Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 51 - Tidak Ada Dosa Turunan
Kian Lee tercengang dan kini
dia memandang dengan penuh keheranan. Eh, bagaimana pula ini? Bukankah kemarin
engkau mencegah atau melarangku ketika kau mengira aku hendak membunuhnya? Dan
sekarang engkau malah hendak membantuku membunuhnya!!
Hwee Li menggenggam jari-jari
tangan Kian Lee dan tersenyum. Tentu saja, kemarin aku masih mengira bahwa
engkau tidak mencintaku, melainkan mencinta gadis lain.!
Kalau begitu?!
Aku marah kepadamu, dan karena
kusangka dia satu-satunya pria yang mencintaku dengan sepenuh hatinya, maka aku
tidak suka melihat engkau membunuhnya.!
Dan sekarang?!
Sekarang, engkau mencintaku,
Lee-koko, dan persetan dengan segala pangeran dari Nepal, dan kalau
perbuatannya terhadap diriku memarahkan hatimu, dia harus mampus. Dan memang
dulu pun sudah beberapa kali dia hampir mati di tanganku.! Dara itu lalu
menceritakan semua pengalamannya selama dia ditahan di dalam benteng Pangeran
Liong Bian Cu, betapa dia telah mempergunakan berbagai akal untuk membunuh
pangeran itu dan nyaris dia berhasil.
Kian Lee mendengarkan dengan
penuh perhatian, penuh kagum dan kini dia pun dapat mengerti betapa besar rasa
cinta kasih di dalam hati pangeran itu terhadap Hwee Li. Timbullah rasa kasihan
di dalam hatinya terhadap pria itu karena dia sudah merasakan betapa
sengsaranya derita batin ditanggung seorang pria yang tidak dibalas cintanya.
Hwee Li, setelah kita sekarang
bertemu di sini, engkau hendak pergi ke manakah?!
Dan engkau sendiri hendak ke
mana, Koko?! Hwee Li balas bertanya.
Kian Lee memejamkan matanya
sebentar, pikirannya bekerja keras. Terdapat hal-hal yang meruwetkan pikirannya
sehubungan dengan kenyataan bahwa dia dan Hwee Li saling mencinta. Dia harus
mengakui bahwa dia memang benar mencinta dara ini, akan tetapi dia pun melihat
pula kenyataan betapa di dalam cinta mereka berdua itu terdapat banyak hal yang
menghalang. Pertama, dia melihat kenyataan betapa watak dara ini liar, dan
ganas sekali di samping kelincahan dan kejenakaannya.
Hal ini merupakan kewajibannya
kelak untuk membimbingnya agar dara itu dapat menghentikan sifat liar yang dia
tahu tentu timbul karena dara ini adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo. Dan dia pun
melihat mengapa dia tertarik sekali kepada Hwee Li. Tidak lain karena dara ini
memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengan watak Ceng Ceng di waktu masih
gadis dahulu.
Ceng Ceng juga memiliki watak
yang liar dan ganas semenjak menjadi murid Ban-tok Mo-li. Akan tetapi,
persoalan pertama ini tidak begitu memusingkannya karena dia yakin bahwa dengan
cinta kasihnya, dia akan mampu mengubah watak ganas itu. Hal yang ke dua adalah
perbedaan yang amat menyolok antara orang tuanya dan orang tua dara ini. Dia
merasa sangsi sekali apakah ayahnya dan ayah Hwee Li akan menyetujui kalau
mereka berdua saling berjodoh! Dia tahu akan kekerasan hati ayahnya terhadap
kejahatan, dan ayah dara yang dicintanya ini adalah seorang pentolan atau datuk
dari kaum sesat!
Bagaimana, Lee-koko? Engkau
belum menjawab pertanyaanku!! Tiba-tiba Hwee Li merangkul pundaknya dengan
sikap manja dan ini menyentakkan Kian Lee kembali kepada kenyataan. Dia
memandang wajah itu, merasa betapa lembut, halus dan hangat tangan dara itu
merangkulnya, merasa getaran yang tersalur melalui jari-jari tangan itu dan
melalui sinar mata bening itu dan dia sudah mengambil keputusan pada saat itu
juga untuk menghadapi segala macam kesukaran apa pun untuk membela cinta kasih
antara mereka. Sekali ini dia tidak mau gagal lagi! Apa pun yang terjadi, yang
merupakan penghalang tali perjodohan antara dia dan Hwee Li, akan ditantangnya.
Dia sudah merasakan betapa pahit dan nyerinya gagal dalam ikatan cinta, maka
sekali ini dia tidak mau gagal lagi.
!Hwee Li, aku akan pergi ke
bekas benteng pemberontak untuk menemui Kian Bu, kemudian aku akan mengajaknya
pulang ke Pulau Es.!
Aku ikut denganmu, Koko!!
Melihat sikap dara itu yang
penuh semangat, Kian Lee merasa girang sekali. Hidup di samping dara ini tentu
akan penuh kegembiraan penuh semangat dan seolah-olah Hwee Li merupakan cahaya
yang setiap saat menyinari kehidupannya. Dia merangkul pinggang yang ramping
itu, menarik tubuh Hwee Li sehingga merapat ke tubuhnya dan dengan mesra dia
mencium dahi Hwee Li. Tadinya dara itu terkejut, akan tetapi melihat betapa
kekasihnya hanya mencium dahinya, dia terengah dan memeluk dengan erat.
Baik, Moi-moi, memang aku
ingin memperkenalkan engkau kepada.... ibuku.! Dia tidak berani menyebut
ayahnya karena diam-diam dia merasa ngeri membayangkan ayahnya menerima
kedatangannya dengan calon isterinya yang ternyata adalah puteri Hek-tiauw
Lo-mo!
Hwee Li tersenyum manis. Aku
girang sekali, Koko. Aku memang ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan
ibumu. Aku sudah mendengar dari adik Kian Bu bahwa ibumu di waktu masih muda
menjadi ketua Pulau Neraka.!
Benar, Li-moi.!
Ah, betapa hebat ibumu! Dan
aku pun sudah banyak mendengar tentang ayahmu yang sakti itu. Aku akan merasa
bangga dan gembira sekali dapat menghadap ayah bundamu, Koko. Mari kita cepat
berangkat mencari adik Kian Bu!!
Mereka pun pergi meninggalkan
hutan di pegunungan itu dan diam-diam Kian Lee merasa geli juga melihat
kenyataan dan liku-liku kehidupan yang serba aneh. Dara yang dicintanya ini
mengangkat diri menjadi kakak dan menyebut adik kepada Kian Bu, padahal sudah
tentu saja Kian Bu jauh lebih tua daripada Hwee Li. Dan yang lebih ruwet lagi,
kekasihnya ini adalah murid dari Ceng Ceng, wanita yang pernah dicintainya,
bahkan cinta pertamanya, dan lebih dari itu, keponakannya!
Yang lebih hebat lagi, dia
adalah putera majikan Pulau Es, sedangkan Hwee Li adalah puteri ketua Pulau
Neraka, padahal, menurut sejarahnya, terdapat permusuhan antara kedua pulau
itu. Akan tetapi, ada hal yang membesarkan hatinya, yaitu keadaan ibunya.
Ibunya juga pernah menjadi ketua Pulau Neraka, oleh karena itu, sudah pantaslah
kalau dia berjodoh dengan gadis Pulau Neraka ini!
Sambil bergandeng tangan dan
mendengarkan Hwee Li bercerita dengan sifatnya yang gembira, Kian Lee tersenyum
penuh harapan, penuh kebahagiaan. Kelincahan dara ini hampir sama dengan Siang
In, akan tetapi ada sesuatu pada diri Hwee Li yang amat menarik hatinya, yang
sukar dikatakan apa daya tarik keistimewaan yang tidak ada pada wanita lain dan
hal seperti ini selalu dirasakan oleh orang-orang yang sedang jatuh cinta!
Akan tetapi ada seorang
perajurit yang melihat bahwa pendekar itu pergi ke arah timur. Mendengar ini,
giranglah hati Kian Lee dan Hwee Li. Mereka lalu cepat pergi ke timur
meninggalkan benteng rusak itu untuk mencari Kian Bu. sampai berhari-hari
mereka mengejar dan mencari, akan tetapi belum juga menemukan jejak Kian Bu.
Tidak ada seorang pun di sepanjang jalan yang mereka lalui tahu tentang
pendekar berambut putih itu sehingga hati kedua orang muda ini menjadi makin
bingung.
