Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 4 - Keributan Di Taman Istana Gubernur
Kian Lee menggeleng dan hanya
memandang ketika wanita itu keluar dari kamarnya. Dia termenung, masih
terngiang di telinganya isi nyanyian kuno tentang seorang wanita ditinggalkan
kekasihnya. Akan tetapi mengapa gadis itu bernyanyi sambil menangis? Dia
memandangi yang-kim yang kini tergantung di dinding, semuanya melayang-layang
dan terbayanglah dia kepada wajah Ceng Ceng, , keponakannya atau bekas
kekasihnya, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, cinta pertamanya yang gagal.
Nyanyian gadis pelayan itu
menbangkitkan kenang-kenangan ini dan berulang kali Kian Lee menghela napas. Di
dunia ini mengapa terdapat begitu banyak orang yang menderita sengsara karena
cinta? Memang cinta banyak mendatangkan derita? Cintakah yang mendatangkan
derita itu? Ataukah kegagalannya? Lebih tepat lagi, bukankah karena keinginan
hati tak tercapai itulah yang mendatangkan hati sengsara? Sengsara yang timbul
karena kecewa, karena harapan hampa.
Daun pintu terbuka halus dan
gadis itu melangkah masuk, menutupkan kembali daun pintu.
Mengapa ditutup?! Kian Lee
menegur.
Agar tidak nampak dari luar,
kalau Kongcu merasa gerah, bagian atas daun jendela dapat dibuka,! jawabnya
halus dan tanpa diperintah, gadis itu lalu membuka daun jendela bagian atas
sehingga pemandangan di luar dapat nampak sebagian.
Nona, kenapa kau kembali ke
sini? Aku sudah selesai makan dan aku tidak butuh apa-apa lagi. Nona boleh
beristirahat di tempat Nona sendiri.!
Gadis itu memandang Kian Lee,
kemudian menjawab sambil menunduk, Saya bertugas melayani Kongcu sambil menanti
datangnya saat pesta dimulai. Dan saya.... saya senang di sini melayani
Kongcu....!
Hemmm.... sesuka hati Nona
sajalah. Apakah Nona juga bertugas melayani bercakap-cakap?!
Gadis itu mengangkat muka
memandang merasa betapa lucunya kata-kata itu dan tersenyum, sama sekali tidak
mengandung keriangan hati sungguhpun amat manis. Tentu saja, Kongcu.!
Nah, kalau begitu, aku ingin
mengajak kau omong-omong. Pertama, aku ingin membicarakan tentang isi
nyanyianmu tadi.!
Ehhh....?! Gadis itu memandang
heran.
Maksudku, aku ingin tahu
siapakah dara yang merana itu dan siapa pula pendekar yang begitu kejam
meninggalkannya.!
Gadis itu menunduk. Kongcu....
itu hanya.... hanya nyanyian.... dongeng....!
Hemmm, perlukah dongeng
nyanyian ditangisi? Ada kulihat engkau menangis ketika bernyanyi tadi.!
Ohhhhh....! Gadis itu terkejut
dan kini menundukkan mukanya.
Kian Lee mengerutkan alisnya
dan memandang penuh perhatian. Ternyata gadis itu dengan susah payah menahan
tangisnya, akan tetapi tetap saja dua butir air mata seperti mutiara berkilauan
menggantung di bulu matanya dan akhirnya bergerak perlahan menuruni kedua
pipinya.
Nona, aku dapat menduga bahwa
engkau sedang mengalami tekanan batin yang hebat. Engkau sedang menderita
sengsara dan kalau kau percaya kepadaku, kau ceritakanlah kesengsaraanmu itu.
Siapa tahu aku akan dapat menolongmu, Nona. Akan tetapi kalau kau tidak percaya
kepadaku, sudahlah, kau boleh pergi meninggalkan aku sendiri dan terima kasih
atas semua pelayananmu yangbaik.!
Ahhh.... Kongcu....!! Gadis
itu mengusap air matanya dan mengangkat muka memandang. Harap maafkan saya....
tentu saja saya percaya kepada Kongcu. Sekali bertemu saja saya tahu bahwa
Kongcu adalah seorang yang amat baik.!
Kalau begitu, kaukatakanlah,
siapa dara yang kaunyanyikan tadi?!
Gadis itu kembali menunduk.
Dia.... dia.... adalah saya sendiri, Kongcu.!
Hemmm,.... sudah kuduga
demikian. Dan siapakah Si pendekar yang tak tahu dicinta orang itu?!
Dia.... dia.... adalah
penolong saya....! Gadis itu menjawab dengan muka merah sambil menunduk,
kemudian dia menghela napas seperti orang mengambil keputusan dan mengangkat
muka, berkata Sebaiknya saya ceritakan sejelasnya kepada Kongcu. Terjadi
kira-kira tiga bulan yang lalu, Kongcu. Saya adalah anak sulung seorang kepala
kampung dari dusun Can-li-cung. Pada suatu malam, dusun kami diserbu
perampok-perampok dan seluruh keluarga saya terbunuh.... Ayah, Ibu, dan tiga
orang adik-adik saya....! Wanita itu memejamkan mata dan dua butir air mata
kembali meloncat ke luar. Kian Lee membiarkan gadis itu berdiam diri sejenak untuk
menenteramkan hatinya yang tentu saja dilanda kedukaan mengenangkan itu semua.
Dia merasa kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja tadi bernyanyi Tiada
ayah tiada bunda tiada sanak keluarga,! kiranya semua keluarganya terbasmi
habis oleh perampok jahat!
Saya sendiri lalu diculik oleh
perampok-perampok itu, dibawa lari ke dalam cengkeraman manusia-manusia Iblis
dan akan mengalami hal yang lebih mengerikan daripada kematian sendiri, akan
tetapi saya tidak berdaya, Kongcu. Dalam keadaan seperti itu, munculiah
pendekar sakti itu yang dengan gagah perkasa membasmi semua perampok sampai
tidak ada seorang pun yang terlewat! Tentu saja saya berterima kasih sekali
kepadanya, Kongcu. Dia begitu baik, dia begitu gagah, dan kalau tidak ada
dia.... ah, ngeri saya membayangkan!
Hemmm, lalu bagaimana?! Kian
Lee bertanya dan di dalam hatinya dia maklum. Pantas saja gadis ini jatuh cinta
kepada penolangnya itu.
Penolong saya itu tentu saja
mendapat penghargaan dari gubernur karena dia telah berhasil membasmi pecampak
yang suka mengganas itu. Dan saya.... oleh penolong saya itu saya lalu
dititipkan kepada gubernur, karena keluarga saya telah habis.... kemudian....
dia pergi, meninggalkan saya seorang diri di sini....!
!Hemmm, dan kau lalu bekerja
sebagai pelayan di sini? Apakah engkau mengalami hal-hal yang tidak
menyenangkan di sini?!
Tidak, tidak, Kongcu....
Paduka gubernur baik sekali.... saya menjadi seorang pelayang yang terkasih
juga oleh Nyonya dan semua keluarga. Akan tetapi, Kongcu tahu sendiri....
sebagai seorang pelayan.... dan saya kadang-kadang harus melayani
tamu-tamu....!
Aku mengerti, Nona. Eh,
bolehkah saya mengetahui namamu?!
Nama saya Cui Lan, Phang Ghui
Lan!
Nama yang indah sekali, Cui
Lan. Akan tetapi mengapa.... mengapa.... kau tadi bernyanyi mengenangkan
pendekar penolongmu yang kau cinta itu?!
Kamar ini, Kongcu. Kamar
inilah kamar pendekar itu ketika dulu dia bermalam di sini. Saya yang selalu
membersihkannya dan melayaninya, akan tetapi dia.... dia pergi. Dan kamar ini
tidak pernah dipakai lagi, akan tetapi selalu saya rawat dan saya bersihkan,
kalau-kalau.... dia datang kembali ke sini...., akan tetapi sekarang kamar ini
dibuka karena banyaknya tamu dan kebetulan Kongcu dipeersilakan bermalam di
sini....! Suaranya gemetar.
Siapa nama pendekar penolongmu
itu?!
Itulah yang menyusahkan hati
saya, Kongcu. Saya tidak tahu namanya, bahkan di sini pun tidak ada yang tahu
nananya. Dia masih muda, rambutnya panjang terurai akan tetapi berwarna putih
seperti perak, dia.... dia tampan dan gagah, pendiam dan penuh rahasia.
