Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 9 - Setan Merah
Heiiiii!! Kian Lee terkejut
dan meloncat, akan tetapi ketika dia tiba di sudut tempat itu, meja dan kursi
berikut sang gubernur telah lenyap dan lantai itu telah tertutup kembali!
Ha-ha-ha-ha!! Suara ketawa
yang menggetarkan seluruh ruangan itu terdengar dan ketika Kian Lee menengok,
ternyata kakek botak raksasa itu telah berdiri di ambang pintu, berdiri tegak
dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan perutnya
yang besar bergoncang-goncang ketika dia tertawa.
Mengertilah Kian Lee bahwa dia
telah tertipu, maka dengan marah dia lalu meloncat ke depan, menggerakkan kedua
tangannya mendorong kakek raksasa itu sambil membentak, Pergilah!!
Kian Lee adalah seorang pemuda
yang berwatak halus dan dia sama sekali tidak mau membunuh orang begitu saja.
Dia tidak mengenal kakek ini, sungguhpun dia tahu bahwa kakek ini adalah kaki
tangan Gubernur Ho-nan yang agaknya tadi telah mengetahui akan kedatangannya
dan mengatur siasat untuk menjebaknya di ruangan itu. Maka ketika dia menyerang
untuk meloloskan diri, dia hanya menggunakan setengah tenaga sinkangnya karena
dianggapnya itu sudah cukup dan agar jangan sampai dia melukai orang yang
membahayakan keselamatan orang itu.
Kakek itu dengan kedua kaki
masih terpentang lebar, agaknya memandang rendah kepada pukulan kedua tangan
pemuda itu.
Buktinya, dia sama sekali
tidak mengelak dari pukulan itu, juga tidak menangkis, melainkan juga
menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan pukulan telapak tangan yang
didorongkan. Kian Lee terkejut sekali. Dia mengenal keampuhan pukulannya
sendiri yang dilakukan dengan tenaga Swat-im-sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Inti
Es yang amat ampuh, tenaga sakti dari, ayahnya, yang dilatihnya di Pulau Es.
Karena dia tidak ingin mencelakakan orang, maka kembali dia mengurangi
tenaganya dengan agak menahan pukulan kedua tangannya yang mendorong itu.
Desssss....!! Akibat benturan
dua pasang telapak tangan itu, tubuh Kian Lee terjengkang dan terlempar sampai
jauh ke dalam ruangan itu!
Ha-ha-ha-ha-ha!! Kakek raksasa
itu tertawa bergelak, suara ketawanya menggetarkan ruangan dan tadi ketika
bertemu tenaga sakti, tubuhnya hanya bergoyang sedikit saja! Dan pada saat itu,
kelihatan dua orang menubruknya dan mereka ini bukan lain adalah Mauw Siauw
Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo! Kiranya dua orang ini juga sudah bersembunyi di
balik pintu-pintu rahasia dan begitu melihat dia terjengkang dan bergulingan,
mereka kini menubruk dengan serangan maut mereka. Mauw Siauw Mo-li menggunakan
pedangnya yang bersinar hijau itu menusuk ke arah dadanya, sedangkan Honan
Ciu-lo-mo menggunakan guci arak menghantam ke arah kepalanya!
Akan tetapi biarpun tubuhnya
terlempar dan bergulingan, Kian Lee sama sekali tidak terluka. Kalau dia
terpental, hal itu hanyalah karena dia hanya menggunakan tenaganya sedikit
saja, hanya kurang dari setengahnya dan ternyata, di luar dugaannya, kakek
botak raksasa itu benar-benar lihai bukan main! Kiranya kalau dia tadi
mengerahkan seluruh tenaganya, baru dia akan dapat menandingi kakek itu! Betapa
bodohnya!
Dengan ginkangnya yang amat
hebat, yang hanya kalah oleh ilmu mujijat ayahnya yang disebut Gerakan Angin
dan Petir, yaitu gerakan khas ayahnya sebagai seorang pendekar kaki tunggal
yang terkenal sebagai Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Kian Lee
menggerakkan tubuhnya melesat dari bawah sehingga hanya nampak bayangan
berkelebat dan dua serangan maut itu hanya mengenai tempat kosong! Nyaris dia
celaka, pikirnya dan karena tahu bahwa usahanya gagal sama sekali, tubuhnya
mencelat lagi ke arah daun jendela yang masih tertutup.
Brakkk!! Daun jendela pecah
kena terjangan tubuhnya dan terdengar pekik kesakitan ketika empat orang
pengawal di luar jendela itu kena diterjang pula oleh kaki Kian Lee sehingga
mereka terpental dan terguling-guling. Kiranya di luar ruangan itu telah
menanti banyak sekali pengawal! Kian Lee tidak mau membuang waktu lebih lama
lagi. Sebelum kakek raksasa yang lihai bersama dua orang lihai tadi keluar, dia
sudah meloncat ke atas genteng dan melarikan diri. Teriakan disusul sambaran
anak panah sama sekali tidak ada artinya bagi Kian Lee yang melarikan diri
secepatnya. Untung bahwa kakek raksasa itu, mungkin karena tubuhnya yang
terlalu berat dan besar, tidak memiliki ginkang yang terlalu tinggi sehingga
tidak mengejarnya. Di antara mereka, yang ginkangnya paling lihai adalah Mauw
Siauw Mo-li, akan tetapi wanita ini agaknya tidak berani mengejar sendirian
karena dia pun maklum bahwa pemuda itu luar biasa sekali dan amatlah berbahaya
kalau dia berhadapan seorang diri saja melawan pemuda itu.
Sambil melarikan diri, Kian
Lee merasa heran dan menduga-duga siapa adanya kakek yang lihai itu. Ketika
terjadi keributan tempo hari, dia tidak melihat kakek itu dan andaikata pada
waktu itu terdapat kakek itu di pihak Gubernur Ho-nan, agaknya dia tidak akan
dapat lolos dengan selamat, juga Gubernur Ho-pei dan Cui Lan tidak akan dapat
lolos demikian mudahnya.
Tentu saja pemuda ini tidak
mengenal kakek raksasa itu, bahkan seluruh tokoh dunia kang-ouw agaknya juga
tidak ada yang mengenalnya, kecuali mereka yang pernah pergi ke negeri Nepal,
jauh di barat, di sebelah selatan Pegunungan Himalaya. Kakek ini adalah utusan
dari negeri Nepal dan selain utusan, juga dia adalah seorang yang berpangkat
tinggi di negeri itu, yaitu sebagai kok-su (guru negara). Selain berkedudukan
tinggi dan dipercaya oleh Raja Nepal, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat,
karena dia masih peranakan Han dan dahulu di waktu mudanya dia memperoleh
pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dan setelah dia merantau ke Nepal dia dapat meraih
kedudukan tinggi berkat kepandaiannya itu. Ketika mendengar betapa
pemberontakan dua orang Pangeran Liong yang gagal itu mengakibatkan kemunduran
sinar kekuasaan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua, maka Kerajaan Nepal yang
tadinya juga menjadi negara taklukan atau lebih tepat lagi sebagai negara yang
mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu), lalu berusaha mendekati
daerah-daerah yang menentang kaisar untuk bersekutu! Untuk memberontak sendiri,
Nepal merasa kurang kuat, akan tetapi kalau ada gubernur yang memberontak,
mereka akan membonceng. Demikianlah, ketika mendengar akan sikap Gubernur Kui
Cu Kam dari Propinsi Ho-nan yang kelihatan mulai menjauhkan diri dari
pemerintah pusat, raja mengirim utusan untuk mendekatinya.
Utusan itu adalah kakek itu, yang
di timur mengaku berjuluk Ban-hwa Seng-jin. Nama ini memang sudah terkenal di
wilayah Tiongkok bagian barat, dari Tibet sampai ke wilayah Secuan. Dan baru
sekarang Ban-hwa Seng-jin membawa belasan orang pengawal pilihan yang menjadi
pembantu-pembantunya untuk berkunjung ke Ho-nan dan kebetulan sekali dia
mendengar akan keributan di gubernuran itu.
Tetapi Ban-hwa Seng-jin sedang
mengadakan perundingan dengan Gubernur Kui, dia yang berilmu tinggi dapat
mengetahui bahwa ada orang pandai datang mengintai, maka diam-diam dia lalu
memberi isyarat kepada gubernur dan sang gubernur juga cepat membunyikan alat
rahasia untuk memberi tahu kepada kepala pengawal. Kemudian diaturlah oleh
Ban-hwa Seng-jin untuk menjebak musuh, akan tetapi ternyata pemuda yang lihai itu
berhasil juga meloloskan diri.
