Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 34 - Pelayan Sebagai Pengganti
Apalagi semua indera dari Mauw
Siauw Mo-li seolah-olah telah menjadi tumpul dan buta sehingga dia tidak lagi
dapat membedakan orang dan di dalam gelap itu, dia segera menggelut pelayan
bopeng yang merasa terkejut, heran, juga amat girang karena dia seolah-olah
menjadi seperti seorang kelaparan yang diberi hidangan lezat dan banyak
sehingga dia pun makanlah dengan lahap dan rakusnya!
Dari luar jendela, Tek Hoat
tersenyum mendengar erangan seperti kucing itu, dan bisikan-bisikan yang
menyatakan kagum dan pujian terhadap dirinya oleh Mauw Siauw Mo-li. Maka dia
lalu meloncat pergi sambil tersenyum lebar. Mudah-mudahan saja besok Mauw Siauw
Mo-li akan sadar bahwa cinta tidak dapat dipaksa-paksakan, pikirnya. Kini berkurang
rasa bencinya terhadap Mauw Siauw Mo-li. Dia tahu bahwa wanita itu telah
menjadi hamba dari nafsu berahinya, yang merupakan semacam penyakit yang
mendalam sehingga selama hidupnya, wanita itu akan menjadi tersiksa oleh
penyakit itu, hidupnya tidak akan dapat tenteram, nafsu berahinya seperti api
yang berkobar dan makin lama makin berkobar, membara dan membakar
segala-galanya tanpa pernah mengenal kepuasan. Dalam diri wanita itu seperti
telah dicengkeram oleh racun yang amat dahsyat!
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali setelah kegelapan dalam kamar terusir oleh sinar matahari pagi
yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui lubang-lubang di atas jendela,
terdengar teriakan panjang mengerikan dari dalam kamar Tek Hoat. Teriakan ini
keluar dari mulut pelayan bopeng, disusul oleh suara maki-makian yang marah
dari Mauw Siauw Mo-li. Ketika wanita ini terbangun dan mendapatkan dirinya
dalam pelukan seorang laki-laki yang berwajah buruk sekali, dia menjerit dan
melemparkan pelayan itu dengan sekali gerakan saja ke atas lantai!
Pelayan itu terkejut dan
berteriak, akan tetapi teriakkannya memanjang mengantar nyawanya ketika Mauw
Siauw Mo-li sudah meloncat dan sekali tangannya terayun, pelayan itu roboh
dengan kepala pecah! Mauw Siauw Mo-li mencari pakaiannya dan ketika melihat
bahwa pakaiannya hilang, dia memaki-maki dengan kemarahan meluap-luap. Tahulah
dia bahwa dia telah dipermainkan oleh Ang Tek Hoat! Dua titik air mata meloncat
keluar dari matanya, akan tetapi kini kemarahannya mengatasi kekecewaannya dan
dia memaki-maki dan menendang, membanting dan menghancurkan seisi kamar itu.
Tek Hoat keparat! Jahanam
besar kau! Kubunuh kau....!!
Tiba-tiba pintu kamar itu
terketuk orang keras-keras dari luar dan terdengar suara ribut-ribut. Itu
adalah suara para pelayan lain, dan para pengurus rumah penginapan dan para
tamu yang mendengar teriakan mengerikan tadi. Mauw Siauw Mo-li terkejut dan
bingung. Dia telanjang bulat!
Braaaaakkkkk....!! Pintu
dijebol banyak orang dari luar. Melihat ini, Mauw Siauw Mo-li terpaksa meloncat
keluar dari jendela dalam keadaan telanjang bulat. Akan tetapi, ternyata di
luar jendela telah banyak orang pula, bahkan ada petugas keamanan mengurung
tempat itu. Tentu saja semua ini adalah perbuatan Tek Hoat yang memberi tahu
orang-orang dan petugas itu bahwa di dalam kamarnya terdapat siluman yang suka
membunuh orang!
Beberapa orang yang melihat
wanita cantik jelita dan telanjang bulat itu menjadi terkejut, akan tetapi
ketika melihat pelayan bopeng rebah di atas lantai berlumur darah mukanya dan
telah tewas, mereka menjadi marah.
Tangkap siluman!!
Dia membunuh orang!!
Bunuh saja dia! Awas, hadang
dia, jangan sampai kabur!!
Banyak orang menyerbu ke dalam
kamar, akan tetapi tentu saja dengan sekali gerakan Mauw Siauw Mo-li telah
berhasil merobohkan beberapa orang, kemudian dia menerobos keluar jendela,
menendang dan memukul roboh mereka yang berani menghalanginya dan dengan
beberapa kali lompatan di atas genteng-genteng rumah orang, lenyaplah wanita
telanjang bulat yang cantik itu!
Tentu saja peristiwa itu
menjadi dongeng!' yang banyak diceritakan orang yang rnenganggap bahwa wanita
cantik itu pasti benar-benar siluman! Kalau manusia, mana mungkin ada seorang
wanita yang demikian cantiknya suka bermain cinta dengan seorang laki-laki yang
demikian buruknya seperti pelayan itu, yang selain buruk, juga sudah setengah
tua dan miskin? Dan pelayan itu dibunuhnya. Siapa lagi wanita itu kalau bukan
siluman?
Sementara itu, Mauw Siauw
Mo-li menjadi marah dan sakit hati sekali terhadap Tek Hoat. Akan tetapi ke
manakah dia harus mencari Tek Hoat? Pemuda itu sudah pergi jauh, dan selain
itu, andaikata dia dapat bertemu dengan pemuda itu, apa yang dapat dia lakukan
terhadapnya? Dia tahu bahwa Tek Hoat memiliki kepandaian yang amat tinggi dan
dia tidak akan menang melawan pemuda itu. Ingin dia menangis kalau mengingat
betapa dia gagal mendapatkan diri pemuda itu. Bagaikan sepotong daging, pemuda
itu sudah berada di dalam mulutnya, tinggal menelannya saja, akan tetapi daging
itu terloncat keluar dari dalam mulutnya dan dia bukan hanya gagal
mendapatkannya, bahkan sebaliknya dia dipermainkan! Hatinya sakit sekali dan
dalam keadaan seperti ini, Mauw Siauw Mo-li berjanji dalam hati sendiri untuk
mencari jalan agar kelak dia dapat membalas penghinaan itu.
***
Lereng Bukit Tai-hang-san
memiliki pemandangan alam yang amat indah. Terutama sekali di lereng gunung di
mana berdiri Kuil Kwan-im-bio itu. Sungguh bagian lereng gunung ini merupakan
tempat yang subur sekali tanahnya karena sumber air di dekat puncak mengalir
melalui lereng ini. Segala macam tanaman rempah-rempah yang mengandung khasiat
pengobatan dan racun ampuh dan bunga-bunga indah dan aneh-aneh yang tidak
terdapat di daerah lain. Mungkin terpengaruh oleh cara hidup para nikouw
(pendeta wanita) yang mendiami Kuil Kwan-im-bio itu, cara hidup penuh
ketenteraman, ketenangan dan kedamaian, maka para penduduk di dusun-dusun
sekitar daerah lereng ini pun hidup tenteram dan tenang. Bahkan
binatang-binatang hutan yang terdapat di lereng itu, burung-burung yang berkembang
biak dengan amannya, kelihatan jinak dan tidak takut kepada manusia karena
manusia yang tinggal di sekitar daerah itu tidak pernah ada yang mengganggu
mereka.
Kuil Kwan-im-bio yang berada
di lereng itu dipimpin oleh Kim Sim Nikouw, seorang pendeta wanita yang lemah
lembut dan manis budi, yang dikenal oleh seluruh penduduk pegunungan itu
sebagai seorang pendeta yang suka menolong mereka yang sedang dilanda
kesusahan, dikenal sebagai seorang ahli pengobatan dan juga seorang yang
biarpun kelihatan lemah namun sesungguhnya merupakan seorang yang memiliki
kesaktian luar biasa sehingga tidak ada orang jahat pernah berani mencoba-coba
untuk mengganggu daerah itu. Akan tetapi, Kim Sim Nikouw tidak pernah mau
memperlihatkan kepandaiannya, apalagi untuk berkelahi, bahkan dia selalu
mengalah dan bersikap manis terhadap siapapun juga sehingga banyak orang jatuh
olehnya bukan dengan kekerasan atau kepandaian silat, melainkan oleh sikapnya
yang manis budi. Kejatuhan seperti ini bukan merupakan kejahatan yang mengandung
dendam dan sakit hati, sebaliknya malah kejatuhan seperti ini mengandung daya
tarik yang membangkitkan rasa sayang di dalam hati semua orang terhadap nikouw
tua ini.
Usia Kim Sim Nikouw sudah
mendekati enam puluh tahun namun wajahnya masih nampak berkulit halus dan
kemerahan, tanda sehat dan segar, masih jelas nampak bekas kecantikan wajahnya.
Memang nikouw ini dahulu adalah seorang wanita yang amat cantik dan tangkas.
Dan ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali karena dia bukan lain adalah bekas
suci dari Pendekar Super Sakti yang kini menjadi Majikan Pulau Es (baca cerita
Pendekar Super Sakti). Biarpun nikouw ini kelihatan lemah dan manis budi, namun
sesungguhnya di waktu mudanya dia pernah menjadi murid seorang datuk kaum sesat
yang bertangan kejam sekali.
Bahkan nikouw ini memiliki
pula pukulan yang dinamakan Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa),
di samping tenaga dingin Swat-im Sin-kang yang amat mujijat. Akan tetapi, belum
pernah ada orang yang menyaksikan nikouw itu mempergunakan pukulan mengerikan
dan tenaga mujijat itu, kepandaian yang oleh nikouw itu sendiri tidak
disukainya. Akan tetapi yang pernah nampak oleh orang lain adalah kepandaian
berlari cepat dari nikouw ini. Kim Sim Nikouw selama puluhan tahun telah
menciptakan ilmu meringankan tubuh yang amat hebat sehingga dia dapat berlari
seperti terbang cepatnya dan kedua kakinya seolah-olah menginjak ujung
rumput-rumput di atas tanah. Ilmu ciptaannya ini adalah Ilmu Jouw-sang-hui-eng
(Ilmu Terbang di Atas Rumput) dan ada pula gerakan-gerakan yang luar biasa
cepatnya dan yang diberinya nama Ilmu Sin-ho Coan-in (Bangau Sakti Terjang
Awan).
Sikap dan sifat Kim Sim Nikouw
memang membuat dia pantas sekali menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, karena dewi
yang dipuja-puja di kuil itu sendiri, yaitu Kwan Im Pouwsat, adalah dewi
lambang dari kebijaksanaan dan belas kasih, penolong dan pengampun.
Murid-muridnya, yaitu para nikouw yang berada di kuil itu, semua tunduk
kepadanya, taat bukan karena takut melainkan karena mencinta pendeta wanita ini.
Dan para nikouw itu hanya menjadi muridnya dalam hal keagamaan saja.
Satu-satunya nikouw yang menjadi muridnya dalam hal ilmu silat hanyalah
seorang, yaitu Liang Wi Nikouw yang usianya malah lebih tua dari padanya! Liang
Wi Nikouw telah berusia enam puluh lima tahun sedangkan Kim Sim Nikouw kurang
lebih enam puluh tahun!
Akan tetapi, semenjak beberapa
bulan ini, Kim Sim Nikouw membawa pulang seorang dara remaja yang usianya baru
delapan belas tahun, seorang dara yang bersikap lemah lembut, berwajah cantik
dan gerak-geriknya halus. Dara ini bukan lain adalah Phang Cui Lan, puteri
mendiang kepala kampung Cian-li-cung di dekat Lok-yang, dara yatim piatu yang
hidup sebatangkara dan yang pernah menjadi dayang atau pelayan dari keluarga
Gubernur Ho-nan. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, dayang
yang muda dan cantik ini, biarpun merupakan seorang wanita lemah, namun dia
memiliki keberanian yang amat mengagumkan dan dengan cara luar biasa dia telah
berhasil menyelamatkan Gubernur Ho-pei dari ancaman bahaya ketika Gubernur
Ho-pei ini tertawan oleh Gubernur Ho-nan yang hendak memberontak. Dan telah
dituturkan pula betapa Cui Lan diangkat anak oleh Gubernur Ho-pei dan diajak
pulang ke Ho-pei. Akan tetapi di tengah jalan, Cui Lan bertemu kembali dengan
satu-satunya, pria yang dipujanya dan yang diam-diam dicintanya, yaitu Siluman
Kecil yang bertanding melawan kakek pembawa suling emas.
Sikap Siluman Kecil yang tidak
mempedulikannya, membuat hati dara ini hancur dan terluka. Kembali terbukti
betapa cinta kasih yang sesungguhnya bukan cinta kasih murni melainkan cinta
kasih yang mengikat, yang mengandung pamrih, yang disebut cinta kasih akan
tetapi sebenarnya hanya merupakan pengejaran kesenangan diri pribadi, selalu
pasti mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan! Betapa banyak terjadi di dalam
dunia ini cinta-cinta yang mendatangkan korban tak terhitung banyaknya dan
bermacam-macam lika-likunya. Cinta seperti itu yang mendatangkan korban di
antara manusia telah terjadi semenjak ribuan tahun, sedang terjadi pula
sekarang ini dan mungkin akan terus terjadi selama manusia tidak menyadari
betapa palsunya cinta kasih seperti itu. Betapa banyaknya kaum muda-mudi yang
saling tertarik, bersumpah saling mencinta ketika mereka masih
diombang-ambingkan oleh pengejaran untuk menyenangkan dirinya sendiri itu.
Kemudian, setelah datang badai berupa sesuatu yang membuat hati mereka tidak
senang, lunturlah cinta kasih itu, bahkan tidak jarang cinta mereka berubah
menjadi kebencian! Cinta kasih macam itu tak dapat tiada tentu akan
mendatangkan kepahitan, patah hati, kekecewaan, kebosanan, cemburu, dan
sebagainya. Karena cinta kasih seperti itu isinya penuh dengan pamrih dan
harapan, bayangan untuk kesenangan pribadi, maka apabila ternyata bahwa cinta
kasih itu tidak mendatangkan kesenangan lagi, bahkan merugikan dan menyakitkan,
cinta kasih itu berubah menjadi penderitaan dan kesengsaraan batin.
Demikian pula dengan Phang Cui
Lan. Dia mencinta Siluman Kecil, cinta yang didorong oleh rasa kagumnya
terhadap Siluman Kecil yang pernah menolongnya. Cintanya berselubung harapan
agar dia menjadi milik pria itu, agar pria itu membalas cintanya, agar dia
selalu dapat berdampingan dengan pria itu karena hal ini akan amat menyenangkan
hatinya. Demikianlah gambaran yang diharap-harapkannya. Oleh karena itu, karena
melihat kenyataan betapa pendekar yang dipujanya itu sama sekali tidak
mempedulikannya, sama sekali tidak menerima apalagi membalas cintanya, Phang
Cui Lan mengalami pukulan batin yang hebat dan yang membuatnya merana.Untung baginya
bahwa dalam keadaan itu dia bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang menaruh kasihan
kepadanya dan mengajak dara itu tinggal di kuilnya.
Kim Sim Nikouw merasa tertarik
dan sayang kepada Cui Lan, karena dia melihat persamaan nasib antara dia dan
dara itu. Dia sendiri di waktu mudanya juga mengalami patah hati yang amat
membuatnya sengsara, yaitu ketika cintanya terhadap Pendekar Super Sakti tidak
berhasil membuat dia berjodoh dengan pendekar itu. Dia pun pernah mengalami
derita batin karena cinta gagal, maka kini menyaksikan keadaan Cui Lan, timbul
rasa iba di dalam hatinya. Dara itu pun seorang yang yatim piatu seperti dia,
dan gagal pula dalam cintanya. Dulu dia gagal dalam cintanya terhadap Pendekar
Super Sakti dan kini Cui Lan gagal terhadap putera pendekar itu.
Hati Cui Lan banyak terhibur
dan terobati setelah dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Bahkan dara ini yang
telah mengalami banyak hal-hal pahit dan maklum bahwa sebagai seorang wanita
muda yang lemah dia terancam oleh berbagai kejahatan di dunia ramai, kini mulai
mempelajari ilmu silat dari ketua Kwan-im-bio itu di samping menerima
wejangan-wejangan kebatinan yang dapat dia pergunakan untuk mengatasi
penderitaan batinnya.
Akan tetapi, bukan hanya
menjadi maksud hati Kim Sim Nikouw untuk sekedar mengobati luka di hati Cui
Lan, agar dara itu dapat melupakan kedukaannya dan melupakan Kian Bu. Sama
sekali tidak! Nikouw ini melihat kenyataan bahwa menghibur hati yang sengsara
dengan cara memaksa diri menjadi nikouw bukanlah merupakan jalan yang baik, karena
dia sendiri sudah merasakan betapa sampai sekarang pun hatinya kadang-kadang
terluka dan perih kembali! Oleh karena itu, dia tidak ingin melihat Cui Lan
mencontoh perbuatannya. Tidak, Cui Lan adalah seorang dayang amat cantik dan
baik, hal ini sudah diketahuinya benar selama beberapa hari saja setelah dara
itu ikut bersamanya. Dara ini baik sekali, cukup baik dan cukup berharga untuk
menjadi mantu Pendekar Super Sakti! Karena itu, diam-diam dia akan turun
tangan, dia yang akan menjadi wali dan wakil orang tua dara ini untuk
menjodohkan Cui Lan dengan Kian Bu!
Cui Lan sendiri hanya dapat
menduga-duga saja siapakah sebenarnya nikouw yang kini menjadi gurunya ini. Dia
hanya tahu bahwa nikouw ini bersama Kim Sim Nikouw dan menjadi ketua Kuil
Kwan-im-bio, akan tetapi dia tidak tahu apa hubungan nikouw ini dengan Siluman
Kecil. Dia mendengar ketika dia mengintai bersama Hwee Li betapa Siluman Kecil
menyebut nikouw ini ibu!. Akan tetapi dia tidak berani menanyakan kepada
subonya.
Pada suatu hari, setelah kurang
lebih tiga bulan dia berguru kepada Kim Sim Nikouw, dan untuk ke sekian kalinya
dia mengajukan permintaan agar diterima menjadi nikouw karena di dunia baru ini
dia merasa seperti menemukan ketenteraman batin. Kim Sim Nikouw kembali
menolaknya dan berkata kepada dara yang berlutut di depannya itu.
Cui Lan, ketahuilah bahwa
engkau tidak berjodoh untuk menjadi pendeta.!
Cui Lan mengangkat mukanya
yang tadi menunduk dan memandang kepada subonya dengan sinar mata penuh
permohonan. Akan tetapi, Subo. Teecu telah merasa tenteram dan senang hidup
sebagai seorang pendeta. Apakah Subo hendak mengatakan bahwa teecu masih
terlalu kotor untuk menjadi nikouw?!
Omitohud....! Sama sekali
tidak demikian muridku.!
Kalau begitu, kenapakah, Subo?
Harap Subo suka memberi penerangan kepada teecu.!
Engkau ingin tahu mengapa aku
melarangmu menjadi nikouw, Cui Lan? Karena.... karena pinni menyayangmu seperti
anak sendiri, karena pinni tidak ingin engkau yang begini muda menyia-nyiakan
hidupmu dan tidak menikmati hidupmu. Karena pinni tidak ingin engkau menjadi
korban dari cinta gagal yang akan membuat hidupmu selalu merana dan sengsara,
biarpun hal itu akan kau tutupi dengan jubah pendeta sekalipun!!
Wajah Cui Lan berubah, agak
pucat ketika dia memandang kepada nikouw itu dengan sinar mata terbelalak.
Apa.... apa maksud Subo....?!
Nenek itu memandang kepada
muridnya dengan sepasang matanya yang bersinar lembut namun tajam dan agaknya
dapat menjenguk isi hati yang dipandangnya, Cui Lan, engkau masih mencinta
Siluman Kecil, bukan?!
Wajah Cui Lan berubah menjadi
merah dan dia menunduk, akan tetapi lalu menarik napas panjang dan sampai lama
baru menjawab, Teecu.... cinta padanya dan selama hidup teecu akan tetap
mencintanya, Subo. Akan tetapi apa artinya semua itu? Tidak ada gunanya dan
karena itulah maka teecu mengambil keputusan untuk menggunduli kepala dan masuk
menjadi nikouw saja. Harap Subo suka mengabulkan permintaan teecu ini....!
Tahukah engkau siapa
sebetulnya Siluman Kecil itu?!
Cui Lan memandang gurunya.
Teecu tidak tahu, Subo. Dia.... dia diliputi penuh rahasia.... dan teecu pernah
mendengar betapa dia menyebut Subo dengan sebutan ibu.... ah, bukan sekali-kali
teecu bermaksud untuk menanyakan hal ini kepada Subo, teecu tidak berhak
mengetahui....!
Anak baik, engkau amat sopan
dan baik. Akan tetapi jangan khawatir. Dia bukanlah puteraku sungguhpun dia
kuanggap sebagai anakku sendiri dan dia pernah mempelajari beberapa macam ilmu
dari pinni. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan itu, melainkan bahwa dia itu
putera dari Majikan Pulau Es, putera dari Pendekar Super Sakti, dan namanya
adalah Suma Kian Bu.!
Cui Lan mengerutkan alisnya,
mengingat-ingat. Dia sama sekali tidak pernah mengenal nama Pendekar Super
Sakti atau Majikan Pulau Es, akan tetapi nama Suma Kian Bu tidak asing baginya,
terutama she Suma itu. Kemudian dia teringat, Ah, teecu pernah mengenal seorang
pendekar perkasa yang amat berbudi dan bernama Suma Kian Lee....!
Ehhh? Suma Kian Lee? Dia
adalah kakak dari Suma Kian Bu atau Siluman Kecil!!
Ohhhhh....!! Cui Lan
terbelalak dan kini dia mengerti mengapa dia merasa kagum dan suka sekali
kepada Suma Kian Lee, bukan hanya karena Kian Lee merupakan seorang pemuda
tampan yang gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi sekarang dia melihat
bahwa memang terdapat persamaan antara kedua orang pemuda itu! Banyak sekali
persamaan malah. Memang wajah mereka agak berbeda, memiliki ketampanan
masing-masing, akan tetapi kini nampak olehnya bahwa memang terdapat persamaan
yang kuat sekali, entah di dalam sinar matanya, atau dalam sikap mereka yang
gagah.
Dan ketahuilah bahwa pinni
adalah sahabat baik dari ayah mereka. Pendekar Super Sakti. Bukan hanya sahabat
baik sekali, Cui Lan, bahkan dia itu dahulu adalah suteku sendiri. Pinni
menganggap Kian Bu sebagai anak sendiri dan pinni melihat engkau memang pantas
menjadi jodohnya, Cui Lan....!
Subo....!! Cui Lan menjerit
dan mukanya berubah makin merah. Dia.... dia tidak suka kepada teecu....!!
Ah, mana mungkin ada orang
tidak suka kepadamu, Cui Lan? Dan anakku Kian Bu itu bukanlah pembenci orang.!
Akan tetapi dia.... dia....
agaknya tidak dapat menerima perasaan teecu, Subo.! Dia berhenti sebentar.
Dia.... tidak mencinta teecu.... tidak mungkin dia sudi berjodoh dengan,
teecu.!
Jangan khawatir, muridku. Aku
cukup mengenal anakku Kian Bu. Bukannya dia tidak mencintamu, akan tetapi
mungkin ada hal lain yang membuat dia agaknya sengaja menjauhimu. Akan tetapi,
biarlah pinni yang akan menemuinya dan kalau perlu pinni yang akan membicarakan
urusan perjodohan antara engkau dan Kian Bu dengan ayahnya, Pendekar Super
Sakti. Kalau pinni yang bicara, pinni yakin akan ada perhatian dari keluarga
mereka.!
Tiba-tiba Cui Lan tak dapat
menahan lagi membanjirnya air matanya, air mata yang terdorong oleh bermacam
perasaan. Ada kesedihan, ada keharuan, akan tetapi juga ada kegirangan yang
timbul oleh harapan baru. Hampir dia tidak percaya bahwa dia kelak akan dapat
menjadi jodoh Siluman Kecli. Akan tetapi siapa tahu? Nasibnya berada di tangan
subonya. Dia lalu memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai. Subo....
teecu menyerahkan mati hidup teecu di tangan Subo, dan teecu hanya akan
mentaati segala perintah Subo....!
Kim Sim Nikouw menarik napas
panjang dan menggerakkan tangannya, dengan lembut dia mengusap rambut kepala
muridnya itu. Tak lama kemudian dia berkata, Aihhh, betapa cinta kasih di dunia
ini mendatangkan banyak korban di antara manusia! Pinni akan berusaha
sungguh-sungguh, Cui Lan, karena pinni tidak menghendaki engkau mengalami nasib
seperti wanita-wanita yang gagal dalam bercinta sehingga akhirnya hidup
menderita selamanya. Pinni sendiri telah menemui kebahagiaan dalam penghambaan
diri kepada Pouwsat, akan tetapi betapa banyaknya orang yang hanya menggunakan
agama sebagai pelarian belaka? Apalagi kalau pinni teringat kepada sucimu Yan
Hui.... hemmm, pinni merasa ngeri....! Wajah nikouw itu menjadi muram ketika
menyebut nama Yan Hui itu.
Cui Lan yang telah mereda
keharuannya dan telah mengusap air matanya itu memandang subonya, hatinya
tertarik. Subo, siapakah Suci (Kakak Seperguruan) yang bernama Yan Hui itu?!
tanyanya.
Kembali Kim Sim Nikouw menarik
napas panjang. Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun
yang lalu, pinni belum mendidik Liang Wi Nikouw sucimu itu sebagai murid, pinni
tadinya tidak berniat untuk menurunkan ilmu silat kepada siapapun karena pinni
menganggap bahwa ilmu silat hanyalah ilmu yang dipergunakan orang untuk
menunjukkan kekerasan belaka. Akan tetapi pada suatu hari, pinni bertemu dengan
seorang gadis cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi dan dia pinni temui
hampir membunuh diri di dalam kamar kuil ini ketika pada suatu malam dia
bermalam di sini. Pinni mencegah dia membunuh diri dan memutuskan tali
penggantung lehernya. Dara itu bernama Ouw Yan Hui, cantik jelita dan berilmu
tinggi. Melihat betapa pinni menggagalkan maksudnya membunuh diri, setelah dia
siuman kembali, dia menjadi marah dan menyerang pinni. Kami bertanding dan
ternyata ilmunya memang hebat! Kalau saja pinni tidak memiliki ilmu ginkang
yang telah pinni latih secara tekun sekali sehingga dalam hal kecepatan pinni
dapat mengatasinya, agaknya pinni tidak akan menang menghadapinya.! Sampai di
sini nikouw itu berhenti dan memejamkan mata mengingat-ingat.
Akan tetapi pinni tidak mau
melukai orang, apalagi membunuh orang. Maka perlahan-lahan pinni menasihatinya
dengan pelajaran agama dan akhirnya dia sadar dan insyaf, lalu dia menangis dan
berlutut mohon menjadi murid pinni. Seperti juga engkau, dia ingin menjadi
nikouw, akan tetapi pinni yang melihat ada ganjalan hati yang membuatnya keras
luar biasa, tidak mau menerimanya, hanya menerimanya sebagai murid. Pinni
mengajarkan ginkang itu kepadanya dan ternyata dia berbakat sekali. Dalam waktu
tiga tahun saja ginkangnya bahkan sudah melampaui tingkat pinni sendiri!!
Ah, dia tentu hebat....!! Cui
Lan berseru kagum.
Memang dia hebat! Yan Hui
seorang wanita yang hebat sekali. Akan tetapi dia pun menjadi rusak oleh patah
hati karena cinta gagal!!
Ohhh....!! Cui Lan berseru
kaget dan kasihan.
Sebetulnya dia sudah bersuami dan
dia amat mencinta suaminya itu. Akan tetapi, selagi dia mengandung tua,
suaminya itu menyeleweng dan dia menangkap basah suaminya yang berjina dengan
seorang gadis tetangganya. Yan Hui tidak mampu menahan kemarahannya dan dia
membunuh suaminya dan gadis itu, menjadi buronan dalam keadaan mengandung tua.
Dengan sengsara dia melarikan diri, melahirkan anak seorang diri di dalam kuil
tua dan anak itu mati ketika dilahirkan. Dia sendiri hampir saja mati, dan
biarpun akhirnya dia dapat memulihkan kembali kesehatannya, namun hatinya telah
terluka. Dalam keadaan seperti itulah pinni bertemu dengan dia, ketika dia
hendak membunuh diri.!
Cui Lan makin tertarik.
Sungguh kasihan sekali dia Subo, di mana sekarang adanya suci itu?!
Kim Sim Nikouw menghela napas
panjang. Dia tinggal di Pulau Ular Emas, di mana dia hidup sebagai seorang ratu
yang amat mewah. Dia berhasil menemukan harta pusaka yang disimpan kaum bajak
jaman dahulu di pulau itu. Aihhh.... sungguh menyedihkan. Dia menjadi seorang
wanita yang mabuk oleh dendam, menjadi pembenci kaum pria.... menyedihkan
sekali, dia berubah menjadi seorang yang kejam, seperti iblis. Pinni tidak
berdaya, karena dengan ginkang yang sudah melebihi pinni tingkatnya, mana pinni
mampu menghadapinya? Kiranya, hanya Kian Bu saja yang akan sanggup menghadapi
sucimu itu.... ah, sudahlah, hati pinni merasa tidak enak kalau membicarakan
sucimu Yan Hui itu karena pinni merasa betapa pinni telah menambah sayap pada
seekor harimau betina yang haus darah! Karena itulah, Cui Lan, maka pinni tidak
ingin melihat engkau menjadi seorang wanita yang putus asa karena cinta gagal.
Pinni akan berusaha agar engkau dapat berjodoh dengan Kian Bu karena pinni
yakin bahwa baik engkau maupun Kian Bu kelak akan hidup sebagai suami isteri
yang berbahagia.!
Teecu merasa amat berterima
kasih atas budi kecintaan Subo kepada teecu,! jawab Cui Lan dan semenjak
percakapan itu, dara ini berlatih makin tekun dan wajahnya mulal berseri karena
timbul harapan baru dalam hatinya.
***
Gadis itu memang cantik bukan
main. Bukan hanya wajahnya yang cantik jelita dengan raut muka yang sempurna,
kulitnya berwarna putih kemerahan, terutama sekali di kedua pipinya dan dahinya
yang halus seperti lilin diraut, akan tetapi juga tubuhnya yang tinggi ramping
itu amat lemas dan memiliki kepadatan dan lekuk lengkung yang tidak dapat
disembunyikan oleh pakaiannya yang serba indah. Aneh sekali melihat seorang
dara cantik jelita berjalan seorang diri memasuki hutan itu, dengan tangan kiri
memegang gagang payung yang terbuka dan yang melindunginya dari sengatan
matahari yang terik itu. Setelah memasuki hutan yang penuh pohon dan tedub
sekali, dia menurunkan payungnya, menutup payung itu dan mengempitnya di ketiak
lengan kiri tanpa menunda langkahnya yang satu-satu dan yang membuat tubuhnya
melenggang-lenggok dengan patutnya. Memang seorang dara yang cantik manis dan
menggairahkan. Akan tetapi pada wajah yang manis itu terbayang kemurungan hati.
Memang hati Siang In, gadis
itu, sedang murung. Sudah lama sekali dia berputar-putar mencari jejak Syanti
Dewi tanpa hasil! Dia merasa bertanggung jawab atas hilangnya Puteri Bhutan
itu, karena sesungguhnya dialah yang membantu puteri itu melarikan diri dari
istana Kerajaan Bhutan. Akhir-akhir ini dia mendengar bahwa jejak puteri itu
menuju ke pantai Po-hai, akan tetapi telah berhari-hari dia mencari-cari di
seluruh pantai, tetap saja tidak ada hasilnya.
Dalam perantauannya mencari
jejak Syanti Dewi yang kini lenyap seperti ditelan bumi itu, Siang In banyak
mendengar tentang keributan dan pergolakan di tapal batas Propinsi Ho-nan. Dia
mendengar pula tentang peristiwa yang menimpa diri Pangeran Yung Hwa, betapa
pangeran itu tertolong dari Ho-nan oleh pendekar yang namanya dia dengar di
mana-mana, yaitu Siluman Kecil. Ketika dia mendengar penuturan orang-orang
kang-ouw di sepanjang perjalanan bahwa Siluman Kecil adalah seorang pemuda
lihai sekali yang rambutnya sudah putih semua, dia teringat akan pemuda yang
bertanding melawan kakek raksasa botak bermantel merah yang amat lihai itu.
Teringat dia ketika dia membantu pemuda itu karena melihat betapa kakek raksasa
itu mempergunakan ilmu sihir dalam pertandingan. Jadi pemuda itukah yang
berjuluk Siluman Kecil dan yang namanya amat terkenal di seluruh tapal batas
propinsi, bahkan, terdengar pula sampai ke tempat-tempat terpencil di pantai
Po-hai? Dia merasa kagum. Memang, dia teringat betapa pertandingan itu
membuktikan akan kelihaian pemuda rambut putih itu. Dan kini dia mengerti bahwa
lawan pemuda itu adalah Ban Hwa Seng-jin, koksu dari Nepal!
Dunia begini kacau, pikirnya.
Pembesar-pembesar melakukan pergolakan, pemberontakan. Tokoh-tokoh dunia hitam
seperti iblis-iblis merayap keluar dari gua-gua tempat persembunyian mereka
untuk mendatangkan kekacauan dan mengail di air keruh. Dalam keadaan sekacau
ini, tentu saja makin sukarlah untuk mencari Syanti Dewi. Dia makin murung.
Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia yang mengajak dan membantu puteri itu
minggat dari Bhutan, tentu dia tidak akan peduli lagi, tidak mau melanjutkan
penyelidikannya mencari Syanti Dewi. Karena Syanti Dewi, maka dia sampai
mengesampingkan urusannya sendiri, yaitu mencari pemuda yang selama ini selalu
merupakan gangguan dalam hatinya, dalam perasaannya, merupakan duri dalam
daging. Pemuda yang kadang-kadang menimbulkan rasa gemas sampai benci,
kadang-kadang menimbulkan rasa gembira, malu sampai terasa bahagia, pemuda yang
pernah menciumnya! Suma Kian Bu! Dia terpaksa mengesampingkan pencariannya
terhadap pemuda itu karena urusan Syanti Dewi.
Apalagi ketika dia yang sudah
hafal akan keadaan pantai Po-hai itu mencari-cari tanpa hasil, kemudian malah
mendapatkan Gua Tengkorak, tempat pertapaan gurunya di pantai Po-hai juga
kosong dan tidak ada pesan apa pun dari gurunya, hatinya makin menjadi murung,
sungguhpun pada wajah yang cantik jelita dan manis, itu tidak pernah kelihatan
kegembiraan, sikapnya selalu lincah berseri, penuh kegembiraan, sikapnya selalu
lincah jenaka, bibirnya selalu tersenyum sehingga sukarlah membayangkan wajah
seperti ini berduka atau muram.
Satu-satunya yang membuktikan
betapa murung hati dara ini adalah cara dia melakukan perjalanan itu. Sama
sekali dia tidak mempedulikan kanan kiri, bahkan tidak lagi mempedulikan ke
mana kakinya melangkah dan sama sekali dia tidak pernah berhenti melangkahkan
kaki memasuki hutan itu. Sampai matahari telah jauh condong ke barat, sinarnya
tidak lagi dapat menembus daun-daun pohon sehingga keadaan dalam hutan mulai
gelap sampai kedua kakinya terasa amat lelah dan perutnya lapar, barulah dara
ini merasa betapa sejak pagi tadi dia belum makan apa-apa!
Uhhh....!! Dia melempar
payungnya ke atas rumput di bawah pohon besar, diikuti oleh pinggulnya yang
mendarat dengan lunaknya ke atas rumput tebal dan Siang In sudah merebahkan
diri di atas rumput berbantal kedua lengannya, matanya menerawang daun-daun
yang masih menguning tertimpa sinar matahari senja.
Perhatiannya segera tercurah
kepada suara burung-burung yang bercuitan, burung-burung yang berkelompok
datang beterbangan di atas pohon itu, hingga di ranting-ranting dan
dahan-dahan, bersahutan-sahutan kemudian tiba-tiba mereka terbang pergi. Suara
sayap mereka terdengar nyata dan sebentar saja mereka sudah jauh, hanya
terdengar suara mencicit mereka lapat-lapat. Akan tetapi tak lama kemudian
burung-burung itu datang lagi memenuhi pohon. Agaknya mereka masih sangsi dan
terkejut melihat ada manusia di bawah pohon yang menjadi tempat mereka bermalam
itu.
Tiba-tiba Siang In membuat
gerakan cepat dan tubuhnya yang tadi rebah terlentang itu, tahu-tahu sudah
meloncat dan bangkit duduk, alisnya berkerut dan pendengarannya dicurahkan
kepada suara yang sayup sampai dihembus angin lalu. Demikian penuh perhatian
dia akan suara itu sehingga andaikata dia seekor kelinci, tentu daun telinganya
bergerak-gerak. Suara orang! Ada orang di tempat sunyi ini, di waktu matahari
mulai terbenam! Tentu hal ini amat mencurigakan!
Dengan langkah-langkah ringan
sekali. Siang In sudah melangkah berindap-indap ke arah datangnya suara,
payungnya telah dipegang gagangnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Suara
itu makin jelas, suara seorang saja yang membaca sajak! Sungguh mengherankan.
Di tempat sunyi seperti itu, bukan suara harimau atau monyet atau binatang buas
lain yang didengarnya, melainkan suara seorang laki-laki membaca sajak! Sungguh
tidak umum, tidak lumrah! Orang gila agaknya. Akan tetapi kata-katanya jelas
dan lantang, dan isi kata-kata itu amat menarik hatinya, membuatnya berdiri
termangu-mangu dan biarpun dia belum melihat orangnya, dia telah mendengar
semua isi sajak yang diucapkannya dengan suara lantang itu.
Bahagia, hanya sebuah kata!
penuh daya tarik, penuh
rahasia dikejar, dia lari dicari, dia sembunyi makin dibutuhkan makin manja
bahagia, hanya sebuah kata!
Harta benda bukanlah bahagia
nafsu berahi bukan bahagia dia bukan pula kebesaran nama bukan pula kedudukan
mulia tak mungkin didapat melalui pengejaran
seperti halnya kesenangan!
Yang mengejar bahagia
selamanya takkan bahagia yang tidak butuh bahagia adalah orang yang benar-benar
bahagia itulah hakekat bahagia hanya sebuah kata belaka!!
Siang In bengong terlongong
mendengar ini. Mimpikah dia? Di tempat seperti ini bertemu dengan seorang
manusia pun sudah merupakan suatu hal yang langka, suara hal yang aneh dan
andaikata bertemu orang pun, pantasnya orang itu hanyalah seorang pencari kayu,
seorang pemburu binatang buas atau paling hebat juga seorang perampok! Akan
tetapi, dia mendengar orang membaca sajak tentang bahagia! Dan isi kata-kata
yang dirangkai seperti sajak itu amat mengesankan hatinya. Mendengar itu, dia
termenung, bahkan lalu duduk di atas batu besar di tempat itu dan tak pernah
pikirannya dapat melepaskan isi sajak itu. Dia seperti terkena pesona, terkena
sihir oleh kata-kata itu dan tanpa disadarinya sendiri, dia pun kini
termenung-menung mencari arti dari kata aneh itu. BAHAGIA! Sesungguhnya, apakah
bahagia itu? Semua orang di dunia ini seolah-olah berlumba untuk mencari
kebahagiaan. Bahkan segala sesuatu ditujukan ke arah pencapaian kebahagiaan
itu.
Yang mengejar bahagia
selamanya tidak akan bahagia!! Demikian bunyi baris antara sajak tadi. Benarkah
ini? Kalau tidak dikejar, mana bisa dapat? Untuk mendapatkan sesuatu, tentu
saja harus dilalui pengejaran, demikian suara hati Siang In membantah. Orang
gilakah yang membaca sajak tadi? Dia sendiri pernah membaca banyak kitab kuno,
akan tetapi dia tidak pernah mendengar sajak seperti itu. Sajak orang sinting,
kata-kata yang dirangkai seperti teka-teki. Teringat dia akan kitab kuno yang
menceritakan tentang aliran Agama Beng yang paling suka mempermainkan katakata
sebagai jembatan untuk menyelami kehidupan dan filsafatnya, misalnya kuda putih
bukanlah kuda!! anjing putih adalah hitam!, dan sebagainya. Semua itu menyimpan
maksud agar kita tidak terpengaruh oleh keadaan luar seperti warna, sikap,
kedudukan, harta, kepintaran dan sebagainya yang kesemuanya itu hanyalah
keadaan lahiriah belaka. Kuda putih, yang penting bukanlah putihnya, melainkan
anjingnya. Keadaan lahiriah itu berubah selalu, dan tidak menentukan isinya!
Agar faktor bendanya, dalam hal ini tentu saja manusianya, yang penting bukan
segala keadaan lahiriahnya.
Apakah pembaca sajak itu
seorang di antara sisa-sisa penganut kebatinan Beng itu? Akan tetapi kabarnya
kini sudah tidak ada lagi sisa pengikut aliran itu yang sudah amat kuno, yang
hidup di sekitar jaman Dinasti Cou (abad ke 4 sebelum Masehi). Ataukah dia
seorang tosu? Mungkin, pikir Siang In. Pendeta beragama To memang banyak aneh,
dan kadang-kadang pendeta agama ini suka mengambil filsafat-filsafat lain
aliran ke dalam agamanya. Betapapun juga, siapapun adanya orang itu, sungguh
amat aneh dan menarik hatinya. Akan tetapi, sebagai seorang kang-ouw, Siang In
juga maklum bahwa orang yang membaca sajak di dalam hutan seperti itu tentu
bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap hati-hati, dia tidak berani
muncul begitu saja memperlihatkan diri, melainkan berindap-indap mengintai dari
balik sebatang pohon yang besar, sepasang matanya mencoba untuk mencari orang
yang tadi bersajak dengan suara cukup jelas itu, di dalam cuaca yang
remang-remang dan telah mulai agak gelap itu dia tidak dapat melihat adanya
seorang pun manusia di situ. Maka dia lalu bergerak maju pula, dengan
pengerahan ginkangnya sehingga daun kering yang terpijak kakinya pun tidak
mengeluarkan suara, seperti langkah seekor kucing saja layaknya.
Siang In terus mencari-cari,
namun ternyata dia tidak dapat menemukan orang yang tadi membaca sajak itu.
Sedangkan malam mulai tiba. Bulu tengkuknya mulai meremang. Setankah yang dia
dengar membaca sajak tadi? Kalau manusia, tidak mungkin dapat bergerak secepat
itu dan dapat menghilang begitu saja dari pencariannya. Padahal tadi jelas
terdengar suaranya tidak jauh dari tempat dia bersembunyi. Kalau bukan setan,
kalau manusia, tentu manusia itu memiliki kepandaian yang hebat bukan. Dia
tidak lagi melanjutkan pencariannya, mengira bahwa tentu setan atau orang itu
tadi hanya lewat saja di hutan itu dan kini telah pergi jauh. Mulailah dia
teringat lagi akan perutnya yang lapar ketika perutnya berbunyi. Bunyi perutnya
berkeruyuk itu sampai mengagetkan hatinya, karena pada saat itu dia sedang
mengerahkan seluruh perhatian pada pendengarannya.
Ihhh, tak tahu malu!! Siang In
menepuk perutnya sendiri ketika dia terkejut mendengar bunyi berkeruyuk itu.
Karena menganggap bahwa di hutan itu pasti tidak ada orang lain, karena kalau
ada tentu dia sudah dapat menemukannya, maka Siang In lalu mulai mencari
sesuatu untuk dapat dimakan. Akan tetapi, hutan itu penuh dengan pohon liar,
sama sekali tidak terdapat sebatangpun pohon yang mengeluarkan buah yang dapat
dimakan. Dia mencari-cari, selain buah juga mencari binatang hutan yang dapat
ditangkap dan dimakan dagingnya, namun hasilnya sia-sia belaka karena malam
telah tiba dan cuaca mulai gelap.
Sialan!! Dia memaki. Sialan
setan yang bersajak tadi!! gerutunya karena dia terpaksa harus melewatkan malam
dengan perut lapar dan dia menimpakan kesalahan kepada si pembaca sajak tadi.
Kalau dia tidak mencari-cari orang itu, tentu dia dapat mencari makanan selagi
cuaca masih belum gelap tadi, pikirnya dengan hati kesal. Siang In lalu mencari
tempat yang kering di bawah pohon, duduk dan bersandar batang pohon melepaskan
lelah. Dalam keadaan sendirian di tengah hutan yang gelap itu, dengan perut
menderita gigitan rasa lapar, Siang In melamun dan terkenang akan keadaan
dirinya. Tiba-tiba jantungnya seperti ditusuk rasanya, rasa sedih menyelimuti
hatinya.
Teringatlah Siang In akan
keadaannya yang sebatangkara itu. Semenjak dia masih kecil, orang tuanya telah
meninggal dunia. Dia tadinya hidup berdua dengan encinya yang bernama Teng
Siang Hwa, hidup berdua di Lembah Pek-thouw-san. Akan tetapi, encinya itu tewas
ketika berhadapan dengan anak buah raja liar Tambolon sehingga dia menjadi
sebatangkara sampai dia bertemu dengan See-thian Hoat-su yang mengambilnya
sebagai murid. Dia tidak mempunyai siapapun di dunia ini, hanya gurunya itu.
Akan tetapi kakek aneh yang menjadi gurunya itu pun tidak pernah mau tinggal
diam, bahkan kini pun tidak berada di tempat pertapaannya, di Gua Tengkorak di
pantai Po-hai. Entah ke mana perginya gurunya itu. Hanya ada gurunya, kakek tua
itu dan.... Siang In melihat bayangan wajah di depan mata hatinya. Wajah
seorang pemuda yang tampan, gagah, lincah jenaka dan suka menggoda orang. Wajah
yang selama ini sering kali dijumpainya dalam mimpi. Wajah pemuda yang selama
ini dicari-carinya sampai dia bertemu dengan Syanti Dewi sehingga pencariannya
itu tertunda karena urusan Syanti Dewi. Wajah Suma Kian Bu, pemuda yang pernah
mencium bibirnya! Semua peristiwa itu terbayang di dalam benaknya (baca cerita
Kisah Sepasang Rajawali) dan membuatnya merasa amat kesepian. Dia menghela
napas dan memejamkan kedua matanya, ingin mengusir semua kenangan itu, akan
tetapi sinar mata tajam dan nakal, senyum yang menarik dari wajah pemuda itu
malah terbayang makin jelas!
Tiba-tiba Siang In membuka
mata dan bangkit duduk dengan tegak, cuping hidungnya kembang-kempis seperti
cuping hidung seekor kelinci. Memang hidungnya mencium bau sesuatu, bau yang
sedap dan gurih, bau daging panggang!
Kruuuyuuuuukkk....!!
Ihhh!! Siang In menepuk
perutnya yang kecil dan kosong itu. Akan tetapi dia tidak dapat mencegah air
liurnya membasahi mulut. Terpaksa dia menelan ludahnya karena seleranya timbul
secara tiba-tiba.
Berindap-indap dia melangkah
setelah menyambar buntalan dan payungnya, menghampiri tempat dari mana dia mencium
bau sedap gurih itu. Dia harus berhati-hati sekali. Biarpun kini di langit
nampak bulan yang sinarnya merah kehijauan di dalam hutan itu, namun keadaan
masih gelap karena lebatnya hutan itu. Hanya bau sedap itu yang menjadi
penunjuk jalan. Akhirnya dia keluar dari hutan itu dan ternyata di luar hutan
itu terdapat sebuah padang rumput yang luas dan nampak indah sekali karena
bermandikan cahaya bulan tanpa terganggu bayangan pohon. Dan agak jauh di
tengah-tengah padang itu, dia melihat api unggun di antara semak-semak dan dari
sanalah datangnya bau sedap gurih tadi.
Siang In mempergunakan
kepandaiannya, menyusup di antara semak-semak dan menghampiri tempat itu.
Setelah dekat, dia bersembunyi di balik semak-semak bunga dan mengintai. Sinar
api unggun menambah terang tempat yang sudah disinari cahaya bulan itu. Di
depan api unggun duduk seorang yang rambutnya riap-riapan. Tertimpa sinar api
dan sinar bulan, rambut panjang riap-riapan itu mengkilap dan seperti
benang-benang perak. Wajahnya agak menunduk, memandang kepada daging paha
kijang yang sedang dipanggangnya. Kembali Siang In menelan ludah. Akan tetapi
dia termangu dan tidak berani bergerak. Jantungnya berdebar tegang. Bukankah
orang itu Siluman Kecil? Melihat rambut panjang riap-riapan yang keputihan itu!
Pernah dia melihat Siluman Kecil, ketika pendekar aneh itu bertanding melawan
seorang kakek botak yang amat lihai. Ketika itu, dia turun tangan membantu
Siluman Kecil karena dia melihat kakek botak mempergunakan sihir, dan dia hanya
membuyarkan ilmu hitam itu. Akan tetapi, ketika itu, dia hanya melihat Siluman
Kecil dari jarak jauh dan tidak dapat melihat wajah pendekar yang amat terkenal
itu dengan jelas. Benarkah orang yang berjongkok dekat api unggun dan sedang
memanggang dua buah paha kijang besar gemuk itu Siluman Kecil? Siapapun adanya
orang itu, tidak lagi menarik perhatian Siang In benar karena dia lagi-lagi
sudah tertarik oleh gumpalan-gumpalan daging yang sedang dipanggang itu.
Bibirnya sudah bergerak,
mulutnya sudah hampir dibuka untuk menegur orang itu, untuk minta kebaikan
orang itu agar suka membagi sedikit daging kepadanya ketika cepat Siang In
menutupkan mulutnya kembali dan menahan napas. Dia melihat munculnya seorang
bayangan lain, kemunculan bayangan ini sedemikian cepatnya sehingga dia merasa
bulu tengkuknya meremang. Seperti setan saja yang pandai menghilang dan kini
tahu-tahu menampakkan diri, demikian cepatnya gerakan orang itu. Kini sinar api
unggun dari bawah menyorot ke arah muka bayangan itu dan Siang In melihat
seraut wajah wanita yang amat cantik, kemerah-merahan tertimpa sinar api unggun
itu. Bayangan wajah wanita yang sukar ditaksir berapa usianya. Saking cantiknya
masih kelihatan muda, namun wajah itu sedemikian penuh kematangan sehingga
sudah barang tentu juga tidak bisa dikatakan muda lagi. Pakaiannya amat mewah,
seperti puteri istana saja, rambutnya digelung malang melintang penuh dengan
hiasan emas dan ratna mutu manikam yang gemerlapan. Akan tetapi bajunya itu
berlengan besar dan longgar seperti jubah pendeta, dan juga tangan kanannya
memegang sebatang hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu halus dan panjang,
gagangnya terbuat dari benda putih berkilauan halus, entah terbuat dari gading
gajah ataukah tulang ikan besar. Yang amat mengagumkan, akan tetapi sekaligus
juga menyeramkan adalah sepasang mata wanita itu. Sepasang mata itu indah
sekali memang, akan tetapi di dalam keindahan itu bersembunyi kebengisan dan
kekejaman luar biasa, sinar mata yang tajam seperti menusuk ulu hati dan
menjenguk segala isi hati orang!
Hai! Kamu....!! Suara wanita
itu halus merdu ketika menegur laki-laki berambut riap-riapan yang sedang
memanggang daging. Lagaknya demikian tinggi hati dan angkuh, seolah-olah dia
seorang ratu yang sedang menegur hambanya saja. Apakah kamu melihat lima orang
lelaki bersenjata golok besar keluar dari dalam hutan ini?!
Pria yang sedang memanggang
paha kijang itu masih tetap menunduk, sama sekali tidak menjawab, apalagi
menjawab, mengangkat muka memandang pun tidak. Dia hanya melanjutkan
pekerjaannya dan membesarkan api unggun dengan menambah kayu kering sehingga
sinar api unggun makin terang, apinya makin bernyala tinggi. Namun sebagian
besar muka orang itu tertutup oleh rambut putihnya yang berjuntai ke bawah
sehingga sukar dikenal.
Melihat orang yang ditanya itu
diam saja, berkerut sepasang alis yang hitam kecil itu dan sepasang mata itu
mengeluarkan sinar berkilat. Heiii, laki-laki jembel, apakah kau tuli? Apakah
kau gagu? Hayo jawab!! Wanita itu membentak dan hudtim di tangan kanan itu
digoyang-goyangnya. Terdengar suara bersuitan dan diam-diam Siang In terkejut
bukan main. Tenaga sinkang dari wanita ini hebat sekali, baru menggoyangkan
sedikit hudtim itu saja sudah mengeluarkan suara bersuitan seperti itu! Dengan
hati penuh ketegangan Siang In mengintai dan ingin sekali tahu apa yang akan di
jawab oleh laki-laki itu, yang disangkanya adalah pendekar sakti Siluman Kecil.
Akan tetapi, laki-laki yang sedang memanggang paha kijang itu sama sekali tidak
mengangkat muka apalagi menjawab, hanya membolak-bolik daging yang
dipanggangnya agar tidak sampai hangus, dan kini terdengar dia bernyanyi atau
membaca sajak dengan suara yang berirama!
Siapa bicara kasar menyakitkan
hati orang akan memperoleh jawaban yang kasar pula kelakuan kasar menyakitkan
hati hanya akan menimpa diri sendiri! Akan tetapi si bodoh dan tolol! berbuat
jahat tanpa melihat akibat seperti si tolol api akhirnya membakar diri
sendiri!!
Mendengar itu, Siang In
teringat akan suara orang yang pernah didengarnya membaca sajak tentang bahagia
tadi. Tahulah dia bahwa orang yang tadi membaca sajak tentang bahagia adalah si
pemanggang daging ini. Dua buah sajak yang dinyanyikannya sekarang ini pun
bukan sajak main-main. Dia mengenalnya sebagai ujar-ujar yang terdapat dalam
kitab-kitab para hwesio, dalam kitab Agama Buddha, kalau dia tidak salah ingat,
dalam kitab Dhammapada bagian Hukuman.
Wanita yang memegang hudtim
itu pun agaknya terkejut dan agaknya mengenal pula sajak-sajak itu maka kini
dia melangkah maju dan memandang wajah orang yang tersembunyi di balik rambut
putihnya. Melihat rambut putih itu, tiba-tiba wanita itu berseru, Ah, apakah
engkau ini yang dijuluki orang Siluman Kecil?!
Pria itu memang bukan lain
adalah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu! Seperti telah diceritakan di bagian
depan, Siluman Kecil atau Suma Kian Bu. Bahkan di istana kuno milik Sai-cu
Kai-ong Yu Kong Tek di puncak Bukit Nelayan itu, dia bertemu dengan Ceng Ceng
yang terhitung adalah keponakannya sendiri, dengan Jenderal Kao Liang dan dua
orang puteranya, bahkan dia melihat pula munculnya Sin-siauw Seng-jin yang
mewarisi kepandaian Suling Emas. Dia mendengarkan percakapan mereka itu dari
sebelah dalam, dan dia merasa enggan untuk keluar, karena dia segan bertemu
dengan Sin-siauw Seng-jin yang pernah menjadi lawannya. Akan tetapi, ketika dia
mendengar penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi yang diculik orang, Kian Bu
terkejut bukan main dan dia sudah cepat meninggalkan tempat itu tanpa pamit,
hanya meninggalkan surat untuk kakaknya dan dia sudah pergi untuk mencari dan
menolong Syanti Dewi, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya dan masih
dicintanya itu. Dia mencari jejak Syanti Dewi di sekitar pantai Po-hai, namun
dia tidak dapat menemukan jejak itu dan pada senja hari itu, setelah merobohkan
seekor kijang, dia sedang asyik memanggang paha kijang ketika dia melihat
munculnya wanita cantik yang angkuh dan galak itu.
Ketika mendengar pertanyaan
yang nadanya meremehkan itu, Kian Bu hanya miringkan mukanya dan melirik ke
atas, lalu menjawab tak acuh, seperti melayani seorang anak-anak yang
mengajukan pertanyaan yang tidak penting pula, Kalau benar, kenapa sih?!
Wanita itu mendengus dan
suaranya dingin sekali ketika berkata, Semua laki-laki di dunia ini berhati
palsu dan bicaranya mengandung racun seperti ular-ular belang! Akan tetapi
selama ini yang kubunuh hanyalah cacing-cacing yang tidak ada gunanya. Orang
macam engkau inilah baru seekor ular sendok yang berbahaya. Aku bosan juga
membunuhi cacing-cacing kotor, sekarang bertemu dengan ular jahat dan berbahaya
macammu, tidak boleh terlepas dari tanganku!! Setelah berkata demikian,
tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan hudtimnya dan sinar putih menyambar
dengan cepat dan dahsyat sekali ke arah leher Kian Bu!
Wuuuttt....!! Kian Bu sudah
cepat mengelak dan tubuhnya tidak berada lagi di depan api unggun. Dan api
unggun itu seketika padam tertiup hawa pukulan kebutan itu! Melihat ini,
diam-diam Siang In memandang kagum bukan main dan jantungnya berdebar. Kiranya
pria itu benar Siluman Kecil adanya! Dan gerakan Siluman Kecil tadi pun luar biasa,
ketika kebutan menyambar dari jarak dekat. Tubuhnya seperti dapat menghilang
saja.
Huh, agaknya engkau telah
menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan (Ilmu-ilmu Bangau Sakti). Hemmm, aku sudah
mendengar bahwa engkau si ular jantan ini berhasil membujuk Kim Sim Nikouw
sehingga engkau dapat mencuri ilmu-ilmu itu. Wanita itu hanya mengejek dan
cepat menerjang lagi. Kian Bu merasa tidak enak. Dia masih ragu-ragu apakah
benar wanita ini adalah orang she Ouw seperti yang pernah dia dengar dari ibu
angkatnya. Kalau benar demikian, dia menjadi serba salah. Mau mengeluarkan
jurus maut, orang ini masih terhitiang saudara seperguruan dengan dia. Kalau
tidak, agaknya sukar baginya memperoleh kemenangan karena wanita ini
benar-benar amat lihai sekali.
Tiba-tiba terdengar jerit
seorang wanita, suara jeritan yang hanya terdengar lapat-lapat saja karena amat
jauh. Namun bagi telinga Kian Bu dan wanita itu, suara ini terdengar amat
jelas. Sedangkan Siang In yang mengintai itu hampir tidak mendengarnya sama
sekali.
Huh, mengingat Kim Sim Nikouw,
biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas lehermu!! kata wanita itu dan
tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar emas yahg amat cepat menyambar ke
arah leher Kian Bu. Biarpun cuaca amat gelap dan hanya diterangi oleh bulan,
namun melihat kehebatan serangan hudtim itu, disamping keheranannya mengapa
wanita yang tak dikenalnya ini memusuhinya dan begitu bertemu ingin
membunuhnya.
Akan tetapi, wanita itu hanya
menjawab dengan kebutannya yang bergerak makin dahsyat, makin lama makin cepat
sehingga kini bayangan wanita itu pun tergulung sinar putih dan tidak kelihatan
lagi, dan dari dalam gulungan sinar itu terdengar suaranya mendengus penuh
ejekan dan kebencian, Huh!!
Hemmm, kalau begitu engkau
adalah seekor ular betina! Baik, kau ingin mengadu ilmu? Nah sambutlah!! Kian
Bu kini tidak lagi mau mengalah dan cepat dia menggerakkan rantingnya, selain
menangkis juga membalas serangan. Dalam satu gerakan saja, rantingnya telah
mengirim totokan yang mengarah sedikitnya tujuh jalan darah di tubuh lawan,
sedangkan tangan kirinya juga tidak mau menganggur, melainkan melancarkan
dorongandorongan yang mengandung hawa pukulan mujijat, berselang-selang dari
pukulan pukulan sakti Pulau Es, yaitu Swat-im-sin-jiu dan Hwi-yang-sin-ciang.
Maka menyambarkan hawa panas dan hawa dingin berganti-ganti ke arah wanita itu
sehingga wanita itu berkali-kali mengeluarkan pekik kaget. Kian Bu yang tidak
mengenal wanita ini tidak merasa bermusuh dengannya, masih tidak tega untuk
mengeluarkan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan penggabungan
sinkang yang bersifat Im dan Yang, pukulan yang hampir saja pernah menewaskan
nyawa kakaknya sendiri itu.
Kian Bu segera mendapatkan
kenyataan bahwa biarpun dalam hal ilmu pukulan dan tenaga sinkang, dia
mempunyai kelebihan dari wanita itu, namun dia diam-diam harus mengakui bahwa
dalam hal ginkang, dia masih kalah setingkat! Hal ini tentu saja membuat dia
terkejut bukan main dan teringatlah dia akan cerita Kim Sim Nikouw yang menjadi
ibu angkatnya.
Tahan dulu! Bukankah engkau
ini orang she Ouw?!
Huhhh! Laki-laki palsu yang
cerewet!! Sialan! Engkau harus mampus dua kali untuk itu!!
Kini wanita itu telah
menerjang dengan hebat, hudtim di tangannya berubah menjadi gulungan sinar
putih yang amat lebar dan terdengarlah bunyi bersuitan nyaring memekakkan
telinga ketika sinar putih itu bergulung-gulung menyambar ke arah Siluman
Kecil. Namun, Siluman Kecil sudah meninggalkan dua paha kijang tadi dan sebagai
gantinya kini tangannya telah memegang sebatang ranting. Dengan kecepatan
kilat, dia pun mengelak sambil balas menotok dengan rantingnya ke arah tengkuk
lawan. Namun, wanita itu ternyata dapat bergerak dengan cepat luar biasa
sehingga ketika Kian Bu menotoknya, sebelum totokan tiba, dia sudah melesat ke
kanan dan kembali gulungan sinar putih itu menyambar dahsyat.
Hei, siapakah engkau perempuan
galak ini?! Kian Bu menghardik karena selain merasa terkejut menyaksikan
gerakan wanita ini yang jelas menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan pula, dan juga
pandang mata Kian Bu awas sekali. Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa
sinar emas yang menyerangnya itu adalah seekor ular yang kulitnya seperti emas
berkilauan! Cepat dia mengelak dan rantingnya menyambar ke depan untuk memukul
ular itu.
Wuuuttttt.... syiiittttt....!!
Kian Bu tertegun. Ular itu
dapat mengelak dan sabetannya luput! Padahal, sabetan rantingnya tadi belum
tentu dapat dielakkan oleh seorang ahli silat umum saja! Dan kini, seperti
dapat terbang saja, tubuh ular itu menggeliat dan ternyata dia sudah membalik
dan menyerang lagi ke arah muka Kian Bu.
!Ehhh!! seru pemuda itu dan
ketika ular itu lewat di dekat mukanya yang dia condongkan ke belakang untuk
mengelak, dia mencium bau harum yang amis. Ular itu berbisa dan berbahaya
sekali! Akan tetapi kini wanita tadi sudah menyambut kembali ularnya yang
seperti burung bisa terbang itu, lalu kakinya meloncat dan dalam sekelebatan
saja wanita itu telah lenyap dari tempat itu. Kian Bu merasa penasaran, juga
dia cepat mempergunakan gerakan Sin-coan-in, tubuhnya berkelebat dan lenyap
dari situ, tahu-tahu sudah jauh sekali dan dia mengejar dengan Ilmu
Jouw-sang-huiteng ke arah timur. Siang In memandang bengong. Dia hanya melihat
dua orang itu berkelebat dan lenyap, kemudian di timur dia hanya melihat dua
titik putih seperti bintang jatuh, lalu lenyap?
Siang In menarik napas
panjang, penuh kekaguman. Dia tadi dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas,
akan tetapi dia tidak pernah dapat melihat wajah Siluman Kecil. Sudah dua kali
dia bertemu dengan pendekar sakti yang terkenal sekali itu, namun kedua kalinya
dia tidak berkesempatan untuk berkenalan, bahkan melihat wajahnya pun belum,
atau sedikitnya tidak jelas sama sekali karena dilihatnya dari samping, itu pun
masih tertutup sebagian oleh rambut putih.
Siang In muncul dari tempat sembunyinya
dan menghampiri tempat bekas pertempuran tadi. Dilihatnya api unggun telah
padam, akan tetapi dua paha kijang masih berada di situ, ditusuk bambu dan
sudah matang. Melihat paha kijang, perutnya menjadi lapar lagi dan tanpa
mempedulikan siapa yang memiliki daging paha kijang itu, dia lalu mengambil dua
paha itu dan mulai menggerogotinya. Sedap sekali! Kiranya Siluman Kecil itu
pandai memanggang paha kijang, pikirnya. Diberi bumbu pula dan diberi garam.
Bukan main! Siang In cepat membawa dua buah paha kijang yang sudah matang itu
kembali ke dalam hutan. Dengan lahap dia makan daging itu. Sudah habis
sepotong, dia mulai dengan yang ke dua, akan tetapi kini kelahapannya
berkurang. Daging paha itu besar dan menghabiskan sepotong pun sudah kenyang.
Akhirnya dia tidak mampu menghabiskan paha ke dua dan melemparkannya ke
samping. Perutnya kenyang dan tenaga pulih, akan tetapi rasa kenyang itu
menimbulkan kantuk sehingga tak lama kemudian Siang In sudah tertidur pulas di
bawah pohon!
Sementara itu, Kian Bu yang
melakukan pengejaran, menjadi penasaran bukan main. Tak disangkanya bahwa
wanita itu amat hebat larinya, memiliki ginkang yang mencapai tingkat sempurna
sehingga dia sendiri tertinggal jauh dan sebentar saja bayangan wanita itu
sudah lenyap dan dia berdiri termangu-mangu karena tidak tahu ke arah mana
larinya bayangan yang lenyap itu. Dia merasa menyesal sekali. Betapapun cepat
larinya wanita itu, kalau dia mengejarnya di waktu siang, tentu dia akan tahu
ke arah mana larinya. Kini, hanya sinar bulan remang-remang saja yang
membantunya maka dia kehilangan jejak. Dia hanya ingin mendapat kepastian dari
wanita itu apakah benar wanita itu murid ibu angkatnya. Akan tetapi dia segera
teringat. Bukankah wanita itu tadi meninggalkannya ketika mendengar jerit wanita
dari jauh itu? Dan jerit itu datang dari arah lereng bukit di depan. Teringat
akan ini, Kian Bu melanjutkan larinya menuju ke bukit yang nampak remang-remang
di depan.
Setelah tiba di lereng bukit
itu, kembali Kian Bu menjadi bingung. Dia memperhatikan dan
mendengar-dengarkan, namun tidak terdengar suara apa pun. Akhirnya, dengan
untung-untungan dia memasuki sebuah hutan kecil. Bulan bersinar sepenuhnya
tanpa terhalang mega sehingga sinarnya cukup terang juga. Tiba-tiba dia melihat
tubuh lima orang berserakan di atas tanah, di depan sana. Dia teringat betapa
wanita lihai tadi sedang mencari-cari lima orang laki-laki yang bergolok
panjang. Jangan-jangan....! Dia cepat berlari menghampiri dengan penuh
kewaspadaan. Ketika dia tiba di tempat itu, dia mengerutkan alisnya. Di situ
nampak mayat seorang wanita muda yang cantik dan empat orang laki-laki tinggi
besar yang kelihatan kasar dan bengis wajah mereka. Akan tetapi empat orang
laki-laki itu tewas dalam keadaan mengerikan. Mereka rebah dengan pakaian hancur
dan tubuh penuh luka-luka berjalur-jalur merah, seolah-olah seluruh tubuh
mereka disayat-savat dengan pisau tajam! Kian Bu teringat akan hudtim yang
mempunyai bulu-bulu putih halus itu dan dia merasa ngeri. Betapa kejamnya
wanita itu, agaknya dalam kemarahan dan kebencian yang amat hebat, wanita itu
telah mencambuki empat orang laki-laki ini dengan bulu-bulu kebutannya yang
kalau digerakkan dengan tenaga sinkang hebat tentu berubah menjadi benda yang
amat menyeramkan, dapat dipakai seperti puluhan buah pedang tajam yang
menyayat-nyayat kulit daging!
Dengan perasaan muak Kian Bu
lalu mendekati mayat wanita muda cantik yang agaknya masih utuh tubuhnya itu.
Akan tetapi ketika dia mendekat, memandang jelas, dia lalu membuang muka dan
mengutuk. Wanita itu setengah telanjang dan dari keadaan tubuhnya yang
berlepotan darah, Kian Bu dapat menduga bahwa wanita muda ini tentu telah
menjadi korban perkosaan yang amat keji dan buas!
Tiba-tiba, bagaikan seekor
kijang melompat tubuh Kian Bu melesat ke kiri dan di lain saat dia telah
menyambar tengkuk seorang laki-laki dan melemparkannya ke atas tanah, di dekat
mayat-mayat itu. Kiranya tadi dia mendengar ada gerakan di kiri dan cepat dia
menyambar, dan ternyata di tempat itu terdapat seorang laki-laki yang
bersembunyi. Laki-laki ini tubuhnya juga sudah tersayat-sayat, pakainya
robek-robek dan mukanya membayangkan ketakutan sampai bola matanya berputaran
memandang ke kanan kiri, kemudian dia bangkit berlutut dan mengangguk-angguk ke
depan kaki Kian Bu sambil mengeluarkan suara seperti orang menangis, ....
ampunnn.... ampunkan saya....! Tubuhnya menggigil.
Siapa kau?! Kian Bu membentak
dengan suara bengis.
Saya.... saya.... bernama Giam
Hok.... harap Taihiap sudi mengampuni saya....! orang itu meratap. Harap
Taihiap sudi menolong dan menyelamatkan saya.... nama Taihiap sudah terkenal di
seluruh kang-ouw.... harap lindungi saya dari.... dari iblis betina itu....
hu-huuhhh....!
Kian Bu mengerutkan alisnya.
Orang ini telah mengenalnya sebagai Siluman Kecil. Memang namanya banyak
dikenal di kalangan dunia hitam! Dan dia melihat wajah orang ini mirip dengan
wajah empat orang laki-laki yang sudah tewas di situ. Maka teringatlah dia akan
lima orang saudara she Giam yang terkenal di wilayah selatan.
Hemmm, apakah engkau dan empat
orang ini adalah Ngo Giam-lo-ong dari selatan yang tersohor itu?!
Orang itu mengangguk-angguk.
Lalu dia memandang ke arah mayat empat orang saudaranya itu dan menangis
mengguguk. Kian Bu meraba dagunnya dan mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar
akan nama Ngo Giam-lo-ong (Lima Dewa Maut) ini. Bukan tergolong manusia-manusia
yang baik, bahkan sering kali mengandalkan kekerasan, memaksakan kehendak
sendiri dan berlaku sewenang-wenang. Maka dia pun tertarik sekali. Siapakah
pembunuh empat di antara mereka? Wanita cantik itukah? Dan mengapa?
Siapa yang melakukan
pembunuhan terhadap empat orang saudaramu?! tiba-tiba dia bertanya, suaranya
bengis penuh wibawa sehingga orang yang sudah habis nyalinya karena takut
terhadap orang yang membunuh saudara-saudaranya itu dan kini makin jerih
setelah mengenal Siluman Kecil, menjadi makin ketakutan dan menggigil seluruh
tubuhnya.
Yang membunuh adalah....
dia.... Bu-eng-kui....! Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia belum pernah mendengar
nama julukan Bu-eng-kui (Setan Tanpa Bayangan) itu. Akan tetapi julukan itu
memang tepat bagi wanita yang memiliki gerakan sedemikian gesitnya itu.