Kisah Si Bangau Putih Jilid 6-10

Kho Ping Hoo, Baca Cersil Mandarin Online: Kisah Si Bangau Putih Jilid6-10 Isterinya itu sayang sekali meninggal dunia ketika melahirkan seorang putera. Semenjak diboyong dari istana ke bukit itu, sang puteri memang selalu berduka.
Isterinya itu sayang sekali meninggal dunia ketika melahirkan seorang putera. Semenjak diboyong dari istana ke bukit itu, sang puteri memang selalu berduka. Meski Siangkoan Lohan termasuk seorang pria yang gagah dan tidak buruk, akan tetapi wataknya yang keras, juga kesukaannya mengumpulkan wanita cantik, sudah merongrong hati puteri itu sehingga ketika melahirkan, kesehatannya demikian lemah dan ia pun meninggal dunia ketika melahirkan.

Puteranya merupakan anak tunggal karena Siangkoan Lohan tidak pernah lagi memiliki anak dari wanita lain, sungguh pun sangat banyak wanita yang sudah digaulinya baik secara sah mau pun tidak. Oleh karena hanya mempunyai seorang anak saja, maka sudah tentu dia amat memanjakan anaknya yang diberi nama Siangkoan Liong, sesuai dengan nama perkumpulannya.

Dia pun menggembleng puteranya itu sejak kecil dengan ilmu silat, dan mengundang guru-guru kesusastraan untuk mengajar Siangkoan Liong. Dan anak ini memang cerdik sekali, maka dia dapat menguasai kedua ilmu itu dengan amat baiknya sehingga kini dia menjadi seorang pemuda yang sangat lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga amat pandai membawa diri seperti seorang terpelajar tinggi.

Ketika para tamu yang duduk di ruangan dalam melihat siapa yang duduk di kursi kehormatan, banyak di antara mereka yang terheran-heran dan berbisik-bisik di antara mereka sendiri. Ada beberapa orang duduk di kursi kehormatan, semeja dengan ketua Tiat-liong-pang itu, mengelilingi sebuah meja bundar yang luas.

Selama ini mereka mengenal Tiat-liong-pang sebagai perkumpulan yang dekat dengan pemerintah Kerajaan Ceng. Walau pun sepak terjang ketua dan para anggotanya keras dan sering menekan terhadap rakyat jelata, namun mereka menggolongkan diri mereka sebagai pahlawan, sebagai pendekar dan sama sekali tidak mau mencampuri atau pun mendekati golongan hitam atau sesat! Dan kini apa yang mereka lihat?

Ketua Tiat-liong-pang duduk menjamu tokoh-tokoh hitam yang terkenal sebagai datuk-datuk iblis! Di antara para tamu yang duduk semeja dengan Siangkoan Lohan terdapat seorang wanita berusia kurang lebih setengah abad akan tetapi masih nampak cantik, tinggi ramping dengan pakaian mewah dan riasan mukanya tebal menunjukkan bahwa dia seorang pesolek. Wanita ini bukan lain adalah iblis betina Sin-kiam Mo-li yang sudah banyak dikenal oleh orang-orang kang-ouw sebagai tokoh besar yang amat kejam dan lihai.

Selain nenek ini, terdapat pula dua orang kakek tua renta yang membuat para tamu yang duduk di ruangan dalam itu terkejut bukan main karena mereka melihat tanda gambar pat-kwa (segi delapan) di dada seorang di antara mereka, dan gambar bunga teratai di dada yang lain. Jelas mereka berdua adalah tokoh-tokoh dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dua perkumpulan pemberontak yang amat terkenal karena penyelewengan dan kejahatan mereka sebagai perkumpulan iblis.

Dan memang benar. Kakek yang rambut dan jenggotnya telah putih semua, tinggi kurus berwibawa, membawa tongkat setinggi badan itu adalah Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai. Sedangkan kakek kedua yang kurus kering bermuka merah darah, yang memegang tongkat naga hitam dan matanya seperti mata kucing, adalah Thian Kek Sengjin, tokoh besar perkumpulan Pek-lian-pai.

Selain ketiga orang datuk sesat ini, di tempat kehormatan itu hadir pula tiga orang lain yang amat menarik perhatian. Yang seorang adalah Toat-beng-kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa) Giam San Ek yang usianya sekitar empat puluh lima tahun.

Dia seorang pendekar selatan, ahli bermain pedang dan kabarnya, setiap kali jagoan ini mencabut pedangnya, pedang itu tak akan kembali ke sarungnya sebelum minum darah lawan! Dia ditakuti sekali, dan menjadi sahabat Siangkoan Lohan sejak lama. Tubuhnya sedang dan wajahnya masih tampan, apa lagi karena dia pesolek, pakaiannya indah dan sikapnya agak ceriwis.

Orang ke dua nampak gagah tinggi besar, mukanya hitam matanya besar mengingatkan orang akan tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi, dan hanya beberapa orang saja mengenal tokoh ini. Dia adalah Ciok Kim Bouw, berusia lima puluh tahun dan dia menjadi pangcu (ketua) dari Cin-sa-pang, sebuah perkumpulan di Secuan yang terkenal kuat pula. Ciok Kim Bouw tidak begitu akrab dengan Siangkoan Lohan, tetapi mungkin karena mengingat akan kebesaran nama perkumpulannya, maka Siangkoan Lohan lalu mengundangnya.

Orang ke tiga jelas merupakan seorang Mongol, nampak berwibawa dengan pakaian sukunya. Ia pun bukan orang sembarangan karena dia adalah Agakai, kepala suku yang cukup besar dan berpengaruh di Mongol. Agakai ini berusia lima puluh tahun lebih. Dia adalah putera Tailucin, tokoh Mongol yang amat terkenal dan pernah menggemparkan, yang terbunuh oleh keluarga Pulau Es.

Agakai ini mengaku bahwa nenek moyangnya masih keturunan Jenghis Khan! Dia pun menjadi tamu kehormatan, bukan karena kepandaiannya yang tidak seberapa hebat jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang semeja dengannya, tapi karena kedudukannya sebagai kepala suku yang berpengaruh di utara.

Pesta itu meriah karena hidangan yang serba lezat, arak wangi yang berlimpah-limpah dan terutama sekali karena pesta itu diramaikan oleh serombongan gadis cantik yang memainkan musik, bernyanyi dan menari. Mereka bukan rombongan penyanyi dari luar, melainkan para selir dari Siangkoan Lohan sendiri yang memang terlatih memainkan alat musik, bernyanyi, dan menari.

Semua orang menjadi kagum mendengar bahwa gadis-gadis yang masih muda-muda dan cantik-cantik, pandai bermain musik, menyanyi dan menari itu adalah selir-selir dari tuan rumah! Diam-diam di antara para tamu muda banyak yang timbul perasaan iri hati! Jika orang sedang berbintang terang, pikir mereka, semua kesenangan yang diinginkan tercapai! Kepandaian tinggi, kedudukan mulia, harta benda, kehormatan, berkecukupan lahir batin dan dikelilingi wanita-wanita muda yang cantik-cantik!

Demikianlah kebiasaan kita, suka membayangkan keadaan orang lain yang dianggap serba lebih dari pada keadaan kita. Kita selalu membayangkan hal-hal yang belum kita miliki, membayangkan hal-hal yang kita anggap serba lebih indah, lebih menyenangkan, tanpa kita sadari bahwa semua bayangan keinginan ini sungguh jauh bedanya dengan kenyataannya. Seperti bumi dengan langit bedanya.

Karena kita belum memilikinya, maka yang kita bayangkan itu hanyalah segi indah dan senangnya saja. Padahal, tidak ada apa pun di dunia ini yang sifatnya hanya sepihak, hanya indah dan menyenangkan saja. Kalau sesuatu itu menyenangkan, maka sesuatu itu pula pada suatu saat akan berbalik menyusahkan, karena senang-susah merupakan dua hal yang kembar dan berpasangan, tidak terpisahkan pada akhirnya, walau pun nampaknya tidak bersamaan.

Karena itu, orang yang tidak berkedudukan membayangkan betapa senangnya orang yang berkedudukan, terhormat, mulia dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang sudah berkedudukan, di samping kesenangannya yang makin lama makin terasa menipis, juga mengalami segi-segi buruknya akibat dari kedudukannya itu, misalnya pertanggungan jawabnya, iri hati dari orang lain, mereka yang ingin merebut kedudukannya, resiko-resikonya, kebosanannya dan sebagainya lagi.

Demikian pula bagi yang tak memiliki harta, memandang dan membayangkan keadaan orang berharta tentu saja yang dibayangkan hanya segi senangnya saja. Banyak uang, apa pun yang dikehendaki tercapai! Padahal, tidak semua hal yang dikehendaki dapat dicapai dengan uang! Ketenteraman hati, kedamaian, cinta kasih, semua itu tak dapat dicapai dengan uang segunung sekali pun.

Bagi yang sudah banyak uang, maka kenikmatan karena banyak uang sudah tak terasa, atau kalau pun terasa, makin lama semakin menipis. Sebaliknya, gangguan-gangguan yang timbul karena banyak uang, terasa setiap hari! Tiada bedanya dengan memiliki banyak selir cantik, dan lain-lain hal yang dianggap kesenangan luar biasa bagi mereka yang belum mempunyainya.

Karena itu, seorang bijaksana akan waspada, tidak akan silau oleh semua gemerlap itu, sadar bahwa yang berkilauan itu belum tentu emas, dan kesenangan sama sekali bukanlah kebahagiaan. Kesenangan hanya sedalam kulit, bagaikan awan tipis berarak di angkasa, bagaikan angin semilir lembut dan semua itu hanya akan lewat sebentar saja! Bahkan akan nampak betapa di balik kesenangan itu pasti bersembunyi saudara kembarnya, yaitu kesusahan!

Maka, seorang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan, tidak akan menginginkan hal-hal yang belum dimilikinya. Akan tetapi bukan berarti menolak kesenangan yang ada! Kesenangan hidup merupakan satu di antara anugerah yang boleh dinikmati oleh setiap orang karena untuk menikmatinya kita sudah diberi alat yang amat sempurna.

Dari seluruh tubuh kita tersedia sarana yang sempurna untuk menikmati kesenangan, yaitu kesenangan yang ada pada kita. Sekali kita mengejar kesenangan, maka kita akan diperbudak oleh nafsu sehingga terjadi pelanggaran-pelanggaran dan penyelewengan-penyelewengan
.

Di antara mereka yang duduk semeja dengan tuan rumah, terdapat seorang yang tidak kelihatan segembira yang lain. Dia nampak acuh saja, hanya lebih sering minum arak dari pada makan hidangan dan nonton pertunjukan hiburan. Bahkan alisnya sering kali berkerut dan sepasang matanya berkilat penuh penasaran kalau memandang ke arah Siangkoan Lohan.

Orang ini adalah Ciok Kim Bouw, atau Cin-sa-pangcu. Hatinya kesal bukan main pada saat dia melihat Sin-kiam Mo-li berada di antara orang-orang yang duduk di panggung kehormatan bersama dia dan tuan rumah beserta yang lain-lain. Dia mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li! Seorang datuk sesat, seorang iblis betina yang pernah secara kejam membunuhi beberapa orang murid Cin-sa-pang setelah terjadi bentrokan antara mereka. Hal itu terjadi kurang lebih sembilan tahun yang lalu.

Ketika itu, Cin-sa-pang diketuai oleh suheng-nya yang bernama Louw Pa. Dia sendiri tidak mencampuri pekerjaan suheng-nya yang memimpin Cin-sa-pang, karena dia tidak suka akan keadaan suheng-nya yang pernah menjadi bajak laut. Ia lebih suka berkelana seorang diri dan memperdalam ilmu silatnya.

Akan tetapi, terjadilah peristiwa itu. Suheng-nya, Louw Pa, memiliki seorang putera yang bernama Louw Heng Siok. Pemuda ini menarik perhatian iblis betina Sin-kiam Mo-li yang menangkapnya dan mempermainkannya, kemudian membunuhnya. Mendengar ini, Louw Pa memimpin anak buahnya, lebih dari tiga puluh orang banyaknya, menyerbu tempat kediaman Sin-kiam Mo-li, di kaki Pegunungan Heng-tuan-san di tepian Sungai Cin-sa.

Tempat itu berbahaya sekali dan akhirnya, Louw Pa dan seluruh anak buahnya tewas dibantai oleh Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Hanya seorang saja yang sempat lolos karena belum memasuki daerah itu sampai dalam, dan dialah yang menceritakan keadaan Louw Pa dan anak buahnya itu.

Melihat keadaan Cin-sa-pang sesudah suheng-nya tewas, Ciok Kim Bouw lalu turun tangan, membangun kembali Cin-sa-pang, memperkuatnya, menerima anggota baru dan mengubah sama sekali cara hidup Cin-sa-pang sehingga perkumpulan itu menjadi perkumpulan orang gagah yang cukup terkenal. Bukan lagi perkumpulan para bajak!

Dan dia pun tidak mendendam kepada Sin-kiam Mo-li karena selain iblis betina itu lihai sekali, juga dia menganggap bahwa kematian suheng-nya adalah karena kesalahannya sendiri. Akan tetapi, kini dia didudukkan semeja, makan bersama dengan iblis betina itu! Tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang. Tak disangkanya bahwa Siangkoan Lohan yang dianggap sebagai seorang tokoh yang bersih, kini bergaul dengan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li dan para tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai!

Sementara itu, pada bagian mereka yang duduk di ruangan dalam, di bawah panggung kehormatan, banyak juga yang merasa penasaran. Apa lagi melihat sikap jagoan yang bernama Giam San Ek, yang genit, banyak di antara mereka yang merasa muak. Giam San Ek agaknya sudah setengah mabuk.

Tanpa malu-malu setiap kali ada seorang selir habis menari, dia bangkit dari tempat duduknya, menghampiri penari itu dan memberi hadiah beberapa potong perak dengan gaya yang royal! Siangkoan Lohan tersenyum saja melihat hal ini. Toat-beng-kiam-ong Giam San Ek adalah seorang sahabatnya, dan dia tahu benar akan kelihaian pendekar pedang itu, dan dia pun maklum bahwa sahabat ini adalah seorang laki-laki yang mata keranjang dan paling suka wanita muda yang cantik, suatu kesukaan yang menjadi kesukaannya pula.

“Ha-ha-ha-ha, Toat-beng-kiam-ong, kalau engkau suka, boleh engkau memilih satu dua orang di antara mereka untuk menemanimu malam ini, ha-ha-ha!” Ucapan Siangkoan Lohan itu pun dikeluarkan tanpa sungkan-sungkan, terdengar oleh banyak orang yang merasa semakin muak.

Tentu saja banyak pula di antara para tamu yang menjadi gembira dan menyambut ucapan itu dengan sorakan. Akan tetapi, orang-orang yang menghargai kegagahan dan kesopanan, tentu saja menjadi merah mukanya mendengar kelakar yang saru (tabu) itu.

Salah satu yang bermuka tebal adalah Si Raja Pedang Pencabut Nyawa sendiri. Saat mendengar penawaran tuan rumah, dia tertawa bergelak dan dengan sikap genitnya dia melirik ke arah Sin-kiam Mo-li. Sejak tadi memang pendekar pedang yang pesolek ini bermain mata dengan Sin-kiam Mo-li.

Meski pun datuk wanita ini sudah berusia lanjut, hampir setengah abad, namun harus diakui bahwa ia masih nampak cantik jelita dan lemah lembut. Tubuhnya tinggi ramping dan masih padat berisi dan montok, juga pandang mata dan senyumnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang sudah matang!

Sifat-sifat ini jauh lebih menarik bagi Giam San Ek dari pada para selir tuan rumah yang masih muda-muda dan dianggapnya tentu belum berpengalaman seperti Sin-kiam Mo-li. Juga kabar yang pernah didengarnya tentang kelihaian Sin-kiam Mo-li, terutama dalam permainan pedang sehingga wanita itu dijuluki Pedang Sakti, amat menarik hatinya dan membuat dia makin bergairah. Maklumlah bahwa dia sendiri juga seorang jago pedang yang hebat.

“Ha-ha-ha-ha, Lohan, banyak terima kasih atas kebaikanmu. Akan tetapi, para selirmu begini muda-muda dan cantik-cantik, mana aku dapat bertahan melayani mereka? Dan pula, semenjak semula hatiku telah terpikat oleh kehadiran pendekar wanita yang amat hebat, baik dalam hal ilmu pedang mau pun kecantikan dan nama besarnya, sehingga mataku tidak dapat melihat lain wanita lagi!” Berkata demikian, dia memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan senyum memikat.

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap sahabatnya yang dia tahu memang seorang yang mata keranjang, Siangkoan Lohan juga tertawa lagi. Dia mengenal pula watak sahabatnya itu yang polos, maka dia pun tidak mau berlaku sungkan lagi.

“Ha-ha-ha-ha, aku tidak heran, Kiam–ong, kalau kalian saling tertarik karena memang keduanya merupakan ahli pedang yang sukar ditemukan tandingnya. Aihhh, Sin-kiam Mo-li, di antara sahabat sendiri tidak perlu kita bersungkan-sungkan. Bagaimana kalau engkau dan Kiam-ong saling memperlihatkan ilmu pedang masing-masing dalam suatu latihan bersama untuk meramaikan suasana pesta sederhana ini? Kuharap kalian sudi memenuhi permintaanku, hitung-hitung menyumbang untuk menyenangkan hatiku agar hidupku dapat lebih panjang.”

Semua orang merasa tegang, baik mereka yang ikut bergembira mau pun yang tidak senang mendengar kelakar mereka berdua yang tidak sopan tadi. Mereka semua sudah mendengar akan nama Sin-kiam Mo-li sebagai seorang wanita iblis yang amat lihai, juga ilmu pedangnya amat hebat, demikian pula nama Toat-beng-kiam-ong Giam San Ek bukan nama yang tidak dikenal orang. Kalau kedua tokoh pedang ini memperlihatkan ilmu pedang mereka tentu akan merupakan tontonan yang amat menarik.

Sin-kiam Mo-li yang merasa tertarik kepada si Raja Pedang yang memang tampan dan gagah, dan yang sejak tadi melempar senyum dan kerling mata memikat kepadanya, kini tersenyum manis sekali. “Aihh, Lohan, mana mungkin aku berani memperlihatkan kebodohanku di depan Raja Pedang? Jangan-jangan nyawaku akan tercabut dalam beberapa jurus saja!” Tentu saja wanita ini menyindir karena julukan Giam San Ek adalah Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa)!

Giam San Ek cepat bangkit berdiri dan menjura ke arah Sin-kiam Mo-li sambil berkata, “Aihh, Sin-kiam Sian-li harap jangan merendahkan diri sedemikian rupa, membuat aku merasa malu saja. Sudah lama mendengar nama besar Sian-li, sungguh besar sekali kebahagiaanku hari ini dapat bertemu dan jika Sian-li sudi, aku akan merasa berterima kasih sekali menerima pelajaran cara memainkan pedang.”

Tentu saja hati wanita itu menjadi girang bukan main. Orang ini sangat pandai merayu dan mengambil hati, pikirnya. Julukannya adalah Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), akan tetapi pria ini mengubah sebutan Mo-li menjadi Sian-li yang berarti dari julukan Iblis Betina berubah menjadi Bidadari!

“Kata orang, belajar tak mengenal batas, maka biarlah aku menambah pengetahuanku tentang ilmu pedang dari Kiam-ong,” katanya.

Dia pun bangkit lalu meninggalkan kursinya, menuju ke tengah panggung yang cukup luas, dan bersiap menghadapi lawan untuk memperlihatkan kehebatan ilmu pedangnya.

Giam San Ek merasa gembira sekali. Dia pun meninggalkan kursinya, lalu berkata kepada Siangkoan Lohan. “Lohan, semenjak dulu orang mengetahui bahwa sekali aku mencabut pedangku, maka pedang itu takkan kembali ke sarungnya sebelum berubah warna menjadi merah. Akan tetapi, tentu saja terhadap Sin-kiam Sian-li aku tidak mau mempergunakan pedangku. Sungguh terlalu sayang kalau sampai ada secuwil kulit dagingnya terluka pedang, segumpal rambutnya sampai terbabat putus. Sungguh pun aku akan merasa bangga kalau tewas di ujung pedang seorang wanita perkasa seperti dirinya!” Kembali kata-katanya amat manis terdengar oleh Sin-kiam Mo-li, penuh pujian.

Siangkoan Lohan tertawa dan memberi tanda kepada anak buahnya untuk memberikan sebatang pedang biasa kepada Raja Pedang itu. “Bagaimana dengan engkau, Mo-li? Apakah engkau pun tidak tega terhadap Kiam-ong dan ingin mempergunakan pedang pinjaman yang tidak berbahaya?”

Sin-kiam Mo-li tersenyum dan ia pun mencabut pedangnya dengan tangan kanan, dan kebutannya dengan tangan kiri. “Orang bilang bahwa pedang tidak bermata, akan tetapi aku yakin bahwa pedang dan kebutanku bermata sehingga tidak ada bahayanya aku akan kesalahan tangan mencelakai Kiam-ong, kecuali kalau dia menghendaki hal itu terjadi.”

Dalam ucapan Sin-kiam Mo-li ini pun terkandung sindiran bahwa apa yang akan terjadi akibat dari adu kepandaian itu tentu saja tergantung dari Toat-beng Kiam-ong sendiri. Pendeknya, dia siap siaga untuk mengimbangi sikap orang itu. Mau bersahabat dan hanya main-main, boleh, jika hendak bersungguh-sungguh dan bertanding mati-matian, ia pun tidak gentar!

Giam San Ek memandang kagum. Bukan main wanita ini, pikirnya. Sudah banyak dia menggauli wanita sepanjang hidupnya, akan tetapi mereka itu selalu wanita muda yang cantik, dan belum pernah dia bersahabat akrab dengan seorang wanita gagah perkasa seperti ini, maka gairahnya semakin berkobar.

“Sin-kiam Sian-li, mari kita main-main sebentar!” teriaknya gembira dan dia pun berseru untuk memberi tanda bahwa dia mulai dengan serangannya.

Dan memang hebat serangannya itu. Agaknya untuk membuktikan bahwa julukannya sebagai Raja Pedang tidaklah kosong belaka, begitu menyerang, pedangnya berkelebat dan lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan bunyi berdengung ketika menyambar ke arah Sin-kiam Mo-li.

Semua orang menahan napas dengan kagum. Dari gerakan pertama ini saja sudah bisa dilihat bahwa Giam San Ek memang seorang ahli pedang yang hebat.

Namun, sambil tersenyum manis Sin-kiam Mo-li mengelebatkan pedangnya menangkis dibarengi kebutannya yang menyambar ke depan, ke arah pelipis kanan Raja Pedang. Gerakannya lembut, akan tetapi dahsyat mematikan dan serangan balasan itu dilakukan ketika pedangnya menangkis pedang lawan, sehingga merupakan serangan balasan yang langsung!

“Bagus…!”

Kiam-ong memuji sambil meloncat ke belakang. Dia menghindarkan kebutan lawan dan menarik kembali pedangnya yang lantas diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dari desakan lawan. Perkiraannya benar. Begitu melihat lawannya mundur, Mo-li mendesak dengan serangan lanjutan, ujung kebutan menotok jalan darah di pundak kanan lawan sedangkan pedangnya membabat pinggang.

“Tranggg...!”

Bunga api berpijar ketika dua batang pedang saling bertemu dan dengan gerakan indah Kiam-ong mengelak dari totokan ujung kebutan. Pedangnya yang barusan menangkis, sengaja dipentalkan untuk membalas dengan tikaman dari bawah menyerong, menuju ke lambung lawan.

Mo-li mengelak cepat dan balas menyerang, namun sekali ini, Kiam-ong mengeluarkan kelihaiannya. Pedang itu berputar cepat membentuk gulungan sinar yang menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga serangan Mo-li kembali tertangkis. Bahkan sebagai balasan, ada sinar pedang mencuat ke arah pangkal kebutan, dengan maksud untuk membabat putus bulu kebutan itu.

“Hemmm, bagus!” Sin-kiam Mo-li memuji dengan kagum karena sungguh indah gerakan pedang lawan.

Pantas orang ini dijuluki Raja Pedang karena memang gerakan pedangnya amat cepat, kuat dan indah sekali. Dari gerakan dasarnya, dia dapat menduga bahwa agaknya si Raja Pedang ini memiliki dasar ilmu silat pedang dari Bu-tong-pai. Tetapi tentu sudah dibaur dengan ilmu-ilmu pedang lain karena gerakan-gerakannya mengandung gerakan ilmu pedang yang diperkuat tendangan dari daerah utara, juga perputaran badan sambil memutar pedang seperti ilmu pedang dari Korea.

Betapa pun juga, dia harus mengakui bahwa lawannya memang lihai sekali bermain pedang. Lihai dan memiliki tenaga yang dahsyat, juga kecepatan yang mengagumkan. Meski pun mereka hanya main-main Mo-li harus mengakui bahwa andai kata ia hanya mengandalkan pedangnya, tanpa dibantu senjata kebutannya yang dalam banyak hal bahkan lebih lihai dari pada pedangnya, agaknya akan sukar sekali baginya untuk dapat memenangkan suatu pertandingan ilmu pedang melawan Raja Pedang ini.

Makin seru pertandingan itu, makin kagumlah para tamu karena baru sekarang mereka menyaksikan pertandingan ilmu pedang yang sedemikian hebatnya. Siangkoan Lohan juga diam-diam merasa kagum. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang berpengalaman, dia pun tahu bahwa gulungan sinar pedang kedua orang ahli itu amatlah berbahaya, baru sinarnya saja sudah cukup untuk dapat membunuh lawan!

Untuk membuktikan dugaannya, juga untuk menambah kegembiraan dan kekaguman mereka yang menonton, tuan rumah ini mengambil delapan batang sumpit dari atas meja, kemudian satu demi satu dia melontarkan sumpit-sumpit itu ke arah dua orang yang sedang bertanding ilmu silat pedang. Dan sumpit-sumpit itu begitu tersentuh sinar pedang, tanpa menimbulkan suara, berjatuhan ke atas lantai dalam keadaan terpotong-potong, ada yang menjadi empat, tiga atau dua, seperti lilin-lilin lunak terpotong pisau tajam saja!

Melihat ini, para tamu semakin kagum dan terkejut, juga ngeri. Pantas dikabarkan bahwa setiap kali mencabut pedangnya, pedang itu tentu kembali ke sarungnya dalam keadaan berlepotan darah, kiranya ilmu pedang dari Kiam-ong memang hebat. Akan tetapi, ternyata Sin-kiam Mo-li tidak kalah hebatnya, nampak betapa wanita ini mampu menandingi kehebatan ilmu pedang Toat-beng Kiam-ong.

Setelah lewat kurang lebih lima puluh jurus, tiba-tiba dari dua gulungan sinar pedang itu nampak bunga api berpijar dibarengi suara benturan pedang yang amat nyaring, disusul tubuh Kiam-ong meloncat keluar dari arena pertempuran. Pedang yang dipegangnya, pedang pinjaman dari murid Tiat-liong-pang tadi, ternyata telah buntung ujungnya! Dia tersenyum dan memberi hormat kepada Sin-kiam Mo-li.

“Sin-kiam Sian-li sungguh lihai bukan main! Aku mengaku kalah dalam pertandingan adu pedang. Akan tetapi dalam hal pertandingan mengadu kekuatan di bidang lain, aku yakin akan mampu mengalahkanmu, Sian-li!” Ucapan ini bagi mereka yang sudah biasa bercakap-cakap dengan kata-kata yang tak senonoh dan kata sandi yang mengandung makna dalam, memancing senyum mereka.

Tentu saja Sin-kiam Mo-li juga maklum apa yang dimaksudkan oleh Raja Pedang itu. Ia pun kagum akan kelihaian orang itu yang tadi sudah banyak mengalah, maka sambil tersenyum manis dan melempar kerling tajam penuh tantangan, ia pun menjawab,

“Di dalam bidang apa pun, aku siap menandingimu, Kiam-ong!” Jawaban ini membuat mulut-mulut yang sudah tersenyum kini menjadi semakin lebar dan Siangkoan Lohan mengeluarkan suara ketawa bergelak.

“Ha-ha-ha, sungguh merupakan pertunjukan ilmu pedang yang sangat hebat! Terima kasih, Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong, kalian berdua memang serasi sekali untuk menjadi pasangan dalam hal apa pun, ha-ha-ha!”

Dua orang yang tadi bertanding pedang itu hanya tersenyum mendengar ucapan ini dan kini, seperti sudah mereka sepakati bersama, keduanya lalu mengatur duduk mereka sehingga saling berdampingan menghadapi meja makan, saling menuangkan arak dan bercakap-cakap secara mesra dan akrab tanpa mempedulikan orang lain!

Sementara itu, ketua Cin-sa-pang yang semenjak pertama kali melihat kehadiran datuk-datuk sesat dalam pesta itu sudah merasa tidak senang dan tidak puas, kini tak dapat lagi menahan kemarahannya. Kini jelas sudah baginya betapa tuan rumah, Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang telah berbalik muka, mengikat persahabatan dengan tokoh-tokoh sesat dan kaum pemberontak. Kalau tadi dia masih ragu-ragu dan mengira bahwa Tiat-liong-pangcu itu hanya menganggap mereka semua sebagai tamu-tamu biasa saja, kini dia merasa yakin bahwa ada sesuatu di antara mereka, semacam persekutuan dan tentu Siangkoan Lohan memiliki hubungan yang mendalam sekali dengan orang-orang yang amat mencurigainya itu.

Tiada seorang pun pendekar gagah di mana pun juga yang akan sudi bergaul dengan orang-orang macam Sim-kiam Mo-li, apa lagi dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw! Mereka adalah orang-orang yang berkedok agama dan perkumpulan, berpakaian pejuang, untuk menyembunyikan kejahatan mereka. Mereka menyebarkan agama sesat, mengumpulkan kekayaan secara kotor, suka mempermainkan wanita dan bersekongkol dengan para pembesar korup dan penindas rakyat.

Dan sekarang ketua Tiat-liong-pang bergaul dengan orang-orang seperti itu! Apa lagi melihat sikap yang diperlihatkan Siangkoan Lohan terhadap Sin-kiam Mo-li dan Giam San Ek tadi, sungguh membuat hati Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang menjadi panas sekali. Dia sudah banyak minum arak dan hawa minuman keras ini pun menambah berkobarnya api kemarahan dalam hatinya.

“Brakkk...!”

Dia menggebrak meja, tentu saja mengejutkan semua orang yang duduk di panggung kehormatan itu dan semua mata kini ditujukan kepada Ciok Kim Bouw. Laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang matanya lebar sehingga mirip dengan tokoh Sam-kok yang bernama Thio Hwi itu sekarang bangkit berdiri dan dia kelihatan gagah sekali. Mukanya berubah menjadi semakin hitam gelap karena warna merah yang menjalar di mukanya akibat kebanyakan minum arak. Dia sama sekali tidak mabuk walau pun telah banyak minum arak, namun hawa panas arak itu membuat hatinya yang sudah marah menjadi semakin bernyala besar.