Cui Lan girang bukan main
melihat Suma Kian Lee kembali dalam keadaan selamat, akan tetapi Gubernur
Ho-pei dan Komandan Souw Kwe An kecewa melihat pemuda itu kembali seorang diri
saja tanpa membawa Pangeran Yung Hwa.
Bagaimana dengan Sang
Pangeran?! Gubernur Hok bertanya gelisah.
Kian Lee lalu menceritakan
pengalamannya ketika dia mendengar pengakuan para pengawal yang ditawannya dan
juga percakapan antara dua orang penjaga yang semua menyatakan bahwa Pangeran
Yung Hwa telah kembali ke kota raja pada keesokan harinya setelah terjadi
keributan di dalam taman! Tentu saja dua orang pembesar itu menjadi terheran
akan tetapi juga ragu-ragu untuk percaya berita itu.
Sebaiknya kalau Souw-ciangkun
cepat-cepat kembali ke kota raja,! kata gubernur itu, Kalau benar Pangeran
telah kembali dengan selamat, syukurlah. Kalau belum, maka perlu cepat
melaporkan kepada Kaisar agar dapat diambil tindakan terhadap Gubernur Ho-nan
yang khianat itu!!
Sebaiknya begitu,! kata Kian
Lee. Dan saya akan mengantarkan Hok-taijin kembali ke Ho-pei. Perjalanan itu
masih amat berbahaya karena saya menduga bahwa sebetulnya yang dijadikan
sasaran oleh Gubernur Ho-nan adalah Paduka Gubernur.!
Pembesar tua itu mengangguk
dan menarik napas panjang. Kalau orang she Kui itu hanya mencoba untuk menawan
atau membunuh aku, masih tidak mengapa karena memang dia bermaksud buruk
terhadap Ho-pei di perbatasan. Akan tetapi kalau dia hendak memberontak, aku
akan mengerahkan seluruh kekuatanku untuk menggempurnya!!
Lalu bagaimana dengan Nona
Phang?! tanya Souw-ciangkun yang bagaimanapun merasa berhutang budi kepada nona
itu, karena kalau tidak ada bantuan nona itu, belum tentu dia masih hidup saat
ini.
Jangan Sam-wi memikirkan
saya....! kata Cui Lan.
Ah, mana bisa demikian? Engkau
harus dilindungi juga karena engkau tentu dicari-cari oleh Gubernur Ho-nan
setelah mereka semua tahu bahwa aku lolos oleh bantuanmu. Kalau kau suka, kau
ikut bersamaku, Nona. Engkau.... kalau kau.... suka aku akan mengangkatmu
sebagai anakku, anak angkatku!! Ucapan ini keluar dengan suara yang
sungguh-sungguh, bahkan sepasang mata orang tua itu berlinang air mata. Melihat
ini, Cui Lan menunduk. Dia terharu sekali dan sampai lama dia tidak mampu
menjawab. Akhirnya keluar juga suaranya yang lirih dan tergetar saking
terharunya.
Saya.... hanya seorang
pelayan.... bagaimana mnungkin menerima penghormatan demikian besar? Menjadi
puteri.... seorang gubernur....?!
Nona Cui Lan! Cepat kau
menghaturkan terima kasih kepada Gi-humu (Ayah Angkatmu). Engkau lebih dari
pantas untuk menjadi seorang puteri gubernur, bahkan aku melihat engkau tidak
kalah oleh puteri-puteri istana!! kata Kian Lee yang merasa girang sekali atas
niat yang amat baik dari gubernur itu.
Dan lagi, bukanlah engkau
sendiri yang mengaku saya sebagai paman?! Gubernur itu menggoda.
Dengan air mata berlinang, Cui
Lan tersenyum lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gubernur itu sambil
berkata, Gi-hu....!
Anakku! Cui Lan, kau anakku!!
Gubernur itu mengangkat bangun dara itu dan merangkulnya dengan girang.
Souw-ciangkun juga girang
sekali dan cepat dia menjura bersama Kian Lee, mengucapkan selamat kepada ayah
dan anak itu yang dibalas dengan gembira pula oleh Gubernur Hok dan Cui Lan.
Kemudian komandan pasukan pengawal istana itu berpamit dan meninggalkan tempat
itu untuk cepat kembali ke kota raja. Biarpun perjalanan ke kota raja melalui
Propinsi Ho-pei pula. akan tetapi demi keselamatan mereka sendiri, mereka
melakukan perjalanan terpisah karena gubernur itu harus tetap melakukan
penyamaran sebelum mereka keluar dari wilayah Propinsi Ho-nan.
Kian Lee lalu mengawal
Gubernur Hok Thian Ki dan Phang Cui Lan dengan hati-hati. Dia maklum bahwa
tentu Gubernur Ho-nan tidak akan berhenti demikian saja dan terus mengerahkan
anak buahnya untuk mencari musuhnya itu. Dan dugaan ini memang benar karena
pada hari itu juga, menjelang senja, ketika Kian Lee meninggalkan dua orang itu
di dalam hutan dan dia sendiri menyelidiki keadaan, dia melihat sepasukan
pengawal gubernur dipimpin oleh Perwira Su Kiat lewat di dekat hutan itu! Maka
terpaksa dia melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, melewati hutan-hutan
dan gunung-gunung sehingga perjalanan keluar dari Propinsi Ho-nan itu makan
waktu jauh lebih lama daripada kalau menggunakan perjalanan biasa.
Biarpun masih muda, usianya
baru sekitar dua puluh dua tahun, namun Suma Kian Lee adalah seorang yang telah
mengalami banyak hal-hal yang hebat.
Sejak berusia tujuh belas
tahun dia sudah meninggalkan Pulau Es bersama adiknya, Suma Kian Bu, dan mengalami
banyak hal sampai akhirnya dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya untuk
memperdalam ilmu kepandaiannya (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan kini
dalam perjalanannya mencari adiknya yang selama itu belum pernah pulang ke
Pulau Es, dia juga mengalami hal-hal hebat, bahkan nyaris nyawanya berakhir di
terowongan air!
Maka kini dia dapat melakukan
pengawalan dengan baik dan teliti terhadap dua orang yang terhormat dan disuka
itu, yaitu Hok Thian Ki Gubernur Ho-pei dan Phang Cui Lan, gadis cantik yang
biarpun lemah tak berkepandaian silat, namun sesungguhnya memiliki jiwa yang
gagah, penuh keberanian, kecerdikan, dan kebijaksanaan itu.
Mereka telah melakukan
perjalanan tiga hari, perjalanan yang lambat namun aman, ketika mereka tiba di
tepi sungai yang mengalir ke timur. Lebih baik kita mengambil jalan melalui
sungai, tidak terlalu melelahkan Cui Lan,! usul Gubernur Hok. Apalagi saya
rasa, di sekitar perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei tentu penuh dengan pasukan
yang menjaga. Melalui sungai ini, kita akan memasuki daerah Propinsi Shan-tung,
kemudian dari situ kita ke barat memasuki Propinsi Ho-pei. Selain lebih aman,
juga tidak terlalu melelahkan.!
Sebetutnya Kian Lee kurang
setuju karena bagi seorang ahli silat seperti dia, di darat merupakan daerah
yang leluasa dan aman baginya kalau menghadapi bahaya, tidak seperti kalau di
air. Akan tetapi dia memang melihat Gubernur Hok dan Cui Lan sudah amat lelah
melakukan perjalanan kaki itu, sungguhpun dara itu sama sekali tidak pernah
mengeluh. Maka dia menerima usul ini dan mereka lalu membeli sebuah perahu yang
cukup besar, yang ada biliknya untuk berteduh, dari seorang nelayan sungai.
Perjalanan dengan perahu
memang mengasyikkan dan memang kakek dan gadis itu dapat melepaskan kelelahan
mereka. Pula, karena per jalanan mereka menurutkan aliran air sungai, maka juga
tidak perlu mendayung, hanya mengemudikan perahu saja yang tidak makan banyak
tenaga. Baru berlayar setengah hari saja Gubernur Hok telah mulai memancing
ikan dengan alat pancing yang di belinya dari nelayan, sedang Cui Lan juga
memasak air sambil bersenandung!
