Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 27 - Bukan Anak Kandung
Kini, melihat pangeran itu
memeriksa pundak kirinya dan agaknya tenggelam dalam pekerjaannya itu,
diam-diam Hwee Li mengeluarkan ular merahnya. Ular itu kecil sekali, sebesar
kelingking jari tangannya, panjangnya hanya dua jengkal, kulitnya merah seperti
darah, matanya juga merah dan lidahnya hitam. Inilah Hiat-coa (Ular Darah) dari
Gurun Pasir Go-bi-pai yang merupakan binatang yang sukar sekali dilihat orang,
seekor ular janah yang amat berbahaya dan racunnya amat hebat.
Ssssshhh....!!
Liong Bian Cu terkejut sekali
dan cepat dia meloncat mundur ketika dia melihat sinar merah meluncur ke arah
mukanya. Matanya terbelalak dan dia berusaha menghindarkan diri, akan tetapi
gerakan ular itu lebih hebat dan cepat lagi, seolah-olah burung terbang dan
tahu-tahu pundak pangeran itu telah kena digigitnya. Liong Bian Cu mengeluarkan
suara melengking nyaring, jeritan maut yang amat lantang, lalu tubuhnya
terhuyung dan roboh ke atas lantai.
Melihat ini, Hwee Li girang
sekali dan cepat dia meloncat ke arah jendela kamar itu. Akan tetapi, begitu
dia meloncat, dari jendela itu muncul dua orang penjaga yang memegang pedang.
Hwee Li menggunakan kakinya menendang dari samping untuk menangkis sambaran
pedang. Kini tangan kirinya bergerak dan sinar hitam panjang bergerak ke depan.
Ular hitam panjang itu mematuk dan dua orang penjaga roboh seketika.
Bocah setan, berani engkau
mengacau lagi?! Tiba-tiba terdengar bentakan dan Hek-hwa Lo-kwi muncul bersama
Hek-tiauw Lo-mo!
Ayah, aku sudah membunuh Liong
Bian Cu!! teriak Hwee Li. Mari kita cepat pergi dari sini!!
Apa? Anak durhaka, engkau
patut dihukum! Hek-tiauw Lo-mo berseru marah sedangkan Hek-hwa Lo-kwi cepat
melohcat memasuki jendela dan cepat kakek ini memondong tubuh Pangeran Liong
Bian Cu yang sudah menjadi biru mukanya. Hek-hwa Lo-kwi adalah ahli racun yang
telah kebagian kitab yang dicuri bersama Hek-tiauw Lo-mo dari Si Dewa Bongkok,
bagian tentang racun dan pengobatannya, maka kini dia cepat membawa pergi Liong
Bian Cu untuk diobati.
Sementara itu, melihat ayahnya
sudah menyerangnya, Hwee Li menjadi marah juga. Ayah, apa engkau sudah gila?!
Dia nemaki sambil mengelak dari sambaran pedang yang amat mengerikan, pedang
yang mendatangkan hawa mujijat. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar
Nyawa) yang amat mujajat. Pedang ini dahulu adalah milik Cui-beng Koai-ong,
tokoh nomor satu dari Pulau Neraka, dan akhirnya pedang itu tadinya terjatuh ke
tangan Ang Tek Hoat dan kemudian, ketika Tek Hoat tertawan, pedang itu terjatuh
ke tangan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang (baca Kisah Sepasang Rajawali).
Sambil mengelak, Hwee Li yang sudah marah sekali itu memaki, Aku adalah anakmu,
apakah Ayah hendak membunuhku?!
Bocah keparat, anak durhaka!!
Hek-tiauw Lo-mo yang sudah marah sekali kembali menyerangnya dengan dahsyat.
Baik! Ayah membela musuh dan
melawan anak sendiri! Ayah memaksa aku untuk melawan!! Hwee Li juga
mengeluarkan dua ekor ularnya yang panjang itu dan balas menyerang.
Bertempurlah anak dan ayah ini untuk kedua kalinya, kini lebih seru dan hebat
karena Hwee Li benar-benar melakukan perlawanan mati-matian.
Setelah dara itu melakukan
perlawanan nekat dengan menggunakan dua ekor ularnya yang amat berbahaya,
Hek-tiauw Lo-mo bergerak dengan hati-hati. Dia maklum bahwa anaknya itu telah
menguasai banyak ilmu yang aneh dan hebat. Beberapa kali dia menggerakkan
pedangnya untuk membunuh ular-ular itu, akan tetapi dua ekor ular itu adalah
mahluk hidup, selain memiliki gerakan sendiri untuk mengelak, juga digerakkan
oleh tangan Hwee Li yang mahir. Bahkan beberapa kali hampir saja tangan
Hek-tiauw Lo-mo terpatuk oleh ular-ular itu.
Hemmm, inikah anakmu,
Hek-tiauw Lo-mo? Sungguh ganas dan liar dia!! Tiba-tiba terdengar suara besar
yang berwibawa dan munculiah dua orang kakek. Yang seorang adalah kakek tinggi
besar, sama tinggi besarnya dengan Hek-tiauw Lo-mo, seperti seorang raksasa
yang kepalanya botak, pakaiannya indah dan mewah dengan mantel merah, sepatunya
pakai lapis baja dan sepasang matanya besar sekali, usianya tentu hampir enam
puluh tahun akan tetapi wajahnya masih segar dan kemerahan. Sikapnya amat
berwibawa dan di belakangnya berdiri seorang kakek lain yang bersorban,
berkulit hitam, jenggotnya panjang sampai ke perut, tangan kiri memegang
tongkat cendana dan wajahnya seperti topeng, sama sekali tidak pernah bergerak
seolah-olah mati.
Melihat munculnya dua orang
kakek ini, Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Itulah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal,
dan kakek Nepal bersorban itu adalah Gitananda, pembantunya yang lihai dan
pandai sihir.
Maafkan, Sengjin, anakku
kurang ajar dan perlu saya hukum!! teriak Hek-tiauw Lo-mo dan pedang
Cui-beng-kiam diputarnya cepat. Melihat ini, Hwee Li menarik kedua ekor ularnya
karena tidak ingin ular-ularnya menjadi korban pedang ayahnya. Akan tetapi,
pada saat itu, tendangan kaki Hek-tiauw Lo-mo yang amat cepat datangnya tak
dapat dielakkan oleh Hwee Li. Pahanya tertendang dan dara ini hanya dapat
mengerahkan sinkang untuk melindungi pahanya.
Desss....!! Dia terlempar dan
terbanting, bergulingan.
Mampus kau!! Hek-tiauw Lo-mo
berteriak dan pedangnya menyambar. Hwee Li terkejut bukan main. Tak disangkanya
bahwa ayahnya benar-benar hendak membunuhnya. Pedang itu menyambar ganas dan
merupakan serangan maut. Terpaksa dia menggunakan dua ekor ularnya untuk balas
menyerang. Dua ekor ular itu meluncur dan kalau pedang Hek-tiauw Lo-mo
dilanjutkan untuk membacok tubuh dara itu, tentu dua ekor ular itu akan
berhasil pula menggigitnya. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo mengubah gerakan
pedangnya, dibabatkan ke samping dua kali.
Crok! Crokkk!!
Ihhhhh.... kau membunuh
ular-ularku....?! Hwee Li menjerit dengan isak tertahan dan dia berlaku nekat,
menubruk ayahnya dengan kedua tangan kosong dan melancarkan pukulan-pukulan
beracun.
Anak setan!! Hek-tiauw Lo-mo
menyambutnya dengan tusukan Cui-beng-kiam dan sekali ini, tak mungkin Hwee Li
dapat menghindarkan diri dari tusukan maut itu.
Tiba-tiba nampak sinar
menyambar. Trangg....!! Pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan Hek-tiauw
Lo-mo. Kakek itu terkejut dan melompat ke belakng. Kiranya Ban Hwa Sengjin
sudah turun tangan menggunakan sebutir kerikil memukul ke arah pedangnya itu
dengan sambitannya.
Dia adalah calon isteri
Pangeran, bagaimana kau berani mencoba untuk membunuhnya!! teriak Koksu Nepal
itu. Gitananda, tangkap Nona itu!!
Gitananda membungkuk dan
sekali dia menggerakkan kedua kakinya, dia sudah meloncat ke depan Hwee Li.
