Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 33 - Teratai Emas
Mustahil.... akan tetapi....
setidaknya harapan itu menghibur hati kita....! jawab Syanti Dewi sambil
menarik napas panjang lalu duduk termenung, ditemani oleh Hwee Li yang di
tempat itu menjadi temannya yang paling baik, paling akrab dan dapat saling
menghibur.
Dan memang benar seperti yang
dikatakan oleh dua orang dara itu. Setelah Liong-sim-pang bersekutu dengan
Pangeran Liong Bian Cu, pembangunan benteng itu menjadi makin lancar karena
anak buah Liong-sim-pang dikerahkan untuk membantunya. Dan juga Hwa-i-kongcu
Tang Hun tidak sayang-sayang atau segan-segan untuk membantu dengan keuangan,
membeli bahan-bahan bangunan secara royal.
Mohinta dan para pengawalnya
juga tinggal di benteng lembah itu, akan tetapi dia selalu bersembunyi dan
tidak mau bertemu dengan Syanti Dewi karena dia menganggap belum waktunya untuk
bicara. dengan puteri itu, sungguhpun hatinya merasa amat rindu terhadap dara
yang dianggapnya pasti akan menjadi isterinya itu. Rencananya bersama Pangeran
Nepal untuk memberontak dan menggulingkan Raja Bhutan, yaitu ayah dari Puteri
Syanti Dewi, membuat dia merasa tidak enak untuk bertemu dan bicara dengan
Syanti Dewi karena puteri yang menjadi tawanan itu tentu akan merasa heran dan
akan mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawabnya, di
antaranya mengapa dia berada di situ dan menjadi teman dari Pangeran Nepal dan
yang menawan puteri itu.
Hwee Li adalah seorang dara
yang amat cerdik. Setelah usahanya yang gagal untuk membunuh Liong Bian Cu, dan
melihat betapa pangeran itu tidak mendendam dan tetap mencintanya, dia tahu
bahwa usahanya telah mencapai puncak dan jalan buntu. Dia tidak boleh mencoba
lagi karena kalau sampai dia menimbulkan rasa benci dalam hati pangeran itu,
dia tidak akan tertolong lagi. Kalau hanya dibunuh saja bukan apa-apa baginya,
akan tetapi dia merasa ngeri kalau membayangkan betapa dengan kekuasaannya,
pangeran itu bisa saja memaksanya dan memperkosanya. Dia kini mengandalkan
cinta kasih pangeran itu untuk berada dalam keadaan aman dan tidak terancam
keselamatannya. Dia yakin bahwa karena cintanya, pangeran itu tidak akan
memaksanya nenyerahkan diri sebelum menikah, dan sebagai seorang pangeran
negara besar, tentu pangeran itu akan melaksanakan pernikahannya di negerinya,
di Nepal. Maka, masih banyak waktu baginya dan masih banyak harapan untuk
meloloskan diri, asal dia pandai membawa diri dan tidak memancing kebencian
pangeran itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh bersikap terlalu manis
karena kalau sampai pangeran itu memuncak rindu dan berahinya terhadap dia,
bisa berabe dan berbahaya!
Karena sikap Hwee Li yang
tidak memberontak lagi, juga Syanti Dewi bersikap tenang dan sabar, maka kini
mereka diperbolehkan untuk mengunjungi keluarga Jenderal Kao Liang di dalam
rumah tahanan mereka. Pertemuan yang amat akrab dan mengharukan dan kini
pertemuan-pertemuan itu merupakan hiburan besar bagi kedua fihak. Kao Kok Tiong
sering kali nampak termenung di rumah tahanan itu, diam-diam amat
mengkhawatirkan keadaan ayahnya. Jenderal ini tidak boleh menemui keluarganya,
hanya diperbolehkan melihat dari jauh bahwa keluarganya selamat dan
diperlakukan dengan baik. Kok Tiong maklum betapa hati ayahnya tersiksa hebat.
Ayahnya terpaksa membantu pemberontak! Demi keselamatan keluarganya!
Dia tahu bahwa andaikata
ayahnya belum dipecat dan masih menjadi Panglima Kerajaan Ceng, sampai mati pun
ayahnya tidak akan tunduk kepada pemberontak. Biar andaikata seluruh
keluarganya disiksa dan dibunuh di depan hidungnya, ayahnya pasti tidak akan
sudi untuk membantu pemberontak. Dan sekarang, karena dia bukan Panglima Ceng
lagi, dia terpaksa tunduk, untuk menyelamatkan keluarganya, akan tetapi tentu
saja dengan batin tersiksa. Kok Tiong sendiri amat dicurigai oleh Pangeran
Nepal sehingga dia dimasukkan dalam rumah tahanan keluarganya, tidak
diperkenankan keluar dan bicara dengan ayahnya.
Keadaan seperti itu lewat
sampai berbulan-bulan dan benteng besar yang dibangun atas petunjuk Jenderal
Kao Liang itu, yang dikerjakan siang malam, mulai mendekati kesempurnaannya.
Hati para tawanan itu makin gelisah, harapan mereka untuk memperoleh
pertolongan dari luar makin menipis, sungguhpun belum habis sama sekali. Selama
waktu-waktu itu, untuk menghibur diri, Syanti Dewi memperdalam ilmu silatnya
dari Hwee Li, sebaliknya, Hwee Li mempelajari banyak hal dari sang puteri, dari
menyulam, melukis, menari dan bernyanyi.
Pelayan rumah penginapan itu
buruk sekali mukanya. Tek Hoat sendiri sampai merasa heran dan kasihan mengapa
ada seorang pria demikian buruk mukanya, rusak oleh penyakit cacar. Selain muka
itu hitam dan bopeng, berlubang-lubang seperti kulit pohon dimakan rayap, juga
matanya besar sebelah, hidungnya berbentuk besar dan melengkung, bibirnya tebal
sekali dan basah, dahinya sempit seperti dahi monyet. Pendeknya, muka yang sama
sekali tidak ada manisnya, biarpun tidak menakutkan, namun sukar menimbulkan
rasa suka di hati, apalagi karena sepasang mata itu mempunyai sinar yang liar
seperti mata seekor anjing kelaparan.
Akan tetapi pelayan itu
ternyata ramah sekali. Setelah Tek Hoat membayar uang sewa kamar di meja
pengurus, peraturan yang harus ditaati semua tamu, yaitu pembayaran di muka,
pelayan itu lalu mendapat tugas untuk mengantar Tek Hoat di kamar yang
disewanya dan melayaninya. Setelah pelayan itu sambil menyeringai dan
membungkuk-bungkuk mempersilakan dia mengikutinya, baru diketahui oleh Tek Hoat
bahwa pelayan itu pincang kakinya dan ketika dia memperhatikan, ternyata kaki
kirinya cacat, ada luka yang sudah mulai mengering di dekat tumit sehingga dia
tidak dapat memakai sepatu, melainkan memakai sandal kayu yang mengeluarkan
bunyi teklak-teklik ketika dia berjalan timpang.
Heh-heh, di sinilah kamar
Kongcu. Sunyi, karena kebetulan malam ini kurang tamu, Kongcu. Lihat, kamar di
kanan kiri Kongcu juga kosong, jadi.... hehheh, aman deh!!
Tek Hoat yang memasuki kamar
itu, sebuah kamar sederhana dengan sebuah pembaringan cukup besar untuk seorang
saja, sebuah meja dan tempat air cuci muka, cepat menengok dan memandang muka
buruk itu ketika mendengar ucapan itu.
Cukup aman? Apa maksudmu?!
tanyanya sambil menaksir usia orang. Sukar, menaksir usia wajah yang buruk itu.
Mungkin tiga puluh, mungkin pula sudah lima puluh tahun lebih.
Heh-heh-heh, aman, tidak akan
ada yang mengganggu atau mendengar suara dari dalam kamar ini.!
Suara? Suara apa yang
kaumaksudkan?! Tek Hoat bertanya lagi sambil mengeratkan alisnya.
Kembali orang itu menyeringai
lalu mengambil baskom tempat air yang berwarna biru itu. Dia berjalan ke pintu
membawa baskom itu, menoleh dan menyeringai sambil tertawa. Tentu saja orang
yang berpacaran mengeluarkan suara, bukan? Dan tentu akan merasa sungkan kalau
di sebelah ada orang lain yang ikut mendengarkan.!
Tek Hoat hendak membantah akan
tetapi pelayan itu sudah keluar sambil berkata, Saya akan mengambilkan air.
hangat untuk Kongcu.!
Tek Hoat menjatuhkan diri
duduk di atas pembaringan dan termenung. Hatinya masih terasa kesal dan mengkal
karena sampai saat itu dia belum berhasil menemukan jejak kekasihnya, yaitu
Syanti Dewi. Makin terasalah kini betapa dia amat mencinta Syanti Dewi, betapa
sebetulnya dia hanya mempunyai semangat hidup karena puteri itulah.
Heh-heh-heh....!! Suara ketawa
yang jelek ini menggugahnya dari lamunan dan pelayan itu sudah masuk lagi ke
kamarnya membawa sebaskom air yang masih mengepulkan uap. Melihat air ini, Tek
Hoat segera menghampiri baskom yang telah diletakkan di atas bangku,
mengeluarkan sebuah saputangan lebar dari buntalannya dan mencuci mukanya.
Terasa segar sekali air hangat itu ketika dia menggosok-gosokkan air di muka
dan lehernya. Lenyaplah semua kemuraman yang amat mengganggunya tadi.
Heh-heh-heh, Kongcu tampan
sekali, sungguh cocok kalau berpacaran....!
Tek Hoat mengusap mukanya
dengan keras, menggosok-gosok kulit mukanya sampai berwarna merah sekali.
Setelah pikirannya kosong, setelah semua kenangan tentang Syanti Dewi lenyap
oleh air panas dan oleh gosokan keras pada mukanya, dia merasa betapa segala
sesuatu yang dihadapinya menjadi lebih menarik. Dia biasanya tidak pedulian,
tidak mengacuhkan segala hal dan orang lain. Akan tetapi baru dia merasa betapa
pelayan ini amat menarik hatinya dan menimbulkan ingin tahunya.
Paman pelayan, jangan kau
bicara yang bukan-bukan tentang suara pacaran dan lain-lain itu. Aku berada di
dalam kamar ini sendirian tanpa kawan.!
Heh-heh, karena itulah Kongcu,
maka saya menganggap bahwa sayang sekali seorang pemuda tampan seperti Kongcu
sendirian saja di kamar ini untuk melewatkan malam yang dingin.!
Hemmm, aku memang sendirian.
Habis bagaimana?!
Ah, si Teratai Emas itu tentu
merupakan lawan dan kawan yang amat cocok bagi Kongcu! Cantik jelita dan harum
dia! Dan tidak sembarangan mau diajak orang, akan tetapi kalau Kongcu yang
mengajaknya.... hemmm, tanggung puas!!
Sepasang mata Tek Hoat
terbelalak. Apa maksudmu?! Dia amat rindu kepada Syanti Dewi dan kini ditawari
wanita untuk menemaninya! Padahal, bujukan dan rayuan seorang wanita cantik
seperti Mauw Siauw Mo-li itu pun ditolaknya mentah-mentah!
Maksud saya? Heh-heh, maksud
saya.... Kongcu Muda dan tampan, malam ini di kamar sendiri, dan kamar-kamar di
sekitar kamar ini kosong.... heh-heh, dan Teratai Emas itu sungguh cantik....
tentu akan mesra sekali....!
Tek Hoat kini mengerti dan dia
cepat memberikan beberapa potong uang kepada pelayan itu. Pergilah!! katanya
singkat karena dia tidak ingin diganggu lagi. Dia tidak melihat betapa pelayan
buruk rupa itu memandang ke arah tangan yang menerima uang itu dengan girang
sekali, mengangguk-angguk lalu pergi dari situ. Tek Hoat lalu menutupkan daun
pintunya. Tubuhnya terasa enak setelah dia mencuci muka, leher, kedua lengan
dengan dengan air hangat. Dia sudah makan tadi, dan tubuhnya lelah. Kini terasa
segar dan nyaman, membuat dia merasa mengantuk sekali. Direbahkannya tubuhnya
di atas pembaringan, terlentang dan menerawang langit-langit kamar itu yang
berwarna putih. Wajah Syanti Dewi membayang! Makin dipandang, makin rindulah
hatinya. Cuaca mulai gelap karena matahari mulai tenggelam sehingga sinarnya
tidak menerangi kamar itu melalui lubang jendela. Akan tetapi dia merasa malas
untuk bangkit dan menyalakan lilin, membiarkan saja kamar itu menjadi makin
remang-remang gelap.
Tok! Tok! Tok!!
Tek Hoat tergugah lagi dari
keadaan yang hampir pulas. Sialan, pikirnya, siapa lagi yang mengganggu?
Siapa?! tanyanya, memandang ke
arah daun pintu yang hampir tidak kelihatan karena kamar itu sudah mulai gelap.
Saya, Kongcu....!
Si pelayan buruk rupa sialan
lagi! Ada apa lagi?!
Ssssst, penting Kongcu. Sudah
datang....!!
Tek Hoat yang masih setengah
sadar setengah layap-layap itu tidak ingat apa-apa lagi tentang sore tadi. Dia
merasa heran dan ingin tahu. Masuklah, daun pintunya tidak terpalang, katanya.
Bunyi daun pintu berderit
ketika dibuka dari luar. Nampak dua sosok tubuh sebagai bayangan memasuki kamar
itu. Yang satu adalah bayangan tubuh pelayan muka buruk, dan yang satu lagi
bayangan tubuh yang kecil ramping. Tek Hoat menjadi curiga dan biarpun dia
masih rebah terlentang, namun dia siap siaga.
Aih, begini gelapnya, Kongcu.
Kenapa lilin yang tersedia di atas meja tidak dinyalakan? Biar saya nyalakan!!
Pelayan itu menyalakan api dan lilin dinyalakan. Cuaca remang-remang mulai
terusir dan dengan mata terbelalak Tek Hoat memandang dan melihat bahwa orang
yang ke dua itu adalah seorang wanita muda yang amat cantik! Pantas saja ada
bau harum ketika pintu kamarnya tadi dibuka.
Kongcu, inilah dia, Kim Lian
(Teratai Emas).... heh-heh!! Pelayan itu bergegas keluar dan menutupkan daun
pintu dari luar.
Wanita itu mengambil tempat
lilin, menaruhnya di sudut meja dekat pembaringan, lalu memutar tubuh
menghadapi Tek Hoat. Begitu dia melihat wajah Tek Hoat, sepasang matanya yang
indah itu terbelalak dan dia cepat menghampiri.
Aihhhhh.... kiranya Kongcu
benar-benar tampan sekali....! Girang hatiku mempercayai omongan A-khiu bahwa
Kongcu amat tampan!! Wanita itu lalu duduk di tepi pembaringan, memandang wajah
Tek Hoat, lalu tubuh atas pemuda itu telanjang, kemudian sambil tersenyum
wanita itu menjatuhkan dirinya di atas dada Tek Hoat dan mendekatkan mulutnya
hendak mencium bibir pemuda itu. Bau harum mendesak hidung pemuda itu.
Tek Hoat miringkan mukanya dan
mendorong kedua pundak wanita itu sehingga hampir saja gadis itu terjengkang.
Perempuan tak tahu malu! Perempuan tak mengenal susila!! bentaknya marah sambil
menyambar bajunya, terus dipakainya baju itu dan dia meloncat turun ke atas
lantai, pandang matanya keras dan muak.
Gadis itu menundukkan mukanya.
Seorang gadis yang cantik sekali, usianya paling banyak dua puluh tahun,
rambutnya digelung indah mengkilap, terhias bunga teratai dari emas, tubuhnya
ramping dan lemah gemulai gerak-geriknya, wajah dan tubuh yang terpelihara
baikbaik, terbungkus pakaian dari sutera merah muda yang berkembang, menambah
kecantikannya. Kemudian dia mengangkat mukanya yang menjadi merah.
Kongcu, perlukah seorang
wanita seperti saya untuk merasa malu? Haruskah seorang wanita seperti saya
untuk mengenal susila?! tanyanya dengan suara halus bernada menegur sehingga
Tek Hoat tertegun. Akan tetapi lalu pemuda ini dapat menduga ke adaan wanita
itu, maka dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil bersungut-sunsgut.
Huh, kiranya seorang pelacur!
Sampah masyarakat!!
Sepasang mata yang bening
indah itu mengeluarkan sinar dan tarikan muka yang manis itu membayangkan rasa
penasaran seperti orang yang tersinggung kehormatannya, dan mulut yang bibirnya
berbentuk indah itu berkata, suaranya halus namun dingin, Kongcu, saya memang
seorang pelacur, akan tetapi bukan sampah masyarakat.!
Hati Tek Hoat mulai diserang
kemurungan lagi dan dia menjadi kesal. Dengan kasar dia menoleh dan memandang
wajah cantik itu, kecantikan yang makin membuat dia marah karena wajah cantik
itu ternyata diobral kepada siapa saja yang mampu membayar! Bukan sampah
masyarakat? Huh, perbuatanmu sungguh kotor dan hina! Engkau perempuan perusak
rumah tangga, perusak pria, penyebar penyakit, engkau perempuan terkutuk, lebih
kotor daripada sampah!!
Sepasang mata itu masih
terbelalak, akan tetapi perlahan-lahan tanpa berkedip, dari bawah mata itu
menetes-netes turun beberapa butir air mata yang berkilauan tertimpa cahaya api
lilin, menimpa sepasang pipi yang halus kemerahan dan mengalir ke bawah. Mata
itu masih terbelalak menentang wajah Tek Hoat. Kongcu.... engkau boleh tidak
senang kepada saya.... akan tetapi.... mengapa engkau menghina saya? Apakah
dosaku kepadamu? Apakah salahku kepada kaum pria? Hak apakah yang ada pada
Kongcu untuk menghina saya seperti itu, untuk menusuk-nusuk perasaan hati saya
dengan kata-kata keji itu?!
Tek Hoat menjadi bengong.
Wajah yang cantik itu tetap halus, mengingatkan dia akan wajah lembut Syanti
Dewi! Betapa miripnya dara ini dengan Syanti Dewi! Sama muda, sama cantik, dan
apakah bedanya? Mungkin berbeda karena Syanti Dewi adalah puteri raja dan
seorang wanita bangsawan, apalagi wanita yang dicintanya. Sedangkan wanita ini
adalah seorang yang pekerjaannya sebagai pelacur. Namun keduanya juga wanita,
juga perempuan. Ada perasaan malu dan menyesal mengapa dia tadi bersikap
demikian menghina. Melihat wanita ini menangis tanpa dibuat-buat, sepasang mata
yang terbelalak seperti mata seekor kelinci yang tak berdaya itu, tiba-tiba
saja Tek Hoat merasa kasihan sekali. Di depannya ini adalah seorang wanita!
Sama dengan Syanti Dewi, sama dengan mendiang ibunya, seorang manusia!
Ehhh.... hemmm.... maafkan
aku....!
Pelacur itu mencoba untuk tersenyum
sambil menghapus air matanya dengan sehelai saputangan, lalu dia berkata, Tidak
apa-apa, Kongcu. Aku sudah biasa dihina orang, dan agaknya aku dapat mengerti
bahwa tentu Kongcu pernah dibikin sakit hati oleh wanita, oleh pelacur, maka
sekarang menumpahkan kemarahan dan dendam Kongcu kepada diriku.!
Tek Hoat menggeleng kepala dan
menarik napas panjang, menunduk sebentar lalu mengangkat kembali mukanya, akan
tetapi dia tidak memandang kepada wanita itu. Dia teringat akan Siluman Kucing
dan agaknya iblis betina itulah yang membuat dia tadi marah dan menghina wanita
ini. Iblis betina itu lebih jahat lagi daripada pelacur ini! Lalu dia memandang
wanita itu yang juga memandangnya. Harus diakuinya bahwa wanita muda ini amat
cantik, tidak kalah cantiknya kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing.
Namamu Kim Lian! akhirnya dia
bertanya.
Wanita itu mengangguk. Nama
aseliku telah kupendam di antara kehinaan yang menguruk diriku, Kongcu. Karena
aku suka memakai hiasan teratai emas ini, maka aku dipanggil Kim Lian oleh
mereka.! Lalu dia menunduk. Dagunya nampak meruncing halus kalau dia menunduk,
manis sekali.
Kim Lian, engkau menjadi
pelacur tentu karena ingin memperoleh uang, bukan?!
Satu di antaranya alasan
itulah.!
Tek Hoat mengeluarkan beberapa
keping uang perak dari buntalannya, lalu melemparkan perak itu di atas
pembaringan dekat pelacur itu. Nah, ambiliah uang ini sebagai pembayaran
biarpun aku tidak akan menyentuhmu.!
Kim Lian kelihatan terkejut,
menoleh kepada uang itu kemudian kepada Tek Hoat, lalu kepada uang itu lagi dan
kepada Tek Hoat. Air matanya makin banyak bercucuran, akhirnya dia turun dari
pembaringan dan menjatuhkan diri. berlutut di depan kaki pemuda itu sambil
menangis!
Kongcu.... engkau
menghancurkan hatiku dengan sikap ini.... lebih baik kaumaki saja aku....,
Kongcu.... kaumaki dan pukul aku saja....!
Tek Hoat makin bengong. Dia
merasa heran sekali mengapa hatinya tersentuh oleh sikap wanita ini. Seorang
pelacur! Mungkin karena dia merasa yakin bahwa pelacur yang satu ini tidak
berpura-pura dalam semua sikapnya! Ketika memuji ketampanannya tadi, ketika
marah dan ketika berduka sekarang ini, semua adalah wajar dan tidak
dibuat-buat. Itulah mungkin yang menggerakkan hatinya sehingga dia merasa
kasihan sekali.
Bangkitlah!! katanya sambil
memegang kedua pundak pelacur itu, menariknya berdiri. Pelacur itu bangkit
berdiri dan Tek Hoat juga berdiri. Pelacur itu hanya setinggi dagunya. Mereka
saling pandang. Pelacur itu masih terisak ketika memandangnya.
Sudah, jangan menangis, aku
hanya ingin bertanya-tanya, dan kuharap engkau suka menjawabnya. Uang itu
sebagai pembayaran jawaban-jawabanmu.!
Kongcu.... Kongcu tidak
memandangku dengan hina lagi?! Wanita itu terisak.
Tek Hoat merasa makin
tertusuk. Betapa tidak berdayanya wanita ini, berdiri sendiri di dunia yang
kejam, tidak ada yang melindunginya dari penghinaan semua orang! Hatinya merasa
terharu dan dia mendekatkan mukanya, mencium dahi perempuan itu, ciuman karena
iba, bukan ciuman sayang, bukan pula ciuman berahi, lalu dia perlahan-lahan
mendorong wanita itu sehingga terduduk kembali di atas pembaringan. Dia sendiri
lalu duduk di atas bangku di depan pembaringan.
Nah, Kim Lian, kita bicara
sebagai dua orang sahabat. Aku kasihan kepadamu dan harap kau suka menjawab
sejujurnya. Kenapa engkau menjadi pelacur? Siapa yang memaksamu menjadi seorang
pelacur, melakukan pekerjaan yang rendah dan hina ini?!
Agaknya Kim Lian sudah dapat
menguasai dirinya kembali dan ciuman pada dahinya tadi menyentuh hatinya,
membuat dia percaya kepada pemuda aneh ini yang sikapnya amat luar biasa
terhadap dirinya, sikap yang selama ini belum pernah dia lihat diantara para
langganannya yang tak terhitung banyaknya itu. Maka dia pun tahu bahwa pemuda
ini adalah seorang pemuda luar biasa yang amat baik hatinya terhadap dirinya,
dan dia mengambil keputusan untuk bersikap jujur dan untuk menumpahkan seluruh
isi hatinya kepada pemuda ini.
Kongcu, pertanyaan Kongcu itu
banyak sekali jawabannya. Kenapa aku mehjadi pelacur? Mungkin karena keadaan
karena terpaksa atau juga karena kusengaja! Yang memaksaku adalah kaum pria dan
mungkin juga diriku sendiri.!
!Hemmm, jawabanmu merupakan
teka-teki, Kim Lian.!
Bukan, Kongcu, melainkan
jawaban sejujurnya. Adalah kaum pria yang mendorongku untuk menjadi pelacur ini
dan untuk itu sebaiknya Kongcu mendengar riwayatku secara singkat. Aku adalah
anak keluarga miskin. Ibu kandungku mati ketika aku masih kecil. Ayah kawin
lagi dan dalam keadaan miskin itu, atas desakan ibu tiriku untuk menyelamatkan
mereka dan anak-anak lain dari bahaya kelaparan, aku dijual kepada seorang
kaya. Sejak kecil aku menjadi pelayan dalam rumah keluarga kaya itu sampai aku
mulai dewasa dan majikanku, laki-laki tua itu, pada suatu malam memaksa aku,
memperkosa aku dengan ancaman dan dengan ganjaran. Aku tidak berdaya. Sampai
aku mengandung dan majikan perempuan marah-marah lalu menghadiahkan aku kepada
seorang pegawai pria dari mereka. Aku menjadi isteri pegawai itu, akan tetapi
sering kali majikan laki-laki tua itu masih datang untuk menikmati tubuhku
setahu suamiku! Setelah aku melahirkan seorang anak yang mati ketika lahir,
majikan laki-laki itu pun meninggal dunia dan suamiku mulai bersikap kasar
kepadaku. Aku sering dipukul, dan aku dipaksa untuk melacurkan diri. Aku lari
minggat meninggalkan dia. Kemudian aku terjatuh ke tangan beberapa orang pria
yang pada pertemuan pertama kelihatan amat mencinta, akan tetapi setelah mereka
puas menikmati tubuhku dan menjadi bosan, aku dicampakkan begitu saja! Entah
berapa kali aku merasa sakit hati kepada pria, Kongcu. Akhirnya aku bertemu
dengan seorang wanita tua bekas pelacur, aku mendapat nasihat dari padanya
untuk membalas kaum pria, untuk menyerahkan badan bukan hati dan untuk
menikmati hidup sambil memperoleh hasil yang mudah. Nah, mulai hari itu aku
menjadi pelacur sampai sekarang, terkenal dengan nama Kim Lian.!
Tek Hoat berdiam diri saja
mendengarkan penuturan singkat itu. Dia merasa kasihan, dan setelah gadis
pelacur itu mengakhiri penuturannya, dia menarik napas panjang dan berkata, Kim
Lian, di antara segala pekerjaan di dunia ini yang begitu banyak, mengapa
engkau memilih pekerjaan pelacur?!
Kongcu, pekerjaan apa lagi
yang dapat dilakukan oleh seorang wanita lemah dan tidak terpelajar seperti aku
ini? Yang kumiliki hanyalah kewanitaanku, kecantikan dan kemudaanku! Menjadi
pelayan rumah tangga orang? Sudah kulakukan beberapa kali, akan tetapi hasilnya
hanyalah gangguan dari majikan laki-laki, tua maupun muda! Dan dalam pekerjaan
sebagai pelacur ini, aku memperoleh dua hal, pertama, uang yang banyak dan
mudah. Ke dua, kebutuhan nafsu badan sebagai seorang wanita muda yang sehat dan
normal.!
Tek Hoat mengerutkan alisnya.
Apa artinya uang yang didapatkan dengan jalan hina? Dan untuk kebutuhan ke dua,
mengapa engkau tidak berumah tangga saja, menikah dengan seorang pria dan hidup
sebagai ibu rumah tangga yang terhormat?!
Sepasang, mata itu memandang
dengan penasaran. Kongcu, bagaimana mungkin seorang wanita berumah tangga dan
menikah kalau tidak ada pria yang menghendakinya? Dan pria manakah yang sudi
menikah dengan aku? Tidak mungkin wanita memilih pria lalu melamar sebagai
suaminya, seperti yang mudah saja dilakukan oleh pria! Dunia ini memang berat
sebelah dan tidak adil, Kongcu, engkau pun tentu mengetahui akan hal itu!!
Makin lama dia bicara dengan
pelacur muda ini, makin tertariklah hati Tek Hoat. Banyak kenyataan terbuka di
depan matanya.
Akan tetapi, pekerjaanmu ini
merupakan dosa besar. Engkau berdosa karena engkau menggoda kaum pria, menyeret
mereka ke dalam perbuatan hina, hubungan gelap yang membuat mereka mengkhianati
kesetiaan suami isteri, dan engkau juga merusak orang muda yang belum
beristeri.
Tiba-tiba gadis itu tertawa
dan suara ketawanya membuat Tek Hoat merasa tertusuk jantungnya, karena sukar
dibedakan apakah suara itu merupakan tawa ataukah tangis! Kemudian gadis itu
berkata, suaranya lantang, Kongcu yang baik, bicara tentang godaan, siapakah
yang menggoda dalam hal ini? Priakah atau wanita semacam kami? Siapakah yang
menyeret ke dalam perbuatan hina? Siapakah yang khianat-mengkhianati dalam hubungan
antara kami dengan pria-pria itu? Kongcu, kami dan kaum pria sama-sama
membutuhkan, akan tetapi kebutuhan kami lebih suci daripada kebutuhan mereka!
Kami membutuhkan uang untuk hidup, membutuhkan kepuasan berahi sebagaimana
patutnya. Berilah kami seorang suami yang baik dan uang untuk hidup, tidak akan
ada seorang wanita pun yang menjadi pelacur, kecuali kalau dia gila! Akan
tetapi kaum pria itu, sudah mempunyai isteri, bahkkan sudah mempunyai
selir-selir, masih saja melacur! Siapakah yang hina? Siapakah yang rendah?
Mereka itu membutuhkan kami, membutuhkan hiburan yang ada pada diri kami,
sedangkan kami membutuhkan kesenangan dan uang. Mereka membeli dan kami
menjual. Coba tidak ada kaum pria yang mengejar-ngejar dan mencari-cari kami
untuk membeli, mana mungkin kami menjual diri?!
Tapi, Kim Lian, kenyataan
dalam hidup adalah bahwa semua orang pria maupun wanita, memandang rendah dan
hina kepada pekerjaanmu ini.!
Biarlah! Akan tetapi buktinya,
kami kaum pelacur tidak pernah mengkhianati siapa-siapa, kami bebas bermain
cinta dengan laki-laki manapun juga menghendaki kami tanpa paksaan, tanpa
sembunyi-sembunyi karena kami tidak mengkhianati siapa-siapa. Merekalah kaum
prialah, yang mengkhianati isteri-isteri mereka, yang mencari kami dengan
sembunyi-sembunyi dan berani membayar berapa saja kalau sudah tergila-gila
kepada kami.! Gadis pelacur itu berhenti sebentar, lalu berkata lagi, Seluruh
pria tentu ingin melihat agar semua wanita di dunia ini, kecuali ibunya,
isterinya, anak perempuannya dan keluarga perempuannya, menjadi pelacur semua!
Agar semua wanita suka melayaninya di atas pembaringan, agar semua wanita
bersedia memuaskan nafsu berahi mereka. Betapa palsu, licik dan munafiknya kaum
pria!!
Tek Hoat melongo. Benarkah
ini? Diapun seorang pria. Benarkah apa yang dikatakan oleh pelacur ini? Bahwa
semua pria menghendaki bahwa semua wanita, kecuali orang-orang tertentu, yaitu
keluarganya, bersikap seperti pelacur? Natinya condong mengatakan ya! kalau dia
berani memandang diri sendiri, memandang sampai ke sudut tergelap dari
batinnya. Akan tetapi dia merasa ngeri! untuk mengaku ini.
Kim Lian, kata-katamu terlalu
keras, agaknya karena dendam sakit hati kepada kaum pria. Akan tetapi, bukankah
pekerjaanmu melacur ini mencemarkan kaum wanita? Bukankah pekerjaanmu ini
dikutuk oleh kaum wanita?!
Kembali Kim Lian tertawa,
suara ketawa yang aneh, setengah menangis setengah ketawa, lalu dia berkata
lagi, lebih halus suaranya penuh kepahitan, Mungkin sekali, Kongcu. Dan biarlah
mereka itu mengutuk dan mencemoohkan kami kaum pelacur. Kami tahu mengapa
mereka mengutuk kami, dan kami kasihan kepada mereka.!
Eh, apa pula ini? Engkau
kasihan kepada mereka yang mengutukmu dan kau tahu mengapa?!
Memang ruwet lika-likunya,
Kongcu. Akan tetapi aku, yang telah digembleng oleh hidup, yang telah direbus
oleh api kepahitan, aku dapat melihatnya. Wanita-wanita itu mengutuk kami
karena mereka merasa dirugikan....!
Dirugikan?!
Ya, dirugikan karena suami,
anak mereka, keluarga mereka yang pria lari kepada kami dan menjauhi mereka.
Karena kami dianggap mencemarkan dan memalukan mereka. Kemudian karena mereka
merasa iri kepada kami!
Iri?! Tek Hoat berseru kaget.
Kaum wanita baik-baik iri kepada pelacur? Apa maksudmu?!
!Benar, iri hati! Mungkin di
bawah sadar mereka, akan tetapi jelas ada perasaan iri hati yang tidak mereka
sadari sendiri itu. Lihatlah, wanita mana yang tidak suka bersolek, yang tidak
suka mempercantik diri? Mereka mempercantik diri karena dua sebab, pertama agar
dipuji oleh umum terutama sekali oleh kaum pria dan diirihatikan kaum wanita
lainnya. Mereka itu, di luar sadarnya berusaha untuk menarik hati kaum pria
sebanyaknya! Makin banyak pria yang kagum dan tergila-gila kepadanya, makin
senanglah hatinya.!
Ah, masa....?!
Keadaan membuktikan demikian
dan mungkin itu sudah merupakan naluri wanita, Kongcu. Setiap mahluk betina
selalu akan berlagak di depan jantan, tentu naluri untuk menarik perhatian.
Karena itu, melihat betapa kami, kamu pelacur dapat menarik perhatian banyak
pria, bahkan dapat menghibur mereka dalam permainan cinta, bahkan menerima
perhatian pria yang rela memberi hadiah dan uang di samping perlakuan cinta,
tanpa disadari mereka itu, kaum wanita merasa iri dan karena iri ini tidak
dapat dinyatakan secara terbuka, maka perasaan iri itu berubah menjadi benci!
Dan munculiah penghinaan mereka terhadap kami! Tentu saja selain itu, juga
mereka mendendam karena kami dianggap merusak nama baik kaum wanita pada
umumnya!
Tek Hoat memandang penuh
perhatian dan makin terheran-heran. Kim Lian, engkau seorang pelacur, engkau
seorang yang buta huruf, akan tetapi heran sekali, kurasa jarang ada orang
pandai yang dapat dan berani berpandangan seperti yang kaunyatakan itu.
Sekarang ada satu hal lagi, Kim Lian. Sebagai pelacur, engkau dan kaummu
dianggap sebagai penyebar penyakit kotor! Hal ini mau tidak mau harus Kau akui
dan tidak dapat Kau sangkal lagi!!
Gadis pelacur yang cantik itu
menarik napas panjang. Memang, hukum rimba mengatakan bahwa segala macam sebab
kesalahan selalu ditimpakan kepada mereka yang lemah dan yang kalah! Kaum pria
mau mencari enaknya sendiri saja, benarnya sendiri saja! Penyakit itu hanya
merupakan akibat, Kongcu. Sebabnya adalah hubungan-hubungan gelap itu. Dan
siapakah yang mulai dengan pelacuran? Sudah kukatakan tadi, kalau tidak ada pria
yang hendak nielacur, apakah di dunia ini ada pelacur? Dan tentang penyakit,
siapakah yang menularkan dan siapa yang ditularkan? Dari siapakah pelacur
terserang penyakit kalau tidak ketularan oleh seorang langganannya, yaitu
seorang pria? Ahhh, Kongcu, persoalan penyakit ini sama saja dengan persoalan
siapa yang keluar lebih dulu, telur ataukah ayamnya!!
Tek Hoat bungkam. Beberapa
kali dia hendak berkata, akan tetapi tidak dapat keluar dan akhirnya dia hanya
dapat menelan ludah. Baru sekarang ini dia mendengar hal-hal seperti itu.
Sungguh berlainan dengan segala macam filsafat yang pernah dibacanya tentang
susila, tentang kejahatan dan kebaikan dan lain-lain. Kini dia dihadapkan
dengan keadaan yang telanjang, tanpa aling-aling lagi, tanpa pulasan dan dia melihat
ketelanjangan yang murni, melihat baik buruknya. Dan dia terpesona, juga....
bingung! Dirogohnya buntalannya, diambilnya beberapa keping uang lagi dan
ditambahkan pada uang di atas pembaringan.
Ambiliah semua uang itu, Kim
Lian. Dan pulanglah engkau. Terima kasih atas segala keteranganmu. Percakapan
kita membuka mataku dan aku tidak berani lagi memandang rendah kepada kaum
pelacur karena aku mulai melihat apakah diriku ini tidak lebih rendah daripada
engkau, Kim Lian!
Kim Lian turun dari pembaringan,
mengambil semua uang dari atas pembaringan, menghampiri Tek Hoat yang sudah
berdiri dan meletakkan uang itu di atas meja. Aku tidak bisa menerima uangmu,
Kongcu. Bukan karena aku tidak melayanimu seperti mestinya di atas pembaringan.
Biarpun tidak melayanimu, kalau engkau menghinaku, memandang rendah kepadaku,
tentu akan kuperas kau sampai habis uangmu dengan Akal bagaimanapun juga. Akan
tetapi, engkau begitu jujur, dan percakapan ini telah melegakan dadaku, aku
telah menumpahkan segala beban hatiku kepadamu. Engkau telah memberi aku
sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang ini ditambah sepuluh kali lipat,
Kongcu. Aku akan pergi, Kongcu, hanya.... kalau boleh...., aku ingin menyatakan
terima kasihku kepadamu dengan caraku sendiri.!
Tek Hoat makin terharu.
Benar-benar bukan gadis sembarangan dia ini, pikirnya, Silakan, Kim Lian,
sungguhpun yang patut berterima kasih adalah aku kepadamu.!
Kim Lian menghampiri makin
dekat, lalu merangkul leher Tek Hoat, menarik leher itu sehingga kepala Tek
Hoat menunduk, lalu dia berdiri di atas ujung jari-jari kakinya dengan
mengangkat tumitnya sehingga bibirnya bertemu dengan bibir Tek Hoat ketika dia
mencium mulut pemuda itu. Ciuman yang amat mesra, yang dilakukan dengan sepenuh
perasaannya, kecupan seorang wanita yang menyerahkan diri sebulatnya kepada
seorang pria, ciuman yang selama hidupnya baru satu kali itu dilakukan oleh Kim
Lian terhadap seorang pria! Terdengar suara isak naik dari dada Kim Lian, dia
melepaskan ciumannya lalu berlari ke pintu, membuka daun pintu, lalu berhenti,
menoleh dengan air mata membasahi pipi sambil berkata, Pria seperti engkau
inilah yang menjunjung tinggi martabat wanita, Kongcu, patut dibanggakan oleh
ibumu, oleh semua wanita, patut menerima cinta kasih wanita. Aku selamanya
tidak akan dapat melupakan wajahmu, Kongcu. Selamat tinggal.! Dan daun pintu
itu ditutup kembali, lalu terdengar langkah-langkah kaki yang diseret dan
ringan dari pelacur itu yang pergi setengah berlari.
Tek Hoat menjatuhkan diri di
atas bangku, duduk termenung. Dia pria seperti itu? Menjunjung tinggi martabat
wanita? Patut dibanggakan oleh ibunya dan semua wanita? Dia? Terbayang kembali
segala perbuatannya di waktu dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali),
penyelewengannya, perjinaannya dengan isteri orang.
Ahhh....!! Dia menutupi kedua
matanya dengan tangannya, memejamkan mata dan telinganya terus-menerus,
mendengar pujian Kim Lian.
Tidak....!! Kini kedua tangan
itu pindah ke telinganya. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan kalau
saja hatinya tidak sudah membeku atau membaja, tentu Tek Hoat akan menangis
menggerung-gerung di saat itu. Dia merasa dirinya kotor sekali, hina dan jauh
lebih rendah daripada Kim Lian si pelacur!
Kongcu.... heh-heh-heh....!
Tek Hoat tergugah dan dia
menoleh. Wajah buruk pelayan itu menyeringai. Kongcu, saya bertemu dengan Kim
Lian, dia menangis dan tidak mau bicara. Ah, dan Kongcu duduk sendiri dengan
pakaian lengkap. Apakah Kongcu tidak suka dengan dia? Begitu cantik manis,
begitu menggairahkan, seperti buah apel yang sudah masak.... hemmmmm....! Dan
si buruk rupa itu menjilat-jilat bibirnya seperti orang yang mengilar! Kalau
saya semuda dan setampan Kongcu, dan beruang, hemmm, kalau saya diberi
kesempatan.... heh-heh....!
Tek Hoat melemparkan beberapa
potong uang kepada pelayan itu. Uang itu jatuh ke atas lantai dan dipunguti
oleh si pelayan. Pergilah! Pergilah cepat, kalau tidak, kubunuh kau!!
Pelayan itu terkejut,
memandang dengan muka ketakutan, lalu dia mengangguk dan lari keluar, lupa
menutupkan pintu kamar itu saking kaget dan takutnya. Tek Hoat tidak peduli dan
kembali duduk dengan kedua tangan menopang dahi di kanan kiri, matanya
dipejamkan.
Tek Hoat....!!
Pada saat itu, Tek Hoat sedang
membayangkan wajah Syanti Dewi dan timbul keraguan di dalam hatinya apakah
orang macam dia itu patut menjadi suami Puteri Bhutan itu. Maka begitu
mendengar suara lembut ini, jantungnya seperti berhenti berdetak.
Syanti....!! Dia berbisik dan
mutar tubuhnya.
Seorang wanita berdiri di
pintu kamarnya, wanita cantik yang bertubuh ramping. Akan tetapi bukan Syanti
Dewi, melainkan.... Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing! Dan
anehnya, kedua mata Siluman Kucing itu merah dan basah oleh air mata!
!Mo-li....!! Tek Hoat berkata
lirih dan dia agak terkejut melihat kehadiran siluman betina ini dalam saat
yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Siluman Kucing menutupkan daun
pintu lalu dia melangkah maju dan tiba-tiba dia menjatuhkan dirinya berlutut di
depan kaki Tek Hoat! Pemuda ini terbelalak dan siap siaga karena dia maklum akan
kelihaian dan kelicikan siluman ini. Akan tetapi dia terheran-heran karena Lauw
Hong Kui kini benar-benar menangis di depan kakinya!
Tek Hoat.... maafkan aku....
ah, betapa aku kagum melihatmu, Tek Hoat. Gadis itu demikian cantik, akan
tetapi engkau tidak mengganggunya dan memberi uang. Engkau benar-benar seorang
pria yang jantan, Tek Hoat. Betapa aku rindu kepadamu. Setelah kau pergi
meninggalkan aku, baru terasa olehku, dunia seperti kosong, sunyi.... ah,
engkau boleh memukulku, Tek Hoat, engkau boleh membunuhku, akan tetapi jangan
kau benci padaku, jangan kau tinggalkan aku.... aku haus akan cintamu, Tek
Hoat, kau kasihanlah kepadaku....!
Tek Hoat menahan senyumnya.
Perempuan memang mahluk yang aneh, pikirnya dan dia teringat akan semua
percakapannya dengan Kim Lian tadi. Benarkah Mauw Siauw Mo-li haus akan
cintanya? Benarkah seorang wanita seperti iblis ini mengenal apa artinya cinta?
Ataukah hanya menjadi budak nafsu belaka? Ingin dia tertawa, mentertawakan Mauw
Siauw Mo-li, akan tetapi teringat akan kata-kata Kim Lian, dia merasa tidak
tega. Biarpun iblis Mauw Siauw Mo-1i ini juga seorang wanita! Sama dengan Kim
Lian! Seorang manusia yang berperasaan! Mungkin karena biasanya dapat
menundukkan pria dengan mudah, maka setelah bertemu dengan dia dan justeru
karena dia tidak dapat ditundukkannya, maka Mauw Siauw Mo-li menjadi
tergila-gila dan jatuh cinta! Mungkin tersinggung perasaannya karena ucapan Kim
Lian tadi, semua wanita ingin digilai laki-laki, sungguhpun hal ini bukan
berarti bahwa wanita itu gila laki-laki. Akan tetapi ingin digilai, ingin
dipuji, ingin dikagumi laki-laki manapun juga. Dan karena dia tidak
tergila-gila kepada Mauw Siauw Mo-li, hal ini justeru malah membuat wanita ini
tersinggung perasaannya dan merasa tidak puas, dan baru akan merasa senang
kalau Tek Hoat yang kokoh kuat dan angkuh itu bertekuk lutut. Demikiankah?
Mo-li, bangkitlah dan jangan
seperti anak kecil. Mari kita duduk dan bicara. Aku maafkan segala
kesalahfahaman antara kita. Betapapun juga, engkau sudah banyak membantuku dan
kita sudah melakukan perjalanan bersama cukup lama sehingga boleh dibilang kita
adalah sahabat.!
Ah, terima kasih, Tek Hoat!!
Mauw Siauw Mo-li bangkit berdiri dan duduk di atas pembaringan, karena di situ
hanya terdapat sebuah saja bangku yang diduduki Tek Hoat. Sejenak mereka
berpandangan. Di bawah sinar api lilin yang kemerahan, memang harus diakui oleh
Tek Hoat bahwa Mauw Siauw Mo-li memang cantik. Mungkin Kim Lian tadi lebih
manis, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li lebih matang!
Mo-li, kenapa engkau
menyusulku sampai di sini?! Akhirnya Tek Hoat bertanya karena tidak tahan
melihat sinar mata wanita itu yang seolah-olah akan membakarnya dengan nafsu
membara, sepasang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.
Kenapa? Ahhh, engkau tidak
tahu betapa aku hampir mati tersiksa hatiku setelah engkau pergi. Aku merasa
kesepian dan dunia ini serasa hampa setelah kepergianmu, Tek Hoat. Tidak pernah
aku menyangka bahwa aku akan tergila-gila kepadamu. Tidak pernah aku
membayangkan betapa cinta dapat begini menyiksa. Apalagi ketika aku teringat
betapa kita berpisah sebagai musuh. Ah, tidak, Tek Hoat, aku tidak tahan maka
aku menyusulmu.!
Hemmm, Mo-li, siapa bisa
percaya akan rayuanmu? Engkau terkenal sebagai seorang wanita yang bisa
mendapatkan pria manapun yang kauinginkan. Seorang wanita seperti engkau ini,
mana mungkin bisa jatuh cinta dengan sungguh-sungguh? Engkau hanyalah menjadi
hamba nafsu berahimu sendiri....!
Cukup, harap jangan lanjutkan,
Tek Hoat. Aku mengaku bahwa memang hidupku yang lalu penuh dengan petualangan
dan aku sudah biasa memandang rendah kaum pria yang kuanggap sebagai
permainanku. Akan tetapi sekarang baru aku merasa bahwa aku sesungguhnya
seorang manusia biasa, seorang wanita yang juga mempunyai hati dan perasaan.
Aku cinta padamu, Tek Hoat, dan aku tersiksa ketika kita saling berpisah.!
Tek Hoat tidak tahu apakah dia
merasa terharu ataukah geli mendengar kata-kata wanita ini. Siluman Kucing yang
biasa mempermainkan pria sampai pria itu tewas, entah sudah berapa banyaknya
pria ini yang tewas olehnya, diajaknya bermain cinta dan sekaligus dibunuhnya,
wanita yang seperti iblis betina cantik ini, jatuh cinta kepadanya? Sungguh
menggelikan dan sukar untuk dipercaya. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa Mauw
Siauw Mo-li adalah seorang wanita berkepandaian tinggi yang telah merupakan
seorang tokoh di dunia kaum sesat sehingga memiliki keangkuhan besar, maka
kiranya tidak mungkin mau merendahkan diri dengan pengakuan cinta dan
kelemahannya itu kalau tidak ada kesungguhan di baliknya. Apalagi bahwa wanita
ini sudah mengaku sendiri betapa biasanya dia menganggap kaum pria sebagai
permainannya dan baru sekarang perasaan wanitanya membisikkan bahwa dia jatuh
cinta!
Mo-li, kita hanya sahabat
biasa, bahkan itu pun bukan, hanya kenalan yang kebetulan bertemu di tempat
Yang-liu Nio-nio, ketua Hek-eng-pang yang menjadi muridmu itu. Ada waktunya
bertemu, berkumpul, tentu ada waktunya pula untuk berpisah. Kita hanya
bersimpang jalan dan jalan hidup kita tidak sama.!
Mauw Siauw Mo-li mengangguk,
akan tetapi pandang matanya masih terus menatap wajah pemuda itu seolah-olah
dia hendak menyihirnya. Aku pun mengerti bahwa ada waktunya bertemu ada pula
waktunya berpisah, Tek Hoat. Akan tetapi aku akan terus menderita kalau harus
berpisah denganmu seperti itu, sebagai musuh!!
Aku sudah memaafkan segala
kesalahfahaman antara kita, Mo-li. Kita bukan musuh....!
Akan tetapi aku ingin berpisah
denganmu sebagai seorang kekasih, Tek Hoat.! Dan wanita itu kembali menjatuhkan
diri berlutut di depan Tek Hoat, merangkul pinggang pemuda itu dan membenamkan
mukanya di atas pangkuan Tek Hoat! Kembali dia menangis! Tek Hoat, kasihanilah
aku.... bersikaplah sedikit manis kepadaku untuk kujadikan kenangan selama
hidupku....!
Sikap dan kata-kata wanita itu
menyentuh perasaan Tek Hoat. Kedua lengan yang merangkul pinggangnya itu begitu
mesra, mengusap punggungnya, dan wajah yang cantik yang tadi bersembunyi di
atas pangkuannya itu kini diangkat tengadah, memandangnya dari bawah, dengan
sepasang mata agak berair dan sayu mesra, cuping hidungnya agak kembang-kempis,
bibirnya tergetar, rambutnya yang hitam panjang awut-awutan, sebagian anak
rambut menutup dahi dan telinganya. Dari tubuhnya keluar bau khas wanita, bau
betina yang merangsang dan di bagian tubuh yang tersentuh oleh tubuh wanita itu
terasa panas dan tergetar. Seorang wanita yang cantik dan masak.
Tek Hoat menunduk, memandang
wajah itu, nampak jelas rambut alis itu yang tumbuh dengan indahnya, seperti
rumput yang teratur sekali, seperti lukisan yang amat tepat dan bagus. Mata
itu, hidung itu, mulut itu!
Engkau memang seorang wanita
yang cantik sekali, Mo-li....! akhirnya dia berkata, ucapan yang bukan pujian
kosong belaka melainkan pengakuan yang keluar dari lubuk hatinya.
Sepasang mata itu tecbelalak
seperti orang heran, kemudian bersinar-sinar dan wajah yang berkulit putih
kemerahan dan halus itu berseri. Aihhh.... benarkah itu? Tek Hoat, kuminta
kepadamu, dalam saat seperti ini.... aku bersungguh-sungguh, jangan kau goda
aku, jangan kaupermainkan aku, benarkah kata-katamu itu?!
Kau memang cantik sekali.!
Akan tetapi, orang menyebutku
iblis betina....!
Mungkin kau iblis betina, akan
tetapi iblis betina yang cantik,! Tek Hoat membelai rambut panjang yang
sanggulnya terlepas itu, Dan rambutmu amat halus mengkilap dan panjang.!
Makin berseri wajah itu dan
bibir yang memang bentuknya manis itu tersenyum. Ahhh, Tek Hoat, jangan
mempermainkan aku....! Aku lebih tua darimu, aku sudah tua sekali, sudah hampir
nenek-nenek....!
Tek Hoat juga tersenyum. Dalam
percakapan seperti ini, dia menemukan dalam diri Mauw Siauw Mo-li itu seorang
manusia wanita biasa! Sama sekali bukan wanita iblis yang jahat dan keji,
melainkan seorang wanita yang kalau dipuji oleh pria lalu menjadi bahagia
hatinya, menjadi manja dan memancing pujian-pujian berikutnya!
Usia tidak penting, yang nyata
engkau adalah seorang wanita cantik yang kelihatannya tidak lebih dari dua
puluh tahun usianya....!
Rangkulan kedua lengan itu
mengetat di pinggang Tek Hoat. Benarkah itu? Tek Hoat...., ah, benarkah bahwa akhirnya
ada pula rasa sayang dalam hatimu terhadapku? Benarkah bahwa engkau juga....
cinta kepadaku, Tek Hoat? Ahhh, betapa hatiku menanti jawabanmu seperti rumput
kering menantikan turunnya hujan....!
Tek Hoat tersenyum dalam
hatinya. Teringat dia akan perasaan hatinya terhadap Syanti Dewi! Tiap kali dia
berhadapan dengan kekasihnya itu dan bercakap-cakap, terus saja timbul sifat
romantisnya, timbul pula keinginannya untuk bernyanyi, bersajak atau setidaknya
mempergunakan kata-kata yang indah-indah! Kini Mauw Siauw Mo-li agaknya pun
tidak terluput dari dorongan suasana hati itu. Kata-katanya mulai indah-indah
dan muluk-muluk!
Mo-li, terus terang saja, aku
hanya mencinta seorang di dunia ini. Akan tetapi aku suka kepadamu, Mo-li, dan
aku tidak berbohong ketika kukatakan bahwa engkau seorang wanita yang cantik
sekali.!
Tangan kanan wanita itu
melepaskan rangkulan di pinggang dan kini mengusap dagu Tek Hoat dengan mesra
dan manja. Aku masih belum, percaya benar.... apanya yang cantik pada diriku
yang tua ini....?! Jelas bahwa wanita ini yang sedang dibuai cinta
memancing-mancing pujian lebih banyak lagi!
Wajahmu, alismu, matamu,
hidungmu, mulutmu dan.... hemmm, bentuk tubuhmu juga amat indah
menggairahkan....!
Hi-hik....!! Mauw Siauw Mo-li
meloncat berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan gerakan lemah gemulai
seperti orang menari. Engkau menduga-duga saja, untuk menyenangkan hatiku.
Engkau kejam, Tek Hoat, engkau hanya mengejek dan mempermainkan aku yang
benar-benar tergila-gila kepadamu, yang mencintamu seperti yang belum pernah
kurasakan terhadap pria yang manapun!! Dalam hatinya, Lauw Hong Kui merasa
bahwa dia berbohong karena sebelum ini pernah dia merasakan cinta yang sama
seperti ini, yaitu terhadap Suma Kian Bu (baca Kisah Sepasang Rajawali).
Tidak, aku tidak
mempermainkanmu ketika aku memuji kecantikanmu, Mo-li.!
Dan tubuhku?!
Hemmm.... dan tubuhmu.!
Menggairahkan katamu?!
Wajah Tek Hoat menjadi merah,
akan tetapi dia mengangguk. Ya, menggairahkan.!
Mauw Siauw Mo-li tertawa.
Memang manis dia kalau tersenyum atau tertawa, memperlihatkan sekilas pandang
giginya yang rata dan putih, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, dengan
suara tenggorokan yang ditahan. Hi-hik! Engkau hanya menduga-duga saja. Engkau
belum pernah melihat tubuhku, bagaimana bisa mengatakan bahwa bentuk tubuhku
indah menggairahkan?!
Wajah Tek Hoat makin menjadi
merah. Mudah dilihat dan diduga....! Dia menjawab juga.
Mauw Siauw Mo-li melangkah
maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, menariknya perlahan sehingga Tek Hoat
juga berdiri. Mauw Siauw Mo-li lalu merangkulkan kedua lengannya pada leher
pemuda itu, mendekatkan mukanya sampai napasnya terasa oleh pipi Tek Hoat dan
dia berbisik setelah mengeluarkan suara erangan kecil seperti kucing diusap
kepalanya, Tek Hoat, aku ingin kau tidak menduga-duga, melainkan melihatnya
sendiri bentuk tubuhku. Kau bukalah....!
Akan tetapi Tek Hoat yang
mulai terseret oleh rayuan dan suasana romantis yang ditimbulkan oleh sikap dan
kata-kata Mauw Siauw Mo-li, menggeleng kepala sungguhpun dia masih tersenyum.
Hi-hik, kau malu-malu? Engkau
memang seorang pemuda hebat. Keras, angkuh, berkuasa, berwibawa, tidak mudah
tunduk, mau menang selalu, dan kadang-kadang amat lembut seperti sekarang ini!
Dan engkau tidak mudah terayu oleh wanita! Ah, betapa hebat dan kagum sekali
hatiku, Tek Hoat. Baiklah, biar aku sendiri yang akan membuka pakaian ini, agar
engkau tidak hanya menduga-duga saja dalam menilai tubuhku.! Mauw Siauw Mo-li
lalu mendorong tubuh pemuda itu dengan lembut sehingga Tek Hoat terduduk di
atas pembaringan. Pemuda ini memandang dan jantungnya berdebar tegang.
Mauw Siauw Mo-li adalah
seorang wanita cantik yang sudah mahir sekali berlagak dan bergaya untuk
memikat hati pria. Dia sudah mengenal betul sifat-sifat pria pada umumnya dan
dengan mudah dia dapat pula menjajagi perasaan hati Tek Hoat. Dengan gerakan
yang lemah gemulai, genit namun tidak menjemukan, mulailah wanita ini
melepaskan kancing bajunya satu demi satu, gerakannya lambat, ragu-ragu, dengan
jari-jari tangan gemetar buatan, dengan kerling mata dan senyum bibir malu-malu
seperti seorang perawan yang baru pertama kalinya berhadapan dengan pria.
Tek Hoat benar-benar
menghadapi rayuan maut yang amat hebat. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika
dia melihat pakaian itu tanggal satu demi satu dengan cara penanggalannya
demikian memikat, setiap potong pakaian diloloskan dari tubuh secara perlahan,
sedikit demi sedikit sampai akhirnya Mauw Siauw Mo-li berdiri tanpa penutup
tubuh sama sekali bermandikan sinar api lilin yang kemerahan dan
bergoyang-goyang membentuk bayang-bayang aneh di dinding.
Ihhh.... hi-hik, matamu
seperti mengeluarkan api, Tek Hoat....! bisiknya halus dan wanita ini lalu
mengangkat kedua lengannya ke atas, menggunakan jari-jari tangannya untuk
membereskan rambut kepala yang awut-awutan. Gerakan ini benar-benar merupakan
gerakan khas wanita di bagian manapun di dunia ini dan pengangkatan kedua
lengan ke atas itu menonjolkan keindahan bentuk tubuh wanita, dadanya makin
menonjol, kerampingannya makin nampak dan tubuhnya makin polos, dan terbuka.
Tek Hoat adalah seorang pemuda
normal yang biasa saja. Menyaksikan semua pertunjukan ini, napasnya agak
memburu dan mukanya merah sekali.
Hi-hik, kau kenapa, Tek Hoat?!
Mauw Siauw Mo-li lalu melangkah maju, langkahnya perlahan dan seperti orang
menari, kemudian tahu-tahu dia telah duduk di atas pangkuan pemuda itu,
merangkulkan kedua lengannya ke leher Tek Hoat dan tahu-tahu pula Tek Hoat
merasa betapa mulutnya dicium oleh bibir yang panas dan lembut.
Belum pernah selama hidupnya
dia dicium wanita seperti ini! Semua bagian mulut wanita itu hidup dan membelai
mulutnya. Tek Hoat hanyut dan terseret oleh gelombang nafsu yang ditimbulkan
oleh Mauw Siauw Mo-li secara hebat itu dan hampir Tek Hoat tenggelam. Seluruh
perasaannya terpusat pada ciuman wanita itu dan belaian tangan Mauw Siauw Mo-li
yang mulai menggerayangi tubuhnya dan jari-jari tangan wanita itu mulai
menyentuh kancing-kancing bajunya. Ketika Tek Hoat mendengar suara aneh dari
kerongkongan wanita itu, suara seperti seekor kucing mengerang-erang, dia
merasa seperti disambar petir. Teringatlah dia bahwa yang memeluknya di atas
pembaringan ini bukan Syanti Dewi! Dia tadi seperti dalam mimpi, seolah-olah
Syanti Dewi yang memeluk dan menciumnya, sungguhpun dia tadi merasa
terheran-heran karena seingatnya, Syanti Dewi tidak pernah bersikap menyerang!
sehebat itu dalam pencurahan kasih sayang. Pernah dia mencium kekasihnya itu,
namun sungguh berbeda sekali sikap dan gerak sambutan Puteri Bhutan itu dengan
Mauw Siauw Mo-li. Syanti Dewi adalah lambang kesucian dan kehalusan, akan
tetapi wanita ini amat ganas!
Erangan seperti suara kucing
itu menyadarkan Tek Hoat dan kalau tadi dia menutupkan kedua matanya, kedua
tangannya membalas pelukan dan dia membiarkan mulutnya diciumi secara luar
biasa itu, kini dia membuka matanya dan ternyata bahwa lilin telah padam
sehingga kamar itu menjadi gelap sekali. Kiranya dengan gerakan tangannya, Mauw
Siauw Mo-li telah memadamkan lilin di atas meja.
Dengan susah payah akhirnya
Tek Hoat dapat melepaskan bibirnya dari cengkeraman mulut Mauw Siauw Moli.
Terdengar napas mendengus-dengus, napasnya sendiri dan napas wanita itu setelah
ciuman dilepaskan. Rintihan Mauw Siauw Mo-li makin panas, tangannya merenggut
lepas tiga buah kancing baju Tek Hoat sekali tarik.
Nanti dulu.... Mo-li, nanti
dulu....!
Tek Hoat....! Mauw Siauw Mo-li
menahan ketika Tek Hoat hendak bangkit duduk. Dia tidak melanjutkan
kata-katanya karena sudah mengerang lagi seperti seekor kucing. Bulu tengkuk
Tek Hoat meremang mendengar suara ini.
Nanti dulu, Mo-li. Dengar, aku
hendak.... hendak ke belakang dulu....! katanya.
Ehhh....? Hi-hik.... baiklah,
tapi jangan lama-lama, kekasih....! Kedua tangannya melepaskan pelukan.
Tek Hoat bangkit duduk dan
turun dari pembaringan, sudah setengah telanjang. Tidak ingat lagi dia kapan
Mauw Siauw Mo-li telah hampir menelanjanginya itu.
Akan tetapi sebelum dia
melangkah, Mauw Siauw Mo-li rengerang. Tek Hoat.... katakan dulu.... benarkah
kau menganggap aku cantik menarik?!
Ya, aku tidak berbohong.!
Dan kau suka kepadaku?!
Aku suka sekali....!
Kalau begitu, coba kaucium
aku....!
Di dalam gelap, Tek Hoat
tersenyum, lalu dia menghampiri pembaringan dan membungkuk, menggunakan
tangannya meraba dan setelah dia menyentuh pundak wanita itu, dia lalu
mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita yang panas itu dengan mesra.
Dicium semesra itu, Mauw Siauw Mo-li mengerang dan merangkul, hendak menarik
lagi Tek Hoat ke atas pembaringan.
!Nanti dulu, sebentar, aku
takkan lama, Mo-li....! Tek Hoat melepaskan rangkulan dua tangan itu,
meraba-raba di atas meja dan tak lama kemudian dia membuka daun pintu dan
keluar dari kamar itu, menuju ke belakang, ke kamar kecil!
Terlalu lama bagi Mauw Siauw
Mo-li menanti di dalam kamar, akan tetapi membayangkan penyerahan diri pemuda
yang membuatnya tergila-gila itu membuat dia bersabar menanti dengan tubuh
panas semua karena api berahi telah membakarnya berkobar-kobar. Terdengar daun
pintu terbuka, sesosok bayangan masuk dan daun pintu ditutup iagi.
Ahhhhh.... kekasih....
pujaanku.... kesinilah.... cepat sini....!! Mauw Siauw Mo-li berbisik. Bayangan
itu menghampiri pembaringan dan segera disambar oleh kedua tangan Mauw Siauw
Mo-li, ditariknya ke atas pembaringan.
Di luar jendela kamar itu, Ang
Tek Hoat berdiri dan tersenyum. Tangannya memegang segulungan pakaian, pakaian
Mauw Siauw Mo-li yang diam-diam dibawanya keluar tadi. Ketika tadi dia dibelai
dan dirayu oleh wanita itu, hampir saja dia terseret dan tenggelam. Akan
tetapi, suara mengerang seperti kucing itu menyadarkannya bahwa dia berada
dalam pelukan Siluman Kucing! Maka timbuliah akalnya untuk mempermainkan wanita
ini. Dia pura-pura hendak ke belakang, akan tetapi diam-diam dia menambah
minyak dalam api berahi itu dengan bersikap manis dan memberi ciuman, dan
disambarnya semua pakaian Mauw Siauw Mo-li, dibawa keluar. Setelah tiba di luar
kamar, Tek Hoat mempergunakan kepandaiannya, mendatangi kamar pelayan berwajah
bopeng dan buruk sekali itu. Pelayan ini masih belum tidur dan menjadi terkejut
ketika tiba-tiba pintunya terbuka dan pemuda yang dilayaninya tadi berdiri di
situ.
Sssttttt.... Paman, cepat kau
ikut aku!!
Pelayan itu mengenal Tek Hoat
sebagai tamu yang royal dengan hadiah, akan tetapi juga galak, maka dia cepat
turun dari pembaringan.
Ada apa, Kongcu?!
Kau mau.... eh, bermain dengan
seorang wanita cantik? Lebih cantik dari Kim Lian tadi?!
Aihhh, jangan main-main,
Kongcu. Orang seperti saya mana ada uang untuk....!
Tak usah bayar, aku sudah
membayarnya. Aku lelah, dan kauwakili aku, tapi diam-diam saja jangan keluarkan
suara, ya? Kau harus begini....! Tek Hoat berbisik-bisik di dekat telinga
pelayan itu yang membelalakkan mata, terkekeh dan nengangguk-angguk.
Dengan tergesa-gesa, pelayan
itu ditarik oleh Tek Hoat sampai ke depan pintu kamarnya, dalam keadaan tidak
berpakaian sama sekali! Kemudian, setengah didorong, pelayan itu memasuki
kamarnya yang gelap dan pelayan itu segera disambut oleh kedua lengan Mauw
Siauw Mo-li yang mulus dan tubuhnya yang hangat. Mauw Siauw Mo-li sedang
terbakar nafsu berahi, dalam gelap itu mana dapat membedakan orang? Apalagi,
nafsu berahi, seperti nafsu lain, hanyalah merupakan permainan dari dirinya
sendiri belaka. Jika nafsu berahi telah berkobar, bantuan dari luar untuk
pemuasan nafsu tidaklah merupakan hal yang mutlak penting.