Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 22 - Pasangan Serasi
Baru beberapa bulan yang lalu
dia masih menjadi seorang puteri di istana ayahnya, hidup bahagia sekali dan
menghadapi masa depan gilang gemilang, dengan Ang Tek Hoat sebagai tunangannya
yang gagah perkasa dan amat dicintanya, dan pernikahan antara mereka hanya
tinggal menanti saatnya saja. Akan tetapi tiba-tiba saja terjadi malapetaka
yang amat hebat, yaitu datangnya ibu kandung Tek Hoat yang membikin marah
ayahnya dengan pengakuannya yang menggemparkan, yaitu bahwa Ang Tek Hoat adalah
seorang anak haram. Ayahnya marah dan memutuskan pertunangan itu sehingga Tek
Hoat merasa malu dan lolos dari Bhutan! Dia menarik napas panjang.
Dia mencinta Tek Hoat,
mencinta pribadinya. Apa artinya riwayat hidup keluarga pemuda itu baginya? Dia
dulu pun sudah tahu bahwa Tek Hoat pernah menjadi seorang tersesat, bahkan
membantu pemberontak. Akan tetapi, bukankah pemuda itu sudah sadar dan kembali
ke jalan benar? Betapapun juga, dia mencinta Tek Hoat, dan dia tidak peduli apa
pun yang menjadi latar belakang riwayat hidup ayah dan ibu pemuda itu.
Syanti Dewi....!! Tiba-tiba
dia mendengar suara halus datang dari luar Gua Tengkorak. Suara seorang wanita
yang halus memanggilnya! Mimpikah dia? Syanti Dewi bangkit duduk dan
mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika dia melirik ke arah kamar di
sebelah kamarnya, dia masih mendengar suara dengkur See-thian Hoat-su. Dia
harus berhati-hati. Bukankah kakek itu mengatakan bahwa boleh jadi orang-orang
jahat yang hendak merampasnya kembali datang ke tempat itu?!Enci Syanti
Dewi....!!
Kembali terdengar bisikan yang
terdengar olehnya seperti desis seekor ular. Siapakah dia? Siang In? Hanya
Siang In yang menyebutnya enci Syanti Dewi! Akan tetapi mungkinkah Siang In?
Dia curiga. Kalau benar Siang In, mengapa harus memanggilnya dengan suara lirih
dari luar gua? Bukankah gua ini tempat tinggal See-thian Hoat-su, kakek yang
menjadi gurunya sendiri? Mengapa gadis itu tidak langsung masuk saja menemuinya
dan memanggil dari luar secara mencurigakan? Syanti Dewi sudah banyak mengalami
hal-hal hebat dan tahulah dia bahwa orang-orang jahat di dunia kang-ouw amat
licik dan curang, maka dia tetap saja diam saja mendengarkan, tidak mau
tergesa-gesa keluar. Kembali sunyi keadaannya, sunyi yang menegangkan hati
Puteri Bhutan itu. Tak lama kemudian, terdengarlah lagi suara itu, kini agak
keras biarpun masih dengan suara mendesis agar tidak terlalu nyaring dan
terdengar oleh kakek yang sedang tidur.
Kalau benar bahwa yang berada
di dalam itu Puteri Syanti Dewi, harap ke luar, adikmu Candra Dewi berada di
sini!!
Syanti Dewi terkejut,
jantungnya berdebar keras. Candra Dewi! Ceng Ceng! Dia tidak ragu-ragu lagi
karena dia mengenal suara itu. Turunlah dia dari atas pembaringan dan dengan
berindap-indap dia keluar dari kamarnya, terus berjalan keluar gua yang gelap
karena penerangan hanya ada di dalam kamarnya dan di kamar See-thian Hoat-su
saja. Di luar gua juga gelap, remang-remang karena hanya diterangi
bintang-bintang di langit. Dia melihat sesosok tubuh seorang wanita berdiri di
luar gua itu. Syanti Dewi tidak berani segera ke luar, mengintai dulu dan
jantungnya berdebar penuh kegirangan ketika dia mengenal bahwa orang itu memang
Candra Dewi atau Ceng Ceng adanya!
Wanita itu memang benar Lu
Ceng atau Ceng Ceng, atau nyonya Kao Kok Cu si Naga Sakti dari Gurun Pasir!
Dahulu, ketika dia masih tinggal di Bhutan, Ceng Ceng diakui adik oleh Syanti
Dewi dan diberi nama Candra Dewi (baca Kisah Sepasang Rajawali). Seperti telah
diceritakan di bagian depan, wanita perkasa ini bersama suaminya, si Naga Sakti
dari Gurun Pasir Kao Kok Cu, terpaksa meninggalkan tempat mereka yang terasing
dari dunia ramai, jauh di utara di gurun pasir, memasuki dunia ramai di selatan
untuk mencari putera mereka yang hilang! Mereka mencium jejak putera mereka itu
dibawa orang ke selatan, namun sampai sekian lamanya belum juga mereka berhasil
menemukan kembali Kao Cin Liong, putera mereka yang berusia lima tahun itu.
Kini Ceng Ceng kembali melakukan penyelidikan dengan terpisah dari suaminya,
karena dengan melakukan penyelidikan terpisah, lebih banyak harapan untuk
mendapatkan kembali jejak yang hilang itu.
Di dalam perjalanannya
melakukan penyelidikan dan mencari puteranya itulah Ceng Ceng mendengar
desas-desus di dalam dusun-dusun yang dilaluinya tentang seorang puteri yang
terculik oleh seorang penjahat dan dikejar-kejar oleh seorang kakek seperti
dewa. Ketika dia mendengar bahwa ada Puteri Bhutan! dilarikan iblis dan dikejar
dewa, dia masih belum menduga bahwa itu adalah Syanti Dewi. Akan tetapi ketika
dia teringat bahwa beberapa hari yang lalu dia melihat Mohinta, putera panglima
tua di Bhutan yang pernah dikenalnya, berkeliaran dengan beberapa orang
pembantunya, mulailah dia curiga. Jangan-jangan Syanti Dewi yang lagi-Iagi
menimbulkan geger di tempat ini! Karena hatinya merasa penasaran, dia lalu
melakukan pengejaran pula dan akhirnya dia tiba di depan Gua Tengkorak pada
malam hari itu. Dia tidak berani lancang menyerbu ke dalam, maka dia lalu
menggunakan tenaga khikangnya untuk memanggil, karena wanita sakti ini yakin
bahwa kalau mendengar suaranya, tentu Syanti Dewi akan keluar, kalau memang
benar Syanti Dewi puteri yang terculik itu.
Adik Ceng....!! Syanti Dewi
yang kini tidak ragu-ragu lagi itu berseru sambil lari keluar.
Enci Syanti....!!
Dua orang wanita ini saling
rangkul. Aih, kiranya benar engkau, Enci Syanti!!
Adik Candra.... betapa
girangnya hatiku bertemu denganmu....!
Pada saat itu, dari balik batu
besar meloncat sesosok bayangan yang tinggi besar dan bayangan ini langsung
menerkam ke arah Ceng Ceng. Wanita perkasa ini cepat mendorong tubuh Syanti
Dewi, Enci, menjauhlah!! katanya dan dia cepat membalik, menggerakkan lengannya
untuk menangkis karena mengelak sudah tidak sempat lagi. Serangan bayangan
hitam itu cepat bukan main.
Desss....!! Tangkisan Ceng
Ceng yang dilakukan dengan cepat itu mengandung tenaga sinkang mujijat. Di
dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa nyonya ini di waktu
belum menikah dahulu, bersama Topeng Setan yang ternyata adalah Kao Kok Cu yang
kini menjadi suaminya, telah berhasil memperoleh anak naga yang diperebutkan
seluruh orang kang-ouw di Telaga Sungari, biarpun untuk itu Kao Kok Cu telah
mengorbankan sebelah lengannya yang dicaplok oleh naga di telaga itu. Setelah
Ceng Ceng minum darah anak naga untuk mengobati luka dan penyakit yang
dideritanya, tidak saja dia sembuh dari lukanya di sebelah dalam tubuhnya, akan
tetapi juga dia memperoleh tenaga mujijat dari khasiat darah anak naga itu.
Tentu saja setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, dia telah dilatih oleh suaminya
yang sakti itu dan kini dia telah dapat menguasai tenaga mujijat itu dengan
baiknya, di samping ilmunya yang sudah memperoleh kemajuen pesat sekali.
