Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 18 - Kakak Beradik Bertemu Kembali
Kokooooo....!! Tiba-tiba
Siluman Kecil lari dan menubruk si Gagu! yang masih terlentang di atas lantai
ruangan itu. Koko.... ah, Kian Lee koko.... kiranya engkau.... ya Tuhan, apa
yang telah kulakukan tadi....?! Dan Siluman Kecil merangkul dan memeluk tubuh
si Gagu! itu dan menangis sejadi-jadinya!
Semua orang terkejut bukan
main menyaksikan peristiwa aneh ini. Sai-cu Kai-ong sampai melongo karena tidak
disangkanya bahwa kakek! sakti yang menjadi temannya itu ternyata adalah
seorang yang masih amat muda dan yang kini menangis, seperti anak kecil memeluk
bekas lawannya yang juga masih amat muda.
Sementara itu, si Gagu! yang
ternyata adalah penyamaran Suma Kian Lee, membuka mata memandang orang yang
memeluknya. Luka yang dideritanya akibat pukulan gabungan tenaga Im dan Yang
dari Siluman kecil itu hebat sekali, akan tetapi dia tidak pingsan, bahkan kini
dia tidak mengeluh sama sekali, menahan rasa nyeri yang seolah-olah
menghancurkan seluruh tulang di dalam tubuhnya.
Mula-mula dia memandang penuh
keraguan ke arah wajah pemuda berambut putih itu, rambut putih itulah yang
meragukannya, akan tetapi kemudian dia pun menggerakkan kedua lengannya yang
lemah, memeluk dan berkata, Aihhhhh.... Kian Bu adikku.... sayang, betapa sukarnya
mencarimu, Bu-te. Engkaukah kiranya si kakek rambut putih tadi? Bukan main,
adikku, kau hebat.... sekali...., ah, kau maju pesat sekali.... uhhh, adikku,
betapa selama bertahun-tahun aku rindu kepadamu, Bu-te....!
Koko, ah, Koko.... apa yang
telah kulakukan tadi....?! Siluman Kecil yang ternyata bukan lain adalah Suma
Kian Bu, masih menangis melihat keadaan kakaknya. Pukulannya tadi hebat sekali,
pukulan yang dilatihnya selama bertahun-tahun ini, pukulan yang mengandung
penggabungan dari inti tenaga sakti Im dan Yang. Di tempat asal mereka, yaitu
di Pulau Es, mereka berdua memang telah digembleng oleh ayah mereka, Si
Pendekar Super Sakti, dan telah melatih diri dengan ilmu inti hawa sakti Im,
yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, inti dari hawa sakti Yang. Dan
ayah mereka pun telah melatih mereka dengan penggabungan antara kedua ilmu itu,
akan tetapi penggabungan itu hanya merupakan kerja sama, yaitu menggunakan
Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang secara bergantian, atau juga berbareng dengan
tangan kanan dan kiri. Akan tetapi, penggabungan kedua tenaga yang berlawanan,
sehingga merupakan tenaga yang mujijat sekali, yang ketika melatihnya hampir
saja mengorbankan nyawanya akan tetapi ternyata dia telah berhasil menguasai
tenaga mujljat itu. Dan kini, yang menjadi korban adalah kakaknya sendiri!
Sudahlah,.... jangan berduka,
adikku.... aku.... aku mati pun tidak akan penasaran.... engkau tidak
bersalah.... kita saling menyamar dan tidak mengenal.... dan kau hebat sekali,
Bu-te....eh, adikku, kenapa rambutmu menjadi putih semua....? Apakah untuk
menyamar? Bu-te.... kalau kau pulang nanti.... jangan bilang kepada Ayah dan
Ibu.... bahwa.... kita saling bertanding....! Napas Kian Lee terengah-engah dan
agaknya sukar sekali baginya untuk bicara.
Koko....!! Kian Bu memeluknya.
Sampai dalam keadaan hampir tewas pun kakaknya ini tidak menyalahkannya, bahkan
ingin agar tidak sampai diketahui oleh orang tua mereka bahwa adiknya yang
telah memukulnya seperti itu! Kian Lee koko.... kalau kau mati.... aku pun
tidak mau hidup!!
Ah, jangan begitu, Bu-te....!
Kakak dan adik ini berpelukan. Melihat ini, Saicu Kai-ong yang sejak tadi
melongo dan hanya mendengarkan saja dua orang pemuda luar blasa itu berangkulan
dan bicara, kini melangkah maju dan berkata.
Biarkan saya memeriksa dan
mengobatinya.!
Kian Bu menoleh kepadanya.
Locianpwe, dia ini kakakku, dan dia hampir tewas oleh pukulanku sendiri. Kalau
Locianpwe dapat menyembuhkannya, aku Suma Kian Bu akan berterima kasih sekali
dan tidak akan melupakan budimu.!
Suma....?! Kini Sai-cu Kai-ong
terkejut setengah mati. Kalian she Suma? Ada hubungan apa dengan majikan Pulau
Es, Suma Han?!
Dia adalah ayah kami....! kata
Suma Kian Bu dengan suara lirih dan lemah.
Ahhh....! Ya Tuhan, kalian
putera Pendekar Super Sakti dan telah saling hantam sendiri? Minggirlah,
biarkan aku memeriksanya dan aku akan berusaha mati-matian untuk menyelamatkan
dia.!
Akan tetapi pada saat itu,
terdengar suara ribut-ribut. Ternyata kini pasukan pengawal telah mengepung
ruangan itu! Melihat munculnya banyak pengawal, otomatis Kian Bu memondong
tubuh kakaknya sedangkan Sai-cu Kai-ong cepat memondong Pangeran Yung Hwa.
Dari mana datangnya
penjahat-penjahat yang bosan hidup berani mengancam di sini?! Tiba-tiba
terdengar seruan nyaring dan seperti seekor burung melayang tahu-tahu di antara
para pasukan pengawal itu meloncat masuk seorang pemuda tampan yang bukan lain
adalah Kang Swi. Pemuda ini langsung menyerang ke arah Sai-cu Kai-ong untuk
merampas Pangeran Yung Hwa yang dipondong oleh kakek itu. Akan tetapi, kakek
gagah perkasa itu sudah melompat ke samping dan terdengar Gu Sin-kai membentak
marah lalu kakek pengemis inilah yang menerjang dan menyambut Kang Swi. Mereka
segera bertanding dengan hebat sedangkan para pengawal sudah menyerbu ke dalam
ruangan itu sehingga kakek gagah perkasa dan Kian Bu yang masing-masing
menggendong Pangeran Yung Hwa dan Kian Lee, mengamuk dengan tamparan satu
tangan dan tendangan-tendangan kaki mereka.
Sepak terjang kakek itu hebat,
dan Kian Bu yang marah dan berduka melihat keadaan kakaknya, juga marah bukan
main sehingga setiap tendangan atau tamparan tangannya tentu merobohkan seorang
pengeroyok. Senjata-senjata beterbangan dan para pengeroyok terlempar ke
sana-sini di tengah-tengah teriakan-teriakan mereka.
Akan tetapi, Gu Sin-kai
terdesak hebat oleh Kang Swi yang amat lihai, apalagi setelah Kang Swi mencabut
pedangnya. Biarpun Gu Sin-kai melawan mati-matian dengan tongkatnya, namun
tetap saja dia menjadi kewalahan karena pedang di tangan Kang Swi benar-benar
amat lihai, mengeluarkan suara bersuitan dan mengandung hawa yang panas dan
tajam. Tiba-tiba Gu Sin-kai berteriak kaget ketika ujung pedang itu mencium
pundaknya sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah.
Mundurlah, Gu Sin-kai, biarkan
saya yang menghadapinya!! teriak Kian Bu marah dan biarpun dia menggunakan
tangan kirinya untuk memanggul tubuh kakaknya, namun dengan berani dia
menerjang Kang Swi dengan tangan kosong.
Wuuuuuttt....!! Angin pukulan
dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda royal itu.
Eihhhhh...., kau....?! Kang
Swi berseru kaget sekali, tidak mengira bahwa Siluman Kecil yang telah menjadi
sahabatnya! itu kini menyerangnya demikian ganas. Dia cepat mengelak, akan
tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan itu membuat dia terdorong mundur dan
terhuyung-huyung!
Saudara Kang Swi, mundurlah!
Kau telah keliru membela orang! Gubernur Ho-nan adalah seorang pemberontak,!
Kian Bu berkata. Jangan kau halangi kami menyelamatkan Pangeran Yung Hwa!!
Twako, aku telah menjadi
pengawal, aku harus setia kepada tugasku. Kembalikan Pangeran Yung Hwa dan aku
akan membiarkan kalian pergi dengan baik-baik!! kata Kang Swi.
