04 Pengeroyokan Si Budha Tertawa
Tetapi waktu melihat beberapa
kali tubuh Lie Su Han terhuyung seperti akan rubuh si hwesio mengeluarkan suara
seruan yang tiada henti-hentinya: “Sayang, sayang..... seorang diri, melawan
tikus-tikus besar yang berjumlah begitu banyak. Inilah tidak pantas! Inilah
tidak pantas! Tidak sedap dilihat!” dan setelah berkata begitu, segera Hwesio
mengetuk kayu bok-hienya itu lebih gencar, sehingga terdengar suara,
“ting-tong, ting-tong, ting-tok, ting-tok!” Ramainya suara dari terketuknya
kayu bok-hie tersebut, yang sekali-sekali diselingi dengan terketuknya pembalut
tepian kayu bok-hie itu, ramai sekali memenuhi ruangan tersebut, sehingga
pertempuran yang tengah berlangsung itu seperti juga merupakan suatu
pertunjukan yang benar-benar menarik hati.
Lie Su Han rupanya memang
telah terdesak hebat sekali, dan juga tampaknya tenaganya mulai berkurang
banyak, sehingga ia berulang kali harus terhuyung-huyung akan rubuh dan
terdesak keras oleh lawan-lawannya.
Namun Lie Su Han juga memiliki
latihan yang cukup matang pada ilmu silatnya, sehingga sejauh itu ia masih bisa
mempertahankan diri, walaupun dengan luka-luka yang mulai memenuhi di beberapa
bagian anggota tubuhnya.
Satu kali tampak Lie Su Han
mengeluarkan seruan kaget, karena mata pedang dari Bo Liang Cinjin telah
menyambar dekat sekali dadanya sebelah kiri hanya terpisah kurang lebih empat
dim, dan jika mata pedang itu berhasil menembusi dadanya tentu akan menembus
langsung ke jantung! Hal itu tentu saja berarti kematian untuk Lie Su Han.
Dengan demikian Lie Su Han
jadi agak gugup juga, ia mengangkat pedang pendeknya dan mempergunakan untuk
menyampok, dengan jurus Menyingkap Awan Melihat Langit, di mana pedangnya itu
berhasil menangkis pedangnya Bo Liang Cinjin. Namun pendeta dari agama To
tersebut rupanya tidak menyerang sampai di situ saja, ia telah membarengi
dengan kebutan-kebutan hud-timnya pada kepala Lie Su Han, di mana bulu kebutan
hud-timnya telah berkumpul menjadi satu dan menyambar akan menghantam hebat
kepada sasarannya.
Po San Cinjin juga telah
mempergunakan pedangnya menikam ke arah pinggang Lie Su Han diiringi juga
dengan kebutan Hud-timnya ke arah lutut Lie Su Han, di mana bulu-bulu hud-tim
itu tidak berkumpul malah berpencar satu dengan lainnya, mekar seperti sekuntum
bunga.
Itulah serangan yang
berbahaya, karena ujung dari bulu-bulu hud-tim itu seperti juga mata jarum.
Bila mengenai sasarannya, jelas akan membuat jalan darah yang terletak di
sekitar lutut Lie Su Han akan tertotok. Belum lagi tikaman pedang dari Po San
Cinjin pada pinggangnya.
Benar-benar keadaan Lie Su Han
terjepit menghadapi serangan lawan-lawannya itu, ke sembilan golok dari para
tentara Mongolia juga telah menyambar kilat ke berbagai tubuhnya. Tiada jalan
mundur atau berkelit bagi Lie Su Han di mana membuat ia jadi mengeluh
sendirinya.
“Habislah aku kali
ini.......,” teriak Lie Su Han di dalam hatinya.
Kini hwesio gemuk itu sudah
tidak bisa tertawa lagi waktu melihat keadaan Lie Su Han terjepit seperti itu.
Ketukan pada kayu bok-hie juga berhenti.
Walaupun tubuhnya gemuk. Namun
gerakan si hwesio ternyata lincah dan gesit sekali, karena begitu dia
menjejakkan kakinya, tubuhnya seperti sebuah bola yang melambung di tengah
udara. Dan di saat itu kayu bok-hie di tangannya, berikut pemukulnya juga telah
dimasukkan ke dalam jubahnya, di mana kemudian waktu tubuhnya meluncur di dekat
gelanggang pertempuran itu, si hwesio telah menggerakkan kedua telapak
tangannya dengan cepat.
