteri Ketua Thian-liong-pang dia gentar juga. Kalau sampai ia salah tangan melukai puteri Ketua Thian-liong-pang, hal itu bukanlah persoalan kecil dan bukan main-main! Bahkan dia tentu akan mendapat teguran hebat atau hukuman dari Majikan Pulau Neraka yang sudah memesan agar para anak buahnya, di luar perintahnya, jangan sampai menimbulkan bentrokan dengan orang-orang Thian-liong-pang dan Pulau Es. Dan sekarang, dia melakukan perintah untuk menangkap Gak Bun Beng, ternyata pemuda itu dilindungi oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri. Andai kata bukan puteri Ketua Thian-liong-pang, melainkan seorang tokoh biasa saja dari Thian-liong-pang, persolannya tentu tidak akan seberat dan segawat ini.

"Maaf, Nona," akhirnya dia menjura, "Karena tidak tahu, aku bersikap kurang hormat. Aku tidak sekali-kali ingin bertentangan dengan Nona, akan tetapi orang muda ini amat dibutuhkan oleh Kongcu kami, oleh karena itu kuharap Nona suka menyerahkannya kepadaku. Kalau Kongcu mendengar laporanku akan kebaikan hati Nona, tentu Kongcu dan Majikan kami akan menghaturkan terima kasih kepadamu."

"Aku tidak butuh terima kasih Kongcu-mu yang jahat! Minggirlah!" Milana menyendal kendali kudanya dan Bun Beng sudah siap untuk menghadapi, apabila tokoh Pulau Neraka itu menyerangnya.

Kakek itu tertawa bergelak, tiba-tiba tongkat hitamnya berkelebat, dipukulkan ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini cepat mengikuti gerakan itu dan siap mempergunakan ilmu memindahkan tenaga, akan tetapi tiba-tiba tongkat hitam itu tidak dilanjutkan menyerangnya, sebaliknya menghantam ke bawah.

"Prokkk!"

Kepala kuda itu pecah dan Milana cepat meloncat sambil mengempit pinggang Bun Beng. Muka dara itu menjadi merah, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan, tangannya bergerak dan sinar merah menyambar dibarengi bau harum menyengat hidung. Itulah belasan batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang amat berbahaya. Sekaligus menyambar ke arah tujuh belas pusat jalan darah di tubuh kakek itu.

Kakek muka merah muda itu terkejut sekali, cepat meloncat tinggi ke atas dan memutar tongkat, mengebutkan lengan baju kiri. Dengan gerakan ini barulah ia dapat terbebas dari pada maut, akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, kembali tampak sinar-sinar merah menyambar dari tangan Milana.

"Ayaaa...!" Kakek itu berjungkir balik, memutar tongkatnya, namun tetap saja sebatang jarum menancap di rambutnya dan hampir saja menggores kulit kepala. Mukanya menjadi pucat sekali. Nyaris nyawanya melayang, hanya seujung rambut selisihnya! Ia mengeluarkan pekik melengking dan muncullah dua orang lain, seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya bermuka merah muda pula. Kiranya kakek itu memanggil bala bantuan karena menghadapi puteri Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu.

Melihat ini Milana cepat-cepat meloncat sambil menggendong tubuh Bun Beng di belakangnya. Ia berlari cepat sekali seperti terbang dan Bun Beng merasa amat tidak enak. Dia tahu bahwa Milana amat lihai, agaknya tidak akan kalah kalau hanya menghadapi tiga orang Pulau Neraka tadi. Akan tetapi karena dara itu merasa tidak leluasa menghadapi lawan sambil melindunginya yang sudah lumpuh, maka gadis ini cepat membawanya melarikan diri. Yang paling membuat dia tidak enak, jengah dan terharu adalah betapa dara ini memaksanya untuk digendong di belakang punggung!

Cepat sekali Milana melarikan diri, akan tetapi tiga orang Pulau Neraka itu mengejar terus. Biar pun mereka merasa segan untuk memusuhi puteri Ketua Thian-liong-pang, namun mereka bertekad untuk menangkap Bun Beng, pemuda yang tahu akan Sepasang Pedang Iblis yang hanya dapat dirampas sebatang oleh Kongcu mereka, dan pemuda ini malah telah membunuh dua orang Pulau Neraka. Mereka mengejar terus dengan cepat dan untung bagi mereka bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang itu terhalang gerakannya karena menggendong tubuh Bun Beng. Andai kata tidak demikian, tiga orang itu maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mengejar dara yang memiliki sinkang sedemikian hebatnya itu.

"Nona, di depan itu kumelihat menara tinggi, tentu sebuah kuil. Larilah ke sana. Kalau tidak terhalang olehku, tentu Nona akan mampu menghadapi mereka," kata Bun Beng yang tak berani lagi menyatakan isi hatinya, yaitu agar Si Nona jangan melindunginya terus sehingga dia sendiri terancam bahaya.

"Aku sedang menuju ke sana," jawab Milana "Lari mereka cepat sekali!"

Menara dari kuil tua itu sudah tampak akan tetapi jaraknya masih cukup jauh dan tiga orang pengejar itu makin dekat, berlari seperti terbang di sebelah belakangnya. Ketika Milana sudah tiba di dekat kuil tua yang ada menara tingginya itu, tiga orang Pulau Neraka sudah dekat sekali, bahkan seorang di antara mereka berseru.

"Nona, lepaskan pemuda itu!" Dia sudah menggerakkan tangannya dan sebatang tali panjang seperti ular hidup menyambar dari belakang ke arah Milana, ujungnya menotok jalan darah.

Bun Beng cepat menangkis dengan tangan ketika melihat tali seperti cambuk itu, akan tetapi begitu ditangkis, ujung tali itu bergerak membelit lehernya!

"Haiiiittt!" Milana sudah menghentikan kakinya, memutar tubuh dan tangannya cepat menangkap tali yang membelit leher Bun Beng, dengan mengerahkan tenaga sinkang dia membetot dengan renggutan tiba-tiba.

"Brettt!" Tali itu putus dan tubuh kakek Pulau Neraka terhuyung ke depan.

Milana tidak mempedulikan lagi, cepat membalik dan hendak lari, sedangkan tiga orang itu telah meloncat dekat, senjata mereka bergerak-gerak. Kakek yang terhuyung itu memutar sisa tali di tangannya sebagai senjata, kakek kedua menggerakkan sebatang pedang, sedangkan kakek pertama menggerakkan tongkatnya.

