Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 58 - Yang Paling Ditakuti
Dari mana datangnya siluman
betina?! bentak seorang di antara mereka.
A-khui, bunuh saja dia!!
bentak orang ke dua.
Dua orang cebol itu sudah
menyerang Ouw Yan Hui dari kanan kiri dan wanita ini maklum bahwa orang-orang cebol
di situ ternyata memiliki kepandaian yang hebat. Si cebol yang disiksanya tadi
pun amat kuat sehingga tendangan-tendangannya akhirnya hanya membuat dia
pingsan setelah muntah darah, tanda bahwa orang itu memiliki tenaga dalam yang
kuat. Kini, serangan dua orang cebol ini amat hebat pula, biarpun mereka itu
bertubuh kecil pendek, namun gerakan mereka gesit dan pukulan-pukulan mereka
mengandung kekuatan besar.
Dia cepat mengelak dan begitu
dia mengerahkan ginkangnya, dua orang cebol itu berseru kaget karena mereka
kehilangan bayangan lawan. Selagi mereka bingung, tibatiba seorang dari mereka
memekik keras dan terpelanting karena tengkuknya telah kena dihantam dengan
tangan miring oleh Ouw Yan Hui sehingga dia terbanting dan pingsan seketika.
Orang ke dua menubruk, akan tetapi dengan lincahnya Ouw Yan Hui sudah mengelak
dan lenyap lagi saking cepatnya gerakan tubuh wanita ini. Untuk kedua kalinya,
wanita ini merobohkan lawan dengan pukulan dari belakang pada saat lawan
bingung mencarinya.
Akan tetapi, kini datanglah
belasan orang cebol mengeroyoknya! Ouw Yan Hui terkejut. Tak disangkanya di
tempat itu demikian banyak terdapat orang-orang cebol yang lihai. Dia tidak
takut, akan tetapi juga tidak berani memandang ringan, maka dengan mengandalkan
ginkangnya dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sambil membalas setiap
kali terbuka kesempatan. Dia dikeroyok banyak orang yang lihai, namun karena
menang cepat, dia bahkan berhasil mengobrak-abrik mereka dan mendesak para
pengeroyok yang menjadi kebingungan karena sebentar-sebentar wanita di
tengah-tengah mereka itu lenyap!
Dan pada saat itulah muncul
Su-ok dan lima orang sutenya. Kini lima orang sute dari Su-ok itu telah
mengepung Ouw Yan Hui. Melihat sikap mereka, Ouw Yan Hui dapat menduga bahwa
tentu mereka ini merupakan pimpinan-pimpinan dari orang-orang cebol itu, maka
dia bersikap waspada, melihat betapa lima orang itu mengambil kedudukan di lima
penjuru angin.
Si brewok yang mengepalai
Khai-lo-sin Ngo-heng-tin itu menghadapi Ouw Yan Hui, memandang dengan penuh
selidik diam-diam kagum akan kecantikan wanita yang telah matang ini, yang
selain memiliki wajah yang cantik dan kulit muka yang halus, juga memiliki
bentuk tubuh yang padat mengairahkan di balik pakaian indah itu. Dia lalu
berkata dengan suara angker, Siapakah nama Toanio dan mengapa Toanio merobohkan
tiga orang saudara kami?!
Pertanyaan ini biasa dilakukan
apabila dua orang atau dua fihak kang-ouw saling jumpa dan sebelum memulai
pertandingan. Akan tetapi Ouw Yan Hui tersenyum mengejek karena dia masih marah
dan jijik melihat si cebol memperkosa wanita tadi, maka tentu saja dia tidak
sudi berkenalan dengan orang-orang ini.
Siapakah namaku tidak perlu
kalian ketahui dan aku pun tidak butuh mengenal nama kalian. Aku merobohkan
orang bukan tanpa sebab. Si cebol jahanam itu memperkosa wanita, masih baik aku
belum keburu bikin mampus binatang itu! Dan dua orang cebol lain roboh karena
mereka menyerangku. Kalian sekarang mau apa?!
Bukan main marahnya lima orang
cebol yang menjadi sute Su-ok itu. Mereka memang tidak ternama, tidak terkenal
di dunia kang-ouw, namun suheng mereka adalah seorang di antara Im-kan Ngo-ok
yang menurut suheng mereka merupakan datuk-datuk kaum sesat paling terkenal di
dunia, dan wanita ini sama sekali tidak memandang mata kepada mereka!
Perempuan sombong! Hayo lekas
kau berlutut minta ampun, kemudian melayani kami berlima sampai kami puas, baru
engkau masih ada harapan untuk hidup terus!! bentak si brewok yang mempunyai
watak paling mata keranjang di antara mereka berlima.
Ouw Yan Hui memang pembenci
pria, akan tetapi yang paling dibencinya adalah laki-laki mata keranjang yang
suka menghina wanita. Kini mendengar ucapan itu, kedua pipinya yang putih halus
itu sudah menjadi merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berkilat dan kedua
tangannya dikepal. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan
tanpa berkata apa-apa lagi, tubuhnya berkelebat dan dia sudah menyerang si
brewok dengan pukulan maut!
Cepat bukan main gerakan Ouw
Yan Hui ini, sampai si brewok menjadi terkejut dan tidak melihat gerakan wanita
itu, tahu-tahu tangan wanita itu sudah menusuk ke arah ulu hatinya. Serangan
maut! Si brewok berteriak kaget dan cepat melempar tubuhnya ke belakang karena
hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari cengkeraman maut
itu. Dia melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan dan empat orang
saudaranya sudah menyerbu dan menyerang Ouw Yan Hui sehingga wanita ini tidak
mampu untuk terus mendesak si brewok yang sudah berloncatan bangun kembali
dengan muka pucat dan keringat dingin bercucuran. Nyaris nyawanya melayang
dalam gebrakan pertama itu!
Kini terjadilah perkelahian
yang amat seru. Gerakan Ouw Yan Hui memang cepat bukan main, akan tetapi kini
dia menghadapi lima orang yang bergerak secara teratur dan terlatih baik
sehingga seolah-olah dia menghadapi seorang lawan saja yang memiliki lima
pasang tangan dan kaki, yang tentu saja dapat mengimbangi kecepatannya, bahkan
mengatasinya! Betapapun dia mengerahkan ginkangnya, namun karena gerakan lima
orang lawan itu seperti otomatis, terarah dan senada, payah juga wanita itu
menghadapi penyerangan yang tiada hentinya, susul-menyusul dan sifatnya
berubah-ubah itu.
Memang itulah kehebatan
Ngo-heng-tin dari lima orang ini. Selain dapat bekerja sama dengan amat baiknya,
saling membantu dan saling melindungi seperti dikemudikan oleh satu otak saja,
juga mereka menggunakan tenaga yang berubah-ubah sesuai dengan sifat lima unsur
(ngo-heng) dan karena mereka itu rata-rata telah memiliki sinkang yang amat
kuat, maka mereka merupakan kesatuan lima tenaga yang amat hebat! Kalau melawan
satu demi satu, jelas bahwa mereka berlima ini bukan tandingan Ouw Yan Hui yang
lihai.
Andaikata mau dibuat ukuran,
tingkat kepandaian Ouw Yan Hui itu kurang lebih setingkat dengan kepandaian
tiga di antara pengeroyoknya disatukan! Jadi, kalau dia dikeroyok tiga, barulah
seimbang. Dan andaikata lima orang itu tidak memiliki Khai-lo-sin Ngo-heng-tin
yang membuat mereka bergerak seolah-olah dikendalikan oleh satu otak, kiranya
juga tidak mungkin dapat mengalahkan Ouw Yan Hui. Akan tetapi, lima orang itu
bergerak sedemikian rupa sehingga seolah-olah lima orang menjadi satu, dan ini
terlalu kuat bagi Ouw Yan Hui. Dalam mengadu tenaga, lima orang itu selalu
menyatukan tenaga sehingga kembali Ouw Yan kewalahan.
Betapapun juga, berkat
ginkangnya yang memang luar biasa sekali, berkali-kali wanita itu dapat
menghindarkan diri dari ancaman bahaya dan baru setelah lewat dua ratus jurus,
akhirnya kakinya kena ditendang oleh si brewok, tepat mengenai sambungan lutut
dan wanita itu jatuh berlutut dengan satu kaki dan sebelum dia mampu meloncat,
lima orang itu telah menubruknya dan menotoknya, kemudian menelikungnya
sehingga dia tidak mampu bergerak lagi!
Lima orang itu tertawa dan si
brewok berkata gemas, Hemmm, mari kita kerjakan dia beramai-ramai, kita
berpesta dan biar dia yang liar ini menjadi jinak. Ha-ha-ha, ingin aku melihat
sikapnya kalau dia sudah kita paksa melayani kita berlima!! Empat orang
saudaranya pun tertawa-tawa dan mereka hendak menyeret tubuh Ouw Yan Hui yang
sudah tak mampu bergerak itu ke dalam kuil.
Tahan, Sute!! Tiba-tiba Su-ok
berseru dan dia meloncat dekat.
Lima orang sutenya memandang
kepadanya dan si brewok tertawa bergerak. Ha-ha-ha, engkau tertarik kepadanya,
Suheng? Bagus, dia ini agaknya memang puteri istana yang kaurindukan!!
Akan tetapi Su-ok menggeleng
kepala. Tidak, biarpun dia cukup cantik jelita dan pantas menjadi puteri
istana, namun dia sudah terlalu tua dan dia bukan perawan seperti yang
kuidamkan. Tidak, aku minta kepada kalian agar jangan mengganggunya lebih dulu.
Kita pergunakan dia sebagai umpan.!
Sebagai umpan? Apa maksudmu,
Suheng?! Lima orang itu bertanya.
Orang seperti dia yang
demikian cantik dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu tidak datang
sendiri. Biar kita tahan dia di kuil dan biarkan temantemannya datang agar
tidak kepalang kita membasmi mereka.!
Lima orang cebol itu tidak
membantah, apalagi karena mereka juga telah mempunyai wanita tawanan mereka
yang lebih muda, biarpun tentu saja tidak ada yang mampu menandingi kecantikan
Ouw Yan Hui yang luar biasa itu. Maka mereka menyerahkan wanita itu kepada
Su-ok yang mengempitnya dan membawanya ke kuil, sedangkan para orang cebol
lainnya segera merawat teman-teman mereka yang terluka oleh wanita cantik yang
lihai itu. Lima orang sute dari Su-ok kembali ke kamar masing-masing, sedangkan
Su-ok sendiri lalu membawa Ouw Yan Hui ke dalam kuil, kemudian dia mengikat
kedua tangan wanita itu kepada sebuah pilar besar di bagian belakang kuil,
mempergunakan rantai yang amat besar dan kokoh kuat.
Jangankan dalam keadaan lemas
tertotok seperti itu, andaikata dalam keadaan sehat sekalipun, tidak mungkin
bagi Ouw Yan Hui untuk dapat melepaskan dirinya dari belenggu. Kedua lengannya
ditarik ke belakang, melingkari pilar besar dan kedua pergelangan tangannya
dibelenggu rantai besi yang kokoh kuat. Dan tak jauh dari situ bersembunyi
Su-ok pula yang mengintai dan menunggu kalau-kalau ada datang kawan-kawan dari
wanita cantik ini seperti yang disangkanya. Andaikata Ouw Yan Hui melakukan
usaha untuk membebaskan diri sekalipun, sebelum berhasil tentu telah diketahui
oleh Su-ok.
Ouw Yan Hui maklum bahwa dia
berada dalam bahaya yang mengerikan. Namun, sebagai seorang wanita gagah, dia
memandang bahaya dan kematian sebagai hal yang biasa saja dalam kehidupan, maka
sedikit pun dia tidak merasa cemas atau takut. Dia menanti datangnya maut
dengan mata terbuka, dan melihat bahwa dia dibelenggu di situ, dia masih
melihat harapan untuk dapat lolos. Sebelum maut merenggut nyawanya, dia tidak
akan putus asa, sungguhpun pada saat itu dia maklum bahwa dia sama sekali tidak
berdaya melepaskan diri dan apa yang dapat dilakukannya hanya berdiri tegak dan
diam, mencoba untuk mengumpulkan hawa murni lewat hidungnya untuk berusaha
membebaskan totokan yang membuat tubuhnya lemas itu.
Kakek itu melangkah satu-satu
di daerah tandus itu, tubuhnya yang bongkok nampak semakin bongkok karena
mukanya menunduk, seolah-olah dia meneliti setiap batu yang dilalui kakinya,
atau seolah-olah dia menghitung setiap langkahnya. Keadaan kakek itu sungguh
menyedihkan, dan janggallah melihat dia melakukan perjalanan di tempat yang
liar dan sukar ini.
Melihat wajahnya, mudah diduga
bahwa kakek ini sudah tua renta, dan keadaan tubuhnya yang tua itu cacat,
punggungnya bongkok dan lengan kirinya buntung sebatas pundak! Pantasnya
seorang tua renta yang cacat seperti itu tinggal di rumah saja, dilayani
cucu-cucunya. Akan tetapi, kakek ini berjalan seorang diri di tempat sunyi itu,
melangkah satu-satu dengan tubuh bongkok dan tangan tunggalnya, hanya yang
kanan saja itu memegang sebatang tongkat kayu yang agaknya dipergunakan untuk
membantu menopang tubuhnya yang bongkok. Seorang kakek yang cacat dan lemah.
Kakek lemah? Orang akan kaget
dan kecelik kalau tahu siapa adanya kakek ini. Sama sekali bukan kakek lemah
sungguhpun nampaknya demikian, karena kakek ini bukan lain adalah Go-bi Bu Beng
Lojin (Kakek Tanpa Nama Dari Go-bi), yaitu Si Dewa Bongkok! Dewa Bongkok sama
sekali bukanlah seorang kakek lemah, sebaliknya malah. Dia adalah penghuni dari
Istana Gurun Pasir, dan kesaktiannya sedemikian luar biasa sehingga dia
dijuluki dewa!
Namanya amat terkenal, dan di
daerah utara yang liar itu tidak ada seorang pun raja suku bangsa liar yang
berani mengganggunya. Sedangkan di selatan, namanya terkenal sebagai seorang
tokoh dongeng karena memang tidak sembarang orang dapat mengunjungi istana di
gurun pasir itu. Namanya sejajar dengan nama majikan Pulau Es yang juga dikenal
sebagai seorang tokoh dongeng. Akan tetapi, nama Go-bi Bu Beng Lojin masih jauh
lebih dulu dikenal dalam dongeng daripada nama majikan Pulau Es, karena memang
Dewa Bongkok ini jauh lebih tua.
Tentu orang akan merasa heran
mengapa kakek sakti yang dikenal sebagai tokoh dongeng dan tidak pernah
menampakkan diri di dunia ramai itu kini melakukan perjalanan seorang diri?
Apalagi orang lain, bahkan kakek itu sendiri pun merasa heran! Hal ini terbukti
dari gerutunya di sepanjang perjalanan di pagi hari itu.
Hemmm, mana mungkin manusia
hidup sendiri? Mana mungkin melepaskan diri dari segala sesuatu di dunia ini?
Membebaskan diri dari pikirannya sendiri saja sudah merupakan hal yang amat
sukar, apalagi membebaskan diri dari segala sesuatu yang nampak. Uhhhhh, betapa
lemahnya manusia.... hemmm, sudah setua ini, setelah puluhan tahun tidak lagi
menaruh khawatir sedikit pun juga atas diri sendiri lahir batin, sekarang
mengkhawatirkan orang lain. Huhhh.... memang manusia tidak mungkin bisa hidup
sendirian saja. Manusia adalah bagian dari dunia dan kehidupan ini, tidak
mungkin melarikan diri....!
Tidaklah aneh kalau kakek itu
menggerutu. Selama puluhan tahun lamanya dia hidup di Istana Gurun Pasir,
menjauhi kehidupan ramai dan tidak pernah memikirkan tentang persoalan hidup
lahiriah. Akan tetapi, semua itu berubah setelah dia mempunyai cucu! Yaitu,
setelah muridnya, murid tunggal yang bernama Kao Kok Cu, yang berjuluk Naga
Sakti Gurun Pasir, bersama isterinya, mempunyai seorang anak.
Anak dari muridnya itulah yang
membuat kakek ini merasa terikat! Timbul rasa kasih sayang yang tidak
sewajarnya dan dia merasa lemah. Apalagi ketika cucunya itu yang diberi nama
Kao Cin Liong, diculik orang. Dia ikut merasa khawatir. Sudah berbulan-bulan
muridnya pergi meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencari Cin Liong yang
lenyap diculik orang dan sampai sekarang tiada kabar beritanya. Akhirnya tidak
dapat kakek ini menahan diri lagi dan pergilah dia meninggalkan Istana Gurun
Pasir untuk pergi menyusul dan ikut mencari cucunya yang hilang!
Hanya kebetulan saja pada saat
itu kalau ada orang melihat Dewa Bongkok berjalan seperti seorang kakek tua
renta yang tapadaksa, berjalan melangkah satu-satu dengan lambat sekali. Akan
tetapi ada kalanya dia berlari seperti terbang cepatnya sehingga tidak lagi
dapat diikuti oleh pandang mata!
Dewa Bongkok melangkah
satu-satu sambil termenung. Akan tetapi, ilmu kepandaian yang amat tinggi sudah
mendarah daging pada diri kakek ini, bahkan dia telah memiliki kepekaan yang
luar biasa, semacam indera ke enam yang dimiliki oleh setiap orang ahli apa pun
di bidang masing-masing sehingga dia seperti melihat atau mendengar segala
ketidakwajaran yang terjadi di sekelilingnya. Memang setiap orang yang sudah
ahli memiliki indera ke enam ini.
Bagi seorang ahli silat
tingkat tinggi, indera ke enam ini berupa kewaspadaan terhadap segala macam
bahaya yang mengancam, dari manapun datangnya, sehingga indera ke enam ini
dapat menjaganya di waktu dia tidur sekalipun! Bagi seorang pelukis, mungkin
dengan indera ke enam itu dia melihat bentuk-bentuk, garis-garis, sifat-sifat
dan perpaduan-perpaduan yang tidak dapat dilihat oleh orang awam, yang lalu
dituangkannya di atas kanvas. Bagi seorang pengarang, mungkin dengan indera ke
enam itu dia dapat menangkap segala sesuatu tentang lika-liku kehidupan manusia
dan alam yang kemudian dituangkannya dalam karangannya.
Tiba-tiba Dewa Bongkok nampak
seperti orang terkejut, mukanya yang tadinya menunduk itu digerakkan menoleh ke
kiri dan sekelebatan nampaklah olehnya bayangan orang amat cepatnya. Dan pada
saat itu juga, Dewa Bongkok menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melesat
seperti menghilang saja!
Siapakah bayangan orang yang
berkelebat cepat itu? Dia ini juga seorang kakek, dan sungguhpun tidak setua
Dewa Bongkok, namun usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun. Gerakannya gesit
seperti terbang. Kakek ini berwajah menyeramkan, kurus seperti tengkorak,
mukanya putih seperti kapur, tubuhnya tinggi kurus. Biarpun kini dia tidak lagi
memakai pakaian hitam karena dia sedang menjadi buronan pemerintah seperti yang
lain, namun orang-orang kang-ouw tentu akan mengenal siapa adanya kakek ini
yang bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi!
Dialah ketua Huang-ho
Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, sarangnya yang kemudian dijadikan benteng
para pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Liong Bian Cu itu. Setelah benteng
itu dihancurkan oleh fihak pemerintah, dan semua tokohnya melarikan diri,
Hek-hwa Lo-kwi juga ikut melarikan diri dan dia berganti pakaiannya yang
biasanya berwarna hitam karena tidak ingin dikenal oleh orang-orang pemerintah
yang dia tahu disebar untuk mencarinya.
Hek-hwa Lo-kwi berada di
tempat itu, karena dia sudah berjanji dengan Hek-tiauw Lo-mo untuk saling
bertemu di tempat itu untuk kemudian bersama-sama pergi ke gurun pasir. Mereka
telah menerima undangan Twa-ok untuk membantu Im-kan Ngo-ok menghadapi musuh
besar mereka, yaitu Pendekar Super Sakti. Sungguh sama sekali tidak pernah
disangkanya bahwa di tempat itu, dia akan bertemu dengan Dewa Bongkok!
Seperti pernah diceritakan di
bagian depan, Hek-hwa Lo-kwi ini dahulunya adalah seorang pelayan yang terkasih
dari Dewa Bongkok, dan ketika itu dia bernama Thio Sek. Karena terbujuk oleh
Hek-tiauw Lo-mo, juga karena dia ingin sekali memperoleh kitab rahasia dari
majikannya yang akan menambah tingkat kepadaiannya, Thio Sek ini lalu melarikan
diri bersama Hek-hwa Lo-mo, setelah mereka berdua berhasil mencuri sebuah kitab
yang akhirnya mereka perebutkan dan seorang memperoleh separuh.
Inilah sebabnya maka begitu
dia melihat Dewa Bongkok, dia menjadi terkejut setengah mati. Biarpun kakek
bongkok itu berada di tempat jauh, namun melihat bekas majikannya itu, Hek-hwa
Lo-kwi cepat melarikan diri. Kalau ada manusia di dunia ini yang ditakutinya,
dan padahal dia tidak takut kepada setan sekalipun, maka manusia itu adalah
Dewa Bongkok.
Hatinya agak lega ketika dia
melarikan diri jauh sekali dan tiba di tepi sebuah hutan. Dia menghentikan
larinya, menarik napas panjang dan menghapus keringat dingin yang membasahi
muka dan lehernya.
Mau apa iblis tua itu di
sini....?! tanyanya kepada diri sendiri. Untung dia belum ketahuan dan dia
dapat cepat melarikan diri! Kalau sampai berjumpa, hemmm.... dia bergidik
ketakutan.
Hutan di depan adalah tempat
di mana dia sudah berjanji untuk bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Maka dia
mengibaskan lengan bajunya dan mulai melangkah maju ke depan. Tiba-tiba dia
berhenti dan mukanya yang putih seperti kapur itu menjadi makin pucat sampai
kehijauan, matanya terbelalak memandang ke depan dan kedua kakinya menggigil.
Dewa Bongkok sudah berdiri di depannya, agak jauh di depannya, seolah-olah
menantinya dengan muka menunduk! Bagaimana mungkin ini? Bukankah tadi dia telah
lari secepatnya dan jelas meninggalkan kakek itu sebelum kakek itu sempat
melihatnya?
Akan tetapi dia tidak mau
membuang waktu dengan berheran-heran, cepat dia sudah meloncat ke belakang,
jauh dan lari dari kakek yang mendatangkan rasa takut hebat dalam hatinya itu.
Akan tetapi, begitu dia turun, dia melihat Dewa Bongkok sudah menanti di
depannya! Dia cepat menoleh dan ternyata kakek yang tadi berdiri di tepi hutan
sudah tidak ada, entah kapan kakek itu bergerak! Hek-hwa Lo-kwi makin ketakutan
dan kembali dia membalikkan tubuh dan lari ke dalam hutan. Akan tetapi, kembali
dia melihat Dewa Bongkok bersandar pada tongkatnya di dalam hutan, hanya kurang
lebih dua puluh meter di depannya, tanpa memandangnya dan hanya menundukkan
muka!
Mau rasanya Hek-hwa Lo-kwi
menjerit dan menangis ketakutan. Tubuhnya sudah penuh dengan peluh. Dia akan
lebih suka berjumpa dengan raja setan sendiri daripada dengan bekas majikannya
ini! Dengan menahan napas dia lalu meloncat ke atas pohon, dan berloncatan dari
pohon ke pohon. Akan tetapi, setelah melewati lima batang pohon, terpaksa dia
berhenti lagi karena di pohon sebelah depan telah menanti Dewa Bongkok yang
duduk di atas cabang pohon di depannya itu.
Hek-hwa Lo-kwi menjadi makin
panik, dan pada saat itu dia melihat bayangan rekannya, Hek-tiauw Lo-mo,
bersembunyi di balik sebatang pohon. Melihat ini, timbul harapannya. Ada kawan
di sini dan hal ini agak membesarkan hatinya. Dia cepat melayang turun ke arah
temannya itu. Akan tetapi baru saja kakinya menyentuh bumi di dekat pohon di
mana Hek-tiauw Lo-mo bersembunyi, dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu
Dewa Bongkok sudah berdiri tepat di depannya.
Thio Sek, apakah engkau masih
hendak lari lagi? Tiba-tiba Dewa Bongkok menegur dengan suara halus namun
mengandung nada keren yang membuat jantung Hek-hwa Lo-kwi tergetar hebat. Kedua
kakinya menjadi lemas dan manusia iblis yang biasanya amat ditakuti orang itu
tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Dewa Bongkok!
Loya.... ampunkan hamba....!
Hek-hwa Lo-kwi berkata, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil. Memang sungguh
aneh sekali kalau ada orang kang-ouw melihat keadaan manusia iblis ini. Seperti
tidak masuk akal kalau orang seperti Hek-hwa Lo-kwi masih bisa ketakutan
seperti itu!
Dewa Bongkok tersenyum dan
biarpun wajah yang tua itu membayangkan kelembutan, namun sinar matanya yang
mencorong seperti mata naga
sakti itu sungguh penuh wibawa dan menyeramkan.
Thio Sek, tidak perlu bicara
tentang pengampunan. Di mana adanya kitab yang kaucuri itu?! terdengar Dewa
Bongkok berkata dengar suara penuh teguran.
Hamba.... hamba.... membagi
dua kitab itu dengan Hek-tiauw Lo-mo....!
Hemmm, lalu di mana sekarang
kitab itu?!
Bagian hamba.... sudah hamba
bakar karena hamba khawatir kalau sampai terjatuh ke tangan orang lain.
Sedangkan bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo.... hamba tidak tahu....!
Hek-hwa Lo-kwi mengangkat mukanya dan dia melihat betapa Hek-tiauw Lo-mo yang
bersembuhyi di balik batang pohon itu memberi isyarat kepadanya. Dia dapat
menangkap isyarat itu. Hek-tiauw Lo-mo mengajak dia menyerang Dewa Bongkok
secara tiba-tiba dan bersama-sama pula. Jantungnya berdebar dan memang itulah
satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri!
Harap Loya sudi mengampuni
hamba.... hamba mengaku salah.... hamba telah mata gelap karena ingin memiliki
kitab pelajaran yang tinggi....!
Dewa Bongkok adalah seorang
manusia yang waspada, maka dia dapat melihat pula sikap tidak wajar dari bekas
pelayannya itu, seperti ada sesuatu yang disembunyikan, maka dia membentak,
Hayo kauceritakan semua apa yang akan kaulakukan dan mengapa pula kau berada di
sini! Hukumanmu mencuri kitab itu tergantung dari kejujuranmu dalam menjawab
pertanyaanku ini.!
Suara kakek bongkok itu angker
dan benar-benar menggetarkan perasaan Hek-hwa Lo-kwi yang memang sudah merasa
jerih sekali. Dia merangkak maju lebih dekat, lalu membenturkan dahinya di atas
tanah. Perbuatan ini seolah-olah membuktikan bahwa dia benar-benar menyesal dan
minta ampun, padahal dia melakukannya untuk dapat lebih mendekati kakek bongkok
itu.
Hamba.... hamba memenuhi
undangan Im-kan Ngo-ok....! Dia berhenti, terkejut karena dalam rasa takutnya
dia sampai membuka rahasia rencana Im-kan Ngo-ok. Akan tetapi dia sudah
terlanjur bicara dan apalagi mengingat akan isyarat Hek-tiauw Lo-mo tadi.
Bukankah semua ini hanya untuk memancing perhatian Dewa Bongkok agar lebih
mudah bagi mereka berdua untuk melancarkan serangan mendadak?
Dan Dewa Bongkok memang
tertarik ketika mendengar disebutnya nama Im-kan Ngo-ok itu. Im-kan Ngo-ok
mengundangmu? Ada perlu apakah?!
Im-kan Ngo-ok mengadakan
perjanjian dengan Pendekar Super Sakti untuk bertemu dan mengadu kepandaian di
gurun pasir yang terletak di daratan Gunung Chang-pai-san. Im-kan Ngo-ok minta
bantuan hamba untuk menghadapi lawan tangguh itu....!
Sekali ini Dewa Bongkok
benar-benar terkejut. Hemmm, kapankah diadakannya pertemuan itu?!
Pada bulan purnama bulan
depan....!
Dan kau bermaksud membantu
mereka menghadapi Pendekar Super Sakti?! bentak Dewa Bongkok.
Pada saat Dewa Bongkok
membentak ini, Hek-tiauw Lo-mo dengan langkah hati-hati telah keluar dari balik
batang pohon dan mendekati kakek bongkok itu. Betapapun tinggi kepandaian
seseorang, dan betapapun tajam perasaannya, namun seorang manusia tidak mampu
membagibagi kesibukan batinnya. Selagi dia bicara dengan marah, tentu saja
kewaspadaan Dewa Bongkok berkurang, semua perhatian ditujukan kepada bekas
pelayannya, dan juga ketajaman pendengarannya penuh oleh suara dari
kata-katanya sendiri sehingga dia tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari
belakang.
Hek-hwa Lo-kwi melihat ini dan
dia mengangkat kedua tangannya menyoja, berkata dengan suara menyesal, Ampunkan
hamba, Loya.... hamba sebetulnya tidak berani akan tetapi....! Dan pada saat
itu, diam-diam Hek-hwa Lo-kwi mengumpulkan tenaganya untuk mengerahkan ilmunya
yang dahsyat, yaitu Pek-hiat-hoat-lek! Kemudian, kedua tangan yang menyoja itu
secepat kilat meluncur ke atas dan menghantam ke arah dada Dewa Bongkok! Pada
saat yang sama, Hek-tiauw Lo-mo juga sudah menggerakkan tangan kanannya, dengan
telapak tangan terbuka dia melancarkan hantaman dengan pengerahan tenaga
Hek-coatok-ciang.
Blukkk! Desss....!!
Dua pukulan itu dengan
tepatnya mengenai dada dan punggung Dewa Bongkok yang tidak sempat mengelak
lagi karena datangnya pukulan dari depan dan belakang itu sama sekali tidak
disangkanya sehingga kakek tua renta ini hanya mampu mengerahkan sinkangnya
untuk menerima kedua pukulan itu. Akan tetapi, demikian hebatnya tenaga sinkang
dari penghuni Istana Gurun Pasir ini sehingga begitu kedua pukulan itu mengenai
punggung dan dadanya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi terpental
mundur, terjengkang dan mereka tewas dalam keadaan mengerikan, mata mereka
membalik dan dari semua lubang di telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah!
Ternyata bahwa pukulan mereka itu terbentur kepada hawa sinkang amat kuat
sehingga tenaga mereka terpental, membalik dan menghantam mereka sendiri
mengakibatkan mereka tewas seketika!
Dewa Bongkok masih kelihatan
berdiri tegak di tempat yang tadi, sama sekali tidak bergerak seolah-olah dua
pukulan itu tidak terasa olehnya. Akan tetapi, kalau orang melihat mukanya,
akan tahulah dia bahwa Dewa Bongkok menderita luka hebat. Muka yang tua itu
pucat sekali dan di ujung kanan mulutnya nampak darah mengalir bertetes-tetes.
Ternyata kakek sakti ini telah muntah darah! Pukulan Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi yang dilakukan dari jarak dekat itu terlampau dahsyat dan tidak
terduga datangnya. Kalau bukan Dewa Bongkok yang terkena hantaman seperti itu,
betapapun lihainya, tentu akan tewas seketika.
Setelah berdiri sejenak
seperti arca dengan kedua mata terpejam, mengumpulkan hawa murni untuk
memperkuat diri, akhirnya Dewa Bongkok membuka kedua matanya, menarik napas
panjang dan menoleh ke arah mayat dua orang itu. Dengan gerakan perlahan dan
menahan nyeri pada dadanya, kakek ini lalu mengumpulkan dahan-dahan yang cukup
banyak, meletakkan dua buah mayat itu di atas dahan-dahan dan menutupinya dengan
banyak dahan dan daun kering, kemudian membakarnya. Dia maklum bahwa
ranting-ranting itu cukup banyak dan akan dapat membakar dua jenazah itu sampai
habis. Setelah memandang sejenak, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah
pergi, jalannya agak tersaruk-saruk dibantu oleh tongkatnya.
***
Luka yang diderita oleh Go-bi
Bu Beng Lojin atau Dewa Bongkok memang amat parah. Apalagi ditambah dengan
usianya yang sudah amat tua sehingga tentu saja daya tahan tubuh sudah tidak
begitu kuat lagi, maka akibatnya dua pukulan dahsyat itu membuat kakek ini
benar-benar menderita hebat.
Setelah berjalan
perlahan-lahan sampai setengah hari meninggalkan hutan itu dan tiba di
pegunungan yang penuh batu-batu dan sukar dijalani, kakek ini merasa tidak
dapat menahan lagi dan duduklah dia bersila di atas batu besar untuk menghimpun
kekuatan dan mengumpulkan hawa murni sebanyaknya guna mengobati luka yang
dideritanya. Dengan merasakan keadaan lukanya, kakek ini maklum bahwa
sedikitnya dia harus beristirahat satu bulan untuk dapat memulihkan kembali
kekuatannya, dan paling tidak selama tiga hari tiga malam dia harus duduk
bersamadhi untuk menyelamatkan nyawanya. Dengan penghimpunan hawa murni selama
tiga hari tiga malam terus-menerus, barulah ada harapan luka di dalam dadanya itu
dapat disembuhkan sehingga dia hanya tinggal menanti pulihnya kekuatannya saja.
Kebetulan sekali tempat itu amat baik, sunyi dan bersih, hawanya murni sehingga
tepat untuk dipakai menjadi tempat bersamadhi.
Dua hari dua malam sudah kakek
ini duduk bersila di atas batu tanpa pernah bergerak. Dia seolah-olah sudah
mati, atau sudah berubah menjadi arca batu, menjadi satu dengan batu besar yang
didudukinya. Hanya ujung pakaiannya saja, jenggotnya atau sedikit rambut di
sekeliling kepalanya yang kadang-kadang bergerak kalau ada angin kencang
bertiup.
Pada hari ke tiga itu, Dewa
Bongkok sudah merasa betapa luka-luka di dalam dadanya telah banyak mendingan.
Rasa nyeri di bagian kiri yang tadinya terasa paling hebat telah lenyap dan
tinggal sedikit rasa nyeri di bagian kanan. Dalam sehari semalam ini tentu
lukanya ini pun akan lenyap dan dia tinggal beristirahat saja untuk memulihkan
kekuatannya selama sedikitnya sebulan.
Akan tetapi, pagi hari itu
terjadi hal di luar perhitungan kakek sakti ini. Ketika dia masih tenggelam ke
dalam samadhi, tiba-tiba muncul seorang wanita cantik yang memiliki gerakan
ringan dan wanita ini telah sejak tadi memperhatikan Dewa Bongkok yang sedang
bersamadhi. Wanita ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui,
Siluman Kucing yang cabul dan lihai itu! Seperti juga suhengnya, yaitu
Hek-tiauw Lo-mo, dia pun menerima undangan dari Im-kan Ngo-ok untuk membantu
mereka menghadapi Pendekar Super Sakti dan dia pun berjanji dengan suhengnya
untuk bertemu di dalam hutan itu. Akan tetapi, dasar Siluman Kucing ini tidak
pernah dapat sembuh dari penyakitnya, yaitu gila laki-laki, di tengah
perjalanan dia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang amat menarik hatinya.
Dia lalu merayu pemuda ini dan memuaskan nafsunya sehingga dia lupa akan janjinya
dan setelah dia, seperti biasanya, merasa bosan dan meninggalkan pemuda yang
telah dibunuhnya pula itu, dia tiba di dalam hutan yang dijanjikan dalam
keadaan terlambat dua hari! Dan di dalam hutan itu dia menemukan dua jenazah
yang sudah menjadi abu, tinggal beberapa potong tulang saja yang tidak sempat
terbakar habis. Dan di situ dia menemukan senjata-senjata dari suhengnya, di
antara abu mayat dan arang. Tahulah dia bahwa suhengnya telah tewas dan telah
dibakar menjadi abu, bersama seorang lain lagi yang diduganya tentu Hek-hwa
Lo-kwi karena suhengnya berjanji akan bertemu dengannya di hutan itu bersama
Hek-hwa Lo-kwi.
Siluman Kucing merasa kaget
dan juga terheran-heran. Siapakah orangnya yang demikian lihainya, mampu
membunuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi? Dia bergidik, dan juga penasaran.
Betapapun juga, Hek-tiauw Lo-mo adalah suhengnya, dan setelah orang itu tewas,
dia teringat akan hubungan mereka antara kakak dan adik seperguruan, maka
timbul rasa penasaran dan marah dalam hatinya terhadap pembunuh suhengnya.
Setelah mencari-cari di
sekitar hutan itu, akhirnya dia menemukan Dewa Bongkok yang tengah bersamadhi
seorang diri di atas batu besar! Melihat kakek ini, Siluman Kucing memandang
dari jauh penuh perhatian. Dia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi sebagai
seorang yang berkepandaian tinggi dia dapat menduga bahwa kakek itu tengah
duduk bersamadhi dan melihat pernapasannya yang teratur dan panjang-panjang,
dia pun dapat menduga bahwa kakek itu sedang menghimpun hawa murni. Orang yang melakukan
hal seperti itu hanyalah orang yang sedang mengobati luka di dalam tubuhnya.
Mengingat bahwa di dalam hutan tak jauh dari tempat ini suhengnya dan Hek-hwa
Lo-kwi tewas dan kakek aneh ini duduk bersamadhi mengobati luka dalam mudahlah
bagi Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui untuk menarik kesimpulan. Sudah hampir
boleh dipastikan bahwa suhengnya dan Hek-hwa lo-kwi tentu telah bertanding
melawan kakek ini dengan akibat tewasnya suhengnya dan Hek-hwa Lo-kwi, dan
kakek ini pun menderita luka parah dalam pertandingan itu! Maka mulailah
sepasang mata yang genit itu mengeluarkan sinar berapi. Inilah orangnya yang
telah membunuh suhengnya!
Akan tetapi, Lauw Hong Kui
bukanlah seorang yang bodoh. Sebaliknya malah, dia amat cerdik. Orang yang
sudah mampu menewaskan suhengnya dan Hek-hwa Lo-kwi, tentu bukan orang
sembarangan dan memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari
padanya. Akan tetapi sebaliknya, betapapun saktinya orang ini, kalau sedang
menderita luka dalam yang parah, tentu dia akan mampu merobohkannya tanpa
banyak kesukaran.
Oleh karena itu, dia bersikap
hati-hati dan tidak menurunkan nafsu amarah untuk langsung menyerang kakek yang
duduk diam seperti arca itu.
Locianpwe yang terhormat,
kalau boleh saya bertanya, siapakah nama Locianpwe?! Siluman Kucing bertanya
sambil menjura ke arah kakek tua renta yang duduk bersila dengan kedua mata
terpejam itu.
Tentu saja kehadiran wanita
itu sudah diketahui oleh Dewa Bongkok. Akan tetapi mendengar pertanyaan itu,
Dewa Bongkok sama sekali tidak mau menjawab, bergerak pun tidak. Dia tidak
pernah mau memperkenalkan diri kepada siapapun, apalagi kepada seorang wanita
yang gerak-geriknya penuh kecabulan dan kejahatan itu. Maka dia diam saja, dan
juga dia memang tidak ingin berurusan dengan siapapun di saat itu.
Mauw Siauw Mo-li mengerutkan
alisnya. Kakek itu sama sekali tidak mau menjawab, dan dia menduga bahwa kakek
ini tentu seorang tokoh berilmu tinggi yang menyembunyikan diri. Akan tetapi,
dia cerdik sekali dan dia tahu bagaimana caranya untuk memaksa kakek itu
membuka suara! Dia tahu bahwa kelemahan dari pada locianpwe adalah keangkuhan!
Kalau disentuh keangkuhannya, para Locianpwe biasanya lalu melakukan tanggapan.
Locianpwe, di dalam hutan saya
melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi telah tewas terbunuh orang. Siapakah
yang telah membunuh mereka?!
Kembali tidak ada jawaban dari
kakek itu. Dan suara Mauw Siauw Mo-li yang sengaja dikeluarkan dengan
pengerahan khikang itu bergema di dalam hutan di bawah lereng itu. Setelah gema
itu mengaung, sunyi kembali keadaan di situ.
Siluman Kucing mengerutkan
alisnya dan mencari akal. Saya tadinya menduga bahwa Locianpwe yang membunuh
mereka, akan tetapi melihat Locianpwe diam saja, saya menjadi ragu-ragu.
Seorang seperti Locianpwe, kalau melakukan sesuatu, tentu berani mengaku dan
mempertanggungjawabkannya, berbeda dengan para siauw-jin (orang hina) yang
berwatak pengecut tidak berani mengakui perbuatannya!!
Memang cerdik sekali Siluman
Kucing. Dewa Bongkok bukan termasuk tokoh yang suka mengangkat diri atau
berwatak angkuh, sebaliknya malah dia selalu menyembunyikan dirinya. Akan
tetapi ucapan wanita itu tentu saja menggugah watak gagah yang selalu di
junjung tinggi oleh semua kaum pendekar di dunia kang-ouw. Lebih baik mati
daripada disebut pengecut hina! Seorang pendekar tentu akan selalu berani
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya dan berani menghadapi semua akibat
daripada perbuatannya! Maka, mendengar ucapan itu, sepasang mata itu terbuka
memandang ke arah Mauw Siauw Mo-li.
Ihhhhh....!! Mauw Siauw Mo-li
undur dua langkah. Dia terkejut dan merasa ngeri melihat betapa sepasang mata
itu mencorong dan seolah-olah mengeluarkan sinar kilat yang menyambar ke
arahnya. Belum pernah dia melihat mata yang mencorong seperti itu, seperti
bukan mata manusia!
Aku tidak membunuh mereka,
adalah mereka yang memukulku sehingga mereka tewas karena tenaga mereka
sendiri!! Setelah berkata demikian, Dewa Bongkok kembali memejamkan matanya dan
tidak mau berkata apa-apa lagi. Baginya sudah cukup pengakuan ini dan dia tidak
mau membicarakan hal itu dengan wanita ini.
Mendengar ucapan itu, tahulah
kini Siluman Kucing bahwa dugaannya tidak keliru. Kakek ini telah bertanding
melawan suhengnya dan Hek-hwa Lo-kwi sehingga kedua orang itu tewas dan kakek
ini sendiri mengalami luka parah. Dalam keadaan terluka parah dan sedang
mengobati lukanya itu, tentu kakek yang amat sakti ini berkurang banyak
kelihaiannya. Namun, Mauw Siauw Mo-li tetap bersikap hati-hati dan tidak mau
ceroboh yang akan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri. Dia tidak mau
langsung menyerang kakek itu.
Mengapa Locianpwe memandang
rendah sekali kepada saya? Sebaiknya Locianpwe duduk di atas tanah agar tidak
terlalu tinggi hati!! Setelah berkata demikian, Siluman Kucing itu lalu
mendorong dengan kedua tangannya ke arah batu besar yang diduduki oleh Dewa
Bongkok. Dorongan itu mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan hawa pukulan
yang dahsyat menyambar dan mendorong batu itu. Batu itu terguling dan tubuh
Dewa Bongkok ikut pula terguling, tanpa kakek itu dapat mempertahankan diri.
Tentu saja kalau dia hendak mempertahankan diri, bukanlah hal sukar. Akan
tetapi dalam keadaannya seperti saat itu, amatlah berbahaya baginya untuk
mempergunakan tenaga sinkangnya. Sekali mengerahkan sinkang, lukanya yang sudah
sembuh sebagian itu tentu akan terbuka dan kambuh kembali, bahkan mungkin akan
lebih hebat sehingga dapat mengakibatkan kematiannya. Oleh karena itulah,
ketika batu besar itu terguling, dia pun ikut terguling dan terbanting ke atas
tanah. Namun, kakek ini lalu merangkak bangun dan duduk bersila kembali ke atas
tanah.
Melihat ini, Siluman Kucing
menjadi heran dan juga girang. Kalau kakek ini sudah dapat membunuh dua orang
seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, jelas bahwa kakek itu tentu seorang
yang sakti luar biasa. Akan tetapi, sekarang, dengan sekali dorong saja batu
itu roboh bersama tubuh kakek itu yang kelihatan sama sekali tidak mampu
menjaga diri, dia pun tahu bahwa kakek itu benar-benar telah terluka parah dan
tidak berani mempergunakan sinkangnya!
Hi-hi-hi-hi-hik! Kiranya
engkau telah terluka parah? Tahukah engkau siapa aku, orang tua buruk? Aku
adalah Lauw Hong Kui, sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang telah kaubunuh. Nah, aku
datang untuk membalaskan kematian suhengku!! setelah berkata demikian, Siluman
Kucing itu menerjang ke depan, ke arah kakek yang duduk bersila di atas tanah
itu.
Dengan pengerahan tenaga
sinkangnya, tangannya menyambar dan menampar ke arah kepala Dewa Bongkok yang
botak.
Syuuuuuttt.... plakkk!!
Dewa Bongkok tentu saja tidak
mau menerima kematian secara konyol. Dia tidak berani mengerahkan sinkang
karena hal ini dapat berarti bunuh diri, maka dia pun miringkan kepalanya
ketika merasa ada angin dahsyat menyambar kepalanya. Pukulan itu luput, akan
tetapi masih menghantam pundaknya sehingga untuk kedua kalinya tubuh Dewa
Bongkok terguling-guling! Namun dia sudah duduk lagi bersila.
Makin giranglah hati Mauw
Siauw Mo-li karena dia yakin bahwa semua dugaannya benar belaka. Biarpun jelas
bahwa kakek itu amat lihai, terbukti bahwa dalam keadaan duduk bersila tanpa
melawan tadi kakek itu telah mampu mengelak sehingga kepalanya terluput dari
tamparannya yang sedemikian cepatnya. Akan tetapi ketika tangannya menampar
pundak, dia sama sekali tidak merasakan ada hawa sinkang yang menolaknya, tanda
bahwa benar-benar kakek sakti itu tidak berani mengerahkan sinkang! Kakek itu
lebih mengandalkan kelemasan untuk menerima tamparan tadi, membiarkan tubuhnya
terguling sehingga tamparan itu hanya membuatnya terbanting tanpa mendatangkan
luka parah karena dia sama sekali tidak melawan.
!Hi-hi-hik, tua bangka,
bersiaplah engkau untuk mampus!! bentaknya dan dia sudah menerjang, maju lagi.
Dewa Bongkok maklum bahwa dia tidak akan mampu melawan dalam keadaan seperti
itu. Kalau dia mengerahkan sinkang, tentu dia akan mampu menewaskan wanita ini
dengan mudah, walaupun untuk itu dia sendiri akan berkorban nyawa. Akan tetapi,
kakek ini tidak ingin membunuh orang, apalagi dalam keadaan mendekati akhir
hidupnya itu. Kalau dua hari yang lalu dia menewaskan Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi, hal itu terjadi karena dia tidak sengaja, karena dia diserang
dengan tiba-tiba sehingga pengerahan sinkang yang otomatis membuat tenaga
pukulan mereka membalik dan mengakibatkan tewasnya dua orang itu. Kini, dia
tidak mau melakukan pembunuhan dan dia hanya menanti datangnya maut melalui
tangan wanita yang tidak dikenalnya ini.
Wuuuuuttt.... plakkk!!
Siluman Kucing memekik kaget
dan meloncat mundur. Pukulannya telah ditangkis oleh sinar hitam yang panjang
dan ternyata yang menangkis lengannya itu adalah seekor ular hitam besar dan
panjang yang kini melingkar di lengan dan leher seorang dara cantik jelita
berpakaian serba hitam!
Hwee Li!! bentaknya dengan
marah. Engkau melawan bibi gurumu?!
Dara yang telah menangkis
pukulan Siluman Kucing yang menyelamatkan nyawa Dewa Bongkok tadi memang benar
Hwee Li adanya. Seperti kita ketahui, dara ini mengalami guncangan batin yang
hebat ketika ditinggal kekasihnya yang menyatakan benci kepadanya karena dia
keturunan pemberontak, bahkan gurunya sendiri, Ceng Ceng, juga memutuskan
hubungan dan tidak mau mengakuinya lagi. Hal ini amat menyedihkan hatinya, akan
tetapi karena memang pada dasarnya Hwee Li berwatak keras, lincah dan gembira,
penderitaan batinnya itu tertutup oleh kelincahannya dan hanya mukanya yang
agak pucat itu saja yang menjadi bukti bahwa di lubuk hatinya, dara ini
menderita batin yang amat hebat.
Memang pada kenyataannya,
watak Hwee Li jauh sekali bedanya dengan watak Hek-tiauw Lo-mo, orang yang
selama belasan tahun dia anggap ayah kandungnya sendiri. Biarpun semenjak kecil
dia dididik oleh seorang manusia iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo sehingga Hwee Li
memiliki sifat-sifat liar yang keras, namun pada lubuk hatinya dia menjunjung
tinggi kegagahan dan tidak suka bertindak sewenang-wenang, bahkan lebih condong
untuk melindungi orang-orang lemah tertindas. Apalagi setelah dia berkenalan
dengan orang-orang gagah, bahkan kemudian dia memperoleh didikan dari Ceng
Ceng, sifat kegagahan seorang pendekar ini menonjol. Hal ini makin kuat ketika
dia menemukan rahasia bahwa dia sesungguhnya bukan anak kandung Hek-tiauw
Lo-mo. Dia merasa lain dan berbeda dengan golongan Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia
menentang tindakan-tindakan mereka seperti nampak ketika dia menjadi tawanan
Pangeran Liong Bian Cu yang tergila-gila kepadanya. Maka, ketika secara
kebetulan dia melihat Mauw Siauw Mo-li, hendak menghantam seorang kakek botak
tua renta yang kelihatannya tidak berdaya dan tidak melawan, bangkit
kemarahannya dan segera dia turun tangan menangkis pukulan itu dengan
menggunakan ular hitamnya yang panjang.
Sambil tersenyum dan sepasang
matanya menatap wajah Mauw Siauw Mo-li dengan tajam, dia menjawab, Sudah tentu,
Mauw Siauw Mo-li. Mana mungkin aku membiarkan saja engkau melakukan perbuatan
jahat dan sewenang-wenang, membunuh seorang kakek yang tidak berdaya dan tidak
melawan? Seharusnya engkau merasa malu untuk menyerang seorang kakek tua tidak
melawan!!
Bocah setan! Engkau menyebut
namaku begitu saja? Bukankah aku ini bibi gurumu?!
Aku tidak mempunyai bibi guru
seperti engkau! Engkau jahat, kejam dan curang!!
Eh, Hwee Li, berani engkau
kurang ajar! Engkau murid murtad! Ingat, aku adalah sumoi dari ayahmu!! Mauw
Siauw Mo-li membentak marah. Kau tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu?
Ayahmu, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi telah tewas oleh kakek itu! Hayo
kita bunuh dia sebelum dia sembuh kembali dari lukanya untuk membalas kematian
ayahmu!! Setelah berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li melompat dan hendak
menerjang Dewa Bongkok. Akan tetapi nampak bayangan hitam berkelebat dan Hwee
Li sudah menghadang di depannya.
Tidak! Engkau tidak boleh
membunuhnya!! katanya dengan wajah keras dan suara tegas.
Mauw Siauw Mo-li mengerutkan
alisnya dan perlahan-lahan mukanya berubah merah, matanya berapi-api tanda
bahwa wanita ini sudah kehilangan kesabarannya. Kalau tadi dia masih bersikap
sabar adalah karena dia masih mengingat bahwa dara ini adalah murid
keponakannya.
Hwee Li, siapakah kakek ini
dan apamukah dia maka engkau hendak melindunginya?!
Bukan apa-apa. Aku tidak kenal
padanya, akan tetapi jelas bahwa dia adalah seorang tua renta yang sudah
terluka dan tidak berdaya, maka kalau engkau berkeras hendak membunuhnya,
akulah yang akan membelanya!!
Keparat, murid murtad engkau!!
bentak Mauw Siauw Mo-li dan dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Hwee Li
dengan pukulan maut. Namun, dengan lincahnya Hwee Li mengelak ke kiri dan dari
sini kakinya meluncur dengan tendangan kilat ke arah lambung bibi gurunya!
Ehhh!! Mauw Siauw Mo-li
terkejut dan makin marah. Kiranya murid keponakannya ini benar-benar berani
melawannya.
Singgg....!! Sinar hijau
nampak dan Siluman Kucing itu telah mencabut sebatang pedang, lalu dia menubruk
ke depan dan menyerang dengan dahsyatnya.
Hwee Li cepat berloncatan
menghindarkan diri, kemudian tiba-tiba sinar hitam meluncur dari tangannya dan
ular hitam itu telah digerakkan seperti senjata, menyerang dan mematuk ke arah
leher Lauw Hong Kui. Wanita ini cepat menarik tubuh ke belakang dan mengibaskan
pedang untuk membacok putus leher ular itu. Namun, ular itu amat gesit, sudah
mengelak dengan leher dilengkungkan, dan pada saat itu, tangan kiri Hwee Li
telah melancarkan pukulan tangan kiri yang mengandung uap berwarna putih.
Itulah pukulan beracun yang berbau harum.
Ihhh....!! Untuk kedua kalinya
Mauw Siawu Mo-1i terkejut dan cepat dia mengelak, kemudian dia memutar
pedangnya dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedang itu, berubah menjadi
segulung sinar hijau yang melingkar-lingkar dan menyambar ke sana-sini dengan
hebatnya.
Terjadilah perkelahian yang
amat seru dan mati-matian. Setelah mendapatkan gemblengan dari Ceng Ceng dan
petunjuk-petunjuk dari suami gurunya itu, yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, kini
tingkat kepandaian Hwee Li sudah naik tinggi sehingga tidaklah mudah bagi Mauw
Siauw Mo-li untuk mengalahkannya. Sebaliknya, Hwee Li pun merasa sukar untuk
mengalahkan bekas bibi gurunya yang lihai ini. Sampai seratus jurus mereka
bertanding, masih belum ada yang nampak terdesak.
Diam-diam Mauw Siauw Mo-li
menjadi penasaran sekali. Masa dia tidak mampu mengalahkan bekas murid
keponakannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tangan kirinya
melemparkan sebuah benda ke atas tanah. Terdengar ledakan dan nampak asap
mengepul tinggi. Hwee Li maklum akan kelihaian bibi gurunya ini menggunakan
bahan-bahan ledak, maka dia pun cepat meloncat jauh ke kiri. Akan tetapi
kembali dia disambut oleh ledakan yang membuat pandang matanya gelap dan pada
saat itu, dia masih melihat sinar hijau meluncur ke arah dadanya. Cepat dia
melempar tubuh ke belakang dan menggerakkan ular hitamnya untuk menangkis.
Crakkk!! Ularnya terbabat
putus menjadi dua dan terdengar suara ketawa mengejek dari Siluman Kucing itu,
suara ketawa yang bercampur dengan suara kucing, ciri khas dari wanita ini!
Setan!! Hwee Li memaki dan
membuang bangkai ular itu, kemudian dia mengelak dari sambaran pedang
berikutnya, lalu membalas dengan tamparan tangannya yang juga dapat dielakkan
oleh lawan. Melihat Hwee Li kehilangan senjata ular yang ampuh itu, Mauw Siauw
Mo-li tertawa lagi.
Hwee Li, hayo kau berlutut
minta ampun kepada bibi gurumu, baru aku ampuni engkau dan lekas kaubunuh kakek
itu untuk membalas kematian ayahmu!! Dia masih tidak ingin membunuh dara cantik
itu.
Siluman betina!! Hwee Li
memaki dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, kedua tangannya mengirim pukulan
berantai yang cepat dan kuat. Mauw Siauw Mo-li menjadi marah.
!Bagus, engkau sudah bosan
hidup!! bentaknya dan dia memutar pedangnya, namun dara itu benar-benar lihai.
Biarpun kini tidak lagi memegang ular sebagai senjata, namun setiap serangan
pedang dapat dielakkannya dengan mudah, bahkan untuk setiap serangan dia
membalas kontan dengan pukulan atau tendangan yang tidak kalah bahayanya.
Mauw Siauw Mo-li makin gemas.
Kembali tangannya melempar sebuah benda, sekali ini benda itu dilemparkan ke
arah Dewa Bongkok! Melihat ini, Hwee Li menjerit dan tubuhnya meluncur ke
samping, cepat dia menyambar benda itu sebelum mengenai tanah dan meledak,
kemudian dia melontarkan benda itu ke arah pemiliknya. Terdengar ledakan keras
dan asap makin memenuhi tempat itu. Tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan.
Hwee Li maklum bahwa bibi gurunya itu menyerang dengan hebat, maka dia mengelak
dan membalas dengan tendangan.
Singgggg.... brettttt!! Sinar
hijau menyambar di antara gumpalan asap dan celana kiri Hwee Li di bagian paha
terobek ujung pedang, berikut kulit dan sedikit dagingnya sehingga paha itu
luka berdarah.
Ha-ha-ha, bocah murtad, engkau
tidak lekas berlutut?! bentak Mauw Siauw Mo-li sambil tertawa dan mendesak
dengan pedangnya. Hwee Li terpincang-pincang, namun dara yang berhati baja ini
sama sekali tidak mau tunduk, bahkan sambil mengelak dia masih mencoba untuk
balas menyerang. Akan tetapi, karena pahanya sudah terluka yang membuatnya
terpincang, gerakan kakinya menjadi kaku dan tentu saja kegesitannya berkurang
sehingga ia mulai terdesak hebat oleh pedang di tangan Siluman Kucing.
Serang lambung kirinya!!
tiba-tiba Hwee Li mendengar bisikan halus dan dia mengenal suara kakek tua
renta yang bersamadhi itu. Suara itu demikian halus namun jelas sekali, seperti
diucapkan di dekat telinganya saja, maka tahulah dia bahwa kakek itu telah
mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) untuk
membantunya. Karena dia merasa yakin bahwa kakek itu adalah seorang yang amat
sakti, maka dengan membuta dia lalu mengikuti petunjuknya dan tiba-tiba dia
menerjang dengan serangan hebat ke arah lambung kiri Siluman Kucing.
Ihhh....!! Siluman Kucing
menjerit kaget karena pada saat itu memang lambung kirinya terbuka! dan
merupakan bagian yang paling lemah dari kedudukannya. Dia masih dapat melempar
dirinya ke kanan sehingga terjangan Hwee Li itu luput sungguhpun dia sudah
rnerasakan hawa pukulan menyerempet lambungnya. Kalau saja Hwee Li tadi tidak
terheran dan sedikit terlambat, tentu serangannya sudah mengenai sasaran.
Siluman Kucing tidak tahu
bahwa lawannya diberi petunjuk oleh kakek itu. Dia mengira bahwa serangan Hwee
Li tadi hanya kebetulan saja, maka bangkitlah kemarahannya karena dia nyaris
celaka. Sambil mengeluarkan lengking panjang pedangnya menusuk dan membacok
kembali dengan bertubi-tubi dan kini Hwee Li terdesak lagi seperti tadi. Hwee
Li terpaksa mengelak ke sana-sini dengan kakinya yang pincang. Dia merasa
menyesal mengapa tadi dia agak terlambat sehingga petunjuk kakek itu tidak
dipergunakan sebaiknya. Kalau dia tidak agak meragu, dia yakin bahwwa serangan
tadi pasti mengenai sasaran.
Tendang lutut kiri dan hantam
pundak kanan!! kembali terdengar bisikan dan sekali ini Hwee Li bergerak secara
otomatis menurutkan petunjuk itu tanpa mempedulikan hal lain. Dia mentaati
secara membuta dan secara cepat sekali dan hasilnya luar biasa! Terdengar
Siluman Kucing menjerit dan biarpun dia berusaha melempar tubuh ke belakang,
namun hantaman ke arah pundaknya itu tetap saja mengenai sasaran.
Plakkk....! Aduhhhhh....!!
Pedang di tangan Siluman Kucing terlepas karena begitu pundaknya kena dihantam,
lengan kanannya seperti lumpuh. Tadi dia terkejut melihat tendangan tiba-tiba
dari Hwee Li yang ditujukan kepada lutut kirinya. Tendangan itu memang tepat
dan berbahaya sekali karena pada saat itu, kuda-kudanya dititikberatkan kepada
kaki kirinya yang berada di depan. Maka dia cepat menarik kaki kirinya agar
lututnya yang dalam keadaan terbuka! itu jangan kena tendang, akan tetapi siapa
kira, gerakannya ini seperti telah dapat diduga terlebih dulu oleh dara itu
yang sudah mengirim pukulan ke arah pundak kanannya pada saat pundak itu dalam
keadaan tak terjaga.
Siluman Kucing terhuyung ke
belakang dan merasa jerih. Lama dia tidak bertemu dengan murid keponakannya ini
dan kiranya sekarang telah memiliki kepandaian yang demikian lihai! Melawan
Hwee Li saja dia kewalahan dan hampir roboh, apalagi kalau kakek itu turun
tangan membantu! Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang seperti seekor
kucing yang terpijak ekornya, dan tubuhnya sudah meloncat jauh ke belakang dan
sebentar saja Siluman Kucing telah lenyap.
Hwee Li cepat mengambil pedang
yang ditinggalkan oleh bekas bibi gurunya itu, dan dia menoleh ke arah Dewa
Bongkok. Kakek itu masih duduk bersila di atas tanah, memejamkan kedua matanya.
Hwee Li menarik napas panjang. Benar dugaannya. Kakek ini lihai bukan main akan
tetapi berada dalam keadaan terluka parah. Kalau saja kakek aneh itu tidak
membantunya dengan dua kali bisikan dan petunjuk, agaknya tidak mungkin dia
dapat menangkan Mauw Siauw Mo-li yang lihai, apalagi karena pahanya telah
terluka.
Hwee Li menghampiri kakek itu,
sejenak memandang kakek yang masih bersamadhi dengan tekunnya. Dia tidak mau
mengganggu, teringat bahwa kakek itu terluka parah dan sedang mengobati luka
sendiri. Hwee Li lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, memeriksa pahanya
yang terluka dan menaruhkan obat bubuk kepada lukanya. Dia menyeringai. Perih
sekali obat itu, akan tetapi dengan cepat dapat menutup luka dan menghentikan
keluarnya darah. Dengan saputangan yang bersih dibalutnya paha yang terluka
itu, kemudian dia pun duduk bersila tak jauh dari kakek itu. Dia mengambil
keputusan untuk menjaga dan melindungi kakek itu sampai kakek itu sembuh dan
dapat membela diri sendiri.
Demikianlah, kini di tempat
sunyi itu nampak dua orang duduk bersila dalam samadhi! Setelah memulihkan
tenaganya dan rasa nyeri di pahanya yang terluka berkurang, Hwee Li membuka
matanya, lalu bangkit berdiri. Dia merasa lapar sekali. Kakek itu masih tetap
duduk bersila seperti tadi, napasnya panjang-panjang dan sebagai seorang muda
yang terlatih, Hwee Li maklum pula bahwa kakek itu memang benar sedang berdaya
untuk mengobati dirinya sendiri.
Maka dia pun tidak berani mengganggu,
dan hanya ingin menunggu sampai kakek itu selesai mengobati luka di dalam
tubuhnya. Pergilah Hwee Li untuk mencari makanan pengisi perutnya yang lapar.
Akan tetapi karena dia tidak berani meninggalkan kakek itu terlampau jauh, dia
hanya mencari di sekitar tempat itu dan akhirnya dia hanya bisa mendapatkan
akar-akaran yang dapat dimakan! Tidak ada pohon-pohon buah di hutan dekat situ
dan dia tidak melihat binatang hutan pula. Akan tetapi, akar-akaran itu cukup
enak kalau dibakar.
Maka dia lalu membuat api dan
mulai memanggang akar-akaran itu. Dimakannya sebagian dari makanan itu dan
sebagian lagi disisihkannya untuk kakek itu kalau sudah sadar dari samadhinya
nanti. Bukan menjadi kebiasaan Hwee Li untuk mencampuri urusan orang. Akan
tetapi dia tidak suka kepada Mauw Siauw Mo-li yang dia tahu merupakan seorang
iblis betina yang selain kejam dan curang, juga cabul itu. Maka, melihat bekas
bibi gurunya itu tadi hendak membunuh kakek ini, dia lalu turun tangan
menentang.
Kemudian dia mendengar bahwa
kakek ini telah membunuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia merasa
tertarik sekali. Hek-tiauw Lo-mo adalah musuh besarnya, yang telah merusak
kehidupan ibu kandungnya, bahkan hampir saja menjerumuskan dia ke dalam lembah
kehinaan dengan menjualnya! kepada Pangeran Liong Bian Cu. Maka, mendengar
bekas ayahnya dan juga musuh besarnya itu terbunuh oleh kakek ini, dia merasa
tertarik sekali untuk bicara dengan kakek ini. Di samping itu, juga dia tidak
ingin melihat kakek ini terancam bahaya dan terbunuh oleh Mauw Siauw Mo-li,
maka dia lalu menjaganya dan menanti sampai kakek itu selesai mengobati dirinya
sendiri.
Akan tetapi, sehari penuh dia
menanti dan hari telah berganti malam, namun kakek itu masih belum juga bangun
dari samadhinya! Hati Hwee Li mulai menjadi kesal. Dia bukan seorang gadis yang
penyabar. Akan tetapi melihat betapa nyamuk-nyamuk mulai merubung tubuh kakek
itu dan tentu merupakan gangguan bagi samadhinya, timbul rasa kasihan di
hatinya. Dibuatnya api unggun dan diusirnya nyamuk-nyamuk itu. Setelah
kehangatan api unggun mengusir dingin dan nyamuk, barulah dia duduk di dekat
api unggun dan menoleh kepada kakek itu sambil mengomel.
Kalau sampai besok pagi engkau
belum juga terbangun, jangan salahkan aku kalau terpaksa aku meninggalkanmu,
Kek. Aku masih harus melakukan perjalanan jauh, mencari orang yang entah ke
mana perginya!! Dia menarik napas panjang, lalu merebahkan diri di atas
daun-daun kering yang dikumpulkannya di tempat itu, rebah miring menghadapi api
dan termenung ke dalam nyala api yang menjilat-jilat.
Malam itu Hwee Li hanya dapat
tidur ayam, yaitu antara tidur dan sadar, terkantuk-kantuk di dekat api unggun.
Biarpun kadang-kadang dia tertidur, namun kesadarannya masih selalu waspada
sehingga sedikit suara saja akan cukup untuk membangunkannya, juga dia selalu
tahu kalau api unggun padam atau mengecil sehingga cepat dia bangun dan
menambah kayu bakar. Berkali-kali, kalau terbangun, dia menengok kepada kakek
itu dan ternyata kakek itu masih saja duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi
seperti siang tadi!
Pada keesokan harinya, setelah
sinar matahari menerangi tanah, Hwee Li memanggang lagi beberapa potong
akar-akaran untuk dimakan dan sebagian dia letakkan di depan kakek itu bersama
pedang yang ditinggalkan oleh Mauw Siauw Mo-li kemarin.
Kek, terpaksa aku harus
meninggalkanmu. Ini ubi bakar untukmu, dan ini pedang untuk menjaga diri kalau
ada penjahat hendak mengganggumu. Maafkan aku, Kek, aku tidak bisa menjagamu di
sini selamanya!!
Hwee Li menatap wajah itu dan
tiba-tiba sepasang mata itu terbuka.
Ihhhhh....!! Hwee Li terkejut
dan terlompat mundur. Sepasang mata kakek itu benar-benar mempunyai cahaya yang
mengejutkan, mencorong seperti mata harimau di tempat gelap! Akan tetapi
kagetnya segera lenyap ketika dia melihat hetapa sepasang mata itu biarpun
mencorong aneh, namun memandang kepadanya dengan lembut dan mulut tua itu
mengulum senyum. Dia mendekat lagi, duduk di dekat kakek itu sambil memandang
wajahnya yang agak pucat.
Thian Yang Maha Kuasa....!
terdengar kakek itu berkata halus, Kalau belum berkenan mencabut nyawa seorang
tua seperti aku, ada saja yang menyelamatkan. Agaknya masih belum cukup
hukumanku maka aku masih diberi usia panjang....!
Mendengar keluhan ini, Hwee Li
tersenyum geli. Kek, orang lain minta umur panjang, mengapa engkau sebaliknya
mengomel diberi umur panjang? Dan tentang menolong tadi, aku tidak tahu siapa
menolong siapa. Kalau tidak ada engkau yang membisiki dua jurus serangan
kemarin, mungkin aku yang tidak bisa berumur panjang!!
Sepasang mata itu berseri dan
pandang matanya memperhatikan Hwee Li penuh selidik. Namamu Hwee Li?!
Benar, Kek.!
Siapa nama keturunanmu?!
Hwee Li membuang muka, merasa
sebal. Uhhh, tak perlu menyebut nama keturunanku, Kek, hanya mendatangkan sial
saja kepadaku. Namaku Hwee Li, cukuplah.!