06 Kengerian Sang Penculik Anak
Tetapi Sung Ceng Siansu
mengeluarkan suara tertawa terbahak-bahak, dan tubuhnya telah melompat tinggi
melambung ke tengah udara, sehingga totokan seruling dari penculik tersebut
mengenai tempat kosong.
“Tahan.....!” bentak Sung Ceng
Siansu. “Siauw-ceng hendak bicara.....!”
Penculik itu berhenti
melancarkan totokannya dengan serulingnya itu. Ia telah memandang tajam kepada
Sung Ceng Siansu, kemudian tanyanya: “Apa yang hendak kau bicarakan?”
“Siapa kau, mengapa engkau
menculik anak ini ‘?” tanya Sung Ceng Siansu.
“Aku Hang-ciu-kui-bian (Muka
Setan dari Hang-ciu) Auwyang Bun!” menyahuti penculik tersebut. “Aku memiliki
sedikit keperluan dengan anak itu...... kukira engkau tidak perlu
mencampurinya......!”
“Hahahahaha, aduh, aduh......
perutku sakit..... perutku sakit......!” kata Sung Ceng Siansu sambil tertawa
dan tangan kanannya memeluki tubuh Lie Ko Tie yang dikempit dalam keadaan
tertotok itu, sedangkan tangan kirinya mengusap-usap perutnya.
Muka Hang-ciu-kui-bian Auwyang
Bun jadi berobah, ia heran melihat kelakuan si pendeta, lalu katanya: “Jika
engkau sakit perut, pergilah kau meninggalkan tempat ini, aku bersedia
memberikan pengampunan untukmu, tetapi lepaskan anak itu......!”
Si pendeta Sung Ceng Siansu
tertawa semakin keras, iapun berulang kali berteriak-teriak, “Aduh
perutku...... perutku sakit sekali...... aku ingin membuang kotoran...... aku
ingin membuang air......!” dan si pendeta telah memutar tubuhnya untuk
meninggalkan tempat tersebut.
Hang-ciu-kui-bian terkejut dan
marah, ia cepat-cepat menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat menghadang di
depan si pendeta. “Lepaskan dulu anak itu......!” katanya dengan suara
membentak.
“Hemmm...... engkau rupanya
tidak melihat aku bukan? Baiklah...... baiklah, biarlah Siauw-ceng menahan dulu
sakit perut ini, aku akan melayani keinginanmu. Apa yang kau kehendaki?”
“Anak itu!” menyahuti Auwyang
Bun.
“Ada urusan apa dengan anak
ini...... dia adalah keponakan dari seorang sahabatku...... tidak mungkin dia
kuberikan......!”
“Hemmm,” tertawa dingin
Auwyang Bun, “Jika engkau tidak mau melepaskan anak itu, jangan harap engkau
bisa meloloskan diri dari tanganku......!”
Dan tampak Auwyang Bun telah
menggerakkan serulingnya. Ia telah menyerang dengan cara menotok beberapa kali
ke tubuh si pendeta.
Totokan seruling Auwyang Bun
merupakan totokan-totokan maut. Dan ia juga tahu, pendeta ini tengah sakit
perut. Jika dia menghalangi terus tentu akhirnya pendeta tersebut kewalahan.
Sedang Sung Ceng Siansu sambil
mengelakkan totokan Auwyang Bun berulang kali tertawa sambil berteriak-teriak:
“Aduh perutku sakit..... sakit sekali, aku sakit perut. Aduh aduh, tidak tahan
lagi......!” dan berkata sampai di situ, si pendeta sambil memiringkan tubuhnya
yang gemuk itu, menghindarkaa diri dari totokan yang dilancarkan Auwyang Bun
pada tulang iganya di sebelah kanan. Tahu-tahu ia mengeluarkan angin busuk.
Kentut suaranya nyaring sekali, baunya juga bukan main.
Mendongkol sekali Auwyang Bun,
bercampur geli di hati karena melihat kelakuan si pendeta, yang jenaka ini.
Maka ia telah menunda serangan serulingnya dan iapun berkata sambil menahan
tertawanya: “Jika engkau memang mau menyerahkan anak itu kepadaku, engkau boleh
segera berlalu untuk mengurus perutmu yang sakit itu......!”
