Bab 6 - Seperti Burung Liar
Tolonggg.... kebakaran....!!
Segera mereka memukul
kentongan sambil berteriak-teriak dan sebentar saja suara kentongan dan berita
kebakaran di gudang kandang kuda itu sudah terdengar di seluruh kompleks
istana. Apalagi ketika semua kuda telah terlepas dari kandangnya dan kini
berlarian ke sana-sini karena ketakutan melihat api. Tentu Siang In pula yang
telah melepaskan kuda-kuda itu dengan membuka pintu-pintu kandang dan
mencambuki binatang-binatang itu ke luar kandang mereka.
Panik dan gegerlah seluruh
istana! Orang-orang berlari ke sana-sini, berserabutan dan bingung.
Jangan panik! Jangan
tinggalkan tempat penjagaan masing-masing!! Panglima Mohinta dibantu oleh
beberapa orang perwira berlari ke sana-sini menenangkan para pengawal.
Akan tetapi tetap saja terjadi
kepanikan hebat, bukan hanya karena kebakaran itu, melainkan kepanikan lain
yang terjadi mulai dari taman di belakang kamar Syanti Dewi. Selagi para
pengawal di sekitar taman itu yang jumlahnya paling banyak ada lima puluh orang
yang tadinya berada di mana-mana dan kini berkumpul, menjadi agak bingung
mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan bunyi kentongan, tiba-tiba di tempat
gelap muncul seorang wanita muda yang amat cantik, yang tersenyumsenyum kepada
mereka dari jauh dan melambaikan tangan.
Itu dia.... siluman itu!!
teriak seorang diantara mereka yang pernah bertemu dengan Siang In. Lihat dia
membawa payung!!
Mendengar ini, para pengawal
yang merasa tabah karena terdiri dari banyak orang itu berlari menghampiri.
Akan tetapi Siang In tertawa terkekeh lalu membalikkan tubuhnya dan lari
menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Gerakannya amat ringan dan
cepat, lincah bukan main sehingga untuk beberapa lamanya dia dapat bermain
kucing-kucingan dengan mereka, kadang-kadang menghilang bersembunyi di balik
semak-semak atau di balik pohon-pohon, bahkan kadang-kadang dia meloncat
seperti seekor burung terbang ke dalam pohon dan ketika beberapa orang pengawal
yang mencarinya lewat di bawah pohon, dia melempari mereka dengan buah-buah
mentah lalu melompat ke lain pohon dan berlari lagi.
Dengan gangguan-gangguan ini,
Siang In berhasil membikin kacau lima puluh orang itu dan kini mereka semua
tercurah perhatiannya kepada Siang In yang sebentar muncul sebentar lenyap itu.
Bahkan Siang In kini lari tidak begitu cepat meninggalkan taman, tentu saja
dikejar oleh semua pengawal yang seolah-olah kini berlumba untuk menangkap
siluman yang amat cantik jelita itu. Siang In sengaja memperlambat larinya dan
membiarkan dirinya hampir tersusul. Setelah dia mendengar suara derap para
pengawal itu dekat di belakangnya, tiba-tiba dia berhenti, membalik sambil
mengeluarkan suara melengking nyaring yang tidak menyerupai suara manusia.
Begitu dia membalik, semua pengejarnya terbelalak ngeri melihat wajah yang
putih polos, wajah setan tanpa mata hidung mulut! Dan selagi mereka bengong
dengan muka pucat, Siang In menubruk ke depan, menggerakkan payungnya dan
robohlah enam orang sambil mengaduh-aduh karena ujung payung itu secara nakal
sekali telah menusuk pundak dan paha mereka, tidak membahayakan namun cukup
mendatangkan rasa nyeri.
Hi-hi-hik!! Siang In tertawa
lagi sambil membalikkan dan melanjutkan larinya, makin menjauhi taman. Tentu
saja para pengawal segera mengejarnya dengan marah.
Berhasiliah Siang In
mengacaukan para pengawal dan Syanti Dewi yang sudah siap dan mendengar
keributan kebakaran, maklum bahwa saat baginya sudah tiba. Memang tanda
kebakaran itu merupakan isyarat baginya untuk mulai meloloskan diri. Maka
puteri ini lalu cepat keluar dari kamarnya melalui jendela dan hal ini bukanlah
merupakan hal yang sukar baginya karena Syanti Dewi bukanlah seorang puteri
yang lemah, melainkan seorang yang telah mempelajari ilmu silat pula sehingga
lolos dari jendela merupakan pekerjaan yang mudah. Dia mendengar suara
ribut-ribut di taman itu, maka tahulah dia bahwa Siang In sedang mengerjakan!
para pengawal yang berjaga di taman. Maka dia lalu menyelinap di belakang
pohon, mengintai dari tempat gelap dan setelah suara teriakan para pengawal
makin menjauhi taman, tanda bahwa Siang In yang cerdik itu sudah berhasil
memancing mereka ke luar dari taman, Sang Puteri cepat berlari menyelinap di
antara kegelapan pohon-pohon di taman, membawa buntalannya dan terus menuju ke
luar taman melalui jalan rahasia yang menembus ke pinggir tembok kota raja!
Sementara itu, Siang In dengan
lincahnya mempermainkan para pengawal yang kini makin banyak berdatangan dan
mengepungnya. Ketika para pengejarnya belum begitu banyak, dia dapat
menggunakan sihirnya yang mempengaruhi para pengejarnya. Kadang-kadang dia
berdiri begitu saja di dekat pohon dan mereka yang mengejarnya tidak melihatnya
karena mereka melihat gadis itu seperti sebatang pohon dan melewatinya begitu
saja. Kadang-kadang ketika mereka sudah mengepung gadis itu, tiba-tiba saja
gadis itu lenyap berubah menjadi asap atau terbang! begitu saja ke angkasa di
depan mata mereka! Tentu saja semua ini hanyalah pengaruh sihir yang dikerjakan
oleh Siang In dan menguasai pikiran mereka semua. Akan tetapi ketika yang
mengejarnya makin banyak, sihir Siang In tidak begitu manjur lagi! Ada sebagian
yang melihat dia terbang! sehingga menjadi bengong, akan tetapi sebagian lagi
yang tidak terpengaruh, melihat gadis itu sebetulnya hanya menyelinap saja
untuk melarikan diri dan mereka ini terus mengejar, dan tentu saja perbuatan
mereka ini sekaligus menyadarkan mereka yang terkena pengaruh sihir.
Mulai sibuklah Siang In
berlari ke sana ke mari dikejar oleh para pengawal yang dipimpin oleh Panglima
Mohinta sendiri. Kejar! Tangkap dia!! Mohinta berteriak-teriak ketika melihat
betapa gadis itu kadang-kadang melawan dan merobohkan para pengeroyok dengan
gerakan silat yang amat hebat.
Mulailah Siang In mencari
kesempatan untuk meloloskan diri. Menurut perhitungannya, saat ini Syanti Dewi
tentu telah lolos. Akan tetapi celaka baginya, kini tiga ratus orang pengawal
memusatkan kekuatan untuk mengurungnya dan tidak memberi kesempatan baginya
untuk keluar dari dalam lingkungan istana! Kemanapun dia lari, tentu dia
bertemu dengan pasukan pengawal yang amat banyak jumlahnya! Dan dia tidak akan
mungkin terus bermain kucing-kucingan seperti itu, karena kalau sampai malam
berganti pagi dan dia masih berada di istana, dia akan celaka! Ilmu silatnya
dan ilmu sihirnya tidak mungkin dapat dia pergunakan menghadapi bala tentara
Bhutan yang tentu akan dikerahkan untuk menangkapnya! Kemarin masih ada Syanti
Dewi yang melindungi dan menyembunyikannya, akan tetapi sekarang, para pengawal
sudah menduga bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa yang pandai ilmu sihir.
Bahkan kini Mohinta telah mengundang jago-jago ilmu sihir yang banyak terdapat
di Bhutan untuk menandinginya sehingga ketika dia mencoba menggunakan sihirnya
ketika dia bertemu dengan sepasukan pengawal yang ditemani seorang pendeta, sihirnya
melempem dan tidak berhasil sama sekali! Hanya berkat ilmu silatnya yang cukup
tinggi sajalah dia mampu lolos!
Napasnya agak terengah dan
keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya ketika Siang In menyelinap ke
dalam sebuah ruangan kosong untuk beristirahat sejenak mengumpulkan kekuatan
dan mencari akal. Akan tetapi baru saja dia masuk dan menghapus peluh dengan saputangan,
muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian panglima yang gagah sekali.
Orang ini sudah setengah tua, usianya kurang lebih empat puluh lima tahun,
tubuhnya tegap dan gagah, tangannya memegang sebatang golok. Melihat laki-laki
ini, Siang In terkejut, akan tetapi juga girang dan wajahnya berseri.
Paman Jayin....!!
Panglima itu memang Panglima
Jayin, seorang panglima yang setia kepada Kerajaan Bhutan dan di dalam cerita
Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa panglima ini yang telah
berhasil membawa pulang Syanti Dewi dari timur, dan panglima ini masih
terhitung suheng dari Ceng Ceng karena dia pernah menerima gemblengan dari
kakek pendekar wanita itu.
Panglima Jayin terkejut dan
heran mendengar dara muda yang cantik, yang disangka siluman dan dikejar-kejar
ratusan orang pengawal itu, menyebutnya paman. Panglima ini baru saja tiba dari
tugasnya ke luar kota raja dan begitu mendengar bahwa istana dikacau oleh
seorang gadis lihai yang disangka siluman, dia bergegas pergi ke istana dan ikut
pula mencari siluman! itu. Panglima ini adalah seorang yang sudah
berpengalaman. Tentu saja dia tidak percaya bahwa istana diganggu siluman. Dia
menduga bahwa tentulah yang mengganggu atau mengacau itu seorang tokoh kang-ouw
atau seorang penjahat. Bahkan tadinya dia menduga bahwa yang mengacau adalah
Ang Tek Hoat, akan tetapi dugaan ini dilenyapkan oleh berita bahwa pengacau
atau siluman itu adalah wanita. Dengan kecerdikannya, Panglima Jayin tidak ikut
mengejar-ngejar dengan ribut, melainkan dia menyelinap ke tempattempat sunyi
karena dia mempunyai perhitungan bahwa orang jahat itu yang dikejar-kejar tentu
akan mencari tempat-tempat sunyi untuk beristirahat. Perhitungannya itu
ternyata cocok sekali, dan dengan girang dia melihat seorang dara menyelinap
masuk ke dalam ruangan kosong itu. Akan tetapi terkejut dan terheranlah dia
ketika dara asing yang dia yakin tentulah si pengacau itu langsung saja
menyebutnya paman!
Sejenak mereka berpandangan
dan dara itu tersenyum manis, senyum kekanak-kanakan yang manis akan tetapi
penuh dengan sifat menggoda seperti seorang anak nakal. Eh, Paman Panglima
Jayin, sudah lupa lagikah engkau kepadaku?! kembali dara itu berkata ramah
sambil tersenyum.
Kini ada sesuatu pada diri dan
sikap lucu dan nakal dari dara itu yang mengingatkan kepada panglima ini bahwa
dia memang pernah bertemu dengan dara ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi
kapan dan di mana. Nona, siapakah engkau?!
Aku adalah Teng Siang In,
murid dari See-thian Hoat-su. Kami pernah membantu kalian ketika dahulu
mengawal Syanti Dewi ke Bhutan.
Jayin teringat dan dia
mengangguk-angguk. Ah, kiranya Nona! Akan tetapi apakah Nona pula yang
menggegerkan istana dan dianggap sebagai siluman?!
Hi-hik, inilah yang disangka
siluman!! Siang In mengeluarkan kedok dan sekali tangannya mengusap muka,
mukanya berubah menjadi polos mengerikan.
Jayin terbelalak lalu
tersenyum. Aih, Nona sungguh nakal sekali! Apa perlunya Nona mempermainkan kami
dan mengacau istana?!
Siang In sudah melepaskan
kedoknya lagi dan kini dengan sikap serius, sungguh tidak pantas bagi wajahnya
yang cantik namun jenaka sifatnya itu, dia berkata, Paman Jayin, apakah engkau
tidak kasihan kepada Puteri Syanti Dewi? Apakah dulu Paman bersusah payah
membawanya pulang ke Bhutan hanya untuk menyiksanya sehingga dia akan mati
tenggelam dalam kedukaan seperti seekor burung dalam sangkar?!
Eh, apa maksudmu berkata
seperti itu, Nona?! Jayin bertanya marah dengan alis berkerut.
Hemmm, jangan kau pura-pura
tidak tahu, Paman. Tidak tahukah engkau bahwa Puteri Syanti Dewi setiap hari
berduka, bahwa Sang Puteri masih mencinta Tek Hoat dan sama sekali tidak
mencinta Mohinta? Tidak tahukah Paman akan hal itu?!
Jayin terkejut dan sejenak dia
tak dapat menjawab. Akhirnya dia menghela napas dan berkata, Tentu saja aku
tahu, Nona. Aku tidak buta, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan?!
Paman Jayin, dahulu engkau
adalah seorang gagah perkasa yang budiman, yang amat sayang kepada Syanti Dewi.
Apakah sekarang Paman sudah berubah? Apakah Paman tidak ingin melihat dia berbahagia?!
Bagaimana saya dapat membuat
dia berbahagia?!
Dengan membiarkan dia lolos
dari istana untuk pergi mencari dan berkumpul kembali dengan kekasihnya, yaitu
Ang Tek Hoat.
Hemmm.... apakah kau
menganjurkan aku berkhianat?!
Siapa yang suruh kau berkhianat?
Terus terang saja Paman Jayin, dahulu aku menganggapmu sebagai teman. Akan
tetapi sekarang, aku sedang berusaha meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana.
Bahkan sekarang pun dia sudah lolos. Kalau engkau hendak menghalangi, hemmm....
terpaksa aku akan menganggap engkau sebagai musuh!! Berkata dengan demikian,
gadis yang cerdik itu sudah siap dengan payungnya, akan tetapi sesungguhnya ini
hanya aksi belaka, karena dia sama sekali tidak ingin melukai panglima ini, dan
yang dla persiapkan adalah kekuatan sihirnya karena kalau perlu dia akan
menguasai panglima ini dengan sihirnya.
Panglima Jayin tercengang.
Tahulah dia sekarang mengapa gadis ini mengacau istana. Dan semenjak Tek Hoat
pergi tanpa pamit dari Kota Raja Bhutan, kemudian melihat keadaan Sang Puteri,
memang di dalam hati panglima yang setia ini sudah timbul penyesalan hebat.
Akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya untuk membantu Syanti Dewi. Dan
sekarang, secara tidak terduga-duga, muncul nona ini yang hendak menolong
Syanti Dewi. Kalau dia menghalangi, sama saja artinya dengan dia hendak memaksa
Syanti Dewi hidup menderita selamanya!
