Setelah merasa puas minum dan menjamu para tamunya, Tambolon yang sudah
mulai mabok itu timbul kegembiraannya melihat bahwa dara pengganti
pengantinnya itu ternyata tidak kalah cantiknya dengan kakaknya yang
telah melarikan diri! Maka sambil tersenyum dia lalu memanggul tubuh
‘pengantinnya’ itu dan di bawah sorak dan tawa para tamu yang masih
belum pulang, Tambolon membawa pengantinnya itu pergi dari dalam ruangan
dan terus menuju ke dalam kamar pengantin yang sudah terhias meriah dan
berbau harum karena disiram minyak wangi dan dibakari dupa wangi! Siang
In terkejut dan ketakutan, akan tetapi karena dia sudah ditotok lumpuh,
dia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terbelalak seperti seekor
kelinci yang diterkam harimau.
Tambolon sebenarnya bukanlah seorang yang mata keranjang atau gila
wanita. Tetapi, dia mempunyai kepercayaan bahwa dia akan ‘awet muda’ dan
dapat menggunakan ilmunya untuk memindahkan kemurnian seorang gadis ke
dalam tubuhnya sehingga memperkuat tenaga mukjijatnya jika dia
memperoleh seorang gadis, maka raja liar yang berilmu tinggi ini di
mana-mana selalu mencari korban seorang gadis.
Dia tidak pernah jatuh cinta dan setiap kali mendapatkan seorang
perawan, setelah dipermainkannya paling lama sepekan saja lalu
‘dioperkan’ kepada para pembantunya untuk menyenangkan hati para
pembantunya itu. Tentu saja setelah dia menyedot hawa murni dari gadis
korbannya itu untuk memperkuat dirinya. Dia tidak pernah mempunyai
isteri dan karena kepandaiannya yang tinggi dan bantuan para kaki
tangannya, amat mudah bagi Tambolon untuk di mana saja mencari perawan
untuk menjadi korbannya. Betapa pun juga, tentu saja untuk membangkitkan
birahinya, dia selalu memilih wanita yang cantik.
Ketika membawa bahan-bahan obat untuk dijual ke kota, Siang Hwa bertemu
dengan serombongan kaki tangan Tambolon yang dipimpin oleh Si Petani
Maut. Melihat gadis cantik ini, Petani Maut yang memang sudah dipesan
oleh Tambolon untuk mencarikan ‘isteri’ lalu menangkapnya dan perlawanan
Siang Hwa percuma saja. Tambolon yang baru saja kehilangan pasukannya
dan sedang berusaha untuk menghimpun tenaga, lalu menggunakan kesempatan
mendapat ‘isteri’ baru itu untuk mengundang para pimpinan suku bangsa
liar di utara mengadakan perjamuan untuk menyenangkan hati mereka. Pesta
pernikahan itu hanyalah alasan saja, karena yang penting baginya adalah
menyenangkan hati calon-calon pembantu dan sekutunya itu dan kedua
memperoleh korban seorang perawan baru.
Demikianlah, dengan wajah berseri-seri sungguh pun tadi dia marah-marah
karena gangguan di dalam pesta sehingga terjadi kebakaran, kini Tambolon
memanggul tubuh Siang In. Dengan kasar dia membentak para pelayan dan
penjaga di depan kamarnya agar pergi, kemudian dia berkata kepada Siang
In, “Heh-heh, manis, sekarang kita hanya berdua saja, jangan kau
bersikap malu-malu lagi...”
“Jahanam, iblis keji, anjing babi hina dina! Kau bunuhlah saja aku...!”
Siang In memaki-maki dengan suara serak karena sudah sehari penuh dia
memaki-maki tadi. Kalau saja kaki tangannya tidak menjadi lumpuh ditotok
secara istimewa oleh Tambolon, tentu dia sudah mengamuk atau membunuh
diri.
“He-he-heh, sayang kalau dibunuh, kau begini segar dan muda!” Tambolon
menendang daun pintu kamarnya terbuka, lalu melangkah masuk ke dalam
kamar.
“Heh-haaa?” Dia terbelalak dan terheran-heran memandang ke dalam karena
di tengah kamarnya, seperti seorang dewi dari kahyangan, berdiri seorang
wanita yang cantik dan menyala pakaiannya, dengan gelung rambut tinggi
dihias emas mutiara, jubahnya merah dan pakaiannya ketat membayangkan
tubuh yang penuh tantangan, akan tetapi wanita ini berdiri sambil
bertolak pinggang, sikapnya gagah dan sebatang pedang tergantung di
punggungnya!
“Ehh, Nona cantik, siapakah kau...?” Tambolon benar-benar terkejut dan
kagum sekali. Wanita yang berdiri di dalam kamarnya itu biar pun tidak
semuda gadis remaja yang dipanggulnya, akan tetapi cantik menarik dan
penuh daya pikat, dengan tubuh yang sudah matang!
“Tambolon, kau bebaskan bocah itu.”
“Kenapa?” Tambolon bertanya. “Dan siapakah kau?”
“Hi-hik, kalau kau tidak keburu melarikan diri ketika pasukanmu
dihancurkan di Koan-bun, tentu engkau telah bertemu dengan aku. Suheng
Hek-tiauw Lo-mo dan aku Mauw Siauw Mo-li yang memimpin pasukan
pemberontak menghancurkan pasukan itu!”
“Ahhhh...!” Tambolon terkejut dan cepat melemparkan tubuh Siang In yang
lumpuh itu ke atas pembaringan sambil berkata, “Manis, kau tunggu
sebentar di situ!” Kemudian ia menghadapi wanita itu dan memandang
dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama
Hek-tiauw Lo-mo yang hebat dan kiranya wanita ini adalah adik
seperguruan tokoh itu.
“Jadi begitukah? Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya menentang Tambolon?”
“Tambolon, semua itu adalah salahmu sendiri. Mula-mula engkau membantu
Pangeran Liong, seperti juga kami, akan tetapi siapa suruh kau
berkhianat dan malah menyerang pasukan Pangeran Liong hingga terjadi
saling serang dan akhirnya kita dihancurkan semua oleh pasukan
pemerintah? Sekarang kita semua telah gagal, dan kedatanganku bukan
karena urusan kegagalan itu, melainkan untuk minta Nona ini.”
Tambolon mengangguk-angguk. Memang dia telah sadar bahwa dia telah
dipancing oleh Lu Ceng dan Topeng Setan! Juga tidak baik kalau dia harus
memusuhi Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya ini. Dengan orang-orang seperti
itu jauh lebih baik bersekutu dari pada bermusuhan, dan dia sedang
membutuhkan banyak tenaga bantuan untuk menghimpun kekuatan baru. Maka
dia lalu tertawa.
“Ha-ha-ha, Mauw Siauw Mo-li sungguh enak saja bicara. Engkau tahu bahwa
nona ini telah menjadi isteriku, bagaimana mungkin akan kau minta begitu
saja?” Kemudian dia melanjutkan setelah menjelajahi tubuh wanita cantik
itu dengan pandang matanya.
“Kalau kau hendak mengambil dia, apakah engkau akan menggantikan dia menemaniku malam ini? Ha-ha-ha!”
Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Menemanimu saja bukan merupakan keberatan
bagiku, Tambolon. Tetapi aku perlu nona ini sekarang, dan kalau kau
memberikannya baik-baik, kelak masih belum terlambat bagiku untuk
berkunjung dan menemanimu beberapa malam. Akan tetapi sekarang aku tidak
ada waktu lagi, dan biarkan aku pergi membawa nona itu.”
“Kalau aku menolak?”
“Hi-hi-hik-hik, engkau tentu tahu bahwa kami kakak beradik seperguruan tidak biasa dibantah!”
Tambolon tersenyum. Baginya, mendapatkan Siang In atau tidak bukanlah
merupakan hal yang amat penting. Masih banyak perawan yang bisa
didapatkan pada malam itu juga dan berapa banyak pun. Dan sumoi dari
Hek-tiauw Lo-mo ini amat cantik, pula kalau dia dapat bersekutu dengan
Hek-tiauw Lo-mo melalui wanita ini, hal itu akan memperkuat
kedudukannya. Tetapi dia adalah seorang raja, selain amat merendahkan
kalau dia harus menurut perintah wanita itu begitu saja, juga sebagai
seorang yang berilmu tinggi dia ingin sekali mencoba kepandaian wanita
yang mengaku sebagai sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo.
“Bagus, Mauw Siauw Mo-li, aku pun ingin sekali mencoba apakah
kepandaianmu juga sehebat kecantikanmu. Sambutlah!” Tambolon lalu loncat
ke depan mengirim serangan dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah
pundak wanita cantik itu.
“Hemm, bagus...!” Wanita itu dengan gerakan yang amat lincahnya sudah mengelak ke kiri.
Mauw Siauw Mo-li bukan tidak tahu bahwa raja orang liar ini memiliki
kepandaian yang amat tinggi, dan dia pun tahu pula bahwa Tambolon
mempunyai pembantu-pembantu yang lihai dan dia telah memasuki sarang
naga yang berbahaya. Maka sambil meloncat, dia terus mencelat ke arah
pembaringan dan di lain saat dia telah berhasil menyambar tubuh Siang In
yang dikempit dengan lengan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah
mengeluarkan sebuah benda kecil. Benda itu berbentuk dos kecil tempat
yanci (alat pemerah pipi).
Melihat wanita memegang yanci, Tambolon tertawa dan tentu saja tidak
menduga apa-apa, terus menubruk ke depan. Akan tetapi wanita itu membawa
Siang In meloncat keluar kamar melalui jendela sambil menyambitkan dos
kecil itu ke arah Tambolon. Raja yang liar ini cukup cerdik. Biar pun
benda itu hanya dos kecil, namun dia menjadi curiga dan cepat melompat
jauh menghindari sambil bertiarap.
“Darrrrr...!”
Seperti yang telah dikhawatirkan oleh Tambolon, benda kecil yang
kelihatan tak berarti itu kiranya adalah sebuah senjata rahasia peledak
yang amat hebat kekuatannya. Meja kursi dan pembaringan di dalam kamar
itu hancur berantakan dan kalau saja Tambolon tidak bertiarap, tentu dia
dapat terluka pula. Dia menjadi kagum akan tetapi juga marah. Wanita
itu memang patut dijadikan sekutu, akan tetapi telah terlalu
menghinanya, maka dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan minta
bantuan gurunya untuk melakukan pengejaran. Karena Mouw Siauw Mo-li
sudah berlari jauh dan berlindung di kegelapan malam bersama Siang In,
maka dengan hati mendongkol Tambolon lalu mengirim pasukan untuk
mengejar terus.
Siang In tadinya marah sekali ketika melihat Mauw Siauw Mo-li, karena
wanita pesolek itulah yang telah mencuri kitab catatan peninggalan
ayahnya. Akan tetapi ketika melihat wanita itu menolongnya dan
melarikannya dari kamar Tambolon, dia merasa heran dan juga bersyukur
sekali, sungguh pun dia menduga bahwa perbuatan wanita itu tentu
mengandung pamrih sesuatu. Seorang yang berwatak palsu seperti wanita
ini, yang diterimanya sebagai tamu dengan ramah kemudian malah mencuri
kitab seperti maling, tidak mungkin mengenal perbuatan baik. Di balik
pertolongannya melarikan dia dari tangan Tambolon pasti bersembunyi
keinginan lain demi kepentingan dirinya sendiri.
Mauw Siauw Mo-li membebaskan totokannya dan Siang In kini berjalan di
sampingnya di dalam kegelapan malam, melalui pegunungan yang hanya
disinari cahaya bulan muda dan bintang-bintang di langit.
“Setelah mencuri kitab, engkau ini pura-pura menolongku ada keperluan
apa?” Siang In menegur, akan tetapi tidak menghentikan kakinya yang
berjalan mengikuti wanita itu karena dia maklum bahwa Tambolon dan anak
buahnya tentu melakukan pengejaran.
“Kitab itu? Nih, kau boleh terima kembali!” Mauw Siauw Mo-li menyerahkan kitab kuno kecil kepada Siang In.
Dara ini makin heran, tetapi menerima kitab itu dan disimpannya di saku
baju dalamnya. Kitab itu sebetulnya tidak lagi berguna bagi dia atau
kakaknya karena mereka telah hafal akan isinya, dan sekarang mereka
menyimpannya hanya sebagai barang pusaka peninggalan ayah mereka.
“Engkau seorang yang aneh sekali. Engkau tadi menyebutkan nama julukanmu
Mauw Siauw Mo-li? Apakah artinya semua perbuatanmu ini? Mula-mula
engkau mengunjungi aku, lalu mencuri kitab ini. Sekarang engkau bersusah
payah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon kemudian mengembalikan
kitab. Sebetulnya, apakah kehendakmu?”
Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, lalu berkata, “Engkau puteri
mendiang Yok-sian, sayang kalau sampai menjadi makanan Tambolon yang
rakus! Dan, ehh, adik kecil yang baik, siapa namamu?”
“Aku Teng Siang In.”
“Adik Siang In, sebagai keturunan orang pandai, engkau tentu
mengutamakan balas budi. Engkau tentu tahu bahwa tanpa aku yang
melarikanmu dari tangan Tambolon, saat ini engkau sudah mengalami hal
yang amat menyenangkan hati Tambolon akan tetapi yang bagi dirimu
merupakan penghinaan yang akan terasa seumur hidupmu. Engkau akan sudah
diperkosa, menderita penghinaan berkali-kali sampai kau tidak kuat
menahan dan mati, dalam keadaan hina dan mengerikan. Nah, kau mengakui
adanya pertolonganku ataukah tidak?”
Mendengar ucapan itu, Siang In membayangkan apa yang dapat menimpa
dirinya itu dan dia bergidik ngeri. Akan tetapi dia seorang dara yang
cerdik, dan setelah terbebas dari ancaman bahaya maut dari tangan
Tambolon, sekarang dia pun tidak takut lagi menghadapi bahaya baru dan
dia menjawab, “Mo-li, lebih baik katakan saja terus terang, apa yang kau
kehendaki dari aku setelah kitab yang kau curi ini agaknya tidak ada
gunanya bagimu.”
“Hi-hik, engkau lumayan juga, engkau cerdik! Nah, lebih baik aku
berterus terang saja.” Dia berhenti di bawah pohon kecil dan duduk di
atas batu, Siang In berdiri di depannya.
“Terus terang saja, aku menderita keracunan di sebelah dalam darahku.
Hal ini terjadi ketika aku mencuri mempelajari ilmu pukulan beracun dari
kitab milik suheng-ku. Sebelum sempurna aku mempelajarinya, suheng-ku
tahu akan hal itu dan dia merampas kembali kitab itu sehingga aku tidak
dapat melanjutkan latihanku. Karena tidak ada lagi petunjuknya, hawa
beracun yang sudah terkumpul itu tidak dapat kusalurkan dan mulai
meracuni diriku sendiri. Aku telah minta tolong Suheng, akan tetapi
Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi suheng-ku itu memang orang kejam! Dia malah
menyukurkan, bilang bahwa itu hukumannya seorang yang mencuri pelajaran
orang lain. Huh, seperti aku tidak tahu saja bahwa dia pun mencuri
kitab itu dari Dewa Bongkok....” Mauw Siauw Mo-li berhenti sejenak untuk
menarik napas.
“Akan tetapi untuk memaksanya, aku tidak berani karena dia lihai sekali.
Nah, aku mendengar bahwa tokoh pengobatan yang paling pandai adalah
Yok-sian, ayahmu. Sayang dia telah meninggal dunia, maka aku lalu
mencuri kitab itu. Kiranya kitab itu hanya berisi catatan tentang
nama-nama dan macamnya tetumbuhan obat, sama sekali tidak ada gunanya
bagiku. Karena itu, Adik Siang In, aku menolongmu dan ingin minta
bantuanmu agar engkau suka menerangkan, obat apa yang kiranya akan dapat
menyembuhkan aku, karena engkau tentu telah mewarisi kepandaian itu
dari ayahmu.”
Siang In mengerutkan alisnya. “Sayang sekali, kepandaian pengobatan itu
diwarisi oleh enci-ku, dan aku hanya bisa mengenal bahan-bahan obat
saja. Akan tetapi, biar enci-ku sendiri kiranya tidak akan dapat
menyembuhkan akibat racun yang menyerang dari dalam karena latihan yang
salah. Ada suatu rahasia besar yang diketahui oleh enci-ku dan aku, dan
karena engkau telah menyelamatkan aku, biarlah aku membuka rahasia itu
kepadamu dan mungkin saja rahasia itu akan menjadi jalan penyembuhanmu.”
Mauw Siauw Mo-li gembira sekali mendengar ini. “Rahasia apa itu yang akan mampu menyembuhkan aku? Lekas katakan!”
“Mendiang Ayah pernah bercerita kepadaku. Ketika aku masih berusia lima
tahun, Ayah sendiri pernah mencoba untuk mendapatkan anak naga itu...”
“Anak naga? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!”
Karena merasa telah dihindarkan dari bahaya yang mengerikan di tangan
Tambolon, Siang In lalu membuka rahasia seperti yang pernah dituturkan
oleh mendiang ayahnya itu.....
Di sebuah telaga yang amat luas, yaitu Telaga Sungari yang jarang
didatangi manusia, di sebelah barat Pegunungan Jang-kwan-cai, hidup
seekor naga yang mungkin sekali merupakan naga terakhir di dunia ini.
Naga itu tidak pernah keluar dari dasar telaga yang amat dalam itu, dan
hanya setiap sepuluh tahun sekali, pada permulaan musim semi, naga itu
keluar dari dalam telaga, membawa anaknya yang baru menetas untuk
menerima sinar matahari.
Setiap sepuluh tahun sekali naga itu bertelur dan jarang sekali ada
telurnya yang menetas, akan tetapi kalau ada yang menetas, anaknya lalu
dibawa ke permukaan telaga untuk menghisap tenaga yang dari matahari.
Nah, anak naga yang baru menetas itu merupakan mustika yang tak ternilai
harganya, karena dapat dipergunakan untuk obat yang menyembuhkan segala
macam penyakit, terutama keracunan. Juga bagi yang tidak menderita
sakit, anak naga itu merupakan obat yang dapat membikin tubuh menjadi
kuat dan kebal, dapat pula memperkuat tenaga sinkang.
“Sekarang aku telah berusia lima belas tahun, berarti sepuluh tahun
telah lewat sejak naga itu muncul di permukaan air Telaga Sungari. Bulan
depan adalah permulaan musim semi, maka kalau engkau mau pergi ke
telaga itu dan dengan kepandaianmu engkau dapat merampas anak naga,
jangankan baru keracunan di dalam darahmu, biar engkau sudah tiga
perempat mati pun akan dapat disembuhkan.”
Mauw Siauw Mo-li tertarik sekali. “Permulaan musim semi? Hanya kurang beberapa hari lagi...”
Dia berhenti dan menatap wajah dara itu, menajamkan pandangan untuk
menembus kegelapan remang-remang itu menyelidiki wajah Siang In. “Siang
In, benarkah apa yang kau ceritakan semua itu?”
Siang In cemberut. “Mo-li, engkau tadi menyebut-nyebut nama ayahku yang
telah meninggal dunia. Apa kau kira aku sudi untuk mencemarkan nama baik
ayahku dengan cara membohongimu? Betapa pun juga, engkau telah
menyelamatkan aku dari tangan Tambolon, dan sudah sepatutnya kalau kau
kuberi tahu tentang anak naga itu agar engkau dapat mencari penyembuhan
untuk darahmu yang keracunan.”
“Bagus! Kalau ceritamu benar dan aku berhasil, kelak aku akan
menghaturkan terima kasih ke lembah Pek-thouw-san di mana engkau
tinggal. Akan tetapi kalau engkau membohong, aku pun akan datang ke sana
dan engkau akan menerima hukuman yang pasti lebih mengerikan dari pada
kalau engkau terjatuh ke tangan Tambolon.” Setelah berkata demikian,
wanita itu berkelebat dan lenyap.
Siang In hanya mendengar suara lengking aneh seperti seekor kucing
terinjak ekornya dari jauh. Dia bergidik. Pantas julukannya Siluman
Kucing, pikirnya. Kemudian dia teringat bahwa dia ditinggalkan sendirian
saja, sedangkan mungkin sekali pasukan Tambolon masih melakukan
pengejaran, maka kemudian dia melanjutkan perjalanan melarikan diri.
Siang In adalah seorang dara remaja yang sejak kecil hidup tenteram di
lereng Gunung Pek-thouw-san, sebuah puncak di Pegunungan Jang-pai. Dia
hidup bersama enci-nya, Siang Hwa dan biasanya dia hanya pergi ke
hutan-hutan di sekitar pegunungan itu mencari bahan-bahan obat atau
rempah-rempah yang banyak tumbuh di daerah itu.
Kini, dia melakukan perjalanan mencari enci-nya, tentu saja dia kurang
pengalaman dan dia sama sekali asing dengan daerah yang dilaluinya
sekarang ini. Apa lagi perjalanan pelarian itu dilakukan di malam hari,
hanya diterangi bulan muda dan bintang-bintang, dalam keadaan gelisah
karena dikejar pula, maka dia lalu melarikan diri secara ngawur.
Sebaliknya, yang melakukan pengejaran dua rombongan. Rombongan pertama
adalah pasukan yang melakukan pengejaran terhadap lima orang Bhutan,
Kian Bu, dan Siang Hwa yang dapat melarikan diri lebih dulu ketika
terjadi kebakaran. Rombongan kedua adalah pasukan yang mengejar Mauw
Siauw Mo-li dan Siang In. Yang pertama dipimpin oleh Si Petani Maut,
sedangkan pasukan kedua dipimpin oleh Yu Ci Pok Si Siucai Maut.
Pasukan-pasukan pengejar ini terdiri dari orang-orang Nomad yang sejak
kecil hidup di daerah itu secara berpindah-pindah, tentu saja mereka
mengenal baik daerah itu dan mereka dapat melakukan pengejaran dengan
terarah dan mengepung serta memotong jalan-jalan di daerah itu.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila pada keesokan harinya,
Siang In terkejut sekali mendengar derap kaki kuda jauh dari
belakangnya. Dia sudah keluar dari daerah hutan dan berada di tanah
datar tanpa pohon, maka tidak sempat lagi baginya untuk bersembunyi,
maka larilah dara ini ke depan, secepat mungkin!
Tak lama kemudian terdengar suara hiruk-pikuk dan para pengejar itu
membalapkan kuda mereka karena mereka telah melihat gadis yang berlari
cepat itu, dan mendengar betapa derap kaki kuda makin dekat, Siang In
mempercepat larinya dan mengeluh,
“Ahhh... kalau saja Pek-liong berada di sini...” Kalau dia menunggang
keledai itu, dia tidak takut biar dikejar oleh siapa pun juga karena
keledainya dapat berlari lebih cepat dari kuda yang bagaimana pun.
Para pengejar semakin dekat dan napas Siang In sudah terengah-engah
ketika tiba-tiba dia membelalakkan mata dan menghentikan larinya karena
di depannya membentang luas sebatang sungai yang amat lebar. Sungai ini
adalah Sungai Yi-tung.
“Celaka...!” Siang In berseru kaget dan cepat dia memutar tubuhnya.
Belasan orang penunggang kuda mendatangi dengan cepat dipimpin oleh Si
Sastrawan!
“Biar aku melawan sampai mati!” Siang In yang maklum bahwa dia tidak
dapat lari terus karena ada sungai lebar menghalang di depannya, kini
sudah berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan dia menggigit bibir bawah
dan matanya berkilat penuh kemarahan!
Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan dari kiri dan ketika Siang In
menoleh, dia melihat belasan orang lagi datang berlarian di tepi sungai,
dan mereka itu bukan lain adalah orang-orang liar yang dipimpin oleh Si
Petani Maut, yaitu para pengejar pertama yang dalam usahanya mengejar
para tawanan yang lolos telah tiba pula di tempat itu! Tentu saja hati
Siang In menjadi makin gelisah, akan tetapi dara itu telah kehilangan
rasa takut karena dia tahu bahwa melawan atau tidak, dia akan celaka di
tangan mereka, dan dia memilih mati sambil melawan dari pada hidup
menjadi tawanan dan permainan dari Raja Tambolon!
“In-moi...!”
Siang In terkejut dan jantungnya berdebar keras. Itulah suara enci-nya Siang Hwa!
“Cici...!” Dia cepat menoleh dan makin girang hatinya saat dia melihat
Kian Bu bersama enci-nya, seorang kakek tua berambut putih, dan lima
orang tawanan itu berada di atas rakit bambu yang didayung oleh mereka
ke tepi sungai.
“Bu-koko... kau tolonglah aku...” Siang In berteriak girang melihat munculnya pemuda itu.
Dia telah salah mengira bahwa pemuda yang pandai mengenal sajak kuno itu
hanyalah seorang kutu buku yang lemah. Dia mengerti sekarang bahwa
pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka begitu bertemu dia
berteriak minta tolong.
“Siauw-moi, (Adik Kecil), kau tenanglah!” Kian Bu berkata sambil
meloncat ke darat dengan gerakan yang amat lincah, diikuti oleh kakek
berambut putih yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.
Pada saat itu, hampir berbareng Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Yu Ci Pok telah tiba di situ.
“Nona, ke mana engkau hendak lari?” Yu Ci Pok yang bertugas menawan
kembali ‘pengantin kedua’ ini menubruk sambil meloncat dari atas
kudanya.
Siang In mencoba untuk mengelak ke kiri sambil mengirim pukulan dengan tangan kanannya ke arah dada sastrawan itu.
“Plakk!” Pukulan dara itu yang dilakukan dengan sekuatnya diterima oleh
Si Sastrawan sambil tertawa dan sebaliknya sastrawan itu menangkap
pergelangan tangan Siang In.
“Lepaskan aku...!” Siang In meronta namun percuma karena pegangan Yu Ci Pok itu kuat sekali.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Keparat, Lepaskan dia!”
Yu Ci Pok cepat menengok dan melihat tubuh pemuda tampan bekas tawanan
itu pesat melayang ke arahnya. Dia terkejut, melepaskan Siang In dan
menyambut Kian Bu dengan tamparan dahsyat, mengambil kesempatan selagi
pemuda itu masih melayang.
“Dessss...!”
Kian Bu telah mendorong dan mengerahkan sinkang-nya. Dua tenaga dahsyat
bertemu dan akibatnya tubuh sastrawan itu hampir roboh terjengkang kalau
saja dia tidak cepat meloncat ke belakang sambil memandang heran dan
mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit.
Sementara itu, Si Petani Maut juga sudah tiba di situ, akan tetapi
sebelum dia sempat turun tangan, terdengar suara ketawa dan ketika dia
menoleh ada tangan menampar mukanya. Untung Liauw Kui adalah seorang
berkepandaian tinggi dan merupakan pembantu utama dari Tambolon, maka
begitu mendengar ada angin menyambar, dia sudah mengelak dan cepat
menengok. Kiranya yang menamparnya tadi adalah seorang kakek berambut
putih yang menamparnya sambil tertawa-tawa!
Liauw Kui teringat bahwa kakek ini yang muncul di dalam kekacauan pesta,
maka dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu lihai sekali. Seperti juga
Tambolon sendiri, dua orang pembantu utamanya ini juga belum mengenal
See-thian Hoat-su, bekas suami Durganini guru Tambolon. Liauw Kui sudah
cepat mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya
lalu menyerang kakek itu sambil menyerukan perintah mengepung dan
mengeroyok kepada semua anak buah kedua pasukan yang jumlahnya ada tiga
puluh orang lebih itu!
Siang Hwa, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya sudah cepat
mendayung perahu getek atau rakit bambu itu ke tengah setelah Siang Hwa
yang tadi meloncat ke darat, berhasil menarik adiknya dan membawanya
lari ke atas rakit. Sedangkan Kian Bu dan See-thian Hoat-su mengamuk
dikeroyok oleh dua orang pembantu Tambolon yang lihai dan tiga puluh
orang lebih itu.
See-thian Hoat-su tidak mengeluarkan ilmu sihirnya karena kakek ini
mengira bahwa bekas isterinya, Durganini ikut pula mengejar dan
mengeluarkan ilmu sihir berarti mencari penyakit kalau nenek bekas
isterinya yang merupakan tokoh sihir itu berada di situ. Malah dia pun
sudah merasa gentar, maka cepat dia berkata, “Orang muda, mau tunggu apa
lagi? Hayo lekas kembali ke rakit!”
Kakek itu sudah menyambar beberapa buah batu, lalu dia melemparkan
sebuah batu melayang lurus ke depan, tepat di permukaan air sungai,
disusul tubuhnya meloncat, menginjak batu itu sambil melempar lagi batu
kedua ke depan, meloncat lagi dan dengan cara mengagumkan ini dia telah
tiba di atas rakit. Akan tetapi, ternyata Kian Bu juga telah berada di
atas rakit itu. Kiranya pemuda ini tadi melayang tinggi ke atas, lalu di
atas membuat jungkir balik sembilan kali sehingga tubuhnya meluncur
terdorong gerakan poksai susul-menyusul ini dan hinggap di atas rakit
dengan ringan. Siang Hwa, Siang In, Panglima Jayin dan empat orang
pembantunya melongo melihat demonstrasi ginkang istimewa yang dilakukan
oleh kakek berambut putih dan pemuda tampan itu.
Siang Hwa dan Siang In berpelukan dan mencucurkan air mata saking girang
dan terharu bahwa mereka berdua telah lolos dari bahaya mengerikan yang
mengancam diri mereka di sarang Raja Tambolon. Namun mereka tidak
mendapat banyak kesempatan untuk bertangisan dan saling menceritakan
pengalaman lebih lama lagi karena Kakek See-thian Hoat-su berseru, “Hayo
kalian hentikan tangis-menangis itu, lihat mereka telah mengejar kita!”
Semua orang menengok dan memang benar. Kiranya tiga puluh lebih anak
buah Tambolon itu telah mempergunakan rakit-rakit yang banyak terdapat
di tepi sungai dan melakukan pengejaran di atas enam buah rakit yang
mulai mengepung dan mencegat dari empat jurusan.
“Awas anak panah!” Kian Bu berseru sambil meloncat berdiri.
Bersama Kakek See-thian Hoat-su, pemuda Pulau Es ini dengan tangkas
menyambut anak-anak panah yang datang menyambar, menangkis dengan kaki
tangannya. Melihat ini, See-thian Hoat-su tertawa gembira.
“Ha-ha-ha, orang muda perkasa. Engkau memang hebat!”
Dan seperti berlomba dan tidak mau kalah, dia pun menangkis dan
menendang setiap anak panah yang meluncur dan menyambar di dekatnya.
Kakek tua renta itu tertawa-tawa, gembira sekali seperti seorang anak
kecil bermain perang-perangan. Akan tetapi selagi kedua orang ini sibuk
menghadapi serangan anak panah dengan menangkis, enam buah rakit itu
telah mengepung dekat dan mereka telah menyerang dengan tombak-tombak
panjang.
Si kakek berambut putih menjadi makin girang. Dia dapat menangkap
sebatang tombak musuh dan sambil bersorak girang dia meloncat ke atas
sebuah rakit musuh dan mengamuk di situ. Susahnya bagi para pelarian
itu, kakek ini seperti anak kecil, tidak segera merobohkan enam orang di
atas rakit itu melainkan mempermainkan mereka dan hanya menampar dan
menendang perlahan saja untuk mempermainkan, membuat mereka berjatuhan
akan tetapi mereka masih dapat bangkit kembali dan mengeroyok lagi. Hal
ini agaknya menyenangkan hati kakek itu, seperti seekor kucing yang
sedang mempermainkan enam ekor tikus, melayani mereka, membagi-bagikan
tamparan sambil tertawa-tawa.
“Heiittt, wuuhh, tidak kena... heh-heh-heh, nah, berlututlah engkau, dan
kau rebahlah!” Demikianlah kakek itu bermain-main, membuat gemas juga
hati Kian Bu.
Kalau kakek itu bersungguh-sungguh, agaknya bersama dia akan dapat
melawan dan menahan semua musuh ini. Akan tetapi kakek itu main-main dan
kini dia sibuk seorang diri menahan pengeroyokan para pengepung. Untung
bahwa Panglima Jayin dan empat orang pembantunya juga melawan dengan
gagah berani, juga Siang Hwa dan Siang In membantu sekuat tenaga mereka,
sungguh pun keadaan mereka amat repot karena dikepung dan dikeroyok.
“Awas pinggir rakit!” Kian Bu berteriak.
Cepat kakinya menendang kepala seorang musuh yang tahu-tahu muncul di
pinggir rakit. Kiranya sekarang mereka telah mengirim beberapa orang
untuk menyelam dan agaknya ingin menggulingkan rakit! Akan tetapi
Panglima Jayin dan para pembantunya juga sudah siap menjaga keselamatan
rakit mereka yang mulai bergoyang-goyang.
“Auuhhh...!” Salah seorang di antara pembantu Panglima Jayin mengeluh
dan tubuhnya terjungkal ke dalam air sungai karena perutnya telah
terkena sebatang senjata rahasia paku beracun yang dilepas oleh Si
Petani Maut.
“Awas senjata rahasia!” Kian Bu berteriak lagi dan dia sudah menghadapi serangan paling dahsyat di pinggir rakit.
Berkat amukan Kian Bu yang amat tangguh, Si Petani Maut Liauw Kui dan
Sastrawan Yu Ci Pok yang tidak dapat langsung menyerang secara dekat itu
kembali menyuruh para anak buahnya mundurkan rakit.
“Lepas anak panah...!” perintahnya.
Kembali anak-anak panah berluncuran menyerang ke perahu para pelarian
itu. Kian Bu sibuk sendiri dan tidak mungkin dia harus melindungi
seluruh rakit dari anak-anak panah itu. Panglima Jayin dan anak buahnya
juga sudah memutar golok mereka menangkisi anak-anak panah yang datang
menyambar ke arah mereka. Juga dua orang gadis itu harus berlompatan ke
sana-sini menghindarkan diri. Akan tetapi tiba-tiba Siang Hwa mengeluh
dan roboh di atas rakit.
“Cici...!” Siang In menubruk enci-nya dan alangkah kaget hatinya ketika
dia mendapat kenyataan bahwa punggung enci-nya terluka hebat dan ketika
dia mendekap enci-nya, Siang Hwa mengerang lirih.
“In-moi... kau... jaga dirimu... baik-baik...” Gadis ini mengerang lalu
terkulai. Sebatang paku beracun yang dilepaskan oleh Petani Maut kembali
telah memperoleh korban, memasuki punggung Siang Hwa dan tepat mengenai
jantung sehingga gadis itu tewas seketika.
“Enci Siang Hwa...!” Siang In menjerit dan menangis sambil memeluk enci-nya yang sudah menjadi mayat.
Melihat ini, Kian Bu menjadi semakin gemas kepada See-thian Hoat-su,
“Kakek yang menjemukan! Kau membantu kami ataukah membantu musuh?”
teriaknya.
See-thian Hoat-su tertawa dan sekali kaki tangannya bergerak, enam orang
yang dipermainkannya itu terlempar semua dari atas rakit, tenggelam dan
hinggap di pinggir rakit para pelarian itu.
“Ehh, ohhh, kenapa menangis...? Kenapa dia?”
“Enci Siang Hwa... telah... tewas...!” Siang In menangis.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah enak-enak mati mengapa pula ditangisi?
Apa kau ingin melihat enci-mu hidup lagi dan menderita seperti kita ini?
Ohhhh, bocah tolol kau! Aku yang ingin sekali mampus sampai puluhan
tahun tidak juga mampus, sekarang enci-mu sudah enak-enak mati, membikin
aku iri saja, engkau malah menangis!”
Siang In tidak mempedulikan kata-kata yang aneh dan gila-gilaan dari
kakek itu, terus memeluki mayat enci-nya dengan hati hancur dan dia
tidak peduli lagi apakah dia terancam bahaya atau tidak, karena setelah
enci-nya mati, dia amat ngeri dan takut menghadapi hidup seorang diri
saja di dunia yang kejam ini. Enci-nya merupakan pengganti ayah
bundanya, sekarang enci-nya telah mati, berarti bahwa dia akan hidup
seorang diri saja di dunia yang penuh dengan kekerasan dan kesengsaraan
ini.
Kakek See-thian Hoat-su, Kian Bu, Panglima Jayin dan pembantunya yang
tinggal tiga orang itu masih melakukan perlawanan mati-matian karena
para anak buah Tambolon masih terus mengepung mereka. Andai kata
pertandingan itu terjadi di atas daratan, dengan adanya See-thian
Hoat-su dan Suma Kian Bu, tentu sudah sejak tadi dua orang pengawal
Tambolon beserta puluhan orang anak buahnya itu akan roboh semua dalam
waktu singkat.
Akan tetapi pertempuran terjadi di atas sungai, di atas rakit dan
dikepung dari jauh, dihujani anak panah dan senjata rahasia, maka tentu
saja para pelarian itu makin lama makin repot. Rakit mereka telah berada
di tengah sungai yang lebar itu, terlalu jauh dari tepi sehingga tidak
mungkin lagi bagi mereka untuk mendarat. Para pengeroyok sudah mengepung
mereka dan biar pun di antara para pengeroyok itu sudah sepuluh orang
yang terjungkal ke dalam air, namun Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang maklum
akan kelemahan lawan di air, terus mengepung dan berusaha menggulingkan
rakit itu dengan berbagai cara.
Sementara itu, langit di atas mereka berkumpul awan mendung yang
menghitam tanpa diketahui oleh mereka yang sedang sibuk bertempur. Pada
waktu itu Liauw Kui sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyerang
dengan panah api! Dia merasa amat penasaran bahwa dengan banyak anak
buah belum juga mereka dapat mengalahkan para pelarian itu, maka timbul
keinginannya untuk menumpas musuh yang tidak bisa ditawan kembali itu.
Berhamburanlah anak panah berapi ke rakit itu dan See-thian Hoat-su
berteriak-teriak marah. Akan tetapi kakek yang lihai ini bersama Suma
Kian Bu repot menangkis panah-panah ini, demikian pula Jayin dan anak
buahnya. Hanya Siang In yang tidak peduli akan itu semua, dan kalau
tidak ada Kian Bu yang selalu melindunginya, tentu gadis ini akan
menjadi korban panah berapi. Tetapi, walau pun mereka tidak atau belum
terkena anak panah tetapi ada panah yang menancap di rakit mereka yang
mulai terbakar!
Salah seorang anak buah Panglima Jayin cepat melepas jubahnya, membasahi
jubah itu dengan air sungai kemudian dia cepat memadamkan api yang
mulai membakar permukaan rakit dari bambu. Akan tetapi, karena sibuk
dengan usaha ini, dia tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan
terdengar teriakan mengerikan ketika orang ini terkena anak panah yang
menancap di lambungnya! Orang Bhutan ini terjungkal dan jatuh ke dalam
air sungai.
Pada saat itu tiba-tiba turun hujan dengan derasnya seperti dituang dari
langit, dibarengi dengan angin yang kencang. Amukan hujan dan angin ini
sekaligus membubarkan pertempuran, karena selain hujan yang amat deras
membuat cuaca menjadi gelap sekali dan membuat mereka sukar membuka
mata, juga angin ribut membuat air sungai mulai bergelombang yang makin
lama makin dahsyat.
Beberapa kali Siang In menjerit karena hampir dia tak dapat menahan
mayat kakaknya yang akan terlempar keluar karena rakit itu mulai
berguncang dan miring ke kanan kiri. Semua orang harus berpegangan
kuat-kuat pada pinggiran rakit agar tidak terlempar keluar. Ternyata
hujan sejak tadi sudah turun di hulu Sungai Yi-tung dan kini air mulai
membanjir datang, menciptakan arus yang amat kuat sehingga rakit-rakit
itu hanyut dan terputar-putar tanpa dapat dikendalikan lagi.
