Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 54 - Puncak Telaga Warna
Akan tetapi, ketika melihat
pertempuran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para pemberontak itu
dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering menyaksikan
perang di antara manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati tempat ini,
melainkan menyuruh rajawalinya berputaran di atas dan memasang mata kalau-kalau
dia akan melihat dua orang puteranya. Dari tempat tinggi, di antara gumpalan
asap, dia samar-samar dapat melihat pemimpin pasukan pemerintah dan jantungnya
berdebar karena dia mengenal puterinya, yaitu Puteri Milana! Ah, kalau begitu
tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikirnya. Kalau tidak
demikian, kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang sudah hidup tenang
dan tenteram bersama pria yang dikasihinya, Gak Bun Beng di puncak Telaga Warna
di Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting dan berbahaya, tentu
puterinya itu pun tidak akan mau menceburkan diri dalam medan perang seperti
itu.
Akan tetapi, melihat puterinya
memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak, yang berarti adanya bunuh membunuh
yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti merasa enggan untuk
turun menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee dan Kian Bu, maka
dia lalu menyuruh burungnya agak menjauhi benteng. Burung itu agaknya merasa
girang karena binatang ini pun menjadi panik melihat asap hitam
bergumpal-gumpal itu maka dengan cepat lalu meluncur ke arah timur.
Tiba-tiba Pendekar Super Sakti
terkejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya aneh-aneh, akan
tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini adalah cara empat
orang itu bergerak dan lari. Mereka itu bergerak cepat bukan main dan dari
tempat tinggi itu Suma Han dapat mengenal orang-orang pandai yang memiliki ilmu
yang sudah sangat tinggi tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh burungnya menukik
dan mendekati. Setelah agak dekat di atas empat orang yang berlari cepat sekali
itu, pendekar sakti yang tua ini makin kaget karena dia mengenal dua orang di
antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dengan dia belum lama
ini. Kalau yang dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat bentuk tubuh
mereka, yang dua orang lain lagi pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang
terkenal itu. Dan kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini, maka tentulah
terjadi urusan besar dan bukan tidak mungkin empat orang itu tahu di mana
adanya Kian Lee dan Kian Bu. Bukankah Twa-ok sendiri pernah bercerita kepadanya
tentang Kian Bu yang katanya rambutnya putih semua, berjuluk Siluman Kecil dan
katanya bergulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo? Tentu mereka itu tahu
di mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh rajawalinya
terbang turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah,
dia lalu meloncat turun dan membiarkan burungnya terbang naik lagi.
Munculnya pendekar sakti ini
sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga ketika empat orang itu tiba-tiba
melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka, tentu saja mereka
terkejut bukan main. Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok,
empat di antara Ngo-ok. Mereka sedang meninggalkan benteng yang terbakar itu
dengan hati kecewa dan mengkal karena gagalnya usaha mereka, yaitu Sam-ok atau
Koksu Nepal. Kegagalan itu bukan hanya merugikan mereka yang telah membuang
waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok, akan tetapi terutama sekali
karena kegagalan itu pun sekaligus menjatuhkan nama mereka sebagai Ngo-ok!
Pemberontakan yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal
ini menampar muka mereka. Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti,
Majikan Pulau Es itu menghadang di depan mereka, empat orang ini terkejut, agak
gentar akan tetapi juga marah. Anak-anak dari pendekar inilah yang membantu pemerintah
sehingga gerakan itu gagal dan terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah
bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar Siluman ini, kini mendapatkan
kesempatan untuk membalas kekalahan mereka karena kini ada Su-ok dan Ngo-ok
yang membantu mereka. Rasa penasaran karena pernah dikalahkan, kemudian rasa
kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak mereka tumpahkan kepada
Pendekar Super Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang biasa,
yaitu tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut.
Ah, kiranya yang terhormat
Suma-taihiap alias Pendekar Super Sakti alias Pendekar Siluman, Majikan Pulau
Es yang datang menghadang kita! Saudara-saudaraku, tamu agung tiba, mari kita
sambut dengan penuh kehormatan!! Ucapan ini halus dan menghormat, akan tetapi
merupakan isyarat bagi teman-temannya untuk menyerang pendekar berkaki satu
itu.
Maafkan kalau aku mengganggu
kalian berempat. Aku hanya ingin bertanya kalau-kalau Su-wi (kalian berempat)
melihat dua orang puteraku, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.! Dia berhenti
sebentar, memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata tajam penuh
selidik. Apakah putera-puteraku itu terlibat dalam pertempuran di benteng yang
terbakar itu dan apakah....!
Baru sampai di sini pendekar
itu bicara, Ngo-ok Toat-beng Sian-su, si tosu yang tingginya dua setengah meter
itu, dengan mukanya yang selalu sedih, telah mengeluarkan teriakan menyayat
hati dan dia sudah menerjang dengan kedua tangannya yang berlengan panjang.
Serangan ini hebat sekali, dan begitu Pendekar Super Sakti mengelak, dari
samping sudah menerjang Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek katai itu
yang menggelundung seperti trenggiling, melakukan penyerangan secara diam-diam
dan pengecut, menghantam dari bawah ke arah belakang kaki Suma Han! Dan
menyusul itu, hampir bersamaan waktunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Twa-ok Su Lo
Ti juga sudah bergerak dan masingmasing sudah menerjang dengan ganas dan
dahsyat!
Mula-mula Suma Han hanya
mengelak dari serangan-serangan itu satu demi satu, akan tetapi ketika
serangan-serangan itu dilanjutkan dengan desakan yang bertubi-tubi, dan setiap
serangan merupakan jangkauan tangan maut, pendekar ini terkejut juga dan
tahulah dia bahwa yang dihadapinya adalah orang-orang lihai dengan kepandaian
silat tingkat tinggi yang berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang
ringan. Pendekar sakti ini lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan
tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan empat orang pengeroyoknya, dan yang
nampak hanya bayangannya saja berkelebatan dengan kecepatan seperti kilat
menyambar dan ke manapun empat orang lawan itu menubruk dan menyerang, selalu
bayangan itu melejit dan meluncur dengan cepat, membuat semua serangan itu
mengenai tempat kosong belaka. Empat orang datuk kaum sesat itu terheran-heran.
Tahulah mereka bahwa lawan ini menggumakan Ilmu Soan-hong-lui-kun, ilmu ajaib
yang terkenal sekali dimiliki oleh Pendekar Siluman ini.
Akan tetapi Suma Han tidak
ingin mencari permusuhan, maka setelah berkelebatan mengelak ke sana-sini
mengandalkan Ilmu Soan-hong-lui-kun, tiba-tiba dia turun dan berdiri tegak
sambil berseru, Tahan, harap kalian suka dengarkan bicaraku dulu!!
Pendekar Siluman itu berdiri
tegak dengan satu kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkat bututnya yang
dipergunakan sebagai pengganti kaki kiri, sikapnya tenang sekali namun agung
dan berwibawa. Empat orang datuk kaum sesat itu penasaran dan masih belum
hilang rasa kaget dan heran menyaksikan gerakan lawan yang tidak lumrah manusia
itu. Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah memasang kuda-kuda yang amat aneh, yaitu kedua
lengannya diangkat ke atas, kedua lengan itu menggigil dan bergerak-gerak, dari
situ memancar hawa dingin, dan dia seolah-olah dengan susah payah menahan kedua
tangannya berikut jari-jari tangan yang seperti hidup! dan hendak bergerak
sendiri itu. Twa-ok Su Lo Ti juga memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu, agak
membongkok, tangan kanannya membentuk cakar setan dan tangan kirinya membuka
jari telunjuk dan jari tengah, seperti siap untuk menotok atau mencapit! Su-ok
Siauw-siang-cu si gundul pendek kelihatan makin pendek karena dia memasang
kuda-kuda berjongkok dan itulah kuda-kuda untuk ilmunya yang hebat, yaitu
pukulan sakti Katak Buduk! Yang paling aneh adalah si jangkung Ngo-ok Toat-beng
Sian-su yang memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di bawah dan kedua kaki di
atas. Karena tubuhnya jangkung bukan main, dua setengah meter panjangnya, maka
ketika dia berdiri seperti itu, kedua kakinya menjadi seperti dua batang kayu
yang menjulang tinggi!
Melihat gaya aneh-aneh dari
empat orang pengeroyoknya yang kini memasang kuda-kuda mengepungnya dengan
membentuk setengah lingkaran, Suma Han tetap tenang saja.
!Aku tidak pernah dan tidak
ingin bermusuhan dengan Su-wi, maka hendaknya Su-wi suka bersabar. Aku hanya
ingin bertanya tentang kedua orang puteraku itu. Kalau di antara Su-wi ada yang
tahu, harap memberi tahu, kalau tidak ada yang tahu, sudahlah, aku tidak akan
mengganggu lebih lama lagi. Kita bukan anak-anak kecil yang tanpa sebab dan
tanpa alasan berkelahi seperti gila. Nah, tahukah Su-wi tentang kedua orang
puteraku itu ataukah tidak?!
Empat orang itu tidak
menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka itu tidak
mempedulikan pertanyaan Suma Han, melainkan sedang memutar otak mencari jalan
bagaimana baiknya menyerang dan menjatuhkan Majikan Pulau Es yang amat sakti
ini.
Selagi Pendekar Super Sakti
hendak mengulang pertanyaannya, tiba-tiba terdengar pekik aneh di angkasa dan
ternyata burung rajawali itu diserang oleh seekor burung garuda! Semua orang
melirik ke atas, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan orang yang
suaranya parau dan kasar sekali.
Huh, kalau bapaknya tak tahu
malu, anaknya pun tidak tahu malu pula!! Semua orang menengok, dan Suma Han
segera mengenal kakek yang baru datang ini, kakek raksas yang kelihatan
menakutkan dan buas. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, penghuni
Pulau Neraka!
Suma Han, engkau tidak bisa
mendidik anakmu! Anakmu yang bernama Suma Kian Lee itu sungguh tidak tahu malu,
dan kalau engkau tidak dapat menghajarnya, biar aku yang akan menghajarnya
sampai mampus!!
Tadinya Suma Han tidak
mempedulikan munculnya Hek-tiauw Lo-mo ini, akan tetapi mendengar ucapan itu
yang menyangkut nama seorang di antara dua puteranya yang sedang dicarinya, dia
tertarik.
Hek-tiauw Lo-mo, apakah
maksudmu? Di mana adanya Kian Lee?!
Kalau aku tahu di mana dia,
sudah kudatangi dia dan kubunuh dia!! jawab ketua Pulau Neraka ini dengan
marah. Kakek raksasa ini sudah mendengar bahwa Hwee Li telah dirampas oleh Kian
Lee dari tangan Liong Bian Cu, maka dia marah dan memaki-maki begitu melihat
Pendekar Super Sakti.
Suma Han menarik napas
panjang. Dia mengenal orang ini dan tahu akan wataknya yang liar, kasar dan
keras, maka maki-makian terhadap puteranya itu tidak dihiraukannya.
Hek-tiauw Lo-mo, setidaknya
engkau tentu dapat menceritakan apa yang telah diperbuat oleh puteraku itu
sehingga engkau marah-marah seperti ini.!
Apa yang diperbuatnya? Setan
cilik itu telah merampas dan menculik puteriku! Hayo engkau yang menjadi
bapaknya harus bertanggung jawab! Kalau engkau tidak bisa memaksa puteramu itu
untuk mengembalikan puteriku, maka namamu akan cemar selama hidup, bahkan
sampai ke anak cucumu akan menanggung kecemaran namamu!!
Suma Han mengerutkan alisnya.
Segala makian dan omongan keji yang keluar dari mulut kakek raksasa itu tidak
dia masukkan dalam hati karena memang dia sudah tahu orang macam apa adanya
ketua Pulau Neraka itu. Akan tetapi yang merisaukan hatinya adalah berita
tentang Kian Lee yang menculik seorang gadis itu! Dan dia merasa heran akan
bersimpang-siurnya berita itu. Twa-ok belum lama ini menceritakan kepadanya
bahwa Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil katanya gulang-gulung dengan puteri
Hek-tiauw Lo-mo, dan kini Hek-tiauw Lo-mo sendiri menuduh Kian Lee menculik
puterinya! Bagaimana ini? Dia menoleh kepada Twa-ok dan dengan hati kesal
pendekar itu berkata.
Twa-ok mengatakan kepadaku
bahwa Kian Bu bergaul erat dengan puterimu, Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang
engkau mengatakan bahwa Kian Lee menculik puterimu. Siapakah yang benar dalam
memberikan berita ini? Ataukah keduanya bohong?!
Tidak ada yang bohong! Dua
berita itu semua benar. Twa-ok juga menceritakan kenyataan bahwa anakmu bernama
Kian Bu itu mengejar-ngejar puteriku, juga anakmu yang bernama Kian Lee kini
menculik puteriku, Hwee Li yang manis. Memang dua anakmu itu mata keranjang,
gila perempuan!!
Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Kacang
mana meninggalkan lanjaran? Buah apel tidak akan jatuh terlalu jauh dari
pohonnya. Anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Aku mendengar bahwa Pendekar
Siluman juga seorang laki-laki mata keranjang, bahkan isterinya dua
disembunyikan di pulau kosong. Mana anak-anaknya tidak mata keranjang pula?
Ha-ha-ha!! kata Su-ok Siauw-siang-cu yang memang pandai sekali bicara. Kakek
berkepala gundul ini tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking gelinya,
bahkan dia lalu terguling dan tertawa-tawa sambil bergulingan di atas tanah!
Suma Han mengerutkan alisnya.
Sinar matanya menjadi tajam sekali dan betapapun juga, dia mulai marah. Hemmm,
kalian adalah manusia-manusia iblis, mana mungkin bisa dipercaya omongannya?!
Pada saat itu, terdengar
teriakan nyaring dan Suma Han terkejut bukan main karena teriakan itu adalah
teriakan kesakitan dari burung rajawalinya! Cepat dia memandang dan dia menahan
seruannya ketika melihat betapa burung rajawali dan burung garuda yang tadi
bertarung di angkasa itu keduanya kini roboh ke bawah, meluncur cepat sekali,
kemudian terbaring berdebuk di atas tanah dan keduanya sudah tidak bergerak
lagi. Dengan sekali melompat Suma Han menghampiri dan memeriksa dua bangkai
burung itu. Kiranya mereka itu luka-luka parah dan agaknya saling bunuh dalam
pertarungan tadi, mati sampyuh karena sama kuatnya dan sama tuanya pula. Suma
Han berduka sekali, berjongkok dan mengelus kepala bangkai rajawalinya.
Tiba-tiba ada angin dahsyat
menyambar dan empat orang dari Ngo-ok itu bersama Hek-tiauw Lo-mo sudah
menyerangnya selagi dia berjongkok memeriksa bangkai burungnya.
Kini marahlah Suma Han. Dia
melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat, tongkatnya bergerak, bukan
hanya untuk menangkis melainkan untuk balas menyerang pula. Hebat bukan main
gerakan pendekar ini dan begitu tongkatnya diputar, lima orang pengeroyoknya
itu terpaksa mundur untuk mengatur kedudukan lagi, kemudian mereka kembali
menyerang dari pelbagai jurusan. Suma Han kini tidak banyak mengalah, dia
mengelak, menangkis dan balas menyerang.
Terjadilah perkelahian yang
amat hebat di tempat sunyi itu. Biarpun mereka bertanding tanpa suara, namun
debu beterbangan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti dilanda angin
besar. Tubuh Suma Han sudah lenyap, yang nampak hanya bayangan tubuhnya
berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, hebat sekali karena dari sambaran
tubuhnya itu keluar hawa yang kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang juga
dingin bukan main. Terpaksa lima orang lawannya itu harus mengerahkan sinkang
sekuat tenaga mereka karena kalau tidak, tentu tanpa terkena pukulan pun mereka
itu akan tidak kuat menghadapi gelombang hawa yang berubahubah itu.
Twa-ok yang memiliki tingkat
kepandaian paling tinggi, merasa menyesal sekali bahwa dalam kesempatan
menghadapi seorang lawan seperti Pendekar Super Sakti ini, Sam-ok tidak berada
di situ bersama mereka. Biarpun dalam urutan tingkat, Koksu Nepal itu hanya
tingkat tiga, namun sesungguhnya Sam-ok memiliki keistimewaan sendiri dan tidak
kalah oleh Ji-ok, dan mereka berlima memang telah memiliki kerja sama yang amat
baik maka mereka terkenal sebagai Ngo-ok. Belasan tshun yang lalu, ketika di
pantai selatan diadakan pertandingan antara datuk, hanya karena mereka berlima
dapat bekerja sama sajalah maka Ngo-ok dapat menjagoi dan tidak ada lawan yang
dapat mengalahkan lima orang datuk ini, biarpun lawan yang lebih banyak
jumlahnya sekalipun, seperti Cap-sha-tin (Barisan Tiga Belas), Pat-kwa-tin
(Barisan Delapan) dan lain lagi. Biarpun kini di sini terdapat Hek-tiauw Lo-mo
yang membuat jumlah mereka tetap lima, namun Hek-tiauw Lo-mo masih terlampau
rendah tingkatnya, dan tidak bisa bekerja sama dengan mereka sehingga bantuan
kakek raksasa ini tidak terlalu banyak artinya. Kalau ada Sam-ok, tentu kelima
orang Ngo-ok itu dapat mainkan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) yang amat
dahsyat itu.
Kekhawatiran Twa-ok memang
beralasan karena setelah lewat seratus jurus, mulailah lima orang itu terdesak
hebat oleh gerakan Pendekar Super Sakti, terutama sekali Hek-tiauw Lo-mo yang
sudah beberapa kali sampai terhuyung-huyung terdorong oleh hawa pukulan Majikan
Pulau Es itu. Kerja sama antara empat orang itu pun menjadi kacau-balau dan
kalau tadinya mereka masih mampu saling bantu membentuk pertahanan dan
penyerangan bersama, kini rangkaian itu putus dan mereka kini bergerak
sendiri-sendiri. Tentu saja hal ini amat merugikan mereka karena mereka itu
masingmasing sama sekali tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Pendekar
Super Sakti yang mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun.
Mcngerti bahwa kalau
dilanjutkan tentu fihaknya akan roboh semua, Twa-ok yang cerdik segera memberi
isyarat kepada teman-temannya untuk mundur, dan dengan sikap halus dan ramah dia
menjura ke arah Suma Han yang masih berdiri tegak karena melihat para
pengeroyoknya mundur, dia pun menarik kembali gerakannya dan berdiri menanti
dengan penuh kewaspadaan.
Sungguh mengagumkan kepandaian
Pendekar Super Sakti, Tocu (majikan pulau) Pulau Es! Sekali ini kami mengaku
kalah, akan tetapi kami belum merasa kalah sama sekali karena seperti yang Tocu
lihat, kami kurang satu orang sehingga kerja sama kami kacau. Kalau memang
Suma-taihiap seorang yang gagah perkasa, kami tantang engkau untuk mengadakan
pertemuan dan bertanding melawan kami di gurun pasir, di daratan Chang-pai-san.
Kalau kelima Ngo-ok sudah hadir, dan kami berlima sudah menggeletak di depan
kakimu, barulah kami akan mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti dan kami
tidak akan berani lagi memperlihatkan muka di dunia kang-ouw!!
Ha-ha-ha, Twa-ko, mana dia
berani? Sekali ini kebetulan saja Sam-ko tidak ada dan dia lolos dari lubang
jarum, mana dia berani mengulang lagi kalau kita lengkap?! tiba-tiba Su-ok
berkata untuk memanaskan hati Suma Han.
Tanpa dibikin panas pun tak
mungkin Pendekar Super Sakti dapat menolak tantangan seperti itu, apalagi
memang dia tahu bahwa kalau Ngo-ok lengkap lima orang, dia tidak akan dapat
mengambil kemenangan dengan mudah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu
saja bertemu dengan lawan tangguh merupakan hal yang selalu menarik hati.
Baiklah, Ngo-ok! Aku menerima
tantangan kalian. Akan tetapi karena aku hendak mencari dua orang puteraku,
tantangan itu baru akan dapat kulayani dalam waktu tiga bulan lagi. Tepat tiga
bulan sejak hari ini, aku akan berada di daratan Chang-pai-san, di gurun pasir,
menanti kedatangan kalian berlima!!
Bagus! Janji seorang gagah
lebih berharga daripada nyawa. Jangan khawatir, Suma-taihiap, bukan engkau yang
menanti, melainkan kami yang akan siap menantimu di sana!! Setelah berkata
demikian, Twa-ok lalu pergi bersama tiga orang saudaranya, dan Hek-tiauw Lo-mo
juga ikut pergi karena tentu saja dia merasa gentar sekali kalau ditinggal
seorang diri saja berhadapan dengan Majikan Pulau Es itu.
Hek-tiauw Lo-mo! Katakan dulu
padaku di mana adanya Suma Kian Lee!!
Tiba-tiba pendekar itu berseru
ketika melihat kakek raksasa itu pun ikut pergi.
Persetan!! bentak Hek-tiauw
Lo-mo dan tanpa mempedulikan pendekar itu, dia melangkah terus meninggalkan
tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu-tahu pendekar
kaki buntung itu sudah berdiri di depannya!
Tak boleh engkau pergi sebelum
memberitahukan kepadaku!! bentak Suma Han.
Keparat sombong!! Hek-tiauw
Lo-mo tak dapat menahan kemarahannya sehingga dia lupa akan takut, golok
gergajinya yang menggiriskan hati itu sudah menyambar dan membacok ke arah dada
Pendekar Siluman dengan kecepatan kilat!
Suma Han tidak bergerak
mengelak, hanya berkata, Senjatamu tajam sekali, dapat membelah tubuhku!!
Crakkk!! Golok itu benar-benar
mengenai tubuh Suma Han, dan membelah tubuh itu menjadi dua, akan tetapi apa
yang terjadi? Tidak ada darah muncrat, dan tubuh yang terbelah itu pecah!
menjadi dua dan muncullah dua orang Pendekar Siluman yang berdiri berdampingan
sambil tersenyum kepada Hek-tiauw Lo-mo!
Ehhh?! Sejenak Hek-tiauw Lo-mo
tertegun, akan tetapi dia teringat bahwa lawannya adalah seorang ahli sihir,
maka dia kembali menggerakkan goloknya dengan dahsyat, membacok ke arah dua
orang Suma Han itu.
Crakkk! Crakkk!! Kembali
goloknya membacok dua orang lawan itu sampai terbelah dua dan.... dua kali dua
sama sama dengan empat, kini empat orang Pendekar Siluman berdiri dengan
senyum-senyum di depannya! Dan sebelum dia mampu bergerak, empat orang Pendekar
Siluman imi sudah memeganginya dari kanan kiri dan dia tidak mampu bergerak
lagi!
!Hek-tiauw Lo-mo, katakan di
mana adanya Suma Kian Lee!!
Biarpun dia seorang manusia
iblis yang tidak pernah mengenal takut, sekali ini Hek-tiauw Lo-mo merasa tak
berdaya dan dia pun tahu bahwa dia tidak dapat menandingi Pendekar Super Sakti,
maka sambil bersungut-sungut dia berkata, suaranya masih kasar dan marah,
Anakmu yang bermuka tebal itu telah menculik anakku dari tunangan anakku, yaitu
Liong Bian Cu. Entah ke mana dia pergi membawa anakku itu, aku sendiri ingin
sekali mengetahuinya!!
Kini Suma Han percaya bahwa
manusia iblis ini tidak membohong, akan tetapi dia pun merasa yakin bahwa tentu
ada suatu hal yang memaksa puteranya berbuat seperti itu, melarikan seorang
gadis dari tangan Pangeran Liong Bian Cu.
Sudahlah,! katanya dan dia
mendorong tubuh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu hampir terguling, terhuyung
lalu lari tanpa menoleh lagi.
Sejenak Suma Han memandang ke
arah bangkai dua ekor burung raksasa yang mati sampyuh itu, lalu menarik napas
panjang dan berkata lirih, Ahhh, kalau kalian tidak terjatuh dalam kekuasaan
manusia, tentu kalian masih menjadi burung-burung liar dan bebas hidup di dunia
kalian sendiri yang lebih murni. Cara kehidupan manusia hanya mendatangkan
permusuhan.! Suma Han lalu menggali lubang dan mengubur bangkai dua ekor burung
besar itu.
Apa yang diucapkan oleh
Pendekar Super Sakti itu memang merupakan kenyataan yang sukar dibantah. Bagi
semua makhluk lainnya kecuali manusia, hidup dan mati merupakan dua hal yang
tidak terpisah dan kematian bukan apa-apa lagi. Anehnya, binatang-binatang yang
masih belum dijinakkan manusia, hidup bebas dan tidak terkurung, seolah-olah
tidak lagi mengenal kematian seperti yang kita mengenalnya dengan perasaan
was-was. Demikian banyaknya burung terbang di udara di sekeliling kita, namun
amatlah sukar bagi kita untuk menemukan bangkai burung menggeletak mati karena
penyakit atau karena usia tua! Bahkan sukar kita melihat bangkai semut, kecuali
sering melihat binatang peliharaan mati karena sakit atau karena tua, akan
tetapi jarang melihat binatang yang bebas sakit atau mati tua. Semua mahluk
tidak ada yang mengkhawatirkan tentang kematian, kecuali manusia!
Mengapa kita takut mati?
Mengapa manusia merasa ngeri kalau membayangkan kematian? Kematian adalah hal
yang belum pernah kita alami, belum kita ketahui, bagaimana mungkin dapat takut
terhadap kematian? Mungkin saja ada yang takut terhadap kematian karena selagi
hidup kita mendengar dongeng-dongeng tentang sesudah mati, tentang penderitaan
sesudah mati, tentang hukuman, dan sebagainya, namun rasa takut kita terhadap
itu pun hanya tipis saja, buktinya kalau benar-benar orang takut akan hukuman
sesudah mati, tentu dia tidak akan berani melakukan hal-hal yang akan
menyebabkan hukuman itu! Kiranya bukan itu yang menyebabkan manusia takut
menghadapi kematian.
Bukankah rasa takut terhadap
kematian itu timbul karena kita ngeri membayangkan bahwa kita akan lenyap?
Semua yang kita alami ini akan berhenti dan berakhir? Bukankah itu yang
menimbulkan rasa ngeri terhadap kematian? Kita sudah melekat kepada kesenangan-kesenangan,
atau hal-hal, benda-benda yang kita anggap menjadi sumber kesenangan. Kita
tidak rela meninggalkan semua itu, kita ingin melanjutkan kesenangan-kesenangan
itu sampai abadi. Dan kita tahu bahwa kita tidak abadi, bahwa kita akan mati!
Inilah yang menimbulkan rasa takut, mengingat bahwa kita takkan bisa apa-apa
lagi, tidak akan dapat mendekati benda-benda yang kita suka atau orang-orang
yang kita sayang. Maka timbullah harapan-harapan agar sesudah mati kita masih
terus melanjutkan suatu keadaan seperti ketika kita masih hidup ini, yaitu....
mengejar kesenangan lagi, sungguhpun kesenangan itu sudah berubah lagi
bentuknya, disesuaikan dengan keadaan baru dari badan kita! Lagi-lagi mengejar
hal-hal yang menyenangkan! Padahal, justeru pengejaran terhadap hal-hal yang
menyenangkan inilah SUMBER dari mana timbulnya rasa takut!
Setelah selesai menguburkan
bangkai dua ekor burung besar itu, Suma Han lalu melanjutkan perjalanannya,
kini dengan jalan kaki, untuk mencari dua orang puteranya. Di dalam hatinya terdapat
suatu keputusan bulat, yaitu dia akan melarang kedua orang puteranya itu untuk
bergaul dengan seorang gadis seperti puteri Hek-tiauw Lo-mo! Dan biarpun dia
kini berjalan kaki, namun pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa ini dapat
melakukan perjalanan dengan amat cepatnya.
***
Siang In berlari secepatnya
untuk dapat menyusul bayangan Kian Bu yang dia lihat melarikan diri keluar dari
dalam benteng. Akan tetapi, betapa cepat pun dia lari, betapa hebat dia
mengerahkan ginkangnya untuk dapat menyusul pemuda itu, namun usahanya sia-sia
belaka karena Kian Bu lari dengan menggunakan ilmunya yang istimewa, yaitu
Jouw-sang-hui-teng, yang membuat dia mampu lari secepat terbang! Maka sebentar
saja dia sudah kehilangan bayangan pemuda itu dan mau rasanya Siang In menangis
ketika dia berhenti mengejar dengan napas terengah-engah itu. Bertahun-tahun
sudah dia melakukan perjalanan jauh sekali, menjelajahi semua tempat sebelum
dia sampai ke Bhutan dan bertemu dengan Syanti Dewi, dengan maksud mencari
pemuda ini! Dan sekarang, setelah belum lama ini dia baru tahu bahwa Siiuman
Kecil adalah pemuda yang dicari-carinya, yaitu Suma Kian Bu, setelah dia dapat
bertemu muka dengan pemuda itu, bahkan sama-sama berjuang menghadapi
pemberontakan, kini pemuda itu sudah pergi lagi sebelum dia sempat bicara!
Apakah dia harus merantau lagi, mencari-cari seperti dulu, mulai lagi dengan
usahanya sampai bulanan, tahunan untuk dapat bicara dengan Kian Bu?
Ah, Kian Bu.... begitu
sukarkah untuk dapat bicara denganmu?! Dia termenung dan tenggelam dalam
lamunannya, membayangkan bagaimana dia harus bicara dengan pemuda itu kalau
sampai pada suatu waktu dia berkesempatan untuk bicara dengan pemuda itu.
Siang In menarik napas panjang
dan melanjutkan perjalanannya, perlahan-lahan karena dia tidak tahu ke mana
harus mencari pemuda itu. Dara ini melalui jalan yang naik turun di pegunungan,
sampai akhirnya senja pun tibalah dan terpaksa dia menghentikan perjalanannya
karena dia tiba di sebuah hutan kecil yang sunyi. Hutan itu kecil, akan tetapi
indah sekali karena pohon-pohon yang hidup di situ adalah pohon-pohon yang
mengeluarkan bunga, bahkan tanah di situ dipenuhi rumput hijau yang merupakan
permadani menutup seluruh permukaan, tanah di dalam hutan. Hutan ini liar, akan
tetapi seperti taman yang terpelihara baik saja dan Siang In mengambil
keputusan untuk melewatkan malam di tempat ini. Dia memilih tempat di bawah
sebatang pohon besar, membersihkan tempat itu dengan daun-daun, lalu dia duduk
melepaskan lelah. Perutnya terasa lapar, akan tetapi dia tidak peduli karena
hatinya kesal memikirkan Kian Bu. Rasa lapar dan lelah, ditambah hati kesal
membuat dia lesu dan sebentar saja dia sudah tidur nyenyak. Dia duduk di atas
rumput tebal, punggungnya bersandar batang pohon, kepalanya miring ke kiri dan
napasnya halus tanda bahwa dia sudah pulas benar.
Akan tetapi pulasnya seorang
pendekar silat yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi berbeda dengan
pulasnya orang biasa. Biarpun dalam keadaan tidur pulas, namun panca inderanya
yang sudah terlatih itu seolah-olah selalu berada dalam keadaan siap siaga
sehingga sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya, yaitu suara yang tidak
wajar dan yang mencurigakan.
Demikian pula dengan Siang In.
Menjelang tengah malam, dia sadar oleh suara kaki manusia yang berjalan
perlahan-lahan menginjak daun kering dan ranting dan begitu terbangun, dara ini
sudah meloncat berdiri, dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi
segala bahaya apa pun yang mengancamnya.
Langkah-langkah kaki itu
kadang-kadang berhenti, kadang-kadang bergerak lagi dan dari suara yang ringan
itu Siang In dapat menduga bahwa yang berjalan itu tentu seorang pandai, atau
sedikitnya tentu orang yang telah memiliki ilmu ginkang sehingga dapat
meringankan tubuhnya ketika berjalan. Tiba-tiba timbul harapannya karena siapa
tahu kalau-kalau orang itu adalah pemuda yang dicari-carinya! Siapa lagi kalau
bukan Kian Bu yang berkeliaran di dalam hutan pada malam buta begini?
Kalau orang lain, apalagi
seorang gadis muda, yang mendengar suara-suara ini di dalam hutan yang demikian
gelap, sunyi dan menyeramkan, tentu akan nerasa takut dan pertama-tama tentu
akan menyangka ada setan yang muncul untuk menggodanya. Namun Siang In adalah
seorang dara yang sejak kecil sudah hidup dalam keadaan penuh bahaya,
menyendiri dan sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, seorang diri saja
sehingga entah sudah berapa puluh atau ratus kali dia tidur sendirian di dalam
hutan, atau di kuil kosong, dalam gua, atau di mana saja! Maka, mendengar suara
ini, pertama-tama yang diduganya adalah seorang manusia lain, atau seorang
musuh. Belum pernah dia menyangka akan ada setan, karena dia yang sudah
merantau bertahun-tahun itu belum pernah bertemu dengan setan sehingga dia
yakin benar bahwa setan-setan yang menjadi buah bibir manusia itu hanya hidup
dalam dunia khayal dan bayangan pikiran manusia saja.
Karena langkah-langkah kaki
itu kini membelok, tidak menuju ke tempat itu, Siang In yang mengharapkan akan
bertemu dengan Kian Bu menjadi khawatir kehilangan orang itu, maka dia pun
menyelinap dengan hati-hati sekali, mengejar suara langkah kaki itu. Dan
biarpun ginkangnya sendiri juga sudah terlatih baik, namun dalam malam gelap
itu tidak urung beberapa kali dia menginjak ranting kering dan menimbulkan
sedikit suara.
Ketika dia sudah tiba dekat
dengan suara langkah kaki itu, mulai nampaklah bayangan orang karena orang di
depan itu sudah tiba di tempat terbuka, di mana cahaya bintang-bintang di
langit dapat menembus dan memberi sedikit cuaca yang remang-remang.
Kresekkk....!! Kembali kaki
Siang In menginjak ranting dan daun kering karena dia merasa tegang dan
gembira, mengira bahwa orang di depan itu tentulah Siluman Kecil atau Suma Kian
Bu, orang yang dicarinya. Bayangan itu menoleh cepat sekali dan agaknya juga
melihat bayangan Siang In, karena bayangan itu cepat membalikkan tubuhnya dan
menghampiri sambil berseru nyaring, suaranya penuh harapan dan kegembiraan,
suara wanita!
Suma-taihiap! Siluman
Kecil.... engkaukah itu....?!
Mendengar suara wanita ini,
seketika buyarlah harapan Siang In. Sialan, pikirnya, mengomel di dalam hati,
bayangan itu ternyata adalah wanita, dan wanita itu pun, seperti dia, mencari
Siluman Kecil! Akan tetapi dia seperti mengenal suara itu, maka dia pun
melangkah maju, membiarkan wajahnya tertimpa cahaya bintang yang redup.
Siapa engkau?! bentaknya.
Bayangan itu pun tercengang.
Ahhh.... kiranya bukan....!!
Kini dua orang dara itu
berdiri dekat saling berhadapan dan Siang In tentu saja mengenalnya. Wanita itu
bukan lain adalah Ang-siocia atau Kang Swi Hwa, murid dari Hek-sin Touw-ong
yang sudah berjasa besar dalam membantu Jenderal Kao Liang untuk melakukan
gerakan di dalam benteng.
Enci Swi Hwa, kiranya engkau!!
Siang In berseru, menyembunyikan kekecewaannya.
Ah, Adik Siang In! Malam-malam
begini engkau berada di dalam hutan, mau apakah? Dengan siapa engkau di sini?!
Dan engkau pun di sini seorang
diri! Dan menyangka aku Siluman Kecil!! balas Siang In. Mau apakah engkau
mencari Siluman Kecil, Enci Swi Hwa?!
Siang In tidak dapat melihat
wajah dara itu di dalam kegelapan malam, akan tetapi dia mendengar kegugupan
gadis itu ketika menjawab, Aku.... aku sudah kenal baik dengan Suma-taihiap....
dan kusangka dia yang masuk ke sini....!
Ada keperluan apakah engkau
mencari Suma Kian Bu? Atau tidak bolehkah aku mengetahuinya?!
Ah, tidak.... tidak apa-apa,
hanya ada sedikit pesan.... eh, dari suhu...., sudahlah, aku harus cepat
kembali kepada suhu, Adik Siang In. Selamat tinggal, aku mau pergi.!
Siang In hanya mengangguk
tanpa menjawab. Hatinya penuh tanda tanya. Apa pula urusan Siluman Kecil dengan
dara ini? Dara yang cantik manis, lihai dan terutama cerdik bukan main, juga
berjasa besar sekali. Suaranya ketika memanggil Suma-taihiap! tadi, demikian
penuh perasaan, penuh harapan dan mesra! Hatinya menjadi panas. Begitu banyak
dara yang agaknya jatuh hati kepada Siluman Kecil! Apalagi Hwee Li itu, juga
luar biasa cantik jelitanya dan lihai pula. Aihhh, begitu banyakkah saingannya?
Gila kau!! Dia mencela diri
sendiri. Mengapa belum apa-apa dia sudah menganggap semua wanita yang bersikap
mesra kepada Siluman Kecil sebagai saingan? Padahal dia masih belum tahu apa
yang menyebabkan dia bertahun-tahun ini selalu terkenang kepada Kian Bu, yang
mendorongnya untuk mencari Kian Bu sampai jauh di Bhutan!
Setelah pertemuannya dengan
Ang-siocia itu, yang mendatangkan rasa kecewa dan kekhawatiran, Siang In tidak
dapat tidur nyenyak lagi. Memang dia bisa pulas, akan tetapi tidurnya penuh
mimpi yang membuat dia kegelagapan karena dalam mimpi itu dia melihat Kian Bu
bermesraan dengan Ang-siocia yang membuatnya terbangun dengan napas
sengal-sengal. Kemudian tidur lagi dan mimpi lagi, sekali ini dia melihat Kian
Bu bergandeng tangan dan bersendaugurau dengan Hwee Li. Kembali dia terbangun
dan memaki diri sendiri yang dianggapnya tolol, memikirkan hal yang
bukan-bukan.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Siang In telah meninggalkan hutan itu untuk melanjutkan
perjalanannya, sungguhpun dia sendiri tidak tahu ke mana arah perjalanannya
itu. Ada dua persoalan yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan. Pertama
tentu saja, mencari Kian Bu untuk menyampaikan perasaan hatinya yang sudah
dipendamnya bertahun-tahun, untuk mencari keyakinan. Ke dua, mencari Syanti
Dewi yang kabarnya dilarikan oleh Mohinta, panglima dari Bhutan itu. Seharusnya
dia mengejar ke barat karena sangat boleh jadi Puteri Bhutan itu dilarikan ke
barat oleh Mohinta, akan tetapi karena dia melihat Kian Bu berlari ke utara,
maka dia lebih dulu mengejar pemuda itu yang ternyata kemudian gagal dan
sia-sia belaka.
Matahari telah mulai naik
meninggi ketika Siang In tiba di lereng bukit dan selagi dia berdiri di atas
bagian yang agak tinggi untuk memandang ke seluruh penjuru dengan sinar mata
mencari-cari, tiba-tiba muncul seorang kakek bersorban, begitu saja muncul di
didepannya seperti iblis. Memang kakek ini sejak tadi bersembunyi dan mengintai
gerak-gerik Siang In.
Siang In cepat memandang
dengan penuh perhatian dan dia pun segera mengenal kakek ini. Pernah dia
bertemu, bahkan mengadu ilmu sihir melawan kakek ini di tempat pesta pernikahan
Hwai-kongcu Tang Hun yang ketika itu merayakan pernikahannya dengan Puteri
Syanti Dewi! Kakek ini bersorban, kulitnya coklat kehitaman, jenggotnya panjang
sampai ke perut dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana. Inilah
Gitananda, pendeta bangsa Nepal, pembantu Koksu Nepal, seorang kakek yang
memiliki kekuatan sihir yang hebat!
Setelah mengenal kakek itu,
Siang In menjadi marah. Bukan saja kakek ini pernah mengganggunya ketika dia
berusaha menolong Syanti Dewi yang dulu hendak dipaksa menjadi isteri
Hwa-i-kongcu, akan tetapi juga melihat bahwa kakek ini adalah pembantu Koksu
Nepal yang mengadakan pemberontakan, dan terutama sekall karena dia sudah
mendengar bahwa yang menangkap Syanti Dewi dan membawanya ke dalam benteng
sebagai tawanan adalah kakek ini pula.
Ah, kiranya kakek dukun lepus
kaki tangan pemberontak!! Dia memaki.
Gitananda sendiri sejak tadi
mengintai gerak-gerik Siang In. Dia sudah merasa heran dan curiga mengapa ada
seorang gadis muda cantik yang berjalan seorang diri di tempat itu, maka dia
tadi bersembunyi dan mengintai. Kini dia pun mengenal dara ini yang dia tahu
mempunyai ilmu sihir yang cukup kuat, maka tertawalah kakek pendeta Nepal itu.
Inilah gadis yang menjadi seorang di antara musuh-musuh majikannya, yang telah
menggagalkan pemberontakan dan menghancurkan benteng. Juga, dara ini amat
cantik jelita, rasanya tidak kalah cantik oleh Puteri Bhutan, maka kalau dia
dapat menangkapnya dan menyerahkannya kepada pangeran junjungannya, tentu Pangeran
Nepal akan girang sekali. Sebagai seorang hamba yang amat setia, tentu saja dia
sudah tahu akan kesukaan Paageran Nepal terhadap kaum wanita.
Melihat pendeta itu tertawa
dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan kurang ajar, Siang In menjadi
marah sekali dan segera dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan senjatanya
yang istimewa, yaitu pedang payungnya! Payung itu tertutup dan kini ujungnya
yang runcing dan mengkilap itu meluncur ke arah leher Gitananda, mengeluarkan
suara mendesing saking cepat gerakannya.
Hemmm....!! Gitananda
menggereng dengan kaget dan cepat menggerakkan tongkat kayu cendana untuk
menangkis, bukan menangkis payung, melainkan menghantam ke arah pergelangan
tangan yang memegang payung. Tangkisan yang sekaligus merupakan serangan
balasan!
Akan tetapi Siang In memiliki
gerakan yang luar biasa cepatnya. Serangan balasan lawan ini sama sekali tidak
membuat dia menjadi gugup, sebaliknya malah dia sudah menarik kembali pedang
payungnya dan secepat kilat pedang payung itu telah membalik dan menusuk ke
arah lambung lawan!
Uuuhhh....!! Kembali Gitananda
berseru kaget dan cepat dia melempar tubuh ke belakang karena untuk menangkis
sudah tidak sempat lagi. Kakek ini terjengkang, bergulingan dan meloncat bangun
dengan muka berubah pucat, lalu merah, karena penasaran. Dalam dua gebrakan
saja hampir dia termakan lawan!
Marahlah Gitananda. Lawannya
hanya seorang dara remaja yang masih amat muda, pantas menjadi cucu muridnya,
mustahil kalau dia sampai kalah oleh dara ini. Sambil mengeluarkan teriakan
nyaring dia lalu menyerang, menubruk ke depan dan memutar tongkatnya yang
mengeluarkan bau harum kayu cendana. Melihat ini, dara itu tersenyum. Bagus,
pikirnya girang, makin marah dan ganas gerakan lawan ini makin mudah baginya
untuk mencapai kemenangan. Ilmu silat kakek ini biarpun cukup ganas, namun
dasarnya liar dan hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dia merasa sanggup
untuk mengatasinya. Yang berbahaya adalah ilmu sihir kakek ini. Maka melihat
serangan yang ganas itu, Siang In bersikap tenang saja, memainkan pedang
payungnya, menangkis dan mengelak sambil kadang-kadang memutar payungnya
sehingga terbuka dan setelah menolak semua serangan tongkat, tiba-tiba dia
mengirim balasan yang mengejutkan sehingga beberapa kali kakek itu berseru kaget
dan meloncat ke belakang, ditertawakan oleh Siang In.
Hi-hik, kiranya sebegitu saja
tongkatmu penggebuk anjing itu?! Dia mengejek dan pendeta itu menjadi makin
marah. Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Makin marah, makin kacaulah
permainan silat, hal ini sudah diketahui oleh semua ahli. Kemarahan membuat
kewaspadaan banyak berkurang dan gerakan silat tidak lagi mengandung
kecerdikan, melainkan semata-mata merupakan peluapan dari kemarahan dan
kebencian dan karenanya menjadi lengah. Demikian pula dengan Gitananda. Dia
marah bukan hanya karena ejekan Siang In, melainkan terutama sekali karena
merasa penasaran bahwa dia, pembantu Koksu Nepal, bahkan orang kepercayaan
Pangeran Nepal, kini dipermainkan oleh seorang dara remaja!
Sesungguhnya, tingkat ilmu silat
yang dikuasai oleh pendeta itu tidak kalah banyak dibandingkan dengan ilmu
silat Siang In. Memang dasar ilmu silat dara ini lebih murni dan kuat, akan
tetapi dalam hal pengalaman bertempur, kakek itu lebih menang, maka andaikata
Gitananda tidak marah-marah dan penasaran, dan mau bertanding dengan tenang,
agaknya tidak mudah bagi Siang In untuk mengalahkanya. Akan tetapi kini, dalam
keadaan marah-marah dan kurang waspada, ketika dara itu menggunakan ilmu
tendangnya Soan-hong-twi yang amat cepat, kedua kaki kecil itu berputaran dan
bertubi-tubi menendang diseling dengan tusukan-tusukan pedang payungnya,
Gitananda tidak mampu mempertahankan diri lagi dan kurang cepat sehingga
tendangan kaki kirinya yang meluncur dari samping sempat mencium lambungnya.
Dukkk!! Gitananda mengeluh dan
roboh terguling, terus bergulingan sambil meringis kesakitan dan tongkatnya
menyambar-nyambar melindungi tubuhnya yang sedang bergulingan itu.
Setelah dapat meloncat bangkit
dan berdiri lagi, wajah kakek itu menjadi merah penuh kemarahan. Dia
mengacungkan tongkat kayu cendana itu ke atas dan dia mengeluarkan pekik
melengking dahsyat, seluruh tubuhnya menggigil dan tiba-tiba Siang In ikut pula
menggigil! Maka tahulah dara ini bahwa lawannya sudah mengeluarkan ilmu sihir,
maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya, memusatkan perhatiannya dan
mengerahkan kekuatan sihir yang selama bertahun-tahun dipelajarinya dari
gurunya. Terjadilah pertempuran yang tidak nampak oleh mata orang, akan tetapi
terasa sekali oleh kedua orang itu, getaran-getaran ajaib yang saling
menyerang.
Bocah sombong, lihatlah siapa
aku! Aku adalah Gitananda, ahli sihir terkuat di Nepal! Engkau harus tunduk
kepadaku!! Kakek itu membentak, suaranya terdengar aneh dan lucu, seperti suara
dari jauh, seperti suara setan!
Namun dengan tenang dan
berani. Siang In menentang pandang mata lawannya. Dia merasa betapa sinar mata
lawan itu seperti dua sinar tajam hendak menembus dan mencengkeram kesadaranya,
namun dia mengerahkan tenaga dan dia pun membentak, halus akan tetapi nyaring,
Tua bangka, engkau tidak tahu siapa aku! Aku adalah murid See-thian Hoat-su,
ahli sihir kenamaan di seluruh dunia! Aku tidak akan tunduk kepadamu!! Akan
tetapi Siang In terpaksa menghentikan kata-katanya karena makin panjang
kata-katanya, makin banyak dia membagi tenaga dan perhatian sehingga dia
terhuyung!
Ha-ha-ha....!! Kakek itu
tertawa bergelak dan menambah kekuatannya, namun Siang In sudah cepat menguasai
keadaannya dan kini dara itu memusatkan perhatiannya menolak pengaruh ajaib
yang keluar dari pandang mata lawan itu. Tiba-tiba Gitananda mengeluarkan suara
bentakan nyaring dan dia sudah melontarkan tongkatnya ke atas. Seketika tongkat
itu mengeluarkan suara auman seperti singa dan memang tongkat itu dalam pandang
mata Siang In berubah menjadi singa yang menubruknya dengan dahsyat!
Dukun lepus, siapa takut
permainanmu ini?! bentaknya dan dia memapaki singa! itu dengan bacokan pedang
payungnya.
Cusssss!! Bayangan singa yang
terkena pedang payung itu seketika berubah, menjadi seekor ular yang melibat
payung dan membetot dengan kerasnya. Siang In terkejut, merasa tertipu dan dia
mempertahankan payungnya. Terdengar Gitananda tertawa dan menggerakkan kedua
tangannya ke arah tongkat yang menjadi ular! dan melibat pedang payung itu.
Siang In tidak mau kalah,
tidak mau menyerahkan pedang payungnya begitu saja untuk dirampas lawan, maka
sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, dia pun menarik dengan pengerahan tenaga
Iweekang.
Krakkk! Krekkk!!
Pedang payung dan ular! itu
patah-patah dan runtuh ke atas tanah, pedang payung rusak dan patah, juga
tongkat itu patah menjadi tiga potong! Dengan terkejut dan marah sekali Siang
In membuang gagang payungnya. Gitananda tertawa bergelak, karena biarpun dia
sendiri kehilangan tongkatnya, namun dia girang melihat senjata istimewa dari
dara itu rusak, karena senjata itulah yang membuat dia tadi repot menghadapi
Siang In.
Suara ketawa ini dan hawa yang
mengandung kekuatan sihir yang ajaib itulah yang terdengar sampai jauh dan
menarik perhatian seorang pemuda yang sedang berjalan di dalam hutan tak jauh
dari tempat itu. Siapakah pemuda ini? Dia bukan lain adalah Suma Kian Bu!
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Kian Bu lari meninggalkan Phang Cui Lan dan Kim Sim Nikouw. Dia
merasa amat kasihan kepada Cui Lan. Dia tahu betul sejak dia menolong dara itu
dari dalam dusunnya, ketika dusun Cian-li-cung dirampok oleh gerombolan yang
mengakibatkan musnahnya keluarga gadis itu, bahwa Cui Lan jatuh cinta
kepadanya. Dia dapat mengetahui hal ini dari pandang mata yang mesra dan
lembut, dari suara dalam kata-katanya, dan dari senyumnya. Dara itu bersedia
menyerahkan jiwa raganya kepadanya. Dan dia juga tahu bahwa dia tidak boleh
merusak hati dara ini, dan bahwa dia tidak membalas cintanya maka dia bersikap
keras, sengaja untuk membuka mata Cui Lan bahwa dia tidak mungkin dapat
membalas cintanya. Kalau dia melayani Cui Lan, kalau dia memperlihatkan sikap
manis, akan makin parah! penyakit dara itu. Memang dia pun tahu bahwa Cui Lan
adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan lemah lembut, juga halus
perasaannya dan memiliki jiwa yang gagah berani. Kalau dia menyambut cinta
kasih Cui Lan, itu berarti bahwa dia mendapatkan seorang gadis pilihan yang
sukar dicari keduanya. Akan tetapi, tentu dia juga akhirnya akan merana karena dia
tidak tertarik kepada Cui Lan, tidak mencintanya. Satu-satunya wanita yang
pernah dicintanya adalah Puteri Syanti Dewi, dan akhir-akhir ini dia tertarik
kepada seorang dara yang cantik jelita dan galak, seorang gadis yang lincah
bukan main, yaitu Siang In! Akan tetapi, begitu dia teringat kepada Siang In,
hatinya berdebar bingung. Dara itu kelihatan bergaul dengan amat eratnya
bersama Kian Lee, bahkan agaknya saling mencinta!
Hal inilah yang membingungkan
Kian Bu. Dia tahu betul bahwa Hwee Li mencinta Kian Lee, dara yang amat jujur
dan polos itu terang-terangan menyatakan cintanya kepada Kian Lee. Akan tetapi
sekarang kelihatannya Kian Lee saling jatuh hati dengan Siang In. Padahal dia
sendiri tertarik oleh Siang In. Bingunglah Kian Bu, akan tetapi bagaimanapun
juga, dia tidak hendak merintangi kebahagiaan kakaknya. Dia pun tahu bahwa
kakaknya itu pernah patah hati, tidak bahagia cintanya terhadap Ceng Ceng.
Maka, kini dia tidak ingin melihat kakaknya gagal lagi dalam bercinta, karena
dia sendiri sudah mengalami betapa pahit dan sengsaranya mengandung penderitaan
rindu karena cinta gagal!
Selagi pemuda itu berjalan
sambil melamun karena dia tidak dapat menemukan jejak kakaknya, dia mendengar
suara ketawa itu. Hatinya sedang risau karena ke manapun dia mencari, dia
kehilangan jejak Kian Lee yang sudah jauh lebih dulu pergi meninggalkan
benteng. Maka ketika mendengar suara ketawa aneh itu, dia tertarik dan
mengharapkan kalau-kalau suara itu ada hubungannya dengan kakaknya! Maka dia
cepat menghampiri ke arah suara yang kedengarannya dari luar hutan. Setelah
dekat, dia terkejut bukan main karena suara ketawa itu mengandung getaran aneh
yang membuat jantungnya berdebar-debar, dan juga setelah berada di luar hutan,
dia merasakan adanya pengaruh mujijat, seolah-olah keadaan di sekeliling tempat
itu terdapat dua tenaga sakti yang saling bertentangan, tenaga sihir yang
saling dorong! Cepat dia menyelinap dan berindap-indap mendekati, dan dapat
dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat seorang dara yang baru saja
dibayang-bayangkan, yaitu Siang In, berdiri berhadapan dengan seorang kakek
bersorban, dan kedua orang ini agaknya sedang mengadu ilmu sihir!
Memang demikianlah keadaannya.
Setelah melihat betapa senjata pedang payung dara itu yang amat ditakutinya patah
Gitananda lalu mengerahkan kekuatan sihirnya. Dia berteriak keras dan kedua
tangannya didorongkan ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu itu lurus
ke depan, ke arah Siang In, dan jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti
cakar-cakar setan hendak mencengkeram. Dan biarpun jarak antara mereka cukup
jauh, namun Siang In merasa betapa kedua tangan itu seolah-olah berada di depan
mukanya. Maka dia pun lalu melonjorkan kedua lengannya untuk menolak. Kekuatan
sihir sepenuhnya terpancar dari dua pasang mata dan dua pasang tangan itu,
membuat suasana di sekeliling itu tergetar hebat. Bahkan Kian Bu sendiri,
seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya, merasakan getaran
ini sehingga diam-diam dia pun mengerahkan sinkangnya untuk bertahan agar
jangan sampai dia terseret! oleh gelombang getaran yang amat kuat itu.
Diam-diam dia memandang kagum kepada Siang In, kagum dan juga khawatir karena
dia maklum betapa lihainya kakek Nepal itu.
Adu kekuatan sihir itu
dilanjutkan dan makin lama Siang In merasa makin lemah. Kedua kakinya sudah
gemetar dan tahulah dia bahwa kakek itu lebih kuat dari padanya dan kalau
dilanjutkan tentu dia akan celaka. Maka, tiba-tiba saja dia merendahkan
tubuhnya dan tangan kirinya mencengkeram tanah lalu disambitkan ke depan. Sinar
hitam dari pasir dan tanah menyambar ke arah kakek itu.
Ihhh!! Gitananda berteriak
kaget. Biarpun yang menyambar itu hanya tanah dan pasir, akan tetapi karena
disambitkan dengan pengerahan tenaga sinkang, dapat menembus kulit daging! Dia
tidak menyangka bahwa lawannya dapat bergerak secepat itu dan karena dia tadi
mencurahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk merobohkan dara yang sudah mulai
lemah itu, maka kini dia gelagapan! Namun, kakek ini memang lihai sekali. Dia
tidak mau menurunkan kedua tangannya yang mendorong, karena dengan terus
menekan dia mengharapkan kemenangan. Kini dia menggerakkan pinggulnya
sedemikian rupa sehingga ujung jubahnya yang panjang berkibar ke depan
tubuhnya, menyambut tanah dan pasir itu sehingga tidak mengenai tubuhnya,
melainkan runtuh oleh sambaran ujung jubahnya.
Akan tetapi Siang In juga
bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa kalau hanya mengadu kekuatan
sihir, dia akan kalah, maka dia harus mendesak lawan dengan pertandingan yang
mengandalkan ilmu silat di mana dia merasa akan dapat mengatasi lawannya. Oleh
karena itu, dia hanya menggunakan setengah bagian tenaganya untuk bertahan
dalam pertandingan tenaga sihir, dan kini dia sudah menyambar potongan tongkat
kayu cendana milik kakek itu dan melontarkannya ke arah lawan.
Haihllhhh!! Kakek itu
membentak dan menuding ke arah tongkatnya dan tiba-tiba tongkat itu berubah
menjadi burung dan terbang ke atas lalu meluncur ke arah Siang In untuk
menyerang dara ini. Melihat betapa tongkat pendek itu berubah menjadi burung
yang mematuk kearah matanya, Siang In terkejut, menggerakkan tangan kiri dan
menyampok sambil membentak, Kembali menjadi tongkat!! Dan burung itu tersampok
jatuh, berubah menjadi tongkat lagi.
Heh-heh-heh, engkau takkan
dapat lari dariku, Nona. Engkau harus ikut bersamaku, menjadi tawananku,
kuhadapkan kepada pangeran....!! kata kakek itu sambil menyeringai. Tiba-tiba
dia memekik dahsyat dan terjadilah hal, yang amat aneh. Kian Bu yang tidak
mampu pula mengelak dari pengaruh sihir itu, terbelalak memandang betapa
jenggot kakek itu yang panjangnya sampai ke perut, kini jenggot itu bergerak
dan tumbuh makin lama makin panjang, melingkar-lingkar dan merayap seperti
ular-ular yang memenuhi tempat itu! Kian Bu terbelalak dan menahan napas
memandang penglihatan yang luar biasa ini. Siang In juga kelihatan terkejut.
Dia sudah mencoba untuk mengerahkan tenaga sihirnya, untuk menghentikan
penglihatan itu atau untuk menyadarkan matanya bahwa yang dilihatnya itu
hanyalah khayalannya sendiri. Akan tetapi percuma saja, dia tetap melihat
jenggot itu merayap-rayap dan tumbuh makin panjang. Kemanapun dia melangkah,
tentu dia disambut gumpalan-gumpalan jenggot yang melingkar-lingkar seperti
benang ruwet, rambut-rambut jenggot yang hidup dan menjijikkan, mengerikan.
Siang In berkemak-kemik,
membentak ke arah gumpalan jenggot, akan tetapi sia-sia. Dia lalu bertepuk
tangan tiga kali, tepukan tangannya menimbulkan suara meledak dan nampak asap
mengepul, dia mengerahkan seluruh tenaga sakti dari ilmu sihirnya, namun kesemuanya
itu tidak dapat membuyarkan sihir Gitananda yang membuat jenggotnya makin
panjang dan hidup memenuhi seluruh tempat itu. Tempat seluas sepuluh meter
persegi itu penuh oleh rambut-rambut bergumpal-gumpal dan yang hidup itu, makin
lama makin mulur dan ketat memenuhi tempat itu seperti jaring yang siap
menangkap mangsa.
Hiaaaaakkk!! Gitananda
berteriak mengejutkan.
Syeeettttt....
Syeeeeettttt....!! Jenggot itu kini bersatu dan seperti seekor ular besar
meluncur ke arah Siang In! Dara ini terkejut sekali, berusaha mengelak akan
tetapi ujung jenggot masih menyapu kakinya dan dia terguling! Kini jenggot itu
seperti seekor ular merayap hendak menggulungnya dan Siang In sudah merasa
ngeri bukan main. Akan tetapi tiba-tiba ada angin keras dan kuat membawa dan
menerbangkan tubuh Siang In yang melayang dan gulungan jenggot itu tidak
mengenai tubuh Siang In yang sudah turun agak jauh ke sebelah kanan. Jenggot
itu terus menyambar dan melibat sebatang pohon yang tumbuh di sebelah kiri
Siang In.
Brolll!!! Pohon itu terlibat
dan tertarik jebol oleh jenggot panjang yang luar biasa kuatnya itu.
Siang In maklum bahwa dia
telah dibantu orang pandai karena kalau tidak, mana mungkin dia tadi dapat
membebaskan diri dari jenggotnya itu? Kini, melihat Gitananda sibuk melepaskan
jenggotnya dari batang pohon yang tumbang, dia cepat meloncat ke depan dan
menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Tentu saja
Gitananda menjadi sibuk sekali, cepat dia menarik jenggotnya menjadi pendek
kembali dan dia melempar tubuh ke belakang, bergulingan dan setelah dia
terbebas dari desakan Siang In, tiba-tiba dia melompat dan kini jenggotnya
menyambar seperti tongkat!
Ihhh!! Siang In terkejut dan
cepat mengelak, merasa jijik karena ketika jenggot itu lewat di dekat mukanya,
dia mencium bau yang apek dan memuakkan. Akan tetapi jenggot itu sudah datang
lagi, maka terpaksa Siang In memperlihatkan kelincahannya dan balas menyerang
dengan pukulan dan tendangan. Kembali kedua orang ini bertanding dengan seru.
Akan tetapi sekali ini, Siang In tidak mampu mendesak seperti tadi ketika dia
masih memegang pedang payungnya. Kini dia bertangan kosong dan kakek itu dapat
mempergunakan jenggotnya yang panjang sebagai senjata! Dan hebatnya, jenggot
itu dapat mulur mengkeret sehingga benar-benar merupakan senjata yang amat
berbahaya bagi Siang In.
Akan tetapi, beberapa kali
ketika nyaris dara itu terkena totokan atau libatan jenggot ada saja kekuatan
tersembunyi yang memukul kembali ujung jenggot sehingga Siang In terlolos dari
bahaya. Siang In menjadi penasaran. Dia belum kalah dan dia belum membutuhkan
bantuan siapapun juga. Dia harus dapat mengalahkan, kakek Nepal ini, akan
tetapi bagaimana akalnya? Sukar menyerang kakek ini kalau jenggotnya masih
merupakan senjata yang demikian ampuhnya.
Tiba-tiba Siang In mendapatkan
akal yang amat berani. Dia mulai menjauhi kakek itu dan tiada hentinya
mengejek, Jenggotmu seperti jenggot kambing!! Kakek itu menyerangnya dan
kembali Siang In meloncat ke belakang.
Jangan lari kau, bocah setan!!
Gitananda membentak setelah beberapa kali serangannya hanya dielakkan sambil
main mundur saja oleh dara itu.
Jenggotmu bau apek, bau tahi
kambing, aku tidak tahan!! Siang In kembali mengejek. Kembali kakek itu
mengejar dan menyerang dengan jenggotnya, akan tetapi karena memang gerakannya
kalah lincah dan kalah ringan oleh dara itu, semua serangannya itu gagal.
Akhirnya dia mengeluarkan seruan memekik nyaring seperti tadi dan jenggotnya
sudah mulur lagi! Jenggot itu mulur panjang dan dipergunakan untuk menyerang,
dan karena jenggot itu panjang sekali, sukar bagi Siang In untuk mengelak lagi.
Akan tetapi memang ini yang dikehendaki oleh dara itu, yaitu memancing agar
kakek itu memanjangkan lagi jenggotnya. Ketika melihat jenggot itu menyambar
dari kiri ke kanan, Siang In sengaja bersikap lambat, akan tetapi ketika ujung
jenggot hendak melibat pinggangnya, dia meloncat ke atas dan ketika ujung
jenggot lewat di bawah kakinya, dia mencengkeram dan berhasil menjambak ujung
jenggot panjang itu. Tanpa membuang waktu lagi, dia mengerahkan ginkangnya dan
berlari secepatnya membawa ujung jenggot itu, lari mengitari kakek itu.
!Heee....!! Gitananda
berteriak, akan tetapi dara itu tidak peduli, terus saja berlari cepat sekali
sehingga jenggot panjang itu mulai melibat tubuh Gitananda sendiri! Kakek itu
meronta-ronta dan berusaha melepaskan rambut jenggotnya, akan tetapi Siang In berlari
makin cepat, malah dia berloncatan dan terus melibatkan jenggot panjang itu ke
leher Gitananda, terus membelenggu kedua lengannya sampai kakek itu tidak mampu
berkutik. Siang In masih berlari terus, mengerahkan tenaga sinkangnya untuk
menarik sehingga jenggot itu mencekik leher dan ketika dara ini akhirnya
melepaskan ujung jenggot, tubuh kakek itu roboh dengan kaku dan lidahnya
terjulur keluar, matanya mendelik dan napasnya putus!
Ihhh!! Melihat keadaan
lawannya itu, Siang In bergidik ngeri dan dia lalu melarikan diri, lari
neninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Sampai terengah-engah dia lari dan
akhirnya dia menjatuhkan diri di atas rumput tebal dalan hutan, dadanya
bergelombang dan wajah serta lehernya berpeluh.
Sementara itu, Kian Bu tak
pernah berhenti membayangi Siang In. Setelah menyaksikan pertandingan antara
dua orang ahli sihir itu, Kian Bu seperti orang terkena sihir! Tersihir oleh
setiap gerak-gerik dara itu. Dia mengintai dan semua tingkah dan gerak-gerik
Siang In mempesona, membuatnya kagum, membuatnya senang dan kini melihat dara
itu menjatuhkan diri di atas rumput, mengusap keringat dan tiba-tiba kedua mata
dara itu basah dan Siang In mulai terisak menangis, Kian Bu makin terpesona!
Jantung Kian Bu berdebar tegang dan dia bingung melihat gadis itu menangis
tanpa sebab. Mengapa menangis? Bukankah gadis itu keluar sebagai pemenang dalam
pertempuran yang seru tadi? Apakah gadis itu terluka? Tidak, dia tidak melihat
gadis itu terkena pukulan.
Dan memang Siang In bukan
menangis karena terluka. Dara ini menangis karena hatinya mengkal dan kesal.
Pedang payungnya rusak, dia kehilangan benda yang disayangnya, dan memikirkan
betapa dia belum juga bertemu dengan orang yang dicarinya, sebaliknya malah
bertemu dengan orang-orang lain seperti Ang-siocia dan Gitananda yang hampir
saja mencelakainya, dia merasa sedih dan jengkel. Maka menangislah gadis ini,
menangis sepuas hatinya untuk mencurahkan semua kekecewaan dan kesedihan
hatinya yang bertumpuk selama ini. Makin dikenang makin sedih dia akan nasib
dirinya yang terlunta-lunta seorang diri. Apakah yang menyebabkan dia selalu
gagal dan sial? Mencari-cari Kian Bu bertahun-tahun belum juga dapat
berkesempatan menyampaikan isi hatinya, setelah bertemu bahkan berpisah lagi.
Bertemu dengan Syanti Dewi yang ditolongnya juga kemudian gagal melindungi
puteri itu. Kemudian melihat Kian Bu demikian mesra dengan Hwee Li, dan bahkan
dicari-cari oleh Ang-siocia. Ah, apakah sebaiknya dia kembali saja ke Gua
Tengkorak di pantai Po-hai, bertapa bersama gurunya yang sudah tua, dan
membiarkan dirinya menjadi pertapa sampai tua di dalam gua itu? Teringat akan
hal ini, kembali Siang In menangis tersedu-sedu. Dara ini biasanya lincah
jenaka, murah senyum dan gembira, dan wataknya itulah yang seolah-olah menutupi
semua duka dan kecewa sampai kini sudah bertumpuk dan membanjir keluar melalui
air matanya di tempat sunyi itu.
Tiba-tiba terdengar langkah
halus disusul suara orang yang halus pula, Nona, mengapa Nona begini berduka?!
Siang In terperanjat seperti
mendengar suara setan. Dia sampai terlonjak dari atas rumput di mana dia duduk,
cepat memutar tubuh dan memandang dengan muka pucat dan mata basah. Dari balik
air matanya dia melihat wajah tampan dikurung rambut putih keperakan itu. Dia
mengusap air matanya untuk dapat melihat lebih jelas. Benar! Siluman Kecil yang
berdiri di depannya, kini berjongkok dan memandang dengan sinar mata penuh iba
kepadanya. Kembali Siang In menggosok kedua matanya seolah-olah dia tidak
percaya akan pandang matanya sendiri. Jangan-jangan dia masih berada dalam
pengaruh sihir kakek Nepal tadi, pikirnya dan setelah membuka mata kembali,
ternyata memang Suma Kian Bu yang berada di depannya itu!
Melihat wajah yang demikian
cantik jelita dekat di depannya, wajah yang agak pucat, rambut indah hitam
awut-awutan, air mata masih menuruni kedua pipinya, Kian Bu terpesona dan
hatinya tergerak, penuh keharuan. Nona.... mengapa engkau menangis di sini
seorang diri? Apakah kau terluka dalam pertempuran tadi? Mengapa kau berduka?!