Bab 21 - Saputangan Sutera Kuning
Ughhh.... ughhh....!!
Sin-siauw Seng-jin terbatuk dan dia muntahkan darah segar, akan tetapi dia
segera memejamkan mata dan mengatur pernapasan sehingga sebentar saja pulih
kembali kekuatannya. Dia membuka mata dan menghampiri Kian Bu yang masih rebah
miring dengan sinar mata penuh keheranan dan penasaran. Suling Emasnya yang
menggeletak di atas tanah lalu dipungutnya kembali dan diamat-amatinya.
Saya.... saya.... mengaku
kalah, akan tetapi.... tunggu lima tahun lagi.... saya pasti akan mencari
Locianpwe dan membuat perhitungan.... ahhhhh....! Kian Bu mengeluh karena
totokan itu hebat bukan main dan agaknya bukan hanya menghentikan jalan
darahnya, melainkan merusak banyak jalan darah di tubuhnya yang sebelah kiri.
Mendengar ucapan Kian Bu itu,
Sin-siauw Seng-jin mendengus, lalu berkata, Orang muda ini terlalu
berbahaya....! seperti berkata kepada muridnya atau kepada dirinya sendiri,
lalu nampak sinar emas berkelebat dan sulingnya sudah menyambar ke arah tubuh
Kian Bu yang sudah tidak berdaya itu. Kian Bu berusaha menangkis dengan tangan
kanannya yang masih dapat digerakkan, namun suling yang mengarah kepala itu
tertangkis meleset dan masih mengenai tengkuknya.
Desss....!! Kian Bu mengeluh
dan roboh pingsan!
Omitohud....!! Sesosok
bayangan berkelebat dan demikian cepat gerakan bayangan ini sehingga tahu-tahu
nikouw itu telah berada di situ, berlutut dan memeluk tubuh Kian Bu yang sudah
tidak bergerak lagi, dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah!
Kakek itu dan muridnya
terkejut, akan tetapi mengenal siapa adanya orang yang demikian cepat
gerakannya itu, Sin-siauw Seng-jin lalu berkata, Kiranya Kim Sim Nikouw dari
Kwan-im-bio. Hemmm, mengapa kau mencampuri urusan kami?!
Siancai, siancai,
siancai....!! Kim Sim Nikouw berkata halus. Seorang yang gagah perkasa seperti
Locianpwe, mengapa bisa berlaku rendah, menyerang orang yang sudah tidak
berdaya lagi? Mengapa di hari tua tidak mencari jalan terang, melainkan
menambah kegelapan yang kelak hanya akan menggelapkan perjalanan sendiri.
Omitohud.... semoga semua manusia sadar akan dosa-dosanya.... Omitohud....!!
Wajah kakek itu menjadi pucat,
lalu merah dan tanpa berkata apa-apa dia memasuki rumah gedungnya, diikuti oleh
muridnya. Terdengar daun pintu dibanting keras dan nikouw itu lalu memondong
tubuh Kian Bu dan dibawa pergi. Agak berat juga baginya memondong tubuh pemuda
itu, maka lalu dipanggulnya dengan gerakan kaki yang cepatnya luat biasa,
nikouw itu lalu berlari seperti terbang menuju ke lereng sebelah barat dari
Gunung Tai-hang-san, tidak begitu jauh dari puncak bukit itu.
Perlahan-lahan Kian Bu membuka
matanya akan tetapi lalu ditutupnya kembali karena pandang matanya berkunang
dan dia melihat cahaya merah kuning biru menari-nari menyilaukan matanya.
Sentuhan jari tangan halus di
dahinya dirasakan hangat dan menenangkan, lalu dibukanya kembali kedua matanya.
Tubuhnya lemah sekali dan dia segera teringat akan keadaan dirinya. Dia
teringat bahwa dia telah roboh oleh Sin-siauw Sengjin. Tubuhnya mati sebelah!
Kini pandang matanya berusaha menembus kesuraman itu dan nampaklah segores
wajah yang lembut, sepasang mata yang memandangnya penuh kasih sayang. Mata
ibunya? Siapa lagi orangnya yang memiliki mata sebening dan seindah itu,
semesra itu memandangnya kalau bukan mata ibunya? Siapa lagi yang dapat
mengangkatnya dari jurang maut kalau bukan tangan ibunya? Jari tangan siapa
yang menyentuh demikian halus dan lembutnya di dahinya tadi, yang mengusir
semua kepeningan kalau bukan jari tangan ibunya?
Ibuuu....! Dia memanggil
dengan suara bisikan panjang.
Mulut itu tersenyum dan dua
buah mata yang bening itu menjadi basah! Ibunya menangis? Belum pernah dia
melihat mata ibunya menjadi basah. Ibunya bukan orang cengeng, melainkan
seorang wanita perkasa yang belum pernah dilihatnya menangis! Kian Bu membuka
lebar matanya dan kini dia dapat melihat lebih terang. Kiranya bukan ibunya
yang duduk di tepi pembaringannya, melainkan seorang nikouw yang berkerudung
kain kuning. Seorang nikouw yang pernah dijumpainya di lereng bukit, nikouw
pemetik daun obat yang memiliki ginkang amat luar biasa itu, yang seolah-olah
pandai terbang!
Suthai....! Kian Bu memanggil
lirih.
Omitohud.... terima kasih
kepada kemurahan Sang Buddha....! Engkau sudah siuman, Suma-sicu? Aihhh, betapa
khawatir hati pinni (aku) melihat engkau menggeletak begitu lama seperti....
seperti.... sudah tak bernyawa lagi....! Nikouw itu menghapus dua titik air
mata dari bawah matanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar.
Ketika Kian Bu hendak bangkit duduk dia mengeluh karena tubuhnya yang separuh
tidak dapat digerakkan, nikouw itu lalu cepat mencegah dengan menggerakkan
tangan dan memegang pundaknya, merapatkan duduknya.
Jangan bergerak dulu....
lukamu amat parah dan hebat....!
Ouhhhhh....!! Kian Bu mengeluh
lagi. Kini pandang matanya sudah terang dan pulih kembali dan dia teringat akan
semuanya. Sudah berapa lama saya berada di sini, Suthai?!
Sudah tiga hari tiga malam
engkau rebah tak bergerak, seperti mati. Syukur pagi hari ini kau siuman, itu
pertanda baik sekali.!
Jadi.... Suthai yang menolong
saya....?!
Nikouw itu menaruh telunjuk ke
depan mulut. Ssst.... jangan banyak bicara dulu, anakku. Kau harus beristirahat
dan memulihkan kembali kesehatanmu. Jangan khawatir, selama berpuluh tahun ini
tidak percuma pinni mempelajari ilmu pengobatan. Pukulan keji Sin-siauw Sengjin
tidak akan membunuhmu. Pinni yang membawamu ke sini, anakku, dan sekarang
beristirahatlah.!
Nikouw itu cepat mengambil
sebuah mangkok dari meja dan membantu Kian Bu untuk bangkit duduk dengan
merangkul pundak pemuda itu dan memberinya minum tajin dari mangkok itu sampai
habis.
Nah, kau tidurlah sekarang,
aku akan mengumpulkan dan memasak obat untukmu,! kata nikouw itu setelah
merebahkan kembali Kian Bu dan menyelimutinya. Kian Bu memaksa senyum dan
memejamkan matanya, sebentar kemudian dia pun sudah tidur pulas.
Beberapa hari kemudian, Kian
Bu sudah sadar benar, namun tubuhnya masih setengah lumpuh biarpun dia sudah
dapat bangkit duduk namun dia belum dapat turun dan belum dapat menggerakkan
kaki dan tangan kirinya. Ketika pagi hari itu dia melihat nikouw itu datang dan
seperti biasa melayaninya untuk makan bubur, buang air dan sebagainya, Kian Bu
tak dapat menahan rasa keharuan dan terima kasihnya. Ingin dia menjatuhkan diri
berlutut di depan nikouw itu, namun kaki kirinya tidak mengijinkannya. Melihat
setiap hari nikouw itu merawatnya, membuangkan air kencing dan kotorannya,
membersihkan tubuhnya, menyuapkan makanan, memberi obat, sungguh tiada ubahnya
seperti seorang ibu sendiri! Dan nikouw itu selalu menyebutnya anakku!!
Nah, sekarang bahaya telah
lewat!! pada pagi hari itu nikouw tua itu berkata dengan wajah berseri. Engkau
sudah tidak terancam maut lagi dan tinggal memulihkan tenaga.!
Akan tetapi kaki tangan kiri
saya belum dapat bergerak....!
Jangan khawatir. Memang
pukulan-pukulan itu hebat sekali, dapat menghancurkan seluruh rangkaian
urat-uratmu. Untung Swat-im Sin-kang di tubuhmu melindungimu, anakku. Pinni
yakin engkau akan sembuh kembali sama sekali.!