Kian Lee meraba dahinya dan
mengerutkan alisnya. Masih muda, rambutnya putih terurai, lihai sekali?
Hemmm.... pernah aku mendengar tokoh seperti itu. Bukankah orang-orang
menyebutnya Pendekar Siluman Kecil?!
Benar!! Dara itu berseru penuh
harapan. Apakah Kongcu sudah mengenalnya!?!
Sayang sekali belum. Apalagi
mengenalnya, bertemu muka pun belum pernah. Aku hanya mendengar berita orang
saja....!
Tiba-tiba Kian Lee
menghentikan kata-katanya karena dia melihat berkelebatnya seseorang di depan
kamar itu. Hanya kelihatan kepala orang itu yang menoleh ke dalam, seperti
orang menjenguk dan terdengar suara orang itu mendehem kecil ehmmm....!
Wajah Kian Lee menjadi merah
dan cepat dia membuka daun pintu, kamarnya. Ketika dia memandang, dia melihat
seorang laki-laki yang tadi lewat di depan pintu kamar itu, kini sudah memasuki
taman, menyeberang sebuah jembatan taman dan orang itu menoleh kepadanya, lalu
tersenyum dengan sinis. Kian Lee menjadi penasaran, akan tetapi orang itu sudah
membuang muka dan tidak menoleh lagi, lalu berjalan pergi dan lenyap di
tikungan bangunan, Kian Lee memasuki kamarnya lagi.
Siapa dia?! tanya Kian Lee
kepada gadis itu yang kelihatannya memandang khawatir.
Yang menjenguk tadi?! Bibir
yang merah tipis itu berjebi tanda muak dan tidak senang. Dia pun seorang tamu,
kabarnya dia pengawal dari Ouw-taijin, seorang pembesar berpangkat Tee-tok dari
San-sian. Rombongan Ouw-teetok itu kepala pengawal she Bu. Orangnya menjemukan
sekali, Kongcu, sejak kemarin dia selalu berusaha untuk menggoda saya kalau
kebetulan bertemu.!
Hemmmmm....! Diam-diam Kian
Lee mencatat laki-laki berusia empat puluhan tahun bermuka hitam dan berkumis
lebat itu. Dia masih membuka daun pintu dan ketika dia hendak menutupkan daun
pintu, tiba-tiba terdengar suara berisik dan datanglah lagi beberapa orang tamu
yang agaknya juga memperoleh kamar-kamar di dekat taman itu. Agaknya mereka itu
hanyalah pengawal-pengawal dari pembesar yang baru datang. Akan tetapi ketika
Kian Lee memandang kepada rombongan orang itu, dia terkejut sekali melihat
salah seorang di antara mereka yang dikenalnya. Seorang wanita yang cantik
pesolek, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, namun tubuhnya masih
ramping dan padat terpelihara, sinar matanya tajam dan kerlingnya menyambar-nyambar
ganas, di pinggangnya tergantung pedang dengan sarung pedang yang terukir
indah. Itulah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing wanita yang lihai bukan main,
ahli peledak, dan masih sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Wanita
ini merupakan seorang tokoh yang amat ditakuti, dan ketika terjadi huru-hara
pemberontakan dua orang Pangeran Liong, wanita ini pun mengambil bagian yang
penting. Mau ape wanita tokoh sesat yang amat berhahaya itu berkeliaran di
sini, pikir Kian Lee dan hatinya mulai tertarik. Tentu akan terjadi peristiwa
penting di tempat ini pikirnya.
Cepat dia masuk kembali agar
tidak kelihatan oleh Siluman Kucing itu. Agaknya akan banyak kaum persilatan
dan tokoh-tokoh golongan hitam yang datang ke tempat ini, pikirnya. Entah siapa
gerangan utusan kaisar dari kota raja itu dan tentu akan terjadi seuatu yang
hebat. Dia harus waspada.
Sudahlah,.... Cui Lan.
Sekarang lebih baik kautinggalkan aku sendiri, tidak baik kalau kita berdua
berada di dalam kamar ini terlalu lama. Aku khawatir kalau-kalau orang akan
menduga jelek kepadamu!
Tapi, Kongcu.. saya justeru
takut untuk pergi meninggalkan Kongcu! Kata gadis itu mulai basah dengan air
mata. Harap Kongcu jangan menyuruh saya pergi saya takut kalau saya harus
melayani tamu lain. Jangan-jangan saya akan disuruh melayani pengawal
Ouw-teetok itu, dia sudah terus mengincarku. Kongcu, saya mohon kepadamu, harap
Kongcu perbolehkan saya berada di sini selama orang-orang ini belum pergi. Saya
takut....!
Suma Kian Lee memandang dengan
kasihan dan tersenyum. Kenapa kalau di sini bersama aku tidak takut? Kau pun
belum mengenal aku, Cui Lan.!
Tidak, kalau di sini saya
tidak takut. Saya tahu bahwa Kongcu tentu tidak akan mengganggu gaya
Hemmm, baiklah.... akan tetapi
aku hendak mengaso, Cui Lan.!
Mengasolah, Kongcu, saya akan
duduk di sini saja. Apakah saya harus bermain yang-kim untuk Kongcu?!
Tidak usah. Aku hendak mengaso
dan aku tidak ingin melihat engkau menangis lagi menyanyikan lagu yang sedih
itu.! Kian Lee lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan Cui Lan
duduk di atas bangku seperti orang melamun.
Tentu. saja ditunggui orang
seperti itu, seorang gadis cantik lagi, Kian Lee tidak dapat tidur. Akhirnya
dia bangun dan mengajak Cui Lan bermain catur yang memang disediakan di dalam
kamar itu. Ternyata gadis ini pandai bermain catur, sehingga untuk beberapa
lamanya Kian Lee asyik bermain catur bergembira dan lupa seolah-olah dia sedang
bermain catur dengan seorang sahabat lama. Juga gadis itu kadang-kadang tertawa
kecil dan melupakan kedukaannya. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang
pemuda yang begitu sopan, halus dan sama sekali tidak pernah kurang ajar
sehingga dia merasa terhibur dan seolah-olah memperoleh seorang sahabat yang
amat baik dan boleh diandalkan.
Waktu lewat tak terasa dan
selama itu Kian Lee mendengar datangnya rombongan demi rombongan para tamu.
Akhirnya senja tiba dan Kian Lee lalu mencuci muka dengan air hangat yang
diambilkan oleh Cui Lan. Setelah bertukar pakaian dan diberi tahu oleh Cui Lan
bahwa bulan telah muncul dan pesta akan dimulai, bahkan sebagaian para tamu
sudah memasuki taman, Kian Lee lalu meninggalkan Cui Lan, memesan kepada Cui
Lan untuk menutupi pintu dan jendela dan kalau terjadi sesuatu supaya menjerit
saja. Dia langsung memasuki taman yang telah diatur dan dihias untuk keperluan
pesta di malam hari itu untuk menyambut datangnya tamu agung dari kota raja.
Selain sinar bulan yang belum
terla1u tinggi sehingga sinarnya masih belum terang benar, juga banyak
digantung lampu-lampu yang berbentuk lentera-lentera yang beraneka macam,
digantung di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang disediakan khusus untuk
keperluan itu. Di sudut taman terdapat serombongan tukang main musik
membunyikan alat musiknya sehingga suasana menjadi meriah. Tamu-tamu mulai
berdatangan, disambut oleh petugas-petugas dan dipersilakan duduk di tempat
masing-masing yang sudah disediakan sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka.
Semua bupati dan pembesar-pembesar di seluruh wilayah Propinsi Ho-nan datang.
Mereka ini rata-rata membawa pengawal masingmasing yang terdiri dari
orang-orang yang bertubuh kokoh kekar dan berwajah serem-serem, kelihatannya
lihai dan angkuh gerak-geriknya.
Kian Lee yang kebagian tempat
duduk di bagian belakang, yaitu tempat para tamu undangan terdiri dari
orang-orang kang-ouw yang tidak memiliki pangkat, sengaja memilih tempat duduk
dekat kolam, agak menyendiri akan tetapi dari tempat itu dapat melihat ke
seluruh tempat duduk para tamu sampai tempat duduk tuan rumah dan tamu agung
yang telah dipersiapkan di panggung, agak tinggi dari tempat duduk lainnya.
