Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 30

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 30
 
Anak rajawali Jilid 30

Ketiga Tojin itu kaget tidak terkira, karena segera juga mereka merasakan diri mereka menggigil kedinginan. Karena semakin dekat dengan Ko Tie mereka merasa semakin kedinginan, seperti juga memasuki kolam es.

Karena itu cepat-cepat mereka mengerahkan tenaga dalam, agar tubuh mereka hangat dan melawan hawa yang dingin itu.

Mereka berhasil, karena memang mereka memiliki lweekang tinggi. Mereka berhasil membuat tubuh mereka menjadi hangat.

Dalam keadaan seperti itulah terlihat Ko Tie memperhebat pukulannya. Dia menambah hawa dingin yang tersalur pada setiap serangannya.

Ke tiga Tojin itu kembali merasakan tubuh mereka menggigil dingin.

“Setan, bocah busuk ini mempergunakan ilmu siluman apa?!” berpikir mereka bertiga yang jadi heran dan bingung sekali.

Karena mereka tidak bisa menduganya. Entah ilmu apa yang dipergunakan oleh Ko Tie, sehingga dia bisa membuat ke tiga Tojin itu menggigil kedinginan, sedangkan ke tiga Tojin itu melihat usia Ko Tie masih muda sekali, dan dia memiliki sin-kang yang begitu hebat, tentunya sangat mengherankan sekali.

Dikala itu tampak Ko Tie telah melesat ke tengah udara. Dia melambung tinggi sekali ke tengah udara, dan sekonyong-konyong dia telah membentak dengan suara yang nyaring: “Rebahlah kalian!”

Waktu membentak begitu, cepat luar biasa ke dua tangan Ko Tie telah berkelebat. Dan di waktu itulah terlihat betapa tubuh ke tiga orang Tojin tersebut seperti diterjang oleh angin pukulan yang sangat dahsyat, dan telah membuat mereka hampir terjengkang.

Beruntung sekali, mereka cepat-cepat dapat mengerahkan tenaga dalam pada ke dua kaki mereka, memperkokoh kuda-kuda kaki mereka masing-masing, membuat mereka tidak perlu sampai terjungkal karena sampokan tenaga dalam Ko Tie.

Ko Tie telah meluncur turun, sedangkan ke tiga Tojin itu memencarkan diri di tiga jurusan. Mereka telah merobah cara mendesak dan menyerang Ko Tie, karena mereka sekarang tidak merangsek dengan serentak seperti tadi. Mereka bergiliran.

Jika yang seorang di antara mereka tengah menyerang, maka yang dua lagi tidak menerjang. Dan begitu yang seorang telah melompat mundur, barulah mereka menerjang maju secara bergantian.

Dengan cara seperti itu membuat Ko Tie tidak bisa sekaligus mengerahkan tenaga Inti Es nya, karena dia tidak bisa sembarangan hanya mencurahkan perhatiannya buat seorang lawan saja.

Dia telah bertempur dengan seru sekali. Selama itu Ko Tie memaksa ketika Tojin itu tidak bisa datang dekat karena hawa dingin yang luar biasa kuatnya terpancar dari tubuh Ko Tie.

Orang dari Hauw-sim-pay, yang memakai baju hijau itu, ketika menyaksikan jalannya pertempuran itu, jadi bengong. Karena seumur hidupnya belum pernah dia menyaksikan pertempuran sehebat itu!

Dengan demikian telah membuat orang itu tertegun mementang matanya lebar-lebar dan mulut terbuka lebar.

Setelah lewat sepuluh jurus lagi, Ko Tie menjejakkan ke dua kakinya, tahu-tahu tubuhnya melesat ke sana ke mari dengan lincah sekali, seperti juga bayangan.

Ke tiga orang Tojin itu jadi bingung bukan main, karena mereka tidak bisa menerka di mana beradanya Ko Tie yang sebenarnya. Maka dari itu, mereka tidak bisa mendesak dengan serangan mereka yang sesungguhnya.

“Bocah setan!” teriak salah seorang di antara ke tiga Tojin itu. “Jika memang engkau gagah, mari bertempur dengan cara berterang. Mengapa engkau seperti main kucing-kucingan dengan kami?”

Ko Tie tertawa nyaring, dia menantang. “Jika memang kalian memiliki kepandaian yang tinggi, ayo keluarkanlah, biarlah tuan muda kalian melihatnya!”

Sambil berkata begitu, Ko Tie telah mengeluarkan ilmu pukulan Inti Es nya yang jauh lebih hebat lagi. Dengan demikian memaksa ke tiga Tojin itu mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur empat tindak.

Mereka merasakan tubuh mereka dingin sekali. Mereka tidak berhasil buat mempertahankan diri agar tidak menggigil, karena di waktu itu mereka telah menggigil sangat keras, juga merasakan betapa jalan darah di sekujur tubuh seperti beku, membuat tangan dan kaki mereka tidak bisa bergerak leluasa.
Mereka telah mundur lagi beberapa tindak. Karena memang di waktu itu mereka menyadari, jika saja Ko Tie menyerang pula, niscaya mereka akan tidak sanggup untuk mempertahankan diri.

Di dalam keadaan seperti itu Ko Tie sudah tidak mau membuang-buang waktu. Dikala ke tiga orang lawannya tengah mundur menjauhi diri, maka tubuh Ko Tie berkelebat ke sana ke mari. Dia berhasil menepuk pundak ke tiga Tojin itu bergantian, dengan tepukan yang perlahan.

Itulah tepukan yang membuat ke tiga Tojin itu jadi terjungkel rubuh lantas tidak bertenaga, tulang-tulang di sekujur tubuh mereka berbunyi, menunjukkan bahwa lweekang mereka telah musnah dan ilmu silat mereka telah habis ludas. Dengan demikian membuat mereka terduduk lemas dengan muka yang pucat pias.

Ko Tie berulang kali telah merubuhkan orang-orang Ang-kie-pay dengan begitu mudah, benar-benar membuat orang dari Hauw-sim-pay semakin tunduk dan kagum bukan main, disamping sangat gentar.

Usia Ko Tie masih begitu muda, tetapi dia bisa menyerang lawannya dengan hebat, di dalam waktu singkat selalu dapat merubuhkan tokoh-tokoh dari Ang-kie-pay dan ilmu silat Ko Tie memang tinggi luar biasa.

Dengan demikian telah membuat orang yang berpakaian baju hijau ini tidak berani berdiam terlalu lama lagi di situ. Ia kuatir nanti Ko Tie merobah pikirannya dan memusnahkan Ilmu silatnya, seperti yang dialami oleh tokoh-tokoh dari Ang-kie-pay tersebut, membuat orang yang berpakaian hijau itu melarikan diri meninggalkan tempat tersebut.

Dikala itu tampak Ko Tie berdiri dengan bertolak pinggang, mengawasi ke tiga Tojin itu.

“Hemmm, kalian belum pernah berbuat salah kepadaku. Hari ini tuan mudamu berlaku murah hati, hanya memusnahkan ilmu silat kalian! Tapi jika memang kalian tidak mau insyaf, hemmm, dilain waktu tentu aku akan mengirim kalian ke neraka!”

Setelah berkata begitu, Ko Tie menjejakkan kakinya, tubuhnya ringan sekali melesat lenyap dari tempat itu.

Ke tiga Tojin itu duduk bengong, mata mereka mengeluarkan air mata, karena mereka berduka dan penasaran bukan main. Berduka karena mereka menyadari bahwa ilmu silat mereka telah dimusnahkan oleh Ko Tie, berarti mereka akan menjadi manusia-manusia tidak punya guna di waktu-waktu mendatang.

Penasaran, mereka dirubuhkan dengan mudah oleh pemuda itu. Padahal si pemuda masih berusia begitu muda. Sungguh membuat mereka penasaran tidak terkira.

Sedangkan Ko Tie telah kembali duduk di tempatnya semula, yaitu di samping Giok Hoa. Pertandingan di atas panggung tengah berlangsung antara dua orang pemuda yang berusia tigapuluh tahun lebih!

Mereka tidak mempergunakan senjata tajam, hanya menggerakkan kepalan tangan belaka, mengandalkan kekuatan tenaga dalam mereka. Tampaknya mereka bertempur dengan keras dilawan keras.

Ko Tie mengerutkan alisnya waktu melibat cara bertempur ke dua orang itu, karena mereka mempergunakan ilmu silat yang sesat dan juga setiap pukulan mereka telengas sekali.

“Hemmm, benar dugaanku bahwa yang berkumpul di sini umumnya terdiri dari manusia-manusia sesat yang memiliki ilmu sesat dan juga telengas serta kejam hatinya!” pikir Ko Tie kemudian.

Dia menoleh kepadi Giok Hoa, yang waktu itu tengah menyaksikan jalannya pertempuran dengan mata yang setengah meram dan setengah melek, tampaknya mengantuk karena pertarungan yang tidak menarik hati itu.

“Kau sudah kembali? Siapa yang telah kau hajar?”tanya Giok Hoa waktu merasa dirinya diawasi si pemuda, dia tersenyum kecil.

Ko Tie telah menyahuti sambil tersenyum, “Nanti, engkau akan mengetahuinya, karena memang aku telah memberikan hajaran kepada tokoh-tokoh dari Ang-kie-pay……”

Si gadis mengangguk saja, sama sekali dia tidak mendesaknya.

Di waktu itu terlihat betapa orang-orang Ang-kie-pay jadi sibuk sekali. Ke tiga orang Tojin itu telah kembali dan telah memberikan laporan kepada ketuanya. Mata Pangcu, atau ketua dari Ang-kie-pay menyebar orang-orangnya buat mencari jejak dari Ko Tie.