Sejenak dia memandang kepada semua tamu yang hadir semeja dengannya di tempat kehormatan itu, kemudian dia menatap tajam kepada Siangkoan Lohan yang juga telah bangkit berdiri mengerutkan alisnya melihat sikap tamunya ini. Siangkoan Lohan tidak pernah mempunyai hubungan akrab dengan ketua Cin-sa-pang, dan mengundangnya karena nama Cin-sa-pangcu ini memang terkenal sekali.

“Adakah sesuatu yang sudah tidak menyenangkan hatimu, Ciok-pangcu, maka engkau menggebrak meja?” tanya Siangkoan Lohan sambil memicingkan mata menatap wajah tamunya itu penuh selidik.

“Siangkoan, Pangcu, seorang gagah tidak akan menyimpan penasaran di dalam hatinya dan sebaiknya kalau penasaran itu dikeluarkan saja dengan terus terang! Karena itulah, kalau pernyataanku ini akan menyakiti hati dan menyinggung, sebelumnya harap dapat dimaafkan.”

Suara ketua Cin-sa-pang ini lantang sekali sehingga terdengar oleh semua tamu, baik yang berada di ruangan dalam bahkan terdengar pula oleh mereka yang duduk di luar. Mendengar ucapan yang lantang ini, semua tamu menghentikan percakapan mereka sendiri. Suasana menjadi hening karena semua orang mendengarkan penuh perhatian.

Siangkoan Lohan tertawa, “Ha-ha-ha, memang seharusnya demikian Ciok Pangcu. Nah, keluarkanlah isi hatimu!”

“Kami semua sudah mendengar akan riwayat Tiat-liong-pang, mengenal perkumpulan besar ini sebagai perkumpulan orang-orang gagah, dan diakui pula oleh pemerintah, bahkan keluarga pimpinannya juga masih ada hubungan dekat dengan keluarga kaisar! Karena itu, pada waktu menerima undangan, kami bergegas datang berkunjung untuk memberi hormat karena memang di dalam hati kami terdapat rasa hormat kepada pimpinan Tiat-liong-pang yang gagah perkasa dan sudah banyak jasanya terhadap pemerintah mau pun terhadap rakyat dengan pembersihan yang dilakukan terhadap para penjahat. Akan tetapi, apa yang kami temukan di sini sungguh jauh dari pada dugaan kami semula! Di sini kami tidak melihat adanya wakil pemerintah, juga tidak melihat partai-partai persilatan besar yang dipimpin para pendekar. Sebaliknya kami melihat banyak orang yang tak sepatutnya hadir di sini, seperti orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, dan terutama sekali orang seperti Sin-kiam Mo-li. Siapakah yang tidak tahu bahwa dia adalah seorang datuk sesat, seorang wanita iblis yang tidak pernah mengharamkan segala macam perbuatan jahat? Siangkoan Lohan, pertemuan macam apa yang kini kau adakan? Pertemuan di antara para penjahat dan pemberontak? Kalau begitu, sungguh amat mengherankan sekali!”

“Keparat bermulut lantang!” Tiba-tiba terdengar suara Sin-kiam Mo-li membentak.

Tubuhnya sudah melayang ke arah ketua Cin-sa-pang. Bagaikan seekor burung garuda saja, iblis betina itu menyerang dengan loncatan melalui atas meja perjamuan mereka karena Ciok Kim Bouw duduk di seberang. Melihat serangan dengan cengkeraman dua tangan ke arah kepala dan pundaknya itu, ketua Cin-sa-pang maklum akan datangnya bahaya maut, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga untuk menangkis dengan kedua tangannya.

“Bresss...!”

Dua pasang lengan saling bertemu dan akibatnya, Ciok Kim Bouw hampir terpelanting, akan tetapi tubuh Sin-kiam Mo-li juga terdorong ke samping di mana wanita itu dapat berjungkir balik dengan indahnya.

Keduanya telah meraba gagang senjata masing-masing saat Siangkoan Lohan berseru keras, “Kalian tidak boleh membikin ribut di sini!”

Bentakan ini berwibawa sekali dan baik Sin-kiam Mo-li mau pun Ciok Kim Bouw tidak berani bergerak melakukan serangan. Bahkan sambil tersenyum mengejek Sin-kiam Mo-li melangkah kembali ke kursinya di dekat Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Akan tetapi Ciok Kim Bouw tetap berdiri dan kini dia saling pandang dengan tuan rumah.

Wajah Siangkoan Lohan yang biasanya memang merah itu kini menjadi semakin merah dan matanya mencorong tajam. Ada api kemarahan terpancar di dalamnya. Kemudian dia melirik ke arah para tamu yang duduk di ruangan dalam. Alisnya berkerut ketika dia melihat kurang lebih dua puluh orang tamu sudah bangkit berdiri dan sikap mereka seolah-olah mereka itu mendukung pernyataan ketua Cin-sa-pang dan mereka semua itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan dan keraguan.

Suaranya terdengar tegas ketika dia bicara, bukan ditujukan kepada Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang, akan tetapi juga kepada semua tamu, terutama mereka yang berdiri dan nampaknya berpihak kepada pernyataan Ciok Kim Bouw tadi.

“Ciok-pangcu, semua tamu yang kuundang adalah para sahabat dari semua golongan! Mereka yang menjadi tamuku saat ini maklum belaka bahwa mereka datang untuk turut merayakan hari ulang tahunku yang ke enam puluh. Pertemuan ini adalah murni pesta perayaan ulang tahun, bukan pertemuan yang membicarakan urusan politik. Siapa yang kuundang itu merupakan hakku dan agaknya tidak perlu aku minta nasehat darimu. Kalau engkau merasa tidak suka dengan pesta ini, engkau boleh pergi dan aku tidak akan menahanmu! Siapa pun di antara para tamu yang tidak suka akan keadaan di sini, boleh saja pergi!” Kalimat terakhir ini jelas ditujukan kepada para tamu yang masih berdiri.

Terdengar suara ketawa dan ternyata yang tertawa itu adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Jagoan ini merasa mendongkol bukan main melihat Sin-kiam Mo-li yang dianggapnya sebagai calon kekasih barunya, tadi sudah dihina oleh orang, maka kini dia hendak melampiaskan rasa dongkolnya.

“Ha-ha-ha, sesudah kekenyangan makan dan minum, sengaja mencari alasan untuk mencela dan pergi. Ha-ha-ha, sungguh tidak tahu malu!”

Mendengar ucapan ini dan melihat betapa Siangkoan Lohan ikut pula mentertawakan dirinya, Ciok Kim Bouw membuka mulut dan memasukkan jari telunjuk kanan ke dalam tenggorokannya. Segera Cin-sa-pangcu muntah-muntah dan keluarlah semua makanan dan minuman yang tadi memasuki perutnya!

“Siangkoan-pangcu, lihat semua yang kumakan dan kuminum sudah kukembalikan! Kini engkau dengarlah baik-baik. Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai pernah membunuh tiga puluh orang lebih murid-murid Cin-sa-pang! Aku tidak mendendam untuk itu karena memang pihak Cin-sa-pang ketika itu ada pula yang bersalah. Akan tetapi, melihat betapa kini ia dan kawan-kawannya duduk bersamaku di sini, sungguh aku merasa terhina sekali. Sekarang aku tantang Sin-kiam Mo-li atau orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai!”

“Orang she Ciok!” Siangkoan Lohan membentak. “Engkau ini sungguh tidak tahu diri. Engkau adalah tamu, mengerti? Dan aku tuan rumah! Aku larang engkau membikin rusuh di sini dan menantang para tamuku!”

“Kalau begitu, aku menantang engkau. Siangkoan Lohan, karena engkau kini telah menyeleweng dan melindungi datuk-datuk sesat, dan sudah mengusirku berarti sudah pula menghinaku!” Setelah berkata demikian, Ciok Kim Bouw lalu meloncat ke tengah panggung dan mencabut golok besarnya.

Bagi seorang gagah, nama dan kehormatan lebih penting dari pada nyawa. Dia tadi telah dihina orang, bahkan diusir, maka satu-satunya jalan untuk mencuci penghinaan ini hanyalah mengadu nyawa di ujung senjata.

Mendengar tantangan ini, semua tamu di ruangan dalam dan luar menjadi tegang. Tak mereka sangka akan terjadi pertentangan seperti itu. Siangkoan Lohan sendiri menjadi marah, akan tetapi wajahnya yang merah itu masih nampak tersenyum walau pun sinar matanya makin mencorong. Dia bangkit dari tempat duduknya dan menjura kepada para tamunya, “Harap Cu-wi (Anda sekalian) suka memaafkan kami karena kami terpaksa harus menyingkirkan dulu pengacau ini.”

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara halus. “Harap Ayah duduk saja dan biarkan aku yang mengusir anjing yang banyak menggonggong ini.”

Semua orang melihat munculnya seorang pemuda. Begitu saja dia muncul dan tahu-tahu berada di atas panggung. Entah dari mana datangnya. Mungkin karena semua orang tadi mencurahkan perhatian kepada Ciok Kim Bouw dan Siangkoan Lohan, maka tidak melihat munculnya pemuda ini karena memang pemunculannya amat luar biasa.

Bagaikan seekor burung walet saja tadi dia melompat dari bawah panggung kemudian hinggap di atas panggung dengan sikap yang amat tenang. Mendengar ucapan pemuda ini, semua orang yang belum pernah mengenalnya baru tahu bahwa inilah putera Siangkoan Lohan, putera dan anak tunggal yang bernama Siangkoan Liong dan semua orang tertegun dan kagum.

Siangkoan Liong memang amat mengagumkan. Seorang pemuda bertubuh sedang dan berusia kurang lebih dua puluh enam tahun, dengan wajah yang tampan sekali. Begitu tampannya wajah itu sehingga seperti wajah wanita saja. Kulit mukanya putih halus, dengan hidung mancung dan bibir merah, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata naga, seperti mata ayahnya dan alis yang tebal hitam itu menghilangkan keraguan orang bahwa dia adalah seorang pria tulen.

Pakaiannya seperti seorang siu-cai (sastrawan) namun mewah, seperti biasa pakaian seorang pemuda bangsawan terpelajar. Gerak-geriknya halus lembut dan seperti gerak-gerik seorang sastrawan tulen yang tak mengenal ilmu silat. Padahal, ilmu silat pemuda ini tak kalah hebat dibandingkan dengan kepandaian ayahnya, setidaknya sudah hampir menyusulnya.

Sekarang dengan sikapnya yang lembut, Siangkoan Liong menghadapi Ciok Kim Bouw. Sejenak mereka saling pandang seperti dua ekor ayam jago yang saling menilai dan mengukur kekuatan lawan melalui pandang mata.

“Paman, apa pun yang telah terjadi, engkau sebagai seorang tamu telah melakukan pelanggaran sopan santun. Aku tidak tahu apa persoalannya dan tidak ingin pula tahu, akan tetapi aku melihat betapa dengan sengaja Paman telah menumpahkan makanan dan minuman suguhan Ayah ke atas lantai, menimbulkan kejijikan dan kotor. Karena itu, kalau Paman mau membersihkan kotoran yang Paman tumpahkan, kemudian pergi dari sini dengan aman, aku pun menganggap urusan ini selesai dan akan mintakan maaf kepada ayahku. Nah, bersihkan lantai itu, Paman.”

Biar pun sikap dan omongannya halus, namun Ciok Kim Bouw merasa terhina sekali. Bagaimana dia akan dapat melihat dunia kang-ouw kalau dia menuruti permintaan ini, membersihkan lantai dari tumpahan perutnya tadi, di depan sekian banyaknya para tamu?

“Orang muda, sikapmu jauh lebih baik dari pada ayahmu. Akan tetapi engkau tidak tahu kenapa aku menumpahkan semua makanan itu ke atas lantai. Aku terpaksa melakukan itu, dan siapa pun yang menyuruhku, aku tidak akan sudi membersihkannya. Terserah kepadamu, akan tetapi aku tidak sudi membersihkan tumpahan itu!”

Sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar berkilat.

“Paman, aku tidak suka bermusuhan dengan siapa pun, akan tetapi aku tadi mendengar tantanganmu kepada ayahku. Kalau engkau tidak mau membersihkannya, terpaksa aku akan mewakili Ayah untuk memberi hajaran kepadamu.”

Sikap ini terlampau memandang rendah dan tentu saja Ciok Kim Bouw menjadi marah. Kiranya di balik kelemah lembutan sikap pemuda ini tersembunyi kesombongan yang luar biasa.

“Orang muda, tidak perlu banyak cakap lagi. Keluarkan senjatamu dan mari kau coba untuk memberi hajaran kepadaku!”, tantangnya sambil melintangkan golok besarnya di depan dada.

Golok besar dan berat, berkilauan saking tajamnya dan nampak mengerikan. Ciok Kim Bouw adalah seorang yang lihai, dan dengan golok di tangannya, dia bagaikan seekor harimau tumbuh sayap. Para tamu ingin sekali melihat bagaimana putera tuan rumah ini akan menghadapi Ciok Kim Bouw atau Cin-sa-pangcu yang lihai itu dan senjata apa pula yang akan dipergunakannya.

Akan tetapi, betapa kaget dan heran hati mereka ketika melihat pemuda itu tersenyum berkata lembut, “Paman, pergunakanlah golokmu, aku akan menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja.”

Ciok Kim Bouw sendiri terbelalak mendengar ini. Betapa sombongnya anak ini, pikirnya. Menghadapi golok besarnya dengan tangan kosong? Siapa tokoh di dunia persilatan akan berani melakukan hal itu? Akan tetapi, pemuda itu sendiri yang mencari penyakit. Dia akan menghajar pemuda ini, tentu saja dia tidak berniat untuk membunuhnya atau melukainya secara hebat.

“Baiklah, agaknya engkau memiliki kepandaian yang setingkat mendiang guruku maka berani menghadapi golokku dengan tangan kosong. Nah, bersiaplah untuk menerima seranganku, orang muda yang sombong!”

Ciok Kim Bouw memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk mempersiapkan diri dengan memasang kuda-kuda. Akan tetapi, pemuda itu tetap berdiri seperti tadi, seperti orang bermalas-malasan, dengan kedua lengan hanya tergantung di kanan kiri, berdiri seenaknya.

“Aku sudah siap siaga, Paman. Mulailah dengan seranganmu!”

“Bagus! Lihat golokku!” bentak Ciok Kim Bouw sebelum menyerang dan di lain detik, goloknya telah berubah menjadi sinar menyilaukan mata yang menyambar-nyambar. Golok itu membuat gulungan sinar putih yang lebar, dan menyerang ke arah pemuda itu dari berbagai jurusan, bertubi-tubi dan susul menyusul, ganas bagaikan seekor burung garuda menyambari anak-anak ayam.

Kalau tadinya para tamu merasa terkejut dan khawatir, kini mereka memandang dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka melongo melihat betapa tubuh pemuda itu pun lenyap dan kini hanya nampak bayangannya saja berkelebatan di antara gulungan sinar golok! Hebat bukan main tontonan itu.

Kiranya pemuda itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa sekali, yang membuat dia dapat menyelinap di antara sambaran golok secara cepat.

Diam-diam Ciok Kim Bouw sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa putera Siangkoan Lohan yang masih semuda itu telah memiliki ilmu yang demikian hebat. Dia merasa seperti menyerang sesosok bayangan saja, maka kalau tadinya dia hanya ingin mengalahkan pemuda itu tanpa melukainya, hal itu kini sama sekali tidak mungkin dan dia pun menyerang dengan sungguh-sungguh.

Ciok Kim Bouw mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu goloknya. Akan tetapi, tetap saja bayangan pemuda itu tidak dapat tercium ujung goloknya, bahkan kini pemuda itu mulai membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan yang cepat datangnya, yang beberapa kali hampir saja mengenai tubuhnya.

Dari serangan balasan ini pun dia sadar bahwa selain ilmu meringankan tubuh yang hebat, pemuda itu juga mempunyai sinkang (tenaga sakti) yang sangat kuat sehingga tamparannya didahului angin pukulan yang mantap. Maklumlah dia bahwa dia sedang menghadapi seorang lawan yang sangat lihai. Pantas saja pemuda ini tadi demikian sombongnya, tidak tahunya memang berkepandaian tinggi sekali.

Para penonton kini banyak yang melongo dan penuh kagum. Bahkan Sin-kiam Mo-li sendiri sampai terbelalak kagum. Ia dapat menilai ilmu golok ketua Cin-sa-pang itu jauh lebih lihai dibandingkan dengan mendiang Louw Pa, ketua Cin-sa-pang yang dulu.

Dia sendiri tentu akan sanggup merobohkan Ciok Kim Bouw, akan tetapi jelas tidak dengan kedua tangan kosong! Dan kini apa yang dilihatnya? Seorang pemuda berusia muda sekali, paling banyak dua puluh tahun, menghadapi ketua Cin-sa-pang itu dengan tangan kosong, bahkan ia melihat benar betapa pemuda itu mempermainkan lawannya!

Bukan main! Dan pemuda itu demikian tampan, seperti perempuan! Kagumlah hatinya. Dia sudah mendengar betapa tuan rumah hanya memiliki seorang anak, yaitu laki-laki yang tidak pernah diperkenalkan kepada para tamunya. Bahkan ketika diadakan pesta tadi, pemuda ini tidak memperlihatkan diri. Sekarang, kemunculannya menggegerkan orang.

Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lengannya. Sin-kiam Mo-li menengok dan ternyata Toat-beng Kiam-ong yang menyentuhnya sambil memandangnya dengan alis berkerut. “Engkau kagum melihatnya? Ingat, ada aku di sini...,“ bisik laki-laki itu, agak cemburu.

Sin-kiam Mo-li tersenyum dan memutar lengannya hingga tangannya dapat menangkap tangan Raja Pedang itu, lalu digenggamnya sejenak sebelum dilepas lagi. “Ihhh, belum apa-apa sudah cemburu,” bisiknya kembali. “Akan tetapi, hati siapa yang tidak kagum kepada pemuda itu? Masih begitu muda, namun kepandaian silatnya sudah demikian lihainya!”

“Tidak perlu diherankan. Memang Siangkoan Liong amat lihai, mungkin sekarang malah sudah lebih lihai dari ayahnya sendiri,” kata Giam San Ek yang mengenal baik keadaan keluarga sahabatnya itu.

“Ehhh?! Bukankah ayahnya yang menjadi gurunya?”

“Benar, guru pertama. Akan tetapi dua tahun yang lalu dia bertemu dengan seorang manusia dewa yang menjadi gurunya...“

“Manusia dewa...?”

“Ssttt, lihatlah...!” kata Toat-beng Kiam-ong sambil menunjuk ke arah dua orang yang masih bertanding dengan seru itu.

Sin-kiam Mo-li cepat menengok dan sekarang terjadi perubahan pada pertempuran itu. Gulungan sinar golok menjadi lemah dan menyempit, dan ternyata pemuda itu yang kini mendesak dengan tamparan-tamparan dan tendangannya yang dilakukan amat cepat dan dengan cara aneh dari segala posisi!

Akhirnya, betapa pun Ciok Kim Bouw hendak bertahan, sebuah tendangan mengenai tangannya yang memegang golok, disusul totokan pada siku kanannya.

“Tranggg...!”

Golok itu terpaksa lepas dari tangannya dan jatuh ke atas lantai! Ciok Kim Bouw berdiri tegak, memegang siku lengan kanan dengan tangan kiri dan memijit-mijitnya karena lengan kanan itu setengah lumpuh. Kemudian dengan muka berubah agak pucat dia mengangguk ke arah Siangkoan Lohan dan berkata dengan suara lantang,

“Siangkoan Lohan, aku Ciok Kim Bouw hari ini mengaku kalah terhadap puteramu. Sudahlah, aku memang tidak berguna dan juga tidak sudi untuk bergaul dengan datuk-datuk sesat!”

Dia lalu memungut goloknya dan melangkah keluar dari tempat pesta. Dua puluh orang lebih yang tadi mendukungnya, kini juga bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu tanpa banyak cakap. Mereka adalah orang-orang yang selalu menentang golongan sesat, dan merasa betapa kini Siangkoan Lohan telah berubah dan mereka tidak mau ikut terlibat dalam urusan persekutuan dengan datuk-datuk sesat.....

Ketika mereka yang keluar dari tempat pesta itu tiba di ruang luar, ternyata masih ada lagi belasan orang yang ikut pula meninggalkan tempat itu! Melihat ini, Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya.

“Siancai..., kalau mereka semua dibiarkan pergi, tentu gerakan kita akan gagal sebelum dimulai!” berkata Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu kepada Siangkoan Lohan.

Ketua Tiat-liong-pang itu mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya, kemudian memberi tanda dengan tangan. Lima orang murid kepala cepat datang menghadap.

“Bawalah teman-teman dan saudara-saudara secukupnya, mereka tadi harus dibasmi. Kalian tahu apa yang harus dilakukan,” katanya dan lima orang murid itu mengangguk, lalu menyelinap pergi.

“Aihh, ini adalah tugas kita bersama,” kata Sin-kiam Mo-li. “Aku akan membantu anak buahmu, Lohan.”

“Aku akan membantumu pula, Sian-li,” berkata Toat-beng Kiam-ong sambil bangkit dan mengikuti wanita cantik itu.

Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-kauw, bersama dengan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-kauw, juga cepat-cepat bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, bersama beberapa orang tokoh lain yang sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.

Sesudah mengalahkan Ciok Kim Bouw, Siangkoan Liong bersikap acuh tak acuh saja melihat kesibukan teman-teman ayahnya. Dia hanya mendekati ayahnya dan berkata lirih, “Ini akibat kekurang telitian Ayah sendiri yang mengundang orang-orang itu.”

Setelah berkata demikian, dengan suara mengandung penyesalan, dia pun pergi masuk ke dalam gedung, membiarkan ayahnya duduk kembali sambil mengerutkan alisnya.....

********************

Dengan hati penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang meninggalkan perkampungan Tiat-liong-pang di lereng bukit itu, menuruni bukit dengan langkah lebar. Hatinya penuh dengan perasaan marah dan malu, juga penasaran sekali. Jelaslah bahwa Tiat-long-pang mengambil jalan sesat, bukan hanya bergaul dengan penjahat, datuk sesat, bahkan juga dengan tokoh-tokoh pemberontak.

Akan tetapi, Tiat-liong-pang kuat sekali, dan melihat betapa puteranya saja sedemikian lihainya, sulit diukur bagaimana tingginya ilmu kepandaian Siangkoan Lohan. Ia bergidik kalau teringat akan kehebatan ilmu silat lawannya yang masih muda remaja tadi.

Dia merasa menyesal bukan main. Semua waktunya selama puluhan tahun digunakan untuk belajar silat, dan ternyata sekarang menghadapi seorang pemuda remaja saja dia kalah! Padahal dia menggunakan golok yang diandalkan, sedangkan pemuda itu hanya bertangan kosong.

Tiba-tiba dia menggaruk siku lengan kanannya yang mendadak terasa gatal-gatal. Saat dia menggaruknya, dia meringis karena begitu digaruk terasa panas bukan main. Dia berhenti melangkah dan menggulung lengan baju untuk melihat lengannya. Terkejutlah dia melihat betapa di lengan bawah, di bawah siku, terdapat tanda berwarna merah kebiruan sebesar jari tangan.

Itulah kiranya yang terasa gatal dan panas! Makin terkejutlah dia ketika teringat bahwa saat dia dikalahkan oleh pemuda tadi, bagian lengan itulah yang tertotok dan membuat lengannya lumpuh dan goloknya terlepas. Agaknya totokan itulah yang mendatangkan bekas yang gatal dan panas ini.

Selagi dia hendak melanjutkan perjalanan dekat dengan kaki bukit itu, tiba-tiba ada dua sosok bayangan orang berkelebat, kemudian terdengar suara seorang wanita tertawa mengejek. Dia mengangkat mukanya dan nampak Sin-kiam Mo-li bersama Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek telah berada di depannya, berdiri sambil tersenyum dan tertawa mengejek!

Ciok Kim Bouw tentu saja dapat menduga pula bahwa munculnya wanita ini pasti tidak mengandung niat baik, maka dia pun sudah mencabut golok besarnya dan menghardik. “Iblis betina, mau apa engkau menghadangku?”

“Hi-hi-hik, Cin-sa-pangcu! Selama ini aku tidak pernah tahu bahwa Cin-sa-pang sudah memiliki seorang ketua baru seperti engkau. Sekarang, setelah kau berani menghinaku di tempat umum, engkau masih bertanya lagi mau apa aku menghadangmu? Tentu saja untuk membunuhmu!”

“Bagus! Memang saat inilah yang kutunggu-tunggu, yaitu membunuhmu atau mati di tanganmu. Dan engkau, Toat-beng Kiam-ong, apakah jagoan seperti engkau hendak membantunya mengeroyok aku? Majulah, jangan kira aku takut menghadapi kalian!” tantangnya, mendahului lawan karena dia maklum bahwa tentu orang ini berpihak kepada Sin-kiam Mo-li.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau sungguh tak tahu diri. Melawan seorang pemuda remaja bertangan kosong saja engkau keok (kalah), perlu apa membantu Sian-li. Biar engkau memecah diri menjadi rangkap sepuluh, akan mampus satu demi satu di tangan Sian-li!”

“Iblis betina, bersiaplah untuk mampus!” bentak Ciok Kim Bouw lantang sambil langsung menyerang dengan goloknya.

Dia merasa betapa lengan di bagian dekat siku terasa nyeri, akan tetapi dia tidak peduli dan terus menyerang sekuat tenaga dan dengan kemarahan meluap-luap. Dia sudah nekat karena maklum bahwa sekali ini, akibat perkelahian itu hanya dua, yaitu kalah dan mati, atau menang dan hidup. Meski dia tahu bahwa untuk menang amatlah sukarnya, apa lagi di situ berdiri si Raja Pedang yang pasti akan membantu iblis betina itu, namun sedikitnya dia tidak merasa gentar dan menyerang dengan ganas dan dahsyat.

Sambil tersenyum mengejek, Sin-kiam Mo-li menggerakkan pedangnya menangkis dan membalas dengan serangan kebutannya yang bulu-bulunya mengandung racun jahat. Ciok Kim Bouw mengelak dan melakukan perlawanan mati-matian. Dia bahkan dengan nekatnya melancarkan gerakan-gerakan untuk mengadu nyawa.

Akan tetapi, lengannya kini terasa semakin nyeri dan ngilu sehingga jari-jari tangannya kurang kuat mencengkeram gagang goloknya. Terpaksa ia memindahkan gagang golok itu ke tangan kiri dan kini melakukan perlawanan mati-matian dengan golok di tangan kiri.

Dia memang sudah melatih diri menggunakan golok dengan tangan kiri karena dia pun ahli bermain sepasang golok. Akan tetapi bagaimana pun juga, tentu saja gerakannya tidaklah selincah kalau menggunakan golok itu di tangan kanannya. Maka, tentu saja dia semakin terdesak.

Belum juga lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li mengenai pahanya. Ia pun terpelanting, dan untuk mencegah lawan menyusulkan serangan, ketua Cin-sa-pang itu terus bergulingan di atas tanah sambil melindungi tubuh dengan putaran goloknya.

Sambil tertawa-tawa mengejek Sin-kiam Mo-li melakukan pengejaran sambil melecut-lecutkan cambuknya, mengikuti ke mana tubuh lawan itu bergulingan. Sama sekali dia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melompat bangun kembali.

Dikejar seperti itu, Ciok Kim Bouw menjadi sibuk sekali. Bukan saja ia harus meiindungi tubuhnya, akan tetapi juga keadaannya berbahaya sekali karena kalau dia meloncat bangun, tentu dia akan terkena serangan pedang atau kebutan yang amat berbahaya itu. Kebutan yang dapat dipergunakan sebagai cambuk, juga menotok atau menusuk bagaikan pedang karena dengan kekuatan sinkang bulu-bulu kebutan itu dapat menjadi kaku seperti baja, sungguh amat berbahaya. Apa lagi tiap lembar bulunya mengandung racun berbahaya!

“Ha-ha-ha, Pangcu dari Cin-sa-pang, sekarang engkau seperti seekor tikus yang lari ke sana-sini dikejar kucing! Sian-li kenapa kau harus main-main dengan dia? Bunuh saja dengan cepat dan kita kembali ke sana!” Laki-laki yang sudah tidak sabar karena ingin segera berduaan dengan kekasihnya itu mendesak.

Mendengar ini, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara mengejek dan ia pun menggerakkan pedangnya untuk melakukan serangan kilat yang amat hebat pada tubuh yang sedang bergulingan itu. Sukar agaknya bagi Ciok Kim Bouw untuk mampu menyelamatkan diri dari serangan itu.

Akan tetapi mendadak Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan halus, lalu cepat menarik pedangnya kembali. Cepat dia membalik ke kanan dan dia melihat seorang pemuda sudah berdiri tak jauh dari situ. Tahulah ia bahwa yang menyambitkan kerikil kecil dan mengenai pundak kanannya sehingga lengan kanannya menjadi kesemutan itu adalah pemuda ini! Dan ia pun terkejut ketika mengenal pemuda itu.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek merasa sangat heran melihat kekasihnya tidak jadi menyerang, dan ia pun ikut memandang. Dilihatnya seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba putih berdiri di bawah pohon, tak jauh dari situ. Juga Ciok Kim Bouw yang baru saja terlepas dari bahaya maut, sudah bergulingan menjauh kemudian melompat berdiri, ikut pula memandang.

Pemuda itu berpakaian serba putih, sederhana sekali. Sinar matanya lembut dan pada mulutnya terhias senyum ramah, sama sekali tidak menunjukkan kelebihan dan nampak seperti seorang pemuda petani biasa saja. Namun, Sin-kiam Mo-li kelihatan amat kaget dan kemudian marah ketika ia melangkah maju.

“Bocah setan, kiranya engkau? Bukankah kau... kau ini... yang dari gurun pasir itu?” tanyanya ragu.

Walau pun ia masih teringat benar akan wajah yang sudah pernah dibelai, dirangkul dan diciuminya itu, ia masih belum mau percaya. Pemuda yang pernah dirayunya sampai ia hampir gila karena dirangsang birahi dan pemuda itu selalu dingin saja dan tidak pernah tergairah, adalah seorang pemuda yang lemah dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat. Waktunya baru berjalan setahun lebih sedikit, bagaimana mungkin kini pemuda itu mampu menyambitkan kerikil yang membuat lengannya hampir lumpuh?

Pemuda itu memang Tan Sin Hong! Seperti telah kita ketahui, Sin Hong meninggalkan kota Ban-goan untuk pergi ke kota raja. Ia hendak mencari hartawan she Lay, pengirim barang-barang berharga yang mengakibatkan hancurnya keluarga ayah ibunya. Ingin dia menemukan hartawan itu, untuk menyelidiki kematian ayahnya yang penuh rahasia, karena siapa tahu hartawan itu menyimpan rahasia dan dari dia maka rahasia kematian ayahnya akan dapat dibongkarnya.

Dan pada hari itu, dia tiba di kaki bukit di mana terdapat sarang Tiat-liong-pang, tanpa disengaja, melihat Ciok Kim Bouw yang terancam maut di tangan seorang wanita yang membuat darahnya berdenyut kencang dan jantungnya berdebar. Dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara datuk sesat yang telah menyerbu Istana Gurun Pasir yang mengakibatkan kematian tiga orang gurunya.

