23.46. Pelayaran Misterius Lhama Asing
„Beliau adalah ayahku!”
„Kau.....?”
„Mengapa? Ada sesuatu yang tidak beres
dan membuat engkau terkejut?” tanya Yo Him mengejek.
„Hemm..... Pantas! Pantas!”
„Apanya yang pantas?”
„Pantas engkau memiliki kepandaian
yang tinggi!” kata Cu Cu Ciang kemudian.
„Sekarang kau pergilah, jangan sampai
aku berobah pikiran pula! Engkau tidak perlu memiliki dendam kepadaku, karena
dendam itu merupakan hasutan iblis yang akan merusak dirimu sendiri!”
Cu Cu Ciang telah berdiam diri sejenak
tidak menyahuti perkataan Yo Him, tampaknya dia tengah berpikir keras.
“Lebih baik engkau membuka sebuah
pintu perguruan dan menerima murid-murid yang kau didik baik-baik..... bukankah
dengan bekerja baik-baik seperti itu engkau akan menerima hasil yang baik
pula?”
Cu Cu Ciang tiba-tiba telah
merangkapkan sepasang tangannya, dia menjura sambil berkata kepada Yo Him: „Aku
berterima kasih dan kagum padamu, siauw-eng-hiong! Walaupun usiamu masih
demikian muda, tetapi ternyata engkau telah memiliki pandangan hidup yang jauh
sekali! Tidak kecewa Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko memiliki anak seperti engkau.....
dan sekarang aku telah menyadari, akan sia-sialah jika aku menaruh dendam terus
menerus kepada Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, karena puteranya saja tidak bisa
kutandingi..... Tentu kepandaian Sin-tiauw Tayhiap sekarang ini jauh lebih
sempurna lagi dari yang lalu! Terima kasih siauw eng-hiong..... aku akan
berusaha untuk hidup baik-baik!”
Setelah berkata begitu, Cu Cu Ciang
telah merangkapkan tangannya memberi hormat lagi kepada Yo Him, lalu menjura
kepada Phang Kui In:
„Maafkan aku tadi telah berlaku
ceroboh, untung saja siauw eng-hiong ini memiliki pandangan yang luas sehingga
telah mengampuni jiwaku! Jika tidak, tadi dia tentu telah mempergunakan tenaga
sepenuhnya dan aku akan terbinasa, terima kasih untuk pengampunan jiwaku yang
buruk ini, dan aku berjanji untuk hari-hari mendatang aku akan hidup baik-baik.
Aku minta diri!”
Dan sebelah berkata begitu, Cu Cu
Ciang telah memutar tubuhnya, dan berlalu.
Phang Kui In girang sekali melihat Yo
Him benar-benar telah menjadi seorang pendekar yang memiliki kepandaian
melebihi dirinya sendiri. Tadi saja Phang Kui In telah kena dirubuhkan lawannya
dan tidak berdaya memberikan perlawanan kepada Cu Cu Ciang, tetapi justru Yo
Him hanya dalam beberapa jurus saja telah berhasil menghajar lawan yang tangguh
itu.
„Bagus! Bagus! Memang luar biasa
kepandaianmu, him-te (adik Him)!” tiba-tiba terdengar orang memuji dengan suara
yang nyaring, suaranya seorang wanita.
Yo Him dan Phang Kui In menoleh
terkejut, mereka melihat dikejauhan berdiri seorang wanita, yang tidak lain
dari Kwee Siang.
„Sejak kedatangan orang she Cu itu,
aku telah keluar memperhatikan gerak-geriknya, tetapi karena aku melihat Yo Him
bisa menghadapinya aku membiarkan saja tanpa memperlihatkan diri.”
Phang Kui In telah menjura dan
katanya:
„Terima kasih atas perhatian nona
Kwee, juga tidak percuma Yo Him menjadi anaknya Sin-tiauw Tayhiap, lihat saja
dalam usia semuda ini dia telah berhasil merubuhkan seorang lawan setangguh Cu
Cu Ciang. Menurut pendengaran, Cu Cu Ciang yang bergelar Thian-san-hok-mo itu
sangat tinggi sekali kepandaiannya! Dan tadi memang telah terbukti, betapa aku
telah dirubuhkannya dengan mudah sekali olehnya! Maka hal itu bisa dijadikan
ukuran bahwa kepandaianku masih berada di bawah kepandaian Him-jie, sebab orang
yang berhasil merubuhkan aku itu telah dipukul rubuh pula oleh Yo Him hanya
dalam beberapa jurus saja. Bukankah itu sangat menggembirakan sekali? Tentu
Sin-tiauw Tayhiap jika mengetahui hal ini akan girang sekali.....!”
Mendengar disinggungnya nama Sin-tiauw
Tayhiap, maka Kwee Siang jadi berobah muram.
„Sayang kita tidak berhasil menemui
jejak Yo koko.....!” kata Kwee Siang seperti juga menggumam kepada dirinya sendiri.
Phang Kui In yang melihat sikap si
gadis telah menghela napas.
„Tetapi jika kita sabar mencarinya,
suatu saat kita akan bertemu dengan Yo Tayhiap……!” katanya menghibur.
Kwee Siang mengangguk.
Baru saja mereka mau kembali ke kamar
masing-masing, tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata dengan sabar:
„Kalian tengah mencari Yo Tayhiap, apakah keperluan kalian?” suara itu ternyata
adalah suara seorang wanita.
Semuanya menoleh, dan mereka melihat
tidak jauh dari tempat mereka berdiri, tampak berdiri seorang wanita berwajah
cantik sekali, memakai gaun berwarna hijau dengan pita yang kuning. Usianya
mungkin baru duapuluh tiga tahun.
Phang Kui In merangkapkan tangannya
memberi hormat kepada wanita itu.
„Siapakah nona, bolehkah kami
mengetahui nama dan gelaran nona yang harum?”
„Aku Kim Lian, she (marga) Thang,
menyahuti gadis itu dengan suara yang tetap halus dan sabar. „Tadi aku telah
bertanya ada persoalan apa kalian ingin mencari Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?”
„Kami memiliki sedikit urusan dengan Yo
Tayhiap!” menyahuti Phang Kui In.
„Oya? Memang dengan mencari seseorang
tentunya memiliki urusan! Tidak mungkin kalian tidak memiliki urusan dengan Yo
Tayhiap lalu kalian mencari-carinya dan setelah bertemu hanya bengong saja?”
Ditanggapi begitu, muka Phang Kui In
jadi berobah merah.
„Benar apa yang dikatakan nona, kami
memang memiliki sedikit urusan yang sulit dijelaskan disini, terima kasih atas
perhatianmu nona Thang!”
Si gadis telah senyum lagi sikapnya
sangat sabar.
„Aku tahu apa maksudmu mencari Yo
Tayhiap,” kata gadis itu sambil tetap tersenyum.
Muka Phang Kui In bertiga jadi berobah
bahkan karena heran dan ingin tahu telah bertanya, „Nona mengetahui maksud kami
mencari Yo Tayhiap?”
„Ya!”
„Coba nona katakan, jika benar aku
akan membenarkan, jika salah akupun akan memberitahukan bahwa dugaan nona
meleset,” kata Phang Kui In.
„Hemm. Kalian tentunya penasaran dan
tidak percaya bahwa aku mengetahui apa tujuan dan maksud kalian mencari Yo
Tayhiap bukan?” tanya si gadis.
„Ya katakanlah! Jika memang terkaan
nona tepat, tentu kami akan kagum dan menghormati akan kelihayan nona.....!”
menyahuti Kui In.
„Kalian mencari Sin-tiauw tayhiap
karena ingin memperkenalkan engko kecil itu adalah anaknya Yo Tayhiap bukan?”
tanya si gadis.
Terkaan yang tepat seperti itu membuat
Phang Kui In bertiga sementara waktu menjadi tertegun karenanya.
Kemudian Kwee Siang telah berkata:
,,Cici hebat benar terkaanmu, tepat sekali! Dari mana engkau mengetahuinya?”
Thang Kim Lian tertawa kecil, lalu
katanya,
„Aku memiliki ilmu meramal.”
Kwee Siang memandang setengah percaya
dan setengah tidak. Begitu juga Phang Kui In dan Yo Him mereka menduga bahwa
gadis ini telah bersembunyi cukup lama di tempat tersebut waktu mereka sedang
berurusan dengan Thian-san-hok-mo Cu Cu Ciang sehingga dia telah mendengar
semua pembicaraan Cu Cu Ciang dengan Yo Him,
„Tentunya encie Thang mencari kami
memiliki urusan juga, bukan?” tanya Kwee Siang kemudian.
„Oh, tentu, tentu! Jika aku tidak
memiliki urusan aku tidak akan mencari kalian,” menyahuti si gadis dengan suara
yang nyaring, lebih tinggi dari nada sebelumnya, „Aku diutus oleh pemimpin kami
untuk mencari kalian, mengundang agar singgah di markas kami.”
Perkataan wanita she Thang ini membuat
Phang Kui In bertiga bertambah heran.
„Pemimpinmu mengundang kami?” tanya
Phang Kui In masih belum bisa menerkanya.
„Benar.....” gadis itu telah
mengangguk cepat sekali „Aku sebagai utusan untuk mengundang kalian singgah di
markas kami!” dan dia telah tersenyum manis lagi, wajahnya yang cantik jadi semakin
gemilang di bawah cahaya rembulan di malam hari itu.
„Apa nama perkumpulanmu nona? Dan
siapakah ketuamu itu?” tanya Phang Kui In.
„Nanti jika kalian telah bertemu
dengan pemimpinku, engkau baru mengetahuinya,” sahut si gadis.
„Mana mungkin kami pergi, sedangkan
orang yang mengundang kami itu tidak kami ketahui siapa adanya,” membantah
Phang Kui In.
„Tidak perlu gelisah dan ragu, kalian
ikut saja denganku, dan nanti setelah bertemu dengan pemimpin kami, kalian akan
mengetahuinya siapa kami.....”
Phang Kui In berdiri ragu-ragu dan dia
telah memandang kepada Yo Him dan Kwee Siang seperti ingin meminta pendapat
kedua kawannya itu.
Tetapi Yo Him dan Kwee Siang juga
tidak bisa memberikan tanggapan apa-apa, mereka menyerahkan segalanya kepada
Phang Kui In untuk memutuskannya.
Saat itu si gadis telah bertanya lagi:
„Bagaimana keputusan kalian, menerima undangan ini atau tidak?”
Phang Kui In cepat-cepat merangkapkan
tangannya, dia berkata dengan suara yang sabar:
„Maafkan nona, bukan kami tidak menghargai
undangan yang diberikan ketuamu ini..... Tetapi sayang sekali kami tidak
mengenal dan tidak mengetahui. Siapa pemimpin kalian itu dan apa
tujuannya.....!”
Mendengar perkataan Phang Kui In, si
gadis telah tersenyum lebar.
„Ya, kalian memang agak ragu
tampaknya! Baiklah aku memberitahukan juga, kami dari perkumpulan Tiauw-pang
dan pemimpin kami, Ciong Lam Cie mengundang kalian.”
Si gadis bicara dengan suara yang
perlahan dan sekata demi sekata dengan mulut tersenyum dan wajah yang berseri
tidak memperlihatkan tanda-tanda dia tengah mengundang seorang yang memiliki
kepandaian, atau setidak-tidaknya perasaan bermusuhan dengan pangcu Tiauw-pang.
„Tiauw-pang?” tanya Phang Kui In
dengan suara terkejut.
Begitu juga Yo Him dan Kwee Siang jadi
sangat terkejut, mereka telah mengawasi wanita she Thang itu dengan sorot mata
yang tajam.
„Benar aku dari Tiauw-pang dan
menerima tugas dari pangcu kami untuk mengundang kalian.....!!”
„Hem,” kalau begitu engkau bukan
manusia baik-baik!” kata Phang Kui In yang akhirnya jadi berobah tidak gembira
dan tidak menghormat lagi pada gadis she Thang itu. „Sampaikan kepada pangcumu
itu, tidak dapat kami terima.....!” setelah berkata begitu Phang Kui In
berhenti sejenak, kemudian dia telah berkata lagi, „Hemm, perlakuannya beberapa
saat yang lalu telah cukup membuat kami menderita, kau pergilah, jangan
memancing kemarahanku!”
Thang Kim Lian tampak tenang-tenang
saja, dia telah berkata dengan suara yang tawar:
„Jika kalian tidak mau menerima
undangan secara baik-baik seperti sekarang ini, tentu kelak kalian akan
menerima perlakuan yang tidak enak menerima undangan secara paksa. Maka
sekarang aku anjurkan lebih baik kalian memilih undangan dengan cara yang baik
seperti sekarang ini!”
Muka Kwee Siang bertiga jadi berobah
merah padam, karena mereka telah diliputi kemarahan. Dengan dijelaskannya bahwa
Thang Kim Lian ini adalah anggota dari perkumpulan Tiauw-pang yang dipimpin
oleh Ciong Lam Cie, mereka jadi teringat perlakuan yang diterima mereka oleh
ketua perkumpulan rajawali itu beberapa waktu yang lalu
„Kami sudah mengatakan dengan jelas
bahwa kami tidak bisa menerima undangan pangcu kalian, sekarang silahkan.....!”
Waktu berkata „silahkan” itu, tampak Phang Kui In memperlihatkan sikap seperti
sedang mempersilahkan tamu untuk berlalu.
Muka Thang Kim Lian telah berobah
tidak seperti tadi, lembut dan manis. Sekarang justru mukanya memperlihatkan
sikap yang sungguh-sungguh dan keras.
„Hemm, baiklah! Kalian sendiri yang
menolak undangan secara baik-baik ini..... walaupun aku telah berusaha
memberikan pengertian kepadamu, bahwa kalian lebih baik memilih jalan yang baik
itu, dengan memenuhi undangan yang diajukan oleh pangcu kami, namun.....kalian
kepala batu! Baiklah! Aku akan melihat sampai berapa tinggikah kepandaianmu
bertiga sehingga kalian berani jual lagak begitu tinggi dan berani menolak
undangan pangcu kami.....!”
Dan setelah berkata begitu, Thang Kim
Lian melepaskan ang-kin (pengikat pinggang) yang berwarna kuning itu, dia
mengedutnya dan ikat pinggang itu seperti juga cambuk mengeluarkan suara
menggeletar di tengah udara. Itulah menunjukkan lweekang Thang Kim Lian bukan
kepandaian yang sembarangan. Dengan hanya memegang satu dari ujung ang-kin itu,
dia telah bisa menyalurkan lweekangnya, maka ang-kin yang lemas itu bisa berobah
menjadi tegang kaku seperti lempengan besi dan bisa menjadi lemas seperti juga
seekor naga yang tengah melingkar-lingkar.
Keadaan demikian telah membuat Phang
Kui In jadi terkejut juga. Dia menyadari bahwa kepandaian wanita ini tidak
berada di sebelah bawahnya. Mungkin juga berada di atas kepandaiannya, karena
dengan sehelai ang-kin saja dia telah bisa mempergunakannya sebagai senjata
yang sanggup diandalkannya.
„Nah, sekarang siapa yang ingin
menerima pelajaran dariku? apakah sekaligus bertiga kalian mengeroyok diriku?”
Itulah kata-kata menghina yang keterlaluan dan membangkitkan kemarahan Phang
Kui In bertiga.
„Phang susiok, biar aku yang
menghadapinya!” seru Yo Him.
Phang Kui In dan Kwee Siang yang telah
mengetahui bahwa kini Yo Him memiliki kepandaian yang tinggi, maka mereka
percaya dengan majunya Yo Him memang lebih baik, dibandingkan jika mereka yang
maju. Karena kepandaian Yo Him sekarang sudah berada di atas mereka, walaupun
usia Yo Him itu masih muda sekali.
„Baiklah Him-jie, hati-hati menghadapinya,
dia seorang ahli lwekeh!” Phang Kui In telah memperingati Yo Him.
Yo Him hanya mengangguk saja dan telah
melangkah maju mendekati Thang Kim Lian.
„Nona Thang,” kata Yo Him sambil
merangkapkan kedua tangannya, dia telah menjura memberi hormat. „Silahkan nona
menyerang, siauw-te hanya akan menuruti saja apa yang hendak dilakukan olehmu,
nona.....”
„Hemmm, memang engkau sebagai putera
Yo Ko tidak percuma. Dan sekarang engkaupun baru saja memperoleh sebuah gelaran
bukan?”
Yo Him mengangguk perlahan, dia tidak
mau berdusta.
„Ya, gelaran itu kuperoleh dari
seorang sahabatku,” sahutnya.
„Aku tidak bertanya mengenai sahabatmu
itu, tetapi aku katakan sekarang engkau telah memiliki gelaran, yaitu sebagai
Sin-tiauw-thian-lam (si rajawali sakti dari langit selatan), bukan?”
Yo Him kembali mengangguk.
„Tidak salah!”
„Dan sebagai putra dari Sin-tiauw
Tayhiap memang engkau sesuai sekali memakai gelaran Sin-tiauw-thian-lam! Tetapi
tahukah engkau bahwa antara pangcu kami dengan ayahmu itu terdapat ganjalan
hati yang tidak kecil?”
„Aku telah tahu, Ciong Lam Cie sendiri
yang telah mengatakannya kepada kami!”
„Bagus, bagus!” kata Thang Kim Lian.
„Jika memang engkau telah mengetahuinya itulah lebih baik lagi! Tetapi
disamping itu kau juga harus hati-hati, ang-kinku ini tidak bermata, sewaktu
waktu bisa melibat batang lehermu dan engkau akan binasa!”
Dan setelah berkata begitu, dengan
cepat si gadis mengedut ang-kin kuningnya itu, sehingga menggeletar di tengah
udara. Lalu dia berkata lagi.
„Mari kita mulai! Engkau yang lebih
muda silahkan menyerang aku tiga jurus lebih dulu, dan selama tiga jurus itu
aku akan mengalah!”
Yo Him merasa terhina dengan kata-kata
terakhir si gadis she Thang itu. Dia telah menggelengkan kepalanya.
„Cara itu kurang baik!” katanya.
„Lebih baik kita menyerang berbareng saja.”
Muka Thang Kim Lian jadi berubah tidak
senang.
„Bocah, engkau terlalu sombong! Aku
sengaja mengalah membiarkan engkau tiga jurus melancarkan serangan kepadaku,
tetapi nyatanya engkau terlalu besar kepala! Baiklah, jika engkau tidak mau
menerima kebaikan hatiku itu, biarlah terimalah seranganku ini!” Sambil
mengakhiri perkataannya itu si gadis she Thang telah menghentakkan tali ikat
pinggangnya, dan di saat itulah terdengar suara memgeletar di tengah udara. Tampak
ang-kin itu meliuk-liuk seperti seekor ular yang panjang, ujungnya akan menotok
jalan darah di dada Yo Him.
Kwee Siang yang melihat ini telah
keterlepasan berteriak, „Adik Him, hati-hati.....!”
Yo Him mengiyakan. Tetapi dia tidak
bisa memecahkan perhatiannya, karena saat itu ikat pinggang Thang Kim Lian
telah menyambar datang dengan cepat sekali, menjurus ke arah lehernya, akan
melibas lehernya pemuda tersebut. Yo Him mana mau membiarkan lehernya dilibat
oleh ang-kin Thang Kim Lian.
Dengan mengeluarkan suara seruan
perlahan, dia melejit ke samping sambil membungkukkan tubuhnya. Maka ang-kin
itu telah lewat di atas kepalanya.
Mempergunakan kesempatan itu, tampak
Yo Him telah menggerakkan tangannya yang kiri dengan kelima jari tangan
terbuka. Itulah satu jurus dari pek-kong-ciang (pukulan udara kosong).
Thang Kim Lian terkejut melihat cara
Yo Him menyerang. Jurus pukulan yang dipergunakannya itu memang merupakan jurus
yang biasa saja. Tetapi dipergunakan oleh Yo Him ternyata dari jurus pek-kong-ciang
itu jadi hebat luar biasa. Angin pukulannya itu menderu-deru seperti runtuhnya
gunung, karena Yo Him mempergunakan jurus itu sambil disertai oleh tenaga
lweekang Kui-im-cin-kang dan juga menggabungkannya dengan ilmu pukulan yang
diajarkan oleh Lie Bun Hap.
„Ihhh.....!” Thang Kim Lian telah
mengeluarkan suara seruan tertahan, dia menjejakkan kaki, tubuhnya telah
melompat dengan gesit ketika tubuhnya masih berada di tengah udara dia telah
menggerakkan ang-kinnya yang segera menyambar ke pergelangan tangan kanan Yo
Him.
Tentu saja hal itu membuat Yo Him jadi
terkejut sekali, tubuhnya sedang membungkuk ke depan dan sekarang lawannya dari
tengah udara melancarkan serangan yang mendadak dengan ang-kinnya yang meluncur
bagaikan ular ke pergelangan tangan Yo Him.
Phang Kui In dan Kwee Siang telah
memandang jalannya pertempuran itu dengan mata yang terbuka lebar-lebar, karena
mereka menguatirkan sekali keselamatan Yo Him.
Waktu ujung ang-kin menyambar dekat
sekali dengan pergelangan tangan, Yo Him menarik pulang tangan, dia telah
mengeluarkan suara seruan yang sangat kuat sekali:
„Rubuh!” dan sambil berteriak begitu
dia telah melancarkan gempuran dengan kedua telapak tangannya
„Suttttt!” angin serangan itu
terdengar tajam sekali. Thang Kim Lian tidak berani menangkis dengan kekerasan,
maka dia telah berjumpalitan sambil menarik pulang ang-kinnya.
Gerakan Thang Kim Lian memang cepat,
tetapi Yo Him bergerak lebih cepat sekali, tahu-tahu telapak tangan Yo Him
telah menghantam punggung kanan dari Thang Kim Lian waktu gadis itu baru saja
menginjak tanah.
„Bukkk.....!” terdengar suara hajaran
yang tepat itu, dan Thang Kim Lian telah terhuyung-huyung, kemudian tubuhnya
rubuh di tanah, waktu gadis ini merangkak bangun, dia telah memuntahkan darah
segar sebanyak tiga kali. Muka Thang Kim Lian tampak pucat pias, dia telah
berkata dengan suara yang tidak lancar:
„Terima kasih..... atas petunjuk
kalian..... terima kasih.” Dan dia telah memutar tubuhnya, dengan ginkangnya
dia berlari pergi meninggalkan tempat itu.
„Hem, Ciong Lam Cie rupanya melakukan
pengejaran terus menerus kepada kita.....!” kata Phang Kui In sambil menarik
napas dalam-dalam, karena dimana saja mereka tiba, tentu akan diganggu oleh
orang-orang pangcu Tiauw-pang itu.
„Mulai sekarang, kita harus lebih
hati-hati.....!” kata Kwee Siang. „Karena kemungkinan besar pangcu dari
Tiauw-pang itu telah menyebar orang-orangnya untuk mengikuti jejak kita!”
Phang Kui In mengangguk. „Jika dilain
waktu kita bertemu dengan anggota Tiauw-pang, kita tidak perlu main
kasihan-kasihan lagi. Kita binasakan, saja untuk menggertak pangcu Tiauw-pang.
Agar dia menghentikan pengejarannya kepada kita.”
Yo Him setuju, tetapi Kwee Siang
tidak. „Yang melakukan kesalahan adalah pangcunya, bukan anak buahnya. Anak
buahnya hanya menuruti perintah dari pangcunya maka mereka tak bersalah! Jika
memang kita memiliki kesempatan, biarlah kita cari pangcu Tiauw-pang itu untuk
mengadakan perhitungan dengannya, sekarang yang terpenting kita harus mencari
Yo Tayhiap.”
Phang Kui In membenarkan pendapat si
gadis, begitu juga Yo Him.
„Benar cici Siang, memang itu cara
yang cukup bijaksana!” kata Yo Him.
Begitulah! Mereka kemudian kembali ke
kamar masing-masing.
◄Y►
Keesokan paginya Phang Kui In telah
meninggalkan rumah penginapannya seorang diri, sedangkan Yo Him bercakap-cakap
asyik sekali berdua dengan Kwee Siang. Karena Yo Him merasakan bahwa hati Kwee
Siang lembut dan memiliki kasih sayang sebagai seorang kakak, sehingga dia
menyenangi si gadis itu.
Sedangkan Kwee Siang sendiri karena mengetahui
Yo Him adalah putera dari pria yang dikagumi dan dipujanya, yaitu Sin-tiauw
Tayhiap, maka dia memperlakukan Yo Him dengan lemah lembut dan sabar, seperti
sikap seorang kakak terhadap adiknya.
Phang Kui In telah mengelilingi kota
itu, bertanya-tanya kepada orang-orang, apakah mereka itu melihat Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko beberapa saat yang lalu. Sedangkan ciri-ciri dari orang yang
dicarinya itu disebutkan, yaitu buntung tangan kanannya.
Tetapi umumnya orang-orang itu
menyatakan telah dua tahun lebih mereka tidak pernah melihat Sin-tiauw Tayhiap
singgah di kota ini. Dulu memang mereka suka bertemu karena sering kali
Sin-tiauw Tayhiap berkunjung ke kota Su-po-kwan ini.
Setelah bertanya-tanya lebih dari
seratus orang, Phang Kui In jadi lemas dan putus asa, dia segera menyadari
untuk mencari Sin-tiauw Tayhiap sangat sulit sekali. Menjelang sore hari Phang
Kui In baru kembali ke rumah penginapan, dia melihat Yo Him dan Kwee Siang
tengah gelisah menantikan dia kembali, untuk makan malam.
„Maafkan aku pulang terlambat.....!”
kata Phang Kui In sambil duduk di kursi yang satunya.
„Berhasilkah usahamu itu, paman
Phang?” tanya Yo Him dengan hati yang berdebar.
„Ya, berhasilkah usahamu,
Lo-eng-hiong?” tanya Kwee Siang juga.
Phang Kui In menggelengkan kepalanya
dengan lesu, dia telah berkata: „Tidak..... telah dua tahun lebih penduduk kota
ini tidak pernah melihat lagi datangnya Sin-tiauw Tayhiap! Mungkin juga
Sin-tiauw Tayhiap tengah menyelesaikan suatu urusan yang besar sehingga tidak
pernah berkunjung ke Su-po-kwan selama dua tahun terakhir ini.”
Yo Him dan Kwee Siang jadi murung,
mereka kecewa sekali.
„Tetapi nanti kita akan menyelidikinya
terus, melalui mulut orang-orang rimba persilatan tentu kita bisa mencari
keterangan yang lebih jelas.....!” Kata Phang Kui In menghibur Yo Him dan Kwee
Siang. Setelah bercakap-cakap sebentar lagi, Phang Kui In memesan santapan
untuk mereka.
Dan waktu malam belum begitu larut,
mereka telah masuk ke kamar masing-masing dan tidur dengan nyenyak.
Keesokan paginya mereka bertiga telah
berlayar kembali meninggalkan kota Su-po-kwan. Dua hari mereka berlayar tanpa
menemui daratan dan mereka mengarahkan kapalnya ke arah selatan.
Waktu itu angin berhembus perlahan
sekali dan ombak-ombak kecil bagaikan kemilaunya permata, beriak gelombang
kecil-kecil. Indah sekali suasana laut di saat itu, karena air laut yang begitu
luas dan sejauh mata memandang antara kaki langit dengan laut bertemu, hanya
warna biru belaka yang bening dan menyegarkan pandangan mata.
Dalam keadaan seperti ini, Yo Him
telah duduk melamun memandangi keluasan laut itu. Pikiran pemuda ini
melayang-layang memikirkan ayahnya, dia juga membayang-bayangkan ayahnya,
menduga-duga entah bagaimana rupa wajah dan keadaannya.
Di saat Yo Him tengah duduk melamun
seorang diri seperti itu, Kwee Siang telah menghampiri dan duduk di sebelah Yo
Him mengawasi laut yang luas itu.
„Adik Him..... apa yang sedang kau
pikirkan?” tanya Kwee Siang.
Yo Him menghela napas. ,,Aku sedang
memikirkan ayahku.....!” kata Yo Him kemudian.
„Akupun selalu ingin cepat-cepat
bertemu dengan ayahmu itu tetapi keadaan rupanya tidak memungkinkan.....!” kata
Kwee Siang dengan suara yang dalam, mengandung kesedihan juga. „Entah Yo Koko
berada dimana..... dan bagaimana keadaan encie Siauw Liong Lie..... Sampai
demikian lama, beberapa tahun kulewati dengan perasaan yang selalu kesepian,
karena selalu pula aku gagal mencari mereka.....!” Setelah berkata begitu,
tampak Kwee Siang telah menghela napas lagi.
Keduanya jadi berdiam diri, mereka
hanya mengawasi air yang beriak gelombang perlahan karena sentuhan perahu yang
meluncur dengan perlahan juga.
Phang Kui In yang memegang kemudi
telah berteriak kepada Yo Him dengan suara yang nyaring: „Him-jie, engkau tidak
perlu memikirkan segala itu, dan engkau juga tidak perlu terlalu memusingkan
hal-hal yang belum tentu itu, yang terpenting kita harus berusaha mencari ayah
kau itu!”
Yo Him mengiyakan. Tetapi anak ini
masih juga duduk termenung. Kwee Siang sendiri telah beberapa kali menarik
napas karena merasa sedih dan jengkel,
Angin laut sepoi-sepoi basah itu
karena mendekati sore hari, telah membuat mereka semakin tenggelam dalam
kekalutan pikiran. Mereka berlajar enam hari tanpa berjumpa daratan untung saja
mereka membawa bekal cukup banyak, sehingga bisa dipergunakan sampai dua bulan.
Kapal meluncur terus dengan pesat.
Phang Kui In bermaksud untuk menuju ke lautan Tang-hay. Dari tempat itu tentu
mereka mudah mendatangi kota-kota seperti Bu-cie-kwan, Liong-cu-kwan atau
kota-kota lain-lainnya yang berdekatan dengan tempat tersebut karena Phang Kui
In bermaksud untuk menyerap-nyerapi kabar mengenai keadaan Sin-tiauw Tayhiap di
kota-kota itu.
Lautan hari itu tenang tanpa gelombang
dan badai, udara cerah sekali.
Yo Him duduk di geladak, mengawasi air
laut yang diterjang kapal, tetapi belum juga berhasil menemui jejak ayahnya,
sehingga perasaan rindu di hati Yo Him jadi semakin kuat saja. Tetapi apa daya,
justru orang yang dirindukannya itu tidak diketahui berada dimana. Sedang Yo
Him termenung begitu, tiba-tiba dia melihat dua buah kapal tengah meluncur
mendatangi, semakin lama semakin besar.
„Paman Phang..... ada dua kapal yang
sedang mengejar kita..... mungkin orang-orangnya Tiauw-pang,” kata Yo Him
dengan suara nyaring.
Kwee Siang cepat-cepat menghampiri Yo
Him dan dia memang melihat ada dua kapal yang tengah mendatangi.
Phang Kui In mengerutkan alisnya, dia
berkata perlahan: „Bukan! Bukan kapal orang-orang Tiauw-pang..... Mereka.....
kalau tidak salah merupakan orang asing, lihatlah bentuk kapal mereka itu yang
agak luar biasa, berukiran singa..... Mereka kalau bukan dari India tentunya
orang Persia!”
Mendengar keterangan Phang Kui In. Yo
Him dan Kwee Siang jadi heran.
„Orang India? Orang Persia?” tanya
mereka hampir berbareng.
„Ya, tidak salah lagi, mereka tentu
rombongan orang-orang Persia..... Memang akhir-akhir ini banyak orang Persia
yang datang ke daratan Tiong-goan untuk berdagang!”
Diwaktu mereka tengah bercakap-cakap
begitu kedua kapal asing yang bentuknya sangat aneh, dengan di kepala kapal itu
terukir kepala singa yang besar, telah mendatangi lebih dekat. Dan akhirnya
kapal mereka saling berjajar, kapal Phang Kui In diapit oleh kedua kapal asing
itu, di tengah-tengah.
Dari samping geladak kapal yang
sebelah kiri, telah muncul dua orang pendeta yang memakai jubah merah. Itulah
hweshio atau Lhama dari Tibet. Kepala mereka gundul dan tubuh mereka tegap
besar sekali, mengenakan pakaian yang berwarna merah, sehingga tampaknya
kontras sekali.
„Kami mohon bertanya!” kata seorang
diantara kedua pendeta itu. „Apakah lautan yang sedang kami layari ini adalah
lautan Tang-hay?”
Yo Him kagum sekali, walaupun kedua
pendeta Lhama itu merupakan orang asing, tetapi mereka dapat berkata-kata dalam
bahasa Han yang baik dan halus. Itulah suatu kelebihan dari orang-orang asing
ini.
Phang Kui In merangkapkan sepasang
tangannya menjura sambil menyahuti, benar tidak salah lautan di sekitar ini
adalah lautan Tang-hay.”
„Dan, kami mohon bertanya lagi apakah
kalian mengetahui dimana pusat dari agama Beng-kauw?”
„Kami kurang begitu mengetahuinya,
maafkanlah Taysu!” menyahuti Phang Kui In.
Hweshio itu tidak menjadi marah atau
mendongkol, dia telah mengangguk. „Baiklah..... terima kasih atas keterangan
kalian itu!” katanya.
„Tunggu dulu Taysu, tampaknya Taysu
datang dari Tibet bukan?” tanya Phang Kui In ingin mengetahui.
„Bukan!” menyahut si pendeta itu.
„Bukan? Lalu Taysu dari mana?”
„Kami memang budha-budha hidup dari
Tibet, tetapi sudah sepuluh tahun kami bekerja untuk Persia!” menyahuti pendeta
itu.
„Ohh.....!”
„Dan sekarang kami tengah melaksanakan
tugas yang diberikan raja kami Persia, untuk menangkap seseorang!”
„Menangkap seseorang?” Phang Kui In
menjadi terkejut.
Pendeta itu mengangguk.
„Benar! Kami tengah membawa tugas yang
berat sekali, yaitu harus menangkap tokoh persilatan di daratan
Tiong-goan.....yaitu Yo.....”
24.47. Sasaran Penangkapan Lhama
Persia
„Sutee..... Jangan kau banyak bicara!”
tiba-tiba Lhama yang seorangnya lagi telah membentak dan rupanya sang sutee,
adik seperguruan itu, menyadari dengan cepat kecerobohannya itu.
„Maafkan kami harus berangkat
lagi..... terima kasih atas keterangan kalian.....!” kata sang sutee itu sambil
ingin memutar tubuhnya.
Tetapi Phang Kui In telah terkejut
sekali waktu mendengar orang yang ingin ditangkap Lhama jubah merah itu seorang
tokoh persilatan dan memiliki she Yo, maka dia jadi tegang sendirinya. Melihat
orang itu ingin membalikkan tubuh, Phang Kui In cepat-cepat berteriak
memanggilnya:
,,Taysu, apakah boleh aku bertanya
sedikit?”
Lhama itu batal membalikkan tubuhnya,
sambil tersenyum dia lalu berkata.
„Omitohud! Tanyakanlah! Jika memang
aku mengetahui, tentu aku akan memberitahukannya.....!”
Phang Kui In jadi ragu-ragu sejenak,
tetapi kemudian dia telah berkata lagi: „Tadi Taysu mengatakan orang yang Taysu
cari itu she Yo..... Apakah yang dimaksudkan oleh taysu adalah Sin-tiauw
tiahiap Yo Ko?”
„Tepat!” berseru pendeta itu.
„Sutee.....!” tiba-tiba si kakak
seperguruannya, yaitu hweshio Lhama yang seorangnya lagi, telah membentaknya
dan sang sute jadi tersadar dengan cepat, dia telah menahan kata-kata lainnya
yang baru saja ingin diucapkannya.
„Maafkan aku harus meninggalkan
kalian.....!” kata pendeta itu kemudian sambil membalikan tubuhnya. Sedangkan
sang suheng, kakak seperguruan itu, telah melirik sedikit kepada Phang Kui In,
Yo Him dan Kwee Siang bergantian, lalu tanpa memperlihatkan muka manis, dia
telah memutar tubuhnya dan lenyap dibalik ruangan kapal itu.
Phang Kui In masih berdiri tegak di
tempatnya, tampaknya dia tegang sekali.
Yo Him telah menarik ujung bajunya.
„Paman Phang,” panggilnya, „Apakah
mereka sedang mencari ayah untuk menangkapnya? Apa kesalahan ayahku itu?”
„Aku sendiri belum mengetahui apa
sebabnya..... memang di dalam rimba persilatan terdapat banyak sekali
peristiwa-peristiwa yang membingungkan. Maka kita harus mengikuti mereka, yang
pasti mereka itu memusuhi ayahmu, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko!”
Yo Him jadi gelisah.
„Kita harus mengikuti mereka, Phang
susiok!!” katanya kemudian.
„Ya, kita ikuti saja mereka, kita lihat
saja nanti apa yang hendak mereka lakukan dengan menangkap ayahmu itu! Tetapi
terus terang saja kusampaikan sekarang kepadamu, bahwa kepandaian kedua Lhama
tadi, mungkin di dalam kapal itu masih banyak Lhama lainnya, adalah
manusia-manusia yang memiliki kepandaian sangat tinggi sekali..... karena dari
Persia mereka berani datang ke daratan Tiong-goan untuk mencari ayahmu berarti
mereka memiliki kepandaian yang tinggi sekali.....! Waktu aku mengantarkan
engkau dan akhirnya kita bentrok dengan pihak Tiauw-pang yang mengakibatkan
kita terdampar di pulaunya Lie Bun Hap, sesungguhnya Sin-tiauw Tayhiap tengah
sibuk untuk mencari musuhnya yang telah mencelakai ibumu, yaitu Siauw Liong
Lie.....!”
„Ibuku dicelakai orang? Siapa orang
itu paman Phang?” tanya Yo Him dengan kaget.
„Orang yang menjadi biang keladinya
adalah Tiat To Hoat-ong maka Sin-tiauw Tayhiap bermaksud menangkap Tiat To
Hoat-ong untuk membalas sakit hatinya itu!”
Tiba-tiba Yo Him jadi menangis keras
sekali dia jadi berduka bukan main.
Kwee Siang jadi sibuk membujuknya.
Setelah puas menangis, Yo Him
mengangkat kepalanya, dia telah memandang kepada Phang Kui In dengan mata yang
merah basah.
„Paman Phang, katakanlah terus terang
ibuku dicelakai Tiat To Hoat-ong itu, lalu apakah dia hanya dilukai atau memang
telah terbinasa!”
„Inilah yang sulit untuk dikata,
karena tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi….. bahkan tahu-tahu
muncullah engkau yang diketahui sebagai puteranya Yo tayhiap.”
Setelah tangisnya mereda, dia bertanya
lagi: „Lalu ayah tidak mengambil tindakan apa-apa?”
„Waktu itu ibumu diculik terpisah dari
ayahmu sehingga ayahmu sulit sekali mencari jejak penculik ibumu. Maka dari
itu, sampai sekarang ini mungkin ayahmu masih sibuk mencari-cari Tiat To
Hoat-ong.”
„Dan pendeta Lhama jubah merah itu
juga musuh ayah?” tanya Yo Him lagi.
„Dilihat dari cara dan sikap mereka
waktu menyebut nama ayahmu, kemungkinan besar mereka itu lawan-lawan ayahmu
juga......”
„Kalau begitu kita ikuti saja
mereka.....!” kata Yo Him.
„Memang, akupun bermaksud untuk
mengikuti mereka siapa tahu lebih mengetahui dimana beradanya ayahmu!”
menyahuti Phang Kui In.
„Akupun berpikir begitu,” kata Kwee
Siang menyetujui juga untuk mengikuti rombongan Lhama jubah merah itu.
Kapal kedua Lhama jubah merah itu
berlayar dengan cepat. Sedangkan Phang Kui In mengikuti dari kejauhan saja.
Setelah berlayar dua hari lagi,
tampaklah dihadapan mereka daratan.
„Itulah pelabuhan kota Kong-nam,
kemungkinan besar rombongan Lhama jubah merah itu akan berlabuh disitu!”
menjelaskan Phang Kui In. Dan terkaan Phang Kui In memang tidak meleset. Kedua
kapal rombongan Lhama jubah merah yang mengaku bekerja pada raja Persia itu
telah berlabuh.
Phang Kui In juga telah melabuhkan
kapalnya, setelah itu mereka bertiga turun dari kapal.
Rombongan Lhama jubah merah itu
ternyata berjumlah sangat banyak sekali, karena yang turun ke darat saja
meliputi jumlah sampai empatpuluh orang, suara mereka berisik sekali karena
semuanya mengenakan jubah warna merah, dengan sendirinya menarik banyak
perhatian penduduk kota itu.
Sedangkan yang tinggal di kapal masih
berjumlah sangat banyak, berdiri di pinggir kapal mereka sambil
melambai-lambaikan tangan. Jumlah mereka keseluruhannya mungkin meliputi
seratus orang lebih.
Di rombongan Lhama jubah merah yang
turun ke darat itu, tampak seorang Lhama berpakaian jubah putih. Dengan
mengenakan jubah putih maka dia lebih menarik perhatian dari ketigapuluh
sembilan Lhama lainnya. Rupanya Lhama berjubah putih itu adalah seorang Lhama
yang menjadi pemimpin mereka.
Dan apa yang diduga oleh Phang Kui In
benar adanya, ketigapuluh sembilan orang Lhama jubah merah telah berbaris dan
Lhama berbaju putih itu telah berkata,
„Kita membagi diri masing-masing dua
orang. Kita menyebar ke seluruh kota ini, dan jika ada salah seorang diantara
kita melihat si buntung she Yo itu dia harus memberikan isyarat dengan panah
api!”
Ketigapuluh sembilan Lhama itu telah
mengiyakan dan memencar membagi diri. Mereka berdua-dua memisahkan diri,
menyebar ke seluruh kota itu.
Lhama jubah putih yang menjadi
pemimpin mereka telah melakukan penyelidikan bersama seorang Lhama jubah merah
lainnya.
Phang Kui In mengajak Yo Him dan Kwee
Siang untuk mengikuti Lhama berjubah putih itu, karena sebagai pemimpin dari
Lhama jubah merah itu, tentu dia akan lebih banyak mengetahui segala hal. Dan
laporan anak buahnya itu tentu akan jatuh pada dirinya.
Sedangkan Lhama berjubah putih itu dan
seorang Lhama jubah merah, tidak menyadari bahwa mereka tengah dikuntit karena
Phang Kui In mengikutinya dengan hati-hati dan jarak terpisah cukup jauh.
Lhama jubah merah yang berjalan dengan
Lhama jubah putih itu, adalah Lhama yang di atas kapal di tengah laut waktu
bertemu dengan Phang Kui In. Dipanggil sebagai suheng, dia merupakan seorang
Lhama jubah merah yang pendiam dan selama jalan dengan pemimpinnya itu, dia
tidak banyak bicara.
Ketika mereka tiba di muka sebuah
rumah makan, kedua Lhama itu telah memasuki rumah makan itu. Mereka memesan teh
dan sayur-sayur tidak berjiwa. Kemudian mereka bersantap dengan lahap.
Selesai makan si Lhama jubah putih
telah memanggil pelayan rumah makan itu, dia telah memberikan uang seberat lima
tail perak. Kemudian dia bertanya:
„Apakah engkau pernah melihat seorang
lelaki berusia diantara tigapuluh tahun lebih dengan lengan kanannya yang
buntung?”
Pelayan itu seperti berpikir-pikir,
sedangkan sesungguhnya hati pelayan itu tengah kegirangan karena telah
memperoleh hadiah yang demikian besar, belum pernah dia mengalami menerima
hadiah dari tamu sebesar itu.
„Cepat katakan, kau pernah melihat
atau tidak?” tanya Lhama jubah putih itu tidak sabar.
Si pelayan telah tersenyum
menyeringai:
„Begini Taysu, orang yang lengan
kanannya buntung memang banyak sekali, hampir setiap hari kami menerima
kunjungan dari orang-orang seperti itu dan aku mana mengetahui orang buntung
yang mana telah dicari oleh Tay-suhu?”
Tampak pendeta jubah putih itu telah
menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan rupanya dia mendongkol berurusan dengan
pelayan ini yang tampaknya agak licik.
„Yang kami cari itu adalah Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko!” kata si Lhama jubah merah dengan jengkel.
„Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko? Ah, baru
saja kurang lebih satu jam yang lalu dia meninggalkan rumah makan kami ini,
tadi dia bersantap disini!!” kata si pelayan rumah makan itu dengan gembira.
Kedua pendeta itu melompat berdiri,
mereka tampaknya tidak berselera untuk makan lagi.
„Cepat katakan, ke arah mana perginya
si buntung itu?” tanya si Lhama jubah putih.
„Tadi Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko
mengambil jalan yang menuju ke barat.....!” menjelaskan si pelayan.
Pendeta Lhama jubah putih itu
cepat-cepat memutar tubuhnya untuk berlalu. Tetapi pendeta Lhama jubah merah
telah menahannya.
„Tunggu dulu!” kata Lhama jubah merah
itu. „Kita belum menanyakan kepadanya mengapa dia bisa mengetahui bahwa itu
adalah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Bukankah keadaan demikian sangat aneh sekali?”
Lhama jubah putih itu rupanya baru
tersadar, dia cepat-cepat menahan langkah kakinya, dia menoleh kepada pelayan
itu, katanya dengan muka yang bengis:
„Engkau jangan berdusta, benar atau
tidak engkau bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap. Mengapa engkau mengetahui orang
itu Sin-tiauw Tayhiap?”
Pelayan itu jadi ketakutan melihat
sikap si pendeta dia sampai mundur ke belakang, kemudian dengan suara
terbata-bata dia telah berkata gugup.
„Aku..... aku memang mengetahui dia
adalah Sin-tiauw Tayhiap. Yang tangan kanannya telah buntung itu!”