Pada saat itu, terdengar suara
hiruk-pikuk dari jauh yang makin lama makin mendekati tempat itu.
Dia tadi berkelebat ke sini!!
Cari sampai dapat!!
Geledah semua tempat, semua
tempat kosong!!
Jayin dan Siang In masih
saling berpandangan. Kau yakin Puteri telah lolos dari istananya?! tiba-tiba
Jayin bertanya.
Sudah pasti!!
Kalau begitu, aku akan
memancing mereka menjauhimu menuju ke istana Syanti Dewi di utara dan kau dapat
melarikan diri ke bagian selatan. Cepat kau temani Sang Puteri dan bantulah dia
agar bertemu dengan kekasihnya agar dia hidup berbahagia.!
Siang In tersenyum dan
menjura. Sungguh engkau habat, Paman! Sudah kusangka bahwa engkau memang seorang
yang gagah perkasa dan budiman.!
Sudahlah selamat
berpisah....!! kata Jayin.
Mari selidiki di dalam sini!!
terdengar suara Mohinta tiba-tiba.
Heiiiii, siluman! Kau hendak
lari ke mana?! Tiba-tiba Jayin membentak marah, dengan golok terhunus dia menyerbu
ke luar, mengejutkan Mohinta dan para anak buahnya.
Eh, Paman. Panglima!! Mohinta
berseru.
Mohinta! Cepat, siluman itu
lari ke sana! Eh, kenapa kalian mengejar-ngejar di sini? Celaka! Tentu siluman
itu akan menculik Sang Puteri! Dan kalian meninggalkan istana Sang Puteri!
Celaka aku melihat siluman itu tadi lari ke arah istana Sang puteri!! Jayin
mendahului yang lain-lain, melompat dan lari ke arah istana Syanti Dewi.
Mohinta terkejut dan baru teringat, maka dia pun lalu berlari cepat mengejar Jayin,
diikuti oleh para pengawal.
Ini adalah pancingan!! Sambil
berlari Panglima Jayin berseru. Siluman itu memancing kalian meninggalkan
penjagaan di istana Sang Puteri. Betapa bodohnya kalian!!
Celaka....!! Mohinta menjadi
pucat dan mempercepat larinya ke arah istana kecil itu. Seperti berlomba lari
saja mereka menuju ke istana, langsung ke kamar Sang Puteri dan memang semua
pengawal yang menjaga di situ telah lari tadi mengejar Siang In.
Mohinta bernapas lega melihat
pintu kamar Sang Puteri masih terkunci dari dalam.
Ah, syukur Adinda Syanti Dewi
masih di dalam, tentu masih tidur nyenyak,! katanya sambil tersenyum lega.
Bodoh! Coba ketuk, buka! Siapa
tahu....!! Jayin melangkah maju dan mengetuk pintu perlahan-lahan sambil
memanggil. Akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketukan diperkeras dan
akhirnya pintu itu digedor-gedor oleh Mohinta yang sudah menjadi pucat sekali
mukanya. Namun tetap saja tidak ada jawaban.
Bongkar pintunya!! Jayin yang
bersikap seperti orang kebingungan itu memerintah. Pintu kamar dibongkar,
dipaksa terbuka dan mereka menyerbu ke dalam Kosong!
Celaka....! Adinda.... Adinda
Syanti Dewi....!! Panglima Mohinta mencari-cari dalam kamar itu, lalu menjenguk
keluar jendela, akan tetapi keadaan di luar jendela pun sunyi.
Nah, apa kataku tadi!!
Panglima Jayin marah-marah. Sungguh tolol kalian semua, dapat dipancing
meninggalkan tempat ini oleh penjahat. Jelas bahwa penjahat itu menyamar
sebagai siluman, mengacau dan membakar kandang agar semua pengawal terpancing
ke sana, kemudian dia dengan leluasa telah masuk ke dalam kamar ini dan
menculik Sang Puteri.!
Aduh, Paman Panglima Jayin,
bagaimana baiknya sekarang?! Panglima Mohinta yang merasa cemas dan duka itu
mengeluh.
Agaknya tidak mungkin
penjahat, dapat melarikan Sang Puteri keluar dari lingkungan istana. Mohinta,
kauperkuat penjagaan di sekitar istana, jangan sampai ada orang dapat keluar
atau masuk. Aku sendiri akan melaporkan hal ini kepada Sri Baginda sekarang
juga!!
Mohinta cepat mengerahkan
semua pasukan untuk berjaga-jaga dan mencari-cari, akan tetapi tentu saja tanpa
hasil karena pada saat itu, Syanti Dewi dan Siang In telah pergi jauh
meninggalkan tembok tebal yang mengurung Kota Raja Bhutan.
Gegerlah istana Bhutan. Sri
Baginda menjadi marah sekali dan juga amat gelisah memikirkan puterinya yang
untuk kedua kalinya diculik orang. Dahulu, kurang lebih lima tahun yang lalu,
Sang Puteri bersama Ceng Ceng juga lenyap, sampai setahun lebih baru berhasil
ditemukan. Sekarang, Sang Puteri lenyap pula, bahkan sekarang lenyap dari dalam
kamarnya! Maka, ketika Panglima Mohinta mohon perkenan Sri Baginda untuk pergi
mencari Sang Puteri, Sri Baginda menyetujuinya. Panglima Mohinta lalu
mengumpulkan jagoan-jagoan dari Bhutan, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi untuk
menemaninya pergi mencari jejak Sang Puteri Syanti Dewi.
Keadaan Syanti Dewi
benar-benar seperti seekor burung yang tadinya terkurung dalam sangkar kini
terlepas dari kurungan, terbang bebas di udara. Kesehatannya pulih kembali,
dalam waktu satu bulan saja melakukan perjalanan, wajahnya sudah menjadi segar
kemerahan, sepasang matanya yang tadinya sayu kini bersinar-sinar penuh
semangat dan gairah hidup dan biarpun pakaiannya tidak seindah dan semewah
ketika dia berada di istana, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya,
bahkan dia kelihatan segar dan cantik sekali, dengan mata bersinar, mulut
tersenyum dan wajah berseri-seri.
Dia telah berhasil menyelinap
keluar dari tembok kota raja setelah bertemu dengan Siang In di tempat yang
telah dijanjikan oleh mereka, dan berkat kelihaian Siang In, Sang Puteri dapat
dibawa keluar tembok kota dan dengan cepat mereka melarikan diri ke timur.
Memang bukan perjalanan yang
mudah yang mereka tempuh selama sebulan ini. Naik turun gunung-gunung yang
tinggi dan liar, masuk keluar hutan-hutan yang amat besar dan gelap. Namun,
karena di sampingnya ada Siang In, pula karena memang puteri ini pernah
mempelajari ilmu silat dan telah banyak mengalami hal-hal yang hebat, maka
perjalanan ini tidaklah terlalu sukar dan sengsara baginya. Sebaliknya malah,
dia benar-benar merasa seperti hidup baru, merasa gembira dan penuh harapan
yang muluk-muluk, yaitu harapan untuk dapat bertemu kembali dengan pria yang
dicintanya, ialah Ang Tek Hoat.
Makin akrab saja hubungan di
antara dua orang dara yang sifat dan wataknya bagaikan bumi dan langit itu.
Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut, halus budi, halus
perasaan, pandai mengekang perasaan, dan memiliki keagungan seseorang puteri.