"Cuat-cuat-cuattt!" Tampak tiga benda bersinar terang menyambar dari atas menara dan tiga batang hui-to (golok terbang) menancap tepat di depan kaki tiga orang kakek Pulau Neraka itu, hanya sejengkal selisihnya dari kaki mereka. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak, memandang gagang golok kecil yang bergoyang-goyang itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

Milana yang menoleh dan melihat ini menjadi kaget, akan tetapi juga girang sekali. "Ibuku di sana...!" Ia berseru, kemudian mendaki sebuah tangga yang menuju ke atas menara.

Menara itu tinggi sekali, akan tetapi puncaknya sudah rusak, tak terpelihara, hanya tinggal temboknya saja, agaknya atapnya sudah roboh. Ketika Bun Beng mendengar ini, jantungnya berdebar tegang. Dia menoleh ke bawah dan melihat betapa tiga orang kakek Pulau Neraka itu sudah lari dari tempat itu tanpa berani menoleh lagi. Tentu mereka mengenal senjata rahasia itu! Ia tahu bahwa yang turun tangan mengancam mereka adalah Ketua Thian-liong-pang. Memang hebat sekali golok-golok terbang tadi, agaknya sengaja dilepas untuk mengusir mereka sehingga menancap di depan mereka dalam jarak sejengkal.

Kalau dikehendaki, tentu tiga batang hui-to itu sudah mengenai tubuh mereka dan merenggut nyawa mereka. Bun Beng teringat akan hui-to-hui-to yang dilepas oleh Ketua Thian-liong-pang ketika diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh besar dahulu di pulau Sungai Huang-ho. Hui-to yang berbentuk golok kecil atau pisau belati itu oleh Si Ketua yang berkerudung dipergunakan untuk menyerang Pendekar Super Sakti. Dia bergidik setelah kini teringat bahwa wanita berkerudung itu bukan lain adalah ibu Milana yang cantik jelita itu, isteri sendiri dari Pendekar Super Sakti!

Diam-diam ia merasa heran sekali dan menaruh kasihan kepada Pendekar Siluman yang dipujanya. Mengapa hidupnya demikian penuh duka sehingga dimusuhi oleh isteri sendiri. Ia membayangkan pertemuan pendekar sakti itu dengan isterinya, mengenang kembali percekcokan mereka dan diam-diam ia menimbang-nimbang, menyesuaikan ucapan Milana tadi tentang cinta. Sungguh aneh sekali hati wanita, terutama hati ibu Milana ini.

Dan betapa anehnya sikap Pendekar Siluman yang jelas mencinta isterinya. Mengapa mereka saling berpisah? Mengapa si isteri yang tercinta itu seolah-olah hendak memusuhi suami yang tercinta? Sungguh membuat dia bingung dan juga penasaran sekali. Seorang pria seperti Pendekar Super Sakti, kurang apakah sebagai suami?

Berilmu tinggi, gagah dan tampan, berwatak mulia, memiliki kebaikan yang cukup berlebihan untuk menutupi cacadnya, yaitu kakinya yang buntung. Seorang suami seperti dia itu, mengapa tidak cukup membahagiakan hati seorang isteri? Tentu si isteri yang tidak benar! Tentu ibu Milana ini yang tidak benar. Dia menjadi penasaran dan jika tadinya dia merasa gentar bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang, kini dia malah ingin berjumpa, ingin membela Pendekar Super Sakti yang ia anggap diperlakukan sewenang-wenang oleh ibu Milana!

Dengan cepat namun hati-hati karena menggendong Bun Beng, Milana memanjat tangga itu dan setelah tiba di atas, tampaklah oleh Milana dan Bun Beng sesosok tubuh yang duduk bersila seperti sebuah arca di atas lantai menara. Tubuh ramping dengan kepala berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!

"Ibu...!" Milana menurunkan Bun Beng dari gendongan dan berlutut di depan ibunya.

"Locianpwe..." Bun Beng juga memberi hormat dengan duduk karena dia tidak dapat berlutut.

"Milana! Apa yang kau lakukan ini?" suara merdu halus yang keluar dari balik kerudung itu penuh teguran. "Kau berani menentang Thian-liong-pang dan melawan anak buah kita sendiri?"

"Ibu... aku... tidak mungkin membiarkan Gak-twako yang terluka hebat ini diganggu. Harap Ibu suka mengampunkannya. Dia luka parah, lumpuh, keracunan dan kalau Ibu tidak menolongnya, dia akan mati..."

"Biar saja mati anak setan ini! Kalau dia tidak mati keracunan, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya!"

"Ibu, kasihanilah dia, ampunkanlah..." Milana berkata penuh permohonan.

"Kau malah berani menyebut Ibu kepadaku di depan anak setan ini, Milana, apakah kau hendak membuka rahasia..."

"Locianpwe, harap jangan menyalahkan Nona Milana. Dia tidak membuka rahasia Locianpwe, akan tetapi melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang kepadanya, saya sudah dapat menduga bahwa dia puteri Locianpwe. Sungguh tidak saya sangka bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Locianpwe, isteri Pendekar Super..."

"Wuuutttt...!" Tangan wanita berkerudung itu bergerak dan angin pukulan yang amat hebat menyambar tubuh Bun Beng.

"Ibu...!" Milana menjerit dan Bun Beng sudah menggulingkan tubuhnya, bergulingan sehingga terhindar dari bahaya maut.

"Anak setan, kau kira aku tak dapat membunuhmu? Untuk kekacauan yang kau buat di Thian-liong-pang, mungkin aku masih dapat mengampunimu. Akan tetapi engkau telah mengetahui rahasiaku, mengenal siapa Ketua Thian-liong-pang dan untuk hal itu engkau harus mati!"

Tiba-tiba tubuh yang duduk bersila itu meloncat ke atas, dalam keadaan masih duduk bersila, meluncur cepat ke arah Bun Beng dan lengan baju yang lebar panjang itu menyambar ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini terkejut sekali, kembali melempar diri ke belakang dan sambil bergulingan, tiga kali lengannya menangkis.

"Plak-plak-plak..." Ia berhasil menangkis, namun lengan sampai ke pundaknya terasa nyeri dan hampir lumpuh.

"Ibu... jangan...!" Milana meloncat dan menghadang, akan tetapi sebuah dorongan membuat dara itu terlempar.