Sin-kiam Mo-li yang pernah menggelutinya dan berusaha memperkosanya, kini tiba-tiba saja berada di kaki bukit itu, sedang berusaha keras membunuh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang dengan susah payah membela diri. Walau pun dia tidak mengenal siapa pria bermuka hitam itu dan apa urusannya berkelahi dengan Sin-kiam Mo-li, tanpa ragu-ragu lagi Sin Hong menyelamatkan pria itu dari ancaman maut dengan menyambitkan sebuah kerikil kecil yang mengenai pundak kanan wanita iblis itu.

Sekarang dia menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan senyum, dan diam-diam dia bersyukur melihat kenyataan bahwa pertemuan dengan wanita iblis yang sudah menyebabkan kematian ketiga orang gurunya itu sama sekali tidak membangkitkan kemarahan atau kebencian dalam hatinya. Ini merupakan suatu kemajuan dalam dirinya, pikir Sin Hong. Dia lalu mengangguk untuk menjawab pertanyaan Sin-kiam Mo-li tadi, membuyarkan keraguan wanita iblis itu.

“Benar, Sin-kiam Mo-li, aku adalah pemuda gurun pasir itu, dan engkau ternyata masih saja mengumbar kejahatan dan menyebarkan perbuatan kejam di mana pun engkau berada. Kini engkau bahkan hendak membunuh orang yang sudah jelas-jelas tidak lagi mampu melawanmu,” Sin Hong menoleh ke arah Ciok Kim Bouw yang berdiri agak jauh sambil memijit-mijit lengan kanannya, sedangkan golok tadi sudah disarungkan kembali.

Ciok Kim Bouw maklum bahwa baru saja dia terbebas dari maut karena kemunculan pemuda berpakaian putih itu. Entah dengan cara bagaimana pemuda itu bisa membuat Sin-kiam Mo-li menghentikan serangannya yang membuat dia kewalahan tadi. Kini dia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu pemuda itu. Bagaimana pun juga, kini muncul seorang yang agaknya dapat diharapkan akan membantunya menghadapi musuh-musuhnya yang terlalu lihai baginya itu.

Akan tetapi, terdapat keraguan pula di dalam hati ketua Cin-sa-pang ini. Pemuda yang berpakaian serba putih itu kelihatan demikian lemah lembut, dan sejak tadi pun belum mengeluarkan tanda bahwa dia pandai ilmu silat. Hanya sikapnya saja yang demikian tenang, bahkan menghadapi Sin-kiam Mo-li yang sudah dikenalnya, nampak demikian tenang dan berani pula mencela.

“Awass...!” Tiba-tiba Ciok Kim Bouw berteriak memperingatkan Sin Hong karena ketika pemuda itu sedang menoleh kepadanya, pada saat itu dia melihat Sin-kiam Mo-li telah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung pemuda berpakaian putih itu!

Akan tetapi, biar pun dia sedang menoleh ke arah Ciok Kim Bouw, tentu saja Sin Hong sudah tahu akan serangan gelap itu. Pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya telah mencapai titik yang tinggi sekali berkat penggabungan tenaga sinkang yang diterimanya dari tiga orang gurunya dan berkat gemblengan ilmu-ilmu yang sudah mendarah daging di tubuhnya.

Dia tahu akan tusukan yang datang menuju lambungnya dan tanpa menoleh, ketika tusukan tiba, tubuhnya sudah bergeser dan mengelak tanpa banyak kesulitan sehingga tusukan pedang Sin-kiam Mo-li mengenai tempat kosong!

Sin-kiam Mo-li yang merasa penasaran dan bangkit kebenciannya kepada pemuda yang membuatnya tergila-gila namun yang berani menolak cintanya itu, sudah melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi dengan kebutan dan pedangnya. Demikian cepat dan bersambungan datangnya serangan-serangan ini.

Akan tetapi semua itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya oleh Sin Hong, hanya dengan menggerakkan kedua tangannya ke depan seperti menolak. Setiap kali telapak tangannya mendorong, ada kekuatan dahsyat yang meniup pergi bulu-bulu kebutan, bahkan telapak tangan itu berani menampar pedang itu sehingga tertangkis.

Ciok Kim Bouw yang tadinya sudah siap untuk membantu dengan goloknya yang akan dimainkan dengan tangan kiri, tidak jadi bergerak dan kini dia berdiri melongo. Jika tadi ada seorang pemuda yang halus dan lembut gerak-geriknya menghadapinya dengan tangan kosong dan dia dikalahkan, kini ada lagi seorang pemuda lain yang juga dengan tangan kosong bahkan berani melawan kebutan dan pedang di tangan Sin-kiam Mo-li! Jika tidak melihat sendiri, tentu dia tidak akan percaya bahwa ada orang, apa lagi masih begitu muda, berani menghadapi Sin-kiam Mo-li hanya dengan kedua tangan kosong saja.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek juga merasa heran dan amat kagum melihat betapa pemuda berpakaian serba putih itu berani melawan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong. Akan tetapi dia percaya sepenuhnya bahwa kekasihnya tentu akan menang dan dalam waktu singkat merobohkan pemuda itu. Dia pun tidak akan membunuh Ciok Kim Bouw, khawatir kalau kekasihnya merasa tersinggung dan marah. Biarlah Sin-kiam Mo-li yang melaksanakannya sendiri.

Tetapi, betapa kagetnya Kiam-ong ketika tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan tertahan dan sebagian dari bulu kebutan itu rontok berhamburan ketika bertemu dengan jari-jari tangan Sin Hong yang mencengkeram! Melihat Sin-kiam Mo-li terhuyung ke belakang, tentu saja Giam San Ek cepat melompat maju dan lantas menyerang dengan pedangnya.

“Tranggg...!”

Pedang itu ditangkis oleh golok Ciok Kim Bouw. Si muka hitam ini menjadi gembira sekali dan timbul semangatnya melihat betapa pemuda berpakaian putih itu benar-benar mampu menahan Sin-kiam Mo-li, bahkan dalam belasan jurus saja sudah merontokkan bulu kebutannya. Maka, melihat majunya Toat-beng Kiam-ong, dia pun maju membantu Sin Hong.

“Mundurlah!” Sin Hong membentak sambil mendorongkan kedua tangan bergantian ke arah Giam San Ek.

Si Raja Pedang ini loncat meninggalkan Ciok Kim Bouw untuk menghadapi Sin Hong, namun dia bertemu dengan tenaga dorongan amat kuat, yang merupakan tenaga tidak nampak, seperti angin yang menahannya dan membuatnya terhuyung. Tentu saja dia terkejut bukan main dan pada saat itu Sin-kiam Mo-li berseru keras.

“Kiam-ong, mari kita pergi!” Wanita itu pun sudah meloncat dan melarikan diri!

Melihat ini, tentu saja Kiam-ong terkejut dan tanpa bertanya lagi dia pun membalik dan mengambil langkah seribu menyusul temannya. Melihat ini, Ciok Kim Bouw menjadi semakin kagum kepada Sin Hong. Dia cepat menghadapi pemuda itu dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk memberl hormat.

“Pendekar muda gagah perkasa sudah menyelamatkan nyawaku yang tidak berharga. Aku adalah Ciok Kim Bouw, ketua dari Cin-sa-pang. Tidak tahu siapakah nama Taihiap (Pendekar Besar) yang mulia?”

Sambil memandang wajah laki-laki tinggi besar itu. Sin Hong berkata, “Maaf, Pangcu. Pertemuan antara kita hanya kebetulan saja dan saya tidak ingin dikenal, yang paling penting adalah supaya Paman mengetahui bahwa Paman telah menderita luka pukulan beracun yang amat berbahaya.”

“Ahhh...!” Ciok Kim Bouw berseru kaget, lalu menyingkap lengan bajunya yang kanan, memperlihatkan tanda merah kehitaman sebesar jari di bawah sikunya. “Memang luka ini mendatangkan rasa gatal dan nyeri sekali...“

“Hemmm, itulah tanda bekas totokan jari beracun yang sangat keji, Pangcu,” kata Sin Hong. “Biar saya mencoba untuk mengobatinya.”

“Terima kasih, Taihiap, dan silakan,” berkata ketua Cin-sa-pang itu sambil menyodorkan lengan kanannya.

Sin Hong memegang lengan itu, kemudian menggunakan jari tangannya menotok jalan darah di atas siku, lalu mengurut luka itu. Terasa nyeri bukan main oleh Ciok Kim Bouw, namun ketua ini menahan rasa nyeri. Sin Hong kemudian mencengkeram bagian yang berwarna merah kehitaman, menggunakan hawa sakti di tubuhnya melalui tapak tangan untuk ‘membakar’ hawa beracun itu. Rasa nyeri dan panas membuat wajah ketua itu berpeluh, akan tetapi rasa panas itu semakin lama makin berkurang dan rasa nyeri pun lenyap. Setelah Sin Hong melepaskan tangannya, warna merah itu sudah lenyap dan rasa nyerinya pun lenyap.

“Sudah baik kembali, Pangcu, dan saya harus melanjutkan perjalanan saya,” berkata demikian, Sin Hong lalu meloncat dengan cepat.

Ciok Kim Bouw hendak memanggil, namun diurungkan niatnya karena pemuda itu telah berkelebat cepat dan sudah jauh sekali. Dia hanya berdiri mengikuti bayangan itu yang makin mengecil akhirnya lenyap, berulang kali menarik napas panjang, kemudian dia pun melarikan diri dari tempat berbahaya itu.

Sehari bertemu dengan dua orang muda yang demikian lihainya cukup bagi ketua ini membuka matanya bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh dari pada cukup untuk dipakai malang melintang di dunia kang-ouw. Dia merasa rendah diri dan semenjak itu, dia lebih sering tinggal di pusat perkumpulan Cin-sa-pang untuk giat melatih diri, serta memperdalam ilmu silatnya.....

********************

Sementara itu, di ruangan paling dalam yang terletak di belakang gedung perkumpulan Tiat-liong-pang, Siangkoan Lohan menjamu beberapa orang tamunya. Para tamu lain telah pulang dan sekarang hanya mereka yang menjadi sekutunya sajalah yang duduk semeja dengannya. Mereka adalah Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Agakai kepala suku Mongol, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-lian-pai.

Masih ada beberapa orang lagi, di antaranya terdapat tiga orang berpakaian perwira yang agaknya baru datang karena mereka ini tidak nampak dalam pesta perayaan ulang tahun siang tadi. Ada pula terdapat seorang laki-laki, yang tentu akan membuat Sin Hong terheran heran kalau dia melihatnya. Laki-laki ini bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan bermata tajam sekali.

Kini mereka tengah bercakap-cakap dengan sikap yang serius, dipimpin oleh Siangkoan Lohan. Pada ketika itu, Siangkoan Lohan sedang menyatakan penyesalannya kepada Sin-kiam Mo-li.

“Sungguh sayang sekali engkau tidak dapat menemukan ketua Cin-sa-pang itu, Mo-li. Padahal semua orang yang lain telah dapat dibasmi. Akan tetapi sudahlah, kukira dia tidak akan banyak bercerita. Aku mengundang kalian hadir dalam pesta ulang tahun sebagai sesama kaum persilatan, tidak ada bukti apa-apa tentang gerakan kita.”

Sin-kiam Mo-li memang hanya menceritakan bahwa ia dan Toat-beng Kiam-ong tidak berhasil mengejar Ciok Kim Bouw. Ia merasa malu kalau harus menceritakan bahwa ia dan Raja Pedang itu lari ketakutan karena bertemu dengan seorang pemuda dari Istana Gurun Pasir.

Hanya kepada Toat-beng Kiam-ong dia terpaksa menceritakan siapa adanya pemuda berpakaian putih yang amat lihai itu. Pada saat mereka melarikan diri meninggalkan Sin Hong, Raja Pedang itu bertanya siapa adanya pemuda yang memiliki kepandaian hebat itu. Terpaksa Sin-kiam Mo-li kemudian menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan pemuda itu saat ia dan kawan-kawannya melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir sehingga akhirnya berhasil membunuh tiga orang tua sakti di istana itu, dan kemudian membakar istana kuno itu. Akan tetapi ketika itu, si pemuda masih merupakan pemuda lemah. Ia pun tidak tahu bagaimana pemuda itu muncul sebagai seorang yang demikian lihainya.

“Lain kali harap Siangkoan Pangcu lebih berhati-hati,” salah seorang di antara ketiga orang berpakaian perwira tinggi itu berkata. “Jangan sampai menimbulkan kecurigaan, terutama sekali kepada pemerintah sehingga kita akan terbentur dan mengalami banyak rintangan. Nah, sekarang harap Pangcu ceritakan dengan jelas segala hasil usaha yang telah dilakukan dan rencana selanjutnya.” Perwira ini nampaknya berwibawa dengan kumisnya yang tebal dan sikapnya yang agaknya sudah biasa memerintah dan ditaati.

“Harap Song-ciangkun jangan khawatir. Kami sengaja sudah mengundang tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan memiliki kepandaian untuk bisa menarik mereka sebagai pembantu dan buktinya, sebagian besar dari mereka boleh diharapkan akan membantu kita. Ada pun mereka yang berani menentang telah kami singkirkan. Lolosnya seorang di antara mereka, yaitu ketua Cin-sa-pang itu tidak ada artinya. Hasil besar usaha kami terutama sekali pembasmian Istana Gurun Pasir dan penghuninya, walau pun untuk hasil itu kami kehilangan banyak sekali kawan dan untuk itu, biarlah diceritakan sendiri oleh ia yang telah berjasa, Sin-kiam Mo-li. Mo-li, ceritakanlah pengalamanmu di Gurun Pasir dua tahun yang lalu itu.”

Sin-kiam Mo-li tadi sudah diperkenalkan kepada tiga perwira itu dan ia maklum bahwa Song-ciangkun itu adalah utusan panglima perang Kerajaan Ceng yang berkuasa di perbatasan utara dan yang telah bersekutu dengan Siangkoan Lohan. Dua orang perwira lain adalah pembantu-pembantunya.

Memang usaha persekutuan yang dipimpin oleh Siangkoan Lohan untuk memberontak itu sudah direncanakan sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Penyerbuannya ke gurun pasir merupakan satu di antara usaha persekutuan itu untuk memperlicin jalan.

Istana Gurun Pasir dan para penghuninya dianggap sebagai suatu bahaya besar, sebab mereka semua maklum belaka bahwa keluarga Istana Gurun Pasir, seperti juga halnya keluarga Pulau Es, selalu menentang pemberontakan walau pun mereka bukan orang-orang yang menghambakan diri kepada pemerintah Mancu. Oleh karena itu, juga akibat terdorong oleh perasaan benci karena permusuhan semenjak dulu, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir.

“Penyerbuan kami yang berhasil baik namun mengorbankan banyak kawan itu terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu. Kami kehilangan empat belas orang kawan, akan tetapi berhasil membunuh tiga orang penghuni istana yang amat lihai, juga kami telah membakar habis istana itu.”

Sin-kiam Mo-li kemudian menceritakan peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu itu, didengarkan dengan penuh perhatian oleh ketiga orang perwira tinggi itu, dan mereka mengangguk-angguk kagum dan juga senang. Lenyapnya Istana Gurun Pasir dan para penghuninya bagi mereka merupakan lenyapnya satu di antara bahaya yang mungkin akan menyusahkan mereka dan menghalangi rencana mereka.

Setelah Sin-kiam Mo-li selesai bercerita, Song-ciangkun lalu berkata kepada Siangkoan Lohan. “Bagus sekali dan jasa itu cukup besar, akan kami catat. Sekarang, bagaimana dengan usaha menghimpun kekuatan dari luar tembok? Sampai di mana hasilnya?”

“Hal itu ditangani sendiri oleh saudara Agakai yang juga hadir di sini dan yang akan dapat menceritakan dengan jelas,” jawab Siangkoan Lohan sambil memandang kepada kepala suku Mongol itu.

Kepala suku Mongol yang mengaku putera mendiang Tailucin dan keturunan Jenghis Khan itu, yang usianya sudah lima puluh tiga tahun, mengangkat dadanya yang bidang dan dengan sikap yang agung karena yakin akan kemampuan dirinya, dia kemudian menceritakan hasil usahanya yang telah dicapai. Dia menceritakan bahwa dia sudah mendapat banyak kemajuan dalam membangkitkan kembali kekuasaan dan kebesaran Mongol, untuk membangun kembali Kerajaan Mongol yang pernah menguasai seluruh daratan Cina dan negeri-negeri di sekitarnya.

“Jangan khawatir,” dia menutup ceritanya. “Biar pun suku terbesar belum dapat saya bujuk, tetapi kelompok-kelompok suku yang kecil-kecil, terutama mereka yang terdesak dan keadaan hidupnya kekurangan, telah menyatakan persetujuan mereka dan apa bila saatnya tiba, kami dapat mengerahkan tidak kurang dari seratus ribu orang.”

Song-ciangkun dan dua orang kawannya kelihatan gembira sekali mendengar laporan Agakai itu. Bagus, pikir Song-ciangkun yang sudah tahu akan siasat yang dipergunakan oleh atasannya, yaitu Panglima Coa yang berkuasa sebagai komandan pasukan yang bertugas jaga di perbatasan utara.

Panglima Coa memang berniat untuk melaksanakan pemberontakan setelah berhasil dibujuk dan dihasut oleh Siangkoan Lohan. Dan dia berpendapat bahwa tanpa bantuan dari pasukan lain yang besar dan kuat, akan sukarlah diharapkan untuk dapat berhasil menggempur pasukan pemerintah. Tetapi, kalau suku bangsa Mongol mau membantu, mengingat akan kemampuan tempur mereka, tentu akan lain jadinya.

Pula, pasukan yang dipimpin Panglima Coa dapat terus minta tambahan pasukan untuk memperkuat posisinya, dengan dalih bahwa bangsa-bangsa liar dari luar tembok terus mengadakan gangguan serta pemberontakan. Dan pihak pasukan pemberontak yang dipimpin Panglima Coa akan membiarkan Agakai bermimpi bahwa gerakan itu adalah demi kepentingan pembangkitan kembali kekuatan serta kekuasaan Mongol! Dengan demikian, kedua pihak diam-diam hanya akan saling mempergunakan demi keuntungan sendiri!

Dan Siangkoan Lohan tahu akan hal ini. Maka diam-diam dia pun ingin mempergunakan kesempatan itu untuk keuntungan diri sendiri atau lebih tepat, keuntungan dan masa depan puteranya! Kalau gerakan itu berhasil, kalau saja mereka berhasil menggulingkan pemerintah Mancu, Panglima Coa sudah setuju untuk mengangkat Siankoang Liong menjadi kaisar kerajaan baru yang mereka bangun, dan Coa-ciangkun tentu saja akan menjadi orang ke dua setelah kaisar!

“Dan bagaimana dengan pusat kedudukan di perbatasan untuk penyebaran mata-mata dan utusan melewati Tembok Besar seperti yang Pangcu pernah ceritakan kepada Coa Tai-ciangkun?” Tanya pula Song-ciangkun.

Siangkoan Lohan tersenyum gembira. “Itu sudah beres, Ciangkun! Rencana yang kita jalankan delapan tahun yang lalu kini telah matang. Piauwkiok di Ban-goan itu telah kita kuasai sepenuhnya sehingga dengan menyamar sebagai para piauwsu, maka utusan-utusan dan mata-mata kita bisa dengan mudah hilir mudik menyeberangi Tembok Besar tanpa menimbulkan kecurigaan sama sekali. Dan untuk pengurusan dalam keperluan itu, telah kami serahkan kepada murid-murid kami sendiri yang boleh dipercaya.”

Persekutuan ini lalu berunding sambil makan minum, dan agaknya tiga orang perwira utusan Coa-ciangkun itu merasa gembira sekali dengan hasil pertemuan malam itu. Apa lagi ketika pertemuan itu selesai. Mereka diantarkan ke dalam kamar masing-masing, sebuah kamar yang indah mewah dan bersih. Dan yang lebih hebat lagi, masing-masing disambut senyum manis dan gaya memikat dari seorang wanita muda yang siap sedia melakukan apa saja untuk menyenangkan hati para tamu agung itu.

Siangkoan Lohan memang pandai mengambil hati orang. Untuk itu dia tak segan-segan memerintahkan selir-selirnya untuk menghibur tamu agung!

Ambisi merupakan ladang subur pertumbuhan si aku. Kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki, tidak pernah merasa senang dengan keadaan kita sendiri. Kita selalu memandang keadaan orang-orang lain, kemudian membanding-bandingkan.

Keadaan orang yang lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, lebih pintar, lebih terhormat dan sebagainya membuat kita selalu merasa diri sendiri rendah, kurang dan serba tidak memuaskan! Dari sinilah timbul ambisi! Ingin yang lebih dari pada keadaan sekarang!

Dan mulailah kita melakukan pengejaran terhadap bayangan indah berupa cita-cita atau ambisi itu. Bagaikan bayangan, yang kita kejar itu tidak pernah berhenti, makin didapat, semakin kurang dan semakin haus. Sekali tidak mampu menikmati keadaan sekarang, sampai kapan pun tak akan pernah mampu menikmati keadaan diri sendiri karena mata selalu memandang keadaan orang lain yang serba lebih, dan mata selalu memandang untuk mengejar yang di depan.

Cita-cita atau ambisi ini makin dikejar makin membesar dan semakin menjauh sehingga tidak akan habisnya kita mengejar, sampai mati! Kita dibius oleh kata-kata yang indah seperti cita-cita, kemajuan, dan sebagainya lagi.

Lalu apakah kita kemudian menjadi layu, melempem, tak bergairah dan tak melangkah, statis dan acuh, mati kutu? Bukanlah demikian bagi orang yang bijaksana dan waspada akan keadaan diri pribadi setiap saat.

Kewaspadaan ini akan menuntun ke arah perbuatan dan langkah yang benar. Hati yang tak dibebani keinginan-keinginan, iri hati, membanding-bandingkan. Hati yang demikian itu bersih dan mampu menampung datangnya sinar bahagia, dapat menikmati keadaan yang bagaimana pun juga. Batin yang kosong dari segala macam nafsu sajalah yang mengenal apa artinya cinta kasih dan hidup penuh sinar cinta kasih adalah bahagia.

Ambisi atau pengejaran keinginan selalu mengakibatkan perbuatan yang menyeleweng! Segala cara dilakukan orang untuk mencapai tujuan. Tujuan menghalalkan segala cara karena tujuanlah yang terpenting bagi orang yang ambisius. Namun sebaliknya, caralah yang paling penting bagi orang yang waspada, karena cara inilah kehidupan sehari-hari, langkah-langkah hidup, sedangkan tujuan hanyalah bayangan, khayalan yang sedang dikejar-kejar.

Pengejaran akan sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kebahagiaan membuat kita buta. Dalam mengejar itu kita tidak peduli lagi apakah kita melangkahi orang atau menendang orang yang kita anggap menghalangi di depan. Pengejaran kesenangan ini sesungguhnya yang menciptakan segala macam tindakan kemaksiatan!

Hal ini jelas nampak di sekeliling kita kalau saja kita mau membuka mata. Pengejaran kesenangan melalui uang menimbulkan perampokan, pencopetan, pencurian, penipuan, korupsi, penyuapan, penyelundupan dan sebagainya lagi. Banyak cara yang dihalalkan untuk mencapai tujuan, yaitu memperoleh uang secara mudah dan banyak, termasuk di antaranya perjudian. Pengejaran kesenangan sex menimbulkan perkosaan, perjinahan dan pelacuran. Pengejaran kesenangan melalui kedudukan mengakibatkan perebutan kekuasaan, pertentangan pemberontakan, dan perang!

Apakah kalau begitu kita tidak boleh menikmati kesenangan? Sebaliknya malah! Orang yang bebas akan pengejaran kesenangan akan menikmati setiap keadaan, sedangkan pengejaran kesenangan melenyapkan kenikmatan dari keadaan yang sudah ada! Tanpa keinginan memperoleh minuman lain, segelas air putih akan terasa nikmat, sedangkan hati yang dipenuhi keinginan minum bir, diberi limun sekali pun takkan dapat menikmati limun itu!

Ada yang berkata bahwa orang takkan menjadi kaya raya tanpa pengejaran! Benarkah ini? Boleh kita lihat buktinya di sekeliling kita! Kita semua ini adalah pengejar-pengejar uang sejak kecil, siapa di antara kita yang kaya raya? Semua masih merasa kurang dan tak seorang pun merasa dirinya kaya raya! Namun, lihatlah dia yang makan demikian lahap dan nikmatnya walau pun hanya dengan sayur asam dan sambal, lihatlah dia tidur demikian nyenyaknya walau di atas tikar, dia yang mampu tertawa lahir batin, dia yang menikmati keadaannya. Dia itulah orang kaya raya!


Cita-cita atau ambisi yang dimiliki Siangkoan Lohan adalah melihat putera tunggalnya, Siangkoan Liong, menjadi pengganti kaisar! Cita-cita yang tak kepalang besarnya, yang muncul dalam benaknya bukan tanpa sebab. Sebab itu terjadi kurang lebih sebelas atau dua belas tahun yang lalu. Ketika itu, Siangkoan Liong baru berusia delapan tahun lebih.

Anak ini memang berbakat sekali dan suka akan ilmu silat sehingga Siangkoan Lohan dengan penuh semangat menggembleng puteranya itu. Pada waktu itu, sedikit pun dia tak memiliki keinginan untuk memberontak. Dia adalah seorang yang dianggap keluarga oleh istana, bahkan isterinya yang telah meninggal, yaitu ibu kandung Siangkoan Liong, adalah seorang puteri dari istana yang dihadiahkan oleh kaisar kepadanya.

Siangkoan Lohan yang bernama Siangkoan Tek itu selalu merasa berterima kasih dan setia kepada Kerajaan Ceng. Di dalam hatinya, sedikit pun dia tidak pernah mempunyai hati untuk memberontak.

Pada suatu hari, selagi Siangkoan Lohan melatih ilmu silat kepada puteranya di kebun belakang yang sunyi, tiba-tiba saja terdengar seruan halus memuji, “Ilmu silat bagus...!”

Siangkoan Lohan cepat-cepat menghentikan gerakannya saat memberi contoh kepada puteranya, dan menengok. Kiranya yang mengeluarkan seruan pujian itu ialah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun yang berdiri tegak di atas pagar tembok kebun itu. Diam-diam Siangkoan Lohan terkejut. Ada orang meloncat ke dalam pagar tembok demikian dekat dan dia sama sekali tidak tahu atau mendengarnya!

Tetapi laki-laki itu agaknya tidak mempedulikan padanya karena sedang memandang ke arah Siangkoan Liong dan kembali dia memuji.

“Anak yang memiliki bakat yang amat baik untuk menjadi kaisar sekali pun!”

Tentu saja ucapan ini membuat Siangkoan Lohan menjadi terkejut bukan main, apa lagi mendengar betapa kata-kata yang keluar dari mulut orang itu logatnya asing walau pun halus dan teratur rapi. Dia memandang penuh perhatian.

Seorang laki-laki yang tinggi kurus dan mengenakan pakaian bersih yang sangat rapi bagai pakaian seorang pelajar, seorang siucai. Rambutnya tersisir rapi dan segala yang nampak pada dirinya, meski pun tidak mewah namun bersih dan rapi. Siangkoan Lohan yang dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa, cepat memberi hormat dari bawah tembok.

“Sahabat yang baik terlalu memuji ilmu silat kami yang tak ada artinya dan memuji pula puteraku yang bodoh. Silakan turun dan menikmati secawan arak denganku.”

Orang itu tersenyum mengangguk, “Tidak salah pendengaranku. Ketua Tiat-liong-pang memang seorang laki-laki gagah perkasa dan peramah, dapat menghargai orang lain. Sayang kurang semangat!” Setelah berkata demikian, dia meloncat turun.

Cara dia meloncat turun ini yang mengejutkan hati Siangkoan Lohan karena tubuh itu sama sekali tidak membuat gerakan keseimbangan, melainkan meluncur begitu saja seperti balok jatuh. Akan tetapi ketika tiba di atas tanah, sama sekali tak mengeluarkan suara dan kedudukan kaki dan anggota tubuh lain masih seperti tadi.

Juga ia teringat betapa para anggota Tiat-liong-pang selalu melakukan penjagaan ketat diluar pagar tembok. Bagaimana orang ini bisa enak-enak begitu saja memasuki taman tanpa ada muridnya yang mengetahuinya?

“Harap maafkan jika kami belum mengenal nama besar sahabat yang baru datang dan sebaliknya engkau sudah mengenalku. Siapakah engkau, Sobat, dan dari mana engkau datang, ada keperluan apa pula datang berkunjung secara ini?”

Sikap orang itu terlalu halus sehingga Siangkoan Lohan juga tidak mempunyai alasan untuk marah. Apa lagi orang itu tadi memuji-muji puteranya, memuji ilmu silatnya, dan memuji dirinya sebagai ketua Tiat-liong-pang.

Kembali orang itu tersenyum, bahkan senyumnya saja senyum yang amat sopan!

“Semua orang menyebutku Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang). Aku harus bercerita panjang lebar untuk dapat memberi tahu dari mana aku datang, dan sebetulnya aku tak mempunyai keperluan khusus, hanya kebetulan lewat dan karena mendengar kalian berlatih silat, aku lalu ingin menonton. Puteramu ini sungguh hebat. Jika dididik dengan benar, kelak akan menjadi orang besar, bahkan patut menjadi kaisar!”

Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya. Orang ini agak keterlaluan bicaranya, pikirnya. Bagaimana mungkin puteranya menjadi kaisar? Dan dia seorang yang setia terhadap kerajaan!

“Ouwyang Sianseng, harap jangan berlebihan memuji puteraku. Aku hanyalah seorang ketua perkumpulan, bagaimana mungkin puteraku menjadi kaisar?”

Ouwyang Sianseng tersenyum. “Semenjak kecil aku mempelajari kesusastraan dan ilmu perbintangan. Aku melihat bahwa puteramu ini memang pantas untuk menjadi kaisar, Pangcu. Bukankah dia memiliki darah bangsawan istana pula? Tidak percuma orang menjuluki aku Nam-san Sianjin (Manusia Dewa Gunung Selatan) kalau aku tidak dapat melihat arti garis-garis pada wajah anak ini,” katanya tanpa bernada menyombongkan diri, bahkan pandangan matanya terhadap Siangkoan Liong jelas membayangkan rasa kagum, “Namun tentu saja ia harus dididik sebaiknya, dan pendidikanmu hanya menjadi pendidikan dasar saja, Pangcu. Jika nanti aku yang melanjutkan pendidikannya, barulah kemungkinan dia menjadi kaisar semakin besar.”

Mendengar ucapan terakhir ini, tentu saja Siangkoan Lohan mengerutkan alis. Hatinya merasa tidak senang. Alangkah sombongnya orang ini, pikirnya, berani mengeluarkan ucapan yang sangat meremehkannya, seolah-olah kepandaiannya masih amat rendah tingkatnya dibandingkan tingkat kepandaian orang itu!

“Nanti dulu, Sobat!” katanya sambil tertawa, akan tetapi ketawanya agak masam karena biar pun orang ini datang memuji puteranya dan bermaksud untuk mendidik puteranya agar menjadi kaisar, namun nada suara orang ini amat memandang rendah. “Tidak ada orang lain boleh mendidik puteraku kecuali kalau orang itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku. Kelak dia menjadi orang besar atau tidak, hal itu terserah kepada nasibnya, akan tetapi untuk pendidikannya, ada aku di sini yang mendidiknya, bukan orang lain. Tentu saja boleh dia berguru kepadamu kalau memang ada buktinya bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada aku.”

Kembali kakek yang halus tutur sapanya itu tersenyum. “Siangkoan Pangcu, namamu sebagai ketua Tiat-liong-pang sudah terkenal di empat penjuru, dan semua orang tahu bahwa engkau memiliki ilmu silat yang hebat, tendangan maut dan tenaga luar dalam yang sukar dicari tandingannya! Akan tetapi untuk dapat mendidik murid seperti aku, engkau masih harus belajar lebih banyak. Tentu saja kepandaianku lebih tinggi darimu, Pangcu. Aku hanya bicara seadanya saja, bukan bermaksud menyombongkan diri.”

Memang demikian, ketua Tiat-liong-pang itu pun kini melihat betapa orang di depannya itu tidak menyombong, bicara dengan suara seakan-akan menerangkan sesuatu yang sudah pasti. Karena sikap orang itu tidak sombong dan tidak mengandung iktikad buruk terhadapnya, maka dia tidak marah, hanya merasa penasaran sekali.

Sementara itu, Siangkoan Liong yang semenjak tadi mendengarkan percakapan antara kedua orang tua itu, kini dia pun merasa penasaran.

“Ayah, buktikan bahwa Ayah tidak kalah olehnya, agar dia cepat-cepat pergi dan tidak mengganggu kita lagi.”

Orang yang mengaku bernama Ouwyang Sianseng atau berjuluk Nam-san Sianjin itu tersenyum gembira memandang Siangkoan Liong.

“Bagus, anak ini sudah memiliki sifat terbuka dan gagah. Majulah, Pangcu, dan mari kita sama membuktikan kebenaran omonganku tadi. Jika engkau tak mampu mengalahkan aku, kelak setelah engkau selesai mengajarkan ilmu-ilmu dasar kepada puteramu, aku akan melanjutkan pendidikannya. Sebaliknya, kalau engkau dapat mengalahkan aku, aku akan minta maaf dan langsung aku pergi dan tidak akan mengganggu kalian lagi.”

Tantangan ini diucapkan dengan suara halus dan sama sekali tidak mengandung nada permusuhan, maka Siangkoan Lohan lalu melangkah maju menghadapi kakek itu.

“Baik. Mari kita memulai perkenalan kita dengan saling menguji kepandaian, Ouwyang Sianseng. Dengan cara bagaimanakah engkau hendak mengadu kepandaian?” Sebagai seorang ketua yang berwibawa dan sadar akan kedudukannya, Siangkoan Lohan tentu saja bersikap mengalah dan mempersilakan calon lawan untuk menentukan cara.

Akan tetapi, kakek berpakaian rapi dan bersikap sopan, itu menjura dengan hormat dan tersenyum. “Senjata yang paling ampuh berada di dalam diri, bukan di luar diri. Hal ini tentu telah kau ketahui pula, Pangcu. Aku sudah mendengar akan kelihaian pukulan dan tendanganmu, dan bahwa dengan kaki tangan dan tenagamu saja, engkau lebih lihai dari pada puluhan orang bersenjata. Kebetulan aku sendiri pun seorang yang paling tidak suka melihat orang mempergunakan senjata dalam perang, membunuhi sesama manusia seperti orang membunuh binatang saja. Nah, bagaimana kalau kita main-main sebentar dengan mengandalkan kaki tangan saja, senjata-senjata pemberian Tuhan sejak kita lahir?”

Hati Siangkoan Lohan tertarik sekali. Tentu saja dia akan merasa beruntung sekali jika ternyata benar bahwa kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya darinya, untuk menjadi guru puteranya. Bagaimana pun juga, dia meragukan akan hal ini.

Dia mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, dan agaknya hanyalah keturunan para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir saja yang akan mampu menandinginya di antara para pendekar, dan hanya datuk-datuk sesat yang sudah terkenal seperti dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai saja yang setingkat dengan kepandaiannya. Akan tetapi orang ini sama sekali tidak terkenal biar pun mengaku berjuluk Manusia Dewa Gunung Selatan (Nam-san Sianjin)!

“Baiklah Ouwyang Sianseng. Aku mengharapkan petunjuk darimu,” berkata Siangkoan Lohan sambil menggerakkan dua lengannya, saling berputaran dengan jari-jari tangan membentuk cakar naga. Kedua lengan itu menggetar dan terdengar suara berkerotok ketika tenaga yang amat kuat mengalir ke dalam kedua tangan itu.

Melihat ini, Ouwyang Sianseng tersenyum mengangguk-angguk.

“Memang bukan nama kosong, hebat Ilmu Liong-jiauw-kang (Tenaga Cakar Naga) itu. Mulailah, Pangcu, aku siap menyambut seranganmu!”

“Awas pukulan!” tiba-tiba ketua Tiat-liong-pang itu membentak sebagai isyarat bahwa dia mulai menyerang.

Angin menyambar dahsyat ketika lengan kirinya meluncur dari samping dan mengirim cakaran ke arah telinga kanan lawan, sedangkan tangan kanan juga bergerak dalam detik berikutnya menyusul serangan pertama itu dengan cengkeraman ke arah perut.

Dua tangan dengan jari-jari tangan yang membentuk cakar naga ini luar biasa kuatnya. Jangankan bagian tubuh manusia, bahkan batu karang pun akan hancur bila terkena cengkeraman itu! Perlu diketahui bahwa tingkat kepandaian Siangkoan Tek yang sudah terkenal dengan sebutan Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan) atau Siangkoan Lohan ini sudah amat tinggi.....

Siangkoan Lohan memiliki tenaga yang dahsyat, yaitu tenaga Liong-jiauw-kang (Cakar Naga), sedangkan ilmu silatnya yang dinamakan Tiat-wi Liong-kun (Silat Naga Berekor Besi) amat tangguh pula. Di samping itu, ketua Tiat-liong-pang ini masih memiliki ilmu andalan yang disebut Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati). Juga dia adalah seorang ahli ilmu gulat dari bangsa Mongol, maka, kedua tangan yang membentuk cakar naga itu, selain dapat digunakan untuk memukul, menampar dan cengkeraman, juga dapat diubah menjadi jari-jari tangan seorang jago gulat yang tangkapannya membahayakan lawan!

Menghadapi cengkeraman ke arah kepala dan perutnya sekaligus, Ouwyang Sianseng tidak nampak gugup. Kakinya melangkah ke belakang dan dua tangannya, dengan jari tengah dan jari telunjuk tegak, menyambut kedua tangan lawan dengan totokan ke arah telapak tangan!

Melihat ini Siangkoan Lohan terkejut. Kalau orang itu berani menotok telapak tangannya yang penuh dengan tenaga Liong-jiauw-kang, berarti bahwa orang itu tentu mempunyai sinkang yang amat kuat. Dia tidak berani mencoba mengadu tenaganya, karena kalau hal itu terjadi, telapak tangannya menyambut totokan jari tangan lawan, tentu seorang di antara mereka akan dapat terluka parah.

Maka dia pun cepat menarik kembali kedua tangannya dan tiba-tiba saja kedua kakinya melakukan tendangan, mula-mula yang kanan lalu disusul yang kiri, kemudian kanan lagi. Tendangan bertubi-tubi itu selain amat cepat, juga tenaganya bahkan lebih dahsyat dari pada cengkeraman tadi sehingga debu dan tanah mengebul tinggi seolah kedua batang kaki itu menjadi kitiran yang mendatangkan angin besar menerbangkan debu dan daun kering.

Melihat betapa tendangan itu semakin lama semakin kuat, Ouwyang Sianseng yang mengelak ke kanan kiri dan ke belakang itu mengeluarkan suara pujian.

“Ilmu tendangan yang berbahaya!” katanya.

Kini selain mengelak, kedua tangannya yang dimiringkan juga beberapa kali menyambut tendangan dengan tangkisan. Terdengar suara berdebuk-debuk ketika tangan bertemu kaki, dan keduanya terdorong mundur.

Kembali Siangkoan Lohan terkejut. Tangan itu mampu menahan tendangannya! Bukan main, kakek ini benar-benar memiliki sinkang yang amat hebat. Dia pun lalu menyerang dengan desakan, mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun. Tubuh ketua ini lalu bergerak cepat bagaikan seekor naga sakti, dengan kedua tangan membentuk cakar dan dua kakinya menyabet-nyabet seperti seekor naga yang sedang mengamuk.

Namun, Ouwyang Sianseng mengimbangi kecepatannya dengan gerakan-gerakan aneh dan lincah sekali. Kadang-kadang kakek ini berloncatan, atau seperti merak terbang, kedua tangannya digerakkan seperti sayap, kedua kakinya itu berloncatan dan sambil meloncat, kakinya itu menendang, atau jari tangannya membentuk kerucut atau paruh burung untuk menotok dari atas. Gerakannya mirip seekor merak dan memang ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat merak yang aneh dan indah, juga lihai sekali. Memang ilmu silat yang aneh dan tidak pernah dikenal oleh Siangkoan Lohan, dan ilmu silat dari selatan ini disebut Kong-ciak Sin-kun (Ilmu Silat Merak).

Karena sampai puluhan jurus dia tak mampu mendesak lawan, bahkan kadang-kadang gerakannya menjadi kacau oleh keanehan gerakan lawan. Siangkoan Lohan menjadi makin penasaran. Dia menggereng keras dan tiba-tiba cengkeraman tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan.

Selagi dia hendak menggunakan ilmu gulat untuk membanting, tiba-tiba saja kakek itu mendekat, memutar tubuhnya dan siku lengan dari tangan yang tertangkap itu sudah menyerang ke arah dada Siangkoan Lohan. Cepat dan hebat serangan ini, sehingga terpaksa pegangannya dilepaskan dan pada saat itu, kedua tangan lawan dengan jari tangannya yang lihai telah menghujankan totokan kearah jalan darah di bagian tubuh depan sebanyak tujuh kali!

Tentu saja dia terkejut dan menjadi repot untuk mengelak dan menangkis, dan terpaksa harus loncat ke belakang karena dia merasa terdesak. Rasa penasaran membuat ketua Tiat-liong-pang ini mengerahkan sinkang, kemudian mengirim serangan dari jarak jauh dengan mendorong kedua tangan dengan telapak tangan terbuka ke arah lawan.

Melihat ini, Ouwyang Sianseng tersenyum. Ia pun menyambut dengan dorongan kedua telapak tangannya. Segera dua tenaga dahsyat yang tidak nampak bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Siangkoan Lohan terdorong ke belakang sampai terhuyung.

Tahulah Siangkoan Lohan bahwa lawannya itu benar-benar lebih tangguh darinya. Jika lawan itu menghendaki, ia tentu telah roboh dan kalah! Hal ini di samping menimbulkan keheranan dan kekaguman, juga membuat dia merasa girang bukan main dan mulailah dia percaya akan omongan orang ini bahwa puteranya berbakat untuk menjadi kaisar! Dia pun menghentikan gerakannya dan menjura dengan sikap hormat.

“Nam-san Sianjin, sungguh baru sekarang saya harus mengakui keunggulan seseorang yang ternyata lebih pandai dari pada saya. Saya persilakan Sianjin untuk menjadi tamu kami agar perkenalan kita menjadi lebih akrab dan saya ingin minta petunjuk tentang putera kami kepada Sianjin.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Baiklah, Pangcu. Terima kasih atas kepercayaanmu.”

Sementara itu, Siangkoan Liong yang mendengar pengakuan ayahnya bahwa kakek itu lebih lihai dari pada ayahnya, menjadi bengong. Kemudian anak yang cerdik ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ouwyang Sianseng atau Namsan Sianjin.

“Locianpwe berjanji akan mengambil teecu (murid) sebagai murid, oleh karena itu mulai sekarang, Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah Suhu (Guru) bagi teecu.” Dan dia pun memberi hormat sebanyak delapan kali sambil menyebut ‘suhu’.

Kakek itu tersenyum gembira, kemudian membangunkan anak itu, meraba-raba pundak, lengan dan kakinya sambil mengangguk-angguk.

“Sudah kuduga, bertulang baik sekali. Pantas menjadi muridku, pantas menjadi seorang calon kaisar!”

Mendengar ini, hati Siangkoan Lohan menjadi girang bukan main. Ia pun lalu mengajak tamunya masuk ke dalam, dan mengadakan pesta untuk menyambut dan menghormati tamunya. Dalam kesempatan ini, Siangkoan Lohan lebih banyak mengenal tamunya dan kakek itu pun dengan singkat menceritakan siapa dia sebenarnya.

Nam-san Sianjin adalah seorang bekas pembesar tinggi di negara Birma! Dia seorang bangsa Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sejak muda dia suka merantau untuk memperdalam ilmunya. Perantauannya membawanya ke Birma dan di sana dia, berkat kelihaiannya, memperoleh kepercayaan dari raja, diberi kedudukan dan karena jasa-jasanya, dia bahkan kemudian diangkat menjadi penasehat raja.

Dialah yang berjasa besar dalam menghadapi penyerbuan bala tentara Mancu yang berkali-kali menyerbu ke selatan, namun tidak pernah dapat menguasai Birma berkat pertahanan Birma yang kokoh kuat, di bawah pimpinan Nam-san Sianjin! Dia amat setia kepada Birma, apa lagi karena oleh raja, dia telah dihadiahi seorang puteri istana untuk menjadi isterinya. Juga dia menentang keras pasukan Mancu karena dia tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa yang menjajah Cina, dari mana dia berasal.

Akan tetapi, terjadi mala petaka menimpa keluarganya ketika berkobar perang melawan bala tentara Mancu. Dalam suatu penyerbuan, ada pasukan yang berhasil menerjang kota dan menyerbu gedungnya, dan isteri bersama tiga orang anaknya tewas dibantai mereka!

Wajah yang tadinya halus lembut dan gembira itu berubah menjadi pucat dan matanya memancarkan sinar berapi ketika dia bercerita sampai di bagian itu. Dia mengepal tinju. “Mereka sudah membasmi anak isteriku. Keparat Mancu! Aku kemudian mengamuk, membunuh sebanyak mungkin orang-orang yang sudah menyerbu rumah kami itu, dan akhirnya aku terpaksa lari dari Birma...“

Siangkoan Lohan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia pun ikut merasa prihatin. “Tapi... mengapa engkau harus lari dari sana, Sianjin?” tanyanya hati-hati melihat orang itu seperti marah-marah.

“Aku dikatakan gila! Yang mengatakan adalah salah seorang menteri. Kubunuh dia dan setelah melakukan pembunuhan terhadap seorang menteri, aku menjadi buronan dan terpaksa melarikan diri dari Birma. Pula, aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga di sana, untuk apa lebih lama tinggal di sana? Aku lalu membawa simpanan hartaku dan melarikan diri, dan kini tinggal di bukit selatan menjadi pertapa. Orang-orang di sekitar daerah itu menyebut aku Nam-san Sianjin.”

Siangkoan Lohan merasa kagum sekali mendengar riwayat hidup kakek yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi itu. Tentu saja Nam-san Sianjin tidak menceritakan apa yang menjadi cita-citanya.

Dia mendendam kepada Kerajaan Mancu yang dianggap telah membasmi keluarganya dan merusak kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu, dia bersumpah untuk membalas dendam, untuk menghancurkan Kerajaan Mancu. Inilah yang menjadi cita-cita terakhir dari hidupnya.

Inilah sebabnya, saat melihat Siangkoan Lohan dan puteranya, ia merasa tertarik sekali. Melalui perkumpulan Tiat-liong-pang yang dia tahu amat berpengaruh dan kuat ini dia akan dapat mengumpulkan kekuatan untuk menentang Kerajaan Mancu. Dan dia dapat menggerakkan hati Siangkoan Lohan dengan memuji-muji puteranya yang dikatakan berbakat besar untuk menjadi calon kaisar. Tentu saja dia sudah menyelidiki keadaan keluarga Siangkoan Lohan ini dan tahu bahwa mendiang ibu anak itu adalah seorang bangsawan tinggi dan masih anggota keluarga Kerajaan Mancu.

Dan dia pun berhasil menggerakkan hati Siangkoan Lohan, seperti ternyata kemudian betapa Siangkoan Lohan yang kini mempunyai ambisi agar puteranya menjadi kaisar, mulai mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menjatuhkan Kerajaan Mancu supaya puteranya mendapat kesempatan menjadi kaisar seperti yang diramalkan oleh Nam-san Sianjin!

Selama beberapa tahun, kadang-kadang Nam-san Sianjin datang berkunjung. Dalam percakapan mereka, kakek ini menanam dan menyebar bibit-bibit pemberontakan dalam hati Siangkoan Lohan demi masa depan puteranya sehingga ketua Tiat-liong-pang yang tadinya terkenal sebagai seorang yang amat setia kepada Kerajaan Ceng, kini berubah dan ingin mengadakan persekutuan untuk memberontak!

Sementara itu, Siangkoan Liong digemblengnya dengan sangat keras sehingga setelah dia berusia delapan belas tahun, pemuda itu telah berhasil mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu silat dari ayahnya. Juga, menurut nasehat Nam-san Sianjin, Siangkoan Lohan lalu mengundang guru-guru sastra untuk mengajar puteranya, karena menurut nasehat Nam-san Sianjin, seorang calon kaisar haruslah menguasai ilmu tentang sastra dengan baik.

Pada waktu Siangkoan Liong berusia delapan belas tahun, pada suatu pagi muncullah Ouwyang Sianseng atau Nam-san Sianjin. Dia pun mengatakan bahwa kini tiba saatnya bagi Siangkoan Liong untuk digemblengnya.

“Dia akan kuajak ke tempat tinggalku di Nam-san. Aku mengundang Siangkoan Pangcu untuk datang berkunjung pula agar hatinya menjadi tenteram karena dia tahu bahwa puteranya berada di suatu tempat yang dikenalnya.”

Giranglah hati Siangkoan Lohan. Biar pun sekarang dia sudah menjadi kenalan baik Si Manusia Dewa, namun belum pernah dia mengetahui di mana tempat tinggal pertapa itu sehingga tentu saja hatinya akan selalu diliputi kesangsian dan kekhawatiran melepas puteranya untuk mengikuti gurunya ke tempat tinggalnya. Dan kini ia diajak berkunjung, maka tentu saja dia merasa girang dan pada hari itu, berangkatlah dia dan puteranya mengikuti kakek sakti itu.

Pegunungan di daerah selatan tidak setinggi pegunungan di bagian utara, akan tetapi hutan-hutannya lebih lebat dan pohon-pohonnya lebih beraneka ragam. Di atas sebuah puncak di antara bukit-bukit itu terdapat sebuah hutan lebat dan di tempat inilah tinggal Nam-san Sianjin.

Selama ini, Siangkoan Lohan sudah menyuruh beberapa orang anggotanya menyelidiki keadaan kakek pertapa yang menjadi guru puteranya. Dia mendengar hasil penyelidikan orang-orangnya bahwa kakek itu sering mengulurkan tangan menolong para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu. Bukan hanya menolong dengan pengobatan, akan tetapi juga sering kali menolong mereka yang kekurangan dan kelaparan dengan bahan makanan, pakaian atau bahkan uang secara royal sekali.

Tidaklah mengherankan kalau kakek itu dinamakan Manusia Dewa oleh para penghuni dusun. Bukan hanya karena dermawan sekali dan pandai mengobati, akan tetapi juga karena kakek itu datang dan pergi seperti menghilang saja. Tak pernah ada yang dapat berhubungan langsung dengan kakek pertapa itu, tetapi melalui para pelayan kakek itu yang kabarnya juga memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, semua murid dan anggota Tiat-liong-pang gagal ketika berusaha mencari tempat tinggal Nam-san Sianjin!

Setelah mereka tiba di tengah hutan di puncak bukit itu, Siangkoan Lohan sendiri lalu terheran-heran. Tidak nampak ada sebuah pun rumah di puncak itu, akan tetapi guru puteranya itu mengatakan bahwa dia tinggal di puncak bukit yang penuh hutan itu! Dan mengertilah dia mengapa anak buahnya gagal semua menemukan tempat tinggal Si Manusia Dewa, karena tempat tinggalnya amat rahasia dan tidak nampak!

“Kita sudah sampai,” kata Nam-san Sianjin seperti dapat membaca kesangsian dalam hati Siangkoan Lohan.

Tiba-tiba saja nampak berlompatan tiga orang lelaki berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, kesemuanya berpakaian indah seperti pelayan-pelayan pembesar dan mereka segera memberi hormat kepada Nam-san Sianjin sambil berlutut!

“Siapkan hidangan untuk menyambut para tamu kita,” kata Nam-san Sianjin kepada tiga orang pelayannya itu. “Siangkoan Pangcu menjadi tamu kita hari ini dan Siangkoan Kongcu (Tuan Muda Siangkoan) ini mulai hari ini tinggal di sini sebagai muridku, jadi sediakan kamar untuknya.”

“Baik,Taijin (Orang Besar),” kata mereka dan mereka lalu menyelinap di antara semak belukar di tepi jurang dan lenyap! Terkejutlah Siangkoan Lohan melihat cara mereka menghilang itu.

“Pangcu, jangan heran. Semak-semak dan jurang itulah pintu gerbang menuju tempat tinggalku. Mari, silakan,” kata Nam-san Sianjin dan dia pun mendahului ayah dan anak itu, menyelinap di antara semak belukar, diikuti oleh Siangkoan Lohan dan puteranya.

Ketika mereka menyusup di antara semak belukar, ternyata di balik semak-semak itu terdapat anak tangga yang menuruni jurang! Pantas tidak ada di antara anak buahnya yang dapat menemukan tempat tinggal kakek ini! Siapa yang menduga bahwa di balik semak belukar, di dalam jurang, merupakan tempat tinggal kakek itu?

Anak tangga itu tidak terus menuju ke dasar jurang, melainkan berhenti hanya sampai di pertengahan dinding jurang dan kiranya di situ terdapat sebuah goa yang tersembunyi dan tidak dapat kelihatan dari atas. Akan tetapi mulut goa yang berada di dinding jurang ini menghadap ke timur sehingga memperoleh penerangan sinar matahari yang cukup.

“Di sinilah tempat tinggalku, pangcu. Silakan masuk,” berkata Nam-San Sianjin sambil melangkah masuk ke dalam goa.

Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya dan ikut masuk bersama puteranya. Diam-diam dia merasa kecewa. Puteranya harus tinggal di tempat seperti ini?

Akan tetapi, setelah memasuki goa itu, ia terbelalak dan menjadi bengong! Goa itu lebar dan nampak biasa saja ketika dia mulai memasukinya, akan tetapi setelah masuk ke sebelah dalam, dia jadi terpesona. Di dalam goa itu ternyata amat luas, seperti rumah gedung besar, dan keadaan di dalamnya tidak kalah dengan gedung tempat tinggalnya sendiri, bahkan jauh lebih mewah. Keadaan goa ini sungguh tiada ubahnya keadaan di dalam gedung istana!

Terdapat banyak kamar, dan setiap ruangan dihias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah. Setiap perabot rumah amat indah dan halus buatannya, dan keadaan di dalam goa itu luar biasa sekali. Sedemikian luasnya, dengan sebagian atasnya berlubang dan terbuka sehingga nampak sinar matahari. Bahkan di tengah-tengah ruangan itu terdapat pula sebuah taman kecil penuh bunga!

Tak nampak pelayan wanita di situ. Agaknya kakek Ouwyang hanya hidup bersama tiga orang pelayan laki-laki yang tadi menyambut. Mereka itulah yang membersihkan tempat tinggal mewah itu, memasak, dan melayani Nam-san Sianjin serta melakukan pekerjaan lainnya.

Setelah membiarkan tamunya mengagumi isi goa itu, Nam-san Sianjin mempersilakan mereka memasuki sebuah ruangan yang paling luas, yang berada di sebelah dalam.

“Ruangan itu kujadikan sebagai ruangan tamu, juga ruang duduk dan sekaligus ruangan untuk berlatih silat. Dan kadang-kadang, seperti sekarang ini, bisa juga menjadi ruangan makan, walau pun baru sekarang aku menjamu seorang tamu.”

Siangkoan Lohan merasa terhormat sekali dan segera bermunculan tiga orang pelayan tadi yang datang membawa hidangan yang lalu mereka atur di atas meja. Akan tetapi perhatian Siangkoan Lohan tertarik kepada hiasan aneh yang terdapat di dekat dinding, di sebelah rak senjata.

Di situ terdapat sebuah rak panjang dengan tombak-tombak yang berdiri berjajar. Akan tetapi, di atas tombak itu tertancap masing-masing sebuah kepala manusia, ada belasan buah banyaknya! Yang mengerikan sekali, kepala manusia itu seperti dalam keadaan hidup. Matanya terbuka dan hanya mukanya yang nampak pucat, namun segalanya masih utuh seperti hidup.

“Itu... itu... apa maksudnya?” tanya Siangkoan Lohan sambil menuding dan Siangkoan Liong juga terkejut melihat kepala yang berjajar itu.

“Aahhh, itu?” berkata tuan rumah sambil menarik napas panjang dan alisnya berkerut, seolah-olah dia teringat akan hal yang tidak menyenangkan. “Itulah kepala beberapa orang yang memimpin penyerbuan. Mereka yang menyebabkan matinya semua anak isteriku. Aku berhasil mencari dan membunuh mereka, kepalanya kuawetkan dengan ramuan obat dan kupasang di sini agar mendinginkan hatiku setiap kali teringat kepada anak isteriku.”

Siangkoan Lohan diam-diam bergidik. Orang yang amat lihai ini ternyata dapat berlaku amat sadis dalam pembalasan dendamnya. Dia tidak tahu sama sekali bahwa memang dendam telah membuat Ouwyang Sianseng menjadi seperti gila, dan karena dianggap gila itulah maka dia dipecat dari kedudukannya dalam istana raja Birma! Dia dianggap berbahaya dan bahkan kemudian dia membunuh seorang menteri dan menjadi buronan pemerintah Birma.

Sebaliknya dari ayahnya, Siangkoan Liong merasa kagum sekali kepada gurunya, yang dianggapnya telah menebus kematian yang membuat penasaran dari keluarganya dan telah membuktikan kesetiaannya kepada keluarganya.

Setelah dijamu dengan masakan yang cukup lezat dan lengkap sehingga terlihat aneh masakan seperti itu bisa dihidangkan di tempat itu, Siangkoan Lohan lalu meninggalkan puteranya di situ dan kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang. Dia harus berjanji tak akan memberi tahukan pada siapa pun juga tentang tempat tinggal Ouwyang Sianseng atau Nam-san Sianjin ini. Dan kemudian ternyata bahwa kakek ini pun tidak pernah berhubungan dengan orang lain kecuali Siangkoan Lohan dan puteranya.

Siangkoan Liong lalu menerima gemblengan di tempat rahasia itu oleh kakek bekas penasehat Raja Birma sehingga dalam waktu dua tahun ia telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Setelah lewat dua tahun dan kembali ke rumah orang tuanya, dia melihat betapa ayahnya kini telah mengadakan persekutuan dengan tokoh-tokoh lihai.

Karena girang melihat puteranya telah tamat belajar dan mempunyai kepandaian yang tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari tingkatnya sendiri, Siangkoan Lohan kemudian mengadakan pesta, sekalian untuk merayakan hari ulang tahunnya yang keenam puluh tahun. Dia lalu mengundang tokoh-tokoh, baik dari golongan hitam mau pun putih dan seperti kita ketahui, di dalam pesta itu terjadilah keributan.

Siangkoan Liong maklum bahwa ayahnya sedang bersekutu dengan kekuatan-kekuatan yang ingin menggulingkan pemerintah Mancu. Meski dia sendiri, dalam keangkuhannya merasa diri jauh lebih tinggi, tak suka bergaul dengan orang-orang kang-ouw itu, namun dia tidak menghalangi usaha ayahnya karena dia maklum bahwa usaha pemberontakan itu cocok dengan apa yang dicita-citakan oleh gurunya, yaitu menggulingkan pemerintah Ceng dan dialah yang kelak dicalonkan menjadi kaisar kalau usaha itu berhasil.....

********************

Setelah menyelamatkan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang yang hampir saja tewas di tangan Sin-kiam Mo-li, dan mengobati luka beracun di tangan ketua itu, Tan Sin Hong segera pergi dengan cepat tanpa memperkenalkan diri lagi. Dia tidak ingin terlibat dalam urusan orang lain dan dia juga tidak mengenal siapa orang yang nyaris tewas di tangan Sin-kiam Mo-li itu. Kalau dia turun tangan membantu orang itu hanyalah karena orang itu terancam maut di tangan Sin-kiam Mo-li yang sudah dia ketahui kejahatannya.

Sin Hong melanjutkan perjalanannya dengan secepatnya menuju ke kota raja. Dia harus menemukan orang kaya yang disebut Lay Wangwe (Hartawan Lay) itu, karena agaknya hanya kalau dia menemukan Lay Wangwe, maka dia akan melanjutkan penyelidikannya tentang kematian ayahnya yang penuh rahasia itu. Dia percaya bahwa tidak akan sukar mencari orang itu karena ciri-cirinya. Pertama, nama keturunannya Lay, kaya raya dan kepalanya botak perutnya gendut. Tentu tidak banyak orang yang sekaligus memiliki ciri-ciri itu.

Akan tetapi, setelah kurang lebih sepekan dia melakukan penyelidikan di kota raja, dia tidak berhasil menemukan orang yang dicari-carinya. Ada hartawan Lay, bahkan ada beberapa orang yang kaya dan she Lay di kota raja, akan tetapi kepalanya tidak botak walau pun ada yang gendut. Kalau ada yang kepalanya botak dan gendut, namanya bukan Lay, juga tidak kaya raya. Namun, tetap saja dia menyelidiki orang kaya yang she Lay, botak atau tidak. Namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang pernah mengirim seratus kati emas dari Ban-goan ke Tuo-lun.

Akhirnya Sin Hong mengambil kesimpulan bahwa nama Lay Wangwe itu mungkin sekali palsu, hanya untuk pancingan saja. Bahkan mungkin peti yang katanya berisi seratus tail emas itu pun bohong dan sengaja digunakan untuk selain membunuh Tan-piauwsu, juga menyita perusahaannya untuk mengganti rugi!

Dan siapa lagi yang membutuhkan kejatuhan Peng An Piauwkiok kecuali saingannya? Saingan terbesar dari Peng An Piauwkiok adalah Ban-goan Piauwkiok yang dikepalai Kwee Tay Seng! Selain saingan dalam urusan perusahaan, juga saingan dalam urusan wanita! Siapa yang tahu kalau Ciu-piauwsu ternyata benar dalam tuduhannya bahwa Kwee-piauwsu yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, baik terhadap ayahnya mau pun terhadap Tang-piauwsu.

Pertama karena dendam atas kekalahannya memperebutkan wanita, dan ke dua karena persaingan dalam urusan perusahaan. Memang kini, setelah penyelidikannya terhadap orang bernama Lay Wangwe gagal, satu-satunya orang yang dapat dicurigai adalah Kwee-piauwsu.

Maka dia pun memutuskan untuk segera kembali ke kota Ban-goan untuk melakukan penyelidikan terhadap Kwee-piauwsu dan menunda niatnya berkunjung kepada Kao Cin Liong, suheng-nya yang tinggal di Pao-teng, di sebelah selatan kota raja.....

********************

Malam itu bulan purnama. Langit amat bersih, hanya ada awan putih tipis yang amat mengganggu sinar bulan sehingga cuaca amat bersih dan cukup terang. Suasana amat menggembirakan.

Tapi bersama dengan sinar bulan yang indah datang pula angin dingin yang memaksa orang-orang yang tadinya menikmati keindahan sinar bulan di luar rumah, memasuki rumah yang lebih hangat. Hawa yang sangat dingin membuat orang sore-sore sudah memasuki kamar tidur dan menjelang tengah malam suasana di kota Ban-goan sudah amat sunyi. Sebagian besar penduduknya sudah tidur nyenyak.

Ban-goan Piauwkiok juga nampak sunyi, walau pun setiap malam ada saja anggota piauwkiok yang melakukan penjagaan secara bergilir di dalam gardu penjagaan di sudut luar. Perusahaan itu berkantor di depan, sedangkan rumah tinggal Kwee-piauwsu ada di bagian belakang.

Pekerjaan sebagai pimpinan suatu piauwkiok (perusahaan pengawal barang) tentu saja memiliki banyak musuh, yaitu para penjahat, para perampok yang suka mengganggu pengawalan barang. Oleh karena itulah maka semua pimpinan perusahaan piauwkiok selalu berhati-hati dan kantor bersama tempat tinggal mereka selalu dijaga oleh anak buah secara bergilir.

Malam itu terlampau dingin bagi empat orang piauwsu yang bergilir jaga di dalam gardu penjagaan. Tadinya mereka masih berusaha melewatkan waktu dengan bermain kartu, akan tetapi hawa dingin membuat mereka mengantuk sekali dan kini keempat orang itu duduk berhimpit di dalam gardu jaga, menghangatkan tubuh dengan membuat unggun di luar gardu.

Apalagi dalam keadaan kedinginan dan bersembunyi di dalam gardu, andai kata mereka itu berada di luar gardu, berjaga dengan waspada sekali pun, tak mungkin mereka akan dapat melihat bayangan orang yang berkelebat dengan amat cepatnya, hanya nampak berkelebat bagai bayangan burung yang terbang di udara. Dengan kecepatan luar biasa bayangan itu telah melompati pagar tembok yang mengelilingi rumah besar itu dan telah menyelinap-nyelinap ke dalam taman di sebelah kanan rumah. Setelah melihat dengan teliti dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada penjaga di situ, juga di atas genteng nampak sunyi saja, bayangan itu kemudian melayang naik ke atas genteng rumah.

Bayangan itu adalah Tan Sin Hong yang sedang melakukan penyelidikan di rumah keluarga Kwee, tidak tahu dengan jelas apa yang akan dilakukan dan bagaimana harus memulai dengan penyelidikannya itu. Dia merasa yakin bahwa dalam hawa sedingin itu, tidak mungkin ada orang berjaga di atas genteng dan mau menentang hembusan angin malam yang amat dinginnya. Bulan masih tampak cemerlang di atas, dan suasana sunyi sekali.

Sejenak Sin Hong termenung. Dia mengingat kembali ketika Ciu-piauwsu mendatangi rumah ini kemudian menantang Kwee-piauwsu. Teringat betapa gagah dan tenangnya Kwee-piauwsu dan betapa piauwsu itu sudah menyangkal bahwa dia telah membunuh Tan-piauwsu, atau pun Tang-piauwsu. Dia menjadi ragu-ragu. Apa yang harus dicarinya dan bagaimana dia harus memulai penyelidikannya?

Ahhh, siapa tahu Tuhan akan membantunya dan mungkin saja dia akan melihat atau mendengar sesuatu yang akan dapat membantu penyelidikannya. Maka dari itu, setelah mempelajari keadaan dalam gedung itu dari atas, dia pun lalu melayang turun lagi, kini ke sebelah dalam dan dia turun dekat lapangan terbuka, di antara deretan kamar dan lorong menuju ke ruangan besar.

Dengan penuh keyakinan bahwa semua penghuni rumah itu telah tidur pulas, dia pun melangkah dengan hati-hati memasuki ruangan yang nampak gelap sekali karena tidak memperoleh sinar bulan, sedangkan dalam ruangan itu tidak ada lampunya.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melangkah masuk, tiba-tiba saja terdengar bentakan suara wanita, “Pencuri jahat, berani engkau mencuri ke sini?”

Dari angin yang menyambar di tempat gelap, tahulah Sin Hong bahwa ada sebatang pedang menyambar ke arah dadanya! Cepat dia meloncat keluar kembali dan membuka pintu kamar. Kalau dia mau meloncat dan melarikan diri pada saat itu, kiranya tidak akan terlambat. Akan tetapi Sin Hong tidak melakukan hal ini.

Dia maklum bahwa dia telah ketahuan orang dan disangka pencuri. Kalau dia melarikan diri dan ketahuan siapa dirinya, tentu hal ini amat tidak baik bagi namanya dan dia akan disangka sebagai penjahat. Mengapa tidak menghadapi saja mereka dengan secara terang-terangan dan mengajak Kwee-piauwsu bicara tentang kematian ayahnya dan Tang-piauwsu? Dari sikap dan kata-kata Kwee-piauwsu dalam percakapan itu, dia akan dapat menduga apa sebenarnya peran piauwsu itu dalam urusan ini.

Maka, dia pun tidak mau meloncat pergi, melainkan menanti saja di luar ruangan itu dan wajahnya dapat kelihatan jelas karena selain cahaya lentera dan lampu yang tergantung di situ menerangi wajahnya, juga sinar bulan membuat tempat itu cukup terang.

Orang pertama yang melompat keluar dari dalam ruangan itu adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun yang manis sekali. Gadis ini bertubuh sedang, dengan sepasang kaki nampak panjang, tubuh yang padat dan ranum, tubuh seorang dara yang mulai dewasa. Rambutnya hitam lebat dan panjang sekali, dikuncir menjadi dua diikat dengan pita merah. Dua kuncir itu bergantungan sampai ke pinggulnya.

Pinggangnya ramping ketika ia bergerak meloncat ke luar dengan pedang di tangan kanan dan sebuah lentera besar dan baru saja dinyalakan di tangan kiri. Dari cahaya lampu ini, nampak jelas oleh Sin Hong wajah gadis itu.

Kulitnya agak hitam, namun manis bukan main, terutama sekali mulutnya. Sepasang bibirnya berbentuk indah seperti gendewa terpentang, dengan garis yang jelas dan bibir itu penuh dan merah basah, sedikit terbuka memperlihatkan kilauan gigi putih seperti mutiara dan sepasang matanya tajam memandang Sin Hong penuh selidik.

Agaknya gadis itu tertegun dan agak heran melihat betapa ‘maling’ yang mampu mengelak dari serangannya tadi tidak melarikan diri, melainkan berdiri di situ menanti. Dan tak disangkanya bahwa penjahat itu seorang laki-laki muda yang berpakaian serba putih, wajahnya biasa saja, akan tetapi sinar matanya demikian lembut dan mulutnya terhias senyum ramah dan menarik! Sama sekali bukan wajah seorang pencuri atau penjahat yang kejam dan ganas, melainkan wajah seorang pemuda yang ramah dan baik hati.

Akan tetapi karena ia merasa curiga melihat munculnya pemuda tak di kenal, di tengah malam, memasuki ruangan gelap di mana ia tadi berlatih semedhi, ia pun kini mendekati dan menodongkan pedangnya dengan sikap mengancam.

“Menyerahlah sebelum pedangku yang bicara!” Pedangnya menodong dada dan lampu di tangannya diangkat menerangi muka Sin Hong.

“Tahan, jangan serang dia!” Tiba-tiba terdengar suara memerintah.

Mendengar suara ayahnya, gadis itu melangkah mundur dan menurunkan pedangnya, namun sikapnya masih mengancam.

“Ayah, dia sudah memasuki ruangan lian-bu (latihan silat). Lagaknya seperti seorang pencuri!” bantahnya.

Kwee Tay Seng atau Kwee-piauwsu tidak menjawab, hanya melangkah menghampiri Sin Hong. Sejak tadi dia menatap wajah itu dan kini dia sudah berhadapan dengan Sin Hong, matanya masih terus mengamati wajah pemuda berpakaian putih yang berdiri di situ dengan sikap tenang dan juga sedang memandangnya.

“Kau... kau seperti pernah melihatmu... ah, engkau mirip sekali dengannya...! Bukankah engkau ini putera mendiang Tan-piauwsu?”

Sin Hong merasa heran mendengar ini, akan tetapi dia pun teringat akan hubungan pria yang gagah ini dengan mendiang ibunya, dan dia tahu bahwa wajahnya memang mirip dengan wajah ibunya.

“Ayah, kalau dia benar putera Tan-piauwsu, jelas bahwa dia datang bukan dengan niat baik. Tadi dia meloncat turun dari atas genteng dan menyelinap masuk seperti pencuri. Aku yang tadi berada di dalam ruangan gelap dapat melihat dengan jelas. Begitu dia melangkah masuk, aku sudah menyerangnya, akan tetapi dia meloncat keluar lagi,” Kwee Ci Hwa, puteri Kwee-piauwsu itu, berkata lagi.

“Orang muda, aku mengenal mendiang ayahmu sebagai seorang gagah, dan engkau tentu seorang pemuda yang gagah pula. Marilah kita bicara secara jantan dan terbuka, dari pada engkau harus datang secara gelap begini. Silakan masuk dan mari kita bicara di dalam.”

Sin Hong merasa malu sendiri dan dia pun mengangguk, lalu mengikuti tuan rumah itu memasuki ruangan tadi, diikuti oleh Ci Hwa yang membawa lampu. Ternyata ruangan itu luas dan bersih, hanya terdapat beberapa buah bangku di dekat dinding dan sisanya kosong karena ruangan itu adalah sebuah tempat berlatih silat.

Ci Hwa menaruh lampu itu di atas meja kecil, dan dinyalakan lagi tiga buah lentera lain yang digantungkan di dinding sehingga kini ruangan itu menjadi terang. Kwee-piauwsu mempersilakan Sin Hong duduk di atas bangku, kemudian dia sendiri beserta puterinya duduk menghadapinya.

“Orang muda, katakanlah siapa engkau sebenarnya,” kata Kwee-piauwsu.

“Tidak salah dugaanmu tadi, Paman Kwee. Aku adalah Tan Sin Hong, putera dari Tan Piauwsu, dan yang menyebabkan aku malam ini datang menyelundup seperti seorang pencuri adalah karena aku hendak menyelidiki tentang kematian ayahku dan kematian paman Tang Lun.”

“Sungguh aneh,” kata Ci Hwa yang sejak tadi diam saja. “Menyelidiki kematian mereka, kenapa harus mencari di sini? Apakah pembunuh mereka berada di sini?”

Kwee-piauwsu mengeluh panjang. Pada saat itu terdengar suara berisik dan ternyata ada beberapa orang anggota piauwkiok yang meronda dan agaknya mereka merasa heran dan curiga melihat betapa ada suara orang tengah bicara di lian-bu-thia yang juga nampak terang.

“Ci Hwa, engkau keluarlah dan tenangkan mereka. Aku hendak bicara berdua dengan Tan Sin Hong.”

Biar pun gadis itu memandang kecewa karena ia pun ingin sekali mengetahui kelanjutan dari munculnya pemuda itu, namun dia tidak membantah ayahnya, dan dia pun segera keluar dan tak lama kemudian, para anggota piauwkiok pergi meninggalkan tempat itu, melanjutkan perondaan.

“Sin Hong, sudah dua kali ini orang mencurigai aku sebagai pembunuh ayahmu dan Tang-piauwsu. Padahal, aku sama sekali tidak tahu menahu tentang peristiwa itu. Ketahuilah, bahwa dahulu persaingan yang terjadi antara aku dengan ayahmu adalah persaingan sehat dua orang yang memiliki perusahaan yang sama. Kami sama-sama bersaing untuk mendapat kepercayaan langganan dengan pelayanan sebaiknya, bukan persaingan dengan cara saling menjatuhkan. Pernah Ciu Hok Kwi, piauwsu muda yang belum lama menjadi piauwsu itu pun menuduh aku yang membunuh Tang-piauwsu sehingga dia datang ke sini dan mendatangkan keributan. Dan sekarang engkau sendiri, putera Tan-piauwsu datang ke sini tentu mempunyai dugaan pula bahwa aku yang telah membunuh ayahmu dan Tang-piauwsu. Sungguh membuat aku merasa penasaran sekali!” Kakek itu mengeluh dan mengepal tinju.

“Tidak kusangkal bahwa aku dan ayahmu bersaingan dalam memajukan perusahaan masing-masing, akan tetapi aku, Kwee Tay Seng, selama hidupku belumlah demikian rendah untuk menggunakan cara-cara kotor, apa lagi sampai melakukan pembunuhan dengan curang!”

Sejak tadi Sin Hong menatap wajah kakek itu dengan penuh perhatian dan melihat sikap dan suara Kwee-piauwsu, memang sukar dipercaya orang segagah ini melakukan kecurangan seperti itu, membunuh dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi masih ada sesuatu yang membuat Sin Hong penasaran, maka dengan terus terang dia berkata, “Paman Kwee, selain persaingan dalam perusahaan, aku juga pernah mendengar dari Tang-piauwsu bahwa dahulu, antara mendiang ibuku dan engkau...“

“Aihh...!” Kwee Tay Seng menghela napas panjang dan mengangguk-angguk, mukanya berubah lesu. “Inilah sebabnya mengapa aku menyuruh Ci Hwa pergi meninggalkan kita. Aku memang hendak membicarakan hal ini, karena aku sudah menduga bahwa tentu ini merupakan satu di antara sebab mengapa aku yang dicurigai. Tadi pun, ketika melihatmu, aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentulah putera Bwee Hwa. Wajahmu demikian mirip dengannya. Sin Hong, tidak perlu kusangkal lagi. Memang di waktu kami muda, terdapat pertalian cinta antara aku dan ibumu, akan tetapi sungguh sayang, orang tua kedua pihak tidak setuju sehingga kami terpaksa saling berpisah. Namun, kemudian aku melihat betapa ia, ibumu yang dulu pernah menjadi kekasihku itu, hidup dengan bahagia bersama Tan Hok, ayahmu. Aku cinta kepada ibumu, maka, lebih tak masuk di akal lagi kalau aku ingin membikin ia sengsara dengan membunuh suaminya! Aku belumlah gila, dan cintaku adalah cinta suci, bukan cinta nafsu belaka yang menimbulkan iri. Tidak, Sin Hong, aku tak akan mengganggunya, seujung rambut pun, tetapi aku mendengar bahwa ketika menyusul suaminya ke utara, rombongannya dihadang perampok dan ia meninggal...“

Sunyi sejenak dan Sin Hong termangu-mangu. Sedikit pun ia tak meragukan kebenaran Kwee-piauwsu. Yang melakukan penghadangan terhadap rombongan ibunya, kemudian mencelakakan dia dan ibunya, juga orang-orang berkedok. Tak mungkin Kwee-piauwsu yang memimpin penghadangan itu dan membikin celaka ibunya, wanita yang dicintanya.

Keterangan dan perasaannya itu melegakan hatinya, akan tetapi juga mendatangkan rasa kecewa dan penasaran. Hatinya lega karena dia yakin orang tua gagah ini bukan pembunuh ayahnya dan Tang-piauwsu, akan tetapi dia penasaran dan kecewa karena kini putuslah sudah jalur penyelidikannya. Setelah Kwee-piauwsu terlepas dari daftar orang yang dicurigai, maka tidak ada lagi orang yang dapat dicurigainya! Pada saat itu terdengar suara Ci Hwa dari luar.

“Ayah, bolehkah aku masuk?” Gadis itu masih ingin melihat bagaimana kelanjutan dari urusan dengan pemuda she Tan itu.

Karena cerita tentang Bwee Hwa, ibu Sin Hong, sudah mereka bicarakan dan tidak akan diulang lagi, maka Kwee Tay Seng lalu menjawab.

“Masuklah, Ci Hwa.”

Gadis itu masuk dan duduk di dekat ayahnya. “Bagaimana urusannya dengan dia ini, Ayah?”

Sin Hong memandang kepada gadis itu dan membungkuk. “Nona, akulah yang salah. Ayahmu tidak tahu apa-apa tentang kematian ayahku dan Paman Tang, dan karena itu maafkan aku. Paman Kwee, maafkan aku...“

Melihat sikap pemuda itu yang nampak kecewa, Kwee-piauwsu berkata, “Sin Hong, aku dapat merasakan kekecewaanmu. Engkau kehilangan ayah ibu, tentu saja engkau ingin membalas dendam kepada mereka yang telah membunuhnya.”

“Ibu bukan dibunuh orang, melainkan meninggal karena badai di gurun pasir, Paman.”

Dengan singkat dia pun lalu menceritakan betapa rombongan ibunya yang dikawal oleh mendiang Tang-piauwsu diserang oleh orang-orang berkedok. Dia bersama ibunya lalu menunggang onta dan melarikan diri memasuki gurun pasir sampai akhirnya ibunya meninggal di gurun pasir.

Sampai di sini dia menghentikan ceritanya karena dia tidak ingin bercerita tentang guru gurunya, hanya menyambung dengan kata-kata yang tegas. “Dan aku sama sekali tidak ditekan dendam, Paman. Kalau aku mencari pembunuh-pembunuh itu, bukan terdorong dendam pribadi, tetapi karena perbuatan yang sedemikian jahatnya itu harus kuselidiki. Apa sebabnya ayah dibunuh, dan kalau pembunuhnya memang melakukannya karena kejahatan, maka kejahatan itu harus ditentang dan dihukum, Paman.”

Kwee-piauwsu mengangguk-angguk. “Tapi, sampai sejauh mana penyelidikanmu? Aku ingin membantumu, orang muda, karena aku pun merasa penasaran sekarang, apa lagi karena akulah yang dituduh melakukan perbuatan kejam itu.”

Suara Kwee-piauwsu terdengar penuh kesedihan. Memang dia merasa berduka sekali mendengar tentang kematian Bwee Hwa, bekas kekasihnya. Dan biar pun Bwee Hwa tidak mati dibunuh, namun sama saja, ada orang yang menyebabkan ia sampai lari ke gurun pasir dan menemui kematiannya di sana.

Dengan singkat Sin Hong lalu bercerita tentang penyelidikannya terhadap Lay-wangwe, orang yang dia curigai karena hartawan itulah yang mula-mula menemui ayahnya dan mengirim barang berharga itu.

“Kurasa hanya ialah satu-satunya orang yang mengetahui persoalan ini, Paman, karena ia yang mengirim emas itu, dan ia pula yang menuntut ganti rugi sehingga perusahaan ayah berikut rumah dan seisinya disita. Akan tetapi, penyelidikanku gagal. Di kota raja tak pernah ada seorang Lay-wangwe yang berkepala botak dan berperut gendut seperti itu.”

Kwee-piauwsu mengangguk-angguk. “Aku juga sudah mendengar tentang penyitaan itu dan menurut anak buahku, kini Peng An Piauwkiok telah menjadi perusahaan pengawal yang baru, dengan rumah dan kantornya sudah dibetulkan menjadi cukup megah. Dan kabarnya, Ciu-piauwsu yang kini menjadi pengurusnya.”

Sin Hong mengangguk. “Memang benar, Paman. Paman Ciu telah mencarikan seorang sahabat, atau keluarganya yang kaya untuk memberi pinjaman uang untuk membayar sebagian kerugian itu, dan kini karena perusahaan mundur dan tak mampu membayar pinjaman, semua rumah dan kantor terjatuh ke tangan orang yang memberi pinjaman uang. Agaknya perusahaan itu diperbarui, dilanjutkan dan Ciu-piauwsu yang menjadi pemimpinnya, mengingat bahwa majikannya adalah keluarganya.”

“Orang yang kau sebutkan tadi, Lay-wangwe itu, pernah datang ke sini...“

“Ah, benarkah, Paman? Harap Paman ceritakan...!” Sin Hong memotong, mendapatkan harapan baru.

“Hal itu terjadi beberupa hari sebelum dia menyerahkan angkutan barang berharga yang harus dikawal ke Tuo-lun itu kepada ayahmu. Dia datang dan membawa peti besar yang tertutup rapat, minta kepadaku untuk mengawal ke Tuo-lun dengan janji upah besar. Aku menerimanya dengan syarat bahwa isi peti itu harus dibuka dan dihitung lebih dulu. Dia menolak dan marah-marah karena aku dianggap tak percaya kepadanya. Akhirnya aku mendengar dia mengirim barangnya itu melalui pengawalan Peng An Piauwkiok.”

“Akan tetapi, apakah Paman mengetahui di mana dia tinggal?”

Seperti yang telah dikhawatirkannya, piauwsu itu menggeleng kepala. “Kami semua tak ada yang tahu, akan tetapi karena ada beberapa orang anak buahku pernah melihatnya, biarlah aku membantumu dengan menyebar mereka agar suka mencarinya. Seorang di antara mereka, baru dua hari yang lalu pernah mengatakan kepadaku bahwa si gendut botak itu nampak berkeliaran di kota ini.”

Sin Hong merasa girang sekali dan anak buah itu segera dipanggil.

“Memang saya melihatnya dua hari yang lalu. Lagaknya masih seperti dahulu, seperti seorang hartawan besar, dengan pakaian mewah dan royal dengan uangnya.”

“Sekarang juga, engkau ajak teman-temanmu yang pernah melihatnya untuk melakukan pencarian secara berpencar dan kalau menemukannya, cepat memberi kabar ke sini!”

Setelah orang itu pergi, Kwee Ci Hwa juga bangkit berdiri. “Aku dulu juga melihatnya, biar aku juga membantu mencarinya!”

Tanpa menanti jawaban, gadis itu sudah meloncat keluar. Sin Hong merasa tidak enak sekali.

“Ah, aku ternyata selain membikin ribut di sini, juga membikin repot saja, Paman Kwee.”

“Jangan berkata begitu, Sin Hong. Sudah semestinya dalam hal seperti ini kita saling bantu.”

“Akan tetapi sampai nona...ehhh, adik Kwee sendiri ikut repot...“

“Aku mengerti isi hatinya. Tentu ia merasa tidak enak karena tadinya aku yang disangka sehingga ia ingin sekali membantu untuk membersihkan nama ayahnya. Engkau tunggu saja di sini malam ini sampai ada berita dari mereka tentang hasil penyelidikan mereka.”

“Terima kasih, Paman. Akan tetapi aku tidak berani mengganggu lebih lama lagi malam ini. Biarlah besok pagi saja aku datang ke mari lagi untuk mendengar keterangan hasil penyelidikan itu. Sekarang saya lebih baik pergi saja dulu.”

“Tidak ada yang terganggu, Sin Hong. Setelah terjadinya peristiwa ini, aku pun tidak akan dapat tidur lagi. Biarlah kita bercakap-cakap di sini sambil menanti mereka. Karena kota ini kecil saja kiranya tidak akan lama mereka mencari.”

Karena ditahan-tahan, Sin Hong merasa tidak enak juga kalau tidak mau menerimanya dan ketika mereka bercakap-cakap, dia mendengar kenyataan bahwa orang she Kwee ini memang memiliki sikap yang amat menyenangkan. Dia gagah dan jujur dan Sin Hong merasa tertarik sekali, juga semakin percaya karena orang seperti ini tak mungkin melakukan kejahatan yang keji dan curang.

Juga Kwee Tay Seng mempunyai pengalaman yang luas di dunia kang-ouw, mengenal tokoh-tokoh kang-ouw yang pandai. Dalam ilmu kepandaian, pernah dia melihat ketika Kwee-piauwsu menghadapi amukan Ciu Hok Kwi dan dia tahu bahwa dalam hal ilmu silat, agaknya sukar mencari orang di daerah Ban-goan yang akan mampu menandingi piauwsu ini.

Karena mereka asyik bercakap-cakap, tak terasa waktu berlalu dengan cepatnya dan menjelang pagi, muncullah Kwee Ci Hwa dan dua orang anak buah piauwkiok.

“Ayah, kami telah menemukan dia!” kata gadis itu.

Sin Hong merasa berterima kasih sekali, apa lagi sesudah melihat betapa gadis itu nampak kedinginan dan lelah.

“Ahh, terima kasih! Dia berada di mana, Nona?”

“Sin Hong, anakku yang hanya satu ini bernama Kwee Ci Hwa, harap engkau jangan sungkan-sungkan dan menyebut nona kepadanya,” kata Kwee-piauwsu yang diam-diam merasa suka kepada pemuda yang sederhana itu.

“Maaf, adik Ci Hwa, akan tetapi aku ingin sekali tahu di mana adanya si gendut botak she Lay itu.”

“Dia... dia... Gu-toako, engkau saja yang menerangkan,” kata gadis itu dan mukanya berubah merah.

Anak buah piauwkiok itu lalu menerangkan dengan jelas. “Orang she Lay yang gendut botak itu sudah beberapa hari berada di Ban-goan dan agaknya memang hanya kalau malam saja dia baru berkeliaran keluar, kalau siang entah bersembunyi di mana. Kami menemukan jejaknya dan kini dia berada di rumah pelesir di ujung timur kota. Selama beberapa hari ini memang dia langganan di situ dan menurut penyelidikan kami, dia amat royal dengan uangnya, dan di sana pun dia dipanggil Lay-wangwe (Hartawan Lay) yang royal memberi hadiah kepada para pelacur.”

Kini mengertilah Sin Hong mengapa gadis itu malu untuk menceritakan, dan dia sendiri sungguh pun kelahiran kota itu, namun tidak tahu di mana letaknya rumah pelesir atau rumah pelacuran itu.....

“Di manakah rumah itu? Ujung timur kota? Jauhkah dari jembatan merah?”

“Tepat di sebelah timur jembatan itu,” kata Kwee-piauwsu, “Hanya terhalang dua buah rumah. Rumah pelesir itu bercat merah, besar dan di depannya tumbuh sekelompok mawar.”

“Kalau begitu, aku akan pergi ke sana sekarang juga!” kata Sin Hong sambil bangkit berdiri dan menjura kepada Kwee-piauwsu, puterinya dan beberapa orang piauwsu yang tadi mencari jejak Lay-wangwe. “Terima kasih atas segala kebaikan Paman, juga engkau adik Ci Hwa, dan para saudara piauwsu yang telah membantuku.”

“Nanti dulu, Sin Hong,” kata Kwee piauwsu, “Engkau... apa yang hendak kau lakukan terhadap orang gendut botak itu?”

“Akan kutangkap dia dan kupaksa mengaku tentang peristiwa yang terjadi.”

“Sin Hong, engkau tidak boleh memandang rendah pada mereka yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap ayahmu dan Tang-piauwsu itu. Mereka itu lihai dan berbahaya, dan siapa tahu kalau-kalau dugaanmu benar dan di belakang Lay-wangwe itu terdapat gerombolan jahat itu. Engkau harus berhati-hati...“

“Biarlah aku yang menemaninya, Ayah! Tan-toako, mari kutunjukkan engkau tempatnya dan aku akan membantumu kalau muncul orang-orang jahat itu!” kata Ci Hwa dengan gagah.

Tentu saja Sin Hong merasa semakin tidak enak. Melihat keraguannya, Kwee-piauwsu berkata, dengan suara yang tegas.

“Ci Hwa benar, Sin Hong. Engkau boleh mengandalkan ia yang sudah memiliki ilmu silat cukup tinggi untuk membela diri dan juga membantumu. Nah, kalian pergilah, akan tetapi berhati-hatilah dan jangan bertindak sembrono.”

Sin Hong tidak dapat menolak lagi dan terpaksa dia bersama Ci Hwa lalu keluar dari rumah keluarga Kwee. Mereka berjalan berdampingan. Malam menjelang pagi itu dingin dan sunyi bukan main, juga agak gelap karena kini bulan sudah lenyap, tinggal tersisa bintang-bintang yang suram cahayanya.

“Siauw-moi (adik kecil), sungguh aku hanya membikin repot engkau saja,” Sin Hong berkata, karena dia merasa tidak enak oleh sikap gadis itu yang diam saja.

“Ah, tidak, Toako. Bagaimana pun juga, aku merasa berkewajiban untuk ikut membantu menangkap penjahat itu, yang telah membunuh ayahmu dan Tang-piauwsu, karena aku harus membersihkan nama ayah yang tadinya ternoda oleh dugaan bahwa ayah yang melakukan kejahatan itu.”

Sin Hong tidak bicara lagi, diam-diam dia kagum kepada gadis ini. Seorang gadis yang tidak banyak bicara, akan tetapi memiliki semangat besar, keberanian dan kegagahan.

“Nah, itulah rumahnya,” kata Ci Hwa menunjuk ke sebuah rumah yang cukup besar dan bercat merah, di halaman depan tumbuh bunga-bunga mawar. Semua daun pintu dan jendela rumah itu masih tertutup dan suasananya sunyi sekali.

“Aku akan segera mengetuk pintu dan minta bicara dengan Lay-wangwe,” berkata Sin Hong sambil melangkah lebar untuk menghampiri pintu depan.

“Nanti dulu, Toako. Kalau engkau datang begitu saja ingin menemuinya, tentu dia curiga dan kalau dia melarikan diri, engkau akan kehilangan dia dan akan sukar kalau harus mencari orang yang sembunyi-sembunyi. Sebaiknya kalau aku berjaga-jaga di bagian belakang agar dia tidak dapat melarikan diri. Kalau dia lari dari pintu belakang, aku akan menahannya.”

Sin Hong merasa semakin kagum. Dibandingkan gadis ini, dia kalah jauh dalam hal pengalaman dan kecerdikan. “Baiklah, Hwa-moi, engkau benar sekali.”

Gadis itu lalu berkelebat dan dengan cepat berlari memutari rumah itu untuk mengintai dan berjaga di belakang rumah. Setelah menunggu beberapa lamanya untuk memberi kesempatan kepada Ci Hwa tiba di belakang rumah dan mencari tempat pengintaian yang tepat, Sin Hong kemudian menghampiri pintu depan. Dia tidak ingin menimbulkan keributan dengan masuk sebagai seorang pencuri. Dia mengetuk pintu depan beberapa kali.

Tak lama kemudian daun pintu terbuka dan seorang kakek berusia enam puluh tahun muncul sambil menggosok-gosok mata dengan punggung tangan. Dia nampak masih mengantuk, juga ketika pintu terbuka, dia agak menggigil kedinginan oleh angin pagi yang menerpa masuk.

“Ah, Kongcu, sungguh merupakan waktu yang aneh untuk mengunjungi rumah pelesir!” Dia terkekeh. “Kongcu datang terlalu pagi atau justru terlalu malam. Anak-anak manis itu masih tidur pulas semua, nanti kurang lebih jam sepuluh mereka baru akan bangun. Apakah Kongcu menghendaki seorang di antara mereka? Dengan tambahan istimewa, kiranya ia mau dibangunkan pagi-pagi begini.”

Wajah Sin Hong berubah merah. Sialan, pikirnya, dia disangka ingin melacur!

Dia menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak, Lopek. Aku bukan datang untuk pelesir, melainkan mencari seorang tamu, yaitu Lay-wangwe.”

Mendadak pandang mata orang itu berubah, penuh kecurigaan dan alisnya berkerut. “Tidak ada yang bernama Lay-wangwe di sini,” katanya ketus.

Sin Hong tidak mau mempergunakan kekerasan yang akan meributkan suasana dan membikin takut Lay-wangwe.

“Lopek, aku tahu bahwa Lay-wangwe bermalam di sini. Ketahuilah, aku adalah seorang sahabat baiknya yang perlu sekali bicara dengan dia sekarang juga. Amat penting!” Sin Hong mengeluarkan sepotong perak dan menyerahkannya kepada pelayan itu.

Melihat berkilaunya perak, pandang mata kakek itu silau dan sikapnya berubah walau pun dia masih ragu-ragu.

“Akan tetapi aku tidak mengenal siapa Kongcu, dan selain itu tamu yang sedang tidur nyenyak tentu akan marah sekali jika kuganggu dan kuketuk pintunya. Apa yang harus kukatakan kalau dia terbangun dan marah-marah kepadaku karena gangguanku?”

Uang itu sudah diterima dan lenyap ke dalam saku baju pelayan itu. Sin Hong sudah merasa menang, namun dia pun harus berhati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Dia tahu bahwa Lay-wangwe pasti telah memesan kepada para pelayan di tempat itu untuk merahasiakan kehadirannya di rumah itu.

“Kalau dia sudah terbangun dan marah-marah, katakan saja bahwa aku adalah seorang sahabatnya yang datang untuk memberi tahu padanya bahwa ada bahaya mengancam dirinya, dan dia harus cepat pergi bersamaku kalau ingin selamat.”

Mendengar ini, pelayan itu terbelalak.

“Wah, kalau begitu gawat!” katanya dan dia pun lari masuk ke dalam rumah besar itu setelah menutup kembali pintu depan.

Sin Hong menanti sambil mendekatkan telinganya ke daun pintu agar dapat mendengar lebih baik. Dia siap untuk mempergunakan kekerasan kalau jalan halus ini gagal. Akan tetapi siasatnya tadi berhasil baik.

Pada saat pelayan itu mengetuk daun pintu kamar di mana Lay-wangwe masih tidur mengorok sambil merangkul dua orang wanita pelacur yang mengapitnya, dia terbangun dan tentu saja dia marah-marah karena merasa terganggu.

“Lay-wangwe, ada keperluan penting sekali, harap bangun!” demikian suara pelayan yang mengetuk pintu kamar itu.

Dua orang pelacur terbangun lebih dahulu dan mereka segera menutupi tubuh mereka dengan selimut, sementara itu Lay-wangwe bangkit dan duduk dengan sukar karena perutnya amat gendut. Dia pun menutupi tubuhnya dengan selimut dan mengomel.

“Keparat, siapa berani menggangguku?” Kepada seorang di antara dua orang pelacur itu dia memberi isyarat untuk membuka daun pintu.

Ketika daun pintu terbuka dan dengan takut-takut pelayan tua itu terbungkuk-bungkuk masuk. Lay-wangwe membentak marah.

“Apa kau sudah bosan hidup, berani mengganggu aku sepagi ini?”

“Maafkan saya, Lay-wangwe, tetapi di luar sudah datang seorang tamu yang mengaku sahabat baik Wangwe. Dia mengatakan bahwa ada bahaya mengancam diri Wangwe dan kalau Wangwe menghendaki supaya selamat, Wangwe harus cepat-cepat pergi bersama dia sekarang juga.”

Laki-laki pendek gendut itu terbelalak, wajahnya berubah pucat dan cepat-cepat dia meraih pakaiannya secepat mungkin.

“Bagaimana orangnya? Masih mudakah? Atau sudah tua? Dan siapa namanya?” Dia bertanya sambil mengenakan pakaiannya.

“Dia belum sempat mengaku siapa namanya, akan tetapi orangnya masih muda dan dia ramah sekali, baik sekali, Lay-wangwe. Dan dia nampaknya bersungguh-sungguh...“

“Kalau begitu aku harus cepat pergi dari sini!” katanya sambil melemparkan beberapa potong uang perak kepada dua orang pelacur itu.

Dia keluar dari kamar dan melihat betapa beberapa buah kamar yang berderet di situ juga nampak terbuka. Agaknya ribut-ribut itu sudah membangunkan tamu-tamu lain. Hal ini sebenarnya biasa saja, namun orang she Lay yang sudah ketakutan itu sekarang memandang penuh kecurigaan, seakan-akan bahaya yang disebutkan tadi datang dari kamar-kamar itu. Dia pun cepat-cepat melangkah keluar, tidak tahu betapa beberapa buah kancing bajunya salah memasuki lubangnya serta kedua matanya kemerahan dan ujungnya dihias kotoran mata.

Setelah membuka pintu depan dia berhadapan dengan Sin Hong! Sekali lihat saja Sin Hong sudah tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan orang yang dimaksudkan oleh Tang-piauwsu dan Ciu-piauwsu, yaitu orang gendut botak yang terkenal dengan nama Lay-wangwe, si pengirim emas yang mengakibatkan tewasnya ayahnya dan membuat perkara menjadi berlarut-larut sampai kematian Tang-piauwsu itu.

Akan tetapi, dia belum yakin benar bahwa si gendut ini hanya merupakan umpan untuk menjebak ayahnya. Bagaimana kalau dia ini benar-benar pengirim emas, sama sekali tidak bersalah?

“Siapa... siapakah engkau...? tanya Lay-wangwe dengan sangsi ketika melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak pernah dikenalnya.

Akan tetapi, Sin Hong melangkah maju. “Apakah engkau yang bernama Lay-wangwe?”

Karena tak mengenal pemuda itu, muncul lagak Lay-wangwe yang memandang rendah orang lain. Apa lagi orang ini mengganggunya dan dia tidak melihat adanya gangguan dan dia tidak melihat adanya bahaya mengancam seperti yang dikatakan pelayan tadi.

“Benar, akulah Lay-wangwe. Engkau siapa dan mau apa?” Kemudian dia menoleh ke kanan kiri dan menyambung, “Engkau bilang ada bahaya? Engkaulah yang mengatakan ada bahaya tadi, dan di mana bahaya itu?”

Sin Hong tersenyum. “Lay-wangwe, di sinilah letaknya bahaya kalau engkau tidak mau bicara terus terang padaku. Ketahuilah, aku adalah putera dari mendiang Tan-piauwsu, pemimpin Peng An Piauwkiok yang dahulu mengangkut emasmu ke Tuo-lun! Ingatkah engkau? Engkau datang kepada ayah, mengirim peti berisi emas ke Tuo-lun, kemudian di tengah jalan, ayah dibunuh orang dan engkau menuntut ganti kerugian dan menyita rumah beserta perusahaan ayah. Lalu terjadi pembunuhan pula atas diri Tang-piauwsu belum lama ini. Nah, katakanlah, apa yang kau ketahui tentang semua pembunuhan itu?”

Lay-wangwe terbelalak memandang kepada Sin Hong, kemudian dia tersenyum lebar, mengejek. “Orang muda, hanya untuk itu engkau berani mengganggu aku? Memang akulah yang mengirim emas itu, dan karena hartaku hilang, aku lalu menyita rumah dan perusahaan ayahmu. Aku sudah menderita kerugian besar dan engkau masih hendak menggangguku? Aku tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu!” Ia pun membalikkan tubuhnya hendak masuk lagi.

“Tunggu dulu!” Sin Hong berseru dengan suara keras.

Lay-wangwe membalik dan kini matanya menjadi semakin merah dan alisnya berkerut karena dia sudah marah sekali.

“Engkau mengaku sebagai seorang hartawan di kota raja, akan tetapi ternyata engkau bukan hartawan kota raja karena di sana tidak ada seorang pun yang mengenalmu! Dan pada waktu engkau hendak mengirim peti berisi emas itu melalui Ban-goan Piauwkiok, engkau menolak ketika petinya hendak dibuka dan isinya diperiksa, bahkan engkau lalu membatalkan pengiriman itu, dan mengirimkannya tanpa membuka peti melalui ayahku. Siapakah engkau ini sebenarnya dan apa maksudmu memancing ayah dengan umpan kiriman emas itu untuk menjebaknya?”

“Bocah kurang ajar! Berani engkau menyelidiki keadaanku? Engkau patut dihajar!”

Dan tiba-tiba saja orang yang gendut itu bergerak cepat sekali, menyerang Sin Hong dengan pukulan dua tangannya secara bertubi-tubi! Orang akan terkejut sekali melihat betapa ‘hartawan’ Lay itu tiba-tiba saja menjadi seorang laki-laki yang ganas dan dapat melakukan penyerangan secepat dan sekuat itu, padahal tubuhnya bulat dengan perut yang gendut.

Sin Hong tentu saja tidak gugup, akan tetapi dia pun agak terkejut karena tidak mengira bahwa Lay-wangwe itu ternyata bisa menyerangnya, bukan hanya dengan cepat sekali, tapi juga dia dapat melihat betapa pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat! Kiranya si gendut ini bukan orang sembarangan dan tentu saja kecurigaannya semakin bertambah.

“Hemmm, kiranya engkau seorang tukang pukul!” katanya sambil miringkan tubuhnya.

Pada saat kedua tangan Lay-wangwe yang melancarkan pukulan bertubi-tubi itu lewat, tangan Sin Hong bergerak menotok dan robohlah tubuh yang berperut gendut itu, tidak mampu bangkit lagi karena tubuh itu terasa lemas oleh totokan Sin Hong! Kini muka orang itu nampak ketakutan karena baru dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang luar biasa lihainya, yang dapat merobohkannya dalam satu gebrakan saja! Sulit untuk dipercaya, akan tetapi kenyataannya demikianlah dan dia mulai merasa ngeri dan takut.

“Nah, sekarang ceritakan yang sebenarnya. Siapa yang dulu mengatur pancingan dan jebakan itu? Siapa pula yang sudah membunuh ayahku dan Tang-piauwsu? Katakan sebetulnya kalau tidak ingin aku terpaksa menggunakan kekerasan memaksamu!”

Sin Hong sengaja menekankan jari tangannya ke pundak orang gendut itu dan orang itu pun menyeringai kesakitan. Penekanan pada jalan darah di pundaknya itu membuat seluruh tubuh bagian atasnya demikian nyeri seperti ditusuki ribuan jarum dan keringat dingin membasahi muka dan lehernya.

“Aku... aku tidak tahu siapa pembunuhnya... aku hanyalah anak buah saja...,“ katanya dengan suara terputus-putus saking hebatnya rasa nyeri yang dideritanya. Sin Hong melepaskan jarinya.

“Lalu siapa pemimpinmu? Siapa yang mengutusmu? Jawab!”

“...Tiat... Tiat-liong-pang...!” Tiba-tiba dia menjerit dan berkelojotan.

Sin Hong terkejut bukan main. Pada saat orang itu tadi mulai membuat pengakuan, ada belasan jarum dan paku beracun menyambar ke arahnya dari depan. Ia cepat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangannya mendorong sehingga sisa senjata rahasia itu terpukul angin dorongannya sehingga runtuh. Akan tetapi ketika dia memandang, dia melihat orang gendut itu sudah berkelojotan dengan muka membiru dan mata melotot.

Dia melihat bayangan orang berkelebat lari ke dalam rumah itu. Sudah terlambat untuk menyelamatkan si gendut dan dia pun cepat meloncat dan mengejar ke dalam rumah. Bayangan yang kelihatan berpakaian hitam itu ternyata mempunyai gerakan yang amat cepat.

Terdengar jeritan-jeritan para wanita ketika Sin Hong berlari cepat memasuki rumah itu. Ternyata wanita-wanita pelacur yang keluar dari kamar masing-masing, terkejut dan ketakutan melihat kejar-kejaran itu, apa lagi yang dikejar adalah seorang yang memakai pakaian hitam dan kedok hitam pula!

Dengan penuh semangat Sin Hong melakukan pengejaran. Dia merasa yakin bahwa orang berpakaian hitam itulah yang menjadi kunci rahasia pembunuhan-pembunuhan itu, setidaknya orang itu tentu yang sudah membunuh Tang-piauwsu. Maka dia harus dapat menangkapnya!

Orang itu menerjang pintu belakang dan terus melompat ke dalam kegelapan pagi yang masih remang-remang itu. Tetapi tiba-tiba ada orang menyambutnya dengan bentakan nyaring.

“Berhenti!” Bentakan itu dibarengi munculnya Kwee Ci Hwa dengan pedang telanjang di tangan.

Melihat betapa ada seorang gadis berpedang menghadang di depannya, orang itu tidak berhenti, bahkan menerjang dan menyerang Ci Hwa! Tentu saja Ci Hwa terkejut akan kenekatan orang itu dan ia pun menyambut dengan tusukan pedangnya! Akan tetapi, orang itu menangkis dengan tangan kiri dan tangan kanannya tetap saja mencengkeram ke arah dada Ci Hwa!

“Plakkk!”

Pedangnya tertangkis oleh tangan kosong itu begitu saja sampai hampir terlepas dari pegangannya dan dadanya terancam cengkeraman. Terpaksa Ci Hwa melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, kemudian ia membalikkan tubuhnya. Tapi terlambat!

Orang yang ternyata luar biasa lihainya itu sudah menendang lututnya sehingga Ci Hwa terguling. Orang itu menubruk lagi dengan hantaman tangan kanannya ke arah kepala Ci Hwa yang sudah tidak sempat untuk mengelak atau menangkis lagi!

“Dukkk!”

Pukulan hebat dari orang berkedok hitam itu tertangkis oleh tangan Sin Hong yang datang tepat pada saat nyawa Ci Hwa terancam bahaya itu.

Orang itu mengeluarkan seruan kaget, kemudian menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke arah dada Sin Hong. Pukulan jarak jauh! Ini membuktikan bahwa orang berkedok itu memang lihai bukan main. Sin Hong menyambut dengan dorongan penuh tenaga sinkang sehingga orang itu terjengkang!

Kembali dia mengeluarkan seruan kaget dan terus meloncat jauh dan menghilang ke dalam kegelapan pagi buta itu. Sin Hong tidak mengejar karena dia mengkhawatirkan keselamatan Ci Hwa melihat kelihaian orang itu. Siapa tahu masih ada kawanan penjahat di situ yang akan mencelakai Ci Hwa.

“Engkau terluka, Hwa-moi (adik Hwa)?” tanyanya sambil memegang pundak gadis itu.

Ci Hwa menggelengkan kepala, lalu bangkit berdiri. Kakinya tidak terluka parah, hanya agak terpincang.

“Mari kita kejar dia!” kata Sin Hong dan sambil memegang tangan gadis itu, dia pun meloncat sehingga Ci Hwa merasa seolah-olah tubuhnya diangkat dan dibawa terbang! Sampai beberapa lamanya Sin Hong dan Ci Hwa mencari-cari, namun si kedok hitam itu sudah lenyap.

“Sayang, dia telah pergi...!” kata Sin Hong yang terpaksa menghentikan larinya.

Gadis itu mengangkat muka memandangnya dengan sinar mata penuh rasa kagum, lalu ia merunduk dan merasa malu sekali untuk bertemu pandang dengan pemuda itu.

“Hong-ko...“

“Ya. Kenapa, Moi-moi, engkau tidak terluka parah, bukan?”

Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, dan aku tadi terbebas dari maut, berkat pertolonganmu, Hong-ko.”

“Aih, sudahlah, hal itu tidak perlu disebut-sebut lagi. Sayang jahanam itu dapat lolos. Dia tentu tahu banyak tentang rahasia pembunuhan-pembunuhan itu.”

“Siapakah orang berkedok yang lihai itu, Hong-ko?”

“Aku tidak tahu. Aku berhasil bertemu dengan Lay-wangwe yang gendut itu dan ketika aku mulai mengancamnya untuk mengaku, mendadak dia diserang senjata rahasia dan tewas. Penyerangnya adalah orang berkedok itu maka aku mengejarnya.”

“Ahhh...!” Tentu saja Ci Hwa terkejut mendengar bahwa orang she Lay itu tewas pula oleh orang berkedok tadi.

“Sungguh aku merasa malu dan menyesal sekali, Hong-ko. Aku memandang rendah padamu, mengira engkau tidak sedemikian pandainya sehingga aku ikut membantumu, ternyata bahkan sudah menghalangimu menangkap orang berkedok itu. Kiranya engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya.”

“Sudahlah, Hwa-moi, jika tidak ada engkau yang menghadangnya, tentu aku tak sempat bentrok dengannya dan ia telah lebih dulu menghilang. Mari kita pulang dan melaporkan hal ini kepada ayahmu sebab tadi aku memperoleh keterangan yang cukup penting dari Lay-wangwe. Menurut pengakuannya sebelum dia terbunuh, dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”

“Tiat-liong-pang? Perkumpulan apa itu dan di mana?”

“Aku tidak tahu, sebaiknya kalau kita tanyakan hal itu kepada ayahmu, mungkin dia lebih tahu.”

Benar saja, ketika Kwee-piauwsu mendengar bahwa si gendut Lay itu diperalat oleh Tiat-liong-pang, dia terkejut bukan main. “Tiat-liong-pang? Perkumpulan besar di bawah pimpinan Siangkoan Lohan! Sungguh aneh sekali! Perkumpulan itu terkenal amat kuat, dan Siangkoan Lohan adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian sangat tinggi. Perkumpulannya terkenal kuat pula dan dia memiliki hubungan dekat dengan istana, bahkan kabarnya dihadiahi puteri dari istana yang menjadi isterinya karena dia banyak berjasa terhadap kerajaan. Apa artinya ini? Mengapa suatu perkumpulan besar seperti Tiat-liong-pang tiba-tiba ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan ayahmu dan Tang-piauwsu, bahkan kini membunuh Lay-wangwe, kaki tangannya sendiri untuk menutup mulutnya? Apa yang dikehendaki perkumpulan macam Tiat-liong-pang di sini? Sungguh aneh dan sukar dipercaya keterangan orang she Lay itu!”

“Bagaimana pun juga, keterangan itu sudah mendatangkan jejak baru dan saya akan melakukan penyelidikan ke sana, paman Kwee. Sayang bahwa orang berkedok itu bisa lolos, karena dia pasti tahu akan semua peristiwa pembunuhan itu, bahkan mungkin sekali dialah yang melakukan pembunuhan terhadap ayah dan paman Tang.”

Kwee-piauwsu mengangguk-angguk. “Memang tidak ada jalan lain untuk melakukan penyelidikan setelah orang she Lay itu terbunuh. Akan tetapi berhati-hatilah, Sin Hong, karena Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat dan berpengaruh, juga bukan perkumpulan penjahat.”

“Baik, Paman dan terima kasih atas semua nasehat dan bantuan Paman.”

Pada hari itu juga, Sin Hong meninggalkan rumah keluarga Kwee, dan setelah pemuda itu pergi, wajah Ci Hwa nampak murung dan sinar matanya suram. Ayahnya melihat hal ini dan diam-diam merasa heran.

Akan tetapi, belum sempat dia bertanya, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali dia mendapatkan bahwa puterinya itu telah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit! Hanya terdapat surat di atas meja dalam kamarnya yang memberi tahukan ayah ibunya bahwa ia pergi untuk membantu menyelidiki pembunuh Tan-piauwsu dan Tang-piauwsu, untuk mencuci nama ayahnya yang tadinya disangka menjadi pembunuh.

Nyonya Kwee menangis dan merasa khawatir sekali, membujuk suaminya agar mencari dan mengajak kembali Ci Hwa. Akan tetapi suaminya menghiburnya.

“Ia sudah dewasa dan sudah mempunyai bekal kepandaian silat yang cukup kuat untuk menjaga diri sendiri. Biarlah ia mencari pengalaman selagi masih bebas.” Demikian dia berkata kepada isterinya.

Akan tetapi diam-diam dia mengharapkan puterinya itu dapat bertemu dan bekerja sama dengan Sin Hong karena Kwee-piauwsu merasa suka sekali kepada Sin Hong yang mirip ibunya, wanita yang pernah dikasihinya itu. Ia berharap untuk dapat menjodohkan puterinya dengan pemuda itu!

Sementara itu, setelah meninggalkan rumah keluarga Kwee, Sin Hong tidak langsung pergi ke luar kota untuk menyelidiki Tiat-liong-pang, melainkan singgah di bekas rumah orang tuanya. Dia melihat betapa bangunan itu, baik kantor piauwkiok mau pun rumah tinggalnya, telah diperbaiki sehingga kelihatan baru dan dicat baru pula. Hampir dia tak mengenali lagi tempat di mana dia tinggal sejak lahir sampai berusia belasan tahun.

Ciu-piauwsu menyambutnya dengan wajah gembira. “Tan Sin Hong, engkau baru saja datang? Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu?” tanyanya langsung setelah pemuda itu dipersilakan masuk.

Karena Ciu-piauwsu adalah satu-satunya orang dari pihak ayahnya yang mengetahui akan semua urusannya itu, Sin Hong lalu menceritakan dengan singkat tentang semua hasil usahanya. Betapa dia sudah gagal menemukan Lay-wangwe di kota raja, betapa dia kemudian menyelidiki keluarga Kwee-piauwsu dan atas bantuan keluarga itu dia lalu berhasil menemukan Lay-wangwe di Ban-goan dan kembali ada pembunuhan, yaitu terhadap diri si gendut itu, lagi-lagi oleh seorang berkedok.

“Sayang aku tak dapat menangkap orang berkedok itu,” dia mengakhiri ceritanya. “Akan tetapi Lay-wangwe sudah meninggalkan suatu pengakuan yang dapat merupakan jejak baru dalam penyelidikanku, paman Ciu.”

“Ahhh, benarkah? Apa saja yang diakuinya?” Ciu-piauwsu mendesak.

“Menurut pengakuannya sebelum dia tewas oleh senjata rahasia orang berkedok itu, dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”

“Ohhhh...!” Wajah Ciu-piauwsu berubah dan matanya terbelalak. Dia nampak terkejut bukan main.

“Kenapa, Paman?”

“Celaka, tentu orang gendut botak itu telah membohongimu. Mana mungkin semacam Tiat-liong-pang mencampuri urusan ini? Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar dan kuat dipimpin oleh Siangkoan Lohan, seorang kakek yang gagah perkasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mana mungkin melakukan kejahatan? Tentu si gendut itu membohongimu!”

“Kurasa tidak, Paman. Betapa pun juga, setidaknya kini terdapat jejak baru sehingga aku dapat melanjutkan penyelidikanku.”

“Aku lebih condong untuk menyelidiki Ban-goan Piauwkiok. Orang she Kwee itu lebih mencurigakan...“

“Tidak, Paman. Dugaan kita sudah keliru. Paman Kwee Tay Seng sama sekali tidak bersalah...“

“Ahhh, jangan engkau sampai tertipu oleh sikap manisnya!”

“Tidak, Paman. Aku yakin bahwa ia tak bersalah dan aku akan melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang.”

Ciu-piauwsu mengangguk-angguk. “Terserah kepadamu, Sin Hong. Akan tetapi berhati hatilah. Jangan sampai engkau menuduh pihak yang tidak berdosa dan Tiat-liong-pang merupakan perkumpulan yang kuat sekali, bahkan mempunyai hubungan dekat dengan istana karena ketuanya masih termasuk keluarga kerajaan!”

Pada hari itu, Sin Hong meninggalkan Ban-goan setelah menerima banyak nasehat dari Ciu-piauwsu agar berhati-hati jika menyelidiki Tiat-liong-pang. Dia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota San-cia-kou karena perkumpulan itu terletak di lereng sebuah bukit di luar kota itu.....

********************

Sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san disebut Puncak Telaga Warna karena di puncak itu terdapat sebuah telaga kecil yang amat indah. Telaga itu dikelilingi pohon-pohon dan karena airnya jernih dan tenang, maka bayangan terpantul amat jelasnya dan membuat air telaga seolah-olah berwarna-warni.

Puncak ini amatlah indahnya. Hawanya selalu sejuk, bahkan kadang-kadang teramat dingin. Karena hawa yang terlalu dingin inilah maka penduduk tinggal di lereng bawah atau kaki puncak. Akan tetapi, di antara pohon-pohon besar dekat telaga itu nampak sebuah bangunan terselip di antara pohon-pohon raksasa.

Sebuah bangunan yang kokoh kuat dan sedang saja besarnya. Rumah itu tidak memiliki tetangga dan nampak sunyi, namun melihat betapa pekarangannya selalu bersih, dan di belakang rumah terdapat taman bunga dan kebun sayur dan pohon-pohon buah, dapat diketahui bahwa rumah ini dihuni orang.

Memang demikianlah, dan penghuni rumah itu bukanlah orang sembarangan, karena orang biasa saja tentu tidak akan tahan tinggal terlalu lama di tempat yang sunyi dan hawanya amat dingin itu. Penghuninya adalah dua orang kakek kembar. Mereka berusia kurang lebih lima puluh delapan tahun, dan mereka amat terkenal di dunia kang-ouw dengan sebutan Beng-san Sian-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san).

Dua orang kakek ini serupa benar wajah dan bentuk tubuh mereka mirip satu sama lain sehingga sukarlah bagi orang luar untuk membuat perbedaan di antara mereka. Orang-orang kang-ouw jarang ada yang mengetahui bahwa mereka sesungguhnya adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mereka adalah putera kembar dari kakek Gak Bun Beng yang kini berjuluk Bu Beng Lokai.

Biar pun orang luar sukar untuk mengenal mana yang bernama Gak Jit Kong dan mana yang Gak Goat Kong, tapi tentu saja isteri mereka dengan mudah dapat membedakan mereka. Isteri mereka berdua hanya seorang, yaitu bekas murid dan anak angkat mereka sendiri yang bernama Souw Hui Lian. Dua orang kembar ini telah jatuh cinta kepada murid mereka sendiri, dan Souw Hui Lian juga mencinta mereka. Maka kedua orang kakek kembar ini pun menikahlah dengan bekas murid mereka walau pun ayah mereka sebenarnya tidak setuju mendengar kedua orang putera kembarnya itu menikah dengan seorang wanita saja.

Peristiwa pernikahan itu membuat hati ayah mereka, Gak Bun Beng, menjadi kecewa dan berduka. Kakek ini sudah berduka karena ditinggal mati isterinya yang bernama Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai.

Dalam keadaan berduka, lalu menghadapi kekecewaan karena kedua orang puteranya yang dianggap tidak begitu berbakat dalam ilmu silat sekarang bahkan menikah dengan seorang wanita saja, maka pergilah kakek Gak Bun Beng meninggalkan Puncak Telaga Warna. Dia hidup merana, bahkan terlunta-lunta sebagai Bu Beng Lokai, sampai dia kemudian menemukan Suma Lian, cucu keponakannya sendiri yang kemudian menjadi muridnya dan pertemuan ini memulihkan kembali gairah hidupnya.

Semenjak ditinggal pergi ayah mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hidup di Puncak Telaga Warna, bersama isteri mereka, Souw Hui Lian dan kini mereka telah mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Gak Ciang Hun yang kini sudah berusia kurang lebih sepuluh tahun.

Tentu saja mereka berdua pun merasa berduka bahwa ayah mereka tidak merestui pernikahan mereka, bahkan meninggalkan mereka. Mereka sudah berusaha mencari ayah mereka, namun tidak pernah berhasil sehingga akhirnya mereka putus asa dan menanti saja di Puncak Telaga Warna dengan penuh keprihatinan kalau mereka teringat kepada ayah mereka yang sudah amat tua itu.

Adanya Gak Ciang Hun, putera mereka, merupakan hiburan terbesar bagi mereka dan mengurangi rasa dosa terhadap ayah mereka karena bagaimana pun juga, pernikahan mereka dengan Hui Lian kini telah menghasilkan seorang putera. Bukankah itu berarti bahwa Tuhan memberkahi mereka dan memberkahi pernikahan itu?

Pada suatu pagi yang sejuk dan indah, karena matahari pagi mulai mengusir kegelapan dan memandikan puncak Telaga Warna itu dengan cahaya keemasan setelah semalam suntuk puncak itu diselimuti kabut yang menciptakan embun pagi, Gak Ciang Hun telah berada di dalam taman bunga. Anak ini memang suka sekali bangun pagi dan bermain main seorang diri di dalam taman. Sepasang matanya penuh kebahagiaan memandang burung-burung pagi berloncatan dan beterbangan dari dahan ke dahan, sambil berkicau penuh keriangan.

Anak ini baru berusia sepuluh tahun dan dia hanya hidup bersama dua orang ayahnya dan seorang ibunya. Memang kadang-kadang ayahnya atau ibunya membawa dirinya menuruni puncak pergi ke dusun-dusun, atau ke pasar dusun untuk membeli segala keperluan rumah tangga mereka dan menjual hasil kebun atau buruan mereka sehingga anak ini beberapa kali sebulan dapat bertemu dengan banyak orang di dusun-dusun. Namun karena setiap harinya hanya bermain-main sendiri saja maka tentu anak ini merasa kesepian dan mencari hiburan dengan bermain-main sendiri di tempat-tempat indah, di mana dia dapat melihat binatang-binatang dan mendengarkan suara mereka.

Pagi hari itu, selain menikmati kicau burung yang ramai menyambut datangnya pagi, dia pun melihat banyak kupu-kupu kuning. Sebetulnya untuk kupu-kupu itulah maka sepagi itu dia sudah duduk di taman. Semenjak beberapa hari ini, sampai kurang lebih sebulan, taman itu akan penuh kupu-kupu kecil kuning. Sedang musimnya.

Indah sekali kupu-kupu yang puluhan ribu banyaknya itu, membuat taman itu menjadi lebih cerah, seakan-akan taman itu sedang penuh dengan bunga-bunga kuning yang sedang berkembang. Karena ingin segera menikmati keindahan pagi itu, Ciang Hun hanya sebentar saja berlatih silat di kebun belakang tadi.

Di kebun belakang, tak jauh dari taman itu, oleh orang tuanya dibuatkan sebuah petak rumput yang luas dan tempat ini dipergunakan keluarga itu untuk berlatih silat. Memang setiap pagi Ciang Hun harus berlatih silat, akan tetapi pagi ini hanya sebentar saja dia berlatih dan dia segera berlari-lari memasuki taman setelah melihat kupu-kupu kuning mulai beterbangan.

Tiba-tiba ada beberapa ekor burung beterbangan dari atas pohon, meluncur turun dan menyambari kupu-kupu kuning kecil itu. Melihat ini, Ciang Hun lalu menjadi marah. Dia meloncat dan menggunakan kedua tangannya untuk mengusir burung-burung itu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan sehingga burung-burung itu terbang ketakutan.

Akan tetapi, tidak lama kemudian ada saja beberapa ekor yang menyambar turun lagi sehingga Ciang Hun segera mengambil batu-batu kecil untuk menyambiti dan mengusir mereka, melindungi kupu-kupu kuning kecil. Setelah dia menggunakan batu-batu kecil, barulah burung-burung itu terbang pergi, tentu saja untuk menyambari kupu-kupu yang beterbangan jauh dari taman itu.

Ciang Hun duduk kembali di atas bangku taman dan merasa lega. Sekarang kupu-kupu kuning itu beterbangan bebas, di antara bunga-bunga, bahkan ada yang terbang tinggi ke atas pohon tanpa diganggu burung-burung itu!

Memang sejak kecil anak ini telah digembleng oleh orang tuanya sehingga dalam usia sepuluh tahun, selain dia menguasai dasar-dasar ilmu silat, juga di dalam batinnya telah bersemi watak yang gagah dan tak rela melihat yang lemah dijadikan korban keganasan yang kuat. Sudah bersemi watak seorang pendekar, watak membela golongan lemah yang tertindas.

“Indah sekali kupu-kupu itu!” Tiba-tiba terdengar suara halus.

Ciang Hun cepat menoleh dan dia melihat seorang wanita muda telah berdiri di situ sambil memandangi kupu-kupu kuning kecil yang beterbangan kian kemari. Anak itu merasa heran sekali dan perhatiannya kini beralih dari kupu-kupu ke arah gadis itu.

Seorang gadis yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Sekali pandang saja tahulah Ciang Hun bahwa gadis itu tidak pernah dikenalnya dan bukanlah seorang gadis dari dusun di lereng bawah. Bukan gadis dusun! Pakaiannya amat berbeda, juga sikapnya berbeda.

Gadis ini mengenakan pakaian yang aneh sekali. Pakaian yang penuh tambal-tambalan! Seperti pakaian pengemis saja. Akan tetapi, kalau pakaian pengemis tambal-tambalan dan kotor sekali, sebaliknya pakaian yang menutupi tubuh gadis ini, tambal-tambalan tapi amat bersih! Juga potongannya tidak seperti pakaian gadis dusun yang kebesaran, namun ringkas dan ketat membungkus tubuh gadis itu sehingga nampak pinggangnya yang ramping kecil, seperti pinggang lebah.

Sepatunya yang kecil terbuat dari kulit berwarna hitam dan nampak kuat. Rambutnya juga berbeda lipatannya dengan rambut para gadis dusun. Rambut itu hitam lebat dan panjang, sekarang digelung ke atas secara aneh, ditusuk dengan tusuk konde panjang sederhana, seperti sebatang sumpit merah. Kedua mata gadis itu seperti mencorong, dan mulutnya tersenyum-senyum ketika ia membalas pandangan Ciang Hun.

“Adik yang baik, engkau benar sekali. Burung-burung itu memang jahat dan perlu diusir! Mereka itu menyambari dan membunuh kupu-kupu yang tidak berdosa!” kata pula gadis itu dan pandang matanya nampak ramah sekali.

Ciang Hun mengerutkan alis, lalu menjawab, “Aku mengusir burung-burung itu bukan karena menganggap mereka jahat, melainkan karena tidak tega melihat kupu-kupu itu dimakan. Burung-burung itu pun tidak jahat!”

Gadis itu melebarkan matanya, nampak heran mendengar jawaban itu. “Akan tetapi, bukankah mereka itu memakani kupu-kupu yang tidak berdosa?”

“Kita pun suka makan ayam, babi, kelinci dan binatang lain yang tidak berdosa, apakah kita pun menjadi jahat?” Anak itu membantah. “Agaknya kupu-kupu itu memang menjadi makanan burung, jadi burung-burung itu pun tidak bersalah. Tidakkah begitu?”

Kini gadis itu yang nampak heran dan bingung, lalu mengangguk-angguk.

“Wah, agaknya benar juga engkau.” Lalu ia tertawa cerah, suara ketawanya nyaring dan merdu sekali. “Adik kecil, engkau sungguh cerdik sekali. Jawabanmu itu membikin aku takluk dan mengaku kalah! Siapa sih engkau ini? Siapa namamu?”

“Namaku Ciang Hun.”

“Apakah ada hubunganmu dengan Beng-san Siang-eng?”

“Mereka itu adalah ayahku! Aku bernama Gak Ciang Hun.”

Gadis itu kelihatan girang bukan main. “Aihhh, pantas engkau cerdik dan pintar sekali! Kiranya adik ini putera dari Beng-san Siang-eng? Engkau harus menyebut enci (kakak perempuan) padaku!”

Biar pun Ciang Hun jarang bergaul dengan orang asing, namun dia bukan seorang anak pemalu. Ia lalu menghampiri. Agaknya dia senang melihat gadis yang berwajah manis, kalau tersenyum muncul lesung pipit di kedua pipinya, dan pandang matanya ramah sekali itu.

“Enci, engkau siapakah?”

“Namaku Suma Lian dan engkau boleh memanggil aku enci Lian.”

Anak itu terbelalak memandang pada Suma Lian, pandang matanya penuh kekagetan, keheranan dan kekaguman.

“Suma...? Enci, she-mu sama dengan she dari kakek buyut. Kata ayah, kakek buyutku bernama Suma Han adalah seorang pendekar sakti, penghuni Istana Pulau Es yang tidak ada lawannya di dunia ini!”

Suma Lian tersenyum dan membelai kepala anak itu. “Tidak salah keterangan ayahmu, adik Ciang Hun. Kakek buyutmu bernama Suma Han itu juga kakek buyutku, karena itu kita adalah enci dan adik sendiri.”

Gadis bernama Suma Lian itu adalah puteri dari pendekar Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun, di dekat kota Cin-an. Meski pun ayah ibunya merupakan pendekar-pendekar yang sakti, namun gadis ini semenjak berusia dua belas tahun, telah menjadi murid Bu Beng Lokai, paman kakeknya sendiri.

Pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang. Gerakan mereka cepat sekali namun Suma Lian dapat melihat mereka. Seorang di antaranya menyambar ke arah Ciang Hun dan dua orang yang lain menerjang dan menyerang Suma Lian!

Gadis itu terkejut, tidak menyangka bahwa dirinya akan diserang secara tiba-tiba oleh dua orang itu, maka cepat dia pun mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh), meloncat menjauhi dua orang penyerangnya. Ketika ia turun dan menengok, ternyata Ciang Hun telah dirangkul dan dilindungi seorang wanita cantik, sedangkan dua orang penyerangnya tadi adalah dua orang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun yang kembar dan keduanya nampak gagah perkasa!

Kini kedua orang kakek kembar itu, yang juga terkejut dan penasaran melihat betapa serangan mereka tadi dengan sangat mudah dihindarkan lawan yang ternyata hanyalah seorang gadis muda, sudah siap untuk menyerang lagi.

“Tahan dulu, kedua paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong! Aku bukan orang lain dan tidak berniat buruk!” seru Suma Lian melihat mereka sudah hendak menyerangnya lagi itu karena sekali lihat pun ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan dua orang putera kembar gurunya, dan tentu wanita itu ibu dari Ciang Hun.

“Ia adalah enci Suma Lian, cucu buyut dari kakek buyut Suma Han!” teriak Ciang Hun kepada ayah ibunya.

Mendengar ini, tentu saja sepasang kakek kembar itu terkejut dan juga merasa heran, saling pandang lalu mereka menghadapi dengan pandang mata penuh selidik.

“Nanti dulu!” kata Souw Hui Lian yang tadi bergerak cepat lebih dahulu menyelamatkan dan melindungi puteranya. “Ia harus dapat membuktikannya!”

Ia lalu melepaskan Ciang Hun dan sekali meloncat ia sudah berhadapan dengan Suma Lian yang merasa kagum melihat kecepatan gerakan wanita itu. Ia sudah mendengar bahwa wanita itu dahulu merupakan murid dari kedua kakek kembar dan ternyata ilmu kepandaiannya sudah lumayan.

“Bibi, apakah engkau tidak percaya kepadaku?” tanyanya sambil tersenyum. “Apakah wajah dan potonganku ini mirip penjahat dan tidak pantas menjadi keturunan keluarga para Pendekar Pulau Es?”

Suma Lian memang memiliki watak yang jenaka, berani, lucu dan kadang-kadang ugal ugalan, mewarisi watak ayahnya ketika muda. Ia lalu bergaya memutar-mutar tubuh di depan kakek kembar dan isteri mereka itu.

Hui Lian mengerutkan alisnya. Seorang gadis muda yang pakaiannya amat aneh, penuh tambal-tambalan, dengan sikap yang demikian ugal-ugalan, bagaimana ia bisa percaya begitu saja?

“Kalau engkau benar she Suma dan keturunan para Pendekar Pulau Es, apa buktinya?” bentak Hui Lian.

Suma Lian tersenyum manis dan menjura dengan hormat dan lucu kepada Hui Lian. “Bibi yang baik, namaku benar Suma Lian, ayahku Suma Ceng Liong dan ibuku Kam Bi Eng. Dan bukan itu saja, aku pun menjadi murid dari paman kakek Bu Beng Lokai, ayah mertuamu sendiri.”

“Hemm, gadis muda, jangan engkau bicara sembarangan. Nama Ayah mertuaku bukan Bu Beng Lokai!” kata pula Hui Lian, semakin curiga walau pun nama ayah ibu gadis itu sempat mengejutkannya.

“Aihhh, maafkan aku, Bibi. Mungkin kalian tidak mengenal nama Bu Beng Lokai, akan tetapi sebelum mempergunakan nama itu, paman kakekku yang kini menjadi guruku itu bernama Gak Bun Beng...“

“Kong-kong...!” Seru Ciang Hun gembira mendengar nama kakeknya disebut. Biar pun dia belum pernah melihat kakeknya, namun sering kali kedua ayahnya bercerita tentang kakeknya dan dia amat merindukannya.

“Nanti dulu!” kata pula Hui Lian. “Kalau benar engkau murid ayah mertuaku, engkau tentu dapat melayani seranganku ini!”

Tiba-tiba saja ia lalu menyerang Suma Lian dengan jurus ampuh dari Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit). Suma Lian tentu saja mengenal baik ilmu silat ini dan sambil mengelak dan bergerak dengan ilmu yang sama, ia pun membalas serangan lawan dengan jurus lain dari Lo-thian Sin-kun.

Hui Lian masih belum merasa puas. Setelah menangkis, ia pun menyerang lagi dan dua orang wanita itu pun saling serang dengan ilmu yang sama sehingga mereka itu seperti dua orang yang berlatih silat saja. Setelah lewat belasan jurus dan ternyata gerakan Suma Lian dalam ilmu silat itu amat bagusnya, barulah Hui Lian merasa puas dan dia pun meloncat ke belakang.

Suma Lian memandang sambil tersenyum manis. “Lo-thian Sin-kun yang Bibi mainkan sungguh bagus! Apakah Bibi hendak menguji lagi?”

“Cukup, engkau memang benar Suma Lian dan maafkan kecurigaan kami karena dalam beberapa hari ini kami terancam bahaya dari seorang musuh yang pandai,” kata Hui Lian.

“Ehhhhh?” Suma Lian terkejut mendengar ini.

Baru sekarang ia melihat betapa wajah dua orang pamannya dan juga bibinya nampak muram dan mata mereka merah seperti orang yang kurang tidur. “Akan tetapi kalau benar demikian, mengapa tadi aku melihat adik Hun bermain sendirian di luar?”

“Aih, anak itu belum mengenal bahaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata pula Souw Hui Lian sambil menggandeng tangan Suma Lian, kini sikapnya manis sekali.

Suma Lian tersenyum memandang kepada kedua orang pamannya. “Maaf, Paman, aku datang membikin ribut saja. Akan tetapi sikap Bibi memang amat mengagumkan, dia cerdik dan pintar!”

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hanya tersenyum mendengar pujian itu dan mereka pun lalu masuk ke dalam rumah yang cukup luas itu. Seorang pelayan wanita setengah tua segera muncul pada saat dipanggil Hui Lian dan diperintahkan untuk menyediakan minuman untuk tamu yang disebutnya Suma-siocia (nona Suma) ketika diperkenalkan kepada pelayannya.

“Aih, Bibi ini!” Suma Lian berseru memotong ucapan itu. “Kenapa harus menyebutku nona segala? Ciang Hun sudah menyebutku enci kepadaku dan sebagai bibiku, tidak sepatutnya Bibi menyebut nona. Namaku Suma Lian, tanpa nona.”

Hui Lian tersenyum dan kini ia tahu bahwa Suma Lian bukan seorang gadis kasar dan kurang ajar tetapi seorang gadis yang jujur, terbuka, lincah dan tidak suka berpura-pura. “Baiklah, Suma Lian. Sekarang kami ingin sekali tahu, apakah maksud kunjunganmu ini? Kami yakin bahwa tentu kunjunganmu ini mempunyai maksud yang penting sekali.”

Suma Lian berpikir sejenak. Dia memang datang membawa keperluan penting, akan tetapi berita yang dibawanya itu bukan berita menyenangkan, melainkan berita tentang gurunya yang sakit tua dan menghendaki kedatangan kedua orang putera kembarnya itu. Sebaiknya kalau ia mengetahui lebih dahulu bahaya apa yang katanya mengancam keluarga paman dan bibinya ini.....

“Nanti dulu, Bibi. Sebelum aku menceritakan keperluan kedatanganku, lebih baik kalau Bibi menceritakan kepadaku tentang bahaya apa yang mengancam kalian. Aku bersedia membantu kalian. Ceritakanlah mengapa kalian tadi begitu curiga kepadaku sehingga tiba-tiba saja menyerangku.”

Gak Jit Kong kini yang menjawab. “Maafkan kami, Lian-ji (anak Lian). Kami memang sedang panik sehingga tanpa bertanya lagi menyerangmu, karena kami mengira bahwa engkau merupakan komplotan orang-orang jahat yang mengancam hendak menculik anak kami.”

“Komplotan jahat menculik adik Ciang Hun?”

“Benar, Suma Lian,” sambung Gak Goat Kong. “Terjadinya sudah kurang lebih sepekan yang lalu. Mula-mula kami mendengar bahwa di sebuah dusun di kaki gunung terjadi kekacauan ketika ada seorang nenek yang suka menculik anak kecil. Ketika mendengar itu, kami lalu turun tangan dan berhasil mengalahkan nenek itu dan mengusirnya dari dusun yang dikacaunya. Akan tetapi, iblis itu ternyata tidak mau menerimanya begitu saja. Agaknya ia memanggil kawan yang lebih lihai lagi dan sepekan yang lalu mereka datang mengganggu kami.”

“Apa yang mereka lakukan?” Suma Lian bertanya, penasaran.

Sekarang Souw Hui Lian yang melanjutkan. “Sepekan yang lalu, pada malam hari, aku mendengar suara gerakan orang di belakang rumah. Ketika aku keluar melalui pintu belakang, ia sudah berada di sana, nenek iblis yang pernah mengacau dusun itu, akan tetapi kini ada seorang temannya, seorang kakek botak. Mereka lihai bukan main.”

“Kami keluar saat mendengar ribut-ribut di belakang,” sambung Gak Jit Kong, “dan kami bertiga melawan kakek botak itu. Namun dia sungguh lihai dan kami bertiga terdesak. Tiba-tiba mereka meloncat pergi dan sambil tertawa kakek itu berkata bahwa sepekan kemudian dia akan datang lagi dan mengancam kami supaya menyerahkan putera kami dengan baik-baik, kalau tidak seisi rumah akan dibunuhnya!”

Suma Lian mengerutkan alisnya. “Hemmm, sombong sekali iblis itu.”

“Karena itu, setiap malam kami tidak dapat tidur dan berjaga-jaga, dan beristirahat pada siang harinya. Tadi kami masih tidur karena semalam berjaga, dan Ciang Hun yang sudah kami larang untuk keluar sendirian, tadi nekat keluar ke taman,” kata Hui Lian.

“Aku ingin nonton kupu-kupu kuning, Ibu!” bantah Ciang Hun. “Dan pula, kata Ibu iblis itu hanya muncul di waktu malam, bukan?”

“Memang benar,” kata pula Hui Lian kepada Suma Lian. “Iblis itu mengancam akan datang pada malam hari, karena itulah kami berani tidur di waktu siang.”

“Hemmm, dan kapankah malam yang dijanjikannya itu?” tanya Suma Lian.

“Malam ini tepat sepekan.”

“Harap kedua Paman dan Bibi tidak khawatir. Kalau malam nanti dia berani muncul, biarlah aku yang akan menghadapinya,” kata Suma Lian.

Walau pun kedua suami itu merasa agak tabah dengan munculnya Suma Lian yang dapat mereka harapkan untuk membantu mereka, namun tentu saja mereka tidak yakin akan kemampuan Suma Lian. Bagaimana pun juga, Suma Lian baru beberapa tahun ini menjadi murid ayah mereka, tentu tingkat kepandaiannya tak akan lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang kembar itu.

Kalau mereka maju bertiga saja tidak mampu menandingi kakek botak itu, apa lagi gadis muda ini? Betapapun juga, mereka mendapatkan tenaga bantuan dan hal ini saja sudah mendatangkan hiburan bagi mereka.

Suma Lian kelihatan tenang-tenang saja hari itu, bahkan bermain-main dengan Ciang Hun, membiarkan tiga orang itu beristirahat karena selama beberapa hari mereka itu selalu kurang tidur. Ketika malam tiba, Beng-san Siang-eng dan isterinya sudah nampak segar dan siap siaga untuk menghadapi ancaman musuh, Souw Hui Lian tidak pernah mau melepaskan puteranya.

Menjelang tengah malam, mereka yang berkumpul di ruangan dalam itu mendengar suara ketawa di luar rumah. “Ha-ha-ha, Beng-san Siang-eng, agaknya kalian sudah siap menghadapi kunjungan kami. Apakah anakmu, itu telah kau persiapkan untuk diberikan kepada kami? Keluarlah, kami tidak ingin bersikap tidak sopan menyerbu ke dalam!”

Mendengar suara ini, Beng-san Siang-eng dan isterinya nampak amat terkejut dan jelas kelihatan betapa mereka gentar. Hal ini membuat Suma Lian merasa penasaran dan marah sekali. Ia lalu meloncat berdiri dan dengan sikap tenang ia melangkah keluar, diikuti oleh dua orang pamannya, sedangkan Hui Lian tetap tinggal di dalam melindungi puteranya, seperti yang sudah mereka rancangkan. Memang sebaiknya jika Ciang Hun disembunyikan di dalam, dilindungi ibunya, agar dia tidak terancam bahaya langsung seperti kalau diajak keluar.

Dengan langkah tegap dan sikap tenang sekali Suma Lian melangkah terus menuju ke serambi luar, di mana memang sengaja dipasangi empat buah lampu gantung yang cukup terang. Kedua orang kembar itu sendiri merasa kagum akan ketabahan hati keponakan mereka walau pun mereka masih merasa khawatir apakah kehadiran gadis itu akan cukup membuat mereka mampu mengusir dan mengalahkan lawan yang amat tangguh.

Kalau tingkat kepandaian Suma Lian hanya sedikit lebih tinggi dari tingkat Hui Lian, tidak mungkin mereka akan menang. Bahkan andai kata tingkat ilmu kepandaian gadis itu sama dengan tingkat mereka pun, masih amat disangsikan apakah mereka akan mampu mengalahkan kakek botak itu, apa lagi kalau si nenek buruk itu membantunya.

Ketika mereka membuka pintu depan dan tiba di luar, ternyata benar seperti yang dikhawatirkan Beng-san Sian-eng. Kakek botak pendek dan nenek bongkok buruk itu sudah berada di situ, berdiri dengan sikap memandang rendah.

Nenek bongkok bermuka buruk itu memegang tongkatnya yang butut dan kakek yang bertubuh pendek berkepala botak dengan muka seperti seekor ikan itu menyeringai lebar. Dia tidak nampak memegang senjata, tetapi melihat pakaiannya seperti seorang tosu dengan gambar pat-kwa (segi delapan) di dadanya, tahulah Suma Lian bahwa ia berhadapan dengan seorang pendeta dari perkumpulan sesat Pat-kwa-pai.

Ketika melihat Beng-san Siang-eng muncul bersama seorang gadis yang muda dan cantik manis, sepasang mata kakek pendek itu bersinar-sinar dan mulutnya menyeringai semakin lebar.

“Bagus, bagus...! Beng-san Sian-eng, dari mana kalian mendapat seekor domba betina yang begini muda, montok dan mulus, ha-ha-ha! Apa dia hendak kau tukarkan dengan anak kalian? Gadis muda ini untuk aku, wah, aku suka sekali!”

“Hok Yang Cu, jangan gila kau! Aku tidak butuh gadis ini dan tidak sudi kalau ditukar dengan bocah laki-laki putera mereka!” tiba-tiba nenek itu membentak, nadanya marah.

Kakek botak itu tertawa bergelak. “Ha-ha, Beng-san Sian-eng, kalian sudah mendengar sendiri, bukan? Puteramu itu tetap harus kalian berikan kepada kami, sedang gadis ini untuk aku, sebagai pengganti kepala kalian! Nah, lekas berikan gadis ini kepadaku dan keluarkan pula bocah laki-laki itu supaya jangan membikin Kui-bo (Nenek Iblis) marah marah!”

Mendengar kata-kata mereka yang amat memandang rendah, apa lagi juga sangat menghinanya, Suma Lian menjadi merah mukanya dan sepasang matanya yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong. Ia melangkah maju menghadapi dua orang kakek dan nenek itu sambil menudingkan telunjuknya.

“Dua orang tua bangka tidak tahu diri dan tak mengenal malu! Kalian muncul sebagai iblis-iblis yang curang, tidak memperkenalkan nama. Siapakah kalian dan mengapa kalian mengganggu kedua orang pamanku ini?”

Kakek yang sudah menjadi merah matanya melihat Suma Lian yang cantik manis, kini tertawa bergelak sambil mengelus kepala yang botak dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menggoyang-goyangkan tangan kanan dengan sikap sombong.

“Ha-ha-ha, anak manis, ketahuilah bahwa pinto (aku) disebut Hok Yang Cu, dan seperti dapat kau lihat pada gambar di dadaku, aku adalah seorang tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal! Ada pun nenek buruk ini adalah Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam), seorang sahabatku. Dia minta bantuanku untuk mengambil putera Beng-san Sian-eng. Akan tetapi engkau muncul, anak manis, he-he-heh, dan setelah melihatmu, mana aku dapat melepaskanmu lagi?”

“Tua bangka iblis! Kedua orang pamanku tidak pernah merasa bermusuhan dengan kalian, mengapa kalian datang mengganggu mereka? Mengakulah apa sebabnya kalian mengganggu, ataukah kalian hanya dua orang tua bangka pengecut yang tidak berani mengaku?” Suma Lian sengaja memanaskan hati mereka untuk mengetahui mengapa mereka itu memusuhi kedua orang pamannya.

“Bocah sombong!” bentak nenek itu yang jelas memperlihatkan sikap membenci wanita muda. “Beng-san Siang-eng adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kenyataan ini saja sudah cukup bagi kami untuk memusuhi mereka!”

Kini mengertilah Suma Lian, juga Beng-san Siang-eng mengapa nenek dan kakek itu memusuhi mereka. Kiranya mereka itu, golongan sesat, selalu tak pernah melupakan keluarga Pendekar Pulau Es dan selalu memusuhi anggota keluarga itu setiap kali ada kesempatan.

Hal ini membuat Suma Lian menjadi semakin marah. Akan tetapi gadis yang pemberani ini tidak memperlihatkan kemarahannya, sebaliknya ia marah tertawa. Suara ketawanya nyaring dan bebas, tidak ditahan-tahan atau ditutupi mulutnya sehingga nampak rongga mulutnya yang kemerahan dan kilatan giginya yang putih.

“He-he-hi-hi-hik! Hek-sim Kui-bo dan Hok Yang Cu, dua orang kakek dan nenek tua bangka yang mau mampus, orang-orang macam kalian ini berani memusuhi keluarga para Pendekar Pulau Es? Dengar baik-baik, aku bernama Suma Lian? She Suma, ingat! Aku adalah cucu buyut dalam dari kakek buyut Suma Han. Hayo cepat kalian berlutut minta ampun, kemudian minggat dari sini dan jangan memperlihatkan ekor kalian lagi sebelum aku mewakili keluarga para Pendekar Pulau Es untuk menghajarmu!”

Mendengar ucapan yang amat merendahkan itu, si nenek sudah menjadi marah dan mencak-mencak, akan tetapi kakek itu malah menjadi girang sekali dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, sungguh baik sekali nasibku! Jadi engkau she Suma, keturunan langsung Pendekar Pulau Es? Ha-ha-ha-ha, sudah lama sekali aku ingin mendapatkan seorang wanita she Suma, dan baru sekarang agaknya akan berhasil, ha-ha-ha!”

Tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke arah Suma Lian, tangan kirinya mencengkeram ke arah muka gadis itu, akan tetapi dengan kecepatan kilat tangan kanannya menyusul dengan cengkeraman ke arah dada kiri Suma Lian. Serangan ini tidak sopan, akan tetapi juga sangat berbahaya karena gerakannya cepat sekali dan dari kedua telapak tangan yang mencengkeram itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahsyat!

Melihat betapa kakek yang lihai itu menyerang Suma Lian, Beng-san Siang-eng tentu saja menjadi khawatir sekali. Akan tetapi mereka belum merasa perlu turun tangan karena di situ juga masih ada nenek yang mereka tahu amat lihai pula itu.

Suma Lian adalah murid terakhir dari Bu Beng Lokai di samping Pouw Li Sian yang menjadi sumoi-nya. Selama delapan tahun, Suma Lian dan Pouw Li Sian menerima gemblengan yang amat tekun dari Bu Beng Lokai, dan kini boleh dibilang semua inti ilmu kepandaian kakek itu telah diwariskan, tentu saja dipilih yang ampuh-ampuh saja. Sebelum menjadi murid Bu Beng Lokai, sebagai puteri ayah ibu pendekar sakti, tentu saja sejak kecil Suma Lian telah menerima gemblengan orang tuanya, maka tentu saja ia kini telah memiliki ilmu silat yang hebat.

Menghadapi serangan kakek pendek botak, ia tidak menjadi gentar atau gugup, hanya merasa gemas karena kakek itu ternyata seorang yang benar-benar tidak sopan, begitu menyerang hendak mencengkeram buah dadanya! Dengan gerakan amat lincah ia pun melangkah mundur mengelak sehingga dua tangan kakek itu yang tadi mencengkeram dada dan kepala, tidak dapat menjangkaunya dan sebagai sambutan, kakinya melayang tinggi dari samping mengarah muka lawan!

Kakek pendek itu terkejut juga ketika mendadak gadis itu selain dapat menghindarkan cengkeramannya, juga membalas dengan tendangan yang demikian kuat dan cepatnya. Akan tetapi dia tidak mengelak, melainkan memutar lengan kanannya ke kanan untuk menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya dari samping.

Suma Lian cepat-cepat menarik kembali kakinya, maklum bahwa lawannya amat lihai sehingga dari keadaan terserang dapat mengubah kedudukan penyerang! Dan kakek itu pun tertawa bergelak melihat gadis itu menarik kembali kakinya.

“Ha-ha-ha, kakimu kecil dan indah, harum pula!” Dia memuji dengan nada mengejek.

Tentu saja Suma Lian menjadi marah bukan main, akan tetapi gadis ini memang pandai sekali menyembunyikan perasaannya, bahkan dia pun tersenyum mengejek. “Hemmm, tua bangka buruk dan busuk. Mukamu demikian jelek dan kotor sehingga untuk menjadi penjilat kaki pun belum cukup berharga!”

Begitu melihat mata kakek itu terbelalak dan mukanya menjadi merah karena marah mendengar penghinaan itu, Suma Lian sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala kakek pendek itu sedangkan tangan kanannya menampar ke arah dada. Gerakannya amat cepat dan kuat.

Pukulan ke arah ubun-ubun itu dilakukan dengan kelima jari dibentuk paruh meruncing, seperti paruh seekor burung garuda mematuk ubun-ubun yang botak itu. Tangan yang berjari mungil ini jangan dipandang ringan karena pada saat itu dipenuhi tenaga Swat-im Sinkang, yang membuat hawa yang menyambar dari tangan itu terasa dingin sekali dan kalau sampai ubun-ubun kepala itu terkena hantaman ini, tentu akan berlubang atau setidaknya tentu isinya akan terguncang hebat dan orangnya tewas.

Juga tamparan yang ke arah dada itu bukan main-main, melainkan mengandung tenaga dahsyat sehingga sekiranya mengenai sasaran, tulang-tulang iga akan patah-patah dan jantung di dalam dada dapat copot karena guncangannya!

“Hyaaahhhhhh...” Kakek itu sekarang terkejut dan sambil mengeluarkan seruan ini, dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik.

Akan tetapi, gerakan Suma Lian luar biasa cepatnya, disusulnya tubuh yang berjungkir balik itu dan kini tangan kanannya menghantam pula dari atas. Kakek itu yang baru saja berjungkir balik, tidak sempat pula untuk mengelak dan terpaksa dia pun mengangkat lengan kiri menangkis.

“Dukkk...!”

Dua lengan bertemu dan akibatnya, tubuh kakek itu lalu bergulingan sambil menggigil kedinginan!

“Swat-im Sin-jiu...!” serunya kaget.

“Hemmm, baru engkau mengenal kesaktian keluarga Pulau Es, ya? Nah, terimalah ini!” bentak Suma Lian dan dengan cepatnya ia pun menerjang terus, sekali ini tubuhnya merendah sampai hampir menelungkup dan tiba-tiba saja tubuh itu mencelat ke atas, kedua tangan mendorong dan sekali ini ia mempergunakan tenaga sakti yang diwarisi dari gurunya, yaitu Tenaga Inti Bumi!

Serangan yang dilakukan dengan lebih dahulu menjatuhkan diri ke atas tanah ini sama sekali tidak terduga oleh lawan sehingga kakek itu terkejut dan tidak sempat mengelak. Dia kembali harus menangkis dan kini, maklum akan kelihaian gadis itu, dia menangkis dengan kedua tangan didorongkan sambil mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya.

“Desss...!”

Hebat sekali pertemuan tenaga itu dan akibatnya, tubuh yang pendek itu terjengkang dan kembali bergulingan. Namun Hok Yang Cu sudah meloncat bangun dengan cepat, mukanya agak pucat dan di tepi mulutnya nampak darah. Ternyata pertemuan tenaga sinkang melalui dua telapak tangan tadi telah mengguncangkan tubuhnya dan membuat dia terluka di sebelah dalam tubuh sehingga muntahkan darah segar. Kemarahan dan penasaran membuat kakek itu lupa diri dan dia sudah meloloskan sabuknya, sabuk kulit yang ujungnya dipasangi pisau beracun.

Dua orang kakek Gak tadinya merasa kaget, kagum dan gembira bukan main melihat betapa keponakan mereka itu mampu menandingi, bahkan membuat kakek pendek botak itu dua kali roboh bergulingan! Tetapi kini mereka merasa khawatir lagi melihat betapa Hok Yang Cu melolos senjata sabuk yang mengerikan itu karena mereka dapat melihat betapa kedua batang pisau yang ujungnya menghitam itu tentulah mengandung racun.

Juga mereka melihat betapa nenek Hek-sim Kui-bo kini juga memutar tongkatnya. Maka mereka pun cepat saling memberi tanda dan keduanya sudah mencabut pedang dan meloncat ke depan, menghadang nenek buruk itu.

“Lian-ji, apakah engkau memerlukan pedang?” teriak Gak Jit Kong pada keponakannya. Akan tetapi Suma Lian tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Paman, menghadapi tua bangka yang sudah mau mampus ini perlu apa menggunakan pedang? Sebaiknya kedua Paman mundur dan menonton saja, biarlah aku yang akan menghajar sepasang anjing tua betina dan jantan ini sampai mereka lari terbirit-birit menyembunyikan ekor di selangkangnya!”

“Bocah sombong lihat senjataku!” bentak Hok Yang Cu yang kembali menyerang penuh semangat walau pun tadinya dia sudah merasa gentar. Kini dia marah sekali dan masih belum mau melihat kenyataan, belum mau percaya bahwa dia kalah oleh gadis muda!

Juga nenek Hek-sim Kui-bo menerjang ke depan dengan tongkat hitamnya, akan tetapi dua orang kakek kembar telah menyambutnya dengan pedang mereka. Maka terjadilah perkelahian mati-matian antara nenek buruk itu melawan dua orang kakek kembar yang memainkan pedang mereka dengan cepat dan saling membantu.

Serangan sabuk berujung pisau beracun itu sangat berbahaya, namun dengan tenang Suma Lian menggerakkan kakinya dan ia sudah mempergunakan langkah-langkah ajaib dari Ilmu Sam-po Cin-keng yang luar biasa. Jangankan baru diserang oleh satu orang yang bersenjata sabuk berpisau. Dengan ilmu langkah ajaib ini, yang sudah dikuasainya dengan baik, bahkan Suma Lian akan berani memasuki barisan senjata dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahannya dan keampuhan ilmu langkah-langkah ajaib itu! Dengan mudah dia menghindarkan diri dari serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kakek pendek botak, bahkan dapat membalas dengan tamparan atau tendangan yang membuat kakek itu kadang-kadang terdesak hebat.

Pengeroyokan kedua orang kakek kembar Gak terhadap nenek itu membuat Hek-sim Kui-bo repot juga. Biar pun tingkat kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya dibandingkan masing-masing pendekar Gak itu, akan tetapi ketika mereka maju berbareng sebagai Beng-san Sian-eng, nenek itu kewalahan juga.

Dua orang kakek kembar ini selain memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan ampuh, juga kalau maju berdua seperti satu orang yang berbadan dua saja. Mereka dapat bergerak otomatis saling bantu sehingga seperti seorang lawan yang berkepala dua dan berkaki tangan empat!

Harus diakui bahwa biar pun mereka lebih dahulu mempelajari ilmu silat dibandingkan Suma Lian, namun pada waktu itu tingkat kepandaian Suma Lian jauh melampaui kedua orang pamannya. Hal ini adalah karena memang bakat gadis itu jauh lebih besar, juga karena kedua orang saudara kembar ini belum menguasai inti dari ilmu-ilmu silat tinggi ayah mereka.

Walau pun demikian, karena maju berdua, cukup merupakan lawan yang amat lihai dan kuat. Dengan Ilmu Pedang Pengacau Langit (Lo-thian Kiam-sut) mereka berdua dapat membendung gelombang serangan tongkat Hek-sim Kui-bo, bahkan dengan pedang mereka, kini Beng-san Siang-eng mulai mendesak nenek yang menjadi repot dan harus terus main mundur, gelisah sekali melihat betapa teman yang diandalkannya, si pendeta pendek itu, juga terdesak hebat oleh gadis yang amat lihai itu!

Perkelahian antara Suma Lian dan Hok Yang Cu memang berat sebelah. Kepandaian gadis itu memang jauh lebih tinggi dan wataknya yang nakal dan jenaka membuat Suma Lian sengaja mempermainkan lawan. Kalau dia menghendaki, tentu saja sejak tadi dia sudah mampu merobohkan lawan, bahkan kalau perlu membunuhnya, akan tetapi dasar gadis yang memiliki watak aneh dan kadang-kadang suka ugal-ugalan, maka dia pun lebih senang mempermainkannya!

Tiba-tiba terdengar suara seruan kanak-kanak, “Enci Lian, hajar setan pendek itu, Enci!”

Suma Lian menengok. Ternyata Souw Hui Lian menggandeng tangan Gak Ciang Hun telah muncul di ambang pintu depan. Wanita itu tentu saja merasa khawatir mendengar suara perkelahian di luar dan sampai lama tiada tanda kemenangan di pihak suaminya. Maka sambil menuntun tangan puteranya ia pun keluar untuk menonton.

Ketika ia melihat betapa suaminya mengeroyok nenek buruk itu, sedangkan keponakan wanita itu dengan tangkasnya mampu menandingi kakek bersabuk itu dengan tangan kosong saja, hati Hui Lian menjadi kagum dan girang bukan main. Jelas bahwa di situ tidak ada musuh lain kecuali dua orang itu. Maka ia pun cepat mencabut pedangnya dan meninggalkan puteranya di ambang pintu. Ia sendiri cepat meloncat dan membantu suami-suaminya untuk mengeroyok Hek-sim Kui-bo!

Melihat betapa Suma Lian menandingi kakek pendek sambil berloncat cepat dan aneh dan gadis itu tersenyum-senyum mengejek, Ciang Hun menjadi gembira dan berseru kepada gadis itu untuk menghajar lawannya.

Pada waktu Suma Lian menengok, kesempatan ini digunakan oleh Hok Yang Cu untuk menyerangnya dengan hebat. Sabuknya bergerak cepat bagai kilat dan sebatang pisau beracun meluncur ke arah tenggorokan gadis itu. Cepat bukan main serangan ini dan tahu-tahu pisau itu telah terbang menyambar ke arah tenggorokan Suma Lian yang berkulit halus mulus dan putih bersih!

Namun Suma Lian tahu akan hal ini. Dia teringat akan seruan Ciang Hun, maka kini tangannya menangkis, dan jari-jari tangannya yang kecil mungil itu menjentik ke arah pisau.

“Tringggg...!”

Pisau itu terpental, membalik dan terdengar kakek ini berteriak kesakitan ketika pisau yang membalik itu tahu-tahu telah melukai pundaknya! Sebuah tendangan membuat tubuhnya yang tersentak kaget ini terlempar dan jatuh terbanting lalu bergulingan.

“Kui-bo…, lari...!” teriaknya.

Dan tanpa menanti jawaban temannya lagi, dia pun terus menggelinding ke pekarangan depan dan meloncat bangun lalu melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam.

Sementara itu, Hek-sim Kui-bo yang memang sudah terdesak oleh kedua orang kakek kembar itu, menjadi semakin repot ketika Hui Lian maju membantu dua orang suaminya. Tingkat kepandaian Hui Lian tidak banyak selisihnya dengan tingkat suaminya. Apa lagi ketika ia melihat betapa temannya semakin terdesak.

Ketika Hok Yang Cu terkena pisau beracunnya sendiri, hanya beberapa detik kemudian pedang Gak Jit Kong juga sudah melukai pangkal lengan kanannya, dan tendangan Hui Lian juga telak mengenai pahanya. Maka ia pun terhuyung ke belakang dan mendengar seruan temannya, dia pun langsung meloncat ke pekarangan dan menghilang di dalam kegelapan malam.

“Kejar mereka...!” Hui Lian berseru, siap untuk mengejar. Akan tetapi sebuah tangan yang halus menyentuh tangannya.

“Sebaliknya tidak usah, Bibi. Musuh yang sudah melarikan diri tidak perlu dikejar, apa lagi dalam gelap begini. Mereka adalah orang-orang yang curang dan berbahaya. Pula, menurut kata ayah, keluarga Pulau Es tidak pernah memusuhi orang-orang golongan hitam, hanya menentang perbuatan mereka yang jahat. Kalau mereka tidak menyerang, tidak perlu dilayani.”

“Ia benar. Mari kita masuk saja,” kata Gak Jit Kong dan mereka lalu memasuki rumah dan menutup daun pintu depan dengan rapat.

“Wah, enci Lian sungguh hebat! Kakek pendek yang lihai itu dijadikan bola olehnya!” kata Ciang Hun gembira.

“Itulah hasilnya kalau belajar dengan baik dan tekun,” kata Hui Lian kepada puteranya. “Engkau harus meniru enci-mu. Suma Lian, kami berterima kasih sekali karena kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan kami berempat.”

“Ahhh, Bibi, kita adalah orang sekeluarga sendiri, tidak perlu bersikap sungkan. Pula, kurasa dua orang penjahat tadi tidak akan mudah saja mengalahkan Bibi dan Paman berdua.”

“Sudahlah, Lian-ji, tidak perlu memuji kami. Yang jelas, kami berdua sudah ketinggalan jauh dalam ilmu silat dibandingkan denganmu dan biarlah kami akan berlatih dengan lebih tekun. Akan tetapi, setelah urusan yang mengganggu kami ini dapat dihindarkan, sekarang engkau harus menceritakan keperluanmu datang berkunjung ini.”

Suma Lian menarik napas panjang. Memang sejak tadi selalu ditahannya berita yang tidak menyenangkan itu karena keluarga ini sedang menghadapi ancaman bahaya. Dan setelah kini bahaya itu lewat, tentu saja ia harus menceritakannya.

“Aku datang berkunjung karena diutus oleh kongkong, Paman. Beliau meminta supaya Paman berdua dan sekeluarga suka datang menengok beliau karena pada waktu ini kongkong sedang menderita sakit...“

“Ayah sakit...?” Dua orang kakek kembar itu berseru hampir berbareng.

“Lian-ji, kenapa tidak dari kemarin engkau memberi tahu kami?” Gak Jit Kong menegur dengan muka sedih.

“Ayah sakit apakah, Suma Lian?” sambung Gak Goat Kong.

“Aku memang menahan berita ini ketika melihat keluarga Paman terancam bahaya agar jangan menambahi gelisah. Sebetulnya, penyakit kongkong adalah penyakit biasa, yaitu kelemahan setiap orang yang usianya sudah terlalu tua, demikian menurut keterangan kongkong sendiri. Karena itu, diharap agar Paman sekalian suka berkunjung ke sana sekarang juga.”

“Ahhh, ayah...“

Kedua orang kembar itu merasa gelisah dan berduka, mengingat betapa selama ini mereka gagal mencari ayah mereka. Sampai kurang lebih sepuluh tahun semenjak ayah mereka meninggalkan Puncak Telaga Warna, mereka tidak pernah mendengar tentang ayah mereka lagi, apa lagi melihatnya.

“Di mana dia?” tanya Gak Jit Kong. “Jauhkah dari sini?”

“Tidak jauh, hanya di lereng Cin-ling-san, pegunungan itu nampak dari sini kalau siang hari, Paman.”

Dua orang kembar itu terkejut dan girang. Ternyata ayah mereka berada di gunung sebelah! Malam itu mereka tidak tidur lagi dan mereka berdua bertanya tentang ayah mereka dan mereka berdua terharu bukan main mendengar betapa ayah mereka kini berjuluk Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama) dan bahkan ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan Suma Lian, kakek itu seperti seorang jembel tua yang kotor dan tidak waras!

“Aihhh, akulah yang berdosa terhadap ayah mertuaku...“ Tiba-tiba Hui Lian menangis ketika melihat betapa dua orang suaminya berlinangan air mata. “Akulah yang membuat kalian berdua menjadi anak-anak yang tidak berbakti, membuat hati ayah kalian menjadi merana dan kecewa...“

Hui Lian menangis sesenggukan. Dia tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan dia pun merangkul puteranya. Ciang Hun kemudian ikut menangis pada saat melihat betapa ibunya menangis sedih.

Melihat sikap isteri mereka itu, Beng-san Siang-eng menjadi terharu dan wajah mereka diliputi kedukaan, “Hui Lian, kamilah yang bersalah terhadap ayah!” kata Gak Jit Kong.

“Engkau tidak bersalah, dan biarlah nanti kami yang akan mohon ampun kepada ayah.” sambung Gak Goat Kong.

Suma Lian adalah seorang gadis yang memiliki perasaan yang peka, mudah tersentuh sehingga ia mudah riang gembira dan jenaka, akan tetapi mudah pula terharu. Melihat Hui Lian menangis, diikuti puteranya, dan melihat pula sikap dua orang kakek kembar itu yang gagah perkasa dan masing-masing mengakui kesalahan dengan isteri mereka, ia pun merasa terharu sekali sampai kedua matanya menjadi basah.

Ia dapat merasakan cinta kasih yang besar antara dua orang kembar itu dengan isteri mereka. Keadaan mereka itu memang amat ganjil bagi Suma Lian dan ia tidak dapat menyelaminya, namun ia dapat merasakan kasih sayang yang amat mendalam di dalam keluarga orang kembar ini.

“Paman dan Bibi, harap kalian jangan berduka. Ketahuilah bahwa kongkong sering kali membicarakan tentang Paman dan Bibi dengan sikap yang amat mencinta dan rindu. Dari kata-katanya aku dapat memastikan bahwa beliau sama sekali tidak marah kepada kalian, apa lagi membenci.”

Mendengar ini, dua orang saudara kembar itu memandang kepada Suma Lian dengan sinar mata penuh harapan. “Suma Lian, benarkah kata-katamu barusan ataukah hanya hiburan belaka untuk kami?” tanya Gak Goat Kong.

“Paman, mana aku berani membohong?”

“Sudahlah, mari kita semua berangkat. Andai kata ayah marah-marah kepada kita sekali pun, hal itu sudah sepatutnya dan kita hanya bisa minta maaf kepadanya. Yang penting, kita dapat bertemu dan menghadap ayah. Aihh, Lian-ji, betapa selama bertahun-tahun ini kami bersusah payah mencari ayah, namun selalu gagal,” kata Gak Jit Kong.

Konflik atau pertentangan yang terjadi antara kita dengan orang lain, sama sekali tidak dapat diatasi dengan prasangka, dengan sikap ingin benar sendiri dan ingin menang sendiri. Konflik akan makin memuncak kalau kita saling menilai keadaan orang lain itu, karena penilaian selalu dipengaruhi keadaan hati seseorang, didasari rasa suka dan tidak suka yang timbul dari si aku yang merasa diuntungkan atau dirugikan.

Kalau kita sedang bertentangan dengan seseorang, biasanya kita selalu menilai orang itu, segala sikap dan perbuatannya terhadap kita yang tentu saja menimbulkan nilai buruk karena orang itu kita anggap merugikan. Penilaian ini akan menambah tebalnya kebencian dan permusuhan.

Akan tetapi, cobalah kita mulai mengarahkan pengamatan kepada diri kita sendiri, sikap dan perbuatan kita sendiri tanpa penilaian, tetapi dengan pengamatan yang waspada, tanpa memihak, menyalahkan atau membenarkan diri sendiri. Maka, akan nampak jelas bahwa segala sebab yang mengakibatkan pertentangan, sebagian besar terletak dalam diri kita sendiri masing-masing.

Pengamatan terhadap diri ini akan dapat mendatangkan perubahan, dan ini menghapus pertentangan, sebab konflik keluar hanyalah pencerminan dari konflik yang terjadi dalam diri sendiri. Pengamatan kita terhadap diri sendiri, setiap saat, akan mengubah semua ulah kita terhadap orang lain, tidak mudah mata kita dibutakan oleh nafsu belaka, tidak mudah kita menjadi ‘mata gelap’ seperti dikatakan orang-orang bijaksana di jaman dahulu bahwa musuh yang paling kuat, paling berbahaya, paling licik, adalah diri sendiri, pikiran sendiri! Setan pembujuk dan penipu bukan berada di luar diri kita sendiri! Karena itu, pengamatan yang waspada terhadap diri sendiri akan melumpuhkan setan ini!


Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah keluarga Beng-san Siang-eng yang terdiri dari dua orang suami, satu isteri dan satu anak itu, mengikuti Suma Lian, menuju ke Pegunungan Cin-ling-san yang luas dan mempunyai banyak bukit-bukit. Di satu di antara lereng bukit inilah kini tinggal Bu Beng Lokai.....

********************

Bukit itu mempunyai sumber air dan tanahnya amat subur, penuh dengan pohon-pohon besar. Di tengah sebuah di antara hutan-hutan yang memenuhi bukit yang merupakan anak bukit Pegunungan Cin-ling-san ini terdapat sebuah pondok. Tidak besar, hanya terbuat dari kayu-kayu pohon besar, dan memiliki dua buah kamar saja. Namun pondok itu terawat bersih, dan di depannya bahkan terdapat sebuah taman bunga yang indah.

Inilah tempat tinggal Bu Beng Lokai bersama dua orang muridnya, yaitu Suma Lian dan Pouw Li Sian. Muridnya yang bernama Suma Lian telah kita kenal, dan Suma Lian masih terhitung cucu keponakannya sendiri, atau lebih tepat, cucu keponakan mendiang isterinya. Ada pun muridnya yang ke dua, juga seorang gadis yang bernama Pouw Li Sian, usianya sebaya dengan Suma Lian, hanya lebih muda beberapa bulan saja.

Seperti Suma Lian, Pouw Li Sian ini juga tekun belajar silat dan kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ia juga cantik manis, dengan tahi lalat kecil di dagunya yang meruncing, menambah manis. Tetapi, wataknya sungguh jauh berbeda dengan Suma Lian.

Jika Suma Lian seorang gadis lincah, jenaka gembira yang kadang-kadang ugal-ugalan, dengan pakaian yang nyentrik dan seenaknya, sebaliknya Pouw Li Sian adalah seorang gadis yang cantik dan halus gerak-geriknya, sopan santun tutur katanya, dan biar pun pakaiannya juga sederhana dan tambal-tambalan seperti pakaian gurunya dan pakaian Suma Lian, namun potongan pakaian itu rapi dan sopan.

Di dalam kisah SULING NAGA telah diceritakan betapa Pouw Li Sian ini adalah seorang keturunan bangsawan tinggi. Mendiang ayahnya adalah seorang menteri, seorang bangsawan tinggi yang berjiwa satria.

Pada waktu Pouw Tong Ki, demikian nama menteri itu, masih duduk sebagai Menteri Pendapatan, ia telah bentrok dengan pembesar tinggi Hou Seng, thaikam (orang kebiri) yang menjadi kekasih kaisar dan karenanya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan kekuasaan yang tak terbatas. Dalam bentrokan inilah Pouw Tong Ki kena fitnah dan bahkan terbunuh oleh kaki tangan Hou Seng yang bersekutu dengan datuk-datuk sesat dari golongan hitam.

Seluruh keluarganya lalu terbasmi dan ditangkap sebagai pemberontak karena difitnah, kecuali Pouw Li Sian, puteri menteri itu yang dapat diselamatkan oleh Bu Beng Lokai. Ketika peristiwa itu terjadi, Pouw Li Sian baru berusia dua belas tahun dan bersama Suma Lian ia lalu diajak pergi oleh Bu Beng Lokai sebagai muridnya.

Kini Li Sian telah berusia dua puluh tahun, dan selama delapan tahun itu ia ikut bersama guru dan suci-nya (kakak seperguruannya) merantau, hidup menempuh kesulitan dan kekerasan serta kekurangan. Dan akhirnya, dua tahun yang lalu, gurunya menetap di dalam hutan di lereng bukit Pegunungan Cin-ling-San itu.

Li Sian, seperti juga Suma Lian, sangat sayang kepada gurunya, karena selain sebagai penyelamat dirinya, juga Bu Beng Lokai adalah satu-satunya orang yang melindungi dan menyayangnya. Seperti juga Suma Lian ia tidak menyebut suhu (guru) kepada Bu Beng Lokai, melainkan kongkong (kakek) dan hal ini diterima dengan senang oleh kakek itu karena dia merasa seolah-olah puteri menteri itu adalah seorang cucunya sendiri, seperti Suma Lian. Dan hubungan antara Suma Lian dan Pouw Li Sian juga akrab sekali karena mereka hidup berdua di bawah asuhan kakek sakti itu sehingga mereka seolah-olah dua orang kakak beradik saja.

Ketika melihat kakek itu makin lemah karena usia yang tua, sudah mendekati seratus tahun, nampak semakin malas dan lebih sering bersemedhi atau tidur, mulailah kedua orang kakak beradik seperguruan itu merasa khawatir. Akhirnya kakek yang gagah itu pun harus mengalah dan mengakui keunggulan sang waktu.

Segala sesuatu di dunia ini akan berakhir, sedikit demi sedikit akan lenyap ditelan sang waktu. Demikian pula kehidupan manusia. Sang waktu akan menelan manusia sedikit demi sedikit melalui usia. Tanpa terasa manusia mendapatkan dirinya makin tua, makin dekat dengan saat akhir di mana dia harus mengakui kelemahan dirinya, mengakui betapa kehidupan ini tidaklah abadi, dan kematian akan menjemputnya dan mengakhiri segala perjalanan hidupnya.

Ketika kakek itu lebih banyak berbaring dengan lemah, dan sering kali mengigau dalam tidur memanggil-manggil nama kedua anak kembarnya, Suma Lian lalu memberanikan diri mengajukan usul kepada kongkong-nya, setelah berunding dengan sumoi-nya, Li Sian.

“Kongkong, bagaimana kalau aku pergi ke Beng-san dan menemui kedua orang paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, memberi tahu mereka bahwa Kongkong berada di sini dan mengajak mereka untuk datang ke sini?” demikian usulnya sambil duduk di tepi pembaringan kakek itu, sementara itu Li Sian memijati kaki gurunya.

Kakek itu membuka matanya dan sejenak sepasang mata itu mengeluarkan sinar, akan tetapi menjadi redup kembali, kemudian dia menghela napas panjang dan terdengar kata-katanya, seperti kepada diri sendiri, hanya lirih saja. “Ahhh, mereka tidak akan mau datang menengokku, mereka telah melupakan ayah mereka...“

Melihat, sikap kongkong-nya ini, Suma Lian lalu berunding dengan sumoi-nya dan Pouw Li Sian juga merasa setuju untuk mengundang putera kembar guru mereka itu. Akhirnya diputuskan bahwa Suma Lian akan pergi mengabarkan kepada Beng-san Siang-eng, sedangkan Pouw Li Sian tetap tinggal di rumah itu untuk menjaga dan melayani semua keperluan gurunya.

Setelah Suma Lian pergi dan pada suatu pagi Bu Beng Lokai menanyakan kepada Li Sian ke mana perginya suci-nya itu, Li Sian terus terang mengatakan bahwa suci-nya itu pergi ke Beng-san untuk mengundang Beng-san Siang-eng. Wajah kakek itu nampak berseri dan sinar matanya penuh harap sehingga diam-diam Li Sian merasa terharu dan bersyukur bahwa suci-nya mempunyai pendapat yang amat baik untuk mengundang kedua orang pendekar kembar itu.

Beberapa hari kemudian, Li Sian duduk di depan pondok bersama gurunya. Kakek Bu Beng Lokai nampak agak segar pagi itu, dan begitu merasa tubuhnya sehat, dia pun duduk di depan pondok untuk membiarkan sinar matahari pagi memandikan dirinya. Li Sian sudah selesai berlatih dan mencuci pakaian dan kini ia menemani kakek itu duduk di luar pondok. Kakek itu sudah sarapan bubur yang tadi dipersiapkan Li Sian dan gadis itu duduk di atas sebuah bangku kecil, di sebelah kanan gurunya yang membuka baju atas membiarkan sinar matahari menghangatkan dadanya.

“Saya gembira sekali, pagi ini Kongkong nampak sehat sekali,” berkata Li Sian sambil memandang kakek itu dengan sinar mata penuh hormat dan sayang.

Bu Beng Lokai memandang muridnya itu dan tersenyum. “Li Sian, aku sudah lama tidak melihat engkau berlatih. Sekarang cobalah engkau mainkan Lo-thian Sin-kun, aku ingin sekali melihat sampai di mana kemajuanmu.”

“Baik, Kongkong,” kata Li Sian.

Gadis ini bangkit berdiri lalu meloncat ke tengah pekarangan depan rumah itu, di dekat taman bunga yang dirawatnya dengan amat baik bersama suci-nya. Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun dan Lo-thian Kiam-sut memang merupakan dua buah ilmu silat tinggi yang telah disempurnakan oleh kakek itu dan merupakan inti dari pada ilmu-ilmu yang diajarkan kepada dua orang muridnya. Setelah memberi hormat dengan mengepal tangan kanan dilekatkan tangan kiri yang terbuka di depan ulu hati dan menghadap gurunya, Li Sian lalu bersilat.

Indah bukan main gerakan gadis ini. Orangnya memang cantik, bentuk tubuhnya indah. Tubuh seorang dara yang sedang masak-masaknya, dengan pinggang ramping dan lekuk lengkung tubuh yang sempurna, penuh sifat kehalusan dan kelembutan seorang wanita, maka gerakan silat itu sungguh amat indah. Memang Bu Beng Lokai yang sudah mendalami ilmu silat sampai ke intinya, menekankan segi-segi terpenting dari ilmu silat.

Di dalam gerakan ilmu silat terkandung seni tari yang indah, gerakan tubuh demikian hidup dan penuh keindahan, juga mengandung seni olah raga yang menyehatkan tubuh sebab gerakan-gerakan itu memperlancar jalan darah bahkan mengendalikan hawa dan tenaga sakti dalam tubuh. Selain seni tari dan olah raga, juga mengandung pengaruh menyehatkan batin di samping ilmu bela diri.

Permainan Li Sian memang indah sekali, juga gerakannya mantap, setiap pukulan atau tangkisan mengandung tenaga yang nampaknya halus namun sesungguhnya amat kuat karena gadis ini pun sudah menguasai penggunaan Tenaga Inti Bumi, bahkan sudah mahir pula mempergunakan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari Pulau Es!

Kecepatannya mengagumkan sehingga diam-diam Bu Beng Lokai mengangguk-angguk bangga. Keindahan, kecepatan, kekuatan, tiga hal ini sudah terwujud dalam ilmu silat yang dimainkan Li Sian.

“Ambil ranting dan pergunakan sebagai pedang, mainkan Lo-thian Kiam-sut,” kata Bu Beng Lokai.

Tubuh gadis itu tiba-tiba berkelebat ke atas, ke arah sebatang pohon di tengah taman bunga dan ketika berkelebat kembali ke depan gurunya, ia sudah memegang sebatang ranting pohon. Sekali menggerakkan ranting itu, daun-daun yang melekat di situ rontok dan mulailah ia memainkan ilmu pedang yang diminta gurunya. Seperti juga ilmu silat tangan kosong yang tadi dimainkan dengan halus namun dengan kecepatan yang luar biasa, membuat tubuhnya lenyap terbungkus sinar hijau dari ranting itu, sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya!

Melihat kemajuan muridnya ini, timbul kegembiraan hati Bu Beng Lokai dan tiba-tiba dia sudah bangkit berdiri. “Li Sian, mari kita latihan bersama!” katanya gembira.

Dan kakek itu sudah meloncat memasuki gulungan sinar pada ranting pohon yang dimainkan sebagai pedang oleh gadis itu. Dia mainkan kedua tangannya dan kakinya bergerak dalam langkah-langkah ajaib Sam-po Ci-keng dan melihat ini, Li Sian girang bukan main. Ini menandakan bahwa gurunya itu telah sehat benar!

Maka, ia pun melayani gurunya dan mereka berlatih bersama. Biar pun sudah tua dan baru saja sembuh dari keadaan tidak sehat, namun begitu tubuhnya bergerak dalam permainan silat, tubuh itu seperti mendapatkan kekuatan baru dan gerakannya lincah dan kuat! Li Sian juga bersilat dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk mengalahkan gurunya.

Namun, biar gurunya sudah sangat tua, bagaimana pun juga dia kalah jauh dalam hal kematangan ilmu silat dan pengalaman. Tiba-tiba ujung ranting yang dimainkan sebagai pedang itu dapat tertangkap oleh tangan kanan kakek itu. Li Sian mengerahkan tenaga untuk merampas kembali senjatanya, kakek itu mempertahankan.

“Krekkk!” Ranting itu patah-patah dan keduanya melompat ke belakang. Wajah Li Sian berubah merah.

“Wah, Kongkong sudah sehat benar, sudah mampu mengalahkan saya dengan amat mudah!” kata Li Sian.

Bu Beng Lokai berkata setelah menghapus peluhnya yang membasahi tubuh atas itu dengan bajunya.

“Li Sian, pada saat lawan berhasil menangkap senjata, kesempatan itulah yang teramat baik untuk menyerangnya. Biarkan ia kegirangan karena berhasil menangkap senjatamu sehingga dia lengah. Dan pada detik itu pula muncul kesempatan yang teramat baik untuk merobohkannya.”

“Maksud Kongkong, saya tidak seharusnya mengerahkan tenaga untuk coba merampas kembali senjata yang sudah tertangkap, tetapi menggunakan saat itu untuk menyerang lawan dengan tangan kiri?”

Kakek itu mengangguk. “Benar, tertangkapnya senjatamu merupakan pancingan yang tidak disengaja dan dapat berhasil baik. Lawan akan lengah dan saat itu engkau dapat mempergunakan tangan kiri atau kakimu untuk menyerangnya. Ini berarti membiarkan kemenangan datang melalui kekalahan. Kelihatannya saja engkau sudah kalah karena senjatamu tertangkap, akan tetapi kekalahan itu justeru membuka kesempatan bagimu untuk memperoleh kemenangan. Mengertikah engkau?”

“Saya mengerti, Kongkong.”

“Nah, bagus. Bagaimana pun juga, engkau sudah memperoleh kemajuan yang cukup baik. Tentu selama aku mengaso dan tak mampu mengawasimu, engkau terus berlatih dengan giat.”

“Ahhh, betapa pun kerasnya saya berlatih, masih sukar bagi saya untuk mengimbangi kemajuan suci, Kongkong.”

Kakek itu tersenyum. “Bukan salahmu. Suma Lian memang berbakat sekali, dan selain itu, ingatlah bahwa ia keturunan langsung dari ayah mertuaku, Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es! Bahkan ayah ibunya juga merupakan sepasang pendekar yang sakti. Sejak kecil ia sudah digembleng ayah ibunya dan ketika ia menjadi muridku, ia telah memiliki dasar yang kuat sekali, berbeda dengan engkau yang ketika itu belum pernah mempelajari ilmu silat sama sekali. Ilmu kepandaian silat mendiang ayahmu, Menteri Pouw Tong Ki itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat ayah ibu Suma Lian. Ketahuilah, Li Sian, bahwa ilmu-ilmu dari Pulau Es amat tinggi dan karenanya tidak mudah dikuasai dengan sempurna. Misalnya saja Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang yang pernah kau latih itu, kiranya sekarang sukar mencari orang yang mampu menguasainya sesempurna mendiang ayah mertuaku! Mungkin hanya Suma Ceng Liong ayah Suma Lian saja yang saat ini memiliki tingkat paling tinggi dalam hal ilmu silat keluarga Pulau Es. Akan tetapi, bekalmu sudah lebih dari cukup. Kalau engkau giat berlatih dan ditambah pengalaman-pengalamanmu nanti, kiranya engkau tidak akan tertinggal terlalu jauh. Eh, mengapa Suma Lian belum juga pulang?”

Li Sian masih duduk bersila di atas batu datar untuk mengatur pernapasan, memulihkan tenaga setelah latihan tadi. Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, ia pun menjawab. “Menurut perhitungan Lian-suci, mestinya kemarin ia sudah pulang. Saya kira hari ini ia akan pulang, Kongkong.”

Kakek itu mengangguk-angguk, lalu duduk bersila pula di atas batu datar lain yang banyak terdapat di pekarangan itu. “Aku harus mengaso, sedikit latihan tadi melelahkan tubuhku, akan tetapi juga amat menggembirakan dan memberi semangat,” katanya.

Dan tidak lama kemudian, Bu Beng Lokai sudah tenggelam dalam semedhinya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar