Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 25 - Pakaian Istana
Tidak! Saya merasa yakin bahwa
dia tidak akan dibunuh oleh penculiknya. Kalau memang penculik itu menghendaki
nyawanya, mengapa tidak dibunuhnya dia seketika itu juga?! Sin-siauw Seng-jin
berkata hampir berteriak.
Melihat ini, Ceng Ceng lalu
berkata, Saya berjanji akan bantu mencarinya. Namanya Yu Hwi, apakah dia
mempunyai ciri-ciri yang khas?!
Saya juga berjanji akan bantu
mencarinya!! Kian Lee berkata pula.
Jenderal Kao Liang dan dua
orang puteranya, walaupun di dalam hatinya juga merasa kasihan, namun diam saja
karena mereka maklum bahwa tidak mungkin mereka akan dapat membantu, karena
mereka sendiri masih bingung kehilangan seluruh keluarga mereka yang diculik
orang. Bahkan mantunya, seperti telah diceritakan oleh mantunya kepadanya,
telah kehilangan puteranya yang juga diculik orang, akan tetapi kini mantunya
menjanjikan bantuannya untuk ikut mencari Yu Hwi. Dia mengenal watak mantunya,
seorang pendekar wanita yang sakti, maka dia hanya mendengarkan dengan kagum.
Sin-siauw Seng-jin dan Sai-cu
Kai-ong menjura kepada Kian Lee dan Ceng Ceng. Terima kasih atas kebaikan
Ji-wi,! kata Sin-siauw Seng-jin.
Di dagu Yu Hwi, sebelah kiri,
terdapat sebintik tahi lalat hitam, itulah cirinya yang paling mudah dikenal,!
kata Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Seng-jin mengangguk membenarkan.
Kalau begitu, adikku Kai-ong,
perkenankan saya pergi dan mengajak Kam-kongcu agar dia dapat cepat mewarisi
ilmu-ilmu keturunan keluarganya,! tiba-tiba Sin-siauw Seng-jin berkata sambil
bangkit berdiri.
Memang sebaiknya begitulah,
kakakku yang baik. Aku sendiri pun akan segera berusaha mencari cucuku yang
hilang,! jawab Sai-cu Kai-ong. Siauw Hong, kau ikutlah bersama Sin-siauw
Seng-jin dan berbahagialah muridku, karena engkau akan mewarisi ilmu dari
keluargamu yang mujijat, yang semenjak ratusan tahun selalu dicari dan
diperebutkan oleh seluruh dunia persilatan.!
Siauw Hong lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan kakek pengemis itu.
Teecu menghaturkan banyak
terima kasih atas segala budi kebaikan yang Suhu limpahkan kepada teecu.!
Bab 25 -
Sai-cu Kai-ong tersenyum dan
mengangkat bangun muridnya. Berlatihlah baik-baik, muridku, agar kelak aku
boleh berbangga hati bahwa engkau pernah menjadi muridku.!
Siauw Hong lalu memberi hormat
kepada semua orang dan pergilah orang muda keturunan Suling Emas ini mengikuti
Sin-siauw Seng-jin, bersama rombongan murid-muridnya yang mengikuti dari
belakang.
Setelah Suling Sakti dan para
muridnya itu pergi, Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan Syanti Dewi
kepada Kian Lee, didengarkan pula oleh Jenderal Kao dan dua orang puteranya,
dan juga oleh Sai-cu Kai-ong. Sungguh kasihan sekali Enci Syanti,! kata Ceng
Ceng. Entah bagaimana nasibnya demikian terlunta-lunta selalu, setelah dia
baik-baik kembali ke istana orang tuanya di Bhutan, tahu-tahu kini dia berada
di sini pula, dan bahkan dia telah diculik seorang yang belum kuketahui siapa.
Dia menceritakan pertempurannya melawan See-thian Hoat-su di dalam gelap,
pertempuran yang terjadi karena salah pengertian dan selagi mereka bertempur,
Syanti Dewi lenyap dibawa orang.
Kian Bu mendengarkan dan dia
terkejut bukan main. seakan-akan tersentuh kembali bekas luka di hatinya
mendengar itu. Mengapa Syanti Dewi berada di daerah ini? Dan siapa yang
menculiknya? Bagaimana dengan Ang Tek Hoat? Teringatlah Kian Bu akan ibu
kandung Tek Hoat yang terbunuh oleh perwira Bhutan. Apakah ada hubungannya
dengan kepergian Syanti Dewi meninggalkan Kerajaan Bhutan? Kian Bu lalu
menghampiri sehuah meja, membuat coretan-coretan dengan alat tulis di atas
kertas, meninggalkan kertas tulisannya itu di atas meja, kemudian dia
menyelinap pergi dengan diam-diam.
