Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 42 - Orang Segolongan
Wusss.... aha....!! Si
jangkung terkejut sekali dan biarpun lengannya tidak terluka karena dia sudah
menarik kembali lengannya sambil mengerahkan sinkang untuk melindungi lengan
itu, namun tetap saja Lengan bajunya terobek oleh hawa yang menyambar dari
Kiam-to Sin-ciang tadi.
Si pendek gundul tertawa.
Ha-haha, engkau mendapat malu, Ngo-te! Jangan terlalu memandang rendah kepada
Hek-sin Touw-ong yang kabarnya memiliki Kiam-to Sin-ciang. Dan engkau sama
sekali tidak boleh main hakim sendiri, ingat bahwa tugas kita hanya untuk
menawan mereka ini!!
Si jangkung hanya cemberut,
akan tetapi matanya terus mengincar Swi Hwa dan gadis ini diam-diam bergidik.
Dia tadi melihat betapa gurunya menggunakan ilmu ini. Lengan si jangkung tadi
jelas terkena sambaran hawa sakti itu, akan tetapi Lengan itu sama sekali tidak
terluka dan hanya Lengan bajunya saja yang terobek! Tahulah dia bahwa si
jangkung yang luar biasa itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Biarpun wajahnya tidak
menunjukkan perasaan, namun di dalam hatinya, Si Raja Maling juga menjadi
terkejut bukan main. Tadi dia sudah menduga-duga, akan tetapi kini melihat
kelihaian si jangkung, melihat bentuk tubuh mereka dan cara kedua orang itu
saling memanggil, yaitu Ngo-te dan Su-ko (adik ke lima dan kakak ke empat), dia
tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu kedua orang inilah tokoh-tokoh dari Im-kan
Ngo-ok yang telah puluhan tahun lamanya tidak pernah terdengar lagi turun ke
dunia ramai.
Hampir dia tidak percaya
karena memang selama dia menjelajahi dunia kang-ouw, Raja Maling ini tidak
pernah berjumpa dengan mereka dan menganggap bahwa nama mereka itu hanya
merupakan dongeng di antara orang-orang kang-ouw saja. Kini, melihat keadaan
dua orang ini yang ternyata bukan hanya mengenalnya, bahkan mengenal pula Ilmu
Kiam-to Sin-ciang, dia yakin bahwa tentu mereka ini adalah orang ke empat dan
ke lima dari Im-kan Ngo-ok. Maka cepat dia menjura dengan hormat kepada
datuk-datuk kaum sesat itu sambil berkata dengan suara halus merendah.
Siauwte yang bodoh pernah
mendengar nama besar dari Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su,
tidak tahu apakah dua nama besar itu adalah nama Ji-wi?!
Tosu jangkung bermata sipit
itu hanya cemberut, akan tetapi hwesio cebol gendut itu tertawa. Ha-ha-ha,
kiranya Si Raja Maling juga dapat mengenal kami, itu menunjukkan bahwa engkau
memang bukan orang sembarangan!!
Kembali Hek-sin Touw-ong
menjura. Maaf kalau siauwte yang bodoh kurang menghormat, karena sungguh mati
kami berdua tidak pernah mimpi akan dapat jumpa dengan tokoh-tokoh besar
seperti Ji-wi (Anda berdua). Setelah kami mendapat kehormatan bertemu dengan
Ji-wi, siauwte mohon bertanya ada keperluan apakah gerangan maka Ji-wi memberi
kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?!
Su-ko, mulutnya terlalu manis!!
Tiba-tiba tosu tinggi kurus itu mencela. Akan tetapi hwesio cebol itu hanya
tersenyum lebar. Girang sekali hatinya. Memang sudah menjadi watak Si Jahat Ke
Empat dari Im-kan Ngo-ok ini untuk beramah-tamah dengan orang untuk kemudian
mencelakai orang yang diajaknya beramah-tamah itu!
Hek-sin Touw-ong, sudah lama
kami mendengar nama besarmu dan ternyata engkau memang seorang yang lihai
sekali. Kiam-to Sin-ciang tadi amat hebat, dan engkau mempunyai seorang murid
yang cantik jelita dan pandai. Sungguh beruntung sekali hidupmu. Aku Su-ok
Siauw-siang-cu ikut merasa girang melihat keberuntunganmu dan sayang di sini
tidak ada arak untuk menghaturkan selamat kepadamu. Ha-ha-ha!!
Si Raja Maling. mengerutkan
alisnya. Dia hanya pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok akan tetapi tidak
mengenal watak mereka seorang demi seorang, maka dia pun tidak tahu akan watak
Su-ok ini. Dia sendiri adalah seorang tokoh besar di dalam dunia kang-ouw, maka
teritu saja dia tidak mudah tertipu oleh sikap ramah-tamah yang luar biasa itu.
Maka dia hanya menjura sambil berkata, Terima kasih atas kebaikan Su-ok
Siauw-siang-cu Lo-enghiong.!
Akan tetapi, Ngo-ok Toat-beng
Sian-cu tidak sabar menyaksikan sikap ramah-tamah dari kawannya itu, maka dia
berkata singkat, Hek-sin Touw-ong, hayo lekas menyerah untuk kami tangkap dan
bawa kembali ke benteng lembah, di mana engkau dan muridmu mengacau malam
tadi!!
Hek-sin Touw-ong tidak
terkejut mendengar ini, karena memang dia sudah menduga bahwa dua orang sakti
dari kaum sesat ini tentu muncul sehubungan dengan perbuatan mereka di benteng
lembah semalam. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa Koksu Nepal adalah
orang ke tiga dari, Im-kan Ngo-ok!
Kami tidak akan menyerah
kepada siapapun juga!! Tiba-tiba Kang Swi Hwa berkata dengan nada suara keras dan
dia sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Tidak seperti gurunya, dara ini
belum pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok, maka dia pun tidak merasa gentar
sama sekali sungguhpun dia tahu bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan
orang-orang lihai dan lawanlawan tangguh.
Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong dan
muridnya memang amat hebat!! kembali hwesio cebol itu tertawa dan memuji. Siapa
dapat mengira bahwa kalian berdua dapat menyamar sebagai dua orang iblis
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi! Ha-ha-ha! Melihat Hek-sin Touw-ong menyamar
sebagai seorang di antara mereka masih tidak mengherankan, akan tetapi
bagaimana engkau bisa menyamar sebagai seorang iblis seperti mereka itu, Nona?
Mengagumkan, sukar untuk dapat dipercaya! Eh, Nona Cilik, aku berani bertaruh bahwa
engkau tidak akan mampu menyamar sebagai aku atau sebagai Ngo-te ini!!
Di dalam hatinya, Kang Swi Hwa
mengejek. Kalau ada alat-alatnya, tentu saja dia akan mampu menyamar sebagai
mereka, sungguhpun untuk menyamar sebagai Su-ok dia harus menekuk lututnya dan
untuk menyamar sebagai Ngo-ok dia harus menggunakan jangkungan, yaitu dua
potong kayu untuk menyambung kakinya agar dia dapat menjadi jangkung seperti
tosu itu. Akan tetapi dia tidak mau melayani kelakar ini dan hanya memandang
dengan sinar mata marah.
Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong,
kepandaian kalian amat hebat dan mengagumkan hati Pangeran Nepal. Oleh karena
itu, beliau mengutus kami berdua untuk mengundang kalian sebagai tamu terhormat
ke dalam benteng, mungkin akan memberi hadiah atas permainan sandiwara kalian
yang amat berhasil itu. Marilah, Touw-ong, mari kami iringkan ke benteng di
lembah sana.! Sikap hwesio cebol itu masih manis sekali, terlalu manis malah.
Akan tetapi Hek-sin Touw-ong
kini sudah maklum bahwa keramahan hwesio cebol ini adalah wataknya dan cirinya
yang khas, sama sekali bukan keramahan yang timbul dari hati yang beriktikad
baik. Maka dia pun tidak mau melayani, melainkan memandang dengan tajam.
Ji-wi tidak perlu pura-pura.
Memang sesungguhnya kami berdua yang semalam mengunjungi benteng. Kami telah
gagal, nah, sekarang Ji-wi datang menyusul kami dan betapapun juga kami tidak
akan mau kembali ke sana, baik itu merupakan undangan maupun paksaan.!
Ucapan ini halus akan tetapi
juga merupakan tantangan.
Su-ko, kenapa cerewet? Tangkap
mereka!! bentak Ngo-ok Toat-beng Sian-su sambil menubruk ke arah Swi Hwa.
Ngo-te, awas, jangan lukai
dia, kita harus menangkap mereka hidup-hidup. Jangan sampai membuat Sam-ko dan
pangeran menjadi marah!! Si cebol berseru, kemudian secepat kilat dia pun sudah
menerjang kepada Hek-sin Touw-ong!
