"Wi Siang kau bantulah Lo-mo menangkap bocah itu, pancing sedapatmu agar
dia mengeluarkan seluruh ilmunya," bisiknya dengan tertarik sekali
sambil duduk kembali ke atas kursinya untuk menonton dan mempelajari
jurus-jurus yang dimainkan Bun Beng.
Tang Wi Siang kini sudah mengenal Bun Beng sebagai anak yang dahulu
pernah menolongnya ketika ia bertanding melawan Thai Li Lama di pulau
Sungai Huang-ho dan hampir celaka oleh ilmu sihir Lama itu. Dia meloncat
dan menyerang Bun Beng dengan gerakan lincah sekali.
Bun Beng terkejut. Dia maklum bahwa wanita ini memiliki gerakan yang
cepat luar biasa dan mungkin lebih lihai dari pada Sai-cu Lo-mo. Dan
memang dugaannya benar, Tang Wi Siang menjadi orang yang paling disayang
dan dipercaya oleh Nirahai di antara para pembantunya, maka wanita itu
dia beri pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi dari pada
pembantu-pembantu lain, bahkan Tang Wi Siang telah dia beri Ilmu Silat
Yancu-sinkun (Ilmu Silat Burung Walet) yang mengandalkan gerakan ginkang
tinggi sekali.
Menghadapi Sai-cu Lo-mo saja dia sudah merasa berat, bukan hanya karena
kakek itu lihai sekali, juga ia merasa enggan untuk melukai orang tua
paman ibunya ini. Sekarang ditambah lagi dengan Tang Wi Siang, dia
benar-benar menjadi terancam hebat. Gerakan penyerangan Wi Siang
demikian cepatnya seolah-olah kedua lengan wanita itu berubah menjadi
enam dan karena Bun Beng harus menjaga jangan sampai ia tertawan oleh
kakek itu, sebuah totokan tangan kiri wanita itu ke arah lehernya tak
dapat ia elakkan lagi. Akan tetapi, ternyata tangan itu tidak
dilanjutkan menotok, hanya mendorong pundaknya sehingga ia terpental
dekat anak tangga.
Ia meloncat lagi dan sekilas pandang ia melihat muka berkerudung Ketua
Thian-liong-pang yang sedang memandangnya penuh perhatian. Ia menjadi
terkejut sekali, sadar bahwa Tang Wi Siang yang turun membantu Sai-cu
Lo-mo tentu hanya mendesaknya agar dia mengeluarkan semua jurus ilmunya,
yaitu Sam-po-cin-keng dan Si Ketua itu hendak menyaksikan dan mencuri
ilmu itu dengan jalan melihat gerakan-gerakannya!
Bun Beng adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa betapa pun
juga, dia takkan mampu menang karena kalau Si Ketua sendiri turun
tangan, betapa pun dia melawan tetap akan percuma saja, maka dia
mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan ilmunya agar tidak dicuri
oleh Ketua itu. Tak mungkin engkau akan dapat mencuri jurus-jurus
simpanan Siauw-lim-pai dan Sam-po-cin-keng, pikirnya dan kini ia melawan
dengan gerakan sederhana sehingga dalam belasan jurus saja ia telah
roboh tertotok oleh Sai-cu Lo-mo.
Nirahai menjadi terkejut, penasaran, dan marah. Dia pun mengerti bahwa
pemuda bandel itu sengaja tidak memperlihatkan jurus-jurus aneh itu, dan
sengaja membiarkan dirinya tertangkap!
"Lempar dia ke dalam penjara di bawah tanah!" bentak Ketua Thian-liong-pang. "Jangan keluarkan sebelum dia mentaati perintah!"
Sai-cu Lo-mo terkejut dan memandang Ketuanya. Akan tetapi sinar mata
ketuanya jelas menyatakan tidak mau dibantah. Terpaksa Sai-cu Lo-mo diam
saja melihat tubuh pemuda itu diseret oleh dua orang petugas yang
membawa ke tempat tahanan di bawah tanah yang letaknya di sebelah
belakang kompleks bangunan-bangunan sarang Thian-liong-pang.
Biar pun tubuhnya sudah lemas tertotok, ketika ia diseret pergi, Bun
Beng masih mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang, "Lanjutkan pesta dan
pertandingan!"
Dia merasa puas dapat menangkap kemarahan dan kejengkelan dalam suara
itu. Dia telah kalah, dia telah gagal menolong para tokoh kang-ouw,
namun sedikitnya dia telah berhasil membuat Ketua Thian-liong-pang
kecewa, terhina dan marah-marah!
Tahanan di bawah tanah itu amat menyeramkan. Dua orang petugas yang kini
menggotong tubuh Bun Beng, membawa pemuda itu memasuki lorong bawah
tanah yang menurun melalui anak tangga batu. Lorong yang gelap dan di
tiap tikungan terdapat pintu besi yang terjaga oleh dua orang anggota
Thian-liong-pang. Setelah melalui tujuh pintu, sampailah mereka di
sebuah kamar tahanan dan tubuh Bun Beng dilempar ke dalam kamar ini.
Bun Beng tidak memperhatikan tempat itu, juga tidak peduli ketika pintu
kamar itu ditutup dari luar. Dia sibuk mengatur pernapasan, dan berusaha
membebaskan totokan agar jalan darahnya mengalir normal kembali. Dia
maklum bahwa tanpa usaha ini pun, akhirnya totokan itu akan punah, akan
tetapi, hal itu akan makan waktu beberapa jam lamanya. Akhirnya dia
berhasil memulihkan kembali jalan darahnya dan ia bangkit duduk, bersila
dan menghimpun tenaga karena mulai saat itu dia harus berlaku hati-hati
dan tenaganya harus pulih untuk meghadapi segala kemungkinan.
Sekitar sejam lamanya dia bersiulian, tidak mempedulikan keadaan di
sekelilingnya. Setelah tenaganya pulih dan batinnya tenang kembali, baru
Bun Beng menghentikan semedhinya dan membuka mata. Mula-mula yang ia
dapati adalah bahwa kamar itu agak gelap, remang-remang dan lembab.
Kemudian setelah membiasakan matanya dalam cuaca yang remang-remang itu,
ia bangkit berdiri dan mulai menyelidiki kamar tahanan.
Sebuah kamar berdinding batu yang lebarnya tiga meter persegi,
langit-langitnya juga batu, tingginya dari lantai ada empat meter. Tidak
ada jendelanya, hanya terdapat sebuah pintu dari mana dia dilempar
masuk. Pintu ini kecil hanya cukup dimasuki satu orang, dan terbuat dari
baja tebal yang masuk ke dalam dinding batu. Kokoh kuat pintu itu, tak
mungkin dibongkar.
Bun Beng menarik napas panjang karena sekali pandang saja dia maklum
bahwa tidak mungkin lolos dari tempat ini menggunakan tenaga membongkar
pintu atau menjebol dinding. Harus mencari akal. Namun, andai kata dia
dapat keluar, bagaimana ia dapat lolos dari Thian-liong-pang? Lorong itu
saja mempunyai tujuh buah pintu yang terjaga, belum lagi diingat bahwa
kalau dapat keluar dari lorong bawah tanah, di atas sana masih ada
tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang lihai, terutama sekali Ketuanya!
"Aku harus bersabar dan melihat perkembangan selanjutnya," akhirnya ia menghibur diri sendiri.
Betapa pun juga dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh, karena
selain Sai-cu Lo-mo mengaku sebagai kakeknya itu tidak suka melihat
keturunannya terbunuh, juga Ketua Thian-liong-pang agaknya ingin sekali
mendapatkan ilmu silatnya, terutama sekali Sam-po-cin-keng! Betapa pun,
dia masih memiliki ilmu sebagai ‘modal’ untuk hidup! Dengan pikiran ini,
hatinya menjadi lebih tenang dan Bun Beng lalu mencari tempat duduk di
lantai yang enak. Akan tetapi, mana ada tempat duduk yang enak?
Lantai itu terbuat dari batu pula, kasar dan agak basah karena selalu
ada air menitik turun dan di atas lantai tampak rangka-rangka manusia
berserakan! Bun Beng mengerutkan keningnya. Ada tujuh buah tengkorak
manusia di dalam kamar mereka itu. Siapa tahu mungkin lebih banyak lagi,
tersembunyi di balik batu-batu berlumut. Dia tidak peduli, akan tetapi
rangka-rangka manusia di situ memperingatkannya bahwa kalau dia tidak
mentaati perintah Ketua Thian-liong-pang dan tidak mau menjadi
anggotanya, tanpa dibunuh pun dia akan mati di tempat ini, seperti
rangka-rangka itu! Akan tetapi, mungkinkah kakek muka singa yang telah
berani mati membelanya itu akan membiarkan dia mati?
Tidak! Dia tidak boleh mati kelaparan di tempat ini. Dia harus berusaha
untuk keluar dari neraka ini. Mulailah Bun Beng melakukan penyelidikan.
Mula-mula dia memeriksa pintu itu dan mencoba tenaganya. Namun segera
mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin ia menjebol pintu yang amat kuat
itu. Dia lalu memeriksa dinding batu. Dinding yang amat kokoh, batu
bertumpuk dengan tanah yang keras. Kokoh kuat tak mungkin dibongkar
dengan tangan kosong.
Siapa tahu akan ada penjaga datang menyerahkan makanan, pikirnya. Kalau
mereka, terutama kakek muka singa, tidak menghendaki dia mati, tentu
mereka akan mengirim makanan dan minuman. Dia merasa yakin bahwa dia
tidak akan dibiarkan mati begitu saja sebelum dibujuk.
Maka ia menghentikan pemeriksaannya dan kembali duduk di sudut kamar
itu, bersila dan bersemedhi. Teringat ia akan semua pengalamannya di
waktu kecil. Semenjak terseret oleh pusaran maut air Sungai Huang-ho,
sudah berkali-kali dia terancam bahaya maut, bahkan terpaksa harus hidup
di antara sekumpulan monyet, dibawa terbang burung raksasa dan jatuh
terlepas ke atas laut, namun selalu dia tertolong! Kalau Thian
menghendaki, sekali ini pun dia tentu akan selamat. Teringat akan
kekuasaan Tuhan, Bun Beng menjadi tenang.
Manusia hidup tergantung dari kekuasaan Tuhan, mutlak dan seluruhnya!
Tanpa kekuasaan Tuhan, manusia tak mungkin dapat hidup. Detik jantung
yang memompa darah ke seluruh bagian tubuh, pernapasan yang memberi
makan darah, semua berjalan otomatis tanpa dikuasai manusia. Dalam tidur
sekali pun, detik jantung dan pompa paru-paru tetap bekerja, siapa yang
mengerjakannya kalau bukan kekuasaan Tuhan?
Dalam keadaan sunyi gelap menghadapi ancaman maut ini, perasaan Bun Beng
makin dekat dengan kekuasaan Tuhan. Teringatlah ia akan
wejangan-wejangan gurunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, akan kekuasaan
Tuhan dan betapa lemahnya manusia, betapa tidak ada artinya. Ingin ia
tertawa karena geli hatinya kalau teringat akan wejangan suhu-nya
dahulu. Bagaimana pula yang dikatakan gurunya itu akan kelemahan
manusia?
Orang yang merasa dirinya pandai dan berkuasa adalah sebodoh-bodoh
orang, demikian antara lain gurunya pernah berkata. Manusia memiliki
puluhan ribu rambut dan bulu di tubuhnya, namun mengatur pertumbuhan
sehelai rambut atau bulunya saja dia tidak mampu! Jangankan mengatur
pertumbuhan kuku, mengatur detik jantung, menentukan mati hidupnya!
Hanya oleh kehendak dan kekuasaan Tuhan sajalah manusia dapat hidup dan
mati!
Pelajaran seperti ini memperkuat batin Bun Beng, memperbesar
kepercayaannya kepada Tuhan sehingga dia tidak takut menghadapi ancaman
bahaya maut, karena ia sudah merasa yakin sepenuhnya, bahkan sudah
berkali-kali mengalaminya dalam hidup, bahwa apa pun yang terjadi, baru
dapat terjadi apabila Tuhan menghendaki.
Kalau Tuhan menghendaki dia mati, tidak ada kekuasaan di dunia ini yang
akan dapat menghindarkannya dari kematian. Sebaliknya, apabila Tuhan
menghendaki dia hidup, juga tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan
dapat membuat dia mati! Apa lagi hanya kekuasaan manusia, biar dia
sesakti Ketua Thian-liong-pang sekali pun. Teringat akan semua ini Bun
Beng tertawa. Ingin dia bertanya kepada Ketua Thian-liong-pang yang
sakti itu apakah dia mampu mengatur pertumbuhan rambut-rambutnya, tidak
usah semua, sehelai saja!
Betapa pun juga, Tuhan takkan menolong manusia yang tidak berusaha
menolong dirinya sendiri. Usaha atau ikhtiar merupakan kewajiban manusia
yang sekali-kali tidak boleh dihentikan selama dia hidup. Ada pun akan
jadinya, terserah kepada kekuasaan Tuhan, akan tetapi dia harus berusaha
menyelamatkan diri. Kalau Tuhan menghendaki dia mati akan matilah dia.
Mati dibunuh Ketua Thian-liong-pang, atau mati kelaparan di situ, atau
mati dalam usahanya menyelamatkan diri, semua itu hanya dijadikan
lantaran atau jalan, dipilih oleh Tuhan sebagai penyebab kematiannya.
Pikiran ini membuat Bun Beng menjadi tenang sekali, sedikit pun dia
tidak merasa khawatir karena hatinya telah bebas dari pada keinginan
hidup atau mati, sudah ia serahkan seluruhnya kepada keputusan Thian. Ia
hanya memutar otaknya mencari jalan keluar, bagaimana harus menggunakan
akal.
Setelah keadaan di dalam kamar tahanan itu gelap pekat, tanda tentu di
luar ada api penerangan yang dipadamkan, Bun Beng merebahkan dirinya,
terlentang di atas lantai batu yang lembab dan tertidurlah dia karena
hatinya tenang. Sinar yang membuat keadaan gelap pekat itu menjadi
remang-remang membangunkannya. Ia menduga bahwa tentu malam telah
terganti pagi karena cahaya yang kini sedikit menerangi kamar itu
berbeda dengan cahaya semalam, cahaya matahari yang putih dengan cahaya
lampu kemerahan.
Sebuah kepala nampak di balik jeruji baja di bagian atas pintu. Kepala
Sai-cu Lo-mo! Kemudian, tangan kakek itu diulurkan di antara jeruji,
membawa dua potong roti kering yang panjang dan seguci air.
Bun Beng dapat menangkap getaran suara penuh haru dan harap dalam
kata-kata kakek itu. Ia menahan kilas pikiran untuk menangkap kedua
lengan kakek yang diulur masuk melalui jeruji besi. Apa gunanya? Dia
tidak akan dapat memaksa kakek ini, dan tidak dapat pula
mencelakakannya. Ia menerima roti dan guci air.
"Terima kasih." Tanpa berkata-kata lagi pemuda ini makan roti kering.
Dua potong roti itu cukup baginya untuk mengenyangkan perutnya, kemudian
ia minum air jernih yang menyegarkan tubuhnya. Selesai makan dan minum,
Bun Beng yang melihat kakek itu masih berdiri di luar pintu dan sejak
tadi memandangnya bertanya.
"Sampai berapa lama aku akan ditahan di sini? Apakah makanan dan minuman
diberi racun perampas ingatan agar aku suka membuka rahasia ilmu silat
untuk dipelajari Pangcu-mu?"
Sai-cu Lo-mo menggeleng kepalanya. "Tidak, Bun Beng. Engkau adalah
cucuku, engkau dianggap sebagai orang sendiri, tidak perlu Pangcu
mempelajari ilmumu yang kelak akan ditukar dengan ilmu yang lebih tinggi
oleh Pangcu sendiri. Bun Beng, tidak tahukah engkau bahwa kami
bermaksud baik kepadamu? Engkau cucuku, hanya satu-satunya, maka engkau
tidak akan dibunuh. Kalau engkau suka menjadi anggota Thian-liong-pang,
engkau malah akan memperoleh kedudukan tinggi, sesuai dengan
kepandaianmu."
Bun Beng menggeleng kepala. Biar pun dia harus berusaha meloloskan diri,
akan tetapi tak pernah terpikir olehnya menukar keselamatannya dengan
merendahkan diri menjadi anggota Thian-liong-pang yang ia anggap amat
jahat dan keji!
"Percuma saja engkau membujuk. Aku tidak akan suka menjadi anggota
Thian-liong-pang hanya untuk menyelamatkan nyawaku. Kalau aku berhasil
keluar dari sini, aku tetap akan menentang Thian-liong-pang menculiki
tokoh-tokoh kang-ouw."
"Ahhh, engkau tidak tahu, Bun Beng. Pangcu adalah seorang bijaksana,
sama sekali bukan orang jahat. Bahkan dia telah merobah Thian-liong-pang
dari kesesatannya, kembali ke jalan benar. Kalau dia melakukan
penculikan atas diri tokoh-tokoh kang-ouw, itu sekali-kali bukan dengan
niat mencelakakan mereka, melainkan hendak mempelajari dan menyaksikan
jurus-jurus rahasia mereka yang telah diketahui Pangcu bagian teorinya
saja. Kemudian mereka dibebaskan kembali. Pangcu adalah seorang yang
memiliki kesaktian hebat!"
"Hemmm, kalau memang sakti, mengapa masih ingin mencuri ilmu orang-orang lain?"
"Pangcu tidak akan menggunakan ilmu-ilmu itu, hanya ingin menghimpun,
kemudian menciptakan ilmu baru untuk menandingi kehebatan To-cu Pulau
Es."
Bun Beng mengerutkan keningnya. "Justeru itulah yang aku tidak suka! Aku
kagum dan suka kepada Pendekar Siluman yang aku yakin adalah seorang
yang selain sakti, juga amat bijaksana. Kalau Pangcu-mu memusuhi
Pendekar Siluman, sudah pasti sekali aku berpihak kepada Majikan Pulau
Es itu!"
Sai-cu Lo-mo kelihatan berduka. "Aihh, Bun Beng. Mengapa engkau
menyusahkan hati seorang tua seperti aku? Apa perlunya engkau mencampuri
segala urusan yang tiada sangkut-pautnya denganmu? Engkau menyerah dan
taatlah, dan aku bersumpah bahwa kelak engkau tidak akan menyesal. Akan
kau lihat sendiri kebaikan Thian-liong-pang!"
"Maaf, aku tetap tidak mau menjadi anggota Thian-liong-pang."
"Bun Beng, engkau tidak akan dapat keluar dari sini. Jalan satu-satunya
adalah mentaati Pangcu dan aku hanya diperbolehkan membujukmu selama
tiga hari. Kalau selama itu engkau belum menurut, engkau akan menjadi
tahanan di sini selamanya! Dan engkau... engkau akan mati dengan
sia-sia..."
"Menyesal sekali. Aku lebih memilih bahaya mati dari pada harus menuruti kehendak Pangcu-mu yang seperti iblis itu!"
Kakek itu menghela napas panjang, kemudian pergi dengan muka berduka.
Selama tiga hari terus-menerus datang dan membujuk, namun tetap saja Bun
Beng tidak mau menuruti bujukannya. Bahkan pemuda itu kini semakin
tekun dengan penyelidikannya. Dibongkarnya batu-batu di lantai, di
antara tulang-tulang rangka manusia, dan dia menemukan sebuah kapak
bergagang panjang. Tentu kapak ini merupakan senjata dari seorang di
antara mereka yang telah menjadi rangka itu. Kemudian ia memeriksa
dinding, dinding di sebelah kanan pintu lebih berlumut dan dingin
sekali. Kalau ia menempelkan telinganya di situ, terdengar bunyi air
berkerosok. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa tentu dinding ini yang
paling tipis sehingga dia dapat mendengar bunyi air bergerak. Akan
tetapi mengapa ada air di balik dinding ini?
Setelah hari ketiga dan kakek muka singa menghabiskan bujukannya dengan
sia-sia, kakek itu tidak muncul lagi. Setiap malam ada seorang penjaga
melemparkan roti kering dan guci air ke dalam kamar tahanan. Dan
mulailah Bun Beng bekerja. Dengan kapak gagang panjang itu dia mulai
membongkar batu dinding kanan sekuat tenaga. Dia bekerja setelah penjaga
melemparkan makanan. Setelah menghabiskan roti dan air, mulailah dia
menghantami dinding batu dengan kapaknya. Dia mempunyai waktu sehari
semalam lamanya. Besok malam, barulah ada penjaga datang untuk memberi
makanan dan minuman. Dia harus berhasil selama sehari semalam ini,
karena kalau tidak, tentu penjaga akan melihatnya dan dia akan ketahuan,
yang berarti gagal!
Bun Beng bekerja dengan semangat menyala-nyala, tak pernah sedetik pun
ia berhenti dan dia tidak mempedulikan kedua telapak tangannya yang
sudah lecet-lecet dan otot-otot lengannya yang menggelepar-gelepar di
dalam daging. Ia terus menghantamkan kapaknya dan satu demi satu batu
dinding dapat ia bongkar. Batu itu keras sekali dan semalam suntuk dia
hanya dapat membongkar sedalam satu meter. Namun belum tampak
tanda-tanda bahwa dinding itu telah menipis!
Pada keesokan harinya Bun Beng masih terus bekerja, dia tidak
mempedulikan apa-apa lagi, seluruh pikiran, perhatian, dan tenaga
dikerahkan untuk menghantami batu-batu dengan kapaknya. Dia tidak tahu
berapa lama dia bekerja, hanya bahwa dia harus berlomba dengan waktu.
Betapa pun juga, hatinya mulai risau ketika dinding yang tadinya jelas
itu mulai tampak suram tanda bahwa hari telah mulai sore dan sebentar
lagi malam akan tiba dan berarti Si Penjaga akan datang mengantar roti
dan air. Dia akan ketahuan dan akan gagal! Teringat akan ini, Bun Beng
memperhebat ayunan kapaknya, menghantam dinding batu yang kini sudah ia
gali sedalam dua meter lebih, tingginya seukuran tubuhnya. Batu-batu
berserakan di dalam kamar itu, ia tendang-tendangi sehingga bertumpuk di
kanan kiri dan belakangnya.
Malam tiba. Kegelapan cuaca kini diterangi seberkas cahaya kemerahan
sinar lampu penerangan seperti biasa. Tak seberapa lama lagi penjaga
tentu muncul. Bun Beng menghentikan kapaknya yang menjadi panas karena
terus menerus menghantam batu keras. Dia terduduk, terengah-engah dan
menghapus peluh sambil mengasah otak. Bagaimana sekarang? Dinding
terkutuk itu tidak juga dapat ia tembus, agaknya setebal perut gunung!
Dan Si Penjaga sebentar lagi datang! Akan terbuang sia-sialah usahanya
yang mati-matian selama sehari semalam! Tubuhnya terasa penat sekali,
perutnya lapar dan kerongkongannya kering, haus. Lapar dan haus!
Teringat akan ini, Bun Beng meloncat bangun dan lari ke pintu,
menempelkan tubuhnya ke pintu yang lebarnya hanya sebesar orang. Kedua
lengannya ia keluarkan dari celah-celah jeruji baja, mukanya ia
tempelkan pada jeruji dan matanya mengerling ke arah datangnya penjaga.
Ketika ia melihat penjaga datang membawa roti dan guci air, Bun Beng
berteriak-teriak memaki, "Penjaga keparat! Mengapa begitu lama? Aku
sudah kelaparan dan hampir mati kehausan! Hayo cepat bawa roti dan air
itu ke sini! Keparat jahanam engkau!"
Penjaga itu berhenti dan tertawa. "Ha-ha-ha, orang muda. Jangan kira aku tidak tahu akan akal bulusmu!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bun Beng mendengar ini. Ia makin
merapat pada jeruji pintu, menutupi seluruh celah jeruji dengan kedua
lengan di kanan kiri mukanya. "Apa... apa maksud-mu?"
Kembali penjaga itu tertawa dan berdiri agak jauh sehingga Bun Beng
tidak akan mampu menjangkau dengan tangannya. "Ha-ha-ha, apa kau kira
aku bodoh? Engkau tentu ingin agar aku mendekat sehingga engkau dapat
menangkap dan membunuhku, bukan?"
Rasa lega menyelubungi hati Bun Beng. Ia membentak, "Memang aku ingin sekali mencekik lehermu dan mematahkan tulang punggungmu!"
"Jangan mimpi, aku lebih cerdik darimu. Begitu melihat engkau di pintu,
aku sudah curiga karena biasanya engkau tidak mengacuhkan roti dan air
yang kubawa untukmu. Tentu engkau hendak menggunakan akal, pikirku, maka
aku tidak mau mendekat. Nah, nih, kau tangkap roti dan airmu.
Ha-ha-ha!" Penjaga itu melemparkan roti dan guci air ke arah kedua
tangan Bun Beng.
Dengan sengaja Bun Beng bergerak lambat. Roti dapat ditangkapnya, akan
tetapi guci air itu luput dan jatuh ke atas lantai di luar pintu, airnya
tumpah. "Jahanam, lekas ambilkan air untukku. Aku haus sekali!" Bun
Beng berteriak-teriak akan tetapi penjaga itu tertawa.
"Rasakan kau!" katanya sambil berjalan pergi!
Bun Beng cepat mengambil kapaknya dan lupa makan. Dia mulai lagi
bekerja, hatinya lega. Dia telah dapat memperpanjang waktu usahanya
sehari semalam lagi! Batu-batu itu mulai mudah dibongkar karena tanahnya
lembek dan basah, bahkan kini ada air menetes-netes memasuki kamar. Dia
menggali terus penuh semangat.
Pada keesokan harinya lewat pagi, air yang menetes makin banyak, bahkan
kini jelas terdengar bunyi riak air. Bun Beng mengapak terus, tampak ada
batu bergerak, kapaknya terayun ke arah batu itu dan...
"Krasak-krasak... byuuuurrrr...!"
Bun Beng cepat meloncat ke samping, melempar kapaknya dan mepet pada
dinding dekat lubang yang kini tiba-tiba pecah menjadi lebar terdorong
oleh masuknya air seperti dituang. Bun Beng berdiri mepet dinding dengan
muka pucat. Bahaya yang datang mengancamnya ini tidak kalah mengerikan.
Memang benar dia telah berhasil membobol dinding, akan tetapi ternyata
di belakang dinding itu adalah air yang entah berapa banyaknya, yang
kini membanjiri kamar tahanan.
Bun Beng tidak mau panik, dan otak otaknya bekerja cepat. Jika ia
menerobos lubang itu, tidak mungkin dia kuat menghadapi tenaga air yang
menerjang masuk, maka ia hanya mepet dinding dekat lubang sambil
mencengkeram dinding batu dengan kedua tangannya. Dia maklum bahwa kalau
kamar itu telah penuh, air akan terus menerobos keluar melalui
celah-celah jeruji pintu. Akan tetapi, mengingat bahwa lubang itu tidak
begitu besar dan air yang menerobos tidak banyak, maka tekanan air dari
luar lubang dinding tentu tidak begitu besar. Maka dengan kenekatan luar
biasa, Bun Beng menanti sampai kamar itu penuh. Air naik dengan
cepatnya sampai ke leher, dia memejamkan mata dan mengumpulkan napas
sepenuh paru-parunya sambil menanti.
Bun Beng memang cerdik. Kalau dia panik dan berusaha keluar dari lubang
dinding, selain air menerjang masuk, tentu dia akan terseret dan
terbanting kembali sehingga membahayakan keselamatannya. Sebentar saja
air menjadi penuh dan Bun Beng yang telah tenggelam di dalam air itu
merasa betapa dorongan air dari lubang dinding yang jebol itu tidak
begitu kuat lagi.
Cepat ia melepaskan cengkeraman tangannya pada dinding, berenang ke arah
lubang dengan tangan meraba-raba karena ketika ia membuka matanya, dia
tidak dapat melihat apa-apa, air itu keruh dan akhirnya dia dapat meraba
dinding yang jebol. Dia merangkak, berpegangan pada pinggiran lubang,
terus merayap keluar lubang itu. Ketika ia meluncur ke depan, tubuhnya
terdorong ke atas dan tahulah dia bahwa dia berada di air yang dalam,
entah telaga, sungai atau laut! Tak mungkin lautan, pikirnya, karena air
tidak asin. Dia membiarkan dirinya meluncur ke atas, bahkan membantu
dengan kaki tangannya karena dia harus dapat tiba di permukaan air.
Dadanya seperti akan meledak karena sudah terlalu lama dia menahan
napas!
Betapa girang hati Bun Beng ketika akhirnya kepalanya tersembul di
permukaan air. Ia membuka mulut dan menghisap napas banyak-banyak sampai
dadanya terasa nyeri. Ia terengah-engah, berganti napas dan membuka
kedua matanya. Kiranya ia telah tiba di permukaan sebuah sungai yang
amat lebar, sungai yang selain lebar juga dalam, dan airnya keruh.
Demikian lebarnya sungai itu sehingga dari tempat ia muncul, yaitu di
tengah-tengah, ia melihat kedua tepinya jauh sekali.
"Aduhhh...!"
Tiba-tiba secara otomatis Bun Beng mengerahkan sinkang membuat kakinya
keras karena kakinya terasa digigit sesuatu dari bawah. Ia dapat menahan
gigitan itu dengan sinkang-nya yang membuat kaki kirinya kebal, tetapi
kini makhluk yang mengigitnya itu meronta dan hendak menyeretnya ke
bawah.
Bun Beng menjadi marah. Cepat ia menarik kakinya dan tampaklah seekor
ikan menggigit kakinya itu. Ikan yang besar sekali, sebantal besarnya.
"Ikan keparat!" Bun Beng membentak dan menendangkan kakinya.
Ikan itu mencelat karena gigitannya terlepas dan karena dia tidak dapat
tahan lama di atas permukaan air. Akan tetapi kini Bun Beng melihat
suara hiruk pikuk di kanan kirinya, air berguncang dan suaranya
berkecipak, tampaklah kepala-kepala dan ekor ekor banyak ikan besar
mengurungnya dan menyerangnya dari depan, kanan kiri dan belakang!
Bun Beng makin mendongkol. Dia mengenal ikan-ikan ini, semacam ikan lele
yang tidak bersisik, kulitnya licin halus, kepalanya bulat mengkilap
dan matanya seperti mata orang yang licik, gerakannya cepat sekali.
Biasanya ikan macam ini merupakan bahan hidangan yang lezat, baik
dipanggang mau pun dimasak atau digoreng sekali pun. Biasanya melihat
seekor ikan seperti ini di darat menimbulkan selera. Akan tetapi pada
saat itu, agaknya selera ikan-ikan itulah yang timbul melihat tubuh Bun
Beng! Dan ikan-ikan ini, berbeda dengan yang biasanya dilihat Bun Beng,
amatlah besarnya. Belum pernah ia melihat ikan lele sedemikian besarnya,
biasanya hanya sebesar betis. Mungkin bukan ikan-ikan lele, karena
tidak mempunyai kumis!
Bun Beng tidak memusingkan ikan apa-apa yang mengeroyoknya dan dia mulai
mengamuk. Dengan tangan kanan, ia memukul seekor ikan yang menyerangnya
dari depan sehingga tubuh ikan itu terlempar jauh di atas air, kemudian
kaki tangannya bekerja memukul dan menendang ikan-ikan itu.
"Aupppp...!"
Karena lupa bahwa dia bukan sedang berada di darat, maka begitu dia main
silat di air, tubuhnya tenggelam dan dia gelagapan. Cepat ia
menggerakkan kedua kakinya dan kini setelah tubuh atasnya timbul, ia
hanya menggunakan kedua tangan saja untuk memukul dan mendorong
ikan-ikan itu, sedangkan kedua kakinya dia pergunakan untuk menahan
tubuhnya agar tidak tenggelam.
Bun Beng adalah seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi,
dan kalau hanya dikeroyok oleh ikan-ikan seperti itu saja, agaknya dia
akan dapat mengalahkan para pengeroyoknya dengan mudah. Akan tetapi itu
kalau di darat. Kalau di air, dialah yang repot sekali. Kepandaiannya
berenang di air amat terbatas, bukan termasuk ahli, tentu saja
dibandingkan dengan ikan-ikan yang memang hidupnya di air dia kalah jauh
dan sebentar saja Bun Beng menjadi gelagapan dan sudah beberapa kali
tubuhnya terkena gigitan ikan-ikan kelaparan itu.
Celaka, keluhnya. Baru saja terbebas dari kamar neraka, dia sudah
diancam bahaya air, dan baru saja dia terbebas dari ancaman itu, kini
dia kembali menghadapi maut di mulut ikan lele! Benar-benar menyebalkan
bahaya yang sekali ini mengancamnya. Betapa tidak menyebalkan kalau dia
harus mati di mulut ikan-ikan lele! Padahal, semestinya ikan-ikan lele
itulah yang mati di mulut manusia. Betapa memalukan, seorang pendekar
mati dikeroyok ikan lele! Tidak, dia tidak mau mati begitu remeh! Bun
Beng melawan sedapatnya sambil berusaha berenang ke tepi sungai itu.
Tiba-tiba terdengar lengking nyaring disusul suara berkelepaknya sayap.
Bun Beng mendengar ini, akan tetapi dia tidak dapat mengalihkan
perhatiannya terhadap pengeroyokan ikan-ikan itu. Sekali ia memutar
tubuh menghantam seekor ikan dengan tangan kanannya, membuat ikan itu
terlempar dalam keadaan mati karena kepalanya pecah.
Tiba-tiba saja, seperti munculnya tadi, ikan-ikan itu menyelam dan
lenyap, kecuali beberapa ekor yang telah menjadi bangkai. Dan sebelum
Bun Beng sempat sadar akan datangnya bahaya lain, tahu-tahu pundaknya
terasa nyeri dan tubuhnya sudah melayang ke atas!
Bun Beng terkejut sekali. Tubuhnya melayang tinggi dan di atas terdengar
kelepak sayap burung! Ia memandang ke atas dan tepat seperti yang ia
duga dan khawatirkan, pundaknya telah dicengkeram oleh kaki seekor
burung rajawali yang besar dan ia dibawa terbang tinggi sekali!
"Sialan!" Bun Beng menyumpahi dirinya. Terlepas dari mulut ikan lele,
kini masuk ke dalam cengkeraman rajawali raksasa yang buas! Mengapa
dirinya selalu ditimpa kemalangan dan diancam bahaya maut yang
mengerikan?
Teringat ia akan pengalamannya dahulu ketika ia diterbangkan seekor
burung dan dia bersembunyi di dalam keranjang. Dia memandang penuh
perhatian dan keningnya berkerut. Celaka! Burungnya yang itu-itu juga!
Burung rajawali milik Pulau Neraka! Tak salah lagi, dia mengenal
modelnya. Wah, wah, kalau burungnya ada, tentu pemiliknya ada. Bocah
laki-laki menjemukan itu, bocah iblis yang keji dan sadis! Sekarang
tentu sudah menjadi seorang pemuda, dan tentu lebih kejam dari pada
dahulu.
Hampir saja Bun Beng memukul kalau saja dia tidak ingat bahwa dia bukan
di atas tanah. Ia melirik ke bawah dan menjadi ngeri. Burung itu terbang
tinggi sekali sehingga sungai yang besar itu kini tampak jelas seperti
seekor naga jauh di bawah. Dan burung itu tidak lagi berada di atas
sungai. Kalau dia memukul dan terlepas dari cengkeraman, tentu dia akan
jatuh terbanting ke atas tanah dan remuk semua tulangnya! Maka ia lalu
meraih ke atas dan tangannya memegang kaki burung erat-erat sambil
melepaskan cengkeraman kaki burung yang masih mencengkeram pundaknya.
Kini dialah yang memegang kaki burung, tidak berani melepaskan karena
hal itu akan berarti kematian yang mengerikan baginya.
Tiba-tiba ia melihat seekor burung lain, juga amat besar, terbang cepat
datang dari jauh. Sudah terdengar suara pekik burung itu melengking
keras. Celaka, pikirnya, tak salah lagi tentulah bocah setan itu yang
datang menunggang burungnya. Masih terlalu jauh untuk dapat dilihat
apakah burung yang terbang datang itu ada penunggangnya atau tidak.
Ia memutar otaknya, mencari akal apa yang harus dilakukannya kalau
sampai pemuda setan itu betul-betul datang. Kalau saja dia bisa naik ke
atas punggung burung ini, dia akan mendapat kesempatan untuk menghadapi
lawan. Sama-sama menunggang burung, barulah ramai dan sebanding kalau
bertempur. Kalau dia bergantung pada kaki burung, tentu saja dia tidak
dapat melakukan perlawanan dengan baik, paling-paling dia hanya bisa
melindungi tubuhnya dengan sebelah tangan, yang sebelah lagi harus ia
pergunakan untuk bergantungan pada kaki burung.
Tiba-tiba burung yang membawanya itu melengking keras, lengking tanda
kemarahan, dan ketika burung yang terbang datang itu sudah tampak dekat,
hati Bun Beng agak lega karena tidak tampak ada penunggangnya. Namun
kelegaan hatinya itu menjadi berubah seketika saat kedua ekor burung itu
sudah saling serang dengan hebatnya. Kini tampak jelas oleh Bun Beng
bahwa burung yang baru datang adalah seekor burung garuda putih. Dia
mengenal burung itu. Burung tunggangan Pendekar Siluman. Burung garuda
dari Pulau Es! Tentu saja dua ekor burung yang menjadi musuh lama itu
kini saling terjang mati-matian, saling cakar, saling patuk, saling kabruk sambil mengeluarkan suara melengking menulikan telinga.
Bun Beng yang celaka dalam pertarungan antar dua ekor burung raksasa
itu. Betapa tidak? Tubuhnya tergantung di kaki burung rajawali dan di
dalam pertandingan itu, kedua ekor burung saling terjang sehingga tubuh
Bun Beng terbawa, terguncang, bahkan dia menjadi korban terkaman burung
garuda yang tentu saja tidak dapat membedakan antara dia dari kaki
burung lawan.
Bun Beng yang masih bergantung pada kaki rajawali menjadi serba salah.
Mau membantu garuda putih dengan memukul tubuh rajawali, berarti dia
seperti memukul diri sendiri. Kalau rajawali itu jatuh, bukankah berarti
dia sendiri pun jatuh jatuh ke bawah? Mau membantu burung rajawali,
dapat ia lakukan dengan jalan memukul garuda putih di waktu dua ekor
burung itu saling kabruk, hatinya tidak mengijinkan karena dalam
pertandingan antara kedua ekor burung itu otomatis dia berpihak kepada
garuda putih yang menjadi peliharaan Pendekar Siluman yang ia kagumi.
Membantu rajawali salah, membantu garuda pun tidak mungkin. Diam saja
juga tidak baik karena dialah yang paling payah dalam pertadingan
angkasa itu.
Bun Beng benar-benar merasa tersiksa sekali, tersiksa lahir batin.
Tubuhnya menjadi bulan-bulanan, montang-manting terdorong ke sana sini,
kena patuk dan cakar hingga ia luka-luka dan tubuhnya terasa
sakit-sakit, pakaiannya pun banyak yang terkoyak. Ini benar-benar
menyiksa hatinya.
Dalam pertadingan biasa, biar pun melawan musuh yang jauh lebih pandai,
sedikitnya dia bisa melawan, balas menyerang, atau kalau sudah merasa
kalah, dapat melarikan diri. Akan tetapi sekarang ini sama sekali dia
tidak berdaya. Membalas tidak bisa, melindungi tubuh sendiri pun tidak
sempurna, melarikan diri pun... mana mungkin? Habislah ikhtiar sebagai
manusia dan dalam keadaan seperti itu, tidak lain jalan lagi kecuali
menyerahkan nasib ke tangan Tuhan! Dia hanya dapat menggunakan sebelah
tangan untuk menangkis setiap ada bahaya patukan, cengkeraman atau
kabrukan sayap yang mempunyai tenaga kwintalan!
Dalam pertandingan angkasa yang ramai itu, Si rajawali raksasa akhirnya
terdesak hebat. Banyak bulu sayapnya membodol dan kepalanya berdarah.
