Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 3 - Terusir dari Bhutan
Ang Siok Bi yang sudah hampir
putus asa itu memandang tajam penuh selidik, lalu bertanya ragu, Benarkah? Aku
sebagai Ibunya sudah tidak dapat membujuknya, apalagi engkau yang hanya
sahabatnya.!
Toanio, ada peribahasa di negeri
kami yang menyatakan bahwa apabila kekuatan tak berhasil menolong kita, kita
harus menggunakan akal, dan bahwa kita dapat mengatasi kekerasan dengan
kelunakan. Saya tahu mengapa Saudara Tek Hoat tidak dapat meninggalkan Bhutan,
tidak lain karena adanya Puteri Syanti Dewi. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya,
Sri Baginda tidak begitu berkenan hatinya mengambil mantu putera Toanio. Maka,
apabila Sri Baginda mendengar sesuatu tentang diri Saudara Tek Hoat, yang tidak
berkenan di hatinya, besar harapannya pertunangan itu akan dibatalkan dan tentu
Saudara Tek Hoat akan suka pergi bersama Toanio kalau tidak ada lagi
pengikatannya dengan puteri raja.!
Hemmm, kalau memang Raja
Bhutan tidak suka kepada anakku, kenapa akan diambil mantu?! Ang Siok Bi
bertanya marah.
Sri Baginda hanya memandang
kepada keluarga Suma, Majikan Pulau Es yang kabarnya masih keluarga Kaisar.
Karena putera Toanio kabarnya masih keluarga Majikan Pulau Es, dengan
sendirinya putera Toanio masih berdarah keluarga Kaisar, maka Sri Baginda mau
menerimanya. Kalau halnya tidak demikian, tentu pertunangan itu akan
dibatalkan.!
Wajah wanita itu berseri dan
dia cepat berkata, Kalau begitu, biar aku bertemu dengan raja!!
Memang cerdik sekali Panglima
Mohinta. Tadi dia mendengar dari mata-matanya tentang perselisihan Tek Hoat
dengan ibunya, melalui pelayan dalam istana Tek Hoat, dan dia tahu pula tentang
percakapan antara ibu dan anak mengenai keluarga Pulau Es. Oleh karena itu, dia
sengaja mengemukakan hal keluarga itu kepada Ang Siok Bi. Dan wanita ini memang
sama sekali tidak peduli tentang kedudukan puteranya, atau tentang raja dan
puterinya. Yang penting baginya adalah dapat mengajak puteranya untuk kembali
ke timur dan membantunya membalas dendam kepada Wan Keng In, atau lebih tepat,
kepada ibu Wan Keng In, yaitu Nyonya Suma di Pulau Es!
Berkat bantuan dan usaha
Mohinta, akhirnya Ang Siok Bi berhasil pula dihadapkan kepada Raja Bhutan. Raja
ini sudah mengerutkan alisnya dan hatinya merasa tidak senang ketika melihat
wanita setengah tua yang biarpun cantik dan gagah, namun kasar dan tidak hormat
itu, yang gerak-geriknya jelas membayangkan kekerasan dan kekasaran, sama
sekali tidak patut menjadi besannya! Wanita dusun ini adalah ibu calon
mantunya!
Akan tetapai sebagai
basa-basi, dia mempersilakan nyonya itu untuk duduk, kemudian berkata, Kami
mendengar bahwa Nyonya adalah Ibu kandung dari Panglima Ang Tek Hoat, dan mohon
menghadap kami. Benarkah itu dan siapakah nama Nyonya?!
Nama saya Ang Siok Bi, tinggal
di Bukit Angsa, di lembah Sungai Huangho,! jawab Ang Siok Bi.
Hemmm, kalau Nyonya she Ang,
kenapa putera Nyonya she Ang juga. Siapakah Ayah Panglima Ang Tek Hoat?
Bukankah Ayahnya masih keluarga dengan Majikan Pulau Es yang terkenal itu?!
Tiba-tiba Ang Siok Bi berkata
dengan suara keras, Persetan dengan keluarga Pulau Es! Anakku tidak mempunyai
ayah!!
Raja makin terkejut dan makin
tidak senang. Apa maksud Nyonya?!
Dengarlah, Sri Baginda! Ada
seorang anggauta luar keluarga Pulau Es yang bernama Wan Keng In, dan manusia
jahanam itu telah memperkosa saya ketika saya masih gadis, dan saya mengandung
lalu melahirkan Tek Hoat itulah. Maka dia adalah anak saya sendiri, tidak
mempunyai ayah yang sah. Saya mempunyai dendam sakit hati sebesar gunung,
sedalam lautan, seluas langit terhadap keluarga Wan Keng In itu, dan saya tidak
rela kalau putera saya dikurung di sini, karena saya harus mengajaknya untuk
membalas dendam. Maka, saya mohon kepada Sri Baginda untuk membebaskan putera
saya itu!!
Cukup....! Pengawal, suruh dia
pergi....!! Sri Baginda menjadi marah sekali dan dia memerintahkan pengawal
untuk mengusir Ang Siok Bi. Wanita ini tidak melawan dan dia hanya memandang
dengan mata mendelik kepada Panglima Mohinta, kemudian dia keluar dari istana,
bahkan terus digiring oleh pasukan pengawal, keluar dari daerah Kerajaan
Bhutan, kembali ke timur.
Pada hari itu juga, Tek Hoat
menerima panggilan dari raja. Ketika pemuda ini keluar dari istananya, dia
terheran-heran melihat banyaknya pengawal di sekitar istananya, dan di istana
raja pun terdapat banyak pasukan, seolah-olah kerajaan menghadapi perang!
Tergesa-gesa dia memasuki istana dan tiba di ruang persidangan, di mana dia
melihat raja sudah duduk dihadap oleh para panglima dan pejabat tinggi dan juga
di tempat ini terjaga oleh pasukan-pasukan pengawal dengan ketat. Cepat dia
memberi hormat dengan berlutut dan dengan suara kaku Sri Baginda lalu menyuruh
dia duduk.
Hamba terkejut sekali
mendengar panggilan tiba-tiba ini dan melihat persiapan-persiapan. Ada terjadi
hal penting apakah, hendaknya Paduka memberi tahu kepada hamba dan hamba yang
akan menghalau semua bahaya!! Tek Hoat berkata, akan tetapi hatinya merasa
tegang karena dia melihat betapa pandang mata semua panglima dan pejabat
ditujukan kepadanya dengan tak senang.
Ang Tek Hoat, kami memanggilmu
untuk mendapat keterangan sejelasnya dan sejujurnya darimu,! Sri Baginda
berkata. Maukah engkau menjawab semua pertanyaan kami dengan jujur?!
Hamba siap untuk menjawab
semua pertanyaan dengan sejujurnya,! jawab Tek Hoat dengan hati tidak enak.
Pertama, benarkah engkau masih
ada sangkutan keluarga dengan keluarga Pulau Es seperti yang dikabarkan orang
dan bagaimanakah sangkutan keluarga itu?!
Tek Hoat mengerutkan alisnya.
Hemm, apakah artinya pertanyaan aneh ini? Apa hubungannya dengan keadaan dirinya?
Akan tetapi dengan tenang dia menjawab, Memang benar demikian, Sri Baginda.
Isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti adalah Nenek hamba, dan Majikan Pulau
Es itu sendiri adalah Kakek tiri hamba.!
Siapakah nama Ayah kandungmu?!
Tek Hoat terkejut. Tak disangkanya
akan ditanya sampai begini melit tentang keluarganya. Ayah hamba bernama Wan
Keng In, putera dari Nenek hamba itu.!
Kalau Ayahmu she Wan, kenapa
engkau she Ang?!
Kembali Tek Hoat terkejut dan
merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia sudah berjanji akan menjawab
sejujurnya! Dan andaikata yang bertanya ini bukan raja, calon ayah mertuanya,
tentu dia sudah marah sekali.
Itu adalah kehendak Ibu hamba
yang bernama Ang Siok Bi.!
Kini Raja Bhutan memandang
tajam, tubuhnya agak mendekat dan suaranya terdengar lantang, Ang Tek Hoat,
pernahkah Ibumu menikah dengan Ayahmu ltu? Siapakah Ayahmu yang sah?!
Kalau ada petir menyambar,
kiranya Tek Hoat tidak akan terkejut seperti pada saat mendengar dua pertanyaan
itu. Dia marah sekali, mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar
berapi. Semua petugas dan pengawal yang menjaga di situ menjadi gentar dan siap
siaga kalau-kalau panglima muda yang ditakuti itu akan mengamuk. Akan tetapi
Tek Hoat lalu berkata, suaranya menahan kemarahannya, Hamba tidak mau menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini. Itu adalah urusan hamba pribadi dan siapapun tidak
dapat memaksa hamba untuk menjawabnya.!
Raja Bhutan menggebrak meja di
depannya. Brakkk! Ang Tek Hoat! Kami tahu bahwa engkau telah berjasa bagi
negara ini, kami tahu pula bahwa antara engkau dan puteri kami terdapat
perasaan cinta kasih. Akan tetapi, apakah itu cukup untuk mengangkatmu sebagai
calon mantu kerajaan? Riwayatmu tidak terang dan agaknya tidak bersih, maka
engkau pun harus mengerti betapa sulitnya bagi kami untuk mempunyai seorang
mantu dan panglima yang tidak jelas riwayat hidup dan keturunannya. Bagaimana
kami akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara tetangga? Hal itu
akan menyeret kami dan keharuman nama keluarga kerajaan kami ke dalam lumpur!!
Makin merah wajah Ang Tek
Hoat. Kalau dia tidak ingat kepada Syanti Dewi, tentu dia sudah mengamuk dan
membunuh raja serta semua yang melindunginya. Akan tetapi dia masih ingat dan
dapat membayangkan betapa akan berduka dan hancur rasa hati kekasihnya itu
kalau dia melakukan hal itu. Pula, semua penderitaan hidupnya selama ini
membuat dia makin kuat dan tahan menerima pukulan-pukulan batin yang hebat ini,
dan dia dapat merasakan pula kebenaran bagi fihak keluarga raja. Maka
perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan berkata tenang.
Sri Baginda, sebagai seorang
laki-laki hamba sudah biasa menerima segala sesuatu secara terang-terangan.
Harap saja Paduka juga berlaku terang-terangan menyatakan niat hati Paduka
kepada hamba. Kalau sudah menjadi kenyataan bahwa hamba bukanlah keturunan
ningrat, bukan pula keturunan orang terpelajar atau pun kaya, lalu bagaimana
kehendak Paduka?!
Ikatan jodoh dengan puteriku
harus batal! Kami tidak mungkin mengambil mantu seorang seperti engkau, Ang Tek
Hoat. Dan jasamu terhadap negara Bhutan pun tidak dapat dibalas dengan
pengangkatan sebagai panglima. Engkau bukan bangsa kami dan jasa-jasamu itu
akan kami balas dengan anugerah berupa harta benda yang boleh kaubawa pulang ke
negerimu!!
Rasanya seperti hampir meledak
dada Ang Tek Hoat. Sri Baginda! Ini sudah keterlaluan! Siapa yang menghendaki
balas jasa? Siapa yang menghendaki pangkat? Siapa pula yang menghendaki
kedudukan sebagai mantu raja yang terhormat? Hamba mencinta Puteri Syanti Dewi,
hal itu sudah jelas, akan tetapi yang hamba cinta adalah pribadinya sebagai
manusia, bukan kedudukannya sebagai puteri kerajaan! Hamba pun tidak
membutuhkan pangkat ini!! Dengan gemas Tek Hoat merenggut hiasan kepala dan
melemparkannya ke atas lantai, lalu mencopot-copoti semua tanda pangkat dan
melemparkannya ke atas lantai. Mulai saat ini hamba bukan lagi Panglima Bhutan,
bukan lagi hamba Bhutan dan hamba pun tidak mengharapkan balas jasa sejemput
batu sekali pun!!
Setelah berkata demikian,
dengan muka merah dan dada panas Tek Hoat melangkah keluar persidangan,
mengangkat dadanya dan siap untuk mengamuk apabila ada yang turun tangan. Akan
tetapi untung, di antara para panglima dan pengawal, tidak ada yang mau turun
tangan sehingga dengan leluasa, Ang Tek Hoat keluar dari istana itu. Ketika dia
hendak mengunjungi Syanti Dewi, dia melihat betapa Istana di mana puteri itu
tinggal terkurung rapat oleh pasukan yang jumlahnya ada seribu orang! Tahulah
dia bahwa raja tidak menghendaki dia berjumpa dengan kekasihnya itu, dia tahu
pula bahwa mengamuk seorang diri menghadapi bala tentara senegara merupakan hal
yang bodoh dan tidak mungkin. Pula, kalau keluarganya tidak menghendaki, apa
perlunya dia memaksa-maksa? Dia hanya akan membuat Syanti Dewi menjadi sengsara
dan berduka saja.
Syanti Dewi, selamat
tinggal....!! Dia berbisik, lalu pergilah Ang Tek Hoat dari istana itu, bahkan
terus keluar, dari negara Bhutan pada hari itu juga. Diam-diam dia merasa
berduka karena terpaksa harus meninggalkan kekasihnya, meninggalkan Syanti Dewi
yang dicintanya sepenuh jiwa raganya. Dan dia tahu bahwa hal ini terjadi karena
gara-gara ibunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang menjadi biang keladi semua
peristiwa yang menimpanya ini? Sungguh terlalu! Ibunya sendiri pun agaknya
tidak ingin melihat dia hidup bahagia di samping Syanti Dewi! Dengan hati
penasaran Ang Tek Hoat mulai dengan perjalanannya kembali ke timur.
Perjalanan yang amat
menyedihkan. Makin jauh dia menuju ke timur, makin merana rasa hatinya yang
direnggutkan dari kekasihnya yang tercinta. Sering kali, di waktu beristirahat,
dia termenung seperti arca, dengan muka pucat dan wajah muram, dengan rambut
awut-awutan dan pakaian kusut mengenangkan wajah Syanti Dewi dan dia merasa
betapa hatinya perih sekali. Kadang-kadang, kalau rasa rindunya terhadap Syanti
Dewi sudah tak tertahankan lagi, dia bersenandung, maksudnya untuk
melupakannya, akan tetapi yang terdengar hanyalah senandung sedih penuh duka,
sebagai pengganti tangis yang diharamkannya.
Akhirnya setelah melakukan
perjalanan yang jauh dan lama, juga merupakan perjalanan paling pahit dan
paling menyedihkan bagi Tek Hoat, sampailah pemuda itu di puncak Bukit Angsa,
di lembah Sungai Huang-ho. Dari jauh dia sudah melihat pondok ibunya di puncak
itu, pondok yang menjadi kampung halamannya, tempat dia bermain-main di waktu
kecil. Ada rasa hati menyentuh perasaannya, akan tetapi kembali dia teringat
akan kedukaan hatinya terpisah dari Syanti Dewi yang agaknya disebabkan oleh
ibunya, maka lenyaplah perasaan haru itu, terganti rasa penasaran. Dia
mempercepat langkahnya. Dia harus bertemu ibunya, harus menegur ibunya. Ibunya
tidak berhak merusak hidupnya, merusak kebahagiaannya!
Ma (Ibu)....!! Dia memanggil
ketika dia tiba di depan pintu pondok yang tertutup.
Tidak ada jawaban. Ibu....!!
Dia memanggil lagi, kini dia mendorong pintu pondok. Bau yang tidak enak
menyambutnya, membuatnya terhuyung mundur dan membuatnya waspada. Bau yang
seperti racun, atau bau seperti bangkai busuk! Ditendangnya daun pintu terbuka.
Gelap di dalam karena memang matahari sudah condong ke barat, dan di dalam
pondok itu tidak memperoleh sinar lagi. Dia tidak berani sembarangan masuk dan
dengan memutar dia menghampirl jendela kamar di sebelah barat rumah kecil itu.
Daun jendela juga tertutup. Ditolaknya dari luar. Daun jendela terbuka dan Tek
Hoat cepat mengelak karena begitu daun jendela terbuka, dari dalam menyambar
jarum-jarum beracun berwarna hitam. Dia cepat memandang ke dalam. Kini ada
sinar matahari senja menyorot masuk melalui lubang jendela. Jantungnya berdebar
tidak karuan karena dari luar tadi dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya
seperti berhenti berdenyut, kemudian berdebar-debar. Setelah dia tiba di depan
pembaringan kayu itu, jelas tampak olehnya benda yang membuat jantungnya
berhenti berdenyut tadi. Rangka manusia! Rangka manusia yang terbungkus
pakaian, pakaian ibunya seperti ketika datang mengunjunginya di Bhutan! Rambut
ibunya yang berada di dekat tengkorak itu, dengan sanggul yang masih dikenalnya
dan ada hiasan rambut berupa kembang teratai emas milik ibunya! Dia bergidik.
Ibuuuuu....! Mula-mula dia
berbisik, lalu disambung dengan teriakan panjang.
!lbuuuuuu....!! Dia tidak syak
lagi. Rangka itu adalah rangka ibunya yang telah tewas. Mati sakit? Ataukah
mati terbunuh? Timbul kecurigaan di hati Tek Hoat. Tidak mungkin sakit. Baru
saja ibunya bisa melakukan perjalanan ke Bhutan, perjalanan yang demikian sukar
dan jauh. Ibunya sehat ketika itu, sehat dan masih kuat. Teringat dia akan
jarum-jarum ibunya. Dia memeriksa jendela dan melihat alat rahasia yang
melontarkan jarum-jarum itu. Agaknya sebelum mati, ibunya memasang alat itu
pada daun jendela, untuk menyerang dan menjebak lawan yang membuka jendela.
Jelas bahwa ibunya telah bersiap-siap menanti kedatangan musuh gelap. Pedang
ibunya juga terhunus dan terletak di atas meja dalam kamar. Akan tetapi ibunya
telah tewas, menjadi rangka yang tidak rebah lurus di atas pembaringan,
melainkan miring dan agak melingkar. Bukan tubuh yang tertidur.
Tek Hoat memeriksa lagi dan
pandang matanya tertarik oleh coret-coret di kayu pembaringan, huruf-huruf
kecil. Tulisan ibunya! Dia kenal betul tulisan ibunya, sungguhpun tulisan ltu
dilakukan dengan menggunakan benda runcing, mungkin jarum yang
digores-goreskan. Dia cepat memasang lilin yang masih ada di sudut meja, dan
mendekatkan lilin bernyala itu pada pinggir Pembaringan, di mana terdapat
tulisan itu.
Tiga malam aku tidak tidur,
menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan
mampus....!
Agaknya tulisan itu akan
menuliskan lanjutannya, mungkin akan menyebutkan nama musuh yang
ditunggu-tunggu ibunya, akan tetapi coretan itu hanya merupakan coretan dari
atas ke bawah, agaknya pada saat itu musuh datang menyerang ibunya. Dan melihat
jendela masih dipasangi alat rahasia, tentu musuh itu bukan datang dari
jendela, melainkan dari pintu depan, atau boleh jadi juga dari atas genteng!
Akan tetapi siapa?
Tek Hoat berlutut, tak dapat
ditahan lagi beberapa tetes air mata membasahi pipinya. Baru sekarang dia dapat
menangis, biarpun hanya beberapa tetes air mata. Dia teringat akan ibunya, akan
penderitaan ibunya sejak masih gadis, sejak diperkosa orang! Semenjak saat yang
laknat itu, ibunya hidup menderita tekanan batin. Pantas saja ibunya menanggung
dendam yang tak pernah terbalas itu, dan tak pernah dapat melupakan dendamnya,
mula-mula kepada Gak Bun Beng karena disangka orang itulah pemerkosanya,
kemudian kepada Wan Keng In dan karena Wan Keng In sudah mati, maka dendamnya
beralih kepada keluarga Wan Keng In, kepada keluarga Pulau Es dan terutama
kepada ibu kandung Wan Keng In. Salahkah sikap ibunya itu? Tidak, tidak!
Kehidupan ibunya telah rusak oleh peristiwa pemerkosaan itu dan ibunya hanya
dapat bertahan hidup untuk membalas dendam! Dan setelah tahu bahwa dendamnya
sukar dibalas karena dia berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang sakti, ibunya
jauh-jauh datang ke Bhutan, mencarinya untuk minta bantuannya. Dan dia telah
menolaknya!
Ibu.... ahhh, Ibu, ampunkan
anakmu.... ini!! Dia meratap dan merasa menyesal sekali. Mengapa justeru kepada
keluarga Pulau Es ibunya menaruh dendam?
Betapa mungkin dia memusuhi
keluarga yang bijaksana itu? Teringat dia akan semua pengalamannya. Mereka
semua itu, Gak Bun Beng, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, Pendekar Super
Sakti, mereka semua adalah orang-orang yang bijaksana, budiman dan sakti. Yang
berdosa terhadap ibunya hanyalah Wan Keng In, putera tiri Pendekar Super Sakti,
sedangkan keluarga itu sama sekali tidak tahu apa-apa!
Dan ibunya yang belum
berkesempatan membalas dendam itu kini telah terbunuh oleh orang lain! Entah
siapa yang membunuh ibunya. Inilah musuhnya! Inilah orang yang harus dicarinya,
bukan keluarga Pulau Es! Akan tetapi ke mana dia harus mencar!? Kepada siapa
dia harus bertanya? Ibunya telah tewas, telah menjadi rangka yang mengerikan.
Dengan hati penuh duka Tek
Hoat lalu menggali lubang di puncak itu dan mengubur sisa-sisa jenazah ibunya,
berikut semua milik ibunya, kecuali pedang dan hiasan rambut teratai emas itu.
Setelah dia mengubur sisa jenazah ibunya dan berkabung tiga hari, lamanya,
mulailah dia mencari-cari dan berkeliaran di sepanjang lembah Sungai Huang-ho,
di sekitar daerah itu untuk mencari jejak ibunya, mencari jejak pembunuh
ibunya.
Demikianlah riwayat Ang Tek
Hoat semenjak dia berpisah dari Syanti Dewi, empat tahun yang lalu! Kini dia
hidup seorang diri di lembah Sungai Huangho sampai pada hari itu dia bertemu
dengan dua putera Jenderal Kao Liang, yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han dan
dapat menolong dua orang pemuda itu dari bencana.
***
Kita mengikuti pengalaman
Jenderal Kao Liang, jenderal tua yang terlempar ke tengah sungai dan hanyut
terbawa arus sungai yang kuat itu. Sampai lama jenderal itu terseret arus
karena kedua kakinya tak dapat dia gerakkan, dan kalau hanya dengan kekuatan
kedua tangan saja dia tidak mampu berenang ke tepi. Padahal air sungai itu
makin lama makin kuat arusnya dan makin melebar, sampai akhirnya air itu tiba
di Sungai Huang-ho yang amat luas.
Akan tetapi, betapapun nyawa
sudah tergantung di sehelai rambut umpamanya, kalau memang belum tiba saatnya
dia mati, orang akan dapat terhindar dari maut. Demikian pula, dengan Jenderal
Kao Liang. Dia sudah pasrah karena tidak berdaya, pula ditambah dengan himpitan
batin yang amat berat karena dia selain memikirkan keluarganya yang hilang,
juga mengkhawatirkan keselamatan dua orang puteranya yang harus menghadapi
musuh amat lihai itu. Dalam keadaan setengah pingsan itu tiba-tiba ada bintang
penolong berupa seorang nelayan yang sedang mendayung perahunya, hendak
berangkat mencari ikan.
Nelayan ini terkejut ketika
melihat orang hanyut, maka cepat-cepat dia menolong Jenderal Kao yang hampir
pingsan itu, dinaikkan dengan susah payah ke dalam perahunya. Begitu tubuhnya
terguling ke dalam perahu, Jenderal Kao Liang pingsan. Nelayan itu cepat
mendayung perahunya ke pinggir, kemudian dengan bantuan teman-temannya dia
membawa jenderal itu pulang ke rumahnya di dalam sebuah dusun kecil di tepi
Sungai Huang-ho.
Jenderal Kao jatuh sakit,
menderita demam dan sampai dua hari dia tidak ingat apa-apa, dalam keadaan
tidak sadar. Nelayan itu bersama isterinya merawatnya dengan teliti dan
akhirnya, pada hari ke tiga, jenderal itu dapat bangun, dari pembaringan dan
dia menghaturkan terima kasih kepada nelayan itu. Tanpa ragu-ragu lagi jenderal
ini berlutut dan menghormati nelayan dan isterinya yang setengah tua itu
sehingga si nelayan sederhana sibuk membangunkan Jenderal Kao Liang yang
disangkanya seorang kota yang celaka di sungai itu.
Jenderal Kao Liang diam-diam
merasa kagum akan perjalanan hidupnya. Dahulu dia adalah seorang jenderal
besar, seorang panglima perang Kerajaan Ceng yang dihormati orang seluruh
negeri. Kini, dia berlutut menghaturkan terima kasih kepada seorang nelayan
melarat dan dirawat di dalam gubuknya yang miskin! Bahkan kini dia dijamu
dengan makanan yang amat sederhana dan barulah dia tahu betapa miskinnya
keadaan hidup seorang nelayan. Hatinya terharu bukan main. Dibandingkan dengan
makanan sehari-hari yang dia berikan kepada anjing peliharaannya dahulu saja,
makanan nelayan ini masih lebih sederhana! Betapa orang-orang besar di atas
seperti buta, tidak melihat keadaan rakyat jelata yang begini miskin.
Orang-orang besar itu, para pembesar, para hartawan, orangorang kota, hidup
berlebih-lebihan, sedangkan mereka itu sama sekali tidak pernah tahu atau tidak
mau tahu bahwa ada manusia-manusia sebangsa yang hidup begini miskin dan
kekurangan. Dan toh orang-orang itu, pembesar-pembesar, para hartawan-hartawan,
dan orang-orang kota itu membanggakan diri sebagai orangorang yang beradab,
orang-orang yang berkebudayaan, orang-orang yang ber-Tuhan, yang
berperikemanusiaan! Betapa palsu dan munafiknya semua itu, termasuk dia dahulu!
Setelah sehat benar, pada
keesokan harinya Jenderal Kao lalu berpamit, menghaturkan terima kasih dan
meninggalkan dusun itu. Dia kini mengambil keputusan untuk pergi ke utara,
untuk mencari putera sulungnya, yaitu Kao Kok Cu yang memiliki kepandaian
hebat, menjadi seorang sakti yang menjauhi keduniawian, hidup berbahagia di
tempat sunyi bersama isterinya yang tercinta. Putera sulungnya itu terkenal
sekali di dunia kang-ouw sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, murid dari manusia
dewa Si Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Gurun pasir Go-bi! Kiranya hanya
puteranya itu saja yang akan sanggup menolong keluarganya dan dia harus pergi
ke sana karena untuk menyelidiki seorang diri, jenderal tua ini tidak sanggup
lagi. Kembali dia terheran-heran betapa kehidupannya telah berubah sama sekali.
Sebelum tahun lalu, sebagai seorang panglima besar, dia dapat mengerahkan
laksaan perajurit untuk mencari keluarganya! Bahkan, tidak ada hal yang tak
dapat dia lakukan. Akan tetapi sekarang dia hanyalah seorang tua yang mulai
lemah, yang menderita tekanan batin dan merasa tidak berdaya!
Akan tetapi baru saja dia
keluar dari dusun di tepi Sungai Huang-ho itu, dari jauh dia melihat dua orang
laki-laki berjalan mendatangi dan setelah dekat, dia terkejut dan girang bukan
main.
Kok Tiong! Kok Han....!! Dia
berteriak sambil berlari ke depan.
Ayahhhhh....!! Dua orang muda
itu pun sudah mengenal ayah mereka dan mereka pun berlari-lari. Pertemuan itu
sungguh menggirangkan hati mereka bertiga dan mereka segera duduk di tepi jalan
sambil saling menceritakan pengalaman mereka. Ketika Jenderal Kao mendengar
penuturan dua orang puteranya tentang pemuda berpakaian abu-abu yang amat
lihai, dan betapa pemuda itu menyatakan kepada dua orang wanita Garuda Hitam
bahwa dia biasa membunuh orang dengan jari tangannya, dia menepuk pahanya.
Aihhh! Dia itu tentu Si Jari Maut!
Siapa, Ayah?!.Kok Tiong dan
adiknya bertanya.
Siapa lagi kalau bukan dia!
Dia tentu Ang Tek Hoat, pemuda yang memang memiliki kepandaian hebat, yang
telah membunuh Tambolon dan kaki tangannya. Akan tetapi, bukankah dia diangkat
menjadi Panglima Bhutan dan menikah dengan Puteri Syanti Dewi di Bhutan?
Mengapa dia muncul di sini? Sungguh aneh!
Menurut dia, yang merampas
harta benda kita adalah Suma-kongcu, Ayah. Jelaslah sekarang, tepat seperti
dugaanku bahwa tentu Suma-kongcu dipergunakan oleh Kaisar untuk mencelakakan
kita,! kata Kok Tiong.
Hemm.... si keparat kalau
begitu!! Jenderal Kao Liang mulai percaya dan sungguhpun hal ini amat
mengherankan hatinya, namun dia menjadi marah juga, tidak mengira bahwa putera
Pendekar Super Sakti mampu dan sampai hati melakukan perbuatan yang jahat itu.
Kalau hanya merampas harta benda, mengapa harus menculik keluarganya? Kalau
memang disuruh merampas, mengapa tidak terang-terangan saja?
Tidak ada jalan lain,
anak-anakku. Kita menghadapi keluarga Pulau Es yang amat sakti. Keluarga kita
dalam bahaya, kalau tidak sudah terbasmi. Maka satu-satunya jalan hanya pergi
minta bantuan kakak kalian.!
Cu-twako (Kakak Terbesar Cu)!!
kata Kok Tiong dan Kok Han berbareng.
Benar, hanya dia saja yang
akan mampu menghadapi keluarga Pulau Es!! Jenderal itu mengepal tinju dan
bangkit berdiri. Hayo kita kembali ke utara, mencari Kok Cu.!
Maka berangkatlah ayah dan
anak yang prihatin dan gelisah ini, mengambil jalan kembali ke utara, jalan
yang mereka lalui selama ini karena selain hendak mengunjungi Kao Kok Cu si
Naga Sakti Gurun Pasir, juga mereka hendak menyelidiki kalau-kalau dapat
menemukan jejak keluarga mereka. Mereka lalu menuju ke jalan kecil di bukit,
jalan yang diapit-apit tebing tinggi di mana malapetaka itu menimpa mereka.
Ketika mereka tiba dekat jalan
yang menuju ke mulut tebing itu, mereka merasa ngeri karena mengira bahwa tentu
mereka akan melihat mayat-mayat yang membusuk dan berbau. Akan tetapi mereka
tidak mau mengambil jalan lain karena mereka hendak menyelidiki kembali.
Akhirnya mereka tiba di mulut tebing di mana tadinya terdapat banyak sekali
mayat orang. Akan tetapi, betapa heran hati mereka ketika melihat tempat itu
sudah bersih, tidak nampak sebuah pun mayat manusia dan sebagai gantinya, di
situ terdapat gundukan tanah yang amat besar, yang merupakan sebuah kuburan
raksasa! Agaknya semua mayat itu dikubur menjadi satu. Siapa yang mengubur?
Tempat itu jauh dari dusun dan sunyi sekali.
Mereka tidak terlalu
mempedulikan hal ini dan melanjutkan perjalanan memasuki lorong yang
diapit-apit tebing tinggi, di mana juga terdapat mayat-mayat ketika mereka pergi,
yaitu mayat-mayat dari para pengawal mereka dan para tukang pikul tandu. Akan
tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka terkejut melihat seorang pemuda
berpakaian putih-putih sedang mengubur mayat-mayat itu ke dalam sebuah lubang
besar. Mereka terheran-heran, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera mengenal
pemuda itu dan dengan marah sekali jenderal ini mencabut sebatang pedang yang
diambilnya dari pinggir jalan dekat tempat pertempuran tadi, kemudian dia
menyerang pemuda berpakaian putih itu sambil membentak, Kiranya kau.... kau
keparat, penjahat muda Suma!!
Kini dua orang putera Jenderal
Kao Liang juga mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Suma Kian Lee, putera
Pendekar Super Sakti. Maka mereka pun cepat mencabut pedang dan menyerangnya.
Suma Kian Lee terkejut dan
terheran-heran bukan main. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan Jenderal Kao
Liang dan dua orang puteranya, apalagi mereka menyerangnya dengan penuh
kemarahan itu.
Eh.... eh.... Kao-goanswe
(Jenderal Kao) ada apakah?! Dia cepat mengelak ke kanan kiri menghindarkan diri
dari sambaran tiga batang pedang itu. Gerakannya tenang, akan tetapi cepat
seperti terbang. Tahan dulu, jangan terburu nafsu!
Akan tetapi, Jenderal Kao
Liang dan dua orang puteranya yang sudah menjadi marah sekali karena mereka
merasa yakin bahwa pemuda inilah yang telah melakukan penculikan keluarga
mereka, sudah menyerang lagi, bahkan kini secara berbareng dari tiga jurusan,
pedang mereka menusuk ke arah dada pemuda itu. Suma Kian Lee mengenjot tubuhnya
dan lenyaplah bayangannya dari kurungan tiga orang itu yang menjadl terkejut,
dan ketika itu pedang mereka sudah menusuk, seakan-akan saling bertemu di
tempat bekas Suma Kian Lee berdiri tadi dan tahu-tahu dari atas tubuh Suma Kian
Lee sudah turun dan kini kedua kaki pemuda berpakaian putih itu menginjak tiga
batang pedang tadi! Dengan mengerahkan ginkang sehingga tubuhnya ringan, dan
menggunakan sinkang disalurkan kepada kedua kakinya sehingga tiga batang pedang
yang diinjaknya itu seolah-olah menempel dan melekat di kakinya, Suma Kian Lee
telah berdiri di atas tiga batang pedang itu dan berkata, Kao-goanswe, harap
sabar dulu dan mari kita bicara!
Mau bicara apa lagi, keparat
keji!!
Jenderal Kao membentak dan dia
lalu menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram.
Bangsat rendah!! Kok Tiong
juga menggunakan tangan kiri mencengkeram karena seperti juga ayahnya dan
adiknya, dia tidak mampu menarik kembali pedangnya.
Mampuslah kau, setan jahat!!
Kok Han juga membentak sambil memukul dengan tangan kiri ke arah kaki yang
menginjak pedang.
Ahhhhh....!! Tubuh Suma Kian
Lee mencelat dan ternyata dia sudah menghindarkan serangan-serangan tangan kiri
itu dengan lompatan jauh sekali, lalu melarikan diri.
Jenderal Kao Liang dan dua
orang puteranya cepat mengejar dengan marah, namun sia-sia belaka karena pemuda
berpakaian putih itu telah menghilang. Jenderal Kao menarik napas panjang.
Ahhhhh, betapa saktinya dia! Jelas bahwa kekuatan kita tidak akan mampu
menghadapinya, hanya Kok Cu yang akan sanggup menandinginya. Percuma mengejar dia,
lebih baik kita melanjutkan perjalanan mencari Kok Cu.!
Siapakah pemuda lihai
berpakaian putih yang memiliki kesaktian hebat, dan yang bernama Suma Kian Lee
itu? Para pembaca Kisah Sepasang Rajawali Sakti tentu mengenal baik tokoh ini
pula. Suma Kian Lee adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, mukanya agak
bundar, bermata lebar jernih dan sinarnya tajam namun halus, sikapnya tenang,
teliti dan, sabar, namun dia selalu bersikap pendiam dan serius. Inilah putera
pertama dari Pendekar Super Sakti yang lahir dari isterinya yang ke dua, yaitu
Lulu bekas ketua Pulau Neraka atau adik angkat sendiri dari Pendekar Super
Sakti.
Sebagai putera bekas ketua
Pulau Neraka yang memiliki kepandaian yang mengerikan dan putera Pendekar
Siluman yang memiliki kesaktian hebat, tentu saja Suma Kia Lee juga telah
mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.
Seperti telah diceritakan di
dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Suma Kian Lee mengalami patah hati,
mengalami kegagalan kasih tak sampai karena dia jatuh cinta kepada seorang dara
cantik jelita dan gagah perkasa yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, yang
kemudian ternyata adalah masih keponakannya sendiri karena Ceng Ceng adalah
anak tidak sah dari kakak tirinya seibu, yaitu mendiang Wan Keng In, seperti
halnya pemuda Ang Tek Hoat. Tentu saja tidak mungkin dia berjodoh dengan
keponakannya, yang masih sedarah dengan dia, masih keturunan ibunya. Hal ini
tentu saja membikin luka perasaan hatinya yang masih muda. Cinta itu adalah
cinta pertama dan dia telah gagal! Akhirnya, seperti telah dituturkan di dalam
Kisah Sepasang Rajawali, dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya.
Akan tetapi, setelah dia
sembuh lahir batin, dia meninggalkan Pulau Es lagi untuk merantau di daerah
utara, memperdalam kepandaiannya. Beberapa tahun kemudian, dia merasa rindu
kepada adiknya, yaitu Suma Kian Bu, yang masih belum pulang dan telah
meninggalkan Pu1au Es selama bertahun-tahun. Sudah lima tahun dia berpisah dari
adiknya yang dia cinta itu, maka dia lalu pergi ke selatan untuk mencari
adiknya. Seperti juga dia sendiri, lima tahun yang lalu adiknya itu telah
mengalami patah hati karena cinta kasih yang gagal.
Kini usianya telah cukup
dewasa, telah dua puluh dua tahun dan kalau dia mengenang masa lalu dia menjadi
malu sendiri. Mengapa dia begitu bodoh, begitu mudah patah hati? Diam-diam dia
malah girang bahwa dia gagal berjodoh dengan Ceng Ceng yang ternyata adalah
keponakannya sendiri itu, dan diam-diam dia hanya mendoakan agar Ceng Ceng yang
kabarnya berjodoh dengan orang yang dikasihinya, yaitu putera Jenderal Kao,
putera sulung yang amat sakti itu, hidup bahagia.
Dia akan mencari adiknya dan
membayangkan pertemuannya dengan adiknya saja sudah merupakan kegembiraan
tersendiri. Kini adiknya itu pun tentu telah dewasa, bukan setengah anak-anak
seperti dahulu lagi. Betapa nakalnya Kian Bu! Tukang menggoda orang, tukang
menggoda wanita yang akhirnya tergoda hatinya oleh seorang wanita cantik
jelita, Puteri Syanti Dewi sampai hati adiknya itu menjadi remuk!
Bu-te (Adik Bu), kasihan
engkau....!! Gerutunya setiap kali dia teringat kepada adiknya. Ketika dia
teringat akan kepatahan hati adiknya, dia lalu menduga bahwa boleh jadi adiknya
itu masih berkeliaran di sekitar daerah yang berdekatan dengan tempat tinggal
Syanti Dewi, yaitu di Bhutan. Tidak ada petunjuk lain baginya, maka dia lalu
menuju ke selatan, hendak ke Bhutan mencari Suma Kian Bu.
Ketika dia tiba di dekat
Sungai Huangho di celah tebing itu dia melihat banyak sekali mayat manusia
berserakan. Hatinya menjadi terharu sekali. Pemuda ini adalah keturunan
langsung dari Pendekar Super Sakti, seorang pendekar yang selain sakti juga
bijaksana dan budiman, maka tentu saja melihat begitu banyak mayat manusia
berserakan tidak diurus, hatinya menjadi terharu dan kasihan. Maka ia lalu
turun tangan menggali lubang besar dan menanam semua mayat itu. Kemudian ketika
dia melihat pula mayat-mayat di lorong yang diapit-apit tebing, dia pun cepat
menggali lubang dan mengubur mayat-mayat yang hampir membusuk itu. Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika secara tiba-tiba dia diserang oleh
Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya!
Diserang mati-matian dengan
maki-makian dan agaknya dia dituduh melakukan hal-hal yang amat jahat, Suma
Kian Lee menjadi bingung dan karena mereka itu tidak mau diajak bicara, terpaksa
dia melarikan diri. Memang ada rasa enggan di hatinya untuk bertemu dengan
keluarga Kao ini. Bukankah Ceng Ceng menjadi mantu jenderal itu, berjodoh
dengan Kao Kok Cu yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Pasir? Selain
enggan bertemu juga dia diserang tanpa diberi kesempatan membela diri, maka
lebih baik dia menyingkir.
Akan tetapi, sejak kecilnya
Kian Lee adalah seorang yang memiliki sifat sabar, tenang dan teliti. Dia
selalu berpikiran cermat, maka dia pun tidak menjadi marah melihat sikap Jenderal
Kao dan dua orang puteranya yang telah memaki-makinya dan menyerangnya untuk
membunuh, tadi. Di dalam peristiwa ini tentu ada rahasianya, dia merasa yakin.
Tentu ada kesalahpahaman besar. Tentu ada sesuatu yang membuat keluarga Kao itu
membencinya sehingga melakukan perbuatan itu. Dan dia harus menyelidiki hal
ini!
Setelah Kian Lee kembali ke
tempat tadi dan mengintai dengan sembunyi, melihat bahwa Jenderal Kao Liang dan
dua orang puteranya yang mengamuk tadi benar-benar telah pergi, dia lalu melanjutkan
pekerjaannya yang tadi tertunda, yaitu mengubur mayat-mayat itu di dalam sebuah
lubang kemudian menimbuninya dengan tanah sampai merupakan sebuah kuburan
raksasa yang terisi puluhan mayat orang. Setelah selesai, Kian Lee hendak
melanjutkan perjalanannya, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba
bermunculan pasukan yang jumlahnya kurang lebih seratus orang, yang sudah
mengurungnya dari depan dan belakang diapit-apit tebing tinggi itu!
Hemmm....!! Geramnya, akan
tetapi dia masih belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah Jenderal Kao
Liang benar-benar hendak mencelakakannya dan kini mengerahkan pasukannya? Kalau
begitu, dia harus berkeras menuntut penjelasan mengapa jenderal itu bersikap
seperti itu.
Dia berdiri di tengah-tengah,
sikapnya tenang dan ketika dia melihat seorang Kakek tinggi besar yang
berpakaian perwira dan agaknya menjadi pemimpin pasukan itu, Kian Lee melangkah
maju menghampiri.
Apa artinya ini?! tanyanya
dengan sikap tenang, menduga bahwa perwira ini tentulah anak buah Jenderal Kao
Liang yang masih belum muncul.
Perwira tinggi besar itu
usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi kelihatan tubuhnya kokok kekar
penuh dengan tenaga. Mendengar pertanyaan Kian Lee, dia tertawa. Ha-ha-ha, kau
masih menanyakan artinya? Artinya, orang muda, bahwa engkau harus menyerah kami
tangkap.!
Hemmm, mudah saja menangkap orang, Ciangkun.
Akan tetapi, setiap menangkap orang harus lebih dulu jelas akan kesalahannya,
bukan? Bolehkah aku tahu, apa kesalahanku maka engkau memimpin pasukan hendak menangkap
aku?!
Ho-ho, orang muda yang pandai
bicara! Sudah jelas engkau membunuh banyak orang dan hendak menyembunyikan
perbuatanmu dengan mengubur mereka, kini engkau masih pura-pura bertanya apa
salahmu? Hayo menyerah, jangan sampai aku turun tangan dengan kekerasaan!!
Kian Lee mendengar ini dengan
perasaan heran. Dia mengubur mayat-mayat yang berserakan itu karena kasihan,
ternyata malah dituduh membunuh mereka itu! Akan tetapi, Jenderal Kao Liang
tadi tidak menyatakan tuduhannya itu? Andaikata Jenderal Kao Liang menuduhnya
demikian, mengapa jenderal itu dan dua orang puteranya serta merta menyerang
tanpa bertanya lebih dulu?
Apakah engkau diutus menangkap
aku oleh Jenderal Kao?!
Perwira itu membelalakkan
matanya, agaknya terheran mendengar ucapan dalam pertanyaan ini. Jenderal Kao?
Siapa yang kaumaksudkan.! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa yang
dimaksudkan dalam pertanyaan pemuda itu adalah Panglima Besar Kao yang telah
dipensiun, dan mengira bahwa pemuda itu maksudkan seorang jenderal lain yang
she Kao. Jangan banyak cakap yang bukan-bukan, orang muda. Aku adalah Perwira
Su Kiat yang bertugas menjaga daerah utara dari Propinsi Ho-nan ini. Engkau
telah melakukan banyak pembunuhan, maka kami harus menangkapmu untuk kami
hadapkan kepada Gubernur di Ho-nan untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu.!
Diam-diam Kian Lee menjadi
makin heran. Jelas bahwa perwira ini tidak pernah bertemu atau berhubungan
dengan Jenderal Kao Liang! Dia hendak ditangkap karena semata-mata kelihatan
mengubur mayat-mayat itu dan dituduh membunuh mereka.
Su-ciangkun, maafkan aku, akan
tetapi aku tidak membunuh mereka itu! Ketahuilah, aku adalah seorang perantau
yang kebetulan lewat di sini dan melihat adanya banyak mayat manusia berserakan
tak terurus, aku menjadi kasihan dan aku lalu mengubur mereka. Jangan kau me
nuduh aku membunuh!
Ha-ha-ha!.... Ho-ho! Kalian
dengar itu? Betapa lucunya! Mana ada orang begitu gatal tangan mengubur
mayat-mayat yang begitu banyak kalau dia tidak berkepentingan langsung? Tentu
kau mengubur mereka untuk menutupi perbuatanmu yang kejam. Heh, siapa namamu,
orang muda?!
Namaku adalah Suma Kian Lee.!
Hayo kau berlutut, dan
menyerah kami tangkap!!
Kian Lee mengerutkan alisnya
dan mengangkat dadanya. Su-ciangkun, aku tidak merasa bersalah bagaimana
mungkin aku harus menyerah?!
Jadi engkau hendak melawan?!
Suciangkun membentak marah.
Aku tidak hendak melawan dan
bermusuhan dengan siapapun,Ciangkun. Akan tetapi aku tidak pernah membunuh
orang, maka kalau aku hendak ditangkap dengan tuduhan membunuh orang, tentu
saja aku tidak mau menyerah.
Bagus! Engkau memang pembunuh
besar dan engkau bernyali besar berani menentang perintah Perwira Su Kiat!!
Perwira tinggi besar itu menengok ke kiri di mana terdapat batu menonjol dari
dinding tebing. Lihat, apakah kepalamu lebih keras daripada ini?! Dia mengayun
tangan kanannya menampar ke arah batu menonjol itu.
Prakkk!! Batu itu pecah
berhamburan!
Melihat cara perwira itu
menampar batu tahulah Kian Lee bahwa perwira itu adalah seorang ahli gwa-kang
(tenaga luar) yang mengandalkan kerasnya kulit dan kuatnya otot. Dia tersenyum
dan mengangguk-angguk.
Entah berapa tahun lamanya
engkau melatih tanganmu sehingga sekuat besi, Su-ciangkun. Akan tetapi apakah
latlhan bertahun itu hanya untuk memukul pecah batu dan menakut-nakuti orang?
Kalau aku memang bersalah, tanpa kaugertak pun aku akan menyerahkan diri dengan
suka rela. Akan tetapi aku tidak berdosa dan tidak takut akan gertakanmu.!
Keparat, kau menantang?!
Su-ciangkun lalu menerjang ke depan, kedua tangannya menyerang dari kanan kiri
sambil mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar.
Kian Lee tidak mau membuang
waktu lagi. Melihat sambaran kedua tangan itu, dia memakai dengan tamparan
tangannya ke arah pergelangan tangan yang besar itu.
Plak! Plak! Aduhhhhh....!!
Perwira Su Kiat mengaduh-aduh karena kedua lengannya terasa panas dan lumpuh
seketika. Hayo tangkap! Bunuh!! teriaknya sambil mengaduh-aduh. Anak buahnya
lalu mengepung dan mulai menyerbu dengan senjata mereka. Melihat ini, Kian Lee
merobohkan beberapa orang dengan tamparan dan tendangannya, tanpa melukai
berat, kemudian dia meloncat, tubuhnya tiba di dinding yang terjal dan di lain
saat, semua orang melongo ketika melihat betapa tubuh pemuda berpakaian
putih-putih itu seperti seekor cecak merayap di tembok saja. Demikian cepat
gerakannya seolah-olah dia berjalan di tanah datar padahal tebing itu terjal
sekali!
Melihat pemuda itu dengan
mudahnya melarikan diri melalui tebing yang terjal sehingga tidak ada
kemungkinan lagi bagi dia dan anak buahnya untuk mengejar, Su-ciangkun lalu
memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alat tiup dari kantung bajunya
karena kedua tangannya masih lumpuh dan untuk mentup alat itu dengan keras.
Terdengar suara bersuitan
berkali-kali dari lorong celah tebing itu, akan tetapi Kian Lee tidak peduli
dan merayap terus sampai dia tiba di atas tebing. Akan tetapi baru saja dia
melompat beberapa langkah, tiba-tiba di depannya berdiri seorang kakek yang
usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambutnya yang kemerahan itu
awut-awutan dan tangannya memegang sebuah guci arak, mulutnya berbau arak dan
bibirnya masih basah oleh arak yang menetes-netes. Di sebelah kakek aneh ini
berdiri dua orang perwira tinggi yang usianya juga sudah enam puluhan. Kakek
berambut kemerahan itu memandang Kian Lee dengan sikap acuh tak acuh, akan
tetapi dua orang perwira tinggi itu memandang dengan mulut tersenyum, kemudian
mereka menjura ke arah Kian Lee dengan sikap hormat.
Tidak kelirukah pendengaran
kami tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee? Seorang dua perwira tinggi itu
bertanya dengan sikap hormat.
Tidak kelirukah pendengaran
kami tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee?! Seorang di antara dua perwira
tinggi itu bertanya sambil menjura.
Kian Lee yang melihat sikap
hormat itu membalas dengan menjura sambil menjawab, Benar.!
Ah, kalau begitu harap Taihiap
sudi memaafkan akan kelancangan Su-ciangkun terhadap Taihiap. Tentu
Suma-taihiap dapat memaklumi kecurigaan Su-ciangkun yang menghadapi pembunuhan
besar-besaran yang terjadi di daerah ini, dan mengira Taihiap yang melakukan
pembunuhan itu. Apakah Taihiap mengerti siapa yang melakukan
pembunuhan-pembunuhan itu?!
Kian Lee menggeleng kepalanya.
Saya kebetulan lewat di daerah ini dan melihat tumpukan mayat, maka saya lalu
menguburnya.!
Heh-heh, bijaksana
bijaksana....! Kakek yang berambut kemerahan itu berkata kepada diri sendiri,
kemudian menenggak arak dari gucinya sampai mengeluarkan suara menggelogok.
Akan tetapi dua orang perwira tinggi agaknya sudah biasa dengan sikap aneh ini,
mnaka mereka tidak memperdulikan, melainkan berkata lagi kepada Kian Lee dengan
sikap hormat.
Kebetulan sekali Suma-taihiap
lewat di daerah kami dan Paduka Gubernur kami memang memesan kepada kami agar
setiap orang pendekar besar yang lewat agar dipersilakan untuk singgah, selain
Paduka Gubernur hendak berkenalan dengan orang-orang handal, juga untuk
menghadari pesta yang akan diadakan untuk menyambut utusan Kaisar dari kota
raja. Banyak sekali tamu yang akan hadir, juga dari kalangan kang-ouw, maka kami
atas nama gubernur mengundang Taihiap untuk singgah pula.!
Kian Lee berpikir cepat. Dia
menghadapi rahasia besar, keanehan sikap Jenderal Kao Liang, kematian banyak
orang yang tidak diketahui siapa pembunuhnya, dan undangan Gubernur Honan yang
juga aneh. Kalau Gubernur Ho-nan yang mengadakan pesta, tentu dan pasti
Jenderal Kao Liang akan hadir pula, karena jenderal ini memiliki kedudukan yang
sangat tinggi. Mungkin dia akan mendapat keterangan tentang semua rahasia ini
di gubernur, dan bukan tidak mungkin pula dia akan dapat mendengar sesuatu
tentang adiknya, karena dia akan bertemu dengan banyak tokoh kang-ouw di rumah
Gubernur Ho-nan itu.
Terima kasih atas undangan
Ji-wi Ciangkun, dan tentu saja saya akan suka sekali.!
Dua orang perwira tinggi itu
menjadi girang sekali dan seorang di antara mereka segera memperkenalkan diri,
dan memperkenalkan kakek peminum arak berambut kemerahan itu, Lo-enghiong ini
adalah seorang tokoh pengawal kepercayaan Paduka Gubernur Ho-nan, dia terkenal
dengan julukannya Ho-nan Ciulo-mo (Setan Arak Tua dari Ho-nan)
Heh-heh, julukan kosong!
Namaku adalah Wan Lok it!! Kakek berambut merah itu menyela dan membalas
penghormatan Kian Lee dengan anggukan cepala acuh tak acuh. Kian Lee tidak
menjadi kecil hati melihat sikap tidak pedulian ini karena pemuda ini sudah
kenyang akan pengalaman bertemu dengan orang-orang sakti di dunia kang-ouw yang
memang banyak yang berwatak aneh dan tak acuh. Mereka lalu berangkat,
diiringkan oleh Su-clangkun yang sudah naik ke tebing dengan jalan memutar, dan
anak buahnya yang seratus orang banyaknya itu, kembali ke kota Lok-yang di mana
Gubernur Propinsi Ho-nan tinggal. Untuk menuju ke Lok-yang, mereka menyeberangi
Sungai Kuning dan ternyata di sebuah pantainya telah tersedia perahu-perahu
pasukan itu sehingga perjalanan itu dapat dilakukan dengan mudah.
Pada waktu itu, yang menjadi
gubernur di Ho-nan, propinsi di sebelah selata Sungai Kuning itu, adalah
seorang bertubuh kecil kurus, berusia lima puluh tahun bernama Kui Cu Kam.
Gubernur Kui ini pun merasa tidak senang kepada kaisar banyak menggeser dan
menyingkirkan orang-orang penting yang tadinya berjasa untuk kerajaan.
Timbuliah rasa tidak senangnya dan jiwa kepahlawanan gubernur ini, yang
menganggap Kaisar bangsa Mancu yang menjajah tanah airnya itu sudah
keterlaluan. Dia sendiri adalah seorang Han tulen yang kebetulan saja masih
mendapatkan kepercayaan untuk menjadi gubernur, hal yang sudah langka terjadi.
Ketika mendengar betapa Jenderal Kao Liang juga dipensiun, hatinya makin panas
dan mulailah gubernur ini berpikir untuk memisahkan diri dari kedaulatan Kaisar
Kang Hsi yang sudah tua dan mulai bertindak sewenang-wenang itu.
Memang pada waktu itu Gubernur
Kui sedang menantikan datangnya utusan kaisar dari kota raja. Untuk menyelimuti
dan menyembunyikan niatnya untuk memisahkan diri dan berdiri sendiri, yang akan
dilakukan lambat-laun setelah dia dapat menyusun kekuatan, maka Gubernur Kui
mengadakan penyambutan besar-besaran. Jauh hari sebelum utusan itu tiba, istana
Gubernur telah dihias dengan megah. Tamu-tamu dari seluruh propinsi, yaitu para
pembesar sipil dan militer, kaum hartawan dan terkemuka, bahkan tokoh-tokoh
kang-ouw yang kenamaan, semua menerima undangan.
Dua orang perwira tinggi yang
mewakili gubernur yang tentu saja sibuk sekali itu lalu mempersilakan Kian Lee
untuk tinggal di sebuah kamar dekat taman, sebuah di antara kamar-kamar tamu
yang banyak disediakan untuk para tamu yag dihormati. Sedangkan Si Rambut Merah
dengan guci araknya yang sudah kosong itu segera meninggalkan taman untuk
bertugas di dalam, sebagai pengawal pribadi gubernur.
Ditinggal seorang diri, Kian
Lee memeriksa kamarnya yang memang megah dan indah. Dia diberi tahu tadi bahwa
pesta akan diadakan malam nanti di waktu bulan purnama untuk menyambut tamu
agung dari kota raja, dan dia dipersilakan mengaso di dalam kamar ini dan akan
dikirim seorang pelayan yang akan melayani segala keperluannya.
Kamar itu memang menyenangkan,
terpisah dari kamar-kamar lain dan ketika Kian Lee ke luar ke depan, ternyata,
kamarnya itu menghadapi taman dan dari situ nampak banyak kamar-kamar yang
sebagian sudah ditempati orang-orang lain yang agaknya juga tamu-tamu dari
tempat jauh yang telah datang lebih dulu. Terdengar suara nyanyian merdu
diiringi yang-kim, (alat musik bersenar) dari beberapa buah kamar tamu itu,
diseling suara ketawa. Kian Lee lalu masuk lagi ke dalam kamarnya, menutupkan
jendela dan daun pintu karena dia ingin beristirahat sebelum menghadapi pesta
itu di mana dia harapkan akan dapat memecahkan rahasia peristiwaperistiwa aneh
yang tadi dan kalau mungkin mendengar berita tentang adiknya. Hari telah siang
dan dia masih mempunyai waktu setengah hari untuk mengaso.
Akan tetapi belum lama dia
merebahkan diri terlentang di atas pembaringan yang lunak dan hampir pulas,
tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara ketukan halus pada
daun plntu kamar itu. Dia cepat bangkit duduk lalu melangkah ke pintu dan
dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Terkejutlah dia ketika melihat seorang
wanita muda yang amat, cantik, akan tetapi melihat wanita itu membawa sebuah
baki berisi makanan dan minuman, dia dapat menduga bahwa wanita ini, biarpun
kelihatan cantik sekali, adalah seorang pelayan.
Maaf, Kongcu. Saya bertugas
melayani Kongcu dan mengantar makanan dan minuman untuk Kongcu.!
Kian Lee merasa agak canggung.
Belum pernah dia berada di dalam kamar bersama seorang wanita muda yang cantik
seperti itu, sungguhpun wanita itu hanyalah seorang pelayan. Tidak mungkin dia
menolak, maka dia mengangguk dan mundur, memberi jalan kepada wanita itu yang
melangkah masuk. Masih tercengang Kian Lee mengawasi wanita yang membawa baki
itu berlenggang dengan halus, seperti lenggang seorang puteri saja, menghampiri
meja, kemudian jari-jari tangan yang halus meruncing itu menurunkan mangkok
piring dan masakanmasakan ke atas meja, mengatur hidangan di atas meja dengan
sikap halus namun cekatan.
Kongcu, silakan makan dan
minum!! katanya lagi, suaranya merdu dan halus, juga sopan teratur, seperti
kata-kata yang keluar dari seorang yang terdidik baik.
Terima kasih,! Kian Lee
menjawab lalu menghampiri meja makan yang bundar kecil itu. Masakan-masakan itu
masih mengebul panas, nasinya putih dan di situ terdapat arak dan air teh.
Cukup lengkap dan baunya sedap menimbulkan selera, apalagi karena perutnya
memang sudah lapar.
Akan tetapi pemuda itu tidak
jadi mengambil mangkok untuk diisi masakan ketika dia melihat wanita muda itu
dengan langkah-langkah yang gontai menuju ke pintu, kemudian bukannya keluar
dari pintu dan pergi, melainkan menutupkan daun pintu dengan perlahan, kemudian
dia melangkah kembali dan berdiri tak jauh dari meja dengan sikap menanti!
Kian Lee menelan ludah, merasa
kikuk, lalu menoleh. Eh, kau.... kau.... tidak pergi?!
Wanita itu memandang dengan sinar
matanya yang halus, lalu tersenyum. Bukan main manisnya senyum itu, senyum yang
sopan karena agaknya nona itu geli hatinya melihat pemuda yang gagap gugup ini.
Lalu dia menggeleng kepala dan berkata, Kongcu, mengapa saya mesti keluar? Saya
telah ditugaskan untuk melayani Kongcu di sini. Silakan Kongcu makan, saya akan
menanti di sini untuk melayani segala keperluan Kongcu. Silakan dan jangan
malu-malu!! Kembali dia tersenyum.
Kia Lee mengangguk, kemudian
dia mengambil mangkok kosong dan mengisi mangkok dengan nasi putih. Ketika dia
mengambil sepasang sumpit dan hendak mulai menyumpit, dia mengerling dan
melihat wanita itu berdiri memandangnya, dia kembali menelan ludah.
Eh, mari kau duduk dan makan
bersama!! katanya.
Wanita itu kaget sekali,
terbelalak, mukanya yang cantik dan putih halus itu menjadi kemerahan,
kelihatan dia malu sekali. Aih, Kongcu mana saya berani? Silakan Kongcu makan
Ah, mengapa tidak? Tidak enak
sekali makan sendiri dan kau.... kau hanya menonton. Mari kita makan bersama.!
Kian Lee yang masih belum banyak pengalaman sehingga dia tidak tahu bahwa
mengajak makan bersama seorang wanita muda mempunyai arti yang lain lagi, yang
lebih mendalam! Tentu saja pelayan itu menjadi malu sekali dan mukanya makin
merah.
Harap Kongcu tidak mempunyai
maksud yang bukan-bukan! katanya halus dan suaranya tiba-tiba menjadi demikian
menggetar seolah-olah mengandung kedukaan dan kegelisahan besar.
Kian Lee terkejut dan
meletakkan mangkoknya. Eh, Nona, harap jangan salah kira. Aku tidak mempunyai
maksud yang bukan-bukan, melainkan sejujurnya mengajak engkau makan. Aku....
aku tidak biasa dilayani seperti ini, dan aku mengajak, engkau makan seperti
seorang sahabat, apa salahnya?!
Sejenak sepasang mata yang
indah jernih memandang dengan bengong dan terheran-heran, seolah-olah
menjelajahi dan menyelidiki wajah Kian Lee. Kemudian wanita muda itu menghela
napas panjang dan menjura. Maaf, Kongcu, saya memang tadi salah duga. Kongcu
baik sekali. Terima kaslh. Akan tetapi saya sudah makan, maka silakan Kongcu
makan sendiri. Kalau Kongcu tidak biasa ditunggu seperti ini, biarlah saya main
yang-kim selagi Kongcu makan, agar tidak terganggung.!
Kian Lee mengangguk-angguk dan
ketika dia melihat wanlta itu kini mengambil sebuah alat musik yang-kim yang
tergantung di dinding, kemudlan menyetel senar-senarnya dan duduk di atas
sebuah bangku kecil di sudut kamar, agak di belakangnya, maka dia pun mulai
makan. Biarpun dia makan, akan tetapi sebagian dari perhatiannya tercurah ke
belakang, ke arah suara yang dibuat wanita itu, melalui pendengarannya. Tadinya
dia hanya mendengar suara senar yang-kim disetel, kemudian terdengar
senar-senar itu dimainkan, perlahan-lahan dan merdu suaranya.
Kian Lee tersenyum seorang
diri. Sungguh aneh pengalamannya. Pagi tadi mengalami hal tidak enak, kini
begini enaknya. Makan masakan yang lezat-lezat, diiringi musik yang merdu!
Bukan main! Dia merasa dimanja. Di Pulau Es pun tidak seperti ini hidupnya.
Bahkan ketika dia berada di istana Puteri Milana, kakak tirinya, dia pun tidak
dimanja seperti ini!
Akan tetapi tiba-tiba
perhatiannya makin banyak tercurah ke belakangnya, ketika dia mendengar suara
nyanyian yang halus merdu, nyanyian yang dilakukan dengan perlahan namun cukup
jelas oleh pendengarannya, nyanyian yang diiringi oleh berkentringnya
senar-senar yang-kim. Nyanyian itu memang indah, suara lirih itu setengah
berbisik-bisik amat merdunya, namun yang menarik perhatiannya adalah kata-kata
dari nyanyian itu.
Tiada ayah tiada bunda
tiada sanak keluarga
badan sendiri nyaris binasa!
Apa daya si dara lemah
cintanya bertepuk tangan
sebelah
mengubur diri dalam
keluh-kesah!
Pendekar sakti penolong nyawa
yang disanjung dan dipuja
telah jauh meninggalkannya!!
Nyanyian itu demikian
menyedihkan, suara itu menggetar penuh perasaan sehingga Kian Lee tak dapat
menahan diri untuk tidak menoleh. Betapa heran hatinya ketika dia melihat gadis
yang masih mainkan yang-kim akan tetapi sudah tidak bernyanyi lagi itu menunduk
dan kedua pipinya terhias butiran-butiran air mata! Gadis itu bernyanyi sambil
menangis!
Kian Lee mengakhiri makannya,
meneguk secangkir air teh, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi gadis
pelayan yang masih bermain yang-kim sambil menunduk itu.
Nona....!! dia memanggil.
Gadis itu masih terus bermain
yang-kim dengan perlahan, tidak menjawab seolah-olah semangatnya melayang jauh
mengikuti alunan suara yang-kim.
Nona...., hentikan permainan
yang-kim itu!! Kian Lee kembali menegur.
Suara yang-kim tiba-tiba
berhenti. Nona itu kelihatan terkejut, cepat mengusap pipinya dengan ujung
lengan baju dan bangkit berdiri, menggantungkan yang-kimnya dan menghampiri
meja. Maaf apakah Kongcu telah selesai makan?! tanyanya, suaranya masih
setengah berbisik dan mengandung isak tertahan.
Kian Lee mengangguk dan
memandang gadis itu membereskan mangkok, piring, menumpuknya di atas baki,
kemudian berkata, Saya menyingkirkan mangkok piring dulu, sebentar saya
kembali. Apakah Kongcu perlu diambilkan sesuatu?!