Tiba-tiba tangan kiri kakek Nepal ini mengeluarkan sesuatu dan ada cahaya
menyorot ke muka kakek itu. Hwee Li tentu saja tidak mengerti apa yang terjadi
dan melihat ada cahaya menyorot ke muka kakek itu, dia memandang. Kiranya kakek
itu memegang sebuah cermin dan pantulan sinar matahari menyorot ke mukanya
sendiri. Melihat wajah yang berkilauan terkena cahaya itu, Hwee Li memandang
terbelalak. Dia seperti melihat wajah yang aneh, wajah dalam dongeng tentang
dewa-dewa! Dan betapapun dia hendak mengalihkan pandangannya, dia tidak dapat!
Dia tidak dapat menguasai pandang matanya sendiri yang terus menatap wajah
kehitaman dengan mata yang tajam berpengaruh itu.
Tongkat Gitananda menyambar
dan dengan perlahan mengetuk tengkuk Hwee Li. Gadis itu sama sekali tidak mampu
bergerak untuk mengelak, seolah-olah pandang matanya yang melekat pada wajah
menyeramkan itu membuat seluruh tubuhnya lumpuh. Ketika tongkat mengenai tengkuknya,
dia mengeluh memejamkan matanya dan roboh terguling, pingsan!
***
Kesadaran perlahan-lahan
menyusupi dirinya. Mula-mula hanya pendengarannya yang bekerja. Dia mendengar
suara berapa orang bercakap-cakap, makin lama makin jelas dan perhatiannya
tertuju kepada suara-suara itu karena di antara suara-suara itu dia mendengar
suara ayahnya. Matanya masih dipejamkan dan dia masih belum mempunyai keinginan
untuk melihat di mana adanya dia dan dalam keadaan bagaimana. Dia masih
terlampau lemah untuk itu dan kini dia hanya tinggal diam dengan tenang, hanya
membuka telinga mendengarkan.
Kalau Paduka suka menggunakan
obat hamba tentu mudahlah menundukkan dia. Dia akan jatuh cinta, kepada Paduka,
dan akan mentaati semua perintah Paduka,! terdengar suara parau dan asing,
suara yang tidak dikenalnya, namun dapat diduganya bahwa agaknya itu adalah
suara orang Nepal yang memegang tongkat itu.
Ah, Gitananda, aku sudah tahu
akan kepandaianmu dan aku percaya bahwa menggunakan obat dan sihirmu, dia akan
tunduk kepadaku. Akan tetapi aku tahu pula bahwa kekuatan sihir dan obat itu
hanya sementara saja. Dan aku menghendaki agar dia selama hidupnya tunduk dan
membalas cintaku!! terdengar suara yang amat dikenalnya, suara halus dan sopan,
suara Liong Bian Cu. Ah, jadi pangeran itu belum mampus, pikirnya dengan
perasaan menyesal. Biarpun sudah terkena gigitan ular darah, tapi masih hidup
Hemmm, tentu Hek-hwa Lo-kwi yang mengobatinya. Dia tahu bahwa kakek itu juga
seorang ahli racun yang jempol!
Dia memang keras kepala!! Tiba-tiba
terdengar suara ayahnya. Anak itu keras kepala dan keras hati, seperti ibunya!
Sebaiknya kalau Pangeran menggunakan kekerasan menundukkan dia, seperti
menjinakkan seekor kuda betina yang liar. Hanya kalau dia sudah satu kali
menjadi milik Pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk,
seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu. Percayalah kepada saya,
Pangeran. Itu satu-satunya cara untuk menjinakkan dia. Paksa saja dia menjadi
milik Pangeran malam ini juga, dan besok atau lusa, dia sudah akan menjadi
jinak, untuk selama-lamanya!!
Hwee Li hampir menjerit. Dia
mengepal tinju dan berniat untuk meloncat turun. Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dia tidak mampu menggerakkan kaki dan
tangannya. Dia tidak tertotok, kaki tangannya dapat bergerak, akan tetapi tidak
dapat dipindahkan dari tempatnya. Cepat dia membuka matanya dan dia makin
terkejut. Dia rebah terlentang di atas pembaringannya, kedua kakinya terpentang
dan setiap kaki terbelenggu pada ujung pembaringan, demikianpun dengan kedua
lengannya, terpentang dan pergelangan lengan terbelenggu dengan rantai baja
pada ujung pembaringan. Dia seperti seekor lembu atau domba yang terikat dan
siap untuk disembelih!
Dia berada di dalam kamar
mewah itu dan orang-orang yang suaranya didengarnya itu bercakap-cakap di luar
kamar. Dia mendengarkan lagi. Dan kini dia mendengar suara Hek-hwa Lo-kwi.
Agaknya memang tepat apa yang
diusulkan oleh Lo-mo, Pangeran. Anak itu amat keras hati, membujuknya saja akan
sia-sia. Dan kekerasan yang tidak dapat diluluhkan oleh kelembutan, dapat
dikalahkan oleh kekerasan pula.!
Akan tetapi.... ah, aku
sungguh cinta kepadanya, dan aku ingin sekali agar dia dapat membalas cinta
kasihku dengan sewajarnya. Pangeran itu membantah dan mengeluh. Menggunakan
kekerasan? Memperkosanya? Ah, betapa hal itu akan menyiksa hatiku, aku tidak
ingin melihat dia berduka....!
Hemmm, pada mulanya memang dia
akan menangis dan berduka, akan membencimu, akan tetapi lambat-laun kebencian
itu akan berubah menjadi cinta. Dia persis ibunya....! terdengar Hek-tiauw
Lo-mo berkata pula.
Akan tetapi, melihat dia
dibelenggu terus....!
Hal itu tidak perlu lagi
setelah Paduka dapat memaksa dan memilikinya, Pangeran,! kata Hek-hwa Lo-kwi.
Dan jangan khawatir dia akan dapat melarikan diri. Dia akan saya beri obat
beracun dan racun itu akan mengeram di dalam dirinya, akan membunuhnya dalam
waktu satu tahun. Sedangkan obat penawarnya berada di tangan Paduka.!
Hening sejenak. Kemudian
terdengar lagi suara ayahnya, suara yang mulai mendatangkan kebencian di hati
Hwee Li. Dia amat cerdik dan banyak akalnya, Pangeran. Selama dia belum menjadi
milikmu, dia tentu akan menggunakan segala akalnya dan hal itu dapat
nenimbulkan kesukaran. Akan tetapi kalau malam ini Paduka berhasil memilikinya,
semua daya lawannya akan patah dan luluh. Percayalah.!
Sudahlah, tinggalkan kami
berdua. Akan kupikirkan usul-usul kalian.!
Terdengar langkah kaki tiga
orang kakek itu pergi dan tak lama kemudian, daun pintu kamar itu terbuka dan
munculiah Liong Bian Cu. Melihat pangeran itu, Hwee Li membuang muka. Pangeran
itu menghampiri dan duduk di dekat pembaringan, di atas sebuah kursi. Sejenak
dia diam saja hanya menatap wajah yang miring itu. Kemudian dia menarik napas
panjang.
Ahhhhh, betapa sedih hatiku
melihat engkau terbelenggu kaki tanganmu seperti ini, Nona Hwee Li. Betapa
perih hatiku yang mencintamu melihat bahwa hal ini terpaksa dilakukan karena
engkau ternyata tega hendak membunuhku. Nyaris saja aku tewas oleh gigitan ular
merahmu itu. Kalau tidak ada Hek-hwa Lo-kwi, tentu tercapai maksudmu dan aku
sudah mati. Akan tetapi tentu engkau pun tidak akan terhindar dari maut.!
Hwee Li tidak menjawab dan
tidak menoleh. Masih terlalu ngeri hatinya mendengar percakapan tadi.
Jantungnya berdebar keras. Mau apakah pangeran ini? Apakah benar-benar hendak
melaksanakan usul-usul tadi? Hampir dia pingsan kembali membayangkan hal itu!
Ingin dia menangis, ingin dia minta-minta ampun agar dibebaskan saking ngeri
dan takutnya, akan tetapi wataknya yang keras dan gagah melarangnya berbuat
seperti itu. Dia hendak memperlihatkan, terutama kepada ayahnya, bahwa sampai
mati dia tidak takut menghadapi apapun! Akan tetapi, dia tidak boleh nekat
begitu saja. Selama dia masih hidup, dia harus berusaha menggunakan kecerdikannya
untuk meloloskan diri dari bahaya penghinaan hebat itu!
Aku memang hendak membunuhmu.
Maka sebaiknya Kau bunuh saja aku sekarang!! akhirnya dia berkata sambil
memutar otaknya mencari akal. Dia masih belum berani memandang, karena dia
khawatir kalau sinar mata yang tajam itu akan dapat menjenguk isi hatinya.
Pangeran itu menyentuh lengan
tangan Hwee Li, dan membelai lengan yang berkulit halus itu. Hwee Li memejamkan
matanya. Rabaan jari-jari tangan pada lengannya itu menimbulkan perasaan jijik
dan geli, juga gelisah dan ngeri.
Ahhh, bagaimana mungkin aku
membunuhmu, sayang? Tidak tahukah bahwa aku cinta kepadamu, Nona?!
Aku sudah berdosa hendak
membunuhmu, dan aku kelak akan membunuhmu kalau kau tidak membunuhku sekarang!!
Hwee Li memancing.
Tidak.... tidak....! Engkau
masih muda, engkau belum tahu betapa aku amat mencintaimu. Kalau kau tahu,
engkau akan menyesal, Hwee Li. Perbuatanmu itu amat kejam, sedangkan aku....
ah, tanpa engkau sebagai isteriku, hidup rasanya akan menjadi hampa....!
Hemmm, bagus, ya? Siapa sudi
percaya obrolanmu tentang cinta? Kalau engkau benar mencintaku, mengapa engkau
membiarkan aku dibelenggu seperti ini? Beginikah perlakuan orang yang
mencinta?! Hwee Li kini memandang dan menjebikan bibirnya yang merah.
Pangeran itu mengerutkan
alisnya dan matanya menjadi sayu, berduka. Kini dia melepaskan lengan Hwee Li
dan kini jari-jari tangannya meraba kaki dara itu, mengelus betis yang nampak
karena pipa celana kanannya tertarik ke atas. Betis yang berkulit putih mulus
kemerahan itu, yang kulitnya kelihatan demikian tipis dan halusnya sehingga
urat-uratnya membayang, dirabanya dengan penuh kemesraan dan kegairahan. Kini
Hwee Li menggigil. Seluruh bulu di tubuhnya bangkit berdiri, meremang saking
ngerinya. Ingin dia menjerit, ingin dia memaki agar pangeran itu jangan
mengusap dan membelai betis kakinya. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya.
Sudah kukatakan tadi, sayang.
Hatiku berduka, jantungku berdarah melihat kakimu yang indah dan tanganmu yang
halus itu dirantai seperti ini. Akan tetapi, mengapa engkau memperlihatkan
kekerasan dan tidak sudi menerima cintaku? Tentu saja, kalau engkau mau
menerima dan membalas cintaku engkau tidak akan dibelenggu, bahkan engkau akan
menjadi orang paling terhormat dan paling mulia di sini, di seluruh Nepal, dan
di seluruh dunia! Engkau akan menjadi permaisuri, menjadi ratu,
disembah-sembah! Mengapa engkau tidak mau menjadi kekasihku, sayang? Aku Liong
Bian Cu dapat menciptakan sorga untukmu, engkau dapat bergelimang dalam
kemewahan, kemuliaan dan kehormatan.!
Hemmm, janjimu terlalu muluk,
Pangeran. Bagaimana kalau aku berjanji untuk tidak melawan dan untuk.... hemm,
belajar mempertimbangkan cintamu dan mungkin kelak dapat menerima dan membalas
cintamu?! kata Hwee Li hati-hati. Apakah dengan janjiku itu engkau mau
membebaskan aku sekarang juga?!
Tentu saja! Tentu saja akan
kubebaskan sekarang juga!! kata pangeran itu penuh gairah kegembiraan.
Dapat dibayangkan betapa
tegang dan gembira hati Hwee Li mendengar ini dan dia meraba betapa tangan
pangeran itu telah meraba-raba belenggu kedua kakinya. Akan tetapi, timbul
kekecewaannya karena jari-jari tangan pangeran itu kembali meninggalkan
belenggu dan terdengar pangeran itu berkata, Nona, aku sungguh mencinta dan
kasihan kepadamu. Akan tetapi, bagaimana aku dapat mempercaya janjimu. Betapa
aku ingin kita dapat saling percaya dan saling mencinta, akan tetapi apa yang
baru saja Kau lakukan terhadapku sungguh membuat hatiku meragu. Dan engkau
belum berjanji.!
Dengan jantung berdebar Hwee
Li berkata, Aku berjanji, Pangeran! Aku berjanji bahwa aku akan
mempertimbangkan cintamu dan aku akan belajar membalas cintamu!!
Mulut pangeran itu tersenyum
lebar, matanya yang cekung bersinar-sinar, akan tetapi dia belum bergerak
membuka belenggu kaki dan tangan Hwee Li. Kau berani bersumpah?! tanyanya
perlahan.
Aku bersumpah!! jawab Hwee Li
sedangkan di dalam hatinya dia mengejek. Apa artinya sumpah baginya? Apalagi
bersumpah di depan orang Nepal yang dibencinya ini!
Ahhh, sumpah dan janji harus
disertai bukti, Nona Manis.!
Bukti? Bukti bagaimana
maksudmu?! Hwee Li bertanya, penasaran dan kecewa.
Kalau benar engkau mempunyai
maksud hati yang baik dan tidak hendak berlaku curang kepadaku, kalau benar
engkau jujur dalam janjimu, engkau tentu mau memperlihatkan kebaikanmu itu
untuk menciumku.! Pangeran itu tersenyum dan memandang tajam.
Hwee Li merasa betapa wajahnya
panas sekali. Dia tidak tahu betapa kedua pipinya menjadi merah seperti udang
direbus mendengar permintaan pangeran itu. Ingin dia menjerit, memaki dengan
segala macam makian kotor yang pernah didengarnya. Akan tetapi dara yang cerdik
ini menekan perasaannya dan dia lalu berkata, Aku mau....!
Sepasang mata yang cekung itu
berkilat. Benarkah? Aihhh, Nona Hwee Li, kekasihku...., benarkah engkau mau
menciumku? Ah, betapa bahagia hatiku dan kalau benar, aku akan mempercayaimu
sepenuh hatiku. Nah, kauciumlah aku, sayang.! Pangeran itu lalu berlutut di
dekat pembaringan dan mendekatkan mukanya pada muka dara itu.
Ketika muka itu mendekati mukanya,
Hwee Li merasa ngeri bukan main. Tercium bau wangi yang aneh, agaknya pangeran
itu memakai minyak wangi yang asing, bercampur bau badan pria yang mungkin
keluar dari keringat, seperti bau binatang liar, dan napas pangeran itu menyapu
pipinya, panas dan tersendat-sendat. Hwee Li memejamkan matanya dan dengan
cepat menggerakkan mukanya sehingga hidungnya menyapu pipi pangeran itu.
Ngokkk!!
Pertemuan antara ujung hidung
dan sebagian bibirnya dengan pipi yang panas kasar itu membuat Hwee Li
mengkirik dan bulu tengkuknya meremang.
Terima kasih.... ha-ha,
ciumanmu seperti ciuman seorang anak kecil. Nona, karena kita kelak akan
menjadi suami isteri, maka tiada buruknya kalau kita saling mencium. Dan
mengingat betapa Nona adalah seorang dara yang masih murni dari hijau, biarlah
saya memberi contoh bagaimana kalau mencium kekasih.! Setelah berkata demikian,
tiba-tiba pangeran itu merangkul Hwee Li dan sebelum gadis itu dapat membuang
muka, tahu-tahu bibirnya telah dicium oleh pangeran itu. Ketika merasa betapa
sepasang bibirnya tertawan daham ciuman mulut yang panas itu, hampir saja Hwee
Li menjadi pingsan. Dia menggerak-gerakkan kepalanya agar bibirnya terlepas
dari ciuman, akan tetapi mulut pangeran itu menempel pada mulutnya seperti
seekor lintah yang tidak mau lepas lagi. Setelah napas mereka terengah-engah,
barulah pangeran itu melepaskannya.
Wajah Hwee Li menjadi pucat,
matanya terbelalak penuh kemarahan dan dua titik air mata meloncat ke luar dari
sepasang matanya. Akan tetapi wajah pangeran itu menjadi kemerahan, napasnya
tersendat-sendat, tanda bahwa nafsu berahi telah naik ke kepala pangeran itu.
Dia memandangi wajah dan tubuh Hwee Li dengan mata merah. Benar hemm, ....
benar usul mereka....! katanya lirih dan kini tangannya meraba baju Hwee Li. Dara
itu memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi telah mendengar usul-usul yang
dikeluarkan oleh suara ayahnya sendiri dan suara Hek-hwa Lo-kwi, maka tahulah
dia apa yang akan dliakukan oleh pangeran itu.
Jangan....! bisiknya dengan
muka makin pucat. Lepaskan aku....!! Dia meronta, akan tetapi karena kaki dan
tangannya terikat, dia hanya dapat menggerak-gerakkan pinggang dan lehernya
saja.
Brettttt....!! Sekali renggut
saja robeklah baju Hwee Li sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup pakaian
dalam yang tipis.
Jangan....! Aku akan bunuh
diri kalau Kau lanjutkan.... aku akan menggigit putus lidahku....!!
Pangeran yang sedang dikuasai
nafsu berahi itu terkejut, secepat kilat tangannya bergerak ke arah leher Hwee
Li, menotok ke bawah telinga dan seketika gadis itu tidak mampu lagi
menggerakkan dagunya, apalagi untuk menggigit!
Hwee Li, aku terlalu cinta
padamu, aku ingin engkau dapat membalas cintaku, maka aku juga tidak segan
mempergunakan segala cara....! katanya terengah-engah dan kembali dia sudah menubruk
gadis itu penuh nafsu berahi yang berkobar-kobar.
Hwee Li merasa takut sekali.
Dia teringat akan jalan satu-satunya untuk membunuh diri. Maka dia melupakan
segalanya, menutup ingatannya dan menahan napasnya.
Pangeran itu sudah meraba
pakaian dalamnya ketika melihat wajah Hwee Li. Dia terkejut sekali. Ahhhhh....!
Dan cepat dia turun dari atas tubuh Hwee Li yang sudah ditindihnya, kini dia
mengguncang-guncangkan pundak dara itu dengan muka pucat. Hwee LI....! Hwee
Li.... jangan.... jangan....aihhh, Hwee Li, aku tidak akan memaksamu.... jangan
begitu nekat....!! Dia menggunakan tangannya untuk mengurut leher dan ulu hati
gadis itu, dalam keadaan panik dan khawatir itu dia tidak lagi merasakan betapa
tangannya tanpa disengaja menyentuh dua buah bukit dada yang sedang mekar itu.
Lenyap sama sekali nafsu berahinya karena sama sekali dia tidak ingat lagi akan
hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kini pikirannya penuh dengan kekhawatiran
melihat betapa wajah dara itu kebiruan dan napasnya sama sekali terhenti,
dadanya mekar penuh dengan hawa yang ditahan-tahan dan tidak dikeluarkan.
Hwee Li....!! Dia mengeluh
dengan suara seperti orang menangis.
Akhirnya, karena dipaksa oleh
pijatan dan urutan tangan Liong Bian Cu, Hwee Li bernapas lagi, terengah-engah
dan terbatuk-batuk. Dia sadar kembali, membuka matanya dan melihat bahwa
tubuhnya masih tertutup pakaian dalam, tahulah dia bahwa dia belum ternoda. Dia
melihat pangeran itu berlutut dan ada air mata di kedua pipi pemuda itu!
Hwee Li.... ah, Hwee Li, apa
yang akan kulakukan tadi? Kau ampunkan aku, Hwee Li, percayalah, semua yang
kulakukan kepadamu terdorong oleh rasa cintaku yang besar....! Liong Bian Cu
meratap.
Hemmm, kau tahu sekarang bahwa
setiap saat aku dapat membunuh diri dan kau sama sekali tidak akan mampu
mencegahku? Aku sudah berjanji, dan kau ternyata hendak melanggar, padahal kau
pun berjanji akan membebaskan aku.!
Akan kubebaskan.... sekarang
juga, akan tetapi kau pun harus berjanji tidak akan membunuh diri....!
Hwee Li tersenyum. Aku tidak
akan begitu bodoh untuk membunuh diri, Pangeran. Akan tetapi, kau tidak boleh
menyentuhku, tidak boleh menciumku seperti tadi, apalagi menggunakan kekerasan
untuk memperkosa. Kalau kau melakukan satu kali saja, aku akan mencoba untuk
membunuhmu, dan kalau aku gagal, aku akan membunuh diri sendiri. Kau boleh
memiliki tubuhku sebagai mayat!!
Tidak...., tidak...., kau
maafkanlah aku, sayang. Nah, lihat, aku akan membebaskanmu sekarang juga.! Dia
meraba belenggu, akan tetapi berhenti lagi. Diam-diam Hwee Li gemas bukan main.
Pangeran ini amat berbahaya, juga amat besar curiga dan hati-hati, amat licin
dan cerdik!
Tapi, kau benar-benar mau
menjadi isteriku, bukan? Jawablah, Hwee Li sekarang juga. Karena kalau kau suka
berjanji untuk menjadi isteriku, apa pun akan kulakukan demi engkau, sayang.
Sebaliknya, aku tidak mau disiksa menantikan sesuatu yang tidak akan terjadi,
tidak mau disiksa dengan harapan kosong yang tidak akan terpenuhi. Kalau kau
tidak mau, katakan saja tidak mau. Aku tidak akan memaksamu, aku terlalu cinta
padamu untuk melihat engkau menderita di bawah tanganku, akan tetapi.... hemmm,
kalau tidak mau, aku akan hadiahkan engkau kepada anak buahku!!
Hwee Li merasa ngeri. Dia
maklum bahwa gertakan pangeran ini bisa saja dilaksanakan kalau dia membuat
pangeran ini putus harapan dan marah. Aku berjanji, Pangeran. Akan tetapi aku
bukanlah seorang wanita sembarangan saja. Aku hanya mau menjadi isterimu dalam
pernikahan yang syah, pernikahan yang dirayakan secara meriah dan disaksikan
oleh banyak tamu di dunia kang-ouw. Sebelum itu, sekali saja engkau
menyentuhku, aku akan membunuh diri! Kehormatanku jauh lebih penting daripada
nyawaku. Nah, aku sudah berjanji, terserah kepadamu!!
Bukan main girangnya hati
Liong Bian Cu. Dia mengeluarkan kunci dari dalam saku bajunya dan segera
membuka kunci belenggu kaki tangan Hwee Li. Dara itu bangkit duduk di atas
pembaringan, menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya, bergantian, untuk
melancarkan jalan darah yang tadi terganggu oleh himpitan belenggu. Tiba-tiba
dia teringat akan peristiwa tadi, betapa mulutnya dicium dengan lahapnya oleh
mulut Liong Bian Cu. Teringat akan ini, tiba-tiba saja Hwee Li muntah-muntah!
Ah, kau sakit....! Kalau
pusing, engkau rebahlah, Hwee Li....! Liong Bian Cu terkejut sekali melihat
gadis itu muntah-muntah di atas lantai dekat pembaringan, lalu mendekati untuk
memijat-mijat tengkuk gadis itu.
Sudah, aku tidak apa-apa!!
Hwee Li berkata sambil melepaskan tangan yang memijit-mijit tengkuknya. Dia menggunakan
lengan baju untuk mengusap mulutnya, diusapnya keras-keras karena dia bukan
hanya mau menghapus bekas muntah tadi, melainkan hendak menghapus bekas ciuman
dari kedua bibirnya.
Sungguh engkau tidak apa-apa,
Moimoi (Dinda)....?! tanya Liong Bian Cu, suaranya penuh kasih sayang dan dia
bertepuk tangan memanggil pelayan. Pelayan datang dan segera disuruh
membersihkan lantai. Pelayan itu lalu disuruh keluar lagi setelah selesai
mengerjakan perintah itu.
Bekas belenggu itu menyakitkan
tanganmu, Hwee Li?! Dia merayu lagi dan mendekati, membantu gadis itu
menggosok-gosok pergelangan tangannya. Biar kulancarkan jalan darahnya dengan
urutan tangan dan....!! Tiba-tiba pangeran itu menghentikan kata-katanya,
karena dia merasa betapa tangan yang kecil halus namun mengandung tenaga yang
amat kuat itu kini telah mencengkeram jalan darah di dekat ulu hatinya, jalan
darah kematian!
Jangan bergerak atau kau akan
mampus!! Hwee Li menghardik.
Aihhh, apa yang hendak Kau
lakukan ini, Moi-moi....?! Pangeran itu mengeluh, tidak berani bergerak karena
sekali saja dara itu mengerahkan sinkang dan mencengkeram, tidak ada yang dapat
menolong nyawanya lagi.
Dengar kau, Liong Bian Cu!
Engkau tadi telah menghinaku, dan untuk.... ciuman itu saja engkau sudah layak
mampus. Apalagi penghinaan lainnya tadi! Hayo Kau antar aku keluar dari lembah
ini, kalau tidak, engkau akan mampus sekarang juga.!
Ah, Hwee Li, apa kaukira aku
takut mati? Akan tetapi, bukan kematianku yang kutakutkan, melainkan nasibmu.
Kalau kau membunuhku, apa kaukira akan dapat lolos dari kematian? Engkau yang
masih begini muda remaja, cantik jelita, pasti tidak akan lolos dari kematian
di tangan Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo dan semua anak buahku dan anak
buah Kui-Liong-pang. Aku mati, akan tetapi engkau juga mati, apa bedanya
bagiku? Kita akan berkumpul juga di alam baka! Mati di tangan seorang yang
kucinta seperti engkau adalah kematian yang menyenangkan, Hwee Li. Nah, Kau
bunuhlah dan aku akan menantimu di sana karena aku yakin engkau akan menyusulku
cepat, dalam hari ini juga.!
Bohong!! bentak Hwee Li. Kalau
kau mampus, ayah tentu tidak melihat kegunaannya lagi berada di sini dan
mengorbankan aku. Ayah tentu akan membantuku melarikan diri. Betapapun juga,
dia adalah ayah kandungku sendiri!!
Tiba-tiba pangeran itu tertawa
dan Hwee Li memperkuat cengkeramannya sehingga kuku-kuku jarinya sudah mulai
terbenam sedikit ke dalam baju dan me nyentuh kulit di dada Liong Bian Cu.
Ha-ha-ha-ha! Ayah kandungmu?
Hwee Li, kalau dia ayah kandungmu, mana mungkin dia sengaja menyerahkan engkau
kepadaku, bahkan dia menasihatkan aku untuk memperkosamu? Kalau dia ayah
kandung yang mencinta puterinya, mana mungkin dia tega melakukan hal itu?
Sedangkan aku saja, seorang pria muda yang mencintamu, masih tidak tega
memperkosamu seperti yang Kau lihat sendiri tadi. Dia bukan ayah kandungmu,
Hwee Li, engkau adalah anak pungut dari Hek Tiauw Lo-mo!!
Bohong....!! Hwee Li menjerit
dan dia lupa dengan ancamannya, kini tangannya bergerak menampar.
Plakkk!! Pipi Liong Bian Cu
ditamparnya dan tubuh pemuda bangsawan itu terhuyung ke belakang. Akan tetapi
dia hanya tersenyum dan mengelus pipinya yang menjadi merah sekali oleh
tamparan tadi.
Bohong kau....! Bohong....!!
bentak Hwee Li, wajahnya pucat dan air matanya menitik turun.
Tidak, Hwee Li, aku tidak
bohong. Ayahmu sendiri yang akan menceritakan kepadamu,dan kau boleh bertanya
kepadanya. Semua peristiwa itu diketahui Hek-hwa Lo-kwi, dahulu sahabat ayahmu,
dan aku mendengar dari Hek-hwa Lo-kwi. Hek-tiauw Lo-mo tidak pernah punyak anak,
dan engkau bukan puterinya.!
Mata yang indah itu
terbelalak, kedua kakinya menggigil. Bohong...! Bohong...!! Dara itu meloncat
ke luar dari kamar dan berlari sambil menutupi mukanya dan menangis
terisak-isak.
Malam telah tiba. Di luar
sudah gelap. Akan tetapi tidak terlalu gelap karena bulan telah muncul di
angkasa timur. Biarpun bukan bulan purnama, namun bulan yang tiga perempat itu
cukup mengusir kegelapan dan menimbulkan cahaya remang-remang yang sejuk dan
kehijauan. Hwee Li berlari terus sambil menangis dan akhirnya dia baru berhenti
ketika tiba di tepi sungai yang mengurung lembah. Dia menjatuhkan diri di atas
rumput dan menangis sejadi-jadinya. Ia mengingat akan semua pengalamannya
dengan ayahnya, waktu yang belasan tahun itu seperti membayang semua di
benaknya. Ayahnya selalu memanjakannya, selalu mencintanya. Hanya akhir-akhir
ini berubah. Dan dia mendengar ucapan ayahnya ketika bercakap-cakap di luar
kamar tadi. Apa kata ayahnya ke pada Pangeran Liong Bian Cu? Terngiang di
telinganya sebagian dari kata-kata. ayahnya yang sukar dia lupakan, Hanya kalau
dia satu kali sudah menjadi milik pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya,
dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu.!
Ah, ayahnya hanya bilang bahwa
ibunya telah meninggal dunia ketika dia masih kecil. Dia sama sekali sudah
tidak ingat lagi kepada ibunya. Dan dia percaya! Siapakah ibunya? Siapa pula
ayahnya? Apa yang terjadi dengan mereka? Dan bagaimana dia bisa menjadi anak
Hek-tiauw Lo-mo dan tinggal di Pulau Neraka?
Hwee Li masih menangis, akan
tetapi sekarang pikirannya bekerja. Kalau benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan
ayahnya, tentu dia tidak bisa mengharapkan bantuan dari kakek itu. Dia
sendirian saja dikurung di dalam lembah itu, bahkan ayahnya itu juga membantu Pangeran
Liong Bian Cu. Dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa, dan kalau dia ingin
selamat, dia harus mengandalkan dirinya! Akan tetapi, kepandaiannya masih jauh
daripada cukup untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, yang amat lihai
itu. Satu-satunya yang boleh diminta tolong dan diandalkannya hanyalah otaknya,
kecerdikannya. Dia harus cerdik, kalau dia tidak ingin terhina dan mati konyol.
Dan dia tidak ingin mati. Dia harus mencari akal!
Moi-moi....!!
Hwee Li tahu siapa yang datang
dan dia menangis makin keras. Dia terisak-isak sambil berlutut di atas rumput,
akan tetapi kini tangisnya berbeda dengan tadi. Kalau tadi, dia menangis
sepenuhnya terdorong oleh rasa penasaran, marah, kecewa dan duka. Akan tetapi
kini tangisnya sebagian besar terkendali oleh kecerdikannya.
Hwee Li, kaumaafkanlah aku.
Aku tidak sengaja melukai hatimu. Akan tetapi percayalah, bahwa satu-satunya
orang di dunia ini hanya aku yang dapat kaupercaya, hanya aku yang mencintamu.
Jangan kau memikirkan lagi ayah angkatmu itu. Aku akan membahagiakan hidupmu,
Moi-moi.!
Hwee Li masih menangis,
kemudian ketika dia merasa ada tangan menyentuh pundaknya, sentuhan penuh kasih
sayang, dia mendorong perlahan tangan itu, bangkit berdiri dan menghadapi
pangeran itu dengan muka basah air mata.
Pangeran, betapa sedih hatiku
mendengar bahwa dia bukan ayah kandungku. Dan aku tahu akan kebaikanmu, akan
tetapi, engkau pun tahu bahwa aku tidak sudi untuk dijadikan perempuan
sembarangan. Kalau kau berlaku sopan, kalau kau dapat menghormati dan menghargai
aku sebagai gadis baik-baik, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk kelak
menjadi jodohmu.!
Tiba-tiba pangeran yang sudah
tergila-gila dan benar-benar jatuh cinta kepada dara itu menjatuhkan dirinya
berlutut. Lihat, kekasihku, lihat. Aku Pangeran Liong Bian Cu yang biasa
disembah-sembah orang. Aku tidak malu-malu untuk berlutut di depan kakimu. Aku
bersumpah akan memenuhi janjiku, tidak akan mengganggumu sebelum kita menikah
dan menjadi suami isteri yang syah. Engkau tahu bahwa aku mempunyai cita-cita yang
maha besar, dan agaknya, tanpa engkau di sampingku, aku merasa tidak cukup kuat
untuk melaksanakan tugas berat itu. Akan tetapi, dengan engkau di sampingku,
Moi-moi, aku sanggup untuk menaklukkan seluruh dunia!!
Baiklah, Pangeran. Aku percaya
kepadamu, dan kuharap mulai sekarang aku boleh bebas di tempat ini.!
Tentu saja kekasihku. Akan
tetapi, kuharap engkau jangan mencoba untuk melarikan diri karena engkau tahu
bahwa hal itu selain tidak mungkin terjadi, juga ketahuilah bahwa dengan jarum
beracun pemberian Hek-hwa Lo-kwi, aku telah terlanjur menusukkan jarum itu di
tubuhmu sehingga kini racun itu telah berada di dalam tubuhmu. Racun itu tidak
akan bekerja sebelum satu tahun, akan tetapi dalam satu tahun, racun itu akan
dapat mematikan, Moi-moi. Akan tetapi, jangan khawatir, obat penawarnya selalu
berada di tanganku.! Pangeran itu bangkit berdiri dan tersenyum. Jadi jelas
bahwa mencoba untuk melarikan diri, selain tidak mungkin, juga berarti engkau
kelak akan tewas dalam keadaan tersiksa sekali. Maka, kuharap engkau tidak
sebodoh itu.!
Demikianlah, dalam keadaan
tersudut, Hwee Li yang cerdik itu bermain sandiwara, pura-pura menerima
kehendak sang pangeran untuk memperisterinya. Setiap hari dia hidup dengan
bebas di lembah itu, dihormati semua orang yang tahu bahwa dara cantik jelita
ini adalah tunangan Pangeran Nepal itu. Akan tetapi penjagaan terhadap dirinya
sungguh amat ketat, apalagi di situ selalu ada Hek-hwa Lo-kwi atau Hek-tiauw
Lo-mo yang membayanginya. Selain itu, juga semua perahu selalu dijaga sehingga
tanpa memiliki perahu, tidak mungkin dia dapat menyeberangi sungai. Adapun
sikap pangeran itu terhadapnya kini tidak begitu merisaukan hati Hwee Li karena
pangeran yang amat mencintanya itu benar-benar tidak pernah mau mengganggunya,
sikapnya amat manis, ramah dan mesra dan pangeran itu jelas berusaha keras
untuk menundukkan hatinya dengan memupuk segala macam kebaikan dan keramahan.
Hwee Li mengimbanginya dengan sikap manis sambil selalu mengincar kesempatan
untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Bahkan dia pandai menyimpan
penasaran hatinya sehingga dia tidak melontarkan rasa penasaran itu secara
kasar kepada Hek-tiauw Lo-mo.
Ketika beberapa hari kemudian
Liong Bian Cu mengundang makan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi di taman
bunga untuk menikmati bulan purnama bersama Hwee Li, barulah dara ini dengan
hati-hati mengajukan pectanyaan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Mereka telah selesai
makan dan Hek-tiauw Lo-mo telah minum banyak sekali arak pada malam hari itu.
Ayah, jangan Ayah merasa heran
bahwa aku telah mendengar bahwa Ayah sesungguhnya bukan ayah kandungku.!
Ehhh?! Hek-tiauw Lo-mo menoleh
kepada Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut, akan tetapi kakek muka tengkorak
yang tinggi kurus itu tidak perduli dan tenang-tenang saja makan manisan angco.
Sayalah yang menceritakan
kepadanya, Locianpwe,! tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata. Untuk
melenyapkan rasa penasaran di hatinya.!
Hek-tiauw Lo-mo memandang
kepada pangeran itu, akan tetapi lalu mengangguk-angguk dan minum arak dari
cawannya, kemudian meletakkan cawan kosong dan memandang kepada Hwee Li sambil
tersenyum lebar. Bagus kalau engkau sudah tahu. Kalau Pangeran tidak memberi
tahu, sebetulnya aku pun hendak memberitahukan kepadamu, Hwee Li. Engkau sudah
dewasa dan sudah waktunya mengetahui riwayatmu.!
Ayah,! kata Hwee Li tenang
sambil memandang tajam. Dia memaksa diri menyebut ayah, padahal di dalam
hatinya dia tidak sudi lagi menyebut kakek yang kejam ini sebagai ayahnya.
Semenjak dia bukan kanak-kanak lagi dan sudah mengerti dan dapat membedakan
antara baik dan buruk, dia memang sudah merasa kecewa dan tidak senang kepada
ayahnya. Sikap ayahnya itulah yang membuat dia tidak kerasan berdekatan dengan
ayahnya itu. Ayah telah memeliharaku sejak kecil dan untuk itu, aku berterima
kasih sekali. Akan tetapi, aku berhak untuk mengetahui siapa orang tuaku yang
sebenarnya dan di mana adanya mereka.! Hwee Li menggunakan kekuatan batinnya
untuk menekan perasaan dan dia menelan kembali keinginannya untuk menangis.
Lalu dia menambahkan, Kurasa Ayah adalah seorang tokoh yang terlalu terkenal
dan gagah untuk tidak menyembunyikan semua perbuatan yang Ayah lakukan terhadap
orang tuaku itu.!
Ha-ha-ha! Kim Hwee Li, engkau
tentu sudah cukup mengenal watakku. Aku bukanlah orang yang suka menyesalkan
semua perbuatanku sendiri, dan aku bukanlah orang yang suka mengingkari
perbuatan sendiri. Aku berani berbuat dan berani pula bertanggung jawab.
Ha-ha-ha! Sekarang dengarlah penuturanku dan setelah kau mendengarnya, terserah
apa yang akan kaupikirkan terhadap diriku.!
Dengan wajah tenang namun
hatinya penuh dengan segala macam perasaan, Hwee Li mendengarkan penuturan
kakek itu. Belasan tahun yang lalu, di dalam perantauannya setelah dia
menemukan dan menundukkan orang-orang di Pulau Neraka dan mengangkat diri
sendiri menjadi ketua Pulau Neraka, pada suatu hari Hek-tiauw Lo-mo singgah di
benteng yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin yang terkenal sebagai seorang
panglima yang suka berhubungan dengan orang-orang berilmu tinggi di dunia
kangouw. Karena tertarik akan berita bahwa Kim Bouw Sin amat menghormati
orang-orang kang-ouw, maka Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng itu. Benar saja,
Panglima Kim Bouw Sin menyambutnya penuh penghormatan, bahkan lalu mengadakan
pesta untuk menyambut tamu agung ini. Di dalam pesta itu, Panglima Kim Bouw Sin
berkenan menghibur tamunya dengan tari-tarian yang dilakukan oleh seorang
selirnya yang terkasih. Selir ini cantik sekali dan masih muda belia, seorang
ahli menari yang amat pandai.
Sebenarnya, Hek-tiauw Lo-mo
pelarian dari Korea itu, biarpun pernah menjadi raja orang-orang liar, bahkan
pernah mempunyai kebiasaan makan daging manusia, amat kejam dan membunuh orang
seperti membunuh lalat saja, dia bukan termasuk seorang laki-laki yang lemah
terhadap nafsu berahi. Akan tetapi, dalam keadaan setengah mabuk melihat selir
panglima itu menari-nari dengan tubuh yang lemah gemulai, dengan dada montok
penuh karena wanita muda ini mempunyai anak yang baru tiga bulan usianya,
Hek-tiauw Lo-mo menjadi tergila-gila, dan pada malam hari itu, tanpa pamit,
lenyaplah Hek-tiauw Lo-mo dari dalam kamar itu dan bersama dia, lenyap pula
selir cantik itu bersama anaknya yang baru berusia tiga bulan!
Panglima Kim Bouw Sin terkejut
sekali, akan tetapi melihat betapa tamunya yang seperti raksasa itu dapat
menculik selir dan anaknya, melarikan diri dari sebuah benteng yang terjaga
ketat, tahulah dia bahwa tamunya itu lihai sekali. Dan sebagai seorang panglima
yang bercita-cita besar, yang ingin mengambil hati orang-orang berilmu di dunia
kangouw, Panglima Kim Bouw Sin tidak mau ribut-ribut tentang penculikan ini,
sungguhpun diam-diam dia menggerakkan orang-orangnya untuk mencari tanpa hasil.
Selir muda yang cantik itu
menangis ketika dia dibawa masuk ke rumah Hek-tiauw Lo-mo di Pulau Neraka.
Mula-mula dia menolak semua bujuk rayu raksasa itu, dan memilih mati. Akan
tetapi, ketika Hek-tiauw Lo-mo menangkap anaknya, menempelkan golok gergajinya
di leher anak yang baru berusia tiga bulan itu, wanita muda ini menyerah! Demi
menjaga nyawa anaknya, dia mau menyerahkan diri setelah Hek-tiauw Lo-mo
berjanji tidak akan mengganggu dan tidak akan membunuh anak itu, bahkan
mengambil anak itu sebagai anaknya sendiri. Barulah wanita muda itu menyerahkan
diri, penyerahan yang dilakukan dengan terpaksa dan dengan hati hancur.
Hek-tiauw Lo-mo, raksasa yang kasar itu, mempermainkan wanita itu di luar batas
kekuatan si wanita sehingga dalam waktu tiga bulan saja, wanita itu tidak kuat
bertahan dan tewas!
Biarpun dia seorang liar dan
kejam, namun Hek-tiauw Lo-mo merasa sebagai orang gagah, maka dia pantang untuk
menjilat janjinya sendiri. Maka, setelah wanita itu meninggal dunia, dia benar
tidak membunuh anak itu dan memeliharanya sebagai anak sendiri. Makin besar
anak itu, makin sayanglah dia, apalagi setelah anak perempuan itu
memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia kelak akan menjadi seorang wanita yang
cantik jelita seperti ibunya!
Ha-ha-ha engkau lah anak itu,
Hwee Li!! Hek-tiauw Lo-mo menutup ceritanya yang dilakukan terang-terangan
tanpa menyembunyikan sesuatu untuk membuktikan kegagahannya!. Melihat engkau
menjadi dewasa dan persis ibumu, tadinya aku mempunyai keinginan untuk menarik
engkau di sampingku sebagai pengganti ibumu yang kucinta sungguh. Akan tetapi,
setelah aku menjadi makin tua, aku kehilangan gairah terhadap wanita, apalagi
setelah berjumpa dengan Pangeran Liong, aku mengambil keputusan untuk
menyerahkan engkau kepadanya demi kebahagiaanmu, anakku! Ha-ha-haha-ha!!
Dapat dibayangkan betapa muak,
benci dan sakitnya hati Hwee Li mendengar semua itu. Biarpun ayahnya mengaku
cinta kepada ibunya, namun dia tahu bahwa akibat paksaan ayah angkat atau ayah
tirinya inilah maka ibunya sampai tewas. Dan sesungguhnya, orang ini sama
sekali tidak pantas dia sebut ayah, bahkan sebagai ayah tiri sekalipun, karena
ibunya menjadi isteri orang ini tidak secara suka rela dan tidak syah,
melainkan diculik dan dipaksa! Orang ini sama sekali bukan ayahnya, bukan ayah
angkat atau ayah tirinya, melainkan musuh besarnya, pembunuh ibunya!
Panglima Kim Bouw Sin? Dia
teringat akan peristiwa pemberontakan lima enam tahun yang lalu. Ketika itu,
usianya baru kurang lebih sebelas tahun, akan tetapi dia sudah tahu akan apa
yang telah terjadi. Dia mendengar nama Panglima Kim Bouw Sin ini. Bukankah itu
panglima pembantu Jenderal Kao Liang yang kemudian memberontak dan bersekutu
dengan Pangeran Liong Khi Ong dan akhirnya panglima itu terbunuh? Jadi ibunya
dan ayahnya yang sebenarnya, ayah ibu kandungnya, semua telah mati? Dia masih
penasaran dan bertanya dengan suara kering, Dan ayah kandungku....?!
Panglima Kiam Bouw Sin?
Ha-haha, dia sekeluarga telah dihukum mati karena memberontak. Jadi akhirnya
engkau malah harus berterima kasih kepadaku, Hwee Li. Karena andaikata aku
tidak melarikan ibumu dan engkau ikut, tentu engkau dan ibumu juga akan mengalami
nasib yang sama, dihukum mati sebagai anggauta keluarga pemberontak,! kata
Hek-tiauw Lo-mo.
Dengan muka pucat akan tetapi
tidak begitu kentara karena taman itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama
yang sudah membuat segala sesuatu nampak pucat, Hwee Li berkata lirih, Kalau
begitu engkau bukan ayahku, Hek-tiauw Lo-mo....!
Pangeran Liong Bian Cu
menyentuh tangan Hwee Li dan berkata, Moi-moi, jangan bilang begitu. Betapapun
juga, Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo adalah ayah tirimu dan dia sudah memeliharamu
sejak kecil, mendidikmu dengan segala macam ilmu. Aku akan selalu menganggap
dia sebagai ayahmu.!
Pikiran Hwee Li bekerja. Dia
melihat Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepadanya dan di balik pandang matanya
itu terdapat ancaman hebat. Dia tahu bahwa kakek itu melakukan semua ini dengan
harapan untuk membonceng kemuliaannya kalau dia kelak menjadi isteri Liong Bian
Cu. Tentu saja kalau tidak diaku sebagai ayah, harapan kakek itu menjadi hancur
dan mungkin saja dia melakukan sesuatu yang akan merugikan dirinya. Selagi dia
masih berada di lembah itu, selagi dia masih mencari-cari kesempatan untuk
lolos, tidak baik kalau dia menanamkan kebencian dan ancaman baru dalam diri
Hek-tiauw Lo-mo.
Tentu saja, Pangeran. Aku
tidak dapat melupakan segala kebaikan Ayah, katanya sambil minum araknya
beberapa teguk. Dia melirik ke arah Hek-tiauw Lo-mo dan melihat kakek ini
tertawa-tawa senang mendengar ucapannya itu.
***
Demikianlah, Hwee Li yang
bagaikan seekor burung telah terkurung dalam sangkar emas itu, terjaga ketat
dan sama sekali tidak melihat kesempatan sedikit pun untuk melarikan diri,
mulai menggunakan kecerdikannya. Setiap saat dia waspada dan mencari lubang,
dan hanya kecerdikannya saja yang membuat dia dapat menahan segala
kekhawatirannya dan bersikap biasa, bahkan ramah terhadap Pangeran Liong Bian
Cu, seolah-olah dia mulai setuju untuk menjadi isteri Pangeran Nepal ini.
Sering Hwee Li termenung dan
hatinya diliputi kedukaan dan kemarahan. Dia merasa benci sekali kepada
Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata adalah seorang musuh besar. Kini lenyaplah
harapanaya untuk dapat tertolong oleh kakek itu. Semua orang yang berada di
lembah ini adalah musuh-musuhnya, dan Hek-tiauw Lo-mo merupakan musuh utama
malah, di samping Pangeran Liong Bian Cu.
Ingatlah, Moi-moi, engkau
adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin dan engkau sudah tahu betapa ayah
kandungmu itu dahulu juga bersekutu dengan ayahku dan membantu ayahku, Pangeran
Liong Khi Ong. Maka, kalau sekarang engkau menjadi isteriku dan membantuku,
sungguh sudah tepat sekali. Orang tua kita bersahabat, dan kini kita berjodoh,
bukankah itu baik sekali?! Demikian antara lain bujukan dari Pangeran Liong
Bian Cu. Akan tetapi biarpun dia tidak mau membantah, di dalam hatinya dia
sangat tidak senang. Ayahnya adalah seorang pemberontak dan karena perbuatannya
itu, seluruh keluarga ayahnya binasa. Dia mengerti bahwa perbuatan ayahnya itu
tidak benar, dan tentu saja dia tidak sudi mengulang perbuatan itu, apalagi
ditambah dengan pengorbanan dirinya menjadi isteri dari Liong Blan Cu yang
dibencinya.
Akan tetapi, kesempatan yang
dinanti-nantinya itu tidak kunjung datang. Penjagaan terlalu ketat dan dia sama
sekali tidak melihat kernungkinan untuk dapat meloloskan diri melalui
penyeberangan sungai. Satu-satunya jalan untuk dapat lolos hanya dengan bantuan
garudanya, akan tetapi kini garuda itu telah dikurung, dijaga ketat dan
kurungannya dikunci.
Hwee Li sudah menggunakan akal
untuk bersikap ramah kepada Liong Bian Cu sehingga pergaulan di antara mereka
sudah kelihatan akrab dan tidak asing lagi. Bahkan dengan keramahannya itu,
Hwee Li mengajak dia bercakap-cakap dan dengan gembira Hwe Li menceritakan
tentang kesenangan menunggang burung garuda melayang-layang di angkasa.
Mendengar ini dan melihat sikap Hwee Li, Liong Bian Cu berkata, Jangan
khawatir, kekasihku. Kelak kalau kita sudah menikah, aku akan mengajakmu
berpesiar naik garuda itu.!
Ah, mana mungkin? Burungku itu
tentu akan dibawa pergi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Sekarang pun telah dikurungnya,
aku khawatir burung itu akan sakit dan mati.!
Ha-ha-ha, kau tidak perlu
khawatir. Ayahmu telah menyerahkan burung itu kepadaku dan ini kunci kurungan
itu selalu berada di tanganku. Dan aku sudah menyuruh para pemelihara burung
itu baik-baik, memberi makan dan minum secukupnya.!
lnilah yang ingin diketahui
oleh Hwee Li dan dara ini cepat mengalihkan percakapan. Dia kini sudah tahu
bahwa kunci kurungan berada di tangan pangeran ini! Cukuplah itu! Terbuka lagi
jalan baginya untuk meloloskan diri. Kalau saja dia dapat merobohkan Liong Bian
Cu, merampas kunci itu dan membebaskan garudanya, tentu dia akan dapat lolos
dari situ menunggang garudanya!
Liong Bian Cu benar-benar
jatuh cinta kepada Hwee Li. Sikapnya baik sekali, dan pemuda ini tidak pernah
lagi memperlihatkan kekerasan, sungguhpun sikapnya mesra sekali. Namun, dia
sudah puas untuk menggandeng tangan Hwee Li, atau paling jauh dia hanya mencium
tangan dara itu, tidak berani bertindak lebih. Akan tetapi, Hwee Li makin
gelisah ketika hari yang ditentukan makin mendekat. Liong Bian Cu telah menentukan
hari pernikahan mereka, dan tanpa disadari dia telah hampir sebulan berada di
situ sehingga waktu pernikahan tinggal satu bulan lagi!
Pada suatu senja, Liong Bian
Cu sibuk mencari-cari Hwee Li. Dara ini memang diberi kebebasan untuk pergi ke mana
saja di dalam lembah itu, karena Liong Bian Cu merasa yakin bahwa tidak mungkin
Hwee Li dapat meloloskan diri. Selain lembah itu terkurung sungai lebar, juga
terdapat banyak sekali penjaga ditepi sungai sehingga andaikata Hwee Li hendak
nekat menyeberang, dia akan ketahuan pula.
Hwee Li....!!
Moi-moi, di mana kau....?!
Liong Bian Cu mencari-cari ke
sana-sini sambil berteriak-teriak memanggil. Hatinya merasa agak gelisah.
Biarpun dia merasa yakin bahwa tidak mungkin dara itu dapat meloloskan diri, namun
setelah agak lama mencari-cari tanpa hasil, dia merasa khawatir juga, khawatir
kehilangan dara yang dicintanya itu. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika
seorang pengawal memberi tahu bahwa dara yang dicari-carinya itu tadi pergi ke
sumber air di tempat yang agak tinggi di sebelah belakang lembah.
Liong Bian Cu cepat pergi ke
tempat itu. Dia tahu bahwa dara itu memang suka pergi ke sana dan bahkan suka
mandi di sumber air mancur itu, sunggupun di dalam kamarnya telah tersedia
kamar mandi dan kolam. Membayangkan kekasihnya mandi di tempat sunyi itu,
jantungnya berdebar keras. Betapa sering dia harus menahan gelora nafsunya
kalau berhadapan dengan Hwee Li. Nafsunya mendorong untuk menubruk dan memeluk
dara itu, seperti seekor harimau kelapar dan menubruk seekor domba muda. Akan
tetapi cinta kasihnya melarangnya, karena dia ingin menikmati penyerahan diri
Hwee Li sebulatnya, dengan suka rela dan dengan sikap yang membalas perasaan
cintanya. Hampir setiap malam dia mimpi bermain cinta dengan tunangannya itu!
Kini, membayangkan Hwee Li mandi di sumber air, menimbulkan keinginan besar di
hatinya untuk mengintai dan melihat kekasihnya itu mandi. Setidaknya tentu dara
itu akan menanggalkan pakaian luarnya! Dengan hati-hati pangeran ini lalu
menghampiri sumber air, menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak.
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia mendengar suara kekasihnya
bersenandung dan mendengar suara air berkecipakan!
Sementara itu, Hwee Li sejak
tadi memang, menanti munculnya Liong Bian Cu. Sudah berhari-hari dia mengatur
siasat ini. Siasat itu timbul ketika dia lewat di lorong kecil yang menuju ke
sumber air itu dan sebuah batu runtuh dari tebing di sebelah kiri lorong dan
hampir menimpanya. Dia melihat bahwa tebing itu hampir longsor, tanahnya sudah
retak-retak dan di atas tebing terdapat sebongkah batu sebesar kepala gajah!
Untung hanya batu sebesar kepala manusia saja yang runtuh dan hampir
menimpanya. Kalau batu besar itu yang runtuh, tentu akan membawa semua batu
yang berada di atas dan tepi tebing dan dia akan teruruk oleh batu-batu besar
karena lorong di tempat itu terhimpit tebing dan sempit sekali.
Peristiwa itu menimbulkan
siasat kepada Hwee Li yang cerdik. Berhari-hari dia mempelajari keadaan tebing
dan batu besar itu. Ternyata bahwa yang menahan batu besar itu tidak sampai
longsor ke bawah adalah sebatang pohon kecil yang tumbuh di tebing, juga ada
beberapa buah batu yang tidak begitu besar merupakan pengganjal. Kalau pohon
itu diambil, atau batu-batu kecil itu runtuh, tentu pohon itu tidak kuat
menahan dan batu besar itu akan runtuh ke bawah. Dia mencari akal dan mulailah
dengan diam-diam dia menggali dan melubangi tanah di atas tebing, tepat di
bawah batu besar itu, menyingkrkan beberapa buah batu pengganjal dengan
hati-hati sekali. Pekerjaan ini dilakukannya secara diam-diam selama beberapa
hari. Kemarin, ketika seorang pegawal melihatnya dengan heran di situ, Hwee Li
cepat menangkap seekor jengkerik dan bermain-main dengan binatang itu sehingga
pengawal yang melihatnya di situ mengira bahwa dara remaja tunangan pangeran
itu mencari jengkerik dan bermain-main seperti seorang anak-anak saja. Dan
memang dara remaja itu masih bersikap lincah seperti anak kecil!
Setelah membuat persiapan
secara menyakinkan, Hwee Li mengikatkan tali pada batang pohon kecil yang kini
seolah-olah merupakan pengganjal utama bagi batu besar tadi, lalu
menyembunyikan tali panjang itu melalui belakang batu-batu besar, terus menurun
dan disembunyikan di dekat sumber air. Dan pada senja hari itu, dia sengaja
mandi di situ. Biarpun dia mendengar teriakan-teriakan suara Liong Bian Cu
memanggil-manggilnya, dia sengaja tidak menjawab dan membiarkan pangeran itu
mendatangi sumber air.
Liong Bian Cu juga bukan
seorang yang bodoh. Begitu dia tiba di luar lorong dan mengintai dari jauh, dia
melihat dara itu duduk di bawah pancuran air dan benar saja hanya memakai
pakaian dalam, akan tetapi dara itu kelihtan tegang dan tidak mandi! Dan dara
itu bersenandung sambil matanya diarahkan ke bawah sumber air, seolah-olah
menanti kedatangannya! Dia teringat bahwa dia tadi telah menggunakan khikang
ketika memanggil-manggil. Mustahil kalau gadis itu tidak mendengar
panggilannya. Akan tetapi gadis itu tidak pernah menjawab. Dan kini Hwee Li
seolah-olah menantinya, kedua tangannya disembunyikan di dalam air yang
membentuk kolam jernih di bawah pancuran. Air terjun kecil itu datang dari
sumber air dari batu-batu di atas pancuran. Apa yang akan dilakukan gadis itu?
Agaknya akan menyerangnya lagi, pikir pemuda itu. Demikian mencurigakan sikapnya.