Kurang lebih sepekan kemudian,
mereka mendengar dari seorang petani bahwa dia melihat orang-orang yang lari
seperti terbang memasuki hutan. Mendengar keterangan yang tidak jelas ini, Kian
Lee dan Hwee Li cepat mengejar ke dalam hutan. Akan tetapi sampai malam tiba,
mereka tidak bertemu dengan siapapun dan akhirnya mereka terpaksa bermalam di
dalam kuil tua karena cuaca sudah terlalu gelap untuk berkeliaran di dalam
hutan itu.
Karena mereka berdua belum
tahu siapa adanya orang-orang yang oleh si petani dikabarkan seperti
orang-orang yang terbang memasuki hutan, kawan ataukah lawan, maka Kian Lee dan
Hwee Li yang bersikap hati-hati tidak membuat penerangan di dalam kuil. Hwee Li
membersihkan lantai dan mereka berdua duduk di dalam ruangan kuil tua
melepaskan lelah sambil bercakap-cakap. Sebelum gelap tadi, mereka sudah
berhenti di dekat sumber air di hutan itu untuk makan dan minum, maka kini
mereka tinggal beristirahat saja.
Malam itu tidak terjadi
sesuatu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li sudah terbangun oleh
suara ayam hutan berkokok dan berkeruyuk. Dia menoleh ke kiri dan tidak melihat
Kian Lee. Tentu pemuda itu telah bangun lebih dulu dan pergi ke sumber air yang
berada agak jauh di belakang kuil, pikirnya. Dia masih merasa malas untuk
bangun, hari masih terlampau pagi dan hawa udara demikian sejuknya sehingga kembali
Hwee Li melingkar dan berselimut jubah Kian Lee yang oleh pemuda itu semalam
diselimutkan kepadanya tanpa dia ketahui.
Tiba-tiba dara ini meloncat
dan seketika dia menjadi sadar betul seperti biasanya seorang ahli silat kalau
mendengar sesuatu yang mencurigakan. Seluruh urat syarafnya menegang dan cepat
dia menyelinap di balik dinding, mengintai ke luar dari mana dia mendengar
suara orang memasuki kuil itu, suara langkah kaki yang ragu-ragu dan hati-hati.
Dan dia melihat seorang wanita memasuki kuil itu, seorang wanita muda yang
memegang sebatang pedang.
Wanita itu cantik dan
pakaiannya berwarna hijau. Kim Cui Yan, wanita baju hijau sumoi dari Liong Tek
Hwi saudara misan Pangeran Nepal! Tentu saja Hwee Li segera mengenal wanita
ini, wanita cantik yang masih terhitung kakak tirinya itu! Akan tetapi karena
enci tirinya ini pernah membantu Pangeran Nepal, atau setidaknya termasuk
kelompok lawan, maka Hwee Li diam saja dan mengintai penuh perhatian.
Dia melihat betapa Kim Cui Yan
berdiri sambil mundur-mundur dan memandang ke arah pintu kuil. Di luar kuil
masih gelap dan amat sunyi. Cui Yan nampak gelisah sekali, wajahnya tidak
begitu nampak jelas di keremangan cuaca, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa
dia sedang dilanda ketakutan dan pedang telanjang di tangannya itu dilintangkan
depan dada, siap untuk digerakkan menyerang lawan.
Makin teranglah keadaan di
dalam kuil rusak itu ketika sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan. Hwee
Li melihat enci tirinya itu masih berdiri setelah mundur-mundur sampai
punggungnya menempel dinding retak-retak. Kini dia dapat melihat wajah yang
agak pucat itu, wajah yang jelas memperlihatkan rasa takut dan juga lelah.
Agaknya semalam itu encinya
tidak tidur, dan berada dalam ketakutan, mungkin dikejar-kejar musuh. Hati Hwee
Li menjadi panas. Betapapun juga, wanita ini adalah enci tirinya, seayah dengan
dia, maka sudah sepatutnya kalau dia bela. Dia akan menanti dan melihat sampai
musuh yang agaknya ditakuti encinya itu muncul, dan kalau perlu, dia akan
membantu enci tirinya. Hwee Li bersiap-siap dan menduga-duga siapa adanya musuh
yang begitu ditakuti encinya, padahal dia tahu bahwa Kim Cui Yan yang berjuluk
Si Walet Hijau ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak akan
mudah dikalahkan orang begitu saja.
Tak lama kemudian, suasana
yang penuh ketegangan yang mencekam hati itu dipecahkan oleh suara wanita yang
nyaring, Perempuan kejam, hendak lari ke manakah engkau?!
Hwee Li terkejut bukan main
mendengar suara yang amat dikenalnya itu dan begitu wanita itu muncul di ambang
pintu, Hwee Li memandang terbelalak dari tempat persembunyiannya. Wanita itu
bukan lain adalah gurunya sendiri, Ceng Ceng atau isteri dari Si Naga Sakti
Gurun Pasir!
Wajah nyonya muda ini
kelihatan bengis dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia
memasuki ruangan kuil itu dengan tenang, namun di setiap langkahnya terkandung
ancaman maut yang membuat Hwee Li menggigil. Dia melihat betapa Cui Yan juga
terkejut dan muka enci tirinya itu menjadi makin pucat, akan tetapi tangan yang
memegang pedang itu tidak gemetar.
Kau.... kau terlalu
mendesakku!! kata Cui Yan dan kini dia melangkah maju dengan pedang siap di
tangan.
Perempuan keparat, ketika
engkau menculik dan melarikan puteraku, apakah perbuatanmu itu tidak terlalu
kejam? Engkau membuat duniaku hampir kiamat rasanya, dan sekarang engkau bilang
aku mendesakmu?! Nyonya muda itu berkata, suaranya mengandung penuh kebencian.
Karena sudah tersudut, agaknya
Kim Cu Yan menjadi berani dan nekat. Dia menjawab dan suaranya terdengar penuh
penyesalan, Hemmm, seluruh keluarga ayahku tewas karena ayah mertuamu, kalau
aku melarikan puteramu dan di sepanjang jalan aku merawatnya, menjaganya dan
sama sekali tidak pernah menyiksanya, bukankah aku masih jauh lebih baik
daripada ayah mertuamu?!
Sepasang mata Ceng Ceng
mengeluarkan sinar berkilat. Ayahmu adalah pemberontak, sudah selayaknya
dihukum!!
Ayahku boleh jadi pemberontak,
akan tetapi apakah ibuku, keluarga ayah, juga berdosa?! Cui Yan balas
menghardik.
Ceng Ceng adalah seorang wanita
yang berhati keras seperti baja. Biarpun dia dapat mengerti akan rasa penasaran
di hati dara itu karena seluruh keluarganya tewas, akan tetapi tentu saja dia
membela fihaknya sendiri. Tidak perlu banyak cerewet, engkau memegang pedang.
Nah, kita sudah berhadapan, mari membuat perhitungan. Engkau boleh melepaskan
dendam kematian keluarga ayahmu, dan aku akan membalasmu dan menghukummu karena
engkau pernah menculik puteraku. Atau barangkali engkau takut, pengecut seperti
mendiang ayahmu?!
Perempuan sombong!! Kim Cui
Yan menjerit dan pedangnya menyambar. Ceng Ceng cepat mengelak dan balas
menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung tenaga sakti yang luar
biasa itu. Hwee Li menonton dari balik pintu tembusan itu dengan mata
terbelalak dan bingung. Tadi dia sudah mengambil keputusan untuk membela dan
membantu enci tirinya berhadapan dengan musuh, akan tetapi setelah melihat
bahwa musuh encinya itu bukan lain adalah gurunya sendiri, dia menjadi bingung
dan tidak tahu harus berbuat apa! Maka dia hanya bengong dan melihat ke arah
pertandingan yang berjalan amat seru itu dengan bingung, mengepal tinju dengan
hati amat gelisah dan khawatir.
Kim Cui Yan adalah murid
terkasih dari nenek Kim-mou Nio-nio, datuk barat di luar tembok besar yang amat
sakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi.
Apalagi dia kini memegang sebatang pedang dan mainkan Ilmu Pedang Swat-lian
Kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang berhawa dingin, maka dia merupakan
seorang lawan yang lihai dan berbahaya. Akan tetapi, kini dia berhadapan dengan
Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nyonya muda ini semenjak
minum sari darah anak naga (baca Kisah Sepasang Rajawali) telah memiliki tenaga
sinkang yang luar biasa dahsyatnya, ditambah lagi memperoleh bimbingan suaminya
dalam ilmu silat tiinggi, maka dia merupakan seorang tokoh wanita yang jarang
dapat ditemukan tandingannya di waktu itu.