Rakit yang membawa para pelarian itu pun hanyut terseret arus,
berputaran. Kian Bu mendengar Siang In menjerit dan menangis karena
jenazah enci-nya tidak dapat dipertahankannya lagi. Rakit itu hampir
jungkir-balik dan dia hampir saja terbawa air kalau saja dia tidak
cepat-cepat memegang pinggiran rakit. Dan karena menyelamatkan diri
sendiri ini, dia melepaskan mayat enci-nya yang tahu-tahu telah lenyap
disambar air.
“Enci...!” Dara itu menjerit dan dengan nekat dia hendak menyusul mayat enci-nya.
“In-moi, jangan...!”
Di antara deras air hujan yang membuat orang sukar membuka mata, Kian Bu
melihat dara itu bangkit berdiri. Dia lalu meloncat dan berhasil
mendorong kembali Siang In sehingga terlempar dan roboh di atas rakit,
disambar lengannya oleh See-thian Hoat-su, namun Kian Bu sendiri
tergelincir di pinggir rakit dan terseret oleh air yang mengganas.
“Bu-twako...!” Siang In menjerit akan tetapi Kian Bu telah lenyap
ditelan air sungai yang menggelora itu. Siang In menjerit-jerit dan
roboh pingsan di pelukan Kakek See-thian Hoat-su.
“In-moi... ah, In-moi...”
Kian Bu mengeluh, kepalanya terasa pening dan yang pertama kali teringat
olehnya ketika dia siuman dari pingsannya adalah Siang In karena ketika
dia terlempar ke air sungai dia sedang berusaha menolong gadis itu.
Betapa pun kuatnya tubuh Kian Bu di dalam air yang mengamuk itu dia sama
sekali tidak berdaya. Dia terseret oleh arus, dibuat terguling-guling,
tenggelam-timbul, diangkat ke atas oleh gelombang, dihempas lagi ke
bawah dan dia pingsan. Tubuhnya seperti tidak bernyawa lagi dipermainkan
air Sungai Yi-tung yang mengamuk. Mungkin saja karena pingsan inilah
maka nyawanya tertolong.
Andai kata dia tidak pingsan, tentu dia akan melawan maut dan justru
perlawanan yang sia-sia itu membuat tubuhnya kaku dan mungkin akan
remuk-remuk terbanting-banting seperti itu. Setelah pingsan tubuhnya
menjadi lemas dan tidak pernah melawan saat dipermainkan air dan agaknya
air sungai pun tidak bernafsu lagi menghadapi korban yang tidak mau
melawan, seperti seekor kucing tidak bernafsu lagi mempermainkan seekor
tikus yang sudah tidak dapat bergerak.
Akhirnya air menjadi bosan dengan tubuh manusia yang tak mampu bergerak
lagi itu dan menyeretnya ke tepi, melontarkan ke pinggir sehingga
separuh tubuhnya berada di atas tanah sedangkan dari pinggang ke bawah
masih di dalam air.
“Siang In... kasihan kau...” Kembali dia mengeluh.
“Engkau juga kasihan, muda belia yang tampan...” Terdengar suara halus berada di dekatnya.
Kian Bu terkejut dan kesadarannya mulai kembali. Ketika dia merasa
betapa kepalanya rebah di tempat yang lunak dan hangat, dia cepat
membuka matanya dan terbelalak heran melihat sebuah wajah yang cantik
sekali berada di atasnya. Wajah yang berkulit halus, dengan sepasang
mata bening yang menatap mesra, dengan bibir yang merah tersenyum ramah.
Dan dia ternyata rebah di atas rumput di tepi sungai, kepalanya rebah
di atas pangkuan wanita berwajah cantik itu!
Tentu saja Kian Bu terkejut sekali dan cepat dia bangkit duduk dan
membalikkan tubuh memandang. Wanita itu cantik bukan main dan ia mencium
bau harum semerbak.
“Kau... kau siapakah...?” Kian Bu bertanya meragu karena dia seperti pernah melihat wanita ini.
Senyum di bibir merah itu makin melebar dan nampaklah deretan gigi putih
bersih, kemudian, hanya sekilas pandang, nampak ujung lidah yang
meruncing dan merah menjilat keluar di antara deretan gigi atas bawah,
hanya sebentar saja akan tetapi mendatangkan penglihatan yang
mengesankan.
“Namaku Hong Kui... she Lauw... aku melihat engkau rebah di tepi sungai,
kukira sudah mati, lalu kutarik ke sini, ternyata engkau masih hidup.
Sukurlah, Kongcu, sukur engkau masih hidup...” Suara wanita ini merdu
dan seperti orang bernyanyi saja penuh dengan nada tinggi rendah dan
kata-katanya diiringi gerak bibir mempesona dan kerling mata yang
menyambar-nyambar.
Heran sekali, ketika melihat bibir yang bergerak-gerak dan mata
mengerling tajam itu teringatlah Kian Bu kepada Siang In ketika dara itu
berlagak meniru gerak-gerik wanita yang genit memikat. Wanita genit
memikat! Tak salah lagi, dia inilah orangnya!
“Jadi... engkaukah ini...?” Dia meloncat berdiri.
Wanita itu memandang ke arah celananya yang basah kuyup dan menempel
ketat di tubuhnya, sambil tertawa. Kian Bu menunduk dan cepat dia
menutupkan jubahnya yang juga basah kuyup di depan tubuhnya. Sialan!
Celana yang basah kuyup itu membuat dia seperti telanjang saja.
“Engkau sudah mengenal aku, Kongcu?” wanita itu bertanya dan memandang penuh selidik.
“Bukankah engkau yang dicari-cari oleh Teng Siang In?” Kian Bu bertanya,
diam-diam harus mengakui bahwa wanita yang sudah matang ini benar-benar
cantik menarik dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. “Bukankah
engkau yang... eh, mencuri kitab dari dara itu?”
Wanita yang berpakaian mewah dan indah, dengan gelung rambutnya yang
tinggi itu tersenyum lagi. Dia ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li.
Seperti telah kita ketahui, setelah mendengar dari Siang In tentang obat
anak naga di Telaga Sungari, wanita ini meninggalkan Siang In dan
melanjutkan perjalanan hendak menuju ke telaga itu.
Tetapi dia terhalang oleh hujan angin dan terpaksa dia mencari tempat
perlindungan dan berteduh di dalam sebuah bekas bangunan kuil tak jauh
dari Sungai Yi-tung yang akan diseberangi. Setelah hujan berhenti, dia
keluar dari tempat peneduhan itu dan secara kebetulan saja dia melihat
Kian Bu terdampar di tepi sungai. Melihat seorang pemuda yang amat
tampan dan muda itu terdampar seperti telah mati, dia merasa sayang
sekali dan cepat menghampiri. Segera ditolongnya pemuda itu ketika dia
mendapat kenyataan bahwa pemuda itu masih hidup.
“Ahh, agaknya Adik Siang In telah bercerita kepadamu tentang kitab itu?
Ahh, Kongcu, kitab itu hanya kupinjam saja dan sekarang telah
kukembalikan. Apakah dia tidak bercerita kepadamu betapa aku telah
menolong dan menyelamatkannya dari tangan Tambolon? Akulah yang
mengajaknya lari sebelum dia menjadi korban kejahatan Tambolon dan
mengantarnya sampai dia selamat dari kejaran mereka.”
Kian Bu lalu duduk kembali dan wanita itu membuat api unggun. Sampai
lama mereka tidak bicara, dan wanita itu sering mengerling dan tersenyum
kepadanya, sedangkan semua gerak-geriknya ketika membuat api unggun,
ketika melangkah dan melenggang, semua penuh daya pikat dan seluruh
bagian tubuh wanita itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak dengan
penuh keindahan, dari gerak matanya, sampai ke ujung jari tangannya,
pinggungnya, kakinya, bibirnya.
“Agaknya engkau telah menolong aku pula, Toanio...”
“Aihhh, jangan kau menyebut aku Toanio, Kongcu...,” wanita itu cepat
memutar tubuh, mencela akan tetapi sambil tertawa. “Setelah kita bertemu
di sini dan kebetulan aku menarikmu dari air, bukankah kita telah
menjadi sahabat?”
“Engkau juga menyebut aku Kongcu (Tuan Muda)...”
“Hi-hik, engkau sungkan benar..., biarlah kau menyebut aku... enci,
karena aku memang lebih tua darimu dan kau... eh, siapa sih namamu?”
“Aku Kian Bu, Suma Kian Bu.”
“Namamu gagah, seperti orangnya. Nah, Kian Bu, bukankah kini kita sudah
bersahabat dan lebih akrab kalau aku menyebut namamu saja dan kau
menyebut enci kepadaku seolah-olah kita ini dua orang bersahabat atau
bersaudara?”
“Terima kasih... Enci Hong Kui, engkau baik sekali.”
Wanita itu kembali tersenyum dan membesarkan api unggun. “Kau duduklah dekat api, biar tubuhmu hangat dan pakaianmu kering.”
“Aku harus segera pergi mencari yang lain-lain, Enci. Mungkin mereka pun terdampar dan selamat seperti aku.”
“Ehh, yang lain-lain siapakah?”
Mereka berdua duduk berdampingan di atas rumput, dekat api unggun. Malam
itu gelap dan dingin, tetapi api unggun itu hangat. Kian Bu lalu
menceritakan pengalamannya, betapa dia bersama Siang Hwa, Kakek
See-thian Hoat-su dan lima orang Bhutan melarikan diri dari sarang
gerombolan Tambolon. Kemudian setelah berhasil membawa pula Siang In
yang muncul di tepi sungai, mereka dikepung oleh anak buah Tambolon dan
dikeroyok, akhirnya sampai hujan angin menyerang mereka semua.
“Aku tidak tahu bagaimana dengan nasib mereka karena aku terlempar
keluar dari rakit dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku harus segera
mencari Siang In. Kasihan sekali gadis itu, sudah kehilangan enci-nya
yang tewas di atas rakit, kemudian dia sendiri masih terancam bahaya
maut. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan selamat, dan aku harus
mencarinya sekarang juga, Enci Hong Kui.”
Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li menggeleng kepalanya. “Tidak akan ada
gunanya, Kian Bu. Malam amat gelap, langit masih diliputi mendung dan
tidak mungkin kita dapat mencari dia di tempat gelap begini. Kita
menanti sampai besok dan aku pasti akan membantumu mencari dia.
Sekarang, mari kau makan dulu, aku membawa bekal roti dan arak.”
Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke arah sungai. Air masih penuh
sungguh pun gelombang tidak mengamuk seperti tadi, akan tetapi
keadaannya gelap benar sehingga memang tidak mungkin untuk mencari Siang
In di sepanjang tepi sungai itu. Dia menarik napas panjang dan duduk
kembali, sementara wanita itu mengeluarkan bungkusan roti dan seguci
arak. Makanan itu dibelinya dari warung di dusun yang dilewatinya tadi
dan dibawa sebagai bekal.
“Sungguh kasihan sekali Siang In...” Kian Bu berkata ketika dia sudah
kembali duduk dan membayangkan keadaan dara yang lincah jenaka itu.
“Eh..., apamukah dia itu? Sahabat baikmu? Pacarmu?”
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan terakhir itu, pertanyaan yang diajukan dengan suara biasa saja.
“Oh, bukan! Kami hanya teman-teman seperjalanan yang beberapa hari yang lalu saling berjumpa dalam hutan.”
“Ah, kukira pacar atau... calon isteri.”
“Hemmm, aku masih belum bertunangan,” Kian Bu menjawab cepat untuk menyetop percakapan mengenai hal itu
Wanita itu memandangnya dengan kerling tajam dan senyumnya melebar,
manis sekali. Wajahnya kelihatan kemerah-merahan di bawah sinar api
unggun. “Kian Bu, engkau makanlah. Roti ini kubeli di dusun tadi, masih
lunak. Marilah!”
“Terima kasih.”
Kian Bu menerima roti dan bersama Mauw Siauw Mo-li yang mengaku bernama
Lauw Hong Kui, nama kecilnya yang jarang dikenal orang itu, dia makan
roti karena memang perutnya terasa lapar sekali. Teringat olehnya betapa
dia bersama Siang In sudah sejak ditawan tidak makan apa-apa dan
perutnya menerima roti dengan hangat.
Melihat Kian Bu menelan roti agak seret, Mauw Siauw Mo-li tersenyum
mengulurkan tangannya yang memegang guci arak. “Minumlah... arak ini pun
arak baik, manis dan tidak begitu keras.”
“Mana cawan atau mangkoknya?” Kian Bu menerima guci.
“Ih, membawa cawan di perjalanan berabe saja dan di tempat ini mana ada mangkok? Kau minum saja dari guci itu.”
“Tapi... tapi... ini guci arakmu dan...”
“Aih, Kian Bu, mengapa engkau banyak sungkan? Minum begitu saja mengapa sih?”
“Habis, bagaimana engkau nanti kalau hendak minum?”
“Bagaimana? Ya biasa saja, dari guci.”
“Kalau begitu, kau minumlah dulu!” Kian Bu mengembalikan guci arak,
merasa sungkan kalau harus mendahului. Untuk minum dari guci, berarti
bahwa mulut guci akan beradu dengan mulutnya.
“Hi-hi-hik, engkau seperti anak kecil saja.” Mauw Siauw Mo-li diam-diam
merasa girang sekali dan makin tergila-gila kepada pemuda remaja yang
tampan dan sopan ini. Dia membuka tutup guci, mencucup mulut guci dan
mereguk sedikit arak, lalu menyerahkan guci itu kepada Kian Bu. “Nah,
giliranmu minum!”
Karena memang roti itu sebagian berhenti di kerongkongannya, Kian Bu
menerima guci arak dan mereguk araknya, langsung dari mulut guci masuk
ke mulutnya. Setelah dia menurunkan guci itu, Mauw Siauw Mo-li mengambil
dari tangannya dan tanpa ragu-ragu wanita itu minum lagi. Kian Bu
melihat betapa sepasang bibir yang berkulit tipis itu mengulum mulut
guci dan betapa leher yang panjang itu bergerak-gerak ketika arak
memasukinya. Cepat Kian Bu menunduk karena penglihatan itu terlalu
mendebarkan jantungnya, entah mengapa dia sendiri pun tidak mengerti.
Baru saja mereka selesai makan roti dan minum arak, pada waktu Kian Bu
duduk membelakangi api untuk mengeringkan pakaiannya di bagian punggung,
tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan dia bersikap waspada sungguh
pun masih kelihatan tenang saja. Dia tahu bahwa ada gerakan beberapa
orang mendekat tempat itu dari arah daratan yang penuh pohon-pohon.
Mula-mula dengan penuh harapan, timbul dugaannya bahwa itu adalah Siang
In dan teman-teman lain, akan tetapi dia tahu bahwa harapannya itu
sia-sia karena kalau Siang In, tentu sudah berseru memanggilnya, pula
kalau mereka itu teman-teman, tentu tidak berindap-indap seperti
kelakuan orang-orang yang mempunyai niat buruk.
“Ssssttt, kau mendekatlah ke sini. Ada orang-orang yang datang...” Mauw Siauw Mo-li berbisik.
Tahulah Kian Bu bahwa wanita ini juga memiliki pendengaran yang amat
tajam. Dan wanita ini kelihatan tenang saja, bahkan kini menambah kayu
kering pada api unggun sehingga keadaan di situ menjadi cukup terang.
“Kau mendekatlah agar aku dapat melindungimu, Kian Bu. Mereka itu tentu orang-orang yang berniat buruk...”
Kian Bu menurut dan dia mendekati wanita itu. Mereka masih duduk dekat
api unggun ketika orang-orang itu telah datang mengurung dan dari sudut
matanya Kian Bu melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pembantu
Tambolon bersama sepuluh orang anak buah mereka. Dia bersikap waspada
karena maklum bahwa dua orang pembantu raja liar itu memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi juga. Munculnya dua orang pengejar ini
mendatangkan dua macam perasaan di hati Kian Bu. Dengan masih
berkeliarannya mereka itu di sini, berarti bahwa mereka belum dapat
menawan kembali Siang In dan yang lain-lain, akan tetapi juga
menimbulkan keraguan apakah mereka semua yang menjadi pelarian itu dapat
menyelamatkan diri dari sungai yang mengganas.
Yang datang itu memang benar adalah sisa-sisa anak buah Tambolon yang
berhasil menyelamatkan diri dari amukan badai di Sungai Yi-tung,
dipimpin oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut.
Mereka tidak berhasil menemukan para pelarian itu dan melihat api unggun
dari jauh, mereka lalu berindap-indap datang ke tempat itu. Marah hati
mereka ketika mengenal Kian Bu sebagai seorang di antara para pelarian
itu, dan dua orang pembantu Tambolon ini mengenal pula Mauw Siauw Mo-li,
karena ketika Siluman Kucing ini dahulu bersama Hek-tiauw Lo-mo
memimpin pasukan pemberontak menumpas pasukan Tambolon di Koan-bun,
mereka berdua langsung berhadapan dengan wanita ini dan suheng-nya yang
lihai.
“Hemm, kiranya engkau pula yang berada di sini, Siauw Mo-li!” Liauw Kui
berkata marah sambil melintangkan batang pikulannya di depan dada.
“Sudah beberapa kali engkau sengaja merintangi jalan kami. Sesudah
penyerbuan di Koan-bun, engkau melarikan pengantin raja kami, kemudian
sekarang engkau di sini bersama seorang buruan kami. Berikan dia kepada
kami.”
Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Kalian orang-orang liar kaki tangan
Tambolon, lebih baik lekas pergi dari sini, jangan mengganggu aku kalau
kalian belum bosan hidup.” Dengan sikap tenang seenaknya Lauw Hong Kui,
wanita cantik yang kesenangannya merasa terganggu itu berkata sambil
mengorek api unggun sehingga nyalanya menjadi makin besar.
“Perempuan sombong! Kau kira aku takut kepadamu?” Liauw Kui membentak marah sekali.
“Hi-hik, engkau sudah bosan hidup!” Mauw Siauw Mo-li tertawa lalu
berbisik kepada Kian Bu, “Engkau tunggu sebentar, aku akan menghajar
tikus-tikus busuk ini!”
Kian Bu mengangguk dan memandang dengan terheran-heran. Tak disangkanya
sama sekali bahwa wanita cantik jelita yang telah menolongnya ini, yang
mempunyai nama indah, yaitu Lauw Hong Kui, kiranya adalah Mauw Siauw
Mo-li, Si Siluman Kucing yang telah dia dengar namanya dari kakaknya
itu. Kiranya ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang lihai!
Heran sekali dia mengapa seorang iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo memiliki
seorang sumoi sehebat ini dan sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita
yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li yang dikabarkan seperti iblis betina itu
ternyata adalah seorang wanita yang begitu cantik. Dan wanita ini
ternyata tidak membohong ketika mengatakan bahwa dia menyelamatkan Siang
In dari tangan Tambolon, karena menurut ucapan Liauw Kui yang marah
tadi agaknya memang demikian. Kini Kian Bu duduk di dekat api unggun dan
menonton dengan hati tertarik. Lauw Hong Kui tidak tahu bahwa dia
memiliki kepandaian maka dia pun tidak akan turun tangan kalau tidak
perlu sekali, sungguh pun dia telah siap karena maklum betapa lihainya
dua orang pembunuh utama Tambolon.
“Mampuslah...!”
Tiba-tiba tangan Mauw Siauw Mo-li bergerak dan dia telah melontarkan
sebatang ranting yang ujungnya bernyala ke arah Petani Maut. Ranting
yang ujungnya terbakar itu meluncur seperti anak panah cepatnya,
menyambar ke arah dada pembantu utama Tambolon itu. Liauw Kui mendengus
marah, batang pikulannya bergerak menangkis dan ranting itu meluncur ke
kiri. Terdengar pekik mengerikan dan seorang di antara anak buah pasukan
Tambolon itu roboh dengan perut tertembus ranting tadi yang kini
menjadi padam.
Siauw Mo-li tertawa dan Liauw Kui menjadi marah bukan main. Tak
disangkanya bahwa lontaran ranting itu sedemikian kuatnya sehingga biar
pun telah dapat ditangkis, namun masih dapat membunuh seorang anak
buahnya.
Lauw Hong Kui sudah meloncat berdiri dan tangan kanannya meraba
punggung. Sinar kehijauan nampak di antara cahaya api ketika wanita ini
sudah mencabut pedangnya. Melihat ini Liauw Kui sudah berteriak keras
dan menerjang maju, sambil menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu
batang pikulannya.
“Singgg... wirrr...!”
Pikulan itu berubah menjadi sinar bergulung ketika menyambar ke arah
Siauw Mo-li. Namun wanita ini tidak menjadi gentar, cepat mengelak dan
menggerakkan pedangnya untuk balas menyerang.
“Tring-tring-tringgg...!”
Berkali-kali kedua senjata bertemu dan bunga api berhamburan. Keduanya
merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar, maka dengan
kaget mereka melangkah mundur dan memeriksa senjata masing-masing.
Setelah ternyata bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak, mereka
bergerak lagi saling menyerang dengan marah.
Kian Bu yang menonton pertempuran itu menjadi kagum. Ternyata bahwa Lauw
Hong Kui selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat luar
biasa, juga memiliki kepandaian tinggi, ilmu pedangnya indah dan lihai
sehingga kalau saja pembantu utama Tambolon itu bukan seorang yang
berilmu, tentu tidak akan kuat bertahan menghadapi gerakan pedang yang
cepat dan aneh itu. Mereka ternyata seimbang karena senjata batang
pikulan itu pun luar biasa, berputar seperti kitiran dan mengandung
kekuatan yang dahsyat. Kian Bu mengerti bahwa dalam hal tenaga, Petani
Maut itu lebih kuat dibandingkan dengan Siauw Mo-li, akan tetapi jelas
bahwa wanita itu lebih cepat gerakannya, lebih lincah dan ringan
sehingga mengandalkan kelincahannya ini, Siauw Mo-li dapat mengimbangi
desakan lawan.
Betapa pun juga, Kian Bu maklum bahwa kalau dilanjutkan, besar
kemungkinan wanita itu akan dapat merobohkan lawannya, meski pun akan
tidak mudah baginya melakukan hal itu. Maka dia hanya menonton saja dan
waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai Maut dan anak buahnya yang juga
menonton dengan penuh perhatian.
Melihat betapa setelah lewat lima puluh jurus temannya belum juga dapat
mengalahkan wanita itu, bahkan kini gulungan sinar pedang kehijauan itu
menjadi makin lebar dan makin menghimpit, Yu Ci Pok menjadi tidak sabar.
“Iblis betina banyak tingkah!” teriaknya.
Dia sudah menerjang maju dengan sepasang poan-koan-pit di tangannya
melakukan gerakan cepat menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan
darah depan tubuh wanita lihai itu.
“Cring-cring-cring-tranggg...!”
Siauw Mo-li terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan
batang pikulan dan sepasang poan-koan-pit yang amat lihai itu.
Melihat dua orang itu sudah menerjangnya lagi dan sembilan orang anak
buahnya itu sudah makin mendekat, Mauw Siauw Mo-li tiba-tiba
mengeluarkan suara ketawa diikuti suara aneh seperti seekor kucing,
tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu ke arah gerombolan itu,
tangan kanan memutar pedang mendesak dua orang lawan yang sudah
menyerangnya lagi sambil berteriak, “Kian Bu, tiarap...!”
Terdengar bunyi ledakan keras. Empat orang anak buah Tambolon roboh
sedangkan yang lima orang lagi cepat berlarian cerai-berai. Akan tetapi,
Mauw Siauw Mo-li sendiri terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci Pok.
Sebuah totokan yang sangat cepat menyerempet lututnya, membuat wanita
ini terhuyung dan pada saat itu, batang pikulan Liauw Kui datang
menghantam punggungnya yang biar pun sudah ditangkisnya dengan pedang,
tetap saja masih membuat dia terjengkang dan roboh ke atas tanah. Kini
dua orang pembantu Tambolon itu sudah menubruk ke depan dengan senjata
mereka.
“Wuuuttt... desss!”
Dua orang itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga
dahsyat dan berhawa dingin sekali melanda mereka dari depan. Itulah
dorongan pukulan yang mengandung hawa sakti Swat-im Sinkang dari Kian
Bu. Pemuda ini tentu saja tidak mau membiarkan wanita cantik yang sudah
menolongnya itu tewas di tangan musuh begitu saja, maka dia sudah
meloncat ke depan dan melakukan pukulan jarak jauh tadi.
“Enci Hong Kui... apakah engkau tidak apa-apa? Tidak terluka...?” kata
Kian Bu sambil menghampiri wanita yang masih terduduk di atas tanah itu
dan yang kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar penuh
keheranan.
“Kian Bu, awas...!” Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li berseru keras.
Akan tetapi dengan tenang saja Kian Bu membalikkan tubuhnya dan
menggerakkan kedua tangan. Tentu saja tanpa diperingatkan pun dia telah
tahu bahwa dia diserang dari belakang oleh dua orang itu.
“Plak-plak-bresss...!”
Liauw Kui dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke belakang ketika penyerangan
mereka disambut tangkisan dan tamparan kedua tangan Kian Bu yang
mengandung tenaga dahsyat itu, kini tidak lagi mengandung hawa dingin,
melainkan hawa panas karena pemuda itu telah mengerahkan tenaga sakti
Hwi-yang Sinkang. Batang pikulan Liauw Kui yang tertangkis membalik dan
hampir menghantam kepalanya sendiri, sedangkan Yu Ci Pok tertampar
tangan Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia merasa
lengannya seperti lumpuh dan panas terbakar.
Pada saat itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan dua buah benda bundar lagi ke arah musuh.
“Awas peledak...!” Si Petani Maut berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya dia meloncat jauh.
Tetapi tetap saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling
dan maklum bahwa mereka tidak akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita
berbahaya itu, Liauw Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri, menghilang
di kegelapan malam diikuti anak buah mereka yang tinggal empat orang
itu. Kian Bu tidak mengejar, hanya berdiri tegak memandang ke arah
mereka itu melarikan diri.....
Tiba-tiba Kian Bu menunduk dan dia melihat wanita itu sudah berlutut di
dekatnya, memegang tangan kanannya lalu menciumi tangannya itu.
“Eh, engkau kenapa, Enci?” tanyanya, akan tetapi tidak dapat menarik
tangannya yang digenggam erat-erat dan dibelai oleh wanita itu.
“Kian Bu... kau... tak kusangka... aihhh, engkau hebat sekali! Kiranya
engkau seorang pemuda yang sakti, sungguh mati aku tidak menyangkanya...
kau hebat, aku kagum sekali padamu...”
“Ah, sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci Hong Kui.”
Wanita itu bangkit berdiri, masih memegangi lengan Kian Bu, dan dibawah
sinar api unggun dia melihat betapa muka wanita itu kemerahan, matanya
yang indah itu agak terpejam, menyipit dan sayu menatapnya. Jari-jari
tangan wanita itu lalu merayap dari lengannya, ke atas, membelai
dadanya, pundaknya, lehernya dan mengelus pipinya, bibirnya tersenyum,
agak terbuka, agak terengah. Teringat olehnya akan Siang In yang pernah
meniru lagak wanita genit memikat, wanita ini yang dimaksudkan oleh dara
itu dan kini dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li yang amat
memikat itu.
Berdebar rasa jantungnya, dan dia cepat menarik diri dengan halus sambil
berkata, “Kiranya engkau adalah Mauw Siauw Mo-li... sumoi dari
Hek-tiauw Lo-mo?”
Siauw Mo-li tersenyum, tidak mendesak dengan rayuannya karena dia maklum
bahwa pemuda ini adalah orang yang memiliki kepandaian hebat sekali,
tidak boleh dipandang ringan. Hati wanita ini sudah terpikat. Baru
sekali ini selama hidupnya dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang
pria. Biasanya dia menganggap pria hanya sebagai barang permainannya,
untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan nafsu birahinya. Entah sudah
berapa banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas
mempermainkannya, kemudian menjadi bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum
prialah yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw
Mo-li yang tergila-gila kepada Kian Bu, setelah dia melihat betapa
pemuda yang tampan gagah ini ternyata amat lihai, memiliki kepandaian
yang agaknya lebih tinggi dari pada kepandainnya sendiri.
“Aku benci sekali kepada julukan itu, Kian Bu. Julukan yang diberikan
oleh mereka yang tak suka kepadaku. Aku benci sekali, apa lagi kalau
engkau yang menyebutnya. Bagimu aku adalah Lauw Mong Kui, wanita biasa
saja...”
Kian Bu tersenyum. “Enci Hong Kui, biar pun engkau mengaku seorang
wanita biasa saja, kenyataannya engkau adalah seorang wanita yang luar
biasa. Engkau cantik jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari Ketua
Pulau Neraka...”
Akan tetapi wanita itu sudah tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya
dari Kian Bu. Demikian girang hatinya mendengar pujian bahwa dia cantik
jelita. “Benarkah, Kian Bu? Benarkah engkau berpendapat bahwa aku cantik
jelita?”
“Engkau memang cantik dan genit memikat...” Kian Bu kembali teringat
kepada Siang In. “Dan biar pun engkau sumoi Hek-tiauw Lo-mo, ternyata
engkau baik, telah menolong Siang In, dan juga telah menolongku. Akan
tetapi sekarang aku harus pergi, Enci Hong Kui. Aku harus mencari Siang
In...”
Kian Bu telah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa bahwa akan
terjadi sesuatu yang tidak baik kalau dia terus berdekatan dengar wanita
ini, yang membuat jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki daya
tarik yang amat luar biasa. Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu
menjelajahi tubuhnya, seperti ular-ular merayap, bulu tengkuknya
meremang, akan tetapi di samping kengerian ini dia pun merasakan sesuatu
yang aneh, nikmat dan membangkitkan keinginan tahunya.
“Ehhh, Kian Bu, nanti dulu!” Lauw Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li sudah
lari mengejar dan memegang lengan tangan pemuda itu. “Kenapa kau ingin
pergi sekarang? Sudah kukatakan malam amat gelap, engkau tidak akan
berhasil mencarinya, pula, di tempat ini berkeliaran orang-orangnya
Tambolon sehingga di dalam gelap amat berbahaya, dapat celaka oleh
mereka. Tunggulah sampai besok pagi, aku pasti akan membantumu mencari
dia, Kian Bu.”
“Tidak perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri. Engkau baik sekali dan terima kasih atas semua bantuanmu.”
“Kau tetap nekat hendak pergi mencari gelap-gelap begini? Kalau begitu, biarlah aku menemanimu.”
Tentu saja Kian Bu tidak dapat menolak atau melarang dan mereka berdua
mulai mencari-cari di sepanjang sungai itu. Akan tetapi, karena memang
cuaca amat gelap, sukar sekali mencari orang dan akhirnya Kian Bu
terpaksa menurut bujukan Hong Kui untuk beristirahat dan menanti sampai
malam lewat, baru akan melanjutkan usaha mencari Siang In dan yang
lain-lain itu. Mereka duduk di tepi sungai, membuat api unggun.
“Tidurlah, Kian Bu. Engkau baru saja mengalami bahaya maut di sungai,
mengalami pertandingan yang berat. Engkau tentu lelah sekali, biar aku
yang menjaga di sini.”
Kian Bu memang merasa lelah sekali. Dia lalu merebahkan diri terlentang
di atas rumput dekat api unggun, memandang wanita itu yang duduk dekat
api unggun sambil menambah kayu bakar ke dalam api. Hong Kui menoleh dan
mereka saling pandang. Wanita itu tersenyum. Giginya yang berderet rapi
itu berkilauan tertimpa cahaya api. Wanita cantik sekali, pikir Kian Bu
yang rebah terlentang berbantal kedua tangannya.
“Enci Hong Kui, kita baru saja saling bertemu. Mengapa engkau begini
baik kepadaku? Selain menolongku dari sungai ketika aku pingsan,
membantuku melawan anak buah Tambolon, bersikap manis dan kini hendak
membantuku mencari Siang In. Mengapa?”
Pertanyaan yang mengandung nada suara penuh selidik ini tentu saja dapat
tertangkap oleh wanita yang sudah berpengalaman itu. Mauw Siauw Mo-li
tahu pemuda macam apa adanya Kian Bu. Pemuda yang masih perjaka, yang
belum berpengalaman, namun seorang yang gemblengan dan walau pun di
dalam sinar mata pemuda itu terdapat semangat kegembiraan yang besar,
namun pemuda seperti ini tak akan mudah tunduk kepada dorongan nafsu
begitu saja. Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti yang
sering dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula
mempergunakan obat bius atau obat perangsang.
Satu-satunya jalan dia harus dapat menundukkan hati pemuda ini dengan
rayuannya, harus dapat menimbulkan cinta kasih di hati pemuda ini. Dan
dia dapat membayangkan betapa akan senang dan bahagia hatinya kalau
pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat menjadi kekasihnya. Dia akan
melepaskan semua hasrat petualangannya, akan menghindari semua pria lain
kalau saja dia bisa mendapatkan cinta kasih dari pemuda luar biasa ini.
Maka dia harus bersikap cerdik dan hati-hati.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Bu ketika
mendadak dia melihat wanita cantik itu menutupi muka dengan kedua tangan
dan terisak menangis!
“Ehh, Enci..., kau kenapa?” tanyanya sambil bangkit duduk.
Hong Kui terisak lirih, mengatur pernapasannya terengah, kemudian dia
menurunkan kedua tangan. Mukanya pucat matanya merah dan air mata
menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia menggigit bibir seperti hendak
memperkuat hatinya, kemudian baru dia berkata sambil menunduk,
“Pertanyaanmu mengingatkan aku bahwa aku hanyalah seorang calon mayat,
Kian Bu...” Air matanya bercucuran.
“Eh, apa maksudmu, Enci?” Kian Bu memandang penuh perhatian dan teringat
akan gaya Siang In ketika menirukan gerak-gerik wanita ini. Akan tetapi
sekali ini agaknya Hong Kui tidak bersandiwara, tidak berpura-pura dan
bergaya memikat.
“Tadi aku tidak berterus terang ketika menceritakan kepadamu, Adik Kian
Bu. Aku sampai mencuri kitab dari Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah
Adik Siang In, hanya karena terpaksa. Aku keracunan hebat oleh latihan
yang keliru, melatih ilmu dari kitab suheng Hek-tiauw Lo-mo, dan aku
tahu bahwa kalau tidak memperoleh obat yang tepat, aku akan mati.
Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, maka
timbul kembali harapanku, akan tetapi... aku sangsi apakah engkau akan
sudi membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari ancaman maut...,
karena itu aku membantumu sekuat tenagaku hanya... hanya agar supaya
engkau menaruh kasihan kepadaku...”
“Enci Hong Kui, mengapa kau berkata demikian? Tanpa engkau menolongku
sekali pun, kalau memang aku dapat membantu, aku tentu tidak akan
menolak jika engkau membutuhkan bantuanku.”
Wajah yang pucat itu menjadi agak berseri, mata yang sayu oleh tangis
itu memandang penuh harapan. “Benarkah, Kian Bu? Ahhh, benarkah kau sudi
menolongku? Aku... aku adalah seorang sebatang kara, tidak punya ayah
bunda, tidak ada saudara...”
“Ada suheng-mu...”
“Suheng-ku adalah seorang yang jahat, seorang yang kejam, bahkan ancaman
maut ini datang dari kitabnya yang kupelajari, dan dia tidak peduli...”
“Akan tetapi masih ada Hek-wan Kui-bo. Bukankah dia suci-mu...? Ahhh, maaf, hampir aku lupa bahwa dia telah tewas...”
“Andai kata masih hidup pun, Suci itu lebih jahat lagi dari pada Suheng.
Pendeknya, aku hidup sebatang kara di dunia ini, dan sekarang terancam
bahaya. Hanya engkau yang kuharapkan, hanya engkau yang dapat
membantuku, Kian Bu.”
“Enci Hong Kui, engkau sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian
tinggi. Kalau hanya mencari obat saja, tanpa bantuanku pun engkau tentu
dapat melakukannya.”
“Aihhh, engkau tidak tahu. Pernah Suheng berkata kepada puterinya, si
anak nakal Hwee Li, bahwa yang akan dapat menyembuhkan keracunan di
tubuhku ini hanya anak naga di Telaga Sungari. Dan bulan depan ini naga
itu akan muncul, munculnya setiap sepuluh tahun sekali. Nah, anak naga
yang dibawa muncul di permukaan air telaga oleh induknya itulah yang
akan dapat membersihkan darah dan tubuhku dari keracunan. Akan tetapi,
tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu. Dengan tenagaku
sendiri saja, agaknya tak akan mungkin berhasil. Karena itu, aku mohon
kepadamu..., sudilah engkau membantuku menangkap anak naga di Telaga
Sungari itu, yang berarti bahwa engkau akan menyelamatkan nyawaku.” Dan
wanita itu pun menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian
Bu!
Pemuda itu terkejut, merasa kasihan sekali lalu membangunkan wanita itu. “Jangan begitu, Enci. Baiklah, aku akan membantumu.”
“Terima kasih... ohh, terima kasih...!” Lauw Hong Kui memegang tangan
Kian Bu dan mencium tangan pemuda itu. Perbuatan ini bukan merupakan
sandiwara lagi, melainkan keluar dari setulusnya hati karena dia merasa
gembira dan berbahagia sekali.
“Enci, kau aneh sekali.” Kian Bu perlahan menarik tangannya. “Apa sih
anehnya tolong-menolong antara manusia dalam hidup ini? Bahkan kuanggap
bukan pertolongan lagi namanya, melainkan sudah semestinya kalau manusia
hidup harus bantu-membantu.”
“Aku besok akan membantumu mencari Siang In dan yang lain-lain sampai
dapat, Kian Bu. Setelah itu barulah kita berangkat ke Telaga Sungari dan
mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena urusan ini adalah mati
hidup bagiku.”
Hong Kui cerdik sekali dan dia tidak mau terlalu mendesak, menahan
kerinduan dan birahinya karena dia tak ingin pemuda yang telah
menjatuhkan hatinya ini akan menjadi curiga kepadanya. Memang dia amat
membutuhkan obat seperti yang diceritakan oleh Siang In itu, akan tetapi
dia membohong bahwa dia akan mati. Yang jelas, dia merasa bahwa
kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang terasa nyeri di dadanya
sebagai akibat keracunan itu. Akan tetapi yang penting baginya bukanlah
itu, melainkan Kian Bu! Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang
membuatnya tergila-gila ini sebagai suami atau kekasih, biar mati oleh
racun itu pun dia sudah merasa puas!
Kedua orang ini lalu beristirahat. Kian Bu bersandar pada batang pohon,
memandang ke arah tubuh Hong Kui yang rebah terlentang di dekat api
unggun dalam keadaan pulas. Cantik sekali wanita ini, pikirnya, kagum
melihat wajah yang cantik itu tertimpa sinar api unggun dan tubuh yang
menggairahkan itu menonjol di balik pakaian dari sutera, dadanya yang
penuh turun naik dalam pernapasannya. Wanita cantik yang terancam bahaya
maut. Akan tetapi benarkah itu?
Perempuan ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan Ketua Pulau
Neraka itu demikian jahatnya! Bagaimana kalau wanita ini pun jahat
seperti suheng-nya dan kini sedang menjalankan siasat untuk menipunya?
Kelihatannya begitu sehat dan segar, dan gerakannya ketika bertanding
tadi amat ringan dan lincah, sama sekali tidak ada tanda-tanda
keracunan.
Akan tetapi, dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja
tanda-tanda itu tidak nampak olehnya. Betapa pun juga, kepandaiannya
tentang jalan darah dan hawa murni di dalam tubuh yang dimilikinya saat
dia dilatih sinkang di bawah gemblengan ayahnya, membuat dia dapat
menentukan apakah seseorang mengandung hawa beracun di dalam tubuhnya
atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya dan detik jantungnya.
Kian Bu mendekati tubuh Hong Kui. Melihat wanita itu sudah tidur pulas,
dan hal ini diketahuinya dari jalan pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur
tangan, yang kiri meraba ulu hati Hong Kui, yang kanan memegang
pergelangan tangannya. Pemuda yang lihai namun masih hijau ini dapat
dikelabui oleh Hong Kui. Wanita ini amat pandai, dan tahu bahwa untuk
mengelabui seorang pemuda setinggi Kian Bu kepandaiannya bukanlah hal
mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata pura-pura tidur saja tentu
akan diketahui oleh pemuda lihai itu.