Setelah bercakap-cakap dan
menceritakan pengalaman masing-masing, mereka lalu mengambil keputusan untuk
pergi meninggalkan tempat itu di hari itu juga.
Kian Lee yang melihat bahwa
sin-siauw Seng-jin tidak ada lagi di situ akan tetapi adiknya belum juga
muncul, segera mencarinya. Akan tetapi, ternyata Kian Bu tidak ada lagi di
ruangan itu dan dia hanya menemukan sehelai suratnya.
Lee-ko,
Banyak sekali tugas menanti
kita. Karena banyaknya, sebaiknya kalau kita berpisah dan masing-masing
melaksanakan satu tugas. Aku lebih dulu akan pergi menyelidiki dan mencari
Syanti Dewi.
Adikmu,
KIAN BU
Kian Lee menyimpan surat itu
di dalam saku bajunya dan menarik napas panjang. Dia merasa kasihan sekali
kepada adiknya itu dan maklumlah dia bahwa diam-diam Kian Bu masih belum dapat
melupakan Syanti Dewi. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila Kian Bu yang
agaknya tadi mendengar penuturan Ceng Ceng, lalu diam-diam cepat pergi untuk
mencari dan menolong puteri itu!
Mereka semua lalu pergi. Ceng
Ceng pergi bersama ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya, meninggalkan
tempat itu untuk pergi ke kota Pao-ting di mana dia sudah berjanji akan bertemu
dengan suaminya yang mencari-cari jejak anak mereka dari lain jurusan.
Kian Lee juga pergi dan karena
dia tidak tahu ke mana perginya Kian Bu, maka dia teringat akan wanita yang
mencuri pusaka-pusaka dari Sin-siauw Seng-jin, yang agaknya tentu pusaka-pusaka
palsu pula mengingat akan penuturan Sin-siaw Seng-jin sendiri betapa nenek
moyangnya banyak memalsukan pusaka-pusaka itu untuk mencegah yang aseli dicuri
orang. Bukankah Kian Bu telah berjanji akan mendatangi tempat gadis pencuri itu
di pantai Po-hai?
Sebaiknya kalau dia mewakili
adiknya mencari gadis pencuri itu di pantai Po-hai, di teluk sebelah utara.
Siapa tahu, kalau-kalau Kian Bu juga pergi ke sana. Tadinya dia ingin mernbantu
Jenderal Kao, akan tetapi setelah ada Ceng Ceng dan suaminya, yang dia tahu
amat sakti, tidak perlu lagi dia membantu dan kalau dia tidak berhasil bertemu
dengan adiknya, dia akan terus mencari atau akan kembali ke Pulau Es melapor
kepada ayahnya.
Sai-cu Kai-ong juga pergi
meninggalkan tempat tinggalnya untuk mulai mencari cucunya yang hilang pula.
Biarpun Ceng Ceng dan Kian Lee sudah berjanji untuk membantu mencari cucunya,
dia tidak puas kalau dia sendiri tidak ikut mencari. Dia tahu betapa sukarnya
mencari seseorang tanpa mengetahui di mana adanya cucunya itu, yang sama sekali
tidak meninggalkan jejak dan hilangnya sudah lima belas tahun yang lalu!
***
Ayah, ke manakah kita pergi?
Apakah akan kembali ke Pulau Neraka?! tanya Hwee Li kepada ayahnya ketika
mereka dibawa terbang di atas punggung garudanya.
Tidak, Hwee Li. Pulau Neraka
terlalu jauh dan aku sudah tidak suka tinggal di tempat buruk itu. Aku malah
tidak mau kembali lagi ke sana.!
Kalau begitu, kita pergi ke
mana?!
Ke tempatku yang baru.!
Di mana itu, Ayah?!
Ha-ha, kau sudah pernah
mengunjunginya. Di lembah Huang-ho.!
Lembah Huang-ho?! Dara itu
mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Maksudmu di sarang Huang-ho
Kui-liong-pang?!
Ha-ha-ha, engkau memang anakku
yang amat cerdik. Benar di sana. Tempat indah itu menjadi tempat tinggal kita
yang baru.!
Eh, bukankah di sana tinggal
ketua Kui-liong-pang, musuh besar Ayah sendiri, yaitu Hek-hwa Lo-kwi?!