Tetapi Sung Ceng Siansu telah
tertawa lagi dengan keras, tahu-tahu ia telah menjejakkan kakinya, tubuhnya
melayang ke tengah udara.
“Awas serangan......!” kata
pendeta jenaka tersebut, tahu-tahu tangan kirinya meluncur akan menepuk kepala
Auwyang Bun
Gerakan yang dilakukan si
pendeta mengejutkan Auwyang Bun, karena waktu itu mereka terpisah tidak terlalu
jauh, dan angin serangan telapak tangan si pendeta begitu kuat. Untuk
menghindarkan diri sudah tidak keburu maka ia hanya mengangkat serulingnya
untuk menangkis tangan kiri si pendeta.
Tetapi rupanya Sung Ceng
Siansu hanya menggertak belaka. Begitu seruling lawannya bergerak hendak
menangkis, Sung Ceng Siansu telah menarik pulang tangannya dan tubuhnya
melompat menghindar dan menjauh diri dari Auwyang Bun dan bermaksud menghindar
diri dari Auwyang Bun.
Auwyang Bun mana mau
melepaskan Sung Ceng Siansu berlalu begitu saja, maka ia mengejarnya dengan
cepat.
Disaat itu dari kejauhan
tampak Lie Su Han berlari mendatangi. Sung Ceng Siansu sambil tertawa
melemparkan Lie Ko Tie sambil katanya, ”Terimalah anak ini......!” dan tubuh
Lie Ko Tie meluncur cepat ke arah Lie Su Han.
Lie Su Han terkejut, ia
berusaha memusatkan tenaga untuk mengulurkan ke dua tangannya untuk menyambut
tubuh Lie Ko Tie.
Memang Lie Su Han berhasil
menyambuti tubuh keponakannya itu dengan baik, tetapi tubuh Lie Su Han
terhuyung seperti akan rubuh, karena kuatnya tenaga lemparan yang dilakukan
Sung Ceng Siansu. Untung saja Lie Su Han telah bersiap sedia mengerahkan tenaga
dan kekuatan pada ke dua kakinya, sehingga hanya kuda-kuda ke dua kakinya saja
yang tergempur tetapi tidak sampai ia terjatuh.
Setelah melemparkan Lie Ko
Tie, Sung Ceng Siansu langsung saja menghadapi Auwyang Bun.
“Orang she Auwyang.......!”
bentak Sung Ceng Siansu, tidak ketinggalan suara tertawanya yang nyaring.
“Sekarang kita boleh main-main dengan sepuas hati kita masing-masing......!”
Auwyang Bun telah berkata
dengan suara mengandung kemurkaan, karena ia melihat betapa Lie Ko Tie telah
berhasil dilemparkan kepada Lie Su Han.
“Pendeta celaka,” bentak
Auwyang Bun dengan suara yang mengandung kemarahan itu, “Kau jagalah
seranganku......!”
Dan seperti kalap Auwyang Bun
telah mengerakkan serulingnya, di mana ia telah menotok beberapa bagian anggota
tubuh Sung Ceng Siansu.
Sekarang tanpa mengempit Lie
Ko Tie, Sung Ceng Siansu bisa bergerak dengan gesit dan leluasa. Iapun telah
mempergunakan cara bertempur dengan mengandalkan kepalanya, tubuhnya seperti
sebuah bola telah melompat ke sana ke mari dengan gesit dan juga sangat lincah
sekali.
Auwyang Bun memang dapat
melayani setiap terjangan Sung Ceng Siansu, tapi makin lama semakin terlihat
jelas bahwa orang she Auwyang itu telah terdesak oleh setiap terjangan si
pendeta.
Yang luar biasa, setiap kali
kepala Sung Ceng Siansu kena ditotok atau diketok oleh seruling peraknya
Auwyang Bun, pendeta itu sama sekali tidak memperlihatkan bahwa ia menderita
kesakitan.
Auwyang Bun juga heran sekali,
karena ia tidak mengerti si pendeta bisa melatih kepalanya sampai begitu kuat
dan keras sekali. Maka Auwyang Bun mulai berobah cara bertempurnya, ia menotok
sekujur tubuh dari Sung Ceng Siansu. Totokan demi totokan telah meluncur cepat
sekali, dan juga jalan darah yang hendak ditotoknya itu merupakan jalan darah
yang mematikan dan berbahaya sekali.
Lie Su Han sambil menggendong
keponakannya, telah berdiri mengawasi dengan takjub. Ia heran bisa bertemu
beruntun dengan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, seperti Bo Liang
Cinjin, Po San Cinjin, Sung Ceng Siansu dan juga Auwyang Bun ini. Dalam waktu
yang satu harian ini, telah empat orang rimba persilatan yang memiliki
kepandaian tinggi dan aneh dijumpainya.
Dan Lie Su Han seketika
merasakan bahwa ilmu yang dimilikinya itu ternyata jauh dari apa yang disebut
mahir dan sempurna. Karena jika ia yang bertempur dengan orang-orang tersebut,
paling tidak ia hanya bisa bertahan sepuluh jurus saja. Setelah itu segera ia
dapat dirubuhkan.
Maka dari itu, Lie Su Han
telah berjanji kepada dirinya sendiri. Jika nanti ia memiliki waktu yang cukup
banyak. Tentu akan melatih diri lebih giat lagi, guna memperoleh kepandaian
yang lebih tinggi.
Waktu itu Auwyang Bun
penasaran sekali, karena setiap totokannya selalu dapat dipunahkan oleh Sung
Ceng Siansu, maka semakin lama Auwyang Bun telah melakukan totokan-totokan yang
semakin cepat dan mempergunakan tenaga lweekang yang semakin kuat.
Sung Ceng Siansu sambil
bertempur selalu memperdengarkan suara tertawanya yang jenaka dan diapun telah
mengadakan perlawanan yang benar-benar mengejutkan Auwyang Bun. Setiap kali ia
selalu mengelakkan diri dari serangan Auwyang Bun tersebut, tentu Sung Ceng
Siansu akan membarengi dengan serangan balasannya sehingga telah membuat
Auwyang Bun harus berlaku hati-hati sekali.
Yang membuat Lie Su Han jadi
heran adalah orang she Auwyang itu. Mengapa ia hendak menculik Lie Ko Tie.
Tentu saja hal itu merupakan tanda tanya yang tidak terjawab oleh Lie Su Han.
Karena setahunya, Lie Ko Tie merupakan keturunan orang anak biasa saja, dan
tentu tidak akan nanti akan jadi persoalan yang terlalu menarik untuk
dipersoalkan.
Tetapi kenyataannya, Auwyang
Bun memang begitu gigih untuk menculiknya. Tentunya di balik dari semua ini,
terdapat sesuatu yang agak luar biasa. Sambil mengawasi pertarungan antara
Auwyang Bun dengan Sung Ceng Siansu tampak Lie Su Han berdiri terpekur sambil
menggendong keponakannya, sedangkan pikirannya bekerja keras untuk memecahkan
persoalan tersebut.
Auwyang Bun yang melihat bahwa
dirinya tidak mungkin bisa merubuhkan Sung Ceng Siansu, akhirnya memutuskan
untuk mengundurkan diri dari gelanggang pertempuran itu.
Maka ia telah menggerakkan
serulingnya mendesak pendeta itu berulang kali. Dan di waktu Sung Ceng Siansu
tengah menyingkirkan diri mengelakkan serangan itu, Auwyang Bun melompat mundur
beberapa langkah, dan berkata:
“Pendeta gundul...... sekarang
biarlah aku tidak akan menarik panjang urusan ini. Tetapi nanti jika memang
kita memiliki kesempatan yang baik tentu kita akan bertemu dan main-main lagi
sepuas hati.....!” dengan berkata begitu, Auwyang Bun hendak menutupi malunya
sendiri, karena ia memang tidak mungkin bisa mengalahkan Sung Ceng Siansu, maka
dia bermaksud untuk meninggalkan pendeta tersebut.
Sung Ceng Siansu tertawa
tergelak-gelak.