Tubuh Gitananda, kakek tinggi
besar yang menyerangnya itu, sampai terlempar jauh ketika lengan mereka saling
bertemu dengan kerasnya. Kakek itu terkejut bukan main, sama sekali tidak
mengira bahwa wanita yang diserangnya memiliki sinkang sedemikian dahsyatnya.
Tadi, kakek ini hanya mengintai dan menanti kesempatan baik untuk merampas
Syanti Dewi. Dia tidak berani sembrono menyerbu ke dalam gua dan hanya menanti
saat baik selagi puteri itu keluar sendiri. Munculnya seorang wanita yang
memanggil-manggil dari luar gua membuat dia terheran-heran, akan tetapi
giranglah hatinya melihat Syanti Dewi benar-benar keluar dari dalam gua dan
cepat dia lalu menerjang wanita itu dengan maksud merobohkannya kemudian
melarikan Syanti Dewi. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya kctika
wanita itu menangkis dengan tenaga yang demikian hebatnya sehingga tubuhnya terlempar
ke belakang sampai jauh!
Pada saat itu terdengar
bentakan nyaring dan Ceng Ceng harus cepat mengelak karena dari dalam gua sudah
muncul seorang kakek yang menyerangnya kalang-kabut dengan pukulan-pukulan yang
mendatangkan angin berputaraan. Tahulah dia bahwa lawannya adalah seorang yang
lihai, maka Ceng Ceng lalu membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya
yang ampuh. Terjadilah pertempuran yang amat seru dan dahsyat di depan gua, di
dalam cuaca yang remang-remang itu dan mereka berdua lebih mengandalkan
ketajaman pendengaran mereka untuk mengikuti gerakan lawan daripada ketajaman
pandangan mata yang tentu saja amat berkurang di dalam cuaca remang-remang itu.
Syanti Dewi tadi merasa
terkejut sekali ketika dia didorong ke pinggir oleh Ceng Ceng, dan dia melihat
betapa Ceng Ceng tadi diserang oleh kakek tinggi besar. Kemudian, melihat Ceng
Ceng diserang kakek botak dari dalam gua, dia terkejut. Kakek itu adalah
See-thian Hoat-su! Dia segera melangkah maju dan bibirnya telah bergerak untuk
berseru agar mereka berhent berkelahi karena mereka bukanlah musuh, akan tetapi
tiba-tiba ada bayangan hitam menyambar. Syanti Dewi berusaha untuk mengelak,
akan tetapi tingkat kepandaian silatnya jauh sekali dibandingkan dengan tingkat
Gitananda dan sekali kakek itu menepuk tengkuknya, tubuh Syanti Dewi menjadi
lemas dan pingsanlah puteri itu. Gitananda cepat memondongnya dan menyelinap
pergi di dalam kegelapan malam.
Ceng Ceng dan See-thian
Hoat-su yang sedang bertanding dengan hebat itu sama sekali tidak melihat bahwa
Syanti Dewi dirobohkan dan dibawa pergi orang lain. Mereka masih saling serang
dengan hebat dan sungguh-sungguh karena mereka mendapatkan kenyataan bahwa
lawan masing-masing amat lihai.
Plak-plakkk!! Untuk ke sekian
kalinya kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan tubuh Ceng Ceng
terdorong mundur, akan tetapi See-thian Hoat-su juga merasa betapa tubuhnya
tergetar hebat! Dia terkejut sekali, maklum bahwa wanita yang dilawannya
memiliki sinkang yang amat mujijat dan kalau pertandingan itu dilanjutkan
beberapa kali mengadu tenaga seperti itu, amatlah berbahaya bagi jantungnya
yang dapat tergetar dan rusak! Maka dia lalu mulai berkemak-kemik, hendak
menggunakan ilmu sihir untuk mengalahkan lawannya. Kalau saja cuaca tidak
segelap itu, dengan pengaruh pandang matanya agaknya dengan mudah, dia akan
dapat menguasai lawan ini. Akan tetapi cuaca amat gelap dan dia kini hendak
menggunakan sihir, akan tetapi justeru pada saat itu lawannya mendesaknya
dengan pukulan-pukulan ampuh sehingga belum beranilah kakek ini membagi
tenaganya untuk menggunakan sihir karena sekali saja terkena pukulan wanita itu
tanpa dilawan dengan sinkang sepenuhnya, amatlah berbahaya baginya.
Sementara itu, Ceng Ceng juga
makin terkejut dan heran. Disangkanya bahwa yang menculik Puteri Bhutan itu
seorang penjahat biasa saja. Kiranya puteri itu benar Syanti Dewi dan
penculiknya ternyata adalah seorang yang berkepandaian tinggi! Hal ini membuat
dia menjadi marah bukan main dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang
mengeluarkan sinar mengerikan, hijau kehitaman. Itulah pedang Ban-tok-kiam
(Pedang Selaksa Racun) yang bukan main ampuhnya.
Di dalam cerita Kisah Sepasang
Rajawali telah dituturkan bahwa Ceng Ceng menerima pedang itu dari seorang
iblis betina berjuluk Ban-tok Mo-li dan betapa pedangnya itu pernah terampas
oleh Tambolon dan kawan-kawannya tewas dalam perang oleh Tek Hoat dan para
orang gagah, Ceng Ceng akhirnya berhasil memperoleh pedangnya kembali dan
semenjak dia menikah, pedang itu selalu disimpannya saja dan tidak pernah
dipergunakannya. Hanya ketika puteranya lenyap, dan dia bersama suaminya
meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencarinya, dia membawa Ban-tok-kiam,
hanya untuk berjaga-jaga saja karena dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi,
sebenarnya dia tidak usah memerlukan bantuan pedangnya. Akan tetapi, melihat
ada orang menculik Syanti Dewi dan orang itu sedemikian lihainya, Ceng Ceng
menjadi marah dan mencabut Ban-tok-kiam yang mengerikan itu.
Ihhhhh....!! See-thian Hoat-su
adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, juga seorang ahli sihir yang amat
pandai, akan tetapi dia bergidik juga ketika melihat berkelebatnya cahaya hijau
kehitaman yang mendirikan bulu roma itu.
Penculik hina dina!! Ceng Ceng
memaki. Engkau telah berani menculik kakakku, Puteri Syanti Dewi dari Bhutan,
maka engkau akan tewas di tanganku!! Berkata demikian, wanita perkasa itu sudah
menerjang dan terdengar suara bercicit nyaring ketika Ban-tok-kiam meluncur ke
depan mencari korban dengan ganasnya!
Heiii.... nanti dulu....!!
See-thian Hoat-su mencelat ke belakang, berjungkir balik sampai empat kali dan
ketika dia turun, dia mengangkat kedua lengan ke atas sambil berseru, Nanti
dulu, nanti dulu!!
Kau mau bicara apa lagi?! Ceng
Ceng membentak, matanya memandang tajam dan mengeluarkan sinar seperti mata
seekor naga berapi sehingga kembali See-thian Hoat-su terkejut dan merasa
ragu-ragu apakah dia akan mampu menguasai lawan yang memiliki mata seperti itu
dengan sihirnya.
Engkau mengaku kakak kepada
Syanti Dewi? Dan menuduh aku menculiknya? Sungguh aneh sekali. Heiii, Sang
Puteri, ke sinilah dan coba jelaskan keanehan ini! Benarkah aku penculik? Dan
benarkah dia ini adikmu?!
Akan tetapi, tentu saja tidak
ada jawaban terhadap teriakan See-thian Hoat-su itu karena Syanti Dewi sudah
tidak berada di tempat itu lagi. Mendengar kata-kata kakek itu, Ceng Ceng juga
terkejut, lalu dia menoleh dan mencari Syanti Dewi.
Enci Syanti Dewi....! Enci
Syanti, di mana kau? Keluarlah!! teriaknya pula.
Akan tetapi sia-sia belaka.
Mereka berdua berteriak memanggil-manggil dan mencari-cari, namun Puteri Bhutan
itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Celaka....!! See-thian Hoat-su
membanting-banting kakinya. Selagi kita berdua saling hantam, ada orang ke tiga
yang datang dan membawanya lari!!
Ceng Ceng terkejut dan
membenarkan dugaan itu. Dia tentu belum lari jauh. Mari kita berpencar dan
mengejar!! Tanpa menanti jawaban, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.
