Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Bab 15 - Raja Gembel
Laki-laki berlengan buntung
itu bukan hanya terkejut melihat sinar mata berkilat dari Siluman Kecil, juga
dia terkejut dan kagum sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa orang
berambut putih yang memiliki kepandaian demikian dahsyatnya, yang memiliki
gerakan yang demikian cepat dan mujijatnya, ternyata masih amat muda. Hal ini
dapat dia lihat dari sebagian muka yang tidak tertutup oleh rambut putih
riap-riapan itu. Tadinya melihat kelihaian orang itu dan melihat rambutnya yang
putih, dia mengira bahwa tentu orang itu sudah tua dan merupakan seorang
locianpwe yang sakti. Siapa mengira bahwa orang itu ternyata masih amat muda,
hanya rambutnya yang sudah putih semua. Siluman Kecil sebaliknya terkejut dan
kagum karena orang yang lengannya buntung sebelah itu memiliki sinar mata yang
mencorong seperti mata harimau atau naga. Sejenak mereka beradu pandang,
akhirnya keduanya mengangguk, terdorong oleh rasa kagum dan hormat.
Sungguh hebat sekali ilmu
kepandaian saudara, terutama ilmu ginkang tadi. Saya amat kagum melihatnya,!
kata laki-laki berlengan sebelah itu.
Hemmm.... tidak ada artinya
kalau dibandingkan dengan kepandaian saudara!! jawab Siluman Kecil sambil
menggerakkan kepala sehingga makin banyak rambutnya yang menutupi muka, dan dia
bangkit berdiri.
Ah, saudara terlalu
merendahkan diri,! kata Si lengan satu.
Tidak, saya berkata
sungguh-sungguh. Caraku menghadapi peluru-peluru tadi hanya dengan mengelak
terus sambil mencari kesempatan untuk membekuknya. Akan tetapi saudara telah
langsung menghadapi peluru-peluru tadi dan merampas semua peluru sebelum
meledak. Cara saya tadi menimbulkan korban kepada orang-orang lain ketika
peluru meledak, tentu saja cara saudara lebih tepat dan lebih baik. Ilmu
saudara tadi sungguh mengagumkan!! Kembali Siluman Kecil menjura dengan setulus
hatinya karena harus dia akui bahwa selain Sin-siauw Seng-jin kakek yang
mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, belum pernah dia bertemu orang yang
kepandaiannya sehebat si lengan satu ini.
Ah, saudara terlalu memuji dan
terlalu merendahkan diri, sungguh makin mengagumkan hati saya!! kata Si lengan
satu sambil memandang penuh selidik dan benar-benar merasa kagum sekali.
Siluman Kecil tidak
mengacuhkannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri Boan-wangwe,
berkata dengan nada mengancam, Manusia kejam! Kalau engkau tidak lekas
mengeluarkan obat penawar racunmu yang jahat, jangan katakan aku kejam kalau
terpaksa aku akan melumatkan kepalamu!!
Dan aku pun tidak akan tinggal
diam sebelum kau mengobati mereka sampai sembuh!! kata pula Si lengan satu
sambil menghampir Boan-wangwe. Bekas bajak sungai yang lihai ini bukan orang
bodoh untuk melawan dua orang sakti ini.
Baiklah,! katanya dengan suara
berat. Aku pun tidak bermaksud membunuh orang karena pertempuran ini hanya
disebabkan oleh urusan kecil saja!! Dia lalu mengeluarkan sebuah guci arak dan
setelah dia menggunakan saputangan yang dibasahi dengan obat dari dalam guci
itu untuk menggosok-gosok bagian yang terkena jarum halus dan meneteskan
sedikit obat di lubang hidung mereka yong menjadi korban, orang-orang yang
tadinya pingsan itu berbangkis beberapa kali dan sadar kembali.
Melihat ini, Siluman Kecil
yang tidak ingin dirinya menjadi pusat perhatian, menyelinap pergi dengan
cepat. Pula, dia ingin cepat-cepat memenuhi tantangan Ang-siocia dan mencari
pencuri pusaka yang agaknya ditinggal oleh Sin-siauw Seng-jin itu di pantai
Po-hai. Dia mendengar suara orang berlengan sebelah memanggilnya, akan tetapi
dia malah mempercepat larinya karena justeru dia tidak ingin dikenal oleh orang
gagah itu.
Setelah semua korban
disembuhkan, baru laki-laki berlengan buntung itu membiarkan Boan-wangwe
bersama para anak buahnya pergi meninggalkan warung. Derap kaki kuda mereka
terdengar berisik ketika mereka rneninggalkan warung Diam-diam Boan-wangwe
menyadari betapa pentingnya golongan mereka untuk bersatu, mengingat demikian
banyaknya orang-orang sakti yang menentang mereka.
Sementara itu, suheng dan
sumoi bersama lima orang pengiringnya itu segera menghaturkan terima kasih
kepada si lengan satu, kemudian juga bergegas pergi meninggalkan warung setelah
dengan royal mengganti semua harga makanan dan mengganti semua harga
barang-barang yang rusak akibat pertempuran itu kepada si pemilik warung. Tentu
saja pemilik warung menjadi girang sekali dan dalam kesempatan itu dia dapat
menarik keuntungan yang tidak sedikit, karena tentu saja dia naikkan semua
harga barang yang diganti oleh wanita baju hijau itu.
Kini warung itu menjadi sunyi
kembali. Yang tinggal hanyalah laki-laki tampan berlengan sebelah tadi.
Bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi hal-hal hebat di warung itu,
laki-laki ini lalu memilih tempat duduk di sudut, di mana meja dan bangkunya
masih utuh dan dia memanggil si pemilik warung. Orang ini bergegas menghampiri
karena maklum bahwa pendekar berlengan satu ini merupakan seorang di antara
golongannya, di samping Siluman Kecil yang telah pergi lebih dulu.
Taihiap hendak memerintah
apakah?! tanya si pemilik warung dengan sikap merendah.
Lopek, harap buatkan masakan
untukku. Masakan apa sajakah yang dapat kausediakan?!
Wah, untuk Taihiap saya
sanggup masak apa saja. Akan tetapi, warung kami ini teristimewa menyediakan
hidangan-hidangan dari ikan sungai.!
Nah, kalau begitu buatkan
goreng udang bumbu tomat lima porsi, ikan lele ditim lima porsi, panggang telur
ikan dua porsi, masak kuah daging kepiting lima porsi, ang-sio-hi dua porsi
besar, bakso daging ikan satu panci, masak sirip ikan campur sarang burung dan
telur dua porsi. Jangan lupa bumbu dan acarnya! Dan bakmi telur lima porsi!!
Baik.... baik....!! Pemilik
warung mengangguk-angguk, sungguhpun di dalam hatinya merasa heran sekali
mengapa ada satu orang memesan masakan demikian banyaknya! Akan tetapi tentu
saja dia tidak berani membantah. Bukankah pendekar ini telah mendatangkan
keuntungan besar sekali baginya, di samping menyelamatkannya? Andaikata tidak
dibayar semua masakan yang dipesan itu sekalipun, dia rela memberikanya sebagai
tanda terima kasih! Bergegas dia lari ke dapur untuk memimpin sendiri masakan
besar itu.
Karena di situ tidak ada tamu
lain sedangkan semua tenaga dikerahkan untuk melayani laki-laki berlengan
buntung itu, maka terdengarlah kesibukan di dalam dapur, suara golok mencacah
daging beradu dengan kayu landasan, suara api bergemuruh, suara minyak mendidih
dan alat masak beradu dengan wajan berkerontangan.
