Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 20 - Permintaan Maaf
Kau tidak berwajah jelek....!
saking bingungnya dia membantah kalimat terakhir itu.
Sudah jelas dia menyangka aku
siluman sehingga dia ketakutan! Wajahku jelek seperti siluman, dan apa dayaku?!
Kalau dia diserang dengan kata
yang mengandung kemarahan, agaknya Kian Bu akan dapat membalas karena dia pun
terhitung seorang yang pandai bicara, bahkan dulu sebelum dia menjadi Siluman
Kecil, dia adalah seorang pemuda yang lincah jenaka dan pandai menggoda orang
lain dengan kata-kata, akan tetapi kini melihat dara itu memburuk-burukkan diri
sendiri, dia menjadi makin tidak enak.
Tidak, tidak...., sebaliknya
malah, kau cantik sekali....!
Huh, sudah keluar pula sifat
cabulnya!! Hwee Li mengejek.
Kian Bu makin bingung. Celaka,
gadis ini benar-benar membikin orang menjadi kewalahan dan mendongkol sekali!
Maksudku, kau tidak jelek dan karena cantik itu agaknya dia menyangka kau
siluman. Tentu saja bukan salahmu, akan tetapi, ah, aku kasihan sekali padanya.
Nasibnya demikian Buruk sampai matinya....! Dan pemuda itu memandang ke arah
gundukan tanah campur batu yang menjadi kuburan Cui-ma itu.
Melihat sikap yang
sungguh-sungguh dari pemuda itu, Hwee Li juga mereda rasa penasarannya dan dia
bertanya sambil memandang ke arah kuburan itu, Siapakah dia itu?!
Namanya Cui-ma, dia pelayan
dari Ang Siok Bi yang telah menjadi gila karena tekanan batin yang hebat dan
dia sampai di sini karena dilempar ke Sungai Huang-ho dan hanyut oleh pusaran
air.!
Ihhh....! Siapa yang
melakukannya dan kenapa? Siapa pula itu Ang Siok Bi?
Dia adalah ibu Ang Tek Hoat.!
Tek Hoat....? Tek Hoat? Serasa
pernah aku mendengar nama itu!! Hwee Li mengerutkan alisnya sambil
mengingat-ingat.
Mungkin saja. Dia pernah
terlibat dalam urusan pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong. Dia terkenal dengan
julukannya si Jari Maut, Ang Tek Hoat.!
Ahhh....! Benar! Wah, dia
terkenal sekali dan orang itu amat menarik. Kau bilang bahwa wanita tadi adalah
pelayan ibu si Jari Maut?!
Melihat betapa Hwee Li amat
tertarik, maka dengan singkat Kian Bu lalu menuturkan tentang pertemuannya
dengan Cui-ma dan tentang cerita Cui-ma bahwa ibu dari Tek Hoat telah dibunuh
oleh orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh orang yang bernama Mohinta, seorang
panglima dari Bhutan yang lihai. Hwee Li mendengarkan dengan penuh perhatian
dan dia kembali memandang ke arah kuburan itu.
Maafkan aku, tadinya
kusangka....!
Kausangka apa?!
Dari atas kulihat engkau
memeluk seorang wanita, kelihatan kalian seperti sedang bercinta-cintaan dan
bermesra-mesraan.!
Kian Bu sudah mendapatkan
kembali sifatnya yang nakal dan suka menggoda orang. Andaikata benar demikian,
mengapa?!
Kedua pipi itu berubah merah
dan matanya bersinar marah. Aku sih tidak peduli! Akan tetapi karena kau bilang
hendak mencarikan obat untuk Suma Kian Lee, dan melihat kau bermain gila, maka
aku sudah menegurmu.!
Obat? Ah, benar! Agaknya aku
sudah menemukan tempatnya, berkat petunjuk dari Cui-ma,! berkata demikian, Kian
Bu lalu melangkah menuju ke gua yang ditunjuk oleh Cui-ma tadi.
Hwee Li cepat mengikutinya dan
mereka berdiri di depan gua besar yang agak gelap karena sinar matahari tidak
dapat langsung masuk ke dalamnya. Akan tetapi lambat-laun mata mereka sudah
menjadi biasa dan ketika mereka memasuki gua, kelihatanlah oleh mereka banyak
sekali kerangka kecil di situ.
Hemmm, Cui-ma bilang bahwa gua
ini penuh tengkorak bayi dan anak kecil. Agaknya inilah gua tengkorak itu....!
kata Kian Bu sambil memandang tengkorak dan tulang-tulang berserakan.
Tidak ada tengkorak bayi atau
anak kecil. Ini adalah tengkorak dan kerangka binatang, semacam monyet, hanya
mukanya seperti anjing. Hemmm, tidak salah lagi, ini adalah kerangka binatang
baboon yang tubuhnya monyet dan mukanya anjing. Ini agaknya menjadi kuburan
mereka.!
Dan Cui-ma bilang di sini
terdapat mata iblis....! kata pula Kian Bu.
Mereka masuk terus ke dalam
gua yang agak panjang itu. Tiba-tiba Hwee Li berseru, Ihhhhh....! dan otomatis
tangannya memegang tangan Kian Bu. Pemuda ini pun terkejut sehingga dia pun
membalas pegangan tangan itu. Mereka saling berpegang tangan dan jantung mereka
berdebar tegang. Jauh di sebelah dalam, di tempat gelap, nampak banyak mata
yang mencorong dan bersinar-sinar memandang ke arah mereka! Bukan mata manusia,
bukan pula mata binatang, dan agaknya itulah mata iblis yang ditakuti oleh
Cui-ma.
Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan
melepaskan tangannya. Ah, memang benda yang berkilau dan mengeluarkan sinar,
akan tetapi lihat, sinarnya tidak pernah bergerak. Bukan mata, melainkan
benda-benda bersinar.!
Benar engkau, Nona. Dan
agaknya inilah yang kucari. Lihat, bukankah sinarnya berubah-ubah dan seperti
warna pelangi? Inilah jamur panca warna itu! Menurut penuturan Sai-cu Kai-ong,
jamur itu hanya mengeluarkan sinar di tempat gelap, kalau di tempat terang
tidak bersinar.! Kian Bu mendekat, berjongkok dan menggunakan tangannya
mencabuti jamur-jamur itu. Jamur-jamur itu masih bersinar-sinar di tangannya
ketika dia bawa keluar, akan tetapi setibanya di luar, jamur-jamur itu
kehilangan sinarnya dan berubah sebagai jamur biasa saja!
Inilah obatnya, tidak salah
lagi!! Kian Bu berseru dan menoleh ke arah kuburan Cui-ma sambil berkata,
Terima kasih, Cui-ma, engkau telah menyelamatkan kakakku.!
Belum tentu,! tiba-tiba Hwee
Li berkata. Kalau kau tidak dapat keluar dari sini dan cepat-cepat memberikan
jamur itu kepada kakakmu, mana bisa dia tertolong? Mari, kuantar kau naik.!
Hwee Li mengeluarkan suara
melengking dan burung garuda itu menyambar turun lalu hinggap di atas batu di
depan gadis itu. Siluman Kecil....!
Namaku Suma Kian Bu, Nona.!
Sebaiknya sekarang kukenal
sebagai Siluman Kecil saja. Kau akan kubantu agar dapat naik ke sana.!
Terima kasih, Nona. Akan
tetapi....! Kian Bu meragu karena dia merasa ngeri! kalau harus duduk
membonceng lagi. Dia tidak berani tanggung kalau tidak akan bangkit berahinya
lagi duduk berhimpitan dengan nona yang amat cantik itu.
Kaukira akan membonceng? Aku
pun tidak mau....!
Kalau aku duduk di depan....!
Huh, di depan pun berbahaya.
Seorang cabul seperti engkau!!
Kalau begitu tinggalkan saja
aku di sini, Nona, aku akan mencari jalan ke luar sedapatku dan aku tidak mau
menyusahkanmu.!