Sebaliknya, Teng Siang ln adalah seorang wanita yang berwatak periang jenaka,
bahkan bengal dan suka menggoda orang, suka tertawa, jujur, polos dan tidak
begitu mempedulikan tentang peraturan dan sopan santun, perasaannya mengeras
oleh gemblengan hidup, dan biarpun dia termasuk seorang dara yang suka berpakaian
indah dan suka pula bersolek, namun pada dasarnya dia amat sederhana.
Betapapun besar perbedaan
watak antara mereka, namun mereka dapat segera menjadi sahabat yang akrab
sekali. Syanti Dewi benar-benar merasa seolah-olah dia mendapatkan pengganti
Ceng Ceng! Memang ada persamaan antara Ceng Ceng dan Siang In, persamaan dalam
hal watak periang, agak binal dan jujurnya. Akan tetapi Ceng Ceng tidaklah
sebinal Siang In! Betapapun juga, dengan adanya Siang In di sampingnya,
perjalanan yang amat sukar itu tidak terasa oleh Syanti Dewi dan dia dalam
waktu sebulan itu saja sudah mengenal benar-benar watak Siang In. Biarpun
kelihatan binal dan terpengaruh oleh keindahan yang membawa keanehan,
kadang-kadang kelihatan keras, namun pada hakekatnya dara ini memiliki watak
yang amat baik, setia dan jujur!
Enci Syanti, ajari aku
nyanyian yang kemarin kaunyanyikan ketika kita mandi di telaga itu! Kau sudah
berjanji!
Mereka duduk beristirahat di
sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di pegunungan yang jauh dari
dusun-dusun, hutan yang liar dan tentu amat jarang terinjak kaki manusia. Akan
tetapi ternyata alam memiliki daya cipta yang tak dapat terukur oleh otak
manusia. Pohon-pohon besar kecil tumbuh dengan subur dan amat nyeni seolah-olah
diatur saja, berkelompok dan memiliki keindahan sendirl-sendiri yang khas,
namun juga merupakan suatu kesatuan yang amat indah, yang tak terpisahkan.
Agaknya, sebatang pohon saja dipindahkan, akan hambarlah keindahan kesatuan
itu. Kembang-kembang dan rumput-rumput seolah-olah tumbuh di tempat yang memang
sudah semestinya, begitu serasi, begitu cocok sehingga suasana di hutan itu
menjadi indah membahagiakan hati.
Dua orang dara yang sadar atau
tidak terpengaruh oleh keindahan yang membahagiakan itu dan yang kini
beristirahat melepaskan lelah di bawah sebatang pohon besar, merasa gembira
pula dan bercakap-cakap dengan asyiknya sampai terdengar Siang In minta diajari
nyanyian.
Adikku yang manis, engkau
sudah begini pandai, mempunyai banyak macam ilmu-ilmu yang aneh-aneh, akan tetapi
kulihat engkau masih selalu haus akan pelajaran-pelajaran. Betapa rajinnya
engkau, In-moi.! Syanti Dewi memuji sambil meletakkan tangannya ke atas pundak
dara itu.
Siang In tersenyum. Selama
ini, aku hanya mempelajari hal-hal yang kasar saja, Enci. Ilmu silat, ilmu
memukul orang. Huh! Dan ilmu sihir, ilmu menipu orang. Wah, tidak ada yang baik
dan hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Akan tetapi engkau sebagai seorang
puteri benar-benar memiliki banyak kepandaian yang dapat menyenangkan orang
lain, dan aku ingin sekali mempelajarinya, Enci.!
Akan tetapi, aku mempelajari
segala macam kepandaian nyanyi, tari, bermain musik dan lain-lain itu bukan
untuk menyenangkan sembarang orang, adikku. Aku bukannya ingin menjadi seorang
penari atau penyanyi umum!
Aku tahu, Enci. Tentu engkau
hanya mau bernyanyi atau menari di depan orang yang kaucinta. Bukankah begitu?!
Dengan kedua pipinya berubah
merah, Syanti Dewi mengangguk.
Aku pun demikian, Enci. Aku
minta diajar bernyanyi, karena. aku suka mendengar senandungmu kemarin itu, dan
aku.... hemmm, aku pun tidak akan sembarangan memamerkan nyanyian di depan
orang lain!!
Wajah itu berseri dan mata
yang halus pandangnya itu menatap wajah Siang In penuh selidik. Akan tetapi
yang dipandang hanya tersenyum saja.
Aihhh, kalau begitu engkau
juga sudah mempunyai seorang pilihan hati, seorang kekasih, adikku!!
Siang In menggeleng kepala.
Belum, Enci. Pilihan hati.... hemmm, ya, mungkin saja, siapa tahu.... akan
tetapi kekasih? Belum! Enci dengan Ang Tek Hoat, nah, itu baru namanya kekasih,
karena saling mencinta.!
Tiba-tiba pandang mata Syanti
Dewi berubah, penuh kekhawatiran. Adikku yang manis, apakah.... apakah cintamu
hanya sepihak....?!
Kembali Siang In menggeleng
dan tersenyum. Tidak ada cinta, baik dari fihak mana pun, Enci. Aku sendiri
tidak tahu benar apakah aku telah mencinta seseorang. Banyak memang pria yang
menyatakan cinta padaku, baik melalui pandangan matanya, melalui rayuannya....!
Aku percaya. Engkau sungguh
cantik jelita seperti bidadari!!
Tidak ada sepersepuluhmu dalam
kecantikan, Enci. Akan tetapi kalau hanya seperti itu cinta yang
diagung-agungkan itu, seperti para pria yang menyatakan cinta melalui pandang
mata atau rayuan mulut penuh nafsu itu, hihhh....! Siang In bergidik. Lebih
baik aku tidak mengenal cinta!!
Syanti Dewi memandang tajam.
Hemmm.... jangan engkau berkata begitu, In-moi. Kalau benar engkau belum
mempunyai kekasih, habis siapa yang kaucari-cari itu? Dulu di Bhutan engkau
pernah bilang bahwa engkau datang ke Bhutan mencari seseorang siapakah dia itu
yang kaucari-cari?!
Terjadi perubahan, akan tetapi
hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi bersinar-sinar seperti
orang gembira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang marah. Dia mengangguk.
Memang aku mencari seseorang yang tadinya kusangka berada di Bhutan atau
sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku salah sangka dan dia mungkin tidak berada
di barat.
Siapakah dia, In-moi? Mungkin
saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada.!
Enci mengenalnya, tentu. Dia
adalah Suma Kian Bu!
Ehhh....? Dia....?! Sejenak
puteri itu termenung teringat akan pemuda gagah perkasa, putera Majikan Pulau
Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat dan andaikata di dunia
ini tidak ada Ang Tek Hoat, betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada seorang
sepertli Suma Kian Bu!
Tahukah Enci di mana adanya
dia?!
Syanti Dewi dalam keadaan
masih termenung menggeleng kepalanya. Aku tidak tahu, tentunya di Pulau Es, di
ternpat tinggal orang tuanya, In-moi, Suma Kian Bu adalah seperti kakakku
sendiri, seperti saudaraku sendiri. Katakanlah mengapa engkau mencari dia? Kuharap
saja tidak ada permusuhan antara kalian!
Siang In menggeleng kepalanya.
Tidak ada permusuhan apa-apa
Kalau begitu kalian saling
mencinta! Wah, syukurlah !!
Juga tidak, Enci. Tidak ada
permusuhan, juga tidak ada ikatan itu karena selama ini kami tidak pernah
saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengan
dia untuk menanyakan suatu hal agar rasa penasaran di hatiku dapat lenyap.!