Swi Hwa menggerakkan
pedangnya, memutar pedang itu untuk membabat kedua tangan panjang yang
mengancamnya dari kanan kiri itu. Sinar pedangnya bergulung-gulung dan
membentuk lingkaran yang berhawa tajam sekali karena dara ini memainkan pedang
dengan pengerahan Ilmu Kiam-to Sin-siang yang dipelajarinya dari gurunya.
Biarpun dia lihai bukan main, Ngo-ok tidak mau sembarangan mempertaruhkan kedua
lengannya, atau sedikitnya tentu lengan bajunya akan hancur kalau terkena
sambaran sinar pedang itu, maka dia menggunakan kegesitannya untuk menarik
kembali tangan yang hendak terbacok, kemudian membalas dengan kedua tangan itu
meluncur dari sana-sini seperti dua ekor ular terbang yang berusaha menangkap
atau menotok dara itu. Bulu tengkuk dara itu meremang saking ngerinya ketika
beberapa kali tangan telanjang si jangkung itu menyampok pedangnya dan
terdengar bunyi berdencing nyaring ketika pedangnya bertemu dengan jari tangan
itu, seolah-olah tangan itu terbuat daripada baja yang amat kuat!
Sementara itu, Hek-sin
Touw-ong sudah bertanding dengan hebat melawan Su-ok Siauw-siang-cu. Hek-sin
Touw-ong yang maklum bahwa dia menghadapi lawan pandai dan bahwa dia dan
muridnya terancam bahaya maut, telah mengeluarkan ilmunya yang amat hebat,
yaitu Kiam-to Sin-ciang dan mengerahkan ginkangnya untuk berkelebatan dengan
cepatnya. Dia harus dapat merobohkan lawannya yang gemuk pendek ini sebelum dia
dapat membantu muridnya. Dia tahu bahwa muridnya bukanlah tandingan si jangkung
itu, dan maklum bahwa kalau dia dan muridnya sampai tertangkap dan dibawa
kembali ke lembah, tentu mereka berdua akan celaka dan menerima hukuman berat
atas perbuatan mereka semalam yang mengacau dan membakar benteng di lembah
Huang-ho itu.
Bunyi angin bersuitan dan
mendesis-desis ketika kedua tangan Raja Maling ini bergerak melancarkan
serangan Kiam-to Sin-ciang. Demikian hebatnya ilmu itu sehingga orang ke empat
dari Im-kan Ngo-ok sendiri tidak berani secara lancang menerima pukulan itu
dengan tubuhnya. Su-ok bergulingan menghindarkan diri, kemudian dia meloncat
dan tubuhnya yang pendek itu menjadi makin pendek ketika dia berjongkok dan
perutnya yang gendut itu makin menggembung terisi penuh hawa mujijat! Kemudian,
dari tenggorokan dan perutnya berbunyi suara kok-kok-kok!! dan itulah ilmunya
yang amat luar biasa, ilmu pukulan Katak Buduk!
Ketika Hek-sin Touw-ong
kembali menggerakkan kedua tangan dan dari kedua telapak tangannya itu
menyambar hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mengandung angin tajam sekali,
Su-ok lalu mendorong dengan kedua tangannya yang pendek ke depan. Angin pukulan
dahsyat menyambar dari kedua tangannya dan begitu angin pukulan ini bertemu
dengan hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang, tubuh Hek-sin Touw-ong terjengkang dan
dia tentu sudah roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat meloncat ke kiri
dan terhindar dari dorongan hawa dahsyat yang mendorong pukulannya tadi
membalik itu!
Bukan main kagetnya hati Si
Raja Maling! Dan kini kakek pendek itu tertawa-tawa, kemudian bergulingan dan
mengejarnya seperti seekor binatang trenggiling dan melakukan serangan dari
atas tanah secara tidak terduga-duga! Dan setiap kali Touwong menggunakan
Kiam-to Sin-ciang, selalu kakek pendek itu menggunakan pukulan sakti Katak
Buduk membuat Kiamto Sin-ciang kehilangan kehebatannya dan selalu terdorong
kembali!
Perkelahian antara Ang-siocia
atau Kang Swi Hwa dan kakek tosu jangkung Ngo-ok tidak berlangsung terlalu
lama. Agaknya Ngo-ok juga merasa jengkel menyaksikan kenekatan dara itu, maka
dia lalu mengerahkan tenaganya dan begitu pedang di tangan nona itu menusuknya,
dia menggunakan jari-jari tangannya menangkis dan terus mencengkeram dan pedang
itu sudah kena dicengkeramnya!
Krek-krekkk!! Pedang itu
dicengkeram patah-patah dan dilemparkan ke samping, kemudian sebelum Swi Hwa
sempat mengelak, tengkuknya sudah dicengkeram dan tubuhnya diangkat ke atas!
Swi Hwa hampir pingsan ketika
merasa betapa jari-jari tangan yang panjang dan besar sudah mencengkeram baju
di dadanya dan hendak mencabik dan merenggutnya. Tak terasa lagi dia menjerit.
Jeritan itu menolongnya karena
Su-ok sudah menggelinding dekat dan menendang lutut Ngo-ok. Hampir saja Ngo-ok
tertendang roboh kalau dia tidak cepat meloncat tinggi sekali sambil membawa
tubuh Swi Hwa yang seperti hampir pingsan rasanya dibawa melambung tinggi itu.
Ngo-te, kuperingatkan kau,
jangan ganggu dia!! bentak Su-ok.
Eh, kau mengiri? Apa
pedulimu?! bantah Ngo-ok.
Tolol kau, Ngo-te. Kalau kau
mengganggunya dan Sam-ko marah, juga Pangeran, tentu Twa-ko dan Ji-ci juga
marah dan kalau mereka semua marah, apa kaukira hanya engkau saja yang akan
dihajar? Aku pun ikut bertanggung jawab, mengerti? Jangan ganggu dia sebelum
kita menyerahkan kedua orang guru dan murid ini kepada Pangeran. Kalau kau
nekat, aku akan menggempurmu sendiri!!
Huh, menyebalkan!! Ngo-ok
berseru marah dan kecewa, jari tangannya menotok dan seketika tubuh Swi Hwa
menjadi lumpuh dan ketika dia dilemparkan ke atas tanah, dara itu tak dapat
bergerak lagi.
Hek-sin Touw-ong tadi sudah
merasa khawatir menyaksikan betapa muridnya tertawan, akan tetapi legalah
hatinya ketika dia melihat Su-ok menyelamatkannya dari ancaman malapetaka yang
amat mengerikan. Melihat muridnya sudah terbebas dari malapetaka, Raja Maling
itu lalu menyerang lagi, kini tidak menyerang kepada Su-ok, melainkan kepada
Ngo-ok saking marahnya melihat betapa si jangkung itu tadi hampir saja meng
hina muridnya.
Cusss-cusssss....
wuuut-wuuuttt.... brettt....!! Ujung baju Ngo-ok terobek oleh hawa pukulan
Kiam-to Sin-ciang dan tubuh si jangkung sampai terhuyung ke belakang. Hal ini
adalah karena dia sama sekali tidak menyangka akan kehebatan serangan dari Si
Raja Maling itu, maka dia tadi terdesak dan lupa untuk mengelak, melainkan
menangkis sehingga biarpun dia tidak terluka, namun bajunya robek dan tubuhnya
terhuyung ke belakang.
Si jangkung mengeluarkan suara
aneh dan tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas
lalu secara aneh sekali tubuh yang membalik ini sudah menyerang kalang-kabut
kepada Hek-sin Touw-ong! Raja Maling ini sudah banyak menghadapi lawan lihai
dan aneh-aneh, akan tetapi belum pernah dia diserang orang yang berjungkir
balik seperti ini. Dia agak bingung karena kedua tangan yang panjang itu
menyerangnya dari bawah dan begitu dia menggunakan kedua tangan untuk menangkis,
tiba-tiba dari angkasa meluncur turun dua batang kaki yang menyerangnya secara
hebat, mengancam ubun-ubun kepala dan tengkuknya!
Jangan bunuh dia, Ngo-ok,
manusia bandel!! bentak Su-ok dan bentakan ini menyelamatkan nyawa Hek-sin
Touw-ong karena Ngo-ok teringat bahwa dia sama sekali tidak boleh membunuh
kalau dia ingin selamat kembali ke benteng, maka kakinya yang menotok ke arah
ubun-ubun itu mengubah gerakan menotok ke leher dan ketika Hek-sin Touw-ong
mengangkat tangan menangkis, kaki kirinya sudah menotok tengkuk.
Dukkk! Tubuh Hek-sin Touw-ong
roboh dalam keadaan pingsan oleh totokan ujung kaki yang amat tepat dan amat
kuat itu.