Sementara itu, laki-laki
berlengan buntung itu duduk termenung. Siapakah laki-laki ini? Para
pembacacerita Kisah Sepasang Rajawali tentu sudah dapat menduganya dengan tepat
siapa adanya laki-iaki tampan yang berlengan buntung sebelah ini. Dia adalah
Kao Kok Cu, putera sulung Jenderal Kao Liang, murid Go-bi Bu Beng Lojin yang
terkenal dengan sebutan Si Dewa Bongkok. Seperti telah diceritakan dalamcerita
Kisah Sepasang Rajawali , Kao Kok Cu berjodoh dengan Ceng Ceng atau nama
lengkapnya Wan Ceng atau Lu Ceng, puteri dari mendiang Wan Keng In dan Lu Kim
Bwee, adik angkat dari Puteri Syanti Dewi. Setelah bertemu dengan Ceng Ceng,
mereka menikah dan Kao Kok Cu mengajak isterinya kembali ke Istana Gurun Pasir,
istana tempat tinggal gurunya di gurun pasir Go-bi di mana mereka hidup rukun
dan damai, penuh kasih sayang dan sudah menjauhkan diri dari urusan dunia
ramai.
Di dalamcerita Kisah Sepasang
Rajawali telah diceritakan bahwa Kao Kok Cu ini sejak kecil hilang karena
tersesat di gurun pasir dan ditolong kemudian dipelihara dan dididik oleh
gurunya. Setelah dewasa, barulah dia kembali ke selatan mencari orang tuanya
dan dalam perjalanan ini dia berjumpa dengan Ceng Ceng, jatuh cinta dan setelah
mengalami banyak lika-liku dalam pengalaman hidup yang amat hebat, sehingga dia
terpaksa menyembunyikan mukanya di balik topeng yang membuat dia dikenal
sebagai Topeng Setan, dan dia kehilangan lengan kirinya ketika membantu Ceng
Ceng mencari obat, yaitu anak ular naga, akhirnya dapat juga dia dan Ceng Ceng
bersatu sebagai suami isteri yang saling mencinta.
Akan tetapi, memang segala
sesuatu tidak ada yang kekal di dunia ini. Keadaan kehidupan setiap orang
manusia selalu berubah. Yang berada di atas setiap waktu bisa saja tergelincir
ke bawah, sebaliknya yang berada di bawah juga bisa saja sewaktu-waktu naik ke
atas. Oleh karena itu, tentu saja keliru kalau orang menjadi besar kepala dan
sombong selagi dia berada di atas, sama kelirunya dengan orang yang menjadi
putus asa selagi dia berada di bawah. Hanya orang yang wajar dan tidak
mengharapkan apa-apa saja yang akan selalu merasa gembira dan bahagia, kalau
dia berada di atas, dia tidak khawatir akan tergelincir ke bawah dan kalau dia
berada di bawah, dia pun tidak membabi buta mengejar-ngejar tempat yang lebih
tinggi. Kalau dia berada di atas, dia tidak menginjak yang berada di bawah, dan
kalau dia berada di bawah, dia tidak pula menjilat yang berada di atas!
Keadaan suami isteri Kao Kok
Cu dan Ceng Ceng, yang menjadi majikan dan keluarga Istana Gurun Pasir, yang
hidup selama beberapa tahun dalam keadaan tenteram dan rukun, kemudian mereka
dikaruniai seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil, menjadi berubah sama
sekali ketika putera mereka itu pada suatu hari lenyap tanpa meninggalkan
jejak! Peristiwa ini seketika menghancurkan semua ketenangan hidup suami isteri
itu, dan mau tidak mau terpaksa mereka harus meninggalkan Istana Gurun Pasir
untuk pergi merantau dan mencari putera mereka dan lenyap! Itulah sebabnya
mengapa pada hari itu majikan Istana Gurun Pasir, Kao Kok Cu yang dikenal
sebagai Si Naga Sakti itu berada di kota An-yang, dan kebetulan sekali dia melihat
pertempuran di dalam warung dan membantu Siluman Kecil menundukkan Boan-wangwe.
Untuk lebih teliti dan mencari
jejak putera mereka yang hilang, kemarin dia berpisah dari isterinya,
masing-masing mengambil jalan sendiri dan mereka berjanji akan bertemu hari ini
di An-yang. Dia sendiri sejak kemarin telah menyelidik tanpa hasil dan kini
semua peristiwa tadi telah dilupakannya karena pikirannya sudah penuh lagi
dengan urusan lenyapnya puteranya yang membuat pendekar ini duduk termenung.
Bahkan ketika semua hidangan yang dipesannya telah diatur di atas meja di
depannya, pendekar ini masih saja duduk termenung, tidak mempedulikan
masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dengan baunya yang sedap menyergap
hidung dan melayang-layang tercium oleh mereka yang berada di luar warung.
Melihat betapa pendekar itu
mendiamkan saja masakan yang sudah dipersiapkan dengan susah payah itu, si
pemilik warung yang seperti juga pemilik warung mana saja di dunia ini ingin
sekali melihat tamunya menikmati hidangannya dan sejak tadi menanti dengan
pandang mata berseri-seri penuh kebanggaan, menjadi tidak sabar dan dia
menghampiri pendekar itu. Taihiap, masakan sudah siap semua. Silakan Taihiap
makan dan menikmatinya selagi masih panas, karena kalau keburu dingin tentu
kurang sedap.!
Akan tetapi, dengan sikap tak
acuh dan kurang semangat, Kao Kok Cu menjawab, Biarlah, aku memang sedang
menanti isteriku. Sebentar lagi dia tentu akan datang. Tidak mengapalah kalau
masakan-masakan itu menjadi sedikit dingin.!
Dengan mengangkat pundak penuh
rasa kecewa si pemilik warung terpaksa mundur dan duduk di belakang menjaga
mejanya, akan tetapi kini berkurang keheranannya mengapa pendekar itu memesan
masakan begitu banyak. Ternyata pendekar itu menanti kedatangan isterinya dan
tentu juga keluarga lainnya.
Seorang pengemis kecil berusia
kurang lebih sepuluh tahun memasuki warung itu. Para pelayan dan pemilik warung
itu sudah hampir mengusirnya ketika pendekar itu dengan ramah berkata, Anak,
kau mau apakah?!
Pengemis itu cengar-cengir,
hidungnya kembang kempis karena bau masakan yang sedap itu sungguh seperti
tangan-tangan jahil yang meremas-remas isi perutnya yang kosong. Saya.... saya
mohon dikasihani, minta sedikit uang pembeli nasi.... katanya.
Si Naga Sakti memandang
bengong sejenak, kemudian dia menggeleng kepala. Aku tidak pernah membawa uang,
dan isteriku yang membawa uang belum datang. Apakah kau lapar?!
Jembel kecil itu mengangguk
dan matanya memandang ke arah piring-piring berisi masakan yang masih
mengepulkan uap dan yang berjajar menantang di atas meja itu. Kao Kok Cu lalu
berkata sambil melihat kaleng yang dibawa oleh anak pengemis itu. Kesinikan
kalengmu itu.!
Si pengemis dengan girang
menyerahkan kalengnya dan Kao Kok Cu lalu mengisi kaleng itu penuh dengan
beberapa macam masakan dan bakmi, lalu menyerahkannya kembali kepada anak itu.
Terima kasih.... terima
kasih....! Anak itu menyambut kaleng yang telah penuh makanan dan separuh
berlari dia ke luar dari warung itu dengan wajah berseri dan mata
bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Akan tetapi, tak Lama kemudian
masuklah seorang anak pengemis lainnya sambil menodongkan kaleng kosongnya. Kao
Kok Cu menerima kaleng kosong itu, meletakkannya di atas meja dan kembali
mengisinya dengan masakan. Anak itu menghaturkan terma kasih, dan datang pula
seorang anak lain. Kiranya peristiwa itu telah memancing datangnya hampir semua
jembel kecil di kota An-yang itu yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh
orang anak! Tentu saja, setelah semua orang pengemis kecil itu menerima
bagiannya, semua masakan di atas m ja telah habis sama sekali! Para pelayan
memandang dengan mata terbelalak dan si pemilik warung membanting-benting
kakinya, akan tetapi sama sekali dia tidak berani melarang atau mencegah karena
melihat pendekar itu membagi-bagi makanan dengan wajah terharu, kemudian
tersenyum ketika dia melihat anak-anak itu makan sambil tertawa-tawa di emper
warung, dan kadang-kadang mereka menoleh ke dalam, memandangnya seperti mata
anjing-anjing yang baru saja diberi makan dan dibelai oleh majikannya. Pandang
mata yang jelas membayangkan rasa gembira dan terima kasih yang mendalam.