Hemmm, dalam hal ini engkau
masih bodoh dan tidak mengerti, anakku. Ada waktunya menjadi musuh, ada pula
waktunya menjadi sahabat, semua disesuaikan dengan waktu dan keadaan.
Ha-ha-ha!!
Hwee Li paling tidak suka
melihat ayahnya tertawa. Kalau ayahnya bersikap biasa, maka ayahnya kelihatan
sebagai seorang raksasa yang berwibawa. Akan tetapi kalau sudah tertawa dan
kelihatan gigi yang bertaring itu, dia merasa jijik dan malu. Kalau tertawa,
ayahnya amat menyeramkan seperti iblis saja, atau seperti seekor binatang buas!
Kenapa Ayah tinggal di tempat
orang 1ain!!
Hek-hwa Lo-kwi bukan orang
lain, anakku. Dia seorang sekutu!!
Hemmm, agaknya Ayah sudah
main-main lagi dengan persekutuan. Apakah Ayah tidak jera setelah mengalami
kegagalan ketika Ayah membantu pemberontak she Liong dahulu itu? Hampir saja
Ayah celaka dan kehilangan banyak anak buah.!
Hemmmm, sekali ini lain lagi
persoalannya, anakku. Bukan pemberontak biasa yang kubantu, melainkan seorang
pangeran tulen, dari kerajaan besar Nepal.!
Ahhh.... Ayah maksudkan orang
she Liong itu? Peranakan Nepal putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong itu?!
Benar, murid dari Ban Hwa
Seng-jin, Koksu Nepal yang sakti. Dia seorang muda yang amat pandai, seorang
calon kaisar yang amat hebat, heh-heh-heh!!
Dan aku amat benci padanya!!
tiba-tiba Hwee Li berkata.
Ehhh, mengapa, anakku?!
Kulitnya hitam coklat....!
Menambah manis dan jantan!!
Hidungnya melengkung....!
Tanda dia bernafsu besar dan
kuat, heh-heh!!
Matanya cekung....!
Itu menunjukkan bahwa dia
memiliki kecerdikan....!
Ah, pendeknya aku tidak suka
kepadanya. Pandang matanya cabul dan genit, Ayah. Aku sudah ingin menamparnya
ketika kami bertemu di sana dan dia memandangku dengan mata seolah-olah hendak
menelanjangiku. Huh!!
Ha-ha-ha, begitulah kalau
seorang pria sudah jatuh cinta! Dan pria mana yang tidak akan tergila-gila
kepada anakku yang cantik jelita dan manis ini? Haha-ha!!
Ah, aku tidak suka kalau Ayah
bicara seperti itu!! Hwee Li bersungut-sungut dan menjambak bulu di leher
garudanya sehingga garuda itu memekik kesakitan dan terbang makin cepat lagi. Ayahnya
hanya tertawa-tawa akan tetapi tidak bicara lagi karena maklum bahwa puterinya
masih marah-marah.
Benarkah ucapan Hek-tiauw
Lo-mo, ayah Hwee Li itu, bahwa dia kini telah menjadi sekutu dari Hek-hwa
Lo-kwi ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho? Di dalam cerita Kisah
Sepasang Rajawali telah dituturkan betapa dahulu, Hek-tiauw Lo-mo pernah
bermusuhan secara hebat dengan Hek-hwa Lo-kwi. Hek-hwa Lo-kwi dahulu bernama
Thio Sek, seorang pelayan dari manusia dewa yang amat terkenal sebagai penghuni
Istana Gurun Pasir dan dikenal sebagai Go-bi Bu Beng Lojin atau juga Si Dewa
Bongkok.
Sebagai pelayan manusia sakti
ini, tentu saja Hek-hwa Lo-kwi juga memiliki kepandaian tinggi. Pada suatu
hari, munculiah Hek-tiauw Lo-mo untuk mencuri kitab pusaka milik Si Dewa
Bongkok. Dengan hekerja sama bersama Thio Sek, berhasiliah dua orang ini
mencuri sebuah kitab pusaka tentang ilmu pukulan beracun. Keduanya lalu
melarikan kitab itu, akan tetapi, di tengah jalan mereka bercekcok dan saling
memperebutkan kitab. Mereka bertanding dan karena keduanya memiliki tingkat
kepandaian yang seimbang, akhirnya mereka menguasai seorang separoh dari kitab
yang terobek dalam perebutan itu. Mereka mempelajari bagian masing-masing dan
sampai bertahun-tahun menjadi musuh, akan tetapi keadaan mereka selalu
seimbang.