Bagus! Engkau telah maju
pesat, Ngo-te. Engkau telah dapat merobohkan guru dan murid itu tanpa membunuh
mereka. Hebat, aku kagum sekali!! kata Su-ok sambil tertawa.
Tosu jangkung itu memandang
kepada Su-ok, lalu menyeringai dan meludah ke samping kiri. Cuhhh!! dan dia
hanya memandang kepada tubuh Swi Hwa yang terlentang di atas tanah dengan sinar
mata penuh gairah dan kekecewaan karena kembali dia terhalang untuk
melampiaskan gelora nafsunya, terutama sekali untuk memenuhi koleksi kuku-kuku
ibu jari wanita yang sudah berjumlah empat ratus kurang satu itu!
!Mari kita cepat kembali,
Ngo-te. Jangan sampai masakan-masakan untuk kita itu menjadi dingin. Nah,
kaupanggul si tua itu, biar aku yang membawa nona ini!! kata Su-ok yang tahu
bahwa dia tidak boleh mempercayakan tubuh wanita muda itu kepada Ngo-ok, maka
cepat dia menyambar tubuh Swi Hwa dan mengempitnya sambil berkelebat cepat
pergi dari tempat itu. Ngo-ok meludah kembali dengan hati mengkal, kemudian
menggunakan ujung kakinya untuk mencokel tubuh Hek-sin Touw-ong ke atas,
menyambarnya dengan tangan kiri, memanggulnya dan dia pun berlari cepat
menyusul Su-ok menuju ke benteng di lembah Huang-ho.
Pangeran Liong Bian Cu merasa
girang dan kagum bukan main ketika melihat Su-ok dan Ngo-ok telah kembali
membawa Hek-sin Touw-ong dan Kang Swi Hwa. Akan tetapi tentu saja hati pangeran
ini masih kecewa, marah dan juga berduka karena Hwee Li, dara yang dicintanya
itu, dan Puteri Syanti Dewi, tawanan yang amat penting baginya, belum ditemukan
kembali.
Sejenak dia memandang kepada
tubuh Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa yang dilemparkan ke atas lantai, lalu sang
pangeran itu menarik napas panjang dan berkata, Aih, sayang sekali bahwa yang
ditemukan hanya dua orang pengacau ini. Apa gunanya kecuali hanya menghukum
mereka? Kami akan lebih gembira kalau yang dapat dibawa kembali adalah Hwee Li
dan Puteri Bhutan.....!
Ban Hwa Sengjin maklum bahwa
diam-diam sang pangeran kecewa sekali atas hasil pengejaran Su-ok dan Ngo-ok.
Dia pun maklum betapa pentingnya Syanti Dewi bagi Nepal, dan betapa pangeran
itu amat mencinta Hwee Li. Maka dia lalu berkata, Harap Paduka tenangkan hati.
Sudah saya katakan tadi bahwa menghadapi orang pandai harus pula mempergunakan
kesaktian dan setelah kini saudara-saudaraku berada di sini, kita tidak perlu
khawatir.
Kiranya bukan merupakan tugas
yang terlalu berat untuk menemukan dan membawa kembali dua orang dara itu,
Pangeran. Twa-ko dan Ji-ci, sekarang aku mengharap bantuan kalian untuk mencari
dua orang dara itu. Yang seorang bernama Hwee Li, seorang dara berusia delapan
belas tahun, berpakaian serba hitam, suka bermain dengan ular-ular beracun,
anak angkat dari Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka, wajahnya cantik jelita dan
wataknya periang, jenaka dan agak.... agak liar. Dan dara yang ke dua adalah
seorang Puteri Bhutan, usianya dua puluh satu tahun, cantik sekali, lemah
lembut dan halus, bernama Syanti Dewi. Kalau tidak keliru, dua orang dara itu
tentu bersama dengan seorang pemuda yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil,
bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.!
Ahhh....!! Hampir berbareng
kakek gorilla dan nenek tengkorak itu berseru kaget mendengar ucapan terakhir
itu.
Ya, benar, Twa-ko dan Ji-ci.
Pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, maka kalian kini memperoleh kesempatan
untuk memperlihatkan kepandaian. Harap kalian dapat mencari dan membawa kembali
dua orang puteri itu ke sini dan untuk jasa itu, Pangeran Nepal pasti tidak
akan melupakannya.!
Tentu saja!! Pangeran Liong
Bian Cu bangkit berdiri dan menjura. Pertolongan Ji-wi Locianpwe amat berharga
dan saya pasti tidak akan melupakan budi Ji-wi itu.!
Kakek gorilla itu saling pandang
dengan nenek bertopeng tengkorak, lalu terdengar kakek itu berkata dengan
suaranya yang tenang dan lembut, Ji-moi, mari kita pergi!! Baru saja dia
berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan orangnya sudah lenyap!
Nenek muka tengkorak memandang
kepada koksu dan berkata, Sam-te, tugas kami berat namun menegangkan dan
menggembirakan. Mungkin saja kami gagal, akan tetapi kami percaya bahwa kau,
Su-te dan Ngo-te tidak akan membiarkan kami penasaran.!
Jangan khawatir, Ji-ci!! kata
Koksu Nepal dan percakapan sekali ini terjadi seperti dua orang saudara dan
memang koksu itu bicara sebagai Sam-ok, bukan sebagai koksu. Akan tetapi
jawabannya belum selesai ketika tubuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah lenyap pula
dari tempat itu!
Hek-sin Touw-ong yang tadinya
pingsan, sudah sejak tadi siuman, akan tetapi kakek ini pura-pura masih
pingsan, dan diam-diam dia memperhatikan keadaan di situ dan mendengarkan semua
percakapan. Dia terkejut bukan main melihat betapa Im-kan Ngo-ok telah
berkumpul semua di dalam benteng itu! Dan mendengarkan mereka bicara, tahulah
kakek ini bahwa Koksu Nepal yang lihai itu bukan lain adalah Sam-ok, orang ke
tiga dari Im-kan Ngo-ok!
Tahulah dia bahwa dia dan
muridnya tak mungkin dapat lolos dari tempat yang dihuni demikian banyaknya
orang-orang pandai itu! Hanya dengan akal saja dia akan dapat menyelamatkan
muridnya. Dia sendiri adalah seorang yang sudah tua, hidup bukan lagi merupakan
suatu hal yang terlalu berharga baginya, dan kematian bukan merupakan suatu hal
yang menakutkan. Akan tetapi Swi Hwa! Dia tidak boleh mati dalam usia semuda
itu!
Dan terbayanglah di depan mata
kakek ini semua yang telah terjadi atas diri anak itu dan dia merasa berdosa
sekali! Dia telah menculik anak itu, memisahkan anak itu dari semua
keluarganya! Semua itu dilakukan hanya untuk melampiaskan dendam dan
kemarahannya, dan setelah dipeliharanya, maka dia mencinta anak itu seperti
anaknya sendiri. Dan sekarang, anak itu akan mati! Semua adalah gara-gara dia,
dan anak itu tidak boleh mati karena menjadi muridnya!
Ahhh....!! Dia mengeluh dan
pura-pura baru siuman dari pingsannya, bangkit duduk dan memandang ke kanan
kiri. Ahhh.... Ji-wi Lo-enghiong Su-ok dan Ngo-ok sungguh tak boleh dibuat
permainan, dan sekarang aku yang dijadikan permainan! Mengapa orang segolongan
sendiri menyusahkan kami guru dan murid?!
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong
pura-pura kaget melihat sang pangeran dan Koksu Nepal. Celaka! Kenapa kami
dibawa ke sini?!
Ban Hwa Sengjin memandang
dengan muka keren. Hek-sin Touw-ong, apa yang telah kaulakukan bersama muridmu
ketika menyamar sebagai Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, mengacau di dalam
benteng?! bentaknya.
Pada saat itu, Swi Hwa sudah
bergerak pula dan dara ini meloncat berdiri, akan tetapi gurunya cepat menarik
tangannya, diajak berlutut, Lekas berlutut, kita berada di depan Pangeran dan
Koksu Nepal yang mulia!!
Swi Hwa heran menyaksikan
sikap gurunya, akan tetapi ketika dia melihat bahwa dia telah berada di dalam
benteng, terkurung oleh orang-orang pandai yang sekian banyaknya, dia tidak
membantah dan cepat dia berlutut sambil menundukkan mukanya.
Koksu yang mulia, Locianpwe
Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang sakti tentu sudah maklum mengapa orang-orang
seperti kita melakukan suatu tindakan. Sesuai dengan kebijaksanaan golongan
kita kaum hitam, tentu saja kami berdua guru dan murid juga melakukan hal itu
demi kepentingan kami sendiri, yaitu menerima hadiah dan juga atas tekanan dari
Pendekar Siluman Kecil. Tadinya kami kira bahwa benteng ini hanya menjadi
tempat orang-orang yang dimusuhi oleh Pendekar Siluman Kecil yang minta bantuan
kami, sama sekali kami tidak tahu bahwa banyak tokoh dan datuk dari golongan
kita sendiri berkumpul di sini. Kami berdua tidak mati pun sudah sangat untung,
hanya mengalami kegagalan saja. Harap Locianpwe memaklumi keadaan kami.!