Bandel, kalau begitu terpaksa
kita harus menjadi lawan!! Kian Bu menerjang lagi. Kang Swi menyambut dengan
pedangnya yang ditusukkan ke arah lambung Kian Bu sedangkan kakinya menendang
ke arah lutut Siluman Kecil itu.
Huhhh!! Kian Bu mendengus,
tangannya tidak ditarik mundur melainkan langsung menangkis pedang itu! Dan dia
pun menyambut tendangan lawan dengan tendangan kakinya.
Tranggg.... dukkk....
aihhhhh....!! Kang Swi menjerit dan tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting
keras dan dia bangkit duduk dengan mata terbelalak sambil memijit-mijit
kakinya. Tulang keringnya bertemu dengan kaki Siluman Kecil, bukan main
nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk-nusuk tulang sumsum, sedangkan pedangnya
yang bertemu dengan tangan pendekar itu tadi telah terlempar, entah lenyap
kemana. Tentu saja dia bengong dan hampir tidak percaya bahwa dia dirobohkan
dalam segebrakan saja, dan betapa pedangnya ditangkis oleh tangan kosong saja!
Akan tetapi, Kian Bu tidak
mempedulikannya lagi karena pada saat itu telah muncul Ho-nan Ciu-lo-mo dan
Siauw-hong! Di belakang mereka nampak banyak pengawal lagi yang memenuhi tempat
itu!
Ho-nan Ciu-lo-mo segera
mengenal Kian Lee yang berada di atas pundak Kian Bu, maka tahulah dia bahwa
istana itu telah kebobolan mata-mata dari Ho-pei, akan tetapi ketika dia
melihat Sai-cu Kai-ong, dia terkejut setengah mati. Kiranya orang tua gagah
yang memimpin pasukan besar dari kota raja itu pun telah berada di situ dan
kini sudah memondong Pangeran Yung Hwa. Dia maklum akan siasat majikannya, maka
dia lalu membentak marah, Penculik-penculik hina, lepaskan Pangeran Yung Hwa!!
bentaknya dan bersama beberapa orang pembantu dia sudah menerjang maju. Akan
tetapi Kian Bu yang tidak ingin melihat pangeran itu terancam bahaya, sudah
memapaki si muka dan rambut merah itu dengan tamparan tangan kanannya sedangkan
tangan kirinya memondong tubuh kakaknya.
Wuuuttttt....!! Ciu-lo-mo
cepat mengelak dan terkejut melihat sambaran tenaga dahsyat itu. Cepat dia
menggerakkan guci araknya menyerang ke arah kepala Kian Bu, sedangkan arak dari
guci itu muncrat menyerang ke arah muka Kian Lee yang setengah pingsan.
Keparat!! Kian Bu. membentak,
dengan gerakan tangannya dia menangkis dan sekaligus membuyarkan percikan arak
itu dengan tiupan mulutnya.
Tranggg!! Guci arak membalik
dan nyaris terlepas dari tangan Ciu-lo-mo saking kerasnya terpental oleh
tangkisan itu.
Hong-ji (Anak Hong)....!!
Terdengar Sai-cu Kai-ong berseru ketika dia melihat Siauw-hong menyerbu ke
dalam.
Suhu....!!
Apa kau sudah gila? Kau
membantu musuh-musuhku?! Kakek itu membentak lagi sambil merobohkan seorang
pengawal yang menyerangnya dengan golok dari samping dengan tendangan kakinya
yang panjang dan besar.
Suhu....!! Siauw-hong
memandang bingung. Teecu.... teecu menjadi pengawal dengan baik....!
Tolol! Yang kaubantu adalah
seorang pemberontak!!
Ahhhhh....!! Siauw-hong
memandang bingung.
Hayo kaubantu kami keluar dari
tempat ini, menyelamatkan Pangeran ini!! Kakek itu kembali berseru.
Baik, Suhu!! Siauw-hong
berseru dan kini dia membalik, sekali bergerak dia telah merobohkan dua orang
pengawal!
Akan tetapi, kini banyak
sekali pengawal yang sudah mengepung tempat itu sehingga tidak ada lagi jalan
keluar yang terbuka. Para pengawal yang tidak kebagian ruangan berjejal di
depan pintu dan jendela, siap dengan senjata di tangan untuk menggantikan
kawan-kawan mereka yang roboh. Melihat ini, Kian Bu merasa khawatir. Betapapun
lihainya mereka, menghadapi begitu banyak lawan di tempat sempit ini amat
berbahaya, pikirnya. Apalagi amat berbahaya bagi kakaknya yang terluka parah.
Mampuslah!! Dia membentak dan
melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang ke arah Ciu-lo-mo. Kakek pemabuk ini
terkejut mendengar suara pukulan yang bercicitan suaranya itu. Dia cepat
menggerakkan guci araknya dengan sepenuh tenaga untuk menangkis.
Pyarrrrr....!! Guci arak itu
pecah berantakan araknya muncrat berhamburan dan tubuh si muka dan rambut merah
itu roboh terjengkang!
Siauw-hong, kautolong panggul
kakakku ini, biar aku membuka jalanl! Tiba-tiba Kian Bu berseru kepada
Siauw-hong yang juga masih mengamuk dan melindungi suhunya.
Baik, Taihiap,!' jawab
Siauw-hong dan dia cepat mendekati Kian Bu dan menerima tubuh Kian Lee yang
sudah lemas setengah pingsan itu lalu dipondongnya.
Melihat ini, Sai-cu Kai-ong
merasa girang. Hong-ji, kau sudah mengenal pendekar ini?! tanyanya sambil
bergerak ke sana-sini sambil menggerakkan lengan bajunya yang lebar untuk
menghalau senjata-senjata yang datang menyerangnya.
Tentu saja, Suhu,! jawab
Siauw-hong sambil meloncat ke kiri untuk membiarkan lewat sebatang tombak yang
menusuknya, kemudian tangan kanannya mendorong dan si pemegang tombak itu
menjerit dan roboh terjengkang. Taihiap ini adalah Siluman Kecil.!
Ahhhhh....! Sai-cu Kai-ong
berteriak kaget. Sungguh dia telah mendengar banyak hal yang aneh dan
mengejutkan. Tadi, pemuda berambut putih itu mengaku sebagai putera Pendekar
Super Sakti dari Pulau Es, dan kini ternyata menurut penuturan muridnya, pemuda
itu adalah juga Siluman Kecil yang namanya sudah tersohor!
Kini Kian Bu yang sudah tidak
lagi memondong tubuh kakaknya, mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Dia
menggunakan ilmunya yang mujijat, yaitu ilmu Sin-ho-coan-in, tubuhnya
berkelebatan ke sana-sini dengan cepatnya dan kedua tangannya menyambar-nyambar
ganas sehingga dalam waktu pendek saja, semua pengawal yang berada di ruangan
itu sudah roboh malang melintang seperti disambar petir.
Mari keluar, biar aku membuka
jalan!! teriaknya dan dia sudah menerjang ke pintu, sekali dorong saja dia
merobohkan enam orang pengawal di luar pintu. Tentu saja kehebatan pemuda yang
rambutnya putih terurai ini mengejutkan orang-orang, apalagi ketika mereka
mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Siluman Kecil!
Siluman Kecil....!!
Celaka, dia mengamuk.
Minggir....!!
Para perwira pengawal dan para
anggauta pengawal yang sudah pernah melihat bayangan Siluman Kecil, bahkan
pernah menyanjungnya sebagai seorang pendekar perkasa yang mengamankan Ho-nan,
menjadi gentar sekali dan mereka semua mundur. Memang nama Siluman Kecil sudah
terkenal sekali di Ho-nan. Dia pernah membersihkan Ho-nan dari gangguan
orang-orang jahat, bahkan pernah mengakurkan semua fihak yang bertentangan dari
orang-orang kang-ouw, dan dia pernah diterima oleh Gubernur Ho-nan sendiri
sebagai seorang pahlawan. Dan kini, Siluman Kecil mengamuk dan membantu
orang-orang yang hendak melarikan Pangeran Yung Hwa. Keraguan dan rasa jerih
menghantui hati para pengawal sehingga mereka tidak banyak melawan atau
menghalangi ketika Kian Bu mempelopori teman-temannya keluar dari ruangan itu
dan langsung melarikan diri keluar dari daerah istana gubernuran.
Siluman Kecil mengamuk!!
Siluman Kecil melarikan
Pangeran Yung Hwa!!
Teriakan-teriakan para
pengawal ini membuat para pengawal lain menjadi gentar hatinya dan mereka tidak
banyak melakukan usaha pencegatan sehingga rombongan Kian Bu dapat terus
melarikan diri sampai ke pintu gerbang.