Betapa, besar budi Suthai
kepada saya....! Kian Bu berkata dan matanya terasa panas karena dia merasa
terharu sekali.
Nikouw tua itu kini duduk di
tepi pembaringan dan memegang lengannya. Sekarang engkau sudah tidak terancam
bahaya. Boleh kita bicara. Suma Kian Bu, katakanlah sejujurnya, siapa nama
ayahmu?!
Ayah? Ayah bernama Suma
Han....!
Han Han....ah, sudah
kuduga.... wajahmu, sikapmu.... dan Swat-im Sin-ciang itu....! Dugaanku tidak
salah.... ah, Han Han....! Dan nikouw itu menghapus air matanya, mulutnya tersenyum
ketika dia memandang pemuda itu melalui air matanya. Engkau puteranya! Hemmm,
sudah pinni duga dan engkau anakku, Suma Kian Bu, engkau anakku....!
Apa maksudnya ini, Suthai?!
Kian Bu bertanya penuh keheranan. Dia adalah anak Suma Han dan Puteri Nirahai,
mengapa nikouw ini mengaku dia sebagai anaknya?
Nikouw itu kembali menghapus
air matanya dan melihat betapa mulutnya tersenyum di antara tangisnya,
mengertilah Kian Bu bahwa tangis wanita itu bukan karena berduka, melainkan
karena terharu dan gembira!
Jangan salah mengerti anakku.
Tentu saja engkau anak dari Suma Han dan .... eh, siapa ibumu?!
Ibu adalah Puteri Nirahai.!
Hemmm, pantas.... pantas....!
Kuulangi lagi, jangan kau salah mengerti. Tentu saja engkau anak ayah bundamu
itu, dan aku.... aku hanyalah bekas sahabat baik ayahmu, bahkan dahulu....
dahulu sekali puluhan.... tahun yang lalu, ketika namaku masih Kim Cu, antara
ayahmu dan aku masih ada pertalian saudara seperguruan. Karena itu aku mengenal
pukulan Swat-im Sin-ciang yang kau gunakan tadi. Dan dahulu.... dahulu....
sekali.... aku dan ayahmu senasib sependeritaan, dan aku.... aku mencintanya.
Namun nasib memisahkan kami, dan kini nasib pula yang mempertemukan aku dengan
engkau, puteranya! Karena engkau adalah puteranya, maka engkau seakan-akan
anakku sendiri, Kian Bu.!
Kian Bu mendengarkan penuh
keharuan. Nikouw ini di waktu mudanya tentu cantik jelita. Dan mencinta
ayahnya! Akan tetapi mereka dipisahkan oleh nasib!
Bagaimana keadaan ayahmu, Kian
Bu?! tanya nikouw itu sambil mengusap air matanya untuk ke sekian kalinya.
Baik, Suthai. Baik sekali.
Ayah dan ibu dan semua keluarga berada di Pulau Es, dan saya.... telah beberapa
lama meninggalkan Pulau Es.
Jadi ayahmu hidup bahagia?!
Kian Bu mengangguk.
Terima kasih kepada Sang
Buddha yang maha kasih! Nikouw itu berseru. Betapa bahagianya mendengarkan dia
dalam keadaan sehat dan bahagia!!
Kian Bu memandang wanilta itu
dan ada sesuatu yang membuatnya terharu sekali, dan yang memaksanya bertanya,
Di wakktu muda dahulu, Suthai.... mencinta ayahku?!
Nikouw itu memandangnya,
mengangguk dan menarik napas panjang. Sampai detik ini tak pernah aku berhenti
mencintanya.!
Dan ayah.... apakah ayah juga
membalas cinta kasih Suthai?!
Nikouw itu tersenyum dan
menggelengkan kepalanya. Dia suka dan kasihan kepadaku, akan tetapi cinta?
Mungkin sekali, ya aku yakin bahwa dia tidak mencintaku seperti aku
mencintanya....!
Dan Suthai tidak menderita
sengsara? Tidak berduka, bahkan bergembira mendengar berita tentang ayah?! Kian
Bu makin terheran.
Puluhan tahun aku menderita,
akan tetapi sudah lama pinni sadar bahwa semua penderitaan itu bukan akibat
cinta, melainkan akibat dari iba diri. Seorang yang mencinta, barulah
benar-benar di katakan bahwa cintanya itu murni, apabila dia merasa bergembira
kalau melihat orang yang dicintanya itu bahagia, baik orang itu menjadi
jodohnya ataupun tidak. Pinni gembira mendengar dia bahagia, Han Han seorang
yang amat baik....! dia berhenti sebentar. Entah berapa puluh tahun setiap hari
pinni bersembahyang mohon belas kasihan dari Kwan Im Pouwsat agar kehidupan Han
Han diberkahi dan dia dapat hidup berbahagia. Ternyata doa pinni terkabul, dia
hidup berbahagia dan mempunyai putera yang seperti engkau. Tentu saja pinni
merasa gembira sekali....!
!Ah, betapa mulia hatimu, Suthai.
Cintamu terhadap ayah demikian suci murni....dan sekarang Suthai telah
menyelamatkan nyawa saya....ah, bagaimana saya akan dapat membalas semua budi
Suthai ini, budi Suthai yang telah dilimpahkan dalam cinta kasih yang demikian
suci murni terhadap ayah dan dalam pertolongan kepada saya?!
Budi? Membalas budi?
Omitohud.... manusia selalu mengikat dan melibatkan diri dalam budi dan dendam,
itulah biang segala pertentangan! Akan tetapi, karena
hal itu telah menjadi
kebiasaan dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai tingkat
kemanusiaan, maka agar hatimu jangan merasa penasaran dan jangan merasa
berhutang budi, baiklah Kau balas dengan cara.... mau kuanggap sebagai anakku.
Ketahuilah Kian Bu, ketika engkau baru siuman tempo hari dan menyebut ibu kepadaku,
aku seperti lupa diri, lupa bahwa aku adalah seorang nikouw, dan aku merasa
seolah-olah engkau adalah anakku sendiri.!
Kian Bu menggigit bibirnya.
Bukan main wanita tua ini! Demikian halus perasaannya, demikian mulia hatinya
dan siapakah yang tidak akan merasa bangga kalau mempunyai seorang ibu seperti
wanita tua ini? Tanpa ragu-ragu dia lalu menggerakkan tangan kanannya menyentuh
dada sambil berkata, Ibu....!
Kim Sim Nikouw merangkulnya
dan menangis!
Sampai lama nikouw itu
menangis sambil memeluk Kian Bu, kemudian dia dapat menekan perasaannya, duduk
dan dengan muka basah air mata namun bibirnya tersenyum dan sinar matanya
bercahaya, dia mengelus dahi pemuda itu. Terima kasih, anakku, terima kasih.
Percayalah, aku akan menyembuhkanmu, engkau akan dapat bergerak lagi seperti
sediakala.!
Terima kasih, Ibu. Akan tetapi
sungguh aneh, aku belum mengetahui nama Ibu.!
Kian Bu tertawa, Kim Sim
Nikouw juga tertawa dan suasana menjadi gembira.
Dahulu aku bernama Kim Cu,
anakku, akan tetapi sekarang aku adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio
ini dengan beberapa orang nikouw pembantu yang menjadi murid-muridku dalam hal
keagamaan dan melayani orang-orang yang datang bersembahyang ke kuil ini!
Aku ingin sekali cepat sembuh,
Ibu.!
Jangan khawatir, akan tetapi
kita harus bersabar, anakku. Kiranya tidak percuma aku mempelajari pengobatan
selama puluhan tahun ini.!
Aku harus cepat sembuh agar
dapat mencari Sin-siauw Sengjin! kata Kian Bu sambil mengepal tinju kanannya.
Kim Sim Nikouw mengerutkan alisnya
dan memandang wajah anak angkatnya itu. Kau mendendam karena kekalahan itu dan
hendak membalasnya?!
Kian Bu juga memandang dan
ketika bertemu pandang mata yang sinarnya lembut dan penuh teguran itu, dia
cepat menggeleng kepalanya, Tidak, Ibu. Bukan karena kekalahan itu, melainkan
karena aku harus merampas kembali kitab-kitab peninggalan pendekar sakti Suling
Emas yang telah dicurinya.!
Kim Sim Nikouw membelalakkan
matanya. Apa maksudmu?!
Jelas bahwa Sin-siauw Sengjin
itu seorang penipu atau seorang pencuri. Dia dapat memainkan ilmu-ilmu dari
Suling Emas, padahal sepanjang pengetahuanku, ilmu-ilmu itu terjatuh ke tangan
ibu tiriku yang berada di Pulau Es. Tentu dia telah mencurinya, atau mungkin
juga memalsukan ilmu-ilmu itu. Maka, setelah sembuh aku harus menghadapinya
lagi dan membongkar rahasia ini.!