Dengan ucapan itu Hek-sin
Touw-ong hendak menyatakan bahwa dia dan muridnya sama sekali tidak berniat
memusuhi Im-kan Ngo-ok yang dianggap orang-orang dari satu golongan, yaitu
golongan hitam atau kaum sesat, dan bahwa penyerbuannya semalam di dalam
benteng adalah karena penekanan Siluman Kecil dan juga hadiah yang
diberikannya, jadi dasarnya hanya pekerjaan! saja, bukan permusuhan pribadi.
Ban Hwa Sengjin sudah mengenal
kakek muka hitam ini sebagai raja maling, tentu saja merupakan tokoh hitam pula
di dunia kang-ouw, maka dia pun tidak merasa benci. Hanya karena kedudukannya
sebagai koksu dan karena guru dan murid ini telah mengacau benteng maka dia
harus bertindak.
Tak perlu banyak cakap. Kalian
telah mengacaukan tempat ini, baik sebagai musuh atau bukan tidak ada bedanya.
Sekarang katakan, di mana adanya Siluman Kecil dan Nona Hwee Li? Di mana pula
adanya Puteri Syanti Dewi?!
Pertanyaan terakhir itu
mengejutkan hati guru dan murid itu. Jelas bahwa mereka berempat gagal untuk
melarikan Syanti Dewi, juga gagal untuk melarikan seorang pun dari keluarga
Jenderal Kao, bagaimana sekarang Koksu Nepal ini menanyakan tentang Puteri
Bhutan itu? Apakah puteri itu berhasil melarikan diri di waktu ribut-ribut
semalam? Karena maklum bahwa mereka berdua tidak berdaya dan bahwa agaknya
gurunya yang biasanya tidak banyak cakap itu kini hendak menggunakan
kepandaiannya! bicara, maka Swi Hwa diam saja dan menyerahkan semua jawaban
kepada suhunya.
Kami telah gagal melarikan
Syanti Dewi seperti yang dikehendaki oleh Siluman Kecil, jawab Touw-ong dengan
tenang. Setelah kegagalan itu, maka kami berpencar, saya melarikan diri bersama
murid saya, hal yang agak mudah karena kami berdua menyamar sebagai...! dia
menoleh ke arah Hek-tiauw Lo-mo, dan Hek-hwa Lo-kwi, .... kedua orang gagah
itu, sedangkan Siluman Kecil melarikan diri bersama Nona Hwee Li. Setelah itu,
kami berdua tidak lagi bertemu dengan mereka. Tentang Puteri Bhutan, sungguh
kami tidak tahu karena telah gagal membawanya, bahkan kalau tidak salah, ketika
itu sang puteri sudah dibawa masuk kembali oleh seorang Panglima Bhutan....!
Penuturan ini memang cocok
dengan laporan para pengawal yang melakukan pengeroyokan, maka Ban Hwa Sengjin
berpendapat bahwa tentu Siluman Kecil yang telah berhasil melarikan sang puteri.
Hanya Siluman Kecil yang memiliki kepandaian tinggi sekali, bahkan dia sendiri
karena kurang hati-hati, pernah roboh pingsan oleh Siluman Kecil itu. Sedangkan
Touw-ong bersama muridnya ini tentu hanya memiliki kepandaian biasa saja,
buktinya mudah tertawan oleh Su-ok dan Ngo-ok.
Pangeran, saya kira Raja
Maling ini tidak membohong dan memang mereka ini tidak tahu di mana adanya Sang
Puteri dan juga Nona Hwee Li. Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap
mereka?!
Pangeran itu mengerutkan
alisnya. Dia telah mengacau benteng, melakukan pembakaran, dan bersama muridnya
telah menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Apa yang harus kita
lakukan terhadap mereka?! Ucapan pangeran itu seperti bertanya kepada semua
orang yang ada di ruangan itu. Hatinya memang mengkal sekali kalau mengingat
bahwa perbuatan kedua orang ini telah menyebabkan hilangnya Syanti Dewi,
sungguhpun Hwee Li memang sudah lolos sebelum mereka berdua ini datang mengacau
dengan penyamaran mereka.
Serahkan saja mereka kepada
kami berdua!! tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan marah.
Bunuh saja mereka!! kata pula
Hek-hwa Lo-kwi.
Siksa mereka agar mengaku di
mana adanya Sang Puteri Syanti Dewi!! kata Mohinta. Saya yakin bahwa dia yang
menyerang saya dan melarikan sang puteri, tentu seorang kawan dari mereka ini!!
Koksu, harap serahkan gadis
ini kepadaku sebagai pengganti yang tempo hari!! tiba-tiba Ngo-ok berkata dan
menoleh kepada Swi Hwa.
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong
tertawa. Sungguh mengherankan. Di dalam rimba sekalipun, tidak ada harimau
makan harimau dan srigala makan srigala! Kalau golongan hitam tidak saling
membantu, mana mungkin menghadapi golongan putih yang kuat? Kami guru dan murid
memang telah melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanya karena kami
tidak tahu bahwa di sini terdapat banyak orang-orang segolongan, dan kami
tertipu dan tertekan oleh Siluman Kecil! Kalau kami dianggap sebagai golongan
putih hendak dihukum, silakan. Siapa takut mati? Akan tetapi, sungguh
menggelikan sekali kalau terdengar di dunia kang-ouw betapa ada kawan makan
kawan sendiri! Pangeran, kami guru dan murid adalah orang-orang yang mencari
rejeki menggunakan kemampuan kami. Kalau Paduka memaafkan kami dan memberi kami
pekerjaan, kiranya kami dapat mempergunakan kepandaian kami untuk keuntungan
Paduka!!
Pangeran Liong Bian Cu yang
sedang marah itu memang tertarik oleh kepandaian guru dan murid ini. Masih
belum dapat dia melenyapkan keheranannya betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa
Lo-kwi yang menghadapnya kemarin sore itu adalah penyamaran dari guru dan murid
ini! Kini, mendengar omongan kakek bermuka hitam itu, dia berkata, Orang
berdosa, apalagi yang hendak kausampaikan kepada kami? Pekerjaan apa yang dapat
kami berikan kepada kalian yang telah melakukan dosa besar itu?!
Pangeran, harap jangan percaya
kepada omongannya!! Lo-mo berkata marah.
Lo-mo, jangan ganggu
pembicaraan Pangeran dengan pesakitan!! Ban Hwa Sengin menegur dan Hek-tiauw
Lo-mo melotot marah, akan tetapi tidak berani berkata apa-apa lagi.
Pangeran, saya masih heran mendengar
akan lenyapnya sang puteri. Sedangkan saya bersama murid saya, juga pendekar
Siluman Kecil yang demikian sakti bersama Nona Hwee Li, tidak mampu melarikan
sang puteri, bagaimana dalam keadaan ribut-ribut kebakaran itu ada orang yang
mampu melarikannya? Hal itu hanya berarti bahwa ada orang lain yang melarikan
sang puteri, dan menurut pendapat saya, orang itu tentu memiliki kepandaian
yang lebih tinggi daripada kepandaian Siluman Kecil.!
Semua orang tertegun dan
bengong mendengar ini. Juga Ban Hwa Sengjin menjadi terkejut dan diam-diam dia
memperhatikan karena dugaan yang diajukan oleh Raja Maling itu memang masuk di
akal. Akan tetapi, siapakah orang yang lebih tinggi dari Siluman Kecil? Padahal
Siluman Kecil itu sudah demikian lihainya!
Jangan ngawur!! bentaknya.
Siapakah orangnya yang dapat lebih lihai dari Siluman Kecil dan mengapa pula
dia melarikan sang puteri?!
Hek-sin Touw-ong memang cerdik
dan dia tidak kekurangan akal untuk mengemukakan dugaan-dugaan yang dapat
diterima, semua itu dilakukannya untuk menyelamatkan muridnya dari ancaman
hukuman mati. Ketika kami dimintai bantuan oleh Siluman Kecil, rencana kami
adalah melarikan Puteri Bhutan dan juga keluarga Jenderal Kao Liang. Akan
tetapi melihat keluarga jenderal itu demikian banyaknya, Siluman Kecil lalu
hendak melarikan sang puteri saja. Akan tetapi hal itu pun gagal dilakukan
karena kami ketahuan. Da1am keributan itu, ternyata sang puteri benar-benar
lenyap. Hal ini tentu dilakukan oleh seorang yang amat lihai dan mengingat
bahwa keluarga Jenderal Kao berada di sini sebagai tahanan, maka siapa lagi
orang yang lebih lihai daripada Siluman Kecil itu selain putera sulung Jenderal
Kao yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Gurun Pasir?!
Ahhh....! Benar juga
dugaannya!! tiba-tiba terdengar suara wanita berseru dan wanita yang bangkit
dari tempat duduknya itu bukan lain adalah Cheng-yan-cu Kim Cui Yan!
Liok Tek Hwi juga berkata
kepada Pangeran Liong Bian Cu, Kiranya dugaannya itu tidak salah. Tadi pun aku
sudah menduga bahwa tentu dia yang datang melarikan sang puteri.!
Ban Hwa Sengjin berubah
wajahnya dan alisnya berkerut. Si Naga Sakti Gurun Pasir?! Dia sudah mendengar
nama ini, nama yang amat terkenal bukan karena pendekar itu sendiri melainkan
karena tempat tinggalnya, yaitu Istana Gurun Pasir yang menjadi tempat tinggal
Si Dewa Bongkok, guru dari Naga Sakti itu! Benarkah pendekar yang sama tenarnya
dengan nama pendekar Pulau Es itu telah datang?
Ah, kalau benar dia yang
datang, kenapa dia tidak melarikan puteranya, melainkan puteri itu?! Terdengar
Kim Cui Yan membantah.
Benar juga pendapatmu itu,
Sumoi.!
Kita harus menyelidiki hal
ini,! kata Pangeran Liong Bian Cu. Kita harus dapat menyelidiki tentang putera
sulung Jenderal Kao itu, mencari keterangan dari keluarganya.!
Akan tetapi mereka semua itu
keras hati dan tidak takut mati, mana mereka mau membocorkan rahasia Si Naga
Sakti?! Ban Hwa Sengjin meragu.
Kalau Paduka suka memaafkan
kami berdua guru dan murid, maka saya dapat menyelidikinya dengan menyamar
sebagai Jenderal Kao dan bicara dengan mereka!! tiba-tiba Hek-sin Tow-ong yang
melihat kesempatan baik terbuka itu segera berkata. Tentu mereka akan membuka
semua rahasia tentang putera sulung dari jenderal itu. Akan tetapi tentu saja
lebih dulu saya harus mengenal mereka, satu-satu, dan apa hubungan mereka
dengan jenderal itu.!
Pangeran dan koksu saling
pandang dan diam-diam koksu memberi persetujuan dengan anggukan kepalanya.
Memang tidak ada untungnya kalau hanya membunuh kedua orang guru dan murid ini,
dan kalau dapat mempergunakan mereka sebagai pembantu, memanfaatkan kepandaian
mereka menyamar, agaknya akan banyak berguna dan menguntungkan. Pula, mereka
itu bukanlah musuh-musuh golongan, bahkan orang-orang segolongan dan perbuatan
mereka semalam di benteng itu hanya terdorong oleh pekerjaan mereka sebagai
maling yang menghendaki keuntungan dalam setiap perbuatan mereka!
Demikianlah, setelah
mempelajari gerak-gerik Jenderal Kao dan mengenal semua keluarga jenderal itu,
Si Raja Maling lalu menyuruh muridnya yang melakukan penyamaran. Dia sudah
percaya benar akan kepandaian Swi Hwa dalam hal menyamar, bahkan kelincahan
dara itu membuat Swi Hwa tidak kalah pandai daripada sang guru dalam meniru
gerak-gerik orang lain. Selain ini, juga Raja Maling ini hendak menonjolkan
jasa muridnya karena sesungguhnya semua ini dilakukannya untuk menyelamatkan
sang murid dari hukuman berat. Dan usaha yang dilakukan oleh Swi Hwa memang
berhasil baik sekali! Semua keluarga jenderal itu tidak ada yang tahu bahwa
yang bercakap-cakap dengan mereka di luar pintu jeruji besi itu bukanlah
Jenderal Kao Liang! Bahkan isteri sang jenderal sendiri tidak mengenal
kepalsuan ini. Mereka saling bercakap tentang lolosnya Puteri Bhutan, dan Swi
Hwa sebagai Jenderal Kao menyatakan dugaannya kepada keluarganya bahwa mungkin
yang melarikan sang puteri adalah Kao Kok Cu, putera sulungnya atau Si Naga
Sakti itu.
Akan tetapi keluarganya
membantah. Tidak mungkin, kata mereka, karena kalau benar Naga Sakti yang
datang, tentu puteranya, Kao Cin Liong, yang akan diselamatkannya lebih dulu,
atau juga ayah ibunya, bukan puteri dari Bhutan itu! Dari percakapan ini, Swi
Hwa mendengar tentang semua riwayat Jenderal Kao Liang, dan juga betapa
jenderal itu telah menyuruh puteranya yang ke tiga, yaitu Kao Kok Han, untuk
mencari Naga Sakti dan memberi tahu tentang segala malapetaka yang menimpa
keluarga Kao. Semua yang diketahuinya dari hasil percakapan ini, oleh Swi Hwa
dan gurunya dilaporkan kepada Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya, melihat
betapa dara itu dalam melakukan penyamaran sungguh amat mengagumkan, pangeran
ini dan koksu menerima mereka berdua sebagai pembantu-pembantu mereka karena
Pangeran Liong Bian Cu memang ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang pandai,
terutama dari golongan hitam untuk membantunya. Dan sesungguhnya Hek-sin
Touw-ong juga termasuk seorang di antara tokoh-tokoh yang memang sudah
diincarnya untuk membantunya, bahkan ketika terjadi pertemuan di lembah ini
antara para tokoh hitam, Hek-sin Touw-ong juga diwakili oleh Ang-siocia,
muridnya itu. Mengingat akan semua inilah, maka pangeran dan koksu memaafkan
pengacauan mereka berdua di dalam benteng semalam, dan menarik mereka sebagai
pembantu dan sekutu!
***
Bagaimana kita menyeberang
lautan yang lebar tanpa tepi itu, Enci?! Syanti Dewi bertanya ketika dia bersama
Ouw Yan Hui berdiri di pantai yang sunyi pada siang hari itu, melihat air laut
yang bergelombang, luas dan sampai ke kaki langit tidak nampak ada tepi atau
pulau itu.
Dengan kapal tentu saja.
Kapalku sudah menantiku di sini,! jawab wanita cantik itu sambil tersenyum.
Kemudian Ouw Yan Hui mengeluarkan sebatang anak panah kecil dari dalam buntalan
pakaiannya, memukulkan ujung anak panah itu ke atas batu dan anak panah itu pun
terbakarlah, mengeluarkan asap berwarna biru! Kemudian, tanpa gendewa, hanya menggunakan
jari-jari tangannya yang kecil meruncing itu saja, dia melontarkan anak panah
itu ke udara. Nampak sinar biru meluncur ke atas, dan asap biru nampak nyata.
Itulah tanda rahasia, pikir Syanti Dewi kagum. Dan sesaat kemudian, nampak
sinar asap biru meluncur di sebelah barat.
Nah, itulah mereka!! kata Ouw
Yan Hui dengan wajah girang sambil memandang ke barat. Syanti Dewi juga ikut
memandang dan tidak lama kemudian, muncullah sebuah kapal yang amat indah.
Kapal layar itu besar sekali dan indah, dan nampak beberapa orang anak buah
menurunkan sebuah perahu kecil yang didayung oleh empat orang dengan cepat
menuju ke pantai. Setelah perahu itu tiba di pantai, barulah nampak oleh Syanti
Dewi bahwa empat orang anak buah kapal yang mendayung perahu itu adalah
wanita-wanita cantik dan muda yang memakai pakaian ringkas sehingga dari jauh
tidak kelihatan bahwa mereka itu wanita.
Tocu telah pulang!! Mereka
berseru dengan girang dan mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Ouw Yan Hui
yang mereka sebut tocu (majikan pulau). Ouw Yan Hui hanya tersenyum, kemudian
menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajak naik ke dalam perahu kecil yang
segera didayung dengan cepat oleh empat orang wanita itu menuju ke kapal besar.
Setelah tiba di kapal dan
naik, Syanti Dewi melihat bahwa semua anak buah kapal itu adalah wanita,
muda-muda dan rata-rata memiliki wajah yang cantik, atau setidaknya bersih. Dan
begitu sang tocu naik ke atas kapal, mereka semua menjatuhkan diri berlutut
dengan wajah gembira dan penuh hormat kepada Ouw Yan Hui! Mereka bersikap
seolah-olah Ouw Yan Hui adalah ratu mereka! Dan kapal itu ternyata amat mewah.
Hei, kalian semua lihatlah
baik-baik. Nona ini adalah adikku, juga muridku dan kalian harus bersikap
hormat dan ramah kepadanya, dan menyebutnya siocia.!
Semua orang yang masih
berlutut itu memberi hormat kepada Syanti Dewi dan menyebut Siocia!! dengan
suara nyaring sehingga Syanti Dewi merasa canggung sekali. Dia memang sudah
biasa dihormati orang, sebagai puteri istana Bhutan, akan tetapi di tempat ini
dia merasa amat canggung menerima penghormatan seperti itu. Dan secara
otomatis, keagungannya sebagai seorang puteri seketika timbul dan dia
mengangkat sedikit tangannya sambil menganggukkan kepala sebagai tanda menerima
penghormatan itu.
Terdengar suara bisik-bisik
memuji kecantikan puteri ini ketika Ouw Yan Hui memberi isyarat agar kapal
segera dilayarkan. Sibuklah semua anak buah kapal itu dan Syanti Dewi mengagumi
ruangan-ruangan yang mewah dari kapal itu ketika Ouw Yan Hui mengajaknya masuk
ke dalam bilik kapal yang cukup luas. Di situpun mereka disambut oleh para
pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka sibuk melayani sang tocu, menyediakan
air hangat untuk mandi, pakaian yang indah dan bersih, dan ada pula yang sibuk
mempersiapkan hidangan.
Ouw Yan Hui mandi dan bertukar
pakaian, pakaian yang bahkan lebih indah daripada yang dipakainya tadi, dan
sehabis mandi, wanita itu nampak makin cantik saja. Syanti Dewi dipersilakan
mandi pula dan puteri ini kembali mengagumi kamar mandi tocu itu di dalam kapal
yang indah dan lengkap. Air hangat dalam kolam air yang berbau harum membuat
tubuhnya terasa segar dan dua orang pelayan melayaninya dengan pakaian yang
serba baru! Pakaian itu adalah, pakaian Ouw Yan Hui yang memerintah pelayan
untuk memberikan kepada Syanti Dewi, dan karena bentuk tubuh kedua orang wanita
cantik ini memang tidak berbeda jauh, maka pakaian Ouw Yan Hui dapat pula
dipakai oleh Syanti Dewi dengan pantas.
Kemudian Sang Puteri Bhutan
dipersilakan makan bersama nyonya rumah yang juga menjadi gurunya itu.
Hidangannya juga serba mewah, tidak kalah oleh masakan di restoran-restoran
besar. Tahulah Syanti Dewi bahwa Ouw Yan Hui selain gagah perkasa dan lihai
sekali, jua amat kaya raya!
Syanti Dewi tidak tahu arah
mana yang ditempuh oleh kapal itu. Akan tetapi, cuaca telah berubah gelap dan
para awak kapal menyalakan lampu-lampu kapal, dan kapal itu masih terus
berlayar. Ouw Yan Hui mempersilakan Syanti Dewi untuk tidur. Mereka tidur
sekamar, di mana terdapat dua buah tempat tidur. Syanti Dewi merasa demikian
aman dan senang setelah untuk beberapa pekan lamanya hidup dengan penuh
ketegangan dan kekhawatiran sehingga dia dapat tidur dengan nyenyak sekali,
tanpa mimpi dan tanpa bangun sampai suara musik dan nyanyian membangunkannya.
Cepat dia menengok dan ternyata bahwa Ouw Yan Hui telah pergi, karena tempat
tidurnya kosong dan dari jendela bilik kapal yang ditutup tirai biru tipis itu
menyorot cahaya matahari pagi! Hari telah pagi! Betapa nyenyaknya dia tidur!
Seperti telah mengikuti semua
gerak geriknya begitu dia duduk, datanglah seorang pelayan yang berkata dengan
sikap hormat dan suara halus, Siocia, air untuk mandi telah siap. Siocia
menghendaki air hangat atau air dingin?!
Dingin saja,! jawab Syanti
Dewi dan pelayan itu lalu membungkuk.
Sudah siap di kamar mandi,
Siocia.!
Ke manakah perginya.... Tocu?!
Tocu sudah menanti di geladak
kapal, sedang menonton tari-tarian yang menyambut kedatangan beliau.!
Ah, jadi suara musik dan
nyanyian itu adalah tari-tarian yang khusus diadakan untuk menyambut kedatangan
Ouw Yan Hui? Bukan main! Syanti Dewi tergesa-gesa pergi ke kamar mandi, diikuti
oleh pelayan yang menanti di luar kamar mandi dengan pakaian baru yang sudah
dipersiapkan.
Setelah selesai mandi dan
melihat betapa pakaian yang diperuntukkan dia amat bagusnya, dia berseru, Ah,
untuk apa pakaian begini indah dan mewah?!
Atas perintah Tocu, Siocia.
Untuk menghadiri penyambutan ini!! jawab pelayan dengan tegas dan singkat,
agaknya memang sudah dipersiapkan jawaban ini.
Syanti Dewi cepat mengenakan
pakaian indah itu, dibantu oleh pelayan. Setelah selesai, seorang pelayan lain
datang menghadap dan memberl hormat. Tocu minta kepada Siocia untuk makan pagi
di geladak sambil menikmati pesta sambutan.!
Hampir Syanti Dewi tertawa.
Bukan main penolongnya ini! Agaknya mempunyai kehidupan yang amat mulia dan
mewah dan menyenangkan, tiada ubahnya seorang puteri atau seorang ratu saja!
Dia pun lalu berjalan keluar dari kamar, didahului oleh pelayan tadi dan ketika
dia tiba di geladak kapal itu, Syanti Dewi kembali merasa kagum bukan main.
Kiranya kapal itu telah berlabuh di pantai sebuah pulau yang subur sekali,
penuh dengan pohon-pohon dan bunga-bunga yang agaknya teratur rapi, seperti
sebuah taman yang amat besar, luas dan indah. Sejauh mata memandang, tidak
nampak rumah melainkan pohon-pohon dan bunga-bunga belaka! Seperti pulau sorga
dalam dongeng saja! Dan di pantai nampak belasan orang wanita cantik sedang
menari-nari amat indahnya, lemah gemulai, dengan melambaikan
selendang-selendang yang beraneka warna, dengan gerakan berirama sehingga
selendang-selendang yang beraneka warna itu seperti bunga-bunga yang berkembang
dan mekar. Mereka menari sambil menyanyi, diiringi musik yang dimainkan oleh
wanita-wanita pula. Tidak ada seorang pun pria di situ, semua wanita belaka,
dari yang berpakaian pelayan, berpakaian penjaga atau perajurit, sampai para
penari dan pemain musik, semua perempuan dan jumlah mereka amat banyak, tak
terhitung oleh Syanti Dewi yang berdiri bengong.
!Ah, engkau sudah bangun,
Syanti? Mari, duduklah di sini, enak makan di sini mandi cahaya matahari pagi
sebelum panas sambil menikmati tarian dan nyanyian!!
Syanti Dewi menengok dan dia
melihat Ouw Yan Hui duduk menghadapi meja yang penuh dengan hidangan yang sudah
lengkap dan masih mengepul panas. Beberapa orang pelayan berdiri di dekat situ
dengan sikap hormat dan seorang di antara mereka menarik bangku yang memang
sudah dipersiapkan untuk Syanti Dewi.
Terima kasih, Enci! kata
Syanti Dewi yang lalu duduk dan pelayan sibuk mengambilkan hidangan dan minuman
untuk puteri itu. Mereka berdua lalu makan pagi sambil menikmati tontonan yang
sengaja diadakan untuk menyambut pulangnya Ouw Yan Hui.
Enci, apakah setiap kali kau
bepergian, pulangnya disambut seperti ini?! Syanti Dewi bertanya.
Wanita cantik itu tersenyum.
Ah, engkau tidak tahu, Syanti. Dalam beberapa tahun ini aku tidak pernah
meninggalkan pulau ini. Karena itulah maka anak buahku merasa girang melihat
aku pulang, agaknya mereka itu khawatir karena sudah beberapa pekan lamanya aku
tidak pulang. Mereka itu menganggap aku sebagai ratu mereka, Syanti.!
Enci, engkau memang pantas
menjadi ratu! Pulau ini milikmu?!
Wanita itu mengangguk.
Begitulah. Pulau ini kosong, tidak ada orangnya, dan punghuninya hanyalah
ular-ular beracun, bahkan di sini terdapat ular beracun paling hebat yang
kulitnya seperti emas, dan dinamakan Kim-coa. Tidak ada nelayan berani mendarat
di sini, maka aku lalu tinggal di sini, membersihkan pulau ini yang kuberi nama
Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Ternyata tanah di pulau ini subur sekali, maka
setelah lewat belasan tahun, kaulihat pulau ini telah berubah menjadi tempat
yang menyenangkan sekali, dan aku hidup bersama lima puluh orang anak buahku di
tempat ini dengan bahagia.!
Belasan tahun? Engkau telah
tinggal di sini selama belasan tahun? Tentu engkau datang ke tempat ini ketika
masih amat kecil, Enci. Bagaimana dalam usia kanak-kanak engkau dapat
menaklukkan ular-ular beracun dan dapat berlayar sampai di tempat terpencil
ini? Dan.... menurut ceritamu, kau pernah bersuami.... eh, apakah kalian dahulu
juga tinggal di sini? Kalau begitu kurasa di sini tidak ada tetangga....
ataukah kaumaksudkan wanita pengganggu itu seorang di antara pelayan-pelayanmu
ini?!
Ouw Yan Hui tersenyum geli.
Ah, dugaanmu meleset jauh sekali, Syanti. Tentu saja dahulu aku tidak tinggal
di sini. Justeru karena peristiwa terkutuk itu, setelah membunuh mereka, aku
menjadi buronan dan aku melarikan diri dengan perahu, sampai akhirnya tiba di
sini!!
Tapi.... tapi kau tadi bilang
bahwa engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun....!
Ouw Yan Hui mengangguk. Sudah
tujuh belas tahun.!
Syanti Dewi terbelalak. Mana
mungkin? Tentu ketika itu engkau baru berusia paling banyak delapan tahun,
Enci....!
Ketika pertama kali aku
mendarat di, pulau ini, usiaku sudah sebaya denganmu, Syanti, sekitar dua puluh
dua tahun.!
Ahhh....! Tapi.... tapi....!
Syanti Dewi benar-benar terkejut dan heran, menatap wajah wanita itu penuh
selidik, wajah yang membayangkan usia yang tidak akan lebih dari dua puluh lima
tahun.
Kaukira berapakah usiaku,
Syanti? Sudah empat puluh tahun.!
Tidak mungkin!! Puteri Bhutan
itu berseru.
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui
tersenyum lebar, hampir tertawa. Baru melihat aku saja engkau sudah
terheran-heran, apalagi kalau engkau bertemu dengan Bibi Maya.!
Siapakah Bibi Maya?!
Dia adalah guruku, guru dalam
ilmu awet muda. Kelak engkau akan dapat bertemu dengan dia kalau kebetulan dia
berkunjung ke sini. Sekarang, marilah kita mendarat. Kasihan para pelayan di
istanaku yang sudah lama menanti-nanti.!
Keheranan demi keheranan,
kekaguman demi kekaguman memenuhi hati Syanti Dewi semenjak dia dilarikan oleh
Ouw Yan Hui dari dalam benteng di mana dia menjadi tawanan sampai dia mendarat
di Kim-coa-to. Pulau itu tidak berapa besar, akan tetapi tentu saja sudah cukup
besar untuk ditinggali oleh Ouw Yan Hui bersama lima puluh orang anak buahnya
itu.
Merupakan sebuah perkampungan
berikut ladang yang ditanami tumbuh-tumbuhan obat, sayur dan pohon-pohon buah.
Terdapat belasan pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anak buah
majikan Pulau Ular Emas itu. Di tengah-tengah pulau, dari pantai tidak nampak
karena tertutup oleh pohon-pohon besar, berdiri sebuah bangunan yang tidak
terlatu besar, akan tetapi amat megah dan mewah. Pantas saja kalau Ouw Yan Hui
menyebut rumahnya itu istana karena memang indah seperti istana raja saja! Dan
di belakang istana itu terdapat sebuah taman yang indah sekali, merupakan inti
dari pulau yang sudah merupakan taman besar itu.
Benar saja seperti yang telah
diduganya ketika dia makan pagi bersama Ouw Yan Hui di atas geladak kapal dan
tidak melihat adanya seorang pun pria, ternyata di atas pulau itu memang sama
sekali tidak ada prianya. Semua adalah wanita-wanita, dan tidak ada wanita yang
sudah tua, paling tua berusia tiga puluh tahun dan rata-rata memiliki wajah
bersih dan tubuh yang ramping dan padat? Seperti dunia wanita saja! Akan
tetapi, setelah segala pengalamannya yang mengerikan terjatuh ke tangan
orang-orang jahat, kini berada di antara wanita-wanita itu saja Syanti Dewi
merasa aman.
Hanya satu hal yang membuat
Syanti Dewi tidak pernah berhenti terheran-heran, yaitu melihat kecantikan
wajah Ouw Yan Hui dan kepadatan tubuh wanita itu. Usia sudah empat puluh tahun.
Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Di negerinya, di Bhutan, memang terdapat
ilmu untuk membuat wanita awet muda, akan tetapi tidak seperti ini, sudah
berusia empat puluh tahun namun wajahnya tidak lebih tua dari dua puluh lima
tahun dan tubuhnya malah seperti seorang dara remaja saja! Padahal wanita
berusia empat puluh tahun ini sudah pernah bersuami, pernah pula mengandung dan
melahirkan!
Setelah tinggal di Pulau
Kim-coa-to, mulailah Ouw Yan Hui melatih ginkang kepada Syanti Dewi. Mula-mula
Syanti Dewi disuruh mengejar-ngejar kupu-kupu dalam taman! Seperti permainan
kanak-kanak saja. Mula-mula hanya disuruh mengejar seekor kupu-kupu terbang dan
menangkapnya, akan tetapi dari seekor kupu-kupu dia lalu disuruh menangkap dua
ekor kupu-kupu sekaligus, lalu tiga ekor dan seterusnya. Dia dilatih untuk
bersamadhi, mengatur pernapasan, dan bagaimana dia harus mengerahkan sinkang di
waktu berloncatan mengejar kupu-kupu. Jangan dikira mudah mengejar kupu-kupu,
terutama kupu-kupu yang bersayap kuning, yang amat lincah dan pandai mengelak.
Pertama kali mengejarnya, seekor kupu-kupu saja baru dapat ditangkapnya setelah
Syanti Dewi bermandi keringat dan mengejar-ngejarnya sampai berjam-jam lamanya.
Akan tetapi, setelah Syanti Dewi memperoleh kemajuan dan mulai memiliki gerakan
yang lincah dan gesit sekali, dia dapat menangkapnya dengan sekali lompat, dan
setelah lewat dua bulan, dia dapat menangkap lima ekor kupu-kupu hanya dengan
beberapa kali loncatan saja!
Setelah itu, Ouw Yan Hui lalu
mengajarnya untuk menangkap burung terbang!
Aih, Enci Hui, mana mungkin
aku dapat menangkap burung terbang? Aku tidak bersayap seperti burung!! Syanti
Dewi berkata penuh keraguan.
Kaulihatlah aku!! kata wanita
itu sambil memandang ke atas, ke arah pohon-pohon di mana terdapat beberapa
ekor burung berwarna coklat dengan dada putih. Akan kutangkap burung-burung
itu!! Tiba-tiba tubuhnya lenyap, berkelebat ke atas dan dengan mata terbelalak
Syanti Dewi melihat, bayangan wanita itu berkelebatan di antara cabang-cabang
pohon lalu disusul suara burung-burung mencicit ketakutan. Sesosok bayangan
berkelebat turun dan tahu-tahu wanita luar biasa itu telah melompat turun, di
masing-masing tangannya terdapat dua ekor burung yang tadi beterbangan di
antara daun-daun pohon itu!
Hebat, Enci! Kau hebat bukan
main!! Syanti Dewi berseru.
Kalau kau tekun berlatih,
engkau pun akan dapat menangkap burung-burung seperti itu. Mari kita latihan di
lian-bu-thia dengan burung-burung ini!!
Syanti Dewi diajak ke ruangan
latihan silat yang tertutup rapat dan di situ Ouw Yan Hui melepaskan empat ekor
burung kecil tadi. Burung itu beterbangan di dalam ruangan itu, akan tetapi
tidak dapat keluar karena jendela dan pintunya sudah ditutup rapat. Atas
petunjuk Ouw Yan Hui, mulailah Syanti Dewi mengejar-ngejar empat ekor burung
itu. Dia menggunakan kegesitannya dan kelincahannya yang diperoleh selama
berlatih menangkap kupu-kupu, akan tetapi sampai sehari itu, belum juga dia
berhasil menangkap seekor pun di antara burung-burung itu! Ternyata jauh sekali
bedanya antara gerakan kupu-kupu dengan gerakan burung yang jauh lebih gesit
dan cepat itu!
Kembali Syanti Dewi harus
dengan tekun melatih samadhi dan pernapasan, dan tiada bosan-bosannya dia
berlatih mengejar dan menangkap burung-burung. Ouw Yan Hui selalu menggantikan
burung-burung itu dengan burung-burung baru yang segar dan lebih gesit, akan
tetapi dengan ketekunannya yang luar biasa, bahkan kadang-kadang di waktu malam
Syanti Dewi berlatih seorang diri di dalam lian-bu-thia, akhirnya Puteri Bhutan
itu berhasil juga menangkap burung terbang, mula-mula hanya seekor, akan tetapi
beberapa bulan kemudian dia dapat menangkap empat lima ekor burung yang dilepas
oleh Ouw Yan Hui di dalam ruangan silat itu!
Bagus, engkau memang berbakat
dan untungnya engkau pernah mempelajari dasir-dasar ilmu silat tinggi dari
pendekar pendekar sakti, sehingga engkau dapat dengan mudah menguasai
dasar-dasar ginkang. Setelah engkau menguasai kecepatan gerak, kita boleh mulai
berlatih di luar untuk memperoleh keringanan tubuh sehingga engkau dapat mulai
belajar Ilmu Jouw-sang-hui-teng yang akan membuat engkau dapat berlari seperti
terbang cepatnya dan belajar meloncat tinggi seperti melayang. Akan tetapi ilmu
ini tidak mudah, Syanti, engkau harus belajar dengan tekun sekali.!
Mulailah Syanti Dewi berlatih
di bawah petunjuk Ouw Yan Hui. Latihan ini dilakukan di tempat-tempat sunyi,
tidak boleh dilihat oleh para anak buah. Dan kadang-kadang Ouw Yan Hui mengajak
Syanti Dewi untuk naik perahu kecil berdua saja di tengah lautan, kemudian
mengajak Puteri Bhutan itu untuk mandi di laut, bertelanjang bulat karena
memang di tengah laut itu sunyi sekali, seperti dua orang peri laut kedua orang
wanita cantik jelita itu berkecimpung di antara ombak-ombak dan di sini Ouw Yan
Hui mengajarkan ginkang yang amat tinggi tingkatnya kepada Syanti Dewi!
Tanpa disadarinya sendiri,
Syanti Dewi telah mempelajari ilmu yang amat hebat, ilmu yang mengubah dirinya
sama sekali, dari seorang puteri yang biarpun mengenal ilmu silat namun
tergolong lemah di antara tokoh-tokoh kang-ouw, menjadi seorang wanita yang
memiliki gerakan seperti kilat, memiliki ginkang yang sukar dicari
tandingannya. Akan tetapi bukan hanya perubahan ini saja yang terjadi pada
dirinya, akan tetapi tanpa disadarinya pula, karena setiap hari bergaul dengan
Ouw Yan Hui dan selalu meniru contoh-contoh yang diberikan wanita itu dalam
berlatih ilmu, maka secara otomatis watak aneh dari Ouw Yan Hui juga menular
kepada Syanti Dewi! Puteri Bhutan itu kini makin cantik, atau makin pesolek,
makin angkuh dan tinggi hati, juga keramahan pada wajahnya lenyap, berubah menjadi
dingin! Akan tetapi karena dinginnya ini bukan terpengaruh batinnya, melainkan
pengaruh dari luar, maka gadis yang sudah dewasa ini, yang rindu akan belaian
kasih sayang pria pujaannya, sebetulnya menyimpan gairah yang berapi-api,
sehingga karena dibungkus oleh sifat dingin yang ditularkan Ouw Yan Hui maka
Syanti Dewi kini seperti gunung berapi yang tertutup salju!
Di sebelah timur daratan
Tiongkok terdapat banyak sekali pulau-pulau besar dan kecil. Terutama agak ke
utara, terdapat pulau-pulau kecil yang tak terhitung banyaknya, pulau-pulau
yang masih terasing dan masih banyak yang kosong. Di ujung utara, di ternpat
terpencil dan jauh sekali dari kehidupan ramai, terdapat sebuah pulau di antara
pulaa-pulau lain, yaitu pulau yang terkenal di dalam dongeng para tokoh
kang-ouw, yang dinamakan Pulau Es!
Jarang ada tokoh kang-ouw yang
pernah melihat pulau ini, karena selain sukar sekali didatangi, juga kebanyakan
orang kang-ouw takut untuk mendekati pulau ini, takut kepada penghuninya yang
lebih terkenal daripada pulau itu sendiri. Penghuni Pulau Es atau majikan dari
Pulau Es terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman.
Baru menyebut namanya saja, semua orang dari golongan hitam atau kaum sesat
sudah menggigil ketakutan.
Para pembaca cerita Pendekar
Super Sakti dan cerita-cerita lanjutannya tentu sudah mengenal siapa adanya
Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini. Namanya adalah Suma Han, dan
kini Suma Han atau Pendekar Super Sakti telah berusia lanjut, sudah lebih dari
enam puluh tahun. Pendekar sakti ini tinggal dengan tenang dan tenteramnya di
Pulau Es, bersama dua orang isterinya yang tercinta, yaitu Puteri Nirahai dan
Lulu, dua orang wanita yang amat mencinta suami mereka, amat setia dan juga
merasa amat berbahagia hidup bertiga di atas pulau itu bersama suanni dan madu
mereka.
Akan tetapi, sungguh merupakan
kenyataan bahwa ketenteraman, ketenangan atau kedamaian hidup sama sekali bukan
tergantung daripada tempat atau keadaan di luar diri kita, melainkan sepenuhnya
tergantung dari keadaan batin kita sendiri! Betapapun sunyi tempat di mana kita
tinggal, namun kalau batin kita tidak hening, kalau batin kita sibuk dan
bising, maka kesunyian tempat itu tidak ada artinya! Oleh karena itu, bukan
hanya teori belaka kalau dikatakan bahwa seorang yang bertapa di puncak gunung
yang sunyi akan menderita karena kebisingan batinnya, sebaliknya orang yang
berada di tengah kebisingan akan dapat menikmati keheningan batinnya.
Sungguhpun tak dapat disangkal bahwa keadaan di luar itu ada pengaruhnya juga
terhadap batin, akan tetapi segala sesuatu berpusat pada batin kita sendiri.
Masalah timbul dari dalam batin, timbul dari penanggapan pikiran terhadap
peristiwa yang terjadi. Segala macam hal yang terjadi dalam hidup ini merupakan
suatu fakta, dan apakah kejadian itu menjadi masalah ataukah tidak, sepenuhnya
tergantung dari pikiran yang menanggapinya. Kalau pikiran menanggapi, tentu
saja timbul masalah karena pikiran selalu memperhitungkan rugi untung, dan
setelah masalah timbul, tentu saja terdapat penderitaan dan kekhawatiran.
Demikian pula halnya dengan
Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Bukan hanya Pendekar Super Sakti
saja yang merupakan seorang manusia sakti, dengan ilmunya yang tinggi sukar
dicari bandingnya, bahkan kedua orang isterinya juga merupakan wanita-wanita
yang amat lihai. Kedua orang wanita itu, baik Puteri Nirahai maupun Lulu,
pernah menggegerkan dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi,
kesaktian mereka dan kehidupan mereka di Pulau Es amat sunyi itu, tetap saja
bukan merupakan jaminan akan kedamaian hidup mereka di waktu usia mereka sudah
mulai tua itu.
Selama beberapa bulan ini
terasa sekali oleh Pendekar Super Sakti betapa hatinya tertindih oleh
kegelisahan dan kemarahan. Dia marah kepada dua orang puteranya, yaitu Suma
Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali kepada Suma Kian Bu, putera dari
Nirahai, yang sudah meninggalkan Pulau Es selama enam tahun dan belum pernah
pulang! Puteranya yang lain, yaitu Suma Kian Lee, putera Lulu, enam tahun yang
lalu juga pergi meningalkan Pulau Es bersama adiknya itu (baca cerita Sepasang
Rajawali), akan tetapi Kian Lee sudah pulang, bahkan memperdalam ilmunya di
Pulau Es selama beberapa tahun. Kini, Kian Lee telah diutusnya untuk pergi
mencari adiknya, dan sudah hampir setahun lamanya Kian Lee belum pulang
sehingga tidak ada berita tentang kedua orang puteranya itu. Tentu saja hal ini
membuat hati pendekar sakti itu menjadi gelisah dan marah.
Apalagi kegelisahannya itu
bertambah dengan adanya sikap dari dua orang isterinya. Mereka berdua itu
selalu kelihatan berwajah muram, kadang-kadang marah-marah dan berduka karena
mereka merasa rindu dan khawatir sekali. Terutama Puteri Nirahai yang sudah
enam tahun tidak melihat puteranya. Sebagai wanita-wanita gagah, mereka pantang
untuk memperlihatkan kedukaan mereka, akan tetapi mereka menjadi marah-marah
karena melihat suami mereka seperti tidak mempedulikan kepergian dua orang anak
mereka itu. Mereka memperlihatkan rasa tidak suka hati mereka kepada suami
mereka dengan wajah muram.
Ketika pada suatu malam, kedua
isterinya yang melayani makan itu hanya duduk diam saja menghadapi dia makan,
dan tidak ikut makan, Pendekar Super Sakti menghela napas panjang dan mendorong
mangkok nasinya ke samping.