Bab 7
Akan tetapi, Suci telah
terlanjur menangkapnya, lalu apa yang dapat kulakukan untukmu?!
Engkau merupakan satu-satunya
murid ayah yang dipercaya ayah, dan juga semua anggauta Pao-beng-pai tunduk
kepadamu. Apalagi baru saja engkau berjasa dalam menjebak dan menangkan
Pendekar Tangan Sakti Yo Han, pimpinan Thian-li-pang itu. Nah, karena Cia Sun
ditahan dalam satu kamar tahanan dengan Yo Han, maka aku minta engkau suka
berkunjung ke sana dan melihat keadaan Cia Sun.!
Sui Lan membelalakkan matanya.
Malam-malam begini? Ini sudah tengah malam, Suci. Lalu apa alasanku tengah
malam begini berkunjung ke tempat tahanan?!
Katakan saja kepada penjaga
bahwa engkau mendapat tugas dari ayah untuk mengamati penjagaan agar kedua
orang tahanan itu tidak sampai lolos. Perhatikan apakah Cia Sun diperlakukan
dengan baik oleh para penjaga seperti kuperintahkan kepada mereka, apakah dia
mendapatkan makanan sepantasnya, bagaimana keadaannya. Kemudian, engkau harus
dapat menyerahkan ini kepada Cia Sun tanpa diketahui penjaga.! Siangkoan Eng
menyerahkan sebuah surat yang dilipat-lipat menjadi kecil kepada sumoinya.
Suci, engkau melibatkan aku
dalam pekerjaan yang amat berbahaya, karena kalau suhu tahu tentu aku akan
dibunuhnya. Setidaknya, aku berhak mengetahui, apa yang akan kau lakukan agar
aku dapat menyesuaikan sikapku. Aku pasti akan membantumu, Suci. Akan tetapi,
apakah maksudmu memberiku tugas ini? Apa artinya semua ini dan apa rencanamu?!
Siangkoan Eng merangkul
sumoinya. Sumoi, kalau engkau berkhianat kepadaku dan melaporkan kepada ayah,
aku akan celaka. Engkau saja yang dapat kupercaya. Aku memberi surat kepada Cia
Sun, minta agar dia bersiap-siap menyambut rencanaku malam ini.!
Dan apa rencanamu itu, Suci?!
Siangkoan Eng mengusir semua
keraguannya. Memang berbahaya sekali. Kalau ia memberitahu kepada sumoinya dan
gadis itu melaporkan kepada ayahnya, bukan saja rencananya gagal, akan tetapi
bahkan amat membahayakan keselamatan Cia Sun dan ia sendiri. Akan tetapi, ia
tidak melihat jalan lain.
Sumoi, setelah larut malam
nanti, aku akan membebaskan Cia Sun.!
Gadis itu terbelalak, kaget
dan heran. Suci! Engkau yang menangkapnya dan melaporkannya kepada suhu, dan
engkau pula yang kini akan membebaskannya. Bagaimana pula ini?!
Sudahlah, Sumoi. Ini demi
cinta, dan untuk itu aku siap mempertaruhkan nyawaku. Maukah engkau membantuku?
Atau engkau akan melapor kepada ayah?!
Sui Lan merangkul sucinya.
Suci, engkau tahu bahwa aku menganggapmu seperti kakak sendiri. Aku hidup
sebatang kara dan di dunia, ini, hanya engkau lah satu-satunya sahabatku, juga
saudaraku. Percayalah, aku akan melaksanakan tugasmu dengan baik. Akan tetapi,
dia satu kamar dengan orang she Yo itu. Bagaimana?!
Justeru aku ingin memanfaatkan
dia. Kita tahu, ilmu silat Si Tangan Sakti itu hebat. Kalau mereka berdua
melarikah diri bersama, aku yakin ayah sendiri tidak akan mampu menangkap
mereka dan Cia Sun tentu akan dapat bebas.! Siangkoan Eng lalu turun dari
pembaringan. Nah, lakukanlah tugasmu, Sumoi. Hati-hati, jangan ada yang melihat
ketika engkau menyerahkan surat itu karena kalau ketahuan penjaga, semua
rencanaku dapat gagal sama sekali!!!Percayalah padaku, Suci.! Sui Lan
meninggalkan kamar sucinya dan setelah Sui Lan pergi, Siangkoan Eng duduk
termenung.
Sementara itu, Sui Lan dengan
langkah biasa pergi ke sebuah bangunan khusus yang berada di perkampungan
Pao-beng-pai itu, bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tawanan. Para
penjaga tentu saja tidak melarang ia masuk, bahkan memberi hormat, apalagi
ketika Sui Lan mengatakan bahwa ia mendapat tugas khusus dari ketua untuk
memeriksa keadaan tawanan.
Juga para penjaga sebelah
dalam yang berlapis-lapis, semua mengenal baik siapa gadis ini. Murid tersayang
dari Siangkoan Kok, juga orang kepercayaan pimpinan Pao-beng-pai. Bahkan semua
orang tahu bahwa Pendekar Tangan Sakti Yo Han tokoh Thian-li-pang dapat ditawan
berkat pancingan nona ini. Diam-diam Sui Lan menyangsikan kemungkinan
berhasilnya rencana sucinya. Bagaimana mungkin tawanan dapat lolos dari tempat
ini? Selain penjagaan berlapis-lapis dan ketat, juga jalan keluar melalui
rintangan-rintangan berupa jebakan-jebakan rahasia yang sukar ditembus.
Akhirnya tibalah ia di depan
kamar tahanan yang berjeruji tebal itu. Dan ia melihat dua orang tawanan itu
duduk bersila, saling berhadapan dan mengobrol! Kelihatan mereka demikian
tenangnya! Pangeran itu bahkan nampak gembira dan mereka berdua menoleh dan
memandang ketika ia berdiri di depan jeruji kamar itu.
Melihat Sui Lan, Yo Han
tersenyum masam. Nah, itulah ia gadis lihai yang telah dipergunakan sebagai
umpan sehingga aku terjebak,! kata Yo Han tanpa terdengar suara atau pandang
mata membenci gadis itu.
Sesuai dengan perintah
sucinya, Sui Lan memperhatikan keadaan kedua orang tawanan itu, terutama Cia
Sun. Ia melihat betapa mereka dalam keadaan sehat, bahkan wajah mereka tidak
memperlihatkan rasa takut atau murung. Jelas bahwa mereka diperlakukan dengan
baik oleh para penjaga seperti diperintahkan sucinya.
Sui Lan memberi isyarat kepada
para penjaga untuk menjauh. Mereka mentaati, akan tetapi tentu saja memandang
dari jauh dan mendengarkan. Sui Lan mengambil sikap seperti orang mengejek.
Hemmm, kalian sudah tertangkap
seperti dua ekor tikus, masih berlagak. Akuilah saja bahwa kalian telah
memata-matai Pao-beng-pai. Benar tidak? Kalian menyamar dan berpura-pura,
sungguh licik dan pengecut!! Sui Lan sengaja mengejek dan memaki dengan suara
nyaring sehingga terdengar oleh para petugas yang melakukan penjagaan di bagian
terdalam tempat itu.
Yo Han tersenyum. Dia seorang
yang cerdik dan dia melihat sikap yang tidak wajar dari gadis itu, bahkan dapat
merasakan betapa suara gadis itu sengaja ditinggikan agar terdengar semua
orang. Apa yang tersembunyi di balik sikap yang disengaja itu? Pasti ada!
Karena itu, dia segera menanggapi, disesuaikan dengan sikap gadis itu yang
sengaja menghina mereka. Kesengajaan ini dapat dia lihat dari suara dan
sikapnya yang tidak sewajarnya.
Aha, kiranya engkau gadis
palsu, gadis licik dan curang! Bukan kami yang curang, melainkan Pao-beng-pai.
Kalau tidak licik, pengecut dan curang, coba bebaskan kami dan mari kita
bertanding sampai seribu jurus!!
Sui Lan semakin marah.
Jahanam! Engkau telah merobek bajuku, engkau melepas sepatuku, engkau laki-laki
mesum dan kurang ajar! Kalau tidak dihalangi suhu, tentu engkau sudah kubunuh!!
Ha-ha-ha, engkau mampu
membunuhku? Kita lihat saja!! kata Yo Han, dan Cia Sun memandang kakak
angkatnya itu dengan mata terbelalak. Dia mengenal Yo Han tidak seperti itu!
Begitu kasar kata-katanya terhadap seorang gadis!