Sombong!! Hwee Li meloncat
dengan gerakan ringan sekali ke atas punggung garudanya dan burung itu pun
terbang ke atas. Hwee Li menjenguk ke bawah sambil berteriak, Kau bergantunglah
pada ini!! Dan sehelai sabuk sutera merah muda meluncur ke bawah.
Kian Bu tersenyum. Memang
banyak akalnya nona ini, pikirnya dan karena dia harus cepat-cepat dapat
kembali ke kakaknya, maka dia pun lalu meloncat dan menangkap ujung sabuk
sutera itu, bergantung di udara. Gadis itu mengeluarkan suara melengking dan
burungnya terbang ke atas dengan cepat sekali. Tubuh Kian Bu tetap bergantung
dan diam-diam pemuda perkasa ini merasa ngeri juga. Dia tahu bahwa nyawanya
berada di telapak tangan nona itu karena sekali saja nona itu melepaskan sabuk,
betapapun tinggi kepandaiannya, dia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan
nyawanya lagi.
Untuk keluar dari tempat itu,
belum tentu akan dapat dilakukannya dalam waktu berhari-hari karena dia harus
akan mencari-cari jalan lebih dulu, akan tetapi dengan menggantung pada sabuk
sutera itu, dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tiba di atas tebing dan
dia meloncat turun. Burung garuda itu terbang perlahan berputaran di atas
kepalanya dan gadis itu menjenguk ke bawah. Siluman Kecil, kau cepat bawa obat
itu kepada kakakmu!!
Kian Bu menjura ke arah gadis
itu dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, Engkau sungguh
amat baik, Nona. Engkau telah menolong aku dan berarti engkau telah
menyelamatkan nyawa kakakku. Aku menghaturkan terima kasih atas bantuanmu.!
Aku tidak membantumu! Kalau
tidak ingat kepada kakakmu, apa kaukira masih hidup setelah apa yang kaulakukan
di atas punggung garuda kemarin?!
Wajah Kian Bu terasa panas dan
menjadi merah sekali. Nona, semua itu terjadi tanpa kusengaja, apakah kau tidak
dapat memaafkan aku?!
Sudahlah, cepat pergi dan
obati kakakmu.!
Tapi tinggalkan dulu namamu,
Nona.!
Aku tidak ingin menjadi
kenalanmu.!
Tidak, akan tetapi kalau
kakakku bertanya siapa adanya dewi kahyangan yang menolongnya bagaimana aku
akan menjawab?!
Disebut dewi kahyangan, Hwee
Li tersenyum. Engkau memang perayu besar! Katakan saja bahwa lima enam tahun
yang lalu aku pernah mengobati luka di paha kakakmu!! Setelah berkata demikian,
dia menepuk punggung garudanya yang terbang cepat ke atas.
Kian Bu menjadi bengong.
Pernah kakaknya dahulu bercerita betapa ketika kakinya terluka parah, terkena
ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, paha kakaknya yang terluka itu
diobati dan disembuhkan oleh seorang gadis cilik yang bernama Kim Hwee Li,
yaitu puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Jadi gadis cantik jelita
itu adalah puteri ketua Pulau Neraka!
Engkau Kim Hwee Li dari Pulau
Neraka?! Dia berseru nyaring ke arah burung garuda yang sudah terbang tinggi.
Tidak ada jawaban kecuali suara melengking nyaring yang makin menjauh, entah
lengking gadis aneh itu ataukah lengking garuda.
***
Kian Bu melakukan perjalanan
cepat sekali, akan tetapi ketika dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan di mana
tempo hari pasukan kerajaan berada, kini tempat itu telah menjadi sunyi dan
tahulah dia bahwa pasukan itu telah meninggalkan tempat itu. Dan hal itu memang
benar. Setelah Pangeran Yung Hwa selamat sampai di istana kaisar, kaisar lalu
memerintahkan agar pasukan kembali ke kota raja. Kaisar tidak ingin melihat
timbulnya perang saudara yang baru, karena pasukan lebih diperlukan untuk
menjaga perbatasan dengan negara tetangga dan melindungi tanah air dari serbuan
orang-orang liar terutama dari utara dan barat, daripada dipergunakan untuk
perang saudara. Adapun mengenai tanda-tanda dan sikap-sikap memberontak dari
para gubernur, akan diserahkan kepada orang-orang pandai dari kerajaan untuk
mengatasi dan membereskannya.
Setelah mendapatkan kenyataan
bahwa pasukan telah meninggalkan tempat itu, Kian Bu terlngat akan pesan Sai-cu
Kai-ong, maka tanpa membuang waktu lagi dia langsung pergi dengan cepat
menyusul ke puncak Bukit Nelayan, yaitu bukit di tepi sungai sebelah selatan
kota Pao-teng di mana Sai-cu Kai-ong tinggal.
Beberapa hari kemudian,
setelah dia tiba di puncak Bukit Nelayan, benar saja dia bertemu dengan Sai-cu
Kai-ong dan kakaknya juga berada di situ, berbaring di dalam sebuah kamar dan
keadaannya tidaklah separah ketika dia tinggalkan berkat perawatan yang baik
dari seorang ahli pengobatan yang pandai, yaitu Sai-cu Kai-ong. Kakek itu
girang dan kagum sekali menerima jamur panca warna dari Kian Bu.
Benar...., benar inilah jamur
yang mujijat itu.... aihhh, Suma-taihiap, sungguh engkau hebat sekali, dan
kakakmu tentu akan sembuh dengan cepat berkat obat ini,! kata kakek itu sambil
membawa masuk jamur itu untuk dibuatkan ramuan obat.
Kian Bu memandang girang dan
menoleh ketika kakaknya berkata, Bu-te, engkau telah bersusah-payah untukku.
Aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu, adikku.!
Kian Bu duduk di atas bangku
dekat pembaringan kakaknya, wajahnya berseri gembira dan dia berkata, Lee-ko,
kau tidak semestinya mengucapkan terima kasih kepadaku, karena yang berjasa
mendapatkan jamur mujijat itu bukanlah aku....!
Aku tahu, memang Locianpwe
Sai-cu Kai-ong juga telah melimpahkan budi kepadaku, akan tetapi engkau yang
bersusah payah mendapatkannya, padahal menurut cerita Locianpwe itu, amat
sukarlah mendapatkannya dan kau telah berhasil dalam waktu singkat.!
Ah, sama sekali bukan aku.
Kalau tidak ada pertolongan orang itu, kiranya belum tentu satu bulan lagi aku
sudah dapat kembali, bahkan belum tentu bisa mendapatkan jamur itu.!
Ah, begitukah? Siapakah
penolong yang budiman itu, adikku?!
Dia adalah seorang yang amat
kau kenal baik, Koko.!
Siapa?!
Pacarmu!!
Kian Lee terkejut dan
mengerutkan alisnya memandang wajah adiknya yang berseri dan kemudian dia
tersenyum. Biarpun adiknya ini telah mengalami banyak sekali perubahan,
rambutnya putih semua persis seperti keadaan ayah mereka si Pendekar Super
Sakti, wajah adiknya itu sudah nampak dewasa dan matang!, namun ternyata
adiknya masih belum kehilangan sifat kebengalannya!
Kian Bu, jangan main-main
kau!! katanya menegur karena dia mengira bahwa yang dimaksudkan oleh Kian Bu
itu tentulah Ceng Ceng, atau Lu Ceng, atau kini telah menjadi isteri Kao Kok Cu
putera sulung Jenderal Kao Liang yang dulu berjuluk Topeng Setan. Begitu
mendengar adiknya menyebut pacarmu!, terbayanglah wajah Ceng Ceng, akan tetapi
Kian Lee cepat mengusir bayangan itu karena maklum bahwa tidak semestinyalah
kalau dia membayangkan wajah isteri orang lain!
Melihat wajah kakaknya menjadi
agak muram, Kian Bu segera teringat dan maklum, maka cepat-cepat dia
menyambung, Bukan dia maksudku, Lee-ko, akan tetapi dara cantik jelita yang
menjadi pacarmu dalam cinta pertamamu. Hayo, masa kau lupa lagi siapa yang
menerima cinta pertamamu?!
Kian Lee masih mengerutkan
alisnya. Dia tahu bahwa adiknya ini bengal dan suka menggoda orang, terutama menggoda
wanita-wanita muda. Dia sendiri jarang bergaul dengan wanita, dan selama
hidupnya, baru satu kali dia jatuh cinta, jatuh cinta benar-benar dan ternyata
yang dicintanya itu, Ceng Ceng, keponakan tirinya sendiri! Ceng Ceng adalah
puteri gelap dari mendiang Wan Keng In, sedangkan Wan Keng In itu adalah anak
kandung dari ibunya sendiri, jadi satu ibu lain ayah dengan dia! Tentu saja
tidak mungkin dia berjodoh dengan Ceng Ceng dan kenyataan itu sebenarnya banyak
menolongnya, karena kalau tidak, tetap saja dia akan patah hati, malah lebih
parah lagi karena ternyata Ceng Ceng mencinta seorang laki-laki lain, yaitu Kao
Kok Cu!
Aku tidak mengerti siapa yang
kau maksudkan itu, Bu-te,! katanya menggeleng ,kepala.
Kian Bu tertawa. Dia sendiri
tidak mau memperkenalkan namanya. Akan tetapi dia adalah seorang gadis yang
cantik jelita dan manis sekali Koko, galak dan lincah, menunggang seekor
garuda, pakaiannya serba hitam dan ilmu kepandaiannya hebat.!
Kian Lee tetap tidak dapat
menduga siapa adanya gadis itu. Siapakah dia, Bu-te? Katakanlah, siapa dia dan
mengapa kau tadi mengatakan bahwa dia adalah pacarku.!
Dia tidak bilang begitu, Koko,
maafkan aku. Akan tetapi dia hanya mengatakan bahwa dia dahulu pernah
menolongmu dan mengobati pahamu yang terluka parah lima enam tahun yang
lalu....!
Aihhh....! Dia....?! Tentu
saja Kian Lee teringat baik akan peristiwa itu. Lima tahun lebih yang lalu dia
terluka oleh ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, dan dia tentu akan
tertawan musuh dan tidak berdaya dalam keadaan luka itu kalau tidak ditolong
oleh seorang gadis cilik yang manis dan mungil, murid keponakan Mauw Siauw
Mo-li sendiri, gadis yang muncul bersama banyak kucing, Kim Hwee Li atau puteri
tunggal dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Terbayanglah dia wajah anak
yang cantik itu.
Benar dia, tentu kauingat
sekarang bukan, Koko?! tanya Kian Bu sambil tersenyum dan menyelidiki wajah
kakaknya. Dia tahu bahwa kakaknya telah patah hati karena kasih tak sampai dan
dia akan senang kalau kakaknya ini mendapatkan seorang pacar baru, dan gadis
pakaian hitam itu memang hebat!
Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw
Lo-mo dari Pulau Neraka?! Kian Lee menegaskan.
Benar, dialah orangnya yaang
memungkinkan aku secepat ini memperoleh jamur itu untukmu, Koko.! Kian Bu lalu
menceritakan semua pengalamannya ketika dia mencari jamur dan bertemu dengan
Hwee Li yang memboncengkannya turun ke bawah tebing itu. Tentu saja dia tidak
berani menceritakan tentang peristiwa memalukan dan lucu ketika dia terserang
oleh nafsu berahi yang bangkit ketika dia dibonceng di belakang tubuh Hwee Li
dan betapa Hwee Li menjadi marah-marah dan menyerangnya sehingga dia terjatuh
ke bawah.
Dia.... dia cinta padamu,
Koko.!
Hushhhhh....!! Kian Lee
membentak dengan muka berubah merah. Jangan menyalahtafsirkan kebaikan orang,
Bute. Apakah karena dia dahulu pernah mengobati pahaku, kemudian sekarang
membantumu mencari jamur panca warna, lalu kauanggap kebaikan hatinya itu
sebagai tanda jatuh cinta? Kau sungguh terlalu merendahkan kebaikan orang,
Bute.!
!Bukan begitu, Lee-ko. Aku
tentu saja tidak akan sembarangan bicara kalau tidak ada bukti-bukti nyata.
Buktinya menyatakan bahwa dia cinta kepadamu.!
Hemmm, kau masih bengal
seperti dulu, Kian Bu. Hayo apa buktinya?! Kian Lee mendesak.
Ketika dia mengobati pahamu dahulu
tentu saja aku tidak dapat membuktikannya, apalagi ketika itu dia tentu masih
kecil, belum dewasa, maka tidak patut bicara tentang cinta. Akan tetapi
sekarang, hemmm.... dia telah menjadi seorang dara dewasa yang cantik jelita
dan manis sekali, Koko....!
Hal itu belum menjadi bukti
bahwa dia cinta padaku, agaknya padamulah dia jatuh hati, Bu-te, karena engkau
selalu pandai merayu wanita!!
Tidak, Lee-ko, dengarlah dulu
ceritaku. Kukatakan tadi bahwa dia menolongku membonceng garudanya turun ke
dasar tebing. Nah, dalam penerbangan itu dia bertanya mengapa kau terluka, dan
dia tadinya sudah menunjukkan pula bahwa hanya karena mendengar Suma Kian Lee
terluka saja maka dia mau membantuku. Ketika aku berterus terang mengatakan
bahwa kau terluka oleh pukulanku, sebelum aku sempat menceritakan bahwa hal itu
kulakukan tanpa sengaja dia sudah menjadi begitu marah dan dia menyerangku
sampai aku terjungkal dari atas punggung garudanya!!
Ahhh....!! Kian Lee terkejut
sekali
Untung burung itu telah
terbang rendah dan hampir sampai di dasar tebing sehingga aku selamat. Akan
tetapi bukankah hal itu jelas membuktikan bahwa dia cinta padamu sehingga
ketika dia mendengar engkau luka terpukul olehku dia lalu marah dan hendak
membunuhku?!
Hemmm, dia ganas....!! Kian
Lee berkata lirih. Tentu saja dia tidak memikirkan gadis itu, melainkan
memikirkan bahaya yang mengancam adiknya.
Akan tetapi dia sudah
kuceritakan bahwa perkelahian antara kita adalah karena tidak tahu, maka dia
berbaik kembali dan mau mengantarku naik dengan garudanya setelah aku berhasil
menemukan jamur itu.!
Karena petunjuk wanita gila
itu seperti yang kauceritakan tadi? Ah, sungguh hebat pengalamanmu, adikku.
Siapa kira di tempat itu kau bertemu dengan pelayan Ibu Tek Hoat yang
menceritakan peristiwa hebat yang menimpa diri Ang Siok Bi itu. Entah Tek Hoat
sudah mendengar atau belum bahwa ibunya dibunuh oleh Mohinta dan teman-temannya
dari Bhutan.!
Percakapan mereka terhenti
karena munculnya Sai-cu Kai-ong yang datang bersama Siauw Hong dan Gu Sin-kai.
Siauw Hong membawa periuk obat yang terisi godokan obat yang berwarna hijau.
Ah, Suma-taihiap,! kata Sai-cu
Kai-ong kepada Kian Bu. Kakakmu tidak boleh diajak bicara terlalu banyak. Dia
harus banyak istirahat karena luka yang dideritanya amat hebat. Jamur panca
warna ini akan menyelamatkannya, namun dia harus banyak beristirahat.! Kakek
ini lalu mengambil periuk dari tangan Siauw Hong dan memberi minurn ramuan jamu
panca warna yang telah digodok dengan obat-obat lain itu kepada Kian Lee.
Rasanya pahit dan baunya tidak sedap, agak amis dan wengur, akan tetapi ada
hawa yang hangat menjalar dari perut setelah Kian Lee menghabiskan obat
semangkok itu.