Dia pun tahu bahwa bagi seorang yang mengerti akan ilmu silat, tanda
bagi seseorang apakah dia itu pulas atau tidak dapat dilihat dari
pernapasannya, karena pernapasan dari seorang yang tidak tidur, betapa
pun diusahakan supaya halus dan panjang, tetap saja dikuasai oleh
kesadaran dan setiap saat dapat berubah sesuai dengan isi pikiran yang
menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat terlepas dari
keadaan jantung itu terpengaruh pula. Pernapasan seorang yang tidur
adalah wajar dan tidak dikuasai apa-apa, paru-paru bekerja sewajarnya
dan dengan sendirinya.
Pendengaran tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu
saja mampu membedakannya. Karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang
dan sengaja menghimpit bajunya di bawah tubuh sehingga bajunya itu
tertarik ketat mencetak lekuk-lengkung tubuhnya hingga terlihat amat
menggairahkan, melakukan siu-lian sambil rebah hingga keadaannya tiada
bedanya dengan orang tidur karena segala bentuk rasa, hati dan pikiran
telah terhenti dan tak lagi mempengaruhi jantungnya, membuat
pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur!
Patut dikagumi kekuatan kemauan wanita ini. Dapat dibayangkan betapa
ketika Kian Bu mendekatinya, menempelkan telapak tangan di antara bukit
dadanya, nafsu birahinya telah terangsang dan ingin dia segera merangkul
leher pemuda itu dan menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan tetapi
Hong Kui menahan diri dan tidak bergerak sama sekali.
Pada dasarnya Suma Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang memiliki
sifat-sifat romantis. Dia memang tidak mempunyai niat lain kecuali
memeriksa keadaan tubuh wanita itu untuk menyelidiki apakah benar wanita
itu keracunan darah dan tubuhnya, tetapi ketika ujung jari tangannya
menyentuh ulu hati dan tanpa disengaja menyentuh lereng bukit dada,
jantungnya sendiri berdebar tegang sehingga ketegangannya membuat
kepekaannya berkurang dan dia tidak tahu bahwa dalam beberapa detik,
jantung wanita itu berdebar keras sekali, kemudian terhenti dan menjadi
normal lagi.
Ketika Kian Bu mengerahkan sedikit sinkang yang hangat untuk
menyelidiki, dan merasa betapa tenaganya itu bertemu dengan hawa yang
tidak wajar padahal wanita itu masih pulas, tahulah dia bahwa memang ada
hawa beracun yang mukjijat dan berbahaya mengeram di dalam tubuh dan
darah Lauw Hong Kui. Cepat dia melepaskan kedua tangannya dan kembali ke
tempatnya semula, yaitu bersandar pada batang pohon.
Dia tidak membohong, pikirnya lega, akan tetapi perasaan jari tangan
bersentuhan dengan bukit dada tadi selalu mengganggu pikirannya, tak
pernah dapat dilupakannya sehingga Kian Bu menjadi gelisah dan tidak
berhasil tidur sama sekali. Maka dia lalu menghampiri api unggun,
ditambahi kayu sehingga api membesar, kemudian dia duduk bersila untuk
mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu dan digelitik
pengalaman tadi.
Akhirnya dia dapat menenangkan dirinya dan dapat beristirahat, tidak
tahu betapa sebuah di antara sepasang mata Hong Kui bergerak dan
setengah terbuka memandang ke arahnya, dan betapa bibir bawah yang
berkulit tipis penuh dan merah segar itu bergerak-gerak aneh mengarah
senyum.....
********************
Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan. Matahari amat teriknya
hingga bumi seperti terengah-engah kehausan. Musim panas agaknya dimulai
dengan kemarahan matahari yang sudah terlalu sering diganggu mendung
dan hujan.
Sepasang mata di wajah yang buruk itu menatap wajah cantik yang
bersandar pada batang pohon dan kedua matanya terpejam itu. Wajah cantik
itu bersinar kehijauan, warna yang tidak wajar sungguh pun tidak
merusak atau mengurangi kecantikan wajah yang manis itu.
Ceng Ceng yang bersandar pada batang pohon memejamkan matanya,
mengenangkan kembali semua pengalamannya. Teringat dia akan Kian Lee,
pemuda gagah tampan yang cinta kepadanya namun ternyata adalah pamannya
sendiri itu! Membayangkan wajah gagah berwibawa dari Gak Bun Beng,
supek-nya yang selama ini dianggapnya sebagai ayah kandungnya yang sudah
mati. Betapa anehnya lika-liku jalan hidupnya, aneh dan penuh dengan
kekecewaan karena peristiwa yang tak terduga-duga olehnya. Betapa
semenjak meninggalkan Bhutan, dia bertemu dan berhubungan dengan
orang-orang besar dan pandai.
Dimulai dengan pengangkatan saudara oleh Puteri Syanti Dewi, disusul
peristiwa hebat yang membuat kakeknya gugur dan membuat dia mulai
memasuki hidup baru, hidup perantauan dan petualangan yang penuh
kegetiran hidup. Pertemuannya dengan Ang Tek Hoat, dengan Jenderal Kao,
dengan Ban-tok Mo-li, sampai dengan Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga
Hitam, dengan Hek-tiauw Lo-mo, kemudian mala petaka yang menimpa
dirinya, yang menghancurkan semua keindahan hidupnya, pemerkosaan atas
dirinya!
Semua itu agaknya masih belum habis sehingga dia terlibat dalam
pemberontakan, berhasil membantu demi kehancuran pemberontakan, dan
bertemu dengan rahasia kehidupan mendiang ibunya! Dan sekarang, dia
menderita luka parah yang agaknya tidak ada lagi obatnya.
Nyawanya hanya tinggal paling lama satu bulan lagi saja. Satu bulan!
Hanya tiga puluh hari lagi, bahkan menurut Yok-kwi, mungkin dalam
belasan hari saja dia akan mati! Dan musuh besarnya, pemerkosanya, belum
juga dapat ditemukannya! Ah, kenapa nasibnya begini buruk?
Ayahnya..., ahh, ibunya pun diperkosa orang, dan dia adalah anak yang
lahir dari hasil perkosaan! Mengapa mesti disesalkan? Dia seorang yang
tidak berharga, dan tinggal sebulan lagi! Mengapa hidup yang tinggal
singkat itu harus diisi dengan kedukaan? Tidak, dia harus bergembira!
Dia dulu selalu gembira, sebelum bertemu dengan Syanti Dewi. Sekarang,
hidup tinggal sebulan, bahkan mungkin hanya beberapa hari lagi saja, dia
harus bergembira.
“Hemm, sebulan lagi...!” Dia berkata sambil membuka matanya.
Begitu membuka matanya, tampaklah Topeng Setan yang duduk tak jauh di
depannya, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan iba dan
kekhawatiran. Baru Ceng Ceng teringat bahwa dia tidak sendirian, bahwa
di situ masih ada Topeng Setan yang menjadi satu-satunya sahabatnya di
dunia ini. Manusia aneh yang berkali-kali telah menolongnya, yang amat
setia kepadanya.
“Lu-bengcu, mengapa kau kelihatan berduka sekali?” Topeng Setan
bertanya, suaranya mengandung getaran aneh, seperti orang yang amat
terharu, sungguh pun wajah yang kasar dan buruk itu tidak membayangkan
apa-apa.
Ceng Ceng menarik napas panjang, menatap wajah buruk itu penuh perhatian
sehingga beberapa lamanya mereka saling beradu pandang mata dan
akhirnya Topeng Setan menundukkan mukanya, seolah-olah tidak kuat
menatap pandang mata itu.
“Kenapa engkau tidak mau menanggalkan topengmu dan memperkenalkan wajahmu kepadaku?” Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya.
Topeng Setan cepat menggeleng kepalanya. “Aku harap bengcu tidak memaksaku, kita telah berjanji...”
Ceng Ceng menghela napas. “Aku bukan ingin melanggar janji, hanya karena
engkau satu-satunya sahahatku yang baik dan karena aku ingin sekali
tahu apakah engkau ini adalah seorang kakek tua renta, seorang setengah
tua atau seorang muda sehingga memudahkan aku untuk memanggilmu...”
“Mengapa? Bengcu sudah biasa memanggilku Topeng Setan dan aku sudah merasa senang dengan panggilan itu...”
“Tidak pantas! Sungguh tidak pantas. Engkau adalah penolongku, sudah
berulang kali membantu dan menyelamatkan diriku. Apakah engkau seorang
kakek-kakek ataukah seorang muda? Kepandaianmu demikian tingginya hingga
sepantasnya engkau sudah sangat tua, akan tetapi...”
“Aku memang sudah tua, Bengcu...”
“Kalau begitu, biarlah kusebut engkau Paman...”
“Terserah kepada Bengcu...”
“Dan harap Paman tidak menyebutku bengcu (ketua), karena sekarang aku
tidak mau menjadi kepala dari para perampok dan maling itu. Apa lagi
dengan sebutan Lu-bengcu karena aku bukan she Lu.”
“Ehhh...?!” Topeng Setan berseru heran.
“Aku bukan she Lu, aku she Wan... ahhh, aku sendiri baru tahu. Namaku adalah Wan Ceng, nama terkutuk...”
Topeng Setan kelihatan kaget dan gelisah. “Bengcu..., mengapa... mengapa begitu? Apa yang terjadi?”
“Paman, maafkan, aku tidak dapat menceritakan kepadamu. Dan karena aku
sudah menyebutmu paman, maka kau anggaplah aku keponakanmu sendiri dan
kau menyebut namaku yang biasa dipanggil Ceng Ceng. Tentu saja kalau kau
sudi...”
“Tentu saja! Dan kuharap kau jangan memikirkan yang bukan-bukan sehingga
hatimu menjadi tertindih, Ceng Ceng. Apa lagi dengan luka yang kau
derita sekarang, sama sekali kau tidak boleh diganggu pikiran yang
menimbulkan duka.”
Ceng Ceng tersenyum. “Memang aku harus begembira, Paman. Paling lama hidupku tinggal sebulan lagi, perlu apa aku berduka?”
“Tidak! Demi Tuhan, tidak, Ceng Ceng. Engkau memang menderita pukulan beracun, tetapi kau tidak akan mati...”
“Terima kasih, Paman. Kata-katamu menghibur sekali, namun tidak perlu
kau memberi harapan kosong. Yok-kwi adalah seorang ahli yang pandai dan
dia mengatakan bahwa aku tidak akan dapat bertahan lebih dari satu
bulan, kecuali kalau bertemu dengan manusia-manusia dewa yang pandai
seperti Pendekar Super Sakti ayah dari... Paman... ehhh, dari Suma Kian
Lee, atau dengan Si Dewa Bongkok atau... Ban-tok Mo-li guruku sendiri
yang telah mati...”
“Ahhh...! Jadi engkau murid Ban-tok Mo-li?”
“Benar, dan hal itulah yang membuat Yok-kwi tidak dapat menolongku.
Pukulan-pukulan yang kuderita dari Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan
beracun yang amat dahsyat, akan tetapi itu pun masih dapat disembuhkan
oleh Yok-kwi kalau saja di dalam tubuhku tidak penuh dengan racun yang
timbul karena latihan-latihan pukulan beracun yang kuterima dari
mendiang Subo Ban-tok Mo-li. Karena tubuhku mengandung hawa beracun,
maka pukulan Hek-tiauw Lo-mo bergabung dengan racun di tubuhku sendiri,
maka aku tidak dapat tertolong lagi...”
“Cukup, Ceng Ceng. Jangan lagi kau khawatir karena ada orang yang akan mampu menolongmu dan menyembuhkanmu.”
“Siapa...?”
“Aku sendiri!”
“Aihhh... Paman... engkau yang telah menolongku berkali-kali...
katakanlah sejujurnya, apakah benar engkau dapat menyembuhkan aku?” Ceng
Ceng berteriak sambil loncat berdiri dengan mata terbelalak. Wajahnya
yang bersinar kehijauan itu membayangkan harapan besar, dan kedua
matanya menjadi basah karena hatinya tergoncang penuh ketegangan.
Topeng Setan mengangguk. “Duduklah, Ceng Ceng dan tenangkan hatimu.
Kebetulan sekali bahwa aku pun pernah mempelajari tentang racun-racun
yang terkandung dalam pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Coba perkenankan aku
memeriksa pundakmu yang terpukul oleh iblis tua itu.”
Dengan penuh gairah Ceng Ceng lalu duduk di dekat Topeng Setan, membuka
bajunya dan membiarkan pundaknya yang kanan telanjang. Dia tidak melihat
betapa Topeng Setan memejamkan matanya sebentar sambil menahan napas
ketika melihat dia membuka baju dan melihat pundak yang berkulit putih
halus itu. Kemudian orang aneh itu membuka matanya kembali dan berkata,
“Maafkan aku harus meraba pundakmu untuk memeriksa, Ceng Ceng.”
“Aih, Paman Topeng Setan mengapa begitu sungkan? Aku sudah menganggap engkau sebagai pamanku sendiri.”
Topeng Setan lalu meraba pundak yang menjadi hijau kehitaman itu.
Beberapa lama dia meraba-raba pundak dan punggung, menekan sana-sini dan
tiba-tiba dia mengeluarkan seruan kaget.
“Bagaimana Paman?”
“Ah, Yok-kwi itu memang pintar sekali...”
Ceng Ceng terkejut. “Kalau begitu... benarkah bahwa aku... aku akan mati dalam waktu sebulan?”
Topeng Setan menjawab cepat. “Tidak! Memang demikian kalau tidak ada
orang yang mengobati, akan tetapi aku pasti akan menyembuhkanmu, Ceng
Ceng. Demi Tuhan, aku pasti akan menyembuhkanmu, apa pun yang akan
terjadi!”
Ceng Ceng merasa heran dan terharu menangkap nada suara yang aneh dan tergetar di dalam kata-kata Topeng Setan.
“Dia memang benar sekali ketika mengatakan bahwa racun pukulan Hek-tiauw
Lo-mo bercampur dengan racun di tubuhmu yang timbul karena
latihan-latihanmu menurut pelajaran Ban-tok Mo-li. Akan tetapi aku
mengenal pukulan Hek-tiauw Lo-mo ini dan aku dapat menyembuhkan. Hanya
hawa beracun di tubuhmu yang kini telah membalik dan menyerang dirimu
sendiri... biar pun setelah akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo lenyap engkau
tidak akan mati karenanya, akan tetapi hawa beracun itu akan membuatmu
menderita dan kiranya hanya ada satu macam obat yang akan dapat
membersihkan tubuhmu sama sekali dari cengkeraman hawa beracun itu.”
“Dan obat itu tak mungkin didapatkan...?” Ceng Ceng bertanya, siap
menghadapi hal paling buruk sekali pun karena sekarang Topeng Setan
sudah menyatakan sanggup melenyapkan ancaman maut dari tubuhnya.
“Sukar sekali didapatkan, akan tetapi akan kucoba juga. Obat itu
merupakan seekor anak naga yang berada di Telaga Sungari, yang muncul
sepuluh tahun sekali. Itu pun kalau kebetulan telurnya menetas.
Sudahlah, hal itu kita bicarakan lagi nanti kalau luka pukulan Hek-tiauw
Lo-mo sudah sembuh. Akan tetapi kita harus mencari tempat sunyi untuk
pengobatan ini agar jangan terganggu orang lain.”
Mereka lalu memasuki sebuah hutan lebat dan akhirnya mereka berdua tiba
di tempat yang sunyi dan tersembunyi, di balik sekumpulan batu-batu
besar yang tertutup semak-semak belukar. Topeng Setan minta agar Ceng
Ceng membuka baju di punggungnya, menyuruh dia duduk bersila, kemudian
dia sendiri lalu duduk bersila dan bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga
dan memusatkan panca indra.
“Kau lumpuhkan semua tenaga di dalam tubuhmu, dan apa pun yang nanti
kulakukan kepadamu, janganlah kau lawan dan jangan kaget kalau nanti
engkau muntah darah,” terdengar suara Topeng Setan berbisik.
Ceng Ceng mengangguk, membiarkan dirinya ‘terbuka’, dan melemaskan
seluruh urat serta menyimpan semua hawa tenaga di dalam tubuhnya. Dalam
keadaan seperti itu, pukulan seorang biasa saja sudah cukup untuk
membunuhnya! Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan pengalamannya
ketika Kian Lee mencoba untuk mengobatinya, maka dia berkata, “Nanti
dulu, Paman. Apakah pengobatan ini tidak berbahaya bagimu? Paman... Suma
Kian Lee pernah mencoba untuk mengobatiku dengan sinkang dan hampir dia
celaka karena racun di tubuhku menular kepadanya.”
“Jangan khawatir, aku akan mencegah hawa beracun di tubuhmu untuk mengadakan perlawanan otomatis. Nah, aku mulai!”
Topeng Setan lalu menotok jalan darah di daerah pundak yang terluka, di
seputarnya, kemudian mengurut punggung dara itu beberapa kali. Ceng Ceng
merasa betapa tubuh belakangnya menjadi panas sekali, akan tetapi dia
mempertahankannya, bahkan ketika kepalanya terasa pening, dia pun tidak
menggerakkan tubuh sedikit pun juga. Dia sudah pasrah dengan kepercayaan
penuh kepada orang aneh bertopeng buruk ini. Nyawanya sudah terancam
bahaya maut, apalah artinya bahaya lain lagi yang mungkin dapat
mengancamnya dalam cara pengobatan ini?
Gerakan jari-jari tangan yang kuat dan mengurut-urut punggung serta
pundaknya itu kemudian berhenti, lalu terasa olehnya betapa kedua
telapak tangan yang lebar, kasar dan kuat itu menempel di punggung atas
dan dekat pundak. Mula-mula hanya ada hawa hangat saja menjalar keluar
dari kedua telapak tangan itu, hawa panas yang berputaran dan berpusat
di pundaknya yang terluka.
Rasa nyeri menusuk-nusuk tempat itu, akan tetapi Ceng Ceng tetap duduk
tak bergerak dan hanya beberapa tetes air mata yang meloncat keluar dari
pelupuk matanya dan mengalir di sepanjang kedua pipinya saja yang
menandakan betapa gadis itu menderita rasa nyeri yang hebat!
Kedua tangan yang lebar itu sekarang gemetar dan makin lama makin hebat,
akhirnya menggigil dan Ceng Ceng merasakan betapa gelombang demi
gelombang hawa yang amat kuat memasuki tubuhnya dan menyerang pundaknya
yang terluka. Dia kagum sekali. Pernah dia merasakan hawa sakti yang
keluar dari tangan Suma Kian Lee, juga amat kuat dan panas akan tetapi
halus dan tidak sedahsyat tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan
ini. Diam-diam dia makin kagum dan terheran-heran.
Siapakah sebenarnya orang yang amat lihai ini? Siapakah yang bersembunyi
di balik topeng buruk itu dan kenapa orang ini menyembunyikan mukanya
dari dunia? Agaknya orang ini sudah mengalami pukulan batin hebat pula,
pikir Ceng Ceng dengan perasaan kasihan.
Tiba-tiba hawa yang amat kuat mendesaknya dari pundak ke atas dan dia
merasa lehernya tercekik dari dalam, membuatnya tidak dapat bernapas
lagi! Kalau saja Ceng Ceng belum menyerahkan seluruh keselamatan
nyawanya kepada Topeng Setan, kalau saja dia tidak sudah percaya
sepenuhnya lahir batin karena dia tahu bahwa nyawanya memang sudah
terancam maut, tentu dia akan meronta dan melawan.
Namun dia pasrah dengan seluruh kepercayaannya sehingga cekikan yang
dirasakan dalam tubuhnya, yang membuatnya sama sekali tidak dapat
bernapas lagi itu, tidak membuat dia menjadi panik. Bahkan dia merasakan
serta mengikuti tenaga dahsyat yang mengalir dari bawah dan mendesak
itu. Akhirnya hawa yang amat kuat itu sampai di tenggorokannya. Tak
dapat ditahan lagi, dia lalu muntahkan darah kental menghitam yang cukup
banyak!
Topeng Setan melepaskan kedua tangannya dan berkata lirih, “Sekarang kau
rebahlah, Ceng Ceng. Rebah dan tidurlah, jangan memikirkan apa-apa...”
Bagai terkena sihir, tanpa membuka matanya Ceng Ceng kemudian merebahkan
diri terlentang. Bajunya masih belum dipakai lagi, kini dipegang oleh
kedua tangannya dan menutupi dadanya. Rasa lemas dan lelah luar biasa
membuat Ceng Ceng seperti setengah pingsan, akan tetapi rasa nyaman
meliputi dirinya, terutama sekali karena pundaknya tidak terasa sakit
lagi, membuat dia menjadi mengantuk sekali dan tak lama kemudian gadis
ini pun sudah tidur pulas!
Ketika terbangun, Ceng Ceng merasakan tubuhnya nyaman dan ringan, juga
perutnya menjadi lapar sekali. Dia ingat akan pengobatan tadi dan
membuka matanya. Ternyata di luar bajunya yang dipakai menutupi dadanya
kini terdapat sehelai jubah lebar yang menyelimutinya. Jubah Topeng
Setan! Dia teringat bahwa tadi dia muntah darah, akan tetapi ternyata
sudah tidak ada bekas-bekasnya di situ, sudah dibersihkan oleh Topeng
Setan tentunya. Ceng Ceng lalu bangkit duduk dan memakai kembali
bajunya. Sambil membawa jubah itu, dia keluar dari balik batu-batu besar
dan melihat Topeng Setan sedang memanggang sesuatu.
“Eh, kau sudah bangun? Nah, mukamu sudah merah lagi, tanda hawa beracun itu telah lenyap. Eh, ehhh... apa yang kau lakukan ini?”
Topeng Setan cepat meloncat berdiri ketika dia melihat Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut di depannya!
“Paman telah berkali-kali menolongku, dan sekarang pun Paman telah
memperlihatkan kebaikan kepadaku, entah dengan cara bagaimana aku akan
dapat membalas budi kebaikan Paman.”
“Ehh, kau... kau... jangan begitu!” Sekali tarik saja, Topeng Setan telah membuat Ceng Ceng terpaksa bangkit berdiri.
“Ceng Ceng, janganlah kau ulangi lagi perbuatanmu itu. Aku berusaha
mengobatimu dengan hati tulus, sama sekali tidak mengandung pamrih agar
engkau berhutang diri kepadaku. Aku... aku tidak suka engkau bersikap
demikian. Pula engkau memang telah terbebas dari pukulan Hek-tiauw
Lo-mo, akan tetapi engkau masih dicengkeram hawa beracun dalam dirimu
yang menjadi racun jahat setelah bertemu dengan pukulan kakek iblis
itu.”
Ceng Ceng mengembalikan jubah itu, kemudian duduk dekat api tempat
Topeng Setan memanggang seekor ayam hutan, menarik napas panjang lalu
berkata, “Aku tidak akan berbuat demikian lagi kalau engkau tidak suka,
Paman Topeng Setan. Akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku?
Mengapa engkau selalu menolongku, sejak aku dikeroyok orang di atas
rumah di kota raja dahulu itu? Mengapa?”
“Karena... aku adalah pembantumu, Ceng Ceng. Engkau bengcu dan aku pembantumu, bukan?”
“Ahh, harap engkau jangan menggunakan alasan itu, karena aku tahu bahwa
itu hanya merupakan alasan kosong yang dicari-cari. Kepandaianmu sepuluh
kali lebih tinggi dari pada kepandaianku, namun engkau merendahkan diri
menjadi pembantuku! Kita semua telah berpura-pura, bersandiwara. Kau
tahu bahwa aku menjadi bengcu karena hanya ingin membantu pemerintah
agar gerombolan itu tidak dikuasai oleh Tek Hoat yang menjadi kaki
tangan pemberontak. Dan Tek Hoat bersandiwara karena dia kalah janji dan
terikat sumpah dengan aku. Akan tetapi kau... mengapa kau selalu
menolongku?”
Topeng Setan menarik napas panjang dan membalik panggangannya. “Mungkin
karena aku merasa kasihan kepadamu, Ceng Ceng, juga karena kagum
menyaksikan jiwa kepahlawananmu. Sudahlah, mari kita makan ayam panggang
ini saja dan aku sudah mencari air minum.” Dia mengangkat sebuah guci
penuh air. “Engkau harus makan sampai kenyang, baru nanti kuberi
petunjuk latihan untuk membersihkan sisa hawa pukulan itu, sungguh pun
racun di dalam tubuhmu hanya dapat disembuhkan oleh obat mukjijat itu.”
“Anak naga...?”
Topeng Setan mengangguk. Mereka lalu makan daging ayam panggang yang
masih mengepulkan uap itu. Gurih sedap! Makanan apa pun akan terasa
gurih, sedap dan lezat apa bila perut sudah lapar dan tubuh membutuhkan
tenaga baru. Apa lagi makanan daging ayam hutan panggang, ayamnya muda
dan gemuk lagi! Tidak lama kemudian habislah semua daging ayam itu, dan
setelah mereka minum air jernih dari guci itu, Ceng Ceng bertanya,
“Paman, kalau obat mukjijat itu berupa seekor anak naga, mana mungkin
kita menangkapnya?”
“Sebetulnya mungkin hanya sebutannya saja anak naga! Menurut cerita dari
guruku, yang berada di dasar Telaga Sungari itu adalah seekor ular
besar, semacam ular laut yang sudah pindah ke telaga dan menjadi ular
telaga. Ular ini mungkin hanya tinggal satu-satunya di dalam dunia.
Setiap sepuluh tahun sekali dia bertelur dan kalau telurnya menetas, dan
biasanya hal itu terjadi di permulaan musim semi, dia akan membawa
anaknya yang baru menetas itu keluar ke permukaan telaga untuk menangkap
inti tenaga matahari. Nah, permulaan musim semi adalah bulan depan,
maka kita harus berusaha untuk menangkap ular besar itu.”
“Tentu sukar dan berbahaya sekali. Dan kalau kita gagal bagaimana, Lopek
(Paman Tua)?” Ceng Ceng berhenti sebentar dan memandang penuh selidik.
“Kalau gagal memperoleh obat mukjijat itu, akhirnya aku akan mati juga?”
Topeng Setan menggeleng kepalanya. “Bahaya pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah
lewat. Pukulannya itu adalah pukulan Hek-coa-tok-ciang (Pukulan Tangan
Beracun Ular Hitam) yang kukenal, dilatihnya dengan menggunakan racun
ular hitam. Tidak, engkau tidak akan mati karena racun itu, Ceng Ceng,
hanya... karena racun di tubuhmu sudah diselewengkan oleh akibat pukulan
Hek-tiauw Lo-mo, maka tanpa obat itu engkau akan menjadi seorang
manusia beracun yang banyak menderita. Akan tetapi, untuk itu pun masih
ada jalan untuk mengurangi penderitaan dan dengan sedikit demi sedikit
racun itu dapat dikurangi pengaruhnya.”
“Jalan apa, Paman?”
“Dengan latihan inti dari gerakan ilmu silat.”
“Paman, sudah sejak kecil saya berlatih silat...”
“Aku tahu, Ceng Ceng. Namun harus kau akui bahwa selama ini engkau
mempelajari silat dengan dasar membekali diri untuk perkelahian, bukan?
Itulah makanya engkau sampai terjeblos mempelajari ilmu dari Ban-tok
Mo-li. Padahal, ilmu silat tercipta dari gerakan yang tadinya sama
sekali mempunyai dasar lain, yaitu dasar sebagai olah raga untuk menjaga
kesehatan.”
“Paman Topeng Setan, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, aku belum pernah mendengar tentang itu.”
“Begini riwayatnya, Ceng Ceng. Engkau perlu mengetahui riwayatnya
terlebih dahulu sebelum melatih diri dengan ilmu itu untuk menyehatkan
tubuhmu dan sedikit demi sedikit mengusir hawa beracun dari tubuhmu.
Engkau tentu telah mendengar bahwa pencipta ilmu silat yang amat
terkenal adalah Tat Mo Couwsu. Beliau adalah seorang pendeta yang sakti
dan mulia, yang tidak hanya mengajarkan ilmu kebatinan Agama Buddha
untuk menolong manusia dari lembah kesengsaraan dan menuntun ke jalan
kebajikan, juga beliau yang menciptakan dasar-dasar gerakan yang menjadi
inti dari ilmu silat, terutama ilmu silat para pendeta Buddha, yaitu
Siauw-lim-pai.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk. Soal Tat Mo Couwsu sudah pernah didengarnya
dari kakeknya. Menurut kakeknya, Tat Mo Couwsu adalah pencipta pertama
dari ilmu silat yang menjadi sumber semua ilmu silat yang dikenal
sekarang.
“Ceritanya begini....” Topeng Setan melanjutkan dan mulailah dia
menceritakan riwayat penciptaan dasar gerakan ilmu silat oleh pendeta
kenamaan itu, didengarkan oleh Ceng Ceng dengan penuh perhatian......
********************
Tat Mo Couwsu adalah seorang pendeta Buddha yang hidup di dalam jaman
Dinasti Liang (Tahun 506-556 M). Pada suatu hari ketika Tat Mo Couwsu
sedang berkotbah dan mengajar ilmu tentang kehidupan kepada muridnya,
dia melihat beberapa orang di antara mereka yang bertubuh lemah
terkantuk-kantuk. Mengertilah pendeta sakti itu bahwa untuk memiliki
jiwa yang sehat haruslah mempunyai tubuh yang sehat pula, maka dia lalu
menciptakan gerakan-gerakan delapan belas jurus gerakan yang semata-mata
harus dilatih oleh para pendeta lemah itu untuk memperkuat dan
menyehatkan tubuh mereka.
Dan delapan belas jurus ini kemudian menjadi dasar dari semua gerakan
ilmu silat yang makin lama makin berkembang dan diolah serta ditambah
oleh para ahli di kemudian hari. Tiap jurus dikembangkan menjadi empat
sehingga terciptalah ilmu silat yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus.
Kemudian sekali tujuh puluh dua jurus ini dikembangkan menjadi seratus
tujuh puluh jurus yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai
sampai sekarang. Penciptanya adalah tiga orang sakti, yaitu pendeta
Chueh Goan, Li Ceng dan Pai Yu Feng, yang merangkai tujuh puluh dua
jurus yang berdasar dari pelajaran gerakan delapan belas jurus dari Tat
Mo Couwsu itu menjadi seratus tujuh puluh jurus.
“Demikianlah, ilmu silat berkembang terus sampai terpecah-pecah menjadi
bermacam cabang ilmu silat yang bertebaran di seluruh negeri seperti
sekarang ini, ada yang bercampur dengan ilmu-ilmu bela diri dari negara
lain,” Topeng Setan melanjutkan. “Akan tetapi ada ciptaan Tat Mo Couwsu
yang masih asli dan kini menjadi pusaka simpanan bagi para tokoh
Siauw-lim-pai. Ciptaan ini merupakan latihan singkat yang dapat
menyehatkan tubuh dan latihan inilah yang akan kuajarkan kepadamu agar
dapat mengurangi hawa beracun di dalam tubuhmu sebelum engkau dapat
memperoleh obat mukjijat itu, Ceng Ceng.”
Gadis itu menjadi girang sekali. “Terima kasih, Lopek. Aku pasti akan suka melatihnya dengan giat.”
“Ini bukan latihan silat, melainkan gerakan untuk menyehatkan tubuh,
maka melatihnya pun tidak boleh berlebihan, sungguh pun kalau kurang pun
tidak akan ada gunanya. Cukup dilatih dua kali sehari, pagi dan sore di
tempat terbuka. Nama ilmu olah raga ini adalah I Kin Keng (Ilmu
Mengganti Otot), terdiri dari dua belas gerakan.”
Topeng Setan lalu mulai mengajarkan I Kin Keng kepada Ceng Ceng. Karena
ilmu kuno ini mempunyai nilai yang amat tinggi bagi kesehatan, maka
sengaja pengarang sajikan di sini karena mungkin bermanfaat sekali bagi
siapa yang suka mempelajarinya.
Gerakan Pertama :
Kosongkan pikiran dan satukan perhatian. Berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang sejauh satu kaki (30 senti), muka lurus ke depan. Ujung
lidah menyentuh pertemuan antara gigi atas dan bawah. Bengkokkan kedua
lengan ke samping pinggang sampai kedua tangan melintang lurus ke depan.
Pada saat membengkokkan lengan, tenaganya didorong ke bawah oleh
telapak tangan, seolah-olah kedua telapak tangan menekan meja dan siap
untuk meloncat. Lakukan ini perlahan-tahan sampai tiga puluh sembilan
kali, mengendur dan menegang dalam waktu yang sama, kemudian turunkan
tangan kembali. Tarik dan tahan napas di waktu mengerahkan tenaga, dan
buang napas di waktu mengendurkan tenaga.
Gerakan kedua :
Agak dekatkan kedua kaki sampai setengah kaki. Kepal jari-jari tangan
dengan ibu jari lurus mengacung. Gerakkan kedua kepalan tangan di depan
bawah pusar, kedua ibu jari bersambung. Kemudian tarik ibu jari
(ditegangkan) sejauh mungkin ke atas. Tahan menegang sejenak, lalu
kendurkan dan turunkan ibu jari. Lakukan ini berulang 49 kali.
Gerakan ketiga :
Pentangkan kaki terpisah satu kaki seperti pertama. Kedua kaki menahan
kekuatan di bawah, jangan pernah mengendur. Kepal tangan dengan ibu jari
di dalam kepalan dan kendurkan kedua pundak. Lalu keraskan kepalan.
Lakukan ini berulang kali mengeras dan mengendur sampai 49 kali.
Gerakan keempat :
Rapatkan kedua kaki. Kepal dua tinju dengan ibu jari di dalam kepalan.
Angkat lengan ke depan sampai lurus dengan pundak. Kerahkan tenaga ke
depan di waktu menarik dan menahan napas. Lalu keluarkan napas dan
turunkan lengan. Ulangi sampai 39 kali.
Gerakan kelima :
Kedua kaki merapat. Angkat kedua lengan dari samping terus ke atas
dengan telapak terlentang sampai jari-jari saling bertemu di atas
kepala, sambil mengangkat tumit kaki berdiri di atas jari kaki. Lalu
kepal kedua tangan dengan kuat, kemudian turunkan lengan dan tumit.
Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke enam :
Pisahkan kedua kaki seperti pertama. Buatlah kepalan biasa, ibu jarinya
di luar. Angkat kedua lengan ke samping, terlentang sampai rata dengan
pundak. Lalu bongkokkan lengan menjadi segi tiga, permukaan tangan
menghadap pundak. Kemudian keraskan kepalan tangan. Ulangi sampai 49
kali.
Gerakan ke tujuh :
Rapatkan kedua kaki. Membuat kepalan biasa, angkat kedua lengan sampai
sejajar pundak ke depan. Menggunakan tangan, tarik kedua lengan ke
samping sampai sejajar pundak, kepalan menelungkup. Lalu angkat jari
kaki dan berganti-ganti berdiri di atas sebelah tumit kaki. Ketika
menurunkan jari kaki kembali keluarkan napas dan buka kepalan. Ulangi
sampai 49 kali.
Gerakan ke delapan :
Kedua kaki masih merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua
kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka.
Ketika mengangkat kedua lengan, berdiri di atas jari kaki angkat tumit.
Lalu kepalkan tinju dengan keras. Kemudian kendurkan kepalan dan
turunkan tumit, ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke sembilan :
Kedua kaki masih merapat dan ibu jari tangan di dalam kepalan. Angkat
kedua lengan ke depan akan tetapi bengkokkan lengan setelah kepalan
berada sejajar dengan perut. Lalu naikkan kepalan, menghadap ke muka
sampai lengan menjadi bentuk segi tiga. Kemudian putar kedua kepalan ke
dalam sampai menghadap ke depan dagu. Ulangi 49 kali.
Gerakan ke sepuluh :
Kaki tetap merapat dan ibu jari dalam kepalan. Angkat lengan ke depan
sejajar pundak. Kamudian tarik kedua kepalan melintang ke kanan kiri
pundak dengan muka kepalan menghadap ke depan, seolah-olah sedang
mengangkat benda seberat setengah ton dengan siku menegang dan kepalan
mengeras. Ulangi 49 kali.
Gerakan ke sebelas :
Kedua kaki merapat akan tetapi jari membuat kepalan tangan biasa, ibu
jari di luar. Kepalan mengendur dan diangkat ke depan pusar, siku
membengkok. Lalu keraskan kepalan dengan ibu jari ditegangkan. Kemudian
kendurkan ibu jari dan kepalan. Ulangi 9 kali.
Gerakan kedua belas :
Kedua kaki merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua
kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka.
Ketika mengangkat lengan ke depan sejajar pundak dengan telapak
terlentang, angkat pula tumit. Jangan kerahkan tenaga. Tahan posisi ini
sejenak, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi 12 kali.
Demikianlah latihan olah raga I Kin Keng yang diciptakan oleh Tat Mo
Couwsu dan yang diajarkan oleh Topeng Setan kepada Ceng Ceng.
“Kau latih gerakan semua itu, ulangi dari yang pertama sampai kedua
belas sebanyak tiga kali, dan lakukan setiap pagi dan sore. Jangan lupa,
setiap pengerahan tenaga dilakukan setelah napas ditarik dan ditahan,
kemudian setiap pengenduran tenaga dilakukan ketika napas dikeluarkan.”
“Baiklah, Paman. Setelah semua ilmu silat yang pernah kulatih selama ini, latihan I Kin Keng itu tidak seberapa berat bagiku.”
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Telaga Sungari. Makin lama
kedua orang ini makin akrab. Ceng Ceng melatih I Kin Keng setiap hari,
sedangkan Topeng Setan setiap kali masih membantunya dengan pengerahan
sinkang yang disalurkan dengan telapak tangan menempel di punggung gadis
itu.
Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng melatih I Kin Keng, gadis itu melihat
Topeng Setan duduk seorang diri dengan mencoret-coret tanah, menggunakan
sebatang ranting kecil sambil memandang ke depan. Ceng Ceng tidak
menegurnya karena dia sibuk sendiri dengan latihan gerak badan itu.
Setelah selesai dan menghapus keringatnya yang bercucuran, barulah dia
menghampiri Topeng Setan.
“Wah, lukisanmu itu indah sekali! Kiranya engkau ahli pula melukis,
Paman!” Ceng Ceng berseru kagum melihat lukisan seekor kijang di atas
tanah itu. Coretannya kuat dan bagus.
“Kalau sedang iseng aku suka melukis, Ceng Ceng.”
“Kalau begitu, engkau bisa membantu aku melukis orang, Lopek!”
Topeng Setan memandang heran. “Melukis orang? Siapa yang kau maksudkan?” Ceng Ceng duduk di atas tanah.
“Siapa lagi kalau bukan dia! Sampai sekarang aku belum berhasil
mencarinya, karena orang lain tik ada yang tahu bagaimana macamnya.
Kalau aku mempunyai gambarnya, tentu akan lebih mudah mencarinya dengan
bertanya-tanya kepada orang di sepanjang perjalanan. Lopek (Paman Tua),
maukah engkau menolongku lagi? Kulihat Paman pandai sekali melukis, maka
tentu Paman akan dapat melukis wajahnya!”
“Wajah siapa yang kau maksudkan?” Topeng Setan bertanya dan sepasang
mata yang besar sebelah di balik topeng itu mengeluarkan sinar tajam
penuh selidik.
Muka Ceng Ceng berubah merah sekali, akan tetapi dengan menekan
perasaannya, dia mengangkat muka memandang dan menjawab, “Siapa lagi
jika bukan musuh besarku. Paman, aku mempunyai seorang musuh besar yang
harus dapat kutemukan sebelum aku mati. Selama ini, aku mencari-cari
tanpa hasil, maka melihat betapa engkau pandai melukis, aku mempunyal
akal, Paman. Dengan membawa gambarnya, kiranya akan lebih mudah bagiku
untuk mencari dia dan membunuhnya!” Ceng Ceng mengeluarkan kalimat
terakhir itu dengan suara penuh kegeraman karena hatinya terasa sakit
sekali, sampai dia lupa bahwa andai kata dia sudah berhadapan dengan
musuh besarnya itu yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi, belum tentu dia akan dapat menandinginya!
“Ceng Ceng, semuda engkau ini sudah menyimpan sakit hati dan dendam yang
besar. Siapakah musuh besarmu itu?” Topeng Setan bertanya, suaranya
penuh getaran oleh karena merasa kasihan.
“Engkau adalah satu-satunya sahabatku, penolongku dan kuanggap sebagai
ayah atau paman sendiri, maka aku memberi tahu kepadamu, Paman. Si
keparat laknat musuh besarku itu bernama Kok Cu.”
“Hemm..., Kok Cu? Dan siapa she (nama keluarga) orang itu?”
“Aku tidak tahu, Paman. Aku hanya mendengar dari kakek Louw Ki Sun,
pelayan dari Istana Gurun Pasir bahwa orang itu bernama Kok Cu tanpa
diketahui she-nya, dan bahwa musuhku itu adalah murid dari Dewa Bongkok
majikan Istana Gurun Pasir. Sudah kuselidiki di mana-mana, bahkan
dibantu anak buah kita, Namun tidak ada yang pernah mengenal nama itu di
dunia kang-ouw. Maka, kalau aku mempunyai gambar mukanya, tentu akan
lebih mudah mencari dia. Harap Paman suka membuatkan gambarnya.”
Hening sejenak. Topeng Setan hanya menunduk dan termenung, kemudian dia
berkata, “Mana mungkin aku dapat menggambar muka orang yang tidak pernah
kulihat sendiri?”
“Tentu bisa, Paman” Ceng Ceng berkata penuh semangat. “Mari kita mencari
kertas dan alat tulisnya, nanti aku yang menceritakan bagaimana bentuk
wajahnya kepada Paman.”
Gadis itu mengajak Topeng Setan untuk membeli sehelai kertas putih yang
baik dan pensil serta tinta, kemudian di tempat sunyi dia mulai memberi
petunjuk kepada Topeng Setan tentang wajah orang yang dimaksudkan itu.
Mereka memasuki sebuah kuil kuno yang kosong dan setelah menyapu
lantainya dengan daun, Ceng Ceng mengajak Topeng Setan membuat gambar
musuh besarnya itu. Mula-mula dia minta kepada Topeng Setan untuk
menggunakan pensil dan tinta membuat bentuk muka orang di atas lantai.
“Paman, buatlah bentuk wajah yang bulat dari seorang laki-laki muda...,”
katanya penuh gairah karena hatinya tegang bahwa dia kini memperoleh
jalan untuk dapat mencari musuhhya itu lebih mudah.
“Hemm, wajah bulat laki-laki muda? Berapa usianya?” Topeng Setan bertanya, bersila dan memegang pensil bulu.
“Entahlah... hemm, kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima begitulah,” Ceng Ceng menjawab.
Topeng Setan mencelupkan pensil bulu ke dalam bak tinta, lalu membuat coretan, melukis bentuk wajah bulat. “Begini?”
“Ah, tidak gemuk begitu, bentuk wajahnya bulat... atau hampir segi empat, dengan dagu agak keras berlekuk tengahnya...”
Topeng Setan memperbaiki coretannya di atas lantai.
“Nah... nah, begitu sudah lebih mirip... sekarang rambutnya. Rambutnya
hitam tebal dan panjang, atasnya agak tebal disisir ke belakang,
kuncirnya panjang membelit leher dan pundak... ahh, tidak menutup
telinga, Paman. Telinganya masih nampak... yaaa, begitu lebih mirip,
rambut di pelipis kanan ini agak tebal, ya begitu...”
Topeng Setan membuat coret-coret di atas lantai.
“Sekarang matanya, buatlah sepasang mata yang agak lebar, alisnya tebal
panjang seperti golok, ah, bukan begitu... matanya tidak sayu mengantuk
begitu, matanya hidup dan tajam, hidungnya sedang saja dan bibirnya
membayangkan kekerasan hati... aihh... mengapa berbeda...?”
Ceng Ceng lama memandang coretan di atas lantai itu dengan mata
disipitkan, kadang-kadang dipicingkan sebelah dan mulutnya menggerutu,
“Hemmm... mata dan mulutnya sudah mirip, akan tetapi mengapa lain?
Seingatku tidak begitu dia... ahhh, tentu saja! Matanya yang berbeda,
Paman!”
“Matanya berbeda bagaimana? Kau bilang tadi sudah mirip.”
“Maksudku sinar matanya! Di samping tajam, sinar matanya mengandung sorot yang ganas, seperti binatang buas...”
“Ehh...?! Seperti binatang buas?”
“Ya, seperti... ah, cobalah Paman buatkan mata seperti mata seekor harimau buas yang hendak menerkam seekor domba!”
“Aihh, aneh betul mata orang itu.”
“Memang aneh, Paman. Dia seperti... eh, dia memang seorang yang gila
pada saat itu. Mulutnya menyeringai, matanya kemerahan bersinar penuh
api. Nah, begitu, Paman... ya, ya... tulang pipi dan dagunya lebih
menonjol, dia kelihatan gagah dan tampan... ehh, dan jahat seperti
seekor harimau jantan yang buas. Nah, mirip sekali. Sekarang harap Paman
lukis di atas kertas ini!” Ceng Ceng merasa gembira sekali karena
coret-coret itu memang mirip dengan Kok Cu, pemuda laknat musuh
besarnya!
Topeng Setan tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan kini dia sibuk
menyalin coretan di atas lantai itu ke atas kertas. Jari-jari tangannya
bergerak lemas dan cepat, dan tak lama kemudian selesailah lukisan
seorang pemuda tampan dan gagah setengah badan yang tak salah lagi
memang mirip sekali dengan musuh besar Ceng Ceng itu.
“Beginikah dia...?” Akhirnya Topeng Setan bertanya lirih sambil menyerahkan lukisan itu kepada Ceng Ceng.
Akan tetapi dia terbelalak heran melihat gadis itu berdiri memandang
lukisan dengan mata merah dan berlinang air mata. Tiba-tiba Ceng Ceng
melompat, merampas lukisan itu dengan kasar dari tangan Topeng Setan.
“Plak-plak! Brettt... reeeetttt...! Mampus engkau, jahanam...!”
Seperti orang gila, Ceng Ceng menampari kemudian merobek-robek lukisan
itu sampai hancur berkeping-keping. Kemudian Ceng Ceng melempar
kepingan-kepingan kertas itu ke atas lantai dan menginjak-injaknya
dengan kedua kakinya penuh kemarahan.
Topeng Setan terbelalak memandang ulah dara itu dan dia memejamkan mata
ketika melihat Ceng Ceng akhirnya menjatuhkan diri duduk di atas lantai,
di atas robekan kertas itu sambil menangis. Dengan hati-hati Topeng
Setan mendekati, duduk pula di atas lantai kemudian setelah melihat
tangis Ceng Ceng mereda, dia bertanya lirih, “Ceng Ceng, benci benarkah
engkau kepadanya?”
Ceng Ceng mengangkat muka memandang, matanya merah dan air mata masih
bertitik turun. “Benci? Tak ada orang di dunia ini yang lebih kubenci
seperti dia! Aku membenci lahir batin dan aku tidak akan dapat mati
meram apa bila belum dapat membunuh jahanam biadab itu!”
Hening sejenak, yang terdengar hanya isak tertahan dari Ceng Ceng.
Kemudian terdengar Topeng Setan berkata, “Alangkah hebat bencimu
kepadanya, Ceng Ceng. Tentu dia telah melakukan dosa besar sekali kepada
seorang gadis semulia engkau sampai engkau menjadi begini membencinya.”
Orang tua bermuka seperti setan itu menghela napas panjang. “Apakah
yang telah diperbuatnya terhadapmu?”
Ceng Ceng menghapus air matanya, kemudian dia menggeleng kepala. “Hal
itu tidak mungkin dapat kuceritakan kepada siapa pun juga, Paman.
Pendeknya, sakit hatiku terhadap dia hanya dapat dibayar dengan nyawa,
itu pun masih kurang! Akan tetapi, dia lihai sekali, Paman, dan karena
Paman merupakan satu-satunya orang yang dapat membantu aku, maka aku
berjanji bahwa kalau aku dapat menemukan dia, aku akan menceritakan
sakit hatiku itu kepada Paman.”
“Ke mana engkau hendak mencarinya?”
“Ke mana saja, ke ujung dunia sekali pun. Memang sisa hidupku hanya
untuk mencari dia dan membalas dendam itu, Paman. Aku akan mencari dia
dan... ahhh, apa yang telah kulakukan? Gambar itu... ahhh, gambar itu
kurusak...” Ceng Ceng agaknya seperti baru teringat bahwa gambar yang
dapat menolong dia mencari musuh besarnya itu tanpa disadarinya telah
dirobek-robeknya ketika dia teringat akan sakit hatinya tadi.
“Jangan khawatir, aku dapat membuatkan lagi untukmu, Ceng Ceng.” Topeng
Setan lalu mencoret-coret lagi dengan alat tulisnya di atas sehelai
kertas dan setelah selesai ternyata lukisan ini malah lebih baik dari
pada tadi. Ceng Ceng menjadi girang sekali, menggulung kertas lukisan
wajah musuh besarnya itu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju
ke Telaga Sungari.
Pada suatu pagi mereka memasuki sebuah rumah makan di dalam dusun yang
masih sunyi. Mereka membeli beberapa butir bakpao dan makan bakpao
sambil minum air teh panas. Seperti biasa, Ceng Ceng menggunakan setiap
kesempatan bertemu dusun untuk menyelidiki perihal musuh besarnya. Maka,
setelah makan dua butir bakpao besar dan minum air teh, dia
mempersilakan Topeng Setan melanjutkan sarapannya, sedangkan dia sendiri
lalu membawa gulungan kertas menghampiri dua orang yang mengukus bakpao
di dekat pintu.
“Bung, saya ingin bertanya kepadamu,” katanya kepada seorang di antara
dua tukang bakpao itu yang cepat menoleh dan memandang heran serta kagum
karena Ceng Ceng memang selalu mengagumkan pandang mata pria di mana
pun dia berada.
“Tentu saja, Nona...” Tukang bakpao yang berusia tiga puluhan tahun itu
menjawab sambil tersenyum bangga bahwa ada seorang dara secantik itu mau
menyapanya.
Ceng Ceng seperti biasa membuka gulungan kertas itu, memperlihatkan
lukisan wajah musuh besarnya sambil dia berkata, “Harap kau lihatlah
baik-baik, barangkali engkau mengenal orang ini dan tahu di mana dia
berada?”
Tukang bakpao itu menggerak-gerakkan bibirnya sehingga kumis tebal di
atas bibir itu ikut bergerak-gerak, keningnya berkerut seolah-olah dia
sedang mengasah otaknya menghadapi teka-teki yang ruwet. “Rasanya pernah
kulihat akan tetapi mungkin juga belum pernah... ehhh, nanti
kuingat-ingat dulu, Nona... hemm...”
“Heiiii...! Subo (Ibu Guru)...!” Tiba-tiba terdengar suara melengking merdu memanggil. “Kiranya Subo berada di sini...?”
Ceng Ceng cepat memutar tubuhnya dan melihat seorang dara remaja telah
berdiri di belakangnya, seorang dara tanggung yang cantik sekali,
bertolak pinggang dan sikapnya sembarangan, bahkan seperti ugal-ugalan.
Tentu saja dia mengenal anak perempuan yang menyebutnya subo itu.
Kiranya dara remaja itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Ketua
Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo! Ceng Ceng cepat memandang ke kanan kiri,
gentar juga hatinya karena khawatir kalau-kalau ayah anak ini berada di
situ.
Pernah dia melawan Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata olehnya bahwa kakek
iblis itu lihai bukan main sehingga dengan mudah dia tertawan. Untung
ada Hwee Li yang telah membebaskannya setelah dia berhasil menarik hati
anak perempuan itu untuk diajarnya tentang ilmu mengenai racun. Akan
tetapi segera pandang matanya bertemu dengan Topeng Setan yang masih
makan bakpao di sudut ruangan, maka hatinya menjadi lega kembali. Dengan
adanya orang tua ini dia tidak takut lagi kepada Hek-tiauw Lo-mo.....
“Eh, engkau Hwee Li! Engkau mencari siapa dan dengan siapa engkau di
sini?” Ceng Ceng menegur setelah dara remaja itu menghampirinya.
“Subo, aku mencari ayahku. Apakah Subo tidak melihatnya? Ayahku sedang
mengejar musuhnya dan aku ditinggal begitu saja, maka aku lalu
menyusulnya dan mencarinya sampai di sini. Apakah Subo melihat ayahku?”
“Tidak, Hwee Li. Aku tidak melihat ayahmu.”
“Subo sendiri mencari siapakah? Gambar siapa yang Subo pegang itu?” Hwee
Li yang lincah itu tanpa sungkan-sungkan melihat gambar yang dipegang
oleh Ceng Ceng. “Wah, gagah sekali pemuda ini, Subo. Apakah dia
pacarmu?” Biar pun dara cilik itu tidak mempunyai watak cabul seperti
bibi gurunya yang disukanya, yaitu Mauw Siauw Mo-li, namun dekat dengan
wanita genit itu dia pun sudah biasa bersikap genit dan tanpa
sungkan-sungkan lagi.
Wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. “Ihhh... lancang amat mulutmu.
Hayo katakan, apakah barangkali engkau tahu orang ini di mana.”
Hwee Li memandang gambar itu penuh perhatian lalu menggeleng kepala.
“Sayang aku tidak tahu, kalau aku tahu tentu kuajak dia berteman. Dia
kelihatan gagah dan tentu merupakan kawan yang menyenangkan.”
Mendengar ucapan yang dianggapnya tidak sopan itu Ceng Ceng menggulung
gambar itu dengan kasar lalu berkata, “Sudahlah, kau mencari ayahmu akan
tetapi bermain-main di sini, mana bisa bertemu dengan dia? Lekas pergi
mencarinya di tempat lain!”
Hwee Li mengangguk. “Subo, ingat, kalau aku sudah bertemu Ayah, kelak aku akan mencarimu untuk mulai belajar ilmu itu.”
Ceng Ceng mengangguk tak sabar. “Baik, baik, nah, kau pergilah!” Hwee Li tersenyum-senyum lalu pergi meninggalkan warung itu.
“Eh, Nona... agaknya Nona kehilangan pacar? Dari pada mencari orang yang tidak ada, aku... ehh, aku pun masih membujang.”
Ceng Ceng memandang tukang bakpao berkumis itu dengan mata bersinar. “Apa... apa maksudmu...?”
Tukang bakpao itu mengurut kumisnya. “Nona adalah seorang dara cantik,
tidak baik melakukan perjalanan di tempat berbahaya ini hanya untuk
mencari pacar yang hilang. Tinggallah bersamaku di sini dan aku akan
membikin Nona hidup selalu senang dan... aughhh!” Tukang bakpao itu
tidak dapat melanjutkan teriakannya karena sebagian mukanya dari dagu
sampai ke hidung telah terbenam ke dalam uap panas dari tempat bakpao
dikukus!
Setelah menampar dan mendorong orang itu sampai mukanya masuk ke dalam
tempat masak bakpao yang sangat panas, Ceng Ceng mendengus dan
membalikkan tubuhnya menghampiri Topeng Setan yang sudah bangkit berdiri
dan cepat membayar makanan lalu mereka berdua pergi dari tempat itu
yang sudah menjadi ribut karena tukang bakpao itu merintih-rintih dengan
muka bagian bawah terbakar dan melepuh!
Topeng Setan dan Ceng Ceng berjalan tanpa bicara, dan setelah mereka
keluar dari dusun itu barulah Topeng Setan bertanya, “Ceng Ceng,
siapakah anak perempuan yang muncul di warung bakpao tadi?”
“Ohh, dia? Dia adalah Kim Hwee Li, dia puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...”
“Hei...?!” Topeng Setan terkejut bukan main. “Hek-tiauw Lo-mo yang telah
memukulmu secara keji?” Tentu saja orang tua bermuka seperti setan ini
kaget bukan main dan juga terheran-heran. “Hek-tiauw Lo-mo memusuhimu,
akan tetapi puterinya menyebutmu subo (Ibu guru). Apa artinya semua
ini?”
Ceng Ceng tersenyum dan menghela napas. “Memang di dunia ini banyak
sekali terdapat hal-hal yang amat aneh, Paman Topeng Setan. Memang benar
bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek iblis yang jahat dan kejam,
selain memusuhiku apa bila kami saling bertemu, apa lagi akhir-akhir ini
ketika dia memukulku dia adalah kaki tangan pemberontak sedangkan aku
menentang pemberontakan. Dulu, pernah aku bertanding dengan dia dan aku
kalah, menjadi tawanannya. Akan tetapi puterinya, Kim Hwee Li itu,
menolongku dan membebaskan aku dengan janji bahwa aku akan suka menjadi
subo-nya. Karena ingin bebas, tentu saja aku mau dan begitulah, dia
kemudian membebaskan aku...”
Akan tetapi, ayahnya sendiri demikian lihai, mengapa dia mengangkat engkau menjadi guru?”
“Ayahnya lihai dalam ilmu silat memang, akan tetapi dalam hal ilmu
tentang racun, aku sebagai murid Ban-tok Mo-li lebih unggul. Dia ingin
belajar ilmu tentang racun dariku.”
Topeng Setan menghela napas. “Memang tidak keliru bahwa sebagai murid
Ban-tok Mo-li, engkau adalah seorang ahli yang hebat tentang racun, Ceng
Ceng. Akan tetapi, buktinya engkau malah celaka karena tubuhmu
mengandung racun, sehingga pukulan Hek-coa-tok-ciang dari Hek-tiauw
Lo-mo membuat nyawamu terancam. Ilmu tentang racun memang hanya suatu
ilmu yang tentu saja penting untuk dipelajari. Akan tetapi dalam cara
mempergunakannyalah yang penting. Kalau dipelajari untuk dipergunakan
sebagai ilmu pengobatan, baik sekali, sebaliknya kalau untuk
mencelakakan lawan, menjadilah ilmu hitam yang hanya dimiliki golongan
sesat. Sungguh menyesal sekali bahwa seorang seperti engkau sampai
mengalami hal yang membuatmu begini sengsara...!” Tiba-tiba Topeng Setan
menghentikan kata-katanya dan berjalan sambil menundukkan mukanya.
Ceng Ceng menoleh dan memandang dengan terheran-heren. Dia menangkap
getaran suara aneh penuh keharuan dalam kata-kata Topeng Setan tadi dan
sekarang makin heranlah dia ketika melihat sepasang mata yang besar
sebelah itu setengah dipejamkan dan tampak ada air membasahi bulu-bulu
mata itu. Topeng Setan menangis!
“Paman Topeng Setan, berhenti sebentar, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu.”
Topeng Setan berhenti dan mereka berdiri berhadapan. “Kau mau bertanya apa?” Topeng Setan bertanya sambil menundukkan muka.
“Paman, engkau selalu menaruh iba kepadaku dan selalu membela dan
melindungiku, akan tetapi kulihat hidupmu sendiri merana, bahkan
demikian tersiksa batinmu sampai-sampai engkau selalu menyembunyikan
diri di belakang topeng setan ini. Kenapa begitu? Engkau menaruh kasihan
kepadaku akan tetapi melupakan kesengsaraanmu sendiri. Apa yang
menyebabkannya? Kalau hal ini belum kau jelaskan, hatiku selalu akan
diganggu oleh keraguan dan keheranan, Paman.”
Topeng Setan menghela napas, kemudian dengan suara terpaksa dia menjawab
juga, “Engkau... mengingatkan kepadaku akan seorang wanita...”
“Ya...? Lanjutkanlah, Paman. Siapakah wanita itu dan di mana dia sekarang?”
“Dia... dia telah mati...”
“Ouhhh...? Maafkan, Paman...”
“Dia mati... karena aku yang membunuhnya...”
“Aihhhh...!”
Ceng Ceng terbelalak dan melihat Topeng Setan kini berdiri
membelakanginya dengan kedua pundak yang lebar itu berguncang, tahulah
dia bahwa orang tua itu menahan tangisnya dan amat menyesali
perbuatannya. Dengan hati terharu dia menghampiri dan memegang tangan
orang tua itu.
“Paman, sukar dipercaya bahwa engkau telah membunuhnya... padahal... agaknya engkau mencinta wanita itu, bukan?”
Topeng Setan menahan napas menenangkan batinnya, dia mengangguk. “Aku
telah gila... aku telah melakukan dosa besar dan karena itu... tiada
jalan lain bagiku kecuali menebus dosaku itu dengan jalan menjaga dan
melindungimu, Ceng Ceng...”
“Aihhh, Paman Topeng Setan. Orang seperti engkau ini tidak mungkin
melakukan perbuatan jahat. Kalau bibi itu, wanita itu... sampai mati
olehmu, tentu dialah yang bersalah... dan jahatlah dia kalau bibi itu
tidak dapat membalas cinta kasih seorang mulia seperti Paman...”
“Cukup...! Dia baik dan suci seperti dewi... akulah yang jahat...”
Melihat keadaan Topeng Setan yang amat menderita tekanan batin, Ceng Ceng lalu menghibur dan mengalihkan percakapan.
“Sudahlah, Paman. Tidak perlu kita membicarakan soal-soal yang telah
lalu. Yang jelas, Paman adalah seorang yang paling mulia bagiku...”
“Tapi engkau hidup merana, Ceng Ceng. Engkau diracuni oleh dendam yang tidak kunjung habis...”
“Ah, urusan kecil! Sekarang, yang penting seperti kata Paman dulu, aku
harus berobat sampai sembuh, kemudian aku akan tekun belajar ilmu dari
Paman, kemudian setelah kepandaianku menjadi tinggi, apa sukarnya untuk
mencari keparat itu? Sekarang, jangan dia mengganggu perjalanan kita ke
Telaga Sungari. Nah, biar belum dapat membunuh orangnya, biar kubunuh
dulu gambarnya!” Ceng Ceng lalu merobek-robek gulungan gambar dari Kok
Cu, musuh besarnya itu. “Mari kita melanjutkan perjalanan ke Sungari
mencari obat anak naga itu, Paman.”
Berangkatlah kedua orang itu dengan cepat karena kini tidak lagi mereka berhenti untuk menyelidiki musuh besar Ceng Ceng.....
********************
“Aughhhh...!” Kian Bu merapatkan matanya kembali ketika merasa betapa
kepalanya pening berdenyut-denyut, tubuhnya sakit-sakit semua dan dia
teringat betapa dia ditelan ombak air sungai, digulung dan dihanyutkan
tanpa dapat berdaya sama sekali.
Perasaan ngeri membuat dia memejamkan kembali matanya. Akan tetapi kini
dia tidak merasa lagi tubuhnya dipermainkan gelombang air, bahkan dia
merasa rebah di suatu tempat yang keras, kepalanya berbantal sesuatu
yang lunak dan hangat, kemudian mukanya ada yang menyentuh, bukan air
yang keras dan ganas melainkan sentuhan-sentuhan hangat dari jari-jari
tangan yang dengan lunak memijat-mijat pelipisnya.
“Bagaimana...? Pening sekalikah kepalamu...? Akan tetapi tidak mengapa,
air sudah keluar semua dari perutmu dan memang akibatnya agak pening di
kepala, atau mungkin kepalamu terbanting kepada batu ketika hanyut...”
Kian Bu mendengarkan suara itu seperti dalam mimpi. Suara seorang
wanita, merdu dan halus, dengan nada naik turun seperti orang
bersenandung, atau seperti orang membaca sajak yang indah. Wanita? Dia
teringat dengan kaget dan membuka matanya, apa lagi ketika perasaannya
mulai makin sadar, membuat dia dapat menduga bahwa kepalanya rebah di
atas dua buah paha yang lunak dan hangat, di atas pangkuan seorang
wanita!
Begitu matanya terbuka, dia memejamkannya kembali karena silau! Bukan
silau oleh sinar matahari pagi saja yang cerah, melainkan juga oleh
wajah yang amat cantik, oleh sepasang mata panjang lentik, oleh sebatang
hidung kecil mancung dan sepasang bibir yang merekah manis, perpaduan
antara merahnya daging berkulit tipis dan putihnya gigi seperti mutiara!
Kian Bu tersentak kaget ketika dia teringat dan mengenal wajah wanita
itu. Cepat dia bangkit duduk dan menegur, mukanya merah sekali,
“Aihhh... Enci Hong Kui...?”
Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li tersenyum, “Mengapa engkau terkejut, Kian
Bu yang baik? Tadi engkau gelisah sekali dalam tidurmu, mengeluh dan
agaknya engkau mimpi terbawa air sungai, maka aku... ehh, memangku
kepalamu dan memijit-mijit. Bagaimana sekarang, apakah masih pening...?”
Sikap wanita itu biasa saja dan diam-diam Kian Bu merasa terharu. Apakah
wanita cantik ini benar-benar demikian mencintanya bagaikan seorang
kakak perempuan yang mencinta adiknya? Akan tetapi... sikapnya
benar-benar terlalu mesra dan darahnya masih berdesir ketika teringat
betapa tadi rebah dengan kepala di atas pangkuan wanita cantik itu.
“Ti... tidak, Enci. Terima kasih. Ahhh, kiranya sudah pagi, biar aku
pergi...,” dia teringat akan janjinya untuk membantu wanita itu mencari
obat di Telaga Sungari, maka cepat disambungnya, “Marilah kita pergi
mencari mereka...”
Lauw Hong Kui tersenyum mengangguk tanpa menjawab dan mereka lalu
bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka lalu menyusuri sungai itu
mencari-cari, akan tetapi sampai setengah hari lamanya, mereka tidak
berhasil menemukan jejak dari Siang In dan yang lain-lain, seolah-olah
rakit mereka itu telah ditelan air sungai yang ganas semalam.
Melihat wajah Kian Bu yang berduka serta khawatir, Hong Kui segera
memegang lengannya dan berkata, “Jangan kau khawatir, Kian Bu. Aku yakin
bahwa mereka itu tidak mengalami mala petaka dan masih dapat
menyelamatkan diri mereka.”
Mendengar ucapan yang nadanya bersungguh-sungguh itu, Kian Bu
memandangnya dengan penuh harapan dan bertanya, “Bagaimana engkau bisa
menduga demikian, Enci?”
“Mudah saja. Mala petaka yang dapat menimpa mereka hanya ada dua macam,
bukan? Yang pertama adalah bahwa mereka terjatuh ke dalam air dan dibawa
hanyut seperti keadaanmu. Yang kedua adalah bahwa mereka jatuh ke
tangan musuh atau terbunuh oleh mereka. Aku melihat bahwa kedua mala
petaka itu tidak menimpa diri mereka. Karena, andai kata mereka hanyut,
tentu ada di antara mereka yang terdampar ke pinggir seperti yang kau
alami atau ada yang tersangkut di daerah yang berbatu-batu tadi. Sama
sekali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka itu hanyut. Dan juga andai
kata mereka itu tertawan atau terbunuh musuh, tentu orang-orangnya
Tambolon semalam tidak mencari-cari dan menyerang kita. Jadi aku yakin
bahwa mereka itu tentu telah berhasil menyelamatkan diri dan telah pergi
dari tempat ini.”
Kian Bu menjadi girang sekali karena kini dia pun percaya bahwa agaknya
memang demikianlah. Dia merasa kasihan sekali kepada Siang In, apa lagi
melihat gadis itu telah kehilangan enci-nya. “Ah, engkau hebat dan
cerdik sekali, Enci Hong Kui. Aku percaya keteranganmu itu.”
Hong Kui melempar senyum, mengerling, mencubit lengan Kian Bu dan
berkata dengan bibir merah mencibir, manis sekali, “Ihhhh, engkau bisa
saja memuji orang! Engkau yang tidak kusangka ternyata amat sakti,
mengalahkan dua orang pembantu Tambolon secara demikian mudah, masih
dapat memuji-muji aku yang lemah dan bodoh. Huiii... sungguh
menggemaskan!” Kembali dia mencubit, kini yang dicubitnya adalah paha
Kian Bu dan agak keras sehingga pemuda itu berteriak kesakitan sambil
tertawa-tawa.
Mereka tertawa-tawa dan Hong Kui menggandeng tangan Kian Bu dengan sikap
mesra dan manja. “Kian Bu, aku merasa berbahagia sekali...!”
Kian Bu memandang tajam, kini kecurigaannya timbul kembali. Wanita ini
dijuluki orang Mauw Siauw Mo-li, biar pun cantik jelita dan
menggairahkan, namun cantiknya cantik siluman, maka bisa berbahaya.
Jangan-jangan wanita ini hendak menjebaknya dengan menggunakan
kecantikannya. Dia harus waspada!
Pernah ayahnya secara samar-samar memperingatkan bahwa di antara hal-hal
yang amat berbahaya, lebih berbahaya dari pada musuh yang sakti, selain
kesombongan diri, nafsu-nafsu pribadi, juga kecantikan seorang wanita.
Kecantikan seorang wanita dapat merobohkan pertahanan seorang pendekar
yang bagaimana sakti pun!
Dan Mauw Siauw Mo-li ini memang cantik bukan main. Cantik jelita dan
manis, memiliki keindahan dalam segala gerak-geriknya, gerak matanya,
alisnya, bibirnya, dan gerak tubuh dari leher, pinggang, pinggul sampai
langkahnya! Bukan main! Dia harus berhati-hati sekali. Siapa tahu di
balik semua keindahan ini tersembunyi perangkap yang akan
mencelakakannya.
“Kenapa engkau berbahagia, Enci?” pancingnya.
Jari-jari tangan yang menggandeng lengannya itu semakin mengetat dan
mendekat. Kepala yang berambut panjang terurai sebagian terlepas dari
gelungnya yang tinggi bergerak-gerak dan tercium bau harum oleh hidung
Kian Bu.
“Aku berbahagia karena dapat bertemu dengan seorang seperti engkau, Kian
Bu. Kini bangkit kembali harapanku untuk dapat hidup karena aku yakin,
dengan bantuan seorang pendekar sakti seperti engkau, sudah pasti anak
naga keramat di Telaga Sungari itu akan berhasil kita dapatkan sehingga
racun dari tubuhku dapat dibersihkan.”
Kian Bu menghela napas panjang, hatinya lega oleh karena kecurigaannya
tadi ternyata palsu. Wanita ini memang sudah sepatutnya merasa
berbahagia karena agaknya wanita ini menggantungkan harapannya
kepadanya.
“Jangan khawatir, Enci Hong Kui. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku agar engkau dapat menjadi sehat kembali.”
Wanita itu memandang dan dua butir air mata mengalir turun. “Engkau...
engkau baik sekali...” Katanya terisak dan Kian Bu merasakan jantungnya
berdebar keras ketika jari-jari tangan yang kecil panjang itu menyusup
di antara jari-jari tangan Kian Bu.
Pergeseran dan sentuhan antara jari-jari tangan ini seolah-olah
mengandung getaran dahsyat yang memasuki tubuh Kian Bu, membuat dia
merasa tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar seperti akan
meledak! Tubuhnya agak menggigil dan untung baginya, pada saat itu Hong
Kui melepaskan tangannya sambil mengeluarkan suara ketawa yang aneh akan
tetapi terdengar amat merdu dan mesra dalam telinga Kian Bu. Suara
ketawa yang mirip bunyi seekor kucing yang memanggil-manggil pasangannya
di waktu malam!
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang biar pun
usianya baru tiga puluh tahun, tetapi telah memiliki pengalaman matang
dalam hal bermain cinta dan mempermainkan seorang pria. Dia sekali ini
benar-benar terjebak ke dalam permainan dan nafsunya sendiri. Dia jatuh
cinta! Belum pernah selama hidupnya dia mengalami perasaan seperti ini
terhadap seorang pria. Biasanya, dia mempermainkan pria, seperti seekor
kucing betina kelaparan mempermainkan seekor tikus, dipermainkan lebih
dulu sebelum diganyang dan kemudian ditinggalkan bangkainya begitu saja,
sama sekali tak diingatnya lagi.
Belum pernah dia dapat bertahan lebih dari tiga hari tiga malam mengeram
seorang pria. Kebosanannya timbul dan dia akan meninggalkan korbannya
yang kebanyakan tentu dibunuhnya dulu. Akan tetapi sekali ini, bertemu
dengan Kian Bu, dia benar-benar jatuh cinta. Dia sama sekali tidak
merasa seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus, melainkan seperti
seekor kucing yang haus akan belaian manusia yang lebih kuat!
Pemuda ini bukan hanya tampan, karena ketampanan mudah didapatkan di
antara orang-orang muda, akan tetapi yang amat menarik hatinya adalah
karena pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, lebih
tinggi dari padanya, dan terutama sekali seorang perjaka tulen yang dia
tahu mempunyai sifat romantis!
Di dalam kecerdikannya, Hong Kui tidak mau menuruti nafsu birahinya. Dia
bersikap hati-hati dan biar pun tadi belaiannya membuat pemuda itu
mulai tergetar, namun dia tidak mau terlalu mendesak, karena sekali
pemuda sehebat ini timbul kecurigaannya, akan berbahayalah. Dia sama
sekali tidak mungkin dapat memaksa seorang seperti Kian Bu, maka dia
akan menggunakan siasat halus dan tidak akan bermain kasar!
Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, dan ibunya adalah bekas
Ketua Thian-liong-pang. Dia adalah seorang pemuda gemblengan yang
memiliki kepandaian hebat dan kegagahan luar biasa. Akan tetapi,
menghadapi seorang wanita matang seperti Lauw Hong Kui, tentu saja dia
itu hanya seorang pemuda hijau.
Andai kata Mauw Siauw Mo-li mempergunakan kekerasan dan kepandaian
silatnya, tentu dalam waktu singkat saja dia akan roboh oleh pemuda itu
dan andai kata dalam rayuannya dia terlalu tergesa-gesa, tentu pemuda
perkasa itu akan menjadi curiga dan sadar. Akan tetapi, Hong Kui terlalu
cerdik dalam hal ini dan dia menjatuhkan hati Kian Bu secara
perlahan-lahan, secara cerdik sekali dan tidak kentara sehingga setelah
mereka melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, Kian Bu telah percaya
penuh bahwa wanita ini benar-benar seorang wanita yang patut
dikasihani, seorang yang ‘baik-baik akan tetapi tidak kebetulan menjadi
sumoi dari orang-orang jahat macam Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka
dan mendiang Hek-hwa Kuibo.
Wanita ini amat ramah, amat halus dan sopan! Dan di dalam perjalanan itu
Hong Kui selalu menonjolkan keringanan tangannya, melayani Kian Bu, dan
sikapnya penuh rasa sayang seorang kakak perempuan terhadap seorang
adiknya. Maka, diam-diam Kian Bu juga mengambil keputusan untuk
mengerahkan segenap kepandaiannya berusaha menangkap anak naga di Telaga
Sungari untuk menyembuhkan keracunan di dalam tubuh Hong Kui.
Pada suatu siang yang amat panas mereka mengaso di dalam hutan dan duduk
di bawah sebatang pohon yang lebat daunnya. Sambil bersenandung merdu,
Hong Kui memanggang daging ayam hutan yang tadi ditangkap oleh Kian Bu
dan kini pemuda itu duduk beristirahat tidak jauh dari tempat itu.
Ketika Kian Bu sedang terlena mengantuk, tiba-tiba dia mendengar suara
Hong Kui menjerit. Dia terkejut sekali dan tubuhnya telah bergerak
meloncat, lalu menyambar tubuh Hong Kui yang terhuyung dan ketika dia
memeluk tubuh wanita itu ternyata Hong Kui telah pingsan!
Kian Bu terkejut bukan main, dan cepat dia mengurut jalan darah di tengkuk wanita itu.
Hong Kui membuka matanya, lalu menjerit, “Ular... ahh, Kian Bu, ada
ular...!” matanya terbelalak dan telunjuknya menuding ke atas pohon.
Kian Bu menengok dan hampir dia tertawa bergelak. Seekor ular hijau
kecil merayap ketakutan di antara daun-daun di cabang pohon itu.
“Enci Hong Kui, kau kenapakah? Mengapa kau pingsan dan ular kecil itu...”
“Aihh... maafkan aku, Kian Bu...” Hong Kui menggunakan sapu tangan untuk
menyusuti peluh dari dahinya yang pucat sekali. “Engkau belum kuberi
tahu... aku... aku paling takut melihat ular...”
Kian Bu tersenyum lebar dan memandang aneh. Mereka sudah duduk kembali
dan Hong Kui melanjutkan pekerjaannya memanggang daging setelah beberapa
kali dia menengok ke atas dan melihat bahwa ular itu sudah tidak tampak
lagi.
“Enci Hong Kui, engkau seorang yang memiliki kepandaian begitu tinggi
takut melihat seekor ular kecil itu? Biar ada seratus ekor seperti itu,
mana mungkin bisa mengganggu seorang lihai seperti engkau?”
“Ah, engkau tidak tahu, Kian Bu. Andai kata aku tidak takut terhadap
ular, tentu sudah sejak dahulu aku pergi mencari anak naga di Telaga
Sungari itu! Akan tetapi, aku amat takut melihat ular...”
“Enci, sungguh aneh sekali. Mengapa orang yang lihai seperti engkau takut melihat ular?”
“Aku bukan takut, akan tetapi lebih dari takut, aku jijik sekali dan
bisa pingsan kalau melihatnya. Dan tentu saja ada sebabnya... tapi...
ehhh, malu aku untuk menceritakan pengalamanku di waktu aku baru berusia
belasan tahun itu...” Wanita itu lalu menunduk.
Kedua pipinya yang halus menjadi kemerahan, dari bawah matanya
mengerling tajam ke atas dan bibirnya menahan senyum, giginya yang putih
menggigit bibir bawah. Sikap malu-malu kucing ini kelihatan manis dan
menarik sekali sehingga timbul kelnginan tahu Kian Bu untuk mendengar
cerita yang tentu aneh itu sehingga orangnya sampai merasa malu untuk
bercerita.
“Enci Hong Kui, di antara kita yang sudah seperti kakak dan adik
sendiri, mengapa engkau merasa malu? Ceritakanlah, apa yang telah
terjadi sehingga engkau yang begini lihai sampai pingsan ketakutan
melihat seekor ular kecil tadi.”
“Terjadi di waktu aku berusia kira-kira tiga belas tahun,” wanita itu
bercerita sambil menunduk dan memperhatikan daging yang dipanggangnya.
“Pada suatu hari saat aku tertidur dalam kamarku, tengah malam aku
terbangun dengan kaget sekali dan... dan... dapat kau bayangkan betapa
ngeri dan jijik serta takutku ketika aku merasa ada sesuatu yang dingin
bergerak-gerak di dalam... celanaku, di paha...”
Kian Bu terbelalak, mulutnya ternganga memandang wanita itu yang hanya
mengangkat muka sebentar memandangnya kemudian menunduk kembali dengan
pipi yang makin kemerahan.
“Ketika aku cepat-cepat melepas pakaian... ternyata... benda bergerak
itu adalah seekor ular hitam! Aku menjerit-jerit dan jatuh pingsan. Nah,
semenjak saat itulah setiap kali melihat ular, terbayang kembali
kengerian hatiku di waktu dahulu itu dan aku tak kuat menahan.”
Hening sejenak. Entah mengapa, saat membayangkan pengalaman wanita ini
di waktu berusia belasan tahun itu, jantung Kian Bu berdebar tegang
sehingga beberapa kali dia menelan ludah. “Memang... memang
mengerikan...,” komentarnya pendek.
“Itulah sebabnya mengapa setelah mendengar bahwa yang menjadi obat
tubuhku hanya anak naga di Telaga Sungari, aku menjadi ngeri dan takut.
