Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 28 - Tertawan Di Dalam Lembah
Akan tetapi, dia tidak tahu
bahwa sepasang mata yang tajam sekali dari Hwee Li telah dapat melihatnya
ketika dia menyelinap di balik pohon dan mengintai. Hwee Li juga maklum akan
kecerdikan Liong Bian Cu. Mengapa pemuda itu tidak terus naik melalui lorong?
Tentu timbul kecurigaannya, pikirnya. Tidak ada gunanya membujuk Bian Cu untuk
naik. Satu-satunya jalan adalah memancingnya naik melalui lorong itu dan dia
tahu akan umpan terbaik untuk memancingnya, yaitu bukan lain adalah tubuhnya
sendiri.
Maka, dengan sikap biasa,
setelah pura-pura menengok ke sana-sini untuk meyakinkan bahwa di sekitar
tempat itu tidak ada orang, Hwee Li lalu mulai menanggalkan pakaian dalamnya
dengan berdiri membelakangi tempat di mana Bian Cu mengintai. Nampaklah tubuh
belakangnya yang mulus. Melihat adegan strip-tease (tarian menanggalkan
pakaian) yang terjadi di alam terbuka ini, Liong Bian Cu berkali-kali menelan
ludahnya dan matanya tidak pernah berkedip satu kali pun, pandang matanya
melotot seolah-olah dia hendak menelan tubuh itu bulat-bulat dengan sinar
matanya! Liong Bian Cu bukanlah seorang pemuda hijau. Tidak, dia adalah seorang
pangeran dan di Nepal sudah biasalah bagi seorang pangeran untuk mengambil
selir sebanyak mungkin. Dia sudah banyak bergaul dengan wanita-wanita cantik,
akan tetapi belum pernah dia jatuh cinta seperti yang dirasakannya sekarang
terhadap Hwee Li. Kini melihat dara yang dicintanya itu, yang dirindukannya
siang malam, melepas busana di depan matanya, tentu saja membuat dia menjadi
seperti cacing terkena abu panas!
Lebih-lebih lagi ketika dengan
gerakan tanpa disengaja Hwee Li mirngkan tubuhnya sehingga nampak dari samping
sebagian dari bukit dadanya, darah Bian Cu tersirap dan seperti terkena pesona,
terkena sihir yang amat kuat, dengan semangat seperti terbang meninggalkan
tubuhnya, kedua kakinya melangkah ke dalam lorong dan matanya masih tanpa
berkedip memandang ke arah tubuh itu. Dia seperti terbetot oleh kekuatan
rahasia, kekuatan yang mengandung semberani, yang membuat kedua kakinya
bergerak dan berjalan memasuki lorong menuju ke tempat Hwee Li.
Hwee Li yang memutar tubuh
miring tadi melirik dan ketika melihat Bian Gu memasuki lorong, dia merasa
betapa jantungnya berdebar keras sekali. Dia menanti sampai pangeran itu tiba
tepat di bawah batu besar, kemudian tiba-tiba dia menarik tali yang dipegangnya
sejak tadi, mengerahkan seluruh tenaganya.
Braakkk.... bruuuuukkkkk....!!
Suara ini disusul suara hiruk-pikuk ketika batu sebesar gajah itu menggelinding
menuruni tebing, membawa batu-batu lainnya ikut pula runtuh dan longsor! Pohon
kecil itu tadi digerakkan oleh tali dan jebol, tidak kuat lagi menahan batu
besar dan karena sebelah bawah batu sudah digerowongi, maka tanpa dapat dicegah
lagi batu itu menggelinding turun.
Liong Bian Cu terkejut bukan
main, berteriak keras dan berusaha untuk menyingkir. Akan tetapi, dia tidak
mungkin dapat meloncat ke kanan atau kiri yang merupakan tebing tinggi, maka
jalan satu-satunya baginya hanya meloncat ke belakang. Namun, gerakannya kurang
cepat dan biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari tindihan batu sebesar
gajah itu, dia tidak dapat terhindar dari hantaman batu-batu kecil lainnya yang
datang bagaikan hujan. Dia berteriak lagi, terpelanting dan tubuhnya ditimpa
banyak batu yang menguruknya. Debu Mengebul tinggi dan suara hiruk-pikuk dari
batu-batu yang runtuh itu terdengar sampai jauh.
Sementara itu, dengan jantung
berdebar penuh ketegangan, Hwee Li sudah cepat mengenakan kembali pakaiannya
dan dia lalu berloncatan menghampiri tumpukan batu. Dia melihat sebelah kaki
dan sebelah tangan Bian Cu tersembul dari tumpukan batu. Dia bergidik ngeri,
mengira bahwa tentu pemuda ini telah tewas. Dan memang demikianlah
perhitungannya. Kalau Bian Cu mati, dia tidak lagi terancam bahaya untuk
dipaksa menjadi isterinya. Dan banyak kemungkinan dia akan selamat. Pertama,
orang-orang tidak akan tahu bahwa kematian Bian Cu disebabkan oleh dia. Ke dua,
kalau dia dapat membebaskan garuda, dia akan dapat meloloskan diri dari tempat
itu. Ke tiga, andaikata dia tidak dapat membebaskan garuda, dia akan dapat
meloloskan diri dari tempat itu. Ke tiga, andaikata dia tidak dapat nenbebaskan
garuda, setelah pangeran itu mati, orang-orang di lembah itu tentu tidak
membutuhkan lagi dia dan mungkin saja dia dibiarkan lolos dari situ. Semua
kemungkinan itu tidak mungkin ada selama Liong Bian Cu masih hidup!
Cepat dia berusaha mencari
kunci kurungan garuda yang menurut pemuda itu berada di sakunya. Akan tetapi
pada saat itu terdengar bentakan, Apa yang terjadi? Minggir kau!! dan tubuh
Hwee Li terdorong ke samping. Dara ini terkejut sekali melihat seorang kakek
bermantel merah, telah berada di situ. Dorongan dari jarak jauh yang dilakukan
oleh Ban-hwa Sengjin, kakek itu amat hebat sehingga Hwee Li terdorong mundur.
Kini, dengan kecepatan dan tenaga yang luar biasa, kakek itu membongkar batu
dan melempar-lemparkan batu yang menindih tubuh muridnya. Tubuh itu penuh
dengan luka-luka dan berdarah.
Ban Hwa Sengjin memondong
tubuh muridnya dan lari cepat sekali menuju ke gedung di tengah lembah. Hwee Li
berdiri bingung. Kunci itu belum berhasil dia temukan. Akan tetapi, selagi
semua orang sibuk mengurus Liong Bian Cu, sebaiknya dia berusaha untuk
membebaskan garudanya. Maka berlarilah dia menuju ke taman di belakang gedung
untuk rnenuju ke tempat di mana garuda itu dikurung, karena selama ini dia
sudah menyelidiki dan tahu bahwa burung itu dikurung di sudut taman di belakang
gedung.
Akan tetapi, baru saja dia
muncul, bukan pengawal-pengawal yang menyambutnya dan yang sudah dia rencanakan
untuk dirobohkan semua baru dia akan berusaha membebaskan burungnya. Yang
berdiri di situ adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi! Hwee Li naklum bahwa
terhadap dua orang kakek ini, percuma saja kalau dia melawan. Maka dengan suara
dibuat gugup dia bertanya, Bagaimana keadaan Pangeran....?!
Akan tetapi sebagai jawaban,
dua orang kakek itu tiba-tiba menerjangnya!!
Hwee Li terkejut dan berusaha
untuk mengelak dan membela diri, namun diserang oleh dua orang sakti itu secara
berbareng, tentu saja dia tidak mungkin dapat menyelamatkan diri dan sebuah
totokan mengenai pundaknya, membuat dia roboh terguling, Hek-tiauw Lo-mo
mcngempit tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam gedung.
Dapat dibayangkan betapa
kaget, kecewa, dan penasaran rasa hati Hwee Li ketika dia dibawa masuk ke dalam
kamar besar mewah itu, dilempar ke atas kursi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia
melihat Liong Bian Cu serang duduk di atas pembaringan dengan muka pucat dan
masih nampak obat kuning di atas luka-luka di seluruh tubuhnya. Akan tetapi dia
telah memakai baju hersih dan sinar matanya memandang lembut kepada Hwee Li
sedangkan mulutnya tersenyum.
Kau.... kau....?! Hwee Li
menggagap, akan tetapi melihat senyum itu melebar dia melanjutkan, Kau tidak
apa-apa, Pangeran....?!
Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo
membentaknya, Anak durhaka! Engkau hampir saja membunuhnya dan untung Ban Hwa
Sengjin masih sempat menyelamatkannya karena beliau kebetulan datang! Kalau
tidak, dan Pangeran sampai meninggal dunia, tentu kau sudah kami bunuh sejak
tadi!!
Locianpwe, jangan bicara
begitu....!! Tiba-tiba pangeran itu berkata, suaranya lemah menandakan bahwa
peristiwa itu benar-benar amat berbahaya baginya dan membuatnya menderita,
sungguhpun tidak sampai berbahaya bagi nyawanya. Hwee Li tidak bersalah!!
Muridku, Pangeran yang mulia.
Saya sendiri melihat dia berada di sana ketika Paduka tertindih batu-batu itu,
bagaimana Paduka dapat mengatakan dia tak bersalah?! Terdengar Ban Hwa Sengjin
yang duduk di dalam kamar itu pula, menegur, mata kakek ini dengan tajamnya
menatap wajah Hwee Li.
Tidak, Suhu. Dia tidak
bersalah dan aku perintahkan agar dia dibebaskan dari totokan. Hek-tiauw Lo-mo
locianpwe, bebaskan dia!!
Tiga orang kakek itu saling
pandang, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menghampiri dara itu dan membebaskan
totokannya. Hwee Li cepat menghampiri pangeran itu dan duduk di tepi
pembaringan, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Dia maklum bahwa dengan
satu gerakan saja dari pangeran itu, tiga orang kakek sakti itu tentu akan
turun tangan membunuhnya.
Pangeran, maafkan saya. Akan
tetapi saya melihat tali mengikat pohon kecil itu. Tentu ada yang menarik tali
itu merobohkannya sehingga batu besar itu menggelinding turun!! kata Hek-hwa
Lo-kwi.
Pangeran, harap Paduka tidak
membahayakan diri sendiri dan melindungi orang yang berdosa,! Ban Hwa Sengjin
juga memperingatkan.
Liong Bian Cu memandang wajah
dara itu dan tersenyum, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan
menggoyang-goyangnya, akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa
nyeri sekali.
Jangan gerakkan lengan kiri
Paduka dulu, baru saja sambungan tulang pundak saya benarkan,! kata Ban Hwa
Sengjin.
Sam-wi (Anda Bertiga) harap
jangan salah sangka. Sungguh peristiwa itu terjadi karena kesalahan saya.
sendiri. Tali itu adalah saya sendiri yang mengikatnya. Saya melihat tempat itu
dapat menjadi perangkap yang baik, perangkap rahasia untuk melindungi diri
kalau-kalau ada musuh berani datang. Hwee Li cerdik sekali, dia membantuku dan
kami sedang mengatur perangkap itu. Akan tetapi, ketika aku mendaki di bawah
tebing untuk mencarikan tempat rahasia untuk menaruh tali, dan berpegang pada
pohon itu, pohon itu tidak kuat, jebol dan aku jatuh ke bawah, lalu batu-batu
itu menimpa turun.!
Ah, tapi....! Ban Hwa Sengjin
hendak membantah.
Liong Bian Cu mengangkat
tangan kanan ke atas menyetopnya. Sudahlah, Koksu, aku sudah bicara. Peristiwa
itu hanya kecelakaan dan aku melarang siapapun untuk menggangu kekasihku dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang itu. Sekarang, harap kauceritakan tentang
perkembangan usaha kita.!
Kakek bermantel merah itu
kembali menoleh ke arah Hwee Li, menarik napas panjang dan berkata, Baiklah,
Pangeran. Saya baru saja mengunjungi Gubernur Ho-nan dan dia sudah menyanggupi
untuk melindungi tempat ini dan dia pun setuju kalau tempat ini dijadikan
markas untuk sementara. Selain itu, sesuai dengan perintah Paduka, Gitananda
sedang pergi menjemput tawanan itu untuk dipindahkan ke sini.!
Bagus! Memang sebaiknya puteri
itu berada di sini. Di sini dia lebih aman dan terjaga, selain itu, juga dia
dapat menjadi teman tunanganku. Betapapun juga, dialah orangnya yang dapat
mengajarkan kepada Hwee Li tentang tata susila kerajaan dan hal-hal lain yang
patut diketahui oleh seorang calon puteri kerajaan.!
Hwee Li tidak turut bicarta
sungguhpun semua percakapan tidak ada yang terlewat oleh perhatiannya. Dia
masih merasa tegang dan terkejut, dan diam-diam dia merasa heran sekali mengapa
pangeran ini menolongnya, padahal sudah jelas pangeran ini tentu tahu bahwa
peristiwa itu sama sekali bukan kecelakaan, melainkan usahanya untuk membunuh
Liong Bian Cu.
Setelah percakapan itu
selesai, Liong Bian Cu berkata, Sekarang harap Samwi meninggalkan kamar ini.
Aku lelah dan ingin beristirahat, biar Hwee Li menemaniku.!
Kembali tiga orang itu bangkit
dan memandang dengan ragu-ragu. Maaf, Pangeran. Apakah itu bijaksana?! tanya
Ban Hwa Sengjin.
Berbahaya sekali membiarkan
dia di sini sendiri bersama Paduka!! kata Hek-tiauw Lo-mo sambil memandang ke
arah dara itu dengan mata melotot. Agaknya dia masih marah sekali atas
perbuatan bekas anaknya! itu.
Akan tetapi pandang mata Liong
Bian Cu menjadi keras. Siapapun tidak boleh menilai calon isteriku! Pergilah
kalian!! bentaknya.
Ban Hwa Sengjin dan dua orang
kakek itu lalu menjura dan pergi. Biarpun Ban Hwa Sengjin itu seorang Koksu
Nepal, seorang yang berkedudukan tinggi, dan juga guru dari Liong Bian Cu, akan
tetapi betapapun juga, terhadap pemuda itu dia adalah seorang petugas terhadap
atasannya, maka sikapnya selalu menghormat dan taat.
Setelah mereka pergi dan pintu
kamar ditutupkan dari luar dengan hati-hati oleh seorang pelayan yang atas
isyarat Pangeran Liong Bian Cu lalu ke luar lagi, mereka kini tinggal berdua
saja di dalam kamar itu. Hwee Li lalu mundur dan duduk di atas bangku, agak
jauh dari pembaringan di mana Liong Bian Cu duduk. Gadis itu mengangkat muka
dan memandang Bian Cu. Pemuda ini kelihatan pucat, mukanya hampir penuh dengan
warna-warna kuning, yaitu obat cair yang dipergunakan oleh Ban Hwa Sengjin
untuk mengobati luka-lukanya. Agaknya obat itu manjur bukan main karena
luka-luka itu kelihatan sudah mengering.
Liong Bian Cu juga memandang
kepadanya, lalu mulutnya tersenyum dan dia mengejapkan sebelah matanya,
seolah-olah memberi tanda kepada seorang sekutunya. Melihat sikap ini, Hwee Li
merasa makin heran. Pangeran, kenapa engkau menolongku?! tanyanya, tidak tahan
dia melihat sikap itu. Kalau pangeran itu marah-marah tentu dia akan
menerimanya dengan tenang saja, akan tetapi melihat pangeran itu bersikap
demikian baik terhadap perbuatannya yang hampir saja mengakibatkan pangeran ini
tewas, benar-benar sukar untuk dapat diterimanya.
Kenapa? Tentu saja karena aku
cinta padamu, Hwee Li! Dan kenapa engkau bermaksud membunuhku?!
Perlukah kujawab itu?!
Tentu saja. Karena aku merasa
penasaran kalau tidak mendengar sebabnya.!
Karena aku membencimu,
Pangeran.!
Ahhh! Engkau membenciku karena
aku mencintamu?!
Hwee Li menggelengkan
kepalanya. Tidak, aku belum segila itu. Akan tetapi aku benci kepadamu karena
engkau memaksa aku untuk menjadi isterimu, karena engkau mengurung aku di sini,
karena biarpun engkau bersikap ramah dan baik, akan tetapi pada hakekatnya
engkau melakukan penekanan dan paksaan kepadaku.!
Hemmm, semua itu kulakukan
demi cintaku kepadamu, Hwee Li. Tahukah engkau bahwa sebagai seorang pangeran,
belum pernah ada wanita yang bagaimanapun menolak cintaku? Dan engkau, tidak
saja menolak, bahkan beberapa kali engkau nyaris membunuhku!!
Dan aku akan masih terus
berusaha membunuhmu!! kata Hwee Li terus terang.