Sekarang, beristirahatlah,
Taihiap,! kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Lee. Setiap hari Taihiap harus minum
obat, ramuan ini tiga mangkok, pagi siang dan sore.! Maka mulailah Kian Lee
minum obat campur jamur mujijat itu, dilayani oleh Siauw Hong yang menggodokkan
obatnya dan Kian Bu yang menjaganya siang malam.
Pada hari ke empat, pagi-pagi
sekali atas perkenan Sai-cu Kai-ong, Kian Bu memondong tubuh Kian Lee yang
belum boleh banyak bergerak itu keluar dari kamar, menuruni puncak dan menuju
ke tepi sungai. Kian Bu menurunkan tubuh kakaknya di atas rumput hijau. Hawa
amat nyaman di pagi hari itu, apalagi setelah matahari pagi yang murni dan
jernih itu mulai melimpahkan cahayanya yang keemasan.
Sekarang tiba saatnya engkau
menceritakan semua pengalamanmu, Bu-te. Mengapa selama lima tahun ini engkau
tidak pernah pulang ke Pulau Es dan ke mana saja engkau pergi? Mengapa pula
rambutmu menjadi putih semua seperti itu? Apakah memang karena engkau mewarisi
warna rambut Ayah, ataukah ada terjadi hal lain?!
Mendengar pertanyaan kakaknya
itu, tiba-tiba saja wajah Siluman Kecil itu menjadi muram kembali. Kalau
tadinya semenjak dia mencari obat jamur dan bertemu dengan Hwee Li, hampir
pulih kembali kegembiraannya dan hampir nampak kembali sifat-sifat Kian Bu yang
lincah gembira, kini dia kembali muram seperti wajah Siluman Kecil selama ini!
Dia menarik napas panjang dan berkata lirih dan lambat, Aku telah tenggelam di
dalam kedukaan hebat, Koko. Semenjak aku melihat pencurahan kasih sayang dari
Puteri Syanti Dewi kepada Ang Tek Hoat di dalam hutan, semenjak aku melihat
kenyataan bahwa puteri yang kucinta dengan sepenuh jiwa raga itu ternyata
mencinta orang lain, aku tidak dapat menahan guncangan batin karena kecewa dan
duka, dan aku tenggelam di dalam kesedihan seperti hampir gila dan tidak ingat
apa-apa lagi....!
Kian Lee menarik napas panjang
dan memegang tangan adiknya penuh kasih sayang dan belas kasihan. Aku tahu,
adikku. Aku telah mengenal pula perasaan itu. Lanjutkanlah ceritamu.!
Aku seolah-olah menjadi bosan
hidup. Alam di sekelilingku berubah seperti neraka dan aku tidak ingin kembali
ke Pulae Es, tidak ingin bertemu siapapun juga kecuali bertemu dengan malaikat
maut yang boleh mtncabut nyawaku. Aku pergi merantau ke manapun kakiku
membawaku, tanpa tujan, tanpa kemauan dan yang ada hanya perasaan merana dan
sengsara.!
Ah, kasihan sekali kau, Bu-te.
Ttdak kusangka seorang yang segagah dan selincah engkau, yang selalu gembira
dan nakal, ternyata begitu lemah setelah tertimpa kekecewaan cinta....! Kian
Lee memandang dengan sinar mata terharu sekali.
Aku sendiri pun merasa heran,
Koko. Tadinya kuanggap bahwa cinta terhadap wanita hanya merupakan permainan
belaka. Akan tetapi cintaku terhadap Shanti Dewi sungguh lain sama sekali.
Puteri itu telah menguasai seluruh jiwa ragaku, setiap bulu di tubuhku seperti
telah mencintainya dan tidak mau berpisah lagi dari sisinya, maka begitu
terjadi perpisahan dan kenyataan bahwa aku tidak dapat mendekatinya, aku jatuh
dan hancur lebur. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku agar tidak
membosankan engkau yang mendengar aku merengek-rengek tentang cintaku yang
gagal, Koko. Dengarlah.!
Kian Bu lalu bercerita. Dengan
hati patah dan hancur dia lalu merana, naik turun gunung, menyeberangi sungai
dan telaga, masuk keluar hutan-hutan besar dan lebat, sama sekali tidak
mempedulikan lagi dirinya sehingga pakaiannya compang-camping, tubuhnya kurus dan
wajahnya pucat, rambutnya terurai riap-riapan tanpa pernah dibereskan. Karena
membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sedemikian rupa, dan mungkin karena
ditambah dengan keturunan, dalam waktu beberapa bulan saja sudah tumbuh rambut
putih di kepalanya.
Pada suatu hari, tanpa
disadarinya dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-pei sebelah selatan dan mendaki
sebuah bukit. Karena dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, maka dia tidak peduli
pula akan cegahan orang-orang ketika dia tiba di bawah bukit. Orang-orang itu
memperingatkannya agar tidak naik ke bukit itu, karena menurut mereka, bukit
itu berada di bawah kekuasaan kakek dewa yang menghuni di gedung tua di puncak
bukit itu dan kakek dewa itu amat galak, tidak memperkenankan sembarangan orang
mendekati gedungnya.
Akan tetapi Kian Bu tidak
mempedulikan itu semua, bahkan dia seperti sengaja hendak menempuh bahaya
karena baginya pada waktu itu, kalau kematian datang, hal itu dianggapnya baik
sekali! Dia seperti orang nekat dan dengan sembarangan saja dia lalu mendaki
bukit yang sunyi itu pada waktu matahari mulai tenggelam. Senjakala
mendatangkan sinar layung yang kemerahan di permukaan bukit, membuat segala
sesuatu seperti menyala kekuningan, terang sekali dan sesungguhnya amatlah
indahnya. Namun bagi seorang yang sedang dilanda kedukaan hati dan pikirannya
sendiri, tidak ada apa-apa yang indah, adanya hanya mengesalkan dan menjemukan
hati belaka. Jelaslah bahwa indah dan buruk hanyalah penilaian yang sesuai
dengan keadaan hati seseorang belaka. Kenyataannya tidaklah baik atau buruk,
melainkan ya sudah begitu, apa adanya, tidak baik tidak buruk, tidak indah
tidak jelek. Hanya pikiran dan hati sendirilah yang memberi penilaian, sesuai
dengan suka dan tidak suka, menyenangkan dan tidak menyenangkan, menguntungkan
dan merugikan.
Ketika malam mulai datang,
gelap menyelimuti cahaya terakhir dari matahari, Kian Bu menghentikan
langkahnya dan duduklah dia di atas batu di tepi jurang, melamun, kadang-kadang
merenung ke dalam kegelapan, kadang-kadang pula dia berdongak memandang langit
yang terhias bintang-bintang muda yang berkedap-kedip lemah di langit yang
masih muda warnanya. Pikirannya kosong, melayang-layang tanpa arah tujuan
tertentu, suasana menjadi lengang dan kesepian menyelimutinya, menimbulkan
ketrenyuhan hati yang makin merana.
Dia tidak tahu di mana dia
berada. Sebenarnya pada saat itu dia telah berada di Pegunungan Tai-hang-san,
di sebuah di antara puncak bukit-bukit di sekitar pegunungan itu. Tiba-tiba
terdengar suara suling melengking, memecah kesunyian malam, menyelinap di
antara suara belalang dan jengkerik serta binatang-binatang kecil yang biasa
meramaikan suasana keheningan malam.
Kian Bu tertarik oleh suara
suling itu. Sungguh nyaring sekali suara suling itu, peniupnya tentu seorang
yang pandai. Seperti ada daya tarik luar biasa pada suara suling itu. Kian Bu
lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke arah suara itu. Sementara itu,
bintang-bintang di langit mulai nampak lebih terang karena langit makin tua
warnanya, dan bintang-bintang itu kelihatan seperti permata-permata indah
tergantung pada beludru hitam yang bersih. Tidak begitu gelap keadaan di tempat
itu sehingga Kian Bu dapat melihat seorang kakek yang duduk bersandarkan batang
pohon dan meniup suling.