Sebentar-sebentar Kian Lee menengok apabila ada tamu baru datang dan dia pun
menoleh ke sana-sini untuk melihat barangkali ada adiknya di antara sekian
banyak tamu itu.
Hatinya lega ketika melihat bahwa
yang berkumpul adalah tokoh-tokoh baru yang tidak dikenalnya. Tidak kelihatan
tokoh-tokoh lama, dan yang dia kenal hanyalah si wanita genit Siluman Kucing
Mauw Siauw Mo-li yang untung duduknya di seberang cukup jauh dari tempat dia
duduk. Suasana makin gembira dengan suara para tamu yang mulai bercakap-cakap
sambil makan kwaci yang telah lebih dulu disediakan di atas piring di meja
masing-masing. Suara kletak-kletik orang makan kwaci bercampur dengan suara
orang-orang bicara, dilatarbelakangi suara musik yang meriah.
Gubernur Kui Cu Kam, yaitu
Gubernur Ho-nan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus
kecil dan berpakaian gemerlapan indah, sejak tadi sudah duduk di tempatnya.
Sebagai seorang gubernur atau pembesar yang paling tinggi kedudukannya, dia
tidak menyambut tamu sendiri, melainkan diwakili oleh pembesar-pembesar
bawahannya dan dia hanya duduk sambil mengangguk sebagai balasan salam dari
para tamu yang baru berdatangan dan yang memberi hormat kepadanya. Gubernur ini
kelihatan gembira dan tersenyum-senyum sambil menoleh ke kanan kiri. Di
belakangnya berdiri pasukan pengawal yang dikepalai oleh Si Rambut Merah yang
selalu membawa guci arak itu. Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It pada kesempatan itu
pun mengenakan pakaian yang baru untuk menghormat tamu, akan tetapi tetap saja
bibirnya berlepotan arak!
Tiba-tiba terdengar teriakan
keras dari pasukan pengawal di pintu gerbang depan, sambung-menyambung
memberitahukan bahwa tamu agung, yang mulia utusan kaisar telah tiba! Semua
tamu bangkit berdiri dan pintu kehormatan yang berada di tengah-tengah menghubungkan
taman dengan istana gubernur dibuka oleh para penjaga. Para pemain musik yang
sudah dipesan lebih dulu kini memainkan musik yang berbunyi gagah, seolah-olah
hendak mengiringkan datangnya tamu agung.
Maka tampaklah iring-iringan
tamu agung itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian indah
gemerlapan, melangkah masuk ke dalam taman, dengan senyum di bibir dan matanya
memandang ramah ke kanan kiri. Pemuda tampan ini diiringkan oleh tiga losin
orang pengawal istana yang juga berpakaian gagah dan indah dan melihat bulu
burung menghias kepala mereka serta pakaian mereka yang gemerlapan seperti
terhias banyak emas, tahulah orang bahwa tiga losin pengawal itu adalah pasukan
pengawal Kim-i-wi (Pengawal Baju Emas) yang terkenal, dan bulu di kepala itu
menunjukkan bahwa mereka termasuk anggauta pasukan Kuku Garuda yang terkenal
lihai dan berkepandaian tinggi. Di kanan kiri pemuda tampan itu berjalan
pelindungnya, dua orang jagoan pengawal kaisar dari kota raja, komandan dari
pasukan Kuku Garuda yang tersohor, yang dahulu terangkat tinggi-tinggi namanya
berkat pimpinan Puteri Nirahai yang gagah perkasa. Di belakang pemuda tampan
itu berjalan sebagai pengiring atau pengantarnya, seorang kakek tinggi kurus
berjenggot putih yang melihat pakaiannya juga bukan berpangkat rendah. Dia ini
adalah Gubernur Hok Thian Ki, gubernur dari Propisi Ho-pei yang berada di utara
Ho-nan dan di mana kota raja terletak.
Di belakang Gubernur Hok ini
berjalan parapengawalnya, dikepalai oleh seorang laki-laki bermata sebelah,
akan tetapi mata yang tinggal satu ini bukan main tajam sinarnya. Orang-orang
banyak yang mengenal Si Mata Satu ini yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang
Liong Bouw (Si Mata Satu Tangan Sakti), jagoan dari Mo-pei yang menjadi
pengawal Gubernur Hok.
Akan tetapi Kian Lee tidak
mempedulikan orang lain yang tidak dikenalnya, pandang matanya tertuju kepada
ppmuda tampan yang bersikap tenang dan berwajah ramah itu. Kiranya utusan
kaisar itu adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang terkenal
sebagai pangeran yang suka membantah dan melawan kehendak kaisar, itu, pangeran
yang suka minggat dari istana untuk memprotes kehendak kaisar yang menjadi
ayahnya! Juga Kian Lee mendengar bahwa pangeran yang amat tampan ini pernah
menjadi saingannya, karena pangeran ini kabarnya pernah jatuh cinta kepada Ceng
Ceng! Maka, tentu saja hatinya tertarik dan dia memperhatikan dengan seksama.
Setelah tiba di ruangan itu,
di depan Gubernur Kui sebagai tuan rumah, sambil tersenyum Pangeran Yung Hwa
lalu mengeluarkan len-ki (bendera utusan atau wakil kaisar dan mengangkatnya
tinggi ke atas kepalanya. Melihat bendera ini, Gubernur Kui lalu menjatuhkan
diri berlutut dan hal ini diikuti oleh semua orang yang hadir di situ karena
bendera ini dianggap sebagai kehadiran kaisar sendiri.
Hamba Kui Cu Kan Gubernur
Ho-nan siap menerima perintah Sri Baginda Kaisar,! Kui-taijin berkata dengan
suara merendah dan terdengar nyaring karena semua orang yang berlutut tidak ada
yang berani membuka suara.
Pangeran Yung Hwa mengeluarkan
sebuah gulungan kain tertulis, kemudian komandan pasukan pengawal Kuku Garuda
yang dua orang itu lalu membuka gulungan ini di depan Pangeran Yung Hwa agar
mudah bagi pangeran muda itu untuk membacanya. Dengan suara lantang Pangeran
Yung Hwa lalu membaca amanat dari kaisar yang ditujukan kepada seluruh pejabat
di Ho-nan sampai kepada rakyatnya. Diperintahkan oleh kaisar agar semua
rakyatnya, terutama gubernur dan para pejabat pemerintahnya, menjaga tata
tertib kerajaan, jangan ada yang menyeleweng daripada peraturan yang telah
diadakan. Akhirnya diperingatkan bahwa setiap penyelewengan akan dihancurkan
sampai ke akar-akarnya.
Baru saja membaca sampai di
situ, tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara sinis yang keluar dari lubang
hidung, datangnya dari arah sudut di mana banyak terdapat orang-orang yang
semua juga sedang berlutut sehingga sukar untuk diketahui siapa orangnya yang
mengeluarkan suara ejekan yang amat jelas terdengar tadi itu. Pangeran Yung Hwa
menghentikan bacaanya dan bertanya dengan nada suara halus, namun penuh wibawa,
Siapa yang berani mentertawakan amanat Sri Baginda Kaisar?!
Tentu saja tidak ada seorang
pun yang menjawab. Mereka semua masih saja berlutut, bahkan tidak ada yang
berani mengangkat kepala. Semua ini tampak oleh Kian Lee yang biarpun ikut pula
berlutut akan tetapi dia miringkan kepalanya sehingga dia dapat mengintai ke
depan.
Hemmm, tidak ada yang mau
mengaku, ya?! Pangeran Yung Hwa menjadi marah juga, merasa diejek dan dihina
sebagai utusan kaisar. Dia menoleh kepada Gubernur Hok dari Ho-pei dan memberi
isyarat. Gubernur ini lalu berbisik kepada jagoannya yaitu Tok-gan Sin-ciang Si
Mata Satu.
Baik, akan hamba tangkap dia!!
Orang bermata sebelah ini mengangguk dan tiba-tiba dia menggerakkan kakinya dan
seperti seekor burung garuda saja, tubuhnya sudah mencelat bagaikan terbang
menyambar ke sudut tadi. Tangannya yang kurus itu, dengan lengan yang panjang,
mencengkeram ke depan, ke arah seorang laki-laki yang berlutut di dekat pot
bunga cemara katai. Orang itu terkejut bukan main, tidak mengira bahwa Si Mata
Satu itu demikian cepat gerakannya. Dia mengangkat lengan menangkis.
