Anak rajawali Jilid 32
Ko Tie cuma berdiam diri saja
di tempatnya. Dia sama sekali tidak memperlihatkan gerakan apapun. Sikapnya
sangat tenang, seperti juga ia tidak memandang sebelah mata terhadap lawannya.
Kiang-lung Hweshio mengerang
satu kali lagi, mendadak sekali kayu pengetuk bok-hienya telah dipergunakan
menimpuk kepada Ko Tie. Timpukan yang dilakukannya itu menimbulkan kesiuran
angin yang sangat dahsyat, membuat Ko Tie tak berani memandang rendah terhadap
timpukan itu, dia telah mengelakkannya.
Waktu Ko Tie mengelak, kayu
pengetuk bok-hie itu seperti memiliki mata, tahu-tahu telah berbalik dan
menyambar kepada jalan darah Kie-bun di dekat pundak Ko Tie.
Ko Tie tertawa dingin.
Kepandaian yang dipergunakan oleh pendeta itu merupakan kepandaian yang memang
langka dan jarang sekali dimiliki tokoh-tokoh rimba persilatan. Karena jika
orang yang sin-kangnya masih rendah, niscaya tidak akan dapat mempergunakan
tenaganya itu dengan demikian baiknya, mengendalikan setiap timpukannya.
Karena itu kembali ia mengelak
lagi, sambil berkelit. Dia juga telah mengulurkan tangan kanannya, dia
mencengkeram dan mengambil kayu pengetuk bok-hie yang tengah menyambar itu.
Gagal! Cengkeraman Ko Tie
mengenai tempat kosong.
Seperti tadi dikatakan, bahwa
pengetuk kayu bok-hie tersebut benar-benar seperti memiliki mata, karena
tahu-tahu kayu pengetuk bok-hie tersebut telah melesat ke samping. Dengan
demikian membuat ceogkeraman Ko Tie mengenai tempat kosong.
Kayu pengetuk bok-hie tersebut
telah melesat ke samping dan menyambar terus kepada si pendeta, dan telah
diterima oleh pendeta itu dengan mudah. Malah dia mengeluarkan suara dengusan.
“Hemmm, ternyata engkau telah
mewarisi kepandaian yang tidak terlalu buruk dari gurumu. Pantas saja engkau
berani bersikap kurang ajar dan angkuh.....!”
Sambil berkata begitu, dia
melangkah maju. Ke dua tangannya tahu-tahu bergerak dengan cepat dan juga
teratur saling susul.
Namun tenaga serangannya itu
kuat sekali dan berbahaya, bisa menghancurkan jika mengenai sasarannya, karena
datangnya secara bertubi-tubi, maka tenaga serangan itu seperti tidak
berkeputusan.
Ko Tie tidak mau
membuang-buang waktu lagi. Dia bersilat dengan lincah sekali, tubuhnya
berkelebat ke sana ke mari dengan gesit.
Setiap kali dia berkelit,
tentu Ko Tie akan balas menghantam dengan pukulan Inti Es nya. Dia melakukan
semua itu dengan serentak, berkelit dan membarengi dengan menyerang. Dengan
demikian membuat pendeta itu menerima perlawanan yang tidak ringan.
Dalam waktu yang sangat
singkat, mereka telah bertempur sampai tigapuluh jurus lebih. Malah terlihat
betapapun juga si pendeta tidak berhasil mendesak dan membuat si pemuda
terdesak oleh setiap gempurannya. Bisa-bisa dirinya sendiri yang mulai
terdesak.
Karena belakangan ini, setelah
lewat tigapuluh jurus, tampak Ko Tie menyerang semakin gencar. Si pendeta cuma
bisa mengelakkan diri ke sana ke mari dengan gin-kang yang dimilikinya. Dia
sama sekali belum bisa membalas mendesak Ko Tie lagi.
“Hemm!” tiba-tiba si pendeta
telah mendengus, tahu-tahu dia merobah cara menyerangnya, karena sepasang
tangannya telah digerak-gerakkannya bertubi-tubi, seperti juga melindungi
sekujur tubuhnya.
Dalam keadaan seperti itu
sebetulnya Ko Tie hendak menerjang terus buat mendesak dengan
serangan-serangannya. Akan tetapi justeru ia tidak bisa.
Tenaga bergulung-gulung dari
ke dua tangan Kiang-lung Hweshio ternyata memang hebat sekali, seperti juga
mengurung tubuhnya dan berusaha melibat Ko Tie, sehingga pemuda itu tidak bisa
bergerak dengan leluasa.
Dikala itu terlihat, Ko Tie
berusaha mengamat-amati cara menyerang dari lawannya itu. Dia melihatnya, bahwa
secara teratur, si pendeta menghirup napas dalam-dalam.
Itulah kunci rahasianya,
karena setiap kali si pendeta menghirup hawa udara, maka tenaga serangannya itu
semakin kuat juga.
Karena itu, Ko Tie sengaja
membiarkan Kiang-lung Hweshio menyerangnya dengan beruntun. Dan setiap kali
sebelum si pendeta berhasil buat menghirup udara segar, ia merangsek dengan
mempergunakan tenaga Pukulan Inti Es, yang hebat luar biasa, di samping ia
mempergunakan delapan bagian dari tenaga dalamnya. Dengan demikian membuat
Kiang-lung Hweshio benar-benar jadi jatuh di bawah angin.
Kiang-lung Hweshio merasakan
dirinya seperti dikelilingi oleh uap yang dingin sekali, sehingga tubuhnya itu
seperti juga dibungkus oleh lapisan es yang membuat jalan darahnya tidak lancar
peredarannya lagi.
Dengan demikian, gerakannya
juga jadi terlambat dan tidak segesit tadi, karena itu pula, membuat Kiang-lung
Hweshio jadi gugup. Ia mengempos sin-kangnya, berusaha untuk membuat
pernapasannya berjalan lancar, dan juga terutama sekali menghangatkan tubuhnya,
agar dapat mengusir hawa dingin itu, dan memperlancar kembali peredaran
darahnya.
Ko Tie yang melihat Kiang-lung
Hweshio mulai terdesak di bawah angin tidak mau merobah cara menyerangnya.
Kiang-lung Hweshio semakin
lama jadi semakin terdesak. Malah kini ia main mundur dan hanya bisa melindungi
tubuhnya tanpa bisa membalas menyerang pula.
Di antara berkesiuran angin
serangan yang begitu hebat, Kiang-lung Hweshio menyadari dirinya sudah tidak
mungkin bisa melawan terus, maka dia telah membiarkan Ko Tie bergerak terus
dengan cepat untuk membuat pemuda itu letih sendirinya. Dia cuma menutup diri
dan mengadakan perlawanan guna membendung serangan itu saja.
Cara membela diri seperti itu
memang berhasil membuat Kiang-lung Hweshio tidak terdesak hebat seperti tadi.
Karena sekarang ini ia berhasil untuk menjaga dirinya dari semua serangan Ko
Tie.
Dan dengan ketatnya ia
melindungi tubuhnya mempergunakan sin-kang nya, berhasil untuk “memanaskan”
jalan peredaran darahnya, membuat darahnya tidak terasa membeku seperti tadi.
karena memang sekarang dia berhasil memanaskan kembali tubuhnya, sambil
memelihara tenaga dalamnya yang tidak mau dihambur-hamburkannya.
Kiang-lung Hweshio yakin bahwa
Ko Tie akhirnya akan kehabisan tenaga dan tentu akan dapat dirubuhkannya dengan
lebih mudah di saat dia tengah lelah.
Duapuluh jurus telah lewat,
disusul kemudian tigapuluh jurus lagi.
Tetap saja Ko Tie menyerangnya
dengan hebat, hal ini membuat Kiang-lung Hweshia jadi heran juga.
Biasanya, jika seorang
menyerang dengan bernafsu dan hebat seperti itu, tentu akan memakan banyak
sekali tenaga dan cepat meletihkan.
Tapi tidak demikian halnya
dengan Ko Tie, karena pemuda itu tetap saja dapat bertempur dengan bersemangat
dan juga kekuatan tenaga serangannya itu tidak pula berkurang. Dengan demikian
membuat Kiang-lung Hweshio jadi penasaran.
Telah beberapa puluh jurus
dilewatkan kembali olehnya. Akhirnya napas Kiang-lung Hweshio memburu keras,
keringat pun telah membanjiri tubuhnya, sampai suatu saat, kerena sudah tidak
kuat buat bertahan terus, ia melompat mundur.
Dengan muka yang merah padam
dia bilang: “Baiklah, sekarang pinceng mau mengampuni engkau, karena kau telah
berhasil menahan duaratus jurus serangan pinceng. Namun nanti pinceng akan
mencarimu lagi, buat menghajarmu!”
Setelah berkata begitu, dia
mengetuk bok-hienya, dan menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melompat dengan
ringan sekali ke tengah udara.
Begitu dia berpok-say di
tengah udara, maka dia hinggap di tembok pekarangan. Kemudian dia tertawa
dingin, lalu menjejak lagi kakinya, maka tubuhnya segera melesat keluar, lenyap
di dalam kegelapan malam.
Giok Hoa penasaran sekali,
mendahului Ko Tie menjejakkan kakinya. Tubuhnya segera melesat ke atas tembok.
Ko Tie juga telah menyusulnya:
“Kita kejar!”teriak Giok Hoa dengan suara yang nyaring sekali.
“Ya!” menyahuti Ko Tie, karena
diapun penasaran dan hendak mengetahui siapakah sebenarnya pendeta itu, yang
telah sengaja mencari urusan dengannya.
Karena gin-kang Ko Tie dan
Giok Hoa yang telah mahir, mereka bisa mengejarnya dengar cepat sekali. Tubuh
mereka melesat seperti juga terbang, dan mereka mengejar ke arah menghilangnya
Kiang-lung Hweshio.
Setelah melewati beberapa lie,
mereka melihat di kejauhan si pendeta yang tengah berlari dengan pesat.
“Itu dia!” berseru Giok Hoa
dengan suara nyaring, dan dia mengejar semakin cepat.
Demikian juga halnya dengan Ko
Tie yang mengempos semangatnya dan telah mengejarnya dengan pesat sekali, tubuhnya
seperti terbang di tengah udara.
Kiang-lung Hweshio semula
berpikir bahwa ia akan dapat meloloskan diri dari Ko Tie dan Giok Hoa, karena
ia melihat pertama kalinya muda-mudi itu tidak mengejarnya, dan ia hanya
berlari dengan tenaga yang tidak sepenuhnya.
Namun setelah menoleh ke
belakang dan melihat Ko Tie dan Giok Hoa mengejarnya, seketika juga ia
mengempos semangatnya dan berlari lebih cepat. Cuma saja sudah terlambat karena
Ko Tie dan Giok Hoa mengejarnya semakin dekat.
Karena yakin ke dua muda-mudi
itu tidak mau melepaskan dirinya, si pendeta tidak berlari lebih jauh. Dia
berdiri tegak dan menantikan tibanya Ko Tie dan Giok Hoa. Malah mulutnya
seketika mengeluarkan suara siulan, suara siulannya itu melengking nyaring.
Ko Tie dan Giok Hoa cepat
sekali tiba di dekat si pendeta, malah mereka bermaksud begitu hendak
menyerangnya, agar si pendeta kelak dapat dipaksanya buat mengaku siapa
sebenarnya dia dan mengapa Kiang-lung Hweshio bermaksud mencari gara-gara
dengan mereka.
Tapi, belum lagi Ko Tie dan
Giok Hoa mendekati pendeta itu, mendadak sekali dari samping kiri dan kanan
jalan itu, dari tempat yang gelap pekat, telah melesat belasan sosok tubuh
bayangan, yang berkelebat sangat gesit, dengan di tangan masing-masing mencekal
senjata tajam.
Bahkan senjata tajam itu telah
menyambar kepada Ko Tie dan Giok Hoa dengan serentak, karena belasan sosok
tubuh itu menyerang dengan serentak, di saat tubuh mereka masih melayang di
tengah udara!
Ko Tie dan Giok Hoa bukannya
sebangsa manusia lemah, maka biarpun demikian mendadak belasan sosok tubuh itu
melompat keluar, dan juga menyerang dengan senjata tajam, tapi ke duanya tidak
menjadi gentar atau gugup.
Cepat sekali tubuh mereka
melesat ke tengah udara, dan terjangan belasan orang itu mengenai tempat kosong.
Karena mereka melompat begitu, sama saja mereka menghampiri Kiang-lung Hwesio.
Si pendeta yang tengah berdiri
dengan tegak, mengawasi dengan tajam, melihat meluncurnya tubuh ke dua
muda-mudi itu, tertawa dingin. Dia menyambutnya dengan pukulan yang dahsyat.
Ko Tie dan Giok Hoa yang
tengah meluncur di tengah udara, tidak mau berayal. Mereka menyadari hebatnya
tenaga pukulan dari pendeta tersebut, karena itu, mereka telah menangkisnya
dengan mengerahkan tenaga dalam mereka. Jika Ko Tie malah menangkisnya dengan
mempergunakan juga ilmu Pukulan Inti Esnya.
Dengan begitu, bentrokan
tenaga dalam yang hebat itu, di mana si pendeta menghadapi tenaga gempuran dari
ke dua orang itu, benar-benar membuat dia terdesak sekali. Bahkan kuda-kuda ke
dua kakinya telah tergempur dan tubuhnya terhuyung sampai tiga langkah.
Ko Tie dan Giok Hoa juga
seperti terbendung meluncurnya tubuh mereka di udara, karena seketika itu juga
mereka telah terdorong, dan kemudian meluncur turun ke tanah.
Disaat itu baru saja kaki
mereka jatuh di tanah, justeru belum lagi mereka bisa berdiri tetap di tempat
masing-masing, tiba-tiba terlihat belasan orang yang tadi menyerang Ko Tie dan
Giok Hoa dan gagal mengenai tempat kosong, sekarang telah menerjang lagi dengan
senjata mereka.
Belasan senjata tajam itu
meluncur dengan cepat sekali kepada Ko Tie dan Giok Hoa. Malah setiap serangan
mereka, mengincar bagian yang mematikan.
Karena itu, Ko Tie dan Giok
Hoa tidak mau membuang-buang waktu lagi. Mereka menghadapinya dengan pedang
masing-masing, dengan serentak mereka berdua telah mencabut pedang
masing-masing, yang diputar dan dipergunakan buat menangkis serangan belasan
dari orang itu.
Seketika terdengar suara
jeritan beberapa orang di antara mereka yang terluka oleh pedang Ko Tie dan
Giok Hoa, malah juga terdengarnya benturan senjata tajam mereta. Dengan
demikian benar-benar membuat belasan orang itu tidak berani menerjang terlalu
dekat.
Ko Tie dan Giok Hoa berdiri
gagah sekali di tempat mereka. Mengawasi dengan sorot mata yang tajam, di mana
tangan mereka mencekal senjata mereka erat-erat.
Tiba-tiba Kiang-lung Hweshio
telah berseru dengan suara nyaring: “Bunuh mereka……!”
Sedangkan belasan orang yang
mengepung Ko Tie dan Giok Hoa tidak lain dari belasan orang pendeta. Dikala
itu, mereka memang telah mengepung Ko Tie dan Giok Hoa di tengah-tengah dan
siap menerjang.
Cuma saja. Disebabkan tadi
mereka telah menyaksikan betapa lihaynya kepandaian muda-mudi ini membuat
mereka tidak berani sembarangan maju menerjang.
Sekarang mendengar perintah dari
Kiang-lung Hweshio membuat mereka jadi terpaksa menerjang juga. Mereka tidak
berani membantah perintah itu, walaupun hati mereka agak jeri, tokh mereka
segera mengeluarkan suara bentakan yang mengguntur dan telah menerjang dengan
senjata masing-masing.
Sedangkan Ko Tie dan Giok Hoa
telah menggerakkan pedang mereka, menghalau senjata lawan. Dan mereka berhasil
membendung serbuan dari belasan orang lawan ini, yang semuanya memiliki
kepandaian cukup tinggi.
Rupanya belasan pendeta ini
anak buah Kiang-lung Hweshio, karena mereka semuanya berpakaian sebagai
pendeta, dan juga mereka memang patuh terhadap perintah Kiang-lung Hweshio.
Dengan demikian, membuat mereka juga tampaknya ingin mempertaruhkan diri, asal
mereka bisa menangkap atau membunuh Ko Tie dan Giok Hoa.
Dikala itu, Ko Tie dan Giok
Hoa beruntun telah berhasil merubuhkan tiga orang lawannya, memang belasan
orang pendeta itu bukanlah lawan mereka yang setimpal, karena dengan mudah Ko
Tie dan Giok Hoa berhasil untuk mendesak mereka, sehingga belasan orang pendeta
itu tidak bisa mendesak maju terlalu dekat.
Tubuh Kiang-lung Hweshio
tampak menggigil menahan amarah, ia telah berseru dengan suara yang bengis
sekali:
“Serang mereka, bunuh! Ayo,
jangan membuang-buang waktu lagi……!”
Sambil memberikan perintahnya
itu tampak dia telah melangkah maju satu langkah, tampaknya memang dia tidak
sabaran dan bermaksud hendak melangkah maju buat bantu menyerang.
Tapi kenyataannya Kiang-lung
Hweshio tidak maju menyerang, karena dia telah berdiri tegak dengan selalu
menganjurkan belasan orang anak buahnya buat maju lebih berani untuk membunuh
Ko Tie dan Giok Hoa. Anak buahnya yang diperintahkan berulang kali menerjang
maju, telah jatuh lagi dua orang korban di antara mereka, karena seketika itu
juga terdengar suara jeritan, jerit kematian.
Tampak Kiang-lung Hweshio
semakin tidak sabar. Cuma iapun jeri dan gentar buat maju menyerang kepada Ko
Tie dan Giok Hoa.
Ia telah menyaksikan betapa
muda-mudi ini memang memiliki kepandaian yang tidak rendah, karena itu, ia tahu,
jika ia maju, pun memang tidak banyak yang bisa dilakukannya. Maka ia cuma
memberikan perintah kepada anak buahnya.
Di waktu itu terlihat betapa
semua anak buahnya semakin ragu-ragu, mereka gentar buat menerjang terus kepada
Ko Tie dan Giok Hoa.
Sedangkan Kiang-lung Hweshio
mengerutkan sepasang alisnya. Dia berpikir:
“Hemmm, kepandaian mereka
memang sangat tinggi sekali, terutama pemuda itu. Tidak kecewa dia menjadi
muridnya Swat Tocu, karena memang dia memiliki kepandaian yang luar biasa.
Jarang seorang pemuda dalam usia seperti dia bisa memiliki kepandaian begitu
tinggi……!”
Sambil berpikir begitu,
Kiang-lung Hweshio juga bermaksud hendak mengundurkan diri. Dia ingin
meninggalkan tempat itu secara diam-diam.
Tapi belum lagi pendeta
tersebut memutar tubuhnya meninggalkan tempat itu, mendadak berkelebat dari
atas sebatang pohon sesosok tubuh manusia.
Gerakan sosok tubuh itu gesit
sekali, karena tahu-tahu ia telah berada di samping Kiang-lung Hwesio.
Malah disusul dengan
tertawanya. Ia telah bilang dengan suara yang cukup nyaring:
“Apa yang kukatakan, Taysu,
bukankah memang benar bahwa muda-mudi itu memiliki kepandaian yang tinggi dan
kau tidak mungkin bisa membekuk mereka ......?!”