Keparat busuk, rasakan dan
makan jarumku ini!! Tangan kiri gadis itu bergerak dan sinar lembut meluncur ke
dalam kamar tahanan melalui celah-celah jeruji yang cukup lebar. Dipandang oleh
para penjaga dari jauh, jelas bahwa gadis itu menyerang Yo Han dengan jarum
rahasia yang ampuh! Akan tetapi, Yo Han menangkap sinar putih yang
menyambarnya, dan menyimpannya ke dalam saku bajunya dengan kecepatan yang
tidak dapat terlihat oleh para penjaga.Memang jarum yang disambikan Sui Lan,
akan tetapi jarum yang membawa lipatan kertas kecil!
Melihat sambitannya tidak
mengenai sasaran, Sui Lan memaki-maki lalu pergi meninggalkan tempat itu,
memesan kepada para penjaga agar menjaga dengan ketat. Kecuali Suhu sendiri,
suci Siangkoan Eng, dan aku sendiri, siapapun dilarang memasuki tempat ini! Mengerti?!
bentaknya kepada para penjaga sebelum ia pergi dari situ.
Dua jam kemudian, malam telah
amat larut dan hawa yang dingin membuat semua orang mengantuk. Demikian pula
para penjaga di bangunan tempat tahanan itu. Akan tetapi mereka tidak berani
tidur dan melakukan penjagaan ketat secara bergantian.
Ketika Siangkoan Eng muncul
dan membentak para penjaga yang agak mengantuk, mereka terkejut dan cepat
mengambil sikap tegak dan siap. Sikap Siangkoan Eng galak terhadap para
penjaga, dan memarahi setiap orang penjaga yang kelihatan mengantuk atau habis
tidur.
Kalian tidak boleh lengah
sedikit pun! Dua orang tawanan ini amat lihai dan amat penting. Aku harus
memeriksa segala kemungkinan, jangan sampai mereka lolos!! katanya dengan suara
galak. Suaranya terdengar sampai kamar tahanan di mana dua orang pemuda itu
duduk bersila. Mendengar suara ini, berubah wajah Cia Sun dan jantung kedua
orang tawanan itu berdebar tegang.
Tak lama kemudian, setelah
memeriksa di sepanjang jalan, tibalah Siangkoan Eng di lorong terakhir yang
menuju ke kamar tahanan. Dua belas orang penjaga lorong itu, menyambut dengan
sikap yang tegak dan siap.
Tidak ada yang tertidur di
antara kalian?! bentak Siangkoan Eng.
Tidak, Nona.!
Bagus! Siapa yang memegang
kunci kamar tahanan? bentaknya pula. Dia mempunyai tanggung jawab yang amat
penting!!
Saya, Nona!! kata seorang di
antara para penjaga yang bertubuh tinggi besar, bermuka bopeng, yaitu kepala
regu yang menjaga kamar tahanan dan lorong itu. Sudah kau periksa benar bahwa
pintu itu terkunci rapat?!
Sudah, Nona?!
Berikan kuncinya kepadaku.
Hendak kuperiksa sendiri!! kata Siangkoan Eng. Awas kau kalau menguncinya tidak
benar!!
Silakan, Nona!! kata si bopeng
sambil menyerahkan sebuah kunci yang besar.
Karena sikap Siangkoan Eng
yang galak dan keras itu, para penjaga nampak takut kepadanya, tidak berani
mendekat sehinga ketika gadis itu menghampiri pintu jeruji besi kamar tahanan,
para penjaga hanya melihat dari jarak sepuluh meter. Pada saat gadis itu
menghampiri pintu jeruji, mereka melihat betapa dua orang tawanan itu tidur di
lantai, di tengah kamar, agak mendekat pintu. Mereka tidur mendengkur, dan
Siangkoan Eng mencoba kunci pintu, apakah terkunci dengan benar atau tidak.
Pada saat itu, dua orang
tawanan itu bergerak bagaikan kilat cepatnya dan Yo Han sudah menotok gadis itu
melalui celah jeruji, lalu mencengkeram pundak dengan tangan kiri sedangkan
tangan kanannya mengancam lehernya. Cia Sun juga cepat mencabut pedang yang
terselip di pinggang Siangkoan Eng, lalu menghardik kepada para penjaga yang
berloncatan mendekat.!Semua berhenti dan jangan ada yang bergerak. Kalau ada
yang bergerak, kami akan membunuh Siangkoan Eng!! Bentakan itu berpengaruh
karena para penjaga yang dua belas orang banyaknya itu tidak berani berkutik,
seperti berubah menjadi arca di tempat masing-masing. Tentu saja mereka tidak
menghendaki nona mereka dibunuh dan nampaknya, nona mereka memang sama sekali
tidak dapat menyelamatkan diri, sudah ditotok, dicengkeram lagi dan mereka
semua tahu atau sudah mendengar betapa lihainya dua orang tawanan itu, terutama
sekali Yo Han yang mencengkeram nona mereka.
Cia Sun merampas kunci dan
melalui celah jeruji, dia membuka kunci pintu, lalu mereka berdua keluar. Yo
Han menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang punggung, lalu membebaskan
totokannya.
Hayo antar kami keluar.
Bergerak sedikit saja melawan, lehermu akan kupatahkan!! katanya geram.
Siangkoan Eng kelihatan
terkejut dan marah, akan tetapi ia pun tahu bahwa ia tidak berdaya. Ketika
melihat para penjaga memandangnya dengan bingung, ia pun berkata gemas, Biar
mereka lewat. Lain kali masih ada kesempatan bagi kita untuk menangkap mereka
kembali dan kalian akan mendapat bagian menyiksa mereka!! Para penjaga terpaksa
membiarkan gadis itu digiring keluar oleh kedua tawanan. Demikian pula para
penjaga di tengah dan di luar, tidak ada yang berani berkutik melihat nona
mereka diancam seperti itu. Dan Siangkoan Eng juga menyuruh mereka mundur dan
membiarkan dua orang tawanan itu lewat sambil mengeluarkan ancaman bahwa kelak
mereka semua pasti akan dapat membalas dan menangkap kembali dua orang itu.
Karena menggiring Siangkoan
Eng, tentu saja para penjaga tidak berani menggunakan alat rahasia untuk
menjebak. Nona mereka terancam dan sekali menggerakkan tangan, kedua orang
tawanan itu dapat membunuhnya dengan mudah. Tentu saja mereka tidak berani
berkutik, bahkan membunyikan tanda bahaya pun tidak berani, apagi nona mereka
memerintahkan mereka tidak melawan dan membiarkan dua orang tawanan itu lewat.
Dengan amat mudahnya karena
tidak ada penjaga yang berani menghalangi, Yo Han dan Cia Sun dapat keluar dari
perkampungan Pao-beng-pai itu menggiring Siangkoan Eng. Setelah mereka keluar
dari pintu gerbang, barulah para penjaga berani berlari-lari untuk memberi
laporan kepada Siangkoan Kok. Akan tetapi, ketika Siangkoan Kok terbangun dan
terkejut, juga marah sekali mendengar betapa kedua orang tawanan itu lolos
bahkan menggiring Siangkoan Eng yang dibuat tidak berdaya, kedua orang tawanan
itu telah lari jauh.
Setelah tiba di luar pintu
gerbang, agak jauh di tempat sepi, Yo Han melepaskan kedua tangannya.
Eng-moi....! Cia Sun memegang
kedua lengan gadis itu. Siangkoan Eng memandangnya dengan muka sedih, lalu
berkata dengan suara lirih.
Engkau pergilah....!
Eng-moi, kenapa engkau tidak
ikut kami saja pergi meninggalkan neraka itu?! bujuk Cia Sun.
Neraka itu tempat tinggal ayah
ibuku, Koko. Bagaimana aku dapat meninggalkan ibuku begitu saja? Tidak, kalian
pergilah cepat sebelum ayah dan para anggauta Pao-beng-pai datang.!
Eng-moi, aku bersumpah, akan
kembali dan membawamu sebagai isteriku. Aku cinta padamu, Eng-moi.!
Aku pun cinta padamu, tidak
peduli engkau ini pangeran atau pengemis.... kata Siangkoan Eng terisak, akan
tetapi isaknya terhenti ketika Cia Sun, tanpa sungkan dan malu di depan Yo Han,
merangkul dan menciumnya.
Pada saat itu terdengar suara
ribut-ribut yang datangnya dari perkampungan itu sehingga mereka berdua saling
melepaskan rangkulan.
Pergilah sebelum terlambat.!
kata Siangkoan Eng.
Benar, Cia-te, kita harus
cepat pergi. Nona, maafkan kami, terpaksa aku harus menotokmu.!!Silakan,! kata
Siangkoan Eng. Yo Han cepat menotok gadis itu sehinga lemas tak mampu bergerak,
bahkan dia pun menotok mulutnya sehingga gadis itu tidak dapat bersuara pula.
Cia Sun menyambut tubuh yang lemas itu agar tidak terjatuh, lalu merebahkannya
telentang di atas rumput. Setelah menciumnya sekali lagi, Cia Sun terpaksa
melompat dan mengejar Yo Han yang sudah lari terlebih dahulu karena kini
terdengar langkah kaki orang-orang berlari datang dan nampak pula mereka
membawa obor.
Siangkoan Kok dan isterinya
yang memimpin orang-orang mereka melakukan pengejaran, menemukan puteri mereka
dalam keadaan telentang di atas rumput, tak dapat bersuara maupun bergerak.
Dengan marah Siangkoan Kok memerintahkan anak buahnya mencari dan melakukan
pengejaran sampai ke bawah bukit, sementara dia dan isterinya membebaskan
totokan pada diri Siangkoan Eng.
Dengan muka merah dan mata
berkilat menahan kemarahannya, Siangkoan Kok yang tidak mau ribut-ribut
memarahi puterinya di tempat terbuka, lalu mengajak isteri dan puterinya
kembali ke rumah mereka, dan memerintahkan semua anak buahnya untuk terus
mencari.
Kini mereka bertiga berada di
dalam rumah, di ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang boleh masuk. Semua
pelayan diperintahkan untuk keluar dari ruangan itu, dan mereka menanti di luar
dengan wajah pucat karena mereka maklum bahwa ketua mereka marah bukan main.
Nah, sekarang katakan terus
terang, apa yang telah kau lakukan!! Siangkoan Kok membentak puterinya yang
telah duduk di samping ibunya.
Siangkoan Eng mengangkat muka
menatap wajah ayahnya, sedikit pun tidak merasa takut walaupun ia tahu bahwa
ayahnya marah sekali karena kedua orang tawanan itu dapat meloloskan diri. Apa
yang harus kukatakan, Ayah? Tadi, untuk merasa yakin bahwa kedua orang tawanan
itu tidak dapat melarikan diri, aku memeriksa tempat tawanan itu. mendadak,
ketika aku memeriksa kunci pintu kamar tahanan itu, Pendekar Tangan Sakti yang
tadinya kukira tidur pulas, meloncat. dan telah menyergapku melalui celah
jeruji besi. Gerakannya tak terduga dan cepat sekali sehingga aku dapat
ditotoknya. Mereka membuka piritu dengan kunci setelah membuat aku tidak
berdaya, dan mengancam para penjaga untuk membunuhku kalau mereka mencoba menghalangi
larinya kedua orang tawanan itu. Nah, setelah berhasil keluar dari pintu
gerbang, mereka lalu menotok dan meninggalkan aku, sampai Ayah menemukanku.!
Kau bohong! Kau pembohong
besar!!! Siangkoan Kok membentak dan matanya melotot lebar. Dalam kemarahannya,
pria yang tinggi besar dan gagah ini kelihatan semakin besar dan garang
menyeramkan.
Akan tetapi, Siangkoan Eng
tenang-tenang saja. Ayah, kenapa Ayah mengatakan aku bohong? Untuk apa aku
berbohong? Mengapa aku harus membohongi Ayah?!
Mengapa? Karena engkau sudah
jatuh cinta kepada pangeran Mancu itu! Karena engkau sudah tergila-gila
padanya! Tak tahu malu, merendahkakn diri tergila-gila kepada seorang pangeran
Mancu!!
Hemmm, apa alasan Ayah
menuduhku berbohong?!
Apa alasannya. Bocah murtad,
pengkhianat! Selama hidupku, belum pernah aku melihat engkau demikian penakut
dan tolol sehingga dapat dikelabui musuh, dapat disergap dan ditundukkan dari
dalam kamar tahanan, kemudian demikian penakut sehingga ketika engkau ditawan
dan digiring keluar, engkau memerintahkan para anak buah kita untuk membiarkan
dua orang itu pergi! Kau boleh mengelabui orang lain, akan tetapi tidak mungkin
dapat membohongi aku! Aku sudah mengenal watakmu. Engkau tak mengenal takut,
engkau cerdik, tak mungkin dapat ditundukkan dua orang tawanan semudah itu,
kecuali kalau engkau memang sengaja hendak membantu mereka lolos!!
Itu hanya dugaan Ayah belaka.
Mana buktinya?! tantang Siangkoan Eng yang memang sejak kecil digembleng ayah
ibunya tidak mengenal takut.!Bocah setan. Engkau masih menantangku untuk
menunjukkan bukti? Kau kira aku belum melakukan penyelidikan dan belum
membongkar rahasiamu yang busuk dan memalukan?! Siangkoan Kok membentak ke arah
pintu memanggil pelayan dan ketika seorang pelayan wanita masuk dengan sikap
takut-takut, dia membentak, Panggil ke sini Sui Lan! Cepat!!!
Pelayan itu lari tunggang
langgang dan diam-diam Siangkoan Eng terkejut. Apakah Sui Lan telah
mengkhianatinya dan melapor kepada ayahnya? Rasanya hal itu tidak mungkin
terjadi. Ia hampir yakin akan kesetiaan sumoinya itu kepadanya.
Tak lama kemudian Sui Lan
masuk dan memberi hormat kepada suhunya, dengan suara biasa ia berkata seperti
orang melapor, Maaf, Suhu. Sudah teecu (murid) dengar dari laporan anak buah
bahwa. pencarian itu tidak berhasil....!
Diam!! Siangkoan Kok
membentak. Jangan bicara kalau tidak kutanya, dan setjap jawaban harus kau
jawab sejujurnya!!.
Baik, Suhu.! Gadis itu pun
duduk di atas bangku yang ditunjuk oleh gurunya. Berbeda dengan Siangkoan Eng
yang masih nampak tenang, Tio Sui Lan kelihatan agak pucat dan matanya
mengandung kegelisahan melihat kemarahan gurunya. Setelah melihat muridnya yang
sesungguhnya merupakan murid yang paling disayangnya itu duduk, Siangkoan Kok
lalu menghadapi puterinya lagi. Dia tetap berdiri, bagaikan gunung karang di
depan puterinya yang duduk di samping ibunya. Lauw Cu Sin, wanita berusia empat
puluh lima tahun yang masih cantik itu, mengerutkan alisnya dan hanya
mendengarkan, pandang matanya juga gelisah.
Nah, sekarang Sui Lan telah
berada di sini. Eng Eng, apakah engkau masih tidak mau mengakui pengkhianatanmu
terhadap Pao-beng-pai dan bahwa engkau telah membantu kedua orang itu
membebaskan diri?!
Ayah hanya menuduh tanpa
bukti.! kembali Siangkoan Eng atau Eng Eng membantah, sikapnya tetap berani.
Brakkkkk!!! Meja di samping
kirinya dihantam tangan kiri Siangkoan Kok dan papan meja itu hancur
berkeping-keping. Engkau masih berani mengatakan aku menuduhmu tanpa bukti?
Anak durhaka, dengar baik-baik. Aku telah menyelidiki dan menanyai para penjaga.
Dua jam sebelum engkau muncul, si iblis cilik Sui Lan ini datang ke tempat
tahanan, memasuki tempat tahanan dan mengatakan kepada para penjaga bahwa aku
sengaja memerintahkan ia untuk menjaga para tawanan. Dan para penjaga melihat
Sui Lan cekcok dengan para tahanan, lalu ia menyambitkan jarum ke arah para
tahanan. Para penjaga melihat berkelebatnya sinar putih halus! Sui Lan, jawab.
Benarkah itu?!
Benar, Suhu. Teecu marah dan
menyerang orang she Yo dengan jarum teecu dan....!
Bohong! Ingin kau kurobek
mulutmu? Mana mungkin jarum rahasiamu bersinar putih? Tentu bukan jarum yang
kau sambitkan, melainkan surat, gulungan kertas atau alat lain untuk mengirim
pesan!!
Suhu....!
Diam!! Tangan Siangkoan Kok
menyambar ke arah muridnya dan gadis itu terpelanting dari bangkunya dan
bajunya robek lebar memperlihatkan sebagian dadanya. Sui Lan bangkit dan
berlutut, sambil membetulkan letak bajunya. Untung gurunya tidak berniat
membunuhnya sehingga ia tidak terluka.!Eng Eng, engkau masih hendak membantah?
Engkau mengirim pesan lewat Sui Lan kepada pangeran Mancu itu. Kemudian, dua
jam setelah itu, engkau sendiri yang datang berkunjung, pura-pura melakukan
pemeriksaan dan sengaja engkau membiarkan dirimu dibuat tidak berdaya! Engkau
bahkan membantu mereka lolos karena engkau sudah tergila-gila kepada seorang
pangeran Mancu. Tak tahu malu!!
Kini tahulah Eng Eng bahwa Sui
Lan tidak berkhianat. Rahasianya terbongkar semata-mata karena kecerdikan
ayahnya yang memang luar biasa. Ia menghela napas panjang.
Ayah, aku melakukan hal itu
demi menjaga baik nama Ayah!
Mata itu melotot, Apa kau
bilang? Menjaga nama baikku?! Karena heran, maka untuk sementara kemarahannya
tertunda.
Ayah adalah ketua Pao-beng-pai
yang baru saja memperkenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw, dikenal sebagai
pemimpin perkumpulan patriot yang gagah perkasa. Akan tetapi, Ayah telah
menawan Pendekar Tangan Sakti secara curang. Bagaimana kalau sampai terdengar
dunia persilatan? Pula, aku yakin bahwa Pangeran Cia Sun bukan seorang
mata-mata Mancu. Biarpun dia pangeran Mancu, akan tetapi dia bukan mata-mata,
melainkan seorang pemuda yang ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman di
dunia kang-ouw. Mana mungkin pangeran melakukan pekerjaan mata-mata yang
berbabaya? Tentu keluarganya tidak akan menyetujuinya.!
Cukup! Katakan saja engkau
tergila-gila kepada pangeran Mancu itu!!
Dengan sama lantangnya
Siangkoan Eng yang yakin bahwa ayahnya amat menyayangnya dan tidak mungkin ia
sampai terancam malapetaka oleh tangan ayahnya, menjawab, Tidak kusangkal,
Ayah. Memang aku mencinta Cia Sun dan dia mencintaku. Akan tetapi, bukankah
Ayah juga sudah menerima pinangannya, menerima pula tanda pengikat
perjodohannya, dan bahkan Ayah mengajukan syarat yang sudah disanggupinya?
Apakah Ayah ingin menarik kembali janji dan ucapan Ayah?!
Jahanam kau! Kau ingin Ayah
mempunyai mantu seorang pangeran Mancu?!
Mengapa tidak, Ayah? Dia
pangeran biasa, bukan calon kaisar!!
Keparat, anak durhaka, engkau
memang patut dihajar!! bentak Siangkoan Kok dan dia pun menerjang ke depan, tangannya
terayun memukul ke arah kepala Eng Eng. Gadis itu terkejut, sama sekali tidak
pernah menduga bahwa ayahnya akan sedemikian marahnya sehingga mau memukulnya,
hal yang selama ini belum pernah dilakukan ayahnya. Yang mengejutkan hatinya
adalah ketika melihat betapa tangan ayahnya itu memukul ke arah kepalanya.
Pukulan maut! Kalau kepalanya terkena pukulan itu, tentu akan pecah dan ia akan
tewas seketika! Otomatis, sebagai seorang ahli silat yang gerakannya otomatis,
dengan cepat ia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis karena untuk
mengelak, ia tidak berani dan hal itu tentu akan membuat ayahnya menjadi
semakin marah.
Desss....!!! Biarpun ia telah
menangkis, karena ia tidak berani pula mengerahkan seluruh tenaganya, hantaman
ayahnya itu tetap saja hebat bukan main. Tenaga dahsyat menerpa dan menerjang
dirinya, membuat kursi yang didudukinya patah-patah dan tubuhnya terjengkang
sampai berguling-guling. Sungguh hal ini tidak disangkanya sama sekali.
Kepalanya terasa pening, dadanya nyeri karena hawa pukulan itu menerjang masuk
lewat lengannya. Dari mulutnya keluar darah dan Eng Eng yang kemudian rebah
menelungkup itu, menggerakkan tubuh telentang dan ia bertopang pada siku
kanannya, kemudian tangan kirinya diangkat ke arah ayahnya, bibirnya berdarah
dan matanya terbelalak.!Ayah....?!!?! terkandung penasaran, keheranan dan
kekagetan dalam suara itu.
Melihat keadaan Eng Eng,
Siangkoan Kok bukan mereda kemarahannya, melainkan menjadi semakin marah karena
tangkisan puterinya tadi dianggapnya sebagai perlawanan.
Engkau memang patut dibunuh!!
bentaknya lagi dan dia sudah mencabut pedangnya, menerjang ke depan dan
mengayun pedangnya untuk memenggal leher Eng Eng yang masih bertopang pada
sikunya.
Singgg....! Tranggg....!!!
Pedangnya tertangkis pedang lain dan dia cepat meloncat ke belakang, mukanya
merah sekali ketika dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah isterinya
sendiri, Lauw Cu Si! Wanita cantik itu berdiri dengan pedang di tangan, dan
dengan mata mencorong ia menghadapi suaminya.
Engkau harus melangkahi
mayatku dulu kalau hendak membunuhnya!! katanya, suaranya tenang akan tetapi
mengandung ancaman yang mengerikan. Kalau saja yang menantang itu orang lain,
tanpa banyak cakap lagi tentu Siangkoan Kok akan membunuhnya. Akan tetapi,
isterinya adalah keturunan Beng-kauw. Biarpun Beng-kauw telah hancur, namun di
dunia persilatan masih terdapat banyak sekali bekas tokoh Beng-kauw yang lihai
sekali. Kalau dia membunuh isterinya, apalagi tanpa sebab yang kuat, tentu dia
akan berhadapan dengan banyak musuh yang amat berbahaya dan ini berarti akan
melemahkan Pao-beng-pai. Melihat keraguan ayahnya, Eng Eng yang masih merasa
sesak dadanya dan kini sudah bangkit duduk berkata memelas.
Ayah, bukankah aku ini anakmu,
darah-dagingmu? Seekor binatang buas sekalipun tidak akan membunuh anak
sendiri....!
Dia bukan ayahmu! Engkau bukan
anaknya!! Tiba-tiba Lauw Cu Si berkata dan wajah Eng Eng seketika pucat sekali,
matanya terbelalak dan hampir ia jatuh pingsan.
Ibu.... dia....dia bukan
ayahku....?! Ia berbisik-bisik berulang-ulang. Ibunya sudah berlutut dan
merangkulnya.
Tenanglah, tidak akan ada
manusia di dunia ini dapat membunuhmu tanpa melangkahi mayatku!! kata ibu itu
sambil merangkul puterinya dan memandang suaminya dengan sinar mata menantang.
Siangkoan Kok menjadi merah
sekali mukanya. Baik, kalian ibu dan anak memang jahanam! Memang kau bukan
anakku! Ibumu menjadi isteriku telah membawa engkau! Seorang gadis telah
mempunyai anak tanpa ayah. Huh, perempuan macam apa itu! Dan sekarang, kalian
hendak mengkhianati aku!! Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menyarungkan
pedangnya lalu hendak melangkah keluar. Akan tetapi dia melihat Sui Lan yang
masih berlutut dengan muka pucat dan baju robek.
Engkau juga mengkhianatiku.
Mestinya engkau kubunuh! Akan tetapi, aku tidak membunuhmu, dan mulai sekarang,
engkau menggantikan perempuan laknat itu dan melayaniku sebagai isteriku!!
Sekali tangannya bergerak dia telah menyambar tubuh Sui Lan dan memondongnya
keluar dari kamar itu.!Tidak, Suhu....! Jangan, Suhu....! Tidaaaaakkk....!!
Gadis itu menjerit-jerit, akan tetapi Siangkoan Kok tidak peduli dan melangkah
lebar menuju ke kamarnya sendiri, menutupkan daun pintu dengan keras dan tangis
Sui Lan makin sayup.
Ibu.... ahhh, Ibu.... aku
harus menolong sumoi....! Eng Eng mencoba untuk bangkit berdiri, akan tetapi ia
terhuyung dan jatuh ke dalam rangkulan ibunya.
Hemmm, apa yang dapat kau
lakukan, Eng Eng? Mari, kurawat lukamu, kita masuk kamarmu. Aku tidak sudi lagi
memasuki kamar yang tadinya menjadi kamar kami itu. Aku pindah ke kamarmu.!
Tapi, Ibu....! Kasihan Sui
Lan. Ibu, tolonglah sumoi. Setidaknya, ayah.... ah, suami Ibu masih memandang
muka Ibu. Tolonglah, cegahlah agar sumoi tidak menjadi korban.!
Ibunya menggoyang kedua
pundak, sikapnya acuh saja. Ia adalah seorang bekas tokoh besar Beng-kauw,
perkumpulan sesat. Ia adalah seorang tokoh sesat sehingga peristiwa seperti itu
tidak ada artinya baginya. Ia tidak peduli seujung rambut pun.
Tidak ada sangkut pautnya
dengan aku. Kalau dia hendak membunuhmu, baru aku bangkit. Akan tetapi Sui Lan?
Huh, aku tahu bahwa sudah lama Siangkoan Kok memandang kepadanya penuh berahi.
Agaknya sekarang ini kesempatan baginya. Sui Lan bersalah, kalau aku
mencegahnya sekalipun, tentu ia akan dibunuh gurunya. Biarlah, jangan ambil
peduli!! Ibu itu menarik puterinya ke kamar Eng Eng yang berada agak jauh di
samping kiri.
Eng Eng menangis karena merasa
tidak berdaya. Lebih baik ia mati.... lebih baik ia mati....! Ia berulang-ulang
berbisik, akan tetapi ibunya tidak mempedulikannya dan membawanya ke kamar.
Eng Eng mencoba untuk mengusir
bayangan sumoinya yang meronta dalam pondongan pria yang selama ini dianggapnya
ayahnya, ditaatinya dan disayangnya.
Ibu, kenapa selama ini Ibu
tidak pernah memberi tahu kepadaku bahwa dia itu bukan ayahku?! tanya Eng Eng
ketika ibunya memeriksa tubuhnya, lalu menyalurkan tenaga sin-kang untuk
menyembuhkan luka di dalam tubuhnya karena terguncang hawa pukulan Siangkoan
Kok yang kuat. Kemudian ia pun minum obat yang diberikan ibunya. Setelah puterinya
menelan obat, barulah ia menjawab.
Untuk apa? Selama ini dia
menyayangmu seperti anak sendiri. Baru setelah kalian bertentangan dalam urusan
gerakan Pao-beng-pai, dia hampir membunuhmu. Engkau masih terlalu kecil ketika
aku menjadi isterinya, maka kupikir sebaiknya tidak perlu kau tahu bahwa dia
bukan ayahmu, sampai tadi ketika dia hampir membunuhmu.!
Kalau begitu.... nama
keluargaku bukan Siangkoan?!
Tentu saja bukan!!
Lalu siapa? Siapakah nama ayah
kandungku dan di mana dia, Ibu?!
Hemmm, dia sudah mati. Kalau
engkau tidak suka nama marga Siangkoan boleh kau pakai nama keluargaku, yaitu
Lauw. Namaku Lauw Cu Si dan kalau engkau tidak suka nama Siangkoan, boleh
kauganti Lauw, jadi namamu Lauw Eng.!
Tapi, siapa nama ayah
kandungku, Ibu? Aku ingin menggunakan nama marganya!!
Sudahlah aku tidak mau bicara
tentang dia. Aku tidak suka mengingatnya!! Suara wanita itu mulai terdengar
ketus sehingga Eng Eng merasa heran sekali.
Akan tetapi, kenapa, Ibu?
Kalau ayah kandungku sudah mati, kenapa Ibu tidak mau memberitahukan namanya?
Dan di mana kuburannya? Aku ingin bersembahyang di depan kuburannya.!
Cukup! Aku tidak sudi menyebut
namanya. Aku sudah lupa namanya. Aku benci padanya!!! Suara itu semakin galak.
Eng Eng terkejut dan semakin
heran. Tapi, dia sudah mati, Ibu....!
Dia sudah mati atau masih
hidup, aku paling benci padanya, sudah, kalau engkau bicara tentang dia lagi,
aku akan marah sekali!!
Eng Eng tidak berani
melanjutkan. Dia sudah kehilangan ayahnya, atau orang yang selama ini dianggap
ayahnya yang disayangnya dan ditaatinya dan kini dia tidak ingin kehilangan
ibunya pula. Pasti terjadi sesuatu yang hebat, sesuatu yang amat menyakitkan
hati ibunya yang telah dilakukan ayah kandungnya maka ibunya begitu membencinya
setengah mati. Kalau benar demikian, berarti ayah kandungnya telah melakukan
sesuatu yang amat jahat. Hatinya terasa perih dan nyeri sekali. Orang yang
selama ini dianggap ayahnya sendiri akan tetapi ternyata hanya ayah tiri itu
seorang jahat, dan ayah kandungnya sendiri pun dahulunya orang jahat. Ketika ia
terkenang kepada Pangeran Cia Sun, Eng Eng merasa jantungnya seperti ditusuk.
Ia merasa rendah diri.
***
Dua orang pemuda itu berhasil
meninggalkan Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Iblis) yang berada di bagian barat
Kwi-san (Bukit Iblis), bahkan turun dari bukit itu dan setelah jauh, menjelang
tengahari, mereka duduk beristirahat di bawah pohon besar dalam sebuah hutan
kecil yang sunyi.
Melihat betapa wajah Cia Sun
agak murung, Yo Han berkata, Mengapa engkau kelihatan murung, Cia-te? Bukankah
sepatutnya kita bersyukur karena telah terhindar dari ancaman maut di sana?!
Pangeran itu memendang kakak
angkatnya. Yo-twako, aku takut. Aku khawatir sekali apa yang akan terjadi
dengan Eng-moi. Aku amat mencintanya....!
Yo Han tersenyum. Engkau aneh
sekali, Cia-te. Ketika engkau dan aku berada dalam tahanan dalam keadaan tidak
berdaya, setiap saat dapat saja kita dibunuh, engkau sama sekali tidak merasa
takut, bahkan selalu nampak gembira. Akan tetapi sekarang, setelah terbebas
dari bahaya, engkau malah takut.!
Cia Sun menghela napas
panjang. Biasanya aku tidak pernah takut, Yo-twako. Akan tetapi sekarang, aku
gelisah sekali dan aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat menghilangkan
perasaan takut atau gelisah ini.!
Tidak ada cara untuk menghilangkan
takut, Cia-te. Takut adalah perasaan kita sendiri, yang ingin menghilangkan itu
pun perasaan kita sendiri. Takut timbul karena ulah pikiran, dan keinginan
menghilangkan juga ulah pikiran, Cia-te. Kalau kita tidur, pikiran kita
bekerja, maka takut pun tidak ada. Pikiran menimbulkan rasa takut, duka, dan
sebagainya. Namun, kesadaran akan rasa takut itu sendiri, tanpa adanya usaha
melenyapkan, akan mendatangkan perubahan, mendatangkan kesadaran dan dengan
sendirinya takut pun tidak nampak bekasnya.!
Yo-twako, sebenarnya, apa sih
yang kita cari di dunia ini? Mengapa dalam kehidupan ini selalu kita
dipermainkan senang dan susah, puas dan kecewa? Bahkan apa yang menyenangkan
menjadi membosankan. Kenyataan hidup terlalu sering berlawanan dengan apa yang
kita idamkan dan harapkan. Sekelumit kesenangan segera diseling segunung
kesusahan. Bukankah kita manusia ini seperti selalu mencari-cari? Apa yang kita
cari? Kebahagiaan? Di mana dan apa kebahagiaan itu? Pertanyaan ini selalu
menggangguku dan sudah kutanyakan kepada banyak sekali orang-orang pandai,
namun tak pernah aku memperoleh jawaban yang meyakinkan dan memuaskan.!
Yo Han tersenyum lebar.
Pertanyaanmu itu agaknya telah menjadi pertanyaan dunia sepanjang masa,
pertanyaan seluruh manusia di permukaan bumi ini, Ciate. Kita mencari-cari
kebahagiaan, mengejar-ngejar kebahagiaan, namun tak pernah menemukannya. Kalau
ada kalanya merasa menemukan, ternyata dalam waktu singkat yang kita tadinya
anggap sebagai kebahagiaan itu berubah menjadi kesengsaraan. Kita mengejar dan
mencari terus selama kita hidup.!
Akan tetapi, adakah orang yang
benar-benar menemukan kebahagiaan itu, Twako? Dan dimanakah sebenarnya
kebahagiaan itu?!
Cia-te. Mari kita selidiki
bersama. Mungkinkah kita mencari sesuatu yapg tidak kita kenal?!
Tentu saja mustahil!! jawab
sang pangeran tanpa ragu.
Tepat. Karena itu, sebelum
kita bertanya di mana adanya kebahagiaan yang kita cari. Apakah kebahagiaan
itu, Cia-te?!
Kebahagiaan! Tentu saja
kebahagiaan adalah suatu perasaan, yaitu perasaan bahagia!!
Kalau begitu pertanyaan yang
menyusul. Apakah engkau pernah mengalami perasaan bahagia itu, Cia-te?!
Pangeran Cia Sun tertegun dan
mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. Rasanya pernah dan sering malah. Kalau
aku merasa bebas dari kepusingan apa pun, merasa bebas dan lega, seperti ketika
aku berada seorang diri di tepi laut yang sunyi, seperti kalau aku berada di
puncak gunung yang sunyi pada suatu senja memandang matahari tenggelam,
seolah-olah aku melayang di antara sinar senja, ketika aku saling tatap dan
bercakap-cakap dengan Eng-moi, yah, seringkali aku merasakan itu mungkin aku
selalu mencari-cari saat atau detik-detik seperti itu....!
Nah, itulah, Cia-te! Sekali
saat kita merasa berbahagia seperti yang kau alami itu. Akan tetapi nafsu menguasai
hati akal pikiran. Karena nafsu selalu mengejar keenakan dan kesenangan, maka
nafsu di hati akal pikiran membuat kita ingin mengabadikan perasaan bahagia di
saat itu! Kita ingin memilikinya! Dan kita terseret oleh nafsu, yaitu
menjadikan saat indah dan suci itu menjadi semacam kesenangan. Jadi, yang kita
cari selama ini, yang dicari-cari oleh setiap orang manusia di dunia ini,
hanyalah kesenangan yang mengenakan topeng kebahagiaan. Yang dapat dikejar oleh
kesenangan, Cia-te. Mudah saja mengejar kesenangan makanan nafsu itu, melalui
mata, hidung, telinga, mulut dan lain anggauta badan luar dan dalam. Kesenangan
timbul dari kenangan, dari pengalaman, diulang-ulang, karenanya mati dan selalu
disusul kebosanan. Kebahagiaan sudah ada dan selalu ada, hidup bagaikan awan
berarak di angkasa, bagaikan gelombang di samudera, tak dapat ditangkap dan
dimiliki, tak dapat diulang-ulang, dirasakan saat demi saat tanpa bayangan
kenangan masa lalu.!
Pangeran Cia Sun tertawa dan
memegangi kepala dengan kedua tangannya. Aduh, kepalaku yang pening, Twako.
Apakah kalau begitu, menurut Twako, amat tidak baik kalau dalam hidup ini kita
bersenang-senang?!Yo Han tertawa pula. Wah, bukan begitu, Cia-te! Menikmati
keenakan dan kesenangan dalam hidup merupakan anugerah yang sudah sepatutnya
kita nikmati. Kita berhak menikmati keenakan dan kesenangan melalui
panca-indra. Akan tetapi, diperhamba nafsu lain lagi akibatnya. Kita lalu
menjadi hamba, setiap saat hanya mengejar-ngejar dan mencari-cari kesenangan
dengan melupakan segala macam cara. Di sini perlunya kita mempergunakan alat
kita yang lain, yaitu akal budi, untuk mempertimbangksn, kesenangan macam apa
yang baik dan tidak baik, yang sehat dan tidak sehat. Engkau tentu mengerti apa
yang kumaksudkan.!
Pangeran itu mengangguk-angguk.!Sekarang,
bagaimana baiknya, Twako? Aku sebenarnya ingin sekali memperisteri Eng-moi,
akan tetapi jelas bahwa ayahnya pasti tidak akan menyetujuinya. Dia anti
pemerintah, anti Mancu, sedangkan aku seorang pangeran Mancu.!
Memang keadaan kalian itu
sulit sekali, Cia-te. Akan tetapi, aku tetap yakin bahwa lahir, jodoh dan mati
ditentukan dan sudah diatur oleh kekuasaan Thian. Maka, bersabarlah dan
sebaiknya sekarang engkau kembali dulu karena dipanggil keluargamu. Sebaliknya
kalau kau ceritakan persoalanmu kepada orang tuamu. Mungkin mereka akan dapat
menemukan jalan sehingga akhirnya engkau akan dapat berjodoh dengan kekasihmu
itu.!
Pangeran itu menggeleng-geleng
kepalanya dengan sedih. Agaknya mustahil kalau ayah mengijinkan aku menikah
dengan Eng-moi, kalau dia mengetahui bahwa Eng-moi adalah puteri ketua
Pao-beng-pai yang menentang pemerintah.!
Kalau begitu, lebih sulit
lagi. Akan tetapi percayalah, Cia-te, betapapun sulit dan mustahilnya suatu
urusan bagi kita manusia, kalau Thian menghendaki, segala kesulitan itu akan
terlampaui dan perkara dapat diatasi dengan segala ikhtiarmu dengan penyerahan
kepada kekuasaanNya.!
Dan sekarang, engkau sendiri
hendak ke mana, Twako? Aku akan kembali ke kota raja. Maukah engkau ikut
denganku ke sana? Akan kuperkenalkan kepada ayah ibuku.!
Diam-diam Yo Han merasa ngeri.
Ikut ke sana dan bertemu dengan Sian Li? Ah, tidak! Dia tidak ingin membuat
adik angkatnya ini menjadi terganggu kalau tahu bahwa dia memiliki hubungan
dekat sekali dengan gadis tunangannya itu. Juga dia tidak mau membuat Sian Li
menjadi rikuh. Di samping itu, dia pun tidak ingin menyiksa diri sendiri dengan
menyaksikan pertunangan antara adik angkatnya dengan gadis yang dicintanya.
Terima kasih, Cia-te. Akan
tetapi, aku harus melanjutkan pelaksanaan tugasku, yaitu mencari puteri bibi
guruku yang hilang sejak kecil itu.!
Pekerjaan yang teramat sulit,
Twako. Bagaimana mungkin mencari seorang yang belum pernah kau kenal sama
sekali? Apalagi ia hilang ketika berusia tiga tahun dan jarak waktunya sudah
dua puluh tahun. Ia sendiri mungkin tidak ingat lagi akan keadaan dirinya
ketika berusia tiga tahun.!
Tidak ada perkara yang sulit,
kalau saja aku dibimbing kekuasaan Thian, Cia-te. Engkau tentu ingat
kata-kataku tadi. Aku tidak akan putus asa dan akan terus mencari. Setidaknya,
aku mengetahui tanda pada tubuhnya ketika ia lahir, yaitu di pundak kirinya dan
di kaki kanannya.!
Pangeran itu tertawa geli.
Ha-ha-ha, sekarang mengertilah aku mengapa gadis yang mengirim surat Eng-moi
kepadaku melalui jarum yang disambitkan padamu itu memaki-makimu! Kiranya
engkau pernah menyangka gadis itu sebagai gadis yang kau cari dan engkau tentu
membuka bajunya untuk melihat pundaknya, juga membuka sepatunya untuk melihat
kakinya. Pantas ia marah-marah!! Pangeran itu tertawa geli dan Yo Han juga ikut
tertawa dengan muka kemerahan. Apalagi ketika engkau menjawabnya dengan sikap
kasar, aku sempat terheran-heran melihat sikapmu, Twako. Eh, kiranya engkau
bersandiwara dan tahu bahwa gadis itu tentu mempunyai maksud tertentu. Nyatanya
ia menyambitmu dengan jarum yang ada surat Eng-moi sehingga kita dapat siap
melaksanakan sandiwara ketika Eng-moi datang membebaskan kita.!
Memang itulah gadis yang
disuruh Siangkoan Kok untuk menjebakku. Baru kemudian kuketahui bahwa dia
adalah murid terbaik dari ketua Pao-beng-pai itu. Nah, sekarang sebaiknya kita
saling berpisah di sini, Cia-te. Percayalah, kalau engkau memang berjodoh
dengan nona Siangkoan Eng, kelak engkau pasti dapat menjadi suaminya, dan kalau
tugasku selesai, kelak pada suatu hari aku pasti akan mengunjungimu di kota
raja.!
Dua orang pemuda itu bangkit
dan setelah saling memberi hormat dan saling rangkul, mereka mengambil jalan
masing-masing. Pangeran Cia Sun kembali ke kota raja sedangkan Yo Han mengambil
jalan yang belum dia ketahui menuju ke mana karena dia pun tidak tahu ke mana
harus mencari Sim Hui Eng. Dia akan melanjutkan ikhtiarnya itu dengan
menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat untuk
menyelidiki siapa pelaku penculikan atas diri puteri bibi gurunya itu.
***
Pemuda itu berusia kurang
lebih dua puluh tiga tahun. Tubuhnya sedang namun tegap dengan dada yang bidang
dan kekar dengan otot-otot menggelembung sehingga nampak jantan dan gagah.
Wajahnya juga tampan dan bersih, alisnya tebal, hidungnya mancung dan mulutnya
memiliki bentuk yang manis, dengan dagu kokoh dan matanya mencorong seperti
bintang. Pakaiannya sederhana bentuknya, namun bersih, dan rambutnya pun
tersisir rapi. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Apalagi pada pagi hari itu,
dia berlatih silat seorang diri di bawah pohon besar itu dengan gerakan yang
perkasa, cepat tangkas dan mengandung tenaga yang amat kuat sehingga daun-daun
pohon itu bergoyang-goyang seperti dilanda angin.
Makin lama, gerakan pemuda itu
semakin cepat dan tiba-tiba, sambil membalikkan tubuhnya, tangannya bergerak
memukul ke arah sebatang pohon sebesar paha orang.
Tangan itu tidak sampai
menyentuh batang pohon, ada satu setengah meter jaraknya, namun terdengar suara
kraaakkk!! dan batang pohon itu pun patah dan tumbang! Mulut pemuda itu kini
tertarik dan menyeringai aneh, dan pada saat itu, nampak berkelebat seekor
burung yang terkejut mendengar robohnya pohon kecil itu. Burung itu terbang
dekat pohon besar dan pemuda itu tiba-tiba saja meloncat ke atas dan tangannya
bergerak ke arah burung. Burung itu tiba-tiba terjatuh seperti sebuah batu dan
disambar oleh tangan pemuda itu yang juga melayang turun.
Sambil membuang bangkai burung
itu, dia menengadah, lalu wajah yang tampan itu menyerigai, dan dia pun tertawa
bergelak seperti kesetanan! Lalu dia berjongkok, memeriksa bangkai burung yang
sudah menjadi hitam seluruh tubuhnya, keracunan. Kembali dia tertawa, akan
tetapi tawa ini aneh karena berhenti tiba-tiba seperti tercekik. Dia lalu
memandang ke sekeliling, seolah-olah takut kulau ada yang melihat atau
mendengarnya, kemudian dia pun meloncat dan menyelinap ke balik semuk belukar
dan tahu-tahu tubuhnya lenyap.
Kalau ada orang yang melihat
dan mencarinya, menyingkap semak belukar, orang itu tentu akan melihat adanya
sebuah sumur yang amat dalam di balik semak belukar itu. Sumur yang tua dan
kalau dilihat dari atas, tidak nampak dasarnya, saking dalam dan gelapnya.
Dapat dibayangkan betapa besar bahayanya kalau orang berani menuruni sumur itu,
dengan tangga atau tali sekalipun, karena dia tidak tahu apa yang berada di
dasar sumur. Mungkin gas beracun, atau ular berbisa.
Orang itu tentu akan semakin
heran dan kagum kalau melihat betapa pemuda tadi memasuki sumur dengan cara
merayap melalui dinding sumur. Gerakannya cepat seperti seekor cicak saja yang
merayap menuruni dinding! Dan kini, pemuda itu sudah berada di ruangan bawah
tanah yang mendapat sinar matahari dari celah-celah batu retak di atas. Pemuda
itu tertawa-tawa seorang diri, menghadapi sebuah dinding yang penuh dengan
coret-coretan huruf dan gambar-gambar yang sebagian sudah terhapus.
!Ha-ha-ha-ha-ha, susiok-kong
(kakek paman guru) Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya itu mencoba untuk
melenyapkan Bu-kek-hoat-keng! Ha-ha-ha, arwahnya tentu sekarang akan cemberut
kalau melihat betapa usahanya itu tidak sempurna, dan bahwa ilmu
Bu-kek-hoat-keng akhirnya dapat dimiliki orang yang paling berhak, yaitu aku,
Ouw Seng Bu, ha-ha-ha!!
Seperti orang sinting pemuda
itu tertawa-tawa dan kini dia menggunakan kedua tangannya menggaruk-garuk ke
permukaan dinding batu. Sungguh hebat bukan main. Gerakan jari-jari tangannya
itu membuat dinding batu rontok bagaikan tepung saja, seolah-olah dinding batu
itu hanya merupakan tanah yang lunak. Sebentar saja, terhapuslah sudah semua
huruf dan gambar yang tercoret di dinding itu.
Siapakah pemuda itu. Seperti
kata-katanya tadi, dia bernama Ouw Seng Bu dan merupakan seorang tokoh muda
dari Thian-li-pang. Belasan tahun yang lalu, ketika dia sendiri masih seorang
anak laki-laki kecil berusia delapan atau sembilan tahun, Thian-li-pang,
perkumpulan orang-orang gagah anti penjajah Mancu itu dipimpin oleh mendiang
Ouw Ban sebagai ketuanya. Ouw Ban mempunyai dua orang putera, yang pertama
adalah Ouw Cun Ki yang diselundupkan ke istana untuk membunuh kaisar Mancu,
akan tetapi tertawan dan dihukum mati. Yang ke dua adalah Ouw Seng Bu yang
ketika peristiwa itu terjadi, masih kecil. Kemudian, terjadi perpecahan di
kalangan para pimpinan Thian-li-pang sehingga Ouw Ban tewas di tangan
guru-gurunya sendiri, yaitu mendiang Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong (baca
kisah Si Bangau Merah).
Kemudian, muncul Yo Han yang
secara kebetulan mewarisi ilmu kepandaian kakek yang buntung kaki tangannya di
dalam sumur rahasia, yaitu mendiang kakek Ciu Lam Hok, sute dari Ban-tok Mo-ko
dan Thian-te Tok-ong yang memiliki ilmu kesaktian hebat. Munculnya Yo Han
membersihkan Thian-li-pang dari pengaruh-pengaruh sesat dan jahat partai-partai
lain seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan kehadiran Yo Han menyerahkan
pimpinan Thian-li-pang, kepada Lauw Kang Hui sebagai ketuanya.
Lauw Kang Hui telah sadar dan
membawa kembali Thian-li-pang ke jalan lurus, sebagai perkumpulan orang gagah
yang menentang penjajah Mancu. Juga dia merasa iba. kepada Ouw Seng Bu, putera
suhengnya dan mengajarkan ilmu silat kepada keponakannya itu.Ouw Seng Bu
berlatih dengan rajin. Di depan paman guru yang kini menjadi gurunya dan di
depan para tokoh Thian-li-pang, dia memperlihatkan sikap sebagai seorang pemuda
yang gagah perkasa dan pendiam. Namun, pemuda ini tidak pernah melupakan pesan
mendiang ayahnya dahulu ketika dia masih kecil bahwa sekali waktu, dia harus
berani menyelidiki dan memasuki sumur di bawah tanah, mencari peninggalan kakek
paman gurunya yang sakti.
Demikianlah, setelah dia
memiliki ilmu kepandaian dan cukup gagah, dalam usia delapan belas tahun, dia
nekat mencari dan menemukan sumur di balik semak belukar itu dan nekat
memasukinya dengan tali yang panjang. Setelah mencari-cari dan
membongkar-bongkar batu besar di dalam gua dan terowongan di bawah tanah,
akhirnya dia menemukan dinding penuh coretan dan gambaran itu yang tadinya
tertutup batu besar. Agaknya kakek Ciu Lam Hok dahulu pernah membuat coretan
dan gambaran di dinding itu, kemudian menghapus sebagian dan menutupi dinding
dengan batu besar. Dia pun tahu bahwa itulah ilmu Bu-kek-hoat-keng yang
merupakan ilmu rahasia kakek buntung itu, maka dengan penuh ketekunan dia mulai
mempelajari ilmu itu secara rahasia. Selama lima tahun dia rajin belajar tanpa
mengetahui bahwa karena ilmu yang aneh itu tidak lengkap, maka dia pun
menyimpang dari jalur yang semestinya.
Tanpa disadarinya, dia telah
melakukan latihan yang salah, bahkan kadang-kadang berlawanan. Berkali-kali dia
jatuh pingsan karena salah pengerahan tenaga sin-kang, akan tetapi akhirnya,
setelah lima tahun belajar dengan tekun dan rahasia, tanpa diketahui siapapun
juga, dia berhasil menguasai ilmu yang aneh dan dahsyat bukan main. Tanpa
disadari, penyelewengan cara latihan yang salah itu juga mendatangkan perubahan
pada dasar wataknya, pusat susunan syarafnya.
Dia memang masih nampak
pendiam dan lembut, jujur dan baik di depan para pimpinan Thian-li-pang, akan
tetapi pada saat-saat tertentu, kalau dia sedang berada seorang diri, terutama
sekali sehabis dia berlatih ilmu silat Bu-kekhoat-keng yang tidak lengkap itu,
dia menjadi seperti kesetanan, seperti sinting, tertawa-tawa sendiri,
kadang-kadang menangis sendiri, dan pandang matanya yang biasanya lembut dan
jujur itu mencorong penuh kecerdikan! Juga latihan yang salah itu membuat dia
berhasil menguasai pukulan yang mengandung hawa beracun yang dapat membuat yang
dipukulnya tewas dengan tubuh menghitam seperti menjadi hangus! Hal ini
diketahuinya ketika beberapa kali dia menguji kecepatannya, membunuh burung atau
binatang lain yang ditemuinya. Sekali pukul, binatang itu akan tewas dengan
tubuh hangus!
Pagi hari itu, dia merasa
telah menamatkan ilmunya, maka dia menghapus semua coretan di dinding itu
dengan jari-jari tangannya yang memiliki kekuatan demikian dahsyatnya sehingga
sekali garuk saja permukaan dinding itu rontok dan semua coretan lenyap.
Setelah merasa puas karena di
situ tidak terdapat apa pun juga yang dapat dipelajari orang lain, Ouw Seng Bu
lalu merayap keluar dari dalam terowongan gua bawah tanah melalui sumur,
menutupkan kembali sumur itu dengan semak belukar, kemudian dia pun berjalan
dengan santai kembali ke markas Thian-li-pang yang berada di dekat puncak Bukit
Naga. Matahari sudah mulai meninggi dan cuaca cerah sekali. Wajah pemuda itu kini
kembali menjadi lembut dan senyumnya ramah gembira, jauh berbeda dengan ketika
dia berlatih silat dan di dalam tanah tadi. Dia kini menjadi seorang pemuda
yang nampak ramah dan murah senyum, pendiam dan lembut menyenangkan!
Ketua Thian-li-pang yang bernama
Lauw Kang Hui ini telah tua sekali, usianya sudah tujuh puluh tiga tahun.
Biarpun dia masih nampak tinggi besar dengan muka merah, gagah dan berwibawa,
namun bagaimanapun juga, usia tua membuat semangatnya banyak menurun. Diam-diam
Lauw Kang Hui sedang melihat-lihat siapa kiranya yang pantas untuk dijadikan
penggantinya. Dia sendiri tidak mempunyai keturunan, dan di antara para
anggauta Thian-li-pang dan murid-muridnya, hanya ada dua orang muridnya yang
agaknya cukup dapat dipercaya.
Yang pertama adalah murid
wanita yang telah berusia empat puluh tahun, berwajah buruk dan berwatak kasar
namun setia kepada Thian-li-pang, bernama Lu Sek. Wanita ini sudah janda dan
tidak mempunyai anak. Suaminya tewas dalam pertempuran membela Thian-li-pang.
Bahkan, menurut penilaian Lauw Kang Hui, di antara para muridnya, Lu Sek ini
yang paling lihai, memiliki tingkat yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi
dibandingkan apa yang dicapai Ouw Seng Bu, yaitu murid ke dua yang dipercayanya
dan dianggap merupakan calon penggantinya. Dia masih bimbang, apakah harus
menunjuk Lu Sek ataukah Ouw Seng Bu untuk menjadi penggantinya, menjadi ketua
Thian-li-pang.
Lu Sek, biarpun wanita,
berwibawa dan penuh semangat. Juga janda itu memiliki hubungan dekat dengan
Lauw Kin, duda yang berusia lima puluh tahun dan tidak mempunyai anak pula.
Lauw Kin masih keponakan Lauw Kang Hui sendiri, putera tunggal adiknya yang
mati muda. Hati ketua itu lebih condong memilih Lu Sek untuk menjadi calon
penggantinya. Ilmu silatnya yang paling tinggi di antara semua murid
Thian-li-pang, apalagi kalau dibantu Lauw Kin yang mungkin menjadi suaminya.
Selain itu, agak tidak enak hatinya kalau mencalonkan Ouw Seng Bu, karena
bagaimanapun juga, Seng Bu adalah putera mendiang suhengnya, Ouw Ban yang
pernah menjadi ketua Thian-li-pang, yang telah menyelewengkan Thian-li-pang ke
jalan sesat.
Lauw-pangcu (Ketua Lauw) telah
sarapan pagi dan duduk di ruangan depan ketika dia melihat Seng Bu melangkah
masuk dari luar. Kebetulan sekali, pikirnya. Dia harus lebih dahulu memberitahu
muridnya itu agar kalau pada suatu hari dia mengambil keputusan, muridnya ini
tidak merasa kecewa. Beberapa kali dalam sikap muridnya itu dia melihat tanda
bahwa Seng Bu mengharapkan kelak menjadi ketua Thian-li-pang, bahkan para tokoh
Thian-li-pang sebagian besar juga menduga bahwa pemuda yang pandai membawa diri
ini pantas menjadi calon penggantinya.
Kalau saja di situ terdapat
Pendekar Tangan Sakti Yo Han, tentu tidak sukar baginya untuk mengambil
keputusan berdasarkan petunjuk pendekar muda yang sakti itu. Akan tetapi, sudah
lima tahun lebih Yo Han yang dianggap menjadi pemimpin besar atau penasihat
Thian-li-pang tidak pernah terdengar beritanya. Dia harus mengambil keputusan
sendiri dan dia harus dapat bersikap bijaksana demi keuThian para tokoh
Thian-li-pang. Dia berteriak memanggil nama muridnya itu.
Seng Bu cepat memasuki ruangan
di mana gurunya duduk seorang diri, dan dia lalu memberi hormat dan mengucapkan
selamat pagi.
Duduklah di sini, Seng Bu,!
kata ketua yang sudah berusia lanjut itu sambil menunjuk ke arah sebuah kursi
di depannya, sebelum muridnya itu berlutut.
Terima kasih, Suhu,! kata Seng
Bu yang merasa heran dan tahu bahwa tentu ada urusan penting maka suhunya
mempersilakannya duduk di kursi, tidak membiarkan dia berlutut seperti biasa.
Dia duduk dan menundukkan muka dengan sikap siap mendengarkan dan mentaati
semua perintah gurunya.
Seng Bu, apakah engkau sudah
sarapan pagi dan dari mana engkau sepagi ini sudah berkeringat?!
Teecu baru saja berlatih
silat, Suhu, nanti setelah mandi teecu akan sarapan di dapur,! jawab Seng Bu
dengan sikap hormat.
Bagus, engkau memang rajin.
Kalau engkau mencontoh suci-mu Lu Sek rajinnya dalam berlatih silat, kurasa
engkau akan mampu mencapai tingkatnya.!
Teecu tidak berani, Suhu.
Tidak mungkin mengejar Lu-suci yang amat lihai.!
Lauw Kang Hui tersenyum.
Muridnya ini selalu bersikap rendah diri dan sopan, selalu menyenangkan hati
orang lain. Seng Bu, apakah dua ilmu simpananku yang terakhir kuajarkan padamu,
sudah dapat kau kuasai dengan baik?!
Suhu maksudkan Tok-jiauw-kang
(Cengkeraman Beracun) dan Kiam-eiang (Tangan Pedang)? Setiap hari teecu sudah
berlatih diri dengan tekun dan mohon petunjuk Suhu.!
Lauw Kang Hui menghela napas
panjang. Aku sudah terlalu tua untuk dapat berlatih dengan kedua ilmu itu
denganmu, Seng Bu. Sebaiknya engkau minta kepada Lu Sek untuk latihan bersama
agar engkau dapat memperoleh banyak kemajuan.!
Baik, Suhu. Teecu (murid) akan
mohon bantuan Lu-suci.!
Aku ingin sekali lagi
mengingatkanmu, Seng Bu. Hanya kepada Lu Sek dan engkau dua orang sajalah aku
mengajarkan dua ilmu simpananku itu. Oleh karena itu, jangan dilupakan bahwa
kedua macam ilmu itu adalah ilmu yang amat berbahaya dan mematikan lawan. Kalau
engkau tidak terancam maut dan terpaksa sekali, jangan engkau menggunakan
ilmu-ilmu itu untuk menyerang lawan. Mengerti?!