Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 43 - Ibu-ibu Yang Rindu
Nah, katakanlah, apa yang
kalian kehendaki? Tidak baik menyimpan dendam di dalam hati,! katanya dengan
halus dan penuh kasih sayang karena memang sesungguhnya pendekar ini masih
menaruh hati cinta yang mendalam terhadap kedua orang isterinya itu.
Setelah melihat sikap halus
dari suami mereka itu, dua orang isteri yang juga amat kagum dan mencinta suami
mereka, berbalik merasa kasihan.
Kami besok hendak pergi
meninggalkan pulau,! tiba-tiba Lulu, yang kini telah menjadi seorang nenek
berusia hampir enam puluh tahun itu, namun masih memiliki raut wajah yang
cantik, berkata penuh semangat. Memang wanita ini tidak pernah kehilangan
semangatnya sejak dahulu sampai sekarang.
Kami harus pergi menyusul dan
mencari anak-anak kita,! Puteri Nirahai menerangkan dengan tenang. Kau harus
ingat, suamiku, mereka berdua itu telah cukup umur, telah berusia dua puluh
satu dan dua puluh tahun. Kami ingin melihat mereka itu menjadi suami dari
isteri yang baik. Sudah tiba waktunya bagi kita untuk mempunyai mantu.!
Hemmm...., bagaimana mungkin
wanita-wanita yang sudah mulai lanjut usianya seperti kalian berdua ini hendak
melakukan perjalanan yang demikian jauh dan berbahaya?! Pendekar Super Sakti
berkata halus, penuh kekhawatiran.
Habis, kalau engkau yang
menjadi ayahnya diam saja, terpaksa kami yang menjadi ibu mereka turun tangan.
Mendiamkannya saja mereka pergi tanpa berita lebih lama lagi, kami bisa mati
karena gelisah!! Lulu berkata.
Suma Han menghela napas
panjang, lalu meraih kembali mangkok nasinya. Baiklah, nanti kita bicarakan hal
itu, kalian tidak perlu mogok makan untuk itu, membahayakan kesehatan sendiri.!
Dua orang isterinya itu saling
pandang, timbul harapan mereka bahwa sekali ini suami mereka akan menaruh
perhatian, maka mereka pun lalu mengisi mangkok dengan nasi dan makan bersama
suaminya. Mereka makan tanpa berkata-kata, seperti biasa kalau mereka makan,
dengan mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada apa yang mereka lakukan saat
itu.
Setelah selesai makan dan dua
orang isterinya menyingkirkan mangkok piring, Pendekar Super Sakti duduk
termenung. Sudah lama dia tinggal bertiga saja bersama dua orang isterinya
sejak dua orang puteranya pergi, enam tahun yang lalu. Semua anak buah atau
pelayan dan pembantu di Pulau Es, telah dia suruh pulang ke tempat asal
masing-masing meninggalkan Pulau Es, sehingga dia tinggal bertiga saja dengan
dua orang isterinya. Dia telah membagi-bagikan sebagian harta kepada para anak
buah itu yang dengan hati berat meninggalkan Pulau Es karena mereka maklum
bahwa pendekar sakti itu dalam usia tuanya ingin hidup mengasingkan diri di
tempat sunyi itu, tidak ingin mencampuri urusan dunia ramai lagi, maka tidak
membutuhkan bantuan para anak buah itu lagi. Akan tetapi kini, timbul urusan
kedua orang puteranya sehingga mau tidak mau dia harus pula memikirkan.
Beberapa kali pendekar itu
menarik napas panjang. Betapa hidup ini selalu menjadi permainan keinginan.
Sejak kecil sampai sudah setua dia masih juga belum dapat bebas dari
keinginan-keinginan. Kalau pun sekarang, dalam usia tua dia sudah tidak
menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri yang sudah tua, keinginan itu
bukannya mati, melainkan meluas menjadi keinginan untuk melihat anak-anaknya
berbahagia! Dan untuk memperjuangkan kebahagiaan anak-anaknya, maka dia maupun
kedua orang isterinya mau melakukan apa saja!
Hidup penuh dengan ikatan,
sehingga tidak mungkin dapat bebas selama dirinya masih terikat, terikat kepada
keluarga, kepada harta benda, kepada kedudukan, kepada nama! Ah, dia tidak
boleh membiarkan kedua orang isterinya itu pergi ke daratan besar. Kalau mereka
pergi, tentu mereka akan menimbulkan onar, terutama sekali Lulu, dan tentu akan
terjadi geger di dunia kang-ouw, dan belum tentu mereka berdua akan kembali ke
Pulau Es! Tidak, dia tidak harus membiarkan mereka pergi, dia yang harus pergi
sendiri!
Semalam suntuk Pendekar Super
Sakti dan dua orang isterinya bercakap-cakap tentang kedua orang anak mereka.
Kian Lee dan Kian Bu bukan
kanak-kanak lagi, mereka sudah dewasa, kata Pendekar Super Sakti antara lain
kepada dua orang isterinya. Dan mereka pun telah memiliki kepandaian cukup
sehingga mereka tentu mampu menjaga diri sendiri. Tentang jodoh, kalian tentu
mengerti bahwa mereka berhak untuk memilih calon jodoh mereka masing-masing
sendiri, dan tidak baik kalau kita yang mencarikan jodoh untuk mereka.!
Akan tetapi, lupakah kau bahwa
Kian Bu sudah meninggalkan pulau ini selama enam tahun? Kalau tidak ada apa-apa
dengan dia, tidak mungkin dia seolah-olah lupa kepada orang tuanya! Dan menurut
penuturan Kian Lee ketika pulang, agaknya Kian Bu juga menderita kekecewaan
dalam percintaannya. Ah, aku khawatir kalau-kalau terjadi apa-apa dengan dia.!
Aku pun tidak akan memaksa dia
berjodoh dengan orang yang tidak dicintanya,! Lulu juga membantah. Akan tetapi,
dia dan Kian Bu harus pulang dulu ke sini, baru kita bicara tentang perjodohan
mereka. Kian Lee berjanji akan mencari dan mengajak pulang Kian Bu, akan tetapi
mengapa sampai sekarang tidak ada kabar beritanya? Dan menurut penuturannya, di
dunia ramai banyak bermuncullan tokoh-tokoh kaum sesat. Biarpun kedua orang
anak kita itu sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka itu belum
banyak pengalaman, tentu berbahaya kalau berhadapan dengan datuk-datuk sesat.!
Baiklah, kalian jangan
khawatir. Aku sendiri memang sudah mengambil keputusan untuk pergi menyusul
mereka. Karena kita sekarang sudah tidak mempunyai pembantu lagi, maka aku akan
pergi sendiri sambil melihat-lihat keadaan di dunia ramai. Aku akan membawa
Tiauw-ko (Rajawali) yang sudah tua itu. Mudah-mudahan saja dia masih kuat
menyeberangkan aku ke daratan besar.!
Demikianlah, pada keesokan
harinya, pagi sekali Pendekar Super Sakti telah memanggil burung rajawali yang
sudah tua pula. Burung ini hanya satu-satunya burung rajawali yang masih berada
di pulau itu, dan ketika burung tua itu meluncur turun dan hinggap di depan
pendekar itu bersama kedua orang isterinya, Suma Han memandang kepada burung
itu dengan terharu.
Tiauw-ko, maafkan aku. Sudah
setua ini engkau masih harus membantuku menyeberang lautan. Membikin lelah
engkau saja, Tiuaw-ko!! katanya sambil menepuknepuk punggung burung itu yang
mengeluarkan suara menguk-nguk seperti seekor anjing setia.
Hati-hati dalam perjalanan!!
kata Nirahai.
Dan jangan lama-lama, cepat
ajak pulang Kian Lee dan Kian Bu,! kata pula Lulu.
Suma Han tersenyum, memandang
kepada dua orang isterinya dengan penuh kasih sayang, diam-diam merasa kasihan
meninggalkan dua orang isterinya itu berdua saja di atas pulau yang sunyi itu.