Mendengar jawaban pelayan itu, tentu
saja kedua Lhama tersebut jadi tambah curiga. Dia telah berkata lagi dengan
sikap yang lebih bengis:
„Engkau jangan berbohong kepada kami,
jika memang tidak kenal engkau bilang tidak kenal, jika tidak engkau harus
berlaku jujur mengatakan tidak! Nah, cobalah bagaimana roman muka dan tubuh
Sin-tiauw Tayhiap.”
„Sin-tiauw Tayhiap?” tanya si pelayan
tampaknya semakin gugup. „Tangan kanannya buntung, tubuhnya pendek gemuk dan
gesit, hidungnya besar..... Matanya bersinar tajam dan..... dan..... dan......”
„Plaakkk! Plookkk!”‘ dua kali muka
pelayan yang tampaknya sedang berpikir itu ditempeleng oleh si Lhama jubah
putih.
„Ngaco belo kau!!” bentak si Lhama
jubah putih. ,,Sekali lagi jika dilain waktu engkau membohongi kami seperti
sekarang, kepalamu akan kami pukul pecah!”
Pelayan itu teraduh-aduh, akhirnya dia
mengatakan sambil meringis kesakitan.
„Aku….. aku memang tidak tahu siapa
itu Sin-tiauw Tayhiap adanya, hanya tadi Tay-suhu menyebutkannya Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko, maka aku bermaksud untuk membuat engkau bergembira,
Tay-suhu.....!”
„Kurang ajar kau!” kata pendeta itu
dengan suara mendongkol.
Kedua pendeta itu tidak jadi
meninggalkan rumah makan dan melanjutkan makan mereka.
Phang Kui In, Yo Him dan Kwee Siang
yang mengintai serta menyaksikan semua kejadian itu jadi tersenyum geli
sendirinya.
Setelah kenyang bersantap, kedua
pendeta itu telah meninggalkan rumah makan dan menyusuri jalan demi jalan, dia
menanyakan kepada orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan mereka mengenai
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Tetapi semua yang ditanyakannya itu tidak seorangpun
tahu siapa itu Sin-tiauw Tayhiap,
„Aneh sekali!” menggumam Lhama jubah
putih itu. „Kita terakhir kali sebulan yang lalu menerima berita dari mata-mata
kita bahwa Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko berada di kota ini! Tetapi sekarang tidak
seorangpun yang mengetahui akan diri pendekar rajawali sakti itu.”
„Kita cari saja perlahan-lahan. Tentu
akan dapat kita temui jejaknya terlebih lagi kita datang dalam jumlah yang
banyak, seratus duapuluh jago, mana bisa dia meloloskan diri dari kita lagi?”
nada suara dari Lhama jubah merah itu angkuh sekali.
Sedangkan si Lhama jubah putih itu
telah mendengus dingin, katanya: „Hemm. Kalau bisa ditemukan jejaknya kalau
tidak? Kita yang celaka! Bukankah kita telah dipesan berulang kali oleh baginda
raja, agar berusaha menangkapnya hidup-hidup dan membawanya ke Persia!”
„Benar! Tetapi sesungguhnya di Persia
tidak kurang tenaga yang memiliki kepandaian tinggi seperti dia, mengapa
baginda raja justru menghendaki dia juga yang memimpin dan membimbing
Beng-kauw?”
„Aku sendiri tidak mengetahui apa
sebabnya!” menyahuti Lhama jubah putih itu.
„Sebetulnya kepandaian Sin-tiauw
Tayhiap belum tentu bisa menindih kepandaian kita,” kata Lhama jubah merah itu.
Tampaknya penasaran sekali.
„Namun kita harus melaksanakan
perintah baginda raja sebaik mungkin .....!” Kata Lhama jubah putih itu.
„Ya, memang benar apa yang kau katakan
itu, tetapi di dalam persoalan ini kita harus menguji dulu kepandaian dari si
tangan buntung itu!” rupanya Lhama jubah merah itu masih penasaran sekali.
Lhama jubah putih itu telah mengangguk
saja, tanpa memberikan komentar lagi.
Phang Kui In bertiga yang mendengar
pembicaraan itu jadi terkejut.
“Jadi orang-orang dari Persia ini
ingin menangkap Yo Ko untuk diserahi menjadi pemimpin dari golongan Beng-kauw.
Hal ini agak luar biasa karena Lhama itu datang dalam jumlah yang sangat banyak
sekali maka Yo Him bertiga berkuatir kalau-kalau nanti ayahnya itu dianiaya dan
diperlakukan tidak baik oleh Lhama ini.
Waktu itulah tampak si Lhama jubah
putih telah mengangkat kepalanya sambil berseru, „Lihat! Itu tanda dari kawan
kita, panah api bersuara!”
Lhama jubah merah itu juga telah
menoleh dan memandang ke arah yang ditunjuk oleh Lhama jubah putih itu. Diapun
telah melihat panah api yang bersuara itu. Dalam keadaan demikian, mereka sudah
tidak berpikir apa-apa lagi, karena dengan adanya tanda panah api itu tentu
kawan-kawan mereka yang melepaskan tanda rahasia itu berhasil menemui jejak Yo
Ko.
Cepat seperti terbang kedua pendeta
itu telah berlari-lari ke arah barat, dari mana panah api terlihat. Setelah
berlari sesaat lamanya mereka telah tiba di sebuah tanah lapang yang luas, yang
hanya ditumbuhi rumput-rumput hijau. Di tengah tanah lapang itu tampak dua
orang Lhama jubah merah sedang berdiri tegak mengawasi ke arah segundukan tanah
kuburan yang belum lagi kering masih merah.
Lhama jubah putih dan kawatnya dengan
cepat menghampiri.
„Mana dia si buntung itu?” tanya Lhama
jubah putih dengan mata yang memandang ke sekelilingnya.
Kedua Lhama jubah merah itu telah
berkata sambil menunjuk ke kuburan itu. „Dia berada di dalam kuburan itu. Tadi
kami secara kebetulan melihatnya di sebuah jalan dalam kota. Kami mengikutinya.
Dan dia menuju kemari lalu memegang batu nisan itu (bong-pay) permukaan kuburan
itu terbuka dan dia masuk ke dalamnya..... Waktu kami memburu kemari ternyata
kuburan itu telah tertutup kembali. Kami tidak berani lancang untuk membukanya,
maka dari itu kami melepaskan anak panah itu untuk memanggil kawan-kawan.”
Waktu dia berkata sampai disitu,
Lhama-lhama lainnya telah tiba disitu.
Lhama jubah putih itu menunjuk kepada
kuburan itu tanpa mengucapkan sepatah katapun juga. Dia telah menghampiri dan
memegang-megang bong-pay kuburan itu. Dicari-carinya alat rahasia yang bisa
membuka kuburan itu. Tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan dan tidak ada
tanda-tanda alat rahasia. Saking kesal dan jengkelnya, tampak Lhama berjubah
putih itu merah padam mukanya tetapi akhirnya dia memperoleh suatu akal, dia
telah berjalan menjauhi kuburan itu kemudian melambaikan tangannya memanggil
Lhama-lhama yang lainnya.
Setelah mereka berkumpul, Lhama baju
putih itu berkata,
„Kita duduk bersemadhi mengurung
kuburan itu untuk menunggu si buntung keluar dari dalam kuburan.”
Semua Lhama jubah merah itu mengiyakan
lalu dengan hati-hati dan langkah kaki yang perlahan agar tidak menimbulkan
suara mereka duduk mengelilingi kuburan itu mengambil sikap mengurung.
Seandainya kuburan itu terbuka dan Sin-tiauw Tayhiap yang tengah mereka
cari-cari itu keluar, keadaan disitu telah dikepung. Dengan demikian tidak
mungkin orang yang mereka cari itu akan dapat meloloskan diri!
Para Lhama itu dengan sabar telah
bersemadhi mengurung kuburan itu, sampai menjelang malam kuburan itu belum juga
terbuka. Si Lhama jubah putih telah tidak sabar, katanya kepada Lhama jubah
merah yang ada disampingnya.
„Apakah kita gempur saja kuburan itu
lalu menerjang masuk.....?” katanya mengemukakan sarannya.
Tetapi Lhama jubah merah itu
menggeleng sambil katanya: „Dia memiliki kepandaian yang tinggi, jika kita yang
menerjang ke dalam, kita rugi keadaan, karena dengan ruangan yang sempit tentu
dia bisa memberikan perlawanan yang gagah dan leluasa, tetapi kita di tempat
yang sempit tentu saja tidak bisa mengeroyoknya dengan jumlah banyak.”
„Benar juga perkataanmu itu,” kata
Lhama jubah putih sambil menggangguk. „Biarlah kita menantikan saja dia keluar,
di saat itu barulah kita melancarkan serangan kepadanya.”
Begitulah dengan sabar para Lhama itu
telah menantikan munculnya orang yang tengah dicari. Tetapi Sin-tiauw Tayhiap
Yo Ko masih juga belum muncul-muncul.
Malam telah larut, menjelang tengah
malam, tiba-tiba batu bong-pay itu bergerak perlahan.
Si Lhama jubah putih dan ketigapuluh
sembilan kawannya, Lhama-lhama jubah merah jadi tegang sendirinya. Mata mereka
telah terbuka lebar-lebar mengawasi ke arah kuburan itu…… Di saat itu, tampak
batu nisan tersebut telah bergerak lebih keras, disusul dengan suara „Plakkk”
dan kuburan itu seperti terbelah dua. Rupanya kuburan itu merupakan kuburan
rahasia yang memiliki pintu untuk keluar masuk.
Dari dalam kuburan itu kemudian tampak
melompat keluar sesosok tubuh dengan gerakan yang ringan sekali. Orang itu
memakai jubah putih, tangan kanannya kosong dimana jubahnya bergoyang-goyang
lemas tertiup angin malam. Dialah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, yang tengah mereka
cari!
Yo Ko sendiri jadi bingung juga,
karena begitu dia melompat keluar, dia melihat empatpuluh pendeta itu mengambil
posisi mengurung padanya. Sedangkan dia sendiri tidak mengetahui apa maksud
dari pendeta-pendeta asing itu mengurung dirinya.
Lhama jubah putih telah melompat
berdiri, dan berkata dengan suara yang dingin:
„Engkaukah yang bernama Yo Ko?”
Yo Ko diam sejenak tidak menyahut,
sampai akhirnya dia telah berkata:
„Benar..... Aku she Yo dan bernama
Ko.”
„Dan engkau yang bergelar Sin-tiauw
Tayhiap?” tanya Lhama jubah putih itu.
Yo Ko cepat-cepat merangkapkan
tangannya memberi hormat, sampai akhirnya dia telah berkata:
„Tidak berani aku memakai gelar itu,
jika orang-orang menyebut demikian tentunya hanya bergurau saja!” kata Yo Ko
me¬rendah.
„Hemm, kami datang dari luar lautan,
dari Persia. Kami telah lama mendengar nama besarmu yang terkenal itu sama
dengan kepandaianmu!!” setelah berkata begitu, Lhama jubah putih itu
membungkukkan tubuhnya seperti juga ingin memberi hormat, tetapi sesungguhnya
dari kedua tangannya itu telah meluncur keluar tenaga yang sangat kuat sekali,
yang langsung menyerang ke arah Yo Ko.
Yo Ko tidak terkejut diserang begitu,
dia telah tertawa sambil katanya kemudian:
„Jangan main-main Taysu!”
„Aku bukan sedang main-main dengan kau!
Kami bersungguh-sungguh…... Lihatlah, kami dari tempat yang jauh telah datang
kemari, untuk melihat berapa tinggikah kepandaian yang engkau miliki!”
Selesai berkata, Lhama jubah putih itu
telah menjulurkan tangan kanannya, dia bermaksud untuk mencengkeram dada Yo Ko.
„Tunggu dulu, Taysu!” kata Yo Ko
sambil mengelakkan serangan itu.
„Tunggu apa lagi, keluarkan
kepandaianmu!” bentak si Lhama jubah putih.
Yo Ko jadi mendongkol juga, orang
telah melancarkan serangan berulang kali kepadanya, dan serangan-serangan si
Lhama jubah putih itu merupakan serangan-serangan yang mematikan, maka Yo Ko
bermaksud untuk mencoba-coba beberapa jurus bertempur dengan Lhama jubah putih
yang galak ini.
Begitu Lhama jubah putih itu
melancarkan serangan dengan siang-cie-tiam-hoat (totokan se¬pasang jari),
tampak telah mengeluarkan suara siulan dan mengebaskan lengan jubah tangan
kanannya yang kosong, karena tangan kanannya itu buntung, tampak lengan baju
itu telah melibat lengan kanan dari lawannya, sekali saja Yo Ko menarik dan
menghentaknya, maka pendeta Lhama jubah putih itu jadi terkejut dan dengan
tangan kirinya dia menyerang akan menotok biji mata Yo Ko.
Yo Ko melepaskan libatan lengan
jubahnya sambil melompat ke belakang.
„Cukup!” kata Yo Ko. „Kepandaianmu
tinggi sekali, Taysu, percuma engkau mempertaruhkan jiwa hanya untuk urusan
kecil seperti itu, yaitu hanya soal nama saja dari tempat yang jauh Taysu
ramai-ramai telah melakukan perjalanan yang panjang untuk melihat dan
menentukan siapa yang lebih tinggi kepandaiannya diantara kita! Bukankah itu
merupakan hal yang sangat lucu sekali?”
Tetapi Lhama jubah putih itu telah
berkata dengan suara yang dingin:
„Aku datang kemari dengan membawa
firman dari raja kami..... Tetapi sebelumnya kami ingin membuktikan sendiri
benarkah engkau ini seorang jago besar dijaman ini! Nah terimalah seranganku!”
Dan setelah berkata begitu dengan cepat sekali tampak Lhama jubah putih itu
telah menggerakkan tangan kanannya, angin serangannya itu berdesir menerjang ke
arah Yo Ko.
Tetapi Yo Ko mana bisa digertak dengan
serangan seperti itu, sambil berseru keras dia mengibaskan lengan tangan
kanannya yang buntung itu dan juga tangan kirinya telah bergerak menampar
pergelangan tangan lawannya.
„Aduhhh! Aduhhh!” Lhama jubah putih
itu jadi menjerit kesakitan, sambil menarik pulang tangannya dia melompat
mundur ke belakang. Tangan kirinya telah memegangi dan menguruti pergelangan
tangannya yang dirasakan demikian sakit.
Ketigapuluh sembilan Lhama jubah merah
lainnya jadi terkejut sekali melihat pemimpin mereka kena dibuat celaka oleh Yo
Ko. Dengan cepat-cepat mereka memencar diri mengurung Yo Ko, mereka
masing-masing telah mencabut sebatang pedang pendek yang tadinya mereka
sisipkan di pinggang.
Melihat Lhama jubah merah yang
memiliki kepandaian tentunya tidak rendah itu telah mulai mengurung dirinya, Yo
Ko bingung juga karena walaupun bagaimana dengan dikepung berlapis-lapis oleh
keempatpuluh Lhama itu tidak mudah dia bisa meloloskan diri. Tetapi Yo Ko
memiliki kepandaian yang benar-benar telah sempurna, dia bisa mempergunakan
tangan kirinya yang tunggal itu sebaik mungkin. Melihat dirinya dikepung begitu
rapat. Yo Ko tidak menjadi jeri, dia hanya memikirkan betapa lamanya dia harus
membuang tenaga dan waktunya untuk menghadapi lawan-lawannya yang berjumlah
banyak dan tampaknya rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi.
Saat itu pendeta jubah putih itu telah
berkurang rasa sakit pada pergelangan tangannya, dia telah melangkah maju
sambil berseru:
„Hari ini aku ingin mengadu jiwa
dengan kau! Jika aku belum dapat kau binasakan, aku akan terus menyerang
kepadamu! Kata-kata itu diucapkan dengan suara yang bengis, sekali diapun telah
menjejakkan kaki kanannya, tubuhnya meloncat cukup tinggi, waktu tubuhnya
melambung ke tengah udara itu, tampak Lhama jubah putih itu telah mengulurkan
tangan kirinya menerjang Yo Ko, sedangkan tangan kanannya meraba pinggangnya,
kemudian dengan cepat di tangan kanannya itu telah mencekal sebatang pedang
pendek yang terus ditikamkan ke arah tenggorokan Yo Ko.
Yo Ko juga terkejut melihat cara
menyerang pendeta itu yang tampaknya nekad sekali dia mengeluarkan suara siulan
nyaring, dengan kaki tunggal, yaitu dengan gerakan ‘kim-kee-tok-pit’ atau ayam
emas berdiri di kaki tunggal, dia telah memutar tubuhnya, dan waktu pedang lawan
lewat di samping lehernya Yo Ko mengulurkan tangan kirinya dia telah menyentil
pedang itu!
Hebat kesudahannya dari sentilan itu
karena pedang lawannya tergetar seperti juga akan terlepas dari cekalan tangan
Lhama jubah putih itu. Lhama jubah putih itu jeri sekali karena dia merasakan
telapak tangannya itu pedih bukan main akibat getaran sentilan tangan lawannya.
Ketigapuluh sembilan Lhama jubah merah
yang menjadi anak buah Lhama jubah putih itu telah mengeluarkan suara seruan
yang disusul dengan serangan pedang mereka masing-masing.
Menghadapi lawan yang demikian banyak
dan melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dirinya, Yo Ko kuatir juga,
karena tidak mungkin dengan tangan kiri tunggalnya dia menghalau sekaligus
pedang-pedang yang tengah menyambar ke dirinya. Maka jalan satu-satunya Yo Ko
telah menjejakan kakinya, tubuhnya meloncat sejauh lima tombak itulah
kegesitannya yang jarang sekali dimiliki orang-orang rimba persilatan masa
kini.
Keempatpuluh orang Lhama itu tampak
merasa kagum juga melihat ginkang Yo Ko yang telah mencapai tingkat begitu
tinggi dan sempurna.
Yo Ko bukan hanya sekedar melompat ke
atas saja, dia telah mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya bergerak ke
sekeliling tubuhnya, untuk melakukan totokan-totokan yang gencar ke diri
Lhama-lhama itu. Itulah salah satu jurus dari It-yang-cie yang telah dirobahnya
sedemikian rupa, sehingga jadi lebih hebat dari yang sebenarnya.
„Aduhhh..... aduhhh.....!” Lima orang
Lhama telah mengeluarkan suara jeritan tertahan mengandung kesakitan, dan
Lhama-lhama yang lainnya jadi tertegun sejenak, mereka tidak berani menerjang
dulu, karena mereka melihat dengan mempergunakan satu jari saja Yo Ko bisa
merubuhkan ke lima kawan mereka.
Tetapi Lhama jubah putih itu menjadi
penasaran sekali, dia telah, berseru dengan marah: „Hari ini aku akan mengadu
jiwa dengan engkau, buntung.....!” dan Lhama jubah putih itu tidak hanya
berkata saja. Karena dia telah menggerakkan pedangnya untuk menikam ke arah Yo
Ko.
„Tunggu dulu, sabar. Jelaskan dulu
mengapa kalian demikian nekad mencari urusan denganku? Mengapa kalian memusuhi
aku, sedangkan kita tidak pernah saling bertemu?”
„Jangan banyak bertanya, terimalah
serangan!” Dan pedang Lhama jubah putih telah meluncur terus akan menikam bahu
Yo Ko.
Tetapi semua serangan Lhama itu
dihadapi dengan baik oleh Yo Ko menggerak-gerakkan tangan kirinya dengan
jurus-jurus It-yang-cie, dan juga lengan baju kanannya yang kosong itu
dikibas-kibaskannya pula ke segala penjuru. Kibasan lengan jubah itu bukan
kibasan sembarangan, karena mengandung kekuatan yang sangat tinggi sekali,
yaitu disaluri lweekang yang tangguh, maka jika ada lawan yang terkena sabetan
lengan tangan baju Yo Ko, tentu orang itu akan tergempur hebat seperti dihantam
lempengan besi.
Karena melihat Lhama-lhama itu
merupakan rombongan manusia yang sulit diajak bicara, kali ini Yo Ko juga tidak
bersikap segan-segan lagi, dia mempergunakan lweekangnya, yang telah dilatih
mencapai puncaknya, untuk menghadapi semua serangan yang dilakukan
lawan-lawannya itu.
Si Lhama jubah putih yang saat itu
sedang kalap, kembali dia melancarkan serangan dengan jurus Dewi menyajikan
arak untuk sang Buddha, maka pedangnya meluncur pesat tanpa memikirkan
keselamatan dirinya lagi!
Yo Ko heran melihat kenekadan pendeta
itu. Pendeta-pendeta yang mengurung dirinya umumnya merupakan jago-jago yang
melatih ilmu yoga, yaitu semacam ilmu untuk membangkitkan tenaga dalam. Tetapi
herannya justru Lhama jubah putih itu terlalu nekad sekali. Dalam keadaan
demikian, Yo Ko telah memutar lengan jubahnya yang kanan, yang kosong itu,
sambil memutar dia telah menyalurkan tenaga lweekangnya.
Hebat kesudahannya!
24.48. Pertemuan Tak Terduga Ayah dan
Anak
Duabelas Lhama jubah merah telah
terjungkal rubuh bergulingan di atas tanah, sedangkan Lhama jubah putih itu
kena terdesak keras sehingga batal serangannya tadi.
Betapa terkejutnya rombongan Lhama itu
melihat keadaan demikian, dan nyali Lhama jubah putih juga telah ciut. Setelah
dapat berdiri tegak kembali, tampak Lhama jubah putih itu memasukkan pedangnya
ke dalam kerangkanya, lalu merangkapkan kedua tangannya sambil berkata:
„Sesungguhnya kami harus mengakui
bahwa kepandaian kami tidak berarti jika dibandingkan dengan kepandaiannya
Tayhiap. Kami takluk dan tunduk benar-benar!”
Yo Ko juga cepat menjura memberi
hormat.
„Jangan berkata begitu Taysu. Di dalam
dunia ini tidak ada perkataan tinggi dan rendah. Setiap orang yang mempelajari
ilmu silat, tidak boleh sekali-kali merasakan dirinya telah mencapai puncaknya.
Karena jika dia berpikir begitu niscaya akan menyebabkan orang tersebut tidak
mengalami kemajuan lagi .....! Orang yang memiliki kepandaian tinggi, tentu
akan ada yang lebih tinggi lagi, dan begitupun seterusnya.....!”
Lhama jubah putih itu telah menjura
lagi, katanya:
„Omitohud! Pinceng benar-benar merasa
kagum dan tunduk! Terima kasih atas nasehat Tayhiap!” Setelah berkata begitu
Lhama jubah putih itu mengibaskan tangan kirinya memberi isyarat kepada
kawan-kawannya, agar menyimpan pedang mereka.
Kemudian ketigapuluh sembilan orang
Lhama jubah merah itu menekuk satu kaki mereka berlutut dihadapan Yo Ko. Begitu
juga dengan Lhama jubah putih. Telah berlutut dengan kaki satu, sehingga
membuat Yo Ko tambah bingung saja.
„Apa yang kalian lakukan?” tanyanya.
„Kedatangan kami ke daratan Tiong-goan
ini sesungguhnya untuk mencari Tayhiap, karena Baginda Raja kami bermaksud
untuk bertemu. Bersediakah Tayhiap berkunjung ke negeri kami yaitu Persia?”
Yo Ko jadi mengerutkan alis.
„Menyesal sekali aku tidak bisa
memenuhi undangan ini, tolong Taysu kabarkan kepada Baginda terima kasih dan
syukurku yang telah menerima undangan. Dan sayang sekali urusan isteriku belum
juga selesai. Isteriku telah lenyap belasan tahun yang lalu, dan aku belum
berhasil menemui jejaknya musuhku yang menculiknya. Juga aku tak mengetahui
apakah isteriku itu bisa selamat atau tidak, karena aku belum pernah bertemu.
Jika urusanku selesai, kelak aku akan datang.”
Muka si Lhama jubah putih itu jadi
berobah, dia telah berkata:
„Tayhiap, Baginda raja telah berpesan
agar dengan cara apapun, aku harus dapat mengundang Tayhiap. Jika kami gagal,
tentu kami akan menerima hukuman yang sangat berat dari raja kami.”
Yo Ko tersenyum sabar.
„Kembalilah ke negerimu dan
ceritakanlah yang sebenarnya, tentu rajamu itu akan mau mengerti dan juga akan
mengampuni kalian. Aku berjanji, begitu urusanku di daratan Tiong-goan ini
selesai, aku segera akan berkunjung ke Persia.”
„Tetapi Tayhiap,.....”
„Menyesal sekali aku tengah mengejar
musuh yang telah menculik isteriku, tentunya Taysu semua mau mengerti
kesulitanku ini!”
„Hmm,” tiba-tiba Lhama jubah putih itu
telah memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh. „Jika Tayhiap menolak undangan
kami ini, berarti kami terpaksa harus mengadu jiwa denganmu..... karena jika
kami pulang dengan tangan kosong, itupun percuma saja..... berarti kami akan
menerima hukuman mati..... Dan lebih baik kami mempertaruhkan jiwa kami disini
saja!”
Yo Ko tersenyum sabar, dia telah
berkata dengan suara menghibur:
„Kepandaian para Taysu memang sangat
tinggi, mungkin dalam satu dua jurus aku bisa bertahan dari serangan-serangan
kalian. Tetapi setelah itu dengan mudah aku tentu dapat dirubuhkan kalian.”
Itulah kata-kata yang merendah dari
Sin-tiauw Tayhiap. Walaupun sekarang ini dia terhitung sebagai pendekar super
sakti yang tiada lawannya tokh dia masih membawa sikap yang manis tidak takabur
atau congkak.
Rombongan Lhama itu jadi malu
sendirinya, tetapi mereka serba salah, mundur tidak bisa maju pun tidak dapat.
Jika mereka mengundurkan diri dan kembali ke Persia dengan tangan kosong,
selain akan menderita malu juga mereka tentunya akan menerima hukuman dari raja
mereka. Tetapi jika maju untuk menempur Yo Ko, jelas pula mereka tidak memiliki
kesanggupan sampai ke arah itu, tentu dalam beberapa jurus saja mereka akan
dapat dirubuhkan oleh pendekar super sakti itu, hampir tidak bisa diterima oleh
akal sehat!
„Tayhiap….. apakah sungguh-sungguh
Tayhiap tidak bisa ikut bersama kami ke Persia?” tanya Lhama jubah putih itu
kemudian.
„Orang yang menculik isteriku itu
merupakan jago dari Mongolia bergelar Tiat To Hoat-ong. Dan aku sungguh-sungguh
menyesal harus mengecewakan kalian taysu, memang sesungguhnya aku tidak bisa
ikut di saat seperti sekarang ini. Tolong sampaikan salamku kepada raja kalian,
dan percayalah dalam satu atau dua tahun mendatang, jika urusanku telah
selesai, aku akan berangkat ke Persia untuk menghunjuk hormat kepada raja
kalian, dan juga untuk mengunjungi kalian agar kita bisa bertukar pikiran.”
Lhama jubah putih itu ragu-ragu
sejenak, tetapi akhirnya dia mengangguk juga. Memaksa Sin-tiauw Tayhiap ikut
mereka ke Persia sama saja dergan melakukan pekerjaan yang sia-sia, walaupun
bagaimana tidak mungkin mereka bisa menandingi kepandaian Sin-tiauw Tayhiap.
„Baiklah Tayhiap. Nanti kami
menantikan kedatangan Tayhiap, dan kunjungan Tayhiap.”
Yo Ko cepat-cepat membalas
penghormatan Lhama-lhama itu. Dan mereka telah pamitan untuk kembali ke kapal
mereka.
Setelah empatpuluh orang Lhama itu
berlalu, Sin-tiauw Tayhiap masih berdiri di tempatnya. Dia menghela napas berulang
kali, sampai akhirnya dia telah berkata dengan suara perlahan.
„Sahabat, mengapa tidak keluar?”
Phang Kui In, Kwee Siang dan Yo Him
yang tengah bersembunyi jadi terkejut. Betapa tajamnya telinga Sin-tiauw
Tayhiap sehingga dia mengetahui di saat itu tengah bersembunyi beberapa orang.
Sebetulnya sejak tadi waktu pertama
kali Yo Ko muncul, Yo Him sudah ingin melompat keluar dari tempat persembunyian
untuk merangkul ayah kandungnya itu. Begitu juga dengan Kwee Siang, gadis ini
seperti sudah tidak sabar lagi dan hendak keluar dari tempat persembunyiannya.
Namun Phang Kui In telah memberikan isyarat agar mereka menahan perasaan
mereka, karena di saat itu masih terdapat keempatpuluh pendeta yang menjadi
utusan raja Persia itu, tentu bisa menimbulkan urusan lainnya.
Kwee Siang dan Yo Him menuruti isyarat
Phang Kui In. Mereka telah berdiam diri memandang ke arah Yo Ko dengan mata
berkaca-kaca sedangkan tubuh Kwee Siang sering menggigil karena begitu girang
terharu dan berduka, bermacam-macam perasaan berkecamuk di dalam hati gadis
itu.
Sekarang setelah Yo Ko berkata begitu,
Yo Him dan Kwee Siang tidak bisa menahan perasaannya juga, mereka telah
melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
„Ayah.....!” berseru Yo Him dengan
suara yang nyaring, dan menjatuhkan diri berlutut di kaki Yo Ko sambil menangis
terisak-isak.
Sedangkan Kwee Siang dengan terharu
juga telah berseru: „Engko Yo!” dan gadis itu sudah tidak bisa berkata-kata
lebih lanjut, karena air matanya telah mengucur deras sekali.
Yo Ko jadi berdiri tertegun melihat Yo
Him berlutut dihadapannya, seorang pemuda tanggung yang mungkin baru berusia
lima atau enambelas tahun. Dia tidak mengenali pemuda ini, tetapi pemuda yang
tidak dikenalnya itu telah memanggil dia dengan sebutan ‘ayah!’, keruan saja Yo
Ko jadi berdiri termangu seperti sedang bermimpi.
Dan yang lebih menakjubkan hatinya
dicampur perasaan heran, dia melihat Kwee Siang yang muncul sambil menangis
terharu juga. Kemudian tidak lama disusul dengan munculnya Phang Kui In, yang
segera dikenal oleh Yo Ko.
„Adik Siang..... kau ada disini? Dan
kau saudara Phang..... mengapa kalian bisa berada bersama-sama?” tanya Yo Ko
masih dalam keheranan yang sangat.
Phang Kui In maju mendekati Yo Ko, dia
telah merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada pendekar sakti itu.
„Yo eng-hiong, apakah selama ini kau
sehat-sehat saja?” tanya Phang Kui In.
„Terima kasih saudara Phang.....
tetapi yang membuat aku jadi heran adalah kalian yang bisa berada bersama-sama!
Apa yang terjadi. Dan engko kecil ini telah memanggil aku dengan sebutan
‘ayah!’ siapakah anak ini sebenarnya?”
Phang Kui In tersenyum sambil berkata:
„Memang mungkin sudah tiba waktunya
kalian dipertemukan oleh Thian, maka terjadilah peristiwa hari ini! Tidakkah Yo
eng-hiong mengetahui siapa adanya engko kecil ini! Dia bernama tunggal Him dan
she Yo!”
„Yo Him? Ah, itulah nama yang sangat
bagus sayangnya aku tidak mengetahui dimana adanya istriku itu mengapa bisa
terjadi demikian kebetulan?”
„Engko Yo. Seharusnya engkau berterima
kasih dan bergirang kepada Phang eng-hiong, karena Phang eng-hiong lah yang
telah berusaha untuk mempertemukan kalian ayah dan anak..... Yo Him adalah
puteramu yang diperoleh dari encie Siauw Liong Lie.....!”
„A..... Apa?” tanya Yo Ko kaget sekali
seperti disambar petir. „Adik kecil ini..... anakku?”
Yo Him yang sudah tidak bisa menahan
harunya, menangis menggerung-gerung sambil memeluki kedua kaki Yo Ko.
„Ayah, anakmu mengunjukkan
hormat.....!” kata Yo Him diantara isak tangisnya.
Yo Ko segera berjongkok, dia telah memperhatikan
Yo Him sejenak lamanya, dan dia melihat wajah Yo Him mirip dengan wajah dia
seusia Yo Him. Disamping itu mata dan hidungnya itu mirip dengan Siauw Liong
Lie.
„Anakku.....!” tiba-tiba Yo Ko telah
mengulurkan tangan tunggalnya itu untuk merangkul Yo Him, dan pendekar sakti
yang super itu telah menangis terharu. „Mana ibumu...... mana ibumu, nak?”
Sambil menangis Yo Him menceritakan
segala apa yang diingatnya, dia menceritakan dirinya dirawat oleh seekor burung
rajawali yang besar sekali, dan dia tidak mengetahui dimana adanya sang ibu,
karena Yo Him hanya tahu bahwa dia dibesarkan rajawali itu, sampai akhirnya dia
telah diterbangkan ke atas lembah dan diangkat anak oleh penduduk di kampung
itu.
Mendengar semua itu Yo Ko jadi
menghela napas dalam-dalam, tampaknya dia berduka sekali:
„Kasihan ibumu itu nak, dalam keadaan
hamil justru kami menerima cobaan-cobaan yang tidak ringan, yaitu Tiat To
Hoat-ong selalu mencari urusan dengan kami bahkan akhirnya ibumu telah kena
diculiknya oleh pendeta jahat itu.” Setelah berkata begitu, Yo Ko menghela
napas berulang kali dan memandang jauh.
Phang Kui In dan Kwee Siang tersenyum
terharu, mereka girang melihat pertemuan ayah dan anak ini, dimana pertemuan
ini merupakan yang pertama kali sejak Yo Him dilahirkan.
Setelah melepaskan rindunya kepada
anak kandungnya itu, Yo Ko menoleh kepada Kwee Siang.
„Adik Siang mengapa kalian bisa
bersama-sama?” tanyanya.
Kwee Siang menceritakan pengalamannya,
dan Yo Ko jadi terharu mendengar gadis ini belasan tahun telah berkelana dalam
kalangan kang-ouw hanya sekedar, untuk bertemu dengan dia dan Siauw Liong Lie.
„Terima kasih atas perhatianmu kepada
kami, adik Siang,” kata Yo Ko kemudian.
Phang Kui In juga menceritakan
pengalamannya. Dan sepasang alis Yo Ko jadi mengkerut dalam-dalam waktu
mendengar ketua Tiauw-pang yang bernama Ciong Lam Cie itu menawan mereka
bertiga dan hendak menganiaya Yo Him.
„Memang orang she Ciong ini terlalu
sekali!” kata Yo Ko kemudian setelah menghela napas lagi, „Dan orang seperti
itu memang harus diberikan pelajaran. Jika tidak tentu orang she Ciong itu akan
melakukan hal-hal yang tidak-tidak.”
Waktu itulah tampak Phang Kui In
melanjutkan ceritanya pula, dimana dia telah mengatakan bahwa mereka setelah
tertawan oleh orang-orang Tiauw-pang itu, mereka berhasil meloloskan diri dan
hanyut terbawa oleh user-user air.
Kembali Yo Ko menghela napas lagi, dia
mendengarkan terus cerita Phang Kui In.
„Setelah kami pingsan tak sadarkan
diri. Ternyata kami telah dibawa oleh user-user air itu ke tepi pantai sebuah
pulau, disana kami bertemu dengan seorang jago tua yang memiliki kepandaian
tinggi, hanya sayang kedua kakinya bercacad, sehingga dia tidak bisa bergerak
leluasa walaupun kepandaiannya.....”
„Siapakah jago yang buntung kedua
kaki¬nya itu?” tanya Yo Ko tertarik sekali.
„Dia she Lie, bernama Bun Hap. Dia
juga telah mengangkat Yo Him sebagai muridnya..... Selama dua tahun kami
berdiam di pulau itu, di mana Yo Him telah meyakinkan ilmu yang diturunkan Lie
Bun Hap lo-eng-hiong.”
Yo Ko girang mendengar itu.
„Jadi kepandaian Him-jie telah
lumayan, juga!” katanya. „Baiklah..... jika kelak urusan kita telah selesai,
yaitu mencari jejak pembunuh atau penculik dari isteriku itu, maka kita akan
pergi ke Persia untuk memenuhi undangan raja itu, sekarang kita lebih baik
pergi ke Kun-lun-san untuk melihat apakah terdapat tanda-tanda bahwa Liong-jie
itu berada disana!”
Mendengar itu Yo Him cepat-cepat
merogoh sakunya, dia mengeluarkan secarik kain berkembang, diberikannya kain
putih berkembang itu kepada Yo Ko.
„Ayah..... waktu Sin-tiauw ingin
menghabiskan hidupnya dengan terjun ke dalam jurang, sebelumnya dia telah
menunjukkan kepadaku sebuah kuburan kecil yang ketika kubuka terdapat kain-kain
ini!”
Yo Ko menerima carikan kain itu dan
memperhatikan sejenak dan diwaktu itulah dalam keadaan hening dan semua orang
membungkam menutup mulut, terdengar isak tangis Yo Ko.
„Benar..... ini adalah pakaian ibumu,
pecahan dari bajunya..... Kalau begitu..... kalau begitu..... ah, Liong-jie,
engkau telah mendahului aku! Walau bagaimana penasaranmu itu harus dibalas, aku
akan mencari Tiat To Hoat-ong untuk mengadakan perhitungan dengannya.” Dan
setelah berkata begitu tampak Yo Ko mendekap carikan kain dari baju isterinya
itu ke dadanya sambil menangis keras terisak-isak.
Yo Him bertiga tidak berani
berkata-kata, mereka hanya berdiam menundukkan kepalanya saja, diliputi
perasaan haru melihat seorang pendekar sakti seperti Yo Ko bisa menangis dengan
keras terisak-isak seperti anak kecil saja.
Setelah puas menangis, tiba-tiba Yo Ko
telah mengeluarkan suara meraung yang keras dan panjang, sampai sekitar tempat
itu tergetar keras. Yo Him bertiga jadi tambah terkejut, karena merasakan tubuh
masing-masing menggigil.
Yo Ko tertawa dengan suara yang
sambung menyambung, dan tiba-tiba dengan diiringi suara bentakannya, tampak
tubuhnya telah jongkok di tanah dan tangan tunggalnya itu telah bergerak cepat
sekali.
„Siuttt, bukkk!” telapak tangan Yo Ko
telah menghantam batang pohon besar yang terdapat disitu, sehingga
memperdengarkan suara benturan yang keras sekali, disusul lagi dengan suara
„krekkk!” yang nyaring, maka batang pohon itu telah patah rubuh! Itulah ilmu
pukulan ha-mo-kang, ilmu pukulan kodok yang diterima Yo Ko dari Auwyang Hong!
Tidak mengherankan jika batang pohon itu tumbang seketika begitu terkena
pukulan tangan Yo Ko, sedangkan batu gunung yang besarpun jika terkena gempuran
seperti itu akan lumat hancur.
Phang Kui In dan Kwee Siang yang
melihat hebatnya tenaga serangan dari Yo Ko yang sekaligus bisa menumbangkan batang
pohon itu, jadi meleletkan lidah mereka. Sedangkan Yo Him sendiri telah
memandang dengan wajah berseri-seri, karena dia bangga sekali memiliki seorang
ayah yang demikian tangguh ilmu pukulannya.
Waktu itulah Yo Ko telah menghentikan
tangisnya, karena dia telah berhasil melampiaskan kemendongkolan, dan juga
dendam di hatinya, lewat pukulan keras pada batang pohon itu.
Cepat sekali dia menoleh kepada Yo Him
tangan anaknya itu dicekal keras.
„Ayah.....!” berseru Yo Him dengan
suara tertahan karena dia kaget sekali begitu pergelangan tangannya kena
dicekal oleh Yo Ko ayahnya, mendatangkan perasaan sakit bukan main, pergelangan
tangannya itu seperti juga kena dijepit oleh jepitan besi.
Dalam hal ini memang Yo Ko telah
mempergunakan tenaga yang cukup kuat dan sekali dia membentak, „rubuhlah,” maka
di saat itu juga tubuh Yo Him jadi terlempar tinggi sekali.
,,Engko Yo.....!” berseru Kwee Siang,
karena dia kuatir Yo Ko dalam kedukaan yang begitu mendalam telah mempergunakan
tenaga yang besar dan di luar kesadarannva mencelakai anaknya sendiri.
„Yo Tayhiap!” Phang Kui In juga
berteriak dengan suara yang gugup, karena dia melihat betapa tubuh Yo Him telah
terlempar begitu keras.
Tetapi Yo Ko seperti tidak
memperdulikannya, dia telah melompat lagi dengan cepat, dan tubuh Yo Him yang
tengah meluncur turun itu telah disambar, baju di bagian punggungnya telah
dicengkeram keras oleh sang ayah ini dan tampak Yo Ko menghentak lagi
tangannya, maka di saat itulah tubuh Yo Him terlontar kembali dengan kuat,
terlontar dengan lemparan yang mengandung kekuatan sulit diukur.
Yo Him sendiri kaget dirinya tahu-tahu
dilemparkan begitu rupa oleh ayahnya. Tetapi sebagai seorang yang telah
memiliki kepandaian cukup banyak yang diperolehnya dari beberapa orang,
termasuk Lie Bun Hap, cepat sekali Yo Him bisa mengendalikan kaki dan tangannya
berjumpalitan beberapa kali di udara dan meluncur turun ke tanah dengan kedua
kakinya terlebih dahulu.
Di saat itu Yo Ko tidak menerjang maju
lagi, dia berdiri tegak sambil tertawa bergelak-gelak dengan keras, sehingga
kembali tubuh Phang Kui In dan Kwee Siang tergetar menggigil dipengaruhi suara
tertawa yang luar biasa itu.
Yo Him sendiri merasakan jantungnya
tergoncang keras sekali ketika mendengar suara tertawa ayahnya itu, dia
cepat-cepat mempergunakan tangannya untuk menutupi kedua telinganya.
Lama juga Yo Ko tertawa seperti itu
sampai akhirnya dia telah berhenti sendiri. Diawasinya Yo Him yang saat itu
masih menutupi kedua telinganya.
„Anak baik, ternyata engkau
benar-benar telah memiliki ilmu yang lumayan dengan memiliki dasar seperti itu
tentu tidak sulit lagi buatku menurunkan semua kepandaian yang kumiliki. Mari,
kemarilah nak!”
Yo Him baru mengerti bahwa ayahnya
hanya menguji kepandaian saja, hatinya jadi tenang kembali dan dia membuka
tutupan kedua tangannya pada kedua telinganya, lalu dia menghampiri ayahnya.
Yo Ko mengulurkan tangannya yang kiri
itu untuk mengusap-usap kepala anaknya.
„Saudara Phang!” kata Yo Ko kepada
Phang Kui In.
Cepat-cepat Phang Kui In
menghampirinya.
„Ada apa Tayhiap?” tanya orang she
Phang itu.
Yo Ko telah menggerakkan tangan
kirinya untuk memberi hormat, kemudian katanya:
„Terima kasih atas usaha dan bantuanmu
sehingga kami ayah dan anak bisa berkumpul kembali! Kami sangat berterima kasih
sekali padamu, saudara Phang, dan katakanlah jika engkau memiliki suatu
permintaan, aku tentu akan memenuhinya!”
Phang Kui In cepat-cepat merangkapkan
kedua tangannya memberi hormat, dengan rendah hati dia telah berkata:
„Mana berani aku yang rendah
memikirkan hal yang tidak-tidak! Asal kalian ayah dan anak telah berkumpul
kembali, itupun telah membuat hatiku puas!”
Yo Ko sekali lagi mengucapkan syukur
dan terima kasihnya.
„Mari kita mencari rumah penginapan.
Di sana nanti kita bisa bercakap-cakap dengan leluasa.....!” kata Yo Ko.
Yang lainnya menyetujui dan mereka
telah kembali ke kota dan mencari sebuah rumah penginapan yang tidak begitu
besar.
Yo Ko banyak mendengarkan cerita Yo
Him, betapa terharunya Yo Ko waktu mendengar penderitaan Yo Him sebagai anak
yang jauh dari kedua orang tuanya. Tetapi betapa bangganya hati Yo Ko waktu
mendengar Yo Him mengikat tali persaudaraan dengan Wie tocu. Betapa hebatnya
anak ini dalam usia sekecil itu telah bisa mengikat tali persahabatan dengan
tokoh persilatan yang ternama seperti Wie tocu.
„Memang engkau merupakan anak yang
hebat, Him-jie!” memuji Yo Ko
Phang Kui In juga banyak bercerita
mengenai kegagahan Yo Him. Diceritakan juga oleh Phang Kui In
pertempuran-pertempuran mereka yang cukup hebat menghadapi orang-orangnya
Tiauw-pang.
Mereka bercakap-cakap sampai jauh
malam, dan ketika kentongan telah dipukul dua kali, di saat malam telah larut
mereka baru masuk tidur.
Yo Ko, Yo Him dan Phang Kui In tidur
dalam sebuah kamar, sedangkan Kwee Siang tidur di kamar lainnya. Sebelum tidur,
Kwee Siang juga bercakap-cakap lama sekali dengan Yo Ko. Dia merasakan
kerinduannya kepada pendekar sakti she Yo itu agak berkurang dengan adanya
pertemuan ini.
◄Y►
Keesokan paginya sambil dahar makanan
pagi, mereka telah bercakap-cakap lagi. Banyak dan ada-ada saja yang
diceritakan, oleh mereka. Bahkan Yo Ko telah menceritakan, sejak dia kehilangan
isterinya yang diculik oleh Tiat To Hoat-ong, hidupnya jadi serba sepi dan
sengsara. Telah dijelajahinya seluruh daratan Tiong-goan, dan selama itu pula
Yo Ko tidak hentinya mengalami banyak pertempuran.