Dua orang yang tadinya menjadi
kawan ketika maling kitab, berubah menjadi musuh. Akan tetapi kini, dengan
munculnya Liong Bian Cu, Pangeran Nepal yang pandai menarik hati orang-orang
kang-ouw itu, mereka menjadi sekutu lagi. Sekali ini, keduanya yang sudah
merasa tua ingin sekali memperoleh kedudukan, mengandalkan kedudukan Pangeran
Nepal itu, agar mereka kelak akan mengakhiri kehidupan mereka sebagai
pembesar-pembesar terhormat!
Ketika Hek-tiauw Lo-mo
mengunjungi lembah itu, tadinya dengan maksud menentang Hek-hwa Lo-kwi, dia
bertemu dengan Liong Bian Cu, Ban Hwa Sengjin dan para pembantu pangeran itu.
Liong Bian Cu berhasil membujuk Hek-tiauw Lo-mo dan akhirnya Hok-tiauw Lo-mo
terpikat pula, bahkan lalu masuk dalam persekutuan itu, apalagi ketika dia
melihat betapa keadaan Liong Bian Cu sebagai pangeran dan sebagai murid Koksu
Nepal, amatlah kuatnya.
Dia mendengar bahwa puterinya
telah mewakili dia mengunjungi lembah itu, dan giranglah hatinya ketika dalam
pembicaraannya dengan Pangeran Nepal itu, dia mendengar bahwa pangeran itu
ternyata amat tertarik dan agaknya jatuh hati kepada puterinya! Kalau saja dia
dapat menjadi mertua dari Pangeran Nepal ini. Dan kelak, kalau pangeran ini
menjadi Raja Nepal, dia menjadi mertua raja! Apalagi kalau pangeran ini
berhasil menjadi kaisar, dia menjadi mertua kaisar. Pangkat dan kemuliaan
apalagi yang dapat lebih tinggi lagi daripada itu?
Maka dia lalu berpamit dari
lembah dan pergi untuk mencari puterinya, dengan satu tujuan di dalam benaknya,
yaitu dengan cara apa pun dia akan menyerahkan puterinya kepada Liong Bian Cu
sebagai Isterinya! Beberapa orang anak buahnya membantunya mencari Hwee Li! dan
akhirnya dia menemukan puterinya itu di tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.
Atas petunjuk Hek-tiauw Lo-mo,
Hwee Li menyuruh garudanya menukik turun. Dari atas dia sudah melihat lembah
itu dan dia memandang heran. Lembah yang dikenalnya sebagal tempat tinggal atau
sarang Hek-hwa Lo-kwi itu kini telah berubah. Masih sukar untuk didatangi dari
darat tanpa melalui jalan rahasia, akan tetapi kini dari atas nampak betapa
lembah itu telah dikurung air!
Ternyata bahwa air yang meluap
dan membanjiri lembah akibat ledakan-ledakan alat peledak Siluman Kucing dahulu
itu, telah membentuk genangan air seperti telaga di sekitar lembah dan oleh
Hek-hwa Lo-kwi, air itu malah dipergunakan untuk memperkuat bentengnya. Dengan
adanya air yang mengurung lembah itu, maka makin sukarlah bagi orang luar untuk
dapat menyerbu ke lembah. Mereka harus lebih dulu menyeberangi air yang
lebarnya lebih dari dua puluh tombak itu, air yang cukup dalam karena oleh
Hek-hwa Lo-kwi telah digali dan diperdalam dan tidak ada jembatan yang
menghubungkan lembah dengan seberang air seperti sungai atau telaga itu.
Garuda itu menukik turun dan
akhirnya hinggap di atas tanah di depan bangunan besar yang menjadi tempat
tinggal Hek-hwa Lo-kwi. Dari atas sudah nampak banyak orang berdiri di luar
bangunan itu menyambut kedatangan ayah dan anak yang aneh itu. Ketika Hwee Li
dan ayahnya meloncat dari atas punggung garuda, dara ini memutar tubuh dan
memandang. Alisnya berkerut ketika wajah pertama yang dilihatnya justeru adalah
wajah yang amat dibencinya, wajah Liong Bian Cu sendiri! Laki-laki yang tinggi
tegap ini memakai pakaian indah, dan dia sudah menjura dengan hormatnya dan
tersenyum penuh keramahan kepada Hwee Li.
Hek-tiauw Lo-mo locianpwe,
sungguh mengagumkan sekali betapa dalam waktu singkat Locianpwe dapat menemukan
puterimu!! katanya kepada Hek-tiauw lo-mo yang tertawa bergelak penuh kebanggaan.
Nona Hwee Li, selamat datang
di lembah dan mudah-mudahan engkau tadi menikmati perjalanan menyenangkan
sekali,! katanya kepada Hwee Li sambil tersenyum. Giginya putih dan rata,
hidungnya yang agak melengkung itu bergerak-gerak. Sesungguhnya pria ini cukup
tampan dan juga gagah sekali, akan tetapi entah mengapa, Hwee Li merasa tidak
suka kepadanya. Agaknya hal itu ditimbulkan oleh pandang mata yang memang
jalang dan menembus itu, yang terpancar dari sepasang mata yang cekung dan
tajam bukan main.
Hemmm....!! Hwee Li hanya
mengeluarkan suara dari hidungnya tanpa menjawab.
Hwee Li, engkau diajak bicara
oleh Pangeran. Jawablah, jangan membikin malu Ayahmu seolah-olah engkau tidak
pernah dididik kesopanan!! kata Hek-tiauw Lo-mo kepada puterinya.
Makin dalam kerut pada alis
dara itu. Dia merasa makan tidak senang dan juga terheran-heran. Sejak kapankah
ayahnya menjadi seorang penjilat dan seorang yang mengenal kesopanan? Biasanya,
dahulu dia yang sering kali merasa malu karena ayahnya adalah seorang yang sama
sekali tidak mempedulikan tata susila atau sopan santun! Karena di situ
terdapat banyak orang, dan tentu, saja dia tidak mau membikin malu ayahnya,
maka dia lalu balas menjura kepada pangeran itu dan berkata dengan suara kaku,
Terima kasih, Ayahku memaksa aku berkunjung ke sini, mudah-mudahan tidak
mengganggu siapa pun!! Sambil berkata demikian, dia melirik kepada Hek-hwa
Lo-kwi yang dia tahu adalah tuan rumahnya.
Kembali dia terheran-heran,
karena Hek-hwa Lo-kwi hanya mengangguk sambil tersenyum saja sedangkan yang
menjawabnya adalah pangeran itu, Ha-haha.... tidak sama sekali, Nona! Saya
percaya bahwa Hek-hwa Lo-kwi locianpwe bahkan akan merasa terhormat dan girang
dengan kunjunganmu ini. Siapa yang tak kan merasa terhormat dan gembira menerima
kunjungan seorang seperti engkau, Nona? Nona tentu telah merasa lelah sekali,
maka silakan Nona beristirahat di kamar yang telah kami sediakan, menyegarkan
diri baru kemudian kita makan dalam pesta yang kami selenggarakan untuk
menyambut kedatangan Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dan Nona Kim Hwee Li!! Pangeran
itu bertepuk tangan dan munculiah empat orang pelayan wanita yang
cantik-cantik. Mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu.
Kalian antar Nona Hwee Li ke
kamarnya dan layani baik-baik!! perintah pangeran itu.
Silakan, Siocia....! seorang
pelayan memberi hormat kepada Hwee Li.
Dara ini tadinya hendak
menolak. Tidak biasa dia diperlakukan seperti seorang puteri dan dilayani
orang, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan mata ayahnya, dia
melihat ayahnya menganggukkan kepala dan pandang matanya ayahnya itu seperti
dia memaksanya. Dengan gerakan marah dia memutar tubuh lalu mengikuti para
pelayan itu memasuki gedung yang besar dan akhirnya dipersilakan masuk ke
sebuah kamar yang amat indah. Begitu masuk, Hwee Li terpesona. Hebat bukan main
kamar ini. Selain besar dan luas, juga dihias seperti kamar seorang puteri
istana saja layaknya.
Dia berdiri dan memandang ke
kanan kiri. Sebuah dipan berada di tengah kamar, dipan yang terbuat dari kayu
indah terukir dan terhias emas dan permata, terletak di atas permadani merah
yang tebal dan berbulu, permadani yang terhampar memenuhi kamar itu. Di dekat
pembaringan terdapat meja dengan empat kursinya dari kayu ukir-ukiran dan halus
mengkilap amat indahnva, merupakan hassil seni ukir yang mentakjubkan. Pot-pot
bunga berukiran gambar naga dan burung dewata menghias sudut-sudut kamar dan di
sebelah kiri nampak meja rias yang mungil, dengan piring cermin dari perak
mengkilap tergantung di dinding, dan di atas meja itu nampak lengkap alat-alat
rias seperti bedak, yan-ci (pemerah pipi), gincu, sisir, tusuk konde emas,
minyak wangi dan sebagainya. Dan dari pintu kecil di belakang yang menyambung
dengan kamar itu, yang daun pintunya terbuka sedikit, nampak kolam mandi dari
batu pualam! Sebuah kamar yang amat indah dan mewah dan dari jendela yang
bentuknya seperti bulan purnama dan terhias pot-pot bunga itu dia dapat melihat
sebuah kamar kecil yang indah pula di luar kamar. Benar-benar merupakan kamar
seorang puteri raja!
Siocia, mari kami bantu Siocia
menanggalkan pakaian....!
Biar kami membantu Siocia
mandi....!
Rambut Siocia kusut dan agak
kotor terkena debu, perlu dikeramasi lalu disikat....!
Empat orang pelayan itu
menghampir Hwee Li dan mengulurkan tangan hendak membantu dara itu agar
menanggalkan pakaian untuk mandi. Hwee Li membelalakkan matanya dan mengepal
tinju, lalu menghardik, Pergi kalian dari sini!!
Empat orang pelayan itu
terkejut, akan tetapi mereka telah menerima perintah dari majikan mereka untuk
melayani nona ini sebaiknya, Siocia, kami....!
Cukup! Cepat kalian
menggelinding keluar dari kamar ini, kalau tidak, akan kulemparkan kalian satu
demi satu!!
Siocia....! Mereka masih
nekat. Mereka adalah empat orang di antara para pelayan Pangeran Nepal itu dan
mereka adalah pelayan-pelayan terlatih yang menguasai ilmu silat dan ilmu
gulat, maka ancaman Hwee Li tidak membuat mereka takut. Mereka sudah terlatih
dah sudah biasa menghadapi dara cantik jelita yang dipersiapkan untuk melayani
majikan mereka. Dan biarpun mereka udah mendengar bahwa puteri Hek-tiauw Lo-mo
ini memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak khawatlr karena mereka mengira
bahwa sepandai-pandainya seorang dara remaja seperti ini, mana mungkin dapat
mengalahkan mereka berempat? Apalagi mereka melihat bahwa Hwee Li begitu cantik
dan masih begitu muda, dan mereka dapat melihat dari sikap Pangeran Liong Bian
Cu bahwa pangeran itu benar-benar jatuh cinta kepada dara ini sehingga sebelum
dara ini tiba pun kamar yang amat indah itu telah dipersiapkan olehnya! Maka,
mereka berempat tentu saja tidak mau meninggalkan Hwee Li, karena kalau mereka
mampu membujuk sehingga dara ini dengan hati terbuka mau melayani majikan
mereka, mau menerima cintanya, tentu mereka akan menerima ganjaran besar!
Siocia, kami hanya
membantu....!
Cerewet!! bentak Hwee Li, dan
dia menggerakkan tangan kirinya untuk mendorong. Akan tetapi, dengan cepat
wanita itu mengelak ke kanan dan tiba-tiba saja tangannya telah menangkap
pergelangan tangan kiri Hwee Li. Itulah gerakan seorang ahli gulat yang amat
cekatan dan biarpun pelayan itu berlaku hati-hati sehingga tangkapannya tidak
akan menyakitkan orang, namun jelas bahwa di bawah kulit telapak tangannya
terkandung getaran tenaga yang kuat sehingga tangkapan itu pun erat sekali!
Kalian mencari mampus!! Hwee
Li berseru ketika tiga orang pelayan yang lain juga sudah memegangnya dari
kanan kiri dan belakang. Tiba-tiba Hwee Li mengguncang tubuhnya sambil
mengerahkan sinkangnya. Tentu saja empat orang pelayan itu sama sekali bukan
lawan puteri majikan Pulau Neraka ini. Mereka terguncang dan pegangan mereka
terlepas semua, kemudian sebelum mereka tahu apa yang menimpa mereka, tubuh
mereka satu demi satu melayang keluar deri pintu kamar mewah itu. Terdengar
suara hiruk-pikuk ketika tubuh empat orang pelayan itu terbanting di luar
kamar, diiringi keluhan dan rintihan mereka.
Tiba-tiba di luar pintu itu
muncul Liong Bian Cu diiringi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu memandang
kepada puterinya dan menegur, Eh, Hwee Li, apa yang terjadi? Apa yang Kau
lakukan tadi?! Kembali Hwee Li merasa terheran karena jelas bahwa di dalam
pertanyaan ayahnya itu mengandung penyesalan terhadapnya dan terkandung rasa
sungkan terhadap Sang Pangeran Nepal itu! Diam-diam dia merasa muak dan marah. Mengapa
ayahnya menjadi seorang penjilat? Mana kegagahan ketua Pulau Neraka?
Mereka layak dihajar!! katanya
tak acuh dan sama sekali tidak takut menghadapi Pangeran Nepal itu.
Liong Bian Cu tersenyum lebar
dan menjura, sikapnya halus memikat. Maaf, Nona. Apakah empat orang pelayan itu
bersikap kurang ajar kepadamu? Apakah mereka tidak menyenangkan hatimu? Kalau
begitu, katakanlah dan aku akan membunuh mereka atau menyiksa mereka di depan
kakimu sekarang juga!!
Hwee Li cemberut. Sikap
ayahnyalah yang membuat dia marah, bukan sikap pangeran itu. Kalau saja ayahnya
tidak bersikap seperti itu, berubah sama sekali daripada biasanya, agaknya
sikap pangaran ini akan menyenangkan hatinya juga. Maka kemarahannya lalu dia
lontarkan kepada pangeran itu dengan kaku dan kasar dia menjawab, Mereka adalah
orang-orangmu. Mau siksa atau mau bunuh terserah, tiada sangkut-pautnya dengan
aku!! Lalu dia membuang muka, kedua pipinya merah dan terasa panas karena
marahnya.
Hwee Li!! Ayahnya membentak
marah. Pangeran telah bersikap demikian hormat dan ramah kepadamu, pantaskah
sikap dan jawabanmu ini?!
Hwee Li menoleh kepada
ayahnya. Mereka saling pandang dan baru sekarang Hwee Li melihat pandang mata
ayahnya kepadanya demikian penuh kemarahan. Selamanya, pandang mata ayahnya kepadanya
selalu lembut dan penuh kasih sayang, akan tetapi sekarang ayahnya memandangnya
dengan mata melotot marah. Hal ini amat menyakitkan hatinya dan tak terasa lagi
dua titik air mata membasahi matanya!
Sudahlah, Locianpwe, jangan
marah kepadanya. Nona Hwee Li, kalau para pelayanku tidak menyenangkan hatimu,
biarlah aku yang minta maaf kepadamu!! Sambil berkata demikian, pangaran itu
benar-benar menjura kepada Hwee Li!
Diam-diam gadis ini terkejut
dan merasa heran juga. Pangeran ini ternyata seorang yang amat hormat
kepadanya, sungguhpun pandang matanya amat menjijikkan dan membuat dia merasa
seperti telanjang bulat kalau berhadapan dengan pangeran itu. Melihat sikap
yang amat hormat ini, juga amat merendah, padahal pemuda berusia tiga puluhan
tahun ini benar-benar seorang pangeran yang kaya raya dan berpengaruh, pula
melihat betapa ayahnya marah-marah kepadanya, maka kemendongkolan hatinya
agaknya mereda. Biarpun sikapnya masih acuh tak acuh, namun suaranya tidaklah
sekaku dan sekasar tadi ketika dia berkata kepada Liong Bian Cu.
Mereka tidak apa-apa, hanya
aku tidak senang dilayani, aku ingin tinggal sendiri di kamar ini!
Eh, begitukah? Baiklah, Nona.!
Dia lalu menoleh kepada empat orang pelayan wanita yang sudah berlutut di situ
dengan muka pucat dan sikap ketakutan. Hwee Li percaya bahwa sekali dia bilang
mati!, agaknya tak dapat diragukan lagi pangeran itu tentu akan membunuh mereka
berempat!. Hei, dengarkan baik-baik kalian berempat! Kalian sama sekali tidak
boleh masuk ke dala, kamar ini, melainkan siap di luar kamar dan baru masuk
kalau Siocia memanggil dan membutuhkanmu. Mengerti?! Empat orang itu lalu
memberi hormat dengan dahi menyentuh lantai.
Nah, beristirahatlah, Nona
Hwee Li. Sebentar lagi kita bertemu lagi di ruang dalam, di mana akan diadakan
pesta perjamuan makan untuk menyambut kedatanganmu.! Pangeran itu menjura lagi
lalu pergi, diikuti oleh Hek-tiauw Lo-mo yang melirik penuh desakan kepada
puterinya.
Setelah mereka pergi, dan
melihat empat orang. pelayan itu masih berlutut di situ, Hwee Li menutupkan
daun pintu keras-keras dengan hati mengkal. Lalu dia menjatuhkan diri di atas
pembaringan. Kasur itu bergoyang-goyang naik turun, mengayun-ayun tubuhnya.
Ternyata pembaringan itu selain berkasur tebal juga dipasangi per sehingga amat
enak di tiduri.
Hwee Li memejamkan matanya,
lalu membukanya lagi, termenung. Dia sungguh merasa penasaran dan heran melihat
perubahan pada watak ayahnya. Akan tetapi, ayahnya adalah seorang yang
dikenalnya sebagai orang yang amat cerdik. Tidak mungkin ayahnya menjadi
penjilat. Tentu ada apa-apa di balik semua sikap ayahnya itu. Ayahnya sedang
bersiasat! Pikiran ini mengusir rasa penasaran di hatinya, dan tak lama
kemudian wajah yang cantik itu telah berseri kembali. Sepasang matanya
bersinar-sinar ketika dia duduk di depan meja rias dan memandangi wajahnya
sendiri. Dia membuat berbagai gerakan dengan lehernya, menggerakkan kepalanya
miring ke kanan dan ke kiri, lalu menggerak-gerakkan alisnya, matanya,
hidungnya dan mulutnya. Dia merasa huas. Dia cantik memang! Dan timbul rasa
bangga di hatinya.
Pangeran hidung betet itu
agaknya tergila-gila kepadanya! Kini baru terasa olehnya betapa mesra pandang
mata pangeran itu, betapa halus dan hormat sikapnya. Bahkan pangeran itu tidak
segan-segan untuk menjura dan minta maaf kepadanya untuk urusan kecil tadi!
Hwee Li adalah seorang gadis
yang mempunyai watak lincah jenaka dan gembira, maka dia tidak bisa lama-lama
berada dalam keadaan marah atau berduka. Sesaat kemudian dia sudah merendam
tubuhnya di kolam mandi dan terdengar mulutnya bersenadung! Setelah merasa
tubuhnya segar sekali, dia keluar dari kolam, mengeringkan tubuhnya dengan kain
bersih yang tersedia di situ, kemudian keluar dari kamar mandi, kembali ke
dalam kamar dalam keadaan telanjang bulat.
Seperti seekor kijang muda dia
melangkah kecil-kecil menuju ke depan meja rias, memutar-mutar tubuhnya yang
telanjang di depan cermin perak, mengagumi bentuk tubuhnya sendiri yang padat
dengan lekuk lengkung sempurna itu, kulitnya yang putih halus, mengagumi
dadanya yang sebagian tertutup oleh rambutnya yang hitam halus, membayangkan
bukit-bukit dadanya dan timbul kebanggaan di dalam hatinya. Dia bagaikan
setangkai bunga yang sedang mekar, bagaikan sebutir buah yang sedang meranum.
Kesadaran bahwa dia cantik dan memiliki tubuh yang indah, mendatangkan
kebanggaan dan dia berjanji dalam hati tidak akan menyerahkan dirinya secara
murah kepada siapa pun, apalagi kepada pangeran berhidung betet itu!
Ketika Hwee Li mengambil
pakaiannya yang tadi ditanggalkannya dan ditumpuknya di atas pembaringan,
alisnya berkerut. Tubuhnya sudah segar dan bersih, akan tetapi pakaiannya itu
sudah kusut dan kotor! Dia teringat akan lemari yang berdiri di sudut kamar.
Dihampirinya lemari itu dan dibukanya. Penuh dengan pakaian! Pakaian wanita, serba
indah dan semua terbuat daripada kain sutera yang mahal! Dipilihya pakaian
dalam dan celananya yang terbuat dari kain tipis licin berwarna merah muda,
didekatkan kepada tubuhnya. Ukurannya persis!
Dia terheran-heran. Milik
siapakah pakaian-pakaian ini? Kenapa semua masih baru dan belum ada yang bekas?
Dan kenapa pula ukuran tubuh pemilik pakaian itu sama benar dengan ukuran
tubuhnya? Dipakainya pakaian dalam itu. Dan memang benar dugaannya. Persis
betul seperti memang sengaja dibuat untuk dia! Dipilihnya baju dan celana
berwarna biru. Dia paling suka memakai pakaian hitam, akan tetapi pakaian
selemari itu tidak ada yang hitam, maka dia memilih yang biru tua, satu-satunya
warna yang mendekati warna hitam. Lalu dipakainya pula.
Ketika dia sedang menyisir
rambutnya di depan kaca rias, daun pintunya terketuk dari luar. Hwee Li
mencelat kaget. Dia merasa berdosa! karena telah memakai pakaian orang lain dan
tiba-tiba daun pintu terketuk, maka tentu saja dia kaget bukan main.
Siapa?! bentaknya, karena dia
mengira bahwa yang mengetuk pintu tentulah pangeran ceriwis itu, maka
disambutnya lebih dulu dengan suara ketus.