Untung aku bertemu dengan engkau, Kian Bu, yang telah begini baik hati
untuk membantu aku menangkap anak naga itu. Kalau aku sendiri harus
menangkapnya, jangankan anak naga, baru melihat seekor ular biasa saja
aku sudah akan jatuh pingsan!”
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di luar sebuah dusun. Telaga Sungari
tidak begitu jauh lagi dari situ. Dan ketika melihat sebatang anak
sungai yang airnya sangat jernih mengalir di luar dusun itu, dan betapa
tempat itu sunyi sekali, Hong Kui berkata, “Kian Bu, aku merasa gerah
sekali. Air itu jernih, aku ingin mandi.”
“Akan tetapi tempat ini dekat dusun, Enci. Tentu akan ada orang lewat nanti...”
Hong Kui mengerling penuh celaan. “Habis ada engkau untuk apa?” katanya
menegur sambil tersenyum. “Kau jagalah di sini sebentar agar kalau ada
orang lewat, kau minta dia jangan ke sungai dulu sebelum aku selesai
mandi. Aku tidak akan lama, asal sudah berendam sebentar pun cukuplah
untuk mengusir kegerahan dan menghilangkan debu yang menempel di tubuh.”
“Baiklah...” Kian Bu kemudian duduk di tepi jalan, membelakangi anak sungai yang tidak begitu jauh dari jalan kecil itu.
Memang siang hari itu hawanya sangat panas dan Kian Bu membuka kancing
bajunya menelanjangi dada agar terhembus angin lalu. Hatinya gembira.
Selama melakukan perjalanan dengan Hong Kui, dia makin tertarik dan
kagum kepada wanita itu. Gayanya yang genit memikat, persis seperti yang
dulu ditirukan oleh Siang In, tetapi tentu saja lebih memikat karena
gerak-gerik Hong Kui tidak dibuat-buat, memang sudah menjadi wataknya.
Biar pun genit memikat, namun wanita ini sopan dan amat baik terhadap
dia, tidak pernah mengeluarkan kata-kata cabul, apa lagi melakukan
sesuatu yang tidak sopan. Hanya setiap kali mereka bersentuhan, seperti
ada aliran hawa panas keluar dari tubuh wanita itu menjalar di seluruh
tubuhnya dan menggoncang jantungnya!
“Eiiihhh... ular... tolong... Kian Bu...!”
Jerit ini mengejutkan Kian Bu. Sekali meloncat dia telah mengejar ke
pinggir sungai dan alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tubuh Hong
Kui rebah miring dengan kepala masuk ke dalam air, sedangkan seekor ular
hitam yang panjangnya ada satu meter berenang terbirit-birit
meninggalkan tempat itu menyeberang anak sungai.
Celaka, pikirnya, kalau saja tidak cepat ditolong, Hong Kui yang pingsan
dengan kepala terbenam air itu tentu akan kehabisan napas dan tewas!
Karena itu dia lalu meloncat mendekati, memasuki anak sungai yang airnya
hanya setinggi lututnya, kemudian dia mengangkat tubuh Hong Kui yang
lemas.
Dapat dibayangkan betapa kacau perasaan Kian Bu ketika mengangkat tubuh
yang sama sekali tidak berpakaian, yang telanjang bulat itu! Ketika
mengangkat tubuh polos itu, dia mencoba untuk memejamkan mata dan tidak
melihat. Akan tetapi tangannya dan lengannya menyentuh kulit tubuh yang
mulus dan hangat, dan jantungnya berdebar hampir copot dari tempatnya!
Dan dia pun tidak mungkin memejamkan mata terus karena dia harus membawa
Hong Kui ke tepi anak sungai. Tidak lupa dia menyambar pakaian wanita
itu yang tadi terletak di atas sebuah batu.
Teringat bahwa wanita itu tentu akan merasa malu sekali kalau sadar
nanti dalam keadaan polos, Kian Bu lalu cepat-cepat mengenakan pakaian
Hong Kui pada tubuh itu. Dan tentu saja untuk dapat melakukan ini, dia
harus membuka matanya, dan karena dia membuka matanya, tentu saja dia
melihat dengan jelas semua bagian tubuh yang berada di depan hidungnya!
Sekali melihat, dia tak kuasa lagi untuk menahan matanya yang
menjelajahi semua bagian tubuh yang mulus dan menggairahkan itu.
Berkali-kali dia menelan ludah sebab merasa lehernya seperti dicekik.
Jari-jari tangannya menggigil sehingga sampai lama barulah akhirnya dia
berhasil mengenakan pakaian itu pada tubuh Hong Kui, walau pun setengah
memaksa kedua tangannya yang agaknya mau mogok saja!
Begitu akhirnya Kian Bu selesai mengenakan pakaian Hong Kui, wanita itu
siuman dan mengeluh, kemudian merangkul pinggang Kian Bu sambil merintih
ketakutan, “Ular... ular...”
Kian Bu tersenyum, merasa geli juga melihat wanita yang dia tahu amat
lihai ini menjadi begitu ketakutan seperti anak kecil ketika bertemu
ular. “Ularnya sudah pergi, Enci Hong Kui.”
Wanita itu kembali mengeluh, lalu tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dan
melepaskan pelukannya, melihat ke arah tubuhnya yang sudah berpakaian.
“Ehh... ahhh... aku tadi sedang mandi... ada ular hitam menjijikkan...”
“Kau menjerit dan aku melihat engkau pingsan di air, Enci...”
“Dan aku...” Muka yang halus itu menjadi merah sekali dan matanya
mengerling malu-malu, sikap yang bahkan amat manis dan menarik hati,
“...aku tadi sedang mandi... kutanggalkan pakaianku...”
Kini Kian Bu memandang dengan muka terasa panas. “Aku yang mengenakan kembali pakaianmu, Enci Hong Kui.”
“Aihhh... engkau... engkau baik sekali, Kian Bu.”
Kian Bu yang masih hijau itu tentu saja sama sekali tidak menduga bahwa
ular-ular itu, baik yang merayap di cabang pohon mau pun di sungai,
adalah ular-ular yang sengaja ditangkap oleh Hong Kui dan dilepas di
dekatnya, tidak tahu bahwa wanita ini sama sekali tidak takut terhadap
ular yang bagaimana juga pun, bahkan sejak kecil dia telah biasa
bermain-main dengan ular berbisa! Kian Bu tidak tahu bahwa wanita itu
secara halus dan cerdik sekali mulai menggoda dan memikat hatinya.
Dan memang hati Kian Bu terguncang hebat sekali. Mula-mula hatinya sudah
tergerak oleh cerita Hong Kui yang membuat dia selalu membayangkan yang
bukan-bukan, kemudian dia disuguhi pemandangan yang amat mengesankan,
melihat tubuh telanjang bulat yang menggairahkan itu, sehingga setiap
kali memandang Hong Kui, dia melihat seolah-olah wanita itu tidak
berpakaian. Penglihatan itu terus menggodanya, membuat dia selalu
terbayang akan hal yang mesra dan sering kali Kian Bu termenung. Dia
tidak tahu betapa Hong Kui sering kali tersenyum puas dan sepasang
matanya kelihatan bersinar-sinar karena wanita yang berpengalaman ini
dapat menduga bahwa siasatnya telah berhasil dan dia telah berhasil
mengisi hati dan pikiran pemuda yang dicintanya ini dengan nafsu birahi
yang berkobar.
Hanya berkat pendidikan yang baik di Pulau Es saja yang membuat Kian Bu
masih dapat bertahan dan selalu menindas kobaran nafsu birahi itu. Akan
tetapi, pemuda ini merasa tersiksa sekali dan kini dia melihat setiap
gerak-gerik Hong Kui sebagai sesuatu yang amat indah dan manis
membangkitkan birahinya. Apa lagi memang sikap Hong Kui tepat seperti
yang dikatakan Siang In dulu, yaitu genit memikat, baik cara matanya
memandang dan mengerling, cara bibirnya bergerak dalam tersenyum atau
berkata-kata, gerak lehernya, lengannya, pinggang dan pinggulnya ketika
berjalan, sentuhan-sentuhan halus ujung jari tangannya, harum
wangi-wangian yang keluar dari tubuhnya dan rambutnya, getaran pada
suaranya yang mesra.
Bagaikan seekor laba-laba yang menjerat seekor lalat, Hong Kui terus
memperketat jeratnya dan matanya yang penuh pengalaman itu melihat
betapa lalat itu menjadi makin lemah, makin berkurang daya tahan dan
daya lawannya, sampai dia yakin benar bahwa lalat itu sudah siap dan
matang untuk dihisap darahnya. Dan malam itu, ketika mereka berdua
bermalam di sebuah rumah penginapan di dalam sebuah dusun, dia mengambil
keputusan untuk melakukan penerkaman terakhir. Dia sengaja memesan
masakan-masakan lezat dan arak wangi sampai dua guci besar. Ketika Kian
Bu menyatakan keheranannya, Hong Kui berkata sambil tersenyum manis.
“Kian Bu, hari ini kebetulan adalah hari ulang tahunku, maka hendak
kurayakan. Engkau tentu mau menemaniku merayakan hari ulang tahunku,
bukan?”
Wajah Kian Bu berseri. “Ah, tentu saja, Enci Hong Kui! Dan biarlah aku
mengucapkan selamat atas hari ulang tahunmu ini!” Kian Bu menjura yang
dibalas oleh Hong Kui sambil tersenyum.
“Engkau baik sekali, terima kasih. Mari kita makan minum sekedarnya.”
Mereka duduk menghadapi meja yang penuh hidangan, dan Hong Kui
menuangkan arak wangi di dalam cawan mereka. Kian Bu mengangkat cawan
sambil berkata, “Semoga engkau panjang usia, banyak rejeki dan
berbahagia, Enci”
“Terima kasih!” Mereka mengangkat cawan lalu minum arak itu.
“Kalau aku boleh bertanya, hari ini merupakan ulang tahunmu yang ke berapa, Enci Hong Kui?”
Wanita itu memandang dengan mata dan mulut berseri. “Cobalah engkau terka, berapa kiranya umurku sekarang, Kian Bu?”
Kian Bu memandang wajah yang cerah itu. Dia dapat menduga bahwa wanita
ini tentu lebih tua dari pada nampaknya, mengingat bahwa suheng-nya,
Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek, dan suci-nya, mendiang Hek-wan
Kui-bo, adalah seorang nenek. Akan tetapi melihat wajah yang cantik itu,
orang akan menduga bahwa wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh
lima tahun usianya. Dan Kian Bu yang sejak keluar dari Pulau Es sudah
sangat memperhatikan wanita, mengerti bahwa wanita paling suka mendengar
dugaan orang bahwa dia masih muda, maka sambil tersenyum dia menjawab,
“Menurut dugaanku, usiamu paling banyak dua puluh tahun, Enci.”
“Hi-hi-hik!” Hong Kui tertawa merdu sambil menutupi mulutnya dan matanya
mengerling tajam. “Masa kau kira aku semuda itu, Kian Bu? Bukan paling
banyak dua puluh tahun, melainkan dua puluh dua tahun. Usiaku sudah dua
puluh dua tahun, Kian Bu. Aihhh, tanpa kusadari aku sudah menjadi sangat
tua, bukan? Setua nenek-nenek...” Dia menarik napas panjang.
“Ah, siapa bilang engkau sudah tua, Enci? Sama sekali tidak! Engkau
masih sangat muda dan... dan...” Kian Bu teringat bahwa dia sudah
terlanjur bicara, maka dia cepat menahan kata-katanya dan menunduk.
“Ya...? Mengapa tidak kau teruskan? Katakanlah bahwa aku jelek dan tua.”
Kian Bu tidak dapat melanjutkan karena dari pandang mata wanita itu, dia
tahu bahwa wanita itu menertawakan dia. Hong Kui juga tidak mau
mendesak dan kembali mengisi arak ke dalam cawan Kian Bu yang sudah
kosong. Mereka makan minum dan karena pandainya Hong Kui bicara, Kian Bu
terpaksa menemaninya minum arak sampai dua guci besar itu habis
memasuki perut mereka!
Malam telah gelap ketika dalam keadaan setengah mabok Kian Bu mencuci
muka dan mulut, menggosok gigi lalu memasuki kamarnya. Begitu membuka
baju karena arak telah membuat tubuhnya gerah dan melemparkan bajunya ke
atas meja, membuka sepatunya, dia kemudian melempar tubuhnya yang hanya
memakai celana itu ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah
tidur pulas.
Kian Bu hanyut dalam mimpi. Dia merasa seperti sedang berlatih sinkang
di Pulau Es, di atas salju yang amat dingin. Seperti ketika dia berlatih
di waktu masih tinggal di pulau itu, dia duduk bersila di atas salju
yang lembut dan dingin itu, mengerahkan sinkang melawan hawa dingin
sehingga uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Kemudian dia melihat ada
seekor ular bergerak perlahan berlenggak-lenggok mendekatinya dan ular
itu lalu menggelutnya.
Dicobanya untuk melawan akan tetapi ular itu kuat sekali sehingga dia
terjengkang rebah terlentang. Ular besar itu menindihnya, membelit dan
menggelutnya. Tubuh ular itu licin halus dan hangat, dan ular itu
menjilat-jilat mukanya, matanya, hidungnya, bibirnya. Kemudian ular itu
mengeluarkan suara aneh, suara merintih dan mengeong seperti suara
seekor kucing! Dan dalam mimpinya, Kian Bu melihat betapa ular itu
berubah menjadi seekor kucing. Kucing putih berbulu tebal, lunak halus
dan hangat, lalu kucing itu menindih dan menggelutinya,
menjilat-jilatkan lidah dan bibirnya yang basah dan hangat itu ke
pipinya dan mulutnya, sambil mengeluarkan suara lirih mengerang.
Ketika kucing itu tak hanya menjilat, tetapi kini menggigit bibirnya
dengan gigitan halus, Kian Bu terkejut dan takut. Cepat dia meronta dan
kucing itu terlempar didorongnya. Dia cepat bangkit mengangkat tubuh
atasnya dan matanya terbelalak memandang kepada tubuh polos yang dihias
rambut panjang itu. Kiranya Hong Kui telah duduk di atas pembaringannya
dan dadanya hanya tertutup rambut hitam panjang yang terurai lepas. Kian
Bu terbelalak memandang wajah yang cantik kemerahan dan sepasang mata
yang seperti mata kucing, jeli dan berkilauan aneh itu.
“Enci...” Dia berbisik dengan mata terbelalak lebar.
Hong Kui sudah menutupi dadanya dengan pakaiannya, akan tetapi gerakan
ini malah membuat tubuh yang menjadi setengah telanjang itu makin
menarik. Kiranya wanita itu telah memasuki kamarnya, dan hal ini tidak
sukar sama sekali bagi wanita yang lihai itu, dan telah menyalakan lampu
tanpa diketahui Kian Bu yang tadi tidur pulas.
“Kian Bu... Kian Bu... kasihanilah aku...” Hong Kui lalu menubruk pemuda
yang masih bengong itu dan menangis, lalu memeluk lehernya dan
mendekapkan mukanya di dada pemuda yang telanjang itu.
“Enci... apa... apa artinya ini...?” Kian Bu gelagapan.
“Artinya... bahwa aku... aku cinta padamu, Kian Bu... kau kasihanilah
aku...,” tangan Hong Kui terjulur ke arah lampu dan di lain saat lampu
itu pun padam. Kamar menjadi gelap sekali akan tetapi Kian Bu tidak
membutuhkan penerangan karena tubuhnya merasa betapa wanita itu mendekap
dan menciuminya penuh nafsu.
Kian Bu hanyalah seorang pemuda yang baru menjelang dewasa. Dia masih
hijau dan sebelumnya dia telah digoda secara halus oleh Hong Kui. Tanpa
disadarinya, dengan cerdik sekali Hong Kui telah mengusahakan agar nafsu
birahi pemuda remaja itu bangkit dan dia maklum akan hasil usahanya itu
ketika melihat Kian Bu sering kali melamun dan pada waktu berhadapan
sering kali melihat pandang mata pemuda itu menjelajahi tubuhnya dari
leher turun sampai ke kaki.
Kemudian, malam itu sengaja dia mengajak Kian Bu minum banyak arak
sampai setengah mabok sehingga oleh pengaruh arak, lenyap sama sekalilah
daya pertahanan batin Kian Bu dan kini pemuda itu hanyut dalam
kemesraan belaian dan bujuk rayu, terseret hanyut oleh gelombang nafsu
birahi yang dahsyat dari Hong Kui. Wanita itu merupakan guru yang amat
pandai dalam permainan cinta sehingga makin dalamlah Kian Bu tenggelam
dan makin jauh dia terhanyut sehingga semalam suntuk itu dilewatkan oleh
Kian Bu sebagai suatu malam yang amat indah dan nikmat.
Keesokan harinya, saat mereka berdua pagi-pagi sekali sudah melanjutkan
perjalanan, Hong Kui telah menjadi kekasih Kian Bu. Wanita ini telah
berhasil menundukkan dan menguasai Kian Bu yang menjadi tergila-gila,
mabok oleh permainan cinta Hong Kui, dirayu oleh suara aneh seperti
kucing mengerang yang bagi Kian Bu merupakan pendengaran yang menambah
berkobarnya nafsu birahinya.
Mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandeng tangan dan kadang-kadang
mereka berhenti untuk berpelukan dan berciuman, seolah-olah permainan
cinta semalam suntuk tadi masih belum memuaskan dahaga wanita itu yang
memang tidak pernah mengenal kepuasan. Kian Bu menjadi makin mabok.
Dalam hal ilmu silat, dia jauh lebih lihai dari pada Hong Kui, namun
dalam hal ilmu mengumbar nafsu birahi ini, dia merupakan seorang murid
bodoh dan mentah menghadapi Hong Kui yang amat pandai.
Demikianlah, Suma Kian Bu, seorang pemuda perkasa putera Pendekar Super
Sakti dan Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang, jatuh cinta dan
tergila-gila ke dalam pelukan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, lupa sama
sekali bahwa wanita ini adalah seorang wanita cabul yang hidupnya
menghamba kepada nafsu birahinya. Akan tetapi di lain pihak, sebaliknya
wanita itu pun tergila-gila kepada Kian Bu.
Selama hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang pria seperti
pemuda ini yang selain tampan dan memiliki kepandaian yang jauh lebih
tinggi dari pada dia sendiri, juga adalah seorang pemuda yang romantis
dan sebentar saja sudah hampir menandingi kelihaiannya dalam permainan
cinta! Perjalanan mereka menuju ke Telaga Sungari sering kali tertunda
karena setiap kali mereka berhenti untuk mencurahkan perasaan yang penuh
oleh hawa nafsu.
Pada suatu hari, lupa akan keadaan sekelilingnya, dua orang itu duduk di
bawah pohon yang teduh. Kian Bu duduk dan wanita itu menyandarkan tubuh
ke dadanya, mereka saling mencumbu dan Hong Kui sudah mengeluarkan
suara mengerang seperti seekor kucing manja.
Mendadak terdengar suara orang tertawa. “Kiranya Siluman Kucing dan kekasihnya berada di sini!”
Hong Kui dan Kian Bu terkejut. Cepat mereka membetulkan letak pakaian
mereka pada tubuh dan meloncat berdiri. Pertama-tama yang muncul adalah
Yu Ci Pok Si Siucai pembantu Tambolon dan yang tadi menegur sambil
tertawa mengejek. Kemudian dari belakang mereka sudah muncul pula Si
Petani Liauw Kui dan dari balik-balik pohon berlompatlah anak buah
mereka, orang-orang suku liar yang menjadi kaki tangan mereka.
Kian Bu menjadi marah sekah. Dia tidak menjadi gentar dan mengambil
keputusan untuk membasmi orang-orang ini. Dia marah karena merasa malu
bahwa tadi ada orang melihat dia bercumbu dengan Hong Kui. Akan tetapi
selagi dia hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara meledak,
kelihatan asap mengebul dan dari dalam asap itu muncul seorang nenek
berpakaian serba hitam. Terkejutlah Kian Bu karena dia dapat mengenali
nenek ini sebagai orang yang berada di pesta Tambolon tempo hari. Nenek
itu memang bukan lain adalah Durganini, guru dari Tambolon!
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali, merasa bahwa
kesenangannya terganggu. Sambil menggereng dia sudah mengeluarkan sebuah
peluru peledak dan melontarkannya ke arah nenek yang muncul seperti
itu. Akan tetapi nenek itu tertawa, menudingkan telunjuknya ke arah
senjata rahasia itu dan... senjata rahasia itu meledak di udara!
“Aihhh...!” Hong Kui menjerit dengan kaget sekali.
Kian Bu juga maklum bahwa nenek itu amat lihai, maka melihat betapa kini
anak buah Tambolon ternyata lebih banyak lagi, dia berbisik, “Mari kita
pergi!”
Hong Kui mengangguk, kedua tangannya sibuk melempar-lemparkan senjata
peledak ke kanan kiri dan depan, kemudian bersama Kian Bu dia meloncat
ke belakang dan merobohkan empat orang anak buah mereka, terus
menghilang pada saat senjata-senjata itu meledak dan tempat itu penuh
asap.
“Siluman Kucing, hendak lari ke mana kau?” terdengar Si Petani membentak.
“Bresss!”
Liauw Kui yang tadi melihat ke mana berkelebatnya dua orang itu dan
menerjang dengan lompatan dahsyat, bertemu dengan hantaman Kian Bu. Dia
menangkis, dan benturan tenaga dahsyat membuat Si Petani terjengkang dan
terbanting ke atas tanah. Dia bergulingan dan cepat meloncat ke
belakang dengan kaget bukan main. Kian Bu dan Hong Kui cepat
mempergunakan kesempatan itu untuk melompat jauh dan terus melarikan
diri.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa melengking tinggi.
Mendengar suara tertawa yang seolah-olah mengikuti mereka ini, Kian Bu
dan Hong Kui bergidik ngeri karena suara tertawa itu seperti
menikam-nikam jantung mereka. Kemudian terdengar suara tinggi nyaring
yang mengandung wibawa aneh, “Perempuan genit, kau tidak bisa lari lagi,
hi-hik-hik! Kakimu lumpuh tak bertenaga, kau robohlah...!”
“Enci Hong Kui...!” Kian Bu terkejut sekali ketika melihat betapa
tiba-tiba wanita yang menjadi kekasihnya itu terhuyung dan tentu sudah
roboh kalau saja dia tak cepat-cepat menyambarnya dan memondongnya lalu
berlari lebih cepat lagi sambil memondong tubuh Hong Kui.
“Haiii... pemuda remaja yang tampan...! Berhentilah..., berhentilah kau..., jangan berlari lagi... berhenti...!”
Suara yang tinggi nyaring itu melengking dan bergema, akan tetapi Kian
Bu tetap saja berlari terus, malah lebih cepat karena pemuda yang maklum
bahwa nenek itu memiliki ilmu hitam yang luar biasa, telah menulikan
telinganya dan sama sekali tidak mau mendengarkan suara itu melainkan
berlari terus sampai akhirnya dia memasuki sebuah hutan besar dan jauh
meninggalkan para pengejarnya.
Dua buah lengan yang halus panjang itu merayap seperti ular dan
merangkul lehernya. “Kian Bu, kekasihku... kau telah menyelamatkan
aku...”
Dan Hong Kui menarik leher itu, terus menciumi Kian Bu yang terpaksa menghentikan larinya untuk menyambut ciuman kekasihnya.
“Tempat ini sunyi dan teduh... kita lanjutkan yang tadi terganggu oleh
orang...” Hong Kui yang sudah turun dari pondongan itu memeluk pinggang
dan menarik Kian Bu ke atas rumput.
“Jangan, Enci. Mungkin mereka sebentar lagi akan menyusul ke hutan ini.
Kita harus lari terus sampai benar-benar terlepas dari mereka. Nenek itu
mengerikan sekali. Tadinya kukira dia sudah mampus pada waktu ruangan
pesta Tambolon terbakar.”
Hong Kui menghela napas kecewa, akan tetapi dia tidak membantah ketika
Kian Bu mengajak dia terus berjalan menyusup-nyusup hutan lebat.
“Dia memang bukan manusia!” katanya bersungut-sungut. “Dan aku hanya
pernah mendengar namanya saja, baru sekarang aku bertemu dengan iblis
tua itu. Hihh, bukan main dia! Bukan saja dapat membikin senjata rahasia
peledakku tidak berdaya, akan tetapi dari jauh dia bisa memaksaku roboh
hanya dengan suaranya! Dia adalah seorang manusia iblis dari See-thian,
dan kabarnya di Pegunungan Himalaya banyak terdapat orang-orang ahli
ilmu setan seperti dia. Namanya Durganini dan dia adalah seorang di
antara guru-guru dari Tambolon.”
“Sebetulnya tidak terlalu aneh,” Kian Bu berkata. “Orang yang memiliki
kekuatan sihir tidak sukar meledakkan senjatamu di udara dan tadi dia
menggunakan khikang yang mengandung kekuatan sihir untuk merobohkanmu.
Kalau kau mengerahkan sinkang, atau kalau kau menulikan telinga tidak
mendengar suaranya, tentu dia tidak akan dapat mempengaruhimu. Ahli
sihir seperti dia itu kalau bertemu dengan Ayah tentu celaka...!”
Tiba-tiba Kian Bu menghentikan kata-katanya. Dia teringat bahwa tidak
semestinya dia membawa-bawa nama ayahnya, apa lagi memperkenalkan
ayahnya kepada Hong Kui.
Akan tetapi, pemuda ini terlalu memandang rendah Hong Kui yang luar
biasa cerdiknya. Semenjak Kian Bu bertekuk lutut oleh rayuan mautnya,
dia selalu berusaha menyelidiki riwayat Kian Bu yang benar-benar telah
merampas hatinya, yang membuat dia jatuh cinta. Akan tetapi pemuda itu
selalu merahasiakan riwayatnya, dan dia hanya berhasil mengetahui bahwa
pemuda ini mempunyai she (nama keturunan) Suma. Ini saja sudah
menimbulkan dugaan karena dia melihat bahwa pemuda ini memiliki sinkang
yang amat kuat dari melihat she Suma serta sikap pemuda yang ingin
merahasiakan dirinya ini sudah timbul dugaannya bahwa agaknya pemuda
luar biasa ini tentu ada hubungannya dengan Majikan Pulau Es, Pendekar
Super Sakti yang dia tahu bernama Han dan ber-she Suma pula.
Namun dengan cerdiknya, karena melihat pemuda itu merahasiakan
riwayatnya, dia lalu pura-pura tak menduga apa-apa. Sekarang mendengar
betapa pemuda itu memandang rendah Durganini dan mengatakan bahwa ilmu
sihir itu tidak ada artinya jika bertemu dengan ayah pemuda ini, dia
merasa yakin bahwa tentu ayah pemuda ini adalah Pendekar Super Sakti
atau juga yang disebut Pendekar Siluman karena pendekar itu memiliki
ilmu sihir yang kabarnya amat mukjijat!
Diam-diam hati wanita ini menjadi girang bukan main. Kekasihnya adalah
salah seorang putera Pendekar Super Sakti! Kalau saja dia dapat menjadi
mantu Majikan Pulau Es, betapa akan bangga dan bahagia hatinya. Maka dia
mengambil keputusan untuk tidak melepaskan pemuda ini dari
cengkeramannya.
Tiba-tiba Kian Bu memegang tangannya. “Ada derap kaki kuda dari jauh menuju ke sini! Mari kita bersembunyi di sana!”
Tanpa menanti jawaban, sambil memegang lengan wanita itu, Kian Bu
melompat ke atas dan Hong Kui merasa kagum bukan main ketika tubuhnya
terbawa melayang seperti terbang. Mereka bersembunyi di dalam pohon, di
cabang yang tinggi di antara daun-daun lebat. Hong Kui merangkul dan
mencium telinga Kian Bu, hatinya bangga bukan main. Dirinya sendiri
memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya, namun dibandingkan
dengan pemuda kekasihnya ini, dia kalah jauh! Dan pendengaran telinga
pemuda itu pun tajam bukan main.
Dia sendiri belum mendengar apa-apa dan Kian Bu sudah tahu akan
datangnya rombongan kuda. Setelah berada di atas pohon, baru dia
mendengar suara itu, bahkan tidak lama kemudian mereka melihat bahwa
dari arah kiri tampak serombongan orang berkuda. Ada tujuh belas orang
berkuda dan di belakang barisan ini terdapat dua buah kereta tertutup
yang agaknya terisi muatan-muatan. Kereta pertama terhias bendera hitam
yang tidak jelas gambarnya dan kereta kedua jelas adalah kereta penuh
dengan muatan barang.
Kian Bu menjadi lega karena melihat bahwa mereka itu bukanlah para
pengejar, bukan anak buah Tambolon seperti yang dikhawatirkannya tadi.
Ketika dia menoleh dan memandang temannya, dia melihat wanita itu
tersenyum manis.
“Eh, kenapa kau tersenyum?”
Dengan lagak genit Hong Kui mencolek dagu Kian Bu. “Kita bersembunyi di
atas kereta yang terakhir itu. Tak usah capai-capai berjalan kaki dan
tidak akan terlihat oleh Si Nenek Iblis kalau dia mengejar kita.”
Kian Bu mengangguk. Buah pikiran yang baik sekali. Memang atap kereta
itu rata dan cukup lebar. Kalau mereka berdua rebah di atas atap yang
tertutup pinggiran atap tentu tidak kelihatan dari bawah. Maka ketika
kereta yang terakhir dan yang muat barang itu lewat, mereka meloncat
turun sambil mengerahkan ginkang mereka sehingga ketika kedua kaki
mereka hinggap di atas atap, seperti ditahan oleh per yang halus dan
tidak menimbulkan guncangan sehingga tidak terasa sedikit pun juga oleh
kusir kereta itu. Cepat mereka berdua lalu menggulingkan tubuh rebah
berdampingan di atas atap kereta.
“Hi-hik, enak di sini...!” Hong Kui sudah terkekeh genit, membalikkan
tubuh menghadapi kekasihnya, kaki dan tangannya sudah memeluk.
“Hishhh... jangan di sini! Siang-siang begini... dan malu kalau
kelihatan orang!” Kian Bu berbisik mencela sambil bergurau, akan tetapi
dia mencium pipi kekasihnya yang cemberut oleh penolakannya itu sehingga
Hong Kui tersenyum lagi. Mereka lalu rebah menelungkup dan mengintai
dari atas pinggiran atap ke depan.
Tiba-tiba terdengar suara bersuit nyaring dan penunggang kuda terdepan
berteriak kaget karena kaki kudanya terperosok ke dalam lubang sehingga
kaki depan kuda itu patah dan kudanya roboh terjungkal. Akan tetapi,
betapa kaget hati Kian Bu melihat penunggang kuda ini tidak ikut jatuh,
bahkan mencelat ke atas, berpoksai di udara dan kemudian hinggap di atas
punggung kuda penarik kereta pertama. Sungguh merupakan kepandaian yang
mengagumkan.
Namun kekagumannya berubah menjadi kekagetan dan kengerian ketika
melihat orang itu yang melihat kudanya sekarat, dari atas kuda penarik
kereta lalu menggerakkan tangan kanannya, seperti memukul ke arah
kudanya yang sekarat. Serangkum hawa pukulan jarak jauh mendorong bubuk
putih seperti kapur yang mengeluarkan bau busuk menyambar ke arah kuda
sekarat itu. Terdengar ledakan keras dan kuda itu terbakar habis sampai
menjadi abu!
Tentu saja Kian Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa rombongan
ini terdiri dari orang-orang yang demikian lihainya, bahkan belum tentu
kalah lihai dibandingkan dengan para pengejarnya, orang-orang liar dari
kaki tangan Tambolon! Dia melirik ke arah Hong Kui dan dia melihat
betapa kekasihnya itu hanya tersenyum saja seolah-olah tidak pernah
terjadi kengerian seperti yang disaksikannya tadi. Alangkah tabah hati
kekasihnya yang cantik ini.
Akan tetapi, perhatiannya sudah tertarik lagi oleh munculnya beberapa
belas orang dibarengi tanda-tanda suitan dan ternyata yang muncul adalah
rombongan perampok yang diketuai oleh seorang laki-laki bercambang bauk
yang bertubuh tinggi besar. Mereka itu pun kelihatan heran dan jeri
melihat betapa kuda tadi dapat terbakar habis, maka kini kepala rampok
yang agaknya setelah melihat peristiwa itu bersikap hati-hati dan lunak,
lalu berkata, suaranya parau dan keras, “Sahabat-sahabat yang lewat
harap suka menolong kami orang-orang kekurangan dengan sedikit sedekah
sebagai pembagian rejeki!”
Dari kereta pertama itu tiba-tiba terdengar suara yang berat dan
malas-malasan, “Kalian menghendaki sedekah? Nih, maju dan terimalah!”
Kepala rampok menjadi girang, lalu meloncat dekat kereta dan ketika dari
dalam kereta itu menyambar sebuah pundi-pundi, dia cepat menyambutnya.
Pundi-pundi itu berat dan segera dibuka tali pengikatnya.
Ketika pundi-pundi terbuka dan tampak potongan-potongan emas berkilauan,
kepala rampok itu terkejut, terheran dan tentu saja menjadi girang
bukan main. Dia mengelus jenggot yang lebat, mengucak-ucak matanya
kemudian tertawa dan menjura ke arah kereta. “Aihh, kiranya kami bertemu
dengan sahabat yang amat dermawan, harap suka memaafkan kami yang telah
membikin kaget...”
“Hi-hik, hendak kulihat siapa yang kaget.” Hong Kui terkekeh dan
berbisik sambil terus mengintai dan tangannya mengelus-elus tengkuk Kian
Bu penuh rasa sayang. Kian Bu tidak mengerti mengapa kekasihnya berkata
demikian, akan tetapi dia terus mengintai dan tiba-tiba dia terbelalak
saking kaget dan herannya.
Kepala rampok itu tiba-tiba mengeluarkan seruan aneh, kemudian kedua
tangannya menegang lalu saling menggaruk telapak tangan, kemudian kedua
tangan menggaruk mukanya, lehernya, dan tak lama kemudian dia sudah
berteriak-teriak dan berkelojotan di atas tanah, kedua tangannya
menggaruki mukanya, mencakar mukanya berkali-kali sampai kulit mukanya
robek berdarah, akan tetapi terus digarukinya sambil menjerit-jerit.
Pundi-pundi emas itu terjatuh ke atas tanah dan ketika sebuah lengan
terjulur keluar dari tenda kereta pertama dan dengan jari-jari terbuka
bergerak, tiba-tiba pundi-pundi itu seperti tersedot dan terbang ke arah
tangan itu yang segera lenyap kembali ke balik tenda atau tirai kereta.
Melihat demonstrasi tenaga sinkang yang dahsyat ini, tentu saja Kian Bu
terkejut bukan main.
Kini anak buah perampok itu sadar bahwa kepala mereka telah terkena
racun, maka dengan marah mereka berteriak-teriak dan menyerbu dengan
pedang atau golok terhunus. Dan tujuh belas orang berkuda itu dengan
ketenangan seperti patung-patung hidup, membiarkan para perampok itu
menyerbu. Kemudian, mereka itu melontarkan bermacam bubuk racun yang
beraneka warna, ada yang putih, ada yang merah dan ada pula yang hitam.
Akan tetapi akibatnya amat mengerikan.....
Yang terkena bubuk putih meledak dan terbakar hidup-hidup dan yang
terkena bubuk merah berkelojotan dan menggaruki tubuh seperti Si Kepala
Rampok, sedangkan yang terkena bubuk hitam berkelojotan dan tubuh mereka
mencair dan mengeluarkan bau yang amat busuk.
Melihat pembunuhan yang amat mengerikan ini, Kian Bu menjadi marah dan
hampir saja dia meloncat turun dari atas atap kereta, akan tetapi Hong
Kui merangkul lehernya dan mencegahnya. Ketika dia hendak membantah,
sebelum ada suara keluar dari mulutnya, mulut itu sudah ditutup oleh
bibir Hong Kui sampai lama sehingga Kian Bu menjadi nanar terbuai nafsu.
Hong Kui melepaskan ciumannya dan berbisik di dekat telinganya, “Mereka
begitu lihai, sedang kita masih dikejar nenek iblis, mengapa mencari
bahaya?”
Mau tidak mau Kian Bu terpaksa membenarkan pendapat kekasihnya itu.
Jelas bahwa mereka ini merupakan lawan yang sangat lihai, apa lagi orang
yang berada di dalam kereta tadi. Sedangkan menghadapi nenek iblis itu
saja sudah amat berbahaya, kalau ditambah mereka ini tentu dia akan
kewalahan. Dia terpaksa diam saja menonton, akan tetapi merasa hatinya
seperti diremas-remas dan ada rasa malu di dalam lubuk hatinya mengapa
dia mendiamkan saja pembantaian manusia sedemikian kejamnya tanpa turun
tangan sama sekali. Sungguh amat tidak sesuai bahkan berlawanan dengan
sifat pendekar yang ditanamkan oleh ayah bundanya dalam dirinya!
Pemandangan itu amat mengerikan. Empat belas orang perampok itu roboh
semua dan kini Kian Bu melihat betapa para korban bubuk putih terbakar
menjadi abu seperti bangkai kuda tadi, yang terkena bubuk merah
menggaruk-garuk kulit daging sampai habis dan mereka mati menjadi
kerangka-kerangka karena kulit dan daging mereka habis dimakan racun
merah sedangkan yang terkena racun hitam tubuhnya mencair dan meleleh
menjadi cairan kuning yang baunya amat busuk! Hawa dari racun-racun itu
ternyata amat jahat karena pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan di dekat
tempat itu menjadi layu dan daun-daunnya menjadi kuning dan rontok.
“Lanjutkan perjalanan, Telaga Sungari tidak jauh lagi!” Tiba-tiba
terdengar suara berat dan malas dari dalam kereta. Rombongan bergerak
lagi dan kini kereta yang ditumpangi Kian Bu dan Hong Kui dilarikan
cepat menyusul kereta depan dan ternyata kereta ini sekarang berada di
depan sendiri, di belakang dua orang penunggang kuda yang agaknya
menjadi penunjuk jalan, sedangkan kereta yang ditumpangi orang lihai
tadi berada di belakang.
“Hi-hik, kebetulan sekali, Kian Bu. Mereka menuju ke Telaga Sungari
juga!” Hong Kui berbisik, kemudian membalikkan tubuhnya rebah terlentang
menatap langit yang indah sekali terbakar api merah dari sinar matahari
senja.
Sambil rebah dan bercumbuan tanpa mengeluarkan suara, Kian Bu dan Hong
Kui mendengarkan percakapan dua orang berkuda di depan kereta itu dan
dari percakapan kedua orang itu tahulah mereka bahwa rombongan ini
adalah kelompok anggota dari perkumpulan Lembah Bunga Hitam! Kiranya
belasan orang ini adalah ahli-ahli racun jagoan dari Lembah Bunga Hitam
dan sedang melakukan perjalanan ke Telaga Sungari dipimpin sendiri oleh
Hek-hwa Lo-kwi (Iblis Tua Bunga Hitam) Thio Sek yang berada di dalam
kereta itu. Kian Bu menjadi terkejut sekali.
Pantas saja orang-orang ini demikian lihai, dan kakek di dalam kereta
itu mengerikan sekali. Kiranya Ketua Lembah Bunga Hitam dengan para
jagoannya! Dari percakapan itu Kian Bu mendengar bahwa selama beberapa
bulan ini Hek-hwa Lo-kwi bersama kaki tangannya tidak tinggal di Lembah
Bunga Hitam dan selalu berpindah tempat karena mereka hendak menjauhkan
diri dan bersembunyi dari kejaran dan intaian dua orang musuh besar yang
amat lihai.
“Kalau Pangcu (Ketua) sudah selesai melatih diri dengan ilmu pukulan
baru yang dirahasiakan, beliau tentu akan menghadapi dua orang musuh
besar itu dan kita tidak perlu merantau lagi,” kata yang seorang.
Kian Bu tidak tahu siapakah dua orang musuh besar yang dimaksudkan oleh
dua orang pembicara itu. Dan Hong Kui lalu berbisik, “Musuh besar dari
Ketua Hek-hwa-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bunga Hitam) adalah
suheng-ku.”
“Hek-tiauw Lo-mo?”
“Benar, mereka bermusuhan oleh karena memperebutkan kitab curian. Justru
karena mempelajari ilmu dari kitab curiannya itulah tubuhku keracunan.”
Kian Bu hanya mengangguk-angguk. Dia tidak tahu bahwa dugaan Hong Kui
itu hanya sebagian kecil saja yang benar. Memang Ketua Lembah Bunga
Hitam bermusuhan dengan Ketua Pulau Neraka, karena memperebutkan kitab
yang mereka curi dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir. Akan tetapi
yang membuat ketua ini melarikan diri dan menghindari pertandingan
dengan dua orang pengejarnya, bukanlah Hek-tiauw Lo-mo, melainkan bekas
rekannya, yaitu Louw Ki Sun, kakek pelayan Si Dewa Bongkok, dan Kok Cu,
murid terkasih dari Si Dewa Bongkok yang amat lihai.
Dia tahu bahwa kedua orang itu telah menerima tugas dari Si Dewa Bongkok
untuk melakukan pengejaran dan merampas kembali kitab yang dicurinya
bersama Hek-tiauw Lo-mo. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi
karena maklum akan kelihaian mereka, terutama murid Dewa Bongkok, dia
tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi korban dan di samping itu dia
sedang melatih ilmu pukulan dahsyat yang dipelajarinya dari kitab
curian itu.
Kini, melihat bahwa telah tiba musimnya anak naga keramat akan dibawa
keluar oleh induknya di permukaan Telaga Sungari, maka dia membawa anak
buahnya ke telaga itu karena dengan bantuan anak naga itu, dia akan
dapat menguasai ilmu pukulan yang dahsyat itu secara lebih cepat dengan
hasil yang amat hebat sehingga dia tidak akan takut lagi menghadapi
lawan yang bagaimana tangguh pun juga.
Malam itu terang bulan. Suasana di atas kereta itu romantis dan indah
sekali. Cahaya bulan keemasan langsung menimpa tubuh mereka,
kadang-kadang diselimuti bayangan halus pohon-pohon di kanan kiri
kereta. Kian Bu makin terpesona dan mabok melihat kulit tubuh kekasihnya
yang sengaja membuka pakaian itu bermandikan cahaya bulan dan untuk
kesekian kalinya dia tidak dapat menolak rayuan Siluman Kucing itu.
Karena maklum bahwa mereka berdekatan dengan orang-orang pandai dan
berbahaya, apa lagi Ketua Lembah Bunga Hitam berada di dalam kereta di
belakang mereka, Hong Kui terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan
sinkang-nya untuk menahan diri hingga dari kerongkongannya tidak
terlontar suara kucing yang biasanya dilakukannya kalau dia sedang
tenggelam dalam permainan cinta. Dia hanya merintih lirih.
Kian Bu sudah tertidur pulas kecapaian, tidur dengan senyum kepuasan di
bibirnya, berbantalkan lengan sendiri. Sedangkan Hong Kui yang rambut
dan pakaiannya masih mawut itu rebah terlentang memandang langit yang
indah dengan mata merem-melek digulung kenikmatan ketika tiba-tiba
terdengar suara gerengan seperti seekor singa dan kereta itu dihentikan.
Hong Kui terkejut dan miringkan tubuhnya mengangkat kepala dan memandang
ke depan. Dua orang penunggang kuda sudah berhenti dan mereka melihat
datangnya seorang laki-laki berkuda. Laki-laki bertubuh tinggi besar
seperti raksasa, menunggang seekor kuda putih yang juga besar dan
jubahnya yang lebar melambai-lambai ketika kudanya berlari congklang
mencegat rombongan itu.
“Ehh, kenapa berhenti?” Kian Bu berbisik dan mengangkat tangannya, merangkul dada kekasihnya.
“Ssssh...” Hong Kui memberi isyarat agar pemuda itu tidak ribut. Kian Bu
kini terbangun dan cepat dia pun membalikkan tubuhnya, mengintai ke
depan.
“Wah... dia...?” bisiknya kaget ketika dia mengenal penunggang kuda,
laki-laki tinggi besar itu yang ternyata bukan lain adalah Hek-tiauw
Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!
Akan tetapi kembali Hong Kui memberi isyarat agar dia tidak bersuara,
dan mereka lalu mengintai ke depan dengan lengan saling merangkul dan
mereka menelungkup di atas kereta.
“Orang she Thio, bujang hina-dina! Hayo keluar, manusia tidak tahu malu.
Hayo keluar dan kembalikan kitabku yang kau curi!” Hek-tiauw Lo-mo
berteriak dengan suaranya yang nyaring dan menggetarkan hutan itu.
Dari dalam kereta yang berada di belakang terdengar suara tertawa
bergelak, dan berbareng dengan berkelebatnya bayangan hitam, seorang
kakek tinggi kurus bermuka tengkorak dan berpakaian serba hitam telah
berdiri di depan kuda yang ditunggangi Hek-tiauw Lo-mo. Kakek tinggi
kurus bermuka tengkorak ini adalah Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek.
“Ha-ha-ha, engkau maling rendah berani memaki orang! Kitab itu adalah
milik bekas majikanku, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir.
Engkaulah yang menjadi maling! Aku telah meminjamkan sebagian kitab
kepadamu, dan sekarang telah kuambil kembali karena akulah yang berhak
memiliki kitab itu. Pergilah, Hek-tiauw Lo-mo, sebelum kau kutangkap
sebagai maling hina!”
Hek-tiauw Lo-mo mengeluarkan suara memekik nyaring dan dari balik
pohon-pohon berserabutan keluarlah orang-orang Pulau Neraka yang sejak
tadi bersembunyi. Jumlah mereka ada lima belas orang dan mereka
merupakan orang-orang pilihan yang sedang mengawal ketua mereka.
Semenjak Hek-tiauw Lo-mo gagal dalam membantu para pemberontak, dia lalu
kembali ke tempat di mana berkumpul orang-orang Pulau Neraka yang telah
melakukan pendaratan di daratan besar dan pada suatu malam kitabnya
yang hanya sepotong, yaitu bagian yang dapat dirampasnya ketika dia dan
Thio Sek mencuri kitab dari Dewa Bongkok, ternyata telah dicuri oleh
Ketua Lembah Bunga Hitam itu yang telah lama menanti-nanti saat dan
kesempatan itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan melakukan
penyelidikan dan pengejaran.
Kitab milik Dewa Bongkok yang dicuri oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa
Lo-kwi itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu mukjijat tentang
pukulan-pukulan beracun, akan tetapi karena tadinya mereka berebutan
sehingga kitab itu terobek menjadi dua, maka isi kitab yang hanya
setengah itu tidak begitu banyak manfaatnya. Karena itu mereka berdua
selalu bermusuhan untuk merebutkan setengah bagian kitab yang mereka
butuhkan. Dan kini dengan akal curang, selagi Hek-tiauw Lo-mo sibuk
dengan mengejar kedudukan membantu pemberontak, Ketua Lembah Bunga Hitam
yang dahulunya adalah pelayan Dewa Bongkok itu akhirnya dapat mencuri
bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo dan yang dijaga oleh para anak
buahnya, yaitu orang-orang Pulau Neraka.
Kini setelah anak buahnya muncul, Hek-tiauw Lo-mo meloncat turun dari
kudanya dan menerjang Hek-hwa Lo-kwi sehingga mereka lalu saling serang
dengan dahsyatnya. Ada pun anak buah Lembah Bunga Hitam sudah bertempur
melawan belasan orang Pulau Neraka. Malam yang indah di bawah sinar
bulan purnama itu sekarang berubah menjadi menyeramkan karena
pertempuran antara dua kelompok ahli racun yang lihai itu.
Karena orang-orang Lembah Bunga Hitam maklum bahwa orang-orang Pulau
Neraka yang bermuka menyeramkan itu adalah orang-orang yang sudah kebal
tubuh mereka terhadap racun, maka mereka tidak mau menggunakan
senjata-senjata beracun mereka. Dalam pertempuran-pertempuran yang lalu
mereka sudah cukup maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka
tentang hal racun sehingga andai kata mereka mengeluarkan bubuk-bubuk
racun itu jangan-jangan malah senjata makan tuan, maka kini mereka
menyerbu dengan senjata tajam di tangan dan menggunakan ilmu silat untuk
mengalahkan musuh besar mereka.
Melihat perang tanding yang dahsyat itu, Hong Kui hendak bangkit. “Suheng bisa celaka kalau tidak kubantu...”
Akan tetapi dua lengan yang kuat memeluknya dan Kian Bu berkata,
“Hek-tiauw Lo-mo adalah bekas musuhku, kalau kau membantu dia, terpaksa
aku pun akan membantu lawannya.”
“Eihhh...?”
“Karena itu sebaiknya kita jangan mencampuri mereka, Enci.”
Hong Kui menatap wajah pemuda itu, lalu tersenyum, merangkul kemudian
menciumi kekasihnya dengan penuh nafsu. Dicumbu dan dibelai oleh wanita
yang amat cantik jelita dan pandai memikat hati ini, Kian Bu kembali
mabok dan tenggelam sehingga selagi di bawah kereta kedua golongan itu
bertanding mati-matian, di atas atap kereta itu dua orang ini bemain
cinta tanpa mempedulikan keadaan di sekitar mereka!
“Ehhh, lihat ada orang...!” Tiba-tiba Kian Bu mendorong halus tubuh Hong Kui yang menindihnya dan menuding ke kiri.
Hong Kui menengok dan benar saja. Mereka melihat sosok bayangan manusia
dengan gerakan cepat dan ringan berloncatan kemudian berindap-indap
menghampiri kereta di belakang tadi, kereta yang tadi ditumpangi Ketua
Lembah Bunga Hitam. Kemudian bayangan yang ternyata adalah seorang kakek
berambut putih itu menyelinap masuk dan tak lama kemudian dia keluar
lagi membawa sebuah kitab.
“Dia mencuri kitab!” bisik Hong Kui dan tangan kiri wanita ini bergerak,
sebuah benda bulat melayang ke arah kereta di belakang itu.
“Darrrrr...!” Kereta itu meledak dan hancur, akan tetapi kakek itu dapat meloncat ke samping menghindar.
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang sedang bertanding dengan ramai
itu cepat menengok, dan melihat kakek itu mereka terkejut sekali.
“Dia mencuri kitab itu...!” teriak Hek-hwa Lo-kwi dan seperti mendapat
komando saja, mereka lalu meloncat ke depan. Kakek yang mengambil kitab
dari dalam kereta itu cepat melarikan diri dan dikejar oleh dua orang
datuk yang melihat betapa kitab mereka yang saling diperebutkan itu
dilarikan orang.
“Wah, jadi ramai sekarang...” kata Kian Bu yang melihat betapa
orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Lembah Bunga Hitam menjadi
bingung melihat ketua mereka berhenti bertempur dan mengejar seorang
kakek. Mereka lalu berlari pula ikut mengejar dan otomatis pertempuran
pun berhenti.
“Hayo kita ikut nonton keramaian!” Hong Kui terkekeh genit, menggelung
rambutnya, membereskan pakaiannya dan bersama Kian Bu dia lalu meloncat
turun dari atas kereta. Sunyi di tempat itu karena tidak ada seorang pun
di situ, semua telah melakukan pengejaran. Mereka lalu berlari cepat
mengejar ke arah larinya semua orang itu, yaitu ke utara.
Kakek tua berambut putih itu cepat sekali larinya sehingga malam lewat,
belum juga dua orang datuk lihai itu dapat menyusulnya. Akan tetapi dia
pun tidak dapat membebaskan diri dari dua orang kakek yang seolah-olah
menjadi bayangannya sendiri dan selalu mengikuti ke mana pun dia pergi
itu. Kakek tua itu tidak berani berhenti, karena dia maklum bahwa
menghadapi pengeroyokan mereka berdua, dia tidak akan mampu menang.
Kakek tua yang rambut dan jenggotnya sudah putih itu menjadi bingung
juga dan ketika dia melihat sebuah dusun di luar hutan dia cepat
memasuki dusun itu dan tak lama kemudian dia sudah menyelinap memasuki
sebuah warung nasi yang masih sunyi karena baru dibuka dan langsung dia
bersembunyi di dalam. Pemilik warung ini hanya melihat bayangan
berkelebat dan bayangan itu langsung lenyap sehingga dia menjadi bingung
dan menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggerakkan pundaknya dan
menggeleng kepala karena mengira bahwa dia tentu salah lihat.
Akan tetapi tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek raksasa yang
wajahnya mengerikan dan sikapnya bengis muncul di depan warungnya.
Pemilik warung ini menjadi terkejut dan ketakutan, yakin bahwa dia kini
berhadapan dengan siluman-siluman maka dengan tubuh gemetar dia lalu
berlutut dan bersembunyi di balik meja!
Yang muncul itu memang Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan memang
wajah mereka amat menyeramkan. Hek-hwa Lo-kwi kelihatan seperti
tengkorak hidup, sedangkan wajah Hek-tiauw Lo-mo memang seperti raksasa
menakutkan dan mulutnya bertaring. Akan tetapi pada saat kedua orang
datuk ini tiba di depan warung, pada saat yang sama datang pula dua
orang yang begitu melihat mereka menjadi kaget sekali. Dua orang ini
bukan lain adalah Ceng Ceng dan Topeng Setan!
Ketika Ceng Ceng melihat dua orang kakek yang pernah dikenal dan
dilawannya ini, dia menjadi terkejut sekali. Akan tetapi dasar dia
seorang gadis yang tidak mengenal takut, apa lagi ada Topeng Setan di
situ, dia memandang rendah dua orang datuk ini dan dengan sikap angkuh
dia lalu membuang muka dan hendak memasuki warung itu karena memang dia
tadi mengajak Topeng Setan untuk mengisi perutnya yang lapar di warung
itu.
Hek-tiauw Lo-mo yang sudah sangat bernafsu untuk merampas kembali kitab
yang kini telah utuh karena bagiannya dan bagian Hek-hwa Lo-kwi sudah
disatukan dan yang telah dicuri dari dalam kereta oleh kakek berambut
putih, tidak sabar lagi dan dia agaknya lupa dan tidak mengenal lagi
kepada Ceng Ceng. Maka melihat seorang gadis cantik yang sikapnya angkuh
mendahuluinya masuk ke warung, dia lalu meloncat ke pintu dan
membentak, “Bocah hina mundurlah!”
Tentu saja seketika perut Ceng Ceng menjadi panas mendengar sebutan
‘bocah hina’ tadi, maka ketika melihat Ketua Pulau Neraka itu melangkah
hendak mendahuluinya memasuki pintu, langsung saja dia memukul dengan
tangan terbuka ke arah perut kakek tinggi besar itu. Pukulan beracun,
pukulan maut!
Barulah Hek-tiauw Lo-mo terkejut ketika dia merasa ada angin dahsyat
menyambar dari pukulan, bukan hanya menunjukkan adanya tenaga sinkang
yang cukup kuat, akan tetapi terutama sekali hawa beracun yang hebat
keluar dari telapak tangan gadis itu!
“Aihhh...!” Dia berseru.
Tentu saja dia pun cepat menangkis dan mengerahkan tenaganya karena baru
kini dia teringat siapa adanya wanita ini. Ceng Ceng sendiri karena
mendendam dan merasa benci kepada Hek-tiauw Lo-mo yang telah membuat
nyawanya terancam maut karena pukulan beracun Hek-coa-tok-ciang yang
dijatuhkan kepadanya, kini mempergunakan pukulan beracun yang mematikan
untuk membalas dendam.
“Dessss...!”
Dua tangan yang sama-sama mengandung racun jahat itu saling bertemu dan
akibatnya Ceng Ceng terlempar dan hampir terjengkang kalau tidak cepat
lengannya disambar oleh Topeng Setan. Hek-tiauw Lo-mo yang hanya
tergetar tangannya lalu memandang kepada Ceng Ceng sambil tertawa.
“Hah! Kiranya engkau belum mampus?”
Dapat dibayangkan betapa marah hati dara itu. Dalam kemarahannya, dia
sampai lupa diri dan berkata kepada Topeng Setan dengan suara
memerintah, “Paman, bunuhlah orang ini!”
Kelihatannya memang aneh. Orang tua bermuka buruk itu tanpa banyak cakap
lagi agaknya amat mentaati perintah Si Dara muda jelita itu karena
tanpa berkata apa-apa dia sudah menggerakkan tangan kanannya. Tanpa
menggerakkan kakinya, tempat dia berdiri terpisah dua meter dari
Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi lengan tangan kanannya yang digerakkan itu
terulur ke depan, terus memanjang dan mulur seperti karet, sampai
mencapai jarak dua meter itu dan jari tangannya langsung menyerang
dengan totokan ke arah iga Hek-tiauw Lo-mo!
Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi sangat terkejut menyaksikan hal ini
dan tahulah dia bahwa orang tua bermuka buruk ini adalah seorang yang
memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa
gentar dan dengan mengerahkan tenaga Hek-coa-tok-ciang, yaitu ilmu
pukulan yang dilatihnya dari kitab curian, dia memapaki totokan itu
dengan telapak tangannya.
“Cuuss...! Dessss!”
Akibat pertemuan kedua tangan yang sama besar dan sama kuatnya ini hebat
sekali. Tubuh Topeng Setan tergetar, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo
terhuyung-huyung mundur sampai lima langkah keluar dari pintu warung!
Melihat ini, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut juga dan timbul
kekhawatirannya. Dia memperhitungkan bahwa munculnya gadis beracun dan
laki-laki tua bertopeng setan itu tentu ada hubungannya dengan Si
Pencuri Kitab yang agaknya bersembunyi di dalam warung, maka karena
yakin bahwa orang tua bertopeng ini tentu membela Si Pencuri, secepat
kilat, dia pun menerjang maju dan menyerang Topeng Setan dengan pukulan
mautnya.
Topeng Setan mengeluarkan suara seperti orang menahan tawa, dan di lain
saat dia telah dikeroyok dua oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi
yang lihai. Pertandingan ini berlangsung hebat sekali, sampai bumi di
sekeliling tempat pertempuran itu tergetar hebat dan angin pukulan
menyambar-nyambar dahsyat.
Hebat sekali sepak terjang Topeng Setan, dan Ceng Ceng menonton dengan
wajah khawatir akan tetapi juga takjub. Dia tahu akan kelihaian Ketua
Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, akan tetapi Topeng Setan
dapat menghadapi pengeroyokan mereka dengan tangguh dan sama sekali
tidak kelihatan terdesak. Namun, diam-diam Topeng Setan maklum bahwa
biar pun dia mampu menandingi dua orang datuk itu, tetapi dia pun tak
dapat mendesak mereka, apa lagi mengalahkan. Kalau pertandingan
dilanjutkan, akhirnya dia yang akan terancam bahaya karena tingkat
kepandaian dua orang kakek ini memang sudah tinggi sekali.
Tak lama kemudian, Kian Bu dan Hong Kui yang memiliki ilmu berlari cepat
lebih mahir dari pada para anak buah Lembah Bunga Hitam dan Pulau
Neraka, telah dapat pula menyusul ke dusun itu dan tiba di depan warung
dengan sembunyi. Ketika Kian Bu melihat dua orang kakek lihai itu tidak
bertanding melawan kakek pencuri kitab, tetapi bertanding melawan Topeng
Setan, dia terheran-heran. Akan tetapi ketika dia melihat Ceng Ceng
berada di situ, dia terkejut dan girang. Hampir saja dia membuka mulut
memanggil gadis yang ternyata masih keponakannya itu karena dia sudah
mendengar bahwa Ceng Ceng adalah keturunan dari Wan Keng In putera ibu
tirinya dan ayah tiri dari Suma Kian Lee.
Akan tetapi ketika dia teringat akan Hong Kui, teringat akan
perhubungannya dengan Hong Kui, dia merasa malu dan jengah sekali,
merasa sungkan untuk bertemu dengan Ceng Ceng. Teringat akan semua
perbuatannya, akan petualangannya dalam bermain cinta yang mesra dan
memabokkan selama beberapa hari ini dengan Mauw Siauw Mo-li, ia bahkan
merasa khawatir sekali kalau-kalau sampai terlihat oleh Ceng Ceng bahwa
dia datang bersama Hong Kui.
“Aku... aku mau... pergi kencing dulu...,” katanya kepada Hong Kui dan
tanpa menanti jawaban Hong Kui yang tersenyum lebar mendengar ini, Kian
Bu lalu menyelinap pergi.
Sementara itu, ketika melihat betapa suheng-nya dan Ketua Lembah Bunga
Hitam itu tidak mampu mengalahkan orang bertopeng yang amat lihai, Mauw
Siauw Mo-li menjadi penasaran. Kebetulan sekali Kian Bu pergi dari
sisinya, maka dia lalu meloncat tinggi ke atas dan langsung dia terjun
ke pertempuran sambil mencabut pedangnya.
Topeng Setan terkejut sekali. Cepat ia mengelak dari tusukan pedang
sambil membalas dengan tendangan kaki berantai yang mengancam ketiga
orang pengeroyoknya. Kini Topeng Setan menjadi makin repot.
“Perempuan hina dan pengecut!” Ceng Ceng membentak marah ketika melihat
Topeng Setan dikeroyok tiga, dan dia pun lalu menerjang dan menggerakkan
kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah punggung Mauw Siauw
Mo-li.
Wanita ini amat terkejut dan tidak berani menangkis karena maklum bahwa
pukulan itu mengandung racun, dia hanya mengelak dan mengelebatkan
pedangnya dengan cepat hingga hampir saja pundak Ceng Ceng terbabat
pedang kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.
“Ceng Ceng mundurlah...!” Topeng Setan berteriak karena dia khawatir akan kesehatan dara itu yang belum sembuh benar.
Pada saat itu pula, dari dalam warung meloncat seorang kakek berambut
putih yang langsung menyerang Ketua Lembah Bunga Hitam tanpa
mengeluarkan kata-kata. Serangannya cepat dan berat, akan tetapi
pukulannya dapat ditangkis oleh Hek-hwa Lo-kwi dan kini pertandingan
menjadi makin ramai. Ceng Ceng yang maklum bahwa luka di dalam tubuhnya
bisa menjadi makin parah kalau dia mengerahkan tenaga, sekarang meloncat
mundur dan menonton dengan penuh kekhawatiran karena biar pun dibantu
oleh kakek berambut putih itu masih terdesak hebat, apa lagi ketika dua
orang datuk itu mulai mengeluarkan pukulan-pukulan beracun.
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li yang tadinya membantu suheng-nya mendesak
Topeng Setan, membalik dan pedangnya menyerang kakek rambut putih.
Wanita ini memang cerdik sekali. Dia segera tahu bahwa di antara dua
orang lawan itu, yang amat tinggi ilmunya adalah Topeng Setan, maka
sebaiknya kalau lebih dulu merobohkan kakek rambut putih yang lebih
penting dan tidak begitu kuat, apa lagi yang mencuri kitab adalah kakek
rambut putih itu.
Pada saat itu, kakek rambut putih sedang terdesak hebat oleh Hek-hwa
Lo-kwi, maka ketika Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui membalik dan
menyerang, dia tidak mampu mengelak dan lambungnya tertusuk pedang!
Melihat ini Topeng Setan mengeluarkan gerengan dahsyat yang menggetarkan
tiga orang lawannya, kemudian sambil merangkul pinggang kakek rambut
putih yang terluka parah itu, dia melayani serangan tiga orang dengan
tangkisan lengan dan ujung lengan bajunya. Tentu saja dia menjadi repot
sekali dan melihat ini Ceng Ceng juga tidak mau tinggal diam saja,
langsung dia terjun dan menyerang kalang-kabut untuk membantu Topeng
Setan.
Pada saat yang amat berbahaya bagi Topeng Setan, Ceng Ceng dan kakek
berambut putih itu, tiba-tiba dari dalam warung muncul seorang nenek tua
yang berkulit hitam, diiringkan oleh beberapa orang suku liar. Mereka
agaknya memasuki warung itu dari pintu belakang karena tidak ada orang
melihat mereka tadi masuk.
“Heh-heh-heh, Siluman Kucing, kiranya engkau di sini!”
Melihat munculnya nenek yang dikenalnya sebagai guru Raja Tambolon yang
luar biasa lihainya itu, Hong Kui menjadi terkejut dan dia
mengkhawatirkan kekasihnya yang sejak tadi belum juga muncul.
“Kian Buuuu...!” Dia memekik sambil meloncat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu melarikan diri sambil mencari kekasihnya.
“Heh-heh-heh, kalian manusia-manusia gila, saling perang sendiri tidak karuan. Heh-heh-heh...!”
Pada saat itu, orang-orang Pulau Neraka dan Lembah Bunga Hitam yang
melakukan pengejaran sudah tiba di situ dan melihat nenek itu
melambai-lambai lengan bajunya yang hitam, mereka itu saling serang
sendiri dengan mati-matian! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menjadi
bengong dan mereka berusaha untuk melerai orang-orangnya yang saling
gempur karena terpengaruh oleh sihir nenek hitam itu! Ada pun nenek itu
yang bukan lain adalah Durgagini, sambil terkekeh lalu mengejar Hong Kwi
yang sudah melarikan diri.
Dua orang datuk lihai itu hanya bingung saja, tidak sampai terpengaruh
hebat oleh sihir Si Nenek Hitam, akan tetapi mereka hanya sadar bahwa
tidak semestinya mereka saling serang, hanya mereka seolah-olah pada
saat itu terlupa akan kakek berambut putih yang telah mencuri kitab
mereka.
Topeng Setan yang melihat kesempatan baik ini, cepat-cepat memanggul
tubuh kakek berambut putih yang sudah pingsan, dan menyambar lengan Ceng
Ceng, terus saja dia membawa gadis itu melarikan diri secepat mungkin
meninggalkan tempat yang berbahaya itu.....
********************
Sebaiknya kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang dibawa ‘terbang’ oleh
Topeng Setan yang memondong tubuh kakek berambut putih yang terluka
parah itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Milana bersama
Puteri Syanti Dewi karena sudah terlalu lama kita tinggalkan mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, dengan hati hancur Puteri
Milana terpaksa meninggalkan istananya dan juga jenazah suaminya karena
dia tahu bahwa pasukan pengawal diperintahkan datang dan dipimpin oleh
Perdana Menteri Su sendiri untuk menangkapnya.
Setelah menyelinap dan meloncat pergi melalui pintu belakang istananya,
puteri yang baru saja kematian suaminya ini menahan semua perasaan
marahnya, kemudian menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk
mencuri masuk ke dalam istana Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian
puteri dan memasuki kamar Puteri Syanti Dewi yang malam itu masih duduk
termenung di atas pembaringannya. Puteri Bhutan ini terkejut sekali
melihat bayangan berkelebat dari jendela dan tahu-tahu dia melihat
Puteri Milana sudah berdiri di dalam kamarnya.
“Bibi Puteri Milana...!” tegurnya girang, akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang halus itu pucat dan basah air mata.
“Bibi... apa yang terjadi...?” tegurnya sambil memegang kedua dengan puteri perkasa itu.
“Lekas berkemas, kau ikut aku pergi dari sini sekarang juga.”
Tentu saja Syanti Dewi menjadi girang bukan main karena memang berita
inilah yang dinanti-nantinya. Diam-diam dia merasa terharu karena dia
menduga bahwa tentu Kian Bu yang mengusahakan ini semua. Dia merasa
terharu betapa dia telah membikin pemuda itu patah hati, akan tetapi
pemuda yang gagah perkasa itu masih juga menyampaikan kepada Puteri
Milana sehingga dia sekarang akan dibebaskan dari tempat ini. Cepat dia
berkemas dan karena dia seorang puteri sejati, yang disebut berkemas ini
malah menanggalkan pakaian indah yang diterimanya dari Kaisar dan dia
mengenakan pakaian sendiri yang lama, juga dia menanggalkan semua
perhiasan. Melihat ini Puteri Milana diam-diam merasa kagum dan menjadi
makin suka kepada Puteri Bhutan ini.
Puteri Syanti Dewi memejamkan matanya ketika dia dipondong dan dibawa
meloncat ke atas genteng, kemudian berlarian dan berlompatan dengan
cepat sekali. Dia merasa ngeri dan juga amat kagum. Baru sekarang dia
memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana, selain cantik jelita dan agung
ternyata juga merupakan pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian
sangat tinggi. Memang pantaslah kalau pendekar sakti Gak Bun Beng
menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini!
Setelah mereka keluar dari daerah istana kaisar, barulah Puteri Milana
melompat turun dan menurunkan Syanti Dewi dari pondongannya. “Sekarang
kita harus pergi keluar dari kota raja, Syanti Dewi.”
“Ehh, mengapa begitu? Mengapa tidak ke istana Bibi?”
“Hmm, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Baiklah, kau dengarkan apa yang telah terjadi dengan keluargaku....”
Dengan singkat Milana kemudian menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi
Kong, melakukan pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran
Liong Bin Ong karena suaminya penasaran melihat bahwa Kaisar tidak mau
percaya bahwa pangeran tua inilah yang menjadi biang keladi
pemberontakan. Dan biar pun suaminya telah berhasil membunuh pangeran
pemberontak, namun suaminya sendiri tewas oleh pengeroyokan pengawal.
“Nah, karena itu aku harus pula segera pergi, Syanti, karena kalau tidak
aku tentu akan ditangkap sebagai isteri seorang yang tentu dianggap
berdosa.”
Ucapan ini memancing keluarnya dua buah air mata di atas pipi Milana yang pucat itu.
“Ahhh... Bibi...!” Syanti Dewi memeluk Milana sambil menangis.
Dua orang wanita itu berpelukan dan tidak mengucapkan sepatah pun kata.
Agaknya di dalam detik itu perasaan dan suara hati mereka sama, yaitu
keduanya teringat kepada Gak Bun Beng berhubung dengan adanya peristiwa
kematian suami Puteri Milana itu.
Tak lama kemudian, Syanti Dewi yang terlalu halus perasaannya untuk
menyinggung nama Gak Bun Beng pada saat seperti itu, bertanya, “Sekarang
ke mana Bibi hendak membawa saya?”
Milana menarik napas panjang. “Aku sendiri belum tahu ke mana harus
membawamu, yang jelas kita harus keluar dari kota raja karena kita
menjadi orang-orang pelarian. Akan tetapi sebelum kita meninggalkan kota
raja untuk selamanya, aku ingin sekali lagi lewat di depan rumahku dan
menengoknya.”
Syanti Dewi dapat memaklumi perasaan hati puteri perkasa itu, apa lagi
karena jenazah suami puteri ini masih berada di dalam istana dan puteri
ini tidak dapat mengurus sendiri pemakaman jenazah suaminya. Mereka lalu
berjalan melalui tempat-tempat gelap dan menuju ke istana Puteri Milana
yang sudah sunyi. Akan tetapi ternyata istana itu dijaga ketat dan tak
terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi Milana ketika dia
mendengar suara para pendeta membaca liam-keng, berdoa untuk jenazah
suaminya yang berada di dalam istananya. Diam-diam dia merasa bersyukur
dan maklum bahwa Perdana Menteri Su, sahabatnya yang baik itu, telah
memenuhi permintaannya yang ditulisnya di atas tembok dan telah mengurus
jenazah Han Wi Kong dengan baik-baik.
“Mari kita pergi,” katanya kemudian kepada Syanti Dewi yang juga memandang ke arah istana itu dengan hati terharu.
Tak disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana
ini sampai tertimpa mala petaka yang demikian hebatnya. Kesengsaraan
yang dideritanya sendiri semenjak dia meninggalkan istana ayahnya bukan
apa-apa kalau dibandingkan dengan mala petaka yang dialami oleh Puteri
Milana.
Milana yang berpemandangan tajam sekali, biar pun dalam keadaan berduka,
masih dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang mengikuti mereka
berdua dari jauh. Dia tidak merasa takut, akan tetapi juga tidak peduli
dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya menuju ke benteng
sebelah utara karena dia mempunyai hasrat untuk pergi mengunjungi orang
tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat adalah melalui pintu gerbang
utara.
Para pembesar militer di istana semua adalah sahabat Milana, dan mereka
amat menghormat dan kagum kepada puteri ini, maka peristiwa yang terjadi
di istana Pangeran Liong Bian Ong itu dirahasiakan oleh mereka sehingga
belum tersiar luas. Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti Dewi tiba
di pintu gerbang utara, para penjaga yang mengenal Puteri Milana
menjadi terkejut dan tentu saja dengan sikap hormat dan girang mereka
membukakan pintu untuk puteri yang terkenal dan yang mereka hormati itu
sehingga mudah saja bagi Milana dan Syanti Dewi untuk keluar dari kota
raja di waktu yang sudah amat larut lewat tengah malam itu.
Setelah agak jauh meninggalkan pintu gerbang itu dan mereka berdua
berhenti di tempat peristirahatan di pinggir jalan untuk melewatkan
malam gelap, kembali Milana melihat berkelebatnya bayangan tadi.
Diam-diam dia menjadi penasaran, akan tetapi karena bayangan itu tidak
melakukan sesuatu, dia pun hanya berjaga-jaga saja dan menyuruh Syanti
Dewi untuk mengaso.
Malam lewat dengan cepatnya dan setelah matahari mengusir sisa kegelapan
malam dan Milana hendak mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan,
tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari jauh, “Adik Milana, tunggu
dulu...!”
Milana terkejut dan merasa heran sekali. Dia berdiri di depan Syanti
Dewi, melindungi dara itu dan matanya tajam menatap wanita yang berlari
mendatangi dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita inilah yang sejak malam
tadi membayanginya dari kota raja, atau lebih tepat mulai dari depan
istananya.
Kini wanita itu telah tiba di depannya. Milana tidak mengenalnya dan dia
memandang penuh selidik. Seorang wanita yang cantik dan bertubuh
ramping sungguh pun usianya sudah sebaya dengan dia, sudah tiga puluh
tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari sepatu dan pakaiannya yang kusut
berdebu Milana dapat menduga bahwa wanita itu telah melakukan perjalanan
jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya tentu memiliki
kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu pun
memandang Milana dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya
dia tidak ragu-ragu lagi dan mengenal puteri itu.
“Adik Milana, girang sekali hatiku dapat bertemu denganmu di sini.
Tadinya aku sudah merasa heran dan ragu mengapa engkau meninggalkan
rumahmu seperti orang yang sedang melarikan diri,” wanita itu berkata.
“Maaf,” Milana menjawab dengan hati-hati. “Aku tidak ingat lagi siapakah engkau?”
“Ahhh, Adik Milana, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Kita adalah
orang-orang senasib sependeritaan. Lupakah engkau betapa engkau dahulu
bersama aku dan Lu Kim Bwee mengeroyok seorang musuh besar kita?”
“Lu Kim Bwee...? Aihh, engkau pasti Ang Siok Bi...!” Milana berseru
kaget dan kini dia mengenal wanita yang baru satu kali dijumpainya
dahulu, belasan tahun yang lalu ketika dia bersama wanita ini dan Lu Kim
Bwee (ibu Ceng Ceng)
mengeroyok Gak Bun Beng yang mereka anggap sebagai orang jahat yang telah memperkosa dua orang wanita itu.
Akan tetapi dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu adalah putera
wanita ini, maka dengan pandang mata tajam Milana lalu bertanya, “Ada
keperluan apakah engkau sejak di kota raja semalam mengikutiku?”
“Maaf, Adik Milana, karena aku masih ragu-ragu maka aku membayangimu dan
baru pagi ini aku berani memanggilmu. Aku sengaja mencarimu di kota
raja setelah aku mendengar bahwa engkau telah meninggalkan Teng-bun
kembali ke kota raja.”
“Ah, engkau mencariku, Enci Siok Bi? Ada keperluan apakah?”
“Adik Milana, aku ingin minta tolong kepadamu, demi persahabatan dan
persamaan nasib kita belasan tahun yang lalu... Aku mendengar bahwa
engkau telah menawan seorang bernama Ang Tek Hoat...”
“Hemm, apamukah pemuda itu?”
“Dia itu puteraku. Ahhh, aku sudah mendengar bahwa dia tersesat... bahwa
dia telah membantu pemberontak... akan tetapi... demi perkenalan
kita... kuharap engkau suka mengasihaninya dan suka mengusahakan agar
dia diampuni dan dibebaskan.” Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang merasa
amat khawatir akan keselamatan puteranya itu, telah menjatuhkan dirinya
di depan Milana, berlutut sambil menangis!
Milana cepat memegang kedua pundak wanita itu dan mengangkat bangun.
“Jangan begitu, Enci Siok Bi. Bangkitlah dan mari kita duduk dan bicara
tentang puteramu itu.”
Dengan penuh harapan Ang Siok Bi bangkit berdiri lalu mengikuti Milana
untuk duduk berhadapan di dalam tempat peristirahatan di tepi jalan itu,
sedangkan Syanti Dewi hanya mendengarkan dari samping. Puteri Bhutan
itu ikut merasa terharu karena dia tahu siapa adanya Ang Tek Hoat, yaitu
pemuda tampan dan gagah perkasa yang telah menyelamatkan dia dari
tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda perkasa yang mengorbankan diri
demi untuk menyelamatkannya itu. Pemuda yang tak mungkin dapat dia
lupakan selamanya. Dan wanita cantik dan gagah ini adalah ibunya! Maka
tentu saja dia ingin sekali mengetahui kelanjutan pertemuan yang amat
menarik dari dua orang wanita cantik yang agaknya sudah sejak dahulu
saling mengenal itu.
“Jadi Ang Tek Hoat itu adalah puteramu, Enci Siok Bi? Boleh aku bertanya
kepadamu, siapakah ayahnya?” Pertanyaan ini diajukan secara langsung
dan Milana memandang tajam penuh selidik sehingga Ang Siok Bi merasa
terkejut sekali, merasa seolah-olah menghadapi serangan tusukan pedang
yang langsung mengarah ulu hatinya.
“Adik Milana! Mengapa engkau menanyakan hal itu? Apa hubungannya denganmu?”
“Hubungannya banyak sekali dan aku baru akan suka menolong puteramu apa bila engkau mengaku terus terang siapa ayahnya.”
“Betapa aneh pertanyaanmu ini! Mengapa engkau harus bertanya lagi
seolah-olah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi dan menimpa diriku,
Adik Milana? Siapa lagi ayahnya kalau bukan si jahanam Gak Bun Beng
itu?”
Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Syanti Dewi mendengar
ucapan ini. Wajahnya menjadi pucat seketika akan tetapi dia tidak mau
mengeluarkan suara, hanya memandang wanita itu dengan tajam dan
mendengar penuh perhatian.
Milana mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sudah kuduga
demikian... dan engkau tentu menceritakan kepada puteramu itu bahwa
orang yang bernama Gak Bun Beng adalah musuh besarmu, bukan?”
“Adik Milana, bagaimana engkau masih juga bertanya begitu? Bukankah sudah jelas bagimu bahwa jahanam Gak Bun Beng itu...”
“Enci Siok Bi!” Tiba-tiba Milana membentak dengan suara keras karena
hatinya marah mendengar nama Gak Bun Beng dimaki orang. “Kau datang
untuk minta tolong padaku tentang Ang Tek Hoat. Nah, ceritakan saja
jangan banyak membantah. Apa yang telah kau pesankan kepada anakmu Ang
Tek Hoat itu dan yang telah kau ceritakan tentang ayahnya dan tentang
Gak Bun Beng?”
Siok Bi memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena dia ingin
sekali agar puteranya dapat selamat, biar pun hatinya penuh rasa
penasaran, dia menjawab juga sejujurnya, “Aku... aku mengatakan
kepadanya bahwa ayahnya adalah... Ang Thian Pa...”
“Hemm, pantas dia memakai she Ang, kiranya begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin ayahmu, bukan?”
Siok Bi mengangguk. “Dan aku mengatakan bahwa ayahnya itu terbunuh oleh
Gak Bun Beng, akan tetapi bahwa jahanam itu telah terbunuh pula olehku.