Rasa penasaran yang berkumpul di dalam dada Bun Beng seperti akan meledak. Dia sudah siap, duduk dan memandang tajam, siap melawan sampai mati, namun dia tidak akan puas sebelum mengeluarkan isi hatinya.

"Locianpwe! Locianpwe adalah isteri Pendekar Super Sakti yang amat saya muliakan. Dia seorang pendekar sakti yang hebat, yang tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi mengapa Locianpwe sebagai isterinya malah membangun perkumpulan yang keji, menculik dan mencuri kepandaian orang lain? Semua itu masih belum hebat, akan tetapi Locianpwe menjauhkan diri dari padanya, membuat hatinya sengsara. Bukankah kewajiban seorang isteri harus ikut bersama suaminya ke mana pun dia pergi? Di mana cinta kasih seorang isteri terhadap suaminya yang demikian mulia seperti Pendekar Super Sakti?"

"Anak setan, lancang mulut, keparat!" Wanita berkerudung itu membentak.

"Locianpwe boleh membunuh saya. Saya tidak takut, apa lagi saya telah terluka dan keracunan, tiada harapan hidup lagi. Akan tetapi saya tidak menyesal untuk mati, hanya menyesal sekali melihat Locianpwe selain membikin sengsara hati pendekar sakti yang saya muliakan, juga merusak penghidupan puteri Locianpwe sendiri! Mengapa Locianpwe tidak membubarkan saja perkumpulan Thian-liong-pang yang keji itu dan mengajak Nona Milana menyusul ayahnya di Pulau Es, hidup bahagia dan damai di sana?"

"Gak Bun Beng, engkau anak datuk kaum sesat, mulutmu melebihi kejahatan Ayahmu!" Wanita itu marah sekali, ucapannya seperti menjerit dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas.

"Saya memang anak yang hina dan rendah, akan tetapi tidak membikin sakit hati orang lain, apa lagi merusak hidup suami dan anak seperti yang Locianpwe lakukan!"

Tiba-tiba tubuh yang sudah mencelat ke atas itu turun lagi, duduk bersila dan dari balik kerudung itu terdengar suara menggetar, "Bocah setan! Kau tahu apa? Sebelum engkau mampus, buka dulu telingamu, dengarkan baik-baik! Pendekar Siluman yang kau puja-puja itu, apakah dia seorang suami yang baik? Puhhhhh! Engkau tidak tahu urusannya sudah berani mencela aku memuji dia! Engkau tahu apa? Setelah menjadi suamiku, dia tidak mau mengikutiku, dia memisahkan diri. Bahkan dia tidak tahu ketika anaknya dilahirkan, dia tidak peduli, tidak mau mencari kami, tidak mempedulikan kami! Apakah aku harus menyembah-nyembah dan mengemis perhatiannya? Hemm, kau kira aku selemah itu? Tidak, aku akan menandinginya, aku akan membentuk perkumpulan yang lebih kuat dari pada Pulau Es! Akan kuserbu Pulau Es dan kukalahkan dia dalam pertandingan! Akan tetapi kau... kau anak Si Datuk Sesat Gak Liat Si Setan Botak, engkau telah mengetahui rahasiaku, dan engkau harus mampus!"

"Ibu! Jangan..., jangan...!" Tiba-tiba Milana menubruk dan melindungi tubuh Bun Beng.

Nirahai, Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu, memandang kaget dan heran, kemudian penuh kemarahan dan kekhawatiran membentak dari balik kerudungnya. "Milana! Apa ini? Gak Bun Beng, berani engkau membuat anakku jatuh cinta?"

"Ibu...!"

"Locianpwe, engkau terlalu keji menuduh anakmu! Orang macam aku ini, keturunan seorang penjahat, mana berani kurang ajar mencinta puteri Pendekar Super Sakti? Nona Milana menolongku hanya karena kasihan, karena dia memiliki watak halus penuh budi luhur seperti ayahnya."

"Ibu, harap jangan bunuh dia... ah, Gak-twako, kau bersumpahlah bahwa kau takkan membuka rahasia Ibu... bersumpahlah, Twako..."

Bun Beng menarik napas panjang. "Nona, aku tidak takut mati, aku toh akan mati juga, perlu apa aku bersumpah hanya agar tidak dibunuh oleh Ibumu? Akan tetapi mengingat kebaikan-kebaikanmu, biarlah aku bersumpah. Selama hidupku, aku Gak Bun Beng tidak akan membuka rahasia bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, bahwa engkau adalah puteri mereka."

"Ibu, dia sudah bersumpah, ampunkanlah dia, Ibu."

Melihat sikap puterinya ini, makin gelisah hati Nirahai. Dia melihat tanda-tanda tunas cinta kasih. Puterinya mencinta anak Gak Liat? Betapa rendahnya! Dia tahu betapa berbahayanya cinta kasih kalau sudah menguasai hati wanita. Maka jalan terbaik hanyalah membunuh Bun Beng sebelum terlambat, sebelum cinta kasih yang baru bertunas itu tumbuh dan berakar kuat.

"Minggir kau...!" Dia menggerakkan tangan dan Milana kembali terlempar ke samping. Ketua Thian-liong-pang ini lalu menerjang dengan tamparan yang amat kuat ke arah kepala Bun Beng, sekali ini tidak lagi menggunakan ujung lengan baju karena pemuda itu terlalu kuat dan pandai untuk diserang begitu saja, melainkan menggunakan tangannya yang ampuh.

"Wuuuutttt!"

Bun Beng memang tidak takut mati, namun dia pantang menyerah begitu saja menyerahkan nyawa tanpa melawan. Hal itu bukanlah watak seorang gagah! Dia teringat akan ilmunya yang baru, yang telah dua kali menolongnya dari bahaya maut. Melihat datangnya tangan yang menyambar ke arah kepalanya dengan didahului angin pukulan luar biasa dahsyatnya, dia cepat mengikuti arus gerakan tangan lawan, menggerakkan tubuh miring ke kanan, kemudian tangannya sendiri yang dipenuhi aliran tenaganya sendiri ditambah tenaga lawan, dari samping menangkis dengan pukulan dahsyat.

"Dessss...!"

"Aihhhh, pukulan apa ini...!" Nirahai mencelat ke samping, menyentuh tangan kirinya yang barusan saja tertangkis secara hebatnya dan memandang Bun Beng dari balik kerudungnya.

"Bukan main, kalau aku tidak ingin membunuhmu sekarang, ingin aku mempelajari gerakanmu yang mukjizat tadi. Sekarang terimalah kematianmu!" Dia menerjang lagi, kini kedua tangannya bergerak dari dua arah berlawanan sehingga tidak mungkin lagi bagi Bun Beng untuk menggunakan ilmunya memindahkan tenaga.

Apa lagi ilmu itu pun tadi telah dipergunakan dan tidak membawa hasil, lengan Ketua Thian-liong-pang itu tidak terluka sedikit pun. Maka jalan satu-satunya hanyalah menggulingkan tubuhnya. Karena maklum bahwa serangan Ketua Thian-liong-pang itu hebat bukan main, maka Bun Beng mengerahkan seluruh sinkang di tubuhnya untuk menggulingkan tubuhnya. Tiga kali pukulan ketua yang amat lihai itu luput dan Bun Beng yang merasa pundaknya terlanggar angin pukulan yang amat kuat, mempercepat gerakannya bergulingan.

Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke bawah, ternyata dia telah bergulingan ke pinggir menara dan terlempar ke bawah dari tempat yang amat tinggi itu. Masih didengarnya jerit Milana dan selanjutnya ia hanya menyerahkan nasib di tangan Tuhan, maklum bahwa dalam keadaan tubuh bawah lumpuh itu dia tentu akan terbanting remuk di bawah sana! Bun Beng sudah memejamkan mata, menanti datangnya maut.

Akan tetapi, ia mendarat dengan empuk, bukan terbanting ke atas tanah berbatu, melainkan tubuhnya tergantung dan ada sebuah tangan mencengkeram baju di punggungnya. Ketika ia membuka mata memandang, kiranya ia disambut oleh seorang laki-laki yang tampan, dicengkeram baju di punggungnya, seorang laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut putih seperti benang perak, namun wajah itu tampan berwibawa, tenang dan tidak kelihatan tua. Wajah... Pendekar Super Sakti yang memandangnya dengan senyum yang menyejukkan hati, dengan mata yang diliputi penderitaan batin yang mengharukan hati Bun Beng. Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Suma Han, Majikan Pulau Es itu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, agaknya menerima tubuh Bun Beng tadi amat ringan baginya, dan di sebelahnya berdiri Kwi Hong yang cantik jelita!

"Taihiap...! Ah, Taihiap telah menolong nyawaku...!" Bun Beng berkata, terharu, girang akan tetapi juga penuh hati khawatir mengingat betapa Ketua Thian-liong-pang, yang ia tahu adalah isteri pendekar sakti ini, berada di atas menara.

"Bun Beng, mengapa engkau jatuh dari atas sana? Dan... ahhh, kau terluka hebat..."

Suma Han telah menurunkan Bun Beng yang duduk di atas tanah. "Engkau terkena pukulan beracun yang hebat sekali. Siapakah yang melukaimu? Apakah masih berada di atas sana?"

Bun Beng ragu-ragu untuk menjawab, tidak ingin melihat pendekar ini berjumpa dengan Ketua Thian-liong-pang dan Milana. Tentu akan hebat akibatnya, dia pikir, maka dia menjadi bingung ketika mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba Kwi Hong mengayun tubuhnya meloncat ke atas tangga, kemudian mendaki tangga itu dengan cepat seperti berlarian ke atas.

"Kwi Hong, jangan lancang!" Suma Han berseru dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang naik mendahului Kwi Hong yang mendaki tangga itu, melayang ke atas menara!

Bun Beng kagum bukan main menyaksikan ini, matanya sampai berkunang melihat tubuh pendekar sakti itu mencelat ke atas, lalu berjungkir balik di udara dan melayang lebih tinggi sampai tiba di atas menara dan lenyap. Jantungnya berdebar tidak karuan. Apa akan terjadi kalau suami isteri itu berjumpa di sana, dan Pendekar Super Sakti mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterinya?

Ia melihat Kwi Hong juga sudah sampai di atas. Tak lama kemudian tampak Kwi Hong turun lagi, lalu gadis ini meloncat ke dekat Bun Beng sambil berkata, "Di atas tidak ada orang sama sekali. Bagaimana kau tadi sampai jatuh?"

Sebelum Bun Beng menjawab, Suma Han sudah melayang turun lagi. "Buka bajumu, biar kuperiksa dulu sebelum kau bercerita," katanya dengan suara halus.

Bun Beng membuka baju atasnya dan sambil menekuk lutut kakinya yang tinggal sebuah, Suma Han memeriksa keadaan Bun Beng. Alisnya berkerut dan dia berkata,

"Keji sekali! Siapa yang melukaimu seperti ini?"

Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak ia bertemu dengan Tan Ki dan Maharya sehingga ia dilukai oleh Maharya.

"Ah, mengapa engkau menyuruh dan memaksa aku pergi?" Kwi Hong mencela dan membanting kakinya. "Kalau aku tidak pergi, tentu engkau tidak akan terluka seperti ini!"

"Kwi Hong, omongan apa itu? Bun Beng telah menyelamatkanmu, kalau tidak pergi mungkin engkau akan menderita lebih hebat lagi! Bun Beng, lanjutkan ceritamu."

Bun Beng melanjutkan ceritanya, betapa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera dari Pulau Neraka, dan betapa dia tadinya akan dijadikan tawanan, akan tetapi dia dapat menyelamatkan diri. Untuk mencegah agar dia tidak usah bicara tentang Ketua Thian-liong-pang, maka dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Milana.

Suma Han mengerutkan alisnya, diam-diam hatinya amat gelisah. Menurut cerita Bun Beng, kongcu dari Pulau Neraka itu amat lihai dan kelihatan kejam. Apakah Lulu telah keliru mendidik puteranya? Dia tidak percaya bahwa putera Lulu dan Wan Sin Kiat menjadi seorang jahat! Akan tetapi, Lam-mo-kiam telah terampas oleh anak Lulu itu. Dia tidak memberi komentar, hanya menggeleng-geleng kepala dan hatinya makin berduka. Betapa tidak akan duka dan perih hatinya kalau ia terigat kepada Lulu? Adik angkatnya itu adalah satu-satunya wanita yang dicintanya, namun keadaan memaksa mereka berpisah, bahkan kini timbul rasa sakit hati dalam perasaan Lulu terhadapnya!

"Ahhh, engkau menderita bukan main, Bun Beng. Akan tetapi kenapa kau tadi jatuh dari atas menara?" Kwi Hong bertanya.