Kiang-lung Hweshio menoleh,
maka dia melihatnya. Itulah seorang pemuda, yang berusia antara tigapuluh
tahun, di mana tampak matanya yang bengis.
Dia tidak lain dari Gorgo San,
pemuda yang jadi muridnya Dalpa Tacin, yang telah menceritakan kepadanya bahwa
Ko Tie dan Giok Hoa merupakan pasangan muda-mudi yang memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Dan semula pendeta itu beranggapan si pemuda memang merasa
gentar dan jeri pada Ko Tie dan Giok Hoa, sehingga membesar-besarkan dalam
ceritanya itu mengagulkan kepandaian ke dua orang tersebut.
Namun setelah ia sendiri berusaha
untuk membekuk ke dua orang itu, tetap saja ia gagal dan juga menderita malu,
karena sama sekali dia tidak berdaya buat merubuhkan Ko Tie dan Giok Hoa.
Menghadapi Ko Tie seorang diri saja ia masih tidak sanggup mendesak pemuda itu,
malah dia yang telah terdesak.
Dengan demikian membuktikan
bahwa kepandaian Ko Tie berada di atas kepandaiannya dan terlebih lagi jika
memang dia dikeroyok oleh pasangan muda-mudi itu, tentu tidak banyak yang bisa
dilakukannya.
Dikala itu terlihat, banyak
anak buah dari Kiang-lung Hweshio yang terluka, dan tampak Gorgo San telah
tertawa tergelak-gelak.
Memang sesungguhnya, ia telah
meminta kepada Kiang-lung Hweshio, agar pendeta ini bersama murid-muridnya
membantu dia.
Pertemuan antara Gorgo San
dengan Kiang-lung Hweshio terjadinya sangat kebetulan sekali, karena memang
pemuda itu, yang bersahabat dengan Kiang-lung Hweshio, tidak menyangka akan
bertemu dengannya di situ. Segera Gorgo San menceritakan, bahwa ia baru saja
menghadapi pasangan muda-mudi yang memiliki kepandaian sangat tinggi sekali.
Karenanya, Kiang-lung Hweshio
tidak mempercayainya dan berkata bahwa ia akan dapat membekuk ke dua muda-mudi
itu dengan mudah, asal saja Gorgo San memberitahukan kepadanya, di mana
beradanya muda-mudi itu.
Segera juga Gorgo San memberitahukan
di mana tempat Ko Tie dan Giok Hoa menginap. Dan si pendeta telah pergi ke
sana, untuk mencari gara-gara dengan ke dua muda-mudi itu.
Tapi dalam pertempuran yang
terjadi tadi malah si pendeta yang terdesak, dengan demikian membuatnya jadi
mengakui, kepandaian Ko Tie dan Giok Hoa sangat tinggi, karena dia yang semula
beranggapan dirinya memiliki kepandaian yang tinggi dan jarang sekali memiliki
tandingan, ternyata telah dapat didesak oleh Ko Tie dan tidak berdaya untuk
balas mendesak Ko Tie, apa lagi untuk mendesak sekali gus dengan si gadis.
Karena itu, ia merasa malu
ditegur seperti oleh Gorgo San. Namun kedatangan dan munculnya Gorgo San
seperti dalam keadaan itu, malah membuat hatinya jadi girang sekali. Ia segera
berpikir, dengan maju berdua dengan Gorgo San, tentu dengan mudah mereka dapat
merubuhkan dan membekuk Ko Tie dan Giok Hoa.
Gorgo San berpikir yang sama,
ia yakin, jika ia maju berdua dengan si pendeta, tentu dengan mudah dia bisa
menghadapi Ko Tie dan Giok Hoa.
Terlebih lagi. dia memang
telah tergila-gila melihat kecantikan dan kelembutan wajah Giok Hoa, ia
bermaksud dengan cara bagaimanapun juga buat membekuk gadis itu. Karenanya, dia
memang telah merencanakannya untuk memanfaatkan tenaga Kiang-lung Hweshio dalam
merubuhkan Ko Tie dan Giok Hoa.
“Kita akan maju berdua
membekuk mereka……!” membisiki Gorgo San kepada Kiang-lung Hweshio dengan suara
perlahan. “Mustahil mereka bisa menghadapi kita berdua!?”
Kiang-lung Hweshio mengangguk.
“Ya..... aku yakin, tentu
mereka dengan mudah dapat kita bekuk! Walaupun bagaimana hebat kepandaian
mereka, tapi usia mereka masih muda, dan tentu saja mereka tidak memiliki
lweekang sekuat kita……!”
Sambil berkata begitu, segera
juga terlihat Gorgo San telah mengibaskan tangannya. Dia memberikan isyarat
kepada Kiang-lung Hweshio, agar mereka segera maju ke depan.
Kiang-lung Hweshio memangguk,
ia melompat dan dengan ringan dia telah berhasil berada di dalam kalangan.
Di waktu itu, Gorgo San pun
tidak mau membuang-buang waktu lagi, karena dia pun melompat dengan tubuh yang
berjumpalitan sangat cepat sekali.
Sambil bergerak seperti itu,
tangan Gorgo San telah bergerak menghantam Ko Tie.
Dengan segera Gorgo San dapat
mendesak Ko Tie, karena Ko Tie baru saja menghadapi belasan lawan. Sebelumnya
memang dia telah bertempur dengan Kiang-lung Hweshio, sehingga tenaganya belum
lagi pulih keseluruhannya, dan ia sangat lelah.
Sekarang Gorgo San telah
menyerangnya begitu hebat. Sedangkan Gorgo San masih memiliki tenaga dan
semangat yang penuh, tidak terlalu mengherankan, dalam tiga jurus, Ko Tie dapat
didesaknya.
Memperoleh kenyataan seperti
ini, telah membuat Gorgo San jadi girang, sampai dia tambah bersemangat. Karena
semangatnya terbangun serangannya pun jadi semakin hebat juga, ke dua tangannya
bergerak-gerak dengan dahsyat.
Di waktu itulah terlihat Gorgo
San dengan beruntun telah menyerang sampai empat jurus lagi. Serangan yang
pertama belum lagi selesai, dia telah menyusuli pula dengan serangan
berikutnya.
Dengan demikian benar-benar
membuat Ko Tie terdesak. Pedangnya juga tidak dapat dipergunakan dengan
leluasa, hal ini disebabkan karena memang Ko Tie didesak dari jarak yang dekat
oleh lawannya.
Jika lawan terpisah cukup
jauh, tentu dengan mudah dia bisa mengeluarkan seluruh ilmu silat pedangnya,
kiam-hoat yang lihay. Hanya saja sayang sekali, justeru di saat itu Gorgo San
telah merangseknya dari jarak yang dekat, sehingga membuat dia tidak leluasa
untuk menyerang dengan pedangnya.
Di antara berkesiuran angin
serangan dari Gorgo San, Ko Tie kemudian menyimpan pedangnya, karena dia
berpikir, menghadapi Gorgo San memang lebih leluasa dengan mempergunakan tangan
kosong belaka.
Gorgo San bermata jeli. Dia
tidak mau membuang-buang kesempatan yang ada.
Waktu melihat Ko Tie tengah
berusaha memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya, dengan demikian pemuda itu
merandek sejenak. Segera terlihat Gorgo San membarengi dengan menyerang dahsyat
sekali. Angin pukulannya menderu-deru.
Sedangkan Ko Tie yang memang
memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya, waktu itu tidak keburu buat
mengerahkan tenaga dalamnya pada telapak tangannya buat menangkis serangan itu.
Dan jalan satu-satunya buat dia hanyalah menjatuhkan diri bergulingan di atas
tanah, dia bergulingan sambil memasukkan pedangnya. Dia berhasil menghindarkan
diri dari serangan dan juga selesai memasukkan pedangnya itu ke dalam
sarungnya.
Dengan gerakan Lee-ie-ta-teng,
atau ikan Gabus meletik, tampak ia melompat berdiri, dan ke dua tangannya
dengan serentak dilonjorkannya. Dia telah menghantam dengan mempergunakan ilmu
Pukulan Inti Es nya.
Hebat sekali tenaga serangan
itu, yang seperti datangnya angin topan menyambar ke diri Gorgo San sehingga
Gorgo San yang tidak wenyangka akan diserang seperti itu, sudah tidak keburu
buat mengelakkan lagi serangan Ko Tie.
Sebagai seorang yang memiliki
kepandaian tinggi dan lihay, dalam keadaan terancam seperti itu tentu saja
Gorgo San tidak mau berdiam diri. Segera ia berusaha mengelakkan diri
mati-matian ke samping. Tidak urung, dadanya kena dihantam juga oleh pukulan
yang kuat sampai tubuhnya terpental beberapa tombak jauhnya.
Dalam dunia persilatan, jika
seseorang terluka oleh senjata tajam, hal itu mungkin masih merupakan luka yang
tidak membahayakan jiwa. Tapi jika memang seseorang terkena serangan telapak
tangan yang mengandung kekuatan sin-kang, tentu jiwanya terancam maut yang
tidak kecil, atau jika jiwanya bisa diselamatkan, ia pun terancam cacat seumur
hidup.
Apalagi, memang Ko Tie
menyerangnya dengan mempergunakan sebagian besar tenaga sin-kangnya dan juga
ilmu Pukulan Inti Es nya, sehingga Gorgo San buat sementara waktu tidak bisa
melakukan sesuatu, terduduk di tanah dengan muka meringis menahan sakit. Ia
baru saja mengempos semangat murni dan tenaga dalamnya, untuk melancarkan
pernapasannya.
Gorgo San tidak sampai mati,
tapi ia terluka di dalam yang parah. Kalau memang ia tidak segera mengobatinya
dengan tepat dan sementara waktu menyimpan tenaga, tidak mengerahkan tenaga
untuk melakukan sesuatu yang berat, ia bisa selamat dan tidak sampai perlu ilmu
silatnya lenyap.
Sekarang, jika ia penasaran
dan menuruti adat, memang ia masih bisa menyerang Ko Tie, tapi tentu saja, hal
ini berarti ia mempergunakan tenaga, malah kemungkinan ia mempergunakan tenaga
berlebihan, yang akan membuat ia terluka di dalam yang lebih parah dan kelak
sulit menyembuhkan lukanya, juga akan membuat ia terbinasa oleh lukanya itu.
Karena itu, Gorgo San setelah
berhasil merangkak berdiri, akhirnya dia menyingkir ke tepi, dengan muka yang
pucat pias.
Kiang-lung Hweshio yang
menyaksikan apa yang telah dialami oleh Gorgo San jadi tertegun, karena biarpun
ia memiliki kepandaian yang tinggi, tidak urung ia menggidik juga. Sebab ia
merasa jeri dan gentar menghadapi Ko Tie yang disaksikannya memang memiliki
kepandaian luar biasa.
Tengah Kiang-lung Hweshio tertegun
seperti itu, justeru Ko Tie telah mendengus: “Hemmm, kalian manusia-manusia
busuk dan hina, ternyata hanya pandai buat mengeroyok orang dan bertindak
sewenang-wenang…….!”
“Baiklah, sekarang kami runtuh
di tanganmu, tapi nantikanlah pembalasan kami kelak! Aku Gorgo San tidak akan
menyudahi urusan ini sampai di sini saja, walaupun langit runtuh, dan kalian
melarikan diri ke ujung langit, tetap saja aku akan mencari kalian buat
memperhitungkan semua yang telah terjadi hari ini……!”
Sambil berkata begitu, tampak
Gorgo San telah melirik kepada Giok Hoa. Walaupun gadis itu sangat cantik,
namun Gorgo San menyadari, tidak mungkin ia memiliki gadis itu, karenanya ia
telah bermaksud untuk pergi meninggalkan tempat itu. Setelah melirik bengis
sekali lagi kepada Ko Tie, dengan muka yang masih pucat pasi, tampak ia telah
memutar tubuhnya dan berlalu.
Kiang-lung Hwehio menyaksikan
Gorgo San yang memiliki kepandaian tidak berada di bawahnya telah dapat
dirubuhkan oleh Ko Tie dan juga sudah pergi meninggalkan tempat itu. Karena dia
telah diruntuhkan dan dilukai di dalam yang cukup parah, bermaksud hendak
pergi, maka iapun segera mengeloyor mengajak anak buahnya buat berlalu.
Ko Tie dan Giok Hoa kali ini
sudah tidak mengejar lebih jauh, karena mereka telah mengetahui bahwa pendeta
itu adalah sahabat Gorgo San, maka dari itu mereka dapat menduganya, bahwa
Gorgo San tentu yang telah menghasut pendeta itu buat memusuhi mereka.
Dan mereka hanya menganggap
bahwa ke dua orang itu, berikut anak buahnya, merupakan manusia-manusia rendah
hina dina. Dan mereka tidak mau mendesak lebih jauh, karena Gorgo San tengah
terluka berat, dan jika mereka mendesak terus, itulah bukan tindakan yang
terpuji, di mana mereka mendesak lawan yang tengah tidak berdaya.
Setelah melihat Gorgo San dan
Kiang-lung Hweshio pergi, maka Ko Tie menoleh kepada Giok Hoa, diajaknya si
gadis untuk berlalu juga. Di waktu itu, Giok Hoa menghela napas dalam-dalam.
“Mereka merupakan
manusia-manusia lihay dan berbahaya sekali, karena hati mereka kejam dan tangan
mereka telengas. Entah sudah berapa banyak kejahatan yang mereka lakukan?”
“Ya, sesungguhnya
manusia-manusia seperti merekalah yang berbahaya, karena mereka tentu akan
malang melintang di dalam Kang-ouw dengan sewenang-wenang. Dan memang jarang
sekali orang yang bisa mengendalikan mereka!
“Beruntung mereka telah kita
hajar sekali ini. Dengan demikian, tentu diwaktu lain, mereka akan lebih
berpikir jika hendak melakukan kejahatan.”
Tapi Giok Hoa menggeleng tidak
setuju dengan apa yang diucapkan oleh Ko Tie, dia bilang:
“Sesungguhnya, manusia-manusia
seperti mereka tidak mungkin akan sadar. Mereka tentu akan berusaha untuk
berlatih diri, agar mereka bisa memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi. Di
waktu itu mereka tentu akan melakukan kejahatan yang lebih besar lagi.....
“Karenanya, jika mereka tidak
ditumpas, tetap saja mereka merupakan manusia-manusia yang berbahaya dan
mengancam keselamatan dunia persilatan……!” Setelah berkata begitu, tampak Giok
Hoa menghela napas beberapa kali lagi.
Ko Tie mengajak si gadis
kembali ke rumah penginapan. Malam itu mereka tidur nyenyak sekali. Dan besok
paginya, mereka berangkat meninggalkan tempat itu.
Sama sekali mereka berdua
tidak menyangkanya, justeru dengan bentroknya mereka dengan Gorgo San dan Kiang-lung
Hweshio, mereka telah memancing kerusuhan yang cukup besar dan kesulitan yang
tidak kecil. Karena setiap saat mereka selalu terancam dan akan dicari oleh
kawan-kawan Gorgo San dan kalangan Hek-to (jalan hitam), yang umumnya memiliki
kepandaian tinggi!
Sedangkan Ko Tie dan Giok Hoa
telah melanjutkan perjalanan mereka, dari kota yang satu ke kota yang lainnga,
dimana mereka juga telah beberapa kali berusaha menolongi orang-orang yang
tengah dalam kesulitan. Karena memang mereka memperoleh kenyataan, ke mana saja
mereka pergi, maka tampaklah banyak peristiwa yang tidak adil, pihak yang lemah
ditindas oleh si kuat tapi jahat.
Karenanya, banyak sekali yang
dapat dilakukan oleh Ko Tie dan Giok Hoa, mereka selalu melakukan perbuatan
amal kebaikan. Nama mereka pun semakin terkenal di dalam rimba persilatan.
Apalagi dengan ilmu silat
mereka yang lihay dan tangguh sekali. Sebagai jago-jago remaja yang memiliki
kepandaian yang begitu hebat.
Ko Tie dan Giok Hoa melakukan
sesuatu dan perbuatan baik tanpa mengharapkan imbalan dari orang yang mereka
tolong, karena jika mereka menyaksikan ada seseorang yang tengah dalam
kesulitan, tentu mereka turun tangan dan menolonginya. Banyak penjahat tangguh
yang rubuh di tangan mereka.
Disamping itu pula, memang
tampaknya Ko Tie dan Giok Hoa kian lama turun tangan tidak tanggung-tanggung.
Mereka sudah tidak pernah memberikan belas kasihan lagi kepada
penjahat-penjahat yang diketahui pasti oleh mereka melakukan kejahatan, tentu
jika tidak dibikin bercacad dan memusnahkan seluruh kepandaian ilmu silatnya,
maka mereka akan dibinasakan!
Karena itu, untuk semua sepak
terjang Ko Tie dan Giok Hoa, telah menggemparkan rimba persilatan. Banyak
jago-jago dari Pek-to, yaitu jalan putih, di dalam Kang-ouw, yang merasa kagum
atas sepak terjang pasangan remaja itu.
Tapi justeru para jago dari
jalan Hek-to semuanya menaruh sikap antipati dan sakit hati kepada Giok Hoa dan
Ko Tie. Karena mereka beranggapan, Ko Tie dan Giok Hoa merupakan musuh-musuh
mereka yang berbahaya sekali.
Seperti diketahui, dengan
banyaknya Ko Tie dan Giok Hoa menolongi orang-orang yang tengah dalam kesulitan
dan tertindas, dan para penjahatnya mereka beri hajaran dengan keras. Ada yang
terbinasa, ada pula yang telah dimusnahkan seluruh kepandaiannya, maka membuat
banyak penjahat lain, yang saudara, kawan atau juga sanak famili mereka, yang
kebetulan telah dirubuhkan oleh Ko Tie dan Giok Hoa, jadi dendam dan mencari Ko
Tie dan Giok Hoa dengan maksud membalas dendam.
Dan memang Ko Tie bersama Giok
Hoa, benar-benar setiap detik harus berlaku waspada. Tidak mungkin mereka dapat
berlaku lengah, sebab mereka setiap detik terancam jiwanya oleh intaian maut…….
◄Y►
Sore itu tampak Ko Tie dan
Giok Hoa memasuki kota Pan-lu-kwan, sebuah kota yang tidak begitu besar di daerah
Utara. Tetapi penduduk kota tersebut, yang umumnya lebih banyak berdagang,
tidak terlalu padat dan tidak terlalu ramai, karena memang kota yang kecil
itupun terletak pada jalan lintas yang mati, di mana jarang sekali ada orang
asing yang melintas memakai jalur jalan tersebut.
Kota inipun hanya terdapat dua
buah rumah penginapan, yang tampak kurang terurus dengan baik. Banyak tempat
dan bagian yang kotor dan belum diperbaiki. Sewa kamar di rumah pemginapan
inipun tidak terlalu mahal.
Waktu Ko Tie dan Giok Hoa
memasuki kota tersebut, banyak penduduk kota itu yang menawarkan bermacam-macam
barang dagangan mereka dengan sikap yang sangat manis. Dan Ko Tie bersama Giok
Hoa telah membeli beberapa macam barang yang mereka butuhkan, seperti mantel
dan juga beberapa barang lainnya. Barulah mereka menuju ke rumah penginapan.