“Aduuuh!” terdengar suara
jerit kesakitan, lalu disusul dengan suara jeritan lainnya lagi. Saling susul
tampak sembilan tubuh telah terpental berjumpalitan dan kemudian membentur
keras sekali dinding ruangan itu. Rupanya ke sembilan tentara Mongolia itu
telah dapat dibikin terpental satu demi satu oleh si hwesio gemuk tersebut, sehingga
begitu mereka membentur dinding, tubuh mereka terkulai rubuh di lantai dalam
keadaan pingsan tidak sadarkan diri.
Sesungguhnya Bo Liang Cinjin
dan Po San Cinjin tengah dalam kegembiraan yang melihat bahwa lawan mereka
dalam beberapa saat lagi akan berhasil mereka rubuhkan, karena mereka melihat
bahwa Lie Su Han memang sudah tidak memiliki jalan mundur lagi untuk
menyelamatkan dirinya.
Namun betapa terkejutnya
mereka waktu melihat kejadian yang tidak pernah mereka sangka, yaitu ke
sembilan dari tentara Mongolia itu, masing-masing telah berhasil dibuat
terpental begitu rupa oleh si hwesio gemuk tersebut. Karena kedua tojin itu
terkejut maka mereka menahan sedikit serangan mereka yang merandek beberapa
detik.
Mempergunakan kesempatan
itulah si hwesio gemuk tersebut telah mengulurkan tangan kanannya mencengkeram
baju di punggung Lie Su Han, dan menghentaknya, menarik dengan cepat, sehingga
tubuh Lie Su Han bisa diselamatkan dari serangan kedua tojin itu. Bukan main
marahnya Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin, mereka telah mengawasi si hwesio
dengan sorot mata yang tajam bengis.
”Kerbau..... siapa kau yang
begitu lancang tangan berani mencampuri urusan kami?” bentak Bo Liang Cinjin
kemudian dengan suara bengis mengandung kemarahan yang sangat.
“Ya, kau rupanya mencari
mampus, kerbau gundul!” teriak Po San Cinjin dengan suara yang tidak kalah
bengisnya.
Si hwesio gemuk tertawa
bergelak, ia melepaskan cekalannya pada pakaian Lie Su Han, yang waktu itu
telah merasa bersyukur, karena dirinya telah diselamatkan oleh si hwesio.
“Aku si pendeta miskin yang
tidak bernama...... Kebetulan aku menyaksikan pertandingan yang tidak sedap
dipandang, sehingga Siauw-ceng terpaksa ikut mencampurinya.......!” menyahuti
hwesio tersebut dengan sikapnya yang tetap riang. “Siauw-ceng hanya menghendaki
kalian bertempur dengan cara yang adil, seorang demi seorang, tidak seperti
tadi, main meluruk begitu......!” dan si pendeta tersebut telah tertawa
bergelak.
Bo Liang Cinjin dari Po San
Cinjin membuka mata lebar-lebar dan membentak mengandung kemarahan yang sangat:
“Engkaukah yang bergelar Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu?” tanya Bo Liang Cinjin
kemudian.
Si pendeta tertawa sambil
mengangguk. Memang gelarannya adalah Sung Ceng Siansu. Tetapi disebabkan ia
gemar sekali tersenyum dan tertawa tidak henti-hentinya setiap menghadapi lawan
bicaranya, maka pendeta ini telah diberikan julukan lainnya, yaitu Bi-lek-hud,
si Buddha tertawa.
“Memang tidak salah, rupanya
Totiang berdua memiliki mata yang sangat tajam......!” kata Bi-lek-hud Sung
Ceng Siansu. Dan sekarang apakah totiang berdua akan meneruskan main-main
dengan senjata tajam itu dengan tuan ini?” sambil berkata begitu, si Bi-lek-hud
telah menunjuk kepada Lie Su Han, yang waktu itu berdiri di sampingnya.