„Mungkin tahun ini pasukan Kublai Khan
akan menyerbu ke daratan Tiong-goan untuk memukul kerajaan Song. Dua tahun
terakhir ini aku sibuk sekali menghimpun jago-jago yang cinta tanah air untuk
bantu mempertahankan negeri. Tetapi Kublai Khan memiliki banyak sekali
orang-orang pilihan, maka kemungkinan kami bisa mempertahankan daratan
Tiong-goan dari injakan kaki orang Mongolia itu tipis sekali.....” dan setelah
berkata begitu Yo Ko menghela napas berulang kali.
Phang Kui In bersama Yo Him dan Kwee
Siang jadi berdiam diri saja, mereka telah memandang ke arah Yo Ko dengan sorot
mata yang seperti, meminta keterangan lebih jauh.
Waktu itu Yo Ko telah memandang jauh
keluar jendela. Kemudian sambil menghela napas sekali lagi dia berkata:
„Sesungguhnya, jika aku memusatkan
seluruh perhatianku untuk mencari jejak musuh besarku itu yang telah menculik
Liong-jie bisa saja aku menemui jejaknya tanpa bersusah payah. Tetapi justru
urusan pribadi itu masih kurang penting jika dibandingkan dengan keselamatan
negeri, maka dari itu aku telah menghabiskan waktu belasan tahun untuk
menggalang para orang gagah untuk membela negara..... Tentu saja jika tentara
Mongolia sempat memasuki daratan Tiong-goan, habislah harapan kita, untuk
selamanya kita akan menjadi negeri jajahan.
Phang Kui In jadi terharu. Betapa
besarnya jiwa pendekar sakti ini, karena urusan pribadinya bisa dikesampingkan,
dan dia bersedia untuk mengorbankan urusan pribadinya demi membela tanah air.
Phang Kui In jadi menghormati Yo Ko.
Kwee Siang telah berkata:
„Sungguh manusia yang jahat sekali
Tiat To Hoat-ong..... Dan mengapa encie Liong bisa diculik oleh Tiat To
Hoat-ong bukankah kepandaian enci Liong itu berimbang dengan kepandaian engko
Yo?”
Yo Ko menghela napas dalam-dalam.
„Kukira di dalam urusan ini terselip
sesuatu, yaitu pihak musuh melakukan perbuatan hina dina dengan akal licik
untuk merubuhkan Liong-jie, tetapi..... tetapi jika memang Liong-jie binasa…..
tentu dia tidak akan bisa melahirkan dan kenyataannya Yo Him kini telah berusia
limabelas tahun, dan memiliki secarik kain baju ibunya, dengan demikian berarti
Siauw Liong Lie bisa meloloskan diri dari penculiknya itu, karena dia masih
sempat melahirkan Yo Him. Dugaanku Liong-jie tentu bisa meloloskan diri dan
selamat, hanya dia entah bersembunyi dimana..... Jika menurut Yo Him dia
dirawat oleh rajawali sakti, dan akhirnya setelah berusia enam tahun dia dibawa
naik dari lembah dan diangkat anak oleh seorang penduduk di kampung dekat kaki Kun-lun-san.
Hai…… hai Liong-jie, entah apa yang telah terjadi pada dirimu!”
„Bagaimana jika sekarang kita menuju
ke Kun-lun-san. Untuk melihat-lihat keadaan di dalam lembah itu?” tanya Kwee
Siang. „Bukankah dengan demikian kita bisa mencari jejak dari encie Liong,
sehingga kita bisa memperoleh kepastian, yaitu encie Liong itu telah meninggal
atau memang masih hidup dan hanya bersembunyi di suatu tempat.....”
Saran yang diberikan oleh Kwee Siang
merupakan saran yang baik dan disetujui oleh Yo Ko dan Phang Kui In.
„Tetapi jarak dan tempat ini menuju ke
Kun-lun-san masih terpisah jauh, mungkin memakan waktu perjalanan hampir
setengah tahun.....!” kata Yo Ko lagi kemudian.
„Hal itu tidak menjadi persoalan yang
terpenting kita bisa mencari tahu apa yang telah terjadi didiri encie
Liong.....”
„Benar!” Phang Kui In juga ikut
bicara. „Lebih baik kita memeriksa keadaan di lembah dimana Yo Him pernah
dibesarkan oleh burung rajawali itu..... di tempat itu kita bisa menyelidiki
sesungguhnya apa yang telah terjadi didiri Siauw liehiap.
Tiba-tiba Yo Him yang disamping
ayahnya, telah teringat pada segundukan tanah kuburan yang memiliki pintu
rahasia sehingga Yo Ko bisa keluar dan masuk ke dalam kuburan itu.
„Ayah, sebetulnya untuk apakah kuburan
rahasia itu..... maukah ayah menjelaskannya?” kata Yo Him.
Yo Ko jadi berobah murung dan menghela
napas dengan wajah yang berduka, dia telah berkata:
„Itu adalah sebuah kuburan untuk
kenang-kenangan dan sengaja kubuat untuk mengenang Liong-jie. Ibumu..... dulu
waktu aku masih kecil, banyak orang yang menghina, hanya ibumu yang tidak
menghina dan memperlakukan aku dengan baik, bahkan aku telah diijinkan tinggal
di dalam kuburan mayat hidup, di mana ibumu yang mengurusnya. Dan aku juga
telah dididik ilmu silat tingkat tinggi, sampai akhirnya aku bisa memiliki
kepandaian yang sangat tinggi seperti sekarang ini! Untuk mengenang kebaikan
ibumu itu, sengaja aku membuat kuburan ini dan jika aku tengah rindu terkenang
kepada ibumu, aku bersemadhi di dalam kuburan, untuk menenangkan hati yang
sering tergoncang!”
Mendengar perkataan ayahnya, hati Yo
Him jadi terharu sehingga dia menitikkan air mata. Sedangkan Kwee Siang dan
Phang Kui In juga jadi terharu dan semakin menghormati. Rupanya cinta Yo Ko
kepada isterinya itu sangat suci dan murni.
Waktu itu mereka telah merencanakan
esok hari untuk berangkat ke Kun-lun-san.
Malam itu mereka tidur dengan nyenyak.
Waktu matahari baru terbit di ufuk
timur justru mereka telah siap untuk berangkat. Setelah membayar ongkos sewa
kamar dan barang makanan yang mereka makan, Yo Ko bersama Yo Him, Kwee Siang
dan Phang Kui In telah membeli empat ekor kuda. Yang mereka pergunakan
masing-masing itu merupakan kuda-kuda pilihan, yang bisa berlari seribu lie
dalam satu hari, karena selain tinggi besar dan tegap, juga kuda mereka itu
merupakan kuda dari Mongolia yang terkenal sangat kuat.
Tanpa mengenal istirahat mereka telah
melakukan perjalanan, dan setengah bulan mereka melakukan perjalanan, keempat
orang ini telah sampai di kota Kiang-cie-kwan, sebuah kota yang tidak begitu
besar, tetapi padat penduduknya.
Yo Ko mengajak Yo Him dan Kwee Siang
bersama Phang Kui In untuk bermalam di kota ini.
„Telah belasan hari melakukan
perjalanan tanpa mengenal waktu. Di kota ini kita beristirahat dua hari dulu,
untuk memulih tenaga kita.....!” kata Yo Ko.
Yang lainnya setuju. Mereka memilih
rumah makan yang tidak begitu besar. Sebagai kota kecil, rumah makan ini juga
tidak begitu ramai.
Waktu Yo Ko, dan yang lainnya
melangkah masuk, ada seseorang di dalam rumah makan itu tengah berseru keras:
„Memang aku tanpa tanding! Siapa yang
bilang aku takut untuk menghadapi Sin-tiauw si buntung itu? Hmmm, Tayhiap!
Tayhiap apa, sekali kugerakkan kedua tanganku dia akan segera dapat
kumampuskan.....!” dan kemudian disusul dengan suara tertawa bergelak-gelak
dari orang itu.
Yo Ko telah menatap ke arah dalam, dia
melihat orang yang mengeluarkan kata-kata sombong itu adalah seorang pemuda
pelajar yang memiliki raut muka sangat kasar sekali, dengan kumis jenggot yang
kasar dan kaku. Dilihat dari bentuk tubuhnya, tentunya dia seorang ahli gwakee
(tenaga luar).
Tanpa memperdulikan orang itu,
walaupun mengetahui dirinya yang dimaksudkan oleh orang itu dengan perkataan
Sin-tiauw si buntung, Yo Ko telah mengajak Phang Kui In, Kwee Siang dan Yo Him
duduk di kursi yang di dekat jendela, terpisah cukup jauh dengan pemuda pelajar
bermuka kasar itu.
Saat itu, pelajar bermuka kasar itu
telah berkata kepada kawannya yang ada dihadapannya, yaitu seorang Tojin
berusia diantara enampuluh tahun:
„Sekarang juga engkau cari si buntung
itu, aku akan melayaninya, tunggu disini.....!”
Tojin itu telah tersenyum sabar.
25.49. Keroco Penantang Sin-tiauw
Tayhiap
„Jangan terlalu terkebur, Heng-tay,”
kata pendeta itu, „Jangankan engkau yang hanya memiliki kepandaian bisa
dihitung dengan jari, sedangkan ciangbunjin-ciangbunjin dari berbagai perguruan
silat ternama, seperti Siauw-lim-sie dan lainnya tidak ada yang berani
membentur Sin-tiauw Tayhiap apalagi yang memiliki kepandaian sedikit, tentunya
sekali saja Yo Tayhiap menggerakkan lengan baju kanannya yang tidak berlengan
itu, engkau sudah akan meraung-raung meminta ampun.”
Muka pelajar yang wajahnya kasar itu
jadi berobah tidak senang, tangan kanannya telah dipergunakan untuk memukul
meja, sehingga ada dua cawan yang terbentur dan jatuh ke lantai menimbulkan
suara berisik karena cawan-cawan yang jatuh itu telah hancur.
„Sabar hiantee (adik), engkau
tampaknya begitu bernapsu sekali ingin menguji ilmumu dengan Sin-tiauw Tayhiap.
Jika memang telah bertemu dengannya, engkau tentu akan cepat-cepat ambil
langkah seribu.”
„Jangan terlalu menghina begitu
totiang,” kata pelajar muka kasar itu. „aku Bong Siu Kang, tidak pernah
mengenal apa itu perkataan takut. Dalam hal ini memang engkau belum pernah
menyaksikan aku bertempur totiang! Nanti jika aku bisa mencari jejak si buntung
itu akan ku..... „haappppp!” dan orang she Bong itu telah menjerit terkejut,
karena tahu-tahu ada sebatang sumpit yang telah menyambar dan menghantam
giginya.
Tepat sekali hantaman itu karena
sumpit tersebut telah menghantam terlepas gigi di depan pemuda itu, sehingga
gigi itu rontok menimbulkan perasaan sakit yang bukan main.
Ternyata Phang Kui In yang melihat
kekurang ajaran orang she Bong itu, karena mendongkol sekali dia telah menyambitkan
sumpitnya ke dalam mulut pemuda sombong itu.
Setelah tersadar dari sakit dan
terkejutnya, Bong Siu Kang telah melompat berdiri dengan muka merah padam
karena marah.
„Siapa yang lancang mempermainkan aku
Bong Siu Kang. Jago tanpa tanding ini!” teriak Bong Siu Kang dengan suara yang
garang.
„Aku.....!” menyahuti Phang Kui In
dengan suara yang dingin. „Apakah engkau tidak senang?”
Muka Bong Siu Kang semakin merah,
karena dia sangat gusar sekali. Kemudian dia melangkah dengan kaki lebar
menghampiri Phang Kui In, sedangkan Yo Ko dan yang lainnya hanya mengawasi saja
merekapun sebal sekali melihat sikap sombong Bong Siu Kang, hanya mereka
menahan tertawa sendiri, sebab melihat betapa mulut Bong Siu Kang telah
berlumuran darah merah dari giginya yang copot.
„Kamu lancang tangan, berani menghina
tuan besarmu, heh?” sambil membentak begitu, tangan Bong Siu Kang telah
bergerak melancarkan serangan. Dia mempergunakan jurus ‘Mie-hong-ciu-tang’ atau
mie-hong gemar arak dewa, kedua kepalan tangannya itu bergerak seperti orang
yang tengah menyuguhi persembahan arak, yang diincernya adalah punggung Phang
Kui In.
Tetapi Phang Kui In tetap duduk diam
sama sekali tidak bergerak. Dia membiarkan pukulan Bong Siu Kang mengenai
punggungnya, diam-diam dia telah mengerahkan tenaga lweekangnya yang disalurkan
ke punggungnya.
„Bukk!” Suara benturan antara kepalan
tangan Bong Siu Kang dengan punggung Phang Kui In terdengar keras dan di saat
itu juga terdengar jeritan dari Bong Siu Kang, karena tubuhnya telah terlempar
ke lantai.
Rupanya walaupun Phang Kui In tidak
mengadakan penangkisan terhadap serangan lawannya. Tetapi dia telah
mengembalikan tenaga serangan lawannya melalui tenaga lweekangnya yang memenuhi
pundaknya. Maka tidak mengherankan ketika kepalan tangan Bong Siu Kang
menghantam, segera tenaga serangan itu berbalik kembali, sehingga tubuh orang
she Bong itu terlempar bergulingan di lantai.
Tetapi Bong Siu Kang penasaran sekali
dan tidak pernah mengenal menyerah. Walaupun dia telah kena diserang dengan
cara mengembalikan tenaga lweekang, membuktikan bahwa tenaga serangan itu
sangat kuat, dan tentu pemiliknya memiliki kepandaian yang sangat tinggi
sekali. Dengan mempergunakan gerakan ‘lee-ie-ta-teng’ atau ikan gabus meletik,
tubuh Bong Siu Kang telah melompat tinggi dan berada di dekat Phang Kui In.
„Kau..... mempergunakan ilmu siluman!
Jika memang engkau seorang ho-han, layanilah seranganku dengan jujur.”
Phang Kui In jadi tambah sebal kepada
orang she Bong tersebut, yang dianggapnya tidak tahu diri. Dengan ayal-ayalan
Phang Kui In berdiri dari duduknya, sedangkan Yo Ko hanya tersenyum-senyum saja
dan Yo Him bersama Kwee Siang tidak memperdulikan semua itu, mereka tengah
bicara dengan asyik.
„Apa yang kau kehendaki lagi?” tanya
Phang Kui In dengan suara yang dingin, dia juga sengaja membuka matanya
lebar-lebar untuk menyelidiki lawannya itu.
„Aku menghendaki kau melayani aku
dengan cara ho-han,” kata Bong Siu Kang.
„Caranya?”
„Engkau harus mempergunakan kedua
tanganmu, tidak seperti tadi engkau mempergunakan ilmu siluman.”
„Ilmu siluman?”
„Ya engkau memiliki ilmu siluman,
tidak keruan! Aku yang memukul dirimu, tetapi toh justru aku yang telah
terpental. Bukankan dengan demikian membuktikan bahwa engkau mempergunakan ilmu
siluman?”
Mendengar perkataan Bong Siu Kang,
nampak Phang Kui In tertawa tergelak-gelak.
Muka Bong Siu Kang jadi berobah merah
padam karena dia merasa tersinggung.
„Apa yang kau tertawakan?” bentaknya
dengan suara yang aseran, karena dia mengetahui Phang Kui In tertawa begitu
tentunya dengan maksud mengejeknya.
Phang Kui In telah berhenti tertawa.
Kemudian dengan muka yang sungguh-sungguh dia berkata:
„Engkau terlalu takabur! Tadi aku
bukan mempergunakan ilmu siluman, tetapi justru kepandaianmu yang masih terlalu
rendah! Aku tadi telah mempergunakan lweekangku untuk mengembalikan tenaga
seranganmu, sehingga engkau jadi jungkir balik begitu rupa! Hemm, karena itu
engkau harus melatih diri selama duapuluh tahun lagi barulah engkau bisa
memahami ilmu itu!”
Keruan saja Bong Siu Kang jadi tambah
marah.
„Bangsat kecil, kau ingin menggertakku
dengan ilmu silumanmu itu? Hemm, hemm, aku Bong Siu Kang tidak akan takut
menghadapi siapapun juga, terimalah seranganku yang kali ini!” Dan dia bukan
hanya berkata karena dia telah mengerakkan tangan kirinya dengan jurus air
terjun menimpa bumi, dan disusul dengan jurus terjangan badai mengamuk pada
naga, merupakan jurus kedua yang cukup lumayan kerasnya.
Tetapi buat Phang Kui In mana dia
memandang sebelah mata kepandaian orang she Bong itu. Dengan mengeluarkan
seruan kecil dia berkelit ke samping, tahu-tahu dia telah berada di belakangnya
Bong Siu Kang. Dan kemudian menepuk bahu orang she Bong itu perlahan sekali.
„Aku disini.....!” katanya sambil
tersenyum lagi.
Semangat Bong Siu Kang seperti terbang
meninggalkan raganya, cepat-cepat dia memutar tubuhnya dan menggerakkan kedua
tangannya berulang kali untuk mencecar diri Phang Kui In.
Tetapi Phang Kui In dengan mudah bisa
mengelakkan diri dari serangan-serangan lawannya, sama sekali dia tidak
membalas menyerang.
Bong Siu Kang jadi tambah penasaran,
berulang kali dia mengamuk sambil mengulangi serangan-serangannya seperti juga
orang kesurupan hantu saja.
Namun Phang Kui In tetap tidak mau
membalas menyerang. Namun setelah lebih dari empatpuluh jurus, di saat itulah
dengan cepat sekali Phang Kui In mencengkeram tangan kanan orang she Bong itu.
„Aduhhh.....!” menjerit Bong Siu Kang
ketika tangannya dicekal dengan keras sekali. Tetapi suara jeritan kesakitan
itu belum lagi habis diucapkannya, tiba-tiba tubuhnya telah diangkat oleh Phang
Kui In, lalu dilemparkannya dengan kuat sekali melambung ke tengah udara,
lemparan Phang Kui In itu cukup keras, karena telah disertai oleh tenaga
lweekangnya sebanyak empat bagian.
Dalam keadaan demikian, Bong Siu Kang
hanya bisa menjerit saja, dan tubuhnya terbanting keras di atas lantai, diam
tidak berkutik lagi karena dia telah rubuh pingsan.
Semua tamu-tamu lainnya jadi berdiam
diri dengan tertegun karena di kota mereka ini, Bong Siu Kang boleh dibilang
sebagai jagonya dan tidak ada orang yang berani berurusan dengannya. Tetapi
kini dengan begitu mudah telah dirubuhkan oleh Phang Kui In, sehingga mereka
jadi duduk bengong saja di tempat masing-masing sambil memandang kepada Phang
Kui In dengan sorot mata menunjukkan kekaguman.
Waktu itu Phang Kui In telah memutar
tubuhnya hendak kembali ke kursinya.
Tetapi belum lagi dia duduk, telah ada
yang berseru kepadanya: „Tahan dulu, sahabat.....!”
Phang Kui In telah menoleh dan
mengawasi orang yang menegurnya itu. Dilihatnya orang yang menegurnya itu tidak
lain dari pada si Tojin yang tadi bercakap-cakap dengan Bong Siu Kang.
Cepat-cepat Phang Kui In telah berkata dengan suara yang ramah:
„Ada petunjuk apakah totiang......”
Tojin itu tidak segera menyahuti, dia
telah mengawasi Phang Kui In beberapa saat lamanya, sampai Phang Kui In tidak
sabar sendirinya
„Katakanlah totiang jika memang engkau
memiliki petunjuk. Kalau eng¬kau tidak memiliki urusan apa-apa, maafkan aku
akan kembali ke mejaku.”
Tojin itu telah tersenyum mengejek.
„Aku bergelar Cing-siu Cinjin.”
Katanya
„Cing-siu Cinjin”? tanya Phang Kui In.
„Aku serasa pernah mendengar gelaran totiang.” Kemudian dia memperhatikan
baik-baik Tojin itu. Dia melihat orang memiliki muka berbentuk segi tiga,
dadanya dada burung, membusung keluar dan tubuhnya tidak gemuk juga tidak
kurus. Matanya yang agak luar biasa, memandang Phang Kui In dengan sinarnya
yang tajam sekali.
„Tadi pinto telah beruntung bisa
menyaksikan kie-su (orang gagah), merubuhkan Bong Siu Kang, anak itu memang
suka sekali berlaku sombong dan takabur. Tetapi, sebagai orang rimba persilatan
jika melihat ada orang yang memiliki kepandaian tinggi membuat tangan menjadi
gatal karenanya. Maka jika kie-su tidak keberatan, pinto ingin minta beberapa
jurus petunjuk dari kie-su!”
Cepat-cepat Phang Kui In merangkapkan
tangannya, dia telah menjura memberi hormat kepada Tojin tersebut.
„Maafkan totiang, kepandaianku tidak
berapa tinggi, aku hanya mengerti satu-dua jurus saja,” katanya merendahkan
diri dengan sikap yang manis sekali. „maka dari itu aku mana bisa menghadapi
totiang.”
Tojin itu tertawa tawar.
„Biar saja kie-su merendahkan diri!
Tadi aku telah sempat menyaksikan kepandaian kie-su ini, mungkin juga lebih
tinggi dibandingkan dengan kepandaianku, tetapi karena aku tertarik sekali dan
ingin mencoba-coba dengan kepandaian kie-su, hendaknya kie-su tidak keberatan
dan tidak menolaknya!”
Selesai berkata, dengan gerakan yang
ayal-ayalan dia telah mencabut pedangnya yang di atas punggungnya, dan kebutan
hud-timnya itu dicekal di tangan kiri.
„Majulah kie-su, mari kita
coba-coba.....!” kata Tojin itu.
Phang Kui In jadi kikuk juga. Dia
tidak mengenal siapa adanya Tojin itu, tetapi orang ini telah mendesak dia
terus menerus, sehingga membuat dia tidak memiliki pilihan lainnya.
Hanya di saat itu Phang Kui In menoleh
dulu kepada Yo Ko, dimana Sin-tiauw Tayhiap telah mengangguk perlahan, tanda
setuju Phang Kui In bertempur dengan Tojin itu.
„Baiklah totiang,” kata Phang Kui In
kemudian. „Karena totiang mendesak terus, terpaksa aku memberanikan diri untuk
menerima petunjuk!” Kemudian tangan kanannya mencekal gagang goloknya dan
„sreenggg!”, golok itu telah dicabutnya keluar dari serangkanya.
„Mulailah!” kata Tojin itu seperti
tidak sabar.
Phang Kui In tidak menunda-nunda lagi,
karena dia juga telah habis sabar melihat tingkah dari Tojin itu. Dengan
mengeluarkan suara teriakan, „awas serangan!” tampak golok Phang Kui In secepat
kilat membacok ke arah lengan si Tojin.
Tetapi Tojin itu memiliki kepandaian
tidak rendah, begitu melihat datangnya serangan golok lawannya, dia telah
mengeluarkan suara tertawa mengejek dan menangkis dengan pedangnya. Tojin itu
bukan hanya menangkis saja, karena dengan cepat sekali hud-tim di tangan
kirinya telah dikebutkan ke muka Phang Kui In.
Kebutan itu terdiri dari bulu-bulu
yang halus, tetapi di tangan seorang ahli lweekang seperti Tojin itu, bulu-bulu
hud-tim yang terbuat dari benang-benang emas campuran baja itu, jadi luar biasa
kerasnya. Hud-tim itu merupakan senjata lemas sekali, tetapi jika dikerahkan
tenaga lweekang pada bulu-bulu itu, maka hud-tim itu bisa tegak lurus kaku,
sehingga bisa dipergunakan juga untuk menotok jalan darah lawan.
Dalam keadaan demikianlah tampak
Cing-siu Cinjin telah menggerakkan hud-timnya itu mengincer jalan darah yang
mematikan di perut Phang Kui In.
Yo Ko yang menyaksikan pertempuran itu
jadi terkejut juga, karena Tojin itu telah mempergunakan gerakan yang
mematikan. Maka dari itu, dapat diduga bahwa Tojin ini bukan dari golongan
baik-baik setidak-tidaknya dia merupakan Tojin dari golongan hitam.
Waktu itu Phang Kui In tidak menjadi
gugup karenanya, dia telah mengeluarkan suara bentakan nyaring sambil
mengelakkan diri dari totokan hud-tim si Tojin. Lalu dengan tidak membuang
waktu lagi tampak Phang Kui In telah memutar goloknya akan menabas leher si
Tojin.
Melihat datangnya serangan yang begitu
hebat dan kuat, Cing-siu Tojin tidak berani berlaku ayal. Dia telah menarik
pulang hud-timnya dan kemudian mempergunakan pedangnya menangkis serangan yang
dilancarkan Phang Kui In.
Phang Kui In tidak ingin membenturkan
goloknya pada pedang lawan, sebelum pedang dan golok saling bertemu. Phang Kui
In telah menarik pulang kembali goloknya itu.
Tojin tersebut juga telah menyadari
bahwa dirinya kali ini telah bertemu dengan lawan berat. Dengan mengeluarkan
suara siulan nyaring tampak Tojin itu telah menggerak-gerakkan kedua
senjatanya, yaitu hud-tim dan pedang itu bergantian. Cara menyerangnya juga
cepat, sinar pedang itu telah berkelebat-kelebat mencari sasaran yang
mematikan, terlebih lagi dengan dibantu oleh hud-timnya yang setiap kali
mengancam akan menotoknya membuat Phang Kui In jadi terdesak hebat. Telah lebih
dari limapuluh jurus mereka bertempur, dan Phang Kui In tampak berada di bawah
angin.
Yo Ko sedang menyaksikan pertempuran
itu dan ketika melihat keadaan Phang Kui In, dia telah menoleh kepada Yo Him.
„Him-jie, coba engkau yang menghadapi
Tojin itu, aku ingin melihat sampai dimana kepandaianmu!”
Tentu saja perintah ayahnya itu
menggembirakan hati Yo Him.
„Baik ayah. Aku akan coba-coba minta
pengajaran dari totiang itu.....!”
Waktu Yo Him berdiri dari duduknya, di
saat itu Yo Ko telah berteriak nyaring:
„Saudara Phang, kau mundur, biarkan
Him-jie yang menghadapinya!”
Phang Kui In yang sedang terdesak begitu
hebat, tidak berani membantah perintah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Dia telah
menggerakkan goloknya yang menyambar cepat sekali ke arah leher lawannya dengan
gerakan yang menyimpang, menabas dari kiri ke kanan.
Gerakan yang dilakukan Phang Kui In
memaksa Cing-siu Cinjin melompat mundur mengelakkan diri untuk menyelamatkan
lehernya dari sambaran golok jago she Phang tersebut, dan kesempatan seperti
itu telah dipergunakan sebaik mungkin oleh Phang Kui In untuk melompat mundur
menjauhi diri dari Tojin itu.
Yo Him juga tidak tinggal diam, waktu
melihat Phang Kui In melompat mundur, dengan cepat anak itupun telah melompat
ke tengah gelanggang. Dia telah merangkapkan kedua tangannya sambil katanya:
„Totiang aku yang muda ingin meminta petunjuk dari kau!”
„Hati-hati Him-jie dia memiliki
kepandaian yang tinggi sekali!” Phang Kui In telah memperingatinya.
Yo Him hanya mengangguk
Sedangkan Cing-siu Cinjin telah
berobah mukanya menjadi merah padam, karena dengan majunya Yo Him yang masih
begitu muda, juga pipi si imam telah ditampar oleh Yo Him.
„Bocah tidak mengenal mampus, apakah
engkau memang ingin mengantarkan jiwa?” tegurnya dengan suara yang menggeletar
keras. Lalu Cing-siu Cinjin telah menoleh memandang kepada Phang Kui In.
„Hey orang she Phang mengapa engkau
memajukan anak kecil ini. Apakah engkau tidak merasa kasihan jika dia binasa di
tanganku?” bentakan itu keras, dan mata Cing-siu Cinjin juga merah, menunjukkan
bahwa dia tengah diliputi kemarahan yang sangat.
Di saat itu Yo Him telah berkata
dengan suara yang dingin: „Walaupun aku masih berusia muda, belum tentu dapat
dirubuhkan oleh totiang!”
Mendengar perkataan Yo Him, imam itu
bertambah marah, dengan mengangguk-anggukkan kepalanya dia telah berkata:
„Baik, baik, baik! Engkau sendiri yang telah mencari mampus dengan mengantarkan
jiwamu secara cuma-cuma!”
Setelah berkata begitu, dengan sikap
yang mengancam tampak pendeta itu telah menggerakkan kebutan hud-timnya dan
mengibaskan pedangnya. „Srinnng.....!” pedang Tojin itu telah menyambar dengan
cepat ke arah dada Yo Him.
Gerakan itu tetah membuat Yo Him jadi
kagum juga, karena dengan melihat jurus yang dipergunakan oleh Cing-siu Cinjin
segera diketahui bahwa kepandaian imam itu telah tinggi. Tetapi sebagai seorang
pemuda yang telah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh sakti, Yo Him tidak
gentar menghadapi serangan seperti itu. Dengan tenang dia menantikan tibanya
serangan pedang lawan, itu dengan gesit, sekali dia menyentil pedang si Tojin
dengan gerakan it-cie-cut-hun atau satu jari mencabut jiwa, maka dengan
terdengarnya suara „tranggg” yang cukup nyaring pedang imam itu telah terlepas
dari cekalannya.
Muka si pendeta jadi berobah pucat dan
dia telah berdiri tertegun mengawasi ke arah lawannya yang masih muda sekali.
Dia tidak habis mengerti waktu pedangnya tadi disentil oleh pemuda itu, dia
merasakan betapa pedangnya itu tergetar dan juga telapak tangannya pedih
sekali, lalu tanpa dikehendakinya pedangnya terlepas dan menancap di lantai.
Keruan saja Cing-siu Cinjin jadi
terkejut dan dia berdiri bengong sesaat lamanya, waktu itu Yo Him telah berkata
lagi dengan suara yang dingin:
„Ehmm, apakah kita akan meneruskan
pertempuran ini?”
Si Tojin jadi tersadar karenanya dia
telah menganggukkan kepalanya.
„Ya!” dan tahu-tahu hud-timnya telah
menyambar akan menghantam muka Yo Him. Dia penasaran sekali, dan saat itu
kemendongkolan dan penasaran tengah mengamuk, menjadi satu di dadanya, dengan
sendirinya serangan yang kali ini dilakukannya merupakan serangan yang dahsyat
sekali, karena si Tojin seperti juga tidak ingin memberikan kesempatan kepada
Yo Him guna menangkis serangannya itu.
Yo Him juga terkejut melihat cara
menyerang lawannya, jika dia terlambat mengelakkan diri tentu matanya yang akan
menjadi korban dan menjadi buta.
Phang Kui In dan Kwee Siang yang
menyaksikan hal itu jadi gugup dan berkuatir. Bahkan Yo Ko telah berseru,
„Him-jie,” hati-hati.
„Adik Him, cepat berkelit.....!”
teriak Kwee Siang dengan hati berdebar gelisah.
Sedangkan Phang Kui In yang tengah
gugup melihat jiwa dan keselamatan, Yo Him terancam, jadi berdiri diam tak bisa
mengeluarkan suara apa.
Tetapi walaupun terkejut, Yo Him tidak
menjadi gugup. Dia telah mengeluarkan suara seruan yang nyaring sekali dan di
saat itu telah menggerakkan tangan kanannya ke arah ulu hati lawannya,
mengincer jalan darah ma-tiong-hiatnya si Tojin. Gerakannya itu mempergunakan
jurus ma-sai-tung-cie atau kuda terbang di musim dingin.
Waktu itu si Tojin tengah gembira
sekali melihat serangannya akan berhasil dan juga tampaknya Yo Him sudah tidak
keburu untuk mengelakkan diri, maka dia telah menambah tenaga serangannya itu,
dengan maksud untuk menghancurkan batok kepala Yo Him.
Tetapi alangkah terkejutnya dia waktu
melihat tangan Yo Him diulurkan akan menyerang jalan darah ma-tiong-hiatnya,
yang berarti jika terserang dia akan terbinasa di saat itu juga.
Walaupun dia bisa berhasil dengan
serangannya tetapi jika diapun harus terserang pada jalan darah terpenting di
tubuhnya itu, tentu saja si Tojin tidak mau. Dengan mengeluarkan suara seruan
yang keras dia telah melompat mundur sambil menarik pulang hud-timnya.
Gerakan Tojin itu memang sangat cepat
sekali, sehingga serangan Yo Him jatuh di tempat kosong.
„Mari diteruskan!” tantang Yo Him
sambil tertawa mengejek.
Tojin itu tidak menyahuti, dia hanya berjongkok
mengambil pedangnya, kemudian pedang itu telah dikibaskannya dengan kuat,
sehingga menimbulkan suara „siut..... sringg!!”
„Hari ini biarlah aku mengadu jiwa
dengan kau, karena jikalau aku sampai dikalahkan olehmu, tentu saja akan
membuat aku malu! Terimalah seranganku.”
Dan benar saja Tojin ini telah
melancarkan serangan lagi dengan pedangnya, mata pedangnya menuju ke bahu Yo
Him, sedangkan hud-timnya telah menyambar ke arah tenggorokan Yo Him.
Keruan saja hal ini memaksa Yo Him
harus melompat beberapa kali, dia telah berhasil mengelakkan dari setiap
serangan yang dilancarkan oleh lawannya. Tetapi karena Tojin itu melancarkan
serangan dengan gencar dan bertubi-tubi maka dia tidak sempat membalas
menyerang dan hanya berkelit dengan tidak henti-hentinya.
Yo Him setelah berkelit berulang kali
sebanyak enam jurus, di saat itu dia telah mengeluarkan suara jeritan yang
nyaring sambil kedua tangannya disilangkan di depan dadanya, rupanya Yo Him
baru ingin mencoba mempergunakan gerakan-gerakan ilmu silat yang diturunkan
oleh Lie Bun Hap.
Si Tojin heran melihat sikap Yo Him,
dia menduga-duga entah ilmu silat jenis apa yang ingin dipergunakan oleh Yo
Him.
„Sekarang telah cukup aku mengalah
hanya menerima serangan tanpa balas menyerang, tetapi sekarang sudah tiba
saatnya engkaupun harus menerima serangan-seranganku!” Dan selesai berkata Yo
Him telah mengerakkan dua tangannya sekaligus, dia telah menyerang dengan
gerakan kera memanjat pohon dan kemudian disusul dengan gerakan, kera memetik
buah dimana jurus itu merupakan jurus-jurus istimewa yang diciptakan oleh Lie
Bun Hap.
Sedangkan Cing-siu Cinjin yang melihat
datangnya serangan yang aneh seperti itu, cepat-cepat melompat mundur menjauhi
Yo Him.
Tetapi Yo Him tidak mau sudah hanya
sampai disitu saja dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek dia telah
meloncat mengejar dan kedua tangannya itu tetap melancarkan yang cukup kuat
kepada Tojin itu.
Melihat gesitnya Yo Him yang menyamai
kegesitan dirinya, Tojin itu tambah terkejut dan heran, mengapa pemuda semuda
itu sudah memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Tetapi disebabkan Yo Him
telah mendesaknya terus dan diapun telah diliputi kenekadan pula, maka Tojin
itu sudah tidak mengelakkan diri pula dari serangan yang dilancarkan Yo Him,
melainkan dengan mengeluarkan suara bentakan mengandung marah, dia telah
melancarkan serangan balasan dengan mempergunakan hud-timnya.
Yo Him tidak mau membiarkan tangannya
dilibat oleh bulu hud-tim, maka dengan cepat sekali dia telah menarik pulang
kedua tangannya, dan kaki kirinya telah bekerja menyepak pergelangan lawannya.
Sepakan itu merupakan tendangan yang
disertai tenaga dalam, maka tidak ampun lagi Tojin itu meraung mengeluarkan
suara jerit kesakitan waktu pergelangan tangannya telah kena ditendang oleh Yo
Him, sedangkan kebutan di tangannya juga telah terlepas dan melayang jatuh ke
lantai.
Untuk seketika itu, Tojin tersebut
berdiri dengan muka pucat bagaikan patung, mulutnya ternganga karena merasa
heran dan takjub disamping marah dan mendongkol.
Yo Him tidak mendesak lagi, dia telah
merangkap tangannya memberi hormat.
„Terima kasih atas petunjuk
totiang.....!”
Muka Tojin itu jadi berobah merah
karena malu bercampur marah.
„Baiklah hari ini nasibku benar-benar
sial karena telah rubuh di tangan seorang anak yang masih bau pupuk seperti kau
ini tetapi jika dilain waktu ada kesempatan tentu aku akan mencarimu untuk
meminta pengajaran, dari kau.....!”
Satelah berkata begitu, tampak
Cing-siu Cinjin telah mengambil pedang dan hud-timnya tanpa menoleh lagi kepada
Yo Ko dan yang lainnya dia telah melangkah keluar pintu.
Tetapi waktu sampai di muka pintu, dia
telah menoleh lagi dan bertanya kepada Yo Him.
„Siapa namamu? Aku belum lagi
mengetahuinya.”
Yo Him menjura,
„Aku she Yo dan bernama Him.”
„Yo Him.....? Hemmm, engkau she Yo,
tentunya engkau ada hubungan dengan Yo Ko bukan?”
„Itulah ayahku”
„Apa?”
„Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko adalah ayah
kandungku!” menyahuti Yo Him.
Dan dalam terkejutnya itu, Cing-siu
Cinjin telah melirik kepada Phang Kui In bertiga. Dia melihat Yo Ko, yang
lengan baju kanannya kosong lemas tidak ada isinya, seketika itu juga dia telah
dapat menduganya bahwa orang itu adalah Yo Ko, pendekar sakti yang tiada
duanya.
Cepat-cepat dia menghampiri dan
berlutut di hadapan Yo Ko sambil katanya: „Ampunilah aku, Sin-tiauw
Tayhiap.....!” katanya dengan suara yang berat tersendat. „Aku..... aku memang
bersalah..... aku terlalu usil..... Jika sejak tadi aku mengetahui bahwa engko
kecil itu adalah puteramu, tentu aku tidak akan mengganggunya.....!”
Yo Ko tersenyum manis dan sabar
sekali, dia perintahkan Tojin itu berdiri.
„Engkau tidak tersalah, karena hanya
penasaran melihat kawanmu dirubuhkan, maka engkau ingin membelanya. Sebetulnya
engkau sama sekali tidak bersalah. Asal diingat, dilain waktu engkau tidak
boleh terlalu usil seperti itu. Sekarang untung hanya bertemu dengan putraku
yang tidak menurunkan tangan keras karena dia rupanya menghormati kau juga.
Coba kalau bertemu dengan orang yang bertangan telengas, bukankah engkau bisa
celaka?”
„Terima kasih atas petunjuk yang
diberikan Tayhiap, tentu aku akan menyimpan baik-baik nasehat itu,” kata
Cing-siu Cinjin.
„Ya, itulah yang kuharapkan.”
„Tetapi Tayhiap.....”
„Apa lagi?”
„Bisakah Tayhiap menolongku?”
„Jika memang beralasan dalam
batas-batas kemampuanku, tentu aku bersedia untuk membantumu.”
„Tadi,” kata Tojin itu ragu-ragu,
„Tayhiap telah melihat betapa aku dirubuhkan siauw-eng-hiong itu..... maka
bisakah Tayhiap memberikan petunjuk yang berharga, dimanakah letak kesalahan
dan letak kekurangan sempurna dalam mempertahankan diriku?”
Yo Ko telah tersenyum.
„Sebetulnya kepandaianmu telah cukup
hanya yang kurang pengertian dan yang paling pokok sekali, engkau jangan
disertai oleh hawa amarah saja bila bertempur, karena akan merugikan engkau
sendiri. Dengan mengikuti hawa amarah, penasaran atau mendongkol, engkau telah
kehilangan separoh dari ilmumu! Dari jalan ‘pang’ membelok ke jalan ‘tu’, dan
dari jalan ‘tu’ menuju lurus ke jalan ‘lin’, dan menyusul jalan ‘kong’, ‘pat’
dan ‘cie’.”
Mendengar keterangan Sin-tiauw Tayhiap
seperti itu, tampak muka Tojin itu jadi pucat, dia tampaknya terkejut bercampur
girang. Cepat sekali Tojin itu telah menekuk kedua kakinya, dia telah berlutut
di hadapan Yo Ko lagi.
„Terima kasih banyak atas
nasehat-nasehat yang diberikan, oleh Tayhiap..... Aku baru mengetahui dimana
letak kesalahanku..... terima kasih Tayhiap aku minta diri.”
Dan setelah berkata begitu, tampak
Tojin itu telah memberi hormat sekali lagi kepada Yo Ko, kemudian kepada yang
lainnya barulah dia memutar tubuhnya untuk berlalu.
Yo Him heran, dia melihat ayahnya
hanya menyebutkan jalan-jalan ‘tu’, ‘kong’, ‘pat’, ‘cie’ dan yang lain-lainnya,
tetapi Tojin itu jadi girang bukan main, karena ingin mengetahuinya, maka Yo
Him telah menanyakan kepada ayahnya, apakah sesungguhnya yang diberitahukan Yo
Ko itu.
Yo Ko tertawa, dia bilang: „Sebetulnya
aku hanya memberikan kunci ilmu silatnya itu, yaitu menurut jalan-jalan
pat-kwa, dimana jika dia bisa menguasai dan mengenal jalan pat-kwa itu secara
baik, tentu dia akan bertambah ilmunya menjadi dua kali lipat, dan jika tadi
sebelumnya dia telah mengerti jalan-jalan ‘tu’, ‘kong’, dan ‘pat’ itu belum
tentu engkau bisa menjatuhkannya!”
Yo Him meleletkan lidahnya.
„Untung saja tadi aku tidak sampai
dihajar babak belur olehnya!”
Yang lainnya jadi tertawa juga. Mereka
telah melanjutkan makannya kembali.
◄Y►
Selesai bersantap, mereka lalu mencari
rumah penginapan. Di kota ini mereka, bermalam selama dua hari. Setelah itu
mereka melanjutkan pula perjalanannya dengan mempergunakan jalan darat, kuda
mereka dapat berlari cepat sekali.
Hanya empat bulan saja, kemudian
mereka telah tiba di kaki gunung Kun-lun-san.
Yo Ko mengangkat kepalanya mengawasi
puncak gunung yang tinggi itu dia menghela napas. „Jika memang Liong-jie binasa
di gunung ini, betapa remuknya hatiku! Dia telah melahirkan seorang anak
untukku, tetapi dia menghilang tidak keruan paran. Inilah peristiwa yang harus
diselidiki baik-baik. Mudah-mudahan saja Liong-jie dalam keadaan sehat-sehat.”
Melihat puncak gunung itu, Yo Him lalu
mengangkat tangannya menunjuk ke arah puncak gunung itu.
25.50. Ibu…… Anakmu menghunjuk hormat!
„Thia (ayah), di puncak gunung itu
terdapat sebuah kuil disitu banyak murid-muridnya. Tetapi waktu aku belum turun
gunung dan masih kecil sekali, aku telah menyaksikan pembunuhan besar-besaran,
seluruh penghuni kuil itu telah dibinasakan oleh beberapa orang jahat. Salah
seorang diantara mereka terdapat seorang pendeta yang kepalanya memakai
kuncung.”
Setelah berkata begitu. Yo him menceritakan
apa yang dialaminya waktu kecil.
Mendengar cerita dan gambaran mengenai
pendeta mongol itu, tubuh Yo Ko gemetar dan tangan kanannya telah digerakkan
untuk memukul batu yang ada di dekatnya.
„Brukkk” batu itu telah hancur.
„Memang dia. Memang dia! Sudah kuduga,” berseru Yo Ko.
Yang lainnya jadi terkejut melihat
sikap Yo Ko, mereka memandang Yo Ko dengan sorot mata bertanya-tanya.
Yo Him sendiri tidak bisa menahan
perasaan ingin tahunya, dia telah bertanya:
„Thia kenapa kau?”
„Memang aku telah duga pembunuh dan
penculik ibumu adalah dia,” kata Yo Ko
„Dia? Siapa?” tanya Yo Him.
„Pendeta Mongolia itu!”
„Mengapa ayah mengetahuinya?”
„Dia adalah Tiat To Hoat-ong, justru
waktu dia menculik ibumu. Dia telah bersembunyi dari kejaran kami. Dan tentunya
di gunung Kun-lun-san ini terjadi sesuatu yang tidak disangka oleh pendeta itu,
yang menyebabkan ibumu lolos dan bisa melahirkan engkau tetapi mengapa hanya
engkau sendiri, sedangkan ibumu tidak muncul? Jika dia masih hidup, tentu dia
akan berusaha mencariku, tapi ahhh, Liong-jie bagaimanakah sesungguhnya
nasibmu.....!” dan setelah berkata begitu Yo Ko menitikkan dua butir air mata.
„Sudahlah ayah..... Mari kita mendaki
gunung ini. Mungkin sore nanti kita baru sampai!” kata Yo Him, berusaha untuk
mengalihkan kesedihan ayahnya.
Yo Ko hanya mengangguk. Begitulah
mereka berempat mendaki gunung Kun-lun-san. Yo Ko berjalan perlahan, matanya
memandang ke sekelilingnya dan dia telah melihatnya betapapun juga pemandangan
di Kun-lun ini sangat menarik hati. Setidak-tidaknya telah mengurangi kesedihan
hatinya.
Menjelang sore hari mereka tiba di
sebuah kuil yang sudah tidak terurus lagi.
Yo Ko mengerutkan alisnya, „Inilah
kuil Kun-lun-sie pusat dari perguruan silat Kun-lun-pay. Tetapi menurut engkau
bahwa, semua penghuni ini telah dibinasakan oleh pendeta jahat itu bersama
kawan-kawannya?”
„Benar ayah.”