Syanti Dewi mengerutkan
alisnya dan merasa khawatir. Penasaran? Urusan apakah itu yang membuat engkau
penasaran, adikku? Bolehkah aku mengetahuinya? Aku khawatir sekali....!
Ah, tidak apa-apa, Enci
Syanti. Hanya rasa penasaran karena suatu perbuatan yang dia lakukan kepadaku,
lima tahun yang lalu.! jawab Siang In dan tiba-tiba wajahnya berubah merah.
Tentu saja puteri itu menjadi
makin penasaran. In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan kepadamu sampai
membuatmu penasaran? Atau.... engkau kurang percaya kepadaku untuk
memberitahu....!
Ah, mengapa tidak percaya,
Enci Syanti Dewi?! Siang In merangkul. Tidak ada rahasia perbuatan itu
hanyalah.... eh, lima tahun yang lalu dia.... eh, dia pernah mencium bibirku.!
!Ihhh....!! Syanti Dewi
terkejut bukan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian jujurnya,
seolah-olah itu bukan apa-apa!!
Kenapa kau terkejut, Enci?!
Siang In memandang penuh selidik.
Tidak apa-apa....! Syanti Dewi
mengatur napasnya yang agak memburu. Hanya.... kalau sudah begitu.... berarti
kalian saling mencinta.!
Siang In menggeleng kepala.
Bagaimana engkau dapat memastikan begitu?!
Ya.... karena.... pria yang
mau mencium seperti itu, berarti dia mencinta, dan kau kalau kau mau menerima
ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya.!
Hemmm.... aku tidak tahu
apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia cinta padaku. Akan
tetapi, terus terang saja, ciuman itu membuat aku sering kali tidak bisa tidur,
Enci Syanti.!
Syanti Dewi menutupi mulutnya,
menahan ketawa. Anak ini benar-benar jujur bukan main, pikirnya dengan hati
terharu. Jujur dan polos, murni bagaikan setangkai mawar hutan yang mulus tak
pernah ternoda.
Itulah tandanya bahwa kau
jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku.!
Ah, tidak. Belum tentu. Aku
tidak yakin apakah aku cinta padanya. Aku sering kali membayangkan ciuman itu,
memang, akan tetapi dengan hati penasaran. Maka aku ingin sekali bertemu dengan
dia untuk menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa lima tahun yang
lalu itu dia menciumku seperti itu!!
Syanti Dewi menggeleng-geleng
kepalanya. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang gadis
seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia bertemu dengan
cerita tentang seorang gadis seperti Siang In!
Jadi jauh-jauh engkau
bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk bertanya tentang itu?!
Benar, akan tetapi sudahlah,
Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan kecewa karena kenyataannya perjalananku
sia-sia belaka, tidak dapat bertemu dia. Baiknya aku bertemu denganmu dan dapat
membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan itu. Sekarang kauajarkan lagu
yang kaunyanyikan kemarin itu.!
In-moi, lagu itu adalah lagu
lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk menyanyikannya harus diiringi musik dan
dinyanyikan sannbil menari.!
Bagus sekali! Aku pun senang
menari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kauajarkan sekalian
tariannya.!
Musiknya?!'
Asal kauajarkan pada aku
iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu.!
Syanti Dewi tertawa. Memang,
inti dari musik adalah iramanya, dan andaikata tidak ada alat musik, asal
iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu apa pun jadilah! Dia lalu
mengajarkan iramanya yang sederhana saja seperti semua irama dari segala macam
musik di dunia ini.
Lagu ini bernama HARAPAN JUMPA
KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan irama yang baik dan teratur, dan dengarkan
nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin mempelajarinya.!
Terdengarlah ketukan-ketukan
batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara halus merdu dari
Syanti Dewi yang bernyanyi sambil menari. Kata-kata dalam Lagu itu memang tepat
sekali dengan keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri.
Kekasih telah lama pergi
tak tahu bila akan jumpa
kembali
namun hati pantang membeku
tak mengenal putus harapan
selama hayat dikandung badan
cintaku tak pernah padam
jika tiada kesempatan jumpa di
dunia
di akhirat kita akan saling
bersua
harapan jumpa kekasih
kubawa sampai mati.!
Hebat, Enci! Hebat sekali,
baik nyanyiannya maupun tariannya. Cepat, kau yang mengiringi dengan irama,
selagi aku masih ingat.!
Gembira bukan main hati kedua
orang dara itu dan ketika Siang In belajar menyanyi dan menarikan lagu Harapan
Jumpa Kekasih itu, Syanti Dewi yang bengong dan kagum! Kiranya di samping
kepandaian silat dan sihirnya yang hebat, dara ini pun memiliki suara yang
nyaring merdu seperti burung kenari, dan tubuhnya yang padat ramping itu memang
telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah gemulai sehingga ketika dia
menari, benar-benar amat indah dan mengandung daya pikat yang mempesonakan.
Gerak-gerik tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih terselubung oleh
tradisi sopan santun yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan
tetapi tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini bebas dari segala ikatan
tradisi, gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggauta tubuhnya
seolah-olah hidup! dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang
menggairahkan!
Demikianlah, dengan asyiknya
dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang In belajar penuh
semangat, kadang-kadang Syanti Dewi turun tangan mengajarnya bagaimana harus
menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang benar, bagaimana harus
menggerakkan kaki melangkah. Puteri itu memberi petunjuk dengan penuh
ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai akhirnya dia dapat
menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu. Sejak kecil, Siang In mempelajari
ilmu silat dan sesungguhnya orang yang berbakat pula mempelajari ilmu tari,
karena di dalam gerakan ilmu silat memang terkandung inti gerakan ilmu tari
pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang memang bertubuh ramping dan
lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih itu.
Tiba-tiba Siang In menangkap
tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke balik semak-semak
belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan main, akan tetapi
melihat Siang In memberi isyarat dengan jari tangan ke depan mulut, dia pun
tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres.
Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh dan kini setelah
dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat derap kaki kuda
datang dari jurusan itu.
Tidak lama mereka menanti.
Derap kaki kuda makin keras dan segera kelihatan belasan orang penunggang kuda
membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa
hati Syanti Dewi ketika melihat bahwa rombongan berkuda itu dipimpin oleh
Panglima Mohinta! Seketika wajahya menjadi pucat dan tangannya yang memegang
tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa dia telah terlepas dari bahaya
karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa kira, ternyata dia
dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ!
Setelah derap kaki kuda itu
menghilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas lega dan Siang In
berkata, Aihhh, tak kusangka monyet-monyet itu akan dapat menyusul secepat itu.
Dan tunanganmu sendiri yang mengepalai pasukan pengejar.!
Dia bukan tunanganku! Jangan
menyebut-nyebut lagi dia sebagai tunanganku, In-moi. Engkau tahu bahwa
tunanganku adalah Ang Tek Hoat!!
Maaf, Enci Syanti. Sekarang
kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka telah mendengar
tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati untuk membeli
roti kering. Kalau mereka nanti tiba di dusun depan dan tidak mendengar tentang
kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di sepanjang jalan.!
Tapi mereka hanya belasan
orang banyaknya. Dengan kepandaianmu....!
Hemmm, apakah engkau tidak
melihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggu kuda di samping tunang....
eh, Panglima Mohinta itu?!
Ya, aku melihatnya dan aku
belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa, In-moi?!
