08.16. Hasrat Si Tuan Penolong
Sejak beberapa hari yang lalu orang
bertubuh tinggi besar dan kasar itu telah berusaha untuk mengobati Siauw Liong
Lie. Dengan mempergunakan beberapa ramuan obat, dia telah mencekoki nyonya yang
dalam keadaan pingsan tersebut, dan menyalurkan tenaga murni yang sejati
melalui telapak tangannya. Setelah lewat lima hari itulah, di saat si nyonya
telah tersadar, barulah jiwa Siauw Liong Lie terlolos dari bahaya kematian, dan
kesehatannya akan pulih perlahan-lahan.
Tetapi walaupun Siauw Liong Lie
berhasil diselamatkan jiwanya, dan kandungannya itu pun berhasil di
lindunginya, tetapi tetap saja ancaman bahaya yang tidak kecil mengancamnya,
yaitu jika dia tidak berobat secara sungguh-sungguh dan memperoleh pengobatan
yang baik, niscaya dia akan menjadi cacad, yaitu akan lumpuh sepasang kakinya,
karena sebagian isi perutnya, telah ada yang rusak akibat dahsyatnya serangan
yang dilancarkan Tiat To Hoat-ong. Yang lebih celaka lagi justru serangan itu
diterima Siauw Liong Lie dalam keadaan mengandung, maka keadaan tubuhnya
menjadi semakin lemah.
Namun orang bertubuh kasar itu ahli
meramu obat-obatan. Setelah lewat setengah bulan, akhirnya kesehatan Siauw
Liong Lie mulai pulih kembali. Tetapi atas anjuran dari penolongnya itu, Siauw
Liong Lie belum boleh turun dari pembaringan.
Setiap hari, orang bertubuh tinggi
kasar itu telah menyalurkan tenaga dalam sejatinya lewati telapak tangannya,
dimana telapak tangannya ditempelkan dengan telapak tangan Siauw Liong Lie. Dan
tenaga dalam itu menyelusup masuk ke dalam, menembus beberapa jalan darah
terpenting di tubuh nyonya Yo Itu, antara lain jalan darah Su-kiang-hiat di
pinggul, Bian-bo-hiat di pinggang, Liang-hie-hiat di atas lutut, Pian-cie-hiat
di paha kiri dan kanan nyonya itu, dan Lung-cie-hiat di leher Siauw Liong Lie.
Seharusnya seluruh jalan darah itu
mesti di urut dan ditotok. Namun karena teringat akan ikatan peraturan adat
istiadat, antara pantangan pria dan wanita yang tidak dapat bersentuhan, maka
penolong Siauw Liong Lie itu tidak berani menyentuh jalan darah itu. Dan
berhubung tenaga dalam orang bertubuh tinggi besar itu telah sempurna sekali,
dia bisa menyalurkan tenaga murninya melalui telapak tangan Siauw Liong Lie,
sehingga jiwa nyonya itu masih bisa tertolong.
Lewat lagi setengah bulan, keadaan
Siauw Liong Lie telah pulih sebagian besar. Nyonya Yo tersebut telah bisa turun
dari pembaringannya, telah bisa berjalan perlahan-lahan, dan sering memandangi
keindahan di sekitar tempat dimana dia berada.
Siauw Liong Lie juga telah melihat
bahwa dirinya berada di sebuah lembah gunung yang indah sekali. Di sekeliling
lembah itu terhalang oleh tebing yang tinggi sekali, sehingga lembah itu
seperti merupakan sebuah lembah yang letaknya tersembunyi dari dunia luar.
Keindahan yang terdapat di lembah itu memang menarik sekali, ditambah juga oleh
pohon-pohon bunga yang bermacam ragam bertumbuhan di situ.
Rumah sederhana yang di tempatinya itu
ternyata baru saja dibangun oleh tuan penolong Siauw Liong Lie, karena di saat
lelaki bertubuh kasar itu menolongi Siauw Liong Lie, dia telah cepat-cepat
membangun rumah tersebut dengan cabang dan dahan kayu, dengan mempergunakan
rumput kering sebagai atapnya.
Sebetulnya Lo Him menetap di sebuah
goa yang cukup luas, dan goa seperti itu memang banyak terdapat di
tebing-tebing di dalam lembah.
Siauw Liong Lie jadi merasa berterima
kasih sekali atas perawatan Lo Him. Dia melihat, usia Lo Him mungkin baru
empatpuluh tahun, namun karena lelaki tersebut tidak merawat diri dan tubuhnya,
yang membiarkan rambut dan kumis jenggotnya tumbuh panjang, dengan sendirinya
telah menyebabkan dia menjadi lebih tua dari usianya yang sesungguhnya.
Disamping itu, Lo Him seorang lelaki
yang tidak pandai bicara, dia kasar, namun hatinya sangat baik. Disamping
pendiam, Lo Him juga seperti tengah menderita tekanan bathin, karena wajahnya
selalu murung, memancarkan kedukaan hatinya.
Pernah Siauw Liong Lie menanyakan
mengapa Lo Him bisa menetap di lembah ini hanya seorang diri, tetapi lelaki
aneh itu tidak mau memberikan keterangannya. Bahkan dari sinar matanya,
tampaknya dia gusar sekali. Sehingga di hari-hari berikutnya Siauw Liong Lie
tidak berani mengemukakan pertanyaan serupa itu.
Lo Him setiap hari pergi mencari
binatang buruan, yang selalu dimasak dan disajikan kepada Siauw Liong Lie
dengan sikap yang ramah sekali, dia merawat Siauw Liong Lie dengan sikap yang
baik dan sopan, walaupun dia sering memperlihatkan sikap yang kasar.
Semula Siauw Liong Lie berkuatir juga.
Benar dia berkepandaian tinggi sekali, tetapi kini dia tengah terluka hebat dan
perlu beristirahat dalam waktu yang panjang sekali, disamping itu kandungannya
telah semakin besar pula. Maka jika Lo Him menolongi dirinya karena mengandung
maksud yang sangat kurang baik, maka dia mana bisa melakukan perlawanan,
apalagi Siauw Liong Lie telah mengetahui walaupun Lo Him mirip-mirip manusia
hutan, tetapi dia memiliki kepandaian yang luar biasa, disamping lwekangnya
yang sempurna sekali.
Tetapi setelah sebulan lebih Siauw
Liong Lie berdiam di lembah itu, maka perlahan-lahan dia bisa melihat bahwa
lelaki itu adalah seorang laki-laki yang baik. Lo Him sama sekali belum pernah
memperlihatkan sikap-sikap yang kurang ajar. Bahkan, sama sekali tidak tertarik
kepada Siauw Liong Lie, hanya dia lebih tertarik kepada kandungan Siauw Liong
Lie.
Suatu hari, Siauw Liong Lie tengah
duduk di bawah sebatang pohon siong yang berada di mulut lembah, dia mengawasi
ke langit, dimana awan-awan tampak tengah bergeser perlahan-lahan dengan
bentuknya yang indah-indah. Di saat seperti itu, Siauw Liong Lie teringat
kepada suaminya, dia rindu sekali kepada Yo Ko. Tetapi kemana dia harus mencari
Yo Ko, Sedangkan dia tengah terluka? Untuk keluar dari lembah itu, tentu saja
dia tidak berani, karena disamping dia tengah terluka dan kandungannya lemah,
juga dia takut kalau-kalau nanti bertemu dengan Tiat To Hoat-ong lagi. Jika
bertemu dengan pendeta busuk itu, maka berarti akan celakalah dia bersama
kandungannya.
Walaupun Siauw Liong Lie berkepandaian
tinggi, namun selama dia tengah mengandung kekuatan tenaga dalamnya berkurang
banyak dan diapun tidak bisa mengempos dan mempergunakan secara menyeluruh
kekuatan lwekangnya, karena bisa mengganggu kandungannya. Maka jalan
satu-satunya yang paling selamat ialah berdiam dulu di lembah ini, menanti sampai
bayinya terlahirkan. Dan kelak tanpa kandungannya, dia pasti akan dapat
memberikan perlawanan yang keras kepada Tiat To Hoat-ong, sambil mencari juga
suaminya..... di saat itu pun lukanya pasti telah sembuh kembali.
Siauw Liong Lie juga teringat, betapa
ketika Yo Ko mengetahui dia sedang mengandung bayinya itu sangat girang sekali,
hampir setiap malam Yo Ko mengusap-usap perutnya dengan penuh kasih sayang.
Tetapi kini mereka terpisah satu dengan yang lainnya, dan Siauw Liong Lie hanya
bisa menghela napas berulang kali. Sejak dia melihat Yo Ko di kuburan Mayat
Hidup, sampai akhirnya bergaul dan telah terikat sebagai pasangan suami isteri,
beberapa kali mereka selalu berpisahan, terpisah bercerai berai, bahkan yang
terakhir mereka pernah berpisah untuk jangka waktu selama enambelas tahun! Dan
kini di saat dia tengah mengandung bayi mereka, justru mereka telah berpisah
pula.
„Inilah nasib!” mengeluh Siauw Liong
Lie dan tanpa disadarinya dia telah menitikkan butir butir air mata.
Di saat dia tengah melamun seperti
itu, Siauw Liong Lie mendengar suara langkah kaki mendekati ke arahnya.
Cepat-cepat nyonya Yo ini telah menghapus air matanya, dilihatnya Lo Him tengah
menghampiri dirinya.
Muka Lo Him sore ini agak luar biasa
dia menghampiri ke arah Siauw Liong Lie dengan sorot mata yang tajam sekali,
mukanya juga tidak terlihat perasaan apapun juga, disebut tertawa bukan
tertawa, disebut menangis juga bukannya menangis..... sehingga hati Siauw Liong
Lie jadi tergoncang.
Ketika Lo Him sampai di dekat Siauw
Liong Lie, matanya yang bersinar itu telah memandang ke arah perut Siauw Liong
Lie.
„Tidak lama lagi dia akan lahir.....”
katanya dengan suara yang nadanya aneh dan membuat jantung Siauw Liong Lie
tambah tergoncang. Yang dimaksudkan dengan perkataan “dia”, oleh Lo Him adalah
janin bayi di dalam perut Siauw Liong Lie.
Melihat Siauw Liong Lie berdiam diri
saja Lo Him telah berkata lagi, „Akhhh, tentunya dia seorang bayi yang manis
sekali! Di waktu itu kau akan menjadi seorang ibu yang bahagia dan terbebas
dari kandungan.....!”
Mendengar perkataan Lo Him yang
terakhir itu, hati Siauw Lie Lie jadi tambah tergoncang. Walaupun bagaimana,
dia tetap saja seorang wanita, yang memiliki perasaan halus. Lo Him memang
telah menolongi jiwanya dan kandungannya maupun Sin-tiauw. Namun disamping itu,
diapun selalu berwaspada, berjaga kalau-kalau Lo Him menolonginya itu
mengandung maksud tertentu.
Terlebih lagi kini dia mendengar
perkataan Lo Him yang nadanya seperti juga mengharapkan Siauw Liong Lie
melahirkan anaknya cepat-cepat, agar Siauw Liong Lie cepat-cepat bebas dari
kandungannya. Kecurigaan Siauw Liong Lie semakin keras bahwa Lo Him ada
mengandung maksud tertentu. Dengan sendirinya, di hati Siauw Liong Lie muncul
perasaan muak dan tidak senang terhadap tuan penolongnya itu. Sepasang alisnya
mengkerut dalam-dalam dan dia berdiam diri saja.
Lo Him melihat Siauw Liong Lie berdiam
diri saja, dengan suara tergagap dia telah bertanya lagi,
„Engkau......mengharapkan lelaki atau perempuan?” tanyanya.
Siauw Liong Lie mengerti, Lo Him tentu
maksudkan anaknya itu.
„Yang mana saja, asal Thian
melindungi, aku telah bersyukur!” menyahuti Siauw Liong Lie dengan suara yang
dingin.
„Tetapi aku mengharapkan seorang anak
lelaki.....!” kata Lo Him.
„Mengapa begitu?” tanya Siauw Liong Lie
sebal sekali, tetapi karena ingin mengetahui, dia telah bertanya juga.
„Karena aku ingin mengambilnya menjadi
anakku!” kata Lo Him.
„Ha?” berseru Siauw Liong Lie
terkejut, wajahnya jadi pucat pias.
„Aku akan mendidik dia dengan ilmu
silat yang tinggi dan sempurna, agar kelak dia akan muncul sebagai seorang
pendekar yang gagah, sebagai puteranya Lo Him!”
Tubuh Siauw Liong Lie jadi menggigil.
Tiba-tiba perasaan takut telah menyelusup ke dalam dasar hatinya. Dengan
menginginkan bayinya menjadi anaknya, bukankah berarti Lo Him ingin mengartikan
perkataannya itu bahwa dia bermaksud mengambil Siauw Liong Lie sebagai
isterinya?
„Hemm, biarlah!” berpikir Siauw Liong
Lie „Sekarang aku mengalah saja dan bersabar. Yang terpenting, jika aku telah
melahirkan, jelas aku akan melawan maksud jahatnya itu. Aku yakin, dengan
lukaku telah sembuh dan telah melahirkan, walaupun belum tentu bisa
membinasakannya, tetapi diapun tidak mungkin bisa mengalahkan aku!”
Saat itu, Lo Him telah mengangkat
kepalanya, dia menghela napas berulang kali. Mukanya muram sekali, memancarkan
kedukaan yang bergolak di dalam hatinya. Lama Lo Him memandang gumpalan awan
itu. Akhirnya dia menoleh kepada Siauw Liong Lie.
„Kau kini tengah mengandung,
sebetulnya engkau seorang wanita yang bahagia, karena tidak lama lagi kau akan
menjadi seorang ibu tetapi aku, keluargaku telah hancur, isteriku telah
meninggal dalam keadaan hamil,” dan beberapa butir air mata segera mengucur
dari pelupuk matanya.
Siauw Liong Lie diam saja, karena dia
menduga orang tersebut bercerita akan kesedihan dan kemalangan dirinya, hanya
ingin menarik simpatinya belaka. Dan Siauw Liong Lie telah semakin sebal saja,
dia hanya mendengarkan dengan acuh tak acuh.
„Dan, memang sampai detik ini,
seharusnya aku membenci semua wanita...... tetapi melihat kau, aku jadi merasa
kasihan terhadap nasib bayi dalam kandunganmu, sehingga aku menolonginya!”
Siauw Liong Lie mengerutkan alisnya.
„Kenapa begitu?”
„Aku benci! Bukan hanya wanita, tetapi
semua manusia!” kata Lo Him. „Seperti kau lihat, aku bergaul dengan macan
tutul, ular dan binatang buas lainnya, karena tidak ingin bergaul dengan
manusia.....!”
„Tetapi, mengapa kau menolongi aku?”
tanya Siauw Liong Lie ragu-ragu.
„Menolong kau? Ohhh bukan! Jangan kau
mimpi! Semua yang telah kulakukan itu bukan menolongi dirimu! Mungkin jika kau
bukan tengah mengandung, aku justru akan menghajar hancur batok kepalamu!”
„Ihhh!” Siauw Liong Lie sampai
mengeluarkan suara seruan tertahan mendengar perkataan Lo Him yang tidak
diduganya. Karena semula dia menyangka bahwa Lo Him menolongnya karena melihat
parasnya yang cantik dan juga Lo Him mengandung maksud yang buruk kepadanya.
Tetapi mendengar pernyataan Lo Him yang terakhir ini, tentu saja membuat Siauw
Liong Lie jadi tertegun dan memandangi lelaki ini diam-diam.
Lo Him telah memandangi gumpalan awan
di langit, untuk sejenak lamanya dia berdiam diri saja. Sampai akhirnya seperti
orang menggumam dia telah berkata perlahan-lahan,
„Ya, ya memang di dunia ini selalu
terjadi urusan yang tidak diduga-duga! Aku pernah bersumpah, bahwa aku tidak
akan meninggalkan lembah ini seumur hidupku, dan juga aku tidak akan
mengijinkan manusia menginjakkan kakinya di lembah ini. Namun sekarang? Telah
ada seorang manusia dan calon manusia lainnya yang telah menginjakkan kakinya
di lembah ini. Hai! Hai! Aku telah melanggar sumpahku sendiri.”
„Mengapa begitu?” tanya Siauw Liong
Lie.
Muka Lo Him tampak berobah merah
padam, matanya bengis sekali memandang Siauw Liong Lie. Setelah menatap begitu,
yang membuat Siauw Liong Lie bergidik dan jantungnya tergoncang, maka dia telah
berkata lagi.
„Hemm, justru anak dikandunganmu itu
yang telah menyelamatkan jiwamu!”
Dan sehabis berkata begitu, Lo Him
tampaknya menyesal telah membawakan sikap yang kasar dihadapan Siauw Liong Lie,
dia telah menundukkan kepalanya dan menangis terisak-isak.
„Maafkan...... aku tidak sengaja
berlaku kasar!” katanya diantara isak tangisnya.
Siauw Liong Lie yang telah merasakan
hebatnya gelombang kehidupan selama berpacaran dan hidup berumah tangga dengan
Yo Ko, telah bisa menyelami hati seorang manusia, yang selalu diserang dan
digeluti oleh berbagai peristiwa aneh dan tidak terduga. Walaupun bagaimana
pahitnya, jika peristiwa itu selalu diakhiri oleh hal-hal yang manis, tentu
manusia itu akan hidup bahagia. Seperti dia pernah berpisah dengan Yo Ko selama
enambelas tahun namun akhirnya, mereka berjumpa lagi.
Dan cinta merekapun telah berpadu,
walaupun akhirnya mereka terpisah pula, tetapi Siauw Liong Lie dan Yo Ko dapat
mengecap kebahagiaan yang sangat. Dan Yo Ko pun tidak jarang menitikkan air
mata di dalam saat-saat tertentu, karena kedukaan yang dalam, diantara haru dan
kegembiraan. Maka melihat seorang lelaki yang memiliki kepandaian sehebat Lo
Him bisa mengucur kan air mata, Siauw Liong Lie sudah tidak merasa heran lagi.
“Sesungguhnya apa yang telah terjadi?”
tanyanya kemudian dengan suara yang sabar dan halus.
Ditegur begitu, Lo Him jadi tambah
keras tangisnya.
Akhirnya Siauw Liong Lie telah
membiarkan Lo Him menangis sepuas hatinya, karena jika dalam keadaan seperti
itu, dia membujuki juga percuma saja.
Dan setelah Lo Him puas menangis dan
menepas air matanya, barulah lelaki itu berkata perlahan dan lemah,
„Semua memang dosaku, bukan salahnya
takdir!” berkata Lo Him. „Namun yang kusesalkan, mengapa Thian justru
menurunkan nasib buruk kepadaku tanpa kepalang tanggung.....! Ibuku, isteriku,
adik perempuanku, semuanya menganggap aku manusia binatang yang berbisa.....
semuanya tidak mengetahui bahwa sesungguhnya bukan aku yang bersalah! Haaaaaaa,
sudahlah! Memang aku yang salah dan terkutuk sekali. Mengapa aku tidak bisa
bertindak tegas, hingga perbuatanku yang malah dituduh busuk?”
Setelah berkata begitu, Lo Him berdiam
sejenak, dia memandang bengong ke atas lagi, mengawasi gumpalan awan, dan bibirnya
bergerak-gerak seperti tengah mengucapkan sesuatu. Namun akhirnya dia telah
berdiam mematung saja.
Siauw Liong Lie yang tadi mengawasi,
jadi bertambah heran. Dia tidak mengerti jiwa orang ini. Namanya saja. yaitu Lo
Him, si Biruang Tua, sudah aneh. Kini adatnya pun aneh. Dan kalau ingin
diperhatikan, tentu penghidupan orang ini diliputi oleh keanehan juga. Maka
dari itu, Siauw Liong Lie jadi tertarik sekali untuk mengetahuinya.
Di dalam hatinya, Siauw Liong Lie
telah memaki dirinya sendiri, yang mana bahwa dia telah menuduh Lo Him sebagai
lelaki yang jahat. Padahal Lo Him sama sekali tidak mengandung maksud jahat
kepadanya. Tetapi walaupun bagaimana Siauw Liong Lie akan tetap berlaku
waspada. Dia tetap tidak mau berlaku lengah, karena justru yang di kuatirkannya
adalah Lo Him sengaja „menjual” cerita dusta kepadanya agar menarik simpatinya
belaka. Siauw Liong Lie melihat Lo Him telah menghela napas berulang kali.
„Apakah kau tidak akan muak mendengar
ceritaku?” tanya Lo Him kemudian sambil menoleh kepada Siauw Liong Lie yang
ditatapnya dengan sinar mata yang tajam.
Siauw Liong Lie menggelengkan kepala.
Dia tidak menyahuti.
„Hemm, sinar matanya yang terpancar
itu telah memperlihatkan bahwa engkau juga tidak mempercayai diriku! Sinar
matamu itu sama dengan sinar mata isteriku! Ya, memang aku manusia terkutuk,
yang tidak akan dipercaya oleh siapapun juga, maka dari itu percumalah jikalau
aku mau menceritakan segalanya kepadamu, karena engkaupun tidak akan
mempercayai ceritaku ini!”
Mendengar perkataan Lo Him, Siauw
Liong Lie berusaha untuk tersenyum.
„Him-heng (saudara Him)......!” kata
Siauw Liong Lie kemudian dengan suara yang halus. „Kau jangan bercuriga begitu!
Bukankah kau telah menolongi jiwaku, menolongi anak dalam kandunganku dan juga
jiwa Tiauw-heng? Mengapa aku harus mencurigaimu? Jika sampai nanti kau tetap
memperlakukan kami dengan baik, tanpa maksud-maksud buruk, tentu budimu yang
sedalam lautan itu tidak dapat kubalas dengan apa pun juga.....!”
Mendengar perkataan Siauw Liong Lie,
Lo Him telah tersenyum tawar.
„Akhh, baru kali ini aku mendengar ada
orang manusia berkata begitu!” katanya dengan suara yang tawar.
„Tetapi, jika engkau selalu melakukan
perbuatan baik, tentu akan banyak sekali orang yang berterima kasih kepadamu,
dan juga akan banyak sekali orang yang menyatakan perasaan syukurnya atas
pertolonganmu itu.....!”
Lo Him berdiam diri sejenak, lalu dia
menggumam lagi. „Ya, ya, walaupun orang menuduhku buruk, berhati binatang
beracun, tetapi aku tidak usah memperdulikannya. Yang terpenting di dalam dunia
ini, bukankah kita harus menolong seseorang yang tengah dalam kesulitan?”
Karena berkata begitu, dia telah
menoleh kepada Siauw Liong Lie tanyanya, „Dan kau, apakah kau bersedia
membiarkan anakmu nanti aku angkat sebagai anakku?” Sambil bertanya begitu, dia
mengawasi Siauw Liong Lie dengan sorot mata yang tajam sekali.
Siauw Liong Lie tersenyum.
„Mengapa tidak? Bukankah anakku itu
bernasib baik sekali, sehingga ada seorang yang sebaik engkau bersedia menjadi
ayah angkatnya. Yang jelas, ayah dari anak ini juga akan bersyukur tidak
habisnya, bahwa tuan penolongnya itu telah begitu ikhlas mengambil anak kami
sebagai anaknya!”
Semula mendengar perkataan Siauw Liong
lie yakni meluluskan keinginannya, mata Lo Him telah bersinar tajam cemerlang,
bagaikan dia tengah diliputi kegembiraan yang sangat. Namun setelah dia
mendengar perkataan Siauw Liong Lie yang terakhir, dia jadi menunduk dengan
wajah yang muram, dan tidak lama kemudian dia telah mengangkat kepalanya,
menatap Siauw Liong Lie dengan sorot mata yang bengis sekali.
„Kau wanita jahat!” tiba-tiba dia
telah membentak begitu dengan suara yang bengis juga. „Kau..... kau wanita
berhati busuk. Mengapa kau menduga buruk kepadaku, sehingga kau merasa perlu
untuk mengeluarkan kata-kata sekejam itu? Apakah kau menduga bahwa aku akan
melakukan perbuatan sehingga engkau perlu merintangi diriku dengan perkataan
yang menyindir seperti itu.....?”
Ternyata Lo Him sangat perasa dan
mudah tersinggung. Perkataan Siauw Liong Lie yang terakhir memang merupakan
kata-kata sindiran. Dan Lo Him merasa tersinggung.
Siauw Liong Lie tertawa,
“Him-heng..... kau terlalu perasa….. sesungguhnya Siauwmoay tidak berani
memandang rendah kepadamu, bukankah engkau adalah tuan penolongku?”
Tetapi Lo Him telah mengawasi Siauw
Liong Lie dengan sorot mata yang tajam sekali.
„Hemm….. memang aku manusia celaka!”
berseru Lo Him akhirnya. Dan tiba-tiba sekali dia menangis, meraung-raung
dengan suara pekikan yang melengking nyaring dan tinggi, diapun telah
menggerak-gerakkan kedua kaki dan tangannya, dengan gerakan-gerakan seperti
orang tengah bersilat.
Siauw Liong Lie hanya mengawasi
tertegun dengan perasaan tidak mengerti. Walaupun bagaimana, orang itu sangat
baik dan telah menolong jiwanya, menolong anak dan juga rajawalinya. Tetapi dia
tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari kewaspadaan, karena dia belum dapat
menyelami hati penolongnya tersebut.
Dan sedikitpun juga Siauw Liong Lie
tidak menyangkanya bahwa perkataan dan perbuatan itu, justru telah menyinggung
perasaan Lo Him. Setidak-tidaknya Siauw Liong Lie sebagai seorang wanita
berperasaan halus, jadi merasa kasihan dan iba..... dia bermaksud untuk
menghibur Lo Him, agar menghentikan perbuatan kelakuan yang gila-gilaan itu.
<>
Saat itu Siauw Liong Lie telah berdiri
dari duduknya, dia berhenti sejenak sambil mengerutkan sepasang alisnya, karena
mendadak sekali dia merasakan pinggangnya sakit seperti ditarik-tarik. Tanpa
dikehendakinya, Siauw Liong Lie telah mengeluarkan suara keluhan perlahan,
pandangan matanya jadi gelap berkunang-kunang, wajah pucat dan keringat dingin
mengucur deras dari kening dan tubuhnya.
„Akhh.....!” akhirnya Siauw Liong Lie
batal berdiri, dia telah terduduk pula sambil memegangi perutnya. Perasaan
sakit di pinggangnya semakin hebat.
Saat itu, kebetulan sekali Lo Him
telah melihat keadaan Siauw Liong Lie. Tiba-tiba Lo Him menghentikan gerakan
dan kelakuannya yang tengah bergerak-gerak seperti bersilat itu, dengan muka
yang memancarkan kekuatiran yang sangat, dia telah melompat ke samping Siauw
Liong Lie.
„Kau...... kau kenapa, nyonya?”
tanyanya dengan suara yang tergetar dan kasar.
Siauw Liong Lie hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa bisa menjawab, karena perutnya itu sakit
luar biasa, sepasang alisnya tetap mengkerut dengan wajah yang pucat dan
keringat dingin yang mengucur deras sekali sebesar-besar kacang kedele
membasahi mukanya yang pucat itu. Kedua tangannya juga telah mengusap-usap
pinggangnya, yang diurutnya perlahan-lahan untuk mengurangi perasaan sakitnya.
Di saat itu, Lo Kim tampak gugup dan
bingung sekali, dia juga memperlihatkan sikap yang menyesal.
“Akhhh, mungkin aku telah menyebabkan
penyakitmu ini kumat...... aku memang manusia terkutuk, manusia binatang
berhati beracun......” berulang kali Lo Him telah menyesali dirinya.
Tetapi Siauw Liong Lie tetap berdiam
diri saja, hanya suara rintihannya yang terdengar perlahan sekali.
Lo Him telah berlari-lari ke goanya,
tidak lama kemudian dia telah kembali. Di tangannya tercekal sebuah mangkok
dari tanah liat, yang di dalamnya terdapat ramuan obat. Dia telah
mengangsurkannya kepada Siauw Liong Lie dengan sikap yang gugup, disertai oleh
perkataannya,
„Minumlah obat ini…..”
Siauw Liong Lie menyambuti mangkok
obat itu, dia telah meneguknya. Dan berselang tidak lama, berangsur-angsur rasa
sakit di pinggangnya itu telah lenyap.
Dengan wajah yang memperlihatkan
perasaan bingung Lo Him telah mengawasi Siauw Liong Lie, katanya dengan suara
yang tergagap,
„Maafkan...... tadi aku telah membuat
kau jadi kesal..... tentu saja sakitmu itu akibat perkataanku yang kasar.....
dan kau...... kau maafkanlah aku.....!”
Siauw Liong Lie tidak sampai hati
melihat Lo Him terus menerus menyebut-nyebut perkataan maaf, maka dia telah
mengangguk, katanya dengan suara yang halus,
„Kau tidak bersalah apa-apa
Him-heng...... justru memang demikianlah jika seorang wanita tengah hamil, maka
dia akan selalu diganggu oleh calon bayinya..... ini memang sudah
resikonya.....!”
Lo Him telah mengangguk.
„Benar, akupun tahu...... tetapi yang
pasti, seorang wanita yang tengah hamil tidak boleh terganggu oleh
ketegangan-ketegangan syarafnya, tidak boleh marah, tidak boleh kesal dan tidak
boleh bingung.....”
Siauw Liong Lie tersenyum mendengar
perkataan Lo Him.
„Akhh, kiranya Him-heng memang telah
berpengalaman,” katanya.
„Bukankah tadi aku telah mengatakan
bahwa aku pernah beristeri..... dan isteriku itu telah meninggal waktu hamil?”
Siauw Liong Lie mengangguk.
„Sesungguhnya peristiwa hebat apakah
yang telah dialami oleh keluarga Him-heng?” tanyanya kemudian.
„Sudahlah, lebih baik kita tidak perlu
membicarakannya, nanti aku salah bicara lagi!” kata Lo Him kemudian dengan
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Saat itu Siauw Liong Lie merasakan
sakit di pinggangnya telah lenyap, dia sudah bisa duduk dengan leluasa.
Di saat itu Lo Him telah berkata lagi.
„Aku menolongimu karena kandunganmu
kau jangan kuatir, aku tidak akan bermaksud jahat kepadamu..... aku hanya ingin
anakmu itu nanti dibiarkan mengangkat aku sebagai ayah angkatnya. Asal kau
menyetujui dan mengijinkannya, aku telah puas! Kau jangan kuatir, aku tidak
pernah bermaksud mengganggu dirimu, jika kau telah sembuh, kau telah
melahirkan, kau telah sehat kembali, pergilah kau mencari suamimu, aku tidak
akan menghalanginya..... aku puas asal anak itu mau mengangkat aku sebagai
ayahnya!”
Mendengar keinginan Lo Him yang begitu
sederhana, diam-diam Siauw Liong Lie telah memaki dirinya sendiri. „Akhh,
rupanya aku yang terlalu bercuriga,” dia berpikir di hatinya. „Orang sebaik Lo
Him, tuan, penolongku yang telah menyelamatkan jiwa kami ibu dan anak, dan juga
menolongi Sin-tiauw, telah kuduga buruk! Sungguh aku manusia yang tidak
berbudi.....!”
Karena telah mengetahui Lo Him tidak
bermaksud buruk kepadanya, dan juga karena tadi dia merasa bersalah telah
menduga buruk kepada tuan penolongnya yang telah menyelamatkan jiwanya, maka
Siauw Liong Lie jadi bersikap manis dan halus.
„Him-heng, bolehkah aku mengetahui
sesungguhnya apa sebabnya isterimu yang tengah mengandung itu meninggal dunia?”
„Ya, mengapa? sampai detik ini, justru
aku sendiri belum mengetahui! Waktu peristiwa itu terjadi, sebetulnya aku
bermaksud mencari pembunuhnya, namun akhirnya aku memutuskan dan bertekad untuk
berdiam disini sampai ajal tiba!”
„Mengapa begitu?” tanya Siauw Liong
Lie tertarik.
Muka Lo Him kembali jadi muram, dia
menunduk sejenak. Tetapi karena dia berkuatir kalau-kalau nanti Siauw Liong Lie
diliputi ketegangan yang bisa menyebabkan sakit pinggangnya kumat kembali, Lo
Him telah cepat-cepat berkata,
„Orang itu terlalu liehay, kepandaiannya
sulit diukur dan tidak bisa untuk ditandingi, benar-benar aku suami yang
laknat, aku tidak bisa melindungi isteri dan calon anakku itu, yang telah
dicelakai orang tanpa aku bisa menuntut balas! Begitu pula ibuku telah
dibinasakan orang itu.....! Tetapi, baik ibuku, maupun isteriku, di saat mereka
belum menghembuskan napas yang terakhir, dan di saat mereka dalam keadaan
terluka parah, keduanya telah menuduh bahwa akulah yang mencelakai mereka.....!
Akhh, itulah nasibku yang buruk!” Berulang kali Lo Him menyesali dirinya dengan
suara yang tidak jelas.
Siauw Liong Lie melihat Lo Him kembali
tenggelam dalam kedukaannya, dia jadi merasa kasihan.
„Siapa nama orang yang mencelakai
keluargamu!” tanya Siauw Liong Lie kemudian.
„Dia orang yang hebat, diapun menjadi
pendekar yang memiliki nama harum di dalam rimba persilatan..... tetapi dia
telah tega menurunkan tangan begitu kejam! Namun disebabkan kepandaiannya yang
tidak bisa dijajaki itu, maka aku menyadarinya dendam itu tidak mungkin
terbalas seumur hidupku.”
„Siapa dia?” desak Siauw Liong Lie dia
percaya jika Lo Him menyebutkan nama orang yang disebutnya liehay sekali dan
memiliki nama yang terkenal di dalam rimba persilatan itu tentunya
setidak-tidaknya Siauw Liong Lie pernah mendengar namanya atau mengenalnya.
09.17. Penderitaan Isteri Pendekar
Rajawali
Lo Him menghela napas. „Dialah
ayahku......!!” menyahuti Lo Him akhirnya dengan wajah yang pucat, tubuhnya
menggigil.
„A..... ayahmu?” tanya Siauw Liong Lie
tertegun karena kaget dan heran.
„Ya,” mengangguk Lo Him.
„Jika dia ayahmu, mengapa dia
membinasakan ibu dan isterimu?” tanya Siauw Liong Lie lagi.
Untuk sejenak Lo Him tidak menjawab,
dia seperti tengah mengingat-ingat pengalamannya yang telah lalu itu. Akhirnya
setelah menghela napas, dia telah menyahuti, „Ya, inilah kejadian yang
benar-benar menyayatkan hati dan mengesankan sekali.....! Justru yang menjadi
musuh besarku adalah, ayahku sendiri! Hanya disebabkan dia takut malu, maka dia
telah membinasakan isteri dan ibuku dan jika di saat itu aku tidak keburu lari,
jiwaku juga tidak akan lolos dari kematian!”
„Mengapa begitu?” tanya Siauw Liong
Lie semakin tertarik.
„Karena dia gagal memperkosa
isteriku!” menyahuti Lo Him sambil menunduk.
„Ha?” teriak Siauw Liong Lie kaget,
mukanya sampai berobah pucat.
Lo Him menunduk dalam-dalam, dia tidak
berani menatap mata Siauw Liong Lie yang saat itu tengah terpentang
lebar-lebar, menatap ke arahnya dengan sikap tidak mengerti diliputi perasaan
kaget.
„Dia ingin memperkosa isteriku, tetapi
usahanya itu gagal, karena ibuku kebetulan memergokinya..... sehingga ayahku
jadi nekad, dia takut menderita malu, dia merencanakan pembunuhan yang kejam
seperti itu.”
„Akhh, mungkinkah ada manusia sebejat
itu!” menggumam Siauw Liong Lie.
“Tetapi justeru aku telah mengalami
sendiri, yang telah membuat aku jadi putus asa dan tidak memiliki gairah untuk
menempuh hidup pula..... justru aku yang telah melihat dan menyaksikan
kebiadaban seperti itu.....! Tetapi aku memang manusia terkutuk, hanya
disebabkan aku tidak bertindak tegas, dan memang aku seorang pengecut akhirnya
urusan yang menyedihkan dan mendukakan hati harus terjadi!”
Siauw Liong Lie hanya diam mengawasi
saja, dia melihat butir-butir air mata menitik turun di pipi Lo Him. Hati
nyonya Yo jadi ikut terharu, dia bisa merasakan kedukaan hati Lo Him.
„Dan di saat itu, ayahku juga telah
berusaha membinasakan diriku, dia telah mencariku ke segala penjuru, namun
usahanya itu tidak berhasil! Aku telah menyembunyikan diri dengan ketakutan
yang hebat, karena aku mengetahui walaupun bagaimana aku tidak bisa melawan
ilmu silatnya yang telah sempurna itu! Itulah kepengecutanku..... yang harus
kukutuk!” berkata Lo Him.
Siauw Liong Lie bertambah bingung,
karena Lo Him telah menceritakan bencana yang menimpa keluarganya itu justru
sepotong-potong dan tidak berujung pangkal. Tetapi dilihat demikian dan
perkataan-perkataannya, mungkin juga Lo Him memang mengalami peristiwa yang
hebat dan mengenaskan sekali. Siauw Liong Lie jadi mengawasi Lo Him dengan
tatapan mata merasa kasihan.
Tetapi kebetulan sekali di saat itu Lo
Him juga memandang ke arahnya sehingga dia melihat sinar mata Siauw Liong Lie
yang demikian, dia tiba-tiba telah mendengus dingin, katanya dengan suara
mengandung kegusaran,
„Aku tidak perlu dikasihani, memang
nasibku yang terkutuk!” Dan setelah berkata begitu Lo Him berdiri serta
memandang ke arah yang jauh. Wajahnya tidak memantulkan perasaan apapun juga.
Siauw Liong Lie yang penasaran sekali
karena Lo Him tidak mau menyebut nama ayahnya itu, telah bertanya lagi,
„Siapakah nama ayahmu itu?” tanya Siauw Liong Lie kemudian.
Lo Him diam saja, sampai akhirnya dia
menghela napas dan katanya, „Sudahlah itu urusan yang telah lewat tidak perlu
kita membicarakannya lagi.” Dan setelah berkata begitu dia telah melangkah
pergi meninggalkan Siauw Liong Lie yang mengawasi kepergiannya dengan tatapan
mata mengandung tanda tanya dan keheranan yang sangat.
Sejak hari itu Lo Him tak mau
disinggung-singgung lagi urusannya, dia hanya lebih mengutamakan memasakan
Siauw Liong Lie obat-obatan dan juga memanggangkan daging kelinci atau daging
burung untuk nyonya Yo itu makan.
Siauw Liong Lie juga menyadari bahwa
Lo Him tidak gembira jika membicarakan urusannya itu maka Nyonya Yo tidak
pernah menanyakan lagi walaupun sesungguhnya Siauw Liong Lie masih ingin
mengetahui siapakah sesungguhnya nama ayah dari Lo Him, tetapi nyonya Yo pikir
masih ada waktu dihari mendatang, dia nanti menanyakannya perlahan-lahan.
Tanpa terasa dua bulan lagi telah
lewat, selama itu Siauw Liong Lie berangsur-angsur mulai sembuh, dan tenaga
dalamnya mulai pulih. Luka di dalam tubuhnya mulai tidak memperlihatkan gejala
apa-apa lagi. Hanya yang sering mengganggu adalah sakit di pinggangnya dengan
perut yang semakin membesar itu. Juga Siauw Liong Lie seringkali merasakan
urat-urat di pinggangnya seperti ditarik, jika bayi di dalam kandungannya
bergerak mengganti kedudukan......
Selama berada di dalam lembah itu,
Siauw Liong Lie merasa kesepian sekali. Jika dulu, dimana dia berdiam di dalam
kuburan Mayat Hidup, dia bisa hidup di dalam ketenangan karena memang merupakan
intisari dari pelajaran yang diterima dari gurunya. Dan juga waktu berpisahan
dengan Yo Ko selama enambelas tahun dia masih bisa hidup dengan tenang di
tempat sunyi di bawah jurang, walaupun di saat itu seringkali dia diliputi
kedukaan. Tetapi sekarang ini di saat dia tengah me-ngandung, justru dia
membutuhkan sekali Yo Ko berada disampingnya, dengan sendirinya pula diapun
sangat merindukan Yo Ko.
Tetapi untuk menghibur hatinya, Siauw
Liong Lie sering bermain-main dengan macan tutul peliharaan Lo Him. Siauw Liong
Lie memberikan nama Sin Kim (Emas Sakti) kepada macan tutul itu yang seringkali
mengajaknya berputar-putar di lembah itu dengan Siauw Liong Lie duduk di
punggungnya.
Begitu pula Sin-tiauw, sering mengajak
Siauw Liong Lie dengan kelakarnya, yaitu dia sering kali terbang
menyambar-nyambar dengan gerakan seperti menari-nari bagaikan rajawali tersebut
mengetahui bahwa nyonya majikannya ini tengah dalam kesepian yang sangat.
Memang Sin-tiauw sengaja tidak terbang meninggalkan lembah itu, sebab dia
kuatirkan Siauw Liong Lie akan mengalami ancaman bahaya yang tidak diduga, maka
dia terus menemaninya. Jika memang Siauw Liong Lie terancam sesuatu tentu dia
bisa segera memberikan pertolongan segera.
Hari demi hari telah lewat dengan
cepat, dan akhirnya tanpa terasa kandungan Siauw Liong Lie telah memasuki bulan
yang kesembilan. Dan nyonya Yo ini hanya tinggal menunggu hari dari kehadiran
anaknya tersebut.
Tetapi akhir-akhir ini Siauw Liong Lie
merasa¬kan napasnya lebih pendek dari sebelumnya, dia pun lebih cepat lelah.
Sedangkan Lo Him sendiri kini lebih memperhatikan keperluannya, bahkan
memberikan daging kelinci bakar dalam jumlah yang lebih banyak untuk memupuk
tenaga. Juga Lo Him sering menanyakan kepada Siauw Liong Lie, apakah dia
membutuhkan sesuatu, yang pasti akan dituruti oleh Lo Him.
Namun Siauw Liong Lie selalu
mengatakan dengan menerima perlayanan yang demikian baik dari Lo Him, dia sudah
berterima kasih sekali dan juga berjanji tidak akan melupakan budi dan kebaikan
penolongnya.
„Jangan kau berpikir yang tidak-tidak,
yang terpenting kini kau harus bersikap tenang dan tabah menghadapi kelahiran
anakmu, agar kalian ibu dan anak selamat!” kata Lo Him sambil tersenyum.
Hari yang dinanti-nantikan itupun
tibalah.....
Sejak pagi hari, di saat fajar mulai
menyingsing Siauw Liong Lie merasakan perutnya sakit bukan main, dia merintih
tidak hentinya.
Sedangkan Lo Him jadi kebingungan
tidak keruan, dia jalan mundar-mandir di luar rumah kayu yang sederhana itu.
Sedangkan Sin Kim dan Sin-tiauw
masing-masing berdiam di muka rumah itu, yang satu di pinggir kanan, sedangkan
Sin-tiauw di pinggir kiri.
Siauw Liong Lie merasakan perutnya
bagaikan diaduk-aduk, sakitnya luar biasa. Keringat juga membanjir keluar.
Bagaimana hebatnya lwekangnya, tenaga dalamnya, di detik-detik seperti itu
percuma saja tidak bisa dipergunakannya. Dan akhirnya Siauw Liong Lie merasakan
perutnya seperti ringan dan mendadak lapang, dia juga merasakan napasnya agak
lapang, disusul dengan suara tangis bayi yang keras dan lantang. Sambil bangun
duduk perlahan-lahan Siauw Liong Lie telah melihat, betapa di dekat kakinya
menggeletak seorang bayi yang putih dan manis yang tengah menangis mengeyak
nyaring sekali.
Tidak hentinya Siauw Liong Lie
mengucap syukur dan segera dia mengangkat bayi itu, dia menggigit tali pusarnya
dan kemudian merangkul sibayi dengan perasaan bahagia sekali. Dua butir air
mata tanpa dirasakannya telah menitik turun. Kebahagiaan itu meluap-luap ketika
dia mengetahui bahwa bayi itu seorang bayi lelaki..... seorang putera.....
Lo Him yang menunggu gelisah di luar
rumah ketika mendengar tangis bayi itu, jadi melompat berjingkrakan tidak
hentinya.
Tetapi tiba-tiba Lo Him teringat
sesuatu, dia jadi tertegun.
“Akhh, lelaki atau perempuan?”
gumamnya dengan suara perlahan.
Dan dia jadi tegang sendirinya,
sedangkan suara tangis bayi itu masih terdengar nyaring dan lantang.
Sin-tiauw juga tampaknya girang sekali
waktu mendengar suara tangis bayi itu, dia telah terbang ke udara dan berulang
kali mendengarkan suara pekikannya, tampaknya diapun ikut girang bahwa sang
bayi telah lahir.
Sedangkan Sin Kim berulang kali
mengeluarkan suara mengerang perlahan, menunjukkan kegembiraannya juga.
Lo Him berjingkat mendekati pintu
rumah, dia kemudian bertanya dengan suara serak, „Perempuan..... atau lelaki?”
dan waktu bertanya begitu, Lo Him merasakan ketegangan yang sangat, jantungnya
juga berdebar keras.
„Lelaki.....!” menyahuti Siauw Liong
Lie disertai suara tertawa bahagianya.
„Ha…..!” untuk sejenak sepasang mata
Lo Him terpentang lebar-lebar, dan ketika dia telah kembali kesadarannya,
tahu-tahu dia mengeluarkan suara teriakan yang nyaring melompat
berguling-guling di tanah sambil mengeluarkan teriakan-teriakan gembira. Tetapi
tidak lama kemudian dia telah menangis sambil duduk dan tubuhnya gemetar.
„Ohhhh Thian rupanya telah memenuhi
permintaanku! Syukur! Syukur!” teriaknya keras.
Begitulah, kehadiran bayi tersebut
dengan kegembiraan yang sangat oleh semua penghuni lembah tersebut.
Tiba-tiba Lo Him mendengar Siauw Long
Lie memanggilnya, lelaki kasar ini ragu-ragu sejenak, dia menghampiri pintu dan
kemudian berdiri tertegun disitu sesaat lamanya.
„Him-heng?” terdengar Siauw Liong Lie
memanggil lagi.
„Aku ada disini!” menyahuti Lo Him.
„Masuklah!” kata Siauw Liong Lie.
„Sudah beres?” tanya Lo Him canggung.
„Semuanya sudah dibereskan!” menyahuti
Siauw Liong Lie disertai oleh suara tertawanya.
Lo Him mendorong pintu dan melangkah
masuk. Dia melihat Siauw Liong Lie tengah duduk setengah rebah di sudut
pembaringan rumputnya dan tengah menggendong bayinya.
„Akhh!” berseru Lo Him waktu melihat,
raut wajah bayi itu yang tampan putih. „Anak yang manis! Anak yang manis!”
„Him-heng, karena kau telah meminta
untuk mengangkat anak ini sebagai putera angkatmu, maka silahkan kau memilihkan
nama yang baik untuknya!”
Lo Him jadi kelabakan, dia berpikir
keras. Tetapi akhirnya dia bertanya. „Ayahnya she apa?”
“She Yo!”
“Bagaimana kalau aku memberi nama
Him?” tanyanya.
“Ihhh, itu tokh namamu sendiri?” tanya
Siauw Liong Lie tertawa. „Apakah kau ingin mempersamakan namanya dengan
namamu?”
„Bukan begitu! Bukan begitu!” kata Lo
Him cepat. „Walaupun dia telah menjadi anak angkatku, tetapi..... tetapi.....”
dan Lo Him tidak meneruskan perkataannya lagi.
„Kenapa?” tanya Siauw Liong Lie yang
heran melihat sikap Lo Him.
„Bukankah setelah lewat empatpuluh
hari kau akan meninggalkan lembah ini, dan berarti anak itu...... anak itu akan
ikut bersama kau? Nah, nama Him itu kelak akan mengingatkannya kepadaku.
Mudah-mudahan saja kelak jika dia telah dewasa, dia bisa teringat kepada ayah
angkatnya dan datang menjenguk kemari…..”
„Oohh, itu sudah jelas.” kata Siauw
Liong Lie tertawa. „Walaupun tanpa menanti dewasa kami, ayah ibunya, tentu akan
sering-sering menjenguk kau, Him Toako!” dan Siauw Liong Lie telah berobah
sebutan „heng” (saudara) dengan perkataan „Toako” (kakak).
Bukan main girangnya Lo Him, dia
sampai berjingkrak-jingkrak.
„Huss! Jangan ribut Him Toako, nanti
si Him kecil ini kaget oleh tingkahmu itu!” Siauw Liong Lie memperingati sikap
dari si Biruang Tua yang tengah kegirangan itu.
Lo Him tertegun, namun cepat sekali
dia menepuk-nepuk kepalanya. „Memang aku tidak tahu diri, nanti si Him kecil
kaget disebabkan aku......!” Dan Lo Him telah pergi keluar, cepat-cepat dia
pergi mencari buah-buahan dan kelinci, untuk dibakar dagingnya.
<>
Hari-hari lewat dengan cepat sekali,
tanpa terasa telah empatpuluh hari.
Siauw Liong Lie menyampaikan kepada Lo
Him bahwa besok dia bersama anaknya akan meninggalkan lembah itu, untuk mencari
Yo Ko, ayah dari anaknya itu.
Lo Him jadi duduk termenung, sampai
akhirnya setelah Siauw Liong Lie menghiburnya bahwa dia bersama suaminya akan
sering-sering mengajak si Him kecil itu menjenguki Lo Him, barulah Lo Him
mengangguk sambil katanya dengan sikap yang tetap lesu.
„Biarlah hari ini aku akan menangkap
dua ekor kelinci, aku akan menjamu kau, anggap saja sebagai pesta
perpisahan…..”
Siauw Liong Lie terharu melihat Lo
Him, hampir saja Siauw Liong Lie menitikkan air mata. Namun karena dia
menyadari kalau menangis akan menambah kesedihan Lo Him, sehingga Siauw Liong
Lie tertawa.
Memang Lo Him pergi tidak lama, dia
telah berhasil membawa dua ekor kelinci buruannya yang tadi dijanjikan.
Dibakarnya kedua ekor kelinci itu untuk menjamu Siauw Liong Lie.
Bukan main perasaan terima kasih di
hati Siauw Liong Lie atas kebaikan tuan penolongnya ini.
Malam itu Siauw Liong Lie tidur dengan
nyenyak sekali disamping bayinya.
Tetapi berbeda dengan Siauw Liong Lie
justru Lo Him yang akan mengalami perpisahan dengan anak angkatnya, dan nanti
juga akan hidup sendiri pula di lembah itu menderita kesepian, dengan
sendirinya dia jadi gelisah dan tidak bisa tidur. Akhirnya menjelang tengah
malam Lo Him telah keluar dari goanya.
Dengan hati yang berduka, dia telah
berjalan perlahan-lahan mendatangi rembulan yang memancarkan cahayanya yarg
terang tergantung di langit. Akhirnya, dia duduk bengong di sebuah batu gunung
yang agak menonjol letaknya.
Di saat Lo Him sedang duduk terpekur
begitu, tiba-tiba dia mendengar suara berkeresek. Menyusul mana Sin Kim, macan
tutul yang menjadi sahabatnya, yang saat itu tengah rebah tidur di goanya
melompat bangun.
Lo Him dan macan tutul itu telah
saling pandang sejenak, kemudian Lo Him mengangguk, membenarkan bahwa ada orang
yang berkeliaran di dalam lembah itu. Dengan gesit Lo Him melompat ke balik
batu gunung itu untuk menyembunyikan diri, sedangkan Sin Kim, si macan tutul
itu telah masuk ke dalam goa.
Keadaan sunyi sekali, tidak terdengar
sesuatu apapun juga selain angin yang tengah mempermainkan daun-daun pohon
dengan hembusannya yang lembut. Lo Him telah memasang mata dengan sinarnya yang
bengis, karena dia menduga bahwa orang yang tengah berkeliaran di lembahnya ini
adalah orang-orang yang tidak bermaksud baik. Didengar dari suara langkah
kakinya, Lo Him menghitungnya orang yang tengah mendatangi ke mulut lembah
berjumlah empat orang.
„Siapa mereka?” berpikir Lo Him dengan
gelisah, karena itu dia segera menguatirkan ke selamatan Yo Him, si Him kecil
yang menjadi anak angkatnya.
Dia mendengar suara langkah kaki
keempat orang yang tengah mendatangi itu ringan sekali, hampir tidak terdengar,
suara berkeresek itupun sama halusnya seperti suara angin yang menghembus
daun-daun pohon. Tetapi telinga Lo Him yang terlatih dan tajam bukan main telah
mendengarnya dengan jelas, terlebih lagi Sin Kim yang memiliki penciuman sangat
tajam.
Keduanya seorang manusia dan seekor
macan tutul, bersiap-siap untuk menyambut kedatangan „tamu” tidak diundang
tersebut. Menanti tidak lama dari arah mulut lembah tampak melangkah mendatangi
empat sosok tubuh dengan gerakan yang ringan sekali. Keempat tubuh itu, yang
semuanya lelaki telah berhenti dan berbisik-bisik.
Malah Lo Him mendengar antara lain
perkataan, „Dia menghilang di sekitar tempat ini..... dan kita harus mencarinya
terus! Sejak tadi ku lihat bahwa di sekitar tempat ini ada kehidupan pasti
lembah ini memiliki penghuninya.....”
Hati Lo Him tergoncang, entah siapa
orang yang dicari oleh keempat „tamu” tidak diundang tersebut? Tetapi Lo Him
tidak mau terlalu lama berpikir, dia telah mengawasi dengan bersiap-siap kalau
saja keempat orang itu menghampiri lebih jauh dan melihat rumah kayu yang
dibangunnya, yang didiami oleh Siauw Liong Lie dan Yo Him, maka di saat itulah
Lo Him akan segera keluar untuk melancarkan serangan.
„Apakah kau yakin dia belum
meninggalkan tempat ini?” tanya salah seorang lainnya.
„Hemm…. dia tengah hamil, dan mungkin
bulan ini perutnya tengah besar-besarnya. Kita tawan dan usahakan jangan sampai
dia bisa meloloskan diri pula.....”
Dan baru saja orang itu berkata
demikian tiba-tiba kawannya yang lain telah menunjuk.
„Lihat! Ada rumah!” berseru orang itu
dengan suara gembira.
Hati Lo Him jadi tambah tegang
sendirinya. Dia mengawasi lebih tajam. Dilihatnya keempat orang itu telah
melangkah menghampiri rumah kayu dimana di dalamnya berada Siauw Liong Lie dan
Yo Him.
Ketika keempat orang itu baru
melangkah lima tindak, Lo Him sudah tidak bisa menahan hatinya lagi, dengan
cepat dia telah mengeluarkan suara seruan keras, tubuhnya tahu-tahu melompat
keluar, menghadang dihadapan keempat orang itu.
„Berhenti!” bentaknya bengis. „Apa
yang ingin kalian lakukan di tempatku ini?”
Keempat orang itu jadi terkejut,
tetapi setelah melihat orang yang menegur mereka seperti „orang hutan”, mereka
jadi tertawa.
Karena jarak mereka sudah dekat, di
bawahi sinarnya rembulan Lo Him bisa melihat diantara keempat orang itu
terdapat seorang Lhama merah dua orang berpakaian sebagai guru silat, dan seorang
pendeta Mongolia yang bertubuh tinggi besar bermuka kejam.
Mereka telah membalas memandang Lo
Him, dengan suara mengejek, Lhama itu telah menegur „Engkaukah yang menjadi
penghuni lembah ini?”
„Tepat!” menyahuti Lo Him dengan
ketus.
„Hmm, apakah engkau pernah melihat
seorang wanita cantik yang tengah hamil dan seekor burung rajawali berukuran
besar enam atau tujuh bulan yang lalu?” tanya Lhama itu lagi.
„Kalau melihat bagaimana dan kalau
tidak bagaimana?” tanya Lo Him dengan mendongkol karena dia melihat keempat
tamu tidak diundang ini angkuh sekali.
„Ihh?” berseru Lhama itu kaget. Tetapi
kemudian dia jadi marah. „Engkau kurang ajar sekali. Tahukah engkau siapa
kami?”.
„Aku tidak perlu tahu!” berseru Lo
Him.
Mendengar jawaban Lo Him, rupanya Lhama
itu jadi meluap darahnya.
„Aku Chiluon selamanya belum pernah
bertemu dengan manusia kurang ajar seperti kau rupanya engkau perlu dihajar
agar dilain waktu tahu menghormati orang!” dan setelah berkata begitu, Lhama
tersebut maju selanjutnya dia mengulurkan tangannya dengan maksud akan
mencengkeram bahu Lo Him, yang niatnya untuk dibanting.
Tetapi Lo Him dengan mudah
menggerakkan bahunya, sehingga cengkeraman Lhama itu lolos.
„Ihh!” Lhama itu, Chiuluon jadi
mengeluarkan seruan kaget. Tetapi tidak lama, sebab dengan mengeluarkan seruan
mengguntur, dia mengulangi mengulur tangannya.
Kali ini berbeda dengan tadi. Jika
tadi Chiuluon melancarkan serangan dengan seenaknya saja, karena dia menduga
lawannya tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namun sekarang setelah dia mencela
begitu, dia melancarkan cengkeraman selain cepat juga disertai oleh kekuatan
tenaga lwekang yang hebat sekali. Angin cengkeraman itupun telah menyambar
datang sebelum jari-jari tangan Chiuluon tiba, sehingga Lo Him juga terkejut
dan tidak berani memandang enteng terhadap serangan tersebut, maka dari itu
dengan cepat dia telah melompat untuk mengelakkan diri.
Namun Chiuluon yang telah mengetahui
bahwa Lo Him memiliki kepandaian yang tinggi, telah melancarkan serangan yang
tidak main-main lagi setiap serangannya selain cepat juga mengandung tenaga
serangan yang bisa mematikan. Maka dari itu tidak mengherankan jika serangan
itupun telah mengejutkan Lo Him, yang cepat-cepat telah bersilat dengan
gerakan-gerakan yang gesit sekali, diapun telah memusatkan tenaga sakti di
kedua telapak tangannya.
Latihan lwekang yang dimiliki Lo Him
ini bukan sembarangan tenaga dalam, angin serangannya menderu-deru dengan hebat
sekali, sehingga membuat Chiluon terkejut bukan main dan telah menambah tenaga
serangannya.
Begitu pula dengan ketiga orang
kawannya, yang memandang dengan tatapan mata heran, karena mereka tidak
menyangka di tempat seperti ini mereka bisa bertemu dengan orang yang
berkepandaian tinggi seperti Lo Him. Dalam sekejap mata saja telah duapuluh jurus
mereka bertanding.
Pendeta Mongolia itu tidak lain Tiat
To Hoat-ong. Dia yang mengajak ketiga kawannya itu, karena Chiluon memiliki
kepandaian yang tinggi sekali, hanya berada setingkat di bawahnya, dan juga
kedua orang sahabatnya yang berpakaian sebagai busu, guru silat itu, merupakan
pengawal-pengawal pribadi Kaisar Kublai Khan, adalah pengawal kelas satu dalam
istana. Keduanya masing-masing bernama Turkichi dan Talengkie.
Jika Turkichi memiliki kepandaian
mencengkeram yang dahsyat sekali, yang sekali mencengkeram dapat menghancurkan
batu dan baja, karena kesepuluh jari tangannya itu telah dilatih dengan
sempurna sekali. Ilmu cengkeram yang dimiliki Turkichi mirip-mirip dengan ilmu
mencengkeram „Kiu-im-pek-kut-jiauw (Cengkeraman Tulang Putih) yang pernah
dilatih Bwee Tiauw Jie Hong. Maka dari itu bisa dibayangkan betapa hebatnya
ilmu cengkeram yang dimiliki Turkichi.
Sedangkan Talengkie juga memiliki ilmu
Siang-to (sepasang golok) yang luar biasa, sekali tabas dapat merubuhkan
belasan lawan. Di negerinya, Mongol, dia merupakan pahlawan istana raja kelas
satu yang disegani.
Dengan mengajak ketiga orang kawannya
itu, sesungguhnya Tiat To Hoat-ong bermaksud mencari Siauw Liong Lie, dia yakin
Siauw Liong Lie masih berada di sekitar tempat tersebut, dan terlebih pula
memang Siauw Liong Lie tengah hamil, dengan mudah pasti akan dapat dicarinya.
Umpama kata Siauw Liong Lie telah pergi meninggalkan tempat tersebut, tentu
mereka bi¬sa mengikuti jejaknya.
Tiat To Hoat-ong juga merasa yakin
bahwa dia telah berhasil melukai Siauw Liong Lie dengan pukulannya yang
dahsyat, setidak-tidaknya Siauw Liong Lie tentunya telah terluka berat. Tetapi
begitu jauh, dia masih belum berhasil menemuinya, bahkan mereka telah memasuki
lembah dan bertemu dengan Lo Him.
Di saat itu, dikala Lo Him tengah
didesak hebat sekali oleh si Lhama Chiuluon, tiba-tiba dari dalam sebuah goa
terdengar suara mengereng yang menggetarkan lembah itu.
<>
Dengan cepat Tiat To Hoat-ong menoleh,
dan mereka, si pendeta dengan kedua kawannya melihat sesosok bayangan panjang
yang menerjang ke arah mereka. Tiat To Hoat-ong mengerutkan alisnya, dia
mengibaskan lengan bajunya. Serangkum angin serangan yang kuat sekali
menghantam keras ke arah sosok bayangan tajam yang panjang itu. Seketika itu
juga sosok bayangan tersebut telah terpental dan bergulingan di tanah sambil
mengeluarkan suara meraung yang keras sekali. Ternyata sosok bayangan itu tidak
lain dari si macan tutul Sin Kim.
Akibat kibasan lengan baju Tiat To
Hoat-ong dia telah terlempar dan terguling hebat, namun cepat sekali dia telah
melompat bangun dan menerkam lagi ke arah si pendeta.
Turkichi melihat itu segera mewakili
Tiat To Hoat-ong menyambuti serangan yang dilancarkan oleh macan tutul
tersebut, dia mengulurkan kedua tangannya dan „ceppp” kesepuluh jari tangannya
telah menancap di perut macan itu dalam-dalam, sehingga Sin Kim meraung dan
telah mencakar dan menggigit ke arah depan sekenanya. Tetapi Turkichi menggeser
kedua kakinya, tubuhnya dimiringkan sehingga dia berhasil mengelakkannya dan
tidak kena dicakar dan digigit oleh macan tutul itu.