„Aneh sekali, Kun-lun-pai sebetulnya
merupakan pintu perguruan yang tua dan memiliki banyak sekali anak muridnya
yang memiliki kepandaian tinggi menjadi tokoh-tokoh rimba persilatan. Apakah si
pendeta dan kawan-kawannya itu memang memiliki kepandaian yang tinggi sekali,
sehingga mereka telah berhasil membasmi Kun-lun-pai?”
Waktu menggumam begitu, Yo Ko
melangkah terus mendekati pintu gerbang kuil itu. Matanya yang tajam telah
melihat sesuatu di dekat pintu gerbang itu.
Cepat-cepat Yo Ko telah mengambil
barang itu, Yo Him dan yang lainnya jadi heran, mereka telah menghampiri untuk
melihatnya benda apa yang diambil Sin-tiauw Tayhiap.
Ternyata barang yang diambil oleh
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko tidak lain dari sebuah gelang emas yang berukuran cukup
besar. Mata Yo Ko jadi berair dan menitikkan air mata, karena dia telah
mengenali gelang itu.
„Inilah gelang milik ibumu!” kata Yo
Ko dengan suara terperanjat.
Yo Him dan yang lainnya jadi terkejut,
mereka sampai mengeluarkan suara seruan tertahan. Sedangkan Yo Him yang telah
menerima gelang itu dan mengamat-amatinya, tidak bisa mempertahankan kesedihan
hatinya, dia telah menangis menggerung-gerung sambil menciumi gelang emas itu,
yang menurut Sin-tiauw Tayhiap adalah milik ibunya.
Phang Kui In dan Kwee Siang hanya bisa
berdiam diri dengan kepala tertunduk, karena mereka terharu dan tidak
mengetahui dengan cara bagaimana harus menghiburnya.
Waktu itu, Yo Ko telah menghapus air
matanya.
„Jika melihat ada gelang ibumu di
tempat ini, tentunya Liong-jie masih hidup.....!” kata Yo Ko dengan penuh
keyakinan. Setelah berkata begitu, Yo Ko mementang mulutnya lebar-lebar dan
dengan suara yang keras dia telah berteriak:
„Liong-jie.....! Liong jie..... Dimana
kau?!” teriakan yang dilakukan oleh Sin-tiauw Tayhiap bukan merupakan teriakan
biasa saja, karena teriakan itu telah disaluri oleh tenaga lweekangnya yang
sempurna, sehingga suara teriakan itu menggema di sekitar pegunungan Kun-lun-san,
suara itu telah bergema berulang kali, sehingga memekakkan anak telinga.
Tetapi tidak terdengar suara sahutan
dari siapapun juga, selain suara Yo Ko yang berkumandang kembali menggema di
sekitar pegunungan itu.
Dalam keadaan demikian, Yo Ko telah
mengulangi terus teriakan-teriakannya dan dalam waktu yang singkat telah
puluhan kali Yo Ko ber¬teriak begitu, tetapi orang yang diharapkannya tidak
juga terlihat, sehingga akhirnya Yo Ko berhenti berteriak dengan hati penasaran
sekali.
Phang Kui In telah menghampiri:
„Yo Tayhiap, sudahlah, nanti kita bisa
mencarinya perlahan-lahan. Bukankah Yo Him mengatakan bahwa ada lembah di
sebelah barat gunung ini, dimana dia dibesarkan Sin-tiauw sampai beberapa tahun
di dalam lembah itu. Disana kita bisa menyelidikinya.....!”
Yo Ko mengangguk lesu, dia telah
berkata dengan suara yang ragu-ragu.
„Ya..... tetapi lenyapnya Liong-jie
telah bertahun-tahun, bahkan belasan tahun..... jika memang dia terbinasa di
tangan Tiat To Hoat-ong, walaupun pendeta itu melarikan diri ke ujung bumi, aku
akan mengejarnya!”
Begitulah mereka berempat memasuki
kuil itu, dimana diantara debu di lantai, tampak tengkorak-tengkorak manusia.
Tengkorak-tengkorak manusia itu tentunya tengkorak Tojin-tojin yang telah
menjadi korban keganasan Tiat To Hoat-ong.
Setelah membersihkan lantai di dekat
meja sembahyang yang penuh debu, lalu mereka merebahkan tubuhnya dan mengaso.
Esok pagi barulah mereka akan menuju ke lembah, dimana Yo Him pernah dirawat
oleh rajawali sakti itu.
Tetapi Yo Ko tidak bisa tertidur
nyenyak, dia hanya memejamkan mata, namun pikirannya telah melayang-layang
terus memikirkan isterinya. Ada semacan pertanyaan di hati Yo Ko, yaitu mengapa
Yo Him bisa dilahirkan dan kemudian besar, tetapi Siauw Liong Lie…..? Bukankah
jika Siauw Liong Lie telah binasa di tangan Tiat To Hoat-ong, maka Yo Him juga
tidak bisa selamat? Begitulah bermacam-macam pertanyaan telah mengaduk-aduk
pikirannya.
Dalam waktu yang singkat sekali telah
lewat belasan tahun. Yo Ko juga teringat waktu dia mengejar Tiat To Hoat-ong,
dan ketika dia melakukan pekerjaan menghimpun orang-orang gagah untuk
menyelamatkan negeri dari tangan kotor, dimana banyak para menteri dan pembesar
yang bekerja untuk pihak Mongolia. Sehingga Yo Ko selama belasan tahun repot
mengurus perkembangan dari persatuan para pendekar gagah di daratan Tiong-goan.
Sekarang, diwaktu dia bertemu dengan
puteranya telah meningkat dewasa. Disamping itu Yo Him juga telah memiliki
kepandaian yang tinggi sekali. Diam-diam terhibur juga hati Yo Ko.
Akhirnya menjelang subuh, barulah Yo
Ko bisa tidur.
<>
Matahari pagi baru saja muncul di ufuk
timur, dan menyinari bumi dengan sinarnya yang keemas-emasan. Waktu itu Yo Ko
berempat telah bersiap-siap untuk berangkat ke lembah yang dimaksud oleh Yo Him.
Mereka mendaki lebih tinggi lagi puncak gunung Kun-lun-san.
Dalam perjalanan itu tidak
henti-hentinya Phang Kui In memberikan pujian-pujiannya atas keindahan alam,
yang terdapat di pegunungan Kun-lun-san ini.
Tetapi Yo Ko tetap berdiam diri dengan
murung. Semakin dekat dengan lembah itu, semakin tidak keruan hatinya karena
jika dia menghadapi kenyataan isterinya telah meninggal bukankah itu merupakan
suatu kenyataan pahit yang harus diterimanya?
Setelah berjalan setengah hari mereka
tiba di tepi jurang, dimana lembah yang dimaksudkan oleh Yo Him berada di bawah
tebing itu.
„Perjalananan yang cukup sulit!” kata
Yo Ko perlahan. „Jurang itu lurus tegak dan licin sekali tampaknya.” Untuk Yo
Ko memang tidak apa-apa, Phang Kui In dan Kwee Siang juga mungkin masih bisa
menuruni tebing itu tetapi Yo Him?
Kepandaian Yo Him walaupun tampaknya
lebih tinggi dari Phang Kui In dan Kwee Siang, namun dia masih terlalu kecil
dan kurang latihan serta pengalaman. Maka dari itu dengan menuruni tebing
setinggi itu, jika gagal berarti membuang jiwa secara cuma-cuma.
Di saat mereka tengah ragu-ragu
begitu, Yo Him telah berkata:
„Ayah..... Kita buatkan tali yang
cukup panjang, dimana aku diturunkan dengan tali diikat di pinggang, lalu
menyusul Kwee cici, Phang susiok, dan kemudian barulah ayah! Kepandaian ayah
telah mencapai tingkat yang sempurna sehingga tidak memerlukan tali itu untuk
turun ke bawah lembah!”
Yo Ko dan yang lainnya menganggap
perkataan Yo Him ada benarnya. Mereka setuju. Segera juga mereka bekerja. Dengan
kulit pohon yang mereka rajut akhirnya terbuatlah seutas tambang yang cukup
panjang.
„Kukira telah cukup panjang!” kata Yo
Ko setelah tambang itu terbuat sepanjang seratus meter lebih.
„Mari kita coba!” kata Phang Kui In.
Ujung yang satunya diikatkan ke
sebungkah batu, lalu dilemparkan masuk ke dalam lembah.
Belum sampai seratus meter, tali itu
telah mengendur memperlihatkan bahwa batu yang diikatkan di ujung tambang itu
telah sampai menyentuh dasar jurang.
„Cukup panjang!” kata Phang Kui In.
Yo Ko girang melihat lembah itu tidak
begitu dalam, berarti tambang itu sudah cukup untuk menurunkan Yo Him dan kedua
orang lainnya.
Pertama-tama yang diturunkan ke dalam
lembah itu Phang Kui In. Jika nanti di bawah lembah itu terdapat sesuatu yang
di luar dugaan, Phang Kui In bisa menghadapinya sedangkan Yo Him diturunkan
setelah Phang Kui In dan menyusul Kwee Siang. Semua berjalan lancar tidak ada
sesuatu rintangan.
Setelah Kwee Siang diturunkan, Yo Ko
mengikat ujung tali itu di batang pohon, dan membiarkan ujung yang satunya lagi
berada di dalam lembah, hal ini untuk dipergunakan kelak jika mereka ingin naik
ke atas pula. Dengan mudah Yo Ko meluncur turun dengan mempergunakan ginkangnya
yang telah sempurna. Cepat sekali Yo Ko tiba di dasar lembah itu.
Sebuah lembah yang besar dan menarik.
Tetapi pertama-tama yang dilihat oleh Yo Ko adalah setumpukan tulang belulang
yang tidak berjauhan dari tempat mereka berada. Seketika itu juga Yo Ko
mengucurkan air matanya, sebab dia mengenali itulah tulang belulang seekor
burung rajawali yang berukuran besar. Dan siapa lagi kalau bukan rajawali
peliharaannya yang setia, yang menurut Yo Him burung itu telah terjun ke dasar
lembah itu dan menghilang!
Dengan masih menitikkan air mata,
tampak Yo Ko telah mengubur tulang belulang burung rajawali yang setia itu.
Kemudian dia mulai menyelidiki keadaan di sekitar lembah itu. Phang Kui In,
Kwee Siang dan Yo Him juga telah bantu memeriksa keadaan di dasar lembah itu.
Tidak ada sesuatu yang istimewa mereka jumpai, hanya rumput-rumput hijau yang
tumbuh begitu segar.
Seluruh lembah itu telah diperiksa
oleh mereka, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa lembah ini ditinggali orang. Yo
Ko jadi putus asa. Yo Him juga jadi kecewa.
„Ibumu tentu telah binasa di tangan
Tiat To Hoat-ong, sakit hati ini harus dibalas.....!” kata Yo Ko.
Yo Him mengangguk.
„Pendeta yang ayah maksudkan itu
memang bukan seorang pendeta yang baik. Karena seluruh anggota Kun-lun-pai juga
dibinasakannya!” kata Yo Him.
Kwee Siang telah menangis
terisak-isak, dia mencintai Siauw Liong Lie dan Yo Ko seperti cinta antara
sesama saudara, kini melihat kenyataan sudah tidak ada harapan untuk bertemu
pula dengan Siauw Liong Lie, tentu saja Kwee Siang jadi sedih sekali.
Phang Kui In juga telah menarik napas
berulang kali.
Tetapi waktu mereka tengah berdiri
tertegun termangu-mangu, tiba-tiba pendengaran Yo Ko yang sangat tajam, yang
bisa mendengar suara dari jarak sejauh ratusan tombak, telah mendengar suara
tertawa kecil dari seorang gadis cilik. Disamping itu Yo Ko juga mendengar
suara berkesiuran pedang menderu-deru.
„Ada orang!” bisik Yo Ko dengan suara
perlahan. „Cepat bersembunyi.”
Phang Kui In bertiga dengan Kwee Siang
dan Yo Him jadi heran. Mereka tidak mendengar sesuatu, tetapi karena Yo Ko
telah memberikan isyarat agar bersembunyi, maka Phang Kui In bertiga menuruti
saja. Mereka bersembunyi di balik gunung-gunungan.
Yo Ko sendiri dengan gerakan tubuh
yang ringan sekali telah melompat ke atas batu yang cukup besar dan bercokol
disitu sambil memasang mata. Tidak mungkin orang dari bawah bisa melihatnya.
Setelah lewat sekian lama, barulah
Phang Kui In, Kwee Siang dan Yo Him mendengar suara tertawa gadis kecil dari
kejauhan. Mereka jadi berdebar dan tergoncang hatinya. Mereka memasang mata,
dan akhirnya dari balik tikungan di lembah itu muncul sesosok tubuh yang
berlari-lari sambil menyanyi dan diselingi tertawanya.
Gadis kecil itu, mungkin baru berusia
duabelas tahun, tetapi gerakannya gesit dan lincah, disamping itu mukanya yang
bulat itu sangat manis sekali. Rambutnya dikepang dua matanya jeli sekali, dan
dia berlari-lari sambil menggerakkan tangan kanannya yang memegang pedang, yang
dikibas-kibaskannya.
Tiba-tiba dia berhenti berlari, dan
matanya yang bening itu telah mengawasi tambang yang menjuntai dari atas. Segera
disimpannya pedang kecil itu ke dalam serangka di pinggangnya, kemudian dia
telah mendekati tambang itu dengan ragu-ragu.
Dipegang-pegang dan ditariknya tambang
itu sampai akhirnya dia mengeluarkan seruan tertahan yang perlahan: „Ahhh,
tentu orang asing yang turun ke lembah ini!” katanya perlahan. „Aku harus
cepat-cepat memberitahukan suhu!” Dan setelah menggumam begitu, tampak si gadis
kecil yang mengenakan pakaian serba kuning itu telah membalikkan tubuhnya,
untuk kembali dari arah mana tadi dia datang.
„Tunggu dulu nona kecil!” Phang Kui In
yang sudah tidak bisa menahan perasaannya telah meloncat keluar.
Dan Yo Ko menyesali tindakan
sahabatnya itu yang terlalu ceroboh. Bukankah jika membiarkan gadis itu pergi
berarti mereka bisa mengikutinya dari mana datangnya gadis kecil itu? Karena
gadis tersebut ingin memberitahukan gurunya perihal tambang itu. Tentu suhunya
itu mengenal benar keadaan di sekitar lembah ini. Tetapi Phang Kui In telah
terlanjur keluar, sehingga tidak bisa bersembunyi lagi.
Gadis kecil yang ditegurnya itu
menjadi kaget, mukanya sampai berubah menjadi pucat. Namun hal itu hanya
sejenak saja kemudian wajahnya telah merah kembali, dengan berani dia menatap
kepada Phang Kui In. Waktu itu Phang Kui In tengah mendekati, dan gadis kecil tersebut
melihat langkah kaki Phang Kui In yang dengklok, yaitu jalannya timpang, dia
menjadi heran!
„Siapa kau? Mengapa berada disini?”
bentak gadis kecil itu, berani sekali sikapnya dan suaranya juga sangat
nyaring.
Phang Kui In tersenyum, dia telah berkata
hati-hati sekali agar tidak menimbulkan perasaan takut pada diri gadis itu.
„Nona, siapakah namamu? Dan tadi kau mengatakan ingin memberitahukan kepada
gurumu. Apakah gurumu dan engkau tinggal di lembah ini?”
Si gadis kecil tertawa lucu, berani
sekali sikapnya, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut.
„Cepat kau pergi meninggalkan lembah
ini, jika terlihat oleh guruku, jangan harap kau bisa melarikan diri. Tentu
suhuku akan membinasakan engkau!”
Mendengar sampai disitu, Phang Kui In
tersenyum lagi sambil melangkah satu tindak mendekati si gadis. „Nona
kecil..... aku tersesat tidak mengetahui jalan, sehingga telah lancang datang
di lembah ini. Untuk kesalahanku ini tentu engkau mau memaafkannya, bukan?”
Si gadis kecil kembali tertawa geli,
kemudian katanya lagi: „Maafkan orang seperti engkau sebetulnya tidak mudah,
karena aku belum mengetahui ini jahat atau baik. Tetapi jalan terbaik hanya
satu, cepat engkau tinggalkan lembah ini, jangan sampai guruku mengetahui,
tentu sekali sentil saja engkau akan binasa.”
„Ohhh, begitu hebat gurumu itu?” tanya
Phang Kui In sambil memperlihatkan perasaan kagum untuk menyenangkan hati gadis
tersebut.
„Tentu saja, menurut guruku, hanya ada
dua orang yang bisa menandingi kepandaiannya, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan
Oey Yok Su, selain dari kedua tokoh itu tidak ada yang sanggup menghadapi ilmu
guruku.....!”
Muka Phang Kui In berobah ketika
mendengar disebut-sebutnya nama Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Oey Yok Su, tetapi
Phang Kui In berusaha bersiap sewajar mungkin menyembunyikan keterkejutan itu.
„Begitu hebatnya kepandaian gurumu, sehingga tidak ada yang bisa menandinginya.
Bolehkah aku mengetahui siapakah gurumu yang tentunya sangat terkenal dan mulia
itu?”
Gadis kecil itu termakan umpan yang
disebar Phang Kui In, senang hatinya mendengar umpakan Phang Kui In yang
memuji-muji gurunya. „Guruku itu sangat liehay, ilmu pedangnya juga merupakan
ilmu pedang nomor satu di daratan Tiong-goan, namanya......” tetapi baru saja
si gadis kecil itu berkata sampai disitu, dari kejauhan terdengar suara
seruling yang ditiup dengan irama yang lembut.
Muka gadis kecil itu jadi berobah, dia
telah meneruskan kata-katanya: „Guruku telah memanggilku pulang.....!” katanya.
„Tunggu dulu..... Aku bolehkah ikut
bersamamu untuk mengenal dan memberi hormat kepada gurumu?” tanya Phang Kui In.
„Mana boleh begitu?” kata si gadis
cilik tersebut sambil tersenyum. „Sudah kukatakan, jika kalian terlihat oleh
guruku, tentu kalian akan celaka!”
Di saat itu telah terdengar lagi suara
seruling yang terdengar lembut, tetapi nadanya kadang-kadang berobah menjadi
meninggi. Si gadis cilik itu rupanya sudah tidak sabar, dia membalikkan
tubuhnya untuk berlari meninggalkan Phang Kui In.
Tetapi tiba-tiba dari atas batu telah
meluncur turun sesosok bayangan yang menghadang jalan si gadis.
„Katakan dulu siapa nama gurumu?”
tanya orang yang baru muncul itu, yang tidak lain adalah Yo Ko.
Gadis kecil itu jadi terkejut, dia
telah memandang Yo Ko dalam-dalam dan tajam, kemudian katanya dengan tidak
senang: „Hem, rupanya kalian datang bukan hanya seorang diri? Kalian datang
beramai-ramai!”
„Katakan, siapa nama gurumu?” tanya Yo
Ko dengan suara dan sikap yang tegas, karena dia sudah tidak sabar, sebab
hatinya tengah diliputi perasaan gelisah dan juga duka.
„Nama guruku? Dia she Tam dan bernama
Hu!” kata gadis kecil itu.
Lemaslah seluruh tubuh Yo Ko. Tadinya
dia masih mengharapkan gadis kecil itu menyebut nama Siauw Liong Lie. Maka
sekarang setelah mengetahui bahwa guru gadis itu bernama Tam Hu, Yo Ko jadi
putus asa, jadi Siauw Liong Lie memang telah lenyap tidak keruan parannya.
„Buka jalan untukku!” kata gadis kecil
itu dengan suara yang nyaring, dia juga mendongkol. „Jika kalian menghinaku,
tentu guruku tidak akan membiarkan kalian pulang dengan jiwa yang masih utuh!”
„Aduh, galaknya!” tiba-tiba terdengar
seseorang berkata dan sesosok tubuh yang tidak begitu besar telah melompat
keluar dengan ringan, berdiri disamping Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Dialah Yo Him.
„Mengapa harus galak-galak begitu,
bukankah kami datang secara baik-baik? Jika memang kami kurang disegani,
bukankah kami bisa diusir pergi saja dari tempat ini, mengapa harus
diancam-ancam dengan urusan jiwa segala?”
Gadis kecil itu melengak sejenak,
tetapi kemudian pipinya jadi memerah dan tampak manis sekali. Dia mendongkol Yo
Him menegurnya begitu rupa.
Saat itu Kwee Siang juga telah
melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Melihat jumlah orang yang kini
berempat gadis kecil itu mulai berkuatir.
„Cepat buka jalan untukku..... Kalau
tidak aku akan menjerit sekuat tenagaku dan guruku tentu akan datang dengan
segera!”
Tetapi ancaman gadis kecil itu tidak
diperdulikan oleh Yo Ko, yang telah tersenyum sambil katanya: „Nah, kau
teriaklah.....!” tetapi gadis itu bukannya berteriak, dalam keadaan mendongkol
dan marah, dia telah mencabut pedangnya dan menusukkan ke perut Yo Ko.
„Awas pedang…..!” dia masih
memperingatinya.
Yo Ko jadi senang melihat keberanian
gadis kecil ini. Dia main kelit saja, tetapi tetap menutupi jalan perginya
gadis kecil itu. Telah beberapa jurus serangan yang dilancarkan gadis kecil
itu, tetapi belum juga dapat mengenai sasarannya dengan tepat.
Yo Him dan yang lainnya hanya
menyaksikan saja, karena mereka mengetahui si gadis kecil itu tidak mungkin
bisa mencelakai Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko.
Tetapi si gadis kecil itu justru jadi
semakin marah, karena dia tidak bisa melampiaskan kemarahannya yang semakin
membakar hatinya, akhirnya gadis kecil itu telah menangis dan dia telah
berteriak dengan keras: „Suhu ada orang jahat!!!??” Tetapi seruan itu tidak
begitu keras, maka sengaja Yo Ko telah bersiul juga, sehingga suaranya
berpantulan di dalam lembah.
Suara seruling terhenti, hening sekali
keadaan di sekitar tempat ini.
Semua orang menanti dengan perasaan
tegang. Gadis kecil itu juga berdiam diri, tetapi kemudian dia telah berkata:
„Suhu tidak lama lagi akan datang, rasakan nanti kalian akan dihajar babak
belur oleh suhuku.” Setelah berkata begitu, dengan mengeluarkan suara mengejek
dan tertawa, gadis itu mengawasi Yo Ko berempat bergantian.
„Bolehkah aku mengetahui, gurumu itu
seorang kakek-kakek atau nenek-nenek?” tanya Phang Kui In untuk menutupi
keheningan itu.
Muka gadis kecil itu berobah jenaka
sekali, matanya mendelik lebar-lebar, bukannya galak tetapi justru sebaliknya
menjadi lucu.
„Siapa yang bilang guruku nenek-nenek?
Kawan wanitamu itu saja masih kalah cantiknya dengan guruku!” lantang bukan
main suara gadis kecil itu.
Mendengar jawaban gadis kecil
tersebut, Yo Ko berempat segera mengetahuinya bahwa guru si gadis kecil itu tentunya
seorang wanita.
„Berapa usianya?” tanya Yo Him yang
jadi ingin mengetahui juga.
„Sudah empatpuluh tahun lebih!”
menyahuti gadis itu. „Tetapi wajahnya cantik sekali. Dan walaupun usianya telah
tinggi, paras mukanya masih muda dan cantik sekali!”
„Siapa namanya tadi kau bilang?” tanya
Yo Ko penasaran.
„Apakah telingamu tuli!”
„Aku tidak mengingatnya.....! Coba kau
beri tahukan lagi siapa namanya, mungkin aku kenal dengannya!”
„Kenal dengan guruku?” tanya gadis
cilik itu dengan aseran. „Hem, cisss, tidak tahu malu! Guruku mana mau
berhubungan dan bersahabat dengan manusia seperti engkau?”
„Oh begitu! Baiklah, aku hanya ingin
mendengar satu kali saja nama gurumu itu!” kata Yo Ko yang tidak marah.
Gadis kecil itu mencebikan bibirnya,
dia telah mengawasi langit sejenak, seperti sedang berpikir keras.
„Nama guruku..... nama guruku..... Dia
she..... she apa ya? Tadi aku sebut nama guruku she apa…..??” tanya si gadis
kemudian setelah ragu-ragu
Yo Ko jadi tertawa gelak. Karena gadis
kecil ini ternyata telah berdusta padanya dengan menyebutkan nama yang
sembarangan untuk gurunya.
„Aku tahu,” kata Yo Ko setelah puas
tertawa. „Gurumu itu she Siauw dan bernama Liong Lie. Bukankah begitu?”
Muka gadis kecil itu jadi pucat, untuk
sejenak dia tidak bisa berkata apa-apa.
„Dimana gurumu, sekarang berada, mari
antarkan kami menemuinya, percayalah gurumu tidak akan memarahimu!” kata Yo Ko.
„Mengapa engkau bisa mengetahui nama
guruku selengkap itu?” tanya gadis kecil itu.
„Karena dia adalah suamiku.....”
tiba-tiba terdengar suara yang halus sekali.
Semua mata lalu memandang ke arah
datangnya suara itu dan kemudian Yo Ko telah mengeluarkan suara seruan:
„Liong-jie.....!! Engkau masih hidup..... kau masih hidup? Ohh,
Liong-jie.....!” dan tanpa memperdulikan di tempat itu terdapat banyak orang Yo
Ko telah mengulurkan tangan tunggalnya merangkul Siauw Liong Lie.
Siauw Liong Lie juga telah
menyenderkan kepalanya di dada Yo Ko. Dia telah menangis terisak-isak.
„Ko-jie..... engkau akhirnya datang
juga!!” kata Siauw Liong Lie. Mereka berdua masing-masing saling menangis,
sehingga dalam suasana yang mengharukan itu bercampur perasaan yang
menggelikan, menggelitik hati untuk tertawa.
Phang Kui In telah menundukkan
kepalanya dalam-dalam tidak mau melihat hal itu. Sedangkan Kwee Siang telah
melompat mendekati pasangan suami istri yang baru ketemu kembali itu.
„Enci Liong lie..... engkau rupanya
masih dilindungi Thian sehingga kita bisa bertemu kembali.....!” dan Kwee Siang
telah menjura memberi hormat!
Siauw Liong Lie girang sekali, dalam
girang dan terharu, dia jadi mengucurkan air mata yang banyak sekali.
„Adik Siang, apakah selama ini engkau
baik-baik saja tidak kurang suatu apapun?” tanyanya.
„Belasan tahun aku mencari-cari
kalian, encie Liong Lie. Selama belasan tahun pula aku berusaha mencari di
berbagai daratan Tiong-goan, tetapi usahaku itu tidak berhasil. Jangankan
menjumpai kalian berdua, untuk bertemu dengan salah satu diantara kalian berdua
saja sulit sekali! Dan hari ini aku girang sekali Thian telah mempertemukan
kita!!”
Phang Kui In saat itu telah membisiki
sesuatu di telinga Yo Him.
„Dia ibumu..... cepat kau memberi
hormat......!” kata Phang Kui In perlahan.
Yo Him jadi tertegun dan dia mengawasi
saja dengan sorot mata yang memancarkan di hatinya tengah bergolak berbagai
perasaan. Tetapi setelah berdiri diam sejenak lamanya, Yo Him telah menyerbu
dan berlutut di kaki ibunya.
„Ibu…… Anakmu menghunjuk hormat!”
katanya dengan suara tersendat oleh tangis.
Siauw Liong Lie cepat-cepat
membangunkan Yo Him, yang diawasi sekian lama, akhirnya dia telah memeluknya
sambil menangis terharu.
„Oh Thian, kau demikian adil, akhirnya
kau mempertemukan aku dengan suami dan anakku......!” seru Siauw Liong Lie.
Yo Ko juga terharu sekali bercampur
girang.
„Pertemuanku dengan Yo Him juga
terjadi secara kebetulan sekali.....!” dan Yo Ko menceritakan segalanya begitu
juga Yo Him telah menceritakan riwayatnya.
Siauw Liong Lie setelah mendengarkan
cerita dari suami dan anaknya. Dia mulai menceritakan pengalamannya.
<>
Waktu Siauw Liong Lie terjun ke dalam
lembah itu karena dia tidak bermaksud untuk tertawan di tangan Tiat To
Hoat-ong. Tubuhnya meluncur dengan cepat sekali dan melayang-layang, pandangan
matanya gelap, dan di antara sadar dan tidak, tubuhnya dirasakan telah terbanting
ke dalam air.
Siauw Liong Lie segera pingsan, dia
tercebur di dalam kolam kecil yang terdapat disitu. Tetapi karena lweekangnya
telah sempurna maka Siauw Liong Lie tidak mengalami hal yang tidak diinginkan.
Walaupun tubuhnya terbanting di permukaan air dari jarak ketinggian yang
demikian tinggi, tetapi otot-ototnya secara serentak telah bekerja sendiri,
sehingga dia tidak menderita, tubuhnya juga telah mengapung, mengambang di
permukaan air.
Rupanya dengan terendam muka dan
kepalanya di air seperti itu, membuat Siauw Liong Lie tersadar kembali dari
pingsannya, hanya beberapa detik saja dia pingsan. Begitu tersadar Siauw Liong
Lie telah naik ke daratan, kemudian dia duduk termenung di tepi kolam kecil
itu. Hatinya pedih dan sakit, karena telah berpisah dengan suami, dan kini
berpisah pula dengan anaknya.
Setelah mengatur pernapasannya, dan
juga merasa tubuhnya segar, Siauw Liong Lie menyusuri jalan di dalam lembah
itu. Tetapi tidak ada sesuatu yang menarik. Akhirnya karena tenang, Siauw Liong
Lie telah membuka pakaiannya, ditumpuk di tepi jurang itu, dia bermaksud ingin
mandi, agar tubuhnya segar kembali!
Sebelum mandi Siauw Liong Lie
mengawasi ke atas ingin melihat apakah ada jalan yang bisa dipergunakannya
untuk mendaki naik. Tetapi tebing itu licin dan tajam sekali tegak berdiri,
sehingga tidak mungkin didaki Siauw Liong Lie jadi putus asa. Tetapi sejak
kecil dia telah dilatih dengan ilmu Kouw-bok-pay, ilmu kuburan hidup, yaitu
membuang kegembiraan yang berlebihan, membuang kesedihan, membuang kemendongkolan,
dan lain-lainnya. Maka dalam keadaan demikian Siauw Liong Lie bisa menguasai
jiwa dan hatinya, sehingga tidak perlu dia panik.
Setelah meletakkan bajunya di tepi
kolam, Siauw Liong Lie terjun ke dalam kolam itu, dia telah berenang kesana kemari.
Memang kesegaran tubuhnya pulih kembali. Suatu kali Siauw Liong Lie telah
menyelam ke dalam kolam. Air yang bening sejuk itu mengembirakan hatinya,
sehingga di saat itu kesedihan tidak merajai hati pendekar wanita nomor satu di
jaman ini.
Tetapi waktu Siauw Liong Lie tengah
berenang dengan gembira di dalam air kolam itu, dan bermaksud untuk menyelam ke
dasar kolam itu. Tahu-tahu dia merasakan ada semacam arus air memutar.
Tentu saja hal ini mengejutkan hati
Siauw Liong Lie, cepat-cepat dia memutar tubuhnya untuk berenang ke atas lagi,
tetapi rupanya usaha Siauw Liong Lie telah terlambat, karena kedua kakinya
telah kena terlibat oleh gulungan arus air itu.
Siauw Liong Lie mengerahkan tenaga
dalamnya, dia telah berusaha melepaskan diri dari jerat arus air yang bergulung
itu. Tetapi usahanya itu selalu gagal. Hal ini bukan disebabkan lweekang Siauw
Liong Lie kurang kuat, tetapi berbeda sekali, jika membandingkan antara di
darat dengan di air. Di dalam air tenaga lweekang Siauw Liong Lie seperti lenyap
setengahnya, dimana daya tahannya berkurang banyak.
Mati-matian Siauw Liong Lie berusaha
melepaskan diri dari arus air itu tetapi semakin dia meronta, gulungan air itu
semakin keras dan kuat. Bahkan suatu saat, Siauw Liong Lie telah kehabisan
napas dan tidak berdaya lagi. Tubuh Siauw Liong Lie terhisap oleh arus air itu,
dia sendiri sudah tidak tahu karena Siauw Liong Lie telah pingsan akibat
terseret arus air tersebut.
Ketika Siauw Liong Lie tersadar dari
pingsannya, dia mendapatkan dirinya terhampar di permukaan goa yang cukup
besar, sedangkan kakinya masih terendam di air. Rupanya kolam itu memiliki
cabang yang berhubungan dengan goa tersebut.
26.51. Penderitaan dan Keberuntungan
Siauw Liong Lie
Siauw Liong Lie telah bangun berdiri.
Dia merasa dingin sekali, karena dia tidak berpakaian, sedangkan hawa disitu
sangat dingin sekali. Untuk menguatkan tubuh, Siauw Liong Lie telah memasuki
goa itu. Hawa hangat bisa melindungi tubuhnya juga, maka Siauw Liong Lie telah
berdiam disitu sambil mengawasi kalau-kalau ada tempat yang bisa didaki untuk
kembali ke lembah dimana pakaian dan seluruh barang-barangnya ditinggalkan
ditepi kolam. Tetapi letak goa itu sangat terpencil sekali. Sekelilingnya
merupakan dinding-dinding batu gunung yang licin sekali.
Siauw Liong Lie berulang kali telah
menghela nafas. Selalu akhir-akhir ini dia mengalami banyak perobahan saja.
Perlahan-lahan. Siauw Liong Lie
memasuki terus goa itu, dia melangkah dengan langkah yang satu-satu, karena
keadaan di dalam goa itu sangat gelap, tidak terlihat apapun juga. Dengan
tangannya Siauw Liong Lie telah meraba-raba ke depan. Dan semakin lama goa itu
semakin sempit, akhirnya Siauw Liong Lie harus menyusurinya dengan merangkak,
dia merasakan lututnya sakit sekali.
Tetapi ketika itu Siauw Liong Lie berhasil
tiba di sebuah ruangan. Ruangan yang tidak begitu besar, tetapi memiliki hawa
yang sejuk dan hangat yang bergabung menjadi satu. Mendatangkan perasaan segar.
Dan ruangan ini memiliki sinar dari matahari, lewat beberapa lobang yang
mungkin sengaja dibuat atau memangnya sudah ada. Dengan adanya sinar matahari
yang bisa menerobos masuk, Siauw Liong Lie bisa melihat jelas keadaan di dalam
goa itu.
Pertama-tama yang dilihatnya adalah
dua buah bangku dari batu yang dibuat bundar dengan di tengah-tengah dasarnya
diratakan untuk dipergunakan duduk. Disebelah kanannya terdapat sebuah meja
batu pula. Setelah itu Siauw Liong Lie melihat pembaringan batu juga, dan
terakhir kali dia jadi terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan, waktu dia
melihat diatas ranjang batu itu duduk bersemadhi tengkorak manusia yang masih
memakai baju!
Keadaan seperti itu tentu saja
menimbulkan perasaan ngeri. Tetapi setelah Siauw Liong Lie mengetahui bahwa
yang duduk bersemadhi itu hanyalah tengkorak manusia yang telah meninggal dunia,
hati Siauw Liong Lie jadi tenang kembali. Dia menghampirinya lalu menyentuh
sedikit pakaian tengkorak itu. Seketika pakaian itu meluruk jatuh! Rupanya
telah berlalu lama sekali orang tersebut meninggalkan dunia.
Siauw liong Lie menghela napas.
Disaat itu, antara cahaya matahari
yang samar-samar masuk dari lobang-lobang di batu dinding itu, Siauw Liong Lie
melihat sesuatu di dekat kaki tengkotak itu. Ternyata didekat kaki tengkorak
itu terdapat beberapa baris kata-kata yang diukir di dalam batu tersebut. Tentu
saja yang membuat Siauw Liong Lie jadi kagum adalah huruf-huruf itu diukir
dengan mempergunakan jari telunjuk tangan tengkorak itu. Bunyinya sebagai
berikut:
„Kepada orang yang berjodoh denganku.
Kupersembahkan kitab pusaka ilmu silat
yang tidak ada duanya di dalam dunia ini. Tetapi wahai orang yang berjodoh
denganku, engkau kuburkan dulu tulang-tulangku.”
Surat yang mirip-mirip 'surat wasiat'
itu sama sekali tidak meninggalkan nama atau gelaran. Siauw Liong Lie menghela
napas. „Mungkin orang ini sebelum meninggal merupakan jago yang hebat sekali
dan akhirnya menjelang kematiannya justru dia kuatir tidak ada orang yang
bersedia menguburkan tulang-tulangnya, maka dia membuat surat 'wasiat' seperti
itu.”
Setelah menghela napas berulang kali,
Siauw Liong Lie mengambil batu gunung yang agak besar, dia telah mulai menggali
tanah dalam goa itu. Setelah bekerja seorang diri cukup lama, maka Siauw Liong
Lie telah berhasil membuat sebuah lobang yang cukup besar, dia mengangkat
tengkorak orang itu, berikut bajunya yang banyak telah meluruk menjadi abu,
dikuburkan semuanya di dalam lobang ini, kemudian dia telah menutupi lobang itu
dengan tanah yang tadi digalinya.
Siauw Liong Lie letih sekali, dia
ingin beristirahat dulu, tetapi waktu mau duduk di kursi batu, dia melihat di
tempat tadi tengkorak itu duduk, terdapat beberapa huruf. Maka Siauw Liong Lie
telah menghampiri pembaringan batu itu, dia telah membaca huruf-huruf yang
tertulis disitu yang bunyinya sebagai berikut:
„Orang yang berjodoh denganku.
Engkau ternyata sangat baik sekali
telah menguburkan mayatku…... untuk itu aku dari akhirat menghujuk hormat
kepadamu…... arwahku tentunya bisa beristirahat dengan tenang. Dengan jiwa yang
tulus dan baik, engkau memang pantas menjadi muridku. Dan kukira kitab pusaka
itu pantas jatuh di tanganmu.
Untuk mendapat kitab itu, engkau mulai
melangkah dari sudut kanan pembaringan ini, melangkah limabelas tindak dan
setelah itu kau akan melihat batu gunung yang menonjol dalam bentuk segi tiga.
Disaat itulah engkau tendang batu segi tiga itu, maka engkau akan memperoleh
kitab pusaka ilmu sakti yang tiada duanya di dalam rimba persilatan!”
Sebetulnya Siauw Liong Lie tidak
tertarik dengan kitab ilmu silat yang dijanjikan itu. Tadi dia menguburkan
mayat dari orang yang tidak diketahui siapa namanya itu hanyalah didorong oleh
perasaan kasihan saja. Tetapi sekarang karena ingin mengetahui kitab ilmu silat
apakah yang disebut sebagai kitab ilmu silat pusaka oleh pemiliknya, Siauw
Liong Lie mengikuti petunjuk-petunjuk itu, dimana dari sisi pembaringan batu
itu dia telah melangkah limabelas tindak dan benar saja di dekat kakinya
terdapat batu berbentuk segi tiga. Dia tanpa berpikir lagi telah menendangnya.
„Tukkk!” batu itu tertendang dan
tahu-tahu terjadi suatu yang tidak pernah dimimpikan oleh Siauw Liong Lie,
suatu peristiwa yang sangat mentakjubkan sekali. Batu yang tertendang oleh
Siauw Liong Lie jadi terpental dan dinding batu di sebelah kanannya tahu-tahu
menggeser terbuka seperti juga pintu rahasia.
Siauw Liong Lie berdiri tertegun
mengawasi dinding yang tengah menggeser itu. Semakin lama dinding itu terbuka,
semakin lebar sehingga terlihat di balik dinding batu itu terdapat sebuah
ruangan lainnya yang sangat gelap, namun masih bisa terlihat samar-samar
keadaan di dalam ruangan itu.
Siauw Liong Lie melihatnya bahwa di
dalam ruangan itu terdapat sebuah kursi batu, pembaringan dari batu juga dan
sebuah meja dari kayu. Dari semula Siauw Liong Lie hanya melihat seluruh
barang-barang yang terdapat di dalam goa ini terbuat dari batu tetapi hanya
meja itu saja yang terbuat dari kayu!
Setelah berdiri ragu-ragu akhirnya
Siauw Liong Lie memasuki ruangan itu. Dia melihat di sekeliling tembok terukir
manusia dalam gerakan-gerakan bersilat. Keras sekali ukiran itu, namun sebagai
seorang akhli silat yang telah berpengalaman, Siauw Liong Lie bisa mengerti
makna dari lukisan-lukisan itu. Yang membuat Siauw Liong Lie jadi berdiri
takjub, karena dia melihat gerakan-gerakan dari manusia ukiran di dinding itu
selain merupakan ukiran yang menarik justru mengemukakan gerakan dari ilmu
silat kelas tinggi.
Tetapi disaat itulah Siauw Liong Lie
melihat di dinding sebelah kanan tampak barisan huruf-huruf yang diukir juga di
batu dinding itu. Siauw Liong Lie memperhatikan huruf-huruf itu, dia membacanya
sepatah demi sepatah, karena dengan diukir di dinding itu, huruf-huruf tersebut
kasar sekali coretannya. Tetapi masih bisa dibaca, yang bunyinya sebagai
berikut:
„Engkau telah menguburkan
tulang-tulangku, terimakasih wahai orang yang berjodoh denganku......”
Dan disamping tulisan itu terdapat
beberapa baris tulisan lagi, yang bunyinya sebagai berikut,
„Wahai orang yang berjodoh denganku.
Engkau memang berjodoh denganku, dan menjadi muridku. Seluruh kepandaianku
telah kuukir di dinding kamar ini, dan engkau bisa mempelajarinya mulai dari
gambar pertama yang ada di sebelah kiri, terus mempelajari gerakan-gerakan yang
saling susul menuju ke kanan.
Ilmu silat yang kutuliskan itu
merupakan ilmu silat kelas satu, karena di masa aku hidup, aku telah merubuhkan
seluruh orang-orang persilatan tanpa pernah kalah satu kalipun juga. Hal itu
membuktikan bahwa kepandaianku telah mencapai tingkat yang cukup sempurna. Maka
jika engkau mempelajari baik-baik, tentu engkau bisa memiliki kepandaian yang
tinggi dan menjagoi rimba persilatan.
Ilmu yang keturunkan padamu itu
kunamakan sebagai ilmu Pek-lui-eng atau Pukulan Tangan Geledek. Jika engkau
telah mempelajari baik-baik setiap pukulan, tanganmu sama hebat seperti petir.
Pelajaran itu di bagi menjadi tujuh bagian dan masing-masing terbagi lagi dari
tujuh jurus. Setiap jurus dibagi pula menjadi tujuh gerakan. Maka jika engkau
telah bisa mempelajarinya dengan baik, tentu engkau bisa menjagoi rimba
persilatan dengan ilmu pukulan Pek-lui-eng itu.
Sebagai muridku, tentu saja engkau
harus mengetahui siapa adanya aku. Aku bernama Tang Cia Sie, bergelar
Bu-beng-kun-hiap (Jago Pukulan Tangan Kosong Tidak bernama). Nah, muridku,
kuharap saja engkau mempelari ilmu yang kuwariskan itu sebaik mungkin dan
engkau harus mempergunakannya untuk keadilan, tidak boleh sekali mengandalkan
ilmu itu untuk melakukan tindakan sewenang-wenang dan jahat. Aku mendoakan
semoga saja engkau tidak mengecewakan hati dan keinginanku, agar aku bisa mati
dengan mata yang meram.”
Setelah membaca surat itu, Siauw Liong
Lie menghela napas. „Tang Cia Sie...... dialah seorang pendekar di jaman
seratus tahun yang lalu....... dia telah meninggal dengan tenang di tempat ini
tentunya dia merupakan jago yang hebat sekali, karena guruku pernah
menceritakan, dijamannya Tang Cia Sie itu kepandaian jago she Tang tersebut
sangat tinggi sekali. Maka dari itu jika aku bisa mempelajari ilmunya itu,
niscaya aku bisa memiliki kepandaian yang lebih tinggi......!”
Tetapi berpikir sampai disitu, Siauw
Liong Lie telah menghela napas lagi, karena dia teringat betapa dirinya
sekarang berada di dalam goa yang terpisah dengan kolam yang memiliki arus yang
sangat kuat, sehingga tidak mungkin dia bisa menerobos keluar! Hai! Hai!
Sekarang jika aku mempelajari ilmu itu, untuk apa? Aku telah terpisah dari
suami dan anakku…....”
Terkenang kepada anaknya, yang harus
berpisah dengannya disaat anak itu masih merah, Siauw Liong Lie jadi menitikkan
sir mata.
Siauw Liong Lie memang telah memiliki
latihan yang kuat dari ilmu Kouw-bok-pay, dia juga telah menguasai hati
sehingga dirinya tidak pernah dihinggapi perasaan gembira, sedih atau juga
marah. Tetapi waktu teringat kepada anaknya itu, justru Siauw Liong Lie sebagai
wanita wajar seperti lainnya, jadi menangis menitikkan air mata dengan hati
yang berduka sekali.
Sekian lama Siauw Liong Lie menangis,
sampai akhirnya dia telah menghela napas dan menyusut air matanya. Semula
memang Siauw Liong Lie tidak bermaksud mempelajari ilmu warisan Tang Cia Sie,
tetapi setelah dia berdiam agak lama di goa itu. mungkin sudah lewat dua hari
atau lebih, iseng-iseng ia mulai mempelajari gerakan yang terukir di dinding.
Hal itu hanya untuk mengisi waktunya yang luang. Tetapi ketika dia mulai
menjalankan gerakan yang pertama dan pecahan dari jurus-jurusnya, dia jadi
tambah tertarik, karena selain tubuhnya jadi bertambah segar, juga Siauw Liong
Lie mengetahui bahwa jurus-jurus yang dipelajarinya itu merupakan ilmu pukulan
yang benar-benar hebat! Apalagi memang Siauw Liong Lie sendiri telah memiliki
kepandaian yang, sangat tinggi sekali, dengan sendirinya dia dapat mempelajari
ilmu itu dengan mudah.
Tenaga yang muncul dari setiap gerakan
yang dilakukan oleh Siauw Liong Lie mendatangkan sambaran angin yang kuat
sekali. Ilmu pukulan itu benar-benar hebat sekali, dan pukulan dari ilmu
Pek-lui-eng itu bisa menghancurkan batu yang bagaimana besar sekalipun juga
Siauw Liong Lie yang memiliki lwekang sangat tinggi telah merasakan lwekangnya
seperti tersalurkan keluar dan menjadi semakin kuat.
Maka dari itu Siauw Liong Lie jadi
semakin rajin belajar dan mengikuti setiap gerakan dari ukiran-ukiran ilmu
pukulan Pek-lui-eng itu. Semakin dipelajari ilmu itu semakin mendatangkan
kekaguman di hati Siauw Liong Lie. Bahkan Siauw Liong Lie telah mempelajari
jurus yang keenam, dia jadi bertambah kagum sekali kepada Bu-beng-kun-hiap,
karena ilmu itu benar-benar merupakan ilmu kelas tinggi, mungkin berada di atas
dari kepandaian yang dimiliki Siauw Liong Lie sendiri.
Setelah mempelajari seluruh
gerakan-gerakan yang terukir di dinding, terakhir Siauw Liong Lie melihat
ukiran untuk melatih lweekang, yaitu dengan kedua kaki yang berjingkat, berdiri
sambil bersedekap, menyalurkan jalan pernapasannya mengikuti petunjuk-petunjuk
yang diberikan oleh tulisan di batu itu.
Siauw Liong Lie semula merasakan di
perutnya seperti ada sebuah bola api yang berputar-putar dan hangat sekali.
Siauw Liong Lie meneruskan latihannya. Entah sudah lewat beberapa hari, Siauw
Liong Lie tidak mengetahui karena selama itu dia tidak melihat matahari dan
juga dia tidak mengenal waktu, hanya sinar matahari yang sedikit sekali masuk
ke ruangan itu. Dengan memperhatikan lenyap dan timbulnya sinar matahari, Siauw
Liong Lie hanya bisa menduga bahwa dia telah berada di ruangan tertutup itu
hampir satu bulan.
Semakin dipelajari lweekang yang
terukir di batu itu, Siauw Liong Lie merasakan tenaga dalamnya bertambah hebat.
Waktu dia mencoba memegang sebuah batu yang cukup besar, mengerahkan setengah
tenaga lweekangnya batu dalam cengkraman tangannya itu telah hancur menjadi
bubuk. Peristiwa ini mengejutkan dan membuat Siauw Liong Lie jadi girang bukan
main. Karena dengan hasil yang telah didapatnya itu membuktikan bahwa dia telah
memiliki lweekang yang lebih kuat dibandingkan dengan beberapa waktu lalu.
Saat itu juga Siauw Liong Lie telah
beristirahat sambil memikirkan cara untuk mencari jalan keluar dari kurungan
goa itu. Tetapi dia tidak juga menemui bagian bagian dinding yang tipis dan
bisa diterobos keluar.
Setelah memeriksa kesana kemari,
tiba-tiba Siauw Liong Lie tertarik melihat sebuah kotak besi yang cukup besar
yang berada di dekat batu yang menonjol keluar. Barang itu menarik sekali. Jika
memang Siauw Liong Lie bukan sedang memperhatikan keadaan di sekitar situ,
memeriksa untuk mencari jalan keluar, tentu dia tidak akan menemui kotak peti
tersebut. Cepat-cepat Siauw Liong Lie telah mengambil kotak itu. Ternyata kotak
tersebut terkunci.
Tetapi Siauw Liong Lie yang memiliki
lwekang telah sempurna, tidak merasa dipersulit dengan tidak ada kunci kelotok
itu. Dia mengerahkan tenaga lwekangnya di kedua jari tangannya, kemudian dengan
jari telunjuknya dia menyentil kelotok itu.
„Tuk.....!” Kelotok itu telah terbuka
putus oleh sentilan jari Siauw Liong Lie.
Keruan saja Siauw Liong Lie tambah
girang, karena dengan sekali menyentil dia bisa mematahkan kelotok besi,
berarti dia benar-benar telah memiliki tenaga lwekang yang menakjubkan sekali.
Dan Siauw Liong Lie lebih girang lagi, ketika dia melihat di dalam kotak peti
itu terdapat beberapa perangkat pakaian.
Cepat-cepat Siauw Liong Lie
mengambilnya sepotong dan mengenakannya. Karena selama sebulan lebih itu Siauw
Liong Lie bertelanjang, disebabkan pakaiannya ditinggalkan di tepi kolam.
Walaupun pakaian yang dikenakannya itu merupakan pakaian seorang pria tetapi
lebih lumayan dari pada tidak mengenakan pakaian sama sekali sebagai penutup
tubuhnya.
Peti itu telah disimpan lagi oleh
Siauw Liong Lie, diletakkan di tempat semula. Tetapi waktu Siauw Liong Lie
meletakkan peti itu, matanya yang jeli dan tajam telah melihatnya ada beberapa
ukiran huruf-huruf di bawah tempat dia meletakkan kotak besi itu. Bunyi surat
ukiran itu sebagai berikut.
„Muridku......
Engkau kini telah memiliki kepandaian,
juga pakaianku engkau bisa menemukannya. Aku gembira bahwa engkau seorang yang
baik, yaitu setelah engkau mengangkat peti itu, engkau meletakkan kembali peti
tersebut ke tempatnya semula, sehingga engkau jadi bisa melihat huruf-huruf
yang kuukir di bawah peti ini. Coba kalau engkau telah mengambil peti itu dan
engkau tidak bermaksud meletakkan kembali di tempatnya semula, engkau tentu
tidak akan melihat huruf-huruf yang kuukir ini.
Ketahuilah muridku, bahwa aku
mengetahui cara untuk keluar dari goa ini yaitu dengan menuruti gambaran yang
kulukiskan ini! Pertama-tama engkau terjun ke air yang ada di muka goa ini, dan
berenang sejauh mungkin, jika user-user air mulai menyambut kau dan menariknya,
engkau kerahkan lwekang yang engkau pelajari, sehingga user-user air itu tentu
tidak sanggup untuk menyeret dirimu, engkau bisa berenang terus untuk mencapai
tepi kolam di atas lembah itu......
Muridku yang baik.
Engkau harus ketahui juga, bahwa
ketiga perangkat pakaianku yang ada di dalam peti itu merupakan pakaian yang
memiliki khasiat sangat besar dan bukan pakaian biasa, ketiga perangkat pakaian
itu merupakan pakaian mustika. Kukatakan pakaian mustika karena jika seseorang
mengenakan pakaian itu, tentu orang tersebut tidak dapat ditikam oleh senjata
tajam, dan juga tidak perlu takut oleh kobaran api. Pakaian itu kubuat dari
benang-benang yang dibuat dari besi hitam yang dicampur dengan emas, sehingga
ulet sekali. Ketiga perangkat pakaian itu merupakan tiga perangkat pakaian
mustika yang jarang sekali dimiliki orang dan kuberi nama Kim-joan-kha (pakaian
emas). Nah muridku, engkau harus mempelajari seluruh pelajaran yang ada di
dinding goa ini sebaik mungkin, karena aku tidak menghendaki muridku nanti
memiliki kepandaian separoh-paroh saja, sehingga nanti jika bertemu dengan
musuh yang kuat akan roboh dan tidak berdaya. Itulah yang tidak kukehendaki......!
Dari gurumu.
Tang Cia Sie, Bu-beng-kun-hiap.”
Setelah membuka semua surat itu, Siauw
Liong Lie cepat-cepat menekuk kedua kakinya dia berlutut memberi hormat kepada
ukiran-ukiran surat itu.
„Suhu, tecu Siauw Liong Lie menghunjuk
hormat kepada suhu. Tenangkanlah hati suhu di dalam baka, karena murid tentu
tidak akan melalaikan pesan Suhu untuk berdiri tegak di garis keadilan.....
terima kasih atas warisan yang telah diberikan Suhu..... Tecu tentu akan
berusaha untuk melaksanakan semua pesan Suhu, tenangkanlah hati Suhu.......!”
Dan setelah berkata begitu Siauw Liong
Lie mengangguk-anggukan kepalanya tiga kali. Waktu itu Siauw Liong Lie tengah
gembira bukan main, karena dia telah memperoleh petunjuk bagaimana harus keluar
dari kolam itu meninggalkan goa tersebut. Dengan mempergunakan lwekang yang
baru diperolehnya tentu dia bisa meloloskan diri dari user-user air di kolam
itu, seperti apa yang dijelaskan oleh gurunya. Tetapi karena Siauw Liong Lie
masih harus mempelajari ilmu meringankan tubuh dan lwekang agar lebih sempurna
lagi, dia berdiam di goa di bawah kolam itu. Kepandaian Siauw Liong Lie
mengalami kemajuan yaug pesat sekali, yang membawa dia ke taraf yang lebih
sempurna dibandingkan dengan beberapa waktu yang lalu.
Setengah bulan kemudian, Siauw Liong
Lie telah dapat menguasai semua ilmu-ilmu itu. Selama terkurung di goa itu,
Siauw Liong Lie selalu makan daging ikan, karena di muka goa itu, dimana tampak
air yang menggenang berasal dari kolam yang di atas itu banyak sekali terdapat
ikan-ikan yang bentuknya sangat besar. Setiap hari Siauw Liong Lie memakan ikan
itu, yang dipanggangnya. Menangkap ikan-ikan itu juga tidak sulit, karena
ikan-ikan itu tampaknya jinak sekali.
Setelah lewat lagi beberapa hari,
Siauw Liong Lie merasakan bahwa dia telah selesai mempelajari seluruh
kepandaian yang ditinggalkan Tang Cia Sie, dia bermaksud untuk mencoba berenang
ke atas kolam di lembah itu.
Siauw Liong Lie menekuk kedua kakinya,
dia berkata, „Suhu...... tecu ingin meninggalkan tempat ini. Sebetulnya Tecu
tidak ingin meninggalkan goa ini tetapi berhubung Tecu memikirkan anak Tecu
yang diculik orang juga suami yang belum diketahui bagaimana nasibnya, maka
tecu terpaksa harus meninggalkan tempat ini! Terima kasih atas
petunjuk-petunjuk suhu yang sangat berharga...!”
Dan setelah berkata begitu, tampak
Siauw Liong Lie mengangguk-anggukkan kepalanya duabelas kali, sebagai
penghormatan murid kepada gurunya. Kedua perangkat pakaian yang ada di peti
itu, juga tidak diambil oleh Siauw Liong Lie, sebab dia beranggapan bahwa satu
perangkat pakaian mustika itu telah cukup. Karena kelak juga dia telah berada
di alam bebas kembali dia bisa membeli pakaian. Dan juga bukankah pakaian dan
perhiasannya ditinggalkan di tepi kolam itu?”
Dengan mempergunakan jari telunjuknya Siauw
Liong Lie telah mengukir batu itu menuliskan beberapa patah kata.
„Tecu Siauw Liong Lie telah
menyelesaikan pelajaran dari kepandaian suhu Tang Cia Sie. Dengan ini tecu
menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada suhu Tang Cia Sie. Semoga
saja arwahnya tenang dialam baka. Tecu akan mempergunakan kepandaian yang tecu
peroleh ini untuk melakukan kebaikan dan membela yang lemah.”
Hebat sekali jari telunjuk Siauw Liong
Lie, karena dia bisa mengukir dan menulis di dinding dengan mempergunakan jari
telunjuk itu. Setiap kali dia mencoret, maka luluhlah batu itu, sehingga
terlihat nyata sekali huruf yang ditulisinya itu, jelas dan kuat sekali setiap
tarikan huruf itu.
Siauw Liong Lie sendiri merasa kagum
dan girang terhadap kepandaian yang diperolehnya dari Tang Cia Sie, karena dulu
dia memiliki kepandaian yang tinggi dan sempurna, tetapi Siauw Liong Lie belum
berhasil menulis di dinding batu dengan mempergunakan jari telunjuknya! Tetapi
sekarang, setelah dia berhasil mempelajari lwekang peninggalan Tang Cia Sie, ia
mampu menulis surat dengan jari telunjuknya itu seperti juga menulis di atas
lumpur.
Karena terlalu gembira, Siauw Liong
Lie jadi menangis terisak-isak. Di hatinya telah muncul harapan dia bisa keluar
dari kolam itu, dan juga bisa mendaki dinding tebing di lembah itu. Setelah
pay-kui tiga kali lagi, Siauw Liong Lie kemudian keluar dari goa itu. Pintu goa
ditutupnya dengan menarik kembali batu yang menonjol di muka goa tersebut. Dan
Siauw Liong Lie kemudian menyusuri goa yang satunya lagi, sehingga dia telah
tiba di depan goa itu, melihat air yang bening dan cabang kolam di atas lembah
itu.
Siauw Liong Lie memandang air yang
bening itu dengan tertegun. Dia membayangkan, di bawah air kolam itu terdapat
user-useran air yang menggulung kuat sekali. Jika dia menyelam kembali,
mungkinkah dia kuat melawan arus user-useran air iiu? Sedangkan dulu saja dia
bukannya tidak memiliki kepandaian, di dalam rimba persilatan mungkin Siauw
Liong Lie merupakan jago wanita yang paling ternama. Namun dia tidak berdaya
menghadapi user-user air di dalam kolam itu.
Tetapi menurut pesan yang ditinggalkan
oleh gurunya yaitu Tang Cia Sie, dengan mempergunakan lwekang yang diturunkan
oleh Tang Cia Sie, tentu dia bisa menghadapi arus user-useran air itu. Maka
setelah keragu-raguannya berkurang banyak, Siauw Liong Lie telah terjun
berenang di air dimuka goa itu. Dia menyelam beberapa kali, tetapi disaat
itulah dia mulai merasakan air seperti tergoncang keras. Dengan demikian Siauw
Liong Lie mengetahui bahwa arus user-user air itu telah mulai datang menyerang
dirinya. Itulah hal yang cukup mengerikan.
Ketika Siauw Liong Lie merasakan
gulungan air semakin keras, dia mengerahkan lweekang yang diperolehnya dari
catatan Tang Cia Sie. Kedua tangannya ditekuk dengan gerakan seperti seekor
kodok, tampak Siauw Liong Lie telah berenang terus.
Memang meletihkan melawan tekanan dari
tenaga arus air yang bergulung-gulung seperti tidak terkendalikan lagi.
Beberapa kali tubuh Siauw Liong Lie terpental kembali terbawa arus. Tetapi Siauw
Liong Lie tabah sekali, dia telah menggerakkan terus kedua tangannya dan
kakinya melawan terjangan gulungan arus itu. Walaupun sedikit demi sedikit dan
meletihkan sekali, kenyataannya Siauw Liong Lie telah bisa maju menerobos arus
air itu. Akhirnya Siauw Liong Lie terlepas juga dari gulungan arus air itu,
sehingga dia bisa berenang terus menuju ke permukaan kolam.
Tadi waktu melawan arus air yang
bergulung-gulung itu, Siauw Liong Lie merasa letih sekali dan ketika dia tiba
di permukaan kolam dan berhasil naik ke darat, dia telah merebahkan tubuhnya di
tepi kolam itu untuk beristirahat.
Sambil mengatur pernapasannya, Siauw
Liong Lie juga mengawasi sekitar tempat itu. Tidak ada seorang manusiapun di
sini dan juga pakaiannya telah lenyap! Siauw Liong Lie jadi heran, dia
menyelidiki seluruh lembah itu, tetapi dia tetap tidak menemui seorang manusia
pun juga!
Waktu Siauw Liong Lie tiba di
permukaan kolam itu, hari menjelang sore, dan ketika matahari telah turun di
ufuk barat, Siauw Liong Lie berusaha menaiki tebing itu, dia merayap dengan
ilmu cecak dan berhasil mencapai atas lembah itu.
Dengan hati-hati Siauw Liong Lie
menghampiri sebuah perkampungan. Dengan gerakkannya yang ringan dan gesit
sekali, tidak ada seorang manusiapun yang mengetahui bahwa ada seorang pendekar
wanita yang tengah berkeluyuran, memperhatikan satu persatu rumah penduduk,
karena memang Siauw Liong Lie bermaksud untuk mencari rumah seorang hartawan.
Dan akhirnya Siauw Liong Lie dapat menemukan sebuah rumah yang diinginkannya.
Dia telah melihat rumah yang mewah dan besar, sebagian dari pekarangan rumah
itu diterangi oleh lampu, sehingga disekitar tempat itu jadi terang benderang.
Siauw Liong Lie tampak telah melompati
dinding tembok pekarangan, kemudian dia mencari sebuah kamar, dengan mudah dia
menemukan apa yang dicarinya, yaitu tempat simpanan uang dari pemilik gedung
tersebut. Di ambilnya uang perak sebanyak seribu tail, lalu dia kembali ke tepi
lembah dan melompat ke bawah lembah itu.
Malam itu Siauw Liong Lie tidur dengan
nyenyak, keesokan paginya ketika dia terbangun dari tidurnya, dia melihat
sesuatu yang agak ganjil, yaitu tanah kuburan yang masih merah.
“Rupanya sebelum aku datang kemari
telah ada orang lainnya…...!!” pikir Siauw Liong Lie yang menduga bahwa kuburan
itu adalah kuburan dari seorang manusia. Pada hal sebenarnya, jika saja Siauw
Liong Lie mau membongkar kuburan itu, tentu dia akan mengetahui bahwa kuburan
itu adalah kuburan dari pakaian dan barangnya yang telah dikubur oleh
Sin-tiauw.
Setelah cuci muka ditepi kolam Siauw
Liong Lie mendaki ke atas tebing itu untuk keluar dari lembah itu. Dia
memperhatikan keadaan sekitarnya, kemudian berlari-lari ke arah barat, dia
telah tiba di sebuah kampung kecil, Siauw Liong Lie membeli beberapa perangkat
pakaian dan bermacam-macam kuwe dan daging kering.
Setelah membayar barang yang dibelinya
itu, Siauw Liong Lie bermaksud kembali ke lembah. Tetapi baru saja dia
melangkah beberapa langkah, dia mendengar suara seorang gadis kecil yang
menangis sedih sekali. Usia gadis kecil itu belum lagi ada setahun, masih
merah, dan tangisnya juga sangat nyaring sekali.
Bayi kecil itu tergeletak di muka
warung barang-barang dimana dia tadi berbelanja. Melihat bayi itu tanpa ada
yang mengurusi dan tergeletak di situ, Siauw Liong Lie merasa heran bercampur
marah. Cepat-cepat Siauw Liong Lie menggendongnya, apalagi dia teringat pada
anaknya sendiri, yang sekarang ini berada entah dimana, masih hidup atau memang
telah binasa. Dan perasaan kasihan pada gadis cilik yang masih merah itu
membuat dia menggendongnya untuk menghangati tubuh bayi kecil tersebut.
Siauw Liong Lie memasuki toko
kelontong itu, kemudian bertanya kepada pemilik toko itu.
„Heng-tay, siapa orang tua anak ini?
Mengapa ditinggalkan begitu saja dan Heng-tay tidak merasa kasihan dan hanya
membiarkan saja? Bukankah jika kelak matahari telah naik tinggi dan panas
sekali, akan membuat bayi itu tersiksa lalu mati?”
26.52. Kegembiraan Keluarga Yang
Berkumpul
Pemilik toko itu jadi serba salah
tingkahnya, tetapi tokh akhirnya dia telah berkata: „Bukan kami tidak merasa
kasihan kepada gadis kecil itu.... tetapi kedua orang tuanya, ayah dan ibunya
adalah penjahat-penjahat besar yang tidak berampun dan kejam sekali. Telah
ratusan orang-orang yang menjadi korbannya. Maka waktu tadi kedua orang tuanya
itu, ditangkap dan dihukum mati dengan pancung kepala. Memang kami merasa
kasihan pada bayi yang sebatang kara itu. tetapi kami tidak berani mengambil
dan melihatnya, seluruh penduduk kampung juga begitu, mereka takut kalau nanti
setelah anak itu besar akan menimbulkan kesulitan yang tidak kecil, apalagi
anak ini keturunan dari penjahat kejam seperti ayah dan ibunya....!”
Siauw Liong Lie menghela napas.
„Kasihan anak ini..... seharusnya dia
tidak diperlakukan begitu! Bukankah yang bersalah dan berdosa adalah kedua
orang tuanya? Mengapa pula anak ini yang harus menjadi sasarannya? Hemmm,
memang kadang kala manusia itu jahat dan bersembunyi dibalik kebaikan! Biarlah
anak ini kuambil untuk dipelihara olehku!”
„Terserah kepada nyonya, karena memang
kami sekampung telah memutuskan tidak akan mengambil anak itu, dan meletakan
begitu saja. Untung ada nyonya, sehingga anak itu tidak perlu sampai
mati.....!”
Siauw Liong Lie menghela napas dan
dengan membawa barang-barang yang baru dibelinya itu dalam jumlah yang cukup
banyak, juga tangan kanannya menggendong bayi perempuan itu dengan penuh kasih
sayang, dia telah pergi ke tepi tebing dan dengan ginkangnya yang sempurna, dia
berlari-lari menuruni tebing itu. Dalam waktu yang singkat sekali dia telah berada
di lembah itu lagi.
Siauw Liong Lie karena teringat bahwa
di tempat itu ada gundukan tanah seperti kuburan, maka dia tidak bermaksud
berdiam di lembah itu lama-lama. Dia telah mengikat kepala bayi perempuan itu
dengan sehelai kulit dan kemudian barang-barang belanjaannya itu diikat pula di
dalam sepotong kulit, kemudian dia menyelam melawan arus air, dia telah
berenang dengan kedua tangannya membawa si bayi dan bahan makanannya.
Usaha Siauw Liong Lie berjalan lancar
dan tidak menemui halangan apapun juga. Dan mereka, Siauw Liong Lie bersama
bayi kecil itu tiba di goa tersembunyi itu.
Demikianlah Siauw Liong Lie telah
merawat bayi kecil itu.
„Karena engkau kutemui dalam keadaan
yang menderita dan sengsara, maka engkau kunamakan Goat Lan. Sedangkan she mu
bisa mempergunakan she ku, yaitu she Siauw! Untuk selanjutnya engkau bernama
Siauw Goat Lan.”
Bayi yang masih kecil seperti itu
tidak mengetahui apa-apa, dia hanya sibuk dengan susu yang diberikan Siauw
Liong Lie. Karena sejak kedua orang tuanya dihukum mati, dia telah menderita
kelaparan. Siauw Liong Lie juga bertekad untuk merawat Siauw Goat Lan dan anak
yatim piatu itu akan diperlakukan seperti anaknya sendiri.
Dengan adanya Siauw Goat Lan, hati
Siauw Liong Lie jadi terhibur juga. Pendekar wanita ini juga bermaksud menutup
riwayat hitam dan kedua orang tua Siauw Goat Lan, karena dia tidak menghendaki
nanti Siauw Goat Lan setelah meningkat dewasa akan memiliki dendam. Siauw Liong
Lie menganggap urusan Siauw Goat Lan telah habis, karena dengan demikian Siauw
Goat Lan terbebas dari jerat dendam yang bisa merusak gadis ini. Dengan
demikian Siauw Liong Lie bisa benar-benar menganggap bahwa Siauw Goat Lan
adalah puterinya sendiri.
Begitulah dari hari ke hari Siauw
Liong Lie telah merawat Siauw Goat Lan. Ketika Siauw Goat Lan telah berusia
empat tahun, gadis kecil itu mulai diberi pelajaran silat. Ternyata Siauw Goat
Lan cerdas sekali, dia bisa menerima pelajaran-pelajaran yang diturunkan
padanya dalam waktu yang singkat sekali.
Siauw Liong Lie jadi girang melihat
kenyataan itu. Apalagi kemajuan yang pesat telah diperoleh seorang Siauw Goat
Lan. Sedangkan Siauw Goat Lan sendiri selalu memanggil Siauw Liong Lie dengan
sebutan suhu, karena dia telah dibiasakan oleh Siauw Liong Lie sejak kecilnya
untuk memanggil dengan sebutan suhu. Maka dalama keadaan demikian dari tahun
demi tahun Siauw Goat Lan juga diberi pelajaran dasar dari lweekang dan
ginkang. Kepandaian yang diturunkan oleh Siauw Liong Lie merupakan kepandaian
kelas tinggi, jika saja Siauw Goat Lan melatih diri dengan baik, kelak jika dia
telah dewasa tentu jarang sekali ada orang yang bisa menandinginya.
Tahun demi tahun lewat dengan cepat
dan akhirnya Siauw Goat Lan telah berusia sebelas tahun dengan memiliki
kepandaian yang tinggi, dan yang kurang hanyalah pengalamannya saja. Sejak
berusia sebelas tahun Siauw Goat Lan sering diajak Siauw Liong Lie keluar dari
goa untuk pergi ke kampung-kampung yang terdekat guna membelikan pakaian dan
makanan. Walaupun masih kecil, tetapi Siauw Goat Lan sering kali berenang
melawan arus kolam itu, sehingga dia bisa berenang pula pergi melalui kolam
yang memiliki user-user air dengan mudah sekali.
Hari itu, waktu Siauw Goat Lan berusia
sebelas tahun, Siauw Liong Lie mengatakan bahwa dia ingin tinggal di lembah
itu, sehingga tidak perlu setiap kali keluar dari kolam itu tubuh mereka basah
kuyup. Siauw Liong Lie juga telah menguasai sepenuhnya ilmu silat Tang Cia Sie,
sehingga dia tidak perlu berdiam lebih lama lagi di goa tersebut. Dengan
tinggal di lembah yang indah dan banyak pohonnya yang beraneka warna, Siauw
Goat Lan jadi girang sekali.
Begitulah guru dan murid telah tiba di
lembah itu dan menetap disana. Siauw Liong Lie mendirikan sebuah rumah kecil,
untuk mereka tinggal dan menghindari hujan dan angin.
Siauw Goat Lan ternyata seorang anak
yang rajin, lincah dan gesit. Setiap hari dengan tekun dia mempelajari ilmu
silat yang diajarkan oleh gurunya. Namun hari itu justru Siauw Goat-Lan telah
bertemu dengan Yo Ko beramai. Dan pertemuan itu akhirnya membuat Yo Ko dan Siauw
Liong Lie berkumpul kembali.
<>
Siauw Liong Lie telah menyelesaikah
ceritanya sambil menghela napas.
Tetapi Yo Him heran sekali, ada
sesuatu yang tidak dimengerti olehnya.
„Bu,” katanya kepada Siauw Liong Lie,
„Aku sudah pernah dirawat oleh Sin-tiauw beberapa tahun di dalam lembah itu,
mengapa tidak bertemu denganmu ibu?”
Siauw Liong Lie tersenyum, katanya:
„Mungkin juga waktu aku keluar dari lembah itu untuk mencuri uang yang seribu
tail itu. Justru engkau tidak ada disitu dan telah diajak bermain oleh
Sin-tiauw….. Itulah suatu kebetulan saja, sehingga kita bertemu setelah belasan
tahun, dan engkau kini telah menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan.”
Yo Him jadi malu dan menundukkan
kepala dengan pipi yang berobah merah.
„Ah, ibu bisa saja,” katanya.
Yo Ko dan yang lainnya jadi tertawa
geli karena mereka melihat Yo Him kemalu-maluan begitu rupa digoda oleh ibunya.
Begitulah, mereka telah bercakap-cakap dengan gembira.
Tiba-tiba Yo Ko teringat sesuatu.
„Liong-jie... ada sesuatu yang tidak kumengerti!”
katanya.
„Apa itu Ko-jie?”
„Mengenai rangka dari tengkorak
Sin-tiauw, yaitu burung rajawali kita itu..... mengapa masih tetap menggeletak
di tempatnya berhampar, bukankah menurutmu tadi engkau sering keluar dari air
kolam dan tentunya melihat kerangka burung itu......”
„Benar, memang aku melihatnya, tetapi
tentu saja Sin-tiauw tidak akan senang jika kita mengubur tulang-tulangnya.
Bukankah letak dari tulang belulang itu dengan sikap kedua sayapnya yang
terpentang lebar-lebar......! Hemm, jika kita menguburnya tentu akan membuat
dia tidak senang, maka aku membiarkan saja dengan menggeletak begitu, bukankah
sangat indah dilihat?”
Yo Ko dan lain-lainnya
mengangguk-angguk tanda setuju.
„Tetapi sayang sekali aku tidak
mengetahui maksudmu yang sebenarnya itu, sehingga aku telah mengubur
tulang-tulangnya,” kata Yo Ko.
„Ya, jika memang telah dikubur itupun
tidak apa-apa bukan?” kata Siauw Liong Lie tertawa. „Akhirnya kita berkumpul
juga...... inilah anugerah Thian yang maha pengasih dan penyayang......” dan
Siauw Liong Lie menghela napas panjang-panjang, karena saking girang dan juga
terharu dengan adanya pertemuan ini.
Siauw Liong Lie juga menceritakan
bahwa dia senang sekali di lembah ini, karena pemandangannya indah dan udaranya
nyaman.
„Yang mencelakai aku adalah Tiat To
Hoat-ong si pendeta dari Mongol itu!” kata Siauw Liong Lie sejenak kemudian.
„Maka kalau aku memiliki kesempatan, tentu aku akan mencarinya untuk mengadakan
perhitungan dengannya…..!”
Yo Ko mengangguk.
„Benar, selama belasan tahun ini aku
sibuk sekali mengumpulkan sahabat-sahabat yang cinta negeri, sehingga waktu
sangat sedikit sekali, dimana aku selalu gagal mencari pendeta Mongol itu.” Yo
Ko menghela napas panjang, kemudian katanya lagi. „Keadaan kerjaan Song tengah
terancam oleh musuh yang ingin menyerang ke daratan Tiong-goan, disamping itu
juga banyak menteri-menteri dorna yang telah menghasut Sri Baginda, sehingga
pucuk pimpinan kerajaan sudah goyah dan mungkin satu atau dua tahun mendatang
ini pasukan Mongolia itu akan menyerbu ke daratan Tiong-goan.”
Disaat itu Siauw Liong Lie
mendengarkan baik-baik dan waktu suaminya berkata sampai disitu, dia telah
memotongnya, „Inilah urusan yang tidak kecil. Selama belasan tahun aku
mengurung diri di lembah ini tidak tahunya diluar telah terjadi pergolakan yang
tidak kecil. Suamiku apakah kita lebih baik meninggalkan lembah ini untuk
membantu para orang gagah menghadapi musuh dari luar?”
Yo Ko mengangguk.
„Memang aku bermaksud begitu, apa lagi
sekarang kita telah berkumpul kembali,” kata Yo Ko. „Dan kita bisa menghadapi
musuh yang paling tangguh sekalipun! Disamping itu kita harus mencari jejak
Tiat To Hoat-ong untuk membalas sakit hati kita…...!”
Waktu berkata sampai disitu Yoko
berhenti sejenak sambil menunjuk ke Yo Him, katanya.
„Anak kita, Him-jie juga telah
memiliki kepandaian yang tinggi, selain dia memiliki tenaga lweekang yang
tinggi, juga dia pun telah menjadi murid dari orang luar biasa Lie Bun Hiap.”
Siauw Liong Lie memandang setengah
percaya kepada anaknya dan kemudian dia menghampiri Yo Him sambil bertanya :
„Benarkah Him-jie apa yang dikatakan oleh ayahmu?”
Yo Him tersenyum sambil berkata :
„Ayah tengah bergurau...... ibu jangan mempercayainya......!”
Kwee Siang dan Phang Kui In juga
berkata: „Apa yang dibilang Yo Ko Taihiap memang benar.....!”
Siauw Liong Lie tersenyum, dia telah
berkata dengan suara yang mengandung kasih sayang seorang ibu: „Syukurlah jika
memang Yo Him bisa memiliki kepandaian yang tinggi, tidak percuma dia jadi anak
dari Sin-tiauw Tayhiap!!” dan berbareng dengan perkataannya itu tampak Siauw
Liong Lie telah menghampiri Yo Him dekat sekali. Diluar dugaan tiba-tiba Siauw
Liong Lie mengulurkan tangan kanannya, dan tangan Yo Him yang kanan telah
dicekalnya. Gerakan yang dilakukannya itu luar biasa cepat dan kuatnya, karena
begitu Siauw Liong Lie menghentak, sebelum Yo Him tahu apa yang terjadi,
tubuhnya telah dilemparkan keras sekali oleh Siauw Liong Lie.
Semua orang yang melihat itu jadi
terkejut sampai mengeluarkan suara seruan yang nyaring, dan muka mereka
masing-masing menjadi pucat.
„Liong-jie, jangan…..!” Yo Ko masih
sempat berteriak dengan suara mengandung kekuatiran yang sangat.
Tubuh Yo Him telah melayang cepat
sekali ke tengah udara, tetapi Yo Him sekarang memang telah memiliki kepandaian
yang cukup tinggi, walaupun dia terkejut diperlakukan begitu oleh ibunya, namun
dia bisa bergerak cepat sekali berjumpalitan ditengah udara. Gerakan yang
dilakukan oleh Yo Him sangat gesit, sehingga sewaktu tubuhnya meluncur turun
kedua kakinya yang lebih dulu hinggap di tanah.
„Bagus,” berseru Siauw Liong Lie
dengan suara yang mengandung kegembiraan dan wajah yang berseri-seri.
Yo Him dan lainnya baru mengetahui
bahwa Siauw Liong Lie hanya ingin menguji anaknya itu.
„Kepandaianmu cukup tinggi, Him-jie.....
tidak sembarangan pemuda sebaya engkau yang bisa memiliki ilmu silat setinggi
kau sekarang ini!”
Yo Him mengucapkan terima kasih.
„Siapa yang mengajarimu?” tanya Siauw
Liong Lie lagi sambil menghampiri anaknya.
„Suhu Lie Bun Hap, Ma!”
„Lie Bun Hap?”
„Ya........”
„Aku belum pernah mendengar namanya.”
„Kedua kakinya buntung sebatas lutut,
dia berjalan dengan mempergunakan dua batang tongkat…….”
„Tetapi kepandaian yang diturunkan
kepadamu semuanya itu merupakan ilmu yang tinggi sekali, jika engkau mau
berlatih diri dalam dua atau tiga tahun, tentu engkau akan menjadi jago yang
memiliki kepandaian sangat tinggi sekali.”
Senang Yo Him mendengar pujian ibunya
dia telah mengucapkan terima kasihnya.
„Tetapi anehnya, gurumu itu belum
pernah kudengar di dalam rimba persilatan. Tentunya dia seorang jago tua yang
hidup mengasingkan diri.....”
„Mungkin juga, Ma. Katanya telah
puluhan tahun dia berada di pulau terpencil itu!”
Phang Kui In lalu menceritakan apa
yang telah terjadi.
Siauw Liong Lie juga jadi heran,
karena dia belum pernah mendengar nama Lie Bun Hap diantara jago-jago lainnya.
Tetapi akhirnya mereka tidak membicarakan soal Lie Bun Hap lagi, karena mereka
telah merencanakan untuk naik ke atas dinding yang mengurung lembah itu.
„Aku dan muridku bisa saja keluar
dengan mudah, karena kami memang telah biasa keluar lembah, naik dan turun
dengan mudah. Sekarang bagaimana dengan yang lainnya?”
Yo Ko menunjuk ke arah tambang yang
masih tergantung itu.
„Yo Him, Nona Kwee dan Phang
eng-hiong, naik dengan mempergunakan tambang itu sedangkan aku dengan kau
Liong-jie naik dengan mempergunakan ilmu cicak. Muridmu, menurut kau telah
biasa naik turun tebing itu, maka diapun bisa naik sendiri. Bagaimana, kalian
setuju?”
Siauw Liong Lie dan yang lain-lainnya
menyatakan setuju. Begitulah Siauw Goat Lan, Siauw Liong Lie dan Yo Ko telah
menaiki tebing itu dengan mudah tanpa memerlukan bantuan dan tambang itu. Yo
Him naik melalui tambang, kemudian menyusul Kwee Siang lalu Phang Kui In.
Disaat itulah terlihat mereka telah
berkumpul di atas tebing. Semuanya girang bukan main karena mereka bisa
berkumpul kembali.
„Tugas kita masih banyak, yaitu
menghimpun orang-orang gagah dan mencari musuh kita, Tiat To Hoat-ong,” kata Yo
Ko. Dan usul Yo Ko itu disetujui oleh semua orang.
Begitulah mereka memutuskan untuk
pergi ke Siang-yang, karena Siang-yang merupakan perbatasan dimana jika tentara
Mongolia ingin menyerbu ke daratan Tiong-goan, maka mereka harus melewati
Siang-yang dulu.
Waktu itu telah tiba musim semi, sehingga
keadaan dalam perjalanan mereka sangat menggembirakan sekali.
◄Y►
Siang-yang adalah ibu kota kerajaan
Song, dan merupakan kota yang sangat rapat penduduknya.
Saat itu banyak orang tengah
menjajahkan dagangan mereka sambil memuji akan kebaikan dan bagusnya barang
mereka, sehingga keadaan di kota Siang-yang pada sore hari itu sangat ramai
sekali. Di antara keramaian seperti itu tampak seorang anak lelaki berusia
enambelas tahun telah berlari-lari dengan ketakutan dan terus menerobos
keramaian.
Semua orang hanya memandang aneh,
mereka melihat di belakang anak itu berlari puluhan orang yang berteriak dengan
suara sangat keras:
„Tangkap maling!”
Tampak anak itu berlari dengan lebih
cepat lagi, napasnya memburu dan juga mukanya pucat. Akhirnya waktu melihat
para pengejarnya telah semakin dekat, maka ia mengeluarkan suara bentakan yang
keras sambil tubuhnya berjongkok lalu tangannya dilonjorkan ke depan.
Waktu para pengejarnya itu telah
semakin dekat, anak itu mengeluarkan suara „grookk” beberapa kali. Para
pengejarnya agak tertegun melihat sikap anak itu. Kelakuannya benar-benar aneh.
Tetapi tidak lama kemudian mereka berteriak lagi:
„Tangkap maling!”
Ramai sekali teriakan mereka sehingga
anak itu jadi ketakutan. Dalam keadaan yang terjepit seperti itu, anak itu
menjadi nekad. Dia menghentakkan kedua tangannya seperti mendorong, disamping
itu mulutnya telah mengeluarkan suara „groookk” berulang kali.
Aneh sekali!
Empat orang pengejarnya yang berada di
depan telah mengeluarkan suara jeritan yang sangat menyayatkan hati, tubuh
mereka bergulingan di tanah dan akhirnya diam. Mereka telah binasa.
Sisa kawannya yang melihat kejadian
itu, tentu saja jadi tercengang. Tetapi tak lama kemudian kembali mereka telah
berteriak:
„Tangkap pembunuh!” Teriakan mereka
berisik sekali, tetapi tidak ada seorangpun yang berani maju mendekati.
Anak itu ternyata telah menyerang
dengan ilmu ‘Ha-mo-kang’ (ilmu kodok). Ketika melihat lawannya sudah tidak
mengejar lagi, dia bangkit dan melarikan diri pula.
Sisa orang-orang itu kembali mengejar
sambil berteriak, tetapi anak itu tidak perduli dan lari terus. Dia lari secara
cerdik memasuki lorong-lorong kecil, sampai para pengejarnya menjadi letih.
Anak itu kemudian tiba di luar pintu kota dan berdiri mengasoh, sedangkan para
pengejarnya yang berada dekat sekali tidak ada yang berani maju melancarkan
serangan. Mereka hanya berdiri berteriak saja.
Anak itu tertawa mengejek.
„Untung saja aku masih kecil, coba
kalau sudah dewasa. Hemm, kalian satu per satu akan kubereskan!”
Anak itu kemudian pergi lagi, tetapi
baru beberapa langkah ia berjalan, di saat itulah tampak seseorang
membentaknya:
„Tahan, tunggu dulu!”
Dihadapannya berdiri seorang lelaki
memakai baju yang agak longgar, sedangkan tangan kanan bajunya itu
berkibar-kibar kosong menunjukkan bahwa orang itu tidak memiliki tangan kanan.
„Engko kecil, bukankah kau yang
bertemu denganku belasan tahun yang lalu?”
„Kau ternyata Sin-tiauw Tayhiap,
bukan?” tanya anak itu.
„Tidak salah. Dan kau puteranya
Auwyang Hong, benarkah?”
„Benar aku anak Auwyang Hong…… dan aku
tidak senang orang-orang itu sehingga aku telah menyerang mereka.”
„Aku bukan hendak memihak kepada
mereka, tetapi aku ingin memberitahukan agar lain waktu kau jangan menurunkan
tangan sekeras itu. Dan mana ibumu? Atau nenekmukah wanita tua itu?”
„Hemm, itu ibuku!” sahut anak itu yang
mengaku sebagai anaknya Auwyang Hong.
Ada sesuatu yang membuat Yo Ko heran,
Auwyang Hong telah meninggal lama sekali, mana mungkin anak kecil ini bisa
mengaku sebagai anaknya tokoh sesat Auwyang Hong itu.
„Siauw-ko, ada sesuatu yang aku tidak
mengerti. Auwyang Hong telah meninggal puluhan tahun yang lalu, tetapi sekarang
kau baru berusia limabelas tahun. Bagaimana mungkin? Apakah Auwyang Hong
setelah di akhirat masih bisa menikah dan memiliki anak?”
Muka anak itu jadi berobah.
„Kau jangan menghina, walaupun kau
sebagai Tayhiap, tetapi aku tidak takut!”
Yo Ko tertawa.
„Jika aku maju menyerang dirimu, tentu
akan banyak orang mengatakan bahwa aku menghina yang kecil. Maka ada lawan yang
sebanding dengan kau, di mana kalian boleh main-main beberapa jurus!”
Setelah berkata begitu Yo Ko memandang
ke sampingnya sambil berkata:
„Him-jie, keluarlah. Temani engko
kecil ini main-main beberapa jurus.”
Ternyata rombongan Yo Ko, Kwee Siang,
Siauw Liong Lie, Siauw Giok Lan dan Phang Kui In serta Yo Him telah tiba di
kota Siang-yang, dan mereka melihat anak lelaki itu yang dikejar-kejar oleh
puluhan orang. Yang mengejutkan Yo Ko adalah anak itu tiba-tiba mengeluarkan
ilmu Ha-mo-kang membinasakan lima orang pengejarnya.
Saat itu Yo Him telah berdiri di sisi
Yo Ko, sambil tanyanya: „Apa yang harus kulakukan?”
„Kau hadapi engko kecil itu, tetapi
hati-hati dia memiliki ilmu Ha-mo-kang warisan dari Auwyang Hong.”
„Baik, ayah!”
Yo Him melangkah maju mendekati dan
waktu itu anak lelaki yang mengaku puteranya Auwyang Hong, telah mengeluarkan
suara sinis. Kemudian cepat sekali ia menekuk kedua kakinya berlutut. Dia
menggerakkan kedua tangannya yang didorongkan ke depan dengan serentak. Dari
telapak tangannya itu meluncur keluar angin serangan yang kuat sekali.
Yo Him berdiam diri dengan tenang, dia
melihat saja datangnya serangan itu, kemudian dia mengeluarkan suara siulan dan
melompat mundur dengan tubuh agak doyong ke samping, sehingga serangan anak itu
telah jatuh di tempat kosong.
Membarengi dengan kesempatan itu,
tampak Yo Him tidak tinggal diam, karena dia juga telah mengeluarkan suara
bentakan keras sambil jari telunjuk tangan kanannya mengincar jalan darah
sebelah pundak kiri. Itulah jurus menulis sajak di musim semi, yang datangnya
sangat kuat. Jika menyentuh jalan darah dengan tepat, korban totokan itu akan
segera binasa.
Putera Auwyang Hong jadi terkejut
sekali, disamping kecewa karena tenaga Ha-mo-kangnya tidak berhasil mengenai
korbannya.
Dengan memiringkan tubuhnya tampak
puteranya Auwyang Hong telah berkelit dari totokan Yo Him.
Waktu itu, Yo Him telah menyusuli lagi
dengan serangan lainnya, dia menyerang lawannya dengan beruntun dan tidak
segan-segan lagi, sebab dia tadi telah melihat anak ini memiliki watak yang
buruk sehingga Yo Him jadi mengambil keputusan untuk melukai.
Anak itu tengah mengerahkan tenaga
dalamnya melancarkan serangan kepada Yo Him dan kali ini dia telah diserang
begitu rupa oleh lawannya. Keruan saja ia tidak bisa menarik pulang tenaganya.
Dengan mati-matian dia berusaha untuk mengelakkan diri dengan membuang dirinya
ke samping.
Setelah itu dia lompat berdiri dengan
cepat, tetapi Yo Him tidak memberikan napas, dia menyerang pula dengan jurus
lain.
Anak itu menjadi semakin kelabakan.
Kali ini ia tidak keburu berkelit lalu menangkis dengan mempergunakan tenaga
Ha-mo-kang.
Diantara suara benturan yang terjadi,
tampak tubuh anak itu telah terjungkal rubuh bergulingan di tanah.
Yo Him tidak melancarkan serangan
lagi, karena ia melihat muka anak itu pucat dan bibirnya mengalir darah yang
cukup banyak.
„Sudahlah Him-jie, tidak perlu kau
mengejarnya!” kata Siauw Liong Lie ketika melihat anak itu melarikan diri.
Yo Him memang tidak ingin mengejar,
dia telah menghampiri ibunya.
Mereka kemudian memilih rumah
penginapan untuk mengasoh. Yo Ko meminta dua buah kamar. Mereka telah
menceritakan pengalamannya, sampai jauh malam. Akhirnya mereka telah tidur.
Keesokan paginya mereka turun ke bawah
loteng di mana ada rumah makan. Yo Ko telah memesan beberapa macam sayuran yang
lezat, mereka juga memesan beberapa kati arak. Tampaknya mereka begitu riang
karena kini mereka bisa berkumpul kembali.
Tetapi waktu mereka sedang asyik
bercakap-cakap, tiba-tiba mata Yo Ko yang tajam telah melihat sesuatu di pintu
rumah penginanapan itu.
„Tundukan kepala!” kata Yo Ko cepat
dengan suara berbisik.
27.53. Musuh Lama yang Tak Terduga
Semua telah menundukkan kepala mereka,
walaupun mereka tidak mengetahui apa sebabnya Sin-tiauw Tayhiap memerintahkan
mereka untuk menunduk,
Kwee Siang dan Phang Kui In telah
melirikan matanya, dia melihat seorang pendeta asing, seperti pendeta dari
Mongolia tengah memasuki ruangan itu.
„Tiat To Hoat-ong.....!” bisik Siauw
Liong Lie dengan suara yang perlahan.
Semua orang terkejut, termasuk Yo Him,
Phang Kui In dan Kwee Siang, karena mereka justru telah mendengarnya bahwa
musuh besar Sin-tiauw Tayhiap suami isteri adalah pendeta Mongolia itu.
Diam-diam Yo Him telah melirik juga,
dilihatnya tubuh pendeta itu tinggi besar dan tegap dengan di atas kepalanya
yang gundul itu terlihat sekumtum tugu yang terbuat dari emas murni. Dengan
sikap yang angkuh pendeta itu telah memasuki ruangan makan itu, dia tidak
mengacuhkan sekelilingnya, memilih sebuah meja dan duduk dengan berdiam diri.
Seorang pelayan telah menghampirinya.
„Ingin dahar apa, Taysu?” tanya
pelayan itu.
„Plakkk!” tahu-tahu tangan pendeta itu
telah menempeleng muka si pelayan. Keras sekali tamparan itu sampai kedua gigi
di depan bagian atas telah copot karenanya.
Pelayan itu seperti disambar setan,
dia telah memandang bengong kepada pendeta itu, sampai akhirnya dia baru
meringis sambil memegangi pipinya yang sakit sekali.
„Kau...... kau......” suara pelayan
itu tergagap mengandung kemarahan, karena tidak hujan tidak angin pendeta itu
telah main pukul padanya.
„Kau….. kau….. apa?” bentak si
pendeta. „Cepat sediakan makanan dan minuman, mengapa engkau harus banyak
cerewet, bukankah setiap tamu yang masuk ke rumah makan ini untuk bersantap?”
Pelayan itu tampaknya mendongkol,
takut dan marah menjadi satu, karena pendeta yang menjadi tamunya itu sangat
galak sekali.
„Taysu...... tadi aku hanya menanyakan
makanan apa yang menjadi selera Taysu.....,” si pelayan berusaha menjelaskan.
„Tetapi......”
„Ploook! Ploookk!” keras sekali muka
pelayan itu ditempeleng lagi, malah kali ini lebih keras dari yang tadi, karena
begitu ditempeleng bukan hanya tiga buah giginya yang rontok, tetapi tubuhnya
telah terguling di lantai.
Pelayan itu menjerit kesakitan.
„Jika kau masih rewel, maka aku tidak
akan mengampunimu......!” kata pendeta itu yang tidak lain adalah Tiat To
Hoat-ong.
Pelayan itu tidak berani terlalu lama
berada disitu, sambil menahan sakit dan berulang kali menyahuti:
“Ya! Ya! Ya!” dia cepat cepat pergi ke
belakang ruangan, ke tempat masak untuk memesan beberapa masakan yang enak-enak
untuk Tiat To Hoat-ong.
Waktu sayurnya sudah matang dan
selesai disiapkan, pelayan yang melayani pendeta itu pelayan yang lainnya,
sedangkan pelayan yang tadi ditempiling oleh Tiat To Hoat-ong, telah
bersembunyi di belakang saja tidak berani keluar.
Pelayan yang kali ini melayani Tiat To
Hoat-ong juga tidak berani terlalu banyak bicara, dia telah mempersiapkan
makanan di meja si pendeta.
„Kau membisu seperti itu seperti orang
gagu!” bentak Tiat To Hoat-ong dengan mendongkol.
„Tidak Taysu..... aku tidak
gagu.....!”
„Apa kau bilang?” bentak si pendeta.
Muka pelayan itu seketika menjadi
pucat pias karena hatinya jadi ciut waktu dibentak oleh si pendeta,
„Aku memberitahukan bahwa aku bukan
seorang yang gagu, Taysu.....”
„Tapi tadi, mengapa engkau berdiam
diri saja seperti orang bisu?” bentak si pendeta itu lagi.
Pelayan itu jadi serba salah.
„Aku....... aku tidak bermaksud banyak
rewel kepadamu Taysu.....!”
„Hmmm..... pergilah!” kata Tiat To
Hoat-ong sambil mengebutkan lengan jubahnya.
Yo Ko melihat itu jadi terseyum
sendirinya, ternyata pendeta itu keterlaluan sekali memperlakukan
pelayan-pelayan yang lemah tidak berdaya. Dan di saat itu dendam dan sakit hati
yang tersimpan di hati Siauw Liong Lie dan Yo Him jadi meledak. Bahkan Yo Ko
juga tidak bisa mengendalikan perasaannya, dia meletakkan sumpitnya, dia
berdiri menghampiri Tiat To Hoat-ong.
Tiat To Hoat-ong waktu itu tengah
duduk menikmati santapannya dengan membelakangi Yo Ko. Maka ketika Yo Ko telah
berada dekat dengannya, pendekar sakti Yo Ko telah mengulurkan tangan kanannya
sambil menepuk dengan perlahan.
„Apa kabar Taysu.....?” tegurnya.
Pendeta itu tampaknya jadi terkejut,
tetapi tepukan Yo Ko tidak berhasil mengenai pundak pendeta itu. Sebagai
seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi, tentu saja Tiat To Hoat-ong
tidak bisa diserang dengan cara seperti itu, dia telah menggerakkan pundaknya
dan bahunya itu jadi licin seperti berlemak.
Yo Ko memang telah menduganya begitu,
tidak mungkin dia bisa menyerang si pendeta itu, walaupun pendeta tersebut
tengah duduk membelakanginya, maka Yo Ko bersiap sedia untuk menghadapi segala
kemungkinan yang bakal terjadi.
Benar saja, Tiat To Hoat-ong setelah
berhasil begitu, tanpa menoleh lagi dia telah menggerakkan sumpitnya ke arah
belakang. Cepat sekali sumpit itu menyambar dengan kekuatan yang mentakjubkan.
Jika orang lain yang diserang dengan cara demikian, tentu biji matanya akan
ditembusi sumpit. Dan juga akan membuat mereka bisa binasa jika sampai di
kening. Karena sumpit itu walaupun terbuat dari kayu, tokh tenaga timpukannya
sangat besar, sehingga merupakan sumpit baja yang memiliki kekuatan tidak
terhingga.
Tetapi Yo Ko yang memiliki kepandaian
sangat tinggi mana bisa diserang mendadak begitu? Dengan tidak merobah
kedudukannya, dia telah membuka mulutnya dan „Tapp.....!” ujung sumpit telah
digigitnya dengan mempergunakan giginya, sehingga sumpit tidak bisa bergerak
lagi.
Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh
Yo Ko sangat berbahaya sekali, kalau tadi itu gagal menerima sumpit itu dengan
mulutnya dan tidak sempat untuk mengigit, jelas sumpit itu akan menerobos ke
lubang tenggorokan di lehernya.
Tetapi berhubung Yo Ko memang memiliki
kepandaian yang sempurna, dia bisa melakukan gigitan pada sumpit itu dengan
baik.
Tiat To Hoat-ong menyadari juga bahwa
serangannya tidak berhasil, karena dia tidak mendengar suara kesakitan dari
orang yang berada di belakangnya. Maka dia mengulurkan tangannya ke atas meja
di depannya kemudian dia telah melompat berdiri memutar tubuhnya dan mengawasi
dengan sorot mata yang tajam kepada orang yang mencoba membokongnya itu.
Ketika mengenali orang yang
membokongnya tak lain dari pada Yo Ko, pendeta itu agak melengak sesaat, tetapi
kemudian dia tertawa bergelak-gelak.
„Oh, kiranya seorang pendekar besar
yang telah muncul disini? Ha, ha, ha.....! Engkau si buntung mengapa tidak
hujan tidak angin telah menyerang diriku?”
Mendongkol sekali Yo Ko mendengar
dirinya disebut si buntung, dia telah tertawa dingin sambil katanya dengan
suara yang tawar.
„Sudah cukup lama engkau bersembunyi
dari kejaranku, maka hari ini aku orang she Yo bermaksud meminta petunjukmu
lagi! Keluarkanlah golok besimu itu.....!” dan nada suara Sin-tiauw Tayhiap Yo
Ko begitu tegas, seperti juga dia ingin mengatakan bahwa akan mempertaruhkan
jiwanya untuk membinasakan Tiat To Hoat-ong.
Tiat To Hoat-ong bersikap tenang saja,
dia malah tersenyum-senyum. Tetapi di dalam hatinya pendeta ini tengah diliputi
ketegangan menghadapi jago nomor wahid tersebut.
„Aku tidak ingin bertempur sekarang,
karena aku sedang memiliki tugas penting, maka jika engkau seorang ho-han,
biarkan aku pergi dulu, nanti tiga bulan lagi kita bertemu lagi disini!”
Yo Ko tertawa dingin:
„Melepaskan engkau yang telah
mencelakai isteri dan Sin-tiauwku itu.....!” kata Yo Ko dengan suara yang
dingin. „Untung saja kami masih bisa saling bertemu dengan isteri dan anakku.
Itulah mereka!” Sambil berkata begitu, Yo Ko telah menunjukkan ke mejanya,
dimana Siauw Long Lie, Phang Kui In, Kwee Siang dan Goat Lan sedang duduk
sambil bersantap sedikit-sedikit dan tenang sekali, seperti juga tidak terjadi
sesuatu.
Tetapi bagi Tiat To Hoat-ong malah
lain, dia jadi begitu terkejut, dia sampai mengeluarkan seruan tertahan,
mukanya pun berubah menjadi agak pucat. Dengan adanya Siauw Long Lie bersama Yo
Ko, sulit sekali dia meloloskan diri, karena tidak ada harapan lagi baginya di
tangan suami isteri yang merupakan pasangan pendekar yang memiliki nama yang
sangat terkenal, bahkan Yo Ko telah diakui sebagai pendekar sakti nomor satu
oleh seluruh jago-jago persilatan. Nyali si pendeta menjadi ciut.
„Jika sekarang kau merintangi aku,
sama juga engkau seorang pengecut karena dikala aku tidak bersiap-siap engkau
mengajak aku untuk bertempur! Jika memang kalian seorang Ho-han, lepaskan aku
dulu, tiga bulan mendatang aku pasti akan datang kemari untuk bertemu dengan
kalian.”
Yo Ko tersenyum mengejek, „Tidak
bisa!” katanya tegas.
„Mengapa tidak bisa?”
„Aku tidak mau perduli kepada
pekerjaanmu, aku juga tidak akan tahu pekerjaan apa yang sedang engkau
jalankan. Tetapi yang terpenting, engkau adalah musuhku! Orang yang telah
mencelakai Liong-jie, isteriku dan bahkan sampai anakku, Yo Him hampir saja
binasa! Maka sekarang juga aku ingin memperhitungkan segalanya!”
Muka Tiat To Hoat-ong jadi berobah
tidak enak dilihat. Walaupun di mukanya dia tidak memperlihatkan sesuatu apapun
juga, namun di hatinya kebat-kebit.
Hal itu disebabkan Tiat To Hoat-ong
memang mengetahuinya bahwa ilmu pedang gabungan yang dimiliki Yo Ko dan Siauw
Liong Lie, yang diberi nama Giok-lie-kiam-hoat merupakan ilmu pedang yang sulit
sekali dihadapi, karena ilmu pedang bidadari itu merupakan ilmu pedang yang
seragam diantara kedua pedang, dapat bekerja sama dengan baik. Jika yang satu
tengah terdesak, pedang yang satunya lagi dapat segera membantuinya.
Jika hanya menghadapi Yo Ko seorang
diri, atau juga Siauw Liong Lie seorang diri, tentu Tiat To Hoat-ong tidak
jeri, karena kepandaian mereka hampir berimbang. Tetapi kini kenyataan yang ada
kedua-duanya berada di tempat ini. Bahkan Yo Ko tampaknya telah bernapsu sekali
akan menyerang dirinya, Tiat To Hoat-ong tidak memiliki pilihan lain, karena
walaupun bagaimana dia harus berani menghadapi pasangan suami isteri yang
terkenal kegagahannya itu.
„Baiklah!” kata Tiat To Hoat-ong
sambil memperlihatkan sikap yang angkuh. „Aku akan menghadapimu dulu, si
buntung sombong.....!”
Dan setelah berkata begitu, Tiat To
Hoat-ong telah mencabut golok besinya, dia membulang balingkan beberapa kali,
sehingga golok yang berwarna hitam itu memantulkan cahaya yang berkilauan.
Itulah semacam golok mustika yarg jarang sekali terdapat di daratan Tiong-goan.
„Ayoh mulai.....!” tantang Tiat To
Hoat-ong sambil tertawa mengejek, sikapnya tenang sekali. Tetapi sesungguhnya
otaknya tengah bekerja mencari jalan untuk dapat meloloskan diri dari pasangan
suami isteri yang tangguh itu.
Yo Ko juga telah mencabut keluar
It-thian-kiamnya, dia membulang balingkan juga pedang itu dengan tangan kiri
tunggalnya. Pedang It-thian-kiam adalah pedang mustika yang baik sekali, yang
memiliki bobot sangat berat, dibantu lagi oleh lweekang Yo Ko yang memang telah
mencapai tingkat sempurna, sehingga menimbulkan kembali keragu-raguan Tiat To
Hoat-ong.
Belasan tahun yang lalu dia pernah
merasakan hebatnya Yo Ko, walaupun tangan kanannya telah buntung dan hanya
memiliki tangan kiri saja. Kemudian dia berhasil menculik Siauw Liong Lie
dengan mempergunakan bubuk obat tidur, sehingga ia bisa menangkap Siauw Liong
Lie dan burung rajawali saktinya. Selama belasan tahun Tiat To Hoat-ong melatih
diri dengan giat karena dia menghendaki supaya kepandaiannya jauh lebih tinggi
dari yang sudah-sudah.
Disamping itu Tiat To Hoat-ong juga
tengah sibuk mencari pembesar-pembesar negara Song yang bisa diajak bekerja
sama untuk menyambut kedatangan pasukan Mongolia yang dipimpin Kubilai Khan
dari dalam. Dan memang usaha Tiat To Hoat-ong berhasil memuaskan, karena dia
telah melihat banyak pembesar-pembesar penting dari negara Song itu yang
mengadakan kontak dengan Kubilai Khan. Hasil yang dicapai olah Tiat To Hoat-ong
menggembirakan hati Khannya yang agung, dia dipuji sebagai guru negara yang
banyak jasanya.
Dan kini setelah belasan tahun sibuk
mengatur segala-galanya, Tiat To Hoat-ong kembali ke daratan Tiong-goan, karena
dalam rencana yang telah digariskan, pasukan tentara Mongol, ia itu akan
menyerbu daratan Tiong-goan dalam tahun-tahun mendatang.
Tetapi siapa tahu waktu dia berada di
rumah makan, justru dia telah berpapasan dengan Yo Ko dan Siauw Liong Lie.
Hatinya jadi ciut duluan.
Walaupun bagaimana Tiat To Hoat-ong
memang mengakui bahwa kepandaian Yo Ko masih berada satu tingkat di atasnya,
maka dia mesti berlaku hati-hati.
„Ayo mulai buka serangan.....!” seru
Yo Ko menantang.
Tiat To Hoat-ong tidak segan-segan
lagi, dia telah mengerahkan kekuatan tenaga lwekangnya sebanyak tujuh bagian
yang disalurkan kepada golok besinya.
„Wuttt.....!” golok besi itu menyambar
ke dada Yo Ko.
Tetapi Yo Ko tidak berkelit, dia
menggunakan It-thian-kiam nya untuk menangkis.
„Tranggg.....!” benturan kedua senjata
mustika itu terdengar keras sekali.
Tubuh Tiat To Hoat-ong tergoncang
keras, dia jadi terkejut karena dalam satu gebrakan itu saja Tiat To Hoat-ong
telah dapat menduga bahwa tenaga lweekang Yo Ko lebih tinggi dari dia. Jalan
satu-satunya untuk menyelamatkan jiwanya, Tiat To Hoat-ong harus mencari usaha
meloloskan diri.
Tetapi Yo Ko saat itu telah
melancarkan serangan lagi dengan menggunakan salah satu jurus dari ilmu silat
Giok-lie-kiam-hoat (Ilmu pedang Bidadari) yang dinamakan Bidadari menari,
senjata bertebaran, pedang It-thian-kiam itu telah berkelebat-kelebat cepat
sekali. Aneh benar cara menyerang Yo Ko, dalam sekejap mata telah seratus
gerakan yang digunakan mengincar bagian yang mematikan di tubuh Tiat To
Hoat-ong.
Tiat To Hoat-ong, walaupun sangat
terdesak dan sukar mengelakkan diri, kenyataannya dia bisa juga membela diri
agar tidak sampai rubuh di pedang Yo Ko.
Akibat perasaan sakit hati dan dendam,
kali ini Yo Ko bertempur berlainan dari biasanya. Karena dalam
pertempuran-pertempuran dimasa lalu, Yo Ko tidak begitu mendesak lawannya,
namun kini berhadapan dengan Tiat To Hoat-ong justru dia bermaksud untuk
secepat mungkin merubuhkan Tiat To Hoat-ong.
Lama kelamaan Tiat To Hoat-ong jadi
semakin sibuk dan terdesak hebat. Karena Tiat To Hoat-ong tidak memiliki jalan
lain lagi, mau atau tidak, dia harus menghadapi Yo Ko. Dengan mengeluarkan
suara bentakan yang bengis mengandung kenekatan, tampak Tiat To Hoat-ong
menggerakkan golok hitamnya itu, dia telah menyerang dengan jurus Setan Akherat
Datang Mengisap Darah, dimana golok hitamnya itu seperti juga seekor naga hitam
yang menerjang kepada Yo Ko.
Yo Ko sendiri dalam kemarahannya
menghadapi musuhnya yang benar-benar hampir merusak rumah tangganya, dimana dia
harus berpisah dengan Siauw Liong Lie dan puteranya, yaitu Yo Him, kali ini dia
bertempur tidak berlaku segan-segan lagi. It-thian-kiam nya digerakkan dengan
bertubi-tubi melakukan tikaman dan tabasan yang tidak hentinya.
Gerakan kedua orang yang tengah
bertempur itu semakin lama semakin cepat dan akhirnya mereka hanya tampak
merupakan dua sosok tubuh yang tengah berkelebat-kelebat dengan cepat sekali,
juga kedua senjata mereka setiap kali saling bentur telah menimbulkan suara
„Trang. trang, trang,” tidak hentinya.
Untung saja Tiat To Hoat-ong
mempergunakan golok pusaka, sehingga goloknya itu tidak sampai tertabas kutung
atau semplak.
Di saat itu tampak Yo Ko telah
mengeluarkan suara bentakan yang nyaring sekali, setiap kali pedangnya meluncur
menyerang Yo Ko selalu berseru:
„Awas pedang!!”
Untuk mendesak Yo Ko, Tiat To Hoat-ong
tidak bisa dan tidak sanggup, karena Yo Ko justru telah mengurung diri si
pendeta dengan pedangnya yang berkelebat dengan rapat sekali.
Tetapi Tiat To Hoat-ong keras hati.
„Biarlah kau mati bersama-sama dengan
dia!” seru hati kecil Tiat To Hoat-ong. „Hemm, sekarang aku baru menghadapi si
buntung ini, aku sudah terdesak, bagaimana jika nanti isterinya itu, Siauw
Liong Lie ikut bertempur mengeroyok diriku, tentu aku akan sibuk sekali
mengelakkan diri dari serangan-serangan mereka. Hemm, walaupun bagaimana aku
harus berusaha untuk mencari jalan keluar meloloskan diri dari mereka.....” Dan
setelah berpikir begitu, di dalam hatinya, Tiat To Hoat-ong memutar golok
besinya. dia telah mengerahkannya dengan gerakan-gerakan yang sangat cepat dan
menerjang kuat sekali.
Yo Ko sementara waktu harus melompat
mundur mengelakkan serangan dan terjangan nekad dari lawannya ini. Tetapi begitu
golok hitam itu berhasil dielakkannya, dengan mengeluarkan suara siulan yang
sangat nyaring sekali tampak Yo Ko telah melancarkan serangan yang bertubi-tubi
ke diri si pendeta.
Sehingga kali ini Tiat Hoat-ong harus
melompat mundur.
Yo Ko tidak berhenti sampai disitu
saja, dengan gerakan yang manis dari jurus Bidadari mempersembahkan Arak,
pedangnya itu telah menuju ke arah batang leher Tiat To Hoat-ong.
Waktu itu tampak Tiat To Hoat-ong
telah terhuyung mundur dengan muka yang sangat pucat. Mati-matian dia berusaha
menggerakkan golok besinya untuk menangkis.
Pedang Yo Ko memang bisa ditangkisnya
dengan kuat, tetapi pedang di tangan kiri Yo Ko itu tidak bergeming sedikitpun
juga, dan tidak berobah arahnya.
Bahkan golok hitamnya Tiat To Hoat-ong
itu sendiri yang telah terpental dan hampir terlepas dari cekalannya, sedangkan
mata pedang Yo Ko masih terus meluncur menusuk ke arah batang lehernya pendeta
itu.
Tiat To Hoat-ong merasakan seperti
juga semangatnya telah terbang melayang meninggalkan raganya dia juga
mengeluarkan seruan tertahan.
Namun sebagai Kok-su negara yang
memiliki kepandaian sangat tinggi, dengan sendirinya dia tidak diliputi
kegugupan saja. Dalam keadaan terdesak seperti itu dia tidak dapat berdiam diri
saja, dengan cepat dia membuang diri ke belakang, lalu bergulingan di tanah
beberapa kali, menjauhi Yo Ko.
Tiat To Hoat-ong bergerak sangat cepat
sekali, tetapi gerakan Yo Ko lebih cepat lagi.
Dengan mengeluarkan suara bentakan
yang bengis, Tiat To Hoat-ong jadi nekad dan telah menggerakkan pula pedang
hitamnya sambil tubuhnya bergulingan. Dia menggunakan jurus Menabas Ular di
Ekornya, sehingga pedang Yo Ko yang tengah menyambar datang itu telah kena
ditangkisnya dengan kuat sekali.
„Tranggg.....!”
Karena Tiat To Hoat-ong memusatkan
seluruh kekuatan tenaganya dipergelangan tangannya dan menyalurkan lewat golok
hitamnya itu, maka benturan itu tidak merugikan apa-apa baginya.
Sedangkan Yo Ko telah menarik pulang
pedangnya, kemudian dia berkata dengan suara yang tawar: „Berdirilah, aku tidak
bisa membinasakan manusia yang sudah tidak berdaya.....!”
Muka Tiat To Hoat-ong menjadi berobah
merah, dengan marah dia balas membentak. „Jangan sombong..... engkau belum
tentu dapat merubuhkan diriku.....!” Dan sambil berkata begitu, Tiat To Hoat-ong
merangkak bangun. Tiba-tiba dia mengeluarkan serangan dan tahu-tahu golok
hitamnya itu telah dilemparkannya dengan cepat sekali. Itulah salah satu jurus
simpanan Tiat To Hoat-ong bernama Tenggoret menubruk mangsanya.
Yo Ko juga terperanjat melihat cara
menyerang lawannya yang agak aneh, dengan mata golok mengincar batang lehernya.
Sebagai seorang pendekar sakti, Yo Ko
tentu saja tidak menjadi gugup. Dengan cepat pedangnya diputar, dan pergelangan
tangan kanan jubahnya yang kosong itu telah dikebutkan.
Kemudian lengan jubahnya yang
dikebutkan itu telah melibat batang golok lawan, dan pedangnya meluncur terus
dengan cepat sekali. Gerakan yang terjadi itu semuanya berlangsung sangat cepat
sekali, sehingga Tiat To Hoat-ong sendiri seperti tertegun. Tetapi segera dia
tersadar, karena saat itu justru mata pedang Yo Ko tengah menyambar secepat
kilat ke arah dadanya.
Dengan mengeluarkan seruan tertahan,
tampak Tiat To Hoat-ong mengeluarkan lweekangnya untuk menarik terlepas
goloknya dari libatan lengan baju Yo Ko. Tetapi usahanya itu gagal, sedangkan
Pedang Yo Ko terus menyambar ke diri Tiat To Hoat-ong. Tidak ada pikiran
lainnya lagi bagi Tiat To Hoat-ong selain melepaskan goloknya, karena jika
tidak, dia tentu akan menerima bahaya yang tidak kecil. Sambil melepaskan
cekalan tangannya pada goloknya itu. Tiat To Hoat-ong melompat ke belakang, dia
telah menjauhi Yo Ko dengan mengorbankan goloknya itu.
Yo Ko tidak melanjutkan serangannya
itu dan tertawa sinis.
„Apakah sekarang engkau menyerah?”
tanyanya. „Kalau kau mau meminta maaf tentu kami bersedia memaafkan kesalahanmu
asal kau berjanji tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan jahat lagi.”
Muka Tiat To Hoat-ong jadi berubah
merah padam, karena selain mendongkol sekali dirinya dihina, juga dia marah
bukan main goloknya sampai terlepas dari tangannya hanya akibat gulungan lengan
jubah Yo Ko.
„Hemm..... sekarang belum tentu engkau
bisa merubuhkan diriku..... kembalikan golokku itu dan kita main-main lagi
seribu jurus.....!” kata Tiat To Hoat-ong.
Yo Ko tertawa dingin.
„Dulu adik seperguruanmu Kim Lun
Hoat-ong telah terbinasa karena dirinya terlalu membela kerajaan Mongolia
sehingga dengan akal liciknya beberapa kali telah mencelakai orang-orang Han
kami. Dia menemui ajalnya dengan cara yang pantas karena kesalahan dan dosa Kim
Lun Hoat-ong telah luber melewati takaran! Dan kini engkau..... jika engkau
masih tidak mengenal selatan, itu terserah kepadamu..... nah terimalah
golokmu.....!” Sambil berkata dingin, Yo Ko mengebutkan lengan kanannya yang kosong
itu, golok menyambar ke arah Tiat To Hoat-ong dengan membawa kesiuran angin
yang keras sekali, sehingga membuat Tiat To Hoat-ong jadi terkejut.
Tetapi sebagai seorang jago yang
memiliki kepandaian tinggi, Tiat To Hoat-ong tidak gugup. Dengan mengeluarkan
suara „Ughh!” tampak Tiat To Hoat-ong menggerakkan tangan kanannya, dan „Tap!”
goloknya telah dapat diraihnya, hanya dia merasakan tangannya kesemutan, karena
tenaga samberan itu meluncur sangat kuat sekali.
Tubuh Tiat To Hoat-ong juga terhuyung
mundur beberapa langkah. Hal ini membuktikan bahwa kekuatan lweekang Yo Ko
masih berada di atasnya. Hati pendeta ini jadi ciut, karena dia menyadari
menghadapi Yo Ko seorang saja belum tentu dia bisa mengatasinya, apalagi jika
memang nanti Siauw Liong Lie ikut campur turun tangan, tentu dia lebih repot
lagi.
Tetapi belum sempat pendeta itu
berkata apa-apa, Yo Ko telah berkata: „Hayo kita mulai lagi.....?”
Tiat To Hoat-ong tidak memiliki
pilihan lainnya, dia telah mengeluarkan suara seruan yang sangat keras dan
tampak goloknya berkelebat-kelebat dengan cepat sekali serta kuat. Beruntun dia
mengeluarkan jurus-jurusnya cukup ampuh yaitu Kelabang Mencari Mangsa, kemudian
di susul dengan jurus Kuda Putih Melompati Bukit.
Kedua serangan itu menyambar datang
dengan cara yang beruntun, sehingga Yo Ko untuk sementara walaupun menghadapi
serangan Tiat To Hoat-ong dengan ginkangnya. Tetapi waktu pendeta itu ingin
menyusulkan lagi dengan jurus yang ketiga, tampak Yo Ko mengeluarkan suara
seruan yang sangat nyaring sekali dan pedangnya itu telah berkelebat dengan
jurus Bidadari Berkawan Dengan Naga, maka pedang It-thian-kiam nya itu bergerak
dengan cepat sekali menangkis golok hitam Tiat To Hoat-ong
„Tranggg…..!” Suara benturan itu
sangat keras sekali dan mengandung dua kekuatan yang saling tindih.
Tiat To Hoat-ong juga merasakan betapa
telapak tangannya itu pedih sekali, mendatangkan perasaan sakit, maka diam-diam
dia mengakui bahwa lweekang yang dimiliki Yo Ko masih berada setingkat di atas
dirinya.
Sedangkan saat itu, dengan
mengeluarkan siulan nyaring, Yo Ko telah meneruskan serangannya dengan jurus
Bidadari Bergurau Dengan Kelinci, di mana pedangnya telah menyambar lebih cepat
dari semula.
Perasaan sakit pada telapak tangannya
Tiat To Hoat-ong masih pedih sekali, tetapi dia telah mempertahankan diri dan
menahan perasaan sakit itu dengan memegang keras gagang goloknya. Namun
sekarang Tiat To Hoat-ong tidak berani menangkis dengan goloknya dia hanya
mengandalkan ginkangnya untuk mengelakkan diri dari serangan pedang Yo Ko.
Suara berkesiuran dari pedang Yo Ko
keras sekali, sehingga membuat Tiat To Hoat-ong semakin lama semakin terdesak
dan semakin ripuh, karena walaupun bagaimana dia sekarang tengah menghadapi
lawan yang sangat berat, seorang pendekar sakti yang jarang tandingannya.
Yo Ko juga menyadari, jika ia
memberikan kesempatan kepada lawannya berdapat, tentu akan sulit lagi mendesak
lawannya ini.
Tetapi suatu kali, karena pedang Yo Ko
menyambar dengan gerakan Bidadari Bergurau Di pelangi, di mana pedang Yo Ko telah
berkelebat dengan cepat sekali seperti juga sinar pedang itu menjadi pelangi
yang menyilaukan mata menyambar ke arah kepala lawannya.
Tiat To Hoat-ong jadi kikuk
sendirinya. Tidak mungkin dia meloloskan diri lagi, dengan mengelakan diri dari
serangan tersebut. Jalan mundur baginya telah tertutup oleh kilauan cahaya
pedang Yo Ko. Terpaksa Tiat To Hoat-ong mengangkat goloknya untuk menangkis.
„Tranggg.....!” kali ini suara
benturan dari kedua senjata tajam itu lebih nyaring lagi.
Dalam keadaan itu, Tiat To Hoat-ong
tidak membuang-buang kesempatan yang ada, dia telah membarengi lagi dengan
bacokan ke arah perut Yo Ko, memaksa Yo Ko mundur dua langkah ke belakang.
Kesempatan itulah telah dipergunakan..... Tiat To Hoat-ong untuk melompat
mundur dengan cepat, dia memutar tubuhnya untuk keluar dari ruangan rumah makan
ini.
Yo Ko tidak mengejarnya, dia hanya
memperdengarkan suara dengusan saja.
Di saat itu. tampak Yo Ko telah
memasukkan pedangnya kembali dalam sarungnya.
„Sungguh pengecut.....” menggumam Siauw
Liong Lie dengan tersenyum ketika suaminya telah kembali ke meja mereka dan
bersantap.
Mereka mengasoh tiga hari di rumah
penginapan tersebut, dan hari keempat sebetulnya mereka ingin melanjutkan
perjalanan mereka. Tetapi di malam yang ketiga itulah terjadi sesuatu peristiwa
yang tidak pernah mereka duga.
Malam itu menjelang tengah malam yang
larut, Yo Ko dan yang lainnya telah tertidur nyenyak sekali. Tetapi menjelang
kentongan ketika mereka mendengar suara berkelisik di atas genting walaupun
bunyi itu perlahan, bagi Yo Ko yang telah mencapai kesempurnaan ilmunya, dia
dapat menduganya bahwa orang yang datang itu tentunya ingin menyelidiki
sesuatu.
Suara langkah perlahan yang semula itu
telah disusul pula dengan langkah kaki lainnya. Gerakan orang-orang itu ringan
sekali membuktikan bahwa mereka memang memiliki kepandaian yang telah sempurna.
„Siapa mereka?” berpikir Yo Ko di
dalam hatinya. Dia melirik kepada Yo Him dan Phang Kui In yang telah tertidur
nyenyak. Yo Ko tidak bermaksud mengganggu kenyenyakan tidur mereka. Diam-diam
Yo Ko melompat turun dari pembaringannya, dia telah menghampiri jendela kamar,
dibukanya dan dia melompat keluar dengan ringan sekali.
Ketika dia tiba di luar kamarnya, dia
tidak melihat seorang manusiapun juga. Yo Ko memandang sekelilingnya, tetap dia
tidak melihat seorang manusiapun juga. Diam-diam Yo Ko jadi berpikir,
mungkinkah dia salah mendengar dari suara tadi, yang hanya jatuhnya daun kering
belaka?
Yo Ko melompat naik ke atas genting,
dia ingin memandang ke sekelilingnya dari tempat yang cukup tinggi. Tetapi
waktu tubuh Yo Ko melambung di tengah udara, belum lagi kedua kakinya menginjak
genting, dirasakannya telah menyambar segumpalan angin yang sangat kuat.
Disamping itu Yo Ko mencium juga bau harum memeningkan kepalanya.
Yo Ko terkejut, dia telah mendengar
cerita Siauw Liong Lie bahwa Tiat To Hoat-ong memiliki semacam tabung asap,
yang jika di semburkan kepada korbannya, maka korbannya akan lemas tidak
bertenaga dan terkulai pingsan. Teringat itu, Yo Ko cepat-cepat menutup
pernapasannya, dia telah mengerahkan lweekangnya untuk mempertahankan diri dan
semburan asap itu, yang tentunya semacam asap beracun. Lengan kanannya yang
kosong tidak bertangan itu telah dikebutkannya, sehingga asap terbawa oleh
ingin keras itu membuyar kembali.
Waktu itu Yo Ko telah mengeluarkan
suara siulan dan tubuhnya hinggap di atas genteng membarengi mana ketika
kakinya hinggap di atas genting, dia menggerakkan tangannya, mengebut pula
dengan lengan jubah kanannya itu yang melambai-lambai karena tidak berlengan.
Tetapi walaupun demikian, kebutan yang dilakukan oleh Yo Ko itu mengandung
tenaga lwekang yang luar biasa kuatnya.
Serangan lawan rupanya tidak hanya
sampai disitu saja, karena beruntun telah menyambar lagi asap yang harum itu.
Yo Ko memang telah sempurna melatih
tenaga lweekangnya, maka dia dapat menutup jalan pernapasannya untuk
menghindarkan diri dari segala pengaruh racun berasap itu. Mata Yo Ko yang jeli
telah dapat melihatnya bahwa di atas genting itu berdiri enam orang, yang salah
seorang diantaranya dikenal Yo Ko sebagai Tiat To Hoat-ong.
„Hemmmm..... engkau kembali lagi ingin
mencari kematian,” tegur Yo Ko dengan suara yang bengis, karena dia jadi
mendongkol.
Tiga hari yang lalu dia memberikan
pengampunan kepada Tiat To Hoat-ong, tetapi ternyata justru pendeta ini telah
menyatroni dia lagi dengan membawa lima orang sahabatnya. Jika dilihat dari
keadaan mereka, tentu kelima kawan Tiat To Hoat-ong merupakan jago-jago yang
memiliki kepandaian tinggi.
Diantara kelima orang itu terdapat
Telengki dan Turkichi, kedua jago yang dulu bersama-sama Tiat To Hoat-ong
memusnahkan murid-murid Kun-lun-pai.
Tiat To Hoat-ong melihat bahwa
semburan asap beracunnya itu (yang kini dikenal sebagai Chroloform) tidak
memberikan hasil seperti yang diharapkannya, telah mengeluarkan suara bentakan:
„Serang.....!” Dan golok hitam dari
pendeta itu telah menyerang Yo Ko dengan samberan yang kuat sekali.
27.54. Komplotan Pendeta Mongolia
Ketemu Batu
Tampak Yo Ko melayani mereka dengan
mencabut pedangnya, dia memutarnya dengan cepat sehingga terdengar suara,
„trangggg, tranggg, tranggg.....” beberapa kali, disertai dengan seruan
tertahan dari lawan-lawannya itu.
Tetapi Tiat To Hoat-ong dengan kelima
kawannya juga bukan orang-orang lemah. Jika tadi siang Tiat To Hoat-ong
berhasil dirubuhkan oleh Yo Ko, karena dia tengah gugup melihat di tempat itu
ada Siauw Liong Lie, dan perasaan gugupnya itu membuat permainannya jadi
terpecah. Sekarang setelah datang bersama kelima orang kawannya yang masing-masing
memiliki kepandaian sangat tinggi, dia jadi mantap dan hatinya jauh lebih
tenang, maka dari itu Tiat To Hoat-ong bisa melakukan perlawanan dengan gigih.
Suara senjata tajam yang saling bentur
itu, sehingga mengeluarkan suara „trang, trang” tidak hentinya telah membuat
Siauw Liong Lie terbangun dari tidurnya. Begitu pun Kwee Siang, Phang Kui In
dan Yo Him juga telah terbangun dan tidurnya
Cepat sekali Siauw Liong Lie dan lain
lainnya keluar dari kamar mereka dan melompat ke atas genteng. Segera mereka melihat
bahwa Yo Ko tengah dikepung oleh lawan-lawannya yang berjumlah enam orang.
Siauw Liong Lie juga mengenalinya dua orang diantara orang-orang yang
mengeroyok suaminya itu tidak lain dari Talengki dan Turkichi, dua orang yang
dulu bersama-sama dengan Tiat To Hoat-ong telah mendesaknya, sehingga dia
menerjunkan dirinya ke dalam jurang.
Seketika itu juga amarah Siauw Liong
Lie tidak bisa ditahan lagi, dia telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat
keras:
„Ko-jie, mundurlah, biarlah sekarang
aku yang menghadapi mereka.....!”
„Tetapi Liong-jie, tidakkah lebih baik
jika kita mengepung mereka dengan mempergunakan Giok-lie-kiam-hoat?” kata Yo
Ko.
„Aku ingin mencoba khasiat dari ilmu
pukulanku yang baru kuperoleh.....!!” dan setelah berkata begitu, tampak Siauw
Liong Lie melompat ke samping Yo Ko, lalu tangan kanannya itu digerakkan
menghantam dengan kuat sekali, sehingga angin serangan itu berkesiuran dengan
keras menyambar kepada Tiat To Hoat-ong dan Turkichi. Gerakan dan serangan yang
dilakukan oleh Siauw Liong Lie bukan serangan yang sembarangan, karena dia
telah mempergunakan ilmu pukulan ‘Pek-lui-kun-hoat’ atau ilmu pukulan petir.
Tiat To Hoat-ong dan Turkichi yang
diserang dengan mempergunakan ilmu pukulan petir itu, jadi terkejut bukan main.
Walaupun mereka berhasil mengelakkan diri, tetapi mereka masih merasakan ada
hawa panas yang menyeramkan pada tubuh mereka.
„Hebat perempuan siluman ini.....
ternyata dia tidak hanya memiliki nama kosong saja..... karena dia memang
memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali.” Karena berpikir begitu, tampak
Tiat To Hoat-ong berlaku lebih hati-hati lagi. Sedangkan mulutnya telah
berteriak:
„Hati-hati, siluman ini hebat sekali
ilmunya.....” teriakan yang dilakukannya oleh Tiat To Hoat-ong itu ditujukan
kepada kawan-kawannya, karena Tiat To Hoat-ong yang kuatir kawan-kawannya itu
tidak mengetahui kelihayan Siauw Liong Lie, main semberono saja sehingga bisa
mencelakai mereka.
Yo Ko telah melompat mundur ke samping
Yo Him, dia memang ingin menyaksikan betapa tinggi kepandaian ilmu pukulan
petir yang dimiliki istrinya ini.
Siauw Liong Lie tidak menunda-nunda
waktu lagi. Dengan mengeluarkan seruan yang nyaring sekali, dia menggerakkan
tangan kanannya, dari telapak tangannya itu telah menyambar angin serangan yang
luar biasa kuatnya, karena Siauw Liong Lie telah melancarkan serangan dengan
mempergunakan jurus Petir menyambar Harimau, yang kemudian disusul dengan Petir
Bergelimang Di laut, gerakan mana sangat hebat, karena panas seperti api petir,
dan tangannya bergelombang seperti gelombang air laut, sehingga kepandaian yang
telah diperlihatkan oleh Siauw Liong Lie mengejutkan semua orang.
Yo Ko sendiri telah menyaksikan betapa
istrinya kini memiliki kepandaian yang mungkin lebih tinggi dari kepandaiannya
sendiri. Dengan sendirinya Yo Ko jadi berdiri tertegun menyaksikan pertempuran
yang tengah berlangsung itu.
Siauw Liong Lie mengeluarkan
jurus-jurus dari ilmu Pukulan Petir yang dimilikinya itu secara teratur, yaitu
sejurus demi sejurus dijalankannya dengan baik sekali.
Terlebih lagi memang sebelumnya Siauw
Liong Lie merupakan seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian tertinggi
dibandingkan dengan kepandaian para pendekar wanita lainnya yang ada di jaman
ini. Sampai Kwee Siang sendiri merasa kagum sekali melihat kehebatan ilmu
pukulan yang dimiliki Siauw Liong Lie. Di jaman ini mungkin sudah tidak ada
orang yang bisa menandingi Siauw Liong Lie, karena jika ditilik dari kepandaian
yang dimilikinya itu, mungkin Oey Yong pun masih berada di bawahnya.
Siauw Goat Lan sendiri berulang kali
telah bersorak-sorak girang.
„Hajar mereka itu semuanya, suhu!”
teriak Siauw Goat Lan dengan suara yang nyaring, tampaknya dia senang sekali
melihat gurunya menang di atas angin, sehingga berulang kali dia telah
berteriak-teriak dengan suaranya yang nyaring sekali.
Tiat To Hoat-ong dan kelima kawannya
jadi terkejut, karena mereka tidak menyangka baru belasan tahun mereka berpisah
dengan Siauw Liong Lie, yang semula mereka sangka telah mati terbanting di
dasar jurang itu, kini ternyata Siauw Liong Lie, telah mencapai kepandaian yang
jauh lebih tinggi daripada dahulu. Tetapi sebagai tokoh-tokoh persilatan yang
memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak pernah mengenal arti kata ‘menyerah’,
mati-matian mereka mengepung dengan ketat sekali.
Walaupun telah memperoleh kepandaian
ilmu pukulan ‘Petir’ itu, tetapi menghadapi sekaligus enam orang tokoh
persilatan yang memiliki kepandaian sangat tinggi, tentu saja Siauw Liong Lie
tidak bisa memperoleh kemenangan dalam waktu yang sangat singkat saja.
Karena teringat beberapa waktu yang
lalu justru di saat anaknya baru berusia empatpuluh hari lebih, dia telah
dikepung Tiat To Hoat-ong, Turkichie dan Talengkie, membuat dia terpisah dari
suami dan anaknya. Hal itu membuat hawa amarah yang timbul di hati Siauw Liong
Lie jadi semakin berkobar. Pendekar wanita tersebut melakukan pukulan-pukulan
jarak jauh yang lebih kuat lagi kepada Tiat To Hoat-ong dan kawan-kawannya,
sehingga udara di sekitar gelanggang pertempuran itu terasa sangat panas sekali.
Berulang kali Tiat To Hoat-ong dan
kawan-kawannya berusaha untuk mendesak Siauw Liong Lie, tetapi mereka tidak
berdaya sama sekali. Bahkan biarpun mereka berjumlah enam orang, kenyataannya
tetap saja mereka berada di bawah angin dan selalu terdesak oleh pukulan-pukulan
petir yang dilakukan oleh Siauw Liong Lie.
Siauw Goat Lan telah mengeluarkan
suara seruan-seruan girang sambil bertepuk-tepuk tangan tidak hentinya, untuk
mengacaukan perhatian Tiat To Hoat-ong berenam.
Yo Ko terus memperhatikan cara menyerang
Siauw Liong Lie. Di hatinya diam diam dia telah menuji akan kehebatan pukulan
petir istrinya yang diperolehnya dari warisan Bu Beng Kun-hiap Tang Cia Sie.
„Ilmu pukulan petir yang sekarang
dimilikie Liong-jie memang benar-benar merupakan ilmu yang langka. Jika memang
Liong-jie berlatih diri dengan tekun beberapa saat lagi, tentu
kelemahan-kelemahan yang ada pada ilmu itu akan berkurang dan tertutup.....!”
pikir Yo Ko di dalam hatinya.
Waktu itu Tiat To Hoat-ong dengan
meraung keras menggerakkan goloknya ke arah leher Siauw Liong Lie. Tetapi
justru yang dihadapinya itu adalah Siauw Liong Lie, pendekar wanita nomor wahid
jaman itu.
Dengan mudah Siauw Liong Lie dapat
mengelakkan diri dari serangan-serangan lawannya, dan waktu Tiat To Hoat-ong
melompat mundur menghindarkan diri dari serangan Siauw Liong Lie, di saat
itulah telah dipergunakan oleh Siauw Liong Lie dengan cepat sekali.
„Bukkk!” salah seorang lawannya yang
memelihara jenggot tipis telah terpental dan ambruk di atas genting sehingga memecahkan
genteng itu, tubuhnya menggelinding jatuh ke tanah dan binasa!
Tiat To Hoat-ong, Turkichi, Talengki
dan kedua kawan Tiat To Hoat-ong jadi berdiri tertegun sejenak lamanya. Mereka
tampaknya terkejut bercampur marah melihat kawan mereka telah terbinasa. Tetapi
disamping itu juga di hati mereka muncul perasaan takut.
Rupanya Siauw Liong Lie juga telah
habis sabar, dengan gerakan Harimau mengaum memanggil petir, cepat sekali kedua
tangannya itu bergerak-gerak, terdengar suara berkerontangan.
Ternyata senjata Tiat To Hoat-ong dan
keempat orang kawannya telah berhasil direbut oleh Siauw Liong Lie dalam
segebrakan, lalu Siauw Liong Lie telah melemparkan senjata lawan-lawannya itu
ke bawah.
Tiat To Hoat-ong berobah mukanya
menjadi merah padam, dan dia telah membentak,
„Kembalikan senjata kami!”
Siauw Liong Lie mengeluarkan suara
tertawa dingin, sahutnya:
„Bukankah tadi kalian melihat senjata
kalian telah kubuang ke bawah? Jika kalian menghendakinya pergilah kalian
mengambilnya sendiri!” dan setelah berkata begitu, tampak Siauw Liong Lie
mengeluarkan suara tertawa dingin yang sinis.
„Hemm, engkau memang siluman wanita
yang tidak tahu diri..... kami tidak akan menyerah, kalau tubuh kami belum
menjadi mayat, engkau jangan bersenang-senang dulu.” Dan selesai berkata, dia
merogoh saku jubahnya, tahu-tahu pendeta Mongolia ini mengeluarkan sesuatu dari
sakunya,
Waktu melihat benda itu, Siauw Liong
Lie terkejut juga, karena segera dia mengenalinya bahwa benda adalah benda yang
bisa menyemburkan asap yang bisa memusingkan dan membuat seseorang menjadi
pingsan karenanya.
Tiat To Hoat-ong tidak memberikan
kesempatan kepada Siauw Liong Lie, karena dia telah menyemprotkannya dengan
cepat,
„Seeerrr..... seerrr.....!” suara air
tabung itu muncrat keluar menyambar ke muka Siauw Liong Lie.
Tetapi kali ini Siauw Liong Lie telah
menutup pernapasannya, karena itu asap semburan dari senjata aneh Tiat To
Hoat-ong tidak berhasil mengenai sasarannya.
Tampak Tiat To Hoat-ong berulang kali
telah melancarkan semburan yang tidak hentinya.
Siauw Liong Lie bergerak ke kiri dan
ke kanan mengelakkan diri dari semburan-semburan tabung gas itu.
Yo Ko yang menyaksikan hal itu jadi
terkejut juga, karena kalau sampai Siauw Liong Lie pingsan karena obat tidur
itu, tentu jiwa isterinya terancam bahaya yang tidak kecil.
Siauw Liong Lie telah melompat tinggi
ke tengah udara, dan waktu tubuhnya itu meluncur turun, kedua tangannya
tergerak dengan serentak akan menghantam batok kepala Tiat To Hoat-ong berdua
dengan Talengki.
Gerakan yang dilakukan oleh Siauw
Liong Lie itu merupakah jurus ‘Sin-tiauw-tiauw-kut’ atau Rajawali Sakti
menyambar tulang, yang mengincar tulang tempurung dari Tiat To Hoat-ong.
Tiat To Hoat-ong dan Talengki yang
diserang begitu hebat oleh Siauw Liong Lie, tidak berani menangkiskan, mereka
melompat mundur menjauhi diri dari Siauw Liong Lie.
Melihat serangannya yang kali ini
gagal, Siauw Liong Lie tidak menarik pulang tangannya, justeru begitu kakinya
menginjak genting kembali, segera kedua tangannya bergerak saling susul
mempergunakan jurus Rajawali Sakti menari dan Rajawali Sakti Menerkam, kedua
jurus ini sangat sulit dielaki oleh lawan, karena ilmu itu hasil ciptaan dari
Siauw Liong Lie bersama dengan Yo Ko, dan diberi nama Sin-tiauw-kun-hoat atau
Ilmu pukulan Rajawali Sakti.
Yo Ko juga heran melihat kemajuan yang
diperoleh oleh Siauw Liong Lie.
Siauw Liong Lie terus juga mendesak
lawan-lawannya itu, sampai akhirnya Tiat To Hoat-ong merasa jeri untuk
bertempur terus, dia telah mengeluarkan suara teriakan: „Angin keras!”
Teriakan Tiat To Hoat-ong itu
dimaksudkan untuk melarikan diri. Kawannya juga mengetahui percuma saja jika
mereka melanjutkan pertempuran itu.
Begitu mereka melihat Siauw Liong Lie
melompat ke belakang mengelakkan serangan Tiat To Hoat-ong, maka kawan-kawan
Tiat To Hoat-ong telah melompat turun mengambil senjatanya, begitu juga Tiat To
Hoat-ong, dengan menahan perasaan malu dia harus melarikan diri, karena di saat
itu Tiat To Hoat-ong yakin bahwa dia bersama-sama kawannya tidak mungkin dapat
menandingi Siauw Liong Lie.
Dengan melupakan malu dan martabat
dirinya, dia telah berusaha melarikan diri. Waktu dia mengambil goloknya dengan
tangan kanan sedangkan tangan kirinya telah menyambar mayat kawannya yang sudah
binasa.
Dalam waktu itu yang singkat, keadaan
di tempat itu menjadi sepi kembali.
Tamu-tamu yang berada di rumah
penginapan itu bukan tidak mengetahui terjadinya keributan seperti itu, tetapi
mereka menduga bahwa ada kawanan rampok yang tengah menyatroni salah seorang
tamu di rumah makan itu. Mereka anggap paling selamat jika tidak memperlihatkan
diri keluar dari kamar mereka dan berdiam diri di bawah selimut saja.
Yo Ko telah menghampiri Siauw Liong
Lie.
„Hebat sekali kemajuan yang engkau
peroleh Liong-jie.....!” pujinya.
„Ibu, nanti ajarkan aku ilmu itu…..!”
kata Yo Him dengan manja.
Sang ibu mengusap kepala anaknya, dia
terus berkata,
„Tentu saja anakku, asal engkau
rajin-rajin belajar dan melatih diri, tentu kau juga akan memiliki kepandaian
setinggi ini!”
Rupanya Goat Lan juga tidak mau
ketinggalan, dia pun berkata:
„Suhu, aku juga ingin sekali
mempelajari ilmu seperti itu.....” katanya.
„Tentu saja muridku..... engkau akan
bersama-sama Him-jie melatih diri, kini engkau memiliki sahabat untuk melatih
diri.”
Yo Him dan Goat Lan telah menjura
memberi hormat kepada Siauw Liong Lie, hati kedua remaja ini girang bukan main.
Mereka memang tertarik sekali untuk mempelajari ilmu silat yang dimiliki oleh
Siauw Liong Lie.
Saat itu Phang Kui In telah
menghampiri dan merangkapkan kedua tangannya, bilangnya:
„Aku Phang Kui In mengucapkan syukur
kepada kalian, selain telah memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dan
sempurna juga kalian telah berkumpul kembali.”
„Phang Toako, engkau terlalu
memuji..... sesungguhnya kami tidak memiliki kepandaian apa-apa, tadi hanya
kebetulan aku bisa merubuhkan lawan-lawanku.....!”
„Sekarang jika Sin-tiauw Tayhiap
dengan Siauw Liehiap bergabung, mungkin di dunia ini sudah tidak ada yang bisa,
menandingi lagi,” Puji Phang Kui In tanpa memperdulikan sikap merendahkan diri
dari Siauw Liong Lie.
Siauw Liong Lie menghela napas
panjang-panjang.
„Apa sih itu yang dinamakan tinggi dan
tidak tertandingkan? Semuanya hanya omong kosong saja! Di atas orang yang
tinggi masih ada orang yang lebih pandai..... Di atas puncak gunung yang tinggi
tentu ada pula puncak gunung yang jauh lebih tinggi..... maka tidak bisa
seseorang itu selalu menganggap dirinya yang tertinggi kepandaiannya dari yang
lainnya dengan sendirinya orang itu tidak akan mengalami kemajuan apa-apa
lagi.....”
Muka Phang Kui In jadi berobah merah.
„Benar apa yang dikatakan oleh
Liehiap, memang kita sebagai manusia tidak boleh sombong! Terima kasih atas
nasihat berharga yang diberikan oleh Liehiap!” dan setelah berkata demikian,
Phang Kui In telah memberi hormat lagi.
Siauw Liong Lie cepat-cepat menyingkir
untuk menolak penghormatan dari orang she Phang tersebut.
Setelah bercakap-cakap sejenak lamanya
lagi, barulah mereka berpisah untuk kembali ke kamarnya masing-masing. Malam
itu Yo Ko tidur nyenyak sekali, begitu juga dengan yang lainnya. Saat itu,
malam telah lewat tanpa terjadi sesuatu apa-apa lagi.
Keesokan harinya, di hari keempat Yo
Ko mengajak Phang Kui In dan yang lainnya untuk melakukan perjalanan pula.
„Kita harus menemui para orang-orang
gagah untuk merundingkan cara bagaimana mereka harus berusaha membantu pihak
negara mempertahankan tanah air dari serangan tentara musuh, yaitu Kubilai
Khan, yang kabarnya dalam tahun ini akan melancarkan gempuran secara
besar-besaran. Terlebih lagi Kubilai Khan seorang pemimpin orang-orang Mongol
yang bekerja dengan mempergunakan otak, maka kami kuatir justru sekarang ini
Kerajaan Song sulit untuk dipertahankan.....!”
„Kita harus menggalang persahabat dan
kekuatan nanti baru kita bicarakan dengan para orang gagah, rencana manakah
yang hendak mereka jalankan.”
„Dimanakah para pendekar gagah itu
akan berkumpul?” tanya Siauw Liong Lie.
„Kami berjanji akan bertemu di gunung
Hoa-san, juga kita harus menyelidiki siapakah yang telah menggali dan
membongkar kuburan Auwyang Hong. Disamping itu, kita pun harus menyelidiki
siapakah sebenarnya anak kecil yang mengaku sebagai anaknya Auwyang Peh-peh
(paman Auwyang) itu, yang datang ke kuburan Auwyang Hong bersama seorang wanita
setengah baya. Semua itu masih merupakan teka-teki yang belum juga terjawab
sampai sekarang ini.”
Siauw Liong Lie mengangguk.
„Aku juga heran sekali akan hal ini,
tetapi Ko-jie, apakah selama enambelas tahun ini engkau masih belum berhasil
menyelidikinya?”
Yo Ko menggeleng.
„Belum..... semuanya masih merupakan
teka-teki belaka. Aku baru bertemu dengan anak lelaki yang waktu dulu itu
bertemu di gunung Hoa-san dan mengaku sebagai anaknya Auwyang Peh-peh. Kini dia
telah dewasa dan menjadi pemuda yang tegap.....”
Siauw Liong Lie menghela napas.
„Lalu bagaimana dengan surat yang
dipalsukan yang pernah dikirimkan kepada kita dan jago-jago lainnya?” tanya
Siauw Liong Lie lagi.
„Itupun masih merupakan tanda tanya
juga, karena sampai detik ini belum lagi diketahui siapakah yang telah berbuat seperti
itu. Tetapi keras dugaan kami, juga pendapat It-teng Taysu, bahwa surat
pemalsuan itu di lakukan oleh orang-orang Mongolia dibantu oleh beberapa
penghianat dalam negeri. Tujuannya hendak mengadu domba diantara para jago-jago
di dataran Tiong-goan. Untung saja kami selalu berlaku waspada, sehingga usaha
mereka gagal.”
„Apakah tidak mungkin semua itu
dilakukan oleh Tiat To Hoat-ong bersama anak buahnya, yaitu mengadu domba
diantara sesama jago-jago dataran Tiong-goan, dan kelak jika mereka tidak perlu
menghadapi rintangan yang berarti lagi.....”
„Tepat! Aku juga berpikir begitu.”
Siauw Liong Lie menghela napas lagi.
„Sayang sekali, di saat negeri tengah
kacau dan terancam seperti ini, Kaisar kita hanya berfoya-foya dengan
pesta-pesta yang mentereng sekali di sekelilingnya wanita-wanita cantik,
melupakan pemerintahnya yang tengah terancam kehancuran!”
„Ya, disitulah letak kesalahan dari
raja kita!” membenarkan Yo Ko. „Tetapi kita bukan membela raja itu, tetapi kita
berjuang untuk kepentingan tanah air kita, kita harus mencegah walaupun harus
mengorbankan jiwa dan tenaga, demi kepentingan negara kita jangan sampai
diinjak-injak oleh kaum penjajah itu!”
Siauw Liong Lie mengangguk.
„Ya, yang kita bela bukan kaisar yang
tidak memiliki tanggung jawab, tetapi kita berjuang untuk kepentingan semua
rakyat di negeri kita ini. jangan sampai kita dijajah oleh Mongolia itu.....!”
„Kapan kita berangkat, Yo Tayhiap?”
tanya Phang Kui In.
„Hari ini juga kita harus menuju ke
Hoa-san. Mungkin para orang-orang gagah yang dihubungi olehku telah berkumpul
disana..... Dari tempat ini menuju ke Hoa-san mungkin memakan waktu empat
bulan.....!”
Begitulah, akhirnya mereka telah
mempersiapkan barang-barang yang perlu mereka bawa.
Hari itu juga mereka berangkat menuju
Hoa-san.
◄Y►
Gunung Hoa-san merupakan gunung yang
paling seringkali menampung pertemuan dari jago-jago di daerah Tiong-goan.
Karena gunung tersebut pernah dijadikan tempat pertemuan dari jago-jago luar
biasa, dimana pernah diadakan pertemuan Hoa-san Lun-kiam. Dan jago-jago luar
biasa dijaman itu telah mengadu kepandaian, jago-jago yang termasuk dalam
pertemuan itu adalah Oey Yok Su, Ang Cit Kong, Auwyang Hong, Ong Tiong Yang dan
It-teng Taysu. Pertempuran yang terjadi di saat itu merupakan pertempuran yang
paling hebat dibandingkan dengan pertempuran-pertempuran lainnya.
Dan sekarang justru Yo Ko telah
menghimpun para jago-jago berkumpul di Hoa-san juga guna mengadakan Hoa-san
Tay-hwee atau pertemuan besar di Hoa-san.
Sepanjang perjalanan Yo Ko dan
kawan-kawannya melihat telah banyak tentara Mongolia yang berkeliaran di
pinggiran perbatasan. Bahkan Yo Ko seringkali menyaksikan penduduk yang lemah
sering kali disiksa oleh tentara-tentara Mongolia itu, sehingga membangkitkan
kemarahan di hati Yo Ko dan yang lain-lainnya. Sering Yo Ko turun tangan
membela yang lemah dan membuat tentara Mongolia yang apes nasibnya karena harus
bertemu dengan jago sakti seperti Yo Ko, Siauw Liong Lie dan yang lainnya, jadi
babak belur.
Selama dalam perjalanan itu, Yo Ko dan
Siauw Liong Lie tidak hentinya mendidik Yo Him, anaknya. Yo Ko dan isterinya
telah menurunkan seluruh kepandaian mereka. Walaupun dalam waktu hanya empat
bulan itu Yo Him tidak bisa mempelajari semua ilmu yang diajarkan kepadanya,
namun Yo Him telah berhasil menjadi seorang jago yang memiliki kepandaian yang
tinggi sekali. Jika lawannnya itu hanya seorang jagoan biasa dan
tanggung-tanggung, jangan harap bisa menandingi kepandaian Yo Him.
Kwee Siang dan Phang Kui In sendiri
sering menceritakan kepada Yo Ko dan Siauw Liong Lie, betapa kepandaian mereka
berdua juga tidak bisa menandingi Yo Him. Diceritakan juga bagaimana Yo Him
telah berguru kepada Lie Bun Hap, orang yang berkaki buntung dan menjadi
pemilik dari pulau kecil itu.
Memang keadaan Yo Him seperti itu telah
menggembirakan hati mereka. Penderitaan selama belasan tahun yang lalu mereka
rasakan seperti lenyap diganti dengan kegembiraan yang sekarang mereka peroleh
karena telah berkumpul kembali.
Waktu tiba di kaki gunung Hoa-san,
mereka beristirahat dulu dengan menyewa di rumah penduduk, kamar yang mereka
butuhkan.
Selama sehari itu, Siauw Liong Lie
telah memberikan pelajaran pukulan ‘Petir’ yang dimilikinya, sehingga
kepandaian Yo Him kian tinggi lagi. Yang kurang hanyalah pengalaman
bertempurnya saja serta latihannya.
Yo Him juga merasakan kemajuan yang
telah didapatnya, karena dari Yo Ko, ayah kandungnya telah diterima
bermacam-macam kepandaian dan dari Siauw Liong Lie dia juga menerima ilmu yang
hebat-hebat. Dengan gabungan kepandaian yang diturunkan oleh Yo Ko, Siauw Liong
Lie dan Lie Bun Hap, membuat Yo Him benar-benar menjadi seorang jago muda yang
jarang ada tandingannya. Walaupun usianya masih muda sekali, tetapi
kepandaiannya melebihi orang yang berlatih diri dua atau tigapuluh tahun.
Kemajuan yang diperoleh Yo Him juga
menggembirakan hati Phang Kui In dan Kwee Siang serta Goat Lan.
Kepandaian yang dimiliki Siauw Goat
Lan juga tidak lemah, karena sejak kecil dia telah dididik sungguh-sungguh oleh
Siauw Liong Lie. Tetapi ada suatu keanehan yang cukup menyolok pada diri Siauw
Goat Lan, karena dia selalu senang memakai baju warna kuning, sehingga hal itu
sering membuat Siauw Liong Lie menertawakan padanya. Tetapi Siauw Goat Lan
tetap senang memakai baju warna kuning, dan warna kuning itu merupakan kesayangannya.
(Di dalam kisah Membunuh Naga, Goat
Lan pernah muncul sekali waktu diadakannya pertemuan orang-orang gagah di
Siauw-sit-san, dimana pihak Siauw-lim-sie telah menghimpun para orang-orang
gagah dalam suatu pertemuan besar, yaitu Eng-hiong Tay-hwee. Dan semua orang
yang turut dalam Eng-Hiong Tay-hwee itu tidak seorangpun mengetahui siapa gadis
itu, dan siapa pula namanya. Karena Goat Lan yang pada saat itu telah memiliki
kepandaian sangat tinggi telah datang dan pergi tanpa diketahui, sepak terjangnya
luar biasa, kepandaiannya jauh lebih tinggi dari Ciu Cie Jiak..... penulis).
Setelah istirahat cukup semalamam dan
tubuh mereka juga sudah segar kembali, Yo Ko mengajak mereka untuk, melanjutkan
perjalanannya mendaki gunung Hoa-san untuk mencapai puncaknya gunung tersebut.
Tetapi berhubung mereka semuanya memang memiliki ginkang yang tinggi sekali,
maka mereka bisa berlari-lari mendaki gunung Hoa-san itu dengan mudah.
Yo Him juga bisa berlari-lari dengan
cepat dan ringan, karena Yo Him yang sekarang berbeda dengan Yo Him tiga tahun
yang lalu dengan mudah dapat melompati jurang-jurang yang cukup lebar.
Menjelang sore, mereka tiba di puncak gunung Hoa-san, dan kuburan Auwyang Hong
yang telah kosong dan rata kembali itu tampak tidak terurus.
Yo Ko memandang di sekelilingnya, dia
belum melihat orang yang diundangnya untuk berkumpul disitu. Yo Ko jadi
menduga-duga apakah semua orang-orang itu tidak datang karena menemui sesuatu
yang tidak terduga.
„Mengapa mereka belum datang?” tanya
Siauw Liong Lie, yang juga heran melihat para pendekar yang diundang suaminya
belum terlihat batang hidungnya walaupun seorang.
„Entahlah, mungkin ada sesuatu yang di
luar dugaan?” menyahuti Yo Ko.
„Tetapi sebetulnya aku telah
menjanjikan Cap-go Chit-gwee yaitu besok di saat rembulan bersinar penuh kami
akan berkumpul disini..... Tetapi anehnya justru sekarang ini mereka belum juga
terlihat batang hidungnya.”
Yo Him memandang sekelilingnya, dimana
selain merupakan tempat yang sunyi dengan lapangan rumput yang luas dan tebing
yang tinggi-tinggi juga diselingi oleh pohon-pohon yang tumbuh tinggi
menunjukkan usia pohon itu telah tua sekali.
„Mari kita beristirahat dulu.....!”
ajak Yo Ko. Semuanya setuju.
Mereka telah duduk di bawah pohon
pohon itu.
Tetapi mengasoh tak lama, justru dari
arah bawah terdengar seseorang tengah bernyanyi dengan nada dan irama yang lucu
sehingga bisa membuat orang geli di dalam hati.
„Tung Pak, Tung Pak, Tung Pak,
Eh, kudanya lari.
Ting Ting, Ting Ting
Eh, kucingnya nyolong ikan.
Teng Teng, Teng Teng,
Centengnya mengantuk disamber angin,
Bom Bom, Bom Bom,
Tidurnya tidak bisa karena memikirkan
si dia,
Trak Trak, Trak, Trak,
Pedangnya telah patah,
Sembunyi ekor dari persilatan,
Ditertawai orang karena kebodohan yang
ada,
Dimaki orang karena tindakan kita yang
salah,
Breng Greng, Breng Greng.
Aku ingin tidur, nyamuk datang
mengganggu.”
Setelah bernyanyi seperti itu,
terdengar suara tertawanya, Ha, ha, ha, ha yang panjang sekali.
Yo Ko dan yang lainnya jadi heran
mendengar suara nyanyian seperti itu, mereka mau menduga tentu orang yang
tengah bernyanyi itu adalah seorang yang kurang pikirannya, karena kata-kata
lagunya itu tidak keruan.
Tetapi Yo Him lain, dia
mendengarkannya baik-baik otaknya yang cerdas segera dapat menangkap arti dari
nyanyian itu, makna yang sesungguhnya tersimpan di dalam nada dan kata-kata
dari nyanyian itu.
„Ayah.....” kata Yo Him kemudian,
„Bukankah orang yang bernyanyi itu tengah memberitahukan jurus-jurus penting
dari ilmu silat pedang dan pukulan yang terdapat dalam Kiu-im-cin-keng?”
Yo Ko jadi terkejut.
„Mengapa engkau bisa berpikir sampai
disitu?” tanya sang Ayah ini.
„Coba ayah pikirkan kata-kata Tung
Pak, Tung Pak, Tung Pak, Eh kudanya lari, itu bukankah berarti bahwa jurus
pertama dari Kiu-im-cin-keng harus bergerak seperti seekor kuda yang menyepak
dan kemudian menjauhkan diri dari lawan kemudian baru menyerang lagi. Dan
kata-kata menyerang kembali terselip pada baris kedua yang berbunyi, Ting Ting,
Ting Ting, Eh kucingnya nyolong ikan, yang berarti setelah kita memancing lawan
seperti juga ingin melarikan diri, kemudian diwaktu musuh lengah, kita harus
menggunakan jurus ‘colongan’ menghantam musuh!
28.55. Perilaku Kong-kong Ciu
Kata Teng, Teng, Teng, Centengnya
mengantuk disamber angin, berarti kita harus seperti angin, membuat lawan
menjadi bingung, berarti itupun gerakan yang dinamakan ‘Liu-liu-ie-ie’ atau
Samberan Angin dan Hujan. Nah coba ayah pikir bukankah itu merupakan kunci
rahasia ilmu yang hebat sekali?”
Mendengar Yo Him bicara sampai disitu
tampak Yo Ko telah memukul lututnya sambil berseru:
„Tepat. Mengapa aku sendiri tidak
berpikir sampai sejauh itu? Sedangkan engkau dalam usia semuda ini telah bisa
memecahkan teka-teki seperti itu! Sungguh mengagumkan sekali.”
Siauw Liong Lie juga memuji kecerdasan
anaknya itu. Phang Kui In, Kwee Siang dan Siauw Coat juga merasa kagum. Tetapi
belum sempat mereka bicara lebih jauh, dari jurusan bawah tampak sesosok tubuh
tengah berlari cepat sekali naik ke atas gunung, ke tempat dimana mereka
berada.
Gerakan orang itu sangat ringan sekali
menandakan ginkangnya benar-benar sangat sempurna karena tubuhnya itu telah
berkelebat-kelebat dengan gesit sekali, hanya dalam sekejap mata saja dia telah
berada dihadapan Yo Ko dan yang lainnya.
Waktu melihat orang itu, Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko telah tertawa, „Kukira siapa, tidak tahunya engkau Ciu Pek Thong
si nakal.”
Orang yang baru tiba itu memang Ciu
Pek Thong adanya. Siauw Liong Lie melihatnya walaupun mereka telah berpisah
lebih dari limabelas tahun, tetapi keadaan Ciu Pek Thong tetap tidak berobah
dengan jenggotnya yang memutih panjang dan alisnya juga telah memutih. Tetapi
sikapnya yang senang berguyon itu tidak juga lenyap. Karena justru Ciu Pek
Thong inilah yang telah bernyanyi dengan suara dan kata-kata yang kocak itu.
Tetapi di dalam kekocakannya itu justru terdapat inti ilmu silat yang luar
biasa hebatnya.
„Kau kira siapa? Ya, tentu saja aku!
Tidakkah kau melihat si Loo-boan-thong yang jenggotnya ini telah putih? Apakah
ada dua orang Loo-boan-thong?” dan setelah berkata begitu dia tertawa
bergelak-gelak.
Tiba-tiba matanya melihat Yo Him dan
Siauw Goat Lan, kemudian Kwee Siang dan Phang Kui In.
„Eh, nona Kwee, engkau berada disini?”
tegur Loo-boan-thong seperti terkejut. Seperti diketahui bahwa Kwee Siang pernah
bersahabat intim dengan Ciu Pek Thong, maka dari itu begitu melihat Kwee Siang,
segera Ciu Pek Thong mengenalinya.
Cepat-cepat Kwee Siang menghampiri
sambil mengangkat tangannya, dia telah menjura memberi hormat kepada Ciu Pek
Thong.
„Engko tua juga datang kemari?”
membaliki Kwee Siang.
Ciu Pek Thong melengak sejenak, tetapi
kemudian dia tertawa tergelak-gelak lagi, serunya dengan suara yang nyaring:
„Setan kecil! Memang dasar cucunya, engkau menuruti adat kakekmu yang selalu
tidak mau kalah dan terlalu licik.......!”
Kwee Siang tidak menjadi mendongkol
atau marah, karena dia telah mengetahui akan tabiat dari Ciu Pek Thong yang
gemar sekali berkelakar.
Kemudian Ciu Pek Thong telah menoleh
kepada Goat Lan, tanyanya kepada Kwee Siang: ,,Apakah nona kecil ini adikmu?”
Muka Kwee Siang jadi berobah merah dia
menggelengkan kepalanya.
„Bukan, adik Lan ini adalah murid dari
enci Siauw Liong Lie.....!” dia menjelaskan.
„Oh, nona kita itu telah menerima
murid!” kata Ciu Pek Thong sambil tertawa. „Dan engko kecil itu siapa.....?”
sambil bertanya Ciu Pek Thong telah menunjuk kepada Yo Him.
„Yo Him, adalah putera Engkoh Yo dan
Encie Siauw!” menjelaskan Kwee Siang lagi.
„Ohhh, anak mereka? Aduhh, kenapa
waktu melahirkan anakmu engkau tidak mengundang aku?” tanya Ciu Pek Thong
kepada Siauw Liong Lie.
Muka Siauw Liong Lie jadi berobah
merah.
„Mana bisa begitu?” tanya Siauw Liong
Lie.
„Mengapa tidak bisa?”
„Engkau lelaki, mana mungkin waktu aku
melahirkan aku memberitahukan kepadamu..... tentu saja engkau tidak boleh
melihatnya.....!” dan Siauw Liong Lie telah tersenyum malu.
Ciu Pek Thong berdiri bengong tidak
mengerti apa yang dimaksudkan oleh Siauw Lioug Lie.
Yo Ko dan yang lain-lainnya jadi
tertawa, dan Ciu Pek Thong jadi salah tingkah lagi.
„Eh..... eh, apa yang kalian
tertawakan?” tanya Ciu Pek Thong terheran-heran, mukanya juga telah berobah,
tampaknya dia mendongkol seperti dipermainkan oleh orang-orang itu.
Tetapi Yo Ko dan yang lainnya jadi
tertawa lebih geli lagi melihat tingkah laku Ciu Pek Thong.
Ciu Pek Thong jadi banting-banting
kakinya dengan jengkel.
„Cepat katakan, apa yang kalian
tertawakan?” bentak Ciu Pek Thong dengan sakit.” Jika tidak, jangan harap
kalian bisa menertawai aku pula, karena aku akan menangis sekeras suara!”
Mendengar ancaman Ciu Pek Thong itu,
semua orang bukannya menghentikan tertawa, mereka, bahkan semakin menjadi-jadi,
suara Phang Kui In terdengar paling keras karena dia tidak bisa menahan
perasaan lucu di hatinya.
Ciu Pek Thong mengawasi mendelik
kepada Phang Kui In, dia telah berkata: „Apa aku salah bicara sehingga kalian
tertawakan aku seperti itu! Sudahlah! Sudahlah! Aku tidak mau bersahabat lagi
dengan kalian.....!” dan setelah berkata begitu Ciu Pek Thong memutar tubuhnya
untuk berlalu.
„Tunggu duIu Loo-boan-thong,” teriak
Yo Ko.
Ciu Pek Thong menghentikan langkah
kakinya, dia telah membalikkan tubuhnya untuk bertanya, „Kau mau memberitahukan
apa salahku? tanyanya dengan mata tetap mengawasi Yo Ko yang lainnya dengan
bergantian.
„Ya aku akan memberitahukannya!”
menyahut Yo Ko.
„Hayo cepat memberitahukan. Mengapa
engkau seperti kakek-kakek saja yang mengulur-ulur waktu?”
„Sabar….....”
„Sabar? Mengapa harus sabar. Bukankah
tadi engkau mengatakan ingin memberitahukan kepadaku apa kesalahanku sehingga
kalian tertawa begitu?” tampaknya Cui Pek Thong tidak senang.
„Sabar aku pasti akan menjelaskan
segalanya kepadamu.”
„Aku telah cukup sabar, tetapi sampai
sekarang ini engkau masih juga belum memberi tahukan kepadaku persoalan apa
yang hendak kau sampaikan?”
„Tunggu dulu Loo-boan-thong aku pasti
akan memberitahukan segalanya kepadamu…. tetapi ada syaratnya, jika aku
memberitahukan kepadamu peristiwa tadi, engkau juga harus bernyanyi sekali lagi
lagu yang tadi engkau bawakan!”
„Oh syaratnya itu? Mudah sekali! Aku
bisa dan menyanggupinya!”
„Tetapi karena adatmu agak aneh dan
angin-anginan, maka aku meminta engkau memenuhi dulu syarat itu, setelah engkau
bernyanyi, aku akan memberitahukan urusan itu kepadamu.....!”
Ciu Pek Thong diam sejenak, tampaknya
dia ragu-ragu, tetapi kemudian katanya:
„Tetapi engkau juga tidak boleh ingkar
janji, jika aku telah bernyanyi engkau harus memberitahukan kepadaku apa
sebabnya kalian tertawa terpingkal-pingkal sambil memandang padaku?”
„Itu sudah pasti, apakah kau anggap
aku ini manusia hina dina? Aku tidak akan menjilat kembali ludah yang lelah
kubuang!”
„Baik! Sekarang kalian dengarkanlah
aku bernyanyi sangat merdu!” kata Ciu Pek Thong. Dan diapun mulai membuka
mulutnya, membawakan lagu yang tadi dinyanyikannya:
„Tung Pak, Tung Pak, Tung Pak,
Eh, kudanya lari.
Ting Ting, Ting Ting
Eh, kucingnya nyolong ikan.
Teng Teng, Teng Teng,
Centengnya mengantuk disamber angin,
Bom Bom, Bom Bom,
Tidurnya tidak bisa karena memikirkan
si dia,
Trak Trak, Trak Trak,
Pedangnya telah patah,
Sembunyi ekor dari persilatan,
Ditertawai orang karena kebodohan yang
ada,
Dimaki orang karena tindakan kita yang
salah,
Breng Greng, Breng Greng.
Aku ingin tidur, nyamuk datang
mengganggu.”
„Nah, sekarang aku telah selesai
menyanyikan lagu itu, engkau harus segera memberitahukan padaku, apa
kesalahanku sehingga kalian mentertawaiku!”
Yo Ko mengangguk
„Sekarang coba kau jelaskan dulu, lagu
yang engkau nyanyikan itu tadi bukankah merupakan kunci dari Kiu-im-cin-keng
dan Kiu-yang-cin-keng?”
Ciu Pek Thong tampak terkejut, tetapi
akhirnya dia mengangguk.
„Benar..... tidak salah!” katanya
kemudian. „Tetapi…. dari mana engkau mengetahui bahwa laguku itu merupakan lagu
yang berisikan pelajaran Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng?”
„Kau heran bukan? Kami yang tua-tua
tidak mengetahui jika tidak diberitahu oleh anak kami ini, Yo Him!”
Kembali Ciu Pek Thong berdiri dengan
muka yang bengong dan mata tidak bergeming mengawasi Yo Him.
„Anak luar biasa! Anak luar biasa!”
menggumam Ciu Pek Thong dengan suara yang samar-samar hampir tidak terdengar,
sampai akhirnya dia telah mendelikkan matanya kepada Yo Him, sambil katanya:
„Apakah engkau mengerti ilmu
Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng? Mengapa engkau mengetahui bahwa laguku
itu adalah kunci dari Kiu-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng?”
Yo Him cepat-cepat menghampiri Ciu Pek
Thong, dia telah merangkapkan kedua tangannya menjura memberi hormat kepada Ciu
Pek Thong,
„Engkong Ciu, aku menghunjuk hormat
kepadamu,” kata Yo Him.
„Cisss, siapa yang ingini hormatmu?”
kata Ciu Pek Thong sambil meludah.
Yo Him jadi terkejut, tetapi kemudian
tersenyum.
„Aku justru menghendaki keteranganmu
bagaimana engkau bisa mengengetahui bahwa lagu yang kugubah itu merupakan kunci
dari Kui-im-cin-keng dan Kiu-yang-cin-keng?” kata Ciu Pek Thong lagi.
Yo Him tersenyum.
„Itu mudah saja, bukankah engkong Ciu
hanya membalik kata-katanya saja dan mengambil perumpamaan. Seperti kata-kata
‘Ditertawai orang karena kebodohan yang ada’ tentunya berarti jika kita tidak
memiliki kepandaian silat yang tinggi dan bertempur dengan orang lain kalah,
hal itu hanya disebabkan kebodohan kita. Dan perkataan ‘Kebodohan’ itu
diumpamakan juga sebaliknya, yaitu cambuk untuk mengejar kepandaian agar tidak
menjadi bodoh, bukan??”
Ciu Pek Thong jadi bengong.
Muka Ciu Pek Thong dalam keadaan heran
seperti itu membuat dia tampaknya lucu sekali. Memang Ciu Pek Thong walaupun
telah lanjut usianya, namun kelakuannya seperti anak-anak saja.
Semua orang yang melihat sikap Ciu Pek
Thong jadi tersenyum geli lagi.
Ciu Pek Thong telah menoleh kepada Yo
Ko, katanya dengan terheran-heran,
„Mengapa anakmu ini begitu cerdik bisa
menerka lagu yang kugubah itu?”
Yo Ko mengangkat bahunya. „Entahlah,
aku sendiri mengetahuinya, karena diberitahukan oleh Yo Him.”
Ciu Pek Thong jadi penasaran sekali.
„Eh, bocah, engkau jangan main-main denganku. Katakan terus terang siapa yang
telah memberitahukan kepadamu tentang makna dari lagu ini.”
„Aku hanya menduga-duga sendiri saja,
karena aku memang baru mendengarnya sekarang ini,” menyahuti Yo Him sambil
tersenyum.
„Baiklah! Sekarang coba kau jelaskan
lagi kata-kata ‘Dimaki orang karena tindakan kita yang salah’. Nah apa makna
dari perkataan itu?”
Setelah berkata begitu Ciu Pek Thong
mengawasi Yo Him dengan tajam. Begitu juga yang lainnya, telah mengawasi dengan
tanda tanya di hati mereka, bagaimana Yo Him yang masih demikian muda bisa
memiliki pengetahuan demikian luas?
Yo Him telah menjura sambil katanya:
„Sebetulnya Boanpwee tidak mengetahui apa-apa engkong Ciu, tadi hanya kebetulan
saja,” Yo Him merendahkan diri, karena dia kuatir justru Ciu Pek Thong akan
mendongkol dia mengetahui rahasia lagunya itu.
„Aku tidak mau tahu!” kata Ciu Pek
Thong. „Yang penting, sekarang engkau harus mengemukakan apa artinya ‘Dimaki
orang karena tindakan kita yang salah’. Cepat kau katakan!”
Yo Him menghela napas.
„Maafkan kebodohan Boanpwee, jika
salah jangan engkong Ciu memarahi dan mentertawai aku.....” kata Yo Him.
„Sudahlah! Hayo cepat, cepat
beritahukan apa yang kau ketahui.....!” seru Ciu Pek Thong tidak sabar.
,.Arti dan perkataan, Dimaki orang
karena tindakan kita yang salah, berarti jika kita tidak memiliki kepandaian
tinggi dan dirubuhkan orang, berarti kepandaian kita masih rendah sekali. Jika
memang dikalahkan lawan, kita tidak boleh kecewa dan melatih diri lagi.”
„Aneh! Mengapa engkau mengetahuinya
demikian jelas?” kata Ciu Pek Thong.
„Bagaimana Loo-boan-thong, apakah
anakku itu benar atau tidak kata-katanya?” tanya Siauw Liong Lie sambil
tersenyum.
Ciu Pek Thong menunjukkan ibu jari
tangannya, sambil katanya: „Jempol! Hebat! Kalian berdua ternyata mencetak anak
yang telah berhasil sekali, anak itu memiliki otak yang cerdas.”
Mendengar perkataan Ciu Pek Thong yang
itu, pipi Siauw Liong Lie jadi berobah merah.
„Tetapi sekarang belum selesai. Hai
bocah, coba kau terka lagi arti kata-kata: ‘Aku ingin tidur, nyamuk datang
mengganggu’. Nah apa itu artinya?”
Yo Him tersenyum sambil katanya:
„Artinya itu memang mudah….... Jika seseorang yang tidak memiliki kepintaran
apa-apa, mungkin bisa diganggu oleh serangan orang-orang jahat. Tetap maksud
sesungguhnya dari perkataan itu adalah seseorang harus bisa mengosongkan
pikiran dan keinginan sehingga hawa jahat tidak mungkin mengganggu dia pula.
Hawa jahat itu diumpamakan dalam lagumu sebagai nyamuk! Bukankah begitu engkong
Ciu?”
„Luar biasa sekali! Tepat benar!” kata
Ciu Pek Thong sambil geleng-gelengkan kepalanya dan memandang takjub kepada Yo
Him.
Yo Ko dan Siauw Liong Lie juga bangga
sekali melihat anak mereka itu adalah seorang yang cerdas sekali dan dalam usia
hanya enambelasan tahun itu dia telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
Setelah memuji-muji Yo Him beberapa
kali Ciu Pek Thong menoleh kepada Yo Ko.
„Nah sekarang giliranmu untuk
menjelaskan mengapa kau mentertawai aku.....?” katanya. „Bukankah tadi engkau
berjanji jika aku telah menyanyikan lagu itu, engkau akan memberitahukan apa
kesalahanku!”
Yo Ko tersenyum.
„Sebenarnya engkau tidak bersalah,
hanya salah bicara saja.”
„Salah bicara?”
„Ya, salah bicara!”
„Mengapa bisa salah bicara?” tanya Ciu
Pek Thong penasaran.
„Itulah disebabkan kecerobohanmu,
sehingga engkau bisa salah bicara! Tadi engkau mengatakan, mengapa Liong-jie
tidak memberitahukan kepadamu waktu ingin melahirkan? Apakah engkau seorang
tabib yang mengurusi orang beranak? Lagi pula, di saat isteriku melahirkan,
mana boleh dilihat sembarangan orang? Apalagi seorang pria.....! Genit sekali
rupanya engkau, Pek Thong!”
Ciu Pek Thong jadi kaget setengah
mati, sampai dia berjingkrak-jingkrak.
„Hai! Hai! Bukan itu maksudku.......!”
teriaknya dengan muka yang berobah merah.
Yo Ko tersenyum, begitu juga dengan
yang lainnya.
„Memang sudah kukatakan, hatimu tentu
tidak berpikir sebegitu jauh, tetapi tadi kau telah salah dalam mengucapkan
kata, sehingga artinya menjadi lain dengan apa yang engkau maksudkan!’
Ciu Pek Thong telah mempergunakan
kedua tangannya untuk, memukul-mukul keningnya.
„Anak tolol! Anak tolol!” katanya
memaki dirinya sendiri, sehingga yang lainnya melihat kelakuan Ciu Pek Yhong
jadi tertawa lagi.
“Maafkanlah Yo Hujin (nyonya Yo),
memang tadi aku salah bicara. Percayalah, aku tidak memiliki maksud kotor
sedikit pun juga!”
Siauw Liong Lie cepat-cepat menghindar
dari pemberian hormat Ciu Pek Thong.
„Jangan berlaku begitu, Pek Thong, aku
memang mengetahui engkau tidak bersalah, hanya engkau keseleo lidah saja.
Ko-jie juga hanya bergurau saja!”
Ciu Pek Thong tersenyum lagi dengan
sikap yang jenaka kembali. Rupanya peristiwa yang baru saja lewat itu tidak
diingatnya lagi.
„Engko kecil!” katanya kepada Yo Him,
„Mari kita main-main.....!”
„Main-main apa?” tanya Yo Him heran.
„Main-main kuda-kudaan......! Kita
bertempur dalam sepuluh jurus, siapa yang kalah harus menjadi kuda, menggendong
yang menang berlari sepuluh lie! Bagaimana, engkau setuju atau tidak?”
Yo Him jadi geli sendirinya, karena
dia jadi heran, usia Ciu Pek Thong telah lanjut dan pantas jadi engkongnya
tetapi ternyata masih memiliki sifat seperti anak kecil saja.
„Hei, jangan bengong saja!” bentak Ciu
Pek Thong mendongkol waktu melihat Yo Him hanya berdiam diri saja.
„Setuju sih setuju, tetapi yang pasti
tentu saja aku akan rubuh di tanganmu dan menjadi kuda menggendong kau, engkong
Ciu!”
Yang lainnya tertawa mendengar
perkataan Yo Him, yang seperti hendak mengelak pertempuran main-main itu.
„Begitu?” tanya Ciu Pek Thong. „Baik!
Aku hanya mempergunakan tangan kananku, sedangkan tangan kiriku akan diikat
tidak di pergunakan….. kau setuju?”
„Itu namanya tidak adil?”
„Apanya yang tidak adil?” tanya Ciu
Pek Thong dengan aseran dan tidak sabar.
„Engkau mengatakan ingin mempergunakan
satu tangan saja, yaitu tangan kananmu, sedangkan aku mempergunakan kedua
tanganku, bukankah itu tidak adil?”‘
Ciu Pek Thong jadi banting-banting
kakinya.
„Habis dengan cara apa yang kau
kehendaki? Bukankah tadi engkau mengatakan jika bertempur dengan aku berarti
engkau akan kalah dan aku memberi peringatan dengan janji bahwa aku melayani
engkau dengan mempergunakan tangan kanan saja dan tangan kiriku tidak
dipergunakan! Tetapi sekarang kau ada alasan saja mengatakan tidak adil dengan
cara seperti itu.”
Yo Him tersenyum.
„Tetapi mana pantas sih seorang kakek
yang sudah pantes menjadi engkongku bertempur dengan golongan muda yang tidak
bisa apa-apa?” kata Yo Him
„Tidak mungkin! Aku tidak percaya engkau
tidak memiliki kepandaian!”
Yo Ko telah tertawa katanya.
„Him-jie, pergilah kau temani Pek
Thong main-main beberapa jurus.”
„Nah! Nah!” kata Ciu Pek Thong
kemudian kegirangan. „Lihat ayahmu sendiri memerintahkan engkau untuk melayani
aku!” Dan Ciu Pek Thong telah berdiam diri menanti dengan sikap tidak sabar,
seperti seorang anak kecil yang akan menerima hadiah.
Mendengar ayahnya juga menyetujui
untuk dia main-main dengan Ciu Pek Thong. Yo-Him mengangguk sambil berkata:
„Tetapi Ciu Kong-kong jangan turunkan tangan keras kepadaku.”
„Bocah cilik, engkau anggap aku ini
seorang bebodoran yang tidak mengenal peri kemanusiaan?” kata Ciu Pek Thong.
Yo Him tersenyum, dia bilang kemudian:
„Bukan begitu Ciu kong-kong..... tetapi memang aku tidak memiliki kepandaian
apa-apa. Maka dari itu aku hanya meminta belas kasihan dari Ciu Kong-kong agar
tidak menurunkan tangan keras kepadaku!”
„Sudah jangan bawel seperti
nenek-nenek saja!” bentak Ciu Pek Thong tidak sabar. „Hayo cepat buka
serangan.....!”
Sambil membentak begitu tampak Ciu Pek
Thong telah mengawasi Yo Him dengan sikap tidak sabar, dan waktu itu, tampak
dia telah membanting-banting kakinya, karena memang dia sudah tidak sabaran.
Yo Him juga tidak berani berayal lebih
jauh lagi, di saat itu dia telah mengerahkan tenaga dalamnya pada kedua
tangannya. Dengan mengeluarkan kata-kata, „Awas Kong-kong!” tangannya itu
meluncur ke arah pundak sebelah kanan Ciu Pek Thong.
Si tua jenaka Ciu Pek Thong waktu
melihat cara menyerang Yo Him, dia telah berseru:
„Bagus! Bagus! Rupanya kecil-kecil
engkau telah memiliki kepandaian yang tinggi! Hemm..... jika demikian kau telah
memiliki lweekang yang cukup bisa diandalkan! Siapa yang mengajarkan engkau
kepandaian ini?” Ciu Pek Thong sambil mengoceh terus dengan gerakan tubuhnya
yang gesit dia mengelakkan diri dari setiap serangan yang dilancarkan oleh Yo
Him.
Yo Him tadinya menyerang dengan
setengah hati, karena dia mengetahui bahwa Ciu-Pek Thong adalah sahabat ayah
ibunya. Tetapi setelah beberapa kali dia menyerang tetap tidak mengenai
sasarannya, dengan sendirinya membuat Yo Him jadi terkejut. Dari kedua telapak
tangan Yo Him telah mengalir keluar angin serangan yang sangat kuat.
Yo Him juga mempergunakan jurus
‘Giok-lie-kun-hoat’ atau Ilmu pukulan Tangan Bidadari yang diterimanya dari
ayah ibunya beberapa waktu yang lalu.
Ciu Pek Thong mengeluarkan seruan
kaget dan cepat menggeser kaki kanannya ke samping dan juga menggeser tangannya
yang ditekan pada dadanya, lalu tangan yang satunya lagi dilonjorkan menghantam
Yo Him. Gerakan yang dilakukan Ciu Pek Thong merupakan jurus-jurus
‘Sin-liong-ciu-hay’ atau Naga Sakti Keluar dari Lautan, dimana tangannya,
menyusul mencengkeram pada Yo Him.
Yo Him terkejut melihat cengkeram Ciu
Pek Thong karena kakek tua yang jenaka itu memang memiliki kepandaian yang
sangat tinggi sekali. Dan sebagai adik seperguruan Ong Tiong Yang yang pernah
dipilih sebagai seorang jago yang luar biasa dan dia ini kepandaiannya melebihi
Oey Yok Su Auwyang Hong, Ang Cit Kong dan Ie-teng Taysu. Tidak mengherankan
jika serangan Ciu Pek Thong telah membuat Yo Him jadi gelagapan.
Memang Yo Him telah menerima pelajaran
yang bermacam-macam, dia telah memperoleh didikan Lie Bun Hap, kemudian didikan
kedua orang tuanya. Tetapi yang masih kurang bagi Yo Him adalah pengalaman.
Maka begitu menghadapi serangan yang hebat dari Ciu Pek Thong, dia agak gugup.
Sebetulnya serangan Ciu Pek Thong itu bisa saja dihadapi dengan gerakan
Bidadari Menyuguhkan Arak, tetapi memang Yo Him kurang pengalaman, dengan
sendirinya menghadapi serangan seperti itu membuat Yo Him jadi gelagapan dan
tidak bisa melakukan sesuatu, tahu-tahu lengannya telah kena dicekal, dan
dengan sekali mengeluarkan teriakan „Rubuh!” tubuh Yo Him telah terpental dan
ambruk di atas tanah dengan keras.
Tetapi Yo Him tidak menjerit kesakitan
bahkan cepat sekali dia bangun berdiri pula.
Sedangkan Ciu Pek Thong telah
bertepuk-tepuk tangan kegirangan, karena dia merasa bangga telah berhasil
merubuhkan Yo Him dengan waktu yang singkat sekali. Seperti juga seorang anak
kecil yang menerima hadiah yang menggembirakannya.
„Apa aku bilang, engkau sama sekali
tidak memiliki kepandaian apapun juga.....!” kata Ciu Pek Thong sambil tertawa
geli.
Yo Ko, Siauw Liong Lie, Kwee Siang,
Phang Khui In, dan Siauw Goat Lan, telah tersenyum saja melihat kelakuan Ciu
Pek Thong yang jenaka. Walaupun usianya telah lanjut, tetapinya Ciu Pek Thong
masih juga membawa sikap seperti anak kecil saja.
Yo Him yang telah dirubuhkan oleh
kakek tua yang jenaka itu jadi penasaran. Cepat sekali dia bangkit berdiri pula
sambil katanya:
„Kongkong Ciu, mari kita bertanding
lagi?” kata Yo Him sambil tersenyum.
„Tidak kapok kau telah kurubuhkan?”
tanya Ciu Pek Thong tertawa.
„Aku bukan dirubuhkanmu, tetapi aku
sengaja menjatuhkan diri..….”
„Apa?”
„Aku bukan dirubuhkan oleh kau?”
Mendengar jawaban yang terakhir dari
Yo Him Ciu Pek Thong jadi berdiri tertegun tampaknya dia jadi penasaran sekali.
„Jelas-jelas tadi engkau berhasil
kulemparkan dan engkau telah terbanting, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa
itu bukan dirubuhkan olehku.....?”
Tetapi Yo Him yang cerdik telah
menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
,,Bukan..... bukan! Sama sekali bukan
disebabkan seranganmu aku jatuh..... tetapi memang aku sengaja menjatuh tubuh
untuk meloloskan diri dari seranganmu! Sebetulnya kalau memang aku hendak
memberikan perlawanan, belum tentu engkau bisa memenangkan diriku, Ciu
Kong-kong.:.....!”
Ciu Pek Thong jadi mendongkol, dan
dalam keadaan mendongkol seperti itu. tampaknya Ciu Pek Thong jenaka sekali,
dengan mulutnya yang bergerak-gerak tidak hentinya, seperti seorang anak kecil
yang tengah menggumam tidak senang hatinya
„Ayo Ciu Kong-kong, seranglah aku
lagi.....!” kata Yo Him menantang, dengan sendirinya telah membuat Ciu Pek
Thong semakin penasaran sekali.
Memang Yo Him sengaja ingin memancing
kemarahan Ciu Pek Tong agar orang tua she Ciu yang jenaka itu menyerang dirinya
lagi. Yang pasti Ciu Pek Thong tidak mungkin berani membinasakannya, karena Ciu
Pek Thong telah mengetahui Yo Him adalah anaknya Yo Ko dan Siauw Liong Lie.
Tetapi jika Ciu Pek Thong melancarkan
serangan dengan sungguh-sungguh, Yo Him yang cerdik tentu bisa melihat cara
menyerangnya Ciu Pek Thong, berarti dia akan bisa mempelajari gerakan-gerakan
itu kelak.
Ciu Pek Thong yang telah termakan
umpan yang disebar Yo Him, telah menoleh kepada Yo Ko, katanya: „Yo Ko lihatlah
anakmu ini kurang ajar Sekali! Dia jelas-jelas telah kurubuhkan, tapi dia tidak
mengaku.....”
Yo Ko tersenyum!
„Justru engkau yang salah” katanya.
„Aku yang salah?”
„Ya, engkau yang salah,” kata Yo Ko
kemudian dengan suara yang amat keras sambil diiringi suara tertawanya yang
bergelak-gelak!
„Aku salah apa?”
Ciu Pek Thong tampaknya jadi penasaran
sekali, sehingga dia telah mengawasi dengan mata yang dipentang lebar-lebar
menatap Yo Ko.
„Kau ingin tahu kesalahanmu?”
„Cepat katakan, beritahukan kepadaku!”
kata Ciu Pek Thong tidak sabar.
„Aku pasti akan memberitahukan
kepadamu, tetapi sekarang yang terpenting engkau sendiri mengakui dirimu salah
atau tidak?!”
„Aku bersalah.....!” Ciu Pek Thong
jadi menatap Yo Ko dan Siauw Liong Lie bergantian dengan mimik muka seperti
orang yang kebingungan, tetapi kemudian dia tertawa bergelak-gelak.
„Aku tahu.....! Aku telah tahu.....!”
kata Ciu Pek Thong setelah berdiam diri sejenak. ,,Engkau tentu ingin
mengatakan aku bersalah karena tidak meminta ijin dari kalian berdua sebagai
orang tua dari anak itu, dan telah melakukan penyerangan, bukan?”
„Ohh..... bukan itu, bukan itu!” kata
Yo Ke cepat. „Bukan itu kesalahanmu!”
Ciu Pek Thong jadi semakin penasaran,
dia memang seorang yang tidak sabaran dan selalu mengerjakan apa-apa hanya
menuruti kehendak hati kecilnya saja!
„Cepat kau beritahukan padaku.....
cepat! Kalau tidak aku akan menangis.....!” kata Ciu Pek Thong sambil membanting-bantingan
kakinya.
28.56. Keberutalan Oey Lo-sia
„Kau ingin menangis?’ tanya Yo Ko
sambil tersenyum lebar.
„Ya kalau engkau mempermainkan aku,
aku akan segera menangis,” menyahuti Ciu Pek Thong sambil mementang matanya
lebar-lebar dan membanting-banting kakinya.
„Kalau memang engkau ingin menangis,
menangislah!” kata Yo Ko sambil tertawa. Sedangkan yang lainnya, telah
tersenyum-senyum karena menganggap kelakuan Ciu Pek Thong memang lucu sekali
kekanak-kanakan.
Saat itu Yo Him telah berkata pula:
„Ciu Kong-kong, hayo kita mulai main-main lagi.....!”
„Tunggu dulu bocah cilik aku ingin
minta keterangan ayahmu mengapa dia mengatakan aku yang bersalah!” dan setelah
berkata begitu Ciu Pek Thong menoleh lagi kepada Yo Ko, lalu memandang kepada
Siauw Liong Lie yang saat itu tengah mengawasinya juga dengan tersenyum-senyum.
„Nyonya yang baik hatinya, yang
pemurah hati…..... coba tolong engkau jelaskan apa maksud suamimu yang
mengatakan bahwa aku ini bersalah….”
Siauw Liong Lie mengangkat bahunya, dia
telah tertawa kemudian katanya: „Aku mana tahu ….!” Lalu Siauw Liong Lie
menoleh kapada suaminya. „Ko-jie katakanlah apa yang kau ketahui itu, jangan
membuat Ciu Koko jadi begitu gelagapan.”
„Benar, benar,” kata Ciu Pek Thong.
„Jangan membuat aku gelagapan…. Apakah engkau tidak kasihan kepadaku si tua
ini!” dan kata-kata Ciu Pek Thong ditujukan kepada Yo Ko.
Keruan saja lainnya jadi tertawa geli
karena menganggap sikap Ciu Pek Thong memang benar-benar jenaka sekali.
Yo Ko setelah puas tertawa, baru berkata:
„Loo-boan-thong, apakah engkau tidak merasakan bahwa dirimu bersalah?”
Ciu Pek Thong menggelengkan kepalanya
cepat-cepat beberapa kali.
„Aku merasa tidak melakukan kesalahan.
Jika tadi anakmu itu kulemparkan juga bukan dengan maksud jahat, karena tenaga
lemparan itu telah kuperhitungkan sehingga tidak membahayakan jiwa anak kalian
itu, si bocah licik!”
Yo Ko tersenyum lagi,
„Loo-boan-thong, engkau adalah orang
dari golongan tua, bahkan jauh lebih tua dari kami, lebih tinggi tingkat
derajatmu, dan sekarang engkau ingin bertempur dan menghina seorang anak kecil
seperti Him-jie? Bukankah dengan merubuhkan Him-jie engkau tidak bisa
membanggakan kemenanganmu itu, karena Him-jie merupakan golongan Boanpwee yang.
tidak memiliki kepandaian berarti apa-apa..... Nah, dengan demikian bukankah
engkau telah melakukan kesalahan yang tidak tahu malu? Apa yang bisa
dibanggakan jika engkau memperoleh kemenangan dari kaum Boanpwe seperti Yo Him?
Mendengar perkataan Yo Ko, Ciu Pek
Thong tertegun sejenak, matanya terbuka lebar tampaknya dia kaget, sampai
akhirnya ketika dia tersadar dari bengongnya, dia telah menepuki keningnya.
,,Akhhh, memang aku yang konyol dan
tidak tahu malu! Memang benar apa yang kau katakan saudara Yo!” seru Ciu Pek
Thong setelah memukul keningnya beberapa kali.
Yo Ko dan yang lainnya jadi tertawa
geli melihat kelakuan Ciu Pek Thong.
Sedangkan Yo Him telah beseru lagi,
„Ciu Kong-kong, ayo mulai main-main lagi..... bukankah aku belum dirubuhkan
olehmu ‘?”
“Tidak mau! Tidak mau!” bentak Ciu Pek
Thong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu tiba-tiba saja dia
membungkukkan tubuhnya menjura kepada Yo Him. „Engko kecil”, katanya lagi.
„Biarlah aku disebut orang tua yang tidak bisa merubuhkan engkau, karena aku
tidak mau jika nanti disebut si tua menghina si kecil! Biarlah aku membatalkan
saja maksudku untuk bertanding denganmu!”
Semua orang yang mendengar perkataan
Ciu Pek Thong jadi tidak bisa menahan perasaan geli di hati mereka. Tetapi Ciu
Pek Thong tidak memperdulikan semua orang yang telah mentertawakan dirinya,
karena dia memang seorang yang jenaka dan periang.
Waktu itu Ciu Pek Thong juga telah
menoleh kepada Yo Ko, tanyanya, „Mengapa yang lainnya belum datang?”
„Mungkin mereka agak terlambat,
biarlah kita tunggu saja beberapa saat lagi mungkin besok mereka akan tiba!”
menjelaskan, Yo Ko.
Sedangkan Siauw Liong Lie hanya
tersenyum saja waktu melihat Ciu Pek Thong membanting-banting kakinya, seperti
seorang anak kecil yang tengah ngambul.
„Aku terburu-buru kemari, karena takut
terlambat. Tetapi sekarang, buktinya mereka itu belum juga datang! Jika aku
mengetahui akan demikian, lebih baik aku tidak perlu tergesa-gesa kemari.”
Jengkel sekali tampaknya Ciu Pek Thong, mukanya juga murung,
Yo Ko tersenyum.
„Loo-boan-thong, tepatnya engkau
datang kemari merupakan suatu kebanggaan untukmu. Bukankah engkau tidak
mempergunakan waktu karet dan terlambat datang seperti lainnya? Maka dari itu
engkau berarti bisa menepati janji dengan tepat sekali.”
Terhibur juga hati Ciu Pek Thong
mendengar perkataan Yo Ko!
Tetapi baru saja Ciu Pek Thong mau
berkata lagi, muka Yo Ko telah berobah, dia memberi isyarat agar semuanya
berdiam diri!
Siauw Liong Lie yang memiliki
pendengran tajam seperti Yo Ko, telah mendengar juga sesuatu.
„Suara langkah-langkah kaki orang,”
kata Siauw Liong Lie dengan suara perlahan,
„Mungkin mereka telah datang, didengar
dari suara langkah kakinya yang ringan, tentu mereka yang memiliki kepandaian
tinggi. Hemm, nanti aku akan mentertawakan mereka yang datang terlambat seperti
itu,” kata Cui Pek Thong seperti juga gembira sekali mengingat dia yang telah
tiba lebih dulu.
Suara-suara langkah kaki itu terdengar
semakin, mendekat.
Yo Ko heran sekali. Langkah kaki itu
walaupun menunjukkan bahwa orang-orang yang tengah mendatangi itu adalah orang
yang memiliki ginkang tinggi, namun kenyataannya tidak setinggi ginkang
orang-orang yang telah diundangnya, seperti Oey Yok Su, It-teng Taysu dan
jago-jago lainnya. Terlebih lagi memang dari sekian banyak suara
langkah-langkah kaki itu menunjukkan bahwa yang tengah mendatangi banyak sekali
mungkin lebih dari limapuluh orang.
Yo Ko mengerutkan sepasang alisnya.
Tiba-tiba terdengar suara orang
membentak, „Monyet-monyet kecil, apa maksud kalian mendaki Hoa-san?!”
Suara itu dikenal oleh Yo Ko dan Ciu
Pek Thong maupun Siauw Liong Lie karena mereka tahu bahwa kata-kata itu
diucapkan oleh Oey Yok Su majikan dari pulau Tho-hoa-to.
Yo Ko cepat-cepat berdiri, lalu
menghampiri ke arah dari mana suara Oey Yok Su didengarnya, begitu juga yang
lainnya telah cepat-cepat menyusul Yo Ko.
Waktu mereka tiba di hutan kecil,
mereka seorang lelaki berpakaian hijau, berusia telah lanjut dengan topinya
yang berwarna hijau pula, tengah berdiri membelakangi mereka menghadang puluhan
orang, mungkin lebih dari limapuluh orang yang berpakaian bermacam-macam. Ada
yang berpakaian ringkas sebagai busu, guru silat, ada juga yang berpakaian
seperti Tojin.
Salah seorang dari orang banyak itu
telah menjura sambil katanya dengan suara yang ramah: „Kami mendengar berita
bahwa Cap-go di bulan ini akan diadakan penemuan orang-orang gagah di Hoa-san,
maka kami tertarik untuk ikut menyaksikan pertemuan orang gagah dari tempat
yang jauh kami telah datang kemari. Kami harap para eng-hiong tidak keberatan
untuk kehadiran kami ini!”
Tetapi Oey Yok Su yang memang terkenal
sangat aseran telah berkata dengan suara yang dingin.
„Hemm, aku tidak mau perduli apa
maksudmu, tetapi yang jelas kalian telah penuhi datang ke Hoa-san untuk
menyaksikan Eng-hiong Tay-hwee (pertemuan para jago), tentunya kalian memiliki
kepandaian yang tinggi dan cukup bisa kalian andalkan. Nah, sekarang siapa yang
ingin meneruskan niatnya, silahkan maju. Jika orang itu bisa sepuluh jurus
bertahan dari seranganku, tentu aku akan memberikan hak padanya untuk ikut hadir.”
Kwee Siang saat itu yang melihat Oey
Yok Su tengah menghadang orang-orang itu, dia sudah tidak bisa mempertahankan
perasaannya lagi, dia telah berlari menghampiri sambil berseru: „Ya-ya….” dan
kakeknya itu telah dirangkulnya dengan manja sekali.
Oey Yok Su mengusap-usap kepala
cucunya itu dengan penuh kasih sayang.
„Cucuku, engkau berada disini?”
tanyanya dengan sabar sekali
“Oey Pehpeh (paman Oey), aku Yo Ko
menghunjuk hormat,” kata Yo Ko sambil menggerakkan tangan kiri tunggalnya itu
memberi hormat kepada Oey Yok Su.
Siauw Liong Lie, Phang Kui In dan Yo
Him bergantian memberi hormat kepada Oey Yok Su.
Sedangkan para orang-orang gagah yang
semula ingin datang menghadiri Eng-hiong Tay-hwee di Hoa-san jadi berdiri diam
saja, karena mereka melihatnya bahwa di tempat itu sekarang telah berkumpul
orang-orang kuat, seperti Yo Ko, Siauw Liong Lie dan yang lain-lainnya.
“Syukurlah bahwa kalian telah bisa
berkumpul pula! Dan kau Yo Hujien, selama belasan tahun lamanya Yo Ko sangat
menderita mencari-cari kau,” dan Oey Yok Su tersenyum, karena dia melihat
betapa Kwee Siang telah semakin dewasa dan tampak jauh lebih matang.
Sedangkan Siauw Liong Lie yang digoda
oleh Oey Yok Su jadi menundukkan kepalanya karena malu.
Setelah itu, Oey Yok Su berdiri
menghadapi rombongan orang-orang persilatan itu sambil katanya: „Nah, sekarang
siapa ingin memulainya, silahkan maju! Jika dapat bertahan sepuluh jurus dari
seranganku, maka aku yang mengijinkan orang itu naik ke puncak Hoa-san!”
Semua orang itu jadi ragu-ragu, karena
mereka mengetahui benar bahwa Oey Yok Su merupakan jago tua yang sudah sulit
dicari tandingannya.
„Hayo..... siapa yang ingin
memulainya?” tanya Oey Yok Su lagi.
„Aku akan mencobanya!” kata seseorang
yang telah melangkah maju, seorang lelaki berusia empatpuluh tahun dengan
bentuk mukanya yang segi tiga seperti muka tikus. „Aku Bian Sin Wan, ingin
meminta petunjuk-petunjuk dari Oey Lo-enghiong.” Lalu orang tersebut, yang
mengaku bernama Bian Sin Wan telah memberi hormat,
„Mulailah, jangan terlalu banyak
peradatan!” kata Oey Yok Su dengan muka yang dingin.
Bian Sin Wan rupanya telah nekad untuk
menghadapi sepuluh jurus serangan Oey Yok Su karena jika dia berhasil tentu dia
akan diperbolehkan menonton pertemuan besar para orang gagah. Sepuluh jurus
pikir Bian Sin Wan bukanlah terlalu banyak, jika dia bertahan terus untuk dapat
membela diri dari sepuluh kali serangan Oey Yok Su, tentu dia akan lolos dari
ujian itu.
Oey Yok Su sebagai tokoh yang
rnemiliki nama sangat besar dalam rimba persilatan, tentu tidak akan menarik
kembali janjinya itu.
„Aku sudah, Oey Locianpwe!” kata Bian
Sin Wan sambil memasang kuda-kuda yang sangat kokoh sekali.
Oey Yok Su tertawa dingin, dia maju
satu tindak dengan sikap yang tenang, kemudian dia menggerakkan tangan kirinya
perlahan sekali, tetapi angin yang berhamburan dari telapak tangannya itu telah
menghantam orang she Bian tersebut.
Bian Sin Wan juga termasuk jago
pertengahan yang memiliki sepandaian cukup tinggi, maka melihat dirinya
diserang dengan pukulan Pek-kong-ciang (Pukulan Udara Kosong), dia cepat-cepat
menggeser kaki kanannya setengah lingkaran, lalu dengan jurus
‘Pian-hoa-sin-hin’ atau Arwah Sakti Merobah Ujud, maka serangan Oey Yok Su
sekali ini telah gagal mengenai dirinya.
Tetapi Oey Yok Su tidak berhenti hanya
sampai disitu saja, dia telah mengeluarkan suara bentakan: „Inilah jurus yang
kedua!” dan Oey Yok Su telah menyerang dengan jari telunjuknya seperti sedang
menulis di udara dari ujung jari telunjuknya meluncur angin serangan yang kuat
sekali.
Kali ini Bian Sin Wan tidak bisa
mengelakkannya, karena serangan Oey Yok Su yang disertai tiga bagian tenaga
dalamnya telah menerjang dirinya dan tahu-tahu Bian Sin Wan telah mengeluarkan
suara jeritan kesakitan, tubuhnya terpental dan ambruk di atas tanah dalam keadaan
pingsan.
Semua orang yang menyaksikan hal itu
jadi berdiri bengong, karena mereka melihat kawan mereka yang seorang itu hanya
dalam dua jurus saja telah berhasil dirubuhkan oleh Oey Yok Su.
Sedangkan Yo Ko, Siauw Liong Lie,
Siauw Goat Lan, Yo Him dan yang lain-lainnya berdiri kagum menyaksikan Oey Yok
Su hanya dalam dua jurus, bahkan jurus keduanya hanya mempergunakan jari
telunjuknya saja, seperti ilmunya It-teng Taysu yaitu It-yang-cie, si jari
tunggal, telah bisa merubuhkan lawannya yang tidak lemah itu.
„Siapa yang ingin mencoba lagi?” tanya
Oey Yok Su dengan suara yang dingin.
Rombongan orang yang berjumlah kurang
lebih limapuluh orang itu telah bungkam tidak ada yang menyahuti.
Tetapi selang sejenak, tiba-tiba orang
yang berpakaian Tojin telah melangkah maju sambil katanya: „Oey Locianpwe,
pinto Sung-kian Cinjin ingin coba-coba merasakan tanganmu, harap Locianpwe
tidak berlaku terlalu keras padaku!”
„Hemm,” Oey Yok Su hanya mendengus
dingin saja.
Kemudian Sung-kian Cinjin mengebutkan
hud-timnya sambil berkata: „Pinto telah siap, Locianpwe!”
Oey Yok Su tidak menyahuti, dia hanya
berkata dengan suara halus kepada Kwee Siang: „Minggirlah cucuku, biarlah aku
memberi pelajaran kepada monyet tengik ini!”
Muka Sung-kian Cinjin jadi berobah
merah, walaupun dia mengetahui Oey Yok Su sangat tinggi sekali kepandaiannya,
tetapi dia jadi mendongkol dan marah dirinya disebut sebagai seekor monyet yang
tengik. Namun karena Oey Yok Su merupakan dedengkot dari jago-jago di rimba
persilatan, dia berusaha tidak memperlihatkan kemendongkolannya itu, hanya
diam-diam dia telah memperkuat kedudukan kuda-kuda kedua kakinya.
Oey Yok Su menghampiri perlahan-lahan,
dan kemudian waktu jarak mereka terpisah dua tombak, Oey Yok Su berkata:
„Sebetulnya kepandaianmu itu tidak ada artinya, engkau hanya mengenal
kepandaian dasarnya saja. Dalam satu jurus saja engkau akan bisa kurubuhkan!”
Mendengar perkataan Oey Yok Su,
Sung-kian Cinjin jadi tambah mendongkol. Begitu juga kawan-kawannya yang
berjumlah limapuluh orang lebih itu jadi mendongkol juga, mereka menganggap
bahwa Oey Yok Su terlalu sombong.
Sung-kian Cinjin telah menjura dan
katanya dengan suara yang tawar: „Memang kepandaian pinto yang bodoh sangat
rendah sekali..... itulah sebabnya maka pinto bermaksud untuk meminta petunjuk
dari Locianpwe.”
„Hemmm, hatimu tentu tidak senang
mendengar aku mengatakan dalam satu jurus bisa mengalahkanmu, bukan?” kata Oey
Yok Su yang seperti dapat membuka perasaan si Tojin.
Sung-kian Cinjin telah mengangguk
sambil katanya: „Itu terserah pada Oey Locianpwe, jika memang Oey Locianpwe
berlaku keras, berarti pinto akan buruk dengan bercacad.”
Itulah kata-kata yang merendahkan
diri, tetapi di dalam kata-kata itu terdapat ejekan untuk Oey Yok Su, karena
imam itu ingin menyatakan jika saja Oey Yok Su gagal merubuhkannya dalam satu
jurus, berarti Oey Yok Su akan kehilangan muka. Sedangkan Sung-kian Cinjin
sendiri yakin, jika hanya satu jurus tentu dia bisa mengadakan pembelaan dan
penjagaan diri yang ketat agar tidak sampai rubuh di tangan Oey Yok Su.
Yo Ko dan yang lain-lainnya menyadari
bahwa Oey Yok Su bukan bicara besar, karena tokoh tua persilatan itu memang
memiliki kepandaian yang telah sempurna sekali. Jangankan Sung-kian Cinjin,
sedangkan Yo Ko atau Siauw Liong Lie belum tentu dapat menghadapi sebanyak
seratus jurus jika bertempur dengan jago tua she Oey yang menjadi pemilik pulau
Tho-hoa-to tersebut.
„Hayo mulai!” kata Oey Yok Su dengan
suara yang dingin.
Sung-kian Cinjin juga sudah tidak
berlaku sungkan-sungkan lagi, dengan mengeluarkan suara yang perlahan: „Jangan
terlalu keras menjatuhkan tanganmu, Oey Locianpwe.” Imam itu telah menggerakkan
tangan kanannya akan mencengkeram bahu Oey Yok Su, sedangkan tangan kirinya
menghantam ke arah perut Oey Yok Su.
Cara menyerang imam itu memang
merupakan serangan yang cukup nekad, karena dengan menyerang seperti itu dia
harus mempertaruhkan keselamatan jiwanya, sebab dia melancarkan serangan
tersebut tanpa mengadakan suatu penjagaan dirinya. Tetapi jika menghadapi
seorang jago yang berkepandaian berimbang dengan kepandaiannya mungkin Tojin
itu bisa merubuhkan lawannya.
Justru sekarang yang dihadapinya
adalah Oey Yok Su, tokoh dan dedengkot dari rimba persilatan. Walaupun Tojin
itu telah berlaku nekad, mana bisa dia merubuhkan Oey Yok Su.
Bahkan ketika tangan kirinya hampir
menghantam perut Oey Yok Su dan tangan kanannja belum lagi sempat mencapai
pundak tokoh she Oey itu, dengan gerakan yang sangat ringan sekali Oey Yek Su
tahu-tahu melejit ke samping dan telah berada di belakangnya si Tojin.
Sebelum Sung-kian Cinjin sempat
menyadari akan kegagahan itu dengan jurus ‘Ju-coan-swie-jin’ atau Pukulan
Menembus Air, Oey Yok Su telah menolak punggung Tojin itu.
Cara menolak dari tangan Oey Yok Su
tampaknya perlahan sekali, tetapi kesudahannya sangat hebat, tubuh Sung-kian
Cinjin jadi terjerembab ke tanah, mukanya menghantam batu kerikil yang ada di
tanah, sehingga giginya rontok dua buah!! Waktu Tojin itu bangun, mulutnya
telah membengkak.
Semua orang yang menyaksikan kejadian
seperti ini benar-benar jadi takluk dan kagum atas kepandaian Oey Yok Su.
Karena Sung-kian Cinjin sebetulnya bukan jago sembarangan, tetapi dalam satu
jurus saja ternyata Oey Yok Su telah bisa merubuhkannya. Tidak kecewa Oey Yok
Su diakui sebagai seorang guru besar di rimba persilatan.
Limapuluh orang lebih kawan si imam
jadi ciut nyalinya, tidak seorangpun yang berani untuk maju mencoba-coba
kepandaiannya.
Sung-kian Cinjin telah merangkak
bangun dan dengan muka merah padam karena malu dan marah, dia kembali ke rombongan
kawan-kawannya tanpa mengatakan sesuatu apapun juga.
„Sungguh kepandaian yang sangat indah
dan menakjubkan!” tiba-tiba terdengar suara nyaring yang telah memuji.
Waktu semua orang menoleh, dari balik
batang pohon telah melangkah perlahan-lahan seorang hweshio tua yang herusia
lanjut dengan jenggotnya yang berwarna putih, sedang berjalan menghampiri ke
arah mereka.
Yo Ko dan yang lainnya jadi girang,
bahkan Ciu Pek Thong telah melompat-lompat sambil tertawa kemudian disusul
dengan kata-katanya: „Tua bangka It-teng, ternyata engkau datang terlambat.....
lihat, aku telah datang lebih dulu!”
Orang yang baru muncul itu memang
It-teng Taysu, pendeta dari selatan.
Dengan tersenyum ramah tampak It-teng
Taysu merangkapkan sepasang tangannya, dia telah berkata sabar: „Ya, memang
Lolap datang terlambat..... maafkan Ciu eng-hiong!”
Mendengar dirinya disebut sebagai Ciu
eng-hiong, pendekar gagah she Ciu, bukan seperti biasanya dipanggil si tua
bangka Loo-boan-thong, dengan sendirinya Ciu Pek Thong jadi kegirangan dan
telah melompat-lompat.
„Lihat, aku si Loo-boan-thong telah
memperoleh kemenangan, dapat menepati janji tidak datang terlambat!” dan dia
tertawa bergelak-gelak.
It-teng Taysu telah menjura memberi
hormat kepada Oey Yok Su, sambil katanya: „Oey heng, apakah sudah hadir
semuanya?” dia memanggil Oey Yok Su dengan sebutan Oey heng, yaitu Saudara she
Oey.
„Akupun baru sampai, jika memang
engkau ingin bertanya, tanyakan saja kepada Yo Ko.....!” aseran dan tawar
sekali suara Oey Yok Su.
Saat itu Yo Ko, Siauw Liong Lie dan
yang lainnya telah menghampiri It-teng Taysu dan memberi hormat.
Waktu mengetahui Yo Him adalah putera
dari Yo Ko dan Siauw Liong Lie, dan kini telah meningkat besar hampir dewasa
malah sekarang bisa kumpul dengan ayah bundanya, maka It-teng Taysu jadi girang
bukan main.
„Bagus! Bagus! Mudah-mudahan setelah
pertemuan besar yang kita adakan ini. Semuanya akan memperoleh nasib baik!
Omitohud! Omitohud! Alangkah menggembirakan sekali kalian telah bisa
berkumpul!” kata It-teng Taysu.
„Eh, pendeta tua bangka, apakah engkau
telah bersiap-siap untuk memulai pertemuan kita ini?” tanya Oey Yok Su deagan
suara menegur.
It-teng Taysu tertawa.
„Oey-heng, engkau tidak perlu kesusu,
kau bereskan dan selesaikan urusanmu dengan kelimapuluh orang itu.....!” kata
It-teng Taysu.
Oey Yok Su tertawa dingin.
“Tidak ada seorang pun diantara mereka
yang boleh mendaki puncak Hoa-san, karena mereka bukan manusia-manusia yang ada
artinya, hanya kurcaci dan para bu-beng-siauw-cut (maling kecil dan rendah tidak
memiliki nama)!”
Mendengar perkataan Oey Yok Su maka
kelimapuluh orang lebih itu telah berobah! Mereka mendongkol dan marah, tetapi
apa yang bisa mereka lakukan terhadap tokoh persilatan she Oey yang memang
memiliki kepandaian sangat tinggi dan sempurna sekali.
Di saat itu tampak Oey Yok Su telah
menghadapi kelimapuluh orang itu dengan sikap yang angkuh sekali, seperti juga
dia memandang rendah dan menjemukan. Kemudian dia menggerakkan tangan kanannya
yang dikebutkan perlahan dengan angkuh.
„Kalian cepat menggelinding pergi!”
Muka kelimapuluh orang gagah itu, yang
terdiri dari para jago-jago yang memiliki nama di dalam rimba persilatan jadi
berobah, mereka mendongkol sekali sampai ada diantara mereka yang tersinggung,
tetapi tidak memiliki keberanian untuk menentang Oey Yok Su, telah membalikkan
tubuhnya ingin turun gunung kembali.
Tetapi saat itu It-teng Taysu telah
berkata dengan suara yang sabar.
„Siancay! Siancay! Mengapa mereka
dilarang untuk sekedar menyaksikan? Bukankah mereka tidak bermaksud mengambil
bagian dalam pertemuan kita ini...... mereka hanya ingin menyaksikan untuk
menambah pengalaman saja….....”
„Hmmm.....” mendengus Oey Yok Su
dengan suara yang aseran sekali. „Dengan adanya mereka, tentu akan mengganggu
pertemuan kita! Apa untungnya mereka berada di Hoa-san, hanya mengganggu
pencurahan perhatian kita dan juga pertemuan kita tentu terganggu dengan adanya
mereka!”
Setelah berkata begitu Oey Yok Su
telah mendelikkan matanya kepada rombongan para jago-jago itu, sambil
bentaknya: „Mengapa kalian tidak cepat-cepat menggelinding pergi? Apakah ingin
aku yang melempar-lemparkan kalian ke bawah gunung?” Waktu berkata begitu,
wajah Oey Yok Su tampaknya kejam dan dingin sekali, tidak memantulkan perasaan
kasihan sedikitpun juga.
Kelimapuluh lebih orang-orang itu
memang gentar dan hati mereka tergetar karena melihat sikap Oey Yok Su yang
galak. Namun dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara
bergelak-gelak dari rombongan orang tersebut, suaranya sangat keras dan
nyaring.
„Sungguh gagah! Sungguh gagah!” kata
suara itu kemudian sambil melompat keluar dari rombongan para jago tersebut.
Waktu Yo Ko dan yang lainnya melihat
orang yang melompat keluar itu, muka mereka jadi berobah, bahkan Yo Ko dengan
sengit telah berkata:
„Oh, kiranya engkau?”
„Benar! Benar! Memang aku! Memang aku
yang ingin mengambil bagian dalam pertempuran dan pertemuan di Hoa-san
ini.....!” menyahuti orang itu. Dialah Tiat To Hoat-ong.
Siauw Liong Lie sendiri yang teringat
betapa dulu dia telah didesak oleh pendeta Lhama dari Mongol ini sampai jatuh
ke dalam lembah dan terpisah dengan anaknya, Yo Him, jadi marah sekali waktu
melihat Tiat To Hoat-ong. Tetapi di saat itu Siauw Liong Lie teringat sedang
berkumpul orang-orang gagah yang menjadi tokoh dan dedengkot persilatan,
seperti Oey Yok Su dan It-teng Taysu, maka Siauw Liong Lie hanya bisa menahan
kemarahan hatinya dan berdiri diam saja dengan mata mengawasi Tiat To Hoat-ong
dengan sorot mata mengandung kebencian.
Tiat To Hoat-ong telah memperdengarkan
suara tertawanya lagi.
„Bolehkah aku ikut mengambil bagian
dalam pertemuan di Hoa-san ini?” tanyanya kemudian sambil matanya memandang
kepada It-teng Taysu, kemudian Oey Yok Su. lalu Yo Ko, Siauw Liong Lie, seperti
juga dia ingin meminta kepastian dari orang-orang tersebut.
Oey Yok Su yang terkenal memiliki adat
sangat aneh telah memperdengarkan suara tertawa menyeramkan, dia berkata dengan
suara yang dingin.
„Jika engkau bisa menyambut sepuluh
jurus seranganku, engkau diperbolehkan ikut mengambil bagian dalam pertemuan di
Hoa-san ini….!” Dingin sekali suara Oey Yok Su, dia juga seperti memandang
rendah kepada Tiat To Hoat-ong.
Pendeta Lhama diri Mongolia itu telah
mengeluarkan suara tertawa mengejek kemudian katanya:
„Jika sekarang aku harus berhadapan
denganmu, berarti pertemuan para orang-orang gagah di Hoa-san ini telah dibuka
bukan?”
Licik sekali kata-kata Tiat To
Hoat-ong karena dia berkata dengan alasan yang kuat. Dia memang hendak
mengelakan diri dari bentrokan dengan Oey Yok Su, maka sengaja dia mengajukan
pertanyaan seperti itu.
„Mengapa harus telah dibuka pertemuan
para orang gagah di Hoa-san ini? Syarat yang kuajukan itu merupakan syarat
pribadiku, tidak ada hubungannya dengan pertemuan para orang gagah di Hoa-san.
Jika memang engkau bisa menghadapi sepuluh jurus seranganku berarti engkau ada
harganya untuk ikut ambil bagian dalam pertemuan di Hoa-san ini dimana nanti
kami akan mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang terpandai! Sekarang
jika engkau gagal menerima sepuluh jurus seranganku, apa artinya manusia
seperti engkau turut ambil bagian, hanya bisa mengacau saja!!”
Mendengar perkataan Oey Yok Su muka
Tiat To Hoat-ong jadi berobah.
„Belum tentu dalam sepuluh jurus
engkau bisa merubuhkan aku!” kata hati kecilnya. Tetapi dengan tersenyum mulutnya
berkata lain.
„Justru kalau bertempur dulu berarti
aku telah turut ambil bagian untuk penemuan orang-orang gagah di Hoa-san ini!
Terlebih lagi, memang aku diutus oleh Kaisar Kubilai Khan untuk mengadakan
kontak dengan pihak kalian, para jago di daratan Tiong-goan ini......”
Oey Yok Su yang memiliki adat aneh
tetapi cerdas telah berkata: „Kalau begitu belasan tahun yang lalu di mana kami
masing-masing menerima sepucuk surat undangan ke Hoa-san dengan memalsukan nama
kami, pekerjaan kau juga?”
„Benar!” mengangguk Tiat To Hoat-ong
sambil tertawa. „Memang aku telah perintahkan orangku yang ahli menjiplak huruf
dan tanda tangan untuk memancing kalian berkumpul di Hoa-san, agar kami bisa
mengadakan hubungan. Tetapi apa yang terjadi ternyata berlainan dengan apa yang
kami kehendaki, kalian telah saling berpisah…. maka sekarang adalah kebetulan
yang menggembirakan sekali. Kita bisa saling bertemu dan berkumpul, bukankah
ini merupakan urusan yang menyenangkan sekali?”
„Kau..... diperintahkan oleh Kaisar Mongol
itu?” bentak Oey Yok Su yang sikapnya menjadi bersungguh-sungguh.
„Tentu! Justru aku diutus untuk
mengadakan kontak dengan kalian, para pendekar gagah perkasa,” mengangguk Tiat
Hoat-ong.
Mendengar sampai disitu, Oey Yok Su
rupanya tidak bisa menahan kemarahan yang bergolak dihatinya, dengan
mengeluarkan bentakan:
„Manusia rendah.....” tangan kirinya
telah bergerak dengan gerakan yang melintang mempergunakan jurus
‘Liong-heng-coan-ciang’ atau Naga Menembus Tangan, kemudian disusul dengan
kakinya bergerak ke arah kempolan Tiat To Hoat-ong dengan tendangan
Lian-hoan-tui atau tendangan berantai.
Tiat To Hoat-ong telah bersiap-siap
sejak tadi, maka ia tidak menjadi terkejut melihat datangnya serangan seperti
itu. Dia telah mengeluarkan suara bentakkan yang sangat keras sekali, dan
memutar tubuhnya agak miring ke kanan, tangan kirinya di angkat seperti juga
akan mencengkeram, dan perutnya dikempiskan dan dimiringkan ke belakang
sedikit, tangan kanannya dipergunakan untuk menotok jalan darah di pinggul Oey
Yok Su. Gerakan yang dilakukannya itu merupakan gerakan yang sangat manis
sekali, karena dia telah mempergunakan jurus ‘Lie-kong-sia-ciok’ atau Lie-kong
Memanah Batu, gerakan itu cepat sekali.
Oey Yok Su tidak gentar melihat cara
menyerang lawannya, dengan mengeluarkan dengusan „hmmm,” tampak tangan kanannya
diangkat, dia telah melancarkan serangan dengan jurus ‘Ging-hong-tan-tim’ atau
Menyambut angin dengan menyentakkan debu, walaupun hanya dengan jari tangannya,
tetapi gerakan jari tangan Oey Yok Su membawa angin yang menderu-deru.
Terpaksa Tiat To Hoat-ong melompat
mundur menjauhi diri, sambil bergerak mundur Tiat To Hoat-ong telah berkata:
„Tahan..... aku ingin bicara!”
Oey Yok Su memperdengarkan suara
tertawa mengejek, tetapi tangannya tidak tinggal diam, dia telah melancarkan
serangan susulan dua kali berturut-turut dengan jurus ‘Hun-kin-co-kut’ atau
Memecahkan Otot Memindahkan Tulang, lalu disusul gerakan ‘Hui-hong-pay-liu’
atau Angin Meniup Pohon Liu.
Tiat To Hoat-ong jadi mengeluarkan
seruan kaget, karena ia tidak menyangka Oey Yok Su merupakan seorang tokoh
rimba persilatan yang sulit sekali diajak bicara.
Tetapi Tiat To Hoat-ong juga tidak
berani berlaku lambat, cepat sekali dia telah mengeluarkan suara bentakan yang
sangat keras sambil kedua telapak tangannya ditepukkan satu dengan yang
lainnya, karena dia memang melatih ilmu Yoga, dengan sendirinya lweekang dari
Tiat To Hoat-ong juga merupakan tenaga dalam yang tinggi dan aneh sekali. Waktu
dia menepuk kedua tangannya itu, dia telah memusatkan kekuatan inti tenaga
dalamnya itu, sehingga tubuhnya jadi kedot, karena ilmu Yoga yang
dipergunakannya kali ini hampir mirip dengan ilmu silat kebal di daratan
Tiong-goan yang bernama Tiat-po-san.
„Duk, duk, duk!” tiga kali tubuh Tiat
To Hoat-ong terserang oleh gempuran tangan Oey Yok Su, tubuhnya hanya tergetar
sedikit saja dan merasakan napasnya agak sesak.
Oey Yok Su sendiri waktu melihat
serangannya telah berhasil mengenai sasarannya, semula dia menduga bahwa Tiat
To Hoat-ong akan mengeluarkan suara jeritan dan tubuhnya terlempar keras. Namun
yang dilihatnya sebaliknya, justru di saat itu tubuh Tiat To Hoat-ong hanya
tergetar sedikit saja dan mukanya tetap tenang memperlihatkan senyum.
Tiat Tiat To-ong memang tidak mau
mempelihatkan kelemahannya, dia jadi tersenyum sambil disusuli dengan katanya:
„Hayo menyerang lagi! Hayo.....!”
katanya dengan suara yang menantang. „Mengapa bengong,” tegur Tiat To Hoat-ong,
Oey Yok Su meluap darahnya. Penasaran
bukan main dia tidak berhasil merubuhkan Tiat To Hoat-ong.
Sedangkan Ciu Pek Thong telah berseru
dengan suara yang nyaring- „Tua bangka she Oey, engkau jika rubuh di tangan si
gundul kerbau Mongol itu, jangan mempergunakan namamu lagi.....” dan setelah
berkata begitu Ciu-Pek Thong tertawa bergelak-gelak.
Oey Yok Su jadi semakin mendongkol
saja, dia telah mengeluarkan suara bentakan, „Jika aku kalah di tangan si
gundul dari Mongol ini, biarlah akan kugorot leherku dengan pedang dan berhenti
menjadi manusia.”
Mendengar perkataan Oey Yok Su, Ciu
Pek Thong memperdengarkan suara tertawanya lagi, kemudian kepada Yo Ko, Ciu Pek
Thong telah berkata: „Kita lihat saja buktinya, dia akan menepati janjinya atau
tidak!”