See-thian Hoat-su juga meloncat dan mencari-cari.
Sia-sia saja mereka berdua
mengejar dan mencari sampai malam terganti pagi. Akhirnya mereka kembali ke
depan gua dan saling berjumpa di depan gua dengan alis berkerut. Kini mereka
dapat saling memandang dengan jelas dan Ceng Ceng merasa seperti pernah melihat
wajah kakek botak berambut putih itu.
Siapakah Locianpwe? Dan
bagaimanakah Locianpwe dapat membawa Enci Syanti ke sini?! tanyanya sambil
memandang tajam.
See-thian Hoat-su
bersungut-sungut. Kalau kau benar adiknya, mengapa datang malam-malam seperti
pencuri? Kalau datangmu biasa saja di waktu siang hari, tentu aku tidak
menyerangmu dan Sang Puteri tidak akan lenyap. Akan tetapi sudahlah! Aku adalah
See-thian Hoat-su, dan siapakah Nona yang masih muda akan tetapi memiliki
kepandaian hebat sekali dan memiliki pedang yang demikian mengerikan?!
Ceng Ceng membelalakkan
matanya. Aihhh! Kiranya Locianpwe See-thian Hoat-su!! Tentu saja dia pernah
mendengar nama ini, bahkan pernah pula melihat orangnya ketika terjadi perang
melawan Tambolon dan pasukannya, karena kakek inilah yang merobohkan nenek
Durganini dan membawanya pergi. Saya adalah adik angkat dari Enci Syanti Dewi,
yaitu dahulu ketika saya masih tinggal di Bhutan. Sekarang, saya telah menjadi
isteri dari suami saya yang dikenal sebagai si Naga Sakti dari Gurun Pasir.!
Aaahhhhh....!! Kiranya
begitukah? Pantas saja kepandaianmu hebat sekali, Toanio! Dan maafkan kalau aku
menyerangmu tadi karena kusangka engkau adalah penculik yang membayangi kami
sampai di sini.!
Sayalah yang harus minta maaf,
Locianpwe, dan saya menyesal sekali karena saya tahu sekarang, bahwa saya salah
duga dan saya yang menyebabkan lenyapnya Enci Syanti Dewi. Tidak salah lagi,
tentu ini perbuatan dewa hitam itu!!
Dewa hitam? Apa maksudmu,
Toanio?! See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi melihat wajah nyonya muda itu
nampak lesu dan muram, juga kelihatan lelah sekali, dia cepat berkata, Mari
kita bicara di dalam, Toanio. Agaknya banyak hal yang perlu saling kita
tuturkan.!
Memang Ceng Ceng merasa lesu
dan muram wajahnya, hal ini karena dia selama ini berada dalam kecemasan
memikirkan nasib puteranya yang lanyap dan belum juga dapat dia temukan. Kini
ditambah lagi menghadapi urusan Syanti Dewi lenyap diculik orang, tentu saja
dia merasa makin gelisah dan berduka. Maka ketika kakek itu mempersilakan dia
masuk ke dalam gua besar, dia Mengangguk dan mereka lalu memasuki tempat itu.
Setelah duduk berhadapan, Ceng
Ceng lalu menceritakan betapa dia mendengar tentang Syanti Dewi dari
orang-orang dusun di sepanjang jalan yang menceritakan bahwa mereka melihat
seorang dara cantik dipondong dan dilarikan oleh seorang kakek, dan betapa
kemudian muncul seorang kakek hitam bersorban yang memberi tahu mereka bahwa
puteri itu adalah Puteri Bhutan yang diculik oleh seorang jahat. Penghuni dusun
lalu menyebarluaskan berita itu dengan cerita bahwa Puteri Bhutan diculik setan
dan dikejar oleh seorang dewa hitam yang hendak menolong sang puteri.
Mendengar puteri itu disebut
Puteri Bhutan, saya sudah merasa tertarik sekali, menduga Enci Syanti Dewi yang
dimaksudkan, maka saya pun lalu melakukan pengejaran. Ketika saya memanggil
Enci Syanti Dewi keluar, kami bertemu dan berangkulan. Pada saat itulah saya
diserang orang dari belakang. Saya mendorong Enci Syanti Dewi ke pinggir dan
menangkis serangan orang itu sehingga dia terlempar ke belakang. Akan tetapi lalu
Locianpwe muncul menyerang saya. Karena mengira bahwa tentu Locianpwe adalah
sekutu penyerang pertama itu, maka saya tidak mempedulikan dia lagi dan
melayani Locianpwe yang ternyata lebih lihai. Siapa kira, agaknya orang itulah
yang disebut dewa hitam dan yang mempergunakan kesempatan selagi kita
bertempur, lalu dia melarikan Enci Syanti.!
See-thian Hoat-su mengerutkan
alisnya yang putih. Orang hitam bersorban? Siapa gerangan dia? Apakah dia
datang dari pesta itu dan terus membayangiku?!
Pesta apa yang Locianpwe
maksudkan?! Ceng Ceng bertanya.
Kakek itu menarik napas
panjang. Sebaiknya kuceritakan dari permulaannya,! katanya. Ketika itu aku
sedang bertapa dan mengundurkan diri di gua ini setelah muridku yang bernama
Siang In kuperbolehkan untuk merantau dan meluaskan pengalaman. Akan tetapi
tiba-tiba datanglah nenek gila yang pernah menjadi isteriku itu....! dia
berhenti dan menghela napas panjang.
Nenek Durganini....?! Ceng
Ceng bertanya menegaskan, karena sesungguhnya dia sudah tahu bahwa yang dimaksudkan
tentulah nenek itu.
Siapa lagi kalau bukan dia?!
Nenek gila itu mengganggu aku yang sedang siulian, datang-datang mengamuk dan
hampir saja membunuhku kalau aku tidak segera sadar dari siulian. Dia datang
dan marah-marah, katanya dia mendengar dari muridku bahwa aku hendak
menghajarnya, maka dia datang dan menantang-nantang! Aku maklum bahwa tentulah
muridku yang bengal itu yang menjadi gara-gara, akan tetapi aku pun mengerti
bahwa tentu ada sebabnya yang amat memaksa maka Siang In sampai menggunakan akal
itu untuk memancing Durganini datang ke sini. Maka aku berhasil menyabarkan
hatinya dan si nenek gila itu mulai bercerita tentang Syanti Dewi.!
!Ahhh....? Sungguh heran
mengapa Enci Syanti yang sudah pulang ke negerinya itu tiba-tiba dapat berada
di sini lagi.!
Aku pun baru mendengar tentang
itu dari Puteri Syanti Dewi ketika aku membawanya lari ke sini. Akan tetapi
biarlah kulanjutkan ceritaku. Durganini menceritakan bahwa dia telah mempunyai
seorang murid baru, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang yang
tinggal di puncak Bukit Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san. Secara kebetulan
saja Tang Hun ini bertemu dengan muridku, Siang In, yang melakukan perjalanan
bersama Puteri Syanti Dewi. Tang Hun jatuh cinta dan menangkap Syanti Dewi dan
hendak dijadikan isterinya. Siang In tidak mampu melindunginya karena di situ
terdapat isteriku si nenek gila itu, maka Siang In lalu menggunakan akal,
membohongi nenek itu dan mengatakan aku berada di sini dan hendak
menghajarnya.! Kakek itu menarik napas panjang dan tersenyum geli teringat akan
kenakalan muridnya.
Nenek gila itu paling benci
mendengar aku mengancamnya, maka dia lalu lari ke sini dan mengamuk. Dia
menceritakan bahwa Syanti Dewi hendak diperisteri oleh Tang Hun dan mendengar
ini, aku mengkhawatirkan keadaan muridku dan juga puteri itu. Aku lalu
maninggalkan nenek gila itu dan pergi ke puncak Naga Api menyelidik. Ternyata
cerita itu benar dan aku melihat betapa banyak orang bersiap-siap hendak
menculik Syanti Dewi, di antaranya adalah muridku yang berusaha menolongnya.
Akan tetapi karena aku melihat banyak orang lihai di situ, maka aku sendiri
turun tangan dan membawa Sang Puteri lari sampai ke sini. Aku hendak menanti
datangnya Siang In di sini, akan tetapi ternyata engkau datang lebih dulu dan
Syanti Dewi terculik lagi.!