Setelah mengeluarkan suara raungan
yang keras, akhirnya tubuh Sin Kim rubuh tidak bergerak lagi. Putus napasnya.
Sin Kim telah mati dan suara kematiannya itu menggema di lembah tersebut
sedangkan Turkichi telah menyusut darah di kesepuluh jari tangannya sambil
memperlihatkan sikap yang sangat angkuh.
Suara raungan Sin Kim yang merupakan
raung kematian, telah mengejutkan Lo Him. Dia menoleh dengan muka pucat dan
tubuhnya menggigil melihat nasib macan tutulnya itu. Di saat itulah walaupun
hanya beberapa detik saja, telah dipergunakan oleh Chiluon dengan sebaik
mungkin, dia telah menghantam ke arah dada Lo Him sehingga tubuh Lo Him
terpental akibat serangan yang tepat itu.
Di saat tubuh Lo Him terpental begitu,
Sauw Liong Lie baru keluar dari rumah kayu itu, karena dia mendengar suara
meraung dari Sin Kim yang keras sekali.
Betapa terkejutnya Siauw Liong Lie,
dia keluar sambil menggendong anaknya, Yo Him, dan tangannya gemetar waktu
melihat keadaan Lo Him yang menggeletak di tanah sambil memuntahkan darah segar
dan juga Sin Kim yang telah binasa dengan keadaan yang mengenaskan, dengan
perutnya yang berlobang berlumuran darah.
Di saat itu juga Siauw Liong Lie telah
melihat diantara empat orang yang tengah berdiri dengan sikap yang angkuh itu,
terdapat Tiat To Hoat-ong. Dengan gusar Siauw Liong Lie membuka ikat
pinggangnya, tubuhnya dengan ringan telah melompat menerjang sambil memutar
ikat pinggangnya.
„Dia orangnya!” berseru Tiat To
Hoat-ong dengan girang. „Tangkap, jangan biarkan dia lolos.” Dan Tiat To
Hoat-ong bukan hanya berteriak belaka, karena dia telah melompat dan mendahului
untuk menyerang. Hebat sekali terjangannya karena dia telah melancarkan
serangan yang dahsyat.
09.18. Pengabdian Seekor Rajawali
Sakti
Siauw Liong Lie tidak jeri terhadap
siapa pun juga, dia hanya merasa kuatir kalau-kalau si pendeta nanti
mempergunakan tabung gasnya.
Turkichi dan Talengkie juga telah
melompat sambil melancarkan serangan. Talengkie telah mencabut sepasang senjata
goloknya yang bentuknya aneh panjang bergigi, dia melancarkan serangan dengan
hebat sekali. Chiluon juga telah mengeluarkan suara bentakan, ikut melancarkan
serangan kepada Siauw Liong Lie.
Nyonya Yo Ko merasakan serangan datang
bertubi-tubi dan hebat sekali. Dia memutar ikat pinggangnya, tetapi tenaganya
belum pulih keseluruhannya, dia baru saja melahirkan dan dengan sendirinya
menghadapi serangan keempat lawannya yang masing-masing memiliki kepandaian
yang demikian tinggi Siauw Liong Lie jadi terdesak juga. Diam-diam Siauw Liong
Lie mengeluh, dia melihat Lo Him terluka parah dan tidak bisa berdiri, hanya
mengerang-erang kesakitan karena luka yang dideritanya bukan main hebat.
Tiat To Hoat-ong girang sekali sebab
dia yakin Siauw Liong Lie akan dapat ditawannya kembali. Sekali-sekali si
pendeta Mongol itu telah memandang sekelilingnya, dia melihat kalau-kalau
Sin-tiauw pun berada di sekitar tempat itu, tetapi nyatanya bayangan burung
rajawali itu tidak berada di tempat keadaan tersebut sehingga si pendeta
bertanya-tanya, entah kemana perginya burung rajawali yang sakti itu.
Keringat dingin mulai menitik deras di
tubuh Siauw Liong Lie. Dia hanya bisa bertempur dengan mempergunakan tangan
kanan belaka, karena tangan kirinya tengah menggendong anaknya. Sehingga
kegesitan Siauw Liong Lie juga berkurang akibat perhatiannya yang terpecah,
sebab walaupun bagaimana dia kuatir kalau-kalau anaknya nanti terluka.
Tiat To Hoat-ong yang licik telah
dapat melihat kekuatiran nyonya Yo itu. Dengan cepat dia telah merobah cara
bertempurnya. Hoat-ong ini telah membiarkan kawan-kawannya mendesak si nyonya,
sedangkan dia sendiri berulang kali telah melancarkan serangan yang dahsyat,
ditujukan kepada anaknya si nyonya yang berada dalam gendongan.
Tentu saja hal itu membuat Siauw Liong
Lie jadi panik, dia memang tengah mempergunakan ilmu silat Giok-lie-kiam-hoat,
ilmu silat bidadari, dan dia mempergunakan ikat pinggangnya sebagai pengganti
pedang, dengan sendirinya gerak-geriknya tidak leluasa.
Dan kini di saat Tiat To Hoat-ong
melancarkan serangan yang bertubi-tubi ke arah anaknya keruan saja membuat dia
jadi tambah sibuk. Berulang kali Siauw Liong Lie telah berusaha bersiul
nyaring, memanggil Sin-tiauw tetapi burung itu tidak juga terlihat.
Saat itu desakan keempat lawannya
semakin lama jadi semakin hebat, dan yang menguatirkan Siauw Liong Lie justeru
di saat itu Tiat To Hoat-ong telah beberapa kali berusaha merogoh sakunya.
Siauw Liong Lie bisa menduga bahwa pendeta Mongol ini tentu ingin mengambil
tabung gasnya. Mati-matian Siauw Liong Lie menghantamkan ikat pinggangnya, yang
sebentar lunak dan sebentar keras dia melancarkan serangan yang dahsyat sekali.
Hal itu agar mencegah si pendeta mengambil tabung gasnya itu.
Kenyataan seperti itu tentu saja
membuat Tiat To Hoat-ong jadi mendongkol. Dia telah memperhebat serangannya.
Suatu kali, terdengar jeritan Siauw Liong Lie, karena bahu kanannya telah kena
dicengkeram oleh Turkichi, sehingga mengucurkan darah. Dan golok Talengkie juga
telah berhasil melukai lengan nyonya itu. Setelah lewat empat jurus lagi,
lengan kirinya juga telah dilukai.
Melihat keadaan demikian, seketika itu
juga Siauw Liong Lie menyadari bahwa dia tidak mungkin dapat menghadapi
lawan-lawannya itu dengan keadaan demikian, karena walaupun terlambat, tetapi
dirinya akan dirubuhkan. Terlebih lagi jika si pendeta telah mempergunakan
tabung gasnya. Maka dengan cepat dia telah memutar ikat pinggangnya dengan
mengerahkan tenaganya, sehingga memaksa keempat lawannya melompat mundur.
Di saat itulah Siauw Liong Lie
menjejakkan kakinya tubuhnya telah melambung ke udara, dan dengan mengerahkan
seluruh kekuatannya dia lari dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh untuk
meninggalkan tempat itu.
„Kejar!” teriaknya Tiat To Hoat-ong
dengan gusar.
Keempat orang itu segera juga
melakukan pengejaran. Bahkan Talangkie telah menggerakan tangan kanannya.
„Serrr, serrr,” dua sinar hijau telah menyambar ke arah Siauw Liong Lie.
Tetapi nyonya itu telah berhasil
mengelakkan dua serangan paku beracun yang dilontarkan lawannya. Karena
berkelit begitu, maka Siauw Lion Lie jadi terlambat dalam gerakannya. Sehingga
keempat lawannya telah menyusul kian dekat saja. Tetapi dengan mengerahkan
seluruh kekuatan yang ada padanya Siauw Liong Lie telah berlari pula, dia telah
berusaha untuk meninggalkan keempat lawannya itu. Sebab walaupun bagaimana
Siauw Liong Lie berusaha untuk menyelamatkan bayinya,
Karena tergoncang-goncang, bayi yang
semulanya tengah tertidur nyenyak itu jadi tersentak bangun dan menangis. Suara
tangisannya itu telah mengema di sekitar lembah tersebut.
Dikejauhan segera terdengar suara
pekik yang nyaring, dan sebuah titik hitam tampak mendekati ke arahnya. Siauw
Liong Lie jadi girang, semangatnya jadi terbangun, dia telah mengempos
kekuatannya dan berusaha berlari lebih cepat lagi. Suara pekikan itu adalah
suara pekikan Sin-tiauw. Jika memang rajawali sakti itu berada di tempat
tersebut, tentu si bayi dapat diselamatkan.
Sin-tiauw rupanya tadi tengah
berkeliling-keliling di sekitar Kun-lun. Burung ini mengetahui bahwa besok dia
bersama Siauw Liong Lie akan meninggalkan tempat tersebut, dia bermaksud
mengelilingnya untuk melihat terakhir kalinya.
Dan suara tangisan si bayi itulah yang
telah didengarnya, maka cepat-cepat Sin-tiauw telah terbang menghampiri dengan tergesa.
Waktu tiba di dekat tempat Siauw Liong Lie berada, Tiat To Hoat-ong yang
melihat burung rajawali itu, telah mempercepat dia mengeluarkan tabung gasnya.
Gerakan si pendeta telah dilihat oleh
Siauw Liong Lie, dia tiba-tiba berseru, „Terimalah Tiauw-heng!” Sambil berseru
dia melontarkan bayinya.
Rajawali sakti itu seperti mengerti,
dia mencengkeram hati-hati pembalut tubuh si bayi, dan kemudian dibawanya
terbang tinggi sekali.
Dengan berhasilnya diselamatkan
bayinya Siauw Liong Lie jadi tenang, disamping itu dia pun bisa bergerak lebih
leluasa dan dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi lawan-lawan
itu.
Waktu tiba dihadapan Siauw Liong Lie,
Tiat To Hoat-ong tengah gusar dan mendongkol karena dia melihat bayi Siauw
Liong Lie telah dapat diselamatkan oleh rajawali itu. Karena mendongkolnya dia
telah menyemprotkan gas dalam tabungnya ke arah Siauw Liong Lie.
Mengetahui hebatnya gas tabung itu,
Siauw Liong Lie cepat-cepat menahan pernapasannya, dia mengibas dengan lengan
bajunya lalu memutar tubuhnya dan berlari secepat mungkin.
Tiat To Hoat-ong tambah gusar, dengan
segera dia mengejar pula disertai oleh teriak-teriakannya. Ketiga kawan si
pendeta juga telah ikut mengejar terus. Tidak hentinya Talengkie menghujani
Siauw Liong Lie dengan paku-paku beracunnya, dan dua diantara sekian banyak
paku beracun itu telah menancap di punggung si nyonya.
Semula Siauw Liong Lie memang tidak
merasakan apa-apa selain perasaan sakit, tetapi racun dari paku itu bekerja
cepat sekali, sehingga dalam sekejap mata seluruh punggungnya telah kesemutan
dan kaku. Siauw Liong Lie jadi terkejut, tubuhnya terhuyung.
Di saat itu mereka telah kejar
mengejar di tepi jurang, dan keadaan disitu sangat berbahaya sekali. Dengan
mengeraskan hati Siauw Liong Lie mengempos semangatnya, dia berlari terus.
Sedangkan Sin-tiauw telah terbang tinggi sekali dengan membawa si bayi.
Tiat To Hoat-ong dan kawan-kawannya
semakin penasaran saja, mereka mengejar terus. Semakin lama jarak mereka
semakin pendek saja, hanya terpisah tiga tombak lebih.
Akhirnya Siauw Liong Lie putus asa.
„Daripada aku mati di tangan mereka lebih baik aku mati di dasar jurang!” dan
setelah berpikir begitu, Siauw Liong Lie melirik ke arah jurang yang dalam itu,
yang tidak terlihat dasarnya. Hatinya jadi menggidik, dia juga jadi teringat
kepada Yo Him, anaknya. Dengan sendirinya Siauw Liong Lie jadi ragu-ragu. Namun
akhirnya, karena dia telah melihat lawannya semakin dekat dan tidak akan
melepaskan dirinya, dia jadi nekad, dengan tidak berpikir apapun juga, dia
melompat ke dalam jurang itu.
Tiat To Hoat-ong terkejut, pendeta itu
yang telah datang menyusul dekat sekali, telah mengulurkan tangannya untuk
menjambret, namun gagal.
Tubuh Siauw Liong Lie meluncur terus
dengan cepat ke bawah dan lenyap dalam kegelapan. Di tengah udara, terdengar
suara pekik Sin-tiauw.
Tiat To Hoat-ong dan ketiga lawannya
jadi menghela napas penasaran. Mereka memandang ke arah Sin-tiauw.
„Kita harus menangkap anaknya itu!”
menggumam Chiluon dengan suara perlahan.
Tiat To Hoat-ong dan kedua kawan
lainnya telah mengangguk mengiyakan. Tetapi Sin-tiauw yang cerdik itu terbang
tinggi di tengah udara, sama sekali tidak mau terbang merendah. Bagaimana
menangkapnya? Disamping mendongkol, Tiat To Hoat-ong juga jadi berputus asa.
Di saat itu Sin-tiauw telah melayang
turun di seberang jurang dan berdiri sejenak disana seperti tengah ragu-ragu.
Apakah ikut turun ke dasar jurang atau membawa pergi anaknya Siauw Liong Lie
yang berada dalam cengekeramannya.
Tetapi Sin-tiauw yang cerdik itu
menyadarinya, jika dia terbang turun ke bawah jurang itu, sedangkan keempat
orang musuh Siauw Liong Lie masih berada di tepi jurang itu, maka dengan mudah
dia akan diserang dengan senjata rahasia. Itulah berbahaya, karena jika dia
kebetulan terserang dan menderita kesakitan, sehingga cekatannya terhadap bayi
di dalam cengkeramannya itu terlepas bukankah membahayakan jiwa si bayi yang
akan terbanting di dasar jurang? Hal itulah yang telah membuat Sin-tiauw
ragu-ragu sehingga akhirnya dia telah terbang lagi, tinggi sekali di tengah
angkasa dengan sekali-kali memperdengarkan suara pekikannya.
Tiat To Hoat-ong dan ketiga kawannya
yang masih penasaran tetap menanti di tepi jurang. Tetapi Sin-tiauw telah
terbang jauh dan tidak terlihat bayangannya lagi sambil membawa bayinya Siauw
Liong Lie. Si pendeta Mongolia itu bersama kawannya jadi berputus asa dan
akhirnya telah meninggalkan tempat tersebut dengan tangan kosong.
Keadaan di sekitar tepi jurang di
dekat lereng gunung Kun-lun-san tersebut jadi sepi sekali, hanya sekali-kali
dikejauhan terdengar suara raungan binatang buas.
<>
Lo Him yang terluka parah akibat
serangan yang meremukkan beberapa tulang iga di dadanya telah berusaha
menyalurkan tenaga murninya. Namun usahanya itu gagal dan perasaan sakit luar biasa
menyerangnya, sehingga Lo Him merintih beberapa kali. Perlahan-lahan dia telah
merangkak karena dia sangat menguatirkan sekali keselamatan Siauw Liong Lie.
Tetapi dalam keadaannya yang tengah terluka parah, mana dapat dia menyusul
Siauw Liong Lie dan keempat orang lawannya? Dalam keadaan segerti itulah, dia
melihat Tiat To Hoat-ong dan ketiga kawannya telah berjalan mendatangi.
Tentu saja Lo Him jadi terkejut,
karena dia tidak melihat Siauw Liong Lie diantara mereka. Dalam keadaan seperti
itu, diapun girang, karena dia bisa menduga Siauw Liong Lie tentu berhasil
meloloskan diri dari keempat lawannya tersebut, dia jadi lapang hatinya.
Tetapi Tiat To Hoat-ong dan ketiga
kawannya yang tengah dalam keadaan murka dan mendongkol telah melihat Lo Him,
maka kemarahan mereka telah ditumpahkan kepada Lo Him. Dihampirinya Lo Him,
lalu tanpa mengenal kasihan sedikitpun juga dia telah mengayunkan tangan
kanannya „plaak” kepala Lo Him telah dihantamnya hancur. Sedangkan Talengkie,
Turkichi dan Chiluon telah ikut menghajar orang yang malang itu, sehingga tubuh
Lo Him hancur remuk dan napasnya sudah siang-siang putus.
Setelah puas menumpahkan kemarahan
didiri Lo Him, keempat orang Mongolia itu telah meninggalkan tempat tersebut.
Mayat Lo Him dan Sin Kim, simacan tutul
menggeletak tanpa napas keadaan mereka mengenaskan sekali. Udara dingin sekali
dan keadaan sunyi sepi, hanya rumah kayu yang kosong tidak berpenghuni yang
tetap utuh di tempat tersebut.
◄Y►
Setelah terbang berputaran sekian lama
Sin-tiauw kembali ke tepi jurang itu. Dia melihat keempat orang musuh Siauw
Liong Lie telah pergi tidak terlihat bayangannya lagi, maka burung rajawali
tersebut telah meluncur terbang ke dalam jurang itu.
Tetapi ketika Sin-tiauw tiba di dasar
jurang binatang sakti ini tidak melihat tubuh Siauw Liong Lie, hanya tumpukan
pakaian dari Siauw Liong Lie yang dilihatnya. Tentu saja Sin Tiauw jadi
bingung, dia telah terbang berputaran di dasar jurang itu, mengeluarkan suara
pekikan yang keras bagaikan tengah memanggil-manggil Siauw Liong Lie. Namun
Siauw Liong Lie tetap tidak terlihat mata hidungnya, telah lenyap bagaikan di
telan bumi.
Tentu saja Sin-tiauw jadi bingung
bukan main, pakaian Siauw Liong Lie dilihatnya ada di dekat tempat itu, tetapi
kemana perginya Siauw Liong Lie?
Sin-tiauw meletakan bayi di dalam
cengkeramannya dengan hati-hati, dia telah mencakari tanah, menggali sebuah
liang, untuk mengubur barang-barang Siauw Liong Lie. Kemudian Sin-tiauw terbang
berputaran lagi sambil memekik-mekik, memanggil-manggil Siauw Liong Lie. Tetapi
nyonya Yo Ko itu tetap telah lenyap tidak terlihat mata hidungnya lagi.
Inilah yarg sangat mengherankan sekali
kemana perginya Siauw Liong Lie? Jika dia mati terbanting di dasar jurang
tentunya terlihat tubuh atau mayatnya dan jika dia berhasil menyelamatkan
dirinya dari kematian terbanting di dasar jurang ini, tentu dia akan mendengar
suara pekikan Sin-tiauw dan keluar untuk menemuinya. Namun kini Siauw Liong Lie
tetap lenyap tidak terlihat mata hidungnya? Kemana nyonya Yo itu?
Selesai mengubur seluruh barang-barang
Siauw-Liong Lie yang berhasil ditemuinya di tempat itu, Sin-tiauw telah terbang
mencari seekor kambing hutan, yang dibawanya hidup-hidup untuk dipergunakan
oleh si bayi menyusui.
Begitulah untuk selanjutnya Sin-tiauw
telah merawat si bayi Yo Him. Di dasar jurang itu. Selama itu pula Siauw Liong
Lie tidak pernah terlihat bayangannya, entah kemana lenyapnya, nyonya Yo Ko
itu.
Memang cukup berat rajawali itu
merawat Yo Him, namun dia telah berusaha untuk merawatnya sebaik mungkin. Untuk
membawa Yo Him, membawa terbang meninggalkan Kun-lun-san mencari Yo Ko, juga
bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena tidak mungkin rajawali ini membawa si
bayi terbang, berkeliling mencari ayahnya…… sedangkan Yo Ko tidak diketahui
berada dimana. Semula Sin-tiauw ingin mengajak Yo Him terbang ke Siauw-hong,
tempat dimana Yo Ko dan Siauw Liong Lie semula menetap, tetapi akhirnya
Sin-tiauw memutuskan untuk merawat dulu si bayi selama beberapa tahun di lembah
ini.
<>
Waktu dengan cepat beredar, dari bulan
ke bulan dan akhirnya Yo Him telah berusia dua tahun lebih.
Sin-tiauw sering mengajak anak itu
terbang ke atas jurang, dengan Yo Him duduk di punggung rajawali tersebut. Dan
di atas jurang itu, Sin-tiauw mengajak Yo Him bermain-main dengan gembira. Tidak
jarang pula, Sin-tiauw sengaja meninggalkan Yo Him di dekat permukaan sebuah
perkampungan di kaki gunung, sehingga Yo Him bisa bermain-main dengan beberapa
orang anak kampung lainnya, tidak mengherankan jika Yo Him pun bisa
bercakap-cakap seperti anak-anak yang lainnya. Jika sore hari, barulah
Sin-tiauw menjemput Yo Him kembali.
Akhirnya, karena terlampau seringnya
Sin-tiauw mengantarkan Yo Him ke mulut perkampungan tersebut, banyak anak-anak
kampung itupun yang telah menyenangi si rajawali dan sering mengajaknya bermain
bersama. Betapa gembiranya anak-anak kampung itu jika diajak terbang oleh
rajawali tersebut, dengan mereka duduk di punggung burung tersebut.
Semula orang tua anak-anak kampung itu
merasa kuatir kalau-kalau rajawali itu masih ganas dan liar, atau setidaknya
anak-anak mereka jatuh dari punggung Sin-tiauw, namun setelah hampir satu tahun
lebih tanpa terjadi urusan apa-apa, orang-orang kampung itupun jadi biasa
dengan sendirinya. Sedangkan Sin-tiauw memang sengaja mengajak Yo Him ke permukaan
kampung itu, untuk bermain dengan anak-anak diperkampungan tersebut, agar Yo
Him belajar bicara dan senang-senang ikut bermain-main dengan anak-anak di
kampung itu. Walaupun Sin-tiauw seekor binatang belaka, namun dia memiliki
pikiran yang bijaksana.
Setelah Yo Him berusia dua tahun
lebih, dia mulai dididik oleh Sin-tiauw melatih tenaga dalam dan ilmu pukulan.
Seperti diketahui, di saat Yo Ko dibuntungi tangannya oleh Kwee Hu (Sia-tiauw
Hiap-lu menceritakan perihal itu) maka Sin-tiauw ini yang telah mendidik Yo Ko
untuk mempergunakan goloknya yang berat itu. Dan kini di bawah bimbingan
Sin-tiauw, Yo Him memang bisa memperoleh didikan yang kuat, namun karena
usianya yang masih terlampau kecil itu, ilmu silat dan tenaga dalam itu tidak
berarti apa-apa, hanya bisa menyebabkan tubuh anak tersebut sehat dan kuat
saja.
Menjelang usia tiga tahun lebih, Yo
Him bisa bermain dengan lincah, dan dia mulai dapat mendaki tempat-tempat yang
agak tinggi. Terlebih lagi Sin-tiauw dalam menurunkan ilmunya selalu teratur, yaitu
setiap tengah malam tentu dia akan membangunkan Yo Him dari tidurnya dan
memaksa anak itu melatih diri.
Tetapi yang membuat Yo Him tidak
mengerti, anak-anak kampung lainnya memiliki ibu dan ayah, sedangkan dia tidak.
Begitu juga Sin-tiauw tidak menjelaskan siapa ayah dan ibunya, karena memang
rajawali itu walaupun sangat cerdik dan pandai tetapi tidak bisa bicara. Hanya
rajawali itu seringkali menunjuk ke arah gundukan tanah dimana pakaian Siauw
Liong Lie dikuburkan.
Anak kecil Yo Him belum mengerti
urusan apa-apa, dia selalu hanya mengangguk-nganggukkan kepala belaka jika
memang Sin-tiauw tengah menunjuk gundukan tanah pakaian Siauw Liong Lie.
Waktu beredar cepat sekali, dan pagi
itu, sejak matahari belum memperlihatkan diri, Sin-tiauw tampak berdiri diam
saja, tidak seperti biasanya dia terbang berputaran mencari mangsanya. Sikap
burung itu lesu sekali, seperti ada yang menyusahkan hatinya. Sedangkan Yo Him
telah menghampiri dan merangkul leher burung itu.
„Tiauw-ya (ayah rajawali) apakah yang
tengah kau risaukan?” tanyanya.
Rajawali itu hanya menggeleng
perlahan, dia menggesekkan kepalanya perlahan-lahan di lengan Yo Him dengan
penuh kasih sayang. Lalu dengan ujung sayapnya dia telah menunjuk ke
punggungnya.
Yo Him mengerti, dia melompat naik ke
punggung rajawali itu. Usianya yang empat tahun lebih itu telah menyebabkan
anak ini bisa melompat dengan gesit sekali. Sin-tiauw telah berjalan ke sudut
dasar jurang, dengan cakarnya dia mengorek tanah, dan dari dalam tanah itu dia
mengeluarkan beberapa barang, yang ternyata milik Siauw Liong Lie, yang telah
dikeluarkan oleh rajawali itu.
Tentu saja si bocah tidak mengerti, Yo
Him hanya mengawasi saja. Di saat itu Sin-tiauw telah memberi isyarat dengan
sayapnya, agar barang-barang itu dimasukkan Yo Him ke dalam sakunya.
Yo Him mengerti dan menuruti keinginan
Sin-tiauw. Dan setelah Yo Him memasukkan beberapa macam barang bekas milik
Siauw Liong Lie, si bocah diperintahkan Sin-tiauw naik ke punggungnya. Dia
mengajak Yo Him terbang ke atas jurang, menurunkan Yo Him di pintu kampung yang
biasa dimana Yo Him bermain-main dengan beberapa orang anak kampung lainnya.
Setelah menggesek-gesekkan kepalanya beberapa kali di lengan Yo Him, burung
rajawali itu terbang tinggi sekali berputaran tidak hentinya. Yo Him yang
berdiri di muka kampung itu jadi heran. Belum pernah dia melihat sikap
Sin-tiauw seperti itu. Maka dari itu dengan sendirinya dia tidak mengerti
mengapa hari ini Sin-tiauw membawakan sikap seperti itu.
Lama juga Sin-tiauw berkeliling
berputaran di tengah udara, lalu dengan mengeluarkan suara pekik yang nyaring
sekali, rajawali itu telah menukik masuk ke dalam jurang dan lenyap tidak
muncul kembali.
Yo Him jadi bingung ketika sore
harinya rajawali itu tidak menjemputnya. Dan beberapa orang kawannya telah
mengajak Yo Him untuk menginap saja. Begitu pula di hari-hari berikutnya
Sin-tiauw tidak datang menjemput, sehingga akhirnya Yo Him telah diambil
sebagai anak angkat oleh keluarga Ciang, di kampung tersebut.
Ternyata Sin-tiauw sesunguhnya ingin
merawat Yo Him sampai dewasa. Namun disebabkan usianya yang telah lanjut, dia
tidak bisa melaksanakan tugasnya. Karena Sin-tiauw memiliki kepandaian yang
luar biasa, lain dari rajawali lainnya, terlebih lagi memang diapun merupakan
rajawali sakti, maka dia mengetahui bahwa putus napas dan kematiannya sudah
tiba, karena usianya telah lanjut. Dengan demikian tidak mengherankan jika
seharian itu dia memperlihatkan sikap yang lesu.
Setelah membawa Yo Him ke atas jurang
dan meninggalkan di mulut perkampungan itu, Sin-tiauw menukik kembali ke dasar
jurang dan menemui kematian disitu, melepaskan napasnya yang terakhir.
Setidak-tidaknya Sin-tiauw telah melakukan tugasnya yang terakhir, sehingga dia
telah bisa mengantarkan Yo Him ke perkampungan di kaki gunung Kun-lun itu agar
si bocah tidak terkurung di dalam jurang itu. Sedangkan Yo Him yang belum
mengerti urusan apa-apa hanya menganggap bahwa Sin-tiauw telah mengalami
kecelakaan sesuatu atau memang telah pergi meninggalkannya.
Hari demi hari lewat cepat sekali,
bulan demi bulan juga telah lewat pesat…..
Yo Him akhirnya telah berusia tujuh
tahun kini dia merupakan seorang anak yang tampan sekali. Mukanya yang kecil
itu cakap dan halus. Tidak mengherankan karena Yo Him memiliki kakek yaitu Yo
Kong seorang pria yang tampan, kemudian ayahnya Yo Ko, juga berparas tampan,
ibu¬nya Siauw Liong Lie juga cantik, maka tidak mengherankan jiwa Yo Him
memiliki paras yang amat tampan sekali.
Namun dalam usia tujuh tahun seperti
itu Yo Him perlahan-lahan mulai mengerti urusan. Dia mulai dapat berpikir dan
sering datang ke tepi jurang, berdiam di sana sampai menjelang sore. Dia jadi
sering memikirkan rajawali sakti, yang tidak pernah muncul itu, dan diapun
sering menangis sedih disana. Yo Him telah melihatnya semua anak-anak kampung
itu memiliki ayah dan ibu, tetapi dia? Mana ayahnya? Mana ibunya! Dan perasaan
sedih itu telah melanda hatinya.
Keluarga Ciang memang memanjakannya,
menganggap Yo Him sebagai anak kandungnya sendiri, karena keluarga Ciang tidak
memiliki anak, mereka hanya merupakan pasangan suami isteri yang telah lanjut
usianya itu. Namun Yo Him tetap merasakan adanya sesuatu kekurangan di dirinya.
Beberapa orang anak kampung telah
datang ke tepi jurang itu, mengajak Yo Him untuk bermain-main. Tetapi Yo Him
selalu dilanda oleh kemuraman belaka.
Sampai akhirnya, suatu sore di saat Yo
Him tengah duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di mulut kampung itu dan
menyaksikan anak-anak kampung yang bermain petak, tiba-tiba dari jurusan utara
tampaklah dua orang penunggang kuda yang melarikan kuda tunggangannya dengan
cepat sekali. Anak kampung yang melihat datangnya dua orang asing, telah
berhenti bermain dan memandang heran kepada kedua orang penunggang kuda itu
yang telah melompat turun.
Kedua orang itu berpakaian sebagai tosu,
imam, usia mereka diantara tigapuluhan, wajah mereka ramah, salah seorang imam
itu telah mendekati Yo Him, mereka bertanya ramah, „Adik, bisakah kau
memberitahukan pinto jalan yang menuju ke Kun-lun-pai?”
„Ohhh, Kun-lun-sie (kuil Kun-lun)?”
tanya Yo Him.
„Benar, tahukah engkau ke arah mana
jalan yang harus kami ambil?”
„Terus saja menuju ke selatan, dan di
puncak yang ketiga itu terletak kuil keramat itu!” menjelaskan Yo Him.
Tosu itu tampak girang, bersama dengan
tosu lainnya telah melompat ke kuda mereka dan membalapnya ke jurusan yang
diberitahukan oleh Yo Him.
Tidak lama kemudian tampak beberapa
orang penunggang kuda lagi yang menanyakan jalan yang menuju ke Kun-lun-sie,
maka hal itu telah menarik perhatian anak-anak kampung tersebut, termasuk Yo
Him. Bahkan Tiang Hu, seorang anak kampung berusia sembilan tahun yang terkenal
sangat nakal telah menarik ujung tangan Yo Him.
„Ada apa ramai-ramai? Tentunya di kuil
Kun-lun-sie tengah diselenggarakan pesta!” katanya.
„Mungkin!” sahut Yo Him tidak tertarik.
Tetapi tidak lama kemudian telah
datang beruntun puluhan penunggang kuda lainnya yang juga menanyakan jalan ke
Kun-lun-sie yaitu kuil dimana pusatnya partai persilatan Kun-lun-pai.
Tiang Hu jadi tambah tertarik dia
telah mengajak Yo Him untuk pergi ke kuil itu. „Kita melihat keramaian.....!”
ajaknya.
Tetapi Yo Him menggeleng. „Kita tidak
boleh pergi jauh-jauh...... Ciang Pe-hu (paman Ciang) melarang aku pergi
jauh-jauh, karena kuatir kena dicelakai orang jahat!”
„Hu, hu, mengapa harus takut? Bukankah
kuil Kun-lun-sie tidak jauh? Kita bisa melihat keramaian, nanti kita segera
pulang, tentu Ciang Pe-hu mu itu tidak mengetahui...... ayo!” Dan sambil
berkata begitu Tiang Hu menarik lengan baju Yo Him.
Sebetulnya Yo Him tidak tertarik
dengan ajakan kawannya ini, namun karena sejak tadi dia melihat puluhan orang
yang semuanya menuju ke arah Kun-lun-sie, juga dari pakaian mereka yang ketat
dan memperlihatkan mereka dari rimba persilatan Yo Him jadi diliputi perasaan
heran dan ingin mengetahui juga sesungguhnya apa yang hendak mereka lakukan.
Terlebih lagi dia melihat, diantara rombongan itu terdapat macam-macam orang
dari berbagai golongan, ada imamnya, ada hweshionya, ada gadis, ada lelaki
kasar dan ada juga wanita tua….. semuanya memperlihatkan sikap mereka yang
berlainan dan aneh-aneh.
Akhirnya Yo Him tertarik juga untuk
melihatnya ketika Tiang Hu mengajaknya berulang kali. Dengan cepat kedua anak
itu berlari-lari menaiki Kun-lun-san. Beberapa orang anak kampung lainnya telah
mencegah Yo Him, tetapi Tiang Hu telah mengawasi mendelik ke arah mereka,
sehingga anak kampung itu tidak berani melarang Yo Him lagi.
Dengan berlari-lari Yo Him dan Tiang
Hu telah tiba di muka kuil Kun-lun-sie. Di luar kuil itu tampak banyak sekali
kuda-kuda yang tertambat dan imam-imam dari kuil itu berdiri di pintu gerbang
kuil tersebut, yang rupanya menjadi barisan penyambut tamu.
Di saat itu Yo Him dan Tiang Hu
mendekati pintu kuil untuk melihat keadaan di dalam kuil yang tampaknya telah
ramai oleh tamu-tamu. Suara dari tamu-tamu di kuil itu terdengar ramai sekali,
disamping itu imam-imam kecil juga sibuk sekali menyediakan makanan tidak
berjiwa untuk para tamu tersebut. Melihat suasana seperti itu, Yo Him dengan
Tiang Hu menduga pasti akan ada keramaian di kuil tersebut.
Kedua anak itu hanya berdiri di muka
kuil tersebut, karena mereka sama sekali tidak diijinkan untuk ikut masuk.
„Kita masuk dari belakang!” bisik
Tiang Hu.
Tetapi lengan baju Tiang Hu telah
dicekal Yo Him. „Jangan!” katanya dengan cepat mencegah. „Nanti kalau diketahui
totiang penjaga kuil, kita bisa dimarahi!”
„Mereka sedang sibuk, tentu tidak
mengetahui perbuatan kita,” kata Tiang Hu.
Tetapi Yo Him telah menggeleng.
„Jangan..... aku takut”
„Pengecut.”
„Kalau diketahui oleh totiang penjaga
kuil kita bisa dihukum.”
„Ayo, aku yakin tidak akan diketahui!
Kita bukan hendak mencuri, kita hanya ingin menyaksikan keramaian belaka.”
„Tidak, aku tidak mau, pergilah kau
saja aku tidak mau ikut!” Kata Yo Him sambil menggeleng, „Aku cukup menyaksikan
dari sini saja.”
Muka Tiang Hu berobah dia membentak,
„Mengapa kau pengecut demikian? Ayo cepat, kau ikut tidak?”
Yo Him diam saja.
„Kalau kau tidak mau menyaksikan
keramaian, mengapa tadi engkau bersedia ikut? Kalau memang tidak berani katakan
saja sejak tadi agar aku bisa mengajak yang lainnya!”
Yo Him jadi ragu-ragu, tetapi akhirnya
karena dia melihat Tiang Hu seperti marah, dia takut kalau-kalau nanti Tiang Hu
memukulnya, akhirnya Yo Him mengangguk juga.
„Baiklah, tetapi jangan
lama-lama.....!” katanya dan dia telah mengikuti Tiang Hu memutari kuil itu.
untuk mengambil jalan di pintu belakang kuil.
Memang seperti yang diduga oleh Tiang
Hu imam-imam kuil itu tengah sibuk melayani tamu se¬hingga mereka tidak
memperhatikan kedua anak itu.
Saat itu Tiang Hu telah menarik tangan
Yo Him, menyelinap ke dalam kuil melewati dapur dan terus menuju ke ruang Thia,
ruangan depan kuil itu. Di pendopo tampak telah berkumpul banyak sekali
orang-orang dari berbagai golongan, yang pakaiannya juga bermacam-macam.
Tiang Hu mengajak Yo Him mengambil
tempat sudut ruangan, dekat tirai, sehingga kehadiran mereka berdua tidak
diperhatikan orang-orang yang tengah berkumpul disana.
„Kita jangan terlalu lama disini,”
kata Yo Him dengan suara yang berbisik. „Nanti kalau diketahui totiang penjaga
kuil, kita bisa celaka!”
Tiang Hu hanya mendengus saja, dia
telah berdiam diri tidak melayani bisikan Yo Him.
„Pergilah kau pulang jika kau takut,”
akhirnya Tiang Hu telah berkata jengkel waktu Yo Him masih juga sering menarik
ujung bajunya mengajak keluar.
Yo Him jadi ragu-ragu. Dia menyadari
jika dia meninggalkan Tiang Hu seorang diri di dalam kuil ini, kalau terjadi
suatu kecelakaan apa-apa tentu dia yang akan disesali. Maka akhirnya Yo Him
hanya berdiam diri dengan hati yang tidak tenang.
Saat itu tampaklah para imam-imam kuil
tersebut mulai sibuk menyediakan minuman untuk para tamunya, suara tamu yang
kian memenuhi ruangan tersebut semakin ramai saja. Diantara suara orang
bercakap-cakap, suara tertawa, suara berseru-seru karena tengah bercerita
dengan asyik sekali, maka keadaan benar-benar sangat ramai sekali. Ketika itu
diantara sibuknya para imam yang melayani, tiba-tiba terdengar suara tambur di
pukul bertalu-talu.
Dan keadaan di saat itu telah berobah
menjadi sepi dan hening sekali, karena memang di saat itu sudah tidak terdengar
lagi orang bercakap-cakap dan tidak ada pula orang yang berseru atau tertawa.
Semua mata telah ditujukan ke arah pintu itu yang bisa menembus ke ruang dalam.
Semuanya duduk diam di kursinya masing-masing yang berjajar di dalam ruangan
itu, dan saat itu, dari balik pintu ruangan dalam tampak telah melangkah keluar
tiga orang imam yang berusia lanjut, yang telah berusia diantara enam atau
tujuhpuluh tahun.
Imam yang berjalan di depan yang
memelihara jenggot panjang dan telah memutih itu, tidak lain dari Ciangbunjin
Kun-lun-pai yang bergelar Ma-liang Cinjin. Sedangkan kedua tojin, di kiri
kanannya yang mengiringi Ma-liang Cinjin itu adalah kedua adik seperguruannya,
yang masing-masing bergelar Uh-pie Cinjin dan Tui-ho Cinjin.
10.19. Kehancuran Perguruan
Kun-lun-pai
Mereka bertiga merupakan tiga tokoh
dari Kun-lun-pai dan nama mereka menggetarkan rimba persilatan dengan ilmu
pedang Kun-lun-kiam-hoat yang telah sempurna. Munculnya ketiga tokoh
Kun-lun-pai tersebut disambut oleh semua tamu dengan sorakan memuji akan
kebesaran pemimpin Kun-lun-pai tersebut. Sedangkan Ma-liang Cinjin telah
membungkukkan tubuhnya membalas hormat semua orang itu. Dengan perlahan-lahan
dan sikap yang angker dan agung, tampak Ma-liang Cinjin bertiga telah menuju ke
tempat yang disediakan untuk mereka, seperti sebuah mimbar berukuran tidak
begitu besar.
Semua tamu kemudian berdiam diri untuk
memberikan kesempatan kepada Ma-liang Cinjin memberikan kata-kata sambutannya.
„Sahabat-sahabat dari rimba
persilatan!” berseru Ma-liang Cinjin dengan suaranya yang halus dan sabar, dia
berkata sambil menyapu semua tamunya lalu dengan sorot mata yang lembut, namun
memancarkan sinarnya yang tajam sekali, memperlihatkan bahwa lwekangnya telah sempurna.
„Kami dari pihak Kun-lun-pai menyatakan terima kasih sebesar-besarnya kepada
sahabat-sahabat yang telah mencapai lelah bersedia memenuhi undangan untuk ikut
merayakan ulang tahun berdirinya Kun-lun-pai di tahun yang keempatratus ini!
Sebagai pintu perguruan silat yang berusia tua, dan kebetulan di saat jatuhnya
hari ulang tahun yang keempatratus ini, justru tengah dipimpin oleh Pinto, maka
alangkah baiknya jika kita bertukar pikiran mengenai ilmu silat!”
Dan setelah berkata begitu tampak
Ma-liang Cinjin telah memberi hormat lagi. „Dengan memberanikan diri kami
bermaksud memperlihatkan kebodohan di depan sahabat-sahabat semoga tidak
ditertawakan!” Dan setelah berkata begitu, tampak Ma-liang Cinjin mengibaskan
tangannya, maka dua murid Kun-lun-pai telah melompat ke depan mimbar
membungkukkan tubuhnya, memberi hormat kepada Ciangbunjin mereka.
„Kami Thio In dan Thio Bun ingin
meminta petunjuk Couw-su,” kata mereka serentak. Kedua imam murid Kun-lun-pai
ini adalah keturunan tingkat kelima, dan itulah sebabnya dia memanggil Ma-liang
Cinjin dengan sebutan Couw-su (kakek guru), karena guru mereka itu adalah Bung
Hong Cinjin dari tingkat ketiga.
Ma-liang Cinjin telah tertawa kecil,
ramah sekali sikapnya, diapun telah berkata sabar, „Nah, kini kalian perlihatkan
kebodohan diantara sahabat-sahabat!” Dan sambil berkata begitu dia telah
mengibaskan tangannya, memberikan isyarat agar kedua murid Kun-lun-pai itu
mulai memperlihatkan kepandaian ilmu pedang masing-masing.
Kedua murid Kun-lun-pay itu, Thio In
dan Thio Bun, telah merangkapkan tangannya untuk sekali lagi memberi hormat,
kemudian dengan saling berhadapan mereka telah berdiri untuk memberi hormat
kepada para tamu disusul dengan kata-kata mereka, „Kami yang bodoh ingin
memperlihatkan keburukan kami, harap tidak ditertawakan oleh sahabat dan
cianpwe!” Dan setelah berkata begitu. Thio In dan Thio Bun saling serang
memperlihatkan ilmu pedang mereka.
Luar biasa ilmu pedang yang mereka
perlihatkan, karena ilmu pedang itu berkelebat-kelebat dengan cepat sekali, dengan
gerakan yang ringan dan juga gesit mengancam tempat-tempat berbahaya. Itulah
suatu pertunjukan permainan ilmu pedang yang luar biasa indahnya, dan setiap
serangan yang mereka lancarkan itu menimbulkan angin yang dahsyat sekali.
Tetapi ilmu silat yang diperlihatkan
olen kedua murid Kun-lun-pay itu hanya indah di bagian luarnya saja karena
mereka bersilat dengan cepat dan gesit, tetapi isinya masih kurang sempurna.
Bagi jago-jago yang berkepandaian sedang-sedang saja memang ilmu pedang itu
menimbulkan perasaan kagum, tetapi bagi jago-jago yang memiliki kepandaian
sempurna, kepandaian kedua murid Kun-lun-pai tersebut masih jauh dari sempurna
karena banyak bagian-bagiannya yang lemah. Sehingga telah membuat beberapa
orang jago yang ikut menyaksikan ilmu pedang itu telah saling berbisik,
„Hanya sebegini saja ilmu pedang
Kun-lun-pai!”
Tetapi bagi Tiang Hu dan Yo Him yang
menyaksikan ilmu pedang itu, merupakan suatu kejadian yang luar biasa. Mereka
melihat pedang berkelebat-kelebat dengan cepat dan tampaklah suatu pemandangan
yang mendebarkan hati, karena gerakan pedang itu yang cepat sekali telah
berkelebat-kelebat membuat pandangan mata mereka jadi kabur berkunang-kunang.
„Akhhh!” berseru Ciangbunjin
Kun-lun-pai akhirnya, suaranya nyaring. „Ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat kurang
diyakini dengan baik oleh kalian, banyak kesalahan-kesalahan yang telah
dilakukan oleh kalian.”
Kedua murid Kun-lun itu, Thio In dan
Thio Bun, jadi menghentikan gerakan pedang mereka. Keduanya membungkuk memberi
hormat kepada Couw-su mereka.
„Kami minta petunjuk.....!” kata
mereka dengan suara yang perlahan.
„Banyak kesalahan yang kalian
lakukan!” kata Couw-su itu dengan sabar. „Kalian harus banyak melatih diri dan
meminta petunjuk kepada guru kalian!”
“Kami akan memperhatikan baik-baik
petunjuk Couw-su,” kata kedua murid Kun-lun-pai tersebut. Dan mereka sudah
bersiap-siap hendak mengundurkan diri.
Tetapi belum lagi mereka meninggalkan
gelanggang pertandingan itu, justru dari arah rombongan tamu undangan di
barisan belakang, telah terdengar suara seorang berkata dengan suara yang
dingin,
„Ilmu butut, murid butut!” kata suara
itu dengan nada yang mengejek. „Bukan main! Bukan main! Ilmu pedang rombengan
seperti itu dipertunjukkan, sehingga membuat mata jadi sakit melihatnya.”
Tentu saja kata-kata seperti itu
kurang ajar sekali, membuat semua orang telah terkejut dan menoleh ke arah
datangnya suara itu.
Ma-liang Cinjin dan yang lainnya juga
telah mengawasi ke arah suara itu. Dari arah belakang tampak telah melompat
gesit sekali sesosok tubuh ke tengah gelanggang. Gerakannya itu luar biasa
cepatnya dan juga ringan sekali tubuhnya, waktu kedua kakinya menyentuh lantai
tidak menimbulkan suara.
Semua orang mengawasi, dan mereka
segera dapat melihat jelas. Orang itu bertubuh tinggi besar dan tegap sekali,
dialah seorang pendeta Mongolia yang wajahnya bengis dan juga matanya bersinar
tajam. Wajahnya itu memperlihatkan keangkuhan yang sangat.
„Hud-ya Tiat To Hoat-ong hendak
melihat berapa tinggi kepandaian ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat! Bisakah
Ciangbunjin memperlihatkan sendiri ilmu pedang itu dan memberi petunjuk kepada
Hud-ya?” Kata-kata itu memang seperti merendah tetapi di dalam kata-kata itu
mengandung tantangan untuk Ma-liang Cinjin.
Tetapi Ma-liang Cinjin sabar sekali,
dia mengawasi sejenak kepada pendeta Mongol itu. „Siapakah Taysu itu?” akhirnya
dia telah bertanya. „Pendapat Pinto, Taysu tentunya datang tanpa membawa kartu
undangan!”
Pendeta Mongol itu yang memang tidak
lain dari Tiat To Hoat-ong telah tertawa mengejek.
„Memang, memang. Justru nama
Kun-lun-kiam-hoat yang menarik Hud-ya kemari......! Apakah itu suatu
kelancangan?” balik tanya Tiat To Hoat-ong.
Ma-liang Cinjin telah tersenyum sabar.
Segera dia mengetahui bahwa si pendeta Mongol ini jelas datang dengan maksud untuk
menimbulkan kerusuhan belaka.
„Baiklah! Taysu dari pintu perguruan
mana?” tanya Ma-liang Cinjin.
„Tidak perlu kau ketahui.”
„Mengapa begitu?”
„Yang terpenting Hud-ya hanya datang
untuk melihat sampai berapa tinggi ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat.”
„Hemmm...... baiklah!” kata Ma-liang
Cinjin sambil menggerakkan tangannya, dia ingin memberikan isyarat kepada
sutenya agar si adik seperguruannya itu melayani Tiat To Hoat-ong.
Namun kenyataannya Tiat To Hoat-ong
yang melihat itu segera juga telah berkata, „Dan kedatangan Hud-ya bukan untuk
melayani yang lain...... maka dari itu Hud-ya minta agar Totiang sendiri yang
melayani kami!!”
Dan setelah begitu, dengan cepat
sekali Tiat To Hoat-ong telah mulai menggerakkan tangannya dan kedua kakinya,
dia mulai berdiri dengan kuda-kudanya yang kuat, mulai bersiap untuk menerima
serangan. Dengan sikapnya itu berarti gerakannya tersebut merupakan tantangan
untuk Ma-liang Cinjin.
Sebagai Ciangbunjin dari Kun-lun-pai
yang memiliki nama sangat terkenal, sesungguhnya Ma-liang Cinjin tidak bisa
sembarangan menerima tantangan orang, karena derajatnya yang tinggi. Tetapi
karena Tiat To Hoat-ong telah menantangnya demikian rupa sehingga jika dia
tidak melayaninya niscaya akan menjatuhkan nama Kun-lun-pai. Maka dari itu cepat
sekali Ma-liang Cinjin berdiri dari kursi di depan mimbarnya, lalu katanya
dengan suara yang sabar.
„Sungguh terpaksa sekali Pinto harus
memperlihatkan kebodohan Pinto!” katanya kemudian. Dan setelah berkata begitu
Ma-liang Cinjin melompat ke tengah gelanggang.
Sesungguhnya kedua sute dari Ma-liang
Cinjin hendak mencegah Ciangbunjin mereka turun tangan sendiri, tetapi sudah
terlambat, Ma-liang Cinjin telah berhadapan dengan Tiat To Hoat-ong.
„Ha, ha, ha!” tertawa Tiat To Hoat-ong
dengan suara yang nyaring sekali. „Bukankah Totiang mengadakan pertemuan ini
justru ingin memperkenalkan kepada orang-orang rimba persilatan, bahwa ilmu
pedang Kun-lun-pai memiliki kepandaian yang hebat sekali?”
Di saat itu tampak Ma-liang Cinjin
juga sudah tidak mengambil sikap yang segan-segan lagi, karena dia menyadari
bahwa tamu tidak diundang ini memang sengaja datang untuk menimbulkan kerusuhan
belaka. Cepat sekali diapun telah merangkapkan sepasang tangannya, dia telah
melancarkan serangan pembukaan sebagai tanda hormat.
Tetapi Tiat To Hoat-ong berdiam diri
saja dia tidak berkelit atau menangkis. Karena serangan yang dilancarkan oleh
Ma-liang Cinjin memang merupakan jurus pembukaan, dengan sendirinya hal itu
merupakan serangan yang tidak sungguh-sungguh dan juga telah menyebabkan
serangan tersebut jatuh di tempat kosong. Namun dengan cepat sekali Tiat To
Hoat-ong tidak ingin membuang waktu, dia juga telah mengibaskan lengan jubahnya
sebagai serangan pembukaan.
Keduanya melompat mundur dan mulailah
piebu, adu kepandaian itu dibuka.
Tangan kanan Ma-liang Cinjin meraba ke
punggungnya, mencekal gagang pedang. Gerakannya itu sabar dan tenang sekali,
dan ketika pedangnya dicabut maka sinar yang berkilauan terlihat menerangi
sekitar tempat itu. Itulah pedang mustika. Sedangkan Tiat To Hoat-ong tertawa
dengan suaranya yang tidak sedap didengar.
„Cabutlah senjata Taysu!” kata
Ma-liang Cinjin yang sudah tidak ingin banyak bicara.
Tiat To Hoat-ong menggelengkan
kepalanya. „Sesungguhnya Hud-ya biasa mempergunakan golok, tetapi biarlah untuk
menghadapi Kun-lun-kiam-hoat yang hebat, Hud-ya akan mempergunakan kedua tangan
ini saja untuk menyambutinya!”
Bukan main mendongkol dan murkanya
murid-murid dari Kun-lun-pai, karena mereka merasa Ciangbunjin mereka
diremehkan dan dihina.
Tetapi justru Ma-liang Cinjin membawa
sikap yang tenang sekali, dia telah tersenyum. „Memang terkadang senjata tajam
kalah hebat dengan kedua telapak tangan manusia!” katanya sabar. „Nah, Taysu,
terimalah serangan Pinto..... inilah kebodohan yang selayaknya ditertawakan.”
Dan membarengi dengan perkataannya itu tampak Ma-liang Cinjin menggerakkan
pedangnya, dia telah menikam lurus-lurus ke arah dada Tiat To Hoat-ong yang
saat itu berdiri dengan sepasang kaki agak tertekuk.
Tentu saja hal itu telah membuat semua
orang jadi terkejut karena cara menyerang Ma-liang Cinjin akan membahayakan
diri Ma Liang Cinjin sendiri, sebab dengan cara menyerang seperti itu, berarti
Ma-liang Cinjin membuka bagian lowong di dirinya.
Sedangkan Tiat To Hoat-ong yang
melihat serangan tiba, dia mandekkan tubuhnya dengan kaki tetap tertekuk dia
telah melancarkan serangan membalas dengan telapak tangannya yang menyampok
dari samping. Angin sampokan tangan Tiat To Hoat-ong ternyata bukan main
kuatnya.
Angin serangan itu justru telah menyampok
miring pedang Ma-liang Cinjin. Keruan saja Ma-liang Cinjin jadi terkejut
sekali, dia sampai mengeluarkan seruan tertahan.
Hebat luar biasa tampak Tiat To
Hoat-ong bukan hanya melancarkan serangan dengan sampokan saja, dia juga telah
meluncurkan tangan kirinya mengancam ke arah kepala Ma-liang Cinjin.
Tentu saja Ma-liang Cinjin tidak bisa
tinggal diam, cepat sekali dia telah menarik pulang pedangnya. Dia juga menarik
pulang pedangnya bukan untuk mengelakan serangan Tiat To Hoat-ong, melainkan
telah membarengi untuk melancarkan serangan lagi. Gerakan itu luar biasa
hebatnya, karena ujung pedang itu digetarkan sehingga mata pedang seperti juga
telah menyambar kebeberapa bagian di tubuh Tiat To Hoat-ong bagian yang
semuanya berbahaya dan bisa mematikan.
Tetapi pendeta Mongol Tiat To Hoat-ong
seperti tidak memandang sebelah mata ilmu pedang Kun-lun, dia telah
mengeluarkan suara tertawa yang nyaring, mengempos semangatnya di dadanya, dan
dia telah berdiri tegak menantikan serangan tiba, kemudian disambutnya ujung
pedang itu dengan dadanya.
Semua orang terkejut, bahkan ada yang
telah mengeluarkan seruan karena kaget.
Dan di saat itulah dalam keadaan yang
cukup menegangkan ketika mata pedang menyentuh kulit dada dari Tiat To
Hoat-ong, namun anehnya mata pedang tidak bisa menikam masuk kulit tubuh itu
melainkan telah melejit.
Membarengi di saat Ma-liang Cinjin
tengah kaget, maka Tiat To Hoat-ong telah melancarkan pukulan lurus dengan
telapak tangannya.
„Bukkk!”
Ma-liang Cinjin tidak sempat
mengelakkan diri dan tubuhnya jadi terhuyung dengan pucat. Sebagai seorang
Ciangbunjin dari sebuah partai persilatan ternama seperti Kun-lun-pai sampai
terserang seperti itu, sesungguhnya benar-benar merupakan urusan yang luar
biasa dan mengherankan juga.
Tiat To Hoat-ong telah tertawa
bergelak-gelak keras sekali, dia telah melancarkan beruntun tiga kali serangan
lagi, pukulan telapak tangannya menimbulkan angin serangan sekuat runtuhnya
gunung.
Tentu saja Ma-liang Cinjin tidak
berani berlaku lambat, dengan tidak berayal lagi dia telah memutar pedangnya
itu dengan cepat seperti juga titiran.
Diantara suara deru angin itu, tampak
Ma-liang Cinjin juga mengempos semangat dan tenaga dalamnya, sehingga angin
serangan pedangnya selain mengincar bagian-bagian yang mematikan dari jalan
darah di tubuh Tiat To Hoat-ong, juga mengandung kekuatan tenaga yang dahsyat,
yang dapat menindih serangan tenaga dari Tiat To Hoat-ong.
Kenyataan seperti ini telah
mengejutkan Tiat To Hoat-ong juga, dia sampai mundur dua langkah dan berobah
cara bertempurnya. Dengan gerakan yang cepat sekali, silih berganti kedua
tangannya itu telah melancarkan pukulan yang dahsyat dan mematikan, semakin
lama semakin kuat dan mengurung tenaga serta pedang Ma-liang Cinjin.
Tentu saja Ma-liang Cinjin jadi
terkejut dan mengucurkan keringat dingin. Dia merasakan tenaga Tiat To Hoat-ong
seperti juga menghisap tenaganya, semakin lama tenaga Ma-liang Cinjin semakin
tersedot. Ma-liang Cinjin mati-matian telah berusaha untuk meloloskan pedangnya
itu dari libatan tenaga dalam si pendeta Mongol.
Berulang kali Tiat To Hoat-ong telah
mengeluarkan suara tertawa bergelak, dan berulang kali pula dia melancarkan
serangan yang semakin lama semakin hebat, yang memaksa Ma-liang Cinjin akhirnya
hanya dapat bertempur dengan main kelit dan main mundur.
Murid-murid Kun-lun-pai yang melihat
keadaan Ciangbunjin mereka, semuanya jadi berkuatir sekali.
Di saat itulah dengan cepat sekali
Ma-liang Cinjin memutar dan menghentak pedangnya dengan mempergunakan jurus
kesembilan belas dari Kun-lun-kiam-hoat, dengan menggetarkan pedangnya tampak
Ma-liang Cinjin telah menjejakkan kakinya, untuk melompat ke belakang menjauhi
diri dari lawannya.
Tetapi Tiat To Hoat-ong tidak ingin
memberikan kesempatan kepadanya. Dia telah melancarkan serangan dalam bentuk
pukulan yang kuat sekali. Dan serangannya itu telah menghantam pinggul Ma-liang
Cinjin, sehingga tulang pinggul dari Ciangbunjin Kun-lun-pai itu menjadi remuk
dan tubuhnya terhuyung tidak bisa berdiri tetap.
Uh-pie Cinjin dan Tui-ho Cinjin, kedua
sute dari Ma-liang Cinjin jadi terkejut sekali, muka mereka jadi berobah pucat
seketika. Dan mereka telah melompat untuk melindungi kakak seperguruan mereka.
Gerakan mereka itu sangat cepatnya, dan bertepatan di saat Tiat To Hoat-ong
melancarkan serangan berikutnya kepada Ciangbunjin Kun-lun-pai tersebut.
Gerakan mereka itu telah menolong Ma-liang Cinjin dari kematian, karena
serangan Tiat To Hoat-ong telah berhasil ditangkisnya.
„Bukk!” tubuh Uh Pie dan Tui-ho Cinjin
berhasil digempur Tiat To Hoat-ong sampai terpental.
Tetapi kedua sute Ma-liang Cinjin
dengan cepat telah melompat dan melancarkan serangan lagi kepada Tiat To
Hoat-ong. guna melindungi Ciangbunjin mereka.
Saat itu beberapa orang murid kepala
Kun-lun-pai lainnya telah menyerbu untuk mengepung Tiat To Hoat-ong, sambil
beberapa orang melindungi Ma-liang Cinjin, yang akan dibawanya ke dalam.
Namun Tiat To Hoat-ong rupanya
bertindak tidak tanggung-tanggung. Dengan cepat sekali tangannya telah
menjambret baju dari kedua murid kepala Kun-lun yang berada terdekat dengannya
dan melemparkannya. Setelah itu dengan ujung jubahnya yang panjang, tampak Tiat
To Hoat-ong telah mengibas, sehingga dua orang murid Kun-lun lainnya telah
terlempar dan terbanting.
Dengan caranya itu Tiat To Hoat-ong
seperti mengamuk ingin membuka kepungan lawannya. Dan memang dia telah
menimbulkan perasaan jeri di hati murid-murid Kun-lun tersebut.
Gerakan yang mereka lakukan itu memang
merupakan gerakan yang dahsyat, tetapi menghadapi Tiat To Hoat-ong yang
memiliki kepandaian yang telah sempurna dan juga tenaga yang kuat, mau tidak
mau murid-murid Kun-lun-pai yang berjumlah banyak itu tidak berdaya. Begitu
juga Tui-ho Cinjin maupun Uh-pie Cinjin, kedua tojin yang liehay itu tampaknya
jadi tidak berdaya menghadapi pendeta Mongol yang luar biasa ini.
Dalam sekejap mata saja pertempuran
hebat telah terjadi di tempat itu. Sedangkan Tui-ho Cinjin telah berhasil
dihajar dadanya, sampai imam itu meringkuk di lantai dengan memuntahkan darah
segar.
Dalam melancarkan serangannya Tiat To
Hoat-ong sama sekali tidak mau berlaku lunak! Setiap pukulannya tentu
mengandung tenaga menggempur yang bisa mematikan. Maka tidak mengherankan
ketika dia telah melancarkan serangan yang bertubi-tubi dan juga serangan itu
datangnya bagaikan angin badai, telah membuat murid-murid Kun-lun-pai tidak
berani mendekatinya.
Saat itu dengan nekad Uh-pie Cinjin
telah mengeluarkan teriakan yang nyaring, dia telah memutar pedangnya menyerbu
ke arah Tiat To Hoat-ong. Maksud imam ini adalah untuk mengadu jiwa dengan Tiat
To Hoat-ong agar binasa bersama. Tetapi hasrat hatinya itu tidak kesampaian.
Hal itu disebabkan Tiat To Hoat-ong
liehay sekali, dia sama sekali tidak bermaksud untuk mengelakkan serangan
lawannya, dia menerima tikaman dari si imam tetapi ujung pedang itu telah
melejit tidak berhasil menembus kulitnya yang licin dan kebal itu.
Mempergunakan kesempatan di saat Uh-pie Cinjin tengah terkejut begitu, di saat
itulah Tiat To Hoat-ong telah melancarkan pukulan dahsyat dengan telapak
tangannya,
„Bukkk!” batok kepala iman itu telah
berhasil dipukulnya dengan jitu sekali.
Tanpa sempat menjerit lagi tubuh
Uh-pie Cinjin menggeletak di lantai. Napasnya juga telah putus!
Semua murid Kun-lun lainnya jadi
panik, mereka telah menyerbu dengan nekad dan gusar mengepung Tiat To Hoat-ong.
Saat itu Tiat To Hoat-ong telah
mengeluarkan suara siulan yang nyaring, maka dari arah belakang barisan tamu,
melompat beberapa sosok tubuh. Ternyata yang melompat muncul tidak lain dari
Chiluon, Talengkie dan Turkichi. Mereka telah ikut mengamuk.
Kepandaian ketiga orang Mongol inipun
hanya berada satu tingkat, di bawah Tiat To Hoat-ong, maka tidaklah
mengherankan jika mereka dengan cepat telah berhasil merubuhkan murid
Kun-lun-pai. Gerakan yang mereka lakukan juga selalu mendatangkan korban.
Murid-murid Kun-lun-pai yang melihat
kehebatan ketiga orang itu jadi menggidik. Walaupun bagaimana mereka memang
merasa sangat jeri dan takut berurusan dengan keempat orang yang berkepandaian
sempurna itu. Mereka telah melihatnya bahwa kepandaian yang mereka miliki tidak
mungkin dapat menandingi kepandaian empat orang Mongol itu.
Tetapi Tiat To Hoat-ong berempat terus
juga mengamuk menghantam kesana kemari. Tampaknya keempat orang Mongol itu
memang sengaja tidak ingin melepaskan seorangpun murid Kun-lun terlolos dari
kematian.
Di saat itu dengan kecepatan bagaikan
kilat, Talengkie berulang kali menggerakkan tangannya. Paku-paku beracunnya
telah berhamburan membinasakan belasan orang tamu.
Keruan saja tamu-tamu yang merupakan
jago-jago dari berbagai pintu perguruan silat itu jadi panik dan kalut. Dengan
cepat beberapa orang diantara mereka telah menerjang maju untuk membantu pihak
tuan rumah. Tetapi bantuan mereka itu rupanya sama sekali tidak memberikan
hasil. Dengan mudah sekali Tiat To Hoat-ong telah melakukan serangan yang
selalu membinasakan lawannya.
Jago-jago yang lainnya disamping jeri
juga sangat gusar sekali melihat sepak terjang Tiat To Hoat-ong berempat dengan
kawannya. Ramai-ramai mereka telah melompat ke gelanggang pertempuran, mereka
telah melancarkan serangan dengan serentak untuk mengeroyok pendeta Mongol ini.
Tetapi Tiat To Hoat-ong dan keempat
kawannya itu tangguh sekali, mereka telah membinasakan satu persatu lawannya,
sehingga di dalam waktu yang sangat singkat sekali puluhan jiwa telah melayang.
Dan sisanya telah cepat-cepat memutar tubuh melarikan diri untuk meloloskan
diri dari kematian. Tiat To Hoat-ong telah tertawa bergelak-gelak puas.
Saat itu mayat-mayat melintang tidak
keruan di lantai, keadaan sangat mengerikan sekali. Di ruangan tersebut yang
masih segar dan hidup hanyalah Tiat To Hoat-ong berempat, tidak terlihat orang
lainnya.
Tiang Hu dan Yo Him yang bersembunyi
dibalik tirai, lagi menggigil keras ketakutan.
„Tadi-tadi telah kukatakan, agar kita
jangan kemari!” bisik Yo Him ketakutan. „Kau lihat, iblis-iblis itu menakutkan
sekali!”
Tiang Hu tidak bisa menyahuti, dia
hanya berdiam diri belaka. Ketakutan yang meliputi hati Tiang Hu bukan main
hebatnya, sampai anak ini tidak bisa mengeluarkan perkataan.
Dilihatnya betapa mayat-mayat itu
melintang tidak keruan dan mengerikan sekali. Saat itu keadaan sepi sekali.
Tetapi mata Tiat To Hoat-ong yang tajam telah melihat tirai yang
bergoyang-goyang itu. Cepat-cepat dia telah menghampirinya, sekali hantam tirai
itu tersingkap dan dua sosok tubuh kecil menggelinding keluar.
Tentu saja saking ketakutan Tiang Hu
telah menangis dan berlutut meminta ampun. Sedangkan Yo Him hanya diam
memandang dengan sinar mata ketakutan, tetapi dia tidak berlutut seperti yang
dilakukan oleh Tiang Hu.
„Ihh!” berseru pendeta Mongol itu
karena terkejut dan heran melihat kedua anak itu.
Talengkie telah melompat maju, dia
mencengkeram baju Yo Him dan Tiang Hu. Diangkatnya tubuh kedua anak itu, lalu
dibantingnya dengan keras ke atas lantai sehingga menimbulkan suara gedebukan
yang keras.
Mata Yo Him dan Tiang Hu jadi
berkunang-kunang dan kepala mereka pusing, disamping itu mereka juga menderita
kesakitan yang sangat hebat.
Tiang Hu yang sangat ketakutan, telah
menangis sambil sesambatan meminta ampun. Sedangkan Yo Him hanya merintih
perlahan karena dia menderita kesakitan yang sangat.
„Siapa kau?” bentak Talengkie dengan
suara yang bengis. „Mengapa kalian berada disini?”
„Kami...... kami ingin menyaksikan
keramaian…..,” kata Tiang Hu dengan suara yang parau antara isak tangisnya.
Tetapi berbeda dengan Tiang Hu, Yo Him
telah memutar otak sejak tadi dan kini dia telah memperoleh pikiran yang
dianggapnya baik. Maka dari itu, dia telah berkata lantang,
„Kami datang untuk mengambil sisa
makanan karena di tempat ini tengah diadakan keramaian, tidak kami sangka.....
tidak kami sangka justru adanya peristiwa seperti ini......”
„Hmm......kalian dua pengemis cilik
rupanya?” bentak Talengkie.
„Benar.”
„Cepat menggelinding pergi?” bentak
Talengkie dengan suara yang bengis.
Tentu saja hal itu menggirangkan hati
Yo Him dan Tiang Hu mereka cepat-cepat melangkah untuk pergi meninggalkan
tempat yang menyeramkan itu,
„Tahan!” bentak Tiat To Hoat-ong.
Tentu saja kedua anak itu jadi
ketakutan mereka menahan langkah kaki mereka tidak berani bertindak terus.
Yo Him telah menoleh, tanyanya dengan
ragu-ragu. „Ada…… ada apa lagi, Taysu?” suaranya dibuat setenang mungkin.
Mata Tiat To Hoat-ong bersinar tajam.
Berbeda dengan Talengkie, yang berhasil ditipu oleh Yo Him, tetapi Tiat To
Hoat-ong yang cerdik itu telah memperhatikan kedua anak itu dalam-dalam. Dia
telah melihatnya bahwa kedua anak ini tidak mungkin dua orang pengemis kecil.
Maka timbullah kecurigaannya. Dia
telah melihat pakaian Yo Him dan Tiang Hu bersih dan juga tidak ada
tambalannya, maka tidak mungkin Yo Him dan Tiang Bu ini dua anak pengemis.
Tetapi, jika bukan pengemis, lalu mengapa kedua anak tersebut bisa berada di
tempat ini? Itulah sebabnya Tiat To Hoat-ong bermaksud ingin menyelidikinya.
„Kalian bicara terus terang,
sesungguhnya siapa kalian berdua?” bentak Tiat To Hoat-ong dengan suara yang
bengis sekali.
„Kami….. kami memang pengemis kecil di
kampung ini!” menyahuti Yo Him dengan suara agak tergetar, karena dia ketakutan
melihat sinar mata Tiat To Hoat-ong yang tajam dan menyeramkan itu.
„Hemm, jika engkau masih tidak ingin
bicara terus terang, biarlah kami akan membunuh kalian juga?” mengancam Tiat To
Hoat-ong sambil melangkah maju.
Semula Yo Him ingin berkeras dengan
dustanya itu, bahwa mereka adalah dua orang pengemis kecil, dia yakin jika
mereka tetap mengakui diri mereka sebagai pengemis kecil tentu mereka akan
dibebaskan. Tetapi siapa sangka karena ketakutan bukan main melihat ancaman
Tiat To Hoat-ong, dengan tubuh yang menggigil keras Tiang Hu telah berlutut
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sampai keningnya itu telah menghantam
lantai berulang kali.
„Ampun Taysu….. kawanku tadi memang
telah berbohong….. kami memang bukan pengemis, kami hanya dua orang anak
penduduk kampung di bawah kaki gunung ini..... kami..... kami..... kami…..”
Tiat To Hoat-ong telah tertawa dingin.
„Kami, kami, kenapa?” bentaknya dengan suara yang semakin bengis saja.
„Kami hanya ingin menyaksikan
keramaian......!” kata Tiang Hu sambil menangis.
Tiat To Hoat-ong telah mendelik kepada
Yo Him. „Hemm, engkau kecil-kecil sudah pandai berbohong!” bentaknya. „Baiklah,
kami akan memberikan sedikit pelajaran kepada kalian!”
Tentu saja Yo Him dan Tiang Hu jadi
ketakutan sekali. Tubuh mereka menggigil keras, namun belum lagi mereka
mengetahui apa-apa telah berkelebat bayangan hitam, tahu-tahu punggung mereka
sakit dan tubuh mereka menjadi ringan seperti melayang.
Ternyata Tiat To Hoat-ong telah
mencengkeram punggung kedua anak itu. Kemudian dengan keras dia telah melemparnya
keluar kuil.
Tidak mengherankan jika Yo Him dan
Tiang Hu terbanting keras di atas tanah, bahkan Tiang Hu telah menghantam batu
kerikil dengan kuningnya, membuat kening anak itu jadi berlumuran darah.....
Dengan merangkak, tanpa berani menoleh lagi Yo Him dan Tiang Hu segera berlari
menuruni gunung itu, mereka berlari untuk pulang.
Tiat To Hoat-ong tertawa gelak-gelak
dengan suara yang keras sekali.
10.20. Siapa Ayah? Siapa Ibu?
Dan di saat itu Chiluon, Talengkie dan
Turkichi telah mengajak Tiat To Hoat-ong untuk berlalu. „Kita telah
melaksanakan tugas kita dengan baik! Hari ini kita telah membinasakan lebih
seratus jago-jago silat Tiong-goan! Untuk selanjutnya pihak Kun-lun-pai tidak
bisa mengangkat nama mereka,” berkata Tiat To Hoat-ong dengan suara yang
angkuh.
„Benar!” menyahuti Chiluon. „Dan
berarti berkurangnya tenaga jago di daratan Tiong-goan! Seperti perintah Khan
yang agung, kita harus berusaha sebanyak mungkin membinasakan jago-jago daratan
Tiong-goan, disamping untuk membuktikan bahwa jago-jago Mongolia tidak ada
tandingannya, juga untuk mempersedikit jago-jago yang membantu pemerintahan
Song, sehingga jika kelak Khan yang agung itu menerjang ke daratan Tiong-goan,
tentu tidak akan menemui rintangan lagi!”
Dan keempat orang jago Mongol itu
telah tertawa keras sekali, tampaknya mereka puas bukan main. Suara tertawa
mereka keras sekali menggetarkan tempat itu, lalu dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh mereka, jago-jago Mongol itu telah meninggalkan tempat
tersebut.
<>
Yo Him dan Tiang Hu yang berlari-lari
ketakutan, akhirnya telah tiba di rumah masing-masing. Ciang Pe-hu nya yang
mengambil Yo Him sebagai anak angkatnya, jadi kaget sekali melihat Yo Him
ketakutan seperti itu.
„Ada apa?” tanya Ciang Pe-hu tersebut.
Dengan hati masih tergoncang hebat dan
menahan perasaan sakit, Yo Him telah menceritakan pengalamannya. Sedangkan
Tiang Hu juga telah mengejutkan ibu dan ayahnya dengan keadaan seperti itu.
Sambil membersihkan darah yang mengucur deras dari keningnya, kedua orang tua
Tiang Hu menanyakan sebab-sebabnya putera mereka bisa babak belur begitu.
Sambil terus menangis, Tiang Hu telah
menceritakan pengalamannya.
Tentu saja kedua orang tuanya jadi
terkejut bukan main. Mereka memang merupakan penduduk lama di kampung ini, maka
dari itu mereka pun mengetahui jelas bahwa Kun-lun-pai merupakan sebuah pintu
perguruan silat yang luar biasa hebatnya, dengan sendirinya pintu perguruan
silat itupun merupakan tempat pemujaan yang disegani oleh penduduk kampung di
sekitar gunung Kun-lun-san tersebut.
Kini mereka mendengar pendeta-pendeta
dari kuil itu telah dibinasakan orang asing, bahkan jumlah korban meliputi
ratusan jiwa, keruan saja telah membuat merekapun jadi ketakutan dan berulang
kali memuji akan kebesaran Thian untuk meminta berkah dan perlindungan terhadap
keselamatan keluarga mereka.
Dan setelah dua hari, barulah
orang-orang kampung yang telah digemparkan oleh peristiwa itu berani naik ke
atas gunung, untuk mendatangi kuil Kun-lun-sie. Dan mereka jadi berdiri dengan
hati tergoncang keras diliputi ketakutan, karena dari jauh mereka telah mencium
bau busuk dari mayat dan amisnya darah tersiar dari kuil itu.
Beberapa orang penduduk kampung yang
memiliki nyali agak besar telah memberanikan diri untuk melihat ke dalam kuil
itu, mereka melihat mayat-mayat yang malang melintang. Maka dari itu mereka
jadi menghela napas, karena di dalam kuil tidak terlihat seorang imam pun juga.
Semuanya hanya mayat-mayat yang mengerikan sekali, dengan tubuh yang rusak dan
darah yang menggenang serta telah membeku menyiarkan bau busuk dan amis.
Setelah melihat di sekitar tempat itu
tidak ada orang Mongol yang disebut-sebut oleh Yo Him dan Tiang Hu, merekapun
mengumpulkan mayat sambil menggali tanah untuk mengubur korban-korban itu.
Peristiwa itu tentu saja merupakan
peristiwa yang pertama kali terjadi menimpa perguruan silat Kun-lun-pai. Dan
penduduk kampung itu, untuk satu tahun lebih tidak berani naik ke atas gunung,
mereka takut diganggu oleh setan-setan penasaran.
◄Y►
Yo Him setelah mengalami peristiwa
seperti itu, kini jadi sering melamun karena walaupun bagaimana dia telah
terpengaruh oleh peristiwa tersebut, yang tentunya memberikan bayang-bayang
yang tidak menggembirakan hatinya. Dia telah melihat betapa jiwa manusia
dibunuh seperti juga tidak ada harganya, bagaikan jiwa kecoa, dan juga
disamping itu walaupun dia masih berusia kecil dia cerdik sekali, maka Yo Him
berpikir jauh sekali yaitu dia perbandingkan peristiwa tersebut dengan ilmu
silat.
Tentunya korban-korban itu, yaitu
peristiwa dari terjadinya pertempuran tersebut, berawal pangkal dari ilmu
silat. Kalau mereka tidak mengerti ilmu silat jelas mereka tidak akan
memperoleh bencana seperti itu.
Dan Yo Him jadi tidak menyukai ilmu
silat...... dia berpikir di dalam hatinya yang masih polos dan suci itu bahwa
dia untuk selama-lamanya tidak ingin mempelajari ilmu silat.
Tetapi walaupun bagaimana kepandaian
seperti ini telah membuat Yo Him tergempur jiwanya, suatu gempuran yang tidak
kecil. Dia telah menyaksikan betapa manusia yang dibunuh-bunuhi seperti juga
menjagal hewan dan darah telah berhamburan. Pembunuhan itu bukan terjadi didiri
seorang atau dua orang manusia, melainkan ratusan jiwa...... maka setidaknya
telah merusak jiwa anak ini.
Ciang Pee-hunya yang melihat Yo Him
akhir-akhir ini sering melamun begitu, jadi menguatirkan sekali kesehatannya,
dia sering memberikan nasehat-nasehatnya.
Yo Him sering menyatakan kepada Ciang
Pee-hunya, bahwa dia ingin pergi ke sebuah tempat yang jauh...... jauh
sekali.....
Betapa sedihnya Ciang Pee-hu nya itu
karena dia sangat menyayangi Yo Him sama seperti putera kandung mereka sendiri.
Lebih-lebih Ciang Pee-bo, isteri Ciang Pee-hu nya Yo Him, telah menangis selama
dua hari dua malam mereka kuatir kalau-kalau anak angkat mereka itu akan
benar-benar membuktikan perkataannya, yaitu pergi jauh meninggalkan
mereka......
<>
Malam itu sepi dan sunyi sekali, dan
hanya terdengar suara binatang malam yang berdendang, sedangkan Yo Him
terlentang di pembaringannya tanpa bisa memejamkan matanya. Dia telah
melihatnya, betapa manusia hidup di dalam dunia seperti juga tengah membawakan
peranan di atas panggung sandiwara, bisa hidup gembira, bisa menderita, dan
bisa mati di setiap saat. Maka di dalam usia yang sedemikian kecil, ternyata Yo
Him telah dirasuki oleh berbagai pikiran yang tidak-tidak, yang telah merusak
jiwanya sendiri. Entah mengapa Yo Him juga jadi membenci sekelilingnya,
membenci dirinya membenci juga ketidakmampuannya.
Waktu dia melihat imam-imam dari
Kun-lun-pai itu dibinasakan oleh Tiat To Hoat-ong dan kawan-kawannya,
sesungguhnya hatinya penasaran dan marah sekali, dia ingin sekali untuk
membantui. Namun justru dia tidak memiliki kepandaian apa-apa, diapun masih
kecil dan tidak memiliki tenaga, dan disamping itu diapun dalam ketakutan yang
sangat hebat, maka apa yang bisa dilakukannya?
Diam-diam Yo Him jadi mengutuki
dirinya sendiri yang tidak punya guna, yang hanya bisa menyaksikan betapa
manusia telah dijagal begitu rupa oleh jago-jago Mongol. Di dalam jiwanya yang
masih belum bisa menentukan sesuatu apapun itu, dia telah merasakan bahwa
dirinya harus pergi merantau, dia tidak dapat hidup terus menerus di sebuah
perkampungan kecil itu.
Berbagai ingatan segera muncul
mengganggu hatinya, dia teringat kepada Sin-tiauw, burung rajawali yang sangat
sayang kepadanya, yang telah merawatnya sejak bayi, sampai dia berusia tujuh
tahun, dan dia teringat juga kepada Ciang Pe-hu dan Ciang Pe-bo nya yang telah
melimpahkan kasih sayangnya untuk dia, maka dari itu kini jika dia pergi
meninggalkan Ciang Pe-hu dan Pe-bo nya itu, dia pun tidak tega.
Tetapi Yo Him sudah tidak bisa menahan
keinginan hatinya untuk pergi merantau. Dia telah membuka pintu kamarnya,
dilihatnya pintu kamar Pe-hu dan Pe-bo nya tertutup rapat.
Cepat-cepat dan hati-hati Yo Him
membereskan beberapa potong bajunya, lalu dibuntalnya menjadi satu.
Berindap-indap dia telah keluar dari kamarnya, membuka pintu luar, dia telah
melangkah ke taman dari rumah tersebut. Tetapi waktu Yo Him ingin membuka pintu
taman itu, tahu-tahu di belakangnya ada orang yang menegur halus,
„Him-jie (anak Him) malam-malam
seperti ini kau hendak pergi kemana?”
Yo Him terkejut, dia menoleh pada
Ciang Pe-hu nya berdiri dihadapannya dengan muka yang muram. Cepat-cepat Yo Him
menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan Ciang Pe-hu nya itu dengan hati yang
sedih. Dia menceritakan keinginannya untuk pergi merantau, karena dia ingin
mencari pengalaman.
Ciang Pe-hu nya jadi berduka sekali,
mukanya jadi tambah muram. Dengan sabar dia telah membangunkan Yo Him dari
berlututnya, diusap-usap rambut anak itu.
„Dengarlah Him-jie, kami sangat sayang
kepadamu,” kata Ciang Pe-hu nya itu. „Kau masih terlalu kecil, belum ada yang
bisa kau lakukan.....! Jika memang kau ingin merantau guna mencari pengalaman,
kami tentu akan melepaskan dan mengizinkannya asalkan kau telah dewasa, tetapi
sekarang? Usiamu masih terlampau kecil dan kami kuatirkan kau akan mengalami
bencana!”
Yo Him menggeleng lemah.
„Memang Him-jie anak yang Put-hauw
Put-gie (tidak berbakti dan tidak berbudi), sehingga melupakan kebaikan Pe-hu
dan Pe-bo..... tetapi Him-jie tentu akan menengoki Pe-hu dan Pe-bo.”
„Apakah perlakuan kami kurang baik?”
tanya Pe-hu itu dengan suara yang sabar. „Apakah ada perlakuan kami yang
melukai perasaanmu sehingga kau ingin pergi meninggalkan kami?”
Ditanya begitu, Yo Him cepat-cepat
menggeleng sambil mengucurkan air mata, dia telah memeluk Pe-hu nya itu,
„Bukan! Bukan Pe-hu, kalian baik sekali, terlalu baik,” kata Yo Him kemudian.
„Justru disebabkan sikap kalian yang terlampau baik membuat Him-jie tidak dapat
menerimanya. Him-jie malu menerima budi Pe-hu dan Pe-bo terus menerus.....
biarlah Him-jie pergi merantau, jika kelak Him-jie telah berhasil menjadi
manusia maka Him-jie akan datang kemari untuk mencari Pe-hu dan Pe-bo gura
membalas budi kalian yang besar!”
Ciang Pe-hu itu menghela napas
dalam-dalam, kemudian berkata. „Baiklah, rupanya ada sesuatu persoalan yang
tidak ingin kau katakan dan tetap kau sembunyikan!”
Ciang Pe-hu itu berkata demikian,
karena dia melihat Yo Him seperti menyembunyikan suatu rahasia. Sedangkan
dugaan Ciang Pe-hu itu memang tepat, karena Yo Him tengah digeluti oleh semacam
perasaan, dimana dia sering diganggu oleh pertanyaan,
„Siapa ayah? Siapa ibu?”
Dan pertanyaan seperti itu mengganggu
sekali hatinya. Dia sering berpikir, „Ayahku atau ibuku tidak pernah ku
lihat.....apapun tidak kuketahui tentang mereka. Siapa ayahku? Siapa ibuku?
Akhh, akulah si anak yatim piatu yang tidak mengerti apa-apa!” Dan maksud Yo
Him ingin merantau adalah untuk mencari ayah dan ibunya!
Setelah berlutut lagi dihadapan Ciang
Pe-hu nya itu, akhirnya Yo Him telah membalikkan tubuhnya, dia berlari dengan
cepat untuk menyembunyikan air matanya yang telah menitik turun. Sedangkan
Ciang Pe-hu nya juga telah mengawasi kepergian Yo Him dengan air mata berlinang-linang.
Sengaja Ciang Pe-hu tidak membangunkan
isterinya, dia takut kalau-kalau isterinya itu bertambah sedih menyaksikan
keberangkatan Yo Him.
◄Y►
Setelah melakukan perjalanan sampai
menjelang fajar, Yo Him sampai di kampung Pu-cung-cung, sebuah kampung yang
masih berada di daerah kaki Gunung Kun-lun, terpisah kurang lebih duaratus lie
dari perkampungannya Ciang Pe-hu nya itu. Tetapi Yo Him tidak bermaksud untuk
singgah di kampung itu, dia telah meneruskan perjalanannya.
Dia bermaksud merantau kemana kedua
kakinya membawanya, karena dia memang tidak memiliki tujuan dan tempat yang
akan dituju. Hanya yang menjadi pemikiran Yo Him, dia akan berusaha untuk
menyelidiki siapakah sebenarnya ayahnya, siapakah sesungguhnya ibunya. Pernah
Yo Him menanyakannya kepada Ciang Pe-hu nya atau Ciang Pe-bo nya, tetapi kedua
orang itupun tidak mengetahui apa-apa mengenai asal usul Yo Him.
Mereka, kedua pasangan suami isteri
she Ciang yang baik hati itu hanya mengatakan bahwa Yo Him seringkali dibawa
terbang oleh rajawali sakti, yang diturunkan di pintu kampung sehingga Yo Him
bisa bermain dengan anak-anak kampung lainnya, kemudian di sore hari Sin-tiauw
telah menjemputnya lagi membawa Yo Him terbang masuk ke dalam jurang yang dalam
sekali. Kini Sin-tiauw sudah tidak pernah dilihatnya setelah yang terakhir kali
rajawali itu terjun ke dalam jurang dan tidak pernah muncul lagi. Sehingga Yo
Him sudah tidak bisa bertanya kepada siapapun juga mengenai asal usulnya.
Siang itu Yo Him telah tiba di pintu
sebuah kota yang tidak diketahui namanya, Yo Him hanya melihat kota itu
merupakan sebuah kota kecil yang sedikit sekali penduduknya. Di saat itu perut
Yo Him telah berkeruyukan karena lapar, dia memasuki kedai arak dan memesan
nasi dengan dua macam lauknya yang sederhana.
Anak ini telah memakannya dengan
lahap, sampai dua mangkok nasi dihabiskan. Setelah membayar harga barang
makanan itu, Yo Him melanjutkan perjalanannya lagi. Tetapi sebagai seorang anak
yang baru berusia tujuh tahun, mana bisa dia merantau seorang diri? Segala
apapun dia tidak tahu, bahkan ketika dia melihat keramaian di kota tersebut, Yo
Him sering berhenti untuk menyaksikannya. Seperti penjual silat, pedagang
barang-barang mainan, dan macam-macam lagi.
Dan di saat dia telah melangkah pula
untuk melanjutkan perjalanannya, tidak hentinya Yo Him menghela napas. Dia
merasakan dirinya hidup tidak wajar, sebagai seorang anak yang berusia demikian
kecil dia sudah tidak memiliki ayah ibu, sudah tidak mengenal siapa ayahnya dan
siapa ibunya, maka diapun merasakan bahwa dirinya merupakan seorang anak yatim
piatu yang hidup dalam penderitaan.
Sedang pikiran Yo Him menerawang
dibawa oleh lamunannya, tiba-tiba dia mendengar suara teriakan-teriakan
nyaring, disertai oleh suara tertawa yang nyaring.
Yo Him mengangkat kepalanya, dia
melihat dari arah depannya tampak seorang pengemis berusia belasan tahun tengah
berlari sambil tertawa-tawa, dikejar oleh tiga orang pengemis lainnya lagi.
Mereka rupanya tengah main kejar-kejaran sebab merekapun tertawa-tawa dengan
riang.
Di saat pengemis yang dikejar oleh
ketiga kawannya telah berada dekat dengan Yo Him, dia berlari terus seperti
ingin menubruk Yo Him, cepat-cepat Yo Him menyingkir ke samping. Tetapi gerakan
Yo Him kurang cepat, sehingga bahunya terbentur oleh tubrukan tubuh pengemis
itu, sehingga tubuh Yo Him maupun pengemis yang seorang itu bergulingan di atas
tanah.
Dengan menahan sakit Yo Him bangun
berdiri untuk menegur dan memarahi pengemis yang ceroboh itu. Tetapi alangkah
kagetnya Yo Him karena di saat dia belum membuka mulut, justru pengemis yang
seorang itu telah berdiri tolak pinggang mengawasi Yo Him dengan mata mendelik
lebar-lebar, mukanya galak sekali.
„Setan kecil, mengapa kau sengaja
menghadang jalannya tuan besarmu, hah?” bentak pengemis itu dengan suara yang
nyaring.
Saat itu ketiga pengemis yang tadi
mengejarnya telah tiba di tempat itu, merekapun tertawa-tawa sambil mengurung
Yo Him.
Tentu saja Yo Him jadi tertegun, lalu
tanyanya tergagap, „Menghadangmu? Justru aku tengah berjalan baik-baik telah dilanggar
olehmu sehingga aku terjatuh, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa aku yang
telah menghadang jalanmu? Lihatlah tanganku telah terluka!” Sambil berkata
begitu Yo Him telah mengulurkan tangannya untuk memperlihatkan luka di
tangannya, luka terbeset.
Pengemis itu mendengus galak. „Hemmm
engkau rupanya orang asing di tempat ini dan datang di kota ini ingin main
jago-jagoan?” bentaknya.
Muka Yo Him jadi berobah, dia jadi
gugup melihat sikap pengemis yang tidak keruan itu. „Aku sama sekali tidak usil
kepada kalian...... minggirlah, aku mau melanjutkan perjalananku!” kata Yo Him.
„Hemm, apakah begitu enak saja ingin
pergi?” bentak pengemis itu dengan galak.
Yo Him mengerutkan sepasang alisnya.
“Lalu apa yang diinginkan kalian…..?” tanyanya. „Kalau memang kalian menganggap
aku bersalah, maafkanlah!”
„Hemm, begitu mudah untuk meminta
maaf? Kau harus memberikan uang sepuluh tail kepada kami, sebagai ganti rugi!”
„Benar!” teriak ketiga pengemis kecil
lainnya dengan suara yang nyaring, dengan muka sengaja dibuat agar terlihat
galak. „Jika dia tidak mau ganti rugi, kita hajar saja biar babak belur!”
Hati Yo Him jadi mendongkol, namun
nyalinya ciut. Mana bisa dia melawan pengemis yang lebih besar usianya dari
dia? Terlebih lagi pengemis-pengemis kecil itu berjumlah empat orang.
„Aku tidak memiliki uang sebanyak itu
jika kalian mau, aku bersedia membagi kalian satu tail.....!” kata Yo Him
kemudian.
Tetapi pengemis itu telah tertawa
mengejek tahu-tahu tangannya telah menyambar buntalan pakaian Yo Him yang kemudian
dibawa lari dengan cepat sekali.
„Hei, hei, jangan mengambil barangku?”
teriak Yo Him gugup sekali, sambil berusaha mengejar.
Tetapi ketiga pengemis kecil lainnya
telah menghalang-halangi Yo Him, di saat Yo Him memaksa untuk menerobos lewat,
ketiga pengemis itu tahu-tahu telah mengayunkan tangan-tangan mereka memukuli
Yo Him. Bahkan salah seorang diantara ketiga pengemis itu telah mendorong Yo
Him, sampai anak she Yo ini telah rubuh di atas tanah dan tubuhnya diduduki
oleh dua orang pengemis yang menghajarinya pulang pergi, sehingga muka Yo Him
matang biru dan babak belur. Pengemis yang seorang lagi mempergunakan kakinya
menendangi muka Yo Him.
Setelah puas menyiksa Yo Him yang
menjerit kesakitan, ketiga pengemis kecil itu pun segera angkat kaki karena
mereka takut kalau suara jeritan Yo Him nanti mengundang datangnya orang
banyak.
Dengan merangkak Yo Him telah berdiri.
Dia melihat pengemis-pengemis kecil itu sudah lenyap tidak terlihat bayangannya
lagi.
Keadaan di jalan yang seperti lorong
itu sepi sekali. Yo Him merasakan seluruh tubuhnya pada sakit akibat pukulan
dan tendangan ketiga pengemis kecil itu. Disusutnya darah yang mengucur dari
mulut dan hidungnya dia berjalan dengan tubuh yang lesu, dengan pakaian yang
kotor dan pecah sebagian, tindakan kakinya lemah dan lesu, sambil menahan sakit
yang diderita di sekujur tubuhnya.
Ketika orang-orang melihat keadaan Yo
Him mereka hanya menduga bahwa Yo Him adalah seorang anak nakal yang baru
berkelahi dengan anak-anak sebayanya, sehingga mukanya jadi babak belur begitu.
Sedikitpun keadaan Yo Him tidak menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
Tentu saja Yo Him jadi bingung kini
bajunya telah robek dan kotor, sedangkan buntalan pakaian dan uangnya telah
dibawa lari oleh pengemis-pengemis kecil itu. Maka seperti seorang pengemis
kecil Yo Him telah mengelilingi kota itu untuk mencari pengemis kecil yang
telah merampas buntalannya itu. Tetapi sampai sore, di saat hari mulai gelap
tetap saja Yo Him tidak berhasil mencari pengemis-pengemis itu. Bahkan celakanya,
perut Yo Him juga telah berkeruyukan lapar.
„Akhhh, inilah disebabkan
kecerobohanku yang tidak berhati-hati, sehingga uang dan bajuku telah dirampas
oleh pengemis-pengemis kurang ajar itu,” berpikir Yo Him di dalam hatinya.
Dengan tubuh yang lesu, dan menahan lapar Yo Him telah berjalan tanpa arah dan
tujuan. Akhirnya ketika dia tiba di dekat pintu sebelah utara dari kota
tersebut, bahunya ditepuk seseorang.
Tentu saja Yo Him jadi terkejut.
Ketika dia menoleh, ternyata orang yang menepuknya itu tidak lain dari seorang
pengemis juga, usianya telah empatpuluh tahun, pakaiannya compang-camping dan
kumis maupun jenggotnya yang kasar itu tumbuh tidak teratur.
Melihat orang yang menepuknya seorang
pengemis, hati Yo Him sudah tidak senang, karena dia telah mengalami betapa
pengemis-pengemis kecil yang tadi telah mengganggunya dan merampas
barang-barangnya. Maka dari itu Yo Him telah menduga mungkin pengemis inipun
ingin mengganggunya juga.
„Anak, mengapa keadaanmu seperti ini?”
Sapa pengemis itu dengan itu dengan suara ramah.
Sebetulnya Yo Him sudah tidak ingin
melayani pengemis itu, namun mendengar suara si pengemis yang ramah den sabar,
maka dia telah menyahuti juga. „Aku telah dihina oleh pengemis-pengemis
sebangsamu!”
„Ihh?!” pengemis itu mengeluarkan
seruan karena terkejut, rupanya jawaban yang diberikan Yo Him tidak pernah
diduga sebelumnya.
„Aku dipukuli dan juga barang-barangku
telah dirampas mereka!” kata Yo Him lagi.
Dengan muka yang muram dan sepasang
alis yang dikerutkan, pengemis itu telah bertanya sabar, „Apakah kau mengetahui
nama mereka?”
„Mana tahu? Sedang lihat saja baru
tadi!” kata Yo Him mendongkol.
„Hemm, apakah ada peristiwa seperti
ini?” menggumam pengemis itu. „Apakah kau tidak berdusta?”
„Untuk apa aku membohongimu? Apakah
dengan menceritakan pengalamanku itu kau bisa mengembalikan barangku? Hemm,
itulah memang sudah nasibku yang buruk!” mengeluh Yo Him sambil memutar
tubuhnya, maksudnya ingin berlalu.
„Tunggu dulu adik kecil......!” kata
pengemis itu mencegah kepergian Yo Him.
„Ada apa lagi yang ingin kau ketahui?”
tanya Yo Him tidak sabar.
„Aku masih ingin menanyakan kau
perihal uang dan pakaianmu yang telah dirampas itu......”
„Percuma......”
„Mengapa percuma! Katakanlah,
bagaimana wajah pengemis yang telah mengganggumu?”
„Semuanya ada tiga orang!”
„Ihh!” kembali pengemis itu
mengeluarkan suara seruan heran. „Tiga orang?”
„Ya,” mengangguk Yo Him „Mereka baru
pertama kali kulihat dan dengan sengaja telah menubrukku, di saat itu mereka
menuduh aku justru yang telah menghadang jalan mereka, sehingga salah seorang
diantara mereka terjungkal di tanah! Tetapi sebenarnya bukan salahku, justru
memang mereka sengaja menubrukku.....!”
Pengemis itu tertawa. „Baiklah, kini
kau jelaskan wajah mereka mungkin aku bisa bantu carikan barangmu yang telah
lenyap itu.”
„Ohhh, benarkah?” tanya Yo Him girang.
„Maka dari itu cepat kau ceritakan,”
kata pengemis itu lagi. „Mudah-mudahan saja barang itu belum dipergunakan
mereka.”
Mendengar itu, tentu saja Yo Him jadi
girang dia menceritakan peristiwa yang telah dialaminya dan juga menceritakan
wajah ketiga pengemis kecil itu.
Mendengar cerita Yo Him pengemis itu
telah menghela napas dalam-dalam, semula dia menduga bahwa yang mengganggu Yo
Him adalah pengemis dewasa, dan kini dia baru mengetahui yang mengganggu Yo Him
adalah pengemis-pengemis kecil.
„Hemmm, aku tidak menyangka ada juga
anak-anak kami yang nakal,” kata pengemis itu sambil menghela napas. „Mari ikut
aku, kita cari mereka!”
Yo Him ragu-ragu, tetapi tangannya
telah dicekal oleh pengemis itu.
„Keadaanmu seperti ini, padahal kau
bukan pengemis. Jika baju dan uangmu itu tidak dicari sampai pulang kembali,
bagaimana engkau bisa bersalin pakaian dan membeli makanan mengisi perut yang
lapar?” kata pengemis itu.
Yo Him berpikir memang apa yang
dikatakan pengemis itu ada benarnya juga. Maka dia mengangguk. „Baiklah, jika
memang benar-benar Lo-jin-kee (kau siorang tua) bisa mencarikan uang dan
bajuku, tentu aku sangat berterima kasih sekali,” kata Yo Him.
„Itu urusan nanti yang terpenting kini
kau harus mencari baju dan uangmu! Mari kita cari ketiga anak-anak itu!” dan
setelah itu si pengemis mengajak Yo Him memasuki lorong yang kotor dan sepi
sekali.
Lorong-lorong itu jarang sekali
dilalui orang dan di kedua pinggir lorong itu tertutup juga oleh
dinding-dinding tinggi dari tembok-tembok bangunan rumah. Disitupun tidak
jarang terlihat menggeletak pengemis-pengemis yang tengah tertidur nyenyak. Di
saat memasuki lorong yang satu-satunya, tampak banyak pengemis yang tengah
duduk berkerumun.
„Akhh, Wie Tocu (pemimpin Wie)
datang!” berseru beberapa orang pengemis itu sambil berdiri dan merangkapkan
tangannya memberi hormat.
Melihat sikap mereka,
pengemis-pengemis itu tampaknya menghormati sekali pengemis yang mengajak Yo
Him, yang disebutnya sebagai Wie Tocu.
Dengan muka yang muram, Wie Tocu telah
berkata dengan suara yang tawar, „Sesungguhnya memang memalukan diantara kita
terdapat anak-anak nakal yang main rampas dan main pukul! Mereka tiga orang
pengemis berusia belasan tahun telah mengganggu adik kecil ini! Apakah diantara
kalian ada yang mendengar siapa yang telah melakukannya?!”
Pengemis-pengemis itu menggelengkan
kepalanya, semuanya mengatakan tidak tahu.
Dengan kesal Wie Tocu telah menuntun
tangan Yo Him memasuki lorong itu. Kepada beberapa orang pengemis lainnya. Wie
Tocu menanyakan lagi perihal ketiga anak itu tetap saja tidak ada yang
mengetahui.
Dengan sendirinya Yo Him jadi putus
asa dan dia berpikir mungkin si pengemis yang dipanggil Wie Tocu ini sengaja
ingin mempermainkan dirinya atau memperdayakan dirinya agar menjadi
pengikutnya, yaitu jadi pengemis.
Setelah melalui beberapa lorong dan
bertanya-tanya kepada beberapa orang kelompok pengemis lainnya serta tetap tak
berhasil memperoleh petunjuk kepada ketiga anak pengemis yang mengganggu Yo
Him. Wie Tocu itu telah menawarkan Yo Him kuwe kering.
„Untuk mencegah lapar,” katanya ramah.
„Kau jangan kuatir, walaupun bagaimana barangmu pasti kembali.”
„Tetapi sebegitu jauh kau
bertanya-tanya kepada kawan-kawanmu, tidak seorangpun yang mengetahui.....”
kata Yo Him bimbang.
Si pengemis tersenyum. „Tetapi
akhirnya akan diketahui juga.....!” yakin sekali suara pengemis itu. „Kami
memang tersebar di seluruh kota, maka dari itu mau atau tidak kita harus
mencarinya dengan berkeliling! Percayalah nanti kita akan berhasil mencari
mereka! Sekarang kau tenangkan hatimu, makanlah kue kering itu!”
Yo Him memakan kue kering yang
diberikan si pengemis, tetapi dia kurang berselera, dia hanya memakan satu
potong.
„Makan lebihan, nanti kau masuk
angin!” membujuk pengemis itu.
„Sesungguhnya, siapakah kau
sebenarnya?” tanya Yo Him akhirnya. „Tadi aku melihat semua pengemis
menghormati Lo-jin-kee?!”
Si pengemis tersenyum. „Akupun
pengemis biasa seperti mereka,” sahutnya seperti ingin menyembunyikan sesuatu.
Yo Him juga tidak mendesak lebih jauh,
dan mereka telah berkeliling lagi, dari lorong yang satu ke lorong yang lain.
Di saat mereka tengah berjalan menanyai pengemis-pengemis yang mereka jumpai,
justru di saat itu mereka melihat dari arah belakang mereka berlari-lari tiga
sosok tubuh. Ketika telah dekat, tampak tiga orang pengemis kecil yang
berlari-lari ke arah mereka.
„Itu mereka..... mereka yang telah
mengambil barangku!” kata Yo Him sambil menunjuk ke arah ketiga pengemis kecil
itu.
Sedangkan ketiga orang pengemis kecil
itu telah tiba dihadapan Yo Him dan Wie Tocu. Mereka tiba-tiba sekali
menjatuhkan diri berlutut dihadapan Wie Tocu dan Yo Him.
„Kami memohon ampun, kami telah
melakukan dosa.....!” berkata ketiga pengemis kecil itu.
Tentu saja perbuatan ketiga pengemis
itu telah membuat Yo Him jadi heran sekali, dia sampai mengawasi tertegun saja.
Wie Tocu tampak memandang ketiga
pengemis kecil itu dengan muka yang merah padam karena gusar.
„Kalian telah melanggar larangan, telah
berani merampas milik orang lain, lalu mengapa kalian melakukan dosa lainnya
dengan mengeroyok, dan memukuli engko kecil ini?” bentak Wie Tocu dengan suara
yang bengis.
Ketiga pengemis kecil itu berlutut
sambil memanggut-manggutkan kepalanya tidak hentinya, sampai kening mereka
menghajar tanah dan kening itu terluka serta mengeluarkan darah. Merekapun
menangis sedih sekali.
„Kami memang pantas menerima hukuman
yang berat….., tetapi kami mohon kemurahan hati Wie Tocu untuk mengampuni kami,
mengampuni jiwa kami…..”
Dan setelah berkata begitu, ketiga
pengemis kecil itu tetap dalam keadaan berlutut, telah menggerakkan kedua
tangan mereka menghajari muka mereka dengan keras, menghantam muka sendiri
dangan tempilingan yang gencar sehingga terdengar suara ketepak-ketepok tidak
hentinya.
Keruan saja Yo Him tambah heran.
Sedangkan Wie Tocu hanya menyaksikan dengan berulang kali tertawa dingin.
Dan kemudian setelah dia melihat muka
ketiga pengemis kecil itu babak belur, barulah Wie Tocu puas, dia mengibaskan
lengan bajunya.
„Pergilah kalian.....!” katanya dengan
suara yang dingin.
11.21. Persaudaraan Pengemis Tua dan
Anak Kecil
Ketiga pengemis kecil itu jadi girang
bukan main, mereka telah berlutut sambil menganggukkan kepalanya berulang kali.
„Terima kasih atas kemurahan hati Wie
Tocu……!” kata mereka dan segera ketiganya telah pergi meninggalkan tempat itu.
Sedangkan buntalan Yo Him tampak menggeletak tanpa ada perobahan apa-apa.
Tentu saja Yo Him gembira sekali waktu
melihat barang-barangnya utuh, dan Wie Tocu telah mengambil buntalan itu serta
menyodorkan kepada Yo Him.
„Periksalah olehmu, apakah ada barang
dan uangmu yang hilang?” katanya.
Yo Him memeriksanya, ternyata tidak
satu chi pun uangnya terganggu.
„Tidak ada Lo-jin-kee..... dan
Lo-jin-kee jangan marah, ini untuk terima kasihku atas bantuan
Lo-jin-kee......” sambil berkata begitu, Yo Him telah mengangsurkan dua tail
perak kepada penolongnya.
Muka We Tocu jadi berubah, tampaknya
dia jadi tidak senang. „Aku mencari-cari ketiga anak itu bukan hanya sekedar
menolongi dirimu, tetapi juga menolongi nama baik Kay-pang, perkumpulan kami!”
kata Wie Tocu dengan suara yang keras. „Walaupun kami kaum pengemis, tetapi
kami tidak kemaruk uang!”
Yo Him saat itu jadi kaget melihat si
pengemis mendongkol begitu, cepat-cepat dia meminta maaf dan menyimpan uangnya
kembali.
Wie Tocu telah menghela napas. „Aku
tahu kau memberikan uangmu itu bukan sekali-kali dengan maksud menghina,”
katanya. „Kau memang memberikan setulusnya karena tidak mengetahui peraturan
Kay-pang.”
Yo Him heran sekali.
„Kay-pang itu sesungguhnya perkumpulan
apa, Lo-jin-kee?” tanya Yo Him.
„Itulah sebuah perkumpulan pengemis,
yang sudah berusia berabad-abad. Kami memiliki peraturan yang keras sekali,
yaitu tidak boleh mencuri, tidak boleh memaksa, tidak boleh melakukan
kejahatan, tidak boleh menipu, tidak boleh bersikap rendah.”
Mendengar perkataan si pengemis yang
biasa dipanggil kawan-kawannya itu dengan sebutan Wie Tocu ini, hati Yo Him
jadi kagum. Setidak-tidaknya Wie Tocu telah memperlihatkan bahwa pengemis itu
belum tentu rendah atau hina, karena merekapun memiliki hati yang agung.
„Tetapi mengapa ketiga anak ini bisa
datang mengembalikan barang-barangku?” tanya Yo Him dengan perasaan heran.
„Seperti telah kukatakan, di dalam
Kay-pang kami terdapat pantangan mencuri, merampas atau juga menghina orang
yang lemah, maka di saat mereka mendengar dari pengemis-pengemis yang lainnya
bahwa aku tengah mencarinya, mereka jadi ketakutan dan mereka datang menemuiku
untuk mengembalikan barang-barangmu.”
Yo Him jadi kagum sekali.
„Mereka mendengar bahwa Lo-jin-kee
tengah mencari mereka justru mereka ketakutan. Tetapi mereka tidak
menyembunyikan diri bahkan mereka telah mencari Wie Tocu untuk mengakui
kesalahan mereka. Bukan main! Itulah lambang jiwa kesatria!”
Wie Tocu tersenyum mendengar perkataan
Yo Him. „Kau terlalu memuji!” katanya kemudian. „Memang sudah menjadi peraturan
rumah tangga kami karena itu semua yang terjadi bukan suatu persoalan yang luar
biasa!”
Setelah Yo Him mengetahui, Wie Tocu
memiliki kekuasaan dan kedudukan yang tinggi sekali dalam Kay-pang, maka dari
itu tidak mengherankan, waktu ketiga pengemis kecil itu mendengar bahwa Wie
Tocu tengah mencari mereka, mereka telah menggigil ketakutan setengah mati,
karena mereka telah melakukan perbuatan berdosa yang menjadi pantangan dari
perkumpulan mereka.
„Nah anak manis, kini pergilah kau
melanjutkan perjalananmu! Aku wakili ketiga anak nakal itu menyatakan maaf!”
kata Wie Tocu sambil menjura.
Tentu saja Yo Him jadi terkejut cepat-cepat
dia menyingkir. „Tidak berani aku menerima penghormatan begitu berat dari
Lo-jin-kee,” katanya. Dan Yo Him juga telah mengatakan terima kasih kepada Wie
Tocu.
Sedangkan Wie Tocu setelah tersenyum
lagi dia memutar tubuhnya meninggalkan Yo Him.
Yo Him mengawasi kepergian Wie Tocu,
sampai bayangan si pengemis lenyap. Di saat itu, dari sudut sudut jalan yang
gelap tahu-tahu telah melompat tiga sosok tubuh kecil. Tentu saja Yo Him jadi
terkejut sekali. Terlebih lagi dia mengenali bahwa ketiga sosok bayangan itu
tidak lain dari ketiga pengemis itu.
„Apakah mereka ingin membalas sakit
hati karena aku telah membongkar rahasia mereka kepada Wie Tocu mereka itu?”
berpikir Yo Him ngeri, karena dia takut justeru dirinya akan dipukuli terus
menerus lagi oleh ketiga pengemis itu yang usianya memang jauh lebih besar dari
dia. Tetapi siapa sangka ketiga pengemis itu tahu-tahu telah berlutut
dihadapannya.
„Kongcu (tuan muda) harap mau
memaafkan dosa kami, harap kau mau mengampuni kami,” sesambatan ketiga pengemis
kecil itu sambil menangis.
Tentu saja Yo Him jadi tertegun, dia
memandang melengak kepada ketiga pengemis kecil itu. Tidak sepatah perkataanpun
juga yang keluar dari mulutnya.
Ketiga pengemis kecil itu waktu
melihat Yo Him berdiam diri saja, jadi menangis lebih keras. “Harap Kongcu mau
mengampuni dan menolong kami,” kata mereka dengan menangis lebih keras.
Tentu saja kelakuan ketiga pengemis
kecil itu membuat Yo Him tambah bingung. „Menolong kalian? Apakah kalian
menghendaki aku menderma satu dua tail perak kepada kalian?” tanya Yo Him yang
menduga bahwa pengemis-pengemis kecil itu meminta derma padanya.
„Ohhh, kami mana berani menerimanya?”
cepat sekali ketiga pengemis kecil itu telah berkata sambil menghapus air mata,
juga mereka masih dalam keadaan berlutut. “Kami hanya memohon agar kongcu
memintakan pengampunan untuk kami bertiga kepada Wie Tocu!”
„Ihh!” Yo Him jadi mengeluarkah suara
seruan tertahan, „Bukankah Wie Tocu kalian itu sudah mengampuni, bukankah tadi
Wie Tocu ketika itu telah perintahkan kalian pergi?”
„Benar tetapi menurut peraturan
partai, besok kami akan disidang dan dijatuhi hukuman!” menyahut ketiga
pengemis itu terisak.
Tentu saja Yo Him jadi heran. „Tadi
kalian telah menyiksa diri sendiri sampai muka kalian babak belur dipukul oleh
kalian sendiri, mana mungkin kalian akan dijatuhi hukuman lagi…..?” tanya Yo
Him tidak mengerti.
Ketiga pengemis itu tetap berlutut
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangisan ketiga pengemis itu juga
bertambah keras dan menyayatkan hati.
Tentu saja Yo Him tambah bingung dan
gugup, tidak tahu dia apa yang harus dilakukannya. „Sesungguhnya..... apa yang
kalian kehendaki? Apa yang kalian inginkan, dan apa yang harus kulakukan untuk
kalian bertiga?” tanya Yo Him akhirnya.
„Kami hanya memohon kerelaan Kongcu
untuk mengampuni kami dan memohonkan pengampunan kami kepada Wie Tocu.....”
kata ketiga pengemis itu.
„Apakah di dalam perkumpulan Kay-pang
kalian memang terdapat peraturan begitu?”
„Kalau tidak, besok begitu kami
disidang dan dijatuhi hukuman, sedikitnya kami akan menerima hukuman yang
membuat kami bercacad seumur hidup!”
„Akhh?” Yo Him berseru kaget. „Apakah
ada peraturan yang begitu kejam?”
„Itu merupakan hukuman yang sangat
ringan, dan kalau kami terbukti berdosa besar, berarti kami akan menerima
hukuman mati!”
Mendengar perkataan ketiga pengemis
kecil itu, Yo Him jadi berdiri tertegun. Dia telah memandangi sejenak kepada
ketiga pengemis itu dengan wajah yang pucat, karena dia jadi ngeri mendengar
bahwa di Kay-pang terdapat hukuman yang begitu berat.
„Tolonglah kami, kongcu, tolonglah
kami!” sesambatan ketiga pengemis kecil itu.
Yo Him jadi tambah binggung saja. „Aku
mana bisa menolongi kau? Wie Tocu tentu tidak akan mengindahkan
kata-kataku.....”
„Tetapi justru yang menjadi korban
kami adalah Kongcu, maka asal kongcu, mau membuka satu-dua patah kata
memohonkan pengampunan untuk kami, Wie Tocu tentu akan meluluskan.....”
„Dimana aku harus menemui Wie Tocu?”
tanya Yo Him ragu-ragu.
„Mari ikut kami, kami yang akan
menunjukan tempat dimana Wie Tocu biasa berdiam,” kata ketiga pengemis itu
serentak.
Di hati Yo Him tiba-tiba sekali muncul
kecurigaan lagi terhadap ketiga pengemis kecil ini. Tadi ketiga pengemis ini
yang telah mencelakai dan merampas buntalannya. Bukankah sekarang mereka tengah
mengatur rencana untuk mencelakai dirinya lagi? Bukankah ketiga pengemis ini
tengah berusaha mengajak Yo Him ke tempat yang sepi dan nanti membunuhnya
sambil merampas buntalannya? Dengan demikian bukankah mereka tidak meninggalkan
jejak.
Yo Him jadi ketakutan ketika berpikir
begitu. Dia telah menggeleng keras-keras.
„Tidak! Aku tidak mau ikut kalian,”
katanya kemudian dengan suara nyaring. „Aku ada urusan penting, aku harus pergi
cepat!”
Ketiga pengemis kecil itu semula
girang mendengar Yo Him bersedia menolongi mereka. Tetapi waktu mendengar Yo
Him merubah pikirannya, wajah ketiga pengemis itu jadi pucat. Serentak mereka
telah menjatuhkan diri berlutut dihadapan Yo Him.
„Kongcu, tolonglah jiwa kami sekali
ini......!” sesambatan mereka sambil menangis keras.
Yo Him jadi ragu-ragu lagi. Dilihat
dari sikap mereka bertiga, ketiga pengemis kecil itu bukan sedang bersandiwara,
karena tampaknya ketiga pengemis kecil itu memang tengah ketakutan. Akhirnya
setelah bimbang sejenak, Yo Him mengangguk.
„Baiklah! Kalian tunjukan dimana aku
bisa menemui Wie Tocu!” katanya.
Keruan saja ketiga pengemis kecil itu
jadi girang bukan main. Mereka berulang kali telah menyatakan terima kasih yang
tak terhingga.
Dengan hati yang diliputi oleh tanda
tanya dan keragu-raguan, Yo Him mengikuti ketiga pengemis kecil itu.
Ketiga pengemis kecil itu mengajak Yo
Him melalui beberapa lorong yang penuh oleh pengemis-pengemis dari berbagai
usia dan tingkat umur. Semua pengemis-pengemis yang berpapasan hanya menghela
napas, bahkan ada yang menggumam. „Salah mereka bertiga juga, yang telah berani
melakukan perbuatan hina seperti itu!”
Tentu saja Yo Him mengetahui bahwa
yang dimaksudkan oleh orang itu adalah ketiga pengemis kecil tersebut. Di saat
itulah Yo Him baru menyadari bahwa ketiga pengemis kecil itu memang benar-benar
tengah ketakutan oleh ancaman hukuman berat dan benar-benar membutuhkan
pertolongannya.
Di saat itu ketiga pengemis kecil
tersebut telah mengajak Yo Him ke sebuah tikungan jalan yang gelap. Yo Him
melihat dikejauhan tampak duduk Wie Tocu di sebuah undakan anak tangga di muka
bangunan rumah yang sudah tua.
Cepat-cepat ketiga pengemis kecil itu
telah menunjuk ke arah Wie Tocu sambil katanya perlahan, „Wie Tocu berada
disana kami menanti di sini.”
Yo Him mengerti. Dengan langkah lebar,
Yo Him telah menghampiri Wie Tocu, yang ternyata tengah duduk sambil setengah
rebah, memejamkan matanya rapat-rapat.
„Wie Tocu,” panggil Yo Him.
Wie Tocu seperti tidak mendengarnya.
„Wie Tocu...... aku datang ingin
mengganggumu sebentar.”
Tetapi Wie Tocu seperti tidak
mendengar perkataan Yo Him, karena pengemis dengan kumis dan jenggot yang kaku
tidak beraturan itu, tetap memejamkan matanya.
„Wie Tocu......” panggil! Yo Him
dengan suara sengaja diperkeras.
Perlahan-lahan Wie Tocu membuka
sepasang matanya, dan ketika melihat yang memanggilnya bukan seorang pengemis,
melainkan Yo Him, dia jadi terkejut karena itu dia telah duduk tegak dengan
cepat dan wajahnya yang tadi angker telah dihiasi senyuman.
„Akhh, kau belum pergi? kukira siapa,
tidak tahunya kau!” kata Wie Tocu. „Ada urusan apa lagi?”
Yo Him ragu-ragu sejenak tetapi
akhirnya dia telah berkata juga. „Aku ingin meminta pertolongan sedikit dari
Wie Tocu, bolehkah aku bicara terus?” tanya Yo Him.
„Katakanlah,” kata Wie Tocu
„Sesungguhnya, kedatanganku ini untuk
memintakan pengampunan,” kata Yo Him.
„Meminta pengampunan?”
„Ya,” mengangguk Yo Him
„Pengampunan apa?”
„Pengampunan dari hukuman.”
„Kau bersalah apa?”
„Bukan untukku, tetapi untuk orang
lain.”
„Untuk orang lain?”
„Ya, untuk orang lain.”
Sepasang alis Wie Tocu jadi mengkerut.
„Adik kecil, aku merasa tertarik ketika pertama kali aku melihatmu, aku juga
merasa kasihan ketika melihat kau mengalami nasib buruk karena barangmu telah
dirampas oleh anak-anak Kay-pang. Tetapi jangan kau berpikir yang tidak-tidak
untuk meminta segala macam persoalan yang bukan menjadi urusanmu! Yang
terpenting sekali kau tidak boleh usil mencampuri urusan orang lain.”
Yo Him jadi berobah merah mukanya.
„Tetapi Wie Tocu aku benar-benar membutuhkan sekali pertolonganmu!” kata Yo Him
kemudian.
„Mengapa begitu?”
„Aku bermaksud menyelamatkan tiga
orang anak buahmu dari hukuman.”
Mendengar perkataan Yo Him sampai
disitu, muka Wie Tocu telah berobah menjadi merah padam. „Kau maksudkan ketiga
pengemis kecil?” tanyanya dengan suara dingin.
Yo Him ragu-ragu sejenak melihat wajah
Wie Tocu begitu rupa, tetapi akhirnya dia jadi nekad dan telah menganggukkan
kepalanya.
„Benar!” menyahuti Yo Him.
„Plakk!” tahu-tahu Wie Tocu telah
mengayunkan tangannya, dia telah menghantam pilar batu, sehingga pilar itu
sempal dan sebagian menjadi bubuk. Tentu saja hal itu telah membuat Yo Him jadi
tertegun kaget, hatinya jadi ngiris sekali.
„Kau keterlaluan sekali!” berkata Wie
Tocu dengan suara yang dingin. „Kau baru saja kutolong untuk mencari pulang
barang-barangmu. Kini barang-barang dan uangmu telah kembali ketanganmu,
bukannya pergi membawa dirimu, engkau malah mau usil mencampuri urusan rumah
tangga dari perkumpulan kami!” Waktu berkata begitu, wajah Wie Tocu tampak
dingin dan juga suaranya tidak mengandung perasaan, ditekan dalam sekali.
Yo Him jadi takut, tetapi teringat
betapa ketiga pengemis kecil itu mengalami ancaman hukuman yang katanya bisa
membuat mereka bercacad, dengan sendirinya mau tidak mau membuat Yo Him
bertekad harus menolonginya.
Setelah berpikir sejenak, tahu-tahu Yo
Him menekuk kedua kakinya. Yo Him telah berlutut dihadapan Wie Tocu sambil
katanya,
„Lo-jin-kee, jika memang kau mau
mengampuni ketiga orang anak buahmu itu aku bersedia untuk bekerja kepadamu
satu bulan lamanya! Atau sebagai imbalannya kau sebutkan saja, asal aku dapat
melakukannya, pasti aku akan melakukannya menuruti permintaanmu!”
Wie Tocu sama sekali tidak menduga
bahwa Yo Him bisa berlutut dihadapannya hanya sekedar ingin menolongi ketiga
orang pengemis kecil itu. Justeru yang ingin ditolong Yo Him adalah
pengemis-pengemis kecil yang telah mengganggunya.
Untuk sejenak Wie Tocu jadi tertegun,
saat itu sebetulnya dia tengah mendongkol dan gusar tetapi dengan adanya
peristiwa yang tidak diduganya ini, dimana Yo Him berlutut dihadapannya dengan
hati tulus itu untuk menolong ketiga orang pengemis kecil yang menjadi anak
buahnya, kemarahan dan kemendongkolan Wie Tocu seketika merosot delapan bagian.
Dengan mengibaskan lengan bajunya. Wie Tocu telah membentak,
„Berdirilah kau!”
Aneh sekali. Yo Him yang tengah
berlutut merasakan betapa ada serangkum kekuatan tenaga yang hebat sekali
mendorong bahunya, dan tanpa bisa ditahannya lagi tubuhnya jadi berdiri,
menuruti perintah dari Wie Tocu.
Wie Tocu mengawasi Yo Him sejenak,
sampai akhirnya dia berpikir, „Biarlah aku menguji sampai berapa besar jiwa
kesatria yang dimilikinya.....” dan setelah berpikir begitu, tampak Wie Tocu
memperlihatkan muka yang bengis dan telah berkata, „Apakah engkau benar-benar
memang ingin menolong ketiga pengemis kecil yang pernah mengganggumu itu?”
Yo Him mengangguk dengan pasti, tanpa
ragu-ragu sedikitpun juga. „Benar!” sahutnya.
„Hemm, tahukah engkau bahwa di dalam
perkumpulan kami terdapat peraturan yang keras, yang akan menghukum anak
buahnya yang melakukan pelanggaran. Maka dari itu hukuman akan dijatuhkan oleh
sidang yang akan kami adakan besok, tidak bisa dibantah oleh siapapun juga!
Jika memang si terhukum meminta keringanan, maka dia harus mencarikan wakilnya,
yaitu orang lain yang bersedia berkorban untuk mereka!”
Dan setelah berkata begitu, tampak Wie
Tocu telah menggerakan tangannya, dia telah mengibas lagi, „Pergilah kau!”
katanya. „Aku sudah mengatakan bahwa kau tidak mungkin bisa mewakili mereka.”
Yo Him jadi berdiri ragu-ragu,
„Sesungguhnya hukuman apakah yang akan diterima mereka bertiga?” tanya Yo Him
kemudian.
Mereka akan dipatahkan kedua kaki dan
kedua tangannya!” kata Wie Tocu.
„Akkhhh!”
Memang hukuman yang disebut oleh Wie Tocu
telah mengejutkan sekali Yo Him. Tubuh anak itu juga telah tergetar menggigil
menahan perasaan terkejutnya.
Tetapi Wie Tocu telah tertawa dingin.
„Jika memang engkau ingin mewakili ketiga pengemis kecil itu, berarti kau harus
mewakili mereka, dipatahkan kaki dan tanganmu..... bahkan disebabkan mereka
tiga orang, maka kau harus menjalankan hukuman itu sebanyak tiga kali!”
„Sebuah cara menghukum yang kejam
sekali!” menggumam Yo Him dengan suara yang serak.
„Hemmm..... bukan kejam, tetapi
peraturan kami di jalankan dengan keras. Kalau kami sendiri tidak menjunjung
tinggi peraturan kami, lalu siapa yang akan mentaatinya?”
Mendengar begitu, tentu saja Yo Him
jadi berdiri mematung sesaat lamanya. Mana mungkin dia mewakili ketiga pengemis
kecil itu, untuk dipatahkan kedua kaki dan kedua tangannya? Bahkan untuk
mewakili ketiga pengemis kecil itu, berarti dia harus menjalani hukuman seperti
itu sebanyak tiga kali! Bukankah itu merupakan urusan yahg terlampau gila???
Melihat muka Yo Him telah berobah
pucat dan berdiri dengan tubuh yang kaku, seperti itu Wie Tocu mengeluarkan
suara tertawa dingin, kemudian Wie Tocu merebahkan tubuhnya lagi dia telah
memejamkan matanya seperti tidak mengacuhkan lagi kepada Yo Him.
Yo Him berdiri diam di tempatnya agak
lama, sampai akhirnya dia memanggil. „Wie Tocu.....”
Tetapi Wie Tocu tidak menyahut, dia
tetap memejamkan matanya.
„Wie Tocu.....!” Yo Him telah
memanggil lagi.
Wie Tocu membuka matanya tanyanya
dengan suara yang dingin. „Apa lagi?”
„Aku ingin bertanya kepada Lo-jin-kee,
seumpama kata aku mewakili mereka menjalankan hukuman, apakah ketiga pengemis
kecil itu akan bebas dari hukuman yang harus mereka terima?”
„Oh jelas.....!”
Yo Him menggigit bibirnya keras-keras,
kemudian dengan nekad dia berkata. “Baiklah! Biarlah aku yang mewakili mereka
menerima hukuman itu!”
Muka Wie Tocu jadi berobah, sepasang
alisnya bergerak-gerak. „Kau bersungguh-sungguh?” tanyanya dengan suara tidak
lancar.
„Mengapa aku harus berdusta?” tanya Yo
Him lagi, „Seorang lelaki tentu tidak akan bohong.”
„Bagus! Apakah kau tidak takut kalau
harus menjalankan tiga kali hukuman seperti itu?” tanya Wie Tocu lagi.
„Mengapa harus takut! Hukuman berat
dan kejam itu diciptakan oleh manusia, untuk menghukum manusia juga, maka
walaupun manusia bersalah itu telah bertobat dan memohon pengampunan, hukuman
itu harus tetap mereka jalankan. Dan ketiga pengemis kecil itu berjumlah tiga
orang, sedangkan aku hanya satu orang. Biarlah, dari pada mereka bertiga harus
celaka semuanya, bukankah lebih baik aku seorang saja yang berkorban?”
„Tetapi walaupun engkau mewakili
mereka engkau tetap harus menerima tiga kali hukuman itu!” kata Wie Tocu
menegasi. „Bukankah engkau mewakili tiga pengemis kecil itu?”
„Ohh, memang begitu!” menyahut Yo Him
cepat, „Memang aku telah bersiap sedia untuk menerima tiga kali hukuman kejam
itu. Bukankah menerima satu kali atau sepuluh kali akan sama saja? Maka
daripada ketiga pengemis kecil itu mesti bercacad bertiga lebih baik hanya aku
saja yang bercacad, sama bukan?”
Bukan main kagumnya hati Wie Tocu, dia
sampai mengawasi Yo Him dengan mata yang terpentang lebar-lebar dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. „Bukan main!” katanya beberapa kali dengan
suara yang perlahan, „Engkau hebat sekali adik kecil! hebat sekali!”
Yo Him mengawasi Wie Tocu, dia heran
melihat sikap Wie Tocu seperti itu. „Kau jangan memandang sinis kepadaku
seperti itu!” kata Yo Him mendongkol. „Walaupun hukuman itu bukan hukuman yang
ringan, tetapi kukira masih dapat kutahan!”
Wie Tocu telah memperlihatkan ibu jarinya.
„Hebat!” serunya nyaring. „Engkau hebat adik kecil!” Dan Wie Tocu telah tertawa
gelak-gelak dengan suara tertawanya yang keras sekali.
Yo Him tidak mengerti sikap Tocu itu,
dia telah mengawasi saja.
„Untuk menolongi ketiga anak kecil
yang telah merampas barang-barangmu, bahkan yang telah memukulimu juga, kini
engkau membelai mereka, bersedia untuk berkorban sedemikian rupa mewakili
hukuman untuk mereka, benar-benar merupakan urusan yang jarang sekali
kusaksikan dalam usia sudah setua ini.....” dan Wie Tocu telah tertawa lagi
bergelak-gelak dengan keras.
Tentu saja Yo Him belum mengerti
maksud perkataan dari Wie Tocu, tetapi dia telah melihat bahwa muka Wie Tocu
sudah tidak sedingin tadi, bahkan telah tertawa keras dan begitu lapang.
„Baiklah!” kata Wie Tocu kemudian.
„Aku membebaskan ketiga pengemis kecil itu. Mereka kubebaskan dari hukuman yang
seharusnya mereka terima..... dan begitu pula kau kubebaskan juga dari hukuman
itu.” Setelah berkata begitu, dengan cepat Wie Tocu menghampiri Yo Him, sambil
katanya, “Mari kita mengikat tali persahabatan!”
Inilah suatu peristiwa yang
benar-benar luar biasa dan jarang terjadi, karena sebagai orang penting di
Kay-pang, luar biasa sekali dia mengajak seorang anak kecil Yo Him untuk
mengikat tali persahabatan.
Yo Him jadi memandang tertegun
sejenak, tetapi kemudian ikut tertawa. „Lo-jin-kee engkau luar biasa juga!”
katanya, „Engkau telah mau memenuhi permintaanku untuk membebaskan ketiga orang
pengemis kecil itu dari hukuman yang seharusnya mereka terima, sudah merupakan
urusan yang menggembirakan sekali. Bagaimana aku berani begitu kurang ajar
untuk menjadi sahabat Lo-jin-kee?”
Mendengar perkataan Yo Him, kembali
Wie Tocu telah tertawa bergelak.
„Ha, ha, ha, dalam mengikat tali
persahabatan, tidak tergantung dari usia, tidak melihat dari tingkat dan
kedudukan! Dalam mengikat tali persahabatan sejati adalah dua potong hati yang
cocok dan merasa saling menghormati! Bukankah sebagai sahabat, kita harus
tolong menolong dan menaruh hormat dan segan? Aku telah melihatnya, walaupun
usiamu masih demikian muda, namun engkau memiliki hati yang benar-benar gagah
dan kesatria.”
Cepat-cepat Yo Him menjura.
„Lo-jin-kee terlalu memuji berat sekali,” katanya.
Tetapi Wie Tocu telah tertawa lagi,
dia menarik tangan Yo Him. „Mari, mari! Aku akan mentraktir kau makan dan
minum!” katanya.
Yo Him ingin menolak, tetapi cekalan
tangan Wie Tocu sangat kuat, tubuhnya juga telah ditarik. Maka dari itu Yo Him
akhirnya terpaksa hanya ikut saja, karena jika dia bertahan tentu dirinya akan
terseret dan jatuh.
Saat itu Wie Tocu telah mengajak Yo
Him ke sebuah rumah arak, dia telah memilih sebuah meja dan duduk disitu sambil
memukul meja. „Mana pelayan?” teriaknya.
Dua orang pelayan segera, mendatangi
dengan sikap yang menghormat sekali. „Wie Tocu ingin dahar dan minum apa?”
Pelayan itu dengan sikap yang sangat hormat sekali, sehingga membuat Yo Him
kembali merasa kagum kepada Wie Tocu. Karena walaupun dia seorang pengemis,
namun kenyataannya dia sangat dihormati sekali oleh pelayan rumah arak itu.
„Lima kati arak dan empal kati daging
bakar!” kata Wie Tocu nyaring.
Setelah pelayan pergi, Wie Tocu
menunjuk kursi di hadapannya. „Kau duduk disitu, adik kecil,” katanya,
kemudian, karena dia melihat Yo Him masih saja berdiri di tempatnya tidak
bergerak.
Yo Him ragu-ragu sejenak tetapi karena
dia takut Wie Tocu tersinggung dan marah, akhirnya dia telah duduk juga.
„Akhhhh,” berkata Wie Tocu itu lagi.
„Dan kau selanjutnya tidak perlu merasa segan kepada sahabatmu! Karena usiaku
lebih tua banyak dari kau untuk selanjutnya akulah si kakak, maka kau panggil
aku dengan sebutan Toako, sedangkan kau si adik, yaitu si Hiante!”
Yo Him yang tengah tertegun mendengar
dan melihat sikap Wie Tocu hanya diam mematung saja.
„Nah, Yo Hiante, kau dengar bukan
perkataanku?” tanya Wie Tocu itu sambil mengawasi Yo Him dengan disertai
tertawanya yang lebar.
Yo Him mengangguk. „Terima kasih
Lo-jin-kee,” kata Yo Him dengan gugup.
„Mengapa masih memanggil dengan
sebutan Lo-jin-kee? Aku begini-begini juga belum terlalu tua sekali untuk
menjadi kakakmu!” berkata Wie Tocu sambil tertawa. „Sebagai orang berjiwa
kesatria, apa susahnya sih mengucapkan kata-kata Toako?”
„Baiklah Wie Toako!” mengangguk Yo Him
akhirnya.
Mendengar dia dipanggil Toako, Wie
Tocu telah tertawa bergelak-gelak keras sekali, tampaknya dia girang bukan
main. „Terima kasih Hiante! Terima kasih Yo Hiante! Ternyata kau tidak
memandang rendah aku si pengemis butut ini.”
„Mana berani adikmu memandang rendah
Toako?” cepat-cepat Yo Him telah mengimbangi. Segera juga keduanya jadi asyik
bercakap-cakap.
11.22. Perkelahian Manusia Tak Bermalu
Waktu pelayan mengantarkan arak dan
daging bakar. Wie Tocu telah memaksakan Yo Him meneguk satu cawan arak.
Semula Yo Him menolak, tetapi akhirnya
karena didesak terus, terpaksa dia menuruti juga perintah kakaknya itu.
Begitulah mereka telah bercakap-cakap
banyak sekali. Tetapi yang pasti adalah si kakak angkat itu yang telah banyak
berbicara. Dengan mendengarkan ceritanya Wie Tocu, maka Yo Him jadi mengetahui sedikit
gambaran mengenai penghidupan jago-jago di dalam rimba persilatan. Dan di saat
itu Yo Him teringat peristiwa yang telah terjadi di kuil Kun-lun-san. Segera
juga Yo Him menceritakan pengalamannya itu kepada Wie Toakonya itu.
„Akkhhh,” berseru Wi Tocu. „Apakah ada
peristiwa hebat seperti itu? Sebelumnya tidak pernah aku mendengarnya!”
Tampaknya Wie Tocu benar-benar kaget, mukanya juga telah berobah pucat. „Dan Yo
Hiante tahukah kau nama keempat orang Mongol yang telah mencelakai imam-imam
dari Kun-lun-pay itu.”
Yo Him menggelengkan kepalanya.
„Sayang adikmu tidak mengetahui apa-apa,” katanya kemudian.
„Aneh sekali. Siapakah pendeta itu?”
menggumam Wie Tocu. Tetapi akhirnya Wie Tocu menghela napas panjang. „Sudahlah,
urusan imam-imam Kun-lun-pai itu nanti akan kuselidiki. Nanti akan
kuperintahkan beberapa orang Kay-pang untuk pergi ke kuil Kun-lun-sie untuk
menyelidiki urusan itu.”
Dan setelah berkata begitu Wie Tocu
telah merogoh sakunya, dia telah mengeluarkan sebuah Kim-pay yaitu sebuah
lencana emas. Sambil memperlihatkan Kim-pay itu, Wie Tocu telah berkata,
„Yo Hiante, kau lihatlah.....”
katanya, „Walaupun aku dari perkumpulan pengemis tetapi pay kami terbuat dari
emas. Nah, Kau peganglah Kim-pay ini, kelak tentu banyak kegunaannya untukmu.
Aku menghadiahkan kenang-kenangan untukmu karena Toako mu di saat sekarang ini
tidak memiliki barang lainnya untuk dihadiahkan kepadamu!”
„Toako?” Yo Him ragu-ragu, karena dia
melihat Kim-pay itu terbuat dari emas dan ukurannya juga agak besar.
„Terimalah, jangan kau menolak, karena
jika kau menolak, berarti menghina Toakomu!” kata si pengemis.
Dengan sikap masih ragu-ragu Yo Him
telah menyambuti Kim-pay itu. Dia memasukkan ke dalam sakunya.
“Yo hiante kau dengarlah. Di seluruh
daratan Tiong-goan tersebar anggota Kay-pang,” kata Wie Tocu. „Setiap propinsi,
setiap kecamatan setiap kampung dan setiap kota, pasti terdapat anggota
Kay-pang. Kakakmu bukan bicara besar, tetapi memang sesungguhnya Kay-pang
memiliki anggota yang sangat banyak jumlahnya. Walaupun belum bisa disebut
sebagai perkumpulan nomor satu, tetapi tidak mudah orang menghina Kay-pang.
Jika kelak suatu saat kau menemui kesulitan, kesulitan apa saja, kau temuilah
seorang anggota Kay-pang setempat dan perlihatkan Kim-pay itu sambil
menyebutkan dan menceritakan kesulitanmu, maka dengan segera kesulitanmu itu
akan teratasi, walaupun dalam bentuk apa saja kesulitan itu!”
„Begitu hebatkah pengaruh Kim-pay yang
Toako hadiahkan kepadaku?” tanya Yo Him.
Wie Tocu telah mengangguk meyakinkan,
sambil katanya. „Sekarang begini saja kau mungkin belum percaya perkataan
Toakomu, kau perlu bukti. Sekarang pergilah kau keluar, kau pilih pengemis mana
saja yang kau kira belum pernah bertemu dengan kau, setelah kau panggil, segera
kau perlihatkan Kim-pay ini apa yang akan segera dilakukan oleh pengemis itu
pasti akan membuktikan perkataan Toakomu yang terkebur ini.....”
Yo Him jadi ragu-ragu, tetapi karena
diapun ingin mengetahui khasiat dari Kim-pay itu, akhirnya mau juga dia
menuruti perkataan kakak angkatnya itu. Namun baru saja dia berdiri, Yo Him
telah merangkapkan sepasang tangannya, dia telah memberi hormat kepada Wie
tocu.
„Jika adikmu menuruti perkataanmu,
Toako, berarti adikmu ini tidak tahu diri, tidak mempercayai perkataanmu,” kata
Yo Him kemudian. „Bukankah sebagai seorang kakak, engkau tidak akan mendustai
adikmu?” dan setelah berkata begitu Yo Him duduk kembali di kursinya.
Wie Tocu berterima kasih atas sikap Yo
Him. Mereka telah bercakap-cakap banyak sekali, akhirnya mereka berpisahan,
karena Yo Him bermaksud melanjutkan perjalanannya.
Semula Wie Tocu menahan Yo Him, agar
bermalam di kota tersebut, tetapi Yo Him telah menolaknya sambil menyatakan
terima kasihnya. Menurut Yo Him, dia telah terlalu banyak merepotkan sang
kakak.
„Mungkin kau takut diminta tidur di
emperan toko dan di tepi jalan, bukan?” tanya Wie Tocu sambil tertawa: „Jangan
takut aku pasti akan memintakan kamar kelas satu di rumah penginapan kelas
satu!”
„Aku percaya Toako, tetapi tidak mau
merepotkan Toako lebih jauh!” menyahuti Yo Him sambil tertawa.
Dan berpisahlah mereka.
Saat itu mendekati fajar, dimana
matahari hampir muncul memperlihatkan dirinya. Yo Him telah melanjutkan
perjalanannya meninggalkan kota itu.
Ketika berjalan belasan lie, Yo Him
telah tiba di sebuah kampung yang tidak begitu besar, dia telah menginap di
rumah seorang penduduk. Setelah puas tidur, akhirnya Yo Him melanjutkan
perjalanan lagi.
◄Y►
Waktu itu sudah mendekati awal musim
dingin, di saat mana semua pohon telah gundul karena pohon itu telah melepaskan
bunga dan daunnya gugur semua..... salju juga mulai turun tipis-tipis. Walaupun
udara belum terlalu dingin, namun nyatanya orang jarang melakukan perjalanan
dalam udara seburuk itu.
Yo Him telah membeli sebuah jubah
tebal, dengan itu dia melindungi tubuhnya dari serangan hawa dingin. Dan Yo Him
terus juga melanjutkan perjalanan. Anak ini sama sekali tidak memiliki tujuan,
dia hanya berjalan kemana kakinya membawanya.
Waktu Yo Him tiba di kota
Phui-sie-kwan anak ini tertarik melihat kota yang padat penduduknya dan ramai
sekali, walaupun musim dingin mulai tiba. Waktu Yo Him memasuki pintu kota,
tiba-tiba dia mendengar suara ramai. Dilihatnya banyak orang berdiri berkerumun
seperti juga tengah menyaksikan sesuatu.
Yo Him jadi tertarik, dia segera
mendekati dan menyelinap diantara orang ramai itu. Segera juga dia mengetahui
bahwa yang dikerumuni orang itu tidak lain dari dua orang yang tengah bertempur
hebat.
Kedua orang itu masing-masing berusia
empatpuluh tahun lebih, mereka berkelahi seru sekali dengan mempergunakan kedua
tangan mereka. Muka mereka telah babak belur, karena keduanya telah saling
terpukul. Yang hebat justeru adalah mereka tidak mau berhenti dari pertempuran
itu, walaupun hidung dan mulut mereka telah mengucurkan darah. Sedangkan
belasan orang yang berkerumun itu telah mengeluarkan suara sorakan yang ramai
sekali, mereka seperti menyaksikan dua ayam jago yang tengah diadu.
Yo Him jadi mengerutkan sepasang
alisnya, dia melihat kedua orang itu seperti manusia-manusia tolol yang mau
diadu begitu saja.
Saat itu salah seorang diantara
keduanya telah mengulurkan tangannya, lalu mencekik leher lawannya dengan
keras. Tetapi lawannya itu tidak mau mengalah, dia telah mempergunakan sikut
tangan kanannya menyodok perut lawannya. Hebat sekali sikutannya itu, sehingga
menimbulkan suara yang nyaring. Tubuh lawan yang disikut juga terdorong ke
belakang, jatuh terjengkang hingga cekikannya tidak bisa dipertahankan.
Sedangkan orang yang telah berhasil dengan sikutannya itu, telah memutar
tubuhnya sambil menubruk dan menghantami muka lawannya.
Hebat sekali pukulannya itu, sehingga
darah mengucur deras dari hidung dan mulut lawannya. Tetapi orang itu juga
meronta-ronta dengan kedua kaki dan tangannya, sampai akhirnya dia berhasil
meloloskan diri dan terbalik menghantam ke lawannya. Begitulah keduanya telah
berkelahi terus tanpa memperdulikan darah yang telah mengucur deras.
Orang-orang yang berkerumun
menyaksikan perkelahian itu, telah bersorak-sorak riuh sekali, mereka justru
menganjurkan agar kedua orang itu terbangkit semangatnya untuk bertempur terus.
Salju di kaki kedua orang yang tengah
berkelahi itu telah banyak yang merah oleh siraman darah, tetapi kedua orang
itu seperti tidak memperdulikannya, mereka terus juga saling baku hantam tidak
hentinya. Tetapi, di saat orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu tengah
bersorak-sorak bergemuruh berisik sekali, tahu-tahu telah melompat seorang
hweshio, yang tubuhnya kurus tinggi dengan kepala yang gundul dan jubah pendeta
yang berwarna kuning. Gerakannya begitu cepat dan gesit sekali, karena begitu
kedua kakinya hinggap, begitu kedua tangannya bekerja. Tahu-tahu pendeta itu
telah mencengkeram punggung kedua orang itu,
„Pergilah!” bentak hweshio itu.
Seketika itu juga tubuh kedua orang
yang tengah bertempur itu terpelanting bergulingan. Mereka berdua juga
mengeluarkan suara jeritan kaget. Sedangkan orang-orang yang menyaksikan
perkelahian itu telah berhenti bersorak, keadaan jadi sepi sekali.
Yo Him juga heran melihat kedatangan
hweshio itu, yang tanpa bicara dan tanpa mengucapkan sepatah kata, telah
melontarkan kedua orang yang tengah berkelahi itu.
Sedangkan kedua lelaki yang tadi
bertempur telah bangun berdiri. Muka mereka merah padam diliputi kegusaran yang
bukan main. Dengan darah berlepotan di muka, mereka telah memandang bengis
kepada si hweshio.
„Siapa kau kerbau gundul?” bentak
salah seorang diantara mereka.
„Apa maksudmu begitu usil mencampuri
urusan kami?”
Hweshio kurus itu tersenyum sabar, dia
telah merangkapkan sepasang tangannya. „Siancay! Siancay! Justru Lolap heran
melihat kalian berkelahi begitu rupa. Apakah yang kalian perebutkan?” tanya si
hweshio.
„Buka urusanmu! Tetapi kau telah
melemparkan aku, engkau harus mempertanggung jawabkannya!” teriak yang seorang,
yang memakai baju bulu warna abu-abu dengan suara yang bengis.
„Benar! engkau juga telah melontarkan
aku maka engkaupun harus kuhajar!” teriak yang memakai baju biru.
Lalu seperti telah berjanji, kedua
orang itu serentak melompat menerjang ke arah si hweshio dia telah melancarkan
serangan pukulan yang kuat sekali.
Tetapi hweshio itu sama sekali tidak
takut sikapnya juga tenang sekali. Hweshio itu hanya mengawasi saja, serangan
tangan kedua orang itu yang tengah meluncur ke arah muka dadanya, ketika
serangan hampir tiba, si hweshio tahu-tahu menggeser kakinya, dan luar biasa
sekali, tahu-tahu dia telah lenyap dari hadapan kedua orang yang menyerangnya.
Tahu-tahu tangan si hweshio telah menepuk punggung kedua orang itu cukup keras
tepukannya, karena menimbulkan suara „Buuukkkkk! Buukkkkk!” yang nyaring
walaupun si hweshio menepuknya perlahan sekali.
Di saat itu kedua orang tersebut
tengah kehilangan keseimbangan tubuhnya, karena sasaran mereka lenyap tiba-tiba
dan tubuh mereka tengah menyelonong ke depan. Maka ketika punggung mereka kena
ditepuk begitu rupa, dengan sendirinya tidak ampun lagi mereka terjerembab dan
mencium tanah bersalju. Merekapun telah mengeluarkan suara jeritan, karena dari
hidung mereka telah mengucur darah yang cukup banyak.
Dengan gusar kedua orang itu telah melompat
berdiri lagi. Bagaikan harimau yang terluka, keduanya telah melompat menerjang
ke arah si hweshio. Berulang kali mereka menyerang, berulang juga mereka
terjungkal rubuh kembali, seperti dipermainkan oleh si hweshio dengan mudah.
Setelah beberapa kali mengalami kejadian seperti itu, akhirnya kedua orang
tersebut tidak meneruskan serangan mereka lagi, keduanya hanya berdiri
mengawasi si hweshio dengan tatapan mata takjub.
„Sudah cukup?” mengejek si hweshio
sambil tersenyum sabar.
„Siapa kau sesungguhnya?” bentak kedua
lelaki itu hampir berbareng.
„Lolap bergelar In-lap Siansu.....”
menjelaskan hweshio itu. „Kebetulan sekali di saat Lolap lewat ditempai ini,
Lolap menyaksikan jie-wie sicu tengah saling baku hantam seperti tidak
memikirkan keselamatan diri lagi. Sesungguhnya urusan apakah yang telah
menyebabkan jie-wie sicu (tuan-tuan berdua) saling serang seperti itu?”
Muka kedua laki-laki itu tiba-tiba
berobah merah. Ternyata kedua lelaki itu adalah dua orang penduduk kota
Phui-sie-kwan. Mereka berdua sebetulnya merupakan sahabat yang cukup akrab.
Tetapi tadi malam mereka telah mengunjungi rumah bunga hidup, yaitu tempat
pelacuran, secara kebetulan mereka jatuh hati terhadap pelacur yang sama, maka
setelah terjadi keributan, mereka akhirnya berkelahi. Akhirnya oleh pihak
keamanan tempat pelacuran itu mereka dipisahkan. Namun hari ini, di saat
bertemu di pintu kota, mereka telah saling sindir dan akhirnya berkelahi lagi.
Mendengar pengakuan seperti itu, si
hweshio telah menggeleng-gelengkan kepalanya. „Apakah bisa dipersamakan nilai
persahabatan dengan nilai seorang pelacur? Mengapa hanya disebabkan seorang
wanita pelacur, kalian rela untuk merusak persahabatan?” tegur si hweshio
kemudian.
Muka kedua lelaki itu jadi berobah
semakin merah. Karena mereka mengetahui bahwa hweshio ini bukanlah hweshio
sembarangan dan memiliki kepandaian yang tinggi sekali, maka mereka jadi
menghormati. Keduanya telah merangkapkan tangan dan memberi hormat.
„Kami memang berpikiran cupat,
Taysu..... kami mengaku bersalah!” kata mereka serentak. Kemudian keduanya
saling memberi hormat, saling meminta maaf.
Si Hweshio tampak senang melihat kedua
orang itu berhasil didamaikan. Setelah mengucapkan kebesaran sang Budha
beberapa kali, si hweshio yang mengaku bergelar In-lap Siansu itu telah memutar
tubuhnya dan berlalu.
Yo Him tadi telah menyaksikan, betapa
hweshio itu hebat sekali kepandaiannya, juga hweshio itu sangat sabar dan manis
budi. Karena memang tidak mempunyai tujuan yang tetap, akhirnya Yo Him telah
mengikuti hwesio itu secara diam-diam.
Dilihatnya In-lap Siansu memasuki
sebuah rumah makan, maka Yo Him pun memasuki rumah makan itu. Di dalam hati Yo
Him merasa kagum atas kehebatan ilmu silat hweshio dan kebijaksanaannya dalam
menyelesaikan urusannya dua lelaki itu.
Dilihatnya In-lap Siansu telah duduk
di sebuah meja, tengah menikmati tehnya. Dia duduk membelakangi pintu, sehingga
kedatangan Yo Him tidak dilihatnya.
Cepat-cepat Yo Him telah memilih meja
yang berjauhan dengan si hweshio itu, sehingga dia bisa mengawasi gerak gerik
hweshio yarg luar biasa itu.
Semula In-lap Siansu meneguk tehnya
dengan berdiam diri saja, tetapi akhirnya dia menggumam perlahan, „Akhh, akhh,
persahabatan!” perlahan sekali suaranya, dia juga telah meneguk tehnya lagi.
Tentu saja Yo Him jadi heran sekali
melihat prilaku hweshio itu, yang membuat Yo Him semakin memperhatikan In-lap
Siansu.
Saat itu si hweshio telah menggumam.
„Persahabatan memang sangat berharga jika memang ingin bersahabat, mengapa
harus sembunyi-sembunyi seperti seekor tikus? Bukankah mengikat tali
persahabatan sangat berharga sekali!”
Yo Him mendengar jelas sekali
perkataan si hweshio, tetapi dia tidak mengetahui entah perkataan In-lap Siansu
itu ditujukan untuk siapa. Tatapi sebagai seorang anak yang sangat cerdik
sekali, Yo Him dapat meraba sedikit banyak kata-kata itu merupakan sindiran
untuk dirinya. Rupanya In-lap Siansu telah mengetahui bahwa dirinya diikuti
olehnya!
Teringat akan itu, muka Yo Him jadi
berobah merah sendirinya dan diapun jadi merasa malu! Tetapi sebagai seorang
anak yang berjiwa besar, walaupun usianya masih kecil sekali, Yo Him telah
bangkit dari duduknya dia telah menghampiri meja In-lap Siansu. Setelah berada
dihadapan, Yo Him telah merangkapkan tangannya, dia telah memberi hormat sambil
katanya,
„Taysu, kepandaianmu sangat hebat
sekali, benar-benar aku kagum melihatnya!”
In-lap Siansu mengawasi Yo Him yang
berdiri dihadapannya, „Duduklah!” katanya kemudian ramah sambil menunjuk kursi
kosong dihadapannya.
Yo Him segera duduk tanpa merasa segan
lagi, karena dia melihatnya bahwa si hweshio memiliki jiwa yang sangat bebas.
„Siapa namamu nak?” tanya hweshio itu.
„Dan kulihat kau tadi merasa tidak senang menyaksikan perkelahian diantara
kedua lelaki itu di pintu kota, bukan?”
„Aku she Yo dan bernama Him,”
menjelaskan Yo Him. „Dan apa yang dikatakan oleh Taysu memang benar, alangkah
memuakkan kedua orang itu berkelahi tanpa mengenal malu saling baku hantam
ditontoni oleh orang banyak. Terlebih memalukan sekali adalah urusan yang
menyebabkan mereka berkelahi......”
Mendengar perkataan Yo Him, In-lap
Siansu tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dan berulang kali
memuji akan kebesaran sang Buddha.
„Benar!” kata In-lap Siansu akhirnya.
„Justru Lolap turun tangan memisahkan mereka adalah disebabkan memandang
mukamu, anak.”
„Ihh!” Yo Him berseru kaget. „Mengapa
begitu?” tanyanya tidak mengerti.
„Justru Lolap memisahkan mereka
disebabkan melihat kau sebagai seorang anak di bawah umur saja telah merasa
muak melihat kelakuan kedua lelaki itu! Hanya anehnya justru Lolap melihat
orang-orang lain yang menyebut dirinya telah dewasa itu justru sama sekali
tidak memperlihatkan perasaan seperti kau. Mereka bahkan girang sekali, mereka
telah bersorak-sorak dan menganjurkan kedua lelaki itu terus berkelahi, seperti
juga dua ekor ayam yang tengah diadu!”
Yo Him mengangguk.
„Itulah yang telah membuat aku jadi
heran mengapa kedua orang itu mau diadu dan dipertandingkan hanya dengan suara
sorak sorai belaka?” kata Yo Him.
Si hweshio telah tersenyum sabar lagi.
„Ya, begitulah sifat manusia yang selalu ingin dibangkitkan emosinya,” katanya.
Dan setelah berkata begitu, In-lap Siansu mengawasi Yo Him sejenak lamanya,
tatapan matanya memancarkan sinar yang sangat tajam.
„Sifatmu sangat hebat sekali nak,”
kata In-lap Siansu akhirnya. „Umurmu tidak lebih dari delapan tahun, tetapi
dari sinar matamu, kau memiliki sifat-sifat yang jauh lebih luas dari
manusia-manusia yang menamakan dirinya telah dewasa.”
„Taysu terlalu memuji,” kata Yo Him
sambil menggeleng. „Mana bisa aku memiliki peruntungan yang begitu baik?”
Sambil berkata begitu, Yo Him juga telah mengambil cawan tehnya dan meneguknya
beberapa kali.
In-lap Siansu telah tertawa dengan
sikapnya yang sabar. “Lolap tidak pernah mencela dan tidak pernah memuji, apa
adanya yang akan Lolap katakan dengan sesungguhnya. Mengapa harus mencela?
Mengapa harus memuji? Akhh, memang kenyataan yang ada engkau merupakan seorang
anak yang agak luar biasa. Tentu saja, sebagai seorang manusia, Lolap bisa saja
salah mata, tapi kenyataan yang ada membuat Lolap kagum atas kecerdasan dan
juga pandangan luas darimu.”
„Dari mana Taysu bisa mengetahui bahwa
aku memiliki kecerdasan dan pandangan luas?” tanya Yo Him sambil tersenyum,
karena dia menganggap bahwa hweshio itu memang hendak memujinya belaka.
„Hemmmm, dari sinar matamu telah
memperlihatkan bahwa engkau seorang anak agak luar biasa! Seperti tadi waktu
kau menyaksikan kedua lelaki itu saling kerkelahi satu dengan yang lainnya,
ternyata engkau telah mengawasinya dengan sikap tidak senang. Lolap melihat
sepasang alismu mengkerut dalam, disamping itu juga kau tidak terpengaruh
seperti anak-anak umumnya yang senang menyaksikan keramaian dan juga senang
sekali menyaksikan orang berkelahi. Maka dari itu dengan adanya peristiwa
seperti itulah Lolap telah turun tangan untuk memisahkan kedua orang lelaki
yang tengah berkelahi itu.”
Yo Him menunduk, dia jadi malu sendiri
karena hweshio itu terlalu memuji dirinya.
„Sesungguhnya ingin pergi kemanakah,
Taysu?” tanya Yo Him kemudian.
„Langit merupakan genting rumah Lolap,
bumi merupakan rumah Lolap, maka dimana Lolap berada, disitulah Lolap akan menetap.
Lolap hanyalah seorang pendeta pengembara yang tidak tentu tempat tinggalnya,”
menyahuti pendeta itu.
„Ohhh.....!” dan Yo Him
mengangguk-angguk sedangkan di dalam hatinya dia telah berkata, „Sesungguhnya
nasib kita hampir serupa.”
Di saat itu diantara beberapa orang
tamu yang memasuki ruang rumah makan tersebut, tampak seorang pengemis tua
berusia diantara tujuhpuluh tahun, tengah memandang ke sekeliling ruangan
dengan sinar matanya yang sangat tajam. Pakaiannnya compang-camping dan di
punggungnya menggemblok lima helai karung.
Ketika melihat si hweshio, mukanya
telah berobah jadi bengis. Wajahnya yang semula memang sudah tidak enak dilihat
itu jadi semakin tidak sedap dipandang. Maka dari itu, dengan cepat Yo Him
menundukkan kepalanya, dia takut kalau-kalau si pengemis tersinggung jika
dipandangi terus olehnya.
Tetapi siapa sangka, justru pengemis
itu telah menghampiri mejanya, malah ketika telah berada dekat dengan meja Yo
Him dan In-lap Siansu, pengemis itu telah mengeluarkan suara tertawa dingin
yang menyeramkan. „Keledai gundul! Rupanya kau bersembunyi disini!” katanya
dengan suara yang menyeramkan sekali.
In-lap Siansu memperlihatkan sikap
yang tenang sekali, sama sekali dia tidak gugup atau takut melihat wajah si
pengemis yang menyeramkan itu.
„Siapakah sicu atau saudara?” tanyanya
kemudian dengan suara yang sabar. „Menurut Lolap, belum pernah kita
berkenalan?”
„Hemm, kau telah menghajar babak belur
dua orang murid Kay-pang, apakah kau bermimpi akan dapat meninggalkan kota ini
dengan mudah begitu saja?” mengejek pengemis itu.
„Benar, Lolap memang tadi pagi telah
mengajar adat kepada kedua Siauw-kay (pengemis kecil) yang ingin coba-coba
mencuri uang dari seorang nyonya! Maka jika memang Sicu tidak senang,
katakanlah dengan cara bagaimana Lolap harus menyatakan maaf.” Sabar sekali
pendeta itu, walaupun dia dibentak-bentak begitu oleh si pengemis tetapi dia
masih bisa tersenyum dan berkata-kata dengan suara yang sabar sekali, dengan
menanyakan juga dengan cara apa dia bisa mengajukan permintaan maafnya kepada
pengemis itu.
Tetapi si pengemis tua itu telah
mendengus dengan mata tetap terpancar bengis, „Hemm..... tidak akan semudah itu
meminta maaf atas dosamu,” katanya dengan dingin, „Engkau seenaknya menghajar
dua murid Kay-pang setelah mereka babak belur kau tinggalkan begitu saja! Kini
di saat tempat persembunyianmu diketahui olehku, justeru kau pura-pura alim
dengan menanyakan cara bagaimana untuk meminta maaf. Sungguh kau keledai gundul
yang tidak tahu malu!” dan setelah berkata begitu dengan cepat sekali dengan
gerakan yang sukar diikuti pandangan mata dia telah mengulurkan tangannya
mencekal batang leher si pendeta. Sambil mengulurkan tangannya, dia juga
berkata lantang,
„Mari kita keluar!”
Dengan maksud mencengkeram baju si
Pendeta tentu saja si pengemis bermaksud untuk menarik dan menyeret si hweshio
keluar dari ruangan rumah makan itu. Dia merupakan salah seorang anggota
Kay-pang yang membawa karung lima lembar, berarti dia menduduki tingkat kelima,
dan tingkat kelima dalam urutan Kay-pang sudah merupakan tokoh di perkumpulan
tersebut. Hanya lima tingkat di bawah Pangcu atau Ketua Kay-pang itu. Tidak
mengherankan jika pengemis ini juga memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
Tetapi si hweshio juga tak mau berdiam
diri saja untuk dibuat malu oleh pengemis itu. Maka dia telah mengelakkan
dengan memiringkan sedikit kepalanya, dia sama sekali tidak bangun dari
duduknya.
Tentu saja hal itu membuat Yo Him
terkejut sekali, karena tidak keruan juntrungannya si pengemis main serang
begitu macam.
Melihat cengkeramannya gagal, dengan
penasaran sekali si pengemis telah mengibaskan tangannya, maksudnya akan
menghantam muka si hweshio.
Tetapi dengan tenang sekali si hweshio
telah mendorong dengan tangan kanannya, sambil katanya, „Mari kita bicara di
luar saja!” Dan setelah berkata begitu, di saat tubuh si pengemis terhuyung
oleh dorongan tangannya, maka In-lap Siansu telah bangkit dari duduknya, dia
melangkah keluar dari ruangan rumah makan itu.
Yo Him mengetahui maksud dari si
hweshio yaitu si pendeta ingin bertanding di luar saja, mengelakkan kerusakan
di rumah makan itu. Tentu saja Yo Him jadi kagum sekali atas sikap hweshio itu,
dia telah berdiam diri dan telah bersikap sabar hanyalah untuk menghindarkan
pertandingan yang tidak karuan, yang bisa merusak ruangan rumah makan tersebut.
Sedangkan si pengemis tua telah mengikuti melangkah keluar dengan langkah lebar
dan muka yang menyeramkan sekali.
Yo Him juga telah cepat bangun berdiri
dia ingin melihat apa sesungguhnya yang ingin dilakukan oleh si pengemis.
Ketika si hweshio telah melangkah
keluar, di saat itu rupanya si pengemis sudah tidak dapat menahan sabar lagi,
dengan cepat dia telah menggerakkan tangan kanannya, dia ingin mencengkeram
bahu si hweshio. Tetapi In-lap Siansu memang memiliki kepandaian yang cukup
tinggi, merasakan sambaran angin serangan dari arah belakangnya, dia telah
melangkah maju sambil membungkukkan tubuhnya maka serangan itu telah mengenai
tempat kosong.
Di saat tangan pengemis tua itu lewat
menyambar tempat kosong kesempatan itu telah dibarengi oleh si hweshio dengan
mengibaskan lengan jubahnya ke belakang, sehingga serangan itu yang mengandung
tenaga dalam sangat kuat telah mendorong tubuh si pengemis dengan kuat sekali,
sehingga tubuh pengemis itu terhuyung karena dia sama sekali tidak menduga
bahwa dirinya akan diserang begitu rupa.
Tetapi pengemis tua tersebut juga
memiliki kepandaian cukup tinggi, tadi dia sampai terserang terhuyung begitu
karena dia tidak menyangka si hweshio akan mengambil sikap seperti itu dan juga
memang dia tidak berwaspada, sehingga dia telah terdorong. Tetapi sekarang
ketika si hweshio telah melancarkan serangan berikutnya lagi yang mengandung
tenaga serangan yang kuat sekali, maka si pengemis berhasil menangkis atau
mengelakkannya dengan gerakan yang cepat sekali.
Begitulah dalam waktu yang sangat
singkat sekali, kedua orang ini telah saling serang menyerang dan telah
melewati belasan jurus. Ternyata kepandaian si hweshio ataupun kepandaian si
pengemis memang berimbang. Bahkan si pengemis yang tengah gusar itu, telah
melancarkan serangan lebih sering dan lebih gencar dibandingkan dengan si
hweshio yang lebih banyak mengelak dan melompat mundur menjauhkan diri.
Tentu saja sikap si hwesio membuat si
pengemis tambah penasaran sekali. Dia telah berusaha memperhebat
serangan-serangannya, setiap serangannya tentu mengandung kekuatan tenaga yang
bisa mematikan. Si hweshio semakin lama jadi semakin kewalahan melihat bahwa
lawannya menyerang dia dengan nekad seperti itu. Maka dari itu cepat-cepat si hweshio
telah memutar kedua tangannya dengan cepat sekali, dia telah melindungi dirinya
dengan kedua tangannya itu dengan rapat sekali. Sehingga si pengemis tambah
mendongkol saja.
„Sreeet!” tahu-tahu di tangannya telah
tercekal sebatang pedang pendek yang menyerupai badik. Dengan mempergunakan
senjatanya si pengemis melancarkan serangan dengan gencar.
Dengan adanya serangan senjata tajam
seperti itu, maka si hweshio juga tidak bisa main tangkis saja dengan tangan
kosong, bisa-bisa tangannya kelak terluka oleh serangan senjata lawan. Segera
diapun telah merobah cara bersilatnya, dia main pukul dengan mempergunakan
kedua telapak tangannya, gerakannya itu bukan main cepat dan dahsyatnya, tenaga
pukulannya juga gencar, sehingga membendung si pengemis untuk melancarkan
serangan lebih jauh.
Dari itu si pengemis juga menjadi
kalap lagi, karena dia tidak bisa memperoleh hasil apa-apa walaupun dia sudah
mempergunakan senjata tajamnya. Dengan mengeluarkan suara seruan yang sangat
keras sekali, tahu-tahu kedua tangan si pengemis telah bergerak, tangan
kanannya yang mencekal pisau pendeknya itu menyambar dengan cara menyimpang
dari samping, sedangkan tangan kirinya telah menghantam dengan telapak
tangannya seperti juga dia ingin menghantam batok kepala si hweshio, yang ingin
dipukulnya hancur.
Serangan itu telah memaksa si hweshio
melompat mundur untuk mengelakkan diri.
Tetapi si pengemis tampaknya memang
sengaja melancarkan serangan tersebut untuk memancing, karena itu tidak
mengherankan jika serangan yang dilancarkannya itu mengincar bagian yang
berbahaya, tetapi cepat ditarik pulang dan kemudian dia melancarkan serangan
yang sesungguhnya mengincar bagian yang mematikan, yaitu tepat di jurusan ulu
hati, dimana mata pedang pendeknya itu telah menyambar secepat kilat.
Tetapi In-lap Siansu juga memiliki
kegesitan. Dia memang terkejut waktu melihat mata pedang pendek itu telah
mengincar ulu hatinya, tetapi dia tidak menjadi gugup, dengan cepat sekali dia
menggeser tubuhnya dan menghantamkan telapak kanannya.
Namun serangan telapak tangan kanan
si-hweshio telah disambut dengan tangkisan telapak tangan kiri si pengemis,
sedangkan, pedang pendek itu telah meluncur terus dengan cepat, sehingga kulit
dada si hweshio berhasil dilukai darahnya mengucur, sehingga tubuh In-lap Siansu
terhuyung dan akan rubuh.
Pengemis itu juga tidak lolos dari
akibat serangan telapak tangan si hweshio, karena dengan cepat sekali tenaga
dalam yang kuat dari pendeta itu menggempur bagian dalam tubuhnya, membuat
pengemis itu telah terhuyung mundur.
12.23. Persaudaraan Imam Tua dan Anak
Kecil
Cepat luar biasa pengemis yang nekad
itu telah melompat, dia mempergunakan kesempatan di saat si pendeta tengah
terhuyung itu untuk menghajar kepalanya.
Tentu saja Yo Him jadi kaget sekali,
dia melihat In-lap Siansu seperti sudah tidak bisa berdiri tetap dan dengan
sendirinya sulit bagi dia untuk dapat menangkis serangan si pengemis.
Si pengemis girang melihat serangan
yang dilancarkannya kali ini akan berhasil mengenai sasarannya, dan dia telah
berseru keras sekali sambil mengempos semangatnya menambah tenaga serangan.
Mati-matian In-lap Siansu mengangkat tangannya menangkis.
Suara benturan keras terdengar, tetapi
tubuh In-lap Siansu terhuyung kemudian terguling di atas tanah. Sedangkan si
pengemis hanya terhuyung sedikit, dia sudah bersiap untuk melancarkan serangan
lagi.
„Tahan!” tiba-tiba Yo Him yang melihat
keadaan si hweshio sudah tidak bisa menahan diri.
Si pengemis jadi merandek, dia menoleh
dengan penasaran. Waktu melihat yang menahannya adalah seorang anak kecil yang
tadi bersama si hweshio, dia jadi tambah gusar.
„Setan cilik,” bentaknya. „Engkau juga
ingin turut campur?” sambil membentak begitu dia telah melangkah menghampiri Yo
Him.
„Apakah kau tidak malu menganiaya
orang yang sudah tidak berdaya seperti Taysu itu?” bentak Yo Him mendongkol
sekali.
Pengemis tua itu tertawa dingin. Tanpa
mengucapkan sepatah katapun juga, dia telah melangkah mendekati Yo Him,
diayunkan tangannya, dan „plaakk!” muka Yo Him telah ditempilingnya dengan
keras, sehingga anak itu berputar seperti gangsing, pipinya bengkak dan dia
rubuh bergulingan di tanah.
Bukan main gusarnya Yo Him, tetapi
diapun jadi takut melihat pengemis tua itu demikian ganas. Namun memikirkan
keselamatan In-lap Siansu yang baik hati itu, Yo Him jadi melupakan sakitnya
dan telah cepat-cepat merangkak berdiri.
„Walaupun kau membunuh mati diriku,
tetap aku tidak ijinkan kau membunuh Taysu itu!” teriak Yo Him.
Si pengemis tertegun, tetapi kemudian
dia tertawa. „Hebat! Hebat!” katanya. „Jadi kau ingin mati juga membela pendeta
busuk itu? Hemm, bagus! Aku akan menuruti keinginanmu, sebelum menghajar mampus
pendeta itu, lebih dulu aku akan mengirimkan kau ke Giam-lo-ong!”
Dan setelah berkata begitu kembali
tangan dan kakinya bergerak, maka terdengar suara gedebak-gedebuk dimana tubuh
Yo Him dihajar pulang pergi sehingga tubuh si anak she Yo ini seperti sebuah
bola yang menggelinding-gelinding di atas tanah.
Semula Yo Him tidak mengeluarkan
jeritan, dia berusaha menahan perasaan sakit itu. Tetapi waktu melihat darah
yang mulai mengucur dan membasahi salju, tentu saja si anak she Yo ini mulai
ketakutan. Namun Yo Him menggeretekkan giginya, dia telah berusaha menahan
serangan si pengemis tua itu.
Waktu kepalan tangan si pengemis
menghantam lagi, maka di saat itulah Yo Him tidak bisa menahan perasaan
sakitnya, dia merasakan matanya jadi berkunang-kunang gelap dan matanya juga
gelap disamping itupun kepalanya pusing, tanpa ampun lagi tubuhnya bergulingan
di tanah dengan disertai jeritannya yang menyayatkan hati.
Tubuh In-lap Siansu jadi gemetaran
keras menahan kemarahan yang sangat. Dia telah melompat berdiri sambil berseru,
„Binatang, mengapa kau menyiksa anak kecil? Sungguh tidak tahu malu!”
Si pengemis tua itu telah tertawa
bergelak-gelak dengan suara yang keras sekali, dia telah berkata kemudian,
„Hem..... engkaupun telah menghina murid Kay-pang yang masih kecil-kecil.....
bukankah sama saja?”
Muka In-lap Siansu jadi berobah merah
padam. „Baik, mari kita adu jiwa! Anak itu tidak salah apa-apa, urusan ini
tidak ada sangkut paut dengannya, kau tidak bisa mengganggunya, karena semua
perbuatanku adalah tanggung jawabku!”
„Kay-pang bukan perkumpulan yang mudah
diperhina! Kami tidak pernah menghina orang lain, tetapi kamipun tidak mau
dihina!” Dan setelah berkata begitu dengan cepat dan angkuh sekali dia
menghampiri si hweshio, dengan diiringi oleh suara bentakannya yang sangat
keras, dia telah melancarkan serangan dengan ganasnya. Tenaga serangan yang
dilancarkannya hebat sekali, sehingga angin serangan itu menderu-deru.
Sesungguhnya In-lap Siansu merasakan
tubuhnya semakin lemah saja, disamping itu juga dia merasakan luka di dalam
tubuhnya cukup parah. Maka dari itu dengan cepat sekali dia telah mengempos
semangatnya, mati-matian dia menyambuti serangan si pengemis tua itu. Tetapi
dia tidak sanggup membendung kekuatan tenaga menyerang dari pengemis tua itu.
Tubuh si pendeta telah terpental keras sekali, dan ambruk di atas tanah.
Hebat kesudahan dari pukulan si
pengemis karena si hweshio hanya merintih di tanah tidak bisa segera bangkit
kembali seperti semula. Walaupun In-lap Siansu beberapa kali telah berusaha
untuk bangkit namun dia gagal, karena matanya gelap dan berkunang-kunang,
tenaganya seperti telah lenyap. Dalam keadaan seperti inilah dengan cepat sekali
si pengemis tua telah melompat maju, untuk melancarkan serangan terakhir kepada
si hweshio.
Yo Him yang baru saja merangkak bangun
dengan kepala yang masih pusing, jadi kaget melihat serangan si pengemis
terhadap In-lap Siansu. Dia berseru kaget sambil memutar otak untuk menolongi
jiwa pendeta itu.
„Jangan mencelakai Taysu itu!”
membentak Yo Him dengan suara yang keras sekali.
Tetapi si pengemis tidak mengacuhkan,
„Jika kau bisa menolongi pendeta ini, tolongilah!” mengejek si pengemis sambil
tangannya tetap meluncur turun akan menghantam dada si pendeta itu yang tengah
dalam keadaan rebah.
Tentu saja Yo Him jadi putus asa,
karena walaupun hatinya ingin sekali menolongi pendeta itu, tetapi apa daya dia
memang tidak memiliki kesanggupan apa-apa. Maka akhirnya dalam putus asanya
itu, dia telah berseru sekenanya ,
„Jika kau membinasakan Taysu itu,
jiwamu tidak akan kuampuni!” dan seruannya itu keras sekali mengandung
kemarahan dan penasaran yang bukan main.
Si pengemis itu menjadi kaget
sendirinya, dia merandek dan menahan tangannya yang tengah meluncur itu.
Setelah merandek sejenak dan tertegun segera dia tersadar dari herannya dan
menjadi gusar sekali.
„Ha, ha, ha,” dia tertawa tergelak
dengan suara menyeramkan sekali. „Setan kecil seperti dirimu berani menggertak
Souw Cie Kay seperti diriku begitu rupa.”
„Hmm, aku tidak mau tahu siapa engkau,
tetapi jika kau mencelakai Taysu itu, jiwamu tidak akan lolos dari kematian!”
kata Yo Him yang jadi nekad. Karena sudah tidak ada jalan lain, dia sengaja bicara
besar seperti itu untuk memancing kemarahan si pengemis untuk mengulur waktu
saja, dengan harapan In-lap Siansu dapat berdiri dan tenaganya pulih kembali.
Tetapi si pengemis yang tengah marah
itu rupanya sudah tidak bisa menahan diri, dia telah mengeluarkan suara
bentakan bengis, tubuhnya telah melompat dan dengan cepat sekali dia
mengulurkan tangannya mencengkeram bahu Yo Him mengangkat tubuh anak itu ke
tengah udara.
Yo Him meringis kesakitan, dia
merasakan tulang bahunya seperti juga akan copot dan terlepas, menimbulkan
perasaan sakit yang luar biasa.
Dengan keras pengemis tua Souw Cie Kay
menggoncang-goncangkan tubuh Yo Him dengan penasaran sekali. „Manusia kerdil
seperti engkau ini ingin membinasakan diriku, heh? Ingin membunuh aku?”
bentaknya dengan bengis dan penasaran sekali.
Yo Him tidak bisa menyahuti, karena
dia merasakan tulang bahunya sakit luar biasa.
Dengan penuh kemarahan Souw Cie Kay
telah mengangkat Yo Him ke atas, maksudnya ingin membantingnya, sekali banting
tentu binasalah anak kecil itu.
„Habislah jiwaku!” mengeluh Yo Him di
dalam hatinya dengan penasaran.
Si pendeta In-lap Siansu juga telah
melihat peristiwa tersebut, tetapi dia tengah terluka berat maka tidak dapat
melakukan apa-apa untuk menolongi Yo Him. Si hweshio hanya mengeluh saja.
Saat itu tangan pengemis tua Souw Cie
Kay telah mengangkat Yo Him tinggi sekali dan baru saja dia ingin
membantingnya, tiba-tiba dari saku Yo Him jatuh semacam benda. Benda itu
menimbulkan suara nyaring dan berkilauan kuning.
Waktu melihat benda itu mata Souw Cie
Kay jadi terpentang lebar-lebar dia telah mengawasi tertegun ke arah benda itu
dengan sepasang tangannya yang mengangkat tubuh Yo Him itu tetap di tengah
udara. Setelah berselang sejenak, dia menurunkan tubuh Yo Him sambil disertai bentakannya.
„Setan kecil, dimana kau mencuri
Kim-pay itu?” Suara bentakan itu mengguntur dan bengis sekali, sedangkan tangan
yang satunya itu telah diulurkan untuk mengambil Kim-pay yang terjatuh di
tanah.
„Jika kau menyentuh Kim-pay itu,
jiwamu sulit untuk dilindungi lagi!” bentak Yo Him dengan suara yang nyaring.
Souw Cie Kay kaget, dia menarik pulang
tangannya yang tadi diulurkannya itu. Untuk sejenak dia telah berdiri
ragu-ragu. Namun akhirnya dia telah bertanya.
„Kau telah mencuri Kim-pay itu, bukan?”
„Hemmm, apakah aku memiliki potongan
sebagai pencuri?” bentak Yo Him berani sekali, dan melihat Kim-pay itu hatinya
jadi girang bukan main. Tadi dia lupa kepada Kim-pay tersebut, coba kalau
tidak, siang-siang urusan In-lap Siansu sudah dapat diselesaikan.
„Jadi..... jadi kau ingin maksudkan
bahwa Kim-pay itu milikmu?” tanya si pengemis dengan suara yang tergagap dan
tidak lancar, tetapi sinar matanya itu yang masih tetap bengis memperlihatkan
bahwa dia tidak mempercayai perkataan Yo Him. Namun untuk menuduh bahwa Yo Him
yang mencuri Kim-pay itu juga merupakan urusan yang tidak mungkin, karena
pemilik Kim-pay tersebut seorang tokoh hebat di dalam Kay-pang, tidak mungkin
Kim-pay nya itu dapat dicuri seorang anak sebesar Yo Him.
„Kim-pay itu milik kakak angkatku.....
aku telah dihadiahkannya.....!” kata Yo Him dengan suara yang lantang sekali.
„Hemm.....” Souw Cie Kay telah
mendengus dengan suara yang dingin. Dia tidak percaya pemilik Kim-pay yang
sangat terkenal sebagai tokoh di dalam Kay-pang mau mengangkat adik kepada anak
sebesar Yo Him.
„Siapa nama kakak angkatmu itu?”
Sebetulnya Souw Cie Kay telah
mengetahui nama orang yang menjadi pemilik Kim-pay itu, namun sengaja dia
memancing begitu karena jika memang Yo Him dapat menyebutkannya, berarti memang
benar si anak ini tidak berdusta, tetapi kalau Yo Him tidak bisa menyebutkan
nama tokoh Kay-pang itu, tentu Yo Him telah berbohong.
Yo Him telah tertawa dingin, dia
membungkukkan tubuhnya mengambil Kim-pay itu. Diangkatnya Kim-pay itu
tinggi-tinggi, kemudian bentaknya dengan suara yang lantang.
„Apakah engkau masih tidak mau
berlutut melihat Kim-pay ini?”
Muka pengemis itu jadi pucat, tetapi
dia masih ragu-ragu karena tidak mengetahui siapa anak kecil ini.
Sedangkan orang-orang yang menyaksikan
di tepi jalan akan peristiwa tersebut juga jadi heran. Mereka umumnya
mengetahui siapa Souw Cie Kay, yaitu raja pengemis di kota ini. Tetapi kali ini
berhadapan dengan seorang anak kecil sebesar Yo Him, tampaknya raja pengemis
yang terkenal bertangan besi dan juga gagah itu jadi begitu ragu-ragu.
Sedangkan In-lap Siansu juga jadi
heran sekali melihat pengemis itu dan sikap Yo Him, sehingga dia hanya
mengawasi saja.
„Sebutkan dulu siapa nama kakak
angkatmu itu,” kata Souw Cie Kay dengan suara ragu-ragu.
„Hemm, tidak kusangka bahwa perkataan
Wie Tocu tidak tepat! Wie Tocu mengatakan, siapa saja anggota Kay-pang jika
melihat Kim-pay ini tentu akan menghormatinya! Hemm, sungguh benda tidak punya
guna!” menggerutu Yo Him dan dia telah mengangkat Kim-pay itu untuk
dibantingnya.
Mendengar disebutnya nama „Wie Tocu”,
lemaslah kedua lutut Souw Cie Kay, pucat pula mukanya dan menggigil tubuhnya,
gemetaran keras. Dia telah menjatuhkan diri berlutut dihadapan Yo Him sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan keras, sehingga keningnya itu telah
menghantam tanah dengan keras.
„Tecu (murid) memang sungguh kurang
ajar tidak cepat-cepat menyambut kedatangan Kim-pay!” berseru Souw Cie Kay
berulang kali, dia juga membahasakan dirinya dengan sebutan murid. „Sungguh
dosa yang sangat besar! Sungguh dosa yang tidak terampuni lagi!”
Dia mengatakan dosa yang sangat besar
dan dosa tidak terampuni lagi, dimaksudkan olehnya ialah dirinya tidak bisa
memperoleh pengampunan lagi. Bahkan tadi dia tidak mau cepat-cepat menyambut
Kim-pay, sehingga Kim-pay itu hampir saja dibanting Yo Him. Jika memang tadi
Kim-pay itu sampai dibanting Yo Him, walaupun dia memiliki sepuluh jiwa, tentu
dia harus mati sepuluh kali!
Maka kini bukan main ketakutannya,
karena jika sampai perbuatannya itu diceritakan Yo Him kepada Wie Tocu, bukan
saja kedudukannya sebagai ketua cabang dari perkumpulan Kay-pang akan terlepas
dari tangannya, dimana dia akan dipecat, juga dirinya akan disidang dan
menerima hukuman yang berat, jika tidak kematian tentu sedikitnya hukuman yang
bisa membuat dia bercacad. Dan sambil berlutut begitu, Souw Cie Kay juga telah
menangis ketakutan sekali.
Tentu saja semua orang yang
menyaksikan jadi heran bukan main. Lebih-lebih In-lap Siansu. Semuanya jadi
memandang bengong saja.
„Hemm, tadi kulihat engkau bersikap
begitu garang, dan menyamakan jiwa manusia seperti jiwa kacoa!” kata Yo Him
kemudian. „Apakah kau anggap bahwa dirimu sudah berkuasa penuh di dalam dunia
ini?”
„Murid memang sungguh picik dan tidak
memiliki pendidikan, mohon kongcu mengampuni! Memang murid sangat berdosa, dosa
yang tidak terampun lagi!” dan sambil berkata begitu. Tahu-tahu dia telah
mengayunkan tangannya menempilingi mukanya sendiri, sehingga terdengar suara
ketepak ketepok berulang kali.
Song Cie Kay menghantam mukanya
sendiri bukan sekedar memukul tetapi dia menempiling dengan mengerahkan seluruh
tenaganya, maka dari itu tidak mengherankan setiap kali telapak tangannya itu
hinggap di mukanya, maka seketika itu juga giginya copot, sepuluh kali dia
memukul, maka sepuluh gigi yang telah copot dan jatuh di atas salju. Dengan
mengambil gigi-giginya yang telah copot itu dia mengacungkan dengan
mempergunakan kedua tangannya kepada Yo Him, sikapnya ketakutan dan menghormat
sekali.
„Murid menerima salah dan sangat
berdosa, dengan menghadiahkan gigi ini mungkin Kongcu bersedia mengampuni
jiwaku!” kata si pengemis.
Dengan perkataannya itu dia
sesungguhnya ingin meminta Yo Him agar tidak menceritakan urusan itu kepada Wie
Tocu.
Sedangkan Yo Him telah memasukkan
Kim-pay ke dalam sakunya, dia telah mengibaskan tangannya, katanya juga, „Kini
jika kau bisa memberikan obat yang mujarab dan menyembuhkan luka In-lap Siansu,
maka jiwamu kuampuni!”
„Terima kasih kongcu! Terima kasih
kongcu!” kata pengemis itu sambil memanggut-manggutkan kepalanya berulang kali
tidak hentinya.”
Kemudian dia menepuk tangannya, dari
sudut-sudut jalan tampak muncul beberapa orang pengemis.
Mereka segera dibisiki oleh Souw Cie
Kay, maka seketika itu juga pengemis-pengemis itu berlarian. Di dalam waktu yang
sangat singkat, mereka telah membawa bungkusan obat dan peralatan untuk
menggodok obat itu.
Souw Cie Kay yang telah memasak
sendiri obat itu, kemudian dia telah memberikan kepada In-lap Siansu dengan
sikap menghormat sekali.
In-lap Siansu yang sejak tadi diliputi
perasaan heran dan bingung telah berdiam diri saja. Dia menerima obat itu dan
meminumnya. Memang pendeta itu merasakan napasnya agak lapang dan sesak di
dadanya mulai lega. Dia menghela napas,
„Terima kasih!” katanya kepada Souw
Cie Kay dengan sikap yang canggung.
„Tidak berani aku yang rendah menerima
ucapan terima kasih dari Taysu, sungguh aku si rendah ini harus menerima
hukuman dari Taysu! Dalam dua hari Taysu akan sembuh, maka di saat itu aku si
rendah melaksanakan hukuman potong tangan atau potong kaki!”
Mendengar perkataan Souw Cie Kay, muka
In-lap Siansu jadi berubah. „Mengapa harus begitu?” tanyanya heran.
„Aku si rendah tidak memiliki mata
melanggar Taysu, telah melakukan kesalahan besar, maka dari itu aku hanya
menantikan hukuman Taysu!”
„Jika memang engkau telah menyadari
bahwa apa yang telah kau lakukan itu salah dan bertobat untuk apa engkau
menjalani hukuman pula?” tanya si pendeta.
„Oh terima kasih Taysu!” kata si
pengemis tua Souw Cie Kay dengan girang. „Taysu telah memberikan kelonggaran
kepadaku si rendah.” Kemudian dia melambaikan tangannya memanggil seorang
pengemis kecil, dia mengambil golok yang diacungkan kepadanya.
In-lap Siansu hanya mengawasi, karena
dia sama sekali tidak mengerti apa yang ingin dilakukan oleh pengemis itu.
Tetapi, dengan tidak terduga, si
pengemis telah mengacungkan goloknya, menggerakkan membacok lututnya sendiri.
Tentu saja In-lap Siansu jadi kaget
setengah mati, dia ingin mengulurkan tangannya untuk menolongi lutut si
pengemis tua itu. Tetapi karena dia memang dalam keadaan terluka dan belum
sembuh, gerakannya jadi lambat dan apa yang ingin dilakukannya itu tidak
kesampaian.
Tanpa mengeluarkan jeritan bahkan
dengan mulut masih tersenyum dan berulang kali mengucapkan terima kasih, lutut
kiri dari si pengemis tua itu telah tertabas putus oleh goloknya sendiri, darah
juga segera mengucur. Tanpa memperlihatkan perasaan sakit, si pengemis telah
melambaikan tangannya, seorang pengemis kecil telah membawakan kain pembalut.
Luka di lututnya itu telah dibalutnya.
Kemudian dengan cepat dia telah berlutut lagi, menyatakan terima kasih kepada
In-lap Taysu.
Lalu dengan dipayang oleh beberapa
orang pengemis, dia menghadapi Yo Him, katanya. “Kongcu, aku telah berterima
kasih kongcu mau mengampuni jiwaku si Souw rendah ini, tetapi untuk ini,
walaupun kongcu memerintahkan aku harus terjun di lautan api, tidak nantinya
aku menolak, karena budi kongcu tidak mungkin terbalas dengan jiwaku saja!”
Melihat demikian patuhnya orang-orang
Kay-pang, yang demikian ketakutan jika melakukan suatu kesalahan, bukan main
perasaan kagum di hati Yo Him. Dia hanya merasa menyesal mengapa Souw Cie Kay
harus membuntungi kakinya sendiri.
Yo Him sama sekali tidak
mengetahuinya, bahwa sesungguhnya memang sudah menjadi peraturan di dalam
Kay-pang, setiap anggota yang melakukan suatu perbuatan salah, tentu harus
menerima hukuman yang berat. Dan jika memang orang itu diampuni, tentu orang
tersebut tidak akan tenang, maka dengan melakukan perbuatan seperti yang
dilakukan Souw Cie Kay, barulah hatinya menjadi tenang. Itupun dia masih
berterima kasih bahwa jiwanya telah diampuni oleh Yo Him! Setelah itu dengan
dipayang oleh pengemis-pengemis lainnya, Souw Cie Kay berlalu meninggalkan
tempat itu.
In-lap Siansu menghela napas berulang
kali, dia jadi menyesal bukan main atas terjadinya urusan seperti ini. Berulang
kali dia telah menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengucapkan kebesaran sang
Buddha.
Saat itu Yo Him telah menghampiri
In-lap Siansu. „Bagaimana Taysu, apakah lukamu tidak membahayakan?” tanya Yo
Him dengan suara yang ramah.
Si hweshio berusaha tersenyum. „Untung
saja ada kau, adik kecil!” katanya dengan suara yang bersyukur, „kalau tidak
tentu aku telah binasa!”
„Tetapi semua itu terjadi hanya
disebabkan oleh suatu kesalahan pengertian belaka!” kata Yo Him. „Dan celakanya
justru aku tidak ingat sejak siang-siang bahwa aku memiliki hadiah Kim-pay dari
Wie Tocu. Coba kalau memang semula aku mengeluarkannya, tidak sampai Taysu
harus menderita luka seperti ini!”
„Sudahlah!” kata In-lap Siansu.
„Tetapi siapakah Wie Tocu yang kau katakan itu?”
Yo Him menggeleng.
„Akupun tidak tahu!” katanya. „Kami
hanya bertemu secara kebetulan dan Wie Tocu mengajak aku untuk angkat saudara,
sehingga untuk selanjutnya aku memanggil Wie Tocu dengan sebutan Wie Toako,
sedangkan dia memanggil aku Yo Hiante! Hemm, sebagai kenang-kenangan,
dihadiahkannya kepadaku sebuah Kim-pay ini!” Kemudian Yo Him menceritakan
pengalamannya itu, dimana dia telah bertemu dengan Wie Tocu.
Bukan main kagumnya In-lap Siansu.
„Siancay! Siancay! Rupanya bukan hanya Lolap yang melihat bahwa kau adik kecil
adalah seorang yang luar biasa!” kata si pendeta. „Lihatlah, sampai Wie Tocu
bersedia mengangkat kau sebagai adiknya dan menghadiahkan lencana kebesarannya
itu, yang menunjukkan kekuasaan yang sangat besar di kalangan pengemis!”
Yo Him cepat-cepat mengeluarkan
kata-kata merendah.
Sedangkan In-lap Siansu telah berdiam
diri termenung seperti ada yang dipikirkan. Sedangkan orang-orang yang tadi
ramai menyaksikan perkelahian telah bubar.
„Apa yang tengah Taysu pikirkan?”
tanya Yo Him kemudian waktu melihat sikap pendeta itu.
„Tidak ada apa-apa yang
kupikirkan..... hanya saja, sangatlah memalukan jika aku menyampaikan isi
hatiku!” kata si hweshio.
„Mengapa begitu?” tanya Yo Him jadi
heran sekali.
„Karena justru di saat ini aku tengah
memikirkan untuk, mengajakmu mengangkat saudara.....” kata si hweshio kemudian.
„Hah?” tanya si anak she Yo terkejut.
„Nah, tadi Lolap telah mengatakan,
betapa memalukan sekali urusan tersebut, jika sampai adik kecil menolaknya!”
kata In-lap Siansu.
Yo Him kemudian tertawa. „Justru aku
yang kaget mendengar orang sehebat Taysu bersedia angkat saudara denganku!”
Kata Yo Him. „Apa kebisaanku?”
“Wie Tocu merasa bersyukur memiliki
adik seperti kau, maka terlebih aku!” kata In-lap Siansu.
Sedangkan saat itu Yo Him telah
mengangguk. “Baiklah Taysu, mari kita angkat saudara kepada langit dan bumi”
kata Yo Him.
Dan setelah berkata begitu Yo Him
telah berlutut sambil menyoja, dan begitu pula In-lap Siansu telah berlutut
juga. Dengan disaksikan oleh langit dan bumi mereka telah angkat saudara.
Masing-masing mengeluarkan sumpahnya.
„Karena usiaku lebih muda dari Wie
Tocu maka kau bisa memanggil aku sebagai Jie-ko (kakak kedua) saja!” kata si
pendeta dengan sabar. “Dan kau Hiante, engkau menjadi Sam-te adik ketiga!”
Yo Him girang sekali, dan dia juga
telah berkata,”Urusan yang menggembirakan ini harus cepat-cepat diberitahukan
kepada Toako!”
„Benar!”
“Hanya saja, belum tentu kita bisa
bertemu pula!”
„Mengapa begitu?”
„Karena justru aku ingin berkelana
dulu, merantau seorang diri.”
„Ahhhh, Sam-te, kita berkelana berdua
saja!” saran si pendeta.
„Jika memang Jie-ko tidak memiliki
urusan apa-apa, apa salahnya? Bukankah lebih menggembirakan?” menyahuti Yo Him.
Maka dengan gembira mereka telah
memasuki rumah makan itu lagi. Mereka makan dan minum sepuasnya, seperti juga
tengah merayakan hari pengangkatan saudara itu.
Rupanya, yang satu kecil dan yang
seorangnya tua bangka, namun diantara mereka terdapat kecocokan yang serasi
sekali. Mereka berdua telah bercakap-cakap dengan asyik sekali sampai lupa
waktu.
Di saat hari telah larut malam,
barulah mereka memesan sebuah kamar dan tidur sepembaringan! Keesokan paginya
barulah mereka melanjutkan perjalanan lagi.
◄Y►
Dengan adanya In-lap Siansu sebagai
kawan seperjalanannya, maka Yo Him dapat melakukan perjalanan dengan gembira,
karena ada kawan yang bisa diajak bercakap-cakap. Selama dua bulan mereka telah
menjelajahi puluhan kampung dan belasan kota.
Selama itu pula In-lap Siansu telah
melihatnya bahwa Yo Him sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Tentu saja
pendeta ini jadi heran.
Begitulah pada suatu hari, di saat
mereka berada di kamar penginapan yang terletak di kota kecil Fang-cia-kwan, di
saat mana In-lap Siansu akan mulai menceritakan keadaan di dalam rimba
persilatan seperti hari-hari yang lalu, pendeta itu sengaja telah bertanya
kepada Yo Him, „Sam-te, menurut penglihatan Jie-komu, tampaknya kau sama sekali
tidak tertarik untuk mempelajari ilmu silat, benarkah itu?”
Yo Him mengangguk.
„Untuk mendengar pengalaman-pengalaman
Jie-ko mengenai rimba persilatan, aku tertarik sekali..... tetapi untuk
mempelajari ilmu silat, itulah urusan lain..... aku sama sekali tidak
tertarik.”
„Kenapa?” tanya In-lap Siansu
tertarik.
Yo Him menceritakan pengalamannya yang
pernah menyaksikan tanpa sengaja, dimana pendeta-pendeta dari Kun-lun-pai yang
telah dibinasakan oleh empat orang Mongolia. Ratusan orang gagah dan imam-imam
dari Kun-lun-sie itu semuanya mengerti ilmu silat, tetapi mereka telah terbunuh
dengan cara yang begitu mengenaskan sekali.
In-lap Siansu juga terkejut mendengar
peristiwa hebat yang telah menimpa imam-imam Kun-lun-pai. Setidak-tidaknya
urusan itu baru didengarnya, dan dia heran sekali pendeta-pendeta Kun-lun-pay
yang lihay-lihay itu, bahkan Ma-liang Cinjin yang berada di atas kepandaiannya,
bisa dibinasakan oleh pendeta Mongolia bersama ketiga kawannya itu.
„Siapakah orang-orang Mongolia yang
hebat-hebat itu?” tanya In-lap Siansu dengan heran sekali.
„Entahlah, aku pun tidak
mengetahuinya! Hanya sejak saat itulah aku jadi berpikir bahwa seseorang yang
mempelajari ilmu silat, tentu akan menghadapi bahaya yang tidak kecil di setiap
saat.”
„Tetapi, salah Sam-te pandanganmu itu!
Justru disebabkan ilmu silat mereka kurang sempurna, maka imam-imam Kun-lun-pai
dan orang-orang gagah itu telah dibinasakan olen orang-orang Mongol itu! Coba
mereka memiliki kepandaian yang sempurna, bukankah mereka akan berhasil
membinasakan keempat orang Mongol jahanam itu!”
Yo Him menggeleng perlahan. „Tetapi
aku sama sekali tidak tertarik untuk mempelajari ilmu silat……” katanya.
„Jika memang demikian, akupun tidak
ingin memaksanya,” kata si pendeta.
Dan mulailah In-lap Siansu
menceritakan perihal keadaan Kang-ouw. Bermacam-macam cerita yang
dikisahkannya, dan memang Yo Him juga tertarik benar akan cerita ceritanya itu.
Terlebih lagi jika In-lap Siansu tengah menceritakan sepak terjang orang-orang
gagah di dalam rimba persilatan, yang umumnya membela pihak yang lemah dan
memberantas si kuat jahat.
„Memang jika di dalam kalangan
Kang-ouw terdapat banyak orang-orang gagah, tentu kejahatan semakin sedikit!”
kata Yo Him setelah mendengar cerita si pendeta.
In-lap Siansu tertawa. „Sam-te, itulah
sebabnya Jie-komu ini memaksa engkau untuk mempelajari ilmu silat! Sekali lagi
Jie-komu rewel menganjurkan kau mempelajari ilmu silat, agar kelak kau bisa
menjadi salah seorang ho-han dan eng-hiong untuk memberantas si jahat! Dengan
demikian, bukankah engkau akan membantu berlaksa manusia yang bersengsara?”
Yo Him tersenyum sambil menggeleng.
„Sudah kukatakan Jie-ko, bahwa aku tidak tertarik untuk mempelajari ilmu silat.
Tetapi aku pernah mempelajari ilmu olah raga untuk menyehatkan tubuh!”
„Ilmu menyehatkan tubuh? Apakah itu?”
tanya In-lap Siansu tertarik.
Dan Yo Him telah turun dari
pembaringan, dia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Gerakannya perlahan,
dan lembut sekali, tetapi gerakan-gerakan tangan dan kaki Yo Him yang seperti
anak-anak yang tengah main petak itu justru telah membuat mata In-lap Siansu
jadi terpentang lebar-lebar. Dia memandangi Yo Him dengan mulut yang terpentang
lebar dan muka pucat disamping juga matanya tetap terbuka besar-besar.
Yo Him telah menyelesaikan latihannya,
dan ketika melihat keadaan kakak angkatnya yang kedua itu dia jadi kaget bukan
main.
„Jie-ko, kenapa kau?” tanya Yo Him
kemudian sambil menepuk bahu kakak angkatnya itu.
„Kau….. kau.....?” suara In-lap Siansu
tidak lancar.
Tentu saja Yo Him tambah heran.
„Jie-ko!” panggilnya lebih keras.
In-lap Siansu menghela napas, dia
menyebut kebesaran sang Buddha berulang kali. Kemudian dengan sikap yang luar
biasa, In-lap Siansu telah berkata.
„Sam-te, bicaralah terus terang,
siapakah engkau sesungguhnya?” tanya In-lap Siansu.
Yo Him jadi tertegun, tapi kemudian
tertawa. „Akhh, Jie-ko kau ini benar-benar aneh!” kata Yo Him kemudian.
„Bukan aneh, bukan aneh,” kata In-lap
Siansu dengan suara bersungguh-sungguh. „Telah berbulan-bulan engkau berhasil
menyembunyikan kepandaian kelas satu dari mataku!”
„Kepandaian kelas satu?” tanya Yo Him
dengan nada kaget dan heran. „Apa maksudmu Jie-ko?”
Si pendeta menghela napas.
„Pantas saja kau tidak mau mempelajari
ilmu silat lain yang tidak ada artinya, ternyata engkau telah memiliki ilmu
mujijat yang luar biasa sekali! Sungguh hebat! sungguh hebat! Kepandaian yang
kumiliki tidak ada seperseratusnya! Dengan hanya memutar jari telunjukmu saja,
engkau bisa membinasakan aku! Pantas saja Wie Tocu begitu bersyukur memiliki
adik angkat seperti kau! Tetapi aku….. aku mana pantas menjadi kakak angkatmu!”
Dan kembali hweshio itu telah berulang kali menyebut-nyebut kebesaran sang
Budha.
12.24. Siapakah Engkau Sebenarnya?
Yo Him jadi bingung sekali melihat
sikap si hweshio, akhirnya dia telah bertanya dengan memperlihatkan sikap yang
bersungguh-sungguh.
„Jie-ko, mari kita bicara yang
sesungguhnya, jangan kau membuat adikmu menjadi bingung tidak keruan!” kata Yo
Him. „Sesungguhnya apa maksudmu itu?”
„Kau ternyata memiliki kepandaian yang
hebat sekali, Yo Sam-te! Kau telah menipu kakakmu ini, kau tidak mau
memberitahukan kepadaku bahwa kau memiliki ilmu yang luar biasa, sehingga aku
selamanya menganggap kau tidak memiliki kepandaian apa-apa.”
„Aku memang sesungguhnya tidak
memiliki kepandaian apa-apa..... dan juga belum pernah mempelajari ilmu silat!”
kata Yo Him bersungguh-sungguh.
„Akhh, engkau masih berkata begitu,
adikku?” tanya In-lap Siansu dengan suara agak keras. „Tadi jurus-jurus dari
ilmu pedang nomor satu tiada taranya dijagad ini, yaitu Giok-lie-kiam-hoat dan
ilmu pukulan dari Kiu-im-cin-keng telah kau mainkan dengan baik? Bukankah ilmu
itu merupakan ilmu-ilmu silat nomor satu yang tiada taranya dikolong langit
ini?”
Yo Him jadi tertegun. „Apa maksudmu
Jie-ko?” tanyanya.
„Kau masih pura-pura tidak mengerti
atau engkau menganggap Jie-ko mu terlalu tolol sehingga kau bisa perbodohi
terus menerus?”
„Tetapi aku sungguh-sungguh tidak
mengerti ilmu silat apa-apa!”
In-lap Siansu tersenyum, katanya
sabar.
„Kau memang luar biasa Sam-te! Baiklah!
Kalau memang kau keberatan untuk menceritakan asal usul dirimu, mungkin ada
sesuatu yang sulit kau jelaskan, Jie-komu juga tidak akan mendesak terus.
Tetapi yang terpenting, kau mengakui bukan bahwa kau memiliki ilmu tanpa
tandingan di bawah langit ini?”
„Ilmu apa?”
„Kiu-im-cin-keng dan
Giok-lie-kiam-hoat!”
„Akh?” Benar-benar Yo Him bingung
sekali. Akhir nya setelah berpikir sejenak, karena diapun cerdas maka dia bisa
menduga-duga mengapa kakak angkatnya itu bersikap demikian.
„Apakah ilmu yang tadi kuperlihatkan?
Ya itu ilmu olah raga untuk menyehatkan tubuh!” tanya Yo Him akhirnya.
„Sungguh luar biasa! Ilmu sehebat itu
yang tiada duanya dikolong langit ini kau sebut sebagai ilmu menyehatkan
tubuh!”
„Sungguh Jie-ko, aku mempelajari ilmu
itu justru dari seekor rajawali!”
„Hah?” muka In-lap Siansu jadi berobah
pucat, kemudian dengan suara perlahan dia telah menggumam. „Benar, benar
dugaanku! Benar dia.....!”
Yo Him jadi heran dan penasaran.
„Jie-ko, kau jangan bersikap begitu, karena selain membingungkan juga diliputi
teka-teki! Tidak bisakah kau bicara terus terang?”
Si pendeta telah mengawasi Yo Him
dengan sorot mata dalam-dalam, kemudian dengan tiba-tiba sekali dia menepuk
lututnya keras-keras.
„Engkau she Yo, bukan?” tanyanya
cepat.
„Benar, kau sudah mengetahuinya sejak
beberapa bulan yang lalu, Jie-ko!” menyahuti Yo Him.
Dan dengan tidak terduga In-lap Siansu
telah bangkit berdiri, dia telah merangkapkan sepasang tangannya, dia telah
membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
„Sam-te, terimalah hormat dari
Jie-komu, dan apakah Sin-tiauw Tayhiap baik-baik saja?” tanya In-lap Siansu
dengan suara menghormat sekali.
„Sin-tiauw Tayhiap? Siapa dia?” tanya
Yo Him akhirnya bertambah bingung, dia juga jadi sibuk untuk menghindar dari
penghormatan pendeta itu.
„Yo Sam-te, kau jangan begitu!” kata
In-lap Siansu. „Jangan kau memungkiri terus bahwa kau adalah puteranya
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Liehiap Siauw Liong Lie!”
„Akhh!” mata Yo Him terpentang
lebar-lebar.
Si hweshio melihat Yo Him dalam
keadaan tertegun dan heran seperti itu, dan kembali In-lap Siansu tambah heran
juga. „Apakah benar-benar engkau tidak mengenal siapa Sin-tiauw Tayhiap dan
Siauw Liong Lie Liehiap, sepasang pendekar besar di jaman ini?” tanyanya
bersungguh-sungguh.
Yo Him menggeleng. „Mendengarnya saja
baru kali ini.....!” menyahuti Yo Him.
„Engkau she Yo, juga memiliki
kepandaian Kiu-im-cin-keng dan Giok-lie-kiam-hoat, ilmu-ilmu yang dimiliki
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Liehiap Siauw Liong Lie..... maka heranlah jika engkau
mengatakan antara dirimu tidak ada hubungannya dengan mereka.....?” Penasaran
sekali suara si hweshio, dia berkatapun sambil mengawasi tajam sekali kepada Yo
Him.
Yo Him jadi mengerutkan sepasang
alisnya dalam-dalam, dia heran bukan main mendengar In-lap Siansu, si Jie-ko
itu, berkeras bahwa dia ada hubungan dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Siauw
Liong Lie. Sedangkan kedua orang itu memang tidak dikenalnya, mendengar namanya
saja baru kali ini.
Tetapi sebagai seorang anak yang
cerdas, mengingat bahwa dia sejak bayi dirawat oleh seekor burung rajawali,
yang juga tampaknya cerdik serta sakti sekali, maka mungkin juga antara
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dengan rajawali sakti (Sin-tiauw) yang merawatnya itu
ada hubungannya. Atau boleh jadi juga dirinya memiliki hubungan yang erat
dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Siauw Liong Lie. bukankah diapun she Yo?
Karena berpikir begitu, maka Yo Him jadi tertarik sekali menghadapi persoalan
seperti ini.
Segera juga dia menanyakan kepada
In-lap Siansu, siapakah sesungguhnya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko itu? Dan siapa
pula Siauw Liong lie.
In-lap Siansu setelah berdiam sejenak,
segera menceritakan sepak terjang Yo Ko, pendekar nomor satu dijaman ini.
Bagaimana Yo Ko telah membela yang lemah dari tindasan si kuat jahat, bagaimana
Yo Ko juga telah membantu pemerintahan Song untuk mengusir pasukan perang
tentara Mongolia dengan membinasakan Kaisar Mangu.
Mendengar semua itu, Yo Him. jadi
merasa kagum kepada pendekar besar itu. Walaupun dia belum pernah melihat
bagaimana rupa dari pendekar Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko itu, namun dia
membayangkannya dari bayang-bayang yang digambarkan oleh In-lap Siansu, seorang
pendekar gagah yang bermuka tampan memiliki tangan tunggal, yaitu tangan
kirinya, dengan seekor burung rajawali saktinya..... Dan juga mengenai
kegagahan Siauw Liong Lie dengan Giok-lie-kiam-hoatnya membuat Yo Him
benar-benar menaruh hormat akan sifat kesatrianya pendekar wanita itu.
„Seperti kau lihat, mereka itu
memiliki kepandaian yang sempurna sekali, maka mereka dapat melakukan pekerjaan
besar. Tetapi jika mereka memiliki pendirian seperti kau yang tidak ingin
mempelajari ilmu silat, bagaimana mereka bisa melakukan pekerjaan besar seperti
itu?” kata In-lap Siansu mengakhiri ceritanya.
Yo Him jadi duduk terpekur di tempatnya,
dia tengah membayangkan kegagahan Yo Ko dan Siauw Liong Lie. Betapa kagumnya
dia mendengar juga perihal kegagahan Oey Yok Su, Kwee Ceng dan Oey Yong. Begitu
pula dia kagum mendengar kehebatan kepandaian Loo Boan Tong. Banyak orang-orang
gagah dimasa itu yang diceritakan oleh In-lap Siansu, termasuk juga See-tok,
Pak-kay, yaitu Ang Cit Kong, dan yang lainnya lagi.
“Dan jika melihat she yang kau
pergunakan, yaitu she Yo juga, dan ilmu yang kau perlihatkan tadi adalah ilmu
simpanan dari kedua pendekar besar itu, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Siauw
Liong Lie, maka aku yakin kau memiliki hubungan yang erat dengan mereka.....!”
Yo Him hanya berdiam diri saja,
sedangkan pikirannya tengah bekerja dengan keras. Akhirnya Yo Him menceritakan
kepada In-lap Siansu, justru dia berkelana seperti sekarang ini adalah untuk
menyelidiki asal usulnya. Karena itu dia tidak mengetahui siapa dirinya yang
sesungguhnya. Siapa ayahnya dan siapa ibunya! Sejak kecil dia hanya dirawat
oleh Sin-tiauw itu yang akhirnya telah lenyap di dekat jurang tidak pernah
muncul kembali.
Mendengar cerita Yo Him, sepasang alis
In-lap Siansu mengerut. Setelah mengucapkan beberapa kali kebesaran sang Budha,
akhirnya In-lap Siansu berkata.
„Akhir-akhir ini memang Jie-komu
sering mendengar bahwa di selatan telah muncul beberapa orang jago yang
hebat-hebat, menurut keterangan sementara orang yang telah kembali dari sana,
menyatakan orang-orang yang memiliki jiwa kesatria itu tidak lain dari
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, Oey Yong, Kwee Ceng, It-teng Taysu. Hanya saja yang
membuat Lolap kurang mempercayai keterangan itu, justru tidak disebut-sebutnya
Siauw Liong Lie. Dimana ada Yo Ko, tentu ada isterinya, yaitu Siauw Liong Lie.
Maka dari itu, aneh sekali jika hanya ada Yo Ko. Sampai Lolap juga ingin menduga
apakah orang itu ingin menjual nama Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, untuk malang
melintang di dunia persilatan?”
„Apakah Jie-ko telah pergi ke selatan
untuk menyelidikinya?” tanya Yo Him tertarik.
„Semula memang Lolap bermaksud pergi
ke sana, tetapi setelah Lolap berpikir-pikir secara masak-masak, percuma saja.
Karena kepandaian yang dimiliki Lolap sangat rendah sekali. Jika memang benar
orang-orang gagah itu Yo Ko adanya bersama Kwee Ceng, Oey Yong dan It-teng
Taysu ataupun Ciu Pek Thong, tentu Jie-komu tidak akan mengalami suatu ancaman
bahaya apa-apa, tetapi jika mereka hanya menjual nama Sin-tiauw Tayhiap untuk
kepentingan diri pribadi mereka sendiri, dan mereka merupakan penjahat-penjahat
murahan, bukankah lolap akan menghadapi bahaya yang tidak kecil? Jelas lolap
tidak akan dapat mempertahankan diri membiarkan orang merusak nama baik
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan lainnya, tetapi untuk melawan mereka juga tidak
akan sanggup. Sebab menurut cerita orang-orang yang pernah melihat mereka
bertempur, kepandaian orang itu luar biasa sekali, dan sulit untuk diukur!”
Yo Him menghela napas panjang.
“Bagaimana kalau kita pergi ke selatan untuk melihat benar atau tidaknya berita
itu?” tanya Yo Him kemudian memajukan sarannya.
Si hweshio bimbang sejenak, tetapi
kemudian dia telah mengangguk. „Jika memang Sam-te bermaksud begitu maka
Jie-komu hanya menurut saja,” kata si hweshio. „Hanya, Sam-te belum
menjelaskan, sesungguhnya ada hubungan apakah antara Sam-te dengan Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko dan Siauw Liong Lie?”
„Apa yang telah adikmu jelaskan,
semuanya itu tidak dusta.....!” kata Yo Him. „Nanti jika memang orang-orang
gagah yang berada di selatan itu benar-benar terdapat Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko,
kita boleh menanyakannya, mungkin pendekar besar itu jauh lebih tahu mengenai
keadaan diriku, yang kebetulan she Yo juga dan dirawat oleh seekor burung
rajawali! Hanya yang hampir tidak masuk dalam pikiran, justru aku dibesarkan di
Utara, sedangkan saat sekarang mereka berkumpul di selatan, itulah tempat yang
sangat berlainan satu dengan yang lainnya!”
In-lap Siansu juga telah menghela
napas. „Di dalam dunia memang sering terjadi urusan yang aneh dan hampir tidak
bisa dibayangkan atau tidak bisa masuk dalam akal sehat! Kita lihat saja nanti,
mudah-mudahan asal usul dirimu, Sam-te, akan dapat diketahui dengan jelas!”
Yo Him akhirnya teringat kepada
beberapa macam barang yang disimpannya, dimana barang-barang itu adalah
pemberian rajawali sebelum hari terakhir kematiannya itu.
Semula Yo Him bermaksud untuk
memperlihatkan benda-benda itu, namun akhirnya dia membatalkan. Walaupun In-lap
Siansu telah mengangkat saudara dengannya, tetapi jika urusan keturunannya
belum jelas, mengapa dia harus memperlihatkan barang-barang itu? Dia bermaksud
baru memperlihatkannya nanti kepada Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, yang kebetulan
sekali juga she Yo pula.
Begitulah, mereka telah memutuskan
untuk berangkat menuju ke arah selatan.
<>
Kalangan jago-jago rimba persilatan,
umumnya memang sering merantau untuk mencari pengalaman dan juga pesiar di
tempat-tempat yang indah. Begitu juga dengan In Lap Siansu. Pendeta ini adalah
seorang pendeta perantauan yang gemar sekali berkelana dari kota yang satu ke
kota yang lainnya.
Kini dia melakukan perjalanan bersama
Yo Him, maka itu hatinya jadi gembira sekali di saat mereka telah tiba di
daerah selatan tersebut. Tujuan mereka adalah Kang-lam, dimana tempat tersebut
terkenal akan keindahannya, terkenal akan kecantikan gadis-gadisnya, terkenal
juga sebagai tempat yang seringkali dikunjungi pujangga dan penyair. Bahkan
Kang-lam pernah menjadi tempat dan daerah kekuasaan Kang-lam Cit-koay,
guru-gurunya Kwee Ceng, dimana ketujuh Manusia Aneh itu adalah keturunan dari
daerah tersebut. Disamping Kang-lam Cit-koay! Kang-lam memang merupakan tempat
yang banyak sekali didatangi Pendekar-pendekar silat kelas utama, yang akhirnya
memilih tempat tersebut sebagai kampung halaman mereka.
Pemandangan yang ada di sekitar daerah
Kang lam indah sekali, walaupun musim dingin mulai tiba. Salju yang turun
ringan dan tipis-tipis itu ternyata menimbulkan pemandangan yang sejuk dengan
warnanya yang putih cemerlang. Betapa sucinya salju-salju itu, yang putih
bagaikan putihnya kapas dan lembut selembut sutera.
Yo Him tidak hentinya memuji akan
keindahan daerah selatan tersebut, terlebih lagi ketika mereka tiba di muka
kampung Liang-kuang-cung, sebuah daerah pinggiran di kota Kang-lam tersebut.
Pohon-pohon yang mulai gundul itu tidak menyebabkan rusaknya keindahan di
daerah Kang-lam. Gadis-gadisnya yang terkenal dengan kulitnya yang halus lembut
dengan sikap dan gerak gerik mereka yang menawan, telah terkenal sekali.
In-lap Siansu telah mengatakan kepada
Yo Him.
„Jika saja kita berhasil menemui
jago-jago itu, dan mereka memang Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan pendekar-pendekar
lainnya, maka Lolap telah puas, mati dapat dengan mata yang meram. Sulit sekali
untuk menjumpai mereka..... bertemu saja sulit sekali.”
Yo Him girang bukan main, sebagai
seorang anak berusia delapan tahun, tetap saja Yo Him masih sering memiliki
sifat kekanak-kanakan, karena walaupun bagaimana dia masih gemar bermain dan
bersenang-senang. Maka di saat In-lap Siansu mengajaknya untuk bermain-main
perahu, Yo Him segera menyetujuinya.
Dengan menyewa sebuah perahu, mereka
telah berlayar perlahan-lahan di sungai-sungai yang banyak terdapat di sekitar
daerah Kang-lam. Harus diketahui, jika di darat orang mempergunakan kuda
sebagai binatang pengangkut maka justru perahu merupakan alat pengangkutan
penting sebagai kendaraan air..... maka dari itu, tidak mengherankan setiap sungai
selalu penuh oleh perahu yang hilir mudik.
Sambil meneguk teh mereka yang hangat,
In-lap Siansu dan Yo Him menikmati keindahan di sekitar sungai dimana perahu
mereka berlayar. Sedangkan di pinggir tepi sungai itu, tampak pohon-pohon
Yang-liu yang mulai gundul dan sebagian tertutup oleh lapisan salju.
Saat itu Yo Him tiba-tiba menunjuk ke
arah depannya.
„Jie-ko.....kau lihat!”
In-lap Siansu telah menoleh dan dia
melihat dua buah perahu tengah saling kejar. Mereka masih terpisah dalam jarak
yang cukup jauh, tetapi In-lap Siansu telah cepat-cepat mengayuh perahunya ke
tepi, karena dia kuatir kalau-kalau nanti perahunya ditabrak oleh kedua perahu
yang tengah saling kejar itu.
Kedua perahu itu memang tengah saling
kejar dengan cepat, dan ketika kedua perahu itu meluncur semakin dekat, In-lap
Siansu dan Yo Him mulai mendengar suara bentakan-bentakan yang keras dan bengis
sekali.
„Siangkoan Lin-lie! Hentikan perahumu!
Jika tidak kalian jangan menganggap aku keterlaluan!” teriak seorang lelaki
bercambang berewok kasar di perahu yang lainnya yang mengejar.
Tetapi perahu yang di depan tetap saja
meluncur dengan cepat sekali tanpa memperdulikan ancaman dan teriakan orang
bermuka kasar itu.
Rupanya orang yang berewok kasar itu
sudah habis sabar, dari dalam perahunya dia telah mengeluarkan sebuah jangkar
besi yang tampaknya beratnya seribu kati lebih. Tetapi jangkar besi itu telah
diangkatnya dengan mudah dan ringan sekali, tampaknya lelaki berewok itu sama
sekali tidak mengeluarkan tenaga untuk mengangkat jangkar besi tersebut.
Hal itu telah membuktikan bahwa tenaga
yang dimiliki orang berewok itu sangat besar dan luar biasa sekali, menyebabkan
In-lap Siansu jadi kagum bukan main.
„Hebat orang itu, jangkar besi seribu
kati lebih dapat diangkatnya dengan begitu mudah dan ringan!” bisik In-lap
Siansu kepada Yo Him.
Yo Him hanya mengangguk sambil
mengawasi terus.
„Tampaknya akan terjadi perkelahian!
Rupanya mereka saling kejar mengejar bukan tengah bermain perahu, tetapi untuk
saling bertempur!” kata Yo Him kemudian.
„Benar!” mengangguk In Lap, „Tampaknya
orang yang berada di perahu di depan itu tidak mau melayaninya, atau memang
kepandaiannya masih berada di bawah kepandaian orang berewok itu. Maka dia
bermaksud melarikan diri, menjauhkan perahunya dari perahu si berewok itu.”
Yo Him mengangguk.
„Tetapi tidak lama lagi tentu akan
dapat dikejar!” bisik In Lap lagi.
Yo Him melihat perahu yang kedua itu
telah meluncur semakin mendekati perahu yang pertama itu. Rupanya orang yang
menggerakkan pengayuh perahu kedua itu sangat kuat sekali, setiap kayu pengayuh
itu digerakkan, perahu seperti terbang meluncur di permukaan air. Sedangkan
orang yang berada di perahu pertama itu, yang tengah dikejar, tampaknya telah
menjadi gugup sekali, dia sampai memperdengarkan seruan tertahan.
Saat itu jarak perahu Yo Him dengan
perahu yang tengah dikejar oleh lelaki berewok itu sudah makin dekat jaraknya,
dan Yo Him maupun In-lap Siansu sudah dapat melihat jelas wajah orang yang
mendiami perahu pertama itu.
Ternyata di dalam perahu itu terdapat
tiga orang. Seorang lelaki berusia setengah baya, kurang lebih berusia
limapuluh tahun, tengah menggerakkan pengayuh perahunya dengan tergesa dan
cepat-cepat sekali, mukanya pucat, jenggotnya yang pendek sebagian telah putih.
Dua orang lainnya yang berada di perahu itu dua orang wanita. Seorang wanita
yang berusia empatpuluh tahun lebih dan gadis kecil berusia sebelas-duabelas
tahun.
Si gadis kecil itulah yang berdiri di
buritan perahu sambil sebentar-sebentar menoleh ke belakang sambil berseru.
„Musuh telah datang dekat, musuh telah dekat!” Tentu saja teriakan si gadis
cilik itu telah membuat si lelaki setengah baya itu jadi semakin gugup.
„Walaupun bagaimana kita harus dapat
meloloskan diri dari kejaran mereka!” kata wanita berusia empatpuluhan itu,
yang rupanya menjadi ibu si gadis kecil itu, mukanya juga pucat, tubuhnya
tampak sering menggigil, matanya liar ketakutan bukan main.
Si gadis kecil itu telah berteriak
lagi. „Mereka telah mempergunakan jangkar besi, yang siap untuk ditimpukkan ke
arah perahu kita..... cepat ayah, cepat ayah, kita harus berusaha menjauhi,
kalau jangkar besi itu menimpah perahu kita, celakalah kita.....!” Sambil
berteriak-teriak begitu, si gadis cilik itu tampaknya gugup sekali.
Sedangkan lelaki berusia limapuluhan,
yang memelihara jenggot pendek yang sebagian telah putih itu, semakin cepat dan
kuat mengayuh perahunya. Dan ibu si gadis cilik itu juga telah membantui
mengayuh.
Tampaknya mereka bertiga memang tengah
ketakutan sekali, keringat tampak menitik dari kening si lelaki dan wanita tua
itu, sedangkan si gadis cilik masih terus berteriak-teriak memberitahukan
keadaan dan perkembangan musuh!
Yo Him yang melihat ketiga orang itu
dalam ketakutan, dan juga melihat si lelaki berewok yang mengejar di belakang
itu memegang jangkar besi, mengancam akan menimpuk, dia jadi merasa kasihan dan
iba kepada ketiga buronan itu.
In-lap Siansu juga telah mengerutkan
sepasang alisnya.
„Ini urusan dunia Kang-ouw, kita tidak
boleh mencampuri.....!” bisik In-lap Siansu kepada Yo Him.
Di saat dia melihat Yo Him menoleh
kepadanya, seperti ingin membuka mulut menganjurkan agar In-lap Siansu
menolongi ketiga orang itu. „Tetapi mereka terancam, Jie-ko, jika saja jangkar
besi itu menimpah perahu mereka, niscaya mereka akan terbalik dan terluka!”
,,Akhh, kau belum mengerti peraturan
dunia Kang-ouw, Sam-te, di dalam rimba persilatan selalu terdapat urusan yang
berbelit. Semula, pihak yang kita duga jahat, bisa menjadi pihak yang benar dan
baik, sedangkan pihak yang semula kita duga baik, malah kenyataannya lain
seperti ular beracun!”
„Tetapi ketiga orang itu, si gadis
kecil dengan kedua orang ibu dan ayahnya, tentunya bukan orang jahat! Kau harus
menolongi mereka, Jie-ko!”
In-lap Siansu tidak menyahuti, dia
hanya mengawasi dalam-dalam dan tajam sekali kepada kedua perahu yang tengah
saling kejar itu dan telah berada dekat sekali dengan perahu mereka.
„Siangkoan Lin Lie!” terdengar lelaki
berewok itu telah berteriak lagi dengan suara yang bengis sekali. „Jika memang
kau tetap tidak mau menghentikan perahu kalian, lihatlah, kami akan segera
melempar!” Sambil berteriak begitu, si berewok telah menggerak-gerakkan
jangkarnya.
„Celaka!” mengeluh lelaki tua yang
sedang mengayuh perahunya. „Kita akan kelebuh!”
„Ya, inilah hebat!” berseru wanita
disampingnya. Muka mereka pucat.
Sedangkan si gadis cilik yang berdiri
diburitan telah berseru lantang. „Ayah, ibu! Lihat mereka sudah bersiap-siap
untuk melontarkan jangkar besi itu!” Suaranya tetap keras, tetapi di dalam
nadanya tergetar, menunjukkan bahwa gadis kecil ini dalam keadaan panik dan
ketakutan.
Lelaki dan wanita yang menjadi ibu si
gadis kecil itu telah mengayuh semakin cepat saja. Tetapi walaupun bagaimana
perahunya itu tidak berhasil menjauhi perahu pengejarnya. Bahkan ketika perahu
si gadis cilik itu berjajar dengan perahu Yo Him dan In-lap Siansu justru di
saat itu pula lelaki berewok itu telah melontarkan jangkarnya ke arah perahu si
gadis cilik. Suara menderu dari beratnya jangkar itu melayang di tengah udara
menyeramkan sekali.
Si gadis cilik mengeluarkan suara
seruan tertahan, sedangkan lelaki tua dan wanita setengah baya itu putus asa
dengan muka mereka yang pucat.
„Celaka!” berseru In-lap Siansu. „Kita
pun akan bercelaka! Jika jangkar itu menghantam perahu mereka, berarti akan
menimbulkan gelombang hebat dan akan menyebabkan perahu kitapun akan terbalik
atau ikut terhajar remuk oleh jangkar itu!”
Yo Him jadi kaget, dia memasang mata
tajam-tajam, dilihatnya jangkar telah menyambar datang dan hanya terpisah
beberapa tombak lagi saja.
Hati Yo Him jadi tercekat, namun di
saat itu juga In-lap Siansu telah mengempos seluruh tenaganya di kedua
pundaknya, dia telah melompat berdiri di ujung perahunya, diapun mengangkat
kedua tangannya, kemudian bersiap-siap dengan kuda-kuda kedua kakinya untuk
menyambuti jangkar yang berat itu.
„Wutt.....!” jangkar besi itu telah
berhasil diterima oleh In-lap Siansu dengan mempergunakan kedua tangannya.
Tubuh In-lap Siansu tergetar keras, dan kakinya agak gemetar. Ujung perahu juga
agak tertekan dan masuk ke dalam permukaan air.
Inilah celaka! Jika sampai terlambat
untuk mengimbangi keseimbangan yang ada, niscaya perahu In-lap Siansu akan
terbalik!
Untung saja lelaki tua yang tadinya
sudah berputus asa, yang tadi mengayuh perahunya gadis cilik itu, ketika
melihat ada seorang hweshio yang telah menolonginya menyambuti jangkar besi itu
dan melihat ujung perahu dimana kedua kaki si hweshio berpijak itu agak melesak
ke dalam air dan ujung yang satunya terangkat, tanpa mengucapkan sepatah perkataan
dia telah melompat ke ujung yang satunya dan berdiri disitu dengan mengerahkan
kekuatan kaki seribu kati. Dengan cara demikian, perahu In-lap Siansu bisa
diselamatkan.
Dengan cepat In-lap Siansu mengerahkan
tenaganya, dia memusatkan di kedua lengannya lalu disertai oleh suara seruan,
„Ini kukembalikan kepadamu!” Jangkar itu telah didorongnya keras sekali,
kembali meluncur ketuannya!
Dengan mudah lelaki berewok itu telah
menyambuti jangkar itu. Dengan muka yang merah padam dia telah mengawasi In-lap
Siansu.
„Keledai gundul!” bentak si berewok
dengan suara yang bengis. „Siapa kau? Mengapa kau demikian usil mencampuri
urusan kami? Apakah, kau tidak mengenal peraturan Kang-ouw sehingga berani
mencampuri urusan?”
Ditegur begitu, In Lap Siantu telah merangkapkan
kedua tangannya, dia telah menjura sambil berkata. „Maafkan, bukan maksud Lolap
ingin membantui orang yang tidak Lolap kenal, tetapi justru jangkar itu telah
mengancam keselamatan perahu dan Lolap sendiri. Maka terpaksa Lolap harus
menyambuti! Siapakah siecu, mengapa harus mempergunakan kekerasan kepada ketiga
orang itu?”
Muka si berewok telah berobah tidak
sedap dilihat, dia telah yakin bahwa hweshio yang tengah dihadapinya ini adalah
seorang beribadat yang memiliki kepandaian yang tinggi dan tidak boleh dibuat
main-main. Maka sebelum dia berkata-kata, si berewok telah mengibaskan
tangannya, dari arah belakang perahunya muncul enam lelaki yang umumnya
memiliki muka bengis dan tubuh yang tinggi dan tegap. Mereka masing-masing
mencekal sebatang golok.
Di saat itu In-lap Siansu jadi
terkejut. Dia melihat setiap dada dari keenam lelaki itu terdapat sebuah
sulaman naga yang berukuran kecil, maka dia telah berseru, „Akhh, kiranya
kalian dari Pek-liong-kauw!”
„Tepat!” mengangguk si berewok.
„Rupanya Taysu mengetahui juga Pek-liong-kauw (perkumpulan naga putih) kami?
“Memang telah lama lolap mendengar
nama besar Pek-liong-kauw, dan telah lama pula Lolap merasa kagum akan sepak
terjang Pek-liong-kauw yang merupakan gerakan eng-hiong dan ho-han (orang-orang
gagah)! Tetapi sekarang, mengapa justru kini Lolap bisa menyaksikan peristiwa
yang tidak begitu enak dilihat?”
Si berewok itu ternyata cerdik dan
telinganya tipis, dia mengetahui bahwa dirinya tengah disindir oleh si pendeta,
tetapi karena hweshio itu bicara mempergunakan aturan yang dengan sendirinya si
berewok juga tidak bisa main labrak.
“Baiklah, Taysu mungkin belum
mengetahui urusan yang sesungguhnya! „Ayah dan anak itu, berikut wanita siluman
itu, telah mencuri kitab pusaka kami!”
„Akh?” terkejut In-lap Siansu. Jika
memang dalam urusan curi mencuri, itu adalah urusan kedua belah pihak. Pihak
yang pertama adalah pihak yang mencuri, dia harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya, sedangkan pihak kedua adalah pihak yang dicuri, jika memang dia memiliki
kepandaian yang tinggi, tentu dia akan melakukan pengejaran, tetapi jika kurang
tinggi kepandaiannya tentu akan meminta bantuan sahabat-sahabat dari rimba
persilatan. Maka dari itu di dalam rimba persilatan juga telah terdapat
peraturan yang tidak tertulis, bahwa urusan dendam, urusan pencurian, ataupun
urusan membalas sakit hati, tidak boleh dicampuri oleh pihak luar. Tetapi tidak
jarang pula, di dalam urusan-urusan seperti itu terselip urusan penasaran!
Namun kini, si pendeta mendengar bahwa
si gadis cilik bertiga dengan ayah dan ibunya itu telah mencuri kitab pusaka
dari pihak Pek-liong-kauw, sudah tentu In-lap Siansu tidak bisa untuk
mencampurinya, karena walaupun bagaimana tidak bisa dia membawa adat untuk
mencampuri terus, setidak-tidaknya dia yang akan bentrok dengan pihak
Pek-liong-kauw, sedangkan si pencuri dengan mudah akan angkat kaki.
„Bohong!” teriak si gadis cilik dengan
suara yang lantang waktu dilihatnya si pendeta yang menjadi tuan penolong
mereka itu ragu-ragu. „Kami tidak mencuri apa-apa..... hanya mereka yang telah
menuduh secara sembrono dan tidak-tidak!”
Benar-benar membingungkan jika urusan
seperti itu ingin dicampurinya, maka In-lap Siansu yang memang mengerti
peraturan Kang-ouw, telah cepat-cepat merangkapkan tangannya. „Silahkan kalian
urus sendiri..... Lolap tidak bisa mencampurinya.....”
Dan setelah berkata begitu, dia
mengayuh perahunya, maksudnya untuk melanjutkan perjalanannya. Sedangkan Yo Him
jadi kaget.
„Jie-ko..... mengapa kau hanya
menolong setengah-setengah?” tanyanya.
In-lap Siansu telah
menggeleng-gelengkan kepalanya. „Kita jangan mencampuri! Itulah terbaik!”
katanya kemudian.
„Mengapa?” tanya Yo Him penasaran.
„Karena urusan di dalam kalangan
Kang-ouw sangat banyak sangkut kaitnya, tidak mudah kita berpihak kepada salah
satu pihak, karena belum tentu pilihan kita itu benar!”
„Hemm, tetapi bagaimana nasib ketiga
orang itu? Sedangkan si berewok yang tampaknya jahat itu bertujuh!”
„Biarlah mereka selesaikan urusan curi
mencuri itu! Bukankah Sam-te telah mendengarnya, dari pihak gadis cilik itu
telah membantah, sedangkan dari pihak Pek-liong-kauw telah menuduh mereka,
sehingga kita tidak mengetahui, pasti harus berdiri di pihak mana. Jika kita
mesti bantui si gadis kecil itu, berarti kita membela pihak pencuri, tetapi
jika kita berdiri di pihak Pek-liong-kauw, tahu-tahu tuduhan mereka kosong,
bukankah kita kesalahan tangan?”
Yo Him jadi bingung, apalagi dia
melihat gadis cilik itu bersama dengan ayah ibunya tengah memandang ke arah
mereka dengan sorot mata meminta untuk ditolong. Karena dalam keadaan terdesak
seperti itu Yo Him tidak bisa berpikir lama-lama, dia jadi nekad, akhirnya
dengan cepat di saat perahu In-lap Siansu akan menjauh, dan ujung perahu saling
berdekatan satu dengan yang lainnya, Yo Him telah melompat ke perahu gadis
cilik itu.
,,Yo Sam-te! Apa yang ingin kau
lakukan?” teriak In-lap Siansu kaget.
Tetapi Yo Him sudah tidak melayani
lagi Jie-konya itu, dia telah berdiri di ujung perahu sambil bertolak pinggang
menghadapi perahunya si berewok.
„Kalian bertujuh, sedangkan mereka
hanya bertiga disamping itu juga mereka adalah seorang gadis yang masih kecil,
selain itu juga yang seorangnya telah berusia lanjut dan seorang lagi wanita
lemah. Apa yang kalian inginkan?” tegur Yo Him dengan suara yang lantang.
Semula waktu melihat Yo Him menegurnya
dengan suara seperti itu, si berewok jadi tertegun. Tetapi sesaat kemudian dia
telah tertawa bergelak-gelak. „Katakan kepada mereka, yang terpenting mereka
mengembalikan kitab pusaka kami, maka jiwa kacoa mereka itu akan kami ampuni!”
„Kami tidak pernah mencuri barang
kalian!” teriak gadis cilik itu dengan gusar.
„Hemm, bukan kalian? Lalu siapa?”
tanya si berewok dengan gusar sekali.
„Jika kalian terus juga menuduh kami,
lalu apa yang ingin kami katakan?” tanya si lelaki tua itu. Walaupun bagaimana
memang dia menyadari diri mereka bertiga sulit sekali untuk meloloskan diri
dari kepungan dan kejaran orang-orang Pek-liong-kauw tersebut.
Sedangkan In-lap Siansu sudah tidak
memperdulikan urusan mereka. Disamping itu Yo Him masih terlampau kecil dan
tentunya belum memiliki kepandaian apa-apa. Maka dari itu lenyaplah harapan
mereka dan juga mereka jadi berputus asa.
13.25. Penghargaan Kepada Putera Yo Ko
Saat itu Yo Him telah berkata dengan
suara yang tenang sekali. „Baiklah. Bisakah kalian membuktikan bahwa mereka
bertiga telah mencuri pusaka kalian itu?” tanyanya dengan yang dingin.
Muka si berewok jadi berobah tidak
senang, mereka yang juga telah mengeluarkan suara bentakan gusar. „Hemm, kau
setan kecil, apa maksudmu ikut mencampuri urusan kami? Apakah kau ingin ikut
mampus juga?”
Ditegur begitu, Yo Him bukannya takut
malah telah tertawa dingin. „Untuk mati memang mudah, untuk hidup juga belum
tentu. Tetapi bagi seorang manusia harus dapat membedakan, mana perbuatan buruk
dan mana perbuatan baik?”
Muka si berewok jadi berobah semakin
tidak sedap dilihat. „Jadi kau ingin mengatakan bahwa dirimu bisa membedakan
mana yang baik dan mana perbuatan yang buruk, bukan?” tanyanya mengejek.
„Sama sekali aku tidak berani
mengucapkan perkataan seperti itu!” kata Yo Him dengan suara tidak kalah
dinginnya, karena diapun tengah mendongkol bukan main. „Tetapi yang jelas kini
kalian telah mempergunakan jumlah banyak untuk menindas jumlah yang sedikit!”
„Siancay! Siancay!!” berkata In-lap
Siansu, yang mengucapkan kebesaran sang Buddha beberapa kali. Rupanya si Jie-ko
ini merasa disindir, dia juga mengakui kebenaran atas perkataan Sam-te nya itu.
Maka dari itu dia telah merobah pikirannya.
„Apa yang dikatakan oleh Sam-teku itu
memang benar,” kata pendeta itu kemudian. „Apakah kalian tidak bisa mengerti,
bahwa ketiga orang itu adalah pihak yang lemah? Mana mungkin mereka melakukan
pencurian, sedangkan mereka bertiga hanya merupakan manusia lemah. Lolap bukan
hendak berpihak kemana seperti apa yang tadi telah dikatakan oleh Sam-teku itu,
bahwa kita harus pandai membedakan, yang mana perbuatan baik dan yang mana
perbuatan buruk!”
„Bukk!” tahu-tahu tangan si berewok
telah menghantam ujung perahunya sendiri, sampai mengeluarkan suara benturan
yang keras sekali. „Kurang ajar!” bentaknya dengan suara yang berteriak keras.
„Rupanya kalian juga memang sengaja ingin mempermainkan Toaya kalian, heh?”
„Mana berani? Mana berani?” berkata
In-lap Siansu dengan cepat.
Di saat itulah dengan cepat sekali si
berewok telah memberikan isyarat kepada keenam orang kawannya. Dengan
masing-masing di tangan tercekal sebatang golok, wajah keenam orang bertubuh
tinggi besar itu sangat mengerikan sekali. Mereka telah melompat ke arah In-lap
Siansu sebanyak tiga orang, sedangkan ke kapalnya si kakek bersama anak
gadisnya yang masih kecil itu, sebanyak tiga orang lagi.
Si berewok masih berdiri di ujung
perahunya dengan sikap yang angkuh sekali, berulang kali dia telah
memperdengarkan suara tertawa dingin mengejeknya.
„Serang!” perintah si berewok.
„Perlihatkan kepada mereka, siapa sesungguhnya Pek-liong-kauw!”
Keenam orang yang menyeramkan sekali
itu telah mematuhi perintah itu. Dengan mengeluarkan suara bentakan yang sangat
menyeramkan, mereka telah menubruk melancarkan serangan dengan hebat sekali,
menabas dengan golok masing-masing.
Sedangkan In-lap Siansu yang melihat
ketiga orang pengeroyoknya itu melancarkan serangan dengan golok masing-masing,
jadi mendongkol bukan main. Dengan mengucapkan beberapa kali kebesaran Sang
Buddha, tampak In-lap Siansu telah menggerakkan sepasang tangannya. Dengan
gerakan yang manis sekali, pendeta itu telah berhasil merebut ketiga batang
golok dari ketiga lawannya itu. Dengan segera In-lap Siansu telah membuang
ketiga batang golok itu ke sungai.
Sedangkan ketiga orang pengeroyoknya
disamping kaget, juga jadi gusar dan penasaran sekali. Dengan mengeluarkan
suara teriakan yang mengandung hawa pembunuhan, tampak mereka menubruk.
Tetapi In-lap Siansu telah
menggerakkan sepasang tangan dan sepasang kakinya. Maka tanpa ampun lagi ketiga
orang itu terpukul dan tertendang, dan mereka telah tercebur ke dalam sungai.
Hebat sekali cara In-lap Siansu melancarkan serangannya itu, sehingga semuanya
itu berlangsung tidak lebih dari beberapa detik saja.
Di dalam pihak si gadis kecil bersama
dengan ayah ibunya dan Yo Him, mengalami ancaman bahaya dari ketiga orangnya si
berewok.
Sedangkan Yo Him tidak mengerti ilmu
silat, ayah si gadis cilik tampaknya sangat lelah sekali, karena hampir
seharian penuh dia telah mengayuh perahunya keras-keras dan kuat-kuat,
sedangkan istrinya hanya merupakan wanita tua yang lemah dan putrinya yang
masih kecil itu, hanya memiliki kepandaian tidak seberapa. Maka dengan mudah
ketiga orang itu mengayunkan goloknya untuk menabas kepala lelaki tua dan
ketiga orang lainnya.
In-lap Siansu yang menyaksikan itu,
jadi mengeluarkan seruan gusar. Dengan menjejakkan kakinya, tubuhnya segera
melambung tinggi ke tengah udara. Di saat tubuhnya tengah melayang itulah, dia
telah mengibaskan kedua lengan jubahnya yang besar yang memancarkan kekuatan
tenaga dalam yang dahsyat. Maka tanpa ampun lagi ketiga orang bertubuh tinggi
besar itu seperti dihajar oleh suatu yang hebat sekali, yang tidak dapat
dilihat oleh mata.
Dengan mengeluarkan suara jeritan yang
mengenaskan sekali, tampak ketiga orang itu telah tercebur ke dalam sungai, dan
juga air sungai telah menjadi merah, karena dari mulut mereka masing-masing
telah memuntahkan darah segar. Rupanya kibasan lengan jubah dari si pendeta
yang begitu kuat, telah menggempur hebat sekali bagian dalam tubuhnya, sehingga
mereka terluka di dalam. Walaupun tidak sampai mati jika memang mereka
tertolong tentunya mereka bertiga akan menjadi cacad seumur hidup.
Rupanya dalam keadaan kaget dan gusar,
In-lap Siansu jadi lupa, dia telah menurunkan tangan yang keras sehingga ketiga
orang itu menderita hebat sekali.
Yo Him yang menyaksikan itu jadi
bergidik sendirinya, karena dia melihat air sungai telah tercampur dengan darah
yang merah......
Sedangkan di hati kecilnya Yo Him juga
berpikir, jika In-lap Siansu tidak merubuhkan mereka, kemungkinan juga ketiga
orang itu tanpa mengenal kasihan akan membinasakan mereka berempat, yaitu Yo
Him, si gadis kecil itu, kedua orang yang menjadi ayah ibu si gadis kecil itu.
Maka dari itu Yo Him jadi berdiam diri.
Muka si berewok jadi berobah pucat,
tubuhnya tergetar karena dia diliputi kemarahan yang sangat hebat, jenggot dan
kumis kasarnya itu seperti berdiri semuanya, kaku seperti kawat duri. Dengan
mengeluarkan suara ledakan yang mengguntur, tampak tubuhnya telah melompat ke
arah perahunya si gadis kecil. Dan sambil melompat begitu, tangannya juga telah
mencabut keluar sepasang Siang-piannya, yaitu sepasang cambuknya.
Gerakan dari si berewok memperlihatkan
bahwa dia sangat hebat ilmu meringankan tubuhnya, dan juga tentunya memiliki
kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Belum lagi sepasang kakinya itu
menginjak lantai perahu sepasang tangannya itu telah digerakkan, dia telah
mencambuk ke arah In-lap Siansu kiri dan kanan, dari atas kepala dan perut.
Tentu saja In-lap Siansu tidak berani
memandang rendah lawannya. Disamping itu juga dia melihat angin cambukan itu
kuat sekali, mata cambuk yang lemas itu tajam bukan main, karena diujungnya
disertai oleh tenaga dalamnya dahsyat sekali.
Kalau memang si pendeta itu berkelit
dengan cara melompat, niscaya Yo Him yang berada di dekatnya yang akan menjadi
korban cambukkan itu. Maka sengaja Lo Lap Siansu tidak mau berkelit dari
cambukan tersebut, dia hanya menantikan ketika hampir tiba pada sasarannya, si
pendeta telah mengunakan kedua tangannya, dia telah mencekal ujung kedua cambuk
itu, disertai oleh pengerahan tenaga dalam yang dahsyat sekali, dan juga
membentak nyaring.
„Pergilah!” Sambil membentak begitu,
tampak In-lap Siansu telah menghentak kuat ujung cambuk itu. Maka seperti juga
disaluri oleh tenaga dalam yang kuat sekali, ujung yang satunya lagi dari
cambuk itu, yang dicekal oleh si berewok itu telah terangkat, dan tubuh si
berewok jadi terpental ke tengah udara.
Tetapi si berewok memang hebat sekali.
Maka dari itu walaupun tubuhnya dilemparkan oleh lawannya dengan mempergunakan
tenaga dalam yang dahsyat sekali, dia tidak menjadi gugup, bahkan dia telah
berjumpalitan di tengah udara dan telah mengeluarkan suara siulan. Sedikitpun
juga dia tidak menjadi gugup. Di saat itulah dengan serentak ia telah
menggerakkan kedua cambuknya itu, dia telah melancarkan serangan lagi dengan
cepat sekali.
„Tarrr, Tarrr,” dua kali suara
cambukan itu terdengar memenuhi sekitar tempat itu. Dari suara cambukan itu
dapat diduga bahwa kekuatan mencambuk yang dilancarkannya itu memang sangat
hebat sekali.
Maka tidak mengherankan jika In-lap
Siansu tidak berani menyambuti dengan cekalan tangannya lagi. Dengan cepat
sekali In-lap Siansu telah menyambar pinggang Yo Him, dia telah membawa si anak
she Yo yang menjadi Sam-te nya itu, untuk melompat ke samping.
Ujung kedua cambuk itu telah
menghantam tepi perahu tersebut. „Tarrrrkkkk!” terdengar suara yang keras
sekali, dan tepi perahu itu telah sempal. Maka bisa dibayangkan betapa dahsyat
tenaga sambaran ujung perahu itu.
Di saat itu tubuh si berewok tengah
meluncur turun, dia melihat bahwa serangannya telah gagal mengenai sasarannya
dengan tepat. Maka dia telah menghentak tangannya, ujung kedua cambuk itu
bagaikan memiliki mata telah menyambar lagi kepada In-lap Siansu.
Hebat sekali cara menyambar dari ujung
ke dua cambuk itu, karena ujung kedua cambuk itu telah menyambar dari kedua
jurusan. Tenaga cambuk itu juga bukan main kuatnya, disamping itu kedua ujung
cambuk itu juga telah mengincar bagian tubuh yang mematikan di badan In-lap
Siansu.
Diam-diam In-lap Siansu jadi terkejut
juga, karena kini dia telah melihatnya bahwa ilmu cambuk dari si berewok memang
bukan ilmu cambuk biasa. Siang-pian yang berada di tangan si berewok
bergerak-gerak terus menerus saling susul.
Di dalam waktu yang sangat singkat
sekali, belasan jurus telah lewat.
Kemudian tampak serangan cambuk dari
si berewok telah menyambar lagi dengan kecepatan yang bukan main dahsyatnya.
Sambil mengeluarkan suara teriakan mengguntur, tampak In-lap Siansu telah
mengibaskan tangan kanannya.
„Bukkkk!” tampak dada dari si berewok
itu telah terhajar jitu sekali oleh telapak tangan In-lap Siansu. Tetapi In-lap
Siansu juga sama sekali tidak lolos dari serangan cambuk itu. Karena bahu
kirinya telah terhajar jitu oleh ujung cambuk, sehingga baju si pendeta telah
robek, berikut kulit bahunya yang mengucurkan darah dengan deras.
Di saat itu Yo Him juga tidak tinggal
diam dia meronta melepaskan diri dari pelukan si pendeta, dia telah menyingkir
ke samping si lelaki tua yang menjadi ayah si gadis cilik itu. Hal ini
dilakukan oleh Yo Him karena dia sengaja tidak mau menjadi beban dari In-lap
Siansu, agar pendeta itu dapat melayani si berewok dengan leluasa.
Dan si berewok yang terserang dadanya,
telah memuntahkan darah segar, tubuhnya telah tercebur ke sungai. Tetapi
rupanya dia sangat kuat sekali, kerena dengan cepat luar biasa dia telah dapat
melompat pula naik ke atas perahunya si gadis kecil itu. Dia bukan hanya
melompat saja sambil menggerakkan kedua cambuknya itu dengan cepat sekali
diapun telah melancarkan serangan yang bertubi-tubi.
In-lap Siansu terpaksa melayaninya
dengan kegesitan dan kekuatan tenaga dalam yang ada padanya, karena terlambat
sedikit saja, niscaya tubuhnya akan robek oleh samberan ujung cambuk.
Yo Him yang menyaksikan kehebatan
kepandaian si berewok yang demikian tinggi, jadi berdiri tertegun dan tegang
bukan main karena dia berkuatir sekali akan keselamatan diri In-lap Siansu.
Tetapi dia hanya bisa menyaksikan saja betapa serangan-serangan yang saling
susul diantara In-lap Siansu dan si berewok itu sekali, angin serangan itu
menyambar-nyambar silih berganti tiada hentinya.
Dalam waktu yang sangat singkat
sekali, sebentar saja telah puluhan jurus yang lewat. Tampaknya semakin lama si
berewok jadi tambah penasaran, dia melancarkan serangan makin hebat saja.
Sedangkan In-lap Siansu jadi harus bersungguh-sungguh melayani serangan
lawannya itu jika memang dia tidak ingin celaka di tangan lawannya itu.
Saat itu perahu si gadis cilik ini
telah bergoyang-goyang karena bergeraknya In-lap Siansu dan si berewok yang
semakin lama jadi semakin cepat dan juga tubuh kedua orang yang tengah
bertempur itu hanya menyerupai bayangan belaka yang tidak bisa dilihat lagi
dengan jelas bentuk dan rupanya. Itulah karena sempurnanya ilmu meringankan
tubuh yang mereka miliki.
Tetapi laki-laki tua dan wanita
setengah baya yang menjadi orang tua si gadis cilik itu, tampak makin lama jadi
bertambah gelisah saja, walaupun mereka melihat bahwa In-lap Siansu memiliki
kepandaian yang cukup tinggi, tetapi wajah mereka tetap pucat dan tubuhnya
sering mengigil, tampaknya mereka tengah ketakutan.
Yo Him heran melihat sikap mereka.
Diapun melihat kedua orang tua gadis cilik itu memandang ke arah tempat yang
jauh, di ujung sungai sebelah seberangnya.
„Kenapa, Lo-jin-kee?” tanya Yo Him
akhirnya, karena dia tidak bisa menahan perasaan ingin tahunya.
„Musuh akan segera datang dalam jumlah
yang banyak!” menjelaskan lelaki tua itu. „Mereka umumnya merupakan jago-jago
yang jauh lebih hebat dari si berewok ini!”
Yo Him kaget sekali. „Benarkah itu?”
tanyanya dengan suara yang gugup juga.
„Akhh, mereka pasti tidak akan
melepaskan jiwa tuaku!” kata lelaki tua tersebut.
„Sesungguhnya apa yang terjadi?” tanya
Yo Him, „Mengapa mereka memusuhi Lo-jin-kee sekeluarga?”
„Hemm, mereka manusia-manusia jahat
yang mengakui diri mereka sebagai pendekar gagah budiman..... sesungguhnya hati
mereka jahat dan berbisa sekali!”
“Apakah mereka sering membunuh orang?”
tanya Yo Him yang masih kurang begitu memahami urusan di dalam rimba
persilatan.
„Bukan…..,” menyahuti orang tua itu.
„Kalau hanya membunuh saja. itu urusan biasa! Tetapi justeru mereka itu telah
bersekutu dan bekerja sama dengan pihak Mongolia untuk menjual negara.”
„Akhhh!” betapa terkejutnya Yo Him,
dia sampai memandang ke arah orang tua itu dengan mata yang terpentang lebar.
„Benar!” mengangguk orang tua itu.
„Dan mereka itu manusia-manusia yang tak tahu malu! Karena rahasia mereka itu
kuketahui, maka mereka bermaksud membinasakan diriku agar mereka bisa menutup
rahasia!”
Setelah berkata begitu, orang tua itu
menghela napas berulang kali. Tampaknya dia berduka bukan main, dan wajahnya
juga murung sekali.
In-lap Siansu yang tengah bertempur
hebat dengan si berewok semakin lama jadi semakin seru saja melancarkan
serangan-serangannya karena keduanya telah mengeluarkan seluruh ilmu simpanan
mereka.
Angin serangan kedua orang yang tengah
bertempur ini luar biasa kuatnya, menyebabkan perahu itu bergoyang-goyang, juga
memaksa keempat orang yang menyaksikan, yaitu Yo Him, si gadis kecil dan kedua
orang tuanya itu terpaksa mundur ke belakang beberapa langkah.
Rupanya apa yang dikuatirkan oleh
orang tua itu benar adanya. Karena tidak lama kemudian dari kejauhan tampak
sebuah kapal berukuran cukup besar telah mendatangi dengan cepat sekali, air
sungai seperti dibelah dan juga telah membuat perahu dimana Yo Him dan yang
lainnya berada itu bergoyang-goyang semakin keras.
„Ihhh!” berseru orang tua si gadis
kecil itu dengan muka yang bertambah pucat.
Di atas tiang dari kapal tersebut,
tampak berkibar sebuah bendera merah, yang tersulam seekor naga berwarna
putih..... itulah kapalnya Pek-liong-kauw, yang tengah mendatangi ke tempat si
orang tua yang menjadi ayah dari si gadis kecil itu berada.....
Melihat ini Yo Him jadi tambah
berkuatir dia juga menyesal mengapa dia tidak memiliki kepandaian sehingga dia
tidak bisa membantu In-lap Siansu untuk menghadapi musuh.
Sedangkan si berewok telah melihat
kedatangan kapal yang cukup besar itu, wajahnya jadi berseri-seri terang dan
juga tampaknya dia terbangun semangatnya, karena dengan cepat dia telah merobah
cara bertempurnya, di mana dia menggerakan sepasang cambuknya semakin cepat
saja.
Berbeda dengan si berewok, maka In-lap
Siansu jadi terkejut melihat lawannya memperoleh bala bantuan sebanyak itu.
Karena terkejut tentu saja perhatiannya terpecah dan dia jadi terdesak.
Saat itu kapal yang berukuran besar
itu telah semakin dekat. Di atas ujung kapal itu berdiri puluhan orang dengan
sikap dan pakaian yang gagah mentereng. Di muka sekali tampak seorang lelaki
tua kurus dengan jenggotnya yang panjang dan matanya yang sipit seperti mata
tikus, telah menyaksikan jalannya pertempuran antara si berewok dan In-lap
Siansu.
<>
„Tahan!” tiba-tiba orang tua kurus
diujung perahu itu telah membentak dengan suaranya yang sangat keras sekali.
Si berewok telah menghentikan serangan
cambuknya, dia telah melompat mundur. Begitu pula In-lap Siansu telah berhenti
melancarkan serangan dia telah memandang ke arah kapal besar itu.
„Hemm, kukira siapa, tidak tahunya
In-lap Siansu yang ikut mengacaukan urusan!” berkata lelaki tua berjenggot itu
dengan suara yang dingin. „Mari! Mari! Silahkan! Kami mengundang kalian pindah
ke kapal kami!” Orang tua yang bertubuh kurus dan bermata sipit itu
menyebut-nyebut mengundang ke kapal, sesungguhnya dia ingin mengartikan bahwa
orang itu akan ditawan olehnya. Jika In-lap Siansu dan yang lainnya membandel,
barulah dia akan turun tangan untuk membekuknya dengan kekerasan.
In-lap Siansu menyadari bahaya yang
tengah mengancam dirinya, disamping itu In-lap Siansu juga telah
memperhitungkan dirinya tidak mungkin melawan rombongan Pek-liong-kauw itu
hanya berseorang diri. Maka akhirnya dia mengambil keputusan untuk mengalah
saja dulu, nanti dia baru akan memikirkan untuk mencari jalan meloloskan diri.
Dia menoleh dan mengedipkan mata kepada kedua orang tuanya si gadis cilik, yang
juga mengerti maksudnya.
Si berewok telah beberapa kali
memperdengarkan suara tertawa mengejek.
Tetapi In-lap Siansu tidak melayani
sikap orang itu, dia hanya merangkapkan sepasang tangannya menjura kepada
lelaki tua kurus berjenggot itu, „Bukankah Lolap tengah berhadapan dengan Song
Lu Wuan?” tanyanya. „Pendekar besar untuk jaman ini???”
Kakek tua berjenggot panjang itu
tertawa mengejek dengan muka yang berobah merah. Dia memang Song Lu Wuan,
tetapi sengaja In-lap Siansu menambahkannya dengan perkataan „Pendekar besar
untuk jaman ini” sehingga merupakan ejekan untuk si lelaki she Song itu, yang
telah datang dengan rombongannya yang berjumlah besar, walaupun hanya untuk
menangkap beberapa orang saja.
„Tepat! Sama sekali tidak salah!” kata
Song Lu Wuan. „Dan silahkan.....!” Segera diturunkan tangga tambang, dan In-lap
Siansu telah naik terlebih dahulu, kemudian Yo Him, lalu si gadis kecil itu,
menyusul kedua orang tuanya dan baru si berewok.
Waktu berada di atas kapal itu, In-lap
Siansu baru melihat bahwa di atas kapal itu berkumpul lebih dari seratus orang.
Sehingga lenyaplah harapannya untuk dapat meloloskan diri dari tangan orang she
Song tersebut. Terlebih lagi In-lap Siansu melihat diantara seratus orang lebih
orang-orang itu, terdapat yang berpakaian sebagai guru silat, dengan sendirinya
mereka jelas memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
Sedangkan Song Lu Wuan telah
mengundang In-lap Siansu dan yang lainnya memasuki sebuah kamar di kapal itu,
dan masing-masing mengambil tempat duduk.
Orang she Song tersebut telah
mengisyaratkan dengan tangannya, maka beberapa orang pelayan telah datang
menyediakan arak dan barang makanan. Hanya dalam sekejap mata saja di atas meja
itu telah penuh oleh barang hidangan.
„Mari silahkan makan...... tidak ada
apa-apa yang dapat kami suguhkan, tetapi sekedar pelenyap haus dan lapar!” kata
orang she Song itu.
In-lap Siansu tidak segan-segan lagi,
dia memang telah bertempur dalam waktu yang cukup lama dan telah mempergunakan
tenaga yang sangat besar, maka dia telah mulai makan dan minum dengan lahap
sekali.
Yo Him juga telah melahap makanannya.
Hanya si gadis kecil dan kedua orang tuanya yang berdiam diri saja.
„Siangkoan Lin Lie, mengapa kalian
tidak makan? Dan kau Siangkoan Hujin, mengapa tidak dahar? dan nona siangkoan,
bukankah kau sudah lapar? Akhh sayang jika makanan ini dibiarkan dingin!”
berkata orang she Song itu sambil tertawa.
Tetapi lelaki tua Siangkoan Lin Lie
beserta isterinya maupun puterinya yang masih kecil itu telah berdiam diri
saja. Mereka tidak menyahut sepatah perkataan pun juga.
Song Lu Wuan juga tidak melayani
mereka lagi, hanya sambil mengunyah, dia tertawa dan berkata kepada In-lap
Siansu.
„Sudah lama aku orang she Song
mendengar kegagahan In-lap Taysu, dan sungguh beruntung bahwa hari ini aku
orang she Song bisa bertemu dengan Taysu!” katanya.
„Akupun begitu, telah lama aku kagum
mendengar nama besar dari Song Tayhiap hanya tidak ada kesempatan untuk kita
saling bertemu. Maka di hari ini kita bisa saling bertemu, bukankah itu
merupakan suatu kejadian yang sangat menggembirakan sekali?” Dan setelah
berkata begitu, In-lap Siansu telah mengunyah terus makanannya.
Yo Him heran juga. Biasanya In-lap
Siansu tidak makan barang berjiwa, dia hanya makan sayur-sayuran belaka. Tetapi
kali ini In Lap Siansu telah memakan makanan berjiwa, bahkan dengan lahap
sekali, hal ini sangat membingungkan Yo Him.
„Rupanya Jie-ko memang tidak
pantangan!” berpikir Yo Him kemudian.
Saat ini Song Lu Wuan telah melirik ke
arah Yo Him, dia memperhatikan sejenak, kemudian katanya sambil disertai
tertawanya, „Sungguh hebat engko kecil ini, siapakah dia, Taysu? tampaknya dia
memiliki bakat dan tulang yang baik sekali.”
„Dia adikku! Sam-te, inilah Song Lu
Wuan Tayhiap yang sangat terkenal sekali di daerah Selatan,” memperkenalkan
In-lap Siansu.
Tentu saja orang she Song itu jadi
kaget bukan main mendengar bahwa Yo Him yang baru berusia belum sampai sepuluh
tahun itu adalah adik ketiga dari In-lap Siansu.
„Apakah diapun memiliki ilmu silat?”
berpikir orang she Song itu di dalam hatinya. „Tetapi tidak mungkin, tidak
mungkin!, walaupun dia belajar ilmu silat semenjak di dalam kandungan ibunya,
tidak nantinya dia bisa memiliki kepandaian yang berarti apa-apa!”
„Siapakah namanya?” tanya orang she
Song itu sesaat kemudian setelah meneguk araknya.
„Sam-te ku she Yo dan bernama
Him......!” menjelaskan In-lap Siansu.
„Ihhh!” tiba-tiba muka Song Lu Wuan
berubah hebat, sumpitnya yang tengah dibawa ke mulutnya jadi tergantung di
tengah udara. „Siauw Kiesu (pendekar muda) ini she Yo? Masih ada hubungan
apakah dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?”
Waktu menyebut perkataan Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko, suara Song Lu Wuan tergetar.
„Dialah anaknya......!” menyahuti
In-lap Siansu sembarangan.
„Hah?” kaget bukan main orang she Song
dan beberapa orang jago lainnya yang berada di tempat itu. Dan bukan hanya
mereka belaka yang terkejut, karena Yo Him sendiri juga kaget sekali. Tetapi
sebagai seorang anak yang cerdas, maka Yo Him segera mengerti apa maksud dari
In-lap Siansu yang sebenarnya.
„Be….. benarkah Siauw Kiesu puteranya
Yo Tayhiap?” tanya Song Lu Wuan dengan suara tergagap.
„Benar!” mengangguk Yo Him. „Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko adalah ayahku, dan Siauw Liong Lie Liehiap adalah ibuku!”
Seketika itu juga paniklah orang-orang
Pek-liong-kauw tersebut. Bahkan Song Lu Wuan telah meletakkan sumpitnya di atas
meja. Dia memandang tajam kepada Yo Him, yang diperhatikannya dengan baik-baik
dan seksama.
„Memang mirip, mirip sekali dengan
wajah Yo Tayhiap. Tetapi....., kami belum pernah mendengar Sin-tiauw Tayhiap
memiliki anak.....!” menggumam Song Lu Wuan dengan suara yang tidak begitu
jelas.
Dia telah memperhatikan baik-baik
paras Yo Him, dan telah melihat bahwa wajah anak ini mirip sekali dengan muka
Yo Ko. Maka hatinya jadi tergoncang keras, tetapi diapun masih ragu-ragu.
Melihat Song Lu Wuan ragu-ragu begitu,
Yo Him segera mengetahui bahwa Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sangat dihormati sekali
oleh orang orang Pek-liong-kauw ini. Hanya saja disebabkan usia Yo Him memang
masih terlampau kecil, dan yang memperkenalkan bahwa dia adalah puteranya
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko itu adalah In-lap Siansu, dengan sendirinya mereka jadi
ragu-ragu.
Sebagai anak yang cerdik, segera juga
Yo-Him teringat akan sesuatu. Dan dia bermaksud akan mempermainkan orang-orang
Pek-liong-kauw tersebut, karena Yo Him menganggap dia sudah kepalang tanggung
diperkenalkan oleh In-lap Siansu sebagai puteranya Sin-tiauw Tayhiap.
„Pernahkah para locianpwee melihat dan
menyaksikan sebagian ilmu dari ayah dan ibuku!” tanya Yo Him akhirnya sambil
terus mengunyah nasinya, sikapnya tenang sekali, walaupun otaknya tengah
bekerja keras sekali.
„Ya, ya, kami seringkali melihat Yo
Tayhiap bertempur, maka sebagian dari kepandaiannya itu bisa kami kenali!”
menyahuti Song Lu Wuan, yang segera bisa menduga bahwa Yo Him ingin
mempertunjukkan kepandaiannya.
„Baiklah! Menurut Song Locianpwe,
kepandaian ayahku itu di bagian mana yang paling menonjol?” tanyanya lagi.
„Yo Tayhiap semua mempelajari ilmunya
dari Kiu-im-cin-keng ciptaan Tat Mo Cauwsu dan juga Giok-lie-kiam-hoat bersama
ibumu, yaitu Siauw Liong Lie Liehiap, merupakan pasangan pendekar di jaman ini
yang tiada taranya!”
„Tepat!” berseru Yo Him. „Dan kini
Boanpwe (dari tingkatan muda). ingin memperlihatkan kebodohan, harap jangan
ditertawai?” Dan setelah berkata begitu Yo Him berdiri.
Sedangkan Song Li Wuan yang mengerti
maksud anak ini, segera memberikan isyarat kepada orang-orangnya, untuk
menggeser meja. Di dalam waktu yang singkat sekali, telah terbentang sebuah
lapangan yang cukup luas.
Yo Him melangkah ke gelanggang.
Setelah menjura memberi hormat ke sekelilingnya, maka dia mulai menjalankan
ilmu silat yang diturunkan Sin-tiauw kepadanya, yang menurut In-lap Siansu
adalah Kiu-im-cin-keng dan Giok-lie-kiam-hoat.
Di waktu anak ini bersilat, semua
orang-orang gagah yang berada di tempat itu jadi mengawasi dengan mata yang
terpentang lebar-lebar dan hati yang tergoncang. Karena yang tengah dimainkan
oleh Yo Him memang jurus-jurus dari Kiu-im-cin-keng dan Giok-lie-kiam-hoat,
kedua macam ilmu silat yang luar biasa, yang dimiliki oleh Sin-tiauw Tayhiap Yo
Ko dan Siauw Liong Lie.
Keruan saja Song Lu Wuan jadi ciut
nyalinya, dan di saat Yo Him telah selesai membawakan jurus-jurus kedua macam
ilmu silat itu, yang semula dianggap olehnya sebagai latihan olah raga penyehat
tubuh belaka, Song Lu Wuan telah membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada
Yo Him.
„Kiranya memang orang sendiri!”
berseru Song Lu Wuan sambil tertawa.
Yo Him cepat-cepat membalas hormat
orang she Song tersebut. Di dalam hatinya dia geli sendirinya, dan dia merasa
kagum atas kecerdikan In-lap Siansu yang telah bisa berpikir begitu cepat. Coba
kalau tidak, jika mereka tetap dianggap sebagai pihak musuh, niscaya mereka
akan diperlakukan dengan sikap yang tidak enak dan tidak manis.
„Sesungguhnya aku sudah lama ingin mengikuti
ayah berkelana, tetapi selama itu belum diijinkan, baru tahun ini ayah
mengijinkan aku untuk ikut berkelana...... dan harap loocianpwe menerima hormat
boanpwe!”
„Sebenarnya masih ada hubungan apakah
antara Yo Kiesu dengan Siangkoan Lin Lie?” tanya Song Lu Wuan sambil melirik
kepada Siangkoan Lin Lie, yang saat itu tengah mengawasi Yo Him dengan sorot
mata yang takjub.
„Dialah pamanku!” menyahuti Yo Him.
„Paman?” tanya Song Lu Wuan ragu-ragu
matanya juga bersinar aneh.
Seketika itu juga Yo Him menyadari
bahwa dia telah melakukan suatu kecerobohan, karena sebagai seorang yang sangat
terkenal semua urutan keluarga Yo Ko diketahui oleh orang-orang gagah di rimba
persilatan. Terlebih lagi suatu kemungkinan bahwa Song Lu Wuan memang
bersahabat dengan Yo Ko.
„Paman jauh......!” kata Yo Him
memperbaiki kesalahannya, „Dari pihak ibuku.....!”
„Oh begitu?” kata Song Lu Wuan yang
telah lenyap kecurigaannya.
Saat itu Yo Him telah berkata, „Paman
Siangkoan, sesungguhnya ada urusan apakah antara kalian dengan pihak
Pek-liong-kauw?”
„Sesungguhnya urusan kecil, kami
kehilangan kitab pusaka kami, kebetulan Siangkoan Kie-su berada di tempat kami,
maka dari itu kami menduga bahwa dialah yang telah mencurinya! Untuk tuduhan
yang tidak beralasan itu, kami mengucapkan maaf sebesar-besarnya!” dan setelah
berkata begitu, Song Lu Wuan menghampiri Siangkoan Lin Lie, dia menjura untuk
meminta maaf.
13.26. Pengakuan Jujur Sang Bocah
Tentu saja Siangkoan Lin Lie jadi
girang bukan main, karena persengketaannya dengan pihak Pek-liong-kauw telah
dapat diselesaikan oleh Yo Him. Hanya saja yang membuatnya agak heran, mengapa
Yo Him mengakui dia pernah paman. Dan mereka semua telah kembali makan pula.
Kali ini Song Lu Wuan telah
memperlakukan mereka dengan sikap yang manis. Malah In-lap Siansu telah
bercakap-cakap akrab sekali dengan Song Lu Wuan dan beberapa orang gagah yang
berada di kapal tersebut! Banyak persoalan rimba persilatan yang telah mereka
bicarakan termasuk akan ancaman dari pasukan tentara perang Mongolia.
„Memang banyak orang gagah yang
menuduh kami bekerja sama dan takluk kepada bangsa Mongolia, tetapi
sesungguhnya kami sebaliknya tengah bekerja keras untuk membongkar tipu licik
bangga Mongolia itu!” menjelaskan Song Lu Wuan akhirnya.
„Kami mendengar bahwa bangsa Mongolia
telah mulai mempersiapkan pasukannya untuk menerjang masuk ke daratan
Tiong-goan lagi, bahkan Kublai Khan, Kaisar Mongolia sekarang, adik Kaisar
Mangu yang binasa di tangan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko telah perintahkan beberapa
orang kepercayaannya dan jago-jagonya untuk menyelusup ke daratan Tiong-goan,
guna mencelakai jago-jago di daratan Tiong-goan. Peristiwa itu terjadi delapan
tahun yang lalu, perbuatan busuk mereka mulai diketahui. Kami sayangnya agak
terlambat mendengar berita itu. Karena baru empat tahun yang lalu kami
mendengar kejadian seperti itu. Maka Kauw-cu (ketua) kami telah perintahkan
beberapa orang-orang kami untuk pergi ke Mongolia guna melakukan penyelidikan.
Jika memang apa yang kami dengar itu benar dan juga ada bukti-buktinya kami
akan mengerahkan orang-orang pandai kami untuk pergi ke Mongolia untuk
membinasakan Kublai Khan. Dengan terbunuhnya Kaisar itu, tentu ancaman dapat
dilenyapkan! Tetapi siapa sangka, pengiriman orang-orang gagah kami ke Mongolia
itu telah bocor entah bagaimana caranya, banyak orang gagah di daratan
Tiong-goan yang telah mendergar hal itu, sehingga mereka menduga bahwa kami ini
telah berkhianat dan bekerja sama dengan pihak Mongol, mereka jadi mencurigai
kami, termasuk Siangkoan Lin Lie Tayhiap ini!”
Siangkoan Lin Lie cepat-cepat menjura
dan meminta maaf. Begitu juga Song Lu Wuan telah membalas hormat orang she
Siangkoan tersebut.
In-lap Siansu baru mengerti mengapa
telah terjadi persengketaan antara Siangkoan Lin Lie dengan pihak
Pek-liong-kauw. Hweshio tua tersebut jadi mengangguk-anggukan kepalanya.
„Dan di pusat, kami telah mengatur
persiapan untuk melakukan pekerjaan besar, untuk membela tanah air!” Song Lu
Wuan telah melanjutkan ceritanya lagi. „Tidak kami sangka justeru Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko telah berkunjung datang bersama beberapa orang pendekar besar
lainnya, termasuk Kwee Ceng Tayhiap, It-teng Taysu, Ciu Pek Thong, Loo Boan
Tong dan Oey Yong Lihiap.....! Hanya yang kami sayangkan, justru kami tidak
memiliki rejeki besar, dimana Yo Hujien, yaitu Liehiap Siauw Liong Lie tidak
ikut hadir!”
Mendengar orang she Song itu bercerita
sampai disini, hati Yo Him jadi tergoncang. Begitu juga dengan In-lap Siansu,
hatinya jadi kaget bukan main.
Dengan berlayarnya kapal
Pek-liong-kauw ini, mereka tengah menuju ke markas besar dari kumpulan Itu. Dan
jika memang mereka tiba di markas besar dari perkumpulan itu, bukankah berarti
rahasia mereka akan terbongkar? Bukankah disana tengah berkumpul Yo Ko dan jago
besar lainnya? Yo Him jadi gugup sendirinya, hampir saja sumpit di tangannya
terlepas.
Song Lu Wuan yang matanya awas, telah
dapat melihat kegugupan yang dialami Yo Him.
„Kenapa kau Siauw Kiesu?” tanyanya
dengan berkuatir sekali, karena dia menduga Yo Him mabok akibat menumpang kapal
air ini.
Yo Him cepat-cepat menggelengkan
kepalanya sebagai anak yang cerdas segera juga dia bisa memberikan jawabannya.
„Tidak apa-apa, tidak apa-apa….. aku
hanya girang mendengar ayah telah berada disana, tentu tidak lama lagi kami
ayah dan anak bisa bertemu!”
Song Lu Wuan telah mengangguk-angguk,
dia berhasil didustai, karena dia berpikir memang wajar jika siorang anak
merindukan ayahnya mengharapkan pertemuan dengan ayahnya.
In-lap Siansu juga memuji akan
kecerdikan Yo Him yang cepat sekali bisa memilih jawaban yang tepat.
Tetapi untuk selanjutnya Yo Him tidak
bisa menangkap keseluruhannya dari cerita Song Lu Wuan, karena hatinya tengah
gelisah dan pikirannya tengah kalut. Dia tengah memikirkan jika nanti dia
bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap di markas Pek-liong-kauw, dan rahasianya yang
mengakui dirinya adalah puteranya Sin-tiauw Tayhiap itu terbuka, bukanlah
disamping dia akan membuat Sin-tiauw Tayhiap menjadi marah?
Itulah sebabnya mengapa Yo Him jadi
sangat gugup. Pikirannya jadi bekerja terus, walaupun mulutnya terus makan dan
minum, meskipun dia cerdik namun tidak urung anak ini tidak bisa mencarikan
jalan yang baik untuk menghadapi persoalan ini. Yo Him menyadari bahwa kali ini
dia tengah mempermainkan pendekar besar dalam rimba persilatan, jika rahasianya
terbongkar, bukankah dirinya bisa celaka?
Sedangkan In-lap Siansu hanya gugup
sejenak, karena tidak lama kemudian dia telah tenang kembali. Di dalam dirinya
hweshio tua itu telah berpikir bahwa Yo Ko maupun Kwee Ceng, Oey Yong, It-teng
Taysu dan Ciu Pek Thong adalah Pendekar-pendekar besar berhati mulia, tidak
mungkin akan mencelakai Yo Him hanya karena mengakui dirinya sebagai anaknya Yo
Ko. Maka dari itu In-lap Siansu dapat makan minum terus dengan tenang.
Dan ketika Song Lu Wuan telah menutup
pesta makan minum itu mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat dan tidur,
maka In-lap Siansu tidur dengan nyenyak sekali, suara mendengkurnya benar-benar
membuat Yo Him jadi mendongkol sekali karena Yo Him yang sekamar dengan In-lap
Siansu yang menjadi Jie-konya itu tengah bergelisah tidak bisa tidur, sedangkan
si pendeta telah tidur dengan nyenyak sekali seperti tidak berpikir apa-apa
terhadap urusan yang akan mereka hadapi.
◄Y►
Kapal orang Pek-liong-kauw tersebut
berlayar terus menuju ke arah selatan barat daya. Setelah berlayar dua hari,
telah tiba di muara dan lepas lautan. Rupanya pelayaran seperi itu memang
merupakan pekerjaan biasa bagi orang-orang Pek-liong-kauw. Kapal itu berlayar
cepat melawan ombak.
Selama dalam perjalanan Song Lu Wuan
selalu memperlakukan kelima orang tamunya dengan ramah. Rupanya, dengan
mengakunya Yo Him sebagai puteranya Yo Ko, orang-orang Pek-liong-kauw jadi
menghormati mereka.
Tetapi Yo Him selalu diliputi oleh
tanda tanya. Sesungguhnya siapakah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko dan Siauw Liong Lie?
Tampaknya kedua pendekar besar itu memiliki nama yang sangat luar biasa
terkenalnya dan disegani oleh orang-orang rimba persilatan. Disamping itu Yo
Him juga jadi selalu memikirkan, siapakah sesungguhnya kedua orang tuanya?
Dia she Yo begitu pula Yo Ko, tetapi
apakah mungkin dia putera dari seorang pendekar seperti itu? Karena berpikir
begitu, Yo Him jadi menghela napas tidak hentinya, karena dia yakin bahwa
dirinya tidak memiliki rejeki begitu besar untuk menjadi putera seorang
Pendekar besar di jaman itu. Sedangkan dia sejak kecil telah yatim dan tidak
ada orang yang merawatnya, selain Sin-tiauw yang baik hati itu.
Setengah bulan kemudian mereka telah
sampai di tempat tujuan yaitu sebuah pulau yang besar sekali. Anak buah
Pek-liong-kauw mengeluarkan sorak-sorai gemuruh sekali waktu pulau itu mulai
tampak.
Yo Him bersama yang lainnya telah
keluar dia melihat pulau itu sangat besar dan luas sekali sehingga ujungnya
tidak terlihat. Waktu kapal merapat, tampak beberapa orang lelaki bertubuh
gagah dan tegap telah menyambut kedatangan Song Lu Wuan. Setelah adat istiadat
dilakukan dengan saling memberi hormat, rombongan tersebut telah memasuki pulau
untuk pergi ke markas Pek-liong-kauw, guna menemui Kauw-cu Pek-liong-kauw.
Yo Him, In-lap Siansu dan Siangkoan
Lin Lie, isterinya dan anak gadisnya, telah di tempatkan di sebuah ruangan. Dan
tidak lama kemudian mereka telah diajak ke sebuah bangunan gedung yang sangat
besar serta megah sekali.
Yo Him yang melihat gedung itu jadi
tercengang, karena dia melihat bahwa bangunan tersebut disamping megah dan
besar juga sangat mewah sekali. Di depan gedung yang mirip istana itu tampak
berdiri berbaris ratusan orang, yang menyambut kedatangan tamu-tamu tersebut
dengan anggukan dan rangkapkan tangan memberi hormat.
Ternyata yang disebut sebagai Kauw-cu
dari Pek-liong-kauw merupakan seorang lelaki berusia limapuluh tahun, berwajah
tampan walaupun usianya telah lanjut, disamping itu tubuhnya juga tegap. Dialah
Wie Kiam Kauw-cu dari Pek-liong-kauw, yang bergelar Hui Thian Sin-kiam (Pedang
Sakti), yang namanya menggetarkan rimba persilatan. Namun Kauw-cu Wie Kiam
ternyata membawakan sikap yang ramah sekali, dia telah menyambut tamu-tamunya
itu dengan perjamuan yang besar.
„Loohu mendengar bahwa diantara
tamu-tamu kita terdapat puteranya Yo Tayhiap,” kata Wie Kiam berselang sejenak
setelah tamu-tamunya mengambil tempat duduk masing-masing. „Dapatkah Lohu
berkenalan dengan Siauw Kiesu itu?”
Yo Him yang sejak tadi memasuki gedung
ini dengan hati yang berdebar kini mendengar perkataan Wie Kiam membuat
jantungnya tambah tergoncang. Cepat-cepat Yo Him bangkit berdiri, dia memberi
hormat dan memperkenalkan diri.
Lama Wie Kiam mengawasi Yo Him dengan
sorot mata yang tajam, tentu saja membuat Yo Him tambah tergoncang hatinya, sehingga
ia tak berani memandang Kauw-cu dari Pek-liong-kauw tersebut, hanya menundukkan
kepalanya saja.
In-lap Siansu juga telah berdebar
hatinya, pendeta ini adalah seorang Kang-ouw yang telah berpengalaman, tetapi
tetap saja hatinya berdebar, karena dia takut rahasia Yo Him terbongkar.
Tetapi untuk menutupi kegelisahannya,
sengaja In-lap Siansu telah meneguk araknya berulang kali.
Setelah mengawasi Yo Him sejenak
lamanya, Wie Kiam tertawa. „Bagus! Betapa miripnya wajahmu dengan ayahmu, Siauw
Kiesu!” kata Wie Kauw-cu dengan suaranya yang keras „Ayahmu mungkin sore ini
baru kembali, karena Yo Tayhiap sekarang tengah mengejar seseorang!”
Yo Him menghela napas sambil
membungkuk memberi hormat, untuk menutupi perobahan wajahnya yang merah karena
dia merasa agak tenang mendengar Yo Ko tidak berada di markas Pek-liong-kauw
tersebut. Begitu juga halnya dengan In-lap Siansu, diam-diam di dalam hatinya
pendeta tersebut memuji kebesaran sang Buddha.
„Tetapi, tayhiap-tayhiap lainnya,
seperti Kwee Ceng Tayhiap, Oey Yong Liehiap, It-teng Taysu dan Ciu Pek Thong
Loo Boan Tong Locianpwe. Semuanya ada disini! Tunggulah sebentar, Lohu akan
perintahkan orang untuk memanggilnya!”
Mendengar perkataan Kauw-cu
Pek-liong-kauw tersebut yang terakhir, Yo Him merasakan kepalanya seperti
disiram air dingin panas hangat.
Sedangkan Kauw-cu Pek-liong-kauw itu
telah mengibaskan tangannya, mengisyaratkan kepada orangnya untuk mengundang
jago-jago tua itu.
Yo Him telah kembali ke tempat
duduknya dengan hati yang berdebar-debar.
Tidak lama kemudian terdengar suara
langkah kaki dari beberapa orang, dan semua mata, termasuk Yo Him dan In-lap
Siansu telah mengawasi ke arah pintu yang bisa menembus ke ruang dalam itu.
Mereka mengawasi dengan perasaan tegang dan agak gelisah sekali, sedangkan
Kauw-cu Pek-liong-kauw itu telah tertawa saja dengan sikapnya yang angker.
Tidak lama kemudian dari balik tirai
muncul orangnya Wie Kauw-cu, diikuti beberapa orang gagah. Ternyata beberapa
orang yang muncul itu tidak lain dari Kwee Ceng, Oey Yong, Ciu Pek Thong,
It-teng Taysu dan dua orang pengawal Pek-liong-kauw.
Setelah mereka memberi hormat kepada
Kauw-cu Pek-liong-kauw, masing-masing mengambil tempat disamping Kauw-cu itu.
„Nah para locianpwee, seperti yang
telah boanpwe katakan, bahwa hari ini kebetulan sekali kita telah menerima
kunjungan seorang tamu luar biasa, yaitu puteranya Yo Tayhiap…..” kata Kauw-cu
dari Pek-liong-kauw itu dengan suara yang nyaring.
Muka orang-orang gagah itu jadi
berobah, mereka telah mengikuti jari telunjuk Kauw-cu she Wie itu menunjuk ke
arah Yo Him dan memperhatikan anak itu baik-baik. Namun tidak ada seorangpun
diantara Oey Yong dan yang lainnya yang membuka mulut, semua diam saja sambil
mengawasi sehingga membuat Yo Him jadi tidak enak hati, segera Yo Him bangkit berdiri,
dia telah menghampiri keempat orang gagah itu, kepada mereka dia telah
memperlihatkan hormatnya.
„Apakah locianpwe semuanya dalam
keadaan baik?” tanyanya.
Tiba-tiba Ciu Pek Thong telah berkata
sambil tertawa, „Anak yang manis, anak yang manis.”
Oey Yong bertiga dengan It-teng Taysu
dan Kwee Ceng hanya mengangguk-nganggukkan kepalanya!
Tiba-tiba Ciu Pek Thong telah menoleh
kepada Wie Kauw-cu. „Mana ayahnya? Apa belum pulang?”
Wie Kauw-cu menyahuti sambil
menggelengkan kepalanya, „Belum…..”
„Hemm, anak mana ibumu?” tanya Oey
Yong.
Ditanya soal ibunya, tentu saja Yo Him
jadi kelabakan. Orang-orang gagah itu masih mau mempercayai bahwa Yo Him adalah
puteranya Yo Ko karena wajahnya memang mirip dengan Yo Ko, apalagi Kwee Ceng
dan Oey Yong yang pernah merawat Yo Ko. Mereka hampir delapan tahun
mencari-cari Siauw Liong Lie yang lenyap tidak ada kabar beritanya itu. Namun
hasilnya nihil. Yo Ko selalu diliputi kedukaan yang bukan main, teringat pula
bahwa isterinya itu tengah hamil. Maka sekarang, ada seorang anak berusia di
antara tujuh delapan tahun mengakui dirinya sebagai anak Yo Ko, tentu saja
orang-orang gagah itu menduga mungkin Siauw Liong Lie telah melahirkan seorang
anak lelaki dan menceritakan kepada si anak siapa ayahnya sehingga kini Yo Him mencari
ayahnya itu. Itulah sebabnya mengapa Oey Yong telah menanyakan ibu si anak ini.
Melihat Yo Him gugup, Oey Yong jadi
heran. „Apakah telah terjadi sesuatu didiri ibumu?” tanyanya lagi.
Yo Him menggelengkan kepalanya.
„Bukan.....!” sahutnya kemudian.
„Lalu dimana ibumu?”
„Aku sendiri tidak mengetahuinya.”
„Ihhh!” berseru kaget orang-orang
gagah itu.
„Maafkanlah Locianpwe, sesungguhnya
aku telah berdusta. Boanpwe bukan puteranya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko!” mengaku
Yo Him berterus terang karena anak ini berpikir, jika dia berdusta terus maka
rahasianya akan terbongkar juga.
„Hmmmm, lalu siapa kau?” tanya Oey
Yong sambil mengerutkan alisnya.
Sedangkan muka Wie Kauw-cu telah
berobah diliputi kemendongkolan yang sangat. Song Lu Wuan juga kaget bukan main,
berulang kali dia memperdengarkan suara tidak jelas. Karena Song Lu Wuan yang
telah mengajak anak ini ke markas mereka dan memberitahukan kepada Kauw-cu nya
bahwa anak ini adalah putranya Yo Ko. Maka sekarang di saat si anak itu
mengakui terus terang. Bahwa dia bukan anaknya Sin-tiauw Tayhiap, bisa
membayangkan perasaan kaget dari orang she Song tersebut.
Yo Him telah memberi hormat kepada
orang-orang yang berada disitu, dia memberi hormat dengan tiada hentinya.
„Sesungguhnya aku memang pantas
menerima hukuman mati karena telah berani mengakui diriku sebagai puteranya Yo
Ko Tayhiap. Sebenarnya akupun tidak mengetahui siapa ayahku dan siapa pula
ibuku!”
Oey Yong dan lainnya jadi tambah
heran, „Mengapa begitu?” tanya Oey Yong.
„Karena sejak kecil aku tidak pernah
melihat mereka, yaitu kedua orang tuaku!”
„Lalu siapa yang membesarkan engkau?”
„Rajawali...... seekor rajawali!”
Mendengar itu muka Oey Yong jadi
berseri-seri sejenak, diapun telah berseru, „Sin-tiauw......!” Kemudian Oey
Yong menanyakan bagaimana bentuk rajawali yang telah merawat Yo Him.
Dengan sejujurnya Yo Him menceritakan
keadaan burung rajawali itu.
„Benar dia! Benar dia!” berseru Oey
Yong sambil melirik ke suaminya. „Tetapi...... dimana Sin-tiauw itu kini
berada?”
„Akupun tidak mengetahui, karena sejak
dia terbang turun ke jurang itu, maka selamanya aku tidak pernah melihat
lagi......” kata Yo Him.
Dia telah menceritakan bagaimana dia
ditinggal oleh Sin-tiauw di pintu kampung di kaki gunung Kun-lun, dan rajawali
itu telah terbang berputar-putar di tengah udara, kemudian menukik ke jurang
yang biasa mereka tempati. Kemudian Sin-tiauw itu tidak pernah muncul lagi.
“Apakah kau tidak memiliki sesuatu
barang yang ditinggalkan ibumu?” tanya Oey Yong.
Yo Him menggeleng.
“Tidak! Sejak kecil akupun tidak
pernah melihat ibuku, hanya Sin-tiauw telah memberikan, bermacam-macam
barang-barang kepadaku!”
Dan setelah berkata begitu, Yo Him
membuka buntalannya, dia telah mengeluarkan barang-barang milik Siauw Liong Lie
yang telah diberikan oleh Sin-tiauw di saat burung rajawali itu akan
menghembuskan napasnya yang terakhir.
Melihat barang-barang itu, muka Oey
Yong dan ketiga orang gagah lainnya, jadi berobah. Mereka mengenali itulah
barang-barang milik Siauw Liong Lie.
„Akhh, jika demikian, memang
benar-benar engkau puteranya Yo Ko!” berseru Oey Yong sambil melompat dan telah
merangkul Yo Him. „Dimana ibumu nak? Dimana dia?”
Yo Him menggeleng saja dengan heran.
„Itulah barang milik ibumu, apakah
mungkin dia, telah.....” dan berkata sampai disitu, Oey Yong tidak meneruskan
perkataannya.
„Dia telah kenapa, Yong-jie?” tanya
Kwee Ceng ingin tahu.
„Apakah dia telah dicelakai seseorang?
Apakah Tiat To Hoat-ong yang mencelakainya? Bukankah barang-barangnya ini sudah
berada disini?”
Muka Kwee Ceng, It-teng Taysu dan Ciu
Pek Thong jadi berubah muram. Merekapun berpikir begitu.
„Sayang Ko-jie tidak berada disini,”
menggumam Kwee Ceng perlahan.
„Besok pagi dia akan tiba kembali,”
kata Wie Kauw-cu yang sejak tadi berdiam diri saja!
Oey Yong menuntun tangan Yo Him
katanya dengan lembut dan sabar. „Anak, engkau harus menunggu ayahmu sampai
kembali di tempat ini. Nanti kita tanyakan, jika memang benar barang-barang ini
adalah milik Siauw Liong Lie, yang tentunya masih menjadi ibumu itu maka di
saat itu kita akan berangkat ke Kun-lun-san untuk melihat apakah disana ada
sesuatu yang bisa dipergunakan untuk membuka rahasia dirimu! Tetapi jika memang
engkau bukan puteranya Yo Ko, kau juga tidak perlu takut, karena kalau kau
benar-benar anak yatim, kami pun tidak keberatan merawatmu!”
Senang Yo Him mendengar itu.
Demikian juga dengan In-lap Siansu,
sambil mengucapkan kata-kata yang memuji sang Buddha, dia telah
mengangguk-anggukan kepalanya. Karena gembiranya, In-lap Siansu telah
mengucurkan air mata.
Saat itu Yo Him telah menjura sambil
mengucapkan terima kasih kepada Oey Yong, setelah itu dia kembali ke kursinya.
Pesta makan minum itu telah
dilanjutkan terus, kemudian Oey Yong berempat telah mengajak Wie Kauw-cu untuk
berunding. Mereka membicarakan persoalan Yo Him dan merundingkan bagaimana
caranya menyelidiki tempat, beradanya Siauw Liong Lie.
Hampir delapan tahun mereka berkelana
di dalam rimba persilatan untuk mencari Siauw Liong Lie, dengan meminta bantuan
orang-orang rimba persilatan juga tetapi usaha mereka nihil dan kosong. Sejak
diculiknya Siauw Liong Lie oleh Tiat To Hoat-ong, baik Siauw Liong Lie maupun
pendeta itu telah lenyap tidak meninggalkan bekas.
Dan hanya jago-jago Mongol lainnya
yang telah muncul di daratan Tiong-goan. Maka Yo Ko dan jago-jago lainnya tidak
pernah turun tangan ringan kepada mereka. Jago-jago Mongol itu selalu
dibinasakan atau dibikin bercacad berat untuk memperoleh keterangan dari
mereka. Tetapi walaupun banyak orang-orang Mongol yang telah mereka tangkap dan
menanyai perihal Tiat To Hoat-ong, namun mereka tidak pernah memperoleh
keterangan yang mereka inginkan.
Waktu setahun yang lalu mereka
mendengar bahwa Tiat To Hoat-ong ada yang lihat berkeliaran di Utara. Maka
jago-jago itu telah berangkat ke utara, namun tetap saja mereka tidak berhasil
mencari pendeta mongol yang kepandaiannya hebat itu.
Akhirnya dengan putus asa mereka telah
kembali ke selatan dan di saat itulah Oey Yong menganjurkan kepada Yo Ko agar
mereka meminta bantuan Pek-liong-kauw, untuk mencari jejaknya pendeta mongol
itu. Saran yang diberikan oleh Oey Yong disetujui oleh Yo Ko, maka mereka
ramai-ramai telah pergi ke markas besarnya Pek-liong-kauw dan kepada Wie Kiam
Kauw-cu mereka menyampaikan keinginan mereka yang hendak meminta bantuan
Pek-liong-kauw untuk mencari jejak Tiat To Hoat-ong yang telah menculik Siauw
Liong Lie.
Pihak Pek-liong-kauw menyanggupi untuk
membantu, dan telah menggirimkan orang-orangnya ke pelbagai pelosok di daratan
Tiong-goan untuk menyelidiki dimana bersembunyinya Tiat To Hoat-ong. Tetapi
hampir setahun itu tetap saja mereka belum memperoleh hasil apa-apa, sehingga
selama itu pula Sin-tiauw Tayhiap dan jago-jago lainnya berdiam di pulau
Ang-hwa-to tersebut, pulau bunga merah.....
Dan kini tiba-tiba sekali muncul Yo
Him, yang mengaku sebagai puteranya Sin-tiauw Tayhiap. Bukankah hal itu
merupakan urusan yang menggembirakan sekali?
Song Lu Wuan sendiri bersyukur sekali
dia bisa bertemu dengan putera Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, yang tentunya akan
membuktikan bahwa Pek-liong-kauw telah berhasil membantu pendekar besar untuk
jaman ini. Apa lagi Song Lu Wuan juga telah melihat Yo Him membawakan
jurus-jurus dari Kiu-im-cin-keng dan Giok-lie-kiam-hoat, tentu saja dia tambah
yakin dan girang.....!”
Wie Kiam Kauw-cu juga girang waktu
Song Lu Wuan menyampaikan bahwa dia telah berhasil menemukan puteranya
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Karena dengan berhasilnya pihak Pek-liong-kauw
membantu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko berarti kelak Pek-liong-kauw memiliki tulang
punggung yang kuat sekali, sebab pihak Pek-liong-kauw telah melepas budi kepada
Yo Ko dan pasti jika kemudian kelak pihak Pek-liong-kauw mengalami suatu
ancaman dari pihak lain, Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko juga tidak akan tinggal diam.
Diwaktu Yo Him masih duduk termenung,
dia tidak mengerti sepenuhnya perkataan Oey Yong sedangkan barang-barang
peninggalan Siauw Liong lie yang diberikan oleh Sin-tiauw rajawali sakti yang
telah meninggal itu, disimpannya kembali baik-baik.
Yo Him sama sekali tidak mengetahuinya
bahwa sesungguhnya ibunya, Siauw Liong Lie telah lenyap di lembah gunung
Kun-lun-san itu oleh desakan Tiat To Hoat-ong berempat dengan Chilaon,
Talengkie dan Turkichi.
Setelah Oey Yong beruntun dengan Kwee
Ceng It-teng Taysu, Ciu Pek Thong dan Wie kiam Kauw-cu mengundurkan diri maka
pesta itupun telah dibubarkan.
Yo Him dan tamu-tamu lainnya di
tempatkan di sebuah ruangan yang besar, sedangkan untuk kamar tidur mereka
masing-masing diberi sebuah kamar untuk setiap orangnya.....
Sebelum meninggalkan ruangan tengah
itu, Oey Yong telah menarik tangan Yo Him, lalu katanya dengan suara yang
sabar. „Tidurlah yang nyenyak, jangan kau memikirkan yang tidak-tidak. Dalam
waktu yang tidak lama lagi ayahmu tentu pulang dan kalian bisa bertemu.....!”
Yo Him yang sejak kecil belum pernah
memperoleh kasih sayang seorang ibu, kini mendengar nada suara Oey Yong yang
begitu lembut dan sabar, mengandung kasih sayang dan penuh pengertian akan jiwa
seorang anak, hatinya jadi tergoncang dan terharu. Tanpa disadarinya di saat
dia mengangguk, dua butir air mata telah menitik turun membasahi pipinya.
Oey Yong tersenyum, dia mengusap
rambut anak ini. „Ayahmu tidak secengeng engkau!” katanya kemudian. „Bahkan
ayahmu merupakan seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan tabah,
menghadapi penderitaan hidup.....!”
Yo Him jadi merasa malu sendirinya,
dia hanya mengiyakan perkataan Oey Yong.
Di dalam kamarnya, Yo Him jadi
terpekur saja, sama sekali dia tidak bisa mententeramkan hatinya, dia tidak
bisa tidur dengan nyenyak. Akhirnya dia keluar dari kamarnya dan mencari In-lap
Siansu untuk diajak bercakap-cakap.
Ternyata In-lap Siansu tengah
bercakap-cakap dengan Siangkoan Lin Lie, dengan nyonya Siangkoan dan puterinya
yang baru belasan tahun, yang akhirnya diketahui oleh Yo Him bahwa gadis yang
biasa dipanggilnya dengan sebutan Encie itu ternyata bernama Peng. Dengan
Siangkoan Peng, Yo Him memang merasa senang dan menyukainya, karena gadis itu
lincah dan periang. Bahkan Siangkoan Peng sering mengajak Yo Him main-main
dengan dia di taman bunga, karena bosan juga baginya mendengari terus
pembicaraan diantara kedua orang tuanya dengan In-lap Siansu yang tidak
dimengerti olehnya.
Pulau Ang-hwa-to merupakan sebuah
pulau yang sangat luas, dimana markas besar Pek-liong-kauw menancapkan kaki dan
kekuasaannya karena disana telah dibangun ratusan gedung untuk perumahan
seluruh anggota perkumpulan tersebut. Belum lagi beberapa kota di daratan
Tiong-goan terdapat berbagai cabang dari perkumpulan tersebut.
Pek-liong-kauw juga memiliki jago-jago
yang sangat hebat kepandaiannya. Banyak yang memiliki ilmu dan kesaktian yang
hebat, sehingga nama Pek-liong-kauw terangkat sendirinya berkat hasil kerja
dari orang-orangnya yang liehay-liehay itu. Tetapi sebagai tokoh-tokoh
persilatan, anggota-anggota dari perkumpulan tersebut memiliki sifat-sifat yang
aneh dan bermacam-macam tabiatnya.
Walaupun kepandaian Kauw-cu
perkumpulan tersebut, yaitu Wie Kiam, tidak sehebat Sin-tiauw Tayhiap, namun
dia memiliki ilmu pedang yang sangat luar biasa sekali, sehingga menggentarkan
orang-orang kalangan rimba hijau, baik lawan maupun kawan, karena Kauw-cu ini
paling benci kejahatan. Dan namanya yang sangat terkenal itu menggetarkan rimba
persilatan sehingga dia sangat dihormati. Bahkan Wie Kiam Kauw-cu telah
diberikan gelaran „Hui Thian Sin-kiam” yaitu Pedang Sakti Dari Langit.
In-lap Siansu juga sering menganjurkan
Yo Him agar pergi bermain bersama dengan Siangkoan Peng, puterinya Siangkoan
Lin Lie, karena In-lap Siansu mengetahui Yo Him perlu hiburan juga agar dia
tidak merasa kesepian. Bukankah Siangkoan Peng lincah dan periang?
Setidak-tidaknya bisa mengurangi kesedihan di hati Yo Him atau mengurangi juga
ketegangan-ketegangan yang selama ini meliputi hati dan jiwanya anak dari
pendekar besar Yo Ko itu.
In-lap Siansu sendiri telah dipanggil
oleh Kwee Ceng dan Oey Yong, yang menanyakan banyak sekali perihal Yo Him.
In-lap Siansu menceritakan apa yang
diketahuinya dan diapun menyatakan bahwa Yo Him telah diangkat sebagai adik
oleh Wie Tocu dari Kay-pang, serta memperoleh sebuah Kim-pay dari toakonya itu.
Tentu saja pemberitahuan In-lap Siansu itu telah mengejutkan, bahkan
menggirangkan sekali hati Kwee Ceng dan Oey Yong. Dia membayangkan, betapapun
juga Yo Him telah memiliki suatu keluar biasaan lain jika di bandingkan dengan
pemuda-pemuda lainnya yang sebaya dengan dia. Misalnya saja Bu Heng-te (dua
orang saudara Bu), diwaktu mudanya, mereka sama sekali tidak berarti apa-apa
dan tidak mengalami sesuatu yang luar biasa di dalam persilatan, sampai
akhirnya salah seorang dari Bu Hengte itu telah menikah dengan Kwee Hu, anak
dari Kwee Ceng - Oey Yong.
Tetapi Yo Him, justru dalam usia
demikian muda, ternyata telah berhasil untuk mengangkat tali persaudaraan
dengan seorang tokoh persilatan seperti Wie Tocu dari Kay-pang. Kwee Ceng dan
Oey Yong memang mengetahui dan sering mendengar bahwa Wie Tocu adalah seorang
tokoh persilatan yang sangat hebat sekali kepandaiannya, dia merupakan orang
terkemuka dalam persilatan.
Wie Tocu sesungguhnya bernama Wie
Liang, merupakan wakil pangcu dari Kay-pang. Maka dari itu agak luar biasa jika
Kim-pay miliknya itu justru telah diberikan kepada Yo Him karena Kim-pay Wie
Tocu merupakan lambang dari kekuasaan yang luar biasa tingginya.
14.27. Kurir Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko
Setiap Kim-pay itu dikeluarkan, maka
seluruh anggota pengemis yang berada di daratan Tiong-goan harus tunduk siapa
saja yang memegang Kim-pay dari Wie Tocu itu adalah merupakan wakil langsung
dari Wie Tocu. Tiap pengemis dari tingkat mana saja yang menghadapi Kim-pay
tersebut harus menganggap bahwa wakil Wie Tocu itu sebagai Wie Tocu mendiri.
Tidak mengherankan jika berita yang
didengar oleh Kwee Ceng dan Oey Yong sangat mengejutkan sekali hati mereka.
Setelah lewat satu hari, ternyata Yo
Ko tidak muncul seperti yang telah direncanakan, sehingga orang-orang gagah itu
menantikan lagi beberapa hari lamanya di pulau Ang-hwa-to tersebut, dengan hati
diliputi oleh berbagai dugaan. Karena Sin-tiauw Tayhiap memang telah berjanji
bahwa dia akan berkunjung kepulau Ang-hwa-to bersama-sama dengan beberapa orang
gagah lainnya. Dan jika kedatangannya itu tidak terlaksana, tentu didirinya
terdapat suatu persoalan atau urusan yang agak luar biasa.
Yo Him juga tidak sabar ingin melihat,
sesungguhnya bagaimana rupa dan wajah dari Sin-tiauw Tayhiap, pendekar besar di
jaman ini. Walaupun sering terlihat Yo Him tengah bermain dan bergurau dengan
Siangkoan Peng di tepi pantai di pesisir pulau tersebut, namun pikiran Yo Him
sering melayang-layang membayangkan wajah dari Sin-tiauw Tayhiap.
Siangkoan Peng memang seorang gadis
kecil yang lincah, diapun sering memperlihatkan senyum dan tawanya. Sikapnya
yang periang sekali, selalu cerah dan ramai oleh gelak tawa memaksa Yo Him
untuk melenyapkan pikiran kesal dan jengkelnya. Sebagai seorang gadis yang
periang, tentu saja dia dapat menghibur Yo Him, walaupun tidak keseluruhannya.
Yo Him memang merupakan seorang anak
lelaki yang sejak kecil mengalami banyak sekali tekanan-tekanan pada jiwanya,
sehingga seringkali dia bersikap murung dan bersedih hati. Tetapi Siangkoan
Peng telah dapat menghiburnya, karena dia telah mengetahui Yo Him memiliki
sifat-sifat yang pendiam dan menghadapi sesuatu persoalan selalu dengan
bersungguh-sungguh dia tekun sekali.
Suatu hari, di saat mereka tengah
bermain-main dipesisir pantai di sebelah selatan dari pulau itu, tampak sebuah
perahu berukuran kecil tengah meluncur cepat sekali mendekati pantai,
menghampiri pulau tersebut.
Tentu saja Yo Him yang melihat perahu
itu lebih dulu, hatinya jadi terguncang keras, karena dia menduga bahwa yang
datang itu tentunya Yo Ko, pendekar besar yang tengah dinantikan semua orang,
yang menurut orang-orang gagah yang berada di pulau tersebut, Sin-tiauw Tayhiap
itu adalah ayahnya.
Dalam waktu yang sangat singkat
sekali, perahu itu telah merapat di pantai dan tampak dari dalam perahu
melompat turun seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, hanya saja jalannya agak
pincang, karena kaki kanannya lebih pendek dari kaki kirinya.
Yo Him jadi heran dan telah mengawasi
orang itu, sedangkan Siangkoan Peng yang juga tidak mengenal orang itu, telah
mengawasi juga dengan hati yang menduga-duga.
Orang yang berjalan pincang itu
tampaknya, telah melihat Yo Him dan Siangkoan Peng, dia telah menghampiri
sambil mengangguk tersenyum, katanya dengan suara yang sabar.
„Anak-anak, apakah Wie Kiam Kauw-cu
berada di tempat.....?”
Siangkoan Peng yang periang telah
berkata dengan suara yang cepat, menyahuti pertanyaan itu.
„Ada! Ada! Siapakah Lopeh (paman)?”
„Lohu (aku orang tua), she Phang dan
bernama Kui In. Aku bermaksud menemui Wie Kiam Kauw-cu untuk memberitahukan
sesuatu kepadanya!”
„Oh..... jika demikian, silahkan Lopeh
langsung pergi ke markas besar itu saja, tentu Lopeh akan menemui Wie Kiam
Kauw-cu!”
„Terima kasih anak-anak!” kata Phang
Kui In. Dan dengan langkah kaki yang terpincang-pincang dia telah menyusuri
pantai itu.
Tetapi, yang membuat Yo Him dan
Siangkoan Peng jadi terkejut, justru jalannya Phang Kui In begitu cepat dan
lincah sekali. Memang tampaknya dia berjalan dengan kaki yang
terpincang-pincang, namun kenyataannya tubuhnya dapat bergerak dengan sangat
cepat sekali, tubuhnya seperti juga melayang-layang dan kakinya bagaikan tidak
menginjak pasir. Yo Him jadi memujinya tanpa dikehendakinya. „Itulah ilmu
meringankan tubuh yang sangat hebat sekali! Sungguh mengagumkan sekali! Sungguh
menakjubkan sekali!”
Mendengar perkataan Yo Him yang cukup
nyaring, yang merupakan pujian, rupanya Phang Kui In telah mendengarnya, dia
lalu menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang, kemudian menghampiri
Yo Him dan Siangkoan Peng lagi.
„Anak, tampaknya engkau mengerti ilmu
silat.....!” katanya sambil tersenyum.
Dan Siangkoan Peng jadi terkejut,
karena tahu-tahu tangan orang she Phang itu telah bergerak, dia telah
mengulurkan tangannya itu untuk mencengkeram pergelangan tangan Siangkoan Peng.
Cepat-cepat Siangkoan Peng berkelit dan dia dapat menghindarkan diri dari
cekalan tangan orang itu.
„Ha, ha, ha, ha…..” tertawa orang she
Phang itu dengan suara yang nyaring sekali. „Tampaknya engkau mempunyai
kepandaian yang lumayan, sungguh baik! baik! usia kalian masih muda tetapi
kalian telah dapat memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.”
Yo Him tidak senang melihat Phang Kui
In memperlakukan begitu kepada Siangkoan Peng. Dia telah menegurnya dengan
suara yang tidak senang. “Mengapa harus turunkan tangan kasar begitu lopeh?”
Ditegur Yo Him, orang she Phang itu
jadi melengak, dia sampai memandang dengan tatapan mata tertegun. Tapi dengan
cepat dia telah berkata lagi.
„Ha, ha, ha, aku tidak bermaksud
buruk, adik kecil! sungguh! aku hanya ingin melihatnya, apakah kalian memiliki
ilmu meringankan tubuh dan kepandaian!” Dan setelah berkata begitu, dengan
cepat sekali Phang Kui In telah bergerak lagi, dia telah mengulurkan tangan
kanannya dengan cepat luar biasa ke arah Yo Him. Serangan yang dilancarkannya
sangat cepat berbeda dengan gerakan yang dilakukannya tadi terhadap Siangkoan
Peng.
Yo Him terkejut, tetapi kepandaian
yang dimiliki Yo Him juga tidak lemah. Walaupun dia tidak mengerti ilmu silat
secara mendalam, namun dia memiliki kepandaian yang merupakan ilmu yang dahsyat
sekali, sehingga dia selalu dapat bergerak dengan sangat ringan dan cepat
sekali.
Setiap serangan-serangan yang
dilancarkannya itu sangat hebat dan gesit sekali, maka tidaklah terlalu
mengherankan, di saat tangan orang tersebut tengah menyambar datang, dan belum
lagi jari tangan dari Phang Kui In mengenai pergelangan tangannya, justru Yo
Him telah memutar tangannya, dan telah berhasil meloloskan diri dari cekalan
tangan Phang Kui In.
Gerakan yang dilakukan oleh Yo Him
sangat lincah dan manis sekali. Tetapi karena Yo Him jadi penasaran oleh sikap
Phang Kui In yang seperti ingin menguji kepandaiannya, dia telah meneruskan
dengan membalas menyerang.
Phang Kui In mengeluarkan suara seruan
tertahan karena terkejut, karena tadi waktu dia mengulurkan tangannya untuk
mencekal pergelangan tangan Yo Him, dia telah melakukannya dengan cepat sekali,
dan jika memang serangan tersebut dilancarkan kepada jago-jago dari tingkatan
yang keempat atau kelima, tentu jago-jago itu tidak mungkin bisa meloloskan
diri. Tetapi Yo Him kini ternyata berhasil mengelakan diri dari cekalannya itu,
dan juga berhasil untuk membarengi dengan melancarkan serangan membalas. Tentu
saja hal itu merupakan suatu kejadian yang sangat aneh sekali.
Cepat sekali Yo Him telah mengeluarkan
suara bentakan dan kembali dia telah melancarkan serangan dengan mengerahkan
tenaga dalamnya sehingga Phang Kui In mau tidak mau harus bergerak cepat.
Walaupun tenaga serangan dari Yo Him belum mengandung tenaga menyerang yang
bisa mematikan, tetapi serangan-serangan itu telah menimbulkan angin yang cukup
dahsyat.
Phang Kui In lekas-lekas berkelit,
karena terlambat sedikit saja, tentu ia akan rubuh di tangan Yo Him. Dalam
waktu yang sangat singkat, tampak serangan-serangan Yo Him telah menyambar
datang dengan gencar sekali, dan silih berganti Yo Him melancarkan
serangan-serangan dengan lincah dan gesit luar biasa.
Tetapi Phang Kui In telah mengeluarkan
suara tertawa dan pujian kagum berulang kali. „Bagus! Bagus! Tampaknya engkau
memiliki bakat untuk mempelajari ilmu yang sangat hebat, anak yang baik!” Dan
setelah berkata begitu, dengan cepat Phang Kui In telah mengelakkan serangan
jari telunjuk tangan Yo Him, dia telah mengelakkannya sambil mengayunkan tangan
kanannya yang mengibas dengan keras. Kibasan tangannya telah mengeluarkan suara
mendesir dan samberan angin yang kuat. Dengan mengeluarkan seruan tertahan,
tampak tubuh Yo Him telah terpelanting di atas pasir.
„Bukk!” Bukan main kerasnya tubuh Yo
Him yang terbanting di atas pasir. Untung saja serangan yang dilakukan oleh
Phang Kui In memang telah diperhitungkan, maka serangan itu tidak membahayakan
diri Yo Him. Walaupun dia telah terbanting di pasir tetapi bantingan itu tidak
menimbulkan perasaan sakit apa-apa.
Dengan muka yang berobah merah, tampak
Yo Him telah melompat berdiri.
Baru saja Yo Him ingin menegur, Phang
Kui In telah berkata,
„Dengan adanya kenyataan seperti ini,
ternyata Pek-liong-kauw memang bukannya memiliki nama kosong belaka! Hebat
sekali, Hebat sekali! Anak seusia seperti engkau ini ternyata memiliki
kepandaian yang sangat hebat sekali, dan benar-benar menimbulkan perasaan kagum
di hatiku,” dan setelah berkata begitu Phang Kui In telah bertepuk-tepuk tangan
beberapa kali.
Tanpa menantikan jawaban Yo Him
ataupun Siangkoan Peng, dia telah membalikkan tubuhnya, dan telah berlari-lari
cepat sekali, gerakannya seperti terbang. Phang Kui In telah meninggalkan Yo
Him dan Siangkoan Peng, dimana gadis kecil itu berdiri diam tertegun dengan
membisu.
Tetapi waktu mereka telah tersadar
dari terkejutnya itu, dengan cepat Yo Him dan Siangkoan Peng telah melompat
berlari untuk mengikuti Phang Kui In, karena mereka jadi ingin mengetahui apa
yang akan dilakukan oleh Phang Kui In, dan siapakah orang yang berkaki pincang
itu. Tetapi, rupanya suara teriakan, atau yang lebih tepat lagi adalah pekik
kaget dari Yo Him telah menyebabkan beberapa orang-orang Pek-liong-kauw
mendengarnya, dan mereka telah berdatangan dengan cepat.
Gerakan mereka memang gesit dan dalam
waktu yang singkat lima orang anak buah Pek-liong-kauw yang bertugas untuk
menjaga keamanan di tempat bagian tersebut, telah menghadang dihadapan Phang
Kui In.
„Berhenti!” bentak salah seorang
diantara mereka dengan suara yang cukup nyaring.
Phang Kui In telah menghentikan
larinya, dia berdiri mengawasi sejenak kepada kelima orang yang menghadang
dirinya dengan bibir yang tersenyum, dan kemudian dia telah berkata dengan
suara yang cukup nyaring dan ramah.
„Maafkan, maafkanlah, atas
kelancanganku ini! Sesungguhnya kedatanganku ini memang sangat ceroboh sekali,
tanpa meminta ijin telah menginjakan kaki di pulau ini! Semua ini disebabkan
aku membawa suatu berita sangat penting sekali untuk Wie Kauw-cu.....”
„Siapakah Heng-tay?” tanya orang yang
tadi menegur, suaranya lebih ramah dari tadi, karena dia melihat sikap Phang
Kui In cukup ramah dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa kedatangannya itu
mengandung maksud buruk. „Untuk keperluan apakah ingin menemui Wie Kauw-cu
kami?”
Phang Kui In telah tertawa lagi, dia
telah berkata dengan suara yang lembut.
„Sesungguhnya dalam keadaan demikian
sulit untuk kujelaskan persoalan itu, sebab urusan ini aku harus sampaikan
kepada Wie Kauw-cu dengan empat mata.....!”
Kelima orang yang menghadang Phang Kui
In jadi berdiri ragu. Lalu salah seorang yang tadi telah menegur Phang Kui In,
telah bertanya kepada temannya.
„Sesungguhnya, apakah dia bermaksud
baik atau tidak?” bisik orang itu kepada temannya.
„Kita belum bisa menentukan,” jawab
kawannya dengan suaranya yang perlahan, „Atau kita laporkan saja perihal orang
ini kepada Wie Kauw-cu?”
Kawannya mengangguk.
„Begitupun baik engkau saja yang pergi
melaporkan!” kata kawannya. Orang itu mengiyakan, kemudian dia telah menoleh
lagi kepada Phang Kui ini, katanya dengan suara yang cukup ramah.
„Jika memang demikian, tunggulah
sebentar disini. aku ingin memberitahukan kedatangan Heng-tay kepada Kauw-cu!”
Phang Kui In mengangguk mengiyakan dia
telah berkata, “Baik! Baik! hanya saja aku telah merepotkan kalian!”
Dan orang itu telah meninggalkan
keempat orang kawannya, dia telah berlari-lari untuk melaporkan perihal
kedatangan Phang Kui In kepada Kauw-cunya.
Di saat itu Phang Kui In telah
bertanya kepada keempat orang anggota Pek-liong-kauw tersebut. „Apakah selama
ini kalian belum menerima kedatangan tamu?” tanyanya dengan suara yang ramah.
Keempat orang itu telah menggelengkan
kepala perlahan seperti juga mereka segan untuk bercakap-cakap dengan Phang Kui
In, karena mereka memang belum mengetahui siapakah adanya orang yang di hadapan
mereka ini. Apakah kawan ataukah lawan? Maka dari itu keempat orang anggota
dari Pek-liong-kauw tersebut bermaksud ingin berdiam diri saja dahulu.
Tidak lama kemudian dari arah markas
besar Pek-liong-kauw telah datang serombongan orang, yang jalan di muka adalah
Wie Kiam Kauw-cu diiringi oleh In-lap Siansu dan beberapa orang anggota
Pek-liong-kauw. Sedangkan orang yang tadi pergi melapor, telah menunjuk ke arah
Phang Kui In, samar-samar telah terdengar suaranya yang cukup nyaring.
„Orang itulah yang ingin bertemu
dengan Kauw-cu!”
Wie Kiam sejak melihat Phang Kui In.
Telah mengerutkan alisnya, dia tidak mengenal orang she Phang itu. „Siapakah
dia?” pikir Wie Kiam di dalam hatinya, dia heran bukan main. „Mengapa dia ingin
menemuiku?” Dan setelah berpikir begitu, saat itu dia telah tiba dihadapan
Phang Kui In.
Phang Kui In telah melihat Wie Kiam,
cepat-cepat dia merangkapkan kedua tangannya, dan telah menjura memberi hormat,
katanya. „Tentunya yang ada dihadapan Siauw-te (adik) adalah Wie Kiam Kauw-cu
yang sangat terkenal sekali bukan?”
Wie Kiam mengangguk sambil cepat-cepat
membalas penghormatan tamunya itu, walaupun dia masih belum mengetahui siapa
adanya tamunya itu.
„Benar......!'“ dia telah membenarkan.
„Dan siapakah Heng-tay? Ada urusan apakah Heng-tay mencariku?”
„Siauw-te she Phang dan bernama Kui
In, dan sesungguhnya memiliki suatu urusan yang cukup penting, yang akan
Siauw-te sampaikan hanya empat mata dengan Wie Kiam Kauw-cu.”
Wie Kiam tampak jadi heran dan
bimbang. Dia bukan kuatir nanti orang she Phang ini melakukan tipu daya untuk
mencelakai d'irinya, karena Wie kiam juga memiliki kepandaian yang sangat
tinggi dan tentu bisa mengatasinya jika sampai Phang Kui In bermaksud tidak
baik. Tetapi yang mengherankan sekali, mengapa Phang Kui In telah meminta agar
mereka berbicara empat mata saja dengan dia.
Tetapi sebagai seorang Kauw-cu yang
memiliki kebijaksanaan, maka dia telah berkata dengan suara yang sabar, „Apakah
urusan yang akan disampaikan oleh Heng-tay merupakan urusan yang sangat penting?”
Phang Kui In telah mengangguk sambil
mengiyakan. „Urusan itu hanya bisa dibicarakan dengan anda di bawah empat mata,
Wie Kauw-cu,” kata Phang Kui In kemudian.
„Hemm, jika memang demikian, aku tidak
keberatan!” kata Wie Kiam Kauw-cu. „Tetapi sekarang katakanlah dulu, menyangkut
persoalan apakah urusan yang ingin disampaikan Heng-tay.”
Phang Kui In tampak ragu-ragu tetapi
kemudian dia telah berkata dengan suara yang perlahan, “Menyangkut masalah
keselamatan pulau Ang-hwa-to.....!”
„Menyangkut keselamatan pulau
Ang-hwa-to?” tanya Wie Kiam Kauw-cu dengan suara terkejut, karena walaupun
bagaimana perkataan yang dinyatakan oleh Phang Kui In merupakan suatu
pernyataan yang sangat lancang sekali.
„Hemm..... memang agak luar biasa,
apakah ada seseorang yang bermaksud akan melanggar pulau Ang-hwa-to kami?
Melanggar Pek-liong-kauw?” tanyanya kemudian dengan suara yang dingin sekali.
„Bukan begitu, bukan begitu…..!” kata
Phang Kui In cepat, „Tetapi masalah ini menyangkut urusan yang sangat besar
sekali, dan termasuk ke selamatan Pek-liong-kauw.....! Akhh, urusan demikian
penting, tidak bisa aku menyampaikannya dihadapan banyak orang! Jika memang
Kauw-cu bersedia mendengar laporanku hanya di bawah empat mata, maka aku akan
menyampaikannya, tetapi jika Kauw-cu keberatan, biarlah aku tidak akan
mengatakannya.....!”
Wie Kiam Kauw-cu jadi agak ragu-ragu,
dia telah berdiam diri sejenak, tetapi kemudian sambil menghela napas dia telah
berkata. „Baiklah! Mari silahkan ikut denganku!” Dan setelah berkata begitu. Wie
Kiam menoleh kepada seseorang yang disampingnya, dia bicara bisik-bisik,
kemudian melangkah meninggalkan rombongannya agak jauh.
Sedangkan Phang Kui In setelah melihat
Kauw-cu itu telah melangkah akan meninggalkan rombongannya, dia telah
mengikutinya dari belakang. Setelah berjalan puluhan tombak, Wie Kiam menoleh
dan bentaknya kepada Phang Kui In.
„Apakah sekarang dapat engkau bicara
dengan tenang disini?”
Phang Kui In telah memandang ke
sekelilingnya, dia telah melihat keadaan di sekitar tempat itu memang sepi dan
tidak terlihat seorangpun juga. Maka akhirnya Phang Kui In telah mengangguk
dengan cepat, dia telah berkata dengan suara yang sabar sekali.
„Benar! Memang tempat ini cocok untuk
kita bercakap-cakap!”
„Sekarang katakanlah, apa yang ingin kau
bicarakan?” tanya Wie Kiam Kauw-cu kemudian.
„Urusan ini sesungguhnya urusan yang
sangat penting sekali, jika di saat sekarang ini Kauw-cu belum mendengarnya,
karena urusan ini sangat dirahasiakan sekali, maka walaupun Pek-liong-kauw
memiliki banyak orang-orangnya yang tersebar di daratan Tiong-goan, tetapi
perihal peristiwa ini tentunya tidak didengar oleh Kauw-cu.....!”
„Urusan apakah itu?” tanya Wie Kiam
Kauw-cu dengan suara yang tidak sabar,
„Urusan ini merupakan urusan yang
sangat penting sekali, yaitu urusan dengan munculnya seorang tokoh dipersilatan
yang diperalat oleh pemerintah Mongolia.....!” kata Phang Kui In kemudian
dengan suara yang sabar. „Tokoh persilatan itu memiliki kepandaian yang sangat
hebat sekali. Jika sampai sekarang Kauw-cu belum mengetahuinya, karena tokoh
persilatan itu bekerja secara diam-diam, dan juga mengatur orang-orangnya
dengan segala kepandaiannya yang ada secara sembunyi-sembunyi, untuk
memberantas orang-orang gagah di dalam rimba persilatan.....! Dan yang kuketahui,
justru Pek-liong-kauw merupakan salah satu nama yang terdaftar, dimana harus
dibasmi habis. Karena jika orang-orang gagah berdiri di pihak pemerintah,
tentunya waktu orang-orang Mongolia itu melakukan penyerbuan, dengan sendirinya
akan mempersulit mereka. Karena itu mereka ingin membasmi dulu orang-orang
gagah di daratan Tiong-goan, baru kelak melakukan penyerangan dan menyerbu
masuk ke tapal batas.....!”
Kauw-cu dari Pek-liong-kauw itu jadi
terkejut juga mendengar perkataan Phang Kui In. Dia sampai memandang tertegun.
Sama sekali dia tidak menyangka bahwa urusan menyangkut masalah pemerintahan.
Tetapi sebagai seorang Kauw-cu yang telah seringkali mengalami banyak peristiwa
dan urusan-urusan yang sangat penting dan besar, maka dia cukup tenang untuk
menghadapinya. Dengan tersenyum sabar, kemudian Wie Kiam Kauw-cu telah
bertanya. „Sesungguhnya, darimanakah mereka itu mengetahui perihal
Pek-liong-kauw?”
Phang Kui In tertawa bergelak-gelak
dengan nada yang tinggi, katanya kemudian.
„Lucu! Lucu sekali!” katanya.”Mungkin
Kauw-cu memang meragukan perkataanku itu dan mengira keteranganku itu hanyalah
suatu keterangan yang palsu belaka.”
Wie Kiam Kauw-cu telah menggelengkan
kepalanya, dia telah berkata.
„Bukan, bukan begitu!” katanya cepat.
„Sesungguhnya di dalam persoalan ini yang dipentingkan adalah fakta dan
kenyataan dari bukti-bukti yang harus kau kemukakan, jika tidak terdapat
bukti-bukti, bagaimana aku bisa mempercayai keteranganmu itu?”
Mendengar perkataan Wie Kiam Kauw-cu,
sejenak Phang Kui In berdiam diri, kemudian dia telah berkata. „Baiklah Jika
memang kauw-cu hendak meminta bukti dariku, aku tidak akan keberatan, aku akan
mengeluarkannya! Di samping itu, jika Kauw-cu masih ingat! tentu Kauw-cu akan
membenarkan perkataanku. Semuanya harus dilakukan dengan jujur! Pertama-tama,
Kauw-cu harus mengiyakan jika memang pertanyaanku itu benar, dan menolak jika
tidak benar! Bagaimana, apakah Kauw-cu bersedia untuk melakukannya?”
„Bersedia!” mengangguk Wie Kiam
Kauw-cu. „Kau tanyakanlah!”
Mendengar perkataan Wie Kiam Kauw-cu
yang tampaknya begitu yakin, Phang Kui In menjadi senang sekali, dia telah
berkata. „Nah, kini katakanlah yang jujur, Wie Kauw-cu, bukankah Sin-tiauw
Tayhiap berjanji akan datang berkunjung ke Ang-hwa-to ini?”
Mendengar perkataan dari Phang Kui In
yang terakhir ini, tentu saja Wie Kiam Kauw-cu jadi tertegun, kembali dia jadi
ragu-ragu, karena walaupun bagaimana dia memang tidak dapat mengatakan „Ya!”
atau „Tidak”. Pertama-tama, jika dia mengatakan Ya, berarti dia membongkar
suatu urusan yang sangat penting karena persoalan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko akan
berkunjung ke Ang-hwa-to merupakan urusan yang dirahasiakan sekali. Dan jika
dia membenarkan, bukankah hal itu melancangkan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko? Tetapi
jika dia mengatakan tidak, tentu saja dia pun tidak bisa melakukannya, karena
memang Wie Kiam Kauw-cu tidak biasanya berdusta. Kenyataan seperti ini telah
membuat Wie Kiam Kauw-cu jadi berada dalam posisi yang serba sulit. Tetapi
setelah berdiam diri sejenak dia telah berkata dengan suara ragu-ragu.
„Dalam hal ini, tidak bisa aku
membicarakannya..... karena memang persoalan ini bukan merupakan masalah yang
biasa.....! Sedangkan aku belum lagi mengenal benar siapa diri anda! Maafkan,
untuk ini aku tidak bisa menjawabnya......!”
Mendengar perkataan Wie Kiam Kauw-cu,
tentu saja hal ini telah membuat Phang Kui In tertawa bergelak-gelak.
„Bukankah tadi Kauw-cu telah berjanji,
akan bicara dari hal yang sejujurnya?” tanyanya.
„Benar...... tetapi jika memang
masalahnya menyangkut perihal keselamatan Ang-hwa-to,” jawab Kauw-cu dari
Pek-liong-kauw ini. „Jika memang dalam masalah lain, itu bukan wewenangku!”
Mendengar perkataan terakhir dari Wie
Kiam Kauw-cu, tentu saja Phang Kui In jadi memperoleh sedikit kesulitan, dia
telah berkata lagi dengan suara ragu-ragu.
„Dalam persoalan ini, walaupun
menyangkut orang luar dari Pek-liong-kauw, tetapi juga akhirnya memiliki
sangkut paut dengan Pek-liong-kauw! Maka dari itu, jika memang Kauw-cu
memberikan jawaban yang meyakinkan dan jujur, aku akan menjelaskan seluruhnya
dengan benar dan jelas!”
„Tetapi masalah Sin-tiauw Tayhiap Yo
Ko, pendekar agung itu, bukanlah merupakan suatu persoalan yang mudah untuk
dijadikan bahan percakapan yang tidak ada artinya!”
Mendengar perkataan Wie Kiam Kauw-cu,
Phang Kui In telah berkata lagi. „Kenyataannya memang Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko
bermaksud akan datang berkunjung ke Ang-hwa-to ini, tetapi sekarang sampai
detik ini, bukankah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko belum lagi terlihat batang
hidungnya?”
Mendengar perkataan Phang Kui In
seketika itu juga semangat Wie Kiam Kauw-cu seperti terbang meninggalkan
raganya, mukanya telah berobah menjadi pucat, bahkan dia telah berkata lagi
dengan suara yang dingin. „Apakah di dalam persoalan ini, memang benar-benar
engkau datang untuk menyampaikan persoalan yang memiliki sangkut paut dengan
diri Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?”
„Tepat! Sejak tadi aku telah
mengatakan, bahwa urusan ini malah menyangkut keselamatan pulau Ang-hwa-to!”
menyahuti Phang Kui In.
„Tetapi..... tetapi.....!”
„Yang jelas kini, jika sampai
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko tidak menepati janjinya untuk berkunjung ke pulau ini,
lalu dalam persoalan tersebut apakah tidak terdapat kejanggalan? Tentu saja
ada! Karena Sin-tiauw Tayhiap sendiri tengah menghadapi suatu kesulitan yang
sukar dihadapi olehnya!”
Wie Kiam Kauw-cu tampaknya jadi agak
bingung, dia menghela napas beberapa kali, kemudian tanyanya. „Jadi dalam
persoalan ini tampaknya engkau bersungguh-sungguh ingin menyampaikan masalah
yang jauh lebih penting dari urusan Sin-tiauw Tayhiap, dan juga engkau tidak
terdesak oleh tekanan-tekanan untuk membuktikan akan keadaan dirimu dan
kebenaran dan keteranganmu itu, yang tentunya engkau tidak akan meminjam nama
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Bukankah begitu?”
„Tentu saja..... tentu saja!” mengangguk
Phang Kui In. „Memang dalam persoalan ini tentu saja akupun memiliki suatu
kepentingan yang saling berpegangan erat dengan persoalan yang menyangkut
dengan keadaan yang dihadapi Pek-liong-kauw kelak.”
Kauw-cu dari Pek-liong-kauw telah
mengerutkan sepasang alisnya, dia telah bertanya dengan suara yang dingin dan
tatapan mata yang sangat tajam sekali. „Sesungguhnya, darimanakah engkau
memperoleh sumber-sumber seperti itu?”
„Maksud Kauw-cu sumber
keterangan-keterangan yang telah kuberikan, bukan?” tanya Phang Kui In
kemudian.
Wie Kiam Kauw-cu telah mengangguk
cepat, dia telah bertanya lagi dengan suara yang tetap dingin dan tatapan mata
yang tetap tajam.
„Nah dalam persoalan ini, jika engkau
dapat membuktikan dan meyakinkan diriku, tentu aku akan mempercayai penuh akan
keterangan¬mu itu!”
Mendengar perkataan Wie Kiam Kauw-cu,
Phang Kui In jadi tertawa bergelak-gelak dengan suara yang nyaring sekali dan
dia telah berkata dengan suara yang lantang, „Jika dalam persoalan ini Kauw-cu
tetap tidak dapat mempercayai diri dan keteranganku, hal itupun tidak menjadi
persoalan, karena akupun tidak akan terlalu memaksanya.....! Nah, sesungguhnya
Kauw-cu bermaksud untuk mendengar keterangan dariku atau tidak?”
Wie Kiam Kauw-cu telah tertawa dingin.
„Jika engkau belum bisa membuktikan secara meyakinkan bahwa engkau berasal dari
mana dan memperoleh sumber keterangan seperti itu dari siapa, maka aku belum
ingin bicara denganmu cara terbuka!”
„Hemm, tampaknya memang Kauw-cu masih
mencurigai keadaan diriku!” kata Phang Kui In kemudian. „Tetapi dengan melihat
saja bahwa aku dapat mengetahui jelas bahwa Sin-tiauw Tayhiap telah berjanji
akan datang berkunjung ke pulau Ang-hwa-to, hal itu sudah merupakan suatu
persoalan yang cukup mengherankan Kauw-cu, bukan? Dan itupun sudah merupakan
bukti bahwa aku mengetahui urusan itu dengan jelas sekali..... Dan juga, dalam
keadaan seperti sekarang, jika persoalan itu merupakan persoalan biasa saja,
dari mana aku bisa mengetahui bahwa Sin-tiauw Tayhiap akan berkunjung ke
Ang-hwa-to?”
Mendengar pertanyaan Phang Kui In yang
terakhir Wie Kiam Kauw-cu jadi bimbang sendirinya. Memang apa yang dikatakan
oleh Phang Kui In merupakan hal yang sebenarnya, karena dalam persoalan ini
tentu tidak akan ada orang yang mengetahui maksud kunjungan Sin-tiauw Tayhiap
ke pulau Ang-hwa-to, karena persoalan itu dirahasiakan benar, hanya beberapa
orang saja dari orang kepercayaannya yang mengetahui rencana kunjungan
Sin-tiauw Tayhiap.
Dalam persoalan ini mungkin Sin-tiauw
Tayhiap tengah menghadapi suatu persoalan yang rumit sekali, karena jika memang
tidak tentu dia akan tiba tepat dalam waktu yang telah dijanjikannya! Dan kini
sampai sekarang Sin-tiauw Tayhiap tidak juga muncul, sehingga Sin-tiauw Tayhiap
telah gagal dengan janjinya yang telah lewat beberapa hari, maka Wie Kiam
Kauw-cu jadi semakin digeluti oleh perasaan ragunya.
„Baiklah! Memang benar Sin-tiauw
Tayhiap telah berjanji ingin berkunjung ke pulau Ang-hwa-to! Nah, sekarang
engkau katakan, dari mana engkau mengetahui persoalan itu?”
„Aku mengetahuinya dari Sin-tiauw
Tayhiap sendiri!!” kata Phang Kui In dengan suara yang nyaring.
„Hah?” tentu saja Wie Kiam Kauw-cu
jadi terkejut, dan dia memandang tidak percaya kepada Phang Kui In.
„Jika Kauw-cu masih tidak bisa
mempercayai diriku, hal itu juga sulit sekali dibilang!” kata Phang Kui In
kemudian. „Memang dalam persoalan ini terdapat urusan yang penting, keselamatan
dari puluhan ribu anggota Pek-liong-kauw! Dengan sendirinya, jika dalam
persoalan ini Kauw-cu bertindak ceroboh, tentunya akan membuat anak buah dari
Pek-liong-kauw itu, secara keseluruhannya akan menerima bencana yang tidak
kecil!”
Mendengar perkataan Phang Kui In yang
terakhir, tentu saja Wie Kiam Kauw-cu jadi digeluti oleh kebimbangan yang
sangat, karena memang tepat apa yang dikatakan oleh Phang Kui In. Jika dalam
persoalan ini dia berlaku ceroboh tentu keselamatan dari seluruh anggota
Pek-liong-kauw akan terancam! Karena itu Wie Kiam Kauw-cu telah menghela napas.
„Aneh juga, engkau selalu bicara
dengan suara yang sangat dirahasiakan sekali, dengan kata-kata yang terlalu
berbelit-belit, sehingga sulit untuk aku mempercayai dengan penuh keyakinan
seluruh keteranganmu itu! Bagaimana aku bisa mengajakmu bicara dengan hati
terbuka?”
Phang Kui In telah berkata dengan
suara yang berubah menjadi lemah. „Baiklah, memang dalam persoalan ini aku yang
telah bersalah, bicara terlalu berhati-hati! Sekarang begini saja, aku pernah
ditawan, dan justru aku dimasukkan ke dalam kamar tahanan, dimana di dalam
kamar tahanan itu terdapat Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko!”
„Hah.....?” berseru Wie Kiam Kauw-cu
dengan suara yang terkejut, karena dia merasa kaget mendengar Sin-tiauw Tayhiap
Yo Ko telah tertawan oleh seseorang, sedangkan dalam persoalan tersebut Wie
Kiam Kauw-cu juga tidak bisa mempercayai sepenuhnya, karena walaupun bagaimana
sulit dipercaya. Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko telah tertawan oleh seseorang,
sedangkan kepandaian yang dimiliki Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sudah mencapai
puncak kesempurnaannya, sehingga sulit sekali dipercaya bahwa dia telah
berhasil dirubuhkan begitu saja.
Karenanya Wie Kiam Kauw-cu jadi
memandang dengan tatapan mata yang tidak mempercayai, akhirnya dia telah
berkata dengan suara yang tawar. „Jika memang engkau mengatakan bertemu dengan
Sin-tiauw Tayhiap, hal itu mungkin masih bisa kupercayai..... tetapi jika
engkau mengatakan bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap dalam kamar tahanan, dimana
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko telah tertawan, hal itu merupakan suatu dusta yang
menimbulkan tertawa geli di hati!”
14.28. Tertawannya Pendekar Rajawali
Sakti
„Tetapi hal ini benar-benar telah
terjadi!” berkata Phang Kui In dengan wajah bersungguh-sungguh.
„Baiklah, teruskan ceritamu!”
„Aku ditawan oleh salah seorang
Mongolia yang memelihara jenggot dan kumis lebat sekali, dia begitu hebat
kepandaiannya, hanya dalam beberapa jurus saja aku telah berhasil dirubuhkan!
Aku telah ditawan dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan batu yang rapat sekali,
kemudian dia telah mengunci kembali pintu batu itu dengan mempergunakan alat
rahasia. Sedangkan dalam saat-saat seperti itu, aku telah mulai biasa dengan
keadaan yang gelap pekat, aku mulai dapat melihat seseorang di sudut dinding
tengah duduk bersemedhi.”
„Siapa orang itu?” tanya Wie Kiam
dengan suara sabar.
„Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko,” menyahuti
Phang Kui In. „Tetapi waktu itu aku belum mengetahui bahwa orang itu adalah
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, aku telah menghampirinya dan bertanya dengan suara
yang ragu-ragu.
„Siapakah engkau? Apakah engkau
ditawan di sini juga?
„Dan orang itu telah mengawasiku
dengan tatapan mata yang sangat tajam sekali, dia telah berkata dengan suara
yang dingin. „Tidak perlu tahu.....! Engkau ditawan di tempat ini, karena dalam
parsoalan ini engkau tidak gagah!” dan perkataan itu mengandung nada yang
sangat angkuh sekali, tentu saja telah membuat aku jadi mendongkol sekali.
„Aku segera berkata. „Jika memang aku
tidak perlu tahu keadaanmu, tentu engkau juga tidak perlu tahu keadaanku!
„Mendengar perkataanku itu. nampaknya
orang tersebut jadi gusar. Dia telah berkata, „Aku mengetahui bahwa engkau
ditawan. Engkau telah ditangkap dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan ini! Dan
seperti aku katakan, bahwa engkau memang tidak memiliki kepandaian yang tinggi,
sehingga engkau telah berhasil ditangkap demikian rupa! Hemm, tetapi
sebaliknya, aku justru bukan ditawan, tetapi aku memang hendak berdiam disini
tidak mau pergi!”
„Aku jadi heran mendengar perkataan
orang itu, sehingga aku mengawasinya dengan tatapan mata yang sangat tajam
sekali, aku telah bertanya. „Mengapa begitu?”
„Dan orang itu telah menyahuti. „Jika
aku sudah mengatakan aku tidak mau pergi dari tempat ini, itupun sudah jauh
lebih baik dari segala persoalan yang ada, karena engkau telah mengetahui, maka
engkau tidak perlu banyak bertanya. Nasibmu sangat beruntung, karena aku
bersedia untuk membantu kau melarikan diri jika memang engkau ingin melarikan
diri! Maukah engkau?”
„Saat itu aku ragu-ragu, karena,
walaupun bagaimana memang dalam persoalan ini telah membuat aku kuatir
kalau-kalau orang ini justru orangnya dari orang Mongolia yang telah
menangkapku, yang sengaja memancingku! Aku telah mengawasinya dengan tajam dan
memperhatikan keadaan orang itu, segera aku telah melihatnya, orang itu duduk
bersila dengan tubuh yang tegap, dengan muka yang tampan dan juga dengan tangan
kanan kiri yang diturunkan. Yang mengejutkan, justru tangan kanannya yang
buntung, dimana lengan jubahnya itu terjuntai lemas tidak ada isinya, tentu
saja hal ini telah membuat aku jadi heran, dan teringatlah aku akan seseorang,
sedangkan orang itu telah berkata dengan suara yang dingin.
„Engkau rupanya teringat kepada
seseorang, bukan?” tanyanya.
„Ya, memang benar!” jawabku kemudian
sambil mengangguk dan telah membenarkan pertanyaannya itu.
„Sedangkan orang itu telah berkata
lagi, „Memang benar, aku Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Dan aku ingin membantumu jika
memang engkau ingin melarikan diri dari tempat ini!”
„Tetapi saat itu aku masih ragu-ragu,
dan hanya memandanginya saja. Dan orang itu, yang mengaku sebagai Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko telah tertawa dingin. Dia telah berdiam diri saja. Aku jadi serba
salah, dan akupun telah duduk di sudut dinding lainnya untuk mengasoh.”
Wie Kiam Kauw-cu telah mendengarkan
dengah penuh perhatian.
„Bagaimana wajahnya?” tanyanya
kemudian.
„Muda dan tampan sekali, seperti juga
seorang pemuda duapuluh lima tahun!” menjelaskan Phang Kui In.
Mendengar itu tentu saja Wie Kiam
Kauw-cu jadi terkejut lagi. kerena memang Sin-tiauw Tayhiap walaupun telah
berusia hampir empatpuluh tahunan lebih, tetapi masih memiliki paras muka yang
tampan dan seperti seorang pemuda yang berusia duapuluhan tahun, karena dia
memiliki lwekang yang sangat sempurna sekali, sehingga membuat Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko jadi awet muda.
Saat itu tampak Phang Kui In telah
melanjutkan ceritanya.
„Aku telah berdiam diri cukup lama,
sampai akhirnya aku tidak bisa menahan kesabaranku lagi. „Menurut cerita orang,
Tayhiap Yo Ko selalu berada berdua dengan isterinya, yaitu Liehiap Siauw Liong
Lie, tetapi engkau hanya seorang diri, bagaimana aku bisa mempercayainya bahwa
engkau adalah Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko?
„Mendengar itu, Sin-tiauw Tayhiap Yo
Ko jadi tertegun, dia telah memandang dengan sorot mata yang tajam kepadaku,
namun sepatah perkataan juga tidak diucapkannya. Tetapi berselang lama juga,
dia telah bertanya dengan suara yang dalam. „Engkau memiliki kepandaian yang
cukup tinggi, jika tadi kukatakan engkau memiliki kepandaian yang tidak
sempurna, karena engkau harus menghadapi orang Mongolia itu, yang merupakan
jago dari Kublai Khan! Maka dari itu, jika menghadapi jago-jago biasa, engkau
tentu dapat menghadapinya dengan baik sekali. Dan jika sekarang engkau masih
penasaran, dengan kepandaian yang engkau miliki itu, cobalah engkau serang
diriku!
„Dan setelah berkata begitu, orang
tersebut, yang mengaku sebagai Sin-tiauw Tayhiap, telah bersiap-siap duduk
tegak menantikan serangan dariku.
„Aku ragu-ragu, tetapi kemudian
disebabkan aku memang ingin membuktikan bahwa orang ini benar atau bukan
merupakan jago nomor wahid masa kini, yaitu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, aku telah
bangkit berdiri, aku menghampirinya dan mengulurkan tanganku, dan di saat
itulah aku telah menggempurnya dengan mempergunakan telapak tangan kananku,
sambil membentak.
„Jagalah serangan!” dan cepat bukan
main, telapak tanganku itu telah meluncur dengan cepat sekali, untuk menghantam
keras sekali ke arah dadanya.
„Tetapi Sin-tiauw Tayhiap itu
tenang-tenang saja duduk di tempatnya, dia hanya mengawasi datangnya telapak
tangan dari seranganku itu, dia telah menatap dengan tatapan mata yang tajam
sekali. Dan di saat itulah terlihat ketika telapak tanganku yang tengah
menyambar hanya terpisah beberapa dim, dengan gerakan yang sangat cepat, dia
telah menggerakkan telapak tangan kanannya, dia telah mengibas dengan kuat
sekali, maka seketika itu juga meluncur angin kibasan yang sangat kuat sekali,
dan sekonyong-konyong tubuhku jadi terlempar melayang ke tengah udara. Dan
itupun sangat membingungkan sekali bagiku, karena aku tidak melihat dia
menggerakkan tangan kirinya, dan juga aku tidak melihat dia mengibas dengan
jubah tangan kanannya yang kosong. Tetapi mengapa tubuhku bisa terpental
begitu?
„Cepat-cepat aku telah memusatkan
tenagaku, dan telah berusaha mengendalikan tubuhku, tetapi disaat-saat seperti
itulah, dengan cepat sekali tubuhku telah melayang meluncur terbanting di
lantai. Keras sekali bantingan itu, sehingga aku merasakan kepalaku pusing,
mata nanar dan gelap. Aku jadi mengeluh dan merangkak bangun.
„Ketika itu, Yo Tayhiap telah berkata
dengan suara yang dingin, „Ayo seranglah diriku lagi!” Perkataan itu merupakan
ejekan, maka secepat kilat aku telah menggerakan kakiku, „wuttttt!” cepat bukan
main kaki kananku itu telah melayang menyambar ke arah dadanya dan dengan
segera aku mengincar jalan darah Ma-tung-hiatnya, yang akan kutendang agar
segera terbinasa.
„Dalam keadaan demikian, tampaknya Yo
Tayhiap yang tengah duduk bersemedi seperti itu sulit sekali mengelakan diri
dari tendangan yang aku lakukan. Dan aku yakin tendangan tersebut akan mengenai
sasarannya. Tetapi diwaktu kakiku mengenai dadanya. Dan menendang dengan tepat
sekali jalan darah Ma-tung-hiatnya, di saat itu juga aku merasakan seperti
menendang lapisan baja dan aku merasakan kakiku seperti terkilir, sakit luar
biasa, sehingga dalam waktu sekejap mata saja, telah menyebabkan aku
mengaduh-aduh kesakitan sambil memegangi kakiku, mukaku tentu saja meringis,
dan Yo Tayhiap telah mengawasiku dengan sikapnya yang acuh tak acuh, dia juga
telah berkata dengan suara yang dingin.
„Ayo seranglah lagi.....!” Dan aku
merasakan bahwa perkataannya itu merupakan ejekan belaka, dengan memaksa diri
aku telah merangkak bangun untuk berdiri, tetapi tidak segera melancarkan
serangan, karena aku jadi berpikir keras, dengan cara apa aku harus melancarkan
serangan kepadanya.”
Wie Kiam Kauw-cu yang mendengarkan
cerita Phang Kui In jadi mengawasi dengan tertarik sekali, dia mendengarkan
dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan anggota dari Pek-liong-kauw yang terpisah
puluhan tombak, telah mengawasi saja Kauw-cu mereka tengah bercakap-cakap
dengan 'tamu' tidak diundang tersebut, mereka tidak mendengar apa yang
diucapkan oleh sang 'tamu' itu, yang mulutnya telah berkemak-kemik tidak
hentinya, sedangkan Wie Kiam Kauw-cu tampaknya telah berdiri diam mengawasi
saja dengan mata yang terpentang lebar-lebar.
Di saat itu Yo Him dan Siangkoan Peng
juga telah tiba di dekat rombongan anggota Pek-liong-kauw, tetapi mereka
berdiri diam tidak berani mengucapkan sepatah perkataanpun juga. Tampaknya
kedua anak ini diliputi tanda tanya yang membinggungkan karena mereka telah
menyaksikan rombongan anggota dari Pek-liong-kauw telah berdiri diam saja
dengan jarak terpisah yang cukup jauh dengan Kauw-cu mereka, yang tengah
mendengarkan cerita dari Phang Kui In.
Tentu saja hal ini telah membuat Yo
Him menduga-duga, bahwa dalam persoalan ini tentunya terdapat suatu peristiwa
yang sangat luar biasa..... maka Yo Him dan Siangkoan Peng telah berdiam diri
saja, untuk menyaksikan peristiwa berikutnya.
„Sebetulnya siapakah dia adik Him?”
tanya Siangkoan Peng sambil mengawasi bimbang kepada Phang Kui In yang tengah
berkata-kata terus kepada Kauw-cu dari Pek-liong-kauw itu, karena mulutnya
tampak bergerak-gerak terus, walaupun mereka yang jaraknya terpisah begitu jauh
tidak mendengarnya.
„Aku sendiri mana tahu! hanya saja,
dia sangat nakal dan kasar, dia telah menjatuhkan diriku dengan mudah
membanting sehingga aku menderita kesakitan. Tetapi mengapa Wie Kiam Locianpwe
menerimanya untuk bertemu begitu rupa? Mengapa tampaknya Wie Kiam Locianpwe
tengah mendengarkan tertegun keterangannya? Apakah memang dalam persoalan ini
terdapat suatu peristiwa yang hebat? Dan..... apakah kedatangan orang itu
membawa bencana?”
Tetapi Yo Him dan Siangkoan Peng mana
bisa mengetahui urusan apa yang akan terjadi? Sedangkan anggota-anggota
Pek-liong-kauw dari golongan tua yang berada di tempat itu saja juga masih
tidak mengetahui, sesungguhnya urusan apakah yang tengah dibicarakan oleh
Kauw-cu mereka terhadap 'tamu' yang mengaku bernama Phang Kui In itu, yang
katanya membawa berita hebat, yang hanya bisa disampaikan kepada Wie Kiam
Kauw-cu secara empat mata?
Saat itu Phang Kui In telah
melanjutkan pula ceritanya, katanya.
„Aku memang tengah ragu-ragu untuk
melancarkan serangan lagi kepadanya, karena aku kuatir, jika aku melancarkan
serangan lagi kepadanya, diriku sendiri yang akan celaka dipersakiti olehnya!
Jika dilihat dalam dua gebrakan itu saja, memang telah terbukti bahwa
kepandaian orang itu, yang mengaku sebagai Sin-tiauw Tayhiap, merupakan
kepandaian yang sangat hebat sekali. Dengan sendirinya, hal ini telah membuat
aku jadi berpikir dua kali untuk melaksanakan serangan-serangan berikutnya!”
„Lalu apakah orang itupun, Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko, berdiam diri saja?” tanya Wie Kiam Kauw-cu penuh perhatian.
„Ya, selama itu dia hanya berdiam diri
saja, karena memang dia sama sekali tidak pernah menggerakkan tangannya, untuk
menyambuti serangan-seranganku sebanyak dua kali itu. Tetapi anehnya, yang
sangat mengherankan sekali, justru disaat-saat seperti itu, aku telah terpental
setiap kali melancarkan serangan kepadanya. Mungkin juga Sin-tiauw Tayhiap
telah mempergunakan tenaga dalamnya yang kuat sekali untuk melancarkan
gempuran-gempuran yang sangat kuat sekali, yang membuat setiap tenaga
seranganku itu terpukul mental membalik dan menghantam diriku sendiri!”
Wie Kiam Kauw-cu telah mengangguk
beberapa kali, kemudian katanya, „Ya, memang Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko memiliki
kepandaian yang sempurna sekali, dan latihan lwekangnya sudah mencapai puncak
kesempurnaan, sulit sekali untuk dilawan, tidak ada orang kedua seperti
Sin-tiauw Tayhiap dalam saat sekarang ini!”
Phang Kui ln telah mengangguk, dia
telah berkata dengan suara yang sangat dalam, mengandung kekaguman.
„Benar! Aku sendiri mulai mempercayai
bahwa dia sesungguhnya Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, karena jika dibandingkan dengan
kehebatan dari kepandaian yang diperlihatkannya itu, kepandaianku tidak ada
artinya sama sekali, tidak bisa dibandingkan dengan kepandaiannya yang sangat
sempurna itu!!”
Dan setelah berkata begitu, Phang Kui
In menghela napas beberapa kali, dia juga telah menggumam dengan suara yang
perlahan.
„Dan akhirnya memang aku mengetahuinya
serta yakin bahwa orang itu benar-benar Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, dan adanya
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko di ruang kamar tahanan tersebut, bukan disebabkan dia
ditawan, hanya karena Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sendiri yang tidak mau pergi
meninggalkan tempat itu, dia ingin duduk terus di tempat itu, sehingga membuat
pihak lawannya, orang-orang Mongolia jadi kewalahan. Beberapa kali jago-jago
Mongolia yang berkepandaian tinggi berusaha mengusirnya, tetapi Yo Tayhiap
selalu berkeras tidak mau pergi bahkan telah terjadi beberapa kali pertempuran
yang hebat sekali dan selalu dimenangkan oleh Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Maka
dengan sendirinya orang-orang dari Kublai Khan itu sama sekali tidak dapat
mengusirnya!”
„Tetapi bagaimana kesudahannya dari
seranganmu yang kedua kalinya, yang telah gagal itu?” tanya Wie Kiam Kauw-cu
dengan suara mengandung perasaan ingin tahu.
„Ya, di saat itu aku masih berdiri
ragu-ragu, tetapi kemudian aku telah berkata, „Baiklah, jika memang engkau
menghendaki aku melancarkan serangan-serangan lagi, akupun tidak bisa
menolaknya!
„Dan setelah berkata begitu, dengan
cepat sekali aku telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras, dan aku
telah mengumpulkan seluruh kekuatan tenaga dalamku di kedua telapak tanganku
itu, lalu dengan gencar, silih berganti aku melancarkan serangan ke tubuh
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko. Angin seranganku itu berkesiuran dengan dahsyat sekali
menggempur dada Sin-tiauw Tayhiap. Namun di saat itu. Yo Tayhiap hanya
mengeluarkan suara dengusan yang perlahan saja, dia telah menganggukkan
kepalanya beberapa kali, dan masih sempat kudengar suara menggumamnya yang
sangat perlahan. „Kepandaian yang baik, merupakan aliran putih dan tidak
tesesat. Bagus! Bagus!”
„Dan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko sama
sekali tidak menggerakkan kedua tangannya, dia tidak melancarkan tangkisan atas
serangan yang dilakukan olehku, tetap duduk bersemedhi dengan kedua tangannya
yang diturunkan itu, yaitu tangan kirinya yang masih utuh, dan tangan kanannya
yang telah kosong tidak berisi itu, sehingga jubah itu terjuntai lemas.
„Tetapi yang luar biasa sekali justru
tenaga seranganku yang hebat itu seperti tidak di pandang sebelah mata, bahkan
belum lagi angin serangan itu berhasil mengenai sasarannya, ternyata tenaga
dalamku itu telah membalik menghantam diriku dengan kekuatan di luar dugaanku,
lebih hebat dari tenaga seranganku yang semula. Aku sampai mengeluarkan suara
teriakan kaget, dan telah cepat-cepat melompat mundur, kemudian mengerakkan
tangan kananku untuk menangkis lagi. Tetapi gerakanku telah terlambat, karena
dalam saat-saat seperti itu tampak tubuhku telah terlontarkan dan dengan cepat
sekali terbanting keras di atas lantai sehingga untuk sejenak lamanya aku tidak
bisa segera bangkit berdiri, pandangan mataku jadi gelap berkunang-kunang,
kepalaku pusing bukan main.
„Dalam keadaan demikian tampak
Sin-tiauw Tayhiap telah mengeluarkan suara tertawa yang bening dan bersih
sekali. „Kulihat, engkau bukan termasuk manusia jahat! Engkau merupakan
golongan yang lurus dan bersih. Tetapi dalam persoalan ini, engkau masih kurang
berpengalaman dalam bertempur, karena engkau masih sering dikuasai oleh emosi,
sehingga tenaga murnimu itu sering terpecah menjadi tiga bagian, yaitu
mengikutinya tekanan darah tinggi, sering mengikuti nafsu, sering kurang
perhitungan. Ketiga faktor itulah yang telah membuat kau selalu terbanting oleh
seranganmu sendiri! Coba jika engkau melakukan penyerangan dengan lebih tenang,
melenyapkan nafsu untuk merubuhkan aku, memusatkan pemikiran hanya untuk
melakukan penyerangan saja, dan juga melenyapkan tekanan darah tinggimu yang
bisa mendatangkan kemarahan dan kemurkaan, maka engkau bisa melakukan
penyerangan-penyerangan secara hebat dan bisa lebih baik melindungi dirimu dari
gempuran-gempuran membalik dari tenaga seranganmu!
„Mendengar perkataan Sin-tiauw Tayhiap
Yo Ko, seketika aku tersadar, pikiranku jadi jernih, dan itulah petuah yang
sangat berharga, sama berharganya dengan latihanku selama sepuluh tahun dalam
ilmu silat! Tanpa petuahnya itu, walaupun aku melatih diri sepuluh tahun lagi,
tidak nantinya aku menerima kemajuan yang hebat dan belum tentu aku bisa
memecahkan teka-teki mengapa aku selalu terpental setiap kali melancarkan
serangan kepadanya. Dan karena itu, aku sangat bersyukur dan berterima kasih,
yakinlah aku di saat itu, bahwa orang ini memang Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko,
cepat-cepat aku telah merangkak bangun, aku telah menghampirinya dan telah
menekuk kedua lututku, bersujud dihadapannya.
„Maafkanlah aku, yang telah berlaku
lancang melancarkan serangan-serangan kepada Locianpwee,” kataku kemudian.
„Tetapi Sin-tiauw Tayhiap telah
berkata dengan suara yang bening sekali, sabar nadanya, sikapnya berbeda sekali
dengan sikapnya beberapa saat yang lalu, dia telah mengatakan, „Bangun! bangun!
berdirilah jangan melakukan begitu! Aku tidak mau menerima penghormatan yang
berlebihan! Semuanya harus wajar! Sesuatu yang berlebihan tentu akan membawa
kerusakan dan malapetaka! Tahukah engkau sikap menghormat yang terlampau
berlebihan, akan membawa celaka?”
„Ditanya begitu, aku hanya menggeleng
saja, karena aku memang tidak mengetahuinya, jika sikap pemberian hormat yang
berlebihan bisa mencelakai orang yang dihormati itu, karena disamping akan
berkepala besar dan sombong, juga akan melalaikan kemajuan dirinya sendiri.
Maka dari itu aku telah berdiam diri saja, karena aku menduga bahwa Yo Tayhiap
tentunya memiliki petuah lainnya.
„Melihat aku menggeleng Yo Tayhiap
telah tertawa kecil, dia telah berkata dengar suara yang sabar sekali, katanya.
„Ya memang dalam persoalan ini engkau tentunya belum mengetahui secara
menyeluruh, bahwa sikap menghormat yang diberikan secara berlebihan bisa
membawa celaka, yaitu kepada orang yang bersangkutan, baik kepada yang
menghormati, maupun bagi yang dihormati. Bagi orang yang menaruh hormat
terhadap seseorang, hormat itu memang baik. Terlebih lagi untuk golongan yang
lebih tua dan tinggi tingkatannya. Tetapi jika saja pemberian hormat itu
berlebihan, tentu saja akan menyiksa bathin orang itu sendiri, maka
selanjutnya, baik dia melakukan pekerjaan benar atau salah, dia tidak akan
berani membantah. Dan hal itu berarti juga telah lenyapnya keyakinan diri
sendiri, telah lenyap kepercayaan diri sendiri! Bukankah hal itu membawa
celaka? Dengan lenyapnya kepercayaan diri sendiri, berarti orang itu menghadapi
malapetaka yang sangat besar, karena dia tidak akan menerima kemajuan yang
diharapkan, dan seumur hidupnya dia tidak akan memperoleh kemajuan apa-apa!
Sedangkan bagi orang yang dihormati secara berlebihan, tentu akan mengalami
celaka juga!
„Pertama-tama, sebagai seorang
manusia, tentu saja semua orang gemar dihormati. Coba saja, jika ada seorang
pemuda yang berlaku kurang ajar terhadap orang yang tingkatannya lebih tinggi,
tentu orang dari golongan tua itu akan marah, karena menganggap anak muda itu
kurang ajar! Sedangkan juga saat itu memang merupakan batas tingkat dari
golongan, maka cukup jika dihormati secara wajar saja.....! Kalau sampai
pemberian hormat dilakukan dengan berlebihan, tentu saja akan membuat orang itu
jadi kebelinger dan membuat dia jadi berkepala besar, sombong, angkuh, lupa
diri dan sering melakukan perbuatan-perbuatan di luar dari kebiasaannya, dan
memiliki keinginan (ambisi) yang berlebihan, yang bisa mencelakai dia!
„Bukankah sesuatu yang berlebihan akan
mendatangkan celaka? Bukankah kita makan sesuatu terlalu banyak akan membuat
kitapun akan muntah.....? Itulah sebabnya, engkau jangan menghormati diriku
terlalu berlebihan, disamping bisa mencelakai dirimu, juga bisa mencelakai
diriku! Itulah yang tidak kukehendaki.....!” Setelah berkata begitu, Tayhiap Yo
Ko telah menatapku dengan tajam, saat itu aku telah duduk diam dihadapannya,
duduk dengan sikap bersemadhi.
„Sudah kukatakan tadi bahwa mata
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko memiliki sinar yang sangat tajam sekali, membuat aku
tidak berani membalas menatapnya dan hanya menundukkan kepala saja. Di saat itu
Sin-tiauw Tayhiap telah berkata lagi. „Engkau ditawan karena kepandaianmu tidak
mencukupi untuk melawan lawanmu itu, tetapi dalam keadaan demikian, aku bisa
membantumu untuk meloloskan diri! Maukah engkau?”
„Aku masih duduk diam, ragu-ragu,
tetapi kemudian aku mengangguk. „Jika memang Tayhiap bersedia untuk menolongku,
aku sangat berterima kasih sekali!” dan tampak Sin-tiauw Tayhiap telah
mengangguk dan di saat itu dia telah menggerakkan tangan kirinya, dia telah
memukul dinding batu itu. „Brukkk!” batu tersebut telah pecah berlobang besar.
„Nah, keluarlah.....!” katanya
kemudian dengan suara yang sabar. Aku tentu saja girang, aku telah mengucapkan
terima kasih, dan telah membungkukkan tubuh berulang kali bersujud kepadanya.
„Entah dengan cara apa aku bisa menyatakan terima kasihku ini, dan entah dengan
bagaimana aku bisa membalas budi kebaikan Locianpwe!”
Tetapi Sin-tiauw Tayhiap telah
tertawa, dia telah berkata. „Cukup jika engkau sampaikan salamku kepada Wie
Kiam Kauw-cu dari Pek-liong-kauw di pulau Ang-hwa-to, katakan kepadanya, bahwa
aku meminta maaf karena tidak bisa menepati janjiku untuk berkunjung kepadanya,
dan juga dalam persoalan ini akupun sangat menyesal sekali tidak bisa
menyampaikan suatu urusan yang sangat penting!!
„Mendengar itu, aku segera menyatakan,
bersedia mewakilinya untuk pergi menemui Wie Kiam Kauw-cu dari Pek-liong-kauw
untuk menyampaikan pesannya mengenai urusan yang dianggapnya luar biasa itu.
Dan Sin-tiauw Tayhiap setelah ragu-ragu sejenak, kemudian menceritakan
urusannya itu.....!”
Dan bercerita sampai disitu, tampak
Phang Kui In telah berhenti sejenak, dia telah berkata dengan suara yang lebih
perlahan. „Ternyata urusan yang disampaikan oleh Sin-tiauw Tayhiap merupakan
urusan yang sangat besar dan luar biasa sekali!”
Wie Kiam Kauw-cu jadi tergoncang
hatinya, sekarang sebagian besar dia mulai mempercayai orang she Phang ini.
„Urusan apakah itu?” tanya Wie Kiam Kauw-cu kemudian.
Phang Kui telah menghela napas, dan
telah berkata lagi. „Sesungguhnya, persoalan ini menyangkut keselamatan negeri
kita, yaitu daratan Tiong-goan. Karena telah direncanakan oleh Kublai Khan,
dalam beberapa tahun mendatang untuk melancarkan penyerbuan ke daratan
Tiong-goan lagi, terlebih lagi kini tentara pemerintah Song telah lemah, dengan
sedirinya ini membahayakan sekali. Menurut Sin-tiauw Tayhiap dia telah berhasil
melakukan penyelidikan bahwa kekuatan yang disusun Kublai Khan jauh lebih kuat
dari susunan tentara yang dibentuk oleh Mangu beberapa tahun yang lalu, di saat
Mangu sebelum meninggal di tangan Sin-tiauw Tayhiap..... maka dari itu,
Sin-tiauw Tayhiap ingin menyampaikan berita penting itu kepada para pendekar gagah
seperti Tayhiap Kwee Ceng dan lain-lainnya agar bersiap-siap, karena banyak
jago-jago dari Mongolia yang mulai dikirim secara diam-diam dan secara
sembunyi-sembunyi, untuk mengacau ke daratan Tiong-goan, untuk membinasakan
semua jago-jago persilatan dari daratan Tiong-goan yang setia kepada pemerintah
Song dan menurut Sin-tiauw Tayhiap, jika para pendekar di daratan Tiong-goan
yang cinta negara bergabung, tentu maksud dari Kublai Khan itu dapat
dibendung!”
Wie Kauw-cu terkejut bukan main.
Urusan ini bukan merupakan urusan yang bisa dibuat main-main dan diremehkan.
Karena itu dia telah mengangguk berulang kali, dia telah berkata dengan suara
yang sangat perlahan dan ragu-ragu. „Memang hebat sekali urusan ini, oleh
karena itu kita harus bersiap-siap!” dan sambil menggumam begitu, tampak Wie
Kauw-cu telah mengangkat kepalanya, dia telah menatap tajam sekali kepada Phang
Kui In. „Lalu ada pesan apa lagi yang disampaikan oleh Yo Tayhiap?”
„Yo Tayhiap hanya berpesan supaya aku
meminta kepada Wie Kauw-cu agar menyampaikan persoalan itu kepada semua
orang-orang gagah di daratan Tiong-goan. Menurut Yo Tayhiap, Pek-liong-kauw
memiliki puluhan ribu anggota dan kekuatannya sangat luas, banyak
orang-orangnya di daratan Tiong-goan, untuk menyampaikan berita ini secara
merata kepada orang-orang gagah dalam persilatan dataran Tiong-goan memang
bukan merupakan urusan yang sulit!”
„Baiklah. Aku sekarang mengerti!”
mengangguk Wie Kiam Kauw-cu kemudian. „Hanya saja, masih ada satu yang membuat
aku jadi heran.....!”
„Apakah itu Kauw-cu?” tanya Phang Kui
In sambil menatap Kauw-cu itu.
„Mengapa Sin-tiauw Tayhiap duduk
berdiam diri saja di dalam ruang kamar tahanan itu, bukankah jika dia ingin
melarikan diri meninggalkan tempat itu, dengan mudah dia dapat melakukannya,
seperti halnya dia membantumu untuk melarikan diri?” tanya Wie Kiam Kauw-cu
kemudian.
Phang Kui In mengangguk cepat.
„Memang semula aku juga heran oleh
sikapnya itu, tetapi setelah Sin-tiauw Tayhiap menjelaskannya, aku baru
mengerti! Sesungguhnya Sin-tiauw Tayhiap tengah mencari seseorang, yaitu Tiat
To Hoat-ong, jago utama dari Mongolia, karena hasil penyelidikannya membuktikan
bahwa Tiat To Hoat-ong yang telah mencelakai isterinya, yaitu Liehiap Siauw
Liong Lie, yang beberapa tahun yang lalu tengah hamil.....! Sampai sekarang
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko belum pernah bertemu dengan isterinya itu, dan juga dia
tidak mengetahui apakah isterinya meninggal atau telah melahirkan? Jika memang
isterinya terbinasa di tangan Tiat To Hoat-ong, berarti isterinya telah meninggal,
bersama janin bayinya. Tetapi kalau isterinya berhasil meloloskan diri dari
kematian, berarti kini dia telah melahirkan dan Yo Tayhiap masih ragu-ragu akan
hal itu, karena dia masih berpikir keras, apakah dia akan bertemu dengan anak
isterinya itu?”
Wie Kiam Kauw-cu telah bertanya lagi.
„Lalu dengan duduk berdiam di ruang kamar tahanan itu, apa maksud dari
Sin-tiauw Tayhiap?”
„Menurut Yo Tayhiap, dia ingin memaksa
Tiat To Hoat-ong keluar memperlihatkan diri, karena Yo Tayhiap mengetahuinya
bahwa Tiat To Hoat-ong berada bersama-sama dengan orang-orang Mongolia itu,
tetapi sebegitu jauh, Tiat To Hoat-ong belum mau memperlihatkan diri.”
„Tetapi yang mengherankan, mengapa
justru Sin-tiauw Tayhiap mau menyiksa diri seperti itu? Bukankah dia bisa saja
memaksa dengan kekerasan agar jago utama dari Mongolia itu keluar
memperlihatkan dirinya?”
„Sudah dilakukan oleh Sin-tiauw
Tayhiap. Bahkan menurut keterangan Sin-tiauw Tayhiap, dia telah membunuh lebih
dari limapuluh jago-jago Mongolia itu, tetapi sayangnya, Tiat To Hoat-ong
merupakan manusia pengecut, dia tetap menyembunyikan diri terus!”
„Kalau memang Sin-tiauw Tayhiap
melakukan sikap duduk diam tidak mau meninggalkan tempat itu, bukankah pihak
Mongolia itu sendiri bisa meninggalkan tempat itu, meninggalkan Sin-tiauw
Tayhiap seorang diri?”
„Tidak bisa! Karena telah tercantum
dalam rencana rombongan dari jago-jago Mongolia itu, bahwa kedatangan mereka di
tempat tersebut, yaitu di dekat kaki gunung Kun-lun-san, merupakan tempat yang
akan disinggahi oleh Kublai Khan. Karena dalam tahun ini Kublai Khan akan
datang menyelusup masuk ke daratan Tiong-goan, untuk meninjau dan mengawasi
situasi yang ada. Dengan melihat situasi yang ada dan juga dengan melihat
keadaan tempat-tempat yang bisa dipergunakan sebagai markas utamanya, kelak dia
lebih mudah mengatur penyerangan-penyerangan dari pasukannya yang akan dipimpin
menyerbu masuk!”
„Akhhh!” Wie Kiam Kauw-cu telah
mengeluarkan seruan tertahan. „Inilah urusan yang cukup besar dan tidak bisa
diremehkan!”
„Benar! Begitupun menurut pendapat
Sin-tiauw Tayhiap, urusan ini memang perlu sekali diselesaikan secepat mungkin,
untuk disampaikan kepada para pendekar di daratan Tiong-goan. Tetapi disebabkan
Sin-tiauw Tayhiap sendiri tengah terlibat dalam persoalan mengejar musuh besarnya,
yaitu Tiat To Hoat-ong, sehingga dia memperoleh kesulitan dan dia belum dapat
untuk mengerahkan perhatiannya untuk persoalan tersebut. Sin-tiauw Tayhiap juga
mengemukakan, memang urusan pribadi bisa dikesampingkan, demi urusan negara dan
tanah air untuk keselamatan negara Song. Tetapi karena mengingat Tiat To
Hoat-ong yang mengetahui di tempat mana dia mencelakai Siauw Liong Lie, maka
Sin-tiauw Tayhiap ingin memaksanya agar dia memberitahukan tempat itu, agar
kelak Sin-tiauw Tayhiap bisa mencari jejak isterinya itu. Syukur kalau memang
Siauw Liong Lie tidak tercelaka di tangannya Tiat To Hoat-ong, sehingga dengan
mudah Sin-tiauw Tayhiap akan mencari jejaknya, walaupun telah berselang banyak
tahun, dan itu justru yang diharapkan oleh Sin-tiauw Tayhiap. Dia menghendaki
agar Siauw Liong Lie selamat melahirkan anak pertama mereka, yang tentunya
telah berusia diantara sembilan tahun!”
Mendengar perkataan Phang Kui In
sampai di situ, Wie Kian Kauw-cu telah berkata. „Ya memang dalam persoalan ini
Sin-tiauw Tayhiap tidak perlu berkuatir, karena kami telah berhasil menemukan
puteranya, yang kini berada bersama-sama kami! Sedangkan mengenai Liehiap Siauw
Liong Lie, masih belum diketahui jejaknya. Tetapi yang pasti, Liehiap Siauw
Liong Lie tentunya belum terbinasa, karena jika telah terbunuh oleh Tiat To
Hoat-ong, tentu mayatnya akan dijumpai oleh Yo Him, putera mereka itu.”
Muka Phang Kui In jadi girang bukan
main, dia sampai mengeluarkan suara seruan girang.
„Jika saja persoalan ini didengar oleh
Sin-tiauw Tayhiap, tentunya pendekar besar itu sangat girang sekali!” serunya
dengan suara yang nyaring, karena kegembiraan yang meluap-luap.
Wie Kiam Kauw-cu telah mengangguk, dan
kemudian dia menoleh kepada rombongan anggota Pek-liong-kauw, dia telah melihat
Yo Him dan Siangkoan Peng berada diantara rombongan orang-orang Pek-liong-kauw
itu.
„Kau tunggu sebentar!” kata Wie Kiam
Kauw-cu kemudian sambil membalikkan tubuhnya dia telah melangkah cepat
menghampiri Yo Him. Dituntunnya tangan anak itu, sambil katanya ramah. „Mari
nak, aku ingin memperkenalkan kau kepada seseorang!”
Yo Him tengah terheran-heran, tetapi
di saat itu dia hanya mengikuti saja dia membiarkan tangannya dicekal oleh Wie
Kiam Kauw-cu. Saat itu Wie Kiam Kauw-cu telah sampai di hadapan Phang Kui In.
„Saudara Phang, inilah puteranya
Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko!” memperkenalkan Wie Kiam Kauw-cu. „Dan Him-jie, inilah
paman Phang Kui In, utusan ayahmu!”
Muka Phang Kui In jadi berobah
seketika dan dia tampaknya jadi menyesal sekali. „Oh, engko kecil, ternyata
engkau putera dari tuan penolongku! Maafkanlah tindakanku yang kasar tadi, aku
tidak bermaksud buruk!” kata Phang Kui In cepat sekali, bahkan dia juga telah
merangkapkan kedua tangannya, tanpa segan-segan dia telah memberi hormat dengan
membungkukkan tubuh kepada Yo Him.
Yo Him semula juga terkejut mendengar
Phang Kui In adalah utusan ayahnya, dia jadi tertegun. Dan anak ini jadi tambah
kaget waktu melihat Phang Kui In merangkapkan kedua tangannya sambil menjura
memberi hormat kepadanya. Tentu saja dia jadi likat dan malu sendirinya.
Cepat-cepat Yo Him telah membalas pemberian hormat itu.
„Akupun meminta agar paman Phang
memaafkan aku, karena tadi aku telah lancang melancarkan serangan kepada paman
Phang, dan telah memiliki dugaan yang tidak-tidak!”
15.29. Perjalanan Kembali Mencari Ayah
„Tidak apa-apa, itu semua hanya salah
pengertian belaka tadipun antara aku dengan Wie Kiam Kauw-cu hampir saja timbul
salah pengertian!”
„Mana ayahku?” tanya Yo Him akhirnya
dengan suara yang ragu-ragu, hatinya saat itu tergoncang keras sekali.
„Dalam waktu yang tidak lama lagi,
tentu ayahmu itu akan segera tiba di pulau ini, kini tengah ada suatu persoalan
yang perlu diselesaikan, maka dalam beberapa saat ayahmu Sin-tiauw Tayhiap Yo
Ko belum pula dapat berkunjung ke pulau ini!”
Yo Him mengangguk-angguk beberapa
kali, kemudian dia telah bertanya dengan suara yang masih ragu-ragu, karena
hatinya masih saja tergoncang keras. „Sesungguhnya..... sesungguhnya…..
bagaimana sih rupa dan keadaan ayahku itu?”
Wie Kiam Kauw-cu dan juga Phang Kui In
jadi terharu sekali, mereka mengerti bahwa anak ini sejak dilahirkan sampai dia
memasuki usia seperti sekarang ini, belum pernah melihat ayah kandungnya.
„Tidak lama lagi tentu engkau akan
melihat ayahmu itu,” kata Phang Kui In kemudian.
„Ya..... tentu Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko
akan berkunjung kemari dalam waktu-waktu yang tidak lama lagi,” kata Wie Kiam
Kauw-cu.
„Bagaimana jika Yo Siauw-ko (Engko
kecil she Yo) ini kubawa menjumpai Sin-tiauw Tayhiap, agar Tayhiap Yo Ko
menjadi tenang dan memiliki pegangan mengenai urusan isteri dan anaknya ini?”
tiba-tiba Phang Kui In telah memberikan sarannya. „Aku berjanji, akan
menjaganya baik-baik selama dalam perjalanan! Tentu Sin-tiauw Tayhiap masih
berada di kaki gunung Kun-lun-san, karena selama ini tentunya Tiat To Hoat-ong
hanya akan menyembunyikan diri di sekitar kaki gunung itu!”
Wie Kiam Kauw-cu tampak ragu-ragu, dia
telah berkata perlahan. „Bagaimana jika urusan ini kita rundingkan dulu dengan
Kwee Tayhiap Kwee Ceng, dengan jago-jago golongan tua lainnya, yang kebetulan
menjadi tamu kami?”
„Kwee Tayhiap berada disini juga?”
tanya Phang Kui In terkejut bercampur girang.
„Bukan hanya Kwee Tayhiap saja, tetapi
juga Tayhiap Ciu Pek Thong, Liehiap Oey Yong, dan lain-lainnya berada disini.
Begitu pula dengan It-teng Taysu, telah berada di pulau ini, maka jika engkau
bermaksud untuk bertemu dengan mereka, mari ikut bersamaku! Mengenai
kepergianmu yang hendak mengajak Yo Him, saudara Phang bisa kita rundingkan
nanti!”
Phang Kui In menyetujui saran Wie Kiam
Kauw-cu, segera mereka menuju ke markas Pek-liong-kauw.
Di saat itu tampak jago-jago golongan
tua telah berkumpul di ruangan itu, mereka juga telah belajar saling kenal
dengan Phang Kui In. Berulang kali Phang Kui In menyatakan kegembiraannya,
karena dia merasa beruntung sekali bisa bertemu dengan tokoh-tokoh persilatan
yang ternama itu.
Setelah Wie Kiam Kauw-cu mengemukakan
semua uraian yang terjadi di luar dari pulau Ang-hwa-to yang te!ah mengejutkan
semua orang-orang gagah itu, maka Wie Kiam Kauw-cu juga telah mengemukakan usul
dari Phang Kui In, untuk mengajak Yo Him menemui Sin-tiauw Tayhiap yang sedang
berada di kaki gunung Kun-lun-san.
„Itupun merupakan jalan yang cukup
baik!” kata Kwee Ceng dengan sabar setelah berpikir sejenak. „Kita bisa
menyebar orang untuk menyampaikan pesan Yo Ko kepada semua para pendekar
pencinta negeri, sedangkan Phang Kui In bertugas uatuk mengajak Yo Him menemui
Ko-jie (anak Yo, karena Kwee Ceng memang biasa memanggil Yo Ko dengan sebutan
Ko-jie.). Nah, bagaimana pendapat It-teng Cianpwe?”
It-teng Taysu telah mengangguk.
„Ya, aku menyetujui saja.....!”
katanya kemudian.
Begitu juga dengan orang-orang gagah
lainnya. Hanya Oey Yong yang menambahkan. „Apakah tidak lebih baik jika
seandainya Phang Kiesu (orang gagah she Phang) ini membawa Yo Him bersama-sama
ditemani beberapa orang kawan kita?”
„Jangan!” kata It-teng Taysu „Tentu
akan mendatangkan kecurigaan belaka! Dengan melakukan perjalanan berdua saja,
mereka bisa menyamar! Bukankah begitu, Phang Kiesu? Dengan demikian kalian
tentu bisa melakukan perjalanan yang jauh lebih mudah.”
Di saat itu tampak yang lainnya
menyetujui, dan Phang Kui In juga telah mengiyakan.
Menurut orang-orang gagah itu, memang
Phang Kui In seorang yang mengetahui tempat dimana adanya Sin-tiauw Tayhiap Yo
Ko, maka dengan diajaknya Yo Him oleh Phang Kui In, tentunya pertemuan ayah dan
anak itu dapat berlangsung tanpa adanya kesulitan-kesulitan lagi.
Begitulah, Wie Kiam Kauw-cu telah
perintahkan kepada orang-orangnya untuk mempersiapkan meja perjamuan untuk
menjamu Phang Kui In.
Sedangkan Phang Kui In sendiri merasa
girang bukan main, karena disamping dia berhasil bertemu dengan orang-orang
gagah golongan tua yang menjadi tokoh persilatan, juga telah berhasil membawa
Yo Him untuk dipertemukan dengan Sin-tiauw Tayhiap, berarti dia akan dapat
membalas budi dari Pendekar Rajawali Sakti yang merupakan tokoh nomor wahid
dunia persilatan ini! Maka telah direncanakan, besok pagi Phang Kui In dan Yo
Him berdua akan meninggalkan pulau Ang-hwa-to.
Malam itu Siangkoan Peng menangis
tidak hentinya karena dia merasa berat harus berpisah dengan Yo Him, sehingga
dia dijadikan bahan tertawaan dari para Pendekar-pendekar gagah perkasa itu,
yang menganggap sikap Siangkoan Peng sangat lucu sekali.
Karena ditertawakan Siangkoan Peng
telah cemberut dan berlari ke kamarnya, kemudian mengunci pintu kamarnya.
Sedangkan Siangkoan Lin Lie hanya tertawa saja melihat sikap puterinya yang
dianggap lucu.
Banyak yang diceritakan oleh Phang Kui
In mengenai perkembangan dalam rimba persilatan, terutama sekali
peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar pulau Ang-hwa-to, dimana negara Song
tengah terancam oleh serangan dan penyerbuan dari tentara Mongolia.
Begitulah Phang Kui In telah mengajak
Yo Him berangkat meninggalkan pulau Ang-hwa-to dengan mempergunakan perahu
kecilnya, yang kemarin telah dipergunakannya untuk datang ke pulau ini.
Keberangkatan Yo Him dan Phang Kui In
diantar oleh semua orang gagah, dan mereka mendoakan agar Yo Him berhasil
bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko, juga mengharapkan agar Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko belum pergi dari kaki gunung Kun-lun-san.
Di tengah laut, Yo Him banyak
menanyakan perihal ayahnya yang memang belum pernah dilihatnya.
Phang Kui In dengan senang hati
menceritakan seluruh pengalamannya ketika bertemu dengan Sin-tiauw Tayhiap.
Yo Him tertarik sekali mendengarkan
cerita dari Phang Kui In. Dia kagum, bercampur perasaan bangga waktu mendengar
ayahnya itu memiliki kepandaian yang demikian hebat, karena Phang Kui In yang
tampaknya memiliki kepandaian demikian tinggi, tidak berdaya sama sekali
menghadapi ayahnya itu. Tentu saja hal itu telah membuat hati Yo Him semakin
keras untuk cepat-cepat dapat bertemu dengan ayahnya.
Dalam keadaan demikian, tampak Yo Him
telah mengatakan.
„Apakah ayahku itu belum pergi dari
kaki gunung Kun-lun-san? Bukankah sejak paman Phang berangkat menuju pulau
Ang-hwa-to, dan perjalanan kita kesana, memakan waktu hampir tiga bulan?”
„Mudah-mudahan saja Sin-tiauw Tayhiap
belum berlalu dari tempat itu! Memang kita harus melakukan perjalanan yang
cepat, dan semoga saja diperjalanan kita tidak menemui rintangan apa-apa.”
Yo Him juga mengharapkan demikian
adanya.
Perahu telah meluncur dengan cepat
sekali membelah gelombang.
Waktu hari ketiga sejak mereka berlayar,
terjadi badai dan gelombang yang besar sekali, perahu itu seperti sehelai daun
yang diombang ambingkan kesana kemari.
Yo Him jadi ketakutan melihat
keganasan alam yang ada, dia sampai berseru-seru berulang kali dengan ketakutan
sekali.
Di saat itu, tampak Phang Kui In telah
berusaha uatuk mengendalikan perahunya, dan akhirnya dia berhasil juga
mengendalikan perahunya itu, walaupun ada sebagian dari persediaan bahan
makanan mereka yang telah terlempar ke laut.
Yo Him sangat letih sekali, setelah
badai lewat, dia tertidur nyenyak sekali.
Waktu anak kecil ini tertidur nyenyak,
Phang Kui In telah duduk terpekur mengawasinya. Di lihatnya Yo Him tidur
nyenyak sekali, mukanya tampan dan juga tampaknya dia memang menarik hati.
Dalam keadaan seperti ini, Phang Kui In menghela napas berulang kali, hatinya
merasa iba dan terharu atas nasib Yo Him.
„Kasihan nasib anak ini, sejak
dilahirkan dia belum pernah bertemu dengan ibu dan ayah kandungnya, dan menurut
cerita In-lap Siansu dan Wie Kiam Kauw-cu. Yo Him selalu menderita dan
bersengsara dalam usia yang demikian kecil!”
Perahu terus juga meluncur dengan
cepat.
Setelah melakukan perjalanan hampir
sepuluh hari, akhirnya mereka telah tiba di pelabuhan kota Man-siang-kwan.
Yo Him mengajak Phang Kui In untuk
singgah di kota tersebut, karena selama sepuluh hari berada di tengah laut,
merupakan hal yang sangat membosankan sekali.
Phang Kui In sesungguhnya ingin
melakukan perjalanan yang cepat, tetapi karena dia tidak sampai hati menolak
permintaan Yo Him, dia meluluskannya dengan segera. Begitu turun ke darat dan
setelah menitipkan perahu mereka kepada salah seorang nelayan di pelabuhan
tersebut, Phang Kui In dan Yo Him telah berkeliling kota. Mereka telah berjalan
mengelilingi kota yang sangat ramai itu, Yo Him berulang kali memuji keindahan
kota tersebut, karena dia telah banyak menyaksikan keramaian.
Di pinggir jalan dekat pintu utara
dari kota tersebut, tampak serombongan orang yang tengah menyaksikan penjual
silat. Seorang gadis, berusia diantara duapuluh lima tahun, tengah bersilat,
sedangkan seorang lelaki tua, yang tampaknya adalah ayahnya, telah menabuh
tambur dengan keras, disertai oleh teriakan-teriakan bersemangat. Si gadis
bersilat dengan sebatang pedang, sehingga sinar pedang itu berkelebat-kelebat
dengan cepat menyilaukan mata.
Yo Him memuji permainan silat atau
ilmu pedang si gadis. Saat itu Phang Ku In mengajak Yo Him meninggalkan tempat
itu.
„Biasanya di tempat keramaian seperti
itu, dimana ada penjual silat yang tengah mempertunjukkan ilmu silatnya, akan
muncul peristiwa-peristiwa keributan, mari kita berangkat! Karena dengan
mempertunjukkan ilmu silatnya itu, berarti penjual ilmu silat itu bisa
mendatangkan perasaan tidak senang dari buaya-buaya darat di kota-kota yang
disinggahinya!”
Yo Him hanya menuruti saja ajakan
Phang Kui In, dan mereka telah mengelilingi kota itu lagi beberapa saat
lamanya, sampai akhirnya mereka telah sampai di pintu kota sebelah barat, dan
mereka melihat keadaan di tempat itu sangat ramai sekali.
Tetapi, Phang Kui In tiba-tiba
menghentikan langkah kakinya, mukanya jadi berobah merah padam karena gusar. Yo
Him juga telah berhenti melangkah, karena dia melihat seorang gadis berusia
duabelas tahun tengah menangis terisak-isak, menjerit-jerit kesakitan, sebab
dua orang pengemis berusia diantara duapuluh tahun tengah memukuli gadis itu.
Tentu saja gadis kecil itu tidak berdaya sama sekali, dia hanya bisa menangis
sambil menjerit-jerit saja.
„Sungguh perbuatan biadab! Entah
anggota mana pengemis-pengemis tidak tahu diuntung itu? Apakah mungkin di dalam
Kay-pang terdapat manusia-manusia seperti mereka?” menggumam Phang Kui In
dengan gusar. Lalu Phang Kui In telah menoleh kepada Yo Him, katanya.
„Mari kita tolongi gadis itu!”
Tanpa menantikan sahutan Yo Him, Phang
Kui In telah melangkah menghampiri kedua pengemis yang tengah memukuli gadis
kecil itu.
„Takkk! Takk!” tahu-tahu tangan Phang
Kui In telah menyampok kedua tangan dari pengemis itu, dan kedua pengemis
tersebut meraung kesakitan, mereka telah melompat akan mundur, tetapi
keseimbangan tubuh mereka telah lenyap, sehingga mereka terhuyung-huyung dan
terjungkal rubuh ke belakang kesakitan.
Si gadis kecil yang ditolongi itu
telah berlari sambil menangis, ke tepi jalan. Banyak orang yang tadi
menyaksikan gadis itu dipukuli oleh kedua pengemis itu, yang tidak ada
seorangpun berani menolonginya, telah mengeluarkan suara sorakan girang melihat
kedua pengemis itu telah terpental demikian rupa.
Di saat itu, tampak Phang Kui In telah
berkata dengan bengis.
„Pengemis-pengemis tidak tahu
diuntung, mengapa kau menyiksa seorang gadis yang tidak berdaya itu?”
Mata kedua pengemis itu mencilak,
mereka telah merangkak berdiri dengan sikap yang galak dan telah membalas
menatap kepada Phang Kui In. Bahkan salah seorang diantara mereka berdua telah
ada yang membentak,
„Siapa kau? Tidak tahukah engkau bahwa
kami dari Kay-pang?” tanyanya dengan suara yang angkuh sekali.”
„Engkau tidak perlu meminjam
keangkeran Kay-pang untuk menggertakku!” kata Phang Kui In dengan suara yang
dingin. „Tetapi yang terpenting justru perbuatan kalian yang telah melakukan
penyiksaan terhadap gadis kecil yang tidak berdaya itu, harus kalian
pertanggungkan! Bahkan aku berpikir, Kay-pang yang sangat terkenal, yang selalu
berjuang untuk keadilan mana mungkin memiliki anggota-anggota cabang yang bejat
seperti engkau? Jika Pangcu mengetahui perbuatan kalian ini, bukankah kalian
akan menerima hukuman?” Dan setelah berkata begitu Phang Kui In berulang kali
memdengus mengejek, dengan muka yang dingin dan bengis.
Muka kedua pengemis itu jadi berubah
hebat, mereka tampaknya sangat marah sekali, dengan cepat salah seorang telah
membentak sambil melompat mengayunkan tangan kanannya, dia telah melancarkan
serangan yang cepat sekali.
Phang Kui In hanya mengawasi saja serangan
yang dilancarkan pengemis itu, waktu kepalan tangan pengemis tersebut hampir
tiba di dadanya dengan kecepatan yang luar biasa Phang Kui In mengulurkan
tangan kirinya, dia telah mencekal pergelangan tangan si pengemis, kemudian
kepalan tangan kanannya menerobos masuk ke ketiak pengemis tersebut.
„Bukkkkk!” di saat itu juga ketiak
pengemis itu telah terserang hebat, sehingga dia merasakan tulang iga di dekat
ketiaknya seperti akan hancur, dia sampai mengeluarkan suara teriakan
kesakitan, dan tubuhnya telah terlempar keras, karena Phang Kui In telah
melepaskan cekalan di pergelangan tangan si pengemis.
Pengemis yang seorangnya lagi jadi
terkejut bukan main, dia sampai mengeluarkan suara seruan tertahan dan dalam
keadaan kaget dan gusar, dia telah melompat melancarkan serangan juga kepada
Phang Kui ln.
Tetapi seperti juga dengan kawannya,
pengemis yang seorang inipun telah terpental keras oleh hantaman tangan Phang
Kui In, yang mengenai tepat sekali di dada si pengemis, sehingga pengemis itu
mengeluarkan suara erangan dan tubuhnya telah ambruk di atas tanah sambil
menggeliat-geliat mengeluarkan suara rintihan.
Yo Him melihat cara Phang Kui In
memberikan hajaran kepada kedua pengemis itu jadi kagum sekali.
Begitu juga dengan orang-orang yang
telah berkerumun itu, jadi mengeluarkan suara sorakan yang riuh dan ramai
sekali, tampaknya mereka girang sekali melihat kedua pengemis itu telah dihajar
oleh Phang Kui In.
Kedua pengemis tersebut juga telah
membalikkan tubuhnya, mereka telah melarikan diri dengan cepat sekali.
Phang Kui In tidak mengejarnya, dia
telah membalikkan tubuhnya melangkah menghampiri gadis kecil itu.
„Anak, kenapa engkau dipukuli kedua
pengemis itu!” tanya Phang Kui In dengan sabar.
Gadis kecil itu masih menangis saja,
kemudian dia telah menyahuti dengan suara yang tersendat-sendat
„Ibu menyuruh aku ke pasar..... dan
aku membawa tiga tail perak, tetapi kedua pengemis itu, seperti minggu kemarin,
dia ingin mengambil uangku itu. Tentu saja kali ini aku tidak memberikannya,
sehingga mereka memukuliku.”
Mendengar keterangan gadis kecil itu,
walaupun tidak jelas, Phang Kui In mulai mengerti duduknya persoalan.
Tetapi yang mengherankan Phang Kui In,
justeru kedua pengemis itu mengaku sebagai anggota Kay-pang. Biasanya, anggota
Kay-pang tidak penah melakukan perbuatan-perbuatan rendah seperti itu sehingga
dia tidak dapat mengerti, mengapa kedua pengemis itu bisa melakukan perbuatan
seperti itu.
Hal itu telah membuat Phang Kui In
jadi berpikir keras. Dia mau menduga apakah mungkin bahwa kedua pengemis itu
hanya menjual nama Kay-pang saja, untuk menggertak? Karena berpikir begitu,
akhirnya Phang Kui In telah berkata kepada si gadis:
„Baiklah, jika memang uangmu tidak
hilang pergilah engkau ke pasar. Nanti paman akan mengancam mereka agar di hari-hari
mendatang engkau tidak diganggu lagi!”
“Terima kasih paman!” kata gadis kecil
itu girang sambil menyusut air matanya, dia telah berlalu.
Di saat itu salah seorang yang tadi
menyaksikan di pinggiran jalan, telah menghampiri Phang Kui In. Dialah siorang
lelaki tua berusia diantara empatpuluh lima tahun. Katanya dengan suara yang
sabar,
„Sesungguhnya, memang Kay-pang kota
ini merupakan cabang Kay-pang yang paling buruk, mungkin paling jahat! Karena
mereka umumnya melakukan banyak sekali kejahatan-kejahatan, pencurian-pencurian
dan perampasan, semuanya itu tidak diambil tindakan tegas oleh ketua cabang
dari Kay-pang setempat. Tentu saja penduduk kota ini jadi menaruh perasaan
tidak senang terhadap Kay-pang.” Dan setelah berkata begitu, tampak orang tua
itu memutar tubuhnya akan berlalu, karena dia takut berdiam lama-lama di tempat
tersebut, takut kalau pembicaraannya itu didengar oleh orang-orang Kay-pang.
Tiba-tiba Phang Kui In mengulurkan
tangannya, dia mencekal pergelangan tangan orang tua itu untuk menahan
kepergiannya. „Tunggu dulu saudara....., aku ingin menanyakan di manakah letak
markas Kay-pang!” tanyanya.
„Di..... di pintu selatan, sebelah
kiri dari lorong panjang dan kemudian menikung ke kanan rumah kelima.....!”
menjelaskan orang tua itu, dia meronta melepaskan cekalan tangan Phang Kui In,
dan dengan cepat dia telah berlalu.
Kemudian Phang Kui In telah mengajak
Yo Him untuk meninggalkan tempat tersebut. Tetapi belum lagi mereka berjalan
terlalu jauh, tiba-tiba telah terdengar suara seseorang yang telah berkata
dengan suara seperti orang bersajak.
„Siapakah orang yang berani membentur
Kay-pang, tentu kepalanya sudah, keras seperti baja? Siapa yang tidak tahu
diri? Tentu saja harus dibinasakan!”
Suara itu nyaring sekali, dan tampak
Phang Kui In telah membalikkan tubuhnya. Dihadapannya berdiri dua orang
pengemis tua berusia setengah baya.
Sedangkan Yo Him memandang tidak
senang kepada pengemis tua itu yang di punggungnya membawa empat karung, yang
menunjukkan bahwa mereka merupakan anggota tingkat keempat di Kay-pang.
Di saat itu tampak Phang Kui In telah
bertanya dengan suara yang ramah:
„Jika tidak salah mata, tentunya
jie-wie Heng-tay (saudara berdua) adalah anggota Kay-pang?”
„Tepat! Tepat!” kata salah seorang
pengemis itu sambil mengangguk dan telah tertawa dingin „Memang kami anggota
Kay-pang, dan kami sedang mencari seseorang yang telah menghina dua orang
anggota muda kami!”
„Apakah dua orang pengemis berusia
duapuluhan?” tanya Phang Kui In.
„Benar! Mereka telah dihina orang, dan
hinaan seperti itu harus diberi hajaran pula!” menyahuti pengemis itu.
„Akulah yang memberikan ganjaran
kepada kedua pengemis itu, jika memang kalian penasaran, bisa saja kalian
berurusan denganku,” kata Phang Kui In berani sekali. „Kedua pengemis golongan
muda anggota Kay-pang itu sangat jahat, mereka telah menyiksa seorang gadis
kecil berusia duabelas tahun, yang ingin dirampas uangnya! Itu masih tidak
menjadi soal tetapi kedua pengemis anggota kalian itu bertangan ringan, mereka
telah memukuli gadis kecil itu.....!”
Kedua pengemis itu telah tertawa
dingin hampir berbareng. Salah seorang telah berkata.
„Jika memang ada anggota Kay-pang yang
melakukan suatu kesalahan, masih ada kami dari golongan tua yang bisa menghukum
mereka, bukan orang luar yang harus turun tangan menghukum mereka!”
Phang Kui In telah tertawa dingin, dia
jadi mendongkol sekali mendengar perkataan pengemis itu.
“Memang itu merupakan peraturan rimba
persilatan, orang luar tidak boleh mencampuri urusan rumah tangga dari sebuah
pintu perguruan, tetapi tampaknya pihak Kay-pang kurang begitu teratur mengatur
murid-muridnya, dan kurang segala persiapan-persiapan agar murid-muridnya itu
tidak menyeleweng.....! Hemmm, dalam persoalan ini, tampaknya kalian juga perlu
diberikan teguran, agar dilain saat dapat memperhatikan lebih baik
murid-muridnya anggota Kay-pang!”
Kedua pengemis tua itu telah tertawa
dingin, mereka telah berkata dengan suara yang tawar.
„Benar! Benar! Jika kami berhasil
dirubuhkan olehmu, jatuh di tanganmu, tentu aku akan menuruti peritah-perintah
dan petunjuk-petunjukmu, Locianpwe!”
Dan setelah berkata begitu, salah
seorang diantara mereka, yang tampaknya memiliki muka berpotongan empat persegi
dan kejam, telah menerjang, melancarkan serangan-serangan dengan mempergunakan
tangan kanannya. Serangan itu mengandung tenaga lweekang yang cukup dasyat.
Tentu saja, serangan yang dilakukan
oleh pengemis ini, berbeda dengan serangan si pengemis muda, sebab jika si
pengemis muda itu hanya merupakan anggota biasa yang belum berhasil memiliki
karung satu helaipun juga, maka mereka tidak mengerti terlalu dalam ilmu silat
Kay-pang dan hanya merupakan anggota persiapan. Tapi berbeda dengan pengemis
yang menggemblok empat helai karung di punggungnya ini, pengemis ini telah
memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan memiliki lweekang cukup lumayan.
Serangannya itu mendatangkan angin
serangan yang kuat sekali, telah meluncur akan menggempur dada Phang Kui In.
Tetapi Phang Kui In tidak tinggal diam
dia mengangkat tangan kirinya menangkis, sehingga diwaktu kedua tangan itu
saling bentur, di saat itu juga terdengar suara „Bukkk” yang sangat keras,
tubuh mereka sama berdiri tegak, dan tampak Phang Kui In telah menggerakan
tangan kanannya, dia telah melancarkan serangan lagi dengan hebat.
Dalam keadaan seperti itu tampak
sipenggemis juga tidak tinggal diam. Dia telah melompat ke kiri dan ke kanan
bergantian, kemudian telah melancarkan serangan-serangan dengan mempergunakan
kedua tangannya.
Angin serangan yang dilancarkan ini
cukup hebat, sehingga dalam keadaan demikian tampak dua kekuatan tenaga, dari
kedua orang yang sama-sama memiliki kepandaian yang sudah tinggi itu, telah
menerjang datang.
„Bukkkkl”
Maka dua kekuatan lweekang yang tidak
tampak telah beradu di udara, terlihatlah tubuh Phang Kui In tergoncang keras
seperti juga ingin rubuh. Tetapi dengan cepat Phang Kui In telah berhasil
mengimbangi kedudukan kedua kakinya, kembali dia telah melancarkan serangan
lagi.
Serangan yang dilakukan oleh Phang Kui
In disambuti oleh pengemis itu dengan mudah dan pengemis tersebut juga telah
melancarkan serangan balasan. Mereka berdua telah saling melancarkan serangan
silih berganti, dan angin serangan-serangan itu telah menyambar dengan hebat.
Di detik-detik seperti itu, tampak
Phang Kui In memang berimbang menghadapi si pengemis tua tersebut, tetapi yang
menjadi pemikirannya, justru jika pengemis yang seorang itu lagi ikut
mengeroyok dirinya, tentu dia akan kewalahan dan kehabisan tenaga. Maka Phang
Kui In telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, dia berusaha secepat
mungkin untuk merubuhkan pengemis yang menjadi lawannya, agar kelak dia bisa
menghadapi pengemis yang seorangnya lagi dengan mudah.
Dalam keadaan demikian, tampak Phang
Kui In mengeluarkan suara siulan yang sangat nyaring sekali, berulang kali dia
telah melancarkan gempuran-gempuran yang sangat dahsyat.
Memang cara menyerang yang dilakukan
oleh Phang Kui In merupakan serangan-serangan yang bisa mematikan, kalau saja
mengenai tepat sasarannya.
Tetapi disebabkan pengemis itu juga
tampaknya memiliki kepandaian cukup tinggi, dengan sendirinya setiap serangan
yang dilancarkan oleh Phang Kui In dapat dielakkannya dengan mudah, bahkan
serangan-serangan yang dilakukannya itu tak kalah kuatnya dibandingkan dengan
serangan-serangan yang dilancarkan oleh Phang Kui In.
Begitulah, kedua orang tersebut telah
bertempur dengan hebat dan juga keduanya masing-masing telah mengeluarkan
kepandaian mereka, untuk saling menindih tenaga lweekang dari lawan
masing-masing.
Sebagai seorang yang memiliki
kepandaian telah tinggi, kawan si pengemis yang seorang, yang belum lagi turun
tangan dan hanya berdiri disamping saja, telah melihatnya bahwa kepandaian
Phang Kui In tidak bisa dipandang rendah. Maka dia telah bersiap-siap jika
memang kawannya nanti terdesak atau terancam oleh serangan-serangan yang
dilakukan oleh Phang Kui In dia akan segera menerjang maju untuk membantu.
Yo Him hanya berdiri tertegun di
tempatnya dia menguatirkan sekali akan keselamatan Phang Kui In. Jika sampai
kepandaian Phang Kui In dapat ditindih oleh lawannya, atau kawan si pengemis
yang seorang itu ikut maju mengeroyok berdua, tentu akan membahayakan jiwa
Phang Kui In.
Walaupun Yo Him kurang begitu mengerti
mengenai keadaan di dalam rimba persilatan, namun dia juga telah banyak mendengar,
bahwa umumnya orang-orang persilatan sangat kasar, dan tidak akan segan-segan
menurunkan tangan keras untuk membuat lawannya jadi bercacad. Tetapi Yo Him
tidak berdaya untuk memberikan bantuan apa-apa.
Tiba-tiba Yo Him teringat sesuatu,
sehingga dia hanya tersenyum dan berdiri diam saja. Dia teringat kepada Kim-pay
nya Wie Tocu, tetapi dalam kegembiraannya, Yo Him jadi ingin menyaksikan
pertempuran itu lebih jauh. Jika memang Phang Kui In nanti terdesak oleh
lawannya dia baru akan mengeluarkan Kim-pay tersebut, untuk menundukkan kedua
pengemis itu.
Saat itu, si pengemis yang sedang
bertempur dengan Phang Kui In telah melancarkan serangan dengan mempergunakan
jurus Anjing menggerakkan ekornya, dan dengan tangannya itu ia telah
mengibaskan dengan sangat kuat sekali, karena dia telah mempergunakan
lweekangnya yang disalurkan di kedua telapak tangannya, untuk menggempur ke
arah dada Phang Kui In.
Tetapi Phang Kui In tidak takut
menghadapi gempuran seperti itu, dengan cepat diapun telah menyalurkan kekuatan
tenaga dalamnya, dengan gerakan ‘Yang-liu-piauw-piauw’ atau Pohon Yang-liu
sepoi-sepoi, tampak kedua tangannya bergerak lemas. Walaupun gerakannya
perlahan dan seperti tengah menari, namun tenaga dalam yang terkandung di kedua
telapak tangannya itu luar biasa sekali.
„Bukkkk!”
Dua kekuatan yang bukan main hebatnya,
telah saling bentur.
Bahkan benturan yang terjadi itu telah
menggetarkan sekitar tempat tersebut, dan juga menulikan pendengaran, karena
benturan itu terjadi justru merupakan saling benturnya dari dua kekuatan yang
saling menyerang dan menindih.
Yo Him sendiri merasakan betapa tanah
yang dipijaknya itu tergetar keras.
„Kalau demikian, tampaknya pengemis
ini bukan jago sembarangan!” berpikir Phang Kui In di dalam hatinya. „Tampaknya
dia memiliki kepandaian yang tinggi dan telah cukup ternama. Tetapi mengapa
anggota Kay-pang demikian ceroboh? Hanya disebabkan dua orang anggota mudanya
belaka dia bisa melancarkan gempuran-gempuran mengadu jiwa denganku. Rupanya
pengemis ini juga bukan pengemis baik-baik!”
15.30. Perilaku Pemimpin Kay-pang
Daerah
Karena berpikir begitu, hati Phang Kui
In jadi mantap, dia telah memberikan perlawanan tanpa segan-segan lagi, setiap
serangan yang dilancarkannya juga mengandung kekuatan yang cukup keras, sehingga
angin serangan itu mendesir tidak hentinya.
Si pengemis melihat perobahan cara
menyerang dari lawannya jadi terkejut. Tetapi perasaan kagetnya itu tidak
diperlihatkan di wajahnya, bahkan pengemis ini telah mendengus mengeluarkan
suara dingin.
„Hemm. Engkau ingin mengadu kekuatan
denganku mempergunakan kekerasan?” ejeknya.
Dan pengemis itupun telah mengeluarkan
pukulan-pukulan yang dahsyat sekali. Rupanya pengemis ini merupakan seorang
ahli gwakang (tenaga luar).
Harus diketahui, bahwa seorang ahli
tenaga gwakang berbeda dengan seorang ahli lweekang. Jika gwakang dipelajari
untuk melatih jasmani, memiliki kekuatan yang hebat atas kesanggupan tubuh,
karena gwakang lebih mirip dengan tenaga kasar. Seorang ahli tenaga gwakang
bisa mengangkat seekor gajah dengan mudah, dengan mengandalkan kekuatan
tenaganya. Sedangkan seorang ahli tenaga lweekang merupakan seorang yang
memiliki latihan untuk tenaga dalam, dimana tenaga sakti yang berasal dari
Tan-tian telah dilatihkannya secara teratur, sehingga ahli lweekang bisa
menyalurkan kekuatan tenaga saktinya, dapat dipergunakan untuk menggempur
sesuatu tanpa terlihat.
Dan juga bagi seorang ahli lweekang,
dia bisa mengangkat seekor gajah namun dengan menggunakan cara yang halus,
yaitu dengan mempergunakan gerakan memancing, yaitu dengan meminjam tenaga dan
botot berat tubuh gajah itu sendiri.
Jika seorang ahli lweekang telah
mencapai kesempurnaan dalam latihan lweekangnya, tentu dia bisa mengeluarkan
kekuatannya untuk melakukan segala apapun juga. Sebab jika kesempurnaan telah
mencapai puncaknya, tentu dia akan dapat menyalurkan tenaganya itu untuk
menindih lawannya dengan tenaga yang tidak tampak, dan dengan mempergunakan
serangan yang halus, bisa merubuhkan lawannya tanpa menggerakkan tangannya
sedikitpun juga.
Jika Phang Kui In memang mengkhususkan
diri melatih lweekang, maka lawannya si pengemis merupakan seorang ahli tenaga
gwakang. Maka dari itu, setiap gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mereka
saling bertentangan. Yang seorang melancarkan serangan-serangan kasar dengan
mempergunakan kekuatan yang sangat hebat, sedangkan yang seorang lainnya lagi
mempergunakan tenaga halus namun dahsyat sekali untuk melawannya, sehingga
kadang-kadang terdengar suara benturan-benturan yang sangat keras, karena Phang
Kui In juga telah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya itu, mempergunakan
kekerasan melawan serangan lawan yang keras.
Semakin lama mereka bertempur semakin
keras saja, karena si pengemis yang menjadi lawan Phang Kui In jadi semakin
penasaran. Berulang kali si pengemis tersebut telah mengeluarkan suara bentakan
yang sangat bengis, tubuhnya berjingkrak karena gusar, lalu kembali dia telah
menyerang bertubi-tubi.
Tetapi selama itu Phang Kui In selalu
berhasil menghadapinya dengan baik. Hanya yang dikuatirkan sekali oleh Phang
Kui In jika pengemis yang seorangnya lagi ikut melancarkan serangan mengeroyok
dirinya. Kekuatiran itu disebabkan si pengemis yang menjadi lawannya itu
memiliki kepandaian yang hampir berimbang dengannya, jika pengemis yang satunya
lagi juga bukan seorang yang lemah, dan jika dia maju melancarkan serangan juga
berarti Phang Kui In harus menghadapi dua orang lawan yang memiliki tenaga yang
cukup dahsyat.
Berulang kali Phang Kui In
mengeluarkan suara bentakan juga, dia telah berusaha untuk dapat merubuhkan
lawannya dalam waktu yang cepat dan singkat. Tetapi disebabkan kepandaian
mereka hampir berimbang dengan sendirinya mereka saling menyerang dengan
kekuatan yang hampir bersamaan kuatnya.
Dengan kelincahan yang menakjubkan
ditambah lagi dengan kekuatan gwakangnya, tampak si pengemis berusaha untuk
dapat merubuhkan Phang Kui In juga.
Tetapi semakin lama, karena latihan
lweekang Phang Kui In lebih sempurna dari latihan gwakang pengemis itu, maka si
pengemis telah mulai terdesak. Dia jadi sibuk mengelakkan dari setiap
serangan-serangan yang dilancarkan oleh Phang Kui In. Kedua tangan Phang Kui In
tampak bergerak-gerak, walaupun jarak pisah diantara mereka berdua cukup jauh,
namun tenaga serangan dalam bentuk angin terjangan yang keluar dari tangan
Phang Kui In telah mendesak pengemis itu.
Dengan terpisahnya mereka dalam jarak
yang cukup jauh, hampir dua tombak telah membuat si pengemis yang rugi
sendirinya, karena dalam jarak yang jauh seperti itu jarak jangkau tangannya
tentu saja tidak sampai, dan berulang kali dia telah berusaha untuk melancarkan
serangan dan gempuran. Namun terjangan-terjangan dari lweekang Phang Kui In
selalu memaksa dia harus menyingkir dan mengelakkan diri berkelit dari terpahan
angin serangan yang mengincar bagian-bagian yang berbahaya di tubuhnya.
Phang Kui In telah melihat lawannya
mulai terdesak, semangat bertenpurnya jadi terbangun. Dia telah mengerahkan
semangat dan tenaganya jauh lebih kuat.
Namun tiba-tiba si pengemis yang
seorangnya lagi, yang sejak tadi hanya menyaksikan saja, tidak dapat menahan
sabar dan telah mengeluarkan suara teriakan:
„Toako jangan takut! Aku datang
membantuimu!!” dan disertai bentakannya itu, tubuh si pengemis telah melompat
dengan gerakan yang sangat cepat sekali, dan waktu tubuhnya sedang melayang di
tengah udara, justru tenaga si pengemis telah bergerak saling susul, dia telah
melancarkan serangan serangan yang beruntun.
Rupanya pengemis yang kedua ini,
memiliki latihan tenaga lweekang, karena walaupun tubuhnya belum lagi tiba
digelanggang pertempuran itu, tetapi angin serangannya telah menyambar dengan
dahsyat ke arah Phang Kui In.
Dengan sendirinya Phang Kui In jadi
terkejut dan telah cepat-cepat menyingkir.
Gerakan tubuhnya itu membuat penjagaan
diri Phang Kui In jadi lowong, dia telah membuka lowongan yang tidak kecil di
bagian dadanya.
Si pengemis yang dipanggil dengan
sebutan ‘Toako’ kakak tua telah melihat kesempatan itu. Dengan cepat dia telah
mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sekali. Dia telah melancarkan
gempuran yang sangat hebat sekali, dengan mempergunakan kedua telapak tangannya
yang didorong ke arah dada Phang Kui In.
Tentu saja Phang Kui In jadi tambah
terkejut, karena angin serangan si pengemis yang baru ikut melancarkan serangan
itu telah menyambar terus ke arah perutnya, dan kini tenaga serangan dari kedua
telapak tangan si pengemis yang di panggil ‘Toako’ itu juga meluncur akan
menggempur dadanya.
Keruan saja dalam waktu hanya beberapa
detik itu, Phang Kui In harus mempergunakan pikirannya dengan cepat, dia
mencari jalan yang terbaik untuk menyingkirkan dirinya.
Sebagai seorang ahli lweekang yang
telah berpengalaman dan memiliki latihan cukup sempurna Phang Kui In tidak
menjadi gugup karenanya.
Dengan cepat, tangan kanannya ditekuk,
jari tangannya saling jepit dengan jari tangan kirinya. Dan sikapnya seperti
orang yang sedang memberi hormat. Tubuhnya agak membungkuk ke depan, dengan
gerakan tersebut Phang Kui In telah melindungi dadanya dengan kekuatan tenaga
lweekangnya dari serangan dan gempuran pengemis yang dipanggil ‘Toako’ itu.
Sedangkan bagian perutnya yang diserang hebat oleh si pengemis yang seorang
lagi telah dihadapinya dengan perut dikempiskan, lalu kaki kanannya diangkat
ditekuk agak lurus, mengancam akan menggempur urat nadi di pergelangan tangan
si pengemis, urat nadi Ma-hiong-meh, yang merupakan urat nadi terpenting bagi
setiap manusia karena jika urat nadi itu tergempur oleh lutut Phang Kui In,
jika tidak binasa tentu pengemis tersebut akan bercacad seumur hidupnya.
Keruan saja si pengemis yang kedua itu
jadi terperanjat. Dia mengetahui bahwa ancaman yang akan diterimanya itu sangat
hebat sekali. Maka tanpa membuang waktu lagi dia telah menarik kembali kedua
tangannya, gerakan yang dilakukannya sangat cepat bukan main, dan dia telah
berhasil mengelakkan benturan lutut dari Phang Kui In, sehingga selamatlah dia
dari bencana yang bisa menimpa dirinya.
Sedangkan serangan dari si pengemis
yang dipanggil ‘toako’ itu telah tiba, dan tertangkis oleh rangkapan tangan
Phang Kui In, sehingga tenaga membentur yang keras sekali seketika terjadi.
„Bukkk!” tubuh si pengemis terhuyung
mundur beberapa langkah sedangkan tubuh Phang Kui In tergoncang keras, namun
disebabkan dia telah menancapkan kakinya dengan kuat sekali di tanah, maka dia
telah berhasil menerima serangan itu dengan tubuh yang tidak bergeming selain
bergoyang-goyang belaka. Kedua telapak kakinya tidak tergeser sedikitpun juga.
Saat itu, tampak Phang Kui In telah
merentangkan kedua tangannya, dia telah membalas melancarkan serangan justru di
saat tubuh si pengemis ‘toako’ itu sedang terhuyung. Angin serangan yang
dilancarkan Phang Kui In berkesiuran keras „Wuuttt!” dahsyat sekali.
Si Toako tertawa tawar, walaupun tadi
dia telah terdorong mundur seperti itu, namun dia memiliki kepandaian yang
tinggi dan latihan tenaga gwakang yang cukup sempurna. Dengan sendirinya dia
berhasil untuk menangkisnya.
Begitulah kedua pengemis inipun telah
melancarkan serangan-serangannya yang serentak. Karena mengetahui bahwa Phang
Kui In merupakan seorang ahli lweekang yang cukup tangguh maka kedua pengemis
itu tidak segan-segan untuk melakukan pengeroyokan.
„Manusia-manusia rendah!” mengutuk
Phang Kui In dengan sengit, dia telah menggerakkan kedua tangannya untuk
melancarkan serangan-serangan balasan dan menangkis maupun mengelakkan diri
dari cecaran kedua pengemis itu. Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Phang Kui
In sangat gesit, namun karena dikeroyok kedua pengemis itu, dia jadi sibuk
sekali.
Yo Him yang melihat ini. Dimana dia
melihat keringat telah membasahi pakaian Phang Kui In dan mukanya juga telah
dipenuhi butir-butir keringat, dengan sendirinya mendatangkan perasaan kuatir
bukan main di hati Yo Him.
„Berhenti! Berhenti!” teriak Yo Him
setelah berpikir sejenak. „Aku hendak bicara!”
Phang Kui In heran, entah apa yang
hendak dilakukan oleh Yo Him.
Tetapi sebagai putranya Sin-tiauw
Tayhiap Yo Ko tentu saja Yo Him diperlakukan hormat sekali oleh Phang Kui In
yang menaruh rasa segan kepada anak ini. Begitu mendengar teriakan Yo Him,
segera Phang Kui In melompat ke belakang beberapa tombak jauhnya, memisahkan
diri dari kedua pengemis itu,
Sedangkan kedua pengemis itu, Si Toako
dan kawannya, telah memandang dengan sorot mata bengis sekali kepada Yo Him.
„Apa yang hendak kau katakan, bocah
ingusan!” bentak si pengemis toako itu.
„Sesungguhnya, telah lama kudengar,”
kata Yo Him dengan suara yang sabar dan tenang sekali, sikapnya juga sengaja
diperlihatkan seperti seorang tokoh persilatan sedang bicara, sehingga membuat
kedua pengemis itu yang melihat lagak anak kecil she Yo ini merasakan dada
mereka seperti ingin meledak karena marah sekali. „Bahwa dalam perkumpulan
Kay-pang terdapat peraturan yang sangat keras sekali, yaitu dilarang melakukan
pekerjaan jahat, jahat itu terbagi luas dalam berbagai bidang, yaitu termasuk
pencurian, pemerasan dan perbuatan menyiksa yang lemah tanpa salah, tentu saja
yang penting, semua pekerjaan jahat telah dilarang oleh perkumpulan Kay-pang!
Setahuku, bahwa kalian dari Kay-pang, mengapa kalian bertindak
sewenang-wenang?”
Muka kedua pengemis itu jadi merah
padam karena mereka gusar sekali.
“Budak busuk!” bentak mereka hampir
berbareng, „Apakah engkau menyadari bahwa perkataanmu pun bisa mendatangkan
kematian untuk seseorang?”
„Apakah kalian maksudkan bahwa
perkataanku itu bisa menyebabkan aku mati di tangan kalian?” tanya Yo Him
dengan berani.
„Tidak salah!” menyahuti pengemis itu
dengan suara yang keras. „Sedikitpun tidak salah memang kau, akan mati juga,
karena telah begitu lancang mengeluarkan perkataan yang tidak keruan!”
Dan si Toako setelah berkata begitu,
telah melompat untuk melancarkan serangan mematikan kepada Yo Him.
Tetapi Yo Him telah membentak dengan
suara yang nyaring:
„Tahan dulu, aku masih ingin bicara!”
Si Toako telah menahan gerakan
tubuhnya matanya mendelik lebar-lebar, bentaknya,
„Cepat katakan!”
„Apakah kalian benar-benar anggota
dari Kay-pang?” tanya Yo Him lagi.
„Ada urusan apa dengan kau, apakah
kami ini termasuk anggota Kay-pang atau bukan, bukan menjadi urusanmu!” bentak
si Toako tambah beringas, karena dia marah sekali ditegur oleh seorang bocah
cilik seperti Yo Him.
„Ohh, tentu saja ada hubungannya
denganku!” kata To Him, „Terlebih lagi memang kalian benar-benar anggota
Kay-pang!”
Mata si pengemis toako itu telah
mencilak-cilak, sedangkan si pengemis yang seorangnya lagi telah mengeluarkan
suara geraman yang bengis, tampaknya diapun mulai tidak sabat ingin melancarkan
serangan yang bisa mematikan Yo Him.
„Benar! Kami memang anggota Kay-pang.
Tentunya kau mengetahui betapa hebatnya Kay-pang, yang tersebar di seluruh
daratan Tiong-goan, bukan?”
„Hemm, rupanya engkau mengetahui dan
menghargai nama harum Kay-pang. Dan kalian termasuk anggota Kay-pang Cabang
daerah bukan?”
„Benar!” menyahut pengemis ‘toako’
itu. „Apakah engkau memandang rendah Kay-pang cabang daerah?”
„Oh, tidak! tidak! Kay-pang pusat atau
Kay-pang daerah sama saja, bukankah Kay-pang memiliki nama yang harum disegani
kawan dan lawan?”
„Hemmmm, rupanya engkau mengetahui
juga keangkeran Kay-pang walaupun usiamu masih bau pupur!” kata si pengemis
toako itu angkuh sekali.
„Tetapi aku justru memiliki satu
pertanyaan, apakah anggota Kay-pang cabang daerah akan mematuhi setiap perintah
dari pusat?” tanya Yo Him.
Pengemis ‘toako’ itu tidak segera
menyahuti, karena tampaknya berpikir sejenak namun akhirnya dia telah berkata:
„Ya, memang itu peraturan dalam rumah tangga Kay-pang! Untuk apa kau menanyakan
itu, heh? Apakah engkau orang tua Kay-pang?”
Yo Him membawa sikap yang tenang dan
sabar, dia telah berkata lagi,
„Baiklah! Jika memang ada anggota
Kay-pang dari pusat yang kedudukannya lebih tinggi darimu, apakah engkau akan
menghormatinya?”
Ditegur demikian, kedua pengemis itu
jadi tertegun untuk sejenak, mereka telah memandang dengan mata menyelidik
kepada Yo Him sampai akhirnya salah seorang diantara mereka si Toako telah
bertanya ragu-ragu mengandung kemarahan:
„Siapa yang engkau maksudkan anggota
Kay-pang itu?”
„Tidak perlu kalian mengetahui dulu.
Sekarang jawablah pertanyaanku. „Apa kedudukanmu dalam keanggotaan Kay-pang
Cabang daerah?”
Kedua pengemis itu jadi tambah
ragu-ragu, tetapi kemudian si toako itu telah balik bertanya.
„Apakah yang engkau maksudkan dengan
anggota Kay-pang dari pusat adalah dirimu sendiri, setan kecil?” setelah
berkata begitu, si pengemis tertawa tergelak.
Yo Him tidak melayani sikap pengemis
ini dia telah berkata lagi.
„Jawab dulu pertanyaanku, apa
kedudukan kalian dalam keanggotaan Kay-pang cabang daerah?”
„Kami merupakan pemimpin golongan muda
dari anggota Kay-pang cabang daerah!” menyahut si pengemis kawannya si toako
itu. „Setiap anggota muda harus berada di bawah pengawasan kami.”
“Hmm, hanya seksi bagian golongan
anggota Kay-pang yang muda, jadi bukan keseluruhan dari keanggotaan Kay-pang
cabang daerah kota ini, bukan?”
„Tetapi kami bisa melaporkan kepada
wakil dan ketua kami di cabang daerah ini. Kami memiliki suara,” menyahuti si
Toako dengan sengit. „Dan engkau telah berani bicara mengenai perkumpulan kami
maka jika kelak engkau ternyata tidak memiliki sangkut paut apapun juga, kepalamu
itu akan kupisahkan dari batang lehermu!”
Itulah ancaman yang cukup hebat,
ancaman yang diliputi kemarahan. Tetapi tampaknya Yo Him tidak takut, bahkan
telah tertawa tawar dan sikapnya tenang sekali.
„Baik! Itupun boleh!” kata Yo Him.
„Jika kelak aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Kay-pang kalian boleh
menghukumku dengan cara apa saja.” Dan setelah berkata begitu, Yo Him merogoh
sakunya.
Kedua pengemis itu mengawasi dengan
sorot mata yang tajam, mereka menduga-duga entah apa yang akan dikeluarkan oleh
Yo Him.
„Nah, kenalkah kalian dengan benda
ini?” tanya Yo Him sambil mengacungkan Kim-pay Wie Tocu.
Mata kedua pergemis tersebut
terpentang lebar-lebar dan muka mereka berobah jadi pucat, Tampaknya mereka
kaget bukan main.
„Kenalkah kalian dengan benda ini?”
tanya Yo Him dengan suara yang keras mengulangi pertanyaannya.
„Hmm!” si toako telah mendengus
mengejek, dia sudah bisa mengendalikan goncangan hatinya. „Engkau mencuri dari
mana benda berharga milik dari salah seorang pemimpin pusat kami itu?”
Dia tidak mempercayai bahwa Yo Him
bisa memiliki benda berharga itu, yang mereka kenali sebagai lambang kebesaran
wakil Pangcu dari pusat, yaitu Wie Tocu. Tetapi disebabkan yang memegang
lambang kekuasaan tersebut hanya Yo Him, seorang anak yang belum lagi berusia
lebih dari sepuluh tahun, tentu saja mereka jadi ragu-ragu. Itulah sebabnya
kedua pengemis ini tidak segera berlutut memberi hormat seperti umumnya setiap
anggota pengemis menghadapi lambang kekuasaan dari pemimpin mereka.
Yo Him juga mendongkol melihat kedua
pengemis tua itu tidak segera menghormati lambang kekuasaan pemimpin mereka!
„Mengapa kalian tidak cepat-cepat
berlutut, eh?” bentak Yo Him dengan suara yang meninggi, „Apakah kalian
berpikir hal ini kuberitahukan kepada Wie Tocu, jiwa kalian bisa dipertahankan
terus? Kekurang ajaran kalian ini bisa menyebabkan kalian dihukum berat.....!”
Kedua pengemis itu saling pandang,
sedangkan si Toako diam-diam telah berpikir,
„Inilah berbahaya, jika anak ini benar
memiliki hubungan dengan Wie Tocu dan memberitahukan sikap kami berdua, tentu
pusat akan mengirimkan orangnya untuk menghukum kami. Lebih baik jiwa anak ini
kami habiskan saja!”
Dan setelah berpikir begitu, si
pengemis yang dipanggil Toako itu telah melirik kepada kawannya. Rupanya pengemis
yang seorangnya lagi juga memiliki pikiran yang sama dengan kawannya, diapun
telah tersenyum sinis mengandung arti waktu si Toako melirik kepadanya.
Keduanya lalu berlutut dihadapan Yo Him sambil katanya: „Kami benar-benar harus
dihukum mati, tidak melihat tingginya gunung Thay-san.....!” kata kedua
pengemis itu hampir berbareng. “Maafkanlah atas kekurang ajaran kami.....!”
“Siapa nama kalian berdua?” tanya Yo
Him dengan suara yang agak lunak.
Kedua pengemis itu jadi terkejut,
mereka menyadari jika mereka menyebutkan nama mereka, tentu dengan mudah Yo Him
memberitahukan kepada Wie Tocu perihal mereka.
Melihat kedua pengemis itu ragu-ragu
Yo Him telah berkata lagi:
„Jika memang kalian mengakui perbuatan
kalian ini salah dan berjanji di hari hari mendatang kalian tidak akan
melupakan perbuatan yang buruk lagi membela pihak yang salah, dan membiarkan
anggota-anggota yang dipimpin kalian melakukan kejahatan terhadap orang-orang
yang lemah tidak berdaya, aku bersedia untuk memberikan pengampunan bagi ka¬lian.....
aku berjanji tidak akan memberitahukan kepada Wie Toako.....”
Mendengar Yo Him menyebut Wie Liang
Tocu dengan sebutan Wie Toako, kakak Wie, tentu saja kedua pengemis itu jadi
tambah terkejut dan ragu-ragu.
„Cepat katakan, siapa nama kau?” tanya
Yo Him lagi.
Si Toako rupanya saat itu telah
mengambil suatu keputusan nekad, dia telah melompat dengan tiba-tiba, tangannya
meluncur akan menghajar kepala Yo Him, yang ingin dipukulnya pecah berantakan.
Phang Kui In yang sejak tadi mengawasi
saja dengan heran, betapa Yo Him memiliki Kim-pay, lambang lencana dari emas
yang merupakan lambang kekuasaan tertinggi dari salah seorang pemimpin
Kay-pang, yang disebut-sebut dengan panggilan Wie Toako, tentu saja jadi
terkejut. Dia telah berpikir keras, apakah mungkin Wie Tocu itu Wie Liang Tocu
adanya, karena memandang Yo Him adalah putera dari Sin-tiauw Tayhiap Yo Ko,
maka telah memberikan lambang kekuasaannya itu kepada Yo Him, agar kelak jika
Yo Him sedang menghadapi kesulitan maka dia bisa meminta bantuan pihak
Kay-pang?
Tetapi di luar dugaan Yo Him, justru
Kay-pang cabang daerah kota tersebut merupakan cabang yang murtad, dan di bawah
pimpinannya Ban-ban Cie-kay, seorang pengemis tua yang berusia diantara
delapanpuluh tahun, yang memiliki sifat-sifat yang buruk, anggota-anggota
Kay-pang cabang daerah tersebut ini tidak memiliki tanggung jawab yang baik.
Bahkan memperoleh pimpinan yang buruk sekali dari pemimpinnya, atau ketua
cabang daerah, dengan sendirinya semua anggota Kay-pang cabang daerah ini dari
golongan yang tertinggi, sampai golongan yang termuda, telah melakukan banyak
kejahatan. Tentu saja seperti yang dialami oleh kedua pengemis itu yang sedang
berhadapan dengan Yo Him, waktu mengetahui Yo Him memiliki hubungan dengan
salah seorang pemimpin tertinggi mereka di pusat mereka jadi berkuatir dan
ketakutan, maka merekapun jadi nekad, berusaha menutup mulut Yo Him.
Itulah sebabnya, si Toako ini telah
melompat dan melancarkan gempuran yang sangat kuat sekali dengan telapak
tangannya memukul ke arah kepala Yo Him karena dia bermaksud sekali hantam akan
pecahlah kepala anak kecil ini, sehingga selanjutnya rahasia mereka tetap
tertutup, asalkan nanti dia juga membinasakan Phang Kui In.
Tetapi Phang Kui In mana mau
membiarkan si pengemis itu menghantam Yo Him di saat tangan itu meluncur dengan
cepat tampak Phang Kui In telah melompat juga.
Yo Him saat itu sangat terkejut,
karena merasakan samberan angin serangan yang kuat sekali ke arah kepalanya.
Dia sampai mengeluarkan suara seruan kaget dan ingin menyampok dengan Kim-pay
di tangannya.
Tetapi belum lagi serangan si pengemis
itu tiba di sasaran, tangannya telah disampok oleh kibasan tangan Phang Kui In,
yang menangkisnya dengan kuat sekali sehingga terdengar s