Ketika lewat tadi, aku melihat
sinar matanya dan tentu dia itu seorang jagoan undangan. Agaknya dari Tibet dan
melihat sinar matanya, aku dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang lihai dan
tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir. Tentu saja aku tidak takut kepada
mereka, akan tetapi aku harus melindungimu, Enci. Dan agaknya akan sukarlah
kalau aku harus melawan mereka sambil melindungimu. Aku tidak ingin melihat
usaha kita gagal setelah kita berhasil pergi sejauh ini dari Bhutan. Mari kita
mengambil jalan lain saja, bukan jalan umum.!
Terserah kepadamu, In-moi.!
Siang In lalu mengubah rencana
perjalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke timur melainkan membelok
ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan jurang yang amat liar akan
tetapi yang menjamin mereka bahwa pasukan berkuda itu tidak akan mungkin dapat
mencari jejak mereka. Siasat Siang In berhasil baik. Memang tepat
perhitungannya. Ketika Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka
tidak mendengar adanya dua orang gadis itu lewat di dusun ini, Mohinta dan
kawan-kawannya segera kembali dan mencari-cari di dalam hutan di mana dua orang
tadi bernyanyi dan menari. Akan tetapi Mohinta kehilangan jejak mereka dan
terpaksa dia membawa rombongannya terus mengejar dan mencari ke timur. Mohinta
dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya,
Ang Tek Hoat, maka dengan mencari pemuda itu, dia percaya akhirnya akan dapat
pula menemukan Syanti Dewi.
Setelah melakukan perjalanan
yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua selalu berada dalam
keadaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan periang dari Siang In
telah menular kepada Syanti Dewi, akhirnya pada suatu senja mereka tiba di kaki
sebuah diantara pegunungan yang mempunyai banyak puncak. Itulah Pegunungan
Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi Shen-si di barat, Ho-nan di
selatan, dan Shan-si di utara.
Lebih dari sepekan mereka
berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di kota Sian, yaitu
ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan perjalanan darat.
Tujuan mereka adalah Kota Raja Peking di utara. Setelah berjalan beberapa hari
lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki puncak dan mereka memandang ke
atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi tembok, mereka merasa
lelah sekali karena anehnya, setelah melakukan perjalanan sehari lamanya mereka
tidak juga bertemu dengan kbta atau dusun! Baru sekarang mereka melihat kota di
puncak bukit itu, dan di depan agak jauh nampak mengalir Sungai Kuning yang
amat lebar.
Hari sudah gelap dan sudah dua
hari kita tidak makan nasi,! kata Siang In, Kalau melanjutkan ke depan, kita
terhalang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke puncak itu?
Kelihatannya di atas itu adalah sebuah kota kuno yang besar dan kita bisa
mencari penginapan di sana dan makan sepuasnya di rumah makan.!
Syanti Dewi yang merasa sudah
lelah sekali itu mengangguk. Terserah kepadamu, In-moi. Aku setuju saja. Hanya
lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja.
Perjalanan melalui air yang telah kita tempuh, demikian enak dan membikin malas
sehingga begitu diganti dengan perjalanan darat, kaki ini menjadi seperti mau
patahpatah rasanya. Padahal, sebelum itu, dipakai berjalan sampai sebulan lebih
tidak apa-apa.!
Siang In tersenyum dan
menggandeng puteri itu. Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan kedua kakimu
yang mungil itu. Biasanya pergi dekat saja engkau tentu menggunakan joli atau
kereta, dan biasanya kalau terasa capai, tentu ada pelayan-pelayan yang
memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu!
Hushhh, genit kau....!! Syanti
Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit minta ampun. Dengan
kelakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan kelelahannya dan
mereka bersendau-gurau sambil mendaki jalan naik ke puncak itu.
Sungguh kasihan kedua orang
dara cantik jelita itu. Mereka tertawa-tawa bersendau-gurau, membayangkan bahwa
mereka akan tiba di sebuah kota atau dusun besar di mana mereka akan dapat
melepaskan lelah di rumah penginapan, mandi air hangat dan makan masakan yang
lezat-lezat. Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka itu
seolah-olah dua ekor anak domba yang berdaging empuk dan yang sedang menuju ke
gua yang penuh dengan harimau dan naga!
Tempat apakah yang dikurung
tembok di atas puncak itu? Bagi wilayah itu, bahkan hampir semua orang kang-ouw
di Propinsi-propinsi Shan-si, Ho-nan dan Shen-si, tempat itu sudah amat
terkenal, disegani dan tidak sembarangan orang kang-ouw berani mendatangai
tempat itu, apalagi sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Puncak bukit itu
merupakan daerah berbahaya dan gawat, bahkan di sekitar itu, orang-orang tidak
lagi berani tinggal sehingga dusun-dusun ditinggalkan orang. Inilah sebabnya
mengapa selama sehari perjalanan Siang In dan Syanti Dewi tidak pernah melihat
kota atau dusun.
Puncak itu dinamakan puncak
Hwee-liong (Naga Api) dan yang kelihatan seperti dusun itu sesungguhnya adalah
sekelompok bangunan yang dikurung dinding tembok yang kuat seperti benteng
saja. Tempat itu menjadi markas sebuah perkumpulan yang amat terkenal, yaitu
Perkumpulan Liong-sim-pang (Perkumpulan Hati Naga). Yang menjadi ketuanya, atau
lebih tepat menjadi pemiliknya karena sesungguhnya perkumpulan itu didirikan
oleh seorang yang amat kaya raya, adalah seorang lakl-laki yang terkenal dengan
julukan Hwa-i-kongcu (Pemuda Baju Kembang), bernama Tang Hun dan memang dia
merupakan keturunan terakhir dari keluarga Tang yang kaya raya dan seolah-olah
sejak turun-temurun menjadi raja kecil yang menguasai semua tanah di daerah
itu.
Mengapa pemuda bernama Tang
Hun ini sampai mendirikan Perkumpulan Liong-sim-pang? Karena selain kaya raya
dia pun sejak kecil suka sekali akan ilmu silat, bahkan kini ia terkenal
sebagai seorang yang amat tangguh dan lihai, apalagi setelah sejak beberapa
tahun ini dia berguru kepada seorang nenek hitam yang kini tinggal di puncak itu
sebagai seorang yang dipuja-puja. Semenjak berguru kepada nenek hitam ini
kabarnya kepandaian Hwa-i-kongcu menjadi hebat bukan main karena selain silat
nenek itu amat tinggi, juga terutama sekali nenek itu seorang ahli sihir yang
menurunkan sebagian dari kepandaian ini kepada muridnya itu! Dan selain dia
sendiri amat lihai, juga Hwa-i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu yang sakti
dan setia.
Sebagai seorang majikan atau
ketua dari sebuah perkumpulan, apalagi karena amat kaya raya, tentu saja
Hwa-i-kongcu membentuk pasukan sebagai anak buah Liong-sim-pang. Anak buahnya
berjumlah lima puluh orang, dan cata-rata memiliki kepandaian lumayan, karena
mereka yang masuk menjadl anggauta harus lulus melalui ujian tertentu. Bahkan
setelah menjadi anak buah Liong-sim-pang mereka ini mendapat pendidikan khusus
dari para pembantu Hwa-i-kongcu.
Melihat namanya, perkumpulan
ini didirikan oleh Tang Hun dengan maksud mengangkat diri sendiri sebagai
majikan atau ketua perkumpulan orang-orang gagah yang berhati naga! Akan tetapi,
sudah menjadi kelajiman di dunia bagian mana pun juga, baik dalam bentuk
pangkat, kedudukan, dan kepintaran, harta benda, maupun kekuatan, selalu
mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan inilah yang menimbulkan kesombongan,
kesewenang-wenangan dan penindasan. Maka tidak lama kemudian, nama
Liong-simpang menjadi tersohor dan ditakuti orang karena para anak buahnya
mengandalkan kekuasaan itu untuk menang sendiri terhadap fihak lain.