“Jika memang engkau hendak
bermain-main sepuas hati sekarang atau nanti aku pendeta miskin selalu
menuruti, siauw-ceng bersedia untuk menerima ajakanmu untuk latihan,
menguruskan tubuh...... hahaha......!” si pendeta tertawa sampai bergelak-gelak
tubuhnya bergoncang keras.
Auwyang Bun mengawasi mendelik
si pendeta. Kemudian menoleh kepada Lie Su Han yang tengah menggendong Lie Ko
Tie memang matanya melotot seperti mata ikan koki. Sekarang dia mendelik penuh
kemarahan seperti itu, tentu saja membuat keadaan mukanya menyeramkan sekali.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lalu Auwyang Bun memutar tubuhnya, ia
bermaksud untuk meninggalkan tempat tersebut.
Sung Ceng Siansu dan Lie Su
Han hanya mengawasi saja, di mana tampak Auwyang Bun telah berlari-lari mennju
ke arah permukaan hutan yang terpisah tidak jauh dari tempat itu.
Setelah bayangan Auwyang Bun
lenyap, Sung Ceng Siansu dan Lie Su Han yang menggendong Lie Ko Tie bermaksud
kembali ke Siang-yang.
Namun baru saja mereka
berjalan belasan langkah, tiba-tiba terdengar jeritan melengking tinggi sekali
dari arah di mana Auwyang Bun tadi berlari memasukinya.
Dan menyusul dengan suara
jeritan yang menyayatkan hati itu, di waktu Sung Ceng Siansu dan Lie Su Han
memutar tubuh mereka untuk melihat apa yang terjadi, tampak sesosok tubuh
tengah berlari mendatangi sambil mengeluarkan suara orang meraung kesakitan
yang tak hentinya. Gerakan tubuhnya itu cepat sekali, berlari seperti bayangan
dan menjerit kesakitan.
Cepat sekali Sung Ceng Siansu
den Lie Su Han mengenali bahwa orang tersebut tidak lain dari Auwyang Bun!
Tetapi yang luar biasa sekali,
muka Auwyang Bun berlumuran darah, pakaiannya telah koyak-koyak, dan juga ia
berlari mendatangi sambil menjerit-jerit kesakitan sekali dengan sikap yang
diliputi oleh perasaan ketakutan yang bukan main!
Inilah pemandangan yang diluar
dugaan dari Sung Ceng Siansu dan Lie Su Han. Karena bukankah tadi Auwyang Bun
masih dalam keadaan segar bugar dan juga tidak terluka sama sekali. Mengapa
sekarang begitu ia memasuki hutan tersebut, belum begitu lama, ia telah keluar
kembali dalam keadaan terluka parah seperti itu?
Dan juga, sebagai seorang yang
memiliki kepandaian tinggi, yang hampir berimbang dengan kepandaian Sung Ceng
Siansu, mengapa Auwyang Bun jadi lari terbirit-birit dari dalam hutan tersebut,
dengan sikap ketakutan begini rupa? Seperti juga ada sesuatu yang benar-benar
sangat ditakutinya.
Lie Su Han yang melihat
keadaan Auwyang Bun seperti itu, jadi menggidik ngeri dan tergetar keras
hatinya. Itulah pemandangan yang benar-benar sungguh sangat mengerikan sekali.
Auwyang Bun hanya berlari-lari
sampai di dekat Sung Ceng Siansu dan Lie Su Han, setelah melewati tiga tombak,
tubuhnya terjungkal dan berkelonjotan di tanah, menggelepar-gelepar keras
sekali. Mulutnya meraung-raung mengeluarkan suara jeritan yang mengandung
perasaan sakit yang bukan kepalang, dan juga sepasang matanya terpentang
lebar-lebar. Wajahnya tertarik keras sekali bahkan otot mukanya itu telah
mengejang memperlihatkan ia tengah dicekam oleh ketakutan yang sangat hebat.
“Aduhhh..... dia.....
dia...... akan datang..... lari kalian lari......!” dalam jeritan kesakitan dan
ketakutannya itu, Auwyang Bun masih sempat menganjurkan Sung Ceng Siansu dan
Lie Su Han untuk meninggalkan tempat tersebut secepat mungkin.
Sung Ceng Siansu berdiri
mengejang kaku di tempatnya, lupa dia dengan julukannya sebagai Bi-lek-hud,
yang selalu tertawa. Wajahnya memperlihatkan ketegangan. Ia tidak menyangka
seorang jago persilatan yang memiliki kepandaian tinggi seperti Auwyang Bun
bisa mengalami nasib yang begini mengenaskan dan juga anehnya ia begitu ketakutan
sekali.
Lie Su Han juga hanya berdiri
tertegun kaget dan ngeri di tempatnya, mengawasi tubuh Auwyang Bun menggelepar
dengan sekujur tubuh dan wajahnya berlumuran darah.
“Cepat lari..... cepat.....
aduhhh, aduhh!” tubuh Auwyang Bun masih menggelepar-gelepar terus keras sekali,
bergulingan di atas tanah.
Sung Ceng Siansu seperti baru
tersadar bengongnya, cepat-cepat ia melompat ke sisi tubuh Auwyang Bun yang
masih menggelepar begitu seperti juga menahan rasa sakit yang bukan main.
Pendeta ini berjongkok dan bertanya dengan suara yang agak tergetar: “Apa yang
telah terjadi? Apa yang sesungguhnya terjadi? Katakanlah.....!”
Auwyang Bun telah
mengerang-erang kesakitan sambil menggelepar terus, mukanya memperlihatkan
perasaan ketakutan bagaikan ada sesuatu yang benar-benar membuat hatinya ngeri.
“Lari...... aduhhh......
aduhhh...... lari kataku..... dia akan segera datang!” teriak Auwyang Bun dalam
kesakitan dan ketakutannya itu. Napasnya memburu keras dan tersendat-sendat,
bagaikan jantungnya tergoncang keras sekali, darah juga masih mengucur deras
sekali sekujur tubuh Auwyang Bun yang terluka begitu pula wajahnya yang
dilumuri darah yang memerah mengerikan.
Wajah Auwyang Bun memang telah
buruk. Sékarang keadaannya sedemikian rupa, sehingga menyebabkan mukanya jadi
benar-benar mengerikan sekali.
Sung Ceng Siansu berdiam
sejenak dalam kebimbangan, hatinya jadi tergetar juga. Tetapi setelah berdiam
diri sejenak lamanya, ia berdiri, katanya kepada Lie Su Han. “Pergilah kau bawa
keponakanmu itu kembali ke Siang-yang, biarlah aku nanti yang akan melihat
sesungguhnya apa yang terjadi! Pergilah, kelak siauw-ceng juga akan menyusul ke
Siang-yang.”
Tetapi Lie Su Han
menggelengkan kepalanya. Tidak mau ia meninggalkan Sung Ceng Siansu dalam
keadaan seperti itu.
“Kalian aduhhh.....
aduhhh...... kalian jangan terlambat pergi dari tempat ini...... dia akan
segera datang, pergi cepat...... pergi..... cepat pergi..... aduhhh......
aduhhh......!” dan tubuh Auwyang Bun menggelepar semakin kuat, bergulingan di
atas tanah. Iapun akan meraung lagi untuk melampiaskan perasaan sakit yang
dideritanya, tubuhnya mengejang-ngejang, sepasang matanya mendelik lebar-lebar.
Kulit wajahnya seperti tertarik mengejang membayangkan ketakutan yang sangat,
mulutnya menyeringai dan akhirnya tubuhnya diam, napasnya putus dengan keadaan
wajahnya yang tetap membayangkan ketakutan yang sangat.
Hati Sung Ceng Siansu jadi
tergoncang juga, ia membayangkan bahwa Auwyang Bun seorang tokoh persilatan
yang memiliki kepandaian tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya, tadi
mereka telah saling tempur, dan Sung Ceng Siansu walaupun tidak berhasil
dirubuhkan Auwyang Bun. Namun sekarang Auwyang Bun telah mengalami nasib
seperti ini, dengan tubuh yang luka-luka parah dan muka yang juga terluka
berlumuran darah, lain dengan keadaannya yang ketakutan seperti itu, di mana
akhirnya ia telah menghembuskan napasnya menemui kematian dengan cara yang
begitu mengerikan, benar-benar membuat Sung Ceng Siansu jadi merasa tergetar
juga hatinya.
Entah manusia atau makhluk
macam mana yang telah menyebabkan kematian Auwyang Bun dengan cara yang begitu
mengerikan sekali?
Di waktu itu Lie Su Han
merasakan sepasang lututnya menggigil gemetaran, jantungnya berdegup sangat
cepat, hatinya tergetar menyaksikan kematian Auwyang Bun yang begitu mengerikan
dan mengenaskan sekali.
Di saat mereka tengah berpikir
begitu, tiba-tiba Sung Ceng Siansu dan Lie Su Han mendengar suara tertawa yang
mengikik perlahan, namun tajam menusuk telinga. Bukan main terkejutnya Sung
Ceng Siansu.
Sebagai seorang yang telah
mahir tenaga dalamnya, dengan sendirinya Sung Ceng Siansu mengetahui bahwa
suara perlahan dan halus itu namun tajam menusuk telinga, adalah suara tertawa
dari seorang yang telah terlatih baik sekali lweekangnya.
Suara tertawa yang perlahan
itu, walaupun didengar dari dekat atau jauh, nyaringnya tetap sama. Dari dekat
didengarnya memang perlahan tetapi dari jauhpun tetap perlahan seperti itu,
namun tetap terdengar jelas tidak berkurang atau lebih keras tekanan suara
tertawa itu. Hal itulah disebabkan sempurnanya latihan lweekang dari orang yang
bersangkutan.
Bagi seorang yang belum
sempurna lweekangnya, jika menginginkan lawannya mendengar suara tertawanya, ia
harus tertawa keras sambil mengerahkan lweekangnya, sehingga lawannya dapat
mendengar suara tertawanya itu dari tempat yang jauh sekalipun. Tetapi jika
didengar dari dekat, suara tertawa seperti itu tentu akan memekakkan dan
menyakitkan anak telinga.
Sebagai contoh disini bisa
dikemukakan, seperti seseorang yang memainkan alat musik kecapi. Seseorang yang
belum begitu ahli, tentu sentilan pada tali-tali kecapi itu akan kasar dan
terdengarnya menusuk telinga. Tetapi semakin ahli orang yang bersangkutan
menguasai alat makin halus petikannya pada tali-tali alat musik kecapi tersebut.
Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa suara tertawa yang semakin halus
dan dapat didengar dari jarak yang jauh, menunjukkan orang tersebut memiliki
lweekang yang tinggi sekali.
Diam-diam Sung Ceng Siansu
mengerutkan sepasang alisnya. Apakah orang yang memperdengarkan suara tertawa
itu yang seperti suara tertawa seorang wanita, yang telah melukai sampai
Auwyang Bun terbinasa dengan cara mangenaskan itu? Sampai begitu tinggi dan
luar biasa kepandaiannya, sehingga Auwyang Bun yang memiliki kepandaian silat
yang tinggi, hanya dalam waktu sekejap mata saja, dapat dibinasakan dengan cara
yang mengerikan? Sehebat-hebatnya kepandaian orang itu, tentu Auwyang Bun tidak
mungkin dapat dirubuhkan dalam sekejap mata saja.
Tetapi kenyataannya, Auwyang
Bun baru memasuki hutan itu, dan baru saja Sung Ceng Siansu dan Lie Su Han
melangkah belasan tombak, dia telah berlari keluar lagi dari dalam hutan,
dengan keadaannya yang terluka begitu parah dan mengerikan sekali, dan akhirnya
terbinasa. Inilah peristiwa yang benar-benar mengejutkan sekali.
“Sampai begitu hebatkah
kepandaian orang yang mendatangi ini?” berpikir Sung Ceng Siansu dalam hatinya,
yang masih saja tergoncang terpengaruh oleh suara tertawa yang sangat perlahan
namun sangat tajam sekali menusuk telinga itu. “Siapakah orang itu?”