Benar juga usul Hok-taijin,
pikir Kian Lee. Biarpun perjalanan menjadi memutar, keluar timur melalui
propinsi atau wilayah perbatasan dengan Shan-tung, namun tidak melelahkan dan
kalau sudah tiba di wilayah Ho-pei, tentu pembesar setempat akan dapat.
menyediakan kereta untuk gubernur dan anak angkatnya itu.
Malam itu mereka menginap di
sebuah dusun di tepi sungai dan dalam kesempatan ini, Cui Lan berbelanja bahan
makanan untuk dimasak di atas perahu. Kemudian, pagi-pagi sekali mereka sudah
kembali di perahu mereka. Akan tetapi betapa kagetnya hati mereka ketika
melihat seorang kakek tua yang bertubuh kate kecil bersama tujuh orang
laki-Iaki yang kelihatan gagah, kasar dan menyeramkan telah berdiri di dekat
perahu mereka itu.
Kian Lee yang seperti juga
Hok-taijin dan Cui Lan telah menyamar, memakai pakaian seperti nelayan, cepat
mendekati mereka dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Pandang matanya
yang tajam dan dapat melihat bahwa kakek kate kecil ini bukan sembarang orang
melainkan orang yang biasa mengandalkan tenaga dan kepandaian untuk memaksakan
kehendak mereka. Namun dia bersikap tenang dan pura-pura tidak tahu akan
kedatangan mereka, lalu membantu Hok-taijin dan Cui Lan memasuki perahu dan dia
sendiri mulai melepaskan tali perahu itu dari akar pohon di pantai.
Eh, sobat, apakah ini
perahumu?! tiba-tiba kakek tua kecil itu bertanya. Aneh sekali, orangnya kecil
akan tetapi suaranya besar dan dalam. Matanya yang kecil sipit menatap wajah
Kian Lee dengan tajam penuh perhatian.
Kian Lee pura-pura kaget
mendengar suara besar nyaring itu dan dia menengok, lalu mengangguk, Benar,
Loya (Tuan Tua).!
Kamu hendak berlayar ke mana?!
tanya Si kakek, sedangkan tujuh orang laki-laki bertubuh kuat itu melirik ke
dalam bilik perahu di mana Cui Lan sedang mengatur barang belanjaannya dan
Hok-taijin pura-pura menggulung tali pancingnya, padahal kedua orang ini sudah
berdebar penuh ketegangan karena mereka mengira bahwa delapan orang itu tentulah
mata-mata dari Gubernur Ho-nan.
Kami hendak ke hilir....!
Bagus! Kami delapan orang juga
mempunyai keperluan untuk cepat pergi ke hilir, maka kami akan nunut perahumu
dan kami akan membayar mahal.!
Maaf, Loya. Kami bukan tukang
perahu, kami nelayan-nelayan yang baru habis berbelanja dan....!
Kami tahu! Akan tetapi
perahumu cukup besar untuk dapat memuat kami. Apakah kamu tidak bersedia
menolong kami dengan bayaran mahal?!
Hemmm, Twako, kenapa tidak
dorong saja dia ke air?! Seorang di antara mereka yang berkumis tebal berkata
marah.
Hushhh, jangan menggunakan
kekarasan, Ang-kwi. Kita bukan di daerah sendiri!! Kakek tua itu menegur Si
Kumis Tebal yang disebut Setan Merah itu. Bagaimana, sobat? Apakah kamu masih
juga menolak?!
Kian Lee memutar otaknya.
Kalau dia menolak, jelas tentu akan terjadi keributan dengan mereka. Dia tidak
takut, tetapi kalau dia merobohkan mereka, terutama kakek yang tentu lihai ini,
berarti dia membuka rahasianya sebagai nelayan biasa dan hal ini akan
menimbulkan kecurigaan. Masih baik kalau orang-orang ini tidak ada hubungannya
dengan Gubernur Ho-nan, kalau mereka melapor, bisa celaka.
Baiklah kalau memang Loya dan
Cuwi sekalian mempunyai keperluan penting,! akhirnya dia berkata dan
mengedipkan matanya kepada Cui Lan dan Hok-taijin. Cui Lan lalu duduk di sudut
dalam bilik itu, sebagian ditutupi oleh Hok-taijin yang diam-diam merasa
khawatir sekali.
Kakek tua itu memasuki bilik
dan karena bilik itu sempit, hanya dia dan dua orang termasuk Si Kumis Tebal
yang dapat ke bilik, sedangkan lima orang yang lain terpaksa duduk di luar
bilik, di papan perahu.
Kian Lee mengemudikan perahu
ke tengah. Kalau sampai terjadi keributan, pikirnya, dan hal itu agaknya bukan
tidak mungkin melihat sikap mereka dan pandang mata mereka yang penuh nafsu ke
arah Cui Lan, sebaiknya dia merobohkan mereka di tengah sungai, jauh dari
pantai sehingga tidak kelihatan oleh orang-orang lain.
Si Kumis Tebal memang sejak
tadi memandang kepada Cui Lan, secara terang-terangan tidak seperti
teman-temannya yang lain. Kemudian dia memandang kepada Hok-taijin dan
bertanya, Orang tua, apakah dia ini anakmu?!
Hok-taijin mengangguk dan
bibirnya bergerak membenarkan.
Hah, cantik sekali!!
Dan dia itu mantuku,! kata
pula Hok-taijin sambil menunjuk ke arah Kian Lee. Hal ini dia lakukan dengan
harapan bahwa kalau mendengar anaknya telah menikah dan menjadi isteri orang
lain, tentu Si Kumis Tebal itu akan merasa sungkan untuk menggoda. Akan tetapi
agaknya gubernur tua ini tidak tahu dengan siapa dia berhadapan! Dia berhadapan
dengan segerombolan bajak sungai!
Kakek kecil kate itu adalah
seorang bajak sungai yang amat terkenal di sepanjang Sungai Huang-ho karena dia
adalah Huang-ho Lo-cia yang amat ditakuti dan yang mempunyai banyak anak buah!
Dia memakai julukan Lo-cia karena biarpun dia sudah tua, namun tubuhnya kecil
seperti kanak-kanak, maka dia memakai julukan Lo-cia, tokoh dalam cerita
Hong-sin-pong yang memang seorang manusia dewa yang bertubuh anak-anak, namun
luar biasa lihainya itu. Dan tujuh orang itu adalah sebagian dari anak buahnya!
Maka, Si Kumis Tebal berjuluk
Setan Merah atau Ang-kwi itu menyeringai ketika Hok-taijin memperkenalkan Kian
Lee. Dia memandang ke arah Kian Lee, lalu meludah di lantai perahu, Cuihhh!
Mengapa setangkai mawar yang demikian indahnya hanya diberikan kepada seorang
nelayan kotor?! katanya. Tentu saja Hok taijin tidak berani berkata apa-apa
lagi dan Cui Lan menjadi merah sekali mukanya merah saking marahnya mendengar
penghinaan yang dilontarkan orang kasar itu kepada Kian Lee. Tentu Kian Lee
juga mendengar ini akan tetapi pemuda itu pura-pura tidak mendengar apa-apa.
Melihat betapa Kian Lee tetap
mengemudikan perahu dan mukanya tidak memperlihatkan suatu perasaan apa pun,
diam-diam Cui Lan menjadi makin kagum kepada pemuda ini, juga kasihan. Pemuda
itu adalah pelindungnya pada saat itu, juga pelindung Gubernur Ho-pei, maka
boleh dibilang jiwa raganya dan jiwa raga ayah angkatnya itu berada di tangan
Kian Lee. Kini pemuda itu sudah mengalami penghinaan luar biasa karena dia. Dia
maklum bahwa kalau tidak karena dia, penghinaan semacam itu yang dilontarkan
oleh seorang kasar seperti itu, tentu tidak akan didiamkan saja oleh pendekar
sakti ini.
Cui Lan lalu menuangkan
secangkir teh dan keluar dari bilik menghampiri Kian Lee dengan cangkir air teh
di tangan.
Minumlah....! katanya halus
sambil menyodorkan cangkir teh itu.
Kian Lee tersenyum, menerima
cangkir teh dan meminumnya. Tanpa menggerakkan bibir, terdengar dia berkata
lirih sekali, hanya untuk telinga Cui Lan, Tenanglah dan jangan takut selama
aku berada di sini.!
Tiba-tiba Si Kumis Tebal
bangkit berdiri dah dengan langkah gagah dia menghampiri Cui Lan yang masih
berdiri di dekat Kien Lee. Mukanya yang merah itu seperti muka orang mabuk dan
agaknya muka inilah yang membuat dia dijuluki Ang-kwi (Setan Merah) dan agaknya
dia merupakan pembantu yang penting juga dari Huang-ho Lu-cia karena di antara
tujuh orang pengikut kakek pendek kecil itu, dialah yang nampaknya paling
berani.
Eh, Manis, kami juga minta
secangkir teh! Tidak patut kalau fihak tuan rumah minum sendiri sedangkan
tamu-tamu tidak disuguhi. Harganya berapa akan kami bayar, dan kalau dijual
dengan orangnya sekalipun akan kubayar tunai, Manis! Heh-heh!! Teman-temannya
tertawa mendengar ini dan sikap teman-temannya ini membuat Si Kumis Tebal makin
berani.
Berapa harga secangkir tehmu,
Manis? Berapa harga sebuah ciuman di mulutmu itu? Dan berapa harga semalam?
Ha-ha-ha!!
Sobat, harap jangan mengganggu
dia!! Kian Lee berkata dan Cui Lan makin mepet kepada Kian Lee untuk minta perlindungan.
Siapa menggoda siapa!! Si
Kumis Tebal mengejek dan tangannya yang besar dan lengannya yang panjang
bergerak, jari-jari tangannya dengan kurang ajar hendak mencubit pinggul Cui
Lan. Dara ini menjerit dan Kian Lee menggerakkan tangan, tidak tampak oleh
orang di situ saking cepatnya dan tahu-tahu Si Kumis Tebal berteriak dan
tubuhnya terjungkal keluar dari perahu.
Byuuuuurrrrr....!! Air mucrat
tinggi dan Si Kumis Tebal gelagapan, akan tetapi sebagai seorang bajak sungai
tentu saja dia pandai renang dan cepat dia telah menguasai diri, memegang
pinggiran perahu.
He, kenapa Si Ang-kwi....?!
Orang-orang berteriak.
Keparat, kau berani pukul
aku?! teriak Ang-kwi yang sudah merangkak naik ke dalam perahu.
Siapa yang pukul?! Kian Lee
bertanya, tersenyum.
Kau berdiri tidak benar,
terpeleset dan jatuh sendiri bilang suamiku yang pukul. Tak tahu malu!! Cui Lan
juga berkata.
Teman-teman Ang-kwi tertawa,
akan tetapi Ang-kwi masih marah dan melompat tinggi hendak menghajar Kian Lee.
Akan tetapi pada saat itu terdengar kakek kecil itu berseru, Jangan ribut!
Lihat di depan itu!!
Tujuh orang anak buahnya
memandang ke depan dan melihat tiga buah perahu meluncur dari samping
menghadang mereka, akan tetapi masing-masing perahu hanya didayung oleh seorang
laki-laki. Melihat perahu-perahu itu dan pendayung tunggalnya, tiba-tiba tujuh
orang itu bersorak. Mereka mengenal perahu-perahu mereka itu.
Ha, itu perahu kita sendiri!!
Lebih enak daripada perahu
sempit ini!!
Kita pindah saja!!
Akan tetapi wanita itu baik
kita bawa saja!! kata Ang-kwai.
Hok-taijin yang sudah
mempelajari cara mengemudikan perahu dari Kian Lee, atas isyarat Kian Lee cepat
pergi mendekati pemuda itu, menggantikan Kian Lee memegang kemudi perahu
sedangkan Kian Lee sendiri lalu memberi isyarat kepada Cui Lan agar dara ini
memasuki bilik yang sudah kosong karena semua orang itu telah keluar dari bilik
dan berdiri di kepala perahu. Setelah Cui Lan memasuki bilik, Kian Lee duduk di
depan bilik menjaga!
Setelah tiga buah perahu itu
berdekatan, mereka berloncatan ke atas perahu-perahu itu. Akan tetapi alangkah
terkejut hati mereka ketika dari dalam bilik-bilik tiga buah perahu itu
bermunculan wanita-wanita cantik yang menyambut mereka dengan pedang di tangan!
Heiii....!
Celaka....!!
Kita terjebak!!
Lawan mereka! Mereka itu
adalah orang-orang Hek-eng-pang!! teriak Huang-ho Lo-cia dan dia sendiri lalu
meloncat ke sebuah di antara tiga perahu itu untuk menghadapi pimpinan
wanita-wanita Hek-eng-pang itu yang bersenjata siang-kiam (sepasang pedang).
Kakek ini sudah melolos joan-pian dari pinggangnya, dengan senjata ini dia
menerjang wanita itu yang menyambut dengan siang-kiamnya.
Kiranya mereka itu memang
benar adalah orang-orang Hek-eng-pang, dan wanita yang memegang siang-kiam itu
bukan lain adalah Kim-hi Nio-cu, kepala dari Pasukan Air. Tiga buah perahu itu
adalah perahu-perahu milik bajak sungai anak buah Huang-ho Lo-cia yang mereka
rampas. Hal ini merupakan pembalasan mereka karena beberapa hari yang lalu dua
orang anggauta Hek-eng-pang menjadi korban pembajakan anak buah Huang-ho
Lo-cia, bahkan mereka itu selain dirampas senjata dan barang-barangnya, juga
telah diperkosa oleh beberapa orang anak buah Huang-ho Lo-cia. Karena itu, kini
mereka datang untuk membikin pembalasan, merampas perahu, membunuh beberapa
orang bajak, memaksa tiga orang bajak mendayung perahu mereka dan mereka
menghadang kedatangan Huang-ho Lo-cia dan tujuh orang pembantunya!
Setiap perahu itu ternyata
ditumpangi oleh lima orang wanita Hek-eng-pang dan karena wanita-wanita itu
juga memiliki kepandaian lumayan, maka untuk menghadapi setiap orang bajak
cukup dilayani oleh seorang di antara mereka, sedangkan yang lain-lain lalu
menyerbu dan berloncatan ke perahu Kian Lee! Melihat Kia Lee duduk di depan
bilik perahu, mereka lalu menyerang, akan tetapi betapa kaget hati mereka
ketika dorongandorongan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga angin
dorongannya saja sudah membuat dua orang di antara mereka terlempar ke dalam
air!
Sementara itu, pertandingan
berlangsung dengan seru dan ternyata bahwa para anggauta bajak itu tidak kuat
menahan gerakan lawan mereka yang semua terdiri dari wanita-wanita itu. Seorang
demi seorang terlempar ke sungai dan mereka tidak mampu mengganggu perahuperahu
itu karena lawan mereka juga mengejar dengan terjun ke air dan menyerang
mereka. Kiranya, permainan di air dari wanita-wanita itu pun hebat, tidak kalah
oleh para anggauta bajak! Hal ini tidaklah mengherankan karena mereka itu
adalah anggauta-anggauta Hek-eng-pang bagian Pasukan Air yang tentu saja
terlatih baik untuk berkelahi di air!
Kini hanya tinggal kakek kecil
tua itulah yang masih melawan. Kim-hi Niocu harus mengakui keunggulan kakek ini
dan biarpun tadi dia dibantu oleh empat orang anggautanya, namun empat orang
itu terpaksa mundur dan terluka karena senjata joan-pian di tangan kakek itu
hebat juga. Gerakannya cepat dan joan-pian yang merupakan senjata lemas (ruyung
lemas) itu menyambar-nyambar seperti ular. Kim-hi Nio-cu terus terdesak hebat,
bahkan pahanya telah kena dilecut ujung joan-pian sehingga celananya robek dan
kulit pahanya yang putih terluka mengeluarkan darah.
Pangcu.... harap bantu....!!
Akhirnya Kim-hi Nio-cu menjerit dan tersingkaplah tirai di perahu itu dan
sebuah kepala seorang wanita berusia lima puluh tahun akan tetapi cantik
tampak. Kim-hi Niocu melompat ke belakang dan dengan sikap tenang nenek cantik
itu keluar dari bilik perahu, tangan kirinya memegang sebatang ranting yang-liu
yang masih hijau segar, masih ada daun-daunnya yang kecil runcing.
Ehm, agaknya Huang-ho Lo-cia
sendiri yang muncul!! tanya nenek itu sambil memandang dan menggerak-gerakkan
ranting itu di depan mukanya yang masih cantik. Sementara itu melihat betapa
anak buahnya telah terlempar ke air dan kini masih dikejar oleh wanita-wanita
itu, Huang-ho Lo-cia menjadi marah. Dia memandang nenek itu dan biarpun belum
pernah melihat wajahnya, namun dia menduga bahwa tentu nenek itulah yang
terkenal sebagai ketua Hek-eng-pang dan dia membentak.
Dan engkau tentu
Hek-eng-pangcu?!
Nenek itu tersenyum mengejek
dan mengangguk. Engkau memang berhadapan dengan Yang-liu Nio-nio!! katanya dan
kembali ranting yang-liu (semacam cemara) itu dipakai membelai mukanya.
Hek-eng-pangcu! Apa sebabnya
engkau dan anak buahmu yang berada di Gunung Cemara, yang tidak pernah ada
urusan dengan kami, hari ini merampas perahu dan menyerang kami? Apakah kalian
tidak mengenal lagi sopan santun dan setia kawan antar golongan kangouw dan
liok-lim?!
Bajak tua, kau masih belum
menyadari dosa sendiri? Anak buahmu mengandalkan banyak orang telah mengeroyok
dua orang anak buahku, tidak hanya merampas barang milik mereka akan tetapi
juga telah memperkosanya dan menghina mereka! Untuk itu, dalam sehari harus ada
dua nyawa anak buahmu yang menebusnya. Sudah lewat empat hari, maka kami telah mencabut
nyawa delapan anak buahmu dan merampas perahu. Kebetulan sekarang kita
berhadapan, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun kepadaku, mengangguk-angguk
tiga belas kali baru aku mau mengampuni nyawa tikusmu!!
Bukan main marahnya kakek
kecil itu. Dia memang sudah mendengar akan perbuatan anak buahnya itu dan dia
sudah menghukum anak buahnya yang bersangkutan, yang dianggap melakukan
perbuatan lancang, berani mengganggu anggauta Hek-eng-pang yang berarti
mengganggu orang segolongan dan mencari permusuhan. Akan tetapi, dua orang
wanita Hek-eng-pang masih menghinanya dan menuntut agar dia berlutut dan minta
ampun. Ini benar-benar merupakan penghinaan yang luar biasa.
Hek-eng-pangcu, sungguh engkau
keterlaluan!! bentaknya dan joan-pian di tangannya sudah bergerak cepat,
mengeluarkan bunyi meledak dan menyambar ke arah kepala nenek itu.
Plak-tak-tak-takkk!! Joan-pian
itu tiga kali terpental oleh tangkisan ranting cemara yang kecil itu! Huang-ho
Locia terkejut bukan main. Hanya sebatang ranting kecil lemas, namun telah
dapat membuat joan-pian di tangannya terpental! Akan tetapi karena sudah
tersudut, dia berlaku nekat dan sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring dia
menubruk, mengirim serangan yang dahsyat.
Trak-trak-desssss....!!
Cepat sekali gerakan ranting
yang-liu di tangan nenek itu setelah menangkis dua kali, tangan kanannya
menghantam dengan jari terbuka dan tepat mengenai dada kakek kate itu sehingga
kakek ketua bajak itu terjengkang di atas papan perahu. Dia merasa dadanya
panas sekali dan dari mulutnya tampak darah segar mengalir melalui pinggir
bibirnya.
Hemmm, kami sudah membunuh
delapan orang-orangmu, itu sudah cukup dan tepat untuk waktu empat hari. Empat
kali dua nyawa, karena itu kami tidak membunuhmu, hanya memberi pelajaran agar
kelak kalian tidak lancang berani mengganggu Hek-eng-pang. Nah, pergilah!! Kaki
nenek itu menendang dan tubuh kakek kate itu terlempar ke air!
Para anggauta Hek-eng-pang
yang kini sudah naik ke perahu setelah menghajar babak-belur tujuh orang
pembantu Huangho Lo-cia, kini tertawa terkekeh-kekeh, mentertawakan kakek itu
yang dengan susah payah karena terluka, berenang ke tepi menyusul anak buahnya.
Pangcu, di perahu itu terdapat
seorang yang telah merobohkan banyak teman kita,!' Kim-hi Nio-cu berkata sambil
menuding ke arah perahu Kian Lee yang kini sudah dikepung atau dihadang oleh
tiga orang perahu itu. Tadi Kimhi Nio-cu sendiri sudah meloncat ke perahu itu,
akan tetapi ketika dia menyerang Kian Lee dengan pedangnya, pemuda itu
menangkis dengan dayung perahu dan sekali tangkis saja Kim-hi Nio-cu terkejut
dan jerih, maka begitu melihat ketuanya yang juga menjadi gurunya itu telah
mengalahkan kepala bajak, dia lalu melaporkan kepada nenek yang lihai itu.
Ehhh....?! Si nenek berseru
dengan alis berkerut, kemudian kedua kakinya yang kecil mengenjot tubuhnya dan
mencelatlah tubuhnya itu ke atas perahu Kian Lee. Ketika kedua kakinya turun ke
atas papan perahu, sedikit pun tidak terjadi guncangan sehingga pemuda Pulau Es
ini maklum bahwa nenek itu memang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan kepandaian para bajak dan para wanita Hek-engpang
yang tadi menyerbu ke perahunya. Maka dia bersikap waspada dan cepat bangkit
berdiri ketika melihat nenek itu berdiri di perahunya, namun sikapnya tetap
tenang.
Ketika nenek itu melihat bahwa
yang berada di perahu itu hanya seorang kakek nelayan, seorang nelayan muda dan
seorang wanita yang kelihatan ketakutan dan bersembunyi di dalam bilik perahu,
hanya si nelayan muda yang berdiri menghadapinya dengan sikap bodoh dan tenang,
dia maklum bahwa mereka ini bukanlah anggauta bajak dan bahwa mungkin tadi
perahu mereka ini dipakai oleh para bajak dan mereka dipaksa oleh Huang-ho
Lo-cia, Maka dia memandang rendah.
Nelayan, apakah ini perahumu?!
tanyanya dengan suara bernada halus karena melihat bahwa tiga orang itu adalah
orang-orang biasa saja.
Benar,! jawab Kian Lee dan si
nenek mulai merasa tidak senang akan sikap Kian Lee yang dianggapnya terlalu
tenang dan terlalu berani, tidak lekas-lekas berlutut minta ampun kepadanya.
Kami bukan perampok atau
bajak,! kata si nenek lagi, Harap kau jangan khawatir. Akan tetapi kami
memerlukan perahumu ini karena perahu kami yang tiga buah itu terlalu kecil.
Mari antarkan kami sampai ke kaki Gunung Cemara, dan kami akan memberi upah
selayaknya.!
Kian Lee maklum bahwa biarpun
mereka ini bukan bajak, namun dibandingkan dengan para bajak tadi mereka ini
mungkin lebih berbahaya lagi! Maka dia menggeleng kepala dan berkata, Satu kali
saja kami membawa orang-orang tadi dan kami menemui kesukaran. Tidak, kami mau
melanjutkan perjalanan kami sendiri, harap kalian tidak mengganggu kami.!
Nenek itu memandang dan
matanya berkilat. Belum pernah dia dibantah orang, apalagi yang membantahnya
hanya seorang nelayan biasa saja! Akan tetapi untuk langsung turun tangan
terhadap seorang nelayan juga dia merasa enggan dan hal itu amat merendahkan
dirinya.
Jangan banyak membantah, orang
muda. Aku melihat engkau seorang nelayan yang masih muda dan baik. Kalau kau
tidak mau mengantarkan kami, terpaksa aku akan memaksa kalian bertiga
meninggalkan perahu ini sekarang juga seperti yang telah dilakukan oleh para
bajak tadi. Nah, pikir baik-baik. Bukankan lebih baik mengantarkan kami dan
menerima upah selayaknya?!
Akan tetapi Kian Lee, seorang pendekar
yang tidak biasa mengalah dan merendahkan diri terhadap siapapun juga, yang
tidak pernah merasa takut, saat itu lupa bahwa dia harus mengalah demi
keselamatan Cui Lan dan Gubernur Hok. Dia merasa betapa dia dipandang rendah
sekali, maka dia tetap menggeleng kepala.
Nenek itu mulai penasaran. Kau
tetap membantah? Kalau begitu, biarlah kau terjun ke air dan biar nelayan tua
itu yang mengantar kami!! Sambil berkata demikian tangannya bergerak mendorong
ke arah Kian Lee. Tentu saja dia tidak menggunakan tenaga terlalu keras karena
bukan maksudnya untuk melukai seorang nelayan, hanya untuk menakut-nakutinya
saja. Kalau nelayan itu sudah terlempar ke air, tentu akan tobat dan akan suka
mengantarkannya.
Plak!! Kian Lee menangkis dan
nenek itu terkejut bukan main. Tangkisan itu membuat lengannya bergetar!
Maklumlah dia mengapa tadi Kim-hi Niocu melaporkan bahwa nelayan ini sudah
merobohkan beberapa orang anak buahnya. Kiranya ada isinya! juga pemuda ini,
pikirnya. Akan tetapi tetap saja dia memandang rendah dan mengira bahwa pemuda
itu hanya seorang nelayan yang pernah memperoleh bimbingan seorang ahli silat
maka mempunyai sedikit kemampuan.
Berani kamu melawanku? Nah,
terimalah ini!! Sekarang dia menyerang dengan tangan kanannya, mendorong ke
arah dada Kian Lee, akan tetapi juga hanya mengerahkan separuh tenaganya saja
karena dia tetap belum berniat membunuhnya. Kian Lee melihat serangan ini dan
dia pun mendorongkan tangannya memapaki.
Desss....! Eihhhhh....!!
Hek-eng-pangcu yang berjuluk Yang-liu Nio-nio itu menjerit kaget ketika dia
terhuyung ke belakang dan hanya dengan berjungkir-balik saja dia mampu
menghindarkan tubuhnya terjengkang. Matanya terbelalak dan kemudian menyipit
ketika dia memandang kepada Kian Lee penuh perhatian. Mukanya menjadi merah sekali,
merah karena malu dan marah. Dia yang terkenal sekali dan ditakuti banyak orang
kang-ouw, yang tadi dengan amat mudahnya membuat kepala bajak Huangho Lo-cia
yang tersohor itu roboh dalam satu gebrakan saja, kini dibuat terhuyung oleh
seorang nelayan muda!
Dengan suara mendesis seperti
seekor ular marah, nenek itu lalu membentak, Bocah, kau sudah bosan hidup!!
Kini dia menyerang
benar-benar! Ranting yang-liu di tangannya, yang amat ampuh dan yang membuat
dia dijuluki Yang-liu Nio-nio kini bergerak, berubah menjadi sinar hijau
menyambar ke arah kepala Kian Lee. Pemuda itu maklum bahwa biarpun hanya
merupakan sebatang ranting yang-liu namun kalau digerakkan dengan pengerahan
sinkang yang kuat dapat menjadi senjata yang ampuh, cepat mengelak. Lima kali berturut-turut
sinar hijau itu menyambar-nyambar ke arah kepalanya dan selalu dapat dielakkan
dengan baik oleh Kian Lee. Tiba-tiba tangan kanan nenek itu memukul dadanya
dari depan, sekali ini dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena dia kini
benar-benar ingin membunuh pemuda yang telah membikin malu padanya, membuatnya
terhuyung tadi. Kian Lee juga memapakinya dengan tangan kiri, mengerahkan
sinkang Swat-im Sin-kang yang amat dahsyat itu, tentu saja dengan mengendalikan
tenaganya karena dia pun tidak ingin membunuh orang.
!Desssss....!! Kini tubuh
nenek itu benar-benar terjengkang di atas papan perahu dan dengan mata
terbelalak mulutnya mendesis-desis dan tubuhnya menggigil karena dia diserang
hawa dingin yang menusuk tulang. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati
Yang-liu Nio-nio. Dia memandang ke arah Kian Lee dengan mata terbelalak.
Sssss.... siapa engkau....?!
tanyanya karena kini dia sadar bahwa nelayan muda itu benar-benar seorang yang
amat hebat kepandaiannya, dan dia terheran-heran mengapa orang sehebat ini
datang bersama kawanan bajak tadi. Dia khawatir sekali kalau-kalau pemuda ini
kawan dari bajak-bajak tadi dan tentu akan membalas dendam.
Aku? Aku adalah seorang
nelayan, engkau sudah mengetahuinya, Toanio,! katanya.
Tiba-tiba Yang-liu Nio-nio
memberi isyarat dengan tangannya dan Kim-hi Nio-cu mengeluarkan suara
melengking. Itulah isyarat untuk anak buahnya dan dengan pimpinan dia sendiri,
Kim-hi Niocu dan anak buah atau pasukannya itu meloncat terjun ke air. Kian Lee
terkejut ketika merasa betapa perahu yang ditumpangi itu bergerak-gerak dan Cui
Lan menjerit ngeri.
Heh-heh-heh, orang muda yang
aneh!! Hek-eng-pangcu berkata. Bagaimana sekarang, apakah engkau masih hendak
berkeras, dan tidak mau menyerah? Kalau begitu, kami akan menenggelamkan perahumu!!
Nenek itu meloncat ke perahunya sendiri.
Tahan!! Kian Lee terpaksa
berseru. Dia sendiri tidak takut menghadapi mereka di air sekali pun. Akan
tetapi Cui Lan dan Gubernur Hok tentu akan celaka karena mereka tidak pandai
renang. Pula, kalau dia melindungi mereka berdua di air sambil menghadapi
pengeroyokan orang-orang Hek-eng-pang itu, rasanya berat. juga dan amat
membahayakan keselamatan Cui Lan dan Hok-taijin. Baiklah, aku menyerah.!
Suruh nelayan tua dan nona itu
pindah ke perahu sini dulu!! Nenek yang cerdik itu membentak. Dia memang dapat
menduga bahwa pemuda hebat itu hanya mau menyerah karena mengkhawatirkan
keselamatan dara muda dan kakek yang kelihatan lemah itu.
Kian Lee terpaksa mengangguk
ke arah Cui Lan dan Hok-taijin karena di atas sungai itu tidak ada lain jalan.
Hanya menyerah sajalah yang paling aman. Mereka itu tentu tidak akan mengganggu
Cui Lan dan Hok-taijin selama dia tidak melawan, karena yang mereka butuhkan
hanya perahu itu saja. Cui Lan dan Hoktaijin lalu meninggalkan perahu itu dan
pindah ke perahu si nenek. Betapapun juga, Cui Lan bersikap tenang karena yang
menawannya adalah wanita-wanita, bukan laki-laki kasar seperti para bajak tadi.
Empat orang anggauta Hek-engpang, dipimpin oleh Kim-hi Nio-cu sendiri lalu
berlompatan ke atas perahu Kian Lee setelah melihat bahwa dua orang kawan
pemuda itu berpindah perahu.
Mari berangkat!! Nenek itu
berseru dan bergeraklah empat buah perahu itu meluncur ke depan dengan
cepatnya.
Kim-hi Nio-cu mendekati Kian
Lee yang memegang kemudi perahu. Sambil tersenyum manis kepala Pasukan Air yang
cantik itu menatap wajah Kian Lee dengan penuh kagum. Seorang nelayan muda yang
demikian tampan dan gagah, memiliki kepandaian hebat sehingga mampu menandingi
ketua atau gurunya, benar-benar sukar ditemukan di dunia ini! Melihat wanita
cantik berusia tiga puluh tahun yang berpakaian serba hitam yang pakaiannya
basah kuyup sehingga pakaian itu melekat di tubuhnya memperlihatkan semua lekuk
lengkung tubuh yang sedang masak-masaknya, Kian Lee mengalihkan pandang
matanya, tidak mau melihat bentuk tubuh yang agaknya sengaja dipamerkan padanya
itu. Melihat ini, Kimhi Nio-cu tersenyum lebar, kemudian terkekeh geli karena
dia menganggap sikap Kian Lee itu sikap seorang muda yang masih hijau dan yang
malu-malu. Padahal pemuda itu sudah mempunyai isteri! Kemudian dia teringat
bahwa isteri pemuda itu berada di perahu lain maka dia menganggap bahwa sikap
Kian Lee itu tentu karena marah dan khawatir akan nasib isterinya.
Jangan kau khawatir, asal
engkau tidak membangkang perintah Pangcu, isterimu itu tentu tidak akan
diganggu.!
Isteri? Dia bukan isteriku,!
jawab Kian Lee. Karena Cui Lan tidak terancam seperti ketika para bajak laut
tadi hendak kurang ajar, maka dia tidak perlu lagi mengaku sebagai suami dara
itu, pikirnya.
Ahhh....!! Kim-hi Nio-cu
berseru kaget dan girang. Jadi pemuda ini benar-benar masih perjaka, pikirnya
kagum.
Dan kakek itu?!
Kian Lee teringat bahwa dua
orang itu, terutama Hok-taijin, harus menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia
menjawab cepat, Dia adalah sahabatku, dan gadis itu puterinya. Kami sedang
mencari ikan ketika bajak-bajak itu memaksa kami membawa mereka sampai bertemu
dengan kalian.!
Dan kau begitu gagah dan
berkepandaian tinggi....!!
Kian Lee tersenyum mengejek.
Dan tidak berdaya karena kecurangan kalian!!
Kim-hi Nio-cu tertawa kecil
dan menutupi mulut dengan gaya genit. Kami golongan wanita, selain menggunakan
ilmu silat juga harus menggunakan akal dan siasat menghadapi kaum pria. Hihik.
Eh, pemuda yang lihai, siapakah namamu?!
Tidak perlu mengenal namaku,
kuberitahu pun kau takkan mengenalku.!
Wah-wah, tanpa nama bagaimana
dapat menyebut dan memanggilmu?! Kim-hi Nio-cu tertawa genit karena dia makin
tertarik kepada pemuda yang aneh ini.
Nemmm, sebut saja aku Nelayan!
kata Kian Lee yang memang tidak ingin memperkenalkan namanya sembarangan saja.
Eh, Nelayan Muda, ya, kusebut
kau Nelayan Muda, yang tampan dan gagah!!
Kian Lee merasa jemu dan
membuang muka, selanjutnya tidak melayani lagi semua kata-kata Kim-hi Nio-cu
yang jelas amat tertarik kepadanya.
Pelayaran itu makan waktu lama
juga, sampai sehari semalam barulah si nenek memerintahkan semua perahu ke
pinggir. Selama itu, Kian Lee, Cui Lan dan Hok-taijin tidak mendapat gangguan,
dan diajak makan bersama dengan baik, hanya Kian Lee yang selalu diganggu oleh
rayuan Kim-hi Nio-cu yang sama sekali tidak dilayaninya dan karena wanita itu
maklum akan kelihaian pemuda itu maka dia pun tidak berani menggunakan paksaan.
Semua orang mendarat dan
beberapa orang anggauta Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Kim-hi Nio-cu
menodongkan pedang mereka ke punggung Cui Lan dan Hok-taijin. Karena ini maka
Kian Lee tidak berdaya sama sekali dan dia pun ikut mendarat, akan tetapi dia
tetap bersikap tenang. Nenek itu kini menghadapinya, memandang dengan penuh
perhatian, kemudian berkata, orang muda, kami merasa kagum sekali padamu dan
kami mengundangmu untuk datang berkunjung ke markas kami di puncak Bukit
Cemara.! Setelah berkata demikian, nenek itu membalikkan tubuhnya dan memberi
isyarat kepada anak buahnya untuk berangkat.
Tapi, Pangcu....!! Kian Lee
membantah.
Kim-hi Nio-cu mendorong Cui
Lan dan Hok-taijin ke depan dan dari jauh dia berkata kepada Kian Lee, Nelayan
Muda, tidak ada yang boleh membantah kehendak Pangcu, apalagi beliau mengundangmu
dengan baik-baik sebagai sercang tamu. Jangan sampai kami terpaksa harus
menggunakan kekerasan terhadap dua orang kawanmu ini.!
Karena Cui Lan dan Hok-taijin
di todong, maka terpaksa. Kian Lee mengangguk dan mengikuti perjalanan mereka.
Dia maklum bahwa selama dia tidak membantah, tentu dua orang itu selamat dan
karena permintaan mereka itu pun bukan hal yang tidak patut, melainkan
mengundangnya datang berkunjung, dia pun tidak keberatan. Pula, dia pun ingin
mengenal markas perkumpulan yang semua anggautanya terdiri dari wanitawanita
yang memiliki kepandaian lumayan ini.
Belum jauh mereka berjalan,
baru tiba di kaki bukit, mereka telah disambut oleh serombongan wanita yang
dipimpin oleh seorang wanita muda berpakaian serba hitam seperti Kim-hi Niocu, mukanya
putih dan manis dan rombongan ini segera memberi hormat kepada Hek-eng-pangcu
dengan hormat. Kiranya mereka itu adalah Pasukan Tanah yang dipimpin oleh
Liong-li. Tiba di lereng bukit, mereka disambut oleh Pasukan Kayu dan Kian Lee
merasa makin kagum. Kiranya perkumpulan Hek-engpang itu sungguhpun merupakan
perkumpulan kaum wanita, namun mempunyai disiplin yang baik dan semua
anggautanya kelihatan gagah dan patuh kepada pimpinan mereka.
Setelah mereka tiba di puncak
di mana terdapat markas perkumpulan itu yang merupakan sebuah perkampungan yang
dikelilingi tembok seperti benteng dan mereka memasuki pintu gerbang, Kian Lee
menjura ke arah nenek itu dan berkata, Saya kira cukup sampai di sini saja dan
harap Pangcu suka membiarkan kami bertiga kembali ke perahu kami.!
Hek-eng-pangcu yang tadi
merasakan kelihaian pemuda itu sudah merasa tertarik dan ingin sekali dia
mendapatkan seorang pembantu selihai itu, maka mendengar ucapan itu dia
menjawab dengan suara dingin. Kami bermaksud baik, hendak menjamu Sicu sebagai
seorang tamu yang terhormat. Bawa mereka ke dalam!! perintahnya kepada Kim-hi
Niocu yang segera menggiring Cui Lan dan Hok-taijin ke dalam di bawah todongan
pedangnya. Cui Lan menoleh dan memandang ke arah Kian Lee dengan alis berkerut
dan melihat pemuda itu seperti orang marah, dia khawatir kalau-kalau pemuda itu
menjadi marah dan mengamuk, maka dia cepat menggelengkan kepalanya dan
tersenyum menenangkan hati Kian Lee. Kian Lee menarik napas panjang dan
diam-diam dia memuji Cui Lan yang dalam segala hal selalu bersikap tenang dan
tidak putus harapan, sama sekali tidak kelihatan khawatir.
Setelah dua orang itu
disimpan! nenek itu sendiri lalu mempersilakan Kian Lee memasuki ruangan luas
di sebuah gedung pusat di mana akan diadakan pesta untuk merayakan kemenangan
mereka yang berhasil membalas penghinaan yang ditimpakan kepada dua orang
anggauta mereka. Kian Lee dipersilakan duduk di meja nenek itu sendiri dan tak
lama kemudian hidangan-hidangan pun dikeluarkan.
Saya harap Pangcu tidak
melupakan dua orang kawan saya, karena kalau mereka itu sengsara, bagaimanapun
saya tidak suka makan minum, kata Kian Lee.
Hemmm, Sicu benar-benar
seorang gagah perkasa yang tahu akan setia kawan. Sungguh aku merasa kagum
sekali. Jangan Sicu khawatir, dua orang kawanmu itu tidak akan mengalami suatu
kesengsaraan apa pun dan mereka saat ini juga dijamu seperti Sicu, hanya
tempatnya yang berbeda. Mari minum untuk persahabatan kita, Sicu.!
Tiba-tiba seorang anggauta
Hek-engpang datang melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak
bertemu dengan pangcu.
Siapa dia? Liong-li, kaulihat
siapa dia dan apa niatnya!! .
Liong-li, kepala Pasukan Tanah
yang hadir dalam pesta itu bersama empat orang kepala pasukan lainnya, cepat
bangkit dan berjalan cepat keluar bersama anggauta yang melaporkan itu dan tak
lama kemudian dengan wajah berubah lalu mendekati nenek itu dan berbisik,
Pangcu, dia.... dia itu yang datang.... Si Jari Maut!
Ahhh....? Persilakan dia
masuk!! katanya dengan wajah berubah. Dia dahulu telah mendengar laporan Kim-hi
Nio-cu dan Liong-li tentang seorang pemudai lihai bukan main yang memesan
kepada wanita itu agar mengatakan kepada ketuanya bahwa dia akan datang
berkunjung dan kalau si ketua bertanya disuruh mengatakan bahwa dia adalah
seorang yang biasa membunuh dengan jari tangan! Hek-eng-pangcu sudah mendengar
bahwa orang muda selihai itu yang biasa membunuh dengan jari tangan tentulah Si
Jari Maut yang beberapa tahun yang lalu namanya menggetarkan dunia kang-ouw.
Kini ternyata pemuda itu benar-benar muncul! Padahal tadinya, diam-diam di
dalam hatinya timbul dugaan bahwa pemuda nelayan itulah Si Jari Maut karena
menurut berita, Si Jari Maut itu yang memiliki kesaktian hebat adalah seorang
pemuda yang tampan. Sekarang kiranya bukan pemuda yang duduk di depannya ini.
Aku sudah di sini, Pangcu!!
Tiba-tiba terdengar suara tenang, dingin dan tegas. Kian Lee terkejut bukan
main ketika dia menoleh dan melihat bahwa orang yang masuk itu bukan lain
adalah Ang Tek Hoat!
Saudara Ang...., kau di
sini....?!
Tentu saja Kian Lee menegur
dengan ragu-ragu dan heran karena sepanjang pengetahuannya, Ang Tek Hoat telah
menjadi panglima di Bhutan, bahkan telah menjadi calon suami Puteri Syanti
Dewi. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tempat ini dan mengaku lagi
julukannya yang telah lama ditinggalkannya itu, julukan ketika Si Jari Maut ini
masih menggunakan nama Gak Bun Beng, suhengnya, ketika pemuda ini
memburuk-burukkan nama Gak Bun Beng dengan segala macam kejahatan karena
menganggap Gak Bun Beng seorang musuh besarnya? Dalam cerita Kisah Sepasang
Rajawali diceritakan dengan jelas tentang peristiwa itu.
Pemuda itu memang Ang Tek
Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia pernah bertemu dengan
Kimhi Nio-cu dan Liong-li ketika dia menolong dua orang putera Jenderal Kao
Liang yang terancam keselamatannya oleh dua orang dari Huang-ho Kui-liongpang,
kemudian dia mengatakan kepada dua orang kepala pasukan Hek-eng-pang itu bahwa
dia akan mengunjungi ketua mereka. Ketika dia memandang kepada pemuda yang
menyebutnya pada she-nya itu segera dia mengenal putera Pulau Es itu, putera
Majikan Pulau Es! Bahkan dia pun tahu bahwa Suma Kian Lee ini terhitung masih
paman tirinya sendiri. Suma Kian Lee adalah putera dari neneknya, Lulu dan Suma
Man si Pendekar Super Sakti, sedangkan mendiang ayahnya yang amat jahat itu,
Wan Keng In, adalah putera Lulu bersama seorang she Wan. Akan tetapi, mengingat
akan pesan ibunya yang kini telah tewas dalam cara yang menyedihkan sekali,
biarpun dahulu dia tidak setuju dengan pesan ibunya, yaitu bahwa dia harus
membalas dendam kepada keluarga Pulau Es, kini melihat Suma Kian Lee dia
teringat akan ibunya dan hatinya menjadi dingin terhadap keluarga yang dibenci
oleh ibunya itu. Dengan sikap dingin dan acuh tak acuh dia mengangguk kepada
Kian Lee.
Tentu saja Kian Lee menjadi
heran menyaksikan sikap Tek Hoat ini. Bukankah pemuda yang tadinya tersesat itu
kabarnya telah menjadi baik kembali? Bukankah pemuda itu sudah maklum bahwa dia
masih terhitung pamannya sendiri? Akan tetapi jelas bahwa sikap Tek Hoat
seperti sikap seorang musuh! Ada apa pula ini?
Aihhh.... Ji-wi (Anda Berdua)
sudah mengenal?! Hek-eng-pangcu terkejut dan heran, memandang kepada Kian Lee
dengan kagum. Kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, bukan seorang nelayan
biasa melainkan seorang sahabat dari Si Jari Maut yang amat tersohor itu!
Tek Hoat tersenyum mengejek
dan sambil memandang kepada Suma Kian Lee, dia berkata, Siapa yang tidak
mengenal Suma Kian Lee, saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka
yang kalian cari-cari itu?!
Mendengar ini, nenek itu dan
semua anak buahnya berteriak kaget dan otomatis mereka bergerak mengepung Kian
Lee.
Hemmm, bagus! Kiranya engkau
adalah saudara dari Suma-kongcu yang mencuri harta keluarga Jenderal Kao?
Kiranya engkau memang sengaja hendak menyelidiki dan memata-matai kami? Hayo
katakan di mana harta itu, kalau kau tidak mengaku, jangan harap akan dapat
lolos dari tempat ini!! Yang-liu Nio-nio mengangkat tangannya dan seorang anak
buahnya melemparkan sebatang ranting pohon yang-liu yang segar kepadanya.
Kian Lee memandang kepada Tek
Hoat yang kini tersenyum-senyum duduk di atas sebuah kursi minum arak dan
sikapnya sebagai orang yang menonton dan menikmati pertunjukan yang
menyenangkan hati. Bermacam perasaan mengaduk hati Kian Lee. Pertama, dia
teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin yang masih terancam keselamatannya. Ke
dua, dia merasa heran mendengar adiknya, Suma Kian Bu, merampok harta benda
Jenderal Kao. Mungkinkah ini? Akan tetapi kalau tidak, mengapa Jenderal Kao dan
dua orang puteranya menyerang dia? Benarkah Kian Bu kini telah tersesat dan
menjadi seorang perampok? Ke tiga, dia merasa gembira juga mendengar tentang
Suma-kongcu yang tentu saja Kian Bu adanya, kalau tidak siapa lagi? Berita itu
menandakan bahwa Kian Bu masih hidup dan berada di sekitar daerah ini. Ke
empat, dia juga heran dan tidak mengerti melihat sikap Tek Hoat.
!Apa artinya ini? Aku tidak
tahu sama sekali tentang harta pusaka Jenderal Kao!! teriaknya penasaran!
melihat dirinya dikepung oleh para anak buah Hek-eng-pang.
Tak perlu menyangkal lagi,
orang muda engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka
Jenderal Kao, akan tetapi engkau menyamar sebagai seorang nelayan miskin. Hal
ini saja sudah membuktikan bahwa engkau sedang melakukan penyelidikan. Sekarang
lekas mengaku, di mana saudaramu itu menyembunyikan harta pusaka itu, kalau tidak,
terpaksa kami akan menggunakan kekerasan.!
Kian Lee menjadi marah. Apa
pun yang dilakukan andaikata benar adiknya merampas harta pusaka keluarga
Jenderal Kao, tentu telah diperhitungkan oleh adiknya itu dan tentu ada
alasannya yang kuat. Pangcu, kau hendak menggunakan kekerasan bagaimana?
Silakan!!
Yang-liu Nio-nio memberi
isyarat dengan ranting pohon yang-liu di tangan kirinya itu dan terdengarlah
teriakan nyaring dari mulut lima orang wanita cantik, yaitu Kim-hi Nio-cu,
Liong-li dan tiga orang kepala pasukan yang semua telah berkumpul di situ. Lima
orang wanita cantik ini maju mengepung diiringi pasukan masing-masing yang
terdiri dari dua belas orang sehingga ketika itu ada enam puluh orang wanita
mengepung Kian Lee dari lima penjuru, semuanya memegang senjata!
Hemmm, kalian sungguh nekad
dan gila!! Kian Lee membentak. Aku sungguh tidak tahu-menahu tentang harta
pusaka yang kalian maksudkan itu, akan tetapi kalau kalian memaksa dan hendak
bertanding, majulah!!
Kembali lima orang wanita
cantik itu kini bergerak secara teratur sekali, membentuk lingkaran dan
bergerak-geraklah lingkaran yang berlapis dua itu, yang sebelah dalam bergerak
dari kanan ke kiri sedangkan yang sebelah luar bergerak sebaliknya dari kiri ke
kanan. Senjata mereka berbeda, yang depan menggunakan golok dan pedang akan
tetapi barisan lingkaran ke dua menggunakan tombak dan senjata bergagang
panjang. Yang-liu Nio-nio dan lima orang muridnya itu hanya berdiri di luar
lingkaran, menonton dan mengatur barisan. Ketika Kian Lee melirik, dia melihat
Tek Hoat masih duduk minum arak sambil tersenyum-senyum sehingga hatinya merasa
mendongkol bukan main.
Seranggggg....!! Terdengar
teriakan nenek itu dan lingkaran dalam itu segera berhenti gerakannya memutari
tubuh Kian Lee dan berkelebatanlah pedang dan golok, menimbulkan sinar yang
menyilaukan mata menyambar ke arah Kian Lee dari semua jurusan! Pemuda ini
tentu saja tidak dapat mengelak ke kanan atau kiri ataubelakang karena
senjata-senjata itu datang dari semua jurusan. Namun dia menggunakan keringanan
tubuhnya dan tiba-tiba tiga puluh orang wanita dari barisan lingkaran pertama
itu terkejut karena pemuda itu telah lenyap dari tengah-tengah mereka. Kiranya
Kian Lee telah mencelat ke atas.