Nikouw itu mengerutkan
alisnya. Ah, dia amat lihai. Bahkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang
yang kaupergunakan pun tidak mampu mengalahkannya.!
Betapapun, setelah sembuh,
akan kucoba lagi menandinginya, Ibu.!
Kau dapat belajar, anakku! Dan
jangan kira bahwa ibumu ini selama ditinggalkan oleh ayahmu, selama puluhan
tahun ini, hanya menganggur saja! Tidak, aku telah mempelajari teori ilmu-ilmu
baru, anakku.!
Aku telah melihat bahwa
ginkang ibu amat luar biasa.!
Itu satu di antaranya. Aku
telah mempelajari ilmu meringankan tubuh itu dan telah menciptakan Ilmu
Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), akan tetapi itu belum dapat
diandalkan untuk menandingi kakek itu. Dahulu aku bersama ayahmu pernah
mempelajari Ilmu Swat-im Sin-ciang dari Ma-bin Lo-mo, dan aku tahu bahwa ayahmu
telah pula mempelajari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang yang menjadi lawannya. Biarpun
aku bukan ahli Hwi-yang Sin-ciang, namun aku tahu akan sifat-sifatnya dan aku
telah mencoba untuk menggabungkan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku
sendiri tidak berhasil melatihnya, akan tetapi menurut perhitunganku, maka baik
Hwi-yang Sin-ciang maupun Swat-im Sin-ciang tidak akan mampu menandinginya.!
Ah, kalau begitu Ibu harus mengajarkannya
kepadaku!! Kian Bu berseru dengan girang sekali, akan tetapi alisnya lalu
berkerut karena ketika dalam kegirangannya itu dia mencoba bergerak, ternyata
kaki tangan kirinya maslh lumpuh. Ah, mana mungkin aku dapat belajar dalam
keadaan begini?!
Kau harus bersabar, anakku.
Keadaanmu memang parah dan kurasa dalam waktu setahun barulah boleh diharapkan
engkau akan sembuh. Dan mempelajari Jouw-sang-hui-teng bukanlah hal yang mudah,
memerlukan waktu lama, latihan dan ketekunan. Apalagi melatih penggabungan
kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sudah mencoba sampai belasan tahun belum
juga berhasil.!
Ah, kalau begitu akan sukar
sekali! Dan aku ingin secepatnya menemui Sin-siauw Sengjin!!
Hemmm, lupakah kau bahwa
engkau herjanji akan menemuinya lagi setelahlewat lima tahun?!
Apa? Apakah maksudmu, Ibu?!
Kian Bu berseru kaget.
Nikouw itu tersenyum. Agaknya
pukulan kakek itu hebat sekali sehingga engkau sampai tidak ingat lagi apa yang
kauucapkan. Engkau telah berjanji kepadanya bahwa engkau mengaku kalah dan
dalam waktu lima tahun lagi engkau akan membuat perhitungan.!
Ah, kenapa begitu lama?!
Sebaiknya begitu malah,
anakku. Engkau dapat menunggu sampai sembuh sama sekali, lalu engkau masih
banyak waktu untuk berlatih dan meningkatkan kepandaianmu agar kelak kalau
engkau menghadapinya, engkau tidak akan kalah lagi. Pula, janji seorang
pendekar pasti tidak akan diingkari sendiri, bukan?!
Kian Bu menarik napas panjang
dan terpaksa dia membenarkan kata-kata ibu angkatnya itu dan semenjak hari itu,
dia dirawat dan diobati oleh Kim Sim Nikouw yang amat tekun itu.
!Demikiahlah, Lee-ko,
riwayatku semenjak kita saling berpisah dan itu pula sebabnya mengapa aku tidak
pernah pulang ke Pulau Es.! Kia Bu mengakhiri ceritanya. Selama kurang lebih
tiga tahun aku memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan ibu angkatku itu,
Kim Sim Nikouw dan selain aku dapat sembuh sama sekali, aku juga dapat
menguasai Jouw-sang-hui-teng. Dari ilmu ginkang yang diajarkan oleh ibu
angkatku ini, aku lalu menciptakan Ilmu Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang
Mega), yaitu ginkang istimewa itu kugabungkan dengan dasar-dasar gerakan dari
ilmu ayah Soan-hong-lui-kun.!
Semenjak tadi, Kian Lee
mendengarkan penuh perhatian, dengan hati terharu dan kagum.
Dan pukulanmu yang membuat tubuh
seperti disiram air panas itu....?! tanyanya kagum.
Itulah hasil dari melatih diri
menggabungkan dua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, yang
teorinya diberikan oleh ibu angkatku. Memang amat sukar dan berbahaya sekali
melatih penggabungan itu sehingga engkau dapat melihat sendiri rambutku.!
Hemmm, rambutmu lalu menjadi
putih semua?! Kian Lee memandang kepala adiknya itu. Itu disebabkan melatih
sinkang mujijat itu?!
Sebagian dari sebab itu,
sebagian pula mungkin karena akibat pukulan Sin-siauw Sengjin, dan sebagian
pula karena kedukaan yang menyiksaku selama itu. Setelah selesai berlatih
selama tiga tahun dan berhasil, aku masih harus menanti dua tahun lagi untuk
memenuhi janjiku terhadap Sin-siaw Sengjin. Maka dalam waktu dua tahun itu aku
berusaha untuk menentang kejahatan di sekitar daerah Ho-nan sehingga banyak
orang kang-ouw mulai mengenalku dan memberi julukan Siluman Kecil kepadaku.!
Kian Lee mengangguk-angguk.
Sudah lama aku mendengar dan mengenal namamu itu, Bu-te. Semenjak aku mendengar
nama itu memang aku sudah ingin sekali bertemu dengan orangnya, sungguhpun aku
sama sekali tidak menyangka bahwa Kau lah orangnya. pertama-tama, aku ingin
bertemu karena ketika aku terancam bahaya, orang-orang yang tunduk kepadamulah
yang menolongku, dipimpin oleh Nona Phang Cui Lan. Dan kedua kalinya aku ingin
sekali bertemu dengan Siluman Kecil untuk menegurnya.!
Kian Bu memandang kepada
kakaknya dengan heran. Menegurnya?!
Benar, dan sekarang aku akan
langsung menegurmu, Bu-te. Aku mengenalmu sebagai seorang yang suka menggoda
orang, terutama sekali kepada wanita. Akan tetapi apa yang Kau lakukan terhadap
Nona Cui Lan sungguh keterlaluan!!
Eh, ada apa dengan dia?! Kian
Bu bertanya dengan mata terbelalak.
Dia seorang gadis yang begitu
baik, lemah lembut, halus budi pekertinya, hatinya penuh dengan cinta kasih
yang murni terhadap dirimu, akan tetapi engkau melupakan dia begitu saja dan
membiarkan dia merana. Bagaimana engkau dapat bersikap demikian kejam terhadap
seorang gadis yang sebaik dia, Bu-te?! Kian Lee lalu menceritakan tentang
pertemuannya dengan Cui Lan di istana Gubernur Ho-nan, kemudian tentang
keberanian gadis itu ketika menolong Gubernur Ho-pei dan ketika mengerahkan
teman-teman untuk menyelamatkannya, tentang pengakuan gadis itu kepadanya, akan
cinta kasihnya terhadap Siluman Kecil yang dinyatakan dalam nyanyiannya yang
penuh kerinduan.
Mendengar semua penuturan Kian
Lee yang disertai teguran keras itu, Kian Bu menundukkan mukanya dan berulang
kali dia menarik napas panjang. Setelah Kian Lee berhenti bercerita dan
menegurnya, dia berkata, Justeru karena aku tahu bahwa dia mencintaku maka aku
sengaja menjauhkan diriku, Koko. Aku sudah tahu dari semula ketika aku
menolongnya bahwa gadis itu jatuh cinta kepadaku, maka aku segaja menjauhkan
diri bahkan bersikap tidak manis kepadanya dengan maksud agar dia membenciku
karena hanya itulah yang kukira dapat mengobati cintanya yang hanya sepihak.
Koko yang baik, salahkah aku kalau Cui Lan jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku
kalau aku tidak dapat membalas cintanya? Salahkah aku kalau sampai saat ini pun
aku masih mencinta Syanti Dewi dan tidak mungkin jatuh cinta kepada orang lain?
Koko, apakah hanya untuk tidak merusak hati Cui Lan aku harus pura-pura
membalas cintanya dan bersikap palsu?!
Kian Lee menjadi terharu dan
memegang tangan adiknya yang menjadi agak pucat wajahnya. Dia menghela napas.
Tentu saja tidak, adikku. Asal engkau tidak mempermainkannya, dan mendengar
ceritamu, agaknya memang engkau tidak pernah menggodanya dan bukan salahmu
kalau dia mencintamu tanpa dapat Kau balas karena engkau mencinta orang lain.
Aihhh, mengapa kita berdua menjadi korban cinta dan mengalami banyak
kesengsaraan karena cinta? Sungguh kasihan sekali Nona Phang Cui Lan, dan
kasihan pula engkau, adikku....!
Lee-ko, tidak perlu engkau
mengasihani dia atau aku. Dan setelah aku bertemu dengan ibu angkatku, Kim Sim
Nikouw, baru terbuka mataku bahwa memang selama ini kita berdua amat lemah,
bahkan sampai saat ini pun aku masih melihat kelemahanku sendiri dalam persoalan
cinta. Kita sebenarnya bukanlah mencinta orang lain melainkan mencinta diri
sendiri, Koko. Karena itulah maka kita menderita ketika orang yang kita cinta
tidak membalas cinta kita, dan kita berduka karena kita kehilangan orang yang
kita cinta. Cinta kasih seperti yang terdapat dalam hati ibu angkatku, itulah
baru cinta kasih yang suci murni namanya, dan sungguh ayah kita berbahagia
sekali dicinta oleh seorang seperti ibu angkatku itu!
Memang luar biasa sekali Kim
Sim Nikouw seperti yang kauceritakan itu, adikku. Dan agaknya seperti dia
pulalah Nona Phang Cui Lan, dan mudah-mudahan dapat pula mengatasi tekanan
batinnya karena cinta tidak terbalas seperti nikouw itu. Dan aku girang
mendengar bahwa engkau tidak menggodanya, Bute!
Ah, aku bukan lagi adikmu yang
suka menggoda orang seperti lima tahun yang lalu, Lee-ko. Aku sudah cukup
banyak menderita karena wanita, dan agaknya akan sukar bagiku untuk jatuh cinta
lagi kepada wanita lain.! Biarpun mulutnya berkata demikian, namun tanpa
disadarinya sendiri, tahu-tahu wajah Hwee Li yang amat cantik itu terbayang di
depan matanya! Dia cepat melawan ini dengan kata-kata, Dan aku akan mencontoh
ibu angkatku, aku akan berbahagia sekali kalau mendengar bahwa Syanti Dewi
hidup berbahagia di samping orang yang dicintanya, yaitu Ang Tek Hoat. Kasihan
dia, mungkin dia belum tahu bahwa ibunya telah tewas oleh orang-orang Bhutan.!
Dia lalu menceritakan lagi tentang wanita gila, bekas pelayan dari Ang Siok Bi,
ibu Ang Tek Hoat itu.
Mendengar penuturan ini, Kian
Lee menarik napas panjang. Sungguh aku khawatir sekali bahwa kenyataannya tidak
seperti yang kauharapkan itu, adikku.!
Apa maksudmu, Lee-ko?!
Tentang kebahagiaan Syanti
Dewi di samping Tek Hoat itu. Belum lama ini aku bertemu dengan Ang Tek Hoat,
dan agaknya dia telah tersesat lagi. Dia membantu orang-orang jahat, bahkan dia
tidak segan-segan untuk mengeroyok aku di tempat kediaman penjahat-penjahat.!
Kian Lee lalu menceritakan semua pengalamannya, tentang perjalanannya mencari
adiknya itu, kemudian pertemuannya dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang
puteranya yang menyerangnya dan menuduhnya mencuri harta pusaka Jenderal Kao
dan menculik keluarganya. Kemudian tentang pengalamannya ketika dia berada di
istana Gubernur Ho-nan, dan selanjutnya ketika dia mengawal Phang Cui Lan dan
Gubernur Ho-pei sampai pertemuannya dengan Tek Hoat dan dia dikeroyok dan
dirobohkan.
Mendengar cerita kakaknya itu
bermacam perasaan mengaduk di hati Kian Bu. Dia terharu sekali mendengar akan
sepak terjang Phang Cui Lan yang patut dipuji, dan dia marah dan khawatir
mendengar betapa Ang Tek Hoat membantu Hek-eng-pangcu, dan betapa Tek Hoat
telah menjatuhkan fitnah kepada dirinya yang dikatakan merampas harta benda
keluarga Kao Liang. Akan tetapi kekhawatirannya lebih besar daripada kemarahannya
terhadap Tek Hoat, yaitu khawatir tentang diri Syanti Dewi.
Apakah yang telah terjadi
dengan Syanti Dewi?! katanya dengan alis berkerut. Andaikata Syanti Dewi berada
di sisi Tek Hoat, tidak mungkin orang itu melakukan penyelewengan! Kalau Tek
Hoat sudah kumat lagi gilanya, hal itu tentu berarti bahwa Syanti Dewi tidak
lagi berada di dekatnya. Tentu telah terjadi sesuatu!! Dia mengepal tinju dan
kelihatan gelisah. Dan aku sendiri yang akan menghajar Tek Hoat kalau dia
menghancurkan kehidupan Syanti Dewi!!
!Tenanglah, Bu-te. Dalam
keadaan seperti kita sekarang yang belum tahu semua persoalannya, tidak baik
untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan dan dugaan-dugaan, apalagi mengandung
kemarahan di dalam hati terhadap seseorang. Bahkan aku sendiri yang sudah dia
jatuhkan dalam pengeroyokan, aku masih ingin tahu mengapa dia melakukan hal
itu, karena aku yakin bahwa tentu ada sesuatu yang mendorongnya berbuat
demikian.!
Hemmm, aku sudah tahu bahwa
dia jahat, Koko. Akan tetapi....! Kian Bu tidak melanjutkan kata-katanya karena
dia maklum bahwa Tek Hoat adalah keponakan kakaknya ini, keponakan langsung
dari ibunya, karena Tek Hoat adalah cucu kandung dari ibu Kian Lee. Karena
teringat akan hal ini maka dia diam saja.
Mereka lalu saling
menceritakan pengalaman masing-masing selanjutnya. Kian Bu bercerita tentang
pembalasannya yang berhasil terhadap Sin-siauw Sengjin, dan tentang
pusaka-pusaka Suling Emas yang agaknya sebagian telah dicuri oleh Ang-siocia
dan menurut tantangan gadis itu, dia akan menanti di pantai Po-hai di teluk
sebelah utara.
Hemmm, banyak persoalan kita
hadapi, adikku. Urusan Jenderal Kao Liang maslh belum beres, muncul pula urusan
warisan Suling Emas yang juga harus kita jernihkan.!
Akan tetapi engkau belum sehat
benar, Lee-ko. Biarlah kita menanti sampai engkau sudah sehat benar, nanti kita
bersama menyelidiki persoalan-persoalan itu sampai beres. Nah, itu dia tabibmu
sudah menyusul!!
Benar saja, munculiah Sai-cu
Kai-ong. Wah, jangan lama-lama membiarkan dari ditiup angin sejuk, Kian Lee taihiap!!
Kakek itu menegur. Mari kita pulang dan sudah waktunya Taihiap minum obat!!
Kemudian dia berkata kepada Kian Bu, Dan aku membutuhkan beberapa macam ramuan
obat yang telah habis dan obat-obat itu hanya bisa dibeli di kota besar. Maka,
kuharap engkau suka menemani Siauw Hong untuk mencari dan membelikan ramuan
obat untuk kakakmu itu, Kian Bu taihiap.!
Tentu saja saya akan suka
sekali pergi, Locianpwe. Akan tetapi, Locianpwe, kami kakak beradik yang
menerima banyak budi Locianpwe, menganggap Locianpwe sebagai paman sendiri,
maka harap buang saja sebutan taihiap kepada kami,! kata Kian Bu.
Benar apa yang dikatakan
adikku, Locianpwe,! sambung Kian Lee.
Ha, kalau begitu kalian harus
membuang sebutan locianpwe dan sebut saja paman kepadaku.! Mereka bertiga
tertawa dan Kian Lee lalu dipondong lagi oleh adiknya, kembali ke tempat
tinggal kakek itu yang seperti istana kuno dikelilingi tembok tebal seperti
benteng. Ketika tiba di pintu gerbang dan melihat dua orang kakak beradik itu
memandang kagum, Sai-cu Kai-ong berkata, Biarlah kelak kalau Kian Lee telah
sembuh, kalian akan kubawa berkeliling dan melihat-lihat rumah peninggalan
nenek moyangku ini.!
Mereka memasuki pintu gerbang
yang terjaga oleh beberapa orang anak buah Sai-cu Kai-ong yang berpakaian pengemis
dan setelah merebahkan kakaknya di atas pembaringan dalam kamar, Kian Bu lalu
berangkat bersama Siauw Hong mencarikan obat-obat yang dibutuhkan oleh kakek
itu.
***
Sudah terlalu lama kita
meninggalkan Puteri Syanti Dewi yang bernasib malang itu. Kita melihat dia yang
terakhir berada di dalam gedung dari Hwa-i-kongcu Tang Hun, majikan
Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san dekat belokan
Sungai Huang-ho. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tang Hun sastrawan
yang juga ahli silat dan sihir murid Durganini ini tergila-gila kepada Syanti
Dewi dan memaksa puteri itu untuk menikah dengan dia.
Akan tetapi di tengah-tengah
keramaian pesta pernikahan itu, secara aneh sekali Syanti Dewi telah hilang
tanpa diketahui jejaknya! Bahkan Siang In, dara jelita yang gagah perkasa dan
pandai ilmu sihir yang berusaha menolong dan membebaskan Syanti Dewi, juga
tidak tahu ke mana perginya puteri itu. Bukan dia saja, malah Ang Tek Hoat,
yang dengan bantuan anak buah Hek-eng-pang berusaha membebaskan Syanti Dewi,
juga hanya dapat membebaskan Syanti Dewi palsu, sedangkan dia pun tidak tahu ke
mana lenyapnya Syanti Dewi yang aseli!
Ke manakan perginya Syanti
Dewi? Dan bagaimana caranya dia dapat lenyap dari penjagaan yang amat ketat
itu, bahkan lenyap dari pengejaran seorang dara perkasa seperti Siang In, dan
dari pencarian seorang sakti seperti Ang Tek Hoat yang masih dibantu oleh
banyak anak buah Hek-eng-pang? Mari kita ikuti pengalaman Syanti Dewi semenjak
dia berada di dalam kamar sebagai calon pengantin itu.
Seperti kita ketahui, Syanti
Dewi merasa gembira dan lega ketika bertemu dengan Siang In yang mengunjunginya
di dalam kamarnya. Kalau dalam beberapa hari itu dia selalu termenung berduka,
tidak mau mandi, tidak mau makan, tidak mau berganti pakaian, setelah Siang In
mengunjunginya dan tahu bahwa gadis yang luar biasa itu akan menolong dan
membebaskannya, kegembiraan membuat dia seketika merasa lapar sekali dan dia
segera memesan makan minum kepada pelayan-pelayannya sehingga para pelayan itu
menjadi heran dan juga girang sekali.
Dari dapur yang khusus
didatangkan hidangan-hidangan, diantar oleh seorang koki tua agak gemuk yang
berwajah riang dan dibantu oleh para pelayan yang menghidangkan masakan-masakan
istimewa di atas meja dalam kamar sang puteri atau calon pengantin wanita itu.
Syanti Dewi yang memang sudah lapar itu cepat makan dan minum, akan tetapi
terkejutlah dia ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik di telinganya,
Perut kosong jangan terlalu cepat diisi, dan jangan terlalu banyak.!
Dia menoleh ke kanan kiri. Di
situ hanya ada lima enam orang pelayan wanita, dan koki itu ternyata masih
berdiri di sudut tanpa dipedulikan oleh para pelayan. Ketika dia bertemu
pandang dengan kakek yang berpakaian koki itu, tiba-tiba kakek itu mengedipkan
sebelah matanya. Syanti Dewi terkejut dan dia seperti sudah mengenal wajah koki
itu. Tahulah dia bahwa suara bisikan yang didengarnya tadi, tentu adalah suara
koki itu yang entah bagaimana dapat menjadi bisikan di dekat telinganya tanpa
didengar oleh para pelayan agaknya. Akan tetapi sebagai seorang yang sudah
banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki kesaktian hebat, seperti
pendekar sakti Gak Bun Beng, bekas tunangannya Ang Tek Hoat, puteri sakti
Milana, dan banyak lagi orang dari golongan hitam yang berilmu tinggi, Syanti
Dewi tidak lagi merasa heran dan tahulah dia bahwa koki itu adalah seorang yang
berilmu tinggi!
Harap Kau suruh mereka itu
keluar, kecuali pelayan yang berbaju biru itu,! kembali terdengar bisikan tadi.
Syanti Dewi tentu saja tidak
mempercayai suara itu begitu saja biarpun dia seperti pernah mengenal wajah
koki itu, akan tetapi anehnya, ada pengaruh mujijat yang membuat dia tidak
dapat menolak lagi! Seperti di luar kehendaknya sendiri, dia lalu berkata,
Kalian semua keluarlah, kecuali engkau yang baju biru. Aku tidak suka makan
ditunggu banyak orang.!
Para pelayan itu tersenyum dan
mereka pun pergi meninggalkan kamar itu, tanpa mempedulikan koki tua yang masih
berdiri seperti arca di sudut kamar.!
Kau tutupkan daun pintunya,
kunci dari dalam.! Kembali Syanti Dewi berkata kepada pelayan baju biru seperti
bukan atas kehendaknya sendiri. Pelayan baju biru yang cantik itu mengangguk,
lalu menutupkan daun pintu dan menguncinya, kemudian dia kembali duduk di dekat
sang puteri untuk melayaninya.
Kini kakek yang berpakaian
koki itu melangkah maju mendekati meja, dipandang penuh perhatian dan dengan
hati mulai curiga oleh Syanti Dewi. Agaknya baru sekarang pelayan baju biru itu
melihat kakek ini. Dia terkejut dan heran. Ihhh, kau masih di sini? Tidak
boleh, hayo cepat keluar....!
Akan tetapi tiba-tiba tangan
kakek itu bergerak ketika melihat kenyataan pelayan itu lari ke pintu, dan
tahu-tahu dia telah menjambak rambut pelayan itu, diseretnya mendekati meja di
mana Syanti Dewi masih bengong, lalu terdengar kakek itu berkata lirih namun
dengan nada penuh ancaman, Jangan berteriak, jangan banyak ribut, kalau tidak
akan kuhancurkan kepalamu! Kau diam dan menurut saja kalau ingin selamat!!
Tiba-tiba sebuah totokan di
tengkuk pelayan tua membuatnya lemas dan tidak dapat bergerak lagi, hanya
matanya saja yang terbelalak memandang dengan penuh rasa takut. Dicobanya untuk
mengeluarkan suara, akan tetapi sekali tekan pada leher wanita itu oleh jari
tangan kakek aneh tadi, si pelayan tidak dapat mengeluarkan suaranya sama
sekali seperti orang gagu!
Hemmm, apa artinya ini? Siapa
engkau?! Syanti Dewi bangkit berdiri dan memandang tajam.
Heh-heh, kau lupa lagi
kepadaku, Puteri?! Kakek itu melepaskan penutup kepalanya seperti yang biasa
dipakai oleh koki untuk mencegah rambut kepalanya rontok dan masuk ke dalam
masakan. Kini kelihatan kepalanya yang botak dan sedikit rambutnya yang putih.
Biarpun sudah lima tahun tidak berjumpa lagi dengan kakek ini dan biarpun kakek
ini sekarang agak gendut perutnya, namun melihat wajah yang tersenyum-senyum
itu teringatlah Syanti Dewi.
!Ah, bukankah Locianpwe ini
guru Siang In? Locianpwe See-thian Hoatsu....?! tanyanya dengan heran.
Ha-ha-ha, ternyata ingatanmu
kuat sekali, Puteri! Benar, Siang In adalah muridku.!
Hati Syanti Dewi girang
sekali. Beberapa tahun yang lalu ketika dia dikejar-kejar oleh Raja Tambolon
dan anak buahnya, dia pernah ditolong dan diselamatkan oleh kakek yang pandai
ilmu sihir ini dan dari percakapannya dengan Siang In dia tahu bahwa kakek ini
adalah guru Siang In (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Maka tentu saja dia
menjadi girang dan menaruh kepercayaan kepada kakek ini.!
Locianpwe, baru saja Siang In
juga datang dan berjanji hendak membawaku keluar dari sini....!
Itulah sebabnya aku datang
sendiri, Puteri Syanti Dewa. Keadaan di sini amat berbahaya dan terlalu banyak
orang pandai menghendaki dirimu. Rencana Siang In tentu akan gagal kalau aku
tidak cepat turun tangan. Sekarang kau diamlah saja dan menurut segala petunjukku.!
Syanti Dewi tidak terkejut
mendengar itu karena dia maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, maka dia
lalu mengangguk.
Cepat Kau tanggalkan pakaian
luarmu,! bisik kakek itu dan ketika, Syanti Dewi melihat kakek itu mulai
menanggalkan pakaian luar pelayan yang ditotoknya itu, mengertilah dia
maksudnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia membalikkan tubuhnya dan menanggalkan
pakaian luarnya. Dia tidak perlu merasa malu dalam keadaan seperti itu, apalagi
yang melihat dia dalam pakaian dalam yang tipis itu hanya seorang kakek sakti
yang sudah amat dipercaya.
Aih, sukarnya....!! Kakek itu
mengomel ketika dia mencoba untuk mengenakan pakaian luar Syanti Dewi pada
pelayan itu sehingga Syanti Dewi yang cepat sudah mengenakan pakaian luar
pelayan itu segera membantunya. Kakek itu memang cerdik. Yang dipilihnya adalah
seorang pelayan yang selain cantik juga memiliki bentuk tubuh yang hampir sama
dengan bentuk tubuh Syanti Dewi sehingga ketika pakaian mereka saling ditukar,
dapat pas sekali.
Setelah selesai, kakek itu
lalu berbisik, Cepat Kau atur rambutnya seperti sanggul rambutmu dan tambah
bedak di mukanya biar wajahnya seputih wajahmu.!
Syanti Dewi cepat melakukan
semua perintah itu, kemudian See-thian Hoat-su sendiri menggunakan alat
penghias yang terdapat di dalam kamar itu untuk mengubah bentuk bibir dan alis
serta mata Syanti Dewi dengan menggunakan pemerah bibir dan penghitam. Sebentar
saja, ketika dia selesai dan Syanti Dewi melihat bayangannya sendiri dalam
cermin, puteri ini hampir tertawa geli melihat betapa dia sudah berubah menjadi
seorang wanita yang bermata sipit, alisnya tebal dan mulutnya lebar, mukanya
ada beberapa totol hitam yang melenyapkan semua kemanisannya.
Mari cepat....! kata kakek itu
dan dia segera menarik pelayan yang sudah mengenakan pakaian Syanti Dewi,
mendudukkannya di atas kursi, lalu dia memandangnya dengan sinar mata penuh
pengaruh yang amat kuat sambil berkata, Kau tidak akan dapat bicara semalam ini
dan akan menurut saja apa yang dilakukan orang-orang kepada dirimu!! Setelah menanamkan
kata-kata ini melalui sihir ke dalam benak pelayan itu, Seethian Hoat-su lalu
menggandeng tangan Syanti Dewi dan di bawa menyelinap ke luar melalui jendela,
tidak lupa untuk leblh dulu meniup padam lilin yang bernyala di atas meja.
Akan tetapi baru saja mereka
meloncat ke luar dan menutupkan daun jendela, Syanti Dewi menahan seruan kaget
dan memegang lengan kakek itu. Dua orang pengawal berjalan dengan langkah tegap
ke arah mereka! Akan tetapi, kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya ke
arah dua orang pengawal itu. Mereka memandang, terkejut dan berdiri seperti
patung dengan mata terbelalak, sama sekali tidak dapat bergerak sampai kakek
itu menggandeng tangan Syanti Dewi dan menariknya pergi dari situ.
Setelah kakek dan puteri itu
lenyap, barulah keduanya sadar, saling pandang dan merasa terheran-heran.
Eh, kenapa kita berdiri
bengong di sini?! tanya yang seorang.
Heran, aku merasa seperti baru
saja terjadi sesuatu, akan tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Seperti mimpi
saja,! kata yang ke dua.
Hemmm, agaknya kita tadi
terlalu banyak minum arak.! Dan mereka melanjutkan perondaan mereka.
Sementara itu, See-thian
Hoat-su mengajak Syanti Dewi bersembunyi di tempat gelap, di ruangan dekat
dapur yang penuh dengan pot-pot bunga dan pohon katai. Hwa-i-kongcu Tang Hun
memang mempunyai kegemaran mengumpulkan bunga-bunga dan pohon-pohon katai yang
aneh dan indah dalam pot-pot kuno dan dikumpulkan di ruangan itu. Bukan ruangan
tertutup, akan tetapi cukup gelap dan Syanti Dewi merasa heran sekali mengapa
penolongnya itu mengajaknya bersembunyi, dan di tempat terbuka seperti itu.
Kenapa kita tidak lari....?!
bisiknya.
Sssttttt.... kita tunggu
sampai terjadi keributan,! jawab See-thian Hoat-su. Syanti Dewi hendak bertanya
mengapa mereka bersembunyi di tempat terbuka seperti itu, akan tetapi dia
mengurungkan niatnya bicara karena pada saat itu muncul tiga orang yang
berjalan ke arah tempat itu. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap, dan
ternyata mereka adalah dua orang tamu yang agaknya melihat-lihat, diantar oleh
seorang pengawal.
Ini adalah kumpulan-kumpulan
bunga-bunga aneh dan pohon-pohon katai yang disayang sekali oleh Kongcu,! si
pengawal menerangkan. Mereka melihat-lihat bunga itu, bahkan seorang dari
mereka mendekati Syanti Dewi dan mencium-cium, mendengus-dengus.
Hemmm, wangi....!! katanya.
Sayang agak gelap tempat ini sehingga kita tidak dapat mengagumi bunga-bunga
ini dengan jelas.!
Besok saja kita melihat-lihat
lagi ke sini,! kata tamu ke dua dan mereka berjalan pergi.
Syanti Dewi sudah gemetar
saking tegang dan gelisahnya. Rambutnya tadi dicium-cium oleh orang itu dan dia
disangka bunga! Dia terheran-heran akan tetapi ketika dia menoleh kepada kakek
itu yang terkekeh geli, mengertilah dia bahwa peristiwa aneh itu adalah akibat
permainan sihir kakek ini. Tentu tiga orang yang tadi datang telah melihat
mereka berdua seperti bunga dalam pct, maka rambutnya dicium oleh seorang di
antara mereka. Teringatlah dia akan permainan sihir dari Siang In yang membuat
dara itu kelihatan seperti sebuah kursi bagi orang lain!
Kenapa kita harus menunggu
sampai terjadi keributan, Locianpwe?! Dia berbisik.
Kakek itu menarik napas
panjang. Siang In terlalu sembrono. Dia tidak melihat bahwa di sini hadir orang
dari Nepal yang memiliki kekuatan sihir lebih hebat daripada dia. Kalau kita
lari sekarang dan ketahuan, banyak bahayanya akan gagal karena di depan orang
itu tentu saja tidak mungkin mengandalkan kekuatan sihir.!
Saat yang dinanti-nanti oleh
kakek See-thian Hoat-su itu ternyata tidak lama. Tiba-tiba terdengarlah canang
dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan disusul teriakan-teriakan nyaring. Dari
tempat sembunyi itu, mereka melihat berkelebatnya banyak wanita-wanita pelayan
dan melihat pula seorang pelayan wanita tua yang cantik memondong Syanti Dewi
palsu tadi dengan gerakan ringan sekali. Lalu terdengar keributan di ruangan
pesta, disusul padamnya lampu-lampu dan ributnya suara orang bertempur!
Sekarang....!! Kakek itu
berbisik dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya melarikan diri
melalui jalan belakang.
Heiii, siapa....?! Akan tetapi
dua orang itu sudah jatuh terjungkal oleh kakek See-thian Hoat-su sebelum dua
orang pengawal itu dapat melihat jelas. Dengan cepat See-thian Hoat-su lalu
memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya melompati pagar tembok di taman
belakang. Tanpa banyak halangan karena semua orang sedang sibuk berkelahi dan
mengejar-ngejar penculik Syanti Dewi palsu, See-thian Hoat-su dapat membawa
pergi puteri itu dari puncak Bukit Naga Api.
Setelah pergi jauh, Syanti
Dewi berkata, Locianpwe, bagaimana dengan Siang In? Kenapa kita tidak menanti
dia?!
Kakek itu menurunkan tubuh
Puteri Bhutan dan menyeka peluhnya, lalu memandang ke angkasa yang indah penuh
bintang. Ahhh, dia bukan anak kecil lagi, tentu dapat menjaga diri sendiri.!
!Akan tetapi.... tentu dia
akan mencari-cari Locianpwe dan saya....!
Dia tidak tahu bahwa aku
berada di sini, dan biarlah dia mencarimu untuk meluaskan pengalamannya,
ha-ha!! Kakek yang aneh itu tertawa dan Syanti Dewi tidak membantah lagi. Kakek
ini mempunyai watak yang luar biasa anehnya dan dia tahu bahwa memang
orang-orang sakti di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang kadang-kadang
mendekati watak orang gila!
Lalu.... laiu kita akan pergi
ke mana, Locianpwe?! tanyanya penuh keraguan.
Ke tempatku di pantai Po-hai.
Akhirnya Siang In tentu akan ke sana pula kalau dia tidak berhasil mencarimu.
Dan kulihat engkau diperebutkan banyak orang, Puteri, maka untuk sementara
waktu ini, kiranya akan lebih aman kalau kau berada di sana bersamaku.
Syanti Dewi tidak membantah
lagi. Dia meninggalkan Bhutan bersama Siang In, dan biarpun dia berniat mencari
Tek Hoat, namun mencari seorang diri saja mana mungkin berhasil? Di bagian
dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang amat lihai, dan tanpa
seorang teman seperjalanan yang sakti seperti Siang In, dia merasa ngeri dan
tidak sanggup untuk mencari Tek Hoat sendirian saja. Pula, kini dia ikut
bersama guru dari Siang In, berarti dia berada di tangan yang aman dan tentu
banyak harapan akan berjumpa kembali dengan gadis ahli sihir itu.
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, peristiwa penculikan atas diri Syanti Dewi dari gedung
Hwa-i-kongcu Tang Hun itu menimbulkan kegegeran hebat. Rombongan Hek-eng-pang
yang dipimpin oleh Yang-liu Nio-nio sendiri berhasil menculik Syanti Dewi tanpa
mereka sadari bahwa yang mereka culik adalah yang palsu. Mereka telah
mengorbankan banyak anak buah dan Syanti Dewi telah diserahkan kepada Ang Tek
Hoat yang melarikannya, akan tetapi kemudian ternyata Syanti Dewi itu hanyalah
seorang pelayan! Seperti kita ketahui, saking marahnya Yang-liu Nio-nio
membunuh pelayan itu dan kemudian mayatnya dilemparkan kepada Siang In oleh Tek
Hoat yang merasa gemas dan berkhawatir akan diri kekasihnya.
Siang In sendiri juga terkejut
ketika melihat mayat yang disangkanya Puteri Bhutan itu ternyata hanya seorang
pelayan. Tahulah, dia bahwa Syanti Dewi telah lenyap tanpa dia ketahui siapa
penculiknya. Jelas bukan Tek Hoat, bukan pula rombongan Hek-eng-pang, akan
tetapi jelas telah lenyap dari rumah Hwa-i-kongcu. Habis, siapa yang telah
menculiknya? Dia merasa penasaran sekali dan mulai melakukan pengejaran dan
penyelidikan.
Sementara itu, seperti telah
diceritakan pula di bagian depan, di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu itu
terdapat pula seorang tamu yang amat lihai, bahkan tamu itu telah membuyarkan
kekuatan sihir dari Siang In ketika gadis yang menyamar sebagai penari dan
pemain sulap ini memperlihatkan kepandaiannya. Orang itu adalah Gitananda,
kakek tokoh Nepal yang tinggi besar, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke
perut itu. Seperti kita ketahui, Gitananda juga mencoba untuk menahan diri
Yang-liu Nio-nio yang dianggapnya telah menculik pengantin perempuan, akan
tetapi Yang-liu Nio-nio yang dibantu banyak anak buahnya itu dapat meloloskan
diri dan Gitananda tidak berani melakukan pengejaran dalam gelap karena dia
tahu bahwa hal itu amat berbahaya, mengingat bahwa rombongan penculik itu
terdiri dari orang-orang pandai.
Gitananda adalah seorang di
antara pembantu-pembantu Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang mengemban tugas
untuk menghubungi pembesar-pembesar yang condong untuk menentang kekuasaan
kaisar. Koksu Nepal yang cerdik itu maklum bahwa untuk memperkuat kedudukannya,
dia harus menghubungi tokoh-tokoh kang-ouw di dunia timur ini, dan sedapat
mungkin berbaik dengan tokoh-tokoh dari golongan hitam. Oleh karena itulah,
maka dia menyebar para pembantunya, dan ketika mendengar akan pernikahan di
puncak Naga Api, yaitu pernikahan dari Hwa-i-kongcu Tang Hun yang didengarnya
sebagai ketua Liong-sim-pang, seorang pemuda yang selain kaya raya, juga amat
lihai bahkan akhir-akhir ini kabarnya menjadi murid Durganini, tentu saja dia
tidak mau melewatkan kesempatan baik itu dan mengutus Gitananda mewakilinya dan
menghadiri pesta itu. Durganini adalah seorang nenek ahli sihir dari India dan
Ban Hwa Sengjin sudah mengenalnya.
Sebetulnya, ketika Gitananda
mendengar bahwa yang menjadi pengantin puteri adalah Syanti Dewi dari Bhutan,
dia terkejut sekali. Betapa akan senangnya koksu kalau sampai dia bisa
mendapatkan puteri itu. Puteri itu dapat dipergunakan untuk memaksa Pemerintah
Bhutan tunduk kepada Nepal! Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh membikin
marah Hwa-i-kongcu, lebih-lebih Durganini, maka Gitananda juga tidak mau
mengganggu pengantin puteri. Akan tetapi ketika terjadi penculikan atas diri
pengantin puteri, tentu saja Gitananda melihat kesempatan yang amat baik!
Puteri itu diculik orang, kalau saja dia bisa merampasnya kembali dari tangan
penculik. Bukan untuk diserahkan kembali kepada Hwa-i-kongcu, sungguhpun hal
itu akan berarti melepaskan Liong-sim-pang sebagai sahabat. Kiranya akan lebih
penting lagi diri Puteri Bhutan itu bagi Nepal, daripada persahabatan
Liong-sim-pang. Pula, kalau dia bisa mendapatkan puteri itu di luar tahu Liong-sim-pang,
bukankah tetap akan menjadi sahabat untuk dapat bekerja sama sewaktu-waktu jika
keadaan membutuhkan karena Hwa-i-kongcu sudah melihat sendiri betapa dia telah
membantu untuk melawan para penculik, biarpun tidak berhasil.
Dia harus dapat mengejar penculik
dan merampas kembali Puteri Bhutan tanpa diketahui oleh Hwa-i-kongcu! Maka
setelah para penculik itu kabur, Gitananda melakukan pengejaran seenaknya
karena dia perlu untuk diam-diam kembali ke kamarnya, lalu pergi lagi turun
dari puncak ke tempat yang sunyi.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Gitananda melepaskan seekor burung berwarna hijau yang
paruhnya merah, burung kecil yang menjadi burung peliharaannya, amat terlatih
dan merupakan burung yang amat cerdik. Dengan dalih memeriksa kamar pengantin
wanita yang terculik malam tadi dia berhasil memasuki kamar pengantin dan
berhasil pula memperoleh sehelai saputangan yang tadinya dipakai oleh Syanti
Dewi, dari seorang pelayan yang disogoknya dengan sepotong emas! Kini, dia
melepaskan burung itu yang membawa robekan saputangan di antara paruhnya yang
merah dan kuat.
Carilah sampai dapat!! teriak
Gitananda sambil melepaskan burung itu. Burung hijau itu terbang seperti kilat
cepatnya ke atas, tinggi sekali lalu mulai terbang tinggi berputar membentuk
lingkaran-lingkaran yang makin lama makin luas. Binatang yang cerdik itu mulai
mencari-cari, menggunakan nalurinya mengandalkan benda yang berada di paruhnya.
Sepasang matanya yang kecil melirak-lirik ke bawah, tajam sekali.
Gitananda menanti sampai hampir
menjelang tengah hari. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya di atas rumput
ketika dia melihat sinar hijau melayang telah kembali! Benar saja, terbang
sampai tiba di atas melepaskan robekan saputangan dan mengeluarkan suara
mencicit.
Burung yang baik, kau telah
menemukan dia?!
Burung itu mencicit dan
terbang ke atas lagi. Gitananda lalu mengikutinya dan burung itu sengaja
terbang tidak terlalu cepat sehingga Gitananda yang memiliki ilmu berlari cepat
itu dapat mengikutinya dari bawah! Dan burung itu terbang menuju ke timur!
Jenggotnya yang panjang berkibar-kibar, ujung sorbannya juga berkibar sehingga
kakek ini nampak gagah dan juga aneh, seperti seorang dewa dalam dongeng.
Sementara itu, See-thian
Hoat-su yang sedang berjalan seenaknya bersama Syanti Dewi, ketika keluar dari
sebuah hutan kecil, tiba-tiba melihat seekor burung hijau terbang berputaran di
atas mereka. Mula-mula Syanti Dewi yang melihat burung itu. Dara bangsawan ini
sedang memandang ke atas, seolah-olah hendak mencari berita dari awan-awan di
angkasa di mana adanya Ang Tek Hoat pada saat itu.
Eh, burung apakah itu demikian
aneh?! katanya sambil menuding ke atas.
See-thian Hoat-su juga
memandang ke atas dan dia mengerutkan alisnya. Biarpun usianya jauh lebih tua,
akan tetapi kakek ini memiliki sepasang mata yang terlatih baik sekali dan dia
dapat mengerahkan kekuatan pandang matanya untuk melihat jauh sehingga burung
itu nampak jelas olehnya.
Puteri, katakan, apakah engkau
mempunyai sehelai saputangan kuning?! tiba-tiba dia bertanya sambil memandang
ke arah burung hijau yang terbang berputaran itu.
Saputangan kuning....?! Tentu
saja Syanti Dewi merasa kaget dan heran mendengar pertanyaan tiba-tiba yang
janggal itu.
Ya.... ya, saputangan sutera
kuning. Apakah engkau memakai benda itu ketika berada di puncak Naga Api, di
tempat tinggal Hwa-i-kongcu?!
Benar.... akan tetapi
kutinggalkan di kamar....!
Ah, celaka....! Benar, dia
tentu burung mata-mata!! teriak See-thian Hoat-su dengan kaget, apalagi ketika
dia melihat burung itu tiba-tiba saja meluncur cepat sekali ke barat, tentu
akan melapor kepada majikannya bahwa dia telah menemukan orang yang dicarinya!
Kita harus cepat pergi dari sini!! Berkata demikian, kakek itu memondong tubuh
Syanti Dewi dan dibawanya berlari cepat sekali sehingga Syanti Dewi memejamkan
matanya karena merasa ngeri. Saking khawatirnya kalau-kalau dia akan tersusul
oleh para pengejarnya yang dia tahu tentu terdiri dari orang-orang pandai
sehingga membahayakan keadaan Syanti Dewi, maka See-thian Hoat-su tidak
mempedulikan pandangan para penghuni dusun-dusun yang dilewatinya. Tentu saja
orang-orang dusun itu terkejut dan terheran-heran melihat seorang dara cantik
jelita dipondong dan dibawa lari oleh seorang kakek botak yang larinya seperti
setan!
Lebih-lebih lagi keheranan
mereka ketika bebecapa lama kemudian, muncul pula. seorang kakek berkulit
hitam, tinggi besar, kepalanya memakai sorban, jenggotnya panjang sampai ke
perut dan dengan suara kaku dan asing kakek ini bertanya kepada mereka apakah
mereka melihat seorang dara yang cantik jelita, yang kulitnya putih kemerahan,
matanya lebar seperti sepasang bintang, sikapnya lemah lembut, halus budi dan
agung, lewat di dusun itu.
Ah, kami melihat seorang dara
cantik jelita, akan tetapi dia dipondong dan dibawa lari seorang kakek
botak....!
Yaaa! Itulah dia! Ke mana
mereka pergi?! Gitananda bertanya dengan girang karena dia tidak merasa ragu
lagi bahwa itulah dara yang dicarinya dan benar saja, agaknya Sang Puteri
Bhutan itu dilarikan seorang penculik!
Kini para penghuni dusun
merasa ragu-ragu karena mereka kurang percaya kepada orang asing bersorban yang
bicaranya kaku ini, akan tetapi Gitananda cepat berkata, Agaknya kalian belum
tahu. Kakek botak itu adalah seorang penjahat besar, seorang penculik! Dan dara
yang diculik itu adalah seorang puteri! Puteri Raja Bhutan dan aku adalah
seorang petugas yang akan menolong sang puteri. Harap kalian cepat memberi
tahu, ke mana mereka itu pergi?!
Tentu saja para penghuni dusun
merasa kasihan sekali kepada sang puteri dan berfihak kepada orang asing ini
yang hendak menolong sang puteri yang terculik penjahat, maka berebutlah mereka
memberi tahu ke mana arah larinya kakek botak yang memondong dan menculik sang
puteri. Setelah mendengar bahwa kakek botak itu melarikan sang puteri menuju ke
timur. Gitananda cepat melakukan pengejaran bersama burung hijaunya. Maka
ramailah para penghuni dusun itu membicarakan peristiwa yang aneh itu sehingga
cerita tentang kakek botak yang seperti iblis menculik Puteri Bhutan lalu
dikejar oleh kakek seperti dewa hitam tersiar luas di dusun itu dan bahkan
keluar sampai ke dusun-dusun lain.
Sementara itu. See-thian
Hoat-su yang memondong tubuh Syanti Dewi, melakukan perjalanan cepat sekali
menuju ke timur dan akhirnya, beberapa hari kemudian setelah melakukan
perjalanan yang hampir tidak pernah ditundanya kecuali kalau malam gelap sekali
dan untuk makan, tibalah kakek ini bersama Syanti Dewi di Gua Tengkorak. tempat
pertapaan See-thian Hoat-su selama bertahun-tahun ini!
Syanti Dewi merasa lega ketika
kakek itu mengatakan bahwa mereka telah tiba di tempat pertapaan yang
tersembunyi. dan dia lalu memeriksa tempat itu. Tempat yang amat indah akan
tetapi juga menyeramkan. Gua besar itu dalamnya seperti sebuah rumah saja, amat
lebar dan dibagi-bagi menjadi beberapa buah kamar, bahkan ada tempat dapurnya
yang terisi perabot dapur lengkap. Gua itu terletak di antara batu-batu karang
yang besar-besar sehingga tersembunyi, dan menghadap ke luar Teluk Po-hai.
Suara ombak memecah di batu-batu karang terdengar setiap saat siang malam,
merupakan dendang yang tidak hentinya dan menciptakan suasana yang aneh dan
berbeda sekali dari suasana di darat dan pegunungan. Angin bersilir terus
jarang berhenti, dan di atas gua itu adalah sebuah bukit batu karang yang di
bagian atasnya ditumbuhi bermacam pohon yang tahan hidup di tepi pantai. Di
sebelah kiri gua terdapat air tawar yang bercucuran dari celah-celah batu yang
pecah oleh akar-akar pohon, air yang merupakan berkah bagi penghuni gua karena
memudahkan pengambilan air tawar yang amat dibutuhkan. Gua itu sendiri kalau
dilihat dari jauh memang berbentuk seperti tengkorak manusia.
Jangan terlalu jauh
meninggalkan gua,! kata See-thian Hoat-su yang memanggil kembali Syanti Dewi
yang berjalan-jalan di sekitar tempat itu sampai ke pantai Po-hai. Sekarang
belum aman benar. Siapa tahu orang yang mempunyai burung hijau dapat mengejar
sampai ke sini. Siapapun mereka, jangan harap akan dapat merampasmu dari
sampingku, Puteri. Akan tetapi kalau kau berkeliaran terlalu jauh, dan mereka
menculikmu, tentu saja aku tidak tahu dan tidak berdaya untuk mencegah mereka.!
Mendengar itu, Syanti Dewi
tidak lagi berani pergi jauh dan mulailah puteri ini membersihkan gua, kemudian
memasak air dan menanak nasi yang semua bahannya terdapat di tempat itu. Biarpun
dia seorang puteri raja, namun pengalaman beberapa tahun yang lalu ketika dia
meninggalkan Kota Raja Bhutan (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali) membuat dia
tidak canggung untuk melakukan pekerjaan rumah, bahkan untuk hidup secara
sederhana sekali. Melihat kecekatan puteri ini, diam-diam See-thian Hoat-su
merasa kagum sekali. Seorang puteri raja namun demikian gapah memainkan sapu
dan pengebut bulu ayam, dan demikian cekatan untuk bergaya di dalam dapur!
Malam itu Syanti Dewi
menyalakan lilin sebagai penerangan di dalam gua. Heran dia mengapa di sebelah
dalam gua itu tidak ada angin, padahal kalau dia berdiri di depan gua, angin
bersilir tiada hentinya. Namun di dalam gua, api lilin tidak bergoyang sedikit
pun, tanda bahwa di situ tidak dimasuki angin sama sekali! Tentu saja dara ini
tidak tahu bahwa hawa bersifat seperti air, hanya akan mengalir masuk tempat
yang berlubang dan ada tembusannya. Gua itu merupakan lubang yang rapat di
bagian belakangnya sehingga telah penuh dengan hawa dan tidak memungkinkan lagi
hawa dari luar mengalir masuk.
Setelah mereka makan dengan
sederhana, yaitu hanya nasi dengan lauk panggang ikan yang ditangkap oleh
See-thian Hoat-su dari teluk, makan malam sederhana yang amat lezat karena hati
tenang dan perut lapar ditambah tubuh lelah, mereka lalu mengaso. Saking
lelahnya setelah berlari sambil memondong Syanti Dewi beberapa hari lamanya,
sebentar saja See-thian Hoat-su sudah tidur mendengkur.
Akan tetapi, Syanti Dewi tidak
dapat tidur. Hatinya gelisah memikirkan nasibnya. Memang benar bahwa dia telah
selamat dan aman di tangan guru Siang In, akan tetapi kapankah dia dapat
berjumpa dengan Siang In? Dan terutama sekali, kapankah dia akan dapat bertemu
dengan Tek Hoat dan bagaimana sikap Tek Hoat kalau berhadapan dengan dia?
Teringat akan semua pengalamannya, Syanti Dewi menarik napas panjang. Apakah
yang akan dialaminya selanjutnya.?