Ceng Ceng mengerutkan alisnya.
Dan bagaimana Enci Syanti Dewi meninggalkan negaranya dan berada di tempat
ini?!
Dia menceritakan kepadaku
ketika dalam perjalanan menuju ke sini. Katanya terjadi keributan di negerinya,
Raja Bhutan, yaitu ayahnya memutuskan tali pertunangan ltu sehingga
tunangannya, Ang Tek Hoat pergi dari Bhutan. Puteri Syanti Dewi ingin sekali
menyusul, kebetulan Siang In datang mengunjunginya dan muridku itulah yang
membantunya lolos dari istana Bhutan dan hendak mencari Tek Hoat, akan tetapi
sebelum dapat bertemu telah ditangkap oleh ketua Liong-sim-pang.!
Hemmm, sungguh kasihan Enci
Syanti. Siapa kiranya yang kini menculiknya malam tadi?!
Kakek itu mengepal tinjunya.
Salahku! Aku kurang hati-hati, Akan kuselidiki sampai dapat. Akan tetapi,
Toanio, engkau yang tinggal di lstana Gurun Pasir, tempat rahasia yang seperti
hanya terdapat dalam dongeng, mengapa pula kau berada di sini, kalau aku boleh
bertanya?!
Ceng Ceng menarik napas
panjang, teringat akan puteranya yang lenyap. Sudah berbulan-bulan saya dan
suami saya meninggalkan Istana Gurun Pasir dan menjelajahi Tiong-goan,
Locianpwe. Kami suami isteri juga sedang tertimpa malapetaka. Putera kami telah
hilang.!
Hilang?!
Ya, hilang tanpa meninggalkan jejak.
Tentu diculik orang pula, seperti halnya Enci Syanti Dewi. Kami telah mencari
dan kadang-kadang menemukan jejaknya, akan tetapi lalu hilang lagi sehingga
sampai kini kami belum berhasil.!
Aihhh, manusia mana yang
berani main gila menculik puteri si Naga Sakti dari Gurun Pasir? Iblis pun akan
berpikir panjang untuk melakukan hal itu,! kata See-thian Hoat-su dengan heran.
Nama besar si Naga Sakti ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw seperti juga nama
besar lainnya, misalnya Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Juga Naga Sakti
tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw, bagaimana ada orang berani menculik
puteranya?
Buktinya ada yang
menculiknya!! kata Ceng Ceng gemas. Kalau saja aku dapat menangkap penculik
hina itu!! Dan dia mengepal tinjunya. See-thian Hoat-su sendiri bergidik
mendengar ancaman yang terkandung dalam suara itu. Dia tadi sudah merasakan
kelihaian nyonya muda ini, apalagi pedangnya yang mengerikan itu. Baru
nyonyanya sudah demikian hebat, entah bagaimana si Naga Sakti sendiri!
Benar-benar si penculik itu mencari penyakit!
Aku akan mencari Puteri Syanti
Dewi, akan tetapi juga akan membuka mata dan telinga untuk membantumu mencari
puteramu, Toanio. Berapakah usianya dan bagaimana ciri-cirinya?!
Banyak terima kasih atas
kebaikan hati Locianpwe,! kata Ceng Ceng yang sebagai seorang ibu, hatinya
gelisah sekali dan tentu akan terasa bersyukur kalau ada orang membantunya
menemukan puteranya. Nama putera kami adalah Kao Cin Liong, usianya sekitar
lima tahun, mukanya bundar putih dan matanya lebar, di bawah telinga kirinya
terdapat sebuah tahi lalat kecil. Hanya itu ciri-cirinya.!
Baik, aku akan membuka mata
dan telinga. Sekarang pun aku berangkat hendak mencari jejak Syanti Dewi sambil
mendengarkan tentang puteramu.!
Terima kasih, Locianpwe.!
Mereka keluar dari dalam gua
dan keduanya lalu pergi mengambil jalan terpisah. Di sepanjang jalan See-thian
Hoat-su mengeluh panjang pendek. Dia sudah tua sekali, sudah delapan puluh
tahun lebih usianya, sudah bosan dengan urusan dunia yang hanya menimbulkan banyak
persengketaan dan permusuhan. Tadinya, setelah muridnya, Siang In,
meninggalkannya dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai, bahwa dia boleh
menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tenang dan tenteram di dalam tempat
pertapaannya, di Gua Tengkorak dan hidup penuh damai dengan diri sendiri dan
dengan alam di tempat sunyi itu sampai dia mati. Siapa kira, belum ada setahun
saja dia sudah terseret lagi dalam urusan dunia! Dan setelah kini melihat
Syanti Dewi diculik orang dari tangannya, tentu saja dia akan selalu merasa
salah dan menyesal sebelum dia dapat menyelamatkan Puteri Bhutan itu kembali.
Uuuuuhhh, sialan kau, tua-tua
tidak dapat menikmati hidup damai....! gerutunya, namun tetap saja dia
melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Puteri Bhutan itu. Dari
jejak-jejak kaki di dekat guanya, dia melihat jejak kaki itu menuju ke utara,
maka dia pun tidak membuang waktu dan mengejar ke utara.
***
Warung nasi itu penuh dengan
orang yang makan siang. Warung itu terkenal menjual nasi tim dan masakan-masakan
yang cukup lezat dan terutama sekali murah harganya dibandingkan dengan harga
makanan di restoran-restoran lain, maka selalu penuh dengan tamu, apalagi di
waktu siang dan malam, waktunya orang-orang makan siang dan makan malam.
Siang itu hawanya panas bukan
main, apalagi di dalam restoran kecil atau warung nasi itu, seolah-olah
merupakan pertanda bahwa di situ akan terjadi hal-hal yang hebat. Selagi banyak
orang makan minum sambil bercakap-cakap, masuklah seorang wanita dan seorang
pemuda. Wanita yang usianya mendekati empat puluh tahun namun masih kelihatan
muda, cantik jelita dengan lirikan mata dan gerak bibir tersenyum genit,
pakaiannya serba indah dan pesolek, bibirnya yang memang baik bentuknya itu
kemerahan oleh gincu, juga kedua pipinya ditambahi bedak dan pemerah pipi, di
punggungnya tergantung pedang.
Wanita ini memasuki restoran
dengan lenggang yang lemah gemulai, kedua bukit pinggulnya yang terbungkus
ketat oleh celana biru dari sutera itu menari-nari ketika dia melenggang,
membuat beberapa orang yang sedang makan mi terpaksa harus menjulur-julurkan
lehernya karena mi panjang yang ditelannya itu nyasar, mata mereka melotot dan
melekat kepada buah pinggul yang menari-nari. Pemuda di sebelah wanita itu
masih muda, dua puluh tiga tahun kurang lebih, tampan dengan muka yang
membayangkan kekerasan, agak muram dengan mata tajam dingin, mulutnya tertarik
seperti orang mengejek, dan sikapnya tidak mempedulikan siapa pun.
Wanita itu adalah Lauw Hong
Kui, tokoh sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li atau Siluman Kucing, dan yang
berjalan di sebelahnya adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian
depan dari kisah ini, mereka meninggalkan sarang perkumpulan Hek-eng-pang untuk
mencari jejak Syanti Dewi. Seperti kita ketahui, Ang Tek Hoat yang dibantu oleh
Yang-liu Nio-nio, ketua Hek-eng-pang, telah menyerbu puncak Naga Api dan
berusaha merampas Puteri Syanti Dewi dari tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Akan
tetapi, ternyata yang mereka rampas dan mereka kira Syanti Dewi itu sebenarnya
hanyalah seorang pelayan!
Mereka sama sekali tidak tahu
bahwa mereka menjadi korban kenakalan kakek See-thian Hoat-su yang telah
membawa lari Syanti Dewi. Dan ketika Tek Hoat hendak pergi meninggalkan
Yang-liu Nio-nio, Mauw Siauw Mo-li mengatakan bahwa dia melihat ada seorang
gadis mencari-cari Puteri Syanti Dewi dan menawarkan bantuannya kepada Tek Hoat
untuk membantu pemuda itu mencari kekasihnya.
Demikianlah, hari itu mereka
tiba di kota di mana Mauw Siauw Mo-li berjumpa gadis yang mencari-cari Syanti
Dewi, dan memasuki restoran di mana dia beberapa hari yang lalu melihat gadis
itu. Dan Mauw Siauw Mo-li memang tidak berbohong. Di restoran ini, beberapa
hari yang lalu ketika dia pergi mengunjungi muridnya, Yang-liu Nio-nio, dia
memang melihat seorang gadis cantik yang mencari-cari Syanti Dewi dan gadis ini
bukan lain adalah Siang In yang masih terus menyelidiki dan mencari sahabatnya
itu. Tentu saja Mauw Siauw Mo-li bukanlah seorang yang demikian baik hatinya
untuk membantu orang lain tanpa ada pamrih lain di dalam hatinya. Begitu dia
bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat, pemuda yang pernah membangkitkan gairah
berahinya lima tahun yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali), maka
timbuliah hasratnya untuk mendekati pemuda tampan dan gagah ini. Maka dia menawarkan
bantuannya yang hendak dipergunakan menjadi jalan agar dia dapat mendekati Si
Jari Maut, pendekar muda yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu.
Akan tetapi selama tiga hari
tiga malam ini, dia sama sekali belum berhasil mendekati! Ang Tek Hoat yang
bersikap dingin dan tak acuh kepadanya! Bahkan pagi hari tadi, ketika mereka
melewatkan malam di hutan dan pagi tadi dia sengaja mandi di sumber air dengan
bertelanjang bulat dan berusaha menarik perhatian Tek Hoat, pemuda itu malah
marah-marah dan berdiri membelakanginya, sedikit pun tidak pernah mau melirik,
apalagi mengagumi keindahan bentuk tubuhnya!
Diam-diam Mauw Siauw Mo-li
menjadi gemas dan marah sekali, hatinya terasa sakit sekali. Tidak mengindahkan
dan tidak menyatakan kagum terhadap keindahan tubuhnya merupakan penghinaan!
Dan kalau saja bukan Tek Hoat, tentu dia sudah akan membunuh pria yang berani
menghinanya seperti itu. Akan tetapi terhadap Tek Hoat dia tidak berani
main-main karena dia maklum betapa lihainya pemuda ini dan betapa berbahayanya
untuk memusuhi Si Jari Maut di tempat sunyi itu tanpa pembantu. Maka dia
menahan kesabarannya dan mengambil keputusan untuk berhati-hati dan bersikap
cerdik menghadapi pemuda ini, akan perlahan-lahan memasang jaringnya untuk
menjebak Tek Hoat ke dalam pelukannya.
Semua mata para tamu yang
terdiri dari kaum prla itu tidak ada yang tidak memandang kepada Mauw Siauw
Mo-li, atau setidaknya tentu mengerling kagum. Seorang wanita yang cantik manis
dan sudah matang! Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mempedulikan mereka,
melainkan tersenyum bangga dan sadar akan kekaguman yang membanjiri dirinya dan
matanya memandang ke arah seorang pelayan gendut lalu dia menggapai ke arah
pelayan itu. Pelayan itu sedang membawa baki melayani beberapa orang tamu, ketika
melihat Mauw Siauw Mo-li menggapai kepadanya, dia cepat-cepat menyerahkan baki
berisi masakan kepada seorang rekannya dan dia sendiri tergesa-gesa menghampiri
wanita cantik itu dan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum dengan sikap
penuh hormat dan penjilatan.
Ahhh.... apakah Toanio dan
Kongcu yang terhormat ingin makan? Mari, saya pilihkan tempat yang kosong dan
enak bagi Ji-wi (Anda berdua).!
Mauw Siauw Mo-li mengangguk
dan pelayan itu dengan terbongkok-bongkok lalu mengantar mereka ke sudut di mana
terdapat meja kosong yang cepat dibersihkannya dengan kain yang selalu
tergantung di pundaknya.
Toanio hendak pesan apa? Dan
Kongcu?! tanyanya ramah.
Keluarkan mi, daging dan sayur
terbaik untuk dua orang, kemudian harus engkau sendiri yang melayani kami
karena kami ingin bicara denganmu.!
Pelayan itu membelalakkan
matanya yang kecil sipit, akan tetapi lalu tersenyum-senyum dan
mengangguk-angguk seperti seekor ayam sedang makan beras. Baik, Toanio,
baik....! dan dia lalu mengundurkan diri untuk memenuhi pesanan Mauw Siauw
Mo-li itu.
Dialah yang ketika itu
ditanyai oleh gadis yang kumaksudkan, maka aku minta dia yang melayani klta,!
bisik wanita cantik itu kepada Tek Hoat yang hanya mengangguk.
Pelayan itu datang membawa
masakan dan arak yang dipesan, kemudian setelah mengatur semua itu di atas
meja, dia berdiri tak jauh dari situ sambil tersenyum-senyum dan siap untuk
melayani dua orang ini kalau-kalau membutuhkan sesuatu.
Mauw Siauw Mo-li mengajak Tek
Hoat makan minum tanpa berkata-kata. Baru setelah dia merasa kenyang dan
menyusut bibirnya yang merah dan berminyak itu dengan saputangan, dia memberi
isyarat kepada pelayan itu untuk mendekat. Si pelayan mendekat dan
membongkokkan tubuhnya agar kepalanya lebih dekat dengan wanita itu untuk
mendengarkan apa yang hendak dikatakan wanita itu.
Aku ingin bertanya kepadamu
tentang sesuatu dan kau harus menjawab sejujurnya dan sebenarnya. Kalau kau
memberi keterangan yang menyenangkan, jangan khawatir, aku akan memberi hadiah
kepadamu. Akan tetapi kalau kau membohong atau menyembunyikan sesuatu, pedangku
tidak akan segan-segan untuk menyembelih lehermu.!
Uhhhhh....! Ti.... tidak....
mana saya berani....! Pelayan gendut itu berkata dan tubuhnya menggigil.
Mauw Siauw Mo-li terkekeh
sehingga empat orang pria yang duduk di meja yang tidak jauh dari situ menoleh
semua. Melihat wanita cantik itu terkekeh genit dan matanya mengerling penuh
daya tarik kepada mereka, empat orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentu
terdiri dari kongcu yang beruang itu juga tersenyum-senyum. Bahkan seorang di
antara mereka yang termuda, usianya paling banyak tiga puluh tahun, pakaiannya
rapi dan indah, mengedipkan mata kepada Mauw Siauw Mo-li. Sambil terkekeh genit
wanita ini membalas dengan kedipan mata kanan sehingga laki-laki itu kelihatan
girang bukan main lalu minum araknya lalu mereka berempat tertawa-tawa dan
berbisik-bisik. Tek Hoat melihat ini semua dengan hati muak, akan tetapi dia
pura-pura tidak tahu dan diam saja, hanya memandang kepada pelayan gendut itu.
Setelah sedikit gangguan main
mata dengan empat orang pria itu, Mauw Siauw Mo-li kembali menghadapi pelayan
dan mulailah dia bertanya, Beberapa hari yang lalu aku juga makan di sini....!
Ah, saya ingat, Toanio. Saya
ingat, maka ketika Toanio datang tadi, saya cepat menyambut karena saya merasa
pernah melihat Toanio....! pelayan itu cepat berkata.
Dan pada waktu itu, engkau
melayani seorang gadis cantik berbaju sutera merah indah dan membawa payung.
Dia bertanya kepadamu tentang seorang gadis cantik yang dibawa dengan paksa
oleh seorang kakek.! Mauw Siauw Mo-li membiarkan pelayan itu mengerutkan alis
mengingat-ingat. Ketika dia membayangi gadis yang dijumpainya di tepi jalan di
dusun Khun-kwa tak jauh dari kota ini, dia terus mengikuti gadis itu sampai
gadis itu memasuki rumah makan di kota ini. Akan tetapi karena pada waktu itu
terdapat banyak sekali tamu dan suasana amat berisik, maka dia tidak dapat
mendengarkan percakapan antara gadis itu dan pelayan gendut ini dengan jelas,
hanya melihat si gendut ini menggerak-gerakkan tangan. Pada waktu itu dia tidak
begitu memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan urusan itu, akan tetapi setelah
dia berniat membantu Tek Hoat, barulah dia teringat bahwa yang dimaksudkan oleh
gadis itu tentulah Puteri Syanti Dewi.
Ah, sekarang saya ingat,
Toanio. Benar...., gadis membawa payung....!
Nah, dengarlah. Aku juga ingin
mencari gadis yang dibawa oleh kakek itu. Ke manakah mereka?! Lalu dia
menambahkan, Awas, jangan berbohong kau!!
Aihhh, mana saya berani
berbohong? Saya akan menceritakan kepada Toanio seperti yang saya ceritakan
kepada nona itu, seperti yang saya ketahui. Memang ada kakek dan gadis seperti
yang dimaksudkan itu makan di sini, akan tetapi tentu saja saya tidak tahu ke
mana mereka pergi. Hanya di waktu makan, saya mendengar kakek itu
menyebut-nyebut pantai Laut Po-hai. Hanya itulah yang saya ketahui dan demikian
pula saya ceritakan kepada gadis itu, Toanio.!
Pantai Lautan Po-hai?! Tek
Hoat mengulang dan alisnya berkerut. Kalau begitu, aku akan menyusul ke sana!!
katanya dan alisnya berkerut makin dalam ketika dia melihat Mauw Siauw Mo-li
sudah tersenyum-senyum dan bermain mata lagi dengan laki-laki berbaju kuning di
meja lain itu. Ternyata Siluman Kucing ini sama sekali tidak mendengarkan atau
mempedulikan keterangan si pelayan, melainkan asyik bermain mata dengan
laki-laki itu!
Tiba-tiba laki-laki itu yawg
agaknya sudah setengah mabuk dan tidak kuat menyaksikan permainan mata dan
bibir Mauw Siauw Mo-li, berdiri dan dengan langkah agak terhuyung dia
menghampiri meja wanita itu, berpegang pada ujung meja dan dengan berdiri tidak
lurus, agak tergoyang-tergoyang, dia tersenyum lebar kepada Mauw Siauw Mo-li.
He-he-he, engkau.... he-he,
cantik seperti bidadari.... marilah kita makan minum bersama.... he-he-he,
tentu kita berdua akan senang sekali....!
Prattt....!! Laki-laki itu
menjerit dan menutupi mukanya yang disiram kuah panas oleh Mauw Siauw Mo-li.
Bukan hanya karena kuah itu panas yang membuat laki-laki itu kini berggulingan
dl atas lantai sambil menjerit-jerit, akan tetapi karena kuah itu dilemparkan
dengan pengerahan tenaga sakti oleh Mauw Siauw Mo-li yang kini tertawa
terkekeh-kekeh dan suara ketawa ini mengandung suara seekor kucing! Tek Hoat
mengerutkan alisnya, akan tetapi duduk saja dengan tenang.
Tentu saja tiga orang
laki-laki lain yang duduk di meja sebelah menjadi terkejut dan marah sekali
melihat teman mereka bergulingan seperti itu. Mereka menyangka bahwa teman
mereka itu dipukul atau terkena senjata lain karena kalau hanya kuah, tidak
mungkin teman mereka sampai menderita seperti itu. Serentak mereka bangkit dan
lari menghampiri meja Mauw Siauw Mo-li.
!Kau apakan teman kami?!
bentak mereka.
Hi-hik, dia terlalu mabuk dan
kalian juga!! Kini berhamburanlah mangkok-mangkok dan sumpit-sumpit dari atas
meja di depan wanita itu dan terdengar suara berteriak-teriak kesakitan dan
tiga orang laki-laki ini pun terpelanting dan roboh bergulingan seperti teman
mereka yang pertama. Muka mereka luka-luka, ada yang tertusuk sumpit matanya,
ada yang pecah pelipisnya terkena sambaran mangkok yang menghantam kepala
sampai pecah mangkok itu dan pecahannya melukai muka. Tentu saja restoran itu
menjadi geger dan para tamu banyak yang lari keluar.
Melihat ini, hati Tek Hoat
terasa muak dan dia lalu bangkit berdiri, terus keluar dari tempat itu tanpa
mempedulikan Mauw Siauw Mo-li lagi. Wanita ini Cepat memburu. Eh, nanti dulu,
Angsicu....!! Dia mengejar, akan tetapi Tek Hoat tidak menengok lagi, bahkan
tidak peduli ketika Mauw Siauw Mo-li melangkah di sampingnya dan mereka keluar
dari kota itu.
Setelah mereka jauh
meninggalkan pintu gerbang kota, dan melihat Tek Hoat sama sekali tidak
mempedulikannya, Mauw Siauw Mo-li berkata, Ang-sicu, apakah kau marah
kepadaku?!
Tek Hoat tidak menjawab dan
ketika untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li bertanya sambil memegang tangannya,
Tek Hoat mengibaskan tangan itu terlepas dan membalik, matanya memancarkan
sinar berkilat. Pergilah dan jangan membikin aku merah!! hardiknya, Dia sudah
siap untuk menyerang!
Eh, eh, Ang Tek Hoat!! Mauw
Siauw Mo-li berkata dengan alis berkerut. Berhari-hari aku selalu bersikap
hormat dan baik kepadamu, akan tetapi mengapa engkau sama sekali tidak
memandang sebelah mata kepadaku? Lupakah engkau bahwa aku berada di sampingmu
karena hendak membantumu mencari Syanti Dewi?!
Tek Hoat menghela napas. Benar
juga, betapapun wanita ini telah berusaha membantunya menemukan kembali jejak
Syanti Dewi. Kembali dia menarik napas panjang dan kemarahannya mereda.!Sepak
terjangmu membuat aku kesal dan marah.!
Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Mulut
yang bibirnya merah basah itu terbuka sehingga nampak deretan gigi yang rapi
dan putIh, rongga mulut yang merah seperti dagIng mentah yang masih segar.
Melihat pemuda itu reda kemarahannya, hati wanita ini menjadi gembira kembali.
Sepak terjangku yang manakah
yang tidak menyenangkan hatimu?! tanyanya halus, sikapnya merendah.
Tek Hoat merasa tidak enak
hatinya. Mengapa dia mempedulikan benar apa yang dilakukan oleh wanita ini?
Perbuatanmu terhadap empat orang di restoran itu memuakkan hatiku!! akhirnya
dia berkata dengan terus terang menyatakan isi hatinya.
Ehhh?? Hi-hik, Ang-sicu yang
baik. Mereka adalah laki-laki tak berharga yang sudah sepantasnya dihajar!
Perlukah orang-orang macam mereka itu diperlakukan dengan baik dan dihormati?!
Mereka saling pandang sejenak
dan Tek Hoat mendengus lalu membuang muka. Aku tidak membela mereka atau
siapapun juga. Akan tetapi, engkau telah bermain mata dengan mereka, lalu
menyiksa mereka. Siapa tidak menjadi sebal melihatnya?!
Senyum itu melebar, mata yang
masih indah itu terbelalak dan dari kerongkongannya terdengar suara lembut
seperti suara seekor kucing kalau dibelai. Jadi engkau.... engkau memperhatikan
semua itu? Dan hatimu tidak senang melihat aku bermain mata dengan mereka?!
Pandang mata itu kini penuh selidik. Wajah Tek Hoat menjadi merah.
Sudahlah! Aku tidak peduli apa
yang akan Kau lakukan, akan tetapi di depanku selama kita melakukan perjalanan
bersama, kau tidak boleh bertindak seperti itu yang hanya menimbulkan kekesalan
hatiku.!
Aihhh.... Sicu. Sungguh aneh
sekali mendengar ini dari mulutmu. Bukankah aku berhadapan dengan Si Jari Maut?
Bukankah dalam hal kekerasan, aku sendiri masih boleh berguru kepada Si Jari
Maut? Kita berdua adalah orang-orang dari golongan hitam, tindakan kekerasan
merupakan kesenangan kita, kepandaian dan kekerasan merupakan hukum kita.
Ataukah terjadi hal mujijat di mana Si Jari Maut telah berubah menjadi lemah
dan lunak, si harimau ganas yang gagah perkasa telah berubah menjadi seekor
domba yang jinak?!
Sudahlah! Jangan sebut-sebut
tentang Si Jari Maut.... Aku benci kepadanya! Aku benci....! Tek Hoat lalu
membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya ke timur. Mauw Siauw Mo-li
tersenyum dan mengikutinya terus tanpa berani bicara apa-apa lagi sampai mereka
berdua berhenti dl dalam hutan karena malam telah tiba dan malam itu gelap
sekali tiada bulan, hanya ada sedikit bintang yang tidak cukup terang untuk
memungkinkan mereka melakukan perjalanan melewati hutan lebat itu.
Seperti biasa, Tek Hoat tidak
pernah mau repot-repot dan setelah bersamadhi beberapa lama lalu tidur sambil
bersandar pada batang pohon, dan kembali Mauw Siauw Mo-li yang bekerja
mengumpulkan kayu dan daun kering, membuat api unggun dan duduk melamun. Sampai
lama wanita ini memandang ke arah Tek Hoat yang sudah tidur pulas karena
kehangatan api unggun mendatangkan kantuk pada matanya yang dibayangi kedukaan
dan kekhawatiran dan pada tubuhnya yang lelah.
Berkali-kali Mauw Siauw Mo-li
menarik napas panjang, mengamati wajah yang ditimpa api unggun itu, wajah seorang
pemuda yang kelihatan masih remaja kalau sedang tidur memejamkan mata seperti
itu. Lenyaplah garis-garis kekerasan di wajah Tek Hoat. Di waktu tidak tidur,
maka tarikan dagu yang mengeras, pandang matanya yang memancarkan ketajaman
yang menusuk, bayangan muram pada wajah yang kelihatannya tidak acuh, semua itu
membuat wajah Si Jari Maut menjadi matang dan menyeramkan. Akan tetapi di waktu
tidur seperti itu, lenyaplah sifat-sifat Si Jari Maut dan wajah itu
membayangkan seorang pemuda yang patut dikasihan!
Teringat betapa selama
berhari-hari dia tidak berhasil mendekati! pemuda ini, Mauw Siauw Mo-li menarik
napas panjang penuh penyesalan, kekecewaan dan juga penasaran. Jarang ada pria
yang sanggup bertahan terhadap rayuan mautnya. Baru kerling dan senyumnya saja
tadi telah membuat empat orang lakilaki di restoran itu tergila-gila. Dan
rayuan-rayuannya dahulu pernah menundukkan putera dari Pendekar Siluman!
Kalau dia mengenang kembali
peristiwa itu, terdapat rasa kebanggaan yang luar biasa di dalam lubuk hatinya.
Entah sudah berapa ratus, berapa ribu orang pria yang jatuh bertekuk lutut di
depan kakinya, yang mabuk kepayang dalam pelukan dan belaiannya, namun kalau
dia terkenang kepada Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es,
jantungnya berdebar penuh kebanggaan! Betapa bangganya mengenangkan betapa
pemuda Pulau Es itu, yang tampan sekali dan gagah perkasa, pernah mabuk
kepayang di dalam pelukan dan belaiannya, pernah menjadi kekasihnya. Dialah
yang memperoleh perjakanya pemuda sakti itu!
Kembali dia memandang wajah
Tek Hoat. Pemuda ini tidak banyak selisihnya dengan Suma Kian Bu. Sama muda,
sama tampan, dan sama gagah perkasa. Ada perbedaannya, yaitu kalau Suma Kian Bu
adalah seorang tokoh dari golongan putih yang selalu menentang kejahatan,
adalah Tek Hoat sebaliknya seorang tokoh hitam yang mengerikan, yang berjuluk
Si Jari Maut! Jadi lebih cocok dengan dia!
Aihhh.... mengapa engkau
begitu angkuh....?! keluhnya, membayangkan betapa akan nikmatnya kalau malam
itu dia dapat terbuai dalam pelukan pemuda itu. Sudah berhari-hari dia tidak
pernah berdekatan dengan pria, padahal Tek Hoat si pemuda ganteng ini setiap
hari berada di sampingnya. Sungguh keadaannya seperti seekor kucing kelaparan
yang dekat dengan daging segar akan tetapi tidak dapat menerkam daging yang
menggairahkan itu!
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li
mendengar suara yang tidak wajar. Dia lalu bangkit dan melirik ke arah Tek
Hoat. Masih tidur nyenyak pemuda itu. Dengan gerakan ringan dan tanpa
mengeluarkan suara, Mauw Siauw Mo-li meninggalkan api unggun, menyelinap di
antara pohon pohon yang gelap. Tak lama kemudian dia melihat lima orang
laki-laki dan di antara mereka terdapat dua yang dikenalnya, karena dua orang
ini adalah dua orang di antara empat orang yang tadi dihajarnya di restoran.
Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Dia sedang haus! dan kini datang lima orang
laki-laki.
Setidaknya ada dua orang di
antara mereka yang masih cukup muda dan tidak buruk. Lumayan untuk memuaskan
kehausannya yang menyiksa karena selalu dekat dengan Tek Hoat yang tidak
mempedulikannya. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan senyumnya
melebar. Mengapa tidak? Mungkin ini merupakan jalan dan siasat yang amat baik,
pikirnya. Cepat dia membuka kancing bajunya luar dalam sehingga dadanya
kelihatan terbuka dan sebagian dari bukit-bukit dadanya nampak. Lalu dia
berjalan memapaki lima orang itu.
Ohhh....!! Dia menahan
seruannya ketika sudah berhadapan dengan mereka.
Lima orang laki-laki itu
terkejut, akan tetapi seorang dari mereka yang mengenal Mauw Siauw Mo-li
berseru, Ini dia siluman itu!!
Dan mereka berlima lalu
menyerbu Mauw Siauw Mo-li? Wanita ini mengelak ke sana-sini dan menangkis, akan
tetapi tiba-tiba sebuah pukulan mengenal pundaknya dan dia terhuyung. Lima
orang itu menerkam dan Mauw Siauw Mo-li mempertahankan diri mati-matian
sehingga pakaiannya koyak-koyak.
Toloooooonggggg....!
Tolooonggggg.... Ang-sicu....!! Terdengar dia menjerit-jerit.
Tek Hoat terbangun dan
terkejut mendengar jeritan itu. Otomatis dia meloncat dalam keadaan sadar sepenuhnya
dan di lain saat dia telah berlari cepat menuju ke arah datangnya suara itu.
Dan ketika dia tiba di tempat itu, apa yang dilihatnya membuat Tek Hoat
mengerutkan alis saking marahnya. Dia melihat Mauw Siauw Mo-li rebah terlentang
di atas tanah, pakaiannya tidak karuan dan di sana-sini terbuka, sedangkan lima
orang laki-laki sedang memegangi tubuh yang meronta-ronta itu! Dia tidak tahu
betapa di dalam gelap itu, Mauw Siauw Mo-li masih sempat melirik ke arah Tek
Hoat.
Uhhh.... uhhhhh.... keparat kalian....
iiihhhhh, tolooonggggg....!!
Jahanam....!! Tubuh Tek Hoat
mencelat ke tempat itu, kemudian kaki tangannya bergerak-gerak, jari tangannya
seperti senjata ampuh menyambar-nyambar lima kali dan lima orang laki-laki itu
terlempar ke sana-sini dan roboh tak dapat bangkit kembali, di dahi dan muka
yang tercium jari-jari tangan itu kini terdapat bekas tapak tangan menghitam
dan tubuh mereka tidak bernyawa lagi!
Uuuhhhhh.... hu-huuuk,
Sicu....!! Mauw Siauw Mo-li mengeluh, bangkit berdiri lalu lari menubruk Tek
Hoat sambil menangis. Kedua lengannya merangkul leher pemuda itu dan mukanya
menangis di atas dada Tek Hoat.
Pemuda ini tertegun dan
bengong memandang ke arah lima orang laki-laki yang telah menjadi mayat itu.
Dia menuduk, memandang ke arah muka yang tersembunyi di dadanya sambil
bertanya, Kenapa.... apa yang terjadi....?! Akan tetapi tiba-tiba Mauw Siauw
Mo-li mengangkat mukanya dan menyambut muka pemuda yang menunduk itu dengan
ciuman pada mulutnya!
Sejenak saking kagetnya Tek
Hoat tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya merasakan ciuman yang berapi-api
itu. Bibir Mauw Siauw Mo-li terasa basah dan panas sekali. Akan tetapi ketika
Tek Hoat merasakan lidah wanita, itu menjilat-jilat, dia cepat melepaskan
rangkulan wanita itu dan melangkah mundur, memandang kepada wajah yang merah
itu, mata yang meredup seperti mengantuk, cuping hidung yang kembang-kempis,
pernapasannya yang memburu, terengah-engah dan mulut yang agak terbuka itu.
Apa yang Kau lakukan ini?! dia
membentak.
Tek Hoat.... ahhh, Tek Hoat....!
Mauw Siauw Mo-li mengembangkan kedua lengannya, akan memeluk lagi, akan tetapi
Tek Hoat memandangnya dengan bengis dan melangkah mundur lagi.
Mo-li, apa yang Kau lakukan
ini?! kembali dia membentak.
Tek Hoat.... ahhh, betapa
besar rasa bahagia dan terima kasihku.... engkau telah menyelamatkan aku
daripada penghinaan.... lihatlah pakaianku.... dan mereka.... mereka....
jahanam-jahanam itu....! Mauw Siauw Mo-li meraba dadanya yang hampir telanjang
sama sekali, menggerakkan jari-jarinya seperti membelai dadanya sendiri.
Tek Hoat membuang muka. Huh,
kau.... kau telah menipuku, Mo-li!! Tek Hoat berseru marah dan kini dia
memandangi lima orang yang telah menjadi mayat itu. Kau pura-pura kalah oleh
mereka, memancingku agar aku turun tangan!
Tidak.... tidak.... aku....
aku hampir....!
Cukup! Tak perlu bersandiwara
lagi! Mereka itu hanyalah laki-laki lemah, sekali serang mereka roboh dan
tewas. Engkau yang berkepandaian tinggi, jangankan baru dikeroyok lima orang
seperti ini, biar ada lima puluh orang engkau tidak akan kalah. Akan tetapi
engkau sengaja mengalah dan aku.... si tolol.... aku terlebak! Engkau wanita
iblis! Siluman betina kejam!!
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li
terkekeh genit. Hi-hik, dan engkau Si Jari Maut telah memperlihatkan
kehebatanmu! Lihat tapak jarimu di dahi dan pipi mereka, Tek Hoat. Bukankah
engkau masih Si Jari Maut dan aku adalah Mauw Siauw Mo-li? Kita berdua memang
cocok sekali bukan? Kita satu golongan dan pantas menjadi kawan akrab, bukan?
Mana aku cocok dengan laki-laki macam mereka, yang lemah? Kita seperti sajak
dengan nyanyian, apakah tidak terasa olehmu betapa tubuh kita saling
membutuhkan, betapa nikmat ciuman tadi, Tek Hoat?!
Wuuuuuttttt....!! Jari tangan
Tek Hoat menyambar namun dengan gesit Mauw Siauw Mo-li dapat mengelak dari
sambaran jari tangan maut itu.
Perempuan tak tahu malu!! Tek
Hoat memaki karena marah sekali, marah yang ditimbulkan oleh penyesalan mengapa
dia tadi menyambut ciuman itu dengan sepenuh hatinya, mengapa tadi bibirnya
menyambut dengan kecupan penuh rangsangan nafsu berahi! Tadi, ketika mulutnya
bertemu dengan mulut Mauw Siauw Mo-li, seluruh kerinduannya terhadap Syanti
Dewi tertumpahkan dan tersalurkan dalam ciuman itu dan tentu saja hal itu
terasa oleh Mauw Siauw Mo-li.
Hi-hik, Tek Hoat. Tak perlu
engkau mengingkari suara hatimu sendiri, kebutuhan jasmanimu sendiri. Marilah,
Tek Hoat, marilah ke dalam pelukanku. Sudah lama aku tergila-gila dan rindu
kepadamu!!
Wuuuttttt.... brakkkkk!!
Sebatang pohon roboh oleh hantaman tangan Tek Hoat, kemudian pemuda ini
membalikkan tubuhnya dan dengan muka panas dia meninggalkan hutan itu. Mauw
Siauw Mo-li mengejarnya, namun Tek Hoat tidak mau berhenti dan terus melangkah
maju, meraba-raba dalam gelap, melawan hambatan duri-duri dan cabang-cabang
pohon yang menjuntai ke bawah, tersaruk-saruk dalam kegelapan malam.
Pada keesokan harinya, dia
berhasil keluar dari hutan itu.
Tek Hoat tunggu....!!
Terdengar teriakan dari belakang.
Keparat....!! Tek Hoat
berhenti dan membalikkan tubuh, matanya bernyala dan dia mengambil keputusan
untuk membunuh wanita itu.
Mauw Siauw Mo-li menghampiri
dan ketika dia melihat sikap Tek Hoat, melihat sinar maut dalam mata pemuda
itu, dia berhati-hati dan tidak mau terlalu mendekat. Tangannya sudah siap di
pinggangnya di mana tersimpan senjata rahasianya yang amat hebat, yaitu bahan
peledak.
Tunggu, Tek Hoat. Aku tidak
akah main-main lagi, aku bicara dengan sungguh-sungguh. Dengarlah, engkau tidak
akan berhasil menemukan Syanti Dewi tanpa bantuanku. Kaukira di mana engkau
akan dapat menyusul Syanti Dewi?!
Bicara tentang Syanti Dewi,
tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sungguhpun dia masih marah. Di pantai
Po-hai, di mana lagi? Dan aku tidak butuh bantuanmu.!
Hemmm, jangan sombong kau, Tek
Hoat. Pantai Po-hai merupakan pantai yang amat luas, apakah kau hendak
menjelajahi seluruh pantai di sepanjang teluk itu? Sampai berapa tahun kau akan
berhasil? Sebaliknya, kalau kau mau menerima bantuanku, aku tahu dan mengenal
seorang kakek yang tinggal di pantai Pohai, seorang kakek yang lihai dan aku
berani bertaruh bahwa agaknya kakek itulah yang dimaksudkan orang, kakek yang
singgah di restoran itu bersama Syanti Dewi.!
Tentu saja Tek Hoat menjadi
tertarik sekali, akan tetapi dia masih curiga dan tidak mau percaya begitu
saja. Mo-li, kalau engkau mempermainkan aku sekali ini, demi Tuhan, aku tentu
akan membunuhmu!!
Hi-hik, kaukira aku wanita
macam apa mudah saja Kau bunuh? Pula, perlu apa aku main-main denganmu kalau
aku benar-benar cin.... eh, suka kepadamu?!
Kalau begitu, katakan siapa
kakek itu dan di mana tempat tinggalnya!!
Hemmm, nanti dulu, jangan mau
enaknya saja. Sudah kukatakan bahwa aku suka sekali kepadamu, Tek Hoat. EngKau
lah satu-satunya pria yang cocok berada di sampingku, sebagai.... apa pun,
pendeknya, sebagai sahabat. Karena itu, tidak mungkin aku memberi tahu kepadamu
lalu engkau pergi meninggalkan aku begitu saja. Kalau kau mau berbaik denganku,
mau melakukan apa yang kuminta, aku akan mengantarmu ke tempat kakek itu dan
aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan kembali Puteri Syanti
Dewi. Bagaimana?!
Tek Hoat mengerutkan alisnya,
berpikir-pikir. Dia tidak mungkin dapat memaksa wanita ini untuk mengaku.
Andaikata dia dapat mengalahkan Mauw Slauw Mo-li sekalipun, agaknya wanita
seperti dia itu tidak akan mau mengaku biar dibunuh sekalipun. Lebih menguntungkan
berbaik dengan orang seperti ini daripada memusuhinya, apalagi dia memang amat
membutuhkan petunjuknya agar dapat menemukan kembali Syanti Dewi yang hilang.
Baiklah, Mo-li, akan tetapi
engkau pun tahu bahwa orang macam aku tidak akan menuruti permintaanmu begitu
saja kalau permintaan itu tidak cocok dengan rasa hatiku. Seperti juga engkau,
aku pun tidak takut mati. Kita bersahabat, cukup sekian saja, jangan
mengharapkan yang bukan-bukan.!
Mauw Siauw Mo-li adalah
seorang wanita yang sudah banyak mengenal pria, sudah memiliki banyak sekali
pengalaman, maka jawaban ini tidak mengecilkan hatinya. Dia maklum bahwa dalam
hubungan antara pria dan wanita, yang terpenting adalah keakraban lebih dulu,
karena dari keakraban ini mudah sekali berubah menjadi cinta! Pendekatan antara
minyak dengan api memang tidak begitu saja menimbulkan kebakaran, akan tetapi
setidaknya membuka kesempatan besar sekali untuk terjadinya kebakaran itu, dan
dengan pengalamannya, dengan kecantikannya dan tubuhnya yang masih padat dan
nampak muda, dia akan dengan mudah menimbulkan kebakaran itu!