Ha-ha-ha, sikapmu inilah yang
membuat aku makin tergila-gila dan makin cinta kepadamu, sayang. Kalau engkau
menangis merengek-rengek minta ampun, atau engkau merayuku, agaknya cintaku
akan menipis. Akan tetapi tidak, engkau melawan, engkau menggunakan kecerdikan,
engkau tabah, berani, cerdik dan gagah. Itulah sebabnya maka aku mau
mengorbankan apa saja demi untuk mendapatkan cintamu.!
Aku tidak akan mencintamu,
Pangeran.!
Ha-ha-ha, kita sama lihat saja
nanti. Dengan cintaku yang murni, dengan kebaikan-kebaikan yang kulimpahkan,
pada suatu hari aku mengharapkan akan dapat mencairkan kekerasan hatimu,
dewiku, dan aku akan mengecap kenikmatan dan kebahagiaan itu sebagai hasil
jerih payahku selama ini.!
Aku akan berusaha untuk
minggat!!
Pangeran itu menggeleng
kepalanya. Tidak mungkin, Hwee Li. Dan bukankah engkau senang tinggal di sini?
Bukankah semua orang mentaati perintahmu dan segala keinginanmu dapat
terpenuhi? Bukan itu saja, engkau bahkan akan memperoleh seorang kawan yang
tentu akan menyenangkan hatimu, seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal.
Dia akan diantar oleh Gitananda ke sini.!
Siapakah dia?!
Dia adalah Puteri Syanti Dewi,
Puteri Bhutan.!
Diam-diam Hwee Li menjadi
terkejut sekali mendengar nama ini. Biarpun dia sendiri tidak pernah mengenal
puteri itu, namun nama puteri itu sudah kerap kali didengarnya. Gurunya, Nyonya
Kao Kok Cu yang dulu bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng itu, sering kali
menceritakan tentang Puteri Syanti Dewi ini yang menjadi kakak angkat gurunya.
Akan tetapi di depan Pangeran Nepal itu, dia bersikap tenang saja.
Apakah dia itu tamumu?!
tanyanya.
Bukan, dia adalah tawanan
kami. Dia secara kebetulan dapat tertawan oleh Gitananda, selama ini
disembunyikan karena banyak orang pandai mencarinya, dan kini atas perintahku,
puteri itu di bawa ke sini untuk menemanimu.!
Dia kau tawan pula? Pangeran,
memang tepatlah kalau dia yang menjadi jodohmu. Engkau pangeran dan dia puteri.
Pula, bukankah Nepal dan Bhutan itu bertetangga?!
Ha-ha-ha, mana mungkin begitu?
Aku cinta padamu, Hwee Li. Dan dari kenyataan bahwa Puteri Bhutan itu ku tawan,
jelas membuktikan bahwa Bhutan dan Nepal bukanlah sahabat. Mungkin saja kelak
dia akan menjadi selirku, tapi ah, sementara ini, aku tidak ingin memandang
atau membicarakan wanita lain kecuali dirimu, sayang.!
Semenjak peristiwa itu,
biarpun sikap pangeran itu masih biasa, masih ramah kepadanya, namun Hwee Li
maklum bahwa penjagaan terhadap dirinya makin diperkuat. Dia selalu dibayangi,
kalau tidak oleh Hek-tiauw Lo-mo tentu oleh Hek-hwa Lo-kwi atau para pembantu
lain. Dia merasa penasaran dan kebenciannya terhadap Liong Bian Cu tidak
berkurang. Biarpun dia telah mencela dirinya sendiri sebagai orang kurang
mengenal budi, mengakui sendiri bahwa pangeran itu benar-benar cinta kepadanya,
tidak sakit hati biarpun nyaris tewas oleh perbuatannya, namun tetap saja dia
tidak mempunyai sedikit pun perasaan cinta kepada pangeran itu.
Bahkan dia merasa makin gemas
karena dia menuduh pangeran itu sengaja hendak melepas budi! agar dia merasa
berhutang budi kepadanya. Dan memang dia merasa canggung sekali, sukar baginya
kini untuk memperlihatkan sikap kasar terhadap pangeran yang selalu baik
kepadanya itu. Dan ini berbahaya, dia tahu akan hal itu. Merasa betapa
kebenciannya makin mengendur, Hwee Li menjadi takut dan dia memperkuat pula perasaan
benci itu sambil mengingat satu hal pokok, yaitu bahwa kemerdekaannya dihalangi
oleh Liong Bian Cu.
Pada keesokan harinya, benar
saja Gitananda muncul bersama Syanti Dewi. Seperti telah kita ketahui,
Gitananda berhasil menculik Syanti Dewi ketika terjadi perebutan antara Ceng
Ceng dan See-thian Hoat-su karena salah duga sehingga Syanti Dewi tidak
terlindung dan mudah diculik dan dilarikan oleh Gitananda. Karena maklum bahwa
banyak orang pandai yang akan mengejarnya untuk merampas kembali Syanti Dewi,
maka Gitananda lalu menyembunyikan puteri itu di suatu tempat dalam hutan
besar, menyuruh anak buahnya menjaga dengan ketat dan dia hanya melaporkan saja
kepada koksu, yaitu atasannya. Kemudian koksu menceritakan hal itu kepada
muridnya, yaitu Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya Liong Bian Cu memerintahkan
agar puteri itu dipindahkan saja ke lembah Sungai Huang-ho itu, selain untuk
dapat menjaganya lebih kuat, juga puteri itu dapat menemani tunangannya.
Setelah Syanti Dewi yang
kelihatan kurus dan agak pucat itu disambut oleh Liong Bian Cu dengan sikap
hormat dan disuruh antar ke kamarnya, Liong Bian Cu lalu mengajak gurunya
berunding. Sementara itu, Hwee Li yang sepintas lalu melihat puteri itu,
diam-diam merasa kagum sekali. Benar cerita gurunya. Puteri Syanti Dewi amat
cantik jelita, sikapnya agung dan tenang. Menurut penuturan gurunya, puteri itu
tentu sudah berusia dua puluh tiga tahun lebih, akan tetapi kelihatan seperti
dara remaja belasan tahun saja. Hanya sikapnya, pandang matanya dan gerak-geriknya
yang lemah lembut membayangkan bahwa puteri itu adalah seorang wanita yang
sudah matang, tenang, dan memiliki kepribadian yang amat kuat.
Hwee Li lalu mengunjungi kamar
itu. Para penjaga yang berdiri di luar kamar dengan senjata di tangan, cepat
memberi hormat dan tidak ada seorang pun berani menghalangi Hwee Li memasuki
kamar itu. Hwee Li dianggap sebagai tunangan pangeran dan tidak ada seorang pun
yang berani menentangnya, sungguhpun tidak akan ada pula yang berani
membantunya andaikata Hwee Li minta mereka membantu dia lolos dari tempat itu.
Mereka tahu bahwa sekali saja nona ini mengadu kepada pangeran, tentu pangeran
tidak akan segan-segan untuk menghukum orang yang diadukan, atau mungkin
membunuhnya seketika!
Hwee Li memasuki kamar dan
melihat puteri itu rebah telentang, menatap langit-langit kamar dengan sikap
termenung. Ada dua orang pelayan wanita duduk bersimpuh di atas lantai. Melihat
Hwee Li, dua orang pelayan itu cepat memberi hormat.
Keluarlah kalian berdua dan
jangan masuk kalau tidak kami panggil!! kata Hwee Li dengan sikap keren dan dua
orang pelayan itu menghormat lalu keluar dari dalam kamar. Mereka bersama para
penjaga berkelompok di luar pintu, bingung dan khawatir. Mereka diperintahkan
untuk menjaga sang puteri, akan tetapi mereka disuruh keluar oleh tunangan
pangeran dan mereka tidak berani membantah karena sudah berkali-kali ditekankan
oleh pangeran dan para pembantunya, bahwa tunangan pangeran itu harus ditaati
dan jangan sampai marah. Pula, mereka semua tahu bahwa tunangan pangeran itu
adalah seorang dara yang memiliki tangan baja, memiliki kepandaian tinggi dan
sekali pukul saja dapat menghancurkan kepala mereka!
Bibi Syanti Dewi....!! Hwee Li
melangkah maju dan menjura ke arah wanita yang masih rebah dan menyambut
kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik itu.
Syanti Dewi mengerutkan
alisnya dan bangkit duduk. Dia tidak pernah diganggu selama diculik oleh
Gitananda, dan dia tahu bahwa Gitananda adalah kaki tangan Kerajaan Nepal,
bahwa dia terjatuh ke tangan musuh negaranya. Maka, biarpun dia merasa berduka
karena putus harapannya bertemu dengan kekasihnya, Ang Tek Hoat, namun dia tahu
bahwa dia aman berada di tangan orang-orang Nepal ini. Hanya karena terlalu
berduka memikirkan Tek Hoat, maka dia tidak suka makan, kurang tidur sehingga
badannya lemah dan mukanya pucat.
Kini, setelah disambut oleh
Pangeran Liong Bian Cu yang dia dengar adalah cucu Raja Nepal, dia tahu bahwa
dia akan dijadikan sandera. Maka tentu saja dia terkejut dan terheran-heran
melihat munculnya seorang dara remaja yang cantik dan yang menyebutnya bibi
ini. Melihat sikap dara cantik ini terhadap para pelayan, dan melihat betapa
para pelayan mentaati perintahnya, dia maklum bahwa dara ini tentu orang
penting yang besar kekuasaannya di tempat itu. Ditatapnya wajah Hwee Li dengan
tajam dan penuh selidik.
Engkau siapakah, Nona?!
tanyanya sambil bangkit duduk.
Namaku Hwee Li,! jawab Hwee Li
sambil tersenyum dan duduk di atas pembaringan di dekat Puteri Bhutan itu.
Engkau tentu tidak mengenalku dan merasa heran mengapa aku menyebutmu bibi.
Ketahuilah, Bibi Syanti Dewi, bahwa guruku adalah adik angkatmu yang bernama Lu
Ceng atau Candra Dewi.! Dari subonya, dara ini memang sudah mendengar banyak
tentang riwayat subonya bersama Syanti Dewi. Candra Dewi adalah nama yang
diberikan oleh Puteri Bhutan ini kepada Ceng Ceng yang menjadi adik angkatnya
(baca Kisah Sepasang Rajawali).
Mendengar disebutnya nama Ceng
Ceng, Syanti Dewi terkejut dan gembira bukan main. Wajahnya berseri dan dia
meloncat turun dan berdiri di depan Hwee Li, langsung saja memegang lengan dara
itu dan bertanya, Di mana dia? Di mana Candra Dewi? Dan bagaimana engkau dapat
berada di sini?!
Hwee Li merasa kasihan melihat
kegembiraan dan sinar mata penuh harapan dari puteri itu. Dia menarik napas panjang
dan menjawab lirih, Aku tidak tahu di mana adanya Subo sekarang ini, Bibi. Dan
aku sendiri pun menjadi seorang tawanan di sini.!
Ahhhhh....!! Syanti Dewi masih
memegang tangan Hwee Li, akan tetapi dia kini duduk kembali di samping dara
itu, memandang dengan sinar mata khawatir. Seketika dia sudah melupakan keadaan
dirinya sendiri karena semua perhatiannya tercurah kepada dara murid adik
angkatnya itu, mengkhawatirkan keadaan Hwee Li yang menjadi tawanan.
Demikianlah memang watak Puteri Bhutan ini, mudah melupakan penderitaan sendiri
akan tetapi selalu peka terhadap penderitaan orang lain.
Hwee Li lalu menceritakan
keadaannya dan bagaimana dia bisa menjadi seorang tawanan di tempat itu,
sungguhpun dia, kelihatan sebagai seorang tamu agung yang dihormati dan ditaati
oleh para pengawal dan pelayan. Ketika Syanti Dewi mendengar bahwa dara remaja
yang cantik jelita ini akan dijadikan isteri oleh Liong Bian Cu, dia terkejut
bukan main. Terkejut, heran dan juga kagum. Tentu ada puluhan, bahkan ratusan
ribu gadis yang ingin menjadi isteri Pangeran Nepal itu, yang akan menyambut
pinangan pangeran itu dengan penuh kebanggaan dan kegirangan hati. Akan tetapi,
dara remaja murid Ceng Ceng ini kelihatan sama sekali tidak gembira!
Aku benci dia, Bibi! Aku ingin
membunuhnya dan nyaris aku berhasil, akan tetapi dia memang lihai sekali,
apalagi dia dibantu oleh Hek-hwa Lo-kwi yang sakti, belum lagi gurunya yang
amat lihai, Ban Hwa Sengjin yang mempunyai banyak pembantu. Bahkan ayahku
sendiri kini juga menjadi pembantunya.!
Ayahmu?! Syanti Dewi bertanya
heran. Bagaimana ayah seorang dara yang tidak suka dipaksa menjadi jodoh
pangeran itu malah menjadi pembantu pangeran itu?
Ya, ayahku adalah Hek-tiauw
Lo-mo....!!
Ahhh....!! Bukan main kagetnya
hati Syanti Dewi mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah mendengar dan
mengenal baik nama ini, raksasa jahat yang banyak mengambil peranan dalam
keributan pemberontakan dua orang Pangeran Liong dahulu (baca Kisah Sepasang
Rajawali). Dara cantik jelita ini, yang menjadi murid Ceng Ceng, adalah puteri
dari majikan Pulau Neraka itu? Sungguh mengherankan dan mengejutkan sekali. Dan
mendengar bahwa dara ini adalah puteri iblis itu, otomatis Syanti Dewi
melepaskan pegangan tangannya dan duduk agak menjauh.
Gerakan Syanti Dewi ini tidak
terlepas dari pandang mata Hwee Li. Dara itu menarik napas panjang, lalu cepat
berkata, Harap Bibi jangan kaget. Hek-tiauw Lo-mo memang kini menjadi pembantu
utama dari Pangeran Nepal itu, dan Hek-tiauw Lo-mo juga memaksaku untuk menjadi
isteri Pangeran Liong. Justeru itulah yang dikejarnya. Agar aku menjadi isteri
Liong Bian Cu dan dia dapat membonceng kedudukanku dan menjadi seorang yang
mulia dan terhormat. Akan tetapi, aku tidak sudi....!
Syanti Dewi mengerutkan
alisnya yang berbentuk indah itu, lalu kembali mendekat dan memegang tangan
Hwee Li. Makin besar rasa iba di dalam hatinya terhadap dara yang malang ini.
Betapa banyaknya dara di dunia ini yang dipaksa oleh ayah mereka dalam urusan
perjodohan! Bukan hanya Hwee Li ini, juga dia sendiri malah! Bukankah dia sudah
memilih Tek Hoat sebagai calon jodohnya, akan tetapi juga kini gagal karena
ayahnya yang tidak menyetujui pemuda pilihannya itu menjadi mantu? Betapa
banyaknya gadis dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, dari yang
paling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, harus tunduk kepada ayah
mereka dalam urusan memilih jodoh! Dan betapa banyaknya hati yang hancur karena
paksaan harus menikah dengan orang lain. Dalam hal perjodohan, biarpun
berlainan sifatnya, dia merasa senasib dengan Hwee Li, maka timbuliah rasa
sayang dalam hatinya terhadap murid adik angkatnya ini.
Hwee Li, sungguh engkau patut
dikasihani! Aku merasa heran sekali mengapa ayahmu sampai hati memaksamu?
Padahal, aku tahu bahwa ayahmu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh
besar yang amat terkenal dan berilmu tinggi....!
Akan tetapi dia jahat, Bibi.
Jahat sekali dan aku benci padanya! Aku pun ingin membunuhnya kalau bisa!! Hwee
Li mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.
Syanti Dewi mengerutkan
alisnya. Hwee Li,! katanya dengan suara keren. Engkau adalah murid adikku
Candra Dewi, oleh karena itu engkau patut mendengarkan kata-kataku pula. Engkau
telah menyeleweng dari kebenaran! Mana boleh seorang anak membenci ayahnya
sendiri, bahkan hendak membunuhnya?!
Dia bukan ayahku! Dia bukan
ayah kandungku! Dia malah musuh besarku!! Hwee Li berseru dan sepasang mata itu
menjadi merah.
Eh, bagaimana pula ini, Hwee
Li?! Syanti Dewi bertanya dan tiba-tiba Hwee Li menangis tersedu-sedu.
Syanti Dewi terkejut. Dia
cepat memeluk dara itu dan Hwee Li menangis di atas dada puteri itu. Hwee Li
adalah seorang dara yang berhati keras seperti baja. Penderitaan batin yang
dideritanya selama ini, apalagi ketika mendengar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan
ayahnya, dan betapa soluruh keluarganya, yaitu keluarga Kim, telah binasa,
membuat batinnya tertekan oleh duka yang amat besar. Namun, di depan
orang-orang yang dibencinya di lembah itu, dia menggunakan kekuatan batinnya,
menggunakan kekerasan hatinya, untuk menahan tekanan batin itu.
Kini, berhadapan dengan Syanti
Dewi yang lemah lembut, yang bersikap begitu baik dan penuh perasaan kepadanya,
apalagi mengingat bahwa puteri ini adalah bibi gurunya, Hwee Li merasa
seolah-olah menemukan tempat penumpahan segala derita batinnya dan setelah kini
bendungan itu dibuka, menangislah dia, sewajarnya tangis yang amat memilukan
hati sehingga Syanti Dewi yang lembut hati itu pun tidak dapat pula menahan air
matanya dan dia mengusap-usap rambut kepala Hwee Li penuh rasa sayang dan iba.
Dia membiarkan dara remaja itu menangis sepuasnya. Syanti Dewi sendiri bukan
seorang wanita tua, sama sekali bukan. Usianya baru dua puluh dua tahun, akan
tetapi pengalaman dan penderitaan hidup telah menggemblengnya sehingga kini
menghadapi Hwee Li yang baru berusia tujuh belas tahun ini, dia merasa
seolah-olah menjadi bibi atau ibu dara remaja ini.
Setelah tangisnya mereda dan
hatinya terasa ringan sekali setelah dia menangis sepuasnya, Hwee Li lalu
menceritakan apa yang didengarnya tentang Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata bukan
ayahnya, bukan apa-apanya itu, dan tentang keluarganya yang terbasmi karena
dianggap sebagai keluarga pemberontak.
Syanti Dewi mengangguk-angguk.
Aku telah mendengar tentang keluargamu itu. Aku mendengar bahwa ayah kandungmu
yang sesungguhnya, Panglima Kim Bouw Sin itu, memang telah memberontak terhadap
kerajaan. Betapapun juga, sikapnya itu tentu ada alasannya, dan biarpun oleh
kerajaan dia dianggap berdosa, namun sebagai manusia dia tidaklah sejahat
seperti halnya Hek-tiauw Lo-mo yang terkenal sebagai seorang manusia iblis itu.
Tadi aku sudah merasa heran bagaimana seorang dara seperti engkau, murid adik
angkatku, dapat menjadi puteri iblis Hek-tiauw Lo-mo. Kiranya engkau bukan
puterinya! Hwee Li, engkau memiliki kepandaian, engkau harus berusaha untuk
meloloskan diri dari tempat berbahaya ini!.!
Ah, tidak mudah, Bibi.! Hwee
Li lalu menceritakan keadaan lembah itu dan betapa semua daya upayanya gagal.
Malah Liong Bian Cu sudah bersiap-siap, pernikahan akan diadakan beberapa pekan
lagi. Aku khawatir, Bibi, apalagi melihat Bibi ditawan pula. Aku harus dapat
menolong Bibi dari tempat ini!!
Tidak perlu engkau
mengkhawatirkan diriku, Hwee Li. Pangeran Liong Bian Cu, sebagai cucu Raja
Nepal, adalah musuh dari negaraku. Dia menawanku tentu dengan maksud menjadikan
aku sebagai sandera untuk memukul negaraku. Akan tetapi, engkau, engkau
menghadapi bahaya langsung yang sudah makin dekat saatnya, maka kau harus dapat
lolos dari sini.!
Demikianlah, dua orang wanita
itu kini menjadi akrab sekali dan bercakap-cakap mencari jalan untuk dapat
lolos dari tempat itu. Akan tetapi, mereka akhirnya maklum bahwa jalan untuk
lolos sama sekali buntu. Agaknya, tanpa ada bantuan dari luar, tidak mungkin
bagi mereka untuk meloloskan diri. Akan tetapi Hwee Li tidak putus harapan. Dia
masih mempunyai harapan untuk lolos, yaitu pada saat pernikahan di mana dia
percaya tentu banyak hadir tokoh kangouw yang lihai. Siapa tahu, di antara
mereka itu terdapat orang-orang yang mau membantunya, dan dia percaya pula bahwa
orang-orang seperti suhunya dan subonya, seperti Suma Kian Bu si Siluman Kecil,
Suma Kian Lee, dan orang-orang gagah lainnya tidak akan tinggal diam kalau
mendengar bahwa dia dipaksa menikah dengan Pangeran Liong Bian Cu!
***
Kita tinggalkan dulu Syanti
Dewi dan Hwee Li, dua orang wanita muda yang tertawan di dalam lembah dan sama
sekali tidak berdaya untuk meloloskan diri itu, dan mari kita mengikuti
perjalanan Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya yaitu Kao Kok Tiong
dan Kao Kok Han, yang bersama-sama dengan Ceng Ceng pergi menuju ke kota
Pao-ting. Seperti yang diceritakan oleh Ceng Ceng kepada ayah mertuanya, dia
sudah berjanji untuk bertemu di Pao-ting bersama suaminya setelah dia dan
suaminya berpisah dan melakukan penyelidikan untuk mencari putera mereka secara
berpencar.
Mereka tiba di kota Pao-ting
pada waktu senja. Menurut perjanjian antara suami isteri itu, pertemuan di
antara mereka di kota ini akan dilakukan esok hari. Karena itu, Ceng Ceng lalu
mengajak ayah, mertua dan adik-adik iparnya untuk mencari rumah penginapan.
Akan tetapi, tiba-tiba seorang anak kecil, anak laki-laki yang usianya kurang
lebih dua belas tahun, seorang anak yang berpakaian pengemis, menghampiri
mereka yang sedang berjalan perlahan di atas jalan raya itu dan berbisik kepada
Ceng Ceng. Ceng Ceng dan rombongannya mengira bahwa anak itu tentu hendak
mengemis, akan tetapi betapa kaget hati Ceng Ceng ketika mendengar anak itu
berbisik, Apakah Toanio mengenal Topeng Setan?!
Tentu saja Ceng Ceng kaget
karena Topeng Setan adalah nama julukan suaminya dahulu ketika suaminya belum
menikah dengan dia dan suka menggunakan topeng buruk menutupi wajahnya yang
tampan (baca Kisah Sepasang Rajawali). Anak baik, kau membawa berita apa dari
Topeng Setan?! tanyanya, berbisik dan membungkuk.
Saya disuruh menyerahkan surat
ini,! jawab anak itu, mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya yang butut.
Ah, terima kasih!! Ceng Ceng
berseru, menerima surat itu dan mengeluarkan beberapa potong uang kecil. Ini
hadiah untukmu!
Tidak, Toanio. Saya sudah
menerima hadiah cukup dari pengirim surat ini.!
Setelah berkata demikian,
bocah itu lari meninggalkan Ceng Ceng dan rombongannya. Ceng Ceng lalu menoleh
kepada ayah mertuanya dan berkata, Ayah, lihatlah, seorang anak jembel pun mempunyai
kejujuran.!
Jenderal Kao Liang mengangguk
dan menarik napas panjang. Justeru kejujuran biasanya ditemukan pada
orang-orang bodoh dan miskin, sebaliknya orang-orang yang mengaku dirinya
terpelajar dan pandai, agaknya tidak mengenal lagi kejujuran yang mereka anggap
semacam kebodohan.!
Ceng Ceng membuka sampul surat
dari suaminya itu dan melihat tulisan suaminya di atas kertas, tulisan yang
amat dikenalnya.
Isteriku, harap ajak ayah dan
adik-adik ke kuil kosong di sudut barat kota.!
Ceng Ceng memperlihatkan surat
itu kepada ayah mertuanya. Hati bekas jenderal ini girang bukan main dan
diam-diam dia kagum kepada putera sulungnya itu yang ternyata telah dapat
mengetahui bahwa dia dan dua orang puteranya datang bersama mantunya. Dia
membenarkan sikap putera sulungnya yang berhati-hati dan tidak menghendaki
pertemuan di tempat terbuka.
Mari kita pergi ke sana,!
katanya kepada Ceng Ceng dan mereka berempat lalu menuju ke barat. Malam telah
tiba dan mereka menghampiri kuil yang tua, kosong dan gelap itu.
Ayah....!! Kao Kok Cu
menyambut kedatangan ayahnya dengan memberi hormat sambil berlutut di atas
lantai ruangan kuil itu. Ruangan itu luas dan sebagian dindingnya sudah runtuh,
atapnya juga sebagian banyak terbuka. Di atas meja butut terdapat dua batang
lilin yang dinyalakan oleh pendekar itu dan lantainya dibersihkan.
