68 Kita Harus Dapat Menahan Diri.....!
“Jangan menimbulkan keonaran
dulu!” bisik In Lap Siansu. “Kita masih membutuhkan banyak sekali keterangan
dari mulut mereka! Biarkan mereka bicara, kita akan mengetahui lebih banyak apa
yang ingin mereka lakukan kelak dalam rapat Kay-pang!!'
Karena cegahan dari In Lap
Siansu, Kay Cing Kay terpaksa menindih perasaan gusarnya itu, dia hanya
mengintai dari tempatnya dengan sorot mata yang merah mengandung kemurkaan yang
sangat.
Sedangkan In Lap Siansu
sendiri telah melihat salah seorang dari belasan orang saudagar itu telah
merogoh sakunya, mengeluarkan segulungan kertas.
“Ini adalah surat dari Ho
Ciangkun!” kata orang itu. ”Apakah kalian ingin mendengarnya?”
Beberapa orang kawannya
mengiyakan.
Orang itu membuka gulungan
surat tersebut, dia mulai membacanya.
“.....Jika memang kawan-kawan
melakukan tugas dengan baik, tentu akan dikurniakan pangkat yang tinggi sekali,
jika perlu akan memperoleh kenaikan pangkat dua tingkat. Akan tetapi, kalau
memang terjadi kegagalan disebabkan kalian, tentu kalian akan memperoleh
hukuman yang tidak ringan dari pihak kerajaan!
Kaisar merestui perjuangan
kalian dalam menghancurkan Kay-pang!”
Semua kawanan orang-orang itu
mengeluarkan suara tertawa gembira, dan mereka tampaknya senang sekali. Malah
di antara mereka ada yang meneguk beberapa cawan arak lagi.
Di antaranya juga ada yang
mengoceh: “Sekarang ini kita masih memiliki kesempatan yang baik, jika memang
telah tiba saatnya kita berjuang, tentu kita tidak memiliki ketika yang baik
untuk menikmati arak..... Ayo, mari kita keringi beberapa cawan arak lagi.....
Untuk merestui perjuangan kita agar berhasil dengan baik!”
Setelah berkata begitu, mereka
semuanya mengangkat cawan dan meneguk kering. Sedangkan tuan rumah dan
isterinya sejak tadi, setelah selesai menyajikan makanan dan arak kepada
tamu-tamunya ini, mengajak mereka berdiam di ruang belakang rumahnya.
Tamu-tamu ini memang terbuka
sekali tangannya, tadi saja mereka telah diberi hadiah sebanyak limabelas tail
perak, dan itu merupakan jumlah yang sangat banyak bagi mereka, cukup untuk
mereka pergunakan hidup selama satu bulan.
Saat itu, In Lap Siansu dan
Kay Cing Kay telah berbisik satu dengan yang lainnya: “Apa yang akan kita
lakukan, Taysu?” tanya Kay Cing Kay.
“Kita jangan memukul rumput
mengejutkan ular!” menyahuti In Lap Siansu dengan suara berbisik juga.
“Tetapi jika kita melepaskan
mereka, berarti mereka dapat bergerak lebih leluasa! Bukankah lebih baik kita
menawan mereka dan kita kurung di dalam kuil? Dengan demikian, selain kita
mengurangi jumlah lawan yang akan mengacaukan rapat besar Kay-pang, pun dari
mereka kita dapat mengorek keterangan yang kita perlukan.....!”
In Lap Siansu tidak segera
menyahuti, dia berdiam diri beberapa saat, sampai akhir nya dia mengangguk.
“Baiklah! Kepandaian mereka
memang tidak terlalu tinggi, karena ilmu silat mereka biasa-biasa saja! Namun,
jika memang kita gagal menangkap mereka semua dan ada salah seorang di antara
mereka yang berhasil meloloskan diri. Tentu hal ini hanya akan merepotkan kita
pula, di mana orang yang lolos itu dapat memberitahukan kepada kawan-kawannya
bahwa Kay-pang telah mengetahui rencana mereka, tentu mereka dapat merobah
rencana kerja mereka..... Dengan demikian kita akan menghadapi kesulitan
baru.....!”