Hwa-i-kongcu Tang Hun sendiri
tentu saja merasa dirinya terlalu tinggi untuk melakuan hal-hal yang remeh. Dia
sudah kaya raya, maka tidak pernah dia melakukan pemerasan atau merampas harta.
Akan tetapi, dia memiliki kesenangan lain, yaitu wanita cantik! Dengan
menggunakan berbagai jalan, baik menggunakan kekayaannya, atau ketampanannya,
atau kalau perlu kepandaiannya, dia mengumpulkan banyak wanita cantik di dalam
gedungnya dan celakanya, pemuda mata keranjang dan hidung belang ini adalah
seorang pembosan sehingga kumpulan wanita di gedungnya selalu berganti. Yang
sudah membosankan, dan biasanya hal ini takkan pernah terjadi lebih dari
beberapa bulan saja, lalu dipulangkan begitu saja dan dia mulai berkeliaran
mencari penggantinya. Kamar-kamarnya selalu penuh dengan wanita cantik yang
jumlahnya paling sedlkit ada sepuluh orang!
Hwa-i-kongcu sendiri biarpun
usianya sudah tiga puluh tahun namun dia kelihatan amat muda, seperti seorang
pemuda yang usianya baru dua puluh tahun, wajahnya tampan dan selalu putih
karena dibedaki dengan bedak harum. Dia pesolek sekali, dengan pakaian seperti
seorang sastrawan yang selalu berwarna-warni dan berbunga-bunga, pakaian dari
sutera yang mahal dan mewah. Karena kelihatan masih amat muda, tampan dan
ganteng, kaya raya, pandai ilmu sastra dan silat, maka tentu saja dengan mudah
dia dapat memikat hati wanita-wanita cantik. Akan tetapi, begitu wanita-wanita
itu berhasil diperolehnya dan dibawa ke dalam gedungnya, wanita-wanita itu
menyesal bukan main dan barulah mereka sadar bahwa mereka telah memasuki neraka
karena pria yang tampan itu memiliki watak yang amat aneh dan kejam, yang suka
menyiksa wanita demi untuk memuaskan nafsu berahinya dan menganggap wanita
hanya sebagai barang permainan belaka, sebagai pemuas nafsu belaka!
Sampai berusia tiga puluh
tahun, Hwa-i-kongcu ini tidak pernah menikah. Hal ini adalah karena dia
berwatak pembosan dan terutama sekali karena dia amat tinggi hati, merasa bahwa
di dunia ini tidak ada wanita yang cukup berharga untuk menjadi isterinya yang
sah! Semua wanita itu hanya mau menjadi barang permainanhya untuk sementara saja.
Demikianlah, di luar kesadaran
atau dugaan mereka, kini Siang In dan Syanti Dewi sedang mendaki bukit itu
menuju ke tempat seperti itu! Tentu saja para penjaga di atas tembok yang
seperti benteng itu sudah melihat akan adanya dua orang yang mendaki bukit,
maka sepasukan anak buah Liong-sim-pang yang jumlahnya selosin orang segera
bergegas turun dari puncak untuk menghadang dua orang yang berani lancang naik
ke puncak itu.
Siang In dan Syanti Dewi sudah
tidak bergurau lagi karena mendaki jalan naik itu cukup melelahkan, membuat
mereka terutama Syanti Dewi menjadi kecapaian, keringatnya membasahi seluruh
tubuh dan nafasnya agak memburu.
Ihhhhh....! Puteri itu
mengeluh. Kelihatan dekat, kalau dijalani kenapa tidak juga sampai-sampai!!
Siang In tertawa. Enci, kita
sudah melewati gunung-gunung yang jauh lebih tinggi dan sukar daripada bukit
kecil ini, akan tetapi kau tidak pernah, mengeluh. Hal itu adalah karena kau
tergesa-gesa ingin lekas-lekas tiba di puncak itu maka menjadi lama dan
kelihatan jauh....!
Tiba-tiba Siang In
menghentikan kata-katanya, memegang tangan puteri itu dan menghentikan
langkahnya. Syanti Dewi terkejut dan memandang ke depan. Tampak olehnya
serombongan orang berjalan cepat turun dari atas. Bukan rombongan orang,
melainkan sepasukan orang karena mereka itu berjalan dengan berbaris rapi
seperti pasukan saja! Dan pakaian mereka juga seragam. Setelah mereka datang
agak dekat, nampaklah bahwa pakaian mereka itu seragam dengan baju kuning dan
celana hitam, dan di dada mereka terdapat lukisan seekor naga.
Syanti Dewi menjadi gelisah
dan memegang tangan Siang In, akan tetapi gadis ini hanya tersenyum dan berkata
lirih. Tenanglah, Enci, biar aku menghadapi badut-badut itu.!
Pasukan itu berhenti di depan
mereka dan Si Tinggi Kurus yang agaknya menjadi komandan pasukan menyerukan
aba-aba dan mereka lalu berpencar menghadang ke depan dua orang dara itu,
berdiri berjajar memenuhi jalan. Mereka memandang dengan mata terbelalak,
terheran-heran ketika melihat bahwa dua orang yang naik dan mereka curigai itu
ternyata adalah dua orang dara yang memiliki bentuk badan dan wajah yang
aduhai! Sampai bengong mereka memandang, karena sesungguhnya, selama mereka
hidup, belum pernah mereka bertemu dengan dua orang dara yang begini cantik
jelitanya! Seolah-olah dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan!.
Melihat dua orang wanita
cantik, komandan pasukan segera pasang aksi. Dia mengebut-ngebutkan pakaian
seragamnya, membusungkan dadanya yang tipis sehingga tubuhnya menjadi
melengkung seperti huruf S atau seperti seekor ular sendok bergaya kemudian
melangkah maju dengan langkah seorang jenderal dan dia berdehem dua kali
sebelum bicara. Suaranya lantang dibesar-besarkan akan tetapi tetap saja
sumbang karena memang si jangkung ini suaranya kecil parau.
Heiiiii! Kalian dua orang Nona
Muda siapakah, dari mana dan hendak ke mana?! Si jangkung ini bertanya dengan
suara mengandung nada-nada seperti orang bernyanyi, nyanyian sumbang!
Melihat lagak orang ini, mau
tidak mau Syanti Dewi merasa geli hatinya dan dia menutupi mulutnya untuk
menyembunyikan senyumnya. Akan tetapi Siang In tersenyum lebar, bahkan tidak
menahan suaranya terkekeh kecil. Inilah perbedaan antara dua orang dara cantik
itu. Syanti Dewi sejak kecil sudah dikurung oleh semacam kebiasaan, tradisi,
dan sopan santun sehingga setiap gerak-geriknya terbentuk oleh suasana di dalam
istana. Di lain fihak, Siang In sudah biasa hidup bebas, maka dia tidak merasa
kurang sopan untuk tersenyum atau tertawa sesuka hatinya.
Kami adalah dua orang pelancong,
dari belakang hendak ke depan, hik-hik!! Siang In menjawab sambil terkekeh.
Ha-ha-ha, Nona ini lucu!!
Lucu dan manis, heh-heh.!
Kedua-duanya cantik jelita!!
Hussshhh, diam kalian!! Si
jangkung membentak ke belakangnya dan para anak buahnya berhenti bicara.
Sungguhpun mereka masih menyeringai gembira dan pandangan mata mereka
kadangkadang melayang mengagumi wajah dua orang dara itu, kemudian pandang mata
mereka meraba-raba ke seluruh anggauta tubuh yang menggairahkan Itu. Hal ini
terasa sekali oleh Syanti Dewi yang cepat menundukkan muka dengan alis
berkerut.
Nona, jangan kau main-main!
Kalian berdua berhadapan dengan Jiu Koan, seorang tokoh Liong-sim-pang! Hayo
lekas mengaku baik-baik, jangan sampai aku terhadap kalian dua orang dara-dara
muda bertindak kasar.!
Nanti dulu, mengaku ya
mengaku, akan tetapi kalian ini mau apakah? Kami tidak melakukan apa-apa yang
merugikan kalian, mengapa kalian menghadang perjalanan kami? Kami hendak pergi
ke kota di puncak itu
Ha-ha-ha-ha-ha!! Semua anggota
pasukan tertawa dan Siang In mengerutkan alisnya, lalu memandang ke arah kota
berdinding tebok itu.
Mengapa kalian tertawa!?!
tanyanya.
Di atas itu bukan kota Nona,
melainkan markas dari perkumpulan kami, Liong-sim-pang. Dan kalian berdua telah
melanggar wilayah kami, tentu saja kami menghadang kalian! kata pula si
jangkung bernama Jiu Koan dan mengaku tokoh Liong-sim-pang itu. Padahal tentu
saja dia hanya seorang petugas rendahan yang paling tinggi berpangkat kopral.
Siang In dan Syanti Dewi
saling pandang dan merasa terkejut dan kecewa. Kiranya mereka telah salah duga!
Akan tetapi mendengar bahwa mereka itu adalah anak buah perkumpulan yang
bernama Hati Naga, dia merasa dadanya lapang.
Hati Naga berarti keberanian,
dan hanya orang-orang gagah saja yang mau menggunakan nama seperti itu. Dan
orang gagah tentu bukan orang-orang jahat. Maka cepat dia menjura dan berkata,
Aih, kalau begitu harap Cu-wi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami yang salah
terka dan salah jalan. Kami kira yang di atas itu sebuah kota atau dusun.
Setelah kami mengetahui akan kesalahan kami, biarlah kami kembali dan harap
maafkan kaii.!
Eh-eh, nanti dulu, Nona!! Jiu
Koan membentak ketika melihat Siang In dan Syanti Dewi hendak pergi dan
membalikkan tubuh mereka. Dia memberi isyarat dan dua belas orang pasukannya
itu berpencar lalu membentuk lingkaran mengurung dua orang dara itu.
Hemmm.... kalian mau apa?!
Siang In tersenyum menyembunyikan kemarahannya dibalik senyum manis.
Kalian sudah melanggar wilayah
kami, tidak boleh begitu saja sebelum ikut dengan kami untuk menghadap Kongcu.!
Hemmm, siapa itu Kongcu?!
tanya Siang In.
Kongcu adalah majikan dan
ketua kami.!
Kongcu pasti akan senang
sekali melihat kalian, heh-heh!!
Tentu saja, dan kita akan
mendapatkan hadiah!!
Mereka tertawa-tawa dan
lenyaplah keyakinan di hati Siang In bahwa dia berhadapan dengan
anggauta-anggauta perkumpulan orang gagah. Lagak mereka ini tiada bedanya
dengan penjahat-penjahat kecil atau sebangsa perampok liar saja.
Kalau kami tidak mau?!
tanyanya.
Ha-ha, mau tidak mau kalian
harus ikut bersama kami, jawab Jiu Koan.
Siang In melangkah maju dan
menudingkan telunjuknya ke arah hidung Jiu Koan dan bertanya, Eh, siapa namamu
tadi? Jiu Koan?!
Benar.!
Jadi engkau ini seorang jagoan
Liong-sim-pang? Nah, sekarang begini saja orang she Jiu. Kalau kau memang
jagoan, aku tantang kau untuk bertanding. Kalau aku kalah, biar kami akan
menyerah dan ikut bersama kalian ke atas sana. Akan tetapi kalau aku menang
kalian harus membiarkan aku pergi. Bagaimana?!
Jiu Koan memandang dengan mata
terbelalak. Gadis ini menantangnya? Akan tetapi dia seorang yang cerdik pula.
Kalau gadis ini berani menantangnya, agaknya gadis yang membawa payung ini
memiliki kepandaian dan kalau dia mempertaruhkan kebebasan mereka, amatlah
berbahaya. Akan tetapi gadis ke dua itu, yang kelihatan lemah lembut, tentu
tidak bisa silat.
Baik, akan tetapi karena
kalian berdua, maka haruslah kalian berdua pula yang maju, masing-masing
melawan seorang pembantuku dan aku. Kalau kalian berdua menang, blarlah kalian
boleh pergi. Akan tetapi, seorang saja yang kalah, dia harus ikut kami ke atas
untuk menghadap Kongcu.!
Baiklah, jawab Siang In sambil
berkedip kepada Syanti Dewi yang ingin membantu. Kauajukan jagomu biar dilawan
temanku ini.! Dan dia menggunakan ilmunya, sehingga hanya Syanti Dewi saja yang
mendengar bisikannya, Enci, kaulawanlah saja, aku akan membantumu dan tidak
mungkin kau kalah.!
Syanti Dewi mengangguk. Memang
dia telah mempelajari ilmu, bahkan ilmu silatnya pernah memperoleh kemajuan
hebat ketika dia memperoleh petunjuk-petunjuk dari pendekar sakti Gak Bun Beng
beberapa tahun yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Akan tetapi
selama bertahun-tahun ini, dia tidak pernah berlatih karena semangatnya seperti
telah hilang terbawa pergi oleh Tek Hoat. Maka, untuk bertanding tentu saja
gerakannya kaku dan memang puteri ini bukan seorang yang suka berkelahi!
Jiu Koan lalu memberl isyarat
dan majulah seorang laki-laki tinggi besar bermata lebar, usianya tentu belum
ada empat puluh tahun dan kedua lengannya nampak penuh dengan lingkaran
otot-otot besar karena dengan bajunya digulung sebatas siku. Dia ini tersenyum
menyeringai, agaknya girang sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding
melawan dara cantik seperti bidadari itu. Sudah terbayang dalam benaknya betapa
dia akan memperoleh kesempatan untuk memeluk dara itu.
Syanti Dewi merasa agak ngeri
berhadapan dengan raksasa ini, akan tetapi dia pun bersiap sedia dan memasang
kuda-kuda. Ketika Si Tinggi Besar meliihat betapa dara cantik ini dapat memasang
kuda-kuda ilmu silat, dia bersikap hati-hati dan berkata, Nona manis, lebih
baik kau menyerah dan mengaku kalah.!
Tidak perlu banyak cakap,
majulah!! Syanti Dewi berkata.
Ha-ha, hendak kulihat apakah
kau akan mampu bergerak dalam dekapanku!! Raksasa itu tertawa dan menubruk
cepat sekali ke arah Syanti Dewi. Puteri ini terkejut, tak disangkanya orang
tinggi besar itu dapat bergerak demikian cepatnya. Namun dia dapat mengelak
dengan meloncat ke kanan sambil mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Dalam
perjalanan yang jauh ini, puteri Bhutan itu sengaja memakai sepatu kulit yang
dipasangi besi di ujungya, maka tendangannya itu bukanlah tidak berbahaya.