Terima kasih, Siauw-ya! Terima
kasih, Siauw-yang! Terima kasih, Siauwya!! Anak-anak itu bersorak-sorak dan
berteriak-teriak dari luar warung, ada yang bertepuk tangan dan ucapan terima
kasih itu mereka nyanyikan dalam paduan suara penuh kegembiraan. Akan tetapi,
Kao Kok Cu hanya tersenyum dan memandang keluar karena dia melihat dua orang
wanita berjalan menuju ke warung itu. Seorang wanita yang cantik jelita dan
gagah perkasa, dan yang paling cantik di antara seluruh wanita di dunia ini
bagi Kao Kok Cu yang mencintanya karena wanita itu adalah Wan Ceng atau Lu
Ceng, atau lebih terkenal dengan sebutan Ceng Ceng, isterinya! Dan wanita ke
dua adalah seorang dara remaja yang cantik jelita pula, berpakaian serba hitam
sehingga menonjolkan kulitnya yang putih halus itu. Dara jelita itu adalah Kim
Hwee Li, murid dari isterlinya, atau puteri dari Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau
Neraka!
Ketika Ceng Ceng yang wajahnya
agak pucat dan muram karena selalu memikirkan nasib puteranya dengan hati
gelisah itu melihat suaminya menjamu para jembel kecil demikian banyaknya
sehingga semua masakan di atas meja telah ludes, dia menegur, Hemmm, apa pula
yang kaulakukan ini?!
Wah, kedatanganmu terlambat,
isteriku. Makanan yang kupesan telah dihabiskan oleh tamu-tamu kita itu. Engkau
terlambat sekali sih!! Dia membalas teguran isterinya.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya
dan memandang kepada suaminya dengan gemas. Kelakuan suaminya memang aneh, akan
tetapi kadang-kadang juga membikin hatinya mengkal, seperti sekarang ini. Dia
berjanji akan bertemu dengan suaminya di kota An-yang ini, dan setelah bertemu
dan perutnya lapar sekali, suaminya menyambutnya dengan piring-piring kosong
karena semua masakan telah diberikan habis kepada pengemis-pengemis kecil itu!
Hati siapa tidak akan mendongkol? Melihat gurunya yang cantik itu cemberut dan
marah, Hwee Li tertawa dan menutupi mulutnya dengan tangan seperti menyaksikan
hal yang lucu sekali.
Wah, Suhu telah membikin
pusing lagi kepada Subo! Hi-hik, Suhu harus didenda dengan minuman tiga cawan
arak sebagai tambahan minta ampun kepada Subo! Kalau tidak, Subo akan marah
terus!!
Hwee Li, jangan main-main
kau!! Ceng Ceng membentak muridnya yang menahan ketawa dan duduk di dekat meja.
Akan tetapi, Kao Kok Cu
memandang ke luar, kepada seorang pengemis muda yang duduk di emper rumah di
seberang jalan. Dia ingat bahwa pengemis yang satu itu belum memperoleh bagian
tadi, maka dia lalu menegur kepada pengemis-pengemis cilik yang berada di dekat
pintu warung, Heiii, kenapa temanmu yang di seberang jalan itu tidak kalian
beri bagian makanan?!
Ah, Siauw-ya, apakah Siauw-ya
maksudkan dia yang duduk di sana itu? Dia adalah Siauw-ong-ya, mana dia mau?
Dia tidak pernah minta-minta, kalau kami beri tentu kami semua akan dihajar.
Kami tidak berani!!
Tentu jawaban ini membuat Kao
Kok Cu, Ceng Ceng dan Hwee Li merasa heran sekali dan mereka bertiga lalu
memandang ke arah pengemis muda yang disebut Siauw-ong-ya oleh para pengemis
kecil itu. Dan seolah-olah tahu bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, pengemis
muda itu bangkit berdiri, menghadap ke arah warung dan mulutnya berkemak-kemik.
Tiga orang keluarga sakti itu mendengar dengan jelas suaranya yang bergema,
Terima kasih atas perhatian Siauw-ya kepada saya. Akan tetapi tidak perlu
Siauw-ya mempedulikan saya. Saya sudah merasa bersyukur dan berterima kasih
sekali bahwa Siauw-ya mau mengasihani kawan-kawan saya.! Lalu dia berteriak
kepada para pengemis kecil itu, Hei, anak-anak, hayo haturkan terima kasih
sekali lagi dan cepat pergi, jangan mengganggu terus.!
Anak pengemis itu ternyata
amat mentaati seruan pengemis muda itu. Mereka beramai-ramai menyatakan terima
kasih mereka kepada Kao Kok Cu, lalu menjura dan berlari-larian pergi dari
tempat itu seperti sekawanan burung yang beterbangan bebas dan gembira.
Pengemis muda itu sendiri pun melenggang seenaknya meninggalkan emper rumah di
seberang jalan itu.
Hemmm, lagaknya! Kaum jembel
pun mempunyai raja segala! Dan bocah itu raja mudanya! Hi-hik, kalau tidak
melihat sendiri siapa percaya?! Hwee Li berkata sambil tertawa geli.
Husss!! Ceng Ceng menegur
muridnya. Jangan kau bicara sembarangan, Hwee Li. Apakah kau tidak melihat
kenyataan bahwa pengemis muda itu bukan orang sembarangan? Semuda itu dia sudah
pandai mengirim suara dari jauh dan khikangnya cukup kuat.!
Dengan cepat Ceng Ceng lalu
memesan makanan kepada pemilik warung yang melayaninya dengan penuh perhatian.
Bagaimana hasil
penyelidikanmu? Sudah mencium jejak?! tanya Ceng Ceng kemudian kepada suaminya.
Kok Cu menggeleng kepala.
Belum....! jawabnya dengan wajah muram dan sepasang matanya kini melayang jauh,
mengikuti anak-anak pengemis yang pergi dari situ. Isterinya juga memandang
kepada anak-anak itu, maklum akan isi hati suaminya, dan kini dia mengerti
mengapa suaminya tadi menjamu anak-anak pengemis itu. Tentu suaminya teringat
akan anak mereka yang hilang dan sampai sekarang belum dapat mereka temukan
jejaknya, membayangkan betapa anak mereka itu mungkin juga terlantar dan
kelaparan seperti anak-anak pengemis itu! Ceng Ceng merasa lehernya seperti
dicekik dan hanya kekerasan hatinya yang luar biasa sajalah yang mampu membuat
dia menahan jatuhnya air matanya.
Mereka berdua telah bersusah
payah mencari-cari di seluruh padang pasir. Dalam penyelidikan mereka, anak
mereka itu bukan hilang diculik orang karena yang nampak dari dalam istana
mereka sampai di luar, hanya tapak kaki anak mereka, tidak nampak tapak kaki
orang lain. Tapak kaki anak mereka itu menuju ke luar dan tentu saja tak lama
kemudian tapak kaki itu lenyap diratakan lagi oleh angin sehingga mereka tidak
mampu menemukan jejak anak mereka. Agaknya anak itu bermain-main di luar, lalu
bermain-main terlalu jauh dan tersesat, tidak mampu pulang kembali.
Hemmm, sungguh mengherankan
sekali. Kenapa anak kita mengalami peristiwa yang sama dengan pengalamanku
ketika masih kecil? Aku dulu juga hilang di gurun pasir ketika masih kecil dan
ayahku tidak berhasil menemukan. Baru setelah aku berusia dua puluh lima tahun
aku dapat bertemu lagi dengan ayah dan keluargaku. Jangan-jangan Liong-ji (Anak
Liong) juga....!
Jangan kau bicara demikian,
suamiku!! Ceng Ceng cepat memotong kata-kata suaminya yang menusuk perasaannya
dan menimbulkan kekhawatiran besar didalam hatinya. Kita harus mencari sampai
dapat dan aku yakin kita akan dapat menemukan kembali Cin Liong!!
Ucapan Subo benar sekali!!
Hwee Li berkata dengan wajahnya yang tetap berseri cerah dan gembira. Tidak
mungkin ada orang lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Kita pasti akan
dapat menemukan kembali Adik Cin Liong, dan teecu (murid) akan menjelajahi
seluruh dunia golongan hitam untuk menyelidiki kalau-kalau di antara mereka ada
yang melihat putera Subo.!
Ucapan dan sikap Hwee Li amat
menghibur suami isteri yang sedang kebingungan dan dilanda kegelisahan itu
namun tetap saja hidangan masakan di depan mereka itu hampir tidak dapat
tertelan kalau mereka mengingat betapa anak mereka yang hilang itu usianya baru
empat lima tahun dan betapa akan sengsaranya bagi anak sekecil itu untuk merana
seorang diri, apalagi perginya dari Istana Gurun Pasir itu melalui padang pasir
yang luas, panas dan amat berbahaya!
***
Pagi yang cerah. Sinar
matahari yang masih menciptakan bayangan-bayangan panjang memuntahkan cahayanya
dengan langsung ke bumi, tanpa halangan awan karena langit nampak biru muda dan
bersih sekali, bersih dan amat tinggi. Sinar matahari di saat itu mengandung
daya hidup yang mukjijzat di dalam kehangatan yang tidak terlalu panas, namun
kehangatan yang dapat menembus apa saja dan memberi daya hidup kepada bumi dan
apa saja yang berada di permukaannya.
Awan-awan putih yang agaknya
menjauh, tidak berani menghalangi berkah yang berlimpahan itu berarak di
angkasa, bergerak perlahan-lahan seperti bermalasmalasan, namun semua gerakan
itu teratur rapi dan selalu berubah bentuknya, seolah-olah ada tangan gaib yang
mengatur awan-awan itu, memilih dan memisah-misahkannya,
mengumpul-ngumpulkannya, untuk digiring ke tempat yang membutuhkan hujan kelak.
Tidak ada angin berkelisik.
Daun-daun yang bermandikan cahaya matahari nampak kekuningan seperti
bermandikan cahaya keemasan, berseri-seri mengelilingi bunga-bunga yang mencuat
di sana-sini, dan kupu-kupu bersayap kuning dan putih menyemarakkan suasana
yang penuh dengan suka cita di pagi hari itu. Berkelompok-kelompok kecil
burung-burung terbang lewat di udara tanpa suara, menuju ke sawah ladang di
mana terdapat makanan berlimpah bagi mereka.
Orang-orang yang berpakaian
seperti penduduk dusun, membawa bermacam-macam barang dagangan hasil kebun
mereka, berlalu-lalang di jalan raya itu pergi ke dan pulang dari kota An-yang
yang menjadi pasar bagi barang dagangan hasil bumi mereka. Yang berangkat dan
memikul barang dagangan, kelihatan tergesa-gesa dan berjalan separuh berlari
tanpa bicara, akan tetapi yang pulang ke dusun berjalan seenaknya sambil
mengobrol membicarakan hasil penjualan mereka dan belanjaan mereka.
Siluman Kecil yang sudah
keluar dari pintu gerbang kota An-yang, kini berdiri di luar tembok kota, memandang
air yang mengalir di tepi tembok. Air itu memasuki kota dari sebelah barat dan
keluar dari selatan. Ketika memasuki kota, air itu bersih dan jernih, akan
tetapi setelah keluar dari kota, air itu menjadi keruh, penuh dengan
sampah-sampah dan segala kekotoran kota yang dicampakkan ke dalamnya. Kekeruhan
air ini tidak akan berlangsung lama, karena beberapa mil jauhnya setelah
meninggalkan kota, air sungai itu sudah akan menjadi jernih kembali.
Melihat setangkai daun hijau
yang agaknya rontok sebelum waktunya hanyut pula di air itu, Siluman Kecil
mengikutinya dengan pandang matanya dan dia menarik napas panjang. Keadaannya
seperti daun itu. Daun muda yang sudah hanyut seorang diri mengikuti ke mana
air mengalir. Tidak tahu akan apa jadinya dengan dirinya. Seperti juga dia!
Hanya mengikuti jalan peristiwa yang dijumpainya di jalan hidupnya. Siluman
Kecil termenung dan tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara orang wanita
yang cukup nyaring.
Kun Cu Souw Ki Wi Ji Heng. Put
Goan Houw Ki Gwee!!
Siluman Kecil mengerutkan
alisnya. tentu saja dia hafal pula akan ujar-ujar itu karena dia pernah
mempelajari semua pelajaran dari Nabi Khong Cu. Dia masih ingat bahwa ujar-ujar
yang dinyanyikan mulut wanita itu adalah ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, ayat
pertama dari bagian ke tiga belas, yang berarti,
Seorang kongcu (budiman)
bertindak sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan hal-hal di luar dari
kedudukannya.!
Siluman Kecil menarik napas
panjang. Dia telah mengalami banyak sekali hal-hal yang amat pahit dalam
kehidupannya dan kalau direnungkan secara mendalam, memang karena manusia
menginginkan hal-hal yang tidak ada padanya, menginginkan sesuatu yang belum
ada, yang tidak dimilikinya, yang berada di luar jangkauannya, dan KEINGINAN
inilah yang menjadi biang keladi segala macam penyakit dan kesengsaraan hidup.
Dia menarik napas panjang lagi.
Sesungguhnyalah, bukan hanya
seperti yang disadari oleh Siluman Kecil bahwa keinginan menjadi biang keladi
kesengsaraan hidup. Bahkan keinginan itulah yang membuat kita kehilangan
kesbahagiaan! Betapa tidak? Keinginan membuat mata kita buta terhadap segala
keindahan yang telah kita miliki. Keinginan membuat kita meremehkan dan tidak
dapat melihat keindahan yang sudah berada pada kita. Contohnya : Biarpun kita
telah memegang sebutir buah apel di dalam tangan, namun kalau kita menginginkan
buah anggur yang belum ada, mata kita seperti buta akan kelezatan buah apel
yang sudah berada di tangan, menganggapnya tidak enak dan tidak memuaskan dan
yang paling memuaskan adalah buah anggur yang kita inginkan, yang belum ada
itulah! Karena itu mari kita mencoba untuk membuka mata dan melihat segala
sesuatu yang sudah ada pada kita, melihat keindahannya, tanpa
membanding-bandingkan dengan yang belum ada, tanpa membayangkan yang lain-lain,
maka kita akan melihat keindahan dan akan terbuka mata kita bahwa sesungguhnya
selama ini kita hanya diombang-ambingkan oleh pikiran kita yang selalu haus
akan hal-hal yang belum ada pada kita! Kita selalu beranggapan bahwa
kebahagiaan berada di sana, yang harus kita kejar-kejar, sama sekali kita tidak
pernah mau melihat, apa yang berada di sini, yang sudah ada pada kita. Kita
seperti mengejar-ngejar bayangan kita, biar dikejar sampai selama hidup pun
tidak akan dapat tersusul, kita tidak pernah mau berhenti dan menyelidiki apa
gerangan bayangan itu, lupa bahwa bayangan itu adalah kita sendiri, karena
kitalah yang menciptakan bayangan yang kita kejar-kejar itu!
Siluman Kecil sadar kembali
dari lamunannya ketika dia mendengar suara tadi bernyanyi terus.
Cai Shang Wi, Put Leng He.
Cai He Wi, Put Wan Shang.!
Siluman Kecil
mengangguk-angguk, menterjemahkan ujar-ujar itu dalam hatinya. Dalam kedudukan
tinggi, dia tidak menghina yang di bawah. Dalam kedudukan rendah, dia tidak
menjilat yang di atas.
Betapa sukarnya mencari
seorang kuncu (budiman) seperti itu! Sudah lajim di dunia ini, orang selalu
memandang rendah kepada orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada
kita, kita suka menginjak dan meremehkan orang-orang yang berada di bawah kita,
kita merasa jijik kepada kaum jembel, kita menjebikan bibir terhadap
orang-orang miskin dan papa, kita merendahkan mereka yang bekerja kasar dan
yang kedudukannya jauh lebih rendah daripada kita. Sebalikya, sudah menjadi
KESOPANAN masyarakat bahwa kita selalu bersopan santun kepada orang-orang yang
tinggi kedudukannya, kita bermanis muka kepada orang-orang kaya, kita
menjilatjilat kepada pejabat tinggi. Betapa palsunya kita ini! Betapa kejamnya
kita ini! Namun kita marah kalau dinyatakan bahwa kita tidak memiliki
perikemanusiaan!
Siluman Kecil makin dalam
tenggelam dalam renungannya. Dia mengenal ujar-ujar itu yang merupakan ayat ke
tiga dari bagian ke tiga belas itu, dan dia masih ingat pula akan bagian
selanjutnya, yang berbunyi, Dia memperbaiki diri sendiri dan tidak mencari
kesalahan orang lain, maka dia tidak mempunyai penyesalan apa pun. Ke atas dia
tidak menyalahkan Thian dan ke bawah dia tidak menyalahkan manusia lain.!
Setelah suara itu berhenti
bernyanyi, Siluman Kecil menoleh. Timbul keinginan tahunya untuk melihat siapa
gerangan yang di tempat seperti itu menyanyikan ujar-ujar yang mengandung sari
pelajaran amat tinggi itu. Dan dia tertegun. Di bawah sebatang pohon yang
rindang nampak seorang nenek tua sedang duduk di atas tanah berumput, menghadap
barang dagangannya yang bertumpuk di atas tikar terhampar. Seorang nenek tua
penjual sepatu rumput rupanya! Dan nenek itulah yang tadi bernyanyi. Memang
harus diakui bahwa ujar-ujar dari Nabi Khong Hu Cu dikenal oleh semua orang
yang pernah bersekolah, sungguhpun sebagian besar orang hanya mengenalnya
sebagai ujar-ujar belaka tanpa menghayati isinya, tanpa meneliti diri sendiri
apakah ujar-ujar yang setiap hari keluar dari mulutnya, terus-menerus
diulang-ulanginya itu ada pula terkandung dalam langkah hidupnya sehari-hari.
Akan tetapi, mendengar ujar-ujar itu dinyanyikan oleh seorang nenek penjual
sepatu rumput, dinyanyikan di tempat seperti itu, yaitu di luar kota di bawah
pohon, sungguh merupakan hal yang amat janggal didengar. Biasanya, ujar-ujar
Nabi Khong Hu Cu atau ujar-ujar dari Agama Buddha hanya didengar di
sekolah-sekolah, di kuil-kuil, atau dibicarakan di antara orang-orang pandai!
sebagai bahan untuk berbantahan dan mempertahankan pendirian dan pentafsiran
masing-masing, dan diperalat untuk membanggakan kepintarannya!
Melihat nenek itu menghadapi
dagangannya dan kelihatan sama sekali tidak laku, terbukti dari bertumpuknya
sepatu rumput itu dan tidak ada seorang pun di antara orang-orang yang
lalu-lalang itu menengok ke arah nenek itu, apalagi membeli dagangannya,
Siluman Kecil merasa kasihan. Nenek itu kelihatannya miskin, pandang matanya
sayu, dan siapa tahu sudah berapa hari nenek itu tidak makan. Tubuhnya begitu
kurus! Siluman Kecil cepat menghampiri dan berjongkok di depan dagangan nenek itu.
Nenek, apakah ada sepatu yang
ukurannya cocok untuk kakiku?! tanyanya, sambil memandang wajah keriputan itu.
Akan tetapi dari sinar matanya, Siluman Kecil tahu bahwa nenek itu agaknya
tidak mengerti atau mungkin juga tidak mendengar. Ketika nenek itu menaruh
tangan di belakang daun telinganya, mengertilah dia bahwa nenek ini adalah
seorang yang sudah berkurang pendengarannya atau agak tuli.
Apakah ada yang cocok dengan
ukuran kakiku?! tanyanya pula dengan suara lebih keras.
Oh, tentu ada.... ada....! Nah,
ini agaknya cocok!! Nenek itu menyerahkan sepasang sepatu dan memandang wajah
Siluman Kecil yang sebagian tertutup rambut putih penuh perhatian. Agaknya
Kongcu akan pergi ke selatan juga! Memang lebih enak pakai sepatu rumput,
apalagi di selatan sana banyak hujan. Lebih hangat memakai sepatu rumput.!
Siluman Kecil mengukur sepatu
itu dengan kakinya. Memang cocok. Agaknya pedagang sepatu ini sudah biasa
mengira-ngira ukuran kaki orang yang datang membeli sepatunya. Berapa
harganya?! Dia bertanya.
Memang banyak yang ke sana.
Kemarin banyak orang muda yang membeli sepatu saya pula, mereka hendak pergi ke
selatan,! jawab nenek itu dan Siluman Kecil baru sadar bahwa pertanyaannya yang
kurang keras tadi telah didengar lain oleh Si Nenek, maka jawabannya pun kacau.
Dia mengeluarkan uang tembaga
dan mengangkat sepatu itu. Harganya berapa?!
Ohhh....! Nenek itu tertawa
dan nampak mulut yang ompong! Setelah nenek itu memberi tahu harga sepatu yang
hanya beberapa potong uang tembaga, Siluman Kecil membayarnya tanpa menawar.
Padahal dia tahu bahwa biasanya pedagang seperti ini menawarkan dagangannya
dengan harga dua kali lipat dan biasanya fihak pembeli pasti juga menawar harga
itu. Nenek itu kelihatan girang menerima pembayaran Siluman Kecil dan berkata,
Terima kasih. Mudah-mudahan Kongcu akan diterima menjadi perajurit.!
Apa? Perajurit apa?! Siluman
Kecil terheran mendengar itu.
Eh, apakah Kongcu bukan hendak
pergi ke selatan seperti mereka itu, untuk memasuki ujian penerimaan
perajurit?!
Hemmm, ada apakah di selatan
sana?
Kongcu belum tahu? Kabarnya
Gubernur Ho-nan sedang mengadakan ujian untuk menerima calon-calon perajurit
pengawal. Gajinya besar, kedudukannya tinggi, dan mereka yang terpilih akan
dijadikan pengawal gubernur, atau kalau untung malah bisa diangkat menjadi
calon pengawal pribadi.!
Tiba-tiba percakapan terhenti
karena ada serombongan orang menghampiri nenek itu untuk membeli sepatu rumput.
Yang membeli sepatu hanya dua orang, yaitu seorang kakek bertubuh tinggi tegap
dan seorang setengah tua yang sikapnya pendiam dan matanya bersinar tajam.
Sedangkan di belakang dua orang kakek ini terdapat sepuluh orang lain yang
berpakaian ringkas dan sikapnya juga pendiam. Kakek berusia enam puluhan tahun
yang bertubuh tinggi tegap itu melirik ke arah Siluman Kecil dan pandang
matanya tajam penuh selidik. Siluman Kecil menundukkan muka, pura-pura memilih
sepatu dan membiarkan rambutnya yang panjang itu menutupi mukanya seperti
tirai.
Setelah memilih sepatu dan
membayar harganya, kakek itu bertanya kepada si pedagang sepatu, Apakah banyak
orang yang lewat ke sini dan menuju ke Ceng-couw, ibu kota Ho-nan?! Suaranya
besar, tegas dan berwibawa.
Banyak sekali.... banyak
orang-orang muda yang hendak melamar pekerjaan pengawal. Agaknya Sicu semua ini
juga hendak ke sana?!
Kakek itu hanya menggumam,
lalu bangkit berdiri dan bersama ternan-temannya meninggalkan tempat itu.
Wah, sungguh banyak sekali
yang ingin melamar sebagai pengawal,! kata Si Nenek. Tentu ramai sekali di
Ceng-couw sana, wah, kalau aku bisa berdagang sepatu di sana, tentu laris
sekali!!
Kenapa kau tidak membawa
sepatumu dan berdagang di sana saja?! kata Siluman Kecil sambil bangkit berdiri
pula.
Oh, jadi Kongcu juga ingin ke
sana?! tanya nenek itu yang kembali salah dengar.