Hal ini tidak mengherankan. Dalam keadaan biasa saja, garuda putih dari
Pulau Es yang terlatih itu merupakan lawan berat baginya, apa lagi
sekarang sebelah kakinya diganduli orang, tentu saja hal ini membuat
gerakannya kurang leluasa sehingga dia lebih banyak menerima patukan dan
cengkeraman. Oleh karena itu, sambil mengeluarkan suara melengking
bingung, seperti seekor ayam dikejar-kejar anak kecil, rajawali raksasa
itu mulai menggerak-gerakkan kakinya yang diganduli Bun Beng, berusaha
melepaskan orang yang menjadi pengganggu gerakannya.
Bun Beng maklum akan niat rajawali itu dan tentu saja dia tidak sudi
disuruh turun begitu saja. Terlepas berarti melayang turun dari tempat
yang tingginya ribuan kaki! Maka ia malah menggunakan tenaganya untuk
memegang kaki rajawali itu sekuat mungkin sehingga biar pun rajawali itu
berusaha untuk menendangkan kakinya, tubuh Bun Beng tetap saja tidak
terlepas dari kakinya.
Namun kini keadaan Bun Beng makin payah. Kalau tadinya dia hanya menjaga
diri dari serangan garuda putih yang sebetulnya menyerang Si rajawali
dan tanpa disengaja menyerang Bun Beng pula, setelah rajawali itu kini
berusaha melepaskannya, Bun Beng harus menghadapi dua serangan, yaitu
dari garuda yang masih menyerang secara ngawur sehingga dirinya ikut
diserang, dan dari rajawali yang hendak menendang dirinya supaya
terlepas.
Tubuh Bun Beng terayun-ayun dan beberapa kali hampir saja pegangannya
terlepas. Betapa pun juga, dia tidak berani memegang kaki rajawali itu
dengan dua tangannya, karena tangan yang kanan ia perlukan untuk menjaga
diri, menangkis terjangan garuda. Kepalanya menjadi pening dan tangan
kirinya terasa penat sekali. Kalau sudah tidak kuat, dia mengganti
tangan kiri dengan tangan kanan yang menggandul, sedang tangan kirinya
yang penat itu ia pergunakan untuk melindungi tubuhnya dari terjangan
garuda putih.
Burung garuda itu menyambar lagi, kini dari bawah. Agaknya garuda yang
cerdik itu melihat betapa lawannya sibuk dengan kakinya. Otomatis paruh
dan cakar garuda yang menerjang perut rajawali itu mengabruk pula tubuh
Bun Beng yang tergantung.
"Celaka...!" Pemuda itu berseru keras.
Betapa pun ia hendak mempertahankan, tak mungkin ia menangkis serangan
garuda sehebat itu hanya dengan tangan yang sudah penat. Gerakan
menyelamatkan dirinya secara otomatis membuat ia menggunakan pula tangan
kanan, lupa bahwa tangan kanannya tak boleh dilepaskan dari kaki
rajawali. Begitu ia menggerakkan tangan kanan melepaskan kaki rajawali,
tentu saja tubuhnya terlepas dan melayang ke bawah.
"Mampus aku sekarang...!" Ia mengomel karena jengkel akan kebodohannya
sendiri, tetapi ia segera teringat dan disambungnya tenang, "...kalau
Tuhan menghendaki...!"
Akan tetapi betapa mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dengan tubuh
meluncur ke bawah sedemikian cepatnya, menuju ke arah tanah di bawah
yang berbatu? Betapa pun lihainya, tidak mungkin ia dapat menguasai
tubuhnya yang meluncur turun cepat sekali, seperti batu disambitkan.
Bukan main herannya rasa hati Bun Beng. Di saat kematian berada di depan
mata ini, seperti dalam mimpi ia melihat wajah yang berubah-ubah.
Pertama wajah Milana, kemudian berubah menjadi wajah Kwi Hong, dan
berubah lagi menjadi wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai. Gila,
ia menyumpah. Mengapa dalam menghadapi maut yang agaknya sekali ini
tidak mungkin dapat ia elakkan lagi, pikirannya jadi kacau-balau dan ia
teringat akan gadis-gadis itu? Inikah yang disebut watak mata keranjang
seorang pria?
Ayahnya memperkosa ibunya! Ayahnya dan ibunya saling bunuh! Anak haram,
kata Ketua Thian-liong-pang. Anak seorang datuk kaum sesat, sering kali
ia mendengarnya. Dan dia masih cucu keponakan seorang tokoh
Thian-liong-pang yang mukanya seperti singa. Orang macam apakah dia?
Mati pun tidak akan ada yang kehilangan. Pikiran ini membuat dia makin
tenang, karena ia berpendapat bahwa orang seperti dia ini kalau terus
hidup pun hanya akan mengalami kesengsaraan dan penghinaan, mengalami
tekanan batin dan tidak dihargai orang.
Satu-satunya orang yang paling baik terhadapnya adalah suhu-nya yang
pertama, Siauw Lam Hwesio. Namun suhu-nya itu telah dibunuh secara
mengerikan oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun koksu (guru negara) yang
tinggi kurus itu bersama pembantu-pembantunya. Tidak, dia tidak boleh
mati!
Biar pun kalau hidup ia mengalami kesengsaraan batin, akan tetapi dia
harus hidup untuk menuntut balas atas kematian Siauw Lam Hwesio yang
demikian menyedihkan! Dan dia masih meninggalkan sepasang pedang pusaka
yang belum diambilnya. Sayang kalau pedang itu tersia-sia hilang di
tempat rahasia itu. Kini timbul keinginan hatinya untuk menyerahkan
pedang itu kepada Pendekar Siluman, satu-satunya orang yang dikaguminya
di antara seluruh tokoh sakti di dunia ini.
"Aku tidak mau mati dulu...!!" Bun Beng berteriak diluar kesadarannya.
Tiba-tiba ia melihat seekor burung raksasa lain di bawahnya. Celaka,
apakah ia dikejar dua ekor burung tadi? Ah, tidak, burung ini berada di
bawahnya, bergerak-gerak terbang menyongsongnya, tentu akan menyerangnya
pula. Dalam keadaan melayang dan meluncur turun ini, sedangkan untuk
menjaga jatuhnya saja dia tidak mampu, bagaimana akan dapat
mempertahankan diri kalau burung raksasa ini menyerangnya?
Ah, dia akan tertolong kalau dapat menangkap burung itu. Asal dapat
menangkapnya, entah merangkul lehernya atau merangkul kakinya, pendeknya
dia harus dapat mengunakan burung itu sebagai penyelamatnya dari
kejatuhan yang tak dapat disangsikan lagi akan kehancuran tubuhnya.
Kalau tadi timbul kengerian karena takut diserang burung baru ini,
sekarang dia malah mengharap agar burung itu benar-benar menyerangnya.
Karena kalau dia yang harus menuju ke burung itu, tentu saja tidak
mungkin. Tanpa sayap mana mungkin dia bisa mengatur meluncurnya itu?
Makin dekat... dan Bun Beng kembali menyumpah, "Dasar awak sialan!"
Yang disangkanya burung raksasa itu ternyata hanya sebuah layangan besar
sekali. Memang bentuknya seperti burung, bahkan dilukis seperti burung,
akan tetapi tetap saja benda itu hanya sebuah layang-layang yang biasa
menjadi permainan seorang kanak-kanak! Apa artinya sebuah layang-layang
baginya dalam keadaan terancam bahaya maut seperti itu? Seakan-akan
malah mengejeknya, bergerak-gerak ke kanan kiri dipermainkan angin.
Melihat betapa layang-layang itu bergerak-gerak seperti seekor burung
yang menari-nari mengejeknya, timbul rasa panas di hati Bun Beng. Memang
dia terancam bahaya maut, akan tetapi sedikit pun dia tidak takut.
Mengapa harus diejek? Karena dia tidak berdaya membalas, kalau dia dapat
tentu akan ditangkapnya layang-layang itu dan dicabik-cabiknya, maka
Bun Beng hanya memejamkan matanya dan membiarkan tubuhnya meluncur terus
ke bawah.
Teringat ia ketika dahulu ia jatuh pula dari kaki burung rajawali
terbang dan berada di dalam keranjang, akan tetapi di bawahnya adalah
laut luas sehingga dia terjatuh dengan empuk. Hanya satu perbedaannya,
kalau dahulu di waktu dia masih kecil dia menjadi pingsan ketika
meluncur turun, kini dia dapat mempertahankan diri dan tidak menjadi
pingsan. Hal ini karena sinkang-nya sudah bertambah jauh lebih kuat,
maka ia merasa dadanya sesak dan sukar bernapas, namun ia masih dapat
menahannya dan masih dalam keadaan sadar sepenuhnya, merasakan betapa
tubuhnya melayang turun dengan kecepatan yang mengerikan.
Tiba-tiba ia merasa kakinya nyeri dan luncuran tubuhnya tertahan, bahkan
kini tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Ketika ia membuka
mata, ia melihat bahwa kedua kakinya terlibat oleh sehelai tali yang
cukup besar, sebesar kelingking. Tubuhnya yang bergantung itu bergoyang
ke kanan kiri, akan tetapi tidak melucur ke bawah lagi. Ia melihat ke
atas, di atas kepalanya, tidak begitu tinggi, hanya sejauh lima enam
meter, tampak layang-layang raksasa tadi bergerak-gerak.
"Setan! Iblis! Siluman angkasa laknat! Engkau mengacau layang-layangku, si keparat!"
Tiba-tiba Bun Beng mendengar suara makian dari atas dan dengan mata
terbelalak ia melihat bahwa di bawah layang-layang itu tampak seorang
kakek berdiri di tali-temali layang-layang, seorang kakek yang bertubuh
pendek, berjenggot panjang dengan rambut terurai lepas, melambai tertiup
angin. Yang membuat ia terkejut adalah wajahnya berwarna kekuningan
mendekati putih, hanya karena jenggot dan rambutnya sudah berwarna putih
perak maka wajahnya tampak menguning! Seorang tokoh Pulau Neraka! Tidak
salah lagi. Orang dari mana lagi kalau bukan dari Pulau Neraka yang
memiliki kulit kuning seperti dicat itu?
Timbul harapannya di hati Bun Beng. Kalau kakek itu dapat hidup di tali
layang-layang, tentu ia pun dapat. Harapan untuk hidup membuat Bun Beng
sadar dan cepat-cepat ia menggunakan kedua tangannya memegang tali
layang-layang dengan erat, kemudian melepaskan kakinya dari belitan dan
membalikkan tubuh sehingga kini dia bergantung pada tali layang-layang
itu, kedua tangannya memegang erat dan kedua kakinya ia libatkan.
Gerakan-gerakannya ini membuat layang-layang itu makin kacau gerakannya,
bergoyang ke kanan kiri, kadang-kadang menukik turun dengan kecepatan
mengerikan dan mengeluarkan bunyi angin bercuitan.
"Setan! Bodoh! Kiranya engkau hanya seorang pemuda tolol. Dari mana kau
datang mengacau layang-layangku, heh? Lekas... wah celaka, pindahkan
berat tubuhmu ke kanan, injakkan kakimu pada tali dan enjot tubuhmu ke
atas. Wah-wah... celaka, bisa turun terus layang-layang ini. Sialan, kau
merampas kegembiraanku!"
Tidak usah dimaki dan diperingatkan pun, Bun Beng sudah maklum betapa
bahayanya ‘menunggang’ layang-layang dengan bergantungan pada talinya.
Ketika layang-layang itu menukik turun, dia menjadi ngeri sekali.
Mengertilah dia bahwa kakek Pulau Neraka yang aneh itu tadi
‘mengemudikan’ layang-layang secara aneh dan biar pun di dalam hatinya
dia tidak suka kepada tokoh Pulau Neraka yang dianggapnya jahat, namun
mendengar perintah itu, otomatis dia mentaatinya. Dalam keadaan seperti
itu, tidak ada kawan atau lawan, yang ada hanyalah orang senasib
sependeritaan, kalau gagal sama-sama mati kalau berhasil sama-sama
selamat.
Dia mengerahkan tenaganya ke kanan, menginjak tali layang-layang dan
mengenjot tubuh ke atas. Benar saja, layang-layang yang kehilangan
gandulan dan bobot di bawah itu segera menghentikan gerakan menukik ke
bawah, kepalanya kembali ke atas dan kini layang-layang itu menjadi
‘odek’ (bergoyang-goyang ke kanan kiri cepat sekali) membuat tubuh Bun
Beng terbawa goyang-goyang membuat kepalanya pening karena tubuhnya
seperti dikocok ke kanan kiri.
"Setan udara! Apakah engkau sudah bosan hidup? Jangan pegang erat-erat, layang-layang menjadi odek tidak karuan, sialan!"
Biar pun dimaki-maki, Bun Beng yang maklum bahwa keselamatan mereka
berdua tergantung dengan keahlian kakek itu, tidak menjadi marah dan
bertanya.
"Habis bagaimana, Kakek yang baik?"
"Wah-wah, kau mulai menjilat-jilat, ya? Heiii, bukankah tampangmu pernah kulihat?"
Bun Beng menjadi bengong. Setelah kini layang-layang itu tidak menukik
ke bawah, dia mendapat kesempatan untuk memandang wajah kakek itu penuh
perhatian dan... teringatlah ia bersama Milana ditolong oleh kakek muka
kuning yang aneh. Kiranya inilah orangnya! Tak salah lagi. Biar pun kini
kelihatan lebih tua dan memakai sepatu pula, tidak bertelanjang kaki
macam dulu, akan tetapi sikap aneh kakek itu malah bertambah dan sikap
inilah yang mengingatkan dia. Akan tetapi dia pun teringat betapa dalam
pertemuan-pertemuan pertama itu dia telah mengakali kakek ini untuk
dapat melarikan diri bersama Milana, maka ia menganggap bahwa tidaklah
cerdik untuk mengakuinya.
"Aku tidak pernah berjumpa dengan Locianpwe."
"Ahhh, bohong! Aku pernah melihat mukamu, hemm... kalau saja engkau sudah tua dan kepalamu botak... heiii, kau mau ke mana?"
Bun Beng tidak mau melayani kakek gila itu lebih lama lagi. Dia melihat
ke bawah dan maklum bahwa kalau dia merosot turun melalui tali
layang-layang itu, dia akan dapat sampai ke bumi dan dapat membebaskan
diri. Maka kini dia mulai melorot turun sambil berkata, "Locianpwe, aku
mau turun, tidak kerasan di sini!"
"Eh, eh, enak saja! Mana bisa?" Kakek itu tertawa bergelak dan tiba-tiba
layang-layang itu menukik ke kiri, kemudian membuat gerakan melingkar
sehingga tali itu pun menggantung dan ikut pula berputar.
"Wuuuttt!"
"Aihhhh...!" Bun Beng cepat mengelak dengan memindahkan tangan,
bergantung pada tali agar jangan sampai terkena patukan layang-layang
yang menyambar ke arah tubuhnya! Serangan aneh layang-layang itu luput,
akan tetapi Bun Beng maklum bahwa dengan kepandaiannya yang dahsyat,
tentu kakek itu akhirnya akan dapat memaksa ia meloncat turun dan akan
hancurlah tubuhnya. Ia lalu menggerak-gerakkan tubuhnya, menarik-narik
tali layang-layang itu sehingga kembali layang-layang itu menjadi kacau
balau gerakannya.
"Ehhh... Ohhh... setan cilik! Jangan kacau layanganku!" Kakek itu terkejut dan memaki-maki.
Bun Beng tersenyum. "Kalau Locianpwe tetap menyerangku, aku pun akan
tetap menarik-narik tali layangan sampai putus, biar kita berdua
mampus!"
"Eh, jangan, eh... nanti dulu. Kalau talinya putus, aku bagaimana?"
"Masa bodoh. Aku akan jatuh dan mati seketika, tidak menderita. Tetapi
Locianpwe akan terbawa terbang layang-layang putus, mungkin dibawa ke
neraka!"
"Hahh-hoh kalau neraka memang tempatku. Akan tetapi jangan... biarlah
kita berjanji, aku tidak akan menyerangmu akan tetapi kau jangan
menarik-narik talinya."
"Aku berjanji takkan menarik-narik talinya, akan tetapi Locianpwe jangan menghalangi aku turun."
"Wah, perjanjian kentut! Mana bisa begitu? Aku tidak menyerangmu dan kau
tidak menarik-narik tali, itu sudah satu lawan satu. Kalau ditambah
lagi kau kubiarkan turun berarti kau minta dua memberi satu. Mana adil?"
"Kalau aku tidak boleh turun, apa artinya perjanjian ini? Locianpwe mau
menang sendiri saja. Aku hendak turun, Locianpwe menghalang, maka aku
menarik tali. Kalau Locianpwe tidak menghalangi aku turun, aku tidak
akan menarik talinya, itu baru adil namanya."
"Wah, monyet cilik. Engkau benar pokrol bambu kering busuk! Ha-ha-ha,
nah, kau turunlah, hendak kulihat bagaimana!" Tiba-tiba angin bertiup
keras sekali membuat layang-layang itu terbang miring ke kiri.
"Wuuuutttt...!"
"Aihhh, celaka. Engkau jangan erat-erat memegang talinya,
longgar-longgar saja, kau mengganggu kendaliku!" Kakek itu memindahkan
berat tubuhnya dan meloncat ke pinggir kanan layang-layang itu.
"Siuuuttt...!" Kini layang-layang miring ke kanan dengan cepatnya
sehingga tubuh Bun Beng terbawa melayang ke kiri kemudian ke kanan,
membuat kepalanya pening dan jantungnya berdebar penuh kengerian.
"Aku mau turun, Locianpwe. Akan tetapi Locianpwe harus bersumpah tidak
akan menyerangku!" Di dalam hatinya, pemuda ini masih curiga kepada
kakek yang ia tahu amat cerdik dan curang itu.
"Apa? Bersumpah?" Kakek itu tertawa-tawa dan kini layang-layang kembali
telah lurus dan tenang. "Boleh saja. Sudah sepuluh kali aku bersumpah
dan lima puluh kali melanggarnya, sekarang ditambah lagi satu kali
sumpah untuk dilanggar lima kali, tidak mengapalah!"
"Wah, sumpah seperti itu apa harganya?" Bun Beng mendongkol sekali dan
maklum bahwa sumpah kakek ini tidak boleh dipercaya. Diam-diam ia merasa
geli juga. Kakek ini curang ataukah jujur? Mengapa kebiasaan melanggar
sumpah dia katakan secara terus terang macam itu? Tidak curang tidak
jujur, melainkan gila agaknya!
"Kalau begitu, biar kutarik putus tali ini!" katanya dan mulai menarik-narik lagi.
"Eit-eit-eit-eiitt...! Jangan...! Biarlah, tanpa sumpah-sumpahan. Kau
boleh turun tanpa kuhalangi, akan tetapi kau harus memberi-tahukan
namamu."
Bun Beng berpikir. Kabarnya ayahnya seorang datuk kaum sesat.
Orang-orang Pulau Neraka tentulah bukan dari golongan bersih, maka apa
salahnya kalau dia mengaku? Sesama kaum tentulah tidak ada pertentangan.
"Baiklah, Locianpwe. Aku bernama Gak Bun Beng..."
"Astaga! Engkau bocah yang dulu kucari-cari? Bocah yang ditinggalkan
Ibumu di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho? Ha-ha-ha, engkau putera Gak
Liat Si Botak! Pantas saja aku seperti pernah melihat macammu, kiranya
anak Si Gak Liat, Si Setan Botak. Ha-ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu
tertawa terpingkal-pingkal, tangan kanan memegangi tali layang-layang,
tangan kiri menekan-nekan perutnya.
Mengkal sekali rasa hati Bun Beng menyaksikan lagak kakek itu. "Kakek
gila, engkau terlalu menghina orang! Siapa sih engkau yang begini
sombong? Dan apa hubunganmu dengan Ayah Bundaku?"
"Ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu masih terpingkal-pingkal, bahkan saking
geli hatinya, air matanya bercucuran di atas pipinya yang kuning.
"Namaku Ngo Bouw Ek, di dunia kang-ouw aku dijuluki Kwi-bun Lo-mo akan
tetapi aku baru beberapa tahun merantau. Dalam perantauanku yang
pertama, kebetulan sekali aku bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat
Ayahmu. Kami bertanding dan aku membuat dia payah sampai
terkencing-kencing! Ha-ha, dia datuk kaum sesat, mengaku kalah dan dia
mengangkat aku sebagai kakak angkat! Lalu dia menceritakan bahwa yang
membuat dia sering kali tak dapat tidur adalah perbuatannya atas diri
Bhok Kim murid Siauw-lim-pai. Dia mendengar kabar bahwa wanita itu
melahirkan seorang putera sebagai akibat perbuatannya yang memperkosa
wanita itu. Dia berpesan agar aku kelak mengambil anaknya itu sebagai
anak angkat. Ha-ha-ha, biar pun hasil perkosaan, namun Gak Liat amat
sayang kepada anaknya karena memang dia tidak pernah punya keturunan.
Demikianlah, ketika mendengar berita dia tewas bersama Ibumu, aku lalu
menyuruh anak buahku untuk merampasmu, akan tetapi....."
"Anak buahmu keok semua oleh Pendekar Siluman! Sudahlah, aku tidak perlu
mendengar lebih lanjut. Eh, apakah Locianpwe ini Majikan Pulau Neraka?"
Kakek itu mengangguk. "Aku memang Ketua Pulau Neraka... ehhh, maksudku, bekas ketua."
Bun Beng tidak ingin tahu lebih banyak tentang pulau itu, maka ia lalu
melorot terus sambil berkata, "Sudahlah. Aku sudah mengaku namaku,
sekarang aku akan turun."
"Wah, mana bisa? Kalau kau turun kemudian kau memutuskan tali layang-layang dari bawah, bukankah aku yang cia-lat?"
Bun Beng berhenti dan memandang ke atas, alisnya terangkat. "Apakah
Locianpwe tidak percaya kepadaku? Aku bukanlah orang yang curang seperti
Locianpwe!"
"Heh-heh-heh, siapa tahu? Engkau anak Setan Botak. Dalam hal kelicikan,
kecurangan dan segala macam sifat busuk ini, di dunia tidak ada yang
menyamai dia, siapa tahu sifat liciknya menurun kepadamu. Tunggu, aku
pun akan turun!"
Bun Beng tidak peduli dan melanjutkan usahanya merosot turun melalui
tali layang-layang, namun tiba-tiba kakek itu berteriak. "Wah, celaka
tiga belas! Taufan datang...!"
Teriakan itu dikeluarkan dengan suara keras dan penuh rasa kaget,
membuat Bun Beng menengok. Dari jauh tampak awan hitam datang cepat
sekali dan tidak lama kemudian, layang-layang itu meliuk ke kiri dengan
kekuatan yang hebat.
"Lekas kita turun, Locianpwe!"
"Tidak bisa, terlambat! Lekas kau naik ke sini kalau mau selamat!"
Bun Beng tidak mau menurut dan hendak merosot terus, tetapi mendadak
tali layang-layang itu menegang dan bergetar hebat sehingga hampir saja
ia tidak kuat bertahan memeganginya karena telapak tangannya terasa
nyeri bukan main. Maklumlah dia bahwa kakek itu tidak membohong, sebab
itu kini dia mulai merayap naik melalui tali layang-layang.
"Cepat pegang tanganku!" Kakek itu berkata, napasnya agak terengah
karena dia yang sekarang mengulurkan tangan untuk membantu Bun Beng naik
harus mengendalikan layang-layang yang menjadi liar itu dengan sebelah
tangan saja. Bun Beng memegang tangan itu dan dia ditarik naik.
"Berdiri di sini dan pegang tali-temali di atasmu dengan tangan,
hati-hati jangan banyak bergerak dan jangan terlalu erat. Turut dan
contoh saja aku!"
Kakek itu tak dapat bicara banyak. Kini angin taufan telah mengamuk
hebat, membuat layang-layang itu menjadi seperti seekor kuda binal dan
tidak dapat dikendalikan lagi. Layang-layang itu kadang-kadang naik
makin tinggi, tinggi sekali sampai melengkung seperti akan membalik dari
arah angin, lalu terdorong kembali ke belakang dan talinya menegang,
meliuk ke kiri sampai seperti tak pernah berakhir, kemudian terdorong ke
kanan dan ada kalanya menukik ke bawah secara mengerikan karena
kecepatannya luar biasa. Suara angin bercuitan menulikan telinga, dan
tali layang-layang itu juga mengeluarkan bunyi berdering-dering seperti
sehelai tali yang-kim ditabuh, suaranya kadang-kadang rendah sesuai
dengan tinggi rendahnya getaran yang disebabkan oleh tarikan
layang-layang yang terbawa angin taufan.
Kakek itu memaki-maki Bun Beng. "Sialan! Engkau bodoh seperti kerbau!
Begini lho! Tekan kaki kanan ke depan, cepat. Bantu aku, dong! Bagaimana
sih? Setan cilik tolol kau! Dengar baik-baik, jangan sampai
layang-layang terus menukik, dan jangan sekali-kali menentang arah angin
langsung. Bisa celaka kita! Pindahkan tenaga ke kaki kiri, kaki kanan
lepas, tangan kanan menarik tali di atas, cepat! Nah, sekarang kaki
kanan yang menekan, tangan kiri menarik. Hayo, seperti bermain layar,
akan tetapi jauh lebih sukar, seratus kali lebih sukar!"
Payah juga Bun Beng mengikuti gerakan serta perintah kakek itu. Tenaga
yang harus digunakan untuk melawan kekuatan angin ini merupakan tenaga
seluruhnya, itu pun hampir tidak ada artinya terhadap kekuatan angin
yang maha dahsyat itu. Kini kakek itu memerintahkan agar tenaga
dirubah-rubah, bagaimana mungkin begitu mudah? Hampir beberapa detik
harus dirubah lagi. Bun Beng merasa seluruh tubuhnya ngilu dan
sakit-sakit, kedua kakinya menggigil dan kedua tangannya gemetar, hampir
tak kuat memegang tali-temali layang-layang lebih lama lagi.
"Tolol! Jangan berhenti! Aku sendiri mana kuat mengemudikan
layang-layang ini? Kalau tidak ada engkau di sini, tentu aku dapat, akan
tetapi ditambah beratmu, benar-benar repot!"
Sementara itu angin bertiup makin keras, kini malah disertai kilat
menyambar-nyambar, halilintar bermain-main di atas dan kanan kiri
mereka. Cuaca menjadi gelap, bahkan kini percikan air-air halus yang
amat kuat sehingga seperti berubah menjadi laksaan jarum-jarum kecil
menerjang mereka.
"Celaka... celaka...!" Kakek itu makin repot dan jelas bahwa dia ketakutan.
Bun Beng yang biasanya senang menghadapi maut, menyaksikan sikap kakek
itu jadi ketularan rasa takut. Memang keadaan amat mengerikan, dibawa
oleh layang-layang dan dipermainkan angin taufan, halilintar dan hujan
seperti itu!
"Dengar baik-baik kalau kau tidak ingin mati turut perintahku dan
pelajari agar jangan sampai gagal. Taufan ini berbahaya sekali, untuk
turun sekarang tidak mungkin. Satu-satunya jalan hanya mengemudikan
layang-layang ini sebaik mungkin agar tidak sampai menukik turun atau
talinya putus." Kakek itu sukar sekali bicara dengan jelas karena
kencangnya angin meniup terbang suaranya. Terpaksa ia lalu merangkul Bun
Beng dan berteriak. "Rangkul aku dan dekatkan telingamu pada mulutku!"
Setelah Bun Beng melakukan perintah ini, Kwi-bun Lo-mo lalu membisikkan
pelajaran sedikit demi sedikit caranya menggerakkan tenaga pada kaki dan
tangan, mengatur bobot, memindah-mindahkan tenaga dalam untuk
mengimbangi serangan angin yang amat dahsyat. Bun Beng mendengarkan
dengan penuh perhatian, kemudian sekalian mempraktekkan pelajaran itu
mencontoh gerakan kakek aneh dan membantunya mengemudikan layang-layang.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan berbahaya itu dia telah
menerima pelajaran ilmu rahasia yang sangat hebat, yaitu Ilmu
Hoan-sinkang (Memindahkan Tenaga Sakti) yang tidak hanya dapat
dipergunakan untuk mengemudikan layang-layang melawan serangan angin
taufan yang maha dahsyat, tetapi juga merupakan ilmu yang dapat
dipergunakan untuk menghadapi lawan berat yang memiliki sinkang amat
kuat! Ilmu ini merupakan ilmu tingkat tinggi yang dimiliki Ketua atau
Majikan Pulau Neraka, dan selain Si Ketua sendiri, hanya kakek inilah
orang kedua yang memilikinya, maka dia berani main-main dengan maut di
tempat berbahaya itu, yaitu bermain dan mengemudikan layang-layang.
Mati-matian kedua orang itu bertempur dengan angin taufan, secara
bersama-sama mengemudikan layang-layang yang mereka paksa untuk menuruti
kehendak mereka, melawan kehendak angin. Sampai setengah hari lamanya
angin taufan mengamuk dan selama setengah hari itu merupakan latihan
yang amat hebat bagi Bun Beng, latihan terberat yang pernah ia alami
selama hidupnya, akan tetapi karena keadaan yang memaksa, demi menolong
nyawa, dalam waktu sependek itu ia telah berhasil memetik inti dari ilmu
ini!
Menjelang senja barulah angin taufan itu mereda, hujan pun berhenti.
Dengan pakaian basah kuyup kedua orang itu terengah-engah berdiri di
atas tali dan berpegang pada tali layang-layang yang juga basah semua
dan luntur gambarnya. Mereka kehabisan tenaga dan kini hanya
mengandalkan kaki tangan yang sudah gemetar karena penat, tubuh
menggigil kedinginan dan kehabisan tenaga. Akan tetapi kakek itu
menyeringai tersenyum lebar memandang Bun Beng.
"Engkau hebat, orang muda. Ha-ha-ha, tidak percuma engkau menjadi putera Gak Liat, heh-heh-heh!"
Melihat betapa kakek itu bicara sebenarnya, tidak mengolok-olok dan
memaki-maki lagi, Bun Beng berkata sungguh-sungguh. "Locianpwe yang
hebat dan aku kagum sekali. Sebetulnya, macam apakah mendiang Ayah itu?"
"Gak Liat? Ya begitulah, seorang manusia seperti aku dan engkau ini," jawab kakek itu seenaknya.
"Akan tetapi banyak orang menyebutnya seorang jahat. Dan Locianpwe sendiri tadi mengatakan dia seorang yang licik dan curang."
"Memang dia licik dan curang, nomor satu di dunia mengenai kelicikannya.
Akan tetapi kalau tidak licik, mana mungkin dia menjadi datuk kaum
sesat? Tanpa kelicikan, mana mungkin dapat menonjol di dunia hitam?"
Biar pun kakek itu mulai memuji ayahnya, namun pujian ini mendatangkan
rasa tak puas di hati Bun Beng. Bagaimana hatinya akan senang dan puas
kalau ayahnya dipuji sebagai seorang yang paling licik di dunia, sebagai
seorang tokoh, bahkan datuk kaum sesat?
"Sudahlah, Locianpwe. Terima kasih atas pertolonganmu, aku hendak turun sekarang."
Setelah berkata demikian, Bun Beng merosot turun dan biar pun kedua
telapak tangannya menjadi panas karena tenaganya sudah hampir habis,
namun rasa nyeri itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan
kesengsaraan selama setengah hari tadi dan ia merosot terus.
"He, tunggu! Apa kau kira aku selamanya akan tinggal di sini? Aku pun
mau turun!" Kakek itu bergegas turun pula dari tali layang-layang yang
kini terbang dengan anteng dibawa angin semilir halus.
Keduanya lalu merosot turun melalui tali layang-layang yang amat tinggi
itu. Demikian tingginya layang-layang itu sehingga Bun Beng melihat
pohon-pohon amat kecil di bawah, seperti rumput saja. Ia bergidik. Bukan
main kakek bermuka kuning itu, main-main dengan maut seperti itu. Apa
sih senangnya bermain-main dengan layang-layang yang begitu tinggi?
Memang menegangkan, seperti seekor burung garuda terbang di angkasa,
akan tetapi bagaimana kalau tali layang-layang putus? Bagaimana kalau
kehabisan angin dan layang-layang itu melayang turun? Benar-benar
permainan yang berbahaya dan gila!
"Ha, Bun Beng, aku amat girang dapat bertemu denganmu. Aku akan dapat
memenuhi permintaan mendiang Ayahmu. Ikutlah bersamaku dan engkau akan
memperoleh kepandaian hebat, apa lagi kalau Pangcu kami bersedia
membimbingmu. Ketua kami adalah seorang yang memiliki kepandaian
seperti..."
"Iblis!" Bun Beng menyambung. "Ketua Pulau Neraka tentu seorang iblis."
"Ha-ha-ha! Engkau seperti Ayahmu. Memang benar kepandaiannya hebat seperti iblis sendiri."
Bun Beng tidak menjawab dan mencari akal bagaimana dia akan dapat
membebaskan diri dari kakek yang melorot turun di atasnya itu. Dia tidak
sudi menjadi anggota Pulau Neraka seperti dia tidak mau menjadi anggota
Thian-liong-pang. Biar dia dijanji akan diberi pelajaran ilmu yang
tinggi, yang tidak diragukannya lagi, akan tetapi satu-satunya yang ia
mau menjadi gurunya hanyalah Pendekar Siluman! Kalau Pendekar Siluman
yang mengajaknya ke Pulau Es, tentu dia tidak akan menolak, bahkan akan
menjadi girang sekali. Kini dia mencari akal bagaimana dapat melarikan
diri dari kakek itu. Dia mempercepat gerakan kaki tangannya melorot
turun, akan tetapi kakek itu tetap berada dekat di atas kepalanya!
Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil menggerak-gerakkan tangan ke bawah.
"Heiii...! Bangkotan busuk, pengecut laknat, jangan curang kau! Tunggu
sampai aku turun dan kita boleh bertanding sampai selaksa jurus!"
Bun Beng cepat memandang ke bawah dan ia juga terkejut sekali. Di bawah
sana ia melihat bahwa tali layang-layang itu oleh Si Kakek aneh
diikatkan pada sebatang pohon besar dan ujung tali malah dikaitkan
kuat-kuat pada sebuah batu karang yang kokoh. Kiranya setelah kakek itu
berhasil menaikkan layang-layangnya sampai tinggi sekali, ia mengikat
tali itu di sana kemudian agaknya kakek itu lalu memanjat ke atas
melalui tali layang-layang untuk kemudian bermain-main di atas!
Dan kini di dekat pohon itu tampak seorang kakek bersorban dengan tubuh
dibelit-belit kain kuning seperti mendiang Kakek Nayakavhira pembuat
pedang yang dulu datang menunggang gajah dan juga pernah bertanding
dengan kakek muka kuning ini! Di belakang kakek ini tampak seorang
laki-laki tampan, dan yang membuat Bun Beng merasa terkejut adalah
ketika melihat betapa kakek bersorban itu menghampiri tali layang-layang
dan agaknya hendak memutus tali itu!
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa bergelak.
Agaknya Kwi-bun Lo-mo baru tahu bahwa kakek bersorban itu bukanlah kakek
India penunggang gajah yang dulu pernah bertempur dengannya. Tentu saja
Bun Beng mengerti bahwa kakek di bawah itu bukan Nayakavhira karena
biar pun hampir sama, kakek di bawah itu lebih tinggi dan kurus, juga
kulitnya lebih hitam.
"Setan India! Jangan curang, tunggu aku turun kalau berani!" Kembali
Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil melorot makin cepat mengikuti Bun Beng,
akan tetapi jarak antara mereka dengan tanah masih terlampau tinggi
sehingga kalau sekarang tali itu diputus, mereka akan celaka!
"Bun Beng, kau melorot sambil bergantung. Jangan menghalangi aku. Kalau
dia berani memutus tali, akan kuarahkan jatuhku ke tubuh si keparat
itu!" Kwi-bun Lo-mo berseru dan Bun Beng melanjutkan gerakannya merosot
sambil bergantung ke bawah.
"Ha-ha-ha, kalian berdua bermain-main dengan maut. Nah, mampuslah!"
Orang India yang tertawa-tawa itu meloncat dekat dan menggerakkan tangan
hendak memutus tali layang-layang.
Bun Beng sudah merasa ngeri, apa lagi setelah kini mengenal kakek India
itu sebagai kakek sakti yang pernah bertanding melawan Pendekar Siluman,
pertadingan yang amat luar biasa di mana kedua orang sakti itu
mempergunakan ilmu sihir sehingga yang bertanding adalah bayangan atau
semangat mereka!
Celaka, pikirnya, andai kata mereka dapat turun juga, ia merasa
ragu-ragu apakah Kwi-bun Lo-mo mampu menandingi kakek yang memiliki ilmu
sihir itu! Dan laki-laki yang berada di belakang kakek bersorban itu
pun dia kenal, karena laki-laki itulah yang dahulu pernah menculik Kwi
Hong, laki-laki berpakaian sastrawan yang setengah gila dan yang mencuri
pedang pusaka buatan Kakek Nayakavhira!
Mendadak berkelebat bayangan yang gesit sekali dibarengi bentakan halus, "Iblis tua keparat!"
Muncullah seorang dara yang gerakannya gesit sekali. Bayangannya
didahului sinar dari pedangnya yang dia gunakan untuk menerjang kakek
bersorban dengan gerakan luar biasa. Pedangnya membentuk lingkaran pada
ujungnya seolah-olah hendak mengguratkan lingkaran pada dada kakek
bersorban. Menghadapi serangan hebat ini, kakek ini berseru kaget dan
cepat meloncat mundur, tidak mendapat kesempatan untuk memutus tali
layang-layang. Namun dara itu terus menyerangnya dengan gerakan luar
biasa, pedangnya lenyap menjadi sinar bergulung-gulung yang seolah-olah
merupakan awan atau kabut menggulung tubuh kakek bersorban!
"Hayo cepat turun!" Kwi-bun Lo-mo berseru.
Tanpa diperintah pun Bun Beng sudah mempercepat gerakannya merosot turun
dan bukan main lega hatinya setelah kedua kakinya merasai tanah yang
teguh dan kuat. Hampir saja ia terhuyung karena setelah kini menginjak
tanah, tubuhnya masih terasa ringan seolah-olah tak berubah, seperti
orang mabok arak. Akan tetapi semenjak tadi pandang matanya tidak
terlepas dari dara yang masih menyerang kakek bersorban.
Bukan main hebatnya terjangan gadis itu dan jantung Bun Beng berdebar
tegang ketika ia mengenal dara itu. Biar pun kini telah menjadi seorang
gadis dewasa yang amat cantik, namun tidak salah lagi, dia itu adalah
Giam Kwi Hong, murid atau juga keponakan Pendekar Siluman! Kakek
bersorban itu, yang Bun Beng tahu amat sakti, sampai terdesak mundur,
repot mengelak dari sambaran pedang di tangan Kwi Hong.
"Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau bukan tua bangka penunggang gajah!" Kwi-bun Lo-mo tertawa.
Pada saat Maharya, kakek India itu mencelat ke kanan untuk menjauhi
sinar pedang Kwi Hong dan berada dekat dengannya, Kwi-bun Lo-mo cepat
menghantam dengan kedua lengan didorongkan ke depan. Terdengar bunyi
bersuit dan angin menyambar ke arah kakek bersorban yang cepat
mendorongkan pula kedua tangannya menangkis.
"Dessss!" Dua tenaga sinkang raksasa bertemu dan kedua orang kakek itu terpental ke belakang.
"Wah-wah, kau hebat juga...!" Kwi-bun Lo-mo berseru kaget.
"Mundurlah kalian bertiga...!" Tiba-tiba Maharya membentak, suaranya
menggeledek penuh wibawa yang aneh dan bagaikan menanti perintah yang
tak dapat dibantah lagi karena segala kemauan hati mereka dikuasai
perintah ini, Kwi-bun Lo-mo, Kwi Hong dan Bun Beng otomatis meloncat
mundur sampai lima meter!