Bekas jenderal itu mengangkat
bangun putera sulungnya dan memandang dengan penuh perhatian dan penuh selidik.
Kao Kok Cu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Tubuhnya
tinggi dan padat, dan kelihatan agak kurus. Wajahnya yang tampan itu kelihatan
agak muram. Lengan kirinya yang buntung tertutup lengan baju yang tergantung
lepas. Inilah dia Naga Sakti dari Gurun Pasir, pendekar sakti yang berilmu
tinggi, akan tetapi yang kini bersama isterinya merana dan berduka, mencari
putera mereka yang hilang.
Saya melihat Ceng Ceng muncul
bersama Ayah dan adik-adik, maka saya menyuruh anak pengemis mengirim surat,!
katanya setelah bangkit berdiri, memandang ayahnya yang kelihatan demikian
muram dan berduka, bahkan sepasang mata kakek itu basah. Melihat ini, Kao Kok
Cu bertanya khawatir, Ada apakah Ayah? Apa yang terjadi?!
Twako....!! Dua orang adiknya
berseru dan kini dua orang muda itu menangis sambil merangkul kakak mereka.
Eh, eh, Adik Tiong dan Han!
Ada apakah?! Kok Cu bertanya, makin kaget dan khawatir. Mari kita duduk di
lantai dan bicara!!
Mereka berlima duduk di atas
lantai membentuk lingkaran dan berceritalah Jenderal Kao Liang tentang semua
peristiwa yang terjadi, tentang malapetaka yang menimpa keluarganya. Semua dia
ceritakan dengan jelas, melewati hal-hal yang dianggapnya kurang penting.
Sebagai penutup, dia menghela napas panjang dan berkata, suaranya gemetar, Kami
bertiga masih bingung dan tertekan oleh peristiwa hebat itu dan engkau dapat
membayangkan betapa gelisah hatiku. Akan tetapi, kemudian kami bertemu dengan
isterimu dan mendengar bahwa cucuku juga hilang! Aihhh, Kok Cu, apa yang dapat
kita lakukan sekarang?! Ayah itu mengusap ke arah bawah matanya untuk menghapus
dua tetes air matanya.
Si Naga Sakti dari Gurun Pasir
tidak menjawab, tangan kanannya dikepal, sepasang matanya mencorong seperti
mengeluarkan api, seperti mata naga ketika tertimpa sinar dua batang lilin yang
lemah. Mendengar betapa ibunya, iparnya, bibinya, keponakan-keponakannya
diculik orang, betapa keluarga ayahnya, tertimpa malapetaka yang hebat itu, dia
menjadi marah bukan main. Anaknya sendiri lenyap dan kini ibunya dan semua
keluarganya diculik orang.
Melihat keadaan pendekar itu,
ayahnya dan dua orang adiknya memandang dengan kaget dan gentar juga. Memang
hebat sekali melihat sepasang mata yang mencorong itu. Menakutkan! Mereka hanya
menanti ketika melihat Kok Cu diam saja, wajahnya seperti topeng, keras dan
kaku, hanya matanya yang mencorong itulah yang hidup, bergerak seperti mata
naga mencari mustikanya. Melihat ini, mengertilah Ceng Ceng bahwa suaminya
menderita himpitan batin yang hebat dan betapa suaminya sedang mengerahkan
sinkang untuk menghadapi penderitaan itu. Tahulah dia betapa suaminya marah dan
andaikata orang-orang yang menyebabkan malapetaka itu berada di situ, berapapun
banyaknya, betapapun kuatnya, tentu akan mengalami saat kiamat di tangan
suaminya!
Suamiku, kemarahan adalah
sia-sia, hanya melemahkan batin dan mengeruhkan plkiran,! katanya dengan suara
halus, tangannya meraba lengan suaminya. Kata-kata itu adalah kata-kata
suaminya sendiri yang sekarang dia pergunakan untuk membantu suaminya sadar
akan keadaan dirinya.
Perlahan-lahan wajah yang kaku
itu bergerak dan hidup kembali. Kok Cu menghela napas panjang dan matanya,
biarpun masih mencorong, namun tidak liar seperti tadi ketika dia menoleh dan
memandang isterinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi jari-jari tangannya
memegang tangan isterinya, tergetar dan Ceng Ceng dapat menerima rasa syukur
dan terima kasih yang terpancar melalui getaran jari-jari tangan dan pandang
mata suaminya itu. Dia merasa terharu dan dua titik air mata membasahi kedua
matanya. Dia menunduk dan dua titik air mata itu menetes turun.
Ayah, tidak mungkin semua
peristiwa ini terjadi secara kebetulan saja. Ayah dipecat tanpa kesalahan,
kemudian perjalanan Ayah ke kampung diganggu, keluarga kita diculik dan harta
yang dikumpulkan secara jujur, hasil pengabdian Ayah selama puluhan tahun, dicuri
dan bukan itu saja, juga cucu Ayah diculik orang. Aku dan Ceng Ceng sudah
melakukan penyelidikan, mencari-cari Cin Liong, dan kami sependapat bahwa Cin
Liong bukan pergi dan tersesat begitu saja, melainkan tentu ada yang membawanya
pergi. Semua ini kurasa ada hubungannya, saling kait-mengait. Bukankan menurut
cerita Ayah tadi, di antara para penghadang yang kemudian saling bertempur
sendiri, di antara mayat mereka terdapat pengawal-pengawal istana?!
Bekas jenderal itu mengangguk.
Aku sendiri memang sudah menduga demikian, Kok Cu. Akan tetapi, sungguh aneh
sekali kalau begitu. Apa perlunya kaisar melakukan semua kekejian itu terhadap
kita? Dan siapa yang melaksanakannya? Tadinya kami mengira keluarga Suma, akan
tetapi ternyata bukan.!
Memang bukan. Aku sudah
berjumpa dengan kedua orang Paman Suma, dan mereka itu sama sekali tidak tahu,
bahkan mereka berjanji akan membantu kita untuk menyelidiki,! kata Ceng Ceng
yang percaya sepenuhnya kepada dua orang pamannya dari Pulau Es itu.
Aku sendiri tidak akan percaya
kalau keluarga Pulau Es mencampuri urusan yang keji ini, akan tetapi kita tidak
bisa mengandalkan ocang lain. Kita harus menyelidiki sendiri. Karena awal
peristiwa ini dimulai dengan pemecatan Ayah di kota raja, maka kurasa semua
rahasia ini bisa didapatkan di kota raja. Aku bersama isteriku akan melakukan
penyelidikan ke kota raja, Ayah. Sekali kita mengetahui rahasianya, kiranya
tidak akan sukar mencari di mana mereka itu menyembunyikan keluarga kita dan
anakku!
Akan tetapi.... ahhh,
bagaimana kalau sampai terlambat? Kalau sampai anakku Cin Liong....?! Ceng Ceng
tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanya menjadi pucat.
Tidak mungkin!! Tiba-tiba Kok
Cu berseru nyaring sekali, mengejutkan Jenderal Kao dan dua orang puteranya.
Kalau terjadi apa-apa dengan anakku dan keluarga kita, mereka semua, siapapun
adanya mereka itu, bahkan kaisar sendiri sekalipun, tidak akan dapat terlepas
dari tanganku!! Hebat bukan main ancaman ini dan hati Jenderal Kao Liang yang
semenjak nenek moyangnya amat setia kepada kaisar, seperti tertusuk. Akan
tetapi ayah yang bijaksana ini tidak berkata sesuatu, karena maklum bahwa dalam
keadaan seperti itu, dilanda oleh kegelisahan dan kemarahan, tidak baik kalau
menentang putera sulungnya.
Baiklah, Kok Cu. Engkau
pergilah bersama isterimu menyelidiki ke kota raja. Engkau tentu mengerti bahwa
tidak mungkin bagi ayahmu untuk kembali ke sana, setelah ayahmu dipecat. Kami
bertiga akan melakukan penyelidikan dengan cermat sekali lagi di tempat
peristiwa kehilangan itu terjadi. Siapa tahu kami akan bisa menemukan jejak.!
Malam itu mereka tidak tidur,
tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan bercakap-cakap saling menceritakan
perjalanan mereka lebih jauh. Pertemuan yang amat mengharukan dari keluarga
seorang jenderal yang pernah menjadi panglima besar, yang kini mengadakan
pertemuan di kuil kosong, sunyi dan kotor. Biarpun keadaannya demikian, agaknya
pertemuan itu tentu akan berlangsung penuh kegembiraan kalau saja tidak terjadi
peristiwa-peristiwa hebat yang menimpa keluarga mereka. Kini, pertemuan itu
menjadi pertemuan yang amat mengharukan dan menyedihkan.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali, Kok Cu dan Ceng Ceng sudah berlutut di depan kaki Jenderal
Kao Liang dan bermohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja di
mana mereka akan menyelidiki rahasia malapetaka yang menimpa keluarga mereka.
Jenderal Kao Liang mengelus kepala mereka seperti memberi berkah, kemudian Kok
Cu merangkul kedua orang adiknya. Pergilah suami isteri pendekar ini
meninggalkan kuil tua dalam cuaca yang masih gelap.
Jenderal Kao Liang sendiri
bersama putera-puteranya lalu meninggalkan kota Pao-ting, menuju ke daerah
lembah Huang-ho di mana keluarga mereka lenyap dan mereka pun hendak melakukan
penyelidikan yang lebih cermat setelah kini mereka tahu bahwa bukan keluarga
Suma yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka itu.
Pada suatu siang, tibalah
mereka di tempat itu, di mana dahulu mereka meninggalkan keluarga mereka yang
kemudian lenyap. Mereka berhenti di celah tebing di mana rombongan mereka
diserang dan banyak yang mati keracunan oleh balok-balok yang menghadang jalan.
Mereka termenung berdiri di situ. Peristiwa yang telah lalu itu seperti baru
terjadi dan masih terbayang di mata mereka.
Tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh suara derap kaki kuda. Mereka cepat menoleh dan dari belakang mereka
datang sepasukan orang berkuda yang jumlahnya ada dua puluh orang lebih.
Hati-hati, dan jangan
sembarangan turun tangan,! bisik Jenderal Kao Liang kepada dua orang puteranya.
Mereka berdiri di tepi jalan dan memandang pasukan yang datang makin dekat itu.
Mereka mengira bahwa rombongan yang ternyata bukan pasukan kerajaan, melainkan
pasukan yang memakai pakaian aneh, bukan seperti tentara namun memakai seragam
berwarna biru gelap, akan lewat. Akan tetapi, ternyata mereka itu menghentikan
kuda mereka ketika tiba di situ dan kini mereka melihat sulaman gambar naga di
dada baju orang-orang itu! Seorang di antara mereka, yang tinggi kurus,
melompat turun dari atas kudanya dan berdiri di depan Jenderal Kao Liang sambil
tersenyum lebar.
Ayah dan anak ini terkejut
ketika mengenal orang ini. Inilah orang yang berjuluk Hoa-gu-ji (Kerbau
Belang), seorang tokoh dari Kwi-liong-pang dan tahulah mereka bahwa mereka
berhadapan dengan orang-orang Kwi-liong-pang, satu di antara
gerombolan-gerombolan yang memperebutkan harta benda mereka! Jenderal Kao Liang
maklum bahwa orang ini lihai, akan tetapi dia bersikap tenang, walaupun dia dan
dua orang puteranya sudah siap untuk menghadapi perkelahian.
Akan tetapi, setelah tertawa,
Hoa-gu-ji sama sekali tidak menyerang atau memberi isyarat untuk menyerang.
Sebaliknya malah, dia memberi hormat dan menjura kepada Jenderal Kao Liang
sambil berkata, Kao-goanswe, maafkan kalau kami mengganggu. Kami sengaja
menemui Kao-goanswe untuk menyerahkan bungkusan ini, harap kau suka menerima
dan memeriksa isinya.!
Hoa-gu-jii mengeluarkan sebuah
bungkusan kecil berwarna kuning dan biarpun meragu, Jenderal Kao Liang
menerimanya juga. Siapa yang menyuruhmu?! tanyanya.
Bukalah, dan engkau akan
mengetahuinya sendiri, Kao-goanswe,! jawab Hoa-gu-ji.
Jenderal Kao Liang membuka
bungkusan itu, dengan hati-hati karena dia tentu saja tidak percaya kepada
orang seperti tokoh Kwi-liong-pang ini. Akan tetapi, begitu isi bungkusan itu
nampak, Kok Tiong yang bersama Kok Han ikut pula memperhatikan, berseru kaget.
Ini tusuk konde isteriku!!
teriaknya.
Jenderal Kao Liang mengangguk
dan memeriksa sebuah cincin bermata biru, cincin milik isterinya! Ternyata
orang telah mengirim dua buah benda itu yang cukup menjadi bukti bahwa keluarga
Kao berada di tangan mereka!
Keparat, Kau apakan mereka? Di
mana mereka?! Kok Tiong sudah mencabut pedang diikuti oleh Kok Han, akan tetapi
Jenderal Kao Liang cepat mencegah mereka dan menyuruh mereka mundur dan menyimpan
pedang mereka kembali. Sementara itu, Hoa-gu-ji yang akan diserang itu hanya
memandang sambil tersenyum lebar saja.
Jenderal Kao Liang membuka
sampul surat yang berada di dalam bungkusan bersama dua buah benda perhiasan
wanita itu.
Jenderal Kao Liang,
Kalau engkau ingin bertemu
dengan keluargamu, lkutlah bersama utusan kami dan taati semua perintahnya.
Surat itu tanpa tanda tangan,
akan tetapi maksudnya sudah cukup dan jelas bagi Jenderal Kao Liang. Dengan
adanya tusuk konde mantunya dan cincin isterinya, jelas bahwa keluarganya
berada di dalam cengkeraman pengirim surat ini dan kalau dia menghendaki dapat
bertemu kembali dengan mereka, bahkan demi keselamatan mereka, dia dan dua
orang puteranya harus menyerah!
Baiklah, kami akan ikut
bersama kalian! kata Jenderal Kao, lalu kepada Kok Han dia berkata, Kao Han,
engkau susul twakomu ke kota raja.!
Baik, Ayah,! kata Kok Han yang
tadi juga sudah membaca surat itu. Dia menjura kepada ayahnya, memeluk
kakaknya, lalu berlari pergi dengan cepat. Hoa-gu-ji tidak mencegahnya karena
menurut perintah, dia hanya disuruh menangkap Jenderal Kao Liang saja. Dia lalu
melucuti pedang Jenderal Kao dan Kok Tiong, kemudian mereka berdua dibelenggu
dan disuruh naik ke atas punggung kuda, kemudian keduanya dibawa pergi dengan
mata ditutup kain hitam.
Ayah dan anak ini tak pernah
melepaskan perhatian dalam perjalanan itu.
Akan tetapi, mereka tahu bahwa
tidak mungkin mereka dapat melalui bukit-bukit dan hutan-hutan yang dapat
mereka ketahui dari jalan yang naik turun dan dari hawa dan suara angin di
antara banyak pohon, suara burung dan binatang hutan. Malam itu mata mereka
dibuka ketika rombongan berhenti di dalam sebuah hutan yang gelap, dan mereka
diberi makan yang cukup baik, diperlakukan dengan sikap yang hormat biarpun
Hoa-gu-ji dan seluruh anggauta rombongan tidak pernah bicara.
Pada keesokan harinya,
perjalanan dilanjutkan dan kembali mata mereka ditutup. Ketika hari telah
panas, mereka berhenti, ayah dan anak ini lalu diturunkan dari punggung kuda,
dibawa masuk ke dalam rumah yang luas dan ke dalam ruangan. Mata mereka dibuka
dan mereka memandang silau. Ruangan itu luas dan di situ terdapat banyak pintu.
Di tengah ruangan terdapat meja besar dan di belakang meja duduk beberapa
orang. Ketika Jenderal Kao Liang mengenal Hek-tiauw Lo-mo yang duduk pula di
dalam ruangan itu, dia terkejut, akan tetapi, dia diam saja, pura-pura tidak
mengenalnya. Dengan adanya Hek-tiauw -Lo-mo di situ, tahulah dia bahwa dia
terjatuh ke tangan gerombolan orang dari dunia hitam, orang-orang yang berniat
memberontak terhadap kerajaan, karena Hek-tiauw Lo-mo dahulu juga bersekutu
dengan pemberontak.
Diam-diam dia memperhatikan,
demikian pula puteranya. Di antara semua orang yang berada di kursi-kursi
belakang meja itu, yang paling menarik perhatiannya adalah seorang laki-laki
muda yang kelihatan berwibawa, berkulit kehitaman dengan hidung melengkung dan
mata cekung, gagah dan tampan namun juga aneh dan asing, rambutnya coklat dan
pakaiannya indah dan mewah. Dia duduk di tengah-tengah dan di sebelah kanannya
duduk seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun bertubuh seperti
raksasa, kepalanya botak dan bermantel merah. Pemuda yang usianya kurang lebih
tiga puluh tahun dan kakek botak itulah yang agaknya menjadi orang-orang terpenting
di situ, maka Jenderal Kao Liang menujukan pandang matanya kepada mereka.
Dugaannya benar. Pemuda itu
lalu bangkit berdiri dan menyambutnya dengan mata bersinar dan mulut tersenyum
lebar. Ah, sungguh merupakan kebahagiaan besar dapat bertemu muka dengan
Jenderal Kao Liang yang namanya pernah menggetarkan dunia! Haaii, Hoa-gu-ji,
hayo cepat buka belenggu mereka!!
Hoa-gu-ji memberi hormat dan
dibantu oleh beberapa orang, dia membuka belenggu tangan Jenderal Kao Liang dan
puteranya. Mereka lalu mundur kembali dan kini pemuda berkulit kehitaman itu
berkata lagi, Jenderal Kao Liang, silakan kau duduk bersama puteramu dan
menikmati hidangan kami sebagai penyambutan!!
Jenderal Kao Liang melangkah
maju mendekati meja, menjura sebagai balasan penghormatan lalu berkata, Kita
tidak perlu berpura-pura lagi. Aku dan puteraku bukanlah tamu undangan,
melainkan tawanan. Oleh karena itu, harap segera memberi penjelasan. Apakah
sebabnya engkau menawan keluarga kami dan siapakah engkau?!
Ha-ha-ha, sungguh hebat dan tegas!!
Tiba-tlba kakek botak itu berkata dan matanya memandang penuh kagum. Memang
tepat menjadi seorang jenderal yang pandai!!
Suhu, tidak percuma dia pernah
menjadi panglima besar,! kata pula orang muda itu, lalu dia berkata lagi kepada
Jenderal Kao Liang. Memang engkau benar, Jenderal Kao. Kita tidak perlu
berpura-pura lagi. Memang, kami yang telah menawan keluargamu. Akan tetapi kami
tidak berniat buruk, melainkan hendak mengajak engkau untuk bekerja sama dengan
kami.!
Jantung Kao Liang berdebar
tegang. Jadi, keluarganya masih hidup? Semua selamat? Akan tetapi, mendengar
betapa orang muda asing ini mengajak dia bekerja sama, dia merasa curiga
sekali. Kerja sama dalam hal apa? Betapapun juga, Kao Liang adalah bekas
panglima besar dan sudah sering kali menghadapi urusan-urusan besar, sungguhpun
belum pernah dia menghadapi ancaman hebat bagi seluruh keluarganya seperti
sekarang ini yang membuat hatinya tegang luar biasa. Sebelum melanjutkan
percakapan, dia harus melihat buktinya lebih dulu, bukti bahwa keluarganya
dalam keadaan selamat semua.
Dengan sikap tenang dan air
muka sama sekali tidak berubah, bekas jenderal itu lalu berkata dengan sikap
hormat pula, Soal kerja sama dan yang lain-lain baru bisa dibicarakan dengan
hati terbuka kalau kami sudah diperbolehkan melihat dengan mata kepala sendiri
bahwa keluarga kami berada di sini dalam keadaan selamat. Sebelum itu, engkau
tentu mengerti bahwa kami tidak mungkin dapat melakukan percakapan dengan hati
terbuka.!
Kembali Liong Bian Cu tertawa.
Benar sekali kata-katanya itu, bukan, Suhu?!
Ban Hwa Sengjin mengangguk.
Dia memang laki-laki sejati!!
Suhu, harap suka membawa
mereka melihat keluarga mereka. Akan tetapi hanya melihat saja karena belum
tiba saatnya mereka diperkenankan bicara dan bertemu dengan keluarga mereka.!
Ban Hwa Sengjinkembali
mengangguk, lalu bangkit berdiri dan ditemani oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa
Lo-kwi, dia lalu menghampiri Jenderal Kao Liang dan puteranya.
!Goanswe dan Sicu, mari
silakan ikut bersama kami.!
Dengan jantung berdebar tegang
Kao Liang dan Kok Tiong mengikuti tiga orang kakek itu. Ban Hwa Sengjin
berjalan di depan, diiringkan oleh Kao Liang dan Kok Tiong sedangkan dua orang
kakek iblis itu mengikuti dari belakang. Mereka melalui lorong berlika-liku di
dalam gedung besar itu dan akhirnya Ban Hwa Sengjin berhenti dan memberi
isyarat kepada dua orang itu untuk berhenti. Mereka tiba di sebuah ruangan
kecil dan tidak jauh di depan terdapat sebuah pintu yang lebar dan di depan
pintu ini berdiri enam orang penjaga yang memegang senjata. Melihat kedatangan
Ban Hwa Sengjin, mereka lalu cepat memberi hormat.
Buka daun pintu kayu itu
lebar-lebar agar kami dapat melihat mereka yang berada di dalam!! kata Ban Hwa
Sengjin kepada kepala penjaga. Perintah ini cepat ditaati, rantai pintu itu
dibuka dan pintu itu didorong ke samping. Ternyata di balik pintu kayu itu
terdapat pula ruji-ruji besi seperti kerangkeng dan di belakang ruji-ruji ini
terdapat sebuah kamar yang besar sekali, dengan beberapa buah pembaringan, meja
dan kursi-kursi. Dan di dalam kamar besar yang ditutup ruji dan dijaga ketat
itu terdapat beberapa orang wanita dan anak-anak, ada yang sedang berbaring,
ada yang duduk membaca, ada pula yang menyulam, ada yang sedang bercakap-cakap.
Melihat mereka itu, Kao Liang
dan Kao Tiong memandang dengan mata terbelalak. Mereka itulah keluarga yang
hilang! Dan tidak ada seorang pun yang kurang. Masih lengkap dan kelihatannya
memang sehat, sungguhpun di antara mereka ada yang kelihatan pucat dan kurus.
Dan biarpun tidak ada yang kelihatan gembira, namun harus diakui bahwa mereka
itu selamat dan agaknya kamar besar itu cukup baik, mereka cukup terjamin.
Ayah....!! Tiba-tiba seorang
anak laki-laki berseru dan menuding ke arah Kok Tiong.
Semua orang dalam kamar itu
menengok dan terjadilah pemandangan yang amat memilukan. Para wanita itu
sejenak memandang dengan mata terbelalak ke arah Kao Liang dan Kao Tiong,
seolah-olah tidak percaya, kemudian terdengarlah seruan-seruan mereka memanggil
dan tangis mereka riuh-rendah. Mereka semua lari ke ruji besi, seperti
tawanan-tawanan yang melihat keluarga datang berkunjung.
Ban Hwa Sengjin mengembangkan
kedua lengannya ketika melihat Kao Liang dan Kok Tiong bergerak hendak maju,
sambil berkata, Cukup sudah untuk membuktikan bahwa keluargamu dalam keadaan
selamat, Kao-goanswe.! Lalu dia memerintahkan kepada para penjaga, Tutup
kembali pintunya!!
Kao Liang clan Kok Tiong
berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak, melihat betapa wajah-wajah
orang yang mereka cinta itu lenyap kembali di pintu kayu dan tangis mereka
masih terdengar lapat-lapat. Seperti ditusuk-tusuk rasa jantung Kok Tiong
mendengar putera sulungnya yang baru berusia empat tahun itu
memanggil-manggilnya dari balik daun pintu. Ingin dia memberontak dan
memecahkan daun pintu itu, akan tetapi dia maklum bahwa itu bukanlah cara yang
baik dan selamat, maka dia menekan perasaannya dan ketika tangan ayahnya
menjamah lengannya, dia memutar tubuh dan bersama ayahnya mengikuti kakek botak
kembali ke ruangan tadi di mana pemuda berkulit kehitaman itu masih menanti
mereka sambil tersenyum-senyum.
Begitu tiba di ruangan itu,
Kao Liang lalu menghadapi pemuda asing itu dan berkata dengan suara tegas,
Orang muda, apakah artinya semua ini? Lekas katakan, siapakah engkau dan kerja
sama yang bagaimana yang kauminta dariku?!
Kao-goanswe, dan Kao-sicu,
duduklah kalian agar kita dapat bicara dengan baik,! kata Liong Bian Cu sambil
memberi isyarat kepada pelayan. Segera pelayan datang membawa cawan dan
meletakkan cawan dan mangkok di depan ayah dan anak itu, kemudian hidangan
dikeluarkan, hidangan yang masih panas.