Apa salahnya dengan keterangan itu?”
Milana menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Pantas kalau
begitu... aihhh, sungguh kasihan sekali Gak-suheng...! Enci Siok Bi,
jadi sampai detik ini pun engkau masih mengira bahwa puteramu itu adalah
keturunan dari Gak Bun Beng, begitukah?”
“Tentu saja! Habis mengapa?”
“Engkau telah keliru, Enci! Kita semua telah keliru pada waktu itu,
belasan tahun yang lalu. Engkau, aku, dan Enci Kim Bwee telah tertipu
dan kasihan sekali Suheng Gak Bun Beng yang tidak berdosa sedikit pun
juga. Ketahuilah, Enci, yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu
dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu sama sekali bukan Suheng Gak Bun
Beng...”
“Ahhh...!” Wajah Siok Bi menjadi pucat. Biar pun dia tidak pernah mau
menyangkalnya, akan tetapi melihat wajah puteranya dia sudah merasa
heran sekali karena biar pun puteranya itu tampan akan tetapi sedikit
pun juga tidak ada miripnya dengan wajah Gak Bun Beng!
“Apa... apa maksudmu...?”
“Maksudku adalah bahwa belasan tahun yang lalu itu kita semua salah
duga. Ada orang yang menjatuhkan fitnah atas diri Gak-suheng, yang
melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan nama Gak-suheng
dan orang itulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk terhadap dirimu
dan diri Enci Kim Bwee. Coba kau ingat baik-baik ketika peristiwa
terkutuk itu terjadi, apakah engkau melihat wajahnya?”
Siok Bi menjadi pucat sekali, mengenangkan peristiwa itu, ketika pada
malam hari di dalam kamar dia dipaksa dan diperkosa oleh Gak Bun Beng,
di tempat gelap, dan dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng
karena laki-laki itu mengaku demikian, dan dia percaya pula kepada
laki-laki tampan yang mengaku sebagai sahabat Gak Bun Beng... ah, hampir
dia menjerit. Kini dia teringat akan wajah sahabat dari Gak Bun Beng
itu dan wajah puteranya mirip orang itu!
“Kita semua telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng yang melakukan perbuatan
terkutuk itu, Enci, melainkan orang itulah, dan orang itu pula yang
sebetulnya menjadi ayah kandung dari puteramu Tek Hoat.”
Dengan mata terbelalak dan muka pucat Ang Siong Bi memandang Milana dan
berkata dengan suara gemetar dan tergagap, “Bagaimana... bagaimana aku
dapat percaya ceritamu ini...? Setelah belasan tahun aku percaya
demikian... bagaimana aku bisa tahu bahwa ceritamu ini benar, Adik
Milana?”
“Engkau harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi. Harus, kataku! Aku sendiri
pun menjadi korban tipuan orang itu, sungguh pun tidak sampai tertimpa
mala petaka seperti engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi aku pun dahulu
percaya bahwa Gak-suheng adalah seorang yang amat jahat dan melakukan
perbuatan terkutuk. Oleh karena itulah maka aku dahulu suka bekerja sama
dengan engkau dan Enci Kim Bwee untuk mengeroyok Gak-suheng sampai dia
terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira bahwa dia telah mati.
Sayang bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi dengan engkau atau
Enci Kim Bwee sehingga mengakibatkan hal yang berlarut-larut sampai
sekarang. Akan tetapi ketahuilah, orang yang melakukan perbuatan keji
itu masih... anggota keluargaku sendiri dan... dan dia telah mengakui
segalanya di depanku dan di depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan
Keng In, putera dari ibu tiriku di Pulau Es...”
“Ya Tuhan...!” Siok Bi mengeluh panjang. “Dan di mana keparat itu...”
“Dia sudah tewas, Enci. Dia sudah tewas menebus dosa-dosanya. Puteramu
itu she Wan, tidak salah lagi. Wajahnya persis wajah ayah kandungnya
itu...”
“Dan kita dahulu telah membunuh Gak Bun Beng...!”
“Tidak, Enci Siok Bi. Dan inilah celakanya. Puteramu masih belum tahu
dan kini dia hanya tahu bahwa Gak Bun Beng masih hidup maka dia bertekad
untuk mencarinya dan membunuhnya sebagai musuh besar. Dahulu, ketika
kita mengira Gak-suheng yang tergelincir ke dalam jurang itu mati,
sebetulnya dia masih hidup dan sekarang, puteramu itu tentu akan terus
memusuhinya.” Milana berhenti sebentar.
“Sungguh kasihan Gak-suheng... Dahulu Wan Keng In yang memburukkan
namanya, kini... puteranya juga melakukan perbuatan-perbuatan jahat
dengan mempergunakan namanya.”
“Ahhhh...! Apakah anakku telah menjadi manusia sejahat itu? Anakku telah
menjadi seorang manusia yang menyeleweng dan jahat, Adik Milana?” Siok
Bi bertanya dengan suaranya mengandung rintihan batin tertekan.
“Tidak! Tek Hoat sama sekali bukanlah manusia jahat!” Tiba-tiba Syanti
Dewi berkata dengan suara tegas. “Kalau dia sampai melakukan suatu
penyelewengan sebelumnya, hal itu tentu adalah pengaruh dari keadaannya
dan bekal yang dia bawa dari cerita ibunya. Dia bukan seorang manusia
jahat dan patut dikasihani.”
Siok Bi menoleh dan memandang dara yang cantik jelita itu dengan heran. “Siapakah dia ini, Adik Milana?”
“Dia adalah Puteri Bhutan, bernama Syanti Dewi. Dia telah diselamatkan
oleh puteramu itu dan agaknya apa yang dikatakannya itu mendekati
kebenaran. Puteramu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan
mempergunakan nama Gak-suheng yang disangkanya sudah mati dan disangka
musuh besar pembunuh ayahnya maka hendak dicemarkan nama musuh besar
yang tidak dapat dibalasnya lagi karena disangkanya sudah mati itu. Dia
lalu tersesat membantu pemberontakan. Tentu saja dosanya besar sekali
dan dia selayaknya di jatuhi hukuman berat. Tetapi pada akhir
pemberontakan, dia telah membuat jasa besar, membunuh pangeran
pemberontak Liong Khi Ong dan ketiga orang kaki tangannya, mengorbankan
diri sendiri sampai terluka hebat demi menyelamatkan Puteri Bhutan ini.
Karena jasanya itulah maka dia telah kubebaskan, dan celakanya, setelah
dia mendengar bahwa Gak-suheng masih hidup, dia bertekad untuk
mencarinya dan membalas dendamnya.”
“Ahhhh...!” Siok Bi berseru kaget. “Hal itu harus dicegah! Di mana dia
sekarang, Adik Milana? Dia harus dicegah memusuhi Gak-taihiap... selain
beliau bukan musuh kami... juga mana mungkin anakku mampu
menandinginya?”
“Agaknya engkau tidak mengetahui, puteramu itu telah menjadi orang yang
memiliki kepandaian tinggi sekali, Enci Siok Bi. Dia telah dibebaskan
dan aku tidak tahu ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah yang dapat
mencegahnya dan menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian ibu
dan anak. Mungkin dia masih berada di kota raja.”
“Kalau begitu aku akan mulai mencarinya sekarang juga!” Siok Bi
berteriak, lalu berlari meninggalkan dua orang puteri itu menuju ke kota
raja.
Milana menarik napas panjang dan Syanti Dewi berkata halus, “Agaknya
belasan tahun yang lalu telah terjadi hal-hal yang amat hebat menimpa
dirimu dan diri Paman Gak, Bibi.”
Milana menarik napas panjang. “Kami semua sudah melakukan dosa besar
sekali terhadap Gak-suheng, dan dia semenjak dulu sampai saat ini pun
merupakan seorang manusia yang amat mulia, gagah perkasa dan hebat...”
Puteri ini lalu menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak Bun
Beng yang meninggalkannya, kemudian dia teringat pula akan surat
peninggalan suaminya. Jari tangannya meraba surat suaminya yang
ditujukan kepada Bun Beng dan diam-diam dia meragu, apakah ia akan dapat
berjumpa lagi dengan satu-satunya pria yang dikasihinya itu.
“Sekarang kita hendak pergi ke mana, Bibi?” Syanti Dewi yang maklum akan
kedukaan yang menyelimuti wajah puteri itu, memecahkan kesunyian dan
menarik kembali Milana dari lamunannya.
“Ke mana...? Ahhh, aku sendiri menjadi bingung memikirkan keadaanmu,
Syanti. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Bhutan. Akan tetapi semua
orang telah pergi... aku pun sekarang seorang diri. Sebetulnya aku ingin
kembali ke Pulau Es, ke tempat tinggal ayah bundaku, akan tetapi
engkau...”
“Bibi Milana, kalau begitu biarlah aku melakukan perjalanan sendiri ke
barat. Aku pun bukan seorang yang lemah dan aku berani untuk pulang
seorang diri ke Bhutan. Aku tidak mau membikin repot padamu, Bibi...”
“Hemm, jangan berkata demikian, Syanti Dewi. Aku yang telah melarikan
engkau dari istana, maka akulah yang bertanggung jawab atas
keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari jalan sebaiknya agar engkau
dapat diantar ke Bhutan dengan selamat.”
Selagi Syanti Dewi hendak membantah, tiba-tiba dari arah kota raja
tampak rombongan pasukan berkuda mendatangi. Milana memandang tajam
dengan alis berkerut. “Apakah mereka hendak menggunakan kekerasan pula?”
Dia mengomel dan mengepal tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang
dengan khawatir. Dia mengkhawatirkan diri Milana karena tahu bahwa
puteri itu mengalami hal yang amat hebat dan bisa dianggap sebagai
pemberontak atau orang buruan istana.
Akan tetapi, ketika pasukan yang terdiri dari dua losin prajurit itu
tiba dekat, mereka melihat bahwa pasukan itu mengawal seorang jenderal
yang tinggi besar dan gagah, yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang.
“Gi-hu...!” Syanti Dewi berseru girang memanggil ayah angkatnya itu dan
jenderal itu melompat turun dan cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi
dengan sinar mata berseri.
“Syukurlah... aku sudah menduga bahwa engkau tentu telah diselamatkan!”
Sementara itu Milana melangkah dekat dan berkata dengan suara dingin,
“Jenderal Kao, apakah engkau mengejar untuk menangkap aku?”
Jenderal itu menarik napas panjang dan memberi hormat kepada Puteri
Milana. Suaranya terdengar penuh penyesalan. “Sampai mati pun tiada yang
dapat memaksa saya untuk menangkap Paduka. Saya telah mendengar akan
semua peristiwa di kota raja dan saya ikut menyatakan berduka cita atas
mala petaka yang menimpa keluarga dan diri Paduka. Ketika saya mendengar
dari para penjaga bahwa Paduka bersama seorang dara cantik keluar dari
gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa tentu Syanti Dewi Paduka
selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan bantuan, barangkali
ada sesuatu yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka.”
“Jenderal Kao, aku adalah seorang yang hidup sebatang kara di kota raja,
dan aku tidak membutuhkan bantuan apa-apa. Hanya kebetulan sekali
engkau datang karena aku bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia harus
diantar kembali ke Bhutan.”
“Jangan khawatir, biar para pengawalku ini yang akan mengantarnya sampai
ke Bhutan dengan selamat.” Jenderal itu lalu menghadapi Syanti Dewi.
“Dewi, apakah engkau ingin kembali ke Bhutan?”
Puteri itu mengangguk. “Kehadiranku di sini hanya menimbulkan keributan
saja, Gi-hu. Sebaiknya kalau aku pulang saja ke Bhutan dan sebetulnya
aku sudah memberi tahu kepada Bibi Milana bahwa aku berani pulang
sendirian, tidak perlu dikawal...”
“Ahh, mana mungkin? Jangan kau khawatir, biar pun aku terikat oleh
tugasku dan tidak dapat mengantar sendiri, tapi dua losin pengawalku ini
akan mengawalmu sampai ke Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa engkau
hendak dinikahkan dan engkau melarikan diri dari istana, tentu bisa
menanti sampai aku sempat mengantarmu sendiri. Akan tetapi sekarang
tidak mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai seorang pelarian. Nah,
biar pasukanku mengawalmu. Sebelum ada pengejaran dari kota raja,
sebaiknya engkau berangkat sekarang, anakku. Kau pakailah kudaku ini.”
Syanti Dewi merasa terharu dan dia memeluk ayah angkatnya, menghaturkan
terima kasih dan selamat tinggal. Kemudian dia pun memeluk puteri Milana
dan berbisik di dekat telinganya, “Bibi... jangan biarkan Paman Gak
merana...”
Dan sambil terisak dia lalu melompat ke atas kudanya kemudian
membalapkan kuda itu, diiringi oleh dua losin pengawal yang sudah
menerima pesan dari Jenderal Kao diiringi oleh pandang mata Milana yang
berlinang air mata dan pandang mata Jenderal Kao yang merasa kehilangan.
Dua orang gagah ini pun lalu saling berpisah, Milana melanjutkan
perjalanan ke utara sedangkan Jenderal Kao Liang kembali ke kota
raja.....
********************
Dengan kecepatan seperti terbang, Topeng Setan memanggul tubuh kakek
berambut putih dan menggandeng tangan Ceng Ceng melarikan diri dari
tempat berbahaya itu dan akhirnya, setelah mendaki sebuah bukit, dia
memasuki sebuah kuil yang tua dan rusak, kuil yang terpencil di lereng
bukit itu, di daerah yang sunyi sekali.
Ketika dia menurunkan tubuh kakek itu dari pondongannya, dia terkejut
melihat keadaan kakek itu yang amat payah. Pedang yang menusuk
lambungnya itu melukai bagian penting di dalam tubuhnya dan pedang itu
mengandung racun pula.
“Ahhh, bukankah dia ini pelayan Istana Gurun Pasir?” Tiba-tiba Ceng Ceng
berseru ketika dia mengenal muka kakek itu, “Ahh, benar, dia adalah
Louw Ki Sun... aku pernah bertemu dengan dia...!” Ceng Ceng berseru
lagi.
Akan tetapi Topeng Setan yang memeriksa luka itu segera berkata, “Ceng
Ceng, harap engkau suka membantu. Tolong carikanlah air yang jernih...
dia memerlukannya...”
Suara Topeng Setan penuh permohonan dan terdengar agak tergetar sehingga
Ceng Ceng tidak banyak cakap lagi lalu mengangguk dan berlari keluar
dari kuil. Tidak mudah baginya mencari air di tempat yang tidak
dikenalnya itu dan sampai beberapa lamanya barulah akhirnya dia berhasil
mendapatkan air yang diisikan di sebuah guci yang tadi dibawanya dari
Topeng Setan. Cepat dia berlari kembali ke kuil itu.
Namun ketika dia memasuki ruangan di mana Topeng Setan tadi merebahkan
tubuh kakek tua di atas lantai, dia terkejut sekali melihat Topeng Setan
duduk termenung menyandarkan tubuhnya pada dinding rusak itu dan kedua
pipi muka bertopeng buruk itu basah oleh air mata. Topeng Setan
menangis! Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. Selama dia mengenal
Topeng Setan, orang tua ini adalah seorang yang jantan, berkepandaian
tinggi, aneh dan agaknya tidak pernah dipengaruhi oleh perasaan. Akan
tetapi mengapa sekarang menangis?
“Paman, kau... kau... menangis?”
Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggunakan tangan menghapus sisa air
mata di atas pipi topengnya itu, dan dengan anggukan kepala dia
menunjuk ke arah kakek berambut putih yang rebah telentang di atas
lantai. Ceng Ceng memandang dan tahulah dia bahwa kakek Louw Ki Sun itu
telah tewas.
“Ah, dia telah mati?” tanyanya sambil berlutut dan memandang ke arah jenazah kakek itu.
Topeng Setan mengangguk. “Dia tewas karena membantu aku melawan orang-orang lihai tadi. Dia mati karena membantuku, Ceng Ceng.”
Diam-diam hati Ceng Ceng terharu dan juga kagum. Orang tua bertopeng ini
selain gagah perkasa dan lihai, juga ternyata memiliki watak ingat budi
sehingga kematian kakek yang membantunya itu membuat hatinya berduka.
Maka dia pun tidak banyak bicara lagi dan ikut bersembahyang memberi
hormat ketika jenazah kakek itu dikubur di depan kuil tua itu dan Topeng
Setan melakukan upacara sembahyang secara sederhana sekali karena tidak
terdapat alat-alatnya. Mereka hanya berlutut di depan gundukan tanah,
terpekur dan mengheningkan cipta.
Topeng Setan kemudian mengajak Ceng Ceng melanjutkan perjalanan dengan
tujuan ke Telaga Sungari. Bulan muda telah mulai nampak di waktu malam
dan pada malam bulan purnama, beberapa hari lagi, mereka harus sudah
berada di telaga itu untuk mencoba peruntungan mereka, yaitu berusaha
menangkap anak naga yang akan dipergunakan sebagai obat bagi Ceng Ceng.
Makin dekat dengan Telaga Sungai, makin teganglah hati Ceng Ceng. Apa
lagi setelah dia mulai melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh
yang juga melakukan perjalanan menuju ke arah yang sama.
Rombongan-rombongan orang yang pakaiannya aneh-aneh, yang sikapnya
ganjil dan luar biasa, melakukan perjalanan tanpa bicara seperti
serombongan orang yang hendak berziarah ke tempat suci!
“Mereka adalah orang-orang pandai yang agaknya juga hendak pergi ke
telaga itu,” Topeng Setan berkata lirih ketika melihat keheranan Ceng
Ceng. “Sebaiknya kita jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan
keributan dengan mereka sebelum kita tiba di tempat tujuan.”
Ceng Ceng mengangguk dan timbul keraguan di dalam hatinya. Bagaimana
mungkin dia dan Topeng Setan akan dapat berhasil memperoleh anak naga
atau anak ular itu? Demikian banyaknya orang lihai yang menghendaki
binatang keramat itu. Dia sekarang menduga bahwa orang-orang lihai,
datuk-datuk kaum sesat yang dilihatnya di jalan, seperti rombongan
Tambolon, orang-orang Lembah Bunga Hitam, orang-orang Pulau Neraka, lalu
Kakek Louw Ki Sun yang tewas itu, kiranya tentu semua juga bermaksud
pergi ke Telaga Sungari untuk kepentingan yang sama pula. Kemudian
orang-orang aneh yang makin banyak menuju ke telaga ini!
Akhirnya, beberapa hari kemudian, tibalah mereka di pinggir sebuah
telaga yang amat luas. Dan tepat seperti yang telah diduga oleh Ceng
Ceng, dia melihat banyak sekali orang-orang di pinggir telaga, bahkan
ada pula yang sudah berperahu hilir mudik di atas permukaan air telaga
yang biru seperti air laut saking dalamnya itu. Telaga itu luas sekali
sehingga pantai di seberangnya tidak nampak.
Karena luasnya telaga maka biar pun di tepi telaga berkumpul banyak
orang dan ada belasan buah perahu di tengahnya, akan tetapi tempat itu
masih kelihatan sepi. Para nelayan tidak ada yang berani mencari ikan
karena setiap bulan purnama, sering kali terdapat badai dan angin besar
melanda telaga itu, apa lagi terang bulan di musim semi ini yang
dikaitkan dengan dongeng rakyat tentang munculnya naga siluman!
Akan tetapi sekali ini para nelayan di daerah itu tidak menjadi rugi,
bahkan memperoleh keuntungan besar karena banyak datang orang-orang yang
katanya hendak ‘pesiar’ di Telaga Sungari dan menyewa perahu mereka.
Mereka itu demikian royal sehingga berani menyewa perahu dengan jumlah
tinggi sehingga uang sewa perahu itu saja sudah beberapa kali lipat dari
hasil mencari ikan di telaga!
Namun, agaknya orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh yang biasanya
bersembunyi dan memiliki kepandaian tinggi itu agaknya saling menjaga
diri, tidak mau mencari keributan atau permusuhan karena kedatangan
mereka itu semua bermaksud untuk mencari anak naga itu. Bahkan Ceng Ceng
melihat sendiri betapa anak buah Pulau Neraka dan anak buah Lembah
Bunga Hitam yang biasanya kasar-kasar dan kejam-kejam, bahkan saling
bermusuhan itu setelah tiba di tepi telaga lalu memisahkan diri, mencari
tempat yang sunyi dan tidak kelihatan ingin memancing keributan. Memang
akan rugilah kalau sebelum anak naga itu muncul sudah membuat
permusuhan lebih dulu yang akibatnya hanya akan merugikan mereka
sendiri.
Ceng Ceng dapat merasakan suasana yang amat tegang dan panas itu. Dia
maklum bahwa biar keadaannya sekarang kelihatan tenang, namun begitu
anak naga itu muncul, pasti akan terjadi perebutan yang hebat dan dia
makin meragu apakah Topeng Setan akan berhasil memperoleh anak ular atau
naga itu.
“Begitu banyak orang...,” Ceng Ceng berbisik.
Topeng Setan memberi isyarat dan gadis itu mengikuti orang tua bertopeng
ini menuju ke tepi telaga yang sunyi, jauh dari orang lain dan di sini
Topeng Setan menyewa sebuah perahu kecil dari seorang nelayan. Dia
menyeret perahu itu ke tepi dan duduk di atas perahu bersama Ceng Ceng,
menjauhi semua orang, menanti malam tiba. Malam nanti adalah malam bulan
purnama, malam yang dinanti-nanti oleh semua orang dengan jantung
tegang berdebar.
“Mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, kita harus berhati-hati
Ceng Ceng. Wah, agaknya orang-orang yang selama ini hanya bersembunyi di
gunung-gunung, di goa dan di tempat terasing, yang pekerjaannya hanya
bertapa, kini keluar dari tempat pengasingan diri mereka untuk mencari
anak naga itu.”
“Ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu
saja sudah memiliki kelihaian yang amat hebat. Apa kau kira ada yang
lebih lihai dari mereka, Paman?”
“Hemmm, kau sungguh tidak melihat tingginya langit dan dalamnya lautan,
Ceng Ceng, karena engkau hanya mengira bahwa di dunia ini hanya ada
mereka berdua itu yang lihai. Aihhh, banyak sekali orang berilmu di
dunia ini, Ceng Ceng. Sama banyaknya dengan bintang di langit dan sukar
untuk mengatakan siapa di antara mereka yang paling pandai.”
“Aku mendengar bahwa orang paling lihai di dunia ini adalah Pendekar
Super Sakti majikan Pulau Es,” kata Ceng Ceng dan diam-diam dia ada juga
sedikit rasa bangga bahwa dia masih terhitung cucu tiri dari pendekar
sakti itu.
Topeng Setan menarik napas panjang. “Mungkin di antara para pendekar
yang dikenal orang, dia tergolong tingkat teratas. Akan tetapi
ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai yang
menyembunyikan diri. Para pertapa di puncak-puncak gunung, mereka yang
sudah tidak mau lagi berurusan dengan dunia ramai, banyak sekali di
antara mereka yang tinggi sekali ilmunya, sukar diukur bagaimana
tingginya...”
“Lebih tinggi dari kepandaian Pendekar Super Sakti?” tanya Ceng Ceng tidak percaya.
“Mungkin sekali, bahkan mungkin beberapa kali lipat! Mereka yang sudah
tidak mau lagi menggunakan ilmunya untuk melakukan sesuatu di dunia
ramai, tak bisa dibandingkan dengan kita, juga dengan mereka yang kini
datang ke sini mengandalkan ilmu untuk memperebutkan anak naga.”
Topeng Setan menghela napas panjang. “Kepandaian mereka yang tidak mau
muncul di dunia ramai itu seperti dewa... akan tetapi mereka telah
melihat bahwa kepandaian itu tidak ada manfaatnya bagi kebahagiaan hidup
manusia, dan mereka memang benar...”
“Apakah kau mau mengatakan bahwa kepandaian hanya mendatangkan mala petaka bagi kehidupan manusia, Paman?”
“Kenyataannya demikianlah... akan tetapi, asal kita selalu ingat bahwa
kepandaian bukanlah untuk mengumbar nafsu... ahhh, sudahlah, itu ada
orang mendekati kita, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu menghentikan
kata-katanya dan Ceng Ceng menengok ke kanan. Benar saja, ada seorang
pria muda dengan langkah perlahan ke arah mereka, agaknya pemuda itu
sedang menikmati pemandangan di sekitar telaga itu.
“Eh... engkau ini...? Moi-moi... Nona Ceng...?” Tiba-tiba pemuda itu
melangkah maju menghampiri dan memandang Ceng Ceng dengan kedua
lengannya dikembangkan dan wajahnya berseri.
Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Pemuda itu tampan sekali, tampan
dan ramah, sikapnya halus dan gembira, pakaiannya indah sekali. Maka dia
makin kaget ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran
Yung Hwa! Pangeran yang pernah ditolongnya dahulu di kota raja, pangeran
yang bersikap amat manis kepadanya, yang tanpa banyak membuang waktu
langsung saja menyatakan cinta kepadanya! Pemuda bangsawan menarik hati,
yang pernah... menciumnya tanpa dia dapat mencegahnya, pemuda yang
tentu akan mudah menjatuhkan hatinya sekiranya dia tidak sudah hancur
hatinya karena perbuatan pemuda laknat yang menjadi musuhnya.
“Ohhh... Pangeran... Yung Hwa...” Dia tergagap.
“Aih, Nona... kiranya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini.
Kiranya aku dapat bertemu dengan engkau di sini! Betapa bahagia rasa
hatiku! Kau tidak tahu, susah payah aku mencarimu, Nona, hatiku penuh
dengan kegelisahan setelah aku mendengar bahwa engkau terluka parah
ketika terjadi penumpasan pemberontak, dan hatiku bangga bukan main
mendengar akan kepahlawananmu. Ahhh, mukamu masih pucat... Nona Ceng,
marilah, engkau ikut bersamaku ke kota raja. Akan kuundang semua tabib
terpandai, engkau harus diobati sampai sembuh. Katanya engkau terluka
pukulan beracun...”
Ceng Ceng sampai merasa kewalahan mendengar ucapan yang membanjir ini.
Dia menoleh kepada Topeng Setan yang juga memandang pemuda itu dan baru
sekarang agaknya Pangeran Yung Hwa melihat Topeng Setan. Dia terkejut
melihat wajah yang buruk itu dan dia bertanya, “Dia ini... eh, siapakah
dia, Nona Ceng?”
Sebelum Ceng Ceng sempat menjawab, Topeng Setan sudah bangkit berdiri,
menjura dan berkata, “Kiranya Paduka adalah seorang pangeran. Saya
adalah Topeng Setan, pembantu Nona Ceng ini.”
“Topeng Setan...? Nama yang aneh...!” Pangeran Yung Hwa kelihatan seram.
“Dia yang mengobati aku, Pangeran. Dan dia akan mencarikan obat untukku
di telaga ini, bagaimana Pangeran bisa tahu bahwa aku terluka? Dan
bagaimana pula bisa sampai di tempat ini?” Ceng Ceng bertanya.
Pangeran Yung Hwa kelihatan begitu gembira bertemu dengan Ceng Ceng,
sehingga dia lalu melupakan Topeng Setan, duduk di atas perahu dan
dengan ramah dia lalu bercerita.
“Aku bertemu dengan Perdana Menteri Su, dan beliau yang menceritakan
semuanya kepadaku. Beliau mendengar dari Kakak Milana tentang engkau...
ahhh, kasihan Kakak Milana...”
“Kenapa, Pangeran?” Ceng Ceng bertanya heran.
“Ah, kau belum mendengar apa yang terjadi di kota raja? Ahhh, banyak
terjadi hal yang hebat mengerikan. Kau tahu, suami Kakak Milana, yaitu
Han Wi Kong, dengan nekat telah menyerbu istana Pangeran Liong Bin Ong
dan membunuh pangeran itu, akan tetapi dia sendiri pun tewas. Kakak
Milana mengamuk, membunuh para pengawal yang menewaskan suaminya,
kemudian Kakak Milana melarikan Puteri Bhutan dari istana dan peristiwa
itu tentu saja menggegerkan istana.”
Ceng Ceng kaget bukan main. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Bin Ong adalah
dalang pemberontakan. Diam-diam ia merasa kasihan kepada Puteri Milana
yang dikaguminya itu. Juga dia amat kaget mendengar bahwa Syanti Dewi
dilarikan dari istana oleh Puteri Milana.
“Lalu ke mana mereka pergi? Ke mana Puteri Bhutan itu dibawa pergi?” tanyanya.
“Entahlah. Siapa bisa mengikuti bayangan Enci Milana? Dia sudah
terbang... dan aku berterima kasih sekali kepadanya bahwa dia melarikan
Puteri Syanti Dewi!” Wajah yang tampan itu berseri.
“Mengapa, Pangeran?”
“Ahhh, engkau tidak tahu? Ceng-moi..., tidak tahukah engkau bahwa
setelah Pangeran Liong Khi Ong tewas, Kaisar lalu memutuskan untuk
menjodohkan Puteri Bhutan itu dengan aku? Nah, dapat kau bayangkan
betapa gelisah hatiku... engkau tahu bahwa setelah bertemu dengan
engkau... aku tidak mungkin dapat menikah dengan wanita lain... maka
keputusan Kaisar itu membuat aku mengambil keputusan untuk minggat
lagi...”
“Ahhh, jangan berkata begitu, Pangeran!” Ceng Ceng menegur halus sambil
melirik dengan muka merah kepada Topeng Setan yang sejak tadi hanya
mendengarkan tanpa memandang.
“Akan tetapi untung, sebelum aku terpaksa minggat, puteri itu telah
dilarikan oleh Enci Milana. Memang Enci Milana adalah seorang puteri
yang gagah perkasa, adil dan berbudi. Dia tahu bahwa Syanti Dewi juga
tidak setuju dengan keputusan Kaisar, kami berdua akan dikawinkan secara
paksa! Maka begitu aku mendengar tentang dirimu, bahwa menurut Perdana
Menteri Su engkau telah terluka parah dan pergi, aku segera mencarimu ke
mana-mana. Akhirnya, agaknya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga
ini sambil pesiar, dan ternyata benar saja aku bertemu denganmu,
Ceng-moi...!” Pangeran itu kelihatan girang bukan main.
Ceng Ceng menarik napas panjang. Tidak perlu lagi kiranya takut
diketahui oleh Topeng Setan karena pemuda bangsawan ini dengan
terang-terangan telah menyatakan perasaannya di depan sahabatnya itu.
“Pangeran Yung Hwa, sudah kukatakan dahulu bahwa tak mungkin bagimu
melanjutkan perasaanmu yang tidak selayaknya kepadaku itu. Mengapa
engkau membuang-buang waktu mencariku, Pangeran? Tempatmu di istana, di
kota raja, bukan di tempat liar ini...”
“Hushhh, jangan berkata demikian. Sudahlah, jangan kita bicarakan itu
dulu sebelum engkau sembuh. Bagaimana? Apanya yang terasa sakit,
Ceng-moi? Mari kita mencari tabib yang pandai di kota raja...”
“Paman Topeng Setan ini adalah tabibku, Pangeran.”
“Ouhhh...! Benarkah Paman sanggup menyembuhkan nona ini?”
Yung Hwa bertanya kepada orang tua bertopeng buruk itu. “Kalau benar,
apa pun yang Paman minta akan kupenuhi. Aku bisa membantu Paman
memperoleh kedudukan di kota raja! Ataukah harta benda? Akan kuserahkan
kepadamu, Paman, asal Paman dapat menyembuhkan Nona Ceng...”
Topeng Setan menghela napas panjang dan Ceng Ceng yang merasa tidak enak
terhadap Topeng Setan segera berkata, “Pangeran, paman ini adalah
sahabatku, sahabat baikku! Dia telah berkali-kali menolongku dan
sekarang pun dia berusaha mencarikan obat untukku. Untuk semua itu dia
sama sekali tidak mengharapkan apa-apa.”
“Ah, kalau begitu Paman adalah seorang budiman. Biar aku menghaturkan
terima kasih terhadap semua kebaikan Paman yang telah dilimpahkan kepada
Nona Ceng!” Dan Pangeran Yung Hwa lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan Topeng Setan!
Memang pangeran ini sama sekali berbeda sikapnya dengan
pangeran-pangeran lain. Dia paling bandel dan suka memberontak terhadap
peraturan dan tradisi istana, dan dia tidak angkuh seperti layaknya
seorang pangeran, dan pandai dia bergaul dengan rakyat biasa.
Topeng Setan cepat mengangkat bangun pangeran itu. “Ahhh, harap Paduka
jangan merendahkan diri seperti itu, Pangeran.” Suara Topeng Setan
mengandung keharuan. “Saya berjanji akan berusaha sekuat saya untuk
menyembuhkan Nona Ceng.”
“Terima kasih... terima kasih...! Wah, hatiku lega sekali mendengar ini.
Ceng Ceng, obat apakah yang hendak dicari di telaga ini?”
“Obat yang juga akan diperebutkan oleh semua orang itu, Pangeran.”
“Aiihhh...?” Pangeran itu terkejut, memandang ke pinggir telaga di mana
berkumpul banyak orang dan di tengah telaga yang sudah nampak banyak
perahu hilir mudik. “Berebutan? Apa yang diperebutkan?”
“Anak naga yang akan muncul malam ini di permukaan Telaga Sungari!” kata
Ceng Ceng dengan suara lantang dan pandang mata geli karena dia ingin
menakut-nakuti pangeran ini. Sikap pangeran yang gembira itu
membangkitkan watak gadis ini yang memang lincah gembira sebelum mala
petaka kehidupan menimpa dirinya.
Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tidak menjadi takut atau kaget, malah dia
tertawa bergelak. “Lucu...! Dongeng itu? Ha-ha-ha, sungguh lucu. Lucu
dan indah. Kau lihat betapa indahnya permukaan telaga yang biru itu,
Ceng-moi. Lihat betapa air seperti terbakar oleh cahaya matahari senja
yang kemerahan. Seolah-olah permukaan telaga berubah menjadi api neraka
dan dari situ benar akan muncul anak naga? Ha-ha-ha, pemandangan alam
begini indah, ditambah suasana yang begini aneh dibumbui pula dongeng
menyeramkan, benar-benar membuat orang menjadi amat gembira dan timbul
gairah untuk menulis sajak!”
Ceng Ceng juga tersenyum. Kegembiraan pangeran itu menular dan memang
sukar untuk tidak merasa gembira berdekatan dengan pemuda yang menarik
hati ini. “Kalau begitu, mengapa Pangeran tidak menulis sajak?”
“Alat tulisku berada di kereta yang menanti di sana...” Pangeran itu
menuding ke kanan. “Aku datang bersama seorang kusir dan dua orang
pengawal yang kusuruh menanti di sana karena aku ingin berjalan-jalan
sendiri... tetapi bertemu denganmu membangkitkan daya ciptaku, Moi-moi.
Tanpa perlu ditulis pun rasanya sanggup aku menciptakan sajak untukmu.
Kau dengarlah...”
Pangeran itu berdiri menghadapi telaga yang pada waktu itu memang sangat
indah pemandangannya. Lalu terdengar dia mengucapkan kata-kata sajak
berirama seperti orang bersenandung, suaranya halus dan merdu, matanya
tajam menatap ke depan seolah-olah melihat hal-hal yang tak tampak oleh
mata biasa. Mata seniman yang dapat menembus segala tabir dan kabut
rahasia yang membutakan mata sebagian besar manusia.
Merah nyala matahari,
membakar langit senja kala,
di atas Telaga Sungari.
Air terbakar merah seperti neraka,
sebagai isyarat munculnya sang naga,
dari dongeng rakyat jelata.
Matahari senja, langit menyala,
Telaga Sungari, kisah naga,
tidak seindah saat ini
berjumpa kekasih di tepi sungai!
Ceng Ceng mendengarkan dengan kagum dan terharu. Dia maklum bahwa
bagaimana pun juga, pangeran yang tampan ini masih terus menyatakan
cinta kasih kepadanya!
“Bagaimana, Ceng-moi? Baikkah sajakku tadi?”
“Sajak yang indah sekali!” Tiba-tiba Topeng Setan berkata sambil merenung ke tengah telaga.
“Sajakmu memang bagus, Pangeran,” kata Ceng Ceng menunduk, jantungnya
berdebar dan dia tidak tahu harus berkata apa di depan pangeran yang
sifatnya terbuka dan yang menyatakan perasaan hatinya secara langsung
dan terang-terangan.
“Tunggulah sebentar, Ceng-moi. Aku akan menyuruh keretaku ke sini. Indah
sekali di bagian ini dan hemm... aku maklum bahwa keindahan itu tak
akan ada artinya lagi kalau engkau tidak berada di sini. Kau tunggu
sebentar, aku takkan lama...” Pangeran itu lalu bergegas pergi hendak
menyuruh kusir dan pengawalnya membawa keretanya ke tempat itu.
Sementara itu, cuaca mulai gelap dan kegelapan itu adalah karena
pertemuan antara sinar senja dari matahari dan sinar lembut dari bulan
di timur.
“Paman, mari kita pergi...” Ceng Ceng berkata lirih setelah pangeran itu pergi jauh.
“Ehhh...?” Topeng Setan berkata bingung.
“Mari kita dayung perahu ke tengah telaga. Kalau kita terlambat,
jangan-jangan kita tak akan berhasil mendapatkan anak naga itu... Dia...
dia... tentu akan menjadi pengganggu kalau sudah kembali ke sini.”
Topeng Setan hanya mengangguk tanpa membantah, lalu mereka memasuki
perahu kecil yang segera didayung ke tengah oleh Topeng Setan. Sebentar
saja mereka telah jauh meninggalkan tepi yang sudah tak kelihatan lagi
karena gelapnya cuaca dan Ceng Ceng membayangkan betapa pangeran itu
akan mencari-cari dan akan kebingungan dan kecewa.
“Pangeran Yung Hwa itu baik sekali...,” terdengar Topeng Setan berkata.
“Dia seperti orang gila saja...,” Ceng Ceng membantah yang lebih ditujukan kepada hatinya sendiri.
“Memang begitulah orang yang jatuh cinta, tergila-gila...”
“Sudahlah, Paman. Sekarang aku tidak mau bicara tentang dia. Mari kita
mendekati perahu-perahu itu. Agaknya ada terjadi sesuatu di sana.”
Bulan mulai muncul di ufuk timur dan perahu-perahu semakin bertambah
banyak. Agaknya semua orang kang-ouw yang ingin menangkap anak naga
sudah bersiap-siap dan sudah berada di perahu masing-masing. Dan ketika
perahu kecil Ceng Ceng dan Topeng Setan berada di tengah, di tempat yang
ramai karena agaknya semua perahu mengharapkan munculnya anak naga di
telaga, tampaklah perahu-perahu berseliweran dan agaknya banyak yang
melagak, memamerkan kekuatan dan bersiap-siap untuk berebutan dan jika
perlu menggunakan kepandaian mereka untuk saling mengalahkan lawan dalam
perebutan itu!
Perahu-perahu itu ditumpangi oleh orang-orang yang wajahnya seram-seram
dan aneh-aneh. Ketika Topeng Setan perlahan-lahan mendayung perahunya
sambil memperhatikan kanan kiri, tiba-tiba sebuah perahu besar lewat
dengan laju dan perahu yang didayung cepat ini menimbulkan gelombang
yang melanda perahu-perahu kecil di sekelilingnya, termasuk perahu yang
ditumpangi Topeng Setan dan Ceng Ceng.
Perahu besar itu agaknya tidak mempedulikan perahu-perahu lainnya, terus
meluncur dengan angkuhnya. Agaknya karena kurang hati-hati, sebuah
perahu kecil terlanggar ujungnya dan dengan suara keras perahu itu
terbalik! Ceng Ceng memandang dengan penuh perhatian karena perahu kecil
yang terlanggar itu jaraknya tidak terlalu jauh dari perahunya.
Penumpangnya hanya satu orang. Orang tua berpakaian tosu yang wajahnya
bengis. Orang-orang di dalam perahu lain sudah tertawa melihat perahu
terbalik ini, akan tetapi tiba-tiba tosu itu mengeluarkan seruan
melengking nyaring dan tubuhnya mencelat tinggi sekali, lalu bagaikan
seekor burung garuda saja, di udara tubuhnya membuat poksai (salto)
sampai tiga kali dan dia sudah melayang ke arah perahu besar itu.
“Tarrrrr...!”
Suara ledakan ini dibarengi oleh uap yang mengepul ketika sebatang
cambuk bergerak menyambar tubuh tosu itu dari atas perahu besar. Sungguh
merupakan sambaran yang amat berbahaya karena lecutan cambuk yang
dibarengi suara meledak nyaring dan kepulan uap itu menandakan bahwa
yang memegang cambuk adalah orang yang berilmu tinggi dan bertenaga
besar. Ceng Ceng terkejut karena menurut dugaannya tentu tubuh tosu itu
akan kena dihajar dan akan terjatuh ke air.
Akan tetapi, betapa kagumnya ketika tosu itu kembali mengeluarkan pekik
melengking dan tubuhnya sudah membuat gerakan aneh, seperti seekor
burung walet bertemu halangan dan sudah berjungkir balik dan berhasil
mengelak, lalu tubuh itu mencelat lagi ke atas, dan tahu-tahu tubuh itu
sudah hinggap di puncak tiang layar perahu besar itu!
“Hebat...!” Ceng Ceng memuji karena apa yang diperlihatkan oleh tosu itu
adalah suatu demonstrasi kepandaian ginkang yang hebat dan dia harus
mengakui bahwa dia sendiri tidak mungkin meniru perbuatan tosu itu.
Terdengar bunyi aba-aba di perahu besar dan tiba-tiba terdengar bunyi
berdesing dan empat batang anak panah yang besar dan berat, yang agaknya
keluar dari satu busur, meluncur ke arah tubuh tosu di antara tiang
layar itu. Akan tetapi tosu itu telah meloncat ke atas dan ketika empat
batang anak panah itu meluncur lewat, dia hinggap di atas empat batang
anak panah itu dengan menelungkup, kaki dan tangannya hinggap di atas
sebatang anak panah dan ‘terbanglah’ dia mengikuti luncuran anak
panah-anak panah itu! Ceng Ceng sampai bengong menyaksikan kehebatan
ilmu kepandaian ini. Ginkang tosu itu benar-benar seperti seekor burung
saja. Akan tetapi pemain cambuk dan pemanah di atas perahu itu pun tak
boleh dibuat main-main.
Tubuh tosu yang ‘menunggang’ empat batang anak panah itu kebetulan
meluncur ke arah perahunya yang terbalik dan dia lalu meloncat turun.
Hampir saja tubuhnya menimpa dua buah perahu kecil lainnya. Perahu kecil
yang ditumpangi oleh seorang kakek muka hitam tinggi besar dan perahu
kecil yang ditumpangi seorang kakek gemuk pendek berkepala gundul.
“Huhhhh!” Kakek tinggi besar sudah meloncat ke atas, menjepit perahu
dengan kedua kakinya dan perahunya ‘terbang’ terbawa oleh loncatannya
sehingga tidak tertimpa tubuh tosu itu.
“Hemmm...!” Kakek gundul gemuk pendek mengerahkan dayungnya dan...
perahunya ‘selulup’ ke dalam air seperti seekor ikan, kemudian muncul
kembali di depan, lima meter jauhnya dan dia tetap mendayung perahunya
seperti tidak pernah terjadi sesuatu sungguh pun pakaian dan kepala
gundulnya basah kuyup!
Ceng Ceng makin kagum. Dua orang kakek itu pun hebat sekali! Kiranya
tempat ini penuh dengan orang-orang pandai, tepat seperti yang
diceritakan dan diduga oleh Topeng Setan tadi. Ceng Ceng menjadi makin
ragu-ragu. Kalau tempat ini begitu penuh orang pandai, bagaimana mungkin
dia dan Topeng Setan akan berhasil mendapatkan anak naga itu? Tentu
akan menghadapi banyak sekali halangan.
“Cluppp...!” Tubuh tosu kurus tadi terjun ke dalam air dan lenyap.
Ceng Ceng menanti-nanti, akan tetapi tidak kelihatan tosu itu keluar
dari dalam air. Dia merasa khawatir sekali dan menduga-duga, kemudian
bertanya kepada Topeng Setan, “Paman, apakah dia mati?”
Topeng Setan mendengus, “Hemm, dia sudah kembali ke perahunya.”
Ceng Ceng memandang perahu yang terbalik tadi. Masih tetap terbalik dan
kini dia yang menduga-duga apakah benar tosu itu telah berada di bawah
perahunya yang terbalik itu dan kalau benar begitu, bagaimana Topeng
Setan bisa mengetahuinya?
Sementara itu, perahu besar yang menabrak perahu tosu tadi masih
meluncur cepat ke tengah telaga. Dari sebelah kanan juga meluncur sebuah
perahu besar lain dengan cepat. Karena keduanya tidak mau saling
mengalah, tak dapat terhindarkan lagi, ujung kedua perahu besar itu
beradu.
“Brakkkk...!”
Dua buah perahu besar terguncang hebat dan beberapa orang anak perahu
terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke air. Demikian hebatnya
tabrakan itu sehingga tiang besar kedua perahu itu patah dan tumbang,
jatuh menimpa ke arah sebuah perahu kecil yang berada di sebelah
kanannya, tidak kelihatan oleh Ceng Ceng yang berada agak jauh di
sebelah kiri perahu itu.
Tiang yang terbuat dari balok besar itu menimpa perahu yang ditumpangi
oleh dua orang muda, yang bukan lain adalah Kian Bu dan Mauw Siauw Mo-li
Lauw Hong Kui! Keduanya menjadi terkejut, akan tetapi dengan tenang
mereka lalu menghindar dengan meloncat tinggi ke atas. Perahu mereka
hancur akan tetapi keduanya selamat dan dengan gerakan yang indah
sekali, sambil saling bergandeng tangan, kedua orang ini sudah melayang
turun kembali dan hinggap di atas balok tiang layar yang menimpa perahu
mereka tadi, berdiri tegak dan sedikit pun tidak terguncang. Orang-orang
yang menyaksikan ini memuji keindahan gerakan mereka. Karena semua
peristiwa itu terjadi di bawah sinar bulan purnama yang tidak terlalu
terang akan tetapi juga tidak gelap, maka kelihatan makin indah.
Perahu kedua yang patah tiangnya itu ternyata adalah perahu milik
rombongan Pulau Neraka, sedangkan perahu besar pertama yang menabraknya
adalah perahu yang ditumpangi oleh rombongan Raja Tambolon! Kini seorang
tokoh Pulau Neraka yang keluar dari bilik perahu, dengan marah
menyambitkan obor yang tadi dipegangnya ke arah perahu Raja Tambolon.
Obor meluncur seperti mustika naga ke arah perahu itu dan semua orang
memandang dengan hati tegang. Mendadak jendela bilik perahu Raja
Tambolon terbuka, sebuah lengan tangan yang hitam kurus mencuat ke luar
dan... obor yang melayang itu seperti bernyawa saja, terbang ke arah
tangan itu yang sudah menyambutnya! Maka keluarlah nenek itu, merupakan
bayangan hitam yang kecil menyeramkan karena dengan tangan kirinya dia
lalu meremas-remas api obor itu begitu saja sampai menjadi padam! Tetapi
ketika nenek itu membuka mulutnya ini melayanglah segumpal api yang
merupakan bola api meluncur ke arah perahu Pulau Neraka dan tepat
mengenai gulungan tali layar sehingga terbakar.
Tentu saja orang-orang Pulau Neraka cepat memadamkan api itu dan ada di
antara mereka yang memaki-maki dan mengacung-acungkan senjata. Ceng Ceng
melihat bahwa nenek itu terkekeh aneh dan dia merasa seram seperti
melihat setan! Dan nenek itu memanglah Nenek Durganini, guru Tambolon
ahli sihir yang lihai dan yang tadi telah mendemonstrasikan ilmu
sihirnya.
Keadaan menjadi makin tegang. Kedua pihak, yaitu anak buah Tambolon dan
anak buah Pulau Neraka, telah saling mengancam dan mendayung perahu
saling mendekati, agaknya tak dapat dihindarkan lagi kedua rombongan ini
akan saling gempur. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara aneh,
seperti keluar dari dalam dasar telaga, suara yang dalam akan tetapi
terdengar jelas oleh semua orang.
“Itu dia...! Naga sudah muncul...!”
Tampak air bergolak dan tahu-tahu perahu yang terbalik tadi kini
membalik telentang dan Si Tosu sudah berada di dalam perahu! Kiranya
tosu aneh yang lihai inilah yang tadi bersuara dari balik perahu, maka
suaranya terdengar begitu aneh. Dan otomatis ketegangan antara dua
rombongan perahu besar itu beralih menjadi ketegangan menghadapi
peristiwa yang telah mereka tunggu-tunggu. Terdengar suara air gemericik
dan telaga itu bergelombang dahsyat. Semua orang memandang dengan
panik.
Untung bulan purnama bersinar terang tanpa penghalang awan sehingga
permukaan telaga kelihatan terang keemasan, namun belum kelihatan
apa-apa kecuali gelombang yang makin membesar dan perahu-perahu kecil
terombang-ambing.
Ceng Ceng dan Topeng Setan juga cepat menggerakkan dayung untuk mencegah
perahu mereka terguling, sedangkan wajah Ceng Ceng menjadi tegang dan
matanya terbelalak. Belum pernah dia merasa setegang itu, jantungnya
berdebar keras dan dia hampir tidak berani berkedip karena matanya
terbelalak menyapu seluruh permukaan air, mencari-cari.
Bukan hanya mata Ceng Ceng saja yang tidak pernah berkedip menyapu ke
kanan kiri, melainkan mata semua orang yang berada di atas perahu-perahu
besar kecil itu semua terbelalak mencari-cari, seluruh urat syaraf di
tubuh menegang, dan siap untuk bergerak apa bila yang dinanti-nanti itu
muncul.
Akan tetapi ketika yang ditunggu-tunggu itu benar-benar muncul, semua
orang menjadi panik, apa lagi anak buah Pulau Neraka karena di dekat
perahu mereka itulah munculnya ‘naga’ itu! Secara tiba-tiba saja air
telaga muncrat tinggi dan tampaklah sebuah kepala ular yang besar
sekali, muncul di atas permukaan air begitu saja. Sepasang mata ular itu
mencorong seperti lentera bernyala, kuning kehijauan sinarnya dan
seolah-olah ular atau naga itu hendak menyapu semua permukaan telaga
dengan sinar matanya yang mencorong.
Di dekat lubang hidungnya nampak dua sungut panjang seperti sungut ikan
lee dan ketika muncul itu, lehernya ‘berdiri’ dan dari dalam mulut yang
sedikit terbuka itu mencuat sebatang lidah putih yang bercabang dua.
Kepala ular itu sebesar karung beras dan kepala sebesar itu tentu akan
dapat dengan mudah menelan seorang manusia dewasa!
Melihat kepala ular tersembul di permukaan air dekat perahu mereka, para
anak buah Pulau Neraka menjadi panik dan mereka sudah mengangkat
senjata untuk membacok ular itu kalau berani naik lebih tinggi lagi.
Akan tetapi terdengar bentakan keras dari Hek-tiauw Lo-mo menyuruh anak
buahnya minggir dan dia sendiri lalu meloncat ke pinggir perahunya,
dekat dengan ular besar itu dan tangan kirinya bergerak menyebar bubuk
putih ke arah kepala ular itu.
“Koaaaakkk...!” Terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang
menggetarkan jantung semua orang ketika ular yang terkena bubuk racun
putih kepalanya itu memekik dan kepala itu menyelam sebentar. Akan
tetapi tidak lama kemudian kepala ular besar itu muncul lagi dan kedua
matanya terpejam dan berair. Ternyata racun dahsyat dari Hek-tiauw Lo-mo
itu telah membutakan mata ular sehingga binatang yang usianya tentu
sudah ratusan tahun ini menjadi marah sekali.
Begitu muncul lagi, terdengar dia mengeluarkan suara berkoak beberapa
kali dan dia mengamuk. Kepala dan ekornya bergerak menghantam sana-sini
dan air telaga pun berguncang hebat seperti dilanda badai. Perahu-perahu
kecil terbanting dan banyak pula yang tersentuh sabetan ekor ular besar
itu menjadi pecah berantakan dan tenggelam. Juga kedua perahu besar itu
diombang-ambingkan, saling bertumbukan dan masih dihantam oleh ekor
ular sehingga pecah berantakan dan para penumpangnya cerai-berai banyak
yang terlempar ke dalam air! Suasana menjadi menakutkan dan semua orang
menjadi panik.
Topeng Setan dan Ceng Ceng cepat mendayung perahunya menjauh. Ceng Ceng
gemetar dan mukanya pucat sekali. Tak disangkanya bahwa ular ‘naga’ itu
sedemikian hebatnya. Saat mengamuk tadi, nampaklah tubuhnya yang panjang
dan besar, sebesar tubuh manusia dan panjangnya belasan meter. Sisik
tubuhnya mengkilap dan besar-besar kehijauan dan kelihatan keras dan
kuat sekali. Bagian bawah tubuhnya agak putih dan ketika ular itu
membuka moncongnya, nampak gigi yang seperti pedang, rongga mulut yang
lebar dan merah dan lidahnya yang bercabang itu keluar masuk di antara
gumpalan uap menghitam yang keluar dari dalam mulut ular itu. Sementara
itu, anak ular yang ditunggu-tunggu tidak kelihatan.
Melihat kedahsyatan ular itu, yang begitu besar dan mengerikan, Ceng
Ceng menjadi gentar sekali. Telaga yang demikian luasnya menjadi
bergelombang ketika ular itu mengamuk. Sukar dibayangkan betapa hebat
tenaganya. Mana mungkin orang dapat menangkap anaknya yang kabarnya
selalu dibawa di dalam mulutnya? Manusia gila manakah yang akan mampu
mengambil anak ‘naga’ itu dari dalam moncong yang demikian mengerikan
dan berbahaya?
Betapa pun lihainya seseorang, mana mungkin mampu melawan seekor naga
yang demikian kuat dan dahsyatnya? Baru sabetan ekornya saja telah dapat
menghancurkan perahu-perahu besar kecil! Kabarnya, selama ratusan tahun
belum pernah ada yang mampu menaklukkan naga ini, apa lagi mencuri
anaknya dari dalam moncong!
Akan tetapi anehnya, menurut penuturan Topeng Setan, setiap sepuluh
tahun sekali ada orang-orang kang-ouw yang datang untuk mencobanya,
sungguh pun setiap sepuluh tahun itu pasti jatuh korban banyak orang
tewas di Telaga Sungari ini! Dan sekarang, akibat perbuatan Hek-tiauw
Lo-mo yang meracuni naga, sudah jelas akan menimbulkan korban yang tak
sedikit. Sekarang saja yang tenggelam karena perahunya pecah sudah ada
belasan orang!
“Bodoh si Hek-tiauw Lo-mo!” Topeng Setan berkata lirih. “Kenapa dia
tergesa-gesa? Sekarang mana mungkin menangkap anak ular itu?”
Jelas bahwa Topeng Setan merasa kecewa sekali oleh perbuatan Hek-tiauw
Lo-mo itu dan Ceng Ceng dapat mengerti karena menurut cerita Topeng
Setan, naga itu biasanya akan lama berenang di permukaan telaga dan akan
mengeluarkan anaknya dari mulut agar anak naga itu dapat berenang di
permukaan air. Sekarang, karena naga itu telah menjadi buta dan terluka
berat, tentu binatang ini menjadi marah dan tidak ada harapan lagi untuk
melihat dia mengeluarkan anaknya dari dalam mulut setelah tahu bahwa
ada bahaya mengancam.
“Aaiiihhh...!” Tiba-tiba Ceng Ceng menjerit.
Cepat-cepat dia berpegang pada pinggiran perahunya ketika perahu kecil
itu tiba-tiba mencelat ke atas tersundul oleh sesuatu dari bawah air.
Perahu itu mencelat ke atas, akan tetapi berkat kecekatan dan tenaga
Topeng Setan yang memegangi kedua pinggiran perahu, perahu itu tidak
terbalik dan dapat melayang turun lagi ke atas air dan mereka berdua
tetap duduk di dalam perahu dan hanya kehilangan dayung. Ceng Ceng
terkejut bukan main dan hampir dia pingsan karena kagetnya.
“Apa... apa yang terjadi... eiiikkkhhh...!” Ceng Ceng menjerit lagi dengan mata terbelalak memandang ke kiri.
Tiba-tiba saja di samping perahu itu muncul moncong ular naga tadi. Uap
putih keluar bergumpal dari mulut itu dan Ceng Ceng mencium bau yang
memuakkan, akan tetapi karena dia sudah kebal terhadap racun, uap
beracun itu tidak mempengaruhi, hanya rasa takut membuat dia seperti
kehilangan semangat dan tidak mampu bergerak lagi. Ekor ular menyabet,
tampak bayangan ekor ular itu muncul di permukaan air dan secepat kilat
Topeng Setan sudah menyambar pinggang Ceng Ceng dengan lengan kanannya
dan dia meloncat ke atas ketika ekor ular raksasa itu menyabet perahu.
“Braaakkkk...!” Perahu kecil itu hancur berkeping-keping ketika dihantam ekor ular itu.
Topeng Setan sudah cepat meloncat ke atas, akan tetapi tetap saja kaki
kanannya keserempet sabetan ekar ular itu. Bukan main nyerinya,
kiut-miut rasanya menusuk tulang seolah-olah tulang pahanya remuk.
Topeng Setan maklum bahwa sinkang-nya dapat melindungi tulang pahanya,
akan tetapi biar pun dia tidak mengalami luka dalam yang hebat, tetap
saja merasa betapa kaki kanannya itu seperti lumpuh.
“Pakai pedang pendek ini...!” Ceng Ceng yang teringat akan bekalnya,
sebatang pedang kecil yang diselipkan di pinggang, mencabut senjata itu
dan menyerahkan kepada Topeng Setan yang cepat menyambarnya dengan
tangan kiri.
Dia berhasil menginjak pecahan perahu dan selagi tubuhnya meluncur turun
dan dia melihat kepala naga itu membuka moncongnya dan siap hendak
menyerang dan menelan dia dan Ceng Ceng, Topeng Setan melihat lidah
putih itu mencuat keluar. Secepat kilat tangan kirinya menggerakkan
pedang pendek Ceng Ceng. Dia sudah melihat tadi betapa tubuh dan kepala
naga itu kebal terhadap hantaman dan bacokan senjata-senjata tajam anak
buah kedua perahu itu, maka kini dengan mati-matian dia menusukkan
pedangnya ke arah lidah ular naga itu.
“Crattt... plaaakkk!”
Pedang kecil itu tepat menancap di lidah ular, melukai lidah itu, tetapi
gerakan kepala ular itu ke samping membuat pedang itu terlepas dari
pegangan tangan kiri Topeng Setan. Topeng Setan terpaksa harus
mengerahkan seluruh tenaganya karena terdengar pekik melengking yang
dahsyat sekali dari mulut ular itu. Pekik melengking nyaring ini
terdorong oleh rasa kesakitan karena lidahnya terluka dan mengucurkan
darah, dan pada saat ular itu terpekik melengking, pandang mata yang
tajam dari Topeng Setan dapat melihat sebuah benda berkilauan mencelat
keluar dari dalam kerongkongan mulut ular naga itu. Benda itu ternyata
adalah seekor ular kecil! Itulah anak naga yang dicari-cari!
Dengan lengan kanan masih memeluk pinggang Ceng Ceng, Topeng Setan lupa
akan segala bahaya dan cepat dia menubruk ke air, di mana tadi dia
melihat ular kecil itu terlempar dan tangan kirinya menyambar. Tepat
sekali dia berhasil menangkap kepala ular kecil itu! Ular kecil
meronta-ronta, tubuhnya membelit lengan kiri Topeng Setan, akan tetapi
Topeng Setan mengerahkan tenaganya dan ular kecil itu tidak mampu
melepaskan diri.
Akan tetapi pada saat itu induk ular naga menjadi marah sekali. Biar pun
matanya sudah buta, akan tetapi nalurinya memberi tahu bahwa anaknya
berada dalam bahaya dan kepekaannya dapat membuat dia tahu bahwa musuh
yang menyakiti lidahnya berada di depan. Dia membuka moncongnya dan
menyambar ke arah Topeng Setan yang sudah berhasil menangkap anak ular
dan berusaha menghindar dan berenang.
Topeng Setan yang melihat moncong lebar itu menyambar dari arah kirinya
menjadi terkejut. Dia memindahkan anak ular ke tangan kanannya, kemudian
dia menggerakkan tangan kiri dengan pengerahan tenaga untuk menangkis
karena sudah tidak keburu membalikkan badan. Karena lengan kanan itu
merangkul pinggang Ceng Ceng, tentu saja gerakan tangan kirinya menjadi
kaku.
“Plakkk...!”
Topeng Setan mengeluarkan teriakan ngeri ketika dia merasa betapa Ceng
Ceng terlepas dari rangkulan. Seketika yang teringat olehnya hanyalah
keselamatan Ceng Ceng yang disangkanya telah terampas oleh moncong ular
naga, maka otomatis dia menggerakkan lengan kiri untuk menyambar. Akan
tetapi perasaan kosong dan aneh membuat dia memandang tangan kirinya.
Topeng Setan terbelalak.
“Auhhhh....” Mulut Topeng Setan mengeluarkan suara ketika dia melihat
betapa tangan kiri berikut lengannya telah lenyap! Yang tinggal hanyalah
pundaknya dan seluruh lengan kirinya itu ternyata telah buntung
dicoplok ular naga tadi!
Melihat kenyataan yang mengerikan ini, hampir saja Topeng Setan menjadi
pingsan. Akan tetapi, dia menggigit bibir menahan pukulan lahir batin
yang amat hebat ini. Tidak, tekadnya. Dia tidak boleh pingsan. Yang
paling penting adalah Ceng Ceng! Dia cepat menengok dan melihat gadis
itu gelagapan tak jauh dari situ. Gadis itu tidak pandai berenang dan
dipermainkan air bergelombang. Cepat dia lalu berenang mendekati dan
menggunakan lengan kanan memeluk pinggang gadis itu dan mengangkatnya ke
atas. Ular itu masih digenggam di tangan kanannya.
Selagi Topeng Setan yang kini hanya mengandalkan kedua kakinya untuk
bergerak di air itu hendak berenang menjauh, mendadak kaki kirinya
dipegang orang dari bawah! Topeng Setan merasa terkejut, mengerti bahwa
amatlah berbahaya kalau dia tak dapat melepaskan cekalan tangan orang
itu. Cepat dia meronta dan menendang-nendangkan kaki kirinya, bahkan
kaki kanannya juga menendang ke bawah. Akan tetapi tetap saja cekalan
itu tidak terlepas dari kakinya. Sementara itu Ceng Ceng sudah pingsan
dan bergantung lemas dalam pelukan tangan kanannya, sedangkan anak ular
itu masih membelit lengan kanannya tanpa mampu melepaskan diri.
Tangan yang mencekal kaki Topeng Setan itu kuat sekali dan kini berusaha
menarik tubuh Topeng Setan tenggelam. Topeng Setan meronta-ronta, akan
tetapi cekalan pada pergelangan kakinya itu seperti jepitan baja, dan
tak mungkin dapat dilepaskan dengan cara meronta dan menendang. Sudah
beberapa kali Topeng Setan ditarik ke bawah sampai gelagapan. Hampir
saja dia menyerah.
Tetapi tiba-tiba induk ular yang masih mengamuk itu menggerakkan ekor
menyabet ke arah kaki Topeng Setan. Hal ini menolongnya karena kakinya
terlepas dari jepitan dan orang yang memegang kakinya itu muncul ke
permukaan air. Kiranya orang itu adalah Si Tosu yang lihai tadi! Namun
karena induk ular naga itu masih mengamuk, Si Tosu Lihai tak berani
mendekat, bahkan cepat-cepat berenang menjauh ketika ular naga itu
bergerak ke arahnya dengan sikap menyeramkan.
Karena merasa betapa tubuhnya makin melemah dan ular naga itu masih
mengamuk di dekatnya, maka Topeng Setan yang hanya teringat akan
keselamatan Ceng Ceng semata, melihat adanya balok tiang perahu besar
yang tadi patah dan kini ujung yang kiri masih ditumpangi oleh Kian Bu
dan Hong Kui, cepat dia menggerakkan kaklnya dan seluruh tubuhnya,
mencelat ke atas balok tiang layar itu.
Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tampak sebuah perahu juga meloncat
dan menubruk Topeng Setan. Orang yang berada di dalam perahu itu adalah
kakek tinggi besar dan bermuka hitam yang cepat mengulur tangannya
hendak merampas ular kecil di dalam genggaman tangan Topeng Setan!
Karena perahu itu muncul tiba-tiba dan langsung menubruknya, membuat dia
tidak dapat mengelak lagi, apa lagi lengannya yang tinggal satu itu
memeluk Ceng Ceng yang sudah mulai siuman, maka Topeng Setan sekali ini
tidak berdaya. Ular kecil di dalam tangannya kena dirampas oleh kakek
tinggi besar bermuka hitam itu! Dengan kemarahan meluap, Topeng Setan
masih sempat menggerakkan kakinya menendang.
“Bukkk!” Tendangannya tepat mengenai lambung kakek itu sehingga terlempar keluar dari perahunya.
“Byuuuurrr...!”
Tiba-tiba dari dalam air muncul sebuah perahu dan kakek pendek gemuk
berkepala gundul telah menggunakan dayungnya mengemplang kepala kakek
muka hitam! Kakek muka hitam terkejut, masih dapat mengelak sambil
menangkap dayung itu, akan tetapi ternyata kakek gundul itu hanya
menipunya karena sambil tertawa lalu tangannya meraih dan... ular kecil
itu kembali berpindah tangan, dari tangan kakek tinggi besar bermuka
hitam terampas oleh kakek gundul.
“Keparat...!” Kakek muka hitam menggerakkan dayung rampasannya dan menghantam ke perahu lawan.
“Brakkkk...!” Perahu itu hancur berkeping-keping dan Si Kakek Gundul sambil tertawa lalu menyelam dan lenyap!
Sementara itu, Topeng Setan berhasil hinggap di ujung balok tiang layar.
Ceng Ceng sudah siuman dan pertama kali gadis ini melihat lengan kiri
Topeng Setan yang lenyap, hanya tinggal pundak kiri yang berlepotan
darah, hampir dia pingsan lagi.
“Paman...!” Ceng Ceng menjerit sambil memeluk tubuh mandi darah itu. “Kau... kau... lenganmu...?”
“Tidak apa, Ceng Ceng... tidak apa...” Topeng Setan berkata tenang.
“Tidak apa-apa? Lenganmu buntung dan kau bilang tidak apa-apa?” Ceng
Ceng lalu cepat mengeluarkan obat bubuk yang sudah basah semua dari
dalam saku bajunya, mengobati pundak yang buntung itu dengan hati penuh
kengerian dan keharuan, kemudian dia merobek baju Topeng Setan dan
membalut luka yang kini darahnya sudah berhenti mengucur. Topeng Setan
sama sekali tidak mengeluh, bahkan kelihatan tersenyum di balik
topengnya yang buruk.
Kian Bu dan Hong Kui yang melihat semua ini menjadi bengong. Kian Bu
merasa kagum bukan main. Betapa hebatnya orang yang bermuka buruk ini,
yang dia tahu adalah pembantu dari Ceng Ceng. Manusia muka buruk ini
sudah putus lengannya, namun masih dapat bergerak sehebat itu di dalam
air, berhasil menolong Ceng Ceng yang tadi pingsan, bahkan telah
berhasil menangkap anak naga yang kini terampas oleh kakek gundul yang
menyelam dan menghilang.
Melihat kesibukan Ceng Ceng merawat luka Topeng Setan, apa lagi karena
dia masih merasa malu karena terlihat berdua dengan Mauw Siauw Mo-li,
maka Kian Bu tidak berani menegur Ceng Ceng yang agaknya juga tak
melihatnya biar pun mereka berada di satu balok tiang layar, di kedua
ujungnya. Agaknya Ceng Ceng juga tidak melihat dan mempedulikan keadaan
sekelilingnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah kepada keadaan
Topeng Setan yang kehilangan lengan kirinya.
“Sayang anak naga itu terampas Si Kakek Gundul...,” terdengar Topeng Setan berkata.
“Peduli dengan ular itu...!” Ceng Ceng menjawab sambil menyelesaikan
pekerjaannya membalut pundak dengan hati-hati. “Aku... aku benci ular
itu, Paman! Aku benci diriku sendiri karena aku yang menyebabkan kau
kehilangan lengan kirimu.”
“Ahhh... jangan berkata begitu...”
Sementara itu, induk ular naga masih mengamuk karena selain matanya
buta, lidahnya terluka, juga dia kehilangan anaknya. Amukannya di dalam
air itu agaknya membuat Si Kakek Gundul tidak kuat bertahan lama dan
sudah muncul lagi ke permukaan air. Akan tetapi begitu dia muncul, dari
atas perahu besar milik Tambolon, tampak sinar hitam mencuat dan
tahu-tahu tubuh kakek gundul sudah tertangkap dalam sehelai jaring hitam
yang terbuat dari tali sutera halus yang amat kuat!
Kakek gundul yang masih memegangi ular kecil itu terkejut dan
meronta-ronta, namun dia tidak berdaya ketika tubuhnya ditarik dan
diangkat naik ke atas perahu oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya,
yaitu Si Petani dan Si Siucai. Begitu jaring dibuka, kakek gundul
mengamuk dan gerakannya dahsyat sekali. Akan tetapi tiba-tiba nenek itu
berkata, suaranya melengking tinggi dan nadanya aneh.
“Jangan keroyok, biarkan dia!”
Mendengar ini, Tambolon bersama dua orang pembantunya mundur dan nenek
itu lalu berkata, “Hai, cucuku gundul... engkau memang anak baik sekali
mau menyerahkan ular itu kepada nenekmu. Mari... mari sini... berikan
ular itu kepadaku...!”
Ceng Ceng yang sudah selesai membalut, kini bersama Topeng Setan
memandang ke arah perahu itu dan mereka menjadi bengong terheran-heran
melihat kakek gundul yang lihai dan yang tidak gentar dikeroyok oleh
Tambolon dan dua orang pengawalnya itu kini menjatuhkan diri berlutut di
depan Si Nenek Hitam dan menyerahkan ular itu dengan kedua tangannya!
Sambil terkekeh Durganini menerima ular itu.
Begitu ular diterima, kakek gundul agaknya menjadi sadar dan dengan
teriakan dahsyat dia meloncat berdiri dan hendak menerjang nenek itu.
Akan tetapi Tambolon dan dua orang pengawalnya sudah menyambutnya
sehingga terjadilah pertandingan seru di atas perahu.
Akan tetapi kini semua perahu yang melihat bahwa ular yang diperebutkan
itu terjatuh ke tangan Si Nenek Hitam, berbondong datang mendekati
perahu besar Tambolon dan banyak sekali bayangan orang yang gerakannya
ringan dan gesit berloncatan ke atas perahu besar itu untuk merampas
ular kecil! Di antara mereka terdapat Si Tosu Lihai, Hek-tiauw Lo-mo,
dan banyak orang lagi termasuk Si Kakek Muka Hitam dan Si Kakek Gundul
yang masih bertanding melawan Tambolon. Anak buah raja liar ini
menyambut dan terjadilah perang tanding yang amat seru di atas perahu.
Menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang pandai, Tambolon dan Si
Nenek Lihai ini menjadi kewalahan juga dan dia tidak sempat menggunakan
ilmu sihirnya terhadap begitu banyak orang pandai yang rata-rata
memiliki tenaga batin amat kuat sehingga tidak mudah tunduk kepada
kekuatan ilmu sihirnya.
Selagi Topeng Setan masih belum tahu apakah dia harus pula ikut memasuki
medan pertandingan itu, tiba-tiba perahu besar itu terlempar ke atas
dan terbanting lalu terbalik! Kiranya ular yang marah itu telah mengamuk
dan menyundul perahu yang sudah pecah itu sehingga terbalik dan tentu
saja semua orang lihai yang sedang enaknya bertempur semua terlempar ke
dalam air! Si Nenek Hitam yang lihai dan ahli ilmu sihir itu kehilangan
kelihaiannya karena dia tidak pandai renang, maka dengan gelagapan dia
terpaksa minta tolong dan dibantu oleh anak buah Tambolon, diseret
kembali ke perahu yang sudah terbalik.
Akan tetapi dalam ketakutannya tenggelam tadi, nenek ini yang sudah
pikun lupa akan ular kecil yang dipegangnya sehingga ular kecil itu
terlepas. Anak ular yang juga panik karena sejak tadi dicengkeram
tangan-tangan panas dan kuat, dalam keadaan bingung dan panik meluncur
dan berenang ke dekat tiang layar yang ditumpangi Kian Bu, Hong Kui,
Topeng Setan dan Ceng Ceng! Melihat ini, Topeng Setan tak mau
menyia-nyiakan kesempatan. Cepat tangannya meraih untuk menangkap anak
naga itu.
“Desssss...!”
Topeng Setan dan Kian Bu terkejut. Keduanya tadi secara otomatis telah
mengulur tangan hendak menangkap anak ular naga itu. Begitu tangan
mereka saling bertemu, otomatis pula keduanya menyalurkan tenaga
sehingga terjadilah bentrokan hebat antara tangan mereka. Kian Bu
terkejut sekali karena merasa betapa tenaga yang keluar dari tangan
Topeng Setan itu kuat bukan main, dan betapa orang yang sudah mengalami
luka buntung lengan itu masih sanggup menandingi tenaganya. Hal ini
benar-benar membuat dia penasaran dan juga kagum bukan main.
Anak ular lalu itu berenang ke dekat Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng
tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan cepat tangannya menyambar. Akan
tetapi pada saat itu, Lauw Hong Kui Si Siluman Kucing juga sudah
menangkap pada saat yang bersamaan, tentu saja mereka lalu berebut dan
saling betot! Kasihan ular kecil itu yang dipegang kepala dan ekornya
dan dijadikan rebutan!
Kian Bu memandang terbelalak. Biasanya kekasihnya itu sangat takut
terhadap ular, bahkan beberapa kali pingsan melihat ular, akan tetapi
mengapa kini berani menangkap ular itu dan membetotnya. Melihat Ceng
Ceng juga sudah menangkap ular itu, dia lalu berteriak kepada Hong Kui,
“Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu...!”
Hong Kui terkejut dan marah. “Apa? Aku tidak sudi!” Dan dengan marah dia menarik sekuatnya.
Ceng Ceng tentu saja mempertahankannya, gadis ini lebih beruntung dalam
perebutan itu karena dia tadi memegang kepala ular yang tentu saja
merupakan bagian yang lebih kuat dari pada bagian ekornya.
“Prattttt...!”
Anak ular naga itu putus menjadi dua dan putusnya di dekat ekor sehingga
Hong Kui hanya mendapatkan bagian yang sedikit saja, yaitu bagian
ekornya! Dan karena Ceng Ceng yang mempertahankan ular itu berada di
pinggir balok dan kini tiba-tiba ular putus, tak dapat dihindarkan lagi
Ceng Ceng terjengkang dan terjatuh ke dalam air. Pada saat itu, induk
ular naga sudah tiba di atas lagi, ekornya mobat-mabit dan balok tiang
itu kena dihantam ekor yang amat kuat, pecah berantakan.
Melihat Ceng Ceng terjatuh ke dalam air, Topeng Setan yang setengah
pingsan karena penderitaannya itu tahu bahwa gadis itu terancam bahaya
sebab tidak pandai berenang, maka tepat pada saat balok tiang dihantam
ekor ular naga, dia sudah meloncat terjun ke air dan mengejar Ceng Ceng,
merangkulnya dan terus dibawanya gadis itu menyelam selagi ular naga
mengamuk di atas mereka. Dia maklum bahwa kini keadaan sudah berbahaya
sekali, tenaganya sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk melindungi
Ceng Ceng dan kalau mereka muncul lagi di permukaan air, tentu semua
orang lihai itu akan mengeroyok mereka karena ular itu, biar pun ekornya
putus sedikit, masih berada di tangan Ceng Ceng.
Karena dia maklum bahwa sekali mereka muncul, tentu mereka akan celaka
dan terutama sekali yang terpenting baginya, Ceng Ceng akan terancam
bahaya dan anak ular naga itu akan dirampas orang, maka Topeng Setan
mengambil keputusan nekat. Dia hendak membawa Ceng Ceng menyelam terus
dan berenang di bawah permukaan air menuju ke tepi telaga. Dengan
sinkang-nya yang sudah amat kuat itu, dan melawan penderitaan tubuhnya
yang terluka hebat dengan daya kemauannya yang membaja, Topeng Setan
lalu menyeret tubuh Ceng Ceng yang dirangkulnya itu, mulai berenang
meninggalkan tempat berbahaya itu di mana tidak hanya ular naga raksasa
yang mengamuk, akan tetapi juga banyak tokoh lihai yang mencari-cari
mereka.
Dengan pengerahan tenaga yang amat menakjubkan, yang sesungguhnya
terdorong oleh keinginan dan kemauannya untuk menyelamatkan Ceng Ceng,
Topeng Setan berenang cepat dan hanya menggunakan kedua kakinya dan dia
berhasil menjauhi tempat itu. Kakinya yang pernah dihantam ekor ular
naga terasa nyeri bukan main, tapi dia tidak mau merasakan siksaan ini
dan terus menggerakkan kedua kaki meluncur ke depan.
Dengan sinkang-nya yang sudah mencapai puncak, dia dapat ‘menyimpan’
hawa udara sehingga dia masih kuat bertahan. Akan tetapi tidak demikian
halnya dengan Ceng Ceng. Dasar sinkang dari gadis ini masih lemah
sekali, maka kini dia mulai kehabisan napas, meronta-ronta dan hal ini
diketahui oleh Topeng Setan. Akan tetapi, kalau dia membawa Ceng Ceng
muncul ke permukaan untuk mencari hawa segar dan bernapas, tentu akan
kelihatan oleh musuh dan selanjutnya mereka tidak mungkin dapat
melarikan diri lagi, karena tentu akan dikejar-kejar, baik di permukaan
air atau di dalam air.
Di antara mereka terdapat banyak ahli bermain di air, seperti kakek
gundul dan tosu itu. Maka Topeng Setan mempererat pelukannya dan tidak
membolehkan Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas itu untuk naik ke
permukaan air. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dibiarkan terus,
gadis itu akan kehabisan napas dan akan tewas pula, maka dia lalu
mengambil keputusan nekat.
Diangkatnya tubuh Ceng Ceng, didekatkan muka gadis itu dengan mukanya.
Di dalam air yang jernih itu mereka tidak dapat saling melihat, karena
sinar bulan tidak dapat menembus sedalam itu, akan tetapi remang-remang
mereka masih dapat saling melihat bayangan mereka. Topeng Setan lalu
menundukkan mukanya dan... dia menutup mulut Ceng Ceng dengan mulutnya
sendiri!
Tentu saja Ceng Ceng terkejut bukan main, mula-mula dirinya tidak
mengerti apa yang dikehendaki oleh orang tua itu. Dia sudah pening dan
telinganya mengeluarkan bunyi mengaung, dadanya seperti hendak meledak.
Rasa kaget ketika merasa betapa mulutnya dicium seperti itu oleh Topeng
Setan, membuat dia ingin menjerit dan otomatis mulutnya terbuka. Agaknya
inilah yang dikehendaki Topeng Setan. Dengan bibir masih menutup mulut
Ceng Ceng yang terengah-engah itu, ia mengeluarkan hawa ‘simpanan’ yang
masih bersih, ditiupkannya ke dalam paru-paru Ceng Ceng yang sudah
kehabisan napas. Wuihhh.....