"Locianpwe, Nona Kwi Hong, awas dia mempunyai ilmu sihir! Jangan
memandang matanya dan jangan mendengar suaranya!" Bun Beng cepat
berteriak, kemudian ia mendahului menerjang laki-laki yang sejak tadi
hanya menonton Maharya bertanding dengan Kwi Hong.
Laki-laki ini bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang tadi bengong
memandang Kwi Hong dengan penuh gairah. Dia tadi tidak membantu karena
tentu saja ia percaya penuh akan kesaktian gurunya. Akan tetapi melihat
betapa dua orang yang secara aneh turun dari tali layang-layang itu
bukan orang sembarangan pula, apa lagi kini Bun Beng meloncat maju dan
menyerangnya dengan gerakan dahsyat, dia terkekeh, memandang rendah
pemuda itu dan mengelak sambil balas menyerang.
Bun Beng menjadi heran melihat gerakan lawan yang luar biasa. Kedua kaki
lawan tidak meninggalkan tanah, akan tetapi tubuhnya bisa meliuk-liuk
dengan lemas, seperti sebatang pohon cemara pecut tertiup angin. Tubuh
atas itu meliuk ke kiri, kemudian membalik sambil balas menyerang dengan
tangan kanan menghantam perutnya. Ketika ia menangkis dan menggeser
kaki kanan, tahu-tahu tangan kiri lawan sudah mencengkeram kepalanya,
hal yang luar biasa sekali mengingat bahwa tangan kiri lawannya itu
berada dalam posisi jauh. Tangan kiri itu tiba-tiba memanjang, seperti
karet yang dapat mulur dan tahu-tahu jari-jari-nya telah dekat dengan
kepalanya.
"Ehhh...!" Ia berseru dan cepat meloncat mundur sambil melepas tendangan
ke arah lengan yang sudah ditarik kembali oleh Tan-siucai sambil
terkekeh-kekeh.
Sementara itu Kwi Hong yang terheran-heran saat mendengar pemuda tampan
itu dapat menyebut namanya, teringat bahwa Maharya memang pandai ilmu
sihir, maka otomatis ia pun mentaati peringatan pemuda itu, tidak mau
memandang mata kakek bersorban dan dengan kekuatan batinnya ia menulikan
telinga agar jangan mendengar bentakan Si Kakek tukang sihir yang
mengandung penuh daya melumpuhkan itu. Ia sudah menerjang maju lagi
dengan tusukan pedangnya, disusul serangkaian serangan hebat yang
membuat Maharya kembali terdesak.
Kwi-bun Lo-mo yang sekarang sudah dapat menguasai dirinya kembali
setelah tadi terpengaruh sihir Maharya, merasa kagum kepada Bun Beng
yang semuda itu sudah tahu akan ilmu kakek bersorban. Dia pun maklum
bahwa ilmu sihir semacam I-hun-to-hoat untuk mempengaruhi pikiran orang
mengandalkan kekuatan pandang mata dan getaran suara yang mengandung
sinkang amat kuat, maka apabila dapat mengelakkan pandang mata dan suara
itu tentu sihir itu tidak akan mempunyai daya kekuatan. Maka ia pun
menutup pendengaran dan menghindarkan pertemuan pandang mata, lalu
tertawa mengejek.
"He-heh-heh, kau dukun dari Himalaya yang busuk, tanpa sebab kau hendak
memutus tali layang-layangku. Sekarang kau kena kutuk para dewamu,
bertemu dengan seorang pemuda yang cerdik, seorang dara yang lihai
sekali, dan aku yang akan mengirim nyawamu kembali ke puncak Himalaya!"
Sambil mengejek demikian, Kwi-bun Lo-mo maju pula menerjang, membantu
Kwi Hong. Karena tokoh Pulau Neraka ini pun maklum bahwa Maharya
bukanlah seorang lemah, bukan hanya mengandalkan ilmu sihirnya melainkan
memiliki ilmu kepandaian hebat pula dan bertenaga sinkang kuat sekali,
maka begitu menyerang ia pun mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus
khas dari Pulau Neraka.
Kedua tangannya tiba-tiba berubah menjadi lunak seperti kapas, namun di
balik telapak tangan yang menjadi lunak ini tersembunyi kekuatan dahsyat
yang akan merusak sebelah dalam tubuh lawan jika bertemu dengan tangan
lunak ini. Sesuai dengan namanya yaitu Toat-beng-bian-kun (Tangan Lemas
Mencabut Nyawa), ilmu ini adalah ilmu baru yang diterimanya dari Ketua
Pulau Neraka. Karena ilmu pukulan tangan kosong ini telah digabung
dengan ilmu khas keturunan Pulau Neraka, yaitu hawa dan tenaga beracun
yang membuat warna kulit mereka berubah, maka tentu saja pukulan-pukulan
tangan yang kelihatannya lemas tak bertenaga dan lunak itu mengandung
bahaya mengerikan dan setiap gerakan merupakan maut bagi lawan!
Maharya yang biasanya memandang rendah setiap lawan, kini terkejut
sekali. Biar pun tadi ia kelihatan terdesak oleh gulungan sinar pedang
Kwi Hong yang seperti kilat menyambar-nyambar, namun dia tidak gentar
dan menghadapi dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, setelah sekali
menangkis dan lengannya tersentuh tangan Kwi-bun Lo-mo yang mengandung
Ilmu Toat-beng-bian-kun dan membuat lengannya panas dan gatal, ia
terkejut bukan main, berteriak keras dan melompat mundur sambil
menggerakkan kedua tangannya ke sebelah dalam pakaiannya.
Sekarang dia telah memegang sepasang senjata yang amat aneh. Tangan
kirinya kini telah memakai sarung tangan yang berkilauan seperti emas,
sedangkan tangan kanannya memegang seekor ular putih yang kecil dan
panjangnya hanya dua kaki, akan tetapi ular putih itu masih hidup!
"Ha-ha-ha, dukun hitam, apa engkau mau main sulap mencari uang kecil?
Bukan di sini tempatnya, melainkan di pasar! Aku tidak mempunyai uang
kecil sepeser pun, apa lagi yang besar!" Sambil tertawa mengejek,
Kwi-bun Lo-mo menerjang lagi dengan tangannya yang beracun, maklum bahwa
pertemuan yang satu kali tadi, biar pun tentu saja tidak akan melukai
lawan yang begitu pandai akan tetapi sedikitnya membuat hati lawan
gentar.
Kwi Hong yang tidak banyak bicara sudah menusukkan lagi pedangnya. Kini
Maharya tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kiri yang
bersarung tangan emas itu menangkap pedang. Bukan main kagetnya Kwi Hong
karena merasa pedangnya tergetar. Ia menarik kembali pedangnya dan pada
saat itu Maharya melepas pedang sambil menggunakan tenaga sinkang
mendorong.
"Aihhhhh!" Hanya dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik
di udara sampai lima kali Kwi Hong dapat menghindarkan diri dari tolakan
tenaga sinkang yang dapat melukai isi dadanya itu! Ia terkejut dan
maklum bahwa selain sarung tangan yang dipakai kakek India itu tidak
mempan senjata, juga bahwa tenaga kakek itu masih jauh melampaui
tenaganya sendiri!
Kini Kwi-bun Lo-mo sudah menerjang maju, menggunakan tangan kanan
memukul dengan tangan lunaknya yang beracun untuk memberi kesempatan
gadis berpedang itu memulihkan kedudukannya. Maharya mengangkat tangan
kiri, menangkis pukulan itu dan tangan kanannya digerakkan.
"Plakkk!" Kedua tangan bertemu dan Kakek Kwi-bun Lo-mo terkejut karena
tangan bersarung emas itu kiranya sanggup menerima pukulan
Toat-beng-bian-kun, dan kini secara tiba-tiba ular yang dipegang ekornya
itu melayang dan menyambar lehernya dengan mulut terbuka lebar,
mendesis dan menggigit! Ia cepat miringkan kepalanya akan tetapi tetap
saja ular itu dapat menggigit pundaknya.
"Mampus kau!" Maharya berseru girang.
"Ha-ha-ha, gigitan cacing itu enak sekali rasanya, menambah vitamin di
tubuhku. Suruh dia gigit lagi, dukun India! Ha-ha-ha!" Biar pun
pundaknya mengeluarkan sedikit darah, akan tetapi Kwi-bun Lo-mo masih
tertawa-tawa. Di dalam tubuhnya yang berkulit kuning itu telah mengalir
darah yang penuh racun, mana dia takut akan segala gigitan ular beracun?
Kakek India itu terkejut sekali dan dengan marah dia lalu menyerang
kedua orang pengeroyoknya, bukan hanya ularnya yang terayun-ayun
mengancam lawan dengan gigitan beracun, juga tangan kirinya yang tidak
takut menghadapi senjata tajam atau pukulan beracun itu merupakan tangan
maut yang setiap saat menyambar hendak mencabut nyawa lawan.
Tan-siucai yang tadinya memandang rendah Bun Beng, menjadi terkejut
bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar lihai
sekali ilmu silatnya. Tadinya ia menganggap bahwa seorang muda seperti
itu akan mudah ia robohkan dengan ilmunya ‘tangan panjang’, yaitu lengan
yang dapat ia ulur sampai hampir dua kali panjang normal. Banyak sudah
lawan yang roboh oleh ilmunya ini karena tidak menyangka-nyangka bahwa
tangan itu dapat mulur seperti karet. Akan tetapi pemuda itu hanya
sebentar saja terkejut, kemudian sudah dapat menjaga diri dan mengirim
serangan dengan jurus-jurus yang dahsyat, yang mendatangkan angin keras
dan membuat Tan-siucai bingung.
Maklum bahwa ia berhadapan dengan murid orang pandai, Tan-siucai
berteriak keras dan tampaklah sinar hitam ketika ia mencabut pedangnya,
sebatang pedang hitam yang mengeluarkan bau amis seperti telur itik
membusuk. Dengan pedangnya ini ia menerjang dan mengobat-abitkan pedang,
merupakan sinar yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Beng.
Bun Beng memang tadinya terkejut menyaksikan lengan yang bisa mulur
panjang. Akan tetapi kemudian ia mendapat kenyataan bahwa lawannya itu
biar pun bertenaga kuat dan memiliki ilmu aneh, tidaklah seberat yang ia
kira dan tidak memiliki dasar ilmu silat yang tangguh. Maka ia sudah
mendesak dengan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang kuat sehingga dua kali
memukul bahu kanan dan menendang paha kiri lawan. Biar pun pukulan dan
tendangan ini meleset dan tubuh lawan memiliki kekebalan, setidaknya
lawannya menjadi panik sehingga mencabut pedang hitam!
Bun Beng tidak menjadi jeri, bahkan ia makin lega hatinya. Gerakan
pedang itu lebih didorong rasa marah dari pada gerakan ilmu pedang yang
tinggi nilainya, maka baginya pedang hitam itu tidaklah sebahaya tangan
kosong yang dapat mulur mungkret tadi. Biar pun lengan itu masih dapat
mulur, akan tetapi karena disambung pedang, lebih mudah dapat dilihat
arah gerakannya, tidak seperti kalau kosong dapat mencengkeram,
menangkap mendorong atau memukul, sukar sekali diduga.
Namun, harus ia akui bahwa lawannya mainkan pedang secara aneh dan
istimewa, dengan ilmu pedang yang tidak dikenalnya sama sekali. Pedang
itu selalu datang menyerangnya dengan tiupan angin, dan bukan hanya
pedang yang menyerangnya melainkan selalu dibarengi dengan pukulan atau
tendangan, seolah-olah seluruh daya serang lawan dikumpulkan untuk
menghantamnya. Bun Beng harus mengandalkan kelincahan tubuhnya yang
segera pulih kembali begitu ia menghadapi bahaya. Kalau begini terus,
bagaimana aku bisa menang, pikirnya. Serangan lawan ini mengingatkan ia
akan serangan angin taufan ketika ia berada di atas layang-layang
bersama Kwi-bun Lo-mo. Serangan angin taufan!
Tiba-tiba ia ingat akan pelajaran kakek Pulau Neraka itu untuk
menghadapi serangan angin taufan. Perhatikan dari mana angin menyerang,
jangan ditentang, ikuti tiupannya tetapi harus dapat kau kendalikan
sehingga mudah untuk menyimpang. Pindahkan hawa dan tenaga sakti sesuai
dengan serangan angin, jangan biarkan kita terseret akan tetapi berusaha
selalu berada di atasnya, menunggang angin. Demikianlah antara lain
inti pelajaran yang ia terima di atas layang-layang sambil mencontoh
gerakan kakek Pulau Neraka. Kini, serangan-serangan lawannya dengan
pedang hitam itu seperti angin, mengapa tidak ia coba mengatasinya
dengan pelajaran baru di atas layang-layang?
"Wuuuutttt!" Tan-siucai kembali menyerang dengan hebat, dengan semangat
menyala dan keyakinan bahwa ia tentu akan dapat membunuh pemuda yang
sudah tak mampu balas menyerang itu. Pedang hitamnya menusuk dada,
tangan kirinya mendorong dengan pukulan ke arah pusar, dan kaki kanannya
telah siap menyusulkan tendangan!
Sekarang Bun Beng tidak menggunakan cara mengelak seperti tadi. Dengan
ilmu baru menundukkan angin taufan, tubuhnya yang tadinya miring, dengan
kaki kanan di depan itu, ia pindahkan kaki dan tenaga pada kaki kiri,
lalu kedua tangannya diangkat ke atas seolah-olah ia memegangi
tali-temali layang-layang dan tubuhnya meloncat ke atas tinggi sekali
sehingga pukulan dan tusukan lewat di bawah kakinya yang ditekuk ke
dada. Tendangan lawan menyusul, ia terima dengan kedua kakinya,
menginjak kaki lawan yang menendang dan meminjam tenaga ini ia ayun
tubuhnya ke atas dan meluncur ke depan melalui atas kepala lawan,
kemudian membalik dan memindahkan tenaga lagi ke kaki kiri yang turun
menginjak lawan.
"Plakk! Augghhhh...!" pundak kanan Tan-siucai terkena injakan kaki Bun
Beng, lumpuh rasa seluruh lengan kanannya dan pedang hitam itu terlepas.
Bun Beng cepat turun menyambar dan pedang hitam telah berada di
tangannya!
Tan-siucai membalik dan matanya merah saking marahnya memandang Bun Beng
yang kini tersenyum-senyum memegang pedang hitam! Ia girang sekali
karena dengan ilmu barunya itu ia berhasil! Pemuda ini memang cerdik
sekali sehingga dia dapat menggunakan ilmu baru yang bagi orang lain
tentu hanya dapat dipergunakan untuk mengendalikan layang-layang melawan
angin taufan itu untuk melawan musuh yang lihai.
Sambil tersenyum, ia lalu menubruk maju dan menyerang Tan-siucai dengan
pedang hitam. Tan-siucai memekik, tangan kirinya bergerak dan sinar
putih yang amat terang menyilaukan mata berkelebat menangkis pedang.
"Cringggg!" kini Bun Beng yang kaget bukan main karena pedang hitam rampasan itu telah patah menjadi dua!
"Hok-mo-kiam...!" Ia berseru keras, cepat menjatuhkan diri bergulingan
karena pedang putih yang kini berada di tangan lawan itu, setelah
membabat patah pedangnya, sinarnya masih terus menerjangnya!
Ia meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak. Tak salah lagi,
tentu itulah Hok-mo-kiam, pedang yang dibuat oleh Kakek Nayakavhira dan
yang dicuri oleh pemuda sinting ini bersama gurunya, Kakek Maharya!
Gentar juga hati Bun Beng menyaksikan pedang bersinar putih yang
mengandung penuh wibawa mukjizat itu, dan ia siap siaga berkelahi
mati-matian, mengandalkan kelincahannya karena apa artinya pedang
buntung yang toh patah lagi kalau bertemu dengan Hok-mo-kiam?
Dia tahu bahwa Pendekar Siluman dan mendiang Kakek Nayakavhira memberi
nama Hok-mo-kiam (Pedang Penakluk Iblis) pada pedang itu, yang khusus
dibuat untuk menundukkan Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis).
Teringatlah ia akan sepasang pedang bersinar kilat yang ia simpan di
dalam goa rahasia di tempat tinggal para pemuja Sun-go-kong.
"Kembalikan pedang itu!" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kwi
Hong telah meninggalkan Kakek Maharya, menyerang Tan-siucai dengan
pedang di tangannya. Serangan yang hebat sekali, dilakukan dengan tubuh
masih melayang di udara, dengan kecepatan seperti kilat menyambar
didorong oleh tenaga sinkang yang kuat sekali.
Biar pun otaknya sinting, Tan-siucai mengenal serangan maut. Dia lalu
menggeser kaki ke kiri, menggerakkan pedangnya menangkis sambil
mendorongkan tangan kirinya untuk mencegah dara perkasa itu memukulnya.
"Trangggg!" Tampak bunga api muncrat dan Tan-siucai memekik kaget,
pedangnya terlepas akan tetapi cepat-cepat ia sambar kembali karena
gadis itu tidak sempat menyerangnya lagi.
Ternyata bahwa kini Kwi Hong juga hanya memegang sebatang pedang
buntung, persis seperti yang dialami Bun Beng. Dengan mata terbelalak,
Kwi Hong memandang pedangnya dan diam-diam ia merasa amat kagum akan
keampuhan Hok-mo-kiam yang dibuat oleh Kakek Nayakavhira itu. Pedangnya
adalah pemberian pamannya, sebatang pedang pusaka yang cukup ampuh,
namun sekali bertemu dengan Hok-mo-kiam menjadi patah! Padahal sudah
jelas bahwa dia menang tenaga dan pedang di tangan Tan-siucai itu sampai
terlepas. Ia makin marah dan penasaran, bertekad untuk merampas kembali
pedang yang dulu dicuri oleh orang itu. Tubuhnya menerjang maju dengan
pukulan-pukulan kilat yang biar pun Tan-siucai memegang sebatang pedang
pusaka, akan berbahaya sekali bagi sastrawan sinting itu.
"Plakkkk!" Pukulan Kwi Hong tertangkis oleh tangan Maharya yang
bersarung tangan. Kiranya kakek ini sudah meloncat meninggalkan Kwi-bun
Lo-mo untuk melindungi muridnya, terutama menjaga agar pedang pusaka itu
tidak terampas lawan.
"Ho-ho-ho, kau hendak lari ke mana, dukun keparat?" Kwi-bun Lo-mo tertawa dan melompat pula mengejar.
Kini pertandingan menjadi kacau-balau dan akhirnya kini Bun Beng dan
Kwi-bun Lo-mo mengeroyok Maharya, sedangkan Kwi Hong masih bertanding
melawan Tan-siucai. Karena maklum bahwa gadis itu berbahaya sekali,
Tan-siucai memutar pedangnya dan berlindung di balik gulungan sinar
pedang. Benar saja, sinar pedang itu demikian hebat dan mengandung
wibawa yang amat kuat sehingga biar Kwi Hong lihai, gadis ini tidak
berani sembrono mendesak maju, melainkan berusaha mencari lowongan tanpa
terancam sinar pedang yang ia tahu amat ampuh.
"Nona yang perkasa! Bun Beng, mundur!" Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak
keras dan terdengarlah ledakan disusul membubungnya asap hitam yang
tebal, menggelapkan keadaan di situ. Ternyata kakek Pulau Neraka ini
telah melempar sebuah senjata rahasia khas Pulau Neraka, senjata peledak
yang mengeluarkan asap hitam beracun.
Kwi Hong dan Bun Beng melompat mundur, melihat betapa di tempat
berdirinya dua orang lawan itu kini tertutup oleh asap hitam. Ketika
asap membuyar tertiup angin dan mereka memandang, ternyata Tan-siucai
dan Maharya telah lenyap dari tempat itu, tanpa meninggalkan bekas.
Kwi-bun Lo-mo mengerutkan alisnya, mengomel. "Sialan! Mereka benar-benar
sangat lihai mampu menyelamatkan diri dari asap beracun. Dukun India
itu benar-benar merupakan lawan yang lebih tangguh dari pada dukun
penunggang gajah. Hayaa...!"
Kwi Hong melangkah maju dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka
kakek itu. "Tua bangka lancang! Kenapa kau melenyapkan mereka?"
Tanpa menanti jawaban, dengan pedang buntungnya Kwi Hong menyerang
Kwi-bun Lo-mo. Serangannya hebat sekali dan pedang buntungnya itu masih
amat berbahaya, membabat ke arah perut kakek itu yang tentu akan
tersayat robek kalau-kalau sampai terkena.
"Aihhhh...!" Kwi-bun Lo-mo meloncat ke belakang dengan mata terbelalak
dan balas menyerang sambil memaki, "Gadis liar, siluman galak!"
Kwi Hong miringkan tubuhnya dan membabat ke arah lengan yang memukulnya, akan tetapi kakek itu dapat menarik kembali lengannya.
"Tahan...!" Bun Beng berseru. "Nona Kwi Hong, dia bermaksud membantumu!"
"Membantu apa? Dia... ah, mukanya berwarna, dia tentu iblis dari Pulau Neraka!"
"Hemm, memang aku dari Pulau Neraka, habis kau mau apa?" Kakek itu menantang dengan marah.
"Aku mau membasmi orang-orang Pulau Neraka, dan engkau lebih dulu!" Kembali Kwi Hong menyerang.
"Iblis betina tak tahu diri!" Kwi-bun Lo-mo mengelak lagi.
Diam-diam dia terkejut karena biar pun pedangnya sudah buntung, nona ini
merupakan lawan yang tangguh sekali. Gerakannya amat cepat, ilmu
pedangnya aneh dan tenaga sinkang-nya sangat kuat, dapat diduga dari
suara bercuitan ketika pedang buntung itu menyambar. Terpaksa dia
mencelat lagi ke kanan untuk menghindar.
"Tahan! Locianpwe, dia itu adalah murid Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es!" Bun Beng berseru.
"Apa...?" Muka kakek itu berubah, matanya terbelalak. "Be... betulkah...?"
"Aku mengenalnya, masa membohong?"
Kwi Hong makin marah dan menuding dengan pedang buntungnya. "Kakek
sialan! Apa kau pura-pura tidak mengenal aku yang pernah kalian culik ke
Pulau Neraka?"
Kakek itu menggelengkan kepala. "Aku mendengar akan peristiwa itu, akan
tetapi aku sedang merantau keluar pulau, tidak tahu... maaf... aku tak
berani mengganggu murid Pendekar Siluman tanpa seijin To-cu kami..."
"Tidak peduli, kau harus mampus!" Kwi Hong menyerang lagi.
Kwi-bun Lo-mo meloncat jauh ke belakang, kemudian melarikan diri! Kakek
ini pernah merasai kelihaian Pendekar Siluman ketika ia bertanding
melawan Nayakavhira, maka kini mendengar bahwa gadis ini murid pendekar
sakti itu, dia menyangka bahwa tentu Pendekar Siluman berada pula di
situ. Pula tanpa seijin To-cu, majikannya, mana dia berani mengganggu
murid Majikan Pulau Es?
Kwi Hong hendak mengejar, akan tetapi Bun Beng meloncat menghadang dan
berkata, "Sudahlah, Nona, perlu apa mengejar orang yang tidak mau
melawan? Dahulu pun Pamanmu tidak mengejarnya."
Kwi Hong berhenti, karena maklum bahwa dia pun tak dapat menyusul kakek
yang lari seperti terbang cepatnya itu, apa lagi kalau ia ingat bahwa
kakek itu memiliki senjata rahasia peledak yang mengandung asap beracun
berbahaya.
"Hemmm, aku mengenalmu sekarang," katanya sambil memandang wajah pemuda itu. "Engkau Gak Bun Beng..."
Bun Beng menjura sambil tersenyum. "Kuharap selama ini Nona dalam
keadaan baik. Kulihat bahwa Nona telah mewarisi ilmu kepandaian hebat
dari Pamanmu. Selamat!"
"Engkau mengejek?" Kwi Hong membentak marah.
Bun Beng melongo dan memandang dengan mata terbelalak. Kenapa Nona ini
marah-marah? Dia menggelengkan kepala tanpa dapat menjawab.
"Engkau pasti mengejek, ya? Karena aku tidak mampu merampas kembali
pedang itu, karena pedangku patah, karena aku tidak mampu membunuh kakek
Pulau Neraka!" Pandang mata itu seperti mengeluarkan api yang menyerang
Bun Beng.
Bun Beng mundur ketika dara itu melangkah maju dengan muka merah saking jengkel oleh kegagalannya.
"Hayo katakan engkau mengejekku, biar aku mempunyai alasan untuk menyerangmu!"
"Tidak! Tidak...! Wah, siapa mengejek, Nona? Sama sekali aku tidak
mengejek. Bukan salahmu kalau pedang Nona patah, dan kalau tidak dibantu
gurunya, kakek India itu, tentu Si Siucai gila sudah mampus olehmu dan
pedangnya terampas."
Mendengar kata-kata ini, agak berkurang kemarahan Kwi Hong. Ia
membanting kaki dan memandang pedangnya yang buntung, lalu membantingnya
ke atas tanah sambil mengomel. "Sialan! Tentu Paman akan marah kepadaku
karena pedang ini!"
Melihat wajah cantik jelita yang menjadi merah, mata yang membayangkan
penyesalan dan kedukaan besar, hati Bun Beng tergerak. Teringatlah ia
akan sepasang pedang yang ditinggalkannya di goa rahasia di tempat para
pemuja Sun-go-kong, maka serta merta ia berkata, "Harap Nona jangan
berduka, aku mempunyai sepasang pedang pusaka yang hebat, bahkan yang
diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw."
"Sepasang pedang yang di... Pedang Iblis?" Kwi Hong memotong, matanya terbelalak, kedukaannya lenyap seketika.
Bun Beng mengangguk. "Agaknya benar Sepasang Pedang Iblis yang
kudapatkan secara kebetulan sekali. Kini kusimpan di dalam goa rahasia.
Kalau Nona suka, akan kuberikan sebatang kepada Nona, yang pendek.
Pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang mendirikan bulu roma sehingga
aku tidak berani mencabut seluruhnya, agaknya tidak kalah ampuh oleh
pedang yang dicuri Tan-siucai tadi."
"Benarkah itu? Paman juga lagi mencari-cari pedang itu! Benarkah akan
kau berikan kepadaku?" Sikap Kwi Hong telah berubah sama sekali, agaknya
dia tidak ingat lagi akan kemarahan dan kedukaan hatinya. Wajahnya
berseri dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya, amat indah seperti
sepasang bintang pagi dalam pandangan Bun Beng.
"Benar, Nona. Pedang itu sepasang, boleh untukmu sebatang dan untukku sebatang."
Tiba-tiba wajah yang cerah itu kembali agak muram oleh berkerutnya
sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu. "Bun Beng, bagaimana
engkau bisa mendapatkan Siang-mo-kiam? Seluruh dunia kang-ouw mencari
dan memperebutkannya. Bagai mana tiba-tiba kau bisa mengatakan kepadaku
bahwa engkau menemukan pedang-pedang itu?" Dalam pertanyaan ini
terkandung keraguan dan ketidak percayaan.
"Aku mendapatkannya secara kebetulan saja, Nona. Terjadinya ketika aku terjatuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho."
Dengan singkat Bun Beng menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi
sengaja dia tidak menyebutkan tempat ia menyimpan sepasang pedang itu,
juga tidak tentang kitab Sam-po-cin-keng. Kwi Hong mendengarkan dengan
alis berkerut.
"Jadi ketika kita saling bertemu itu engkau telah menemukan Siang-mo-kiam?"
"Benar, aku tidak sempat bercerita, lagi pula pada waktu itu memang aku hendak merahasiakannya dari siapa pun juga."
"Hemmm, kalau begitu, mengapa kini mendadak engkau ingin memberikan
sebatang kepadaku? Apa sebabnya?" Sambil berkata demikian, Kwi Hong
memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Bun Beng kagum bukan main. Ahhh..., mata itu... bukan kepalang indahnya!
Sejenak ia menentang pandang mata itu penuh kagum, namun sinar mata itu
seperti sepasang pedang iblis sendiri yang menusuk, menembus mata
sampai ke jantung! Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
"Mengapa...? Aihhh, tak terpikir olehku... hemmm, agaknya karena melihat
pedangmu patah, Nona. Karena melihat engkau berduka tadi..."
"Heh, omong kosong! Mengapa mendadak engkau menaruh perhatian seperti
itu kepadaku? Apa hubungannya kedukaanku denganmu? Engkau merasa
kasihan? Alasan yang dangkal dan kosong!" Kembali di dalam suaranya
terkandung kecurigaan dan ketidak percayaan.
Cepat Bun Beng membantah. "Tidak! Tidak hanya itu, Nona. Sesungguhnya...
pertama karena Nona telah menyelamatkan nyawaku tadi. Kalau tidak Nona
keburu turun tangan, bukankah aku akan mati terjatuh dari atas kalau
tali layangan itu diputus oleh kakek tadi? Untuk membalas budi Nona yang
telah menyelamatkan nyawaku, apa artinya pemberian sebatang pedang?
Pula, kedua memang aku merasa amat kagum kepada Paman Nona, dan
satu-satunya orang di dunia ini yang aku ingin agar pedang yang
diperebutkan itu dimilikinya, adalah Paman Nona, Pendekar Super Sakti.
Maka, kebetulan sekali aku bertemu dengan Nona, bahkan Nona telah
menolongku sehingga ada alasan bagiku untuk menyerahkan pedang."
Kwi Hong mengangguk-angguk, wajahnya kembali cerah dan ia mulai percaya
kepada Bun Beng. Pemuda ini girang sekali menyaksikan perubahan wajah
itu, memandang penuh kagum wajah cantik jelita yang matanya menunduk
itu. Tiba-tiba wajah itu diangkat, pandang mata mereka saling bertaut
dan dengan jantung berdebar Bun Beng melihat betapa alis yang bagus itu
kembali dikerutkan, lalu terdengar suara gadis itu membentak marah.
"Aku tidak percaya kepadamu!"
Mula-mula Bun Beng tertegun, lalu menarik napas panjang, wajahnya
membayangkan kekesalan dan kedukaan hati. "Hemm, agaknya Nona curiga
kepadaku?"
"Siapa tahu kalau-kalau engkau ini amat licik, curang dan sengaja hendak menipuku?"
Bun Beng merasa jantungnya perih seperti ditusuk pedang. Dia mengangguk
dan menjawab, "Aku mengerti, Nona. Tentu Nona curiga kepadaku mengingat
bahwa aku adalah anak seorang tokoh hitam yang amat licik dan curang.
Sudah banyak aku mendengar makian itu."
"Tidak peduli! Aku tidak mengatakan begitu dan tidak berpikir begitu.
Hanya siapa mau percaya kepada seorang yang telah gulang-gulung bergaul
dengan seorang iblis Pulau Neraka? Engkau datang bersama dia, tentu
sahabat baiknya, atau siapa tahu engkau sudah menjadi anggota Pulau
Neraka. Mereka adalah iblis-iblis kejam, tentu engkau juga bukan orang
baik-baik. Bagaimana aku dapat percaya?"
Lega hati Bun Beng. Nona ini satu-satunya orang yang tidak menyinggung
ayahnya. Alasan yang diucapkan untuk kecurigaannya memang tepat. Maka ia
cepat-cepat menuturkan pengalamannya semenjak ia ditawan oleh
Thian-liong-pang sampai berhasil lolos, dikeroyok ikan, diterkam
rajawali yang kemudian bertempur melawan garuda dan akhirnya terlepas.
"Ketika melayang jatuh itulah aku tersangkut pada tali layang-layang
yang dikemudikan oleh kakek Pulau Neraka itu. Baru pertama itulah aku
berkenalan dengan dia dan kami sama-sama turun setelah terhindar dari
angin taufan dan terancam maut oleh kakek India yang akan memutus tali.
Untung Nona muncul dan menyerangnya."
Penuturan Bun Beng yang amat luar biasa seperti terjadi dalam dongeng itu membuat Kwi Hong melongo.
"Wah-wah... hebat sekali pengalamanmu!" Ia duduk di atas rumput. "Engkau
menjadi tawanan Thian-liong-pang? Bukan main! Dan berhasil lolos? Eh,
ceritakanlah, Bun Beng. Bagaimana kau bisa lolos dari Thian-liong-pang
yang terkenal sekali amat kuat itu? Aku mendengar banyak orang pandai
dan sakti di sana, bahkan tidak kalah saktinya oleh orang-orang Pulau
Neraka!"
Melihat wajah itu betul-betul sudah percaya kepadanya, sudah cerah dan
bekas-bekas kecurigaan dan ketidak-percayaan tidak tampak lagi, Bun Beng
duduk pula di atas rumput. Mereka duduk berhadapan, bercakap-cakap dan
merasa seperti telah menjadi sahabat lama.
Dengan terus terang Bun Beng menceritakan pengalamannya ketika berusaha
menolong Ketua Bu-tong-pai dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw itu diadu
oleh Ketua Thian-liong-pang untuk dicuri jurus simpanan mereka yang
terpaksa digunakan dalam pertandingan itu. Kemudian betapa dia diaku
sebagai cucu keponakan Si Muka Singa dan akan dijadikan anggota. Akan
tetapi ia menolak dan akhirnya di jebloskan dalam penjara di bawah
tanah.
"Sama sekali aku tidak tahu bahwa dinding itu menembus ke sungai yang
besar di mana banyak terdapat ikan raksasa yang hampir saja membunuhku.
Kalau tahu begitu, agaknya belum tentu aku berani membobol dinding itu.
Heran, sungai apakah itu?"
Kwi Hong yang tertarik sekali berkata. "Apakah kau tidak tahu? Kini kita
berada di lembah Sungai Huang-ho, dan sarang Thian-liong-pang berada di
kota Cie-bun, di sebelah utara kota Cin-an. Sudah lama aku mendengar
akan perbuatan Thian-liong-pang menculik orang-orang kang-ouw. Sayang
Paman melarang aku bentrok dengan orang Thian-liong-pang, kalau tidak,
tentu aku akan menyerbu ke sana. Hemm... kalau Paman mendengar bahwa
orang-orang kang-ouw itu diculik untuk dicuri ilmu mereka tentu Paman
akan tertarik sekali. Eh, Bun Beng, di manakah adanya goa rahasia di
mana engkau menyembunyikan Siang-mo-kiam?"
"Aku tidak tahu namanya, hanya aku tahu jalan ke sana kalau sudah
melihat bentuk gunungnya. Kalau tidak salah, dekat dengan laut karang
ketika aku dibawa terbang burung rajawali yang kemudian bertanding
dengan burung garuda yang kunaiki itu, dan aku terlepas ke bawah, aku
jatuh ke dalam laut."
Kwi Hong memutar otaknya. "Hmm, tentu di Laut Utara. Mari kita cari ke
sana. Sayang burung kami telah dibunuh oleh siucai sinting dan gurunya,
kalau tidak, tentu dengan mudah kita bisa mencari sambil menunggang
pek-eng."
"Apakah tidak ada garuda putih lagi di Pulau Es? Aku tadi melihat burung garuda putih menyerang rajawali yang mencengkeramku."
"Benarkah? Tentu burung garuda liar. Kami tidak mempunyai garuda lagi.
Aku baru saja keluar dari Pulau Es, baru mendapat ijin dari Paman
setelah berulang-ulang aku minta supaya diijinkan merantau. Aku ingin ke
kota raja mencari dan menengok makam Ibuku. Akan tetapi sekarang
bertemu denganmu, sebaiknya kita mencari Siang-mo-kiam, baru akan pergi
ke kota raja. Marilah kita berangkat sebelum gelap, Bun Beng."
"Baiklah, Nona."
Mereka bangkit dan Kwi Hong berkata mencela. "Jangan sebut Nona, kenapa kau begini merendah? Menjemukan benar!"
"Habis, aku harus menyebut apa?"
"Apa kau tidak tahu namaku? Kalau kau mau bersahabat denganku, jangan
merendah seolah-olah engkau ini orang bawahanku di Pulau Es. Sebut saja
namaku!"
"Baiklah... Kwi Hong." Hati Bun Beng girang sekali.
Dara ini cantik menarik dan membuat hatinya berdebar aneh, membuat ia
ingin selalu berdekatan dan bercakap-cakap dengannya. Pula, gadis inilah
satu-satunya orang yang tidak menyebut-nyebut tentang kejahatan
ayahnya. Dan yang lebih dari semua itu, gadis ini adalah murid dan
keponakan Pendekar Super Sakti, orang yang dikagumi dan dipuja di dalam
hati.
"Tempat itu dahulu kutemukan setelah aku terjatuh ke dalam pusaran maut
di Sungai Huang-ho, sebuah gunung yang aneh dan terletak dekat laut.
Tentu tidak jauh dari muara sungai. Sebaiknya kita mencari jejak mulai
dari pulau di tengah muara sungai, dari mana aku terlempar dan jatuh ke
dalam pusaran maut."
"Baik, memang mestinya begitu. Kalau tidak dapat menemukan tempat itu
melalui darat, kita harus mengikuti jejakmu dahulu melalui pusaran
maut."
Bun Beng terbelalak. "Apa...? Wah, itu berbahaya sekali, Kwi Hong!"
Gadis itu memandangnya dan menggeleng kepala. "Engkau pun tidak mati,
bukan? Nah, kalau di waktu masih kecil dahulu saja bisa sampai di tempat
itu melalui pusaran maut dengan selamat, mengapa sekarang tidak?"
"Ah, dahulu lain lagi. Aku terlempar ke sana bukan atas kehendakku, dan
aku setengah pingsan ketika terbawa pusaran, agaknya memang Tuhan tidak
menghendaki aku mati di waktu itu. Kalau sekarang aku harus terjun ke
sana, hiiiiiih... ngeri sekali, aku tidak berani."
Kwi Hong cemberut. "Kalau kau tidak berani, aku berani! Pedang
Siang-mo-kiam itu terlalu penting untuk dibiarkan di tempat itu. Terlalu
berharga untuk dicari dengan taruhan nyawa. Kalau bisa kudapatkan dan
kuperlihatkan kepada Paman, tentu dia akan girang sekali karena Paman
pernah bilang bahwa kalau sepasang pedang iblis itu sampai muncul di
dunia dalam tangan orang-orang sesat, sukar untuk ditundukkan dan dunia
pasti akan kacau balau dan kejahatan merajalela. Nah, kau tahu betapa
besar artinya kedua pedang itu, dan betapa pentingnya untuk didapatkan
kembali."
Mereka mulai melakukan perjalanan dan Kwi Hong yang menjadi penunjuk
jalan sampai mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho. Akan tetapi malam
sudah tiba ketika mereka sampai di tepi sungai.
"Kita bermalam di tepi sungai ini, besok baru kita melanjutkan," kata gadis itu.
Bun Beng lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Tepi
sungai itu sunyi senyap, akan tetapi menyenangkan sekali bagi Bun Beng.
Tempatnya bersih, tanahnya tertutup rumput hijau seperti permadani,
pohon-pohon dan bunga-bunga mendatangkan bau yang sedap dan segar, dan
bulan hampir bulat muncul tak lama kemudian, membuat tempat itu menjadi
indah, romantis, dan menyenangkan. Tentu saja ia tidak sadar bahwa yang
membuat keadaan menjadi demikian indah adalah hadirnya Kwi Hong karena
kalau tidak ada gadis itu di sana, belum tentu tempat sunyi ini akan
tampak seindah malam itu!
Mereka duduk menghadapi api unggun. Enak dan nyaman, hangat. Bun Beng
duduk melamun, merasa betapa selama hidupnya, baru sekarang inilah dia
dapat mengalami kebahagiaan, merasa betapa senangnya hidup!
"Eh, Bun Beng, kenapa kau melamun saja?"
Bun Beng terkejut dan sadar dari lamunannya yang mengangkatnya ke
angkasa. Ia memandang dan tidak dapat menjawab karena sepasang mata yang
terkena sinar api unggun itu kelihatan begitu indah dan tajam berkilau.
"Apa perutmu tidak lapar?" Gadis itu bertanya saat melihat pemuda itu hanya melongo.
Mendengar ini, kontan perut Bun Beng berbunyi, seolah-olah menjawab
pertanyaan itu. Dengan gugup ia menekan perut dengan tangannya sambil
memaki dalam hati kepada perutnya yang tak tahu malu. Memang ia merasa
lapar sekali. Apa lagi hawa begitu nyaman, pemandangan begitu indah,
membuat perut yang kosong terasa sekali.
"Heiiii! Bagaimana?" Gadis itu kembali bertanya sambil menahan geli
hatinya karena telinganya yang berpendengaran tajam dapat menangkap
perut yang berkokok tadi.
"He? Apa?" Bun Beng bertanya gugup, masih merasa malu oleh perutnya.
"Lapar tidak?"
"Lapar sekali, Kwi Hong, tapi... makan apa...?"
"Betapa bodohnya! Ikan berkeliaran di dalam sungai masih bertanya makan apa?"
Bun Beng teringat dan meloncat bangun. "Tepat sekali! Mengapa aku begitu
bodoh dan pelupa? Ikan-ikan yang mengeroyokku siang tadi! Aku harus
membalas dendam, setidaknya harus kutangkap seekor, kupanggang sampai
matang dan kita ganyang dagingnya!" Setelah berkata demikian, ia lari ke
pinggir sungai dan langsung meloncat ke sungai.
"Byurrrrrr!" Air muncrat tinggi dan Kwi Hong terbelalak, kemudian tertawa terpingkal-pingkal dan menggeleng-geleng kepala.
"Sungguh orang aneh," gumamnya sambil berdiri di pinggir sungai menonton
Bun Beng yang menyelam hendak menangkap ikan begitu saja dengan kedua
tangan, lengkap dengan pakaiannya, bahkan sepatunya tidak dicopot!
Akan tetapi ia kagum sekali ketika tak lama kemudian Bun Beng sudah
muncul lagi, memondong seekor ikan yang besarnya sebantal dan
melemparkan ikan itu ke darat! Ikan itu menggelepar-gelepar di darat dan
Bun Beng sudah berenang ke pinggir lalu mendarat pula, tersenyum lebar,
pakaiannya basah kuyup, air menetes-netes dari seluruh pakaiannya,
rambutnya pun basah kuyup dan kuncirnya melibat leher.
"Aihh, ikan sebesar ini mana bisa kita habiskan? Dan bagaimana pula
membersihkan isi perutnya. Kaulah yang melakukannya itu, nanti aku yang
memanggangnya."
"Jangan khawatir, Kwi Hong. Kalau tidak ada pisau, batu karang pun cukup tajam dan runcing."
Dengan gembira Bun Beng lalu mencari batu karang yang keras, menghampiri
ikan. Sekali pukul dengan batu pecahlah kepala ikan itu dan ia segera
membelah perut ikan dengan batu yang tajam, membuang isi perutnya ke
sungai dan membersihkan kulit ikan yang tak bersisik itu dengan gosokan
batu karang.
Kwi Hong sudah menyediakan sebuah ranting, menusuk ikan besar itu dari
mulut sampai menembus ekor, kemudian memanggangnya di atas api unggun
sambil menanti Bun Beng mencuci tangannya ke air sungai. Setelah pemuda
itu duduk dekat api, dia mencela.
"Kau ini aneh sekali, mengapa menangkap ikan begitu saja dengan memakai
pakaian lengkap? Lihat, pakaian dan sepatumu basah kuyup, tentu dingin
sekali. Sebaiknya kau buka dan peras pakaianmu, panggang dekat api biar
kering."
Muka Bun Beng tiba-tiba berubah merah. Bagaimana dia bisa menanggalkan
pakaian di depan gadis itu? "Biarlah, diperas begini pun bisa, dan kalau
aku duduk dekat api, sebentar juga kering."
Ia memeras rambut dan pakaiannya, melepas sepatunya dan menggeser
duduknya dekat api. Beberapa kali Kwi Hong melirik kepadanya dengan
pandang mata penuh rasa heran. Pemuda ini aneh sekali. Kadang-kadang
pendiam dan canggung, akan tetapi gerak-geriknya amat menarik hatinya.
Bau sedap daging ikan dipanggang menusuk hidung, langsung merangsang
selera mulut dan menambah lapar perut. Setelah matang, kedua orang itu
lalu menyerbu daging ikan yang terasa sedap dan gurih sekali. Hanya
separuh termakan oleh mereka. Terpaksa sisanya mereka buang lagi ke
sungai.
"Sayang air sungai begitu kotor, bagaimana bisa minum?" Kwi Hong
bertanya sambil mencuci tangannya yang penuh minyak ikan, juga mengusap
bibirnya dengan air sungai, kemudian menggosoknya dengan sapu tangan.
"Aku akan mencari buah!" Sambil berkata demikian, Bun Beng meloncat dan
lari pergi, mencari-cari pohon yang ada buahnya. Sampai jauh ia
meninggalkan tepi sungai itu dan untung bahwa bulan bersinar terang
sehingga akhirnya setelah payah mencari-cari, ia datang lagi membawa
beberapa butir buah yang sudah masak.
Kemudian, keduanya duduk menghadapi api unggun yang menjadi makin besar
setelah ditambah daun kering dan kayu oleh Kwi Hong. Hawa yang hangat,
perut yang kenyang, membuat gadis itu merasa mengantuk dan ia menguap di
belakang telapak tangannya.
"Ahh, aku ingin tidur. Bun Beng, kau berjagalah dulu, sambil
mengeringkan pakaianmu. Nanti aku giliran menjaga dan kau tidur. Di
tempat seperti ini, apa lagi baru saja kita bertemu dengan siucai
sinting dan gurunya, tidak boleh kita berdua tidur semua tanpa ada yang
menjaga."
"Baik, kau tidurlah, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan aku akan menjagamu."
Kwi Hong mundur agak menjauhi api unggun, kemudian merebahkan dirinya,
miring menghadapkan mukanya ke api unggun dan memejamkan kedua matanya.
Bun Beng kini berani menatap wajah itu sepuas hatinya. Entah mengapa dia
sendiri tidak mengerti, menyaksikan wajah yang kemerahan, dengan rambut
yang agak mawut dan sebagian terurai menutup pipi dan dahi, melihat
bulu mata yang menjadi panjang dan tebal membentuk bayang-bayang di
pipi, hidung yang mancung dan cupingnya bergerak sedikit ketika bernapas
dalam-dalam, bibir yang merah dan mengkilap terkena minyak daging ikan,
ia merasa terharu sekali.
Ia membandingkan wajah ini dengan wajah Ang Siok Bi, puteri Ketua
Bu-tong-pai yang pernah menarik hatinya. Keduanya sama cantik dan
memiliki daya tarik masing-masing. Akan tetapi, melihat Kwi Hong
tertidur tak jauh di depannya, ia harus mengaku bahwa Kwi Hong lebih
cantik jelita. Teringatlah ia betapa dalam keadaan menghadapi maut,
hanya tiga wajah orang yang terbayang olehnya. Wajah Kwi Hong, wajah
Siok Bi dan wajah Milana! Akan tetapi, ketika itu ia membayangkan wajah
Kwi Hong dan Milana di waktu mereka masih kecil. Betapa jauh
perbedaannya setelah ia bertemu dengan Kwi Hong sekarang, demikian
cantik dan menarik.....
Di dalam batin tiba-tiba Bun Beng mengutuk diri sendiri. Mengapa ia
membayangkan wajah wanita-wanita cantik? Celaka, inikah yang membuat
ayahnya dulu memperkosa ibunya? Ia bergidik ketika merasa betapa ada
hasrat di hatinya untuk memeluk tubuh wanita yang berbaring di depannya
itu, ingin mencium pipi itu, bibir itu! Keparat! Ingin ia menghantam
kepalanya sendiri, menghancurkan kepala yang berisi pikiran busuk itu.
Apakah ia mewarisi watak ayahnya? Tidak! Ayahnya telah disebut datuk
kaum sesat, tentu merupakan seorang yang sesat kelakuannya. Buktinya
sampai memperkosa ibunya! Dia tidak akan melakukan hal seperti itu! Biar
pun dia tertarik akan wanita-wanita cantik, dia akan memerangi
perasaannya sendiri dan mencegah agar jangan sampai ia melakukan
perbuatan terkutuk! Ia harus memilih seorang di antara mereka, bukan
untuk diperkosa, bukan untuk dipermainkan, melainkan untuk dijadikan
isteri! Kwi Hong ini! Ah, betapa akan bahagia hatinya kalau ia dapat
memperisteri Kwi Hong.
Kwi Hong mengeluh perlahan dan menghela napas panjang, agaknya mimpi.
Keluhan lirih dan helaan napas itu membuat dara itu tampak makin menarik
sehingga Bun Beng terpaksa membuang muka, tidak kuat memandang lebih
jauh karena jantungnya sudah berdenyut keras.
Memang tidak dapat terlalu disalahkan kalau Bun Beng diamuk nafsu birahi
dan cinta. Usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh dua tahun lebih.
Dalam usia sebanyak itu tentu saja timbul perasaan ini dan masih
mengagumkan bahwa dia dapat menahan diri kalau diingat bahwa sejak kecil
dia tak pernah menerima pendidikan tentang susila, tidak pernah
menerima pendidikan ayah bunda sendiri.
Untung bahwa ia digembleng oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-pai sehingga
batinnya cukup kuat, biar pun darahnya, darah ayahnya yang panas membuat
ia condong untuk melakukan perbuatan menyeleweng. Namun, justeru nama
buruk ayahnya membuat ia berkeras hati untuk menebus semua kesalahan
ayahnya dengan perbuatan baik, bukan justru menambah kotor nama ayahnya
dengan perbuatan seperti yang pernah dilakukan ayahnya.
Betapa bahagianya kalau ia dapat menjadi suami Kwi Hong, pikirnya lagi
setelah hatinya tenang dan dia berani lagi memandang wajah Kwi Hong.
Gadis itu kini telah rebah terlentang sehingga nampak tonjolan dadanya
yang turun naik kalau bernapas lembut. Bibir itu setengah terbuka,
seperti tersenyum menantang!
Betapa cantik jelitanya, betapa gagah perkasanya. Tadi pun sudah dia
saksikan sendiri betapa lihai gadis ini. Dia sendiri meragukan apakah
dia akan mampu melawan Kwi Hong. Betapa tidak gagah perkasa dan lihai
kalau diingat bahwa dara ini adalah keponakan dan murid Pendekar Super
Sakti!
Tiba-tiba Bun Beng tertegun dan mengerutkan alisnya. Keponakan Pendekar
Siluman! Aihhh, dia telah melamun terlalu jauh. Bagaimana mungkin dia
dapat menjadi suami keponakan Majikan Pulau Es? Mentertawakan! Dia,
seorang anak yatim-piatu, bahkan disebut anak haram, putera mendiang
datuk kaum sesat yang disebut Setan Botak, mana mungkin berjodoh dengan
keponakan Majikan Pulau Es yang berkedudukan tinggi?
"Aihhhh, pikiran yang bukan-bukan," dia menarik napas panjang, berusaha mengusir keinginan hati yang tak mungkin terpenuhi itu.
Ia memaksa diri untuk mengalihkan keinginan hatinya. Bagaimana kalau
Milana? Lebih tidak masuk di akal! Tanpa disengaja, ia telah menyaksikan
peristiwa hebat yang mungkin menjadi rahasia Pendekar Siluman, Milana
adalah puteri Pendekar Siluman itu! Puterinya dari seorang ibu yang amat
cantik dan amat sakti! Lebih tidak mungkin lagi. Baik Kwi Hong, apa
lagi Milana, tidak mungkin menjadi jodohnya. Kedudukan mereka terlalu
tinggi baginya, seperti merindukan bintang-bintang di langit saja!
Tinggal seorang lagi, Ang Siok Bi! Dia itulah yang tidak begitu tinggi
kedudukannya, akan tetapi hal ini kalau dibandingkan dengan Kwi Hong
atau Milana, kalau dibandingkan dengan dia, bahkan Siok Bi masih terlalu
tinggi untuknya. Puteri Ketua Bu-tong-pai! Aihh, dia mimpi di siang
hari! Tidak ada harapan seujung rambut pun!
"Dasar engkau manusia tak tahu diri!" Bun Beng berbisik dan menjambak
kuncirnya, merasa terpukul dan rendah. Lama dia merenung memandang api
unggun, diam-diam mengeluh dan menyalahkan ayah bundanya yang telah
tiada.
"Sudahlah, aku manusia yang tiada harganya. Akan tetapi akan kubuktikan
kepada mereka semua, kepada dunia kang-ouw, bahwa walau pun ayahku
seorang manusia yang sejahat-jahatnya dan serendah-rendahnya, aku
tidaklah serendah itu. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu melakukan
hal-hal yang layak dilakukan seorang pendekar besar!"
Pikiran ini sedikitnya menghibur hatinya yang perih. Terhiburlah dia
bahwa kini dia akan menyerahkan sebuah di antara Siang-mo-kiam kepada
murid dan keponakan Majikan Pulau Es. Sepasang pedang itu diperebutkan
oleh orang sedunia kang-ouw, bahkan Pendekar Siluman sendiri
mencari-cari tanpa hasil. Sekarang justru dia yang berhasil menemukannya
dan menyerahkan sebuah di antaranya kepada murid dan keponakan Majikan
Pulau Es, bukankah hal ini sudah merupakan jasa yang besar? Dan dia akan
melangkah lebih jauh lagi. Dia akan melakukan hal-hal yang besar, biar
pun saat itu dia belum tahu apa gerangan hal-hal yang besar itu.
Bun Beng menambahkan kayu kering sehingga api unggun membesar.
Pakaiannya sudah kering dan ia merasa tubuhnya hangat. Malam telah amat
larut, akan tetapi dia tidak mau membangunkan Kwi Hong. Biarlah dia yang
berjaga sampai pagi. Tidak tega dia mengganggu gadis itu yang tidur
dengan nyenyaknya. Ia bersandar pada batang pohon, kadang-kadang
menambah kayu pada api unggun, menjaga agar api itu tidak padam.
Pada keesokan harinya ketika terdengar kokok ayam hutan dan kegelapan
malam mulai terusir oleh sinar matahari pagi yang kemerahan, Kwi Hong
bangun dari tidurnya. Ia mengusap kedua matanya dan begitu membuka mata,
melihat bahwa malam telah berganti pagi, melihat pula Bun Beng masih
duduk bersandar pohon dekat api unggun, ia meloncat bangun dan
membentak.
"Bun Beng, kau terlalu sekali!"
Bun Beng tersenyum, dia tidak merasa aneh lagi menyaksikan sikap gadis
yang begitu mudah berubah seperti angin ini, tiba-tiba saja marah,
kemudian marahnya berganti sikap ramah. Benar-benar seorang gadis yang
penuh semangat berapi-api, "Maaf, Kwi Hong, apakah salahku?"
"Masih bertanya apa salahnya lagi! Enak-enak duduk semalam suntuk,
membiarkan orang tertidur sampai pagi. Mengapa tidak kau bangunkan aku
agar aku berganti melakukan penjagaan?"
"Aah, tidak mengapa, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan kau... tidurmu enak benar, tidak tega aku membangunkanmu."
Gadis itu memandang aneh. "Mengapa kau menyiksa diri untukku? Kau tidak tidur sama sekali?"
Ucapan ‘karena aku cinta padamu’ sudah berada di ujung lidah Bun Beng,
namun cepat ditelannya kembali. "Aku duduk beristirahat sama dengan
tidur. Urusan kecil ini masa mesti dibesar-besarkan?"
"Biar pun urusan kecil, akan tetapi aku tidak mau dikatakan tidak adil.
Lain kali aku tidak mau begini, engkau harus tidur lebih dulu. Kau
membikin aku merasa tidak enak saja!" Dengan uring-uringan Kwi Hong lalu
pergi mencari sumber air untuk mencuci muka. Setelah ia kembali, ia
melihat Bun Beng sudah mencuci muka di air Sungai Huang-ho.
"Mari kita melanjutkan perjalanan," kata Kwi Hong dan berangkatlah
mereka menuju ke jurusan timur, ke arah muara Sungai Huang-ho. Tak lama
kemudian Bun Beng mengenal daerah di mana dahulu dia dan suhu-nya,
mendiang Siauw Lam Hwesio, berperahu menuju ke muara sungai. Peristiwa
beberapa tahun yang lalu seperti terjadi kemarin saja dan teringat akan
nasib gurunya, mukanya menjadi berduka dan ia menarik napas panjang.
"Mengapa kau berduka?" Tiba-tiba Kwi Hong bertanya, tidak galak lagi seperti tadi melainkan halus dan menaruh khawatir.
"Tiba-tiba aku teringat pada mendiang Guruku, Siauw Lam Hwesio. Dia
tewas secara menyedihkan sekali." Dia lalu menceritakan tentang kematian
gurunya di tangan koksu negara dan kaki tangannya, lalu menutup
ceritanya, "Aku harus membalas kematian Suhu. Kelak aku harus mencari
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun beserta tiga orang pembantunya yang ikut
membunuh Suhu, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong!"
Kwi Hong mendengarkan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang.
"Wah, musuh-musuhmu bukanlah orang sembarangan. Menurut Paman, dua orang
pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apa lagi Im-kan
Seng-jin! Lawan-lawan yang amat berat dan sakti."
"Aku tidak takut dan aku harus mencari mereka."
"Aku pun tidak takut, hanya bilang bahwa mereka lihai. Kelak aku akan membantumu, Bun Beng."
Bun Beng menoleh dan mereka berpandangan. Melihat sinar mata penuh rasa
syukur dan berterima kasih dari pemuda itu, Si Dara membuang muka dengan
perasaan jengah. "Biar pun mereka bukan musuhmu, aku pun akan menentang
mereka dan Thian-liong-pang, juga Pulau Neraka!" katanya menambahkan,
seolah-olah hendak mengalihkan perhatian Bun Beng bahwa dia menentang
mereka bukan semata-mata untuk membantu Si Pemuda.
Mereka berjalan terus, berjalan cepat karena mereka kini mempergunakan
ilmu lari cepat setelah Bun Beng mengatakan bahwa pulau di muara sungai
itu tidak jauh lagi.
"Nah, itu dia pulaunya, dan di sanalah pusaran maut itu!" Bun Beng
berteriak menuding dan mereka berlari cepat menghampiri pantai dari mana
tampak pulau kecil di tengah muara yang dahulu menjadi medan
pertempuran. Dari pantai itu tampak pula pusaran air dan Bun Beng masih
bergidik ngeri melihat air berputar-putar itu, teringat akan
pengalamannya beberapa tahun yang lalu.
"Lihat, Kwi Hong. Ketika terjadi pertandingan di pulau itu, aku terlempar dari atas tebing itu, tepat jatuh di pusaran maut."
Kwi Hong mengerutkan alisnya. "Hemmm..., dan setelah kau keluar dari
lorong air kau mendarat di lambung gunung katamu dahulu? Gunung yang
dekat dengan muara ini hanya sebelah sana itu. Kita harus menyeberang!"
Tempat itu sunyi sekali, akan tetapi dari jauh tampak layar-layar perahu
nelayan pencari ikan. Bun Beng yang lebih senang kalau mencari
pedang-pedang itu tidak melalui pusaran air, cepat berlari ke bawah dan
akhirnya dapat memanggil seorang tukang perahu. Dengan biaya ringan
mereka dapat diseberangkan oleh nelayan itu dan melanjutkan perjalanan
mendaki gunung karang yang sukar dilalui. Namun berkat kepandaian
mereka, mereka dapat juga mendaki dan setelah tiba di sebuah puncak batu
karang yang tinggi, Bun Beng meloncat naik dan memandang ke sekeliling,
mencari-cari.
Akhirnya ia berseru girang. "Nah, di sana itu agaknya, di seberang
jurang lebar itu. Benar, tidak salah lagi, itu yang tampak seperti
gerombolan tentulah hutan-hutan di mana mereka mencari akar dan daun
obat! Dari sanalah aku diterbangkan rajawali. Nah, sungai berada di sana
dan gunung yang puncaknya tinggi itulah tempat aku melayang... ahhh,
tidak salah lagi. Mari kita ke sana!"
Akan tetapi, kegirangan Bun Beng yang mengenal tempat itu harus ditebus
mahal sekali untuk menjadi kenyataan. Perjalanan amat sukar.
Kadang-kadang mereka harus menuruni jurang yang amat dalam, melalui
perjalanan yang curam dan kadang-kadang mereka harus mendaki batu karang
yang runcing tajam mengakibatkan luka-luka pada telapak tangan. Sepatu
mereka juga pecah-pecah.
Malam itu terpaksa mereka harus bermalam di antara batu-batu karang
gundul dan terpaksa melalui malam dingin sekali tanpa api unggun karena
di daerah di mana mereka bermalam itu tidak terdapat sepotong pun kayu.
Juga perut mereka lapar bukan main, namun semangat mereka tetap tinggi.
Kini Kwi Hong memaksa Bun Beng supaya tidur lebih dulu, akan tetapi
betapa mendongkol dan menyesal hati Bun Beng ketika dia terbangun,
ternyata hari telah menjadi pagi dan dara itu ‘membalas dendam’ tidak
mau membangunkannya dan berjaga semalam suntuk. Ia mendongkol dan juga
terharu sekali. Mereka baru saja melakukan perjalanan yang melelahkan
namun gadis itu bersikeras berjaga semalam suntuk.
"Aihh, Kwi Hong. Mengapa kau begini sungkan, sedangkan kita telah menjadi sahabat dan mengalami kesukaran bersama?"
"Tidak akan puas hatiku kalau belum membalas. Aku paling tidak suka
kalau merasa diri tidak adil. Setelah membalas, tentu saja hatiku lega
dan lain kali kau harus tidak bersikap mengalah dan sungkan pula seperti
yang kau lakukan malam kemarin."
Mereka melanjutkan perjalanan. Makin dekat tempat itu, makin yakinlah
hati Bun Beng bahwa dia tidak keliru. Lewat tengah hari, kedua orang
muda ini mendaki tebing tinggi menuju ke daratan di atas di mana dahulu
para pemuja Sun-go-kong menyerahkan keranjang-keranjang obat kepada
burung-burung rajawali dari Pulau Neraka! Baru saja mereka meloncat ke
puncak yang datar itu, tiba-tiba menyambar banyak senjata rahasia yang
ternyata adalah batu-batu karang kecil dari depan. Dengan mudah keduanya
mengelak dan Bun Beng berteriak.
"Harap Cu-wi tidak menyerang! Aku Gak Bun Beng!"
Dari balik semak-semak bermunculan delapan belas orang. Ketika mereka
melihat Bun Beng, orang-orang itu berteriak sambil lari menghampiri dan
semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu. "Ah, kiranya
Gak-inkong yang datang! Kami bersyukur sekali, In-kong. Kami melihat
betapa In-kong diterbangkan burung rajawali dan mengira Gak-inkong sudah
tewas...!"
Bun Beng tersenyum lebar. "Memang nyaris aku tewas, tetapi syukurlah
Tuhan belum menghendaki demikian. Apakah Cu-wi baik-baik saja?"
"Terima kasih, In-kong. Semenjak peristiwa dahulu itu, kami tidak lagi
mengalami gangguan, agaknya Dewa Sun-go-kong melindungi kami."
Mendengar ini, Bun Beng melirik kepada Kwi Hong dan gadis ini yang sudah
mendengar tentang para pemuja Siluman Kera itu tersenyum. Gadis ini
sebagai murid Pendekar Super Sakti, berhati polos dan jujur, maka tanpa
ragu-ragu lagi ia berkata,
"Sun-go-kong hanyalah tokoh dalam dongeng See-yu, mengapa kalian
menyembah dan memujanya? Betapa bodohnya kalian ini orang-orang tua
memuja tokoh dongeng kanak-kanak!"
Delapan belas orang yang kini sudah bangkit berdiri memandang kepada Kwi
Hong dengan alis berkerut tanda tidak senang hati. "Hemm, Nona yang
masih muda..., kalau saja engkau tidak datang bersama Gak-inkong dan
menjadi sahabatnya, tentu kami tidak membiarkan engkau berkata selancang
itu. Semua dewa yang dipuja memang hanyalah tokoh dongeng. Yang penting
bukanlah tokoh dongengnya, melainkan hati si pemujanya! Gak-inkong,
apakah Nona ini sahabatmu? Kalau bukan, dia tidak kami perkenankan
berada di sini!"
Bun Beng diam-diam merasa menyesal mengapa Kwi Hong berlancang mulut,
namun dia pun tidak dapat menyalahkan dara itu yang memang suka bicara
terang-terangan menurutkan kata hatinya. "Dia sahabat baikku, harap
Cu-wi suka memaafkannya."
Wajah delapan belas orang itu menjadi cerah kembali dan mereka sudah
memaafkan Kwi Hong. Bahkan seorang di antara mereka, yang termuda, maju
dan berkata sambil tertawa, "Sahabat baik Gak-inkong? Ha-ha cocok
sekali. Cantik jelita dan patut menjadi sisihan In-kong yang tampan..."
"Plak! Aduh!" Orang itu terguling dan meraba pipinya yang sudah menjadi
bengkak oleh tamparan Kwi Hong. Gerakan tangan dara itu cepat bukan main
sehingga orang yang ditamparnya hampir tidak tahu bahwa dia ditampar,
disangkanya ada halilintar menyambar pipinya!
Teman-temannya menjadi marah dan mereka sudah mengepal tinju, siap
mengeroyok Kwi Hong sungguh pun diam-diam mereka terheran-heran. Mereka
telah mempelajari Ilmu Sin-kauw-kun-hoat yang diberikan oleh Dewa
Sun-go-kong kepada mereka, dan ilmu silat ini mengutamakan kegesitan
sehingga mereka semua adalah ahli-ahli mengelak pukulan. Mengapa teman
mereka tadi begitu mudah kena ditampar oleh dara ini?
"Tahan, Cu-wi sekalian! Nona ini adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es, harap Cu-wi tidak menimbulkan pertentangan!"
"Murid Pendekar Siluman...?" Terdengar seruan-seruan mereka dan semua
orang memandang dengan mata terbelalak. Sebagai pejuang, tentu saja
mereka sudah mendengar nama Pendekar Siluman yang dulu pernah
menggegerkan musuh di Se-cuan.
Orang tertua dari mereka segera mengangkat tangan memberi hormat kepada
Kwi Hong sambil berkata, "Mohon maaf, karena tidak mengenal kami
bersikap kurang hormat kepada Lihiap."
Kemudian ia menghadapi Bun Beng dan bertanya, "Setelah bertahun-tahun
In-kong meninggalkan kami, sekarang In-kong datang dengan tiba-tiba,
apakah yang dapat kami lakukan untuk membantu In-kong dan Lihiap ini?"
Bun Beng tersenyum. "Terima kasih atas kebaikan Cu-wi sekalian. Aku
datang hanya untuk menengok dan terutama sekali untuk mengambil sesuatu
yang dahulu kusimpan di tempat ini. Harap Cu-wi tidak repot dan aku
bersama Nona ini akan mencari dan mengambil sendiri benda yang kusimpan
itu."
Orang-orang itu saling pandang. Mereka tidak tahu benda apakah yang
disimpan oleh Bun Beng di situ, akan tetapi orang tertua dari mereka
menjawab, "Silakan In-kong."
"Mari, Kwi Hong!" kata Bun Beng dengan sikap gembira.
Nona itu pun merasa gembira dan hatinya tegang, melompat dan mengikuti
Bun Beng meninggalkan tebing itu, berlari-lari ke arah gunung di mana
terdapat goa-goa batu yang sebagian besar tertutup alang-alang tinggi
dan lebat.
Dengan hati berdebar Bun Beng mengajak gadis itu pergi ke daerah goa ini
yang jauh juga dari tebing sehingga sekumpulan orang pemuja Sun-go-kong
itu tidak tampak lagi, kemudian dengan mudah ia mencari goa kecil yang
ia tutup dengan tumpukan batu sehingga sama sekali tidak kelihatan dari
luar. Tanpa berkata sesuatu ia membongkar batu-batu itu, dibantu oleh
Kwi Hong yang juga menjadi tegang hatinya. Siapa yang tidak berdebar
hatinya kalau mengingat bahwa Sepasang Pedang Iblis itu berada di
belakang tumpukan batu? Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan orang
sedunia kang-ouw, bahkan yang dicari-cari tanpa hasil oleh pamannya!
Setelah tumpukan batu yang menutupi goa itu terbongkar semua, Bun Beng
berseru girang melihat bungkusan kain yang kuning dan kotor. Ia mengenal
itu, sehelai baju yang dipakai membungkus sepasang pedang. Baju itu
sudah rusak dan kotor sekali, akan tetapi dengan penuh gairah Bun Beng
menariknya dan dengan kedua tangan gemetar ia membuka bungkusan kain
butut. Ternyata sepasang pedang itu masih utuh, sebatang agak pendek,
sebatang lagi lebih panjang, akan tetapi bentuk gagang dan sarung
pedangnya serupa. Ia menyerahkan yang pendek kepada Kwi Hong tanpa
bicara. Bersama-sama mereka meneliti pedang itu dan membaca huruf-huruf
kecil yang terukir di dekat gagang.
"Yang pendek ini adalah Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)...," kata Kwi Hong setelah membaca huruf-huruf di pedangnya.
"Dan ini adalah Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan)...," kata Bun Beng.
"Tepat seperti yang diceritakan Paman, ini adalah sepasang..."
"Sepasang Pedang Iblis! Ha-ha-ha, harus diberikan kepadaku!"
Bun Beng dan Kwi Hong terkejut bukan main mendengar suara di belakang
mereka itu. Mereka cepat membalikkan tubuh dan ternyata yang tertawa dan
bicara tadi adalah kakek India bersorban bersama muridnya Si Siucai
Sinting! Bun Beng maklum bahwa mereka menghadapi bahaya besar dan dalam
beberapa detik saja otaknya bekerja cepat, lalu ia berbisik kepada Kwi
Hong. "Kau bawa semua pedang ini, serahkan Pamanmu, biar aku menahan..."
"Tidak..." Kwi Hong berbisik pula dan menolak pedang panjang yang
diangsurkan kepadanya, "kita pergunakan pedang ini untuk melawan
bersama. Pula, kalau kita masing-masing memegang satu, pedang itu
berpencar dan kalau terampas orang tidak keduanya."
"Ha-ha-ha-ha! Orang-orang muda, sudah lama aku mencari Sepasang Pedang
Iblis, dan melihat gerak-gerikmu kemarin, aku sudah sangat curiga, maka
diam-diam kami membayangi kalian. Siapa kira, benar saja kalian telah
menemukan Sepasang Pedang Iblis, ha-ha-ha-ha!"
"Maharya!" Tiba-tiba Kwi Hong membentak marah. "Seorang tua bangka macam
engkau ini apakah tidak tahu peraturan dunia kang-ouw? Dalam berlomba
mencari pusaka, siapa yang mendapatkannya berarti sudah berjodoh! Kami
sudah mendapatkannya dan pusaka ini adalah milik kami!"
"Ha-ha-ha! Bocah perempuan, sungguh tajam matamu dapat mengenal aku!
Akan tetapi engkau tidak tahu riwayat Sepasang Pedang Iblis. Sepasang
pedang itu adalah hak milikku. Karena itu, sudah semestinya kalian
berikan kepada Maharya!" kakek India yang kini sudah pandai bicara
bahasa daerah itu berkata dengan lidah kaku.
"Sombong dan pembohong besar engkau! Sepasang Pedang Iblis ini adalah
milik pribadi Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam yang menjadi pujaan
Pamanku, To-cu dari Pulau Es. Kemudian pusaka-pusaka ini diwariskan
kepada kedua muridnya, kemudian ditemukan oleh Paman dan dikubur bersama
jenazah kedua murid Mutiara Hitam. Setelah itu lenyap dan akhirnya kami
yang menemukannya kembali. Bagaimana kau berani bilang menjadi milikmu?
Tak tahu malu!"
Sastrawan sinting itu meloncat ke depan. "Ah, dia ini keponakan Suma Han
si jahanam keparat? Guru, kita tangkap dia dan siksa sampai mati, biar
terasa oleh Suma Han siluman keparat itu!"
Kwi Hong mendelik saking marahnya dan telunjuk kirinya menuding ke arah
sastrawan itu. "Engkau Tan Ki orang gila! Paman sudah menceritakan
kepadaku tentang engkau! Tunanganmu, Lu Soan Li tewas dalam perjuangan
sebagai seorang wanita pendekar yang gagah perkasa, akan tetapi engkau
ini manusia gila telah menyalahkan Paman, bahkan menjadi murid kakek
iblis ini membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam.
Sekarang harus kau kembalikan pedang pusaka itu atau kau akan mampus di
tanganku!"
"Ha-ha-ha! Bocah ini sombong sekali! Eh, bocah yang manis dan galak,
engkau tidak tahu. Biar pun Sepasang Pedang Iblis itu dibuat atas
perintah Mutiara Hitam, akan tetapi pembuatnya adalah Kakekku Mahendra,
maka akulah yang berhak memilikinya. Lebih baik kalian berikan sepasang
pedang itu dan aku akan dapat membujuk muridku untuk membebaskan kalian
berdua."
"Singggg!"
"Sratttt!"
Tampak dua sinar berkilat ketika Bun Beng dan Kwi Hong mencabut pedang
masing-masing. Sinar ini amat terang sehingga mengejutkan Bun Beng dan
Kwi Hong sendiri. Maharya terbelalak kagum dan tertawa lebar saking
girangnya. "Sadhu! Sepasang Pedang Iblis yang mulia!" Ia berkata,
kemudian menoleh kepada muridnya, "Pergunakan Hok-mo-kiam, mari kita
rampas sepasang pedang ini!" Ia sendiri sudah memakai sarung tangan emas
dan mengeluarkan senjata hidupnya, yaitu ular putih yang berbahaya.
"Kwi Hong, kau hadapi Siucai gila itu dan coba rampas pedangnya, biar
aku menghalau kakek iblis ini!" kata Bun Beng dan tanpa menanti jawaban
ia sudah menerjang maju, menyerang Maharya dengan Lam-mo-kiam yang
mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar.
Maharya terkejut dan cepat meloncat ke belakang. Dia tidak berani
sembarangan menangkis sebab maklum bahwa pedang buatan kakeknya itu
benar-benar merupakan sebatang pedang yang amat ampuh. Bun Beng tidak
memberi hati, meloncat ke depan dan melakukan serangan bertubi-tubi. Dia
harus dapat menahan kakek ini untuk memberi kesempatan kepada Kwi Hong
menghadapi Tan-siucai yang lebih lemah dibandingkan dengan gurunya yang
sakti ini.
Sementara itu, Tan-siucai sudah mencabut Hok-mo-kiam dan tampak sinar
kilat yang lebih terang dari pada sinar Sepasang Pedang Iblis, akan
tetapi tidak mendatangkan wibawa yang mendirikan bulu roma seperti
sepasang pedang itu yang telah menghisap darah entah berapa ribu
manusia. Kwi Hong cepat menerjang maju dengan Li-mo-kiam di tangan,
melakukan tusukan dan girang sekali ketika merasa betapa pedang itu
seolah-olah menambah tenaga pada tangannya, begitu ringan dan seperti
telah mendahului jurus yang ia mainkan untuk menyerang, seperti
mempunyai nyawa dan terbang sendiri menuju ke arah lawan! Benar-benar
sebatang pedang yang amat luar biasa!
"Cringggg...!"
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika Li-mo-kiam bertemu dengan
Hok-mo-kiam dan Kwi Hong terkejut karena merasa betapa pedangnya
tergetar, seolah-olah menggigil dan takut setelah bertemu dengan pedang
lawan. Padahal dia merasa bahwa dia masih menang tenaga menghadapi
Tan-siu-cai. Maka ia menjadi waspada dan teringat bahwa pamannya dan
mendiang Kakek Nayakavhira memang sengaja menciptakan Hok-mo-kiam untuk
menghadapi dan melawan Sepasang Pedang Iblis!
Di lain pihak, Tan-siucai terkejut sekali. Pedangnya hampir terlepas
dari tangannya ketika beradu dengan pedang lawan, lengannya tergetar dan
ia maklum bahwa ia harus berhati-hati sekali menghadapi keponakan
Pendekar Siluman yang memiliki sinkang yang amat kuat itu.
Setelah kini bertanding satu lawan satu dengan Kakek Maharya, Bun Beng
harus mengaku dalam hati bahwa tingkat kepandaiannya masih belum cukup
untuk menandingi lawan yang sakti ini. Pantas saja kakek ini dahulu
berani menghadapi Pendekar Siluman, kiranya memang memiliki gerakan aneh
dan setiap gerakan tangannya mengandung hawa yang panas dan di balik
hawa panas ini masih ada pengaruh mukjizat yang membuat bulu tengkuk
meremang, seperti bukan manusia yang ia lawan, melainkan iblis sendiri.
Bau harum aneh memuakkan yang keluar dari tubuh kakek tinggi kurus itu
benar-benar membuat pikiran menjadi kacau. Untung bahwa sekali ini Bun
Beng bersenjatakan Lam-mo-kiam yang juga memiliki wibawa amat mukjizat
seolah-olah dalam pedang itu ada penghuninya sehingga pengaruh pedang
iblis ini sedikit banyak dapat mengimbangi pengaruh kakek India. Kalau
dia tidak memegang senjata ampuh ini, agaknya dia tidak akan mampu
melawan sampai lama menghadapi kakek yang selain mahir ilmu silat aneh
juga mahir ilmu sihir itu.
Bun Beng mainkan jurus-jurus ilmu pedang Siauw-lim-pai, mengerahkan
seluruh tenaga dan mainkan jurus-jurus pilihan yang jarang tandingnya,
namun kakek itu selalu dapat mengelak dan menangkis dari samping dengan
tangan kiri yang bersarung emas, sedangkan ular putih yang berbahaya itu
terus menyambar-nyambar hendak menggigit, bahkan menyemburkan uap putih
dengan suara mendesis-desis. Karena maklum bahwa semburan uap putih itu
berbisa, Bun Beng kadang-kadang menahan napas dan mendorong dengan
tangan kiri menggunakan hawa sinkang untuk mengusir uap putih.
Pertandingan berlangsung makin seru dan mati-matian. Bun Beng melihat
mulut kakek itu berkemak-kemik, kemudian terdengar suara kakek itu
tertawa bergelak. Ia terkejut bukan main, merasa betapa suara ketawa itu
seolah-olah terdengar dari belakang punggungnya dan mendatangkan rasa
dingin seperti es memasuki tulang punggung. Ia mengerahkan sinkang untuk
menahan perasaan itu, dan saat ia memecah tenaganya, kakek itu mendesak
dengan serangan kedua tangannya. Ia menjadi sibuk dan tiba-tiba ketika
kakek itu kembali tertawa, ia terdorong oleh rasa yang amat kuat untuk
ikut tertawa! Bun Beng yang cerdik masih ingat bahwa kakek ini
mempergunakan sihir, maka ia melawan sekuat tenaga namun tetap saja
mulutnya tersenyum!
Mendadak sekali, suara ketawa kakek itu berubah menjadi tangis dan Bun
Beng merasa jantungnya seperti disayat-sayat, perasaan terharu meliputi
seluruh hatinya dan betapa pun ia bertahan kuat-kuat, dua titik air mata
jatuh ke atas pipinya. Ia makin kaget dan diam-diam berseru, "Celaka!"
Maklum dia bahwa dia tidak akan menang menghadapi kakek ini dan biar pun
dengan pedang Lam-mo-kiam ia akan dapat mempertahankan diri sampai
lama, tetapi akhirnya ia akan kalah juga. Ia amat khawatir, bukan
mengkhawatirkan dirinya melainkan mengkhawatirkan diri Kwi Hong.
"Kwi Hong...!" Ia berteriak, terengah-engah dan cepat membabat ke arah
ular yang sudah mengancam leher. Ular itu ditarik kembali dan kini
tangan yang bersarung emas itu mencengkeram ke arah pusarnya.
