Akan tetapi, jumlah anak buah bajak itu banyak sekali dan mereka mulai
menggunakan api untuk membakar empat buah perahu itu! Keadaan menjadi
kacau balau dan para pengawal kewalahan karena selain menghadapi serbuan
bajak yang amat banyak, juga mereka harus memadamkan api yang mulai
membakar di sana-sini sambil merobohkan para bajak yang membakari
perahu.
"Paman Pangeran...!" Milana menjerit melihat pamannya dikeroyok enam orang bajak laut.
Melihat salah seorang bajak laut dengan tombak di tangan lari menyerbu
dari belakang Pangeran itu, Bun Beng meloncat dan tanpa disadarinya dia
menghantam dengan jurus dari ilmu silat yang dipelajari dari tiga buah
kitab rahasia Sam-po-cin-keng. Kebetulan sekali jurusnya ini adalah
jurus pukulan yang menggunakan tenaga sinkang yang dipusatkan pada
telapak tangan.
"Bukkk!" Tangannya yang kecil itu tepat sekali menghantam punggung bajak
selagi tubuh Bun Beng masih meloncat. Bajak itu memekik, tombaknya
terlepas dan mulutnya muntahkan darah segar, lalu tubuhnya terguling
roboh berkelojotan!
Melihat ini Pangeran Jenghan terkejut dan kagum, kemudian ia berteriak,
"Lekas kau selamatkan Milana dengan perahu darurat di pinggir kiri itu!"
Sambil berteriak begini, Pangeran itu memutar pedangnya menangkis hujan
senjata para bajak.
Bun Beng mengerti bahwa melihat keadaannya, perahu itu akan terbakar dan
akan celakalah mereka semua. Memang sebaiknya menyelamatkan Milana
lebih dulu. Cepat ia menyambar lengan Milana, diajaknya lari ke pinggir
kiri. Di situ memang terdapat sebuah perahu kecil yang biasanya
dipergunakan untuk para pengawal mencari ikan, atau memang disediakan
kalau sewaktu-waktu keadaan membutuhkan. Bun Beng melepaskan ikatan
perahu itu, menyeretnya ke pinggir, lalu ia melempar perahu ke bawah.
Tanpa menghiraukan jeritan Milana yang merasa ngeri, ia menyambar tangan
anak perempuan itu dan dibawanya meloncat ke bawah menyusul perahu
kecil. Untung bahwa Bun Beng bersikap tenang sehingga loncatannya tepat
jatuh di tengah perahu kecil. Dilepaskannya dua batang dayung yang
terikat di pinggir perahu dan ia mulai mendayung perahu itu melawan
ombak menjauhi perahu besar yang mulai terbakar.
"Paman...! Paman Pangeran...!" Milana berteriak dan menangis.
"Milana, dalam keadaan seperti ini kita harus masing-masing mencari keselamatan sendiri."
"Tapi... tapi Paman Pengeran..."
"Dia seorang berilmu tinggi, tentu akan dapat menyelamatkan diri. Andai
kata kita menolong pun tiada gunanya. Duduklah yang tenang, akan kucoba
melarikan perahu sebelum terlihat oleh bajak-bajak itu."
Dengan sepenuh tenaganya Bun Beng mendayung perahu, sedangkan Milana
memandang ke arah asap-asap mengepul hitam yang menutupi perahu-perahu
besar pamannya sambil menangis. Mereka sudah berada agak jauh dari
perahu-perahu yang kebakaran ketika tiba-tiba Milana menjerit. Bun Beng
memandang dan ia pun terkejut melihat dua buah tangan manusia muncul
dari air dan memegang pinggiran perahu kecil. Ketika kepala orang itu
muncul, tahulah dia bahwa orang itu adalah seorang di antara para anak
buah bajak laut yang jatuh ke laut. Orang itu tidak terluka dan pandang
matanya beringas menyeramkan.
"Lepas!" Bun Beng membentak, menggunakan dayungnya menghantam ke arah tangan terdekat!
"Aughhhh...!" Orang itu berteriak kesakitan dan melepaskan tangan kirinya yang kena pukul.
Dari bibir perahu Bun Beng mengayun dayungnya lagi, memukul ke arah
tangan kanan yang masih memegangi pinggiran perahu. Gerakan-gerakan ini
membuat perahu kecil menjadi oleng. Akan tetapi sekali ini, bukan tangan
itu yang terkena hantaman dayung bahkan dayungnya tertangkap oleh
tangan kanan bajak itu, terus ditarik kuat-kuat sehingga tubuh Bun Beng
terseret dan jatuh ke air!
"Bun Beng...!" Milana menjerit.
Bun Beng marah sekali. Biar pun bukan ahli, namun dia pandai berenang,
maka ia menggerakkan kedua kakinya dan mengayun dayung yang masih
dipegangnya.
"Plakkk!"
Dayungnya menghantam muka orang itu sehingga kembali bajak itu memekik
dan terdorong mundur. Matanya melotot marah penuh dengan sinar kebencian
dan kalau dapat diterkamnya, anak itu tentu akan dibunuhnya.
Bun Beng sudah dapat menangkap pinggiran perahu lagi. Karena gugup dan
hendak cepat-cepat naik ke perahu, dayungnya terlepas dan hanyut,
sedangkan bajak itu sambil memaki-maki berenang cepat sekali
mengejarnya. Dalam hal ilmu renang tentu saja Bun Beng tidak dapat
melawan kepandaian seorang bajak laut! Maka ia bergegas hendak naik ke
perahu agar dari dalam perahu dia dapat melawan orang yang masih berada
di air itu.
"Heh-heh-heh!" Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, seorang kakek yang
tertawa-tawa meloncat ke ujung perahu. Begitu tubuhnya tiba di ujung
perahu, ujung yang lain di mana Bun Beng dan Milana berada terangkat
tinggi ke atas seolah-olah kakek itu beratnya melebihi berat seekor
gajah bengkak! Bun Beng cepat memegang lengan Milana yang hampir
terlempar ke luar, sambil dengan sebelah tangan memegangi pinggiran
perahu erat-erat dan matanya memandang kakek aneh itu dengan terbelalak.
"Heh-heh-heh!" Tiba-tiba ujung di mana Bun Beng dan Milana duduk meluncur lagi ke bawah dengan cepat sekali.
"Prakkk!" Ujung perahu ini turun tepat menghantam kepala anak buah bajak
sehingga pecah berantakan dan mayatnya terapung, kepalanya sudah tidak
merupakan kepala lagi melainkan berubah seonggok benda putih berlepotan
darah.
"Ihhhh...!" Milana yang melihat mayat itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis.
"He-he-he, takut? He-he-he!" Kakek itu tertawa-tawa seolah-olah merasa
senang sekali melihat Milana ketakutan. "Aku akan membikin kalian lebih
takut lagi, ha-ha-ha!" Dan dengan sebatang ranting yang berada di tangan
kirinya, kakek itu mendayung perahu dan... perahu itu meluncur dengan
kecepatan luar biasa!
Bun Beng memandang penuh perhatian. Kakek itu pakaiannya sederhana dan
longgar, kedua kakinya telanjang. Usianya tentu sudah tujuh puluh lebih,
dengan rambut dan jenggot putih riap-riapan, matanya melotot lebar dan
selalu tertawa-tawa. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah kulit
tubuhnya! Dari muka, tangan dan kakinya, semua berkulit kuning sekali!
Bukan kuning seperti kulit orang biasa, melainkan kuning yang aneh,
seperti dicat, kuning sampai ke kukunya dan warna matanya! Maka
teringatlah Bun Beng akan keanehan warna kulit orang-orang Pulau Neraka
dan ia menduga bahwa kakek ini tentulah seorang tokoh Pulau Neraka.
Dugaan Bun Beng memang tepat. Kakek ini adalah seorang di antara lima
orang kakek kulit kuning yang merupakan tokoh-tokoh tingkat tertinggi di
Pulau Neraka, di bawah ketuanya. Dan memang dia adalah seorang tokoh
sakti yang diutus oleh Majikan Pulau Neraka untuk mengadakan
penyelidikan di luar pulau. Kakek ini selain sakti, juga memiliki watak
yang amat aneh, mendekati gila sehingga sering kali melakukan hal-hal
yang menggegerkan dunia kang-ouw. Kini melihat dua orang anak dalam
perahu, timbul keanehan wataknya dan dia seolah-olah hendak
menakut-nakuti kedua orang bocah itu.
Perahu itu meluncur cepat mendekati tempat pertempuran! Bukan hanya
cepat, malah sengaja dibikin oleng ke kanan-kiri, ada kalanya ujungnya
seperti akan tenggelam, ada kalanya ujung yang diduduki dua orang
anak-anak itu terangkat tinggi kemudian dihempaskan ke bawah seperti
akan tenggelam! Milana menjerit-jerit dan memeluk Bun Beng yang
berpegang kuat-kuat pada pinggiran perahu.
"He-heh-heh-heh, pemandangan indah...! Indah...!" Kakek itu
terkekeh-kekeh ketika perahunya meluncur cepat mengelilingi tempat
pertempuran.
Biar pun keadaannya sendiri berbahaya dan perahu itu sewaktu-waktu dapat
membuat mereka terlempar ke luar, namun Bun Beng masih sempat
memperhatikan keadaan pertempuran dan melihat betapa pangeran dan para
pengawal masih melakukan perlawanan mati-matian tetapi perahu mereka
telah terbakar sebagian.
"Kakek, apakah engkau tidak kenal takut?" Bun Beng tiba-tiba bertanya.
"Aku? Takut? Ha-ha-ha-ha! Heh-heh--heh!"
Sambil berkata demikian, perahu meluncur cepat sekali menuju ke sebuah
perahu yang terbakar! Milana menjerit melihat betapa perahu kecil itu
akan menubruk perahu yang bernyala-nyala, bahkan Bun Beng sendiri yang
berusaha sekuat tenaga untuk bersikap tenang, menjadi pucat dan
memandang terbelalak ke depan, melihat betapa perahu terbakar itu
seolah-olah mulut seekor naga mengeluarkan api hendak menelan perahu
mereka.
"Celaka...!" teriak Bun Beng.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan tiba-tiba perahu itu
membelok dengan kecepatan luar biasa sehingga miring dan hampir
terguling, akan tetapi dapat menghindari tabrakan dengan perahu
terbakar.
"Ha-ha-ha! Aku takut?"
"Memang beranimu hanya menakut-nakuti anak kecil, Kakek yang nakal! Aku
tidak percaya bahwa engkau tidak kenal takut. Misalnya terhadap
bajak-bajak laut yang demikian ganas, kejam dan jumlahnya amat banyak.
Aku berani memastikan bahwa engkau tentu takut mengganggu mereka dan
kalau engkau yang melawan mereka di atas perahu yang terbakar itu, tentu
engkau akan terkencing-kencing di celanamu, kencing kuning pula!"
Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri dan mencak-mencak. "Memang
kencingku kuning! Kau bilang aku takut kepada segala bajak cacing tanah
itu? Kau tunggu dan lihat saja betapa mudah aku membasmi mereka!"
Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan kaki dan tubuhnya telah
melesat ke arah perahu besar yang terbakar, di mana Pangeran Jenghan
bersama pengawalnya masih mati-matian melawan serbuan para bajak.
Tentu saja hati Bun Beng menjadi girang bukan main. Cepat ia menyambar
sepotong dayung dari banyak kayu-kayu pecahan perahu yang terapung di
dekat perahunya, kemudian secepat mungkin dia mendayung perahu kecil
menjauhi pertempuran. Tanpa menghiraukan kedua tangannya yang menjadi
lelah sekali, Bun Beng mendayung terus hingga mendadak datang
ombak-ombak besar yang menghanyutkan perahunya. Mendayung lagi tidak
mungkin dan apa yang ia lakukan hanya menggunakan dayung untuk mencegah
perahunya terguling.
Milana tidak menangis lagi, bahkan anak ini pun sudah menyambar sebatang
dayung dan ia membantu Bun Beng mendayung. Kini melihat perahu
diombang-ambingkan ombak, dia membantu Bun Beng menahan agar perahu
tidak terguling. Akan tetapi dia tidak kelihatan takut, padahal keadaan
mereka waktu itu tidaklah kalah berbahaya dari pada tadi. Hal ini
mengherankan hati Bun Beng dan ia bertanya dengan suara keras untuk
mengatasi suara angin ribut.
"Milana, engkau tidak takut?"
Milana memandangnya, tersenyum dan menggeleng kepala.
Bun Beng menjadi heran. "Kalau tadi, kenapa ketakutan dan menangis?"
Milana membuka mulut menjawab, akan tetapi suaranya lenyap ditelan angin
sehingga Bun Beng berteriak, "Bicara yang keras, aku tidak dengar!"
Milana tertawa, "Ribut-ribut begini kau mengajak orang mengobrol!"
Bun Beng mendongkol akan tetapi juga geli hatinya. Anak ini benar-benar
amat luar biasa, "Katakanlah mengapa sekarang engkau menjadi begini
tabah?"
"Tadi bukan penakut sekarang pun bukan tabah. Aku ngeri menyaksikan
kekejaman manusia saling bunuh. Aku percaya kepada alam yang maha kasih,
andai kata ombak-ombak ini menelan kita pun sama sekali tidak
mengandung hati benci atau marah!"
Bun Beng bengong sehingga lupa mengerjakan dayungnya. Perahu terputar
hampir terguling dan terdengar Milana malah tertawa-tawa. Cepat ia
menggerakkan dayung dan mengomel. "Bocah ajaib dia ini!"
Setelah ombak mereda, perahu itu tiba di dekat daratan. Bun Beng menjadi
girang dan bersama Milana dia lalu mendayung perahu ke darat. Mereka
berdua melompat turun dan lari ke darat, meninggalkan perahu kecil itu
dan keduanya duduk di atas pasir.
"Di mana kita ini?" Bun Beng bertanya.
"Aku pun tidak tahu. Akan tetapi mari kita berjalan. Kalau bertemu orang
tentu akan dapat menceritakan di mana letaknya Kerajaan Mongol. Ahhh,
semoga saja Paman Pangeran dan para pengawal selamat."
"Jangan khawatir. Mereka itu lihai dan dengan bantuan kakek gila itu, tentu para bajak akan terbasmi dan mereka selamat."
Tiba-tiba Milana tertawa geli.
"Eh, kenapa tertawa?"
"Kakek itu tidak gila, akan tetapi lucu sekali dan kepandaiannya hebat. Ibu tentu akan tertarik sekali kalau kelak kuceritakan."
"Tentu saja dia lihai karena dia adalah seorang tokoh Pulau Neraka."
"Ihhh...! Pulau Neraka? Aku sudah mendengar itu, penghuninya adalah
manusia-manusia aneh seperti iblis. Bagaimana kau bisa tahu dia dari
Pulau Neraka?"
"Kulit tubuhnya yang berwarna itu! Aku sudah bertemu dengan orang-orang Pulau Neraka."
"Eh, betulkah? Engkau benar luar biasa, Bun Beng."
"Tidak, biasa saja. Mari kita pergi."
"Engkau hendak ke mana?"
"Eh, bagaimana lagi? Mengantar engkau sampai engkau dapat pulang, kemudian... kemudian... hem... aku tidak tahu ke mana nanti."
"Eh, bagaimana ini? Apakah engkau tidak hendak pulang?"
"Pulang ke mana?"
"Ke mana lagi? Ke rumahmu tentu!"
"Aku tidak punya rumah."
Milana menghentikan langkahnya dan memandang wajah Bun Beng. "Tidak punya rumah? Dan Ayah Bundamu...?"
"Aku tidak punya, Ayah Bundaku sudah mati semua."
"Aihhhhh...!" Milana memegang kedua tangan Bun Beng, wajahnya
membayangkan perasaan iba yang mendalam. "Kasihan engkau, Bun Beng. Dan
kau tidak mempunyai saudara?"
Bun Beng merasa panas dadanya. Dia tidak ingin dikasihani orang, bahkan
dia tidak merasa kasihan kepada dirinya sendiri! "Aku tidak punya
siapa-siapa, apa salahnya dengan itu?" Dia menunjuk ke arah seekor
burung camar yang terbang. "Dia itu pun tidak punya siapa-siapa, toh
dapat hidup. Dan pohon itu tidak punya siapa-siapa, tetap tumbuh segar."
"Ahhhh, burung itu tentu punya sarang dan pohon itu banyak
saudara-saudaranya di sekelilingnya. Engkau menjadi pahit karena tidak
mempunyai siapa-siapa. Bun Beng, aku mau menjadi saudaramu, dan biarlah
Ibuku juga menjadi Ibumu, Pamanku menjadi Pamanmu..."
"Sudahlah, Milana. Aku tidak ingin apa-apa. Engkau anak yang amat baik
hati. Mari kita lanjutkan perjalanan. Di sebelah kanan itu ada
pegunungan, tentu di sana ada penghuninya yang dapat memberi keterangan
kepada kita dan menunjukkan jalan."
Mereka berjalan lagi dan Milana menggandeng tangannya. Bun Beng tidak
menolak dan diam-diam dia merasa suka sekali kepada anak yang amat baik
hati ini. Akan tetapi setelah mereka mendaki pegunungan itu, ternyata
gunung itu penuh dengan batu-batu besar dan tidak nampak dusun di situ.
"Begini sunyi... tidak ada tampak rumah orang...," kata Milana kecewa.
"Nanti dulu! Lihat di sana itu. Ada orang... eh, malah ada orang
menunggang binatang yang besar luar biasa!" Milana menengok dan ia pun
berseru girang, "Benar! Ada orang dan dia menunggang seekor gajah!
Sunguh luar biasa!"
"Gajah? Aku sudah pernah mendengar namanya. Gajahkah binatang itu?"
"Benar. Raja Mongol memelihara dua ekor, akan tetapi tidak sebesar yang ditunggangi orang itu."
"Hebat! Binatang raksasa itu memiliki tenaga melebihi seratus ekor kuda. Mari kita lihat!"
Mereka berlari menuruni puncak pegunungan batu kapur itu. Ketika mereka
sudah tiba dekat, tiba-tiba Bun Beng berhenti dan Milana juga berhenti.
Keduanya terkejut bukan main menyaksikan pemandangan di depan itu
sehingga sampai lama mereka tidak mampu mengeluarkan suara.
Akhirnya Milana berbisik dengan napas tertahan, "Lihatlah..., dia... kakek Pulau Neraka itu..."
"Ssstttt...!" Bun Beng berbisik pula menyentuh pinggang Milana dari
belakang. "Jangan ribut... orang yang berkaki tunggal itu... dia
Pendekar Siluman To-cu Pulau Es... dan itu muridnya...."
Memang amat mengherankan kedua orang anak itu apa yang tampak oleh
mereka. Kakek bermuka kuning yang mereka temui di tengah lautan itu kini
berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang bersorban dan berjenggot
panjang, tangan kiri memegang sebuah senjata yang aneh, gagangnya
berduri dan ujungnya merupakan bulan sabit, menunggang seekor gajah yang
amat besar.
Akan tetapi kakek muka kuning tidak kalah anehnya. Agaknya untuk
mengimbangi kedudukan kakek bersorban yang tinggi di atas punggung
gajah, dia kini menggunakan jangkungan atau egrang. Yaitu dua batang
bambu panjang yang di tengahnya diberi cabang untuk injakan kaki. Dengan
berdiri di cabang itu dan menggunakan dua batang bambu sebagai
pengganti kedua kaki, dia kini sama tingginya dengan Si Kakek Bersorban!
Mereka agaknya sedang bertengkar sedangkan di atas sebuah batu berdiri
Pendekar Siluman dengan sikap tenang sebagai penonton, menggandeng
tangan seorang anak perempuan yang dikenal Bun Beng sebagai anak
perempuan penunggang garuda yang berkelahi dengan anak Pulau Neraka
dahulu!
Kwi Hong, murid Suma Han menoleh dan melihat kedatangan Bun Beng dan
Milana, akan tetapi karena kini kedua orang kakek aneh yang berhadapan
itu sudah saling serang, dia tertarik dan menengok lagi menonton
pertandingan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Han
menyusul ke Pulau Neraka dan berhasil membawa muridnya itu. Mereka
meninggalkan Pulau Neraka menunggang dua ekor burung garuda dan ketika
dari atas Suma Han melihat orang menunggang gajah, hatinya tertarik maka
dia lalu turun di pegunungan itu, dan bersama Kwi-Hong diam-diam
menghampiri dan menonton pertandingan yang amat menarik hatinya antara
kakek penunggang gajah dan kakek muka kuning yang gerak-geriknya lucu
dan lihai!
"Heh-heh-heh!" Kakek muka kuning tertawa sambil menggerak-gerakkan kedua
bambu yang telah menyambung kakinya. "Kita sudah sama tinggi sekarang.
Hayo, kau mau apa? Lekas turun dan berikan gajah itu kepadaku, baru kau
benar-benar seorang sahabat dan aku akan mengampunimu!"
"Sadhu-sadhu-sadhu!" Kakek bersorban itu berkata lirih. "Berbulan-bulan
dari negara barat sejauh itu, belum pernah bertemu orang yang begini
nekad. Sahabat, gajah tunggangan ini adalah sahabatku yang telah berjasa
besar, mati hidup dia bersamaku, tidak mungkin kuberikan kepadamu.
Pergilah, sahabat, dan jangan pergunakan kepandaian yang kau pelajari
puluhan tahun itu untuk melakukan hal yang tidak baik."
"Heh-heh-heh! Apa tidak baik? Apa baik? Yang menguntungkan dan
menyenangkan, itu baik! Yang merugikan dan menyusahkan itu tidak baik!
Kalau engkau berikan gajah itu kepadaku, engkau baik. Kalau tidak kau
berikan, engkau tidak baik dan terpaksa kurampas, heh-heh-heh-heh!"
"Aahh, betapa dangkal dan sesat pandangan itu, sahabat. Pandanganmu
terbalik sama sekali. Justeru yang menguntungkan dan menyenangkan diri
pribadi itulah sumber segala ketidak baikan."
"Waaaah, cerewet! Aku tidak butuh engkau kuliahi dengan wejangan-wejanganmu. Hayo turun!"
Kakek muka kuning menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba bambu panjang
yang kanan menyambar ke arah kepala kakek bersorban itu. Akan tetapi
kakek itu menekuk tubuh ke depan sehingga sambaran bambu itu luput dan
lewat di atas kepalanya.
"Sadhu-sadhu-sadhu, terpaksa aku membela diri!" Kakek bersorban
menggerakkan tangan kanan, dengan jari tangan terbuka mendorong ke
depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan biar pun kakek muka
kuning sudah menggerakkan bambu memutar tubuh ke kanan, tetap saja
terdorong dan terhuyung-huyung, kedua bambunya bergoyang-goyang.
Karena ia memutar tubuh ke kanan inilah maka tiba-tiba dia meiihat Suma
Han yang berdiri menonton dengan tenang. Setelah mendapat kanyataan
bahwa orang Pulau Neraka itu hendak merampas binatang tunggangan orang,
Suma Han merasa tidak senang. Apa lagi kalau mengingat bahwa orang itu
adalah pembantu Lulu, dia makin penasaran. Masa Lulu dibantu oleh orang
yang berwatak perampok hina, mau merampas binatang tunggangan seorang
kakek yang datang dari jauh? Tongkatnya bergerak mencongkel batu dua
kali.
"Trak! Trak!"
Kakek muka kuning berseru kaget ketika tiba-tiba bambu yang menyambung
kedua kakinya itu patah disambar dua buah kerikil, dan seruannya ini pun
sebagian karena dia mengenal Pendekar Siluman yang biar pun belum
pernah dijumpainya, akan tetapi sudah banyak didengarnya. Ia cepat
meloncat turun sebelum terbanting jatuh karena kedua bambunya patah,
kemudian dia meloncat-loncat jauh melarikan diri tanpa menengok lagi.
Melihat itu Kwi Hong tertawa dan bersorak. Akan tetapi tiba-tiba ia
berhenti bersorak ketika melihat gajah besar itu terhuyung dan roboh ke
depan, membawa tubuh kakek bersorban ikut roboh! Tubuh Suma Han melesat
ke depan bagaikan seekor burung garuda dan dia sudah berhasil menyambar
tubuh kakek bersorban itu dari bahaya terbanting dan tertindih tubuh
gajah yang kini berkelojotan lalu diam, tak bernyawa lagi. Dan dengan
kaget Suma Han mendapat kenyataan bahwa kakek bersorban itu ternyata
lumpuh kedua kakinya!
"Ah, gajahku yang baik, engkau mendahuluiku?" Kakek itu mengeluh,
kemudian berkata kepada Suma Han. "Orang muda yang gagah perkasa,
turunkanlah aku."
Suma Han menurunkan kakek itu yang kedua kakinya amat kecil dan selalu
bersilang. Kakek itu duduk di atas tanah, wajahnya pucat dan napasnya
terengah, "Gajah itu... dia memang sudah sakit... dia menderita karena
lelah... melakukan tugasnya sampai mati. Akan tetapi aku... ah, aku pun
hampir mati akan tetapi tugasku jauh dari pada selesai...! Aku hampir
kehabisan tenaga saking lelah, perjalanan ini terlalu jauh untuk orang
setua aku, dan tadi... tadi terpaksa aku mengerahkan tenaga dalam yang
amat kuperlukan untuk kesehatanku. Aihhhh, orang muda perkasa, sinar
matamu menjadi bukti bahwa engkau bukan manusia biasa. Siapakah engkau
yang begini lihai?"
"Kakek yang baik, aku adalah penghuni Pulau Es..."
"Hah? Pendekar Super Sakti? Pendekar Siluman To-cu dari Pulau Es? Ya
Tuhan, jika engkau mempertemukan hamba dengan dia ini untuk melanjutkan
tugas hamba, hamba akan mati tenteram!"
Suma Han mengerutkan alisnya, "Kakek, siapakah engkau dan urusan apa
yang membuatmu susah payah melakukan perjalanan begitu jauh?"
"Aku Nayakavhira... aku keturunan dari Mahendra pembuat Sepasang Pedang
Iblis.... Adikku, Maharya telah mendahuluiku untuk mencari sepasang
pedang itu. Jika terjatuh ke tangannya, akan gegerlah dunia dan
terancamlah banyak nyawa manusia! Aku... aku berkewajiban untuk merampas
dan memusnahkan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi... aku tidak sanggup
lagi... ahh, Pendekar Super Sakti, engkau tolonglah aku..."
Kembali Suma Han mengerutkan alisnya, "Bagaimana aku harus menolongmu, Nayakavhira?"
"Senjataku ini... terbuat dari logam yang akan menandingi dan
mengalahkan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi karena bentuknya seperti
ini, tidak akan ada orang di sini yang dapat memainkannya. Akan kubuat
menjadi pedang... biarlah kelak kau berikan kepada siapa yang berjodoh
untuk menindih dan menaklukkan Sepasang Pedang Iblis. Kau bantulah
aku... buatkan pondok, perapian... aku tidak kuat lagi, engkau tolonglah
aku, buatlah sebatang pedang dari senjataku ini..."
Suma Han mengangguk-angguk. Tidak disangkanya bahwa sepasang pedang yang
dahulu dia tanam bersama jenazah kakek dan nenek yang saling bunuh,
kini akan mendatangkan urusan begini hebat!
"Aku suka menolongmu, akan tetapi aku tidak bisa membuat pedang."
"Aku adalah ahli membuat pedang... sama seperti nenek moyangku.... Aku
yang akan memberi petunjuk, engkau yang membuat. Tolonglah... Taihiap...
demi... demi peri kemanusian!"
"Kakek yang baik, biarlah aku membantumu!" Tiba-tiba Bun Beng meloncat maju mendekati kakek itu.
Kakek bersorban itu membelalakkan mata memandang Bun Beng dengan heran,
Suma Han menengok. Dia sudah tahu akan kehadiran kedua orang anak itu
akan tetapi karena terjadi perkara besar, dia lebih mementingkan kakek
itu dan belum menanya dua orang anak yang datang di tempat itu secara
aneh. Kini melihat sikap anak laki-laki itu, diam-diam ia memperhatikan
dan menjadi kagum. Di lain pihak, ketika melihat sinar mata Pendekar
Siluman itu ditujukan kepadanya dan mereka bertemu pandang, kuncuplah
hati Bun Beng dan otomatis dia menjatuhkan diri berlutut.
"Siapakah engkau?"
"Paman, dia adalah anak laki-laki yang telah menolongku ketika aku dikeroyok rajawali. Bocah dalam keranjang!"
Suma Han makin tertarik. Kwi Hong sudah menceritakan betapa ketika Kwi
Hong diserang putera Lulu dengan rajawali dan dikeroyok muncul seekor
burung rajawali yang mencengkeram keranjang berisi seorang anak
laki-laki yang membantunya dengan memukul rajawali itu sehingga
cengkeraman rajawali terlepas dan keranjang bersama anak itu jatuh ke
laut! Kini tiba-tiba anak itu muncul dan dengan suara yang mengandung
kesungguhan menawarkan jasa baiknya hendak membantu Si Kakek India
membuat pedang. Bukan main!
"Siapa namamu?" tanyanya, dalam suaranya terkandung rasa sayang karena
dia melihat suatu yang luar biasa pada diri anak laki-laki ini.
"Saya adalah anak yang dahulu ditolong oleh Taihiap dari dalam kuil tua
tepi Sungai Fen-ho di lembah Pegunungan Tai-hang-san dan
Lu-liang-san..."
Suma Han benar-benar terkejut sehingga ia bangkit berdiri. "Kau...?"
"Benar, Taihiap. Saya adalah Gak Bun Beng."
Suma Han menarik napas panjang dan menengadah ke langit. Benar-benar
amat luar biasa pertemuan ini! "Di mana suhumu Siauw Lam Hwesio?"
"Suhu... telah meninggal dunia, terbunuh oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji
Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, dan Bhe Ti Kong panglima Mancu!"
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sengit oleh Bun Beng.
"Sadhu-sadhu-sadhu...," tiba-tiba kakek itu berkata. "Bhong Ji Kun itu
adalah Koksu Pemerintah Mancu... dia... dia itu adalah muridku..."
"Kau...!" Bun Beng meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
"Bun Beng, kau jangan lancang!" Tiba-tiba Suma Han membentak dan Bun Beng menjatuhkan diri berlutut lagi.
"Taihiap... teecu harus membalas kematian Suhu!"
"Hmmm, sungguh-sungguh tidak baik masih kanak-kanak sudah mendendam.
Dendam menimbulkan watak kejam sehingga sembarangan saja engkau akan
mencelakakan orang tanpa pertimbangan lagi."
Sementara itu, kakek tua itu menarik napas panjang. Sungguh ajaib, dapat
bertemu dengan anak ini! "Muridku itu memang telah menyeleweng dan
perjalananku ini di samping hendak mencari Sepasang Pedang Iblis juga
tadinya akan kupergunakan untuk mengingatkan dia, kalau perlu
menghukumnya. Bagaimana, Taihiap, sukakah engkau menolongku?"
Suma Han tidak menjawab, melainkan bertanya kepada Bun Beng, "Bagaimana
dengan engkau, Bun Beng? Apakah engkau masih suka menolong Kakek ini
sekarang?"
"Teecu sudah berjanji, tentu teecu penuhi!"
Suma Han tersenyum. "Baiklah. Nayakavhira, kami akan membantumu. Siapakah anak perempuan itu, Bun Beng?"
Milana yang sejak tadi mendengarkan menjadi tertarik sekali akan
kata-kata Suma Han. Dia sudah menghampiri dan memandang Suma Han penuh
perhatian. Tadi dia mendengar dari Bun Beng bahwa laki-laki gagah
perkasa berkaki satu yang rambutnya putih semua dan wajahnya muram
menimbulkan iba itu adalah Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang
amat terkenal!
"Apa engkau yang berjuluk Pendekar Siluman yang hebat itu?" tanyanya, suaranya halus dan wajahnya berseri.
Suma Han tersenyum, sekaligus tertarik rasa sukanya kepada bocah yang cantik jelita itu. "Benar, anak manis. Engkau siapakah?"
"Namaku Milana, aku keponakan Pangeran Jenghan dari Kerajaan Mongol.
Kami sedang berpesiar di kapal, diserbu bajak laut dan aku diselamatkan
oleh Bun Beng."
Hati Suma makin kagum kepada Bun Beng. Hemmm, biar pun putera seorang
datuk sesat seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan dilahirkan karena datuk
itu memperkosa Bhok Kim, namun ternyata bocah ini mempunyai bakat lahir
batin yang baik. Tentu menuruni watak ibunya, seorang di antara Kang-lam Sam-eng tokoh Siauw-lim-pai yang perkasa itu.
"Marilah kalian ikut bersamaku membantu Nayakavhira. Kwi Hong, kau ajaklah dua orang anak ini."
Suma Han memondong tubuh kakek bersorban dan mencari tempat yang ada
pohonnya. Di situ dia lalu membangun sebuah pondok, mempersiapkan
landasan dan keperluan pembuatan pedang. Bun Beng yang sudah berjanji
membantu itu ditugaskan mengumpulkan kayu bakar karena menurut
Nayakavhira pembuatan pedang itu membutuhkan banyak sekali kayu bakar
untuk membuat api yang sepanas-panasnya.
Berhari-hari lamanya Suma Han sibuk di dalam pondok membuat pedang di
bawah petunjuk kakek Nayakavhira yang lumpuh. Tiga orang anak itu sama
sekali tidak boleh memasuki pondok yang panasnya luar biasa karena api
besar dinyalakan siang malam tak pernah berhenti. Bun Beng juga bekerja
setiap hari mencari kayu bakar, sedangkan Kwi Hong bermain-main dengan
Milana yang berwatak halus dan sebentar saja sudah dapat menarik rasa
sayang di hati Kwi Hong yang wataknya kasar.
Kedua orang anak perempuan ini jauh berbeda wataknya. Kwi Hong yang
lebih tua beberapa tahun, berwatak jenaka, riang gembira, galak dan
pandai bicara. Sebaliknya Milana berwatak halus, lemah lembut dan
pendiam, hati-hati dalam bicara agar jangan sampai menyinggung perasaan
orang lain. Namun, berkat kehalusan budi Milana yang pandai mengalah,
mereka berdua dapat bersahabat dengan rukun.
Di dalam pondok itu terjadi hal yang tentu akan amat mengherankan tiga
orang anak itu kalau saja mereka dapat melihatnya. Kakek Nakavhira duduk
bersila di atas tanah, seperti arca tidak bergerak dan hawa panas di
dalam pondok itu tak mungkin akan dapat tertahan oleh manusia biasa.
Suma Han menanggalkan baju atasnya dan sibuk membakar senjata yang
bentuknya seperti bulan sabit itu di dalam api. Sudah tiga hari tiga
malam logam itu dibakar, tetap saja masih utuh, tidak dapat membara.
Kakek itu berkali-kali minta ditambah api karena kurang besar sehingga
setiap tumpukan kayu bakar yang dikumpulkan Bun Beng, selalu habis
sehingga tidak ada cadangan sama sekali, membuat anak itu tidak berani
berhenti karena khawatir kehabisan kayu bakar!
Kakek Nayakavhira mengeluarkan beberapa macam obat yang dioleskan pada
logam putih itu, namun setelah lewat lima hari tetap juga logam itu
belum membara. Kakek itu menjadi bingung dan prihatin sekali.
"Ya Tuhan, akan gagalkah usaha hamba?" Keluhnya berkali-kali sehingga
Suma Han menjadi kasihan. Juga pendekar ini merasa penasaran sekali.
Sedangkan batu bintang saja dapat dibakar sampai mencair, yaitu ketika dia masih kecil dan menjadi pelayan Kang-thouw-kwi Gak Liat,
masa logam ini dibakar dalam api sampai lima hari lima malam belum juga
membara? Teringat akan masa kecilnya, ia teringat kepada Bun Beng yang
sibuk mengumpulkan kayu di luar pondok. Dahulu dia menjadi pelayan Gak
Liat, dan sekarang, secara kebetulan, putera Gak Liat itu bekerja keras
melayaninya! Demikianlah nasib mempermainkan manusia!
Ia teringat akan batu bintang, teringat akan latihan Hwi-yang Sin-ciang.
Hwi-yang Sin-ciang! Bukankah sinkang yang mukjizat dan yang sudah
dikuasainya dengan sempurna itu mengandung hawa panas yang mukjizat?
Mengapa tidak ia pergunakan untuk coba-coba? Dia memegang gagang senjata
kakek yang aneh itu.
Senjata itu terbuat dari pada baja yang aneh sebagai gagang berduri, ada
pun ujungnya yang berbentuk bulan sabit berwarna putih itulah yang akan
diolah menjadi pedang. Suma Han mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang sehingga
wajahnya yang selama lima hari lima malam berdekatan dengan api tidak
berubah apa-apa, kini setelah mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya,
muka itu berubah merah. Dan perlahan-lahan, logam putih berbentuk bulan
sabit itu menjadi merah membara!
"Kakek Nayakavhira, aku berhasil!" teriaknya girang.
Kakek yang sudah kehabisan semangat itu membuka matanya dan seketika
wajahnya berseri! "Hebat...! Biarkan sampai merah tua seluruhnya, baru
digembleng!" Teriaknya dan semangatnya kembali. Matanya bersinar-sinar.
Suma Han tidak mau bicara tentang penggunaan Hwi-yang Sin-ciang dan kini
setelah logam itu dapat membara, panasnya api sudah cukup untuk
membikin bara menjadi tua. Tak lama kemudian logam itu sudah menjadi
merah sekali.
"Cepat letakkan di landasan dan gembleng sampai bentuknya menjadi panjang membungkus gagang senjataku."
"Membungkus gagang?" Suma Han bertanya.
"Benar. Logam putih itu hanya merupakan lapisan luar saja. Gembleng
sampai lebar dan tipis sepanjang tiga setengah kaki. Cepat!" Suara kakek
itu gemetar penuh gairah.
Otomatis Suma Han mematuhi perintah ini karena dia sendiri sama sekali
tidak mempunyai pengetahuan tentang pembuatan pedang. Biar pun dia bukan
seorang pandai besi, bahkan memegang martil dan menggembleng logam
membara pun baru sekali itu selama hidupnya, namun pendekar ini memiliki
tenaga yang melebihi tenaga seratus orang dengan sinkang-nya yang
hebat, maka tentu saja gemblengannya juga amat kuat sehingga tak lama
kemudian logam yang membara itu sudah menjadi lebar tipis sepanjang tiga
setengah kaki.
"Bagus! Hebat...! Untuk menggembleng itu biar pun dalam keadaan sehat,
tentu baru dapat kuselesaikan dalam waktu tiga hari. Akan tetapi engkau
hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja. Benar-benar sukar dicari
pendekar sakti seperti engkau, Suma-taihiap. Logam itu telah mendingin,
bakar lagi sampai membara dan akulah yang akan menggemblengnya
membungkus gagang."
Kembali Suma Han menurut dan sekali ini, karena logam itu sudah pernah
membara, panasnya api cukup membuat logam itu menjadi merah lagi. Akan
tetapi kakek itu mengatakan belum cukup. "Dia harus dibakar selama satu
malam sampai melunak agar mudah digembleng membungkus gagang, apa lagi
tenagaku sekarang banyak berkurang."
Pada keesokan harinya, ketika terdengar bunyi martil menghimpit logam di
atas besi landasan sampai berdentang-dentang, dikerjakan sendiri oleh
Kakek Nayakavhira yang dibuatkan tempat duduk tinggi oleh Suma Han dan
ditonton oleh pendekar sakti itu. Selama menyaksikan kakek itu bekerja,
diam-diam Suma Han merasa kagum dan barulah dia tahu betapa sulitnya
membuat sebatang pedang pusaka! Dalam menempa dan menggembleng ini,
kakek itu bekerja seperti dalam semedhi sehingga setiap tempaan
merupakan gerakan suci seperti seorang bersembahyang. Maka Suma Han
menonton penuh perhatian dan penuh hormat.
"Bun Beng, mengasolah. Lihat, tumpukan kayu di belakang pondok sudah
cukup banyak. Dan mendengar suara berdentang itu, agaknya mereka tidak
membutuhkan terlalu banyak kayu lagi. Lihat sepagi ini tubuhmu sudah
berkeringat!" Kwi Hong menegur Bun Beng yang bertelanjang baju dan sejak
pagi buta telah menebangi kayu.
"Benarkah? Ah, kalau begitu aku mau beristirahat sebentar!" Bun Beng lalu duduk di atas batu dan menyusuti peluhnya.
"Aku akan masak air, tunggu saja. Aku akan membuatkan minuman untukmu!" Kwi Hong lalu berlari-lari kecil meninggalkan Bun Beng.
Setelah bekerja keras sejak pagi, tubuhnya lelah dan kini duduk
bersandar batu disiliri angin pagi, Bun Beng merasa nyaman sekali
sehingga tak terasa lagi ia memejamkan matanya. Sudah hampir setengah
bulan dia berada di situ sejak pertemuannya dengan Pendekar Siluman dan
Kakek Nayakavhira, dan selama itu setiap hari dia bekerja keras dalam
usahanya membantu kakek itu membuat pedang pusaka. Kini ia merasa lelah
sekali dan mengantuk.
Entah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba ia merasa pundaknya diguncang
tangan halus dan terdengar suara Kwi Hong. "Ihhh, pemalas. Berhenti
sebentar saja sudah tertidur pulas! Bun Beng, minumlah ini. Bukan air
teh akan tetapi daun ini lebih sedap dan kata Paman dapat memulihkan
tenaga. Minumlah!"
Bun Beng merasa malas untuk bangun, tetapi pundaknya ditarik sehingga ia
terduduk dan ketika ia membuka sedikit matanya, ia melihat Kwi Hong
yang membangunkannya bahkan kini anak perempuan itu menempelkan secawan
minuman ke bibirnya!
"Bun Beng, lihat betapa indahnya bunga ini... indah harum kupetik
untukmu..." Tiba-tiba Milana menghentikan kata-kata dan langkah kakinya
ketika melihat Kwi Hong sedang memberi minum Bun Beng dengan sikap
mesra.
Milana memandang sejenak, lalu memejamkan mata, membuang muka, melempar
kembang di tangannya kemudian membalikkan tubuh dan pergi dari situ
tanpa berkata-kata. Sambil melangkah pergi dia cepat-cepat menghapus dua
butir air mata yang bergantung di bulu matanya. Anak perempuan ini sama
sekali tidak mengerti mengapa dia menjadi berduka, dan dia tidak tahu
sama sekali bahwa setan cemburu yang selalu siap menggoda hati manusia,
terutama sekali hati wanita, telah mulai menyentuh hatinya.
Dia hanya merasa kecewa karena pagi itu dia sengaja mencari bunga yang
paling indah di dalam hutan untuk dipetiknya dan diberikan kepada Bun
Beng yang ia tahu tentu sedang bekerja keras. Dengan hati penuh
kegembiraan dia membawa bunga itu dan berlari-lari mencari Bun Beng,
membayangkan betapa girangnya Bun Beng menerima pemberiannya, betapa
anak laki-laki itu akan tersenyum kepadanya, memandang dengan matanya
yang tajam dan tentu akan terpancing kata-kata pujian dari Bun Beng
kepadanya.
Dia tidak pernah merasa bosan mendengar pujian-pujian dari mulut Bun
Beng. "Milana, engkau baik sekali! Milana engkau manis sekali!" dan
sebagainya. Akan tetapi kegembiraannya membuyar seperti awan tipis
ditiup angin ketika tiba di tempat itu, dia melihat Kwi Hong dengan
sikap mesra memberi minum Bun Beng!
Milana sendiri tidak mengerti mengapa dia harus kecewa. Dia bersahabat
baik dengan Kwi Hong yang dianggapnya seperti enci-nya sendiri, yang
dianggapnya sebagai seorang saudara yang lebih tua darinya, lebih pandai
dan dia pun tahu bahwa sebagai murid Pendekar Siluman, Kwi Hong
memiliki kepandaian silat jauh lebih tinggi dari padanya, bahkan menurut
pengakuan Bun Beng, jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Bun Beng!
Mengapa kini hatinya menjadi kecewa dan demikian tidak enak menyaksikan
sikap mesra Kwi Hong kepada Bun Beng?
Bun Beng yang masih setengah mengantuk dan tadi menurut saja diberi
minum, dengan mata setengah terpejam, dapat melihat bayangan Milana yang
pergi lagi sambil membuang bunga setangkai di atas tanah. Matanya
terbuka lebar memandang bunga itu dan dia lalu sadar akan keadaan
dirinya yang seperti anak kecil diberi minum.
"Terima kasih, Kwi Hong, biar kuminum sendiri," katanya sambil menerima
cawan minuman itu. Kwi Hong memberikan cawannya dan memandang dengan
wajah berseri ketika Bun Beng minum dan kelihatan nikmat. Tentu saja
nikmat minum-minuman sedap hangat itu di pagi hari.
"Eh, mana dia tadi?" Kwi Hong bertanya sambil menengok.
"Siapa?" Bun Beng pura-pura bertanya.
"Milana! Aku mendengar dia datang tadi. Mana dia?"
"Ah, aku tidak melihat dia," kata Bun Beng sambil menutupi muka dengan
cawan, meneguk habis minumannya sedangkan matanya melirik ke arah
setangkai bunga yang tergeletak sunyi di atas tanah.
"Terima kasih, Kwi Hong. Engkau baik sekali." Bun Beng mengembalikan
cawan kosong yang diterima Kwi Hong dengan wajah girang. Memang itulah
yang dinanti-nantinya. Untuk menerima pujian Bun Beng itu, dia mau
melakukan pekerjaan yang lebih berat dari pada membuatkan secawan
minuman!
"Bun Beng, mulai sekarang, engkau tidak perlu mencari kayu bakar lagi."
"Ahh, mengapa?"
"Pedang pusaka itu sudah selesai! Paman tadi berpesan agar engkau tidak
perlu mengumpulkan kayu bakar lagi, akan tetapi pedang itu akan ditapai
oleh Kakek Nayakavhira beberapa hari lamanya. Paman telah pergi karena
Kakek itu tidak mau diganggu, dan Paman pergi mencari sepasang garuda
kami karena dipanggil-panggil tak kunjung datang."
"Dan kita...?"
"Kita harus menunggu di sini sampai Paman kembali. Eh, Bun Beng, setelah
pedang selesai, engkau tentu akan ikut Paman ke Pulau Es, bukan?"
Bun Beng berpikir sejenak. Alangkah akan senang hatinya kalau dapat
pergi ke tempat Pendekar Siluman dan menjadi muridnya. Akan tetapi ia
teringat kepada Milana. Mana mungkin dia meninggalkan Milana di tempat
itu begitu saja? Dia ingin sekali pergi bersama Pendekar Siluman, tetapi
dia tidak boleh meninggalkan anak perempuan itu. Lebih dulu dia harus
mengantarkan Milana sampai dapat pulang ke tempat tinggalnya, yaitu di
Kerajaan Mongol.
"Aku harus mengantar Milana lebih dulu pulang ke Mongol," katanya.
Kwi Hong tertawa. "Apa sukarnya? Dengan adanya Paman dan dengan
menunggang garuda, sebentar saja kita akan dapat mengantar Milana. Eh,
di mana anak, itu? Milana...! Milana...!"
"Aku di sini...! Aku datang...!" terdengar jawaban Milana dan tampaklah
anak itu datang berlari menghampiri mereka. Wajahnya sudah cerah kembali
karena panggilan suara Kwi Hong sudah mengusir rasa kecewa hatinya.
"Milana, pedang telah selesai dibuat dan sekarang Bun Beng tidak perlu
mencari kayu bakar lagi. Kita dapat bermain-main sambil menanti sampai
Kakek itu selesai menapai pedang pusaka. Biar kusimpan dulu cawan ini!"
Kwi Hong berlari pergi membawa cawan kosong.
Bun Beng memakai bajunya, kemudian mengambil setangkai bunga dari atas
tanah, mencium bunga yang indah itu sambil berkata, "Milana, terima
kasih atas pemberian bunga ini. Engkau sungguh seorang anak yang baik
hati..."
Wajah Milana berseri kemudian berubah merah ketika Bun Beng mendekatinya.
"Kalau sudah selesai, tentu engkau akan diajak pergi oleh Suma-taihiap,"
kata Milana perlahan. "Engkau akan sekaligus mendapatkan seorang
sahabat yang manis seperti Kwi Hong."
"Ah, mana mungkin! Aku harus mengantarmu lebih dulu pulang ke Mongol,"
jawab Bun Beng, tiba-tiba merasa kasihan kepada anak itu dan mendekati.
"Biarkanlah, aku dapat mencari jalan pulang sendiri."
"Tidak Milana. Sebelum mengantarmu pulang, aku tidak mau pergi
meninggalkanmu di sini. Pula, kurasa Suma-taihiap akan suka mengantarmu
pulang dengan naik burung garudanya. Setelah kau tiba dengan selamat di
sana, barulah aku akan suka ikut dan belajar ilmu kepadanya."
"Bun Beng, mengapa engkau begini baik kepadaku?" Milana bertanya, mengangkat muka memandang dengan hati terharu.
Bun Beng tersenyum. "Apa kau kira engkau kalah baik? Engkaulah yang
bersikap amat baik terhadapku. Engkau keluarga istana raja, dan aku
hanya seorang anak sebatang kara yang miskin, namun sikapmu baik sekali.
Bagaimana aku tidak akan bersikap baik kepadamu? Lupakah kau akan
pelajaran tentang cinta kasih? Kalau engkau menganjurkan cinta kasih
antara manusia, agaknya manusia seperti inilah yang paling pantas
dicinta."
Percakapan mereka adalah percakapan kanak-kanak yang meniru-niru
pelajaran filsafat, maka tentu saja ‘cinta’ yang mereka sebut-sebut
tidak ada hubungannya dengan cinta antara laki-laki dan perempuan
dewasa. Betapa pun juga, ada sesuatu yang aneh terasa di hati mereka.
"Mengapa begitu, Bun Beng? Apa bedanya aku dengan orang lain?"
"Hemm, entahlah. Mungkin karena engkau... manis sekali."
Milana makin girang dan ia tersenyum, tidak tahu betapa Kwi Hong telah
datang dan melihat mereka berdiri berhadapan demikian akrab dan melihat
Bun Beng memegangi setangkai bunga indah, dan mereka tidak tahu betapa
Kwi Hong yang keras hati itu memandang dengan mata bersinar-sinar penuh
iri dan cemburu! Kwi Hong sendiri belum tahu tentang arti cinta antara
pria dan wanita, namun tanpa disengaja dia merasa amat tidak senang
menyaksikan keakraban antara Bun Beng dan Milana!
Namun Kwi Hong menyembunyikan rasa tidak senangnya ketika ia berlari
menghampiri mereka dan berkata. "Nah, sekarang tiba waktunya kita
bermain-main dan marilah kita memperlihatkan ilmu yang kita pelajari.
Aku ingin sekali melihat ilmu silatmu, Milana. Agaknya engkau tentu
telah mempelajari ilmu silat yang tinggi. Gerakan kakimu amat ringan dan
tanganmu cekatan. Marilah kita main-main dan mengukur kepandaian
masing-masing untuk menambah pengalaman dan pengetahuan."
"Ah, mana mungkin aku dapat menandingimu, Kwi Hong? Engkau adalah murid
To-cu dari Pulau Es yang terkenal, Pendekar Super sakti, sedangkan aku
hanya seorang yang sebulan sekali saja menerima latihan dari Ibu. Dalam
satu dua jurus saja aku tentu akan roboh!"
"Aihhh, mengapa kau merendahkan diri, Milana? Aku yakin kepandaianmu
tentu sudah cukup tinggi. Pula, kita hanya main-main dan hitung-hitung
berlatih, tidak bertanding sungguh-sungguh, mana perlu saling
merobohkan?"
"Kwi Hong, ilmu silat adalah ilmu untuk menjaga diri, ada unsur bertahan
akan tetapi juga selalu mengandung unsur menyerang. Kalau dipergunakan
dalam pertandingan, mana bisa main-main lagi? Kepalan tangan dan
tendangan kaki tidak mempunyai mata. Pula, selama hidupku, belum pernah
aku menggunakan ilmu yang kupelajari untuk bertanding. Tidak, aku
mengaku kalah!"
Kwi Hong menjadi kecewa sekali. Tidak ada seujung rambut dalam hatinya
ingin merobohkan atau melukai Milana, hanya memang dia ingin mengalahkan
anak itu di depan Bun Beng untuk mendapat pujian!
"Milana, untuk apa engkau mempelajari ilmu kalau kau takut mempergunakannya?" Ia mendesak.
Bun Beng yang sudah mengenal watak halus Milana merasa kasihan. Dia
tidak menyalahkan Kwi Hong, karena ia maklum bahwa orang yang
mempelajari ilmu silat tentu senang bertanding silat dan ia pun tahu
bahwa bukan niat Kwi Hong untuk melukai Milana. Tentu saja Kwi Hong
belum mengenal watak Milana yang sama sekali berlawanan dengan ilmu
silat itu, maka ia melangkah maju dan berkata,
"Kwi Hong, Milana tidak mau bertanding mengadu ilmu. Wataknya terlalu
halus untuk bertanding. Kalau engkau ingin berlatih, marilah kulayani,
biar terbuka mataku dan bertambah pengetahuanku menerima pelajaran dari
murid Suma-taihiap yang sakti."
Dalam ucapan ini, Bun Beng sama sekali tidak menyalahkan Kwi Hong, hanya
ingin menolong Milana yang kelihatan terpojok. Akan tetapi hati Kwi
Hong tersinggung dengan kata-kata bahwa watak Milana terlalu halus, sama
dengan mengatakan bahwa wataknya adalah kasar! Dengan kedua pipi merah
ia lalu menjawab singkat.
"Baiklah. Mari!" Setelah berkata demikian ia lalu menerjang maju dengan serangan ke arah dada Bun Beng!
Bun Beng cepat mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi gerakan
Kwi Hong amat cepatnya dan anak ini sudah melanjutkan serangannya dengan
pukulan lain yang amat cepat. Bun Beng terkejut, tak sempat mengelak
lagi maka ia lalu menggerakkan tangan menangkis.
"Dukkk!"
Kwi Hong merasa lengannya agak nyeri, akan tetapi Bun Beng terhuyung ke
belakang. Dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat oleh Kwi Hong yang
menerima latihan sinkang istimewa dari Suma Han di Pulau Es! Dan Kwi
Hong yang merasa lengannya nyeri itu menjadi penasaran, mengira bahwa
Bun Beng agaknya memiliki kepandaian tinggi maka dia lalu menyerang
terus dengan gencar.
Bun Beng menggerakkan kaki tangan, mempertahankan diri dengan ilmu silat
dari Siauw-lim-pai yang ia pelajari dari mendiang suhu-nya, Siauw Lam
Hwesio. Akan tetapi lewat belasan jurus, dia terdesak hebat dan setiap
kali terpaksa menangkis, dia terpental atau terhuyung.
"Wah, Kwi Hong... aku menyerah kalah!" Bun Beng berseru sambil menangkis lagi.
"Dukkk!"
Kembali Kwi Hong merasa lengannya nyeri. Biar pun sinkang-nya lebih
kuat, namun kulit lengannya tidak sekeras dan sekuat Bun Beng yang
selama setengah tahun hidup seperti kera liar dalam keadaan telanjang
bulat. Ia makin penasaran.
"Mengadu ilmu tidak perlu mengalah. Bun Beng, keluarkan kepandaianmu,
balaslah menyerang, jangan mempertahankan saja!" Kwi Hong melanjutkan
serangannya lebih cepat lagi sehingga Bun Beng menjadi repot sekali.
Karena serangan bertubi-tubi itu amat cepat dan dahsyat, terpaksa ia
dalam keadaan setengah sadar telah menggerakkan kaki tangannya
menurutkan ilmu dalam tiga kitab Sam-po-cin-keng. Dia menangkis dengan
gerakan membentuk lingkaran dengan kaki tangannya dan dari samping ia
mengirim pukulan balasan, hanya mendorong ke arah pundak Kwi Hong dan
dia berhasil! Pundak Kwi Hong terkena dorongannya sehingga anak
perempuan itu terhuyung.
"Kau hebat juga!" Biar pun mulutnya memuji, namun hati Kwi Hong menjadi
panas. Dia menerjang lagi lebih hebat. Memang watak Kwi Hong keras dan
tidak mau kalah. Dia merasa bahwa sebagai murid dan keponakan Pendekar
Super Sakti dia tidak akan terkalahkan oleh anak-anak lain!
Bun Beng menjadi sibuk sekali. Biar pun dia mainkan ilmu silat yang
dipelajari dari kitab orang sakti yang ia temukan di dalam sumber air
panas di goa rahasia, namun isi kitab itu lebih ia kuasai teorinya saja,
sedangkan isinya belum ia mengerti benar. Apa lagi kini Kwi Hong
benar-benar mengeluarkan kepandaiannya. Ilmu silat yang dia pelajari
dari Suma Han adalah ilmu silat tingkat tinggi dan anak ini setiap hari
berlatih dengan para penghuni Pulau Es maka tentu saja
serangan-serangannya amat hebat!
"Plakkk!"
Punggung Bun Beng kena ditampar. Dia terhuyung, tetapi berkat semua
penderitaan tubuhnya yang membuat tubuhnya kuat, dia tidak roboh dan
dapat menangkis pukulan susulan. Kembali dia didesak hebat sampai
mundur-mundur dan hanya mampu mengelak menangkis, sedangkan Kwi Hong
seperti seekor harimau betina mempunyai keinginan untuk merobohkan Bun
Beng. Kalau sudah kalah, tentu Bun Beng tidak berani merendahkannya dan
akan menghargainya seperti yang ia inginkan!
"Kwi Hong, sudahlah...!" berkali-kali Milana menjerit ketika melihat
betapa Bun Beng mulai terkena pukulan beberapa kali. Biar pun bukan
pukulan yang membahayakan, namun cukup membuat Bun Beng beberapa kali
terhuyung dan mengaduh.
Tiba-tiba Bun Beng menerjang dengan nekat! Sudah menjadi watak Bun Beng
sebagai seorang anak yang tidak mengenal takut dan pantang menyerah! Apa
lagi baru menerima pukulan-pukulan seperti itu, biar pun diancam maut
sekali pun dia pantang menyerah dan akan melakukan perlawanan. Dia sudah
mengalah, akan tetapi karena Kwi Hong agaknya bersikeras untuk
merobohkannya, dia menjadi naik darah dan kini Bun Beng menerjang hebat
dengan ilmu barunya secara sedapat-dapatnya.
Biar pun gerakannya seperti ngawur, namun kakinya berhasil mengenai
lutut Kwi Hong sehingga gadis cilik yang merasa kaki kirinya tiba-tiba
lemas itu hampir jatuh! Dia meloncat tinggi kemudian menukik turun dan
menyerang Bun Beng dari atas dengan kedua tangan. Bun Beng terkejut,
berusaha menangkis, akan tetapi hanya berhasil menangkis serangan tangan
kanan, sedangkan tangan kiri Kwi Hong dapat menotok pundak Bun Beng,
membuat pemuda cilik itu terguling.
"Kwi Hong, jangan lukai Bun Beng!" Tiba-tiba Milana yang sejak tadi berteriak-teriak mencegah pertandingan sudah menerjang maju.
"Wuuut...! Plakkk!" Terjangan Milana cepat sekali, akan tetapi Kwi Hong
masih sempat menangkis sehingga keduanya terhuyung mundur.
"Hemm, kiranya engkau boleh juga!" Kwi Hong yang sudah menjadi marah
karena menyesal bahwa dia telah merobohkan Bun Beng dan tentu Bun Beng
akan marah kepadanya, sebaliknya suka kepada Milana yang membelanya,
kini menyerang Milana yang cepat mengelak dan balas menyerang!
Kiranya anak yang berwatak halus ini memiliki gerakan yang indah dan
ringan sekali sehingga pukulan-pukulan Kwi Hong dapat ia elakkan semua.
Betapa pun juga dia segera terdesak hebat karena agaknya hanya dalam
keringanan tubuh saja dia dapat menandingi, sedangkan dalam ilmu silat
dan tenaga, dia kalah banyak. Biar pun Milana bergerak dengan gesit,
tidak urung dia terkena dorongan tangan Kwi Hong yang mengenai
pinggangnya sehingga ia terpelanting jatuh.
"Kwi Hong, kau terlalu!" Bun Beng menubruk Kwi Hong, akan tetapi cepat Kwi Hong mengelak menjatuhkan diri sambil menendang.
"Bukkk!" Paha Bun Beng terkena tendangan sehingga untuk kedua kalinya dia jatuh tersungkur.
"Kwi Hong! Apa yang kau lakukan ini?" Tiba-tiba tampak bayangan
berkelebat dan Suma Han telah berada di situ. Melihat pamannya, seketika
lenyap kemarahan dari hati Kwi Hong, terganti rasa takut. "Paman, kami
hanya main-main...."
"Main-main?" Suma Han memandang Bun Beng yang telah bangun dan
mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor. Juga Milana telah bangun dan
memandang dengan wajah tenang.
"Karena menganggur, kami berlatih silat," kata pula Kwi Hong.
"Hemm..." Suma Han tetap memandang Bun Beng dan Milana penuh selidik.
Melihat sikap pendekar itu dan melihat betapa Kwi Hong ketakutan, Bun Beng lalu cepat berkata. "Kami hanya berlatih."
Milana juga berkata, "Kwi Hong hanya melatih saya, Suma-taihiap."
Suma Han mengerutkan keningnya, wajahnya yang biasanya sudah muram itu
kini tampak seolah-olah ada sesuatu yang mengesalkan hatinya. Tanpa
menjawab ia lalu meloncat dan tubuhnya berkelebat memasuki pondok.
Kwi Hong memandang kepada Bun Beng dan Milana, kemudian dengan suara
penuh penyesalan berkata, "Maafkan aku, kalian baik sekali."
Tiba-tiba terdengar bunyi lengking keras dari dalam pondok dan tubuh
Suma Han meloncat keluar, tahu-tahu sudah tiba di dekat mereka bertiga,
matanya mengeluarkan sinar marah ketika ia menegur.
"Kalian tidak melihat orang datang ke pondok?"
Tiga orang anak itu memandang Suma Han dengan heran, lalu menggeleng
kepala. Suma Han menghela napas panjang. "Kalian hanya bermain-main
saja, sedangkan sepasang garuda dibunuh orang dan pedang pusaka lenyap
dari pondok."
Tiga orang anak itu terkejut bukan main, "Pek-eng dibunuh...?" Kwi Hong
bertanya dan suaranya terdengar bahwa dia menahan tangisnya.
"Mati terpanah. Tidak mudah kedua burung itu dipanah, tentu pemanahnya
seorang yang berilmu tinggi. Dan selagi kalian main-main, pedang pusaka
dicuri orang."
"Kakek Nayakavhira...?" tanya Milana.
"Dia telah meninggal dunia."
"Ohh! Dia dibunuh?" Bun Beng berteriak kaget.
Suma Han menggeleng kepala. "Dia mati selagi bersemedhi. Sungguh celaka,
ada orang berani mempermainkan aku secara keterlaluan. Kalian di sini
saja, jangan main-main, bantu aku pasang mata, lihat-lihat kalau ada
orang. Aku akan memperabukan jenazah Nayakavhira." Suma Han lalu
membakar pondok itu setelah menumpuk sisa kayu bakar ke dalam pondok dan
meletakkan jenazah kakek yang masih bersila itu di atasnya.
Pondok terbakar oleh api yang bernyala-nyala besar. Suma Han berdiri
tegak memandang, dan tiga orang itu juga memandang dengan hati kecut.
Sungguh tidak mereka sangka terjadi hal-hal yang demikian hebat. Selain
dua ekor burung garuda terbunuh orang, juga pedang pusaka yang dibuat
sedemikian susah payah itu dicuri orang dari pondok tanpa mereka ketahui
sama sekali.....
Timbul penyesalan besar di dalam hati Kwi Hong karena andai kata dia
tidak memaksa Bun Beng dan Milana bertempur, tentu mereka lebih waspada
dan dapat melihat orang yang memasuki pondok dan mencuri pedang pusaka.
Andai kata mereka bertiga tidak dapat mencegah pencuri itu melarikan
pedang, sedikitnya mereka dapat menceritakan pamannya bagaimana macamnya
orang yang mencuri pedang. Sekarang pedang tercuri tanpa diketahui
siapa pencurinya!
Keadaan di situ menjadi sunyi sekali karena Suma Han dan tiga orang anak
itu tidak bergerak, memandang pondok yang dibakar. Hanya suara api
membakar kayu jelas terdengar mengantar asap yang membubung tinggi ke
atas. Tiba-tiba tiga orang anak itu terkejut ketika mendengar suara
ketawa melengking yang menggetarkan isi dada mereka. Pantasnya iblis
sendiri yang mengeluarkan suara seperti itu, yang datang dari timur
seperti terbawa angin, bergema di sekitar daerah itu.
Lebih kaget lagi hati mereka bertiga ketika melihat tubuh Suma Han
berkelebat cepat dan lenyap dari situ, meninggalkan suara perlahan namun
jelas terdengar oleh mereka. "Kalian tinggal di sini, jangan pergi!"
Selagi tiga orang itu bengong saling pandang dengan muka khawatir,
tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dan berkelebat bayangan orang.
Tahu-tahu di situ muncul seorang laki-laki yang berwajah tampan, berusia
kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian seperti siucai dan di
punggungnya tampak sebatang pedang. Melihat munculnya orang yang
tertawa-tawa ini, Bun Beng memandang penuh perhatian dan dia melihat
sebatang pedang bersinar putih tanpa gagang terselip di ikat pinggang
orang itu. Anak yang cerdik ini segera dapat menduga bahwa tentu orang
ini mencuri pedang, dan pedang bersinar putih yang terselip dan ditutupi
jubah namun masih tampak sedikit itu adalah pedang pusaka yang
dicurinya.
"Engkau pencuri pedang!" Bentaknya marah dan tanpa mempedulikan sesuatu,
Bun Beng sudah menubruk ke depan. Akan tetapi sebuah tendangan tepat
mendorong dadanya dan ia roboh terjengkang.
"Ha-ha-ha! Memang aku yang mengambil pedang pusaka. Dan siapa di antara
kalian berdua yang menjadi murid perempuan Pendekar Siluman?"
Kwi Hong yang mendengar pengakuan itu telah menjadi marah sekali. Inilah
orangnya yang membikin kacau dan membikin marah gurunya atau pamannya,
pikirnya. Ia bergerak maju sambil membentak, "Aku adalah murid Pendekar
Super Sakti! Maling hina, kembalikan pedang!"
Akan tetapi sambil tertawa-tawa, laki-laki tampan itu membiarkan Kwi
Hong memukulnya dan ketika kepalan tangan gadis cilik itu mengenai
perutnya, Kwi Hong merasa seperti memukul kapas saja. Ia terkejut, akan
tetapi tiba-tiba lengannya sudah ditangkap, tubuhnya dikempit dan sambil
tertawa laki-laki itu sudah meloncat dan lari pergi.
"Tahan...!" Milana berseru dan meloncat ke depan, tetapi sekali orang
itu mengibaskan lengan kirinya, tubuh Milana terpelanting dan roboh
terguling.
Bun Beng sudah bangkit lagi, tak peduli akan kepeningan kepalanya dan
dia mengejar secepat mungkin. Namun laki-laki itu berloncatan cepat
sekali dan sudah menghilang. Bun Beng teringat akan suara ketawa dari
arah timur tadi, maka dia lalu mengejar ke timur.
Milana merangkak bangun, menggoyang-goyang kepalanya yang pening. Ia
kemudian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak tampak lagi
laki-laki yang menculik Kwi Hong, juga tidak tampak bayangan Bun Beng.
Dia menduga tentu Bun Beng melakukan pengejaran, maka dia pun meloncat
bangun dan mengejar ke timur karena seperti Bun Beng, dia tadi mendengar
suara ketawa dari timur.
Tentu saja baik Bun Beng mau pun Milana tertinggal jauh sekali oleh
laki-laki yang menculik Kwi Hong karena orang itu memiliki ilmu
kepandaian tinggi sehingga kedua orang anak itu selain tertinggal juga
masing-masing melakukan pengejaran secara ngawur tanpa mengetahui ke
mana larinya si penculik dan pencuri pedang itu.
Penculik berpakaian sastrawan itu bukan lain adalah Tan Ki atau
Tan-siucai yang telah miring otaknya! Setelah berhasil membunuh Im-yang
Seng-cu yang dipersalahkan karena Im-yang Seng-cu tidak membalas dendam
dan membunuh Pendekar Siluman, Tan-siucai bersama gurunya yang aneh dan
amat lihai itu lalu melanjutkan perjalanan mencari Pendekar Siluman yang
kabarnya menjadi To-cu Pulau Es. Secara kebetulan sekali, ketika mereka
berjalan di sepanjang pesisir lautan utara untuk menyelidiki di mana
adanya Pulau Es, pada suatu hari mereka melihat dua ekor burung garuda
putih beterbangan.
"Guru, bukankah burung-burung itu adalah garuda putih yang amat
besar-besar. Seperti kita dengar, tunggangan Suma Han juga burung garuda
putih. Siapa tahu burung-burung itu adalah tunggangannya?" Kata
Tan-siucai.
"Hm, burung yang indah dan hebat, sebaiknya ditangkap!" kata Maharya
memandang kagum, lalu ia mengambil sebuah batu sebesar genggaman tangan
dan melontarkan batu itu ke arah seekor dari pada dua burung garuda
putih yang terbang rendah.
Dua ekor burung itu memang benar burung-burung peliharaan Suma Han yang
ditinggalkan di tempat itu ketika Kwi Hong hendak menonton kakek
menunggang gajah. Karena lama majikan mereka tidak memanggil, kedua
burung garuda itu menjadi kesal dan beterbangan sambil menyambari ikan
yang berani mengambang di permukaan laut, juga mencari binatang-binatang
kecil yang dapat mereka jadikan mangsa.
Lontaran batu dari tangan Maharya amat kuatnya sehingga batu itu
meluncur seperti peluru ke arah burung garuda betina. Burung ini sudah
terlatih, melihat ada sinar menyambar ke arahnya, ia lalu menangkis
dengan cakarnya. Akan tetapi, biar pun batu itu hancur oleh cakarnya,
burung itu memekik kesakitan karena tenaga lontaran yang kuat itu
membuat kakinya terluka. Dia menjadi marah sekali, mengeluarkan lengking
panjang sebagai tanda marah dan menyambar turun ke bawah dengan
kecepatan kilat, mencengkeram kepala Maharya yang berani mengganggunya!
"Eh, burung jahanam!" Maharya menyumpah ketika terjangan itu membuat ia
terkejut dan hampir jatuh, sungguh pun dia dapat mengelak dengan
loncatan ke kiri.
"Tidak salah lagi, tentu tunggangan Pendekar Siluman!" Kata Tan-siucai.
"Kalau burung liar mana mungkin begitu lihai? Guru, kita bunuh saja
burung-burung ini!"
Setelah berkata demikian, Tan Ki mengeluarkan sebatang panah, memasang
pada sebuah gendewa kecil. Menjepretlah tali gendewa dan sebatang anak
panah meluncur dengan kecepatan kilat menyambar burung garuda betina
yang masih terbang rendah. Burung itu berusaha mengelak dan menangkis
dengan sayapnya, namun anak panah itu dilepas oleh tangan yang kuat
sekali, menembus sayap dan menancap dada! Burung itu memekik dan
melayang jatuh, terbanting di atas tanah, berkelojotan dan mati!
Burung garuda jantan menjadi marah sekali, mengeluarkan pekik nyaring
dan menyambar ke bawah hendak menyerang Tan-siucai. Namun sambil
tertawa, Tan Ki sudah melepas sebatang anak panah lagi. Garuda ini pun
mencengkeram, namun anak panah itu tetap saja menembus dadanya dan
burung ini pun roboh tewas! Dua ekor burung garuda yang terjatuh kini
tewas di tangan seorang berotak miring yang lihai sekali.
Tan-siucai dan gurunya kini merasa yakin bahwa tentu kedua ekor burung
garuda itu adalah binatang tunggangan Pendekar Siluman seperti yang
mereka dengar diceritakan orang-orang kang-ouw. Maka mereka berlaku
hati-hati, menyelidiki daerah itu dan akhirnya dari jauh mereka melihat
pondok di mana mengepul asap dan terdengar bunyi martil berdencing.
Mereka tidak berlaku sembrono, hanya mengintip dengan sabar dan dapat
menduga bahwa Pendekar Siluman tentu berada di pondok itu, sedangkan
seorang di antara dua orang anak perempuan yang bermain-main di luar
dengan seorang anak laki-laki tentulah muridnya seperti yang dikabarkan
orang.
Tadinya Tan-siucai hendak mengajak gurunya menyerbu dan membunuh musuh
yang dibencinya itu, yang dianggap telah merampas tunangannya. Akan
tetapi ketika Maharya mendapatkan bangkai gajah besar tak jauh dari
tempat itu, dia menahan niat ini.
"Kalau tidak salah, gajah ini adalah binatang tunggangan kakakku
Nayakavhira! Jangan-jangan tua bangka itu pun berada di dalam pondok
bersama Pendekar Siluman. Aahhh, tidak salah lagi, tentu dia. Dan suara
berdencing itu. Tentu Si Tua Bangka membuatkan pedang pusaka untuk
Pendekar Siluman! Huh, dia selalu menentangku! Kalau aku tidak bisa
membunuhnya, tentu dia akan mendahului aku merampas Sepasang Pedang
Iblis! Kita harus berhati-hati. Aku tidak takut menghadapi Pendekar
Siluman kaki buntung yang disohorkan orang itu. Akan tetapi tua bangka
Nayakavhira itu lihai sekali dan terhadap dia kita tidak dapat
menggunakan ilmu sihir. Kita menanti saja dan kalau ada kesempatan baik,
baru kita menyerbu."
Ketika melihat Suma Han keluar dari pondok dan meninggalkan tiga orang
anak, Maharya lalu mengajak muridnya diam-diam, menggunakan kesempatan
selagi tiga orang anak itu bertempur untuk menyelundup ke dalam pondok.
"Dia tentu sedang semedhi menapai pedang, inilah kesempatan baik karena
Pendekar Siluman sedang keluar. Kau ambil pedangnya, biar aku yang
menghadapi Nayakavhira!"
Akan tetapi, ketika mereka memasuki pondok, mereka melihat bahwa
Nayakavhira telah mati dalam keadaan masih duduk bersila di pondok, di
depannya menggeletak sebatang pedang bersinar putih yang belum ada
gagangnya. Tentu saja Maharya menjadi girang sekali dan Tan-siucai
mengambil pedang pusaka itu. Diam-diam mereka keluar dari pondok dan
mengintai dari tempat persembunyian mereka. Mereka melihat Suma Han
datang lagi, kemudian melihat Suma Han membakar pondok untuk
memperabukan jenazah Nayakavhira.
"Bagus! Sekarang biar aku memancing dia pergi, hendak kucoba sampai di
mana kepandaiannya. Kau menjaga di sini, kalau dia sudah pergi, kau
culik muridnya. Dengan demikian, akan lebih mudah engkau membalas
dendam."
Demikianlah, dari tempat jauh di sebelah timur Maharya mengeluarkan
suara ketawa sehingga memancing datangnya Suma Han, sedangkan Tan-siucai
berhasil menculik Kwi Hong! Pada hakekatnya, Tan-siucai bukanlah
seorang yang jahat atau kejam. Akan tetapi pada waktu itu otaknya sudah
miring karena dendamnya dan karena dia memaksa diri mempelajari ilmu
sihir dari Maharya. Maka dia pun tidak membunuh Bun Beng dan Milana, hal
yang akan mudah dan dapat ia lakukan kalau dia berhati kejam. Dia
mengempit tubuh Kwi Hong sambil lari menyusul gurunya dan terkekeh
mengerikan.
"Lepaskan aku! Keparat, lepaskan aku! Kalau tidak, Pamanku akan menghancurkan kepalamu!"
"Heh-heh-heh, Pamanmu? Gurumu sekali pun, Si Pendekar Buntung kakinya
itu, tidak akan mampu membunuhku, bahkan dia yang kini akan mampus di
tangan Guruku. Siapa Pamanmu, heh?"
"Tolol! Pamanku ialah guruku Suma Han Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es! Lepaskan aku!"
Saking herannya bahwa anak perempuan itu bukan hanya murid, akan tetapi
juga keponakan musuh besarnya, Tan-siucai melepaskan Kwi Hong dan
memandang dengan mata terbelalak. "Engkau keponakannya? Keponakan dari
mana, heh?"
Kwi Hong mengira bahwa orang gila ini takut mendengar bahwa dia
keponakan gurunya, maka dia berkata, "Guruku adalah adik kandung
mendiang Ibuku."
Tan-siucai tertawa. "Ha-ha-ha-ha! Kebetulan sekali! Dia telah membunuh
kekasihku, tunanganku, calon isteriku. Biar dia lihat bagaimana rasanya
melihat keponakannya kubunuh di depan matanya. Heh-heh-heh!"
Kwi Hong memandang marah. "Setan keparat! Engkau gila! Diriku tidak
membunuh siapa-siapa dan jangan kira engkau akan dapat terlepas dari
tangannya kalau kau berani menggangguku!"
"Engkau mau lari? Heh-heh-heh, larilah kalau mampu. Lihat, api dari tanganku sudah mengurungmu, bagaimana kau bisa lari?"
Kwi Hong memandang dan ia terpekik kaget melihat betapa kedua tangan
yang dikembangkan itu benar-benar mengeluarkan api yang menyala-nyala
dan mengurung di sekelilingnya! "Setan... engkau setan...!" Ia memaki
akan tetapi hatinya merasa takut dan ngeri.
"Ha-ha-ha, hayo ikut bersamaku. Aku tidak mau terlambat melihat musuh besarku mati di tangan Guruku!"
Tan-siucai menubruk hendak menangkap Kwi Hong. Anak ini menjerit dan
tanpa mempedulikan api yang bernyala-nyala di sekelilingnya, ia meloncat
menerjang api. Dan terjadilah hal yang mengherankan hatinya. Ketika
menerjang, api itu tidak membakarnya, bahkan tidak ada lagi! Seolah-olah
melihat api tadi hanya terjadi dalam mimpi! Maka ia berbesar hati lari
terus.
"Hei-hei... engkau mau lari ke mana, heh?" Tan-siucai mengejar dan
agaknya dalam kegilaannya ia merasa senang mempermainkan Kwi Hong,
mengejar sambil menggertak menakut-nakuti, tidak segera menangkapnya,
padahal kalau dia mau, tentu saja dia dapat menangkap dengan mudah dan
cepat. Lagaknya seperti seekor kucing yang hendak mempermainkan seekor
tikus. Membiarkannya lari dulu untuk kemudian ditangkap dan
diganyangnya.
Tan-siucai hanya hendak menakut-nakuti saja karena anak itu adalah
keponakan dan murid musuh besarnya, tidak mempunyai maksud sedikit pun
juga di hatinya untuk melakukan sesuatu yang tidak baik. Mungkin dia
akan benar-benar membunuh Kwi Hong di depan Suma Han, namun hal itu pun
akan dilakukan semata-mata untuk menyakiti hati musuh besar yang telah
merampas dan dianggap membunuh kekasihnya!
"Heh-heh-heh, mau lari ke mana kau?" Sekali meloncat, tiba-tiba tubuhnya
melesat ke depan dan sambil tertawa-tawa ia telah tiba menghadang di
depan Kwi Hong!
"Ihhhhh!" Kwi Hong menjerit kaget penuh kengerian, akan tetapi dia tidak takut dan menghantam perut orang itu.
"Cessss!" Tangannya mengenai perut yang lunak seolah-olah tenaganya
amblas ke dalam air, maka Kwi Hong lalu membalikkan tubuh dan melarikan
diri ke lain jurusan.
"Heh-heh-heh, larilah yang cepat, larilah kuda cilik, lari! Ha-ha-ha!"
Tan-siucai tertawa-tawa dan mengejar lagi dari belakang. Berkali-kali ia
mempermainkan Kwi Hong dengan loncat menghadang di depan anak itu.
Ketika ia sudah merasa puas mempermainkan sehingga Kwi Hong mulai
terengah-engah kelelahan, tiba-tiba Tan-siucai tersentak kaget karena
tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri
seorang wanita yang mukanya berkerudung menyeramkan!
Biar pun Tan-siucai kini telah menjadi seorang yang berkepandaian
tinggi, namun kemiringan otaknya membuat dia kadang-kadang seperti
kanak-kanak. Begitu melihat munculnya seorang wanita berkerudung,
agaknya ia teringat akan cerita-cerita yang dibacanya tentang
setan-setan dan iblis, maka mukanya berubah pucat dan ia membalikkan
tubuhnya melarikan diri sambil menjerit, "Ada setan...!"
"Aduhhh...!" Ia menjerit dan tubuhnya terpental karena pinggulnya telah ditendang dari belakang.
Kini wanita berkerudung itulah yang keheranan. Tendangannya tadi
disertai sinkang yang kuat, yang akan meremukkan batu karang dan orang
di dunia kang-ouw jarang ada yang sanggup menerima tendangannya itu
tanpa menderita luka berat atau bahkan mati. Akan tetapi orang gila itu
hanya menjerit tanpa menderita luka sedikit pun. Bahkan kakinya
merasakan pinggul yang lunak seperti karet busa!
"Eh, kau... kau bukan setan? Kakimu menginjak tanah, terang bukan setan!
Keparat, kau berani menendang aku? Tunggu ya, aku akan menangkap dulu
anak itu!" Tan-siucai melangkah hendak menangkap lengan Kwi Hong yang
masih berdiri terengah-engah dan juga memandang wanita berkerudung itu
dengan mata terbelalak.
"Jangan ganggu dia!" Tiba-tiba wanita itu membentak, suaranya merdu namun dingin dan mengandung getaran kuat.
Tan-siucai sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak
menentangnya maka ia membusungkan dada dan menudingkan telunjuknya.
"Aihh, kiranya engkau hendak menentangku, ya? Sungguh berani mati.
Engkau tidak tahu aku siapa? Awas, kalau aku sudah marah, tidak peduli
lagi apakah engkau wanita atau pria, berkerudung atau tidak, sekali
bergerak aku akan mencabut nyawamu!"
Wanita berkerudung itu mendengus penuh hinaan, "Siapa takut padamu?
Tentu saja aku tahu engkau siapa. Engkau adalah seorang yang tidak
waras, berotak miring yang menakut-nakuti seorang anak perempuan. Kalau
aku tidak ingat bahwa engkau adalah seorang gila, apakah kau kira tidak
sudah tadi-tadi kupukul kau sampai mampus? Nah, pergilah. Aku
memaafkanmu karena engkau gila dan tinggalkan anak ini."
Tan-siucai sudah lenyap kegilaannya dan ia marah sekali. "Engkau yang
gila! Engkau perempuan lancang, hendak mencampuri urusan orang lain dan
engkau memakai kerudung penutup muka. Hayo buka kerudungmu dan lekas
minta ampun kepadaku!"
"Agaknya selain gila, engkau pun sudah bosan hidup. Nah, mampuslah!"
Tiba-tiba wanita berkerudung itu menerjang maju dengan cepat sekali,
tahu-tahu tangannya sudah mengirim totokan maut ke arah ulu hati
Tan-siucai.
Tan-siucai telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dia terkejut
sekali karena maklum bahwa totokan itu dapat membunuhnya dan bahwa
gerakan wanita itu selain cepat seperti kilat juga mengandung sinkang
yang luar biasa! Dia tidak berani main-main lagi, tahu bahwa lawannya
adalah seorang pandai, maka cepat ia menangkis dengan tangan kanan
sambil mengerahkan tenaga.
"Desss!" Tubuh Tan-siucai terguling saking hebatnya benturan tenaga itu
dan ia cepat meloncat bangun sambil mengirim serangan balasan penuh
marah.
"Hemm, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian!" Wanita berkerudung
itu berseru dan menyambut pukulan Tan-siucai dengan sambaran tangan ke
arah pergelangan lawan. Tan-siucai tidak mau lengannya ditangkap maka ia
menghentikan pukulannya dan tiba-tiba kakinya menendang, sebuah
tendangan yang mendatangkan angin keras mengarah pusar lawan.
"Wuuuttt!" Wanita itu miringkan tubuh membiarkan tendangan lewat dan
secepat kilat kakinya mendorong belakang kaki yang sedang menendang itu.
Gerakan ini amat aneh dan Tan-siucai tak dapat mengelak lagi. Kakinya
yang luput menendang itu terdorong ke atas, membawa tubuhnya sehingga ia
terlempar ke atas seperti dilontarkan.
"Aiiihhh...!" Tan-siucai berteriak.
Akan tetapi wanita itu kagum juga menyaksikan betapa lawannya yang gila
itu ternyata memiliki ginkang yang tinggi sehingga mampu berjungkir
balik di udara dan turun ke tanah dengan keadaan kakinya tegak berdiri.
Ada pun Tan-siucai yang makin terkejut dan terheran menyaksikan gerakan
wanita berkerudung itu, teringat akan sesuatu dan membentak, "Aku
mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah..."
"Akulah Ketua Thian-liong-pang!" Wanita itu memotong dan menerjang lagi,
dengan gerakan cepat sekali sehingga sukar diikuti pandang mata dan
Tan-siucai terpaksa meloncat mundur dengan kaget.
"Singggggg...!" Tampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu tangan
Tan-siucai telah mencabut pedang hitamnya, tampak sinar hitam
bergulung-gulung dengan dahsyatnya.
Diam-diam Ketua Thian-liong-pang itu kaget dan heran. Bagaimana
tiba-tiba muncul seorang siucai gila seperti ini padahal di dunia
kang-ouw tidak pernah terdengar namanya. Namun dia tidak gentar sedikit
pun juga. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian siucai tampan yang gila
ini amat tinggi, akan tetapi tidak terlampau tinggi. Maka ia pun
menghadapinya dengan kedua tangan kosong saja. Tubuhnya berkelebatan
menyelinap di antara sinar pedang hitam dan mengirim pukulan sinkang
bertubi-tubi sehingga hawa pukulan itu saja cukup membuat Tan-siucai
terhuyung mundur dan kacau permainan pedangnya!
Ketika dengan rasa penasaran ia membabat kedua kaki wanita itu, Ketua
Thian-liong-pang mencelat ke atas, ujung kakinya menendang tenggorokan
lawan, Tan-siucai miringkan kepala dengan kaget sekali.
"Aduhhhh...!" Ia menjerit dan roboh terguling-guling, tulang pundaknya
yang tersentuh ujung sepatu wanita terasa hendak copot, nyeri sampai
menusuk ke jantung rasanya.
"Pangcu dari Thian-liong-pang, lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut
dan lemas, berlututlah!" tiba-tiba Tan-siucai menuding dengan pedangnya,
melakukan ilmu hitamnya untuk menguasai semangat dan pikiran lawannya
melalui gerakan, suara dan pandang matanya.
Namun Ketua Thian-liong-pang itu memakai kerudung di depan mukanya
sehingga tidak dapat dikuasai oleh pandang matanya, ada pun suaranya
yang mengandung getaran khikang hebat itu masih kalah kuat oleh sinkang
lawan. Kini wanita itu tertawa merdu, ketawa yang bukan sembarang ketawa
karena suara ketawanya digerakkan dengan sinkang dari pusar sehingga
membawa getaran yang amat kuat. Gelombang getaran ini menyentuh hati
Tan-siucai sehingga dia ikut pula tertawa bergelak di luar kemauannya.
Mendengar suara ketawanya sendiri, Tan-siucai terkejut dan cepat ia
menindas rasa ingin ketawa itu, pedangnya membacok dari atas!
"Manusia berbahaya perlu dibasmi!" Tiba-tiba Ketua Thian-liong-pang itu
berkata dan tangan kirinya bergerak dari atas, ketika pedang itu tiba ia
menjepit pedang dari atas dengan jari tangannya yang ditekuk!
Bukan main hebatnya ilmu ini yang tentu saja hanya mampu dilakukan oleh
orang yang kepandaiannya sudah tinggi sekali dan sinkang-nya sudah amat
kuat. Tan-siucai terkejut, berusaha menarik pedang namun pedang itu
seperti dijepit oleh tang baja dan sama sekali tidak mampu ia gerakkan.
Saat itu Ketua Thian-liong-pang sudah menyodokkan jari-jari tangan
kanannya ke arah perut Tan-siucai yang kalau mengenai sasaran tentu akan
mengoyak kulit perut!
"Aiihhhh...!" Tiba-tiba Ketua Thian-liong-pang itu memekik, pekik
seorang wanita yang terkejut dan ngeri, kemudian tubuhnya meloncat jauh
ke belakang, sepasang mata di balik kerudung itu terbelalak.
Tan-siucai yang tadinya sudah hilang harapan dan maklum bahwa dia
terancam bahaya maut, menjadi kaget dan girang sekali melihat wanita
sakti itu meloncat mundur, tidak jadi membunuhnya. Saking girangnya,
gilanya kumat dan ia meloncat pergi sambil tertawa-tawa, "Ha-ha-ha,
engkau tidak tega membunuhku, ha-ha-ha!"
Ketua itu masih bengong dan membiarkan Si Gila pergi. Tentu saja dia
tadi meloncat ke belakang bukan karena tidak tega membunuh Tan-siucai,
melainkan ketika tangannya hampir mengenai perut lawan, tiba-tiba ada
sinar putih yang luar biasa keluar dari balik jubah bagian perut. Sinar
putih ini mengandung hawa mukjizat sehingga mengagetkan Ketua
Thian-liong-pang yang maklum bahwa sinar yang mengandung hawa seperti
itu hanyalah dimiliki sebuah pusaka yang maha ampuh!
"Sayang engkau melepaskan Si Gila itu," Kwi Hong berkata ketika melihat Tan-siucai menghilang.
Ketua Thian-liong-pang itu agaknya baru sadar akan kehadiran Kwi Hong.
Dia menoleh dan memandang anak itu, di dalam hatinya merasa suka dan
kagum. Anak yang bertulang baik, berhati keras dan penuh keberanian.
"Sudah cukup kalau engkau terbebas darinya," ia berkata. "Anak, engkau siapakah dan mengapa engkau ditangkap Si Gila?"
"Aku tidak tahu dengan orang apa aku bicara. Apakah engkau tidak mau
membuka kerudungmu sehingga aku dapat memanggilmu dengan tepat?" Kwi
Hong bertanya, memandang muka berkerudung itu dan diam-diam ia kagum
karena dia sudah mendengar akan nama besar Thian-liong-pang dan tadi pun
sudah menyaksikan sendiri kelihatan wanita ini sehingga timbul
keinginan untuk melihat bagaimana kalau wanita ini bertanding melawan
pamannya!
Wanita itu menggeleng kepala. "Tidak seorang pun boleh melihat mukaku,
kecuali... kecuali... yah, tak perlu kau tahu. Sebut saja aku Bibi.
Engkau siapakah?"
"Bibi yang perkasa, aku adalah Giam Kwi Hong, murid dan juga keponakan dari To-cu Pulau Es."
"Pendekar Siluman...?" Wanita berkerudung itu bertanya, jelas kelihatan terkejut bukan main.
Besar rasa hati Kwi Hong. Semua orang mengenal pamannya, mengenal dan
takut. Agaknya wanita perkasa ini tidak terkecuali, maka ia menjadi
bangga, tersenyum dan mengangguk. "Benar, dan Si Gila itu tadi sengaja
menculikku karena dia memusuhi Paman Suma Han. Katanya Pamanku membunuh
kekasihnya, tunangannya. Kurasa dia bohong karena dia gila. Kalau saja
Paman tidak dipancing pergi, mana dia mampu menculikku?"
"Di mana Pamanmu sekarang? Apa yang terjadi?"
"Paman sedang membuat pedang pusaka bersama kakek yang bernama
Nayakavhira. Pedang sudah jadi dan karena Kakek itu hendak menapai
pedang, Paman pergi untuk mencari garuda kami. Paman datang dan
mengatakan bahwa sepasang garuda dibunuh orang, kemudian ternyata bahwa
pedang pusaka itu lenyap. Baru tadi kuketahui bahwa pedang yang baru
jadi diambil oleh Si Gila. Maka sayang tadi kau lepaskan dia, seharusnya
pedang itu dirampas dulu, Bibi."
"Ahhhh...!" Ketua Thian-liong-pang itu kagum bukan main. Kiranya benar
dugaannya. Si Gila itu menyelipkan sebatang pedang pusaka yang amat
ampuh di pinggangnya. Dia menyesal mengapa tadi tidak mengejar dan
merampas pedang itu.
"Ketika Paman membakar pondok untuk memperabukan jenazah Nayakavhira
yang kedapatan sudah mati tua di pondok, ada suara ketawa. Paman cepat
pergi mencari dan tiba-tiba muncul Si Gila itu, dan aku diculik...."
"Hemm... kalau begitu Pamanmu tak jauh dari sini. Mari kuantar engkau menyusulnya."
Tanpa menanti jawaban, wanita itu memegang lengan Kwi Hong dan anak ini
kagum bukan main. Kembali dia membandingkan wanita ini dengan pamannya,
karena digandeng dan dibawa lari seperti terbang seperti sekarang ini
hanya pernah ia alami ketika dia dibawa lari pamannya.
Tiba-tiba wanita itu berhenti dan menuding ke depan. Kwi Hong memandang
dan terbelalak heran menyaksikan pamannya itu sedang duduk bersila di
atas tanah, tongkatnya melintang di atas kaki tunggal, kedua tangannya
dengan tangan terbuka dilonjorkan, matanya terpejam dan dari kepalanya
keluar uap putih yang tebal!
Ada pun kira-kira sepuluh meter di depannya tampak seorang kakek
bersorban seperti Nayakavhira, hanya bedanya kalau Kakek Nayakavhira
berkulit putih, orang ini berkulit hitam arang, memakai anting-anting di
telinga, hidungnya seperti paruh kakatua, jenggotnya panjang dan dia
pun bersila seperti Suma Han dengan kedua tangan dirangkapkan di depan
dada dan matanya melotot lebar, juga dari kepalanya keluar uap tebal.
Baik Suma Han mau pun kakek hitam itu sama sekali tidak bergerak
seolah-olah mereka telah menjadi dua buah arca batu!
"Paman...!" Tiba-tiba mulut Kwi Hong didekap tangan Ketua Thian-liong-pang yang berbisik.
"Anak bodoh, tidak tahukah engkau bahwa Pamanmu sedang bertempur
mati-matian melawan kakek sakti itu? Mereka mengadu sihir dan kalau
engkau mengganggu Pamanmu, dia bisa celaka. Kau tunggu saja di sini
sampai pertempuran selesai, baru boleh mendekati Pamanmu. Aku mau
pergi!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, Ketua
Thian-liong-pang itu lenyap dari belakang Kwi Hong yang tidak
mempedulikannya lagi karena perhatiannya tertumpah kepada pamannya.
Kwi Hong sama sekali tidak tahu bahwa sebelum dia tiba di tempat itu,
Bun Beng telah lebih dulu melihat pertandingan yang amat luar biasa itu,
bersembunyi di tempat lain dan memandang dengan napas tertahan dan mata
terbelalak. Dibandingkan dengan Kwi Hong, dia jauh lebih terheran
karena apa yang dilihatnya tidaklah sama dengan apa yang dilihat Kwi
Hong!
Kalau Kwi Hong hanya melihat pamannya duduk bersila melonjorkan kedua
lengan ke depan menghadapi kakek hitam yang bersila dan merangkapkan
tangan depan dada, Bun Beng melihat betapa di antara kedua orang sakti
yang duduk bersila tak bergerak seperti arca itu terdapat seorang Suma
Han ke dua yang sedang bertanding dengan hebatnya melawan seorang kakek
hitam ke dua pula, seolah-olah bayangan mereka yang sedang bertanding!
Mengapa bisa begitu? Mengapa kalau Kwi Hong tidak melihat ada yang
bertanding? Karena dia baru saja tiba sehingga dia tidak dikuasai
pengaruh mukjizat seperti yang dialami Bun Beng. Ketika Bun Beng berlari
secepatnya mengejar Tan-siucai yang menculik Kwi Hong secara ngawur ke
timur karena dia sudah tertinggal jauh sehingga penculik itu tidak
tampak bayangannya lagi dan napasnya mulai memburu, dia melihat Suma Han
sedang bertanding melawan seorang kakek hitam.
Pertandingan yang amat hebat dan cepat sekali sehingga pandang mata Bun
Beng menjadi kabur dan kepalanya pening. Dia melihat betapa tubuh
Pendekar Siluman itu mencelat ke sana ke mari sedangkan tubuh kakek
hitam itu berputaran seperti sebuah gasing. Begitu cepat pertandingan
itu sehingga dia tidak dapat mengikuti dengan pandang matanya. Dia tidak
berani memperlihatkan diri biar pun ketika melihat Suma Han dia menjadi
girang sekali dan ingin menceritakan tentang Kwi Hong yang diculik
orang. Menyaksikan pertandingan yang hebat itu dia lupa segala, lupa
akan Kwi Hong yang diculik orang dan ia menonton sambil bersembunyi
dengan mata terbelalak.
Tiba-tiba kakek itu terlempar sampai sepuluh meter jauhnya dan terdengar
kakek itu berkata, "Pendekar Siluman, engkau hebat sekali. Tetapi aku
masih belum kalah. Lihat ini!"
Kakek itu kemudian duduk bersila, merangkapkan kedua tangan depan dada
sambil mengeluarkan bunyi menggereng hebat sekali dan... hampir Bun Beng
berseru kaget ketika melihat betapa dari kepala kakek itu mengepul uap
kehitaman tebal dan muncul seorang kakek ke dua, persis seperti seorang
kakek itu sendiri!
"Maharya, engkau hendak mengadu kekuatan batin? Baik, aku sanggup melayanimu!" kata Suma Han yang segera duduk bersila.
Dari kepala Pendekar Super Sakti juga mengepul uap putih yang tebal dan
dari uap ini terbentuklah seorang Suma Han kedua yang bergerak maju
menghadapi ‘bayangan’ kakek hitam, kemudian kedua bayangan itu
bertanding dengan hebat! Suma Han melonjorkan kedua tangan ke depan dan
gerakan bayangannya menjadi makin cepat dan kuat! Bun Beng yang terkena
getaran pengaruh mukjizat dapat melihat kedua bayangan yang bertanding
itu, yang tidak dapat tampak oleh Kwi Hong yang baru tiba.
Bun Beng yang dapat menyaksikan pertandingan aneh itu, menonton dengan
mata terbelalak dan muka pucat. Ia melihat gerakan bayangan kakek itu
aneh, berloncatan menyerang bayangan Suma Han dengan jari-jari
tangannya. Kedua tangan hanya menggunakan dua buah jari, telunjuk dan
tengah, untuk menusuk-nusuk dengan cepat sekali, sedangkan kedua kakinya
berloncatan seperti gerakan kaki katak. Terdengar bunyi angin bercuitan
ketika kedua tangannya menusuk-nusuk.
Namun gerakan bayangan Suma Han yang tidak bertongkat itu tetap tenang
biar pun cepatnya membuat mata Bun Beng sukar mengikutinya. Bayangan
Pendekar Super Sakti ini mencelat ke sana-sini menghindarkan semua
tusukan jari tangan lawan, bahkan membalas dengan pukulan kedua tangan
yang mendatangkan angin sehingga kain panjang lebar yang menjadi pakaian
kakek hitam, hanya dibelitkan, berkibar oleh angin pukulan itu.
Tubuh kedua bayangan itu seolah-olah tidak menginjak tanah,
kadang-kadang keduanya membubung tinggi dan bertanding di udara,
kemudian turun lagi ke atas tanah. Bun Beng yang menonton pertandingan
itu menjadi bingung, sukar mengikuti gerakan kedua bayangan itu sehingga
dia tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa yang terdesak. Hanya dia
melihat Suma Han yang bersila itu masih duduk tenang tak bergerak
sedikit juga, kedua mata dipejamkan. Sedangkan kakek hitam yang bersila
itu matanya makin melotot mukanya mulai berpeluh dan kedua tangan yang
dirangkapkan di depan dada itu bergoyang menggigil sedikit.
Biar pun ada pertempuran yang demikian hebatnya, tidak terdengar suara
sedikit pun juga. Keadaan sunyi sekali, sama sunyinya seperti yang
dirasakan Kwi Hong yang hanya melihat dua orang sakti itu duduk bersila
berhadapan tanpa bergerak. Baik Kwi Hong mau pun Bun Beng yang
masing-masing bersembunyi di tempat terpisah dan tidak saling melihat,
merasa khawatir karena saking sunyinya, mereka itu hanya mendengar suara
pernapasan mereka sendiri yang tertahan-tahan!
Sementara itu, mereka yang saling bertanding mengadu kesaktian
mengerahkan seluruh kekuatan batin untuk menghimpit lawan. Diam-diam
Maharya terkejut bukan main. Kalau tadi, ketika ia memancing Pendekar
Siluman ke tempat itu kemudian ia tantang dan serang, dalam pertandingan
silat dia terdesak bahkan sampai terdorong dan terlempar jauh, dia
tidak menjadi penasaran karena memang dia sudah mendengar berita bahwa
Pendekar Siluman memiliki ilmu silat yang luar biasa dan tenaga sinkang
yang dahsyat. Maka dia lalu mengambil cara lain, yaitu menghadapi
lawannya dengan ilmu sihir dan ia merasa yakin pasti akan dapat menang.
Dia terkenal di negaranya sebagai seorang ahli sihir yang tangguh. Akan
tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat Pendekar Siluman menandinginya
dengan ilmu yang sama, bahkan kini ia merasa betapa kekuatan batinnya
terdesak hebat!
Kakek ini merasa penasaran sekali. Dalam hal mengadu kekuatan raga, dia
tidak pernah menemui tanding, apa lagi dalam mengadu kekuatan batin.
Kini, berhadapan dengan seorang lawan muda yang patut menjadi cucunya,
dia selalu tertindih, kalah lahir batin! Hampir dia tidak mau percaya
akan kenyataan itu dan dengan geram ia menggerakkan mulut yang tertutup
kumis itu berkemak-kemik, mengerahkan segala kekuatannya dan pandang
mata yang melotot itu seolah-olah mengeluarkan api!
Bun Beng yang kebetulan memandang kakek yang duduk bersila itu hampir
berteriak kaget melihat betapa sepasang mata kakek itu seperti
mengeluarkan api! Dia cepat menengok ke arah Suma Han dan melihat betapa
pendekar itu kelihatan mengerutkan alis, tidak tenang seperti tadi, dan
kedua lengannya yang dilonjorkan itu tergetar seolah-olah hendak
menambah tenaga yang keluar dari sepasang telapak tangannya.
Memang Suma Han juga terkejut sekali ketika tiba-tiba ia merasa betapa
kekuatan kakek lawannya itu menjadi berlipat! Hawa panas menyerangnya
sehingga ia cepat mengerahkan inti sari dari Swat-im Sinkang. Setelah
kedua tenaga panas dan dingin itu saling dorong-mendorong, akhirnya dia
merasa betapa hawa panas berkurang. Keningnya tidak berkerut lagi, akan
tetapi tampak beberapa tetes keringat membasahi dahi Suma Han.
Benar-benar hebat lawannya itu, pikirnya. Belum pernah selama hidupnya
dia bertemu dengan seorang lawan sehebat Kakek Maharya ini! Kalau dalam
hal ilmu silat dia hanya memang sedikit saja, dalam hal ilmu yang
didasari kekuatan batin, dia tidak berani mengatakan lebih kuat! Hanya
yang menguntungkan dirinya, kekuatan batin yang dimilikinya adalah
pembawaan dirinya, dibentuk oleh kekuatan alam dan dimatangkan dengan
ilmu sinkang dan pelajaran yang ia terima menurut petunjuk Koai-lojin.
Sedangkan kekuatan batin kakek lawannya itu dikuasainya oleh
latihan-latihan yang puluhan tahun lamanya. Betapa pun hebat usaha
manusia, mana mampu menandingi kekuatan dan kekuasaan alam? Maka dalam
pertandingan ini, Suma Han yang mengandalkan tenaga batin dari kekuasaan
alam, sukar untuk dikalahkan oleh kakek yang telah menjadi datuk dalam
ilmu sihir itu.
Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tampak tiga sinar putih yang
menyilaukan mata menyambar ke arah tubuh kakek hitam itu, menyambar muka
di antara mata, ulu hati dan pusar!
"Eigghhhh...!" Kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau,
tangannya yang tadinya dirangkap di depan dada bergerak dan mulutnya
terbuka.
Bun Beng terbelalak menyaksikan betapa kakek itu telah menangkap tiga
sinar itu yang ternyata adalah tiga batang pisau, ditangkap dengan kedua
tangan, sedangkan yang menyambar muka telah digigitnya! Bayangan kakek
yang bertanding melawan bayangan Suma Han telah lenyap masuk kembali ke
kepala kakek itu, demikian pula bayangan Suma Han telah lenyap. Sekali
menggerakkan tubuh, kakek itu sudah meloncat berdiri dan tampak tiga
sinar menyambar ke arah kirinya ketika ia melontarkan tiga batang pisau
itu ke arah dari mana datangnya pisau-pisau tadi. Kemudian ia meloncat
jauh dan lenyap, hanya terdengar suaranya.
"Pendekar Siluman! Lain kali kita lanjutkan!"
Sunyi keadaan di situ setelah kakek itu menghilang. Suma Han bangkit
berdiri bersandar kepada tongkatnya, menoleh ke arah dari mana datangnya
pisau-pisau tadi dan berkata, suaranya dingin dan penuh wibawa seperti
orang marah.
"Siapa yang telah berani lancang turun tangan tanpa diminta?"
Daun bunga bergerak dan muncullah seorang wanita amat cantik jelita dari
balik rumpun, berdiri di depan Suma Han tanpa berkata-kata. Keduanya
saling pandang dan berseru, suaranya menggetar penuh perasaan,
"Nirahai...!"
"Han Han...!"
Keduanya berdiri saling pandang dan sungguh pun dalam suara mereka
terkandung kerinduan yang mendalam, namun keduanya hanya saling pandang
dan dari kedua mata wanita cantik itu menetes air mata berlinang-linang.
"Han Han, bertahun-tahun aku menanti akan tetapi engkau tidak kunjung
datang menyusulku. Sampai kapankah aku harus menanti? Sampai dunia
kiamat? Han Han, aku isterimu!"
"Nirahai, engkau... telah pergi meninggalkan aku, membuat hatiku merana..."
"Memang aku pergi, akan tetapi engkau tidak melarang!"
"Aku... ah, aku tidak ingin memaksamu... aku... ahh..."
"Han Han, engkau laki-laki lemah! Engkau suami yang hanya tunduk dan
mengekor kepada isteri, engkau pria yang tidak tahu isi hati wanita.
Engkau... ahh, sakit hatiku melihatmu...!"
"Nirahai...!" Suma Han melangkah maju dan merangkul wanita itu.
Nirahai tersedu dan menyembunyikan muka di dada suaminya, membiarkan
Suma Han mengelus rambutnya, "Nirahai, aku cinta padamu. Demi Tuhan, aku
cinta padamu... akan tetapi karena engkau mempunyai cita-cita, aku
merelakan engkau pergi...."
"Ibuuuu...!" Terdengar teriakan girang dan muncullah Milana berlarian.
Mendengar teriakan ini, Nirahai melepaskan pelukan Suma Han dan
menyambut Milana dengan tangan terbuka, lalu memondong anak itu dan
menciuminya penuh kegirangan, "Milana...! Anakku...! Ahhh, sukur engkau
selamat. Betapa gelisah hatiku mendengar laporan Pamanmu tentang mala
petaka di laut itu!"
Suma Han memandang dengan wajah pucat sekali.
"Nirahai!" Dia membentak, suaranya mengguntur, mengagetkan Kwi Hong dan
Bun Beng di tempat persembunyian masing-masing di mana kedua orang anak
ini tertegun menyaksikan adegan pertemuan antara Suma Han dan isterinya
yang tidak mereka sangka-sangka itu. "Engkau perempuan rendah, isteri
tidak setia! Kau meninggalkan aku dan tahu-tahu telah mempunyai seorang
anak! Ahhh, betapa menyesal hatiku telah mentaati perintah mendiang
Subo...!"
Setelah berkata demikian, dengan pandang mata penuh jijik dan kebencian
Suma Han membalikkan tubuhnya dan pergi berjalan terpincang-pincang
meninggalkan Nirahai. Nirahai menjadi pucat, terbelalak dan menurunkan
Milana yang berdiri memeluk pinggang ibunya dan bertanya.
"Ibu...! Dia siapa...? Mengapa To-cu Pulau Es itu marah-marah kepadamu?"
Nirahai menangis mengguguk. "Dia... dia adalah Ayahmu..." Suaranya
gemetar dan ia menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis
tersedu-sedu.
Milana cepat menoleh, kemudian lari meninggalkan ibunya dan mengejar Suma Han sambil menjerit. "Ayaaahhh...! Ayah...!"
Mendengar jeritan anak itu, cepat Suma Han membalik, mengira bahwa dia
tentu akan melihat munculnya laki-laki yang menjadi ayah dari anak
Nirahai itu. Akan tetapi, ia menjadi bingung dan terheran-heran ketika
melihat anak itu mengejarnya, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan
memeluk kakinya sambil menangis dan memanggil-manggil. "Ayaahh...
ayaahku...!"
Suma Han terbelalak memandang bocah yang menangis memeluki kaki
tunggalnya, kemudian mengangkat muka memandang Nirahai yang masih
menangis tersedu-sedu menutupi muka dengan kedua tangan sambil berlutut
di atas tanah.
"Heh...! Apa...! Bagaimana...? Engkau... anak siapa...?"
"Ayah... engkau Ayahku... aku anak Ayah dan Ibu....," Milana mengangkat muka.
Tubuh Suma Han menggigil. Ia menyambar tubuh Milana, diangkat dan
dipondongnya. "Anakku? Engkau... anakku...?" Ia menciumi muka bocah itu.
Milana tertawa dengan air mata bercucuran, merangkul leher pendekar yang dikagumi dan yang dirindukan itu.
Suma Han berpincang melangkah ke depan Nirahai. "Nirahai... benarkah ini? Dia... dia ini... anakku...?"
Nirahai mengangguk, lalu mengusap air matanya. "Ketika kita saling
berpisah... aku mengandung dan... terlahirlah Milana... anak kita..."
"Nirahai, engkau kejam, engkau tidak adil. Diam-diam saja engkau
memelihara anak kita sampai begini besar. Tidak memberitahukan kepadaku,
tidak menyusulku. Betapa kejam engkau."
Nirahai meloncat bangun, pandang matanya penuh penasaran. "Siapa yang
kejam? Engkaulah yang kejam, lemah dan canggung! Engkau tidak pernah
mencariku, tidak pernah menyusulku ke Mongol!"
Melihat ayah bundanya cekcok, Milana yang berada di pondongan ayahnya itu berkata, "Ayah, marilah engkau ikut bersama kami..."
"Dan menjadi seorang Pangeran Mongol? Ha-ha, nanti dulu! Aku tidak sudi!
Mestinya ibumu yang ikut bersamaku ke Pulau Es. Nirahai, maukah
engkau?"
Akan tetapi Nirahai memandang dengan muka merah dan berapi. "Tidak sudi!
Kini aku tidak mau menyembah-nyembah minta kau bawa. Dan hanya dengan
paksaan saja engkau akan dapat membawaku ke sana. Dengan paksaan, kau
dengar? Aku sudah cukup menderita dan sakit hati karena kau biarkan,
seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki lemah! Milana, mari
kita pergi!"
"Tidak boleh, Nirahai. Milana ini anakku. Sudah terlalu lama dia kau
pelihara sendiri, terlalu lama kau pisahkan dari Ayahnya. Aku akan
membawa dia, tak peduli engkau suka ikut atau tidak!"
"Ayah...! Aku tidak mau meninggalkan Ibu!" Milana merosot turun dari pondongan dan hendak lari kepada ibunya.
Akan tetapi Suma Han mendengus marah, lengan kanannya menyambar tubuh
Milana, dikempitnya dan dia lalu pergi dengan cepat meninggalkan
Nirahai.
"Han Han...!" Nirahai menjerit dan mengejar. Namun Suma Han tidak
peduli, wajahnya keruh, matanya hampir terpejam, kaki tunggalnya
melangkah terus ke depan.
"Lepaskan aku! Ayahhhh... aku tidak mau meninggalkan Ibu...!" Milana
menjerit-jerit. Akan tetapi Suma Han terus saja melangkah tanpa
mempedulikan jerit anaknya.
Tiba-tiba Bun Beng meloncat dan menghadang di depan Suma Han, berdiri
tegak dan suaranya nyaring penuh rasa penasaran, "Suma-taihiap! Seorang
pendekar seperti Taihiap tidak boleh berlaku begini! Memisahkan anak
dari ibunya adalah perbuatan jahat! Kalau Taihiap berkepandaian, mengapa
tidak membawa Ibunya sekalian?"
Suma Han terbelalak, mukanya berubah merah saking marahnya. "Gak Bun
Beng! Engkau anak tidak syah dari datuk kaum sesat Kang-touw-kwi Gak
Liat, berani engkau bersikap seperti ini kepadaku! Sebelum menutup mata,
Ibumu berpesan kepadaku untuk menyelamatkanmu, dan sekarang engkau
mengatakan aku jahat?"
Jantung Bun Beng seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan ini. Ayahnya
seorang datuk kaum sesat? Dia anak tidak syah? Tidak ada ucapan yang
lebih menyakiti hatinya dari pada ini dan tidak ada kenyataan yang akan
lebih menghancurkan hatinya. Namun kekerasan hati Bun Beng membuat ia
tetap berdiri tegak dan berkata,
"Keturunan orang macam apa adanya aku, Suma-taihiap, tetap saja aku
melarang engkau memisahkan Milana dari Ibunya! Biar akan kau bunuh aku
siap!" Sikap Bun Beng gagah sekali biar pun kedua matanya kini
mengalirkan butiran-butiran air mata.
"Han Han...! Kau bunuh aku dulu sebelum melarikan anakku!" Nirahai telah
meloncat menghadang pula di depan Suma Han, mencabut sebatang pedang
siap untuk mengadu nyawa! Juga kedua mata wanita cantik ini bercucuran
air mata.
"Paman...!" Kwi Hong yang sejak tadi memandang dengan tubuh gemetar
saking tegang hatinya, kini berani meloncat ke luar dan menghampiri Suma
Han, berlutut sambil menangis.
"Ayah... aku tidak mau berpisah dari Ibu...!" Milana yang masih dikempit oleh lengan ayahnya itu pun meratap sambil menangis.
Suma Han berdiri seperti berubah menjadi arca. Suara isak tangis
menusuk-nusuk telinganya terus ke hati, linangan air mata seperti
butiran-butiran mutiara itu mempesonanya. Kekuatan batin dan kekerasan
hatinya mencair, seperti salju tertimpa sinar matahari.
Tidak ada suara bagi manusia di dunia ini melebihi kekuasaan suara
tangis! Tangis adalah suara jeritan hati dan jiwa. Tangis adalah suara
pertama yang dikenal dan suara pertama yang keluar dari mulut manusia.
Tangis merupakan suara pertama dari manusia tanpa dipelajarinya. Begitu
terlahir, suara pertama dari manusia adalah tangis. Tangis merupakan
suara langsung dari dalam sehingga setiap orang anak yang terlahir di
segenap penjuru dunia mempunyai suara tangis yang sama. Tangis adalah
satu-satunya suara yang mampu menembus jantung dan menyentuh batin
manusia, juga dengan ratap tangis orang berusaha menghubungkan diri
dengan Tuhan!
Lemas seluruh urat syaraf di tubuh Suma Han mendengar isak tangis empat
orang manusia itu. Tubuh Milana dilepaskan dan anak ini berlari kepada
ibunya, merangkul dan menangis. Nirahai lalu memondong puterinya,
memandang kepada Suma Han dan berkata,
"Selama engkau masih menjadi seorang laki-laki yang berwatak lemah, aku
tidak akan sudi turut bersamamu, bahkan aku akan mengimbangi kerajaanmu
di Pulau Es!" Setelah berkata demikian, Nirahai meloncat dan berlari
cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.
Suma Han menundukkan mukanya. Untuk ke dua kalinya dia terpukul. Pertama
kali ketika bertemu dengan Lulu yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka.
Dia dicela dan dimarahi. Kini bertemu dengan isterinya, Nirahai,
kembali dia dicela dan dimusuhi. Benar-benar dia tidak mengerti isi hati
wanita!
"Kwi Hong, kita pulang!" Dia berkata, menggandeng tangan Kwi Hong dan berlari pergi cepat.
Bun Beng menjadi bengong. Dia tidak menyesal ditinggal seorang diri,
akan tetapi dia masih merasa sakit hatinya mendengar ucapan Suma Han
tadi. Masih terngiang di telinga kata-kata pendekar yang tadinya amat
dikaguminya itu, "Engkau anak tidak syah dari datuk kaum sesat
Kang-thouw-kwi Gak Liat!"
Bun Beng menunduk, mencari-cari jawaban ke bawah, akan tetapi rumput dan
tanah yang diinjaknya tidak dapat memberi jawaban. Ayahnya seorang
datuk kaum sesat? Dan dia anak tidak syah? Apa artinya ini?
"Ah, mengapa aku menjadi lemah begini? Apa peduliku tentang asal-usulku?
Aku adalah seorang manusia, dan aku menjadi mausia bukan atas
kehendakku! Aku sudah ada dan aku harus bangga dengan keadaanku, harus
berjuang mempertahankan keadaanku dan menyempurnakan keadaanku! Mereka
itu pun hanya manusia-manusia yang ternyata bukan terbebas dari pada
derita, bukan bersih dari pada cacat! Kekalahanku dari orang-orang sakti
seperti Pendekar Siluman, isterinya, pencuri pedang, dan kakek-kakek
sakti seperti mendiang Nayakavhira dan Maharya tadi hanyalah kalah
pandai dalam penguasaan ilmu! Akan tetapi ilmu dapat dipelajari!”
Mereka semua itu, dahulu sebelum mempelajari ilmu pun tidak bisa apa-apa
seperti dia! Dan dia masih muda, apa lagi sedikit-sedikit pernah
mempelajari ilmu, dan ada kitab yang telah dihafal namun belum
dilatihnya dengan sempurna, ada sepasang pedang yang disembunyikan di
puncak tebing. Sepasang pedang pusaka! Pedang yang mengeluarkan sinar
mengerikan, seperti pedang yang dibuat oleh Suma Han. Jangan-jangan itu
adalah Sepasang Pedang Iblis yang mereka cari-cari bahkan yang khusus
dibuatkan pedang lawannya oleh Nayakavhira. Biarlah. Biar, andai kata
sepasang pedang itu adalah Sepasang Pedang Iblis, kelak dia akan
memperlihatkan kepada dunia bahwa di tangannya, sepasang pedang itu
tidak akan menjadi senjata yang dipakai melakukan perbuatan jahat!
Bangkit semangat Bun Beng dan mulailah dia meninggalkan tempat itu untuk
kembali ke Siauw-lim-pai. Dia harus melapor akan kematian suhu-nya
kepada pimpinan Siauw-lim-si dan mempelajari ilmu dengan tekun karena
menurut penuturan mendiang suhu-nya, kalau mempelajari benar-benar
secara sempurna dan memang ada jodoh, ilmu silat dari Siauw-lim-pai
tidak kalah oleh ilmu silat lain di dunia ini.
Pernah gurunya bercerita tentang tokoh Siauw-lim-pai bernama Kian Ti
Hosiang yang memiliki tingkat kepandaian luar biasa tingginya sehingga
saking tinggi ilmu kepandaiannya, sampai tidak mau lagi melayani orang
bertanding, bahkan tidak mau membalas andai kata dia dilukai atau
dibunuh sekali pun! Pernah pula gurunya bercerita tentang manusia dewa
Bu Kek Siansu yang selain tidak mau bertempur melukai apa lagi membunuh
orang lain, bahkan sering kali menurunkan ilmunya kepada siapa saja yang
kebetulan bertemu dengannya, yang dianggap sudah jodoh, tanpa memandang
apakah orang itu termasuk golongan baik ataupun jahat, bersih atau pun
kotor!
Sikap manusia dewa ini seperti sikap kasih sayang alam, di mana sinar
matahari tidak menyembunyikan sinarnya dari atas kepada orang jahat mau
pun orang baik, di mana pohon-pohon tidak menyembunyikan bunga dan
buahnya dari uluran tangan orang jahat mau pun orang baik! Kemudian
gurunya bercerita pula tentang manusia aneh Koai-lojin yang kabarnya
malah masih suka muncul biar pun belum tentu ada seorang di antara
sepuluh ribu tokoh kang-ouw yang dijumpai manusia aneh ini, yang
kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang seperti dewa pula namun tidak mau
bertempur, melukai, apa-lagi membunuh orang.
Dia masih muda. Dunia masih lebar. Masa depannya masih terbentang luas.
Mengapa langkah hidupnya harus terhalang oleh masa lalu mengenai diri
orang tuanya! Baik mau pun jahat orang tuanya, biarlah. Hal itu sudah
lalu dan yang ia hadapi adalah masa depan. Masa lalu penuh kejahatan
akan tetapi masa depan penuh kebaikan, bukankah hal itu jauh lebih
menang dari pada masa lalu penuh kebaikan namun masa depan penuh
kejahatan? Apa arti bersih masa lalu akan tetapi amat kotor di masa
depan, dan biarlah dia menganggap masa lalu sebagai alam mimpi, sungguh
pun dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di masa lalu, yang
terjadi dengan ayah bundanya. Makin dijalankan pikirannya, makin
lapanglah dadanya dan langkahnya pun tegap, wajahnya berseri dan
sepasang matanya bersinar.
Setelah dia berhasil tiba di kuil Siauw-lim-si dan menceritakan tentang
kematian suhu-nya, berita ini diterima dingin oleh para hwesio pimpinan
Siauw-lim-pai yang menganggap bahwa kakek itu sudah bukan seorang
anggota Siauw-lim-pai lagi. Akan tetapi mengingat bahwa Gak Bun Beng
adalah putera seorang tokoh wanita Siauw-lim-pai, dan betapa pun juga
Siauw Lam Hwesio adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi,
para pimpinan Siauw-lim-pai tidak berkeberatan menerima Bun Beng.
Pemuda cilik itu mulai berlatih dengan giat di samping bekerja keras
seperti yang pernah dilakukan gurunya, yaitu menjadi pelayan, tukang
kebun, dan pekerjaan apa saja untuk melayani keperluan kuil dan membantu
para hwesio.....
Nirahai, bekas puteri Raja Mancu yang berwatak keras dan berilmu tinggi
itu kini sudah berhenti menangis. Kekerasan hatinya dapat menindih
kedukaan dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menghadapi orang
yang dicintanya namun yang selalu mengalah dan berwatak lemah itu dengan
kekerasan. Di tengah jalan, dia menurunkan puterinya untuk memakai
sebuah kerudung menutupi kepalanya. Melihat ini, Milana terkejut dan
heran.
"Ibu, mengapa Ibu memakai itu?"
Dari dalam kerudung itu terdengar jawaban suara dingin seolah-olah
ibunya telah berubah tiba-tiba setelah berkerudung, "Milana, mulai saat
ini engkau akan turut bersamaku, tidak akan kembali ke Mongol lagi.
Ketahuilah, ibumu adalah Ketua Thian-liong-pang dan tidak seorang pun
boleh melihat mukaku kecuali engkau."
Milana memandang kepala berkerudung itu dengan mata terbelalak, "Ibu...!
Engkau Ketua Thian-liong-pang yang terkenal itu...? Akan tetapi
mengapa...?" Hati anak ini ngeri karena Thian-liong-pang disohorkan
sebagai perkumpulan yang tidak segan-segan melakukan segala macam
kekejaman sehingga ditakuti dunia kang-ouw.
"Diamlah. Kalau kita tidak kuat, orang tidak akan memandang kepada kita!
Engkau ikut bersamaku dan belajar ilmu sampai melebihi Ibumu. Hayo!"
Dia menggandeng tangan Milana dan lari cepat sekali.
Ada pun Suma Han yang membawa lari murid atau keponakannya, di sepanjang
jalan tidak pernah bicara. Wajahnya muram dan dalam beberapa pekan saja
bertambah garis-garis derita pada wajahnya. Karena sepasang burung
garuda sudah tewas, mereka melakukan perjalanan darat dan setelah tiba
di pantai, Suma Han mencari sebuah perahu yang dibelinya dari nelayan,
kemudian memperkuat perahu dan mulailah dia berlayar bersama Kwi Hong
menuju ke pulau tempat tinggalnya, yaitu Pulau Es.
Dalam pelayaran ini barulah Suma Han mengajak bicara keponakannya.
Dengan penuh perhatian dia mendengarkan cerita Kwi Hong tentang
peristiwa yang terjadi di hutan, betapa pencuri pedang pusaka adalah
seorang siucai gila yang lihai sekali, bahkan siucai itu tadinya
menculiknya yang kemudian dikalahkan oleh Nirahai dan melarikan diri
membawa pedang pusaka.
"Aihhhh... kiranya dia...!" Suma Han menghela napas penuh penyesalan
karena segala yang dialaminya di masa dahulu agaknya hanya menimbulkan
bencana saja bagi dirinya sendiri dan orang lain. Apakah dia yang harus
menebus dosa yang dilakukan nenek moyangnya, keluarga Suma yang luar
biasa jahatnya?
"Apakah Paman mengenal Siucai gila itu?"
"Banyak yang sudah kau ketahui, Kwi Hong. Engkau tentu mengenal siapa
Pamanmu sekarang, seorang yang penuh noda dalam hidupnya. Orang gila itu
agaknya tidak salah lagi tentu yang disebut Tan-siucai dan menjadi
muridnya Maharya. Aku belum pernah melihat orangnya, akan tetapi namanya
sudah kudengar."
"Paman, dia bilang bahwa Paman telah membunuh kekasihnya, tunangan atau calon isterinya. Tentu Si Gila itu bohong!"
Suma Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Terbayang di
depan matanya seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, yang dalam
keadaan hampir tewas karena tubuhnya penuh dengan anak panah yang
menancap di seluruh tubuh, berbisik dalam pelukannya bahwa gadis itu
rela mati untuknya karena gadis itu mencintanya. Hoa-san Kiam-li Lu Soan
Li, murid Im-yang Seng-cu yang perkasa, yang telah berkorban untuk dia,
dan sebelum menghembuskan napas terakhir mengaku cinta. Gadis itu
adalah tunangan Tan-siucai! Dia sudah diberi tahu oleh Im-yang Seng-cu,
akan tetapi tadinya dia tidak peduli. Siapa mengira, begitu muncul
Tan-siucai telah mencuri pedang pusaka, hampir berhasil menculik Kwi
Hong, dan gurunya demikian saktinya sehingga kalau dia tidak memiliki
kekuatan batin yang kuat, agaknya dia akan tewas di tangan Maharya!
"Dia tidak membohong, Kwi Hong. Biar pun aku tidak membunuh tunangannya,
akan tetapi dapat dikatakan bahwa tunangannya itu tewas karena membela
aku. Ahhh, sungguh aku menyesal sekali. Akan tetapi, kalau Tan-siucai
sudah menjadi gila, dia telah merampas pedang pusaka, dia berbahaya
sekali. Pedang itu sengaja dibuat untuk menundukkan Sepasang Pedang
Iblis."
"Kenapa Paman hendak pulang? Bukankah lebih baik mengejar dia sampai berhasil merampas kembali pedang itu?"
Kembali Suma Han menggeleng kepala. "Semangatku lemah, aku tidak
mempunyai nafsu untuk berbuat apa-apa, kecuali pulang dan beristirahat.
Kwi Hong, mulai sekarang engkau harus berlatih diri dengan tekun dan
rajin. Tugasmu di masa mendatang amat berat dengan munculnya banyak
orang pandai. Jangan sekali-kali kau melarikan diri dari pulau lagi
karena aku tidak akan mengampunkanmu lagi."
Demikianlah, dengan semangat lemah dan hati remuk akibat
pertemuan-pertemuannya dengan Lulu dan Nirahai, dua orang wanita yang
dicintanya, yang pertama karena dicintanya semenjak kecil, yang kedua
karena telah menjadi isterinya, bahkan menjadi ibu dari anaknya, Suma
Han mengajak keponakannya pulang ke Pulau Es. Dia lalu memerintahkan
anak buahnya untuk tidak mencampuri urusan luar, hanya melatih diri dan
memperkuat penjagaan di pulau sendiri. Kemudian, mulai hari itu dia
melatih ilmu kepada Kwi Hong dengan penuh ketekunan sehingga anak
perempuan ini memperolah kemajuan yang pesat sekali.
********************
Semenjak jatuhnya pertahanan terakhir dari Bu Sam Kwi di Se-cuan sebagai
sisa kekuatan dari Kerajaan Beng-tiauw yang jatuh beberapa tahun
setelah Bu Sam Kwi tewas, yaitu pada tahun 1681, terjadilah perubahan
besar di daratan Tiongkok yang kini dikuasai seluruhnya oleh Kerajaan
Ceng, yaitu pemerintah yang dipimpin oleh Bangsa Mancu. Sebentar saja
kekuatan bangsa Mancu makin berakar dan lambat laun makin berkuranglah
rasa kebencian dan permusuhan dari rakyat terhadap pemerintah penjajah
ini.
Hal ini adalah terutama sekali disebabkan bangsa Mancu amat pandai
menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebudayaan di Tiongkok. Menyaksikan
kenyataan betapa besar dan hebat kebudayaan daratan yang dijajahnya,
biar pun menjadi penjajah, mereka menerima kebudayaan itu dan bahkan
melebur diri mereka seperti keadaan para pribumi. Mereka mempelajari
bahasa pribumi, bahkan anak isterinya menggunakan bahasa ini sehingga
dalam satu keturunan saja anak-anak mereka sudah tidak pandai lagi
berbahasa Mancu dan menganggap bahasa Han sebagai bahasa mereka sendiri!
Kerajaan Ceng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa Mancu ini makin berkembang
dan mencapai puncak kecemerlangannya di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi
yang memerintah dari tahun 1663 sampai 1722. Kaisar ini adalah seorang
ahli negara yang cakap, pandai dan bijaksana. Di samping ini dia pun
seorang ahli perang yang mengagumkan sehingga semua operasinya berhasil
dengan baik, juga tidak terdapat rasa tidak puas di antara
petugas-petugas bawahannya. Di samping ini, dia pun penggemar kebudayaan
sehingga berhasil menarik pula hati para sastrawan pribumi yang
mendapat penghargaan dalam bidangnya.
Di bawah pimpinan Kaisar ini, Tiongkok mencapai kekuasaan yang amat
besar, jauh lebih besar dari pada kerajaan-kerajaan sebelumnya dan
kiranya malah lebih besar dari pada keadaan Tiongkok di waktu Kerajaan
Tang. Pertama-tama Kaisar Kang Hsi mengerahkan perhatian untuk membasmi
gerombolan-gerombolan dan pemberontak-pemberotak, menghabiskan semua
perlawanan sehingga perang dihentikan dan keamanan dapat dikembalikan.
Dalam keadaan aman, rakyat dapat bekerja dengan tenang dan pembangunan
dapat dilaksanakan sebaiknya.
Namun setelah gerombolan-gerombolan di dalam negeri bisa ditumpas semua,
Kaisar Kang Hsi harus menghadapi perlawanan dari negara-negara tetangga
yang tidak mengakui kedaulatan kerajaan baru ini. Maka dikirimnyalah
tentara besar sampai jauh ke selatan dan barat daya sehingga banyak
negara di selatan dan barat daya ditundukkan dan terpaksa mengakui
kedaulatan Kerajaan Ceng, bahkan mengaku takluk dan setiap tahun
membayar atau mengirim upeti sebagai tanda takluk. Di antara
negara-negara ini termasuk Afganistan, Kasmir, Birma, Muangthai,
Vietnam, Kamboja, bahkan termasuk pula Malaysia!
Akan tetapi, selagi Kaisar Kang Hsi sibuk mengatur kesejahteraan dalam
negeri untuk memakmurkan kehidupan rakyat yang baru saja dilanda perang
itu, meningkatkan dan memperkembangkan kesenian melukis, sastra, dan
lain-lain di samping mempergiat pembangunan, datang lagi gangguan yang
memaksa Kaisar ini menggerakkan bala tentara dan mencurahkan sebagian
perhatiannya ke utara, di mana bangsa Mongol mulai bergerak dan
memberontak terhadap pemerintah Mancu.
Seperti telah diceritakan dan menjadi catatan sejarah, ketika bangsa
Mancu mulai bergerak ke selatan, mereka dibantu dengan gigih oleh bangsa
Mongol sebagai bangsa yang pernah lama menjajah Tiongkok dan masih
ingin menguasai kembali bekas tanah jajahan itu. Karena kekuatannya
sendiri sudah hancur, bangsa Mongol tahu diri dan membonceng bangsa
Mancu, namun harus diakui bahwa kekuatan bala tentara menjadi amat besar
dan hebat berkat bantuan pasukan-pasukan Mongol ini.
Akan tetapi, setelah bangsa Mancu berkuasa dan membangun Kerajaan Ceng,
dengan tidak melupakan dan memberi kedudukan istimewa kepada bangsa
Mongol sebagai bangsa serumpun dan setingkat, mulailah bangsa Mongol
merasa kecewa. Bangsa Mongol melihat kecenderungan bangsa Mancu yang
melebur diri dengan kebiasaan orang-orang Han sehingga makin lama mereka
itu menjadi makin erat hubungannya dengan rakyat, sedangkan rakyat
masih tidak dapat melupakan penjajahan bangsa Mongol yang banyak
menyengsarakan rakyat dahulu. Maka bangsa Mongol merasa makin lama makin
tersudut, maka mulailah pemberontakan bangsa ini terhadap bangsa Mancu.
Pemberontakan meletus pada tahun 1680 pada saat Se-cuan sudah tiba di
ambang kekalahannya. Sehingga begitu Secuan sudah dijatuhkan, kembali
pemerintah Mancu yang dipimpin oleh Kaisar Kang Hsi itu harus menghadapi
pemberontakan yang besar dan gigih yang dipimpin oleh seorang pangeran
Mongol yang bernama Galdan.
Sepuluh tahun lewat dengan cepatnya semenjak peristiwa pertemuan antara
Pendekar Super Sakti Suma Han dan Nirahai isterinya, pertemuan yang amat
menyedihkan dan mengharukan. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek,
namun juga tak dapat dikatakan waktu yang lama, tergantung dari pendapat
masing-masing bertalian dengan keadaan dan pengalaman. Dalam waktu
selama itu, banyak memang yang telah terjadi di dunia, khususnya di
dunia kang-ouw yang kembali menjadi kacau dan geger berhubung dengan
adanya perang antara pemerintah melawan bangsa Mongol.
Kembali dunia kang-ouw terpecah belah, ada yang membela Pemerintah Ceng,
ada pula yang membantu pemberontak, bukan karena suka kepada bangsa
Mongol, melainkan kesempatan itu mereka pergunakan untuk melawan
penjajah. Akan tetapi karena tidak ada peristiwa penting terjadi atas
diri para tokoh penting cerita ini yang berdiam di tempat masing-masing
menggembleng murid atau anak masing-masing, maka biarlah waktu sepuluh
tahun itu kita lewati saja.
Pemberontakan bangsa Mongol sudah berjalan belasan tahun. Perang menjadi
berlarut-larut karena selain bangsa Mongol memang memiliki bala tentara
yang terlatih dan kuat, mereka dibantu banyak orang pandai dari dunia
kang-ouw. Bahkan banyak pula orang sakti dari negara-negara tetangga
yang dipaksa mengirim upeti kepada Pemerintah Ceng, diam-diam membantu
bangsa Mongol dalam usaha mereka membalas dendam atas kekalahan
negaranya.
Di dunia persilatan memang terjadi perubahan akan kekacauan seperti
telah diceritakan tadi. Diam-diam di antara mereka pun mengadakan
‘perang’ sendiri, menggunakan kesempatan selagi pemerintah kurang
memperhatikan keadaan mereka karena pemerintah sendiri sedang sibuk
menghadapi musuh kuatnya, yaitu pasukan-pasukan Mongol. Pula, pemerintah
juga mempunyai banyak kaki tangan di antara golongan kang-ouw ini
sehingga mereka menyerahkan penguasaan keadaan kepada kaki tangan mereka
yang dalam hal ini diwakili dan dipimpin oleh Koksu sendiri dengan para
pembantunya yang lain!
Namun yang lebih menonjol dan yang menggegerkan dunia persilatan adalah
nama besar Thian-liong-pang yang kabarnya makin kuat saja sehingga tidak
ada pihak yang berani main-main kalau bertemu dengan orang
Thian-liong-pang. Bahkan banyak yang sudah menjadi jeri kalau mendengar
nama Thian-liong-pang yang diketuai seorang wanita aneh berkerudung yang
memiliki ilmu silat dahsyat. Banyak sudah ketua-ketua partai persilatan
merasakan kelihaian Thian-liong-pang. Banyak yang dikalahkan oleh
tokoh-tokoh Thian-liong-pang, padahal ketuanya sendiri belum pernah
maju, juga wakilnya dan para pelayan wanita yang kabarnya memiliki ilmu
yang sukar dicari bandingnya!
Terdengar berita bahwa Thian-liong-pang mempunyai niat menggabungkan
partai-partai persilatan di bawah naungan Thian-liong-pang, seolah-olah
perkumpulan ini hendak menyaingi gerakan Pemerintah Ceng yang
menaklukkan negara-negara tetangga yang takluk dan mengakui
kedaulatannya serta berlindung di bawah naungannya dengan membayar upeti
setiap tahun! Tentu saja niat ini menemukan banyak tentangan. Terutama
partai-partai besar yang sudah berdiri ratusan tahun seperti
Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan
besar, tentu saja mereka ini tidak sudi menjadi ‘anak buah’
Thian-liong-pang!
Selagi dunia kang-ouw geger karena sepak terjang Thian-liong-pang,
tersiar lagi berita yang menimbulkan heboh dengan munculnya orang-orang
Pulau Neraka yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah muncul lagi.
Orang-orang Pulau Neraka dengan warna-warni muka mereka yang aneh
menimbulkan kegoncangan di mana-mana karena mereka itu memang sengaja
mendarat untuk menguji ilmu-ilmu mereka dengan tokoh-tokoh kang-ouw!
Yang tetap tidak terdengar hanya Pulau Es. Tidak ada lagi orang kang-ouw
melihat munculnya orang dari Pulau Es, bahkan mendengar berita pun
tidak, karena Pulau Es agaknya sudah memutuskan hubungan mereka dengan
dunia luar pulau mereka bertahun-tahun.
Di antara partai-partai persilatan besar yang heboh oleh berita-berita
itu, Siauw-lim-pai sendiri tetap tenang-tenang saja. Memang
Siauw-lim-pai adalah sebuah partai persilatan yang amat besar, paling
banyak cabang-cabangnya, paling banyak kuil-kuilnya, tersebar di
mana-mana dan memiliki jumlah anak murid yang amat banyak pula. Belum
pernah ada partai lain berani mengganggu Siauw-lim-pai. Bahkan
orang-orang Thian-liong-pang agaknya juga tidak berani sembarangan main
gila terhadap Siauw-lim-pai! Kalau toh terjadi bentrokan, hal itu hanya
terjadi antara anak murid saja dan pihak Siauw-lim-pai yang memegang
keras disiplin di antara anak muridnya, dengan bijaksana dapat
memadamkan bentrokan-bentrokan kecil itu dengan menghukum anak murid
sendiri yang melakukan pelanggaran.
Pada waktu itu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio
tinggi besar berusia lima puluh lima tahun lebih berjuluk Ceng Jin
Hosiang. Biar pun tubuhnya tinggi besar menyeramkan, namun wataknya
halus dan hwesio tua ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kitab-kitab
rahasia Siauw-lim-pai banyak sekali, kitab-kitab kuno yang mengandung
pelajaran ilmu-ilmu amat tinggi dan sukar sekali dipelajari sehingga
hanya sedikit saja yang mampu menguasai isinya.
Ketika Kian Ti Hosiang masih hidup, dialah satu-satunya hwesio di
Siauw-lim-pai yang benar-benar telah menguasai sebagian besar ilmu yang
tinggi-tinggi dan sukar dipelajari itu. Kini, karena bakatnya dan
menurut kepercayaan lingkungan Siauw-lim-pai, karena jodoh, ketua inilah
yang dapat menguasai sebagian dari isi kitab-kitab suci dan rahasia
itu. Sungguh pun belum dapat dibandingkan dengan Kian Ti Hosiang, namun
setidaknya tingkat kepandaian Ceng Jin Hosiang jauh melampaui
saudara-saudaranya, bahkan dia memiliki tingkat lebih tinggi dari pada
mendiang Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang lalu.
Selain lihai ilmu silatnya dan tinggi ilmu batinnya, Ceng Jin Hosiang
mempunyai kewaspadaan. Pada suatu hari dia datang ke kuil cabang
Siauw-lim-pai di mana Bun Beng bekerja sebagai pelayan. Melihat Bun Beng
dia tertarik sekali, apa lagi ketika mendengar bahwa anak itu adalah
putera mendiang Siauw-lim Bi-kiam Bhok Kim, seorang di antara Kang-lam
Sam-eng, segera Ketua Siauw-lim-pai ini menyuruh Bun Beng untuk ikut
bersamanya ke kuil pusat Siauw-lim-pai. Ceng Jin Hosiang melihat bakat
yang baik sekali, juga hati nuraninya membisikkan bahwa anak ini
‘berjodoh’ dengannya, maka dia lalu mengambil Bun Beng sebagai murid.
Selama delapan tahun dia menggembleng Bun Beng yang sebelumnya sudah
menerima gemblengan dasar dari Siauw Lam Hwesio, maka tentu saja anak
ini memperoleh kemajuan yang luar biasa.
"Bun Beng, kini tiba saatnya yang telah lama kau nanti-nanti dan baru
sekarang pinceng ijinkan, yaitu engkau boleh keluar dari kuil untuk
meluaskan pengetahuan dan mengambil jalanmu sendiri tanpa kekangan dari
peraturan di sini yang pinceng adakan," kata Ketua Siauw-lim-pai yang
duduk bersila di hadapan muridnya yang ia panggil menghadap.
Dapat dibayangkan betapa girang hati Bun Beng mendengar ini. Sudah lama
sekali ia ingin untuk diperbolehkan keluar dari kuil, namun gurunya
selalu melarang dan mengatakan belum tiba saatnya. Padahal semua ilmu
yang diajarkan gurunya telah dipelajarinya semua.
"Terima kasih, Suhu. Sesungguhnya teecu merasa gembira sekali."
Hwesio tua itu mengangguk dan tertawa. "Pinceng tahu dan tidak
menyalahkanmu. Usiamu sudah dua puluh dua tahun dan sebagai seorang
pemuda, engkau yang tidak berbakat sebagai pendeta tentu bernafsu sekali
untuk berkelana di dunia ramai. Kepandaianmu telah mencapai tingkat
lumayan, bahkan tidak ada ilmu yang kuketahui belum kuajarkan kepadamu.
Engkau hanya kurang pengalaman dan kurang matang latihan, akan tetapi
kalau engkau rajin, dalam beberapa tahun lagi engkau sudah akan
melampaui aku."
"Teecu berhutang budi kepada Suhu, semua kemajuan teecu adalah berkat bimbingan Suhu."
"Sudahlah, tidak perlu semua pujian itu. Sekarang kita bicara tentang
hal yang amat penting. Setelah engkau berhasil mempelajari ilmu dari
pinceng, sudah menguasai ilmu-ilmu itu, lalu setelah engkau meninggalkan
ini, semua ilmu yang kau kuasai itu hendak kau pergunakan apakah?"
Ditanya secara mendadak seperti itu, Bun Beng gelagapan! Yah, untuk
apakah dia mempelajari semua ilmu itu dengan susah payah selama
bertahun-tahun? Tiba-tiba teringat akan kematian Siauw Lam Hwesio,
gurunya yang pertama, yang juga terhitung supek dari Ceng Jin Hosiang,
maka dengan hati tetap ia menjawab,
"Ilmu yang teecu kuasai berkat bimbingan Suhu akan teecu pergunakan
untuk mencari musuh-musuh mendiang Suhu Siauw Lam Hwesio dan membalas
dendam kematiannya di tangan mereka!"
"Omitohud..., sudah kuduga engkau akan menjawab seperti itu. Akan tetapi
engkau keliru kalau memiliki niat seperti itu, Bun Beng. Dan pinceng
akan melarangmu meninggalkan kuil kalau seperti itu pendapat dan
cita-citamu."
Bun Beng terkejut bukan main, cepat ia membungkuk sampai dahinya
menyentuh lantai sambil berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Suhu. Teecu
bodoh dan mohon petunjuk Suhu bagaimana baiknya."
Hwesio itu tertawa. "Kalau pinceng tahu bahwa kepandaian yang pinceng
ajarkan kepadamu itu hanya akan kau pergunakan untuk membunuh orang,
hanya untuk membalas dendam, sudah pasti pinceng tidak akan suka
mengajarkannya. Tidak, Bun Beng. Menaruh dendam menimbulkan kebencian,
dan kebencian melahirkan perbuatan-perbuatan kejam dan jahat! Orang
gagah tidak boleh dipermainkan oleh perasaan pribadi, tidak boleh
menjadi mata gelap karena dendam. Kalau kau bicara tentang dendam,
mengapa kau tidak mendendam atas kematian Ayahmu dan Ibumu?"
Bun Beng tertegun. Tak pernah terpikirkan hal ini olehnya, apa lagi
setelah ia mendengar kata-kata Pendekar Siluman bahwa ayahnya adalah
seorang datuk kaum sesat! "Karena teecu tidak tahu bagaimana Ayah Bunda
teecu tewas dan mengapa."
"Kalau kau tahu bahwa ayahmu dan ibumu mati terbunuh orang, apakah
engkau juga akan mendendam dan akan mencari pembunuh mereka untuk kau
balas dan bunuh pula?"
Bun Beng terkejut dan karena kini menyangkut kematian orang tuanya, tanpa ragu-ragu ia menjawab, "Agaknya begitulah!"
"Baik, sekarang kau balaslah. Pinceng beri tahu siapa pembunuhnya.
Ayahmu telah tewas dibunuh Ibumu, dan Ibumu juga tewas di tangan Ayahmu.
Nah, bagaimana?"
Biar pun Bun Beng sudah menerima gemblengan lahir batin dan hatinya
sudah kuat sekali, tidak urung mukanya berubah sedikit mendengar
keterangan ini. Dia tidak mampu menjawab dan hanya menunduk, penuh
pemasrahan kepada suhu-nya.
"Omitohud...! Seorang gagah tidak boleh menurutkan nafsu hati, melainkan
harus selalu tenang seperti air telaga yang dalam. Jika pikiran tenang,
maka nafsu tidak akan mudah mengganggu dan segala tindakan kita dapat
dilakukan dengan tepat, menurutkan hasil pertimbangan pikiran dan akal
budi. Sekarang kau melihat contoh tidak baiknya orang mendendam karena
kematian orang tua atau pun guru. Orang tua mau pun guru hanyalah
manusia-manusia biasa. Bagaimana kalau kematian mereka itu dikarenakan
perbuatan mereka yang jahat? Andai kata orang tuamu menjadi penjahat
besar yang terbunuh oleh pendekar budiman, apakah engkau juga lalu
mencari untuk membalas dendam kepada pendekar itu? Kalau demikian,
engkau sama sekali bukan anak berbakti, melainkan sebaliknya, karena
engkau makin mencemarkan nama orang tua yang sudah cemar. Dan engkau
bukan orang gagah, karena engkau telah menyimpang dari hukum tak
tertulis dalam jiwa orang gagah yaitu membela kebenaran! Karena itu,
hapuskan dendam dari hatimu, sedikit pun tidak boleh ada sisanya. Jika
kelak engkau terpaksa membunuh orang-orang yang dahulu membunuh Supek
Siauw Lam Hwesio karena engkau membela kebenaran dan karena mereka
orang-orang jahat, hal itu lain lagi, bukan membunuh karena balas
dendam."
Bun Beng cepat memeluk kaki gurunya. "Ah, ampunkan teecu. Teecu jadi
seperti buta, tidak melihat kenyataan itu, Suhu. Teecu bersumpah untuk
mentaati semua perintah Suhu."
"Aahhh, pinceng sebetulnya merasa perih di hati kalau bicara tentang
bunuh-membunuh. Akan tetapi, kehidupan seorang gagah di dunia kang-ouw
di mana terdapat kekacauan yang disebabkan orang-orang sesat, agaknya
hal itu tidak dapat dicegah lagi. Kalau mungkin, Bun Beng, jauhilah
perbuatan membunuh. Engkau akan lebih berjasa mengingatkan seorang sesat
kembali ke jalan benar dari pada membunuhnya. Nah, kiranya cukup. Hanya
satu lagi pesan pinceng. Jangan sekali-kali engkau melibatkan diri
dalam perang, karena Siauw-lim-pai menentang perang. Dan jangan
sekali-kali engkau melibatkan nama Siauw-lim-pai dengan permusuhan
dengan pihak lain. Mengerti?"
"Baik Suhu, teecu akan mentaati perintah Suhu."
"Hemm..., kalau sampai kau langgar, agaknya pinceng sendiri yang akan
turun tangan menghukummu, Bun Beng. Nah, berangkatlah dan hati-hatilah."
Bun Beng minta diri kepada semua hwesio di kuil, kemudian dia berangkat
membawa bungkusan pakaian dan bekal sedikit perak, tanpa membawa
senjata. Dengan memiliki kepandaian seperti tingkatnya sekarang, dia
tidak membutuhkan senjata lagi.
Setelah jauh meninggalkan kuil, Bun Beng teringat akan sepasang pedang
yang disimpannya di puncak tebing tempat tinggal para bekas pejuang
penyembah Sun Go Kong. Juga kitab-kitab pelajaran Sam-po-cin-keng yang
sudah dihafalnya dan yang sekarang secara diam-diam telah dilatihnya
sampai mahir. Setelah dia menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi
dari Ceng Jin Hosiang, tidak sukar baginya untuk menyelami Sam-po-
cin-keng dan dia tidak berani berterus terang kepada suhu-nya karena
ilmu silat itu amat ganas dan pantasnya hanya dipelajari kaum sesat!
Akan tetapi, hebat bukan main ilmu itu sehingga di luar pengetahuannya
sendiri, kalau dia mempergunakan ilmu itu, agaknya Ceng Jin Hosiang
sendiri belum tentu akan dapat menandinginya!
Di dalam perantauannya ini, Bun Beng membuka telinga dan tiada bosannya
dia bertanya-tanya tentang keadaan dunia kang-ouw. Dia terkejut sekali
ketika mendengar akan sepak terjang kaum Thian-liong-pang yang katanya
mulai menculik tokoh-tokoh penting dari partai-partai persilatan! Juga
dia mendengar akan munculnya tokoh-tokoh aneh dari Pulau Neraka yang
sudah beberapa kali dahulu ia jumpai, maka diam-diam ia mengambil
keputusan bahwa kalau dia bertemu dengan kaum Thian-liong-pang dan Pulau
Neraka, dia akan menentang mereka! Hatinya bersyukur ketika ia
mendengar keterangan bahwa kini tidak ada terdengar pergerakan dari
Pulau Es, tanda bahwa Pendekar Siluman benar-benar tidak mau mencampuri
segala keributan itu. Juga heboh tentang Pedang Iblis dan kitab-kitab
peninggalan Bu Kek Siansu yang lenyap, yang dahulu diperebutkan, kini
tidak terdengar lagi.
Yang amat menarik hatinya adalah perbuatan kaum Thian-liong-pang.
Mengapa mereka itu menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua partai
untuk beberapa hari lamanya kemudian mereka itu dibebaskan kembali? Apa
yang tersembunyi di balik perbuatan aneh ini? Untuk mengambil sepasang
pedangnya terlampau jauh, maka dia akan lebih dulu menyelidiki keadaan
Thian-liong-pang dan kalau memang mereka itu melakukan
penculikan-penculikan, hal ini akan ditentangnya. Inilah kewajiban
pertama dalam perjalanannya sebagai seorang pendekar!
Dalam perjalanannya menuju ke Thian-liong-pang dia bermalam dalam sebuah
rumah penginapan di kota kecil Teng-li-bun. Dia telah melakukan
perjalanan jauh dan perlu beristirahat. Niatnya akan bermalam di situ
semalam, baru besok pagi akan melanjutkan perjalanan karena malam itu
hujan membuat dia segan untuk bermalam di luar seperti biasanya dia
bermalam di hutan atau di gubuk-gubuk sawah. Dia ingin makan kenyang dan
minum sedikit arak, kemudian tidur nyenyak dalam sebuah bilik tanpa
gangguan.
Akan tetapi menjelang tengah malam, telinganya yang amat terlatih
mendengar suara isak tangis tertahan. Dia terbangun, memasang telinga
dan mendapat kenyataan bahwa tangis itu adalah tangis seorang wanita
yang ditahan-tahan, suaranya seperti tertutup bantal. Dia menjadi
bingung. Tentu telah terjadi sesuatu yang membutuhkan pertolongannya.
Akan tetapi yang perlu ditolong adalah seorang wanita, dan hari telah
tengah malam, bagaimana mungkin dia boleh memasuki kamar seorang wanita?
Dia sudah memasang telinga baik-baik dan mendapat kenyataan bahwa tidak
ada orang lain dalam kamar sebelah itu, hanya si wanita yang menangis.
Karena suara isak tertahan itu seperti menggelitik hatinya, Bun Beng tak
dapat menahan lagi lalu membuka jendela kamar dan tubuhnya melesat
keluar jendela terus melayang ke atas genteng. Dia berniat untuk
mengintai dari atas dan melihat apakah yang terjadi dan mengapa wanita
itu menangis.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak ada suara terdengar ketika ia
melayang ke atas genteng sehingga tidak mengganggu para tamu rumah
penginapan. Dia membuka genteng di atas kamar sebelah dengan hati-hati
sekali. Akan tetapi baru saja dia menjenguk ke dalam dan melihat seorang
wanita muda rebah di atas pembaringan, tiba-tiba lilin di kamar itu
padam dan dia mendengar bersiutnya angin senjata rahasia dengan cepat
dan kuat serta tepat sekali menyambar ke arah lubang genteng!
"Ciut-ciut-ciut!" tiga batang piauw menyambar dan berturut-turut Bun Beng menangkap tiga batang piauw itu dengan tangan kirinya.
"Bangsat Thian-liong-pang, aku akan mengadu nyawa denganmu!" terdengar
suara wanita memaki disusul menyambarnya sesosok tubuh ke atas dan
lubang itu jebol ditabrak seorang gadis yang berpakaian serba kuning.
Gerakan gadis itu cepat dan ringan sekali, kini sudah berdiri di depan
Bun Beng dengan pedang di tangan dan langsung mengirim tusukan ke arah
dada Bun Beng.
"Wuuuttt... plakkk!"
Dengan tangan kanannya Bun Beng menampar pedang itu dari samping dan
telapak tangannya kini tepat mengenai pedang yang menempel pada telapak
tangannya! Gadis itu berseru kaget, berusaha menarik kembali pedangnya,
akan tetapi sia-sia. Pedangnya melekat di telapak tangan pemuda tampan
yang berdiri tenang sambil memandangnya itu. Juga di bawah sinar bulan
yang muncul setelah hujan berhenti tadi, gadis itu melihat tiga batang
piauw-nya berada di tangan kiri pemuda itu. Celaka, pikirnya! Yang
datang adalah seorang tokoh Thian-liong pang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali.
"Mau apa lagi? Bunuhlah aku!" tiba-tiba gadis itu berkata penuh kebencian.
"Tenang dan sabarlah, Nona. Aku bukan orang Thian-liong-pang, sama sekali bukan!"
Nona yang usianya kurang lebih delapan belas tahun itu memandang penuh perhatian lalu membentak, "Siapa mau percaya?"
Bun Beng tersenyum dan menghela napas, melepaskan pedang dan menyerahkan
tiga batang piauw yang diterima oleh gadis itu dengan sambaran cepat
seolah-olah ia khawatir kalau-kalau itu hanya siasat. Bun Beng
menggulung lengan bajunya, dan berkata, "Periksalah! Adakah gambar naga
di lengan kananku? Bukankah kata orang, lengan kanan semua anggota
Thian-liong-pang dicacah dengan gambar naga kecil?"
"Huh!" Gadis itu mendengus setelah dia melirik juga ke arah kulit yang
halus itu sehingga ia terheran mengapa pemuda halus itu dapat memiliki
sinkang yang demikian hebat, "Kalau bukan anggota Thian-liong-pang,
agaknya engkau seorang yang lebih hina lagi, seorang jai-hwa-cat!"
Bun Beng mengangkat kedua alisnya dan dia memandangi pakaiannya. "Aihhh!
Jai-hwa-cat? Adakah tampangku seperti penjahat cabul? Dan pakaianku?
Aih, engkau terlalu sekali, Nona. Ataukah engkau hanya main-main?"
"Kalau bukan jai-hwa-cat atau penjahat, mau apa tengah malam buta
membuka genteng kamar orang dan mengintai ke dalam?" Gadis itu menyerang
dengan kata-kata, sungguh pun dia sendiri mulai ragu-ragu apakah orang
muda yang bersikap wajar dan halus ini seorang penjahat.
Bun Beng tertawa. "Salahku... salahku...! Puas kau sekarang?!" Dia
menunjuk hidung sendiri. "Inilah upahnya kalau terlalu ingin
memperhatikan orang lain! Terus terang saja, Nona, aku tadi sedang tidur
nyenyak ketika terganggu... eh, maaf, memang telingaku terlalu perasa,
terlalu peka sehingga aku terbangun oleh tangismu. Aku menjadi curiga
dan ingin sekali tahu mengapa di tengah malam buta ada wanita menangis.
Aku hendak mengintai untuk melihat apa yang terjadi, sama sekali bukan
berniat jahat, bolehkah aku mengetahui, mengapa kau menangis? Ahhh,
tentu ada hubungannya dengan Thian-liong-pang. Buktinya, engkau
menyangka aku orang Thian-liong-pang..."
Bun Bang menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak!
"Eh, eh, bagaimana ini...? Salahkah omonganku sehlngga menyinggung perasaanmu?"
Gadis itu masih menangis lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bun
Beng. Tentu saja Bun Beng menjadi bingung sekali, hendak mengangkat
bangun, merasa tidak pantas menyentuh tubuh seorang gadis. "Eh, eh...
Nona. Bangkitlah, jangan begitu...!"
"Mohon maaf atas kesalahanku tadi... dan mohon pertolongan Taihiap yang
memiliki kepandaian tinggi untuk menyelamatkan Ayahku...."
"Aku bukan seorang taihiap (pendekar besar), Nona. Akan tetapi aku
berjanji akan menolong. Ayahmu mengapakah? Harap kau suka berdiri agar
enak kita bicara."
Gadis itu bangkit berdiri sambil mengusap air matanya.
"Nah, ceritakanlah apa yang terjadi," kata pula Bun Beng. Kini sinar
bulan makin terang dan tampak oleh pemuda ini betapa gadis itu amat
manis wajahnya, wajah manis yang membayangkan kegagahan yang agak pudar
oleh tangis tadi.
"Namaku adalah Ang Siok Bi..."
"Nama yang bagus..." Tiba-tiba Bun Beng melihat sinar mata nona itu
memandangnya tajam penuh kecurigaan dan alis yang hitam itu berkerut,
maka teringatlah ia betapa tidak tepatnya ucapan yang tiba-tiba saja
meluncur dari mulutnya itu karena ia kagum memandang wajah yang manis.
"Eh, maksudku... teruskan ceritamu, Nona Ang..." Sambungnya cepat-cepat dan gugup.
"Ayahku adalah Ang Thian Pa yang lebih dikenal dengan sebutan Ang Lojin, Ketua Bu-tong-pai..."
"Aihh! Kiranya Nona adalah puteri ketua partai besar, maaf kalau aku
berlaku kurang hormat...." Bun Beng memberi hormat dengan merangkapkan
kedua tangan depan dada sambil membungkuk.
Siok Bi, gadis itu, biar pun baru berusia delapan belas tahun, namun dia
sudah banyak merantau dan sebagai seorang pendekar wanita yang muda dan
cantik, tentu dia banyak mengalami gangguan dan banyak mengenal sikap
laki-laki. Maka kini alisnya berkerut ketika ia menyaksikan sikap Bun
Beng yang agaknya sama sekali tidak mempedulikan ceritanya, melainkan
tertarik dan kagum kepadanya! Tadi telah ia saksikan kelihaian pemuda
itu dan timbul harapannya untuk minta pertolongannya, akan tetapi kini
melihat sikap Bun Beng, dia mulai ragu-ragu jangan-jangan pemuda ini
adalah seorang jai-hwa-cat yang bersikap halus dan sedang
mempermainkannya!
"Taihiap, harap berterus terang saja. Engkau ini seorang pendekar yang
suka mengulur tangan menolong orang yang sedang tertimpa mala petaka
ataukah seorang dari kaum sesat?"
Bun Beng yang tadinya tersenyum dengan hati tertarik memperhatikan
gerak-gerik dan terutama sekali gerakan bibir yang membuat wajah itu
kelihatan amat manis, menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia
tentu saja tidak sadar akan sikapnya sendiri karena memang tidak
dibuat-buat. Selama bertahun-tahun dia berada di dalam kuil mempelajari
ilmu, tiap hari hanya bergaul dan bertemu dengan para hwesio. Yang
dilihatnya hanyalah muka para hwesio dengan kepala gundul, sama sekali
tidak indah dalam pandangannya. Kini, sekali keluar mengembara bertemu
dengan wajah begini manis, hati siapa tidak akan terpikat?
"Ang-siocia, ada apakah? Mengapa engkau kelihatan marah kepadaku?"
"Pandang matamu itulah!" Mau tidak mau Siok Bi membuang muka dan kedua
pipinya menjadi merah. Betapa pun gagah wataknya sebagai pendekar
wanita, namun dia masih seorang gadis remaja sehingga dia pun tidak
terbebas dari pada sifat wanita yang ingin dipuji dan dikagumi, apa lagi
oleh seorang pemuda setampan dan segagah Bun Beng!
"Pandang mataku? Aihhh... apakah aku tidak boleh memandang? Kenapakah?
Engkau aneh sekali, Nona. Baiklah aku akan memejamkan mata. Nah,
teruskan ceritamu!" Dan Bun Beng benar-benar memejamkan kedua matanya.
"Ketika ayahku dan aku melakukan perjalanan menuju ke Siang-tan, sampai
di dalam hutan di luar kota ini kami berhenti dan beristirahat, yaitu
pagi hari tadi." Gadis itu berhenti bercerita.
Bun Beng yang masih memejamkan mata itu menanti sebentar, lalu sebagai
komentar dia hanya bisa mengeluarkan suara, "Hmmm...!" Lalu menanti
lagi, akan tetapi lanjutan ceritanya tak kunjung datang.
"Mengapa diam?"
"Agaknya Taihiap tidak menaruh perhatian, perlu apa kulanjutkan? Kalau
Taihiap tidak sudi menolong, aku... aku pun tidak mau memaksa." Suara
itu terdengar menjauh dan ketika Bun Beng membuka matanya, nona itu
sudah berlari pergi!
Sekali menggerakkan tubuhnya, Bun Beng sudah menyusul dan menghadang di
depan Siok Bi. "Eh-eh, bagaimana ini? Kau aneh sekali, Nona! Aku cukup
memperhatikan ceritamu dan ingin menolong Ayahmu."
Diam-diam Siok Bi terkejut dan kagum. Dia hanya melihat bayangan
berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di depannya! Akan
tetapi ia cemberut dan berkata, "Aku bicara kepada orang yang memejamkan
mata seolah-olah tidak peduli, mana... enak hatiku?"
Tiba-tiba Bun Beng tertawa saking geli hatinya. Memang pemuda ini
memiliki watak periang. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya dan
berkata, "Wah, benar-benar aku tidak mengerti, Nona! Kalau aku
memperhatikan ceritamu dengan membuka mata, pandang mataku mengganggumu.
Kalau aku memejamkan mata, kau anggap aku tak peduli, habis bagaimana?
Harap kau lanjutkan. Percayalah, aku tidak mempunyai niat hati yang
tidak baik terhadapmu! Ayahmu dan engkau pagi tadi beristirahat dalam
hutan di luar kota ini. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?"
Kini sinar bulan sepenuhnya menimpa wajah Bun Beng sehingga Siok Bi
dapat memandang jelas. Wajah yang tampan dan mulutnya seperti selalu
tersenyum. Pada saat itu Bun Beng bicara sungguh-sungguh, tetapi matanya
bersinar-sinar gembira dan bibirnya seperti orang tersenyum. Kini
mengertilah Siok Bi bahwa memang pemuda ini memiliki mata dan bibir yang
seolah-olah selalu gembira dan tersenyum, sehingga tadi ia mengira
bahwa mata pemuda itu ‘nakal’ dan bibirnya tersenyum kurang ajar. Maka
hatinya pun lega dan ia melanjutkan.
"Selagi kami beristirahat dan makan di bawah pohon, datang rombongan
Thian-liong-pang. Ketika mereka mengenal ayah sebagai Ketua Bu-tong-pai,
mereka lalu memaksa Ayah ikut dengan mereka untuk menghadap Ketua
Thian-liong-pang!"
"Hemmm, sungguh kurang ajar!" Bun Beng membentak dan gadis itu mendapat
kenyataan betapa dalam keadaan marah pun pemuda itu seperti orang
tersenyum. "Tentu engkau dan Ayahmu menghajar mereka!"
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Taihiap. Mereka lihai sekali. Ayah
dikeroyok dan dirobohkan, lalu ditangkap dan dimasukkan ke kerangkeng."
"Apa? Dikerangkeng dan kau diam saja?"
Kalau belum mulai mengenal cara bicara Bun Beng seperti orang main-main,
tentu gadis itu sudah marah lagi. "Tentu saja aku melawan mati-matian,
akan tetapi mereka amat lihai. Aku roboh tertotok, tak mampu berkutik.
Setelah mereka pergi lama sekali, baru aku dapat bergerak. Mengejar
sampai sore namun tak berhasil dan akhirnya aku sampai di sini dengan
maksud besok akan melanjutkan perjalanan, mengumpulkan semua anggota
Bu-tong-pai untuk menyerbu ke Thian-liong-pang membebaskan Ayah. Akan
tetapi... ah, akan makan waktu lama, mungkin terlambat... dan aku sangsi
apakah aku dapat melawan Thian-liong-pang yang amat kuat itu."
"Ke mana Ayahmu dibawa lari? Ke jurusan mana?"
"Di luar kota ini di sebelah utara terdapat hutan, dan mereka membawa Ayah terus ke utara..."
"Aku akan mengejar mereka!" Bun Beng berkelebat dan pergi dari depan gadis itu.
Siok Bi bingung dan terkejut, mengira bahwa pemuda itu pandai
menghilang. Ia berteriak, "Tunggu, Taihiap! Aku belum tahu namamu dan
aku ikut...!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Bun Beng dari bawah karena pemuda
ini memasuki kamar mengambil bungkusan pakaian dan bekalnya. "Jangan
ikut, kau tunggu saja di sini, Nona. Namaku Gak Bun Beng!"
Mendengar suara dari dalam kamar di sebelah kamarnya, Siok Bi meloncat
ke bawah dan memasuki kamar Bun Beng, akan tetapi pemuda itu sudah tidak
ada dan ketika ia melompat lagi ke atas genteng, dia tidak melihat
bayangan pemuda itu! Ia menarik napas panjang. "Hebat dia...!"
Kemudian ia pun mengambil pakaian dari kamarnya dan malam itu juga ia
meninggalkan penginapan untuk mengejar ke utara. Benar juga pemuda itu,
pikirnya. Kalau aku ikut, tentu perjalanannya tidak dapat dilakukan
secepat kalau pemuda itu mengejar sendiri. Hatinya menjadi besar dan ia
membayangkan wajah tampan yang bibirnya selalu tersenyum dan berseri
wajah dan matanya itu. Kekhawatirannya tentang diri ayahnya agak
berkurang karena ia percaya bahwa pemuda itu amat lihai dan tentu akan
dapat menolong ayahnya. Gak Bun Beng! Dia mengingat-ingat, akan tetapi
tidak pernah merasa mendengar nama ini di dunia kang-ouw. Benar kata
ayahnya bahwa sekarang banyak bermunculan orang-orang aneh yang memiliki
ilmu kepandaian luar biasa, tentu termasuk pemuda itu.
Bun Beng merasa penasaran dan marah sekali. Kiranya benar seperti berita
yang didengarnya. Thian-liong-pang mengacau dunia kang-ouw, secara
kurang ajar berani menculik seorang Ketua Bu-tong-pai di siang hari.
Benar-benar keterlaluan, seolah-olah di dunia ini sudah tidak ada hukum
dan seolah-olah hanya Thian-liong-pang yang paling kuat. Dia harus
menentangnya dan menolong Ketua Bu-tong-pai, ayah dari gadis yang amat
manis wajahnya itu.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Bun Beng melakukan pengejaran. Dia
gunakan ilmu lari cepat Cio-siang-hui yang dipelajarinya dari Ceng Jin
Hosiang hingga tubuhnya seperti terbang di atas rumput, seolah-olah
tidak menginjak tanah dan tubuhnya lenyap, yang tampak hanya
berkelebatnya bayangannya yang meluncur cepat menuju ke utara!
Namun karena ia ketinggalan waktu selama sehari, pada keesokan harinya
menjelang senja barulah ia dapat menyusul rombongan orang
Thian-liong-pang yang menawan Ketua Bu-tong-pai. Dari jauh ia sudah
melihat serombongan orang, sebanyak empat orang mendorong sebuah kereta
kecil berbentuk kerangkeng di mana yang tampak hanya sebuah kepala yang
bertudung lebar dan kedua tangan yang terbelenggu. Hanya kepala dan
kedua tangan yang tampak keluar dari dalam kerangkeng yang terbuat dari
pada papan tebal dan beroda dua.
Bun Beng mempercepat larinya, sebentar saja dia telah melewati rombongan
empat orang itu, membalikkan tubuh dan menghadang, berdiri dengan tegak
dan bertolak pinggang. Melihat sikap pemuda yang datang dengan cepat
sekali itu, rombongan itu berhenti dan empat orang itu memandang
kepadanya dengan penuh perhatian. Juga orang tua bermuka gagah yang
berada dalam kerangkeng memandang kepada Bun Beng.
Saat memperhatikan empat orang itu, diam-diam Bun Beng terkejut.
Ternyata memang benarlah berita yang ia dengar. Orang-orang
Thian-liong-pang amat aneh dan sikap mereka menyeramkan. Empat orang ini
saja sudah menunjukkan bahwa mereka tentu orang-orang yang berilmu
tinggi, dan sikap mereka itu rata-rata angkuh.
Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang mukanya pucat
seolah-olah tidak berdarah, seperti muka mayat yang amat kurus sehingga
mukanya itu mirip tengkorak, namun sepasang mata yang sipit itu
mengeluarkan sinar tajam, dan di punggungnya tampak tergantung sebatang
pedang. Orang kedua masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun
usianya, tampan dan gagah, rambutnya terurai di atas kedua pundak dan
punggungnya, kepalanya diikat sehelai tali yang mengkilap seperti
sutera, alisnya selalu berkerut dan sinar matanya membayangkan
keangkuhan dan kekejaman, juga di punggungnya tampak terselip sebatang
pedang. Biar pun kedua orang ini tidak banyak bergerak, namun dapat
diduga bahwa tentu ilmunya tinggi, dan membuat hati mereka tinggi pula.
Akan tetapi dua orang yang lain benar-benar menimbulkan ngeri kepada Bun
Beng. Sukar membedakan kedua orang itu karena baik pakaian, bentuk
tubuh dan muka mereka kembar! Dan keduanya pun memegang sepasang senjata
gelang yang dipasangi lima duri meruncing dan mengkilap. Berbeda dengan
sikap kedua orang yang pendiam dan angkuh itu, dua orang kembar yang
tinggi besar ini sikapnya kasar, seperti binatang buas dan merekalah
yang langsung meloncat maju menghadapi Bun Beng. Seorang di antara
mereka langsung membentak,
"Bocah sinting, siapa kau berani bersikap kurang ajar?"
"Minggir kau sebelum kupatahkan kedua kakimu!" Orang kedua membentak pula.
Bun Beng memperlebar senyumnya dan tetap bertolak pinggang. Sambil
melirik ke arah kerangkeng, dia bertanya, "Apakah kalian ini
penculik-penculik dari Thian-liong-pang? Dan apakah Locianpwe yang
tertawan itu Ang Lojin Ketua Bu-tong-pai?"
"Benar orang muda. Aku adalah Ang Lojin. Hati-hatilah, jangan mencampuri
urusan ini. Lebih baik pergilah karena aku sudah merasa kalah dan ingin
menghadap Ketua Thian-liong-pang!" Kakek di kerangkeng itu berkata.
"Bocah tak tahu diri! Ketahuilah bahwa kami benar dari Thian-liong-pang.
Nah, setelah mendengar nama perkumpulan kami, engkau tidak lekas
menggelinding pergi?"
Bun Beng dengan sikap tenang menggerakkan pundaknya, memandang kedua
orang kakek kembar yang mukanya bengis mengerikan itu sambil berkata,
"Sebenarnya aku mau pergi, akan tetapi sayang, empat orang sahabatku
yang berada di sini tidak membolehkan aku pergi sebelum kalian
membebaskan Ang Lojin!"
Mendengar ini, empat orang Thian-liong-pang itu cepat memandang ke
sekeliling mereka. Mereka terkejut sekali mendengar bahwa pemuda kurang
ajar ini mempunyai empat orang sahabat. Kalau empat orang itu hadir di
sekitar mereka tanpa mereka ketahui, dapat dibayangkan betapa lihai
empat orang itu. Apa lagi setelah mereka memandang ke sekeliling tidak
dapat melihat gerak-gerik orang di situ, mereka menjadi makin hati-hati
karena hal itu hanya menandakan bahwa empat orang sahabat pemuda ini
benar-benar lihai.
"Orang muda, lekas suruh empat orang sahabatmu keluar agar kami dapat
bicara dengan mereka!" Seorang di antara kakek kembar berkata, sedangkan
tokoh Thian-liong-pang muda sudah menggeser kaki mendekati kerangkeng,
dan kakek bermuka tengkorak, sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah
melayang ke atas tempat yang agak tinggi, di atas batu-batu. Agaknya si
orang muda menjaga kerangkeng itu dan si kakek bermuka tengkorak menjadi
penjaga di tempat tinggi.
Sikap mereka yang tenang dan muka yang angkuh itu menimbulkan dugaan di
hati Bun Beng bahwa tingkat mereka berdua itulah yang sesungguhnya
tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat sepasang kakek kembar yang
menghadapinya. Hal ini pun menjadi tanda bahwa mereka memandang rendah
kepadanya sehingga untuk menghadapinya cukup oleh kedua kakek kembar
yang rendah tingkatnya!
Bun Beng tertawa dan berkata, "Mau berkenalan dengan empat orang
sahabatku? Awas, mereka lihai sekali, kalau kalian berkenalan dengan
mereka, tentu kalian akan mereka robohkan dengan mudah!"
"Tak perlu banyak menggertak!" Bentak kakek kembar kedua, akan tetapi
tidak urung dia dan saudara kembarnya diam-diam melirik ke kanan kiri
dengan sikap agak gentar. "Lekas suruh mereka keluar!"
"Mereka sudah berada di sini, di depanmu, apakah kalian buta?"
Kini kedua kakek kembar itu terbelalak, dan benar-benar menjadi jeri.
Kalau ada empat orang berada di depan mereka tanpa mereka dapat
melihatnya, hal itu hanya berarti bahwa empat orang itu bukanlah
manusia, melainkan iblis-iblis. Teringatlah mereka akan orang-orang
Pulau Neraka, musuh utama mereka yang mereka takuti, akan tetapi pemuda
ini kulit mukanya biasa saja, tentu bukan anggota Pulau Neraka. Ah,
tentu hanya gertakan saja, akal bulus, akal kanak-kanak untuk
menakut-nakuti mereka!
"Bocah, jangan main-main engkau!" Seorang di antara mereka membentak.
"Inilah mereka!" Bun Beng melonjorkan kaki tangannya bergantian ke depan.
Muka kedua kakek kembar itu menjadi merah, mata mereka melotot dan
karena kepala mereka botak, Bun Beng teringat akan kera-kera baboon yang
pernah menjadi kawan-kawannya. Muka kedua orang kakek kembar ini mirip
kera-kera itu!
Akan tetapi sebagai anggota-anggota Thian-liong-pang yang banyak
pengalaman, menyaksikan sikap pemuda yang berani mempermainkan mereka
dan yang amat tenang itu, dua orang kakek kembar tidak mau sembrono.
Seorang di antara mereka melangkah maju dan menegur.
"Orang muda, engkau siapakah berani mati mempermainkan kami dari
Thian-liong-pang? Apa yang telah kau perbuat ini hanya dapat dicuci
dengan darahmu dan ditebus dengan nyawamu. Maka sebelum mampus,
mengakulah siapa engkau!"
Bun Beng menggelengkan kepala. "Terlalu enak untuk kalian! Sudah terang
kalian yang akan kalah, dan andai kata aku sampai mati pun, biarlah
namaku menjadi rahasia dan setan penasaran, rohku akan mengejar-ngejar
Thian-liong-pang!"
"Keparat!" Kakek yang berada di depannya sudah menerjang dengan
senjatanya yang aneh dan kiranya senjata gelang berduri itu digenggam
dengan duri-durinya di depan, digerakkan secara cepat dan kuat sekali
menghantam ke arah muka Bun Beng yang masih bertolak pinggang.
"Heeitt! Memang orang-orang Thian-liong-pang berhati kejam," kata Bun
Beng. Dengan mudah ia mengelak ke kanan dan biar pun matanya melirik ke
arah orang di depannya sambil tersenyum mengejek, namun telinganya
dicurahkan untuk mengikuti gerakan kakek kedua yang telah melompat ke
belakangnya.
Ketua Bu-tong-pai yang sudah merasai kelihaian orang-orang itu menjadi
gelisah sekali. Ia berterima kasih dan kagum akan munculnya pemuda tak
tekenal yang jelas hendak menolongnya itu, akan tetapi ia merasa yakin
bahwa pemuda itu tentu akan celaka. Pemuda itu akan mengorbankan nyawa
dengan sia-sia saja dan hal inilah yang menggelisahkan hatinya, sama
sekali bukan dia tidak mempunyai harapan tertolong.
Sudah banyak tokoh kang-ouw yang ditawan secara paksa oleh orang-orang
Thian-liong-pang untuk dihadapkan Ketua mereka. Belum pernah ada tokoh
yang dibunuh, maka dia tidak merasa khawatir akan keselamatan dirinya
sungguh pun ada hal yang lebih hebat lagi dalam peristiwa ini, lebih
hebat dan penting dari pada keselamatan dirinya, yaitu keselamatan nama
besar Bu-tong-pai yang terancam dan dihina! Kini pemuda yang hendak
menolong dirinya itu terlalu sembrono dan berani mati mempermainkan
orang-orang Thian-liong-pang, maka dia tidak akan merasa heran kalau
nanti melihat pemuda itu roboh dan tewas di depan matanya.
"Orang muda, awas senjata itu beracun dan berbahaya! Larilah!" teriaknya
ketika melihat betapa pemuda itu diserang dari depan dan belakang
dengan dahsyat.
"Jangan khawatir, Locianpwe. Dua ekor kera ini hanya pandai
menakut-nakuti anak kecil saja!" Jawab Bun Beng sambil menggunakan
ginkang-nya untuk melesat ke sana ke mari mengelak sambil tersenyum. Dia
sudah melihat bahwa biar pun ilmu silat kedua kakek itu aneh sekali,
gerakannya cepat dan bertenaga, namun tidak terlalu cepat dan kuat
baginya dan dia yakin akan dapat mengatasi mereka dengan mudah walau pun
dia bertangan kosong.
Ketua Bu-tong-pai menjadi bengong. Sungguh kagum dia karena pemuda itu
benar-benar bukan hanya pandai mempermainkan orang, melainkan juga
memiliki gerakan yang amat kuat dan cepat, dua kakinya dapat melangkah
dengan baik sekali sehingga semua serangan kedua orang itu selalu
mengenai angin kosong.
"Wutttttt! Wah, galak amat!"
Bun Beng miringkan kepala untuk menghindarkan hantaman gelang berduri
dari arah belakang, berbareng ia mengirim tendangan ke depan mengarah
sambungan lutut lawan di depan, jari tangannya menyentil senjata yang
melayang di depan hidungnya, menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah
sebuah di antara lima dari duri-duri gelang sambil mengerahkan sinkang
sekuatnya.
"Cringgg!" Dan kakek itu memekik kaget.
Ternyata duri yang disentil jari itu telah patah dan telapak tangannya
terasa panas dan perih sekali. Hampir ia melepaskan sebuah gelangnya dan
ia melompat ke belakang. Juga kakek di depan Bun Beng yang diserang
tendangan tadi cepat melompat ke belakang. Mereka menjadi marah dan
penasaran. Kakek yang di belakangnya lalu mengeluarkan gerengan marah,
tangan kirinya bergerak dan gelang berduri yang kehilangan sebuah
durinya itu tiba-tiba meluncur ke arah Bun Beng, berputaran dan
mengeluarkan suara bercuitan.
"Bagus...!" Bun Beng diam-diam kagum juga.
Kiranya senjata ini bukan hanya digunakan untuk menyerang dengan
dipegangi, tetapi juga dapat menjadi senjata rahasia yang dilontarkan.
Dia mengelak dan lebih kagum lagi hatinya melihat betapa gelang yang
berputaran menyambar kepalanya itu setelah luput dari sasarannya, kini
dapat membalik dan kembali ke tangan pemiliknya!
Dia cepat membalik dan pada saat kakek itu menerima kembali senjatanya,
Bun Beng sudah memukul dengan telapak tangannya, pukulan jarak jauh
dengan pengerahan sinkang-nya.
"Wuuutttttt!" Angin pukulan yang kuat membuat kakek itu terhuyung-huyung
mundur. Akan tetapi kakek kedua yang kini berada di belakang Bun Beng
sudah melontarkan gelang kanan ke arah punggung pemuda itu.
"Awasss...!" Ketua Bu-tong-pai berteriak kaget.
Namun tanpa memutar tubuhnya, Bun Beng mengulur tangan dan berhasil
menangkap senjata itu, seolah-olah di belakang tubuhnya terdapat mata
ketiga!
"Senjata yang buruk!" Bun Beng kini memutar senjata itu dengan gerakan
yang mahir seolah-olah sejak kecil dia memang sudah biasa menggunakan
senjata itu! Tentu saja bukan demikian kenyataannya. Hanya karena dia
telah digembleng oleh Ketua Siauw-lim-pai dan telah mempelajari delapan
belas macam senjata, dan pernah pula diajar cara mempergunakan senjata
gelang yang jarang dipakai di dunia kang-ouw, maka dia tidak asing
dengan senjata ini, pula karena memang bakat yang dimiliki pemuda itu
luar biasa sekali.
"Trang-cring-trangg...!" tiga kali gelang berduri di tangan kedua orang
kakek itu bertemu dan gelang kiri kakek yang di belakangnya patah
menjadi tiga bertemu dengan gelang di tangan Bun Beng.
"Heh-heh-heh, sekarang kita masing-masing mempunyai sebuah gelang, jadi
adil namanya, seorang satu! Masih mau dilanjutkan?" Dia menantang dan
mengejek.
"Tahan dulu!"
Tiba-tiba kakek tua yang bermuka tengkorak melayang datang dan
gerakannya membuat Bun Beng bersikap hati-hati karena melihat cara
meloncatnya saja tingkat kepandaian kakek muka tengkorak ini sama sekali
tidak boleh dibandingkan dengan sepasang kakek kembar yang kasar.
Akan tetapi dasar watak Bun Beng suka main-main, dia menyambut kakek itu
dengan tertawa, "Apakah engkau mau mengeroyok pula? Marilah, biar lebih
ramai!"
Kakek muka tengkorak itu tidak marah, hanya tetap tenang dan dingin
ketika berkata, "Thian-liong-pang tidak pernah memusuhi Siauw-lim-pai,
apakah kini Siauw-lim-pai mendahului langkah mengumumkan perang terhadap
Thian-liong-pang?"
Mendengar ini Bun Beng terkejut. Ah, kiranya kakek ini demikian tajam
pandang matanya sehingga mengenal bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai.
Juga kakek Ketua Bu-tong-pai terkejut dan cepat berkata,
"Orang muda yang gagah. Jika engkau seorang murid Siuw-lim-pai, harap
menyingkir. Aku tidak mau membawa-bawa Siauw-lim-pai terlibat dalam
urusan ini."
Bun Beng merasa penasaran. Dia sendiri sudah dipesan oleh gurunya agar
jangan melibatkan Siauw-lim-pai dengan permusuhan. Akan tetapi haruskah
ia mundur dan membiarkan Kakek Bu-tong-pai itu tertawan dan yang
terutama sekali, haruskah dia mengecewakan Siok Bi yang berwajah manis
itu? Membayangkan betapa sinar mata yang indah itu menjadi kecewa,
murung dan bahkan mungkin menangis lagi, dia tidak tahan dan tertawa
bergelak.
"Ha-ha-ha, siapa membawa-bawa Siauw-lim-pai? Ilmu silat di dunia ini
tidak terhitung banyaknya, akan tetapi sumbernya hanya satu, yaitu
mendasar segala gerakan pada pembelaan diri dan penyerangan. Kalau ada
gerakan yang mirip dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, apa anehnya?"
Akan tetapi kakek bermuka tengkorak itu tidak puas. "Orang muda, apakah
engkau hendak menyangkal bahwa engkau adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Aku tidak menyangkal apa-apa."
"Kalau begitu mengakulah, engkau murid partai mana?"
"Aku pun tidak mengaku apa-apa. Guruku banyak sekali, tak terhitung
banyaknya sehingga aku lupa satu-satunya. Akan tetapi lihat, apakah ini
ilmu silat Siauw-lim-pai?" Setelah berkata demikian, Bun Beng
menggerakkan gelang berduri di tangannya, sekali memutar lengan dia
telah menyerang dua orang kakek kembar sekaligus.
"Trang-cringgg...!" Dua kakek kembar itu menangkis kaget dan... kedua senjata mereka patah-patah.
"Ahhh... ini adalah jurus ilmu silat kami...!" Kakek kembar berseru dan
cepat menerjang marah dengan gelang mereka yang tinggal sepotong di
tangan.
Bun Beng tersenyum dan menghadapi mereka dengan gerakan-gerakan aneh
seperti yang dilakukan dua orang kakek itu. Benarkah bahwa Bun Beng
pernah mempelajari ilmu silat gelang berduri dua orang kakek kembar itu?
Tentu saja tidak. Melihat pun baru sekali itu. Akan tetapi Bun Beng
memiliki daya ingatan yang kuat sekali sehingga sekali melihat dia sudah
mengerti dan dapat mengingat serta menirunya! Dia tadi ketika
menghadapi pengeroyokan kedua orang kakek yang tingkatnya masih jauh
lebih rendah darinya, mendapat banyak kesempatan untuk memperhatikan
gerakan mereka sehingga kini ia dapat menirunya dengan baik, sungguh pun
tentu saja hanya kelihatannya saja sama, padahal dasar yang menjadi
landasan jurus-jurus itu lain sama sekali!
Kalau dua orang kakek kembar menjadi terkejut dan marah karena pemuda
itu selain merampas senjata mereka, juga memukul mereka dengan ilmu
mereka sendiri, adalah kakek muka tengkorak menjadi heran sekali. Kalau
murid Siauw-lim-pai, yang rata-rata angkuh dan mengandalkan ilmu
sendiri, tidak mungkin mau melakukan jurus-jurus ilmu silat dua orang
kakek kembar itu. Dia pun mendapat kenyataan bahwa kakek kembar bukan
lawan pemuda ini, maka dia lalu memberi tanda dengan mata kepada
kawan-kawannya.
Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tubuh tokoh Thian-liong-pang
muda itu sudah menyambar. Dengan didahului sinar hijau pedangnya,
bagaikan bintang jatuh sinar ini menyerbu ke arah Bun Beng.
"Bagus!" Bun Beng memuji, benar-benar memuji karena gerakan orang yang
tampan itu tangkas sekali. Namun dengan mudah ia dapat mengelak.
Kakek muka tengkorak juga menggerakkan pedangnya yang bersinar kuning
sehingga dalam sekejap mata Bun Beng sudah harus melesat ke sana-sini
menghindarkan dirinya ditembus dua sinar pedang yang amat dahsyat. Dia
masih sempat memperhatikan dengan hati cemas ketika melihat bahwa kakek
kembar sudah meninggalkannya dan mendorong pergi kerangkeng di mana
Ketua Bu-tong-pai tertawan.
"Berhenti!" Bun Beng berteriak dan gelang berduri di tangannya meluncur
cepat, berputaran mengeluarkan suara berdesing menyambar ke arah
kerangkeng.
"Krakkkk!" Roda itu patah sehingga kerangkeng tak dapat didorong lagi.
Namun dua orang kakek kembar itu tidak kehilangan akal. Mereka lalu
mengangkat kerangkeng, menggotongnya dan berlari pergi secepatnya. Bun
Beng tidak dapat mengejar karena dia didesak oleh dua sinar pedang yang
amat cepat dan berbahaya sehingga dia harus mencurahkan perhatiannya
untuk melawan dua orang pengeroyok baru yang lihai ini.
Dua orang itu menjadi heran dan kagum bukan main. Mereka telah
mengerahkan kepandaiannya, dengan pedangnya mengeroyok pemuda yang
bertangan kosong ini. Namun tetap saja pemuda itu tidak dapat didesak
karena selalu dapat mengelak cepat, bahkan balas menyerang mereka dengan
pukulan-pukulan ampuh. Mereka makin memperketat pengepungan dan
mempercepat serangan dengan niat agar pemuda itu mengeluarkan ilmu silat
Siauw-lim-pai.
Namun Bun Beng tidak mau dipancing dan tiba-tiba ia berseru keras,
tubuhnya berkelebatan di antara sinar-sinar itu dan ia menyerang dengan
ilmu silat yang ganasnya seperti ilmu setan! Dua orang itu terdesak
mundur dan makin terheran. Pemuda ini memiliki ilmu silat yang aneh,
pikir mereka. Biar pun agak ‘berbau’ dasar ilmu silat Siauw-lim-pai,
namun jelas bukan ilmu silat Siauw-lim-pai karena melihat keganasannya
lebih mirip ilmu silat golongan sesat! Tentu dia seorang tokoh yang amat
lihai dan tinggi kedudukannya, pikir mereka.
Memang Bun Beng telah mempergunakan jurus-jurus ilmu silat dari
Sam-po-cin-keng yang bernama Kong-jiu-jib-tin (Dengan Tangan Kosong
Menyerbu Barisan) sehingga kedua orang itu tentu saja tidak mengenal
ilmu ciptaan pendiri Beng-kauw ini!
Dua orang itu memberi isyarat lalu Si Kakek berkata. "Kami tidak ingin
bermusuhan dengan Siauw-lim-pai!" Setelah berkata demikian, mereka
melesat jauh dan lari pergi.
Bun Beng penasaran. Dia tidak bernafsu untuk mengalahkan dua orang itu,
apa lagi membunuhnya, akan tetapi dia harus menolong Ketua Bu-tong-pai.
Maka dia pun lalu melompat dan mengejar, akan tetapi sengaja tidak
menyusul mereka, hanya membayangi dari jauh. Agaknya kedua orang itu
juga sengaja memancing Bun Beng karena mereka itu berlari tidak secepat
yang mereka dapat lakukan. Hal ini pertama untuk memberi kesempatan
kepada kakek kembar untuk lebih dulu sampai ke sarang mereka, kedua
kalinya karena memancing pemuda lihai itu yang tentu akan menarik
perhatian Ketua mereka!
Bun Beng bukan orang bodoh. Dia cerdik sekali dan dapat memperhitungkan
keadaan, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu dua orang itu sengaja
memancingnya. Namun dia tidak takut. Malah kebetulan, pikirnya. Aku
tidak perlu susah payah mencari sarang mereka. Akan kutemui Ketua
mereka, kupaksa agar membebaskan Ang Lojin dan lain-lain tawanan, dan
kalau ada, dan memaksanya berjanji agar menghentikan perbuatan-perbuatan
menculik orang-orang penting itu.....
Sebetulnya apakah yang terjadi dengan Thian-liong-pang sehingga kini
perkumpulan besar itu melakukan perbuatan aneh itu, menculiki
tokoh-tokoh kang-ouw dan ketua partai persilatan? Sesungguhnya, tidaklah
terjadi perubahan di Thian-liong-pang. Ketuanya masih tetap Si Wanita
berkerudung yang makin lama makin hebat ilmu kepandaiannya itu. Seperti
kita ketahui, wanita berkerudung yang aneh dan penuh rahasia ini, yang
mukanya tidak pernah kelihatan oleh siapa pun juga, bahkan para
pembantunya yang bertingkat paling tinggi pun tidak ada yang pernah
melihatnya, bukan lain adalah Nirahai, puteri Kaisar Kang Hsi sendiri
yang terlahir dari selir berdarah Khitan campuran Mongol!
Ketika ia dijodohkan oleh kedua orang nenek sakti yang menjadi gurunya
dan bibi gurunya, yaitu Nenek Maya dan Khu Siauw Bwee, menjadi isteri
Suma Han, hatinya girang bukan main. Diam-diam ia telah jatuh cinta
kepada Pendekar Super Sakti yang berkaki tunggal itu. Namun betapa
kecewanya ketika ia mendapat kenyataan bahwa suami yang dicintainya itu
tidak menyetujui cita-citanya pergi ke Mongol sehingga mereka berpisah dengan hati hancur.
Dengan rasa hati berat karena sesungguhnya wanita ini amat mencinta
suaminya, Nirahai berangkat ke Mongol. Terlambat ia mengetahui bahwa ia
telah mengandung! Ingin ia kembali ke selatan mencari suaminya untuk
memberi tahu hal ini, namun keangkuhannya sebagai bekas puteri kaisar
mencegahnya. Dia amat mencinta Suma Han, bahkan telah berkorban dengan
kehilangan haknya sebagai puteri kaisar. Dia telah kecewa karena setelah
berjuang untuk kerajaan ayahnya, akhirnya dia menjadi seorang buruan!
Pukulan batin kedua yang lebih kecewa lagi bahwa suami yang dibelanya
itu ternyata tidak ikut bersama dia! Namun masih timbul harapan di
hatinya bahwa cinta kasih dalam hati Suma Han akan membuat suaminya itu
kelak menyusulnya ke Mongol.
Namun harapannya ini buyar. Sampai dia melahirkan anak perempuan, sampai
bertahun-tahun ia menanti dan tinggal di istana Kerajaan Mongol, tetap
saja tidak ada kabar berita dari suaminya! Betapa pun juga, wanita yang
keras hati ini tetap tidak mau pergi mencari suaminya. Kalau memang
suaminya tidak mencintainya, dengan bukti tidak pernah menyusulnya,
biarlah dia akan memperlihatkan bahwa dia tidak kalah keras hati! Maka
dia lalu meninggalkan puterinya kepada Pangeran Jenghan yaitu keponakan
yang berkekuasaan besar dari Pangeran Galdan, dan dia sendiri merantau
ke selatan. Karena dia mendengar bahwa suaminya telah menjadi Majikan
Pulau Es, maka dia lalu membuat perkumpulan yang kelak dapat ia
pergunakan untuk menandingi nama besar Pulau Es, dan dipilihlah
Perkumpulan Thian-liong-pang.
Puteri Nirahai memiliki watak dan sifat yang gagah perkasa, angkuh dan
tidak pernah mau kalah, di samping kecantikannya yang luar biasa dan
ilmu kepandaiannya yang amat tinggi. Mati-matian ia membela Suma Han
yang dicintainya, bahkan ia telah mengorbankan nama, kedudukan dan
kehormatannya untuk pendekar kaki tunggal yang dikaguminya itu. Sebesar
itu cintanya, sebesar itu pula sakit hatinya ketika ia mendapat
kenyataan bahwa suaminya itu tidak mempedulikannya, tidak menyusulnya,
bahkan tak pernah mencarinya sampai dia melahirkan seorang puteri! Rasa
sakit hati membuat Nirahai ingin memperlihatkan bahwa dalam hal
kepandaian dan kebesaran, dia tidak mau kalah oleh suaminya! Pergilah
wanita sakti ini meninggalkan Mongol, merantau ke selatan dan ia
menjatuhkan pilihannya kepada Perkumpulan Thian-liong-pang!
Perkumpulan Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang pernah
mengalami jatuh bangun seperti juga perkumpulan-perkumpulan lain dan
merupakan sebuah perkumpulan yang cukup tua usianya. Usianya sudah lebih
dari seratus tahun dan pendirinya dahulu adalah seorang kakek yang
berjuluk Sin Seng Losu (Kakek Bintang Sakti) yang berilmu tinggi karena
dia adalah murid keponakan dari Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara datuk
kaum sesat yang amat sakti.
Ketika perkumpulan ini terjatuh ke tangan menantu Sin Seng Losu yang
bernama Siangkoan Bu, perkumpulan itu kembali ke jalan lurus dan
tergolong perkumpulan bersih yang mengutamakan kegagahan dan berjiwa
pendekar. Akan tetapi, setelah Siangkoan Bu tewas dan perkumpulan itu
dipimpin oleh murid Sin Seng Losu yang bernama Ma Kiu berjuluk
Thai-lek-kwi dan dibantu oleh sebelas orang sute-nya, maka kembali
Thian-liong-pang menjadi sebuah partai persilatan yang amat ditakuti
karena tidak segan melakukan kejahatan mengandalkan kekuasaan mereka.
Terutama sekali Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) amat terkenal. Mereka
adalah Ma Kiu dan sute-sute-nya yang merajalela di dunia kang-ouw.
Dalam keadaan seperti itu muncullah Siangkoan Li,
putera mendiang Siangkoan Bu atau cucu dari Sin Seng Losu yang dengan
bantuan Mutiara Hitam menentang para paman gurunya. Siangkoan Li ini
lihai bukan main karena dia telah diterima menjadi murid dua orang kakek
sakti yang setengah gila, yang berjuluk Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek
Sian-ong. Hanya sayang sekali, Siangkoan Li yang tadinya merupakan
seorang pemuda tampan yang gagah perkasa, bahkan menjadi sahabat baik
Mutiara Hitam dan jatuh cinta kepada pendekar wanita perkasa itu, tidak
hanya mewarisi kesaktian kedua orang gurunya, akan tetapi juga mewarisi
keganasan dan kegilaannya!
Siangkoan Li mengamuk dan berhasil merampas Thian-liong-pang di mana dia
menjadi ketuanya dan semenjak itu Thian-liong-pang menjadi perkumpulan
yang penuh rahasia. Perkumpulan ini tidak pernah menonjol di dunia
kang-ouw, akan tetapi tidak ada yang berani lancang tangan mencari
perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang hidupnya aneh dan penuh
rahasia. Ilmu silat para anggota Thian-liong-pang rata-rata amat tinggi
dan dasar ilmu kepandaian mereka bersumber ilmu-ilmu yang aneh dan luar
biasa dari Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, atau lebih tepat dari
Siangkoan Li yang menyebarkan kepandaian itu kepada para anak buah dan
murid-muridnya.
Setelah Siangkoan Li meninggal dunia dalam keadaan menderita batin
karena cintanya yang gagal terhadap Mutiara Hitam dan selamanya tidak
mau menikah, dalam puluhan tahun terjadilah pergantian ketua baru
beberapa kali dan mulailah terjadi kekacauan di dalam perkumpulan ini
karena perebutan kursi ketua! Dan semenjak itu, selalu ada ketegangan di
antara para murid-murid kepala atau dewan pimpinan mereka yang selalu
berusaha memperkuat diri untuk merampas kedudukan ketua.
Keadaan ini menimbulkan peraturan baru yang dipegang teguh oleh mereka,
yaitu setiap tahun diadakan pemilihan ketua baru dengan jalan pibu,
mengadu kepandaian dan siapa yang paling pandai di antara mereka, tidak
peduli wanita atau pria, tidak peduli saudara tua atau saudara muda
dalam perguruan, dia yang berhak menjadi ketua sampai lain tahun
diadakan pibu lagi di mana dia harus mempertahankan kedudukannya dengan
taruhan nyawa! Ya, dalam pibu antara orang-orang liar ini sering kali
terjadi pembunuhan. Mereka tidak segan saling membunuh di antara saudara
sendiri untuk memperebutkan kursi ketua yang amat mereka rindukan
karena kursi itu berarti kemuliaan, kemewahan, kehormatan dan nama
besar!
Ketika Nirahai mendatangi perkumpulan yang hendak dipilihnya sebagai
syarat untuk menandingi kebesaran Pulau Es yang dipimpin oleh Suma Han,
suaminya yang dianggapnya menyia-nyiakan dan menyakitkan hatinya itu
tepat terjadi di waktu Thian-liong-pang sedang mengadakan pibu tahunan
yang selalu terjadi di ruangan belakang gedung perkumpulan yang amat
luas dan terkurung pagar tembok yang tinggi dan atasnya dipasangi
tombak-tombak runcing sehingga orang yang berkepandaian tinggi sekali
pun jarang ada yang dapat melompat pagar tembok itu. Seperti biasa, pibu
diadakan di pekarangan luas yang dikurung oleh anak buah
Thian-liong-pang yang menonton dengan penuh perhatian, ketegangan dan
juga kegembiraan karena mereka itu tentu saja mempunyai pilihan calon
ketua masing-masing sehingga keadaan hampir sama dengan orang-orang yang
menonton adu jago. Bahkan di antara anak buah itu ada yang bertaruh,
bukan hanya bertaruh uang dan barang berharga, bahkan ada yang
mempertaruhkan isterinya!
Pada waktu itu, Thian-liong-pang yang tidak hanya berganti-ganti ketua
akan tetapi juga berpindah-pindah tempat itu berpusat di kota kecil
Cin-bun yang letaknya di lembah Sungai Huang-ho, di sebelah utara kota
Cin-bun di Propinsi Shantung.
Para penduduk Cin-bun mendengar akan pemilihan ketua, akan tetapi tidak
ada yang berani mencampuri, bahkan mendekati kelompok bangunan besar
yang dilingkungi pagar tembok bertombak itu pun merupakan hal yang
berbahaya bagi mereka.
Para pembesar pemerintah Mancu pun tak ada yang berani mencampuri, dan
mereka ini sudah menerima perintah dari atasan bahwa pemerintah tidak
ingin menciptakan permusuhan dengan perkumpulan yang kuat ini, maka
pemerintah daerah yang mengawasi gerak-gerik mereka dan selama
perkumpulan itu tidak melakukan perbuatan yang menentang pemerintah,
pemerintah pun lebih suka untuk berbaik dengan mereka. Menentang pun
berarti tentu akan menimbulkan pemberontakan baru dan pemerintah tidak
menghendaki hal ini karena setiap pemberontakan merupakan bahaya besar,
dapat merupakan api yang membakar semangat perlawanan rakyat yang
dijajah.
Pada waktu itu, Thian-liong-pang mempunyai anak buah yang jumlahnya dua
ratus orang lebih, sebagian besar tinggal di Cin-bun, akan tetapi ada
pula yang tinggal di dusun-dusun sekitar Propinsi Shantung dan membuka
cabang-cabang Thian-liong-pang. Akan tetapi pada waktu itu semua
pimpinan cabang berkumpul pula di pusat untuk menyaksikan pemilihan
ketua baru melalui pibu, bahkan di antara mereka ada yang ingin
melihat-lihat barangkali tingkat kepandaian mereka sudah cukup untuk
dicoba mengadu untung ikut dalam pibu.
Dua ratus orang lebih anggota Thian-liong-pang sudah berkumpul dan
suasana menjadi riang gembira karena para anggota itu sibuk saling
bertaruh memilih jago masing-masing. Para pimpinan rendahan yang
mendapat tempat di bangku rendah yang berjajar di depan anak buah itu
hanya mendengarkan tingkah anak buah mereka sambil tersenyum-senyum.
Mereka ini tentu saja tidak berani bertaruh seperti yang dilakukan anak
buah mereka, hanya diam-diam mereka pun mempunyai pilihan masing-masing
karena tingkat kepandaian mereka sendiri masih merasa terlalu rendah
untuk coba-coba berpibu yang berarti mempertaruhkan nyawa.
Ada pun pimpinan yang tingkatnya tinggi sudah pula berkumpul di atas
kursi-kursi di tingkat atas ruangan yang dipisahkan dari pekarangan
tempat pibu itu oleh lima buah anak tangga di mana ditaruh kursi gading
untuk Sang Ketua, diapit-apit beberapa buah kursi untuk para pimpinan
yang tinggi tingkatnya dan mereka inilah yang menjadi calon-calon
penantang ketua lama.
Pada waktu itu tampak lima orang pemimpin tinggi yang telah duduk dengan
tubuh tegak dan sikap angkuh, sinar mata mereka berseri seolah-olah
mereka itu masing-masing telah merasa yakin akan memperoleh kemenangan
dalam pibu yang hendak diadakan. Kursi gading untuk Ketua masih kosong
karena Ketuanya belum keluar, sedangkan seperangkat alat tetabuhan yang
dipukul perlahan menyemarakkan suasana seperti dalam pesta.
Orang pertama dari para pimpinan tinggi adalah seorang kakek yang
menyeramkan. Mukanya seperti muka singa karena rambut di kedua
pelipisnya disambung dengan jenggot yang melingkari wajahnya, kumisnya
juga tipis seperti kumis singa. Tubuhnya kekar penuh membayangkan tenaga
yang amat kuat biar pun kakek ini usianya sudah mendekati enam puluh
tahun. Rambut dan cambang bauknya sudah berwarna putih, namun warna ini
menambah keangkerannya karena membuat mukanya lebih mirip muka singa.
Sepasang matanya yang lebar menyinarkan cahaya kilat menyeramkan, namun
sikapnya pendiam, pakaiannya sederhana dan dia duduk seperti seekor
singa kekenyangan yang mengantuk!
Kakek ini sebenarnya merupakan saudara seperguruan tertua dan bahkan
menjadi suheng dari Ketua yang sekarang, namun karena dia seorang
berjiwa perantau dan petualang, maka dia tidak mempunyai nafsu untuk
merebut kedudukan ketua, sungguh pun dalam hal kepandaian, masih sukar
ditentukan siapa yang lebih unggul antara dia dan Sang Ketua. Kakek ini
sudah tidak dikenal lagi nama aslinya, lebih dikenal julukannya yang
menyeramkan, yaitu Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Ber-muka Singa)!
Orang kedua juga seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, kepalanya
gundul akan tetapi dia bukanlah seorang hwesio karena dia berjenggot
dan berkumis dan pakaiannya seperti seorang pelajar, bersikap halus
namun matanya liar seperti mata orang yang tidak waras pikirannya.
Kelihatannya kakek gundul ini lemah, duduk memegangi lengan kursi dan
kadang-kadang kedua tangannya bergerak menggigil seperti orang buyuten,
kepalanya bergerak-gerak sendiri tanpa disadari mengangguk-angguk dan
mulutnya kadang-kadang tersenyum geli seolah-olah ada setan tak tampak
membadut di depannya. Namun jangan dianggap remeh kakek ini karena dia
pun merupakan suheng dari Sang Ketua, dan sute dari Sai-cu Lo-mo.
Namanya Chie Kang dan julukannya tidak kalah menyeramkan dari suheng-nya
karena di dunia kang-ouw dia dikenal sebagai Lui-hong Sin-ciang (Tangan
Sakti Angin dan Kilat)!
Orang ketiga adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun,
tubuhnya tinggi besar, wajahnya merah seperti orang sakit darah tinggi,
matanya melotot jarang berkedip, hidungnya besar merah
tanda sifat gila perempuan, pakaiannya seperti seorang jago silat dan
di punggungnya tampak gagang sebatang golok besar. Inilah Twa-to
Sin-seng (Bintang Sakti Golok Besar) Ma Chun yang amat disegani dan
ditakuti karena wataknya yang kasar, terbuka, dan kurang ajar terhadap
wanita tanpa tedeng aling-aling lagi!
Orang ke empat adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih,
wajahya tampan sekali, bahkan begitu halus gerak-geriknya, begitu merah
bibirnya dan begitu tajam memikat kerling matanya sehingga dia lebih
mirip seorang wanita! Sepasang pedang tergantung di pinggangnya,
pakaiannya biru, dari bahan sutera halus dan laki-laki tampan ini
termasuk seorang yang pesolek. Sayangnya, sinar matanya yang bagus itu
mengandung kekejaman dan juga kesombongan yang memandang rendah semua
orang! Dia ini pun bukan orang biasa dan merupakan salah seorang di
antara para pemimpin tinggi yang telah membuat nama Thian-liong-pang
menjadi nama besar dan tenar.
Pedangnya amat ditakuti orang dan dia dijuluki Cui-beng-kiam (Pedang
Pengejar Arwah), namanya Liauw It Ban. Kalau suheng-nya, Ma Chun,
terkenal sebagai seorang laki-laki gila perempuan dan suka mempermainkan
wanita, Liauw It Ban ini lebih hebat lagi karena dia seorang mata
keranjang yang berwatak sadis, senang sekali menyiksa wanita yang
menjadi korbannya! Betapa pun juga, dia dan suheng-nya tidak pernah
mengumbar hawa nafsu iblis itu di daerah sendiri karena mereka tunduk
akan perintah ketua mereka agar tidak mengotorkan nama Thian-liong-pang
di daerah sendiri sehingga tidak mendapat kesan buruk terhadap
pemerintah. Karena itu namanya lebih tersohor di daerah lain di luar
propinsi.
Orang ke lima akan mendatangkan rasa heran bagi orang luar
Thian-liong-pang karena dia paling tidak patut menjadi anggota dewan
pimpinan perkumpulan besar itu. Dia adalah seorang wanita yang masih
muda, kurang lebih dua puluh tujuh tahun usianya, cantik manis dengan
pakaian sederhana namun tidak dapat menyembunyikan lekuk lengkung
tubuhnya yang sudah matang. Wanita ini merupakan saudara seperguruan
termuda, namun dia memiliki ilmu kepandaian di luar ilmu keturunan para
Pimpinan Thian-liong-pang karena dia telah menerima ilmu-ilmu dari
mendiang suaminya, seorang murid dari Bu-tong-pai yang lihai.
Suaminya tewas setahun yang lalu ketika berusaha memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua
sehingga wanita ini yang bernama Tang Wi Siang, adalah seorang janda
kembang yang harum dan membuat banyak pria tertarik dan ingin sekali
memetiknya. Terutama sekali kedua orang suheng-nya sendiri, Ma Chun dan
Liauw It Ban yang pada waktu itu pun sering kali melayangkan sinar mata
ke arahnya. Bahkan beberapa kali Ma Chun menelan ludah kalau pandang
matanya menyapu tubuh sumoi-nya yang penuh gairah. Liauw It Ban juga
memandang dengan sinar mata penuh gairah, akan tetapi ia
tersenyum-senyum dan memasang aksi setampan mungkin untuk menundukkan
hati sumoi-nya yang sudah menjadi janda itu.
Tetapi Tang Wi Siang duduk dengan tenang, sikapnya dingin sekali,
seperti sebongkah es membeku. Tapi di luar tahu lain orang, diam-diam ia
menyapukan pandang matanya yang tajam itu ke arah Liauw It Ban,
suheng-nya yang tampan. Dulu sebelum suaminya tewas, dia tidak
mempedulikan suheng-nya yang tampan ini, bahkan sebelum menikah, ia
tidak pernah melayani rayuan suheng-nya. Akan tetapi sekarang, setelah
setahun lamanya dia menjanda, setelah merasa tersiksa hatinya karena
kehilangan rayuan dan cinta kasih seorang pria yang pernah dinikmatinya
hanya beberapa tahun lamanya, diam-diam sering jantungnya berdebar kalau
membayangkan suheng-nya yang tampan itu menggantikan mendiang suaminya!
Lima orang inilah, bersama Sang Ketua sendiri, yang menjadi tokoh-tokoh
utama dari Thian-liong-pang dan memang mereka berenam memiliki
kepandaian yang tinggi, memiliki keistimewaan masing-masing sehingga
sukar untuk dikatakan siapa di antara mereka yang paling lihai. Dan
sekarang sudah dapat dibayangkan bahwa dalam pibu perebutan kedudukan
ketua, lima orang inilah yang akan berani maju untuk berpibu melawan
Sang Ketua, karena selain mereka, siapa lagi yang akan berani maju?
Tiba-tiba tetabuhan dipukul keras dan terdengar aba-aba dari komandan
upacara, yaitu seorang pemimpin rendahan yang memberi tahu akan
munculnya Sang Ketua. Semua anggota Thian-liong-pang serentak bangkit
memberi hormat, dan lima orang itulah yang berdiri dengan tenang dan
biasa menyambut munculnya Si Ketua yang ditunggu-tunggu sejak tadi.
Orang takkan merasa heran setelah melihat munculnya Ketua
Thian-liong-pang karena memang patutlah orang ini menjadi ketua.
Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa sehingga Ma Chun yang tinggi besar
itu hanya setinggi pundaknya!
Ketua Thian-liong-pang ini tingginya seimbang dengan besar tubuhnya.
Langkahnya lebar dan berat seperti langkah seekor gajah, lantai sampai
tergetar dibuatnya. Pakaiannya mentereng akan tetapi ketat dan
membayangkan tonjolan otot-otot yang besar. Kedua lengannya sampai ke
jari tangannya penuh bulu hitam kasar, kepalanya yang besar juga
berambut hitam kasar seperti kawat-kawat baja. Alisnya tebal hampir
persegi, matanya bulat dengan manik mata hitam amat kecil sehingga
kelihatannya mata itu putih semua, hidungnya kecil akan tetapi mulutnya
besar seperti terobek kedua ujungnya. Jenggot dan kumisnya dipotong
pendek, kaku seperti sikat kawat! Kulitnya yang kelihatannya tebal
seperti kulit badak itu berkerut-kerut, agak hitam mengingatkan orang
akan kulit buaya yang tebal, keras, dan lebat!
Inilah dia Phang Kok Sek, Ketua Thian-liong-pang yang telah mewarisi
Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dari leluhur Thian-liong-pang, yaitu
Lam-kek Sian-ong! Tahun yang lalu, dalam pibu dia telah menewaskan ketua
lama yang menjadi paman gurunya sendiri, menewaskan pula suami Tan Wi
Siang dan beberapa orang lain lagi, bahkan melukai Ma Chun yang menjadi
sute-nya.
Dengan gerakan kedua tangannya yang kaku, Ketua ini mempersilakan
saudara-saudara seperguruannya untuk duduk kembali. Dia sendiri
menduduki kursi gading, dan semua anak buah lalu duduk pula, para
pemimpin rendah duduk di bangku dan para anggota duduk di atas lantai
yang terbuat dari batu persegi yang lebar, keras dan berwarna hitam.
Seperti biasa, mereka itu merupakan setengah lingkaran menghadap ke arah
tempat para pimpinan duduk, yaitu di atas anak tangga dan di depan atau
sebelah bawah anak tangga yang merupakan ruangan yang sengaja
dikosongkan karena di situlah biasanya diadakan pibu antara pimpinan
untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ketua baru karena memiliki
ilmu kepandaian tertinggi. Tempat pibu yang berbahaya karena lantai ubin
batu itu amat keras sehingga sekali terbanting, tulang bisa patah, apa
lagi kalau kepala yang terbanting, bisa pecah!
Seperti sudah menjadi kebiasaan setiap diadakan pibu pemilihan ketua
baru, Thian-liong-pangcu yang bertubuh seperti raksasa memberi isyarat
dengan kedua tangan ke atas, menyuruh semua orang tidak mengeluarkan
suara berisik. Setelah keadaan menjadi hening, dia bangkit berdiri dan
mengucapkan kata-kata yang sudah dikenal baik oleh semua anggota.
"Saudara sekalian, hari ini kita berkumpul untuk mengadakan pemilihan
ketua baru seperti yang tiap kali diadakan sesuai dengan kehendak dewan
pimpinan. Aku sendiri sebagai ketua, kedua orang Suheng, dua orang Sute,
dan Sumoi-ku sebagai anggota dewan pimpinan telah bersepakat untuk
mengadakan pemilihan ketua baru pada hari ini sesuai dengan kebiasaan
dan peraturan perkumpulan kita. Seperti telah menjadi kebiasaan
Thian-liong-pang pula, aku sebagai ketua harus mempertahankan
kedudukanku sebagai ketua dan dia yang dapat mengalahkan aku dan
kemudian keluar sebagai orang terkuat, dialah yang berhak menjadi ketua
baru tanpa ada tentangan dari siapa pun juga dan memiliki hak mutlak
untuk menjadi Ketua Thian-liong-pang. Luka atau mati dalam pibu tidak
boleh mengakibatkan dendam dan kebencian di antara saudara
seperkumpulan, karena pibu ini diadakan bukan karena urusan pribadi,
melainkan untuk pemilihan ketua dan demi kepentingan dan nama besar
Thian-liong-pang. Aku sudah selesai bicara dan di antara para anggota
biasa dan pimpinan yang ingin memasuki pibu, harap berdiri dan
menyatakan pendapatnya."
Setelah berkata demikian, Ketua yang bertubuh seperti raksasa itu duduk
kembali, kedua lengannya yang besar ditaruh di atas lengan kursi gading,
tubuhnya memenuhi kursi itu dan pandang matanya menyapu semua orang
yang hadir penuh tantangan. Namun diam-diam ia melirik ke arah dua orang
suheng-nya, yaitu Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang. Ketua
ini tidak gentar menghadapi dua orang sute-nya dan seorang sumoi-nya
karena merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan mereka. Namun dia
mengerti bahwa kalau dua orang suheng-nya itu memasuki pibu, dia harus
berhati-hati karena akan bertemu lawan yang berat.
Sai-cu Lo-mo yang sudah berusia enam puluh tahun itu adalah seorang
perantau dan sejak dahulu tidak pernah memasuki pibu perebutan kursi
ketua karena baginya menjadi ketua berarti harus selalu berada di
Thian-liong-pang dan agaknya dia tidak mau mengorbankan kesukaannya
merantau dengan menjadi ketua. Ada pun Lui-hong Sin-ciang Chie Kang
adalah seorang yang sama sekali tidak mempunyai ambisi, belum pernah
mengikuti pibu pemilihan ketua. Orang ini lebih senang duduk termenung,
atau bersemedhi atau diam-diam melatih ilmu silatnya, kalau tidak tentu
dia tenggelam dalam kitab-kitab kuno karena dia adalah seorang kutu buku
yang karena terlalu suka membaca tanpa mempedulikan waktu, sampai
kadang-kadang matanya basah dan merah, sedangkan kedua tangannya
menggigil buyuten! Betapa pun juga, Phang Kok Sek maklum bahwa
suheng-nya yang kedua ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia
masih belum berani memastikan apakah dia akan menang melawan
Ji-suheng-nya ini.
Karena ada kekhawatiran ini, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia
melihat twa-suheng-nya, Sai-cu Lo-mo sebagai orang pertama yang bangkit
berdiri dari kursi di ujung sebelah kanannya. Para anggota juga menjadi
heran dan tegang karena maklum bahwa kalau yang tua-tua ini sudah ikut
pibu, tentu akan ramai sekali pertandingan antara saudara-saudara
seperguruan itu.
Sai-cu Lo-mo mengelus brewoknya yang putih sambil tersenyum sebelum
bicara, kemudian ia berkata, "Harap semua saudara jangan salah menduga.
Aku lebih suka merantau di alam bebas dari pada harus terikat di atas
kursi gading sebagai ketua! Sekarang pun aku masih belum mengubah
kesenanganku dan aku tidak akan mengikuti pibu pemilihan ketua, hanya
ada sedikit hal yang perlu kukemukakan. Siapa pun yang akan menjadi
ketua baru, mulai sekarang harus dapat mengendalikan Thian-liong-pang
dengan baik, mencegah penyelewengan para anggota yang hanya akan merusak
nama besar Thiang-liong-pang. Hentikan perbuatan-perbuatan maksiat yang
rendah dan yang menyeret Thian-liong-pang ke lembah kehinaan, sebab
kita bukanlah anggota-anggota perkumpulan rendah, bukan segerombolan
penjahat-penjahat kecil yang mengandalkan nama perkumpulan untuk
melakukan perbuatan menjijikkan seperti yang sering kudengar yaitu
berlaku sewenang-wenang, memperkosa wanita, dan sebagainya. Kalau
perbuatan-perbuatan ini tidak dihentikan, kalau Ketua baru tidak mampu
mengendalikan, hmmm... aku tidak mengancam, akan tetapi terpaksa aku
akan turun tangan menentangnya dan mungkin akan timbul hasratku untuk
menjadi ketua!" Setelah berkata demikian, kakek muka singa itu duduk
kembali dan melenggut seperti orang hendak tidur!
Keadaan menjadi sunyi, kemudian terdengar bisik-bisik di antara para
anggota yang sebagian besar merasa tersinggung dan tidak senang dengan
ucapan itu. Ada pun Phang Kok Sek, Sang Ketua, menjadi merah mukanya,
terasa panas seperti baru saja menerima tamparan.
"Cocok sekali!" Tiba-tiba Lui-hong Sin-ciang Chie Kang berseru dan
bangkit dari kursinya. Suaranya tinggi nyaring, sungguh tidak sesuai
dengan sikapnya yang tenang dan kelihatan lemah. "Jangan membikin malu
nenek moyang kita yang gagah perkasa, Siangkoan Li Su-couw yang pernah
menjadi sahabat baik pendekar wanita sakti Mutiara Hitam!" Setelah
berkata demikian, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang duduk kembali.
Biar pun ucapan kedua orang suheng-nya itu merupakan tamparan dan
teguran tersembunyi yang ditujukan kepadanya, tetapi hati Phang Kok Sek
menjadi lega karena jelas bahwa kedua orang suheng-nya itu tidak mau
memasuki pibu memperebutkan kursi ketua! Kini tinggal dua orang sute-nya
dan seorang sumoi-nya, karena selain mereka bertiga, siapa lagi yang
berani memasuki pibu? Dia melirik ke arah kedua orang sute-nya dan
sumoi-nya.
Hampir berbareng, Twa-to Sin-seng Ma Chun dan Cui-beng-kiam Liauw It Ban
bangkit berdiri memandang ketua mereka juga suheng mereka sambil
berkata,
"Aku hendak memasuki pibu!" kata Ma Chun.
"Dan aku juga ingin mencoba-coba, memasuki pibu pemilihan ketua baru!" kata Liauw It Ban.
Setelah kedua orang itu duduk kembali, Tang Wi Siang bangkit berdiri.
Janda muda yang cantik jelita ini berkata tenang, "Aku ingin memasuki
pibu, akan tetapi hendaknya Pangcu dan sekalian Suheng dan saudara
sekalian maklum bahwa aku merasa tidak cukup untuk menjadi ketua..."
"Sumoi, aku bersedia membantumu mengatur pekerjaan ketua!" Tiba-tiba
Liauw It Ban berseru dan matanya memandang dengan sinar penuh arti.
Kedua pipi wanita itu berubah merah, jantungnya berdebar karena maklum
apa yang tersembunyi di balik ucapan itu, apa lagi ketika ia melihat
banyak mulut tersenyum-senyum maklum, membuat dia merasa lebih jengah
lagi. "Terima kasih, Liauw-suheng. Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi
ketua, juga jangan disalah artikan bahwa aku memasuki pibu karena
mendendam atas kematian mendiang suamiku. Sama sekali tidak, aku
memasuki pibu setelah selama ini aku melatih diri memperdalam ilmu silat
dan semata-mata hanya untuk mempertebal keyakinan bahwa orang yang
menjadi ketua perkumpulan kita memiliki ilmu kepandaian yang lebih
tinggi dariku sehingga boleh dipercaya dan diandaikan utuk menjunjung
nama dan kehormatan Thian-liong-pang!"
Girang sekali hati Phang Kok Sek mendengar ini dan diam-diam ia
mengambil keputusan untuk memaafkan sumoi-nya yang cantik itu dan tidak
membunuhnya. Akan tetapi kedua orang sute-nya Ma Chun dan Liauw It Ban
harus ia tewaskan dalam pibu itu karena kalau sekali ini mereka gagal,
pada lain kesempatan tentu mereka itu akan mencoba lagi dan hal ini
merupakan bahaya terus-menerus bagi kedudukannya. Ia segera bangkit
berdiri dan berkata,
"Terima kasih atas wejangan kedua Suheng dan tentu saya akan berusaha
memperbaiki keadaan perkumpulan kita. Seperti saudara sekalian telah
mendengar, yang memasuki pibu untuk kedudukan ketua baru hanyalah
Ma-sute dan Liauw-sute, sedangkan Sumoi hanya akan menguji kepandaian
Ketua baru yang berhasil keluar sebagai pemenang dalam pibu ini. Kurasa
tidak ada orang lain lagi yang akan memasuki pibu hari ini!"
"Ada!" Tiba-tiba terdengar suara yang bening merdu, suara wanita!
"Akulah yang akan memasuki pibu memperebutkan kedudukan ketua
Thian-liong-pang!"
Semua orang menengok dan memandang dengan penuh keheranan kepada seorang
wanita yang kepalanya berkerudung sutera putih dan tahu-tahu telah
berdiri di dalam ruangan itu. Bagaimana mungkin orang ini masuk? Semua
pintu masih tertutup, dan tempat itu dikelilingi tembok yang tinggi dan
atasnya dipasangi tombak-tombak runcing mengandung racun!
"Engkau siapa?" Phang Kok Sek membentak dengan suara menggeledek karena marah.
Terdengar suara ketawa kecil di balik kerudung sutera itu dan dengan
langkah tenang wanita berkerudung itu memasuki ruangan sampai di bagian
tengah yang kosong, di bawah anak tangga kemudian berkata, "Pangcu,
siapa aku bukanlah hal penting. Akan tetapi kalau kalian semua ingin
tahu juga, akulah calon Ketua baru dari Thian-liong-pang, calon Ketua
kalian. Aku memasuki pibu untuk mendapatkan kedudukkan Ketua
Thian-liong-pang."
Phang Kok Sek bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah wanita
berkerudung itu. "Tidak mungkin! Engkau telah melakukan dua
pelanggaran. Pertama, engkau sebagai orang luar berani memasuki tempat
ini tanpa ijin, kesalahan ini saja sudah patut dihukum dengan kematian.
Kedua, pibu kedudukan Ketua Thian-liong-pang hanya dilakukan di antara
anggota sendiri, tidak boleh dicampuri orang dari luar! Ayo, buka
kedokmu dan perkenalkan dirimu. Karena engkau seorang wanita, mungkin
sekali kami dapat memberi ampun."
Kembali wanita itu tertawa, halus merdu dan penuh ejekan namun cukup
membuat tulang punggung yang mendengarnya terasa dingin. "Phang Kok Sek,
biar pun engkau telah menjadi Ketua Thian-liong-pang, ternyata engkau
agaknya tidak tahu atau lupa akan sejarah Thian-liong-pang dan riwayat
tokoh-tokoh besarnya di waktu dahulu. Dahulu, pendekar besar Siongkoan
Li telah diusir dari Thian-liong-pang, dan dianggap sebagai orang luar
karena perbuatan-perbuatannya yang menentang Thian-liong-pang dan karena
menjadi murid dari kedua Siang-ong Kutub Utara dan Selatan. Akan tetapi
kemudian dia kembali dan merampas Thian-liong-pang menjadi ketuanya!
Bukankah itu berarti seorang luar dapat menjadi Ketua Thian-liong-pang?
Dan lupakah engkau kepada Gurumu sendiri, Guru semua anggota dewan
pimpinan Thian-liong-pang ini? Siapakah Guru kalian? Bukankah guru
kalian mendiang Kim-sin-to Sai-kong adalah seorang pertapa dari
Kun-lun-san yang sama sekali bukan anggota Thian-liong-pang tadinya?"
Keenam pimpinan Thian-liong-pang terkejut sekali. Bagaimana orang ini
dapat mengetahui semua rahasia itu yang menjadi rahasia moyang para
pimpinan Thian-liong-pang?
"Siapakah engkau?" Kembali Phang Kok Sek bertanya.
"Aku adalah calon Thian-liong-pang-cu," wanita berkerudung menjawab.
Tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata setelah menatap sepasang mata di balik
kerudung itu dengan tajam. "Toanio, siapa pun adanya engkau, tapi caramu
masuk dan sikapmu menunjukkan bahwa engkau seorang pemberani. Akan
tetapi ketahuilah bahwa seorang yang ingin menjadi Ketua
Thian-liong-pang bukanlah melalui pibu, melainkan merupakan perampas
perkumpulan yang harus lebih dahulu mengalahkan seluruh pimpinan..."
"Memang aku datang untuk mengalahkan kalian semua atau siapa saja yang
menentangku menjadi Ketua Thian-liong-pang!" Wanita itu menjawab
seenaknya. "Nah, aku menyatakan diriku sebagai Ketua Thian-liong-pang
yang baru! Siapa yang akan menentang? Boleh maju!"
Para anggota Thian-liong-pang memandang dengan hati tegang dan juga
gembira karena mereka merasa yakin bahwa munculnya wanita aneh ini akan
mengakibatkan pertandingan yang amat menarik. Tadinya mereka sudah
merasa kecewa ketika mendengar ucapan Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang karena maklum bahwa dua orang tua itu tidak memasuki
pibu sehingga pertandingan yang akan terjadi di antara Ketua dan dua
orang sute-nya dan seorang sumoi-nya tidak akan menarik hati.
Sementara itu, melihat sikap wanita berkerudung, enam orang pimpinan
Thian-liong-pang menjadi marah dan diam-diam Phang Kok Sek memberi tanda
dengan matanya kepada Cui-beng-kiam Liauw It Ban. Mereka berenam adalah
orang-orang yang berkedudukan tinggi pula, maka biar pun mereka
ditantang, mereka merasa malu untuk maju mengeroyok. Pula, Phang Kok Sek
yang cerdik sengaja menyuruh sute-nya maju, selain untuk menyaksikan
dan mengukur kepandaian wanita berkerudung juga andai kata terjadi
sesuatu dengan diri Liauw It Ban hanya berarti bahwa dia kehilangan
seorang di antara saingan-saingannya!
Akan tetapi betapa kaget hatinya, dan juga para pimpinan lain ketika
wanita itu mendahului Liauw It Ban yang hendak bangun menghadapi Si
Pedang Pengejar Roh itu sambil berkata, "Nah, engkau sudah menerima
perintah Suheng-mu untuk melawan aku. Majulah!"
Bukan main tajamnya pandang mata di balik kerudung sutera itu sehingga
isyarat Sang Ketua dengan matanya dapat ia tangkap! Liauw It Ban
meloncat bangun dan ketika tangan kanannya bergerak, tampak sinar
berkelebat, pedangnya telah berada di tangan kanan. Ia tersenyum
mengejek, melintangkan pedang depan dada dan menggunakan telunjuk
kirinya menuding ke arah muka berkerudung itu.
"Perempuan sombong! Agaknya engkau belum mengenal aku, maka engkau
berani membuka mulut besar! Lebih selamat bagimu kalau engkau membuka
kerudungmu agar dapat kulihat wajahmu. Kalau wajahmu sehebat tubuhmu,
hemm... agaknya aku masih dapat mengampunimu asal engkau tahu bagaimana
harus membalas budi, ha-ha-ha!"
Betapa kagetnya ketika laki-laki berusia tiga puluh tahun yang tampan
dan pesolek ini mendengar suara dari balik kerudung, suara yang merdu
namun mengandung ejekan, "Cui-beng-kiam Liauw It Ban, siapa tidak
mengenal orang rendah seperti engkau ini? Engkau orang ke lima dari enam
Pimpinan Thian-liong-pang, dan sudah cukup engkau mengotorkan
Thian-liong-pang dengan perbuatan-perbuatan kotormu, memperkosa
wanita-wanita baik-baik, menyiksa orang. Engkau seorang penjahat cabul
yang berhati keji dan mestinya engkau tidak patut menjadi tokoh
Thian-liong-pang. Kedatanganku memang untuk menjadi Ketua
Thian-liong-pang dan sekaligus membersihkan Thian-liong-pang dari
monyet-monyet kotor macam engkau!"
"Singggg...!" Tampak sinar kilat ketika pedang di tangan Liauw It Ban
menyambar ke arah leher wanita berkerudung. Namun, dengan gerakan mudah
sekali wanita itu mengelak, bahkan terdengar tertawa mengejek. Tidak
percuma Liauw It Ban mendapat julukan Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar
Roh) karena begitu pedangnya luput, sudah membalik lagi dengan serangan
kedua yang merupakan sebuah tusukan ke arah dada wanita berkerudung itu.
Semua pimpinan Thian-liong-pang terbelalak kaget ketika menyaksikan
gerakan wanita berkerudung itu. Wanita itu mengangkat tangan kirinya dan
dua buah jari tangannya, telunjuk dan ibu jari, menjepit ujung pedang
yang menusuknya dengan mudah sekali dan... betapa pun Liauw It Ban
menarik, pedangnya tidak dapat terlepas dari jepitan dua buah jari itu!
"Begini sajakah Pedang Pengejar Roh? Tentu roh tikus saja yang dapat dikejarnya. Hi-hik!" Wanita berkerudung itu mengejek.
"Perempuan siluman!" Liauw It Ban membentak, tangan kanannya menyambar
ke depan, menghantam ke arah muka wanita yang tertutup kerudung sutera
itu.
"Plakk! Krekkk... aduuhhh!" Liauw It Ban menjerit kesakitan ketika
tangan kanan wanita itu menyambut pukulannya dengan telapak tangan,
terus mencengkeram sehingga tulang-tulang jari tangan Liauw It Ban yang
terkepal itu patah-patah dan remuk!
"Krak... ceppp! Augghhhh..."
Wanita itu tak berhenti sampai di situ saja. Tangan kirinya yang
menjepit ujung pedang membuat gerakan, pedang patah ujungnya dan sekali
mengibaskan tangan kiri, ujung pedang itu meluncur dan amblas memasuki
dada Liauw It Ban sampai tembus ke punggung. Liauw It Ban melepaskan
pedang, mendekap dadanya, dan akhirnya roboh terjengkang, tewas di saat
itu juga. Wanita berkerudung menendang dan mayat itu melayang ke atas
anak tangga, ke arah Ketua Thian-liong-pang!
Phang Kok Sek menyambut mayat itu, memeriksa sebentar dan mukanya
menjadi merah saking marahnya. Kalau saja Liauw It Ban tewas dalam
sebuah pertandingan yang dapat membuka rahasia gerakan wanita itu dan
yang kiranya dapat ia tandingi tentu ia akan merasa girang kehilangan
seorang saingan. Akan tetapi kematian sute-nya itu demikian aneh, hanya
dalam dua gebrakan saja sehingga dia sama sekali tidak dapat mengukur
sampai di mana tingginya kepandaian wanita itu, dan hal ini merupakan
penghinaan bagi Thian-liong-pang yang ditakuti oleh semua tokoh
kang-ouw. Biar pun dia belum dapat mengukur dan mengenal ilmu wanita
berkerudung, namun ia tahu bahwa wanita itu amat sakti, kalau tidak tak
mungkin sute-nya yang ilmu kepandaiannya tidak kalah jauh olehnya itu
dapat tewas semudah itu. Maka ia cepat memberi isyarat dan berseru.
"Serbu...!"
Dua ratus orang anak buah Thian-liong-pang, dipimpin oleh komandan
masing-masing serentak bangkit. Tiba-tiba terdengar suara lengking
panjang yang menulikan telinga, disusul berkelebatnya bayangan yang
berputar ke arah mereka yang mengurungnya dan... semua orang terbelalak
memandang dua belas orang yang roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi!
Kiranya wanita itu sudah bergerak cepat dan merobohkan setiap orang yang
berada paling depan dari para pengurung, entah bagaimana caranya karena
dua belas orang yang roboh dan tewas itu tidak terluka sama sekali.
"Para anggota Thian-liong-pang, dengarlah! Aku datang bukan untuk
membunuh kalian, melainkan untuk memimpin kalian. Kalau aku datang akan
membasmi, betapa mudahnya! Aku akan menjadikan Thian-liong-pang sebuah
perkumpulan terbesar dan terkuat di seluruh dunia, sekuat Pulau Es
dengan penghuni-penghuninya!"
Mendengar ini, terutama melihat cara wanita itu merobohkan dua belas
orang teman mereka, para anggota itu serentak mundur dan menjadi
ragu-ragu. Hal ini menimbulkan kemarahan besar di hati para pimpinan.
"Perempuan rendah, berani engkau membunuh Sute-ku?" Twa-to Sin-seng Ma Chun berteriak dan tangan kirinya bergerak.
"Cuit-cuit-cuit... cap-cap-cappp!"
Tiga batang senjata rahasia berbentuk bintang menyambar ke arah tubuh
wanita berkerudung, namun semua dapat ditangkap oleh wanita itu dengan
jepitan jari-jari tangannya. Wanita itu terkekeh, mengumpulkan tiga buah
senjata rahasia itu di tangan kirinya, mengepal dan terdengar suara
keras. Ketika ia membuka tangannya, tiga buah senjata rahasia bintang
yang terbuat dari baja dan diberi racun itu telah hancur
berkeping-keping dan dibuang ke atas lantai!
Twa-to Sin-seng Ma Chun marah sekali, lalu mencabut golok besarnya dan
menerjang maju. Tang Wi Siang yang melihat Liauw It Ban, suheng yang
menggerakkan gairahnya itu terbunuh, menjadi marah dan ia pun sudah
mencabut pedang dan membantu Ma Chun mengeroyok wanita itu.
Sinar golok dan pedang menyambar-nyambar seperti kilat, mengurung tubuh
wanita berkerudung, akan tetapi anehnya, tak pernah kedua senjata ini
menyentuh ujung baju Si Wanita yang bergerak dengan mudah dan ringan
seolah-olah tubuhnya berubah menjadi uap. Dikeroyok oleh dua orang yang
lihai itu wanita ini malah terkekeh-kekeh dan masih dapat berkata-kata
sambil mengelak ke sana ke mari.
"Twa-to Sin-ceng Ma Chun, engkau pun bukan manusia baik-baik. Engkau
mata keranjang, sombong, kasar dan mengandalkan kepandaian yang tidak
seberapa..."
"Perempuan rendah! Kalau saja aku berhasil menangkapmu, aku bersumpah
akan menelanjangimu dan memperkosamu di depan mata seluruh anggota
Thian-liong-pang... aughhh...!" Tubuh yang tinggi besar itu terlempar,
goloknya terpental dan ketika semua orang memandang, tampak tanda tiga
buah jari membiru di dahi Ma Chun yang sudah tewas itu!
"Engkau... manusia kejam...!" Tang Wi Siang menjerit dan pedangnya menerjang dengan hebatnya.
Kalau dibandingkan dengan Ma Chun dan Liauw It Ban, tingkat kepandaian
Tang Wi Siang dapat dikatakan sama. Namun setelah mempelajari ilmu
pedang dari suaminya yang telah tiada, ia dapat memperhebat ilmu
pedangnya dengan gerakan dasar dari Bu-tong-pai. Maka sekali ini dalam
keadaan marah, pedangnya mengeluarkan bunyi berdesing-desing dan
menyerang wanita berkerudung itu secara bertubi-tubi.
"Tang Wi Siang, bagus sekali engkau telah mempelajari ilmu dasar dari
Bu-tong-pai. Aku tidak akan membunuhmu karena aku memilih engkau menjadi
wakilku dalam memimpin Thian-liong-pang!"
"Tutup mulutmu! Aku baru mengakui orang kalau sudah dapat mengalahkan aku!"
"Wanita bodoh, tak tahukah engkau, betapa mudahnya itu? Kau tadi
mengatakan bahwa engkau akan menguji kepandaian setiap Ketua
Thian-liong-pang, nah, sekarang boleh menguji aku yang akan menjadi
junjunganmu dan juga gurumu. Lihat baik-baik, dalam tiga jurus aku akan
mengalahkanmu!"
Biar pun pada saat itu juga dia sudah yakin betapa saktinya wanita
berkerudung itu, namun di dalam hatinya Tang Wi Siang menjadi penasaran.
Wanita aneh itu telah mengenal baik-baik keadaan Thian-liong-pang,
mengenal riwayat perkumpulan ini, bahkan mengenal semua nama dan julukan
para pimpinan Thian-liong-pang berikut watak mereka. Dan kini
menantangnya akan mengalahkan dalam tiga jurus! Apakah dia dianggap
seorang anak kecil yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa? Rasa
penasaran membuat dia marah dan merasa dianggap rendah dan hina, maka ia
berteriak keras.
"Manusia yang bersembunyi di belakang kerudung seperti siluman! Kalau
kau dapat mengalahkan aku dalam tiga jurus, aku tidak patut menjadi
wakilmu, lebih patut mampus atau menjadi pelayanmu!"
"Bagus! Engkau sendiri yang memilih menjadi pelayan!" Wanita aneh itu
menjawab, akan tetapi pada saat itu Tang Wi Siang sudah menerjang dengan
pedangnya, menggunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Terjun Terbang
Bianglala Melengkung).
Jurus ini adalah jurus ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat indah dan
berbahaya, menjadi aneh dan lebih berbahaya lagi karena gerakannya telah
dicampur dengan gerakan ilmu asli dari Thian-liong-pang, yaitu ketika
pedang menyambar membacok ke arah muka lawan dilanjutkan dengan gerakan
membabat leher dari kanan ke kiri dengan gerakan melengkung, tangan kiri
Tang Wi Siang menyusul dengan pukulan sakti yang disebut Touw-sim-ciang
(Pukulan Menembus Jantung), semacam pukulan yang digerakkan dengan
tenaga sinkang dan dapat menggetarkan isi dada menghancurkan jantung dan
paru-paru!
"Siuuuttt... wirr-wirrr-wirrrr...!"
Wi Siang hanya melihat berkelebatnya bayangan wanita berkerudung itu ke
kanan, kiri dan serangannya luput! Dengan kaget dan penasaran ia
melanjutkan serangannya secara beruntun, yaitu dengan jurus
Sian-li-touw-so (Sang Dewi Menenun) dan terakhir dengan jurus
Sian-li-sia-kwi (Sang Dewi Memanah Setan). Mula-mula pedangnya berubah
menjadi gulungan sinar yang melingkar-lingkar mengurung tubuh wanita
berkerudung dan menyerangnya dari arah yang mengelilingi lawan itu.
Wi Siang maklum bahwa lawannya memiliki ginkang yang luar biasa, dapat
bergerak cepat seperti terbang, maka ia berusaha mengurungnya dengan
sinar pedang. Seperti yang telah diduganya, wanita itu tiba-tiba
mencelat ke atas untuk menghindarkan diri dari lingkaran sinar pedang.
Saat ini sudah dinanti-nanti oleh Wi Siang, maka ia lalu menyerang
dengan jurus ketiga. Jurus terakhir jurus Sian-li-sia-kwi ini hebat
sekali, dilakukan dengan melontarkan pedang ke arah bayangan lawan yang
mencelat ke atas.
Wi Siang amat cerdik. Dia dibatasi hanya sampai tiga jurus. Kalau dalam
tiga jurus wanita berkerudung itu tidak mampu mengalahkannya, berarti
dia dianggap menang! Inilah yang menyebabkan dia mengambil keputusan
untuk menggunakan jurus Sian-li-sia-kwi dalam jurus terakhir karena
selagi mencelat di udara dan diserang oleh pedangnya yang meluncur
seperti anak panah, bagaimana wanita itu dapat merobohkannya?
Betapa kaget, heran dan juga girangnya ketika ia melihat lawannya itu
agaknya berkeinginan keras untuk mengalahkannya dalam jurus ini malah
meluncur turun dan menyambut pedang yang menyambar itu! Makin girang
lagi hati Wi Siang melihat pedangnya tepat mengenai dada Si Wanita
berkerudung sehingga ia tertawa girang penuh kemenangan.
Tiba-tiba suara ketawanya terhenti dan tubuhnya terguling ke atas lantai
tanpa dapat bangun lagi karena seluruh kaki tangannya lemas setelah
jalan darah di pundak terkena totokan wanita itu! Ketika pedangnya tadi
mengenai dada Si Wanita berkerudung, terdengar bunyi keras dan pedangnya
telah patah, kemudian sebelum ia dapat memulihkan kekagetan hatinya,
tahu-tahu tangan wanita berkerudung telah menotok pundaknya dengan tubuh
masih meluncur dari atas. Tang Wi Siang bukanlah seorang bodoh. Kini
dia merasa yakin bahwa wanita berkerudung itu benar-benar memiliki
kesaktian yang luar biasa, bahkan ia dapat menduga bahwa biar pun
seluruh anggota dan pimpinan Thian-liong-pang maju mengeroyok sekali
pun, mereka tidak akan dapat mengalahkan wanita ini.
"Bangkitlah, Wi Siang!" Wanita berkerudung yang sudah mengenalnya itu menggerakkan tangan.
Tiba-tiba Wi Siang merasa tenaganya sudah pulih kembali. Dia tidak
meloncat bangun, melainkan bangkit berlutut di depan wanita itu sambil
berkata, "Saya menyatakan takluk dan siap memenuhi semua perintah
Pangcu!"
Tiba-tiba terdengar suara bercuitan keras dibarengi menyambarnya
benda-benda yang mengeluarkan sinar ke arah Si Wanita berkerudung.
Itulah senjata rahasia yang dilepas oleh kedua tangan Phang Kok Sek,
Ketua Thian-liong-pang yang sudah tidak dapat mengendalikan amarahnya
lagi. Sekaligus dia telah menyerang dengan senjata rahasia berbentuk
bintang, senjata rahasia yang khas dari Thian-liong-Pang dan tentu saja
dalam mempergunakan senjata rahasia bintang ini, Phang Kok Sek merupakan
seorang ahli yang pandai. Tujuh belas buah senjata rahasia terbang
menyambar seperti berlomba menuju ke sasaran masing-masing yaitu tujuh
belas jalan darah terpenting di bagian tubuh depan dari Si Wanita
berkerudung.
Namun wanita berkerudung itu memiliki kecepatan yang amat hebat. Betapa
pun cepat datangnya senjata-senjata rahasia yang menyerangnya,
gerakannya mengelak lebih cepat lagi. Hanya tampak tubuhnya berkelebat
dan tahu-tahu ia telah lenyap. Ketika orang memandang ke atas, tubuhnya
telah menempel di langit-langit ruangan itu bagai kelelawar besar
bergantungan pada pohon.
Phang Kok Sek yang selain marah sekali juga maklum bahwa kalau tidak
dapat segera melenyapkan wanita berkerudung ini kedudukannya terancam,
sudah meloncat ke atas dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan
terbuka, didorongkan ke arah tubuh lawan yang masih menempel di
langit-langit.
"Braakkk!"
Hebat bukan main pukulan itu. Pukulan Hwi-tok-ciang selain amat dahsyat
juga mengandung hawa panas membakar dan berbisa pula. Langit-langit
ruangan itu jebol dilanda hawa pukulan dahsyat ini. Akan tetapi,
bagaikan seekor capung ringannya, tubuh wanita berkerudung sudah
mengelak dan melayang turun. Ketika tubuhnya lewat dekat tubuh Phang Kok
Sek, wanita itu mengirim sebuah tendangan ke arah dada Phang Kok Sek.
Tingkat kepandaian Pang Kok Sek jauh lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaian dua orang sute-nya yang tewas dan seorang sumoi-nya yang
telah dikalahkan lawan. Tendangan itu cepat dan tidak terduga-duga,
dilepas selagi tubuh mereka berada di tengah udara. Akan tetapi dengan
jalan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, Phang Kok Sek
berhasil menyelamatkan nyawanya dan hanya ujung bajunya saja yang robek
kena diserempet ujung kaki lawan. Hal ini membuktikan betapa lihai
wanita itu dan Phang Kok Sek sudah meloncat ke bawah dengan muka
berubah.
"Ji-wi Suheng! Siluman ini telah membunuh Ma-sute dan Liauw-sute, dan
beberapa orang anak buah, apakah kalian masih tinggal diam saja?" Sambil
menegur kedua orang suheng-nya, Phang Kok Sek sudah menyambar
senjatanya yang hebat, yaitu sebatang tombak cagak bergagang baja yang
besar dan berat dari sudut belakang tempat duduknya.
Karena wanita berkerudung itu adalah orang luar dan yang terang-terangan
hendak merampas Thian-liong-pang, semenjak tadi memang Sai-cu Lo-mo dan
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang menganggapnya sebagai musuh. Akan tetapi,
mengingat akan kedudukan dan tingkat mereka yang sudah tinggi di dunia
kang-ouw, mereka masih merasa ragu-ragu dan malu untuk mengeroyok
seorang wanita.
Kini menyaksikan kelihaian wanita itu yang benar-benar amat luar biasa
dan mendengar teguran Sang Ketua, kedua orang kakek ini sudah bangkit
dan meloncat ke depan. Mereka tidak memegang senjata dan memang kedua
orang kakek ini lebih mengandalkan kepada kaki tangannya dari pada
senjata. Biar pun bertangan kosong, namun kepandaian mereka hebat dan
kaki tangan mereka ini jauh lebih berbahaya dari pada segala macam
senjata yang tajam runcing.
Sai-cu Lo-mo yang tertua di antara mereka bertiga dan juga sudah
berpengalaman dan memiliki tingkat yang paling tinggi, kini berhadapan
dengan wanita berkerudung, memandang tajam seperti hendak menembus
kerudung itu dengan pandang matanya, lalu berkata, "Nona, engkau masih
begini muda telah memiliki kepandaian yang hebat dan sikap yang aneh
sekali. Bukalah kerudungmu, perkenalkan dirimu dan jelaskan apa sebabnya
engkau mengacau di Thian-liong-pang dan membunuh orang-orang yang sama
sekali tidak ada permusuhan denganmu!"
Sepasang mata di belakang dua lubang di kerudung itu bersinar-sinar dan
biar pun mulutnya tidak tampak, jelas dapat diduga bahwa wanita itu
tersenyum. Mata itu memandang kepada Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang
bergantian, kemudian berkata,
"Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, aku mengenal siapa
kalian berdua dan tadi aku sudah mendengar kalian mengeluarkan isi hati
kalian! Hanya kalian berdualah yang patut menjadi Ketua dan Pimpinan
Thian-liong-pang, akan tetapi mengapa kalian tidak pernah mau menjadi
Ketua? Aku tahu, karena kalian merasa enggan menjadi Ketua dari
perkumpulan yang makin rusak oleh sepak terjang anak buahnya!
Thian-liong-pang makin bobrok dan kalian tidak mau nama kalian kelak
terseret ke dalam lumpur kehinaan karena menjadi Ketuanya! Betapa
pengecut! Betapa pun juga, aku suka kalian membantuku kelak, maka aku
tidak akan membunuh kalian berdua. Tak perlu aku memperkenalkan diri,
cukup kalau kalian ketahui bahwa akulah Ketua kalian yang baru, karena
aku hendak memimpin Thian-liong-pang menjadi sebuah perkumpulan yang
besar dan kuat, lebih besar dan lebih kuat dari pada para penghuni Pulau
Es. Ada pun Phang Kok Sek Si Raksasa tolol yang tidak segan-segan
mengorbankan saudara-saudaranya untuk memperebutkan kursi ketua ini, dia
tidak berguna dan akan kulenyapkan..."
"Siluman betina!" Phang Kok Sek sudah menerjang maju, menusukkan tombak
cagaknya yang panjang, besar dan berat ke arah perut wanita berkerudung
itu.
"Takkk!" Wanita itu tidak mengelak, tidak berkisar dari tempat dia
berdiri hanya mengangkat kaki kirinya dan ujung kakinya itu menendang ke
arah tombak, tepat mengenai belakang mata tombak sehingga tusukan itu
menyeleweng dan Phang Kok Seng merasa tangannya bergetar hebat.
Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menjadi merah mukanya
mendengar ucapan wanita berkerudung itu sudah menerjang maju pula.
Mereka merasa berkewajiban untuk menentang wanita ini, bukan sekali-kali
untuk membantu demi keselamatan pribadi Phang Kok Sek, namun demi
menjaga nama Thian-liong-pang dan sebagai tokoh-tokoh Thian-liong-pang
melihat orang luar mengacau perkumpulan itu.
"Wussss... ciattt!"
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang kepalanya gundul dan kelihatan lemah
sekali seperti seorang sastrawan yang menjadi botak karena terlalu
banyak berpikir dan menjadi buyuten tangannya karena terlalu banyak
menulis, begitu menyerang telah memperlihatkan kedahsyatannya. Kedua
tangannya bergerak dengan mantap dan mengandung tenaga yang dahsyat
sekali sehingga serangannya itu membuat kedua tangannya seolah-olah
berubah menjadi baja tajam yang membelah udara serta mengeluarkan suara
mengerikan. Melihat kelihaian kakek gundul ini, diam-diam wanita
berkerudung menjadi kagum karena ia maklum bahwa orang ini kalau menjadi
pembantunya akan merupakan seorang pembantu yang boleh diandalkan!
Biar pun keadaan wanita berkerudung ini merupakan rahasia bagi semua
orang Thian-liong-pang, namun kita tahu bahwa dia itu bukan lain adalah
Nirahai. Nirahai, puteri Kaisar ini memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi, apa lagi setelah digembleng oleh mendiang Nenek Maya,
tingkat kepandaiannya sudah hebat sekali. Tentu saja serangan Chie Kang
itu baginya bukan apa-apa dan dengan mudah ia dapat mengelak ke kiri di
mana dia tahu Sai-cu Lo-mo sudah siap dengan serangannya yang ia duga
tentu tidak kalah hebatnya dengan Si Kakek gundul.
"Wirrr-wirrr-wirrr... plak-plak-plak!"
Nirahai makin girang hatinya. Tiga serangan berantai yang diluncurkan
Sai-cu Lo-mo dengan ujung lengan bajunya itu hebat bukan main. Ujung
lengan bajunya itu mengandung tenaga yang lebih kuat dari pada kedua
tangan Chie Kang dan dia maklum bahwa ujung lengan baju itu cukup
dahsyat untuk menghancurkan batu karang yang keras! Akan tetapi, Sai-cu
Lo-mo lebih kaget lagi karena tiga kali ujung lengan bajunya ditangkis
oleh ujung jari-jari tangan wanita itu dengan kibasan yang membuat dia
merasa seluruh lengannya tergetar. Tahulah dia bahwa dia telah bertemu
dengan lawan yang jauh lebih kuat dari pada dia dan para sute-nya!
"Syuuutt... serrr-serrr-serrr!"
Tombak panjang menyambar dari belakang, menusuk lambung Nirahai disusul
meluncurnya tiga buah senjata rahasia bintang. Cara Phan Kok Sek
menyerang ini saja sudah membuktikan akan kelicikan wataknya,
menggunakan kesempatan selagi Nirahai menghadapi dua orang suheng-nya
yang lihai, menyerang dari belakang, bukan hanya dengan tombaknya yang
dahsyat, juga dengan pelepasan am-gi (senjata rahasia).
Nirahai menjadi marah. Kedua tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu tiga
buah senjata rahasia itu telah ia tangkap dengan tangan kiri sedangkan
tangan kanannya menyambar dan berhasil menangkap leher tombak ketika ia
miring ke kiri dan tombak itu meluncur dekat lambungnya. Tangan kirinya
diayun dan tiga buah senjata rahasia itu menyambar ke arah pemiliknya!
Sebagai seorang ahli melepas senjata rahasia Sin-seng-ci tentu saja
Phang Kok Sek dapat menghindarkan diri dan cepat meloncat ke atas dengan
kedua kaki di atas dan kepala di bawah, kedua tangan masih memegangi
gagang tombaknya. Gerakannya ini cepat dan indah sekali sehingga tiga
batang Sin-seng-ci menyambar lewat di bawah tubuhnya.
Akan tetapi dia tidak tahu akan kelihaian lawan. Begitu tubuhnya
meloncat, Nirahai mengerahkan tenaga pada tangan kanannya yang memegang
gagang tombak itu ke atas. Phang Kok Sek terkejut dan berusaha menahan
dengan kedua tangan, namun dia kalah kuat dan terdengar teriakan
mengerikan ketika gagang tombak itu menerobos dan menusuk perut Phang
Kok Sek sampai tembus ke punggungnya.
Sekali menggerakkan tangan, Nirahai melemparkan tombak bersama tubuh
Ketua Thian-liong-pang yang tak bernyawa lagi itu ke samping dan
otomatis kedua tangannya sudah menangkis dua serangan dari kanan kiri
yang dilakukan Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang.
Dalam melakukan tangkisan ini, Nirahai sudah mengerahkan tenaga pada
telapak tangannya, maka begitu telapak tangannya bertemu dengan tangan
kedua lawan, dua orang itu berseru kaget karena tangan mereka melekat
pada telapak tangan yang berkulit halus itu, tak dapat ditarik kembali.
Mereka maklum bahwa wanita berkerudung ini sengaja menantang mereka
mengadu sinkang, maka kedua kakek itu dengan kedua kaki terpentang lebar
cepat mengerahkan sinkang melalui tangan mereka untuk merobohkan lawan.
Terjadilah adu tenaga sinkang yang hebat. Kedua kakek itu berdiri dengan
kaki terpentang tubuh agak membungkuk, sedangkan Nirahai yang berdiri
di tengah, kedua tangannya terkembang ke kanan kiri menahan tangan kedua
lawan, kakinya terpentang sedikit dan tubuhnya tegak. Semua orang
menonton dengan hati tegang, mengira bahwa wanita berkerudung itu tentu
akan terhimpit di tengah-tengah oleh dua kekuatan raksasa yang amat
dahsyat.....
Namun Nirahai yang memiliki tingkatan lebih tinggi bersikap
tenang-tenang saja. Dari kedua tangan lawan di kanan kirinya, menerobos
tenaga sinkang yang kuat sekali melalui kedua lengannya yang terkembang.
Wanita cerdik ini tidak melawan sehingga kedua lawannya terkejut dan
heran, tiba-tiba mereka tersentak kaget ketika ada tenaga amat kuat
menahan dorongan sinkang mereka. Sejenak kedua orang itu mengerahkan
semangat dan tenaga dalam dan ketika mereka melihat betapa wanita itu
kelihatannya enak-enak saja tanpa mengerahkan tenaga, barulah mereka
sadar bahwa mereka kena diakali! Kiranya lawan mereka itu sengaja
mempertemukan kedua tenaga sakti dari kanan kiri sehingga Sai-cu Lo-mo
dan Chie Kang bertanding sendiri, saling dorong dengan tenaga sinkang
melalui tubuh Si Wanita berkerudung yang seolah-olah hanya menyediakan
dirinya menjadi arena pertandingan sambil menonton seenaknya!
Mereka sadar dan cepat hendak menarik tenaga sakti mereka, namun
terlambat karena pada saat itu Nirahai sudah menggunakan tenaganya
sendiri, menggunakan kesempatan selagi kedua orang saling dorong
sehingga tenaga sinkang mereka terpusat kemudian mereka menarik kembali
tenaga ketika sadar bahwa sesungguhnya mereka itu saling gempur antara
saudara sendiri. Ketika kedua orang kakek itu menarik kembali tenaga
sinkang, saat itulah Nirahai menyerang mereka dengan tenaga sakti yang
amat dahsyat. "Cukup, rebahlah!"
Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang tak dapat mempertahankan
diri lagi, begitu Nirahai menarik kedua lengannya mereka roboh dan biar
pun mereka sudah berusaha sekuatnya untuk tidak terguling, tetap saja
mereka jatuh berlutut dan cepat memejamkan mata sambil mengatur
pernapasan. Tenaga sinkang mereka sendiri yang tadi mereka tarik telah
menghantam dada mereka karena didorong oleh tenaga wanita berkerudung
itu, membuat dada terasa sakit dan pernapasan menjadi sesak. Yang
membuat mereka heran dan bingung adalah keadaan lengan kanan mereka yang
menjadi lumpuh seolah-olah tulang pundak lengan dalam keadaan terkunci,
sama sekali tidak dapat digerakkan!
"Wi Siang, bantulah kedua orang Suheng-mu itu. Kau totok jalan darah
Hong-hu-hiat di pundak kanan mereka masing-masing dua kali." Nirahai
berkata kepada Tang Wi Siang yang berdiri menonton pertandingan tadi
penuh kagum. Ia mengangguk, menghampiri kedua orang suheng-nya dan tanpa
ragu-ragu menotok belakang pundak kanan mereka dua kali seperti yang
diperintahkan wanita berkerudung itu.
Begitu terkena totokan dua kali, jalan darah mereka normal kembali dan
lengan kanan dapat digerakkan. Kini kedua orang kakek itu benar-benar
tunduk dan merasa yakin bahwa wanita berkerudung itu benar-benar
memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Timbul rasa kagum dan
suka di hati mereka untuk mengangkatnya menjadi ketua, karena dengan
ketua sehebat ini, Thian-liong-pang pasti akan menjadi sebuah
perkumpulan yang kuat dan terpandang. Maka mereka lalu berlutut di depan
Nirahai sambil berkata,
"Pangcu!"
Terdengar sorak sorai dari para anggota yang kini sudah pula berlutut
menghadap Si Wanita berkerudung yang tersenyum di balik kerudungnya.
Nirahai mengangkat kedua lengan ke atas dan suara sorakan itu terhenti.
Keadaan menjadi sunyi dan semua orang mendengarkan ucapan dari balik
kerudung, ucapan yang halus merdu namun berwibawa,
"Mulai saat ini Thian-liong-pang di bawah pimpinanku harus menjadi
perkumpulan yang kuat, dihormati dan disegani di seluruh dunia kang-ouw.
Untuk dapat menjadi kuat, kalian semua harus menggembleng diri dan
mempertinggi tingkat ilmu silat yang akan kuajarkan kepada kalian semua,
sesuai dengan tingkat masing-masing. Untuk menjadi perkumpulan yang
disegani, Thian-liong-pang harus menunjukkan kegagahan dan kekuatannya
menundukkan semua pihak yang menentang kita, dan untuk dapat dihormati,
Thian-liong-pang harus bersih dari pada segala perbuatan yang jahat.
Tidak boleh ada penyelewengan lagi, tidak boleh ada perampokan,
penindasan dan lain perbuatan jahat lagi. Semua perbuatan yang dilakukan
oleh anggota, harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang akan
kuadakan. Setiap pelanggar akan menerima hukuman berat!"
Mendengar perintah pertama yang keluar dari mulut wanita berkerudung
itu, diam-diam Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang menjadi
girang sekali. Sai-cu Lo-mo demikian kagum dan gembiranya sehingga ia
mengangkat tangan kanan ke atas sambil berteriak, "Hidup Pangcu kita!"
Semua anggota juga tertegun mendengar perintah tadi, tentu saja yang
biasanya mengumbar nafsu, diam-diam menjadi gentar dan khawatir
kalau-kalau dia akan mangalami nasib sial dan dihukum seperti para
pimpinan mereka yang kini masih menggeletak di situ menjadi mayat. Maka,
mendengar seruan Sai-cu Lo-mo, serentak semua anggota berteriak, "Hidup
pangcu...!" Bahkan mereka yang tadinya suka mengandalkan nama besar
Thian-liong-pang untuk melakukan penindasan dan perbuatan-perbuatan
jahat, berteriak paling keras!
"Sekarang singkirkan dan urus jenazah mereka ini baik-baik, kuburkan
sebagaimana mestinya. Sai-cu Lo-mo, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, mulai
sekarang kalian berdua kuangkat menjadi pembantu-pembantuku, sedangkan
Tang Wi Siang, sesuai dengan kehendaknya sendiri menjadi pelayanku yang
paling kupercaya. Mari kita masuk dan merundingkan segala urusan
mengenai Thian-liong-pang. Aku ingin mendengar, hal apa saja yang
dihadapi Thian-liong-pang saat ini."
Nirahai diiringkan oleh tiga orang pembantunya memasuki gedung menuju ke
ruangan dalam. Tak seorang pun pelayan diijinkan masuk ketika empat
orang ini mengadakan perundingan, sedangkan para anak buah
Thian-liong-pang sibuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan di
ruangan tadi. Mereka, juga para pelayan, saling berbisik membicarakan
Ketua partai yang penuh rahasia itu. Nirahai dengan tenang mendengarkan
pelaporan tiga orang pembantunya mengenai keadaan Thian-liong-pang.
Segala macam urusan mengenai perkumpulan ini diceritakan oleh Sai-cu
Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, sedangkan Tang Wi Siang yang
duduk di dekat Nirahai hanya mendengarkan dan bersikap sebagai seorang
pelayan.
"Tiga perkumpulan yang menentang kita mudah dibereskan. Aku akan
mendatangi mereka dan menundukkan mereka. Hal-hal lain dijalankan
seperti biasa, akan tetapi harus disesuaikan dengan peraturan-peraturan
yang akan kuadakan. Hanya satu hal yang mengherankan hatiku. Kau tadi
menceritakan tentang usaha Thian-liong-pang yang gagal dalam
memperebutkan seorang anak bernama Gak Bun Beng. Benarkah utusan kita
itu dikalahkan oleh Pendekar Siluman dan anak itu akhirnya dibawa oleh
Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai?"
"Benar, Pangcu," jawab Sai-cu Lo-mo.
Nirahai mengerutkan keningnya. "Anak ini... Gak Bun Beng, ada hubungan
apakah dengan Thian-liong-pang sehingga perkumpulan kita harus berusaha
merebutnya?"
Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang seperti
jenggot singa itu. "Maaf, Pangcu. Sesungguhnya, dengan perkumpulan kita
tak ada hubungan apa-apa, dan mendiang Ketua kami hanya memenuhi
permintaan saya, karena sesungguhnya sayalah yang mempunyai hubungan
dengan anak itu. Anak itu masih cucu keponakan saya sendiri."
"Hemmm.... begitukah? Coba jelaskan, siapa sebenarnya anak itu, dia anak
siapa dan bagaimana hubugannya denganmu, Lo-mo? Kalau kuanggap penting,
percayalah, aku yang akan mendapatkannya untukmu. Tentang Pendekar
Siluman, jangan khawatir, aku akan dapat menghadapinya!"
Bahkan Wi Siang sendiri diam-diam menjadi kaget mendengar ini. Berani
menentang Pendekar Siluman? Benarkah Ketua yang baru ini memiliki
kesaktian yang demikian hebat sehingga berani menentang Pendekar
Siluman? Baru mendengar cerita para anggota Thian-liong-pang tentang
Pendekar Siluman yang bisa pian-hoa (merobah diri) menjadi raksasa dan
menjadi setan tanpa kepala saja sudah membuat semua orang gagah di
Thian-liong-pang ngeri dan seram!
Sai-cu Lo-mo dan Chie Kang juga kaget dan sambil memandang wajah yang
tertutup kerudung itu, Sai-cu Lo-mo menjawab, "Dia adalah putera dari
keponakan saya yang bernama Bhok Khim, murid Siauw-lim-pai."
"Hemmm... Bhok Kim yang berjuluk Bi-kiam, seorang di antara Kang-lam Sam-eng?"
"Betul, Pangcu," jawab Sai-cu Lo-mo makin kagum dan terheran bagaimana
wanita berkerudung ini agaknya tahu akan segala hal dan mengenal semua
orang. Maka dia tidak menyembunyikan dirinya lagi dan menyambung, "Saya
dahulu bernama Bhok Toan Kok, Bhok Kim adalah anak tunggal adikku..."
Akan tetapi agaknya Nirahai tidak mempedulikannya dan seperti orang
melamun karena mengingat, lalu berkata, "Dan bocah itu she Gak? Hem...
tentu anak dari Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak..."
Tiga orang tokoh Thian-liong-pang itu terbelalak, makin heran dan kagum.
Sai-cu Lo-mo berteriak, "Bagaimana Pangcu dapat mengetahuinya...?"
Nirahai memandangnya. "Aku tahu, dan Gak Liat yang memperkosa Bhok Kim
hingga wanita itu dihukum di Siauw-lim-pai, kemudian melahirkan anak
dan... mereka berdua kemudian saling bunuh. Hemm... jadi engkau ingin
mengambil cucu keponakanmu itu, Sai-cu Lo-mo? Apa perlunya? Anak itu
adalah keturunan Gak Liat, datuk kaum sesat!"
Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang. "Betapa pun juga, dia adalah cucu keponakan saya, Pangcu."
Nirahai mengangguk, "Baiklah, urusan anak itu kita tunda dulu saja. Aku
tidak ingin melibatkan Thian-liong-pang hanya karena urusan keturunan
Gak Liat. Betapa pun juga, kalau engkau mendengar di mana adanya bocah
itu sekarang dan jika ada kemungkinan merebutnya, aku suka membantumu.
Tahukah engkau di mana dia itu sekarang?"
"Dia menjadi murid di Siauw-lim-si."
Nirahai menggeleng kepala. "Kalau di Siauw-lim-si, kita tidak dapat
berbuat sesuatu, Lo-mo. Ibu anak itu adalah murid Siauw-lim-pai, sudah
semestinya kalau anaknya menjadi murid Siauw-lim-pai pula. Jangan
mengira bahwa aku takut menghadapi Siauw-lim-pai, akan tetapi apa
perlunya kita menyeret perkumpulan menjadi musuh Siauw-lim-pai yang amat
kuat hanya karena memperebutkan seorang anak, apa lagi anak keturunan
seorang seperti Gak Liat?"
Diam-diam Sai-cu Lo-mo harus membenarkan pendapat pangcunya ini.
Tiba-tiba ia mengangkat kepala dan berkata, "Pangcu... maaf... hati saya
akan selalu gelisah kalau tidak menyatakannya sekarang. Kalau tidak
keliru menduga... saya dapat mengenal siapa kiranya Pangcu!"
Nirahai menoleh ke arah Chie Kang dan bertanya, "Bagaimana dengan
engkau, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang? Apakah engkau pun dapat menduga
siapa aku?"
Chie Kang terkejut. Dia pun sedang berpikir-pikir. Kalau wanita
berkerudung itu tidak memperlihatkan sikap mengenal semua orang, bahkan
mengetahui segala hal yang bagi banyak tokoh kang-ouw merupakan rahasia,
maka di dunia ini kiranya hanya ada seorang saja wanita seperti itu,
akan tetapi diam-diam dia terkejut dan tidak percaya bahwa pangcunya
yang baru adalah orang itu! Kini dia makin gugup mendengar pertanyaan
itu dan menjawab, "Saya... saya hanya menduga-duga akan tetapi tidak
berani memastikannya. Pribadi Pangcu penuh rahasia, sukar untuk
diduga..."
Nirahai tersenyum di balik kerudung-nya. "Sai-cu Lo-mo, aku dapat
menjenguk isi hatimu. Dugaanmu itu agaknya tidak keliru. Engkau dan Chie
Kang telah kuangkat menjadi pembantu-pembantuku yang setia dan boleh
dipercaya, sedangkan Wi Siang menjadi pelayan dan pengawalku. Hanya
kalian bertiga sajalah yang boleh mengetahui siapa sebenarnya aku. Akan
tetapi, kalau sampai seorang di antara kalian berani membocorkan
rahasiaku, tanganku sendiri yang akan membunuhnya! Nah, agar hati kalian
tidak ragu-ragu lagi, kalian boleh mengenalku." Berkata demikian,
wanita berkerudung itu membuka kerudungnya, dan tampaklah wajahnya yang
cantik jelita, wajah puteri Kaisar Mancu. Puteri Nirahai yang pernah
menggemparkan seluruh dunia kang-ouw sebagai pemimpin pasukan-pasukan
pemerintah yang membasmi para pemberontak!
Tiga orang tokoh Thian-liong-pang itu belum pernah bertemu muka sendiri
dengan Nirahai, akan tetapi nama besar puteri ini sudah lama mereka
dengar. Kini mendapat kenyataan bahwa yang menjadi Ketua mereka adalah
puteri yang terkenal itu, yang berdiri dengan cantik dan agungnya,
dengan sepasang mata yang amat berwibawa memandang kepada mereka dengan
mulut yang berbentuk indah itu tersenyum halus, mereka serta-merta
menjatuhkan diri berlutut di depan Nirahai.
"Harap Paduka suka mengampunkan hamba sekalian yang tidak mengenal
Puteri yang mulia," kata Sai-cu Lo-mo mewakili saudara-saudaranya.
"Bangunlah kalian!" tiba-tiba Nirahai membentak. Ketika mereka dengan
kaget bangkit berdiri memandang, Nirahai telah memakai lagi kerudungnya,
menutupi mukanya yang cantik, dan kini dari sepasang lubang di depan
kerudung, matanya memandang marah.
"Mulai saat ini, sekali-kali kalian tidak boleh menyebutku Puteri dan
jangan bocorkan rahasia ini! Aku adalah Pangcu (Ketua) Thian-liong-pang
dan kalian sebut saja aku Pangcu. Nah, mari duduk dan melanjutkan
perundingan demi kemajuan perkumpulan kita."
Demikianlah, semenjak hari itu, Nirahai menjadi Ketua Thian-liong-pang.
Kecuali tiga orang pembantunya itu, tidak seorang pun di antara para
anggota Thian-liong-pang mengetahui bahwa Ketua mereka yang selalu
menyembunyikan muka di belakang kerudung, yang diliputi penuh rahasia,
yang memiliki ilmu kepandaian hebat seperti iblis, sebenarnya adalah
Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu.
Nirahai menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada tiga orang
pembantunya sehingga dalam waktu dua tahun saja, Sai-cu Lo-mo, Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang, dan Tang Wi Siang telah memperoleh kemajuan yang
amat hebat, tingkat mereka naik jauh lebih tinggi dari pada sebelumnya,
akan tetapi watak mereka pun berubah, penuh rahasia seperti watak Ketua
mereka. Para anak buah Thian-liong-pang juga dilatih ilmu silat oleh
tiga orang tokoh ini sehingga pasukan Thian-liong-pang kini menjadi
pasukan yang hebat, setiap orang anggotanya memiliki kepandaian tinggi.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, tadinya Nirahai menitipkan
puterinya, Milana, kepada Pangeran Jenghan di Kerajaan Mongol. Selama
membangun dan memperkuat Thian-liong-pang beberapa tahun, dia
meninggalkan puterinya itu dan hanya kira-kira sebulan sekali dia pergi
ke Mongol mengunjungi puterinya. Milana sama sekali tidak tahu bahwa
ibunya adalah Ketua Thian-liong-pang yang amat terkenal itu. Setelah
Nirahai mengajaknya ke Thian-liong-pang anak perempuan ini baru tahu
bahwa ibunya adalah wanita berkerudung, Ketua Thian-liong-pang yang
menggemparkan dunia kang-ouw. Dengan hati penuh kebanggaan namun juga
kedukaan, kini Milana juga tahu bahwa ayahnya adalah Pendekar Siluman,
To-cu dari Pulau Es yang agaknya berselisih paham dengan ibunya sehingga
ayah bundanya itu saling berpisah, bahkan timbul gejala saling
bertentangan!
Pertemuannya dengan suaminya, Suma Han, mendatangkan rasa duka yang
hebat di hati Nirahai. Dia adalah seorang puteri kaisar, seorang wanita
yang mempunyai harga diri tinggi sekali. Betapa pun besar cinta kasihnya
kepada Suma Han, namun sikap suaminya itu membuatnya berduka. Ia tidak
mau menyembah-nyembah minta dibawa, sungguh rasa rindunya kadang-kadang
menyesak di dada. Dia ingin memperlihatkan bahwa kalau Suma Han tidak
membutuhkan dia, dia pun tidak akan merangkak-rangkak mengejar suaminya!
Keangkuhan ini membuat dia amat menderita, membuat cintanya
kadang-kadang berubah menjadi kebencian, membuat dia ingin menandingi
kebesaran suaminya, menandingi kepandaiannya. Dalam dua kali
pertemuannya dengan Suma Han, yang pertama ketika tokoh-tokoh kang-ouw
memperebutkan rahasia pusaka di Sungai Huang-ho, kedua baru-baru ini,
Nirahai maklum bahwa dalam ilmu kesaktian dia masih belum mampu
menandingi Suma Han.
Biar pun Perkumpulan Thian-liong-pang kini menjadi amat kuat dan agaknya
para pembantu dan anak buahnya tidak kalah hebat oleh anak buah Pulau
Es, namun kalau dia sendiri tidak mampu menandingi Suma Han, semua akan
sia-sia belaka. Tidak ada seorang pun di Thian-liong-pang yang akan kuat
bertanding dengan Suma Han. Maka dia harus mempertinggi ilmu-ilmunya.
Terutama sekali Nirahai ingin melihat puterinya, Milana menjadi seorang
yang lebih pandai dari padanya. Keinginan untuk menjadi seorang yang
lebih sakti dari Suma Han inilah yang membuat Nirahai melakukan hal-hal
yang amat berani, di antaranya ialah menculik tokoh-tokoh kang-ouw,
ketua-ketua perkumpulan silat yang diundang, atau kalau tidak mau
dipaksa mengunjungi Thian-liong-pang! Untuk apa? Sebaiknya kita sekarang
mengikuti perjalanan Gak Bun Beng yang sedang mengunjungi
Thian-liong-pang dengan mengikuti bayangan dua orang tokoh
Thian-liong-pang dengan hati-hati karena dia maklum bahwa kedua orang
itu sedang memancingnya untuk memasuki markas besar perkumpulan yang
terkenal itu.
Markas Thian-liong-pang yang menjadi pusat perkumpulan itu merupakan
sekumpulan bangunan besar, dikelilingi oleh dinding batu yang tingginya
dua kali tinggi manusia. Di tempat ujung dinding temboknya terdapat
tempat di mana tampak penjaga yang melakukan penjagaan siang malam
sehingga sarang perkumpulan itu seperti benteng tentara saja. Pintu
gerbang yang lebar terbuat dari kayu tebal berlapis besi, dijaga pula
oleh selosin orang.
Pintu gerbang terbuka ketika dua orang tokoh Thian-liong-pang tiba di
situ, akan tetapi begitu kedua orang itu masuk melalui pintu gerbang,
daun pintu tertutup kembali dari dalam. Bun Beng memeriksa keadaan pintu
gerbang yang amat kuat dan dinding tembok yang tinggi. Ia tersenyum.
Agaknya, orang-orang Thian-liong-pang itu terlalu memandang rendah
kepadanya. Apa artinya dinding tembok setinggi itu baginya? Lebih tinggi
lagi pun dia akan mampu melompatinya.
Dia maklum bahwa mereka tentu sudah menantinya, akan tetapi dia tidak
takut. Dia harus memasuki sarang Thian-liong-pang, menolong Ketua
Bu-tong-pai, mungkin menolong banyak orang lagi yang terculik dan
menjadi tawanan di tempat itu. Pula, dia sudah mengambil keputusan bulat
untuk menemui Ketua Thian-liong-pang dan menegurnya agar tidak
melakukan penculikan-penculikan. Dia maklum bahwa orang-orang
Thian-liong-pang amat lihai, apa lagi ketuanya yang pernah ia lihat di
pulau Sungai Huang-ho beberapa tahun yang lalu. Ia masih bergidik kalau
teringat akan wanita berkerudung yang amat lihai itu.
Akan tetapi kepandaiannya sekarang tidak seperti dahulu. Kini dia telah
dewasa dan berilmu tinggi, kalau dia tidak menentang perbuatan
sewenang-wenang ini, untuk apa dia mempelajari ilmu sampai
bertahun-tahun? Pula, dia teringat betapa tokoh wanita Thian-liong-pang
dahulu bersikap baik kepadanya, dan rata-rata orang Thian-liong-pang
tidaklah seganas orang Pulau Neraka. Selain kenyataan itu, juga dalam
perjalanannya dia tidak pernah mendengar Thian-liong-pang sebagai
perkumpulan orang jahat, tidak pernah melakukan kejahatan. Kalau
sekarang mereka menculik ketua-ketua perkumpulan dan tokoh-tokoh
kang-ouw tentu ada rahasia di balik perbuatan mereka itu dan dia harus
membongkar rahasia itu dan berusaha menghentikan perbuatan mereka.
Akan tetapi Bun Beng bukan seorang yang sembrono. Dia maklum bahwa
meloncat begitu saja pada siang hari itu merupakan perbuatan yang amat
berbahaya. Tidak, dia tidak berani bersikap sembarangan. Maka dia mundur
kembali dan mengintai dari jauh, menanti sampai malam tiba karena dia
mengambil keputusan untuk memasuki sarang naga itu setelah hari menjadi
gelap.
Setelah hari berganti malam, Bun Beng berindap-indap mendekati dinding
yang mengurung sarang Thian-liong-pang. Ia sudah memilih bagian kiri di
ujung sebelah kiri pintu gerbang untuk meloncat masuk. Tiba-tiba ia
mendengar suara gembreng dan tambur di sebelah dalam. Ia berhenti di
bawah dinding dan mendengarkan penuh perhatian. Apakah sedang
Thian-liong-pang mengadakan pesta? Hmm, bukan, bantah hatinya.
Tambur dan gembreng itu dipukul seperti kalau dipergunakan untuk
mengiringi orang bermain silat! Agaknya mereka sedang berlatih silat.
Dia tidak akan merasa heran kalau mereka telah siap menantinya, bahkan
dia menduga bahwa tentu gerak-geriknya sejak tadi telah diintai. Namun
dia tidak peduli. Sekarang atau dia akan terlambat.
Dengan gerakan indah Bun Beng meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan
kedua kakinya hinggap di atas dua ujung tombak, gerakannya amat ringan
seolah-olah seekor burung garuda yang besar. Ia merasa heran sekali
karena tidak ada anak panah atau senjata orang menyambutnya. Di bawah
tidak tampak orang menjaga, hanya tampak genteng bangunan-bangunan dan
tampak sinar penerangan yang besar, terutama di depan sebuah bangunan
terbesar di situ. Tampak pula orang-orang hilir mudik, akan tetapi tidak
ada yang menengok, seakan-akan mereka itu hanya orang-orang dusun yang
tidak paham ilmu silat dan tidak tahu akan kedatangannya.
Bun Beng merasa penasaran. Apakah pihak Thian-liong-pang menganggap dia
begitu rendah sehingga tidak pantas untuk menjaga dan menghebohkan
kedatangannya? Ia melayang turun dari tembok, hinggap di atas genteng,
kemudian melayang turun pula ke bagian samping bangunan besar yang
agaknya saat itu menjadi pusat keramaian.
Akan tetapi begitu kakinya menginjak tanah, tahu-tahu di depannya telah
berdiri seorang kakek yang berkata tenang. "Selamat datang, Siauw-hiap
dari Siauw-lim-pai. Biar pun caramu masuk tidak selayaknya, namun
mengingat bahwa Siauw-hiap adalah seorang murid Siauw-lim-pai, Pangcu
kami mempersilakan Siauw-hiap untuk duduk sebagai tamu menonton
pertunjukan kami. Kami menerima Siauw-hiap sebagai seorang tamu yang
terhormat, ataukah... Siauw-hiap lebih suka dianggap sebagai seorang
pencuri yang rendah?"
Bun Beng memandang orang itu yang ternyata adalah seorang kakek
berkepala gundul, berjenggot dan berkumis, pakaiannya seperti seorang
sastrawan, usianya kurang lebih enam puluh tahun, suaranya tinggi
nyaring akan tetapi sikapnya halus dan seperti orang lemah. Mendengar
ucapan itu, Bun Beng tersenyum.
"Terserah kepada Thian-liong-pang akan menganggap aku sebagai apa. Akan
tetapi karena aku ingin bertemu dengan Pangcu kalian, dan melihat betapa
aku disambut sebagai tamu, biarlah aku menerima sambutan ini."
"Kalau begitu, silakan Siauw-hiap!" kata kakek itu.
Bun Beng berjalan dengan sikap tenang menuju ke ruangan depan bangunan
besar diiringkan oleh kakek gundul. Kini mengertilah dia mengapa dia
tidak disambut sebagai musuh dan tidak diserang. Kiranya
Thian-liong-pang agaknya merasa enggan bermusuhan dengan Siauw-lim-pai,
dan hanya karena memandang Siauw-lim-pai maka dia disambut dengan manis
budi. Dia mengerti bahwa andai kata kedua orang tokoh yang menawan Ketua
Bu-tong-pai tadi tidak mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang ia
miliki dan tidak melaporkan bahwa dia seorang murid Siauw-lim-pai, tentu
penyambutan mereka akan lain sekali.
Ketika kakek gundul itu mengajaknya memasuki ruangan depan yang luas dan
diterangi banyak lampu gantung besar, dia cepat melayangkan pandang
matanya menyapu keadaan di situ. Ruangan itu luas sekali dan terdapat
anak tangga di sebelah dalam. Di atas anak tangga itu terdapat ruangan
lain dan tampaklah seorang wanita berkerudung duduk di atas sebuah kursi
besar yang lantainya ditilami kulit seekor biruang. Wanita berkerudung
yang dikenalnya sebagai Ketua Thian-liong-pang yang dahulu pernah datang
ke Sungai Huang-ho itu duduk dengan sikap tenang, kedua kakinya
menginjak kepala biruang yang berada di bawah kursinya.
Di sebelah kanan wanita ini duduk seorang kakek yang mukanya seperti
seekor singa, kursinya agak kecil dibandingkan dengan kursi Si Wanita
berkerudung. Di sebelah kanan agak belakang Ketua Thian-liong-pang ini
berdiri seorang wanita cantik yang dikenal pula oleh Bun Beng sebagai
wanita yang dahulu mewakili Thian-liong-pang di Sungai Huang-ho.
Sedangkan di belakang, agak mundur, berdiri seorang wanita lain yang
juga cantik, pakaiannya seperti wanita lihai yang berdiri di sebelah
kanan Ketua itu.
"Silakan duduk di sini, Siauw-hiap," kata kakek gundul sambil mempersilakan Bun Beng duduk di atas kursi dekat anak tangga.
Akan tetapi Bun Beng tidak segera duduk, hanya berdiri dengan
terheran-heran memandang ke arah para tamu yang duduk menghadap ke arah
Ketua, dengan kursi-kursi yang diatur setengah lingkaran mengurung
ruangan di bawah anak tangga, sedangkan para penabuh tambur dan gembreng
berdiri paling ujung. Dia tidak peduli dan tidak melihat betapa Ketua
Thian-liong-pang sama sekali tidak mengacuhkannya, akan tetapi dapat
dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat Ang-lojin, Ketua
Bu-tong-pai yang akan ditolongnya itu, duduk pula di antara para tamu
dengan sikap tenang dan sama sekali tidak menoleh kepadanya!
Mengapa orang itu seperti tidak mengenalinya? Mustahil kalau tidak
mengenal atau tidak tahu bahwa kedatangannya untuk menolong ketua itu!
Atau pura-pura tidak kenal? Ah, ini pun tidak mungkin. Bukankah dua
orang tokoh Thian-liong-pang sudah tahu betapa di tengah jalan dia
berusaha menolong Ketua Bu-tong-pai itu? Tentu hal ini sudah
dilaporkannya pula kepada Ke-tua Thian-liong-pang. Apa perlunya lagi
Ketua Bu-tong-pai berpura-pura? Dia pun tidak mau berpura-pura karena
hal ini berarti bahwa dia takut, maka dia lalu menghampiri Ketua
Bu-tong-pai dan menegur.
"Ang-locianpwe, engkau baik-baik sajakah?"
Kakek itu memandangnya akan tetapi sinar matanya seperti tidak
mengenalnya sama sekali. Dia hanya mengangguk tanpa menjawab! Bun Beng
menjadi penasaran sekali. Mengapa Ketua Bu-tong-pai bersikap seperti
ini? Padahal susah payah ia berusaha menolongnya dan di jalan tadi
sikapnya tidak sedingin ini!
"Locianpwe, apakah kau lupa kepadaku?" Ia menegur lagi.
Kakek itu kembali memandangnya dengan sikap tidak acuh, lalu menjawab
dengan suara ragu-ragu, "Siapakah? Maaf, aku tidak mengenalmu." Setelah
berkata demikian kakek ini kembali membuang muka menonton dua orang yang
sedang bertanding di bawah anak tangga, memandang penuh perhatian
seperti yang dilakukan oleh semua orang yang duduk di situ.
Makin heran Bun Beng ketika melihat betapa para tamu yang sebagian besar
terdiri dari kakek-kakek yang kelihatannya berilmu tinggi itu sama
sekali tidak menoleh kepadanya, seolah-olah dia hanya seekor lalat saja!
Dengan hati mengkal Bun Beng lalu duduk di atas kursi yang ditunjuk
oleh kakek gundul. Kakek ini pun duduk di atas sebuah kursi di sebelah
kanan Bun Beng. Seorang pelayan datang menyuguhkan arak kepada Bun Beng,
akan tetapi pemuda ini menolak dan menyuruh taruh arak dengan guci dan
cawannya di atas meja. Pelayan itu lalu memenuhi meja di depan kakek
gundul dan Bun Beng dengan hidangan-hidangan seperti yang memenuhi
meja-meja lain pula.
Kini Bun Beng memperhatikan para tamu yang duduk di situ. Ada belasan
orang, tepatnya empat belas orang tamu yang melihat sikapnya adalah
orang-orang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sikap mereka dingin
dan tak acuh seperti sikap Ketua Bu-tong-pai. Di depan mereka ini pun
terdapat meja penuh makanan dan mereka semua menonton pertandingan
sambil makan minum.
Di belakang para tamu duduk pula banyak orang dan di antara mereka Bun
Beng mengenal dua orang tokoh yang pernah dilawannya siang tadi, yaitu
mereka yang menculik Ketua Bu-tong-pai. Sedangkan di belakang rombongan
yang duduk ini, yang jumlahnya juga belasan orang, nampak puluhan orang
berdiri menonton. Sepasang kakek kembar yang lihai dan yang menggotong
kerangkeng Ketua Bu-tong-pai tampak di antara mereka yang berdiri.
Diam-diam Bun Beng menduga-duga dan dia terkejut.
Agaknya sepasang kakek kembar itu adalah anggota-anggota rendahan saja,
sedang kakek muka tengkorak dan pemuda tampan adalah anggota yang lebih
tinggi. Kakek gundul yang duduk di sebelahnya, yang tadi menyambutnya
ketika baru datang, tentu lebih tinggi kedudukannya, apa lagi kakek muka
singa dan wanita cantik yang duduk dan berdiri di dekat Ketua
Thian-liong-pang. Kalau sepasang kakek kembar yang demikian lihai itu
saja menjadi anggota rendahan, dapat dibayangkan betapa lihai kakek
gundul di sebelahnya ini, apa lagi kakek muka singa, dan lebih-lebih
ketuanya!
Bun Beng bersikap hati-hati. Ia tidak mau bergerak, hendak melihat
perkembangannya karena dia sungguh-sungguh bingung dan terheran-heran
mengapa Ang-lojin yang tadinya diculik sekarang menjadi tamu dan
bersikap tidak mengenalnya? Kini Bun Beng mulai memperhatikan dua orang
yang bertanding dan kembali dia tercengang. Yang bertanding dengan golok
dan pedang itu bukanlah orang-orang sembarangan!
Laki-laki berusia empat puluh tahun yang berkepala besar dan bersenjata
golok itu memiliki ilmu golok yang amat hebat, sedangkan kakek kurus
yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu memiliki ilmu pedang
yang amat tinggi pula. Diam-diam ia menonton dan mencurahkan
perhatiannya. Bun Beng banyak mengenal ilmu silat, bahkan dahulu gurunya
yang pertama, Siauw Lam Hwesio, telah membuka rahasia tentang
dasar-dasar gerakan ilmu silat-ilmu silat tinggi yang dimiliki oleh
partai-partai besar.
Maka setelah menonton belasan jurus, Bun Beng mengenal bahwa Si Pemain
golok itu tentulah seorang tokoh Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti)
yang amat terkenal karena kehebatan ilmu golok mereka, sedangkan Si
Pemain pedang itu tidak salah lagi tentulah seorang tokoh besar dari
Hoa-san-pai karena ilmu pedang yang dimainkannya tidak salah lagi adalah
Hoa-san Kiam-sut! Dia menjadi heran buka main. Mengapa dua orang tokoh
dari Sin-to-pang dan Hoa-san-pai bertanding di tempat ini? Dan selain
ditonton oleh banyak tamu dan orang-orang Thian-liong-pang sambil makan
minum, juga diiringi tambur dan gembreng!
Pertandingan itu berjalan dengan seru dan jelas tampak betapa tokoh
Sin-to-pang mulai terdesak, bahkan pundaknya telah terluka goresan
pedang. Kalau semua tamu memandang dengan sikap dingin, demikian pula
para tokoh Thian-liong-pang, hanya Bun Heng seoranglah yang menonton
dengan hati tegang.
"Cukup...!" Tiba-tiba terdengar suara merdu dan halus, namun penuh
wibawa keluar dari balik kerudung yang menyembunyikan kepala Ketua
Thian-liong-pang.
Seketika tambur dan gembreng berhenti dan kedua orang yang bertanding
itu pun meloncat mundur menghentikan gerakan masing-masing! Bahkan kini
seorang kakek yang agaknya merupakan ahli pengobatan Thian-liong-pang
menghampiri tokoh Sin-to-pang yang seperti bekas lawannya telah duduk
kembali di kursi masing-masing, kemudian mengobati luka di pundak tokoh
ini.
Bun Beng memandang bengong. Hampir dia tidak dapat percaya akan
dugaannya yang agaknya tidak dapat salah lagi. Kedua orang tokoh itu
diadu! Seperti dua ekor jangkrik diadu! Betapa mungkin ini? Mengapa
mereka sudi? Dan agaknya mereka berdua tadi bukanlah pasangan pertama
yang diadu. Selagi ia menduga-duga dengan bingung, terdengar suara merdu
dari balik kerudung.
"Ang-lojin dari Bu-tong-pai dan Tok-ciang Siucai dari Lam-hai-pang, harap suka maju dan memperlihatkan kepandaian!"
Jantung Bun Beng berdebar tegang.
"Siauw-hiap, silakan mencoba hidangan!" Tiba-tiba kakek gundul berkata.
"Terima kasih, aku tidak lapar," jawab Bun Beng tanpa mengalihkan
pandang matanya dari Ketua Bu-tong-pai yang kini telah bangkit berdiri
dari kursinya dan melangkah maju ke tempat pertandingan dengan wajah
tidak membayangkan sesuatu dan sikapnya tanpa ragu-ragu.
"Kalau begitu, silakan minum secawan arak sebagai penyambutan dari
Pangcu kami," kata pula kakek itu yang sudah bangkit dan menyodorkan
secawan arak penuh kepada Bun Beng.
Mendengar ini Bun Beng menoleh ke kiri, ke arah Ketua Thian-liong-pang.
Ia melihat betapa sepasang mata di balik lubang kerudung itu tertuju
kepadanya dengan sinar tajam. Tanpa menjawab ia menerima cawan arak dan
minum arak itu habis sekali teguk. Hampir ia tersedak, tubuhnya terasa
nyaman hangat setelah ia minum arak tadi. Kepalanya menjadi agak pening
sehingga diam-diam ia terkejut sekali. Tak mungkin secawan arak membuat
ia mabok!
"Harap Siauw-hiap minum secawan lagi sebagai penyuguhan dari Thian-liong-pang," kata pula kakek gundul.
"Cukup, aku tidak ingin minum lagi, ingin menonton pertandingan!" kata
Bun Beng dengan hati-hati, dan biar pun ia menjadi curiga sekali,
pikirannya diputar untuk menduga apa yang terdapat di dalam arak yang
diminumnya tadi. Tetapi ia menujukan pandang matanya ke depan, ke arah
Ketua Bu-tong-pai yang kini telah berhadapan dengan seorang laki-laki
berusia kurang lebih tiga puluh tahun, tinggi kurus tampan dengan
pakaian seperti seorang siucai (gelar sastrawan).
"Harap Ji-wi suka mulai pertandingan tangan kosong! Awas, Ang-lojin,
lawanmu adalah seorang yang memiliki Tok-ciang (Tangan Beracun), harus
dilawan dengan jurus-jurus simpananmu!" Terdengar pula suara halus
dingin Ketua Thian-liong-pang.
Betapa heran hati Bun Beng ketika ia melihat dua orang itu, seperti dua
ekor jangkerik atau ayam aduan, telah mulai saling serang tanpa banyak
cakap lagi! Pemuda yang dipanggil julukannya sebagai Tok-ciang Siucai
(Sastrawan Tangan Beracun) telah membuka serangan setelah
menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan tangan terbuka dan telapak
tangannya berwarna kemerahan! Serangan pertama ini merupakan tamparan
dengan tangan kiri ke arah muka lawan disusul dorongan telapak tangan
kanan ke arah dada! Cepat sekali gerakannya dan kalau diingat bahwa
kedua telapak tangannya mengandung hawa beracun, dapat dibayangkan
betapa dahsyat dan berbahaya serangan ini.
Namun Ang-lojin adalah Ketua Bu-tong-pai yang tentu saja memiliki
tingkat ilmu silat yang sudah amat tinggi. Dengan tenang namun tidak
kalah cepatnya, ia mengelak dengan geseran kaki ke kiri sambil
mengibaskan tangan kanan ke kanan menangkis dan dari samping, tiba-tiba
kaki kanannya melakukan tendangan menyerong ke arah perut siucai itu.
"Bagus sekali!" tiba-tiba kakek muka singa memuji tendangan itu dan
memang Bun Beng juga dapat melihat betapa indah dan berbahayanya
serangan balasan Ketua Bu-tong-pai yang dilakukan dengan cekatan.
Tok-siang Siucai ternyata juga lihai karena sambil merobah kaki
melangkah mundur tangan kirinya dapat menangkis serangan itu dengan
melemparkan ke kanan. Namun, tiba-tiba tendangan kaki kanan dari Ketua
Bu-tong-pai itu telah disusul dengan tendangan kaki kiri yang digerakkan
dengan memutar dari belakang, kembali tendangan ini menyerong dan yang
diarah adalah lutut kanan lawan! Si Pemuda kaget, mundur selangkah
menyelamatkan lututnya, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai terus melakukan
tendangan kedua kakinya, cepat dan kuat sekali sehingga kedua kakinya
yang kelihatan banyak saking cepatnya itu menimbulkan suara angin.
"Hemmmm... Soan-hong-twi... seperti itukah?" Ucapan Ketua
Thian-liong-pang ini lirih sekali dan agaknya tidak terdengar oleh orang
lain, akan tetapi Bui Beng yang sejak tadi memperhatikannya, walau
hanya dengan pendengaran karena matanya ditujukan untuk mengikuti
pertandingan, dapat menangkap kata-katanya.
Jantung Bun Beng makin berdebar. Para tokoh kang-ouw itu, termasuk Ketua
Bu-tong-pai yang baru saja ditawan, semua menjadi begitu jinak dan
penurut dan... arak yang secawan saja sudah membuat dia mabok... bukan
tidak mungkin ada hubungannya! Ia baru minum secawan saja sudah pening
dan seolah-olah semangatnya mengendor, dan kakek gundul itu tadi
berusaha membuat dia minum lebih banyak! Kemudian, para tokoh yang
saling bertanding mati-matian dan dengan bersungguh hati, Ketua
Thian-liong-pang yang menonton dan memberi komentar!
Hemmm, seolah-olah ada sinar terang memasuki kepala Bun Beng, namun
pengaruh arak membuat keningnya berdenyut-denyut sehingga sukar bagi dia
untuk memutar otaknya, tidak seperti biasa. Betapa pun juga, Bun Beng
mengerahkan seluruh pikirannya untuk melakukan penyelidikan, mengambil
kesimpulan-kesimpulan dan mengumpulkan dugaan-dugaan.
Pertandingan antara Ketua Bu-tong-pai dan tokoh-tokoh Lam-hai-pang
berlangsung makin seru. Akan tetapi Bun Beng mendapat kenyataan yang
menyenangkan hatinya. Ternyata ayah Ang Siok Bi, yaitu Ang-lojin Ketua
Bu-tong-pai, biar pun kini mau saja diadu seperti jangkerik, tetap
memiliki watak yang baik, sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang
ketua partai persilatan besar.
Pemuda bertangan ganas itu jelas melakukan serangan-serangan berbahaya
dan mematikan, namun Ketua Bu-tong-pai itu banyak mengalah dan biar pun
terpaksa mengeluarkan jurus-jurus simpanan dari Bu-tong-pai untuk
menyelamatkan diri, namun serangan balasannya tidak bersungguh-sungguh
seolah-olah dia enggan untuk mencelakai lawan, tidak mau melukai hebat,
apa lagi membunuh. Hal ini tentu saja dapat ia lihat karena banyak
lowongan baik tidak dipergunakan oleh kakek itu. Kalau Ang-lojin
menghendaki, tentu tidak sampai tiga puluh jurus lawannya dapat
dirobohkan dengan pukulan-pukulan istimewanya.
Betapa pun juga, tingkat pemuda itu kalah tinggi dan kini dia selalu
terdesak mundur. Ketika sebuah tendangan kilat menyerempat pinggang
pemuda itu dan membuatnya terhuyung miring, jika Ang-lojin mau tentu
mudah baginya menyerang dengan pukulan maut. Namun kakek ini hanya
mendorong pundak pemuda itu dan membuatnya roboh terjengkang.
"Cukup!" teriak Ketua Thian-liong-pang. "Tok-ciang Siucai, harap mundur
dan Pek-eng Sai-kong harap maju untuk melayani Ang-lojin dengan senjata.
Ang-lojin, ilmu silat tangan kosong Bu-tong-pai hebat, harap
perlihatkan ilmu silatmu dengan senjata. Bukankah Siang-kiam (Sepasang
Pedang) menjadi keistimewaan Bu-tong-pai? Silakan!"
Berkata demikian, Ketua Thian-liong-pang ini menggerakkan tangan kirinya
dan sepasang pedang melayang ke arah Ang-lojin. Ketua Bu-tong-pai ini
tidak menjawab melainkan menerima sepasang pedang itu dengan gerakan
indah. Bun Beng melihat munculnya seorang pendeta berpakaian lebar dan
bermuka penuh brewok telah menerima sebatang toya dari tangan kakek muka
singa yang duduk di sebelah kanan Ketua Thian-liong-pang.
"Pek-eng Sai-kong, kami telah menyaksikan dan mengagumi ilmu toyamu.
Harap jangan sungkan-sungkan, pergunakan jurus-jurus yang paling hebat,
terutama jurus kedua puluh tujuh Pek-eng-coan-ci (Garuda Putih
Menyabetkan Ekor). Hati-hati, ilmu siang-kiam Bu-tong-pai amat lihai!"
Dalam suara dari balik kerudung itu terkandung kegembiraan besar. Bun
Beng makin berdebar karena di dalam otaknya yang kacau oleh pengaruh
arak memabokkan, ia kini mulai dapat menyingkap tabir yang merahasiakan
semua peristiwa yang aneh yang dihadapinya.
Kembali terjadi pertandingan dan sekali ini lebih hebat menegangkan dari
pada tadi. Sai-kong itu amat kuat, toyanya benar-benar berbahaya dan
teringatlah Bun Beng akan sebuah aliran yang menamakan dirinya
Pek-eng-pang (Toya Garuda Putih) yang merupakan sekelompok orang gagah
yang sesungguhnya memiliki dasar ilmu toya Siauw-lim-pai namun telah
dicampur-aduk dengan ilmu silat golongan hitam! Jadi saikong ini adalah
seorang tokoh Pek-eng-pang! Ia memandang penuh perhatian karena dia pun
ingin sekali menyaksikan bagaimana ilmu toya Siauw-lim-pai yang telah
diubah itu!
Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika toya bertemu dengan pedang,
dan tampaklah sinar toya yang kuning bergulung-gulung menjadi satu
dengan sinar pedang yang putih. Sekali ini, Ketua Bu-tong-pai harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya karena yang menjadi lawannya adalah
orang terpandai dari Pek-eng-pang! Biar pun Ketua Bu-tong-pai ini tidak
mempunyai hati yang kejam tidak ingin melukai apa lagi membunuh lawan,
namun sekali ini mau tidak mau dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya, karena kalau tidak, dia sendiri yang akan menjadi korban
toya yang ganas.
Bun Beng mengepal ujung lengan kursinya. Diam-diam ia telah siap sedia
untuk menolong kalau Ketua Bu-tong-pai terancam bahaya. Biar pun dia
kini dapat menduga bahwa saikong itu, seperti juga Ketua Bu-tong-pai,
hanya berperan seperti dua ekor jangkerik aduan, namun tetap saja
hatinya berpihak kepada Ang-lojin. Bukan semata-mata karena kakek itu
adalah ayah Ang Siok Bi yang cantik, biar pun hal ini sedikit banyak
menjadi sebab juga, akan tetapi terutama sekali karena ilmu toya
Siauw-lim-pai yang telah berubah itu menurut keterangan suhu-nya dibawa
lari oleh seorang murid Siauw-lim-pai yang murtad!
"Hyaaatttt...!"
Tiba-tiba saikong itu membentak keras dan Bun Beng diam-diam terkejut
sekali sehingga tanpa disadarinya ia telah meremas patah ujung lengan
kursinya, siap untuk disambitkan kalau Ang-lojin terancam bahaya! Dan
memang hebat sekali jurus yang kini dipergunakan oleh Sai-kong itu dalam
penyerangannya. Itulah jurus dari ilmu toya Siauw-lim-pai, hal ini
diketahui jelas oleh Bun Beng, akan tetapi jurus itu telah dirobah
sedemikian rupa sehingga selain lihai juga menjadi ganas dan licik
sekali.
Toya itu menyodok ke arah pusar lawan dengan cepatnya, dan begitu
Ang-lojin menangkis dengan pedang kiri, tiba-tiba tubuh saikong itu
terguling ke depan, lalu tubuhnya menggelinding ke arah lawan, tongkat
atau toya itu diputar menyerampang kaki lawan dilanjutkan dengan sodokan
ke atas, mengarah mata dibarengi dengan tendangan ke arah anggota tubuh
di bawah pusar. Serangan yang mematikan!
Namun Ang-lojin tidak menjadi gugup menghadapi jurus yang oleh Ketua
Thian-liong-pang disebut Pek-eng-coan-ci tadi, terpaksa dia pun
mengeluarkan jurus simpanannya. Kedua pedangnya melakukan gerakan
menggunting dan begitu berhasil menjepit toya, tubuhnya terangkat ke
atas dengan kaki ke atas, kemudian ia berjungkir balik, melepaskan
jepitan toya dan sambil menukik turun, sepasang pedangnya melakukan
gerakan menyerang dari kanan kiri, lagi-lagi menggunting bagian leher
dan pinggang lawan dengan sepasang pedang!
"Heh, itukah Siang-in-toan-san (Sepasang Awan Memutuskan Gunung)?"
terdengar Ketua Thian-liong-pang berseru lirih namun dapat terdengar
cukup jelas oleh Bun Beng.
Saikong itu kaget sekali dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang
sambil memutar toya membentuk lingkaran melindungi tubuh ia dapat
menyelamatkan diri, akan tetapi ia terkejut dan sampai terhuyung-huyung.
Kini ia berteriak lagi dan tiba-tiba tubuhnya membalik, sikapnya
seperti hendak menyerang, akan tetapi tiba-tiba sambil membalik ini
toyanya meluncur terlepas dari tangan, merupakan anak panah raksasa yang
menyambar ke arah tubuh Ang-lojin.
"Trakkk!" Toya itu menyeleweng dan menancap di atas lantai di depan
Ang-lojin yang tadi saking tak menyangka hampir saja menjadi korban
toya.
"Cukup! Harap Ji-wi kembali ke kursi masing-masing!" Terdengar Ketua
Thian-liong-pang berkata sambil memandang ke arah Bun Beng yang sudah
bangkit berdiri. Semua orang Thian-liong-pang kini menoleh ke arah Bun
Beng, maklum bahwa Ketua mereka marah sekali kepada tamu muda yang
dengan lancang telah menimpuk toya dengan ujung lengan kursi yang
dipatahkan.
"Chie Kang, berapa cawankah tamu Siauw-lim-pai itu minum arak?"
terdengar wanita berkerudung bertanya kepada kakek gundul. Bagi orang
yang tidak tahu, tentu mengira Ketua itu bertanya apakah tamu mudanya
terlalu banyak minum arak sehingga mabok dan melakukan kelancangan itu.
Akan tetapi Bun Beng yang sudah dapat menduga, hanya tersenyum, apa lagi
ketika mendengar kakek gundul menjawab, "Dia hanya minum secawan dan
menolak untuk minum lagi, Pangcu."
"Dan untung bahwa aku hanya minum secawan, kalau tidak tentu aku pun
akan kau jadikan jangkerik aduan, bukan begitu, Thian-liong-pangcu?"
Sekarang Bun Beng menghadapi Ketua itu dengan sikap tenang, sedikit pun
tidak gentar, bahkan mulutnya tersenyum mengejek.
Biar pun wajah itu tidak tampak, namun sepasang mata yang tampak dari
kedua lubang itu mengeluarkan sinar berapi, tanda bahwa Ketua ini marah
sekali. Sejenak hening di situ, hening yang penuh ketegangan, dirasakan
benar oleh semua anggota Thian-liong-pang. Kalau Ketua mereka sudah
marah, tentu akan terjadi hal yang mengerikan.
"Orang muda, karena engkau adalah seorang murid Siauw-lim-pai dan kami
tidak mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai, maka perbuatanmu
menyerang dua pembantu kami, kami maafkan. Bahkan kami menerimamu
sebagai seorang tamu terhormat, biar pun engkau masuk seperti seorang
pencuri. Akan tetapi jangan mengira bahwa karena engkau seorang murid
Siauw-lim-pai lalu boleh berbuat sesuka hatimu dan lancang!"
Bun Beng mengangkat dadanya dan memandang Ketua itu dengan sikap menantang.
"Thian-liong-pangcu! Aku datang bukan sebagai utusan Siauw-lim-pai,
memelainkan atas nama pribadi yang ingin mengingatkanmu bahwa
perbuatanmu tidak baik dan kuminta engkau segera menghentikan
perbuatanmu itu!"
"Eh, bocah sombong. Perbuatan apa yang kau maksudkan?" Suara Ketua
Thian-liong-pang mengandung keheranan karena dia benar-benar merasa
bahwa di dunia ini terdapat seorang pemuda yang begini tidak tahu diri
berani menentangnya secara terang-terangan, bahkan menegurnya seperti
seorang dewasa menegur seorang kanak-kanak!
"Hemmm, perlukah dijelaskan lagi? Baiklah agar jangan aku dikatakan
bicara mengawur dan menuduh kosong, baik kukatakan bahwa aku sudah
mengetahui rahasia semua penculikan yang dilakukan Thian-liong-pang
terhadap para tokoh kang-ouw. Engkau menculik mereka, termasuk Ang-lojin
Ketua Bu-tong-pai, kemudian kau beri mereka minuman arak yang
mengandung racun perampas ingatan, mungkin yang pengaruhnya hanya untuk
sementara saja. Kemudian, selagi para Locianpwe yang bernasib malang ini
kehilangan ingatan mereka, kau jadikan mereka jangkerik-jangkerik aduan
karena engkau ingin mengetahui rahasia ilmu silat simpanan mereka yang
terpaksa harus mereka pergunakan dalam pertandingan untuk menyelamatkan
diri. Bukankah begitu?"
Keadaan makin tegang dan semua anggota Thian-liong-pang menganggap
pemuda lancang itu menjadi calon mayat, karena mana mungkin Ketua mereka
membiarkan saja kekurang-ajaran seperti itu? Tetapi sikap dan ucapan
Bun Beng menimbulkan kekaguman di hati Nirahai, Ketua Thian-liong-pang
itu. Memang sebagai seorang sakti wanita ini akan selalu kagum terhadap
orang yang gagah berani, yang menganggap nyawa sebagai hal yang ringan,
menganggap kematian sebagai hal sepele, menganggap bahaya bukan apa-apa
dalam membela kebenaran yang dipercayanya. Hanya ada keraguan di
hatinya... apakah pemuda ini bersikap sedemikian berani terdorong sifat
gagah yang asli, ataukah hanya untuk bersombong saja terdorong oleh nama
besar Siauw-lim-pai.
"Bocah sombong! Kalau benar begitu, mengapa? Apa kehendakmu?"
"Pangcu, aku hanya memperingatkan bahwa engkau main-main dengan api!
Engkau menanam permusuhan dengan seluruh dunia kang-ouw dengan
perbuatanmu ini. Aku minta agar engkau menghentikan perbuatan ini dan
membebaskan semua tawanan."
"Hemm, tanpa kau minta, semua sahabat yang menjadi tamuku akan
kubebaskan. Kau memperingatkan agar kami menghentikan perbuatan kami.
Kalau aku menolak peringatanmu ini, habis kau mau apa?"
"Terpaksa aku akan menantangmu bertanding! Aku tahu bahwa engkau sakti,
Thian-liong-pangcu, akan tetapi demi membela kebenaran, demi keselamatan
seluruh tokoh kang-ouw, aku siap mengorbankan nyawa!"
"Keparat cilik! Engkau sombong sekali! Pangcu, ijinkan saya membasmi
bocah sombong ini!" Tan Wi Siang sudah meloncat maju dengan marah
sekali.
"Wi Siang, mundurlah!" Ketua Thian-liong-pang membentak, "Bocah ini
mempunyai ketabahan besar, atau memang hanya seorang bocah sombong yang
mengandalkan nama Siauw-lim-pai. Biar Paman Chie Kang saja yang
melayaninya!"
"Baik, Pangcu!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang sudah meloncat maju. Kakek
gudul ini sudah sejak tadi merasa marah menyaksikan sikap Bun Beng, "Eh,
orang muda yang tidak mengenal kebaikan orang! Majulah, ingin kulihat
sampai di mana kepandaianmu!" katanya dengan suara yang tinggi nyaring.
"Chie Kang, jangan bunuh dia, kau tahu apa yang harus kau lakukan!"
"Hemmm," Bun Beng mengejek. "Aku pun sudah tahu, Pangcu! Tentu engkau
hendak mempelajari pula jurus-jurus simpanan dari Siauw-lim-pai, bukan?
Ha, sekali ini engkau akan kecelik!"
Kembali Nirahai tertegun. Bocah ini selain memiliki keberanian yang luar
biasa, juga amat cerdik seolah-olah mengetahui semua isi hatinya.
Terhadap bocah seperti ini, dia harus berlaku hati-hati. Diam-diam ia
menduga-duga, siapakah gerangan bocah ini? Apakah Ketua Siauw-lim-pai
yang mendengar akan penculikan-penculikan yang dilakukannya sengaja
mengirim seorang murid yang dapat dipercaya untuk melakukan
penyelidikan? Dia maklum bahwa di Siauw-lim-pai terdapat banyak orang
pandai, maka dia tidak pernah berurusan dengan Siauw-lim-pai, bahkan
memesan kepada para anak buah untuk menjauhkan diri dari permusuhan
dengan partai itu. Akan tetapi Ketua Siauw-lim-pai yang mengambil
langkah pertama memusuhi Thian-liong-pang, hemmm, dia pun tidak takut!
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang maklum akan maksud Ketuanya dan kata-kata
Bun Beng yang dengan tepat membongkar niat Ketuanya membuat ia makin
marah. Sambil menggereng ia telah menerjang maju, sengaja mengeluarkan
jurus berbahaya untuk memaksa lawan muda itu mengeluarkan jurus simpanan
dari Siauw-lim-pai agar dapat dilihat oleh Ketuanya.
Memang apa yang dilontarkan oleh Bun Beng sebagai tuduhan tadi tepat
sekali. Nirahai sengaja menculik tokoh-tokow kang-ouw, kemudian membius
mereka dengan arak beracun, mengadu mereka untuk dapat mempelajari
gerakan yang asli dari jurus-jurus terlihai semua partai yang hanya
dikenalnya bagian teorinya saja. Dia ingin memperdalam ilmu silatnya
sedemikian rupa dalam persiapannya menghadapi suaminya, Suma Han atau
Pendekar Siluman, juga Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es!
Menghadapi terjangan kakek gundul, Bun Beng terkejut. Hebat bukan main
serangan lawannya yang menubruk dengan kedua tangan terbuka jarinya,
mencengkeram dari atas dan bawah dengan getaran hawa yang membuktikan
tenaga sinkang kuat. Untuk menggunakan ilmu silat Siauw-lim-pai, dia
tidak mau karena dia tidak ingin kalau Ketua Thian-liong-pang yang amat
lihai itu ‘mencuri’ jurus-jurus pilihan dengan melihat dia mainkan jurus
itu.
Akan tetapi terjangan kakek gundul yang menjadi lawannya benar-benar
amat berbahaya. Maka ia cepat mengerahkan ginkangnya dan hanya mengelak
ke sana ke mari tanpa mainkan jurus pilihan Siauw-lim-pai! Untung bahwa
dalam hal ginkang, dia dapat mengatasi gerakan kakek itu sehingga sampai
belasan jurus ia mampu menghindarkan semua terjangan kakek itu dengan
hanya mengandalkan ilmunya meringankan tubuh!
"Heh, kau masih keras kepala, ya?" Chie Kang mendengus marah menyaksikan
lawannya itu benar-benar tidak mengeluarkan jurus Siauw-lim-pai dan
hanya mengelak ke sana-sini. Ia merobah serangannya, kini dia
mengerahkan sinkang dan menyerang dengan gerakan lambat, tetapi kedua
tangannya mendatangkan angin yang bergulung-gulung menghadang semua
jalan keluar Bun Beng!
Pemuda itu terkejut, maklum bahwa menghadapi penyerangan seperti itu tak
mungkin baginya untuk hanya mengandalkan ginkang saja. Maka ia berseru
keras, tubuhnya melakukan gerakan aneh sekali, tubuhnya menyeruduk ke
depan, kedua tangannya membentuk lingkaran-lingkaran aneh sekaligus
menghalau semua serangan lawan dan berbalik kedua tangannya yang
seolah-olah berubah menjadi banyak sekali itu mengirim pukulan dari
semua penjuru!
"Aihhhh...!" Chie Kang berteriak, berusaha mengelak namun tetap saja
pundaknya terkena tangan Bun Beng sehingga ia terhuyung ke belakang. Bun
Beng mendesak ke depan untuk mengirim pukulan yang akan merobohkan
lawan.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat. Kedua tangan Bun Beng tertolak ke
samping, dan sebelum Bun Beng sempat menjaga diri, tahu-tahu ia telah
terguling roboh. Tubuhnya jatuh terlentang dan tahu-tahu kaki kiri Ketua
Thian-liong-pang telah menginjak dadanya! Bun Beng merasa betapa kaki
yang kecil itu seperti gunung beratnya sehingga dia tidak mampu bergerak
lagi, dan maklumlah pemuda ini bahwa sekali wanita itu mengerahkan
tenaga, dadanya akan pecah! Namun dia tidak takut dan memandang dengan
mata melotot.
"Bocah sombong! Dari mana engkau mempelajari ilmu tadi?"
Biar pun dia sudah tidak berdaya dan hanya menanti maut yang berada di
telapak kaki wanita itu, namun Bun Beng merasakan kegirangan dan
kepuasan besar karena ia mendapat kenyataan bahwa wanita sakti ini tidak
mengerti jurusnya tadi!
"Ha-ha-ha-ha! Thian-liong-pangcu, mau bunuh, lekas bunuhlah. Siapa takut
mati dan siapa takut padamu? Engkau memang pandai seperti iblis, akan
tetapi juga menyeleweng dan jahat seperti iblis. Memang engkau iblis,
kalau tidak, tentu engkau tidak akan menyembunyikan mukamu di belakang
kerudung! Akan tetapi, biar pun engkau iblis sendiri yang masih belum
puas dan ingin mencuri ilmu silat seluruh orang kang-ouw, tetap saja
engkau tidak menang melawan Pendekar Siluman dari Pulau Es! Ha-ha-ha,
engkau akan dipermainkan lagi seperti dulu di Sungai Fen-ho, seperti
yang telah kusaksikan sendiri. Ha-ha-ha!"
Bun Beng merasa betapa kaki itu makin berat menindih dadanya. Ia
memejamkan mata, menanti datangnya maut, akan tetapi kaki itu tidak
menginjak terus, bahkan turun dari dadanya dan tiba-tiba rambutnya yang
dikuncir itu terjambak, tubuhnya terangkat dan dipaksa bangkit. Ia kini
berdiri di depan wanita itu, melihat sepasang mata di balik kerudung
yang seolah-olah hendak membakarnya.
"Siapa engkau? Siapa...?" Wanita itu membentak, kini suaranya tidak
halus merdu lagi, melainkan melengking nyaring penuh kemarahan.
"Aku akan mati, perlu apa menyembuyikan nama? Aku Gak Bun Beng..."
"Ya Tuhan...!"
Bun Beng mendengar suara ini dari atas anak tangga, akan tetapi dia
tidak tahu siapa yang berseru kaget itu karena Ketua Thian-liong-pang di
depannya tiba-tiba tertawa menghina.
"Hi-hik, kiranya anak haram, keturunan Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan
Botak datuk kaum sesat? Pantas... pantas saja...! Engkau jahat, melebihi
Ayahmu yang tidak sah. Manusia macammu ini tidak layak hidup!"
Nirahai mengangkat tangan kanannya, siap menghantam kepala Bun Beng.
Sekali ini, karena Bun Beng sudah berdiri dan tidak seperti tadi,
diinjak tak mampu berkutik, tentu saja tidak sudi mampus begitu saja
tanpa melawan.
"Plakkk!" Hantaman dengan telapak wanita itu berhasil dia tangkis dengan
jurus Sam-po-cin-keng dan biar pun tubuhnya terlempar sampai lima meter
jauhnya, ia berhasil menangkis dan tidak terluka. Dia sudah meloncat
bangun lagi, siap melawan mati-matian.
"Pangcu...!" Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan berkelebatlah tubuh
kakek bermuka singa menghadang tubuh Nirahai yang sudah berjalan
menghampiri Bun Beng dengan mata berkilat penuh penasaran.
"Sai-cu Lo-mo, minggirlah engkau! Bocah ini harus kubunuh!" bentak ketuanya.
"Pangcu, ampunkanlah... dia... cucu keponakan saya, satu-satunya
keturunan saya, bagaimana Pangcu tega untuk membasmi keturunan saya?
Ampunkanlah, atau Pangcu bunuh saya sekalian!"
Mendengar ini, tiba-tiba lemaslah tubuh Nirahai. Ia memandang wajah
pembantunya yang berlutut di depan kakinya. Bu Beng berdiri memandang
dengan mata terbelalak! Dia cucu keponakan kakek bermuka singa itu?
"Sudahlah! Tidak dibunuh pun tidak mengapa, akan tetapi harus suka menjadi anggota kita."
"Apa? Aku menjadi anggota Thian-liong-pang, membantu kalian menculiki
orang-orang gagah untuk dicuri kepandaiannya? Terima kasih, lebih baik
aku mati!" Bun Beng membentak sambil membanting kakinya penuh kemarahan.
Sai-cu Lo-mo cepat meloncat ke depan Bun Beng sambil membentak penuh
teguran, "Gak Bun Beng, engkau tidak boleh berkata begitu! Engkau adalah
cucu keponakanku sendiri, harus mentaati kata-kataku."
Bun Beng memandang kakek itu penuh perhatian. "Locianpwe, sejak kapankah aku menjadi cucu keponakanmu dan siapakah Locianpwe?"
"Aku adalah Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, dan mendiang Ibumu Bhok Khim adalah keponakanku."
Diam-diam Bun Beng merasa terharu. Baru sekali ini dia bertemu dengan
orang yang ada hubungan keluarga dengannya, akan tetapi dia bertanya
penuh rasa penasaran.
"Kalau benar demikian mengapa baru sekarang Locianpwe mengaku sebagai Paman Kakekku?"
Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu, Bun Beng. Dahulu
aku telah berusaha merampasmu dengan mengirim anak buah
Thian-liong-pang ke kuil tua, di dekat Sungai Fen-ho. Akan tetapi
usahaku gagal, engkau dirampas oleh Pendekar Siluman dan diberikan
kepada orang Siauw-lim-pai. Sekarang kebetulan sekali kita bisa
berkumpul, engkau menurutlah, tinggal di sini menjadi anggota kami,
mempelajari ilmu dari Pangcu dan membuat jasa."
"Maaf, Kakek, hal ini tidak dapat kulakukan. Bukan sekali-kali aku tidak
memandang perhubungan keluarga antara kita. Aku tahu engkau seorang
yang baik dan telah berusaha menyelamatkan aku, akan tetapi untuk
menjadi anggota Thian-liong-pang aku tidak sudi. Terserah kepada
Thian-liong-pangcu, hendak membebaskan aku bersama para tokoh kang-ouw
di sini atau hendak membunuhku!"
"Sai-cu Lo-mo, mengingat dia cucu keponakanmu, aku tidak membunuhnya.
Akan tetapi dia harus menjadi anggota kita atau mati!" terdengar Nirahai
berkata, suaranya dingin dan mengandung keputusan yang tidak dapat
dibantah lagi.
Sai-cu Lo-mo menjadi bingung sekali. Dia ingin menyelamatkan
keturunannya ini, akan tetapi maklum bahwa pemuda ini memiliki
keberanian dan kenekatan yang sukar ditundukkan dan ia maklum pula bahwa
kalau Pangcunya marah, tidak ada seorang pun berani membantahnya. Lalu
ia mendapatkan akal dan berkata.
"Pangcu, ampunkan saya dan ampunkan dia yang masih muda. Kalau dia tidak
mau, biar dia kita tawan dan perlahan-lahan saya akan membujuknya."
Terdengar jawaban dengan suara kesal, "Sesukamulah...."
Sai-cu Lo-mo menjadi girang sekali. "Bun Beng, dengarlah betapa baiknya Ketua kita. Engkau menurutlah, Cucuku!"
"Maaf, aku tidak mau menjadi anggota Thian-liong-pang! Biar pun Ayahku
yang tidak pernah kukenal itu disebut seorang datuk kaum sesat, namun
aku bukanlah orang sesat!"
"Bocah bandel, kalau begitu aku akan menawanmu!" Sai-cu Lo-mo membentak
dan menubruk ke depan hendak menangkap Bun Beng. Akan tetapi, Bun Beng
sudah mengelak cepat dan ketika kakek itu menyusul dengan serangan
totokan untuk merobohkannya, dia cepat menangkis.
"Plak-plak!" Bun Beng terpental ke belakang dan Sai-cu Lo-mo terhuyung.
Diam-diam Bun Beng terkejut, maklum bahwa orang yang mengaku kakeknya
ini memang memiliki kepandaian dan tenaga lebih hebat dari pada kakek
gundul yang berhasil ia kalahkan tadi.
Di lain pihak, Sai-cu Lo-mo juga kagum. Kiranya cucu keponakannya ini benar-benar tangguh, pantas saja sute-nya kalah.
"Gak Bun Beng, berani engkau melawan kakekmu sendiri?"
"Aku tidak melawan seorang kakekku, melainkan melawan orang-orang Thian-liong-pang." jawab Bun Beng tegas.
"Engkau benar tak tahu diri dan sombong!" Sai-cu Lo-mo kini menerjang dengan hebatnya.
Bun Beng terpaksa menggerakkan kaki tangan melawan dan kembali ia
menggunakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng. Begitu ia mainkan jurus-jurus
aneh ilmu silat ini, Sai-cu Lo-mo mengeluarkan seruan kaget dan kakek
ini terdesak hebat! Melihat gerakan pemuda itu Nirahai menjadi kagum dan
tertarik sekali. Dia telah melihat dan mempelajari banyak macam ilmu
silat tinggi, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan ilmu silat tangan
kosong seperti yang dimainkan pemuda itu. Sungguh pun gerak kaki pemuda
itu mempunyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang sudah matang, namun
jurus itu bukanlah jurus ilmu silat Siauw-lim-pai.....