Buka pintu! Aku, Siluman
Kecil, hendak lewat bersama teman-temanku! Jangan membikin aku marah!! Kian Bu
membentak, suaranya nyaring dan menggema karena memang dia sengaja mengerahkan
khikangnya dan dia sengaja menggunakan nama julukannya untuk menggertak agar
mereka tidak perlu mengerahkan tenaga dan membuang waktu untuk menggunakan
kekerasan terhadap para penjaga di pintu gerbang itu. Dia harus cepat dapat
menyelamatkan kakaknya. Jangan-jangan kakaknya yang dipondongnya lagi itu telah
tewas! Dia menunduk, dan melihat bahwa Suma Kian Lee ternyata masih membuka
mata memandangnya dengan kagum.
Kau hebat, adikku.... kau
hebat....! bisik Kian Lee.
Ahhhhh....!! Jantung Kian Bu
rasanya seperti ditusuk dan bagi pendengarannya, pujian kakaknya itu seperti
ujung pedang menghujam dadanya karena kehebatannya itu dipergunakan untuk
memukul roboh kakaknya sendiri!
Lekas buka! Kalau tidak,
kubunuh kalian semua!! bentaknya geram untuk menutupi hatinya yang tersiksa
rasanya.
Baik.... baik, Taihiap!!
terdengar jawaban seorang penjaga dan bergegas dia membuka pintu benteng itu
dibantu oleh kawan-kawannya.
Keluarlah mereka dari tembok
kota yang merupakan benteng pertahanan kota Lok-yang. Akan tetapi, malam telah
mulai terganti pagi dan tiba-tiba nampak debu mengebul dan dari depan datanglah
serombongan orang berkuda yang dipimpin oleh seorang raksasa berkepala botak
bermantel merah. Ban Hwa Sengjin koksu dari Nepal bersama pengawal-pengawal
pribadi Gubernur Kui dari Ho-nan! Kiranya sudah ada berita terdengar oleh
Gubernur Kui yang masih berada di Ceng-couw dan mendengar berita bahwa ada
keributan di Lok-yang, maka gubernur minta bantuan Koksu Nepal yang sakti itu
untuk memimpin serombongan pengawal cepat-cepat menuju ke Lok-yang dan
kebetulan sekali mereka bertemu dengan rombongan yang melarikan Pangeran Yung
Hwa itu di luar tembok benteng Lok-yang!
Ha-ha-ha-ha, kiranya kalian
ini hanyalah penculik-penculik hina!! bentak Ban Hwa Sengjin sambil tertawa
bergelak penuh ejekan. Seperti sekumpulan maling kesiangan saja. Setelah
bertemu dengan kami, lebih baik kalian menyerah daripada mati konyol!! Biarpun
suaranya agak kaku namun ternyata Koksu Nepal ini pandai sekali berbicara dalam
bahasa daerah.
Sai-cu Kai-ong marah sekali.
Manusia sombong! Engkau menjadi kaki tangan pemberontak, padahal kulihat engkau
bukanlah orang Han. Agaknya engkau malah yang membujuk Gubernur Ho-nan untuk
memberontak. Sekarang bertemu dengan aku Sai-cu Kai-ong, berarti ajalmu sudah
berada di depan mata! Siapakah engkau, orang asing?!
Ha-ha-ha-ha! Aku adalah
sahabat baik dari Gubernur Ho-nan, dan namaku Ban Hwa Sengjin. Kini aku
bertugas menangkap kalian maling-maling kecil. Julukanmu Sai-cu Kai-ong? Ha-ha,
biarpun suaramu seperti seekor sai-cu (singa) namun engkau menghadapi aku
seperti seekor singa ompong, jembel busuk!!
Dimaki singa ompong dan jembel
busuk yang tentu diambil dari julukannya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis), kakek
gagah itu menjadi marah bukan main. Siauw-ji, kau jaga beliau,! katanya sambil
menunjuk Pangeran Yung Hwa yang berdiri di belakangnya, kemudian dengan langkah
lebar dia menghampiri Ban Hwa Sengjin yang dengan sikap tenang telah turun dari
atas punggung kudanya.
Ban Hwa Sengjin pengecut hina!
Kau mengandalkan pasukanmu yang jumlahnya dua puluh orang lebih ini untuk
menggertak kami? Kaukira kami takut?! Sai-cu Kai-ong membentak.
Ha-ha, mereka ini hanya
menjadi pengantarku. Dengan tenagaku sendiri aku mampu merobohkan kalian semua,
satu demi satu atau berbareng. Kalau aku tidak dapat mengalahkan kalian,
biarlah kalian lewat tanpa kami ganggu.!
Ucapan ini merupakan
kesombongan yang hebat. Benarkah itu? Apakah manusia macam engkau akan dapat
menahan diri untuk tidak bersikap curang dan dapat memegang janji?!
Alis yang tebal itu berkerut.
Sai-cu Kai-ong, tahan sedikit mulutmu. Kau tidak tahu dengan siapa kau
berhadapan. Aku adalah seorang koksu dari Kerajaan Nepal, tahu?! bentak Ban Hwa
Sengjin.
Ah, kiranya begitu?! Sai-cu
Kai-ong berseru. Mengertilah kini dia mengapa orang Nepal ini berada di sini.
Kiranya dalam usahanya untuk memisahkan diri dari kaisar, Gubernur Ho-nan telah
mendekati dan mengadakan hubungan rahasia dengan Kerajaan Nepal di barat!
Nah, majulah menyerahkan
nyawamu!! Ban Hwa Sengjin melangkah maju dengan tangan kosong sambil tersenyum
mengejek.
Sambutlah!! Sai-cu Kai-ong
membentak dan sudah menerjang ke depan dengan gerakan tangkas dan karena dia
dapat menduga akan kelihaian kakek botak ini, maka begitu dia menyerang
langsung dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu keluarga turun-temurun
dari nenek moyangnya. Ilmu ini dinamakan Khong-sim-sin-ciang (Ilmu Pukulan
Tangan Sakti Hati Kosong), sesuai dengan nama perkumpulan pengemis yang
dipimpin oleh nenek moyangnya, yaitu perkumpulan Khong-sim-kai-pang. Ilmu
pukulan ini amat lihai, kelihatan kosong namun berisi dan memang inti ilmu
pukulan ini berdasarkan kekosongan. Menurut dongeng yang diceritakan
turun-temurun dalam keluarganya, nenek moyangnya adalah orang-orang yang suka
sekali mempelajari Agama To dan dari pelajaran Agama To inilah maka Ilmu
Khong-sim-sin-cang itu diciptakan. Menurut cerita neneknya dahulu, dalam
keluarga Yu terdapat ayat dari Kitab To-tik-khing yang amat mereka junjung
tinggi, yaitu pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang kekosongan yang menjadi inti
dari segalanya, bahkan yang berisi tidak akan ada gunanya tanpa ada kekosongan
itu seperti disebutkan dalam ayat ke sebelas dari Kitab To-tik-khing.
Tiga puluh ruji berpusat pada
satu poros roda, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.
Dari tanah liat dibuatlah
jembangan, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.
Lubang pintu dan jendela
dibuat untuk rumah, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.!
Selain ayat dari To-tik-khing
itu, juga masih banyak wejangan keluarga turun-temurun yang mengingatkan mereka
akan pentingnya kekosongan, antara lain dinyatakan bahwa di dalam setiap langkah
kaki, jarak yang dilewati antara kedua kaki, yaitu yang tidak terinjak, yang
kosong itulah yang berguna karena tanpa itu tidak akan ada kemajuan dalam
langkah kaki. Juga keindahan dan kenikmatan sebuah lagu tidak akan terasa lagi
tanpa adanya jarak-jarak yang kosong antara satu dan lain nada!
Serangan yang dilancarkan oleh
Sai-cu Kai-ong hebat bukan main. Kelihatannya sih ringan dan kosong saja, akan
tetapi begitu anginnya menyambar, seorang sakti seperti koksu dari Nepal itu
sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat dia mengelak. Jubahnya
yang lebar dan merah itu sampai berkibar terkena hembusan hawa pukulan yang
sifatnya kosong namun berisi penuh dengan kekuatan dahsyat itu! Dia cepat
membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga Sai-cu Kai-ong
juga terkejut dan cepat melompat ke samping karena dia tidak berani menyambut
pukulan yang amat hebat itu. Terjadilah pertandingan hebat dan keadaan
sekeliling tempat itu disambar oleh hawa-hawa pukulan kuat sekali sehingga dua
puluh orang lebih pengawal yang mengiringkan Ban Hwa Sengjin terpaksa mundur
karena kuda mereka meringkik ketakutan dan gelisah sekali. Bahkan Pangeran Yung
Hwa juga cepat bersembunyi di balik tubuh Siauw-hong karena merasa ngeri.