"Cringg!" Pedangnya menangkis dan kakek Maharya berteriak kaget karena tangannya yang terlindung sarung tangan itu terasa panas.
"Kwi Hong, larilah cepat! Beri tahu Pamanmu...!" Bun Beng berteriak sambil memutar pedangnya melindungi tubuh secepatnya.
Ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menulikan telinga terhadap suara
yang keluar dari mulut Maharya, akan tetapi tidak mungkin ia menutup
matanya sehingga kadang-kadang sinar matanya bersilang dengan sinar mata
Maharya yang seolah-olah mengeluarkan api bernyala-nyala!
Kwi Hong mendengar teriakan Bun Beng, akan tetapi dia sama sekali tidak
mau peduli. Mana mungkin dia melarikan diri? Dia sedang mendesak
Tan-siucai yang biar pun memegang Hok-mo-kiam, namun tingkat ilmu
silatnya masih kalah jauh olehnya. Kalau Sastrawan sinting itu tidak
memegang Hok-mo-kiam, tentu sudah sejak tadi mampus di ujung Li-mo-kiam.
Apa lagi ketika gadis ini mengerling dengan sudut matanya dan melihat
betapa Bun Beng terdesak hebat oleh Maharya, dia makin tidak mau
melarikan diri. Dia harus merobohkan Tan-siucai agar dapat membantu Bun
Beng mengeroyok kakek yang sakti itu. Dia harus merampas Hok-mo-kiam dan
hal ini amat penting, tidak kalah pentingnya dengan mempertahankan
Sepasang Pedang Iblis, bahkan lebih penting dari pada keselamatan Bun
Beng yang terancam oleh kakek iblis yang sakti. Maka ia terus mendesak
Tan-siucai yang kini memutar pedang Hok-mo-kiam sehingga berubah menjadi
gulungan sinar kilat yang menyelimuti tubuhnya, membuat Kwi Hong agak
sukar untuk menembusnya.
Tiba-tiba Tan-siucai tertawa aneh dan terdengar suaranya, "Ha-ha-hi-hi,
Nona manis, engkau melawan siapa? Aku sudah lenyap, bayanganku tidak
tampak olehmu, siapa yang kau lawan? Apakah kau gila?"
Kwi Hong terkejut bukan main karena benar-benar bayangan lawannya itu
lenyap dan tidak tampak olehnya. Yang tampak hanya gulungan sinar pedang
Hok-mo-kiam yang terang seperti cahaya sinar matahari. Hampir saja
sinar pedang mengenai lehernya kalau ia tidak cepat-cepat menjatuhkan
diri karena dalam keadaan kaget dan bingung mencari musuhnya tadi ia
bersikap lengah. Terdengar suara tertawa Tan-siucai dan sukar bagi Kwi
Hong untuk menentukan dari mana datangnya suara tertawa ini karena
bayangan orangnya tidak kelihatan.
Ia teringat bahwa sebagai murid kakek sakti ahli sihir itu Tan-siucai
pandai pula main sihir, maka ia mengerahkan sinkang sekuatnya, sinkang
yang dilatihnya di Pulau Es sehingga ia dapat menggabungkan hawa Im dan
Yang di tubuh, menguatkan hatinya dan kini tampaklah olehnya bahwa
Tan-siucai masih berada di tempatnya yang tadi, memutar pedang dan
mendesaknya.
"Cring-trang-trang... aihhh...!" Tan-siucai terkejut dan untung ia masih
dapat menangkis sambil terhuyung ke belakang. Ia maklum bahwa gadis itu
dapat melihatnya, maka ia mengerahkan seluruh ilmu sihirnya sehingga
kini bayangannya kadang-kadang lenyap, kadang-kadang tampak oleh Kwi
Hong.
Hal ini membuat Kwi Hong terdesak hebat dan timbul rasa gentar di
hatinya. Yang dilawannya memiliki ilmu setan, bagaimana ia dapat melawan
orang yang pandai menghilang? Sedikit saja ia mengurangi pengerahan
sinkang-nya, bayangan lawan lenyap. Terpaksa ia membagi tenaganya,
sebagian untuk melawan pengaruh sihir sehingga kadang-kadang ia dapat
melihat bayangan lawan, kadang-kadang tidak.
"Kwi Hong, larilah cepat... laporkan Pamanmu...!" Kembali ia mendengar teriakan Bun Beng.
"Ha-ha-ha, heh-heh, benar sekali. Kalau kau sudah mati nanti, terbangkan
rohmu kepada Si Keparat Suma Han, suruh dia ke sini menerima kematian,
ha-ha!"
"Iblis busuk!" Kwi Hong menyerang cepat sekali ketika ia dapat melihat
bayangan Tan Ki yang tertawa-tawa. Siucai itu cepat menangkis, akan
tetapi Kwi Hong hanya melakukan serangan tusukan sebagai pancingan saja,
karena cepat sekali kakinya menendang.
"Desss! Aduhhh... keparat!" Tan-siucai terkena tendangan di samping
pinggulnya dan terlempar ke belakang. Kwi Hong cepat mengejar, akan
tetapi karena tendangan itu tidak tepat kenanya dan hanya melemparkan
tubuh Tan-siucai dan mengagetkan saja, maka Tan-siucai sudah dapat
memutar pedang melindungi tubuhnya sambil meloncat bangun.
"Siapa yang kau serang? Aku lenyap sama sekali dari penglihatanmu!"
Ucapan ini berulang kali diucapkan Tan-siucai dengan suara menggetar dan
kembali Kwi Hong kadang-kadang kehilangan bayangan lawan, membuat ia
terdesak lagi.
"Kwi Hong... kau larilah... lekas...!" Bun Beng yang sudah pening oleh pengaruh sihir Maharya, berteriak sekuat tenaga.
Ia mengandalkan ilmu pedang Siauw-lim-pai, mainkan bagian yang bertahan
sehingga tubuhnya terlindung gulungan sinar pedang kilat. Dia dapat
menahan serangan ular dan tangan bersarung emas, akan tetapi tekanan
kekuatan mukjizat dari sihir Maharya benar-benar membuat dia pening dan
hanya dengan kebulatan tekadnya dan kemauannya saja untuk mempertahankan
diri, pedang Lam-mo-kiam dan terutama melindungi Kwi Hong maka ia masih
dapat bertahan.
Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan delapan belas orang pemuja
Sun-go-kong yang mendengar pertempuran dan teriakan-teriakan Bun Beng
kini telah berada di situ. Tanpa diminta dan tanpa komando, delapan
belas orang ini sudah menerjang maju membantu Bun Beng dan Kwi Hong!
Namun, begitu sebagian besar mereka mengeroyok Maharya, kakek itu
mengeluarkan gerengan keras yang menggetarkan seluruh urat syaraf, dan
terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan dan lima orang sudah roboh
susul-menyusul terkena hantaman tangan kiri bersarung emas sehingga
pecah kepalanya dan sebagian terkena gigitan ular putih di tangan kanan
kakek itu! Mereka yang mengeroyok Tan-siucai juga mengalami hal yang
menyedihkan. Mereka menyerbu, tidak tahu akan keampuhan sinar pedang
Hok-mo-kiam sehingga begitu kena disambar sinar ini, tiga orang roboh
dan tewas seketika!
Delapan belas orang maju dan dalam sekejap mata saja delapan orang dari
mereka tewas! Sisanya, yang sepuluh orang, menjadi kaget, berduka dan
marah bukan main menyaksikan teman-teman mereka tewas sedemikian
mudahnya, maka dengan nekat mereka maju untuk membalas dendam atau untuk
tewas sekalian.
"Cu-wi, mundur...!" Bun Beng mencegah, akan tetapi sia-sia, mereka malah makin nekat.
"Ha-ha-ha, kalian yang sudah kehabisan tenaga dan setengah lumpuh masih mau melawanku?" Maharya berteriak.
"Jangan dengarkan!"
Bun Beng yang melihat kakek itu membuka mulut lebar memperingatkan,
namun terlambat. Sepuluh orang itu tiba-tiba merasa kedua kaki mereka
lemas tak bertenaga dan pada saat itu, menyambarlah sinar-sinar hitam
dari tangan Tan-siucai dan Maharya. Itulah jarum-jarum hitam beracun dan
tentu saja sepuluh orang yang sudah terpengaruh sihir itu tidak mampu
mengelak lagi. Mereka mengeluh dan roboh dengan muka berubah menghitam
dan nyawa melayang menyusul delapan orang teman mereka. Dalam sekejap
mata saja, seluruh pemuja Sun-go-kong, bekas pejuang yang gigih tewas di
tangan Maharya dan Tan-siucai dengan amat mudah dan secara sia-sia!
"Kakek iblis yang kejam!" Bun Beng berteriak marah, dan tiba-tiba
permainan pedangnya berubah, ia telah mainkan ilmu rahasia yang
dipelajarinya dari Kitab Sam-po-cin-keng, dan ternyata akibatnya hebat
sekali. Maharya berteriak kaget, berusaha menangkis dengan tangan
kirinya karena lingkaran-lingkaran aneh yang dibuat oleh sinar pedang
Bun Beng membuat dia menjadi bingung.
"Brettt...! Ihhh!" Kakek Maharya mencelat mundur, wajahnya sebentar
pucat sebentar merah, kemarahannya memuncak ketika ia melihat betapa
sarung tangannya terobek sedikit dan telapak tangannya berdarah!
"Lihat api...!" Kakek itu membentak.
Karena girang melihat hasil serangannya, Bun Beng menjadi lengah
sehingga ia mendengar suara ini, melihat pula betapa kakek itu
menggerakkan tangan kiri sambil mendorong ke arahnya dan... ia melihat
pula api berkobar meluncur ke arah tubuhnya. Bun Beng terkejut dan cepat
mengelak, akan tetapi bola api itu terus mengejarnya dari atas. Bun
Beng cepat memutar pedangnya dan pada saat ia sibuk melawan bola api
yang seperti hidup itu, tiba-tiba tangan bersarung emas telah menghantam
bagian punggungnya dengan sebuah tamparan keras.
"Plakkk!" Bun Beng berseru kaget dan tubuhnya terguling-guling, napasnya
seperti tersumbat. Sadarlah dia bahwa kembali dia menjadi korban sihir,
dan bola api itu sebetulnya tidak ada maka dia sampai kena dipukul.
Dengan marah ia melompat bangun dan jurus pertahanan dari
Sam-po-cin-keng telah menutup tubuhnya sehingga Maharya tidak dapat
menyusulkan serangan maut kepada lawan yang telah terluka itu.
"Kwi Hong... lari...!" teriakan Bun Beng sekali ini terdengar lirih
karena dadanya sesak dan napasnya terengah. Kwi Hong terkejut sekali,
menoleh dan melihat betapa pemuda itu makin terdesak hebat. Ia marah
bukan main karena belum juga mampu mengalahkan Tan-siucai.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dari atas disusul menyambarnya
bayangan hitam yang besar. Bunyi kelepak sayap bercampur dengan pekik
melengking dan tertawa nyaring memenuhi udara ketika bayangan hitam itu
menyambar ke arah Bun Beng dan Maharya yang sedang bertempur. Sinar
putih panjang dua buah, seperti dua ekor ular putih yang amat panjang,
menyambar ke arah tangan Bun Beng sedangkan paruh besar burung rajawali
menyambar ke arah tangan Maharya yang memegang ular putih.
Bun Beng berteriak kaget ketika tiba-tiba tangan kanannya menjadi lemas
terkena totokan sinar putih dan selagi dia belum sempat mengembalikan
tenaga untuk memegang gagang pedang erat-erat, Pedang Lam-mo-kiam telah
terlibat tali putih dan terlepas dari tangannya. Juga Maharya berseru
keras ketika tiba-tiba ia diserang oleh pukulan sayap dan selagi ia
mengelak, ular putih telah terlempar dari tangannya. Dua orang yang
sedang bertanding ini melompat mundur, memandang ke atas dan tampaklah
oleh mereka seorang pemuda tampan menunggang seekor rajawali raksasa
sedang tertawa-tawa memegangi pedang Lam-mo-kiam di tangan kanan dan
ular putih yang dirampas rajawali di tangan kiri!
"Iblis cilik dari Pulau Neraka!" Bun Beng memaki. "Kembalikan pedangku!"
Pemuda di atas punggung rajawali itu hanya tertawa mengejek dan pada
saat itu, segumpal asap hitam yang dilepas oleh Maharya secara diam-diam
menyerang muka Bun Beng. Pemuda ini gelagapan, menyedot asap hitam dan
seketika kepalanya pening, pandang matanya gelap dan ia
terhuyung-huyung.
"Desss!" Kembali punggungnya dihantam tangan kiri Maharya dan ia roboh
terguling. Namun ia masih sempat berteriak, "Kwi Hong, lari...!"
Kemudian ia merangkak bangun duduk bersila memejamkan mata dan berusaha
mengusir pengaruh asap beracun yang membuatnya pening dan lemas, apa
lagi punggungnya yang telah dua kali dihantam oleh tangan kiri Maharya
yang lihai membuat napasnya sesak.
Maharya yang tadinya menyangka bahwa pemuda di punggung rajawali yang
datang itu mungkin akan mengeroyoknya, telah merobohkan Bun Beng lebih
dulu, kemudian kini ia mengacungkan tangannya ke atas. "Bocah setan, tak
peduli engkau dari Pulau Neraka, turunlah sebelum engkau dan rajawalimu
mampus di tangan Pendeta Sakti Maharya!"
Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera To-cu Pulau Neraka. Ia
tertawa dan memainkan ular putih di tangan kirinya. "Heh-heh, setan tua.
Ular putihmu ini baik sekali, tentu kau dapatkan di Himalaya, bukan?"
Diam-diam Maharya terkejut juga. Ular putihnya itu adalah seekor
binatang yang racunnya ampuh sekali. Jarang ada orang sakti yang akan
mampu menahan racun binatang itu dan sudah bertahun-tahun ia memelihara
dan melatihnya sehingga ular itu akan menjadi ganas kalau dipegang orang
lain. Mengapa kini di tangan pemuda itu, ularnya menjadi jinak sekali?
Namun tidak peduli anak setan dari mana pemuda itu, dia harus merampas
kembali Pedang Lam-mo-kiam dan ular putih. Ia menggerakkan tangannya dan
sinar hitam menyambar ke arah burung rajawali yang terbang rendah.
Pemuda itu memutar pedang Lam-mo-kiam dan burung rajawali mengibaskan
sayapnya, namun tetap saja ada sebatang jarum mengenai kaki burung itu
sehingga burung itu memekik keras dan terhuyung.
"Crakk!" Pedang Lam-mo-kiam bergerak dan kaki burung yang terkena jarum hitam itu telah dibuntungi penunggangnya!
"Setan tua itu membikin kakimu putus, hek-tiauw (rajawali hitam), hayo
kita bunuh dia!" Pemuda itu berseru dan rajawali itu telah menyambar
turun dengan penuh kemarahan.
Disambar oleh cakar dan paruh, dihantam oleh sayap yang besar, serta
ditambah lagi serangan pedang Lam-mo-kiam dan ular putihnya sendiri
benar-benar membuat Maharya menjadi kaget bukan main. Ia menggulingkan
tubuhnya ke atas tanah dan hanya dengan jalan bergulingan ini ia
terbebas dari bahaya maut.
Sementara itu, saat Kwi Hong melihat penunggang burung rajawali, mukanya
berubah dan ia merasa gelisah sekali. Tentu saja dia mengenal Wan Keng
In dan maklum bahwa pemuda Pulau Neraka itu merupakan musuh besar,
sehingga tentu akan menambah lawannya.
Saat itu ia melihat Bun Beng terguling dan mendengar pesan terakhir
pemuda itu. Tidak baik melawan terus, pikirnya. Melawan berarti akan
kalah dan pedang Li-mo-kiam akan terampas pula. Apa artinya melawan
kalau tidak akan dapat menolong Bun Beng dan merampas kembali Pedang
Lam-mo-kiam dan Pedang Hok-mo-kiam? Lebih baik seperti yang diminta Bun
Beng, melarikan diri selagi ada kesempatan, kemudian melapor kepada
pamannya karena kalau bukan pamannya sendiri yang turun tangan,
bagaimana mungkin pedang-pedang itu dapat dirampas kembali?
Alisnya berkerut dan hatinya terasa sakit sekali ketika mengerling ke
arah Bun Beng yang terpaksa harus ia tinggalkan. Ia berseru keras,
pedangnya menyerang ganas sehingga Tan-siucai kaget dan meloncat mundur.
Ketika ia memandang ke depan, gadis lawannya itu telah meloncat-loncat
jauh dan melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar gurunya
berteriak,
"Tan Ki... bantu aku...!"
Ia menengok dan terkejut sekali melihat pemuda yang menunggang burung
rajawali itu sambil terkekeh-kekeh menyerang gurunya dari atas,
menyambari gurunya seperti seekor burung mempermainkan tikus! Ia menjadi
marah dan maju menyerang dengan pedangnya ketika pemuda di atas
punggung rajawali itu kembali turun menyambar.
"Trangggg...! Bukkk!" Pemuda di atas punggung rajawali itu berseru
kaget, sementara rajawalinya memekik kesakitan dan terbang tinggi.
Pemuda itu kaget karena pedang laki-laki yang menangkisnya itu ternyata
dapat membuat Lam-mo-kiam terpental dan tangannya tergetar, sedangkan
pukulan tangan kiri bersarung emas Maharya telah mengenai paha rajawali
itu.
Wan Keng In yang sudah memeriksa pedangnya dan maklum bahwa secara tidak
terduga-duga dia telah mendapatkan sebatang di antara Sepasang Pedang
Iblis yang dicari-cari ibunya, tidak mau menempuh bahaya menghadapi dua
orang di bawah yang ternyata lihai itu, apa lagi kini rajawalinya
terluka berat, sebelah kakinya buntung dan bercucuran darah, sedangkan
pahanya juga terluka oleh hantaman kakek sakti itu. Belum tentu
rajawalinya akan kuat membawanya terbang ke Pulau Neraka, maka ia lalu
menyuruh rajawalinya terbang tinggi dan kembali ke Pulau Neraka.
Maharya menyumpah-nyumpah. "Anak Iblis! Keparat jahanam! Dia sudah membawa lari ularku!"
"Dan Lam-mo-kiam juga dirampasnya. Semua ini kesalahan pemuda sialan
itu! Kita bunuh saja dia!" Ia melangkah lebar dan mengayun Hok-mo-kiam
ke arah leher Bun Beng yang masih duduk bersila mengatur pernapasan.
Karena tidak sanggup membela diri lagi, Bun Beng tetap tidak bergerak,
menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.
"Jangan!" Tiba-tiba Maharya berteriak dan Tan Ki menahan pedangnya, menoleh dan memandang gurunya dengan heran.
"Mengapa? Apakah Guru menaruh kasihan kepada bedebah ini?"
"Ha-ha-ha, hatiku sakit sekali karena gara-gara dia sarung tanganku
robek, ularku lenyap dan Lam-mo-kiam juga hilang. Aku senang bukan main
melihat dia mampus, akan tetapi amat enaklah kalau kau membunuhnya
begitu saja. Kita harus membuat dia mati perlahan-lahan, biar dia
menderita sampai empat puluh hari, mati tidak hidup pun bukan, baru
benar-benar mampus, ha-ha-ha!"
Tan-siucai tertawa geli. "Maksudmu bagaimana, Guru?"
"Begini!" Maharya menghampiri Bun Beng dari belakang dan tangan kirinya
yang memakai sarung tangan bergerak, jari-jarinya menusuk. Bun Beng
maklum bahwa dirinya diserang, akan tetapi tubuhnya lemas, tenaganya
habis sehingga melawan pun hanya akan menyiksa diri, maka dia diam saja
menerima hantaman maut.
"Cusss! Cusss!"
Dua kali Maharya menggerakkan jari-jarinya yang menotok di belakang
pinggang, kanan kiri tulang punggung. Bun Beng tidak merasakan sesuatu,
hanya rasa pegal di tempat yang ditotok.
"Ha-ha-ha, aku mengacaukan jalan darahnya, menindas hawa pusar dan
membalikkan hawa kundalini. Dia akan keracunan, kedua kakinya akan
lumpuh, darahnya perlahan-lahan akan kotor dan menghitam dan dia setiap
hari akan menderita hebat, sedikit demi sedikit nyawanya terancam,
sampai empat puluh hari. Dia mati sekerat demi sekerat, ha-ha-ha!"
Tan-siucai juga tertawa-tawa, akan tetapi hatinya tidak puas ketika
melihat betapa dua kali totokan gurunya itu tidak membuat Bun Beng
kesakitan. "Terlalu enak kalau dia tidak diberi rasa, dan hatiku tidak
puas kalau tidak menyiksanya tanpa membunuhnya."
Gurunya mengangguk. "Asal jangan kau gunakan sinkang agar tidak membunuhnya, sesukamulah."
"Kalau tidak gara-gara dia, kita tidak kehilangan dan tentu keponakan
Pendekar Siluman sudah dapat kubekuk. Biar dia tahu rasa!" Tan-siucai
mengayun kakinya, tanpa menggunakan tenaga sinkang menendang ke arah ulu
hati Bun Beng.
"Ngekkk!" Walau pun tidak menggunakan sinkang, namun tendangan yang
keras itu membuat Bun Beng terjungkal dan ia muntahkan darah segar.
"Desss!" Kini pipi kanan Bun Beng yang mukanya rebah miring itu diinjak
sepatu. Ketika injakan yang keras ini membuat Bun Beng menggerakkan
kepala sehingga bangkit duduk lagi, Tan-siucai menendang yang kiri.
"Desss!" Tendangan keras sekali ini membuat tubuh Bun Beng terjengkang,
kepalanya pening, bibirnya berlepotan darah segar, mukanya
bengkak-bengkak dan membiru.
Tan-siucai tertawa-tawa girang akan tetapi ia masih belum puas. Dengan
langkah lebar ia menghampiri Bun Beng, dua kali kakinya bergerak ke arah
kedua lutut Bun Beng, menendang keras sekali.
"Krak! Krak!"
Tanpa mengeluh Bun Beng terguling pingsan, sambungan kedua lututnya terlepas!
"Cukup, kalau terlalu berat dia tidak akan menderita sampai empat puluh
hari. Mari kita pergi. Sayang sekali Sepasang Pedang Iblis terlepas dari
tangan kita. Kita kejar bocah perempuan itu!" Guru dan murid itu sambil
tertawa-tawa puas lalu berlari, bayangan mereka berkelebat dan tempat
itu menjadi sunyi sekali.
Tubuh Bun Beng menggeletak menelungkup dalam keadaan pingsan, sedangkan
tak jauh dari situ delapan belas buah mayat para pemuja Sun-go-kong
malang-melintang! Menyeramkan sekali keadaan di situ, apa lagi ketika
tampak beberapa ekor burung gagak hitam beterbangan dan berputaran di
atas tempat itu, agaknya mereka sudah mencium bau mayat dan darah.
Bun Beng sadar dan membuka matanya ketika ia merasa pipinya sakit
seperti ditusuk-tusuk pedang. Betapa mendongkol dan marah hatinya ketika
ia melihat dua ekor burung gagak mematuki darah dari pipinya. Sekali
mengibas dengan tangan, dua ekor burung itu terpental dan mati seketika.
Gerakan ini membuat burung-burung gagak yang lain terbang ke atas dan
Bun Beng bergidik. Burung-burung keparat itu pesta mematuki mayat-mayat,
makan daging dan darah dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu.
Dengan hati terharu ia memandang ke sekeliling. Hatinya merasa sengsara
sekali menyaksikan delapan belas orang itu telah menjadi mayat, dan
lebih sakit lagi hatinya karena dia tidak dapat mengubur jenazah mereka.
Kedua kakinya tak dapat ia gerakkan, sambungan lutut kedua kakinya
terlepas dan rasa nyeri yang amat hebat menusuk tulang-tulangnya. Ia
mengeluh dan bangkit duduk. Dengan jari tangannya ia menotok jalan darah
di paha untuk melenyapkan rasa nyeri di lututnya, kemudian sedapat
mungkin ia mengurut lutut-lututnya. Kemudian ia menggerakkan kedua
tangannya, mengesot dan setengah merangkak meninggalkan tempat itu.
Dia harus pergi dari situ, tidak tega ia menyaksikan mayat-mayat itu
dimakan burung. Mereka telah mati dalam membelanya. Ia menoleh sebentar
dengan air mata membasahi bulu matanya, dia berbisik, "Sahabat-sahabatku
sekalian, aku bersumpah kalau masih dapat sembuh dan hidup, aku akan
membalas kematian kalian kepada Maharya dan Tan Ki." Kemudian ia
merangkak terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya
terasa sakit, terutama sekali dada dan perutnya. Ia maklum bahwa ia
telah terluka hebat dan jalan darahnya menjadi kacau-balau, membuat
setiap buku tulang terasa seperti ditusuki jarum.
Susah payah Bun Beng merangkak. Bagaimana ia dapat menuruni bukit yang
terjal itu? Ah, bagaimana pula nasib Kwi Hong? Mudah-mudahan dia dapat
melarikan diri, pikirnya dan ia menjadi agak lega. Biar pun dia mati,
tentu Pendekar Super Sakti akan membalaskan sakit hatinya. Bertambah
pula musuh-musuhnya, musuh yang amat sakti.
Musuh-musuh pertamanya, Koksu Negara Im-kan Seng-jin dan para
pembantunya sudah merupakan lawan yang berat dan belum dapat ia jumpai,
kini muncul pula musuh-musuh yang tidak kalah saktinya, yaitu Tan Ki dan
gurunya yang pandai ilmu sihir! Dan dia maklum bahwa guru dan murid itu
telah membuat dia menjadi seorang cacad dan tinggal menunggu maut.
Pukulan beracun itu takkan dapat ia obati, apa lagi dengan kedua kaki
tak dapat dipakai berjalan, apa dayanya? Namun dia tidak putus asa,
tidak mau putus asa. Selagi ia masih hidup, dia akan berusaha
menyembuhkan luka-lukanya, berusaha pergi dari tempat berbahaya ini!
Malam itu Bun Beng mengalami malam yang paling sengsara. Ia berusaha
duduk bersila bersiulian, namun tetap saja ia tidak dapat mengerahkan
tenaganya. Begitu ia mengerahkan sinkang, perutnya terasa panas seperti
dibakar dan seluruh tubuh terasa gatal-gatal. Ia hanya dapat melatih
pernapasan, menghirup udara segar, itu pun tidak dapat ia tarik ke pusar
seperti biasa karena hal ini juga menimbulkan rasa nyeri yang sama.
Semalaman ia tidak tidur dan kalau ia teringat akan malam penuh bahagia
bersama Kwi Hong, ia tersenyum pahit. Baru kemarin ia mengalami malam
yang paling bahagia selama hidupnya, duduk menghadapi api unggun,
menatap wajah gadis itu yang tidur nyenyak dan merasa betapa dunia
menjadi amat indah. Kini perubahan itu seperti sorga dan neraka. Ia
teringat akan wejangan Siauw Lam Hwesio bahwa memang demikianlah hidup.
Sorga dan neraka penghidupan muncul dan lenyap saling berganti!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah terang tanah, Bun Beng
melanjutkan usahanya menuruni bukit dengan merangkak perlahan-lahan.
Betapa ia dapat melakukan perjalanan cepat kalau ia hanya mengandalkan
kedua tangannya untuk menarik tubuhnya secara mengesot?
Tubuhnya terasa makin panas. Darah yang mengalir ke kepalanya
seolah-olah membakar kepala dan menjelang tengah hari ia tidak kuat
lagi. Ia rebah di bawah sebatang pohon dalam keadaan setengah pingsan.
Ketika ia meletakkan pipinya yang masih membengkak dan nyeri
berdenyut-denyut itu ke atas tanah berumput yang dingin basah, ia merasa
betapa nikmatnya tidur seperti itu. Ingin ia tidak dapat bangun
kembali, rebah seperti itu untuk selamanya!
Sebuah kaki bersepatu membalikkan tubuhnya yang menelungkup. Ia
terlentang dan pandang matanya berkunang. Dalam keadaan setengah pingsan
ia melihat beberapa orang berdiri mengelilinginya dan jantungnya
berdebar penuh kemarahan ketika ia mengenal seorang di antara mereka
adalah pemuda Pulau Neraka, si penunggang rajawali! Bagaimana pemuda ini
bisa muncul kembali?
Pemuda yang datang bersama dua orang anggota Pulau Neraka bermuka merah
tua itu adalah Wan Keng In. Pemuda ini tadinya hendak kembali ke Pulau
Neraka menunggang rajawali yang terluka parah. Hatinya girang
mendapatkan Lam-mo-kiam, akan tetapi juga kecewa karena dia tidak dapat
mengalahkan kakek India dan sastrawan yang menjadi murid kakek itu.
Kecewa karena dia tidak bisa mendapatkan pedang Li-mo-kiam karena ibunya
tentu akan girang sekali kalau dia bisa mendapatkan Sepasang Pedang
Iblis itu, bukan hanya yang jantan, pula, dia pun ingin sekali
mendapatkan pedang Si Sastrawan yang mampu menandingi Lam-mo-kiam.
Dengan hati girang Wan Keng In melihat seekor burung rajawalinya terbang
di udara. Ia bersuit nyaring dan ketika rajawali itu terbang dekat, ia
lalu pindah ke atas punggung rajawali yang sehat. Ketika ia terbang
rendah di pantai, ia melihat sebuah perahu hitam, perahu Pulau Neraka.
Cepat ia turun dan ternyata perahu itu adalah perahu yang ditumpangi dua
orang anggota Pulau Neraka bermuka merah. Biar pun ia agak kecewa
mendapat kenyataan bahwa yang berada di perahu hanyalah dua orang
anggota rendahan yang tidak dapat banyak diandalkan, namun ia girang
juga dan cepat mengajak mereka untuk pergi ke bukit itu. Dia harus
menyelidiki bukit itu. Siapa tahu pusaka-pusaka yang yang lain berada di
situ.
Demikianlah, ketika di tengah jalan ia melihat Bun Beng yang menggeletak
setengah pingsan, alisnya berkerut. "Inilah orangnya yang memegang
pedang yang kurampas. Kepandaiannya lumayan juga. Eh, orang yang terluka
parah, aku akan mengobatimu sampai sembuh, akan tetapi katakanlah, dari
mana engkau mendapatkan Siang-mo-kiam? Dan mana yang sebatang lagi?"
Mendengar pertanyaan ini, Bun Beng menggeleng kepala tanpa menjawab.
Biar pun benar-benar pemuda Pulau Neraka ini akan dapat menyembuhkannya,
dia tetap tidak sudi memberi tahu kepada pemuda yang dibencinya itu
tentang sepasang pedang iblis yang kini telah dirampasnya sebatang.
Lebih baik dia mati dari pada memberi tahu bahwa pedang yang sebuah lagi
dipegang Kwi Hong. Kalau pemuda ini naik burung rajawali mengejar dan
mencari Kwi Hong dari atas, gadis itu bisa terancam bahaya.....
"Apakah engkau mendapatkannya di bukit ini? Apakah ada pusaka lain lagi?
Kitab pelajaran kuno? Kulihat engkau menderita pukulan beracun yang
amat berbahaya!" Wan Keng In mendesak lagi, akan tetapi Bun Beng
menggeleng kepala dan memejamkan mata, tidak menjawab.
Keng In menggerakkan jari tangannya menotok pundak Bun Beng dan pemuda
yang sudah terluka parah ini sama sekali tidak mampu bergerak. "Kalian
bawa dia ke perahu dan bawa ke pulau, tentu Ibu akan mendapat akal untuk
mengorek rahasia darinya. Dia lihai, akan tetapi dia terluka parah dan
sudah kutotok. Akan tetapi, kalian harus tetap berhati-hati membawanya,
jangan sampai gagal. Aku akan menyelidiki keadaan bukit ini dulu, cukup
mencurigakan."
"Baik, Kongcu (Tuan Muda)." Dua orang anggota Pulau Neraka yang bermuka
merah itu lalu mengangkat tubuh Bun Beng, menggotongnya dan membawanya
turun dari bukit.
Semetara itu, Wan Keng In lalu mendaki puncak dan mencari-cari. Akan
tetapi dia hanya menemukan mayat delapan belas orang gagah itu dan biar
pun dia telah mencari sampai sehari penuh, dia tidak menemukan apa-apa
kecuali sebuah kitab kecil pelajaran Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat. Biar
pun yang ditemukan sama sekali bukan pusaka-pusaka yang diharapkan namun
kitab ini ia kantongi dan ia bawa pergi setelah ia bersuit memanggil
burung rajawali yang mengikuti perjalannya bersama dua orang anggotanya
dari atas.
Sementara itu Bun Beng digotong oleh dua orang Pulau Neraka menuju ke
pantai sunyi di mana mereka menyembunyikan perahu mereka, kemudian
merebahkan Bun Beng di dekat perahu dan melayarkan ke laut. Bun Beng
masih berusaha sedapat mungkin untuk membebaskan totokan. Dia
memberontak di dalam hatinya. Tidak sudi ia dibawa ke Pulau Neraka!
Dengan bujukan halus dari Kwi-bun Lo-mo saja dia masih tidak mau, apa
lagi menjadi tawanan yang luka berat seperti sekarang ini, dan dibawa ke
sana hanya untuk dipaksa mengaku tentang Sepasang Pedang Iblis!
Ia harus dapat melepaskan diri, karena kalau sampai ia dibawa ke Pulau
Neraka, habislah harapannya. Bagaimana ia akan dapat keluar dari pulau
itu? Dari pada hidup tersiksa lahir batin di sana, lebih baik mati
sekarang karena berusaha melepaskan diri. Memang sukar mencari jalan
bebas mengingat akan luka-lukanya, tubuhnya yang lemah dan kakinya yang
tak dapat dipergunakan. Akan tetapi dia tidak memusingkan hal itu,
pertama-tama dia harus dapat membebaskan totokan itu lebih dulu. Kedua
kakinya memang tak dapat dipergunakan, akan tetapi ia masih mempunyai
kedua tangan!
Lautan utara ini sunyi sekali. Hanya ada beberapa buah layar kecil
tampak dari jauh, yaitu layar para nelayan yang untuk mencari nafkah
hidupnya berani menempuh jarak jauh dan menentang ancaman bahaya maut di
tengah laut yang kadang-kadang amat ganas itu.
Setelah perahu meninggalkan pantai, barulah Bun Beng berhasil
membebaskan diri dari totokan. Dia mengeluh karena setelah kini berada
di perahu dan di tengah laut, andai kata ia dapat membebaskan diri dari
dua orang itu sekali pun, habis apa yang dapat ia lakukan? Dengan
hati-hati Bun Beng merangkak mendekati langkan di pinggir geladak,
menggunakan kesempatan selagi dua orang itu sibuk dengan kemudi dan
layar. Ia menjangkau langkan dan menarik tubuhnya ke atas untuk
mengintai ke luar. Sunyi di luar, tidak tampak perahu lain. Akan tetapi
di kejauhan itu... ah, ada sebuah perahu kecil di sana, dengan seorang
penumpangnya. Kalau saja ia dapat menarik perhatian orang itu, tentu
orang itu seorang nelayan biasa yang akan suka menolongnya. Untung bahwa
perahu layar Pulau Neraka ini sedang meluncur menuju ke perahu kecil di
kejauhan itu.
"Heeiii... kau mau ke mana...?" Seorang bermuka merah yang kumisnya
panjang melintang berteriak sambil loncat mendekat. Ia takut kalau-kalau
tawanan itu meloncat ke luar perahu. Kalau sampai mereka kehilangan
tawanan itu, hidup atau mati tentu kongcu akan marah sekali dan
mengingat akan hukumannya, mereka bergidik.
"Kau tidak boleh ke mana-mana, hayo kembali ke sini!" Si Muka Merah berkumis itu menggerakkan tangan hendak menangkap Bun Beng.
"Dessss! Augghhhh...!" Pukulan tangan kanan Bun Beng yang dilakukan
secara tiba-tiba itu mengenai kepala Si Kumis Panjang dengan tepat. Biar
pun Bun Beng terluka, namun pukulannya itu cukup kuat untuk memecahkan
kepala anggota Pulau Neraka tingkat rendahan itu sehingga tubuhnya
terjerembab dalam keadaan tak bernyawa lagi!
"Heiii... keparat, apa yang kau lakukan?" Orang kedua cepat meloncat
bangun tidak peduli lagi akan kemudi, perahu mulai terombang-ambing.
Dia lari mendekati, kaget menyaksikan temannya telah tewas, dan dengan
marah dia mencabut golok lalu menyerbu Bun Beng yang masih duduk
bersandar langkan. Melihat serbuan golok ini, Bun Beng maklum bahwa dia
harus bekerja cepat. Ia tidak mempedulikan dada dan perutnya yang
menjadi panas dan nyeri sekali, terpaksa ia mengerahkan tenaga seadanya
dan tubuhnya mencelat ke atas, tangannya yang kiri memukul pergelangan
tangan kanan lawan sehingga goloknya terlepas, tangan kanannya menampar
pelipis.
"Plakk!" Orang itu roboh tanpa mengeluh.
Bun Beng juga terbanting jatuh di atas geladak. Ia melihat betapa perahu
itu dengan layar berkembang tanpa kemudi, meluncur miring. Sekilas
pandang ia melihat perahu kecil tadi tak jauh dari situ, maka sekali
lagi ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya menekan geladak dan tubuhnya
mencelat ke atas keluar dari langkan.
"Jebuuuurrrr...!" Bun Beng terbanting ke permukaan air laut dengan
kepala lebih dulu. Bun Beng gelagapan, berusaha untuk berenang, akan
tetapi orang yang kedua kakinya sudah tak dapat digerakkan, yang
tubuhnya sudah terluka berat macam dia, mana mungkin dapat berenang? Dia
hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya karena pengerahan tenaga tadi
membuat napasnya terengah dan tubuhnya lemah sekali, tetap saja gerakan
tangannya kurang kuat dan beberapa kali ia tenggelam sehingga terpaksa
minum air laut yang asin.
Tiba-tiba Bun Beng merasa rambutnya dijambak ke atas dan tubuhnya timbul
kembali ke permukaan air, kini tidak tenggelam lagi sehingga ia dapat
menggunakan kedua tangan untuk menghapus mukanya yang gelagapan. Kuncir
rambutnya terlibat dan dijambak ke atas, terasa pedas akan tetapi dia
tidak marah karena hal ini malah menolongnya, membuat dia tidak
tenggelam.
Akan tetapi ketika perlahan-lahan tubuhnya ditarik ke belakang dan ia
menoleh, matanya terbelalak dan ia mendongkol juga karena ternyata yang
mengait rambutnya adalah ujung pancing yang tangkainya dipegang oleh
seorang wanita di atas sebuah perahu kecil! Dia memang ditolong, akan
tetapi cara menolong itu benar-benar menghina sekali, seolah-olah dia
hanya sebuah benda tak berharga, bahkan dia seperti menjadi seekor ikan
aneh yang terkena pancing!
Betapa pun juga, hatinya lega ketika tahu-tahu tubuhnya melayang dan
terjatuh ke dalam perahu, di atas geladak yang sempit. Ia
terengah-engah, memejamkan mata, terasa betapa seluruh tubuhnya
sakit-sakit sehingga mau tak mau Bun Beng mengeluh lirih.
"Hemmm, engkau telah tiga perempat mati, rusak luar dalam... hemmm,
sungguh kasihan orang yang tak tahu diri ini, berani menentang Pulau
Neraka. Aahh, kakinya lumpuh pula... heran, dalam keadaan begini,
bagaimana dia bisa membunuh dua orang Pulau Neraka bermuka merah?"
Suara itu halus dan merdu sekali sehingga Bun Beng merasa seolah-olah
mimpi. Ia cepat membuka matanya dan... segera dipejamkannya kembali.
Sudah matikah dia? Beginikah rasanya mati dan bertemu bidadari? Kalau
sudah mati, kenapa tubuhnya masih terasa nyeri semua dan kakinya masih
tak dapat ia gerakkan? Kalau masih hidup, bagaimana mungkin ia bertemu
bidadari di tengah lautan? Celaka, jangan-jangan dewi penjaga lautan.