Mendengar penjelasan In Lap
Siansu, Kay Cing Kay jadi ragu-ragu. Dia berdiam diri beberapa saat, sampai
akhirnya dia berkata juga: “Kita coba saja. Bagaimanapun kita harus menangkap
semuanya, tidak seorangpun dari mereka yang akan kita biarkan lolos.....!“
Dan setelah berkata bcgitu,
secepat kilat Kay Cing Kay telah melompat ke depan, gerakan tubuhnya itu
seperti bayangan saja, karena dia mempergunakan ginkangnya, sehingga tubuhnya
dapat melompat secepat angin.
Sedangkan In Lap Siansu yang
melihat kawannya telah bergerak, cepat sekali menyusul. Karena walaupun
bagaimana dia tidak mau membuang waktu lagi. Kalau sampai terlambat, dan Kay
Cing Kay bergerak, lalu memperoleh kesulitan dari belasan orang saudagar palsu
itu, tentu hanya akan mempersulit mereka juga, di mana para saudagar palsu itu
bisa mempersiapkan diri buat menghadapi mereka.
Waktu itu, belasan orang
saudagar itu telah dipengaruhi oleh arak, dan mata mereka sudah tidak bisa
melihat dengan jelas. Hanya melihat sesosok bayangan melompat ke depan dari
salah seorang di antara mereka.
Cepat luar biasa sosok
bayangan itu menggerakkan tangannya menyerang ke arah dada orang itu. Suara
“Bukkk!” yang keras terdengar, seketika tubuh orang itu terjungkal dan pingsan.
Kawan-kawan orang itu jadi
terperanjat bukan main. Mereka melompat bangun dan dengan gerakan yang gesit
mereka menyerang kepada sosok bayangan itu. Rupanya rasa kaget dan bingung
mereka telah membuat pengaruh arak berkurang, sehingga mereka bisa menyerang
dengan baik.
Sedangkan Kay Cing Kay bergerak
cepat sekali, ke dua tangannya menyambar ke sana ke mari dengan gerakan yang
sebat, dia melontarkan dua orang lawannya. Berbareng dengan itu In Lap Siansu
juga telah tiba. Dengan gerakan yang sangat lincah dia telah bergerak menotok
beberapa orang saudagar palsu itu. Dengan demikian tubuh orang-orang itu
terkulai rubuh tanpa bisa berkutik lagi.
Kawan-kawan dari para saudagar
itu tampak lebih terkejut lagi. Dan benar-benar pangaruh arak yang tadi masih
bersisa di dalam diri mereka telah lenyap. Dan mereka bergerak cepat sekali,
melompat mengepung dan melancarkan serangan yang bertubi-tubi kepada In Lap
Siansu dan Kay Cing Kay.
Akan tetapi mereka telah
berada di bawah angin, karena memang In Lap Siansu dan Kay Cing Kay telah
menyerang terlebih dulu dan merebut waktu. Dengan demikian, dalam keadaan
terdesak dan panik, saudagar-saudagar palsu yang memang kepandaiannya berada di
bawah kepandaian In Lap Siansu dan Kay Cing Kay, jadi terdesak hebat. Mereka
telah tertotok seorang demi seorang, rubuh terkulai tidak bisa berkutik.
Waktu keributan itu terjadi,
tuan rumah suami isteri telah muncul.
Di saat itu Kay Cing Kay
bergerak cepat. Dia sadar jika tuan rumah ini tidak ditawan juga, tentu berita
terjadinya peristiwa tersebut dapat tersiar.
Karenanya, dengan cepat Kay
Cing Kay melompat ke arah suami isteri itu, di mana sepasang tangannya bergerak
sebat, tangan kanan menotok sang suami, sedangkan tangan kirinya menotok jalan
darah si isteri pemilik rumah tersebut. Tidak ampun lagi sepasang siuami isteri
itu telah terjungkal rubuh tidak bisa bergerak lagi.
Sedangkan In Lap Siansu juga
telah berhasil menotok semua lawan-lawannya. Para saudagar itu telah
menggeletak tidak bisa bergerak sama sekali, karena jalan darah mereka telah
tertotok.
Di waktu itu, Kay Cing Kay
telah berkata kepada In Lap Siansu, bahwa dia akan kembali ke kuil di mana
kawan-kawannya berkumpul, untuk memanggil beberapa anggota Kay-pang, guna
membantui mereka mengangkuti saudagar-saudagar palsu itu yang kini telah
menjadi tawanan mereka.
In Lap Siansu menyetujui untuk
menanti di situ, menjagai para tawanannya.
Kay Cing Kay pergi dengan
cepat, dan tidak lama kemudian dia kembali dengan membawa lima orang Kay-pang.
Dengan demikian mereka dapat membawa tawanan ke kuil tempat mereka berkumpul
dengan cepat.
In Lap Siansu girang juga,
karena melihat tidak ada seorangpun dari saudagar-saudagar palsu, yang ternyata
merupakan orang orang kerajaan yang tengah menyamar itu, yang bisa meloloskan
diri. Dengan demikian Kay-pang akan bisa memperoleh keterangan yang lebih
banyak dari tawanan mereka.
Waktu tiba di kuil itu Kay
Cing Kay memimpin pemeriksaan terhadap belasan orang saudagar palsu itu.
Setelah disiksa barulah para
saudagar palsu itu mengakui dengan terus terang, bahwa mereka adalah orang-orang
kerajaan yang memang ditugaskan untuk menyamar menyelusup ke dalam Hou-ciu,
guna mengacaukan rapat besar Kay-pang. Dan mereka juga menyatakan, walaupun
bagaimana Kay-pang dapat dihancurkan, karena banyak sekali orang-orang kerajaan
yang dikerahkan di Hou-ciu, sehingga tidak seorangpun dari anggota Kay-pang
yang bisa lolos.
Malah salah seorang diantara
mereka telah mengancam, agar membebaskan mereka. Jika tidak, kelak di waktu
tiba saatnya orang-orang kerajaan bergerak, dan Kay-pang dihancurkan, mereka
akan membinasakan orang-orang yang telah menawan mereka.
Sedangkan salah seorang di
antara mereka ada juga yang membujuk. Dikatakannya jika Kay Cing Kay dan In Lap
Siansu mau membebaskan mereka, tentu mereka akan memberi tahukan kepada Ho
Ciangkun bahwa In Lap Siansu dan Kay Cing Kay bersama beberapa anggota Kay-pang
itu tidak perlu dimusnahkan, malah mereka mungkin akan diberi imbalan yang
cukup besar atas jasa-jasa mereka. Jika memang Kay Cing Kay ingin hidup senang,
merekapun akan membujuk Ho Ciangkun agar pengemis ini diberikan pangkat dan
kedudukan.
Mendengar itu, Kay Cing Kay
jadi tambah marah, bukannya tertarik oleh tawaran istimewa tersebut, malah
telah dihajarnya orang tersebut sampai babak belur.
Begitulah, limabelas orang
perwira kerajaan yang menyamar sebagai saudagar-saudagar palsu itu telah
ditahan di kuil tersebut, di mana mereka akan dihadapkan pada tokoh-tokoh
Kay-pang.
◄Y►
Tinggal tiga hari lagi rapat
besar akan diadakan oleh Kay-pang di kota Hou-ciu segera tiba, dan kota itu
semakin penuh juga didatangi oleh pengemis-pengemis dari berbagai daerah. Yang
lebih luar biasa juga di kota ini telah dibanjiri dengan orang-orang yang
berpakaian bermacam ragam, ada yang sebagai pelajar, sebagai busu, sebagai
pedagang, sebagai petani, juga orang-orang asing lainnya. Mereka semuanya
berjumlah ribuan orang, sehingga membuat kota Hou-ciu ramai luar biasa.
Sedangkan pihak pengemis,
telah berjumlah hampir sepuluh ribu orang. Dengan demikian kemana saja orang
berjalan di Hou-ciu tentu akan bertemu dengan rombongan pengemis. Banyak
tingkah laku mereka, ada yang menjalankan kebiasaan mereka untuk meminta-minta
sedekah makanan sisa, ada juga yang telah duduk bergerombolan di
pinggir-pinggir rumah penduduk, dan ada juga yang berkeliaran. Tetapi mereka semuanya
tidak ada yang menimbulkan keonaran.
Menyaksikan jumlah pengemis
yang luar biasa banyaknya, membuat penduduk Hou-ciu jadi bergelisah juga.
Mereka rupanya bingung dan tidak mengerti mengapa kota mereka bisa kebanjiran
pengemis yang demikian besar jumlahnya, di samping orang-orang asing lainnya.
Dengan sendirinya mereka menduga-duga akan terjadi sesuatu yang luar biasa di
kota mereka.
Pada pagi itu, tampak lima
orang yang tengah berjalan di sebuah jalanan di kota Hou-ciu. Mereka adalah dua
orang pemuda, seorang laki-laki tua berusia limapuluh tahun lebih, dengan
seorang wanita berusia tigapuluhan tahun dan seorang anak perempuan berusia
belasan tahun.
Sikap mereka tenang, waktu
memasuki sebuah rumah makan, yang penuh oleh pengunjung. Dengan sabar mereka
menanti sampai ada meja yang kosong dan mereka baru memesan makanan.
Ke lima orang ini
bercakap-cakap dengan tenang, hanya mata mereka yang mengawasi ke sekitarnya
dengan sinar matanya yang tajam seperti juga tengah mencari-cari seseorang.
Dilihat dari sikap mereka itu,
tampaknya ke lima orang ini bukan orang sembarangan. Terlebih lagi orang tua
berusia limapuluh tahun lebih, dari sinar matanya diketahui bahwa ia memiliki
lweekang yang tinggi.
Sedangkan wanita yang berusia
tigapuluh tahun lebih itu demikian menyayangi si gadis cilik, yang dengan manja
duduk di sampingnya. Mendengar dari panggilan si gadis cilik kepada wanita
tersebut, jelas wanita itu adalah ibu dari si gadis cilik yang manja tersebut.
Ke dua pemuda itupun tampak
tenang sekali, yang seorang berusia enambelas tahun, sedangkan yang seorang
lagi berusia antara duapuluh tahun lebih. Mereka berpakaian sederhana sekali,
akan tetapi dilihat dari sikap mereka yang gagah, dan di punggung masing-masing
tergemblok sebatang pedang. Rupanya mereka berasal dari dunia persilatan.
Waktu itu pemuda yang berusia
enambelas tahun telah menoleh kepada seorang yang duduk di meja lainnya, dia
memperhatikan dengan seksama. Tampak matanya itu memancarkan sinar yang tajam
sekali.
Orang yang diperhatikannya itu
adalah seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun, tubuhnya masih tegap
dan tampaknya memiliki tenaga yang kuat. Wajahnya berpotongan telur dan lonjong
di bagian dagunya, matanya memancarkan sinar yang licik.
Mengetahui pemuda itu
mengawasi padanya, orang tua tersebut berkata kepada kawannya, seorang lelaki
berusia tua seperti dia juga, yang duduk dihadapannya: “Bocah itu minta
dihajar......!”
Kawannya tertawa dingin.
“Hmm, memang matanya harus
dicongkel keluar!” sahutnya sambil memperdengarkan suara tertawa dingin lagi.
“Tetapi kita telah dipesan tidak boleh menimbulkan keonaran.....!”
Waktu itu, tampak kawannya
masih mendongkol dan tidak bisa menahan kemendongkolannya itu, dia berkata
lagi: “Tetapi jika dihajar satu-dua kali hantaman, itu tentunya bukan merupakan
hal yang terlalu hebat..... tentu tidak menimbulkan keonaran yang lebih
jauh....!”
“Jangan.....!” mencegah
kawannya. “Kita harus dapat menahan diri.....!”
“Tetapi matanya itu kurang
ajar sekali!”
“Kita jangan mencari
urusan.....!”
“Tetapi pemuda itu kurang ajar
sekali. Lihat, dia masih mengawasiku seperti juga aku ini kakeknya.....!“
berkata kawannya dengan sikap tidak senang.
Mendengar itu, kawannya yang
duduk di hadapannya jadi berdiam diri sejenak, dan akhirnya menghela napas.
“Laote, jika memang kau ingin
menghajarnya satu-dua kali hantaman, baiklah..... tetapi cegah jangan sampai
timbul keonaran yang lebih besar.....!”
Orang tua itu mengangguk, dia
bangkit dari duduknya. Dengan mulut memperlihatkan senyuman mengejek, dia menghampiri
si pemuda berusia enambelas tahun itu.
Sedangkan si pemuda telah
melihat orang tua itu menghampirinya, dia tertawa.
“Ha, rupanya benar dia yang
tengah kita cari.....!” kata pemuda itu.
Kawan-kawan si pemuda menoleh
mengawasi orang tua tersebut yang telah sampai di depan meja mereka. Dengan
gusar, orang tua itu membentak kasar: “Matamu perlu dikorek bocah!”
Dan orang tua itu bukan hanya
sekedar berkata saja, karena cepat bukan main tangan kanannya bergerak, dia
telah menyerang dengan jari telunjuknya ke arah mata si pemuda. Karena memang
dia bermaksud untuk mengorek biji mata si pemuda itu.
Belum lagi pemuda belasan
tahun itu bergerak untuk menghindarkan totokan tangan orang tua itu, yang
meluncur sangat cepat, kawan si pemuda yang berusia limapuluhan tahun lebih itu
tiba-tiba mengangkat sumpitnya. Dengan gerakan yang sulit diikuti oleh
pandangan mata orang biasa, sumpit itu tahu-tahu telah menjepit jari telunjuk
orang tua itu.
Jepitan yang dilakukan sumpit
tersebut ternyata sangat kuat sekali, sehingga tangan orang tua itu tidak bisa
bergerak lagi. Malah orang tua tersebut merasakan jari telunjuknya sakit bukan
main, sehingga dia merasakan tulang jari telunjuknya itu seperti akan patah
terjepit sumpit itu.
Dengan gusar orang tua itu
mengerahkan tenaga dalamnya, dia menarik pulang tangannya.
Setelah itu dengan mata yang
bengis dia mengawasi kawan si pemuda yang berusia limapuluh tahun lebih itu.
Katanya dengan gusar: “Kau ingin mencampuri untuk dihajar pula?”
Tetapi orang tua berusia
limapuluh tahun lebih itu bersikap tenang sekali. Dia menyahuti: “Ha, rupanya
engkau seorang yang galak sekali...... Kami tidak saling kenal dengan kau, dan
tidak memiliki kesalahan apapun juga. Mengapa justru tidak angin tidak hujan
kau mau menyerang kawanku itu? Apakah memang kau selalu memerlukan biji mata,
sehingga begitu menyerang ingin mengorek biji mata kawanku itu?”
Disanggapi seperti itu telah
membuat orang tua itu jadi penasaran, dia tambah gusar, serunya: “Aku Hong Tia
Liang baru hari ini melihat manusia-manusia kurang ajar tidak tahu peradatan
seperti kalian! Bocah itu mengawasiku seperti juga memandangi kakek moyangnya,
karenanya kukira ada baiknya jika biji matanya dikorek agar lain kali tidak
kurang ajar!”
Sambil berkata begitu, orang
tua yang mengaku bernama Hong Tia Liang tidak tinggal diam. Belum lagi
perkataannya itu habis diucapkan, tangannya cepat bergerak, di mana dia
bermaksud menotok biji mata si pemuda itu.
Akan tetapi, sekali ini justru
pemuda yang berusia duapuluh tahun lebih, yang berrada di samping si pemuda
berusia belasan tahun, yang bergerak sangat sebat. Belum lagi tangan Hong Tia
Liang menyambar tiba pada sasaran, tangannya itu telah ditangkis dan disampok
kuat sekali. Dengan demikian membuat tangan Hong Tia Liang tersampok ke samping.
Tangkisan yang dilakukan oleh
pemuda berusia duapuluh tahun lebih itu ternyata kuat sekali, dan ini di luar
dugaan dari Hong Tia Liang.
Jika sebelumnya dia hanya
bermaksud untuk mengorek biji mata pemuda belasan tahun itu dan tidak
menimbulkan keonaran lebih jauh, sekarang dalam saat murkanya seperti itu,
telah membuat dia jadi kalap. Dua kali serangannya telah gagal, karenanya
sekarang dia menyerang dengan kekuatan yang penuh dan gerakan yang cepat
sekali. Tangan kirinya menyambar akan mencengkeram pundak si pemuda berusia
duapuluh lebih, sedangkan tangannya yang lain tetap menotok ke arah biji mata
pemuda belasan tahun itu.
Tetapi sekarang pemuda berusia
belasan tahun tersebut tidak tinggal diam. Melihat orang tua she Hong itu
menyerang lagi padanya, dengan tetap duduk berdiam di tempatnya, tangan
kanannya telah diangkat. Kemudian secepat kilat tahu-tahu dia telah
menceagkeram pergelangan tangan dari Hong Tia Liaug, diapun telah mengerahkan
tenaga dalamnya dan meremas tangan Hong Tia Liang.
Gerakan yang dilakukan oleh
pemuda belasan tahun itu membuat Hong Tia Liang kaget tidak terkira.
Melihat dari usianya yang baru
belasan tahun itu, tentunya pemuda ini memiliki kepandaian yang belum berarti.
Akan tetapi kenyataan yang ada, remasan tangan pemuda ini kuat sekali, telapak
tangannya sangat panas, membuat Hong Tia Liang merasakan pergelangan tangannya
seakan kena diremas sampai hancur.
Sambil mengeluarkan seruan
tertahan, dia berusaha menarik tangannya untuk melepaskan dari remasan dan
cekalan tangan pemuda itu, berbareng kaki kanannya juga telah menendang untuk
menyepak tubuh pemuda itu dari tempat duduknya. Namun, apa yang dilakukan oleh
Hong Tia Liang ternyata gagal. Bukan saja dia gagal untuk menarik pulang
tangannya dari cekalan atau ceagkeraman tangan si pemuda belasan tahun itu,
malah tendangan kakinya telah mengenai tempat kosong, sebab pemuda itu hanya
menggeser duduknya saja.
Dengan demikian Hong Tia Liang
tambah gusar dan penasaran. Baru saja dia ingin menyerang lebih jauh, di waktu
itulah si pemuda, belasan tahun tersebut membentak. Tangannya yang mencengkeram
pergelangan tangan Hong Tia Liang telah dihentakkan, sehingga tidak ampun lagi
tubuh Hong Tia Liang terhuyung akan rubuh.
Beruntung bahwa Hong Tia Liang
memiliki lweekang yang cukup tinggi, walaupun tubuhnya telah terhuyung, akan
tetapi dia masih sempat untuk menguasai ke dua kakinya, sehingga dia bisa
berdiri tetap lagi.
Dengan muka yang merah padam,
dia mendelik kepada pemuda belasan tahun itu.
Walaupun kawannya tadi telah
berpesan agar tidak menimbulkan keonaran dan cukup jika telah menghajar pemuda
belasan tahun tersebut, akan tetapi sekarang justru Hong Tia Liang telah lupa
diri. Karena gusar dan penasaran, dia jadi melupakan segalanya dan dengan gesit
dia melompat maju lagi.
Kali ini serangan ke dua
tangannya sangat dahsyat sekali, dia telah menyerang dengan ke dua tangannya
sekaligus kepada pemuda belasan tahun tersebut.
Angin serangan yang
dilancarkan Hong Tia Liang menderu-deru mendesak pemuda itu, akan tetapi pemuda
belasan tahun itupun telah berdiri dari tempat duduknya, dia mengangkat ke dua
tangannya untuk menangkis tangan Hong Tia Liang.
Apa yang dilakukan oleh pemuda
belasan tahun itu membuat Hong Tia Liang tambah murka.
“Hemmm, usiamu belum seberapa
dan tentunya ilmu silat yang kau pelajaripun tidak seberapa tinggi, akan tetapi
kau berani menyambut seranganku dengan kekerasan, berarti kau mencari mampus
sendiri.....!” pikir Hong Tia Liang.
Sebagai seorang yang telah
kenyang makan asam garam dunia persilatan dan juga memiliki kepandaian yang
tinggi, disamping pengalaman yang banyak, membuat Hong Tia Liang tidak
meneruskan serangan ke dua tangannya itu. Dia mandek dan menahan ke dua
tangannya waktu menyaksikan pemuda belasan tahun itu ingin menangkis
serangannya dengan kekerasan. Berbareng dengan itu, dia telah membentak
nyaring, tahu-tahu tangannya telah meluncur turun ke bawah, dengan serentak ke
dua tangannya itu menghantam ke arah dada si pemuda belasan tahun itu.
Si pemuda belasan tahun
tersebut tampaknya kaget juga menyaksikan lawannya merobah serangannya. Dengan
gerakan yang cepat sekali dia mandek untuk berjongkok sedikit, karena waktu itu
dia tidak memiliki kesempatan untuk menghindarkan diri dari serangan Hong Tia
Liang. Karenanya, dengan berjongkok sedikit itu, si pemuda belasan tahun ini
dapat menangkis dengan hanya menaikkan ke atas ke dua tangannya.
Terjadi bentrokan yang keras
antara dua kekuatan yang dahsyat itu. Tubuh si pemuda belasan tahun seperti
diterjang oleh sesuatu tenaga yang dahsyat sekali.
Akan tetapi pemuda belasan
tahun tersebut tidak menjadi gugup, dia telah mengempos tenaga dalamnya yang
disalurkan kepada ke dua tangannya. Dan waktu tubuhnya diterjang oleh tenaga
serangan orang tua she Hong tersebut, dia telah mendoyongkan tubuhnya ke belakang,
seperti juga orang yang keserang, karena dia bermaksud untuk mengurangi tenaga
tindihan dari lawannya.
Dan apa yang dilakukannya
memang berhasil baik sekali, tenaga serangan Hong Tia Liang seperti mengenai
tempat yang lunak dan kehilangan sasarannya. Waktu itu karena dia menyerang
dengan tenaga yang kuat sekali, dia kehilangan keseimbangan tubuhnya, membuat
dia jadi terjerunuk ke depan.
Waktu tubuh Hong Tia Liang
tengah terjerunuk, pemuda belasan tahun tersebut telah mengangkat kakinya, dia
akan menghantam perut dari Hong Tia Liang dengan lututnya itu.
Inilah gerakan yang berbahaya
dan tidak pernah dipikirkan oleh Hong Tia Liang, dan orang she Hong tersebut
terkejut dalam keadaan sudah terdesak seperti itu, di mana perutnya hanya
terpisah beberapa dim lagi saja dari lutut pemuda belasan tahun itu.
Sedangkan pemuda belasan tahun
itupun telah mengerahkan kekuatan lweekangnya, dia telah berusaha hendak
menghantam perut Hong Tia Liang dengan keras.
Hong Tia Liang walaupun
bagaimana merupakan seorang yang sangat berpengalaman serta memiliki kepandaian
yang tinggi mengetahui bahaya yang tengah mengancam dirinya, cepat-cepat dia
telah mengempiskan perutnya. Di samping mengempiskan perutnya, dalam waktu yang
hanya beberapa detik saja, diapun telah menghantam pemuda belasan tahun itu
dengan tangan kanannya, ke dua jari tangannya, jari telunjuk dan jari tengah,
telah dipentangnya, mengincar ke biji mata pemuda itu.
Pemuda belasan tahun tersebut
menyadari juga walaupun dia berhasil buat menghantamkan lututnya ke perut Hong
Tia Liang, akan tetapi jika dia memaksakan diri meneruskan serangan niscaya
diapun akan menerima bencana yang tidak kecil, yaitu ke dua biji matanya akan
dikorek keluar oleh jari telunjuk dan jari tengah dari orang she Hong tersebut.