Akan tetapi, seorang yang sudah
menjadi koksu sebuah negara, bahkan kini menjadi utusan raja, tentu saja adalah
seorang yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Dahulu, di jaman
Kerajaan Beng-tiauw, seorang utusan kaisar seperti Panglima Besar The Hoo juga
merupakan seorang yang luar biasa saktinya, juga semua utusan raja-raja dari
semua negara tentulah merupakan seorang tokoh pilihan yang berilmu tinggi.
Demikian pula dengan Ban Hwa Sengjin ini. Ilmu kepandaiannya amat tinggi karena
boleh dibilang dia merupakan tokoh nomor satu yang dikenal orang di negara
Nepal, maka tentu saja dia telah membekali dirinya dengan ilmu-ilmu yang amat
hebat. Tidak hanya ilmu silat, akan tetapi juga dia mahir sekali dalam ilmu
sihir dan ilmu perang, juga ahli dalam soal-soal kenegaraan! Kini, menghadapi
seorang lawan yang demikian lihainya seperti Sai-cu Kai-ong, dia merasa gembira
dan dia tidak mau menggunakan ilmu sihirnya selama ilmu silatnya masih belum
kalah. Dan dia selama ini menganggap bahwa tidak mungkin ilmu silatnya dapat
dikalahkan orang lain!
Memang, amat berbahayalah bagi
seorang manusia yang merasa telah mempelajari ilmu sampai tinggi, apalagi kalau
sudah menerima sanjungan-sanjungan orang lain! Seorang yang dipuji-puji orang
lain, kepalanya menjadi seperti sebuah balon karet yang ditiup, penuh oleh
angin pujian sehingga kepalanya melembung besar dan dia merasa bahwa dialah
orang yang terpandai, terbaik dan segala macam ter! lagi. Dan kalau sudah
demikian, dia menjadi orang yang setolol-tololnya, sebodoh-bodohnya dan patut
dikasihani. Maka, seorang bijaksana akan selalau waspada akan semua kekurangan
dan kebodohan diri sendiri sampai saat kematian tiba, karena hanya dengan
kewaspadaan ini saja maka dia dapat melihat betapa bahayanya semua pujian yang
diterimanya dalam keadaan bagaimanapun juga.
Akan tetapi Ban Hwa Sengjin
terang tidak bijaksana. Dia sudah dihinggapi penyakit angkuh dan menganggap
diri sendiri orang terpandai di dunia ini. Dan memang ilmu kepandaiannya hebat
dan bahkan Sai-cu Kai-ong yang merupakan ahli waris dari ilmu keturunan yang
amat mujijat itu ternyata kalah kuat dibandingkan dengan Ban Hwa Sengjin
sehingga setelah lewat seratus jurus, Raja Pengemis itu terdesak hebat dan
dalam satu pertemuan tenaga ketika kedua tangan mereka bertemu, Sai-cu Kai-ong
terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Napasnya menjadi sesak dan
kepalanya pening, tanda bahwa dia telah mengalami luka walaupun tidak sangat
berat, akan tetapi dia harus berdiam diri. dan cepat mengumpulkan hawa murni
untuk menyembuhkan lukanya.
Siluman Kecil atau Suma Kian
Bu menyerahkan Kian Lee kepada Siauw-hong. Dia akan maju sendiri. Hati-hati,
Bu-te. Dia memang lihai sekali, aku sendiri pernah melawan dia dan hampir aku
celaka....! bisik Kian Lee kepada adiknya ketika dia diserahkan kepada
Siauw-hong untuk dipondong karena dia tidak kuat untuk berdiri sendiri. Kian Bu
mengangguk dengan sikap tenang
Jangan khawatir, Koko.!
Dengan langkah lebar dia lalu
menghampiri Ban Hwa Sengjin. Kcksu Nepal yang sudah memperoleh kemenangan itu
menjadi makin sombong sikapnya. Melihat bahwa yang maju hanya seorang pemuda,
tentu saja dia memandang rendah. Kakek yang berjuluk Raja Pengemis dan yang
benar-benar sakti tadi saja tidak kuat melawannya. Apalagi pemuda ini? Masih
begini muda, pantas menjadi anaknya, bahkan cucunya, biarpun rambut pemuda ini
sudah putih semua!
Kau mau apa?! tanyanya dengan
sikap memandang rendah.
Ban Hwa Senjin, kalau aku
mampu mengalahkanmu, bagaimana?! Kian Bu bertanya.
Kau? Mengalahkan aku?
Ha-ha-ha, tidak mungkin, orang muda!!
Kalau aku kalah, kami semua
menyerah kepadamu, Ban Hwa Sengjin. Akan tetapi, bagaimana kalau kau yang
kalah?!
Ha-ha, bocah lancang. Dengar
baik-baik. Kalau kau mampu mempertahankan diri terhadap seranganku selama dua
puluh jurus saja, biarlah aku mengaku kalah dan kalian boleh lewatt!
Engkau adalah Ban Hwa Sengjin,
jagoan besar dan koksu dari Kerajaan Nepal. Akan tetapi apakah omongan seorang
koksu dari Nepal dapat dipercaya sepenuhnya? Apakah nanti engkau tidak akan
menarik kembali omonganmu, menjilat kembali ludah yang telah dikeluarkan, dan
benar-benar kalau aku mampu mempertahankan diri terhadap seranganmu selama dua
puluh jurus, engkau mengaku kalah dan kami semua boleh lewat?! tanya Siluman
Kecil yang sengaja menekankan hal pelanggaran janji itu agar menyinggung
kehormatan koksu yang kelihatan lihai sekali ini.
Dan anak panah yang dilepaskan
berupa kata-kata ini tepat mengenai sasarannya. Wajah Ban Hwa Sengjin menjadi
merah sekali, seluruh muka sampai ke kepalanya yang botak menjadi merah,
semerah mantelnya dan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan. Dia menjadi
marah dan tersinggung.
Bocah bermulut lancang!
Kaukira, aku orang macam apa? Orang-orang seperti aku, janji lebih berharga
daripada nyawa, mengerti? Akan tetapi, sebaliknya kalau dalam dua puluh jurus
kau tidak mampu mempertahankan diri, kalau kau tidak sampai kupukul mampus,
engkau dan semua temanmu selain harus menyerah dan tunduk, juga harus mentaati
semua perintahku!!
Siluman Kecil diam-diam merasa
girang dan kini dia yakin bahwa tentu si botak tinggi besar ini tidak akan ada
muka lagi untuk melanggar janjinya sendiri. Baik, kalau sampai aku roboh
sebelum dua puluh jurus, engkau memang pantas menjadi kakek buyutku yang harus
kutaati!!
Nah, sambutlah ini jurus
pertama!! Ban Hwa Sengjin berseru, dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah
bergerak cepat ke depan, demikian cepat gerakannya sehingga mantelnya yang
merah itu sampai berkibar di belakangnya seperti layar perahu tertiup angin.
Kedua tangannya sudah melancarkan serangan dahsyat sekali, tangan kiri
membentuk cakar garuda mencengkeram ke arah batok kepala Siluman Kecil atau
Kian Bu, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka menghantam ke
arah dada! Cakaran tangan kiri itu kelihatannya amat menyeramkan dan agaknya
kalau mengenai kepala, akan remuklah kepala itu, dan dilakukan dengan amat
cepat sedangkan tangan kanan yang menghantam ke arah dada itu sebaliknya
gerakannya lambat dan perlahan. Namun, Kian Bu yang sejak kecil menerima
gemblengan ilmu-ilmu yang amat tinggi sudah tahu bahwa cakaran itu hanya
merupakan kembangan saja atau gertakan, sedangkan serangan yang sesungguhnya
dan merupakan inti pukulan adalah yang dilakukan oleh tangan kiri itu, karena
tangan kiri kakek raksasa itu melakukan pukulan yang mengandung tenaga mujijat
yang dapat disebut Hun-kin Coh-kut (Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang).
Kalau pukulan itu mengenai dadanya dengan tepat, tentu akan, copot semua tulang
iganya!
Karena maklum akan hebatnya
serangan jurus pertama inj, Kian Bu cepat melindungi dirinya dengan Ilmu Silat
Sin-coa Kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti). Kedua lengannya bergerak cepat dan
meliuk-liuk seperti gerakan ular dan tubuhnya juga dapat meliuk cepat, sekali
sehingga tidak sukarlah baginya untuk mengelak dan menangkis dua lengan lawan
itu dari samping dengan meminjam tenaga pukulan lawan. Ilmu Silat Sin-coa
Kun-hoat ini adalah merupakan satu di antara banyak ilmu-ilmu silat yang tinggi
dari ibunya, yaitu Puteri Nirahai, yang telah diwariskan kepada Kian Bu. Tentu
saja, gerakan ilmu silat yang bagaimana tinggi pun tidak akan banyak manfaatnya
tanpa dilandasi tenaga sinkang yang kuat, maka gerakan Sin-coa Kun-hoat ini
oleh Kian Bu didorong dengan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang panas.
Plak-plak....!! Kedua lengan
kakek raksasa botak itu kena ditangkis sehingga menyeleweng karena tangkisan
dari samping itu mendorong tenaga serangannya dan dia merasa kedua lengannya
panas sekali.
Ehhh....!! Ban Hwa Sengjin
terkejut. Kalau pemuda itu hanya dapat mengelak atau menangkis serangannya yang
pertama itu, tidaklah amat mengejutkan karena seorang pemuda yang sudah berani
menghadapinya tentulah mempunyai juga sedikit kepandaian. Akan tetapi,
tangkisan pemuda itulah yang membuat dia tanpa disadarinya mengeluarkan seruan
kaget karena dia merasakan adanya tenaga mujijat yang panas sekali menyerang
dirinya melalui pertemuan kedua lengan itu.
Sebagai seorang yang sudah
berpengalaman banyak, Ban Hwa Sengjin segera dapat mengenal sifat gerakan
lawan. Dia mengenal ilmu silat yang mendasarkan gerakannya dan sifatnya dengan
sifat dan gerakan ular. Semua ilmu silat yang mendasarkan gerakan dan sifatnya
dengan ular adalah gerakan yang memupuk tenaga Khi (hawa) yang dilatih dengan
aturan pernapasan. Karena tenaga Khi inilah maka seekor ular kelihatan lunak
dan lembut tanpa tenaga kalau tubuhnya menyentuh sesuatu, akan tetapi dia dapat
menarik kekuatan hebat luar biasa setiap saat! Seperti baja yang terbaik, dapat
menjadi benda yang paling keras, akan tetapi juga dapat dibuat menjadi kawat
yang paling lembut dan lemas. Gerakan ilmu silat ular amat lemas dan cekatan,
terus-menerus bergerak lembut namun kuat. Kedua jari telunjuk dan jari tengah
mematuk-matuk seperti lidah ular dan merupakan serangan totokan yang ampuh.
Karena sudah mengenal sifat
Sin-coa Kun-hoat, maka Ban Hwa Sengjin tahu bagaimana harus menghadapinya.
Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, seperti seekor burung garuda hendak
menyerang seekor ular dia menerjang dan menyerang Kian Bu dengan jurus yang ke
dua.
Akan tetapi, Kian Bu adalah
seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat cara penyerangan lawan, dia pun maklum
bahwa menggunakan Sin-coa Kun-hoat untuk menyambut serangan dari atas itu amat
berbahaya, maka secara otomatis dia sudah mengubah gerakan tubuhnya, kini dia
bergerak menurut Ilmu Silat Pat-mo Kun-hoat, juga ilmu warisan dari ibunya yang
memang kaya dengan segala macam ilmu silat itu. Gerakannya menjadi kacau-balau
tidak karuan, membingungkan lawan akan tetapi di dalam kekacauan ini terdapat
gerakan inti yang amat tertib.
Des-des-plakkk!! Kini tubuh
Ban Hwa Sengjin yang masih di udara itu terpental dan dia meloncat turun dengan
mata terbelalak lebar dan muka makin merah karena penasaran dan marahnya.
Ternyata jurus ke duanya itu dihancurkan oleh pemuda itu dengan amat mudah dan
aneh sekali, seolah-olah pemuda itu tahu ke mana dia hendak menyerang dan
mendahuluinya dengan tusukan sehingga terpaksa dia menangkis sampai dua kali
dan akhirnya terpental karena tahu bahwa kalau dia tidak cepat-cepat menjauhkan
diri, dia malah yang terancam bahaya, maka dalam pertemuan tangkisan berikutnya
dia telah meminjam tenaga lawan dan melemparkan dirinya ke belakang sehingga
terpental.
Hemmm, kau boleh juga!!
katanya dengan tenang untuk menutup rasa kagetnya, kemudian sambil mengeluarkan
suara menggereng seperti seekor harimau terluka, dia sudah menyerang dan kini
dia bergerak cepat sambil memutar tubuhnya seperti gasing! Itulah ilmunya yang
amat diandalkan oleh koksu dari Nepal ini. Ilmu ini adalah ilmu yang dinamakan
Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) yang diumpamakan seperti mengamuknya
angin taufan yang mengandung angin puyuh berputaran, seperti badai dahsyat yang
amat mengerikan. Dan memang hebat bukan main gerakan dari kakek botak ini.
Tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua lengannya yang panjang bergerak-gerak
dan dalam putaran itu seolah-olah kedua tangan telah berubah menjadi puluhan
maut yang amat cepat tidak terduga dan dari gerakan memutar itu meniup angin
yang seperti angin puyuh ke arah lawan. Hebat bukan main dan bahkan Suma Kian
Bu sendiri sampai terkejut sekali. Selama ini, baru dua kali dia bertemu lawan
yang benar-benar amat hebat, yaitu yang pertama adalah Sin-siauw Seng-jin yang
mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Sakti Suling Emas, dan ke dua adalah koksu
dari Nepal inilah. Tentu saja perlawanannya ketika menghadapi kakaknya sendiri
tidak masuk hitungan.
Agaknya Ban Hwa Sengjin
setelah melihat kelihaian lawan selama dua jurus tadi, merasa khawatir
kalau-kalau dia sampai kalah, maka langsung saja dia mainkan ilmu silat kosong
yang menjadi andalannya itu untuk mencoba merobohkan lawan. Dan memang Kian Bu
menjadi kaget sekali. Masih banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya,
baik yang diwarisi dari ayahnya maupun dari ibunya. Namun dia maklum bahwa
menghadapi ilmu silat lawan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia tidak boleh
percaya kepada ilmu-ilmu silat lain yang dikuasainya, karena hal itu dapat
membahayakan dirinya. Sukar sekali untuk menghadapi serangan dari bayangan yang
berpusing seperti gasing itu sehingga dia tidak lagi dapat melihat jelas bagian-bagian
tubuh lawan, bahkan serangan-serangan lawan yang mencuat dari pusingan itu
sukar pula diduga-duga. Maka terdengarlah suara melengking dari mulut Siluman
Kecil ini dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat dan lenyap dari pandangan para
pengikut Ban Hwa Sengjin dan yang lain-lain. Demikian cepatnya gerakan Kian Bu
yang tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti kilat menyambar-nyambar sehingga
sukar diikuti oleh pandangan mata. Itulah ilmunya yang baru, ilmu ciptaannya
sendiri yang disebut Sin-ho-coanin. Dengan gerakan seperti itu, semua serangan
dari Ban Hwa Sengjin menjadi gagal!
Ban Hwa Sengjin amat terkejut.
Setiap kali tubuhnya yang berpusing itu menyerang dengan pukulan tangan yang
cepat tak terduga, tiba-tiba saja tubuh lawan itu melesat dan lenyap! Dan
berturut-turut dia telah menyerang sampai sembilan belas jurus! Kurang satu
jurus lagi dan dia akan kalah! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda
yang selain lihai sekali, juga amat cerdik. Pemuda itu sama sekali tidak mau
balas menyerang! Dengan demikian, pemuda itu dapat memusatkan seluruh
perhatiannya pada perlindungan diri saja sehingga akan dapat melewati dua puluh
jurus dan tidak dapat dirobohkan, berarti menang! Kalau pemuda itu balas
menyerang, tentu pertahanan dirinya menjadi berkurang kuatnya, akan tetapi satu
kalipun Kian Bu tidak mau membalas serangan lawan.
Tentu saja Ban Hwa Sengjin
menjadi khawatir sekali. Tentu kalah dia kalau dalam jurus terakhir ini dia
tidak mampu mengalahkan atau merobohkan pemuda ini. Dia harus menggunakan
sihirnya! Dari sepasang matanya memancarkan cahaya amat aneh berpengaruh, dia
menarik napas panjang mengumpulkan kekuatan mujijat lalu terdengar suara yang
dalam dan berpengaruh sekali, mengandung kumandang aneh, berseru, Lihat nagaku
menerkammu!!
Kian Bu terkejut bukan main
dan terbelalak memandang ke atas ketika tiba-tiba saja dia melihat seekor naga
hitam yang menyemburkan api menyerangnya dari atas udara. Tentu saja menghadapi
ancaman hebat ini, seluruh perhatiannya tercurah ke atas dan dia tidak tahu
bahwa pada saat itu Ban Hwa Sengjin siap melancarkan serangan jurus terakhir!
Semua orang, termasuk Kian Lee, menjadi khawatir sekali melihat adiknya itu
tiba-tiba saja berdiri bengong memandang terbelalak ke atas, seolah-olah tidak
lagi mempedulikan lawannya yang sudah siap untuk menerjangnya!
Akan tetapi, tiba-tiba
terdengar suara ketawa, tertawa merdu halus akan tetapi juga nyaring dan
mengandung pengaruh yang mujijat. Lalu oleh Kian Bu yang seperti baru sadar
ketika mendengar suara ketawa itu, tampak seekor naga merah yang menyambar dan
menerkam naga hitam itu. Terdengar suara keras dan naga hitam itu lenyap
bersama naga merah dan sadarlah Kian Bu bahwa dia berada di bawah pengaruh
sihir. Marahlah Siluman Kecil dan dia mengerahkan seluruh tenaga yang ada
padanya, menggabungkan tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, lalu dia
menyambut kakek itu yang sudah menyerangnya dengan ganas, serangan dari jurus
terakhir!
Desss....!! Ban Hwa Sengjin
terpental dan terbanting roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Untung dia
memiliki tenaga mujijat karena kalau tidak, tentu dia sudah mengalami luka-luka
seperti tersiram air panas seperti yang diderita oleh Kian Lee. Dia hanya
terbanting roboh dan pingsan saja, sebagian besar karena terpukul oleh kekuatan
mujijatnya sendiri yang dipergunakan untuk menyihir dan ternyata membalik
karena campur tangan wanita yang mengeluarkan suara ketawa tadi.
Kian Bu cepat menengok ke
kanan dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang berdiri
lemas seperti batang pohon yang-liu, dan mulutnya tersenyum mengejek memandang
kepadanya, seorang yang cantik manis, pakaiannya serba indah dan di bawah
ketiak kirinya mengempit sebuah payung hitam. Dia merasa seperti pernah
mengenal dara ini, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Karena dia menduga bahwa
tentu gadis ini yang telah menolongnya tadi dari bahaya maut akibat pengaruh
sihir, maka dia lalu menjura ke arah gadis itu sambil berkata, Terima kasih!!
Akan tetapi pada saat itu, Sai-cu Kai-ong sudah cepat berkata, Mari kita cepat
pergi dari sini!! dan dia sudah mendahului Kian Bu dengan menggendong Pangeran
Yung Hwa. Kian Bu sadar bahwa memang mereka harus cepat pergi selagi Ban Hwa
Sengjin yang lihai itu tidak berdaya, maka dia pun segera berkata kepada Siauw
Hong, Cepat kau ikuti Suhumu, biar aku yang menjaga dari belakang.!
Siauw Hong mengangguk dan
sambil memondong tubuh Kian Lee, pemuda remaja ini pun cepat berlari pergi
mengejar suhunya, sedangkan Kian Bu berlari paling belakang untuk menjaga dua
orang yang memondong Pangeran Yung Hwa dan kakaknya itu. Akan tetapi setelah
melihat Ban Hwa Sengjin roboh, dan mengenal pula Siluman Kecil, para pengawal
Gubernur Ho-nan itu sama sekali tidak berani bergerak dan membiarkan mereka
pergi.
Gadis cantik jelita yang tadi
tersenyum-senyum, sekali berkelebat juga lenyap dari situ. Gadis ini tentu saja
bukan lain adalah Siang In! Seperti kita ketahui, gadis ini masih terus mencari
Syanti Dewi yang lenyap dari puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san, dari
sarang Hwa-i-kongcu Tang Hun secara aneh, dan kebetulan saja dia menyaksikan
pertandingan hebat antara Siluman Kecil dan koksu dari Nepal itu. Andaikata
koksu itu tidak mempergunakan ilmu sihir, tentu Siang In tidak akan mencampuri
pertandingan hebat itu, bahkan dia sendiri menonton dari kejauhan dengan kagum
sekali karena maklum, bahwa yang sedang bertanding itu adalah dua orang yang
memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri.
Akan tetapi begitu melihat kakek raksasa botak itu mempergunakan ilmu hitam,
tentu saja hatinya tertarik dan dia menjadi penasaran maka tanpa diminta dia
lalu turun tangan membuyarkan pengaruh sihir itu. Bukan sengaja untuk mendukung
orang muda yang rambutnya putih dan aneh itu, melainkan hanya karena dia selalu
tertarik oleh pertunjukan ilmu sihir karena dia sendiri adalah seorang ahli
sihir! Dia pangling terhadap Kian Bu karena pemuda itu kini rambutnya sudah
menjadi putih semua dan dia pun hanya melihat wajah pemuda itu dari jarak yang
cukup jauh. Padahal, telah lama dia mencari pemuda ini!
Akhirnya tibalah mereka di
perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Sai-cu Kai-ong dari kota raja itu.
Legalah hati Sai-cu Kai-ong karena kini dia yakin bahwa dia telah berhasil
menyelamatkan Pangeran Yung Hwa dari bahaya maut. Maka begitu mereka tiba di
ruangan dalam dari kemah induk yang ditinggali oleh Sai-cu Kai-ong, kakek yang
gagah perkasa ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Yung Hwa
untuk memberi hormat.
Dengan hati terharu pangeran
yang rendah hati dan selalu ramah ini memeluk dan mengangkat bangun kakek itu
sambil berkata, Locianpwe, jangan menggunakan terlalu banyak sikap sungkan
terhadap saya. Pada saat ini saya hanyalah seorang yang telah berhutang budi
dan nyawa kepada kalian semua. Sebaiknya Locianpwe cepat-cepat menolong Suma
Kian Lee yang terluka parah itu.!
Sai-cu Kai-ong mengangguk dan
merasa girang karena kini dia memperoleh kenyataan akan kebenaran berita di
luaran tentang sikap Pangeran Yung Hwa yang bijaksana dan baik terhadap siapa
saja. Di samping merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membantu
kerajaan, juga dia merasa girang telah membantu seorang pangeran yang begitu
menyenangkan sikapnya. Cepat dia lalu menghampiri Kian Lee yang sudah
direbahkan di atas pembaringan dan cepat dia melakukan pemeriksaan dengan
teliti. Setelah melakukan pemeriksaan agak lama, Sai-cu Kai-ong lalu berkata
kepada Kian Bu yang mengikuti pemeriksaan itu penuh perhatian.
Taihiap, sungguh baru satu
kali ini aku melihat kehebatan-kehebatan yang amat luar biasa. Akibat pukulan
darimu amat mengerikan, akan tetapi daya tahan kakakmu ini juga amat luar
biasa. Kalau bukan dia yang mengalami pukulan seperti ini, agaknya dia akan
kehilangan seluruh sumber tenaga murninya dan akan menjadi seorang penderita
cacad selama hidupnya
Ahhh, Locianpwe....!! Kian Bu
cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Harap Locianpwe sudi
mengusahakan agar kakakku dapat sembuh....!! Dia berkata dengan muka pucat dan
hati menyesal bukan main.
Sai-cu Kai-ong tersenyum dan
membangunkan pemuda itu. Jangan khawatir, Taihiap. Kakakmu ini memiliki dasar
kekuatan yang tidak lumrah manusia berkat sinkang yang selama hidup belum
pernah kusaksikan demikian kuatnya sehingga dia hanya mengalami luka yang tidak
membahayakan nyawanya. Akan tetapi, luka itu kalau kuobati dengan obat-obat
biasa, akan memakan waktu berbulan-bulan. Hanya ada semacam obat yang kutahu
akan dapat menyembuhkannya secara cepat sekali, akan tetapi aku sangsi apakah
kita akan dapat memperoleh obat itu....!
Di mana tempatnya? Locianpwe,
aku sendiri akan mencari obat itu!! Kian Bu berseru.
Kakek itu mengerutkan alisnya,
Obat itu adalah semacam jamur yang amat mujijat dan tidak ada ke duanya di
dunia ini. Jamur panca warna yang hanya nampak warnanya kalau berada di tempat
gelap, karena di dalam tempat gelap itu jamur ini mengeluarkan sinar mencorong
dan kelihatanlah warnanya seperti warna pelangi. Kalau terkena sinar terang,
jamur itu menutupkan kelopaknya seperti jamur mati dan hanya di waktu gelap
saja dia mekar, mengeluarkan sinar dan warnanya.!
Kian Bu mengangguk-angguk.
Sudah saya catat dalam hati tentang keadaan jamur itu, Locianpwe, lalu di mana
tempatnya?!!Itulah sukarnya. Aku sendiri pun belum pernah ke sana, dan hanya
mendengar penuturan seorang pendeta yang pernah tersesat ke sana. Tempat itu
agaknya tidak mungkin didatangi orang. Pernah aku sendiri mencapai tebing itu,
akan tetapi tidak melihat jalan turun saking terjal dan licinnya. Akan tetapi,
melihat kesaktian Taihiap, siapa tahu kalau-kalau Taihiap dapat menuruninya.
Pendeta yang kini telah meninggal itu pun hanya karena tersesat saja, karena
kecelakaan dan terguling ke dalam jurang lalu mencoba mencari jalan keluar,
maka dapat tiba di tempat itu dan dia pun sudah tidak tahu lagi bagaimana dia
dapat sampai ke tempat itu. Dialah yang membawa jamur aneh itu dan memberikan
kepadaku, sayang bahwa jamur itu sudah habis kupakai mengobati orang.
Tempatnya di tepi Sungai
Huang-ho. Mari kubuatkan gambaran petanya.!
Kakek yang gagah perkasa itu
lalu memberi petunjuk kepada Kian Bu tentang letaknya tebing yang curam di
pegunungan dekat muara Sungai Huang-ho itu sampai pemuda ini jelas benar akan
tempat yang hendak dikunjunginya untuk mencarikan obat bagi kakaknya. Setelah
merasa yakin bahwa dia akan dapat mencari tempat itu, Kian Bu lalu berpamit
kepada kakaknya.
Lee-ko, harap tenangkan
hatimu. Aku akan mencarikan obat jamur panca warna itu untukmu, dan percayalah,
aku pasti akan bisa mendapatkan jamur itu. Harap kau baik-baik menjaga diri dan
biarlah Sai-cu Kai-ong locianpwe yang akan merawatmu.!
Kian Lee memegang tangan
adiknya. Jangan terlalu lama, Bu-te. Kita belum puas bicara, bahkan aku belum
tahu bagaimana riwayatmu sehingga selama lima tahun engkau menghilang dan
tahu-tahu rambutmu telah menjadi putih semua dan ilmu kepandaianmu meningkat
sedemikian hebatnya,! kata Kian Lee dengan pandang mata penuh kasih sayang
kepada adiknya.
Nanti saja kalau aku sudah
kembali kita bicara sebanyaknya, Koko. Yang terpenting sekarang adalah obat
untukmu.!
Suma-taihiap, kalau engkau
kembali dan melihat kami sudah tidak berada di sini, berarti pasukan kami telah
ditarik mundur kembali ke kota raja dan aku akan membawa kakakmu ke tempat
tinggalku di puncak Bukit Nelayan untuk beristirahat dan diobati. Kami
mempunyai pondok di sana, di puncak Bukit Nelayan di tepi sungai, sebelah
selatan kota Pao-teng.!
Hati-hatilah mencari obat yang
amat sukar didatangi tempatnya itu, Taihiap,! kata Pangeran Yung Hwa yang hadir
pula di situ. Apakah perlu kiranya kau dikawal oleh pasukan? Mereka dapat
membantumu
Terima kasih, saya kira tidak
perlu,! jawab Kian Bu.
Maka berangkatlah pemuda
perkasa ini meninggalkan perkemahan pasukan itu, menggunakan kepandaiannya
berlari cepat sekali menuju ke tempat yang telah digambarkan oleh Sai-cu
Kai-ong kepadanya. Apapun yang akan dihadapinya, apa pun yang akan menimpanya,
dia harus mendapatkan obat untuk kakaknya itu, demikian dia mengambil keputusan
di dalam hatinya.
***
Para pembaca yang pernah
mengikuti pengalaman-pengalaman pendekar sakti Gak Bun Beng di waktu dia masih
kecil, yaitu dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, mungkin masih ingat ketika
pendekar sakti itu di waktu masih kecil terlempar ke dalam air Sungai Huang-ho
yang amat deras, kemudian dia diseret oleh pusaran air, disedot ke bawah dan dihanyutkan
melalui terowongan aneh sampai dia mendarat di lambung gunung! Terowongan yang
menembus dalam tubuh gunung itu merupakan terowongan maut dan hanya secara
kebetulan! saja dia dapat selamat dan tiba di tempat yang luar biasa anehnya,
tempat yang penuh dengan binatang setengah kera setengah anjing (baboon) di
mana dia menemukan sepasang pedang iblis dan kitab-kitab Sam-po Cin-keng yang
mujijat.
Di tempat luar biasa itulah
adanya jamur panca warna yang dimaksudkan oleh Sai-cu Kai-ong. Dan memang benar
seperti yang dituturkan oleh Sai-cu Kai-ong, tempat itu tidak pernah atau tidak
mungkin didatangi manusia. Pendeta Buddha yang kebetulan dapat tersesat ke situ
adalah seorang hwesio pencari daun-daun obat yang hanya kebetulan saja dapat
tiba di situ. Hwesio ini ketika sedang mencari obat di tebing dan menginjak
sebuah batu telah tergelincir dan dia terjatuh ke dalam jurang yang amat terjal
itu. Akan tetapi secara aneh, tubuhnya yang pingsan itu diterima! oleh sebatang
pohon yang tumbuh di tebing. Tubuh itu ditangkap oleh cabang, ranting dan
daun-daun pohon dan pohon kecil itu jebol, terbawa melayang turun dan akhirnya
setelah mencelat ke sana-sini, tubuh itu terjatuh ke air! Itulah air anak
sungai yang terbentuk dari air hujan dan yang mengalir masuk ke air terowongan
yang dulu menghanyutkan pendekar sakti Gak Bun Beng! Dan karena kebetulan yang
luar biasa ini hwesio itu dapat berada di situ. Setelah siuman dia lalu mencari
jalan keluar, menemukan jamur panca warna yang belum diketahui khasiatnya dan
hanya diambil karena sifatnya yang luar biasa. Setelah dia berusaha mati-matian
sampai berbulan dan sampai lupa jalan, akhirnya dapat juga dia keluar dari
tebing maut itu, melalui perjalanan yang amat jauh dan yang tidak dapat
diingatnya kembali karena perjalanan itu menyusup-nyusup, naik turun jurang
kecil dan memakan waktu sampai sebulan lebih baru dia dapat keluar! dari sana!
Akan tetapi Kian Bu yang
berjuluk Siluman Kecil bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang pemuda
yang telah memiliki kepandaian amat hebat. Maka setelah dia tiba di tempat yang
dimaksudkan, dia menjenguk ke tepi tebing dan mengerutkan alisnya. Memang tidak
mungkin bagi seorang manusia untuk menuruni tebing itu, tepat seperti yang
dikatakan oleh Sai-cu Kai-ong. Agaknya keturunan pengemis sakti pendiri
Khong-sim Kai-pang itu telah pula berdiri di tepi tebing ini, pikir Kian Bu.
Dia sendiri kalau dalam keadaan biasa, tentu lebih baik cepat-cepat menjauhkan
diri dari tebing itu, apalagi harus mencari jalan turun! Akan tetapi dalam keadaan
seperti saat itu, untuk mencarikan obat bagi kakaknya, jangankan hanya tebing
yang curam, biar lautan api pun tentu akan ditempuhnya!
Dengan mempergunakan ketajaman
pandang matanya, Kian Bu dapat mengerti mengapa tidak mungkin ada orang dapat
menuruni tebing itu. Kalau hanya curam saja, asalkan ada tempat untuk berpijak
kaki dan berpegang tangan, pasti dia akan mampu menuruninya, betapa terjal
sekalipun. Atau biarpun amat terjal, kalau dia sudah tahu bagaimana keadaan
dasar tebing itu, tentu dia pun akan berani mempergunakan ilmunya
Sin-ho-coan-in untuk berloncatan ke bawah dengan menggunakan dinding tebing
sebagai penahan luncuran dan tempat menjejakkan kakinya. Akan tetapi tanpa
mengetahui keadaan dasar tebing, padahal tenaga luncuran berat tubuhnya tentu
akan luar biasa kuatnya dari tempat setinggi itu, berarti mempertaruhkan nyawa
secara konyol. Dia dapat pula menggunakan Ilmu Pek-houw-yu-jong (Cecak
Bermain-main di Tembok) dengan sinkang yang mengeluarkan daya sedot pada kaki
tangannya yang telanjang untuk merayap menuruni tebing. Akan tetapi tentu saja
ilmu itu hanya dapat dipergunakan untuk pendakian yang tidak begitu tinggi atau
penurunan yang tidak securam tebing ini. Dia tentu sudah akan kehabisan tenaga
sebelum mencapai seperempat jarak tebing itu dan kehabisan tenaga berarti akan
melayang jatuh dan mati dalam keadaan tubuh hancur lebur! Menggunakan tali?
Mana mungkin mencari tali yang panjangnya seperti itu? Pula, merayap turun ke
tebing menggunakan tali berarti menggantungkan nyawa pada tali itu, padahal
tali itu terikat di atas tebing. Sekali bacok saja tali di atas tebing itu oleh
musuh, nyawanya akan melayang.
Kian Bu duduk termenung di
tepi tebing dengan alis berkerut. Betapapun juga, dia tidak akan menyerah
begitu saja! Dia harus mencari akal dan kembali dia menjenguk ke bawah. Memang
terjal bukan main sampai dia tidak dapat melihat jelas keadaan di bawah sana.
Jangankan seorang manusia, bahkan seekor monyet sekalipun kiranya tidak akan
mungkin menuruni tebing ini, pikirnya. Kadang-kadang ada kabut melayang di
bawah sehingga menutupi keadaan bawah tebing sama sekali. Tiba-tiba dia melihat
seekor burung terbang melayang. Seekor burung walet hitam dan dia memandang
dengan penuh iri. Kalau aku bersayap seperti burung itu! Alangkah akan mudahnya
menuruni tebing ini, pikirnya. Jangankan baru tebing ini, biar naik ke langit
pun tiada sukarnya bagi seekor burung yang bersayap!
Kembali dia menjenguk ke
bawah, bahkan tubuh atasnya condong ke tepi tebing. Dia tidak melihat bahwa ada
bayangan hitam berkelebat di belakangnya. Kalau saja perhatiannya tidak
tercurah sepenuhnya ke bawah tebing dan untuk mencari jalan turun ke bawah,
tentu pendengarannya yang sudah terlatih dan menjadi tajam luar biasa berkat
sinkangnya itu akan dapat menangkap gerakan si bayangan hitam ini, betapapun
cekatan dan ringan gerakan si bayangan hitam ini.
Heiii, jangan coba bunuh
diri....!! Tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring itu yang membuat Kian
Bu terkejut bukan main. Dalam keadaan melamun dan menjenguk ke dalam tebing
seperti itu lalu tiba-tiba mendengar bentakan yang demikian nyaring,
benar-benar amat membahayakan. Seorang yang lemah jantungnya tentu akan
terperanjat dan dapat saja terjungkal ke dalam jurang! Dia cepat membalikkan
tubuhnya dan matanya terbelalak memandang, kemudian dia mengerutkan alisnya
dengan hati mengkal. Kiranya di situ telah berdiri gadis cantik jelita
berpakaian serba hitam yang membawa-bawa ular dahulu itu, yang pernah
menyerangnya kalang-kabut hanya karena berbeda pendapat tentang diri Cui Lan
dan karena menyangka bahwa dia mengejar-ngejar gadis ini!
Setelah dia membalik, gadis
itu pun terkejut, lalu tersenyum mengejek. Begitu tersenyum, seketika tercipta
dua lesung pipit di kanan kiri bibirnya. Manis bukan kepalang! Lalu bibir itu
merekah membentuk senyum sehingga deretan gigi kecil yang putih bersih berkilau
sesaat di antara belahan bibir yang merah basah. Cantik sekali!
Ya ampuuunnnnnn....! Kiranya
engkau ini? Aha, kalau begitu lanjutkan usahamu itu, Siluman Kecil. Lanjutkan
selagi aku menjadi saksi di sini. Aihhh, betapa akan senangnya menjadi orang
satu-satunya yang menyaksikan betapa Siluman Kecil yang tersohor itu ternyata
hanyalah seorang laki-laki yang berhati kecil pula seperti julukannya, seorang
pengecut yang mudah patah hati, seorang laki-laki cengeng yang mudah mendapat
dorongan hasrat untuk membunuh diri. Hi-hik, teruskanlah bunuh diri di depanku,
aku akan senang sekali!!
Kian Bu bangkit berdiri dan
memandang dengan melongo, lalu dia maju beberapa langkah, memandang wajah cantik
jelita dan manis itu penuh selidik. Melihat sinar mata, yang mencorong dari
pemuda berambut putih itu, diam-diam gadis itu bergidik. Gadis itu tentu saja
adalah Hwee Li, puteri ketua Pulau Neraka!
Ihhh! Kenapa kau memandang aku
seperti itu?! bentaknya dengan suara dibikin galak untuk menutupi rasa
ngerinya. Dia sebenarnya merasa ngeri terhadap pemuda berambut putih ini yang
dia tahu memiliki kepandaian amat tinggi sehingga dia sama sekali tidak akan
mampu menang melawannya. Kalau dia bersikap angkuh dan berani, hal itu hanya
dilakukan agar dia jangan dipandang rendah saja! Memang, biarpun dia sudah
dewasa, Hwee Li masih belum dapat menghilangkan sifat kekanak-kanakannya.
Suma Kian Bu dahulunya adalah
seorang pemuda yang berwatak penuh keriangan, gembira dan jenaka, juga bengal
dan pandai bicara, pandai berdebat dan suka menggoda orang (baca cerita Kisah
Sepasang Rajawali). Setelah dia mengalami pukulan batin karena cinta kasihnya
terhadap Puteri Syanti Dewi menemui kegagalan dan kekecewaan, kemudian ditambah
lagi oleh latihan ilmu penggabungan tenaga Im dan Yang dari Pulau Es yang
membuat rambutnya mengalami perubahan warna, dia menjadi seorang pendiam yang
penuh rahasia. Pendiam karena dia seperti terbenam dalam tumpukan kedukaan dan
kekecewaan yang membuat dia menjadi pemurung, kadangkadang ganas akan tetapi
tentu saja sebagai seorang yang berjiwa satria, keganasannya hanya ditujukan
kepada kaum penjahat saja. Kini dia telah berjumpa dengan kakaknya dan hal ini
membangkitkan atau setidaknya sedikit membongkar sifatnya yang tadinya sudah
tertimbun oleh kedukaan itu, mengingatkannya akan keluarganya sehingga timbul
kembali gairah hidupnya. Kini, bertemu dengan gadis berpakaian hitam yang amat
lincah jenaka dan galak ini sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan
wajahnya mulai agak berseri, seolah-olah mulai ditanggalkanlah sedikit demi
sedikit topeng kedukaan yang selama ini menutupi wajah aselinya.
Nona, apakah otakmu miring?!
Tiba-tiba Kian Bu yang sudah mulai menemukan! kembali sifat kegembiraannya itu
bertanya sambil memandang tajam. Dia bukan sekedar menggoda atau balas
mengejek, melainkan bertanya sungguh-sungguh karena memang dia mulai menyangka
dengan perasaan sayang bahwa gadis yang demikian cantik jelita dan
berkepandaian tinggi itu agaknya gila. Buktinya, dulu pun sudah mencari
keributan dengan dia untuk perkara yang bukan-bukan saja, dan sekarang
bicaranya begitu tidak karuan!
Hwee Li merasa seperti disengat
kalajengking ketika mendengar pertanyaan itu. Ada rasa kaget, heran akan tetapi
marahlah yang lebih besar menguasainya sehingga biarpun matanya terbuka lebar
amat indahnya, namun bibirnya cemberut meruncing dan sepasang alis yang hitam
kecil panjang itu berkerut.
Siluman Gila! Engkau adalah
seorang gila, bunuh diri merupakan perbuatan gila, dan kau masih mengatakan
orang lain gila. Sungguh gila!! Hwee Li memberi tekanan kepada setiap kata
gila! sehingga dia seolah-olah telah membalas dengan makian gila kepada Siluman
Kecil sampai empat kali gila!
Melihat cara gadis ini
melampiaskan rasa mendongkolnya, Kian Bu tak dapat menahan diri lagi dan dia
tersenyum. Senyum pertama semenjak dia berjuluk Siluman Kecil! Sebelum ini,
kalau toh dia tersenyum, maka senyumnya itu tentulah hanya senyum untuk
bersopan-sopan saja, senyum paksaan. Akan tetapi baru sekali ini dia tersenyum
yang terdorong oleh kegembiraan hati.
Nona ular....!
Engkau makin kurang ajar!!
Hwee Li membanting kaki kanannya.
Harus disebut apa kalau tidak
mau dinamakan nona ular? Engkau ke mana-mana membawa ular yang menjijikkan!!
Tidak lebih menjijikkan
daripada manusia, apalagi yang gila seperti engkau!! Hwee Li balas menyerang.
Hemmm....kau mengingatkan aku
akan sebuah syair....!
Wah, orang gila mau bersyair,
coba kudengarkan sampai di mana kegilaannya!!
Manusia adalah mahluk gila
yang tidak mengenal kegilaannya!
Yang gila mengaku waras yang
waras dimaki gila!