Pertandingan itu berjalan
cepat dan juga seru, karena Kim Cui Yan yang maklum akan kehebatan lawan itu
berkelahi mati-matian. Namun, akhirnya dia harus mengakui keunggulan lawannya
ketika dengan tenaganya yang dahsyat, Ceng Ceng berhasil memukul pergelangan
tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dan terampas oleh lawan.
Di lain saat, Ceng Ceng sudah
menodongkan ujung pedang rampasan itu ke leher lawan sampai menempel di kulit
tenggorokan Cui Yan yang tak berani bergerak lagi karena bergerak berarti
lehernya tertembus ujung pedangnya sendiri! Cui Yan hanya melangkah mundur,
namun ujung pedang itu tidak pernah meninggalkan kulit tenggorokannya sedikit
pun, terus menempel ketika Ceng Ceng melangkah maju pula mengikutinya sampai
akhirnya Cui Yan tak mampu mundur lagi karena punggungnya telah menumbuk bekas
perapian di ruangan kuil tua itu.
Bunuhlah, siapa takut mati?!
teriak Cui Yan sambil memandang dengan mata terbelalak.
Perempuan keji, memang aku
akan membunuhmu....!
Tunggu! Jangan bunuh dia,
Subo....!! Hwee Li menjerit dan meloncat keluar dari tempat persembunyiannya.
Ceng Ceng menahan pedangnya
dan memandang kepada muridnya itu dengan kaget dan heran. Tanpa menurunkan
pedangnya yang menodong leher Cui Yan, dia membentak, Apa maksudmu, Hwee Li?
Mengapa engkau mencegah aku membunuh penculik puteraku ini?!
Subo, jangan bunuh dia.... dia
adalah enciku sendiri....!
Ceng Ceng merasa terkejut
bukan main mendengar ini sehingga otomatis pedang itu diturunkannya dari leher
Cui Yan yang juga merasa heran mendengar itu dan memandang kepada Hwee Li
dengan mata penuh keheranan.
Encimu? Jadi dia ini juga
puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?! tanya Ceng Ceng dengan alis
berkerut.
Bukan, Subo. Akan tetapi dia
adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin....!
Dan engkau puteri Hek-tiauw
Lo-mo, bagaimana kau bisa bilang dia encimu?!
Tidak, teecu hanya anak angkat
saja dari Hek-tiauw Lo-mo, sebetulnya teecu adalah puteri Kim Bouw Sin juga,
dari seorang selir yang dilarikan oleh Hektiauw Lo-mo. Teecu Kim Hwee Li adalah
adik tirinya seayah dengan Enci Cui Yan. Oleh karena itu, harap Subo memandang
muka teecu dan suka mengampuni Enci Cui Yan.!
Keterangan ini membuat Ceng
Ceng melangkah mundur tiga langkah dan dia demikian tercengang sehingga tangan
kirinya naik dan mengusap pipinya sendiri. Kenyataan ini merupakan pukulan
baginya.
Ah, kau.... jadi engkau ini
anak pemberontak? Aihhh, sungguh celaka sekali. Jadi selama ini aku mengambil
anak pemberontak keji dan hina sebagaimurid ?!
Saking menyesalnya, Ceng Ceng
lalu menggunakan kedua tangan menekuk pedang di tangannya itu.
Krekkk!! Pedang Cui Yan itu
patah menjadi dua dan Ceng Ceng melemparkannya ke atas tanah, matanya menatap
wajah muridnya dengan penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Kemudian dia
mengeluh dan sekali berkelebat, dia sudah meloncat keluar dari kuil itu.
Ahhh....! Hwee Li rnemejamkan
kedua matanya dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia merasa lega bahwa nyawa
enci tirinya terlepas dari ancaman maut, akan tetapi juga berduka sekali karena
maklum bahwa gurunya itu merasa kecewa dan menyesal dan dia merasa bahwa
semenjak saat tadi, tali perhubungan antara dia dan gurunya telah diputuskan
oleh gurunya, seperti gurunya mematahkan pedang tadi.
Tiba-tiba terdengar suara yang
membuat Hwee Li cepat membuka mata, membalikkan tubuh dan memandang ke arah
jendela. Di luar jendela itu telah berdiri Kian Lee, wajahnya pucat, matanya
terbelalak dan kerut-merut duka terbayang di wajah itu. Ya Tuhan.... jadi
engkau ini anak Kim Bouw Sin pemberontak hina itu....?! Setelah berkata
demikian, Kian Lee berkelebat pergi.
Lee-koko....!! Hwee Li
menjerit dan meloncat ke dekat jendela, akan tetapi ketika dia memandang,
bayangan Kian Lee telah lenyap dari situ dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin
dapat mengejar pemuda itu yang dapat lari jauh lebih cepat daripada dia, bahkan
lebih cepat dari gurunya tadi. Maka tak tertahankan lagi Hwee Li menangis
terisak-isak sambil bersandar di ambang jendela yang retak-retak. Memang
tadinya dia sudah merasa berduka sekali oleh sikap gurunya yang tercinta, yang
kelihatan kecewa dan meninggalkanya dengan marah dan menyesal. Sikap gurunya sudah
membuat dia hampir menangis maka sikap Kian Lee yang mengeluarkan kata-kata
yang sama dengan ucapan gurunya menjebol bendungan hatinya yang seperti disayat
rasanya.
Sebuah tangan yang halus
menyentuh pundaknya. Hwee Li menoleh dan melihat Cui Yan berdiri di dekatnya.
Mereka saling pandang dan Hwee Li melihat betapa kedua mata gadis itu penuh air
mata, betapa mata itu memandangnya penuh perasaan iba. Tiba-tiba, seperti ada
sesuatu yang menarik mereka, keduanya saling rangkul dan menangislah dua orang dara
itu tersedu-sedu. Kakak beradik yang saling jumpa dalam keadaan yang
menyedihkan.
Setelah tangis mereka mereda,
biarpun Hwee Li masih sesenggukan, akan tetapi Cui Yan telah dapat menguasai
hatinya. Sambil merangkul adiknya, dia berkata, Aku sudah menduga-duga dengan
penuh keheranan mengapa engkau serupa sekali dengan ibu ke tiga, yaitu selir
ayah yang cantik. Aku berusia kurang lebih enam tahun ketika ibumu itu lenyap.
Kiranya engkaulah puterinya yang ketika itu baru berusia tiga bulan. Mengapa
engkau tidak bilang kepadaku bahwa engkau adikku ketika kita berada di
benteng?!
Hwee Li menghapus air matanya
dan keduanya lalu duduk di atas lantai ruangan itu. Aku.... aku tidak ingin
diketahui oleh.... mereka bahwa aku adalah puteri pemberontak, maka aku diam
saja walaupun aku sudah mendengar bahwa engkau adalah kakak tiriku, Enci Cui
Yan.!
Gadis baju hijau itu menarik
napas panjang. Aku mengerti. Mereka itu semua membenci ayah kita. Sungguh
menggemaskan sekali! Apa hubungannya ayah kita dengan kita? Mengapa kita
diikutkan memikul kesalahan yang diperbuat oleh ayah kita?! Kemudian Cui Yan
merangkul lagi leher adiknya. Engkau.... engkau telah berkorban untuk
keselamatanku, Adikku! Engkau telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi untuk
itu engkau kehilangan guru.... dan pemuda itu....!
Diingatkan begini Hwee Li
menangis lagi. Dia merebahkan diri di atas dada encinya dan kembali keduanya
bertangisan.
Memang demikianlah satu di
antara kebiasaan umum! yang sudah membudaya dalam kehidupan kita. Manusia
dinilai bukan dari keadaan manusia itu sendiri pada saat itu, melainkan dinilai
dari segala yang melekat pada dirinya. Ada penilaian terhadap manusia
didasarkan atas kebangsaannya, sukunya, masyarakatnya, agamanya, orang tuanya,
keluarganya, pendidikannya, kedudukannya, hartanya dan sebagainya lagi. Sungguh
merupakan suatu kebiasaan yang amat buruk dan palsu. Sudah menjadi kebiasaan
dalam peradaban kita ini untuk menilai dan menentukan keadaan seseorang dan apa
yang nampak oleh kita. Padahal, tidak ada orang yang dapat menilai orang lain,
kecuali dirinya sendiri. Kalau kita membenci bangsanya atau sukunya, setiap
orang yang menjadi anggauta bangsa atau suku itu pun kita benci. Kalau kita
membenci ayahnya, setiap keluarga dari si ayah itu pun kita benci. Pandangan
seperti ini tentu saja amat sesat. Pandangan seperti ini menimbulkan konflik
antara suku, antara bangsa, antara agama, antara keluarga dan antara
perorangan. Dapatkah kita hidup di dunia ini sedemikian bebasnya dari pandangan
ketergantungan dan penilaian ini sehingga kita menghadapi siapapun juga tanpa
mengingat kebangsaannya, kesukuannya, agamanya, kaya miskinnya, pintar
bodohnya, keluarganya, melainkan sebagai manusia dengan manusia lain pada saat
itu juga, tanpa diembel-embeli latar belakang atau latar depannya, asal-usulnya
atau segala perbuatannya yang telah lampau? Kalau tidak dapat, maka konflik
antara manusia pun takkan pernah dapat dihentikan!
