Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 38 - Rahasia Wanita
Melihat sikap pria asing itu,
Siang In juga balas menjura. Sebenarnya, antara aku dan kalian tidak ada urusan
apa-apa, dan aku pun tidak akan berani mengganggu orang tanpa sebab. Akan
tetapi ada terjadi hal-hal yang mencurigakan hatiku dan yang tentu akan membuat
aku selalu merasa penasaran sebelum memperoleh keterangan dari kalian berdua.!
Hemmm, bocah yang lancang. Kau
menghendaki keterangan apakah?! tiba-tiba wanita baju hijau itu berkata,
suaranya jelas mengandung kemarahan.
Akan tetapi Siang In tetap
saja tersenyum, dan bukan main manisnya dara ini kalau hatinya sedang tegang
dan ditutup oleh senyumnya yang khas. Aku hanya ingin bertanya, mengapa ada
seorang gadis mempunyai anak dan mengapa ada anak disembunyikan dari umum dan
di mana pula adanya anak tadi? Biar aku bertanya sendiri kepadanya!!
Mendengar ini, wanita baju
hijau itu memandang marah. Jangan mencampuri urusan orang lain!!
Siang In tersenyum. Sayang,
sudah menjadi watakku untuk mencampuri segala macam urusan yang tidak beres.
Mengapa kalian tidak mau menjawab? Apakah kalian menculik anak itu?!
Mendengar ini, wanita baju
hijau itu segera menyerangnya dengan pukulan yang datangnya cepat dan kuat
sekali. Diam-diam Siang In terkejut bukan main. Kiranya wanita ini pun memiliki
kepandaian hebat! Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Segera mereka berdua
sudah saling serang dengan dahsyatnya. Melihat ini, laki-laki asing itu pun
melompat maju dan berkata, Sumoi, tidak perlu membunuh dia, robohkan saja agar
kita dapat melarikan diri!! katanya.
Menghadapi pengeroyokan
mereka, Siang In segera mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya tidak mampu
untuk menandingi mereka, maka dia cepat menggerakkan payungnya. Akan tetapi dua
orang yang ternyata amat lihai itu sama sekali tidak mengeluarkan senjata,
melainkan mengeroyoknya dengan kedua tangan kosong saja. Dan selagi dia
terdesak itulah muncul Kian Lee yang mengintai dan menonton pertempuran itu.
Ketika Siang In terpaksa mengerahkan ilmu sihir untuk menghadapi dua orang lawan
tangguh itu sehingga dia sudah dapat mendesak mereka, niat hati Siang In hanya
merobohkan mereka kemudian memaksa mereka mengaku tentang anak itu. Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba terdengar bunyi
lengking yang luar biasa hebatnya, seperti bunyi lengking seekor burung
rajawali sehingga hatinya tergetar dan kekuatan sihirnya membuyar. Dia lalu
terdesak hebat dan terancam bahaya, akan tetapi Siang In tidak putus asa dan
tidak menjadi gentar. Dengan nekat dia melawan terus, menggunakan payungnya
untuk melindungi tubuhnya dari desakan kedua orang lawannya.
Karena tadi mereka berdua
hampir saja menjadi korban ilmu sihir dara cantik jelita itu, kini suheng yang
bule itu tidak lagi melarang sumoinya mempergunakan ilmu pukulan mujijat tadi.
Mereka ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi, putera mendiang Pangeran Liong Bin
Ong dengan ibu seorang selir berkulit putih dari pangeran itu, sedangkan
sumoinya itu adalah Kim Cui Yan, Si Walet Hijau, yaitu puteri dari mendiang
Panglima Kim Bouw Sin yang pernah memberontak.
Sesungguhnya yang menculik
putera Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah kedua orang inilah!
Penculikan itu pun didasarkan atas sakit hati mereka atas kemktian orang tua
mereka karena kegagalan mereka ketika memberontak. Karena mereka tahu bahwa Kao
Kok Cu adalah putera sulung dari Jenderal Kao yang merupakan musuh besar utama
mereka, maka kedua orang murid dari nenek iblis Kim-mouw Nio-nio ini lalu
menculik puteranya. Mereka tidak berani melakukan hal ini secara
terang-terangan karena mereka maklum akan kesaktian Naga Sakti Gurun Pasir dan
isterinya yang juga memiliki kepandaian hebat, maka mereka melakukan penculikan
atas diri putera tunggal mereka untuk menyiksa batin mereka sebagai pembalasan
dendam mereka.
Semenjak melakukan penculikan
itu, hati mereka selalu gelisah, apalagi setelah mendengar betapa ayah dan ibu
anak yang mereka culik itu telah melakukan pengejaran, maka tentu saja mereka
selalu bersembunyi-sembunyi. Akhirnya mereka mendengar akan pergerakan Gubernur
Ho-nan yang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal, maka kini
mereka bermaksud untuk mengunjungi pangeran itu yang masih merupakan saudara
sepupu dari Liong Tek Hwi. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka bertemu
dengan Teng Siang In sehingga terjadilah perkelahian itu.
Kini Siang In benar-benar
terdesak hebat dan mulailah hati dara ini khawatir. Dua orang lawannya ini
benar-benar tangguh dan kalau sampai laki-laki yang kini muncul dari balik batu
yang tadi membuyarkan kekuatan sihirnya itu turun tangan pula, akan celakalah
dia! Dia tidak berani menggunakan sihirnya lagi setelah tadi dibuyarkan oleh
lengking penuh tenaga khikang dahsyat itu.
Mampuslah kau siluman jahat!!
bentak Kim Cui Yan sambil menyerang dengan pukulannya yang mujijat dan paling
diandalkan, yaitu pukulan sakti Swat-lian Sin-ciang yang mendatangkan hawa
dingin itu.
Ketika itu, Siang In sedang
terhuyung karena baru saja dia menangkis pukulan Liong Tek Hwi dengan
payungnya, akan tetapi tenaga pukulan pemuda itu sedemikian kuatnya sehingga
dia terdorong dan hampir roboh. Kini, wanita baju hijau itu menerjangnya
sedemikian dahsyatnya sehingga tidak sempat lagi agaknya bagi Siang In untuk
mengelak. Dia merasa betapa ada hawa dingin sekali menyambar ke arahnya, maka
dia cepat membuang diri ke belakang dan tubuhnya terus dia gulingkan menjauh.
Akan tetapi Kim Cui Yan terus mengejarnya dengan pukulan-pukulan Swat-lian
Sin-ciang yang amat berbahaya itu.
!Desss....!! tubuh Kim Cui Yan
terdorong ke belakang dan wanita baju hijau ini terkejut bukan main. Pukulannya
yang berdasarkan Im-kang yang amat kuat itu membalik dan tubuhnya menggigil.
Ternyata pemuda tampan yang kini muncul dari balik batu, pemuda yang tadi
melengking dan membuyarkan pengaruh sihir dari dara berpayung itu, kini
membalik dan menolong dara berpayung dan tangkisannya mengandung hawa yang
lebih kuat dan lebih dingin daripada Swat-lian Sin-ciang!
Melihat betapa pemuda tampan
itu benar-benar amat hebat kepandaiannya, Kim Cui Yan menjadi gentar dan
khawatir kalau-kalau tempat persembunyian anak yang diculiknya diketahui orang,
maka dia berseru, Suheng, mari kita lari!! Dia berseru dalam bahasa Mongol dan
suhengnya yang memang segan untukk bermusuhan dengan orang-orang lihai tanpa
sebab, tidak membantah dan keduanya sudah melarikan diri dengan cepat sekali
meninggalkan tempat itu dan melupakan bungkusan makanan yang tadi dibeli oleh
Liong Tek Hwi!
Hayo, majulah! Tak perlu kau
pura-pura membantuku, majulah, jangan kira aku takut padamu! Hayo maju dan
keroyok sekali, kau manusia tak tahu malu!!
Kian Lee hanya berdiri melongo
menghadapi dara yang sudah berdiri di depannya sambil menodongkan payungnya ke
arah dadanya itu.
Eh, Nona aku tidak berniat
buruk....!
Huh, pandai kau pura-pura, ya?
Kau tak tahu malu dan curang, kau tadi membantu mereka dengan sembunyisembunyi.
Kalau tidak karena engkau, tentu aku sudah dapat membekuk mereka berdua itu!
Sekarang mereka dapat lolos dan semua ini karena engkau yang menjadi biang
keladinya. Kalau memang kau gagah, hayo Kau lawan aku!! Siang In sudah
menyerang dengan payungnya, menusuk ke arah dada pemuda itu untuk menotok jalan
darahnya.
Eihhh....!! Kian Lee cepat
mengelak dan meloncat mundur. Sabar dulu, Nona. Harap jangan salah sangka.
Kalau tadi aku membantu mereka adalah karena aku tidak tahu urusan antara
kalian bertiga, maka aku hanya membantu siapa yang terancam bahaya. Setelah
keadaan berbalik dan kau yang terancam bahaya, maka aku lalu membantumu. Aku
tidak mempunyai niat buruk....!
Dasar cerewet, pandai bicara
kau, ya? Kaukira aku takut padamu, ya? Kalau memang berani, jangan main
keroyok. Nah, teman-temanmu sudah pergi, mari kita bertanding satu lawan satu,
hendak kulihat sampai di mana sih tingginya kepandaianmu!!
Sejak tadi Kian Lee memandang
wajah dara ini dan dia kagum bukan main. Memang luar biasa cantik dara ini,
boleh dibandingkan dengan Hwee Li! Hampir sama pula galaknya, hanya dara ini
mempunyai sifat-sifat lucu dan melihat lagak dara ini, teringatlah dia kepada
Kian Bu. Ah, kalau saja ada Kian Bu di situ, tentu ramai bertemu dengan seorang
dara seperti ini. Sejenak Kian Lee bengong saja, akan tetapi kini melihat dara
itu bertolak pinggang dan mengalungkan gagang payungnya yang melengkung itu di
leher sendiri sehingga kelihatan lucu, dengan mulut cemberut muka kemerahan
akan tetapi matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi yang
berseri-seri. Lucu sekali! Manis sekali! Kian Lee tak dapat menahan ketawanya.
Melihat pemuda itu tertawa,
sepasang mata Siang In melotot makin besar. Makin besar makin indah, dan makin
lucu dalam pandangan Kian Lee sehingga pemuda ini terus saja tertawa. Melihat
dara itu bertolak pinggang dan menantang-nantang dengan sikapnya yang
dibuat-buat agar kelihatan galak dan menakutkan, entah mengapa, Kian Lee yang
biasanya selalu bersikap sopan terhadap wanita, kini tidak dapat menahan geli
hatinya. Geli dan gembira. Dan makin pemuda itu tertawa, makin marahlah Siang
In.
Bagus, kau mentertawakan aku,
ya? Kau lihat mukaku ini ada apa sih maka kau tertawa-tawa seperti orang gila?!
Siang In menuding ke arah dahi di antara kedua matanya. Otomatis Kian Lee
memandang ke arah sepasang mata dara itu dan tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya
tergetar dan dia tidak mampu mengalihkan pandang matanya. Sebelum dia sadar
bahwa dia telah terpengaruh oleh ilmu sihir dari padang mata dara itu, sudah
terdengar suara Siang In, suara yang merdu setengah berbisik, akan tetapi
mengandung getaran yang kuat sekali wibawanya, Engkau adalah seekor monyet!!
Seperti orang kehilangan
semangat, Kian Lee yang sudah tidak tertawa lagi akan tetapi mulutnya masih
tersenyum itu , berkata, Aku adalah seekor monyet....! agak meragu suaranya,
seperti diusahakannya untuk dilawan, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk
perangkap sihir.
Bagus! Dan kau pandai
menari-nari. Hayo kau menari yang baik!! kembali suara Siang In terdengar penuh
wibawa dan sepasang matanya yang lebar itu memandang seperti mengeluarkan sinar
berpengaruh yang menundukkan Kian Lee.
Tidak.... tidak....!! Kian Lee
berusaha melawan, akan tetapi kaki tangannya sudah bergerak sendiri dan dia
menari-nari! Berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari!
Heiii, menari yang baik!
Engkau pandai menari dan seorang penari tidak boleh bersungut-sungut, harus
tersenyum! Menari dan tersenyumlah kau!!
Kian Lee tidak dapat membantah.
Dia terus menari-nari dan kini mulutnya tersenyum, dan Siang In menonton sambil
berdiri bertolak pinggang, akan tetapi sepasang matanya makin lama makin
kehilangan kekuatannya karena mata itu kini mulai terbelalak keheranan ketika
dia melihat betapa wajah itu mengingatkan dia akan wajah seorang pemuda yang
selama ini selalu terbayang di lubuk hatinya, pemuda yang dicari-carinya selama
ini, pemuda yang.... dibencinya akan tetapi juga yang tak pernah dapat
dilupakannya, yaitu Suma Kian Bu! Setelah pemuda ini menari dan tersenyum, dia
melihat persamaan antara mereka, terutama pada sinar matanya! Dan karena Siang
In tidak mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan sihirnya, muka Kian Lee
yang meronta-ronta dalam batin itu berhasil melepaskan diri. Dia mengeluh,
terhuyung dan menutupi muka dengan kedua tangannya, Aihhh.... Suma Kian Lee....
sekali ini kau dibikin malu oleh seorang anak-anak....!
Mendengar ini, Siang In
terkejut bukan main. Suma Kian Lee! Tentu saja masih saudara dari Suma Kian Bu,
pemuda yang dicari-carinya! Dia terkejut dan juga menyesal mengapa dia tadi
terburu nafsu mempermainkan pemuda ini engan sihirnya.
Ah.... kau.... kau bernama
Suma Kian Lee....?! katanya agak gagap.
Kian Lee menggoyang-goyang
kepalanya mengusir kepeningan, kemudian memejamkan mata untuk mengembalikan
kesadarannya sepenuhnya. Barulah dia membuka mata menghadapi dara itu, alisnya
berkerut karena dia teringat betapa tadi dia dipermainkan sehingga dia terpaksa
menari-nari seperti orang gila tanpa dia mampu mencegahnya karena dia sudah
terperangkap ke dalam kekuatan sihir yang hebat.
Hemmm, engkau seorang nona
yang amat aneh. Kita tidak pernah saling bermusuhan, akan tetapi engkau tega
mempermainkan aku seperti itu. Memang aku Suma Kian Lee, dan siapakah engkau,
Nona?!
Apakah engkau kakak dari Suma
Kian Bu?!
Wajah Kian Lee berseri
seketika, Ah, jadi engkau sudah mengenal adikku itu? Tahukah kau di mana dia
sekarang?!
Siang In kecewa. Tadinya dia
mengharapkan bahwa pertemuannya dengan saudara Kian Bu akan dapat membawa dia
bertemu dengan Kian Bu, kiranya orang ini malah bertanya kepadanya di mana
adanya Kian Bu! Dia menggeleng kepala. Aku tidak tahu dia berada di mana.
Aku.... aku sedang mencari Puteri Syanti Dewi yang diculik orang dan kabarnya
dibawa ke sekitar daerah ini.!
Kian Lee makin tertarik dan
memandang lebih tajam penuh selidik. Dipandang seperti itu oleh pemuda yang
bersikap halus dan amat tampan ini, Siang In merasa malu sendiri dan teringat
akan kenakalannya tadi, kedua pipinya menjadi merah sekali dan dia menundukkan
mukanya. Nona, engkau mengenal pula Puteri Syanti Dewi?!
Mengenal? Dia sahabat baikku,
kami sudah seperti saudara saja. Sayang dia sampai dapat lolos dari
penjagaanku!!
Kalau engkau sudah mengenal
Kian Bu, dan menjadi sahabat baik Syanti Dewi, berarti engkau seorang sahabatku
pula. Siapakah namamu, Nona?!
Aku Teng Siang In.!
Kian Lee mengerutkan alisnya,
mengingat-ingat. Teng Siang In....? Siang In....?! Tiba-tiba wajahnya berseru
ketika dia mengangkat muka memandang wajah nona itu. Ah, tahu aku sekarang!
Bukankah engkau murid See-thian Hoat-su? Kian Bu pernah bercerita tentang
dirimu kepadaku!!
Wajah itu menjadi makin merah
dan makin cantik saja. Siang In melangkah maju mendekati Kian Lee, bertanya
mendesak, Benarkah? Apa saja yang diceritakannya tentang diriku kepadamu?!
Kian Lee menggeleng kepala.
Tidak banyak, hanya bahwa engkau dan encimu yang bernama.... ah, lupa lagi
aku....!
Mendiang Enci Siang Hwa?!
Benar, Siang Hwa yang menurut
Kian Bu tewas di perahu. Katanya bahwa engkau dan encimu adalah keturunan atau
anak-anak dari mendiang Yok-sin, ahli pengobatan yang amat terkenal di lembah
Pek-thouw-san, dan bahwa engkau kemudian menjadi murid See-thian Hoatsu. Ah,
pantas saja engkau pandai ilmu silat, ahli dalam ilmu sihir, dan tentu engkau
seorang ahli pengobatan pula, Nona.! Kian Lee memandang penuh kagum. Engkau
masih begini muda sudah amat pandai, sungguh mengagumkan.!
Wajah yang tadinya berseri
amat cantiknya mendengar pujian itu, tiba-tiba saja berubah sama sekali menjadi
bersungut-sungut, seperti langit yang tadinya cerah tiba-tiba tertutup mendung.
Luar biasa sekali cepatnya perubahan pada wajah dara ini, menunjukkan bahwa
keadaan hatinya juga mudah sekali berubah. Dara seperti ini mudah marah, mudah
gembira, mudah berduka dan mudah bersuka, akan tetapi biarpun bersungut-sungut,
tidak pernah kehilangan kemanisannya wajahnya yang memang cantik rupawan. Dan
pada dasarnya dara ini berwatak jenaka dan periang, sehingga bersungut-sungut
pun hanya sebentar saja, seperti angin lalu.
Pandai apanya? Kalau tidak ada
engkau yang datang menolong, tentu aku yang kaupuji-puji pandai ini sudah
menjadi mayat!! Dia termenung lalu melanjutkan, Dua orang itu ternyata lihai
sekali!!
Kian Lee lalu teringat kepada
dua orang yang tadi mengeroyok dara ini. Ah, siapakah mereka, Nona? Dan mengapa
pula kau berkelahi dengan mereka?!
Kembali terjadi perubahan pada
wajah cantik itu. Kalau tadi bersungut-sungut menunjukkan kekesalan hatinya,
kini berubah marah dan sepasang mata yang indah itu seperti memancarkan cahaya
berapi yang panas, yang ditujukan kepada Kian Lee, dan suaranya nyaring dan
marah, Aih, kalau tidak ada engkau yang lancang turun tangan menggangguku,
tentu sekarang juga aku sudah berhasil membekuk mereka Hemmm, kalau tidak
teringat betapa tadi engkau menyelamatkan nyawaku, tentu kau sudah kuanggap
musuh dan kuserang mati-matian! Engkau ini memang seorang aneh, membikin aku
bingung apa yang harus kulakukan terhadap dirimu!!
Kian Lee adalah seorang pemuda
pendiam yang biasanya tidak suka banyak bicara, akan tetapi menghadapi seorang
dara seperti ini, yang memiliki kepribadian amat menarik, yang berubah-ubah
sikapnya, penuh daya hidup dan semangat, mau tidak mau dia terseret juga.
Apa maksudmu?! tanyanya.
Mengingat kau tadi
menggagalkan usahaku yang hampir berhasil menangkap dua orang penculik itu,
sepatutnya kau kubunuh, akan tetapi mengingat kau telah menyelamatkan nyawaku,
tidak mungkin aku memusuhimu.!
Kian Lee tersenyum, akan
tetapi dia kurang memperhatikan semua kata-kata yang seperti kanak-kanak itu
karena dia teringat akan penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, maka dia
berkata, Nona Siang In....!
Sudahlah, kalau kau tidak
menganggap aku sahabat, lebih baik aku pergi saja....! dan tiba-tiba Siang In
membalikkan tubuhnya, mengempit payungnya dan berjalan pergi. Lenggangnya yang
wajar tidak dibuat-buat itu menonjolkan keindahan tubuhnya karena dia berjalan
seperti orang menari-nari saja layaknya!
Tentu saja Kian Lee menjadi
bengong dan ketika sadar bahwa dara itu benar-benar meninggalkannya, dia cepat
melompat dan mengejar, lalu berdiri menghadang di depan dara itu dengan pandang
mata penuh keheranan. Nona Siang In.... mengapa kau...., apa salahku?!
Kau tadi berkata bahwa karena
mengenal adikmu dan karena aku sahabat baik dari Puteri Syanti Dewi, maka kau
menganggap aku sebagai sahabatmu, akan tetapi kau menyebutku nona-nona segala
macam! Sebutan nona membuat aku merasa berhadapan dengan orang asing, dan
terhadap seorang asing aku tidak sudi banyak bicara lagi!! Dan dara itu sudah
mau melangkah pergi lagi saja.
Hampir saja Kian Lee
menggaruk-garuk kepalanya karena merasa kewalahan menghadapi dara ini. Habis,
aku harus menyebutmu apakah?!
Namaku Siang In, tanpa
nona-nonaan bagi seorang sahabat. Engkau tentu lebih tua dariku, tentu saja
tidak harus menyebut enci.!
Ah, baiklah Adik Siang In.
Maafkan aku.!
Wajah yang tadinya keruh dan
marah itu tiba-tiba menjadi cerah berseri dan dara itu lalu duduk di atas
sebuah batu yang terdapat tidak jauh dari situ. Nah, sekarang katakanlah, engkau
mau bicara apa tadi?!
Bicara apa....?! Kian Lee
menjadi bingung karena sikap dara itu benar-benar mengocoknya, membuat dia lupa
lagi akan apa yang sedang hendak dikatakannya tadi.
Bukankah kau tadi ingin
mengatakan sesuatu kepadaku? Carilah sampai kau teringat, kalau tidak, aku bisa
mati karena penasaran dan ingin tahu apa yang akan kaukatakan tadi!!
Kian Lee mengerutkan alisnya,
duduk di atas rumput di depan dara itu dan mengingat-ingat. Celaka, kalau orang
sedang terlupa akan sesuatu, makin diingat akan makin sulit untuk dapat
teringat. Melihat pemuda itu demikian tersiksa karena mengingat-ingat hal yang
sudah lupa sama sekali, Siang In merasa tidak tega.
Eh, kau sudah makan?!
tiba-tiba dia bertanya.
Kian Lee terkejut, memandang
bengong. Makan....?! tanya bingung.
Siang In tersenyum, manis
sekali, dan mengangguk. Ya, makan. Kalau belum, aku dapat menyediakan nasi dan
masakan-masakan yang paling lezat untukmu, dalam sekejap mata saja.!
Ah, jangan main-main, Adik
Siang In. Di dalam hutan seperti ini mana mungkin engkau bisa membeli.... ah,
ataukah engkau barangkali hendak menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan
masakan?!
Siang In mengangguk, masih
tersenyum. Apa sukarnya? Bukankah ayahmu juga Pendekar Siluman yang merupakan
ahli sihir nomor satu di dunia ini? Apa sukarnya menyihir rumput dan batu
menjadi nasi dan masakan lezat?!
Hemmm, jangan coba mengelabuhi
aku, In-moi (Adik In). Biarpun mungkin bisa, akan tetapi nasi dan masakan
jadi-jadian itu tidak mungkin dapat dimakan sampai mengenyangkan perut.!
Akan tetapi aku bisa! Dan aku
tanggung kau akan menikmatinya dan perutmu akan kenyang, Lee-koko!!
Aku tidak percaya,!
Tidak percaya? Nah, kau boleh
tutup mata sebentar!!
Sambil tersenyum seperti
melayani seorang anak kecil main-main, Kian Lee memejamkan matanya. Dengan
telinganya dia dapat menangkap dara itu bergerak, melesat pergi dari situ dan
tak lama kemudian kembali lagi, melakukan gerakan-gerakan lalu terdengar dara
itu berkata, Nah, sudah jadi! Bukalah matamu, Lee-ko!!
Sambil tersenyum Kian Lee
membuka matanya dan dia terbelalak! Di depannya, di atas rumput, terhampar nasi
dan beberapa macam masakan sedap yang diletakkan di atas daun pembungkus, masih
mengepul hangat-hangat!
Nah, silakan makan!! kata
Siang In tersenyum. Aku sih sudah makan kenyang tadi.!
Kian Lee mengerahkan
sinkangnya, mengerahkan kekuatan batin untuk membuyarkan sihir itu, akan tetapi
nasi dan masakan itu masih ada saja di situ, tidak mau lenyap. Dan bau sedap
masakan itu meremas-remas perutnya yang lapar, maka tanpa banyak pikir lagi dia
lalu mulai makan. Bukan main lezatnya! Perut lapar bertemu nasi dan masakan
hangat tentu saja lezat! Dan dara itu sudah menyulap pula seguci air jernih
dari saku jubahnya. Kian Lee makan sampai kenyang dan setelah minum, dia mengusap
bibirnya dan perutnya, memandang dara itu dan tersenyum. Hebat.... engkau
memang hebat. Kiranya kau benar-benar telah menyediakan makanan ini.... ah,
sekarang aku teringat apa yang akan kukatakan kepadamu!!
Siang In tertawa geli,
terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya manis dan agak genit, akan tetapi
menarik hati sekali. Tentu saja! Kalau pikiran kosong, maka segala sesuatu akan
teringat. Kalau pikiran dikerjakan, hal yang terlupa mana mungkin dapat
teringat? Pikiran penuh dengan kenangan dan ingatan, sampai penuh sesak dan
bertumpuk-tumpuk. Nah, sekarang katakan, apa yang akan Kau bicarakan tadi?!
Aku mau bicara tentang Syanti
Dewi. Bukankah engkau kehilangan dia di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu di
puncak Naga Api yang menjadi sarang Liong-sim-pang?!
Siang In meloncat bangun dan
wajahnya berseri. Engkau tahu? Di mana dia sekarang?!
Tenanglah dan dengarkan
ceritaku. Yang melarikan Syanti Dewi dari puncak Naga Api itu bukan lain adalah
See-thian Hoat-su....!
Eh, guruku?! Dara itu
berteriak.
Benar, akan tetapi puteri itu
telah diculik orang lagi dari tangan gurumu di pantai Po-hai....!
Di Gua Tengkorak?!
Benar, aku mendengar semua itu
dari Nyonya Kao Kok Cu....!
Siapakah Nyonya Kao Kok Cu
itu?!
Dia masih adik angkat dari
Puteri Syanti Dewi sendiri.!
Ah, Enci Ceng Ceng? Aku sudah
banyak mendengar namanya yang sering disebut-sebut dan diceritakan oleh Syanti
Dewi! Lalu bagaimana?!
Kian Lee lalu menceritakan apa
yang didengarnya dari Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, betapa Ceng Ceng bertempur
melawan See-thian Hoat-su di Gua Tengkorak karena salah sangka sehingga dalam
pertempuran itu, mereka tidak tahu betapa Syanti Dewi diculik orang lain.
Mendengar ini, Siang In
mengepal tinjunya. Ah, celaka! Sudah terdapat, lepas lagi! Dia belum bertemu, puteri
itu juga lenyap dan kini ditambah dua orang penculik itu! Wah, perjalananku
penuh dengan soal-soal yang meruwetkan pikiran!!
Apa maksudmu? Siapa dia yang
belum bertemu itu?!
Tiba-tiba wajah Siang In
menjadi merah. Tentu saja dia tidak mau bicara tentang Kian Bu yang
dicari-carinya hanya karena ingin bertanya mengapa dulu pemuda itu, lima enam
tahun yang lalu, telah.... menciumnya. Bicara tentang itu kepada kakak dari
Kian Bu, tentu saja tidak mungkin! Maka dia cepat menjawab, Sayang bahwa dua
orang penculik tadi telah dapat meloloskan diri. Aku kasihan sekali kalau
mengingat akan nasib anak Laki-laki yang mereka culik.!
Laki-laki dan wanita tadi,
yang mengeroyokmu, mereka tadi penculik? Dan ada anak laki-laki yang mereka
culik?! Kian Lee tertarik sekali.
Siang In mengangguk. Setelah
bercakap-cakap agak lama, nampaklah oleh dia perbedaan yang besar antara Kian
Bu dan Kian Lee. Dia masih ingat benar kepada Suma Kian Bu biarpun sudah enam
tahun dia tidak jumpa dengan pemuda itu. Kian Bu yang tampan itu wajahnya agak
lonjong, matanya tajam dan kocak, wataknya keras namun dia dapat menjadi
seorang yang periang, jenaka dan suka mengeluarkan kata-kata yang menyindir
atau menggoda, pandai memuji dan wajahnya selalu berseri gembira. Sebaliknya,
Kian Lee ini biarpun juga memiliki wajah yang amat tampan, namun bentuk mukanya
bulat, matanya lebar dan juga tajam sekali, akan tetapi pandang matanya penuh
kesungguhan, serius, tenang seperti air telaga yang dalam, gerak-geriknya
halus, penuh kesabaran dan agaknya tidak banyak bicara. Hanya pada sepasang
mata mereka dan tarikan dagu mereka yang penuh kejantanan itulah terletak
persamaannya dan karena yang dua ini merupakan ciri-ciri khas mereka, maka pada
pertemuan pertama nampak benar persamaan di antara mereka.
Kakak Suma Kian Lee, apakah
engkau tidak suka bersendau-gurau?!
Hahhh?! Tentu saja Kian Lee
terkejut, heran dan bengong. Dengan sungguh-sungguh dia amat tertarik dan
bertanya tentang penculik-penculik dan anak yang diculik, jawabannya malah
pertanyaan seperti itu yang sama sekali tak pernah diduga-duganya!
Bersendau-gurau....?!
Ya, sukakah engkau
bersendau-gurau dan bergembira, berguyon-guyon, Lee-ko?!
Kian Lee tidak tahu bagaimana
harus menjawab, akan tetapi agar tidak menimbulkan kecewa orang, dia mengangguk,
lalu berkata, In-moi, ceritakanh bagaimana kau tahu bahwa dua orang lawanmu
yang lihai tadi menculik seorang anak laki-laki.!
Sikap dan suara Kian Lee
demikian berwibawa sehingga diam-diam Siang In menjadi jerih! Pemuda ini
benar-benar menyeramkan. Begitu tampan, begitu halus, akan tetapi entah
mengapa, wibawanya besar sekali dan di dalam sikap diamnya itu nampak kekuatan
yang menggiriskan hati.
Hanya kebetulan saja aku
bertemu dengan mereka ketika mereka memasuki rumah makan tadi bersama seorang
anak laki-laki berusia kurang lebih lima enam tahun. Sikap mereka terhadap anak
itu mencurigakan dan wanita itu mengaku anak itu sebagai puteranya, padahal aku
tahu benar bahwa dia itu masih perawan....!
Hemmm, bagaimana kau tahu akan
hal itu kalau engkau baru pertama kali bertemu dengan dia?!
Tentang dia masih perawan atau
bukan? Huh, itu adalah rahasia wanita!!
Tiba-tiba wajah Kian Lee
menjadi merah dan dia menyimpangkan percakapan tentang perawan atau bukan itu.
Lalu bagaimana, selanjutnya?!
Mereka merasakan kecurigaanku
agaknya, buktinya wanita itu pergi membawa anak itu dan meninggalkan si pria
sendirian membeli masakan dan nasi, setelah dia keluar dari restoran, aku lalu
membayanginya....!
Hemmm, jadi masakan yang
kumakan tadi adalah miliknya yang dibelinya dari restoran?!
Siang In terkekeh. Suara kekeh
hihi-hik! yang keluar dari tenggorokannya itu merdu sekali. Akan tetapi lezat,
kan?!
Kian Lee terpaksa tersenyum,
mengangguk dan berkata, Lanjutkanlah ceritamu.!
Wanita itu sudah menanti di
sini, aku ketahuan dan dikeroyok. Anak itu entah mereka sembunyikan di mana.
Melihat omongan di antara mereka dalam bahasa Mongol yang kumengerti, jelas
bahwa anak itu sudah pasti mereka culik, entah anak siapa.!
Anak laki-laki....? Berusia
lima enam tahun....? Ah, jangan-jangan anaknya!! Kian Lee teringat dan
mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan memandang ke arah larinya dua orang
itu tadi.
Anaknya? Anak siapa, Koko?!
Anak Ceng Ceng! Anaknya pun
diculik orang, laki-laki dan usianya juga lima tahun!!
Ahhh....! Mungkin sekali!!
Siang In kini bersikap sungguh-sungguh. Kulihat anak itu bukan anak
sembarangan, biarpun baru berusia lima tahun akan tetapi telah memperlihatkan
sikap yang tegas dan penuh keberanian.!
Dan melihat betapa dua orang
itu memang lihai, agaknya tidak salah mereka itulah yang menculik anak Kao Kok
Cu. Aku harus mengejar mereka!! kata Kian Lee.
Lee-ko, aku ikut!! Siang In
berseru ketika melihat pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan kilat. Biarpun
Siang In telah mengerahkan ginkangnya, tetap saja dia tertinggal agak jauh maka
dia berteriak-teriak mernanggil pemuda itu, repot membawa payungnya yang dibawa
lari cepat sekali. Terpaksa Kian Lee memperlambat larinya sehingga akhirnya
Siang In dapat menyusulnya. Dara itu memandang kagum. Bukan main hebatnya
pemuda ini, pikirnya, akan tetapi ketika teringat bahwa pemuda ini adalah kakak
dari Kian Bu, dan putera dari Pendekar Super Sakti, dia merasa girang dan
bangga.
Larimu seperti kijang saja
cepatnya....!! katanya terengah-engah.
Kian Lee yang sedang merasa
tegang mengingat bahwa mungkin anak yang diculik orang itu benar anak Ceng
Ceng, tidak melayani sendau-gurau itu dan berkata, Mari kita cepat mengejar
mereka.!
Dengan teliti mereka mencari
dan menyelidiki dan akhirnya mereka mendapatkan keterangan dari penduduk dusun
yang mereka temui bahwa Laki-laki dan wanita baju hijau yang membawa anak
Laki-laki itu menuju ke lembah Huang-ho. Mereka terus mengejar dan jejak itu
membawa mereka ke lembah, yaitu sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang yang
kini telah menjadi benteng yang kuat dari Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian
Cu dari Nepal yang menyusun kekuatan di tempat itu, bekerja sama dengan
gubernur dari Ho-nan!
Di depan telah diceritakan
sedikit tentang dua orang laki-laki dan wanita yang menculik Kao Cin Liong,
yaitu putera dari Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan Ceng Ceng. Laki-laki
berkulit putih bule yang bernama Liong Tek Hwi itu adalah putera dari mendiang
Pangeran Liong Bin Ong dari seorang selirnya yang berasal dari daerah Rusia
selatan, seorang gadis cantik yang dipersembahkan kepada Pangeran. Liong Bin
Ong yang pada waktu itu masih berkuasa sebagai saudara dari kaisar. Di dalam
cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Pangeran Liong Bin Ong
dan pangeran Liong Khi Ong, dua orang pangeran tua yang menjadi saudara dari
Kaisar Kang Hsi itu mengadakan pemberontakan, dibantu oleh panglima-panglima
pemberontak, di antaranya yang paling terkenal adalah Panglima Kim Bouw Sin
yang tadinya menjadi pembantu dan tangan kanan Jenderal Kao Liang. Akan tetapi
pemberontakan itu dapat dipadamkan dan Pangeran Liong Bin Ong tewas di dalam
istananya sendiri oleh mendiang Han Wi Kong, suami dari Puteri Milana yang
merasa penasaran karena pangeran pemberontak itu terlepas dari hukuman karena
kaisar terlalu lunak kepadanya. Sedangkan Pangeran Liong Khi Ong tewas dalam
perang oleh Ang Tek Hoat.
Demikian, Pangeran Liong Bin
Ong meninggalkan seorang putera dari selir berkulit putih itu dan putera ini
bukan lain adalah Liong Tek Hwi yang selamat dari kematian kareha pada waktu
itu dia telah berada bersama gurunya. Guru pemuda berdarah campuran ini adalah
seorang nenek yang amat sakti, yang terkenal dengan julukan Kim-mouw Nio-nio,
seorang nenek yang juga merupakan peranakan barat, rambutnya pirang dan matanya
biru. Kim-mouw Nio-nio ini merupakan datuk di sebelah barat di luar Tembok
Besar. Dia memiliki kesaktian yang amat hebat, akan tetapi telah belasan tahun
dia tidak mau keluar dari tempat pertapaannya di luar Tembok Besar dan hanya
menyembunyikan diri karena dia sudah merasa muak dengan segala urusan dunia
yang akibatnya lebih banyak mendatangkan kesengsaraan daripada kebahagiaan.
Liong Tek Hwi menjadi murid
nenek ini dan dikasihi karena ada persamaan darah antara nenek Kim-mouw Nio-nio
dan Liong Tek Hwi. Dan selain Liong Tek Hwi, juga nenek ini mempunyai seorang
murid wanita, yaitu Kim Cui Yan. Juga murid wanita ini bukanlah sembarangan
orang. Dia adalah anak dari Panglima Kim Bouw Sin, panglima yang memberontak
karena bujukan dua orang Pangeran Liong itu, yang akhirnya tewas karena
pemberontakannya. Seluruh keluarga Panglima Kim Bouw Sin binasa, kecuali Kim
Cui Yan yang pada waktu itu tidak berada di rumah. Setelah Kim Cui Yan ikut
bersama Kim-mouw Nio-nio sebagai muridnya, maka anak ini, seperti juga Liong
Tek Hwi, menerima gemblengan dari nenek itu dan memiliki kepandaian yang hebat
pula. Bahkan nenek itu telah menurunkan ilmu pukulan yang diciptakannya di
tempat pertapaannya, yaitu Ilmu Pukulan Swat-lian Sin-ciang yang mengandung
tenaga dingin yang dapat membikin beku keringat lawan!
Selain banyak macam ilmu
pukulan yang aneh-aneh, nenek Kim-mouw Nio-nio juga terkenal dengan senjatanya
yang istimewa, yaitu sepasang elang kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda
perak). Sepasang gelang besar yang terbuat dari emas dan perak ini dapat dia
mainkan sebagai senjata yang ampuh, dan dapat dipergunakan pula untuk menyerang
lawan dari jarak jauh dengan cara melontarkannya dan hebatnya gelang-gelang
yang dilontarkan untuk menyambit lawan ini dapat berputar dan dapat berbalik
kembali ke tangannya! Akan tetapi, kepandaian istimewa ini amat sukar
dipelajari maka belum diturunkan kepada dua orang muridnya.
Ada benarnya juga kalau
dikatakan bahwa satu di antara pendorong timbulnya cinta di antara pria dan wanita
adalah karena pergaulan dan kebiasaan, karena hubungan yang akrab. Hal ini
tidaklah aneh karena cinta seperti yang kita kenal sekarang ini, cinta asmara
antara pria dan wanita, sesungguhnya adalah suatu ikatan, yaitu ikatan antara
aku dan sesuatu yang menyenangkan aku, baik yang menyenangkan itu berbentuk
benda atau manusia. Tentu saja di samping ikatan karena menyenangkan, ini
terdapat juga daya tarik alamiah yang ada antara pria dan wanita, yang
memperkuat ikatan itu sehingga timbul keinginan untuk saling memiliki.
Demikian pula, karena hidup
berdua di bawah bimbingan Kim-mouw Nio-nio, setiap hari bergaul dan berlatih
bersama, lambat-laun timbul daya tarik dan saling suka antara kedua orang
suheng dan sumoi itu. Kim-mouw Nio-nio yang melihat gejala ini, tidak menaruh
keberatan bahkan dia yang mewakili orang tua kedua orang muridnya yang sudah
yatim piatu, bahkan mengusulkan perjodohan antara kedua orang muridnya itu.
Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan
sudah sama-sama saling mencinta. Akan tetapi, Kim Cui Yan yang keras hati itu
sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum dia berhasil membalas dendam
kematian seluruh keluarga ayahnya. Dan dendam ini ditujukan kepada Jenderal Kao
Liang sekeluarga!
Suheng, kalau engkau memang
cinta kepadaku, engkau harus memenuhi permintaanku agar aku tidak sampai
melanggar sumpahku. Kita tidak bisa menikah sebelum sumpahku itu terpenuhi.!
Dengan terus terang, Kim Cui Yan menyampaikan isi hatinya kepada suhengnya.
Berbeda dengan Kim Cui Yan,
ternyata putera dari Pangeran Liong Bin Ong ini mempunyai watak yang halus dan
bijaksana. Sejak kecil oleh ayahnya dia memang diharuskan mempelajari segala
macam kitab kuno dan agaknya banyak dari isi kitab itu mempengaruhi batinnya
sehingga di lubuk hatinya, dia tidak suka dan menentang adanys kekerassn dan
kejahatan, bahkan dia adalah seorang laki-laki yang selain halus sikapnya, juga
tidak tega melakukan perbuatan yang kejam.
Tentu saja aku tidak berhak
untuk melarangmu, Sumoi. Akan tetapi hendaknya engkau suka menggunakan
pandangan yang mendalam dan jangan sempit menurutkan kata hati yang diracuni
oleh dendam dan kebencian belaka. Kalau toh Kau anggap bahwa kehancuran
keluarga ayahmu disebabkan oleh Jenderal Kao Liang, maka yang menjadi musuhmu
hanyalah Jenderal Kao itu saja, karena yang dapat dianggap sebagai musuh
pribadi ayahmu hanyalah jenderal itu. Jangan kau mengikutsertakan keluarganya
yang tidak tahu apa-apa, bahkan mungkin sekali keluarga jenderal itu tidak
pernah mengenal siapa itu keluarga Kim. Aku pasti akan membantumu, Sumoi, dan
tentang pernikahan antara kita, aku hanya menurut apa yang kaukehendaki karena
hal itu tentu saja tidak ada unsur pemaksaan dari fihak manapun dan harus
dilakukan dengan suka rela.! Demikianlah antara lain Liong Tek Hwi memberi
nasihat kepada sumoinya.
Ketika dua orang murid yang
telah memiliki kepandaian tinggi itu menyatakan niat hati mereka kepada guru
mereka untuk mencari Jenderal Kao dan membalas dendam atas kehancuran keluarga
Kim Cui Yan, dan setelah usaha itu berhasil baru mereka akan kembali dan
menikah, Kim-mouw Nio-nio menarik napas panjang.
Permusuhan, bunuh-membunuh,
sakit hati dan dendam-mendendam! Semua inilah yang kelak akan menghancurkan
seluruh dunia kang-ouw, menamatkan riwayat seluruh ahli-ahli silat di dunia
ini! Kepandaian kalian sudah lumayan dan kiranya kalau hanya menghadapi
Jenderal Kao saja kalian tidak akan kalah dan akan mampu merobohkannya. Akan
tetapi, aku sangsi apakah jenderal yang amat terkenal itu tidak mempunyai
anak-anak yang telah memiliki kepandaian tinggi?!
Dengan terus terang Liong Tek
Hwi berkata, Subo, menurut penyelidikan teecu, seorang di antara putera-putera
jenderal itu, yang sulung, telah menjadi seorang sakti berjuluk Naga Sakti
Gurun Pasir....!
Tiba-tiba wajah nenek itu
berubah dan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan biru sekali. Apa kau
bilang? Apa hubungannya dengan Istana Gurun Pasir?!
Memang putera sulung Jenderal
Kao itu tinggal di Istana Gurun Pasir.... begitulah kata orang....! kata Liong
Tek Hwi yang terkejut melihat sikap gurunya.
Celaka! Kalau begitu dia tentu
murid Si Dewa Bongkok! Jangan sekali-kali kalian berani mendekati tempat itu!
Kalau kalian bentrok dengan Istana Gurun Pasir, biar gurumu ini sekalipun tidak
akan mampu menyelamatkan kalian!!
Setelah mendapatkan
nasihat-nasihat dan peringatan dari guru mereka, berangkatlah Liong Tek Hwi dan
sumoinya, Kim Cui Yang, meninggalkan tempat pertapaan subo mereka. Menurut
kehendak Liong Tek Hwi, mereka harus langsung ke selatan untuk mencari Jenderal
Kao. Akan tetapi sumoinya membantah. Keterangan dari subo mereka tadi malah
mendatangkan rasa penasaran di dalam hati Kim Cui Yan!
Suheng, penuturan Subo tadi
mendatangkan rasa penasaran di dalam hatiku. Mari kita mencari Istana Gurun
Pasir dan melihat sampai di mana kelihaian mereka!!
Ah, Sumoi, jangan begitu! Subo
sendiri jerih terhadap penghuni istana itu. Apakah kau mencari penyakit? Sudah
kukatakan kepadamu bahwa yang penting adalah mencari Jenderal Kao, musuh
pribadimu, dan jangan membawa-bawa keluarganya.!
Aku tidak akan bertindak ceroboh,
Suheng, dan akan menurut kata-katamu. Akan tetapi aku ingin mengetahui seperti
apa adanya Istana Gurun Pasir yang disebut dalam dongeng itu.!
Liong Tek Hwi mengerutkan
alisnya, dia sudah mengenal watak sumoinya atau kekasihnya yang amat keras ini.
Subo sendiri mengatakan bahwa tempat itu merupakan tempat keramat dan tak
seorang pun berani mendekatinya. Ke mana kita harus mencari?!
Dulu aku pernah mendengar
dongeng tentang Istana Gurun Pasir. Ingat, dahulu ayahku adalah pembantu dan
sahabat Jenderal Kao, dan tentu ayah tahu benar tentang lenyapnya putera
Jenderal Kao Liang, dan aku tahu di mana bekas markas jenderal itu di mana
puteranya lenyap. Tentu tidak akan jauh dari situ letaknya.!
Liong Tek Hwi yang mencinta
sumoinya terpaksa menuruti permintaan sumoinya dan demikianlah, mereka tidak
langsung mencari Jenderal Kao Liang melainkan mencari Istana Gurun Pasir! Dan
dalam perjalanan ini, mereka banyak melalui dusun-dusun dan setiap bertemu
dengan soal-soal yang menimbulkan penasaran, mereka tentu turun tangan
menentang setiap kejahatan. Semua ini memang sengaja diarahkan oleh Liong Tek
Hwi yang tidak ingin melihat sumoinya atau kekasihnya tersesat, maka dia
mencoba untuk menarik perhatian sumoinya agar menentang kejahatan dan membela
kebenaran dan keadilan, menggunakan kepandaian mereka. Karena inilah, biarpun
mereka berdua merupakan murid-murid dari seorang datuk kaum sesat, namun dalam
sepak terjang mereka, mereka tiada bedanya dengan pendekar-pendekar yang
budiman dan menentang kejahatan. Dan dalam sepak terjang mereka, Kim Cui Yan
amat menonjol dengan gerak-geriknya yang tangkas karena memang gadis ini
memiliki keistimewaan dalam hal ginkang, maka tak lama kemudian, orang
menjuluki gadis berbaju hijau ini sebagai Ceng-yan-cu atau Si Walet Hijau!
Akhirnya, pada suatu hari
setelah menerima petunjuk dari seorang kakek dusun yang sering menyeberangi
gurun pasir dan pernah tersesat dan melihat istana itu dari jauh, kakak beradik
seperguruan ini lalu nekat mengambil jalan menyeberangi gurun pasir yang amat
berbahaya itu.
Mereka sudah mendapat
peringatan dari kakek itu bahwa amatlah berbahaya menyeberangi gurun pasir itu
dengan jalan kaki atau berkuda, sebaiknya adalah menunggang onta. Maka mereka
lalu membeli dua ekor onta, membawa perbekalan secukupnya dan pada hari itu
berangkatlah mereka menempuh perjalanan yang sukar itu, menyeberangi gurun
pasir yang seperti laut tak bertepi itu! Dan mulailah mereka mengalami hal-hal
yang amat aneh dan sengsara. Bahkan beberapa hari kemudian, ketika mereka
bingung karena tidak tahu ke mana harus menuju di tengah-tengah gurun pasir
yang teramat luas itu, mereka diserang oleh badai! Badai di gurun pasir tidak
kalah bahayanya dengan badai di tengah lautan. Seperti juga di lautan, di mana
badai menciptakan gulungan ombak-ombak besar dan air laut yang bergelombang, di
tengah gurun itu pun pasir menjadi seperti air laut dan bergelombang, membentuk
dinding-dinding pasir berjalan yang menelan segala apa yang berada di depan dan
menghalanginya. Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan bersama onta mereka dapat
berlindung di balik anak bukit batu yang cukup besar, akan tetapi setelah badai
mereda, mereka telah teruruk pasir dan kalau mereka tidak memiliki ilmu
kepandaian tinggi, tentu mereka sudah mati terkubur hidup-hidup di tempat itu!
Akhirnya, pada suatu senja,
mereka tiba di belakang Istana Gurun Pasir! Bagaikan dalam mimpi, mereka
memandang istana yang megah itu dari kejauhan, hampir tidak percaya kepada
pandang mata mereka sendiri karena agaknya tidak masuk akal melihat sebuah bangunan
megah di tengah-tengah gurun pasir seperti itu! Mereka meninggalkan onta dan
dengan hati-hati mereka mendekat. Dan secara kebetulan sekali mereka melihat
seorang anak laki-laki berusia lima tahun berkeliaran seorang diri di belakang
istana itu, bermain layang-layang. Mungkin karena menarik tali layang-layang
terlalu keras, atau juga karena angin terlalu kuat, maka tali di tangan anak
itu putus! Kebetulan, sebelum layang-layang itu membubung ke atas, talinya
lewat dekat Kim Cui Yan yang segera menangkapnya dan membawa layang-layang itu
kepada si anak kecil yang menjadi girang sekali.
Anak yang baik, siapakah
namamu?! tanya Cui Yan.
Karena orang itu telah
mengembalikan layang-layangnya yang putus, anak itu tidak merasa takut dan
menjawab, Namaku Kao Cin Liong.!
Ah, kau tentu putera dari Si
Naga Sakti, bukan?!
Anak itu memandang tajam, lalu
balas bertanya, Apakah engkau mengenal ayahku, Bibi?!
Cui Yan tersenyum ramah.
Ayahmu adalah putera Jenderal Kao Liang, bukan?!
Anak itu mengangguk. Ayahku
adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang tiada bandingnya!! Sekecil itu, anak ini
sudah pandai membanggakan ayahnya?
Kim Cui Yan berkedip kepada
suhengnya, kemudian berkata kepada anak itu, Siapa bilang? Kami bertaruh dengan
ayahmu bahwa dia tidak akan mampu mencari kami. Hayo kau ikut kami bersembunyi,
biar dicari ayahmu, tanggung dia tidak akan mampu mendapatkan kita.!
Ah, tidak mungkin!! Anak ini
belum mengenal kepalsuan manusia, tahunya hanya main-main saja maka dia
tertarik sekali ketika diajak main sembunyi-sembunyian agar dicari ayahnya.
Mari kita sembunyi sekarang
juga, ayahmu sudah mulai mencari!! Cui Yan memondong anak itu dan membawanya ke
tempat mereka meninggalkan onta mereka.
Heh-heh, ayah akan dengan
mudah melihat jejak kaki kalian!! Cin Liong mentertawakan mereka.
Mendengar ini, Liong Tek Hwi
lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke belakang mereka. Ada angin menyambar
dan jejak kaki mereka menjadi rata kembali tertutup pasir yang diterbangkan
oleh angin pukulannya! Melihat ini, Cin Liong tertawa, Heh-heh, kau hebat juga,
Paman!! Dia mulai gembira dan ingin melihat apakah ayahnya dapat mencari
mereka.
Demikianlah dua orang itu
membawa Cin Liong dan Tek Hwi selalu menggunakan hawa pukulannya untuk mengusap
jejak kaki onta mereka. Kini mereka menjalankan onta mereka ke selatan dan
untuk melihat mana arah selatan, mereka kalau malam melihat letaknya
bintang-bintang dan kalau siang melihat letaknya matahari. Di waktu pagi mereka
maju dengan matahari berada di sebelah kiri mereka dan di waktu sore matahari
harus selalu berada di sebelah kanan mereka. Dengan pedoman matahari dan
bintang, mereka tidak salah jalan dan dapat terus menuju ke selatan dan jejak
mereka selalu dihapus oleh pukulan-pukulan Tek Hwi dan Cui Yan yang
mendatangkan angin, atau terhapus oleh angin lalu yang mengerakkan pasir.
Akhirnya mereka dapat
meninggalkan padang pasir itu dan karena mereka maklum bahwa ayah dan ibu anak
ini pasti mencari mereka, dan karena mereka maklum akan kesaktian ayah dan ibu
anak itu, maka mereka melakukan perjalanan sambil sembunyi-sembunyi dan
sekalian mencari Jenderal Kao Liang.
Hanya karena ada Tek Hwi di
situ maka Cui Yan tidak sampai membunuh anak itu! Tadinya Cui Yan merasa betapa
amat berabe membawa-bawa anak keturunan musuh besarnya itu, lebih baik dibunuh
saja untuk melampiaskan dendamnya. Akan tetapi Tek Hwi melarang keras dan
memberi alasan yang kuat.
!Kalau kau melakukan itu,
selama hidup engkau akan menjadi musuh Istana Gurun Pasir dan hidupmu tidak
akan aman lagi. Pula, anak ini merupakan perisai yang baik bagi kita, siapa
tahu sekali waktu kita akan dapat mempergunakannya sebagai sandera yang amat
berharga. Selain itu, kau sudah berjanji untuk tidak mengikutsertakan keluarga
Kao, Sumoi.!
Demikianlah, dalam perjalanan
itu, Tek Hwi dan Cui Yan akhirnya dapat juga bertemu dengan Jenderal Kao, akan
tetapi usaha Cui Yan untuk membunuh jenderal itu gagal karena campur tangan
Ang-siocia atau Kang Swi Hwa yang menyamar pria, bahkan kemudian mereka
terpaksa mundur dan melarikan diri ketika muncul pendekar Siluman Kecil yang
pernah menyelamatkan nyawa mereka ketika mereka hampir binasa di tangan
Boan-wangwe yang amat lihai itu.
Maka, setelah kini banyak
orang mencurigai mereka, di antaranya paling akhir ini adalah dara cantik
berpayung yang kemudian dibela pula oleh seorang pemuda tampan sekali yang
memiliki kesaktian luar biasa, mereka menjadi jerih dan menurut usul Liong Tek
Hwi, mereka lalu menuju ke lembah yang dijadikan benteng oleh Liong Bian Cu,
saudara misan dari Liong Tek Hwi.
Ketika mereka tiba di benteng
lembah, setelah para penjaga melaporkan ke dalam, mereka disambut dengan girang
sekali oleh Pangeran Liong Bian Cu. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya Liong
Bian Cu tidak pernah bertemu dengan saudara misannya ini, maka kini dia menyambut
kedatangan adik misan ini dengan pelukan mesra. Bahkan ada air mata di mata
kedua orang laki-lakl yang masih ada hubungan keluarga amat dekat itu karena
ayah mereka adalah kakak beradik. Mereka berdua sebenarnya adalah
keponakan-keponakan dari Kaisar Kang Hsi sendiri! Akan tetapi, terdapat banyak
sekali perbedaan bentuk dan wajah di antara kedua orang ini. Yang seorang
berkulit putih bermata biru dengan rambut kecoklatan, sedangkan yang ke dua
berkulit coklat kehitaman, hidungnya membengkok ke bawah, matanya cekung, hitam
sekali dan rambutnya juga agak kecoklatan. Yang seorang berdarah campuran
dengan ibu kulit putih, sedangkan yang ke dua beribu Nepal.
Ahhh, Adik Tek Hwi.... betapa
keluarga kita telah berantakan....! terdengar Pangeran Nepal itu berkata dengan
hati terharu.
Liong Tek Hwi juga merasa
terharu diingatkan akan keadaan keluarganya itu. Kakak misannya ini masih baik
keadaannya karena ibunya adalah puteri raja sehingga dia merupakan cucu Raja
Nepal, seorang pangeran yang masih memiliki keluarga dan kedudukan tinggi. Akan
tetapi dia? Ayahnya telah terbasmi keluarganya, ibunya pun telah meninggal dan
ibunya dahulu adalah seorang gadis kulit putih yang diculik orang Mongol dan
dipersembahkan kepada ayahnya sehingga dia sudah tidak mempunyai keluarga lagi,
kalau pun ada maka tentu jauh di utara, di negeri Rusia. Dia sebatangkara,
tidak seperti kakak misannya ini, seorang pangeran!
Melihat Tek Hwi juga
melinangkan air mata, Pangeran Liong Bian Cu lalu menepuk-nepuk pundak adiknya
dan berkata, Jangan kau berduka, adikku. Lihat, kakakmu yang akan membalaskan
sakit hati kita, yang akan melanjutkan cita-cita ayah kita berdua, yang akan
mengangkat derajatmu ke atas. Eh, siapakah Nona ini, adikku?!
Dia adalah sumoi Kim Cui Yan,
dia adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin.!
Wajah Pangeran Nepal itu
berseri. Ah! Sungguh kebetulan sekali!! Dia mengatakan kebetulan karena gadis
cantik berbaju hijau yang menjadi sumoi adik misannya ini ternyata puteri
panglima yang pernah menjadi pembantu ayahnya itu, bahkan masih saudara dengan
ca1on isterinya, dengan Hwee Li, puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo, juga puteri
kandung Kim Bouw Sin. Akan tetapi tentu saja dia tidak membuka rahasia ini,
melainkan menjura kepada Cui Yan.
Dan anak ini?!
Tek Hwi hendak menjawab, akan
tetapi didahului oleh Cui Yan. Dia ini adalah calon murid kami.!
Ah, bagus, bagus! Sebagai
murid-murid Kim-mouw Nio-nio, kalian tentu telah memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi. Kau telah melihat benteng kita, bukan? Nah, bagaimana pendapatmu?!
Tek Hwi dan Cui Yan memang
tadi sudah mengagumi keadaan benteng itu dan merasa terkejut sekali dan heran.
Tempat itu benar-benar merupakan benteng yang kokoh kuat dan terjaga rapi oleh
pasukan-pasukan yang terlatih. Sama sekali Tek Hwi tidak pernah membayangkan
betapa saudara misannya itu telah membuat persiapan seperti orang yang hendak
melaksanakan perang!
Hebat sekali!! Tek Hwi
mengakui.
Ha-ha-ha! Dan kau belum
melihat siapa yang telah membantuku. Sayang beberapa orang di antara mereka
sedang keluar untuk menangkap mata-mata. Mari kuperkenalkan dengan dia yang
telah membangun benteng ini dan kau akan terheran-heran, adikku!!
Benar saja, Tek Hwi terkejut
bukan main, juga Cui Yan menjadi pucat wajahnya ketika mereka dihadapkan dengan
Jenderal Kao Liang sendiri! Melihat kakek ini, Cin Liong lalu melepaskan tangan
Cui Yan dan lari menubruk kakeknya. Kong-kong....!! teriaknya.
Kini giliran Liong Bian Cu
yang terkejut, dan Jenderal Kao Liang juga memeluk dan mengangkat cucunya itu.
Dia segera, mengenal Cin Liong. Ah, Cin Liong.... kau.... kau!! Dia tidak
melanjutkan kata-katanya melainkan menatap tajam kepada Liong Tek Hwi dan Kim
Cui Yan.
Ha-ha-ha, engkau pandai sekali
menyembunyikan dia tadi, Nona Kim! Kiranya kalian telah berhasil pula menculik
cucunya!! Pangeran Liong Bian Cu tertawa.
Jenderal Kao Liang menjadi
pucat wajahnya, akan tetapi dia menekan perasaannya dan sambil memandang kepada
dua orang pendatang baru itu, dia bertanya tenang, Siapakah kalian dan mengapa
kalian menculik cucuku dari Istana Gurun Pasir?!
Mendengar ini, pangeran dari
Nepal itu terkejut. Adik Tek Hwi! Benarkah dia ini dari Istana Gurun Pasir?!
tanyanya. Tentu saja sebagai murid orang pandai, dia pernah mendengar nama
Istana Gurun Pasir yang sama aneh dan keramatnya seperti nama Pulau Es! Tek Hwi
mengangguk dengan bangga karena memang merupakan hal yang patut dibanggakan
bahwa dia dan sumoinya sanggup menculik putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir!
Hebat....! Bukan main kalian
ini....!! Pangeran Liong Bian Cu berseru kagum, kemudian berkata kepada
Jenderal Kao. Kao-goanswe, perkenalkanlah, dia ini adalah Liong Tek Hwi, putera
dari paman Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Nona ini adalah Nona Kim Cui Yan,
puteri dari paman Panglima Kim Bouw Sin.!
Ahhh....!! Mengertilah kini
Jenderal Kao mengapa dua orang itu menculik cucunya. Kiranya mereka ini yang
menculik Cin Liong yang dicari-cari oleh ayah bundanya.
Kao-goanswe, sekarang engkau
tahu bahwa cucumu juga berada di antara keluargamu!! kata Pangeran Liong Bian
Cu. Lepaskan dia, biar dia bersatu dengan keluargamu.!
Jenderal Kao Liang menarik
napas panjang dan menurunkan cucunya dari pondongan. Dia mengelus kepala anak
itu sambil berkata, Cin Liong, kau ikutlah bersama nenekmu, pamanmu, bibimu dan
keluarga lain.!
Kong-kong, siapakah mereka
ini? Dua orang ini menipuku, membawaku pergi sampai lama dan tidak mau
membawaku kembali. Kong-kong, lawanlah mereka!! Cin Liong berkata, akan tetapi
Jenderal Kao Liang hanya membuang muka lalu pergi. Cin Liong lalu ditangkap
oleh dua orang pengawal atas isyarat pangeran itu dan dibawa pergi ke dalam
ruangan tahanan di mana berkumpul keluarga Jenderal Kao Liang. Terhibur dan
girang juga hati anak itu ketika bertemu dengan keluarga ayahnya.
Di dalam hatinya, Liong Tek
Hwi tidak setuju sama sekali dengan semua rencana yang diambil oleh kakak
misannya.
Dia mendengar penuturan kakak
misannya itu dan diam-diam dia terkejut bukan main. Pemuda ini sudah dapat
melihat kesalahan mendiang ayahnya yang memberontak, dia merasa menyesal
sekali, bahkan sering kali dia membicarakan hal itu dengan sumoinya yang
perlahan-lahan juga dapat melihat kesalahan ayahnya yang membantu pemberontak.
Mereka berdua berjanji untuk menebus nama buruk ayah mereka, akan tetapi kini
mereka malah akan diajak bersekutu untuk mengulangi lagi kesalahan ayah mereka
yang lalu, yaitu memberontak! Akan tetapi, melihat keadaan benteng yang kokoh
kuat itu, dan melihat bahwa kakak misannya itu didukung oleh Nepal, Liong Tek
Hwi tidak berani berkata apa-apa. Apalagi karena dia dan sumoinya merasa girang
bahwa musuh besar mereka telah berada di situ pula sehingga memudahkan mereka
untuk membalas dendam. Pangeran Liong Bian Cu tidak dapat lama melayani adik
misannya yang baru datang bersama sumoinya. Setelah menyuruh pengawal membawa
Cin Liong agar berkumpul dengan keluarga Jenderal Kao, dengan demikian
memperkuat pengaruhnya atas diri jenderal itu, Pangeran Liong Bian Cu lalu
mengundurkan diri karena dia masih menanti dengan hati khawatir akan hasil
kedua orang pembantunya, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang melakukan
pengejaran terhadap Siluman Kecil yang membawa lari Hwee Li. Dua orang murid
dari Kim-mouw Nio-nio itu dipersilakan untuk melihat-lihat keadaan di dalam
benteng, berkenalan dengan para pembantu lain termasuk Mohinta, Hwa-i-kongcu
dan para pembantunya, dan para tokoh dari Nepal lainnya. Diam-diam Liong Tek
Hwi makin khawatir melihat bahwa keadaan benteng itu benar-benar kuat dan kakak
misannya telah berhasil mengumpulkan orang-orang pandai yang amat banyak,
bahkan kedudukan kakak misannya ini lebih kuat daripada kedudukan pemberontakan
mendiang ayahnya dahulu, hanya bedanya, kini kakak misannya didukung oleh
Gubernur Ho-nan, yang tentu saja mempersiapkan pasukan yang cukup besar,
sedangkan dulu ayahnya didukung oleh pasukan yang dipimpin oleh Panglima Kim
Bouw Sin di utara.