Di rumah penginapan itu,
mereka dilayani oleh seorang pelayan yang sudah berusia lanjut. Mukanya kuning
dan pucat, bicaranya tidak lancar, namun sikapnya sangat ramah dan sopan
sekali, dengan menghormat dia melayani ke dua tamunya ini.
Ia menyediakan teh hangat buat
ke dua tamu itu selama pelayan lain mempersiapkan sebuah kamar buat mereka.
Setelah selesai mereka memberitahukan Ko Tie dan Giok Hoa, bahwa kamar mereka
telah disiapkan.
Ko Tie dap Giok Hoa masuk ke
dalam kamar itu. Sebuah kamar yang tidak begitu besar, dan juga perabotan yang
berada di dalam kamar itu merupakan barang-barang yang tidak terlalu bagus,
merupakan barang-barang tua.
Mungkin karena sepinya daerah
tersebut, penginapan seperti jarang sekali mereka menerima tamu. Dengan begitu
juga, telah membuat kurangnya biaya buat pemugaran dari rumah penginapan itu,
yang dari tahun ke tahun keadaannya semakin buruk dengan kerusakan-kerusakan
yang terdapat di beberapa bagian.
Namun Ko Tie dan Giok Hoa
memang sudah terlalu letih, mereka segera merebahkan tubuh di pembaringan
masing-masing. Mereka bermaksud beristirahat. Perjalanan sehari suntuk memang
melelahkan sekali.
Tiba-tiba Giok Hoa menoleh
kepada Ko Tie, ia berkata dengan suara yang tidak begitu keras.
“Engkoh Tie.....!” panggilnya
kemudian.
“Apakah engkau tidak melihat
sesuatu yang aneh waktu kita memasuki rumah penginapan ini?”tanya Giok Hoa.
Ko Tie memperlihatkan perasaan
heran. “Sesuatu yang mencurigakan?” dia balik bertanya, kemudian menggelengkan
kepalanya katanya lebih jauh:
“Kukira tidak ada sesuatu yang
mencurigakan, karena memang inilah kota kecil, rumah penginapan inipun boleh
disebut sebuah rumah penginapan yang cukup baik, karena tentu saja di kota sepi
ini sebuah rumah penginapan tidak dapat hidup dengan baik……!”
“Bukan begitu maksudku!” kata
Giok Hoa segera memotong perkataan Ko Tie.
“Lalu, apa yang kau maksudkan
dengan mencurigakan itu?!” tanya Ko Tie.
“Mata dari pelayan itu. Mereka
semuanya memandang kita dengan sorot mata yang mencurigakan!” menjelaskan Giok
Hoa.
Ko Tie tersenyum.
“Adik Hoa, tampaknya engkau
memang terlalu bercuriga! Mereka memperlakukan kita dengan hormat. Mereka
merupakan manusia-manusia lemah. Tubuh mereka saja begitu kurus seperti penyakitan
dan kurang makan. Jika memang mereka bermaksud melakukan sesuatu terhadap kita
maka apa yang bisa mereka lakukan?!”
Giok Hoa menghela napas.
“Jika demikian, engkau tidak
melihat apa yang kulihat tadi, bahwa mereka semuanya mencurigakan sekali!”
bilang Giok Hoa. “Memang tampaknya mereka itu sebagai manusia-manusia yang
lemah dan berpenyakitan. Tapi sinar mata mereka cukup tajam, ternyata mereka
adalah orang-orang yang mengerti ilmu silat dan memiliki tenapa
lweekang......!”
Ko Tie tidak segera menyahuti,
dia berdiam diri beberapa saat, sampai akhirnya ia mengangguk.
“Ya, ya, aku baru ingat.....!”
kata Ko Tie kemudian, dengan suara tidak begitu keras mirip seperti dia tengah
menggumam seorang diri.
“Memang apa yang kau katakan
itu tidak salah! Waktu pelayan tua itu menyediakan teh buat kita, sempat aku
melihat ia melirik kepada kau dengan sinar mata yang tajam.
“Semula aku tidak begitu
memperhatikan hal itu yang tidak menjadi pikiranku. Karena kuanggap biasa saja
setiap lelaki akan memandangmu seperti itu, karena ia merasa kagum dengan
kecantikan yang engkau memiliki! Tapi sekarang justeru urusannya jadi
lain.......!”
Giok Hoa tampak girang
mendengar Ko Tie tidak membantahnya lagi. Segera dia melompat duduk di atas
pembaringannya, diapun bertanya. “Menjadi lain bagaimana?”
“Aku baru teringat bahwa sinar
mata seperti itu bukanlah sinar mata dari seseorang yang tengah mengagumi
kecantikan seorang gadis, tapi justeru sinar mata itu memang memperlihatkan
pelayan tua itu mahir lweekangnya……!”
Dan berkata sampai di situ,
tampak Ko Tie berdiam diri sejenak. Dia menghela napas beberapa kali, barulah
dia meneruskan lagi kata-katanya:
“Jika melihat keadaannya
demikian, jelas kita tidak lama lagi akan menghadapi sesuatu…… kita harus
waspada……!”
“Nah, justeru yang tengah
kupikirkan, memang kita bisa berwaspada jika ada orang yang menyerang kita
secara menggelap. Tapi bagaimana jika pelayan rumah penginapan itu meracuni
kita?
“Apa yang hendak kita lakukan
jika kita tidak minum dan tidak makan apa yang disajikan oleh rumah penginapan
ini! Tentu kita akan kelaparan?”
Sambil berkata begitu, Giok
Hoa mengawasi kekasihnya dengan teliti. Tampaknya dia ingin melihat reaksi dari
kekasihnya tersebut, sampai akhirnya Giok Hoa bertanya:
“Lalu bagaimana menurut pikiranmu?”
“Untuk ini kita perlu waspada,
tapi kita tidak perlu kuatir, karena kita akan dapat menghadapi mereka.
Walaupun tampaknya mereka memiliki ilmu yang tidak rendah, tapi
setinggi-tingginya kepandaian mereka, tentu dapat kita hadapi dengan baik……!”
Setelah berkata begitu, tampak
dia telah merebahkan tubuhnya lagi di pembaringannya.
“Engkoh Tie!” panggil Giok Hoa
yang jadi tidak senang karena Ko Tie tampaknya tidak tertarik buat membicarakan
hal itu lebih jauh lagi.
“Apalagi, adik Hoa!?”tanya Ko
Tie sambil bangun pula.
“Ya, kau tampaknya memang
meremehkan mereka! Bukan ilmu silat mereka yang perlu kita takuti, tapi justeru
jika mereka meracuni kita dengan mempergunakan dan mencampuri racun dalam
makanan!”
“Itu hanya kekuatiran yang
terlalu berlebih-lebihan……!” menyahuti Ko Tie.
“Tapi engkoh Tie.....!”
“Sudahlah adik Hoa, tidurlah.
Bukankah kita letih sekali setelah melakukan perjalanan sehari suntuk?” kata Ko
Tie kemudian,
Giok Hoa mengangguk perlahan,
dengan kesal dia merebahkan tubuhnya lagi.
Tapi matanya tidak mau
terpejamkan, dia berpikir keras. Apa yang dilihatnya. Memang mendatangkan
kecurigaan buatnya, karena dia melihat gerak gerik para pelayan di rumah
penginapan ini yang sungguh mencurigakan.
Juga sinar mata mereka yang
tajam, membuktikan mereka memiliki kepandaian yang cukup. Karenanya, hati si
gadis jadi tidak tenang.
Terlebih lagi dia
membayangkan, bahwa dilihat dari wajahnya, walaupun mereka bersikap sangat
menghormat, tentunya para pelayan itu bukanlah sebangsa manusia-manusia baik.
Namun si gadis cantik itu yang tidak bisa memaksakan keyakinannya pada Ko Tie
terhadap kecurigaannya pada para pelayan itu. Ia hanya dianggap oleh Ko Tie
terlalu bercuriga saja.
Giok Hoa memejamkan matanya,
tapi mendadak sekali, terdengar suara ketukan pada pintu kamar mereka.
“Siapa!” bentak Giok Hoa yang
jadi terbangun duduk dengan perasaan terkejut.
“Kongcu dan Kouw-nio,
Siauw-jin (hamba) membawakan minuman buat Kongcu dan Kouw-nio……!” menyahuti
orang di luar, ternyata seorang pelayan.
Giok Hoa turun dari
pembaringannya, dia membuka pintu. Pelayan tua yang mukanya kuning, yang
pertama kali melayani mereka, telah masuk dengan membawa seteko air teh hangat
dengan dua cawan.
Diletakkannya teko dan cawan
itu di atas meja yang terdapat di dalam kamar, kemudian pelayan itu menoleh
kepada Ko Tie, katanya: “Kongcu, apakah Kongcu tidak mau mandi?!”
Ko Tie heran, dia mengawasi
pelayan itu, kemudian tanyanya: “Apakah di sini terdapat kamar mandi yang
khusus, sehingga seorang tamu yang datang ditanyakan apakah hendak mandi?!”
Mendengar perkataan Ko Tie
seperti itu, pelayan itu menggelengkan kepalanya.
“Bukan begitu, jika memang
Kongcu dan Kauwnio hendak mandi sekarang, Siauw-jin akan mempersiapkan air yang
diperlukan oleh kalian……!”
“Jika memang begitu, siapkan
saja!” kata Ko Tie kemudian. “Jika memang sudah waktunya, kami pun akan pergi
mandi!”
Pelayan itu mengiyakan, dan
telah mohon diri keluar dari kamar.
Giok Hoa menguncinya lagi,
tapi Ko Tie segera berkata: “Tampaknya pelayan itu memang mencurigakan!”
“Kau melihat sesuatu yang
mencurigakan, engkoh Tie pada dirinya?!” tanya Giok Hoa.
Ko Tie menghela napas dan
mengangguk.
“Seperti tadi, dia menanyakan
apakah kita hendak pergi mandi, itulah sebuah pertanyaan yang dibikin-bikin,
tampaknya memang dia tidak memiliki pertanyaan lain yang lebih baik......!
Entah maksud apa yang dikandung olehnya.....!”
Dengan adanya kecurigaan
seperti itu, Giok Hoa dan Ko Tie jadi tidak tenang tinggal di rumah penginapan
tersebut, karenanya, mereka selalu berwaspada.
Selama itu sudah tidak terjadi
sesuatu yang tidak menyenangkan mereka. Keadaan di dalam rumah penginapan itu
sunyi sekali, karena sepinya rumah penginapan itu, yang memang jarang
dikunjungi tamu.
Setelah perasaan lelahnya
berkurang, tampak Ko Tie melompat turun dari pembaringannya.
“Aku ingin pergi mandi dulu,
adik Hoa!” kata Ko Tie kemudian.
Giok Hoa mengiyakan, dan Ko
Tie telah membuka pintu kamarnya, melangkah keluar, untuk pergi ke kamar mandi.
Namun waktu ia membuka pintu kamarnya, di balik lorong dari hadapan kamarnya
itu, dia melihat sesosok bayangan yang menyelinap hilang di tikungan.
Gerakan sosok bayangan itu
gesit sekali, sehingga Ko Tie tidak bisa melihat jelas sosok bayangan tersebut.
Ia hanya melihat berkelebatnya warna baju yang kuning.
Cepat sekali Ko Tie
menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat untuk mengejar sosok bayangan itu.
Namun ketika Ko Tie tiba di
ujung lorong itu, di dekat tikungannya, ia kehilangan orang buruannya.
Keadaan di tempat itu sepi
sekali, malah tampak, seorang pelayan tua yang tadi menghantarkan teh hangat
buat mereka, tengah mendatangi dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Mukanya kuning
pucat dan juga napasnya agak memburu, dengan susah ia bertanya:
“Apakah ada sesuatu yang bisa
Siauw-jin bantu?!”
Ko Tie mengawasi sejenak pada
pelayan tua itu, kemudian tanyanya: “Di rumah penginapan ini sekarang ada
berapa tamu?!”
“Hanya Kongcu dan Kouw-nio
berdua! Di sini, mengusahakan penginapan sangat sulit, karena sepi dan jarang
sekali menerima tamu! Seperti Kongcu lihat, betapa banyak bagian dari rumah
penginapan ini yang rusak-rusak dan kami tidak memiliki biaya buat
membetulkanya……!”
Ko Tie menghela napas,
katanya. “Tadi aku melihat sesosok bayangan menyelinap ke mari, entah siapa
orang itu..... Dia segera menghilang waktu kukejar!” kata Ko Tie menjelaskan
kepada pelayan tua itu. Sedangkan dia mengawasi dengan sorot mata yang tajam
menyelidik, seperti juga bertanya heran kepada pelayan itu dan membutuhkan
keterangan.
Pelayan tua itu mementang
sepasang matanya lebar-lebar, tampaknya dia heran sekali,
“Tadi Kongcu melihat seseorang
di sini? Siapa dia? Tentunya jika orang itu melarikan diri, dia tentu akan
bertemu denganku, karena dia tentu berlari keluar! Tidak mungkin! Mungkin juga
Kongcu hanya salah mata saja…….!”
Ko Tie menggeleng perlahan.
“Tidak! Aku tidak salah mata!
Aku telah melihatnya dengan jelas. Memang aku melihat sesosok tubuh yang
berkelebat lenyap di tikungan ini……!”
“Aneh! Apakah karena usia
rumah penginapan ini telah demikian tua dan tidak terurus baik, maka telah menyebabkan
hantu-hantu senang menempatinya? Dan apakah yang telah dilihat oleh Kongcu tadi
adalah hantu.....!”
Ko Tie tersenyum pahit. Mana
mungkin dia mempercayai adanya hantu?
Dan dia memang telah
melihatnya dengan jelas, bahwa yang tadi berkelebat adalah sesosok tubuh
manusia yang mengenakan baju kuning, cuma sayangnya karena terlalu cepatnya
orang itu menghilang, membuat dia jadi tidak bisa melihat wajah orang itu,
maupun bentuk tubuhnya dengan baik.
“Tidak mungkin hantu, tentu
ada seseorang yang berkeliaran di sini yang hendak mengintai kami!” kata Ko Tie
dengan suara sang pasti.
Pelayan itu berobah mukanya,
dia telah berkata dengan suara yang terheran-heran:
“Sungguh menyeramkan……. apakah
memang mungkin bahwa yang berkelebat dan dilihat oleh Kongcu adalah hantu? Jika
memang benar hantu, ohhh, betapa mengerikannya……!” Sambil berkata begitu, tubuh
si pelayan tua tersebut telah menggigil, tampaknya dia merasa ngeri.
Ko Tie tersenyum.
“Sudahlah, aku hendak pergi
mandi!” kata Ko Tie kemudian sambil melangkah meninggalkan pelayan tua itu.
Pelayan tua itu memperlihatkan
sikap seperti ketakutan dan merasa ngeri, waktu Ko Tie sempat mengerlingnya,
dia melihat pelayan tua itu memang seperti tengah ketakutan.
Tapi setelah Ko Tie pergi
cukup jauh, di luar jangkauan dari penglihatan Ko Tie, justeru pelayan tua itu
telah tersenyum sinis, matanya bersinar, dan sinar matanya itu mengerikan
sekali…….!
Setelah mencari ke sana ke
mari beberapa saat, akhirnya, Ko Tie kembali ke kamarnya. Ia menceritakan
kepada Giok Hoa, ia gagal mengejar sosok tubuh yang menghilang dengan cepat
itu.
Giok Hoa mengerutkan alisnya,
kata si gadis.
“Apakah kau memperhatikan
sikap pelayan tua itu? Bukankah aneh dan mencurigakan sekali dia bisa muncul
begitu tiba-tiba di saat engkau tengah mencari orang yang tadi kau lihat
berkelebat menghilang di tikungan itu?!”
Ko Tie tidak segera menyahuti.
Dia seperti tengah berpikir, sampai akhirnya dia berseru perlahan dan memukul
lututnya.
“Benar!” berseru pemuda itu.
“Apanya yang benar?!” tanya
Giok Hoa.
“Ya, memang pelayan tua itu
mencurigakan sekali, walaupun ia tampaknya terheran-heran namun kenyataan yang
ada memperlihatkan sikap terheran-herannya itu terlalu dibuat-buat.....!”
Giok Hoa mengangguk sambil
tersenyum,
“Memang waktu pertama kali aku
datang di rumah penginapan ini, aku sudah bisa melihat kejanggalan itu. Karena
mata para pelayan di rumah penginapan ini memang sangat mencurigakan. Malah
menurut hematku, mereka itu bukan sebangsa manusia baik-baik......!” kata Giok
Hoa kemudian.
“Lalu apa yang harus kita
lakukan?!” tanya Ko Tie sambil mengawasi si gadis dengan sorot mata yang tajam,
seperti ingin sekali meminta pendapat gadis itu.
Giok Hoa tertawa.
“Mengapa kau bertanya
kepadaku, seharusnya aku yang bertanya kepadamu, apa yang harus kita lakukan,
mengingat bahwa engkau memang jauh lebih berpengalaman dariku!” menyahuti Giok
Hoa.
Ko Tie tidak urung tersenyum
oleh jawaban si gadis, kemudian dia bilang:
“Ya, jika memang demikian
berarti kita harus menangkap manusia-manusia itu. Jika kita bisa menangkap
basah akan perbuatan mereka..…!”
Sambil berkata begitu, segera
juga terlihat betapa Ko Tie tahu-tahu menjejakkan ke dua kakinya. Tubuhnya
dengan cepat melesat ke pintu. Begitu tangannya bergerak, daun pintu menjeblak
terbuka lebar-lebar.
Sedangkan Giok Hoa mengawasi
heran, namun perasaan herannya itu berlangsung tidak lama, karena segera juga
terlihat si gadis telah mengerti apa yang terjadi.
Ternyata Ko Tie mendengar
suara langkah kaki yang perlahan sekali di luar kamarnya, karena itu dengan
ringan dia telah melompat keluar kamarnya. Dan dia bukan hanya sekedar membuka
pintu itu, sebab dia dengan cepat telah mengulurkan tangannya, menyambak kepada
seseorang yang waktu itu tengah terkejut, karena memang daun pintu tahu-tahu
menjeblak terbuka seperti itu.
Tapi orang itu pun cukup
lihay, karena dia tidak berhasil dicekuk oleh Ko Tie. Malah dengan gesit
tubuhnya melesat ke tempat lain, dan dia bermaksud melarikan diri, larinya
cepat sekali, dia ingin menuju ke lorong dan menikung.
Tapi kali ini Ko Tie sudah
tidak mau melepaskannya. Segera ia mengejar dengan tubuh yang melesat seperti
terbang, dan dia pun dalam waktu singkat telah berada di belakang orang itu.
Dia menghantam dengan telapak
tangannya, kuat sekali angin serangan tersebut. Dengan demikian membuat orang
itu merandek untuk memutar tubuhnya menangkis serangan Ko Tie. Jika memang dia
berlari terus, niscaya dia akan terserang hebat pada pundaknya itu.
Orang itu menangkis bukan
dengan tenaga yang lemah, cuma Ko Tie yang merasa tadi telah sempat
dipermainkan oleh orang ini, yang diduga tentunya orang yang telah menghilang
di lorong pada tikungan di ujung itu, maka dia menyerangnya dengan hebat.
“Tukkk!”
“Aduhhhh!” terdengar suara
jerit kesakitan dari orang tersebut, yang tubuhnya seketika terpental jatuh di
lantai bergulingan. Cuma saja, karena dia memang memiliki gin-kang yang
lumayan, begitu dia terguling-guling di lantai, segera dia bisa melompat bangun
pula!
Begitu berdiri, segera dia
mementang ke dua kakinya, bermaksud hendak melarikan diri.
Ko Tie sudah tidak mau
memberikan hati, dia membentak dan telah menghantam lagi dengan tangannya. Ilmu
pukulan yang dipergunakannya adalah Inti Es, dan cara menyerangnya memang hebat
sekali.
Sedangkan orang tersebut, yang
merasakan menyambarnya angin serangan, kembali batal melarikan diri, dia
melayani Ko Tie.
Beberapa jurus telah lewat,
tapi Ko Tie belum juga bisa membekuk orang itu, tapi dia sudah bisa melihat
dengan jelas muka orang itu, membuat Ko Tie sangat gusar.
“Hemm, engkau?!” bentaknya
dengan suara yang mengandung kemarahan dan serangannya jadi semakin hebat.
Orang itu tertawa
bergelak-gelak nyaring sekali, dia telah berseru: “Ya, memang benar aku…… kau
heran?!”
Ternyata orang itu tidak lain
seorang hweshio, yaitu Kiang-lung Hweshio. Dia tentu saja tidak mudah buat
dihantam oleh Ko Tie, apalagi ingin dibekuknya. Karena memiliki kepandaian yang
tinggi, dia bisa memberikan perlawanan yang gigih.
Ko Tie meluap darahnya.
“Pendeta keparat, beberapa
saat yang lalu aku telah mengampuni jiwamu, tapi ternyata engkau telah
benar-benar tidak tahu diri!”
Dan sambil berkata begitu, Ko
Tie serentak menyerang beruntun dengan tiga jurus ilmu pukutan Inti Es-nya. Dan
setiap hantamannya itu mengandung kekuatan tenaga yang dingin sekali, sedingin
es.
Sedangkan Kiang-lung Hweshio
memberikan perlawanan, walaupun ia selalu tertawa mengejek, kenyataannya dia
jeri sekali buat lama-lama bertempur dan terlibat dengan pemuda yang tangguh
ini. Dia mengelakkan ke tiga serangan itu, kemudian dengan segera dia merogoh
saku jubahnya, mengeluarkan sebutir pil yang besar, kemudian dibantingnya
kuat-kuat di lantai.
Terdengar suara ledakan yang
mengguntur. Sekitar tempat itu dilapisi oleh kabut yang tebal, asap yang
bergulung naik memenuhi tempat itu.
Waktu ledakan itu terjadi, Ko
Tie kaget juga. Ia segera menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat mundur, dengan
gerakan yang lincah.
Dia bisa menjauhi diri. Dan
dia mementangkan matanya lebar-lebar, mengawasi di mana beradanya Kiang-lung
Hweshio.
Tapi asap itu sangat tebal,
sementara itu ia tidak bisa melibat dengan jelas bahkan dia telah merasakan
matanya pedih.
Giok Hoa yang mendengar suara
ledakan itu, dengan segera telah muncul dari dalam kamar.
Dikala itu terlihat betapa Ko
Tie telah berusaha mengawasi dengan sepasang mata dipentang lebar, asap itu
mulai menipis, tapi bayangan dari Kiang-lung Hweshio sudah tidak terlihat lagi,
karena pendeta itu telah pergi entah ke mana.
Tidak lama kemudian muncul si
pelayan itu yang dengan sikap terheran-heran, bertanya: “Ada…… ada apa,
Kongcu...... ooh, asap ini, apakah terjadi kebakaran.....?!”
Ko Tie menggeleng,
“Tadi ada orang
jahat........!” menyahuti pemuda ini.
“Ada penjahat, Kongcu……
ooohhh, apakah engkau tidak apa-apa?! Mana penjahatnya?!” tanya pelayan itu
gugup sekali dan memandang sekitarnya.
“Aku tidak apa-apa. Penjahat
itu telah melarikan diri!” menjelaskan Ko Tie.
Lalu bersama Giok Hoa, Ko Tie
telah kembali ke dalam kamarnya. Di dalam kamar segera juga Ko Tie bilang:
“Seperti engkau telah ketahui,
justeru yang mengintai kita bukan pelayan rumah penginapan ini, tapi justeru
pendeta keparat itu…… dan juga, kita cuma salah lihat dan menduga saja tentang
para pelayan itu. Karenanya, kita tidak bisa mencurigai mereka lebih jauh.
Mungkin memang tampang mereka saja seperti manusia jahat tapi hati mereka
bersih……!”
Giok Hoa juga tampaknya
bingung, dia bilang, “Kalau begitu sosok tubuh yang berkelebat lenyap waktu
engkau mengejarnya itu, adalah si kepala gundul itu juga?!”
Ko Tie mengangguk.
“Kukira memang begitu, karena
waktu itu aku melihat sosok tubuh itu mengenakan baju warna kuning. Tapi aku
tidak sampai pikir pada pendeta keparat tersebut……!”
Sambil berkata begitu, segera
juga terlihat betapapun juga, Ko Tie dan Giok Hoa memang harus bersikap jauh
lebih waspada. Karena sewaktu-waktu musuh bisa saja muncul untuk membinasakan
mereka, atau setidak-tidaknya mencelakai mereka.
Dikala itu terlihat Ko Tie
telah mengajak Giok Hoa untuk keluar dari rumah penginapan. Dan mereka pergi
menikmati keindahan kota tersebut. Walaupun merupakan sebuah kota yang kecil,
menjelang malam kota ini memiliki keindahan yang menakjubkan, dengan rembulan
yang tergantung di langit.
Setelah mereka berdua merasa
mengantuk, juga selama mengelilingi kota tidak ketemu dengan jejak si pendeta
Kiang-lung Hweshio. Dengan demikian tentu saja telah membuat mereka menduga
bahwa Kiang-lung Hweshio mungkin sudah angkat kaki dari kota ini.
“Tidak mungkin!” bantah Giok
Hoa waktu Ko Tie mengemukakan perkiraannya itu. “Dia sengaja mengikuti kita,
berapa jauh dia telah mengikuti kita tanpa kita sendiri mengetahuinya, karena,
sekarang tidak mungkin dia menyingkirkan diri. Dia tentu bersembunyi di sebuah
tempat.”
Ko Tie ragu-ragu, tapi
berpikir. Tentunya memang apa yang dikatakan Giok Hoa tidak terlalu salah.
“Kalau begitu kita nantikan
saja apa yang hendak dilakukan si kerbau gundul itu!” kata Ko Tie yang jadi
sengit sendirinya.
Giok Hoa mengangguk.
“Ya, kita yang terpenting
berwaspada, lalu mencoba untuk dapat memancing si kepala gundul itu keluar dari
tempat persembunyiannya. Di waktu itulah kita tidak boleh membiarkan ia
meloloskan diri lagi.......!” kata si gadis.
Ko Tie setuju, dan mereka
kembali ke rumah penginapan.
Tapi waktu mereka masuk ke
dalam kamar, ke duanya jadi kaget. Karena barang mereka telah acak-acakan, dan
buntalan mereka terbuka dengan isinya yang berantakan.
Tentu saja hat ini membuat Ko
Tie dari Giok Hoa buat sejenak memandang tertegun, karena mereka segera
mengetahui tentu ada orang yang memasuki kamar mereka.
Dan baru saja mereka hendak
memanggil pelayan, justeru di waktu itu tampak daun jendela telah terbuka
lebar-lebar.
Seketika itu juga Ko Tie dan
Giok Hoa menduga, tentunya juga yang telah memasuki kamar mereka dengan
membongkar jendela adalah si pendeta Kiang-lung Hweshio. Bukan main gusarnya Ko
Tie dan Giok Hoa.
Mereka telah memandang dengan
sinar mata yang mengandung kemarahan kepada barang-barang mereka yang
berantakan itu. Namun setelah mereka membereskan barang itu, tidak ada satupun
yang lenyap.
Ko Tie duduk di tepi
pembaringan.
“Tampaknya si gundul itu
bersama dengan si pendeta yang bernama Gorgo San ingin mencari sesuatu dari
kita……!” katanya dengan suara yang tawar.
Giok Hoa mengangguk.
“Jika memang mereka hendak
mengambil uang kita, tentu bungkusan uang kita telah digasaknya. Namun
kenyataan yang ada, mereka tidak mengambil uang kita….. semuanya masih utuh,
tentunya mereka memang bermaksud untuk mencari sesuatu, yang diduga berada pada
kita!”
Mereka berdua jadi saling
pandang, beberapa saat kemudian Ko Tie bilang: “Kalau begitu, selanjutnya kita
memang harus lebih hati-hati……!”
Begitulah, mereka menutup daun
jendela setelah mengawasi keluar. Mereka melihat tidak ada sesuatu yang
mencurigakan.
Malam itu mereka tidur dengan
penuh kewaspadaan, sampai akhirnya menjelang pagi tidak terjadi sesuatu apapun
juga. Setelah salin pakaian, Ko Tie dan Giok Hoa menghadapi sarapan yang
diantar oleh pelayan tua itu.
Mereka bersantap bernafsu
sekali, memang mereka tengah lapar. Dalam keadaan seperti itulah terlihat Ko
Tie tiba-tiba berseru kaget, mukanya berobah.
Dia melompat berdiri dan
membanting cawannya. Sepasang matanya terbuka lebar-lebar.
Giok Hoa kaget bukan main,
segera juga ia menanya dengan sikap yang heran dan bingung:
“Mengapa engkau, engkoh Tie?!”
“Racun! Di dalam teko teh itu
terdapat racun!” berseru Ko Tie dengan suara tersendat.
Dan iapun segera mengambil
teko teh itu, dibantingnya sampai teko itu pecah berantakan.
Seketika air teh yang
membasahi lantai itu, berobah warnanya menjadi agak kehitam-hitaman.
Dan muka Giok Hoa jadi berobah
pucat. Dia memang belum lagi meminum teh di dalam cawannya, akan tetapi ia jadi
menguatirkan sekali keselamatan Ko Tie, karena Ko Tie telah meminum tehnya itu.
“Engkoh Tie…… jadi....... jadi
engkau keracunan?” tanyanya dengan suara tergagap.
Muka Ko Tie waktu itu berobah,
sebentar pucat sebentar merah, sebentar lagi berobah agak kehijau-hijauan.
Dikala itulah dia telah cepat-cepat mengerahkan tenaga dalamnya, karena dia
berusaha mendesak air teh yang telah diminumnya itu agar naik kembali ke
lehernya untuk di muntahkan.
Namun dia tidak berhasil,
sebab racun itu mulai bekerja. Tubuh Ko Tie terhuyung.
Bukan kepalang kagetnya Giok
Hoa, segera juga ia terhuyung-huyung mundur dan dengan muka yang pucat pias, ia
telah berkata: “Engkoh Tie…….!”
Ko Tie cepat-cepat menjatuhkan
dirinya di lantai, dia mengempos semangatnya. Dia berusaha untuk menindih racun
itu sebelum bekerja lebih jauh.
Karena Ko Tie menyadari, kalau
racun itu telah bekerja sampai ke jantungnya, niscaya akan membuat dia menemui
ajalnya. Atau jika tertolong, namun racun telah terlanjur bekerja, niscaya akan
membuat dia bercacat.
Giok Hoa teringat sesuatu.
Bukankah santapan mereka ini disiapkan oleh pelayan tua itu? Kecurigaannya jadi
semakin kuat, bahwa pelayan-pelayan itu memang bukan sebangsa manusia
baik-baik.
Ia bermaksud hendak keluar
dari kamar itu buat mencari dan menangkap pelayan tua itu. Tapi waktu dia
membuka daun pintu tersebut seketika ia merandek.
Ia ingat akan keselamatan Ko
Tie. Bukankah Ko Tie tengah keracunan? Jika dalam keadaan seperti itu ada orang
yang masuk ke kamarnya dan bermaksud menganiaya Ko Tie, bukankah akan
membuatnya tidak berdaya?
Dan Ko Tie memang membutuhkan
perlindungannya. Segera Giok Hoa membatalkan maksudnya hendak pergi keluar dari
kamar itu, segera berjongkok di samping Ko Tie.
Waktu itu Ko Tie tengah
berusaha mengempos terus tenaga dalamnya. Tapi tetap ia merasakan kepalanya
pusing, racun telah bekerja dan beredar dalam peredaran darahnya. Dengan
begitu, membuatnya benar-benar jadi tidak berdaya, karena sekujur tubuhnya
dirasakannya lemas sekali.
Iapun gagal untuk menyalurkan
kekuatan tenaga dalamnya. Dan kenyataan yang pahit sekali, racun telah bekerja
di dalam peredaran darahnya, membuat setiap kali dia mengerahkan tenaga
dalamnya, selalu gagal dan tenaga dalamnya itu seperti terbendung dan tidak
bisa disalurkan menembus ke Tan-tiannya.
Diam-diam Ko Tie mengeluh.
Jika memang dia tidak berhasil buat mengerahkan tenaga dalamnya, niscaya akan
membuatnya benar-benar jadi keracunan, dan kalau sampai racun itu bekerja lebih
hebat, niscaya dia akan mati dengan sendirinya.
Giok Hoa waktu itu tengah
merogoh sakunya. Mengeluarkan bungkusan kantong obatnya. Dia mengeluarkan
beberapa butir obat, dan menyesapkan ke dalam mulut si pemuda.
“Telanlah, engkoh Tie.......!”
katanya dengan suara yang berbisik.
Ko Tie menelan tiga butir obat
yang diberikan Giok Hoa. Di waktu itulah terlihat daun pintu terbuka, masuk si
pelayan tua.
Ketika melihat Ko Tie tengah
duduk hersemedi dan Giok Koa berjongkok di sampingnya, juga teko teh dan cawan
telah pecah hancur berantakan di lantai, ia tampak terkejut dan heran.
“Ihhh…… apa yang terjadi?!.”
tanyanya dengan suara tergagap.
Giok Hoa melihat pelayan tua
tersebut jadi murka bukan main. Dengan lincah tubuhnya melesat ke samping
pelayan itu, tangan kanannya diulurkan buat menampar.
“Kau yang telah menaruhkan
racun pada minuman kami!” bentaknya.
Pelayan tersebut kaget tidak
terkira, dan dia segera mengelak ke samping.
“Tunggu dulu..... Kouw-nio ada
apa?” katanya.
Mata Giok Hoa jadi terbuka
lebih lebar. Sekarang dia semakin yakin dan pasti bahwa pelayan ini adalah
seorang yang memiliki ilmu silat yang tidak rendah, karena tadi dia telah
menampar dengan tangan yang meluncur sangat kuat dan cepat sekali.
Namun dia bisa
menghindarkannya dengan mudah. Karena itu, segera ia menyusuli dengan tiga
serangannya tanpa mengatakan apapun juga.
Tapi pelayan itu tetap saja
bisa mengelakkan diri, malah dia dapat bergerak gesit sekali. Dia melompat ke
sana ke mari dengan gerakan yang sangat lincah, dan sama sekali Giok Hoa tidak
berhasil menyerangnya.
“Hemmm, kalau demikian memang
benar engkau orangnya!” bentak Giok Hoa yang semakin gusar. Tahu-tahu tubuhnya
telah melesat dengan ringan, dan sepasang tangannya bergerak cepat sekali tidak
bisa diikuti oleh pandangan mata.
Tahu-tahu tengkuk pelayan tua
itu telah kena dicekuknya. Namun begitu tengkuk pelayan tua itu kena
dicengkeramnya. Giok Hoa merasakan kulit di bagian tengkuk itu licin dan keras
sekali, sampai jari tangannya melejit dan mencengkeram tempat kosong.
Di waktu itulah terlihat
betapa pelayan tua itu membuang dirinya ke lantai dan bergulingan di situ
sambil bersiul nyaring.
Dari luar segera menyerbu
masuk empat orang, semuanya pelayan di rumah penginapan itu.
Mereka melihat si pelayan tua
yang tengah berdiri dan Giok Hoa yang hendak menyerang lagi. Segera mereka
melompat mengurung Giok Hoa.
Sedangkan tangan mereka dengan
sebat telah mencabut senjata masing-masing dari balik baju mereka. Pelayan tua
ini pun merabah dadanya, dari balik bajunya telah dikeluarkan sebatang golok
pendek.
“Hemmm!” Giok Hoa tertawa
dingin, dia bilang: “Dengan demikian terbukalah topeng kalian! Apa maksud
kalian dengan menaruhkan racun pada minuman kami?”
Pelayan tua itu sudah tidak
memperlihatkan sikap yang terheran-heran atau kaget seperti tadi. Malah dia
berdiri tegak dengan goloknya dilintangkan di dadanya. Dia telah bilang:
“Hemmm, engkau rupanya telah
mengetahui semua ini! Baiklah, kami membuka kartu saja! Sesungguhnya kami
menginginkan uang dan barangmu! Jika memang engkau ingin hidup dan meninggalkan
kota ini masih bernapas, tinggalkan barang-barang dan uang kalian, dan cepat
angkat kaki dari tempat ini!”
Mata Giok Hoa mendelik besar sekali,
dia bilang. “Apakah begitu mudah kalian menghendaki barang kami?”
Dan dengan gusar ia telah
menerjang buat menghantam si pelayan tua.
Pelayan tua itu menggerakkan
goloknya, membacok, namun Giok Hoa bisa menghindar dengan mudah.
Sedangkan empat orang pelayan
lainnya segera menggerakkan golok masing-masing, membacok serentak kepada Giok
Hoa.
Giok Hoa yang tengah murka,
segera mengerahkan gin-kangnya. Tangannya juga tidak berayal telah mencabut
keluar pedangnya, dengan segera diputarnya pedang itu dengan jurus-jurus ilmu
pedang Giok-lie-kiam-hoat.
Sinar pedang bergulung-gulung
menyambar kepada lawan-lawannya. Jika sebelumnya tampak para pelayan itu lemas
dan sikapnya menghormat, maka kini mereka tampaknya gagah dan bengis-bengis.
Setiap bacokan mereka
berkesiuran sangat cepat, karena kepandaian mereka walaupun belum tinggi, juga
tidak terlalu rendah. Apa lagi memang mereka itu memiliki hati yang kejam dan
bengis, dengan demikian membuat setiap bacokan mereka selalu mengandung maut.
Namun gulungan sinar pedang Giok Hoa membuat mereka jadi tidak berdaya untuk
merangsek terlalu dekat.
Ko Tie yang tengah duduk
bersemedhi mengatur jalan pernapasannya, seakan juga tidak memperhatikan
pertempuran yang terjadi di dekatnya. Ia terus juga mengatur jalan pernapasannya,
karena memang dia bermaksud untuk mendesak racun yang terlanjur telah memasuki
peredaran darahnya itu agar tidak menjalar terlalu jauh, sehingga menuju ke
jantung.
Dan untuk itu ia mengerahkan
seluruh sin-kang nya, karena jalan pernapasannya tidak bisa berjalan lancar.
Dan juga setiap kali ia mengerahkan sin-kangnya, tenaga dalamnya seperti mandek
terhalang sesuatu, membuatnya jadi tidak bisa untuk menembus sampai ke
Tan-tian.
Karena itu Ko Tie masih terus
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya, menembus sampai ke Tan-tian. Jika tenaga
dalamnya berhasil menembusi rintangan itu dan bisa mengalir sampai ke Tan-tian
berarti untuk selanjutnya tidak ada kesulitan buat Ko Tie membendung beredarnya
racun lebih jauh.