Kalau manusia biasa, tak mungkin begitu cantik seperti bidadari, begitu
halus, suaranya pun tidak seperti suara manusia, begitu merdu seperti
orang bernyanyi, dan mungkinkah seorang manusia semuda dan secantik
jelita itu seorang diri saja di tengah lautan?
"Eh, aku seperti pernah mengenal orang ini, akan tetapi tidak mungkin,
mukanya rusak begini mana bisa dikenal? Aihhhh, dia terkena pukulan
beracun yang luar biasa! Aduh kasihan sekali, siapa sih orang yang
malang ini...?"
Mendengar suara halus merdu itu yang menyatakan kasihan kepadanya, tak
terasa pula kedua mata Bun Beng menjadi panas dan dua butir air mata
bertitik turun. Tanpa membuka matanya ia berkata, "Mohon pertolongan
Pouwsat (Dewi)... hamba masih belum ingin mati karena masih banyak tugas
yang harus hamba laksanakan...! Harap Pouwsat tidak kepalang menolong
hamba...!"
"Aihhhh... otaknya sudah miring pula. Sungguh kasihan. Agaknya
penderitaan yang hebat ini membuat otaknya menjadi berubah miring. Tidak
mengherankan, jarang ada orang di dunia ini masih dapat hidup setelah
mengalami luka-luka parah luar dalam seperti dia ini. Aihhhh, sungguh
sialan. Memancing setengah hari tidak mendapat ikan besar, hanya
beberapa ekor ikan kecil. Sekali dapat yang besar, orang yang tidak
waras luar dalam dan pikirannya, apa yang harus kulakukan dengan dia?"
Bun Beng menghentikan dugaannya yang bukan-bukan. Celaka dua belas,
kiranya benar seorang manusia! Disangkanya Kwan Im Pouwsat! Mendengar
ucapan terakhir itu, ia menghela napas dan berkata,
"Kalau kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, nah, lemparkan aku kembali ke laut. Siapa sih yang minta pertolonganmu tadi?"
"Aihhh... masih bisa marah? Jelas miring otaknya! Hemmm, mengapa nasibku
selalu harus bertemu dengan orang yang jatuh ke laut? Sungguh aneh
jaman sekarang ini banyak orang terapung-apung di laut."
Kini Bun Beng membuka matanya dan kebetulan dara itu pun memandangnya.
Memang Bun Beng boleh dimaafkan kalau tadi menyangka wanita ini dewi
laut atau bidadari karena memang dia seorang dara yang luar biasa
cantiknya. Tubuhnya tinggi ramping dengan bentuk tubuh yang hebat,
wajahnya begitu jelita seperti gambar, kulitnya putih halus seperti
salju, gerak-geriknya ketika berdiri di geladak begitu lemah gemulai
seperti batang pohon liu tertiup angin, pakaiannya indah sekali sesuai
dengan orangnya, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu digelung
tinggi di atas kepalanya, dihias dengan hiasan rambut terbuat dari
mutiara. Seorang dara yang... bukan main.
Akan tetapi, begitu dua pasang mata itu saling pandang, hampir berbareng keduanya berseru.
"Nona Milana...!"
"Engkau... Gak-twako... aih, pantas aku seperti mengenalmu, kiranya
engkau Gak Bun Beng! Aduh, bagaimana engkau sampai menjadi begini,
Gak-twako?"
Bun Beng menarik napas panjang, lalu menggunakan kedua lengannya untuk
bangkit duduk. Ia menyeringai kesakitan dan dengan sikap lemah lembut
Milana membantunya duduk di atas geladak. Sejenak mereka saling pandang.
Milana dengan penuh rasa kasihan. Bun Beng dengan penuh rasa kagum dan
juga tidak enak hati karena ia berjumpa dengan dara yang sejak kecil
berwatak halus ini dalam keadaan seperti itu. Dara itu kini telah
dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak. Bukan main!
Seorang dara tujuh belas tahun yang seperti dewi kahyangan! Debar
jantung Bun Beng mengatasi segala rasa nyeri dan pemuda ini cepat
mengalihkan pandang matanya, menunduk dan menghela napas panjang.
"Panjang sekali ceritanya, Nona. Akan tetapi yang jelas... aku dilukai
oleh seorang kakek India bernama Maharya dan muridnya, Tan-siucai yang
gila..."
"Ohhh? Mereka yang dulu membunuh Kakek Nayakavhira itu? Yang mencuri Pedang Hok-mo-kiam?"
"Benar, Nona Milana, engkau masih ingat itu semua? Ingat akan pengalaman kita bertahun-tahun yang lalu itu...?"
"Tentu saja aku ingat. Pengalaman hebat kita dengan kakek muka kuning,
kemudian sampai kita berpisah kembali, selamanya tak dapat kulupa. Aihh,
Gak-twako, kenapa mereka melukaimu seperti ini? Ini namanya sengaja
menyiksa, mengapa kau tidak dibunuhnya akan tetapi disiksa seperti ini?"
"Gara-gara Sepasang Pedang Iblis...," jawabnya lirih dan kembali ia
merintih serta menyeringai karena dadanya terasa sakit sekali.
"Sepasang Pedang Iblis?" Milana berseru kaget sekali.
"Benar dan aauuggghh..." Bun Beng tak dapat bertahan lagi. Pengerahan
tenaga tadi ketika melawan dua orang itu membuat dadanya sakit sekali
dan ia roboh pingsan!
Ketika Bun Beng siuman kembali, ia telah berada di atas kuda, di
belakangnya duduk Milana. Rasa nyeri menguak ke seluruh tubuhnya, akan
tetapi tidak dapat mengatasi debar jantungnya ketika ia merasa betapa
tubuhnya setengah ditahan dan dipeluk oleh Milana. Bukan main! Di atas
segala rasa nyeri, terasa olehnya kehangatan dan kelunakan tubuh dara
itu, membuatnya cepat memejamkan mata kembali dan ingin pingsan terus!
Tetapi dara itu agaknya telah dapat mengerti bahwa dia telah siuman.
Didorongnya tubuh Bun Beng ke depan. "Bagaimana, Gak-twako? Apakah kau
kuat menunggang kuda bersamaku? Harap kau pertahankan, engkau harus
mendapat perawatan yang baik. Agaknya Ibu akan dapat menolongmu..."
Gadis itu bicara halus dan penuh iba.
Bun Beng memaksa tubuhnya untuk duduk tegak di atas kuda yang berjalan
perlahan. "Aihhh... aku menyusahkan engkau saja, Nona. Ibumu seorang
sakti, akan tetapi aku merasa sangsi apakah Beliau akan dapat
menyembuhkan aku. Menurut kata kakek India itu, dalam waktu empat puluh
hari aku akan mati sekerat demi sekerat. Melihat rasanya tubuhku, dia
agaknya tidak membohong. Darahku telah keracunan, tidak ada yang akan
dapat menyembuhkanku. Aahh, semua salahku sendiri, terlalu menurutkan
kata hati tanpa mempertimbangkan dan tanpa menyadari bahwa kepandaianku
masih amat rendah. Aku berani mengacau Thian-liong-pang... itulah
mula-mula segala mala petaka yang menimpa diriku..."
"Apa? Kau mengacau Thian-liong-pang?"
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Milana mendengar ini.
Thian-liong-pang adalah tempat tinggalnya karena ibunya adalah Ketua
Thian-liong-pang. Akan tetapi hal ini harus dipegang rahasia, dan dia
tidak dapat menceritakannya kepada siapa pun juga. "Mengapa kau memusuhi
Thian-liong-pang?"
"Perkumpulan iblis busuk itu! Jahat sekali! Mereka menangkap tokoh-tokoh
kang-ouw untuk dicuri ilmu mereka. Hemmm, dan Ketuanya amat ganas,
kejam, licik dan sakti. Kiranya hanya Ayahmu, Pendekar Super Sakti To-cu
Pulau Es saja yang akan dapat membasmi Thian-liong-pang...!"
"Gak-twako, orang tidak perlu mencampuri urusan orang lain kalau belum
diketahuinya betul keadaannya. Apakah engkau sudah mengenal Ketua
Thian-liong-pang sehingga dia kau maki ganas, kejam, licik dan sakti?
Kurasa, orang seperti engkau sekali pun akan dapat salah sangka, maka
sebaiknyalah kalau kau tidak mencampuri urusan orang-orang lain,
terutama Thian-liong-pang atau Pulau Neraka. Mereka amat berpengaruh dan
lihai, tidak ada perkumpulan lain atau seorang gagah pun berani lancang
menentang mereka."
Bun Beng mengerutkan alisnya. Mengapa puteri Pendekar Super Sakti, yang
tentu memiliki ilmu yang tinggi seperti tadi dia saksikan sendiri ketika
menolongnya dengan kail, mengeluarkan ucapan begitu jeri terhadap
Thian-liong-pang dan Pulau Neraka? Dia merasa penasaran melihat sikap
Milana seperti ketakutan.
"Nona, kalau engkau takut terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka,
mengapa kau menolongku? Lebih baik kalau kau tinggalkan aku di sini
saja!"
Milana tersenyum sabar mendengar ucapan itu dan melihat betapa Bun Beng
bergerak hendak turun dari kuda yang tentu merupakan hal yang sukar bagi
pemuda itu karena kakinya lumpuh dan tenaganya habis. "Gak-twako,
engkau benar-benar seorang yang amat tinggi hati! Aku menolongmu dengan
hati tulus ikhlas dan kosong tanpa pamrih, hanya berdasarkan perasaan
iba yang akan kulakukan terhadap siapa pun juga yang membutuhkan
pertolongan seperti engkau. Mengapa harus kudasarkan kepada perasaan
takut atau tidak? Twako, apakah engkau menganggap aku seorang pengecut
dan penakut yang akan membiarkan orang terluka parah seperti engkau
begitu saja tanpa berusaha mengobati dan menolongmu?"
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang halus, sama sekali tidak
mengandung kemarahan atau penyesalan sehingga diam-diam Bun Beng merasa
terkejut dan teringatlah ia betapa ucapannya tadi kasar dan menyakitkan
hati. Maka ia cepat berkata, "Maafkan aku, Nona. Bukan sekali-kali aku
bermaksud bahwa Nona seorang penakut, hanya saja... aku telah dianggap
musuh oleh Thian-liong-pang, bahkan kaum Pulau Neraka agaknya juga
memusuhiku. Oleh karena itu, betapa hatiku akan merasa berdosa dan
menyesal kalau engkau akan dimusuhi mereka pula karena engkau telah
menolongku! Aku tidak ingin kau terseret dalam bahaya besar. Biarlah aku
saja yang menjadi korban keganasan mereka, jangan sampai engkau
terancam pula oleh bahaya."
Milana tersenyum. "Jangan khawatir, Twako. Aku dapat menjaga diri, dan
aku tidak akan membiarkan engkau dalam keadaan seperti ini terganggu
oleh siapa pun juga. Kurasa engkau belum mengenal betul
Thian-liong-pang. Menurut pendapatku, Thian-liong-pang, kumaksudkan
ketuanya, tidaklah begitu jahat seperti yang kau duga. Perbuatannya yang
aneh seperti menculik tokoh-tokoh kang-ouw itu tentu ada latar
belakangnya."
"Aku sudah tahu! Dia menculik mereka untuk diberi minum racun sehingga
dalam keadaan mabok dan tidak ingat apa-apa mereka mau saja diadu agar
mereka mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan dapat dicuri oleh Ketua
itu! Dan engkau keliru kalau menganggap Thian-liong-pang tidak jahat!
Anak buahnya adalah iblis-iblis yang kejam, yang suka membunuh orang
tanpa berkejap mata."
"Kurasa tidak demikian, Twako. Kalau memang anak buah Thian-liong-pang
ada yang menyeleweng, hal itu tentu di luar pengetahuan Sang Ketua,
karena tentu yang menyeleweng akan dihukum. Ada pun Ketua itu sendiri,
andai kata sampai membunuh orang, tentu ada sebab-sebabnya yang
memaksanya. Aku tidak percaya bahwa dia jahat seperti iblis. Hanya
engkaulah yang belum mengenalnya betul."
"Heii, kau seperti membelanya!" Bun Beng berkata penasaraan. "Engkau
tidak tahu, aku telah ditahan dan dijebloskan dalam kamar tahanan di
bawah tanah. Nyaris aku dibunuhnya kalau Si Kakek Muka Singa Sai-cu
Lo-mo yang mengaku masih paman kakekku itu tidak membujuk Ketua
Thian-liong-pang!"
"Ahhh, jadi begitukah?" Milana benar-benar terkejut. Baru sekarang dia
mendengar bahwa pemuda ini adalah cucu keponakan Sai-cu Lo-mo!
"Nona, agaknya engkau mengenal betul keadaan Thian-liong-pang!"
"Sedikit banyak aku sudah mendengar tentang perkumpulan itu, Twako.
Siapakah orangnya yang tidak mendengar tentang Thian-liong-pang yang
terkenal? Sudahlah, engkau perlu cepat diobati. Aku mempunyai obat
penguat badan, pencuci darah dan penyambung tulang patah. Tetapi racun
yang mengancam keselamatan nyawamu tak dapat kuobati, agaknya Ibu akan
dapat menolongmu, akan tetapi...." Milana menjadi bingung dan sangsi.
Betapa mungkin ibunya akan suka menolong pemuda yang sudah memusuhi
Thian-liong-pang ini?
"Akan tetapi apa, Nona?"
"Aku... aku harus mendapatkan air panas untuk mencuci luka-lukamu, dan
obatku harus kugodok, maka kita membutuhkan alat dapur. Di depan ada
sebuah dusun, di sana kau dapat beristirahat, Twako."
Kuda itu dilarikan cepat dan Bun Beng yang tidak dapat melihat wajah
gadis yang duduk di belakangnya itu, tidak melihat betapa wajah itu
penuh kekhawatiran. Juga keadaannya tidak memungkinkan dia setajam
biasa, baik penglihatan mau pun pendengarannya, sehingga dia tidak tahu
bahwa mereka berdua dibayangi oleh beberapa orang. Akan tetapi Milana
tahu akan hal ini maka gadis itu menjadi gelisah, apa lagi karena dari
gerakan dan tanda para pengejar itu dia tahu bahwa mereka adalah
orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya!
Dalam keadaan setengah sadar karena menderita luka hebat itu, Bun Beng
diturunkan dari atas kuda oleh Milana, dibantu oleh seorang petani yang
rumahnya disewa gadis itu, dan dibaringkan di atas sebuah dipan kayu
sederhana dalam ruangan rumah yang sederhana pula. Setelah petani itu
meninggalkan rumahnya yang telah dibayar sewanya secara royal oleh
Milana untuk waktu seminggu, Milana sibuk memasak obat, kemudian mencuci
muka Bun Beng dengan air hangat, membersihkan darah dari pipi dan
bibir, menaruh obat luka di tempat yang terobek sepatu Tan-siucai
kemudian memberi obat yang telah dimasaknya.
Bun Beng menjadi terharu, bukan oleh pertolongan yang dianggapnya wajar
karena hal itu dapat ia harapkan dari setiap orang manusia yang masih
memiliki kasih sayang di antara manusia. Bukan, bukan pertolongan itu
yang mengharukan hatinya, melainkan sentuhan-sentuhan jari tangan yang
demikian lembut, pandang mata yang demikian halus, perhatian yang
demikian penuh dicurahkan kepada dirinya. Kalau wajah itu tidak demikian
cantik jelita dan masih amat muda, tentu dia tidak akan yakin bahwa
yang merawatnya itu bukan ibunya! Hanya ibunya sendiri sajalah agaknya
yang akan merawat anaknya seperti itu!
"Nah, biar pun obatku tak mungkin mengusir racun dari tubuhmu,
setidaknya engkau akan merasa tenang dan tidak begitu menderita nyeri
lagi, Twako. Dan obat yang kugosokkan pada lututmu itu, dalam waktu
sepekan tentu akan memulihkan kembali sambungan kedua lututmu sehingga
engkau akan dapat berjalan lagi."
"Nona Milana... terima kasih. Engkau...!"
"Husshhh... tidurlah, Twako. Aku akan masak bubur dan membuatkan minuman teh..."
Gadis itu menjauhi dipan dan mulai sibuk membuat bubur dan membelakangi
Bun Beng karena dia hendak menyembunyikan wajahnya yang penuh
kegelisahan. Dia bukan seorang ahli pengobatan, namun sedikit
pengetahuan yang dimilikinya cukup membuat dia tahu bahwa pemuda itu
menderita luka keracunan yang amat hebat. Biar pun ia tahu ibunya sakti,
namun ibunya sendiri pun belum tentu dapat menyembuhkan pemuda itu.
Yang membuat dia gelisah bukan main adalah kenyataan bahwa Bun Beng
memusuhi Thian-liong-pang! Mungkinkah ibunya suka menolongnya?
Bun Beng dapat tidur pulas berkat obat Milana yang agaknya mengandung
pula obat tidur. Hari telah mulai gelap dan Milana menyalakan tiga
batang lilin di tempat lilin kuno yang tergantung di sudut ruangan.
Beberapa kali dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar rumah dan
dia tahu bahwa itu adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah
ibunya. Bahkan dia mengenal pula siapa yang memimpin rombongan delapan
orang Thian-liong-pang itu, ialah sepasang kakak beradik kembar yang
amat lihai.
Dia tahu bahwa dua orang kembar itu, Su Kak Liong dan Su Kak Houw,
adalah dua orang kepercayaan ibunya dan sudah sering diutus melakukan
hal-hal berbahaya di luar perkumpulan yang selalu dilaksanakan dengan
hasil baik. Sejak kecil Milana tidak pernah diberi tahu oleh ibunya akan
urusan Thian-liong-pang, namun karena dia digembleng ilmu oleh ibunya
sendiri, dia tahu bahwa kepandaian dua orang kembar ini hanya bertingkat
sedikit di bawah tingkat pembantu-pembantu ibunya seperti Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang atau Sai-cu Lo-mo sendiri!
Apa lagi Su Kak Houw, setelah lengan kanannya lumpuh dalam sebuah
pertempuran melawan orang pandai, menerima sebuah ilmu pukulan yang amat
dahsyat dari ibunya. Ilmu ini didasari latihan khusus pada jari dan
telapak tangan kiri dengan pengerahan sinkang dan gerakan khusus pula,
membuat tangan kiri Su Kak Houw ini luar biasa kuatnya, dapat dipakai
menangkis senjata-senjata logam yang kuat dan tajam, bahkan tangan itu
dapat dipakai membacok seperti sebatang golok tajam. Karena inilah maka
dia terkenal sebagai Toat-beng-to (Golok Pencabut Nyawa). Sebuah julukan
yang lucu dan aneh karena selamanya tokoh ini tidak pernah menggunakan
golok dalam pertandingan, apa lagi membunuh orang dengan golok. Dia
hanya menggunakan lengan kirinya, namun lawannya yang terluka atau
tewas, roboh dengan luka-luka seperti dibacok sebatang golok besar yang
tajam!
Biar pun maklum bahwa pondok yang disewanya itu dikurung oleh sedikitnya
delapan orang termasuk Si Kembar, Milana bersikap tenang-tenang saja.
Dia merasa yakin bahwa selama Bun Beng berada bersamanya, tak ada
seorang pun anggota Thian-liong-pang yang akan berani turun tangan! Maka
dia pura-pura tidak tahu akan kehadiran mereka, sungguh pun dia tahu
pula bahwa Si Kembar itu sengaja beberapa kali bergerak di depan jendela
supaya terlihat oleh Milana dan supaya ditegur oleh puteri Ketua
Thian-liong-pang itu. Namun, dia tidak mau menegur mereka dan terus
melanjutkan mempersiapkan makan dan minum sederhana untuk Bun Beng dan
dia sendiri.
Dugaan Milana tepat sekali. Kedua orang kembar she Su itu memimpin enam
orang anggota Thian-liong-pang tingkat pertengahan bertugas melakukan
penyelidikan dan pengejaran terhadap Gak Bun Beng yang berhasil lolos
dari tempat tahanan di bawah tanah. Dapat dibayangkan betapa heran dan
terkejut hati mereka ketika melihat pemuda itu dalam keadaan luka berat,
naik kuda bersama puteri Ketua mereka! Tentu saja hal ini membuat
mereka bingung dan tidak bergerak turun tangan, bahkan menegur saja
mereka tidak berani! Mereka merasa ngeri memikirkan kemungkinan hukuman
yang akan dijatuhkan Ketua Thian-liong-pang terhadap mereka kalau mereka
mengganggu Milana!
Sampai lama mereka memancing agar ditegur lebih dulu oleh Milana
sehingga mereka dapat melapor akan tugas yang mereka terima dari Ketua
Thian-liong-pang, akan tetapi sungguh membuat mereka makin bingung
ketika dara itu sama sekali tidak peduli, seolah-olah tidak melihat
mereka. Akhirnya dua orang saudara kembar itu mengambil keputusan untuk
memasuki pondok dan langsung menghadap Milana!
Ketika dua orang laki-laki yang mukanya menyeramkan, rambutnya
awut-awutan itu muncul dari pintu pondok pada keesokan harinya, Bun Beng
sudah bangun dari tidurnya, merasa tubuhnya tidak begitu tersiksa lagi
oleh rasa nyeri, sungguh pun kedua kakinya masih lumpuh tak dapat
digerakkan. Tidur semalam dengan nyenyak memulihkan tenaga di tubuh
bagian atas.
Tampak olehnya Milana sedang memasak air di sudut pondok. Bun Beng
menarik napas panjang dan hal ini terdengar oleh dara itu yang segera
menoleh memandang dan tersenyum manis.
"Engkau sudah bangun? Bagaimana tubuhmu?"
Sejenak Bun Beng tak mampu menjawab, lehernya seperti tercekik. Sejak
malam tadi, Milana kelihatan sibuk terus mengurus dan merawat dirinya.
Apakah tidak tidur semalam? Dan melihat gadis itu di pagi hari ini,
membuat Bun Beng terpesona. Belum pernah dia melihat wajah secantik itu.
Bukan main! Meremehkan segala kecantikan yang pernah dilihat
sebelumnya. Milana memiliki kecantikan yang aneh, tidak seperti biasa
dan mengadung sesuatu khas yang takkan terdapat pada wajah selaksa orang
gadis cantik lainnya.
"Aihh, kenapa engkau diam saja, Twako?"
Bun Beng menjadi gugup dan kedua pipinya merah sekali. "Maaf... eh,
aku... aku sedang memikirkan bahwa sesungguhnya tidak perlu engkau
bersusah payah untuk aku, Nona. Engkau terlalu baik dan aku merasa tidak
layak menerima kebaikan yang berlebihan ini, membuat aku berhutang budi
dan... bagaimana aku akan mampu membalasmu?"
Milana tersenyum lebar. "Ya jangan dibalas karena aku tidak
menghutangkan apa-apa!" Sebelum pemuda itu menjawab, Milana mendahului
dengan sikap dan suara bersungguh-sungguh, "Gak-twako, mengapa engkau
masih saja memperlihatkan sikap sungkan? Bukankah kita berdua telah
mengenal sejak kecil dahulu? Kalau seandainya aku yang tertimpa bencana
seperti engkau sekarang ini dan bertemu denganmu, apakah engkau tidak
akan sudi menolongku?"
"Ah, tentu saja!" jawab Bun Beng cepat.
"Kalau melihat engkau sungkan-sungkan seperti ini, agaknya engkau pun tentu akan segan dan sungkan menolongku."
"Demi Tuhan! Tidak, Nona. Aku pasti akan melaksanakan apa saja, malah kalau perlu mengorbankan nyawa untuk menolongmu!"
Milana tersenyum lagi dan membungkuk. "Terima kasih, Twako. Nah, kalau
begitu kita sama-sama, bukan? Tidak ada hutang-pihutang budi, yang ada
hanya kebetulan saja engkau yang membutuhkan pertolongan dan aku yang
dapat menolongmu dan... ohhhh!" Milana cepat membalikkan tubuh memandang
kepada dua orang pembantu ibunya yang memasuki pondok itu dengan sikap
takut-takut. Bun Beng juga bangkit duduk di atas dipan, memandang kepada
dua orang itu, sikapnya tenang.
"Kalian mau apa?" Milana yang merasa khawatir itu segera membentak. Dia
tidak khawatir kalau orang-orang Thian-liong-pang ini menyerang Bun
Beng, tentu tidak akan berani selama dia menjaga pemuda itu. Akan tetapi
dia lebih khawatir kalau munculnya orang-orang itu akan membuka
rahasianya, yaitu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, bahwa
ibunya yang sudah dikenal Bun Beng sebagai isteri Pendekar Super Sakti
itulah sesungguhnya Ketua Thian-liong-pang!
Kedua orang itu cepat menjura dengan penuh kehormatan kepada Milana,
kemudian Su Kak Liong, yang tertua di antara mereka, tentu saja hanya
lebih tua beberapa jam dari pada Su Kak Houw, berkata hormat.
"Harap Siocia (nona) sudi memaafkan kami yang lancang. Akan tetapi, karena kami melaksanakan perintah Pangcu terpaksa..."
"Cukup! Pergilah, aku tidak mau diganggu!" Milana membentak marah dan
kedua orang itu menjadi pucat, saling memandang dengan bingung.
Yang lebih bingung lagi adalah Bun Beng. Kini dia mengenal kedua orang
itu yang hadir ketika dia berada di Thian-liong-pang. Tak salah lagi,
mereka adalah dua orang tokoh Thian-liong-pang dan agaknya utusan dari
Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi mengapa mereka bersikap begitu
hormat dan takut-takut terhadap Milana?
Su Kak Liong mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya,
memperlihatkannya kepada Milana yang seketika menjadi pucat. Dara itu
menutup mulut dengan jari tangan seolah-olah hendak menahan jeritnya,
matanya terbelalak memandang ke arah benda kecil di atas telapak tangan
Su Kak Liong yang ternyata adalah sebuah benda besi hitam berbentuk
tengkorak kecil sekali.
"Ohhh... tidak...!" Milana berseru lirih.
"Siocia maklum apa artinya perintah ini. Kami harus membunuh dan
menghadapi rintangan apa pun, karena kegagalan kami harus kami tebus
dengan nyawa. Sekali lagi, harap sudi memaafkan kelancangan kami yang
hanya kami lakukan dengan terpaksa sekali, untuk melaksanakan perintah
Pangcu. Houw-te (Adik Houw), bunuh dia!"
Su Kak Houw sudah siap sejak tadi. Si Lengan Buntung ini pun maklum
bahwa sekali kakaknya mengeluarkan tanda perintah membunuh dari Ketua
mereka, tentu puteri ketua ini sekali pun tidak akan berani menghalangi
tugas mereka. Maka, begitu mendengar perintah kakaknya sebagai pemegang
tanda perintah itu, dia cepat melompat mendekati pembaringan Bun Beng,
dilanjutkan dengan terjangannya yang dahsyat, sekaligus menggunakan
tangan kirinya membacok dengan gerakan dan pengerahan tenaga sakti.
Bacokan tangan miring yang dapat membacok putus baja dan besi, yang
membuat dia dijuluki Toat-beng-to karena seolah-olah tangan kirinya
berubah menjadi sebuah golok pusaka yang luar biasa ampuhnya!
Menghadapi serangan yang amat dahsyat ini, Bun Beng kehabisan akal dan
biar pun dia mengambil keputusan untuk melawan dan tidak menyerahkan
nyawanya begitu saja, namun ia maklum bahwa dia terancam bahaya maut.
Akan tetapi, angin pukulan yang amat hebat itu mengingatkan dia akan
suara angin ketika dia bersama kakek muka kuning Pulau Neraka naik
layang-layang dan di serang badai. Teringat ia akan pelajaran dari kakek
itu cara menghadapi serangan badai dan cara menyelamatkan layang-layang
berikut dirinya.
"Menghadapi serangan angin yang lebih kuat, jangan sekali-kali
melawannya secara langsung." demikian kakek muka kuning itu
berteriak-teriak memberi petunjuk untuk mengatasi. "Kosongkan tenagamu
dan turutilah gerak arus angin itu ke arah mana dia menyambar, kemudian
belokkan dan buang ke depan. Pasti layang-layang ini akan dapat
menguasainya."
Teringat akan pelajaran yang berkelebat di dalam benaknya pada detik
nyawanya terancam maut itu, Bun Beng cepat membuat gerakan otomatis
untuk melaksanakan pelajaran itu. Dia membatalkan niatnya hendak
menangkis sambaran tangan kiri tokoh Thian-liong-pang itu, bahkan ketika
tangan itu menyambar, didahului arus angin amat kuat menyambar ke arah
lehernya, otomatis tubuhnya yang duduk itu meliuk ke belakang dan
tenaganya sendiri cepat mengalir ke bagian tubuhnya yang kiri bersama
arus tenaga yang datang itu. Ketika telapak tangan lawan itu sudah dekat
dengan lehernya, tiba-tiba Bun Beng yang merasa betapa tenaga di
seluruh lengan kirinya sudah bergabung dengan tenaga yang datang tadi,
persis seperti ketika mengemudikan layang-layang, dia cepat membuang
tenaga itu melalui tangan kirinya ke depan, membabat turun dari atas ke
arah lengan kiri lawan.
"Crakkkk...!" terdengar jerit mengerikan.
Bun Beng melihat betapa Milana cepat meloncat ke samping dan tubuh
lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dia ngeri sekali menyaksikan
akibat dari gerakannya tadi, dan memandang dengan mata terbelalak ke
arah lengan kiri lawan itu yang kini telah buntung! Ternyata bahwa
babatan tangan kirinya tadi telah dapat membuat lengan lawan itu buntung
sebatas pangkalnya! Tanpa disadari, Bun Beng telah dapat mewarisi dan
menggunakan ilmu mukjizat dari Pulau Neraka, yaitu ilmu ’memindahkan
tenaga’ yang amat hebat. Ada pun korban pertama dari ilmunya itu, yang
terjadi tanpa ia sengaja, adalah Su Kak Houw tokoh Thian-liong-pang,
sungguh pun tadi dia tahu bahwa hal itu dapat terjadi karena adanya
bantuan dari Milana.
Ketika tadi Su Kak Houw melancarkan serangan, Milana yang maklum akan
kehebatan tangan kiri Su Kak Houw cepat menyambar dari belakang dengan
sebuah totokan kilat sehingga Su Kak Houw tadi terhenti. Andai kata
tidak demikian, biar pun ilmu baru Bun Beng mukjizat, namun pemuda itu
tetap saja terancam bahaya terkena pukulan sebelum lengan Su Kak Houw
buntung!
Su Kak Liong terkejut sekali, cepat meloncat ke depan dan menerima tubuh
adik kembarnya yang pingsan, dan dia mengambil pula lengan kiri
adiknya. Dengan muka pucat Su Kak Liong memandang kepada Milana karena
dia menduga bahwa tentu puteri Ketuanya itulah yang membuat lengan
adiknya buntung. Dia tidak dapat melihat dan tak akan mau percaya bahwa
pemuda yang sudah lumpuh kedua kakinya itu yang membuntungkan lengan
adiknya yang lihai.
"Kami hanya melaksanakan tugas perintah Pangcu, akan tetapi Nona berlaku
kejam. Kami tidak berani melawanmu, Nona, akan tetapi kami harus
melaporkan peristiwa ini kepada Pangcu dan mohon pengadilan." Setelah
berkata demikian, Su Kak Liong memondong tubuh adik kembarnya keluar
dari pondok itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nona..." Bun Beng berkata, menahan-nahan rasa nyeri hebat yang menyesakkan dada.
Milana menoleh kepadanya. "Aihh, Twako. Ilmu mukjizat apakah yang kau
pergunakan tadi...? Ehhh... kau kenapa...?" Gadis itu meloncat dekat
pembaringan di mana Bun Beng terengah-engah, kemudian pemuda itu
menelungkupkan mukanya ke pinggir pembaringan untuk muntahkan darah
segar!
"Kau... kau sudah terluka...!" Milana berseru khawatir, duduk di tepi
pembaringan dan menyusuti darah dari bibir Bun Beng yang terengah-engah
itu dengan sapu tangan.
Bun Beng merasa makin berterima kasih dan tidak enak. "Sudahlah, Nona...
lebih baik kau tinggalkan aku di sini... pengerahan tenaga tadi
memperhebat penyakitku, dan... kau tentu akan dimusuhi
Thian-liong-pang... Tinggalkan aku, aku tidak mau kalau Nona sampai
tersangkut dan terancam bahaya karena aku, orang yang sudah tiga
perempat mati."
"Tidak! Aku harus membawamu kepada orang yang akan dapat mengobatimu,
dapat mengeluarkan racun dari tubuhmu. Kalau kau berada di bawah
perlindunganku, jangankan orang-orang Thian-liong-pang, biar segala
setan iblis di dunia ini akan mengganggu pasti akan kulawan!"
Biar pun dadanya terasa sesak dan nyeri, Bun Beng terpaksa tersenyum
juga mendengar ucapan yang keluar dari mulut yang mungil dan manis itu.
Ia memandang wajah itu melalui kunang-kunang yang menari di depan
matanya.
"Terserah kalau begitu, Nona Milana. Akan tetapi... aku hanya akan suka
menerima budimu dengan hati berat kalau engkau suka berterus terang
pula. Orang-orang Thian-liong-pang tadi bukanlah orang-orang yang
berkedudukan rendah, dan ilmu kepandaian mereka yang tinggi membuktikan
bahwa mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Thian-liong-pang. Akan
tetapi, mengapa mereka itu amat menghormati dan takut kepada Nona? Ada
hubungan apakah antara Nona dengan Thian-liong-pang? Harap Nona suka
berterus terang agar aku tidak menjadi bingung dan ragu-ragu."
Milana menjadi merah mukanya. Sampai lama dia saling berpandangan dengan
Bun Beng dan melihat sinar mata tajam dan membayangkan kemauan yang
kokoh kuat itu, tahulah dia bahwa tiada gunanya membohong terhadap
pemuda ini, juga amat berbahaya kalau tidak berterus terang.
"Gak-twako, sesungguhnya hal ini merupakan rahasia besar bagiku. Akan
tetapi, karena engkau bukanlah orang luar, kumaksudkan bahwa dahulu di
waktu kecil engkau telah mengetahui keadaan kami, dan mengingat akan
keadaanmu sekarang, bahwa aku harus menolongmu dan engkau telah
menyaksikan pula tadi sikap para tokoh Thian-liong-pang, sebaiknya
keberitahukan rahasia besar ini, bahwa aku... aku adalah puteri Ketua
Thian-liong-pang. Ketua penuh rahasia yang mukanya selalu dikerudungi
itu bukan lain adalah Ibuku sendiri."
"Ohhhh...!" Pengakuan ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Bun
Beng sehingga ia terjengkang dan rebah pingsan di atas pembaringannya!
Ketika siuman kembali Bun Beng merasa dadanya masih nyeri akan tetapi
tidak begitu sesak lagi dan kedua kakinya seolah-olah makin mati.
Tubuhnya tergoncang-goncang dan ketika ia membuka mata, kiranya ia telah
berada di atas punggung kuda lagi, dan Milana duduk di belakangnya.
"Ohhhh... engkau hendak membawaku ke mana, Nona?"
"Gak-twako, kenapa engkau masih selalu bersikap sungkan dan menyebutku
Nona seolah-olah kita bukan sahabat lama? Gak-twako, setelah aku
menyebut Twako (Kakak) padamu mengapa engkau tidak tidak mau menyebutku
Adik?"
"Aihhh, mana aku berani, Nona Milana? Engkau adalah puteri Pendekar
Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang amat terhormat,
sakti dari mulia. Engkau juga puteri Ketua Thian-liong-pang yang
terkenal di seluruh dunia! Aihhhh... Nona, sungguh aku terkejut setengah
mati mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Ibumu. Sekarang...
ah, makin keras permintaanku agar engkau tidak menolongku, Nona."
"Hemm, kenapa? Karena engkau dimusuhi Thian-liong-pang? Tidak peduli!
Aku tetap akan melindungi dan mencarikan orang pandai yang akan dapat
menyembuhkanmu." Suara dara itu tetap halus namun menyembunyikan tekad
yang amat besar, kemauan yang tak mungkin dibelokkan oleh apa pun juga.
"Tapi Thian-liong-pang...?"
"Peduli amat! Kalau mereka datang hendak memaksakan kehendak mereka membunuhmu, akan kuhadapi mereka semua!"
"Akan tetapi, Nona. Tak mungkin demikian! Apakah engkau akan melawan
Ibumu sendiri? Para tokoh Thian-liong-pang itu hanya melaksanakan tugas
perintah Ibumu!"
"Tidak peduli!"
Ingin Bun Beng memandang wajah gadis itu, akan tetapi karena Milana
duduk di belakangnya, tentu saja tidak mungkin ia menoleh ke belakang
karena hal itu akan terlalu tidak sopan dan muka mereka tentu akan
saling berdekatan. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika mendengar
jawaban itu, maka untuk melepaskan keraguan hatinya yang berdebar tidak
karuan itu, dia memberanikan diri berkata,
"Nona Milana, engkau berkeras menolongku dan menghadapi Ibumu sendiri?
Ah, mengapa begini? Engkau membuat aku merasa tidak enak sekali! Ibumu
tentu akan marah sekali kepadamu, Nona."
"Biarlah, aku tidak takut."
Hening sejenak, hanya suara derap kaki kuda yang mereka tunggangi itu
terdengar memecah kesunyian hutan yang mereka lalui, namun bagi Bun
Beng, detak jantungnya sendiri lebih keras dari pada derap kaki kuda.
"Nona Milana..."
"Ah, telingaku menjadi sakit mendengar sebutanmu nona berkali-kali itu, Twako. Sebut saja namaku, tanpa nona."
"Maaf, aku tidak berani. Nona Milana, kita bersama lahir sebagai manusia
yang sejak kecil digembleng ilmu kekerasan dan kita mengutamakan
kejujuran dan kegagahan. Kini kita berdua menghadapi hal yang amat
rumit, yang bahwa engkau sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang bertekad
melindungi aku dari keinginan Ibumu sendiri yang mengutus orang-orangnya
untuk membunuhku. Kuharap kau suka menjawab dengan terus terang dan
jujur, Nona. Mengapa engkau bersikap seperti ini?"
Hening pula sejenak, kemudian terdengar Milana balas bertanya, "Apa maksudmu, Twako? Aku tidak mengerti."
"Nona, mengapa engkau lebih memberatkan aku dari pada Ibumu? Jelas bahwa
aku bersalah besar terhadap Ibumu sehingga kini Ibumu mengutus
orang-orangnya untuk membunuhku. Namun mengapa engkau melindungiku
mati-matian dan tidak enggan melawan Ibumu sendiri? Mengapa engkau lebih
memberatkan aku dari pada Ibumu?"
Kini suasana menjadi hening, agak lama karena Milana memandang ke atas
dengan alis berkerut, agaknya sukar baginya menemukan jawaban untuk
pertanyaan Bun Beng itu. Berkali-kali ia menghela napas panjang,
kemudian terdengar ia menjawab,
"Sukar sekali menjawab pertanyaanmu, Twako. Akan tetapi setelah
kupikir-pikir, agaknya aku sadar akan kekejaman Thian-liong-pang, sadar
akan kesesatan Ibu dan kesalahannya terhadap engkau yang tak berdosa.
Karena kesadaran itu maka aku berusaha menentang dan kebetulan bertemu
denganmu yang terancam oleh Thian-liong-pang. Nah, puaskah kau dengan
jawabanku, Twako?"
Bun Beng menggeleng kepala. "Aku tidak puas, Nona, karena jawaban itu
terlalu dicari-cari, dan bukan itu sebabnya. Mengapa untuk menjadi sadar
engkau harus menunggu sampai berjumpa denganku? Pula, untuk menyadarkan
seorang ibu, tentu cukup dengan menegur dan mengingatkan. Masa sampai
menentangnya dan membela orang lain? Maaf, Nona. Coba engkau bayangkan
andai kata bukan aku yang kau jumpai, melainkan orang lain yang sama
sekali tidak kau kenal, apakah engkau juga akan membelanya dari Ibumu
dan Thian-liong-pang? Begitu banyak orang pandai, diculik oleh
Thian-liong-pang untuk dicuri ilmunya, mengapa engkau mendiamkannya saja
dan tidak ada seorang pun yang kau bela? Mengapa justru aku yang kau
bela sehingga kau siap menghadapi pertentangan dengan perkumpulan Ibumu?
Harap kau suka menjelaskan, dan mengaku secara jujur, apa sebabnya,
Nona?"
Kini lebih lama lagi keadaan menjadi sunyi. Bun Beng mendengarkan dan
menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi sunyi saja di
belakangnya. Akhirnya terdengar Milana tertawa halus, suara tertawa yang
jelas sekali bagi Bun Beng adalah suara untuk menutupi kegugupannya.
"Hi-hik, engkau ini aneh-aneh saja, Gak-twako. Aku sampai menjadi
bingung. Sudahlah, aku tak dapat menjawab karena aku sendiri tidak
mengerti, mengapa aku tiba-tiba ingin membelamu mati-matian. Karena
engkau bertanya dengan demikian mendesak, agaknya engkau yang tahu akan
sebabnya, Twako. Maka tolonglah engkau yang menjawabkan untukku."
"Nona Milana, tidaklah mengherankan kalau engkau sendiri tidak tahu,
karena memang hal ini amat sulit dimengerti, hanya terasa oleh hati.
Engkau bertemu denganku, lalu timbul hasrat untuk menolongku,
melindungiku mati-matian bahkan rela bertentangan dengan Ibu sendiri.
Hal ini tidak lain adalah karena cinta!"
"Heiiiii... aduuuhhh...!"
Tubuh Bun Beng terbanting dari atas punggung kuda karena dalam keadaan
kaget setengah mati mendengar ucapan pemuda itu, Milana mengeluarkan
suara melengking nyaring yang membuat kudanya meringkik dan mengangkat
kaki depan ke atas dan tergulinglah tubuh Bun Beng yang kedua kakinya
lumpuh itu!
"Ohhh, Twako... kau tidak apa-apa?" Milana cepat meloncat turun dan berlutut di dekat Bun Beng yang sudah rebah terlentang.
Pemuda itu menggeleng kepala dan berusaha tersenyum, lalu ia bangkit
duduk dengan menekankan kedua tangan pada tanah. Mereka saling
berpandangan. "Aku mohon maaf sebesarnya atas ucapanku tadi, Nona. Bukan
niatku untuk menghinamu, aku hanya bicara menurutkan suara hati.
Maafkanlah aku yang lancang mulut."
"Engkau orang aneh!" Milana menyambar kedua lengan Bun Beng dan
membawanya melompat ke atas kuda lagi. "Aku yang membikin kau terjatuh
dari kuda, malah engkau yang minta maaf."
"Tentu saja, karena aku jatuh oleh kagetnya kuda, kuda kaget oleh
lengkinganmu, dan engkau melengking oleh ucapanku. Jadi biang keladinya
adalah aku sendiri, maka aku yang bersalah dan aku yang minta maaf."
"Kata-katamu tadi tidak perlu dimintakan maaf. Akan tetapi, aku menjadi
makin heran. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta. Cinta yang bagaimana
yang kau maksudkan? Yang ada dalam hatiku hanyalah perasaan ingin
menolongmu. Apakah itu cinta yang mendorongnya ataukah perasaan lain,
aku tidak tahu. Aku melihatmu, teringat akan masa lalu, dan aku kasihan
kepadamu, maka aku ingin menolongmu, Twako. Kalau orang-orang
Thian-liong-pang tadi kulawan, karena timbul penasaran dan kemarahan di
hatiku, mengapa engkau yang sudah terluka dan dalam keadaan terancam
maut ini masih mereka ganggu. Apakah ini semua sebab cinta? Aku tidak
tahu dan tak dapat menjawab. Agaknya engkau adalah seorang ahli tentang
cinta, Twako, maka tolonglah beri penjelasan dan kuliah tentang cinta."
Seketika merah kedua pipi Bun Beng dan ia menyeringai, tersenyum masam
yang untung tidak tampak oleh dara yang duduk di belakangnya. "Wah, aku
sendiri tidak tahu tentang itu, Nona, aku sendiri pun belum mengenal
cinta..."
"Ah, kau bohong, Twako!"
"Sungguh mati!"
"Usiamu tentu telah banyak, setidaknya beberapa tahun lebih tua dari pada aku yang baru tujuh belas tahun."
"Aku enam tahun lebih tua, Nona. Akan tetapi, aku... aku belum pernah...
eh, maksudku mengalami cinta, dan... eh, apa yang kita bicarakan ini?
Sama-sama tidak tahu tentang cinta, akan tetapi sudah berani bicara.
Mana bisa?" Bun Beng tertawa dan Milana juga tertawa. Tiba-tiba Bun Beng
merasa betapa gembira hatinya. Aneh sekali!
Dia tahu bahwa dirinya terancam maut, sedikit sekali harapan dapat
tertolong. Mengapa dia tidak merasa takut, tidak merasa khawatir dan
tidak merasa berduka, bahkan hatinya penuh rasa gembira? Kedua kakinya
masih lumpuh, dadanya masih nyeri, akan tetapi rasa gembira mengalahkan
semua ini.
"Kau benar, Twako. Sekarang lebih baik kau ceritakan semua pengalamanmu
mengapa engkau sampai terluka hebat seperti ini, dan dari mana engkau
datang, bagaimana pula engkau menjadi tawanan orang-orang Pulau Neraka
di perahu itu."
"Hemm, semua itu gara-gara Sepasang Pedang Iblis..."
"Ehhhh? Sepasang Pedang Iblis? Di mana kedua pedang pusaka itu?"
Bun Beng menarik napas panjang. Agaknya dara jelita ini pun terkena pula
wabah ‘demam Sepasang Pedang Iblis’ yang diderita semua orang kang-ouw
sehingga terjadi perebutan sejak dahulu. "Sayang pedang-pedang itu tidak
berada di tanganku lagi, sungguh pun akulah yang menemukannya. Kalau
tidak terampas orang tentu yang sebuah akan kuberikan kepadamu, Nona."
"Ahhh, suaramu itu! Apa kau kira aku terlalu ingin memperoleh pedang
yang namanya saja begitu mengerikan? Tidak, Twako. Aku hanya ingin
mengatakan bahwa kalau Sepasang Pedang Iblis itu berada di tanganmu,
sudah dapat ditentukan nyawamu akan tertolong!"
"Eh, kenapa begitu?"
"Ibu tentu akan girang sekali menerima sepasang pedang itu, dan akan
berterima kasih kepadamu. Ibu tentu akan suka mengampunimu bahkan akan
mengobatimu sampai sembuh. Betapa pun juga kalau dapat mengatakan di
mana adanya pedang-pedang itu saja, Ibu tentu sudah menjadi girang
sekali. Ceritakanlah, Twako bagaimana pedang itu terampas orang dan
bagaimana pula engkau terluka hebat?"
"Yang melukai aku adalah seorang sakti yang berilmu tinggi dari negeri barat, namanya Maharya dengan murid-nya..."
"Aihhhh...! Tan-siucai dan gurunya yang dahulu mencuri pedang
Hok-mo-kiam buatan Kakek Nayakavhira dan yang membunuh burung-burung
garuda dari Pulau Es itu?"
Bun Beng mengangguk. "Ya, mengenai sepasang pedang itu, yang betina kuberikan kepada Nona Giam Kwi Hong dan..."
"Aihhhh! Enci Kwi Hong?" Milana berseru girang mendengar nama ini, akan
tetapi suaranya tiba-tiba berubah lirih ketika gadis ini melanjutkan,
"Kau... berikan pedang itu kepadanya?"
Bun Beng tidak mendengar perbedaan suara ini dan ia mengangguk. "Pedang
betina kuberikan kepadanya, dan pedang jantan yang kubawa telah
terampas..."
"Oleh Tan Ki dan Maharya?"
"Bukan, oleh pemuda iblis dari Pulau Neraka."
"Ohhh...!" Kaget bukan main hati Milana mendengar ini. Ibunya tentu akan
marah sekali mendengar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang amat diinginkan
itu ternyata telah terjatuh ke tangan Pulau Es dan Pulau Neraka!
"Bagaimana bisa demikian?"
Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak bersama Kwi Hong dia
mengambil sepasang pedang itu dari tempat ia menyembunyikannya, kemudian
betapa mereka bertemu dengan Tan Ki dan Maharya, kemudian muncul pemuda
lihai dari Pulau Neraka yang berhasil merampas Lam-mo-kiam dari
tangannya. Milana mendengarkan dengan hati tertarik bercampur kecewa.
"Untung bahwa aku telah memberikan Li-mo-kiam kepada Nona Kwi Hong
sehingga dapat dibawanya lari. Sayang bahwa Lam-mo-kiam terampas oleh
pemuda iblis itu, kalau tidak, aku tentu dengan girang akan memberikan
Lam-mo-kiam kepadamu, Nona Milana."
Ucapan yang menutup penuturannya ini membuat Bun Beng terbayang akan
wajah Kwi Hong dan teringatlah ia akan perjalanannya berdua dengan nona
itu. Diam-diam ia membandingkan Kwi Hong segan Milana. Kwi Hong juga
tidak mau disebut nona, bahkan marah-marah sehingga terpaksa dia
menyebut murid Pendekar Super Sakti itu dengan namanya saja. Akan tetapi
sikap dan sifat Milana lain. Dara ini amat halus tutur sapa dan
gerak-geriknya sehingga dia merasa sungkan untuk menyebut namanya begitu
saja. Dara ini dengan sikapnya yang halus lemah lembut, memiliki wibawa
yang agung dan membuat dia tak berani untuk bersikap tidak hormat!
"Gak-twako, engkau tentu tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu menjadi
rebutan seluruh dunia kang-ouw. Setelah secara kebetulan kau mendapatkan
pusaka-pusaka itu, mengapa dengan mudah saja kau berikan sebuah kepada
Enci Kwi Hong?"
Bun Beng termenung mendengar pertanyaan ini dan diam-diam mukanya
berubah tanpa dapat dilihat Milana yang duduk di belakangnya. Sejenak
Bun Beng tak dapat menjawab, mengerutkan kening berpikir, kemudian baru
ia menjawab setelah berpikir lama, "Kurasa tidaklah aneh, Nona. Untuk
apakah aku memiliki dua batang pedang? Tidak ada buruknya kalau aku
menyerahkan sebatang kepada Nona Kwi Hong, dan kenapa kepada dia
kuserahkan Li-mo-kiam? Pertama, karena kebetulan menemaniku mengambil
Sepasang Pedang Iblis. Kedua, karena dia adalah murid Pendekar Super
Sakti yang amat kukagumi dan muliakan. Itulah sebabnya."
Hening sejenak sebelum Milana bertanya lagi. "Gak-twako, apakah engkau mencintai Enci Kwi Hong?"
"Hahh...?" Pertanyaan yang keluar dengan suara halus seperti berbisik
itu benar-benar tak disangka-sangka, terlalu tiba-tiba datangnya membuat
Bun Beng gelagapan seolah-olah dia dibenamkan ke dalam air. "Apa... apa
maksudmu, Nona...?"
"Twako, semenjak masih kecil dahulu, sudah tampak betapa engkau dan Enci
Kwi Hong cocok dan akrab sekali. Kini Pedang Li-mo-kiam adalah sebatang
di antara Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan seluruh orang
kang-ouw. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw akan rela mempertaruhkan
nyawanya untuk mendapatkan sebatang di antaranya. Akan tetapi engkau
dengan mudah saja menyerahkannya kepada Enci Kwi Hong. Kalau engkau
mencinta Enci Kwi Hong, hal itu tidaklah aneh lagi. Aku hanya ingin tahu
apakah engkau mencinta Enci Kwi Hong?"
"Ahhhh, Nona Milana! Engkau membuat aku malu saja. Orang macam aku ini
mana ada hak untuk mencinta seorang seperti dia? Dia adalah murid
Pendekar Super Sakti, bahkan dia adalah keponakan Beliau! Mana mungkin
dan mana pantas aku jatuh cinta kepadanya? Tidak, Nona, harap engkau
jangan menyangka yang bukan-bukan. Aku menyerahkan Li-mo-kiam kepadanya
hanya karena mengingat kepada gurunya dan pamannya, Pendekar Siluman
atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulu Es yang kuhormati."
Tanpa terlihat oleh Bun Beng, pandang mata Milana termenung ketika ia
mendengar jawaban itu. Sampai lama dia termenung sambil menjalankan
kudanya menuruni lembah gunung, memasuki hutan kedua yang besar dan agak
gelap. Hatinya tenang saja karena dia mengenal hutan ini, tahu bahwa
dia sudah memasuki wilayah di luar kekuasaan Thian-liong-pang dan ia
tahu benar bahwa ibunya melarang anak buahnya melakukan sesuatu di luar
wilayah kekuasaannya untuk menjaga nama Thian-liongpang, kecuali
utusan-utusan khusus yang ditugaskan untuk suatu keperluan. Dia
bermaksud pergi ke kota Siang-bun di sebelah selatan hutan besar itu, di
sana ia mendengar tinggal seorang tabib yang pandai. Siapa tahu
barangkali tabib itu akan dapat menolong Bun Beng.
"Engkau merasa terlalu rendah untuk mencinta Enci Kwi Hong, Twako?"
Kembali pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan tidak tersangka-sangka,
sehingga Bun Beng menjadi terkejut dan menjawab gagap, "Ya... ya...
begitulah."
"Misalnya... terhadap diriku, bagaimana? Apakah engkau juga merasa
terlalu rendah untuk jatuh cinta kepadaku? Ini hanya umpamanya saja,
Twako."
Bun Beng terbelalak, jantungnya berdebar keras. Betapa jujur dan polos
hati dara ini! Mukanya menjadi panas seperti dibakar rasanya. "Ahhh...
mana aku berani, Nona? Lebih-lebih terhadapmu! Engkau adalah puteri
Pendekar Super Sakti, puteri Ketua Thian-liong-pang! Sedangkan aku...
ahh, aku hanya anak yang tidak syah dari seorang tokoh hitam, datuk kaum
sesat!"
Milana merasa terharu. "Aihh, engkau terlalu merendahkan diri,
Gak-twako. Bagiku, aku tidak menilai seseorang karena keturunannya,
karena wajahnya mau pun karena kepandaian atau kedudukannya. Cinta
adalah urusan hati, bukan urusan mata, urusan batin, bukan urusan
lahir."
Jantung Bun Beng makin berdebar. Kata-kata yang amat aneh terdengar
olehnya, kata-kata yang sukar sekali untuk diselami dan dikenal
bagaimana isi hati orang yang mengucapkannya. Dia menjadi ragu-ragu dan
penasaran, maka dia memberanikan hatinya bertanya.
"Maaf, Nona Milana. Sekali lagi aku bermulut lancang mengajukan pertanyaan ini. Apakah Nona mencintaku?"
Bun Beng dapat merasakan dengan punggungnya yang bersentuhan dengan
tubuh dara itu, betapa Milana agak gemetar mendengar pertanyaan itu,
akan tetapi jawaban yang keluar dengan halus itu tetap tenang. "Aku
tidak tahu, Twako. Bagaimana aku tahu kalau aku sendiri tidak mengerti
apa artinya cinta itu sendiri? Aku merasa suka kepadamu, dan merasa
kasihan kepadamu. Hanya itulah yang terasa di hatiku, yang membuat aku
mengambil keputusan bulat untuk membela dan menolongmu. Aku tidak tahu
apakah suka dan kasihan itu sama dengan cinta. Bagaimana pendapatmu,
Twako? Tahukah engkau apa sebetulnya cinta?"
Bun Beng tak dapat menjawab. Kuda itu berjalan terus perlahan-lahan, dan
keduanya diam, seolah-olah tenggelam dalam lamunan tentang cinta. Bun
Beng memandang ke depan ke arah pohon-pohon seolah-olah ingin mencari
jawaban tentang arti cinta di antara daun-daun pohon, di antara sinar
matahari dan bayangan benda-benda yang bersinar oleh cahaya
matahari.....
Dahulu ketika ia mengenangkan wajah tiga orang wanita, wajah Kwi Hong,
wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai, wajah Milana, ia pernah
merenungkan tentang cinta. Kemudian, ketika ia masih kecil, pertemuan
antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai yang ternyata adalah
ibu kandung Milana, juga membuatnya termenung dan mulailah ia berpikir
tentang cinta. Cinta antara pria dan wanita, apa itu?
"Cinta adalah penyakit!" Tiba-tiba saja ucapan ini keluar dari mulutnya,
tidak hanya mengejutkan hati Milana, juga mengagetkan Bun Beng sendiri
karena kata-katanya sendiri itu seperti terlompat ke luar tanpa
disadarinya.
"Apa? Cinta adalah penyakit?" Milana berseru keras.
Karena sudah terlanjur, Bun Beng melanjutkan, mengikuti suara hatinya
yang timbul di saat itu. "Cinta adalah sumber penyakit yang menciptakan
penyakit-penyakit baru. Cinta yang dikenal pria dan wanita, sebenarnya
tidak patut disebut cinta, bahkan mungkin bukan cinta yang sesungguhnya!
Seorang wanita dan seorang pria saling berjumpa, saling mengagumi
keelokan masing-masing, saling tertarik. Kemudian timbul hasrat ingin
saling memiliki. Itulah cinta! Bukankah keinginan itu hanya nafsu
belaka? Nafsu mendapatkan sesuatu demi kesenangan dan kepuasan diri
sendiri? Karena itu menjadi sumber penyakit. Kalau keinginan tidak
terkabul, juga timbul penyakit-penyakit baru seperti cemburu, kecewa dan
lain-lain. Ketidak cocokan pikiran dan watak mendatangkan pertengkaran
dan ke mana larinya cinta? Ketidak puasan dalam hubungan satu sama lain
menimbulkan kekecewaan, ke mana larinya cinta? Cemburu yang menimbulkan
kebencian, ke mana larinya cinta? Cinta yang dikenal sekarang, terutama
oleh kaum pria, hanyalah nafsu dan si wanita hanyalah dijadikan alat
penyenang hati dan badannya. Kalau kenyataan sebaliknya, terbanglah
cintanya."
Milana membelalakkan mata, bergidik ngeri. "Aihhh, kau terlalu kejam,
Twako! Kurasa tidak demikian buruk seperti yang kau sangka, atau karena
kau belum mengenal, kau lalu mengawur saja tentang cinta. Cinta itu
murni, halus, indah bagi wanita. Cinta itu bukan nafsu semata, lebih
halus, lebih mendalam, mengenai perasaan hati. Wanita ingin dicinta,
ingin dihargai, ingin dikagumi, ingin dimanja. Untuk itu, dia rela
berkorban apa pun, rela menyerahkan badan dan nyawa untuk laki-laki yang
mencintanya."
"Hemm, di mana ada keinginan, timbullah kekecewaan. Keretakan pun
terjadilah seperti Ibu dan Ayahmu, eh, maaf...!" Bun Beng terkejut dan
tiba-tiba saja terbukalah matanya mengenai keretakan hubungan antara
Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai.
"Kau keliru. Kekecewaan pun akan diterima oleh wanita yang mencinta dan
dicinta. Suka sama dinikmati, duka sama dipikul. Itulah cinta..."
Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, memang ada perbedaan pendapat
tentang cinta antara pria dan wanita, akan tetapi justeru perbedaan
pendapat itulah yang menciptakan seninya, seni untuk menyesuaikan diri.
Setiap perjuangan menghadapi kenyataan pahit dan usaha untuk
mengatasinya, itulah seni hidup. Wanita lebih menggunakan perasaannya
yang halus, karena itu cintanya lebih murni, tidak seperti pria yang
menggunakan pikirannya sehingga timbullah dorongan-dorongan nafsu
jasmani yang kadang-kadang berlebihan hingga memancing datangnya
pertentangan dan persoalan..."
"Sssstt... ada orang..." Tiba-tiba Milana berbisik dan ketika Bun Beng
mengangkat muka, ternyata di sana muncul lima orang Thian-liong-pang
yang sikapnya kereng dan menyeramkan.
Milana menahan kudanya dan menghadapi lima orang itu dengan pandang mata
penuh wibawa. Ia menggunakan lengan kiri dilingkarkan di pinggang Bun
Beng, karena maklum bahwa sekali terguncang hebat, pemuda yang masih
setengah lumpuh dari pinggang ke bawah itu akan dapat terpelanting dari
atas punggung kuda. Tangan kanan memegang kendali kuda dan ia berkata
nyaring,
"Kalian berlima menghadang perjalananku, ada maksud apakah?"
Seorang di antara mereka segera mengangkat kedua tangan memberi hormat
sambil menjawab, "Harap Siocia suka memaafkan kami dan suka memaklumi
kedudukan dan keadaan kami sebagai petugas dan utusan Pangcu. Kami
diperintah untuk menangkap atau membunuh pemuda yang bernama Gak Bun
Beng ini, dan kami sangat berharap agar Siocia suka menyerahkan kepada
kami, mengingat bahwa kami adalah utusan-utusan Pangcu yang berkuasa
penuh."
"Tidak. Aku juga bertugas sebagai manusia sudah mengambil keputusan
melidungi Gak Bun Beng. Aku tidak mau menyerahkannya, dan tidak akan
membolehkan kalian menangkap atau membunuhnya. Habis, kalian mau apa?"
"Srat-srat-sing-sing!" Tampak sinar kilat ketika lima orang itu mencabut golok masing-masing.
"Maaf, Siocia. Tidak melaksanakan perintah Pangcu berarti nyawa kami
melayang secara sia-sia. Kalau memaksa sehingga bertentangan dengan
Siocia, andai kata kami tewas sekali pun, kami tewas dalam menjalankan
tugas sebagai anggota Thian-liong-pang yang setia. Tentu kami memilih
mati sebagai anggota setia dari pada anggota yang murtad tidak menurut
perintah Ketua."
"Hemm, jadi kalian hendak melawanku?" Milana membentak.
"Bukan melawan Siocia, hanya menjalankan tugas kami."
"Nona Milana, tinggalkan aku, harap jangan engkau turun tangan melawan orang-orangmu sendiri," kata Bun Beng.
"Tidak! Aku akan melindungimu dengan taruhan apa pun juga."
"Kalau begitu, biarlah aku menghadapi mereka, kau larikan saja kuda ini!" bisik Bun Beng.
Lima orang itu sudah berpencar mengurung kuda mereka dengan golok di
tangan. Tiba-tiba seorang di antara mereka yang berada di sebelah kiri
menggerakkan goloknya membacok ke arah tubuh Bun Beng. Pemuda ini yang
menggantungkan tubuh di lengan Milana yang menahan pinggang, cepat
mengikuti gerakan golok, menggunakan ilmu barunya, yaitu ilmu
memindahkan tenaga, menggerakkan tubuh kemudian tangan kirinya bergerak
membuang ke depan cepat mengenai punggung golok itu.
"Krekkk!" Golok itu patah menjadi dua, bahkan tangan yang memegang
gagangnya menjadi kaku sehingga sisa golok itu terlepas pula. Orangnya
meloncat mundur sambil menjerit kaget.
Orang kedua menerjang, disusul orang ketiga, ke empat dan ke lima.
Gerakan mereka hebat, akan tetapi karena mereka itu tentu saja masih
menjaga agar senjata mereka jangan sampai mengenai tubuh puteri Ketua
mereka, maka gerakan mereka kaku dan tidak leluasa. Di lain pihak, Bun
Beng yang melihat baik ilmunya yang baru itu, cepat menggunakan terus
ilmu itu, tubuhnya mengikuti gerakan serangan golok dari atas, dari
samping kanan atau kiri, kedua tangannya membabat dan memindahkan tenaga
ayunan golok lawan untuk menyerang lawan itu sendiri.
Terdengar jerit-jerit kesakitan dan berturut-turut empat orang itu pun
terhuyung, ada yang patah tulang lengannya. Ketika mereka meloncat
bangun, kuda itu telah dikaburkan cepat-cepat oleh Milana! Mereka hanya
berdiri bengong, terheran-heran karena mereka tidak tahu mengapa senjata
mereka patah-patah dan tulang lengan mereka ada yang patah. Belum
pernah mereka menyaksikan ilmu seperti yang dimainkan pemuda yang hanya
dapat menggerakkan tubuh bagian atas itu!
"Gak-twako, hebat bukan main ilmu pukulanmu tadi! Dalam keadaan lumpuh
engkau masih mampu mengalahkan lima orang tokoh Thian-liong-pang yang
sudah tinggi tingkatnya. Kalau engkau tidak lumpuh, aku sendiri agaknya
takkan kuat melawanmu!"
Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, engkau terlalu memuji, Nona. Lihat di depan itu, sekarang kita bertemu lawan tangguh."
Dara itu memandang dan ketika melihat seorang kakek tua yang bermuka
bengis dan muka itu berwarna merah muda seperti dicat, terkejut dan
berkata, "Wah, bukankah warna mukanya itu menunjukkan bahwa dia seorang
dari Pulau Neraka?"
"Tidak salah lagi, dia seorang dari Pulau Neraka. Nona, lebih baik kau
tinggalkan aku, biar aku hadapi sendiri orang-orang yang hendak
menyerangku. Aku hanya menyeret engkau ke dalam
pertentangan-pertentangan yang amat berbahaya, tidak hanya dengan kaum
Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Ibumu sendiri bahkan dengan Pulau
Neraka."
"Sudah! Jangan ulangi lagi permintaan seperti itu, Twako. Apa kau kira
aku takut menghadapi Pulau Neraka? Kau lihat saja nanti!" Sambil berkata
demikian, Milana mempercepat larinya kuda menghampiri kakek yang
berdiri tegak itu.
"Berhenti!" Kakek itu membentak dengan pengerahan suara khikang hingga
terdengar suaranya melengking dan membuat pohon-pohon seperti tergetar
dan tiba-tiba kuda itu meringkik dan menunduk, keempat kakinya gemetar,
matanya liar ketakutan.
"Orang tua, apa kehendakmu menghentikan perjalananku?" Milana bertanya, sedikit pun tidak merasa takut.
Kakek itu memandang agak heran melihat betapa dara muda itu sama sekali
tidak terpengaruh oleh bentakannya tadi, bahkan sedikit pun tidak
kelihatan gentar. Ia menudingkan tongkat hitamnya ke arah Bun Beng dan
berkata, "Nona muda, aku menghendaki bocah itu! Ketahuilah bahwa Kongcu
dari Pulau Neraka memerintahkan aku menangkap bocah ini, dan sebaiknya
engkau tidak menentang kehendak Tuan Muda dari Pulau Neraka."
"Aku tidak peduli apakah engkau disuruh setan muda ataukah setan tua
dari Pulau Neraka, dan aku tidak menentang siapa-siapa. Pemuda ini
adalah seorang sahabatku, dan siapa pun tidak boleh mengganggunya.
Pergilah dan jangan ganggu kami!"
Sinar mata kakek itu berapi-api, tanda bahwa dia marah sekali.
Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berilmu tinggi saja tidak
berani memandang rendah Pulau Neraka, akan tetapi nona muda ini berani
mengeluarkan kata-kata merendahkan dan menghina. Melihat sikap ini,
cepat Bun Beng yang bermaksud menyelamatkan Milana berkata,
"Locianpwe dari Pulau Neraka agaknya tidak tahu siapa Nona ini. Dia adalah puteri dari Thian-liong-pangcu."
Sinar mata marah itu lenyap, terganti oleh keheranan dan kekagetan. "Aahhhh? Puteri Pangcu dari Thian-liong-pang?"
Milana tersenyum. "Kalau benar, mengapa? Thian-liong-pang tidak pernah
takut terhadap Pulau Neraka. Sahabatku yang sakit parah ini berada dalam
perlindunganku, kalau kau hendak memaksa dan merampasnya, engkau harus
dapat mengalahkan aku lebih dulu!"
Kakek bermuka merah muda itu menjadi bimbang. Biar pun dia tidak pernah
takut terhadap lawan yang bagaimana pun, tetapi mendengar nama puteri
Ketua Thian-liong-pang dia gentar juga. Kalau sampai ia salah tangan
melukai puteri Ketua Thian-liong-pang, hal itu bukanlah persoalan kecil
dan bukan main-main! Bahkan dia tentu akan mendapat teguran hebat atau
hukuman dari Majikan Pulau Neraka yang sudah memesan agar para anak
buahnya, di luar perintahnya, jangan sampai menimbulkan bentrokan dengan
orang-orang Thian-liong-pang dan Pulau Es. Dan sekarang, dia melakukan
perintah untuk menangkap Gak Bun Beng, ternyata pemuda itu dilindungi
oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri. Andai kata bukan puteri
Ketua Thian-liong-pang, melainkan seorang tokoh biasa saja dari
Thian-liong-pang, persolannya tentu tidak akan seberat dan segawat ini.
"Maaf, Nona," akhirnya dia menjura, "Karena tidak tahu, aku bersikap
kurang hormat. Aku tidak sekali-kali ingin bertentangan dengan Nona,
akan tetapi orang muda ini amat dibutuhkan oleh Kongcu kami, oleh karena
itu kuharap Nona suka menyerahkannya kepadaku. Kalau Kongcu mendengar
laporanku akan kebaikan hati Nona, tentu Kongcu dan Majikan kami akan
menghaturkan terima kasih kepadamu."
"Aku tidak butuh terima kasih Kongcu-mu yang jahat! Minggirlah!" Milana
menyendal kendali kudanya dan Bun Beng sudah siap untuk menghadapi,
apabila tokoh Pulau Neraka itu menyerangnya.
Kakek itu tertawa bergelak, tiba-tiba tongkat hitamnya berkelebat,
dipukulkan ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini cepat mengikuti gerakan
itu dan siap mempergunakan ilmu memindahkan tenaga, akan tetapi
tiba-tiba tongkat hitam itu tidak dilanjutkan menyerangnya, sebaliknya
menghantam ke bawah.
"Prokkk!"
Kepala kuda itu pecah dan Milana cepat meloncat sambil mengempit
pinggang Bun Beng. Muka dara itu menjadi merah, matanya bersinar-sinar
penuh kemarahan, tangannya bergerak dan sinar merah menyambar dibarengi
bau harum menyengat hidung. Itulah belasan batang jarum Siang-tok-ciam
(Jarum Racun Harum) yang amat berbahaya. Sekaligus menyambar ke arah
tujuh belas pusat jalan darah di tubuh kakek itu.
Kakek muka merah muda itu terkejut sekali, cepat meloncat tinggi ke atas
dan memutar tongkat, mengebutkan lengan baju kiri. Dengan gerakan ini
barulah ia dapat terbebas dari pada maut, akan tetapi ketika tubuhnya
melayang turun, kembali tampak sinar-sinar merah menyambar dari tangan
Milana.
"Ayaaa...!" Kakek itu berjungkir balik, memutar tongkatnya, namun tetap
saja sebatang jarum menancap di rambutnya dan hampir saja menggores
kulit kepala. Mukanya menjadi pucat sekali. Nyaris nyawanya melayang,
hanya seujung rambut selisihnya! Ia mengeluarkan pekik melengking dan
muncullah dua orang lain, seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya
bermuka merah muda pula. Kiranya kakek itu memanggil bala bantuan karena
menghadapi puteri Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu.
Melihat ini Milana cepat-cepat meloncat sambil menggendong tubuh Bun
Beng di belakangnya. Ia berlari cepat sekali seperti terbang dan Bun
Beng merasa amat tidak enak. Dia tahu bahwa Milana amat lihai, agaknya
tidak akan kalah kalau hanya menghadapi tiga orang Pulau Neraka tadi.
Akan tetapi karena dara itu merasa tidak leluasa menghadapi lawan sambil
melindunginya yang sudah lumpuh, maka gadis ini cepat membawanya
melarikan diri. Yang paling membuat dia tidak enak, jengah dan terharu
adalah betapa dara ini memaksanya untuk digendong di belakang punggung!
Cepat sekali Milana melarikan diri, akan tetapi tiga orang Pulau Neraka
itu mengejar terus. Biar pun mereka merasa segan untuk memusuhi puteri
Ketua Thian-liong-pang, namun mereka bertekad untuk menangkap Bun Beng,
pemuda yang tahu akan Sepasang Pedang Iblis yang hanya dapat dirampas
sebatang oleh Kongcu mereka, dan pemuda ini malah telah membunuh dua
orang Pulau Neraka. Mereka mengejar terus dengan cepat dan untung bagi
mereka bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang itu terhalang gerakannya
karena menggendong tubuh Bun Beng. Andai kata tidak demikian, tiga orang
itu maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mengejar dara yang memiliki
sinkang sedemikian hebatnya itu.
"Nona, di depan itu kumelihat menara tinggi, tentu sebuah kuil. Larilah
ke sana. Kalau tidak terhalang olehku, tentu Nona akan mampu menghadapi
mereka," kata Bun Beng yang tak berani lagi menyatakan isi hatinya,
yaitu agar Si Nona jangan melindunginya terus sehingga dia sendiri
terancam bahaya.
"Aku sedang menuju ke sana," jawab Milana "Lari mereka cepat sekali!"
Menara dari kuil tua itu sudah tampak akan tetapi jaraknya masih cukup
jauh dan tiga orang pengejar itu makin dekat, berlari seperti terbang di
sebelah belakangnya. Ketika Milana sudah tiba di dekat kuil tua yang
ada menara tingginya itu, tiga orang Pulau Neraka sudah dekat sekali,
bahkan seorang di antara mereka berseru.
"Nona, lepaskan pemuda itu!" Dia sudah menggerakkan tangannya dan
sebatang tali panjang seperti ular hidup menyambar dari belakang ke arah
Milana, ujungnya menotok jalan darah.
Bun Beng cepat menangkis dengan tangan ketika melihat tali seperti
cambuk itu, akan tetapi begitu ditangkis, ujung tali itu bergerak
membelit lehernya!
"Haiiiittt!" Milana sudah menghentikan kakinya, memutar tubuh dan
tangannya cepat menangkap tali yang membelit leher Bun Beng, dengan
mengerahkan tenaga sinkang dia membetot dengan renggutan tiba-tiba.
"Brettt!" Tali itu putus dan tubuh kakek Pulau Neraka terhuyung ke depan.
Milana tidak mempedulikan lagi, cepat membalik dan hendak lari,
sedangkan tiga orang itu telah meloncat dekat, senjata mereka
bergerak-gerak. Kakek yang terhuyung itu memutar sisa tali di tangannya
sebagai senjata, kakek kedua menggerakkan sebatang pedang, sedangkan
kakek pertama menggerakkan tongkatnya.
"Cuat-cuat-cuattt!" Tampak tiga benda bersinar terang menyambar dari
atas menara dan tiga batang hui-to (golok terbang) menancap tepat di
depan kaki tiga orang kakek Pulau Neraka itu, hanya sejengkal selisihnya
dari kaki mereka. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak, memandang gagang
golok kecil yang bergoyang-goyang itu dengan mata terbelalak dan muka
pucat.
Milana yang menoleh dan melihat ini menjadi kaget, akan tetapi juga
girang sekali. "Ibuku di sana...!" Ia berseru, kemudian mendaki sebuah
tangga yang menuju ke atas menara.
Menara itu tinggi sekali, akan tetapi puncaknya sudah rusak, tak
terpelihara, hanya tinggal temboknya saja, agaknya atapnya sudah roboh.
Ketika Bun Beng mendengar ini, jantungnya berdebar tegang. Dia menoleh
ke bawah dan melihat betapa tiga orang kakek Pulau Neraka itu sudah lari
dari tempat itu tanpa berani menoleh lagi. Tentu mereka mengenal
senjata rahasia itu! Ia tahu bahwa yang turun tangan mengancam mereka
adalah Ketua Thian-liong-pang. Memang hebat sekali golok-golok terbang
tadi, agaknya sengaja dilepas untuk mengusir mereka sehingga menancap di
depan mereka dalam jarak sejengkal.
Kalau dikehendaki, tentu tiga batang hui-to itu sudah mengenai tubuh
mereka dan merenggut nyawa mereka. Bun Beng teringat akan hui-to-hui-to
yang dilepas oleh Ketua Thian-liong-pang ketika diadakan pertemuan
antara tokoh-tokoh besar dahulu di pulau Sungai Huang-ho. Hui-to yang
berbentuk golok kecil atau pisau belati itu oleh Si Ketua yang
berkerudung dipergunakan untuk menyerang Pendekar Super Sakti. Dia
bergidik setelah kini teringat bahwa wanita berkerudung itu bukan lain
adalah ibu Milana yang cantik jelita itu, isteri sendiri dari Pendekar
Super Sakti!
Diam-diam ia merasa heran sekali dan menaruh kasihan kepada Pendekar
Siluman yang dipujanya. Mengapa hidupnya demikian penuh duka sehingga
dimusuhi oleh isteri sendiri. Ia membayangkan pertemuan pendekar sakti
itu dengan isterinya, mengenang kembali percekcokan mereka dan diam-diam
ia menimbang-nimbang, menyesuaikan ucapan Milana tadi tentang cinta.
Sungguh aneh sekali hati wanita, terutama hati ibu Milana ini.
Dan betapa anehnya sikap Pendekar Siluman yang jelas mencinta isterinya.
Mengapa mereka saling berpisah? Mengapa si isteri yang tercinta itu
seolah-olah hendak memusuhi suami yang tercinta? Sungguh membuat dia
bingung dan juga penasaran sekali. Seorang pria seperti Pendekar Super
Sakti, kurang apakah sebagai suami?
Berilmu tinggi, gagah dan tampan, berwatak mulia, memiliki kebaikan yang
cukup berlebihan untuk menutupi cacadnya, yaitu kakinya yang buntung.
Seorang suami seperti dia itu, mengapa tidak cukup membahagiakan hati
seorang isteri? Tentu si isteri yang tidak benar! Tentu ibu Milana ini
yang tidak benar. Dia menjadi penasaran dan jika tadinya dia merasa
gentar bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang, kini dia malah ingin
berjumpa, ingin membela Pendekar Super Sakti yang ia anggap diperlakukan
sewenang-wenang oleh ibu Milana!
Dengan cepat namun hati-hati karena menggendong Bun Beng, Milana
memanjat tangga itu dan setelah tiba di atas, tampaklah oleh Milana dan
Bun Beng sesosok tubuh yang duduk bersila seperti sebuah arca di atas
lantai menara. Tubuh ramping dengan kepala berkerudung, Ketua
Thian-liong-pang!
"Ibu...!" Milana menurunkan Bun Beng dari gendongan dan berlutut di depan ibunya.
"Locianpwe..." Bun Beng juga memberi hormat dengan duduk karena dia tidak dapat berlutut.
"Milana! Apa yang kau lakukan ini?" suara merdu halus yang keluar dari
balik kerudung itu penuh teguran. "Kau berani menentang Thian-liong-pang
dan melawan anak buah kita sendiri?"
"Ibu... aku... tidak mungkin membiarkan Gak-twako yang terluka hebat ini
diganggu. Harap Ibu suka mengampunkannya. Dia luka parah, lumpuh,
keracunan dan kalau Ibu tidak menolongnya, dia akan mati..."
"Biar saja mati anak setan ini! Kalau dia tidak mati keracunan, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya!"
"Ibu, kasihanilah dia, ampunkanlah..." Milana berkata penuh permohonan.
"Kau malah berani menyebut Ibu kepadaku di depan anak setan ini, Milana, apakah kau hendak membuka rahasia..."
"Locianpwe, harap jangan menyalahkan Nona Milana. Dia tidak membuka
rahasia Locianpwe, akan tetapi melihat sikap orang-orang
Thian-liong-pang kepadanya, saya sudah dapat menduga bahwa dia puteri
Locianpwe. Sungguh tidak saya sangka bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah
Locianpwe, isteri Pendekar Super..."
"Wuuutttt...!" Tangan wanita berkerudung itu bergerak dan angin pukulan yang amat hebat menyambar tubuh Bun Beng.
"Ibu...!" Milana menjerit dan Bun Beng sudah menggulingkan tubuhnya, bergulingan sehingga terhindar dari bahaya maut.
"Anak setan, kau kira aku tak dapat membunuhmu? Untuk kekacauan yang kau
buat di Thian-liong-pang, mungkin aku masih dapat mengampunimu. Akan
tetapi engkau telah mengetahui rahasiaku, mengenal siapa Ketua
Thian-liong-pang dan untuk hal itu engkau harus mati!"
Tiba-tiba tubuh yang duduk bersila itu meloncat ke atas, dalam keadaan
masih duduk bersila, meluncur cepat ke arah Bun Beng dan lengan baju
yang lebar panjang itu menyambar ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini
terkejut sekali, kembali melempar diri ke belakang dan sambil
bergulingan, tiga kali lengannya menangkis.
"Plak-plak-plak..." Ia berhasil menangkis, namun lengan sampai ke pundaknya terasa nyeri dan hampir lumpuh.
"Ibu... jangan...!" Milana meloncat dan menghadang, akan tetapi sebuah dorongan membuat dara itu terlempar.
Rasa penasaran yang berkumpul di dalam dada Bun Beng seperti akan
meledak. Dia sudah siap, duduk dan memandang tajam, siap melawan sampai
mati, namun dia tidak akan puas sebelum mengeluarkan isi hatinya.
"Locianpwe! Locianpwe adalah isteri Pendekar Super Sakti yang amat saya
muliakan. Dia seorang pendekar sakti yang hebat, yang tiada keduanya di
dunia ini, akan tetapi mengapa Locianpwe sebagai isterinya malah
membangun perkumpulan yang keji, menculik dan mencuri kepandaian orang
lain? Semua itu masih belum hebat, akan tetapi Locianpwe menjauhkan diri
dari padanya, membuat hatinya sengsara. Bukankah kewajiban seorang
isteri harus ikut bersama suaminya ke mana pun dia pergi? Di mana cinta
kasih seorang isteri terhadap suaminya yang demikian mulia seperti
Pendekar Super Sakti?"
"Anak setan, lancang mulut, keparat!" Wanita berkerudung itu membentak.
"Locianpwe boleh membunuh saya. Saya tidak takut, apa lagi saya telah
terluka dan keracunan, tiada harapan hidup lagi. Akan tetapi saya tidak
menyesal untuk mati, hanya menyesal sekali melihat Locianpwe selain
membikin sengsara hati pendekar sakti yang saya muliakan, juga merusak
penghidupan puteri Locianpwe sendiri! Mengapa Locianpwe tidak
membubarkan saja perkumpulan Thian-liong-pang yang keji itu dan mengajak
Nona Milana menyusul ayahnya di Pulau Es, hidup bahagia dan damai di
sana?"
"Gak Bun Beng, engkau anak datuk kaum sesat, mulutmu melebihi kejahatan
Ayahmu!" Wanita itu marah sekali, ucapannya seperti menjerit dan
tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas.
"Saya memang anak yang hina dan rendah, akan tetapi tidak membikin sakit
hati orang lain, apa lagi merusak hidup suami dan anak seperti yang
Locianpwe lakukan!"
Tiba-tiba tubuh yang sudah mencelat ke atas itu turun lagi, duduk
bersila dan dari balik kerudung itu terdengar suara menggetar, "Bocah
setan! Kau tahu apa? Sebelum engkau mampus, buka dulu telingamu,
dengarkan baik-baik! Pendekar Siluman yang kau puja-puja itu, apakah dia
seorang suami yang baik? Puhhhhh! Engkau tidak tahu urusannya sudah
berani mencela aku memuji dia! Engkau tahu apa? Setelah menjadi suamiku,
dia tidak mau mengikutiku, dia memisahkan diri. Bahkan dia tidak tahu
ketika anaknya dilahirkan, dia tidak peduli, tidak mau mencari kami,
tidak mempedulikan kami! Apakah aku harus menyembah-nyembah dan mengemis
perhatiannya? Hemm, kau kira aku selemah itu? Tidak, aku akan
menandinginya, aku akan membentuk perkumpulan yang lebih kuat dari pada
Pulau Es! Akan kuserbu Pulau Es dan kukalahkan dia dalam pertandingan!
Akan tetapi kau... kau anak Si Datuk Sesat Gak Liat Si Setan Botak,
engkau telah mengetahui rahasiaku, dan engkau harus mampus!"
"Ibu! Jangan..., jangan...!" Tiba-tiba Milana menubruk dan melindungi tubuh Bun Beng.
Nirahai, Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu, memandang kaget
dan heran, kemudian penuh kemarahan dan kekhawatiran membentak dari
balik kerudungnya. "Milana! Apa ini? Gak Bun Beng, berani engkau membuat
anakku jatuh cinta?"
"Ibu...!"
"Locianpwe, engkau terlalu keji menuduh anakmu! Orang macam aku ini,
keturunan seorang penjahat, mana berani kurang ajar mencinta puteri
Pendekar Super Sakti? Nona Milana menolongku hanya karena kasihan,
karena dia memiliki watak halus penuh budi luhur seperti ayahnya."
"Ibu, harap jangan bunuh dia... ah, Gak-twako, kau bersumpahlah bahwa kau takkan membuka rahasia Ibu... bersumpahlah, Twako..."
Bun Beng menarik napas panjang. "Nona, aku tidak takut mati, aku toh
akan mati juga, perlu apa aku bersumpah hanya agar tidak dibunuh oleh
Ibumu? Akan tetapi mengingat kebaikan-kebaikanmu, biarlah aku bersumpah.
Selama hidupku, aku Gak Bun Beng tidak akan membuka rahasia bahwa Ketua
Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, bahwa engkau
adalah puteri mereka."
"Ibu, dia sudah bersumpah, ampunkanlah dia, Ibu."
Melihat sikap puterinya ini, makin gelisah hati Nirahai. Dia melihat
tanda-tanda tunas cinta kasih. Puterinya mencinta anak Gak Liat? Betapa
rendahnya! Dia tahu betapa berbahayanya cinta kasih kalau sudah
menguasai hati wanita. Maka jalan terbaik hanyalah membunuh Bun Beng
sebelum terlambat, sebelum cinta kasih yang baru bertunas itu tumbuh dan
berakar kuat.
"Minggir kau...!" Dia menggerakkan tangan dan Milana kembali terlempar
ke samping. Ketua Thian-liong-pang ini lalu menerjang dengan tamparan
yang amat kuat ke arah kepala Bun Beng, sekali ini tidak lagi
menggunakan ujung lengan baju karena pemuda itu terlalu kuat dan pandai
untuk diserang begitu saja, melainkan menggunakan tangannya yang ampuh.
"Wuuuutttt!"
Bun Beng memang tidak takut mati, namun dia pantang menyerah begitu saja
menyerahkan nyawa tanpa melawan. Hal itu bukanlah watak seorang gagah!
Dia teringat akan ilmunya yang baru, yang telah dua kali menolongnya
dari bahaya maut. Melihat datangnya tangan yang menyambar ke arah
kepalanya dengan didahului angin pukulan luar biasa dahsyatnya, dia
cepat mengikuti arus gerakan tangan lawan, menggerakkan tubuh miring ke
kanan, kemudian tangannya sendiri yang dipenuhi aliran tenaganya sendiri
ditambah tenaga lawan, dari samping menangkis dengan pukulan dahsyat.
"Dessss...!"
"Aihhhh, pukulan apa ini...!" Nirahai mencelat ke samping, menyentuh
tangan kirinya yang barusan saja tertangkis secara hebatnya dan
memandang Bun Beng dari balik kerudungnya.
"Bukan main, kalau aku tidak ingin membunuhmu sekarang, ingin aku
mempelajari gerakanmu yang mukjizat tadi. Sekarang terimalah
kematianmu!" Dia menerjang lagi, kini kedua tangannya bergerak dari dua
arah berlawanan sehingga tidak mungkin lagi bagi Bun Beng untuk
menggunakan ilmunya memindahkan tenaga.
Apa lagi ilmu itu pun tadi telah dipergunakan dan tidak membawa hasil,
lengan Ketua Thian-liong-pang itu tidak terluka sedikit pun. Maka jalan
satu-satunya hanyalah menggulingkan tubuhnya. Karena maklum bahwa
serangan Ketua Thian-liong-pang itu hebat bukan main, maka Bun Beng
mengerahkan seluruh sinkang di tubuhnya untuk menggulingkan tubuhnya.
Tiga kali pukulan ketua yang amat lihai itu luput dan Bun Beng yang
merasa pundaknya terlanggar angin pukulan yang amat kuat, mempercepat
gerakannya bergulingan.
Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke bawah, ternyata dia telah bergulingan ke
pinggir menara dan terlempar ke bawah dari tempat yang amat tinggi itu.
Masih didengarnya jerit Milana dan selanjutnya ia hanya menyerahkan
nasib di tangan Tuhan, maklum bahwa dalam keadaan tubuh bawah lumpuh itu
dia tentu akan terbanting remuk di bawah sana! Bun Beng sudah
memejamkan mata, menanti datangnya maut.
Akan tetapi, ia mendarat dengan empuk, bukan terbanting ke atas tanah
berbatu, melainkan tubuhnya tergantung dan ada sebuah tangan
mencengkeram baju di punggungnya. Ketika ia membuka mata memandang,
kiranya ia disambut oleh seorang laki-laki yang tampan, dicengkeram baju
di punggungnya, seorang laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan,
rambut putih seperti benang perak, namun wajah itu tampan berwibawa,
tenang dan tidak kelihatan tua. Wajah... Pendekar Super Sakti yang
memandangnya dengan senyum yang menyejukkan hati, dengan mata yang
diliputi penderitaan batin yang mengharukan hati Bun Beng. Pendekar
Super Sakti atau Pendekar Siluman, Suma Han, Majikan Pulau Es itu
berdiri dengan tongkat di tangan kiri, agaknya menerima tubuh Bun Beng
tadi amat ringan baginya, dan di sebelahnya berdiri Kwi Hong yang cantik
jelita!
"Taihiap...! Ah, Taihiap telah menolong nyawaku...!" Bun Beng berkata,
terharu, girang akan tetapi juga penuh hati khawatir mengingat betapa
Ketua Thian-liong-pang, yang ia tahu adalah isteri pendekar sakti ini,
berada di atas menara.
"Bun Beng, mengapa engkau jatuh dari atas sana? Dan... ahhh, kau terluka hebat..."
Suma Han telah menurunkan Bun Beng yang duduk di atas tanah. "Engkau
terkena pukulan beracun yang hebat sekali. Siapakah yang melukaimu?
Apakah masih berada di atas sana?"
Bun Beng ragu-ragu untuk menjawab, tidak ingin melihat pendekar ini
berjumpa dengan Ketua Thian-liong-pang dan Milana. Tentu akan hebat
akibatnya, dia pikir, maka dia menjadi bingung ketika mendengar
pertanyaan itu. Tiba-tiba Kwi Hong mengayun tubuhnya meloncat ke atas
tangga, kemudian mendaki tangga itu dengan cepat seperti berlarian ke
atas.
"Kwi Hong, jangan lancang!" Suma Han berseru dan tiba-tiba tubuhnya
sudah melayang naik mendahului Kwi Hong yang mendaki tangga itu,
melayang ke atas menara!
Bun Beng kagum bukan main menyaksikan ini, matanya sampai berkunang
melihat tubuh pendekar sakti itu mencelat ke atas, lalu berjungkir balik
di udara dan melayang lebih tinggi sampai tiba di atas menara dan
lenyap. Jantungnya berdebar tidak karuan. Apa akan terjadi kalau suami
isteri itu berjumpa di sana, dan Pendekar Super Sakti mendapat kenyataan
bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterinya?
Ia melihat Kwi Hong juga sudah sampai di atas. Tak lama kemudian tampak
Kwi Hong turun lagi, lalu gadis ini meloncat ke dekat Bun Beng sambil
berkata, "Di atas tidak ada orang sama sekali. Bagaimana kau tadi sampai
jatuh?"
Sebelum Bun Beng menjawab, Suma Han sudah melayang turun lagi. "Buka
bajumu, biar kuperiksa dulu sebelum kau bercerita," katanya dengan suara
halus.
Bun Beng membuka baju atasnya dan sambil menekuk lutut kakinya yang
tinggal sebuah, Suma Han memeriksa keadaan Bun Beng. Alisnya berkerut
dan dia berkata,
"Keji sekali! Siapa yang melukaimu seperti ini?"
Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak ia bertemu dengan Tan Ki dan Maharya sehingga ia dilukai oleh Maharya.
"Ah, mengapa engkau menyuruh dan memaksa aku pergi?" Kwi Hong mencela
dan membanting kakinya. "Kalau aku tidak pergi, tentu engkau tidak akan
terluka seperti ini!"
"Kwi Hong, omongan apa itu? Bun Beng telah menyelamatkanmu, kalau tidak
pergi mungkin engkau akan menderita lebih hebat lagi! Bun Beng,
lanjutkan ceritamu."
Bun Beng melanjutkan ceritanya, betapa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh
putera dari Pulau Neraka, dan betapa dia tadinya akan dijadikan tawanan,
akan tetapi dia dapat menyelamatkan diri. Untuk mencegah agar dia tidak
usah bicara tentang Ketua Thian-liong-pang, maka dia tidak menceritakan
pertemuannya dengan Milana.
Suma Han mengerutkan alisnya, diam-diam hatinya amat gelisah. Menurut
cerita Bun Beng, kongcu dari Pulau Neraka itu amat lihai dan kelihatan
kejam. Apakah Lulu telah keliru mendidik puteranya? Dia tidak percaya
bahwa putera Lulu dan Wan Sin Kiat menjadi seorang jahat! Akan tetapi,
Lam-mo-kiam telah terampas oleh anak Lulu itu. Dia tidak memberi
komentar, hanya menggeleng-geleng kepala dan hatinya makin berduka.
Betapa tidak akan duka dan perih hatinya kalau ia terigat kepada Lulu?
Adik angkatnya itu adalah satu-satunya wanita yang dicintanya, namun
keadaan memaksa mereka berpisah, bahkan kini timbul rasa sakit hati
dalam perasaan Lulu terhadapnya!
"Ahhh, engkau menderita bukan main, Bun Beng. Akan tetapi kenapa kau tadi jatuh dari atas menara?" Kwi Hong bertanya.
Bun Beng menjadi bingung. "Aku... aku dikejar-kejar orang-orang Pulau
Neraka karena aku membunuh dua orang yang akan membawaku ke sana. Dalam
keadaan kedua kakiku lumpuh, tentu saja sukar bagiku untuk melarikan
diri. Akhirnya aku sampai di menara ini, bersembunyi di atas menara. Aku
menderita sekali, tidak berani turun, dan lukaku tak mungkin dapat
sembuh. Dari pada perlahan-lahan menghadapi kematian yang menyiksa
seperti yang dikatakan oleh Pendeta Maharya, aku... aku mengambil
keputusan terjun dan mati di sini!"
"Aihhh, pengecut!" Kwi Hong berteriak ngeri.
"Kwi Hong, diamlah. Engkau tidak merasakan penderitaan orang, hanya
pandai mencela!" kata Suma Han yang kemudian memandang Bun Beng. "Betapa
pun juga, cara melarikan diri dari penderitaan dengan jalan membunuh
diri adalah perbuatan bodoh dan tidak tepat. Biarlah aku akan mencoba
mengobatimu sedapat mungkin. Mari kita masuk ke dalam kuil itu."
Tanpa menanti jawaban, Suma Han menyambar tubuh Bun Beng dan dibawa
memasuki kuil tua. Kwi Hong mengikuti dari belakang. Diam-diam hati Bun
Beng lega karena ternyata Ketua Thian-liong-pang telah pergi dari atas
menara itu. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan Ibu Milana itu. Dapat
dibayangkan betapa lihainya untuk dapat pergi bersama puterinya, tanpa
dilihat oleh Pendekar Super Sakti yang demikian lihai? Dan betapa
cerdiknya untuk cepat-cepat pergi, karena kalau sampai bertemu dengan
majikan Pulau Es itu, kerudungnya tidak akan ada artinya lagi kalau
pendekar ini melihat Milana dan tentu akan dapat menduga siapa adanya
wanita di balik kerudung itu.
Suma Han cepat mengobati Bun Beng. Mula-mula menyambung kedua lutut kaki
dan memberi obat, kemudian mulailah pendekar sakti ini mempergunakan
sinkang-nya yang luar biasa kuatnya untuk mengusir hawa beracun dari
dalam tubuh Bun Beng. Pemuda itu disuruh duduk diam tanpa baju dan Suma
Han duduk di belakangnya, menempelkan kedua telapak tangan di punggung
pemuda itu. Sampai sehari lamanya Bun Beng merasa betapa dari kedua
telapak tangan itu mengalir hawa yang berlawanan, dingin dan panas!
Diam-diam dia kagum bukan main dan mengerti bahwa di dunia ini agaknya
tidak ada keduanya dalam hal kekuatan sinkang seperti yang dimiliki oleh
Majikan Pulau Es ini!
Semalam suntuk menyusul dan Suma Han melanjutkan pengobatannya. Pada
keesokan harinya, barulah ia menyudahi pengobatannya. Bun Beng yang
membiarkan dirinya diobati, merasa betapa hawa berputar-putar di
tubuhnya dan keluar melalui kepalanya. Dia merasa dadanya tidak sesak
lagi dan begitu Suma Han menyatakan selesai, dia cepat menelungkup dan
menghaturkan terima kasih. Suma Han mengangkatnya bangun, duduk, dan
sambil minum air hangat yang dibuat oleh Kwi Hong, Suma Han berkata,
"Aku telah berhasil membersihkan semua hawa beracun dari dalam tubuhmu,
Bun Beng. Akan tetapi, sayang bahwa aku bukanlah seorang ahli
pengobatan. Padahal, racun telah memasuki jalan darahmu dan aku tidak
mampu mengobatinya. Aku mendengar bahwa satu-satunya tetumbuhan obat
yang dapat melawan semua keracunan darah, hanya terdapat di Pulau
Neraka..."
"Ohhhh...!" Kwi Hong berteriak, terkejut sekali. "Paman, bagaimana mungkin kita bisa mengambil ke sana?"
Suma Han menggelengkan kepala. "Tidak mungkin kita ke sana tanpa
menimbulkan keributan. Akan tetapi, racun yang berada di tubuh Bun Beng
ini amat hebat, biar pun dia tidak akan tersiksa seperti kalau hawa
beracun masih di tubuhnya, namun dalam waktu paling lama setengah tahun,
darahnya akan menjadi kotor penuh racun, dapat membuat dia menjadi gila
atau mati, sedikitnya akan lumpuh seluruh tubuhnya!"
"Aihhh...!" Kembali Kwi Hong berseru.
Akan tetapi Bun Beng bersikap tenang-tenang saja sehingga mengagumkan
hati Suma Han yang memandangnya. "Pertolongan Taihiap sudah terlampau
besar, biar pun Taihiap tak dapat mengobati, saya tidak merasa
penasaran. Kalau memang sudah ditakdirkan saya mati karena racun dalam
darah ini, saya akan menerimanya tanpa keluhan. Saya sudah merasa cukup
berbahagia melihat kenyataan betapa seorang mulia seperti Taihiap sudi
memperhatikan diri saya dan sudi mengulurkan tangan memberi
pertolongan."
Suma Han mengerutkan alisnya. Terlalu sayang kalau pemuda seperti ini
sampai mati sia-sia. Akan tetapi, betapa pun juga, dia tidak memiliki
keberanian untuk berhadapan dengan Lulu lagi, takut akan hatinya
sendiri!
"Jangan putus harapan, Bun Beng. Akan kusediakan perahu untukmu, kuberi
gambar petunjuk bagaimana engkau dapat mencapai Pulau Neraka dengan
perahumu. Kau pergilah sendiri ke Pulau Neraka, membawa sepucuk suratku.
Percayalah, dengan suratku itu, Majikan Pulau Neraka tentu akan suka
menolong dan mengobatimu sampai sembuh."
"Akan tetapi... Kongcu Pulau Neraka telah merampas Lam-mo-kiam, dan dia
amat kejam. Tentu saya hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia ke
sana, Taihiap!"
"Coba sajalah. Dengan suratku, engkau akan diterima dengan baik." Suma
Han lalu mengeluarkan alat tulis dan menulis sepucuk surat dengan cepat,
membungkus surat itu dan menyerahkannya kepada Bun Beng. "Sekarang,
mari kuantar kau ke pantai dan mencari perahu!"
Bun Beng tidak mau membantah lagi dan dia pun percaya bahwa seorang yang
luar biasa seperti Pendekar Super Sakti ini tidaklah aneh kalau
suratnya mendapat perhatian dari Majikan Pulau Neraka! Kwi Hong juga
tidak mau banyak cakap karena maklum bahwa hubungan antara pamannya
dengan Pulau Neraka harus dia rahasiakan. Namun diam-diam gadis ini
merasa tidak setuju melihat betapa pemuda yang menderita luka berat itu
disuruh pergi seorang diri ke Pulau Neraka.
Biar pun belum terlalu lama dia mengenal Bun Beng, namun dia sudah dapat
mengenal watak pemuda ini, watak yang keras dan tidak mau mengalah, apa
lagi kalau menghadapi kejahatan. Watak seperti itu akan mendatangkan
bahaya kalau pemuda itu berada di Pulau Neraka yang penuh dengan
orang-orang aneh dan lihai. Dan sekarang pamannya menyuruh Bun Beng
seorang diri berlayar ke sana. Bukankah itu sama dengan menyuruh pemuda
itu menghadapi bencana?
Betapa pun juga, Kwi Hong paling takut menghadapi pamannya, juga
gurunya. Ia kehilangan watak galaknya kalau berhadapan dengan pamannya,
maka semua kekhawatiran dan ketidak setujuan hatinya hanya ia simpan
saja di hati, tidak berani ia keluarkan melalui mulut. Ketika Suma Han
sudah mendapatkan sebuah perahu layar dan Bun Beng sudah duduk di perahu
itu, memegang kemudi dengan sepeti besar roti kering dan minuman
sebagai bekal, Kwi Hong hanya memandang dan berkata perlahan,
"Hati-hatilah, Bun Beng...!"
"Gak Bun Beng, secara kebetulan sekali engkaulah orangnya yang menemukan
sepasang pedang itu. Sepasang Pedang Iblis yang dijadikan rebutan dunia
kang-ouw. Akan tetapi sebatang di antaranya, Lam-mo-kiam, dirampas
orang dari tanganmu pula. Karena itu, setelah engkau berhasil sembuh,
menjadi kewajibanmulah untuk menjaga agar jangan sampai pedang itu
dipergunakan orang untuk menimbulkan kekacauan di dunia ini. Sepasang
Pedang Iblis itu adalah sepasang pedang yang amat ampuh, jarang dapat
dicari tandingnya di dunia ini. Syukur bahwa yang sebatang telah kau
berikan kepada Kwi Hong. Hanya Hok-mo-kiam sajalah yang kiranya akan
dapat menandingi Sepasang Pedang Iblis. Sayang bahwa Hok-mo-kiam
terampas oleh Tan Ki yang gila dan gurunya yang lihai itu."
"Suma-taihiap, saya berjanji bahwa jika saya dapat sembuh, saya akan
mengerahkan seluruh akal dan tenaga untuk merampas kembali Hok-mo-kiam,
untuk membasmi Tan-siucai dan gurunya yang jahat, dan tentu saja untuk
membalas dendam atas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."
"Hemm, cita-cita hidupmu di masa depan penuh dengan bahaya dan
permusuhan. Semoga engkau akan dapat mengatasi itu semua, Bun Beng. Nah,
berangkatlah!"
Setelah memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan keponakannya dari
atas perahu, Bun Beng mendayung perahunya ke tengah. Setelah angin
bertiup membuat layarnya berkembang, perahu melaju cepat dan dua orang
yang memandangnya dari pantai itu hanya tampak seperti dua buah titik
yang akhirnya lenyap pula.
Bun Beng memeriksa peta yang ia terima dari Pendekar Siluman. Sungai
lebar di mana perahunya sekarang berada akan bertemu dengan Sungai
Huang-ho, melewati Terusan Besar untuk kemudian menuju ke laut. Ada
petunjuk dan tanda-tanda di peta itu mengenai letak Pulau Neraka, jauh
di utara, bahkan ada penjelasan bahwa dia akan melalui lautan yang
banyak terdapat gunung-gunung es mengapung dan merupakan tempat
berbahaya sekali.
Bun Beng teringat akan tokoh-tokoh Pulau Neraka yang amat aneh dan
lihai, juga kejam. Teringat akan pemuda tampan dari Pulau Neraka,
hatinya penuh dengan rasa benci dan tak senang. Akan tetapi kalau ia
teringat akan kakek muka kuning yang lucu aneh dan agak miring otaknya
itu, yang dua kali ia temui ketika kakek itu menolong dia dan Milana di
atas perahu, kemudian ketika kakek itu menolongnya pula di atas
layang-layang raksasa, dia tersenyum sendiri.
Betapa pun anehnya, betapa pun tersohor jahatnya Pulau Neraka, dia tidak
bisa membenci kakek muka kuning itu, biar pun dia tahu bahwa kakek itu
adalah seorang tokoh besar dari sana! Dia rasa, kakek itu akan suka
menolongnya dan memberi tetumbuhan obat anti racun. Ataukah...
jangan-jangan kakek muka kuning itulah Majikan Pulau Neraka? Ah, tidak
mungkin. Bukankah pemuda tampan itu putera Majikan Pulau Neraka? Pemuda
itu selain tampan juga pesolek, pakaiannya indah-indah, dan kakek muka
kuning itu seperti orang gila, pakaiannya tidak karuan dan tak
bersepatu. Betapa pun juga, kakek muka kuning itu tentu bukan tokoh
sembarangan dari Pulau Neraka.
Dua hari dua malam lamanya Bun Beng berlayar dan akhirnya perahunya
memasuki Sungai Huang-ho. Dia merasa berterima kasih sekali kepada
Pendekar Super Sakti karena setelah diobati oleh pendekar itu, kedua
kakinya yang lumpuh mulai dapat ia gerakkan dan kedua lututnya sudah
hampir bersambung lagi, tidak begitu nyeri rasanya, juga dadanya tidak
sesak lagi. Akan tetapi, selama dua hari itu, dia berpikir dan mengambil
keputusan bulat untuk tidak pergi ke Pulau Neraka.
Dia benci harus bertemu dengan pemuda Pulau Neraka itu yang dianggapnya
amat sombong. Dia tidak sudi merengek minta obat ke sana, membayangkan
betapa pemuda tampan itu akan memandangnya penuh ejekan dan hinaan.
Hanya sedikit sekali harapan untuk bisa mendapatkan obat dari Pulau
Neraka. Bukankah ia mendengar desas-desus bahwa Pulau Neraka tidak
bersahabat dengan Pulau Es? Bukankah ketika ada pertemuan di pulau
tengah Sungai Huang-ho dahulu, terjadi pula pertentangan dan persaingan
antara Pulau Neraka, Thian-liong-pang dan Pulau Es?
Kalau memang racun di dalam darahnya akan membuatnya mati, dia seratus
kali lebih rela mati di mana saja dari pada di Pulau Neraka, lebih
dahulu harus mengalami penderitaan batin kalau dihina dan diejek
orang-orang Pulau Neraka. Yang lebih hebat lagi, kalau surat dari
Pendekar Super Sakti itu mereka tolak atau tidak mereka sambut dengan
baik, betapa akan menyakitkan hatinya! Dan dia tentu takkan banyak
berdaya terhadap penghuni-penghuni Pulau Neraka yang demikian lihainya.
Tidak, dia tidak mau ke Pulau Neraka dan teringat akan Sungai Huang-ho,
dia tahu ke mana dia harus pergi. Ke tempat di mana dia menemukan
Sepasang Pedang Iblis! Ke tempat di mana terdapat sahabat-sahabatnya
terbaik selama ini, yaitu sekumpulan kera baboon dengan siapa ia pernah
hidup selama berbulan-bulan lamanya! Tempat itulah yang menjadi tempat
seorang manusia sakti, gurunya yang tak pernah dikenalnya, yang telah
meninggalkan Sepasang Pedang Iblis itu dan kitab pelajaran ilmu silat
tinggi kepadanya. Kalau dia kembali ke sana dan mati di sana, hanya
sekumpulan kera baboon itu saja yang akan mengetahuinya, tiada seorang
pun manusia lain yang akan melihat keadaannya.
Tiada seorang pun manusia pernah datang ke tempat itu, karena tidak ada
yang tahu bagaimana caranya. Hanya dia seoranglah yang tahu. Caranya
mudah sekali biar pun penuh bahaya maut, mempertaruhkan nyawa. Biasa
saja, hanya terjun ke dalam pusaran maut, membiarkan pusaran itu yang
menyeret tubuhnya ke bawah dan ia akan sampai di tempat itu. Tentu saja
kalau Tuhan menghendaki, kalau tidak, sekali dibenturkan pada batu-batu
di bawah air oleh tenaga pusaran air, tubuhnya akan remuk. Apa bedanya?
Dia toh akan mati juga. Selama paling banyak setengah tahun, kata
Pendekar Super Sakti!
Dengan keputusan hati yang bulat ini, Bun Beng berlayar menuju ke pulau
di tengah muara Sungai Huang-ho. Sepekan lamanya setelah perahunya masuk
sungai itu, sampailah dia dekat pulau dan langsung ia mengemudikan
perahu menuju ke sebelah selatan pulau di mana terdapat pusaran maut.
"Haiiii...! Orang muda, jangan ke sana... berbahaya...!" Beberapa orang
nelayan dari perahu masing-masing berteriak-teriak memperingatkan Bun
Beng.
Akan tetapi pemuda ini malah tersenyum geli melihat tingkah para nelayan
itu yang memperingatkan dia agar jangan mendekati pusaran maut. Justeru
pusaran air itulah tujuannya, tentu saja menggelikan sekali melihat
mereka memperingatkan dia jangan mendekati tempat itu. Dia malah
menurunkan layar dan mendayung perahunya cepat-cepat menuju ke pusaran
air, diikuti pandang mata terbelalak dan muka pucat oleh para nelayan
yang tentu saja sudah mengenal tempat itu yang amat ditakuti semua
nelayan.
Mereka berteriak-teriak kaget dan kasihan ketika melihat perahu dengan
orang muda itu dicengkeram pusaran air, perahunya berputar-putar dan
tiba-tiba pemuda itu terlempar ke tengah pusaran sedangkan perahunya
pecah berantakan mengeluarkan suara keras. Perahu itu hancur
berkeping-keping dan tubuh pemuda itu lenyap ditelan pusaran air! Semua
nelayan menahan napas, kemudian hanya menggeleng-geleng kepala
melanjutkan pekerjaan mereka, diam-diam mencatat bahwa pusaran maut itu
kembali telah menelan nyawa seorang manusia yang agaknya masih asing
dengan daerah itu dan tidak tahu bahwa di situ terdapat pusaran air yang
amat berbahaya.
Dalam keadaan setengah pingsan, setelah terjun dan menyelam, tubuh Bun
Beng terbawa oleh pusaran air yang menyedotnya ke bawah. Ia merasa
tubuhnya dihanyutkan oleh kekuatan yang amat dahsyat, yang membuat
tubuhnya terpusing cepat sekali, ia merasa tubuhnya sakit-sakit akan
tetapi sedikit pun dia tidak mau melawan karena dia maklum bahwa melawan
berarti mati. Tenaga yang demikian dahsyatnya hanya dapat dihadapi
dengan penyerahan total, tanpa perlawanan sedikit pun sehingga tubuhnya
seperti sehelai daun yang menurut saja.
Dalam keadaan pingsan, Bun Beng terus disedot ke bawah, dihanyutkan dan
ketika ia siuman kembali, seperti dahulu ketika ia masih kecil terjun ke
tempat ini, tahu-tahu ia mendapatkan dirinya telah berada di mulut
sebuah goa. Tubuhnya terasa sakit-sakit dan pakaiannya robek-robek,
kulitnya babak bundas, berdarah di sana-sini, agaknya karena terbentur
dan tergurat batu-batu ketika pusaran air itu menghanyutkan tubuhnya.
Sambil mengeluh Bun Beng bangkit duduk, memandang ke sekelilingnya yang
hanya batu-batuan belaka, dalam cuaca yang remang-remang dan ternyata
dia berada di mulut goa yang amat besar dan di sebelah kirinya terdapat
air mancur yang mengeluarkan bunyi gemuruh.
Ia menarik napas lega. Dua kali ia memasuki pusaran maut, dan dua kali
secara mukjizat dia selamat! Dengan penuh harapan dan penuh rindu ia
memandang ke kanan kiri, menanti munculnya kera-kera baboon yang dahulu
pernah mengeroyoknya kemudian menjadi sahabat-sahabatnya selama lebih
dari setengah tahun. Akan tetapi sunyi saja di situ, tidak tampak seekor
pun kera dan suara apa-apa kecuali bunyi air terjun yang bergemuruh.
Ketika ia memandang penuh perhatian, ia merasa heran karena tempat di
mana ia pertama kali didaratkan oleh pusaran air tidaklah seperti
sekarang ini. Dahulu tidak ada air terjun yang demikian besar, dan ia
dahulu didaratkan oleh gelombang air sungai yang mengalir di dalam
gunung batu. Sekarang, tidak tampak air mengalir di depannya yang ada
hanya air terjun itulah. Melihat letak dia mendarat, dia dapat menduga
bahwa tentu dia tadi terbawa oleh air itu dan terjatuh ke bawah bersama
air terjun itu. Ia bergidik. Benar-benar aneh. Kalau dia terjatuh
bersama air itu, dengan kepala lebih dulu, tentu kepalanya akan pecah!
Tidak salah lagi. Bukan ini tempat dia dahulu pertama kali dihanyutkan
pusaran air itu. Ini adalah tempat lain lagi. Ia mencoba untuk
menggerakkan kedua kakinya. Sudah dapat digerakkan, akan tetapi masih
terlalu lemah untuk dipakai berdiri. Ia merangkak dengan hati-hati
memasuki goa itu yang ternyata amat dalam dan setelah merangkak sejauh
dua mil lebih, tibalah ia di tempat terbuka, penuh batu-batu liar dan
matahari menyinari tempat terbuka yang luas itu. Sunyi sekali keadaan di
situ, yang ada hanya batu-batu besar tanpa ada tetumbuhan atau pohon
sebatang pun. Batu-batu yang agak basah dan licin. Tiba-tiba Bun Beng
berhenti bergerak ketika ia melihat sebuah meja di tengah tempat terbuka
itu!
Meja kecil dari kayu, sebuah tempat lilin dekat meja dan di atas meja
terdapat sebuah kitab! Tentu ada manusianya, karena lilin itu menyala,
menyorotkan sinarnya ke atas meja yang tertutup bayangan batu dinding
tinggi! Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari sebelah kiri, Bun Beng
menahan napas ketika melihat bahwa orang itu adalah seorang wanita yang
berkerudung mukanya. Ketua Thian-liong-pang! Celaka, pikirnya. Kiranya
tempat ini adalah tempat rahasia, agaknya menjadi tempat persembunyian
Ketua Thian-liong-pang!
Wanita itu agaknya yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, maka
dengan tenang ia membuka kerudung mukanya. Jantung Bun Beng berdebar
tegang. Ia segera mengenal wanita cantik ibu Milana yang pernah
dilihatnya ketika wanita ini bertemu dengan Pendekar Super Sakti,
memperebutkan anak mereka, Milana! Hatinya diliputi keheranan besar.
Wanita itu amat cantik jelita, seperti Milana dan kelihatan masih muda.
Mukanya berkulit putih halus, agaknya karena jarang terkena sinar
matahari, dan sepasang matanya tajam luar biasa.
"Singgg...!" Wanita itu mencabut sebatang pedang, kemudian menghampiri
meja dan membalik-balik lembaran kitab yang berada di atas meja.
Agaknya dia mencari-cari dan setelah bertemu dengan halaman yang
dicarinya, kitab itu dibiarkan terbuka, dibaca sebentar dengan alis
berkerut, kemudian membuat gerakan dengan pedang perlahan-lahan seperti
seorang mempelajari sebuah jurus ilmu pedang. Jurus yang aneh sekali dan
biar pun digerakkan perlahan, pedang itu mengeluarkan bunyi
berdesing-desing, naik turun suaranya ketika gerakan-gerakannya berubah
sehingga seperti suling ditiup melagu! Kemudian wanita itu melangkah ke
belakang tiga tindak dan mainkan jurus dengan cepat. Bukan main!
Pandang mata Bun Beng menjadi silau karena pedang itu lenyap menjadi
segulung sinar putih seperti kilat yang mengeluarkan bunyi
berdesing-desing aneh. Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran
adalah persamaan jurus itu dengan jurus dari ilmu silat dalam kitab yang
ditemukannya dahulu, dalam Sam-po-cin-keng!
Tiba-tiba dia melihat hal yang aneh terjadi pada diri wanita itu.
Setelah bersilat pedang beberapa lamanya, mengulang-ulang jurus aneh
itu, tiba-tiba wanita itu terhuyung ke depan dan terdengar suaranya
penuh penyesalan. "Keparat! Selalu terserang pusing dan sesak bernapas
setiap mainkan jurus ini! Apanya yang kurang?" Saking marah dan
penasaran, tiba-tiba wanita itu sambil menahan keseimbangan tubuhnya,
melontarkan pedang itu ke belakang tanpa menengok, melalui kepalanya.
"Wuuuttt... singggg...!" Pedang terbang melayang ke arah Bun Beng!
"Ceppp!" Pedang itu menancap pada batu yang berada di depan Bun Beng,
menancap sampai tembus, dan ujungnya hampir mengenai pelipis kiri Bun
Beng, hanya kurang beberapa sentimeter lagi!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu yang cepat melemparkan
tubuh ke belakang, terlentang dan tak berani bernapas, matanya
terbelalak dan mukanya pucat. Ia hanya terlentang tanpa berani berkutik,
memandang ke arah ujung pedang itu. Terdengar olehnya langkah kaki agak
diseret. Tentu wanita itu masih belum pulih keadaannya yang secara aneh
seperti orang terserang dari dalam tubuh sendiri dan membuatnya tadi
terhuyung.
"Sratttttt!" Ujung pedang yang tampak oleh Bun Beng itu lenyap, tanda
bahwa pedangnya telah dicabut orang dari batu itu, kemudian terdengar
suara wanita itu penuh penasaran dan kecewa.
"Kitab yang mengandung ilmu iblis! Cara berlatih sinkang telah
kupelajari, gerakan pedangku pun menurut petunjuk dan sudah benar,
mengapa kepalaku menjadi pening dan napas sesak seperti terpukul ketika
mainkan jurus ketiga belas itu? Mengapa tidak ada petunjuk cara mengatur
napas? Gila benar! Setahun lebih mempelajarinya, macet pada jurus
ketiga belas!"
Dengan jantung masih berdebar tegang, Bun Beng bangkit lagi, mengintai
dari celah-celah batu karang. Untung bahwa suara air terjun yang jauhnya
dua mil lebih itu agaknya menerobos terowongan goa dan menimbulkan
suara gemuruh sehingga gerakannya tidak dapat terdengar oleh wanita
lihai itu. Kini ia melihat wanita itu menyimpan kembali pedangnya,
memakai kerudung penutup kepala, kemudian dengan langkah perlahan dan
lesu wanita itu meniup padam lilin, dan berjalan menuju ke sebuah pintu
besi yang tertutup oleh beberapa buah batu besar. Wanita itu mendorong
sebuah batu di ujung kanan dan terbukalah daun pintu itu. Wanita itu
masuk dan daun pintu tertutup kembali.
Namun, sampai sejam lebih, Bun Beng belum berani keluar dari tempat
sembunyinya, khawatir kalau-kalau wanita itu tiba-tiba muncul kembali.
Tak dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau dia bertemu dengan
wanita itu. Mungkin dia dibunuhnya mungkin disiksanya, siapa yang dapat
menduga apa yang akan dilakukan oleh wanita cantik jelita yang berwatak
seperti setan itu.....?