Anak rajawali Jilid 27
Penjahat yang pingsan mulai
sadar, ia merayap bangun. Dia gusar dan ingin melampiaskannya. Namun Ko Tie
telah memimpin dia bangun dengan pundaknya ditepuk, sambil tertawa pemuda itu
bilang:
“Tuan, harap kau jangan
membuka mulutmu. Justeru sekarang adikku, belum lagi berpikir lain, cepat kau
angkat kaki meninggalkan tempat ini!”
Penjahat itu batal mencaci.
Semula ia memang hendak menegur, namun ia batal sendirinya dan matanya saja
yang mendelik dan mulutnya tampak mengejek dengan beberapa kali bersuara,
“Hemmm!” Kemudian dia bilang
kepada kawannya: “Ji-te, mari kita pergi!”
Orang yang dipanggil Ji-te itu
menurut, maka sejenak kemudian mereka sudah melompat keluar dari jendela, buat
menghilang di tempat gelap.
Giok Hoa segera menjatuhkan
diri di kursi. Ia duduk menangis terisak. Ia agaknya sangat berduka dan
penasaran.
Ko Tie menghampiri, dia
mengusap-usap lembut rambut si gadis buat menghiburnya.
“Adik Hoa, apakah kau
menyesalkan aku melepaskan mereka?” tanyanya sabar. “Kau jangan salah mengerti.
Kau tahu, sebelum mereka menyingkir seratus tombak, mereka akan sampai di pintu
kota negara iblis! Kau jangan menyesal dan penasaran, jangan bersusah hati!”
Giok Hoa mengangkat kepalanya,
ia menyusut air matanya. Tiba-tiba ia tertawa.
“Aku mengerti!” katanya.
“Benar-benar kau membunuh orang tanpa berdarah!”
Ko Tie tersenyum, ia bilang
sungguh-sungguh: “Untuk membasmi manusia jahat, aku terpaksa berbuat demikian,
karena mereka sebagai penjahat pemetik bunga, tidak pantas mereka dibiarkan
hidup lebih lama lagi!”
Kemudian Ko Tie pergi ke
pembaringannya buat mencabut pedangnya, dia menghunusnya:
“Kita mempelajari ilmu silat,
untuk disumbangkan demi keselamatan dan kepentingan masyarakat, kita harus
dapat menegakkan keadilan!” Waktu berkata seperti itu, sikapnya gagah sekali.
Menyaksikan sikap Ko Tie, Giok
Hoa tampak kagum sekali, sampai gadis ini mengangguk-angguk beberapa kali.
Mereka telah melanjutkan tidur
yang terganggu itu. Keesokan paginya, Ko Tie memutuskan, lebih enak melanjutkan
perjalanan dengan naik kereta, karena hawa udara yang buruk dan hujan salju
yang setiap saat dapat turun.
Giok Hoa menyetujuinya, dan Ko
Tie memesan pelayan untuk mencarikan sebuah kereta buat mereka. Tentu saja Ko
Tie menghendaki kusir yang benar-benar terampil dengan keahlian mengendalikan
kereta.
Pelayan itu pergi untuk
kembali dalam waktu yang cepat, ia memberitahukan: “Kereta sudah siap, apakah
tuan dan nona mau berangkat sekarang?”
Ia mengawasi muda-mudi itu,
yang tampan dan cantik, ia sendiri sampai heran, mengapa di dunia terdapat
pasangan muda-mudi yang demikian tampan dan jelita.
Tengah dia bengong, Giok Hoa
memberikan hadiah buatnya satu tail perak, sehingga pelayan itu girang bukan
main, tidak hentinya ia mengucapkan terima kasih.
Giok Hoa membereskan
buntalannya yang kemudian disuruhnya pelayan itu membawa ke kereta. Ko Tie
sendiri telah membawa buntalannya. Berdua mereka melangkah keluar dari rumah
penginapan tersebut setelah membereskan pembayaran uang sewa kamar.
Di muka rumah penginapan
tampak kereta yang dipesan, yang tendanya berwarna hitam dan keledainya empat
ekor. Tampaknya keempat ekor keledai itu adalah binatang pilihan semua.
Tukang keretanya dua orang.
Mereka tampaknya sehat dan kuat, sebagai kusir yang pandai. Juga tampaknya mereka
seperti orang asal Utara, mereka bertubuh tinggi besar. Tangan mereka
masing-masing mencekal cambuk.
Ko Tie memberi hadiah lagi
sepuluh tail kepada pelayan, segera ia memimpin Giok Hoa naik kereta, ia
sendiri naik belakangan.
Pelayan itu mengucapkan terima
kasih dan bersyukur. Seumur hidupnya bekerja sebagai pelayan, belum pernah ia
menerima hadiah demikian besar, dari tamu yang demikian terbuka tangannya.
Kusir segera menggeprak
keledainya, cambuknya dibunyikan membikin roda-roda kereta menggelinding cepat
dan keras.
“Tuan dan nona, baik-baik di
jalan!” masih terdengar suara si pelayan.
Ke empat keledai lari keras,
lari di jalan yang becek. Sekeluarnya dari Chin-su, mereka menuju Lok-yang.
Matahari memberi hawa hangat, tetapi angin dingin. Itulah angin Utara yang
keras.
Ko Tie dan Giok Hoa menyekap
diri di dalam kereta, merasa hangat. Muda-mudi itu tidak berdiam saja. Mereka
suka mengintai keluar.
Maka mereka melihat
orang-orang rimba persilatan, yang menunggang kuda dan melakukan perjalanan cepat.
Orang-orang itu mengerutkan kening, suatu tanda mereka tengah menghadapi urusan
penting. Gadis itu juga heran dan menanyakan pikiran si pemuda.
Ko Tie menggeleng perlahan,
dia bilang: “Mereka tampaknya tengah menghadapi urusan penting, karena di saat
udara demikian dingin dan cuaca demikian buruk, mereka masih melakukan
perjalanan dengan menunggang kuda!”
Dia kemudian berdiam sejenak,
mengintai keluar, baru melanjutkan perkataannya: “Dan, tidak mungkin mereka
hendak mencari urusan dengan kita.”
Giok Hoa tertawa. Ia anggap
kawannya ini jenaka.
Kereta keledai terus dilarikan
keras. Kusir mencambuk dan berseru berulang kali.
Lewat dua jam, Giok Hoa
menyenderkan diri untuk tidur.
Ko Tie tidak mau mengganggu si
gadis, ia sebenarnya tidak tidur cukup semalam, tapi sekarang ia tidak tidur
seperti si gadis, terus ia suka mengintai keluar. Ia memikirkan gerak-gerik
orang-orang rimba persilatan yang mereka lihat tadi, yang rombongannya
melakukan perjalanan dengan hanya menunggang kuda.
Setelah melewati duapuluh lie,
Ko Tie mulai mengerti duduknya persoalan. Jauh di depan, di tengah jalan,
terlihat beberapa buah kereta piauw-kiok serta belasan piauw-su atau
pengiringnya, yang dengan senjata terhunus tengah menjagai di sekitarnya.
Teranglah mereka itu tengah bersiap untuk menyambut suatu penyerbuan.
“Saudara,” Ko Tie tanya kasir.
“Di depan kita ini ada tempat persinggahan atau tidak?!”
“Ada, tuan!” menyahuti salah
seorang kusir sambil membungkuk hormat. “Itulah Kho-ke-kauw, lagi sepuluh lie
dari sini, tempatnya memang baik……!”
Suara kusir tidak lancar. Ko
Tie dapat menerka sebabnya. Itulah tentu disebabkan suasana buruk di sebelah
depan itu. Kusir kereta pasti banyak pengalamannya dan tahu baik segala
peristiwa di tengah perjalanan.
“Sudah, kalian jangan berkuatir!”
kata Ko Tie kemudian, tertawa. “Jika di depan tidak ada tempat persinggahan,
tidak nanti kawanan penjahat bekerja sebelum lewat Kho-ke-kauw.
“Lagi pula, kita orang-orang
pelancongan, kita tidak mencampuri urusan mereka. Kalian boleh jalan terus!”
Lega hati si kusir. Orang
demikian besar hatinya, ia ingin menduga penumpangnya ini bukan orang
sembarangan.
Giok Hoa tidak tidur pulas. Ia
mendengar pembicaraan itu, segera ia membuka matanya untuk memandang keluar
tenda.
“Engko Tie,” katanya, tertawa.
“Aku dapat menerka kau. Kembali kau usil ingin mencampuri urusan orang lain,
bukan?!”
Ko Tie tidak menjawab, dia
hanya tertawa.
Waktu itu kereta mereka tengah
lari keras sekali. Dengan cepat mereka tiba di belakang rombongan kereta
piauw-kiok. Waktu si gadis melihat keluar, ia agak terkejut.
“Aih!” serunya, “Engko Tie,
kau lihat! Bendera piauw-kiok cuma sulaman empat ekor kuda, tidak ada lainnya
lagi. Itulah sangat berbeda dengan yang umumnya. Apakah ini tidak aneh?!”
Ko Tie melihat berkibar-kibarnya
bendera yang dimaksudkan kawannya tersebut. Itulah bendera dari sutera putih,
sulamnya benar merupakan empat ekor kuda yang jempolan, yang berlainan
sikapnya. Ia mengetahui, itulah siluman yang mencontoh gambar lukisan “Delapan
Ekor Kuda” dari pelukis Han Siang.
Tiba-tiba ia teringat
keterangan dari gurunya bahwa di propinai Ho-lam di samping kuil Siang-kok-sie
di kota Kay-hong, ada sebuah Piauw-kiok yang memakai merek Thian-ma Piauw-kiok.
Artinya Piauw-kiok (kantor ekpedisi) Kuda Langit. Atau lebih jelasnya lagi
adalah “Kuda Langit Jalan di Udara”, perjalanan senantiasa selalu berhasil.
Piauw-kiok itu dipimpin oleh
Tong Teng Bun yang di dunia Kang-ouw dijuluki sebagai It-cu-kiam-sian (Dewa
Pedang Mutiara Tunggal). Jago pedang hebat sekali, gagah dan cerdik sekali,
yang usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih, dan ia seorang piauw-su yang
memiliki hati sangat baik.
“Kalau memang benar dia, Tong
Teng Bun, tidak dapat tidak, aku harus membantunya!” demikianlah Ko Tie telah
berpikir.
Karena piauw-kiok mau
mengalah, maka kereta yang di tumpangi Ko Tie dan Giok Hoa dibiarkan lewat
lebih dulu. Dikala lewat seperti itulah, Ko Tie melihat seorang tua duduk di
dalam kereta piauw-kiok.
Ia telah ubanan rambut dan
kumisnya, mukanya bersemu dadu. Sepasang matanya tajam, tubuhnya kekar dan
besar, tidak miripnya seorang tua.
Dia membekal pedang di
punggungnya, akan tetapi pedang itu tidak dihunus, bahkan dia sangat tenang
sikapnya. Wajahnya memperlihatkan bahwa dia seorang tua yang sabar.
Tidak lama tibalah Ko Tie di
Kho-ke-kauw. Benar saja di mulut dusun terdapat sebuah rumah penginapan.
Ko Tie membantu si gadis untuk
turun, untuk masuk ke dalam rumah penginapan. Seorang pelayan menyambut, mereka
dipimpin ke dalam.
Di pertengahan sudah ada lima
tamu, yang semuanya memiliki wajah bengis. Tubuhnya besar-besar, sambil duduk
di bangku panjang, mereka bicara perlahan.
Berhenti suara mereka begitu
melihat masuknya muda-mudi yang sangat cantik dan tampan itu, sehingga mereka
jadi begitu terpesona. Terlebih lagi memandang si gadis yang sangat cantik,
seperti juga seorang bidadari yang baru saja turun dari kerajaan langit.
Ko Tie berdua melangkah terus,
mereka ditunjukkan dua kamar, di sebelah timur di barat. Ia memilih yang timur,
terus memesan barang-barang santapan, sekalian juga untuk ke dua kusirnya.
Dikala menantikan barang
makanan diantar, seorang diri ia melangkah keluar, sikapnya untuk
melihat-melihat rumah penginapan itu, diam-diam ia memperhatikan ke lima tamu
tadi. Ia ingin menerkanya pasti bahwa mereka memiliki maksud-maksud tertentu
yang dialamatkan kepada Thian-ma Piauw-kiok.
Piauw-kiok itu memiliki
pegawai yang jalan di depan, yang biasa mengatur penginapan dan lainnya.
Pegawai itu sudah lantas tiba di rumah penginapan.
Ketika ke lima orang tadi melihat
dia, mereka tersenyum tawar. Ko Tie dapat melihat sikap mereka, ia lantas
mengerti duduk persoalannya.
Cepat juga tibalah rombongan
piauw-kiok, maka berisiklah suara kereta dan kuda.
Cong-piauwtauw Tong Teng Bun,
masuk ke dalam rumah penginapan. Ia melangkah di muka, diikuti orang-orangnya.
Tampak ia bersungguh-sungguh.
Ketika ia melihat Ko Tie
berdiri di samping, sejenak ia mengawasi. Agaknya ia kagum untuk ketampanan dan
ketenangan pemuda itu. Ia lantas tersenyum dan mengangguk sebagai tanda menyapa
hormat.
Ko Tie tersenyum dan
mengangguk, ia anggap orang tua itu manis budi.
“Banyak capai, lo-piauwtauw?”
sapa si pemuda.
“Begitulah keadaanku si orang
tua!” menjawab piauw-su itu, menghentikan langkah kakinya. “Setiap tahun,
setiap bulan, aku harus melakukan perjalanan jauh. Hidup di ujung pedang maka
untukku tidak ada kata-kata capai, laote. Dapatkah aku mengetahui shemu yang
mulia, laote?”
Sambil bertanya begitu, mata
piauw-su ini melirik ke kereta si pemuda yang berada di depan rumah penginapan.
“Aku she Bie, lo-piauwtauw!”
Ko Tie menjawab. “Kami berdua suami isteri berangkat kemarin dari Thay-goan,
maksud pergi ke Lok-yang. Tadi aku melihat lo-piauwtauw di tengah jalan, aku
kagum sekali!”
Tong Teng Bun mengelus
kumisnya dan tersenyum.
“Bie Leote, girang aku dengan
pertemuan ini!” katanya kemudian, bersungguh-sungguh.
Karena orang tidak menanyakan
she dan namanya ia memperkenalkan diri. “Namaku si orang tua yang rendah adalah
Tong Teng Bun. Kebetulan sekali, akupun mau pergi ke Lok-yang. Jika Laote tidak
memiliki sesuatu urusan, mari kita jalan sama-sama!”
Dikala berkata begitu, jago
tua itu diam-diam melirik kepada ke lima orang tamu lainnya.
Ko Tie tertawa.
“Lo-piauwtauw, walaupun aku
hanya seorang anak sekolah, tapi nama lo-piauwtauw telah kukenal baik sekali!”
katanya.
“Untuk wilayah Ho-lok, anak
kecil sekalipun mengenalnya. Mana itu beruntung aku dapat berkelana dengan
lo-piauwtauw. Lo-piauwtauw masih ada banyak urusan, silahkan, sebentar saja aku
memohon pengajaran.”
Sengaja memang Ko Tie
memperkenalkan she samaran yaitu she Bie. Ia tidak mau memperkenalkan diri yang
sebenarnya dulu, karena di sinipun terdapat ke lima orang yang dicurigainya.
“Kau baik sekali, laote,” kata
piauw-su tua itu tertawa. “Nah, maafkanlah aku……!” ia memberi hormat, lantas ia
melangkah masuk
Ke lima tamu itu mengawasi
punggung si orang tua sambil tersenyum tawar, setelah itu mereka berlalu.
Ko Tie pun kembali ke dalam
kamarnya.
Thian-ma Piauw-kiok hampir
memborong seluruh kamar rumah penginapan itu. Dari kamarnya, sambil bersantap,
sering Ko Tie dari Giok Hoa mendengar suara dan tertawanya si piauw-su tua.
“Coba terka, engko Tie,
siapakah musuh Thian-ma Piauw-kiok?!” tanya Giok Hoa kemudian, sambil
tersenyum.
“Apakah penjahat akan
menyelidiki lebih dulu baru mereka mau turun tangan? Menurut dugaanku, pihak
piauw-kiok ini lebih banyak menghadapi bahaya dari pada keselamatan, bahkan
mungkin besok magrib ini terjadinya peristiwa.”
Ko Tie tampak heran.
“Bagaimana kau bisa menduganya
seperti itu, adik Hoa?!” tanya Ko Tie.
Gadis itu tersenyum.
“Menurut perkiraanku, mereka
itu pasti sudah menentukan tempat dan telah mengadakan penyelidikan yang
cukup,” ia memberikan keterangan. “Kau lebih berpengalaman dariku, mengapa
engkau tidak melihatnya?
“Empatpuluh lie dari
Kho-ke-kauw ini ialah jalanan pegunungan dan di sana ada lembah Gin-kang-kiap.
Itulah tempat yang bagus untuk mereka bekerja.
“Setelah berhasil, seharusnya
penjahat menyingkir ke Ong-ok-san, gunung di barat daya itu. Aku tahu di gunung
Ong-ok-san itu berdiam beberapa begal yang menjagoi sekitar tempat ini, seperti
yang pernah dituturkan oleh guruku. Maka kecuali dari para begal itu, tidak ada
penjahat lain yang nanti berani turun tangan di dalam wilayah pengaruhnya itu!”
Ko Tie tertawa.
“Aku tidak sangka kau kenal
baik kaum rimba hijau!” katanya. “Jadi pastikah mereka adalah begal di
Ong-ok-san akan bekerja di Gin-kang-kiap?!”
“Kukira begitu!” si gadis
mengangguk. “Dan menurut cerita guruku, begal yang berkuasa di Ong-ok-san
tersebut bernama Ciu Yang Cin!”
Ko Tie terdiam.
Ketika itu terlihat pelayan
datang bersama Tong Teng Bun. Tong Teng Bun mengikuti di belakang pelayan itu,
dan di belakang piauw-su tua itu juga mengikuti seorang piauw-su usia lebih
kurang empatpuluh tahun, yang wajahnya bersih.
“Ohhhhh!” Ko Tie berseru,
cepat-cepat ia bangkit, juga si gadis.
Tong Teng Bun tertawa, ia
bilang: “Bie laote, maafkan aku! Beginilah tabiatku, asal aku kenal orang, aku
menganggapnya sebagai sahabat kekal. Aku ingin bicara dari satu hal yang tidak
selayaknya aku menyebutkannya, tetapi tokh aku harus menyampaikannya kepada
laote berdua.
“Sesungguhnya, aku ingin
sekali mengetahui, kapan laote berdua hendak meneruskan perjalanan kalian, hari
ini juga atau besok? Menurut aku, baiklah laote beristirahat satu hari di
sini!”
Ko Tie pura-pura heran.
“Lo-piauwtauw,” katanya
kemudian, “Kata-katamu ini tentunya memiliki sebab-sebabnya!”katanya. “Maukah
lo-piauwtauw menjelaskannya?”
“Sebenarnya panjang untuk
dibicarakan,” kata piauw-su itu, sikapnya bersungguh-sungguh. “Baiklah aku
perkenalkan dulu sahabatku ini!”
Ia lantas memutar tubuhnya dan
menunjuk orang di belakangnya, untuk menambahkan: “Inilah pembantuku yang aku
paling hargai, yaitu Sun Kiam.”
Ko Tie memberi hormat pada
piauw-su itu, yang pun memberi hormat padanya. Malah Ko Tie telah
memperkenalkan Giok Hoa.
“Silahkan duduk,” ia
mengundang kedua tamunya itu. “Lo-piauwsu minta kami menunda perjalanan satu
hari, mungkinkah itu disebabkan perjalanan kurang aman?”
Orang tua itu menghela napas,
tapi kemudian ia tertawa.
“Entah mengapa, laote, begitu
melihat kau, aku jadi sangat suka bergaul denganmu!” ia bilang. “Mungkin ini
disebabkan wajahmu mirip sekali dengan anakku yang pendek umurnya.....!”
Dan piauw-su tua itu menghela
napas, ia kemudian berkata lebih jauh: “Seperti aku telah bilang tadi, panjang
untuk menceritakannya. Memang sudah umum kami sebangsa piauw-su, kami hidup di
ujung senjata.
“Sudah beberapa puluh tahun
aku membangun Thian-ma Piauw-kiok, selama itu bukannya aku belum pernah menerima
gangguan, hanya syukur berkat kecintaan dan kesetiaan sahabat-sahabat Rimba
Hijau, semua itu bisa dihindarkan, urusan besar bisa dibikin kecil, dapat
dilenyapkan. Begitulah perusahaanku tetap maju.
“Sekarang aku telah berusia
lanjut, sudah selayaknya aku beristirahat, untuk hidup tenang dan berbahagia
serumah tangga. Apa perlunya aku terus merantau menghadapi ancaman bahaya?
“Memang sejak sepuluh tahun
yang lalu, aku sudah mengundurkan diri. Tapi piauw-kiok tidak aku tutup, aku
serahkan kepada anakku.
“Kali ini kami menerima
angkutan, kebetulan anakku sakit tidak dapat keluar, terpaksa aku si tua mesti
mewakilinya. Kami mengantar piauw ke kotaraja, di waktu pulang, kami mendapat
pula angkutan.
“Seorang saudagar perlu
mengirim permata dan uang ke Lok-yang. Dia tidak dapat menemui piauw-kiok yang
cocok dengan hatinya, sebab di saat akhir tahun, semua perusahaan berhenti
bekerja. Disamping itu juga banyak yang kurang berani menangani urusan
pengangkutan kali ini.
“Kami harus melakukan
perjalanan pulang, lalu seorang sahabat memujikan kami. Tidak dapat aku menolak
permintaan sahabat itu, maka itu kami menerima lagi tanggung jawab ini.
“Kami ingin cepat sampai di
tempat tujuan, sengaja aku memotong jalan. Di luar dugaan, kali ini aku
menghadapi ancaman bahaya. Aku telah beberapa kali melihat orang-orang yang
sangat mencurigakan, tetapi aku masih belum memastikan mereka mengincar kami
atau bukan.
“Oleh karena itu, aku menduga,
disamping berjalannya sang waktu, tentu di sebelah depan akan terjadi peristiwa.
Itu pula sebabnya mengapa aku telah minta dan menyarankan pada laote mau
singgah saja di sini malam ini……!”
Ko Tie pura-pura kaget.
“Jika jalanan tidak aman,
tidak dapat kami berdua melanjuti perjalanan ini, terlalu berbahaya.....”
katanya kemudian, “Apakah.....?”
Sun Kiam tertawa dan menyelak:
“Lo-piauwtauw keliru melihat! Bie laote berdua adalah ahli-ahli silat yang
lihay! Lihat saja sinar mata Bie Laote!”
Ko Tie kagum untuk piauw-su
yang seorang ini. Tadinya ia ingin minta diajak jalan bersama, karena Sun Kiam
mengatakan demikian ia bilang:
“Sun Lao-su, benar sebagian,
tidak keseluruhannya. Isteriku bukannya ahli, ia hanya mengerti ilmu silat
kasar. Aku sebaliknya, aku benar-benar tidak tahu apa-apa.”
Tong Teng Bun tertawa.
“Benar-benar mataku si orang
tua lamur! Mengapa aku tidak dapat mengenali seorang pendekar? Laote, bukankah
kau pun..... akh, mungkin kau merendah saja.”
Ko Tie hendak menjawab
piauw-su tua itu, atau ia tercegah suara berisik di luar, di mana terdengar
orang tengah bertengkar mulut.
Di kala Tong Teng Bun terkejut
seorang pengawalnya lari sambil berkata: “Cong-piauwtauw, lekas! Di sana ada
seorang pengemis serta kawan-kawannya yang romannya bengis, datang-datang
meraba-raba barang kita di atas kereta!
“Waktu Oey Piauw-su mencegah,
mereka segera menyerang. Pengemis itu bersenjata seekor ular. Sudah empat orang
kita yang rubuh di tangannya. Oey Piauw-su sendiri rubuh juga!”
“Hemmm!” bersuara si piauw-su
tua, yang terus melangkah keluar, diikuti oleh Sun Kiam. Ia sampai lupa meminta
diri lagi pada Ko Tie dan Giok Hoa.
Mendengar di antara pengacau
ada pengemis, Ko Tie mengajak Giok Hoa keluar.
Di dalam pekarangan rumah
penginapan orang ramai berkumpul. Orang-orang piauw-kiok mengurung dua orang,
wajah mereka heran dan takut.
Orang yang dikatakan bengis
itu, berdiri sambil bertolak pinggang, tidak hentinya ia tertawa mengejek,
karena ia melihat sikap jeri dan gentar dari rombongan piauw-su.
Lima kaki terpisah dari dia
berdiri seorang pengemis yang matanya merah, hidungnya lancip, mukanya tirus,
kulitnya bersemu merah. Benar ia memegangi seekor ular dengan tangan kanannya.
Ular itu melilit-lilit dan mengulur-ulur lidahnya yang lentik menjijikkan.
Di tanah rebah lima pegawai
piauw-kiok.
Waktu itu terdengar si
pengemis tengah berkata dengan suara yang keras dan nyaring:
“Kalian orang piauw-kiok,
jangan kalian bermata anjing tidak melihat mata pada orang lain! Aku si
pengemis, telah banyak penglihatanku, maka juga barang-barangmu ini tidak ada
harganya di mataku!
“Sebaliknya di sebelah depan
sana memang ada seorang sahabat yang tengah menantikan kesempatan buat bertemu
dengan si tua she Tong! Aku justeru datang guna menyampaikan kabar!
“Mengapa kalian galak tidak
karuan? Hemmm! Sudahlah! Aku si tukang minta-minta mau pergi sekarang!”
Dia melirik kepada Tong Teng
Bun, yang telah muncul di waktu itu, maka sengaja ia mengucapkan kata-kata
seperti itu. Dan benar-benar dia hendak melangkahkan kakinya.
Tong Teng Bun melompati
orang-orangnya, ia berhenti di depan pengemis itu.
“Tuan, siapakah yang hendak
menyampaikan kabar kepadaku, si orang tua?” tanyanya. “Sebelum kau memberikan
keterangan, tidak dapat kau berlalu dari sini!”
Pengemis itu memutar balik
biji matanya, tampaknya galak sekali. Sikapnya seperti juga ia tidak memandang sebelah
mata kepada piauw-su tua itu.
“Aku kira siapa yang berani
main gila terhadap aku si tukang minta-minta!” katanya dengan suara yang dingin
menusuk telinga, “Kiranya Tong Teng Bun! Siapa sahabat itu, sebentar juga kau
akan mengetahui dengan sendirinya. Jadi tidak usah aku si pengemis
menggoyang-goyang lidah lagi!”
Itulah suatu penghinaan hebat,
maka juga tanpa mengatakan suatu apa lagi, Tong Teng Bun maju sambil
meluncurkan langsung ke dua tangannya menyerang jalan darah Hok-kiat kiri dan
kanan dari pengemis mulut besar itu.
Tidak perduli dengan serangan
itu, si pengemis bergerak acuh tak acuh ke samping. Namun gerakannya itu memang
mengagumkan juga, sebab ia gesit sekali, dia dapat berkelit.
Sayang sekali justeru Tong
Teng Bun bergerak lebih jauh, sehingga pengemis itu tidak bisa berkelit
keseluruhannya. Dapat ia mengegos di kanan, tetapi di kiri tidak, maka sasaran
di sebelah kiri telah terkena ditotok oleh Tong Teng Bun.
Sampai karena kesakitan, mata
pengemis itu mendelik keluar dan mulutnya memperdengarkan seruan kesakitan.
Bersamaan dengan mana ular di tangan kanannya dilemparkan kepada piauw-su tua
itu agar ular itu memagutnya.
Tong Teng Bun heran melihat si
pengemis tertotok, tetapi tidak rubuh, ia tergoncang.
Biasanya ia tidak pernah gagal
dengan totokannya tersebut. Justeru disaat Tong Teng Bun tengah tercengang
seperti itu, ular sudah terlempar sampai tinggal dua dim lagi di depan matanya.
Tidak sempat lagi ia
menangkis. Sambil melenggak, ia terus berjumpalitan, tetapi lihay ular itu yang
terus mengejar, sambil meleletkan lidahnya.
Para piauw-su kaget sekali,
semuanya juga berteriak kuatir untuk keselamatan piauwsu, pemimpin itu.
Tepat dikala setengah dim
kepala Tong Teng Bun akan kena dipagut oleh ular tersebut, mendadak binatang
lugat-legot yang ganas itu jadi merengket sendirinya. Tubuhnya lantas jatuh ke
tanah.
Cuma satu kali dia
berkelenjetan, seterusnya dia diam tidak berkutik lagi. Dia mati seketika,
dengan lidahnya masih melelet keluar!
Menyusuli menyambarnya ular
itu, si pengemis dan kawannya juga telah membarengi menyambar dengan lompatan
yang gesit maju buat menyerang Tong Teng Bun, mempergunakan kesempatan yang
baik-baik itu untuk merubuhkan piauw-su ternama ini!
Tong Teng Bun heran melihat
binatang berbisa itu rubuh tidak karuan-karuan, ia tercengang. Justeru itu ia
melihat menerjangnya kedua musuh tersebut, ia terkejut.
Tapi ia berpengalaman dan
tabah dengan cepat ia menggeser sebelah kakinya, guna memperbaiki diri,
berbareng dengan mana, ke dua tangannya diluncurkan guna menyambuti serangan
dengan kekerasan. Jurusnya ini adalah “Kuda Liar Mengibaskan Suri”!
Segera juga terjadi hal yang
benar-benar luar biasa. Mendadak terdengar jeritan hebat dari ke dua penyerang
itu. Tubuh mereka terpental melayang bagaikan layangan putus tali, jatuh di
tempat sejauh beberapa tombak.
Tapi mereka tidak terluka.
Rupanya begitu mereka jatuh segera dapat merayap bangun, terus mereka membuka
langkah panjang, buat melarikan diri, angkat kaki secepatnya.
Piauw-su tua itu tercengang
lagi. Tadi ia menyerang, tetapi ia kalah cepat!
Baru ia menyerang atau dadanya
sudah terasa sesak dan matanya gelap berkunang-kunang, karena disebabkan
gempuran angin dari tangan ke dua musuhnya. Tepat dikala ia hendak menggeser
tubuh, mendadak tubuh kedua orang itu terpental.
Kejadian seperti ini
benar-benar merupakan kejadian yang hanya beberapa detik saja.
Ia heran, namun segera ia
menduga sebab-sebabnya, hanya ketika ia menoleh, ia tidak melihat Ko Tie dan
Giok Hoa. Ia jadi mengerutkan kening.
“Bawa masuk mereka itu!” ia
perintahkan orang-orangnya guna menggotong ke lima orang pengawalnya yang telah
terluka, buat ditolongi. Sambil melangkah masuk, ia bertanya kepada Sun Kiam
siapa yang membantu padanya.
“Apa…..?!” balik tanya Sun
Kiam heran bukan main, “Bukankah mereka itu rubuh oleh hajaran piauw-tauw? Akh,
kalau begitu ular itu juga bukan dibunuh piauw-tauw sendiri.....!”
Ia menggelengkan kepalanya. Ia
menambahkannya kemudian: “Aku berdiri di sampingnya Bie Laote berdua. Aku tidak
melihat mereka menggerakkan tangan mereka sedikitpun juga. Mungkinkah ada orang
lain yang membantu secara diam-diam?!”
Piauw-su tua tersebut jadi
semakin heran, hatinya juga penuh ditanda tanyai oleh keraguan yang hebat. Tapi
ia harus menolongi orang-orangnya, tidak sempat ia bertanya lebih jauh atau
memikirkan urusan itu.
Sebenarnya Tong Teng Bun telah
dibantu oleh Ko Tie dan Giok Hoa. Si gadis yang menghajar ular dengan jarum
rahasia Bwee-hwa-ciam, dan si pemuda yang membikin si pengemis dan kawannya
terpental dengan gempuran pukulan “Inti Es”nya. Untuk ia cukup mempergunakan
dua jari tangannya, tidak usah ia bersikap seperti tengah menyerang hebat.
Ko Tie telah dapat menguasai
ilmu pukulan Inti Es nya, karena itu, ia bisa menguasai tenaga dalamnya
sekehendak hatinya. Dengan demikian, walaupun ia cuma menggerakkan jari-jari
tangannya secara perlahan, tenaga yang tersalur hebat luar biasa.
Tidak puas Ko Tie menyaksikan
kegalakan dan keganasan si pengemis. Ia segera juga mempergunakan lima bagian
dari tenaga Inti Esnya pada ke dua jari tangannya yang kanan.
Begitu cepat si pengemis dan
kawannya melompat menerjang. Ia mementil dengan dua jarinya itu ke arah mereka
masing-masing, maka tiada waktu lagi dia telah membikin gagal dengan serangan
mereka dan malah tubuh mereka terpental.
Karena seketika mereka
merasakan betapa tubuh mereka menggigil kedinginan, seperti juga mereka itu
telah direndam di dalam bak yang penuh dengan es. Dengan sendirinya Ko Tie
dengan ilmu Inti Es-nya itu, yang ternyata memang sangat lihay sekali, walaupun
hanya mempergunakan jari tangannya belaka, namun tetap saja ia berhasil untuk
merubuhkan ke dua orang itu dari jarak yang terpisah cukup jauh.
Itulah percobaan pertama kali
dimana Ko Tie mempergunakan tenaga “Inti Es”nya itu dalam jarak pisah yang jauh
dan hanya mempergunakan ke dua jari tangannya belaka.
Itulah pula sebabnya mengapa
Sun Kiam tidak melihat gerakan tangannya. Setelah itu ia menarik tangan Giok
Hoa, buat diajak cepat kembali ke kamar mereka.
Giok Hoa heran, sampai di
dalam kamar, dia diam menjublek mengawasi Ko Tie.
Ko Tie mengerti akan sikap
yang terheran-heran seperti itu.
“Aku telah berpikir,” kata Ko
Tie kemudian sambil tersenyum. “Karena Tong Teng Bun sahabat rimba persilatan
yang namanya bersih dan ia juga seorang gagah yang mementingkan kejujuran dan
kependekaran, dengan demikian aku memutuskan buat membantui dia!
“Kasihan jika sampai dia mati
di tangan lawannya, manusia-manusia jahat itu. Tapi di depan kita ada urusan
lainnya, yaitu kita masih harus pergi ke berbagai tempat, maka kita tidak bisa
membuang-buang waktu terlalu banyak untuk berkumpul dengan mereka.
“Aku membantuinya dengan
diam-diam…… Akupun berpikir untuk melakukan perjalanan bersama-sama dengan
rombongan piauw-su itu, pada saatnya, kita bekerja cepat, agar dengan demikian
kita pun tidak membuang waktu terlalu banyak!”
Setelah berkata begitu,
tampaknya Ko Tie ragu-ragu. Dan di saat itu Giok Hoa telah melihat kesangsian
si pemuda, maka ia bertanya,
“Kenapa? Apakah ada sesuatu
yang tidak beres?!!”
Waktu itu si gadis jadi
canggung dan kikuk, karena ia melihat Ko Tie tengah mengawasinya dengan tatapan
mata yang sangat tajam sekali, mengawasi terus padanya, maka dengan tersenyum
Giok Hoa berkata: “Dengan mata keranjangmu kau menatap saja, sebenarnya kau hendak
mengatakan apa?!”
Pemuda itu tertawa karenanya.
“Aku pikir dengan cara
berpakaianmu seperti sekarang sangat menyolok mata,” jawab Ko Tie kemudian.
“Aku kuatir nanti muncul gangguan yang memusingkan kepala dari orang-orang
rimba hijau! Baiklah kau menyamar menjadi seorang pemuda saja……!”
Giok Hoa melirik pemuda itu
tanpa mengatakan apa-apa, ia pergi ke meja dan duduk di depannya, menghadapi
cermin tembaga. Terus juga ia membuka kuncirnya, buat dijadikan kondai yang
gepeng. Setelah mana ia membeleseki kopiah yang si pemuda beli di Kwan-gwa di
atas kepalanya, sehingga kondai itu tertutup semua.
Setelah mana ia menutup
tubuhnya dengan jubah kulit, sedangkan sepatunya juga ditukar. Maka lain saat,
jadilah ia seorang pemuda yang tampan luar biasa, yang berimbang tampannya
dengan engko Tie nya itu. Di muka cermin, ia tertawa sendiri melihat wajahnya
dalam penyamaran seperti itu.
Ko Tie kagum tidak terhingga,
sampai tidak hentinya dia telah memujinya.
Tidak lama kemudian terdengar
pintu diketuk.
“Silahkan masuk!” kata Ko Tie
setelah melirik kepada Giok Hoa.
“Bie Laote, aku!” terdengar
suara di luar, suaranya Tong Teng Bun, yang terus menolak daun pintu dengan
melangkah masuk.
Mereka, merandek ketika ia
melihat Ko Tie berada bersama seorang pemuda lainnya, sehingga ia mengawasi
tajam. Hanya saja, segera ia mengenali maka ia bilang di dalam hatinya:
“Mereka ini sangat setimpal
sekali! Jarang pasangan seperti mereka…… cuma, mengapa ia menyamar sebagai
pria?!”
Biar dia heran, piauw-su ini
tidak berani menanyakan langsung, ia hanya tersenyum sambil mengangguk.
Ko Tie menyambut sambil
tersenyum,
“Baikkah mereka yang terluka
itu?!” tanya Ko Tie kemudian. “Apakah luka mereka telah dapat disembuhkan?”
Piauw-su itu mengerutkan
sepasang alisnya, ia menghela napas dalam-dalam.
“Dapat dibilang mereka baru
terlolos dari kematian!” sahutnya dengan suara yang perlahan dan muka yang
guram. “Ular si pengemis ternyata seekor ular yang sangat beracun sekali.
“Ular itu yang bernama
Ngo-hoa-kim-in berasal dari tanah Biauw, di mana siapa saja yang terpagut, asal
racunnya bercampur dengan darah, menyelusup ke dalam jantung, korbannya pasti
binasa! Syukur dia dapat menutup jalan darah masing-masing.
“Aku harus bekerja keras
sekali menyedot ke luar racun itu. Mungkin lewat beberapa bulan sebelum mereka
dapat sembuh seperti sedia kala. Barulah akan berangsur-angsur kesehatan mereka
pulih....... karena untuk sembuhnya luka gigitan ular seperti Ngo-hoa-kim-in
memang memakan waktu yang sangat panjang sekali!”
“Syukurlah kalau begitu!” kata
Ko Tie, menghibur. “Sekarang ini tidak usah lo-piauwtauw terlalu berkuatir.
Tapi kami menyaksikan lagaknya ke dua orang itu, kami tidak puas, maka itu
barusan kami telah berdamai. Isteriku ini telah segera menyamar sebagai pria,
suka ia membantu dengan sedikit tenaganya!”
Tong Teng Bun girang,
“Sungguh itu tidak berani aku
mengharapkannya!” katanya. “Terima kasih! Terima kasih! Mengharap saja aku
tidak berani, siapa tahu telah menerima budi yang demikian besarnya!”
Walaupun ia berkata demikian,
orang tua itu tetap saja curiga. Ia percaya pasti mereka ini yang telah
membantunya, walaupun benar Sun Kiam tidak melihatnya.
Sekarang jelas si gadis
mengerti ilmu silat. Hal ini menambah kepercayaan atas terkaannya itu.
Tinggallah si pemuda. Mau ia
menyangka, pemuda ini telah demikian mahirnya kepandaiannya, sehingga ia dapat
menyembunyikan kepandaiannya dalam lagak wajarnya.
Mau atau tidak Tong Teng Bun
mengawasi tajam kepada Ko Tie, masih ia tidak melihat sesuatu pada sinar mata
si pemuda.
Ko Tie tersenyum, ia bilang:
“Membantu kesulitan orang dan menolongi bahaya, itulah kewajiban setiap orang.
Oleh karena itu kami harap lo-piauwtauw jangan mengucapkan terima kasih.
Silahkan lo-piauwtauw bersiap, lebih cepat kita berangkat berarti lebih lekas tugas
kita selesai!”
“Baiklah!” kata piauw-su itu
sambil memberi hormat.
Ia segera mengundurkan diri.
Ia masih berpikir keras. Ia kecele, ia yang demikian ternama, sekarang menerima
bantuan anak-anak muda……!”
Setelah berlalunya orang tua
itu, Ko Tie bilang kepada kekasihnya: “Sebentar di tengah jalan, kalau benar
terjadi sesuatu, kau sendirilah yang turun tangan, engkomu hanya ingin berpeluk
tangan!”
Giok Hoa terkejut.
“Hai! Mana boleh begitu?!”
katanya bingung.
“Jangan bergelisah!” kata Ko
Tie kemudian mencegah orang bicara lebih jauh. “Kau harus mengerti, setelah
disalurkan olehku, sekarang ini tenagamu telah bertambah satu kali lipat.
“Setelah kau berlatih beberapa
bulan lagi, tentu kepandaianmu lebih hebat lagi! Dan juga, para kurcaci itu
tidak memiliki kepandaian yang berarti. Dengan kepandaian yang kau miliki saja,
engkau dapat merubuhkan mereka semua!
“Nanti jika memang ada sesuatu
rintangan yang berat dan engkau tidak bisa mengatasinya, barulah aku akan turun
tangan…… Dan engkau harus berlaku tabah serta tenang, karena pertempuran
seperti itu merupakan juga pengalaman buat kau sendiri……!”
Giok Hoa mengawasi tajam.
“Kalau begitu, kau telah
demikian yakin bahwa aku akan dapat membereskan persoalan ini?!” kata Giok Hoa
kemudian menegaskan
Ko Tie mengangguk.
“Ya! Dan kita lihat saja
nanti!” Ko Tie telah bilang lagi sambil tertawa.
Tiba-tiba sekali terdengar
suara tertawanya Tong Teng Bun di luar kamar, sambit mendatangi ia bilang:
“Bie Laote, apakah kalian
sudah siap sedia? Sekarang juga kami bermaksud berangkat!”
Ko Tie berdua segera membuka
pintu kamar dan keluar.
“Kami sudah siap,
lo-piauwtauw!” jawabnya. “Kami memang tidak mempunyai bekal apa-apa, kami dapat
berangkat sembarang waktu!”
Hanya saja si gadis, yang baru
pertama kali menyamar sebagai seorang pria. Tindakannya kurang leluasa,
sikapnya kaku dan ia telah tersenyum-senyum dan wajahnya berseri-seri.
Ketika mereka tiba di luar,
kereta-kereta sudah mulai berangkat, pegawai yang jalan di muka asyik
memperdengarkan seruannya:
“Su-ma-hui-teng atau Empat
Kuda Terbang naik. Itulah isyaratnya rombongan piauw-kiok tersebut yang memang
memakai gambar empat ekor kuda sebagai lambangnya.
Ke lima orang yang terluka
telah digotong oleh beberapa orang kawannya.
Tong Teng Bun yang berjalan sambil
setiap kali mengawasi kotak panjang di tangan Ko Tie. Ia jadi heran dan
bertanya-tanya di dalam hati, entah apa isinya kotak panjang yang seperti khim
itu. Namun ia tidak berani menanyakan apa-apa.
Setelah Ko Tie berdua naik di
keretanya, ia melompat naik ke atas kudanya. Ketika si tukang kereta berseru
sambil mengulapkan cambuknya beberapa kali, bergeraklah ke empat keledainya,
untuk menyusul kereta-kereta piauw tersebut.
Tenda kereta disingkap, maka
itu angin yang santer keras meniup terhembus kepada si pemuda dan si pemudi.
Walaupun mereka bertubuh kuat dan tabah, mereka tokh merasakan perasaan dingin
sedikit. Tapi mereka perlu melihat ke segala arah, terpaksa tenda kereta itu
tetap dipentang terbuka.
Kho-ke-kauw merupakan suatu
jalan panjang mirip lorong, di mana terdapat seratus lebih rumah penduduk. Tapi
sebentar saja mereka telah melewati ujung jalannya.
Ketika itu jalanan becek, maka
tidak sulit untuk melihat sesuatu di atas tanah. Tampak bekas bekas roda kereta
lain serta tapak-tapak kaki kuda. Cuaca terang benderang dan cukup baik.
Sekeluarnya dari batas
Kho-ke-kauw, di sepanjang jalan terlihat penduduk setempat, pria dan wanita
dalam rombongan-rombongan dari tiga atau lima orang, dengan membawa kartu nama,
berkunjung ke rumah- rumah sanak atau sahabat mereka untuk memberi ucapan
selamat tahun baru. Atau mereka yang baru pulang. Maka ramailah di jalan itu.
Ko Tie dan Giok Hoa mengawasi
mereka, yang cara berpakaiannya berbeda dari pada penduduk lain propinsi.
Mereka mengenakan baju warna merah dan celana hijau, jalannya elok.
Lengan dan jari tangan mereka
seperti ditabur dengan gelang dan cincin. Rambut merekapun ada penghiasan
lainnya yang berkilauan. Seperti telinga mereka terdapat giwang atau
anting-anting.
Mereka seperti juga tengah memamerkan
kemewahan mereka. Yang paling menarik hati lagi ialah wanitanya, yang memiliki
kaki jauh lebih kecil dan pada kakinya wanita lain di wilayah di luar propinsi
ini.
“Apakah yang bagus dilihat?!”
tiba-tiba Giok Hoa berkata kurang senang seperti itu, waktu ia melihat Ko Tie
tengah mengawasi penuh rasa kagum pada wanita-wanita di sepanjang jalan itu.
Ko Tie menoleh, ia tertawa.
“Aku merasa aneh!” katanya.
“Kalau mereka itu dapat keluar, apakah mereka tidak boleh dipandang?!”
“Tapi kau mengawasinya mendelong-delong!”
kata si gadis yang matanya melotot. “Apakah kau tidak takut lo-piauwtauw nanti
dapat melihat lagak burukmu dan mentertawaimu?”
“Tidak apa-apa……!” kata Ko Tie
tertawa juga. “Aku bahkan dengar di kota Tay-tong pada tanggal enam akan diadakan
perlombaan kaki kecil dan mungil, dialah yang menang!
“Yang nomor dua dan nomor tiga
juga masih dapat hadiah! Kalau sampai waktunya, mari kita pergi menyaksikan
perlombaan itu, tentu merupakan pertunjukkan yang sangat menarik hati!”
“Cissssss!”si gadis kewalahan,
tapi ia terus melengos dan tidak bilang apa-apa lagi.
Ko Tie tidak melayani sikap si
gadis, ia cuma tertawa tidak hentinya, tampaknya pemuda ini senang sekali.
Iring-iringan kereta berjalan
terus. Tanpa merasa telah melalui tigapuluh lie.
Kereta keledai mengikuti semua
kereta piauw, yang jalannya lambat maka terlihat di sana Tong Teng Bun berdua
Sun Kiam menjalankan kuda mereka berendeng, Mereka itu bicara sambil
tertawa-tawa, entah apa yang dipercakapkan oleh mereka.
Di depan rombongan itu,
perjalanan mulai tidak rata. Di kiri dan di kanan, lebat dengan pohon-pohon.
Maka mulailah, mereka merasakan sukarnya.
Dengan adanya bukit-bukit di
kedua sisi, artinya mereka tengah jalan di selat atau lembah. Di antara
pohon-pohon cema¬ra pun terdengar suara angin keras.
“Tidak jauh lagi ialah selat
Gin-kang-kiap!” kata Giok Hoa perlahan, tanpa menoleh.
Belum lagi berhenti suara si
gadis, di belakang mereka mendadak terdengar derapnya beberapa ekor kuda,
sebentar saja kereta-kereta piauw dilewatkan.
Mana mereka itu dapat dikenali
sebagai lima orang yang tadi mereka jumpakan di rumah penginapan. Mereka itu
mem¬bunyikan cambuk mereka berulang kali dan berseru seru juga dengan suara
yang nyaring.
Rupanya mereka tengah
mengeluarkan gertak¬an mereka, untuk meruntuhkan semangat dari para orang piauw
tersebut. agar mereka itu lenyap keberaniannya.......!”
Tidak jauh mereka berlima
melewati rombongan kereta piauw, lalu mereka menghentikan kuda mereka, terus
mereka memutar kuda masing-masing, dan lari kembali, memapak kepada rombongan
piauw tersebut dengan cepat.
“Mereka menyebalkan!” kata
Giok Hoa sengit, dan muak oleh sikap ke lima orang itu. “Mereka harus diberi
rasa!”
Ketika ke lima orang
penunggang kuda itu sampai di depan kereta keledai, mendadak yang seorang
berseru dengan suara yang nyaring sekali:
“Eh, aneh! Mengherankan
sekali!” segera ia menahan kudanya, diikuti oleh ke empat orang kawannya.
Lantas juga dia menambahkannya: “Bukankah tadi kita melihat seorang nona manis?
Mengapa sekarang dia salin rupa?”
Kata-kata orang itu disarukan
bentakan nyaring, tapi halus. Mendadak mereka berlima rubuh dari kuda mereka,
dengan masing-masing menutup mata mereka berkoseran berkelojotan di tanah.
Dari antara jari-jari tangan
mereka lantas terlihat mengalirnya cairan merah. Dan ke lima orang itupun
segera menjerit-jerit teraduh-aduh hebat sekali menyayatkan hati……
Di atas keretanya, Giok Hoa
tertawa dingin dan berkata: “Nona kalian masih baik budi, maka dia membiarkan
jiwamu masih hidup! Kusir! Jalankan terus kereta kita!”
Kereta itu berhenti dengan
tiba-tiba sebab ke lima penunggang kuda berhenti. Sementara itu Giok Hoa sudah
mempersiapkan belasan batang jarumnya.
Ia benci keceriwisan dan
ketengikkan sikap ke lima ouang tersebut, maka ia menimpuk sebelum orang
menutup rapat mulutnya, maka mata mereka kena tertusuk jarum. Saking sakitnya,
mereka terguling jatuh dan bergulingan di tanah sambil berteriak-teriak
kesakitan dengan suara raungan yang menyayatkan.
Tong Teng Bun dan Sun Kiam
lari balik dengan kuda mereka yang dilarikan dengan cepat. Ketika mereka
melihat ke lima penunggang kuda itu, yang sikapnya mencurigakan, menghentikan
kudanya di dekat kereta Ko Tie. Mereka jadi berkuatir sekali.
Ketika mereka menyaksikan
kesudahannya, walaupun mereka berkasihan, mereka tidak bilang apa-apa. Cuma si
piauw-su tua menghaturkan terima kasih, lalu ia mengajak kawannya lari pula ke
depan.
Rombongan kereta berjalan
terus seperti juga tidak pernah terjadi sesuatu peristiwa. Lewat empat atau
lie, kembali terdengar suara berisik di sebelah belakang.
Kali ini yang muncul belasan
penunggang kuda di antaranya ada yang membawa ke lima penunggang kuda tadi.
Ketika mereka tiba di sisi ketua piauw-kiok, ialah seorang di antara mereka
berkata dengan suara yang keras:
“Tua bangka she Tong, di depan
kau nanti saksikan sesuatu yang bagus dilihat!” Terus mereka melarikan kuda
mereka dengan cepat.
Tong Teng Bun tidak melayani
bicara bentakan orang itu. Ia hanya menjalankan kudanya terus.
Lagi lewat sekian lama,
tibalah mereka di mulut selat, yang kiri dan kanannya berlamping tajam dan
curam sekali.
“Ini dia mulut Gin-kang-kiap!”
kata Giok Hoa dengan perlahan. “Inilah tempat yang dipilih si penjahat untuk
mereka turun tangan!”
Ketika itu terdengar suaranya
Tong Teng Bun, atas mana semua keretanya berhenti berjalan, terus berkumpul di
dalam jarak tertentu dan rapi sekali.
Ko Tie memandang ke
sekitarnya. Selat itu memiliki rimba kecil di kiri dan kanannya. Di situ tidak
ada rumah penduduk.
Di sebelah kanan ada jalanan
cagak tiga, yang tampaknya naik ke atas bukit. Ia heran juga sebab juga sampai
sekian lama ia tidak mendengar suara apa-apa.
Tengah ia menduga-duga,
barulah ia melihat munculnya beberapa puluh orang, yang berlari-lari mendatangi
dari dua arah, kiri dan kanan, seperti juga menutup mati jalan majunya
rombongan kereta piauw tersebut.
Cepat sekali mereka juga telah
sampai, puluhan orang itu, yang datang dari dua arah, tidak mempergunakan kuda
tunggangan. Melainkan mereka berlari-lari seperti juga mereka bayangan-bayangan
saja, karena gesitnya mereka dan mahirnya ilmu gin-kang mereka.
Salah seorang di antara mereka
telah menghampiri Tong Teng Bun. Dia telah berusia enampuluh lebih, tubuhnya
kekar. Bagaimana pun ia merupakan seorang yang masih memiliki sikap yang gagah dan
angker.
Ia juga memiliki apa yang
dinamakan “Punggung harimau dan Pinggang biruang”, cuma dia sedikit bungkuk.
Kumis dan jenggotnya sudah putih semua.
Dia segera tertawa lebar dan
berkata: “Saudara Tong! Baru berpisah belasan tahun, tidak kusangka kau masih
tetap gagah dan tangguh, seperti juga dulu-dulu! Sungguh kau berbahagia
sekali!”
Cuma sejenak, lantas ia
menambahkan, dengan sikap bersungguh-sungguh bengis dan suaranya pun keras
sekali.
“Saudara Tong, baiklah kau
mengerti! Di antara kau dan aku orang she Ciu tidak ada sangkut pautnya, tetapi
kali ini aku hanya menerima permintaan seorang sahabat, permintaan mana sulit
untuk ditolak!
“Sebenarnya ada niatku untuk
mengadakan perdamaiannya, supaya urusan dapat disudahi, apa mau kau telah
melukai orang-orangku. Hal mana tidak dapat dibiarkan saja. Maka dari itu
saudara Tong, sukalah kau memberi keadilan padaku?!”
Tong Teng Bun terkejut ketika
ia mengetahui bahwa orang tersebut tidak lain dari Ciu Yang Cin, begal yang
paling terkenal di daerah ini, merupakan begal yang paling telengas tangannya.
Ia memberi hormat dan menyahuti sambil tertawa:
“Oohh, kiranya Ciu Tong-ke!
Memang sudah lama kita tidak pernah bertemu. Tapi Ciu Tong-ke, mengenai urusan
ini, sulit buat aku berkata.
“Sudah tiga hari lamanya dalam
perjalanan ini, Teng Bun selalu menemui orang-orang yang mencurigakan, yang
senantiasa mengawasi kami. Sulit untuk aku mengenali mereka lawan atau kawan.
Sebab mereka itu tidak sudi memperkenalkan diri.
“Tentang kejadian di tempat
penginapan itu, di sana seorang pengemis yang membawa-bawa ular berbisa telah
melukai beberapa orangku. Karena itu terpaksa aku turun tangan……!”
Tong Teng Bun berhenti
sebentar, kemudian dia memperlihatkan sikap yang heran, dia tanya: ”Mungkinkah
orang-orang Kay-pang pun berada di bawah perintahmu, Ciu Tong-ke?!”
Ia berpaling kepada pihaknya
dan berkata keras: “Coba bawa kemari, mereka yang terluka, terpagut ular!
Tolong perlihatkan kepada Ciu Tong-ke!”
Perintah itu dijalankan dengan
segera. Empat buah usungan segera dibawa keluar, dibawa dekat Ciu Yang Cin.
Muka Ciu Yang Cin berobah jadi
merah, alisnya yang tebal dikerutkan. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali.
“Pengemis itu bukan orangku!”
katanya kemudian menjelaskannya, “Aku cuma menanyakan lima orangku yang terlukakan……!”
Mendengar perkataan Ciu Yang
Cin seperti itu, Tong Teng Bun tertawa lebar.
“Pertanyaan kau ini aneh bukan
main, Ciu Tong-ke!” sahutnya nyaring. “Mengapa sebelum kau menanyakan jelas
segera engkau menegur aku si orang tua?
“Orang-orangmu itu sudah
berlaku kurang ajar, mereka telah mengganggu dua orang muda gagah yang naik
kereta keledai! Mereka mencari bahaya sendiri, dan itu tidak dapat
dipersalahkan siapa juga!
“Akupun hendak menjelaskan, ke
dua orang pemuda itu bukanlah rekanku! Ciu Tong-ke, urusan telah jadi jelas,
tadi kau menyebut kau telah menerima permintaan orang, sahabat baikmu, mengapa
dia tidak tampak di sini?!”
Ciu Yang Cin tidak menyahuti,
dia segera memandang bengis kepada Ko Tie dan Giok Hoa berdua, yang kereta
keledainya diberhentikan di dekat mereka.
Malah waktu itu Ciu Yang Cin
telah tertawa bergelak-gelak. Itulah suara tertawa ejekan, yang menyeramkan dan
mengandung bawa pembunuhan yang menggidikkan tubuh.
“Sahabat baik itu telah
menantikan lama sekali!” katanya nyaring.
Lantas ia bersiul keras dan
lama. Semakin lama suara siulannya itu semakin nyaring dan keras, terbawa
angin, sampai jauh, sehingga memperoleh sambutan dari atas jurang. Dari mana
lalu tampak mendatangi melompat turun sesosok tubuh.
Orang yang tengah mendatangi
itu melompat jumpalitan tiga kali. Waktu dia sampai di bawah, tampak dia
mengenakan baju panjang warna kuning emas, yang berkilauan di bawah sinar
matahari, bagus sekali untuk dilihat.
Tong Teng Bun sudah segera
mengenali bahwa orang itu adalah Boan Siam Ki, yang dulunya sama terkenalnya
dengan dia sendiri, karena orang pun lihay kepandaiannya. Ilmu silat pedang
maupun kepalan tangan kosongnya.
Demikian juga halnya dengan
senjata rahasia dia sangat terampil sekali, disegani oleh orang-orang rimba
persilatan. Dia adalah orang Kong-tong-pay, jadi dia merupakan seorang jago
yang termasuk dalam golongan sesat dan lurus perbuatannya baik dan jahat
bercampur baur.
Dialah seorang di antara
sembilan jago pedang di Tiong-goan. Jago nomor satu adalah seorang tokoh rimba
persilatan, tokoh sakti yang jarang sekali bisa dijumpai orang. Dan justeru
Boan Siam Ki termasuk yang duduk dalam urutan ke sembilan.
Nama besar Tong Teng Bun yang
terkenal akan kelihayan ilmu pedangnya, maka dia tidak puas dan segera juga ia
mencari Tong Teng Bun, sampai tiga kali dia menantang, tapi selama itu Tong
Teng Bun menolak tantangannya.
Dan penampikan tantangan Tong
Teng Bun atas tantangan Boan Siam Ki membuat dia tidak merasakan bahwa nama
besarnya jadi jatuh di sebelah bawah. Tapi ia tetap saja tidak mau mengerti,
dengan berbagai cara Siam Ki mendesak Teng Bun buat bertanding.
Akhirnya permintaannya itu
diterima, dia dilayani. Dengan kesudahannya Siam Ki kalah seurat, karena itu
membuat Siam Ki jadi tambah penasaran. Dikala pedang beradu, dia berlaku
telengas.
Terpaksa akhirnya Tong Teng
Bun melukai, kempolannya. Barulah setelah itu Siam Ki mau menyingkirkan diri.
Tidak diduga sekali sekarang
setelah urusan di masa belasan tahun itu lewat, dia muncul lagi. Tentu saja
Tong Teng Bun tidak pernah menyangka akan terjadi urusan seperti ini. Dia jadi
mendongkol bukan main.
M i s s i n g S e b a g i a n
P a g e 48
tertawa dingin” di dalam rimba
persilatan lebih baik orang mati dari pada namanya rusak!
Untuk sakit hati ditikam pada
kempolanku oleh pedangmu dulu itu, aku telah berdiam diri di dalam gunung
sampai sepuluh tahun! Aku telah menyaksikan ilmu pedang yang lebih tinggi, maka
dari itu sekarang jika kau dapat mengalahkan aku pula, nanti aku menghapus
sendiri gelaranku sebagai Jago Pedang Menggentarkan Kang-ouw!”
Mau atau tidak, Tong Teng Bun
jadi gusar, darahnya meluap naik.
“Boan Siam Ki, dengan
kata-katamu ini tidak dapat kau memperdaya aku!” katanya. Kemudian. “Jika benar
kau hendak menuntut balas, engkau boleh mencari aku di kantorku, karena aku
Tong Teng Bun setiap saat bersedia melayani kau! Tapi ……
M i s s i n g S e b a g i a n
P a g e 49
Ciu Tong-ke! Ciu Tong-ke telah
menerima baik undangannya dari seorang sahabatnya, buat menghadapi seseorang
yang baru muncul di dalam rimba persilatan, dan sudah mengirim orangnya ke
berbagai penjuru menyelidikinya! Kebetulan saja aku mendengar kau tengah
mengantar piauw dan lewat di sini.
Dari itu aku segera melakoni
perjalanan jauh untuk melakukan pertempuran yang memutuskan dan menentukan
denganmu! Seorang laki-laki harus bekerja secara laki-laki. Kau mengatakan aku
hendak merampas piauwmu, itulah lucu! Aku cuma kebetulan saja datang bersama
Ciu Tong-ke!”
Di kala ia berkata-kata
begitu, tampak Boan Siam Ki bengis bukan main. Ia juga memandang dengan mata
mendelik kepada Tong Teng Bun.
Disaat mereka tengah mengadu
mulut, Ciu Yang Cin sudah melompat maju ke depan kereta keledainya Ko Tie,
mengawasi si pemuda dan Giok Hoa, terus dia tertawa. Sambil memperdengarkan
suara tertawa menyeramkan, dia bilang.
“Dua orang pemuda, benar-benar
kalian tidak mengetahui tingginya langit dan tebalnya bumi! Cara bagaimana
kalian berdua berani melukai orang-orangku? Apakah mungkin kalian tidak
mengetahui peraturanku?!”
Ko Tie dan Giok Hoa tertawa
dengan berbareng, mendadak sekali tubuh mereka mencelat dari keretanya, lompat
ke depan orang yang membuka mulut besar dan sikapnya sangat angkuh itu.
Ciu Yang Cin orang yang
ternama, tapi dia heran dan terkejut. Dia tidak melihat bagaimana caranya ke dua
orang itu bergerak, karena tahu-tahu mereka sudah berdiri di depannya.
Setelah salin pakaian, berdiri
berendeng dengan Ko Tie, Giok Hoa dan Ko Tie mirip sepasang anak kembar,
sama-sama muda, sama-sama tampan, wajah mereka mentereng dan gagah.
Mengawasi mereka, jago itu pun
kagum. Tapi ia mundur selangkah, dia mengawasi ngan tajam sekali.
“Hemmm!” Giok Hoa
memperdengarkan ejekannya. “Siapakah yang sudi memperhatikan segala
peraturanmu? Sekalipun ada, aturan itu cuma untuk mengurus segala maling ayam
dan pencuri anjing! Sekarang aku hendak tanya kepadamu, kau sebenarnya mau cari
siapa?!”
Ciu Yang Cin tertawa keras,
tetapi dingin.
“Aku tidak dapat
menetapkannya!” jawabnya kemudian. “Cuma satu hal sudah pasti. Siapa main gila
terhadapku, dialah yang aku cari!”
Suara jago dari Ong-ok-san ini
belum berhenti benar atau mendadak sekali pipi kirinya memperdengarkan suara
menggelepok nyaring, pada pipi itu segera terbekas telapak tangan yang memerah.
Dia merasakan kepalanya pusing dan matanya kabur berkunang-kunang.
Ko Tie sebal untuk kejumawaan
orang, maka dia telah mengirim tamparannya itu!
Semua orang jadi kaget dan
heran, gerakan pemuda itu hampir tidak terlihat.
Sedangkan Sun Kiam berkuatir
melihat Ciu Yang Cin menghampiri kereta keledainya Ko Tie berdua. Dia kuatir
mereka itu nanti bercelaka, maka diam-diam dia memberi isyarat dengan tangannya
kepada dua orang piuwsu tua untuk piauw-su tersebut menghampiri, guna membantu
disaat yang diperlukan.
Tapi menyaksikan apa yang
terjadi sekarang ini, di mana Ciu Yang Cin telah ditempeleng pipinya, ia
terkejut, heran dan juga kagum sekali. Sampai ia mengawasi dengan menjublak.
Tadinya ia menyangka Giok Hoa
yang lihay, tidak tahunya orang she “Bie” yang juga lihay sekali. Maka sekarang
legalah hatinya.
Ciu Yang Cin berdiam sekian
lama karena tamparan itu, setelah tersadar ia berteriak keras, meraung, dan
mementang ke dua tangannya mau melompat, untuk menyerang.
“Kereplok!” Kembali terdengar
suara gaplokan dan tamparan yang ke dua telah singgah di pipi kanannya sebelum
ia melompat!
Giok Hoa menyaksikan cara Ko
Tie melompat dan menyerang, ia jadi kagum dan gatal tangannya, maka dia
menggerakan kaki kirinya. Dengan tipu silat Kiu-kiong-ceng-hoan Im-yang-pou,
setelah melesat bagaikan kilat menyambar, tangan kirinya terayun, mampir di
pipi kanan orang, sehingga lagi-lagi Ciu Yang Cin kesakitan dan menjublak
disebabkan kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang kabur.
Ciu Yang Cin seorang ternama
di dalam rimba persilatan, hampir semua orang persilatan menghormatinya.
Sekarang ia dihina demikian rupa, tidak dapat ia mengendalikan diri lagi.
Dengan segera ke dua tangannya
meraba pinggangnya, untuk meloloskan senjatanya yang istimewa, yang telah
mengangkat namanya ialah rantai Kiu-cu-bo-lian-hoan. Hanya saja, belum lagi
senjatanya itu terloloskan, Ko Tie sudah melompat ke depannya, memegang ke dua
tangannya, sambil berbuat mana dan diiringi senyumannya.
Ko Tie berkata sabar: “Ciu
Yang Cin, jangan kesusu.....”
Terus ia menunjuk dengan
tangan kirinya kepada Tong Teng Bun dan Boan Siam Ki untuk menambahkannya: “Kau
tunggu sampai mereka itu sudah bertempur dan ada keputusannya, masih belum
terlambat buat kau gerakan tanganmu!”
Setelah berkata begitu, tanpa
menantikan jawaban, Ko Tie melepaskan tangan kanannya sedang tangan kirinya
menyambar Giok Hoa. Buat diajak melompat mundur ke belakang.
Ciu Yang Cin berdiri diam, ke
dua tangannya di pinggangnya, ia mengawasi ke dua pemuda itu, pikirannya jadi
kacau.
Benar-benar dia tidak
mangerti. Ia menyadari bahwa ke dua pemuda ini memang sangat lihay, namun dalam
usia semuda itu dan memiliki kepandaian yang demikian hebat, benar-benar baru
pertama kali dilihatnya.
Entah mengapa, tangannya
seperti kehilangan tenaga. Seumurnya belum prrnah ia mengalami kejadian seperti
sekarang ini. Sampai diakhirnya ia menghela napas dan berkata kepada dirinya
sendiri:
“Ciu Yang Cin, buat apa kau
banyak lagak? Ke dua pemuda itu lihay sekali. Lihatlah gerakannya tadi! Apakah
kepandaianmu sendiri? Kau tidak nempil terhadap mereka.....”
Lantas ia tunduk. Dengan lesu
ia mengangkat kalinya untuk ngeloyor keluar gelanggang.
Selama itu, Tong Teng Bun dan
Boan Siam Ki telah berhadapan dengan pedang di tangan masing-masing. Mereka
jalan berputar tanpa ada salah seorang yang mau turun tangan lebih dulu, sampai
mereka itu mirip tukang latih binatang peliharaannya, di mana sebagai pelatih
mereka tengah berlaku sabar sekali.
Ko Tie melihat kelakuan ke dua
orang, ia tertawa. Ia teringat, memang banyak sekali orang-orang rimba
persilatan yang umumnya dalam pertempuran selalu bersikap seperti itu.
Kemudian, dengan tiba-tiba
sekali tampak Boan Siam Ki memutar pedangnya, sehingga terlihat sinarnya
berkelebatan bundar, suaranya seperti mengaung dari mana bisa diduga lihaynya
ilmu silat pedangnya.
Menyaksikan gerakan itu, Ko
Tie segera mengerti. Itulah ilmu silat pedang yang tidak rendah, kiam-hoat yang
tidak boleh diremehkan. Hanya saja orang she Boan ini telah merobahnya dan
dimahirkannya lebih sempurna dari ilmu pedang umumnya, kemungkinan besar ilmu pedangnya
berada di atas kepandaian Tong Teng Bun.
Tong Teng Bun juga sudah
segera menggerakkan pedangnya, mengimbangi gerakan lawan. Ia memutar pedangnya
guna menutup dirinya, sebab penyerangan segera datang bertubi-tubi. Dengan
begitu berulang kali terdengar suara benturan pedang, di samping angin pedang
mereka yang menderu-deru.
Demikianlah jika ke dua jago
bertempur, hebatnya bukan buatan. Setiap kali pedang mereka beradu, selain
suaranya yang nyaring, lelatu apinyapun berpeletikan, indah dipandang di bawah
sinar sang surya.
Sambil menyaksikan pertempuran
itu, tampak Ko Tie tertawa. Ia bilang kepada Giok Hoa.
“Hebat ilmu pedang mereka itu,
mereka bukan jago-jago pedang yang sembarangan. Jika dua harimau berkelahi,
salah satu pasti bercelaka! Demikian juga halnya dengan mereka berdua ini.
Sayang tidak perduli pihak yang mana yang terluka.......!”
Giok Hoa cerdik, ia dapat
menangkap maksud terlebih dalam dari kata-kata pemuda itu. Ia dianjurkan buat
memisahkan juga berbareng memamerkan ilmu silatnya yang telah dipelajarinya
dengan mendalam dari gurunya, yaitu ilmu pedang So-lie-kiam-hoat, warisan dari
Siauw Liong Lie.
Maka dari itu Giok Hoa
tersenyum, segera ia pinjam pedangnya salah seorang piauw-su, dengan itu ia
melompat ke dalam gelanggang. Belum lagi ke dua kakinya menginjak tanah, ujung
pedangnya sudah menyelak di antara ke dua batang pedang milik Tong Teng Bun dan
Boan Siam Ki. Secara lincah tetapi keras, ia memaksa kedua jago pedang itu
mundur masing-masing tiga tindak.
Tong Teng Bun telah mengenal
ke dua pemuda itu, ia tidak menjadi terlalu heran. Tapi Boan Siam Ki segera
berpikir:
“Entah siapa anak muda ini!
Mengapa ilmu pedangnya demikian lihay? Sedangkan tampaknya ia bergerak secara
sederhana sekali? Siapakah dia? Murid siapa pula dia?!” karena berpikir, ia
berdiri tertegun saja di tempatnya, berdiri dengan bungkam tidak mengeluarkan
sepatah perkataanpun juga.
Giok Hoa berdiri di antara
mereka, sambil tertawa manis ia bilang:
“Tuan-tuan, bukannya gampang
kalian mengangkat nama kalian. Dari itu buat apa kalian mengumbar angkara murka
kalian? Menurut aku, baiklah sekarang kalian saling menggenggam tangan, untuk
kalian dan akur pula sebagai sediakala!!
Gadis ini tidak mengetahui
sebab bentrokan di antara mereka itu. Ia cuma menduga saja, sedang disamping
itu ia telah mendengar pembicaraan mereka, maka tahulah ia si penjahat ialah
Ciu Yang Cin.
“Inilah urusan aku dengan si
tua bangka she Tong. Dengan kau ada sangkut pautnya apa?” Boan Siam Ki menegur
dengan mata mendelik, karena ia gusar bukan main.
Giok Hoa tidak gusar, ia
tertawa lagi. Dia bilang: “Boan Losu, antara kalian, kau dengan Tong
Lopiauw-su, ada urusan apakah? Mau dan senang sekali aku mendengarkannya.”
Muka Boan Siam Ki jadi merah.
Malu dia buat menceritakannya. Artinya ia sama saja membuka rahasianya.
Lagi-lagi si “pemuda” tertawa.
“Kita semua belajar silat,
tidak lain tidak bukan untuk menyehatkan tubuh, buat menjaga diri. Kalau
kepandaian silat kita dipergunakan untuk sekedar merebut nama, sungguh belum
pernah aku mendengarnya!”
“Mengapa kau belum
mendengarnya?!” teriak Siam Ki. “Bukankah selama duaratus tahun telah terjadi
pertempuran berulang-ulang di antara sembilan partai besar di puncak Hoa-san?
“Bukankah kemudian disusul
dengan Lima Jago Luar Biasa di puncak Hoa-san juga? Disusul lagi dengan
pertempuran para pendekar lainnya yang akhirnya diakui bahwa terakhir sebagai
pendekar yang nomor satu adalah Ong Tiong Yang, tosu dari Coan-cin-kauw itu?
Bukankan semua itu untuk merebut nama? Dan juga untuk menentukan siapa yang
terpandai?”
“Itulah urusan lain, dan juga
merupakan persoalan tokoh-tokoh besar, yang tengah menguji kepandaian dan ilmu
silat masing-masing untuk kemajuan ilmu silat!” menyahuti si gadis dengan tetap
saja tersenyumnya manis.
“Mereka itu berbeda dari kita
yang perseorangan, yang hanya didorong oleh dendam dan sakit hati belaka?
Apakah bukan berarti kau mengandung maksud untuk, mengacaukan rimba persilatan
agar mereka bentrok satu dengan yang lainnya.
Panas hati Boan Siam Ki,
sampai rambut dan kumisnya bangun berdiri.
“Menurut kau, jadinya sia-sia
belaka aku menyepi diri selama sepuluh tahun memahamkan ilmu pedangku?”
tanyanya dengan suara berteriak.
Giok Hoa tertawa, hanya kali
ini ia tertawa dingin dan lenyap sikap ramahnya.
“Bukannya aku tak memandang
mata padamu! Sebenarnya ilmu pedangmu masih banyak yang lowong!” bilangnya,
suaranya juga jadi keras. “Jadi benar-benarlah kau kecewa sudah menyekap diri
sepuluh tahun untuk meyakinkannya!
“Kau menyebut dirimu adalah
ahli pedang. Itu artinya kau mengutamakan kemahiran dalam menggerakkan dan
menguasai pedangmu! Akan tetapi buktinya? Permainan silat pedangmu kacau,
mengambang, tidak ada isinya!
“Coba kau bertemu dengan ahli
pedang yang melebihi kau, dengan satu tikaman saja kau akan dapat dibikin mati!
Andaikata aku, walaupun aku tidak berani mengaku diri sebagai ahli pedang,
namun ilmu pedangku dapat dipakai buat membela diriku!
“Apakah kau tidak percaya?
Mari kita coba! Mari kita bertanding selama sepuluh jurus, asal kau dapat
mendekati aku dan menikam satu kali saja, aku mau menyebut dan menghormati kau
sebagai ahli pedang nomor satu dalam Rimba Persilatan!”
Boan Siam Ki berpikir keras.
Ia mempercayai pemuda ini bukan tengah bicara tekebur. Tadi ia telah
menyaksikan bagaimana ia dan Tong Teng Bun dipaksa memisahkan diri, sehingga
mereka mundur tiga tindak.
Tengah berpikir seperti itu,
ia melihat ke arah Ko Tie. Ia memperoleh kenyataan pemuda itu berdiri tenang,
mengawasi dia sambil bersenyum.
Ia pikir pula: “Kalau ke dua
pemuda ini maju bersama, ilmu silat mereka pasti berimbang. Yang seorang masih
sulit dilawan, apa lagi dua-duanya! Jika aku kalah di tangan Tong Teng Bun,
tidak apa, tetapi.....!”
Ia jadi serba salah, tapi ia
harus segera mangambil keputusan. Akhirnya ia menghela napas dan berkata:
“Benar seperti katamu, laote, aku bentrok dengan Tong Teng Bun Losu melainkan
disebabkan kami masing-masing membawa adat kita sendiri! Lebih tegas, kami
berebut nama!
“Demikianlah tigapuluh tahun
lalu, demikian juga tigapuluh tahun nanti! Cuma saja, kalau orang tidak
bersaing, apakah artinya? Bicaramu ini, laote menandakan kesabaranmu.
“Hanya perkataanmu tentang
pertandingan sepuluh jurus itu, aku sangsikan betul. Aku percaya itulah berbau
ketekeburan!
“Baiklah, laote, kau boleh
mulai menyerang aku! Baik dijelaskan dulu, aku sama sekali tidak menghendaki
nama sebagai ahli pedang nomor satu rimba persilatan! Aku cuma ingin belajar
kenal dengan ilmu pedangmu yang lihay!”
Giok Hoa girang. Ia telah
memperoleh sebagian dari maksudnya, di mana tampaknya Boan Siam Ki sekarang
telah lunak. Jago itu telah merobah pikirannya.
Inilah kesempatan bagimu buat
mencoba So-lie-kiam-hoat nya. Ia bersenyum dan berkata: “Boan Losu, aku cuma
dapat membela diri, tidak menyerang. Silahkan losu yang mulai!”
“Baiklah!” kata jago tua itu,
“Maafkan aku!”
Dia tidak sabar lagi. Inipun
ketikanya untuk menguji pemuda itu. Dengan mendadak sekali dia menggerakkan
tangan kanannya, segera juga pedangnya meluncur. Cepat luar biasa serangannya
itu.
Giok Hoa tersenyum. Ia menarik
mundur kaki kanannya, tubuhnya mandek sedikit. Ia pun mengangkat berdiri ujung
pedangnya, buat dari kanan digeser ke kiri, lalu ditolak perlahan ke depan.
Itulah sikap pembelaan diri, tidak ada maksud untuk menyerang.
Tampaknya Giok Hoa bergerak
perlahan sekali, tetapi pedang mereka bentrok keras, suaranya nyaring,
lelatunya muncrat. Yang hebat ialah Siam Ki terpukul mundur sendirinya. Maka
heranlah dia.
Dia jadi penasaran bukan main.
Lagi sekali dia menerjang menikam, dengan tenaga yang dikerahkan delapan bagian.
Mukanya ia melangkah, terus pedangnya menikam.
Giok Hoa tertawa. Kali ini ia
menangkis dengan pedangnya ditudingkan ke bawah lantas dari bawah ia putar
naik, terus dipakai menolak. Lantas saja Siam Ki mundur satu tindak!
Jago tua itu masih penasaran,
ia menyerang lagi, berulang kali. Ia mempergunakan sebagai jurus atau tipu ilmu
pedang yang paling ampuh.
Hanya untuk herannya, setiap
kali ia menyerang, tentu selalu ia terpukul mundur. Ia tidak diberi kesempatan
buat merangsek maju, sekalipun hanya untuk satu langkah saja. Dengan begitu,
tidak sanggup dia mendekati tubuh “pemuda” tersebut.
Selama itu, seperti janjinya,
Giok Hoa cuma membela diri. Ia tetap mempergunakan ilmu pedang
So-lie-kiam-hoat, ajaran gurunya, ilmu silat pedang warisan nenek gurunya Siauw
Liong Lie, yang ternyata memang benar-benar tangguh sekali. Diam-diam Giok Hoa
jadi girang bukan main.
Ko Tie menonton pertempuran
yang aneh itu sambil tersenyum-senyum, sedangkan Tong Teng Bun mengurut-urut
kumis jenggotnya.