Dukkkkk!! Keduanya terhuyung
dan orang itu cepat meloncat berdiri. Maka bertandinglah Si Mata Satu melawan
orang ini. Kian Lee mengerling, dan terheran-heran ketika mengenal orang yang
diserang oleh Si Mata Satu itu, karena dia itu ternyata adalah laki-laki yang
sore tadi lewat di depan kamarnya, berdehem dan kemudian tersenyum sinis
kepadanya, lakl-laki muka hitam yang berkumis lebat, yang menurut Cui Lan bernama
Bu Ok Ti, pengawal dari Ouwtee-tok bupati kota San-sian! Dan ternyata orang
bermuka hitam yang agaknya tergila-gila kepada Cui Lan itu juga memiliki
kepandaian hebat! Gerakannya cukup lincah dan kuat sehingga pertandingan antara
dia dan Si Mata Satu itu berlan seru dan dahsyat.
Biarpan di situ terdapat
banyak orang, bahkan banyak orang pandai, diantaranya terdapat Suma Kian Lee,
akan tetapi tidak ada yang tahu bahwa Si Muka Hitam inilah yang tadi mengejek
amanat-amanat dari kaisar. Hal ini adalah karena mereka semua berlutut.
Sebaliknya, sebagai pengawal rombongan utusan kaisar, Si Mata Satu tadi tidak
brlutut maka matanya yang tinggal sebelah dan amat tajam pandangnya itu depat
melihat siapa yang telah mengejek itu, maka dia dapat langsung turun tangan
hendak menangkap Si Muka Hitam.
Pertandingan makin seru, akan
tetapi para tamu tidak ada yang berani bergerak. Pangeran Yung Hwa masih
berdiri dengan leng-ki, bendera yang berkuasa itu, di tangan dan diangkat
tinggi-tinggi. Dan dua orang yang bertanding itu berloncatan ke sana-sini,
mencari tempat-tempat kosong. Akan tetapi akhirnya Si Muka Hitam itu terdesak
juga, repot dia menghadapi kelihaian Tok-gan Sin-ciang yang memiliki tangan
sakti, pukulanpukulan keras, dan tenaga sinkang yang membuat pukulannya
mendatangkan angin bersuitan itu. Mulailah Bu Ok Ti meloncat ke sana-sini
berputar-putar menghindarkan diri dari serangan-serangan maut itu. Akan tetapi,
sambil meloncat seperti terbang, yaitu loncatan ginkang istimewa yang dikuasai
oleh Si Mata Satu, Tok-gan Sin-ciang menyerbu dan melewati banyak kepala orang,
menubruk dan dengan suatu totokan kilat akhirnya dia berhasil merobohkan Bu Ok
Ti.
Tok-gan Sin-ciang lalu
menyeret tawanannya itu, hendak dibawa ke depan Pangeran Yung Hwa. Kian Lee
yang sejak tadi melirik dengan penuh perhatian, dapat melihat ini semua. Akan
tetapi ketika Tok-gan Sin-ciang lewat di dekat si tokoh sesat Siluman Kucing,
dia berteriak mengaduh dan roboh!
Gegerlah keadaan ketika
Tok-gan Sinciang roboh itu. Komandan pengawal Kuku Garuda yang lihai tentu saja
dapat melihat bahwa robohnya Tok-gan Sinciang adalah ketika lewat di depan
Siluman Kucing, maka sambil berseru keras, seorang di antara mereka meloncat
dan menerkam ke arah Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkekeh dan bangkit berdiri
ialu menangkis, tangkisan hebat yang membuat komandan itu hampir terjengkang
karena dia tidak menyangka sama sekali bahwa perempuan cantik itu sedemikian
hebat tenaga sinkangnya. Maka mereka lalu bertempur, lebih hebat daripada
pertempuran yang tadi. Tok-gan Sin-ciang dan Bu Ok Ti sudah tak dapat bergerak
dan kini pertandingan antara komandan Kuku Garuda yang bermata sipit melawan
Mau Siauw Mo-1i terjadi lebih cepat lagi. Tidak percuma Si Mata Sipit menjadi
komandan Kuku Garuda dan kini dipercaya untuk menjadi seorang di antara dua
pengawal pribadi utusan kaisar, karena memang hebat kepandaiannya. Biarpun Mauw
Siauw Mo-li adalah seorang tokoh lalim sesat yang amat lihai, ternyata komandan
ini dapat mengimbangi kecepatannya dan para tamu yang kini berani mengangkat
muka, menjadi silau menyaksikan pertempuran di antara mereka yang demikian
cepatnya. Mauw Siauw Mo-li telah mengeluarkan sebatang pedangnya dan kini
pedang itu diputar sedemikian rupa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi
segulung sinar hijau yang menyilaukan mata. Akan tetapi komandan itu pun
mengeluarkan sebatang pedang yang sinarnya putih, sehingga tampaklah
pemandangan yang amat indah, dua gulungan sinar hijau dan putih, saling belit
di antara berkelebatnya bayangan mereka, seolah-olah dua orang penari yang
sedang bergaya dengan menggunakan selendang hijau dan putih. Akan tetapi semua
orang merasa tegang karena maklum bahwa selendang! hijau dan putih itu adalah
sinar-sinar pedang yang mematikan.
Sambil mengeluarkan suara aneh
seperti kucing terinjak ekornya, Mauw Siauw Mo-li mengirim tusukan kilat dan
tangan kirinya juga menghantam dengan pukulan beracun yagg mengeluarkan uap
hitam. Komandan itu terkejut dan cepat dia meloncat ke belakang. Akan tetapi
ketika dia meloncat tiba di dekat tempat Gubernur Ho-nan atau tuan rumah yang
sedang berlutut, tiba-tiba ada angin menyambar ke arah punggungnya.
Tranggg....!! Untung dia cepat
menangkis dengan pedangnya yang dikelebatkan ke belakang dan ternyata yang
menyerangnya adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang tadi menggunakan guci araknya sebagai
senjata! Kiranya guci arak itu brkan hanya terdapat arak untuk diminum, akan
tetapi juga merupakan sebuah senjata yang aneh dan ampuh! Tanpa banyak cakap,
Ho-nan Ciu-lo-mo yang tentu saja sudah mendapat perkenan dan isyarat dari
Gubernur Kui itu, terus menerjang dan mengeroyok komandan bermata sipit dari
istana iaisar itu.
Penjahat pemberontak!!
Komandan ke dua dari Kuku Garuda yang jenggotnya lebat, sudah menerjang maju
dan dengan pedangnya yang bersinar putih pula dia telah menerjang Ciu-lo-mo
sehingga kini pertandingan terpecah menjadi dua. Dua orang komandan itu melawan
Mauw Siauw Mo-li dan Ciu-lo-mo.
Kini keadaan menjadi makin
geger. Semua tamu sudah bangkit berdiri dan kini para jagoan Ho-nan sudah
menerima perintah lalu maju, disambut oleh pasuken penwal Kuku Garuda yang tiga
losin jumlahnya itu. Terjadilah pertempuran yang kacau-balau dan hebat.
Kian Lee juga sudah melompat
berdiri, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu mengapa ada
pertempuran di antara orang-orang pemerintah sendiri. Dia melihat Pangeran Yung
Hwa melarikan diri dikejar ole Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia
ketika hendak menangkapnya di celah tebing. Melihat ini dia cepat meloncat dan
mengejar secepatnya bagaikan seekor burung terbang karena dia mengkhawatirkan
keselamatan pangeran itu. Dilihatnya betapa Pangeran Yung Hwa lari ke luar dari
taman dan terus dikejar oleh perwira Su Kiat dengan sikap mengancam, maka dia
pun membayangi dan siap untuk menolong apabila pangeran itu terancam bahaya.
***
Kita tinggalkan dulu keributan
yang terjadi di taman istana Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam, yang ternyata
diam-diam mempersiapkan pemberontakan itu, dan agar tidak terlalu lama
tertinggal, maka sebaiknya kita menengok keadaan Puteri Syanti Dewi di Istana
Raja Bhutan.
Pada suatu senja yang dingin.
Musim dingin telah mulai di Bhutan dan udara amat dinginnya, menyusup ke tulang
sumsum sehingga semua orang yang memberanikan diri ke luar dari rumah tentu
memakai baju yang tebal atau baju bulu, dengan kopyah atau pelindung kepala
bulu yang menutup kedua telinga.
Hanya orang-orang yang
mempunyai keperluan penting saja mau ke luar dari rumah yang hangat di saat
seperti itu. Di dalam rumah, hawanya hangat dan nyaman karena setiap rumah tentu
menyalakan api di dalam perapian. Tidak ada angin berkelisik di dalam taman
istana Bhutan. Pohon-pohon berdiri seperti mati, sungguhpun daun-daunnya masih
segar dan berwarna hijau kehitaman karena sinar matahari sudah menyuram. Hanya
di langit barat saja tampak awan-awan seperti terbakar merah yang nampak nyata
dan luar biasa dibawah langit yang biru. Burung-burung sudah sejak tadi
bergegas pulang dan berlindung ke sarang masing-masing, di pohon-pohon atau di
batu-batu gunung, mendekam dengan bulu mekar untuk menghangatkan tubuh. Tiada
nampak seauatu bergerak di dalam taman yang penuh bunga itu dan bunga-bunga pun
agaknya mulai mengaso, tidak berseri-seri seperti di siang hari. Seluruh dunia,
dan langit biru sampai air empang teratai di dalam taman yang tidak bergerak
sedikit pun, nampaknya lengang dan hening, merupakan suatu keseluruhan yang
tidak pernah terpisah senapas dan tercakup dalam keiindahan yang satu.
Akan tetapi di dalam kesunyian
senja yang indah itu, tampak ada seorang wanita muda duduk seorang diri di
dalam taman istana, memandang dengan sinar mata kosong dan sayu ke arah
bunga-bunga teratai merah di atas empang. Dia seorang wanita yang amat cantik
jelita, usianya kurang lebih dua puluh tahun, dan dari pakaiannya saja mudah
diduga bahwa dia bukanlah wanita biasa, bukanlah pelayan istana. Wajahnya
cantik sekali, dengan hidung mancung dan mata yang lembut pandangnya, namun
mulut yang bentuknya indah mengaairahkan itu membayangkan kekerasan hati.
Dia adalah Puteri Syanti Dewi,
puteri Rja Bhutan yang terkasih, disayang oleh raja dan ratu, disayang pula
oleh para punggawa, dan dipuja oleh rakyat Bhutan. Bagi rakyat Bhutan, Puteri
Syanti Dewi seolah merupakan bulan yang menyinarkan keindahan dan kegembiraan.
Apalagi setelah puteri yang tadinya dianggap telah hilang atau mati, setelah
puteri ltu lenyap bertahun-tahun, kemudian muncul kembali dalam keadaan
selamat, sehat bahkan lebih cantik jelia! Di dalam cerita Kisah Sepasang
Rajawali telah diceritakan pengalaman Puteri Syanti Dewi ini ketika bersama Lu
Ceng atau Ceng Ceng dia mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat sampai
akhirnya dia berhasil kembali ke Bhutan. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali
diceritakan pula betapa Puteri Syanti Dewi akhirnya menemukan cintanya dalam
diri Ang Tek Hoat, pemuda perkasa yang telah berkali-kail menolongnya, bahkan
yang terakhir sekali pemuda itu membuat banyak jasa terhadap Bhutan sehingga
dianggap sebagai pahlawan Bhutan dan diangkat menjadi panglima oleh Raja Bhutan
di samping menjadi tunangannya secara resmi. Tentu saja Syanti Dewi menjadi
berbahagia dan dia hanya menanti saat datangnya hari pernikahannya dengan pria
pilihan dan idaman hatinya itu.
Akan tetapi, segala sesuatu
memang tidak kekal di dunia ini. Bahkan kebahagiaan hati Sang Puteri ini pun
tidak kekal adanya. Seperti telah diceritakan dibagian depan cerita ini,
munculiah awan gelap yang menghalangi kecerahan hidup puteri ini ketika seorang
wanita yang bernama Ang Siok Bi muncul di Bhutan. Wanita yang hidupnya diracuni
dendam ini adalah ibu Ang Tek Hoat yang ingin menarik puteranya ke luar dari
Bhutan agar dapat membalaskan dendamnya terhadap keluarga Pulau Es dan akhirnya
wanita itu berhasil membakar hati Raja Bhutan sehingga Ang Tek Hoat dihentikan
sebagai panglima, bahkan ikatan jodoh antara pendekar itu dan Syanti Dewi
dibatalkan. Peristiwa ini membuat pendekar itu merasa penasaran dan terhina
sehingga dia pergi meninggalkan Bhutan tanpa sempat pamit dari kekasihnya.
Demikianlah, Syanti Dewi hanya
menerima kabar dari ayahnya bahwa Ang Tek Hoat telah minggat dari Bhutan karena
terbuka rahasianya bahwa pemuda yang tadinya disangka seorang pendekar
terhormat, masih keluarga dari Majikan Pulau Es, yang dianggap pahlawan dan
diterima sebagai tunangan Puteri Syanti Dewi itu, ternyata hanyalah seorang anak
haram! Karena malu, pemuda itu lolos dari Bhutan tanpa pamit, demikian berita
yang diterima oleh Syanti Dewi. Mendengar berita ini, Syanti Dewi jatuh pingsan
dan menderita sakit demam karena guncangan batin yang amat hebat. Sampai tiga
bulan puteri ini sakit dan nyaris tewas oleh sakitnya. Akan tetapi berkat
perawatan penuh ketelitian dari para tabib yang dikumpulkan oleh Raja Bhutan,
akhirnya Sang Puteri sembuh juga. Akan tetapi terjadi perubahan besar dalam
diri Sang Puteri. Puteri yang tadinya lincah jenaka itu kini selalu murung, dia
kehilangan gairah hidupnya, tidak mempunyai kegembiraan lagi. Biarpun dia masih
cantik jelita seperti bulan purnama, namun bulan itu selalu tertutup mendung.
Tentu saja raja dan ratu
merasa prihatin sekali dengan keadaan puteri mereka itu.
Syanti Dewi, ingatlah bahwa
engkau adalah puteri kerajaan! Nasibmu masih baik bahwa engkau belum terlanjur
menjadl isteri anak haram itu. Betapa akan mencemarkan nama keluarga kita kalau
hal itu terjadi! Perlu apa engkau memikirkan lagi manusia tak tahu malu ltu?!
berkali-kali raja dan ratu menegur dan menghibur puteri mereka.
Kenapa dia pergi tanpa menemui
aku?! berkali-kali Syanti Dewi mengeluh dengan suara mengandung penuh
penyesalan.
Tentu dia malu!! kata Sri
Baginda Raja. Setelah terbuka rahasianya, tentu dia tidak ada muka lagi untuk
bertemu denganmu dan memang sudah semestinya begitu.!
Tidak, Ayah.... tidak....
Syanti Dewi mengepal tinju dan menggeleng kepala keras-keras. Dia bukan manusia
seperti itu! Aku cinta padanya, Ayah, Ibu. Aku cinta padanya, tidak mengertikah
Ayah dan Ibu? Aku cinta padanya!!
Hemmm, Syanti Dewi, ingatlah
bahwa dia adalah seorang anak haram, tidak ketahuan siapa Ayahnya! Dan kau tahu
siapa yang memberitahukan kepada kami akan hal itu? Ibunya sendiri!! Sri
Baginda berkata marah.
Aku tahu, aku pernah melihat
Ibunya. Ayah, Ibu.... yang kucinta adalah orangnya, bukan silsilah
keturunannya, bukan kedudukannya, bukan nama baik atau buruknya. Tidak
mengertikah Ayah dan Ibu?!
Akan tetapi semua bantahan
Syanti Dewi, segala pembelaannya percuma saja karena Tek Hoat telah pergi dan
tidak ada seorang pun tahu kemana perginya. Beberapa kali Syanti Dewi hendak
minggat dari istana untuk pergi menyusul dan mancari kekasihnya, akan tetapi
selalu gagal karena Sri Baginda raja telah memerintahkan kepada para pengawal
agar mereka melakukan penjagaan ketat dan tidak memperbolehkan siapapun juga
memasuki istana puteri. Apalagi manusia, seekor kucing pun tidak akan mungkin
masuk menerobos penjagaan ratusan orang pengawal yang berjaga siang dan malam
itu! Syanti Dewi memprotes ayahnya, menangis, namun semua itu sia-sia belaka.
Ayahnya tidak mengijinkan dia pergi.
Kemudian ayahnya memutuskan
untuk mengawinkan puteri itu dengan Mohinta, putera dari Panglima Tua Sangita
yang telah banyak jasanya.
Mohinta adalah seorang
panglima muda yang amat setia, tampan dan gagah, juga ayahnya adalah seorang
yang setia kepada Bhutan,! demikian antara lain Sri Baginda membujuk puterinya.
Selain kita semua tahu akan riwayat keluarganya, juga sejak kecil engkau telah
mengenalnya karena dia adalah sahabatmu di waktu kecil. Hanya dialah yang dapat
menyelamatkan namamu dan nama keluarga kita dari aib yang didatangkan oleh
penjahat asing Ang Tek Hoat itu.!
Ayah....!! Syanti Dewi hanya
dapat menangis.
Akan tetapi setiap kali
pernikahan direncanakan, Syanti Dewi selalu minta waktu dan minta mundur.
Karena Sri Baginda juga mengenal watak puterinya yang keras, maka dia tidak
berani memaksa, apalagi karena Panglima Mohinta yang mencinta puteri itu juga bersabar
dan menanti sampai Sang Puteri tidak berduka lagi. Dia percaya bahwa kedukaan
tidak akan berlangsung selamanya, maka panglima muda itu bersabar menanti.
Betapa dia tidak akan sabar kalau mengingat bahwa selain dia akan dapat
memiliki puteri yang amat cantik jelita itu, juga kelak isterinya itu akan
menjadi Ratu Bhutan dan tentu saja hal itu berarti mengangkat dia menjadi orang
yang paling tinggi kedudukannya di kerajaan itu?
Demikianlah, sampai empat
tahun lamanya sejak Tek Hoat meninggalkan Bhutan, Syanti Dewi masih sering kali
termenung seorang diri di dalam taman, di mana dahulu dia sering mengadakan
pertemuan yang asyik dan mesra dengan Tek Hoat. Memang rasa sakit di hatinya
sudah tidak begitu terasa lagi, luka itu sudah hampir kering, namun puteri itu
belum dapat memulihkan kegembiraan hidupnya dan lebih suka menyendiri. Kalau
dia sedang melamun seperti itu, dia lupa akan keadaan sekelilingnya, bahkan
tidak merasakan lagi hawa dingin yang menyusup tulang!
Sementara itu, di luar pintu
gerbang istana Bhutan juga terjadi hal yang amat menarik. Hawa udara yang amat
dingin membuat orartg-orang segan keluar rumah dan lalu lintas di jalan-jalan
raya juga sepi. Para penjaga yang kedinginan sudah mengenakan baju bulu dan
topi bulu penutup telinga dan kepala, bahkan mereka juga membuat api unggun di
tempat pernagaan untuk menambah hangat dan mengusir hawa dingin yang mencoba
untuk menyusup dan menyerang kulit mereka melalui lengan baju dan leher baju.
Api unggun bernyala merah, hampir sama dengan warna merah di langit barat yang
mulai memudar, targanti warna kelabu yang gelap.
Sssttttt, lihat dia itu....!!
Tiba-tiba seorang penjaga menyentuh lengan kawannya yang sedang menambah kayu
dalam api unggun, lalu menuding ke luar pintu gerbang. Kawannya menengok dan
mengeluarkan suara suitan tertahan saking kagumnya. Suara ini sudah biasa bagi
para penjaga, suara suitan tertahan yang menjadi tanda kekaguman kalau mereka
melihat wanita cantik lewat di pintu gerbang. Karena itu, para penjaga yang
jumlahnya lima belas orang, yang keisengan di waktu hawa sedingin itu, kini
memperhatikan ke luar pintu gerbang, kepala mereka menjeguk ke luar dan mata
mereka terbelalak memandang menembus kesuraman senja.
Waduh cantiknya....!! kata
seorang.
Bukan main! Manis sekali....!!
Tubuhnya.... amboiiiii....!!
Mati aku.... lenggangnya....!
Wab, dia memakai pakaian
setipis itu dan tidak kelihatan kedinginan!! Seorang yang lebih teliti berkata
dan barulah teman-temannya juga melihat kenyataan yang memang luar biasa ini.
Dan tidak hujan tidak panas
dia memakai payung!!
Wah, wah.... sepatunya juga
kain, bagaimana dia dapat bertahan dalam udara sedingin ini?!
Cantik jelita, pakai payung
malam-malam tidak hujan, sedingin ini berpakaian tipis tanpa merasa dingin,
wah-wah, jangan-jangan dia bukan manusia !!
Hihhh....!!
Semua orang mulai merasa seram
dan untuk menabahkan hati, mereka meraba gagang senjata masing-masing dan kini
lima belas orang itu sudah keluar semua dari gardu penjagaan. Komandan mereka,
seorang pendek gemuk yang terkenal galak dan pemberani, sudah keluar pula dan
memandang dengan alis berkerut, kumisnya yang tipis bergerak-gerak dan ini
merupakan tanda bagi anak buahnya bahwa komandan mereka itu sedang tegang
hatiya!
Hemmm, mencurigakan.
Anak-anak, siap!! Sang komandan memberi komando dan dia sendiri lalu menghadang
di tengah pintu gerbang. Kebetulan sekali sangat sunyi saat itu, tidak ada
orang lain yang lewat di pintu gerbang kecuali wanita itu.
Tidak salah penjaga yang
sambat mati melihat lenggang itu. Memang bukan main! Seperti harimau lapar
lenggangnya, lambat-lambat dan satu-satu kedua kaki itu bergantian melangkah
maju dengan gerakan agak menyilang sehingga dari depan pun nampak jelas
pinggang yang ramping itu meliuk-liuk dan sisi pinggul yang padat itu miring ke
kanan kiri berirama! Lenggang itu seperti lenggang tarian! Wanita itu berjalan
seperti orang menari saja, berirama dan begitu teratur indah! Lengan kirinya
terayun manis di sisi tubuhnya dan siku lengan kanan yang memegang gagang
payung itu pun bergerak-gerak mengikuti gerak tubuh ke kanan kiri. Bukan main!
Setiap bagian tubuh itu seperti hidup dalam lenggang maut itu!
Wanita itu kini makin dekat
dan makin jelaslah kelihatan bentuk wajah dan tubuhnya yang tertutup pakaian
tipis dari sutera. Wajah yang aduhai! Manis seperti madu. Dagunya meruncing dan
bibirnya yang selalu mengulum senyum itu bergerak-gerak lucu dan penuh daya
pikat. Bibir bawah itu tak pernah diam, selalu bergerak dan tergetar
seolah-olah mengandung penuh perasaan hati, mengandung gejolak perasaan yang
menggerakkan bibir bawah dan cuping hidung yang tipis. Matanya agak lebar, jeli
dan tajam pandangnya, kadang-kadang redup penuh rahasia dan seolah-olah sinar
mata itu bersembunyi di balik bulu mata yang merupakan selubung atau tirai
indah. Lesung pipit menghias pipi yang segar kemerahan seperti buah tomat
masak.
Seorang dara yang amat cantik
jelita, yang usianya tidak akan lebih dari sembilan belas tahun. Pakaiannya
dari sutera tipis yang lemas sehingga seolah-olah mencetak bentuk tubuhnya,
namun potongan pakaiannya rapi dan dari model terakhir dan terbuat dari sutera
mahal. Payungnya juga indah sekali buatan selatan, dari sutera dan gagangnya
berukir. Wajah yang amat cantik itu selalu tersenyum, mata yang sinarnya jernih
itu seolah-olah mengajak semua orang bersendau-gurau tanpa kata.
Kalau saja para penjaga itu
terdiri dari orang-orang yang mempunyai pandangan tajam, tentu mereka sudah
dapat menduga bahwa dara yang cantik jelita ini, yang kelihatan begitu ayu dan
lemah lembut, tentulah bukan orang sembarangan. Tanda-tandanya sudah nampak
jelas. Dara ini aneh, tidak hujan, tidak panas memakai payung, ini menunjukkan
bahwa dia suka bersikap aneh, sikap yang biasanya hanya dimiliki para kelana
yang berilmu tinggi. Dara ini seorang diri saja melakukan perjalanan, padahal
di masa itu bagi seorang wanita muda melakukan perjalanan seorang diri
merupakan hal yang langka.
Kalau dara ini kelihatan
membawa senjata jelas bahwa dia adalah seorang kang-ouw (kelana persilatan),
akan tetapi tanpa senjata berani melakukan perjalanan seorang diri membayangkan
keadaan seorang yang tentu sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, sehingga
tidak membutuhkan bantuan senjata! Ini pun biasanya hanya terdapat pada
orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Kemudian, lebih jelas lagi, dalam
keadaan hawa udara sedingin itu sehingga para perajurit penjaga yang terlatih
dan bertubuh kuat itu pun masih melindungi tubuh dengan baju tebal dan api
unggun, dara itu hanya memakai pakaian sutera tipis dan berjalan enak-enak saja
berlenggang kangkung memakai payung. Ini pun suatu keanehan luar biasa, ciri
seorang yang tidak boleh digolongkan orang-orang biasa.
Akan tetapi, para penjaga itu
seperti buta oleh kesombongan mereka sendiri. Terutama terdorong oleh gairah
yang sudah dinyatakan oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh, apalagi
setelah kini tercium bau semerbak harum yang datang dari dara itu, memancing
sikap ugal-ugalan dari mereka.
Si komandan gendut pendek
cepat berjalan menghampiri dan tubuhnya yang pendek itu seolah-olah
menggelundung saking cepatnya gerakan kedua kakinya yang pendek. Ehmmm,
berhenti dulu, Nona!! katanya sambil mengangkat tangan ke atas dengan gerakan
menghentikan dan tangan kirinya bertolak pinggang dengan aksi sekali.
Wajah di bawah payung itu
berseri dan bibir merah itu merekah sedikit sehingga kelihatan benda putih
seperti mutiara berkilau sebentar lalu tertutup lagi oleh bibir yang
bergerak-gerakitu. Si Gendut menelan ludah, sampai berceguk bunyinya. Matanya
seperti bergantung kepada bibir itu seperti seorang kehausan melihat buah
anggur masak yang segar.
Dengan bahasa Bhutan yang
tidak kaku, dara yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah orang Han dari
timur itu menjawab, Mengapa aku harus berhenti? Bukankah ini merupakan jalan
umum?! Ketika bicara, bibirnya itu bergerak-gerak manis dan pinggang yang
seperti batang pohon yang-liu tertiup angin itu dengan lemasnya meliuk-liuk.
Komandan gendut itu kembali
menelan ludah dan pandang matanya menggerayangi seluruh tubuh orang, dari
rambut yang hitm subur itu sampai ke kaki yang kecil mungil.
Memang jalan umum, akan tetapi
kami berhak menahan setiap orang yang mencurigakan.!
Senyum manis itu melebar dan
menjadi makin manis. Eh, kauanggap aku mencurigakan?!
Engkau seorang wanita muda
berjalan sendirian. Engkau mencurigakan dan engkau juga manis sekali
menggairahkan.... eh, Nona.... kasihan sekali hawa begini dingin engkau jalan
sendirian. Marilah, mari masuk ke dalam gardu penjagaan yang hangat dan kita
mengobrol heh-heh....! Si Gendut menyeringai, nampak gigi yang panjang-panjang
dan teman-temannya juga tersenyum menyeringai.
Dara itu tidak menjadi marah.
Agaknya semuda itu dia telah pandai menguasai hatinya dan tidak mudah menjadi
marah, sungguhpun pandang matannya tetap tersenyum dan dia berkata, Aihh, Paman
pengawal. Jangan begitu! Aku hanyalah seorang gadis perantau yang kebetulan
lewat di sini, harap jangan menggangguku dan biarkan aku lewat.! Dia membujuk.
Melihat gadis itu tidak marah
malah tersenyum, Si Gendut mendapat hati dan dia melangkah maju makin dekat dan
tangannya bergerak hendak memegang lengan kiri gadis itu. Akan tetapi gadis itu
mundur selangkah dan menarik tangannya sehingga pegangan itu luput.
Ehemmmmm, Nona Manis. Engkau
berpakaian seperti orang timur, engkau mencurigakan. Kalau engkau mau menemani
aku di dalam gardu, aku masih bisa membiarkan kau lewat nanti. Kalau kau
menolak, terpaksa aku akan menggeledah seluruh tubuhmu, kalau-kalau kau
menyembunyikan sesuatu yang rahasia, heh-heh!!
Ho-ho, dia memang
menyembunyikan banyak rahasia yang hebat-hebat!!' terdengar seorang penjaga
berkata dan tertawalah mereka semua. Si Gendut sambil menyeringai kembali
mendekati gadis itu.
Tidak ada yang sadar bahwa
kini sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar yang anehisinar mata yang
tidak lumrah manusia, mencorong dan mengandung wibawa yang luar biasa kuatnya,
akan tetapi mulut yang manis itu masih saja tersenyum sehingga sepasang lesung
pipit nampak mengapit mulut di kanan kiri, menambah kemanisan wajah itu.
Kembali dara jelita itu
menggerakkan tubuh dan tangkapan tangan Si Gendut mengenai tempat kosong. Hei,
engkau ini manusia ataukah katak? Kaulihat engkau gendut bundar mirip katak!!
Tiba-tiba dara itu berseru, suaranya yang halus merdu melengking nyaring,
menusuk telinga semua penjaga yang sudah keluar dari dalam gardu penjagaan.
Heiiiii, kawan-kawan penjaga, dari mana kalian memperoleh katak gendut sebesar
ini?! Dara itu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka tangan
kiri itu seperti melakukan gerakan mendorong ke arah si komandan gendut dan
melambai ke arah para penjaga, senyum manisnya tetap menghias bibirnya.
Katak....?!
Katak gendut....?!
Katak....!
Heiiiii! Ada katak....!!
Dari mana datangnya katak
raksasa ini?!
Wah, jangan diserang! Lihat
celananya.... eh, dia....!!
Semua penjaga terbelalak dan
memandang dengan muka pucat ke arah seekor katak besar gendut yang mendekam di
atas tanah di mana tadi si komandan gendut berdiri. Katak raksesa ini memakai
pakaian si komandan, dan mendekam dengan sepasang mata terbelalak tak pernah
berkedip.
Para penjaga menggosok-gosok
mata mereka dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja, komandan mereka telah
lenyap dan sebagai gantinya di tempatnya terdapat seekor katak raksasa yang
memakai pakaian si komandan tadi! Tantu saja hal yang mustahil itu membuat
mereka tidak percaya dan berulang kaii menggosok mata, namun mereka tidak mimpi
dan memang komandan mereka telah berubah menjadi seekor katak besar! Dan selagi
lima belas orang penjaga itu terlongong keheranan memandang kepada katak
raksasa itu, Si Dara jelita melenggang dengan seenaknya melewati pintu gerbang,
masuk ke halaman istana Raja Bhutan!
Hei....!! seorang penjaga yang
dapat menekan ketegangan hatinya menengok dan berseru ketika melihat gadis itu.
Semua orang juga menengok dan dalam sesaat mereka bengong, mata mereka
menjuling ketika dari belakang melihat pemandangan yang amat mempesonakan.
Lenggang lemah gemulai seperti orang menari itu mengakibatkan dua bukit pinggul
yang bulat padat dan terbentuk oleh pakaian sutera ketat itu bergerak
menari-nari naik turun dan dalam gerakan ini terkandung kekuatan yang
seolah-olah membetot semangat lima belas orang itu!
Hei, tunggu dulu....!! Seorang
penjaga yang sadar lebih dulu berteriak dan lari sambil memegang tombaknya
erat-erat.
Tangkap....!!
Dia tentu siluman....!!
Lima belas orang itu yang kini
teringat bahwa komandan mereka telah dikutuk menjadi raksasa oleh dara jelita
yang mereka yakin tentu sebangsa siluman, kini lari mengejar dengan senjata di
tangan.
Dara itu berhenti melenggang,
tubuh atasnya masih tertutup payung yang dipanggul di atas pundaknya. Kini,
payung itu diputar-putar, kemudian setelah lima belas orang itu mengejar dekat,
dia membalikkan tubuhnya dan berkata, Kalian ini sebetulnya mau apa sih?!
Lima belas orang itu tersentak
kaget dan otomatis mereka menahan kaki mereka sampai ada yang hampir
terjungkal. Semua mata memandang wajah dara itu dan semuanya menahan napas,
mata mereka melotot sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk mata. Muka
mereka menjadi pucat dan tubuh mereka menggigil, dari tenggorokan mereka keluar
suara ah-ah-uh-uh seolah-olah mereka semua mendadak telah menjadi gagu atau
menjadi gila. Mereka adalah perajurit-perajurit penjaga Bhutan yang sudah biasa
menghadapi bahaya melawan musuh dan rata-rata memiliki tenaga besar dan
kepandaian bertempur, bukan laki-laki lemah dan penakut. Akan tetapi saat itu
mereka menjadi ketakutan, bahkan ada yang saking ngerinya sampai
terkencing-kencing, celana mereka basah tanpa mereka sadari! Siapa orangnya
yang tidak akan merasa takut dan serem kalau melihat wajah wanita itu? Tadinya
wanita itu demikian cantik jelita, seperti bidadari yang murah senyum manis,
akan tetapi sekarang? Kalau berubah buruk saja masih tidak menakutkan, akan
tetapi kini wajah itu polos!, hanya merupakan seraut wajah polos berkulit halus
dan rata, tidak ada mata hidung atau mulut, tidak ada tonjolan atau lekukan,
halus mulus dan polos! Mereka bergidik. Tadi saja mereka sudah merasa ngeri dan
ketakutan melihat komandan mereka berubah menjadi katak, sekarang lebih lagi
ketika melihat wanita yang mereka sangka siluman itu menghadapi mereka dengan
muka polos seperti itu!
Hihhhhh....
hu-hu-huuhhhhh....! Di antara mereka ada yang menggigil dan mengeluarkan suara
seperti itu. Suara ini tak tertahankan lagi oleh mereka dan larilah mereka
tunggang-langgang, jatuh bangun dan saling tabrak, kembali ke gardu mereka.
Apalagi ketlka mereka melihat katak raksasa! tadi sudah lenyap dan kini mereka
melihat komandan mereka masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut masih
menyeringai, kaku seperti arca!
Dara itu mengeluarkan suara
ketawa ditahan, tubuhnya membalik lagi, payungnya berputaran dan lenggangnya
yang mempesona dilanjutkan menuju ke arah istana.
Hi-hik, orang-orang
tolol....!! bisiknya sambil menggunakan tangan kirinya, melepaskan kedok! atau
topeng yang terbuat dari bahan semacam karet putih yang tadi dia pakai untuk
menutupi mukanya sehingga membuat para penjaga lari terbirit-birit.
Tiba-tiba komandan jaga yang
tadinya diam seperti patung itu bergerak dan berteriak, Eh, orang-orang tolol!
Mengapa kalian diam saja membiarkan dia masuk? Hayo kejar dan tangkap dia!!
Komandan itu sendiri sudah mencabut pedangnya dan lari mengejar. Para anak
buahnya terbelalak ngeri.
Tapi.... tapi.... dia....
siluman!
Siluman atau setan, kalau
sampai dia memasuki istana, kita celaka!! Si komandan membentak dan para anak
buahnya sadar. Mereka lalu berteriak-teriak sambil memegang sanjata dan
mengejar, termasuk mereka yang celananya basah. Teringat akan tugas dan
tanggung jawab, mereka terbangun semangatnya dan menjadi berani lagi.
Kejar....!!
Tangkaaapppp....!!
Berserabutan mereka lari
mengejar. Dara itu mendengar teriakan-teriakan mereka, menengok, tersenyum
mengejek dan tubuhnya mencelat ke depan, jauh sekali seolah-olah dia telah
terbang saja! Terdengar suara ketawa halus merdu dan dengan beberapa lompatan lagi,
tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan lenyap.
Siluman....!! Semua penjaga
kembali bengong dan muka mereka berubah pucat.
Celaka, dia masuk pagar tembok
istana, kita harus melaporkan!! Si komandan yang masih belum sadar betapa dia
tadi telah berubah menjadi katak raksasa, lalu cepat lari ke pintu depan istana
untuk melaporkan peristiwa itu kepada para pengawal istana.
Gegerlah seluruh istana
Kerajaan Bhutan dengan berita tentang siluman yang memasuki istana itu. Tentu
saja sebagian besar orang tidak percaya, dan raja sendiri pun tidak percaya.
Namun betapapun juga, para panglima mengerahkan pengawal-pengawal istana untuk
melakukan penjagaan dan perondaan yang ketat untuk menjaga keselamatan keluarga
istana raja. Juga para pendeta Buddha dikerahkan untuk mengusir roh! jahat atau
siluman yang mengganggu istana.
Kalau saja tidak ada
pengerahan pendeta-pendeta untuk mengusir roh-roh jahat, kiranya tidak akan
terjadi hal-hal yang menghebohkan. Malam itu juga, seorang pendeta Buddha yang
terkenal sebagai seorang ahli roh-roh jahat dan siluman yang bernama Nalanda,
seorang yang bertubuh tinggi besar, berusia lima puluh tahun berwajah angker
dan serius, dengan membawa tempat pedupaan yang terisi dupa wangi mengebul,
berjalan mengelilingi istana. Asap dupa mengebul dari tempat pedupaan, baunya
semerbak sampai ke sudut-sudut, dan Pendeta Nalanda berkemak-kemik membaca
mantera untuk mengusir roh jahat.
Pada saat itu, sesosok
bayangan menyelinap di antara bayangan-bayangan gedung istana. Bayangan ini
bukan lain adalah dara cantik jelita yang tadi telah menggegerkan luar istana.
Kini payungnya telah ditutup dan dikempit di bawah ketiak kirinya, dan dengan
gerakan kaki yang ringan dan gesit, tanda bahwa gadis siluman! ini memiliki
kepandaian tinggi, dan menyelinap ke sana ke mari mencari-cari. Dara itu sudah
mulai kelihatan gelisah dan jengkel karena dia tidak mengenal jalan dan selalu
tersesat bertemu dengan lorong buntu di komleks istana yang luas itu.
Siaalan....!! Berulang kali
dia mengumpat dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
Tiba-tiba hidung yang
cupingnya tipis itu bergerak-gerak, seperti hidung kelinci mencium bau harimau
yang berbahaya, matanya berkilat dan kepalanya menoleh ke sana-sini
mencari-cari sumber bau dupa harum itu yang makin lama makin keras. Akhirnya
dia bergerak menyelinap di antara pot-pot bunga antik yang besar, bersembuyi di
balik pot bunga dan mengintai ke arah Pendeta Nalanda yang melangkah datang
perlahan-lahan dengan tangan memegang pedupaan yang mengebulkan asap putih dan
bibirnya berkemak-kemik membaca mantera pengusir roh jahat.
Dara itu tersenyum geli.
Sekelebat mata giginya yang putih seperti mutiara itu berkilat tertimpa cahaya
lampu yang banyak bergantung di lorong-lorong istana. Dara itu mengerti mengapa
pendeta ini membakar dupa dan berdoa mengusir roh jahat. Matanya yang cerdik
itu berkilauan dan wajahnya yang jelita berseri gembira. Dia memperoleh seorang
petunjuk jalan, pikirnya! Maka dengan gerakan yang ringan menandakan bahwa dia
memiliki ginkang yang tinggi, dara itu lalu menyelinap dan membayangi pendeta
itu dari belakang.
Pendeta Nalanda memasuki taman
bunga istana, di istana bagian puteri yang terjaga ketat. Penjagaan di sekitar
taman ini ketat bukan main dan dara cantik itu hanya bersembunyi di luar taman,
akan tetapi dia dapat mengintai dari luar, melihat pendeta itu memasuki taman,
tiba di tengah taman yang luas dan dari jauh dia melihat pendeta itu bicara
kepada seorang wanita yang agaknya duduk di dalam taman, lalu pendeta itu
mengelilingi taman dengan pedupaannya dan keluar lagi. Si Dara terus
membayanginya dan akhirnya dia melihat pendeta itu memasuki sebuah kamar
kosong, meletakkan pendupaan di atas lantai di tengah kamar, kemudian dia
berjalan mengelilingi pendupaan, kedua tangan dirangkap di depan dada, mulutnya
tiada hentinya berkemak-kemik membaca mantera.
Kemudian pendeta itu berdiri
tegak di tengah kamar, pendupaan mengebul di dekat kakinya, dan terdengar dia
berkata, Wahai semua roh penasaran yang berkeliaran di sekitar istana Bhutan,
dengarlah perintahku! Aku adalah yang terkasih, Pendeta Nalanda, yang telah
memperoleh penerangan dan kekuasaan untuk mengusir kalian! Jangan kalian berani
mendekati dan mengganggu istana, atau aku akan menggunakan kekuasaan untuk
menghukum kalian!!