Bun Beng menjadi bingung. "Aku... aku dikejar-kejar orang-orang Pulau Neraka karena aku membunuh dua orang yang akan membawaku ke sana. Dalam keadaan kedua kakiku lumpuh, tentu saja sukar bagiku untuk melarikan diri. Akhirnya aku sampai di menara ini, bersembunyi di atas menara. Aku menderita sekali, tidak berani turun, dan lukaku tak mungkin dapat sembuh. Dari pada perlahan-lahan menghadapi kematian yang menyiksa seperti yang dikatakan oleh Pendeta Maharya, aku... aku mengambil keputusan terjun dan mati di sini!"

"Aihhh, pengecut!" Kwi Hong berteriak ngeri.

"Kwi Hong, diamlah. Engkau tidak merasakan penderitaan orang, hanya pandai mencela!" kata Suma Han yang kemudian memandang Bun Beng. "Betapa pun juga, cara melarikan diri dari penderitaan dengan jalan membunuh diri adalah perbuatan bodoh dan tidak tepat. Biarlah aku akan mencoba mengobatimu sedapat mungkin. Mari kita masuk ke dalam kuil itu."

Tanpa menanti jawaban, Suma Han menyambar tubuh Bun Beng dan dibawa memasuki kuil tua. Kwi Hong mengikuti dari belakang. Diam-diam hati Bun Beng lega karena ternyata Ketua Thian-liong-pang telah pergi dari atas menara itu. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan Ibu Milana itu. Dapat dibayangkan betapa lihainya untuk dapat pergi bersama puterinya, tanpa dilihat oleh Pendekar Super Sakti yang demikian lihai? Dan betapa cerdiknya untuk cepat-cepat pergi, karena kalau sampai bertemu dengan majikan Pulau Es itu, kerudungnya tidak akan ada artinya lagi kalau pendekar ini melihat Milana dan tentu akan dapat menduga siapa adanya wanita di balik kerudung itu.

Suma Han cepat mengobati Bun Beng. Mula-mula menyambung kedua lutut kaki dan memberi obat, kemudian mulailah pendekar sakti ini mempergunakan sinkang-nya yang luar biasa kuatnya untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuh Bun Beng. Pemuda itu disuruh duduk diam tanpa baju dan Suma Han duduk di belakangnya, menempelkan kedua telapak tangan di punggung pemuda itu. Sampai sehari lamanya Bun Beng merasa betapa dari kedua telapak tangan itu mengalir hawa yang berlawanan, dingin dan panas! Diam-diam dia kagum bukan main dan mengerti bahwa di dunia ini agaknya tidak ada keduanya dalam hal kekuatan sinkang seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau Es ini!

Semalam suntuk menyusul dan Suma Han melanjutkan pengobatannya. Pada keesokan harinya, barulah ia menyudahi pengobatannya. Bun Beng yang membiarkan dirinya diobati, merasa betapa hawa berputar-putar di tubuhnya dan keluar melalui kepalanya. Dia merasa dadanya tidak sesak lagi dan begitu Suma Han menyatakan selesai, dia cepat menelungkup dan menghaturkan terima kasih. Suma Han mengangkatnya bangun, duduk, dan sambil minum air hangat yang dibuat oleh Kwi Hong, Suma Han berkata,

"Aku telah berhasil membersihkan semua hawa beracun dari dalam tubuhmu, Bun Beng. Akan tetapi, sayang bahwa aku bukanlah seorang ahli pengobatan. Padahal, racun telah memasuki jalan darahmu dan aku tidak mampu mengobatinya. Aku mendengar bahwa satu-satunya tetumbuhan obat yang dapat melawan semua keracunan darah, hanya terdapat di Pulau Neraka..."

"Ohhhh...!" Kwi Hong berteriak, terkejut sekali. "Paman, bagaimana mungkin kita bisa mengambil ke sana?"

Suma Han menggelengkan kepala. "Tidak mungkin kita ke sana tanpa menimbulkan keributan. Akan tetapi, racun yang berada di tubuh Bun Beng ini amat hebat, biar pun dia tidak akan tersiksa seperti kalau hawa beracun masih di tubuhnya, namun dalam waktu paling lama setengah tahun, darahnya akan menjadi kotor penuh racun, dapat membuat dia menjadi gila atau mati, sedikitnya akan lumpuh seluruh tubuhnya!"

"Aihhh...!" Kembali Kwi Hong berseru.

Akan tetapi Bun Beng bersikap tenang-tenang saja sehingga mengagumkan hati Suma Han yang memandangnya. "Pertolongan Taihiap sudah terlampau besar, biar pun Taihiap tak dapat mengobati, saya tidak merasa penasaran. Kalau memang sudah ditakdirkan saya mati karena racun dalam darah ini, saya akan menerimanya tanpa keluhan. Saya sudah merasa cukup berbahagia melihat kenyataan betapa seorang mulia seperti Taihiap sudi memperhatikan diri saya dan sudi mengulurkan tangan memberi pertolongan."

Suma Han mengerutkan alisnya. Terlalu sayang kalau pemuda seperti ini sampai mati sia-sia. Akan tetapi, betapa pun juga, dia tidak memiliki keberanian untuk berhadapan dengan Lulu lagi, takut akan hatinya sendiri!

"Jangan putus harapan, Bun Beng. Akan kusediakan perahu untukmu, kuberi gambar petunjuk bagaimana engkau dapat mencapai Pulau Neraka dengan perahumu. Kau pergilah sendiri ke Pulau Neraka, membawa sepucuk suratku. Percayalah, dengan suratku itu, Majikan Pulau Neraka tentu akan suka menolong dan mengobatimu sampai sembuh."

"Akan tetapi... Kongcu Pulau Neraka telah merampas Lam-mo-kiam, dan dia amat kejam. Tentu saya hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia ke sana, Taihiap!"

"Coba sajalah. Dengan suratku, engkau akan diterima dengan baik." Suma Han lalu mengeluarkan alat tulis dan menulis sepucuk surat dengan cepat, membungkus surat itu dan menyerahkannya kepada Bun Beng. "Sekarang, mari kuantar kau ke pantai dan mencari perahu!"