Siluman Kecil mengerutkan
alisnya. Repot juga bicara dengan seorang tuli. Dia mengangguk-angguk sebagai
jawaban, tidak mau lagi berteriak-teriak karena terdengar seperti orang cek-cok
saja sehingga tentu akan banyak menarik perhatian mereka yang lewat di jalan
itu. Akan tetapi, jawabannya dengan anggukan itu membuat si nenek menjadi
gembira dan nenek itu pun bangkit berdiri. Kalau begitu, sebaiknya Kongcu naik
kuda ke sana! Mungkin besok pagi sudah dimulai ujian itu dan Kongcu tentu akan
ketinggalan kalau berjalan kaki. Di sini terdapat seorang pedagang kuda yang
bagus-bagus dan harganya pun murah. Dia masih keponakanku sendiri. Saya tinggal
bersama dia di sana juga. Marilah kuantarkan Kongcu ke sana melihat-lihat. Baru
kemarin dia pulang membawa dua ekor kuda peranakan Mongol yang amat baik.!
Tapi aku sudah biasa berjalan
kaki, Nek. Aku tidak ingin membeli kuda.! Siluman Kecil hendak melangkah pergi,
akan tetapi dia melihat seorang pengemis muda duduk tak jauh dari tempat itu.
Wajah pengemis ini menarik hatinya karena wajah itu terlalu tampan untuk
seorang pengemis, dan sinar mata pengemis ini tidak seperti para pengemis
lainnya. Semua pengemis selalu memiliki pandangan mata sayu, baik dibuat-buat
atau tidak, akan tetapi sinar mata pengemis ini tajam berseri-seri dan sedikit
pun tidak kelihatan duka terbayang di dalamnya! Keadaan ini menimbulkan
keharuan di hati Siluman Kecil dan dia lalu memberikan kelebihan uang pembeli
sepatu tadi kepada si pengemis muda tanpa mengeluarkan kata-kata. Pengemis itu
menerima pemberian ini, membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasih, akan
tetapi mulutnya diam saja! Bahkan ada bayangan keangkuhan di sinar matanya!
Siluman Kecil merasa makin
heran dan tertarik.
Kongcu akan menyesal setengah
mati kalau tidak membeli kuda itu!! Kembali nenek itu mendesak dan ketika
Siluman Kecil menoleh, ternyata nenek itu sudah menggulung tikarnya dan
membungkus semua sepatunya tanda bahwa dia sudah kukut (berkemas untuk pulang).
Sudahlah, Nek. Aku tidak punya
uang....eh, uangku tidak akan cukup untuk membeli seekor kuda peranakan Mongol
yang bagus.!
Aaahhhhh, Kongcu sungguh
merendah! Kongcu mempunyai banyak uang....eh, maksud saya, seorang seperti
Kongcu yang melakukan perjalanan jauh tentu kaya raya, tentu Kongcu akan mampu
membeli seekor kuda yang baik. Apakah Kongcu tidak rela memberi sedikit
keuntungan kepada keluarga kami?!
Siluman Kecil terkejut. Dia
memang membawa banyak uang, pemberian seorang hartawan yang pernah dltolongnya,
sebagai bekal dan terima kasih atat bantuannya. Bagaimana nenek ini bisa tahu?
Akan tetapi, mungkin juga
sebagai seorang pedagang, nenek ini memiliki pandangan tajam tentang hal itu.
Tertarik juga hatinya. Memang selama ini banyak sekali hal-hal yang menarik
hatinya. Dia selalu tertarik oleh urusan orang-orang lain. Apakah hal ini
menunjukkan gejala bahwa dia sudah tidak tertarik lagi kepada diri sendiri?
Baiklah, Nek. Aku hendak
melihat kuda yang kaupuji-puji itu. Akan tetapi tidak perlu kau mengemasi
dagangan untuk mengantar aku. Katakan saja di mana tempat keponakanmu itu, dan
aku akan mencarinya sendiri ke sana. Tidak perlu kau mengorbankan daganganmu
yang menjadi tidak laku hanya untuk mengantarkan aku.!
Kongcu, biar saya yang
mengantar Kongcu ke sana. Saya juga tahu tempat pedagang kuda itu. Bukankah
yang Nenek maksudkan itu adalah Paman Ciok pedagang kuda di sebelah barat
jembatan hijau itu?! tiba-tiba pengemis muda itu berkata.
Nenek itu mengangguk dan
mengerling ke arah Siluman Kecil. Benar di sana....!
Kalau begitu, biar ia ini yang
mengantarku, Nek. Terima kasih!! kata Siluman Kecil dan dia lalu pergi bersama
si pengemis muda.
Siluman Kecil makin tertarik
kepada pengemis ini. Sungguh tidak seperti pengemis-pengemis umumnya. Memang
pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi pakaian itu bersih dan jelas bahwa
pakaian itu belumlah begitu butut sehingga perlu ditambal-tambal. Agaknya
seperti pakaian yang masih baru akan tetapi sengaja ditambal-tambal! Hal ini
tentu saja mencurigakan hatinya dan membuat dia menjadi tertarik. Jangan-jangan
bocah pengemis ini mempunyai maksud tertentu dan sengaja mendekatinya,
pikirnya. Banyak sekali orang-orang yang memusuhinya di dunia ini, apalagi
sejak dia dikenal sebagai Siluman Kecil dan banyak menolong orang-orang yang
tertindas sehingga otomatis dia dimusuhi oleh mereka yang ditentangnya. Akan
tetapi, tentu saja dia tidak merasa gentar, hanya tertarik kepada pribadi
pengemis cilik ini.
Siapakah namamu?!
Pengemis itu terkejut, akan
tetapi lalu menjawab dengan suara tenang, Nama saya Hong, dan orang-orang
memanggil saya Siauw-hong (Hong Kecil).!
Kenapa? Engkau tidak begitu
kecil tubuhmu.!
Entahlah, Kongcu. Sejak kecil
saya disebut Siauw-hong.!
Hemmm, di mana tempat
tinggalmu?! Saya tidak mempunyai tempat tinggal.!
Dan ayah bundamu?!
Siauw-hong menggeleng kepala.
Tidak punya.!
Siluman Kecil mengerutkan
alisnya, kemudian tiba-tiba dia berhenti, memegang pundak pengemis cilik itu
dan menggunakan jari-jarinya untuk menotok jalan darah dekat leher, jalan darah
kematian. Pengemis itu terkejut, cepat dia miringkan tubuh sehingga pegangan
itu meleset dan totokan itu luput.
Ha, sudah kuduga. Engkau
pandai ilmu silat tinggi!! Siluman Kecil berseru.
Dan Kongcu adalah Siluman
Kecil!! pengemis cilik itu berkata.
!Hemmm, ternyata engkau bukan
bocah pengemis sewajarnya, seperti pakaianmu yang tambal-tambalan akan tetapi
bersih dan masih baru. Hayo katakan, mau apa engkau membayangi aku?! Siluman
Kecil menghardik.
Pengemis muda itu menjura.
Maafkan saya, Taihiap. Sesungguhnya bukan maksud saya hendak membayangi, hanya
karena sudah lama saya mendengar nama Taihiap dengan penuh kekaguman maka
begitu melihat Taihiap tadi, saya sudah menduganya dan saya ingin mengenal dan
berdekatan dengan Taihiap. Saya sungguh tidak bermaksud buruk dan hendak
mengantar Taihiap kepada rumah pedagang kuda itu.!
Bagaimana engkau berpakaian
pengemls? Apa maksudnya?!
Maaf, memang saya sengaja dan
ini merupakan syarat menjadi murid dari guru saya. Ketahuilah bahwa sejak kecil
saya diserahkan oleh kakek saya yang sekarang entah berada di mana, kepada guru
saya itu, dan setelah saya menjadi muridnya, saya diharusksn berpakaian
pengemis untuk memenuhi kebiasaan nenek moyang dari guru saya.!
Hemmm, mengapa begitu?!
Siluman Kecil makin tertarik.
Guru saya adalah keturunan
pengemis, Taihiap. Oleh karena itu, biarpun sekarang guru saya tidak menjadi
pengemis, akan tetapi semua muridnya diharuskan berpakaian pengemis sebelum
tamat belajar untuk menghormati leluhurnya.!
Siluman Kecil memandang tajam.
Dari gerakan anak ini ketika mengelak tadi, dia maklum bahwa anak ini memiliki
dasar ilmu silat tinggi, bukan ilmu silat sembarangan saja, maka guru anak ini
tentulah seorang tokoh besar pula.
Siapakah gurumu itu,
Siauw-hong?!
Maaf, Taihiap, akan tetapi
guru saya tidak pernah mau menyebutkan namanya.!
Siluman Kecil
mengangguk-angguk. Dia maklum akan hal ini karena memang demikianlah, makin
tinggi pengertian seseorang, makin rendah hati pula watakhya di samping
keanehan-keanehan yang tidak lumrah manusia biasa. Maka dia pun tidak mau
mendesak lagi untuk menghormati pendirian guru pengemis cilik ini.
Akhirnya mereka tiba di tempat
si pedagang kuda. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, bermata sipit
dan berkumis pendek, menyambut kedatangan mereka dan ketika mendengar bahwa
Siluman Kecil datang untuk melihat kuda keturunan Mongol itu setelah diberi
tahu oleh nenek penjual sepatu rumput, dia tersenyum lebar. Memang benar,
Kongcu. Dan kalau bukan bibi saya yang memberi tahu, tidak sembarangan orang
akan saya persilakan melihat dua ekor kuda dagangan saya itu. Kuda simpanan,
kuda tunggangan raja-raja di daerah Mongol!!
Sambil memuji-muji kudanya,
orang itu mengantar Siluman Kecil dan Siauw-hong ke kandang kuda. Dan memang
dua ekor kuda itu merupakan kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan jelas kelihatan
kuat sekali. Yang seekor berbulu hitam mulus sedangkan yang ke dua berbulu
putih. Warna bulu mereka begitu mulus dan terang sehingga amat menyolok
perbedaan warna bulu mereka. Yang putih adalah kuda betina sedangkan yang hitam
adalah seekor kuda jantan yang kelihatan galak.
Coba Kongcu lihat tanda di
paha kiri mereka ini!! kata si tukang kuda.
Siluman Kecil melihat dan di
paha dua ekor kuda itu, di paha belakang yang kiri, terdapat capnya, yaitu
ukiran kepala naga yang tentu saja kasar karena dibuat dengan menempelkan besi
membara yang bergambarkan kepala naga di bagian paha itu.
Apa artinya gambar ini?! tanya
Siluman Kecil.
Itu adalah tanda bahwa
sepasang kuda ini adalah bekas milik raja Mongol, seorang di antara raja-raja
liar di antara suku bangsa Nomad di Mongol sana dan agaknya raja itu memuja
naga. Atau mungkin juga dua ekor kuda ini adalah keturunan Liong-ma (Kuda Naga)
yang terkenal itu. Pendeknya, bukan kuda sembarangan, Kongcu, dan kalau Kongcu
dapat memiliki seekor kuda ini, Kongcu sungguh beruntung. Akan tetapi, saya
anjurkan Kongcu memilih yang putih.
Yang betina? Mengapa?!
Karena dua ekor kuda ini
memang mempunyai keanehan. Yang putih ini agaknya hanya mau menjadi jinak kalau
dinaiki oleh seorang pria! Sedangkan yang jantan, yaitu yang hitam ini, hanya
mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang wanita!!
Ah, sungguh luar biasa!! Siluman
Kecil berseru dan pengemis kecil itu tertawa.
Ha-ha, kalau begitu mereka
adalah kuda-kuda yang cabul!! seru Siauw-hong.
Hushhhhh, jangan sembarangan
saja kau, Siauw-kai (Pengemls Cilik)!! Pedagang kuda itu menghardik.
Omongannya itu ada benarnya,!
kata Siluman Kecil membela Siauw-hong.
Tidak, Kongcu. Sama sekali
tidak benar. Dua ekor kuda ini bukanlah kuda cabul, akan tetapi adalah kuda
yang sudah terlatih matang di tempat asalnya. Dengan wataknya yang aneh itu,
kita dapat menarik kesimpulan bahwa tentu kuda hitam ini dahulu adalah kuda
tunggangan seorang permaisuri dan dilatih sedemikian rupa, sehingga dia tidak
mau ditunggangi seorang pria, maka hanya sang permaisuri sajalah yang dapat
menungganginya. Mana boleh kuda tunggangan seorang permaisuri ditunggangi
seorang pria? Dan demikian pula dengan kuda putih ini, tentu dahulunya menjadi
kuda tunggangan seorang raja.!
Siluman Kecil
mengangguk-angguk. Biarpun cerita itu agaknya terlalu dibuat-buat, akan tetapi
masuk akal juga.
Saya tidak percaya!! Tiba-tiba
Siauw-hong berkata. Saya yakin bahwa kuda hitam itu lebih baik karena dia
jantan. Lebih baik Kongcu memilih yang jantan saja.!
Eh, kau berani tidak percaya
kepadaku, Siauw-kai? Kau menyuruh Kongcu naik kuda hitam kemudian
dibantingkan?! bentak si tukang kuda.
Masa dibantingkan! Kuda itu
kelihatan begitu jinak!! Siauw-hong membantah.
Kalau tidak percaya, boleh
kaucoba naik di punggungnya!! tantang si tukang kuda.
Baik, akan saya tunggangi
dia!! Siauw-hong menerima tantangan itu.
Siauw-hong, apakah kau bisa
menunggang kuda?! Siluman Kecil bertanya khawatir.
Siauw-hong tersenyum dan anak
ini kelihatan tampan sekali kalau tersenyum. Jangan khawatir, Taihiap, sejak
kecil saya sudah biasa menunggang kuda dan entah sudah ada berapa ratus ekor
kuda jantan yang saya tunggangi, maka saya tidak percaya kalau ada kuda jantan
tidak mau ditunggangi pria!!
Kau bocah sungguh bermulut
besar. Boleh kaucoba si Hitam, akan tetapi Kongcu ini menjadi saksi dan saya
tidak mau dipersalahkan kalau nanti kau dibantingkan dan punggungmu patah,!
kata si tukang kuda.
Siauw-hong tertawa lalu dia
menuntun kuda hitam itu keluar kandang. Kelihatan si Hitam ini memang cukup
jinak dan menurut saja ketika dituntun keluar. Dengan gerakan cekatan tanda
bahwa dia memang biasa menunggang kuda, Siau-whong lalu meloncat ke atas
punggung kuda hitam yang tinggi itu. Dan mulailah si Hitam itu memperlihatkan
keliarannya. Dia meringkik keras, mendengus-dengus marah lalu berloncatan ke
atas, berdiri di atas kedua kaki, meloncat lagi dan membuat punggungnya menjadi
melengkung, bergerak ke kanan kiri dan membuat gerakan dengan punggung untuk
melemparkan Siauw-hong yang duduk di atas punggungnya. Siauw-hong ternyata
memang seorang ahli menunggang kuda. Kalau lain orang yang menunggangi punggung
kuda hitam yang mengamuk itu, tentu takkan dapat bertahan lama dan sudah
terlempar sejak tadi. Akan tetapi Siauw-hong juga memperlihatkan kelihalannya,
biarpun beberapa kali tubuhnya kelihatan hampir terlempar dari punggung, namun
ternyata dia masih dapat turun lagi duduk di atas punggung sambil memegangi
kendali dengan cekatan.
Siluman Kecil menonton dengan
hati tegang. Kembali dia dibuat kagum, sekali ini dibuat kagum oleh Siauw-hong
dan juga oleh kuda itu. Benar-benar seekor kuda yang amat aneh, terlatih baik
sekali dan penuturan pedagang kuda ini ternyata tidak bohong. Kuda jantan ini
benar-benar tidak sudi ditunggangi oleh seorang pria! Kini kuda itu
mengeluarkan suara ringkikan yang rendah mirip gerengan harimau dan tiba-tiba
dia membanting diri ke kanan dan membuat gerakan becgulingan!
Awas, Siauw-hong....!! Mau
tidak mau Siluman Kecil memekik dan dia sudah siap menolong karena keadaan
pengemis muda itu benar-benar amat berbahaya.
Kuda iblis....!! Siauw-hong
berteriak dan tubuhnya terlempar, akan tetapi dengan gerakan pok-sai (salto)
dia berhasil turun ke atas tanah dengan kaki lebih dulu. Dia mengebut-ngebutkan
pakaiannya dan mengomel,, Taihiap, kuda iblis itu berbahaya sekali!!
Pedagang kuda tertrswa
menyeringai akan tetapi tidak berani bicara sembarangan karena dia pun sekarang
tahu bahwa pengemis cilik itu bukan orang sembarangan setelah dia melihat
betapa pengemis itu tadi dapat menyelamatkan diri secara luar biasa. Dia
menuntun kuda hitam yang sudah jinak kembali begitu punggungnya tidak ditunggangi
orang!
Kuda yang baik sekali!!
Mereka bertiga menoleh dan
melihat seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian mentereng dan
bersikap lincah memasuki tempat itu dan memuji si kuda hitam yang liar tadi,
Siluman Kecil memandang penuh perhatian. Pemuda itu usianya tentu masih amat
muda, mungkin baru belasan tahun, akan tetapi sinar matanya memandang penuh
perhatian, dan melihat pakaiannya yang indah dan serba baru, mudah diduga bahwa
pemuda ini tentulah putera seorang hartawan besar atau setidaknya putera
seorang bangsawan! Tubuhnya kecil, akan tetapi kelihatan gesit, tanda bahwa
pemuda hartawan ini tentu berisi!, yaitu pernah berlatih silat. Di belakang
pemuda ini berjalan seorang anak laki-laki yang membawa buntalan.
Pedagang kuda itu pun bermata
tajam, tentu saja dia segera mengenal seorang hartawan, maka sambil menuntun
kuda hitam dia menghampiri dan menjura, Kuda yang manakah yang Kongcu anggap
baik?! tanyanya.
Mana lagi kalau bukan kuda
yang kau tuntun itu,! jawab si pemuda tampan sambil memandangi kuda hitam
dengan mata bersinar-sinar. Ini kuda Mongol tuan!! serunya sambil mendekati
kuda itu, mengelus leher kuda itu dengan tangannya.
Apakah Kongcu ingin membeli
kuda?! tanya pula si pedagang kuda.
Benar, aku membutuhkan dua
ekor kuda untuk aku dan pelayanku ini, karena aku hendak pergi ke Cheng-couw,
untuk memasuki ujian pengawal gubernur!!
Siluman Kecil merasa tertarik
sekali. Benar dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian silat, kalau
tidak tentu tidak akan ikut-ikut memasuki ujian pengawal.
Pedagang kuda itu tersenyum
lebar dan matanya berseri girang. Hari baik rupanya hari ini bagi dia. Sepagi
itu sudah banyak orang datang hendak membeli kuda!
Kongcu tidak salah kalau
mencari kuda di sini!! katanya.
Aku suka sekali dengan kuda
hitam ini, berapa harganya? Akan kubeli dia!! kata si kongcu yang masih
mengelus-ngelus kuda itu.
Si pedagang kuda kelihatan
kaget. Ohhh, jangan yang ini, Kongcu! Apakah Kongcu tadi tidak melihat betapa
liarnya dia? Kuda ini pantang ditunggangi oleh seorang pria. Dia adalah bekas
tunggangan seorang permaisuri suku Nomad di Mongol, sudah terlatih untuk
menolak kalau ditunggangi seorang pria. Sebaliknya, kuda putih itu pantang
ditunggangi seorang wanita. Maka, kalau Kongcu membutuhkan kuda, sebaliknya
yang putih itu....eh, kalau belum jadi dibeli oleh Kongcu itu yang datang lebih
dulu.
Pemuda tampan itu kini
memandang kepada Siluman Kecil, menghampiri dan tersenyum, lalu menjura. Tentu
saja Siluman Kecil juga cepat membalas penghormatan orang itu. Apakah engkau
juga hendak membeli kuda putih itu, Sobat?! Pertanyaan ini diajukan dengan
sikap ramah sekali sehingga biarpun Siluman Kecil tidak ingin berkenalan dengan
orang itu, terpaksa dia menjawab dengan anggukan kepala.
Agaknya engkau hendak melakukan
perjalanan cepat dan jauh pula, Sobat.! Saya....kami hendak pergi ke
selatan....!
Ah! Betapa kebetulan sekali!
Tidak dicari-cari di sini bertemu dengan seorang teman seperjalanan! Sobat yang
baik, kalau begitu mari kita melakukan perjalanan bersama. Sungguh menyenangkan
sekali! Aku mendapatkan seorang teman untuk bercakap-cakap di perjalanan!!
Siluman Kecil mengerutkan
alisnya. Dia tidak ingin melakukan perjalanan dengan orang lain yang tidak
dikenalnya. Pula, memang selama ini dia selalu menjauhkan diri dari pergaulan
umum.
Terima kasih atas kebaikan
saudara! jawabnya. Akan tetapi saya masih mempunyai banyak kepentingan lain.!
Penolakan halus diterima oleh pemuda tampan itu dengan senyum.
Tidak mengapa. Engkau boleh
menyelesaikan semua kepentinganmu dulu, baru kita berangkat bersama.!
Siluman Kecil tidak menjawab
lagi, melainkan menoleh kepada pedagang kuda. Paman, berapakah harganya kuda
putih itu?!
Tiga ratus tael perak! jawab
si pedagang kuda.
Wah, masa ada kuda harganya
sekian?! Siauw-hong berseru. Biasanya, seekor kuda tidak akan lebih dari
seratus tael perak harganya!!
Si pedagang kuda menyeringai.
Siau-kai, biarpun omonganmu itu ada benarnya, akan tetapi dua ekor kuda ini
bukanlah kuda biasa! Coba dibayangkan, berapa biayanya mengambil dua ekor kuda
ini dari tempat asalnya! Kongcu, harganya tiga ratus tael perak, tidak boleh
kurang satu tael pun.!
Siluman Kecil tidak tahu akan
harga kuda, akan tetapi terdengar pemuda tampan itu berkata, Tiga ratus tael
tidaklah mahal untuk seekor kuda seperti itu.!
Mendengar ini, Siluman Kecil
mengerutkan alisnya. Uang baginya bukan apa-apa, apalagi uang itu adalah
pemberian orang untuk bekal. Dia tidak membutuhkan banyak uang, hanya
memberatkan saja. Tiba-tiba dia terkejut bukan main dan baru teringat bahwa dia
tidak merasakan sesuatu yang berat di buntalannya! Karena dia tidak pernah
memikirkan uang, dan jarang sekali membawa uang banyak, maka dia tidak
merasakan perbedaan itu! Dia mengangkat buntalannya, menimbang-nimbang dan
jantungnya berdebar. Benar saja, buntalannya sudah tidak berat lagi! Padahal
seingatnya, uang bekal yang diberikan oleh hartawan itu kepadanya amat berat!
Cepat dia membuka buntalannya dan dia menahan napas. Uang itu telah lenyap! Dia
telah diberi beberapa potong uang emas dan banyak uang perak oleh hartawan itu,
yang rasanya cukup banyak untuk membeli kuda itu. Akan tetapi ternyata uang itu
lenyap sama sekali, tidak ada sisanya barang satu potong pun! Dan dia tidak
merasakan kehilangan itu!
Celaka....!! serunya.
Taihiap, ada apakah....?!
Siauw-hong bertanya sambil mendekati.
Uangku lenyap!
Ahhh....!! Siauw-hong juga
memandang bingung.
Pemuda tampan itu menghampiri
Siluman Kecil dan bertanya, Sobat, apa yang telah terjadi?!
Siluman Kecil menggeleng
kepala. Entah bagaimana, uangku yang berada di dalam buntalan ini lenyap semua
tanpa kusadari. Aku lupa bahwa aku membawa uang, maka ketika lenyap aku tidak
tahu....!
Hemmm.... Si pedagang kuda
berkata dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh kecurigaan kepada Siluman
Kecil dan Siauw-hong.
Kalau begitu, biarlah aku yang
membayarnya! Hei, pedagang kuda, berikan kuda putih itu kepada sobatku ini dan
kuda hitam itu kubeli, lalu sediakan dua ekor kuda lain untuk pembantu-pembantu
kami!! Pemuda itu cepat mengeluarkan sekantung uang emas dari buntalannya yang
tadi dibawa oleh kacungnya.