Dia membiarkan dua orang isterinya memegang kedua tangannya, kemudian setelah
meremas tangan mereka dengan jari-jari tangan yang masih menggetarkan kasih
yang mendalam, Suma Han lalu melepaskan pegangan tangannya dan sekali dia
menggerakkan kaki tunggalnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas punggung burung
rajawali.
Selamat tinggal, aku pergi
takkan lama!! katanya. Tiauw-ko, mari kita berangkat.!
Burung itu lalu menggerakkan
sepasang sayapnya dan terbanglah dia ke atas. Suma Han membalas lambaian tangan
kedua orang isterinya itu dengan gerakan tongkatnya, dan sebentar saja dia
sudah tidak lagi dapat melihat isterinya, hanya melihat pulau itu yang nampak
kecil dari atas, keputih-putihan. Dari bawah, Lulu dan Nirahai hanya melihat
titik hitam dari rajawali itu untuk kemudian lenyap ditelan awan.
Setelah dibawa terbang di
antara awan-awan di udara, Pendekar Super Sakti merasakan kegembiraan yang luar
biasa dan bangkitlah semangatnya seperti pada puluhan tahun yang lalu!
Teringatlah dia akan semua pengalamannya yang lalu dan terbayanglah di depon
matanya wajah-wajah para tokoh dunia persilatan. Apakah mereka itu masih hidup?
Dan apakah mereka itu pun seperti dia, mengasingkan diri dari dunia ramai? Ah,
kalau para tokoh kaum sesat bermunculan, tentu kepergiannya sekali ini tidaklah
begitu mudah untuk menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan. Dia sudah tidak
bergairah untuk mempergunakan kepandaian melawan seorang dalam perkelahian, dia
sudah bosan harus bertanding melawan orang lain. Akan tetapi, apakah dia
mungkin dapat membiarkan kejahatan merajalela dan membiarkan
kesewenang-wenangan terjadi di depan matanya? Biarlah, dia tidak akan bergerak
kalau tidak terpaksa. Biarkan pendekar-pendekar muda menggantikan tempatnya
untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, pendekar-pendekar
muda seperti dua orang puteranya itu.
Pendekar Super Sakti tidak
memaksa rajawalinya untuk terbang terus. Dia tahu bahwa rajawalinya itu telah
tua, setua dia dan sudah banyak berkurang tenaganya. Di sendiri tidak tahu
apakah tenaganya juga banyak berkurang karena selama ini dia tidak pernah
mendapatkan kesempatan untuk mengukur tenaganya. Melihat rajawali itu
terengah-engah, dia lalu menyuruh burung itu menukik turun dan beberapa kali
dia dan burungnya beristirahat di sebuah pulau kosong. Akhirnya, sampai juga
dia di pantai daratan besar. Setelah beristirahat lagi dan melewatkan malam itu
di pantai yang sunyi, pada keesokan harinya Pendekar Super Sakti melanjutkan
perjalanannya menunggang rajawali yang terbang tinggi menuju ke selatan.
Pada suatu hari, ketika burung
itu terbang rendah di atas sebuah hutan di luar pedusunan, Pendekar Super Sakti
merasa tertarik sekali ketika dia melihat serombongan orang berbondong-bondong
memasuki hutan itu. Melihat pakaian orang-orang itu, dia mengenal mereka sebagai
penghuni dusun, petani-petani miskin. Akan tetapi para petani itu kelihatan
marah-marah, membawa benda-benda tajam dan pisau, kapak, cangkul dan
sebagainya, seperti sepasukan orang yang tak teratur sedang melakukan
penyerbuan. Dia menepuk punggung rajawali yang menukik ke bawah, lalu dia
meloncat jauh ke depan sehingga dia menghadang rombongan penduduk dusun itu.
Ketika orang-orang dusun yang
jumlahnya belasan orang itu melihat seorang kakek berkaki buntung memegang
tongkat berdiri tegak dengan sikap tenang, mereka tertegun dan berhenti, akan
tetapi mereka semua bersikap siap dengan senjata dipegang erat-erat.
Sahabat-sahabat sekalian
hendak ke manakah? Apa yang terjadi maka kalian kelihatan begitu marah?! tanya
Suma Han dengan suara halus dan agak gemetar karena terharu. Baru sekarang
semenjak bertahun-tahun lamanya dia bertemu dengan manusia lain kecuali dua
orang isterinya, dan melihat betapa begitu bertemu dia sudah melihat manusia
yang hendak bertempur agaknya, maka dia merasa kasihan dan terharu sekali.
Betapa kehidupan manusia penuh dengan kekerasan, penuh permusuhan.
Siapakah engkau? Apakah engkau
sahabat dari nenek siluman itu?! tanya seorang di antara mereka, seorang
laki-laki yang memegang tombak dan agaknya memimpin rombongan orang itu.
Nenek siluman yang mana? Aku
tidak melihatnya dan tidak mengenalnya,! kata Suma Han dengan heran.
Kalau begitu, Paman, jangan
ikut-ikut. Kami akan mengeroyok dan membunuh nenek siluman bermuka tengkorak
itu!! kata pula si pemegang tombak. Kami adalah penduduk dusun di sana, dan aku
adalah kepala dusun. Kami hendak membunuh nenek siluman!!
Nanti dulu, sabarlah. Mana ada
siluman di dunia ini, dan andaikata ada setan, masa dia keluar di siang hari?
Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?! tanya Suma Han yang merasa bahwa
tentu terjadi kesalahpahaman di sini sehingga dia khawatir kalau orang-orang
dusun ini akan kesalahan membunuh orang.
Melihat keadaan Pendekar Super
Sakti yang aneh itu, kepala dusun dan orang-orangnya agaknya jerih juga. Kakek
berkaki sebelah ini tidak mereka kenal, rambutnya putih panjang dan halus,
wajahnya begitu berwibawa dan dari mana kakek ini datang? Karena jerih, kepala
dusun lalu bercerita, Seorang anak dusun kami sedang menggembala delapan ekor
lembu di dalam hutan, lalu muncul nenek iblis itu yang menggunakan tangannya
memukul pecah kepala seekor lembu. Penggembala itu marah-marah, akan tetapi apa
yang dilakukan oleh nenek itu? Dia malah memukuli semua lembu sampai delapan
ekor lembu itu tewas semua! Anak itu lalu lari ketakutan dan melapor kepada
kami, maka kini kami hendak menyerbu ke dalam hutan dan menangkap atau membunuh
nenek siluman itu.!
Diam-diam Pendekar Super Sakti
terkejut. Seorang nenek dapat memukul pecah kepala lembu begitu saja? Mukanya
seperti tengkorak? Tentu bukan orang sembarangan, dan kalau memang benar nenek
itu demikian jahatnya, maka amatlah berbahaya bagi orang-orang dusun ini untuk
menyerbunya.
Di manakah nenek itu?!
tanyanya.
Di tengah hutan ini!! kepala
dusun menuding ke depan.
Kalau begitu, harap kalian jangan
tergesa-gesa, biarkan aku menemuinya lebih dulu. Kalau kalian tergesa-gesa,
jangan-jangan kalian juga akan dibunuhnya seperti lembu-lembu itu!! Ucapan Suma
Han ini membuat wajah mereka menjadi pucat, karena sebenarnya mereka memang
sudah merasa ngeri dan jerih mendengar penuturan anak penggembala itu akan
wajah si nenek yang amat mengerikan. Mereka tadi hanya berani karena semangat
mereka dibakar oleh kepala dusun yang merasa marah. karena kehilangan
lembu-lembunya. Dialah pemilik lembu-lembu itu.
Kini melihat kakek berkaki
sebelah itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan bantuan tongkatnya, mereka
mengikuti dari belakang, akan tetapi agak jauh karena mereka juga curiga kepada
kakek aneh ini di samping rasa takutnya terhadap nenek itu. Dan tak lama
kemudian, Suma Han melihat seorang wanita yang duduk di atas sebuah batu sambil
makan benda putih lunak yang masih berdarah. Tiba-tiba saja dia menjadi muak,
karena dia dapat menduga bahwa yang dimakan oleh nenek itu tentulah otak lembu
yang mentah! Otak yang mentah dan masih berdarah, diambil dari kepala seekor
lembu. Dan muka nenek itu sungguh mengerikan! Bukan muka, melainkan kedok,
kedok tengkorak aseli! Dan nenek itu kelihatan tenang-tenang saja, padahal
nenek itu tentu tahu akan kedatangan banyak orang itu yang kini berhenti di
tempat agak jauh, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh
kengerian.
Dengan sikap tenang, Suma Han
melangkah dan menghampir tempat itu dan dari jauh dia sudah melihat bangkai
delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk dan yang malang melintang di tempat itu,
satu di antaranya telah hancur kepalanya sehingga tidak kelihatan lagi, agaknya
itulah yang diambil otaknya oleh nenek itu, sedangkan tujuh ekor yang lain juga
mati dengan kepala pecah, sungguhpun belum hancur seperti yang seekor itu.
Masih baik nenek ini tidak
membunuh orang, pikir Suma Han. Tentu ada yang menyebabkan nenek ini
marah-marah dan membunuh semua lembu itu, padahal andaikata dia membutuhkan
otak lembu, tentu hanya seekor saja yang dibunuh, tidak semua. Kini Suma Han
telah berdiri di depan nenek yang masih makan otak berdarah itu, hanya dalam
jarak lima meter. Sudah tentu nenek itu dapat melihatnya, akan tetapi agaknya
nenek itu tidak mempedulikannya dan sengaja pura-pura tidak melihat, masih
enak-enak makan otak itu dengan mulut tengkoraknya yang amat lebar, di balik
mana terdapat mulutnya sendiri yang kecil. Gigi-gigi di depan tengkorak itu
kelihatan berlepotan darah dan otak, dan kembali Suma Han menjadi muak. Sudah
terlalu lama dia tidak melihat kebuasan dan kejahatan manusia, hidup dengan
tenang dan tenteram di Pulau Es, kini menyaksikan tingkah seorang aneh di dunia
kang-ouw yang begini mengerikan dia menjadi muak.
Suma Han menanti sampai nenek
itu menghabiskan sisa otak yang dimakannya. Dia berdiri tanpa bergerak,
bersandar kepada tongkatnya dan memandang dengan sinar lembut, diam-diam dia
merasa kasihan mengapa ada seorang wanita yang mau hidup seperti itu, mukanya
ditutup tengkorak aseli, seolah-olah hendak bersembunyi dari dunia, ataukah
hendak memperingatkan dunia bahwa di balik wajah setiap orang manusia, apa pun
kedudukannya, tiada lain hanyalah sebuah tengkorak yang mengerikan seperti itu?
Apakah nenek ini hendak menyindirkan bahwa di akhir semua kehidupan yang
beraneka ragam, yang mendatangkan segala macam peristiwa itu, tiada lain
hanyalah ada maut yang menanti? Suma Han tidak dapat menafsirkan apa yang
dimaksudkan oleh nenek itu dengan mengenakan kedok tengkorak aseli di depan
mukanya. Dan tentang otak mentah yang dimakannya, dia tahu bahwa memang di
dalam otak berdarah itu terkandung obat penguat bagi nenek tua ini.
Kini wanita tua itu sudah
selesai makan dan agaknya dia pun mulai memperhatikan Suma Han, buktinya mata
di balik tengkorak itu berkilauan dan bergerak dari atas ke bawah, terutama
sekali memperhatikan kaki yang buntung sebelah itu. Akan tetapi karena nenek
itu tidak bicara atau bergerak, Suma Han lalu bertanya dengan suara halus,
Sobat, maafkan kalau aku mengganggumu. Akan tetapi mengapakah engkau membunuh
delapan ekor lembu yang tidak bersalah apa-apa ini?!
Terdengar suara mendengus di
balik kedok itu, dan mata di balik kedok itu berputar liar seperti mata setan,
kemudian terdengar suaranya nyaring melengking dengan mulut tengkorak
bergerak-gerak aneh, Kubunuh mereka agar anak itu melapor ke dusun, agar semua
orang dusun datang ke sini!!
Suma Han mengerutkan alisnya
yang putih. Jawaban yang aneh!
Kalau mereka sudah datang ke
sini?! dia mendesak dengan suara masih halus.
Sialan! Mereka tidak datang ke
sini, yang datang malah engkau ini kakek buntung menyebalkan! Kalau mereka
datang, tentu dengan enak aku akan membunuh mereka semua, akan tetapi yang
datang hanya engkau kakek buntung, dibunuh pun tidak ada harganya!!
Diam-diam Suma Han terkejut
juga. Kiranya nenek ini adalah seorang yang amat jahat! Demikian jahatnya
sehingga bukan hanya membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi tidak membunuh si
penggembala hanyalah dengan maksud untuk memancing datangnya semua orang dusun
untuk dibunuhnya!
Sobat yang baik, apakah
kesalahan semua orang dusun itu maka engkau hendak membunuh mereka?!
!Huh, semua orang kalau bisa
akan kubunuh! Peduli apa mereka bersalah atau tidak? Kau pun seharusnya
dibunuh, akan tetapi terlalu enak bagimu kalau kau dibunuh. Engkau sudah tua
bangka, kakimu buntung pula, dan wajahmu membayangkan penderitaan. Heh-heh,
engkau tentu menderita sekali dan sisa hidupmu yang tinggal tidak berapa lama
itu, biarlah kaulewatkan dalam siksaan dan penderitaan. Kalau dibunuh sekarang,
sungguh terlalu enak bagimu!!
Suma Han tercengang. Belum
pernah dia bertemu dengan orang sejahat ini! Dia teringat bahwa di dunianya
kaum sesat terdapat Im-kan Ngo-ok, Si Lima Jahat dari Akhirat yang kabarnya
mempunyai watak yang luar biasa jahatnya.
Hemmm, sobat baik, apa gunanya
engkau sengaja melakukan kejahatan seperti itu? Apakah manfaatnya bagimu kalau
kau membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?!
Gunanya? Manfaatnya? Ha, tentu
saja untuk mengisi kenyataan pada sebutan Ji-ok Kui-bin Nio-nio, ha-ha-ha!!
Suma Han mengangguk-angguk.
Kiranya nenek ini adalah orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ah, hebat juga kalau
Im-kan Ngo-ok yang kabarnya sudah tidak pernah meninggalkan dunia mereka
sendiri itu kini turun ke dunia ramai!
Hai, kau siapakah?! Tiba-tiba
nenek itu berseru, seolah-olah baru terkejut melihat betapa kakek buntung itu
sedikit pun tidak kelihatan jerih kepadanya.
Aku? Aku hanya seorang tua
bangka buntung seperti katamu tadi, tidak ada apa-apanya yang patut
diperhatikan!! jawab Suma Han yang tidak ingin memperkenalkan diri, juga tidak
ingin mencari perkara karena maksudnya pun bukan hendak memusuhi nenek ini
melainkan hendak melindungi agar orang-orang dusun itu tidak sampai celaka.
Kalau tadi dia tidak curiga dan para penghuni dusun itu sudah mendahuluinya
tiba di sini, tentu mereka itu sudah menggeletak mati seperti bangkai-bangkai
lembu itu!
Kalau buntung keduanya mungkin
akan patut diperhatikan orang!! Tiba-tiba nenek itu berkata dan telunjuk
kanannya menuding ke depan, ke arah kaki kanan Suma Han yang tidak buntung.
Suma Han terkejut. Wanita ini
benar-benar amat jahat sekali, begitu kejam dan ganas melebihi semua tokoh
hitam yang pernah ditemuinya di waktu dia masih berkecimpung di dunia kang-ouw
dahulu.
Cusss....!! Hawa yang dingin
sekali menyambar ke arah kakinya dan tahulah pendekar ini bahwa wanita berkedok
tengkorak itu telah menguasai ilmu pukulan luar biasa yang digerakkan dengan
Im-kang, yang amat berbahaya karena hawa yang menyambar dari gerakan telunjuk
itu bukan main dahsyatnya, seperti tusukan pedang saja. Dan memang Ji-ok telah
mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang) untuk membikin
buntung kaki yang tinggal satu itu!
Tentu saja setelah dia sendiri
diserang, Suma Han tidak dapat lagi menyembunyikan kepandaiannya, karena dia
harus membela diri. Tangan kirinya yang memegang tongkatnya itu bergerak cepat
dan dia telah menudingkan tongkatnya ke depan, ke arah telunjuk Ji-ok yang
menuding ke arah kakinya itu.
Wirrrrr....!! Ji-ok
mengeluarkan jerit tertahan ketika sambaran hawa dari telunjuknya itu kembali
dan membuat tangannya terasa tergetar hebat. Cepat dia menyimpan tenaganya,
mengerahkan telunjuknya lagi dan kini menunjuk ke arah dada kakek buntung
kakinya itu! Kembali Suma Han memapakinya dengan tongkat yang ditudingkan dan
untuk kedua kalinya Ji-ok tergetar hebat, bahkan kini sampai mundur selangkah.
Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar berapi. Baru dia percaya bahwa kakek
buntung itu benar-benar telah mampu menangkis serangan Kiam-ci sampai dua kali,
bahkan yang kedua kalinya membuat dia terdorong ke belakang!
Siapakah engkau?! bentaknya.
Suma Han menarik napas
panjang. Seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung,! jawabnya tenang.
Kau.... rambutmu putih, kaki
kirimu buntung kau.... kau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....?! Ji-ok
berseru kaget bukan main.
Ha-ha-ha, Ji-moi, apakah kau
tidak mengenalnya? Lihat rajawali di atas itu! Siapa lagi kalau bukan Pendekar
Siluman yang datang bersama rajawalinya?!
Suma Han kagum mendengar suara
yang datang dibawa angin ini. Seorang yang amat lihai, pikirnya, akan tetapi
dia tidak menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara, melainkan tetap memandang
nenek berkedok itu karena dia tahu betapa bahayanya orang-orang seperti nenek
ini yang suka bertindak curang. Dia tetap tenang dan waspada, tidak ingin mencari
permusuhan, akan tetapi tentu saja dia pun harus menjaga diri. terhadap
datuk-datuk jahat seperti Im-kan Ngo-ok. Nama lima orang manusia iblis itu
sudah amat terkenal dan agaknya kalau ada yang satu, tentu ada pula yang lain.
Buktinya, suara tadi tentulah suara Twa-ok, yaitu Si Jahat Pertama, dapat
dikenal dari cara dia memanggil nenek itu dengan Ji-moi (adik ke Dua). Siapa
lagi yang menyebut nenek itu adik ke dua kalau bukan Twa-ok, orang pertama dari
Im-kan Ngo-ok? Tegang juga rasa hati Suma Han. Orang ke dua saja sudah memiliki
pukulan sakti yang dahsyat dari jari telunjuknya tadi, apalagi orang yang
pertama!
Dugaannya memang benar, dan
ketika ada angin berkesiur, muncullah kakek yang seperti gorilla atau monyet
besar itu, dengan langkahnya yang kaku dan kedua lengannya tergantung di bawah
lutut! Suma Han memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi juga penuh
kewaspadaan.
Ji-moi, sudah lama aku ingin
sekali melihat rajawali dari Pulau Es. Biar kupanggil dia ke sini!! kata kakek
bermuka orang utan itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan suaranya yang
halus. Kemudian dia mengangkat kedua tangannya ke atas, ke arah rajawali yang
terbang berputaran di atas, pohon-pohon sambil mengeluarkan suara yang
menggetar tinggi. Burung rajawali itu seperti kaget dan tiba-tiba terbangnya
menjadi kacau. Melihat ini, Suma Han merasa khawatir akan keselamatan burungnya
yang sudah tua itu, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking halus, suara
yang menjadi tanda bagi rajawalinya untuk terbang tinggi menjauhi tempat itu,
kemudian dengan suara yang tenang dia berkata, Sobat, apakah engkau hendak
bermain-main dengan rajawali? Nah, dia sudah datang menyambarmu!!
Twa-ok Su Lo Ti adalah seorang
Jahat Nomor Satu, biarpun dia bersikap lembut dan bersuara halus, namun di dalam
hatinya selalu terkandung keinginan untuk mencelakakan orang lain secara halus
namun keji! Tadi begitu melihat Ji-ok berhadapan dengan Majikan Pulau Es, dia
tidak langsung menghadapi pendekar yang amat terkenal itu, melainkan lebih dulu
hendak meruntuhkan tunggangannya, yaitu burung rajawali. Biarpun dia tidak
langsung memusuhi Pendekar Siluman, melainkan secara halus hendak mencelakai
burungnya, namun jelas bahwa perbuatannya ini selain amat kejam, juga
menunjukkan bahwa dia lebih dulu ingin mengganggu dan menyusahkan lawan sebelum
berhadapan secara langsung!
Ketika dia mendengar pendekar
itu mengeluarkan suara melengking halus, dia merasa betapa jantungnya berdebar
dan suaranya yang menggetar dan yang ditujukan ke arah burung rajawali di atas
itu membuyar. Maka dia terkejut dan cepat menengok, memandang ke arah pendekar
itu ketika mendengar pendekar itu bicara kepadanya. Dan pada saat itu, sehabis
ucapan pendekar dari Pulau Es itu, dia mendengar suara sayap burung dan ketika
dia memandang kembali ke depan, dia melihat seekor rajawali sudah terbang
meluncur hendak menyambarnya!
Ha-ha-ha, burung yang baik,
hendak terbang ke manakah engkau?! katanya dan dia cepat menggerakkan kedua
tangannya, di goyang-goyang di depan mukanya, dengan tubuh agak membongkok.
Burung rajawali yang sedang terbang itu, tertahan terbangnya dan biarpun dia
menggerak-gerakkan kedua sayapnya, mencakar-cakar dan memekik-mekik, namun
burung itu tetap saja tidak mampu terbang pergi, seolah-olah kakinya terikat
oleh tali yang tidak nampak!
Ha-ha-ha, burung yang baik,
aku butuh beberapa lembar bulumu untuk kujadikan sapu. Hayo lepaskan beberapa
ekor bulumu, burung rajawali yang baik!! Kakek bermuka gorilla itu
menggerak-gerakkannya jari tangannya ke arah burung yang tidak mampu terbang pergi
dan benar saja, beberapa lembar bulu panjang dari ekor dan sayapnya jatuh
berguguran ke bawah.
Pada saat itu, kepala dusun
dan para penghuni dusun itu sudah maju dekat. Mereka tertarik sekali melihat
betapa kakek tua yang buntung itu berhadapan dengan nenek iblis dan betapa kini
muncul pula seorang kakek seperti gorilla. Saking tertariknya, mereka tidak
ingat lagi bahwa nenek itu telah melakukan hal yang keji, dan mereka lupa akan
takutnya.
Tiba-tiba Ji-ok berseru, Eh,
Twako, apa yang kaulakukan itu? Lihat baik-baik, itu bukan rajawali! Engkau
telah dipermainkan orang!!
Mendengar ucapan Ji-ok ini,
Twa-ok cepat menahan napas, mengerahkan sinkangnya dan mengeluarkan suara
gerengan seperti monyet. Dia adalah seorang yang telah mempelajari ilmu sihir
dan kebatinan, maka begitu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kini matanya
dapat melihat jelas dan ternyata burung rajawali yang dipermainkannya tadi
bukan lain hanyalah sepotong ranting pohon dengan daun-daunnya, dan yang
berguguran tadi adalah daun-daun dari ranting itu! Kiranya tadi Suma Han telah
melemparkan sepotong ranting, dan menyulapnya menjadi rajawalinya yang kini
telah terbang tinggi menurut perintah majikannya!
Hemmm....!! Kakek yang menjadi
orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mendengus dan begitu dia menghentikan kedua
tangannya, ranting itu pun meluncur jatuh ke atas tanah. Tadi ranting itu
ditahan oleh tenaga kedua tangannya yang mempermainkannya, dan andaikata burung
rajawali yang tadi dipermainkan dengan hawa sakti kedua tangannya, tentu rajawali
itu sudah tewas!
Pada saat Twa-ok dan Ji-ok
menoleh ke arah kakek buntung itu, mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan
tahu-tahu kakek itu lenyap dari depan mereka Keduanya terkejut bukan main.
Bagaimana mungkin seorang berkaki buntung sebelah dapat bergerak secepat itu?
Seperti kilat menyambar saja! Dan memang hal ini tidak mengherankan kalau
mereka mengetahui bahwa Pendekar Super Sakti memang telah mempergunakan
kesaktiannya untuk menghadapi mereka.
Ketika mereka berdua menoleh,
ternyata kakek buntung itu telah berdiri di depan rombongan penghuni dusun,
membelakangi orang-orang itu seperti hendak melindungi mereka. Melihat ini,
Twa-ok cepat menjura dengan hormat ke arah Suma Han. Pendekar Super Sakti sudah
siap dan waspada, karena dia harus melindungi semua orang ini. Akan tetapi
ternyata kakek bermuka gorilla itu tidak melakukan penyerangan, dan hanya
menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada secara wajar.
Aih, sudah puluhan tahun kami
mendengar nama besar Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es, dan ternyata nama
besar itu bukanlah kosong belaka. Akan tetapi, setelah puluhan tahun tidak
muncul di dunia kang-ouw, sekarang begitu muncul telah memamerkan permainan
sulapnya yang sungguh mengagumkan, apakah kiranya tidak dipertunjukkan ke
tempat yang keliru?! Dengan kata-kata yang halus ini, Twa-ok hendak mengejek
permainan sihir tadi, sungguhpun dia telah terpedaya.
Suma Han hanya memandang
dengan sikap tenang dan sungguh-sungguh. Aku pun telah mendengar nama besar
Im-kan Ngo-ok dan sungguh beruntung sekali sekarang dapat berjumpa dengan
Twa-ok dan Ji-ok, dua orang tertua dari Im-kan Ngo-ok yang memiliki kepandaian
hebat. Akan tetapi, sungguh mengherankan mengapa Twa-ok dan Ji-ok yang tersohor
itu hanya seperti anak-anak kecil yang mempermainkan binatang-binatang yang
tidak bersalah, membunuhi delapan ekor lembu dan hendak mencelakai burung
rajawali?!
Wah, bukankah orang-orang tua
itu hanyalah anak-anak kecil yang besar badannya?! Twa-ok menjura lagi. Akan
tetapi sekali ini, tiba-tiba ketika dia mengangkat kedua tangannya, ada hawa
pukulan yang dahsyat bukan main menyambar ke arah Suma Han! Sejak tadi memang
Suma Han sudah bersiap sedia dan waspada selalu, maka kini dia telah
mendahului, menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan, menyambut pukulan
jarak jauh dari Twa-ok itu dengan iimu pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Pada saat
itu, Ji-ok yang curang juga sudah cepat menudingkan telunjuknya, menggerakkan
Ilmu Kiam-ci untuk menyerang ke arah kakek buntung itu. Tongkat di tangan kiri
Suma Han diangkat dan menyambut serangan Ji-ok ini dan sekaligus Suma Han telah
menyambut serangan kedua orang itu, telapak tangan kanannya menggunakan
Hwi-yang Sin-ciang yang mendatangkan hawa panas sedangkan tongkat di tangan
kirinya menyambar hawa Swat-im Sin-ciang yang amat dingin!
Perlu diketahui bahwa dalam
usia enam puluh tahun lebih itu, Suma Han telah memiliki tenaga sinkang yang
sukar diukur lagi dalamnya, maka kedua ilmunya itu sudah mencapai tingkat yang
hampir sempurna dan luar biasa kuatnya. Maka, sekaligus dia dapat membagi
dirinya, menyambut serangan Twa-ok dengan hawa sakti panas dan serangan Ji-ok
dengan hawa sakti dingin.
Orang pertama dan ke dua dari
Im-kan Ngo-ok itu terkejut bukan main ketika mereka merasa betapa ada hawa yang
panas sekali dan dingin sekali menyambut mereka. Dan ketika mereka berdua
mengerahkan tenaga dan mendesak, secara tiba-tiba saja terdengar Suma Han
mengeluarkan suara menggetar dari dalam dada dan mendadak Twa-ok agak menggigil
dan Ji-ok berseru kaget. Kiranya, begitu mengeluarkan suara menggetar tadi,
Pendekar Super Sakti telah mengubah hawa saktinya, kalau tadi yang kanan panas
dan yang kiri dingin, kini berubah sama sekali, yang menghadapi Twa-ok berubah
dingin dan yang melawan Ji-ok berubah panas. Kedua orang datuk kaum sesat itu
terkejut dan cepat-cepat mereka melangkah mundur sambil menghentikan serangan
mereka! Suma Han juga tidak mendesak dan menghentikan pula tenaga saktinya.
Kemudian, Suma Han mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Batu yang terkena
ketukan itu mengeluarkan bunyi keras dan nampak api berpijar saking kerasnya
ujung tongkatnya menumbuk batu.
Twa-ok dan Ji-ok, dengarlah
baik-baik. Aku sengaja meninggalkan pulau bukan sekali-kali untuk bermusuhan
dengan siapapun juga, melainkan untuk mencari putera-puteraku dan mengajak
mereka pulang. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku akan membiarkan orang-orang
menghinaku atau mengganggu orang lain di depan mataku!!
Ucapan itu halus, akan tetapi
mengandung wibawa yang hebat dan gagah, dan dua orang tokoh Im-kan Ngo-ok itu
terbelalak memandang ketika melihat betapa tubuh Suma Han perlahan-lahan
berubah menjadi besar seperti raksasa! Akan tetapi mereka segera sadar bahwa
Pendekar Siluman itu mempergunakan kekuatan batinnya, maka cepat mereka
menunduk, berkemak-kemik dan menguatkan batin, sehingga ketika mereka memandang
lagi, tubuh pendekar itu sudah biasa lagi, hanya kelihatan berwibawa dan
menimbulkan rasa jerih di dalam hati mereka. Twa-ok bukan seorang bodoh. Dia
tadi bersama Ji-ok telah mengadu tenaga dan kalau terjadi pertandingan, belum
tentu dia dan Ji-ok akan mampu menandingi Pendekar Super Sakti yang benar-benar
amat lihai ini. Kalau saja tiga orang saudaranya yang lain berada di situ,
tentu dia akan nekat menggunakan kekuatan untuk menyerang dan mengeroyok. Akan
tetapi, tugasnya masih banyak dan dia menganggap belum tiba saatnya untuk
mempertaruhkan keselamatannya mengadu nyawa dengan seorang tokoh besar seperti
Majikan Pulau Es ini. Maka dia lalu tersenyum dan menjura lagi, pemberian
hormat yang wajar.
Maaf, maaf, kalau belum
mengadu tenaga belum saling mengenal kata orang!! Dia mengangguk-angguk.
Pendekar Super Sakti memang lihai sekali, kami berdua amat kagum. Akan tetapi
kalau Taihiap bermaksud mencari puteramu Siluman Kecil, kurasa belum tentu dia
akan mau pulang ke Pulau Es.!
Mendengar disebutnya nama
Siluman Kecil, Suma Han tertarik. Siluman Kecil? Siapa yang kaumaksudkan?!
Ha-ha-ha, apakah Taihiap juga
hendak merahasiakan keadaan puteramu yang penuh rahasia itu? Bukankah puteramu
itu bernama Suma Kian Bu, biarpun usianya masih muda namun rambutnya sudah
putih semua, di dunia kang-ouw dijuluki Siluman Kecil?!
Suma Han hanya
mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa di dunia kang-ouw Suma Kian
Bu dijuluki orang Siluman Kecil, dan tidak tahu pula bahwa rambut puteranya itu
telah menjadi putih semua!
Dia tidak mungkin mau pulang
setelah dia hidup penuh kesenangan bersama seorang dara cantik jelita....!
Twa-ok sengaja menghentikan kata-katanya yang merupakan pancingan dan dia
memperhatikan wajah pendekar itu. Akan tetapi dia belum mengenal baik siapa
adanya Suma Han, seorang pendekar yang amat hebat kekuatan batinnya sehingga
kalau dia hendak membaca! keadaan hati pendekar itu, dia kecelik. Tidak ada
tanda apa-apa pada wajah yang berwibawa itu, kecuali sepasang matanya saja yang
menyambar dan membuat seorang manusia iblis seperti Twa-ok Su Lo Ti sendiri
sampai bergidik. Bukan mata manusia, pikirnya.
Kalau kau hendak memberi tahu,
lanjutkanlah. Kalau tidak, aku pun tidak akan memaksakan keterangan apa pun darimu,
Twa-ok.!
Wajah kakek bermuka gorilla
itu menjadi merah karena malu. Dia ke manapun berdua dengan Nona Hwee Li,
puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Agaknya mereka itu saling
mencinta.... ha-ha-ha, begitulah orang muda.!
Mendengar ini, sesungguhnya
hati Suma Han terkejut bukan main, terkejut, penasaran dan tidak senang, akan
tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu sehingga Twa-ok tidak tahu apakah
bidikannya itu mengenai sasaran ataukah tidak.
Twa-ok, mari kita coba lagi,
aku masih penasaran. Tidak mungkin kita berdua kalah oleh kakek buntung!! Ji-ok
berkata, akan tetapi Twa-ok menggeleng kepalanya.
Ji-moi, engkau seperti seorang
gadis bodoh saja. Kalau kau mau main-main dengan dia, nah, lakukanlah, akan
tetapi aku tidak ikut campur. Dan engkau sudah membunuh delapan ekor lembu
milik orang dusun. Sungguh lancang, Ji-moi, sungguh kasihan sekali orang-orang
dusun itu.! Kakek bermuka gorilla itu lalu menoleh kepada orang-orang kampung
yang dikepalai oleh kepala dusun itu, lalu menjura sambil berkata, Kami mohon
maaf atas kelancangan kami dan bukan maksud kami hendak merugikan kalian yang
sudah hidup serba kekurangan. Oleh karena itu, biarlah kami mengganti harga
delapan ekor lembu ini....! Kakek itu merogoh saku jubahnya yang lebar, lalu
mengeluarkan beberapa potongan uang perak, dikepalnya uang itu lalu
diletakkannya di atas batu dekat bangkai-bangkai lembu. Dan daging-daging tembu
ini kami berikan kepada kalian untuk dipakai berpesta.! Dia lalu menghampiri
bangkai-bangkai lembu itu dan menepuk-nepuk perut-perut lembu yang gemuk. Lembu
gemuk, daging lezat....! katanya berkali-kali sampai semua lembu
ditepuk-tepuknya. Kemudian dia berkata kepada Ji-ok, Ji-moi, hayo kita pergi!!
Tanpa pamit lagi kedua orang
datuk kaum sesat itu berkelebat dan lenyap dari situ. Suma Han sejak tadi
mengikuti gerak-gerik kakek muka gorilla itu, dan hatinya lega ketika dia tidak
melihat kakek itu menyerang orang-orang dusun seperti yang telah
dikhawatirkannya. Dia tadi sudah siap sedia untuk turun tangan melindungi
orang-orang dusun itu apabila kakek muka gorilla dan nenek muka tengkorak itu
menyerang mereka.
Melihat kesudahan dari
peristiwa itu, kepala dusun menjadi girang bukan main. Bukan saja
lembu-lembunya diganti dengan uang perak yang dari jauh saja sudah nampak cukup
banyak untuk pengganti harga lembu-lembunya, akan tetapi juga kakek dan nenek
aneh yang semula disangka siluman jahat itu malah mengembalikan bangkai-bangkai
lembu agar dagingnya dapat mereka makan! Dan daging delapan ekor lembu yang
gemuk-gemuk itu merupakan bahan makanan yang amat lezat dan banyak bagi
orang-orang dusun yang mungkin hanya setahun sekali pernah menikmati daging
lembu! Maka dia lalu berseru, Saudara-saudara, kita telah kejatuhan rejeki, tak
usah sungkan-sungkan, mari kita bagi-bagi daging lembu-lembu itu!!
Para penduduk dusun itu
bersorak girang dan kepala dusun itu pun sudah lari ke arah batu di mana Twa-ok
tadi menaruh beberapa potong uang perak.
Jangan sentuh perak itu dan
jangan dekati lembu-lembu itu!! Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua
orang terkejut ketika melihat bahwa kakek berkaki buntung sebelah tadi kini
sudah berdiri menghadang antara mereka denngan bangkai-bangkai lembu dan uang
di atas batu itu. Tentu saja kepala dusun dan anak buahnya menjadi terkejut dan
marah. Kiranya kakek buntung ini malah yang jahat! Nenek bermuka tengkorak yang
mereka sangka siluman itu bersama temannya yang bermuka monyet, ternyata malah
orang-orang yang amat baik, karena biarpun telah membunuh delapan ekor lembu,
akan tetapi selain lembu-lembu itu dibayarnya dengan cukup, juga daging
lembu-lembu itu diberikan kepada orang dusun. Sebaliknya kakek berkaki buntung
sebelah ini malah agaknya yang akan merampas atau merampok uang dan daging
lembu itu!
Orang tua, apa maksudmu?
Apakah kau hendak merampok semua itu?! Kepala dusun bertanya dan dia sudah
memegang tombaknya erat-erat, sedangkan para penduduk dusun itu pun sudah
mempersiapkan senjata mereka. Kalau tadi saja menghadapi siluman yang berwajah
mengerikan mereka tidak takut, apalagi menghadapi kakek berkaki buntung sebelah
ini! Tentu saja semua pertandingan adu tenaga sakti antara kakek buntung ini
dan kedua orang kakek dan nenek yang menyeramkan tadi tidak ada seorang pun
yang mengetahui, dan mereka hanya mengira bahwa kakek tua ini adalah seorang
biasa saja.
Ditegur seperti itu, Suma Han
menarik napas panjang. Ah, kalian tidak tahu akan bahaya yang mengancam nyawa
kalian. Ketahuilah bahwa pada permukaan uang perak itu telah dilumuri racun dan
sekali saja kalian menyentuhnya, kalian akan tewas. Dan bangkaibangkai lembu
itu pun telah mengandung racun.!
Semua orang terkejut akan
tetapi tidak percaya. Bohong.... bohong....! Dia ingin memiliki sendiri semua
itu!! terdengar mereka berteriak-teriak.
Suma Han melihat ada beberapa
ekor burung gagak terbang datang dan hinggap di atas cabang pohon yang
berdekatan. Dia tahu bahwa burung-burung itu tertarik oleh bangkai-bangkai
lembu, maka dia lalu berkata, Kalian lihatlah sendiri!! Dia menggunakan
tongkatnya mencokel daging di punggung seekor lembu, lalu melontarkan gumpalan
daging itu ke arah gagak-gagak yang bertengger di cabang pohon. Tiga ekor
burung gagak cepat menyambut daging itu dan memperebutkannya. Akan tetapi,
begitu mereka menelan sedikit potongan daging, tiga ekor burung itu tiba-tiba
berkaok nyaring lalu tubuh mereka terbanting ke atas tanah, berkelojotan dan
mati!
Semua orang terkejut bukan
main! Ternyata tiga ekor burung gagak itu telah mati keracunan! Tubuh mereka
kini menggigil ketakutan dan mereka memandang kepada Suma Han dengan muka
pucat.
Daging lembu-lembu ini sudah
tidak dapat dibersihkan lagi. Maka harap kalian cepat mengubur mereka di sini
juga agar racun itu tidak menjalar ke mana-mana. Tentang uang perak itu, jangan
khawatir, aku setua ini tidak lagi membutuhkan perak dan emas, dan aku akan
mencoba untuk membersihkan racun yang berada di situ.!
Kini kepala dusun percaya
penuh dan dia lalu mengerahkan orang-orangnya untuk menggali lubang besar,
kemudian mereka menyeret kaki mayat lembu-lembu itu dan menguburnya di dalam
lubang besar dan menutupnya dengan tanah. Sementara itu, Suma Han mengerahkan
sinkang ke telapak kedua tangannya, lalu mengambil uang perak itu dan
mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang. Kepala dusun itu melihat dengan mata terbelalak
betapa dari uang perak itu mengepul uap hijau! Setelah membakar! racun yang
melumuri perak itu sampai habis, barulah Suma Han meletakkan uang perak itu ke
atas batu sambil berkata, Sekarang kau boleh mengambil perak ini tanpa bahaya.
Dan kuperingatkan kalian, kalau kalian melihat dua orang itu atau seorang di
antara mereka, lebih baik kalian menyingkir dan sama sekali jangan mendekati
mereka. Nah, aku pergi!!
Melihat kakek itu melangkah
pergi dibantu tongkatnya, kepala dusun dan anak buahnya segera berlutut dan
kepala dusun itu berseru, Harap Locianpwe sudi meninggalkan nama besar
Locianpwe untuk kami ingat.!
Suma Han menoleh, menarik
napas panjang ketika melihat mereka berlutut, dan berkata, Aku hanya seorang
tua bangka yang sebelah kakinya buntung.! Setelah berkata demikian, dia
melangkah terus, diikuti pandang mata para penduduk dusun itu dengan terbelalak
sampai akhirnya kakek yang berjalan dengan agak terpincang itu lenyap dari
pandang mata mereka.
Seperti kita ketahui, Twa-ok
dan Ji-ok itu sedang menjalankan tugas dan diperintahkan oleh Pangeran Nepal
melalui koksu, yaitu untuk mencari Siluman Kecil dan Hwee Li, juga Puteri
Syanti Dewi dari Bhutan. Mereka itu mencari-cari jejak tiga orang itu tanpa
hasil sampai akhirnya tiba di dusun itu. Saking jengkelnya karena tidak juga
berhasil menemukan tiga orang buronan itu, Ji-ok yang berwatak aneh dan keji
itu mencari perkara dan hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya dengan
membunuhi semua orang dusun di tempat itu! Dan andaikata tidak secara kebetulan
Suma Han lewat di situ, sudah tentu seluruh penghuni dusun itu akan menjadi
korban kekejaman wanita yang merupakan Si Jahat Nomor Dua dari Im-kan Ngo-ok
itu.
Suma Han telah memanggil
burung rajawalinya dan kini dia melanjutkan penerbangannya untuk mencari
putera-puteranya. Dia sudah tidak ingat lagi kepada dua orang jahat itu, akan
tetapi ucapan Twa-ok tentang Pendekar Siluman Kecil benar-benar menggores di
hatinya. Siluman Kecil! Kian Bu kini berjuluk Siluman Kecil? Hampir dia
tertawa. Mengapa puteranya itu memakai julukan seperti itu? Dia sendiri, di
luar kehendaknya, dijuluki orang-orang dari dunia sesat sebagai Pendekar
Siluman, julukan yang sesungguhnya amat tidak disukainya. Akan tetapi kini
puteranya malah berjuluk Siluman Kecil! Dan rambutnya sudah putih semua?
Benarkah itu? Diam-diam hati pendekar sakti ini merasa tegang. Apa yapg telah
menimpa diri puteranya yang nakal itu sehingga rambutnya menjadi putih semua
dan berjuluk Siluman Kecil? Benar-benar pendekar yang sakti luar biasa ini
merasa amat heran dan dia tertawa seorang diri mengingat kemungkinan akan
kebenaran berita itu. Kalau benar, mengapa Kian Bu menuruni rambutnya yang
putih? Dan lebih aneh pula, dia sendiri dijuluki orang Pendekar Siluman, kenapa
justeru puteranya itu pun mempunyai julukan Siluman Kecil? Benar-benar luar
biasa dan sama sekali tidak diduga-duganya. Akan tetapi ketika dia teringat
berita yang mengatakan bahwa puteranya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw
Lo-mo, alisnya yang sudah putih itu berkerut. Puteranya bermain gila dengan
puteri Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka yang dia tahu bukan merupakan
manusia baik itu? Hal ini sungguh tidak menyenangkan dan harus dicegah!
Ketika Pendekar Super Sakti
ini teringat akan berita tentang puteranya, maka dia pun membayangkan pula dua
orang tokoh golongan sesat yang baru saja dijumpainya itu. Biarpun Suma Han
adalah seorang pendekar yang sudah berpuluh-puluh tahun dan entah sudah berapa
ribu kali berkecimpung di dunia kang-ouw dan bertemu dengan para datuk kaum
sesat, namun teringat akan kekejaman Twa-ok dan Ji-ok, dia bergidik juga. Ji-ok
si nenek iblis itu jelas adalah amat jahat dan kejam, akan tetapi Twa-ok yang
licik itu ternyata lebih berbahaya dan lebih kejam pula. Biarpun jahat dan
keji, Ji-ok tidak menyembunyikan kekejamannya, sebaliknya Twa-ok bersikap baik,
lemah lembut dan ramah, akan tetapi diam-diam dia merencanakan untuk membunuh
semua orang dusun itu secara amat mengerikan. Pada lahirnya, dia bersikap baik,
memberikan daging semua lembu, bahkan memberi uang pengganti, akan tetapi
ternyata semua itu dijadikan jebakan untuk membunuh para penduduk dusun.
Akan tetapi segera dia
melupakan lagi wajah kedua orang datuk sesat itu dan kembali dia memikirkan
putera-puteranya. Ke mana dia harus mencari Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee?
Mencari mereka ke kota raja pun percuma, pikirnya. Kalau dulu, sudah pasti dua
orang puteranya itu pergi ke kota raja atau kalau tidak berada di kota raja,
agaknya dia akan dapat mencarinya dengan bertanya kepada puterinya, yaitu
Puteri Milana yang dulu berada di kota raja. Akan tetapi, sekarang Milana tidak
lagi berada di kota raja, dan sudah pergi meninggalkan kota raja bersama
suaminya yang baru, Gak Bun Beng, dan dia sendiri tidak pernah tahu di mana
adanya mereka itu. Tidak, dia tidak akan mencari ke kota raja. Dan sekarang dia
sudah mempunyai pegangan, yaitu hendak mencari Pendekar Siluman Kecil yang
tentu akan lebih mudah dicari daripada mencari Suma Kian Bu, karena tentu
orang-orang kang-ouw lebih mengenal julukan itu daripada nama aselinya.
***
Andaikata Pendekar Super Sakti
tidak berpendapat demikian dan langsung pergi ke kota raja, tentu dia akan
dapat berjumpa dengan puteranya itu karena ketika itu Milana telah memenuhi
undangan dari Pangeran Mahkota Yung Cheng. Akan tetapi tentu saja pendekar itu
tidak mengetahuinya.
Kita tinggalkan dulu Pendekar
Super Sakti yang melayang-layang di atas punggung burung rajawali itu, pertanda
bahwa dunia persilatan tentu akan mengalami geger dengan munculnya kakek yang
sakti ini dan kita tengok apa yang terjadi di kota raja pada waktu itu.
Seorang pemuda tampan dan
gagah memasuki kota raja dengan tergesa-gesa. Pakaian pemuda ini kelihatan
kusut dan agak kotor berdebu, wajahnya juga muram dan penuh kekhawatiran, agak
pucat dan dia nampak lelah sekali seperti orang yang melakukan perjalanan jauh
dengan tergesa-gesa dan jarang berhenti mengaso.
Ketika dia memasuki kota raja,
dia kelihatan lega, akan tetapi kekhawatiran tidak pernah menghilang dari
pandang matanya ketika dia memasuki sebuah rumah makan karena semenjak kemarin
dia belum makan. Memang selama beberapa hari ini dia seperti lupa makan dan
minum dan lupa tidur saking tegang dan khawatir hatinya.
Masuknya pemuda ini ke rumah
makan, tidak menarik perhatian banyak orang. Di kota raja memang banyak
terdapat seorang muda seperti dia ini, usianya kurang lebih sembilan belas
tahun, gagah dan tampan, kelihatan terpelajar dengan gerak-gerik yang halus,
namun pakaiannya yang kusut dan kotor itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang
di antara pemuda-pemuda terpelajar kota yang miskin.
Akan tetapi, orang akan keliru
kalau menyangka demikian. Tidak, pemuda ini sama sekali bukanlah pemuda miskin,
bahkan dia seorang pemuda yang tadinya menjadi putera seorang yang berkedudukan
tinggi sekali. Dan kenyataan ini agaknya tidak lepas dari pandang mata seorang
tua berusia lima puluh tahun yang duduk di sudut rumah makan itu dan makan mi
goreng dengan lahapnya. Ketika kakek ini melihat munculnya pemuda tampan itu,
tiba-tiba saja dia menghentikan sepasang sumpitnya yang tadi dengan cekatan
mengantar bakmi ke mulutnya, bahkan dia hampir tersedak dan cepat mendorong
makanan yang menyesak di tenggorokannya itu dengan minuman. Semua ini
dikerjakan dengan mata yang tidak pernah berkedip memandang kepada pemuda itu
yang duduk menghadapi meja kosong dengan muka pucat dan memesan makanan kepada
pelayan. Kemudian, kakek ini cepat membayar makanannya dan pergi meninggalkan
rumah makan dengan tergesa-gesa.
Pemuda itu sama sekali tidak
mengetahui apa yang telah terjadi, dan setelah makanan yang dipesannya
dihidangkan, dia makan dengan tenang dan lambat-lambat, cara makan seorang yang
terpelajar dan yang selalu mengendalikan perasaannya. Akan tetapi, rasa lapar
membuat dia makan dengan lahapnya, dan pada saat itu, yang menjadi perhatiannya
hanyalah makanan di depannya, dan untuk sejenak itulah dia melupakan segala hal
yang selama ini mengganggu hati dan pikirannya. Dia sama sekali tidak tahu
betapa ketika dia sudah selesai makan, di luar rumah makan itu terdapat enam
orang, yaitu kakek yang tadi makan bakmi bersama lima orang lain, berdiri di
luar rumah makan dengan sikap mencurigakan dan jelas bahwa mereka itu sedang
memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Agaknya enam orang itu memang menanti
sampai pemuda itu selesai membayar harga makanan dan minuman, kemudian menarik
napas lega karena perutnya tidak lapar lagi dan tenaganya agak pulih, pemuda
itu lalu melangkah keluar rumah makan.
Pada saat dia berada di luar
rumah makan itulah dia terkejut ketika tiba-tiba enam orang yang tidak
dikenalnya menghampirinya, membuat gerakan mengurung dan seorang di antara
mereka, seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berkata lirih
dengan nada suara mengancam, Kao Kok Han, menyerahlah engkau dan ikut bersama
kami!!
Pemuda itu bukan lain adalah
Kao Kok Han, putera bungsu dari Jenderal Kao Liang. Seperti telah kita ketahui,
pemuda ini bersama ayahnya dan kakaknya, Kao Kok Tiong, pergi menyelidiki ke
sepanjang lembah Sungai Huang-ho untuk mencari jejak keluarga mereka yang
diculik orang. Ketika Jenderal Kao Liang dihadang oleh utusan-utusan dari
Pangeran Liong Bian Cu, yang dikepalai oleh Hoa-gu-ji tokoh Kui-Tiong-pang,
untuk memaksa Jenderal Kao menyerahkan diri dengan memperlihatkan cincin Nyonya
Kao Liang dan tusuk konde Nyonya Kao Kok Tiong, Jenderal Kao menyuruh putera
bungsunya ini untuk cepat pergi ke kota raja dan mencari putera sulungnya,
yaitu Si Naga Sakti Kao Kok Cu dan menyampaikan berita penangkapan atas dirinya
itu. Jenderal Kao Liang bersama Kao Kok Tiong lalu dibawa pergi dan Kok Han
sendiri dengan cepat lalu melarikan diri dan melakukan perjalanan jauh itu
dengan hati risau.
Saking khawatirnya karena
melihat betapa, keluarganya yang terculik secara aneh masih belum diketahuinya
nasibnya dan kini bahkan ayahnya dan kakaknya juga ditawan orang sedangkan dia
belum dapat bertemu dengan kakak sulungnya, pemuda ini sama sekali tidak
teringat bahwa kembalinya ke kota raja sama artinya dengan kembali ke gua
singa. Dia sekeluarga telah diusir dengan halus dari kota raja di mana
diam-diam banyak terdapat musuh-musuh ayahnya, maka kini dia kembali ke kota
raja, tentu saja banyak orang akan mengenalnya. Baru setelah enam orang itu
menghadang dan hendak menangkapnya, Kok Han terkejut dan insyaf bahwa dia
berada di tempat yang berbahaya! Teringatlah dia akan musuh-musuh ayahnya, maka
dia dapat menduga bahwa enam orang ini tentulah utusan seorang di antara
musuh-musuh ayahnya itu. Kok Han mewarisi ketabahan ayahnya, maka biarpun dia
sudah dikepung, dia tidak menjadi gentar dan dengan sinar mata tajam dan suara
tenang dia menghampiri mereka dan berkata, Siapakah kalian? Apa sebabnya kalian
hendak menangkapku?!
Tidak perlu banyak cakap,
lebih baik engkau ikut bersama kami dengan tenang dan kau boleh bicara, dengan
majikan kami,! kata seorang di antara mereka yang mukanya hitam dan sikapnya
bengis sekali.
Kok Han mengerutkan alisnya,
sikapnya masih tenang. Siapakah majikan kalian? Dan bagaimana kalau aku tidak
sudi menyerah?!
Bocah sombong, kami akan
menggunakan kekerasan dan engkau akan menyesal!! bentak si muka hitam sambil
meraba gagang goloknya, sikapnya keren sekali.
Kini Kok Han menjadi marah.
Hatinya sedang tertekan kekhawatiran teringat akan keadaan keluarganya, dan
juga sedang bingung karena dia tidak tahu ke mana harus mencari kakak sulungnya
di dalam kota raja yang besar itu, dan kini dia diganggu orang. Apalagi karena
dia tahu bahwa orang-orang ini adalah kaki tangan musuh-musuh ayahnya yang
mungkin juga menjadi biang keladi malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya,
maka pemuda ini menjadi marah bukan main. Mukanya yang pucat itu berubah merah
dan dia menatap wajah enam orang itu dengan mata terbelalak.
Penjahat-penjahat hina! Kami
keluarga dari bekas Panglima Kao Liang tidak mengenal takut, apalagi terhadap
kaki tangan segala macam pembesar durna yang memusuhi kami!! Dia berseru dengan
keras dan nyaring sehingga terdengar sampai jauh dan dengan gerakan cepat Kok
Han sudah menerjang ke depan. Enam orang itu terkejut, lebih terkejut mendengar
bentakan itu daripada menghadapi serangan pemuda itu, sehingga dua orang di
antara mereka kena dipukul oleh Kok Han dan mereka terpelanting ke atas tanah.
Empat orang yang lain sudah menubruk dan menyerang Kok Han yang melawan dengan
nekat. Terjadilah perkelahian di depan rumah makan itu, mengejutkan semua orang
dan biasa seperti setiap kali ada perkelahian, orang-orang hanya menjauhkan
diri atau menonton saja. Tempat itu segera terkurung oleh banyak orang yang
menonton.
Biarpun dua orang yang
dipukulnya tadi kini sudah bangkit kembali dan dia dikeroyok oleh enam orang,
namun Kok Han adalah seorang pemuda yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya
dan memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan baik. Maka kini dia mengamuk dan
enam orang itulah yang sering menerima pukulan dan tendangan oleh pemuda ini
sehingga jatuh bangun. Enam orang itu menerima perintah untuk menangkap Kok
Han, maka mereka tadi tidak mempergunakan senjata. Akan tetapi ketika mereka
mendapat kenyataan betapa lihainya pemuda itu, kini mereka mulai mencabut
senjata masing-masing dan para penonton menjadi gempar dan cepat menjauhkan
diri. Namun Kao Kok Han tidak menjadi gentar. Dia berdiri tegak di
tengah-tengah, memandang kepada enam orang yang telah mengelilinginya dengan
senjata pedang dan golok di tangan itu. Kok Han diam-diam meraba gagang pedangnya
dan mengambil keputusan untuk membela diri sekuatnya.