Bo Liang Cinjin dan Po San
Cinjin berdua sesungguhnya telah cukup lama dan sering mendengar nama
Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu, yang merupakan seorang hwesio yang memiliki
kepandaian tinggi dan disegani oleh jago-jago rimba persilatan.
Tetapi walaupun begitu Bo
Liang Cinjin dan Po San Cinjin juga merupakan dua orang tojin dari pintu
perguruan Kun-lun-pay yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka juga merupakan
dua orang murid tingkat ketiga, dengan demikian mereka memiliki nama dan
tingkat derajat yang tinggi dalam bilangan pintu perguruan Kun-lun-pay.
Sekarang, dalam keadaan marah
seperti itu, walaupun mereka telah mengetahui bahwa hwesio gemuk tersebut
adalah Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu yang kesohor namanya di dalam kalangan
Kang-ouw, tokh mereka tidak merasa gentar.
“Kami tidak akan memperdulikan
dulu pemberontak itu. Jika memang Taysu bisa merubuhkan kami berdua, maka
pemberontak itu akan kami ijinkan untuk pergi bebas kemana dia mau.....!”
Hebat kata-katanya yang
diucapkan oleh Bo Liang Cinjin, karena itulah sebuah tantangan untuk Bi-lek-hud
Sung Ceng Siansu.
Tetapi Sung Ceng Siansu tidak
melawan kata-kata tantangan itu dengan sikap mendongkol atau marah, ia malah
tertawa. Sama seperti julukannya, yaitu Bi-lek-hud, ia telah memperlihatkan
sikapnya yang selalu riang.
“Lucu sekali,” kata Bi-lek-hud
Sung Ceng Siansu kemudian. “Kalian membawa sikap seperti anak kecil. Jika boleh
siauw-ceng ingin sekali mengetahui gelaran yang mulia dari Jie-wie
totiang......!”
“Pinto Bo Liang Cinjin dan ini
adikku Po San Cinjin,” kata Bo Liang Cinjin, suaranya tetap memperlihatkan
perasaan tidak senang dan membenci kepada Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu. “Dan
kami justru hendak meminta petunjuk dari Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu yang
begitu terkenal namanya di kalangan Kang-ouw!”
“Hahaha,” tertawa pendeta yang
selalu riang itu sambil mengusap-usap perutnya yang memang membuncit, dan
kemudian ia berkata, “Benar-benar lucu! Rupanya hari ini Siauw-ceng berjodoh
bertemu dengan dua orang tokoh Kun-lun-pay yang memiliki nama begitu
menggetarkan rimba persilatan! Inilah namanya suatu rejeki yang besar dan
keberuntungan yang tidak pernah siauw-ceng berani harapkan sebelumnya! Apa lagi
sekarang, jie-wie totiang hendak mengajak siauw-ceng main-main, dengan begini,
itulah suatu penghormatan yang besar untuk siauw-ceng. mana berani siauw-ceng
untuk menampiknya?”
Sambil berkata, tangan kanan
Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah mengusap-usap perutnya yang memang sangat
buncit itu.
Mendengar bahwa tantangan
mereka itu diterima dengan cara seperti itu, Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin
tidak membuang-buang waktu pula. Bo Liang Cinjin menggerakkan pedangnya di
tangan kanannya menikam ke arah perut si hwesio, gerakannya cepat sekali. Dan
juga Hud-tim nya telah dikebutkan ke kepala si hwesio.
Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu mengeluarkan
suara teriakan kaget diiringi tawanya, “Celaka.....” serunya, dan tangan
kanannya mengusap perutnya yang buncit lebih cepat, tangan kirinya menutupi
kepalanya yang gundul itu, seperti takut kena dikemplang.
Dan sambil berbuat dengan
tingkah laku yang lucu seperti itu, ia juga telah mencelat ke samping,
gerakannya begitu ringan dan cepat sekali. Dan gerakan dari Bi-lek-hud Sung
Ceng Siansu tersebut telah membuat tikaman dan kejaran hud-tim Bo Liang Cinjin
jatuh di tempat kosong.
Sedangkan Po San Cinjin yang
melihat tikaman dan kemplangan hud-tim dari saudara seperguruannya tidak
berhasil mengenai sasarannya, jadi mengeluarkan suara seruan nyaring sambil
menggerakkan pedang dan hud-timnya juga menikam dari mengebut kepada Bi-lek-hud
Sung Ceng Siansu. Gerakan yang dilakukannya itu disertai oleh kerahan tenaga
lweekang sembilan bagian. Hal ini disebabkan Po San Cinjin menyadari bahwa
orang yang tengah dihadapinya ini adalah seorang lawan yang memiliki kepandaian
yang tinggi sekali dengan demikian telah membuat ia melakukan tikaman dan
kebutan hud-timnya itu dengan mempergunakan tenaga lweekang yang tidak kepalang
tanggung.
Tetapi seperti tadi,
Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah mengulap-ulapkan tangannya, sambil berkata:
“Celaka perutku......! Celaka perutku! Habislah kepalaku! Ohhh, celaka! Sungguh
celaka!”
Walaupun Bi-lek-hud Sung Ceng
Siansu berbuat tingkah laku yang jenaka seperti itu, tokh kenyataannya gerakan
tubuhnya cepat dan gesit sekali, sama sekali serangan yang dilakukan Po San
Cinjin tidak berhasil mengenai sasarannya, karena pedang dan hud-timnya telah
menyerang ke tempat kosong.
Dengan begitu Po San Cinjin
dan Bo Liang Cinjin penasaran bukan main, dan mereka telah berbareng
mengeluarkan suara bentakan sambil menggerakkan senjata mereka, yaitu sepasang
pedang dan sepasang hud-tim saling samber cepat sekali dari empat jurusan
kepada Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu.
Tetapi Sung Ceng Siansu telah
melompat ke sana ke mari dengan gerakan tubuh yang ringan sekali, di mana ia
pula acap kali berteriak-teriak, “Celakalah aku! celakalah aku.....! Ooh
perutku tersayang, akan robeklah engkau dicium pedang totiang ini......!
Sungguh celaka kalau sampai kepalaku yang gundul ini kena dibelai oleh
bulu-bulu dari totiang-totiang itu.....!” dan tubuhnya telah melejit ke sana ke
mari.
Memang cukup menakjubkan,
walaupun bentuk tubuhnya gemuk bundar seperti itu, kenyataannya Sung Ceng
Siansu bisa bergerak begitu gesit dan lincah. Malah sering sekali ia
berteriak-teriak seperti orang ketakutan, tidak lupa ia menyelingi dengan suara
tertawanya.
Setelah lewat sepuluh jurus,
semakin lama Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin semakin panas hatinya. Keduanya
telah mengerahkan seluruh kekuatan lweekang mereka dan telah menikam dan
mengebut dengan hud-tim dan pedang mereka gencar sekali.
Kenyataannya, kedua tojin
tersebut tetap mendesak Sung Ceng Siansu.
Malah setelah lewat sepuluh
jurus pula di saat mana Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin tetap tidak berhasil
untuk melukai Sung Ceng Siansu. Bahkan mendesak si hwesio saja mereka tidak
bisa, di saat itulah Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah berkata dengan suara
yang sangat nyaring:
“Aha haha haha, rupanya
sekarang giliran aku si gemuk untuk memperlihatkan betapa tebalnya perutku ini,
dan betapa atosnya kulit kepalaku...... hihihihi, hahahaha.....!” dan sambil
tertawa begitu, tahu-tahu Sung Ceng Siansu sambil berkelit mengelakkan tikaman
dari Bo Liang Cinjin yang menggerakkan pedangnya ke arah pahanya. Tubuh pendeta
gemuk itu telah melambung ke atas setombak lebih, kedua kakinya ditekuk. dan
kedua tangannya dilibatkan pada kedua kakinya di mana tubuhnya yang gemuk itu
benar-benar jadi bulat seperti juga sebuah bola. Dan tubuh dari Sung Ceng
Siansu berputaran di tengah udara. Lalu kepalanya itu menyeruduk kepada Bo
Liang Cinjin, di saat tubuh hwesio tersebut meluncur turun dengan cepat.
Bo Liang Cinjin yang,
menyaksikan cara menyerang Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu yang aneh dan luar biasa
ini, tertegun sejenak, karena ia tidak mengerti, bahwa hwesio ini benar-benar
membuktikan ancamannya, bahwa ia akan memperlihatkan kekedotan dan keatosan
kulit kepalanya.
Namun Bo-liang tidak bisa
berlaku ayal, karena tubuh Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah meluncur cepat
sekali dan kepalanya yang gundul itu hanya terpisah tiga dim dari dada Bo Liang
Cinjin. Mati-matian Bo Liang Cinjin telah menjengkangkan tubuhnya ke belakang,
dengan gerakan “Tiat-pan-ko” atau jembatan besi, sehingga walaupun tubuhnya
terjengkang ke belakang, ia masih bisa berdiri di atas kedua kakinya yang
tertekuk dalam-dalam itu. Sikap yang diperlihatkan pada gerakannya benar-benar
mirip dengan Jembatan Besi, seperti nama dari jurus itu.
Karena tidak mengenai
sasarannya, maka serudukan Sung Ceng Siansu mengenai dinding, ia tidak bisa
menahan meluncurnya tubuhnya yang berputar seperti bola itu, maka kepalanya
yang gundul plontos menghantam kuat sekali dinding ruangan sebelah kanan.
Terdengarlah suara menggelegar yang sangat keras sekali, dan dinding itu jadi
jebol berlobang, karena dinding itu seperti dihantam oleh sesuatu benda yang
keras dan kuat sekali.
Sedangkan Bi-lek-hud Sung Ceng
Siansu sendiri sambil tertawa, “Hahaha!” telah berdiri dengan kedua kakinya,
sedikitpun tidak terlihat mabok atau pusing akibat benturan kepalanya itu
dengan dinding tersebut yang jadi berantakan batunya, meluruk hancur di kaki
tembok.
Bo Liang Cinjin dan Po San
Cinjin jadi berdiri kaku kaget dan heran, mereka tidak mengerti betapa kuatnya
kepala botaknya si Buddha tertawa itu, Sung Ceng Siansu.
Sambil tertawa hahahaha tidak
hentinya, Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah melangkah mendekati Bo Liang Cinjin
dan Po San Cinjin! Tiba-tiba hwesio gemuk ini duduk di lantai sambil tertawa
tergelak-gelak tiada hentinya, kedua tangannya mengusap-usap perutnya yang
buncit.
“Lucu sekali..... lucu
sekali......!” kata hwesio gemuk tersebut terus menerus dengan tertawanya yang
terpingkal. “Seperti itu, sungguh menggelikan...... hahaha...... sungguh lucu!”
Bo Liang Cinjin dan Po San
Cinjin yang telah tersadar dari tertegunnya dan berkurang perasaan kaget
mereka, ketika melihat tingkah laku hwesio jenaka tersebut yang seperti juga
mengejek diri mereka. Keduanya jadi memandang benci dan Bo Liang Cinjin telah
bertanya dengan suara membentak, “Apanya yang lucu?”
“Kalian berdua, lucu
sekali......!” menyahuti Sung Ceng Siansu sambil terus tertawa keras
terpingkal-pingkal.
“Ada apa pada kami yang lucu?”
bentak Po San Cinjin, yang jadi mendongkol bukan main.
“Kalian berdua merupakan
tojin-tojin yang tidak punya guna..... lucu sekali, seperti anak kecil yang
takut menghadapi kodok...... mengapa kalian tidak menangkis terjanganku tadi
dan melainkan kalian hanya berusaha menyingkir menyembunyikan ekor?” menyahuti
Sung Ceng Siansu dengan diselingi suara tertawanya yang bergelak-gelak.
Muka Bo Liang Cinjin dan Po
San Cinjin jadi berobah merah padam, mereka gusar dan penasaran bukan main,
keduanya menahan kemarahan mereka sampai tubuh mereka menggigil.
“Baiklah,” kata Bo Liang
Cinjin dengan suara yang keras. “Pinto ingin melihat sampai berapa tinggi
kepandaian dari Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu yang dipuji-puji orang rimba
persilatan.....” dan membarengi perkataannya tampak Bo Liang Cinjin telah
mengebutkan hud-timnya ke samping, lalu pedang di tangan kanannya menyambar ke
arah Sung Ceng Siansu, yang masih tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak.
Po San Cinjin juga rupanya
tidak mau berdiam diri. Ia pun penasaran karena dengan maju berbareng berdua
seperti itu, biasanya mereka merupakan jago yang sulit sekali ditundukkan oleh
siapapun juga. Namun sekarang malah hwesio berkepala gundul yang jenaka ini
bagaikan tidak memandang sebelah mata pada mereka. Dengan demikian, perasaan
penasaran telah meliputi kedua tojin, sekarang turun tangan mereka melakukan
tikaman dengan pedang masing-masing, juga melancarkan kebutan dengan hud-tim
mereka. Kedua tojin itu melakukan dengan bersungguh-sungguh dengan
mempergunakan jurus ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat.
Ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat
terdiri dari delapanpuluh enam jurus. Dan setiap jurus dipecah menjadi dua
gerakan, dengan demikian, jumlah seluruh gerakan dari Ilmu pedang itu menjadi
seratus tujuhpuluh bagian. Ilmu pedang Kun-lun juga memiliki banyak perubahan,
antara jurus satu dengan jurus lainnya selalu memiliki hubungan yang erat. Jika
serangan pertama gagal maka jurus selanjutnya akan segera menambal kekurangan
yang terdapat pada jurus yang terdahulu itu. Dengan begitu, ilmu pedang
tersebut bagaikan memiliki rangkaian yang erat dan selalu beruntun sekali jurus
demi jurus mengepung lawannya.
Terlebih lagi sekarang Bo
Liang Cinjin dan Po San Cinjin melakukan serangan kepada si pendeta jenaka itu
dengan berbareng, sekaligus maju berdua, dan juga mereka memainkan ilmu pedang
Kun-lun-kiam-hoat dengan bersungguh-sungguh. Dengan demikian, telah menyebabkan
setiap jurus yang mereka pergunakan memiliki kekuatan yang bisa mematikan.
Tetapi Sung Ceng Siansu sama
sekali tidak jeri untuk berurusan dengan kedua tojin Kun-lun-pay tersebut, ia
masih tetap duduk di tempatnya dengan tertawanya yang bergelak-gelak tidak
hentinya. Waktu dilihatnya kedua batang pedang Bo Liang Cinjin dan Po San
Cinjin itu menyambar ke arah perut dan pundaknya, Sung Ceng Siansu tetap
tertawa malah iapun berseru: “Ohh, bisa celaka aku! Sungguh berbahaya.....!”
Lalu tubuhnya seperti bola
bundar telah menggelinding di lantai, dan kemudian telah duduk pula di bagian
lainnya. Dengan demikian sambaran kedua batang pedang Bo Liang Cinjin dan Po
San Cinjin mengenai tempat kosong.
“Ayo kita bermain
petak......!” kata hwesio jenaka tersebut. “Aku gembira sekali bisa
bermain-main dengan kalian berdua, jie-wi Totiang!”
Muka Bo Liang Cinjin dan Po
San Cinjin jadi berobah merah, karena mereka benar-benar penasaran sekali.
Tidak disangka oleh mereka sama sekali, bahwa kini justru mereka seperti juga
dipermainkan oleh pendeta gundul yang jenaka itu, dan seperti juga ilmu pedang
mereka yang sesungguhnya telah dilatih mahir, bagaikan tidak memiliki arti
apa-apa lagi buat si pendeta berkepala botak tersebut.
“Baiklah lihat serangan.....”
Bo Liang Cinjin telah membentak, sambil melompat pedang di tangannya digetarkan
sekaligus melancarkan tikaman ke tiga bagian di tubuh anggota bagian pendeta
gundul tersebut yaitu lengan, dada dan perut.
Po San Cinjin juga rupanya tak
mau ketinggalan, ia maju mendekati si hwesio jenaka itu dari arah samping
kanan, pedangnya digerakkan menabas ke arah pinggang si hwesio.
Tetapi Sung Ceng Siansu
tergelak-gelak tiada hentinya. Kini ia tidak menggelinding di lantai seperti
biasanya tetapi tetap duduk di tempatnya, kedua tangannya telah digerakkan yang
tangan kiri diulurkan untuk menjepit pedang Bo Liang Cinjin dengan jari
telunjuk dengan jari tengahnya, kemudian tangan satunya lagi digerakkan untuk
menjepit pedang Po San Cinjin.