Suara suling itu terhenti
seketika dan kakek itu meloncat, di tangan kanannya nampak sebatang tongkat dan
sebatang suling yeng putih berkilau telah diselipkan di ikat pinggangnya. Kakek
itu tinggi kurus dan usianya tentu sudah enam puluh lima tahun lebih. Sikapnya
agung dan gagah ketika dia berdiri dengan kaki terpentang lebar, tongkatnya
melintang dan matanya memandang Kian Bu penuh perhatian dan kecurigaan.
Siapa kau? Mau apa naik ke
bukit ini yang berada di bawah kekuasaan kami? Hayo cepat kau pergi dari sini
sekarang juga!! bentak kakek itu.
Kian Bu mengerutkan alisnya.
Apakah engkau ini yang dinamakan orang di bawah sana sebagai kakek dewa?!
tanyanya.
Kakek itu mendengus dan
menggerakkan tongkatnya yang panjahg. Kalau benar mau apa?!
Hemmm, kalau benar begitu,
namamu saja kakek dewa, akan tetapi sikapnya lebih menyerupai kakek iblis.!
Bocah keparat! Berani engkau
memaki Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak)? Hayo pergi, aku masih sabar dan
dapat mengampunimu. Aku tidak mau ribut dengan seorang bocah masih ingusan.!
Kian Bu yang memang sedang
murung itu, menjadi marah. Kakek sombong, kalau aku tidak dapat mengalahkan
engkau lebih baik aku mati saja!!
Ucapan yang sebenarnya keluar
dari hati yang kesal itu tentu saja membuat Gin-siauw Lo-jin menjadi marah
bukan main. Bocah tak tahu diri! Pergi!! bentaknya, dan tangan kirinya
menampar. Dia mengira bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda ugal-ugalan dari
bawah gunung, maka dia bermaksud untuk menapar pundaknya agar pemuda itu takut
dan 1ari. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat pemuda itu
tidak mengelak atau menangkis.
Plakkk!! Tubuh kakek itu
terhuyung dah hampir roboh! Maklumlah kakek itu bahwa dia berhadapan dengan
seorang pandai yang agaknya memang datang untuk mengacau, maka sambil berseru
keras dia sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang.
Wuuuuuttttt....! Wirrrrr....!
Kian Bu juga kaget. Bukan main
lihainya tongkat itu, gerakannya cepat dan mengandung angin pukulan yang
dahsyat. Ternyata bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang benar-benar
amat lihai, maka dia pun tidak mau mengalah begitu saja. Cepat dia mengelak dan
balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang seru dan kakek itu berkali-kali
mengeluarkan seruan kaget ketika melihat betapa tongkatnya membalik dan telapak
tangannya panas ketika bertemu dengan lengan pemuda itu.
Keparat!! bentaknya dan dengan
sepenuh tenaganya karena penasaran, dia mengarahkan hantaman tongkatnya pada
kepala Kian Bu. Sekali ini dia menyerang untuk membunuh! Kian Bu menanti sampai
tongkat itu menyambar dekat, lalu dia menggerakkan kedua lengannya memapaki
dari kanan kiri dengan gerakan menggunting.
Krekkk-krekkkkk!! Tongkat
panjang itu patah-patah menjadi tiga potong dan bagian tengahnya terlempar
jauh.
Ehhhhh....!! Kakek yang
mengaku berjuluk Gin-siauw Lo-jin itu berseru keras saking kagetnya dan
marahnya. Dia adalah murid pertama dari Sin-siauw Seng-jin (Kakek Dewa Seruling
Sakti) yang menjadi ahli waris dari pendekar sakti Suling Emas, dan tongkatnya
itu adalah sebuah benda pusaka yang selama puluhan tahun berada di dalam tangannya
dan belum pernah terkalahkan. Akan tetapi kini patah menjadi tiga bertemu
dengan lengan pemuda ini! Tentu saja dia menjadi penasaran, malu dan hal ini
membuat ia marah bukan main. Kemarahan sudah pasti timbul karena penonjolan
kepentingan pribadi tersinggung, dan penonjolan kepentingan pribadi selalu
mengejar kesenangan baik lahir batin. Satu di antara kesenangan batin adalah
bayangan betapa pandainya diri sendiri. Membayangkan bahwa diri sendiri pandai,
gagah perkas, berkuasa dan sebagainya adalah menyenangkan dan kalau bayangan
ini dirusak oleh kenyataan, maka akan menjadi marahlah batin. Demikian pula
halnya kakek Gin-siauw Lo-jin itu. Selama ini dia merasa dirinya amat hebat,
tongkatnya amat hebat, akan tetapi kenyataan bahwa tongkatnya patah-patah
bertemu dengan lengan pemuda itu membuatnya marah bukan main.
Bocah setan, kau datang
mengantar nyawa!! serunya dan nampak sinar putih berkelebat ketika dia mencabut
suling perak dari ikat pinggangnya.
Ketika dia dan Suma Kian Lee,
kakaknya, meninggalkan Pulau Es untuk pergi ke kota raja mencari encinya, yaitu
Puteri Milana, oleh ayah ibu mereka di Pulau Es, mereka dilarang membawa
senjata. Dan memang dua orang pemuda Pulau Es itu tidak lagi membutuhkan
senjata. Seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian setingkat mereka memang
sebenarnya tidak memerlukan lagi senjata. Selain kedua lengan dan kedua kaki
mereka merupakan senjata yang ampuh, bahkan setiap buah jari tangan mereka
merupakan senjata ampuh, juga setiap benda yang mereka temukan dapat saja mereka
pergunakan sebagai senjata. Kini, melihat kakek itu mencabut suling perak yang
tadi ditiupnya, Kian Bu bersikap waspada. Dia adalah seorang yang sedang
tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan, tentu saja melihat orang yang
dianggapnya keterlaluan itu dia menjadi marah.
Sing-sing-singgggg....!! Sinar
perak berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar dahsyat, disertai bunyi
berdesingan yang nyaring.
Bagus!! Kian Bu berseru kagum
karena memang hebat gerakan suling itu. Cepat dia mengelak ke sana-sini dan
kemudian terkejutlah dia ketika dia melihat cara suling itu digerakkan. Dia
mengenal gerakan itu. Cepat dia menghindarkan diri dan karena penasaran dia
tidak balas menyerang melainkan mengelak ke sana-sini untuk mempelajari gerakan
lawan lebih lanjut. Tidak salah lagi, itulah gerakan dari jurus-jurus Pat-sian
Kiam-hoat! Dan ilmu ini adalah sebuah di antara ilmu-ilmu keistimewaan
kakaknya, Suma Kian Lee, yang mewarisinya dari ibunya, yaitu Lulu yang pernah
menjadi ketua Pulau Neraka, bahkan yang mewarisi kitab-kitab ilmu silat
peninggalan pendekar sakti Suling Emas! Dia sendiri mengenal dan dapat
memainkan Ilmu Pat-sian Kiam-hoat karena selain dia menerima petunjuk dari ibu
tirinya itu, juga ibunya sendiri, Puteri Nirahai adalah seorang wanita yang
serba bisa dan telah mempelajari semua Ilmu, termasuk ilmu dari Suling Emas
ini!
Setelah kakek itu menyerangnya
sampai sepuluh jurus dan dia yakin bahwa ilmu yang dimainkan itu adalah
Pat-sian Kiam-hoat, dia meloncat ke belakang sambil berseru, Bukankah yang kaumainkan
itu Pat-sian Kiam-hoat?!
Kakek itu tertegun dan
memandang kepadanya dengan heran, kemudian tersenyum mengejek karena mengira
bahwa pemuda yang lihai itu merasa takut. Hemmm, kau sudah mengenal ilmu
silatku yang hebat? Bagus, kalau begitu lekas kau berlutut minta ampun dan
mengenalkan dirimu agar engkau tidak akan menjadi setan penasaran tanpa nama,
tewas di ujung suling mautku,! kata kakek itu yang merasa mendapatkan kembali
harga dirinya.
Hemmm, maling hina! Dari mana
kau mencuri Ilmu Pat-sian Kiam-hoat?! Kian Bu membentak marah.
Kakek itu terkejut dan tentu
saja dia menjadi marah sekali. Dikiranya pemuda itu menjadi gentar mengenai
ilmunya, tidak tahu malah menghinanya dan mengatakannya maling! Terngiang bunyi
di dalam telinganya, merah pandang matanya karena darahnya sudah naik ke kepala
saking marahnya.
Bocah lancang bermulut busuk,
mampuslah!! bentaknya dan dia sudah menggerakkan lagi suling peraknya, kini
dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi sampai suling itu mengeluarkan suara
melengking nyaring seperti ditiup mulut!
Kian Bu cepat mengelak akan
tetapi kini dia mengelak lalu membalas serangan lawan dengan pukulan Swat-im
Sin-ciang.
Wusssss....! Kakek itu pun
mengelak karena kaget sekali betapa hawa yang menyambarnya membawa rasa dingin
yang menyusup tulang, lalu sulingnya kembali menghujankan serangan.
Pertandingan itu cukup hebat
karena memang suling kakek itu amat lihai. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia
bertemu dengan pemuda Pulau Es, putera Pendekar Super Sakti yang sudah memiliki
tingkat kepandaian tinggi sekali, maka lewat tiga puluh jurus lebih, hawa sakti
dari Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu menyambar dadanya dan Gin-siauw Lo-jin
berteriak keras dan roboh terguling dalam keadaan pingsan dan dengan suling
masih tergenggam tangan.
Kian Bu memandang tubuh yang
rebah pingsan itu, diam-diam merasa heran bagaimana kakek ini dapat menguasai
ilmu simpanan dari ibu tirinya yang mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas,
kemudian dia menghapus peluhnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Dia sudah
tidak mempedulikan lagl kakek itu karena sudah mulai tenggelam lagi dalam
kedukaannya.
Akan tetapi ketika dia
berjalan di lereng bukit itu, di bawah sinar bintang-bintang di langit,
peristiwa pertemuannya dengan kakek yang pandai ilmu peninggalan Suling Emas
itu membuat dia ingat kepada Suma Kian Lee, kepada ibu tirinya, kepada ayah
bundanya sendiri dan kepada Pulau Es dan bangkitlah rasa rindu di dalam
hatinya. Teringat kepada mereka semua yang tercinta membuat hatinya makin
merasa prihatin, merasa betapa sunyi hidupnya, betapa sengsara hatinya dan
pemuda ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, terasa lemah seluruh
tubuh dan dia duduk bersamadhi sampai pagi.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali dia telah disadarkan oleh kicau burung yangriang gembira
menyambut datangnya pagi yang cerah dan indah. Akan tetapi tidak terasa
keindahan itu di hati Kian Bu yang sedang gundah-gulana. Dia teringat akan
kakek yang dirobohkannya semalam dan hatinya segera merasa menyesal. Tidak ada
persoalan hebat antara dia dan kakek itu, namun dia telah merobohkannya dan
meninggalkannya rebah pingsan. Jangan-jangan kakek yang sudah tua itu akan
tewas karenanya. Dia menyesal sekali. Bukan wataknya untuk membunuh orang
begitu saja, padahal tidak ada persoalan penting di antara mereka. Teringat
akan ini Kian Bu cepat bangkit dan pergi mendaki bukit itu lagi menuju ke
tempat di mana dia berketahi dengan kakek itu semalam.
Akan tetapi ketika dia tiba di
tempat itu, di situ sunyi saja dan kakek itu sudah tidak ada lagi di tempat dia
rebah semalam. Yang ada hanya burung-burung beterbangan sambil berkicau
riuh-rendah. Padahal dia tahu betul bahwa di situ tempatnya, bahkan tongkat
panjang yang patah-patah milik Gin-siauw Lo-jin pun masih berada di situ. Sudah
siuman agaknya kakek itu lalu pergi dari situ. Kian Bu menarik napas lega. Baik
kalau kakek itu tidak mati! Akan tetapi belum puas hatinya kalau belum dapat
bertemu untuk menyatakan penyesalannya dan minta maaf. Lebih baik dia
berkenalan dengan kakek itu dan bertanya secara baik-baik tentang Ilmu Silat
Pat-sian Kiam-hoat itu. Siapa tahu masih ada hubungan atau pertalian perguruan
antara kakek itu dengan ibu tirinya! Kalau benar demikian, bukankah berarti
bahwa dia telah merobohkan kerabat atau kawan sendiri? Dia merasa makin
menyesal dan mulailah dia mencari-cari di sekitar tempat itu. Akan tetapi sunyi
saja di sekeliling situ, sunyi yang amat indah karena pagi itu memang cerah
sekali.
Tiba-tiba dia mendengar suara
orang bersenandung, lapat-lapat terdengar o1ehnya. Cepat Suma Kian Bu melangkah
menuju ke arah suara itu yang makin lama makin nyata. Kiranya itu adalah suara
wanita yang amat merdu dan kiranya bukan nyanyian yang disenandungkan itu,
melainkan doa yang dinyanyikan dengan suara yang amat merdu dan halus. Tak lama
kemudian nampaklah orangnya yang berdoa itu dan kiranya dia adalah seorang
nikouw (pendeta Buddha wanita) yang sedang memetik daun obat. Nikouw itu sudah
tua, tentu sudah hampir enam puluh tahun usianya. Tubuhnya masih ramping,
wajahnya masih berkulit halus dan putih, masih nampak nyata bekas kecantikan
seorang wanita, dan kini wajah itu nampak agung dan suci, di bawah kerudung
yang berwarna kuning. Seorang nikouw tua yang berwajah lembut, yang memetik
daun obat sambil berdoa, begitu bahagia nampaknya. Tiada bedanya antara dia dan
burung yang sedang berkicau di atas dahan pohon, asyik dengan keriangan
menyambut pagi yang indah!
Ah, nikouw itu agaknya tidak
asing dengan tempat ini. Tentu dia tahu di mana dia dapat bertemu dengan
Gin-siauw Lo-jin! Berpikir demikian, Kian Bu lalu membalikkan tubuh hendak
menghampiri, akan tetapi pada saat itu, nikouw tadi pun agaknya sudah selesai
memetik daun obat dan melangkah pergi. Dan terkejutlah pemuda Pulau Es itu.
Sekali berkelebat, nikouw tua itu seperti terbang saja cepatnya meninggalkan
tempat itu! Bukan main cepat dan ringannya gerakan kedua kaki nikouw itu yang
seolah-olah dapat terbang di atas rumput, pergi sambil terus bersenandung!
Tentu saja Kian Bu menjadi
kagum bukan main. Mengapa bermunculan begitu banyak orang pandai di tempat ini,
pikirnya. Gin-siauw Lo-jin itu sudah hebat, bahkan pandai memainkan ilmu silat
tinggi Pat-sian Kiam-hoat. Dan nikouw ini pun bukan main ilmu ginkangnya,
seolah-olah pandai terbang saja. Dia menjadi penasaran dan mengerahkan ginkangnya
untuk lari mengejar. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia
mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu menandingi kecepatan gerakan nikouw
itu! Nikouw itu seperti terbang di atas rumput-rumput, mendaki bukit dan dia
terus mengejar, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena Kian Bu merasa
penasaran sekali. Dia telah dilatih ginkang oleh ayah dan ibunya sendiri,
padahal ayahnya adalah seorang ahli dalam Ilmu Soan-hong-lui-kun, yaitu gerakan
kijang yang kecepatannya tiada ke duanya di dunia ini! Biarpun dia sendiri
tidak mungkin dapat mewarisi Ilmu Soan-hong-lui-kun yang hanya dapat dimainkan
oleh seorang yang berkaki tunggal seperti ayahnya, namun dia telah memiliki
ginkang yang hebat, tidak kalah oleh kecepatan ibunya, Puteri Nirahai yang terkenal
itu. Namun, kini dia tidak mampu menyusul nikouw tua itu!
Kian Bu merasa malu dan heran
sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya, namun maklumlah dia bahwa dia
benar-benar jauh kalah cepat. Akan tetapi nikouw itu berhenti di dekat puncak
bukit dan mulai memetik daun-daun obat yang lain lagi, tetap sambil
bersenandung seolah-olah larinya yang amat cepat tadi sama sekali tidak
membuatnya lelah, padahal Kian Bu sendiri agak terengah karena mengerahkan
seluruh tenaga. Teringatlah pemuda ini akan niatnya bertanya kepada nikouw itu
tentang Gin-siaw Lo-jin. Kini lebih mantap lagi hatinya bahwa dia harus minta
maaf kepada kakek itu karena ternyata bahwa bukit ini benar-benar dihuni oleh
orang-orang pandai sekali.
Maafkan saya, Suthai....!
Nikouw itu menoleh dan
tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat dan keranjang terisi daun obat itu
terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas tanah, menggelinding sampai ke dekat
kaki Kian Bu! Sejenak nikouw itu hanya berdiri bengong memandang wajah Kian Bu,
lalu dia berkata lirih, Omitohud....!! Seruan ini agaknya menyadarkannya dari
kekagetan atau keharuan itu dan dia tersipu-sipu memandang ke arah keranjang
yang isinya tumpah semua itu.
Maaf, Suthai, saya telah
mengagetkan Suthai....! kata Kian Bu yang cepat-cepat mengambil keranjang itu
dan mengumpulkan dauh-daun yang berserakan, memasukkannya kembali ke dalam
keranjang, lalu menyerahkannya kepada nikouw itu penuh hormat. Nikouw itu
memandang dengan mata tetap membayangkan keheranan dan penuh rasa tertarik,
memandang Kian Bu sejak tadi dari atas ke bawah, lalu menarik napas panjang dan
bibirnya berkemak-kemik membaca doa yang tidak terdengar.
Ah, tidak.... sama sekali
tidak. Sicu siapakah?! Suara itu halus sekali dan sinar mata itu penuh
kelembutan sehingga Kian Bu seketika merasa suka dan hormat sekali kepada
nikouw tua ini. Akan tetapi dia yang sudah melakukan kelancangan merobohkan
orang di tempat yang dihuni orang-orang pandai ini segera menjura tanpa berani
memperkenalkan namanya, melainkan bertanya. Kalau saya boleh mengganggu
kesibukan Suthai, saya ingin bertanya apakah Suthai tahu di mana saya dapat
bertemu dengan Gin-siauw Lo-jin?!
!Gin-siauw Lo-jin? Ah, di
puncak itulah tempat tinggalnya jawab
nikouw itu sambil menuding ke arah puncak bukit akan tetapi matanya tetap saja
tidak pernah meninggalkan wajah Kian Bu yang rambutnya panjang terurai dan
dibiarkan awut-awutan itu.
Kian Bu menjadi girang sekali
dan kembali dia menjura, Banyak terima kasih atas petunjuk Suthai dan sekali
lagi maaf atas kelancangan saya mengganggu kesibukan Suthai.! Setelah berkata
demikian, pemuda itu membalikkan tubuh dan berjalan mendaki puncak.
Nanti dulu.... Sicu....
siapakah Sicu?! terdengar nikouw itu bertanya.
Kian Bu menoleh dan merasa
tidak enak. Dia telah berbuat salah di tempat itu, bagaimana harus
memperkenalkan nama? Akan tetapi, nikouw itu demikian ramah dan halus budi,
tidak mungkin pula tidak menjawab. Suthai, saya she Suma...., maaf!! Dia lalu
melanjutkan perjalanan dengan cepat naik ke atas puncak. Sama sekali dia tidak
tahu betapa jawaban itu membuat nikouw ini kembali menjadi pucat sekali
wajahnya, matanya terbelalak dan tangan kirinya otomatis menyentuh dada kiri.
Omitohud.... omitohud....
omitohud....! berulang-ulang dan memuji dan tidak mempedulikan lagi keranjangnya
yang jatuh untuk kedua kalinya dan kini dia telah melangkah perlahan-lahan naik
ke puncak, sepasang matanya memandang ke arah bayangan Kian Bu dan mulutnya
masih terus menyerukan pujian untuk Sang Buddha.
Sementara itu, Kian Bu sudah
mendaki puncak dengan cepat dan tibalah dia di depan sebuah rumah yang besar
dan kuno. Rumah itu kelihatan sunyi saja seperti tidak ada penghuninya, akan
tetapi ketika dia menghampiri pintu depan, terdengarlah suara dari dalam, suara
yang berwibawa dan mengandung tenaga khikang amat kuat, Inikah pemuda yang
kauceritakan itu?!
Benar, Suhu.!
Kian Bu terkejut. Suara yang
menyebut suhu! itu adalah suara Gin-siauw Lo-jin! Dan kini keluarlah dua orang
dari dalam rumah kuno itu yang bukan lain adalah Gin-siauw Lo-jin bersama
seorang kakek yang lebih tua lagi, yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh
lima tahun, namun masih bersikap agung dan gagah. Kian Bu merasa tidak enak
sekali melihat dua orang kakek itu memandang kepadanya dengan muka membayangkan
kemarahan, maka cepat-cepat dia menjura dengan sikap hormat.
Locianpwe, saya Suma Kian Bu
datang untuk minta maaf atas semua kejadian malam tadi,! katanya dan ucapan ini
ditujukan kepada Gin-siauw Lo-jin.
Akan tetapi yang menjawabnya
adalah kakek yang lebih tua itu, yang berkata dengan suara keren, Orang muda,
engkau semalam telah mengalahkan muridku yang pertama, berarti bahwa engkau
sungguh sangat lihai. Dan sekarang engkau muncul pula di sini, sungguh engkau
bernyali besar. Apakah engkau hendak menyatakan bahwa engkau berani pula
bertanding ilmu melawan kami yang mewarisi ilmu dari pendekar maha sakti Suling
Emas?!
Kian Bu mengerutkan alisnya.
Dia sudah merendahkan diri, sudah mengalah dan datang untuk minta maaf, akan
tetapi ucapan dari kakek tua ini sungguh di luar dugaannya. Tersembunyi
kesombongan besar dalam ucapan itu! Dan juga dia merasa penasaran dan curiga.
Bukankah pewaris ilmu-ilmu dari Suling Emas adalah orang tuanya di Pulau Es?
Bukankah kitab-kitab ilmu dari pendekar Suling Emas terjatuh ke tangan ibu
Lulu, ibu tirinya dan bahkan pusaka suling emas menurut ibunya pernah dipakai
sebagai senjata oleh ibunya sendiri? Mengapa kakek ini sekarang mengaku sebagai
pewaris pusaka Suling Emas? Namun, sebagai seorang pemuda yang terdidik baik,
dia masih mampu menahan diri.
Maaf, Locianpwe, saya datang
bukan untuk mengajak bertanding ilmu dengan siapapun juga,! jawabnya dengan
suara agak kaku.
Hemmm, kalau begitu kau
takut?!
Sepasang mata Kian Bu bersinar
dan mengandung kemarahan ketika dia memandang kepada kakek tua itu. Benar-benar
besar kepala dan sombong si tua bangka ini, pikirnya gemas.
Tidak ada soal takut atau
berani, Locianpwe. Saya datang untuk menyatakan penyesalan saya atas peristiwa
yang terjadi semalam dan saya mau minta maaf.!
Hayo lekas kau berlutut dan minta
ampun dengan pai-kwi (menyembah dengan berlutut) sebagai delapan kali, baru
kami pikir-pikir apakah dapat mengampunimu!! Kakek itu membentak lagi.
Berkobar kemarahan di dalam
hati Kian Bu. Dia mengangkat dada dan berdiri dengan sikap menantang. Saya Suma
Kian Bu selama hidup tidak pernah bersikap pengecut! Saya selalu berani
menanggung semua perbuatan saya. Jangan harap Locianpwei akan dapat melihat
saya merendahkan diri seperti itu!!
Ha, kau menantang?!
Terserah penilaian Locianpwe
kepada saya.!
Orang muda, engkau memang
bernyali besar. Hemmm, engkau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku
adalah Sin-siauw Seng-jin, dan dia ini adalah muridku yang pertama. Aku adalah
pewaris dari pendekar maha sakti Suling Emas dan biasanya, sekali aku turun tangan
tentu lawanku akan mati. Aku masih menaruh kasihan kepadamu....!
Cukup, Locianpwe. Aku tidak
takut akan segala ancaman, tidak takut mati. Akan tetapi tentang mewarisi
pusaka pendekar Suling Emas, hal itu kiranya masih harus diselidiki lebih dulu!
Kalau memang benar pusaka itu ada pada tangan Locianpwe, maaf kalau saya berani
mengatakan bahwa Locianpwe tentu telah mencurinya!!
Keparat!! Gin-siauw Lo-jin
marah sekali dan sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan.
Desssss....!! Tubuh Gin-siauw
Lo-jin terpental dan tentu dia sudah terbanting ke atas tanah kalau saja tangan
kiri Sin-siauw Seng-jin tidak diulur dan dengan cekatan sekali kakek ini
menangkap leher baju muridnya dan mencegah muridnya terbanting. Gerakan kakek
itu cepat sekali sehingga mengagumkan Kian Bu, sebaliknya Sin-siauw Seng-jin
juga terbelalak melihat betapa tangkisan orang muda itu membuat muridnya
terpental!
Orang muda, engkau benar-benar
berani sekali. Terpaksa aku tidak memandang lagi usia, dan bersiaplah untuk
menandingi pewaris ilmu-ilmu Suling Emas!!
Orang ini terlalu
menonjol-nonjolkan diri sebagai pewaris Suling Emas, pikir Kian Bu dengan hati
mendongkol. Jelas bahwa dia telah mengaku-aku saja, atau kalau melihat betapa
muridnya dapat mainkan Pat-sian Kiam-hoat, agaknya kakek ini telah mencuri
kitab-kitab itu dari Pulau Es! Baiklah, ingin aku melihat sampai di mana
kehebatan ilmu-ilmu yang palsu itu.!
Sin-siauw Seng-jin sudah marah
sekali dan karena dia maklum betapa lihainya pemuda itu, maka dia sudah
mencabut suling emas yang terselip di pinggangnya dan menerjang maju.
Swinggggg.... singgggg....!!
Kian Bu terkejut. Sinar emas
berkilauan itu memang hebat bukan main dan dia terbelalak memandang ke arah
suling emas di tangan kakek itu yang tadi hampir saja mengenai kepalanya kalau
dia tidak cepat-cepat mengelak. Dari mana kakek ini mendapatkan senjata pusaka
ampuh itu? Apakah benar itu suling emas, senjata dari pendekar sakti Suling
Emas ratusan tahun yang lalu, seperti yang diceritakan olah ibunya?
Akan tetapi dia tidak diberi
kesempatan untuk berheran-heran lebih lama lagi karena sinar emas itu
bergulung-gulung dan sudah menerjangnya dari segala jurusan dengan amat
dahsyat! Kian Bu cepat mengelak dan membalas dengan melancarkan pukulan
Hwi-yang Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Namun ternyata kakek itu gesit
sekali, juga ketika dengan lengan kiri menangkis, dari lengannya menyambar hawa
sinkang yang amat kuat, bahkan tidak kalah kuatnya dari tenaga sinkang yang
dikuasai oleh Kian Bu sendiri sehingga keduanya terhuyung ke belakang! Kakek
itu makin terkejut, akan tetapi juga Kian Bu merasa kaget dan berhati-hati.
Makin lama, makin
terheran-heranlah Kian Bu melihat betapa kakek itu dengan suling emasnya
memainkan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai
Kun-hoat, dan yang terakhir suling itu mengeluarkan suara melengking dan
mendengung-dengung seperti ditiup orang ketika kakek itu membuat gerakan
corat-coret aneh sekali. Kian Bu mengenal gerakan ini sebagai ilmu mujijat
Hong-in Bun-hoat, ilmu yang amat ampuh dari pendekar Suling Emas, yang amat
sukar dipelajari, bahkan ibu tirinya, Lulu, sendiri pun belum dapat
menguasainya secara sempurna! Ilmu ini didasari kepandaian sastra, kepandaian
menulis huruf indah dan dari gerakan corat-coret huruf inilah maka diciptakan
ilmu silat yang amat mujljat ini.
Kau kau pencuri....!!
teriaknya kaget dan terpaksa dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya karena kakek itu ternyata amat lihai. Setiap huruf yang
digerakkan oleh sulingnya mengandung tenaga dahsyat dan mengeluarkan bunyi
lengkingan aneh sekali. Beberapa kali Kian Bu sampai terhuyung karena terdorong
oleh hawa yang amat tajam dan aneh. Dia sudah berusaha untuk membalas dengan
pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berselang-seling, namun
kakek yang lihai itu dapat pula menghindarkan diri.
Bukan main hebatnya
pertandingan itu. Mati-matian dan seru, sama kuat dan seratus jurus lewat
dengan cepatnya. Kian Bu menjadi penasaran dan juga terheran-heran. Tidak
banyak dia menemui lawan berat selama perantauannya, dan ternyata kakek ini
hebat sekali, sungguhpun dia masih tidak percaya bahwa ilmu-ilmu Suling Emas
yang dimainkannya itu adalah ilmu-ilmu aseli, karena pada dasarnya terdapat
beberapa perbedaan dengan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai ilmu-ilmu
peninggalan Suling Emas. Menurut ibunya, kemujijatan Ilmu Hong-in Bun-hoat
terletak pada bunyi suling yang ketika dimainkan seperti ditiup orang dan
mengeluarkan lagu yang amat indah dan hal ini amat mempengaruhi lawan. Akan
tetapi, walaupun suling emas di tangan kakek ini juga mengeluarkan suara
melengking-lengking dan seperti berlagu, namun sama sekali tidak dapat disebut
indah karena bagi telinganya terdengar sumbang! Betapapun juga, harus diakuinya
bahwa sukar baginya untuk dapat mengimbangi kecepatan kakek itu dan dia mulai
terdesak hebat.
Maklum bahwa kalau
dilanjutkan, tentu dia yang akan celaka akibat kalah cepat oleh gerakan suling,
maka Kian Bu lalu mengambil keputusan untuk menggunakan pukulannya yang paling
ampuh dan paling hebat. Kalau dia tidak dapat merobohkan lawan, tentu dia yang
akan roboh. Gulungan sinar emas itu terlalu cepat baginya! Maka tiba-tiba
pemuda ini lalu mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking nyaring, kemudian
kedua tangannya mendorong ke depan dengan inti tenaga sinkang yang
bertentangan, yaitu yang kanan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang
panas sedangkan sedetik kemudian yang kiri mendorong dengan pukulan Swat-im
Sin-ciang. Bukan main hebatnya dua pukulan ini yang sedemikian hebatnya sehingga
pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu mampu untuk memukul hangus lawan,
sedangkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dingin dapat membikin beku darah
dalam tubuh lawan.
Ihhhhh....!! Kakek itu berseru
keras, dia pun mendorongkan kedua lengannya untuk menahan serangan hawa pukulan
mujijat itu, dan sulingnya dia sambitkan ke depan pada saat dia mendorongkan
kedua tangannya. Suling Emas itu meluncur melalui bawah lengan kiri Kian Bu
seperti kilat menyambar.
Desssss.... tukkkkk....!!
Tubuh kakek itu terlempar ke
belakang dan dia menggigil, sedangkan Kian Bu sendiri terpelanting dan roboh
terguling karena suling itu dengan kuatnya telah menotok ketiak kirinya
sehingga dia roboh dan merasa betapa separuh tubuhnya yang kiri menjadi lumpuh
sama sekali!