Kakak beradik itu lalu saling
menceritakan pengalaman dan riwayat mereka masing-masing. Dengan segala
kejujuran mereka membuka rahasia hati masing-masing sehingga mengertilah Hwee
Li bahwa encinya ini saling mencinta dengan Liong Tek Hwi dan merencanakan
pernikahan mereka. Sebaliknya, Kim Cui Yan mendengar bahwa adik tirinya ini
sesungguhnya saling mencinta dengan Suma Kian Lee, pemuda yang tadi
mgninggalkan adiknya karena kecewa mendengar bahwa adiknya itu puteri
pemberontak.
Sudahlah, jangan engkau
terlalu berduka, Adikku. Setelah kita saling jumpa, aku tidak akan membiarkan
engkau terhina oleh siapa pun juga. Biar kita dianggap anak-anak pemberontak
yang hina, kita pun tidak butuh dengan mereka. Marilah engkau ikut bersamaku,
hidup di samping encimu ini yang akan menghibur dan melindungimu, Hwee Li.!
Akan tetapi Hwee Li bangkit
berdiri dan sambil menghapus air mata yang masih terus mengalir di atas kedua
pipinya, dia berkata keras, Tidak....! Aku harus mencarinya, aku harus
menyusulnya.... aku.... aku tidak dapat hidup tanpa dia, Enci!! Dan Hwee Li
lalu berlari meninggalkan Cui Yan yang bangkit dan berdiri termangu-mangu
memandang dari jendela ke arah adiknya yang berlari cepat sambil menangis.
Setelah bayangan Hwee Li
lenyap, gadis baju hijau ini menghela napas panjang dan menggeleng kepala.
Kasihan Hwee Li.... ah, semua ini gara-gara Hek-tiauw Lo-mo dan pangeran dari
Nepal yang konyol itu! Kalau bertemu dengan mereka, akan kuhajar mereka! Dan
aku pun harus mengajak suheng untuk mencari pemuda itu dan menjodohkan Hwee Li
dengan dia....!
Dengan pikiran penuh rasa iba
kepada adiknya, Cui Yan lalu meninggalkan kuil untuk pergi menemui suhengnya,
yaitu Liong Tek Hwi. Dia bersama suhengnya itu setelah meninggalkan benteng
yang terbakar, lalu untuk sementara tinggal di rumah dusun yang dibeli
suhengnya. Mereka menanti datangnya Kim-mouw Nio-nio, guru mereka yang akan
mengunjungi mereka dan akan mempersiapkan hari pernikahan mereka. Dia sedang
keluar dari rumah ketika di tengah jalan dia bertemu dengan Ceng Ceng yang
segera menyerangnya. Karena merasa kewalahan menghadapi nyonya muda yang amat
lihai itu, Cui Yan melarikan diri dan terus dikejar oleh musuhnya. Cui Yan
dapat melarikan diri ke dalam hutan dan malam itu musuhnya terus mengejar dan
mencari-carinya di dalam hutan sampai pada keesokan paginya Cui Yan bersembunyi
ke dalam kuil itu dan akhirnya ditemukan juga oleh Ceng Ceng.
Tentu suheng sedang
mencari-cari aku dengan bingung, pikirnya. Dia pergi sejak kemarin dan kepada
suhengnya hanya berpamit untuk berbelanja ke kota. Maka dengan cepat dia
berlari menuju ke dusun tempat tinggal suhengnya yang cukup jauh karena ketika
melarikan diri dia mempergunakan ilmu lari cepat, dan terus dikejar oleh musuh
sampai ke hutan itu.
Kim Cui Yan mengambil
keputusan untuk mengajak suhengnya mencari Hwee Li dan Kian Lee. Untuk
keperluan itu, dia rela untuk mengundur hari pernikahannya dengan suhengnya
yang juga menjadi kekasihnya itu. Kini urusan pribadi telah beres. Keluarganya
yang terbasmi habis karena Jenderal Kao telah himpas dendamnya karena jenderal
itu sendiri pun telah tewas. Dan kini terbuka mata batinnya bahwa Jenderal Kao
Liang adalah seorang gagah perkasa yang selain setia kepada negara juga rela
berkorban apa saja demi keselamatan keluarganya. Jenderal itu gagah perkasa,
para pendekar yang mendukungnya terdiri dari orang-orang yang berjiwa satria
yang gagah perkasa pula. Maka dia telah menghapus dendam pribadi itu dari
hatinya, dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tidak memperdalam dendam
itu dengan mencelakai cucu Jenderal Kao Liang atau putera dari Si Naga Sakti
Gurun Pasir, walaupun baru saja dia hampir tewas di tangan ibu dari anak yang
diculiknya itu yang masih marah kepadanya. Diam-diam dia bergidik kalau
teringat akan pengalamannya bertanding melawan isteri Si Naga Sakti Gurun
Pasir. Baru isterinya saja sudah demikian saktinya sehingga biarpun dia mempergunakan
pedang, sama sekali dia tidak berdaya mendesak wanita itu. Agaknya bahkan
gurunya sendiri pun belum tentu dapat menangkan wanita itu dengan mudah.
Apalagi Si Naga Sakti sendiri! Koksu Nepal yang demikian saktinya, orang ke
tiga dari Im-kan Ngo-ok juga tidak mampu menandingi Si Naga Sakti. Dia
bergidik.
Biarlah dia mencari adiknya,
mengurus perjodohan adiknya itu, baru dia akan ikut bersama suhengnya, atau
kekasihnya, atau calon suaminya, ke utara, jauh sekali ke utara, ke tempat asal
ibu dari suhengnya yang juga menjadi tempat asal guru mereka, nenek Kim-mouw
Nio-nio.
Matahari telah naik tinggi
ketika gadis baju hijau itu memasuki sebuah hutan. Dia harus berjalan cepat
agar dapat tiba di dusun yang menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu, di
mana suhengnya tentu sedang menanti kedatangannya dengan gelisah.
Tiba-tiba di sebelah depan
berkelebat bayangan orang dan dari balik pohon-pohon muncullah seorang
laki-laki bertubuh tinggi tegap yang kepalanya memakai sorban dan di bagian
depan sorban itu terthias bulu burung yang amat indah. Segera Cui Yan mengenal
orang itu. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu!
Melihat pangeran ini, hati Cui Yan yang masih dipenuhi rasa iba dan duka karena
adiknya, seketika menjadi panas karena dia teringat bahwa pangeran inilah yang
menjadi gara-gara sehingga adiknya itu kini mengalami hal-hal yang
menyengsarakan hati. Huh, laki-laki macam ini mau memaksa Hwee Li menjadi
isterinya! Liong Bian Cu juga segera mengenal Cui Yan, sumoi dan kekasih dari
saudara misannya itu, maka dengan tersenyum lebar dia cepat menghampiri dan
begitu berhadapan dia berkata, Ah, kiranya Nona Kim berada di sini. Sungguh
menggembirakan hati dapat bertemu dengan calon iparku yang begini cantik manis!
Eh, di mana adanya saudaraku Liong Tek Hwi?!
Sikap yang ceriwis itu makin
memanaskan hati Cui Yan. Dia berdiri tegak memandang wajah pangeran itu dengan
sepasang mata terbelalak, mukanya merah dan mulutnya cemberut, hidungnya yang
mancung itu bergetar dan cuping hidungnya kembang-kempis karena kemarahan
membuat napasnya agak memburu. Kemudian terdengar dia berkata, suaranya nyaring
dan kaku, Pangeran, engkau adalah seorang laki-laki yang tidak tahu malu!!
Sepasang alis yang tebal hitam
itu berkerut dan sepasang mata yang agak dalam dan mempunyai pandangan tajam
itu menatap wajah Cui Yan yang cantik. Memang cantik manis sekali calon iparku
ini, pikir sang pangeran. Terutama sekali hidungnya yang mancung itu, manis
sekali. Akan tetapi mengapa dia marah-marah dan berani memakinya? Hati pangeran
ini memang sedang tertekan oleh kekecewaan dan kedukaan. Gerakannya telah gagal
total, bentengnya telah hancur dan dia tentu akan mendapat kemarahan besar dari
pamannya yang kini menjadi raja di Nepal. Selain itu, juga baru saja dia kehilangan
Hwee Li, gadis yang dicintanya. Dalam keadaan murung seperti itu, kini bertemu
dengan wanita ini yang datang-datang memakinya sebagai laki-laki yang tidak
tahu malu, tentu saja diam-diam dia merasa penasaran dan marah sekali. Dia,
Pangeran Nepal, yang biasanya disembah-sembah orang, yang biasanya dihujani
kerling dan senyum manis oleh setiap orang wanita, tua atau pun muda, yang
selama hidupnya belum pernah dihina wanita kecuali Hwee Li yang dicintanya,
sekarang merasa dihina oleh wanita ini! Namun, dia dapat menyembunyikan
kemarahannya dan masih tersenyum memandang wanita yang marah-marah sampai kedua
pipinya kemerahan dan amat menarik itu.
Calon iparku yang manis,
mengapa begitu bertemu engkau marah-marah dan memaki aku? Biarpun kalau marah
engkau kelihatan bertambah cantik, akan tetapi iparmu ini ingin mengetahui
mengapa engkau marah kepadaku.!
Sikap dan kata-kata Liong Bian
Cu merupakan minyak pembakar yang disiramkan pada api yang menyala di dalam Cui
Yan. Mukanya bertambah merah dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. Cih,
laki-laki tak sopan! Engkau tahu bahwa adikku Hwee Li tidak suka kepadamu,
kenapa engkau hendak memaksanya menjadi isterimu? Engkaulah yang membuat dia
merana!!
Pangeran Nepal itu memandang
dengan sepasang mata mulai berseri. Teringatlah kini dia bahwa wanita yang
berdiri di depannya dan sedang marah-marah ini adalah kakak tiri Hwee Li,
puteri dari mendiang Kim Bouw Sin, hanya berlainan ibu dengan Hwee Li. Memang
ada kemiripan antara keduanya, terutama sikap galaknya dan bibir yang
membayangkan kelembutan di balik kekerasan itu. Maka timbullah dua macam
perasaan di dalam hatinya, perasaan yang terdorong oleh kecewa dan penasaran
karena kegagalannya. Perasaan itu adalah perasaan marah karena dia dihina
wanita, bercampur dengan perasaan kagum karena memang keberanian wanita ini
mengingatkan dia akan keberanian Hwee Li dan itulah yang membangkitkan
berahinya! Biar aku luput mendapatkan adiknya, biar kudapatkan kakaknya,
demikian bisikan hatinya yang mulai panas. Kalau aku bisa mendapatkannya dan
membawanya ke Nepal sebagai seorang di antara selir-selirku, sewaktu-waktu aku
rindu kepada Hwee Li, wanita ini bisa nnenjadi penggantinya dan kuanggap saja
dia Hwee Li!
Ah, Kim Cui Yan, nona yang
cantik manis. Kalau kauanggap aku demikian, lalu bagaimana? Engkau mau
menghukumku? Nah, silakan, aku menyerah kepada seorang wanita denok manis
seperti engkau.!
Sepasang nrata wanita itu
berapi-api saking marahnya. Pangeran ceriwis! Engkau harus menyatakan bersalah,
minta ampun di depanku dan berjanji bahwa selanjutnya engkau tidak akan
mengganggu adikku Hwee Li lagi!!
Tentu saja diam-diam Pangeran
Bharuhendra menjadi marah sekali, akan tetapi dia masih tersenyum sungguhpun
pandang matanya mulai berapi. Kalau aku tidak mau minta ampun bagaimana?!
Aku akan menghajarmu!! bentak
Cui Yan sambil mengepalkan kedua tinjunya dan berdiri tegak.
Ha-ha-ha, bagus sekali.
Kiranya engkau mengajak aku untuk bertanding mengadu kepandaian? Baik, akan
tetapi pertandingan ini harus ada taruhannya. Kalau aku kalah, biarlah aku akan
minta ampun kepadamu seperti yang kauminta, akan tetapi sebaliknya, kalau
engkau kalah....! Pangeran itu mengelus dagunya yang dicukur licin, Engkau
cantik manis seperti adikmu, kalau engkau kalah, engkau harus menemani aku sehari
semalam, menghibur hatiku yang sedang gundah-gulana....!
Keparat!! Cui Yan membentak
dan dara ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Saking marahnya,
begitu menyerang dia sudah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat diandalkan,
yaitu Swat-lian Sin-ciang. Pukulan ini adalah pukulan yang mengandalkan tenaga
sinkang yang amat kuat dan berbahaya, tenaga Im-kang yang mengandung hawa
dingin sekali.
Ketika merasa betapa ada hawa
dingin menyambar ke arah dadanya, pangeran itu berseru, Bagus sekali!! dan
cepat dia mengelak ke belakang, lalu siap menghadapi terjangan lawan. Cui Yan
yang sudah marah terus mendesak dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang, akan
tetapi kini pangeran itu pun mempergunakan ilmu pukulan sakti untuk
menyambutnya, yaitu ilmu pukulan Im-yang Sin-ciang yang juga sama kuatnya.
Ilmu pukulan Swat-lian
Sin-ciang yang dimiliki Cui Yan bukanlah ilmu pukulan sembarangan. Ilmu pukulan
ini mengandung tenaga Im-kang tingkat tinggi yang diciptakan oleh gurunya,
yaitu Kim-mouw Nio-nio di daerah utara dekat kutub di mana setahun penuh segala
sesuatu diselimuti es dari salju, hawanya dingin bukan main. Biarpun tingkat
Cui Yan belum sehebat gurunya, namun pukulan-pukulannya sudah sedemikian
kuatnya sehingga kalau lawannya kurang kuat, maka darah dan segala cairan dalam
tubuh lawan dapat membeku terlanda hawa pukulannya, atau setidaknya, hawa
dingin akan membuat lawan menggigil dan tidak mampu bertahan lagi.
Namun, Liong Bian Cu adalah
murid tersayang dari Ban Hwa Sengjin atau pendeta dari Nepal yang bernama
Lakshapadma, yang selain menjadi seorang koksu dari Nepal juga merupakan orang
ke tiga dari Ngo-ok yang pada waktu itu termasuk datuk-datuk kaum sesat yang
telah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Maka, dengan menggunakan I1mu
Im-yang Sin-ciang, pangeran itu dengan tepat sekali dapat menahan semua
serangan Cui Yan biarpun setiap kali lengan mereka bertemu, dia merasa betapa
hawa dingin menyusup ke dalam tulang lengannya, sebaliknya, karena memang kalah
kuat, Cui Yan selalu terdorong dan terhuyung ke belakang.
Mulailah Cui Yan terdesak dan
dara ini merasa menyesal mengapa pedangnya telah dipatahkan oleh Ceng Ceng
sehingga dalam pertempuran melawan Pangeran Nepal ini dia tidak dapat
mengandalkan permainan pedangnya. Setelah bertanding lima puluh jurus lebih,
kini Liong Bian Cu mulai melancarkan serangan-serangan hebat yang membuat dara
itu menjadi kewalahan. Memang, kalau dibandingkan, tingkat kepandaian Pangeran
Nepal itu masih lebih tinggi, maka begitu dia menekan, dara itu menjadi sibuk
sekali dan pada saat kedua lengan mereka kembali beradu, Liong Bian Cu
mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram pergelangan tangan kanan dara
itu. Dia tertawa bergelak dan sebelum Cui Yan mampu melepaskan lengannya, dia
sudah tertotok dan menjadi lemas!
Kalau dia dihantam atau
dibunuh, Cui Yan tentu akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi kini
pangeran itu merangkul dan memeluknya dan dara itu terbelalak dan merasa ngeri
setengah mati ketika pangeran itu mendekatkan muka lalu menciumnya penuh nafsu!
Cui Yan memejamkan mata dan berusaha meronta, namun dia telah tertotok sehingga
tenaganya habis. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan Swat-im Sin-kang untuk
membuat tubuhnya dingin. Terpaksa dia menyerah saja diciumi dan dibelai oleh
pangeran itu yang tertawa-tawa.
Engkau cantik, manis, engkau
seperti Hwee Li.... ha-ha-ha, Cui Yan yang cantik, engkau telah kalah, engkau
harus membayar taruhan.! Lalu dipondongnya tubuh dara itu.
Lepaskan aku ! Atau....
kaubunuh saja aku....! Cui Yan meratap, kini merasa takut bukan main. Baru
sekarang ini dia merasa amat ketakutan, amat ngeri menghadapi apa yang akan
menimpa dirinya.
Lepaskan? Nanti dulu, Sayang,
kau harus membayar taruhan dulu. Membunuhmu? Sayang sekali, engkau terlalu
cantik.... ha-ha-ha....!!
Cui Yan tak mampu berdaya
apa-apa lagi dan dia dilarikan oleh pangeran itu ke sebuah dusun di mana
terdapat sebuah gedung yang dibangunnya semenjak dia bertualang di daerah ini.
Ketika dia memondong tubuh Cui Yan memasuki rumah itu, Cui Yan melihat Koksu Nepal
berada di situ pula! Melihat muridnya memondong gadis yang dikenalnya sebagai
nona yang pernah datang ke lembah atau ke dalam benteng, kakek botak itu hanya
tersenyum saja, sama sekali tidak bertanya apalagi menegur. Dia hanya memandang
ketika muridnya itu membawa tubuh yang dipondongnya memasuki kamarnya dan
menutupkan kamar itu dengan kakinya.
Pada jaman itu, baik di
Tiongkok maupun di bagian dunia lain di Asia, terutama di Nepal, memang kaum
wanita dipandang sebagai benda mainan atau sebagai sumber kesenangan bagi pria
belaka. Wanita dianggap tidak berhak untuk menentukan nasibnya, tergantung
sepenuhnya dari orang tua atau dari pria yang menguasainya, seperti benda-benda
hiasan atau binatang-binatang peliharaan, dijadikan alat pemuas nafsu,
dijadikan milik kebanggaan. Maka, bukan hal yang aneh melihat wanita dipaksa
oleh pria yang memiliki kedudukan seperti Pangeran Nepal, seolah-olah setiap
orang wanita yang berada di dalam kekuasaannya harus tunduk kepadanya, bahkan
dipilih oleh seorang pangeran dianggap sebagai kehormatan besar bagi si wanita,
tidak peduli wanita itu dipilih dengan paksa atau dengan suka rela. Oleh karena
itulah, Ban Hwa Sengjin hanya tersenyum saja melihat muridnya memondong seorang
wanita cantik, seolah-olah melihat suatu hal yang lucu. Apalagi karena memang
Ban Hwa Sengjin adalah seorang yang amat keji hatinya. Sam-ok dari Ngo-ok yang
terkenal sebagai Lima Datuk yang paling kejam di seluruh dunia ini.
Kim Cui Yan hanya dapat
merintih dan menangis dengan hati hancur lebur. Dia tidak mampu menolak, tidak
mampu meronta, tidak mampu mengelak ketika Liong Bian Cu memperkosanya disertai
bujuk rayu yang tentu akan ditolaknya dan ditentangnya dengan taruhan nyawa
kalau saja dia mampu bergerak. Akan tetapi, Pangeran Nepal itu cerdik, dia ditotok
sehingga kaki tangannya menjadi lemas tak berdaya, hanya mampu bergerak lemah
tanpa mampu mengerahkan tenaga sinkangnya. Dia hanya mampu membuang muka dan
air matanya bercucuran ketika dia dipermainkan oleh pangeran itu yang agaknya
tidak ada puas-puasnya menuruti nafsu kejinya.
Sudah bulat tekad di dalam
hati Cui Yan untuk membunuh diri begitu dia memperoleh kesempatan. Untuk
melaksanakan kebenciannya dan membunuh pangeran itu, tentu saja dia tidak
mampu, apalagi mengingat bahwa di tempat itu terdapat koksu yang sakti pula.
Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh diri untuk mencuci dirinya dari aib
dan penghinaan. Akan tetapi, kalau hanya membunuh diri begitu saja akan
sia-sia.
Dia harus lebih dulu dapat
bertemu dengan suhengnya, dengan kekasihnya, calon suaminya, untuk menceritakan
semua malapetaka yang menimpa dirinya ini.
Akan tetapi, Liong Bian Cu
yang sudah berpengalaman dalam hal memperkosa wanita, dapat melihat dan menduga
bahwa Cui Yan tentu akan membunuh diri kalau diberi kesempatan, oleh karena itu
dia selalu menjaga dan menotok jalan darah wanita itu. Baru setelah ada
tanda-tanda bahwa Cui Yan membalas belaiannya dan seolah-olah menjawab
pernyataan cintanya, dia mulai memberi kelonggaran karena dia mengira bahwa dia
telah berhasil menundukkan! wanita ini, seperti menundukkan seekor kuda betina
liar yang mulai menjadi jinak!, seperti yang sudah sering kali dia alami. Di
antara para selirnya, banyak yang tadinya juga melawan dan tidak rela
menyerahkan diri, akan tetapi kemudian malah menjadi selir yang amat
mendambakan cintanya, bahkan saling berebutan untuk melayaninya! Dan dia
mengira bahwa Cui Yan juga termasuk wanita seperti itu. Kini Cui Yan mulai suka
tersenyum kepadanya!
Karena merasa bahwa setelah
sepekan lamanya dia memaksa Cui Yan melayaninya dan jarang meninggalkan wanita
ini, dia mulai memberi kelonggaran. Akan tetapi, pada malam ke lima itu, malam
pertama dia meninggalkan Cui Yan sebentar untuk berbincang-bincang dengan
koksu, ketika dia kembali ke kamarnya, burung itu telah terbang menghilang! Dia
cepat mengejar dan mencari, namun sia-sia belaka. Cui Yan telah lenyap!
Ke manakah perginya Cui Yan?
Wanita, yang ditimpa malapetaka hebat ini. melarikan diri dengan secepatnya
meninggalkan dusun tempat tinggal Liong Bian Cu, sambil menangis dia terus lari
sekuatnya semalam suntuk itu, menuju ke dusun tempat tinggal suhengnya. Hampir
putus napasnya ketika pada keesokan harinya dia tiba di depan rumah suhengnya,
karena semalam suntuk dia terus berlari cepat, sedikit pun tidak pernah mengurangi
kecepatannya dan mengerahkan segenap tenaganya.
Bukan main kaget hati Liong
Tek Hwi ketika dia melihat sumoinya datang berlari-lari, lalu menubruk padanya,
merangkul dan menangis tersedu-sedu.
Sumoi, apa yang telah terjadi?
Ke mana saja selama ini engkau pergi? Aku dan subo mencari-carimu sampai ke
mana-mana, hatiku risau dan bingung sekali....! Pemuda berkulit putih bermata
kebiruan itu merangkul dan mengelus rambut kekasihnya.
Cui Yan, apa yang telah
terjadi?! tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan ketika mendengar ini,
Cui Yan kaget dan menengok, kemudian dia menjerit dan melepaskan rangkulan
leher suhengnya, menubruk kaki nenek itu sambil menangis sesenggukan. Nenek itu
bukan lain adalah gurunya, Kim-mouw Nio-nio. Nenek ini sudah tua sekali, sudah
sembilan puluhan tahun usianya, dan keadaannya amat mengerikan. Rambutnya
pirang keemasan sudah penuh uban, matanya agak kebiruan dan di kedua lengannya
nampak dua buah gelang, yang kanan terbuat dari emas dan yang kiri dari perak.
Sepasang gelang emas dan perak itu selain menjadi perhiasan, juga merupakan
senjatanya yang ampuh sekali.
Melihat muridnya itu menangis
tersedu-sedu sambil merangkul kakinya, nenek itu menyeringai dan sekali
menggerakkan kakinya, tubuh muridnya itu terjengkang. Wuhhh, memalukan sekali!
Apakah selama ini aku mengajar
engkau menjadi wanita lemah dan cengeng? Hayo katakan apa yang telah terjadi!!
Dengan air mata bercucuran Cui
Yan bangkit berdiri dan ketika dia bertemu pandang dengan kekasihnya, kembali
dia tersedu-sedu. Liong Tek Hwi melangkah maju dan memegang tangan sumoinya,
memandang dengan penuh kekhawatiran dan bertanya halus, Sumoi, ada apakah?
Engkau benar-benar membuat aku gelisah sekali. Ceritakanlah.!
Suheng.... demi Thian....
engkau harus membunuh si jahanam Liong Bian Cu....!!
Tentu saja ucapan itu membuat
Liong Tek Hwi terkejut bukan main. Liong Bian Cu adalah saudara misannya dan
sekarang sumoinya atau kekasihnya ini minta kepadanya untuk membunuh saudara
misannya itu! Sumoi, apakah yang terjadi? Mengapa engkau mengajukan permintaan
yang luar biasa ini?!
Sepekan yang lalu.... aku
bertemu dengan dia, kami bertempur karena aku menyalahkan dia yang ingin
memaksa adikku Kim Hwee Li menjadi isterinya dan karena dia kurang ajar
kepadaku, aku kalah dan tertawan. Aku dibawa ke dusun sebelah barat hutan di
mana jahanam itu tinggal bersama gurunya, Koksu Nepal dan.... dan....! Cui Yan
kembali menjerit dan menangis terisak-isak.
Sepasang alis Tek Hwi berkerut
dan pandang mata yang ditujukan kepada sumoinya itu penuh kekhawatiran. Lalu
bagaimana, Sumoi?!
Dia.... selama sepekan ini....
dia.... memaksaku, dia memperkosa aku.... dan aku tidak berdaya.... ditotoknya
dan.... diperkosanya.... hu-hu-huuu!!
Ahhh....!! Liong Tek Hwi
mengeluarkan suara bentakan nyaring dan wajahnya seketika menjadi pucat sekali,
matanya terbelalak dan tinjunya dikepal kuat-kuat.
Suheng....!! Cui Yan menjerit
dan menubruk suhengnya. Tek Hwi menerima dan merangkul kekasihnya, dari kedua
matanya juga keluar air mata saking marah dan menyesalnya. Dia ingin menghibur
kekasihnya, akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.
!Tek Hwi, awas....! Cegah
dia....!!
Tiba-tiba Kim-mouw Nio-nio
berseru dan sekali meloncat dia telah menerkam Cui Yan dan menangkap kedua
tangan dara itu, akan tetapi terlambat sudah. Liong Tek Hwi memandang dengan
mata terbelalak, melihat dada kekasihnya yang merah semua karena darahnya
mengucur keluar dari ulu hati yang tertusuk hiasan rambut atau tusuk konde yang
terbuat dari perak dan panjangnya lebih dari sejengkal. Tusuk konde itu
terbenam di dada Cui Yan, menembus jantungnya sehingga darah muncrat-muncrat
dan tanpa banyak bergerak lagi dara itu menjadi lemas dan lunglai.
Sumoi....!! Tek Hwi, menjerit
dan menubruk, merangkul kekasihnya.
Cui Yan membuka mata dan
bibirnya bergerak lemah, Balaskan Suheng....! Kemudian tubuhnya lunglai dan
matanya terpejam.
Sumoi....! Cui Yan.... ah, Cui
Yan kekasihku....!! Liong Tek Hwi menangis dan berteriak-teriak seperti orang
gila memanggil-manggil nama kekasihnya, namun nyawa Cui Yan telah melayang
pergi meninggalkan tubuhnya.
Bian Cu, jahanam kau! Aku
harus mengadu nyawa denganmu!! Liong Tek Hwi menurunkan jenazah kekasihnya dan
dia meloncat bangun, kemudian lari dari rumah itu, diikuti oleh subonya.
Tek Hwi, nanti dulu....!! subonya
berseru, akan tetapi Liong Tek Hwi yang sudah hampir gila saking duka dan
marahnya, tidak mempedulikan subonya sehingga terpaksa Kim-mouw Nio-nio
mengikutinya terus menuju ke barat dengan cepat sekali.
Ketika tiba di dusun itu,
dengan mudah Liong Tek Hwi dapat mencari rumah saudara misannya itu dan
kebetulan sesekali pada waktu itu, Pangeran Liong Bian Cu dan Ban Hwa Sengjin
sedang berada di ruangan depan. Mereka sudah tahu bahwa Cui Yan semalam telah
berhasil melarikan diri, dan mereka pun menduga bahwa mungkin saja kekasih nona
itu, yaitu Liong Tek Hwi atau saudara misan sang pangeran, akan muncul. Akan
tetapi mereka bersikap tenang-tenang saja dan tidak takut, bahkan mereka lalu
melupakan urusan nona itu dan bicara tentang kegagalan gerakan mereka dan
mengatur rencana selanjutnya. Perhatian mereka kini ditujukan kepada
pemberontakan di Bhutan yang dilakukan oleh Mohinta.
Ketika mereka sedang
bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari depan, Bian Cu,
jahanam hina-dina! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang harus mampus
untuk menemani arwah sumoiku!!
Pangeran Liong Bian Cu bangkit
berdiri, sedangkan Koksu Nepal hanya menoleh saja. Akan tetapi terkejutlah guru
dan murid ini ketika melihat bahwa di belakang Liong Tek Hwi terdapat seorang
nenek berambut keemasan yang bukan lain adalah Kim-mouw Nio-nio, datuk luar
tembok besar dari utara itu!
Biarpun terkejut melihat
kehadiran nenek itu yang sudah sering kali didengarnya dari suhunya, akan
tetapi karena di situ hadir pula gurunya, Pangeran Nepal tidak merasa gentar
dan dengan gagah dia menyambut kemarahan saudara misannya itu dengan tersenyum.
Saudaraku Tek Hwi, mengapa
engkau datang dengan kemarahan seperti itu?!
Keparat, engkau manusia
berhati binatang! Engkau menghina dan memperkosa calon isteriku sampai dia
membunuh diri.... ah, aku tidak ingin hidup bersamamu di dunia ini. Seorang di
antara kita harus mati!! bentak Liong Tek Hwi dan dengan kemarahan memuncak,
pemuda peranakan bule ini sudah menerjang dengan pukulan yang amat keras.
Liong Bian Cu cepat mengelak
dengan loncatan ke belakang sambil berkata, Sabar dulu, saudaraku. Apakah kita
antara saudara harus saling bunuh hanya karena urusan wanita? Aku dapat
mengganti seribu orang wanita yang lebih cantik daripada sumoimu itu!!
Manusia iblis! Harus kauganti
dengan nyawamu!! Tek Hwi, menerjang lagi, kini menggunakan ilmu pukulan
Swat-lian Sin-ciang setelah menggosok-gosok kedua tangannya lalu diputar-putar
di depan dada dan menyerang dengan gerakan mendorong lawan. Pangeran Nepal itu
terkejut bukan main. Hawa dingin yang menyerangnya amat hebat, lebih hebat
daripada serangan Kim Cui Yan, tanda bahwa tingkat kepandaian saudara misannya
ini masih lebih tinggi daripada nona yang pernah ditawannya itu. Maka dia tidak
mau banyak bicara lagi karena kalau dia tidak waspada, bisa-bisa dia celaka
oleh lawan ini. Apalagi dia melihat betapa gurunya tidak turun tangan membantu,
melainkan berdiri bertolak pinggang dan tak jauh dari situ nampak si nenek
rambut kuning emas itu juga berdiri dengan sikap siap menghadapi Sam-ok atau
Koksu Nepal!
Pangeran Liong Bian Cu
mengelak dan balas menyerang, dan karena dia maklum akan kelihaian lawan, dia
pun kini mempergunakan ilmu pukulan Im-yang Sinciang, Dia tidak mau mengalah
dan biarpun merasa sayang bahwa dia harus bermusuhan dengan saudara misannya,
namun pangeran ini maklum bahwa dia tidak akan dapat membujuknya maka terpaksa
harus membunuhnya.
Terjadilah pertandingan yang
amat seru dan mati-matian antara dua orang saudara misan ini. Ternyata bahwa tingkat
kepandaian mereka memang berimbang sehingga berbeda dengan ketika melawan Cui
Yan, sekali ini Pangeran Liong Bian Cu harus mempergunakan seluruh
kepandaiannya untuk menghadapi lawan ini. Sementara itu, Sam-ok dan Kim-mouw
Nio-nio tetap berdiri menonton sambil bersiap-siap turun tangan kalau fihak
lawan dibantu oleh guru masing-masing. Akan tetapi, kakek botak itu hanya
tersenyum saja melihat betapa muridnya agak kewalahan menghadapi lawannya,
sedangkan Kim-mouw Nio-nio secara terang-terangan selalu memandang kakek itu
untuk mengamati gerak-geriknya!
Seratus jurus telah lewat dan
kedua lengan mereka telah bengkak-bengkak, akan tetapi pertandingan itu masih
berlangsung terus dengan serunya. Pangeran Liong Bian Cu makin terkejut dan
mulai merasa khawatir. Tak disangkanya bahwa saudara misannya ini ternyata
tangguh sekali.
Liong Tek Hwi, kita berdua
dapat membangun kembali kejayaan ayah-ayah kita. Mengapa engkau tidak
menghabiskan saja urusan perempuan ini?! dia berseru sambil menangkis sebuah
pukulan keras yang membuat mereka berdua terpental ke belakang. Akan tetapi
Liong Tek Hwi menerjang lagi dengan nekat.
Liong Bian Cu, aku baru
menganggap habis urusan ini kalau kau sudah menggeletak tanpa nyawa di depan
kakiku!!
Keparat!! Liong Bian Cu
membentak marah dan perkelahian dilanjutkan makin nekat dan makin-seru. Akan
tetapi karena pada waktu itu hati Liong Tek Hwi diliputi penuh kedukaan dan
kemarahan, penuh dendam sakit hati yang meluap-luap, maka serangannya lebih
bersemangat dan nekat. Dia tidak takut mati dan tenaganya seperti bertambah
hebat oleh semangat dan kenekatan ini, berbeda dengan Liong Bian Cu yang masih
bersikap hati-hati. Oleh karena inilah maka kini pangeran itu kelihatan mulai
terdesak! Serangan-serangan Liong Tek Hwi seperti seekor singa terluka yang
sudah nekat. Hanya ada dua pilihan bagi pemuda yang sakit hati ini, yaitu
membunuh atau terbunuh! Liong Bian Cu mulai khawatir dan tak terasa lagi dia
mengharapkan bantuan gurunya.
Suhu, harap bantu....!!
Akan tetapi sungguh aneh.
Kakek botak yang biasanya sebagai seorang koksu amat taat kepada pangeran ini,
sekarang hanya tersenyum dan sama sekali tidak bergerak membantu, juga tidak
berkata apa-apa! Memang, hati kakek ini luar biasa kejinya maka dia menjadi
orang ke tiga dari Sam-ok, Lima Jahat yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai
datuk-datuk kejahatan yang paling hebat. Di dalam hati kakek botak ini, yang
terpenting adalah keuntungan atau kesenangan bagi dirinya sendiri. Memang benar
bahwa Liong Bian Cu adalah muridnya, akan tetapi Ban Hwa Sengjin ini mau
mengambilnya sebagai murid hanya karena pemuda ini adalah Pangeran Nepal
sehingga melalui muridnya dia dapat memperoleh kedudukan sampai menjadi koksu!
Tentu saja tidak ada perasaan
cinta sebagai guru terhadap pangeran ini. Apalagi sekarang dia melihat bahwa
yang terbaik bagi dirinya adalah matinya pangeran ini! Gerakan pangeran ini
yang ditunjangnya telah gagal, dan hal ini tentu akan mendatangkan kemarahan
pada Raja Nepal, dan kalau pangeran ini masih hidup dan mereka berdua bersama-sama
kembali ke Nepal, tentu dialah yang akan dipersalahkan oleh Raja Nepal karena
kegagalan itu. Akan tetapi kalau Pangeran Liong Bian Cu sudah tidak ada, tentu
dia dapat menimpakan kesalahan kepada pangeran ini. Dia sendiri masih akan
dapat menghibur hati raja dengan membuat jasa baru, yaitu menaklukkan Bhutan
dengan bantuan Mohinta seperti yang telah di aturnya itu.
Ketika Pangeran Liong Bian Cu
mendapat kenyataan betapa gurunya diam saja, jangankan membantunya, bahkan
menjawab permintaanya pun tidak, hatinya menjadi kecut sekali dan dia menjadi
makin panik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Tek Hwi untuk menubruk ke
depan dan terdengarlah pekik menyayat hati ketika tangan kanan Tek Hwi yang
ditusukkan itu mengenai dada Pangeran Lion Bian Cu dan amblas memasuki dada
seperti sebuah kapak.
Crotttt....!! Tangan yang
terbuka jari-jarinya dan mengandung tenga sinkang amat kuat itu memasuki rongga
dada sampai sepergelangan tangan dalamnya. Akan tetapi pada saat itu juga,
dengan mata melotot dan mulut masih mengeluarkan pekik Pangeran Liong Bian Cu
menghantamkan kepalan kanannya ke arah kepala yang amat dekat dengannya itu.
Prakkk!! Pukulan itu keras
bukan main karena dalam keadaan sekarat itu Liong Bian Cu masih ingat untuk
mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam pukulannya yang mengenai kepala
dengan tepat sehingga kepala Liong Tek Hwi pecah terkena hantaman itu!
Robohlah dua orang kakak
beradik misan itu, tergelimpang dan tak bergerak lagi karena keduanya telah
tewas, mati sampyuh dalam perkelahian yang seru dan nekat itu. Berbeda dengan
Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang tidak mencinta muridnya, Kim-mouw Nio-nio amat
mencinta murid-muridnya, terutama sekali Liong Tek Hwi karena pemuda ini
memiliki kulit, warna mata dan rambut yang sama dengan dia. Tadi dia menjaga
agar Sam-ok tidak membantu pangeran itu, dan dia sudah girang melihat
kemenangan muridnya, akan tetapi sungguh tidak disangkanya bahwa dalam saat
terakhir itu, Pangeran Nepal masih sanggup melakukan pukulan maut terakhir yang
menewaskan muridnya. Dia menjadi marah sekali. Dengan lengking mengerikan nenek
ini menangis dan langsung saja dia menyerang Sam-ok Ban Hwa Sengjin!
Ban Hwa Sengjin tertawa dan
menggerakkan lengan bajunya menangkis. Hatinya girang bahwa muridnya tewas
bersama lawannya. Hal ini amat menguntungkan dia. Pertama, dalam pertandingan
tadi tak dapat dikatakan bahwa muridnya kalah karena lawannya juga tewas
sehingga namanya tidak akan ternoda oleh kekalahan muridnya, ke dua, pangeran
itu tewas sebagaimana yang diharapkannya.
Maka kini menghadapi kemarahan
Kim-mouw Nio-nio, dia tertawa. Nenek tua ini pun sebaiknya dibungkam mulutnya
untuk selamanya karena nenek ini merupakan seorang saksi pula. Baiknya, tidak
ada penduduk dusun yang berani datang mendekat menyaksikan pertempuran itu sehingga
yang menjadi saksi hanyalah nenek tua ini. Dan untuk membungkam mulutnya, tentu
saja nenek ini harus dibunuh.
Tangkisan Ban Hwa Sengjin
membuat nenek itu terpelanting dan terhuyung, hampir saja roboh. Kim-mouw
Nio-nio terkejut bukan main. Lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya,
dan juga dia sendiri sudah terlampau tua, usianya sudah kurang lebih seratus
tahun. Maklumlah nenek tua ini bahwa kalau mengandalkan tenaga sinkang dan ilmu
pukulan, dia tidak akan menang melawan Sam-ok ini.
Maka dia lalu mengeluarkan
bentakan nyaring dan tiba-tiba saja nampak dua gulung sinar emas dan sinar
perak melayang-layang dan menyerang ke arah Ban Hwa Sengjin dari atas,
menyambar turun di kedua tangan nenek itu yang sudah terlepas dari tangannya
dan seperti benda-benda hidup menyambar ke arah lawan sambil berputar cepat
sekali sehingga mengeluarkan suara mendesing.
Ban Hwa Sengjin terkejut
melihat gulungan sinar yang menyambar dari kanan kiri ini. Akan tetapi sebagai
seorang berilmu tinggi, dia tidak menjadi gugup dan cepat dia mengulur kedua
tangan untuk menangkap dua buah gelang yang menyambar itu. Akan tetapi, betapa
kagetnya ketika dia mencoba menangkap, tangannya terasa nyeri seperti akan
terkupas kulitnya oleh benda yang berpusing itu, maka cepat-cepat dia menarik
kembali kedua tangannya dan dua benda itu seperti hidup menyambar ke arah
kepala dan dadanya! Namun, Sam-ok dapat meloncat ke samping dan menghindarkan
diri dari serangan maut itu dan ketika dia menghadapi lagi nenek itu, ternyata
gelang emas dan gelang perak itu telah dipegang oleh si nenek yang lihai.
Hemmm, kiranya itukah
senjatamu kim-lun dan gin-lun yang lihai? Bagus, aku ingin sekali merasakan
sampai di mana kelihaiannya!! kata Sam-ok sambil tertawa. Memang dia pernah
mendengar bahwa nenek ini lihai sekali memainkan kim-lun (roda emas) dan
gin-lun (roda perak). Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendengus dan sudah
menyerang lagi, kini bersilat secara aneh dan kedua gelang itu berubah menjadi
gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara nyaring berdesing.
Ban Hwa Sengjin yang maklum
akan kelihaian lawan, cepat memutar tubuhnya dan kini tubuhnya sudah berpusing,
lenyap bentuknya merupakan pusingan yang bergerak maju mundur, dari dalam
pusingan itu terdengar suara ketawanya dan kadang-kadang sebuah kaki bersepatu
dengan lapis baja mencuat untuk menendang atau sebuah dengan mencuat untuk
menghantam atau menotok. Itulah ilmu silat yang amat diandalkan oleh kakek ini,
yaitu ilmu yang disebutnya Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) dan yang
amat sukar dilawan.