Dan memang tidak lama, segera ada beberapa orang di antara mereka yang mengenali Ko Tie, karena salah seorang di antara yang mengenalinya adalah ke lima tokoh Ang-kie-pay yang sebelumnya telah dimusnahkan ilmu silatnya.

“Itu dia.....!” berteriak orang itu dengan suara yang nyaring.

Semua mata menoleh dan memandang Ko Tie, sedangkan Ko Tie tersenyum, tawar, tahu-tahu tubuhnya melesat sangat cepat melayang di tengah udara. Dia telah hinggap di atas panggung dengan ringan sekali tanpa mengeluarkan suara.

Dan cara hinggapnya juga luar biasa, karena tubuhnya berjumpalitan beberapa kali di tengah udara, dan tanpa turun terlebih dulu di tanah, dia hanya sekali saja menjejakkan kakinya, tubuhnya telah sampai di lantai panggung.

Ke dua orang pemuda yang tengah bertempur itu tampaknya terkejut. Mereka menghentikan gerakkan tangan mareka.

Belum lagi mereka mengetahui apa yang terjadi, di waktu Ko Tie telah memegang lengan mereka. Sekali menghentak, maka tubuh ke dua pemuda tersebut terlempar ke tengah udara keluar dari panggung!

Ke dua pemuda itu sesungguhnya memiliki ilmu silat yang cukup tinggi di kalangan pendekar muda. Namun mereka begitu mudah dicekal tangannya, tanpa berdaya buat mengelakkan.

Bahkan di waktu itu tubuh mereka telah dilontarkan begitu macam, membuat mereka kaget tidak terkira. Sampai mereka mengeluarkan seruan nyaring, karena mereka menyadari, niscaya tubuh mereka akan terbanting di tanah dengan keras, sedikitnya tulang lengan atau kaki mereka akan patah!

Orang-orang yang hadir di tempat tersebut juga jadi kaget tidak terkira, karena mereka melihat tubuh ke dua pemuda itu terlambung tinggi sekali ke tengah udara. Mereka kuatir kalau-kalau pemuda-pemuda tersebut terbanting dengan hebat.

Namun Ko Tie melontarkan ke dua pemuda itu dengan penuh perhitungan. Ia telah memperhitungkan tenaga melontar yang benar-benar telah mahir sekali, karena tubuh ke dua pemuda itu meluncur turun dan tahu-tahu jatuh terduduk di dua kursi! Sama sekali mereka tidak mengalami cidera apa-apa!

Semua orang tertegun takjub dan kagum bukan main. Ko Tie memperlihatkan betapa mahirnya tenaga dalam pemuda itu, yang dapat melontarkan ke dua pemuda itu sedemikian baiknya.

Di waktu itu juga terlihat orang-orang dari Ang-kie-pay melompat naik ke atas panggung, karena mereka bermaksud hendak mengepung Ko Tie.

Sedangkan Ko Tie telah berseru nyaring. Dia melompat ke tengah panggung, sikapnya tenang sekali. Ia merangkapkan ke dua tangannya kepada hadirin, sambil memberi hormat ia bilang:

“Maaf, siauwte telah mencampuri urusan ini, dimana siauwte lancang ingin membuat pesta yang diselenggarakan oleh pihak Ang-kie-pay menjadi pesta yang sungguh-sungguh menggembirakan, bukannya pesta yang banjir darah, seperti yang dikehendaki oleh Pangcu dari Ang-kie-pay!”

Setelah berkata begitu, di saat semua hadirin memperlihatkan sikap terkejut, Ko Tie memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh dan mukanya berobah angker dan keren. Dia juga berkata dengan suara yang berobah keras:

“Pangcu Ang-kie-pay, kuharap mau memperlihatkan diri, guna mempertanggung jawabkan maksud dan rencana busuknya itu!”

Waktu itu telah melompat ke atas panggung belasan orang anggota Ang-kie-pay, di tangan mereka semuanya siap tercekal senjata tajam. Mereka mengepung Ko Tie.
Kemudian telah melompat ke atas panggung seorang Tojin, yang mukanya guram memancarkan kemarahan. Dia berusia lanjut sekali, juga rambutnya telah memutih semua, kumis dan jenggotnya yang tumbuh panjang tipis itu berwarna putih juga. Tubuhnya kurus tinggi semampai, tapi sinar matanya yang bersinar sangat tajam memperlihatkan bahwa ia merupakan seorang Tojin yang memiliki kepandaian tinggi sekali.

Dengan mata yang tetap memancarkan sinar yang tajam, dan langkah kaki yang perlahan-lahan, dia telah melangkah menghampiri kepada Ko Tie. Diapun mengibaskan tangannya, memberikan isyarat kepada anggota Ang-kie-pay agar mundur, guna dia sendiri yang menghadapi Ko Tie.

Anggota-anggota Ang-kie-pay segera mundur, mereka berdiri di pinggiran panggung, dan mereka tetap bersiap-siap penuh kewaspadaan, karena mereka akan menerjang maju untuk mengeroyok begitu Tojin ini terdesak.

Dengan muka yang tetap guram memancarkan kemarahan, Tojin itu telah berkata: “Bocah, engkau yang telah melukai sute-sute pinto, bukan?!”

Ko Tie berani sekali.

“Ya!” mengangguk pemuda ini. “Masih beruntung mereka tidak kukirim ke neraka! Manusia-mamusia jahat seperti mereka untuk apa dibiarkan hidup..... hanya berdasarkan pertimbangan dan rasa kasihan dari tuan mudanya belaka, mereka bisa dibiarkan hidup!”

“Mereka dengan kau tidak ada hubungan atau sangkutan apapun juga, bocah, mengapa engkau menurunkan tangan begitu telengas dan telah memusnahkan seluruh kepandaian mereka? Bukankah itu tindakan yang keterlaluan?”

Bengis sekali suara tojin tua, tojin tersebut. Tubuhnya yang kurus tinggi semampai itu berdiri dengan sikap yang angker, lalu dia telah meneruskan lagi kata-katanya: “Pinto Bian Kie Tojin, dengan ini hendak menuntut keadilan buat mereka……!”

Ko Tie tertawa tawar.

“Baik! Baik! Memang maksud Ang-kie-pay menyelenggarakan pesta ini buat menjagoi wilayah Bu-ciu, dan juga mengembangkan kekuasaan dan pengaruh. Jelas ia telah memiliki banyak sekali jago-jagonya yang bisa diandalkannya, termasuk seperti engkau! Dan aku tentu saja tidak keberatan untuk melihat, betapa tinggi kepandaian dari jago-jago andalan Ang-kie-pay.....”

“Sebutkan namamu dan gurumu…… aku tidak akau membunuh orang tanpa nama!” kata tojin tersebut dengan sikap yang angkuh dan muka yang tetap guram sekali. “Pinto juga akan mempertimbangkan, apakah engkau cukup untuk dibikin bercacad saja atau memang dibinasakan, guna menebus dosa-dosamu……!”

Setelah berkata begitu, tanpak Tojin ini menggerakkan hud-timnya, kebutannya untuk memperlihatkan bahwa ia segera akan menyerang.

Ko Tie tidak gentar, walaupun ia melihat, Bian Kie Tojin merupakan seorang tosu yang memiliki kepandaian tidak rendah. Dia tertawa, katanya,

“Baik! Baik! Kau mulailah! Tuan mudamu akan melayani apa keinginanmu! Hemmm, engkau tidak berderajat untuk mengetahui dan menanyakan nama guruku, juga kau tidak cukup berharga buat mengetahui namaku.”

Bukan kepalang marahnya Bian Kie Tojin karena itulah penghinaan terhebat dalam seumur hidupnya. Dia seorang tosu yang lihay sekali, di dalam rimba persilatan dia memang sangat terkenal dan disegani oleh orang-orang rimba persilatan, baik dari aliran hitam maupun putih, karena bertangan telengas dan berhati kejam.

Sekarang seorang pemuda seperti Ko Tie berani meremehkan dirinya. Tentu saja ia jadi murka bukan main, sedangkan tokoh-tokoh rimba persilatan jika berhadapan dengannya, akan menghormat sekali padanya.

“Bocah, kau benar-benar, mencari mampus!” katanya dengan suara dan sikap yang bengis, dibarengi dengan tubuhnya yang melompat sangat lincah sekali, juga kebutannya telah bergerak, akan menghantam kepala si pemuda.

Hud-tim di tangan tojin itu memang lihay, karena ia memiliki lweekang yang tinggi sekali. Dengan demikian dia bisa menyalurkan tenaga dalamnya itu pada hud-timnya dengan sekehendak hati.

Dia bisa membuat hud-tim itu menjadi lunak, bisa membuatnya jadi keras seperti baja, bisa dipergunakan buat melibat senjata lawan, tetapi juga bisa dipergunakannya sebagai palu. Dengan demikian jelas akan membuat lawan yang berkepandaian tanggung-tanggung, akan dapat dirubuhkannya dengan mudah.

Di waktu itu Ko Tie berdiri tegak di tempatnya. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia akan berkelit dari sambaran senjata lawan. Malah dia telah tersenyum mengejek, kemudian membarengi dengan itu, diapun telah berseru nyaring, sambil tangannya dikibaskan.

Bian Kie Tojin merasakan tangannya tergetar, dimana telapak tangannya dirasakan sakit bukan main sampai dia hampir saja tidak bisa mencekal terus hud-timnya, yang hampir terlepas dari cekalannya itu.

Namun betapapun juga, Bian Kie Tojin merupakan seorang tosu yang memiliki kepandaian terlatih baik. Walaupun kaget, tokh dia tidak menjadi gugup dan gusar.

Dengan segera dia bisa memperbaiki dirinya, untuk mencekal lebih kuat lagi hud-timnya, malah waktu itu, di saat tubuhnya akan terdorong mundur, dia telah menarik pulang tangannya. Hud-timnya tahu-tahu ditundukkan ke bawah, menabas ke perut Ko Tie.

Gerakan yang dilakukannya itu merupakan gerakan yang sulit diikuti oleh pandangan manusia biasa, karena jika saja kurang awas, tentu tidak akan bisa melihat gerakan hud-tim itu. Dengan demikian, tentu akan membuat orang yang diserangnya itu mudah sekali akan terhantam oleh hud-tim pendeta itu.

Tapi Ko Tie, dia sama sekali tidak gentar menghadapi serangan seperti itu. Malah, ketika hud-tim lawan hampir mencapai sasaran, cepat sekali dia menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya tahu-tahu telah lenyap dari pandangan mata Tojin itu.

Tidak kepalang kagetnya Tojin itu, dia sampai menjerit kaget, dan tahu-tahu Ko Tie telah berada di belakangnya. Penasaran, takjub dan kagum, dicampuri juga dengan kemarahan yang bukan main.

Tampak tojin itu telah membalikkan tubuhnya. Dia telah menghantam lagi, dengan hud-timnya, karena dia telah mau memberikan kesempatan pada Ko Tie untuk balas menyerang padanya.

Namun, dia terlambat. Belum lagi hud-timnya mengenai sasarannya, Ko Tie telah lenyap pula dari pandangan matanya, sehingga dia kehilangan sasarannya. Sedangkan Ko Tie telah berada di belakangnya, malah Ko Tie telah mendengus “Hemmm!” perlahan, membuat tojin itu tambah kaget tidak terkira.

Segera dia memutar tubuhnya. Berulang kali terjadi begitu, dimana selalu pula Ko Tie lenyap dari hadapannya, dan dia tahu-tahu telah berada di belakang dari tojin itu.

Karena kuatir Ko Tie menyerangnya jika dia tidak memutar tubuhnya, membuat Tojin tersebut harus berputar-putar tidak hentinya. Iapun jadi berkuatir, sebab jika bertempur terus dengan sendirinya, disamping kehabisan tenaga, juga akan membuat dia rubuh karena letih. Matanya juga mulai kabur berkunang-kunang.

Di waktu itu tampak jelas bahwa Ko Tie memang sengaja ingin mempermainkan tojin yang galak itu. Dia telah memperlihatkan kelincahannya yang menakjubkan.

Tojin itu pun diam-diam di dalam hatinya mengeluh, karena dia menyadari bahwa ia memang bukanlah tandingan Ko Tie.

Hanya saja, disebabkan telah terlanjur ia bicara besar tadi, untuk berhenti menyerang tentu saja tidak mungkin dilakukan, pamornya akan lenyap dan juga nama besarnya yang selama ini telah dimilikinya akan runtuh. Karena itu ia segera mengempos seluruh semangatnya dan mengeluarkan semua kepandaiannya, untuk berusaha menyerang sehebat mungkin kepada Ko Tie.

Tapi tetap saja tubuh Ko Tie melesat ke sana ke mari dengan lincah, sehingga ia berputar semakin cepat juga untuk mengikuti gerakan Ko Tie, membuat kepala tosu itu jadi pusing sendirinya dan matanya mulai berkunang-kunang.

Dikala itu Ko Tie sendiri merasa telah cukup mempermainkan tosu itu. Waktu ia sekali lagi mencelat ke belakang tosu itu, ia telah menepuk jalan darah Bi-ku-hiat, di bagian leher seketika tojin itu lemas tidak bertenaga lagi.

Tubuhnya juga ambruk di lantai panggung. Mukanya meringis dengan kulit muka berkerut-kerut, dan matanya mendelik, dari mulutnya mengeluarkan busa.

Semua orang yang menyaksikan apa yang terjadi itu jadi memandang tertegun. Untuk sejenak lamanya sunyi sekali keadaan di tempat itu. Barulah kemudian belasan orang anggota Ang-kie-pay tersadar, mereka membentak nyaring dan senjata mereka digerakkan serentak menyerang Ko Tie.

Ko Tie mendengus mengejek, tubuhnya melesat berkelebat-kelebat ke sana ke mari, sepasang tangannya digerakkan berulang kali, terdengar suara “tranggg, tranggg,” disusul juga oleh suara jeritan beruntun saling susul dari anggota-anggota Ang-kie-pay tersebut, yang semuanya rubuh terguling di lantai panggung. Mereka semuanya dalam keadaan tertotok!

Itulah kepandaian yang langka dan jarang sekali dapat disaksikan, karena hebatnya pemuda ini.

Senjata dari belasan urang anggota Ang-kie-pay telah dapat direbut oleh Ko Tie, yang kemudian melancarkannya. Belasan batang golok dan pedang telah berkesiuran menyambar tiang panggung, menancap dalam sekali! Itupun cara menimpuk yang benar-benar hebat.

Sedangkan waktu itu terlihat Ko Tie merangkapkan ke dua tangannya memberi hormat kepada hadirin, dia bilang:

“Maafkan siauwte mengambil tindakan keras ini dengan terpaksa karena Ang-kie-pay merupakan perkumpulan dari manusia-manusia siluman yang jahat sekali! Mereka bermaksud hendak mencelakai orang-orang gagah dari Bu-ciu.

“Dengan mengembangkan pengaruh mereka hendak menumpas seluruh orang yang menantang mereka! Karena terpaksa siauwte turun tangan……!”

Hadirin berbisik-bisik, dan sejenak lamanya suasana di saat itu terdengar tadi berisik sekali. Ko Tie membiarkan sikap dari orang-orang tersebut, ia cuma berdiri dengan sikap yang gagah dan keren.

Kemudian terlihat Ko Tie juga telah berkata pula, setelah keadaan meredah: “Dengarlah kedatangan siauwte mencampuri urusan ini, karena siauwte menginginkan Ang-kie-pay membubar diri!”

“Tidak mudah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari dalam kapal besar di telaga telah melesat dua sosok tubuh, gerakannya sangat ringan sekali.

Dialah seorang tua yang berusia di antara limapuluh tahun, sedangkan yang seorangnya lagi adalah seorang pemuda berusia tigapuluh tahun. Yang berseru begitu adalah orang tua itu. Dan mereka hinggap di lantai panggung dengan gerakan yang indah sekali.

“Tidak mudah bocah! Kau jangan bermimpi!”

Ko Tie tersenyum.

“Tentunya anda adalah Pangcu dari Ang-kie-pay, bukan?!” tanyanya tawar.

“Tidak salah! Aku adalah Mo Siang Liang?” menyahuti orang tua itu, yang matanya melotot mengawasi bengis. “Akulah pangcu Ang-kie-pay! Nah, sekarang aku ingin minta pengajaran dari kau si mulut congkak dan besar!”

Rupanya orang tua yang mengaku dirinya sebagai pangcu atau ketua dari Ang-kie-pay itu terlalu murka. Ia tidak membuang-buang waktu lagi.

Sepasang tangannya diulurkan. Hebat sekali. Pada sepuluh jari tangannya itu terlihat kuku-kukunya yang panjang dan berwarna hitam.

Ko Tie segera dapat menduganya, tentu kuku-kuku jari tangan dari orang itu sangat beracun dan ganas sekali. Segera dia mengelak, di waktu itulah dengan ringan melesat ke samping.

Namun Mo Siang Liang rupanya telah dapat menduga gerakan yang akan dilakukan Ko Tie, sebab dia sama sekali tidak menarik pulang ke dua tangannya, dengan mendengus: “Hemmm!” dia terus juga melesat ke samping menuju ke sasarannya.

Ko Tie kagum juga melihat kegesitan pangcu Ang-kie-pay ini. Diam-diam dia berpikir: “Hemmmm, pantas ia memang memiliki kepandaian yang tinggi.”

Dan diapun tidak sungkan lagi, segera tangan kirinya bergerak berputar untuk melindungi dirinya, di waktu itu tangan kanannya menghantam dengan ilmu pukulan Inti Esnya.

Mo Siang Liang yang tengah menerjang dengan murka dan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya jadi kaget. Karena ia merasakan angin pukulan pemuda ini dingin sekali, membuat dia menggigil.

Tapi ia memang memiliki kepandaian dan sin-kang yang kuat. Ia bisa mempertahankan dirinya tidak sampai terhuyung mundur karenanya, malah ia cepat menutup diri.

Dia kemudian melangkah mundur dua tindak, dengan muka bengis ia menegur: “Masih ada hubungan apa kau dengan Swat Tocu?!”

Ditanya begitu, Ko Tie terdiam juga. Ia heran pangcu dari Ang-kie-pay ini mengenal gurunya. Hanya sekali gebrak saja, dan dapat menduga bahwa Ilmu pukulan yang dipergunakannya adalah ilmu pukulan Inti Es.

“Hemmm, tidak ada harganya kau membicarakan guruku, karena engkau tidak berderajat untuk menanyakan dirinya!” menyahuti Ko Tie kemudian.

Di waktu itu dengan muka yang merah padam, tampak Mo Siang Liang berkata dingin: “Hemmm, tidak tahunya murid Swat Tocu! Bagus! Bagus! Sekarang coba kau pergunakan lagi ilmu pukulan Inti Es itu……!”

Setelah berkata begitu, sepasang tangan Pangcu dari Ang-kie-pay melayang beruntun lima jurus dan merangsek hebat sekali.

Ko Tie tertawa dingin, benar-benar dia mempergunakan lagi ilmu pukulan Inti Esnya.

Namun pemuda ini kali ini terkejut, karena ilmu pukulan Inti Es-nya seperti tidak mempengaruhi apa-apa pada pangcu dari Ang-kie-pay tersebut. Karena Mo Siang Liang terus juga merangsek maju.

Untung Ko Tie cepat sekali dapat merobah cara menyerangnya. Sekali ini ia telah mengeluarkan sin-kang dan merobah cara menyerangnya itu dengan hantaman yang kuat sekali dengan dua jurus sekaligus. Tangan mereka saling bentur.

Keras dilawan keras, suara benturan tangan mereka terdengar nyaring sekali. Di waktu itulah terlihat betapapun juga memang Ko Tie bermaksud ingin mencoba kekuatan tenaga dalam dari lawannya ini.

Mo Siang Liang memang hebat dan tinggi lweekangnya. Dia tidak mundur oleh tangkisan Ko Tie, malah ke dua tangannya bergerak sebat sekali. Kuku-kuku jari tangannya hendak mencengkeram tangan Ko Tie.

Kuku dari jari-jari tangannya mengandung racun yang hebat, daya kerjanya sangat cepat sekali. Sekali saja kuku-kuku itu terbenam dalam daging Ko Tie, niscaya pemuda ini akan keracunan hebat.

Ko Tie juga tidak mau jika ia harus terkena cengkeraman itu. Dengan gerakan yang sangat manis, ia menarik pulang tangannya, sehingga sepasang tangannya seperti juga licin, tahu-tahu telah berhasil ditarik pulang.

Dan Ko Tie mempergunakan gin-kangnya, tahu-tahu melompat ke belakang pangcu Ang-kie-pay dan ia bermaksud hendak menepuk pundak Pang-cu dari Ang-kie-pay tersebut.

Namun ia segera berpikir bahwa ia dengan Mo Siang Liang tidak bermusuhan apapun juga. Ia tidak dapat menurunkan tangan terlalu kejam padanya. Maka ia batal menepuk dan melompat ke belakang.

“Mo Siang Liang!” bentak Ko Tie dengan suara nyaring. “Dengarkanlah dulu kata-kata ku!”

Muka Mo Siang Liang merah padam. Dia berkata bengis: “Apa yang hendak kau katakan?!”

“Kedatanganku ke mari bukan hendak menanam permusuhan denganmu! Karena itu, dengarlah baik-baik! Aku hanya menghendaki agar engkau membubarkan Ang-kie-pay dan selanjutnya tidak melakukan pekerjaan busuk dan buruk lagi!”

Tiba-tiba Mo Siang Liang tetawa bergelak-gelak, dia telah bilang dengan suara yang nyaring,

“Hemmm, baik-baik! Jika aku tidak dapat merubuhkan dan membinasakan kau, aku akan membubarkan Ang-kie-pay!” Waktu berkata begitu, suaranya tergetar, karena ia tampaknya memang murka bukan main.

Waktu itu Ko Tie baru saja ingin berkata lagi, tapi Mo Siang Liang telah melesat ke depannya dan menyerang pula. Karena mengetahui bahwa Pangcu dari Ang-kie-pay ini tidak gentar dengan pukulan Inti Es-nya, segera juga Ko Tie menghadapinya dengan cara lain.

Melihat datangnya serangan dari Mo Siang Liang begitu cepat dan kuat, ia tidak berayal lagi, tubuhnya juga melesat ke sana ke mari.

“Kau memaksa aku menurunkan tangan keras padamu!” Sambil berkata begitu tampak tubuh Ko Tie telah melesat ke tengah udara. Ke dua tangan Mo Siang Liang melesat di bawah kakinya.

Dan belum lagi Mo Siang Liang bisa menarik pulang tangannya, dikala itu Ko Tie telah turun tangan. Tahu-tahu sepasang tangannya membarengi dengan meluncur turun tubuhnya, ia mencengkeram.

“Krakkk, krakkk!” beberapa jalan darah di tubuh Mo Siang Liang telah berhasil ditotok, membuat pangcu dari Ang-kie-pay itu segera meloso dan diam tidak berkutik, karena di waktu itu justeru seluruh tulang-tulang di tubuhnya telah rontok dan patah!

Cepat sekali pemuda yang tadi mendampingi Mo Siang Liang melesat menyerang Ko Tie dengan disertai bentakan murka.

Tapi Ko Tie kali ini tidak mau tanggung-tanggung dalam turun tangan, karena segera juga ia telah berhasil menghantam pemuda itu terpental, ambruk di lantai panggung dan seketika diam tidak bergerak, karena ia pingsan dengan tulang-tulang dadanya yang remuk!”

Waktu itu, Mo Siang Liang meringis menahan sakit, dan seluruh ilmu silatnya telah musnah. Dengan penuh dendam dia berkata: “Baik-baik, sekarang aku rubuh di tanganmu, tapi dilain waktu aku akan mencarimu!”

“Hemmm, engkau masih bermaksud hendak menuntut balas kepadaku? Dengan mudah aku akan menghabisi jiwamu di sini!

“Tapi yang kuinginkan kesadaranmu! Dengan dimusnahkannya kepandaianmu, berarti Ang-kie-pay akan bubar. Siapa yang masih berani meneruskan perkumpulan itu, akan kubinasakan dengan cara yang sama……!”

Mo Siang Liang sesungguhnya dulu pernah dihajar oleh Swat Tocu dengan ilmu Inti Es-nya. Dia sebagai seorang Ok-pa, dia menaruh dendam.

Mati-matian dia melatih diri. Dia berhasil menciptakan semacam ilmu yang dapat dipergunakan menghadapi ilmu Inti Es tersebut.

Dia bermaksud mendirikan Ang-kie-pay menjadi perkumpulan yang sangat berpengaruh. Itulah sebabnya, ia telah melebarkan pengaruhnya ke segala propinsi. Perkumpulannya memang berkembang dengan pesat, karena banyak tokoh-tokoh rimba persilatan yang dirubuhkannya dan takluk bekerja buatnya.

Sehingga membuat Mo Siang Liang semakin berkepala besar. Ia telah merencanakan setelah berhasil mendirikan Ang-kie-pay menjadi partai perkumpulan yang sangat berpengaruh, akan mengerahkan seluruh jago-jagonya untuk mencari Swat Tocu.

Tapi siapa tahu, justeru sekarang ia telah rubuh di tangan murid Swat Tocu, bahkan seluruh kepandaian dan ilmunya telah musnah. Betapa kecewanya.

Waktu mendengar perkataan Ko Tie seperti itu, ia jadi menangis menggerung-gerung, karena kecewa dan putus asa.

Sedangkan Ko Tie telah berseru nyaring kepada hadirin dengan suara yang sangat gagah: “Siapa saja yang masih berani menghidupkan Ang-kie-pay, aku akan mencarinya untuk menyelesaikannya! Sekarang ini, Ang-kie-pay dibubarkan!”

Semua anggota Ang-kie-pay yang melihat pangcu mereka dirubuhkan begitu mudah, bahkan sebelumnya jago-jago Ang-kie-pay yang lainnya telah dirubuhkan oleh Ko Tie begitu mudah, membuat mereka ketakutan dan telah menekuk kaki mereka masing-masing berlutut, dan berjanji akan meninggalkan Ang-kie-pay untuk kembali ke masyarakat serta tidak melakukan perbuatan busuk dan kejahatan lagi!

Ketika Ko Tie hendak turun dari panggung tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dengan cepat dan gesit sekali, hinggap di depannya. Dialah seorang yang berusia tujuhpuluh tahun lebih, di tangannya tercekal hun-cwe, sambil tersenyum lebar dia bilang:

“Siauw-hiap, hebat sekali kepandaianmu, benar-benar sangat mengagumkan sekali! Aku si orang tua, adalah Yang Ciu Kang, ingin sekali meminta pengajaran! Jika aku rubuh di tanganmu, maka Hauw-sim-pay akan dibubarkan juga!”

Rupanya orang yang memakai baju hijau yang pernah ditolong oleh Ko Tie, telah pulang ke markasnya buat melaporkan apa yang telah terjadi pada pangcunya, yaitu Yang Ciu Kiang.

Betapa gusarnya pangcu itu. Ia merasa tersinggung dengan perintah Ko Tie, agar ia membubarkan Hauw-sim-pay.

Karena itu, segera juga Yang Ciu Kang berangkat meninggalkan tempatnya. Dia pergi ke panggung di mana tengah berlangsung pertempuran antara Ko Tie dengan ketua dari Ang-kie-pay.

Sedangkan saat itu, dia masih sempat melihat pangcu dari Ang-kie-pay dirubuhkan.

Dia melihat bahwa kepandaian Ko Tie memang sangat luar biasa, dan juga ia kagum sekali. Namun ia penasaran, maka dia segera juga berkata dengan suara yang tawar menantang pemuda itu. Dia bermaksud untuk mencobanya sendiri, karena ia yakin, kepandaian yang dimilikinya jarang bisa ditandingi oleh jago-jago rimba persilatan.

Ko Tie tersenyum tawar.

“Apakah engkau tidak akan menyesal?!” tanyanya dengan suara yang dingin.

Yang Ciu Kang tertawa bergelak-gelak. “Walaupun harus membuang jiwa, aku tidak akan menyesal! Hemmm, tidak mudah orang menganjurkan agar Hauw-sim-pang dibubarkan!”

“Baik!” kata Ko Tie kemudian. “Kau boleh mulai!”

Sambil tertawa tawar, Yang Ciu Kang telah menerjang pada Ko Tie dengan hun-cwenya, dimajukan untuk menotok.

Ko Tie tetap berdiam diri di tempatnya. Dia melihat hun-cwe menyambar sudah dekat, barulah tangan kanannya digerakkan.

“Krakkk! Krakkk!” hun-cwe lawannya patah dua kali, menjadi tiga potong, dan kemudian, di saat Yang Ciu Kang tengah bengong karena kaget tidak terhingga, tangan kiri Ko Tie bergerak lagi, menepuk pundaknya.

Seketika terdengar suara kretak-kretok dan tulangnya yang patah dan terlepas dari bonggolannya, karena disaat itu musnahlah seluruh kepandaian orang she Yang tersebut.

Dia berdiri lemas dengan mata mendelik dan mulut terbuka lebar. Dia mengeluh dan tahu-tahu menangis!

Dalam satu gebrakan dia telah dirubuhkan, bahwa kepandaiannya telah dimusnahkan sampai dia jadi kecewa bukan main.

“Aku hanya perintahkan kau membubarkan perkumpulanmu, tetapi engkau malah telah berusaha untuk mencari urusan! Hemmm, sekarang aku hendak tanya kepadamu, apakah engkau mau membubarkan perkumpulanmu?”

Yang Ciu Kang menghapus air matanya, dia menyatakan akan mematuhi perintah Ko Tie.

“Baiklah, aku akan datang pula jika perintahku ini tidak dilaksanakan!” kata Ko Tie sambil menjejakkan kedua kakinya, tubuhnya melesat ringan sekali meninggalkan panggung itu. Dia hinggap di dekat Giok Hoa, yang sejak tadi hanya mengawasi dengan kagum akan sepak terjang engko Tie nya itu.

“Nah…… mari kita berangkat, adik Hoa?!” kata Ko Tie sambil tersenyum. “Urusan telah selesai!”

Mereka berdua dengan gesit telah berlari meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap mata saja telah lenyap dari pandangan orang banyak.

Sedangkan semua orang yang berkumpul di situ, telah memandang bengong, takjub dan kagum tidak terhingga atas kepandaian yang diperlihatkan oleh Ko Tie.

Dua orang pangcu dari dua perkumpulan yang sangat besar pengaruhnya dan tinggi kepandaiannya telah dirubuhkan dengan mudah, maka mereka jadi tidak mempercayai pandangan mata mereka sendiri. Namun segalanya memang telah terjadi.

Ketika tersadar semua orang segera menceritakan tidak hentinya tentang kegagahan Ko Tie. Dan segera juga tersiar luas sekali tentang sepak terjang dari ke dua orang itu, yang memang merupakan pemuda yang gagah.

Nama Ko Tie semakin tersiar luas dan terkenal bahkan mengejutkan orang-orang rimba persilatan. Sebagai jago muda yang baru muncul di dalam kalangan kang-ouw, namun telah berhasil mendirikan nama yang sangat besar sekali.

Banyak orang-orang Kang-ouw yang kagum mendengar sepak terjang dari Ko Tie dan Giok Hoa. Tetapi ada juga sebagian dari mereka yang penasaran. Dan ada beberapa tokoh rimba persilatan justeru yang sengaja mencari Ko Tie dan Giok Hoa, untuk menguji kepandaian mereka!

Y

Matahari baru saja muncul ketika di jalan kecil antara Hok-an dan Jim-kiu terlihat seorang pemuda berpakaian jubah panjang warna kuning, dengan topi lebar terbuat dari anyaman rotan, tengah berjalan seorang diri dengan langkah perlahan.

Dia seorang pelajar yang tampan, yang tangannya mencekal sebuah kipas, yang sering digerak-gerakan, seperti juga ia tengah mengipas. Memang, tampaknya ia melangkah perlahan, tetapi buktinya sebentar saja ia sudah melintasi tiga sampai limapuluh tombak dalam sekejap mata saja.

Waktu ia sudah melintasi kota Hok-an, di tempat duapuluh lie lebih, di mana terdapat pepohonan yang lebat. Ia mendapatkan sebuah dusun kecil.

Itulah dusun Jit-cap-li-pau, yang menuju ke Jim-kiu, maka biarpun tempatnya memang kecil, lalu lintasnya ramai. Tidak sedikit kuda dan kereta kaum saudagar yang mondar-mandir melintas di tempat tersebut.

Waktu tiba di situ, pemuda pelajar itu memasuki sebuah rumah makan, yang merangkap sebagai rumah penginapan. Ia melihat sudah cukup banyak orang duduk bersantap.

Ia mencari meja yang masih kosong, segera saja ia dilayani seorang pelayan yang berusia telah lanjut, yang rambut dan kumisnya telah ubanan, yang mukanya kuning dan tidak hentinya batuk-batuk, sedangkan suaranyapun serak. Disamping itu, iapun tidak hentinya mengedip-ngedipkan mata, seperti orang cacingan.

“Tuan ingin dahar apa!” tanya orang tua itu dengan suara dan sikap ramah tamah.

“Apa saja, asal yang dapat dimakan!” menyahuti pemuda pelajar itu dengan sikap seenaknya, dan ia menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam.

Dari matanya memancarkan sinar yang luar biasa berkilauan, menunjukkan bahwa pelajar ini bukanlah sembarangan pelajar. Kipas di tangannya digerak-gerakkannya, seakan juga ia tengah menggerakkan kipasnya itu seenak.

Waktu itu terlihat pelayan itu cepat sekali mempersiapkan pesanan tamu ini. Ia mengeluarkan beberapa macam makanan yang cukup enak dimakannya.

Perlahan-lahan pemuda pelajar itu bersantap, tapi matanya tetap mengawasi sekelilingnya. Sampai ia melihat ada dua orang tamu, yang berpakaian sebagai orang Kang-ouw tengah bersantap. Pemuda itu mendengus perlahan, sedangkan matanya tidak berkisar mengawasi terus ke dua orang itu.

Ke dua orang yang berpakaian sebagai orang Kang-ouw itu baru berusia tigapuluh tahun lebih, dan mereka masing-masing menyoren sebatang pedang di punggung mereka, sikapnya gagah sekali. Mereka bersantap dengan cepat dan tanpa berkata apa-apa.

Sedangkan pemuda pelajar itu setelah bersantap, ia berdiri dan menghampiri meja ke dua orang Kang-ouw itu. Ia telah menepuk meja perlahan:

“Aku ingin bicara dengan kalian?” katanya dengan suara yang perlahan sekali dan ia kemudian memutar tubuhnya meninggalkan ke dua orang itu yang jadi tertegun mengawasi padanya.

Tanpa memperdulikan sikap terkejut ke dua orang itu, pemuda pelajar tersebut telah meletakkan sekeping uang perak di atas meja sebagai pembayaran atas apa yang telah dimakannya. Sambil menggerak-gerakkan kipasnya ia meninggalkan ruangan rumah makan tersebut.

Kedua pemuda itu terkejut bukan oleh kata-kata pemuda pelajar tersebut. Karena di meja mereka, pada bagian di mana tadi pelajar itu menepuknya, telah terlihat bekas tapak tangan yang cukup dalam, seperti diukir.

Itulah tepukan tangan yang memiliki sin-kang yang amat tinggi. Inilah yang mengejutkan ke dua pemuda itu, sampai mereka mengawasi tertegun.

Mereka melihatnya usia pemuda pelajar itu paling tidak baru duapuluh lima tahun. Tubuhnya walaupun tegap, tapi tidak terlalu besar, kulitnya halus, gerak-geriknya juga halus, maka tidak mirip-miripnya ia seperti orang-orang Kang-ouw.

Ke dua pemuda itu tersadar dengan cepat. Salah seorang di antara mereka segera bangkit dari duduknya, melompat dengan gesit. Dalam waktu singkat ia telah berdiri dihadapan pelajar itu, katanya: “Tuan, tunggu dulu!”

Pelajar itu menggerakkan kipasnya, menahan langkah kakinya, matanya yang bersinar tajam itu disipitkan sedikit, bibirnya yang tipis itu tersenyum, katanya: “Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Apa maksud tuan hendak bicara dengan kami?!” tanya orang Kang-ouw itu.

“Kalian ikut saja denganku, nanti kalian akan mengetahui!” menyahut pelajar itu.

“Tapi..... kami tengah memiliki urusan penting, tidak dapat kami memenuhi keinginan tuan……!” menyahuti orang Kang-ouw tersebut ragu-ragu.

“Walaupun bagaimana pentingnya urusan kalian, harus ditangguhkan sementara waktu, yang hendak kubicarakan lebih penting dari segala persoalan kalian......!”

Tidak puas hati orang Kang-ouw itu, tapi ia melihat sendiri tadi pemuda pelajar ini memiliki sin-kang yang kuat sekali. Sekali menepuk mejanya, telah membuat meja itu melesak dan berukir bekas telapak tangan. Maka ia tidak berani bersikeras, ia hanya berkata:

“Baiklah..... jika memang demikian, tidak bisa kami mengatakan apa-apa! Tapi maafkanlah, kami menyesal sekali tidak bisa memenuhi permintaan tuan, lain waktu saja kami akan mencarimu!”

Pelajar itu tersenyum sambil mengangkat bahunya dan menggerak-gerakkan kipasnya, dia bilang: “Terserah pada kalian!”

Sambil berkata begitu, tahu-tahu kipasnya telah digerakkan, maka diwaktu itulah terlihat orang Kang-ouw itu terjungkal rubuh bergulingan di tanah sambil meringis menahan sakit. Tapi segera juga ia bangun berdiri dengan tangannya yang sebat sekali mencabut pedangnya, yang dihunusnya.

“Kau .....kau.....!” katanya dengan suara yang tersendat-sendat.

Tapi pemuda pelajar itu tenang sekali. Ia bukan memutar tubuhnya buat melangkah meninggalkan ruangan rumah makan, kipasnya tetap digerak-gerakan.

Dia hanya menggumam: “Aku menantikan kalian di pintu kampung.......!” Dan ia membuka langkah lebar berlalu.

Kawan orang Kang-ouw yang dirubuhkan itu tidak puas melihat kawannya dibikin terjungkir balik seperti itu. Ia melompat sambil menghunus pedangnya, dengan pedang ditangannya itu dia menikam punggung si pelajar.

Pelajar berjubah kuning seperti juga tidak mengetahui sambaran pedang, dia melangkah terus. Cuma saja, waktu mata pedang hampir menikam punggungnya, dia telah mengibas kipasnya ke belakang.

Pedang orang Kang-ouw itu terlepas dari cekalannya dan terlontar keras sekali, sampai menancap dalam di penglarian ruang tersebut, dan telah ber-goyang-goyang mendengung nyaring. Orang Kang-ouw itu sendiri berdiri tertegun dengan wajah yang pucat, telapak tangannya telah lecet mengalirkan darah.

“Manusia iblis…..!” menggumam dia perlahan, bibirnya gemetar. Dia melihat pelajar itu tidak memperdulikan makiannya itu, telah melangkah terus meninggalkan rumah makan itu.

Sedangkan orang Kang-ouw yang seorangnya lagi, telah merangkak berdiri dengan kaki yang agak gemetar menahan marah dan pedang terhunus.

“Mungkin…… mungkin dia yang hendak menggagalkan tugas kita!” katanya kemudian dengan suara tidak lancar.

Sedangkan orang yang memakai baju warna biru langit, yang telapak tangannya pecah luka itu, mengangguk perlahan dengan muka yang pucat.

“Jika dia yang harus kita hadapi, tipis sekali kemungkinan kita bisa meloloskan diri……!” katanya dengan suara yang sengau.

“Kita lihat saja! Jika kita telah keluar dari Hok-an, tentu kita akan selamat, di sana telah menanti ketua kita……!” kata kawannya, yang memakai baju warna jingga, yang mukanya empat persegi. “Cie-te, kurasa kita harus melewati rintangan yang tidak ringan!”

Cie-te, orang yang memakai baju warna biru muda itu telah mengangguk. Ia kemudian mengambil pedang yang menancap di atas penglarian. Kemudian membayar harga makanan yang telah mereka makan. Mereka berlalu dari rumah makan itu.

Hati mereka berdebar di waktu tiba di mulut perkampungan tersebut. Dan mereka melihat tidak ada seorang pun juga manusia di tempat itu. Sunyi juga tidak terlihat pelajar berbaju kuning itu!

“Mari kita pergi!” mengajak si Cie-te, dan mereka segera juga telah mementang langkah lebar, berlari ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Namun baru berlari satu lie lebih, tiba-tiba mereka merandek, karena mereka melihat sesuatu di depan mereka.

Pelajar baju kuning itu, tengah berjalan juga dengan langkah perlahan-lahan, dan tangan mengipas-ngipas, memunggungi mereka.

Ke dua orang Kang-ouw tersebut telah saling pandang namun akhirnya mereka jadi nekad,

“Kita harus mengadu jiwa dengannya!” bilang si Cie-te dengan suara yang perlahan. “Kita harus melindungi…… tidak boleh sampai terjatuh ke dalam tangannya

Kawannya mengangguk.

“Ya..... mari kita serang dia dengan serentak!” Dan setelah menyahuti begitu, dengan berbareng mereka melesat menghampiri pelajar berbaju kuning itu.

Sedangkan pelajar baju kuning itu membawa sikap seperti juga dia tidak mengetahui di belakangnya telah datang ke dua orang Kang-ouw yang tadi diganggunya, dan malah sedang menikamkan pedang mereka dengan serentak. Ia melangkah terus dengan sikap yang tenang, dengan kipas di tangannya digerak-gerakkan perlahan-lahan.

Tapi waktu ke dua orang Kang-ouw itu kegirangan, disaat pedang mereka hampir sampai pada sasarannya. Di waktu itulah pemuda pelajar berbaju kuning itu telah mengibaskan kipasnya tanpa memutar tubuhnya.

Dia menangkis pedang ke dua orang itu. Sampai pedang itu tersampok dan terpental terlepas dari cekalan ke dua orang tersebut, melayang menancap di batang pohon di tepi jalan!

Barulah pelajar baju kuning itu memutar tubuhnya, dengan wajah yang berobah jadi bengis ia menegur: “Bukankah kalian Cie Kwang dan Sun Long?!”

Ke dua rang itu tertegun. Mereka tengah takjub, sekali dikibas oleh kipasnya saja mereka tidak berdaya, pedang mereka telah terpental terlepas dari cekalan mereka. Dan juga, di waktu itu pemuda pelajar itu telah menegur mereka, mengetahui nama mereka dengan jelas, membuat mereka jadi tertegun berbareng gentar.

“Benar!” akhirnya Cie Kwang menjawab dengan suara tidak begitu jelas. “Siauw-hiap kami dengan Siauw-hiap bagaikan air sumur dengan air sungai, tidak pernah bertemu dan tidak pernah mengganggu, tidak ada urusan di- antara kita. Mengapa tampaknya tuan hendak mempermainkan kami?”

Ditegur seperti itu, pemuda pelajar berjubah kuning itu tertawa dingin katanya: “Aku Gorgo San, hendak meminta sesuatu dari kalian!”

“Meminta sesuatu……?” tanya Cie Kwang dan Sun Long, muka mereka berobah pucat dan satu dengan yang lain saling memandang sampai akhirnya Cie Kwang berkata lagi, dengan suara yang ragu-ragu: “Benda apakah yang diminta olehmu, tuan?”

“Kitab pusaka dari Kun-lun!” menyahuti pelajar baju kuning itu, yang mengaku bernama Gorgo San dengan suara yang tenang dan muka yang tidak memperlihatkan perasaan apapun juga, cuma matanya yang memandang tajam sekali.

Ke dua orang itu, Cie Kwang dan Sun Long berobah mukanya jadi pucat. Mereka saling pandang lagi, sampai akhirnya Sun Long bilang: “Mungkin tuan salah mengenali orang..... Kami tidak memiliki barang yang tuan kehendaki!”

“Hemmm, kalian hendak mendustai aku, heh?” kata pemuda pelajar itu. Tahu-tahu berbareng dengan habisnya perkataan Gorgo San itu, ia telah melesat gesit sekali.

Gerakan yang dilakukannya begitu sebat dan lincah, sampai Cie Kwang dan Sun Long tidak bisa melihat jelas bergeraknya tubuh pelajar itu. Tahu-tahu mereka telah merasa saku mereka ditepuk oleh tangan Gorgo San.

Dan ketika Gorgo San berdiri lagi terpisah dalam jarak dua tombak lebih, di tangannya telah mencekal sebuah kotak kayu cendana berwarna coklat yang ukurannya tidak begitu besar.

“Benda inilah yang kukehendaki!” katanya dengan sikap yang angkuh sekali.

Muka Cie Kwang dan Sun Long berobah pucat, mereka segera menubruk.

“Kembalikan kepada kami, walaupun kau membunuh kami, tidak nantinya kami memberikan barang itu kepadamu!” nekad sekali Sun Long dan Cie Kwang menerjang, karena setelah lenyap kaget mereka, ke duanya jadi nekad.

Perjalanan yang tengah mereka lakukan sekarang ini justeru membawa tugas yang berat, yaitu harus membawa kotak kayu yang berisi benda pusaka dari Kun-lun itu. Dan tentu saja sekarang melihat orang asing hendak mengambilnya, membuat mereka jadi kalap dan nekad.

Lenyap gentar mereka tanpa memperdulikan keselamatan jiwa mereka. Ke duanya telah melompat begitu sebat dan gesit, tangan mereka pun digerakkan untuk menyerang.

Tapi Gorgo San tidak memperdulikan serangan sepasang tangan dari Cie Kwang dan Sun Long. Ia malah sambil tertawa bergelak telah menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat ke tengah udara, dan di waktu itu terdengar kata-katanya:

“Bagus! Jika memang aku tidak memperoleh barang ini, mungkin kalian akan kukirim ke neraka! Karena mengingat aku telah memperoleh barang ini aku mengampuni jiwa kalian..... jangan tidak tahu diri ayo pergi!”

Sambil berkata begitu, tubuhnya dalam sekejap mata saja terpisah beberapa tombak dari Cie Kwang dan Sun Long, sedangkan ke dua orang itu tambah kalap. Mereka mengejar dengan nekad.

Gorgo San memang hendak meninggalkan tempat itu sambil tertawa dengan gembira, namun disaat ia hendak melesat lagi, telah berkelebat sesosok bayangan, yang menghadang di depannya. Dibarengi dengan telapak tangan orang itu bekerja, angin serangan yang santer sekali menerjangnya.

Gorgo San terkejut. Ia menahan langkah kakinya. Pukulan sosok tubuh itu bukan sembarangan pukulan. Iapun merasakan tekanan tenaga dalam yang kuat. Karena itu, Gorgo San segera menyingkir ke samping, dia bermaksud hendak mengambil arah lain untuk melarikan diri.

Tapi orang yang baru muncul itu, seorang pemuda berusia antara tigapuluh tahun, namun ukuran tubuhnya pendek kecil seperti tinggi tubuh seorang anak berusia sepuluh tahun, telah melesat lagi ke depan Gorgo San dibarengi bentaknya. “Berikan barang itu kepadaku!”

Gorgo San melihat tangan orang itu diulurkan hendak merampas kotak kayu di tangannya. Dia segera memasukkan kotak kayu itu ke sakunya, sedangkan tubuhnya dengan gesit menghindar dari jangkauan tangan orang tersebut. Sambil memasukkan kotak kayu itu ke sakunya, kipasnya bergerak menotok tangan orang itu.

“Ihhh…..!” orang tersebut melompat mundur, dan kini mereka jadi berdiri saling berhadapan.

Dengan mata memancarkan sinarnya yang bengis, Gorgo San memperhatikan orang yang telah menghadangnya. Dia hanya dengan suara yang bengis juga mengandung kemarahan:

“Siapa kau yang ingin meminta barang yang bukan milikmu?!”