Bun Beng tidak mau membantah lagi dan dia pun percaya bahwa seorang yang luar biasa seperti Pendekar Super Sakti ini tidaklah aneh kalau suratnya mendapat perhatian dari Majikan Pulau Neraka! Kwi Hong juga tidak mau banyak cakap karena maklum bahwa hubungan antara pamannya dengan Pulau Neraka harus dia rahasiakan. Namun diam-diam gadis ini merasa tidak setuju melihat betapa pemuda yang menderita luka berat itu disuruh pergi seorang diri ke Pulau Neraka.

Biar pun belum terlalu lama dia mengenal Bun Beng, namun dia sudah dapat mengenal watak pemuda ini, watak yang keras dan tidak mau mengalah, apa lagi kalau menghadapi kejahatan. Watak seperti itu akan mendatangkan bahaya kalau pemuda itu berada di Pulau Neraka yang penuh dengan orang-orang aneh dan lihai. Dan sekarang pamannya menyuruh Bun Beng seorang diri berlayar ke sana. Bukankah itu sama dengan menyuruh pemuda itu menghadapi bencana?

Betapa pun juga, Kwi Hong paling takut menghadapi pamannya, juga gurunya. Ia kehilangan watak galaknya kalau berhadapan dengan pamannya, maka semua kekhawatiran dan ketidak setujuan hatinya hanya ia simpan saja di hati, tidak berani ia keluarkan melalui mulut. Ketika Suma Han sudah mendapatkan sebuah perahu layar dan Bun Beng sudah duduk di perahu itu, memegang kemudi dengan sepeti besar roti kering dan minuman sebagai bekal, Kwi Hong hanya memandang dan berkata perlahan, "Hati-hatilah, Bun Beng...!"

"Gak Bun Beng, secara kebetulan sekali engkaulah orangnya yang menemukan sepasang pedang itu. Sepasang Pedang Iblis yang dijadikan rebutan dunia kang-ouw. Akan tetapi sebatang di antaranya, Lam-mo-kiam, dirampas orang dari tanganmu pula. Karena itu, setelah engkau berhasil sembuh, menjadi kewajibanmulah untuk menjaga agar jangan sampai pedang itu dipergunakan orang untuk menimbulkan kekacauan di dunia ini. Sepasang Pedang Iblis itu adalah sepasang pedang yang amat ampuh, jarang dapat dicari tandingnya di dunia ini. Syukur bahwa yang sebatang telah kau berikan kepada Kwi Hong. Hanya Hok-mo-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menandingi Sepasang Pedang Iblis. Sayang bahwa Hok-mo-kiam terampas oleh Tan Ki yang gila dan gurunya yang lihai itu."

"Suma-taihiap, saya berjanji bahwa jika saya dapat sembuh, saya akan mengerahkan seluruh akal dan tenaga untuk merampas kembali Hok-mo-kiam, untuk membasmi Tan-siucai dan gurunya yang jahat, dan tentu saja untuk membalas dendam atas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."

"Hemm, cita-cita hidupmu di masa depan penuh dengan bahaya dan permusuhan. Semoga engkau akan dapat mengatasi itu semua, Bun Beng. Nah, berangkatlah!"

Setelah memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan keponakannya dari atas perahu, Bun Beng mendayung perahunya ke tengah. Setelah angin bertiup membuat layarnya berkembang, perahu melaju cepat dan dua orang yang memandangnya dari pantai itu hanya tampak seperti dua buah titik yang akhirnya lenyap pula.

Bun Beng memeriksa peta yang ia terima dari Pendekar Siluman. Sungai lebar di mana perahunya sekarang berada akan bertemu dengan Sungai Huang-ho, melewati Terusan Besar untuk kemudian menuju ke laut. Ada petunjuk dan tanda-tanda di peta itu mengenai letak Pulau Neraka, jauh di utara, bahkan ada penjelasan bahwa dia akan melalui lautan yang banyak terdapat gunung-gunung es mengapung dan merupakan tempat berbahaya sekali.

Bun Beng teringat akan tokoh-tokoh Pulau Neraka yang amat aneh dan lihai, juga kejam. Teringat akan pemuda tampan dari Pulau Neraka, hatinya penuh dengan rasa benci dan tak senang. Akan tetapi kalau ia teringat akan kakek muka kuning yang lucu aneh dan agak miring otaknya itu, yang dua kali ia temui ketika kakek itu menolong dia dan Milana di atas perahu, kemudian ketika kakek itu menolongnya pula di atas layang-layang raksasa, dia tersenyum sendiri.

Betapa pun anehnya, betapa pun tersohor jahatnya Pulau Neraka, dia tidak bisa membenci kakek muka kuning itu, biar pun dia tahu bahwa kakek itu adalah seorang tokoh besar dari sana! Dia rasa, kakek itu akan suka menolongnya dan memberi tetumbuhan obat anti racun. Ataukah... jangan-jangan kakek muka kuning itulah Majikan Pulau Neraka? Ah, tidak mungkin. Bukankah pemuda tampan itu putera Majikan Pulau Neraka? Pemuda itu selain tampan juga pesolek, pakaiannya indah-indah, dan kakek muka kuning itu seperti orang gila, pakaiannya tidak karuan dan tak bersepatu. Betapa pun juga, kakek muka kuning itu tentu bukan tokoh sembarangan dari Pulau Neraka.

Dua hari dua malam lamanya Bun Beng berlayar dan akhirnya perahunya memasuki Sungai Huang-ho. Dia merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Super Sakti karena setelah diobati oleh pendekar itu, kedua kakinya yang lumpuh mulai dapat ia gerakkan dan kedua lututnya sudah hampir bersambung lagi, tidak begitu nyeri rasanya, juga dadanya tidak sesak lagi. Akan tetapi, selama dua hari itu, dia berpikir dan mengambil keputusan bulat untuk tidak pergi ke Pulau Neraka.

Dia benci harus bertemu dengan pemuda Pulau Neraka itu yang dianggapnya amat sombong. Dia tidak sudi merengek minta obat ke sana, membayangkan betapa pemuda tampan itu akan memandangnya penuh ejekan dan hinaan. Hanya sedikit sekali harapan untuk bisa mendapatkan obat dari Pulau Neraka. Bukankah ia mendengar desas-desus bahwa Pulau Neraka tidak bersahabat dengan Pulau Es? Bukankah ketika ada pertemuan di pulau tengah Sungai Huang-ho dahulu, terjadi pula pertentangan dan persaingan antara Pulau Neraka, Thian-liong-pang dan Pulau Es?

Kalau memang racun di dalam darahnya akan membuatnya mati, dia seratus kali lebih rela mati di mana saja dari pada di Pulau Neraka, lebih dahulu harus mengalami penderitaan batin kalau dihina dan diejek orang-orang Pulau Neraka. Yang lebih hebat lagi, kalau surat dari Pendekar Super Sakti itu mereka tolak atau tidak mereka sambut dengan baik, betapa akan menyakitkan hatinya! Dan dia tentu takkan banyak berdaya terhadap penghuni-penghuni Pulau Neraka yang demikian lihainya.

Tidak, dia tidak mau ke Pulau Neraka dan teringat akan Sungai Huang-ho, dia tahu ke mana dia harus pergi. Ke tempat di mana dia menemukan Sepasang Pedang Iblis! Ke tempat di mana terdapat sahabat-sahabatnya terbaik selama ini, yaitu sekumpulan kera baboon dengan siapa ia pernah hidup selama berbulan-bulan lamanya! Tempat itulah yang menjadi tempat seorang manusia sakti, gurunya yang tak pernah dikenalnya, yang telah meninggalkan Sepasang Pedang Iblis itu dan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepadanya. Kalau dia kembali ke sana dan mati di sana, hanya sekumpulan kera baboon itu saja yang akan mengetahuinya, tiada seorang pun manusia lain yang akan melihat keadaannya.

Tiada seorang pun manusia pernah datang ke tempat itu, karena tidak ada yang tahu bagaimana caranya. Hanya dia seoranglah yang tahu. Caranya mudah sekali biar pun penuh bahaya maut, mempertaruhkan nyawa. Biasa saja, hanya terjun ke dalam pusaran maut, membiarkan pusaran itu yang menyeret tubuhnya ke bawah dan ia akan sampai di tempat itu. Tentu saja kalau Tuhan menghendaki, kalau tidak, sekali dibenturkan pada batu-batu di bawah air oleh tenaga pusaran air, tubuhnya akan remuk. Apa bedanya? Dia toh akan mati juga. Selama paling banyak setengah tahun, kata Pendekar Super Sakti!

Dengan keputusan hati yang bulat ini, Bun Beng berlayar menuju ke pulau di tengah muara Sungai Huang-ho. Sepekan lamanya setelah perahunya masuk sungai itu, sampailah dia dekat pulau dan langsung ia mengemudikan perahu menuju ke sebelah selatan pulau di mana terdapat pusaran maut.

"Haiiii...! Orang muda, jangan ke sana... berbahaya...!" Beberapa orang nelayan dari perahu masing-masing berteriak-teriak memperingatkan Bun Beng.

Akan tetapi pemuda ini malah tersenyum geli melihat tingkah para nelayan itu yang memperingatkan dia agar jangan mendekati pusaran maut. Justeru pusaran air itulah tujuannya, tentu saja menggelikan sekali melihat mereka memperingatkan dia jangan mendekati tempat itu. Dia malah menurunkan layar dan mendayung perahunya cepat-cepat menuju ke pusaran air, diikuti pandang mata terbelalak dan muka pucat oleh para nelayan yang tentu saja sudah mengenal tempat itu yang amat ditakuti semua nelayan.

Mereka berteriak-teriak kaget dan kasihan ketika melihat perahu dengan orang muda itu dicengkeram pusaran air, perahunya berputar-putar dan tiba-tiba pemuda itu terlempar ke tengah pusaran sedangkan perahunya pecah berantakan mengeluarkan suara keras. Perahu itu hancur berkeping-keping dan tubuh pemuda itu lenyap ditelan pusaran air! Semua nelayan menahan napas, kemudian hanya menggeleng-geleng kepala melanjutkan pekerjaan mereka, diam-diam mencatat bahwa pusaran maut itu kembali telah menelan nyawa seorang manusia yang agaknya masih asing dengan daerah itu dan tidak tahu bahwa di situ terdapat pusaran air yang amat berbahaya.

Dalam keadaan setengah pingsan, setelah terjun dan menyelam, tubuh Bun Beng terbawa oleh pusaran air yang menyedotnya ke bawah. Ia merasa tubuhnya dihanyutkan oleh kekuatan yang amat dahsyat, yang membuat tubuhnya terpusing cepat sekali, ia merasa tubuhnya sakit-sakit akan tetapi sedikit pun dia tidak mau melawan karena dia maklum bahwa melawan berarti mati. Tenaga yang demikian dahsyatnya hanya dapat dihadapi dengan penyerahan total, tanpa perlawanan sedikit pun sehingga tubuhnya seperti sehelai daun yang menurut saja.

Dalam keadaan pingsan, Bun Beng terus disedot ke bawah, dihanyutkan dan ketika ia siuman kembali, seperti dahulu ketika ia masih kecil terjun ke tempat ini, tahu-tahu ia mendapatkan dirinya telah berada di mulut sebuah goa. Tubuhnya terasa sakit-sakit dan pakaiannya robek-robek, kulitnya babak bundas, berdarah di sana-sini, agaknya karena terbentur dan tergurat batu-batu ketika pusaran air itu menghanyutkan tubuhnya. Sambil mengeluh Bun Beng bangkit duduk, memandang ke sekelilingnya yang hanya batu-batuan belaka, dalam cuaca yang remang-remang dan ternyata dia berada di mulut goa yang amat besar dan di sebelah kirinya terdapat air mancur yang mengeluarkan bunyi gemuruh.

Ia menarik napas lega. Dua kali ia memasuki pusaran maut, dan dua kali secara mukjizat dia selamat! Dengan penuh harapan dan penuh rindu ia memandang ke kanan kiri, menanti munculnya kera-kera baboon yang dahulu pernah mengeroyoknya kemudian menjadi sahabat-sahabatnya selama lebih dari setengah tahun. Akan tetapi sunyi saja di situ, tidak tampak seekor pun kera dan suara apa-apa kecuali bunyi air terjun yang bergemuruh.

Ketika ia memandang penuh perhatian, ia merasa heran karena tempat di mana ia pertama kali didaratkan oleh pusaran air tidaklah seperti sekarang ini. Dahulu tidak ada air terjun yang demikian besar, dan ia dahulu didaratkan oleh gelombang air sungai yang mengalir di dalam gunung batu. Sekarang, tidak tampak air mengalir di depannya yang ada hanya air terjun itulah. Melihat letak dia mendarat, dia dapat menduga bahwa tentu dia tadi terbawa oleh air itu dan terjatuh ke bawah bersama air terjun itu. Ia bergidik. Benar-benar aneh. Kalau dia terjatuh bersama air itu, dengan kepala lebih dulu, tentu kepalanya akan pecah!

Tidak salah lagi. Bukan ini tempat dia dahulu pertama kali dihanyutkan pusaran air itu. Ini adalah tempat lain lagi. Ia mencoba untuk menggerakkan kedua kakinya. Sudah dapat digerakkan, akan tetapi masih terlalu lemah untuk dipakai berdiri. Ia merangkak dengan hati-hati memasuki goa itu yang ternyata amat dalam dan setelah merangkak sejauh dua mil lebih, tibalah ia di tempat terbuka, penuh batu-batu liar dan matahari menyinari tempat terbuka yang luas itu. Sunyi sekali keadaan di situ, yang ada hanya batu-batu besar tanpa ada tetumbuhan atau pohon sebatang pun. Batu-batu yang agak basah dan licin. Tiba-tiba Bun Beng berhenti bergerak ketika ia melihat sebuah meja di tengah tempat terbuka itu!

Meja kecil dari kayu, sebuah tempat lilin dekat meja dan di atas meja terdapat sebuah kitab! Tentu ada manusianya, karena lilin itu menyala, menyorotkan sinarnya ke atas meja yang tertutup bayangan batu dinding tinggi! Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari sebelah kiri, Bun Beng menahan napas ketika melihat bahwa orang itu adalah seorang wanita yang berkerudung mukanya. Ketua Thian-liong-pang! Celaka, pikirnya. Kiranya tempat ini adalah tempat rahasia, agaknya menjadi tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang!

Wanita itu agaknya yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, maka dengan tenang ia membuka kerudung mukanya. Jantung Bun Beng berdebar tegang. Ia segera mengenal wanita cantik ibu Milana yang pernah dilihatnya ketika wanita ini bertemu dengan Pendekar Super Sakti, memperebutkan anak mereka, Milana! Hatinya diliputi keheranan besar. Wanita itu amat cantik jelita, seperti Milana dan kelihatan masih muda. Mukanya berkulit putih halus, agaknya karena jarang terkena sinar matahari, dan sepasang matanya tajam luar biasa.

"Singgg...!" Wanita itu mencabut sebatang pedang, kemudian menghampiri meja dan membalik-balik lembaran kitab yang berada di atas meja.

Agaknya dia mencari-cari dan setelah bertemu dengan halaman yang dicarinya, kitab itu dibiarkan terbuka, dibaca sebentar dengan alis berkerut, kemudian membuat gerakan dengan pedang perlahan-lahan seperti seorang mempelajari sebuah jurus ilmu pedang. Jurus yang aneh sekali dan biar pun digerakkan perlahan, pedang itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, naik turun suaranya ketika gerakan-gerakannya berubah sehingga seperti suling ditiup melagu! Kemudian wanita itu melangkah ke belakang tiga tindak dan mainkan jurus dengan cepat. Bukan main!

Pandang mata Bun Beng menjadi silau karena pedang itu lenyap menjadi segulung sinar putih seperti kilat yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing aneh. Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah persamaan jurus itu dengan jurus dari ilmu silat dalam kitab yang ditemukannya dahulu, dalam Sam-po-cin-keng!

Tiba-tiba dia melihat hal yang aneh terjadi pada diri wanita itu. Setelah bersilat pedang beberapa lamanya, mengulang-ulang jurus aneh itu, tiba-tiba wanita itu terhuyung ke depan dan terdengar suaranya penuh penyesalan. "Keparat! Selalu terserang pusing dan sesak bernapas setiap mainkan jurus ini! Apanya yang kurang?" Saking marah dan penasaran, tiba-tiba wanita itu sambil menahan keseimbangan tubuhnya, melontarkan pedang itu ke belakang tanpa menengok, melalui kepalanya.

"Wuuuttt... singggg...!" Pedang terbang melayang ke arah Bun Beng!

"Ceppp!" Pedang itu menancap pada batu yang berada di depan Bun Beng, menancap sampai tembus, dan ujungnya hampir mengenai pelipis kiri Bun Beng, hanya kurang beberapa sentimeter lagi!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu yang cepat melemparkan tubuh ke belakang, terlentang dan tak berani bernapas, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Ia hanya terlentang tanpa berani berkutik, memandang ke arah ujung pedang itu. Terdengar olehnya langkah kaki agak diseret. Tentu wanita itu masih belum pulih keadaannya yang secara aneh seperti orang terserang dari dalam tubuh sendiri dan membuatnya tadi terhuyung.

"Sratttttt!" Ujung pedang yang tampak oleh Bun Beng itu lenyap, tanda bahwa pedangnya telah dicabut orang dari batu itu, kemudian terdengar suara wanita itu penuh penasaran dan kecewa.

"Kitab yang mengandung ilmu iblis! Cara berlatih sinkang telah kupelajari, gerakan pedangku pun menurut petunjuk dan sudah benar, mengapa kepalaku menjadi pening dan napas sesak seperti terpukul ketika mainkan jurus ketiga belas itu? Mengapa tidak ada petunjuk cara mengatur napas? Gila benar! Setahun lebih mempelajarinya, macet pada jurus ketiga belas!"

Dengan jantung masih berdebar tegang, Bun Beng bangkit lagi, mengintai dari celah-celah batu karang. Untung bahwa suara air terjun yang jauhnya dua mil lebih itu agaknya menerobos terowongan goa dan menimbulkan suara gemuruh sehingga gerakannya tidak dapat terdengar oleh wanita lihai itu. Kini ia melihat wanita itu menyimpan kembali pedangnya, memakai kerudung penutup kepala, kemudian dengan langkah perlahan dan lesu wanita itu meniup padam lilin, dan berjalan menuju ke sebuah pintu besi yang tertutup oleh beberapa buah batu besar. Wanita itu mendorong sebuah batu di ujung kanan dan terbukalah daun pintu itu. Wanita itu masuk dan daun pintu tertutup kembali.

Namun, sampai sejam lebih, Bun Beng belum berani keluar dari tempat sembunyinya, khawatir kalau-kalau wanita itu tiba-tiba muncul kembali. Tak dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau dia bertemu dengan wanita itu. Mungkin dia dibunuhnya mungkin disiksanya, siapa yang dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh wanita cantik jelita yang berwatak seperti setan itu.....?

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar