Kisah Sepasang Rajawali Jilid 51-54

Kho Ping Hoo, Kisah Sepasang Rajawali Jilid 51-54 Akhirnya senja telah tiba. Biar pun di luar hutan itu orang masih dapat melihat keadaan, akan tetapi di tengah hutan besar yang lebat itu,
Anonim
Akhirnya senja telah tiba. Biar pun di luar hutan itu orang masih dapat melihat keadaan, akan tetapi di tengah hutan besar yang lebat itu, di mana pohon-pohon raksasa dengan daun-daunnya yang lebat merupakan atap yang menghalangi sinar matahari yang telah condong ke barat, sudah amat gelap sehingga tidak mungkin melanjutkan perjalanan.

“Kita berhenti dulu di sini...” Syanti Dewi berkata terengah-engah, sebagian karena lelah memapah tubuh Tek Hoat, akan tetapi terutama sekali karena tegang takut dikejar Tambolon.

Tek Hoat menjatuhkan diri terguling, rebah di atas rumput. Syanti Dewi yang sudah lelah itu lalu membuat api unggun dan tak lama kemudian dia sudah duduk berlutut di dekat tubuh Tek Hoat yang rebah kelelahan.

“Dewi... Syanti Dewi... mengapa engkau begini bersusah payah untukku...” Tek Hoat mengeluh, hatinya terharu sekali.

“Janganlah mengucapkan kata-kata seperti itu, Tek Hoat. Sudah berkali-kali engkau menyelamatkan aku dengan taruhan nyawamu, apa artinya bantuanku ini selagi engkau dalam keadaan sakit?”

Hening sejenak. “Tujuh hari lamanya aku di kereta itu... dan selama itu engkau berada di bilik kereta depan?”

Puteri itu tersenyum dan mengangguk. Wajahnya memang sudah kelihatan merah oleh sinar api unggun, sehingga kalau toh sepasang pipinya berubah merah pun tidak akan kentara.

“Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau bersembunyi?”

“Engkau tahu, Tek Hoat. Banyak pihak jahat ingin menghalangiku kembali ke Bhutan. Setelah aku dilarikan oleh Bibi Puteri Milana dari istana, aku bertemu dengan ayah angkatku, Jenderal Kao Liang. Aku diberi dua losin orang pengawal dan di tengah jalan malah tertawan oleh Tambolon. Setelah engkau menyelamatkan aku dan mengantarku ke rumah Perdana Menteri Su, aku lalu ditemukan dengan Paman Panglima Jayin dari Bhutan. Agar perjalananku aman, maka aku lalu disuruh oleh Paman Jayin agar bersembunyi di dalam kereta besar itu, dan tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapa pun juga. Bilik belakang itu adalah tempat alat-alat keperluanku. Akan tetapi engkau muncul pula dan karena engkau telah terluka ketika membantu kami, maka aku memerintahkan Paman Jayin untuk menolongmu ke dalam bilik belakang. Ketika kau masih pingsan... aku merawatmu. Akan tetapi sesudah engkau siuman dan aku lalu masuk kembali ke bilik depan.”

Jantung Tek Hoat berdebar tegang ketika dia teringat akan semua pengalamannya di dalam bilik kereta itu. “Dan aku... aku mengigau tentang dirimu, aku... aku bernyanyi... menyebut-nyebut namamu... kau... kau mendengar semua itu...?”

Kembali Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Karena keadaan Tek Hoat itulah maka mula-mula Syanti Dewi tertarik sekali, merasa kasihan dan timbul perasaan kasih di dalam hatinya terhadap pemuda ini. Dalam keadaan tidak sadar pemuda ini dengan jelas menyatakan cinta kasih yang mendalam terhadap dirinya dan hatinya merasa terharu sekali.

“Kalau begitu...” Tek Hoat tidak mampu melanjutkan.

“Mengapa, Tek Hoat?”

“Kalau begitu aku telah melakukan dosa besar terhadapmu, Syanti Dewi.”

“Hemm, mengapa?”

“Engkau seorang puteri yang agung, seorang puteri kerajaan yang mulia, seorang dara yang cantik jelita dan berbudi mulia, sedangkan aku...”

“Kau adalah penolongku berkali-kali, sejak kau menyamar sebagai tukang perahu.”

“Tidak, aku adalah seorang yang jahat sekali, Dewi...”

“Lagi-lagi kau merendah. Sikapmu itu sungguh-sungguh tak menyenangkan, Tek Hoat. Penyesalan diri secara berlebihan tak ada gunanya sama sekali kecuali mendatangkan perasaan muak kepada orang lain. Yang penting adalah menyadari bahwa dirinya telah bertindak keliru. Kesadaran ini akan mendatangkan perubahan, bukan hanya sekedar penyesalan kosong belaka!”

“Maaf, akan tetapi kau... kau sungguh tidak tahu siapa aku?”

“Siapa bilang aku tidak tahu siapa engkau, Tek Hoat? Aku malah tahu lebih banyak tentang dirimu dari pada engkau sendiri! Dulu ketika engkau hendak meninggalkan aku di istana Perdana Menteri Su, aku tak sempat lagi menceritakan hal ini. Sesungguhnya, aku lebih tahu dari pada engkau sendiri tentang dirimu.”

Tek Hoat memandang terbelalak heran. “Apa yang kau maksudkan, Dewi?”

Hati Syanti Dewi terharu. Pemuda itu kini menyebutnya Dewi dan satu-satunya orang yang menyebutnya demikian hanyalah Gak Bun Beng. Baginya ada persamaan antara pemuda ini dengan Gak Bun Beng!

“Maksudku, aku telah bertemu dengan ibumu yang bernama Ang Siok Bi! Dan aku telah mendengar ibumu bicara dengan Bibi Puteri Milana sehingga terbukalah rahasia yang agaknya belum kau ketahui sendiri tentang dirimu.”

Tentu saja Tek Hoat terkejut bukan main dan bagaikan diserang ular dia bangkit duduk, tidak peduli akan tubuhnya yang lemas sehingga hampir dia terguling. “Kau berjumpa dengan ibuku? Di mana? Kapan? Dan apa yang dibicarakannya dengan Puteri Milana?”

Syanti Dewi tersenyum. Dia melihat gairah dan kerinduan membayang di mata pemuda itu ketika menyebut ibunya dan giranglah hatinya menyaksikan ini karena dia tahu bahwa pemuda ini mencinta ibunya.

“Sebelum aku menceritakan semua itu, aku ingin tahu terlebih dahulu, apakah engkau mengenal nama Gak Bun Beng?”

Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi muram. “Tentu saja! Sampai mati pun aku tidak akan melupakan nama itu!”

“Dan engkau tadinya mengira dia sudah mati, bukan?”

“Benar, akan tetapi aku girang bahwa dari Puteri Milana aku mendengar bahwa dia masih hidup. Aku harus dapat mencarinya dan bertemu muka dengan dia!” Kata-kata ini dikeluarkan dengan nada keras.

“Aku tahu, engkau masih menganggap dia musuh besarmu. Untung terbuka rahasia itu sehingga aku mengetahui, karena kalau tidak, dan engkau masih terus menganggap dia musuh besarmu... hal itu... akan amat mendukakan hatiku, Tek Hoat. Ketahuilah bahwa dia itu sesungguhnya bukanlah musuh besarmu, bahwa Gak Bun Beng adalah semulia-mulianya manusia, seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang patut dihormati dan dikagumi...”

“Dewi! Apa maksudmu?”

“Dengarlah baik-baik apa yang kudengar dari pembicaraan antara ibumu dan Bibi Milana. Sebelum bertemu dengan Bibi Milana, Ibumu sendiri, Bibi Ang Siok Bi itu, juga menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya yang sudah mati. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng belum mati, bahkan sama sekali bukan musuh besarnya. Katakanlah lebih dulu, Tek Hoat, apa yang diceritakan oleh ibumu tentang ayahmu dan tentang Gak Bun Beng?”

“Ibu menyatakan bahwa ayahku bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahku itu dibunuh oleh penjahat Gak Bun Beng yang juga telah berhasil dibunuh oleh Ibu. Dan ternyata sekarang bahwa Gak Bun Beng masih hidup...”

“Dia sama sekali bukan penjahat, melainkan seorang pendekar besar berhati mulia! Ibumu dahulu salah duga, Tek Hoat, dan beginilah menurut percakapan antara ibumu dan Puteri Milana. Dahulu di waktu masih gadis, ibumu telah diperkosa oleh seorang penjahat muda yang dilakukan dalam gelap dan penjahat muda itu mengaku bernama Gak Bun Beng karena Gak Bun Beng adalah musuh besarnya... ehhh, kenapa kau?” Syanti Dewi terkejut melihat pemuda itu memegangi kepalanya.

“Tidak, tidak apa-apa, teruskan!” Tek Hoat berkata. Kepalanya seperti dihantam palu godam mendengar permulaan cerita itu, karena dia seolah-olah diejek dan disindir, teringat akan perbuatannya sendiri yang melakukan segala kejahatan menggunakan nama Gak Bun Beng pula!

“Nah, tentu saja ibumu menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya dan pada suatu hari, bersama wanita-wanita lain yang menjadi korban pemuda jahat yang menyamar sebagai Gak Bun Beng, ibumu dan beberapa orang wanita itu berhasil mengeroyok Gak Bun Beng sampai pendekar itu terjerumus ke dalam jurang yang dalam dan disangka mati. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali sehingga dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng belum tewas. Di antara para pengeroyok itu terdapat Bibi Milana. Bibi Milana akhirnya mengetahui bahwa Gak Bun Beng tidak berdosa, dan penjahat yang sesungguhnya, telah tewas menebus dosanya. Namun ibumu agaknya tidak atau belum tahu sehingga ketika melahirkan engkau, dia hendak menanam bibit kebencian di hatimu terhadap Gak Bun Beng yang disangka pemerkosanya.”

Dengan wajah pucat sekali Tek Hoat memandang Syanti Dewi. Andai kata bukan puteri itu yang bercerita seperti ini, bukan wanita yang dipujanya, dicintanya dan tentu saja dipercayanya, tentu dia akan marah dan akan membunuh yang bercerita itu.

“Dewi... Dewi... demi Tuhan...! Benarkah itu...?”

“Aku mendengar sendiri, dan perlu apa aku membohongimu?”

“Lalu... lalu bagaimana...? Lalu siapa orang itu? Siapa... pemerkosa Ibu dan... ayahku itu...?”

“Dia bernama Wan Keng In, putera tiri dari Pendekar Super Sakti sendiri. Jadi engkau masih cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan engkau bukan she Ang, karena itu she Ibumu melainkan she Wan.”

“Dan... dan Ang Thian Pa... ahhh, bisa jadi dialah kakekku... bekas ketua Bu-tong-pai... ahh, Ibuuu...!” Tek Hoat menjerit lalu terguling dan pingsan.

Tentu saja Syanti Dewi menjadi sibuk sekali, mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan memanggil-manggil.....

********************

Panglima Jayin dan para anak buahnya, juga pasukan yang baru tiba dan berhasil menyelamatkan mereka, dibantu pula oleh See-thian Hoat-su dan Teng Siang In, setelah Tambolon dan anak buahnya melarikan diri, bingung karena Puteri Syanti Dewi dan Tek Hoat tidak berada di dalam kereta!

“Celaka, kita kena diperdaya musuh!” Jayin berseru dan dia kemudian menyebar orang-orangnya untuk mencari ke sana-sini.

“Hemmm, nenek gila itu sungguh keterlaluan. Tidak salah lagi, tentu mereka telah berhasil menawan Sang Puteri dan pemuda itu. Pemuda itu terluka hebat, tentu tidak mampu melawan. Awas kau, Durganini, sekali ini aku tidak akan mengampunimu kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sang Puteri!” See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya.

“Suhu, mengapa tidak semenjak tadi-tadi kau merobohkan nenek itu dan baru sekarang mengancam setelah dia pergi dan berhasil menculik Sang Puteri?” Muridnya menegur dan kakek itu hanya menunduk dan menarik napas panjang. Harus diakuinya bahwa dia lemah terhadap bekas isterinya itu sehingga kini mengakibatkan mala petaka.

“Betapa pun juga, kita harus berusaha mencari dan mengejar mereka,” Panglima Jayin yang merasa khawatir sekali akan keselamatan puteri junjungannya berkata.

Tiba-tiba terdengar Siang In berseru nyaring, “Heiiiii...! Kiranya kau laki-laki genit juga berada di sini...!”

Semua orang menengok dan ternyata yang muncul adalah Suma Kian Bu! Seperti telah kita ketahui, baik Kakek See-thian Hoat-su mau pun Panglima Jayin dan empat orang pembantunya pernah berkenalan dengan Suma Kian Bu, bahkan sama-sama menjadi tawanan Tambolon, kemudian sama-sama melarikan diri di atas rakit dan melawan anak buah Tambolon. Tentu saja kemunculan pemuda perkasa ini amat menggirangkan semua orang. Akan tetapi Siang In yang girang sekali bertemu kembali dengan pemuda ini, tidak memberi kesempatan kepada orang-orang lain untuk menyambut Kian Bu.

Dia sudah lari menghampiri Kian Bu dengan kegembiraan meluap dan tak terbendung lagi dia memegang lengan tangan Kian Bu sambil bicara dengan asyik, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Kian Bu untuk bernapas lagi! Siang In teringat akan pertemuannya yang pertama dengan Kian Bu, maka sambil tertawa cekikian menutupi mulutnya dia kemudian menceritakan dengan suara nyerocos tiada hentinya tentang pengalamannya, betapa dia menjadi murid See-thian Hoat-su dan lain sebagainya.

“Kau ingat pertemuan kita dahulu? Wah, aku sudah kangen sekali kepada Pek-liong, kudaku yang hebat itu. Engkau menyebutnya keledai, ya? Salah! Dia itu kuda, kuda peranakan keledai, jadi masih kuda juga namanya! Dan aku sekarang sudah lebih pandai meniru gayamu dahulu itu! Hayo kita ke sana, kuperlihatkan kepadamu!” Siang In menowel dagu Kian Bu begitu saja di depan banyak orang lalu menarik tangan Kian Bu pergi dari situ.

Semua orang tersenyum-senyum dan See-thian Hoat-su tertawa bergelak melihat kepolosan sikap dara remaja yang masih kekanak-kanakan itu. Wajah Kian Bu menjadi merah sekali. Pemuda ini menyeringai dan serba salah, akan tetapi kalau dia berkeras menolak, dia merasa tidak tega. Dara itu begitu polos, begitu jenaka dan kekanak-kanakan sehingga di balik semua lagaknya itu tidak tersembunyi maksud-maksud tertentu, melainkan wajar terbawa oleh kegembiraannya. Maka dia pun membiarkan dirinya ditarik menjauhi semua orang sehingga tidak tampak lagi oleh mereka.

“Nah, kaulihat. Bukankah begini lagak wanita genit memikat itu?” Siang In mulai beraksi, mengitari tubuh Kian Bu, berlagak, mengerling, tersenyum simpul, manisnya bukan main, melebihi orang yang ditirunya sendiri, yaitu Mauw Siauw Mo-li. Dia menowel, menyodok, mencubit dengan wajah menengadah, begitu menantang, begitu menggoda agar Kian Bu memuji kepandaiannya.

Akan tetapi, dara itu sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya sekarang ini bukanlah Kian Bu yang dahulu lagi! Bukan Kian Bu yang masih hijau dan kekanak-kanakan pula. Kian Bu yang sekarang adalah seorang laki-laki bukan kanak-kanak lagi, sudah digembleng dalam buaian asmara dan permainan cinta oleh Lauw Hong Kui si Siluman Kucing, sudah diperkenalkan dengan madunya asmara yang memabokkan, sudah pernah menghamba kepada nafsu birahi.

Kini, melihat bibir yang manis, merah merekah itu setengah terbuka menantang sekali, tersenyum simpul melihatkan sedikit gigi putih dan ujung lidah, melihat cuping hidung yang mancung itu agak kembang-kempis dan mata itu menyambar-nyambar dengan kerlingan memikat, dada yang mulai membusung itu mengalun naik turun, pinggang yang ramping berliuk dan pinggulnya bergerak-gerak memutar ke kanan kiri, dua kuncir rambut yang hitam panjang itu menari-nari di belakang pinggulnya saking panjangnya, jantung Kian Bu sudah berdebar seperti mau pecah.

“Kau... menggemaskan...!” Dia berbisik dan ketika dara itu dengan sikap manja dibuat-buat seperti hendak merangkul leher dengan kedua lengan, menyentuh pundaknya, dia segera menyergap, merangkul dan mencium mulut itu dengan bibirnya, dikecupnya dengan penuh kemesraan dan penuh semangat, sampai lama tidak dilepaskannya.

Siang In gelagapan seperti seekor anak ayam jatuh ke air, tidak dapat bernapas dan meronta-ronta, dari kerongkongannya hanya keluar suara ah-ah-uh-uh karena mulutnya tersumbat, kedua kakinya menyepak-nyepak seperti seekor kuda marah. Setelah akhirnya Kian Bu melepaskannya, dia memandang pemuda itu dengan sepasang mata yang terbelalak lebar, seperti mata seekor kelinci ketakutan, kemudian tangan kanannya menyambar ke depan.

“Plak-plak-plak!” Tiga kali pipi kiri Kian Bu ditamparnya sampai ada tapak tangan merah di atas pipi itu.

“Kau... kau... jahat! Kau menjijikkan...!” Gadis itu lalu menangis dan membalikkan tubuh lagi sambil meludah cah-cih-cuh ke kanan kiri!

Tentu saja semua orang terkejut dan terheran-heran melihat dara itu berlari keluar dari gerombolan pohon sambil menangis, kemudian menubruk dan merangkul gurunya sambil menangis tersedu-sedu.

“Ehhh, ada apa? Apa yang terjadi?” See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi gadis itu hanya membanting-banting kedua kakinya tanpa mau memberi tahu dan terus menerus menangis.

“Kenapa, Siang In? Dan di mana Suma Kongcu?” tanya pula gurunya, akan tetapi gadis cilik itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan keras dan masih terus menangis, menyembunyikan mukanya di baju suhu-nya.

Jayin mengejar ke tempat dari mana gadis itu tadi lari keluar, akan tetapi dia tidak melihat Kian Bu lagi. Kemudian dia memperoleh keterangan dari seorang anak buahnya bahwa pemuda itu setelah mendengar keterangan darinya tentang semua peristiwa yang baru terjadi, bahwa mungkin Syanti Dewi dan Tek Hoat dilarikan oleh Tambolon dan anak buahnya karena Tek Hoat dalam keadaan terluka hebat, lalu pergi dan mengatakan hendak mengejar dan mencari mereka!

Jayin lalu kembali dan menceritakan hal ini kepada See-thian Hoat-su. Setelah Siang In mendengar bahwa Kian Bu telah pergi, barulah dia menghentikan tangisnya dan dia lalu duduk termenung-menung menunjang dagunya, dengan mulut cemberut dan bersungut-sungut, kadang-kadang menelan ludah.

Sementara itu, Kian Bu cepat lari dari tempat itu. Dia merasa malu dan menyesal sekali mengapa dia sampai lupa diri dan berbuat seperti itu terhadap seorang dara remaja seperti Siang In! Dia merasa serba salah, maka dia pergi dari situ, bertemu dengan seorang pembantu Jayin dan menanyakan urusan. Ketika mendengar bahwa Syanti Dewi terculik musuh, dia amat terkejut dan khawatir sekali. Betapa pun juga, cintanya terhadap Puteri Bhutan itu masih melekat di kalbunya, bahkan luka oleh penolakan puteri itu masih belum sembuh.

Diam-diam dia harus mengakui bahwa luka itulah yang membuat dia mudah tergoda oleh Lauw Hong Kui. Andai kata cinta kasihnya diterima dan dibalas oleh Syanti Dewi, jangankan baru seorang Hong Kui, biar ada tujuh bidadari turun dari kahyangan untuk menggodanya, tentu dia tidak akan runtuh! Dan godaan Hong Kui sebagai akibat patah hatinya terhadap Syanti Dewi itu mendatangkan akibat yang hebat, membuat dia lemah menghadapi wanita sehingga di depan Siang In tadi pun dia tidak dapat menahan diri!

Kini, Syanti Dewi yang dicintanya diculik orang! Dia lalu menyusup-nyusup ke dalam hutan yang lebat itu karena dia menduga bahwa agaknya menghadapi pasukan besar Bhutan, Tambolon tentu membawa lari puteri itu dan bersembunyi di dalam hutan lebat ini.

Hutan itu makin lebat dan makin gelap saja. Malam itu terpaksa Kian Bu bermalam di atas pohon besar. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi barulah dia terbangun. Tubuhnya terlalu lelah sehingga tidur di atas pohon itu terasa amat nikmat, membuat dia pulas sampai hampir siang baru terbangun oleh suara yang terdengar di bawah pohon. Ketika dia memandang ke bawah, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Tambolon dan nenek hitam yang lihai itu berjalan perlahan dan menengok ke kanan kiri.

“Tidak salahkah kau, Tambolon?” Terdengar nenek itu mengomel. “Awas, akan kujewer telingamu kalau puteri itu tidak berada di sini.”

“Tidak mungkin salah, Subo. Di dalam keributan, puteri itu menghilang. Kemana lagi kalau tidak ke hutan lebat ini, dan tadi kita menemukan jejak mereka dan sedikit darah. Agaknya puteri itu lari bersama Tek Hoat yang sudah terluka.”

“Hehh, pemuda itu memang hebat!”

“Tapi sudah terluka parah, Subo. Terkena guratan kuku Subo dua kali, mana bisa dia bertahan hidup? Dan masih terkena pukulan dan tendangan. Andai kata dia belum mampus pun, tentu tidak akan mampu melawan lagi.”

Mereka melanjutkan perjalanan, menyusup-nyusup perlahan-lahan sambil memandang ke kanan kiri. Dua orang itu tidak tahu betapa diam-diam Kian Bu membayangi mereka dari jauh dan dengan hati-hati sekali. Kian Bu berani bergerak kalau kedua orang itu bergerak sehingga suara keresekan kaki mereka menginjak daun-daun kering menyembunyikan suara berisik dari kakinya sendiri. Kalau mereka berhenti, dia pun cepat berhenti

Tiba-tiba nenek itu berhenti dengan mendadak. “Aku mendengar suara orang!” bisiknya. Tambolon terkejut, memasang telinga, akan tetapi tidak mendengar apa-apa.

“Tidak ada suara, Subo.”

“Tolol! Tadi aku mendengar, suaranya dari belakang.”

Tambolon membalik dan memandang ke belakang. Sunyi-sunyi saja. Diam-diam dia mengomeli subo-nya yang dianggapnya sudah pikun. Mana mungkin ada orang di belakang? Kalau ada tentu sudah mereka lewati dan mereka lihat tadi.

“Tidak ada siapa-siapa, Subo. Mari kita lanjutkan. Aku dapat menduga ke mana mereka pergi.”

“Ke mana?”

“Aku sudah mengenal betul hutan ini. Satu-satunya sumber air di hutan ini adalah di depan, di bawah pohon pek yang besar. Dan kalau Tek Hoat terluka parah, tentu mereka membutuhkan air. Agaknya ke sanalah mereka.”

“Benarkah? Jangan salah, Tambolon, aku sudah gelisah, duri-duri ini tidak enak sekali mencakar-cakar kaki!” nenek itu mengomel lagi.

Diam-diam Kian Bu makin berhati-hati. Nenek ini boleh jadi sudah pikun, akan tetapi ternyata masih memiliki kepekaan seorang ahli silat tinggi yang walau pun tidak mendengar dengan telinganya, mampu menangkap dengan kepekaannya. Kembali dia mengikuti sampai agak jauh, makin lama makin mendalam di hutan yang amat lebat.

“Ssssttt...!” Tiba-tiba Tambolon mengeluarkan suara desis ini.

Mereka berdua mendekam dan Tambolon menuding ke depan. Dari jauh Kian Bu melihat hal ini, maka dia cepat mendaki pohon besar, tidak berani meloncat, khawatir kalau-kalau melanggar daun kering. Dia mendaki tanpa mengeluarkan suara dan dari atas dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh Tambolon. Jantungnya berdebar tegang.

Tak salah lagi, wanita cantik jelita yang menuruni jalan menurun ke arah sumber air itu, yang pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan namun masih tampak luar biasa cantiknya, adalah Syanti Dewi yang dicari-carinya. Dara bangsawan itu menuruni jalan berbatu yang licin sambil membawa sebuah periuk air butut dari tanah, sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya mengancam di belakangnya.

Tentu saja Tambolon menjadi girang sekali melihat Puteri Bhutan ini. Puteri jelita ini merupakan orang yang sangat berharga baginya, karena kalau puteri ini berada di tangannya, seakan-akan di dalam tangannya dia memegang kekuasaan atas Raja Bhutan. Maka dia lalu berjalan berindap-indap menuruni jalan itu, lupa kepada gurunya yang ditinggalkan begitu saja dan Nenek Durganini yang pikun itu telah mulai melenggut dan mengantuk di tempatnya karena dia memang sudah lelah sekali.

Bagaikan seekor harimau yang mengintai dan mendekati calon mangsanya, Tambolon berjingkat-jingkat mendekati, kemudian mengambil ancang-ancang dan diterkamnyalah Puteri Syanti Dewi yang sedang mengambil air dengan periuk butut itu.

“Bressss...!”

“Aihhhh...!” Yang menjerit itu adalah Syanti Dewi ketika tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan ketika menoleh dia melihat Tambolon menubruknya.

Akan tetapi pada saat itu dari samping juga meloncat seorang pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu sehingga bertemulah pemuda ini dengan Tambolon di tengah udara. Tubuh Tambolon terbanting ke samping dan raja liar ini terkejut bukan main ketika melihat bahwa yang barusan menghalanginya adalah pemuda tampan yang sudah diketahuinya amat lihai itu.

“Keparat, berani engkau menghalangiku?” bentaknya.

“Tambolon, manusia kejam! Sekali ini aku akan membunuhmu!” bentak Suma Kian Bu.

“Bu-koko...!” Syanti Dewi berseru girang ketika dia mengenal pemuda itu, akan tetapi dia khawatir sekali. Cepat diraihnya periuk yang sudah terisi air itu dan dia menjauhkan diri dari mereka yang sudah saling serang dengan dahsyatnya itu.

“Syanti Dewi, kau larilah cepat...!” Kian Bu berseru sambil mengelak ketika pedang Tambolon menyambarnya, dan secepat kilat dia menghantam dengan pengerahan Swat-im Sinkang yang amat dingin.

Tambolon terkejut, tidak berani menerima pukulan yang dahsyat dan berhawa dingin itu, mengelak sambil menyabetkan pedangnya dari samping, juga menggerakkan tangan kirinya mencengkeram. Namun kembali Kian Bu dapat mengelak dengan mudah karena baginya, semua gerakan Tambolon masih terlampau lambat.

Dengan marah pemuda itu terus mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat tinggi mutunya. Sebagai putera tersayang dari Puteri Nirahai, tentu saja dia banyak mewarisi ilmu-ilmu silat tangan kosong yang banyak dikenal ibunya. Sebentar dia mainkan Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), kemudian dirubah dengan jurus-jurus dari Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang telah digabung dengan Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa).

Dengan ilmu-ilmu silat tinggi yang diubah-ubah ini, biar pun dia memegang pedang, Tambolon yang kasar itu menjadi bingung dan beberapa kali dia kena ditendang dan digampar, dan hanya mengandalkan tubuhnya yang kekar dan kebal itu saja maka dia masih belum roboh. Akan tetapi beberapa kali tamparan tangan Kian Bu yang mengandung Swat-im Sinkang membuat dia menggigil dan jerilah raja liar ini.

“Subo, tolong...! Subo...!”

Akan tetapi nenek itu tidur mendengkur dengan mulut terbuka, giginya ompong semua sehingga ilarnya tidak ada yang menahan lagi, mengalir turun melalui ujung bibirnya.

“Suboooo...!” Tambolon berteriak.

“Desss...!”

Tubuhnya terpental dan terguling-guling terkena tendangan Kian Bu dan raja liar ini terus sengaja menggulingkan dirinya ke dekat subo-nya, tidak peduli pakaiannya sudah menjadi kotor semua.

“Subo... Subo... bangun, bangun..., tolonglah aku!” Sekarang ia mengguncang-guncang tubuh subo-nya.

“Aaaahhhh, plak-plak! Aduh...!”

Memang sedang sialan Tambolon sekali ini. Karena terkejut dibangunkan secara keras, Nenek Durganini terbangun dalam keadaan bingung dan tanpa memilih bulu lagi kedua tangannya menampar sehingga kedua pipi Tambolon kena ditampar sampai bengkak-bengkak!

“Subo, ini aku...! Itu di sana barulah musuhku...!” Tambolon berteriak sambil memegangi mukanya yang bengkak dan terasa nyeri bukan main. Hampir copot giginya karena tamparan nenek itu.

“Apa...? Heeii..., kaukah itu? Siapa? Mana...?” Nenek itu masih juga bingung karena semangatnya masih tertinggal di luar setengahnya.

“Itu dia musuh kita, Subo. Bunuhlah dia!” Tambolon menuding.

Kini Nenek Durganini baru dapat melihat Kian Bu. Timbullah kemarahannya karena dia merasa terganggu tidurnya yang amat menyenangkan tadi, terbongkok-bongkok dia lalu menghampiri Kian Bu.

“Keparat, kau berani mengganggu tidurku, ya? Kau sudah bosan hidup barangkali?!” Nenek itu menggerakkan tongkatnya.

“Wirrr... siuuut...!” Tongkat itu menghantam ke arah kepala Kian Bu.

Pemuda ini sudah mengerti bahwa nenek ini amat lihai dan pandai ilmu sihir, maka dia cepat menangkis dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kiang.

“Plakkk!”

“Aihhh... dingin... dingin bukan main...!” Nenek itu menggigil, kemudian dia berkemak-kemik dan melontarkan tongkatnya. “Coba kau lawan ini, orang muda yang banyak tingkah!”

Suma Kian Bu sudah tahu bahwa nenek ini adalah seorang ahli sihir, maka dia sudah mengerahkan sinkang-nya. Ayahnya sendiri adalah seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman, memiliki kekuatan gaib, akan tetapi kekuatan gaib ayahnya itu bukanlah ilmu yang dapat diturunkan kepada orang lain, melainkan kekuatan pembawaan yang tidak dapat diajarkan. Namun, sebagai seorang putera pendekar sakti, tentu saja dia tahu bahwa dengan pengerahan sinkang dia dapat melawan pengaruh sihir.

Dia sudah mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi ternyata dia masih kalah kuat dan terpengaruh juga. Tongkat yang dilontarkan itu tiba-tiba berubah menjadi seekor naga hitam yang mulutnya mengeluarkan api dan matanya mencorong menakutkan. Kalau orang lain, tentu sudah lemas dan tidak berani melawan. Akan tetapi Kian Bu, biar pun kalah kuat dan matanya masih melihat tongkat sebagai naga, sama sekali tidak menjadi gentar dan dia menyambut terkaman naga itu dengan hantaman kedua tangannya yang mengandung tenaga Hwi-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) di tangan kanan dan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) di tangan kiri.

“Blarrrr... darrrrr...!”

Bukan main hebatnya gabungan dua tenaga ini yang merupakan inti dari ilmu orang-orang Pulau Es. Biar pun naga itu hanyalah jadi-jadian dan hasil ilmu sihir dari Nenek Durganini, namun karena nenek itu tidak kuat menghadapi penggabungan tenaga sakti itu, naga itu lenyap dan ternyata tongkat hitam itu telah terbanting ke atas tanah dalam keadaan patah-patah!

“Aihhhh...!” Nenek itu menjerit dengan suara tinggi sekali hingga terdengar amat tajam seperti mengiris jantung. “Bocah lancang..., lihat ini...!”

Kian Bu yang menjadi besar hati karena melihat pukulannya memusnahkan ilmu sihir tadi kemudian memandang dan inilah kesalahannya. Dia disuruh memandang dan dia memandang, maka seketika dia terkejut sekali karena melihat nenek itu seperti bukan lagi Nenek Durganini, melainkan Puteri Nirahai, ibunya sendiri!

“Ibu...!” Dia berteriak, menggosok-gosok matanya.

“Hi-hi-hik, aku memang ibumu. Ke sinilah, Nak...!”

Kian Bu lari menghampiri.

“Desss...!”

Pemuda itu terpelanting dan kepalanya terasa pening ketika dia menerima hantaman tangan kurus yang bertenaga mukjijat itu. Untung dia tadi dalam kagetnya karena ‘ibunya’ memukul, masih sempat miringkan kepalanya sehingga yang terkena hanya tengkuknya, bukan kepalanya.

Kian Bu kaget dan bingung. Mengapa ibunya memukulnya sedemikian rupa? Dia memandang dan masih saja ibunya yang berdiri di situ.

“Ibu...!”

“Hayo berlutut kau!” Ibunya berkata dan Kian Bu berlutut.

“Subo, pergunakan pedangku!” Tambolon berteriak dan melemparkan pedangnya yang diterima oleh Nenek Durganini yang oleh Kian Bu masih kelihatan sebagai ibunya itu. Pemuda ini bingung. Mengapa Tambolon menyebut ibunya subo?

Pada saat itu, tiba-tiba turun hujan dari atas langit. Memang sejak tadi cuaca sudah mendung dan beberapa air hujan pertama menimpa kepala Kian Bu.

“Cessss...!”

Dingin sekali rasanya air hujan itu menimpa kepalanya dan mata Kian Bu terbelalak. Kiranya yang disangka ‘ibunya’ itu adalah Nenek Durganini yang buruk dan yang kini sudah mengangkat pedang hendak membacok kepalanya. Secara otomatis Kian Bu mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang dan sambil melompat dia mengirim pukulan.

“Blarrrrr...!”

Pedang di tangan nenek itu terpental dan nenek itu sendiri terhuyung ke belakang. Kian Bu meloncat ke belakang dan siap menghadapi dua orang lawannya itu. Sementara itu, hujan turun dengan derasnya. Dan tiba-tiba nenek itu menangis.

“Aduhh... hu-hu-hu... celaka... Tambolon... Tambolon...! Mana payung? Mana payung? Wah, aku bisa masuk angin kehujanan... huuuuhhh, bisa kumat penyakit tulangku... hu-huuu-huuhhh...” Terseok-seok nenek itu lari mencari tempat untuk meneduh, di bawah sebatang pohon besar!

Suma Kian Bu tidak memperhatikan guru dan murid itu lagi. Dia mencari-cari dengan pandang matanya, kemudian dia lari mengejar ke arah larinya Syanti Dewi dengan hati penuh kekhawatiran terhadap dara bangsawan itu. Hujan masih turun dengan derasnya dan akhirnya dia melihat sebuah kuil bobrok di tengah-tengah hutan. Cepat-cepat dia menghampiri kuil rusak itu dan berindap-indap masuk, lalu dia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik pilar. Apa yang dilihatnya?

Di sana, di sebelah dalam kuil tua itu, dilihatnya Tek Hoat rebah terlentang, agaknya menderita sakit. Pundak dan lehernya dibalut, dan Syanti Dewi dengan sikap mesra dan penuh kasih sayang sedang memberi minum kepada pemuda itu!

“Dewi... ah, kau bilang Tambolon dan Durganini...? Ahh... aku harus melawan mereka... aku harus melindungimu...” Terdengar Tek Hoat berkata dan pemuda itu memaksa hendak bangkit.

Akan tetapi Syanti Dewi memegang pundaknya. “Jangan, Tek Hoat, engkau baru saja sembuh, tenagamu belum lagi pulih, mana mungkin engkau melawan mereka? Sama dengan membunuh diri. Biarlah, kita bersembunyi di sini. Kalau Thian menghendaki, mereka tentu tidak akan mampu menemukan kita. Kalau memang dikehendaki bahwa kita akan mati di tangan mereka, biarlah kita mati bersama...”

Penglihatan dan pendengarannya di waktu itu seperti ujung pedang tajam meruncing menusuk-nusuk jantungnya. Kian Bu menjadi makin patah hati. Kiranya Syanti Dewi menolak cintanya karena puteri itu mencinta Tek Hoat! Dia lalu keluar lagi dan lari ke tempat tadi. Tidak! Syanti Dewi tidak akan dapat diketemukan mereka! Tidak seorang pun di dunia ini boleh mengganggu kebahagiaan puteri itu.

Dilihatnya nenek itu masih mengeluh panjang pendek kehujanan di bawah pohon dan Tambolon sedang duduk bersila mengumpulkan tenaga dan luka-lukanya akibat pertandingan berturut-turut melawan orang-orang muda yang perkasa, yaitu melawan Tek Hoat kemudian menghadapi Kian Bu tadi.

“Iblis keji, kalian harus mampus!”

Kian Bu berteriak seperti orang gila karena dia dilanda kekecewaan, patah hati yang membuat dia marah bukan main, apa lagi dianggapnya dua orang ini mengancam keselamatan Syanti Dewi. Dengan terjangan kilat dia membuat Nenek Durganini dan Tambolon yang tidak menduga-duga itu terlempar ke belakang dan terguling-guling. Melihat kedahsyatan pemuda ini, Tambolon dan Nenek Durganini menjadi jeri dan mereka lalu melarikan diri tunggang langgang.

Tadinya Tambolon hendak melawan, mengandalkan gurunya. Akan tetapi nenek itu sudah habis semangatnya bertempur tertimpa hujan basah kuyup, seperti batang kering tertimpa hujan, menjadi lemas dan dia hanya mengomel panjang pendek sambil melarikan diri pontang-panting bersama muridnya, meninggalkan hutan itu jauh-jauh sambil berteriak-teriak memanggil anak buah mereka.

Kian Bu tidak mengejar. Sejenak pemuda yang patah hati ini berdiri tegak seperti patung, tidak peduli akan turunnya hujan deras yang menyiram tubuhnya. Lalu dengan langkah gontai dia bergerak, tersaruk-saruk dan pergi tanpa tujuan tertentu. Hanya satu hal yang terasa di dalam dadanya, hatinya tertekan hebat. Tidak dipedulikan pula kulit-kulitnya lecet akibat pertempuran dan akibat duri-duri runcing merobek celana di pahanya. Pahanya berdarah, dibiarkannya saja darah bercampur air hujan, seolah-olah darah itu mengucur dari dalam hatinya. Semangatnya melayang-layang dan dia merasa kesedihan yang luar biasa menguasai hatinya, membuat dua butir air matanya keluar dan bercampur dengan air hujan mengalir terus ke dagunya.

Kilat menyambar-nyambar dan hujan yang turun deras itu menimbulkan suara aneh, seperti bisikan, seperti nyanyian, mungkin terdengar riang gembira bagi yang sedang bersuka, namun bagi Kian Bu terdengar amat menyedihkan.

Bukanlah cinta kasih kalau menimbulkan duka dan kecewa. Bukanlah cinta kasih kalau merupakan pengejaran nikmat dan suka. Bukan cinta kasih kalau mengandung dendam dan benci, marah, iri dan dengki. Hati yang patah bukanlah karena cinta, melainkan karena tidak tercapai apa yang diinginkannya, karena kecewa, karena itu bukanlah cinta namanya yang menimbulkan hati yang patah dan luka. Lalu apakah cinta kasih itu? Kalau kesemuanya itu tidak ada di dalam batin, kalau kita bebas dari semua itu, bersih dari semua itu, bukan dibebaskan atau dibersihkan, melainkan bebas karena semuanya itu sudah diinsyafi benar-benar, di dalam kebebasan itulah cinta kasih baru mungkin ada.....

********************

“Paman, kenapa engkau meninggalkan aku?” Ceng Ceng menegur Topeng Setan pada saat akhirnya dia dapat menyusul orang itu.

Topeng Setan diam saja, tidak menjawab, melainkan menarik napas panjang dan melangkah terus dengan lebar. Karena kakinya panjang langkahnya pun lebar sehingga sibuklah Ceng Ceng harus mengimbangi kecepatannya. Satu langkah dari kaki Topeng Setan berarti dua langkah dari Ceng Ceng, kadang-kadang malah tiga langkah karena langkahnya kecil-kecil.

“Paman, kenapakah? Apakah Paman marah kepadaku?” Ceng Ceng bertanya lagi, kini dengan khawatir dia memegang lengan Topeng Setan.

Mereka sudah pergi jauh dan tiba di sebuah tempat sunyi. Topeng Setan berhenti dan memandang Ceng Ceng, agaknya sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia menjawab, “Bagaimana aku bisa marah kepadamu, Ceng Ceng? Tidak, aku hanya ingin meninggalkanmu, karena aku insyaf bahwa tempatmu di sanalah, bersama mereka itu. Engkau seorang gadis terhormat, seorang gadis perkasa, engkau tidak semestinya bersama dengan aku.”

“Aih, Paman, mengapa? Bukankah selama ini kita bersama-sama? Kita bersusah payah bersama, menghadapi maut bersama dan engkau... engkau telah melakukan segala itu untukku? Mana mungkin aku dapat kau tinggalkan begitu saja. Tidak, ke mana pun engkau pergi, aku ikut, Paman. Aku tidak mau tinggal dengan siapa pun juga.”

“Eh, aku mendengar tadi kau... kau hendak diambil mantu oleh jenderal tadi...”

“Jenderal Kao? Ah, dia itu orang yang jujur dan terbuka. Mungkin dia hanya berkelakar saja.”

Tiba-tiba Topeng Setan memegang lengan gadis itu. “Ceng Ceng, tahukah kau siapa putera sulung jenderal itu?”

“Entah, aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu! Apakah aku ini seekor anjing, kucing atau kuda saja mau dijodohkan secara demikian mudah dengan orang yang tak pernah kulihat? Tidak, aku tidak sudi, biar pun dia itu putera Jenderal Kao yang kuhormati dan kusayang itu. Dan aku tidak mau berpisah dari engkau, Paman.”

“Ehhh...? Aku tidak mempunyai tempat tinggal, aku orang miskin dan perantau yang sengsara, masa engkau seorang gadis muda akan menjadi seorang terlantar seperti aku?”

“Tidak! Mari kuajak kau ke barat, Paman. Kita ke Bhutan. Puteri Syanti Dewi juga sudah pulang ke Bhutan, dan aku adalah adik angkatnya. Setidaknya, di sana aku masih mempunyai rumah peninggalan kakekku. Marilah kita ke sana, Paman...”

“Dan bagaimana dengan... dia...?”

“Dia siapa?”

“Musuh besarmu!”

“Ohhh..., dia? Kalau aku dapat bertemu dengan dia, kubunuh dia!”

“Kalau tidak bertemu?”

“Sudah saja, kuanggap dia sudah mampus.”

“Ceng Ceng, benar-benarkah engkau tidak dapat menerima uluran cinta kasih dari Pangeran Yung Hwa?”

Ceng Ceng menggeleng kepala. “Aku sudah tidak berharga lagi, dan sudah kuceritakan kepadamu, Paman. Aku mau hidup sendirian saja, ah, maksudku dengan Paman kalau Paman sudi menganggap aku sebagai anak sendiri.”

“Hemmm...”

“Bagaimana, Paman? Sukakah Paman mengantar aku ke Bhutan?”

“Ke mana pun engkau pergi, aku akan mengantarmu, Ceng Ceng.”

“Paman amat baik kepadaku, hanya karena aku mengingatkan Paman akan... wanita itu? Apakah Paman tidak dapat melupakan dia?”

“Sampai mati pun aku tidak akan melupakan dia, Ceng Ceng.”

“Kenapa Paman membunuhnya?”

Topeng Setan menunduk dan Ceng Ceng menyesal telah mengajukan pertanyaan itu. “Maaf, Paman. Tak perlu dijawab pertanyaanku itu.”

“Aku telah gila, aku telah mabok... tidak sadar, akan tetapi penyesalan seumur hidup terasa, Ceng Ceng...” Suara Topeng Setan gemetar dan Ceng Ceng ikut terharu.

“Marilah kita lanjutkan perjalanan. Dunia begini indah, mengapa kita harus mengenang yang sudah-susah?”

Di sepanjang perjalanan Ceng Ceng berusaha untuk bersikap gembira. Dia kemudian menceritakan pengalaman ketika ditawan oleh Tambolon. “Ketika itu, aku memiliki tenaga yang amat dahsyat, Paman. Entah mengapa, tetapi sekarang telah berkurang kedahsyatan tenaga itu. Betapa pun, masih jauh lebih kuat dari pada sebelum itu. Paman lihat!” Ceng Ceng menghampiri sebongkah batu dan mengayun tangannya yang halus.

“Darrrrr...!” Batu itu pecah berkeping-keping!

Topeng Setan mengangguk-angguk. “Itu adalah berkat khasiat anak ular naga, Ceng Ceng. Untung sekali, engkau kehilangan racun di seluruh tubuhmu yang kau dapat dari Ban-tok Mo-li dan sebagai gantinya engkau memperoleh kekuatan sinkang yang dahsyat dari khasiat anak ular naga itu.”

“Kau ajarkan aku ilmu silat agar aku kelak dapat membantumu kalau ada musuh kuat menentang kita, dan agar aku dapat melawan musuh besarku yang juga amat lihai itu, Paman.”

“Baik, Ceng Ceng, perlahan-lahan akan kuajarkan segala ilmuku kepadamu.” Topeng Setan tidak mau menceritakan akan ilmu baru yang belum lama ini dikuasainya, yaitu tenaga Sin-liong-hok-te dan Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat.

Ketika pada suatu hari Ceng Ceng menyatakan keheranannya melihat sinar mata Topeng Setan yang kini berbeda dari biasanya, mencorong dan berapi, dia menjawab sederhana, “Mungkin hanya penglihatanmu saja, Ceng Ceng, atau mungkin karena aku kehilangan lenganku.”

Biar pun sedang menuju ke barat, akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah menghentikan kebiasaannya mencari musuh besarnya dengan cara bertanya-tanya kepada para pemilik warung atau rumah penginapan, para pelayan yang diajaknya bercakap-cakap. Mereka melakukan perjalanan seenaknya, bahkan kadang-kadang menyimpang untuk menikmati suatu tempat di pegunungan yang terkenal indah pemandangannya.

Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng dan Topeng Setan duduk makan di warung makan, kembali Ceng Ceng menggunakan kesempatan ini untuk bertanya-tanya tentang seorang pemuda tinggi besar bernama Kok Cu, barangkali para pelayan dan pemilik warung itu ada yang pernah melihatnya. Akan tetapi tidak ada di antara mereka yang pernah melihatnya, dan pemilik warung yang melihat dara cantik jelita itu demikian ramah dan tidak pemalu, berani mengajak mereka bercakap-cakap dengan sikap manis, menjadi suka sekali dan dia lalu bercerita bahwa ada berita bahwa besok pagi rombongan pasukan Jenderal Kao akan lewat di dusun itu.

Ceng Ceng pura-pura tidak mengenal nama ini sungguh pun diam-diam dia menjadi girang pula. “Siapakah jenderal itu dan mengapa pasukannya mau lewat di sini?” tanyanya, sedangkan Topeng Setan juga mendengarkan dengan penuh perhatian sungguh pun dia tidak ikut bicara.

“Saya sendiri pun tidak tahu jelas urusannya, hanya mendengar berita saja,” jawab pemilik warung itu.

Selanjutnya dia menceritakan tentang berita itu karena semua orang di dusun ini mengenal baik siapa adanya Jenderal Kao yang dahulu sering kali memimpin pasukan mengadakan pembersihan di daerah ini dan membasmi gerombolan-gerombolan jahat pengganggu rakyat. Menurut berita itu, karena jasa-jasanya membasmi pemberontak, Jenderal Kao diangkat menjadi panglima perang. Akan tetapi sebelum berkedudukan di kota raja sebagai panglima besar itu, jenderal ini lebih dulu akan mentertibkan kembali pasukan-pasukan yang menjaga tapal batas, disamping memimpin sendiri pembersihan dan penumpasan sisa-sisa kaki tangan pemberontak yang melarikan diri ke pedalaman.

Selagi Ceng Ceng dan pemilik warung itu enak mengobrol didengarkan oleh Topeng Setan, tiba-tiba terdengar derap langkah orang dan dari luar warung itu masuklah seorang pemuda tampan yang bertubuh jangkung. Melihat wajah pemuda ini, Ceng Ceng seketika menjadi pucat wajahnya dan dia bangkit berdiri. Juga Topeng Setan yang melihat pemuda itu kelihatan kaget sekali.

Muka Ceng Ceng yang pucat seketika berubah merah sekarang, matanya terbelalak seperti mengeluarkan sinar bernyala penuh kebencian, tangan kanannya menekan dan mencengkeram ujung meja tanpa disadarinya. Terdengar bunyi berkerotokan dan meja itu hancur.

“Ah-ehh-ehhh...!” Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan mereka dan oleh Ceng Ceng diundang duduk semeja, terguling dan jatuh tunggang-langgang ketika terdesak meja yang miring dan matanya terbelalak melihat mejanya itu remuk.

“Keparat...!” Ceng Ceng mengeluarkan suara lirih seperti menggereng dan tubuhnya sudah melesat ke pintu bagaikan kilat.

Hati siapa tidak akan marah ketika dia melihat munculnya orang yang selama ini dicari-carinya? Pemuda yang baru masuk itu bukan lain adalah si pemuda laknat, pemuda tinggi yang dulu telah memperkosanya! Pemuda yang telah merusak hidupnya. Biar pun pemuda itu kini agak kurus, tidak setegap dulu, akan tetapi dia tidak akan pangling melihat wajahnya!

Pada saat tubuh Ceng Ceng melesat ke pintu, sesosok bayangan lain juga meluncur lebih cepat lagi. Ceng Ceng sudah menyerang ke arah pemuda itu, serangan yang amat dahsyat. Namun tiba-tiba tangannya yang sudah terulur ke depan itu tiba-tiba menjadi lemas dan tubuhnya terbanting ke kiri seperti dilanda ombak yang menghantamnya dari samping kanan. Hampir saja dia jatuh tunggang-langgang, akan tetapi bayangan yang amat cepat dan yang menyerangnya itu kini telah menyambarnya dan merangkulnya sehingga dia tidak terbanting jatuh. Ceng Ceng marah bukan main, marah dan heran melihat bahwa yang menyerang dan kini merangkulnya itu bukan lain adalah Topeng Setan sendiri!

“Eh, kau...?” Keheranan lebih menguasai hatinya melihat kenyataan betapa orang yang paling dipercayanya, yang selama ini membantunya, bahkan pembantunya mencarikan musuh besarnya itu, kini malah menghalang-halanginya menyerang dan membunuh musuh besarnya itu!

“Tenanglah, tenang dan telitilah lebih dulu, Ceng Ceng,” bisik Topeng Setan. “Lihatlah baik-baik, jangan sampai kau kesalahan membunuh orang lain!”

“Siapa bilang aku salah lihat? Dialah orang itu! Tidak salah lagi, wajah itu sampai mati pun aku tidak akan lupa!”

“Hemmm, nanti dulu. Aku pernah kau suruh melukis orang itu, katamu usianya sudah dewasa, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi pemuda itu... hemm, masih remaja! Dan seingatku, kau bilang bibirnya agak tebal, tidak setipis bibir pemuda ini, lihatlah dulu yang benar...”

Ceng Ceng memandang lagi dengan penuh perhatian ke arah pemuda itu yang tadi menjadi kaget dan heran menyaksikan seorang wanita cantik ribut-ribut dengan seorang laki-laki yang mukanya buruk sekali. Dan baru sekarang dia harus membenarkan pendapat Topeng Setan, karena memang bukan pemuda remaja inilah pemuda yang memperkosanya dahulu.

“Akan tetapi dia juga tinggi, dan wajahnya... wajahnya...” Ceng Ceng tiba-tiba terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya ketika melihat seorang pemuda lain masuk pula, seorang pemuda tinggi kurus yang wajahnya juga mirip sekali dengan gambar dari musuh besarnya itu.

Pemuda ini melangkah tenang ke arah meja di mana sudah duduk pemuda pertama dan pemuda yang kedua ini masuk bersama dengan seorang kakek rambut putih panjang terurai yang kakinya cuma satu, akan tetapi gerakannya gesit sekali seolah-olah kakinya tidak buntung sebelah.

“Itu... dia...” Ceng Ceng kembali menjadi beringas memandang pemuda kedua yang baru masuk. Badannya gemetar, tangannya otomatis bergerak memukul.

Topeng Setan terkejut sekali. Karena tidak disangka-sangkanya dan gerakan gadis itu cepat sekali, kini gadis ini benar-benar memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat, dan pukulan yang diarahkan kepada pemuda itu dengan tangan terbuka amat dahsyatnya. Sinkang mukjijat yang timbul dari khasiat anak ular naga itu memang ajaib sehingga ketika Ceng Ceng mengerahkan tenaga memukul, dari tangannya yang terbuka itu menyambar uap dan angin pukulannya mengeluarkan suara bersuitan!

“Hemmm...!” Suara ini keluar dari mulut kakek rambut putih yang kakinya buntung sebelah.

Dia menengok ke arah Ceng Ceng, mengangkat tangan kiri ke atas dan... bukan main anehnya, uap dan angin pukulan dahsyat dari tangan Ceng Ceng itu menyeleweng dan ‘tersedot’ ke arah kakek ini dan seolah-olah amblas menghilang ke lubang lengan baju kakek itu! Ceng Ceng menjerit kaget dan menarik kembali tangannya.

Semua orang yang menyaksikan hal ini terkejut, tak terkecuali Topeng Setan karena dia maklum bahwa kepandaian kakek buntung kakinya ini benar-benar amat hebatnya, sukar diukur tingginya. Dia tahu pula bahwa kakek sakti ini bukan orang sembarangan, biar pun jelas bahwa Ceng Ceng melakukan serangan maut kepada pemuda yang datang bersamanya, kakek itu ternyata hanya memunahkan saja pukulan Ceng Ceng tanpa kekerasan sama sekali.

“Sabarlah... kau... salah lagi,” Topeng Setan memegang lengan Ceng Ceng. “Lihat baik-baik, dia itu malah lebih jauh berbeda lagi dari orang yang kugambar itu..., juga lebih muda... jauh sekali. Kau ingatlah baik-baik...” Topeng Setan berkata berbisik-bisik.

Ceng Ceng terbelalak memandang pemuda yang kini bersama kakek itu pun berhenti melangkah dan memandang dengan heran kepadanya. Setelah pemuda itu menoleh dan memandangnya, baru Ceng Ceng mengakui bahwa memang bukan ini pemuda laknat musuhnya itu. Akan tetapi wajah itu...!

“Tapi... tetapi... ahhh, bagaimana ini...? Paman... aku... aku bingung...,” dia merintih dengan penuh kekecewaan dan rasa penasaran.

Badannya menjadi limbung dan lemas, seluruh tenaganya terasa habis karena kecewa mendapat kenyataan bahwa dua orang pemuda itu memang benar bukan pemuda laknat yang dicari-carinya, keringat dingin mengalir keluar dan dia mengeluh panjang, lalu jatuh pingsan!

Topeng Setan menjadi bingung tidak karuan. Kalau Ceng Ceng pingsan terkena pukulan, dia tentu akan bersikap tenang dan dapat menolongnya cepat-cepat. Akan tetapi dia tahu bahwa gadis ini pingsan karena tekanan batin dan dia bukanlah seorang tabib yang dapat menyembuhkan dan mengobati penderita itu. Dengan bingung dia merebahkan tubuh Ceng Ceng di atas salah satu bangku panjang dan menggoyang-goyang tubuhnya.

Pada saat itu, selagi semua orang merubung Ceng Ceng dengan bingung, muncullah seorang nenek yang agaknya masih serombongan dengan dua orang pemuda yang menimbulkan kegemparan di hati Ceng Ceng tadi, tetapi yang masuknya belakangan. Melihat banyak orang merubung seorang gadis yang pingsan, nenek ini segera mendekati.

“Aihh, kenapa ada orang menderita begini semua orang hanya merubung saja?” Nenek itu mengomel dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu memondong tubuh Ceng Ceng dan membawanya ke dalam. “Apakah ada kamar di sini?” tanyanya sambil melangkah masuk.

Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan jatuh kerengkangan kini cepat menghampiri. “Ada... ada... mari, silakan, Toanio,” katanya mengantar.

Topeng Setan melihat cara nenek itu memondong dan melangkah, tahulah dia bahwa nenek itu pun bukan orang sembarangan. Dia khawatir akan keadaan Ceng Ceng dan melangkah untuk mengejar, akan tetapi tiba-tiba lengannya disentuh tangan orang. Ketika dia menengok, dia melihat kakek berambut putih panjang dan berkaki satu itu berkata tenang dan halus kepadanya.

“Jangan kau khawatir, biarkan isteriku mengurusnya. Isteriku lebih ahli dalam hal itu. Aku ingin bicara denganmu, Sobat.”

Topeng Setan menjadi tidak enak hati untuk memaksa. Tidak baik memperlihatkan kecurigaan kepada orang-orang yang berniat baik itu, apa lagi dia maklum bahwa kakek dan nenek itu bukanlah orang sembarangan. Maka dia mengangguk dan duduk di bangku terdekat, tanpa mengeluarkan kata-kata.

Dua orang pemuda yang mukanya mirip pemuda laknat musuh besar Ceng Ceng itu adalah putera-putera Jenderal Kao Liang yang ikut dengan rombongan ayahnya. Mereka itu adalah Kao Kok Tiong, dan adiknya yang bersama Kao Kok Han. Biar pun masih remaja namun memang tubuh mereka tinggi-tinggi seperti ayah mereka, dan sejak kecil putera-putera Jenderal Kao Liarg ini tentu saja telah terdidik dan memiliki ilmu silat yang lumayan.

Ada pun kakek berambut putih yang buntung sebelah kakinya itu bukan lain adalah Si Pendekar Super Sakti, sedangkan nenek yang menolong Ceng Ceng itu adalah isterinya yang kedua, yaitu Nenek Lulu. Kebetulan saja suami isteri pendekar dari Pulau Es ini bertemu dengan pasukan Jenderal Kao dalam perjalanan mereka mencari putera mereka, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu yang sudah terlalu lama meninggalkan Pulau Es tanpa ada beritanya.

Ketika suami isteri pendekar sakti ini sudah mendengar banyak keterangan tentang dua orang putera mereka yang banyak berjasa dalam membantu pemerintah membasmi pemberontak, mereka girang sekali akan tetapi kemudian menjadi gelisah juga ketika mendengar tentang halnya puteri mereka, yaitu Puteri Milana yang kini melarikan diri dari istana. Juga bahwa dua orang puteranya mungkin sedang menuju ke barat pula untuk menyelamatkan Puteri Syanti Dewi yang akan dipulangkan ke Bhutan.

Ketika suami isteri ini hendak melanjutkan pencarian mereka, kedua orang putera Jenderal Kao Liang yang juga hendak mendahului pasukan melihat-lihat ke dusun di depan, segera mengajak suami isteri yang mereka hormati dan kagumi itu untuk mengadakan perjalanan bersama. Untuk menghormati Jenderal Kao, Pendekar Super Sakti tidak keberatan maka demikianlah, kakek dan nenek sakti ini datang ke dusun itu bersama dua orang putera Jenderal Kao.....

Topeng Setan hanya mendengarkan saja penjelasan Pendekar Super Sakti. Pendekar yang berpemandangan tajam sekali ini dapat menduga bahwa orang di balik topeng ini adalah seorang yang luar biasa, yang memiliki kepandaian mukjijat, kentara dari sinar matanya yang mencorong. Akan tetapi dia dapat menduga pula bahwa orang ini sedang dilanda tekanan batin yang amat hebat sehingga lebih senang menyembunyikan diri di balik topeng setan itu.

Topeng Setan merasa tidak tenang dan resah menghadapi Pendekar Super Sakti yang sinar matanya seolah-olah dapat menembus hatinya dan menjenguk isi hatinya itu. Belum pernah dia bertemu orang yang sinar matanya seperti ini. Gurunya memiliki sinar mata mencorong, akan tetapi pendekar buntung kaki ini sinar matanya seperti dapat menembus segala sesuatu! Sebentar-sebentar dia melirik ke arah dua orang kakak beradik putera-putera Jenderal Kao Liang dan kadang-kadang dia menengok ke pintu di mana nenek tadi memasuki kamar bersama Ceng Ceng.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan Topeng Setan segera meloncat berdiri. Nenek itu tersenyum dan biar pun usianya sudah hampir enam puluh tahun, ternyata Nenek Lulu ini masih jelas membayangkan betapa cantiknya dia di waktu mudanya.

“Apakah engkau suaminya...?” Secara langsung nenek itu bertanya kepada Topeng Setan.

Ditanya secara langsung seperti itu, Topeng Setan merasa seperti ditodong ujung pedang yang runcing dan dia gelagapan.

“Anu... anu... itu... ehh, benar... ahhh, bukan...!”

Sungguh aneh sekali. Orang yang biasanya tenang dan kokoh kuat seperti batu karang dan yang lihainya bukan kepalang itu kelihatan tergagap menghadapi pertanyaan ini. Pendekar Super Sakti sendiri menjadi terheran-heran dan timbul kecurigaannya. Dia dapat menduga bahwa orang di balik topeng buruk itu masih belum tua, akan tetapi mengapa menyembunyikan mukanya di balik topeng? Mengapa segala macam rahasia itu? Dan mengapa pula orang ini kelihatan tertekan batinnya dan sekarang dalam menjawab pertanyaan yang mudah itu menjadi gagap?

“Jangan khawatir,” nenek itu berkata. “Dia cuma menderita kaget dan bingung, keselamatannya takkan terancam, sungguh pun menyesal sekali bahwa kandungannya gugur karena memang telah mati beberapa hari yang lalu. Katakan saja kepada suaminya agar dia beristirahat dan menjaga diri baik-baik, jangan biarkan dia terlalu lemah...”

Topeng Setan terkejut bukan main, suaranya menggigil ketika dia memotong, “Apa... apa... maksud Locianpwe...?”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Menghadapi keadaan yang bagaimana pun, bagi kakek ini wajar dan biasa saja, dan dia selalu tenang. “Isteriku hanya ingin mengatakan bahwa karena sesuatu hal yang tidak kami ketahui, kandungan wanita muda itu telah gugur, akan tetapi kesehatannya baik-baik saja. Yang penting adalah kesehatan calon ibu itu, bukan?” Nenek Lulu tersenyum dan mengangguk.

“Ya Tuhan...!” Topeng Setan berteriak.

Kakek dan nenek itu saling pandang ketika melihat Topeng Setan melesat ke dalam kamar itu bagai kilat cepatnya. Kecepatan Topeng Setan itu demikian hebatnya, bahkan hampir secepat Ilmu Soan-hong-lui-kun dari kakek yang sangat terkenal sukar dicari tandingannya itu. Nenek Lulu yang melihat ini menggeleng-geleng kepalanya saking kagum.

“Suamiku, aku berani bertaruh bahwa engkau tentu akan menemui kesukaran jikalau seandainya harus bentrok dengan dia. Kulihat kepandaiannya tidak di sebelah bawah tingkat Bun Beng. Padahal dia masih begitu muda!”

“Engkau benar, isteriku. Heran, siapakah dia? Mari kita lihat.”

Nenek Lulu menggelengkan kepala. “Urusan mereka mana boleh kita tahu? Biar kita menanti di sini sambil memesan makan minum. Bukankah kita masuk ke warung ini untuk makan dan minum? Lihatlah, dua orang muda Kao sudah menanti-nanti kita.” Mereka lalu menghampiri meja di mana Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han sudah duduk dan memandang peristiwa itu dengan penuh keheranan.

Sementara itu, dengan tubuh menggigil dan jantung berdebar tidak karuan, Topeng Setan sudah memasuki kamar itu. “Ceng Ceng... ah, Ceng Ceng...!” Dia berseru.

Gadis itu sudah duduk di pinggir pembaringan, mukanya pucat sekali memandang kepada gumpalan-gumpalan darah menghitam di atas lantai depan pembaringan. Ketika mendengar suara Topeng Setan, dia menengok dan memandang.

“Paman...!” Dia bangkit berdiri dan menubruk Si Buruk Rupa itu. “Paman, aku... aku bingung sekali... aku... aku...” Dia menangis.

Topeng Setan gemetar menahan perasaan. “Ceng Ceng, sungguh tidak kusangka... kau... kau mengandung sampai keguguran... ya Tuhan...!”

“Akan tetapi aku telah tertolong, Paman. Nenek yang baik itu menolongku, katanya keguguran ini sudah terjadi beberapa hari dan kini tinggal keluar saja. Sekarang aku ingat... agaknya khasiat anak ular naga...”

“Ya Tuhan..., betapa hebat penderitaanmu, Ceng Ceng...” Dalam suara Topeng Setan terdengar isak tertahan.

“Tidak apa-apa, Paman. Malah kebetulan! Siapa sih yang sudi mempunyai anak dari manusia biadab itu? Andai kata tidak gugur karena anak ular naga itu... andai kata aku tahu bahwa aku telah mengandung selama beberapa bulan, tentu akan kugugurkan sendiri!”

“Ahhh, jadi kau... kau sendiri tidak tahu bahwa... bahwa kau... mengandung, Ceng Ceng?”

“Tidak, Paman. Bagaimana aku bisa tahu?” jawab dara ini yang memang masih bodoh dalam hal itu dan semenjak kecil tidak ada yang memberi tahu kepadanya karena dia hidup hanya dengan kakeknya.

“Jangan khawatir... jangan sedih... mari kutunjukkan padamu pemuda yang kejam dan bejat moralnya itu. Mari kuajak kau mencarinya sampai dapat. Aku bersumpah, sampai dapat!” Topeng Setan melepaskan rangkulannya, merobek sebagian lebar jubahnya, kemudian dia menggunakan jubah itu untuk mengambil gumpalan-gumpalan darah di lantai sampai bersih.

Melihat ini, Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. “Aihhh, Paman. Kotor itu...! Mengapa kau lakukan itu? Untuk apa...?”

Topeng Setan membungkus rapi gumpalan darah kental yang menghitam itu, lalu menyimpannya di dalam saku jubah, suaranya sungguh-sungguh dan agak gemetar, “Ceng Ceng, bagaimana pun juga ini adalah calon manusia, bukan? Dan dia sama sekali tidak berdosa, tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan si jahanam keji, maka dia patut dikuburkan sebagai calon manusia yang tidak berdosa...”

Tiba-tiba Ceng Ceng terisak, menutupi mukanya dan berbisik, “Kau benar... dia itu... senasib dengan aku... hanya aku berhasil menjadi manusia dan dia tidak, gara-gara anak ular naga...”

“Sudahlah, Ceng Ceng. Aku bersumpah akan mengajak engkau mencari si jahanam itu sampai dapat. Akan tetapi lebih dulu mari kupertemukan engkau dengan... keluargamu.”

“Apa...? Siapa...?” Ceng Ceng tentu saja terkejut sekali mendengar ini.

“Pendekar Super Sakti, kakekmu, dan... nenek tadi adalah isterinya. Mereka berada di luar...”

“Nenek tadi...? Dia... dia... nenekku sendiri...?”

“Kau tanyalah sendiri kepada mereka, Ceng Ceng. Kau punya hak bertemu dengan keluargamu.”

“Tidak...! Tidak, Paman. Aku malu bertemu dengan keluargaku, atau dengan siapa pun, sebelum... sebelum aku bertemu dengan si laknat itu...”

“Kalau begitu, mari kau ikut aku bersamaku, akan kubawa engkau bertemu dengan dia, agar engkau puas dan dapat membunuhnya sesuka hatimu!” Setelah berkata demikian, Topeng Setan memondong tubuh Ceng Ceng yang masih lemah itu dan melesat keluar melalui jendela kamar itu.

Bagaikan seekor burung garuda, Topeng Setan sudah melesat ke atas genteng, akan tetapi begitu dia berada di atas genteng warung itu, tahu-tahu di depannya telah berdiri Pendekar Super Sakti dengan sikap tenang dan sinar mata tajam!

“Hemmm, beginikah caranya orang baik-baik pergi, seperti pencuri-pencuri saja atau seperti orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat?” Dengan suara halus Pendekar Super Sakti menegur.

Topeng Setan kaget bukan main. Dia tahu bahwa memang cara mereka pergi tanpa pamit ini sangat tidak patut, dan hal ini dia lakukan hanya untuk menghindarkan pertemuan dan pembicaraan yang berkepanjangan. Siapa kira, Pendekar Super Sakti itu demikian hebatnya sehingga tahu-tahu telah menghadang di atas genteng.

“Harap... harap Locianpwe maafkan kami... ehhh, maafkan saya, sesungguhnya sama sekali saya tidak bermaksud buruk...”

Ceng Ceng melorot turun dari pondongan Topeng Setan lalu langsung menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar kaki satu itu. “Harap Locianpwe sudi mengampuni kami kalau-kalau dianggap bersalah. Akan tetapi, karena tergesa-gesa dengan suatu urusan pribadi yang amat penting, kami mengambil jalan ini, karena tidak ingin mengganggu Locianpwe sekalian. Saya... saya berterima kasih kepada Nenek... kepada Locianpwe yang menolong saya tadi...”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Kalau dia tadi menghadang adalah karena dia merasa curiga dan dia mengira bahwa Topeng Setan manusia aneh penuh rahasia itu hendak memaksa si gadis yang baru keguguran itu lari, khawatir kalau-kalau manusia aneh itu menggunakan kekerasan terhadap si wanita muda. Kini melihat bahwa wanita muda itu sendiri yang bicara dia menjadi lega dan maklum bahwa pelarian mereka berdua itu adalah kehendak mereka berdua. Dia mengelus jenggotnya dan tersenyum lebar. Tertarik sekali hatinya terhadap dua orang yang merupakan sepasang manusia aneh penuh rahasia ini!

“Sudahlah, kalau kalian tidak ingin bertemu dan bicara dengan kami pun tidak mengapa. Akan tetapi karena aku sudah menghadang di sini dan bertemu kalian, aku ingin bertanya apakah kalian pernah bertemu dengan puteraku yang bernama Suma Kian Lee?”

Topeng Setan dan Ceng Ceng tentu saja tahu siapa pemuda yang dimaksudkan itu. Topeng Setan tidak menjawab, akan tetapi Ceng Ceng yang menjawab, “Saya sudah mengenalnya dengan baik, Locianpwe. Bahkan dia telah pernah menolong saya.”

“Bagus! Tahukah engkau di mana dia sekarang? Dia meninggalkan pulau dengan adiknya, Suma Kian Bu. Aku sudah mendengar bahwa Suma Kian Bu pergi ke barat menyusul dan melindungi Syanti Dewi, namun tidak ada yang tahu ke mana perginya Kian Lee.”

“Maaf, Locianpwe. Saya sendiri pun tidak tahu ke mana dia. Pertemuan kami yang terakhir adalah di kota raja.”

“Hemm..., sayang...”

“Ceng Ceng, mari kita pergi.”

Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Si Pendekar Super Sakti, kemudian menggandeng tangan gadis itu dan diajak meloncat turun lalu pergi dari situ dengan cepatnya. Sampai lama Pendekar Super Sakti berdiri di atas genteng, termangu-mangu, bukan hanya kecewa bahwa dia tidak dapat mendengar tentang Kian Lee, akan tetapi juga terheran-heran melihat dua orang muda itu.

Ceng Ceng memandang dengan terharu dan juga terheran-heran ketika dia melihat saja Topeng Setan mengubur bungkusan gumpalan darah itu dan menimbuninya dengan tanah. Dia melihat betapa Topeng Setan termenung di depan gundukan tanah kecil itu, kemudian tiba-tiba Topeng Setan kelihatan beringas dan dengan kepalan tangannya dia menghantam batu karang di sebelah kanannya.

“Darrrrr...!” Batu karang itu hancur lebur dan debu mengepul tinggi.

“Paman...! Ada apakah, Paman?”

“Si keparat! Si jahanam keji! Aku akan menunjukkan dia kepadamu, Ceng Ceng. Kau benar, dia harus disiksa sepuas hatimu!”

“Paman, ke manakah kita akan mencari dia? Sudah sekian lamanya, berbulan-bulan semenjak peristiwa itu aku mencarinya, namun sia-sia belaka.”

“Satu-satunya tempat untuk kita mencarinya adalah di utara, di Istana Gurun Pasir, di tempat gurunya. Bukankah kau menceritakan bahwa dia itu murid Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir? Nah, kita ke sana!”

Sebetulnya, hati Ceng Ceng sudah mulai reda untuk mencari pemuda itu. Hatinya sudah mulai tawar dan ingin dia beristirahat, ingin dia hidup tenang tenteram bersama Topeng Setan, satu-satunya sahabatnya yang setia dan dapat dipercaya itu. Akan tetapi dia pun tahu bahwa sebelum dia bertemu dengan pemuda laknat itu, hidupnya akan selalu diselimuti mendung dan kegelapan, dia akan selalu merasa menjadi orang yang kotor dan hina dan ternoda. Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah pemuda laknat itu, dengan nyawa pemuda jahanam itu!

Mulailah mereka dengan perjalanan jauh itu. Akan tetapi karena kini setelah kandungan Ceng Ceng yang diam-diam tak diketahuinya selalu merupakan gangguan itu telah keguguran, kesehatannya cepat pulih kembali. Diam-diam gadis ini merasa girang juga bahwa kandungannya yang sama sekali tidak dikehendakinya itu telah keguguran. Andai kata dia tahu bahwa dia mengandung, tentu dia akan merasa makin tersiksa!

Keparat! Benar Topeng Setan, pemuda laknat itu benar-benar harus disiksa sampai mampus! Kesehatannya telah pulih dan semua racun yang mengeram di tubuhnya akibat latihan dari Ban-tok Mo-li telah bersih dari tubuhnya, berkat khasiat anak ular naga, tetapi khasiat itu pun selain menggugurkan kandungannya, juga mendatangkan kekuatan sinkang yang cukup dahsyat, yang takkan dapat diperolehnya dalam latihan selama sepuluh tahun!

Maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat dan setelah mereka tiba di sebelah utara kota raja, mulailah Ceng Ceng bertemu dengan tempat-tempat yang membuat dia terkenang akan semua pengalamannya ketika mencari Syanti Dewi dahulu itu.

“Paman, apakah engkau tahu, di mana adanya Istana Gurun Pasir?”

Topeng Setan mengangguk. “Perjalanan itu sukar sekali, melalui gurun pasir selama tiga hari tiga malam. Paling sukar adalah kalau bertemu dengan badai, oleh karena itu, kita harus membawa perbekalan cukup.”

Membayangkan kesukaran perjalanan itu, Ceng Ceng bergidik. Entah bagaimana, kini berkurang banyak gairahnya untuk mencari pemuda laknat itu. Kalau dulu, dia tidak akan berpikir dua kali, walau pun harus menyeberangi lautan api umpamanya, akan ditempuhnya juga asal dia dapat menemukan musuh besarnya itu. Sekarang dia agak ragu-ragu, apa lagi mengingat bahwa si pemuda laknat itu saja sudah demikian lihainya, apa lagi di sana ada gurunya dan mungkin orang-orang lain!

“Sebelum kita menyeberangi gurun pasir, aku ingin melihat-lihat tempat-tempat yang pernah kukunjungi dulu, Paman. Lebih dulu, aku ingin pergi menengok sumur maut di mana aku dulu ketika menolong Jenderal Kao terjungkal, kemudian menjadi murid mendiang Ban-tok Mo-li di neraka bawah tanah. Setelah itu, aku ingin pergi dulu ke tempat-tempat lain, antaranya mengunjungi benteng di mana dulu Jenderal Kao tinggal.”

Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengangguk. Agaknya bagi orang aneh ini, perintah Ceng Ceng merupakan pegangan hidupnya! Tidak pernah dia membantah kehendak gadis itu!

Agaknya Topeng Setan mengenal betul daerah ini, lebih kenal dari pada Ceng Ceng yang baru satu kali berkunjung ke situ. Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di sumur maut yang berada di tengah lautan pasir itu. Sunyi senyap tempat itu dan seperti dahulu, banyak tulang berserakan di sekitar tempat itu.

Ceng Ceng mendekati sumur itu dan melongok ke bawah. Gelap dan hitam pekat. Dia bergidik. Pantas saja dia dianggap mati oleh Jenderal Kao setelah terjungkal ke dalam tempat seperti itu. Bulu kuduknya berdiri ketika dia mengenangkan betapa dia terjungkal ke dalam sumur dan diselamatkan oleh seekor ular besar.

Ceng Ceng duduk di dekat sumur, mengenangkan segala peristiwa masa lalu. Tempat ini merupakan tempat yang bersejarah baginya. Sunyi senyap melengang, tidak ada kehidupan tampak di sekitar mereka berdua. Hanya pasir-pasir yang bergerak seperti berlomba lari berhembus angin semilir.

Topeng Setan juga duduk agak jauh dari Ceng Ceng, kelihatannya termenung seolah-olah tempat itu merupakan tempat yang mempunyai kenangan tersendiri baginya. Ceng Ceng bangkit dan mengitari sumur di mana terdapat tumpukan batu-batu besar. Tiba-tiba dia melihat sesuatu.

“Heiii, apa ini? Ada tulisan orang!”

Mendengar ini, Topeng Setan mengangkat mukanya dan bangkit lalu menghampiri. Bersama-sama mereka lalu membaca tulisan-tulisan yang agaknya belum lama dibuat orang itu.

Kenyataan lebih pahit dari pada bayangan,
lebih kejam dari pada kenangan,
cinta hanya mendatangkan penderitaan!


“Ohhh...!” Ceng Ceng berseru ketika membaca tulisan itu.

“Hemm, ada orang laki-laki yang pernah datang di sini, mungkin tinggal beberapa hari di sini dan menuliskan sajak-sajak ini...” Topeng Setan berkata perlahan.

Ketika mereka memeriksa lebih teliti, kiranya ada banyak di antara batu-batu yang berserakan itu bekas ditulisi yang semua bernada keluh-kesah tentang cinta tak sampai.

“Heiii... ini... seperti gambarmu, Ceng Ceng!” Tiba-tiba Topeng Setan berteriak heran.

Ceng Ceng melompat mendekat. Mereka berdua memandang coretan wajah seorang wanita di atas permukaan batu kapur putih yang rata itu. Coretan itu menggunakan batu kemerahan dan biar pun hanya merupakan coretan kasar, akan tetapi mudah dilihat dan dikenal sebagai bentuk wajah Ceng Ceng.

“Benarkah gambar ini seperti aku?” Ceng Ceng bertanya ragu.

“Tak salah lagi, dan dia pandai benar melukis!”

“Kalau begitu engkau mendapat saingan, Paman!” Ceng Ceng menggoda.

“Aku...? Ahhh, banyak benar dia menulis...” Topeng Setan meneliti semua tulisan yang semua membayangkan kegagalan cinta itu.

Akan tetapi Ceng Ceng sudah duduk termenung di depan sajak pertama. Lama dia termenung, kemudian dia berseru. “Ah, ini tentu dia...!”

Topeng Setan kaget, menengok. “Dia?”

“Ya, siapa lagi kalau bukan dia yang kita cari-cari!”

“Ohhh...! Tapi... tapi...” Topeng Setan tidak melanjutkan kata-katanya.

Ceng Ceng kembali membaca sajak itu. Mukanya berubah merah sendiri. Kalau begitu, dia... dia cinta padaku? Demikian pikirnya dengan bingung dan dia membayangkan kembali, mengenangkan kembali peristiwa di dalam goa itu. Pemuda yang gagah dan tampan itu mukanya beringas, jelas bahwa tidak sewajarnya, seperti keracunan hebat. Pemuda itu menubruknya di luar kesadarannya! Dan pemuda itu jatuh cinta kepadanya? Mana mungkin?!

Dugaan Ceng Ceng itu membuat dia merasa makin bingung. Dia membenci pemuda itu dan pemuda itu mencintanya? Akan tetapi benarkah dia membenci pemuda itu? Setiap kali mengenang peristiwa di goa itu, dia seperti terlena, seperti terbuai, seperti... seperti timbul perasaan rindu ingin bertemu dengan pemuda itu! Akan tetapi perasaan halus yang samar-samar ini segera ditutupnya dengan kemarahan dan kebencian, dengan dendam dan sakit hati.

“Kalau begitu, kita sudah memperoleh jejaknya, Paman! Dia tentu tidak jauh lagi dan berada di sekitar tempat ini. Dugaan Paman benar bahwa kita harus mencari ke sini!” Ceng Ceng berteriak, jantungnya berdebar. Aneh, debar jantungnya itu menunjukkan kegirangan! Girang bahwa dia akan dapat membalas dendam, ataukah girang karena dia akan dapat berjumpa dengan pemuda itu?

Mereka lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke benteng di mana dahulu Jenderal Kao Liang tinggal dan di mana dahulu Ceng Ceng tinggal pula. Ketika mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, mereka mendengar berita bahwa baru setengah bulan yang lalu ketika para suku liar merampok desa itu, datang seorang bintang penolong yang amat lihai, seorang pemuda yang tidak dapat dilihat jelas mukanya karena pemuda itu datang mengamuk, membasmi para perampok liar dan lenyap lagi. Akan tetapi, di waktu malam orang melihat pemuda itu sebagai sesosok bayangan yang berjalan sendirian di luar dusun sambil meniup suling, atau kadang-kadang juga suka bernyanyi, menyanyikan lagu-lagu yang bernada sedih.

Mendengar ini, Ceng Ceng lalu bertanya kepada kepada kampung terpencil itu di mana pemuda itu tinggal.

“Mengapa Ji-wi (Anda Berdua) mencari in-kong (tuan penolong) itu?”

“Kami adalah sahabatnya,” jawab Ceng Ceng.

Jawaban ini membuat Kepala Kampung cepat menghormat mereka dan dia sendiri lalu mengantarkan mereka berdua keluar kampung di mana terdapat sebuah gubuk di tepi sungai yang membelah padang rumput itu. Akan tetapi pemuda itu tidak ada lagi. Yang ada hanya bekas-bekasnya, coret-coretan yang sama dengan di sumur maut, akan tetapi di sini terdapat juga bekas-bekas pemuda itu berlatih silat yang amat hebatnya. Beberapa batang pohon tumbang dan hangus, dan batu-batu besar pecah berantakan. Tempat sekitar gubuk itu seperti bekas diamuk gajah.

“Hebat... dia hebat...” Topeng Setan mengangguk-angguk.

Ceng Ceng memegang tangan Topeng Setan. “Sudah kukatakan jika dia berilmu tinggi, Paman. Apakah sekiranya engkau akan mampu melawannya? Membantuku untuk menghadapinya?”

“Dia siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan pemuda laknat itu!”

“Hemm... kita lihat sajalah nanti.”

Karena jelas bahwa pemuda yang mereka cari itu sudah pergi dari situ dan tidak ada orang tahu ke mana perginya, Ceng Ceng dan Topeng Setan berpamit dari orang-orang dusun itu kemudian melanjutkan perjalanan ke benteng pertahanan terakhir dari tentara kerajaan di perbatasan itu.

Ketika Topeng Setan dan Ceng Ceng muncul di pintu gerbang, beberapa orang penjaga yang ternyata adalah bekas anak buah Jenderal Kao, terkejut bukan main. Mereka memandang dengan mata terbelalak ketika gadis cantik yang muncul itu tersenyum dan berkata, “Apakah paman-paman masih ingat kepadaku? Aku Ceng Ceng!”

Mereka yang ingat kepadanya tentu saja terkejut sekali dan bahkan ketakutan, mengira bahwa yang datang adalah setan atau roh gadis yang telah mati di dalam sumur maut itu. Apa lagi kedatangannya bersama dengan seorang manusia berwajah setan!

“Nona... Nona... bukankah dahulu sudah... ehhh... tewas di sumur maut?” Seorang penjaga tua memberanikan diri bertanya, telunjuknya yang menuding kepada gadis itu menggigil.

Ceng Ceng tertawa. “Memang aku disangka mati, akan tetapi untungnya Thian masih melindungiku dan aku tidak mati, Paman. Aku masih hidup. Dan aku ingin mampir ke benteng ini. Siapakah yang menjadi komandan di sini sekarang?”

“Bukan Jenderal Kao lagi, Nona...”

“Aku tahu, belum lama ini aku berjumpa dengan Jenderal Kao di barat. Siapa yang menjadi komandan di sini?”

“Thio-goanswe (Jenderal Thio),” jawab penjaga itu.

“Hemm, siapakah dia?”

“Dia adalah Panglima Thio Luk Cong yang kini menggantikan kedudukan Jenderal Kao.”

“Ahh, Panglima Thio Luk Cong yang dulu menjadi komandan di Ang-kiok-teng? Aku sudah mengenalnya pula!” Ceng Ceng berseru.

Mereka berdua lalu disambut, dibawa menghadap kepada komandan benteng itu dan Jenderal Thio yang tahu bahwa gadis ini dan pembantunya telah membantu Jenderal Kao ketika membasmi pemberontak, segera menyambut dan menjamu mereka.

Dengan gembira mereka makan minum dan Ceng Ceng menceritakan pengalaman-pengalamannya dahulu ketika dia menolong Jenderal Kao dan terjerumus ke dalam sumur maut sehingga disangka mati. Dia dengan terus terang menceritakan betapa dia ditolong oleh seekor ular besar dan oleh Ban-tok Mo-li diangkat menjadi murid, dan betapa akhirnya dia berhasil keluar dari neraka di bawah tanah itu. Jenderal Thio dan beberapa orang perwira tinggi yang menemani mereka makan minum mendengarkan dengan penuh kagum.

“Sungguh aneh sekali ceritamu itu, Lihiap (Pendekar Wanita)!” Seorang perwira muda berseru kagum. “Dan di sini juga baru-baru ini terjadi hal yang lebih aneh lagi... ehhh...” Tiba-tiba dia menoleh kepada Jenderal Thio dengan gugup karena merasa bahwa dia telah kelepasan bicara.

Jenderal Thio tertawa sambil mengangguk-angguk. “Ciong-ciangkun, kita berhadapan dengan sahabat-sahabat baik, tidak ada halangannya menceritakan keanehan itu pada mereka ini.”

Perwira itu lalu bercerita dengan hati gembira. Dia masih muda dan tentu saja dia amat kagum akan kecantikan dan kegagahan Ceng Ceng dan sebagai seorang pemuda yang normal, tentu saja ingin dia beraksi dan ingin menarik perhatian. Dan ceritanya memang aneh sekali.....

Kurang lebih seminggu yang lalu, terjadi hal yang amat mengherankan dan juga menakutkan hati para prajurit dan para perwira di benteng itu. Di benteng itu terdapat sebuah menara yang amat tinggi, tetapi menara ini sudah tua dan tidak dipergunakan lagi setelah menara-menara baru yang lebih baik dan berada di pojok-pojok benteng dibangun, dan tidak ada yang berani naik ke menara tua itu karena anak tangganya sudah banyak yang runtuh dan sudah tua. Berbahaya sekali naik ke sana, bahkan tidak mungkin sampai di puncaknya karena anak tangga ke puncak itu pun sudah runtuh semua. Akan tetapi pada suatu malam terdengar suara orang meniup suling di puncak menara itu dan kadang-kadang terdengar suara laki-laki bernyanyi dengan nada sedih!

Biar pun para prajurit adalah orang-orang yang tidak mengenal takut dan sudah biasa menghadapi maut di medan perang, akan tetapi menghadapi keanehan ini mereka merasa ngeri dan takut! Apa lagi karena menara ini terkenal sebagai tempat angker yang ada setannya karena dahulu pernah ada seorang prajurit yang tewas ketika sedang berjaga di puncak menara, tewas tanpa diketahui sebabnya. Kadang-kadang di tengah malam tampak ada bayangan berkelebat ke atas puncak atau turun dari puncak, bayangan yang demikian cepat gerakannya, sehingga tidak mungkin kalau bayangan manusia. Semua prajurit di benteng itu mengira bahwa itu tentulah bayangan hantu, bayangan roh penasaran dari prajurit yang mati berjaga itu.

“Keanehan itu terjadi setiap malam sampai tiga hari yang lalu,” demikian perwira muda itu melanjutkan ceritanya, tersenyum gembira penuh lagak ketika dia melihat betapa Ceng Ceng amat tertarik dan tanpa berkedip memandang kepadanya! Tentu saja Ceng Ceng tertarik sekali oleh cerita itu karena dia menyangka tentu bayangan itu adalah pemuda yang dicarinya.

“Apakah sekarang dia masih berada di atas menara?” otomatis dia bertanya.

Perwira muda itu menggeleng kepala. “Sayang, hal itu berakhir tiga hari yang lalu. Pada tiga hari yang lalu, di benteng ini muncul pula seorang kakek yang luar biasa anehnya, punggungnya bongkok sekali...”

“Ahhh...!” Ceng Ceng dan Topeng Setan berbareng mengeluarkan seruan kaget ini karena mereka sudah menduga siapa adanya kakek bongkok itu.

“Dia datang dan bertanya kepada kami apakah kami melihat muridnya, seorang pemuda tinggi besar yang tampan... Dia datang di waktu lewat senja dan pada saat itu terdengar suara melengking dari atas menara, suara orang meniup suling dengan nada yang merawankan hati. Kami semua ketakutan, akan tetapi kami hendak mempermainkan kakek bongkok itu. Kami mengatakan bahwa murid yang dicarinya itu berada di atas menara!”

“Hemmm...” Topeng Setan menggeram.

“Kami tadinya hanya ingin main-main saja, tetapi siapa kira. Kakek yang kelihatannya bongkok dan lemah itu tiba-tiba menggerakkan lengan bajunya yang lebar dan... dia terbang ke atas!”

“Terbang...?” Ceng Ceng juga tertarik sekali dan tak disadarinya dia bertanya.

“Ya, terbang! Dia terbang ke atas puncak menara yang amat tinggi itu! Tentu saja kami semua menjadi bengong dan ketakutan. Kiranya kakek itu pun adalah seorang hantu yang mencari kawannya! Suara suling itu berhenti dan tidak lama kemudian tampak dua sosok bayangan berkelebat, melayang turun dari puncak menara itu dan lenyap entah ke mana. Nah, sejak saat itu, tiga hari yang lalu, hantu-hantu itu tidak pernah muncul lagi.” Perwira itu bergidik, merasa ngeri sendiri menceritakan peristiwa itu.

Keadaan menjadi sunyi senyap. Jenderal Thio yang sudah berpengalaman luas lalu berkata, “Tentu saja cerita itu mungkin berlebihan, Nona. Menurut pendapatku, yang berada di menara itu adalah seorang kang-ouw yang aneh dan berilmu tinggi, dan bukan tidak mungkin bahwa kakek yang datang itu adalah gurunya.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. “Mungkin sekali... bahkan, kuyakin begitulah!”

Topeng Setan menoleh kepadanya dan Ceng Ceng juga memandangnya. “Bagaimana pendapatmu, Paman?” Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya kepada orang bertopeng itu.

“Huh? Oh, mungkin sekali begitulah,” akhirnya dia berkata seperti orang baru sadar dari lamunannya.

Setelah mendengar cerita itu, Ceng Ceng melamun. Agaknya tidak keliru lagi, tentu pemuda laknat itulah pemuda yang bersuling, bernyanyi dan menulis sajak-sajak cinta gagal itu! Siapa lagi kalau bukan dia? Akan tetapi sekarang pemuda itu telah berkumpul dengan gurunya, Si Dewa Bongkok yang lihai dan tentu diajak pulang ke Istana Gurun Pasir. Jadi tepat dugaan Topeng Setan bahwa mencari pemuda itu harus di tempat tinggal gurunya.

Akan tetapi, pemuda itu sendiri sudah begitu lihai. Apa lagi kini ditambah gurunya dan mungkin tokoh-tokoh lain di dalam Istana Gurun Pasir. Ceng Ceng melirik ke arah ‘pembantunya’ yang duduk melamun sambil memegang cawan arak karena mereka semua sudah selesai makan. Jagonya inilah yang diharapkannya, karena kalau dia seorang diri yang harus membalas dendam, baru menghadapi pemuda laknat itu saja tidak mungkin dia menang. Jagoannya ini makin lihai saja. Entah bagaimana agaknya tiap hari tambah maju saja ilmu kepandaian orang ini. Dapatkah Si Buruk Rupa ini menandingi Dewa Bongkok dan muridnya? Dapatkah Si Buruk Rupa ini diandalkannya? Si Buruk Rupa... ah, buruk?

Belum tentu! Pamannya ini belum tentu buruk, kalau bentuk tubuhnya sih gagah perkasa melebihi semua pria yang pernah dilihatnya! Ahh, apa pula yang dipikirkannya ini? Ceng Ceng diam-diam memaki dirinya sendiri. Paman Topeng Setan ini sudah seperti ayahnya sendiri, gurunya sendiri, pelindungnya yang amat setia.

Betapa pun juga, mungkin karena pengaruh arak wangi yang amat lezat suguhan Jenderal Thio, Ceng Ceng melirik ke arah Topeng Setan, memandang dengan tajam ke arah topeng itu, menerka-nerka bagaimana bentuk wajah di balik topeng itu. Bagaimana sih rupa di balik topeng itu? Tiba-tiba pandang matanya seperti terasa oleh Topeng Setan. Dia menoleh dan balas memandang. Dua pasang mata bertemu dan Ceng Ceng tersipu-sipu melengos ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong itu.

Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan benteng itu. Mereka berdua menolak ketika Jenderal Thio menawarkan dua ekor kuda untuk mereka, akan tetapi karena didesak-desak, akhirnya mereka menerima bekal buntalan yang terisi kain, roti kering, dan beberapa potong uang emas dan perak. Bekal seperti ini ada perlunya juga. Maka mereka tidak malu-malu kucing lagi untuk menerimanya, karena diberikan dengan hati yang tulus ikhlas.

Ketika mereka tiba di dusun dekat Lembah Bunga Hitam, di mana orang-orang golongan beracun yang dipimpin Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek dulu tinggal, Ceng Ceng berhenti. Hatinya terharu mengingat tempat ini. Setelah dia keluar dari sebuah sumur, yang merupakan terowongan tembusan sumur maut, dia tiba di tempat ini dan melihat seorang pemuda tinggi besar, tampan dan gagah di dalam kerangkeng! Dia menuju ke sumur itu dan duduk termangu-mangu di situ, tidak mempedulikan Topeng Setan yang memandangnya dengan sedih.

Masih terbayang oleh Ceng Ceng betapa dia menolong pemuda itu, melarikan kerangkengnya dan bersembunyi di dalam gua. Dia berusaha membebaskan pemuda itu dari dalam kerangkeng dan teringat dia betapa pemuda itu berkeras melarangnya! Betapa anehnya. Pemuda itu melarangnya membuka kerangkeng! Akan tetapi dia memaksa dan akhirnya kerangkeng terbuka dan...

“Ahhhhh...!”

Topeng Setan terkejut mendengar jerit tertahan ini. Dia cepat melompat mendekat dan Ceng Ceng baru sadar betapa dalam melamun tadi dia sampai mengeluarkan jeritan.

“Kenapa, Ceng Ceng?”

“Tidak apa-apa, Paman, aku hanya melamun dan teringat peristiwa dahulu. Di sinilah tempatnya, Paman. Di sinilah aku menolong pemuda laknat itu. Dia berada di sana itu, di dalam kerangkeng dan dijaga oleh beberapa orang anak buah Lembah Bunga Hitam. Aku keluar dari sumur ini di mana aku bersembunyi, dan aku melawan mereka, lalu aku membawa lari kerangkeng itu di mana pemuda laknat itu masih terkurung.”

Topeng Setan mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

Tempat itu sekarang sunyi, tidak ada seorang pun manusianya dan pohon-pohon di situ tumbuhnya tidak sehat seperti dimakan penyakit atau daun-daunnya dimakan ulat. Padahal itu adalah akibat dari perang racun antara golongan Lembah Bunga Hitam dan golongan Pulau Neraka yang masing-masing mempergunakan racun-racun jahat.

“Ceng Ceng, apakah sebelumnya engkau sudah mengenal pemuda itu?”

“Sama sekali belum. Selama hidupku, baru satu kali itu aku melihat dia, yaitu di dalam kerangkeng itu.”

“Hemm... kalau begitu... kalau begitu mengapa engkau menolongnya? Apakah kau tahu mengapa dia di dalam kerangkeng?”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya, menyesal mengapa dia dahulu menolong pemuda itu! “Aku tidak tahu, akan tetapi melihat dia dikerangkeng seperti binatang itu, aku... aku merasa kasihan. Maka aku kemudian menolongnya. Aku dikejar dan aku melarikan kerangkeng itu ke sana, jauh ke sana di mana aku membawa kerangkeng itu sembunyi di dalam goa.”

Topeng Setan menggeleng kepala. “Sunggguh aneh. Engkau baru saja mengenalnya, engkau tidak tahu pula mengapa dia dikerangkeng, dan kau sudah berani melarikannya dan menentang orang Lembah Bunga Hitam. Apakah yang mendorongmu senekat itu sehingga kau berani menentang bahaya untuk menolong orang yang tidak kau kenal?”

Ceng Ceng termangu, lalu mengangguk-angguk. Terhadap Paman Topeng Setan ini, ia takkan menyimpan rahasia apa-apa lagi. Semua peristiwa itu pun sudah dituturkannya. Orang ini seperti ayahnya sendiri dan dia akan menceritakan apa pun, yang paling rahasia sekali pun.

“Pertanyaanmu aneh, akan tetapi patut dipikirkan, Paman. Sudah kukatakan tadi bahwa mula-mula aku merasa kasihan kepadanya, kemudian, melihat wajahnya yang tampan dan gagah aku... eh, terus terang saja, aku menjadi tertarik kepadanya. Dia sebetulnya gagah sekali, Paman. Belum pernah aku melihat pria segagah dia, sangat gagah dan tampan...”

“Tampan mana jika dibandingkan dengan... Suma Kian Lee atau Pangeran Yung Hwa misalnya?” tiba-tiba Topeng Setan bertanya.

“Hemmm... Paman Kian Lee dan Pangeran Yung Hwa juga tampan sekali, akan tetapi sesungguhnya, menurut pendapat hatiku, tidak ada yang dapat melawan daya tarik pemuda itu. Dia gagah dan tampan, aku tertarik sekali, akan tetapi siapa nyana, di balik ketampanan dan kegagahannya itu ternyata bersembunyi moral yang bejat!”

Hening sejenak dan Topeng Setan menundukkan mukanya, agaknya berpikir-pikir. Ceng Ceng terbenam ke dalam lamunannya sendiri. Sesaat kemudian, Topeng Setan bertanya, “Lalu bagaimana, Ceng Ceng?”

“Setelah bersembunyi di dalam goa, aku lalu berusaha membuka kerangkengnya untuk membebaskannya, akan tetapi dia menolak dengan keras...”

“Ehhh?” Topeng Setan terkejut. “Dia menolak? Mengapa? Dia akan kau bebaskan dan dia menolak? Mengapa?”

“Dia menolak dengan keras ketika hendak kubuka kerangkeng itu. Pemuda itu mukanya merah padam dan beringas menakutkan, matanya merah dan agaknya dia berada dalam keadaan keracunan.”

“Hemmm... lalu bagaimana?”

“Aku paksa membuka kerangkengnya. Dia terbebas dan... dan... dia menubrukku, dia memeluk dan menciumiku...”

“Hemmm, bedebah...!”

“Akan tetapi dia mengeluh dan meloncat bangun, lalu dia memandangku dengan mata merah, seperti orang berjuang keras dengan dirinya sendiri, meragu dan seperti hendak menyerang diri sendiri. Akhirnya dia meloncat keluar dari dalam goa! Aku masih rebah dengan jantung berdebar dan tubuh lemas. Pemuda itu kuat bukan main sehingga ketika ditubruknya tadi aku sama sekali tidak mampu melawan...”

“Hemm, dia lari katamu? Dia tidak mengganggumu lagi?”

“Itulah yang tadinya kusangka. Hatiku sudah lega. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia muncul di depan goa, lalu dia menubrukku, aku meronta dan berusaha melawan sekuat tenaga, akan tetapi sia-sia saja. Dia amat kuat dan dia... dia lalu menggagahi aku, dia... dia memperkosaku... Paman, ahhh, Paman...”

“Anjing keparat! Jahanam busuk! Kau memang layak mampus!” Tiba-tiba Topeng Setan menampar kepalanya sendiri.

“Plakkk...!” Dan dia roboh terpelanting.

“Paman...!” Ceng Ceng terkejut dan menubruk. “Ehhh, Paman, mengapa...? Mengapa Paman menampar kepala sendiri?”

Topeng Setan menyeringai kesakitan. Kalau saja dia tidak mempunyai tenaga mukjijat dari Sin-liong-hok-te, sebelum ilmu mukjijat ini dikuasainya, tentu dia sudah mampus sekarang terkena tangannya yang tadi memukul untuk membunuh! Dia sadar dan berkata, “Tidak apa-apa. Saking marahku tadi aku sampai lupa diri! Aku bersumpah, kau akan bertemu dengan dia, kau akan berkesempatan untuk melakukan hukuman sendiri kepadanya, Ceng Ceng. Terlampau enak baginya kalau dia mampus sebelum menerima siksaan dan hukumanmu. Aku akan menyerahkan dia ke depan kakimu!”

“Tapi... tapi... bukankah itu sukar sekali, Paman? Dia telah dibawa pulang oleh Si Dewa Bongkok, apakah Paman mampu melawan mereka?”

“Akan kuusahakan sampai titik darah terakhir agar engkau dapat menghukum si laknat itu, Ceng Ceng!”

“Paman... Paman... engkaulah orang termulia di dunia ini!” Ceng Ceng menjatuhkan dirinya merangkul kaki Topeng Setan dan berlutut.

Dada yang bidang itu naik turun bergelombang ketika dia menunduk dan memandang kepala dara yang berlutut di depan kakinya itu. Dengan halus dia lalu membangunkan Ceng Ceng.

“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan ke Istana Gurun Pasir, Ceng Ceng.”

“Nanti dulu, Paman. Aku... aku ingin sekali... menengok tempat itu. Sekali lagi...”

“Tempat apa? Di mana?”

“Goa itu...”

“Ya Tuhan!” Topeng Setan berteriak dan memegangi kepalanya. “Kau... kau malah ingin melihat tempat itu, tempat di mana perbuatan terkutuk, di mana kelaknatan itu terjadi?”

“Aku ingin melihatnya sekali saja, Paman.” Ceng Ceng mengangguk dan menunduk, malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak menjauhi tempat itu dengan jijik, sebaliknya malah hendak menengoknya, seolah-olah tempat itu merupakan tempat kenangan yang indah!

Topeng Setan menghela napas dan menurut saja, mengikuti gadis itu menuju ke goa jauh di depan. Ketika tiba di depan goa, Ceng Ceng memandang ke sekeliling, lalu memejamkan matanya dan terbayanglah peristiwa itu. Dia menggigit bibir dan membuka kembali matanya, lalu dia melangkah perlahan-lahan memasuki goa besar itu. Tiba-tiba dia berhenti, mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan.

“Ada apa, Ceng Ceng?” Topeng Setan yang juga berhenti itu bertanya, suara orang ini agak gemetar, agaknya Topeng Setan yang sakti itu pun merasa seram memasuki goa ini!

“Sssttt... Paman... ada asap... tentu ada orangnya, jangan-jangan dia... harap Paman waspada dan suka membantuku!”

Ceng Ceng berindap masuk ketika melihat ada asap mengepul dari dalam goa itu. Tidak salah lagi, pikirnya. Dengan hati berdebar penuh ketegangan Ceng Ceng berindap-indap memasuki bagian yang paling dalam dari goa itu dan... ternyata tempat itu kosong tidak ada orangnya. Hanya kelihatan ada bekas api unggun yang masih berasap dan ada beberapa potong pakaian wanita yang agaknya habis dicuci dan dibentangkan di situ.

Tiba-tiba Topeng Setan berbisik, “Ssssttt... mari keluar, ada suara orang di luar!”

Mendengar ini, Ceng Ceng cepat membalik dan mengikuti temannya itu keluar goa dan mereka cepat bersembunyi di balik sebuah batu besar di depan goa itu. Kini Ceng Ceng juga mendengar suara itu, suara seorang wanita, “Aihhh, kelinci gemuk, kau berani datang mengantar nyawa, ya?”

Tentu saja Ceng Ceng terkejut sekali dan sudah siap menghadapi lawan sambil melirik Topeng Setan yang kelihatan tenang-tenang saja itu. Suara wanita itu disusul suara senandung merdu dan kini suara itu makin dekat. Tak lama kemudian, Ceng Ceng yang mengintai dengan hati tegang itu melihat seorang dara muda muncul dan sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, mulutnya tersenyum ketika dia mengenal bahwa dara itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo!

Dara cilik itu sedang berjalan sendirian sambil bersenandung, wajahnya yang cantik itu kemerah-merahan dan berseri-seri, kedua tangannya memondong seekor kelinci putih gemuk yang agaknya dia tangkap di jalan tak jauh dari tempat itu.

“Aihhh, kiranya engkau, bocah nakal!” Ceng Ceng yang entah mengapa dia sendiri tidak tahu menjadi lega hatinya karena tidak bertemu dengan si pemuda laknat, kini keluar dan menegur, diikuti oleh Topeng Setan dari belakang.

Hwee Li terkejut bukan main sampai melemparkan kelinci ke bawah dan cepat dia menengok, sepasang matanya yang lebar jeli itu terbelalak.

“Ehhh, kiranya Subo!” Teriaknya dan dia lari menghampiri Ceng Ceng dan memegang tangan gadis itu dengan sikap manja. “Subo, sudah terlalu lama aku menanti, mengapa Subo tidak lekas-lekas mengajarkan ilmu tentang racun kepadaku?”

Ceng Ceng memang merasa suka kepada dara remaja ini, bukan hanya karena dia pernah ditolong dan dibebaskan, juga karena melihat dara ini cantik manis sekali dan berwatak polos dan periang serta jenaka, jauh berbeda dengan ayahnya yang kejam dan jahat. Maka dirangkulnya gadis cilik itu. “Kelak kalau aku sudah ada waktu, Hwee Li. Bagaimana engkau bisa berada di sini? Dengan siapa? Dan apakah kau tinggal di dalam goa itu?”

Dara remaja itu cemberut, kelihatannya dia jengkel sekali. “Ayah selalu meninggalkan aku, Subo. Aku mencari jejaknya sampai ke sini, akan tetapi dia hilang lagi. Siapa tidak menjadi gemas mempunyai ayah seperti dia yang tak mempedulikan anaknya? Semua ini gara-gara Bibi Lauw Hong Kui yang selalu menyeret Ayah ke dalam petualangan-petualangan itu. Subo, kau ajak aku, ya... ehhh, siapa dia ini? Tentu jahat sekali, Subo.” Hwee Li memandang kepada Topeng Setan dan kelihatan takut.

“Dia ini Paman Topeng Setan, tidak perlu kau takut dan jangan mengatakan jahat karena dia adalah seorang pendekar besar,” jawab Ceng Ceng.

Akan tetapi Hwee Li masih memandang dengan penuh keraguan. “Seorang pendekar biasanya berwajah gagah, tidak seperti ini. Akan tetapi karena dia memakai topeng, aku percaya bahwa di balik topeng itu tentu tersembunyi wajah yang gagah tampan, boleh aku membuka topengmu?”

Dengan sikap lincah Hwee Li menghampiri Topeng Setan dan hendak membuka topeng itu. Tentu saja Topeng Setan melangkah mundur dan melindungi topengnya.

“Hwee Li, jangan kurang ajar kau! Mundur!” Ceng Ceng membentak dan Hwee Li segera mundur dengan cemberut.

“Boleh jadi dia pendekar besar, akan tetapi dia tidak adil dan penakut!” Dara remaja ini memandang kepada Topeng Setan dengan sikap menantang.

“Hemmm, Nona cilik, mengapa kau mengatakan aku tidak adil dan penakut?” Topeng Setan bertanya.

“Engkau tidak adil karena kau bisa melihat dan mengenal wajahku dan wajah semua orang, tetapi sebaliknya aku tidak bisa melihat wajahmu. Apakah itu adil namanya? Dan biar pun Subo mengatakan kau seorang pendekar besar, mana bisa disebut gagah dan tidak penakut kalau kau selalu bersembunyi di belakang topeng?”

Menghadapi dara cilik yang lincah dan pandai bicara ini, Topeng Setan kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ceng Ceng yang melihat ini segera maju menolong pendekar itu. “Hwee Li, diam kau, jangan cerewet. Aku tak akan mengajakmu kalau kau cerewet!”

Wajah dara cilik itu menjadi girang sekali. Dia cepat memegang lengan Ceng Ceng dan berkata, “Subo mau mengajakku? Ah, terima kasih, dan aku tidak akan berani nakal dan banyak cerewet lagi!”

Ceng Ceng baru teringat bahwa dia sudah kelepasan bicara. Mengajak bocah ini hanya akan menghambat perjalanan saja. Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara, maka dia lalu membelokkan persoalan dengan bertanya, “Jadi engkau sendirian di sini? Pakaian siapa di dalam goa itu?”

Nona cilik itu tertawa, nampak deretan giginya yang putih seperti mutiara. “Pakaianku, Subo. Tadi kucuci, sudah kotor sih! Lalu aku merasa lapar dan... ehhh, mana kelinciku yang gemuk tadi?” Dia teringat kelincinya dan mencari-cari. Tentu saja binatang itu sudah sejak tadi melarikan diri tidak dapat ditemukan lagi.

“Wah, celaka, rugi besar aku...” Dara remaja itu membanting kakinya jengkel.

“Kau lapar, Nona? Kami membawa bekal roti kering dan daging dendeng kering...,” kata Topeng Setan menawarkan.

“Benarkah? Wah, ternyata kau baik sekali, Paman,” katanya melihat Topeng Setan pergi menghampiri belakang batu besar di mana tadi dia menaruh buntalannya, dan segera kembali membawa roti kering dan dendeng.

Setelah makan roti kering dan minum air, Hwee Li lalu berkata, “Subo, sekarang Subo hendak mengajak aku ke mana?”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah terlanjur berkata hendak mengajak bocah ini! “Kami berdua mempunyai urusan yang amat penting dan juga amat berbahaya, Hwee Li. Karena itu, kau menanti saja di goa ini untuk beberapa lamanya. Setelah urusan kami selesai, aku pasti akan menjemputmu di sini.”

“Ah, aku sudah bosan di sini sendirian saja, Subo. Ajaklah aku seperti yang sudah Subo katakan tadi!”

Ceng Ceng merangkul pundak ‘muridnya’ itu. “Sungguh menyesal sekali, muridku yang baik! Kami menghadapi urusan yang sangat penting dan kami tergesa-gesa, kalau engkau kuajak sekarang, tentu akan memperlambat perjalanan...”

“Wah, Subo tidak perlu memikirkan hal itu. Aku tidak akan ketinggalan biar Subo dan Paman ini menggunakan ilmu lari cepat seperti terbang sekali pun. Pendeknya, asal Subo memperbolehkan aku ikut, Subo tidak perlu menggandeng atau menggendongku, dan aku pasti akan dapat mengikuti Subo, bahkan bisa pula mendahului kalau perlu!”

Topeng Setan terkejut mendengar kata-kata yang sombong dan sikap yang jumawa itu. “Ehh, Nona cilik, jangan main-main. Benarkah engkau akan dapat mengikuti kecepatan lari kami?”

“Mengapa tidak? Ehh, apa Paman pandai terbang?”

“Terbang?”

“Ya, terbang di angkasa.”

“Tentu saja tidak bisa!”

“Nah, kalau begitu apa sukarnya mengikuti Paman dan Subo? Aku akan mengkuti kalian sambil terbang!”

“Hwee Li, jangan main-main kau!” Ceng Ceng menegur. “Masa kau bisa terbang?”

Anak perempuan yang manis itu tertawa. Ceng Ceng tidak mungkin bisa marah. Bocah ini sama sekali tidak pantas menjadi puteri Hek-tiauw Lo-mo yang menyeramkan itu. Begini manis dan wajar.

“Subo, tentu saja aku tidak bisa terbang karena aku tidak mempunyai sayap. Akan tetapi burungku bisa dan ke mana-mana aku naik burungku itu.”

“Ehh, mana burung itu?”

“Dia galak sekali, kalau kupanggil sekarang mungkin akan menyerang Subo dan Paman ini. Nanti kalau Subo berdua sudah pergi, dia kupanggil dan aku akan mengikuti Subo. Bolehkah?”

Ceng Ceng kini tidak dapat menolak lagi. “Sesukamulah. Akan tetapi engkau tidak boleh nakal dan harus menurut semua omonganku.”

“Baik, Subo, baik. Ahhh, Subo manis sekali!”

Mau tidak mau Ceng Ceng tersenyum. Bocah ini memang menyenangkan dan andai kata dia masih memiliki ilmu-ilmunya yang beracun dari Ban-tok Mo-li pun dia tidak akan mau menurunkannya kepada bocah manis ini, karena ilmu itu terlalu keji.

“Nah, kami akan melanjutkan perjalanan. Kalau burungmu tidak dapat membayangi kami, sebaiknya kau kembali saja ke sini dan dalam perjalanan pulang aku tentu akan menjemputmu di sini.”

Gadis cilik itu hanya mengangguk dan memandang ketika subo-nya dan Topeng Setan melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Setelah mereka itu pergi jauh, barulah dia bersuit nyaring dan berkali-kali. Tak lama kemudian terdengar jawaban dari atas dan seekor burung rajawali hitam yang amat besar menyambar turun.

Hwee Li tadi tidak membohong ketika mengatakan bahwa burungnya ini galak dan suka menyerang orang asing. Burung itu adalah hek-tiauw (rajawali hitam) dari Pulau Neraka yang oleh ayahnya ditinggalkan kepadanya untuk melindungi puterinya itu dan untuk mengantarnya kembali ke Pulau Neraka kalau dikehendaki oleh Hwee Li. Akan tetapi ternyata bocah ini tidak suka pulang ke Pulau Neraka, lebih senang berkeliaran ke mana-mana dan mengejar-ngejar ayahnya.

Setelah mengambil pakaiannya dari dalam goa, Hwee Li meloncat ke atas punggung rajawali hitam. “Terbanglah, hek-tiauw dan ke sana...!”

Dia menepuk leher burung itu yang segera meloncat dan membentangkan sayapnya, terbang cepat ke atas menuju ke utara, yaitu arah yang ditunjuk oleh nona cilik itu.

Ceng Ceng yang berlari cepat bersama Topeng Setan mengharap agar ‘muridnya’ itu tidak benar-benar mengejarnya.

“Heran sekali, engkau mempunyai murid seperti dia, puteri Ketua Pulau Neraka pula. Akan tetapi memang tidak bisa dielakkan lagi karena seperti telah kau ceritakan dahulu, dia telah menolong membebaskanmu, Ceng Ceng. Kulihat dia seorang bocah yang cerdik dan luar biasa sekali.”

“Memang, tetapi sekarang aku tidak bisa mengajak dia, tentu hanya akan menimbulkan kelambatan dan kerepotan saja. Mudah-mudahan dia tidak benar-benar mempunyai burung dan dapat menyusul seperti yang dibualkan.”

Hening sejenak, kemudian tiba-tiba Topeng Setan tertawa. “Kau terlalu memandang rendah muridmu itu. Lihat!” Dia menuding ke atas. Ceng Ceng mengangkat mukanya memandang dan benar saja, di atas mereka kelihatan seekor burung rajawali hitam besar sedang terbang lewat dengan cepat sekali.

“Subo...! Hiiiii!!” Hwee Li bersorak dan melambaikan tangannya. Burung itu terbang berputar-putar dan terus mengikuti ke arah perginya Topeng Setan dan Ceng Ceng.

“Luar biasa puteri Hek-tiauw Lo-mo itu!” Ceng Ceng berkata. “Mudah-mudahan saja dia tidak akan membikin keributan.”

Namun ternyata Hwee Li tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan keributan dalam perjalanan itu. Kalau malam tiba dan melihat subo-nya dan Topeng Setan beristirahat, dia pun menyuruh burungnya turun agak jauh dari situ, lalu membebaskan burungnya dan dia sendiri lalu menghampiri subo-nya, membantu subo-nya membuat api unggun, mencari binatang hutan untuk dipanggang dan dimakan bersama. Keesokan harinya, setelah subo-nya dan Topeng Setan berangkat, dia memanggil hek-tiauw-nya dan kembali naik ke atas punggung burung yang segera menerbangkannya mengikuti gurunya.

Akhirnya, pada suatu siang, tibalah Ceng Ceng dan Topeng Setan di depan sebuah istana setelah melalui perjalanan melintasi gurun pasir selama setengah hari lamanya. Sungguh aneh sekali, di tengah gurun seperti ini, di tengah lautan pasir, terdapat sebuah bangunan besar yang begitu megah, kelihatan sunyi sekali dan karenanya kelihatan ‘angker’ dan keramat.

“Hati-hati, Paman...” Ceng Ceng berbisik sambil melambaikan tangan ke atas.

Hwee Li menyuruh burungnya menukik turun, kemudian setelah dekat Ceng Ceng berkata kepada muridnya sambil mengisyaratkan dengan tangannya, “Kau pergi agak jauh, jangan ikut turun di sini! Tunggu sampai kami keluar!”

“Baik, Subo...!” Hwee Li menjawab dengan suara agak mengkal karena dari atas, istana itu kelihatan aneh dan indah, dan sebetulnya dia ingin sekali turut masuk. Akan tetapi karena dilarang subo-nya, maka dia lalu menyuruh burungnya terbang tinggi di atas dan berputaran di sekeliling istana itu.

“Mari kita masuk, Paman...” Ceng Ceng berkata kepada Topeng Setan setelah melihat burung dan muridnya itu melayang tinggi dan jauh.

Topeng Setan mengangguk dan mengikuti gadis itu yang melangkah masuk dengan hati-hati sekali. Istana itu kuno sekali, akan tetapi buatannya kokoh kuat dan amat indah, terbuat dari batu-batu berwarna sehingga kelihatan aneh dan mencolok di tengah gurun pasir yang tandus. Akan tetapi anehnya pula, di belakang dan samping kiri istana itu terdapat tanaman-tanaman berupa pohon-pohon dan bunga-bunga, cukup segar dan indah!

Mereka berdua memasuki gang-gang dan lorong-lorong di dalam istana itu. Berliku-liku jalannya lorong-lorong itu, diapit-apit tembok tinggi yang penuh ukir-ukiran, berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf yang tidak dimengerti artinya oleh Ceng Ceng. Istana ini ternyata luar biasa luasnya, akan tetapi sungguh mengherankan hati Ceng Ceng mengapa dia tidak bertemu dengan seorang pun di dalamnya.

Padahal istana itu mempunyai banyak sekali kamar-kamar, ruangan-ruangan dan halaman-halaman di mana terdapat tanaman-tanaman aneh, pohon-pohon yang tua sekali akan tetapi kate, tingginya hanya dua tiga kaki, diatur seperti sebuah taman yang indah dan di tengahnya terdapat kolam ikan emas dengan air memancar dari tengah-tengahnya! Dan melihat betapa bersihnya tempat itu, terawat baik, mustahil kalau tidak ada penghuninya.

“Heran sekali, mengapa kosong, Paman? Apakah penghuninya sedang pergi?” Ceng Ceng berbisik.

“Hemm... mungkin begitu...” jawab Topeng Setan, suaranya juga lirih setengah berbisik.

Ceng Ceng bergidik. Topeng Setan biasanya begitu tabah menghadapi apa pun, akan tetapi sekarang mendengar suaranya seperti seorang yang merasa ngeri dan jeri! Apa lagi dia. Dia sudah merasa seram dan longak-longok memandang ke sana-sini.

“Sregggg...! Sregggg...!”

Ceng Ceng terperanjat sampai terloncat ketika kesunyian melengang itu mendadak dipecahkan suara yang amat nyaring ini, suara orang menyapu lantai dengan sapu lidi. Suara itu terdengar dari halaman yang baru saja mereka lewati, halaman di depan gedung perpustakaan, seperti yang tertulis di depan pintunya tadi.

Mendengar suara ini, giranglah hati Ceng Ceng. Tentu itu adalah seorang perawat atau pelayan rumah besar ini dan dapat ditanyai tentang Kok Cu si pemuda laknat. Maka secara otomatis kakinya bergerak, berlari cepat menuju ke halaman depan gedung perpustakaan itu.

Akan tetapi begitu dia tiba di tempat itu, suara sapuan itu berhenti dan di situ kosong tidak nampak seorang pun manusia. Hanya dia melihat onggokan daun dan debu di sudut, bekas sapuan, padahal tadi ketika mereka lewat di sini, daun-daun itu masih berserakan. Ceng Ceng berdiri termangu-mangu dan memandang ke kanan kiri.

Tampak jelas bekas goresan sapu lidi di halaman yang cukup luas itu. Sungguh aneh bukan main! Halaman seluas itu, bagaimana mungkin disapu dalam waktu secepat itu? Dia baru saja mendengar suara menyapu dan terus lari menghampiri, akan tetapi tempat itu telah selesai disapu orang dan si penyapu ajaib itu telah lenyap.

Bulu tengkuknya meremang. Hanya iblis saja yang mampu bekerja secepat ini, atau kalau manusia, tentu memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Keadaan yang sunyi itu, peristiwa yang amat aneh itu, menambah keseraman tempat yang demikian luas dan kosong. Ceng Ceng terlongong dan memandang ke arah bekas tempat yang disapu.

Corat-coretan bekas sapuan itu aneh, tidak seperti biasa, melainkan malang melintang akan tetapi sangat teratur, setiap goresan bekas sapu lidi demikian panjang dan rata, lalu ujung-ujung goresan itu makin menipis dan lenyap akan tetapi semua tempat bersih seolah-olah semua kotaran itu terdorong oleh tenaga mukjijat, bukan oleh lidi-lidi yang dijadikan satu menjadi sebatang sapu.

Melihat jarak goresan-goresan itu, awal dan akhir gerakannya, Ceng Ceng terkejut sekali karena gerakan-gerakan itu bukanlah gerakan orang menyapu biasa sambil membongkok sedikit, melainkan gerakan orang bermain silat yang aneh! Agaknya orang atau setan yang menyapu halaman ini, tadi menyapu sambil bersilat! Semua ‘serangan’ ditujukan ke sudut halaman sehingga semua kotoran berkumpul dan menumpuk secara tepat di tempat itu. Bukan main!

“Sreggg! Sreggg!”

Ceng Ceng terloncat kaget dan kini lebih cepat dari tadi, dia meloncat dan berlarian ke arah suara orang menyapu di bagian depan, di halaman depan ruangan semedhi. Akan tetapi setibanya di tempat itu, dia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali meninggalkan lapangan yang sudah disapu itu!

Dia hendak mengejar, akan tetapi kembali sudah terdengar suara orang menyapu, kini di sebelah kiri. Dia lari mengejar ke tempat itu, hanya untuk mendapatkan halaman lain yang sudah bersih dan hanya tinggal ada bekas-bekasnya saja seperti tadi. Sampai lima enam kali dia dipermainkan suara orang menyapu ini sehingga dia merasa mendongkol bukan main. Agaknya orang itu bukannya menyapu, melainkan sengaja mempermainkan aku, demikian bisik hatinya yang panas.

Dan dibandingkan dengan orang itu, kepandaiannya sendiri agaknya tidak ada artinya. Akan tetapi dia tidak takut. Kalau dia bertemu dengan pemuda laknat musuh besarnya itu di sini, dia sudah siap untuk menghadapinya dan menyerangnya mati-matian. Dia kini telah memiliki tenaga mukjijat, khasiat anak naga itu. Di dalam perjalanan, dia sudah memperoleh petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan sehingga kini sedikit demi sedikit Ceng Ceng sudah mampu memanfaatkan tenaga mukjijatnya itu, sungguh pun belum seluruhnya dan belum sempurna. Menurut keterangan Topeng Setan, kalau dia sudah mampu menguasai seluruh tenaga mukjijat itu, maka di dunia ini jarang ada yang akan mampu menandingi kekuatan sinkang-nya.

“Paman...” Dan Ceng Ceng terkejut sekali, baru teringat sekarang bahwa sejak tadi dia meninggalkan Topeng Setan dan sejak tadi kawannya itu tidak ada lagi di belakangnya!

“Ahh, di mana dia...?” Ceng Ceng memandang ke kanan kiri.

Dia sampai lupa pada Topeng Setan karena digoda oleh tukang sapu yang dikejarnya ke sana ke mari. Dia lalu mencari ke mana-mana, akan tetapi istana itu luas bukan main, banyak sekali lorongnya sehingga dia sudah lupa lagi di mana tempat dia meninggalkan kawannya itu tadi. Dia seolah-olah telah ‘dipancing’ untuk meninggalkan Tapeng Setan. Celaka, pikirnya, tentu pihak musuh sengaja menggunakan siasat memecah-belah mereka berdua sehingga tidak dapat saling menjaga dan saling menolong!

“Paman...!” Dia mulai berteriak memanggil sambil berlari ke sana-sini, hatinya penuh ketegangan.

Dia memasuki setiap lorong, membuka setiap kamar yang amat banyak jumlahnya. Akan tetapi semua kamar kosong. Kosong dan sunyi melengang. Dia merasa panik dan seram, bulu tengkuknya meremang. Hari sudah mulai gelap agaknya, ataukah karena istana itu amat tinggi maka matahari yang sudah mulai condong ke barat itu terhalang sinarnya? Dia sendirian saja di istana yang angker ini, dan menghadapi tembok-tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu, dia merasa dirinya amat kecil.....

Dia terus lari mencari-cari dan kini hatinya penuh rasa takut dan juga kagum. Kiranya di sebelah dalam istana ini luasnya bukan main, seperti sebuah kota saja. Ada tamannya, ada anak sungai dengan jembatan yang artistik, bangunan-bangunan kecil yang aneh bentuknya namun indah.

Ceng Ceng mulai terengah-engah. Lalu dia mengambil keputusan untuk keluar saja dari istana yang menyeramkan ini. Di luar sana setidaknya ada muridnya, Hwee Li dan burung rajawali hitam itu. Dan di luar dia akan menanti Topeng Setan, atau mungkin sekali Topeng Setan sudah keluar lebih dulu karena melihat istana itu kosong dan menanti dia di luar.

Mulailah Ceng Ceng berlarian mencari jalan keluar. Akan tetapi celaka! Lorong mana pun yang diambilnya, tidak membawanya ke luar! Jalan-jalan di situ amat aneh, berputar-putar dan dia tidak dapat keluar, bahkan memasuki bagian-bagian yang tadi belum pernah dilalui. Dia tersesat di dalam istana luas kosong itu!

“Paman Topeng Setan...!” Dia berteriak-teriak karena hari makin gelap, suasananya makin menyeramkan.

Akan tetapi, teriakannya itu sekarang bergema dan yang terdengar kembali hanya gema suara terakhir, “...setaaaann...!”

Bulu tengkuknya makin meremang. Tengkuknya terasa dingin, seolah-olah setiap saat tengkuknya akan diraba dan dicekik tangan setan yang dingin! Ceng Ceng makin panik dan baru sekali ini dia merasa takut, takut karena jalan pikirannya yang mencipta yang bukan-bukan.

Ceng Ceng adalah seorang gadis yang dalam beberapa tahun telah digembleng oleh pengalaman-pengalaman aneh mengerikan, bahkan beberapa kali dia menghadapi bahaya maut. Namun baru satu kali ini dia merasakan ketakutan yang lain lagi sifatnya, rasa takut yang timbul karena menghadapi hal yang membingungkan dan tidak dimengertinya. Lebih baik dia menghadapi seratus orang lawan yang mengeroyoknya dan dapat dilihatnya. Sekarang ini, dia tidak dapat keluar, seorang diri dan tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Padahal malam agaknya mulai tiba dan cuaca menjadi makin gelap.

Ceng Ceng hampir saja menangis. Cuaca menjadi demikian gelapnya sehingga dia tidak berani lagi berlari-larian, hanya berjalan dengan mata terbelalak seperti mata seekor kelinci yang terkurung oleh jebakan.

Tiba-tiba dia menahan napas. Tampak olehnya bayangan orang di seberang jembatan di depan sana, bayangan hitam yang memegang sebatang lilin bernyala. Cahaya lilin itu terlalu kecil sehingga dia tidak dapat melihat wajah pemegangnya. Rasa ngeri dan takutnya lenyap. Pasti bukan setan yang memegang lilin bernyala itu. Bayangan itu menggunakan api lilin, menyalakan lampu-lampu minyak yang berdiri di setiap sudut. Gerakannya ketika membuka penutup lampu, menyulut dan menutupnya kembali amat cepatnya dan api lilin itu bergerak-gerak.

Ceng Ceng cepat menggerakkan kakinya mengejar. Akan tetapi orang itu makin cepat pula gerakannya, meloncat ke sana-sini, sulut sana-sini, lari ke depan, sulut lagi sana-sini, terus dikejar oleh Ceng Ceng dan akhirnya, setelah menyalakan lampu terakhir, orang itu meniup padam lilinnya dan lenyap!

Ceng Ceng terpaksa berhenti, memandang ke sana ke mari. Sunyi melengang dan cahaya lampu-lampu minyak di sekitar tempat itu yang telah disulut oleh orang aneh tadi menciptakan suasana yang makin menyeramkan. Akan tetapi sedikitnya ancaman kegelapan sudah tidak ada lagi dan Ceng Ceng berbesar hati. Andai kata muncul apa pun musuh atau siluman, dia masih dapat menjaga diri di bawah sinar-sinar lampu yang muram akan tetapi cukup terang itu.

Selagi dia termangu-mangu, tidak tahu betul apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di sebelah kanan, suara orang bertempur! Ceng Ceng cepat berlari ke arah suara itu, dan akhirnya dia tiba di bawah sebuah bangunan tingkat dua. Dia melihat ke atas dan ternyata ada dua orang bertempur saling serang dengan serunya di atas genteng bangunan tingkat dua itu. Yang seorang adalah kakek-kakek yang bertongkat, melawan seorang laki-laki bermantel lebar yang menutupi hampir sekujur badannya yang tinggi besar.

Agaknya laki-laki tinggi besar itu maklum akan kedatangan Ceng Ceng. Dia menoleh dan... hampir saja Ceng Ceng menjerit. Itulah dia! Laki-laki berjubah lebar itu! Si pemuda laknat, tak salah lagi!

“Keparat...!” Mulutnya mendesis dan Ceng Ceng hendak meloncat ke atas.

Akan tetapi pemuda itu yang menoleh dan melihat Ceng Ceng, nampak terkejut lalu meloncat jauh ke depan melarikan diri, dikejar oleh musuhnya, kakek bertongkat. Melihat ini, Ceng Ceng terus melayang ke atas genteng dan mengejar pula ke arah kedua orang itu tadi berkejaran. Akan tetapi, gerakan mereka cepat bukan main dan di atas genteng-genteng istana, cuaca tidaklah seterang di bagian bawah yang sudah diterangi banyak lampu.

Ceng Ceng terpaksa berhenti ketika dia kehilangan dua bayangan yang dikejarnya itu. Dia mengerahkan seluruh ketajaman telinga untuk mendengarkan. Benar, di kejauhan dia mendengar lagi suara orang bertempur. Cepat dia meloncat dan dari atas dia melihat ada satu orang dikeroyok tiga orang. Yang dikeroyok adalah seorang yang berjubah lebar tadi, si pemuda laknat, musuh besarnya.

Karena Ceng Ceng tidak mempedulikan lain-lainnya, hanya mencurahkan seluruh perhatian terhadap si pemuda laknat, maka dia tidak peduli siapa yang mengeroyok itu dan dia langsung meloncat dari atas dengan maksud menyerang musuh besarnya sambil memaki, “Hendak lari ke mana kau?”

Orang berselubung mantel atau jubah lebar itu menengok dan sekali ini Ceng Ceng dapat mengenal betul wajah yang gagah perkasa itu, wajah yang dahulu di dalam goa kelihatan kemerahan dan beringas, akan tetapi sekarang kelihatan terkejut. Orang itu mengeluarkan suara aneh di lehernya lalu meloncat dan melarikan diri lagi, dikejar oleh tiga orang musuhnya yang juga amat lihai dan memiliki gerakan-gerakan cepat bukan main sehingga kembali Ceng Ceng tertinggal jauh ketika mencoba mengejarnya dan sebentar saja sudah kehilangan bayangan mereka.

Ceng Ceng makin mendongkol. Terpaksa dia berdiri diam di sebuah taman, sambil mendengarkan lagi. Jantungnya berdebar tegang. Sekarang dia tidak akan keliru lagi. Tentu dialah orangnya! Selain wajahnya yang tak mungkin dia lupakan selama hidupnya itu, juga buktinya begitu melihat dia muncul, orang bermantel lebar itu melarikan diri. Padahal melihat kelihaiannya menghadapi lawan-lawannya, tidak mungkin laki-laki itu takut kepadanya. Tentu dia lari karena dia pun ingat kepadaku, pikir Ceng Ceng.

Jantungnya berdebar aneh. Ingat padaku? Dia masih ingat padaku? Ingat secara bagai mana? Kalau dia sendiri tentu saja selama hidupnya akan teringat kepada pemuda itu, ingat dengan hati penuh kebencian. Akan tetapi bagaimana perasaan pemuda itu begitu melihat dan mengenalnya? Ingin sekali dia mengetahui perasaan pemuda itu.

Kembali terdengar suara orang bertempur. Ceng Ceng menahan kakinya yang sudah hendak berlari lagi. Tidak, dia harus cerdik sekarang. Dia tidak boleh lari tergesa-gesa, karena hal ini akan membuat kehadirannya ketahuan dan si laknat itu tentu akan lari lagi. Maka kini Ceng Ceng menghampiri tempat arah datangnya suara pertempuran dengan jalan kaki, berindap-indap dan hati-hati agar jangan sampai diketahui oleh mereka yang sedang bertanding, terutama tentu saja oleh pemuda musuhnya itu.

Akan tetapi setelah tiba di tempat itu dan melihat mereka tidak melarikan diri, hatinya kecewa karena yang bertanding sekali ini bukanlah si pemuda laknat yang memakai mantel lebar tadi, melainkan seorang kakek yang memegang sebatang sapu lidi bergagang panjang, dikeroyok oleh dua orang kakek yang bersenjata kebutan dan yang seorang bersenjata tasbeh.

Dua orang kakek pengeroyok itu lihai sekali, akan tetapi kakek pembawa sapu lidi itu tidak kalah lihainya. Terutama sekali ginkang-nya, amat luar biasa sekali gerakannya, cepat seperti beterbangan sehingga pandang mata Ceng Ceng menjadi kabur melihat kakek itu berkelebatan dan sapu lidi di tangannya digerakkan menjadi gulungan sinar yang amat lebar mengelilingi dan menyelimuti dirinya.

Biar pun dua orang pengeroyoknya itu pun amat lihai sehingga gerakan senjata mereka mendatangkan angin yang bersiutan, akan tetapi kakek tukang sapu ini tetap mampu melindungi dirinya, bahkan masih sempat pula menyumpah-nyumpah dengan suaranya yang agak parau.

“Kurang ajar sekali! Kalian ini setan-setan dari mana malam-malam begini berani mengacau di rumah orang?”

“Heh, pelayan rendah! Kedudukanmu hanya tukang sapu, jangan banyak bicara kau! Hayo antarkan kami ke gedung pusaka milik Si Bongkok kepada kami!” teriak lawannya yang bersenjata kebutan.

“Hemm, kiranya kalian ini maling-maling tidak tahu malu? Benar-benar gagah perkasa, berani datang merampok selagi tuanku pergi. Kalau bellau berada di sini tak mungkin kalian berani datang. Dasar pengecut!”

“Pelayan hina bermulut lancang!” bentak lawan yang memegang tasbeh dan mereka sudah bertanding lagi makin seru.

Ceng Ceng yang sedang menonton pertempuran hebat itu dengan hati kecewa karena dia tidak melihat si pemuda laknat yang dikejarnya, tiba-tiba mendengar ada suara pertempuran yang lebih ramai di balik tembok kiri. Cepat dia lalu menyelinap dan menghampiri. Ketika dia sudah tiba di balik tembok itu, dia melihat si pemuda laknat yang memakai jubah mantel lebar itu dikeroyok oleh lima orang yang lihai.

Agaknya si pemuda itu hanya menggunakan ujung mantelnya yang lebar untuk menghadapi pengeroyokan lima orang lawannya yang bersenjata pedang. Akan tetapi kedatangan Ceng Ceng yang sudah menyelinap hati-hati itu agaknya diketahuinya pula dan dia sudah meloncat lagi, menghilang ke dalam sebuah lorong yang agak gelap.

Lima orang lawannya agaknya telah mengenal kelihaian pemuda itu maka melihat pemuda itu memasuki lorong gelap, mereka tidak berani mengejar, takut terjebak melainkan mengambil jalan atas dengan berloncatan ke atas genteng. Akan tetapi Ceng Ceng tidak mempedulikan apa-apa lagi dan dia sudah mengejar secepatnya ke dalam lorong gelap itu. Sekali ini dia tidak akan melepaskan musuh besarnya itu, tekadnya sambil mempercepat larinya. Akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget dan terguling di dalam lorong gelap karena ada sesuatu yang membelit kedua kakinya.

Cepat dia merenggut benda itu dan ternyata benda itu adalah sehelai jubah lebar seperti yang dipakai oleh pemuda musuh besarnya tadi! Tentu saja tergulingnya ini memperlambat pengejarannya dan ketika ia meloncat bangun kembali, bayangan pemuda itu telah lenyap. Ceng Ceng mendongkol dan sambil melempar mantel itu dia menyumpah-nyumpah dan melanjutkan pengejarannya sampai keluar dari lorong gelap.

Setibanya di luar lorong itu, di dalam halaman yang luas dan cukup terang, Ceng Ceng termangu-mangu, tidak tahu harus mengejar ke mana karena sudah tidak nampak lagi bayangan orang yang tengah dicarinya, sedangkan di situ terdapat banyak sekali jalan simpangan. Selagi dia kebingungan, kembali terdengar suara orang bertanding di sebelah kiri. Cepat dia menuju ke tempat itu, berindap-indap dan setelah melewati jembatan kecil, dia melihat seorang kakek yang bersenjata cambuk sedang berhadapan dengan Topeng Setan!

Ceng Ceng memandang heran. Agaknya istana yang sunyi itu hanya dihuni oleh tukang sapu yang lihai dan murid Si Dewa Bongkok, yaitu si pemuda laknat yang memakai mantel lebar, dan malam ini istana didatangi oleh banyak sekali orang lihai yang maksudnya tentu akan merampok pusaka-pusaka Istana Gurun Pasir ini. Dan Topeng Setan agaknya membantu pihak tuan rumah menghadapi rombongan perampok!

Dia sendiri menjadi bingung. Pemuda laknat musuh besarnya tinggal di istana ini, dan dia harus memusuhinya. Akan tetapi, perampok-perampok ini, tidak mungkin dia harus bekerja sama dengan para perampok! Jelas bahwa Topeng Setan sendiri menentang para perampok dan dia tidak dapat menyalahkan Topeng Setan karena memang sudah sepatutnya bagi seorang gagah untuk mencegah perbuatan jahat seperti perampokan. Akan tetapi dia? Tak mungkin dia mau membantu musuh besarnya!

Kakek itu amat lihai menggerakkan cambuknya, namun dia bukanlah lawan berat bagi Topeng Setan sehingga ketika ujung cambuknya kena dicengkeram, ujung cambuk itu patah. Pemiliknya mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang melarikan diri. Topeng Setan bergerak mengejarnya.

“Paman...!” Ceng Ceng berteriak.

Topeng Setan berhenti, membalikkan tubuhnya dan berkata, “Ceng Ceng, istana ini lagi kemasukan maling-maling dan aku harus membantu. Kau berdiamlah dulu di sini, aku hendak mengejar mereka.” Setelah berkata demikian, Topeng Setan meloncat ke atas genteng dan lenyap, agaknya hendak membantu si tukang sapu.

Ceng Ceng termenung, dia bingung. Lalu dia cemberut. Mengapa Topeng Setan lebih mementingkan urusan istana ini, urusan tempat tinggal musuh besarnya? Mengapa Topeng Setan tidak cepat-cepat membantunya menangkap si pemuda laknat? Dengan hati panas dia lalu mengejar pula.

Terdengar pertempuran hebat di lapangan yang luas, yang terletak di belakang istana. Ceng Ceng lari menghampiri dengan penuh harapan. Kalau dia bertemu dengan musuhnya di situ, tidak peduli Topeng Setan membelanya menghadapi para perampok, dia tetap akan menyerang si pemuda laknat!

Dengan hati panas Ceng Ceng sudah mencabut pedangnya dan dengan pedang di tangan dia menghampiri tempat pertempuran itu. Akan tetapi kembali hatinya kecewa sekali. Ada sebelas orang yang lihai-lihai mengeroyok dua orang, yaitu kakek tukang sapu dan Topeng Setan, sedangkan pemuda laknat itu tidak kelihatan di situ! Masih ada empat orang musuh yang berdiri di luar tempat pertempuran dan terdengar seorang di antara mereka berkata nyaring, “Mereka berdua telah dikurung, mari kita mencari sendiri gudang pusaka!”

Empat orang anggota gerombolan maling itu lalu meloncat, dengan gerakan luar biasa ringannya tubuh mereka melayang ke atas genteng. Terdengar kakek tukang sapu tertawa, “Ha-ha-ha, kalian berempat hanya mengantar nyawa!”

Ceng Ceng tidak mengerti mengapa kakek tukang sapu itu mentertawakan empat orang itu, tentu saja dia tidak mengira bahwa tukang sapu itu merasa yakin bahwa murid majikannya yang tadi menghadapi para penyerbu dan yang sekarang tidak nampak, tentu telah berlaku cerdik dan menjaga keselamatan gudang perpustakaan sehingga empat orang itu tentu akan tewas di tangan murid majikannya.

Kakek tukang sapu itu memang gagah berani. Biar pun dia yang telah dibantu oleh Topeng Setan itu berada dalam keadaan terdesak menghadapi keroyokan sebelas orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi dia masih mampu mentertawakan para lawannya, sedikit pun tidak mengenal takut.

Tiba-tiba terdengar lengking aneh di atas, diikuti suara tertawa merdu nyaring, suara ketawa seorang gadis cilik yang menunggang seekor rajawali hitam. Kiranya rajawali hitam dari Pulau Neraka itu yang tadi mengeluarkan suara melengking dan kini atas dorongan dan bujukan Hwee Li, gadis itu, si rajawali hitam raksasa menyambar ke arah empat orang anggota penyerbu yang tadi berlompatan di atas genteng! Empat orang itu kaget bukan main, cepat mereka menggerakkan pedang menyerang ke atas.

Akan tetapi sepasang cakar rajawali hitam itu besar dan kuat sekali, melebihi baja kerasnya, sehingga dua orang berteriak kaget, pedang mereka terlepas dan tangan mereka berdarah kena dihantam cakar, orang ketiga terpelanting kena disambar sayap dan orang keempat berteriak-teriak menutupi mata kanannya yang disambar ujung sepatu Hwee Li yang tertawa-tawa! Empat orang itu cepat berloncatan turun kembali dan Hwee Li sambil tertawa menerbangkan rajawalinya ke atas, berputaran sambil menonton pertempuran hebat yang masih terjadi di halaman luas itu.

Pada saat itu pula terdengar suara lengking nyaring berkali-kali dan rajawali yang ditunggangi Hwee Li itu menggerakkan sayapnya, terbang tinggi sekali seperti terkejut atau ketakutan. Ceng Ceng mengkhawatirkan keselamatan muridnya dan dia berseru, “Hwee Li, hati-hati kau...!”

Akan tetapi tiba-tiba nampak di angkasa dua bayangan besar hitam, lalu terdengar kelepaknya sayap-sayap burung raksasa. Kiranya dua bayangan hitam besar setelah kini tiba dekat, adalah dua ekor rajawali putih yang besar-besar dan di atas rajawali putih yang betina duduk seorang kakek yang berkaki satu dan berambut putih panjang riap-riapan.

“Hemmm... orang-orang yang tamak di mana-mana menimbulkan kekacauan saja!” Terdengar kakek berkaki buntung sebelah itu berkata dan tiba-tiba tubuhnya melayang turun dari atas punggung rajawali itu.

“Pendekar Siluman...!” Beberapa orang di antara para penyerbu itu berseru kaget dan kini mereka semua menjadi panik karena melihat betapa pendekar tua berkaki buntung sebelah itu ketika tiba di bawah telah terpecah-pecah menjadi sepuluh orang kembar yang menggerakkan tongkat secara hebat, tubuh sepuluh orang Pendekar Super Sakti itu mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti kilat karena dia menggunakan ilmunya yang mukjijat, yaitu Soan-hong-lui-kun!

Melihat ini, peninglah kepala semua orang itu dan pandang mata mereka menjadi kabur.

“Lari...!” teriak seorang berpakaian tosu yang memegang kebutan dan tanpa diperintah dua kali, lima belas orang itu segera meninggalkan ternpat itu dengan kacau-balau dan ketakukan. Padahal mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi.

Sejenak kakek tukang sapu itu berdiri terbelalak memandang kepada Pendekar Super Sakti Suma Han yang berdiri dengan tenang di depannya, kini sudah menjadi satu, tidak lagi terpecah menjadi sepuluh orang. Kemudian kakek itu membungkuk dengan penuh hormat kepada Suma Han dan berkata, “Kiranya Taihiap yang berjuluk Pendekar Super Sakti, tocu (majikan pulau) dari Pulau Es. Hamba mewakili majikan hamba dan kongcu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap mengusir para penjahat. Juga kepada Ji-wi berdua saya menghaturkan terima kasih,” katanya lebih lanjut dan menjura ke arah Ceng Ceng dan Topeng Setan.

Pendekar Super Sakti mengangguk. “Pelayan yang baik dan setia,” katanya. “Di manakah adanya tuanmu? Aku datang karena melihat jejak puteraku, Suma Kian Lee, menuju ke tempat ini. Apakah dia bersama dengan majikanmu?”

Tukang kebun itu kembali menjura. “Belum lama ini majikan hamba datang bersama Suma Kongcu, kemudian majikan hamba mengajak Suma Kongcu ke selatan setelah datang undangan dan tantangan dari ketiga orang datuk lainnya yang mengadakan pertemuan di Yin-san, pegunungan sebelah selatan. Kemudian datang Kongcu (Tuan Muda) murid majikan hamba dan kami berdua diserang oleh gerombolan penjahat tadi. Untung ada Sam-wi (Anda Bertiga) yang membantu kami.”

Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat ke depan dan menodongkan pedangnya kepada kakek si tukang sapu yang menjadi terkejut sekali. “Hayo katakan, siapa kongcu-mu itu? Bukankah dia yang bernama Kok Cu?”

“Benar, Nona... kenapa...?”

“Di mana dia? Lekas suruh dia keluar!”

“Eh, hamba... hamba kira dia menjaga di gedung pusaka, sudah pasti begitu karena dia amat cerdik, tahu bahwa para penjahat tadi hendak menyerbu gedung pusaka.”

“Nona muda, segala urusan dapat diselesaikan dengan baik, tanpa kekerasan.” Tiba-tiba Pendekar Super Sakti berkata dan suaranya yang halus itu membuat Ceng Ceng meremang bulu tengkuknya.

“Maaf, Locianpwe,” katanya dan dia menyimpan pedangnya.

“Biar saya yang mencarinya bersama orang tua ini,” kata Topeng Setan. Tukang sapu mengangguk dan sekali berkelebat lenyaplah keduanya itu dari halaman.

Setelah mereka pergi, Pendekar Super Sakti memandang Ceng Ceng penuh perhatian dan bertanya, “Nona, semenjak pertemuan kita di warung itu, tak pernah kusangka akan bertemu lagi dengan kau di sini. Sahabatmu yang bertopeng itu hebat sekali. Siapakah dia?”

“Dia adalah sahabat dan pelindungku, Locianpwe. Dia adalah Paman Topeng Setan.”

“Paman? Hemm, kukira dia belum setua itu. Tadinya kami kira dia itu adalah suamimu. Kepandaiannya hebat. Akan tetapi mengapa kalian sampai di Istana Gurun Pasir ini? Tidak sembarang manusia dapat sampai di tempat berbahaya ini.”

“Saya... saya sedang mencari... seorang musuh besar saya,” kata Ceng Ceng gagap. Jantungnya berdebar dan dia merasa jeri sekali berhadapan dengan pendekar yang hebat ini, yang juga masih terhitung kakek tirinya! Segala sesuatunya dari pendekar ini demikian berwibawa dan amat kuat pengaruhnya sehingga dia merasa tidak enak, takut dan sungkan.

“Hemm, jadi itukah yang kau katakan urusan pribadi dahulu itu? Kasihan, semuda ini sudah dicengkeram oleh dendam yang begitu hebat...” Ucapan ini dikeluarkan oleh pendekar itu dengan lirih seperti bicara kepada dirinya sendiri. “Dan bocah perempuan yang naik rajawali hitam itu, siapa dia? Engkau tadi berseru kepadanya.”

“Dia... dia itu Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...”

“Ehh! Ketua Pulau Neraka?” Suma Han kelihatan tercengang juga.

“Benar, Locianpwe, dan dia... dia menjadi murid saya.”

Jawaban ini tentu saja membuat Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang tidak tahu akan duduknya perkara menjadi terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu, Topeng Setan dan kakek tukang sapu sudah muncul lagi sehingga percakapan mereka terhenti.

“Dia tidak ada lagi di sini, dan di kamarnya aku menemukan suratnya ini,” kata Topeng Setan kepada Ceng Ceng, sedangkan kakek tukang sapu tadi hanya mengangguk membenarkan.

“Benar, Nona. Surat itu ditujukan kepada saya,” katanya.

Ceng Ceng menerima surat itu dan membaca huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan tergesa-gesa, mengatakan bahwa penulisnya hendak pergi menyusul gurunya ke selatan, ke Yin-san untuk membantu gurunya menghadapi para datuk lainnya.

“Kalau begitu, kita menyusul ke Yin-san!” Ceng Ceng berteriak, penuh kekecewaan dan kemarahan.

“Akan tetapi Yin-san bukan tempat yang dekat dari sini...” Topeng Setan berkata.

“Tidak peduli, aku harus menyusulnya!” Ceng Ceng berkata penasaran.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas, “Subo... celaka! Kedua ekor pek-tiauw (rajawali putih) itu mengejar-ngejar burungku! Aku terpaksa mendarat!” Dari atas menyambar turun burung rajawali hitam dan Hwee Li cepat meloncat turun, merangkul leher burungnya dan berkata, “Tenanglah, hek-tiauw, semua ini sahabat, kau tidak boleh nakal.” Dengan susah payah Hwee Li menenangkan burungnya yang kelihatan marah dan gelisah melihat orang-orang asing itu.

Mendadak Hwee Li menahan jeritnya ketika menoleh dan melihat Suma Han. Dia menudingkan telunjuknya kepada pendekar itu dan berkata gagap, “Celaka... aku... aku pernah mendengar... kau... kau Pendekar Super Sakti...”

Suma Han tersenyum dan mengangguk. “Anak baik, kau puteri Ketua Pulau Neraka? Sungguh bahagia sekali ayahmu memiliki seorang puteri seperti engkau.”

Hwee Li memainkan matanya yang jeli. “Ehhh?! Kau... kau tidak benci padaku, tidak membunuh aku...?”

Suma Han tersenyum dan menggeleng kepalanya.

“...tapi rajawali putih menyerang rajawaliku. Mereka itu tentu rajawali-rajawali dari Pulau Neraka dahulu, yang sekarang sudah menjadi besar dan lebih tangkas dari pada hek-tiauw ini.”

Suma Han bersuit panjang dan dua ekor rajawali putih itu menyambar turun, akan tetapi mereka itu mendekam di belakang Suma Han tanpa berani bergerak, sedangkan rajawali hitam dirangkul Hwee Li karena kelihatan gelisah dan gemetaran.

“Memang ini dua ekor pek-tiauw dari Pulau Neraka yang dahulu menerbangkan kedua orang puteraku dari Pulau Neraka.” Kemudian dia menoleh kepada Ceng Ceng dan Topeng Setan. “Agaknya kita semua mempunyai niat yang sama yaitu ke Yin-san. Aku pun hendak menyusul Kian Lee yang pergi bersama Dewa Bongkok ke Yin-san. Kalau kalian hendak ke sana, mari pergunakan pek-tiauw-ku yang seekor lagi. Nona dapat boncengan dengan muridmu ini di punggung hek-tiauw dan Saudara Topeng Setan ini boleh memakai pek-tiauw jantan ini.”

Tentu saja Ceng Ceng dan Topeng Setan menerima penawaran itu dengan gembira. Ceng Ceng lalu meloncat ke atas punggung hek-tiauw bersama Hwee Li, sedangkan Topeng Setan meloncat ke punggung pek-tiauw jantan setelah Suma Han naik ke punggung pek-tiauw betina. Suma Han menerbangkan pek-tiauw betina itu di depan dan burung yang ditunggangi Topeng Setan segera mengejarnya. Kim Hwee Li yang gembira sekali memboncengkan gurunya lalu memerintahkan rajawali hitamnya untuk mengikuti sepasang rajawali putih itu.

Memang hebat sekali Pendekar Super Sakti. Menunggang burung rajawali saja sudah merupakan hal yang amat mendebarkan hati penuh ketegangan, apa lagi di waktu malam! Hwee Li sudah biasa sejak kecil menunggang burungnya, seperti menunggang kuda saja. Akan tetapi Ceng Ceng merasa ngeri, bahkan Topeng Setan sendiri mau tidak mau kadang-kadang menahan napas saking tegangnya. Namun Pendekar Super Sakti dengan enak saja melanjutkan penerbangan itu dan baru pada keesokan harinya menyuruh rajawalinya menukik turun ke atas sebuah bukit yang sunyi. Mereka memberi kesempatan kepada tiga ekor burung rajawali untuk beristirahat, dan juga mereka mencari tempat teduh untuk mengaso dan mengisi perut dengan roti kering yang dibawa sebagai bekal oleh Topeng Setan dan Ceng Ceng.

Saat istirahat setelah makan digunakan oleh Pendekar Super Sakti untuk bersemedhi. Melihat ini, Topeng Setan, Ceng Ceng, dan Hwee Li tidak berani mengganggu, bahkan Topeng Setan mengajak mereka agak menjauhi di mana Topeng Setan memberi petunjuk kepada Ceng Ceng untuk menyempurnakan penguasaan tenaga sinkang-nya, sedangkan Ceng Ceng juga mulai mengajarkan semacam ilmu pukulan kepada Hwee Li.

Akan tetapi diam-diam Majikan Pulau Es itu melihat betapa Topeng Setan kadang-kadang melakukan latihan yang aneh, dengan tubuh hampir menelungkup dan begitu Topeng Setan melakukan gerak silat, batang-batang pohon di sekelilingnya bergoncang seperti diamuk badai, daun-daun rontok berhamburan. Pendekar Super Sakti terkejut dan maklum bahwa Topeng Setan benar-benar merupakan seorang yang amat lihai.

Dia tidak tahu bahwa itu adalah ilmu yang paling mukjijat dari Istana Gurun Pasir, yaitu Ilmu Sin-liong-hok-te yang sedang dilatih dan disempurnakan oleh Topeng Setan, yang akhirnya menguasai ilmu mukjijat itu setelah lengan kirinya buntung. Juga sering sekali Suma Han yang memiliki penglihatan waspada itu melihat sikap termangu-mangu dan tenggelam dalam kedukaan hebat dari orang yang wajahnya disembunyikan di balik topeng itu.

Dia tahu bahwa Topeng Setan masih muda dan dia makin kagum, juga makin heran karena antara Ceng Ceng dan manusia aneh ini terselubung rahasia yang luar biasa. Akan tetapi karena dia merasa tidak ada sangkut pautnya dengan mereka, pendekar besar yang hanya sedang mencari puteranya ini tidak menaruh perhatian, apa lagi menanyakan.

Beberapa hari kemudian, menjelang tengah hari, tibalah mereka di atas Pegunungan Yin-san. Ketiga ekor burung rajawali itu berputaran di atas pegunungan dan tiba-tiba Hwee Li yang bermata tajam melihat gerakan orang-orang di atas sebuah di antara puncak pegunungan itu.

“Subo, itu di sana ada orang bertempur!” serunya.

Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk muridnya. “Kalau begitu kita melihat ke sana. Biar mereka nanti pun mengikuti kita kalau melihat kita turun.” Hwee Li kemudian menepuk-nepuk leher rajawali hitam yang mengerti akan perintah ini. Dia menukik turun dan melayang cepat sekali.

Akan tetapi Suma Han atau Pendekar Super Sakti melihat hal lain lagi yang menarik hatinya, maka rajawali yang ditungganginya disuruhnya turun pula di tempat yang tidak jauh dari puncak di mana Hwee Li dan Ceng Ceng melihat orang-orang bertempur itu.

Oleh karena rajawali yang ditunggangi Topeng Setan, yaitu pek-tiauw jantan, selalu mengikuti pek-tiauw betina, maka burung ini pun menukik turun mengikuti burung yang ditunggangi Pendekar Super Sakti. Tak lama kemudian, Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat turun dari punggung dua ekor rajawali itu yang segera beterbangan lagi ke atas, agaknya maklum bahwa mereka telah bebas tugas dan hanya tinggal menanti panggilan majikan mereka. Selama bebas tugas mereka lebih suka terbang ke atas dan mengintai korban, yaitu binatang-binatang hutan untuk menjadi mangsa mereka.

Pendekar Super Sakti berloncatan dengan kaki tunggalnya menuju ke sebuah telaga kecil, diikuti oleh Topeng Setan. Baru sekarang Topeng Setan mengerti mengapa pendekar besar itu mendarat di situ. Kiranya dalam telaga itu terdapat seseorang yang sedang merendam tubuhnya di dalam air, kelihatannya sedang bersemedhi. Seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah. Suma Kian Lee!

Pendekar Super Sakti melangkah maju mendekati puteranya, mengerutkan alisnya dan berkata halus, “Kian Lee, keluarlah kau dan biar kuobati lukamu itu.”

Mendengar suara ayahnya yang diucapkan dengan pengerahan khikang sehingga suara itu langsung memasuki telinganya dan menggugahnya, Kian Lee membuka mata. Sebelum menoleh, dia sudah berbisik girang. “Ayah...!”

Lalu dia menoleh, mengambil pakaian dan mengenakan pakaiannya lalu naik ke tepi telaga, gerakannya agak lemah dan ternyata setelah dia keluar dari air telaga nampak tanda telapak jari kehijauan di punggungnya.

Topeng Setan terkejut sekali dan diam-diam dia kagum. Kenapa Pendekar Super Sakti sudah tahu bahwa puteranya itu terluka hebat? Dia sendiri sebelum melihat telapak jari di punggung itu tidak akan mengetahuinya. Dengan hanya mengenakan celananya, Kian Lee berlutut di depan ayahnya.

Pendekar Super Sakti memeriksa punggung puteranya itu. “Hemmm... pukulan dengan dasar yang-kang akan tetapi beracun. Tidak berbahaya akan tetapi kalau disembuhkan di sini memakan waktu lama,” kata pendekar itu.

Suma Han lalu berloncatan dengan cepat di sekeliling tubuh puteranya, jari tangannya menotok dan menampar di beberapa bagian tubuh pemuda itu, kemudian dia pun duduk bersila di belakang puteranya, menempelkan tangan kirinya ke punggung yang terpukul, menyalurkan tenaganya yang mukjijat dan tidak lama kemudian, pada saat dia sudah melepaskan tangannya, tanda telapak tangan kehijauan itu telah lenyap pula! Makin kagumlah Topeng Setan menyaksikan ini, karena dari peristiwa ini saja dia sudah dapat membayangkan betapa hebatnya tenaga sinkang dari kakek buntung ini!

“Sekarang, pakai bajumu dan ceritakan dengan singkat bagaimana kau sampai tiba di tempat ini dan terluka,” kata Pendekar Super Sakti.

Kian Lee menceritakan bahwa sesungguhnya dia ingin pulang ke Pulau Es, akan tetapi berputar-putar di daerah utara, katanya hendak mencari adiknya yang terpisah darinya. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang sakit hati atau patah hatinya karena gagal dalam bercinta ketika dia mendapat kenyataan bahwa Ceng Ceng yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri!

“Saya bertemu dengan Locianpwe Go-bi Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi)...”

“Siapa dia?”

“Orang-orang mengenal beliau sebagai Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir...”

“Oh, dia? Lalu bagaimana?”

“Ketika beliau mendengar nama Ayah, beliau suka sekali kepada saya dan mengajak saya ke istananya di gurun pasir. Namun setibanya di sana, Locianpwe itu menerima undangan pertemuan para datuk besar di Yin-san, maka beliau lalu datang ke sini dan saya yang ingin meluaskan pengalaman lalu ikut. Beliau sudah memesan agar saya tidak mencampuri urusan para datuk. Akan tetapi, Ayah, para datuk yang tiga orang itu bermain curang! Mereka tidak mengadu ilmu untuk menentukan orang terpandai seperti biasa, melainkan mengeroyok Locianpwe Go-bi Bu-beng Lojin. Tentu saja saya tidak mau tinggal diam melihat kecurangan itu dan saya maju membantu. Akibatnya saya terkena pukulan ini dan Locianpwe itu menasehatkan saya untuk merendam tubuh di sini, karena hawa dingin air telaga ini akan banyak menolong.”

“Hemmm... dia benar. Akan tetapi masih kurang dingin. Kau sudah terbebas dari hawa beracun sekarang, akan tetapi untuk memulihkan kesehatan dan semangatmu yang kulihat melayu dan muram, sebaiknya kau pulang dulu dan melatih diri dengan Swat-im Sinkang di rumah.”

“Baik, Ayah!”

Pendekar Super Sakti bersuit keras dan dua ekor burung pek-tiauw itu melayang turun. “Kau bawa pek-tiauw betina pulang ke Pulau Es.”

“Tapi Ayah...”

“Biar aku yang akan membantu Dewa Bongkok.”

Kian Lee maklum dari tegangan suara ayahnya bahwa dia tidak boleh menawar lagi, maka dia lalu memberi hormat, juga menjura kepada Topeng Setan yang dia tidak mengerti bagaimana bisa datang bersama ayahnya, kemudian dia meloncat ke atas punggung pek-tiauw betina yang segera terbang melayang tinggi sekali. Pek-tiauw jantan mengeluarkan suara aneh, seperti hendak menyusul, akan tetapi Pendekar Super Sakti menepuk punggungnya dan berkata, “Kau pergilah cari majikanmu, Kian Bu!” Burung itu seperti mengerti perintah ini, dan dia pun memekik keras dan terbang melayang, meninggalkan angin yang membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang.

“Mari kita melihat pertemuan itu,” kata Pendekar Super Sakti kepada Topeng Setan dan mereka bergerak cepat menuju ke puncak gunung.

Ketika mereka sudah tiba di puncak, mereka melihat Dewa Bongkok sedang bertempur dengan hebatnya melawan seorang nenek yang juga amat lihai. Ceng Ceng dan Hwee Li sudah berada di situ pula, menonton pertempuran dari jarak agak jauh karena gerakan dua orang itu mendatangkan angin dahsyat sekali sehingga pohon-pohon yang berdekatan pada tumbang!

Tidak jauh dari situ terdapat dua orang kakek yang duduk bersila, agaknya mereka itu terluka dan sedang mengusahakan pengobatan dengan sinkang. Begitu muncul di situ, terdengar suara bisikan dekat telinga Si Pendekar Super Sakti dan Topeng Setan. “Ini adalah urusan kami di luar tembok besar, harap kalian jangan mencampuri.”

Suma Han mengangguk-angguk dan kagum sekali pada kakek tua renta bongkok yang terkenal sebagai Si Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir dan yang biasanya memperkenalkan diri sendiri sebagai Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi itu. Biar pun dikeroyok tiga, dan sudah melukai dua orang lawan, akan tetapi dia sendiri pun telah lemah gerakannya, agaknya sudah mengeluarkan tenaga terlalu banyak, dan lawannya, nenek yang bermata biru dan rambutnya kuning emas, juga amat lihai sekali, namun toh Si Dewa Bongkok itu masih sempat minta kepada dia dan Topeng Setan agar jangan mencampuri! Padahal, biar pun yang mengadakan pertemuan adalah datuk-datuk di luar tembok besar, namun jelas bahwa tiga orang di antara mereka adalah orang-orang yang menggunakan kecurangan mengeroyok Si Dewa Bongkok.

“Kenalkah kau kepada mereka?” Suma Han berbisik kepada Topeng Setan, karena sesungguhnya selama hidupnya dia belum pernah bertemu dengan empat orang ini, sungguh pun telah pernah dia mendengar nama Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir.

Topeng Setan mengangguk, dan hal ini tidak mengherankan hati Suma Han karena dia maklum bahwa orang ini pun bukan orang sembarangan dan dia melihat kini betapa gerakan Si Dewa Bongkok yang lengan kirinya juga buntung seperti lengan kiri Topeng Setan itu mirip sekali dengan latihan yang dilakukan oleh Topeng Setan di waktu mereka berhenti dan beristirahat dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yin-san ini. Maka dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan erat antara Topeng Setan dan Dewa Bongkok.

“Locianpwe, saya sendiri pun baru pernah mendengar nama dan gambaran tentang mereka. Yang berambut pirang bermata biru, nenek lihai itu adalah datuk dari daerah barat, sedangkan yang dua orang lagi dan agaknya sedang bersemedhi itu, adalah datuk-datuk dari kutub utara dan datuk pantai timur. Nama-nama mereka tidak dikenal orang, dan mereka itu adalah datuk-datuk di luar tembok besar yang tidak pernah menyeberang tembok besar, maka tidak terkenal di pedalaman.”

Suma Han mengangguk-angguk dan memperhatikan jalannya pertandingan. Dia sangat terkejut karena mendapatkan kenyataan bahwa dua orang yang sedang bertanding itu benar-benar memiliki tingkat kepandaian yang sudah sempurna dan dia sendiri pun agaknya hanya dapat mengimbangi mereka saja.

“Dan yang gagah perkasa dikeroyok dan sekarang menandingi nenek itu tentu Si Dewa Bongkok majikan dari Istana Gurun Pasir, bukan?” tiba-tiba Suma Han bertanya sambil menoleh dan memandang Topeng Setan dengan penuh selidik. Diteropong oleh dua mata yang amat tajam penglihatannya seolah-olah dapat menembus topengnya, bahkan menjenguk ke dalam dadanya itu, Topeng Setan mengangguk dan menunduk.

Pada saat itu, terdengar lengkingan keras sekali. Suma Han dan Topeng Setan terkejut memandang. Kiranya dua orang datuk yang tadi duduk bersila, kini sudah meloncat dan serentak menyerang Si Dewa Bongkok dari dua jurusan. Suma Han dan Topeng Setan mengeluarkan teriakan kaget, namun betapa pun lihainya mereka, karena tadi mereka mengalihkan perhatian, mereka itu terlambat dan tidak dapat turun tangan mencegah lagi. Dua orang datuk itu sudah menyerang dari kanan kiri, dan Si Dewa Bongkok yang hanya berlengan satu itu memutar tubuh menyambut.

“Bresss...!” Dewa Bongkok terlempar, berputaran dan roboh.

Seperti menerima komando saja, berbarengan Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat ke depan. Suma Han menggunakan tongkatnya menghadang nenek berambut pirang, sedangkan Topeng Setan sudah langsung menerjang kedua orang yang tadi secara pengecut membokong Dewa Bongkok.

“He-he-he-heiiik! Orang berkaki buntung berambut putih... heiiii, matamu itu... bukankah kau Pendekar Siluman dari Pulau Es?” bentak Si Nenek sambil mencelat mundur ketika ujung tongkat Suma Han berkelebat.

“Dan kau seorang nenek dari barat yang amat curang, bertiga mengeroyok seorang saja.”

“Hi-hi-hik, kau tahu apa? Kau melindungi Dewa Bongkok?”

“Aku tidak melindungi siapa-siapa, hanya menentang yang lalim dan curang,” jawab Suma Han dengan tenang.

“Kalau begitu mampuslah kau!”

Nenek itu sudah menerjang lagi, didahului dua sinar emas dan perak yang melayang-layang ke arah kepala dan dada Suma Han. Pendekar Super Sakti cepat menggerakkan tongkatnya menghalau sinar emas dan perak itu.

“Tinggg! Tinggg!”

Dua buah benda itu ternyata adalah dua buah gelang dari emas dan perak dan kini setelah kena ditangkis, dua benda itu melayang kembali kepada pemiliknya, yang cepat menyambarnya kembali dan kini menggunakan dua buah gelang itu di tangannya untuk menyerang dengan gerakan seperti kilat cepatnya dan yang nampak hanya sinar emas dan perak berkilauan mengerikan.

Namun Pendekar Super Sakti sudah siap dengan tongkatnya dan karena dia maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang memiliki kesaktian hebat, Suma Han segera menggunakan ilmunya yang dahsyat, yaitu Soan-hong-lui-kun yang membuat tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti menyambarnya halilintar yang tiada henti, sukar diduga perkembangan gerakannya sehingga beberapa kali nenek itu terpekik kaget.

Memang benarlah seperti yang diceritakan secara singkat oleh Topeng Setan kepada Pendekar Super Sakti tadi. Di luar tembok besar sebelah utara Tiongkok, di luar perbatasan tanah Mongol, terdapat banyak pertapa dan tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dan yang paling tinggi kepandaiannya adalah empat orang datuk-datuk luar tembok besar itu. Setiap lima tahun sekali, empat orang ini selalu mengadakan pertemuan di tempat-tempat sunyi, untuk saling menambah pengetahuan dan sekedar menguji hasil ciptaan masing-masing.

Akan tetapi, setelah tiga kali berturut-turut Si Dewa Bongkok selalu unggul, tiga orang itu menjadi iri hati. Diam-diam mereka bersepakat untuk dalam pertemuan berikutnya, merobohkan Si Dewa Bongkok, lalu mengambil pusaka-pusakanya dan mempelajari ilmu-ilmu yang diciptakannya. Untuk itu, mereka bertiga telah mengutus anak-anak murid mereka menyelidiki ke Istana Gurun Pasir selagi Dewa Bongkok mereka undang ke Yin-san. Untung bahwa usaha murid-murid mereka itu digagalkan berkat bantuan Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti. Dan di Yin-san, mereka ternyata berhasil merobohkan Si Dewa bongkok dengan siasat pengeroyokan yang curang, dan baiknya dalam saat terakhir itu muncul pula Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti.

Akan tetapi, kalau Pendekar Super Sakti dapat mengimbangi kelihaian nenek berambut pirang yang bersenjatakan sepasang gelang emas dan perak, adalah Topeng Setan yang sekarang sibuk sekali menghadapi pengeroyokan dua orang datuk yang tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan tingkat para datuk lainnya itu. Dia sendiri belum dapat menguasai Sin-liong-hok-te secara sempurna, maka biar pun kedua lawannya itu telah terluka oleh Si Dewa Bongkok, akan tetapi tetap saja Topeng Setan terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali.

Ceng Ceng yang menonton pertandingan itu hanya memandang terbelalak. Dia dan Hwee Li tidak berani bergerak, karena dari tempat jauh saja sudah terasa oleh mereka sambaran hawa pukulan yang amat mukjijat dari kalangan pertempuran.

Melihat ini, Hwee Li menjadi tidak sabar lagi. Dia bersuit keras dan burung rajawali hitamnya menyambar turun.

“Hek-tiauw, kau bantulah Paman Topeng Setan, cakar dan patuk dua orang kakek itu, hayo cepat!” teriaknya kepada burungnya.

Hek-tiauw itu mengeluarkan suara memekik nyaring dan melayang ke atas, terlihat takut-takut dan ragu-ragu untuk turun karena naluri binatang ini agaknya memberi tahu kepadanya bahwa orang-orang yang bertanding di bawah itu bukanlah manusia-manusia biasa.

“Hayo, hek-tiauw...!” Hwee Li berteriak-teriak.

Terpaksa burung itu menyambar ke bawah, langsung mencengkeram ke arah kepala seorang kakek yang kepalanya gundul licin mengkilap mengeluarkan uap dingin. Dia adalah datuk dari kutub utara dan melihat sambaran bayangan hitam, tangan kirinya menyampok, sedangkan tangan kanannya tetap saja menghantam ke arah Topeng Setan, dibarengi dari kiri oleh temannya. Mereka menyerang Topeng Setan dengan persatuan tenaga seperti yang mereka lakukan ketika merobohkan Si Dewa Bongkok tadi.

“Plak...! Bresss...!”

Dalam sedetik itu terjadi banyak hal. Rajawali hitam kena ditangkis oleh tangan yang ampuh itu, terlempar mencelat jauh dan terbanting menabrak batang pohon lalu terjatuh sambil mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing digebuk. Sedangkan Topeng Setan yang tadi menangkis pukulan dari dua jurusan itu, terhuyung-huyung kemudian roboh, dari balik topengnya mengalir darah segar yang agaknya keluar dari dalam mulutnya. Akan tetapi dua orang kakek itu yang terkena tangkisan Topeng Setan yang mengerahkan tenaga sakti Sin-liong-hok-te, juga terhuyung-huyung, memuntahkan darah segar dan mereka pun terluka hebat.

“Paman...!”

“Hek-tiauw...!”

Jika Hwee Li lari menghampiri burungnya, Ceng Ceng lari menghampiri Topeng Setan. Akan tetapi dua orang kakek itu mengira bahwa Ceng Ceng akan membela Topeng Setan dan menyerang mereka karena mereka melihat betapa loncatan Ceng Ceng menandakan bahwa dara itu juga mempunyai kepandaian istimewa. Seorang di antara mereka langsung mengebutkan ujung bajunya.

“Prattt...!” pundak Ceng Ceng kena disambar ujung baju dan dia terguling roboh pingsan di dekat Topeng Setan.

Melihat ini, Suma Han menjadi tak senang hatinya. Dia mengeluarkan pekik melengking yang luar biasa dahsyatnya, dan kini tubuhnya berubah menjadi tiga orang Suma Han, dan dia bersama dua bayangannya itu menyerang tiga orang datuk itu kalang-kabut. Nenek berambut pirang berteriak kaget dan kesakitan, darah mengucur dari lehernya yang kena serempet tongkat, sedangkan dua orang datuk yang sudah terluka ketika mengadu tenaga dengan Topeng Setan, juga mundur-mundur dengan jeri.

Akhirnya ketiganya maklum bahwa dalam keadaan terluka, mereka tidak akan menang menghadapi Dewa Bongkok dan para pembantunya yang istimewa itu, maka dengan teriakan nyaring melampiaskan kekecewaan hati mereka, tiga orang datuk itu lalu melarikan diri.

Suma Han tidak mengejar. Dia melihat Dewa Bongkok bersila mengatur pernapasan, Ceng Ceng pingsan di samping Topeng Setan yang agaknya sudah tewas, dan Hwee Li merangkul burungnya yang terluka. Dia menarik napas panjang. Di mana pun juga, biar sudah menjadi tua bangka-tua bangka dan sudah mengasingkan diri dari keramaian manusia, tetap saja manusia merupakan makhluk-makhluk yang suka menggunakan kekerasan. Dan dia, sekali lagi terseret pula! Melihat bahwa bagi Topeng Setan sudah tidak ada harapan lagi, dan burung hek-tiauw itu hanya terluka ringan dan menjadi buas tidak mau didekati orang lain kecuali nonanya, Suma Han kemudian menghampiri Dewa Bongkok.

“Maafkan kelancangan saya,” bisiknya dan dia pun duduk bersila di belakang kakek bongkok itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang bongkok sambil mengerahkan tenaga murni dari tubuhnya untuk membantu kakek itu mengobati luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya.

“Terima kasih, sahabat adalah Tocu Pulau Es, bukan?”

Suma Han mengangguk, dan keduanya lalu diam tak bergerak lagi.

Ceng Ceng siuman, kemudian ditubruknya Topeng Setan. Dirabanya tubuh yang masih hangat itu, dipegang nadinya, diraba dadanya. Akan tetapi tidak ada lagi tanda-tanda hidup pada tubuh tinggi tegap itu!

“Paman...!” Dia menjerit. “Paman Topeng Setan, jangan kau tinggalkan aku, Paman...!” Dia menangis dan mengguncang-guncang tubuh itu, tubuh satu-satunya manusia di dunia ini yang amat disayanginya, amat baik kepadanya dan yang telah mengorbankan apa saja demi dia. Teringat betapa orang ini telah mati, barulah terasa oleh Ceng Ceng betapa dia kehilangan besar sekali, betapa dia sesungguhnya... cinta sekali kepada orang ini.

“Paman..., aku mana bisa hidup tanpa kau...?” ratapnya dan menangis sesenggukan sambil memeluki leher mayat itu dan meletakkan mukanya di atas punggung yang bidang itu. Tak disengajanya tangannya meraba topeng yang kasar dan Ceng Ceng lalu sadar.

Dia berlutut dan berkata lirih, “Paman Topeng Setan, engkau telah mengorbankan segalanya untuk aku. Engkau begitu sayang dan cinta padaku, namun engkau selalu menyembunyikan wajahmu dariku. Sekarang engkau telah mati... hu-huuukkk... Paman, kau perkenankanlah aku melihat wajahmu, Paman. Kau... kau maafkan aku, Paman... hu-hu-huuukk...”

Dengan jari-jari tangan menggigil Ceng Ceng mengulurkan tangannya meraih topeng di muka yang rebah miring itu, kemudian dengan amat hati-hati seolah-olah tidak ingin menyakitkan muka mayat itu, dia menanggalkan topeng itu!

Topeng itu terbuka direnggutnya, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak memandang wajah yang kini terbuka, wajah yang rebah miring itu, wajah yang tampan dan gagah, dengan alis yang tebal, hidung yang mancung dan mulut yang tegas membayangkan kegagahan, wajah... si pemuda laknat yang selama ini dikejar-kejar, dianggap musuh besarnya, yang hendak dibunuhnya karena amat dibencinya!

“Aiiiihhhh...!”

Ceng Ceng menjerit, memandang pucat, air matanya menetes turun, tangan kiri dikepal menutup mulut, matanya terbelalak seperti tidak mau percaya, dan dikejap-kejapkannya lalu memandang lagi lebih teliti. Akan tetapi wajah itu tetap tidak berubah, wajah yang pucat dan tak bernyawa lagi dari si pemuda laknat, yang mengerikan karena di bawah mulut, di atas tanah itu nampak darah merah yang dimuntahkan akibat hantaman pukulan dahsyat dua orang lawannya.

“Ti... tidaaaaakkk..., bukan... ohhh, bukan...!” Ceng Ceng kembali menjerit, tubuhnya menggigil dan dia tergelimpang setelah mengeluh panjang, roboh pingsan lagi untuk kedua kalinya di samping tubuh Topeng Setan yang ternyata adalah si pemuda laknat, musuh besar yang dahulu memperkosanya di dalam goa itu.

Ceng Ceng rebah terlentang di samping tubuh Topeng Setan. Wajahnya pucat sekali tak ubahnya seperti mayat, kedua pipinya masih basah air mata. Tangan kanannya masih mencengkeram topeng, sedangkan mulutnya memperlihatkan tarikan muka yang menanggung kenyerian luar biasa, menanggung penderitaan batin yang amat hebat sehingga siapa pun yang melihat keadaannya tentu akan merasa kasihan sekali.

Memang hebat sekali penderitaan batin dara ini. Bertubi-tubi dia mengalami hal-hal yang amat menyakitkan hati, kesengsaraan dan penderitaan lahir batin yang dideritanya semenjak dia meninggalkan Bhutan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi ditumpuknya dalam ingatan, menimbulkan sakit hati dan dendam kebencian.

Sesungguhnya, nasib berada di tangan kita sendiri. Suka atau duka adalah buatan kita sendiri, buatan pikiran kita. Sebab dan akibat tidak dapat terpisah dan berada di dalam genggaman tangan kita sendiri. Adalah ingatan kita, pikiran kita yang menimbulkan kebencian terhadap sesuatu atau seseorang di dalam hati kita.

Dari mana timbulnya kebencian? Sesuatu terjadi atas diri kita, sesuatu yang merugikan kita, kerugian lahir mau pun batin. Kerugian menimbulkan kekecewaan, menimbulkan kemarahan dan terjadilah rasa benci kepada penyebab timbulnya kerugian itu. Dan sekali benci sudah menguasai hati kita, hati tidak akan puas sebelum melihat yang kita benci itu terbalas dan tertimpa mala petaka yang lebih hebat dari pada yang sudah dijatuhkannya kepada diri kita
.

Pikiran yang mencacat perbuatan orang lain yang dianggap merugikan kita inilah yang menimbulkan dendam kebencian seperti yang dialami oleh Ceng Ceng. Hidupnya dicengkeram oleh kebencian kepada seorang setelah terjadi peristiwa perkosaan atas dirinya di dalam goa itu. Dasar kebencian karena dia merasa dirugikan.

Kemudian dia bertemu dengan Topeng Setan yang telah melimpahkan banyak sekali budi kebaikan kepadanya. Hal ini pun membangun suatu rasa sayang di dalam hatinya terhadap laki-laki bermuka buruk itu, rasa sayang yang juga timbul dari ingatan betapa orang ini telah banyak menguntungkannya lahir batin!

Jadi sesungguhnya tidak ada bedanya antara rasa bencinya terhadap si pemuda laknat yang dianggap telah merugikannya, dan rasa sayangnya terhadap Topeng Setan yang dianggap sudah menguntungkannya.

Rasa benci dan sayangnya itu hanyalah penonjolan dari sifat mementingkan diri pribadi. Selama kita mementingkan diri pribadi, di dalam hidup kita pasti kita akan menjadi bulan-bulanan dan permainan dari suka duka, puas kecewa, benci sayang, seperti Ceng Ceng itulah! Dan akhirnya muncullah penderitaan-penderitaan hidup dan kesengsaraan-kesengsaraan.

Benci bukanlah kebalikan dari pada cinta! Yaitu cinta sejati, karena cinta yang menjadi kebalikan benci hanyalah cinta nafsu, cinta yang timbul dari mementingkan diri pribadi. Cinta semacam ini hanya akan bertahan selama dirinya disenangkan, dipuaskan, dan dipenuhi kehendaknya. Cinta macam ini selalu mengandung bayangan benci sebagai kebalikannya, sehingga kalau tidak disenangkan, tidak dipuaskan, dapat berbalik menjadi benci. Cinta sejati tidak mempunyai sasaran seperti benci. Kalau sudah tidak ada benci di hati, sama sekali tidak ada benci, barulah mungkin cinta yang suci ini memperlihatkan mukanya di dalam batin kita.

Ceng Ceng yang menggeletak pingsan itu menjadi permainan dari suka duka, dari kekecewaan melihat bahwa orang yang paling dibencinya itu justru adalah orang yang paling dicintanya. Dia menjadi permainan dari pikiran sendiri, sehingga kini menderita pukulan batin yang amat hebat, membuatnya kecewa, penasaran, dan putus harapan.

Mula-mula dilihatnya Topeng Setan sebagai satu-satunya orang yang dicintanya tewas, kemudian melihat bahwa yang tewas itu adalah musuh besarnya! Jadi sekaligus dia kehilangan dua orang manusia yang dianggapnya paling penting di dunia ini, yang dianggapnya sebagai sebab-sebab pokok mengapa dia masih suka hidup! Sekarang dia kehilangan segala-galanya, maka hancur leburlah hatinya.

“Kasihan sekali kau, Nona muda...!”

Suara ini terdengar seperti datang dari langit oleh Ceng Ceng yang mulai siuman. Tidak terasa lagi air matanya mengalir turun sebelum dia membuka matanya. Lalu teringatlah dia akan segala hal. Mendadak dia meloncat sambil membuka matanya, menoleh ke kanan kiri mencari mayat si laknat tadi.

“Keparat busuk! Jahanam kau...!” Dia memaki-maki dan menerjang ke sana-sini seperti orang gila! Dalam kemarahannya yang hebat, yang membanjiri rongga dadanya, membuat dadanya seperti akan meledak, Ceng Ceng mencak-mencak secara buas dan otomatis tenaga mukjijat yang didapatnya sebagai khasiat anak naga itu timbul.

“Braaaak... braaakkkk...!”

Dua batang pohon kena dihantamnya. Pohon itu batangnya sebesar tubuh manusia, akan tetapi hantaman tangan Ceng Ceng membuat dua batang pohon itu tumbang.

“Ehhh, Nona...!” Pendekar Super Sakti yang merasa kasihan dan tadi menolong Ceng Ceng dan membuatnya sadar itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nona ini memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya.

Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah beringas dan mengamuk dengan buasnya itu tidak mendengarkan. Dia terus mencak-mencak dengan buasnya, dengan mata terbelalak dan mulutnya mengeluarkan keluhan-keluhan panjang.

“Haiiiittt... darrr! Dessss!” Dua bongkah batu yang besar hancur berhamburan terkena tendangan dan pukulannya.

“Subo...!” Hwee Li menjerit dan lari menghampiri gurunya, melihat betapa dua kepalan tangan subo-nya itu berdarah.

Memang tenaga mukjijat dari Ceng Ceng itu hebat sekali, tetapi kulit kedua tangannya yang belum terlatih baik, belum dapat dengan sempurna terlindung oleh tenaga mukjijat, menjadi berdarah ketika dia menghantami pohon dan batu.

Melihat berkelebatnya tubuh Hwee Li, Ceng Ceng yang sudah buas karena seolah-olah hendak menghantam si pemuda laknat itu, menggerakkan tangan menyerang Hwee Li!

“Plakkk... dukkkk!”

Ceng Ceng jatuh terduduk terkena tangkisan dan totokan Pendekar Super Sakti yang menolong Hwee Li tadi, dan sekaligus hal ini membuat Ceng Ceng sadar. Seperti linglung Ceng Ceng memandang ke kanan kiri, mencari-cari, dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar suaranya lirih, “Paman... Paman Topeng Setan...?”

Lalu dia teringat akan segala peristiwa tadi dan menangislah dia, mengguguk seperti anak kecil, menutupi mukanya dengan kedua tangannya yang berdarah sehingga air matanya bercampur dengan darah dari tangannya, membentuk aliran merah muda menetes-netes ke bawah.

“Subo...!” Hwee Li merangkul gurunya dan juga menangis, padahal tidak tahu apa yang ditangiskannya, hanya karena terharu melihat subo-nya begitu berduka.

Melihat dua orang wanita muda itu berpelukan dan bertangisan, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, lalu duduk di atas bongkahan batu membiarkan dua orang wanita itu melanjutkan tangis mereka. Tangis merupakan obat yang paling mujarab bagi orang-orang yang tertekan hatinya, karena tangis dengan air matanya merupakan pelepasan dari tekanan itu.

Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang lagi. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kesengsaraan, penuh dengan kekerasan, penuh dengan pertentangan, kebencian dan penderitaan hidup di waktu muda. Betapa bodohnya manusia, betapa bodohnya dia dahulu.

Kebahagiaan telah berada di dalam diri masing-masing manusia, keindahan terbentang luas di sekeliling manusia. Akan tetapi manusia menjadi buta, tidak melihat semua keindahan itu, tidak waspada akan kebahagiaan itu karena mata selalu ditujukan jauh ke sana, selalu mencari-cari sehingga yang berada di depan hidung tidak nampak lagi! Yang tidak ada selalu dicari-cari, dirindukan, dianggap yang paling baik, paling indah, sehingga anggapan ini membuat apa yang sudah ada kelihatan buruk, bahkan tidak kelihatan lagi!

Manusia selalu menghargai yang belum diperoleh, memandang remeh yang sudah berada di dalam tangannya. Inilah sumber dari segala pengejaran yang tidak dapat dihindarkan lagi pasti akan mendatangkan pertentangan, kekecewaan dan penderitaan. Pengejaran membuat mata buta, sehingga dalam usaha mengejar segala sesuatu yang diinginkan itu, manusia tidak lagi memperhatikan jalan, tidak lagi memperhatikan cara, bahkan segala jalan dan segala cara akan ditempuhnya demi memperoleh yang dikejar-kejarnya itu. Inilah sumber munculnya segala bentuk penyelewengan dan kejahatan
.....

Setelah melihat tangis Ceng Ceng reda, Pendekar Super Sakti lalu berkata dengan mengerahkan khikang-nya sehingga suaranya dapat menembus segala suara lain dan memasuki telinga Ceng Ceng dengan getaran pengaruh kuat sekali, “Nona, hentikan tangismu dan ingat bahwa segala sesuatu tidak cukup hanya ditangisi belaka. Hentikan pikiranmu yang meremas-remas perasaan hatimu, hentikan perasaan iba diri yang mencengkeram dirimu dan mari kita bicara dengan hati terbuka.”

Ceng Ceng terkejut dan kini dia sadar benar-benar. Didorongnya Hwee Li dengan halus, diangkatnya mukanya memandang pendekar besar itu, lalu dia memandang ke kanan kiri. Sunyi senyap di situ, tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga. Seperti mimpi saja semua peristiwa yang terjadi tadi.

“Di... mana...? Di mana mereka semua...?” tanyanya, suaranya lirih dan lemah.

Tiga orang datuk itu? Mereka telah pergi. Dan Go-bi Bu Beng Lojin, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir telah pergi pula, membawa muridnya. Membawa mayat Topeng Setan atau mayat Kok Cu. Membawa musuh besarnya, sekaligus juga mayat orang yang paling disayangnya, demikian bisik hati Ceng Ceng. Ia terisak kemudian menghela napas hanjang. Habislah segala-galanya!

Melihat gadis itu menunduk dan tak bergerak-gerak, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah hidup, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang. “Nona, sekarang bagaimana kehendakmu? Engkau hendak ke manakah?”

Sejenak Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya duduk di atas tanah dan memandang ke depan dengan pandang mata kosong. Ke mana? Dia harus ke mana? Ke mana lagi kalau tidak kembali ke Bhutan? Biarlah dia akan menghabiskan sisa hidupnya di tempat asalnya itu. Tiba-tiba saja dia merasa rindu kepada Bhutan, rindu kepada kampung halaman di mana dia dahulu tinggal bersama kakeknya.

“Saya akan pulang ke Bhutan...,” katanya perlahan.

Pendekar Super Sakti yang belum mengenal Ceng Ceng merasa heran juga mendengar jawaban ini. “Ehhh, jadi engkau datang dari Bhutan? Siapakah engkau sebenarnya, Nona?”

Ingin Ceng Ceng berlutut di depan pendekar itu dan mengaku bahwa dia masih cucu tiri pendekar itu sendiri, akan tetapi dia menggeleng kepalanya. Tidak, tidak perlu dia memperpanjang riwayat buruk itu, riwayat buruk dari ibunya dan sekarang pun menurun kepadanya karena riwayatnya tidaklah lebih baik dari pada keadaan ibunya. Maka dia lalu menjawab dengan perlahan.

“Nama saya Lu Ceng dan saya adalah adik angkat dari Puteri Bhutan. Saya ingin pulang saja, kembali ke Bhutan, Locianpwe.”

“Subo, aku ikut!” Tiba-tiba Hwee Li berkata.

Ceng Ceng memandang anak perempuan itu. “Hwee Li, engkau akan dicari ayahmu. Sebaiknya engkau pulang saja dulu kepada ayahmu dan mana burungmu?”

Anak itu menggeleng kepala kuat-kuat. “Burungku terluka dan sudah kusuruh terbang pergi mencari ayah agar diobati lukanya. Tidak, Subo. Aku tidak mau kembali kepada ayah yang tidak sayang kepadaku. Aku mau ikut Subo ke Bhutan.”

Ada hawa hangat memasuki dada Ceng Ceng. Masih ada orang yang suka kepadanya, yaitu Hwee Li ini! “Hwee Li, perjalanan ke Bhutan sangat jauh dan berbahaya, dan membawamu begitu saja tanpa perkenan ayahmu, aku akan dipersalahkan...”

“Tidak, Subo. Aku yang bertanggung jawab kalau ayah marah.”

Suma Han berkata, “Nona Ceng, anak ini memang tidak bisa ditinggalkan seorang diri saja di sini. Biarlah dia ikut bersama kita ke Bhutan, dan kelak kalau aku pulang, akan kuantar dia kepada ayahnya. Aku tahu di mana adanya Pulau Neraka.”

“Locianpwe hendak ke Bhutan? Ahhh, saya tidak berani membuat Locianpwe repot mengantarkan kami berdua...”

“Tidak ada yang mengantar, kita hanya kebetulan saja sejalan. Aku memang ingin ke barat untuk menyusul dan mencari Kian Bu. Ibunya sudah gelisah memikirkan anak itu karena sudah terlalu lama merantau. Apa lagi setelah Kian Lee kembali, Kian Bu harus pulang juga.”

Tentu saja Ceng Ceng tak berani membantah, bahkan diam-diam merasa girang karena melakukan perjalanan dengan pendekar ini merupakan jaminan keselamatannya, dan setelah Topeng Setan tidak ada lagi, dia dapat minta petunjuk dari pendekar ini untuk dapat menguasai tenaga mukjijat dalam dirinya.

Maka berangkatlah tiga orang itu menuruni Pegunungan Yin-san dan terus melakukan perjalanan menuju ke barat. Dengan adanya Hwee Li yang lincah jenaka, agak terhibur juga hati Ceng Ceng, sungguh pun kini dia berbeda sekali dengan Ceng Ceng sebelum dia tiba di Yin-san. Dia sekarang merupakan seorang wanita muda yang mukanya pucat, wajahnya muram seperti bulan tertutup awan tipis.

********************

Sudah terlalu lama kita meninggalkan para tokoh lain, maka biarlah kita lebih dulu meninggalkan Ceng Ceng yang melakukan perjalanan ke Bhutan bersama Pendekar Super Sakti dan Hwee Li, dan mari kita menengok pengalaman apa yang ditempuh oleh para tokoh lainnya dalam cerita ini.

Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, ada pasukan pengawal dari Bhutan yang mengawal Puteri Syanti Dewi secara rahasia kembali ke Bhutan. Pengawalan dilakukan secara rahasia dan Sang Puteri bersembunyi dalam kereta untuk mencegah terjadinya hambatan-hambatan dan serbuan-serbuan musuh. Tetapi tetap saja pasukan itu mengalami penyerbuan Tambolon dan kaki tangannya, dan secara kebetulan saja Tek Hoat yang membantu pasukan itu dapat bertemu dengan Puteri Syanti Dewi.

Telah kita ketahui pula betapa Suma Kian Bu tanpa setahu enci-nya, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, diam-diam juga melakukan perjalanan ke barat dan dia berhasil menyelamatkan Puteri Syanti Dewi dari ancaman Tambolon dan Durganini, akan tetapi begitu melihat kemesraan antara puteri itu dan Tek Hoat, untuk kedua kalinya hatinya patah dan dia pergi lagi dengan diam-diam dan dengan hati penuh duka. Dia tidak berani menghampiri rombongan pasukan Bhutan karena di situ terdapat Teng Siang In, dara remaja cantik jenaka yang baru saja diciumnya karena dia tidak dapat menahan diri melihat kecantikan dara bengal yang menggodanya itu. Diam-diam putera Pendekar Super Sakti itu pergi jauh meninggalkan hutan itu.

Teng Sian In juga tidak lama berada di situ, lalu diajak pergi oleh gurunya, yaitu See-thian Hoat-su, kakek rambut putih bekas suami Durganini yang lihai. Mereka berdua tak begitu mempedulikan akan hilangnya Puteri Syanti Dewi, karena kehadiran mereka itu sesungguhnya semata-mata hanya ingin menghalangi sepak terjang Durganini belaka, yang timbul dari rasa sayang di hati See-thian Hoat-su yang hendak mencegah bekas isterinya itu melakukan hal-hal yang jahat!

Akan tetapi, Panglima Jayin dan semua pasukan Bhutan menjadi sibuk dan bingung sekali karena tidak melihat Sang Puteri. Selagi keadaan mereka menjadi sibuk dan bingung, tiba-tiba muncullah dua orang yang segera disambut oleh Panglima Jayin yang telah mengenal mereka, disambut dengan penuh penghormatan karena mereka itu bukan lain adalah Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Akan tetapi ketika Puteri Milana dan Gak Bun Beng mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan lenyap, mereka terkejut bukan main. “Ah, bagaimana hal itu bisa terjadi?” Puteri Milana menegur.

Panglima Jayin lalu menceritakan tentang penyerbuan Tambolon dan pasukannya, betapa keadaan mereka amat terancam akan tetapi berkat bantuan Ang Tek Hoat yang gagah perkasa, keadaan Sang Puteri masih dapat diselamatkan. Kemudian mereka tertolong oleh pasukan dari Bhutan dan dalam keributan perang itu, tahu-tahu Ang Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi telah lenyap.

“Hemmm...!” Puteri Milana berkata sambil mengerutkan alis dan dia bertukar pandang dengan Gak Bun Beng. “Pemuda itu benar-benar mencurigakan sekali.”

“Kami pun berpikir demikian,” Panglima Jayin berkata kepada Gak Bun Beng. “Agaknya kalau Sang Puteri tidak tertawan oleh Tambolon, tentu dilarikan oleh pemuda itu.”

“Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan dahulu,” kata Gak Bun Beng. “Kita harus menyelidiki persoalan ini, akan tetapi yang terpenting adalah mencari jejak Sang Puteri.”

“Aku pun akan membantu mencarinya,” kata Puteri Milana.

“Terima kasih atas segala kebaikan paduka Puteri dan Taihiap. Tadi pun telah datang adik paduka Puteri dan agaknya dia pun sedang ikut mencari Sang Puteri Syanti Dewi.”

Mendengar ucapan Jayin ini, Milana dan Bun Beng tercengang. “Apa? Kau maksudkan siapa?” Milana mendesak.

“Adik paduka, tuan muda Suma Kian Bu.”

“Aihh, anak itu!” Milana mengomel. “Disuruh pulang malah mendahului ke sini...”

Gak Bun Beng lalu mengajak Milana ke sisi untuk dapat bicara empat mata. “Moi-moi, kau tentu sudah dapat menduga bahwa sesungguhnya adik kita itu telah jatuh cinta kepada Syanti Dewi.”

Milana mengerutkan alisnya. “Hemm, dia akan menjadi manusia yang bodoh sekali kalau nekat mencinta seorang yang tidak membalas perasaannya itu. Sebaiknya kita mencari mereka, mencari jejak Syanti Dewi dan juga jejak Kian Bu. Aku khawatir mereka terkena perangkap Tambolon yang cerdik dan keji.”

Mereka lalu menghampiri Panglima Jayin lagi yang tengah mengatur anak buahnya untuk melanjutkan usaha pencarian mereka. Malam sudah hampir tiba dan keadaan sudah menjadi gelap, namun usaha pencarian itu masih belum ada hasilnya.

“Sukar mencari di malam gelap. Akan tetapi harus menyebar anak buah membawa obor dan mencari terus,” kata Milana. “Kami berdua sendiri akan mencari mereka besok pagi. Mereka harus ditemukan, kalau tidak aku khawatir akan terjadi apa-apa atas diri Puteri Syanti Dewi.”

Selagi mereka mengadakan perundingan, tiba-tiba datang penjaga berlarian melapor bahwa dari jauh mendatangi sepasukan berkuda yang besar jumlahnya. Tentu saja keadaan menjadi panik seketika. Pasukan itu sedang disebar melakukan usaha mencari Puteri Syanti Dewi, maka kini Panglima Jayin memerintahkan para pembantunya untuk cepat memanggil kembali mereka, siap menghadapi penyerbuan musuh. Terdengarlah terompet-terompet tanduk ditiup memanggil para prajurit.

Akan tetapi, ketika pasukan yang baru datang itu tiba, segera ternyata bahwa mereka itu sama sekali bukanlah pihak musuh, melainkan pasukan besar yang mengawal Raja Bhutan sendiri yang menjadi tidak sabar setelah mendengar bahwa puterinya itu telah dapat ditemukan dan dikawal pulang sudah tiba di perbatasan Bhutan. Pasukan raja itu terdiri dari pengawal-pengawal pilihan, dan juga Raja diiringkan oleh belasan orang pendeta hwesio yang bertugas di istana Bhutan. Ada pun pasukan itu dipimpin sendiri oleh Panglima Sangita yang sudah tua.

Tentu saja Panglima Jayin tergopoh-gopoh menyambut rajanya, diikuti juga oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng. Ketika kedua orang pendekar ini diperkenalkan oleh Jayin sebagai puteri cucu Kaisar dan pendekar besar yang telah menyelamatkan Syanti Dewi, Raja Bhutan menjadi girang sekali dan berkenalan dengan kedua orang lihai itu. Akan tetapi ketika Jayin membuat laporan panjang lebar tentang bagaimana dia berhasil mengawal Sang Puteri sampai di situ, lalu terjadi keributan karena serbuan Tambolon dan pasukannya, kemudian betapa Sang Puteri lenyap bersama Ang Tek Hoat, Sri Baginda menjadi marah sekali. Mereka semua menyangka bahwa tentu pemuda aneh itulah yang sudah melarikan Sang Puteri.

“Kerahkan semua tenaga! Sebar di daerah ini dan cari mereka sampai dapat!” Sri Baginda mengeluarkan perintah dengan hati kecewa sekali karena tadinya dia sudah merasa girang akan dapat menyambut kembali puterinya yang hilang.

Kemudian Sri Baginda mengajak Puteri Milana dan Gak Bun Beng untuk beristirahat dan dijamu di dalam kemahnya. Namun dengan halus Milana dan Bun Beng menolak, dan menyatakan bahwa mereka sayang datang terlambat sehingga tidak sempat melindungi Sang Puteri dan bahwa mereka pun akan membantu untuk menemukan kembali Sang Puteri yang hilang. Sri Baginda merasa berterima kasih sekali dan dua orang itu pun lalu mengundurkan diri dan mulailah mencari-cari jejak Sang Puteri, dan juga jejak Suma Kian Bu seperti yang diceritakan oleh Jayin betapa pemuda itu pun malah sudah mendahului mereka tiba di tempat itu.

Ke manakah perginya Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi? Seperti telah kita ketahui, dalam keadaan terluka parah, di tengah-tengah medan pertandingan yang kacau-balau, Syanti Dewi yang mengkhawatirkan keadaan Tek Hoat lalu diam-diam setengah menyeret tubuh pemuda ini menyembunyikan diri di dalam hutan. Dia maklum bahwa Tambolon hendak menangkapnya, maka tentu saja tidak sudi dia menjadi tawanan Tambolon lagi dan dia harus melarikan diri dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi, dia tidak tega meninggalkan pemuda yang mati-matian membelanya dan yang menderita luka hebat itu, maka betapa pun sukarnya, akhirnya dia berhasil juga membawa dan menyeret pemuda itu memasuki hutan lebat.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, untung sekali bagi Tek Hoat yang menderlta luka-luka dalam akibat pukulan beracun, dia bertemu dengan Si Dewa Bongkok dan diobati hingga seketika dia sembuh sama sekali, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja. Dan yang terakhir puteri itu bersama Tek Hoat berada di dalam sebuah kuil rusak yang berada di tengah hutan lebat, di mana Syanti Dewi merawat Tek Hoat yang sudah sembuh hanya perlu beristirahat saja untuk memulihkan tenaganya. Tentu saja Tek Hoat tidak tahu betapa nyawa dia dan Syanti Dewi telah tertolong oleh Suma Kian Bu yang berhasil mengusir Tambolon dan Durganini, sedangkan Syanti Dewi juga tidak mau menceritakan tentang Kian Bu kepada pemuda itu.

Sebetulnya Tek Hoat menderita pukulan yang amat hebat, pukulan lahir batin. Lahirnya, dia telah bertubi-tubi menerima pukulan-pukulan beracun dari lawan-lawan tangguh, tetapi dengan kemukjijatan dan keampuhan tangan Dewa Bongkok, semua lukanya sudah sembuh dan racun yang menguasai tubuhnya pun sudah lenyap. Hanya pukulan batin yang dideritanya ketika dia mendengar cerita Syanti Dewi tentang Gak Bun Beng, membuat tubuhnya lemas, pikirannya bingung, kesadarannya tergoncang hebat dan hatinya merasa kecewa penuh penyesalan.

Betapa dia tak akan menyesal mengingat bahwa dia telah melakukan segala kekejaman itu untuk memburukkan nama musuh besarnya, Gak Bun Beng, dan kini dia mendengar bahwa Gak Bun Beng itu bukan musuhnya? Hampir saja dia berputus asa, apa lagi kalau teringat betapa dia telah melakukan penyelewengan-penyelewengan hebat di dalam hidupnya, dia merasa tidak patut untuk bersanding dengan Puteri Syanti Dewi, apa lagi mencintanya.

Betapa pun juga, sikap yang amat manis, perawatan yang dilakukan oleh puteri itu dengan kesungguhan hati, meluluhkan semua kekerasan hati Tek Hoat akan tetapi sekaligus juga mengobati luka di batinnya. Jika saja gadis ini bukan puteri Raja Bhutan! Alangkah akan bahagianya hidup menjadi suami puteri ini. Akan tetapi, dia seorang pemuda jahat, Si Jari Maut, orang yang rendah dan hina dan jahat, mana mungkin saling cinta dengan seorang dara seperti Syanti Dewi? Tidak! Hal itu berarti akan menyeret setangkai bunga yang indah bersih ke dalam lumpur! Dan belum tentu cerita tentang Gak Bun Beng itu benar. Sebelum dia mendengar sendiri dari ibunya....

Sudah beberapa hari mereka bersembunyi di dalam kuil tua itu. Dan tenaga Tek Hoat sudah mulai pulih kembali. Pada pagi hari itu, Syanti Dewi memasuki kuil membawa beberapa tangkai bunga hutan berwarna kuning. Melihat dara itu memasuki kuil, di latar belakangi sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui genteng-genteng kuil yang pecah, Tek Hoat terbelalak dan memandang seperti orang terkena sihir.

Dara itu nampak segar, jelas bahwa puteri itu baru saja mencuci dan menggosok mukanya dengan air sumber di belakang kuil. Kedua pipinya kemerahan dan masih agak basah, rambutnya masih agak awut-awutan dengan anak rambut halus berjuntai dan melintang di sekitar pelipis dan dahinya, sepasang matanya bening dan berkilauan, bibirnya kelihatan basah dan merah sekali, penuh dan tersenyum ditahan, nampak lesung pipit di ujung bibir kiri dan sedikit lekuk di dagunya menambah daya tarik. Seperti bidadari pagi yang turun melalui tangga sinar matahari!

“Hi-hikk...” Syanti Dewi menutupi mulutnya. “Tek Hoat, kau kenapa? Apakah kau masih dalam mimpi?” Puteri itu menegur sambil tersenyum. “Kau memandang aku seperti selama hidup baru sekali ini kita saling bertemu.”

Tek Hoat tersadar, menarik napas panjang namun tidak mampu melepaskan pandang matanya yang melekat pada wajah itu. “Kau... kau cantik jelita luar biasa, Dewi...,” katanya dengan sejujurnya.

Warna merah menjalar naik dari leher yang berkulit putih halus itu, terus menjalar ke pipi dan akhirnya seluruh muka puteri itu menjadi kemerahan.

“Ihh! Kau memang perayu!” celanya sambil jalan menghampiri. “Kau sekarang sudah kelihatan sehat, Tek Hoat. Mukamu sudah merah, tidak pucat lagi seperti kemarin.”

Tek Hoat tersenyum dan turun dari atas jerami kering yang ditumpuknya di situ dan selama ini dijadikan tempat tidurnya, sedangkan tempat tidur Sang Puteri berada di sebelah dalam sehingga dia dapat menjaganya. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dalam gerakan silat sehingga terdengar suara angin menyambar-nyambar dahsyat.

“Aku memang sudah sembuh, berkat perawatanmu yang amat teliti, Dewi. Ahh, betapa besar budimu dan entah bagaimana aku akan dapat membalasnya. Kalau dalam kehidupan sekarang aku tidak akan mampu membalasmu, biarlah dalam kehidupanku yang lain kelak, aku akan menjelma menjadi anjing atau pun kuda untuk mengabdi kepadamu.”

Syanti Dewi tertawa dan menutup mulutnya. “Wah, lagu lama itu! Apakah kau percaya bahwa di dalam kehidupanmu yang lain kelak engkau akan menjelma menjadi anjing atau kuda? Bagaimana kalau kau menjelma menjadi... tikus misalnya? Bagaimana kau akan mengabdi kepadaku dalam bentuk tikus?”

“Wah, ini... repot kalau jadi tikus!” Tek Hoat menggaruk belakang telinganya karena bingung. “Binatang itu hanya pandai merusak!”

“Kalau begitu, lebih baik jangan janji apa-apa. Tek Hoat, kau tidak perlu berpikir yang bukan-bukan. Engkau sudah berkali-kali menolong dan menyelamatkan aku, bahkan dengan pengorbanan dirimu sampai hampir tewas. Engkau sekarang baru saja sembuh dari luka-luka yang kau derita justru ketika engkau menolongku, dan sekarang engkau bicara tentang budi?”

Tek Hoat menghela napas dan menatap wajah yang jelita itu dengan pandang mata mesra. “Dewi, betapa pun juga aku hanyalah seorang...”

“Cucu dari Pendekar Super Sakti!”

“Hemm... kalau betul cerita itu, dan itu pun hanya cucu tiri dan putera seorang penjahat pemerkosa! Sedangkan engkau... seorang puteri raja, puteri bangsawan yang luhur dan agung...”

“Tek Hoat, apakah semua yang keluar dari mulutmu dalam kereta dahulu itu, yang keluar di waktu kau dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak mungkin kau buat-buat, apakah semua itu palsu belaka...?”

“Aihh, tidak...!”

“Kalau begitu, apakah cinta kasih itu mengenal tingkat, mengenal kedudukan, mengenal kaya miskin?”

“Aku cinta padamu! Hal ini tidak dapat kusangkal lagi, Dewi. Aku cinta padamu dan aku rela mati untukmu, akan tetapi kau...”

Syanti Dewi menarik napas panjang dan membalikkan tubuhnya. “Sudahlah, aku tidak senang kalau kau bersikap seperti ini. Kau mandilah sana, aku akan mencari buah di sebelah kanan kuil...” Dan puteri itu lalu berlari kecil meninggalkan Tek Hoat yang termenung sejenak, kemudian pemuda ini pun keluar dari kuil melalui pintu belakang, menuju ke sumber air di belakang kuil. Setelah membersihkan diri dia kembali ke dalam kuil.

“Dewi... pujaan hatiku...”

Tiba-tiba dia terbelalak kaget. Ketika dia memasuki kuil, dia melihat bayangan wanita dan mengira dia Syanti Dewi, akan tetapi ketika dia menegur dengan mesra dan wanita itu membalik, ternyata wanita itu sama sekali bukan Syanti Dewi, melainkan Puteri Milana!

Sang Puteri perkasa ini memandangnya dengan marah! Memang marahlah hati Puteri Milana. Dia baru saja mendengar dari Bun Beng bahwa adiknya, Suma Kian Bu, jatuh cinta kepada Syanti Dewi. Sebagai seorang kakak perempuan, tentu saja dia berharap agar adiknya bahagia dan benar-benar kelak dapat mempersunting Syanti Dewi yang dianggapnya memang sudah cukup patut menjadi isteri adiknya itu. Akan tetapi di hutan ini dia mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan oleh Tek Hoat.

Ia sudah tahu pemuda macam apa adanya Tek Hoat, yang pernah menjadi kaki tangan pemberontak, bahkan yang telah merusak nama Gak Bun Beng dengan perbuatan-perbuatan jahat dan menggunakan nama Si Jari Maut alias Gak Bun Beng. Kini dia menemukan mereka dan begitu pemuda itu masuk, telinganya mendengar Tek Hoat mengeluarkan kata-kata seperti itu yang tentu ditujukan kepada Syanti Dewi yang sedang keluar memetik buah-buahan. Tentu saja Milana menjadi marah bukan main, marah dan cemburu demi adiknya!

“Keparat, engkau memang manusia busuk!” Puteri Milana memaki dan memandang tajam.

Ang Tek Hoat adalah seorang yang berhati keras pula. Dia sudah merasa bahwa dia memang bukan orang baik-baik, akan tetapi dia tidak mau merendah karena kenyataan itu, dan dia tidak mau orang lain menekan-nekan soal itu yang amat menyakitkan hatinya.

“Sang Puteri, kalau sudah tahu aku seorang manusia busuk, kenapa paduka datang ke sini? Aku tidak mengundangmu.”

“Jahanam, kau keturunan Wan Keng In, malah lebih jahat dari pada ayahmu! Manusia macam kau memang tidak patut dikasihani lagi!”

“Kalau paduka berpendapat begitu, dan mau membunuhku, silakan, aku pun tidak takut terhadap siapa pun, dan tidak takut untuk mati!” Tek Hoat menjawab sambil melangkah keluar dari dalam kuil yang sempit. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu tinggi, maka dia harus mencari tempat yang lebih luas.

Mengingat betapa pemuda ini menculik puteri yang dicinta adiknya, ucapan Tek Hoat itu diterima oleh Milana yang sedang marah sebagai suatu tantangan, maka dengan cepat dia meloncat keluar pula dan langsung menerjang Tek Hoat dengan pukulan yang amat dahsyat.

“Plak... dessss...!”

Keduanya terhuyung ke belakang. Milana terkejut. Tangkisan pemuda itu benar-benar amat hebat, dan tingkat tenaga pemuda itu tidak di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Hal ini membuat dia makin penasaran dan wanita perkasa ini sudah menerjang dengan hebat sekali, gerakannya cepat laksana burung walet dan dahsyat seperti seekor naga betina mengamuk.

“Manusia busuk...!” Milana berteriak keras saking penasaran karena belasan jurus kemudian belum juga dia memperoleh kemenangan, maka dia lalu mengerahkan Swat-im Sinkang, yaitu Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es dan dengan pengerahan tenaga mukjijat ini dia menghantam.

Jurus yang dilakukan oleh Milana ini memang dahsyat sekali sehingga tidak dapat dielakkan lagi, maka terpaksa Tek Hoat menangkisnya kembali dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang dilatihnya dari kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka.

“Bressss...!”

Kembali keduanya terpental. Tek Hoat agak menggigil karena merasa betapa hawa dingin menyusup ke dadanya, akan tetapi dengan pengerahan sinkang dia berhasil mengusirnya, sedangkan Milana terhuyung-huyung saking hebatnya getaran yang menyambut pukulan dahsyatnya. Jelas bahwa dalam pertemuan tenaga hebat barusan tadi, keadaan Puteri Milana kalah unggul!

“Sumoi, minggirlah!” Tiba-tiba terdengar suara Gak Bun Beng.

Pendekar ini tentu saja marah sekali melihat Tek Hoat bertanding dengan kekasihnya, dan pertandingan itu saja sudah meyakinkan hatinya bahwa tentu Tek Hoat sudah menculik Syanti Dewi, kalau tidak tentu Milana tidak akan menyerangnya.

Sementara itu, pada saat Tek Hoat melihat Gak Bun Beng, kebenciannya yang telah ditanamkan oleh ibunya sejak kecil, timbul kembali. Sejak kecil dia sudah yakin benar bahwa Gak Bun Beng inilah musuh besarnya, pembunuh ayahnya! Biar pun akhir-akhir ini dia mendengar hal yang sama sekali berbeda dari keterangan Syanti Dewi, namun dia masih belum dapat menerima sepenuhnya dan kini melihat Gak Bun Beng membela Milana menghadapinya, timbul kebenciannya dan wajahnya berubah beringas!

“Bagus, memang saat inilah yang kutunggu-tunggu!” Tek Hoat menggereng dan dia segera menerjang ke depan dengan kedua lengan didorongkan, telapak tangan terbuka dan dari kedua lengannya itu menyambar hawa pukulan Inti Bumi yang amat dahsyat ke arah Bun Beng.

Bun Beng pernah mengenal hawa pukulan dari kedua tangan Tek Hoat, maka dia pun tidak berani memandang rendah. Dia lalu mengerahkan tenaga Inti Bumi dan kedua tenaga Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang, tiga tenaga mukjijat digabung menjadi satu, disalurkan kepada dua lengannya dan dia pun menangkis.

“Blarrrrr...!”

Dua tenaga mukjijat yang jauh lebih kuat dari pada ketika Tek Hoat melawan Milana tadi bertemu dan akibatnya tubuh Ang Tek Hoat terjengkang, sedangkan Bun Beng hanya melangkah mundur dua tindak. Dalam keadaan biasa pun tingkat Tek Hoat masih belum mampu menandingi tingkat Bun Beng, apa lagi dalam keadaan baru saja sembuh dari luka-luka hebat.

Akan tetapi Tek Hoat yang merasa dadanya sesak itu sudah meloncat bangkit kembali dengan mata mendelik saking marahnya. Pada saat itu, terdengarlah seruan nyaring, “Paman Gak Bun Beng...!”

Bun Beng menoleh dan berseru girang, “Dewi...!”

Syanti Dewi menjatuhkan buah-buahan yang dibawanya, lalu berlari-larian sambil air matanya bercucuran akan tetapi mulutnya tersenyum lebar menghampiri Bun Beng yang saking girangnya melihat puteri itu selamat juga sudah menyambut dengan kedua lengan terbuka.

“Paman...!” Syanti Dewi menubruk dan mereka berangkulan.

Syanti Dewi terisak di atas dada Bun Beng dan pendekar ini mengusap-usap rambut kepala Sang Puteri. Rasa gembira yang spontan memang tak dapat dipikirkan lebih dulu sehingga Bun Beng dan Syanti Dewi lupa bahwa di situ terdapat dua orang lain yang memandang pertemuan mesra dan bahagia ini dengan hati... mendongkol!

Puteri Milana sudah maklum betapa Syanti Dewi pernah jatuh cinta kepada Gak Bun Beng, maka terasa agak panas juga perutnya melihat kekasihnya berpelukan itu, sedangkan Tek Hoat tentu saja merasa dadanya seperti dibakar, apa lagi melihat bahwa yang dipeluk oleh puteri yang dicintanya itu adalah musuh besarnya! Kalau Milana diam saja melihat adegan itu karena dia pun maklum bahwa tidak ada apa-apa yang tidak wajar dalam pertemuan antara dua orang itu, sebaliknya Tek Hoat tak dapat menahan kemarahannya.

“Gak Bun Beng manusia pengecut! Hayo kau lawan aku!”

Mendengar ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan melepaskan pelukannya, menoleh dan memandang Tek Hoat dengan mata terbelalak. “Tek Hoat, jangan gila kau...!”

Akan tetapi kata-kata Syanti Dewi ini seperti merupakan minyak yang menyiram api kemarahan di hati Tek Hoat, karena dianggapnya Syanti Dewi membela dan memihak kepada Gak Bun Beng. Maka begitu melihat Syanti Dewi sudah terlepas dari Bun Beng, serta merta dia menyerang dengan dahsyat dan ganas.

Tentu saja Bun Beng yang telah waspada itu cepat meloncat mundur, akan tetapi Tek Hoat terus mengejar dan menyerangnya dengan dahsyat seperti seekor kerbau gila mengamuk sehingga mau tidak mau Bun Beng terpaksa harus melayaninya dan mereka pun saling pukul dan saling tangkis!

“Paman Gak... jangan bunuh dia... jangan lukai dia... dia telah menyelamatkan aku dari bahaya...” Syanti Dewi berteriak-teriak dan kelihatan gelisah sekali melihat pertempuran antara dua orang itu.

Milana memandang tajam kepada Syanti Dewi dan naluri kewanitaannya membuat dia melihat sesuatu yang menusuk ulu hatinya. Kiranya Puteri Bhutan ini jatuh cinta kepada Tek Hoat, pikirnya. Kenyataan ini amat pahit baginya karena dia maklum bahwa adiknya sudah tidak mempunyai harapan lagi. Kebenciannya kepada Tek Hoat mereda ketika mendengar pengakuan Syanti Dewi bahwa pemuda itu tidak menculiknya, bahkan justru menolongnya.

Demikian pula Gak Bun Beng segera meloncat ke belakang. “Orang muda, tahan dulu!”

“Lebih baik mati!” Tek Hoat yang masih marah itu tidak peduli, melihat Gak Bun Beng meloncat mundur dia pun segera menerjang lagi dan mendesak dengan pukulan-pukulan maut.

Terpaksa Bun Beng melayaninya dengan bingung. Andai kata tidak ada seruan-seruan yang meminta kepadanya agar jangan melukai Ang Tek Hoat, tentu Bun Beng dapat merobohkan lawannya dengan pukulan-pukulan sakti. Akan tetapi kini Bun Beng tidak mau melakukan hal itu. Dia hanya menjaga diri, menangkis atau mengelak tanpa membalas. Tentu saja dia mulai menjadi kewalahan karena pemuda itu telah menjadi nekat dan agaknya hendak mengadu nyawa. Memang Tek Hoat telah menjadi nekat.

Tadinya pun Tek Hoat sudah merasa tidak berharga berdekatan dengan puteri yang dicintanya. Kini munculnya dua orang pendekar hebat itu membuat dia merasa makin tidak berharga lagi, ditambah pula panasnya hati menyaksikan wanita yang dicintanya berpelukan demikian bahagia dengan orang yang dibencinya.

Ketika pertandingan itu masih berlangsung dengan serunya, datang pasukan yang dipimpin oleh Jayin, yang mendengar bahwa Sang Puteri telah ditemukan. Jayin dan pasukannya menjadi bingung melihat dua orang itu bertanding. Akan tetapi atas isyarat Puteri Syanti Dewi, mereka lalu mundur lagi dan tidak berani mencampuri. Berkali-kali Syanti Dewi minta kepada Tek Hoat untuk menyudahi serangannya, namun pemuda yang sudah nekat ini seperti tidak mendengar suaranya.

Melihat ini, diam-diam Puteri Milana melolos sabuknya dan pada saat untuk ke sekian kalinya Tek Hoat mengadu tenaga dengan Bun Beng dan pendekar ini menggunakan tenaga saktinya untuk membuat kedua tangan pemuda itu melekat pada tangannya, tiba-tiba Milana menggerakkan sabuknya dan sabuk itu seperti hidup membelit-belit dan mengikat tubuh dan kedua tangannya sehingga Tek Hoat tidak mampu bergerak lagi.

“Lepaskan aku dan mari kita bertempur sampai mati! Atau bunuh saja aku!” Tek Hoat meronta-ronta. “Gak Bun Beng manusia busuk! Engkau yang telah membuat ibuku menderita selama hidupnya! Terkutuk engkau...!”

Syanti Dewi menubruk dan memegang kedua lengan Tek Hoat. “Tek Hoat, ingat. Siapa aku? Aku minta kau diam dan mendengarkan penjelasan. Ke manakah perginya sifatmu yang baik itu? Apakah kau ingin membuat aku berduka, Tek Hoat?”

Pemuda itu memandang wajah Sang Puteri, mukanya menjadi pucat, dua titik air mata meloncat turun dan dia menunduk. “Dewi...” Dia memejamkan matanya dan menggigit bibirnya.

Mereka kini duduk di dalam kuil, sedangkan Jayin dan pasukannya menanti di luar. Dengan sabar dan tenang Gak Bun Beng bercerita kepada Tek Hoat yang telah dilepas ikatannya dan lengannya dipegang oleh Syanti Dewi. Pegangan puteri ini sebetulnya malah lebih kuat dari pada ikatan sabuk Puteri Milana, karena Tek Hoat menjadi jinak dan tidak mengamuk lagi. Dia menunduk dan mendengarkan penuturan Gak Bun Beng dengan hati tidak karuan rasanya.

Setelah Gak Bun Beng menceritakan bahwa dia bukanlah musuhnya seperti yang diduga oleh Ang Siok Bi, ibunya, Milana juga lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ang Siok Bi dan betapa ibunya kini pun sudah insyaf akan kekeliruannya yang amat besar dan mendatangkan akibat yang hebat itu.

“Akan tetapi... masa ibuku begitu bodoh sehingga mudah saja ditipu oleh penjahat yang bernama Wan Keng In itu...?” Tek Hoat membantah dengan ragu-ragu.

“Tek Hoat, kau lihatlah aku!” Puteri Milana tiba-tiba berkata. “Kau sedikit banyak sudah mengenal aku, bukan? Apakah aku seorang yang mudah ditipu? Dan aku masih terhitung saudara tiri dari Wan Keng In, juga aku adalah masih sumoi dari Gak-suheng. Akan tetapi toh aku juga tertipu seperti ibumu sehingga aku sendiri, bersama ibumu dan wanita lain yang juga menjadi korban Wan Keng In, kami mengeroyok Gak-suheng sehingga Gak-suheng terjerumus ke dalam jurang dan disangka mati oleh ibumu. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali, tak pernah bertemu dengan kami sehingga belum juga tahu akan kekeliruan sangka itu. Sampai engkau muncul dan melakukan tindakan yang menjadi akibat fitnah itu.”

“Tek Hoat, sudah kukatakan kepadamu bahwa Paman Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berhati mulia, tidak mungkin melakukan kekejaman seperti itu. Kau telah salah sangka dan ibumu pun demikian...,” kata Syanti Dewi.

Tiba-tiba Tek Hoat menutupi mukanya, lalu menjambak-jambak rambutnya. “Dan aku... aku telah... menodai namanya..., persis seperti yang dilakukan oleh... oleh ayahku yang jahanam itu!” Dia bangkit dan melotot. “Aku tidak layak hidup! Dewi, aku tidak layak hidup, apa lagi berdekatan denganmu.”

“Tek Hoat...!” Melihat pemuda itu seperti orang beringas, Syanti Dewi menubruknya. “Tek Hoat, jangan... jangan nekat... kau... adalah sebaik-baiknya orang bagiku...”

“Tidak, Dewi. Aku orang jahat...” Dia masih meronta.

Bun Beng bangkit dan memegang kedua pundak pemuda itu, mengguncangnya dan berkata dengan nada keras, “Tek Hoat, beginikah sikap seorang jantan? Apakah kau begini pengecut sehingga kau menjadi putus harapan? Semua orang di dunia ini pasti pernah melakukan penyelewengan. Siapakah di antara kita yang tidak pernah keliru dalam tindakan dalam hidup kita? Yang penting adalah menyadari kesalahan itu, karena hanya kesadaran saja yang akan dapat mendatangkan perubahan. Bersikaplah gagah, tenagamu yang muda masih dibutuhkan oleh manusia dan dunia, dan terutama sekali, kau lihat, Puteri Syanti Dewi amat membutuhkanmu.”

Tek Hoat terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng, kemudian menoleh ke arah Syanti Dewi, dan lemaslah seluruh tubuhnya. Dia mengangguk-angguk, menarik napas panjang. “Baiklah... baiklah..., aku menyerah dan menurut... tapi aku harus mendengar sendiri keterangan itu dari ibuku...”

Bagaikan seekor harimau yang telah berubah menjadi seekor domba jinak, Tek Hoat menurut saja diajak keluar menemui Jayin dan pasukannya, dan dia tidak pernah membantah ketika diajak oleh Syanti Dewi untuk menemui ayahnya yang menanti dengan cemas di dalam perkemahannya di hutan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan ini telah tiba di perkemahan Raja Bhutan. Mendengar bahwa puterinya sudah ditemukan dalam keadaan selamat, Raja Bhutan menjadi girang dan tergopoh-gopoh dia keluar dari tendanya menyambut sendiri.

Syanti Dewi menjerit dan lari menghampiri ayahnya. Mereka berpelukan dan Syanti Dewi tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, sedangkan Sri Baginda juga mengusap air matanya dan mengelus-elus kepala puterinya, mendekapnya ketat seolah-olah takut kehilangan puterinya lagi.

Setelah mendengar penuturan Panglima Jayin bahwa tiga orang dari timur itu, ialah Puteri Milana, Gak Bun Beng, dan Ang Tek Hoat telah banyak berjasa dalam usaha menyelamatkan Puteri Syanti Dewi, Sri Baginda Kerajaan Bhutan merasa berterima kasih sekali. Dengan wajah berseri dia menghaturkan terima kasih dan mengundang mereka bertiga untuk berkunjung dan menjadi tamu kehormatan di Kerajaan Bhutan.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Raja Bhutan yang amat berterima kasih itu, Gak Bun Beng dan Puteri Milana merasa sungkan untuk menolak, sedangkan Tek Hoat yang hanya tunduk kepada pandang mata Puteri Syanti Dewi juga tidak banyak cakap lagi.

Pada keesokan harinya, berangkatlah rombongan Raja Bhutan ini, hendak kembali ke kota raja, diiringkan oleh tiga orang tamu itu. Gak Bun Beng dan Puteri Milana saling bemufakat untuk singgah beberapa hari di kota raja Bhutan dan kemudian melanjutkan usaha mereka mencari Kian Bu yang lenyap jejaknya itu, kemudian setelah dapat bertemu dengan adik itu, bersama-sama akan pergi menghadap ke Pulau Es.

Akan tetapi, jauh di luar dugaan mereka dan dugaan Raja Bhutan sendiri, perjalanan yang diliputi kegembiraan oleh karena Sang Puteri telah bertemu dengan ayahnya itu ternyata menghadapi ancaman yang hebat! Rombongan megah yang sedang bergerak perlahan dan tidak tergesa-gesa melalui sebuah daerah terbuka, dan Raja Bhutan yang berkuda di sebelah puterinya itu, tiba-tiba terkejut melihat datangnya seorang prajurit yang berlari-larian dari depan dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di tengah jalan menghadang rombongan itu!

Mula-mula Panglima Jayin yang menghampiri dan dengan marah menegur prajurit Bhutan yang membawa tombak itu, akan tetapi begitu mendengar pelaporan prajurit yang ternyata merupakan seorang kurir atau utusan dari komandan pasukan penjaga kota raja, Panglima Jayin terkejut sekali dan membawa kurir itu menghadap Sri Baginda sendiri.

“Mohon paduka mengampunkan hamba yang datang mengganggu tanpa dipanggil,” utusan itu berlutut kemudian menjawab pertanyaan Sri Baginda. “Hamba diutus oleh komandan untuk mengabarkan bahwa kota raja kini sedang dikurung oleh pasukan-pasukan besar dari para kepala suku liar dan dipimpin sendiri oleh Tambolon. Jumlah pasukan mereka besar sekali dan kota raja telah dikurung sehingga rombongan paduka hendaknya tidak melanjutkan perjalanan ke sana karena pintu masuk telah dikurung semua oleh pihak musuh.”

“Hemm, Si Tambolon keparat!” Sri Baginda berseru marah. “Apa kehendaknya sekali ini?”

“Maaf, Sri Baginda. Dengan terang-terangan Tambolon menyatakan bahwa kini dia menuntut agar Sang Puteri diserahkan kepadanya.”

“Ayah... kedatanganku ternyata hanya mendatangkan mala petaka saja...!” Syanti Dewi berseru kaget.

“Hemm, jangan kau berkata demikian, anakku. Jayin, hentikan rombongan dan segera kumpulkan semua panglima dan perwira, juga undang tiga orang tamu agung kita untuk diajak berunding.”

Rombongan berhenti dan perkemahan didirikan di tempat itu. Kemudian Raja Bhutan mengadakan perundingan dengan para panglimanya, juga dihadiri oleh Puteri Syanti Dewi, Puteri Milana, Gak Bun Beng dan Tek Hoat.

Dengan wajah serius Sri Baginda membicarakan ancaman bahaya yang mengepung Bhutan itu, kemudian berkata kepada tiga orang tamunya, “Untuk menyelamatkan kerajaan, kami sangat mengharapkan bantuan Anda bertiga.”

“Bibi Milana, Paman Gak Bun Beng, saya harap Bibi dan Paman dapat membantu Ayah,” Syanti Dewi juga berkata dengan suara khawatir melihat ayahnya begitu gelisah.

Puteri Milana adalah seorang yang ahli dalam hal perang, maka dengan tenang dia lalu bertanya kepada Panglima Jayin, “Menurut pelaporan, berapakah kira-kira jumlah para pengepung dan bagaimana keadaan kekuatan para penjaga di kota raja?”

“Menurut pelaporan, para pengepungan berjumlah banyak sekali dan sudah menduduki empat penjuru menutup pintu-pintu gerbang yang menghubungkan kota raja dengan daerah luar,” jawab Panglima Jayin. “Sayang bahwa Panglima Sangita juga berada di sini mengawal Sri Baginda sehingga para pasukan di kota raja kehilangan panglima tertinggi. Oleh karena itu, biarlah saya akan berusaha menyelundup ke kota raja agar dapat memimpin pasukan di sebelah dalam.”

“Usul itu tepat,” kata Panglima Sangita yang tua. “Biar pun pasukan yang sekarang mengawal Sri Baginda tidak besar, namun ini merupakan pasukan pengawal istimewa. Dengan menggempur mereka dari luar dan dalam, biar pun jumlah pasukan kita kalah besar, akan tetapi tentu akan dapat mengacaukan mereka.”

“Kalau menurut pendapat saya, yang terpenting adalah menjamin keselamatan keluarga Sri Baginda dan pertahanan kota raja lebih dulu.” Puteri Milana berkata dengan tenang. “Kehadiran Sri Baginda di kota raja amat diperlukan, karena hal itu tentu akan dapat menambah semangat para pasukan. Maka, jika usul saya dapat diterima, kita harus mengusahakan agar Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi dapat diselundupkan masuk ke dalam kota raja sehingga dapat memperbesar semangat pasukan.”

“Akan tetapi, hal itu tentu akan terlalu berbahaya bagi keselamatan Sri Baginda!” Panglima Sangita membantah dengan nada khawatir.

“Tidak lebih berbahaya dari pada berada di luar kota dan hanya dikawal oleh pasukan sebanyak ini,” Gak Bun Beng berkata. “Baiknya pihak musuh belum tahu bahwa Sri Baginda dan Sang Puteri berada di luar kota raja. Kalau sudah tahu, saya kira mereka sekarang pun sudah mengerahkan barisan untuk mengepung dan menyerbu. Tanpa adanya benteng yang melindungi, menghadapi pasukan musuh yang jauh lebih besar sungguh berbahaya sekali. Saya setuju sekali dengan usul Puteri Milana untuk menyelundupkan Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi memasuki kota raja.”

Panglima Jayin dan Panglima Sangita hanya saling pandang dengan ragu-ragu, karena mereka tahu betapa berbahaya menerobos kepungan musuh mengantar Sri Baginda memasuki kota raja yang terkepung itu.

Akan tetapi Sri Baginda yang kelihatan termenung itu segera dipeluk oleh puterinya dan berkata, “Ayahanda harus menaruh kepercayaan yang sepenuhnya kepada Bibi Puteri Milana dan Paman Gak Bun Beng. Mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang saya percaya dapat melakukan apa pun juga.”

Sri Baginda menghela napas panjang. “Baiklah, kami hanya mengandalkan bantuan Anda bertiga untuk membantu kami.” Dia tidak melewatkan Tek Hoat karena dia pun sudah mendengar bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa pula. “Bagaimana sebaiknya diatur hal ini, Puteri Milana?”

Puteri Milana mengerutkan alisnya dan memejamkan mata, membayangkan keadaan kota raja Bhutan yang terkepung musuh yang dipimpin oleh Tambolon, raja liar itu. Dia belum tahu bagaimana letak dan keadaan kota raja Bhutan, maka sukarlah dia membayangkan cara bertahan yang paling baik. Akhirnya dia berkata, “Kita menanti sampai malam ini, dan saya sendiri bersama Gak-suheng dan Panglima Jayin akan menyelundupkan paduka dan Puteri Syanti Dewi ke dalam kota raja. Ada pun pasukan pengawal dipimpin oleh Panglima Sangita dan Tek Hoat secara diam-diam melakukan pengawalan sambil bersembunyi. Syukur kalau penyelundupan ke dalam kota raja itu tidak ketahuan musuh. Andai kata sampai ketahuan, pasukan pengawal harus cepat menyerbu dan membikin kacau untuk memecah perhatian musuh sehingga dapat memudahkan kita masuk ke kota raja.”

“Akan tetapi setiap pintu gerbang sudah dikepung musuh, bagaimana kita dapat masuk?” Sri Baginda menyatakan kekhawatirannya.

“Paduka akan saya pondong, dan biarlah Puteri Syanti Dewi dipondong oleh Sumoi dan kami bawa paduka berdua meloncat tembok benteng.”

“Wah, begitu tingginya...?” Sri Baginda terkejut.

“Ayah, percayalah kepada Paman Gak dan Bibi Milana. Mereka memiliki kepandaian seperti dewa,” kata Syanti Dewi gembira, sedikit pun tidak merasa takut. “Dan dengan adanya pengawalan pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat, kita boleh berbesar hati, Ayah. Kita pasti dapat memasuki kota raja dengan selamat.”

Tek Hoat tadinya ingin mengajukan keberatan karena dia tidak ingin mencampuri urusan Kerajaan Bhutan, apa lagi setelah dia kini melihat kenyataan bahwa sungguh tidak mungkin baginya untuk melanjutkan cinta kasihnya terhadap seorang puteri seperti Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan yang tercinta dan berkedudukan amat tinggi. Kalau menurut keinginan hatinya, dia ingin mencari ibunya, ingin kembali kepada ibunya dan mendengar sendiri dari ibunya tentang riwayat ibunya yang sebenarnya. Akan tetapi, mendengar ucapan Syanti Dewi dan terutama sekali ketika mereka bertemu pandang, Tek Hoat tidak mungkin dapat menolak dan dia hanya berkata, “Hamba akan membela dengan taruhan nyawa hamba.”

“Akan tetapi engkau tidak boleh nekat, Tek Hoat,” Milana berkata mendengar ucapan pemuda itu. “Engkau sudah pernah memimpin pasukan ketika terjadi keributan di utara, maka aku percaya bahwa engkau tentu akan dapat membantu Panglima Sangita mengatur pasukan pengawal itu menjadi barisan terpendam dan hanya bergerak kalau perlu saja. Menyerbu mati-matian padahal jumlah musuh jauh lebih banyak hanya merupakan perbuatan nekat yang konyol.”

Tek Hoat tidak menjawab, akan tetapi mengangguk.

Maka bersiaplah mereka dan setelah malam tiba, berangkatlah lima orang itu berindap-indap melalui tempat-tempat gelap menuju ke kota raja yang masih agak jauh letaknya dari tempat itu. Sangita dan Tek Hoat memimpin pasukan yang disebar dan melakukan pengawalan rahasia dari kanan kiri dan belakang dan Tek Hoat sendiri mendahului perjalanan untuk mengadakan penyelidikan tentang keadaan penjagaan musuh yang mengepung kota raja.

Setelah Milana dan Gak Bun Beng yang mengawal raja dan puteri, ditemani Panglima Jayin tiba dekat tembok kota raja, Tek Hoat menyambut mereka dengan laporan bahwa menurut penyelidikannya, tak mungkin melakukan penyelundupan dekat pintu gerbang yang sudah dikurung ketat dan di setiap tempat dekat pintu gerbang musuh sudah memasang barisan yang terdiri dari regu anak panah dan bahkan regu alat-alat peledak yang tentu akan membahayakan keselamatan raja dan puterinya.

“Akan tetapi di sepanjang tembok benteng di selatan, melalui sungai yang curam, pengepungan tidaklah begitu ketat karena daerah itu amat terjal dan sukar sehingga selain melelahkan bagi musuh juga agaknya mereka anggap tidak penting. Saya kira hanya melalui tembok selatan itulah penyelundupan dapat dilakukan dengan lebih aman.”

Puteri Milana mengangguk-angguk. “Tek Hoat, bagus sekali laporanmu ini. Kau cepat mengerahkan barisan pendam di sekitar tembok selatan dan kau lihat saja. Kalau kau melihat kami dalam kesukaran, baru kau boleh mengerahkan pasukan untuk mengacau musuh dan membagi perhatian serta kekuatan mereka. Kalau tidak perlu, jangan sekali-kali bergerak.”

“Baik,” kata Tek Hoat dan dia memandang ke arah Puteri Syanti Dewi yang seperti juga Sri Baginda dan yang lain telah menyamar sebagai orang-orang biasa. Sejenak, di bawah sinar bintang-bintang di angkasa yang samar-samar, mereka saling pandang, kemudian Syanti Dewi lalu digendong oleh Milana dan Raja digendong oleh Gak Bun Beng.

Tembok benteng itu bertingkat-tingkat, dan di tingkat paling atas terdapat penjaga-penjaga yang selalu siap dengan anak panah mereka. Sedangkan tembok di bagian selatan ini terlindung oleh sebatang sungai yang amat curam, dan karena sukarnya tempat ini, maka pasukan anak buah Tambolon yang mengurung kota raja hanya menjaga di tepi-tepi sungai sambil bersembunyi.

Oleh karena itu, maka dengan mudah Gak Bun Beng dan Milana yang menggendong raja dan puterinya menyusup dan menuruni sungai yang curam itu mendekati tembok, diikuti oleh Panglima Jayin yang berkepandaian tinggi itu. Akhirnya mereka tiba juga di dekat tembok dan dengan bingung Panglima Jayin memandang ke atas. Tembok benteng itu demikian tingginya, bagaimana mungkin membawa Raja dan puteri naik ke atasnya tanpa diketahui oleh pihak musuh? Dia sendiri tidak akan sanggup untuk meloncat ke bagian tembok yang paling rendah saja, apa lagi sampai ke tingkat paling tinggi.

Sunyi sekali tampaknya di sekeliling tempat itu, akan tetapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana maklum bahwa di belakang mereka, di sungai curam yang kelihatan gelap dan sunyi itu, tentu terdapat pihak musuh yang siap menyerbu dan menyerang mereka dengan anak panah kalau sampai kehadiran mereka diketahui.

“Sumoi, biar aku membawa Sri Baginda naik lebih dulu dan kau melindungi aku dari belakang. Kalau dilakukan secara berbareng, kita tidak dapat melakukan perlindungan dengan sempurna.”

“Memang aku pun berpikir demikian, Suheng. Nah, aku sudah siap. Syanti Dewi, kau bersembunyi dulu di sini bersama Panglima Jayin sementara kami menyelamatkan ayahmu ke dalam benteng.”

Panglima Jayin lalu mengajak Syanti Dewi untuk bersembunyi di dalam rumpun alang-alang agak menjauh dari tempat itu. Dari tempat persembunyian ini mereka mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan.

“Sudah siap, Sumoi?”

“Sudah, Suheng,” kata Milana sambil mencabut keluar pedangnya.

Tak lama kemudian Gak Bun Beng yang menggendong Raja Bhutan meloncat ke atas tembok pertama, disusul oleh Milana yang memegang pedang. Bayangan mereka nampak seperti dua ekor burung terbang dan dengan penuh kagum Jayin dan Syanti Dewi melihat betapa mereka telah berhasil hinggap dan berdiri di atas tembok pertama. Dengan sigap seperti dua ekor kucing saja, dua orang sakti itu kembali bergerak meloncat ke atas ke tembok tingkat dua.

Tiba-tiba kelihatan sinar api dari atas tembok tingkat empat dan terdengar ribut-ribut para penjaga yang telah melihat bayangan mereka dan tentu saja para penjaga itu mengira bahwa mereka adalah pihak musuh yang hendak menyelundup masuk. Terdengar tanda bahaya dipukul dan di atas benteng muncul kepala banyak orang yang menjenguk ke bawah.

Keributan ini agaknya terlihat oleh pihak musuh. Segera tampak kesibukan di luar tembok dan anak-anak panah mulai meluncur secara gencar dari luar tembok, ditujukan kepada dua bayangan itu karena pihak pengepung maklum bahwa ada orang yang akan menyelundup ke dalam benteng.

“Hati-hati, Suheng. Aku menjaga serangan dari belakang!” Milana berseru dan pedangnya sudah diputar cepat dan semua anak panah yang menyerang dari pihak musuh dapat ditangkisnya dengan mudah. Sedangkan Bun Beng sendiri juga sudah cepat menggerakkan kedua lengan bajunya untuk menangkis anak panah yang sudah datang pula dari atas dan depan, yaitu dari pihak penjaga Bhutan! Mereka diserang dari depan dan belakang!

“Sumoi, cepat meloncat ke tingkat tiga!” Bun Beng berseru dan dengan pengerahan tenaga ginkang-nya, dia sudah melayang ke atas diikuti oleh Milana yang memutar pedangnya.

“Trang-tranggg...!”

Bun Beng sudah berhasil sampai di atas tembok tingkat ketiga dengan Raja Bhutan di gendongannya. Milana tetap menjaga di belakangnya dan karena kini datangnya anak panah dari bawah amat lebat, puteri ini sibuk juga melindungi Raja yang berada di punggung Bun Beng.

“Haiii... para penjaga! Yang datang adalah raja kalian!” Bun Beng berteriak ke atas akan tetapi karena di tingkat paling atas itu para penjaga gempar dan bising, maka teriakan Bun Bung ini tidak terdengar nyata dan dari atas kini datang pula serangan anak panah dan batu!

Dengan tangkas Bun Beng menangkisi semua senjata itu, dan Raja Bhutan sendiri menyumpah-nyumpah. “Betapa tololnya mereka!” dia memaki.

“Mereka tidak tahu bahwa paduka yang datang, Sri Baginda. Biarlah saya merayap ke atas, harap paduka berpegang kuat-kuat.”

“Naiklah, Suheng. Aku akan melindungimu dari belakang.” Milana berkata. “Cepat, karena serangan dari bawah makin gencar dan aku melihat mereka itu sudah keluar dari tempat persembunyian mereka.”

Gak Bun Beng tidak berani meloncat ke tingkat paling atas, karena selain tingkat itu tinggi, juga di situ sudah siap para penjaga yang tentu akan menyerang dengan membuta dan hal ini amat berbahaya. Maka dia lalu menggunakan sinkang-nya, dan mulailah pendekar ini memanjat tembok itu seperti seekor cecak! Puteri Milana dengan pedang di tangan tetap melindunginya dan menangkisi semua senjata yang meluncur dari bawah, sedangkan para penjaga di atas menjadi bingung dan tidak dapat melihat Bun Beng yang merayap mepet di tembok. Dari atas mereka itu hanya menyerang Puteri Milana sehingga Sang Puteri harus memperlihatkan kehebatan permainan pedangnya yang menangkisi hujan anak panah yang datang dari bawah dan atas.

Ketika tiba di tingkat paling atas benteng itu, Gak Bun Beng menghadapi ujung-ujung tombak dan pedang yang sudah nampak dari bawah! Karena suara hiruk-pikuk para penjaga di atas dan teriakan-teriakan para musuh di bawah, maka seruan Raja Bhutan sendiri tidak terdengar oleh para penjaga.

Pada saat itu terdengarlah bentakan-bentakan nyaring dari bawah. Puteri Milana terkejut ketika melihat ada bayangan orang yang meloncat ke atas tembok tingkat pertama dengan gerakan yang ringan dan gesit sekali, terus orang itu berloncatan ke tingkat dua dan agaknya hendak mengejar Gak Bun Beng. Karena dia dihujani anak panah dari atas dan bawah, dia tidak dapat mencegah orang itu yang kini dengan loncatan-loncatan cepat telah mengejar Bun Beng yang masih merayap sambil menggendong Raja Bhutan! Akhirnya Puteri Milana dapat juga memukul runtuh semua anak panah dan cepat dia pun meloncat ke arah bayangan itu. Namun terlambat!

Bayangan orang kurus itu telah melayang ke arah Gak Bun Beng yang masih merayap seperti cecak sambil berseru, “Bunuh Raja Bhutan!”

Bun Beng terkejut, maklum bahwa ada lawan menyerangnya sambil meloncat ke udara, serangan yang ditujukan kepada tubuh Sang Raja di atas punggungnya. Maka dia pun cepat menoleh dan pada saat itu dia mendengar teriakan Milana, “Suheng, lemparkan beliau ke sini!”

Bun Beng maklum akan bahaya serangan orang yang agaknya cukup lihai itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memegang kedua lengan Raja Bhutan yang merangkul lehernya, melepaskan rangkulan dan melemparkan tubuh Raja ke arah Milana. Raja itu tentu saja terkejut sekali dan mengeluarkan keluhan panjang, karena kalau tubuhnya sampai terjatuh ke bawah sana, tentu akan hancur lebur. Akan tetapi, sepasang lengan yang kecil kuat, dengan tangan yang halus, menerima tubuhnya dengan mudah dan tahu-tahu dia sudah berdiri di atas tembok tingkat tiga, dipegangi oleh Puteri Milana. Tubuh Raja menggigil.

“Harap paduka tenang...” Milana berkata dan pedangnya menyampok beberapa batang anak panah.

Sementara itu, orang kurus yang menyerang tadi telah disambut oleh dorongan tangan Bun Beng.

“Dessss...!”

Begitu tangan mereka bertemu, orang itu terpental dan terdengar dia mengeluarkan lengking kematian yang mengerikan ketika tubuhnya terlempar ke bawah yang gelap dan amat dalam itu. Bun Beng terpaksa melanjutkan usahanya merayap ke atas. Dia dipapaki tombak dan pedang namun dengan mudah dia menangkis semua senjata itu sehingga runtuh dan dia cepat berseru keras, “Kami adalah orang-orang sendiri! Kami menghantar Sri Baginda naik ke benteng, harap bantu beliau naik!”

Mendengar ini, barulah terkejut para penjaga. Tadinya mereka juga terheran-heran melihat ada orang berani naik ke benteng seperti itu dan melihat betapa yang berusaha naik itu diserang oleh anak panah musuh juga.

Gak Bun Beng lalu meloncat turun lagi untuk menjemput Sri Baginda dan kini dari atas benteng dihujankan senjata ke arah musuh yang menyerang dari bawah. Hujan anak panah ini membuat serangan dari bawah mereda dan dengan mudah Bun Beng membawa Sri Baginda ke atas tembok yang disambut dengan sorak girang oleh para penjaga.

Milana telah meloncat turun disusul oleh Bun Beng yang sudah berhasil menyelamatkan Raja Bhutan. Kini giliran Syanti Dewi dipondong oleh Milana, dan dilindungi oleh Gak Bun Beng yang membantu Jayin naik pula ke tembok benteng. Berkat perlindungan Bun Beng, semua anak panah dari bawah dapat diruntuhkan dan akhirnya mereka semua berhasil tiba di atas benteng dengan selamat. Sorak sorai gemuruh menyambut kedatangan Raja, puteri dan Panglima Jayin di atas benteng dan bangkitlah semangat semua prajurit Bhutan, apa lagi setelah menyaksikan kelihaian Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Malam itu juga Sri Baginda lalu mengajak dua orang tamu agungnya itu berunding, dan pimpinan bala tentara diserahkan kepada Puteri Milana yang memang ahli dalam soal perang. Panglima Jayin menjadi pembantunya dan Milana lalu mengatur bagaimana penjagaan harus dilakukan menghadapi pengepungan pihak musuh. Dia juga minta kepada Panglima Jayin agar melepas mata-mata dan penyelidik untuk mengetahui keadaan musuh, di bagian mana adanya pengepungan yang paling kuat dan di mana pula yang paling lemah, berapa banyak adanya kekuatan musuh dibandingkan dengan kekuatan sendiri.

Kerajaan Bhutan adalah sebuah kerajaan yang beragama Buddha, maka banyak pendeta Buddha yang bertugas di istana. Mereka ini oleh Milana dimanfaatkan untuk menghibur para penduduk kota raja, dan juga semua laki-laki yang berada di kota raja diharuskan ikut pula menjadi tentara suka rela, sedangkan yang wanita diharuskan mengatur agar ransum yang terdapat di kota raja dapat dihemat pemakaiannya. Pendeknya, segala persiapan untuk menghadapi musuh yang telah mengurung benteng kota raja dipersiapkan dengan teliti oleh Puteri Milana dan diatur malam hari itu juga.

Ternyata berita bahwa Raja Bhutan dan puterinya secara luar biasa malam tadi dapat menyelundup ke dalam kota raja, terdengar pula oleh Tambolon yang kehilangan seorang pembantu cakap yang semalam tewas ketika berusaha menghalangi Bun Beng dan raja liar ini menjadi marah bukan main. Dia sendiri lalu memimpin pasukan-pasukannya, mendekati pintu gerbang utama dan berteriak-teriak menantang perang kalau Raja Bhutan tidak mau menyerahkan puterinya. Tentu saja Sang Puteri itu hanya untuk menjadi alasan saja, sedangkan tentu saja Tambolon sebetulnya ingin menguasai Bhutan!

Dari atas menara benteng, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, juga Panglima Jayin dan para panglima lain, memandang ke bawah. Mereka melihat bahwa Tambolon masih disertai dua orang pembantunya yang setia, yaitu Si Petani Maut Liauw Ki, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, di samping ada pula di situ Hek-tiauw Lo-mo. Dan biar pun tidak nampak, Milana dan Gak Bun Bung dapat menduga bahwa tentu guru dari Tambolon, Nenek Durganini yang akhir-akhir ini selalu muncul membantu muridnya, ada pula di antara barisan musuh itu.

Karena pihak musuh menantang untuk mengadakan perang terbuka di luar tembok kota raja, tentu saja pihak Kerajaan Bhutan tidak dapat menolak, maka Gak Bun Beng sendiri bersama Panglima Jayin dan beberapa orang panglima memimpin pasukan keluar dari pintu gerbang untuk menyambut musuh. Puteri Milana yang memimpin pertahanan itu tetap berada di menara benteng untuk melihat keadaan dan mengatur kendali gerakan barisan Bhutan dari tempat tinggi itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar