Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 29 - Sumber Yang Dapat Dipercaya
Liong Bian Cu lalu menuangkan
sendiri arak ke dalam dua cawan di depan ayah dan anak itu, mempersilakan
mereka untuk minum.
Maaf, orang muda. Sebelum kami
mengenal siapa engkau dan mengetahui apa maksudmu menawan keluarga kami,
bagaimana kita dapat minum dan makan seperti antara sahabat?! Kao Liang berkata
lagi dan tidak menyentuh cawan arak itu. Juga Kok Tiong duduk tegak dengan mata
menatap wajah pemuda berkulit kehitaman itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Liong Bian Cu tersenyum
melihat penolakan ayah dan anak itu. Dia minum araknya dari cawan, lalu
meletakkan cawan itu di atas meja dan berkatalah dia sambil menatap tajam wajah
bekas jenderal itu, Kao-goanswe, saya bernama Liong Bian Cu dan biarpun engkau
belum pernah bertemu dengan saya dan belum mengenal saya, akan tetapi saya kira
engkau tentu sudah mengenal baik mendiang ayah saya.!
Kao Liang mengerutkan alisnya.
She Liong....?! dia berkata lirih dan mengingat-ingat karena setahunya, yang
she Liong adalah pangeran-pangeran dari Kerajaan Ceng!
Benar, Goanswe, mendiang ayah
saya adalah Pangeran Liong Khi Ong!!
Ahhh....!! Bukan main kagetnya
Kao Liang mendengar ini, juga Kok Tiong terkejut dan timbul kekhawatiran besar
di dalam hatinya. Mendiang Liong Khi Ong adalah seorang pemberontak besar dan
ayahnya adalah bekas panglima yang telah membasmi kaum pemberontak. Kenyataan
ini saja sudah amat jelas berbicara mengapa keluarga Kao diculik dan ditawan!
Antara mendiang Pangeran Liong
Khi Ong dan saya memang terdapat pertentangan! akhirnya Kao Liang berkata
dengan suara berat, Akan tetapi itu bukan merupakan permusuhan pribadi,
melainkan dalam kedudukan saya sebagai panglima perang abdi negara. Maka saya
tidak melihat dasar-dasar yang kuat mengapa Kongcu mengambil tindakan terhadap
keluarga saya yang tidak tahu-menahu tentang pertentangan antara mendiang
ayahmu dan saya itu.!
Liong Bian Cu tersenyum lebar.
Tenanglah, Goanswe. Sudah kukatakan tadi bahwa kami menawan keluargamu sama
sekali bukan dengan niat yang buruk! Dan saya sama sekali tidak menaruh dendam
pribadi kepadamu. Saya bukanlah seperti orang biasa yang mabuk oleh dendam dan
sakit hati pribadi. Saya adalah seorang pangeran, cucu dari raja besar di
Nepal.!
Kao Liang rnengangguk-angguk
dan mendengar bahwa putera Pangeran Liong Khi Ong ini juga merupakan cucu Raja
Nepal, tahulah dia dan teringatlah dia bahwa Pangeran Liong Khi Ong memang
mempunyai seorang selir, yaitu puteri Raja Nepal. Jadi pemuda inikah
keturunannya dari puteri Nepal itu? Dia lalu memandang kepada kakek botak dan
kedua kakek lain yaitu Hek-tiauw Lo-mo yang seperti raksasa menyeramkan, dan
kakek muka tengkorak yang tidak kalah mengerikan itu.
Dan saya memperkenalkan
Locianpwe ini adalah guru saya, juga beliau adalah koksu dari Nepal, berjuluk
Ban Hwa Sengjin, Liong Bian Cu berkata dan kakek botak itu bangkit berdiri.
Kao Liang makin kaget dan
cepat dia bangkit berdiri memberi hormat yang dibalas oleh kakek botak itu.
Kiranya Pangeran Nepal ini berada di situ bersama Koksu Nepal! Tentu ada
apa-apa di balik ini semua, ada sesuatu yang amat penting! Akan tetapi dia
menekan keheranannya dan tetap bersikap tenang.
Mereka berdua ini adalah dua
di antara pembantu-pembantu kami, Goanswe. Beliau ini adalah Locianpwe Hek-hwa
Lo-kwi, dan Locianpwe ini adalah Hek-tiauw Lo-mo.!
Ha-ha-ha, Jenderal Kao Liang
sudah mengenalku!! kata Hek-tiauw Lo-mo sambil tertawa dan minum araknya.
Kiranya Kongcu adalah pangeran
dari Nepal dan lengkap dengan para pembantu yang amat lihai. Akan tetapi apa
hubungannya itu dengan keluarga saya? Kerja sama apa yang dapat saya lakukan
untuk Kongcu?!
Kami tahu bahwa Goanswe adalah
seorang ahli dalam ilmu perang. Mungkin untuk seluruh Tiongkok pada waktu ini,
Goanswe adalah orang yang paling pandai! Kami amat membutuhkan bantuanmu,
Kao-goanswe. Kami ingin agar engkau suka memimpin orang-orang kami, menjadikan
tempat ini, lembah ini sebagai benteng yang amat kuat. Terus terang saja, kami
berniat untuk menentang kaisar, dan kami sudah menerima janji bantuan dari
Gubernur Ho-nan dan banyak pula pembesar lain, baik sipil maupun militer.!
Berubah wajah bekas jenderal
itu. Keluarga Kao sejak turun-temurun adalah pahlawan-pahlawan yang setia!
Kini, Pangeran Nepal ini mengajak dia bersekutu untuk memberontak terhadap
kerajaan! Hampir saja Kao Liang menghantam meja di depannya saking marahnya,
matanya mendelik dan kumisnya seolah-olah berdiri. Dia tidak mampu bicara
saking marahnya.
Engkau berjanji akan membantu
kami, Kao-goanswe, dan kami pun akan berjanji untuk menjamin keselamatan jiwa
raga keluargamu. Bukankah itu sudah adil sekali?! Liong Bian Cu kembali berkata
dengan suaranya yang tenang dan halus.
Tidak....! Tidak sudi
aku....!! Tiba-tiba Jenderal Kao berteriak dan bangkit berdiri, mengepal
tinjunya, mukanya merah dan matanya mendelik.
Ayah....!! Kok Tiong berkata
lirih penuh kegelisahan. Ayah, harap Ayah sudi menyelamatkan dua orang cucumu!!
Muka dua orang muda ini pucat sekali karena dia maklum bahwa nyawa seluruh
keluarga yang dikurung di sana tadi berada di telapak tangan ayahnya!
Tidak....! Seribu kali lebih
baik kita mati semua!!, kembali Kao Liang berseru keras dan pada saat itu
terdengar jerit tertahan dari balik sebuah pintu.
Gihu (Ayah Angkat)....!! Dan
munculiah Syanti Dewi bersama Hwee Li dari balik pintu itu. Syanti Dewi lari
menghampiri Kao Liang. Bekas jenderal ini terkejut, menoleh dan segera memeluk
Syanti Dewi yang sudah merangkulnya dan menangis di atas dadanya yang bidang.
Kau....? Dewi....? Kau....
juga di sini?! bekas jenderal itu berkata heran dan juga bingung, penuh
kekhawatiran.
Gihu, saya menjadi.... tawanan
perang di sini. Baru hari ini saya mendengar bahwa keluarga Gihu semua juga
menjadi tawanan di sini.... harap Gihu tidak menggunakan kekerasan dan bersikap
bijaksana untuk menyelamatkan keluarga Gihu....!!
Syanti Dewi, biarpun kami
memberi kebebasan kepadamu, akan tetapi perbuatanmu ini lancang sekali dan
tidak tahu tata susila. Harap kau suka meninggalkan ruangan ini,! kata Liong
Bian Cu dengan sikap halus. Syanti Dewi melepaskan pelukan ayah angkatnya dan
mundur dengan kedua pipi kemerahan.
Semua ini tentu gara-gara Hwee
Li!! Hek-tiauw Lo-mo membentak, lalu berkata kepada dara itu dengan nyaring,
Hwee Li, hayo Kau ajak Sang Puteri pergi dari ruangan ini!!
Dara cantik jelita yang datang
bersama Puteri Bhutan itu berdiri tegak, bertolak pinggang menghadapi Hek-tiauw
Lo-mo lalu berkata, Memang benar aku yang mengajaknya ke sini! Habis, kau mau
apa?! Sikapnya menantang sekali, mengherankan Kao Liang dan puteranya. Betapa
berani sikap dara cantik jelita ini, dan anehnya, Hek-tiauw Lo-mo yang biasanya
amat angkuh, kejam dan ganas, sekali ini tidak menjawab apa-apa atas tantangan
itu!
Pangeran Liong Bian Cu cepat
bangkit berdiri dan dengan suara yang amat ramah dan halus dia berkata kepada
dara itu, Hwee Li, kekasihku, harap engkau tidak membuat ribut di sini. Kami
sedang membicarakan urusan besar, harap kau suka mengajak Syanti Dewi ke taman,
Sayang!
Hwee Li merasa malu sekali
melihat pangeran itu memperlihatkan sikap demikian ramah dan mesra kepadanya di
depan banyak orang. Dia ingin marah, akan tetapi dia takut kalau-kalau pangeran
itu akan makin bersikap mesra, maka dia lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan
diajaknya pergi cepat-cepat dari ruangan itu. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum
lebar, puas akan hasil dari kecerdikannya. Dia tahu benar harus bersikap
bagaimana untuk mengalahkan dara yang dicintanya itu.
Maaf atas gangguan tadi,
Kao-goanswe. Sungguh saya tidak mengira bahwa Syanti Dewi adalah anak angkatmu.
Dan gadis tadi adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, atau tunangan saya.!
Diam-diam Kao Liang merasa
heran dan juga terkejut. Dara cantik jelita tadi tunangan pangeran ini? Puteri
Hek-tiauw Lo-mo? Kini dia mengerti mengapa Hek-tiauw Lo-mo membantu pangeran
ini. Dan biarpun dia kagum akan kecantikan dan keberanian dara itu, namun
diam-diam dia bergidik mengingat akan sikap dara itu terhadap ayahnya! Dasar
ayahnya seorang laki-laki iblis, anaknya pun sikapnya demikian kurang ajar
terhadap ayahnya sendiri! Akan tetapi, yang amat mengherankan hatinya,
bagaimana Syanti Dewi yang memiliki watak mulia dan lemah lembut itu kelihatan
begitu akrab dengan dara iblis tadi?
Kao-goanswe,! tiba-tiba Koksu
Nepal berkata kepadanya dengan suaranya yang asing karena Ban Hwa Sengjin
memang seorang aseli Nepal, sungguhpun dia telah mempelajari bahasa Han dengan
baik dan dapat bicara dengan lancar. Kita sama-sama adalah orang-orang yang
tahu akan tata negara, tahu akan kebijaksanaan dan kesetiaan terhadap
pemerintah. Seorang bijaksana akan setia kepada tanah air dan bangsa melalui
kesetiaannya terhadap pemerintah. Akan tetapi, kalau melihat betapa pemerintah
dipimpin oleh orang-orang yang lemah dan tidak bijaksana, benarkah kalau dia
mengekor saja dan berarti menambah beban penderitaan rakyatnya? Tentu tidak,
dan seorang bijaksana akan menentang pemerintah yang demikian, demi
kebaktiannya kepada rakyat dan tanah airnya.!
Kao Liang memandang wajah
kakek botak itu dan sejenak mereka beradu pandang. Diam-diam bekas jenderal itu
terkejut melihat sinar mata yang tajam bersinar-sinar dan penuh wibawa itu,
maklumlah dia bahwa selain pandai, juga Koksu Nepal itu tentu bukan orang
sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kemarahan hebat yang
tadi membakar dadanya kini sudah mereda setelah munculnya Syanti Dewi yang tak
disangka-sangkanya.
Ban Hwa Sengjin, ke manakah
tujuan kata-katamu itu?!
Kao-goanswe, seperti yang
dikatakan oleh Puteri Bhutan tadi, seorang bijaksana akan lebih dulu
mengutamakan keselamatan keluarganya dan dalam hal ini, Goanswe adalah seorang
yang akan menentukan mati hidupnya keluarga Goanswe, termasuk pula Syanti
Dewi.!
Hemmm, engkau hendak mengancam
keselamatan mereka demi untuk memeras dan memaksaku, Koksu?! bekas jenderal itu
mengejek.
Bukan ancaman kosong,
Kao-goanswe! Dengan sekali isyarat, saat ini pun aku sanggup menyuruh algojo
memenggal leher keluargamu di depan matamu!! Pangeran Liong Bian Cu berkata
tenang dan halus, namun isi kata-katanya itu penuh ancaman yang mengerikan
sehingga pucatlah wajah Kok Tiong mendengar ini.
Bukan sekedar mengancam untuk
memaksa, Jenderal Kao Liang!! kata pula Ban Hwa Sengjin dengan sinar mata
tajam. Sebagai seorang ahli perang engkau tentu dapat mengetahui kalau
keadaanmu sudah tersudut dan kalah total. Engkau sudah kalah dan kami yang
menang, karena itu kami menggunakan hak kami sebagai pemenang dan sudah
selayaknya kalau engkau tahu diri. sebagai fihak yang kalah. Akan tetapi,
selain kenyataan ini aku ingin membuka mata dan kesadaranmu akan kenyataan
lain, yaitu bahwa engkau tidak mempunyai pilihan lain.!
Kao Liang menegakkan kepalanya
dan mengangkat dadanya. Bagiku, tetap saja ada pilihan, Koksu, karena aku lebih
menghargai kehormatan daripada nyawa. Ancamanmu terhadap keluargaku, sama
sekali tidak akan membutakan mataku terhadap nilai kehormatan kami!!
Wajah koksu itu sudah menjadi
merah karena dia marah sekali melihat kekerasan hati bekas jenderal ini. Akan
tetapi Liong Bian Cu memberi isyarat kepadanya dan orang muda yang cerdik ini
lalu berkata, Jenderal Kao Liang, sikapmu yang tegas dan gagah itu amat
mengagumkan hatiku. Akan tetapi engkau lupa bahwa setiap perbuatan itu tentu
ada dasarnya. Setiap pemberontakan ada pula yang menjadi dasarnya. Ketika
mendiang ayahku memberontak terhadap kaisar, apakah dasarnya? Karena kaisar terlalu
lemah dan membiarkan para pembesar melakukan korupsi dan maksiat besarbesaran,
memeras rakyat. Ayah memberontak dan gagal, hal itu sudah biasa dan tidak perlu
disesalkan. Yang patut disesalkan adalah betapa kelaliman berlangsung terus.
Engkau, yang ketika itu menjadi panglima, bahkan lalu diangkat menjadi panglima
besar, kini dapat melihat bukti kebenaran dasar yang membuat ayahku
memberontak, Jenderal Kao. Lihat betapa lalimnya kaisar! Betapa kaisar memberi
hati kepada para thaikam dan pembesar-pembesar lalim dan jahat, sehingga banyak
orang-orang yang benar-benar merupakan pahlawan seperti engkau, malah
disingkirkan dan dipecat. Orang-orang yang penjilat dan pemeras rakyat, tukang
korupsi besar malah dipakai dan memperoleh kekuasaan. Engkau yang dipecat dan
diusir secara halus oleh kaisar membuktikan bahwa engkau bukan termasuk
pembesar penjilat dan korup. Engkau tidak merasa sakit hati oleh tindakan lalim
kaisar itu terhadapmu, itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pahlawan yang
setia. Akan tetapi, sebaliknya, engkau membiarkan kaisar dan kaki tangannya
melakukan kelaliman yang menyengsarakan rakyat, hal itu berarti bahwa engkau
pun membantu kelaliman mereka. Bukankah orang yang tahu kejahatan dan tinggal
memeluk tangan saja berarti membantu kejahatan itu pula?!
Kata-kata Liong Bian Cu
merupakan ujung pedang tajam yang menusuk-nusuk hati bekas jenderal itu,
membuat dia menundukkan kepalanya dan mukanya menjadi agak pucat. Harus diakui
bahwa di dalam kata-kata itu terkandung kebenaran yang sukar untuk disangkal.
Memang kaisar amat lemah, kaisar yang sudah terlalu tua dan sakit-sakitan itu
seakan-akan menyerahkan kendali pemerintahan kepada para thaikam yang korup dan
lalim, dan memang kelaliman akan terus terjadi dan berlangsung tanpa ada yang
berani menentang.
Saya.... saya tidak mungkin
mau memberontak, lebih baik mati sekeluarga daripada memberontak....! Akhirnya
dia berkata dengan lirih dan memejamkan matanya.
Ayah....!! Kok Tiong berkata
dengan suara penuh duka dan dua butir air mata jatuh ke atas pipinya.
Membayangkan dia dan isterinya mati masih belum apa-apa, akan tetapi
membayangkan ibunya dibunuh, dan dua orang anaknya, benar-benar membuat dia
hampir tidak kuat menahan.
Hemmm, lihat betapa lemahnya
jenderal yang terkenal ini! Lihat betapa kejam hati bekas panglima yang
disanjung-sanjung dan dipuji-puji sebagai pahlawan ini! Membiarkan keluarganya
terancam kematian padahal dia dapat menyelamatkan mereka, membiarkan rakyat
tertekan kesengsaraan padahal dia dapat pula berusaha untuk mengubah nasib
mereka! Betapa lemahnya, dan hanya mementingkan diri sendiri, kehormatan dan
namanya sendiri saja!! kata Liong Bian Cu berkata lagi.
Brakkk!! Jenderal Kao
menggebrak meja sampai tergetar dan cawan mangkok piring mencelat
berkerontangan. Cukup!! bentaknya. Baiklah, aku mau membantu kalian, akan
tetapi hanya untuk memimpin lembah ini yang akan dibangun sebagai benteng. Aku
mau memimpin dan mengatur agar benteng ini tidak dapat diduduki oleh musuh
manapun, akan tetapi hanya sekian saja, dan biar kalian mengancam bagaimanapun,
jangan harap dapat memaksaku memimpin pasukan menyerbu kerajaan!!
Liong Bian Cu tersenyum dan
cepat bangkit berdiri dan menjura. Terima kasih, Goanswe. Siapa yang
mengharapkan engkau menyerbu ke kota raja? Asal engkau dapat membuat lembah ini
menjadi benteng yang kuat, sudah cukuplah. Berjanjilah bahwa engkau akan
mempertahankan benteng ini dengan sekuat tenaga dan seluruh jiwa ragamu!!
Hemmm, Liong-kongcu, lebih
dulu berjanjilah demi nama nenek moyangmu bahwa engkau akan menjamin keselamatan
keluargaku dan Puteri Bhutan!!
Baik, aku berjanji akan
menjamin keselamatan keluargamu dan Puteri Bhutan, demi nama nenek moyangku!!
Liong Bian Cu berkata dengan sikap sungguhsungguh.
Dan aku berjanji akan
mempertahankan lembah ini dengan jiwa ragaku, demi nama keluarga Kao!! kata
bekas jenderal itu.
Hidangan dan minuman ditambah
dan mereka merayakan persekutuan itu. Untuk melupakan perasaannya yang
tertindih, bekas jenderal itu minum arak tanpa batas sampai akhirnya dia mabuk
dan diantar oleh pengawal memasuki kamar keluarganya, bersama Kok Tiong.
Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan hujan tangis terjadi.
Demikianlah, mulai hari itu,
Kao Liang dengan sungguh hati lalu membangun lembah itu menjadi sebuah benteng
yang kokoh kuat. Pelaksanaannya dibantu oleh tukang-tukang dan tenaga dari
Gubernur Ho-nan dan semua rencana dan gambar yang dibuat oleh Jenderal Kao
dilaksanakan sehingga tempat itu menjadi sebuah benteng yang sukar sekali
ditembus musuh. Sungai yang mengelilingi lembah itu diperdalam dan diperlebar,
ditambah air yang mengalir dari atas bukit ke dalam lembah. Di sekeliling
lembah dibangun tembok benteng yang tebal dan kokoh, dan dibuat pula banyak
tempat-tempat jebakan yang amat berbahaya.
Jenderal Kao dan seluruh
keluarganya hidup bebas di tempat itu, bersama Hwee Li dan Puteri Syanti Dewi
yang seperti telah bergabung menjadi anggauta keluarga jenderal itu. Akan
tetapi biarpun mereka kelihatan bebas, sesungguhnya mereka sama sekali tidak
bebas! Jenderal Kao dan Kok Tiong memang dapat pergi ke mana saja, akan tetapi
selalu di situ terdapat anggauta keluarga mereka menjadi sandera dan tidaklah
mungkin untuk mencoba-coba meloloskan diri beserta seluruh keluarga yang
terdiri dari wanita-wanita dan anak-anak itu! Dalam waktu beberapa pekan saja,
rambut Jenderal Kao sudah berubah menjadi putih semua. Hal ini terjadi karena
memang batinnya amat tertekan dan dia melakukan semua itu demi menyelamatkan
keluarganya. Di dalam hatinya, dia merasa malu sekali kepada mendiang ayahnya,
kakeknya dan nenek moyangnya yang turun-temurun merupakan panglima-panglima
besar yang setia.
***
Satu-satunya sumber yang baik
dan dapat dipercaya adalah Pangeran Yung Hwa,! kata Ceng Ceng kepada suaminya
setelah mereka tiba di kota raja dan bermalam di sebuah rumah penginapan. Kalau
masih ada Puteri Milana yang terhitung bibi tiriku pula, tentu beliau dapat
membantu. Akan tetapi kini Puteri Milana sudah tidak ada di kota raja, tidak
berada di istana, telah pergi entah ke mana semenjak lima tahun yang lalu, maka
satu-satunya orang di lingkungan istana yang dapat kupercaya adalah Pangeran
Yung Hwa.!
Kao Kok Cu menggunakan tangan
kanan untuk meraba dagunya, kebiasaannya kalau dia sedang berpikir, matanya
memandang kepada isterinya penuh selidik. Akan tetapi, bukankah dahulu pernah
dia jatuh cinta kepadamu seperti yang pernah kauceritakan kepadaku? Dan kau
sekarang hendak menemuinya?!
Ceng Ceng tersenyum, mendekati
dan merangkul leher suaminya, dengan sikap manja. Ihhh! Jangan kau bilang bahwa
engkau cemburu!!
Kao Kok Cu tertawa dan mecium
isterinya. Semenjak putera mereka hilang, hanya kalau dia berada di dekat
isterinya sajalah maka hatinya terhibur dan sejenak dia atau mereka, dapat
melupakan kedukaan yang menindih hati. Engkau salah duga, isteriku. Kau tahu
betapa aku mencintamu, betapa kita saling mencinta, dan cinta adalah
kepercayaan. Seujung rambut pun tidak ada penyakit cemburu menyentuh hatiku,
aku hanya bertanya karena agaknya tidak tepatlah kalau engkau mencari
keterangan dari seorang pangeran yang telah patah hati terhadap dirimu.
Pertemuan itu selain hanya akan menyakitkan hatinya, membuat luka kambuh, juga
mana mungkin dia mau membantu kita?!
Engkau belum mengenal siapa
dia, suamiku. Pangeran Yung Hwa bukanlah sembarang pangeran yang mabuk
kekuasaan dan rusak oleh keangkuhan seperti biasanya para muda bangsawan. Sama
sekali bukan. Dia menuruni watak gagah, seperti juga Bibi Milana, hanya
bedanya, pangeran itu tidak mempelajari ilmu silat.! Ceng Ceng lalu
menceritakan sifat-sifat dan watak pangeran yang pernah jatuh cinta kepadanya
itu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Setelah mendengar penuturan Ceng
Ceng, akhirnya Kok Cu percaya juga bahwa mungkin dari pangeran itu isterinya
akan dapat menyelidiki rahasia dari sernua malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.
Selain menyelidiki rahasia
itu, juga aku ingin sekali menyampaikan rasa penyesalanku kepada kaisar melalui
Pangeran Yung Hwa atas peristiwa dipecatnya ayahmu.! Demikian Ceng Ceng berkata
dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah mencari istana Pangeran
Yung Hwa dan menghadap pangeran itu.
Pangeran Yung Hwa menyambut
kedatangan Ceng Ceng yang mengunjunginya itu dengan perasaan heran dan gembira.
Begitu melihat siapa wanita yang menghadap dan memberi hormat kepadanya, dia
segera teringat kepada wanita perkasa itu.
Ahhh.... engkau....?! serunya
dan mempersilakan nyonya muda itu duduk di atas kursi di depannya. Aku telah
mendengar bahwa engkau menjadi mantu Jenderal Kao Liang! Bagaimana keadaanmu?
Kuharap baik-baik saja dan berbahagia.!
Melihat sikap pangeran itu
yang ramah dan jujur, Ceng Ceng merasa terharu. Terima kasih atas kebaikan dan
perhatian Paduka, Pangeran. Sesungguhnya saya cukup berbahagia kalau saja tidak
timbul peristiwa-peristiwa yang menimpa keluarga kami, merupakan bencana yang
didatangkan dari istana.!
Pangeran Yung Hwa mengerutkan
alisnya. Ehhh? Apa maksudmu? Istana mendatangkan bencana terhadap keluargamu?!
Ceng Ceng lalu menceritakan
tentang dipecatnya ayah mertuanya secara halus oleh kaisar. Kemudian
diceritakannya pula betapa ketika ayah mertuanya beserta seluruh keluarga
melakukan perjalanan menuju ke kampung halaman, di tengah jalan diganggu oleh
berbagai golongan dan di antara gerombolan yang mengganggu itu terdapat
pengawal-pengawal istana! Kemudian diceritakan pula akan hilangnya puteranya
yang diduga ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa keluarga Jenderal
Kao Liang.
Coba Paduka pikir, siapa lagi
yang menyuruh pengawal-pengawal itu menghadang dan mengganggu keluarga Kao?
Bukankah semua itu amat mencurigakan sekali?!
Pangeran Yung Hwa meraba
dahinya dan berpikir, lalu dia memandang wanita yang pernah dicintanya itu,
bertanya, Nyonya muda yang baik, apa maksudmu mengunjungi aku dan menceritakan
semua ini kepadaku?!
Ceng Ceng membalas pandang
mata itu dan berkata terus terang, Saya dan suami saya menduga keras bahwa
kunci semua peristiwa itu berada di istana, oleh karena itu kami datang ke kota
raja untuk melakukan penyelidikan. Mengingat bahwa Padukalah satu-satunya orang
yang saya percaya sebagai seorang keluarga istana yang adil dan bijaksana, maka
saya sengaja menghadap untuk mohon pertolongan Paduka sehingga saya dapat
mengetahui ke mana putera saya dibawa dan di mana pula adanya keluarga Kao yang
terculik.!
Pangeran Yung Hwa menarik
napas panjang. Aihhhhh.... kalau saja aku tahu, tentu sekarang juga aku akan
turun tangan membebaskan mereka dan mengembalikan puteramu. Akan tetapi,
bagaimana mungkin aku dapat menyelidikinya? Harus kuakui bahwa keadaan kaisar
amat lemah, sudah tua dan tidak begitu memperhatikan keadaan para pembantunya
yang banyak melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku memang mendengar bahwa
Jenderal Kao mengundurkan diri, akan tetapi kusangka tadinya bahwa hal itu
terjadi secara wajar sebagaimana biasanya pembesar yang sudah tua dan mengundurkan
diri. Kelemahan kaisar memang membuat para pembesar yang tidak jujur untuk
bergerak demi keuntungan diri pribadi sehingga terjadi banyak hal yang buruk.
Biarpun aku tidak dapat membantumu secara langsung, akan tetapi munculmu di
sini menggerakkan hatiku dan mendorongku untuk bertindak, Nyonya Kao. Hari ini
juga aku akan menemui kakakku, Pangeran Mahkota, karena hanya beliau saja yang
akan dapat turun tangan membersihkan segala kekotoran yang menodai istana.
Mudah-mudahan saja dengan pembersihan yang pasti akan dilakukan oleh kakakku,
Pangeran Yung Ceng, urusanmu itu akan terbongkar pula dan engkau dapat
menemukan kembali puteramu dan keluarga Kao yang hilang. Hanya inilah yang
dapat kulakukan.!
Tentu saja Ceng Ceng tidak
merasa sangat puas dengan hasil ini akan tetapi dia pun maklum bahwa Pangeran
Yung Hwa tidak berdaya menolongnya karena memang tidak tahu di mana adanya
puteranya atau keluarganya, tidak tahu pula siapa biang keladinya. Sudah jelas
bahwa bukan kaisar yang melakukan tindakan itu, melainkan pembesar lalim yang
amat banyak terdapat di waktu itu. Terpaksa dia lalu becpamit setelah
menghaturkan terima kasih, pergi meninggalkan istana Pangeran Yung Hwa untuk
menemui suaminya dan menceritakan semua hasil pertemuannya dengan pangeran itu.
Sementara itu, Pangeran Yung
Hwa juga tidak lama kemudian meninggalkan istananya, dengan menyamar pangeran
ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Kuil Siauw-lim-si untuk menemui
kakaknya, yaitu Pangeran Yung Ceng. Hal ini tentu menimbulkan perasaan heran bagi
yang belum mengetahuinya. Mengapa pangeran itu mencari kakaknya, Pangeran Yung
Ceng atau Pangeran Mahkota, ke kuil Siauw-lim?
Tidaklah mengherankan kalau
diketahui bahwa Pangeran Yung Ceng memang menjadi murid Siauw-lim-pai! Pangeran
ini sejak kecil memang suka akan ilmu silat, apalagi setelah dia diangkat
menjadi Pangeran Mahkota, dia makin tekun mempelajari ilmu silat karena dia
berpendapat bahwa untuk dapat menjadi kaisar yang baik, selain harus ahli dalam
soal-soal bun yang meliputi juga soal-soal tata negara, harus mahir pula dalam
bu atau ilmu silat, juga ilmu perang. Maka dia lalu masuk ke Siauw-lim-si dan
menjadi murid kuil yang juga menjadi partai persilatan yang amat besar dan
telah terkenal sebagai sumber ilmu silat yang tinggi itu.
Pangeran Yung Hwa menjumpai
kakaknya dan menceritakan akan segala yang terjadi selama kakaknya tenggelam
dalam pelajaran ilmu silat di kuil itu, akan penyelewengan para pembesar.
Pangeran Yung Hwa menceritakan tentang pemecatan-pemecatan yang dilakukan
kaisar karena bujukan pembesar-pembesar penjilat, pemecatan yang dilakukan
terhadap pemimpin-pemimpin yang setia, jujur dan pandai, bahkan menceritakan
betapa Jenderal Kao Liang juga dipecat. Kemudian, Pangeran Yung Hwa
menceritakan pengalamannya ketika dia hampir tewas di Ho-nan.
Kenapa kau tidak adukan semua
itu kepada kaisar?! Pangeran Yung Ceng menegur adiknya. Gubernur Ho-nan yang
memberontak itu harus ditindak!!
Pangeran Yung Hwa menarik
napas panjang. Itulah sebabnya mengapa aku terpaksa menyusulmu ke sini. Kaisar
sama sekali tidak mau mendengar laporanku, bahkan marah-marah dan kalau bukan
aku yang melapor, agaknya tentu sudah dihukum. Betapa banyaknya pembesar jujur
yang sudah mencoba untuk menyadarkan beliau, akan tetapi malah menerima
hukuman. Pengaruh para thaikam (pembesar kebiri) amat besar dan kaisar amat
lemah, seperti bersikap masa bodoh.!
Hemmm, sampai sekian jauhnya
keadaan buruk itu?! tanya Pangeran Yung Ceng.
Malah lebih lagi,! kata Yung
Hwa. Semenjak kakak kita, Puteri Milana tidak ada, dan engkau sendiri pergi
memperdalam ilmu silat di sini, tidak ada lagi orang kuat di dalam istana. Aku
sendiri biarpun telah terbebas dari cengkeraman Gubernur Ho-nan dan berkalikali
tertolong oleh orang-orang gagah, akan tetapi tidak pernah terlepas dari pengawasan
mereka. Bahkan aku percaya bahwa ketika aku menyamar dan datang ke sini ada
orang-orang yang diam-diam membayangiku.!
Ahhh! Sampai begitu hebat?!
Pangeran Yung Ceng mengepal tinjunya. Yung Hwa, wajah kita mirip sekali seperti
saudara kembar, maka biarlah aku memakai pakaianmu dan keluar lebih dulu dari
kuil ini. Engkau boleh menyusul besok dan dikawal oleh murid-murid
Siauw-lim-pai. Hendak kulihat sendiri sampai di mana keberanian
pengkhianat-pengkhianat itu!!
Dengan marah sekali Pangeran
Mahkota Yung Ceng lalu mengenakan pakaian adiknya, setelah berpamit kepada para
guru di kuil itu dan memesan agar besok adiknya dikawal ke kota raja, dia lalu
meninggalkan kuil. Memang wajah Pangeran Yung Ceng mirip sekali dengan wajah
Pangeran Yung Hwa. Tentu saja, kalau mereka berdua berbuka pakaian, nampak
perbedaan yang menyolok karena kalau tubuh Pangeran Yung Hwa halus lemah
lembut, sebaliknya tubuh Pangeran Yung Ceng yang sejak kecil gemar berolah raga
itu kokoh dan kekar. Akan tetapi, kalau tubuh mereka disembunyikan dalam
pakaian dari luar, nampak serupa, bertubuh sedang dan berwajah tampan.
Hari telah senja ketika
Pangeran Yung Ceng memasuki kota Thian-cin di sebelah selatan kota raja. Karena
menyamar sebagai adiknya, pangeran ini tidak mempergunakan kepandaiannya untuk
berlari cepat dan dia sengaja melakukan perjalanan lambat untuk melihat-lihat
keadaan. Banyak sudah dia mendengar percakapan di antara rakyat tentang
penyelewengan para petugas, dan dia pun mendengar berita-berita tentang sikap
memberontak dari para pembesar di Ho-nan yang tentu saja mencontoh sikap
gubernur mereka. Dia juga tahu bahwa diam-diam dia selalu dibayangi orang
seperti yang diceritakan oleh adiknya.
Ketika malam hari itu Pangeran
Yung Ceng memasuki sebuah restoran di kota Thian-cin, dia tahu bahwa ada lima
orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa
mereka adalah jagoan-jagoan, diam-diam membayanginya dan mereka pun masuk pula
di restoran itu, mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja
pangeran itu. Restoran itu tidak begitu ramai dan banyak kursi yang kosong.
Ketika pangeran itu memesan
masakan kepada seorang pelayan, tiba-tiba seorang di antara lima orang yang
duduk di meja yang berdekatan itu bangkit berdiri dan menghampiri Pangeran Yung
Ceng, menjura dan berkata, Harap maafkan! Kalau tidak salah lihat, bukankah
Kongcu datang dari kota raja?!
Yung Ceng memandang dengan
sikap tak acuh, lalu menggelengkan kepalanya dan menjawab, Bukan, saya memang
hendak pergi ke kota raja, akan tetapi saya bukan dari kota raja, saya orang
dari selatan.!
Orang itu berkata maaf! sambil
tersenyum, lalu kembali duduk di tempat teman-temannya. Percakapan pendek itu
disaksikan oleh pelayan yang kini sudah pergi untuk mempersiapkan pesanan
Pangeran Yung Ceng.
Ha-ha, memang mirip, akan
tetapi dia tentu bukan pangeran pengecut itu,! tiba-tiba terdengar seorang di
antara lima orang itu berkata, kata-katanya cukup keras sehingga terdengar oleh
Pangeran Yung Ceng.
Kalau dia Pangeran Yung Hwa,
sudah kuhancurkan kepalanya sejak tadi,! terdengar pula mereka bicara.
Ha-ha, yang ini hanyalah
seorang sastrawan lemah, tidak ada harganya untuk dipandang. Dan kita telah
membayanginya sehari penuh. Sialan!!
Karena gara-gara dia kita
membuang tenaga sia-sia, sebaiknya kalau kita hajar kutu buku ini.!
Akan tetapi, bagaimana kalau
dia benar Pangeran Yung Hwa....?! terdengar suara lain, berbisik dan kalau yang
duduk di situ adalah Pangeran Yung Hwa, tentu tidak akan dapat mendengar
bisikan itu. Akan tetapi, Pangeran Yung Ceng telah mempelajari ilmu yang
tinggi. sehingga panca inderanya lebih peka dan tajam daripada orang biasa. Dia
mampu mendengarkan bisikan ini.
Lebih baik lagi kalau begitu!
Dan kita tidak akan salah, karena bukankah dia menyangkal siapa dirinya?
Pelayan itu menjadi saksi.!
Kini maklumlah Pangeran Yung
Ceng mengapa seorang di antara mereka tadi menegurnya. Kalau dia sudah
menyangkal sebagai pangeran, maka andaikata mereka itu membunuhnya, mereka
dapat menggunakan alasan bahwa mereka tidak mengenalnya sebagai pangeran,
seperti disaksikan pula oleh pelayan tadi.
Pelayan tadi datang membawa
masakan, langsung menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.
Heeeii, itu pesanan kami!!
teriak seorang di antara mereka sambil bangkit berdiri dan menghampiri meja Pangeran
Yung Ceng.
Tidak, Sicu, ini adalah
pesanan Kongcu ini!! bantah si pelayan.
Setan! Kami juga memesan
masakan seperti ini sejak tadi. Hayo berikan kepada kami. Apakah kau hendak
menjilat kutu buku ini?!
Pangeran Yung Ceng maklum
bahwa orang yang berkumis tebal, seorang di antara mereka itu yang kini
bersikap kasar, memang sengaja hendak mencari keributan, maka dia berkata
tenang, Sobat, harap jangan membikin ribut!!
Inilah yang ditunggu-tunggu
oleh Si Kumis Tebal itu. Dengan mata melotot dia menghampiri Pangeran Yung
Ceng, menghardik, Kalau aku membikin ribut, engkau mau apa, cacing buku yang
busuk?!
Akan tetapi, biarpun Yung Ceng
juga seorang kutu buku atau cacing buku, yaitu sebutan mengejek bagi seorang
sastrawan, dia bukanlah seorang yang lemah. Sama sekali bukan! Dia adalah
seorang murid Siauw-lim-pai yang tekun dan berbakat, bahkan telah diberi
pelajaran istimewa oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai sehingga dia memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Tidak apa-apa,! jawab Pangeran
Yung Ceng tenang. Hanya kalau kau tidak segera pergi dari sini, aku akan
mencabuti kumismu!!
Sepasang mata itu terbelalak
makin lebar, mulutnya ternganga seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya
sendiri. Benarkah si kutu buku ini berani berkata demikian kepadanya?
Keparat....!! teriaknya dan
kepalan tangannya yang sebesar kepala anak kecil, yang keras dan terlatih
karena sering kali dilatih memukuli batu sampai remuk, kini menyambar ke arah
kepala Pangeran Yung Ceng.
Akan tetapi, dengan gerakan
ringan dan tenang, pangeran itu miringkan kepalanya, membiarkan tangan yang
memukul itu lewat, kemudian secepat kilat jari-jari tangannya menyambar dan
membetot.
Auuuwwwhhhhh....!! Si Kumis
Tebal itu menjerit-jerit dan kedua tangannya menutupi bawah hidungnya yang
berdarah karena kumisnya telah dicabut dengan paksa oleh Pangeran Yung Ceng.
Manusia bosan hidup!!
terdengar teriakan dan empat orang lainnya sudah berloncatan dari kursi mereka
dan menerjang Pangeran Yung Ceng. Pelayan itu lari ketakutan dan kini pangeran
itu bangkit berdiri wajahnya merah karena marah.
Empat orang itu menerjang
dengan kepalan tangan mereka, dan dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa
mereka memang bukan orang-orang sembarangan, melainkan jagoan-jagoan yang
pandai ilmu silat. Akan tetapi, yang mereka keroyok adalah murid Siauw-lim-pai
yang sudah matang ilmu silatnya, maka terdengar suara mereka mengaduh dan meja
kursi berserakan ketika pangeran itu membagi-bagi pukulan dan tendangan yang
membuat mereka terlempar ke sana-sini.
Mengertilah lima orang itu
sekarang bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah itu, yang mereka sangka
adalah Pangeran Yung Hwa, ternyata adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak
lemah, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Kemarahan,
mereka memuncak dan mereka berlima termasuk Si Kumis Tebal yang kini berubah
menjadi Si Kumis Buntung karena masih ada sisa kumisnya menempel di bawah
hidung, segera mencabut senjata mereka berupa golok besar dan dengan
teriakan-teriakan ganas mereka kini menerjang pemuda itu.
Yung Ceng meraba pinggangnya
dan nampaklah cahaya berkelebat ketika pangeran ini sudah mencabut sebatang
pedang pendek yang tadi disembunyikan di bawah baju sastrawannya. Pedang
pendeknya itu digerakkan dengan hebat, nampak gulungan sinar menyambar-nyambar
dan terjadilah pertempuran yang seru di dalam rumah makan itu. Para tamu sudah
sejak tadi lari meninggalkan restoran itu, demikian pun para pelayan ada yang
lari, ada pula yang sembunyi dengan tubuh menggigil.
Dengan marah sekali Pangeran
Yung Ceng menggerakkan pedangnya dan berturut-turut terdengarlah pekik
mengerikan disusul robohnya lima orang pengeroyok itu, ada yang lehernya
terpancung hampir putus, ada yang perutnya robek dan dadanya berlubang.
Pangeran Yung Ceng menyimpan pedangnya dan melihat bahwa seorang di antara
mereka masih belum tewas, yaitu yang tadi sengaja dia lukai pahanya, dia cepat
mencengkeram pundak orang itu, ditariknya naik dan dia membentak, Kalian telah
membayangi aku dan sekarang sengaja menyerang, hayo katakan siapa yang menyuruh
kalian!!
Orang itu meringis kesakitan,
mukanya pucat dan dia ketakutan, menggelenggelengkan kepala.
Hayo mengaku! Kau tahu siapa
aku? Aku adalah Pangeran Mahkota Yung Ceng!!
Orang itu terbelalak. Am....
ampunkan hamba.... hamba hanya utusan.... dari.... dari....!!
Pada saat itu nampak sinar
berkelebat menyambar. Pangeran Yung Ceng terkejut sekali karena sinar itu
datangnya cepat bukan main, menyambar dari luar rumah makan. Karena tidak
mungkin dapat mengelak lagi, pangeran itu cepat mengangkat tubuh orang yang
dicengkeram pundaknya itu, dipakai sebagai perisai.
Crottt....auggghhhhh....!!
Orang itu menjadi lemas dan
melihat betapa tawanannya itu tewas, Pangeran Yung Ceng melemparkannya ke atas
lantai dan dia cepat meloncat ke pintu. Akan tetapi dia hanya melihat bayangan
penyerangnya itu berkelebat cepat dan sudah lenyap di antara banyak orang di
jalan raya. Dia kembali lagi dan melihat bahwa punggung orang tadi tertusuk
jarum berwarna kehijauan yang menancap sampai hanya kelihatan sedikit saja ujungnya,
tahulah dia bahwa penyerangnya adalah seorang yang mahir menggunakan senjata
rahasia jarum beracun. Dia merasa menyesal karena tawanan ini belum sempat
mengaku siapa yang menyuruh mereka.
Ketika pembesar setempat
mendengar bahwa pangeran mahkota diserang orang di kotanya, dia tergopoh-gopoh
datang diiringkan oleh pasukan pengawal. Kiranya ketika Pangeran Yung Ceng tadi
mengakui dirinya untuk memaksa tawanannya mengaku, ada beberapa orang yang
mendengar dan cepat mereka itu melaporkan kepada para penjaga keamanan sehingga
pembesar kepala daerah sendiri kini datang ke restoran itu.
Pangeran Yung Ceng menerima
penghormatan mereka yang berlutut dan dengan singkat dia lalu memerintahkan
untuk menyelidiki lima orang itu, kemudian dia minta seekor kuda dan
melanjutkan perjalanannya dengan cepat ke kota raja, menolak ketika hendak
dikawal. Pangeran mahkota ini marah sekali karena kini dia mendapatkan bukti
sendiri betapa memang terjadi kekacauan sehingga ada penjahat-penjahat yang
menghendaki nyawa adiknya, yaitu Pangeran Yung Hwa. Dia dapat menduga bahwa
lima orang itu tentulah orang-orang yang diutus oleh Gubernur Ho-nan yang
memperlihatkan sikap memberontak itu.
Setelah tiba di kota raja,
pangeran mahkota yang sedang marah itu langsung saja menghadap ayahnya, yaitu
Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan pikun. Dengan tegas dia menceritakan keadaan
yang amat kacau karena tingkah polah para pembesar yang menyeleweng itu kepada
kaisair.
Kaisar Kang Hsi adalah seorang
kaisar yang tadinya amat terkenal karena pandai mengatur pemerintahan,
berwibawa dan juga bijaksana. Kerajaan Mancu berkembang dengan baiknya, dan
harus diakui bahwa dialah yang berjasa dalam menaikkan nama Dinasti Kerajaan
Cengtiauw. Akan tetapi, setelah dia menjadi tua dan pikun, dia menjadi tidak
acuh dan malas. Kini, mendengar teguran puteranya yang telah dipilihnya untuk
kelak menggantikan dia menjadi kaisar, Kaisar Kang Hsi mendengarkan dengan
sabar dan dengan sikap tidak acuh, kemudian dia menggerakkan tangan dan
berkata, Puteraku yang baik, ayahmu ini sudah tua dan sudah malas untuk
mengurus segala macam hal yang memusingkan belaka. Di dalam tahun-tahun
terakhir dari usiaku ini, aku ingin hidup tenteram dan enak, ingin menikmati
hidup ini, dan yang kupentingkan adalah keuntungan bagi negeriku. Mengapa aku
tidak boleh menikmati kehidupan di dalam usia setua ini? Engkau saja yang harus
rajin dan mematangkan dirimu agar kelak kalau kau menggantikan aku, engkau
sudah benar-benar cakap.!
Maafkan hamba, bukan maksud
hamba untuk membantah. Akan tetapi lupakah Paduka akan Sri Baginda Raja, Liang
Hwi Ong?!
Kaisar yang tua itu memandang
puteranya sambil tersenyum. Hemmm, maksudmu?!
Dengan tegas Pangeran Mahkota
Yung Ceng lalu mengingatkan kaisar akan pelajaran dalam kitab Beng Cu. Beng Cu
adalah seorang murid Nabi Khong Cu yang amat bijaksana dan banyaklah
contoh-contoh diambil dari Beng Cu ini sebagai pewaris pelajaran Nabi Khong Cu.
Yang dimaksudkan oleh Pangeran Yung Ceng dengan Raja Liang Hwi Ong adalah
pelajaran Beng Cu yang menuturkan tentang pertemuan antara Raja Hwi Ong dari
Negeri Liang dengan Beng Cu.
Raja Hwi Ong bertanya kepada
Beng Cu, ajaran apakah yang dapat membawa keuntungan bagi negerinya di waktu
itu. Mendengar pertanyaan ini, Beng Cu lalu menjawab. Mengapa Baginda
menanyakan keuntungan? Yang saya bawa hanyalah cinta kasih dan kebenaran.
Apabila Paduka bertanya tentang keuntungan bagi negeri Paduka, para pembesar
tentu akan bertanya tentang keuntungan bagi keluarga mereka, dan rakyat pun
akan bertanya tentang keuntungan bagi diri sendiri. Apabila yang berkedudukan
tinggi maupun yang rendah hanya memperebutkan atau menginginkan keuntungan
saja, negara tentu akan berada dalam bahaya. Raja yang memiliki berlaksa kereta
perang kalau sampai terbunuh tentu oleh pangeran yang memiliki ribuan kereta
perang, dan pangeran itu kalau sampai terbunuh tentu oleh keluarga yang hanya
memiliki seratus kereta perang. Apabila yang memiliki selaksa kereta perang
mengambil yang seribu, tentu yang memiliki seribu mengambil yang seratus dan
selanjutnya. Jumlah itu bukan kecil, akan tetapi apabila manusia membelakangi
kebenaran dan mengutamakan keuntungan, pasti dia tidak puas sebelum memperoleh
seluruhnya. Sebaliknya, belum pernah ada seorang manusia yang mempunyai cinta
kasih menyia-nyiakan orang tuanya, dan belum pernah ada seorang manusia yang
menjunjung kebenaran membelakangi rakyatnya. Seharusnya Paduka bertanya tentang
cinta kasih dan kebenaran. Untuk apa bertanya tentang keuntungan?!
Demikianlah pelajaran dalam
kitab Beng Cu yang kini dikemukakan oleh Pangeran Yung Ceng untuk menyadarkan
ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi.
Kaisar Kang Hsi sudah amat tua
dan sakit-sakitan tubuhnya, juga batinnya tidak sehat lagi semenjak dia berduka
atas kematian saudara-saudaranya yang memberontak. Sudahlah, Yung Ceng, jangan
ganggu aku dengan segala isi kitab lama itu. Aku sudah lelah dan aku tidak
ingin memusingkan keadaan di luar kamarku.!
Akan tetapi Paduka masih
seorang kaisar, Paduka masih mempunyai tanggung jawab yang amat besar terhadap
rakyat jelata. Apakah Paduka masih belum tahu akan segala peristiwa di luaran?
Apakah Paduka tidak tahu betapa hampir saja Adik Yung Hwa terbunuh karena
Gubernur Ho-nan hendak memberontak? Betapa pembesar-pembesar jahat sekarang ini
sudah bersekongkol dengan penjahat-penjahat dari dunia hitam dan menanti
saatnya saja untuk memberontak? Betapa para pembesar setia dan bijaksana Paduka
pecat karena bujukan para pembesar palsu yang menjilat-jilat? Betapa kedudukan
Paduka menjadi lemah karena kekuasaan secara diam-diam diambil alih oleh mereka
yang berpengaruh di dalam istana?!
Sudahlah Yung Ceng. Apa yang
dapat dilakukan oleh seorang tua seperti aku yang sudah bosan dengan semua
itu?!
Paduka dapat turun tangan,
Paduka dapat bertindak sekarang juga, dan pertama-tama Paduka seyogianya dapat
membebaskan diri dari pengaruh para thaikam....!
Pada saat itu, thaikam kepala
yang bernama Kong Tek Jin dan yang hadir pula di situ, tiba-tiba berkata,
Pangeran, harap jangan terlalu mendesak kepada Sri Baginda. Beliau sedang
kurang sehat dan lelah....!
Diam kau! Jangan mencampuri!!
Yung Ceng membentak.
Yung Ceng, tidak boleh kau
bersikap begitu terhadap dia yang amat berjasa....! Kaisar mencela.
Justeru dia inilah seorang di
antara mereka yang jahat dan palsu, akan tetapi dia pandai menjilat!!
Pangeran, tidak boleh Paduka
berkata demikian....!
Yung Ceng, Kong Tek Jin adalah
seorang yang amat setia!!
Akan tetapi Yung Ceng sudah
meloncat dan menyambar pundak thaikam itu, mengangkatnya dan membantingnya ke
atas lantai.
Brukkk....!! Thaikam yang
gendut itu mengeluh dan ketika para pengawal dalam bergerak maju, Yung Ceng
bertolak pinggang dan membentak, Kalian mundur! Berani melawan Pangeran
Mahkota?!
Tentu saja para pengawal itu
meragu dan mereka memandang ke arah Sri Baginda. Kalau Sri Baginda memberi
aba-aba atau isyarat, tentu tanpa ragu-ragu lagi mereka akan menerjang pangeran
itu. Akan tetapi Sri Baginda diam saja, hanya memandang kepada puteranya dan
kembali Yung Ceng membentak, Kalian keluar dari sini, jaga di luar pintu
kamar!! Kembali para pengawal memandang kepada kaisar. Sekali ini kaisar
mengangguk dan menggerakkan tangan memberi isyarat agar mereka keluar.
Setelah para pengawal keluar,
Yung Ceng berkata kepada ayahnya, Sekarang hamba akan membuktikan siapa adanya
manusia macam ini!!
Dia sudah mendekati Thaikam
Kong Tek Jin, menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah tengkuk thaikam itu,
lalu menghardik., Hayo kau mengaku sebenarnya! Bukankah seluruh keluargamu
telah kaudatangkan ke sini dan Kau angkat menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan
tinggi? Hayo jawab, kalau membohong akan kuhancurkan kepalamu sekarang juga?!
Sambil berkata demikian, Yung
Ceng menggunakan tangannya mencengkeram jalan darah di tengkuk yang menimbulkan
rasa nyeri yang amat hebat. Thaikam itu ketakutan karena dia tahu bahwa
pangeran ini memang berilmu tinggi. Dia harus menyelamatkan diri dulu, baru
kelak mencari jalan untuk melenyapkan pangeran ini. Sekarang, dia benar-benar
tidak berdaya dan kalau dia membohong, tentu dia benar-benar akan dibunuh.
Be.... benar, Pangeran. Akan
tetapi apakah salahnya itu? Tentu saja hamba ingin menolong keluarga hamba....!
Dan untuk itu kau memecat
pejabat-pejabat lama? Dan engkau sudah menumpuk harta kekayaan
berlimpah-limpah? Engkau sudah makan sogokan dari pembesar-pembesar bawahan
agar engkau suka membujuk Kaisar demi keuntungan mereka, bukan?!
Ini.... ini....!
Hayo katakan yang benar!
Bukankah Gubernur Ho-nan telah mengirimkan seribu tail emas dan dua buah kereta
bertabur emas kepadamu baru-baru ini?! Yung Ceng mendengar ini semua dari
Pangeran Yung Hwa. Dan dengan pemecatan Jenderal Kao Liang, engkau memperolah
hadiah sepeti permata dari Panglima Ciu yang diangkat menjadi panglima
penggantinya? Dan engkau juga telah menyuruh orang-orang untuk membasmi
keluarga Yauw, ketika pembesar Yauw bermaksud untuk membongkar kepalsuanmu di
depan Kaisar? Hayo jawab, tidak benarkah semua itu?!
!Ti.... tidak.... tidak....!
Yung Ceng mencabut pedang
pendeknya. Crottt....!! Ujung pedang itu menusuk paha sampai beberapa senti
dalamnya, dan dia mencengkeram otot di punggung sehingga thaikam itu
memekik-mekik seperti seekor babi disembelih saking nyerinya. Hayo kau
menjawab, benarkah semua itu?!
Ya.... ya.... benar....!!
Thaikam Kong Tek Jin menangis, akan tetapi diam-diam dia bersumpah untuk membalas
pangeran ini.
Sekarang, katakan, bukankah
engkau tahu pula bahwa Gubernur Ho-nan akan memberontak? Hayo jawab!!
Tubuh thaikam itu menggigil.
Hamba.... hamba tidak ikut-ikut....!
Tapi engkau tahu?!
Ya.... ya....!
Kaisar kini mengerutkan alisnya.
Kong Tek Jin! Engkau tahu ada gubernur hendak memberontak dan kau tidak
melaporkan kepada kami?!
Hamba.... hamba tidak
berani.... hamba....!
Yung Ceng, kiranya benar
pelaporanmu. Keadaan sudah demikian buruk, sama sekali tidak kusangka. Suruh
bawa dia pergi!!
Yung Ceng memanggil pengawal.
Seret dia ke dalam tahanan!!
Kini kaisar memandang
puteranya dengan kagum. Lalu dia mencabut pedangnya, pedang kerajaan yang
merupakan lambang kekuasaan, menyerahkannya kepada pangeran itu. Terimalah ini
dan kauwakili aku melakukan pembersihan di dalam dan di luar istana. Aku sudah
lelah, aku ingin beristirahat dan jangan ganggu aku dengan tugasmu itu. Harus
Kau selesaikan seluruhnya dan kalau sudah selesai saja melaporkan kepadaku.!
Pangeran Yung Ceng menerima pedang
pusaka itu sambil berlutut, menghaturkan terima kasih dan meninggalkan kamar
ayahnya. Mulailah pangeran mahkota ini melakukan pembersihan. Tindakannya yang
pertama adalah menangkapi para thaikam yang menjadi kaki tangan Thaikam Kong
Tek Jin, menjatuhkan hukuman mati! Dan semua pembesar yang diangkat oleh para
thaikam ini, para keluarga thaikam dan sobat-sobat mereka, yang memperoleh
kedudukan dengan jalan menyogok, dipecat dari kedudukannya dan ada pula yang
dijatuhi hukuman.
Kota raja geger! Para pembesar
palsu yang kerjanya hanya korupsi dan menumpuk kekayaan pribadi tanpa
menghiraukan tugas-tugasnya menggigil. Mereka tidak enak makan tidak nyenyak
tidur, dan dalam keadaan seperti itu, sogok-menyogok makin menghebat karena
mereka yang merasa terancam, kembali mencari perlindungan dengan cara sogok
sana sogok sini. Kalau dunianya para koruptor itu geger, adalah para petugas
yang setia dan jujur merasa bersyukur sekali. Mereka seolah-olah melihat cahaya
terang, melihat matahari muncul kembali di tengah-tengah kegelapanan yang
ditimbulkan oleh awan tebal yang sudah bertahun-tahun mengancam kerajaan.
Setelah pembersihan di dalam
istana dilakukan, Yung Ceng melanjutkan tindakannya dengan melakukan
pembersihan-pembersihan di luar istana atas nama kaisar. Gubernur Ho-pei cepat
menghadap dan barulah sekarang dia berani melapor tentang sikap memberontak
Gubernur Ho-nan. Sebelum ini, dia sama sekali tidak berani melaporkan kepada
kaisar, karena maklumlah gubernur ini bahwa melaporkan akan percuma saja, sama sekali
tidak akan diterima oleh kaisar, bahkan sebaliknya akan membahayakan dia
sekeluarganya karena yang dihadapi bukan kaisar melainkan para thaikam yang
berkuasa seolah-olah melebihi kaisar.
Ketika mendengar pelaporan
Gubernur Ho-pei betapa fihak pemberontak, yaitu Gubernur Ho-nan diam-diam telah
bersekutu dengan kerajaan Nepal, bahkan mendirikan benteng di perbatasan
propinsi, di lembah Sungai Huang-ho, dia terkejut dan marah sekali. Dia maklum
akan bahayanya perang saudara, maka pangeran mahkota ini lalu teringat akan
Puteri Milana. Dia segera menyebar orang-orang untuk mencari Puteri Milana,
karena dia tahu bahwa puteri itu adalah seorang yang paling boleh diandalkan
untuk menanggulangi ancaman bahaya pemberontakan itu. Dia tidak mau sembrono
mengirim pasukan, karena hal itu akan menimbulkan perang saudara yang akan
membuat rakyat menderita sengsara.
Di dalam Kisah Sepasang
Rajawali telah diceritakan bahwa Puteri Milana bersama Pendekar Sakti Gak Bun
Beng, telah meninggalkan dunia ramai. Puteri Milana adalah puteri dari Pendekar
Super Sakti Suma Han majikan Pulau Es. Ibunya adalah Puteri Nirahai. Seperti
telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, Puteri Milana meninggalkan
istana, minggat setelah suaminya, yaitu mendiang Panglima Han Wi Kong, membunuh
Pangeran Liong Bin Ong. Selain untuk membunuh seorang pemberontak dan
pengkhianat, pembunuhan atas diri pangeran ini dilakukan oleh Han Wi Kong
sebagai cara untuk membunuh diri karena dia ingin memberi kebebasan kepada
Puteri Milana yang menjadi isterinya hanya dalam nama saja. Dia tahu isterinya
itu mencinta Gak Bun Beng, maka semenjak menikah, belum pernah dia mendekati
isterinya dan belum pernah mereka tidur bersama.
Demikianlah, Puteri Milana
akhirnya bertemu dan berkumpul juga dengan pria yang dicintanya, satu-satunya
pria yang pernah dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Akan tetapi, atas permintaan
Gak Bun Beng yang tidak ingin mendengar nama kekasihnya ini cemar dan tertimpa
aib, sebagai janda bangsawan, seorang puteri istana, menikah lagi dengan dia,
maka dia mengajak kekasihnya yang menjadi isterinya itu ke tempat sunyi, jauh
dari dunia ramai. Mereka berdua meninggalkan segala kericuhan hidup di dunia
ramai dan tinggal di sebuah puncak, satu di antara puncak-puncak Pegunungan
Beng-san, yaitu puncak yang disebut puncak Telaga Mawar karena di situ terdapat
sebuah telaga kecil yang penuh dengan pohon bunga mawar.
Suami isteri ini seolah-olah
hendak menebus segala kerinduan mereka bertahun-tahun yang lalu, belasan tahun
penuh kerinduan ketika mereka dahulu saling berpisah. Kini mereka itu
seolah-olah tenggelam dan berenang di dalam lautan madu asmara, mencurahkan
seluruh perasaan cinta kasih satu kepada yang lain di tempat sunyi di pondok
mereka dekat telaga, di tengah-tengah suasana tenang dan hening yang diliputi
keharuman bunga-bunga mawar. Dalam waktu satu tahun saja, Puteri Milana yang
sudah berusia tiga puluh lima tahun itu melahirkan dua orang anak kembar, dua
orang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Tentu saja mereka merasa bahagia
sekali, akan tetapi Puteri Milana menjadi repot juga karena tiba-tiba saja dia
harus mengurus dua orang anak! Padahal dia adalah seorang puteri istana yang
lebih biasa bermain pedang daripada mengurus anak. Namun, karena Gak Bun Beng
yang menjadi suaminya itu penuh kasih sayang kepadanya dan membantunya, maka
kedua orang itu mengurus anak-anak mereka dengan baik, dengan cara gotong
royong.
Gak Bun Beng adalah seorang
pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Dia memiliki
bermacam-macam ilmu silat yang amat tinggi, di antaranya adalah ilmu-ilmu silat
dari Siauw-lim-pai, ilmu-ilmu sinkang Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang
dari Pulau Es. Ilmu Silat Sam-po Cin-keng yang mujijat, tenaga sakti Inti Bumi
yang didapatnya dari gembong Pulau Neraka yaitu Butek Siauw-jin, dan dia bahkan
pernah menerima ilmu mujijat dari Koai-lojin, yaitu Ilmu Lo-thian Kiam-sut yang
sukar ditemukan tandingannya.
Akan tetapi Puteri Milana juga
bukan orang sembarangan. Sebagai puteri dari Pendekar Super Sakti, tentu saja
dia mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari ayahnya dan ibunya, bahkan dia memiliki
kelebihan dari suaminya yang sakti itu dalam hal ilmu perang. Dia mewarisi ilmu
perang dari ibunya, bahkan ilmu ini diperdalamnya ketika dia berada di istana,
dan ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh dua orang pamannya, yaitu
kedua orang Pangeran Liong, dia telah memimpin pasukan untuk membasmi
pemberontak-pemberontak di perbatasan utara itu (baca Kisah Sepasang Rajawali).
Memiliki ayah dan ibu seperti
ini, sudah barang tentu kalau dua orang anak kembar itu semenjak kecil menerima
gemblengan dari ayah bundanya sehingga mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang
luar biasa. Selain menggembleng anak-anak mereka dengan dasar-dasar ilmu silat
tinggi, juga pendekar Gak Bun Beng dan Puteri Milana tidak lupa untuk memberi
pelajaran bun! (sastra) kepada dua orang anak itu agar mereka kelak tidak
menjadi orang-orang buta huruf yang hanya akan mengandalkan kekuatan badan dan
menjadi orang-orang kasar.
Pondok mereka yang sederhana
itu, bersama sebidang tanah yang kini telah mereka olah menjadi kebun sayur dan
bunga, berada di puncak, di tepi telaga dan terkurung oleh jurang dan
bukit-bukit. Tempat ini aman dan tenteram sekali, dan tidak mungkin didatangi
orang dari jurusan lain kecuali melalui telaga. Hanya dengan menyeberangi
telaga itulah orang dari jurusan atau tempat lain di seberang telaga dapat
mengunjungi pondok suami isteri pendekar ini. Oleh karena itu, jarang sekali
ada orang datang ke tempat itu, dan hanya setelah dua orang anak kembar mereka
mulai besar dan mengerti, suami isteri ini kadang-kadang mengajak dua orang
anak mereka untuk mengunjungi dusun-dusun di seberang telaga agar mereka jangan
sampai terasing dari hubungan antara manusia. Para penghuni dusun-dusun di
seberang telaga mengenal suami isteri dan dua orang anak kembarnya ini, yang
mereka anggap sebagai orang-orang luar biasa yang mengasingkan diri.
Setelah Gak It Kong dan Gak
Goat Kong, nama dua orang anak kembar itu, berusia enam tahun, mereka telah
menjadi anak-anak luar biasa yang memiliki kepandaian jauh melebihi anak-anak
biasa. Orang tua mereka memberi mereka nama dengan mengambil huruf Jit
(Matahari) dan Goat (Bulan) untuk menunjukkan kekembaran mereka. Akan tetapi
dua orang anak itu pun mulai mengerti keadaan dan mereka mulai merasa heran dan
penasaran, juga tidak puas melihat betapa mereka hidup terasing di tempat itu,
padahal di dusun-dusun di seberang telaga terdapat banyak manusia lain. Mereka
telah pandai membaca dan dari kitab-kitab yang mereka baca, mereka tahu bahwa
yang hidup mengasingkan diri hanyalah pertapa-pertapa atau orang-orang jahat
yang menjadi buronan. Padahal ayah bunda mereka bukan pertapa. Apakah ayah
bunda mereka buronan? Agaknya tidak mungkin.
Rasa penasaran ini membuat
mereka pada suatu malam, sehabis makan malam, mengajukan pertanyaan kepada ayah
bunda mereka.
Ayah, mengapa kita hidup di
tempat sunyi dan terasing ini? Mengapa kita tidak tinggal di tempat yang banyak
ditinggali manusia lain seperti di dusun-dusun itu?! kata It Kong.