Bab 2
Benar juga kata-katamu, Sian
Li. Akan tetapi bagianmu sudah cukup. Biar aku yang akan menghajar mereka agar
bertaubat. Nah, Tiat-liong Sam-heng-te, majulah kalian bertiga melawanku untuk
membela anak buah kalian. Itu lebih jantan dan lebih bertanggungjawab daripada
menghukum mereka padahal mereka adalah anak buah kalian sendiri!!
Kami.... kami tidak berani!!
kata tiga orang itu dengan muka semakin pucat. Tidaklah begitu mengherankan
kalau tiga orang ini ketakutan setengah mati menghadapi Pendekar Bangau Putih.
Tiga orang ini adalah sisa anak buah perkumpulan Tiat-liong-pang. Mereka ingat
benar betapa pendiri Tiat-liong-pang sendiri yang berjuluk Siangkoan Lohan
(Laki-laki Tua Siangkoan) yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, tewas di tangan Si
Bangau Putih ini, bahkan puteranya yang bernama Siangkoan Liong juga tewas di
tangan pendekar ini. Pendiri Tiat-liong-pang itu bersama puteranya memiliki
tingkat yang sepuluh kali lebih tinggi dari tingkat mereka, dan ayah dan anak
itu tewas di tangan pendekar ini. Bagaimana mereka akan berani melawan Si
Bangau Putih?
Kalau kalian tidak berani
melawan suamiku, biarlah melawan aku saja!! kata Kao Hong Li.
Tidak, Ibu. Biar aku saja yang
menghadapi mereka. Heiii, kalian yang julukannya demikian hebat, Tiga Saudara
Naga Besi! Pilihlah seorang di antara kami bertiga. Kami tidak maju bertiga,
hanya seorang dari kami yang maju. Nah, pilihlah, siapa yang akan kalian lawan?
Kalau kalian dapat mengalahkan seorang di antara kami, sudah saja, kalian boleh
pergi membawa anak buah kalian.!
Kami.... kami tidak
berani....! Mereka masih segan dan jerih terhadap Si Bangau Putih.
Berani atau tidak kalian harus
maju, atau.... kalian akan kuhajar begitu saja agar ikut merasakan penderitaan
anak buah kalian!! kata pula Sian Li.
Tiga orang itu saling pandang.
Agaknya mereka sudah tersudut dan tidak dapat menghindarkan diri lagi. Mereka
tahu bahwa melawan Si Bangau Putih sama saja dengan bunuh diri. Tinggal isteri
dan puteri pendekar itu. Bagaimanapun juga, tentu isterinya lebih pandai
daripada puterinya, walaupun berjuluk Si Bangau Merah dan telah merobohkan tiga
belas orang anak buah mereka. Kiranya kalau mengeroyok gadis remaja ini, tentu
mereka masih sanggup bertahan, dan siapa tahu dapat menang sehingga mereka
dapat keluar dengan tidak terlalu kehilangan muka.
Baiklah kalau Lihiap memaksa,
kami bertiga yang bodoh dan lemah mohon petunjuk Nona.! kata si kumis. Mereka
bertiga memasang kuda-kuda dan tidak berani mencabut pedang karena kalau
bertanding menggunakan pedang, kalau kalah tentu akibatnya akan lebih parah
bagi mereka daripada kalau bertanding dengan tangan kosong. Pula, tidak percuma
mereka menjadi bekas anggauta Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) karena
mereka telah menguasai ilmu kekebalan dari Tiat-liong-pang yang membuat mereka
berani menggunakan julukan Naga Besi. Betapapun kuatnya, tangan gadis remaja
itu mustahil akan mampu menembus kekebalan mereka.
Sian Li tersenyum kepada ayah
dan ibunya dan suami isteri itu terpaksa mengalah. Mereka mundur mendekati kereta
dan berdiri di dekat kereta seperti tadi ketika menyaksikan puteri mereka
berlaga melawan pengeroyokan Hek-bin-gu dan dua belas orang anak buahnya. Akan
tetapi sekarang mereka lebih waspada karena mereka dapat menduga bahwa tiga
orang laki-laki setengah tua itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan tiga
belas orang anak buahnya.
Melihat betapa tiga orang
calon lawan itu tidak mencabut senjata, Sian Li tersenyum. Kini ia mendapat
kesempatan untuk mencoba ilmunya yang khas untuk dirinya, yaitu Ang-ho Sin-kun.
Tidak ada orang ke dua di dunia ini yang menguasai ilmu silat ini. Ayahnya
sendiri yang merangkai ilmu ini, dan hanya ia seoranglah yang mempelajarinya.
Kepada tiga laki-laki ini ia tidak mempunyai rasa muak yang berlebihan seperti
terhadap tiga belas orang anak buah mereka tadi, karena tiga orang kakek ini
selain bersikap halus, juga kelihatan bersih.
Kalian mulailah, aku sudah
siap siaga.! katanya dan ia pun memasang kuda-kuda dengan kaki kiri ditekuk
lututnya dan diangkat ke atas melekat kaki kanan yang berdiri tegak, kedua
tangan di pinggang dengan siku ditarik ke belakang, kepala menghadap ke depan
dengan leher dijulurkan. Inilah sikap seekor burung bangau yang sedang berdiri,
nampaknya melenggut atau mengantuk, namun sedikit pun tidak bergerak seperti
arca dan sepasang mata itu tidak pernah melewatkan sesuatu dan dalam keadaan
seperti itu, kalau ada ikan lewat dan menyangka kakinya yang kanan itu hanya
sepotong kayu maka paruh itu akan meluncur ke dalam air dan tanpa dapat
dihindarkan lagi ikan itu akan ditangkapnya!
Karena Sian Li seorang gadis
yang berwajah cantik dan jenaka, dan mulutnya tersenyum-senyum, sepasang
matanya melirik ke arah tiga orang itu seperti mata bangau mengintai gerakan
tiga ekor ikan, maka ia nampak lucu.
Tiat-liong Sam-heng-te sudah
tahu bahwa gadis ini lihai sekali, maka mereka pun tidak memandang rendah
pasangan kuda-kuda yang nampak lucu dan tidak mereka kenal itu. Mereka lalu
berpencar dan maju menghampiri Sian Li dari depan, kanan dan kiri. Kemudian,
setelah si kumis mengeluarkan bentakan nyaring sebagai tanda dimulainya
serangan mereka, tubuh mereka bergerak cepat dan mereka sudah melancarkan
serangan yang cukup dahsyat ke arah tubuh Sian Li dari tiga jurusan. Enam buah
lengan meluncur dan enam buah tangan menyerang gadis itu dari depan, kanan,
kiri, atas dan bawah!
Kini Sian Li memainkan ilmu
silat Ang-ho Sin-kun sepenuhnya. Tubuhnya mengelak ke kanan dengan lompatan
seperti lompatan burung bangau sehingga serangan orang di sebelah kiri dan
depan luput, dan serangan orang yang berada di kanannya, ia sambut dengan
tangkisan lengannya.
Duk-dukkk!! Penyerang itu
terkejut setengah mati karena begitu lengannya ditangkis oleh lengan Sian Li,
dia merasa betapa lengannya tergetar hebat. Dari kedua lengan yang tertangkis
itu timbul getaran yang membuat isi dadanya juga terguncang sehingga dia cepat
melangkah mundur. Kiranya gadis ini memiliki tenaga sin-kang yang amat hebat!
Dua orang pengeroyok lain yang tadi hanya memukul tangan kosong, sudah
berloncatan dan menyerang lagi dari kanan kiri, sedangkan orang ke tiga juga
menyerang dari arah belakang.
Sian Li bersikap tenang akan
tetapi dengan gerakan yang gesit dan kuat, ia berkelebatan di antara tiga orang
pengeroyoknya. Tubuhnya bagaikan bayangan saja, tak pernah dapat disentuh tiga
orang pengeroyoknya yang mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk
mengalahkan gadis berpakaian merah itu. Warna pakaian gadis itu yang serba
merah memudahkan mereka mengikuti ke mana tubuh gadis itu berkelebat, akan
tetapi juga membuat tiga orang lawannya bingung, akan tetapi juga setiap kali
tangan gadis itu menangkis, mereka merasa betapa lengan mereka tergetar sampai
ke pundak.
Sekali ini Sian Li yang hendak
menguji ilmunya yang baru saja ia kuasai dengan baik, tidak main-main lagi dan
dengan gerakan yang indah dan lincah namun yang mengandung tenaga dahsyat, ia
melayani penyerangan tiga orang itu. Begitu ia mengubah daya tahan menjadi daya
serang, maka berturut-turut ia merobohkan Tiat-liong Sam-heng-te dengan
totokan, tamparan dan tendangan. Tidak sampai sepuluh jurus ia menyerang dan
tiga orang pengeroyok itu sudah roboh.
Tiat-liong Sam-heng-te
terkejut bukan main. Mereka memang sudah mengetahui bahwa Pendekar Bangau Putih
adalah seorang pendekar sakti, dan mereka gentar menghadapinya. Akan tetapi
baru sekarang mereka membuktikan sendiri bahwa puteri pendekar itu pun seorang
yang amat tangguh.
Kami mengaku kalah....! kata
mereka dan mereka bangkit sambil menyeringai kesakitan.
Mulai sekarang, kalian dan
anak buah kalian jangan suka mengganggu pejalan yang lewat di sini. Untung
kalian bertemu dengan kami, kalau bertemu dengan pendekar lain, mungkin kalian
semua kini sudah tak bernyawa lagi.! kata Tan Sin Hong yang merasa girang dan
puas melihat kemajuan puterinya.
Tiat-liong Sam-heng-te memberi
hormat dan si kumis berkata, Taihiap, kami tidak pernah mengganggu pelancong
atau pedagang, tidak mau mengganggu rakyat. Kami hanya merampok pejabat Mancu
yang lewat di sini.!
Tidak semua pejabat merupakan
orang jahat yang patut diganggu,! kata Sin Hong. Pula, pekerjaan merampok
merupakan kejahatan, tidak peduli siapapun yang kalian rampok. Lebih baik
kembali ke jalan benar dan bekerja mencari nafkah tanpa mengganggu orang lain.!
Akan tetapi, Taihiap.... kami
tidak rela melihat tanah air dan bangsa kita dijajah orang Mancu dan....!
Tidak perlu berlagak patriot
dan pejuang!! Sin Hong membentak. Kalau kalian patriot dan pejuang, kalian
tidak akan melakukan perampokan! Jangan menggunakan kedok pejuang untuk
menyembunyikan kejahatan kalian. Pejuang sejati tidak akan berbuat jahat!!
Tiga orang itu menundukkan
muka, tidak berani bicara lagi. Sudahlah, perlu apa bicara dengan orang-orang
seperti ini? Mari kita melanjutkan perjalanan.! kata Kao Hong Li kepada
suaminya. Mereka naik kembali ke dalam kereta dan kendaraan itu pun bergerak
cepat meninggalkan belasan orang itu yang merasa lega karena biarpun mereka
babak belur, namun tidak ada di antara mereka yang terbunuh. Dari mulut mereka
tersebar berita tentang kehebatan Si Bangau Merah.
***
Dusun Hong-cun yang terletak
di lembah Sungai Kuning, di luar kota Cin-an Propinsi Shantung adalah sebuah
dusun yang tidak besar akan tetapi jauh lebih rapi dan bersih dibandingkan
dusun-dusun lain. Penduduk dusun itu bekerja sebagai nelayan merangkap petani
dan kehidupan mereka walaupun sederhana, namun cukup makmur. Sungai Kuning
tidak pernah kekurangan ikan, dan lembah sungai itu memang memiliki tanah yang
subur.
Pagi hari itu, suasana dusun
Hong-cun berbeda dari biasanya. Suasananya meriah dan ini merupakan tanda bahwa
di dusun itu terdapat sebuah keluarga yang sedang mengadakan pesta merayakan
sesuatu. Di dusun yang penduduknya tidak terlalu padat, setiap kali ada sebuah
keluarga mengadakan pesta merayakan sesuatu, maka suasana meriahnya meliputi seluruh
dusun, seolah pesta itu merupakan pestanya orang sedusun. Apalagi yang sedang
berpesta adalah keluarga Suma Ceng Liong!
Biarpun di dusun itu sudah ada
kepala dusun dan stafnya, namun Suma Ceng Liong dianggap sebagai sesepuh dusun
itu, walaupun dia tidak tinggal di situ sejak kecil. Semua orang tahu belaka
bahwa dia adalah seorang pendekar sakti yang tinggal di dusun sunyi itu
menjauhi keramaian dan hidup tenteram bersama isterinya, Kam Bi Eng yang juga
seorang pendekar wanita sakti. Suami isteri pendekar ini dihormati dan disayang
seluruh penduduk dusun Hong-cun, karena mereka suka menolong, baik dengan
pengobatan atau membantu orang yang sedang dilanda kekurangan walaupun mereka
sendiri bukan orang kaya raya. Di samping itu, seluruh penduduk dusun maklum
bahwa mereka dapat hidup tenang dan tenteram di dusun Hong-cun, tak pernah ada
penjahat manapun berani datang mengganggu, hanya karena nama besar pendekar
Suma Ceng Liong dan isterinya.
Siapa berani mengganggu
pendekar ini yang merupakan keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari
Istana Pulau Es? Suma Ceng Liong adalah cucu mendiang Suma Han si Pendekar
Super Sakti. Adapun isterinya juga bukan orang sembarangan pula. Kam Bi Eng
adalah puteri pendekar sakti Kam Hong, ahli ilmu silat suling emas dan terkenal
dengan Kim-siauw-kiam (Pedang Naga Siluman).
Mereka hanya mempunyai anak
tunggal, seorang perempuan bernama Suma Lian yang kini telah ikut suaminya dan
tinggal di Ping-san, sebelah selatan Pao-ting. Suami Suma Lian bernama Gu Hong
Beng, seorang ahli silat pula, murid Suma Ciang Bun.
Kini, Suma Ceng Liong dan Kam
Bi Eng tinggal berdua saja di dusun Hong-cun. Tadinya mereka ditemani seorang
murid bernama Liem Sian Lun yang seolah menjadi anak angkat mereka pula. Namun
sayang, murid mereka itu telah tewas dalam pertempuran ketika Liem Sian Lun
bersama Tan Sian Li sebagai suheng dan sumoi, melakukan perjalanan ke Bhutan
dan terlibat dalam pertempuran antara para pemberontak Tibet dengan pasukan
Tibet. Mereka yang tadinya hidup berdua dan merasa kesepian setelah puteri
mereka menikah dan pergi mengikuti suaminya, lalu muncul Liem Sian Lun yang
kemudian menjadi tumpuan kasih sayang, dan tiba-tiba saja, pemuda itu tewas
dalam pertempuran di luar pengetahuan mereka.
Pesta apakah yang pada pagi
hari ini dirayakan keluarga Suma Ceng Liong yang kini hanya tinggal berdua di
dalam rumah besar di dusun Hong-cun itu? Pesta perayaan ulang tahun yang ke
enam puluh dari Suma Ceng Liong. Pesta sekali ini merupakan pesta yang khusus
diadakan untuk mengumpulkan tulang-tulang berserakan!, istilah yang dipakai
Suma Ceng Liong untuk mengartikan bahwa pesta itu diadakan untuk mengumpulkan
para anggauta keluarga yang terpisah di mana-mana seperti tulang-tulang
berserakan. Dan mereka berdua memang memiliki rangkaian anggauta keluarga yang
besar, terdiri dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan keluarga Lembah
Naga Siluman! Tiga buah keluarga pendekar yang amat terkenal di dunia
persilatan. Bukan hanya keluarga hubungan darah, akan tetapi juga saudara
seperguruan.
Tentu saja yang lebih dahulu
datang adalah puteri mereka sendiri, yaitu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong
Beng. Suma Lian sudah berusia empat puluh tahun dan suaminya berusia empat
puluh lima tahun, akan tetapi mereka tidak dikaruniai seorang pun anak. Kenyataan
ini pun menjadi bukti kekuasaan Thian. Suami isteri ini adalah
pendekar-pendekar yang sehat, bahkan dapat dikatakan sehat lahir batin, dan
pandai. Namun, betapapun mereka berikhtiar, dengan minum bermacam obat, karena
agaknya Thian tidak menghendaki, namun ikhtiar mereka gagal dan setelah dua
puluh tahun mereka menikah dan belum juga memperoleh anak, keduanya tidak lagi
mengharapkan dan menerima kenyataan karena agaknya tadir Thian menghendaki
bahwa mereka tidak mendapatkan keturunan.
Kemudian berturut-turut
datanglah para tamu yang merupakan para anggauta tiga keluarga besar. Pertama
urutan tamu dari keluarga Pulau Es adalah kakek Kao Cin Liong dan isterinya,
Suma Hui. Pendekar tua ini sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun dan isterinya
enam puluh tujuh tahun, kemudian Suma Ciang Bun yang berusia enam puluh lima
tahun bersama isterinya, Gangga Dewi yang berusia enam puluh satu tahun tiba
dari Bhutan. Nyonya Gak yang bernama Souw Hui Lan, isteri mendiang saudara
kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, juga merupakan anggauta keluarga Pulau
Es. Nyonya yang berusia lima puluh tujuh tahun ini datang bersama puteranya,
Gak Ciang Hun yang berusia dua puluh sembilan tahun. Kemudian Tan Sin Hong
bersama isterinya, Kao Hong Li, dan puteri mereka, Tan Sian Li, datang dan
gadis ini mendapat sambutan hangat dari kakek Suma Ceng Liong dan nenek Kam Bi
Eng, karena gadis ini merupakan cucu keponakan akan tetapi juga murid mereka
selama lima tahun.
Dari fihak keluarga Istana
Gurun Pasir diwakili oleh kakek Kao Cin Liong, kemudian Can Bi Lan yang kini
datang bersama suaminya, Sim Houw. Keluarga Gurun Pasir memang hanya tinggal
Kao Cin Liong dan sumoinya, yaitu Can Bi Lan yang dulu menjadi murid ayahnya.
Can Bi Lan kini berusia empat puluh lima tahun dan suaminya, Sim Houw, sudah
berusia enam puluh tahun. Tidak ada lagi anggauta keluarga Gurun Pasir, bahkan
yang masih adapun sudah menikah dengan anggauta keluarga yang lain seperti Kao
Cin Liong menikah dengan Suma Hui anggauta keluarga Pulau Es. Can Bi Lan
menikah dengan Sim Houw anggauta keluarga Lembah Naga Siluman.
Anggauta keluarga Lembah Naga
Siluman yang hadir tentu saja diwakili nyonya rumah, Kam Bi Eng, karena ibunya,
yaitu nenek Bu Ci Sian isteri mendiang Kam Hong tidak hadir. Nenek itu tidak
mau meninggalkan makam suaminya dan bertekad untuk menunggui makam itu sampai
hayat meninggalkan badan. Kemudian muncul pula Cu Kun Tek dan isterinya, Pouw
Li Sian. Suami isteri ini sudah berusia empat puluh lima tahun dan tiga puluh
sembilan tahun. Mereka datang bersama puteri mereka yang bernama Cu Kim Giok,
seorang gadis manis berusia delapan belas tahun. Tentu saja, sebagai puteri
ayah dan ibu pendekar, Cu Kim Giok ini menjadi seorang gadis pendekar yang
lihai.
Ada pula belasan orang yang
pernah menerima bimbingan para tokoh itu sehingga dapat dianggap sebagai murid,
datang pula menghadiri pesta perayaan ulang tahun yang khusus untuk keluarga
itu. Suasana amat meriah pagi hari itu dan sungguh ini merupakan suatu
pertemuan yang menggembirakan dan juga luar biasa. Demikian banyaknya
pendekar-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan hebat. Masing-masing
dari mereka pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kepandaian mereka, dan
masing-masing memiliki ilmu andalan sendiri yang dahsyat.
Satu demi satu, para anggauta
keluarga itu memberi selamat kepada Suma Ceng Liong yang merayakan hari ulang
tahunnya, dan banyak pula yang memberi hadiah tanda mata yang aneh dan
berharga. Ketika sedikitnya dua puluh orang penduduk dusun yang mewakili
seluruh penduduk datang pula menghadiri, tentu saja Suma Ceng Liong menyambut
mereka dengan gembira. Mereka datang mewakili para penduduk, tentu saja tidak
enak kalau harus ditolak, walaupun pesta itu diadakan khusus untuk mengumpulkan
anggauta keluarga.
Mereka mendapatkan tempat
sekelompok di samping, sedangkan para anggauta keluarga itu segera terlibat
dalam percakapan hangat karena pertemuan itu merupakan pula pertemuan istimewa
setelah bertahun-tahun mereka yang tadinya akrab saling berpisah. Suasana
menjadi gembira dan hiruk-pikuk seperti pasar karena mereka saling
bercakap-cakap satu kepada yang lain dengan suara gembira, apalagi para
wanitanya. Suma Lian ketika bertemu dengan Pouw Li Sian saling rangkul bahkan
sampai menangis saking terharu dan gembira hati mereka. Kedua orang wanita ini
ketika kecil pernah menjadi saudara seperguruan, dibimbing oleh mendiang Bu
Beng Lokai atau Gak Bun Beng, ayah dari mendiang dua orang saudara kembar Gak.
Semenjak kedua orang wanita ini menikah, sembilan belas tahun yang lalu, mereka
tidak pernah saling jumpa.
Li Sian....!!
Su-ci (Kakak Seperguruan)
Lian!! Keduanya bertangisan dan ketika Suma Lian diperkenalkan kepada puteri
sumoinya yang bernama Cu Kim Giok, ia merangkul gadis itu dan mencium kedua
pipinya.
Aih, aku sudah mempunyai
keponakan sebesar dan secantik ini!! katanya dengan wajah berseri gembira.
Kalau saja pertemuan ini terjadi beberapa tahun yang lalu, tentu Suma Lian akan
menangis karena sedih melihat sumoinya sudah mempunyai anak sebesar itu
sedangkan ia sendiri tidak mempunyai anak. Akan tetapi sekarang ia dan suaminya
telah dapat menerima kenyataan dan keadaan sebagai kehendak Thian dan pertemuan
ini tidak membangkitkan rasa kecewa, iri atau sedih, melainkan mendatangkan
keharuan dan kegembiraan. Sebaliknya, Li Sian yang tahu bahwa sucinya tidak
mempunyai anak, juga bersikap bijaksana dan tidak mau bicara tentang anak.
Pertemuan itu mendatangkan
banyak kenangan bagi semua anggauta keluarga dan terdengar teriakan-teriakan
gembira karena banyak di antara mereka yang mendapatkan kejutan mendengar
mereka saling menceritakan keadaan dan pengalaman masing-masing selama mereka
saling berpisah. Sungguh merupakan pesta yang meriah dan penuh kegembiraan,
suatu pertemuan besar yang amat berhasil.
Sian Li juga bergembira dapat
bertemu dan berkenalan dengan para anggauta keluarga yang selama ini hanya ia
dengar nama besarnya saja dari ayah ibunya. Akan tetapi ada satu hal yang
membuat ia merasa amat kecewa di dalam hatinya, yaitu bahwa Yo Han tidak nampak
di situ. Akan tetapi ia adalah seorang gadis yang amat cerdik. Diam-diam ia
mendekati Sim Houw dan Can Bi Lan yang sedang bercakap-cakap dengan tuan dan
nyonya rumah, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Antara Pendekar Suling Naga
Sim Houw dan Kam Bi Eng terdapat hubungan yang dekat. Sim Houw adalah murid
mendiang Kam Hong, ayah Kam Bi Eng. Maka, Kam Bi Eng masih terhitung sumoi
(adik seperguruan) Sim Houw. Ketika empat orang itu melihat Sian Li
menghampiri, mereka lalu menyambut dan mempersilakan gadis yang lincah jenaka
dan peramah ini duduk bersama mereka.
Paman Sim Houw, bagaimana
kabarnya dengan puterimu? Apakah Paman dan Bibi sudah menemukan jejak enci Sim
Hui Eng yang lenyap sejak masih kanak-kanak itu?!
Pertanyaan ini diajukan dengan
sikap sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Mendengar pertanyaan itu, Sim Houw
dan Can Bi Lan saling pandang dengan alis berkerut dan Sim Houw menghela napas
panjang.
Sian Li, terima kasih atas
perhatianmu. Akan tetapi kami berdua sudah tidak mengharapkan lagi akan dapat
menemukan anak kami.!
Aihhh! Paman dan Bibi sama
sekali tidak boleh putus harapan!! Sian Li mencela.
Can Bi Lan berkata. Kami tidak
putus harapan, Sian Li. Akan tetapi ingatlah anak kami itu sudah hilang selama
dua puluh tahun! Andaikata kami dapat bertemu dengannya sekalipun, kami tidak
akan dapat mengenalinya lagi. Kami tidak menyesal karena agaknya Thian (Thian)
telah menghendaki demikian. Yang kami sesalkan hanya bahwa kami tidak dapat
yakin apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Kami hanya dapat mendoakan agar
kalau ia masih hidup, ia akan hidup berbahagia, dan kalau ia sudah mati, semoga
mendapat tempat yang layak.!
Biarpun ucapan ini dikeluarkan
tidak dengan suara sedih, namun Sian Li dapat menangkap kedukaan yang amat
mendalam, yang membuatnya terharu dan tidak mampu berkata-kata lagi. Tadinya ia
bermaksud mendekati mereka dan memancing perihal lenyapnya Sim Hui Eng untuk
mencari keterangan tentang Yo Han. Tidak tahunya pertanyaannya itu telah
membuka kembali luka di hati ayah dan ibu itu!
Suma Ceng Liong segera
berkata. Aihhh, kita manusia memang merupakan mahluk-mahluk yang lemah dan
tidak berdaya. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya hal yang dapat kita
lakukan setelah segala ikhtiar kita gagal, hanyalah berdoa dan menyerahkan
kepada kekuasaan Thian! Tidak ada hal yang mustahil bagi kekuasaan Thian.
Segala apa pun dapat saja terjadi kalau Thian menghendaki. Oleh karena itu,
sikap putus harapan secara tidak langsung merupakan sikap yang kurang yakin
akan kekuasaan Thian. Kalau Thian menghendaki, bukan tidak mungkin suatu saat
kalian akan dapat bertemu kembali dengan puteri kalian.!
Sim-suheng, apa yang dikatakan
suamiku memang benar sekali. Justeru karena kalian belum melihat bukti dan
kenyataan bahwa puteri kalian telah meninggal dunia, hal itu berarti bahwa
mungkin sekali ia masih hidup. Dan kalau ia masih hidup, bukan mustahil sekali
waktu kita akan dapat bertemu dengannya.! kata Kam Bi Eng.
Nah, benar bukan apa yang
kukatakan tadi, Paman dan Bibi!! seru Sian Li, mendapat angin! dan mendapat
kesempatan untuk menyampaikan niat hatinya, yaitu bicara tentang Yo Han. Tidak
perlu putus harapan, apalagi sekarang ada Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan
Sakti) yang berusaha mencari puteri kalian itu!!
Sin-ciang Tai-hiap?! Mereka
berempat berseru heran.
Aih, Paman dan Bibi, juga Kakek
dan Nenek lupa akan Si Tangan Sakti Yo Han? Percayalah, sekali Han-koko turun
tangan, aku yakin enci Hui Eng pasti akan dapat ditemukan!! Sian Li berkata
dengan bangga.
Kini teringatlah mereka semua.
Aih, Sian Li! Bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa Yo Han akan dapat
menemukan puteri mereka yang hilang sudah dua puluh tahun itu?! Suma Ceng Liong
mencela, menganggap gadis itu terlalu yakin akan hal yang amat sulit
dilaksanakan itu. Kalau tidak ada kemurahan Thian, tidak ada mujijat Thian,
bagaimana dapat menemukannya kembali?
Ahhh, Kakek tidak percaya?
Menurut ayah dan ibu, Han-koko memang memiliki sesuatu yang mujijat, semacam
indera ke enam. Ketika aku masih kecil dan aku diculik oleh Ang I Moli, ayah
dan ibu sendiri tidak berhasil mencarinya. Akan tetapi Han-koko yang baru
berusia belasan tahun tahu-tahu muncul di depan penculik itu dan minta agar aku
dikembalikan kepada ayah ibu dan dia sendiri menyerahkan diri menjadi
gantinya.!
Hemmm, pernah aku mendengar
ayah ibumu bercerita tentang itu, akan tetapi tadinya kusangka bahwa hal itu
hanya kebetulan saja.! kata Suma Ceng Liong.
Bukan kebetulan,! bantah Sian
Li. Memang Han-koko mempunyai kelebihan dari orang lain. Dia memang aneh
sekali. Di waktu kecilnya, dia sama sekali tidak mau berlatih silat, membuat
ayah dan ibu sampai marah dan kecewa. Selama menjadi murid ayah dan ibu, dia
hanya mempelajari teorinya saja akan tetapi tidak suka berlatih silat. Bahkan
dia membenci ilmu silat. Katanya dahulu, dia menganggap ilmu silat sebagai
suatu bentuk kekerasan yang membuat orang menjadi jahat, suka bermusuhan dan
suka membunuh. Ketika kecil dia tidak mau belajar silat, tapi setelah dewasa,
tahu-tahu dia menjadi Sin-ciang Tai-hiap. Apakah itu tidak aneh? Tapi, kenapa
dia tidak datang sekarang? Apakah dia tidak dikirimi undangan?!
Suma Ceng Liong tertawa. Kami
tidak melupakan dia karena dia adalah murid orang tuamu. Akan tetapi tidak ada
seorang pun mengetahui di mana dia sekarang. Bagaimana kami dapat mengirim
undangan?!
Betul juga....! kata Sian Li.
Akan tetapi dia dahulu sudah tahu akan perayaan ini. Kenapa dia tidak muncul
dan di mana dia sekarang?! pertanyaan ini ditujukan kepada diri sendiri karena
tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya.
Pada saat itu, semua orang
yang duduknya agak di depan, menengok ke luar sehingga menarik perhatian mereka
yang berada di sebelah dalam. Tak lama kemudian, semua orang, termasuk Suma
Ceng Liong dan isterinya, juga Sian Li, ikut pula memandang ke luar. Memang ada
yang menarik di luar pekarangan sana. Para penduduk yang ikut menonton di luar
nampak memberi jalan kepada serombongan orang yang datang. Ada selosin orang
laki-laki yang bertubuh kokoh kuat berpakaian seragam abu-abu dan empat orang
gadis cantik mengenakan pakaian dengan warna menyolok. Ada yang serba kuning,
serba biru, serba hitam dan serba putih.
Empat orang gadis ini berjalan
di kanan kiri sebuah joli tertutup tirai yang dipikul empat orang laki-laki
anggauta pasukan yang selosin dan berpakaian abu-abu itu. Joli berada di
tengah-tengah, seolah-olah dikawal selosin orang laki-laki dan empat orang
gadis itu. Orang yang berjalan paling depan memegang sebuah tombak yang
ujungnya dipasangi sehelai bendera. Dasar bendera itu berwarna kuning polos dan
di tengahnya ada huruf BENG (TERANG) dari benang sutera merah yang indah dan
gagah.
Tanpa ragu, dengan langkah
tegap, rombongan itu memasuki pekarangan dan berhenti di depan tangga ruangan
depan yang dipenuhi tamu. Semua orang memandang dengan heran karena tidak ada
yang mengenal dari mana dan siapa rombongan itu. Bendera itu pun tidak mereka
kenal. Hanya Kao Cin Liong, orang tertua di antara mereka semua, yang memandang
dengan alis berkerut dan dia pun menghampiri tuan rumah, lalu berbisik kepada
Suma Ceng Liong. Suma Hui juga mengikuti suaminya dan mendekati adiknya.
Hanya ada sebuah partai yang
kiranya dapat memakai tanda bendera seperti itu, yaitu Pao-beng-pai (Partai
Pembela Terang).!
Akan tetapi partai itu tidak
pernah terdengar lagi sekarang,! kata Suma Hui.
Pao-beng-pai? Partai macam
apakah itu?! tanya Suma Ceng Liong kepada cihunya (kakak iparnya), yaitu suami
dari encinya yang dahulu pernah menjadi panglima perang dan memiliki banyak
sekali pengalaman.
Pao-beng-pai itu partai yang
berusaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh dengan
pemberontakan terhadap pemerintah yang sekarang.! kata Kao Cin Liong.
Mereka berhenti bicara dan
pada saat itu, seorang di antara para anggauta pasukan berpakaian abu-abu itu
berteriak lantang. Kami utusan dari Pao-beng-pai mohon bertemu dengan pimpinan
dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Naga Siluman
yang kini sedang berkumpul di sini!!
Semua orang terkejut mendengar
ini. Suma Ceng Liong lalu minta kepada suami encinya, yaitu Kao Cin Liong
sebagai orang tertua yang berada di situ, untuk mewakili seluruh keluarga dan
menerima pengunjung yang baru datang. Karena jelas bahwa rombongan itu ingin
bertemu dengan pimpinan ketiga keluarga, bukan dengan tuan rumah, Kao Cin Liong
yang menjadi orang tertua di situ, tidak keberatan untuk mewakili seluruh
keluarga. Di dalam hatinya dia merasa heran sekali. Mau apa orang-orang
Pao-beng-pai ini mencari mereka? Kalau hendak mencari gara-gara, mungkin
orang-orang Pao-beng-pai itu sudah gila. Siapakah di dunia ini begitu gila
mencari perkara dengan para pendekar dari tiga keluarga besar yang saat itu
berkumpul di situ?
Kakek yang sudah berusia tujuh
puluh tujuh tahun itu melangkah maju ke depan rombongan itu. Para anggauta
pasukan kecil yang berada di depan membuat gerakan menyibak ke kanan kiri
sehingga kakek itu kini berhadapan dengan joli yang tirainya masih tertutup.
Semua orang memandang dari belakang kakek Kao Cin Liong dan suasana menjadi
hening sekali karena semua orang memperhatikan.
Kami sedang berkumpul di sini
mengadakan pertemuan keluarga dan kami tidak mempunyai pimpinan. Karena aku
kebetulan yang tertua, maka para anggauta keluarga kami minta agar aku mewakili
mereka. Nah, apakah yang dikehendaki Pao-beng-pai dengan kunjungan tiba-tiba
dan tanpa diundang ini? Di antara kami tidak ada yang mempunyai urusan dengan
Pao-beng-pai.! Suara kakek itu cukup berwibawa walaupun sikapnya tenang sekali.
Bahkan dua belas orang anggauta pasukan yang tadinya nampak keren dan kokoh
kuat itu kini nampak gentar menghadapi sikap kakek itu yang demikian tenang,
berwibawa dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Tadinya mereka mengira
bahwa setiap orang di dunia persilatan akan menjadi jerih melihat bendera tanda
pengenal partai mereka. Siapa tahu kakek ini bersikap seolah mereka hanya sebagai
pengganggu biasa saja yang tidak dikenal!
Seperti anak-anak ayam yang
mencari perlindungan kepada induknya, mereka semua memandang ke arah joli dan
si pemegang bendera segera berkata dengan suara lantang, jelas dimaksudkan agar
didengar oleh semua orang karena kalau hanya ditujukan kepada penumpang joli,
tidak perlu dia berteriak selantang itu.
Nona yang mulia! Pihak tuan
rumah telah datang menyambut, silakan Nona yang mulia keluar untuk bicara
dengan dia!!
Tentu saja semua orang menjadi
semakin tertarik. Siapakah yang mereka sebut sebagai nona yang mulia itu?
Dengan penuh perhatian mereka semua kini memandang ke arah joli yang sejak tadi
tidak bergerak, dan yang oleh para pemikulnya sudah diturunkan ke atas tanah.
Tirai itu pun sejak tadi tidak pernah bergoyang. Ketika empat orang penggotong
joli tadi menurunkannya, nampaknya begitu ringan seolah penumpang joli itu
teramat ringan, ataukah empat orang pemanggul itu yang amat kuat?
Kini tirai dari sutera hijau
itu bergoyang sedikit dan agaknya ini merupakan isyarat bagi empat orang gadis
pendamping joli untuk cepat menghampiri depan joli. Mereka menyingkap tirai itu
dan ketika melakukan ini, mereka berempat membungkuk sampai dalam dan yang
berpakaian kuning berkata penuh hormat. Silakan, Siocia (Nona Muda)!!
Semua orang memandang dan
ternyata yang duduk di joli itu adalah seorang wanita muda yang cantik dan
bersikap agung. Gadis ini mengenakan pakaian berkembang dan cerah, dan ia
nampak anggun dancantik. Ia duduk dengan tegak seperti seorang puteri atau seorang
ratu dan sedikit pun tidak merasa gentar atau canggung walaupun banyak pasang
mata yang tajam dan mencorong mengamatinya. Usianya sukar diketahui dengan
pasti karena pembawaannya menunjukkan bahwa ia bukan remaja lagi, cukup dewasa
dan tentu sudah ada dua puluh tahun. Rambutnya yang digelung tinggi di atas
kepala, dan rambut itu dihias sebuah tiara kecil yang berkilauan karena terhias
intan permata. Matanya yang tajam seolah dapat menembus dan menjenguk isi dada
orang.
Akan tetapi kecantikannya itu amat
dingin. Keanggunannya mengandung keangkuhan. Dingin dan angkuh ini nampak di
sudut-sudut bibirnya yang tersenyum sinis. Tangan kirinya memegang sebuah
hud-tim (kebutan) yang biasa dipegang seorang pendeta atau pertapa, kebutan
pengusir lalat dan nyamuk. Akan tetapi kebutan ini indah, dengan gagang terbuat
daripada emas dan kebutan itu sendiri terbuat dari benang yang mengkilap, entah
benang apa, berwarna kemerahan seperti ternoda darah.
Setelah menyapu ruangan itu
dengan lirikan matanya yang tajam, ia kini memandang kepada Kao Cin Liong dan
bibirnya bergerak, senyumnya semakin merekah dan semakin sinis. Lalu kakinya
melangkah turun dari joli, dengan gerakan sopan seperti seorang puteri yang
menjaga setiap gerakan agar nampak anggun dan sopan. Setelah ia turun dari joli
dan berdiri berhadapan dengan Kao Cin Liong, nampak tubuhnya yang ramping,
dengan pinggang yang kecil seperti pinggang lebah hitam, dan pinggulnya yang
besar menonjol. Ia berdiri dengan tegak dan anggun seperti seorang ratu dihadap
para hulubalangnya.
Kiranya Jenderal Kao Cin Liong
yang menjadi wakil.! katanya, suaranya lembut akan tetapi terasa begitu dingin
dan datar tanpa nada dan irama. Seperti igauan orang dalam mimpi!
Namun, kalimat pendek ini
mengejutkan semua orang, terutama sekali kakek itu. Bagaimana gadis yang sama
sekali tidak dikenalnya ini tahu bahwa dia pernah menjadi panglima?
Hemmm, sekarang tidak lagi
menjadi jenderal, Nona. Siapakah Nona?! Kakek ini sudah merasa kalah
penampilan, karena gadis itu sudah mengenal namanya akan tetapi dia sama sekali
belum mengenalnya, bahkan bertemu pun baru sekali ini.
Aku biasa dipanggil Siocia
(Nona), tak pernah memiliki nama. Biarpun sekarang engkau bukan lagi jenderal,
akan tetapi engkau pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu, bukan?! Jelas sekali
bagi para anggauta keluarga besar yang berkumpul di situ bahwa ketika
mengucapkan kata Mancu, gadis itu nampak menghina sekali. Mereka pun tidak
merasa heran karena biarpun belum pernah berurusan dengan orang-orang
Pao-beng-pai yang selalu bergerak secara rahasia, mereka pernah mendengar bahwa
partai itu adalah partai yang menentang pemerintah Mancu.
Sudahlah, tidak perlu kita
mempersoalkan apakah aku pernah menjadi panglima, juga apakah Nona mempunyai
nama atau tidak. Yang penting sekarang, apa maksud kedatangan Nona sebagai
utusan Pao-beng-pai? Seperti kami katakan tadi, kami tidak pernah mempunyai
urusan dengan Pao-beng-pai, maka apa maksud kunjungan Nona ini?! kata kakek Kao
Cin Liong dengan suara yang tetap tenang penuh kesabaran. Sebagian anggauta
keluarga itu sudah ada yang melotot dan marah, akan tetapi tentu saja mereka
tidak berani mengganggu kakek Kao Cin Liong yang mewakili mereka.
Gadis itu menggerakkan tangan
kirinya dan ujung kebutannya bergerak seolah ia mengusir lalat yang datang
mendekatinya, lalu kembali senyumnya mekar penuh ejekan. Apa maksud
kunjunganku? Panglima Kao Cin Liong, sudah lama sekali Pao-beng-pai mendengar
bahwa tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga memiliki
banyak pendekar yang pandai, yang tidak memandang sebelah mata kepada kelompok
dan aliran lain di dunia persilatan. Juga bahwa ketiga keluarga itu berwatak
tinggi hati, suka mencampuri urusan aliran lain, tidak segan menggunakan
kepandaian mengalahkan kelompok lain, dan yang lebih tidak menyenangkan lagi,
mereka menjadi antek-antek bangsa Mancu yang berarti membantu kekuasaan para
penjajah. Nah, karena itulah Pao-beng-pai ingin sekali membuktikan sendiri
apakah berita tentang kegagahan mereka itu benar, atau hanya omong kosong saja.!
Mendengar ucapan itu, Kao Hong
Li dan Tan Sian Li sudah bergerak maju sambil mengepal tinju, akan tetapi Tan
Sin Hong yang sejak tadi sudah waspada melihat keadaan isteri dan puterinya,
yang dia tahu keduanya memiliki watak keras dan galak, cepat menangkap lengan
mereka dan memberi isyarat dengan geleng kepala.
Ayah mewakili kita semua,
jangan diganggu,! bisiknya. Kao Hong Li teringat, demikian pula Sian Li maka
ibu dan anak ini menahan kemarahannya dalam hati. Sebagai pihak pemilik rumah
yang kedatangan tamu, tidak pantas kalau mereka maju mengganggu Kao Cin Liong
yang mewakili mereka semua.
Kakek Kao Cin Liong tersenyum
memandang ucapan gadis yang berani itu. Diam-diam dia terheran dan terkejut.
Bagaimana seorang gadis semuda ini berani mengeluarkan kata-kata keras mencela
tiga keluarga besar, padahal para anggauta keluarga lengkap berada di situ?
Biar semua datuk persilatan di dunia kang-ouw, para datuk sesat sekalipun tidak
mungkin akan berani senekat itu! Andaikata Pao-beng-pai mengirim seluruh pimpinan
berikut anak buahnya sekalipun, menghadapi seluruh keluarga ini mereka akan
sama dengan ombak samudera ganas yang menghantam bukit karang, akan hancur
lebur dengan sendirinya. Apakah gadis ini miring otaknya, ataukah sudah bosan
hidup dan mencari cara membunuh diri yang dapat dianggap gagah? Dia mengelus
jenggotnya yang sudah putih semua.
Bu-beng Sio-cia (Nona Tanpa
Nama), kalau Pao-beng-pai ingin membuktikan sendiri berita tentangan kegagahan
keluarga kami, lalu apa yang kau kehendaki dengan kunjungan ini?!
Aku mewakili Pao-beng-pai
sepenuhnya, dan atas nama Pao-beng-pai aku menantang tokoh yang paling tinggi
ilmu kepandainnya dari ketiga keluarga untuk mengadu kepandaian. Aku tahu,
bahwa aku mendatangi gua penuh singa dan naga, dan kalian semua bisa maju dan
membunuhku. Akan tetapi hal itu hanya akan membuktikan bahwa kalian hanyalah
para pengecut, bukan orang gagah....!
Tutup mulutmu yang busuk,
iblis betina tanpa nama!! Tiba-tiba Kao Hong Li yang terkenal galak itu sudah
meloncat maju ke depan wanita itu. Berani engkau mengeluarkan kata-kata
menghina ayahku dan seluruh keluarga kami? Bocah sombong macam engkau hendak
menantang kami? Majulah, aku yang akan mewakili semua keluarga untuk
menghajarmu!!
Gadis muda itu tersenyum
mengejek, lalu mengeluarkan dengus dari hidung, memandang rendah. Engkau ini
puteri Panglima Kao Cin Liong? Tentu engkau yang bernama Kao Hong Li. Bibi
muda, kepandaianmu masih terlalu rendah. Kenapa tidak menyuruh suamimu saja, Si
Bangau Putih Tan Sin Hong ini, untuk mewakilimu? Aku ingin bertanding dengan
tokoh paling tangguh dari tiga keluarga besar, bukan dengan orang yang ilmu
kepandaiannya masih tanggung-tanggung.!
Kembali semua orang terheran.
Wanita muda ini agaknya mengenal para anggauta tiga keluarga besar itu. Tidak salah
lagi, pikir mereka, tentu gadis sombong itu sebelumnya telah mempelajari
keadaan mereka, wajah dan nama mereka, dan mungkin sekali mendapat keterangan
jelas tentang ilmu yang mereka miliki masing-masing. Sikap gadis itu telah
membakar hati para pendekar wanita yang berada di tempat itu.
Biarkan aku saja yang
menghadapinya!! terdengar bentakan nyaring dan nampak bayangan berkelebat
ketika Can Bi Lan meloncat ke dekat Kao Hong Li.
Gadis itu memandang penuh
perhatian. Hemmm, engkau tentu yang bernama Can Bi Lan berjuluk Siauw-kwi
(Setan Kecil). Sebaiknya kalau suamimu yang maju, bukan engkau. Kulihat suamimu
Pendekar Suling Naga Sim Houw juga berada di sini. Kalau dia barulah ada
harganya untuk melawan aku!!
Wah, bocah sombong, agaknya
otakmu tidak waras!! terdengar bentakan dan tubuh Kam Bi Eng berkelebat cepat
mendekati gadis itu. Hayo engkau cepat menggelinding pergi dari sini, atau aku
yang akan menghancurkan mulutmu yang lancang!!
Gadis itu memandang kepada Kam
Bi Eng penuh perhatian, lalu menoleh dan memandang kepada Suma Ceng Liong.
Bagus, bibi Kam Bi Eng keturunan keluarga Suling Emas dan Naga Siluman! Lebih
baik lagi kalau suamimu yang maju karena sudah lama aku mendengar nama besar
Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari Pendekar Sakti Pulau Es!!
Ibu, biarkan aku yang
menghajarnya!! Suma Lian meloncat dekat pula dengan mata mencorong marah.
Tidak, sebaiknya aku saja yang
menghadapinya!! terdengar teriakan yang dibarengi berkelebatnya bayangan merah
dan Sian Li sudah pula berada di situ. Nyonya Gak atau Souw Hui Lian, Suma Hui,
yang sudah tua, bahkan juga Gangga Dewi dan para murid perempuan yang hadir di
situ, semua maju, mempersiapkan diri untuk melawan tamu yang kurang ajar itu.
Gadis itu kini tertawa.
Tawanya lepas dan tidak menutupi mulutnya sehingga nampak deretan giginya yang
rapi dan bersih. Ha-ha-ha, agaknya para pendekar wanita tiga keluarga besar
masih memiliki semangat dan galak-galak. Akan tetapi aku tetap menghendaki
orang terkuat yang maju menandingiku karena aku hanya akan menantang seorang
saja, kecuali tentu saja kalau kalian hendak mengeroyokku.!
Jahanam sombong, sambutlah
seranganku!! Suma Lian sudah menerjang dengan dahsyat ke arah gadis itu. Ia
tidak dapat menahan kemarahannya lagi, maka begitu berteriak memberi tanda penyerangan,
ia sudah menyerang dengan totokan jari tangannya. Terdengar suara bersuitan
ketika tangannya bergerak, menunjukkan betapa kuatnya tangan yang melakukan
serangan totokan itu. Itulah ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat
lihai.
Hemmm, bagus!! Gadis itu
berseru lembut dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat dan ia
sudah melayang ke belakang, ke tempat terbuka yang lebih luas sambil tadi
menghindarkan diri dari totokan maut. Di sini lebih luas, mari kita main-main
sebentar. Engkau tentu yang bernama Suma Lian, bukan? Namamu cukup terkenal,
pantas untuk menjadi lawanku. Mari!!
Suma Lian yang berusia empat
puluh tahun itu adalah puteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Selain telah
mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, juga bersama Pouw Li Sian ia pernah
digembleng oleh Bu Beng Lo-kai atau Gak Bun Beng. Agaknya di antara semua
anggauta keluarga wanita yang hadir di situ pada saat itu, Suma Lian merupakan
orang yang paling tangguh. Si Bangau Merah Tan Sian Li pun masih belum setinggi
ia tingkat kepandaiannya dan agaknya hal ini diketahui pula oleh gadis tamu
yang aneh itu maka ia suka menerima Suma Lian menjadi lawannya.
Suma Lian meloncat ke depan
gadis itu dan semua orang memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian
karena biar gadis itu tidak mau memperkenalkan nama dan mengaku tidak bernama,
namun dari gerakan silatnya, para pendekar itu ingin mengenal alirannya. Mereka
tahu bahwa Pao-beng-pai merupakan partai pemberontak yang menentang pemerintah
seperti halnya Thian-li-pang, Pat-kwa-pai, Pek-lian-kauw dan yang lain, akan
tetapi Pao-beng-pai bukan perkumpulan silat maka para tokohnya memiliki ilmu
silat dari bermacam aliran.
Dua orang wanita itu kini
saling berhadapan dalam keadaan siap siaga. Suma Lian, dalam usia empat puluh
tahun, masih nampak cantik dan ramping, dan selama ini ia tidak pernah bosan
untuk berlatih silat bersama suaminya. Karena ia pun seorang pendekar wanita
yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa gadis yang bersikap sombong berani
menentang para anggauta tiga keluarga besar, tentu mempunyai kepandaian yang
dapat diandalkan. Oleh karena itu, ia pun bersikap hati-hati dan diam-diam ia
pun sudah mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) ke
dalam kedua lengannya.
Gadis itu bersikap tenang,
kini tidak mengeluarkan kata-kata lagi, matanya mencorong memandang lawan,
mulutnya masih tersenyum dingin dan sinis, namun jelas nampak bahwa ia pun
tidak berani main-main. Agaknya ia memang telah memperoleh keterangan yang
cukup mengenai para anggauta keluarga, dan ia maklum bahwa yang dihadapinya
adalah pendekar wanita anggauta keluarga Pulau Es yang amat tangguh.
Gadis itu bersikap tenang
sekali. Melihat lawan bertangan kosong, ia pun melemparkan kebutannya kepada
gadis baju kuning yang tadi mengawalnya. Kebutan itu meluncur bagaikan anak
panah ke arah gadis baju kuning, mengejutkan semua orang karena seolah-olah
gadis itu menyerang pembantunya sendiri! Akan tetapi, gadis baju kuning dengan
tenang namun sigap menjulurkan tangan dan ia sudah berhasil menjepit gagang
kebutan itu dengan jari telunjuk dan jari tengah! Diam-diam para pendekar
menjadi semakin heran. Kalau si baju kuning itu, yang agaknya hanya merupakan
pelayan, memiliki kemampuan seperti itu, mudah diduga bahwa nona majikannya
tentu jauh lebih lihai. Gadis itu kini membetulkan ikat sabuk sutera di
pinggangnya, menggulung kedua lengan baju sampai ke siku sehingga nampak kedua
lengannya yang kecil panjang dan berkulit halus.
Suma Lian, aku sudah siap.
Keluarkan semua kepandaianmu!! Gadis itu menantang.
Iblis betina sombong, engkau
yang datang, engkau yang menantang, engkau pula yang boleh bergerak lebih
dulu!! Suma Lian membentak dengan pasangan kuda-kuda tegak dengan kedua lengan
menyilang di depan dada, sepasang matanya mencorong di antara kedua tangan yang
dibuka jari-jarinya.
Awas, aku mulai menyerang,
ha-ha-hi-hi-hi....!! Gadis itu tertawa dan suara tawanya makin lama semakin
meninggi. Dua belas orang pengawalnya dan empat orang pelayan wanitanya
mengambil sesuatu dan menyumbat sepasang telinga masing-masing dengan benda
kecil itu.
Suma Lian terkejut ketika
merasakan getaran yang amat kuat menyusup ke dalam tubuhnya. Tahulah keturunan
keluarga Pulau Es ini bahwa gadis itu bukan sekedar tertawa, melainkan telah
melakukan penyerangan seperti yang dikatakan tadi, penyerangan melalui getaran
suara tawa! Ilmu macam ini, menggunakan getaran suara untuk menyerang lawan,
merupakan ilmu yang hanya mampu dilakukan oleh orang yang telah memiliki
sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat. Suma Lian sendiri adalah puteri Suma
Ceng Liong, keturunan Pulau Es yang selain lihai ilmu silatnya, juga memiliki
ilmu sihir dari nenek moyangnya.
Tentu saja Suma Lian sudah
pernah mempelajari ilmu ini dan menguasai kekuatan sihir. Maka, menghadapi
serangan lawan melalui getaran suara tawa, ia cepat mengerahkan tenaga
melindungi diri dan menutup! pendengarannya dari dalam, memandang gadis yang
tertawa itu dengan senyum mengejek. Para anggauta keluarga para pendekar yang
hadir di situ, juga mengerahkan sin-kang dan mereka semua mampu menangkis
getaran suara tawa itu. Akan tetapi, belasan orang tetangga yang masih hadir
sebagai tamu, tersiksa sekali. Mereka mencoba untuk menutupi telinga dengan
kedua tangan, namun agaknya getaran itu menembus tangan yang menutupi telinga
dan di antara mereka sudah ada yang terjungkal pingsan. Melihat ini, Suma Lian
membentak dengan suara lantang penuh wibawa, mengerahkan kekuatan sihirnya.
Iblis betina, hentikan tawamu
yang tidak ada gunanya itu!!
Dan suara tawa itu pun
terhenti. Si gadis nampak kaget dan maklum bahwa tawanya tidak mempengaruhi
lawan maupun para anggauta keluarga lainnya, hanya merobohkan orang-orang yang
sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga itu.
Kamu anak kecil sombong! Kau
kira dengan sedikit ilmu hitam itu engkau akan dapat menakut-nakuti kami?! bentak
Suma Lian dan nyonya ini pun membalas dengan serangan tamparan tangan kiri.
Terdengar bunyi angin menyambar dahsyat dan gadis itu cepat mengelak, lalu
membalas dengan pukulan ke arah dada Suma Lian. Pukulan ini dielakkan pula oleh
Suma Lian dan segera terjadi perkelahian seru antara kedua orang wanita cantik
itu.
Semua pendekar menonton dengan
penuh keheranan. Mereka semua tahu betapa lihainya Suma Lian. Wanita ini sudah
mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan dahsyat. Ilmu-ilmu dari keluarga
Pulau Es ditambah ilmu-ilmu dari Lembah Naga Siluman. Dan tidak
tanggung-tanggung Suma Lian mengeluarkan ilmu-ilmu itu. Ia sudah mengeluarkan
beberapa jurus dari ilmu silat Hong-in Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan),
Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), bahkan menggunakan ilmu totokan Coa-kut-ci dan
Toat-beng-ci (Jari Penembus Tulang dan Jari Pencabut Nyawa) namun anehnya,
gadis itu seolah-olah mengenal semua jurus itu dan mampu mengelak atau
menangkis.
Ketika para pendekar
memperhatikan dasar gerakan yang dipergunakan gadis cantik wakil Pao-beng-pai
itu, mereka merasa heran. Gerakan silat gadis itu sukar dikenal dasarnya karena
mengandung dasar banyak macam aliran silat. Yang jelas kekokohan kuda-kuda
Siauw-lim-pai terdapat di situ, juga kelincahan gerakan silat Bu-tong-pai. Akan
tetapi, gerakan kedua tangan ketika mengelak dan balas menyerang, jelas bukan
dari kedua aliran itu, dan cara penyerangan yang tiba-tiba dan licik berbahaya
itu menunjukkan adanya pengaruh ilmu dari golongan sesat!
Namun, ternyata gadis itu
lihai bukan main. Ilmu silatnya yang campuran sukar dikenal, dan agaknya
sedikit banyak ia telah mengenal jurus-jurus silat yang dipergunakan Suma Lian
untuk menyerangnya sehingga ia mampu mengelak atau menangkis dengan tepat.
Sementara itu, dalam hal tenaga sin-kang dan keringanan tubuh, ia tidak berada
di bawah tingkat Suma Lian! Hal ini saja sudah amat mengagumkan dan
mengherankan hati para pendekar yang berada di situ.
Pendekar Bangau Putih Tan Sin
Hong dan Suma Ceng Liong, dan juga Pendekar Suling Naga Sim Houw, tiga orang di
antara para pendekar yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara
mereka semua, diam-diam merasa heran dan terkejut. Pada jaman itu, kiranya
sukar mencari seorang gadis muda yang akan mampu menandingi ilmu kepandaian
Suma Lian. Bahkan Tan Sian Li yang disebut Si Bangau Merah oleh semua anggauta
keluarga, yang dikagumi sebagai anggauta keluarga termuda yang telah memiliki
ilmu kepandaian tinggi, agaknya masih belum dapat menandingi Suma Lian.
Akan tetapi, gadis muda yang
hanya dikenal sebagai Nona Tanpa Nama itu bukan saja mampu menandingi, bahkan
kini mulai mendesak Suma Lian dengan ilmu silat yang aneh. Ia melakukan
dorongan-dorongan atau pukulan jarak jauh yang amat dahsyat, yang mendatangkan
angin seperti gelombang samudra sedang membadai. Suma Lian mengerahkan tenaga
dari Pulau Es untuk menahan dorongan-dorongan itu, namun agaknya ia masih kalah
kuat sedikit sehingga setiap kali terjadi bentrokan tenaga sakti, jelas bahwa
pasangan kuda-kuda kaki Suma Lian tergeser ke belakang sedikit, sedangkan
kuda-kuda kaki gadis cantik itu masih tetap teguh.
Haiiiiittttt....!! Tiba-tiba
gadis itu menyerang lagi dengan kedua tangan didorongkan, akan tetapi kini ia
mengubah kuda-kuda kakinya dan menekuk kedua lutut sehingga tubuhnya merendah
seperti berjongkok, pinggulnya yang besar menonjol dan hampir menyentuh tanah.
Gerakan ini aneh sekali, akan tetapi dari kedua tangannya menyambar angin
dahsyat ke arah perut Suma Lian.
Suma Lian yang sudah cukup
pengalaman itu dapat mengenal serangan dahsyat yang berbahaya. Akan tetapi
kalau ia mengelak terus, hal itu akan membuktikan bahwa ia tidak berani mengadu
tenaga dan membuat ia nampak terdesak. Maka, wanita yang keras hati dan
pemberani itu tidak mau mengalah. Ia pun mengerahkan tenaga gabungan dari
Tenaga Sakti Inti Api dan Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es. Biarpun
kepandaiannya dalam pengerahan sin-kang ini belum setingkat ayahnya, namun
dibandingkan tokoh-tokoh wanita keturunan keluarga Pulau Es, Suma Lian sudah
merupakan yang terkuat. Ia mengerahkan tenaga gabungan itu dan menyambut
serangan lawannya dengan dorongan kedua tangannya pula.
Benturan dahsyat antara dua
tenaga sakti tak dapat dihindarkan pula. Tidak nampak oleh mata memang, dan dua
pasang tangan itu terpisah tidak kurang dari dua meter, namun keduanya seperti
mendorong dinding yang kokoh kuat. Tubuh Suma Lian nampak terguncang, sedangkan
gadis itu masih tak bergerak, bahkan bibirnya mengembangkan senyum mengejek.
Keduanya tak pernah mengendurkan tenaga, dan sebentar saja nampak betapa Suma
Lian berkeringat dan dari kepalanya mengepul uap.
Melihat ini, semua orang
merasa tegang dan khawatir. Sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka maklum bahwa
adu tenaga sin-kang itu sudah mencapai titik yang gawat. Seorang di antara
mereka akan terancam maut, dan agaknya Suma Lian yang berada di fihak terancam.
Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan melerai, karena hal itu bahkan
amat berbahaya bagi kedua orang wanita perkasa yang sedang mengadu tenaga itu.
Akan tetapi, seorang yang
memiliki tingkat lebih tinggi seperti Suma Ceng Liong, melihat bahaya maut
mengancam puterinya, segera meloncat ke depan, mengerahkan tenaga dan
menggunakan kedua tangannya untuk melerai.
Kakek perkasa berusia enam
puluh tahun ini menggunakan gerakan yang disebut Mendorong Bukit Kanan Kiri,
kedua tangannya dikembangkan dan didorongkan dari samping ke arah tengah-tengah
di antara dua orang wanita yang sedang mengadu tenaga sin-kang itu.
Bagaikan angin badai meniup
dua batang pohon yang kokoh, tenaga itu membuat kedua orang yang sedang
bertanding itu terdorong dan kehilangan keseimbangan. Tenaga mereka yang tadi
saling tekan itu terlepas, dan akibatnya Suma Lian terpelanting dan gadis itu
terdorong ke belakang. Suma Lian cepat menggulingkan tubuhnya dan ia dapat
meloncat bangun dengan muka agak pucat dan napas terengah, sedangkan gadis itu
ketika terdorong ke belakang, membuat gerakan jungkir-balik yang indah sampai
tiga kali, baru tubuhnya melayang turun dan berdiri tegak. Suma Lian terbebas dari
ancaman bahaya, namun dari akibat dorongan kekuatan sin-kang Suma Ceng Liong
yang melerai, semua orang tahu bahwa dalam adu tenaga sakti tadi, Suma Lian
berada di pihak yang terdesak.
Gadis itu menatap wajah Suma
Ceng Liong dengan sinar mata mencorong, kulit wajahnya memerah karena marah,
mulutnya tersenyum sinis dan tangan kanan bertolak pinggang, telunjuk tangan
kiri diluruskan menuding ke arah muka pendekar itu.
Pendekar besar Suma Ceng Liong
tidak malu melakukan pengeroyokan?! Ia berkata mengejek.
Di waktu mudanya, Suma Ceng
Liong adalah seorang yang lincah gembira dan bahkan agak ugal-ugalan. Akan
tetapi kini dia sudah berusia enam puluh tahun tentu saja tidak seperti dahulu,
walaupun dia masih berwatak gembira. Melihat sikap gadis itu yang menuduhnya
melakukan pengeroyokan dia hanya tersenyum.
Bu-beng Sio-cia, aku tidak
melakukan pengeroyokan, hanya melerai. Puteri kami Suma Lian sudah kalah
olehmu. Nah, sekarang engkau mau apa lagi? Masih penasaran dan ingin menantang
seorang di antara kami?! Biarpun kata-kata itu membuat pengakuan akan kekalahan
Suma Lian, namun juga mengandung penawaran kalau-kalau gadis itu masih mau
menantang lagi, dan semua orang juga tahu bahwa menghadapi Suma Lian, gadis itu
hanya lebih unggul sedikit. Jelas kalau melawan Suma Ceng Liong atau lain tokoh
yang setingkat, ia tidak akan mampu menang.
Seperti kukatakan tadi, aku
datang mewakili Pao-beng-pai untuk membuktikan kehebatan nama besar para
pendekar tiga keluarga Pulau Es, Lembah Naga, dan Gurun Pasir. Aku hanya bertanding
satu kali saja, kecuali kalau kalian hendak mengeroyokku! Aku hanya ingin
meninggalkan pesan bahwa Pao-beng-pai adalah perkumpulan para patriot yang
tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh orang-orang biadab Mancu.
Sebaliknya, tiga keluarga besar kalian hanya terdiri dari antek dan penjilat
penjajah asing! Selamat tinggal!! Gadis itu membalikkan tubuh, dengan sikap
angkuh sekali hendak memasuki jolinya, sedangkan dua belas orang laki-laki dan
empat orang gadis cantik sudah siap di kanan kiri joli seperti pasukan
pengawal.
Ia pun menerima kembali
kebutannya dari tangan gadis pakaian kuning yang menyerahkan kebutan itu sambil
memberi hormat. Sikap gadis itu tiada ubahnya seorang puteri istana, sedangkan
para pengikutnya amat menghormatinya.
Sejak tadi, Tan Sian Li sudah
terbakar hatinya. Kalau saja tidak ditahan ayah ibunya, sudah sejak tadi
sebelum Suma Lian maju, ia sendiri sudah menerjang gadis itu. Kini, mendengar
ucapan gadis itu yang dianggapnya amat menghina tiga keluarga besar, mana mungkin
Sian Li mampu menahan diri? Dadanya seperti meledak rasanya, dan sebelum ayah
ibunya melarangnya, ia sudah meloncat ke atas dan bagaikan seekor burung bangau
merah, tubuhnya meluncur ke arah gadis depan joli itu dan mulutnya membentak
garang, Iblis betina sombong! Sambut seranganku!!
Akan tetapi gadis itu memberi
isyarat dan empat orang gadis cantik yang menjadi pengawalnya itulah yang
menyambut Sian Li. Mereka berempat maju bersama dan tangan mereka menyambut
dorongan tangan Sian Li dari atas.
Dukkk!! Sian Li terpaksa
berjungkir balik untuk mematahkan daya dorongan tenaga empat orang yang
digabung itu, dan ia pun melayang turun. Hatinya semakin panas. Gadis sombong
itu menyuruh empat orang pelayan mewakilinya, seolah-olah gadis itu menganggap
ia tidak cukup berharga untuk menjadi lawannya!
Jangan mengganggu nona kami
yang mulia!! kata si baju kuning yang agaknya merupakan pemimpin dari mereka
berempat. Mereka sudah mengepung Sian Li dan menghadang Sian Li, melindungi
nona mereka. Melihat ini, Sian Li marah bukan main.
Minggir! Apakah kalian sudah
bosan hidup?! bentak Sian Li galak.
Sian Li, jangan membunuh
orang!! Ayahnya memperingatkan.
Tiba-tiba gadis cantik di
depan joli itu tertawa renyah. Suara tawanya merdu sehingga nampak aneh dan mengerikan
karena suara tawa seperti itu sepatutnya dikeluarkan oleh wajah yang ramah dan
periang, bukan oleh wajah yang biarpun cantik namun dingin itu.
Heh-heh-heh, ingin kulihat
apakah engkau mampu membunuh empat orang pelayanku?!
Ditantang seperti itu, Sian Li
membentak, Iblis betina, engkau boleh sekalian maju mengeroyokku, akan
kurobohkan kalian semua!! Setelah berteriak demikian, Sian Li menerjang ke
depan, disambut oleh empat orang gadis pelayan yang berpakaian menyolok
masing-masing mewakili satu warna itu.
Setelah bergebrak, barulah
Sian Li dan semua pendekar mengetahui bahwa empat orang gadis pelayan itu
bukanlah pelayan biasa saja, melainkan empat orang yang telah menguasai ilmu
silat tinggi dan menjadi lawan yang amat tangguh! Mereka itu, terutama sekali
si baju kuning, memiliki gerakan yang cepat seperti empat ekor burung walet,
dan rata-rata memiliki sin-kang yang cukup kuat.
Ternyata gadis tanpa nama
wakil Pao-beng-pai itu tidak membual ketika menertawakan Sian Li. Empat orang
pelayannya memang lihai bukan main. Mereka adalah gadis-gadis berbakat yang
agaknya telah digembleng secara khusus. Hal ini tidaklah aneh karena mereka
berempat adalah empat orang pilihan dari pasukan wanita Pao-beng-pai, mewakili
empat dari tujuh kelompok warna yang ada.
Diam-diam Sian Li juga
terkejut dan merasa kecelik. Tadi ia memang memandang rendah kepada empat orang
pelayan itu, walaupun ia tidak berani memandang rendah kepada gadis cantik
Pao-beng-pai yang tadi ia lihat sendiri mampu menandingi bibinya, Suma Lian.
Kini, ia sendiri merasa repot ketika empat orang pengeroyoknya, bergerak cepat
sehingga nampak mereka itu menjadi empat macam bayangan dengan warna
menyilaukan mata berkelebatan di sekeliling dirinya. Mereka pun melakukan
serangan bertubi-tubi secara teratur sekali, bergiliran dan setiap kali Sian Li
membalas serangan mereka, kalau mereka tidak mampu mengelak, maka mereka
mempersatukan tenaga untuk menangkisnya! Dengan demikian, serangan Sian Li
selalu gagal dan ia pun dihujani serangan yang membuat ia cukup repot. Dan yang
lebih menyakitkan hatinya, suara tawa merdu itu sering terdengar olah gadis
Pao-beng-pai itu memperhatikan jalannya pertandingan dan menertawakannya!