“Itu pun bukan milik kau!” menyahuti orang bertubuh pendek itu. “Aku, Auwyang Phu menghendaki barang itu, dan aku harus memperolehnya! Tidak ada satu keinginan dari Auwyang Phu yang tidak akan berhasil diperolehnya!

“Kau boleh pilih, menginginkan jiwa atau menghendaki barang itu? Jika memang kau masih mau hidup dengan bahagia di dunia ini, menikmati keindahan dunia, masih bisa makan nasi dan lain-lainnya, pelesiran dengan si nona cantik, cepat kau serahkan barang itu kepadaku!

“Hem, jika kau kemaruk akan barang itu, maka akhirnya kau akan menyesal, selain engkau akan mampus, barang itu tetap akan jatuh di tanganku!” Setelah berkata begitu, Auwyang Phu memandang dengan sorot mata tidak kalah bengisnya.

Gorgo San tidak berani ceroboh. Dalam dua kali gebrakan tadi, dia telah mengetahui bahwa manusia pendek yang ada di depannya ini memiliki kepandaian dan sin-kang yang tinggi. Karenanya ia berlaku waspada.

Sedangkan Sun Long dan Cie Kwang telah mengejar sampai di situ, tapi mereka tidak segera menerjang. Mereka mengawasi apa yang hendak dilakukan oleh manusia bertubuh pendek itu.

Orang yang bertubuh pendek itu memang benar Auwyang Phu, putera tunggal dari Auwyang Hong. Ia kebetulan memang lewat di tempat tersebut, dan mendengar perihal pusaka dari Kun-lun, yang banyak sekali diincar oleh orang-orang Kang-ouw.

Karenanya, sebagai orang yang mengkhususkan diri mempelajari ilmu silat, ia pun bermaksud hendak memperoleh pusaka dari Kun-lun itu, walaupun ia belum lagi mengetahui entah pusaka apa yang disebut sebagai pusaka Kun-lun itu.

Apakah sebatang pedang, juga sebatang golok, barang permata atau juga memang sejilid kitab. Tetapi setelah melihat kotak kayu yang berukuran kecil itu, segera juga Auwyang Phu menduganya, jika memang bukan kitab silat, tentunya barang permata yang disebut sebagai pusaka Kun-lun.

Sayangnya dia telah kena didahului oleh Gorgo San, karenanya ia ingin merampasnya lagi.

Di waktu itu, Gorgo San telah mendengus, dia bilang, “Hemmm, jika engkau bisa mengambilnya, ambillah!”

Setelah berkata begitu, Gorgo San bersiap-siap hendak menerima serangan. Walaupun tampaknya si pendek ini lihay, namun dia tidak gentar. Gorgo San pun yakin ia memiliki kepandaian yang berada di atas kepandaian dari si pendek itu.

Auwyang Phu tertawa dingin, bengis sekali dia berkata: “Bagus! Rupanya engkau memang mencari mampus!”

Putera dari Auwyang Hong yang diperoleh dari hubungan gelapnya dengan Cek Tian, sudah tidak berdiam diri lagi, karena sebat sekali tubuhnya melesat ke depan, tahu-tahu dia menekuk ke dua kakinya. Dia berjongkok di hadapan Gorgo San dan juga mengeluarkan suara yang aneh sekali:

“Krokkk, krokkk!” seperti suara kodok mengerok, mengherankan benar Gorgo San, karena ia tidak mengetahui, entah apa yang hendak dilakukan oleh lawannya yang pendek ini.

Namun belum lagi ia bisa menduganya, di waktu itu, ke dua tangan Auwyang Phu telah didorong ke depan, ke arahnya. Dan hebat sekali, dari ke dua telapak tangan Auwyang Phu meluncur kekuatan tenaga dalam yang luar biasa kuatnya, seakan juga terjangan badai dan gelombang laut yang sangat besar sekali.

Untung saja memang Gorgo San telah memperhatikan gerak gerik lawannya dengan penuh kewaspadaan. Dan ia sejak semula telah menduganya bahwa Auwyang Phu adalah lawan yang berat dan memiliki ilmu yang tinggi.

Dengan demikian, tentunya dia tidak bisa meremehkan dan harus menghadapinya dengan mengeluarkan ilmu andalannya. Dan sekarang dia diserang begitu hebat, karenanya, dia segera juga menghadapinya dengan sebaik mungkin. Dia mengayunkan kipasnya, berusaha menangkis.

Namun Gorgo San jadi kaget. Tubuhnya seperti juga diterjang kekuatan yang tidak terlawan olehnya, hampir saja kuda-kuda ke dua kakinya itu tergempur.

Beruntung dia telah dapat menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat dengan segera ke tengah udara dan dia mengapung begitu menghindar dari rangsekan tenaga pukulan Auwyang Phu, yang tidak lain mempergunakan ilmu pukulan Ho-mo-kang!

Memang Auwyang Phu bertangan telengas sekali. Dia tidak mau memberikan kesempatan sedikitpun juga kepada lawannya, dimana ke dua tangannya telah didorong lagi, disertai dengan suara “Krokkk, krokkk!” seperti kodok.

Serangkum angin yang kuat sekali menerjang, mengincar kepada Gorgo San.

Gorgo San bukan main gusarnya, tapi ia pun menyadari tidak boleh berayal. Seketika tubuhnya telah jungkir balik.

Dia berada di tengah udara, jelas tenaganya tengah kosong, tidak dapat dia menyambuti pukulan lawan yang kuat itu dengan kekerasan, karena pihaknya yang menderita kerugian. Itu pula alasannya mengapa ia lebih sering menghindar saja, dan ke dua kakinya telah hinggap pula di tanah.

Dikala itu terlihat betapa tubuh Auwyang Phu telah menerjang maju lagi. Dia telah menghantam dengan dahsyat kepada lawannya.

Tiga kali dia berhasil menghindar dan setelah itu Gorgo San baru membalas menyerang.

Cara menyerang Gorgo San pun hebat sekali. Karena ia telah beruntun menghantam dengan sampokan kipasnya dan totokan jari tangannya.

Ilmu silat Gorgo San tidak boleh diremehkan, dan Auwyang Phu menyadarinya. Disamping itu, dilihatnya sin-kang Gorgo San pun tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya.

Setelah bertempur puluhan jurus, mereka tetap berimbang, belum ada yang terdesak atau jatuh di bawah angin.

Diam-diam Gorgo San jadi heran juga melihat lawannya yang bentuk tubuhnya begitu pendek, ternyata memiliki kepandaian yang tinggi seperti ini.

Ia pernah mendengar cerita dari gurunya bahwa di daratan Tiong-goan ini memang terdapat semacam ilmu yang aneh, yaitu ilmu Kodok, Ha-mo-kang, milik Auwyang Hong. Dan tampaknya Auwyang Phu ini memang mempergunakan ilmu Ha-mo-kang tersebut, karena setiap kali ia menyerang, tentu dari mulutnya mengeluarkan suara “krokk, krokk”, seperti juga suara seekor kodok.

Di waktu itu tampak Gorgo San mulai memperhitungkan setiap gerakan dan serangan balasannya, karena ia menduga tentunya orang ini masih memiliki hubungan dengan Auwyang Hong. Terlebih lagi memang tadi didengarnya orang bertubuh pendek ini she Auwyang, maka dia telah memperhatikan dengan cermat setiap cara menyerang dari Auwyang Phu.

Dia sangat cerdas. Setelah lewat lagi beberapa puluh jurus Gorgo San mulai dapat menangkap kelemahan dari lawannya. Ia melihat setiap kali berjonggok, Auwyang Phu tentu akan mendorong ke dua tangannya itu dengan serentak.

Dengan demikian, di bagian bawahnya, yaitu pada ke dua kakinya itu, terdapat kelemahan, yaitu kuda-kuda ke dua kaki, dalam sikap berjongkok itu, tidak akan terlalu kuat. Maka Gorgo San akhirnya lebih banyak menjatuhkan serangannya ke bagian bawah lawannya.

Kipas dan tangannya selalu meluncur dengan pesat sekali ke bagian bawah dari lawannya. Tubuh Gorgo San juga bergerak-gerak lincah seperti bayangan.

Dalam keadaan berjongkok, tentu saja Auwyang Phu tidak bisa mengimbangi akan kegesitan lawannya, yang memutari tnbuhnya, dirinya seperti dikelilingi oleh belasan bayangan Gorgo San, karena terlalu cepatnya gerakan dari lawannya itu.

Dengan begitu pula, lama kelamaan, telah membuat Auwyang Phu terdesak jatuh di bawah angin.

“Hemmm, Gorgo San akan mengambil jiwa bangsatmu, pendek!” memaki Gorgo San dengan bernafsu sekali.

Memperoleh kenyataan dirinya mulai jatuh di bawah angin karena pihak lawan mengandalkan kegesitannya, segera juga Anwyang Phu merobah cara bertempurnya.

Ia tahu-tahu telah melompat ke tengah udara. Waktu meluncur turun, kepalanya berada di bawah, maka kepalanya itu yang tiba lebih dulu di tanah, sedangkan ke dua kakinya tergantung di tengah udara.

Malah tubuhnya itu segera berputar seperti gangsing. Dia telah menyerang dengan hebat dan gencar kepada Gorgo San.

Gorgo San kembali kaget. Ia menyaksikan perobahan pada cara bersilat dari lawannya memang jauh lebih hebat lagi.

Diapun tidak berayal dan segera mengeluarkan ilmu andalannya. Begitulah ke dua orang itu telah bertempur puluhan jurus.

Selama itu pohon dan batu telah terhajar remuk dan tumbang oleh pukulan-pukulan ke dua orang tersebut.

Sun Long dan Cie Kwang berdiri mematung di tempat mereka, muka mereka pucat.

Sekarang mereka baru menyadari, kemungkinan barang pusaka mereka tidak mungkin kembali, dan harapan buat merebut kembali tipis sekali. Kepandaian Gorgo San sangat tinggi sekali, demikian pula Auwyang Phu.

Siapa saja yang memperoleh kemenangan dalam pertempuran di antara Gorgo San dan Auwyang Phu, akibatnya tetap saja sama buat Cie Kwang dan Sun Long. Karena justeru ke dua orang yang tengah bertempur itu sama-sama menghendaki pusaka itu.

Karenanya, tampak Sun Long telah menoleh kepada Cie Kwang, katanya: “Kita harus berusaha mengetahui siapa mereka, karena kita bisa memberikan laporan kepada ketua, agar mereka yang melakukan pengejaran untuk merebut kembali barang pusaka itu……!”

Cie Kwang mengangguk.

“Jika tidak salah dengar, tadi orang yang pendek itu mengatakan dia bernama Auwyang Phu, dan ia pun mempergunakan ilmu pukulan yang seperti Ha-mo-kang, ilmu silat dari Auwyang Hong, yang sangat terkenal itu.

“Apakah ia masih ada hubungannya dengan Auwyang Hong? Bukankah Auwyang Hong telah lama mampus? Apakah dia memiliki murid atau keturunan?!”

Sun Long juga mengangguk sambil katanya: “Aku pun menduga dia memiliki hubungan dengan Auwyang Hong. Tapi siapa pemuda pelajar yang mengaku bernama Gorgo San? Tampaknya dia bukan bangsa Han……, dia seperti orang Mongolia yang berpakaian sebagai orang Han……!”

Begitulah Sun Long dan Cie Kwang menyaksikan jalannya pertempuran itu dengan sepasang mata terpentang lebar-lebar. Mereka kagum dan takjub bukan main melibat kelihayan ke dua orang itu, karena seumur hidup mereka belum pernah menyaksikan pertempuran sehebat itu.

Mereka berdua pun tidak berani berada terlalu dekat dengan gelanggang pertempuran, karena angin dari pukulan ke dua orang yang tengah bertempur itu menderu-deru dahsyat, menumbangkan pohon dan menghancurkan batu-batu, yang terdapat di sekitarnya.

Auwyang Phu semakin lama jadi semakin penasaran, sampai suatu kali waktu dia memiliki kesempatan, dia menyerang beruntun sampai tiga kali.

Waktu lawannya tengah menghindarkan diri dengan melompat dua tombak lebih, Auwyang Phu pun melompat mundur, dia membentak: “Berhenti! Siapa kau sebenarnya?!”

Gorgo San tertawa dingin, mukanya bengis sekali, dia bilang: “Hemmm, kau ingin mengetahui siapa nama tuan besarmu? Dengarkan baik-baik! Aku Gorgo San, murid tunggal dari Dalpa Tacin!”

Auwyang Phu kaget tidak terhingga, karena ia mengetahui siapa itu Dalpa Tacin, tokoh persilatan dari Mongolia.

Sedangkan Sun Long dan juga Cie Kwang tambah kaget. Mereka memang sering mendengar, balhwa Dalpa Tacin, merupakan orang Boan yang tangguh sekali mungkin jarang sekali di daratan Tiong-goan terdapat tokoh persilatan yang bisa menandingi akan kepandaian Dalpa Tacin, dan mungkin hanya beberapa tokoh sakti Tiong-goan saja bisa mengimbangi ilmunya.

Gorgo San sebagai murid tunggalnya saja telah bisa memiliki kepandaian yang begitu tinggi dan menakjubkan, terlebih lagi Dalpa Tacin, tentu jauh lebih hebat lagi.

Mengenai Dalpa Tacin, kita bisa menemuinya di dalam kisah “Biruang Salju”, di mana telah diceritakan tentang kehebatan Dalpa Tacin.

Gorgo San sesungguhnya tidak berdusta.

Ia merupakan murid tunggal Dalpa Tacin. Kepandaian gurunya sangat tangguh dan hebat, ditambah lagi diapun seorang pemuda yang cerdas, yang dapat menerima setiap pelajaran yang diwarisi gurunya dengan cepat dan baik.

Dengan usahanya sendiri, dia telah mengubah beberapa ilmu gurunya, yang dikombinasi dengan ilmu lainnya, maka dia bisa jauh lebih lihay dari sebelumnya. Terlebih lagi setelah Dalpa Tacin memberikan ilmu andalannya, yang membuat Gorgo San semakin gagah saja.

Cuma saja, usianya yang masih begitu muda telah membuat dia jadi congkak dan angkuh dengan memiliki kepandaian setinggi itu. Ia merasa bahwa dialah satu-satunya yang memiliki kepandaian tertinggi di daratan Tiong-goan.

Apa lagi memang Dalpa Tacin juga terlalu memanjakannya, maka Gorgo San merupakan murid yang selalu melakukan hal-hal yang tidak pantas, menganiaya orang, memperkosa, merayu gadis-gadis dan memperkosanya, lalu membunuhnya! Wajahnya tampan bukan main, hanya saja hatinya melebihi iblis, kejam dan tangannya telengas sekali.

Bahkan Gorgo San pernah berpikir untuk membunuh gurunya, Dalpa Tacin, karena ia menduga gurunya itu masih memiliki beberapa macam ilmu simpanan yang belum diberikan kepadanya. Tentu dengan dibunuh gurunya itu, ia bisa memperoleh catatan mengenai ilmu simpanan gurunya tersebut.

Hanya saja Gorgo San tidak berani melakukan niatnya itu. Ia masih jeri kalau-kalau usahanya itu gagal dan kelak ia akan dibunuh gurunya.

Dengan alasan untuk mencari pengalaman akhirnya Gorgo San telah meminta ijin dari gurunya buat berkelana. Dan ia berkelana justeru untuk mengumbar angkara murka.

Dalam waktu satu tahun saja, Gorgo San telah menggetarkan rimba persilatan. Memang selama itu tidak ada seorangpun yang sanggup mengendalikan dan menandingi kepandaiannya.

Lalu sampai dia mendengar perihal pusaka Kun-lun, maka dia segera berusaha merebutnya. Dan memang dia merebutnya dengan mudah, hal ini disebabkan ia memiliki kepandaian yang tinggi.

Padahal ke dua murid Kun-lun itu, Sun Long dan Cie Kwang, bukan sebangsa manusia lemah. Tapi karena kepandaian Gorgo San memang luar biasa, mereka tidak berhasil melindungi kotak kayu yang berisi pusaka Kun-lun itu.

Dikala itu Auwyang Phu telah memperdengarkan suara tertawa dingin, karena ia tidak mau memperlihatkan perasaan kaget kepada lawannya. Di dalam hatinya berpikir:

“Pantas ia memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Tentunya pusaka Kun-lun merupakan pusaka yang tidak ternilai harganya, sampai seorang seperti dia masih ingin merampasnya!”

Karena berpikir begitulah, niat buat merampas pusaka Kun-lun jadi semakin besar di hati Auwyang Phu, dan ia bilang dengan sikap yang bengis:

“Baiklah! Memandang muka terang gurumu, Dalpa Tacin, aku bersedia mengampuni jiwamu, asal engkau mau menyerahkan pusaka Kun-lun itu kepadaku!”

Gorgo San tertawa bergelak-gelak, bukan main murkanya dia, karena dengan berkata begitu, sama saja Auwyang Phu seperti tidak memandang sebelah mata padanya.

“Hemm, kepandaian apa yang kau miliki sehingga berani bertingkah di hadapanku? Terimalah ini!”

Sambil disusuli dengan bentakannya itu, tampak tangan Gorgo San telah menyambar lagi. Ia mengulurkan tangannya bukan sekedar diulurkan buat menyerang biasa, tapi telapak tangannya itu membawa hawa yang anyir dan amis sekali.

Auwyang Phu seketika tersadar, bahwa lawannya pasti mempergunakan racun. Ia segera menutup jalan darah dan juga pernapasannya agar tidak terhirup hawa udara yang beracun itu.

Barulah ia mengelakkan diri dari tangan Gorgo San. Ia pun membarengi lagi dengan pukulan Ha-mo-kangnya, dengan menekuk ke dua kakinya, dia berjongkok dan menghantam.

Benar saja. Gorgo San memang mempergunakan racun. Di tangannya itu tercekal sebuah tabung kecil, yang dibuat sedemikian rupa, diperlengkapi dengan alat rahasia dan per, sehingga jika ia hendak mempergunakan tabung racunnya itu, ia hanya memijit tombol kecil yang ada di ujung tabung, segera racun menyambar keluar.

Jika saja lawan Gorgo San terdiri dari orang yang berkepandaian biasa saja, niscaya orang itu akan segera rubuh keracunan.

Cuma saja, sekarang yang dihadapinya adalah Auwyang Phu, putera tunggal Auwyang Hong. Sedangkan dulunya Auwyang Hong sangat terkenal dengan julukannya sebagai See-tok, si Racun dari Barat. Dengan begitu, bisa dibayangkan bahwa Auwyang Hong merupakan dedengkot racun, dan ia bisa menjinakkan ular dan memiliki pasukan ular yang tidak kecil jumlahnya.

Keponakan Auwyang Hong, yaitu Auwyang Kongcu saja, sudah memiliki kepandaian yang tinggi, dan juga pandai mempergunakan berbagai racun. Auwyang Phu, walaupun tidak menerima bimbingan langsung dari ayahnya yang telah keburu mati itu, tapi ia memiliki kitab-kitab pusaka warisan Auwyang Hong. Dengan demikian segala macam ilmu milik ayahnya telah dipelajari.

“Hemmm, engkau hendak main-main dengan racun?!” mengejek Auwyang Phu dengan suara yang mengejek. Katanya lagi, “Baiklah, aku akan memperlihatkan kepadamu, bagaimana caranya yang terbaik mempergunakan racun!”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar