Kembali terdengar tepuk tangan
yang gemuruh. Orang-orang yang berdiri berkeliling itu tak akan mau
dikecewakan. Mereka benar-benar ingin menyaksikan pertandingan yang pasti akan
menyenangkan sekali.
Orang-orang itupun kemudian
diam kembali ketika Widura berkata pula, “Nah, aku sangka Sidanti ingin
mengulangi permainan panah seperti yang telah dilakukannya, bersama-sama Agung
Sedayu.”
“Ya Kakang” sahut Sidanti.
Kini Widura memandangi wajah
Agung Sedayu. Dilihatnya beberapa titik keringat membasahi keningnya. Namun
kali ini Widura sengaja ingin memaksa Agung Sedayu agar berbuat sesuatu yang
dapat mendorong dirinya untuk lebih percaya kepada kemampuan diri.
Karena itu maka katanya,
“Agung Sedayu, biarlah kau melakukannya. Tak ada persoalan apapun. Permainan
ini hanya sekedar kelanjutan dari keinginan orang-orang Sangkal Putung
mengenalmu. Sedangkan Sidanti ingin pula memperkenalkan dirinya lebih banyak
lagi. Bukankah dengan kawan bermain yang lebih baik, akan lebih banyak
permainan-permainan yang dapat dipertunjukkan? Bukan hanya sekedar menyamai
atau melampaui sedikit kemampuan-kemampuan Hudaya atau Citra Gati.”
Hudaya dan Citra Gati yang
berdiri di belakang Widurapun tersenyum masam. Namun mereka tidak marah. Bahkan
mereka menjadi bersenang hati, bahwa Widura memberi kesempatan kepada
kemenakannya untuk melakukan pertandingan meskipun hanya memanah saja.
Kata-kata pamannya itu terasa
sedikit dapat menyejukkan hati Agung Sedayu. Bukankah dengan demikian, pamannya
akan menjaminnya untuk seterusnya, apabila ada akibat dari permainan ini?
Seandainya ia melampaui Sidanti, sedang Sidanti itu kemudian marah kepadanya,
bukankah itu menjadi tanggung jawab pamannya?
Karena itu, terdorong pula
oleh keadaan yang telah menyudutkannya, maka Agung Sedayu tidak dapat berbuat
lain. Dengan ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya. Katanya lirih, “Baiklah
Paman. Kalau Paman menghendaki.”
Widura tersenyum. Baru kali
ini sejak beberapa hari pamannya itu tersenyum kepadanya. Karena itu hati Agung
Sedayu itupun menjadi bertambah besar pula.
“Nah, baiklah kita berikan
tempat kepada mereka berdua” berkata Widura.
Maka orang-orang yang
melingkari mereka itupun kemudian berlari-larian menyibak. Sedang Swandaru
menjadi bergembira pula. Segera iapun berlari-lari pula berkeliling lapangan
untuk memungut panah-panahnya yang berserakan di sekitar orang-orangan yang
telah dilepas kepalanya.
Tetapi kemudian Widura menjadi
sulit menentukan sasaran. Tidak menarik lagi apabila mereka berdua harus
mengenai orang-orangan itu, walaupun diayunkannya sekali. Mereka pasti akan
dengan mudah dapat mengenainya.
Dalam pada itu tiba-tiba
berkatalah Swandaru, “Paman Widura, pertandingan ini baru dapat dimulai,
seandainya Kakang Sidanti mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh anak muda
itu. Mengenai sasaran tiga kali berturut-turut di udara.”
Widura mengerutkan keningnya.
Kata-katanya itu benar juga, tetapi belum seorangpun yang melihat Agung Sedayu
melakukannya selain Swandaru.
Karena itu Widura ingin
berbuat adil. Kedua-duanya harus mulai dengan sasaran dan kesempatan yang sama.
Maka katanya, “Swandaru, apakah sasaran orang-orangan itu masih ada?”
”Masih Paman” jawab Swandaru.
“Nah, ambillah bandulnya.
Ikatlah bandul itu dengan tali yang agak panjang.”
Swandaru belum tahu benar
maksud Widura. meskipun demikian ia berjalan juga mengambil bandul
orang-orangan yang masih terletak di ujung lapangan. Kemudian diambilnya
sisa-sisa tali yang masih terserak-serak di sana-sini. Dengan tali itu maka
bandul itupun diikatnya.
“Sudahkah bandul itu kau ikat dengan
tali?” bertanya Sonya.
Swandaru mangangguk. Jawabnya,
“Bagaimanakah maksud Paman Widura dengan bandul ini?”
“Peganglah ujung talinya dan
putarlah bandul itu di atas kepalamu” sahut Sonya.
“Ah” jawab Swandaru
perlahan-lahan. “Jangan aku. Sidanti itu dapat membidikkan panahnya ke arah
perutku.”
Sonya tersenyum. Katanya,
“Mereka adalah pemanah-pemanah yang baik. Mereka pasti tidak akan mengenaimu.”
Swandaru menggeleng.
“Peganglah” jawabnya. “Kalau mereka membidik sasaran itu, maka sasaran itulah
yang akan dikenainya. Tetapi kalau Sidanti itu membidik perutku?”
“Marilah” jawab Sonya.
“Berikanlah bandul itu, biarlah perutku yang dibidiknya.”
Maka kini Sonyalah yang
memegang sasaran itu. Dipegangnya ujung tali yang lain, dan diputarnya bandul
itu di atas kepalanya dalam lingkaran yang berjari-jari sepanjang tali yang
lebih dari sedepa panjangnya, mendatar.
Swandaru itupun kemudian
berlari-lari menepi, bahkan kemudian didekatinya Agung Sedayu yang telah
memegang busurnya dan beberapa anak panah di dalam endongnya.
“Masing-masing mendapat
kesempatan tiga kali” berkata Widura ketika mereka sudah hampir mulai. “Sampai
hitungan kelima belas.”
Sidantipun telah mempersiapkan
busurnya pula. Dengan wajah tegang ia mengikuti bandul yang berputar di atas kepala
Sonya.
Ketika Widura mulai dengan
hitungan pertama, maka Sidantilah yang lebih dahulu mengangkat busurnya. Sesaat
kemudian terbanglah anak panahnya yang pertama, disambut dengan sorak sorai
penonton di sekitar lapangan. Anak panah itu tepat mengenai sasarannya langsung
ikut berputar pula dengan bandul itu.
Dengan sudut matanya Sidanti
melihat tangan Agung Sedayu. Dan tangan itupun telah bergerak pua. Dan
meluncurlah anak panah Agung Sedayu. Kali inipun para penonton bersorak
bergemuruh. Anak panah Agung Sedayupun hinggap pula pada sasarannya.
Sidanti itupun menarik nafas
panjang. Ia mengumpat didalam hatinya. “Setan itu mampu juga mengenainya.”
Tetapi hitungan Widura sudah
sampai yang keenam. karena itu maka Sidanti itupun sekali lagi mengangkat busurnya,
dan sekali lagi anak panahnya meloncat dari busurnya. Kali inipun anak panah
Sidanti itu tepat mengenai sasarannya, dan karena itu maka para penontonpun
menjadi semakin riuh, bersorak dan bertepuk tangan. Dan sorak sorai itu menjadi
semakin membahana ketika anak panah Agung Sedayu seakan-akan tanpa mereka
lihat, demikian saja telah melekat pada sasaran itu pula. Agaknya ketika mereka
sedang asyik dengan anak panah Sidanti, Agung Sedayupun telah melepaskan anak
panahnya yang kedua.
Sekali lagi Sidanti mengumpat
pula. Katanya dalam hati, “Aku harus mengenai untuk yang ketiga kalinya. Kalau
anak itu mampu pula mengenai tiga kali, maka harus ditempuh cara yang lain
untuk menentukan siapakah di antara kita yang akan menjadi pemanah terbaik.”
Tetapi Sidanti itu menjadi
terkejut. Tiba-tiba meledaklah sorak para penonton seperti akan meruntuhkan
langit. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya sebuah anak panah lagi telah
ikut serta dalam putaran bandul di atas kepala Sonya. Agaknya dengan cepat
Agung Sedayu telah melepaskan anak panahnya yang ketiga.
“Gila” desisnya. Ketika itu ia
mendengar Widura sudah mencapai hitungan yang kesebelas.
Dengan hati-hati Sidanti
mengangkat busurnya. Kali ini ia harus benar-benar dapat mengenainya dengan
tepat. Kalau tidak, maka Sedayu sudah akan menyisihkannya pada babak yang
pertama.
Namun ternyata Sidanti adalah
pembidik yang baik. Panahnya yang terbang secepat kilat itupun kemudian
mengenai sasarannya pula, disambut oleh sorak yang semakin bergelora. Lapangan
di muka banjar desa itu benar-benar seperti akan meledak.
Agung Sedayu masih berdiri di
tempatnya sambil mengamat-amati sasaran yang kini sudah tidak diputar lagi.
Dengan kedua tangannya Sonya mengacung-acungkan bandul itu sambil berteriak,
“Enam panah!”
Widura itupun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kalian ternyata mempunyai kecakapan
yang sama. Karena itu, biarlah kita adakan permainan yang lain. Namun aku belum
tahu, apakah sasaran yang lebih baik dapat kita gunakan”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya,
namun iapun belum tahu sasaran apakah yang sebaiknya dipergunakan.
Sedang Agung Sedayu lagi sibuk
mendengarkan orang menyebut-nyebut namanya. Ia menjadi berbangga juga
karenanya. Bahkan kemudian timbul juga keinginannya untuk mendapat pujian yang
lebih besar dari para penonton itu. Untuk sesaat ia melupakan pula
akibat-akibat yang bisa terjadi. Sebab ia telah membebankan seluruh tanggung
jawab kepada pamannya.
Terasa sesuatu menjalar di
dalam dada Agung Sedayu. Belum pernah ia sepanjang umurnya mendapat pujian
semeriah ini. Pada masa-masa kecilnya, ibunya selalu memujinya. Namun bukan
karena ia berbuat sesuatu. Ibunya memuji untuk menyenangkannya saja.
Apapun yang dilakukannya maka
ibunya tidak pernah mencelanya. Sedang ayahnya sekali-sekali sering memujinya
pula apabila ia berhasil berbuat sesuatu menurut kehendak ayahnya. Tetapi
ayahnya lebih sering kecewa terhadapnya dari pada memujinya. Bahkan sering ia
harus menangis kalau ayahnya menyuruhnya mengulang dan mengulang suatu
perbuatan yang tak dapat dilakukannya.
Betapa sulitnya
latihan-latihan yang diberikan ayahnya dahulu kepadanya. Memanah, bandil dan
bermacam-macam ketangkasan membidik. Namun ayahnya selalu mengatakan kepadanya,
“Kau mampu Sedayu, kau pasti mampu melakukannya.”
Dan akhirnya ternyata, setelah
ayahnya memberinya contoh berkali-kali, akhirnya ia mampu juga melakukannya.
Berkali-kali ia diajak ayahnya
berdiri di pematang dengan busur di tangan. Ia harus mendapatkan tiga ekor
burung dengan tiga batang anak panah. Burung yang tidak boleh dikenainya di
atas tanah atau dahan-dahan kayu. Burung itu seakan-akan harus dipetiknya dari
udara. Namun akhirnya ia berhasil juga.
Kalau ia menangis karenanya,
ayahnya berkata kepadanya, “Agung Sedayu, apakah kira-kira yang akan dapat kau
lakukan? Kau tidak berani memegang tangkai pedang, apakah kau juga tidak mampu
memegang busur?”
Kalau ibunya mendengar
pertanyaan itu, maka ibunya selalu menjawab, “Apakah dalam hidup ini tidak ada
pekerjaan yang lebih baik dari berkelahi?”
Dan ayahnya menjawab, “Tentu,
tentu ada. Dan anak-anakku seharusnya tidak berkelahi. Tetapi mereka harus
menjadi laki-laki jantan yang mampu menempatkan dirinya dalam segala keadaan.
Ia harus menjadi seorang yang dapat melakukan pengabdian dalam segala bentuk.
Mereka harus menghindari segala bentuk kekerasan, namun merekapun harus dapat
melenyapkan kekerasan. Kekerasan yang bertentangan dengan rasa pengabdiannya.
Karena itu merekapun harus dibekali pula dengan ilmu yang mungkin akan berguna
bagi pengabdian mereka. Melawan kejahatan, bukan untuk sebaliknya.”
Apabila demikian, maka ibunya
segera memeluknya sambil mengusap air mata. Bisiknya, “Biarlah pekerjaan itu
dilakukan orang lain. Tetapi bukan anakku. Kekerasan akan dapat berakibat
buruk, perkelahian dapat meneteskan darah. Aku tidak mau kehilangan lagi.”
Ayahnya tidak membantah lagi.
Bahkan ayahnya selalu berkata dengan lembut, “Maafkan aku Nyai. Aku masih
selalu ingat pada masa-masa mudaku.”
Tetapi kalau ia kemudian
keluar dari bilik ibunya, Untara, kakaknya berkata kepadanya, “Ibu sekarang
berubah. Ibu dahulu ikut berbangga kalau Ayah berhasil melenyapkan kejahatan.
Melindungi orang-orang lemah dari penindasan. Ibulah yang sering menggosok
pedang Ayah dengan minyak dan getah-getahan untuk menjadikan pedang Ayah mengkilat
seperti bersinar. Dan ibu pulalah yang menggosok busur Ayah dengan angkup kayu
sehingga busur itu menjadi gemerlapan.”
Suasana yang demikian itulah
yang kemudian membentuknya menjadi seorang yang kerdil. Ibunya yang selalu
memanjakannya dan menakut-nakutinya dengan segala macam cara. Menyekapnya dalam
pelukannya.
Apabila ia bertanya, “Ibu,
bukankah ibu dahulu berbangga atas kejantanan Ayah?” Maka ibunya akan menjawab,
“Sebuah mimpi yang menakutkan anakku. Itu terjadi pada masa-masa ayahmu masih
muda. Ternyata kini ayahmupun menyadarinya. Bahwa tak ada yang dapat dicapainya
dengan pedang di tangan. Tak akan ditemui ketentraman dan kedamaian di hati.”
Dan ayahnyapun pernah pula
mengatakannya demikian. Namun menurut ayahnya, dunia masih tetap sepeti keadaannya.
Parah, karena kejahatan, nafsu, kebencian, dan segala macam bentuk kekerasan,
karena itu maka segala itu harus mendapat imbangan. Tetapi harus memiliki
landasan yang berlawanan. Dan landasan itu adalah cinta kasih antar sesama.
Kalau sekali-sekali harus digenggamnya tangkai pedang, maka haruslah dilandasi
pula dengan cinta kasih. Untuk menegakkan sendi-sendi kehidupan manusia dan
kemanusiaan berdasarkan cinta kasih itu.
Dan terjadilah
benturan-benturan perasaan di dalam dada Agung Sedayu. Ia menjadi seorang
penakut karena ibunya, namun angan-angannya kadang-kadang membumbung tinggi
dalam sifat-sifat kejantanan dan kesatriaan.
Perasaan-perasaan itulah yang
kini sedang saling mendesak. Seorang jantan tidak boleh membiarkan dirinya
dihina tanpa sebab. Seorang jantan harus mempertahankan namanya demi kebenaran
seperti mempertahankan nyawanya. Kalau nama itu lenyap, maka biarlah lenyap
pula nyawanya. Tetapi di lain pihak, betapa tiba-tiba lututnya menjadi gemetar
apabila ia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan
pertentangan.
Agung Sedayu yang kini sedang
berdiri di arena itu masih mendengar tepuk tangan yang semakin lama menjadi
semakin surut. Dilihatnya pula, pamannya sedang berbicara dengan beberapa
orang. Di antaranya Ki Demang Sangkal Putung dan Citra Gati. Agaknya mereka
sedang sibuk mencari kemungkinan untuk membuat sasaran yang lebih sulit dari
sasaran-sasaran yang pernah dibuatnya.
Ketika ia berpaling,
dilihatnya Sidanti berdiri dengan angkuhnya. Dengan acuh tak acuh anak muda itu
melihat Widura yang sedang sibuk itu. Sekali-sekali Sidanti itu memandang
berkeliling lapangan dan melambaikan tangannya menyambut lambaian tangan
anak-anak muda yang mengaguminya.
Agung Sedayupun kemudian
memandang sekeliling lapangan. Orang-orang berjejal-jejal itu seperti sudah
tidak sabar lagi menunggu. Beberapa orang yang sudah berteriak-teriak dan
dengan tidak sabar mereka melambai-lambaikan tangan mereka.
Ketika dilihatnya Sekar Mirah,
maka dada Agung Sedayu itupun berdesir. Gadis itu tersenyum kepadanya. Senyum
yang aneh.
“Ah” katanya dalam hati. “Baru
tadi aku lihat ia tersenyum dan memuji-muji Sidanti”.
Namun gadis itu mempunyai
kesan yang aneh di dalam hatinya. Tiba-tiba timbullah keinginannya agar Sekar
Mirah itu selalu tersenyum kepadanya, tidak kepada Sidanti.
Sorak sorai di tepi lapangan,
serta senyum Sekar Mirah itu agaknya berpengaruh juga di hati Agung Sedayu.
Ternyata di dalam hatinya yang kerdil itu tumbuh juga keinginannya untuk
mempertahankan namanya.
“Sidanti itu pasti tidak akan
mendendam” pikirnya. “Ia seharusnya bersikap jujur. Kalah atau menang. Akupun
demikian juga. Namun aku mengharap untuk memenangkan pertandingan ini.
Seandainya, ya seandainya Sidanti itu marah kepadaku, biarlah Paman Widura
menyelesaikannya.”
Karena itulah maka kemudian
Sedayu berketetapan hati untuk berbuat sebaik-baiknya. Akan ditandinginya apa
saja yang akan dilakukan oleh Sidanti. “Tetapi seandainya aku mampu” desahnya
di dalam hati.
Widura masih sibuk berbicara
dengan Ki Demang Sangkal Putung. Agaknya mereka belum menemukan cara yang
paling baik untuk mengadakan pertandingan berikutnya.
Sidanti yang berdiri di
samping Agung Sedayu itupun menjadi tidak sabar. Ia ingin segera mengakhiri
pertandingan itu. Ia ingin segera mendengar orang-orang di sekitar lapangan itu
bertepuk gemuruh untuknya. Dan ia ingin anak-anak muda Sangkal Putung
melambaikan tangannya kepadanya dan mengelu-elukannya, Mengikutinya di belakang
sambil memujinya sampai di kademangan. Dan lebih dari itu, ia ingin Sekar Mirah
itupun berjalan di sampingnya sambil mengumpati Agung Sedayu yang ternyata
tidak mampu melampaui kecakapannya.
Karena itu, maka anak muda
yang sombong itu tiba-tiba berteriak, “Kakang Widura. Marilah kita akhiri
pertandingan ini supaya kita tidak berlarut-larut, membidik sasaran yang
terlalu baik seperti perlombaan anak-anak saja. Biarlah sekarang aku dapat
menganjurkan cara yang baik.”
Widura, Ki Demang Sangkal
Putung, Swandaru, dan orang-orang yang sedang sibuk berpikir itupun berpaling
kepadanya. Dengan ragu-ragu Widura berkata, “Apakah cara itu?”
Sekali Sidanti berpaling
kepada Agung Sedayu, kemudian katanya, “Namun terserah juga, apakah Adi Sedayu
sanggup melakukannya. Kalau tidak, biarlah aku mempertunjukkan permainan itu
sendiri. Dengan demikian pemenang pertandingan ini segera dapat ditentukan.”
“Ya,” sahut Widura, “tetapi
bagaimanakah cara itu?”
Sidanti tersenyum. Jawabnya,
”Agak sukar dimengerti. Tetapi aku pasti dapat melakukannya“. Sidanti itu
berhenti sebentar. Sengaja ia membiarkan orang-orang yang mendengar
kata-katanya itu menjadi semakin bernafsu untuk mengetahuinya. Baru sesaat
kemudian ia berkata, “Cara yang pasti akan menarik perhatian.”
“Ya,” sahut Citra Gati tidak
sabar, “jangan melingkar-lingkar. Sebutkan cara itu.”
“Jangan tergesa-gesa Kakang
Citra Gati. Kau pasti akan keheranan. Melihatpun kau tak akan dapat mengerti,
apalagi melakukannya.”
Citra Gati tersinggung
karenanya. Maka jawabnya lantang, “Jangan sombong anak muda. Kau masih belum
mampu mengalahkan Macan Kepatihan di pertempuran, dan melampaui lawanmu di
arena pertandingan ini.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Tetapi dengan cepat Widura menengahinya. “Nah baiklah. Marilah kita mulai. Aku
setuju dengan cara apapun yang kau kehendaki, asal masih dalam batas
kemungkinan dan tidak berbahaya. Kalau Sedayu tidak sanggup melakukannya, maka
ia dapat dianggap kalah.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kembali ia tersenyum dan sekali lagi ia memandang wajah Agung
Sedayu. Kini Agung Sedayulah yang menjadi acuh tak acuh. Apapun cara itu, ia
akan menerimanya. Kalau masih mungkin dilakukan oleh Sidanti maka iapun akan
mempunyai kemungkinan yang sama.
Citra Gati masih
bersungut-sungut, bahkan katanya dalam hati, “Widura terlalu memanjakannya,
sehingga kepentingan kemenakannya sendiri sama sekali tidak diperhatikannya.”
Dalam pada itu terdengarlah
Sidanti berkata, “Kakang Widura, perintahlah salah seorang melepaskan anak
panah menyilang lapangan ini melambung ke udara. Nah, biarlah kami mencoba
mengenainya.”
Widura tertegun mendengar
pendapat itu. Apalagi Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan sesaat Citra Gatipun
terbungkam, namun kemudian bergumam lirih, “Aneh, benar-benar aneh.”
Sidanti melihat orang-orang
itu menjadi keheranan. Karena itu, maka ia menjadi semakin menengadahkan dadanya.
Dengan lantang ia berkata, “Marilah, sebelum senja. Supaya aku masih dapat
melihat anak panah yang terbang di udara itu.”
Widura tidak dapat berbuat
lain dari menyetujuinya. Meskipun demikian sekilas ia menyambar wajah Agung
Sedayu dengan pandangan matanya. Namun dilihatnya anak muda itu masih acuh tak
acuh saja. Sehingga dengan demikian maka Widura itupun tidak berkata apapun
kepadanya.
Sidanti yang melihat Agung
Sedayu sama sekali tidak terperanjat mendengar usulnya itu, maka ialah yang
menjadi heran. Apakah anak itu tidak mendengar, atau anak itupun akan acuh tak
acuh terhadap pertandingan berikutnya.
Dan teka-teki itu ternyata
telah mendebarkan jantung Sidanti. Meskipun demikian, ia masih dapat berteriak
nyaring di dalam hatinya, “Ayolah Agung Sedayu, yang merasa menjadi pemanah
terbaik di Sangkal Putung, tandingilah Sidanti.”
Widura itupun mengumumkan cara
yang akan ditempuh atas usul Sidanti. Belum lagi mereka mulai dengan
pertandingan itu, maka lapangan itu telah menjadi gempar. Para penonton yang
keheran-heranan itu telah menyambut pengumuman Widura dengan tepuk tangan dan
sorak sorai yang bergelora.
Hudayalah yang mendapat tugas
untuk melepaskan anak panah menyilang garis bidik Sidanti dan Agung Sedayu. Ia
sendiri tidak dapat mengerti, bagaimana cara anak-anak muda itu akan
membidikkan anak panahnya. Namun Hudaya itu bergumam pula didalam hatinya,
“Bukan suatu hal yang tak mungkin. Sebab laju anak panah itu dapat
diperhitungkan.”
Tetapi kemudian Swandarupun
menjadi gelisah. Ialah yang pertama-tama berteriak-teriak sepanjang jalan,
bahwa bukan Sidantilah pemanah terbaik di Sangkal Putung. Namun sekarang ia
mendengar sendiri usul Sidanti itu. Memanah sebatang anak panah yang melaju di
udara, tentu lebih sukar daripada mengenai sasaran kepala orang-orangan itu.
Karena itu ia masih belum
dapat menebak, apakah Agung Sedayu dapat juga berbuat sebaik Sidanti. Kalau
kemudian Agung Sedayu tak mampu menandingi Sidanti, maka iapun pasti akan
mendapat banyak kesulitan. Agung Sedayu pasti akan marah padanya dan Sidanti
akan semakin mentertawakannya.
Karena itu, maka Swandaru
itupun mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak di tempatnya. Bisiknya
perlahan-lahan, “Bagaimanakah Tuan, apakah Tuan mungkin juga berbuat demikian?”
Agung Sedayu menggeleng lemah.
Jawabnya, “Entahlah Swandaru.”
Swandaru menjadi semakin
gelisah. Dalam pada itu, Hudayapun telah siap pula. Kini Widura sendirilah yang
memegang bende untuk memberi tanda kepada Hudaya, kapan ia harus melepaskan
anak panahnya.
Ketika kemudian Sidanti telah
menganggukkan kepalanya, maka dibunyikahlah bende itu. Dan Hudaya menarik tali
busurnya pula.
Sambil tersenyum ia membidik
anak panah yang terbang itu. Orang-orang yang berjejal-jejal di tepi lapangan
itu menjadi diam kaku seperti beratus-ratus patung yang berjajar-jajar.
Semuanya memandang ke arah anak panah Sidanti.
Dan sesaat kemudian anak panah
itu meloncat dari busurnya. Cepat, melampaui kecepatan anak panah Hudaya. Semua
matapun kemudian seakan-akan terpancang pada anak panah itu. Wajah-wajah yang
tegang dan hati yang tegang pula.
Yang terjadi kemudian, betapa
lapangan itu menjadi menggelegar, seakan-akan seribu guntur meledak di langit.
Tepuk tangan sorai sorai dan bahkan di antara mereka melonjak-lonjak dan
menari-nari. Anak-anak muda saling berteriak-teriak dan orang-orang tua
mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Luar biasa. Luar biasa” desisnya.
Citra Gati menggigit bibirnya,
sedang Hudaya menggaruk-garuk kepalanya. Widurapun sesaat terpaku diam di
tempatnya. Semua mata melihat, anak panah Sidanti itu seakan-akan menyongsong
anak panah Hudaya dalam garis silang. Dan pada suatu titik yang condong, anak
panah Sidanti berhasil mengenai ekor anak panah Hudaya, sehingga kedua anak
panah itupun kemudian terpelanting dan berubah arahnya masing-masing.
Ketika Sidanti berpaling ke
arah Sekar Mirah, dilihatnya gadis itu melonjak-lonjak sambil
mengacung-acungkan tangannya. “Dahsyat” teriaknya.
Sidanti tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dilambaikannya tangannya kepada
orang-orang yang masih saja berteriak-teriak tak jemu-jemunya. Betapa mereka
menjadi kagum. Seakan-akan mereka tak percaya, bahwa hal yang demikian dapat terjadi.
Dua batang anak panah saling berkejaran di udara.
Tetapi ternyata hal itu telah
terjadi di hadapan mata kepala mereka. Dan karena itu, maka merekapun menjadi
takjub.
Gemuruh di lapangan itupun
kemudian mereda, ketika mereka melihat Widura mengangkat tangannya. Kemudian
dengan tangannya pula Widura memberi isyarat kepada Hudaya untuk bersiap-siap.
Kini pertandingan itu sampai pada penentuan terakhir.
Semua orang itupun kini
terpaku memandang Agung Sedayu. Namun semua orang itupun telah menjadi ragu-ragu
pula. Apakah Agung Sedayu juga dapat melakukannya?
Swandaru yang berdiri di
belakang Agung Sedayu telah menjadi gemetar karenanya. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa Sidanti itu mampu berbuat demikian menakjubkannya. Dalam dada
anak muda itupun kini menjalar kebimbangan yang semakin lama semakin tebal.
Karena itu, maka tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat dingin yang
mengalir tak putus-putusnya.
“Apakah kau sudah siap
Sedayu?” terdengar suara Widura perlahan-lahan. Terasa pula pada nada suaranya,
keragu-raguan terhadap kemenakannya itu.
Agung Sedayu itupun mengangguk
perlahan. Jawabnya, “Sudah paman”
Widura memandang kemenakannya
itu dengan seksama. Seakan-akan ia menyesal juga atas pertandingan yang
dilakukan itu. Kalau Agung Sedayu gagal, maka jiwanya yang kerdil itu akan
menjadi semakin kerdil. Ia akan menjadi semakin merasa dirinya tak berharga.
Sedang Sidanti telah melakukan suatu permainan yang mengagumkan.
Meskipun demikian,
pertandingan itu harus dilangsungkan. Kalah atau menang. Sedayu harus
menghadapinya dengan jujur.
Maka, setelah semuanya siap,
dengan ragu-ragu Widura memukul bendenya sebagai pertanda bahwa Hudaya harus
melepaskan satu anak panah lagi.
Perlahan-lahan Hudaya
mengangkat busurnya. Semua mata seakan-akan melekat pada anak panah itu. Dan
sesaat kemudian, anak panah Hudaya yang kedua lepas dari busurnya, melambung ke
udara seperti anak panahnya yang pertama.
Kini semua mata dengan
cepatnya berpindah ke tangan Agung Sedayu.
Ternyata Agung Sedayu tidak
membidik perlahan-lahan seperti Sidanti. Ia tidak menunggu anak panah Hudaya
melampaui titik yang tegak lurus di hadapannya. Dengan tangkasnya ia menarik
tali busurnya kuat-kuat, seakan-akan busur itu ingin dipatahkannya. Kemudian,
semua orang menjadi tegang karenanya.
Kini anak panah itu melontar
dengan cepat, secepat petir menyambar di langit. Para penonton tidak mendapat
kesempatan yang cukup untuk melihat anak panah itu. Namun yang terjadi kemudian
telah memukau mereka.
Bahkan karena itu, maka
lapangan itu menjadi sunyi senyap. Seandainya sebatang jarum terjatuh, maka
suaranya pasti akan mengejutkan seperti suara guruh. Yang terdengar kemudian
adalah suatu derak di udara. Kemudian sepi kembali. Sesepi padang yang tak
berpenghuni.
Beratus-ratus pasang mata tak
sempat berkedip, sedang beratus-ratus mulut menjadi ternganga karenanya.
Seperti orang bermimpi mereka
melihat anak panah Agung Sedayu secepat tatit menyambar anak panah Hudaya tepat
di tengah-tengah. Demikian kerasnya anak panah Agung Sedayu sehingga anak panah
Hudaya menjadi retak di tengah-tengah, dan terlontar ke samping terbawa oleh
anak panah Agung Sedayu.
Demikian kedua anak panah itu
jatuh ditanah, maka semua orang yang terpukau itu seakan-akan terbangun dari
mimpinya. Dengan serta-merta maka meledaklah sorak sorai mereka. Seperti
gemuruhnya gunung runtuh menimpa ombak lautan yang dahsyat. Menggelegar
beruntun susul menyusul. Tidak saja anak-anak, namun orang-orang dewasa,
anak-anak muda Sangkal Putungpun berloncat-loncatan di lapangan itu.
Menari-nari dan melemparkan apa saja ke udara. Caping-caping mereka, ikat
pinggang selebar telapak tangan, tongkat-tongkat dan bahkan terompah-terompah
mereka.
Swandaru yang berdiri di
belakang Agung Sedayu melihat pula benturan kedua anak panah itu. Terasa
dadanya menjadi bergetar seakan-akan benturan anak panah itu terjadi di dalam
rongga dadanya. Ia melihat pula kedua anak panah itu jatuh di tanah. Dan dengan
serta-merta, ia berlari sekencang-kencangnya, memungut kedua batang anak panah
itu.
Sambil berlari-lari kembali
anak yang gemuk itu berteriak-teriak sekeras-kerasnya seperti sedang mabuk
tuak. Katanya, “Lihat, lihat! Anak panah Paman Hudaya dikenai di tengah-tengah
sehingga menjadi retak karenanya.”
Widurapun menjadi terpaku di
tempatnya. Terasa sesuatu berdesir di dadanya. Bahkan kemudian mulutnya
seakan-akan menjadi terbungkam.
Dari tempatnya berdiri,
ditatapnya wajah Agung Sedayu. Dan seakan-akan terpancar dari wajah itu,
bayangan wajah ayahnya. Ki Sadewa, ipar Widura itu. Wajah itupun tampaknya
memancarkan kerendahan hati yang tulus.
Karena itu maka timbullah iba
hatinya, kalau selama ini anak itu dibiarkannya kecemasan tentang nasibnya. Dan
tiba-tiba pula terpancarlah janji di dalam hatinya. “Kalau aku mampu, biarlah
aku mencoba menjadikannya seorang anak muda yang berhati jantan. Kecakapannya
bermain panah, ketrampilannya berolah pedang dan bahkan kekuatan-kekuatan
jasmaniah yang tersimpan di dalam tubuhnya, pasti akan memungkinkan anak itu
melampaui anak-anak sebayanya, bahkan akan dapat melampaui diriku sendiri.”
Yang benar-benar tak dapat
menahan perasaannya adalah Sekar Mirah. Gadis itu benar-benar lupa akan
dirinya. Seperti kuda yang lepas dari ikatannya ia berlari kencang-kencang ke
arah Agung Sedayu yang masih berdiri di tempatnya. Namun tiba-tiba langkahnya
terhenti. Terasa seseorang menangkap tangannya dan menariknya.
“Apakah yang akan kau
lakukan?”
Sekar Mirah berpaling.
Dilihatnya ayahnya memandangnya dengan tajam. Dan Sekar Mirahpun menundukkan
wajahnya. Jawabnya, “Tidak apa-apa Ayah.”
“Ingat Mirah” berkata ayahnya.
“Kau adalah seorang gadis.”
“Aku tidak akan berbuat
apa-apa Ayah” sahut Sekar Mirah sekali lagi.
Ki Demang Sangkal Putung
melepaskan tangannya sambil berkata, “Jangan menodai namamu sendiri.
Bersoraklah kalau kau mau bersorak. Berteriaklah kalau kau mau berteriak. Namun
di tempatmu. Tak perlu kau pergi mendekat. Baik Sidanti maupun Agung Sedayu.”
Sekar Mirah menggigit
bibirnya. Namun dengan demikian ia mulai menyadari dirinya, bahwa ia kini
berada di tengah-tengah ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan itu. Karena
itu, ia harus lebih hati-hati membawa diri. Meskipun demikian ia berkata juga,
“Ayah, aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kemenangan Agung Sedayu.”
“Siapa bilang ia menang?”
Semuanya yang mendengar
pertanyaan itu menjadi terkejut, sehingga serentak mereka berpaling. Ternyata
mereka melihat Sidanti dengan wajah yang merah membara. Dengan tajamnya ia
memandang Sekar Mirah yang masih berdiri di samping ayahnya. Agaknya Sidanti
telah mendengar Sekar Mirah memuji Agung Sedayu dengan kemenangannya.
Ketika Sekar Mirah melihat
wajah Sidanti itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Namun ia merasa berhak
berbuat apapun sekehendaknya. Karena itu, maka ia tidak mau dibentak-bentak
oleh Sidanti.
Tetapi sebelum ia menjawab, terasa
ayahnya menggamitnya sambil berbisik, “Diamkan anak itu.”
Sekar Mirah memandangi wajah
ayahnya dengan kecewa. Tetapi ia tidak berani melanggarnya.
Namun ternyata terdengar jawab
dari arah lain, “Bukankah sudah, ternyata bahwa bidikan Agung Sedayu lebih baik
dari bidikanmu.”
Warna merah di wajah Sidanti
menjadi semakin menyala. Apalagi ketika ia menyadari bahwa suara itu suara
Swandaru. Demikian marahnya Sidanti sehingga untuk sesaat ia bahkan menjadi
terbungkam. Namun tubuh dan dadanya menjadi bergetar.
Agung Sedayu yang melihat
wajah Sidanti itupun tiba-tiba menjadi cemas pula. Apakah anak itu akan menjadi
marah? Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Widura menjadi cemas.
Karena itu segera ia melangkah
maju. Diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi sambil berteriak di antara
sorak para penonton yang masih saja menggema. Katanya, “Pertandingan sudah
selesai. Kedua-duanya berhasil mengenai panah-panah yang masih berada di udara.
Karena itu maka kedua-duanya memiliki kecakapan membidik yang sama. Dengan
demikian dalam pertandingan ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang
kalah.”
Mendengar keputusan itu, sorak
para penonton justru menjadi diam. Mereka merasa aneh atas keputusan itu.
Meskipun benar, kedua-duanya dapat mengenai sasarannya, namun terasa bidikan
Agung Sedayu lebih tepat dari bidikan Sidanti. Karena itu menurut mereka Agung
Sedayu dapat dianggap memenangkan pertandingan ini. Bahkan hampir bersamaan
Hudaya, Citra Gati, Sendawa meloncat masuk ke lapangan. Yang mula-mula berkata adalah
Citra Gati, “Apakah penilaian ini cukup adil?”
Widura mengerutkan keningnya
mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan itu adalah wajar dan bahkan di dalam
dirinya sendiri, timbul pula pertanyaan semacam itu.
Namun demikian, tebaran
pandangan Widura tidak saja terbatas di tengah-tengah lapangan dan membiarkan
perasaannya berbicara. Pandangannya telah jauh melampaui batas-batas yang dapat
dilihatnya di tempat yang sempit itu. Dilihatnya di suatu tempat Tohpati telah
mulai menyusun kekuatannya, dan di tempat lain Ki Tambak Wedi seakan-akan
selalu mengintipnya.
Karena itu, ia dengan
pertimbangan yang masak ia menjawab, “Kita tidak menentukan, bagian manakah
yang harus dikenai oleh pemanah-pemanahnya. Kita hanya melepaskan anak panah ke
udara. Nah, salah seorang dari para pemanah itu membidik ekornya, yang lain
membidik tepat di tengah-tengah. Dan keduanya mengenai tepat di arah yang
dikehendakinya. Bukankah dengan demikian kedua-duanya telah berhasil?”
Hudaya menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil menjawab, “Kami menjadi saksi. Perasaan kami, aku dan para
penonton, mengatakan bahwa Agung Sedayu lebih baik dari Sidanti.”
Widura mengerutkan keningnya.
Ia benar-benar berada di tempat yang sulit. Ia tidak mau melepaskan Sidanti.
Tetapi Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan beberapa orang itu adalah orang-orang
yang mempunyai pengaruh yang kuat di antara laskarnya. Sudah tentu ia tidak
dapat bekerja berdua saja dengan Sidanti, atau dengan satu dua orang yang lain.
Sementara itu, sementara
Widura sedang sibuk berpikir untuk memecahkan persoalan yang sulit itu,
terdengar suara Sidanti parau. “Kakang Widura, pertandingan dapat diulangi.
Kita harus sampai pada penentuan, siapakah yang menang dan yang kalah. Kita
tidak boleh menjadi orang-orang banci.”
“Bagus!” teriak Hudaya, Citra
Gati, Sendawa dan orang-orang lain. “Ulangi!” teriak mereka.
Widura benar-benar menjadi
pening. Namun ia harus mempunyai sikap. Maka katanya, “Tidak. Pertandingan
sudah selesai. Tak ada gunanya kita ulangi. Aku sudah tahu pasti. Hasilnya akan
sama saja. Keduanya akan mendapat nilai yang sama.”
“Tidak!” teriak Sidanti. “Aku
menuntut perlakuan yang adil. Tidak ada yang menentukan arah bidikan pada panah
yang dilepaskan oleh Kakang Hudaya. Tetapi meskipun aku mengenai tempat yang
aku kehendaki, namun orang-orang menganggap bidikan Adi Sedayu lebih tepat. Aku
ingin menghilangkan kesan itu.”
Widura menggeleng. “Sudah aku
katakan. Aku akan menyelenggarakannya lain kali.”
“Sekarang!” teriak Sidanti
pula.
Suasana segera meningkat
menjadi semakin tegang. Beberapa langkah Sidanti maju mendekati Widura dengan
wajah yang merah menyala. Sedang dari arah lain, Citra Gati, Hudaya, Sendawa,
Sonya, dan beberapa orang lagipun maju pula. Wajah mereka tidak kalah tegangnya
dengan wajah Widura sendiri.
Sesaat Agung Sedayu menjadi
bingung melihat perkembangan keadaan. Ia melihat Sidanti menjadi marah, dan
dilihatnya pula Hudaya dan kawan-kawannyapun menjadi tegang. Sehingga setiap
kemungkinan akan dapat terjadi.
Karena itu maka tiba-tiba
berkata, “Paman, seandainya pertandingan ini diadakan lagi, maka aku tidak akan
dapat mengikutinya.”
Kata-kata itu seolah-olah
merupakan penggerak yang menggerakkan setiap kepala untuk berpaling ke arahnya.
Sidantipun memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Dan bahkan Citra Gati
yang tidak dapat menahan perasaannya berteriak, “Kanapa?”
Sedayu menjadi berdebar-debar.
Jawabnya, “Aku tidak dapat melakukan permainan yang lebih baik. Seandainya
Kakang Sidanti mempunyai cara yang lain, maka pasti aku tidak dapat
mengikutinya. Aku sudah sampai pada puncak kecakapan yang ada padaku.”
“Bohong!” teriak Sidanti dan
Hudaya hampir bersamaan, meskipun maksudnya berbeda-beda, sehingga keduanya
menjadi terkejut karenanya. Namun yang meneruskan kata-katanya hanyalah
Sidanti. “Kau hanya akan mempertahankan keadaan serupa ini. Dimana orang-orang
mempunyai kesan bahwa kau adalah pemanah yang lebih baik daripadaku.”
Agung Sedayu menjadi bingung.
Karena itu ia tidak menjawab. Sehingga yang menjawab kemudian adalah Widura.
“Sedayu berkata benar. Kalau Sidanti masih mungkin melakukan permainan yang
lebih baik lagi, maka Sedayu akan kalah.”
“Tidak adil!” teriak Citra
Gati.
“Tidak adil!” teriak Sidanti.
“Kesan orang-orang akan menjadi semakin menguntungkannya. Seolah-olah ia
sekedar mengalah untuk memberi kesempatan kepadaku. Tidak. Bukan perlakuan
jantan bagi Sidanti. Sidanti tidak sekedar ingin mendapat perlakuan yang
cengeng. Sidanti adalah seorang anak muda yang jantan.”
Kata-kata itu benar-benar
berkesan bagi Widura. Bahkan Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lainpun terdiam
pula karenanya. Betapapun mereka harus mengakui kelebihan Sidanti daripada
mereka, meskipun apabila mereka dihadapkan pada suatu keadaan yang memaksa,
mereka tidak takut pula melawan Sidanti.
Lapangan itu tiba-tiba menjadi
hening. Dengan hati yang semakin tegang, mereka, para penonton itu melihat
keadaan yang semakin tegang pula. Beberapa orang laki-laki telah mendekat
mereka. Dan membentuk sebuah gelang memagari mereka yang sedang bertengkar.
Yang berkata kemudian adalah
Widura tegas, “Tak akan ada pertandingan lagi.”
“Ada” sahut Sidanti.
Sekali lagi Widura menjawab
lebih keras. “Tidak!”
Tetapi tiba-tiba hati Widura
itu berdesir. Di tengah-tengah lingkaran orang-orang yang melihat keributan
itu, tiba-tiba terjatuh sebuah benda yang benar-benar mengejutkannya. Sepotong
besi yang lengkung hampir berbentuk lingkaran.
“Setan” Widura mengumpat
didalam hati. “Ki Tambak Wedi itu ada pula disini.”
Ketika ia memandang wajah
Sidanti, dilihatnya anak muda itu tersenyum. Senyum yang sangat menyakitkan
hati.
Sementara itu beberapa orang
menjadi heran juga. Namun tak seorangpun diantara mereka yang melihat, siapakah
yang telah melemparkan sepotong besi di tengah-tengah mereka. Meskipun
demikian, beberapa orang menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka idak tahu arti
sepotong besi itu selain Widura, namun mereka merasakan sesuatu yang tidak
wajar.
Ternyata benda itu sangat
berpengaruh bagi Widura. Ia tidak tahu pasti maksud Ki Tambak Wedi, namun ia
dapat menduga bahwa Ki Tambak Wedi telah memperkuat pendapat muridnya.
Dengan demikian maka Widura
itu berpikir dan berpikir sehingga kepalanya hampir meledak karenanya.
Ditinjaunya segenap segi-segi. Kalau ia mengadakan pertandingan sekali lagi
maka persoalannya tidak akan terpecahkan. Apalagi Sidanti merasa bahwa ada
semacam perlakuan yang tidak wajar terhadapnya. Menang atau kalah, Sidanti
pasti akan kecewa. Kalau ia kalah, maka darahnya pasti akan semakin menyala,
tetapi kalau ia menang, maka ia akan menyangka bahwa Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh.
Tetapi ternyata guru Sidanti
itu telah ikut campur pula. Bagi Widura yang sebaik-baiknya adalah bubar.
Pulang ke kademangan. Namun Sidanti menolak dan gurunya memperkuat. Sehingga
untuk menjaga ketenangan kademangan, apakah ia harus memenuhi permintaan
Sidanti yang juga merupakan permintaraan dari Hudaya, Citra Gati dan yang
lain-lain, meskipun dalam perhitungan yang berlawanan?
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Hampir saja ia hanyut oleh kehendak orang-orang yang sedang
kehilangan kejernihan pikiran itu. Hampir ia kehilangan ketetapan hati sebagai
seorang pemimpin.
Dalam keadaan yang demikian
itu, ketika dada Widura sedang bergetar karena benturan-benturan
pertimbangannya, maka sekali lagi orang-orang yang berdiri melingkar itu
terkejut.
Kali ini mereka melihat sebuah
cemeti kuda melenting dan jatuh hampir menimpa Widura. Widurapun terkejut pula
karenanya. Tetapi tiba-tiba jantungnya serasa berhenti.
Dengan nanar ia memandang
berkeliling. Namun yang dilihatnya adalah wajah-wajah yang tegang dan penuh
kecemasan. Widura tidak berhasil melihat seseorang yang dicarinya. Ia tidak
berhasil menemukan orang yang dapat disangkanya Kiai Gringsing. Namun ia pasti,
bahwa orang aneh itu hadir pula di tengah-tengah lapangan. Cemeti kuda itu
telah memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu ada di dekatnya.
Dengan demikian, maka
pertimbangan-pertimbangan Widura yang hampir condong dan roboh sama sekali itu
itu, seakan-akan menemukan kekuatannya yang baru. Ia tahu benar maksud Kiai
Gringsing itu. Dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak hanya sekedar
mengganggunya seperti biasanya. Dengan cemetinya itu Kiai Gringsing pasti ingin
berkata kepadanya, “Jangan hiraukan orang yang bergelang besi itu, biarlah ia
menjadi urusanku.”
Dan kini sekali lagi Widura
mengangkat wajahnya. Ia melihat Sidanti keheran-heranan melihat cemeti itu.
Juga Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain. Namun ketika ia memandang Agung
Sedayu dilihatnya wajah Agung Sedayu tidak lagi sepucat tadi.
Agaknya Agung Sedayupun
mengenal cemeti itu pula. Dan tanpa disengaja, hatinya menjadi tenang. Kiai
Gringsing yang belum dikenalnya baik-baik itu, telah mencengkam kepercayaannya,
sehingga seakan-akan orang aneh itu dapat dipakainya sebagai sandaran apabila
terjadi sesuatu.
Ketegangan itu kemudian dipecahkan
oleh suara Widura tegas dan lantang. “Tidak ada apa-apa lagi. Itulah
keputusanku!”
Terdengar gigi Sidanti
gemeretak. Betapa dadanya dibakar oleh kemarahan. Dengan demikian, maka setiap
orang di Sangkal Putung dan setiap orang yang melihat pertandingan itu,
termasuk kawan-kawannya sendiri, akan tetap berkesan bahwa Agung Sedayu telah
mengalahkannya.
Karena itu maka sekali lagi ia
mencoba memaksakan kehendaknya Katanya, “Kakang Widura, aku minta pertandingan
diadakan lagi!”
Widura menggeleng. Namun
sebelum ia menjawab terdengarlah Citra Gati berkata, “Apakah keberatannya
Kakang. Marilah kita melihat keadaan dengan jujur. Siapa yang kalah biarlah ia
kalah dan siapa yang menang biarlah ia menang. Setan atau malaikat. Dengan
demikian kita melihat kenyataan dengan pasti.”
Widura mengerutkan keningnya.
Dengan tajam ia memandang Citra Gati. Jawabnya, “Apakah tujuan kita berada di
Sangkal Putung ini? Apakah kita hanya sekedar ingin mengetahui siapakah
diantara kita yang paling sakti dan paling cakap? Bahkan apakah cukup apabila
kita menemukan siapakah di antara kita yang paling benar dan paling jujur?
Sedang tujuan pokok dari perjuangan kita tidak selesai. Ayo, katakan kepadaku,
apakah dengan saling ribut di antara kita, Tohpati dapat terselesaikan. Sisa-sisa
laskar Jipang akan dapat kita batasi kegiatannya, atau bahkan kita hancurkan.
Sekarang katakan padaku, apakah tujuan pertandingan ulangan ini jujur pula,
sekedar untuk mendapatkan pemenangnya dengan jujur? Atau karena keinginan kita
sekalian untuk menunjuk kelemahan orang lain dan menghinakannya?”
Kata-kata itu benar-benar
menusuk jantung Citra Gati. Sehingga orang itupun kemudian menundukkan
wajahnya. Demikian juga Hudaya, Sendawa yang bertubuh raksasa dan Sonya yang
kecil serta beberapa orang lainnya. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Widura
itu. Sebenarnyalah bahwa pertandingan ulangan itupun tidak dilakukan dengan
tujuan jujur. Karena itu, maka merekapun menjadi terdiam karenanya.
Tetapi ternyata kata-kata
Widura itu tanpa disengaja telah menjadikan Sidanti makin marah. Ia merasa
bahwa di dalam kata-kata itu tersembunyi pengertian-pengertian yang seakan-akan
memastikan bahwa Agung Sedayu akan dapat memenangkannya pula. Lebih-lebih
menurut anggapan Citra Gati.
Karena itu, Sidanti tidak mau
diam. Apalagi ketika diingatnya bahwa gurunya ada pula di tempat itu. Katanya,
“Kenapa kakang Widura takut melihat kenyataan seandainya Adi Sedayu itu tak
mampu menandingi kecakapanku?”
Sekali lagi dada Widura
berdesir. Namun ia harus menahan diri. Ia tidak boleh hanyut dalam arus
perasaannya, supaya anak buahnya tidak menjadi berantakan karenanya.
Tetapi sebelum ia menjawab
tiba-tiba meloncatlah seorang gadis yang telah kehilangan pengamatan diri.
Digoncang-goncangnya tubuh Agung Sedayu sambil berteriak, “Kenapa Tuan diam
saja? Kenapa Tuan tidak menyanggupinya dan membuktikannya bahwa tuan dapat
memenangkannya?”
Bukan main terkejutnya Widura
dan Agung Sedayu sendiri. Tetapi Hudaya, Citra Gati dan Sendawa sama sekali
tidak terkejut. Sejak tadi mereka melihat gadis itu menjadi gelisah.
Sekali-sekali ia maju, namun kemudian mundur kembali. Mereka melihat gadis itu
meremas-remas tangannya sendiri dan bahkan menghentak-hentakkan kakinya.
Tetapi yang terkejut sekali
adalah Ki Demang Sangkal Putung. Dengan cepatnya ia meloncat dan menarik
anaknya itu ke tepi. Dengan marahnya ia membentak, “Mirah, apakah kau sudah
menjadi gila?”
Sekar Mirah, gadis yang selalu
hanyut menurut arus persaannya itupun terkejut pula. Karena itu ia menyesal,
namun hal itu telah terlanjur dilakukannya. Ketika ia mencoba melihat
wajah-wajah di sekitarnya, maka seakan-akan mereka itu memandangnya dengan
heran, sehingga kemudian Sekar Mirah itupun menundukkan wajahnya.
Tetapi apa yang dilakukan
Sekar Mirah itu ternyata seakan-akan minyak yang ditumpahkan ke dalam api yang
menyala di dada Sidanti.
Gadis itu benar-benar telah
menggelapkan matanya. Gadis yang selalu mengganggu perasaannya itu. Karena itu
tiba-tiba ia berteriak, “Aku akan melangsungkan pertandingan. Disetujui atau
tidak disetujui. Tidak ada sasaran yang lebih baik yang harus kita kenai. Ayo
Sedayu bersiaplah. Sasaran itu adalah kita masing-masing!”
Kata-kata Sidanti itu seperti
guruh yang menyambar setiap telinga yang mendengarnya. Kata-kata itu jelas
mereka mengerti maksudnya. Bukankah dengan demikian Sidanti telah menjerumuskan
dirinya dalam suatu perang tanding dengan senjata panah?
Belum lagi gema kata-kata itu
lenyap, terdengar Sidanti itu berkata pula, “Kita tentukan cara-cara menurut
kehendak kita sendiri. Jangan hiraukan orang lain kalau kau jantan. Kita
berdiri beradu pungung. Kita melangkah maju masing-masing sepuluh langkah.
Kemudian siapakah di antara kita yang paling cepat memutar tubuh kita,
membidikkan anak panah dan mengenai kepala lawan, itulah yang menang. Kita akan
tahu dengan pasti, siapakah yang lebih baik di antara kita. Sebab yang kalah
dapat segera ditandai, mati.”
Denyut nadi Sedayu terasa
berhenti karenanya. Tantangan itu tak disangka-sangkanya. Karena itu betapa
tiba-tiba terasa lututnya menjadi gemetar. Mati. Kata-kata itu sangat
menakutkannya. Ia tidak pernah berpikir untuk dibunuh atau membunuh. Apalagi
dalam keadaan serupa itu.
Swandaru yang berdiri di
belakang Agung Sedayupun jadi tergetar karenanya. Disadarilah kini, betapa jauh
akibat yang sudah terjadi akibat kelancangannya.
Kalau terjadi sesuatu atas
mereka, apakah ia Agung Sedayu ataupun Sidanti, maka itu benar-benar akan
merugikan Sangkal Putung. Sidanti telah berhasil menyelamatkan hidupnya pada
saat ia melawan Tohpati, dan Sedayupun selamat pula meskipun ia berpapasan
dengan Pande Besi Sendang Gabus, Alap-Alap Jalatunda berempat. Dan sekarang,
salah seorang dari mereka harus mati karena tangan keluarga sendiri.
Dengan demikian maka Swandaru
itupun menyesal tak habis-habinya. Tetapi ia sama sekali tidak tahu, bagaimana
ia harus memperbaiki kesalahannya. Apalagi sekali-sekali ia melihat ayahnya
memandanginya dengan penuh penyesalan pula.
Widura masih tegak seperti
patung. Kata-kata Sidanti itu, tak disangka-sangkanya. Juga Hudaya, Citra Gati dan
kawan-kawannyapun tidak menyangka. Namun Widura memakluminya, bahwa Sekar
Mirahlah sebab langsung dari keputusan Sidanti itu.
Ketika Widura itu memandang
Agung Sedayu, ia melihat anak itu gemetar. Beberapa orang lainpun melihat pula.
Namun mereka mempunyai sangkaan lain. Seperti Sidanti yang gemetar karena
marah, maka merekapun menyangka bahwa Agung Sedayu menjadi marah pula. Namun
kemarahannya itu ditahannya, karena anak muda yang patuh itu takut benar kepada
pamannya.
Dengan demikian maka semua
mata kini memandang kepada Widura, seakan-akan semua menunggu keputusan apakah
yang akan diambilnya.
Tetapi kepala Widura itu
benar-benar akan pecah karenanya. Ia kini tidak tahu, bagaimana ia akan
mengatasinya. Apakah ia sendiri harus mengambil keputusan yang dapat berakibat
dirinya sendiri yang harus berkelahi seperti beberapa waktu yang lalu.
Dan ternyata pula terdengar
Sidanti berkata, “Kali ini aku tidak mau dihalang-halangi. Siapapun yang
mencoba mencegahnya, orang itulah yang akan menjadi lawanku. Sekarang atau
kapanpun.”
Lapangan itu benar-benar
dicengkam oleh ketegangan. Tak seorangpun yang berani berkata sepatah katapun.
Mereka melihat wajah-wajah yang kaku. Widura, Hudaya, Citra Gati, Agung Sedayu.
Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung. Sekar Mirah dan Sidanti sendiri. Bahkan
wajah Sidanti itu kini benar-benar telah menjadi merah biru.
Widura yang tahu benar
perasaan Agung Sedayu, menjadi semakin bingung. Kalau saja anak itu berani dan
menghadapinya dengan tatag, maka ia yakin bahwa Sidanti tak akan dapat
mendahuluinya. Widura itu yakin benar, bahwa anak-anak Ki Sadewa telah mewarisi
keahliannya dalam berbagai senjata bidik.
Tetapi hati Agung Sedayu
adalah hati yang kerdil. Meskipun demikian, apabila keadaan memaksa ia harus
membesarkan hati anak itu. Ia harus mencoba meyakinkan bahwa ia akan menang.
Dan keputusan itu akhirnya
menjadi bulat di dada Widura. Ia tidak melihat persoalan lain lagi. Namun ia
hanya ingin merubah tata cara pertandingan itu. Tidak sampai mati. Dan yang
harus dikenai bukanlah tempat-tempat yang berbahaya. Namun apakah Sidanti yang
menjadi seolah-olah gila itu mau menerimanya dan apakah meskipun sudah
diperlunak itu Agung Sedayu berani menghadapinya?
Dada Widura menjadi semakin
berdebar-debar ketika ia mendengar Sidanti berteriak, “Minggir. Pertandingan
akan dimulai.”
Ketika semua orang menyibak,
maka Agung Sedayu menjadi semakin takut. Dipandangnya wajah pamannya, dan
hampir-hampir ia berteriak memanggilnya. Hampir ia kehilangan rasa malunya
untuk sedikit saja mepertahankan namanya yang selama ini menjadi semakin
dikagumi.
Lingkaran yang mengitari
mereka yang sedang dibakar oleh ketegangan itu, semakin lama menjadi semakin
luas. Sementara itu Sidanti sudah bergerak setapak maju. Namun Widura dengan
wajah yang tegang kaku masih berdiri di tempatnya. Ketika ia memandang wajah
Sidanti, dilihatnya wajah itu telah benar-benar menjadi sedemikian liarnya.
Dalam pada itu, Widurapun
menyadari, bahwa Sidanti benar-benar tak akan dapat diajak berbicara. Kehadiran
gurunya agaknya berpengaruh juga kepadanya. Sebab dengan demikian ia menyangka,
bahwa apa yang dikehendakinya pasti akan terpenuhi.
Tetapi Widura itupun
memperhitungkan kehadiran Kiai Gringsing. Ia tidak tahu pasti, apakah Kiai
Gringsing akan dapat mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi apabila diperlukan.
Namun ia pernah melihat, tangan Kiai Gringsing itu mampu meluruskan kembali
sepotong besi yang melengkung karena tangan Ki Tambak Wedi, sehingga untuk
sementara, maka ia dapat mengabaikan kehadiran guru Sidanti. Biarlah Kiai Gringsing
mengurusnya.
Ketika keadaan semakin
meningkat, maka Widura tidak dapat tetap berdiam diri di tempatnya. Ia harus
berbuat sesuatu. Kalau mungkin mengurungkannya. Kalau tidak, apapun yang dapat
mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan.
Karena itu, maka dengan
lantang ia berkata, “Bagus, pertandingan akan segera dimulai. Tetapi kita belum
menentukan peraturannya.”
“Aku tidak memerlukannya”
teriak Sidanti. “Aku sudah menetapkan peraturan itu.”
“Apakah hakmu?” bertanya
Widura.
“Akulah yang berkepentingan”
jawab Sidanti.
“Aku yang berkuasa disini”
sahut Widura tidak kalah lantangnya. “Aku akan membuat peraturan.”
“Tidak” jawab Sidanti pula.
“Apapun yang akan kau lakukan, aku tetap pada pendirianku. Aku akan membidik
jantung Agung Sedayu dan membunuhnya. Meskipun Agung Sedayu tidak melawan.”
Dada Widura kini telah
bergetar semakin cepat. Sedemikian peningnya kepalanya, sehingga ia hampir
muntah karenanya. Kini ternyata Sidanti tak dapat diajaknya berbicara. Karena
itu maka ia harus berbuat sesuatu. Adalah tidak adil apabila dibiarkannya Agung
Sedayu mati ketakutan.
“Apakah kau sudah tetap pada
pendirianmu?” bertanya Widura kepada Sidanti.
“Jangan hiraukan aku.”
Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, “Aku akan berdiri di belakangmu beradu
punggung. Aku mengharap seseorang menghitung sampai hitungan yang kesepuluh.
Nah, kemudian kau atau aku yang akan mati.”
Widura telah benar-benar
kehilangan kesempatan. Maka tak ada yang dapat dilakukan kecuali mencoba
menyelamatkan Agung Sedayu.
Karena itu dengan langkah yang
panjang ia berjalan di samping Agung Sedayu. Widura itupun berhenti sesaat.
Ditatapnya wajah kemenakannya itu dengan penuh iba. Namun dari mulutnya
meluncurlah kata-katanya perlahan sekali, “Matilah kau pengecut. Apapun yang
akan kau lakukan, kau pasti akan mati di lapangan ini. Satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan dirimu adalah melawan. Melawan. Mendahuluinya, membidik dadanya,
atau kepalanya atau bahu kanannya. Kalau kau tak sampai hati untuk membunuh,
maka yang dapat kau kenai adalah tangannya yang memegang busur itu. Secepatnya,
sebelum panahnya menembus otakmu. Kalau kau tak mampu melakukannya, maka
otakmulah yang akan dirobeknya dengan anak panahnya, dan jangan mencoba
menyebut nama Ki Sadewa. Itu hanya akan menodai nama kakak iparku. Hanya mulut
yang jantan sajalah yang pantas menyebut namanya.”
Mendengar kata-kata pamannya,
dada Agung Sedayu yang sudah gemetar menjadi semakin gemetar.
Namun tiba-tiba terasa sesuatu
yang aneh di kepalanya. Ia akan mati. Dan sebenarnya ia takut sekali kepada
mati itu. Sedang kini, tanpa diduganya ia dihadapkan pada kekuasaan maut. Namun
pamannya itu berkata, “Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah
melawan.”
Kata-kata itu
melingkar-lingkar saja di dalam benaknya. Betapa ia takut menghadapi lawannya,
namun betapa ia lebih takut lagi kepada maut. Karena itu maka tiba-tiba ia
dihadapkan pada dua pilihan. Mati atau melawan.
Tubuh Agung Sedayu masih
bergetar. Namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. Dipandangnya wajah Sidanti
yang menyala. Sesaat getar di dadanya menjadi bertambah cepat. Namun
ketakutannya kepada maut itu telah semakin mendesaknya. Ia tidak mau mati,
apalagi ditengah-tengah lapangan di hadapan beratus-ratus orang, dan di
antaranya adalah Sekar Mirah.
Terasa sesuatu bergolak di
dadanya. Dan karena itulah maka tubuhnya menjadi semakin bergetar. Namun kini
ia menemukan suatu sikap untuk menyelamatkan dirinya. Dan jalan satu-satunya
adalah melawan. Tak ada jalan lain. Kalau ia masih mungkin melarikan dirinya,
maka ia akan lari dan bersembunyi.
Namun ia tahu pasti, demikian
ia melangkah, maka anak panah Sidanti pasti akan hinggap di punggungnya. Karena
itu Agung Sedayu tidak berani melarikan diri.
Sedayupun terkejut ketika
terdengar suara Sidanti menggelegar di telinganya. “Ayo Sedayu. Siapkan
busurmu.”
Sedayu mengangkat wajahnya.
Dan tiba-tiba terdengar ia berkata dengan suaranya yang bergetar, “Swandaru,
berilah aku anak panah.”
Semua yang mendengar kata-kata
itu terkejut. Dan keteganganpun menjadi semakin memuncak. Mereka segera akan
menyaksikan suatu perang tanding antara dua anak muda yang mereka angap
memiliki kekuatan-kekuatan di luar kekuatan kebanyakan orang, sehingga dengan
demikian maka perang tanding ini pasti akan menjadi sangat dahsyatnya.
Widurapun terkejut mendengar
jawaban Sedayu. Namun tiba-tiba dadanyapun bergelora. Ia menjadi terharu
melihat Agung Sedayu berusaha untuk mempertahankan hidupnya.
Tetapi meskipun demikian,
perasaan khawatir merayap-rayap di dalam dada Widura. Meskipun Agung Sedayu
kemudian berusaha untuk menyelamatkan dirinya, namun betapapun juga, hatinya
yang kerdil pasti masih akan mengganggunya.
Dengan demikian, Widura
kembali menjadi ragu-ragu apakah Agung Sedayu akan berhasil menyelamatkan
dirinya. Tetapi seandainya terjadi sesuatu, maka lebih baik apabila Agung
Sedayu itu menghadapinya secara jantan daripada mati seperti kelinci betina.
Swandarupun dengan tangan yang
gemetar pula menyerahkan sebatang anak panah kepada Agung Sedayu. Betapa ia
menyesal. Namun semuanya telah terjadi, dan kini ia tinggal menunggu akibat
dari perbuatannya.
Sementara itu Sidantipun telah
memegang sebatang anak panah pula. Kini ia maju lagi beberapa langkah. Kemudian
ia berkata dengan lantang, “Siapakah yang akan mengucapkan hitungan sampai
sepuluh?”
Lapangan itu menjadi hening
seketika. Tak seorangpun yang menjawab. Karena itu Sidanti mengulangi lebih
keras lagi, “Ayo, siapakah yang akan mengucapkan hitungan?”
Kembali lapangan itu tenggelam
dalam kesepian. Gema suara Sidanti itupun kemudian lenyap pula. Sehingga dengan
demikian Sidanti menjadi semakin marah karenanya. Ia merasa seakan-akan semua
orang di lapangan itu sama sekali tidak menghargainya.
Karena itu tiba-tiba ia
berkata, “Ayo Adi Sedayu. Supaya aku tidak disangka curang, kaulah yang mengucapkan
hitungan itu.”
Agung Sedayu tidak dapat
menjawab kata-kata itu. Ia sedang sibuk berjuang melawan perasaannya sendiri
yang saling berbenturan. Namun Sidanti tidak menunggu Agung Sedayu menjawab. Ia
langsung berjalan mendekati anak muda itu dan berdiri di belakangnya beradu
punggung.
Sementara itu, sepasang mata
yang tajam di antara para penonton, memperhatikan perkembangan keadaan dengan
seksama. Ia tersenyum ketika melihat Sedayu menerima sebatang anak panah dari
Swandaru. Ia tersenyum pula ketika melihat Sedayu menempatkan anak panah di
tali busurnya. Namun meskipun demikian, orang yang bermata tajam itu dapat
menilai apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Seandainya
Agung Sedayu itu berhati jantan, maka kekalahannya tak usah dikhawatirkan.
Namun di dalam dada orang itu bergolaklah perasaan seperti perasaan yang
tersimpan di dalam dada Widura. Dan karena itu pula ia menjadi cemas akan nasib
anak muda itu.
Dalam pada itu, Sidanti sudah
tidak sabar lagi. Ia sudah berdiri tegak di belakang Agung Sedayu beradu
punggung. Namun Agung Sedayu masih belum mulai dengan hitungannya. Sehingga
Sidanti sekali lagi berteriak, “Mulailah Adi Sedayu. Kalau tidak akulah yang
akan menghitung, dan aku akan melangkah menurut irama hitungan itu. Aku tidak peduli
apa yang akan kau lakukan, namun sesudah hitungan kesepuluh aku akan melepaskan
anak panahku ini.”
Debar di dada Agung Sedayu
menjadi semakin cepat dan cepat saja. Sedang mulutnya masih saja terbungkam.
Ia sengaja tidak mau mulai
dengan mengucapkan hitungan. Dibiarkannya Sidanti menghitungnya. Ia ingin dapat
memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya untuk menindas perasaannya.
Perasaan yang selalu mengganggunya. Bahkan kemudian dicobanya untuk membulatkan
tekadnya. “Kalau aku ingin menghindari kematian, aku harus melawan.
Menghentikan sumber gerak dari terkaman kematian itu.”
Sidanti kemudian benar-benar
tidak sabar lagi. Apalagi ketika dilihatnya matahari telah semakin rendah di
atas cakrawala. Dengan agak silau Sidanti memandang punggung-punggung bukit di
sebelah barat, sebagaimana ia menghadap. Kemudian katanya, “Lihat, matahari
hampir terbenam.”
Tetapi Agung Sedayu masih
berdiam diri, sehingga Sidanti yang telah kehabisan kesabaran itu berteriak,
“Aku akan mulai dengan hitungan itu.”
Anak muda yang sedang dibakar
oleh nyala kemarahan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Maka terdengarlah
suaranya lantang.
“Satu.” Kemudian, “Dua.”
Dan sejalan dengan itu,
kakinyapun terayun maju, selangkah demi selangkah. Pada saat yang bersamaan
Agung Sedayupun bergerak pula, setapak demi setapak.
Tetapi tiba-tiba terdengar
sebuah tawa yang lunak bergetar di antara para penonton yang berjejalan itu.
Meskipun demikian suara itu telah mengejutkan setiap orang yang berdiri di
lapangan. Apalagi ketika di antara derai tertawanya terdengar kata-katanya,
“Sidanti, ternyata kau curang.”
Langkah dan hitungan
Sidantipun terhenti pula. Mendengar kata-kata itu nyala di dalam dadanya serasa
tersiram minyak. Dengan serta-merta ia berpaling sambil berteriak, “Tidak. Aku
tidak curang.”
Namun Sidanti tidak segera
dapat melihat orang itu. Orang yang telah mentertawakannya.
Sementara itu terdengar orang
itu berkata pula, “Kenapa kau memilih arah itu? Bukankah dengan demikian kau
mengharap, bahwa apabila hitunganmu telah sampai hitungan kesepuluh, dan Agung
Sedayu itupun berbalik maka sinar matahari yang silau ini akan melindungimu.”
“Gila!” teriak Sidanti.
“Siapakah kau?”
Sidanti benar-benar
tersinggung mendengar kata-kata itu. Memang, keadaan itupun mendapat
perhatiannya pula, dan bahkan diperhitungkannya. Tetapi ketika seseorang
menebak dengan tepat, maka kemarahannya menjadi semakin menggelegak.
Bukan saja Sidanti namun Agung
Sedayu, Widura, dan bahkan setiap orang menjadi sibuk mencari orang yang
berkata demikian itu. Setiap orang dengan menegakkan lehernya memandang ke satu
arah, ke tempat orang yang telah menghentikan perang tanding yang mendebarkan
itu.
Dan akhirnya mereka melihat
juga. Melihat orang yang berbicara itu sedang berjalan menyibak orang-orang
yang berdiri berjejalan di hadapannya.
Kata-kata orang yang belum
diketahui itupun merupakan sebuah singgungan pada perasaan Widura. Kenapa ia
tidak melihat ketidakadilan itu? Baru kemudian ia menyadari, bahwa alangkah
berbahayanya seandainya pertandingan itu berlangsung. Demikian Agung Sedayu
memutar tubuhnya, maka segera ia akan segera menjadi silau karena matahari
sudah sedemikian rendahnya. Ternyata kemudian orang lainlah yang memberi
peringatan akan hal itu. Bukan dirinya pemimpin laskar Pajang yang bertanggung
jawab di Sangkal Putung.
Karena itu Widurapun segera
ingin tahu, siapakah orang itu. Dan orang itupun datanglah kepadanya. Semakin
lama menjadi semakin dekat menyusup di antara penonton yang sengaja memberi
jalan, sehingga akhirnya, muncullah orang itu di tengah-tengah lingkaran.
Demikian yang muncul dari
antara para penonton, maka berdesirlah dada Widura. Betapa ia terkejut melihat
kehadirannya. Seorang anak muda yang sebaya dengan Sidanti. Bertubuh kekar
padat berwajah tenang dan terang. Dengan sebuah senyum yang segar anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum Widura sempat
berkata sesuatu karena getar dadanya, terdengar Agung Sedayu seakan-akan
menjerit tinggi, “Kakang. Kakang Untara. Kaukah itu?”
Untara, sebenarnyalah anak
muda itu Untara, berpaling kepada adiknya. Kini ia tertawa. Suara tertawanya
masih selunak seperti suaranya yang pertama-tama diperdengarkan. Kemudian
terdengar ia berkata, “Aku datang untuk menyaksikan pertunjukan yang
diselenggarakan oleh Paman Widura.”
Sekali lagi dada Widura
berdesir. Dan yang didengarnya kemudian adalah suara ribut di antara penonton.
Ternyata mereka terkejut pula melihat kehadiran anak muda itu, apalagi setelah
Agung Sedayu menyebut namanya, Untara.
Jadi itulah orangnya yang
bernama Untara, kakak Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kembali para penonton
itu berjejalan mendesak maju. Mereka ingin melihat wajah anak muda yang namanya
telah jauh lebih dahulu hadir daripada orangnya.
Dada Widura kini telah menjadi
tenang kembali. Dengan sebuah senyum yang tulus ia mendekati kemenakannya.
Diulurkannya tangannya sambil berkata lirih, “Aku tidak dapat mencegahnya.”
Untara menyambut uluran tangan
pamannya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Aku senang melihat
perang tanding ini. Namun aku ingin melihat perang tanding ini berjalan dengan
sempurna.”
“Suatu kekhilafan, Untara”
sahut Widura.
Sekali lagi Untara tertawa.
Wajahnya yang terang itu kemudian memandang berkeliling. Setiap wajah yang
dipandangnya, maka tanpa sengaja, wajah itu mengangguk, dan dengan rendah hati
Untarapun menganggukkan kepalanya pula.
Sidanti yang melihat kehadiran
Untara itu dadanya berdentang pula seperti melihat hantu yang paling
dibencinya. Wajahnya yang merah membara itu seakan-akan benar-benar telah menyala.
Kini ia melihat Untara itu berdiri di hadapannya. Sedang orang-orang
disekitarnya telah mendesak maju sekedar ingin melihat wajah Untara itu. Dengan
demikian, maka Sidanti itupun telah kehilangan segenap pertimbangannya.
Maka semua orang yang berada dilapangan
itu tiba-tiba terkejut ketika mereka mendengar Sidanti itu berteriak, “Minggir.
Pertandingan akan tetap berlangsung terus. Jangan hiraukan orang yang tidak
tahu menahu persoalannya.”
Untara mengerutkan keningnya.
Ketika ia berpaling kepada Widura, maka Widura itupun memandangnya, seakan-akan
minta pertimbangan kepadanya.
Untara mengangkat bahunya.
Katanya, ”Kekuasaan di daerah ini berada di tangan Paman Widura. Silahkan. Aku
hanya ingin melihat apakah pertandingan ini akan berlangsung dengan jujur.”
“Jangan menyindir” teriak
Sidanti. “Aku tahu maksudmu. Meskipun semula aku tidak memperdulikan matahari
itu, namun seandainya hal-hal yang tak berarti itu harus dipertimbangkan,
baiklah kita menghadap arah utara dan selatan”.
Kembali terdengar Untara
tertawa, sambil berkata, “Jangan marah Sidanti.”
Terasa kata-kata itu menusuk
jantung Sidanti seperti tusukan sembilu. Dengan menggeretakkan gigi ia berkata
lantang, “Nah Sedayu. Kau dengar?”
Sedayu yang seakan-akan
terpesona karena kehadiran kakaknya itu, tiba-tiba seperti terbangun dari
mimpinya. Ia terkejut ketika ia merasa Sidanti mendorongnya. Dan didengarnya
sekali lagi Sidanti berteriak, “Bersiaplah.”
Seperti seorang anak yang
mengharapkan sesuatu dari bapaknya Agung Sedayu memandang wajah kakaknya. Dan
tiba-tiba dilihatnya kakaknya itu mengangguk kepadanya.
Hanya mengangguk, namun
anggukan kepala itu seperti telah mengalirkan suatu kekuatan baru di dalam
hatinya. Kehadiran Untara yang tiba-tiba itu, benar-benar memperbesar hati
Agung Sedayu. Karena itu, maka dengan gerak yang lebih tenang kini ia berdiri
menghadap ke utara, sedang Sidanti berdiri di belakangnya menghadap ke selatan.
Dan ketika kemudian Sidanti
hampir mengulangi hitungannya, terdengarlah Untara berkata, “Biarlah aku
menolong kalian. Akulah yang akan menghitung sampai bilangan kesepuluh.”
“Bagus” teriak Sidanti.
“Mulailah.”
Untara berjalan mendekati
mereka yang telah berdiri beradu punggung itu. Terdengar ia bergumam, “Aku
telah melihat pertandingan ini sejak permulaan. Dan aku mengagumi kalian yang
telah melakukan permainan yang aneh-aneh. Namun ternyata kalian hanya memanah
benda-benda mati. Sekarang kalian akan memanah benda-benda yang hidup, yang
mungkin mengelakkan diri dari kejaran anak panah kalian. Benar-benar pekerjaan
yang tidak terlalu mudah.”
“Mulailah” potong Sidanti
tidak sabar.
Tetapi kata-kata Untara itu
seakan-akan memberikan petunjuk-petunjuk baru bagi Agung Sedayu. Memberikan
petunjuk bahwa dalam perang tanding yang demikian, maka mereka diperkenankan
untuk mengelakkan serangan lawan.
Demikianlah maka akhirnya
Untara itupun mulai dengan hitungannya.
Untara itu kini berdiri tegak.
Sesaat ia memandang orang-orang yang melingkari mereka. Kemudian dengan tenang
ia berkata kepada para penonton, “Mundurlah kalian. Jangan berdiri di ujung
utara dan selatan. Kalau anak panah itu nanti tidak mengenai sasaran, maka
kalianlah yang akan terkena.”
Penonton di ujung utara dan
selatan itupun mendesak mundur. Mereka menjadi takut, kalau justru dada
merekalah yang akan tembus oleh anak panah-anak panah itu.
Namun setiap kata-kata Untara
itu, semakin meyakinkan Agung Sedayu, bahwa ia masih mungkin untuk
menyelamatkan dirinya dari maut. Ia masih mungkin mengelak, dan panah-panah itu
masih mungkin tidak mengenai sasaran.
Tetapi Sidanti menjadi semakin
tidak sabar. Dengan marahnya ia berteriak sekali lagi, “He Untara. Apakah kau
tidak sanggup menghitung?”
“Baiklah” sahut Untara.
“Sekarang bersiaplah.”
“Aku sudah siap sejak kau
belum menampakkan dirimu” jawab Sidanti.
Untara tersenyum. Kemudian
selangkah ia maju. Dan kini mulailah ia menghitung. “Satu…dua…”
Suasana meningkat menjadi
semakin tegang, semakin tegang, sejalan dengan bilangan-bilangan yang
disebutkan Untara.
Untara sendiri sebenarnya
menjadi cemas juga, seperti Widura yang tegang kaku seperti patung batu. Namun
baik Untara maupun Widura, bahkan beberapa orang lain, Hudaya, Citra Gati,
Swandaru dan beberapa orang lagi, ternyata berdoa di dalam hatinya,
setidak-tidaknya Sedayu tidak menjadi binasa karenanya.
Kini bilangan-bilangan yang
diucapkan Untara sudah semakin tinggi. “Enam…tujuh…”
Dan lapangan itu menjadi
semakin hening. Tetapi dalam pada itu, tekad di dalam dada Agung Sedayu menjadi
semakin bulat. Ia tidak mau mati.
Dan akhirnya sampailah
hitungan itu pada akhirnya. Seperti bisul yang akan pecah di setiap ubun-ubun
penonton, terdegarlah Untara menyebut bilangan terakhir dengan suara gemetar,
“Sepuluh ….”
Sidanti yang dibakar oleh
kemarahan, hampir tidak sabar menunggu bilangan yang kesepuluh. Dan ketidak sabarannya
itu sama sekali tidak menguntungkannya. Demikian ia mendengar Untara menyebut
bilangan kesepuluh itu, dengan serta-merta ia memutar tubuhnya sekaligus
menarik busurnya. Hanya sesaat ia membidikkan panahnya, dan panah itu dengan
cepatnya meluncur kedada Agung Sedayu arah kekiri. Arah jantung.
Tetapi Agung Sedayupun telah
memutar tubuhnya pula. ia tidak menyangka bahwa lawannya bertindak secepat itu.
Ia sama sekali belum pernah melihat, mengatahui dan apalagi mengalami perang
tanding semacam itu, sehingga karena itu ia masih ragu-ragu untuk melakukannya
meskipun tekadnya untuk menghindari maut telah bulat di dalam hatinya. Karena
itu, ternyata Sidanti berhasil mendahuluinya.
Dan sebenarnya Sidanti adalah
pembidik yang baik. Panah itu dengan lajunya menuju kesasarannya dengan tepat.
Dada kiri Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu itupun
sebenarnya bukan sebuah patung. Di dalam tubuhnya tersimpan berbagai macam ilmu
yang tidak dapat diabaikan. Namun ilmu-ilmu itu seakan-akan tersimpan dalam
kotak yang tertutup.
Kini ia melihat sebuah anak
panah meluncur dengan cepatnya, menuju kedadanya. karena itu, dengan gerak
naluriah maka Sedayu yang memiliki ketangkasan yang tinggi itupun segera
bergesar setapak sambil memiringkan tubuhnya.
Namun panah Sidanti terlampau
cepat. Betapapun cepatnya gerak Agung Sedayu, namun ia tidak mampu menghindari
anak panah itu sepenuhnya. Sehingga dengan cepatnya panah itu mematuk lengan
kirinya. Tetapi untunglah bahwa anak panah itu tidak mengenai bagian yang
penting pada lengannya itu, sehingga anak panah itupun kemudian bergeser dan
jatuh di samping Agung Sedayu. Meskipun demikian, maka segera sepercik darah
mengalir dari luka itu. Semakin lama menjadi semakin deras.
Tampaklah Agung Sedayu
menyeringai menahan sakit. Tetapi hanya sesaat. Ternyata darah yang mengalir
dari lukanya itu telah menghangatkan hatinya. Kini ia telah terluka, dan
ternyata demikianlah rasa sakit yang menggigit pundaknya. Rasa sakit itu kini
tidak saja ditakutkannya, namun sudah dirasakannya.
Dan rasa sakit itu ternyata
tidak seperti apa yang dibayangkannya. Darah yang mengalir dari lukanya itu
bukanlah pertanda akan kematiannya. Dan meskipun kini darah itu telah mengalir,
tetapi ia masih tetap berdiri tegak dan hampir luka itu dapat diabaikannya.
Tiba-tiba timbullah perasaan
heran di dalam dadanya. Apakah hanya perasaan ini yang harus ditanggungnya.
Alangkah ringannya. Bahkan berkatalah Agung Sedayu di dalam hatinya, “Jadi
ternyata aku tidak mati. Aku ternyata dapat juga membebaskan diri dari kematian
itu. Dan kini aku telah melakukannya. Perang tanding.”
Terasalah sesuatu bergolak di
dalam dada Agung Sedayu. Terasa seakan-akan ia telah melampaui suatu masa yang
tidak pernah dibayangkannya. Terasa seakan-akan ia telah menerobos suatu batas
yang selama ini mengungkungnya.
Dan sebenarnya dinding yang
memagari Agung Sedayu kini telah terpecahkan. Dan lenyaplah seluruh perasaan
takutnya. Kini Agung Sedayu itu tidak takut lagi kepada luka, kepada darah dan
kepada maut sekalipun. Sebab ternyata ia mampu menghindari maut, apabila Tuhan
belum menghendakinya.
“Ya” katanya dalam hati.
Sebagai seorang yang percaya kepada Tuhan, akhirnya Sedayu itu menemukan
keyakinan. “Aku tidak perlu takut mati. Sebab kematian adalah takdir Tuhan.
Ternyata kali ini aku telah bebas dari kematian itu, karena Tuhan belum
menghendakinya.”
Bahkan kini Agung Sedayu
mengangkat wajahnya. Dipandanginya Sidanti yang berdiri gemetar menahan marah,
dua puluh langkah di hadapannya. Di tangannya kini masih tergenggam sebatang
anak panah. Sedang Sidanti telah melepaskan satu-satunya anak panahnya.
Ketegangan di lapangan itu
segera sampai kepuncaknya. Dengan tajamnya Agung Sedayu memandang lawannya.
Sidanti, yang dalam pandangan mata Sedayu, kini tidak lebih daripada dirinya
sendiri. Sidanti itu tiba-tiba bukanlah seorang yang menakutkan lagi.
Agung Sedayu, meskipun
pundaknya telah terluka, namun luka yang tidak begitu dalam itu sama sekali
tidak berpengaruh padanya. Kini ia dapat berbuat apa saja atas lawannya.
Betapapun tangkasnya lawannya itu, namun ia mempunyai banyak waktu untuk
membidiknya, menarik busurnya dalam-dalam dan melepaskan anak panah secepat
tatit. Dalam keadaan yang demikian, alangkah sulitnya untuk menghindari, sebab
setiap kali ia dapat melepaskan anak panahnya dengan tiba-tiba.
Sidanti masih berdiri tegak
seperti tonggak. Kini tubuhnya bergetar semakin keras. Kemarahannya benar-benar
telah memuncak sampai keubun-ubunnya. Meskipun demikian ia tidak gentar
menghadapi panah Agung Sedayu. Dengan kecepatannya bergerak ia yakin bahwa ia
mampu menghindari anak panah lawannya.
Tetapi Agung Sedayu itu masih
belum membidik lawannya. Meskipun kini ia sudah dapat melepaskan diri dari
sebuah belenggu yang selama ini mengungkungnya dalam satu dunia yang gelap,
namun masih belum terlintas di dalam angan-angannya untuk membunuh seseorang.
Itulah sebabnya maka ia masih berdiri dengan ragu.
Dalam pada itu tiba-tiba
terdengar suara Sidanti serak, “He Sedayu, apa yang kau tunggu?”
Agung Sedayu terkejut
mendengar suara itu. Sekali lagi ia menatap wajah lawannya dengan tajamnya.
Wajah yang keras dan penuh dendam. Namun, betapa ia menjadi muak melihat wajah
Sidanti, tetapi perasaan itu belum dapat memaksanya untuk mencoba membunuh
seseorang. Dan kembali Agung Sedayu berdiri termangu-mangu.
Lapangan kecil itu kini
benar-benar dikuasai oleh kesenyapan yang tegang. Matahari di langit menjadi
semakin rendah. Warna-warna merah dengan segarnya membayang di ujung-ujung
pepohonan dan menyangkut di tepi-tepi gumpalan mega di langit. Sekali-sekali
tampak di udara burung-burung cangak berbondong-bondong terbang pulang
kesarangnya. Melintas dari arah barat ke timur.
Dalam kesenyapan itu,
tiba-tiba terdengar suara Untara dengan nada yang rendah. “Agung Sedayu.
Pertandingan ini akan segera selesai apabila kau telah melepaskan anak panahmu
itu.”
Agung Sedayu menjadi semakin
bimbang. Dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Dan dicobanya untuk memandang
dada Sidanti. Tetapi, kembali ia tidak dapat memaksa dirinya untuk membunuh
seseorang meskipun orang itu telah bertekad untuk membunuhnya.
Yang terdengar kemudian
kembali suara Untara. “Agung Sedayu, adalah tidak bijaksana untuk membunuh
lawan yang sudah tidak berdaya.”
Agung Sedayu berpaling kepada
kakaknya, seakan-akan ia telah menemukan suatu penyelesaian yang baik bagi
perselisihannya. Ia dapat mengerti kata-kata kakaknya, sebagaimana ia selalu
mendengar cerita ayahnya dahulu, bahwa penyelesaian dari persengketaan tidak
harus ditandai dengan kematian.
Tetapi tanpa disangka-sangka,
maka Agung Sedayu itu mendengar suara Sidanti menggelegar, “Agung Sedayu, aku
bukan pengecut yang minta kau kasihani. Ayo kalau kau jantan. Cobalah membunuh
Sidanti.”
Agung Sedayu mengangkat
keningnya. Namun Untara itu berkata pula, “Anak panah yang sebatang itu hakmu
Sedayu. Kemana saja kau bidikkan, maka perang tanding ini sudah selesai. Dan
semua persoalanpun selesai pula.”
“Jangan turut campur Untara.
Urusan ini sama sekali bukan urusanmu” bentak Sidanti sambil menggertakkan
giginya karena marah.
Tetapi Untara seakan-akan
tidak mendengar kata-kata Sidanti. Bahkan Widurapun kemudian berkata, “Kau
benar Untara”
Agung Sedayu masih tegak
dengan penuh kebimbangan. Ia kini telah berhasil menerobos dinding yang
menyekapnya dalam ketakutan. Namun ia masih belum dapat berbuat lebih jauh daripada
melihat kenyataan diri dan melihat kekuasaan yang menguasai hidupnya dan hidup
orang-orang lain. Karena itu, ia menjadi semakin bimbang. Membunuh adalah
perbuatan yang melawan kehendak Tuhan.
Dalam kebimbangan itu
tiba-tiba Agung Sedayu melihat serombongan burung cangak terbang rendah
melintas di lapangan. Dan tiba-tiba pula ia ingin melepaskan ketegangan yang
mencekam dadanya. Dengan serta-merta, ia mengangkat busurnya. Dan sesaat
kemudian satu-satunya anak panahnya itu meloncat dengan cepatnya, menyambar
seekor cangak yang terbang dengan tenang dan perlahan-lahan diatasnya.
Semua orang terkejut melihat
perbuatan Agung Sedayu. Mereka hanya sesaat melihat Agung Sedayu mengangkat
busurnya. Dan sesaat kemudian mereka sudah melihat, seekor dari burung-burung
cangak itu terpelanting dan jatuh di tanah.
Agung Sedayu sendiri terkejut
melihat hasil bidikannya. Cangak yang sama sekali tidak tahu menahu
persoalannya itu tiba-tiba jatuh menjadi korbannya. Namun, adalah lebih baik
melepaskan ketegangan di dadanya dengan membunuh seekor burung daripada
membunuh Sidanti.
Tanpa diduga-duga sebelumnya,
maka tiba-tiba semua orang yang berdiri di lapangan itupun kemudian melepaskan
ketegangan yang selama ini mencengkam dada mereka.
Dengan serta-merta meledaklah
sorak-sorai yang gemuruh dengan dasyatnya, sedahsyat gunung Merapi itu meledak.
Mereka bersorak karena mereka melihat akhir dari perang tanding itu tanpa
jatuhnya korban. Mereka bersorak pula karena mereka melihat ketangkasan Agung
Sedayu. Beberapa orang dari mereka bergumam “Alangkah dahsyatnya anak muda
itu.”
Tetapi, bagi Sidanti, apa yang
terjadi itu seakan-akan merupakan tamparan yang langsung mengenai wajahnya.
Karena itu, maka darahnya menjadi seakan-akan mendidih. Ia sudah tidak ingat
lagi apakah yang sebaiknya dilakukan. Dengan gigi yang gemeretak ia meloncat
maju sambil berteriak, “Perang tanding ini belum selesai. Aku tantang kau
dengan cara yang lain.”
Teriakan Sidanti itu
benar-benar mengejutkan. Semua orang yang mendengar tertegun heran. Bahkan
Widura, Untara dan bahkan Agung Sedayu sendiri.
Mereka melihat Sidanti dengan
wajah yang menyala-nyala datang mendekati Sedayu. Dilemparkannya busurnya ke
tanah, lalu berkata, “Agung Sedayu. Ada seribu macam cara untuk melakukan
perang tanding. Marilah kita pilih salah satu di antaranya. Tidak mempergunakan
jarak yang sejauh dua puluh langkah, tetapi kita lakukan dalam jarak yang
dekat.”
Agung Sedayu menjadi bingung.
Ia telah menghindari kemungkinan yang lebih buruk dari perang tanding yang baru
saja dilakukan. Ia dengan sengaja tidak membidik lawannya dengan anak panahnya.
Tetapi kini bahkan ia dihadapkan pada kemungkinan yang lebih jelek.
Namun dengan demikian, Hudaya,
Citra Gati, Sendaya dan orang-orang lain menjadi semakin muak melihat
kesombongan Sidanti. Hampir-hampir saja mereka tidak dapat mengendalikan diri
mereka pula. Tetapi yang maju kedepan adalah Widura, “Cukup Sidanti. Jangan
membuat persoalan menjadi lebih parah.”
Tetapi dengan kasarnya Sidanti
menyahut, “Apa pedulimu. Persoalan ini adalah persoalan antara Sidanti dan
Agung Sedayu.”
“Tetapi aku kali ini tidak
akan mengijinkan” berkata Widura pula.
“Aku tidak perlu ijinmu”
bantah Sidanti.
Widura itupun kemudian menjadi
marah pula. Meskipun demikian ia tetap pada pendiriannya, bahwa ia tidak ingin
melihat orang-orangnya menjadi hancur karena menikam dada sendiri, sementara
Macan Kepatihan sudah siap untuk menerkam mereka.
Karena itu maka katanya,
“Simpanlah tenaga kalian. Marilah kita adakan perlombaan yang lain. Kalau
kalian tetap pada pendirian kalian ingin melihat siapakah yang lebih unggul
diantara kalian, nah perlihatkanlah dalam perlawanan kalian atas Macan
Kepatihan. Siapakah yang mampu membunuh Macan Kepatihan, maka ialah yang
menang.”
“Aku tidak akan menunggu
sampai kesempatan itu datang” jawab Sidanti. “Biarlah kita melakukannya
sekarang. Yang menanglah yang kelak harus membunuh Macan Kepatihan. Kalau tidak
biarlah ia dibunuh saja sama sekali.”
“Aku tidak mengijinkan”
berkata Widura tegas-tegas.
“Persetan” teriak Sidanti.
Kemudian kepada Agung Sedayu
ia berkata, “Bersiaplah Agung Sedayu. Marilah kita bertempur tanpa senjata.
Kita akan sampai pada suatu kepastian, siapakah yang akan mati diantara kita.
Jangan berhenti sebelum keputusan itu jatuh.”
Dada Agung Sedayu itupun bergelora.
Setelah darah tertumpah dari luka di pundaknya itu, tiba-tiba Agung Sedayu kini
seolah-olah telah menemukan dirinya sendiri dalam nilai-nilai yang sewajarnya.
Karena itu tiba-tiba terdengar anak muda itu menggeram. Dengan tatagnya ia
berkata, “Kalau itu yang kau kehendaki Sidanti, marilah aku layani.”
Kembali suasana menjadi
semakin tegang. Widura benar-benar terkejut mendengar jawaban Agung Sedayu.
Jawaban yang sama sekali tak disangka-sangka.
Dan sebenarnya memang Widura
tidak tahu apa yang sudah bergolak di dalam dada Agung Sedayu. Setelah ia
merasakan luka di tangannya, seakan-akan tumbuhlah kepercayaannya pada diri
sendiri, bahwa Sidanti bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan.
Untara tersenyum di dalam hati
mendengar jawaban Agung Sedayu. Katanya dalam hati, “Kalau anak itu selalu ikut
saja bersama aku, maka tak akan ditemukannya kepercayaan pada dirinya. Agaknya
keadaannya selama ini telah memaksa dirinya untuk mencoba menggantungkan
nasibnya kepada diri sendiri”.
Namun meskipun demikian,
Untara tidak menghendaki perkelahian itu berlangsung. Ia dapat mengerti
sepenuhnya, apa yang sedang dijaga sebaik-baiknya oleh Widura. Karena itu, maka
Untara itupun berkata, “Agung Sedayu. Tidak seharusnya setiap tantangan kau
terima. Kau dapat menolaknya untuk kepentingan yang lebih besar dari
kepentingan diri kita sendiri. Pertandingan hari ini sebenarnyalah telah
selesai. Laskar Pajang di Sangkal Putung hanya diperkenankan melakukan
perlombaan memanah. Lebih daripada itu tidak. Bahkan kalian telah melakukannya
melampaui kebiasaan, dimana kalian mempergunakan diri kalian untuk sasaran.”
“Jangan ikut campur Untara”
teriak Sidanti keras-keras. “Kedatanganmu kemari sama sekali tidak kami
harapkan. Pergilah dan kalau ingin menonton, nontonlah. Jangan ribut.”
“Sidanti,” jawab Untara, “aku
mencoba melihat jauh seperti yang dikatakan Paman Widura. Jangan mempertajam
pertentangan diantara kita sendiri.”
“Aku tidak perlu mendengar
sesorahmu” bentak Sidanti. “Jangan gurui aku. Aku tahu apa yang akan terjadi di
Sangkal Putung. Kau sangka tanpa Agung Sedayu pekerjaan di Sangkal Putung ini
tidak akan selesai?”
Untara menarik alisnya.
Sebelum ia menjawab, didengarnya Agung Sedayu berkata, “Kakang, berilah aku
kesempatan.”
Untara menjadi heran pula
mendengar tekad adiknya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itu berkata pula kepada
Widura, “Paman, biarlah aku mencobanya.”
“Tidak Sedayu” jawab Widura
dan Untara hampir bersamaan.
Rupanya Agung Sedayu itupun
menjadi kecewa. Ledakan yang meronta-ronta di dalam dadanya setelah selama ini
terkekang dalam suatu himpitan ketakutan, seakan-akan sedang mencari
salurannya. karena itu betapa tak terduga arus yang melanda dada Agung Sedayu
itu. Meskipun demikian, Agung Sedayu adalah seorang anak yang patuh kepada
kakaknya sejak masa kecilnya. Karena itu, maka ia tidak akan dapat memaksa
seandainya kakaknya mencegahnya.
Tetapi Sidanti tidak menjadi
reda karenanya. Seperti orang gila ia berteriak-teriak, “Jangan halangi aku.
Siapa yang menghalangi aku itulah lawanku. Aku bunuh ia tanpa sebab.”
Widura mengangkat wajahnya
memandang wajah Sidanti yang telah benar-benar menjadi buas. Sekali lagi ia
ingin mencoba melunakkannya.
Dengan hati-hati Widura
melangkah maju sambil berkata, “Sidanti, sadarilah keadaanmu. Keadaan kita
bersama di Sangkal Putung ini. Jangan memandang keadaan dalam suatu lingkungan
yang sempit. Tetapi pandanglah seluruh persoalan yang kita hadapi.”
Namun agaknya kata-kata Widura
itu sia-sia saja. Sidanti telah menjadi seakan-akan wuru. Yang ada didalam
benaknya hanyalah kekerasan, perkelahian, dan membunuh atau dibunuh. Karena itu
ia menjawab, “Jangan halangi aku.”
Untarapun melihat, bahwa sama
sekali tak ada kemungkinan untuk dapat mengekang Sidanti. Karena itu maka ia
akan berusaha untuk menyingkirkan adiknya. Apabila Agung Sedayu dapat
dijauhkannya, dan perkelahian iu dapat ditunda, maka nanti apabila kepala
Sidanti telah bertambah dingin, segala sesuatu akan dapat diselesaikannya
dengan baik.
Karena itu, betapa kecewanya
Agung Sedayu, namun ia tidak dapat berbuat apapun ketika kakaknya menarik
tangannya dan membawanya meninggalkan tempat itu.
Tetapi sebelum Agung Sedayu
dan Untara berhasil menerobos lingkaran yang pepat itu terdengar Sidanti
berteriak, “Jangan pergi pengecut. Tak ada gunanya. Aku akan mengejarmu sampai
ke ujung bukit Merapi itu sekalipun.”
Namun Untara tak
menghiraukannya. Di dorongnya adiknya dan disibakkannya orang-orang yang
mengerumuninya. Meskipun demikian Sidanti yang gila itu meloncat maju sambil
berteriak lebih keras lagi, “Berhenti, pengecut.”
Widuralah yang kemudian
kehabisan kesabaran. Ia sudah menjadi sedemikian bingungnya mencegah
perkelahian itu. Karena itu, tiba-tiba iapun berteriak nyaring, “Sidanti,
berhenti di tempatmu. Aku adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku
mempunyai wewenang untuk melakukan segala kebijaksanaan disini. Aku perintahkan
kau tetap di tempatmu.”
Kata-kata itu menggelegar di
telinga Sidanti. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadapi Widura. Namun
Widura benar-benar telah siap. Dan bahkan tiba-tiba Sidanti itupun melihat
Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan bahkan Swandaru meloncat maju. Tanpa berjanji
mereka seakan-akan telah mengepung Sidanti yang hampir menjadi gila itu.
Sidanti menggeram. Matanya
yang buas menjadi semakin buas. Ditatapnya orang-orang yang berdiri di
sekitarnya seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Dengan kemarahan yang
seakan-akan hendak meledakkan dadanya Sidanti berteriak, “Ayo, ayo. Majulah
bersama-sama. Inilah Sidanti, murid Ki Tambak Wedi.”
Widura menatap wajah Sidanti
yang menyala itu dengan mata menyala pula. Tiba-tiba saja ia berkata, “Sidanti,
apakah kau sedang menunggu bantuan gurumu? Jangan kau harapkan itu, Sebab
disini hadir pula orang yang dahulu pernah mencegah gurumu membunuh aku itu.
Kau lihat cemeti kuda yang terjatuh di samping tanda yang dilemparkan gurumu
itu?”
Kata-kata itu terasa
berdentangan di dada Sidanti. Namun tidak hanya Sidanti yang terkejut
karenanya. Semua orang menjadi terkejut pula. Ternyata lingkaran besi dan
cemeti kuda itu adalah permulaan dari pertentangan-pertentangan yang akan
menjadi semakin memuncak dari dua orang sakti yang tak mereka ketahui dan belum
pernah mereka lihat pula orangnya.
Sesaat Sidanti berdiam diri.
Memang ia mengharap gurunya akan membantunya, melawan kelinci-kelinci yang tak
berarti itu di hadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa
ternyata di lapangan itu hadir pula orang lain yang pernah mencegah langkah
gurunya di tegalan kemarin malam.
Karena itu maka Sidanti itu
berbimbang untuk sesaat. Tetapi kemarahannya telah benar-benar menguasai
otaknya. Sehingga betapapun yang akan dihadapinya, namun ia sama sekali tidak
dapat memperhitungkannya.
Dengan demikian, maka Sidanti
itu sama sekali tidak menjadi surut. Bahkan dengan lantangnya ia menjawab,
“Apakah kau sangka Sidanti hanya dapat menggantungkan dirinya kepada orang
lain? Ki Tambak Wedi telah menempa Sidanti untuk menjadi seorang laki-laki
jantan. Ayo. Siapakah yang pertama-tama. Agung Sedayu atau kakaknya yang
bernama Untara itu.”
Untara mencoba untuk tidak
menghiraukannya. Tetapi Agung Sedayu tiba-tiba berhenti di tempatnya. Tiba-tiba
ia merasa, bahwa sebenarnya ia tidak mau pula dihinakan. Apalagi setelah ia
menemukan penilaian yang wajar atas dirinya, justru setelah sebatang anak panah
menyobek pundaknya.
“Menyingkirlah Sedayu “ desah
Untara.
“Ia menghinaku kakang” jawab
Sedayu.
Tetapi Untara berbisik,
“Sidanti adalah seorang anak muda yang tangguh. Sedangkan kau, agaknya baru
saja menyadari kelaki-lakianmu. Kau tidak akan dapat melawannya.”
Tetapi ledakan-ledakan yang
dasyat di dada Agung Sedayu itupun telah membakar hatinya pula. Karena itu ia
menjawab, “Berilah aku kesempatan.”
Untara menjadi jengkel
karenanya. Maka dibentaknya adiknya, “Pergi. Biar paman Widura mengurus Sidanti.”
Tiba-tiba Untara terkejut
ketika ia mendengar Sidanti berteriak, “Untara. Jangan kau sembunyikan adikmu.
Atau kau sendiri yang hendak bersembunyi?”
Terasa sesuatu berdesir di
dalam dada Untara. Ia dapat mencegah orang lain untuk tidak menghiraukan maki
dan cerca, namun ketika kata-kata itu ditujukan kepada dirinya, terasa dadanya
itu bergetar.
Meskipun demikian, Untara itu
tidak berpaling. Yang didengarnya kemudian adalah suara pamannya, Widura.
“Sidanti, kalau kau tetap dalam pendirianmu, maka perintah untuk menangkapmu
segera akan aku jatuhkan.”
Ternyata Sidanti benar-benar
telah kehilangan segenap pertimbangannya. Ia seolah-olah tidak mendengar
kata-kata Widura. Bahkan kemudian ia berkata kepada Untara, “Untara, kalau kau
sembunyikan adikmu maka kaulah lawanku.”
Kini Untara terpaksa berhenti.
Terasa dadanya bergetar semakin cepat. Namun ketika dilihatnya luka di pundak
Sedayu, Untara menarik nafas. Sedayu, betapapun tinggi ilmunya, namun ia sama
sekali belum berpengalaman dalam satu perkelahian yang benar-benar menentukan
hidup dan mati. Apalagi kini pundaknya itu telah terluka, dan darah mengalir
dari luka itu. Karena itu maka kekuatannyapun pasti berkurang.
Untara terkejut ketika Agung
Sedayu mendesaknya, “Kakang, apakah Kakang akan membiarkan Sidanti menghina
kita?”
“Jangan Sedayu” sahut Untara.
“Sadarilah keadaanmu. Pundakmu telah terluka. Mungkin pundak itu tidak
terganggu pada saat kau menarik busur, tetapi dalam pertempuran jarak dekat,
maka luka itu akan sangat berpengaruh.”
Agung Sedayu meraba lukanya.
Terasa luka itu memang pedih. Tetapi serasa sama sekali tidak berpengaruh
baginya.
Namun Untara itupun dapat
memperhitungkannya dengan tepat, maka sambungnya, “Kalau kau bergerak, maka
darah akan semakin banyak mengalir dari luka itu. Kau akan menjadi lemas, dan
lehermu akan dipilin sampai patah oleh iblis itu.”
Tetapi seperti bendungan yang
baru saja pecah oleh banjir, maka Agung Sedayu benar-benar sedang mencari
saluran untuk menumpahkan ledakan-ledakan yang terjadi di dadanya. Namun ia
tidak berani melawan kehendak kakaknya. Karena itu hanya dadanya sajalah yang
bergelora.
Sementara itu terdengar
Sidanti berkata pula, “Untara. Jangan kau sembunyikan anak itu. Atau kau
sendiri terpaksa aku bunuh dilapangan ini.”
Sekali lagi dada Untara
bergetar. Ketika ia berpaling, ia melihat Widura mengangkat tangannya. Hampir
saja Widura menjatuhkan perintah untuk menangkap Sidanti. Tetapi segera Untara
mencegahnya, “Jangan Paman.”
Widura tertegun. Tangannya
itupun terkulai kembali. Dengan tegangnya ia memandang wajah Untara. Tetapi
Untara itu kemudian berkata, “Paman, biarlah Agung Sedayu aku bawa kembali ke
kademangan. Aku harap Sidanti dapat menenangkan hatinya sehingga kemudian ia
mendapat pertimbangan-pertimbangan yang wajar.”
Tetapi kata-kata Untara itu
justru semakin menyakitkan telinga Sidanti. Hatinya yang marah itu menjadi
semakin parah. Dengan serta-merta ia melontarkan dirinya, langsung menyerang
Untara yang sekali lagi tidak bersiaga.
Tetapi Untara bukanlah
anak-anak yang menangis melihat barongan-ndadi. Ketika ia melihat Sidanti itu
dengan satu loncatan panjang menyerangnya, segera ia menarik satu kakinya ke
samping dan dengan merendahkan dirinya, Untara berhasil menghindari tangan
Sidanti yang menyambar kepalanya.
Agung Sedayu yang berdiri di
muka Untarapun terpaksa menghindar pula. Tidak kalah tangkasnya, iapun meloncat
surut.
Sementara itu terdengar Widura
berteriak nyaring, “Sidanti. Apakah kau telah benar-benar menjadi gila? Hai
Citra Gati, bersiaplah!”
Citra Gatipun segera meloncat
maju diikuti oleh beberapa orang yang lain. Tetapi segera Untara berteriak
pula, “Jangan maju bersama-sama.”
“Aku berhak menangkapnya”
sahut Widura.
“Jangan” berkata Untara.
“Aku adalah Senapati Pajang di
Sangkal Putung” desak Widura.
“Aku adalah pemegang kuasa
dari Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan untuk daerah Di sekitar Gunung
Merapi. Mengamati dan mengamankan segala kebijaksanaan Panglima, termasuk
daerah Sangkal Putung” potong Untara.
“Oh” Widura itupun terdiam.
Kini benar-benar disadarinya akan kedudukan kemenakannya itu. Karena itu, maka
kemudian dibiarkannya kemenakannya itu membuat kebijaksanaan sendiri.
Sidantipun mendengar kata-kata
Untara itu. Sesaat kata-kata itu berpengaruh juga di dalam benaknya. Namun
sesaat kemudian ia sudah tidak memperdulikannya lagi.
Pertimbangan-pertimbangannya sudah tidak dapat mempengaruhi kemarahannya. Di
hadapan sekian banyak orang, Sidanti yang merasa dirinya pahlawan yang tak
terkalahkan itu, harus menunjukkan bahwa sebenarnyalah ia tak dapat dikalahkan.
Karena itu, bahkan Sidanti itu berkata, “Apa yang akan kau lakukan Untara,
pemegang kuasa Panglima Wira Tamtama untuk daerah ini?”
“Sidanti” berkata Untara.
“Atas nama kekuasaan yang ada padaku, jangan berbuat hal-hal yang dapat
merugikan nama baik Wira Tamtama.”
“Ini adalah kesempatan bagiku”
berkata Sidanti. “Seharusnya akulah yang memegang jabatan itu. Sebenarnya
Sidanti lebih tangguh daripada Untara.”
“Jangan mengigau Sidanti”
potong Untara. Betapapun ia mencoba menyabarkan dirinya, namun darahnyapun
adalah darah seorang prajurit muda. Ketika ia melihat Agung Sedayu melangkah
maju, didorongnya adiknya itu ke samping sambil berkata pula, “Sadari
kedudukanmu. Atau aku harus menempuh kebijaksanaan lain seperti Paman Widura.”
“Terserah padamu Untara” sahut
Sidanti. “Tetapi aku ingin menantangmu kini. Apakah kau benar-benar berhak
memakai pangkatmu itu. Atau ternyata akulah yang sebenarnya berhak.”
Untara menggigit bibirnya.
Sidanti benar-benar keras kepala. Pengaruh kehadiran gurunyalah yang telah
memaksanya untuk berbuat gila itu.
Sementara itu, matahari telah
tenggelam di bawah garis cakrawala. Lapangan itupun menjadi semakin lama
menjadi semakin gelap. Hanya bintang-bintang di langit sajalah yang kemudian
gemerlapan, seolah-olah ikut serta berdesak-desakan menyaksikan apa yang akan
terjadi di lapangan itu.
Untara masih berdiri sambil
menggigit bibirnya. Getar di dalam dadanya terasa menjadi semakin bergelora.
Kalau ia bertindak atas nama jabatannya, serta mengerahkan anak buah Widura
untuk menangkap Sidanti, maka dendam yang membakar hati anak muda itu masih
akan menyala untuk selama-lamanya. Sidanti akan mungkin sekali kelak mencari
kesempatan untuk membalas dendam terhadap orang-orang Widura itu satu per satu.
Dengan demikian maka keadaan Sangkal Putung akan menjadi bertambah sulit.
Namun tiba-tiba Untara itupun
melangkah maju. Dengan lantang ia berkata, “Aku terima tantangan Sidanti.”
“Untara” terdengar Widura
memotong kata-kata kemenakannya.
“Paman” sahut Untara.
“Persoalan ini biarlah aku jadikan persoalan antara aku dan Sidanti. Persoalan
perseorangan yang sama sekali tidak menyangkut kedudukan kami masing-masing.
Persoalan perseorangan yang akan kami selesaikan secara perseorangan pula.
Bukankah begitu Sidanti?”
Sidanti benar-benar sudah
tidak dapat membedakan antara persoalan perseorangan dan persoalannya dalam
ikatan kelaskaran. Tiba-tiba saja ia berteriak menjawab, “Ya. Aku tidak perduli
persoalan apapun yang kau pilih. Namun biarlah kita bertakar darah, melihat
siapa yang lebih keras tulangnya dan siapakah yang lebih liat kulitnya.”
Widura sudah tidak mungkin
lagi untuk mencegah perkelahian itu. Kini Sidanti dan Untara telah maju dan
orang-orang di sekitarnya dengan sendirinya, berdesakan mundur. Meskipun
lapangan itu menjadi semakin gelap, dan sebagian dari mereka sudah tidak dapat
lagi melihat apa yang terjadi di tengah-tengah lingkaran manusia itu, namun
mereka masih belum mau meninggalkan lapangan itu. Mereka masih hendak menunggu,
apakah yang terjadi dengan Untara dan Sidanti.
Ternyata Sidanti benar-benar
tak dapat mengekang dirinya. Dengan penuh nafsu ia meloncat menghadapi Untara.
Sedang Untara itupun segera bersiaga pula. Untara itupun sadar sesadar-sadarnya
bahwa lawannya kali ini adalah murid Ki Tambak Wedi. Seorang sakti yang namanya
telah dikenal oleh setiap orang hampir dari segala penjuru.
Sidanti itu ternyata tak mau
banyak bicara lagi. Dengan suatu peringatan pendek ia menggeram, “Untara, aku
mulai.”
Sebelum Untara sempat
menjawab, Sidanti telah meloncat menyerangnya. Sebuah pukulan mendatar mengarah
ke pelipis lawannya. Namun Untara telah bersiaga sepenuhnya. Betapapun cepatnya
gerak Sidanti, namun Untara masih sempat dengan tangkasnya menghindari. Dengan
satu gerakan yang cepat, Untara menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
membiarkan tangan Sidanti yang masih terjulur itu. Dengan cepatnya disambarnya
tangan itu dengan sebuah ketukan di pergelangan. Tetapi Sidanti cukup cekatan
pula. dengan kecepatan yang sama Sidanti berhasil menarik tangannya dan
membebaskannya dari ketukan tangan Untara.
Untara menarik nafas
dalam-dalam melihat kecepatan Sidanti. Nama Ki Tambak Wedi benar-benar bukan
sekedar cerita yang berlebih-lebihan. Kini ternyata Untara mengalami sendiri,
betapa cekatannya murid Ki Tambak Wedi.
Ternyata pula, sesaat kemudian
Sidanti telah mulai menyerangnya kembali. Dengan garangnya Sidanti melontarkan
sebuah serangan dengan kakinya ke arah lambung lawannya. Namun sekali lagi
Untara berhasil menarik satu kakinya, dan dengan memiringkan tubuhnya ia telah
terhindar dari serangan Sidanti. Tetapi Sidanti tidak mau membiarkan lawannya,
dengan sebuah putaran pada satu kakinya, Sidanti melepaskan serangan kaki
berganda. Demikian cepatnya, sehingga Untara terpaksa meloncat selangkah
mundur.
Ketika Sidanti akan mencoba
mengejarnya dengan serangan pula, maka Untaralah yang kini mendahului lawannya.
Dengan tangkasnya ia melontar menyambar dada Sidanti yang masih mencoba
menyergapnya. Sidanti terkejut melihat serangan yang tiba-tiba itu. Dengan
cepat ia merendahkan dirinya dan bahkan kemudian ketika tangan Untara yang lain
menyambar kepalanya, Sidanti terpaksa melontar ke samping.
Demikianlah maka mereka sesaat
kemudian tenggelam dalam satu pertempuran yang sengit. Sidanti yang tangkas dan
lincah melawan Untara yang tangguh-tanggon. Betapa ilmu Ki Tambak Wedi terpaksa
berbenturan dengan ilmu dari Jati Anom.
Widura, Ki Demang Sangkal
Putung, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan bahkan Agung Sedayu yang berdiri
disekitar arena itu, melihat perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Mereka
mengenal Sidanti sebagai seorang anak muda yang telah berhasil mempertahankan
diri, meskipun tidak sepenuhnya, terhadap serangan-serangan Tohpati. Karena
itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Seandainya Untara tak berhasil
mempertahankan dirinya, maka Sidanti yang gila itu pasti dapat berbuat hal-hal
diluar kemungkinan yang wajar.
Namun sebenarnya Widura tidak
menjadi cemas atas nasib Untara. Ia ahu betul bahwa kemenakannya yang besar
itu, setidak-tidaknya pasti akan dapat menyamai Sidanti. Tetapi apakah selama
ini lukanya telah benar-benar sembuh, sehingga segenap kekuatannya telah pulih
kembali. Namun melihat kecepatannya bergerak Widura menduga Untara telah
mencapai keadaan dan kemantapan ilmu seperti sediakala. Sehingga dengan demikian,
maka perkelahian itu pasti akan berlangsung dahsyat sekali.
Sebenarnyalah pertempuran itu
semakin lama menjadi semakin seru. Sidanti yang dengan penuh nafsu bertempur
itu, segera mengerahkan segenap kemampuannya. Semakin cepat ia dapat
menjatuhkan lawannya, semakin tinggi pula nilai dirinya. Bahkan apabila kelak
Agung Sedayu tidak puas melihat kekalahan kakaknya, biarlah ia sendiri
mencobanya.
Karena itulah maka
serangan-serangan Sidanti menjadi semakin seru seperti angin ribut yang
menghantam pepohonan. Berputar-putar dengan dahsyatnya. Namun Untara itupun
tangguh setangguh batu karang pantai. Tegak dengan kokohnya, seakan-akan
berakar menghunjam bumi. Tetapi apabila serangannya melanda lawannya, beruntun
seperti batu-batu yang berguguran di lereng Merapi.
Dengan demikian maka
pertempuran di lapangan di muka banjar desa itu semakin lama menjadi semakin
seru. Keduanya adalah anak-anak muda yang sedang berkembang. Mereka memiliki
bekal ilmu yang tak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka perkelahian di antara
mereka benar-benar menjadi sedemikian sengitnya seperti petir yang sedang
bersabung diudara. Sambar menyambar dalam kecepatan yang hampir tak dapat
diikuti oleh mata.
Sehingga karena itu, maka
mereka berdua kemudian, seakan-akan telah berubah menjadi bayangan-bayangan
yang terbang berputaran, bahkan kemudian mereka seakan-akan telah berubah
menjadi gumpalan asap hitam di malam yang gelap.
Tetapi semakin lama menjadi
semakin terang bagi Untara. Setelah ia bertempur dengan segenap tenaga pada
taraf permulaan, akhirnya berhasil menemukan dan mengetahui letak kekuatan dan
kelemahan lawannya. Meskipun Sidantipun mampu pula mengamati kelemahan
lawannya, namun ternyata Untara menang seulas dari Sidanti. Untara, yang
memegang kekuasaan dari Panglima Wira Tamtama di daerah itu, ternyata bukan
seorang yang hanya mempunyai nama mengagumkan. Tetapi Untara benar-benar
seorang yang dapat dipercaya. Lahir dan batinnya. Dengan demikian, maka
kemudian Untara dapat menempatkan dirinya pada keadaan yang tepat.
Tetapi justru karena ia telah
dapat melihat nilai dari dirinya sendiri di hadapan lawannya itu, maka ia
menjadi semakin tenang. Dengan demikian sambil bertempur ia kini sempat mencari
kemungkinan-kemungkinan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan persoalan yang
disebutnya dengan persoalan pribadi.
Namun ternyata Sidanti masih
memeras tenaganya habis-habisan. Ia telah benar-benar waringuten. Otaknya
seakan-akan telah berhenti bekerja kecuali mencari kemungkinan-kemungkinan
untuk membinasakan lawannya dalam perkelahian itu. Mula-mula memang ia
merasakan tekanan Untara menjadi semakin bertambah tajam. Namun kemudian
tekanan-tekanan itu seolah-olah menjadi terurai kembali. Dan dalam penilaian
Sidanti, keadan mereka menjadi seimbang kembali.
Sebenarnyalah, kini Untara telah
menemukan suatu cara untuk menyelesaikan persengketaan ini tampa menimbulkan
dendam. Meskipun kemudian terasa olehnya, bahwa meskipun berat, namun ia akan
dapat menguasai lawannya, tetapi Untara tidak mau berbuat demikian. Sebab,
apabila ia menekan Sidanti, sehingga anak muda yang keras hati itu dilumpuhkan,
maka dendam akan tetap membara didadanya. Dendam itu akan dapat berbahaya bagi
Sangkal Putung. Apabila dendam itu meledak pada saat kedatangan laskar Jipang,
maka akibatnya akan mengerikan sekali.
Dengan demikian, terbesitlah
kebijaksanaan di dalam diri Senapati muda dari Jati Anom itu. Ia kini tidak
benar-benar ingin menundukkan Sidanti. Meskipun ia tetap memberi kesan, bahwa
ia bertempur mati-matian, namun sebenarnya Untara kin seakan-akan tinggal
melayani segala solah lawannya. Sekali-sekali ia menghindar, dan sekali-sekali
ia menyerang pula. Tetapi serangannya tidak benar-benar mengarah ke
tempat-tempat yang berbahaya.
Demikian cakapnya Untara
membawakan dirinya, serta karena kelebihan ilmunya yang kemudian meyakinkannya,
maka Sidanti selama ini masih belum tahu apa yang dilakukan oleh Untara. Itulah
sebabnya ia masih berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dan memang demikianlah yang
dikehendaki oleh Untara. Sekali-sekali ia menekan lawannya, kemudian melepaskannya
dalam keadaan yang menguntungkan. Dengan demikian maka nafsu bertempur Sidanti
itu menjadi melonjak-lonjak tak terkendali. Sebab sekali-sekali ia menjadi
cemas, namun tiba-tiba ia melihat kesempatan terbuka. Sehingga mau tidak mau ia
ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Tetapi bagi mereka yang tidak
mengalami pertempuran itu, mempunyai kesempatan untuk menilai apa yang
sebenarnya telah terjadi. Tetapi tidak semua orang dapat berbuat demikian. Yang
pertama-tama melihat permainan Untara itu adalah Widura, dan kemudian Agung
Sedayu. Mereka dengan dada yang berdebar-debar menanti, bagaimana akhir dari
pertempuran itu. Sebab dengan permainannya maka Untara tidak akan mau
melumpuhkan lawannya.
Hudaya, Citra Gati dan
beberapa orang laskar Pajangpun melihat sesuatu yang aneh. Tetapi mereka tidak
dapat mengerti, apakah sebabnya maka pertempuran itu kadang-kadang menjadi
sangat berat sebelah, namun kemudian menjadi seimbang kembali.
Sedang orang-orang lain yang
berdiri melingkari arena itu, sama sekali tidak tahu, bagaimana mereka harus
menilai perkelahian itu. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi pening, dan
ada pula yang bahkan tidak melihat sesuatu karena malam yang menjadi semakin
kelam.
Dalam pada itu, semakin lama,
maka usaha Untara untuk mencapai penyelesaian menurut rencananya, tampaknya
akan berhasil. Tenaga Sidanti yang terperas itu semakin lama menjadi semakin
susut. Sedang Untara, yang memiliki bekal serta pengalaman yang lebih banyak,
masih tetap pada kesegarannya semula. Tetapi ia tidak mau menunjukkan
kelebihannya itu. Ia ingin Sidanti menyelesaikan pertempuran tanpa menjadi
kecewa, malu atau dendam. Untara ingin memberi kesan, bahwa perkelahian itu
akan berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang kalah tanpa ada yang menang.
Meskipun hati kecilnya,
kadang-kadang ingin juga menunjukkan kelebihannya, sebagai seorang yang
mendapat kekuasaan yang luas, namun ia berpikir lebih jauh dari harga diri itu.
Ia melihat Sangkal Putung tidak saja malam ini. Tetapi besok, lusa, beberapa hari
dan minggu yang akan datang, bahkan Sangkal Putung untuk masa yang tak terbatas
dalam lingkungan pemerintahan Pajang.
Dan ternyata pula kemudian,
tandang Sidanti itupun menjadi semakin susut. Kegarangannya lambat laun menjadi
berkurang dan lincahannyapun menjadi surut pula. Demikian pula yang dilakukan
oleh Untara. Meskipun darahnya masih sesegar pada saat ia datang, namun
dikurangi segala ketangkasan dan ketangguhannya.
Tetapi, dalam pada itu, selain
Widura dan Agung Sedayu, di antara penonton itu, seseorang memandangi
perkelahian itu dengan nafas tertahan-tahan. Betapa matanya menyalakan
kemarahan yang tiada taranya, dan betapa hatinya mengumpat tak habis-habisnya.
Orang itu melihat peristiwa di
lapangan sejak permulaan sampai saat-saat terakhir. Namun selalu saja ia
menjadi kecewa dan marah. Apalagi sejak kehadiran Untara, maka berkali-kali ia
menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih saja selalu menahan dirinya.
Kini ia melihat permainan yang
dilakukan oleh Untara itu. Betapa iapun menjadi tersinggung karenanya. Ia
melihat kesempatan-kesempatan untuk melumpuhkan Sidanti, namun kesempatan itu
tak dipergunakan oleh Untara. Tetapi sudah tentu Sidanti sendiri tidak dapat
melihat keadaan itu. Sidanti sendiri sedang memusatkan perhatiannya dalam
perlawanannya, sehingga kempatan dan jarak yang diperlukan tidak dimilikinya.
Orang itu adalah Ki Tambak
Wedi.
Dengan menghentak-hentakkan
kakinya, ia menahan segenap perasaan yang bergelora didalam dadanya. Ia melihat
betapa Agung Sedayu berhasil melampaui muridnya itu dalam perlombaan memanah.
Namun di dalam hati kecilnya ia bergumam, “Benar-benar anak setan. Kecakapan
Sadewa bermain panah tercermin pada anak itu.”
Sedang kini anak Ki Sadewa
yang besar, Untara, sedang bertempur pula melawan muridnya. Dan ternyata anak
Sadewa itu tak dapat dikalahkannya. Bahkan anak Sadewa itu telah memberi
beberapa peluang kepada Sidanti. Bukankah itu suatu penghinaan bagi perguruan
Tambak Wedi.
Dengan nafas yang
tertahan-tahan, ia melihat Sidanti masih bertempur mati-matian. Namun ia
melihat juga bahwa sebenarnya Untara dengan segera dapat menghancurkan
pertahanan Sidanti.
“Hem” geramnya.
Ki Tambak Wedi itu kemudian
memandang berkeliling di antara orang-orang yang melihat perkelahian itu.
Dadanya tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia telah mencoba memaksa Widura untuk
memenuhi tuntutan muridnya dan menakut-nakutinya dengan tanda-tanda yang
diberikannya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu akhirnya mengumpat habis-habisan di
dalam hatinya, ketika ia melihat sebuah cemeti yang melenting jatuh di
tengah-tengah arena itu pula.
Meskipun ia belum tahu, betapa
tinggi nilai orang itu, namun itu adalah suatu pertanda bahwa seseorang telah
bersedia untuk ikut serta melibatkan diri dalam pertentangan melawannya,
apabila ia ikut campur dalam persoalan anak-anak muda di Sangkal Putung itu.
Tetapi sampai demikian jauh, Ki Tambak Wedi belum mengetahui, siapakah orangnya
yang telah berani meletakkan diri untuk melawan Ki Tambak Wedi, yang berilmu
hampir sempurna itu.
Tetapi kini, ia melihat
Sidanti berada dalam kesulitan. Karena itu, maka apakah ia akan berdiam diri
saja, membiarkan Sidanti menjadi bahan permainan Untara?
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu
mendesak maju. Menyusup di antara para penonton dan kemudian berusaha untuk
dapat melihat setiap peristiwa dengan semakin jelas.
Pertempuran di arena itu masih
saja berlangsung dengan serunya, meskipun semakin lama sudah menjadi semakin
kendor. Namun serangan-serangan Sidanti masih cukup berbahaya apabila Untara
sedikit kurang berwaspada. Sedangkan Untara sendiri dengan sengaja telah
mengurangi tekanan-tekanannya atas Sidanti, sehingga kemudian Sidanti
benar-benar mendapat kesan seperti yang diharapkan oleh Untara. Sidanti
menganggap kemudian, bahwa perkelahian itu tidak akan dapat berakhir.
Kedua-duanya pasti akan berhenti kelelahan.
Meskipun Sidanti itu
mengumpat-umpat di dalam hatinya, namun hal yang demikian itu pasti akan lebih
baik daripada apabila dirinya dilumpuhkan. Dengan keadaanya itu, maka Sidanti
masih akan dapat menepuk dada, bahwa Sidanti tidak dapat dikalahkan oleh
seseorang yang sekalipun mendapat kepercayaan dari pimpinan tertinggi Wira
Tamtama.
Maka Sidanti itupun teringat
pula akan perkelahiannya dengan Widura. mereka akhirnya terpaksa menghentikan
perkelahian setelah mereka hampir-hampir tak mampu lagi berdiri. Kini peristiwa
itu akan terulang kembali.
Dan sebenarnyalah hal itu
berlaku baginya.
Ketika malam menjadi semakin
dalam, maka tenaga Sidanti itu seakan-akan benar-benar telah habis terperas.
Setiap kali, ia sendiri terdorong oleh kekuatan serangan-serangannya yang tak
mengenai sasarannya. Beberapa kali ia terjatuh dan bangun kembali. Sedang
Untarapun berbuat hal-hal serupa. Kadang-kadang mereka berdua terpaksa jatuh
bersama-sama dan kemudian dengan susah payah bangun bersama-sama pula.
Sedemikian sering hal-hal yang
serupa terjadi, sehingga akhirnya Widura dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu,
apakah Untara itu sebenarnya kelelahan ataukah ia masih dalam permainannya yang
baik. Tetapi yang mereka lihat kemudian, kedua-duanya itupun menjadi jatuh
bangun berkali-kali.
Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi
sudah tidak sabar lagi melihat peristiwa itu. Ia akan berbuat sesuatu sebelum
Sidanti benar-benar menjadi lemas. Ia ingin menunjukkan kepada Widura dan
Untara, bahwa kemauannya tak boleh diabaikan. Ia akan tetap pada pendiriannya,
sepasar sejak malam kemarin, Widura harus sudah merubah sikapnya terhadap
Sidanti. Meskipun rencana itu kemudian pasti akan terpengaruh oleh kehadiran
Untara, namun Untara itu sendiripun harus dapat ditundukkannya pula seperi
Widura. Tetapi Ki Tambak Wedi itupun sadar, bahwa agaknya pendirian Widura
sukar untuk dapat ditundukkan. Ia telah bertekad untuk memeluk kewajibannya
dengan sebaik-baiknya. Apalagi kini Untara ada diantara mereka, sehingga dengan
demikian pekerjaannya akan menjadi semakin sulit.
“Aku akan hadir di antara
mereka” pikir Ki Tambak Wedi. “Dan aku akan memberikan beberapa pertunjukan,
supaya Untara itupun meyakini keadaannya, serta keadaan Sangkal Putung. Sedang
apabila orang yang melontarkan cemetinya itu benar-benar ingin membuat
perhitungan dengan Tambak Wedi, maka kesempatan inipun akan aku terima pula.”
Setelah mendapat ketetapan
itu, maka Ki Tambak Wedi itupun beringsut semakin maju lagi. Sekali lagi
matanya beredar berkeliling untuk melihat segala kemungkinan yang ada di
sekitar tempat itu.
Ketika kemudian dipandanginya
arena di antara lingkaran orang yang pepat, Ki Tambak Wedi masih melihat
muridnya berjuang sekuat tenaganya. Namun sekali lagi ia melihat, Sidanti
menyerang Untara dengan kakinya. Tetapi serangan itu dapat dihindari oleh
lawannya, sehingga karena tubuhnya sudah sedemikian lemahnya Sidanti terbawa
oleh kekuatannya sendiri, terhuyung-huyung hanya beberapa langkah di samping
Untara. Kalau pada saat itu Untara meloncat ke sampingnya dan menghantam
tengkuknya, maka pertempuran itupun akan berakhir.
Tetapi Untara tidak berbuat
demikian. Dibiarkannya Sidanti menemukan keseimbangannya kembali. Kemudian baru
ia melangkah maju dan mengayunkan tangannya menyerang dada lawannya dengan gerak
yang amat lamban. Sudah tentu Sidanti telah sempat menarik dirinya mundur,
sehingga serangan Untara itu tidak mengenainya. Bahkan Sidanti itu masih sempat
dengan tangan kanannya menghantam pergelangan tangan Untara, meskipun Untara
masih cukup cepat menghindarinya.
Tetapi bagi Ki Tambak Wedi,
perbuatan Untara itu adalah suatu penghinaan bagi harga dirinya. Ki Tambak Wedi
mengumpat tak habis-habisnya atas kekalahan muridnya berturut-turut. Karena itu
maka tak ada jalan lain daripada dengan tenaganya, memaksa Untara dan Widura
mengakui kelebihan Sidanti dari mereka untuk beberapa persoalan, sehingga
kesempatan-kesempatan Sidanti akan menjadi lebih besar lagi dalam lingkungan
Wira Tamtama.
Itulah sebabnya, maka tekadnya
menjadi bulat. Ia harus menampakkan dirinya.
Tetapi ketika sekali lagi ia
mendesak maju, didengarnya seseorang mendehem di sampingnya. Mula-mula Ki
Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada orang lain, namun setiap
ia menyusup, maka orang itupun selalu berada di sampingnya, dan bahkan selalu
saja mendehem tak habis-habisnya.
Ki Tambak Wedi itupun kemudian
berpaling. Dilihatnya di sampingnya seseorang yang sebaya dengan umurnya
tersenyum kepadanya.
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun matanya yang tajam dapat
melihat beberapa bagian dari wajah orang yang berdiri sambil tersenyum di
sampingnya itu.
Namun orang itu sama sekali
tak menarik perhatian Ki Tambak Wedi, sehingga ia sama sekali tak
mempedulikannya. Tetapi ketika ia melangkah kembali, maka sekali lagi orang itu
mengikutinya, bahkan kemudian mendesaknya.
Kini Ki Tambak Wedi tidak
dapat mengabaikannya lagi. Orang ini pasti bukan tidak punya maksud dengan
perbuatan-perbuatannya itu. Karena itu sebagai seorang yang telah masak, maka
segera pikirannya hinggap pada seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda ke
tengah-tengah arena.
Dan Ki Tambak Wedipun tak mau
bertanya melingkar-lingkar. Langsung ia bertanya kepada orang di sampingnya itu
perlahan-lahan, “Kaukah yang memiliki cemeti kuda itu tadi?”
Ternyata orang yang berdiri di
samping Ki Tambak Wedi itupun tidak mau berputar-putar pula. Maka jawabnya
lirih, “Ya, aku.”
“Hem” Ki Tambak Wedi
menggeram. “Apa maumu?”
“Tidak apa-apa” jawab orang
itu. “Aku juga ingin menonton seperti kau.”
“Hanya menonton?” desak Ki
Tambak Wedi.
“Ya” jawab orang itu. “Selama
kau juga hanya menonton.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Kini ia telah berhadapan dengan orang yang selama ini menimbulkan
bermacam-macam teka-teki padanya. Pasti orang ini pulalah yang kemarin malam
telah menggagalkan maksudnya membunuh Widura dengan bunyi cambuk yang
menghentak-hentak.
Karena itu maka katanya
perlahan-lahan pula, “He, kaukah yang kemarin malam bermain-main dengan
cambuk?”
“Ya” jawab orang itu pendek.
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Siapakah kau?”
Orang itu tertawa. Sesaat ia
berdiam diri, sedang orang-orang di samping mereka, yang sedang terpukau oleh
perkelahian di tengah-tengah arena itu, agaknya sama sekali tak memperhatikan
percakapan itu.
Baru sesaat kemudian orang itu
menjawab, “Gringsing. Namaku Kiai Gringsing.”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi
menggeram. Nama yang dapat disebutkan oleh setiap mulut, juga setiap mulut
dapat menyebut nama sekehendak hatinya. Ki Tambak Wedi itupun segera maklum,
bahwa kalau itu pasti nama yang dibuatnya untuk tujuan-tujuan tertentu. Karena
itu sahutnya, “Ternyata kau lebih beruntung daripadaku.”
“Kenapa?” bertanya orang itu.
“Kau telah menabung satu
kemenangan. Kau mengenal aku, tetapi aku tidak mengenalmu” jawab Ki Tambak
Wedi.
“Aku sudah memperkenalkan
diri” berkata orang itu.
“Hem. Aku bukan anak-anak”
potong Ki Tambak Wedi.
Kemudian untuk sesaat
merekapun berdiam diri. Pertempuran antara Sidanti dan Untara menjadi semakin
lambat. Masing-masing hampir tak dapat lagi menguasai dirinya. Ayunan-ayunan
tangan mereka adalah tenaga yang akan membawa mereka sendiri dalam satu tarikan
yang kadang-kadang tak dapat mereka cegah, menjerumuskan mereka sehingga
terguling di tanah.
Tetapi mata-mata yang tajam
akan meragukan keadaan Untara. Betapapun ia mencoba berbuat sebaik-baiknya
namun kadang-kadang kelincahannya masih tampak juga. Tetapi sedemikian jauh,
Sidanti dan orang-orang yang berdiri di sekitarnya pada umumnya tak dapat mengertinya.
Bahkan di dalam hati mereka, mereka berkata, “Sidanti benar-benar seorang yang
tangguh. Ternyata ia mampu juga melawan orang yang bernama Untara itu. Seorang
yang namanya menjadi buah bibir setiap prajurit di daerah selatan dan barat
daya. Di sekitar gunung Merapi.”
Tetapi Widura berkali-kali
menarik nafas dalam-dalam, sedang Agung Sedayu yang mengetahui keadaan
sebenarnya itupun menggeretakkan giginya. Namun mereka menyadari, betapa Untara
telah mementingkan tugasnya daripada sekedar harga dirinya yang
berlebih-lebihan.
Gigi Ki Tambak Wedi itupun
beradu pula. Seakan-akan ia sedang menahan sesuatu yang bergelora di dalam
dadanya. Maka ketika kemudian ia melihat Sidanti dan Untara itu jatuh bangun
berganti-ganti, Ki Tambak Wedi itupun berkata, “Aku akan masuk kedalam arena.”
Kiai Gringsing itu berpaling.
Kemudian ia tersenyum kecil. Katanya, “Aku ikut. Boleh?”
“Jangan membuat persoalan
dengan aku. Apakah kau guru Untara atau Widura?” bertanya Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tertawa pula.
“Aneh” jawabnya. “Apakah kau benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu.
Bukankah guru anak-anak itu telah mati?”
“Hem” Ki Tambak Wedi
menggeram. Katanya, “Mungkin kau meneruskan pekerjaan Sadewa?”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepala. Sahutnya, “Kaupun tahu, bahwa unsur-unsur gerak
mereka hampir-hampir murni. Kalau mereka memiliki guru lain, maka kau pasti
akan mengetahui.”
“Hem” sekali lagi Ki Tambak
Wedi menggeram. “Persetan. Tetapi jangan ganggu aku. Apa kepentinganmu dengan
anak-anak itu?”
“Tidak apa-apa. Aku bukan
sanak bukan kadangnya. Tetapi sebaiknya, biarlah anak-anak itu bermain-main
sesama mereka. Bukankah Untara telah berlaku bijaksana?”
“Suatu penghinaan bagi
perguruan Tambak Wedi” jawab guru Sidanti itu.
“Kau terlalu perasa” berkata
Kiai Gringsing. “Jangan terlalu kau manjakan muridmu itu, supaya ia dapat
menemukan kebahagiaan hidup kelak.”
“Jangan gurui aku. Pergi
kemana kau kehendaki. Aku akan mengajar Untara itu menilai pendapat orang
lain.”
“Aku ikut.”
“Jangan gila.”
“Biarlah anak-anak
bermain-main sesama mereka. Dan biarlah kami orang-orang tua membuat permainan
sendiri.”
Mata Ki Tambak Wedi kini
benar-benar memancarkan kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Diamatinya
wajah orang yang berdiri di sampingnya itu dengan seksama. Wajah itu sama
sekali belum pernah dilihatnya.
Tetapi tiba-tiba Ki Tambak
Wedi itu menjadi curiga. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun kemudian
Ki Tambak Wedi itu melihat garis-garis yang tidak wajar pada wajah itu.
“Kenapa kau coreng-coreng
mukamu?” tiba-tiba ia bertanya.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “apakah kau melihat coreng moreng ini?”
“Aku tidak buta” sahut Ki
Tambak Wedi.
“Kau benar-benar bermata tajam
melampaui mata burung hantu” sahut Kiai Gringsing. Dan katanya kemudian “Ya.
Aku agak sakit mata. Karena itu aku menggoreskan beberapa jenis obat-obatan di
dahi dan pelipisku.”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi
menggeram. Betapa kemarahannya melanda-landa dadanya, namun semakin lama
menjadi semakin menyadari, bahwa orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu
bukanlah seseorang yang membanggakan diri hanya karena kemenangan-kemenangan
kecil yang pernah dialaminya.
“Jadi bagaimanakah maksudmu?”
bertanya Ki Tambak Wedi
“Biarkan mereka hidup dalam
damai. Kalau Sidanti itu tidak terlalu bernafsu untuk hal-hal yang aneh-aneh,
dan kau tak mendorong-dorongnya, maka tak akan ada persoalan diantara mereka.”
“Itu adalah suatu contoh dari
seorang tua yang berotak beku. Ketenangan tidak selamanya baik. Dengan
ketenangan itu Sidanti selamanya akan tetap di tempatnya.”
“Tetapi tingkat demi tingkat
harus dicapainya dengan wajar.”
“Diamlah. Jangan ganggu aku.”
Ki Tambak Wedi itu kemudian
melangkah setapak maju di antara beberapa orang yang berdiri di sekitarnya.
Namun Kiai Gringsing itupun melangkah maju pula.
“Aku peringatkan kau sekali
lagi” desah Ki Tambak Wedi.
“Peringatan buatmu sendiri”
sahut Kiai Gringsing.
Kini Ki Tambak Wedi sudah
tidak dapat menahan dirinya lagi. Tetapi untuk bertempur dengan orang yang
menyebut namanya Kiai Gringsing itupun masih memerlukan berbagai pertimbangan.
Sidanti telah benar-benar payah. Sedang agaknya Untara masih cukup segar untuk
menundukkan apabila mau. Bahkan untuk membinasakan sekali.
Kalau orang yang bernama Kiai
Gringsing itu tidak dapat dikalahkannya dengan segera, maka baik Sidanti maupun
dirinya sendiri pasti akan menemui kesulitan. Widura, Agung Sedayu dan
orang-orang Widura yang lain masih ada dalam keadaan yang segar. Betapapun
mereka seorang demi seorang tak akan berarti baginya, namun kalau mereka
bergerak bersama-sama dan di antaranya orang yang bernama Kiai Gringsing ini,
maka keadaannya akan sangat berbeda. Setidak-tidaknya keadaan Sidantilah yang
akan menjadi sangat berbahaya. Tidak mustahil Untara menjadi bermata gelap dan
membinasakannya.
Karena itu, maka Ki Tambak
Wedi itu ingin mengetahui sampai di mana kemampuan kekuatan Kiai Gringsing.
Meskipun apa yang akan diketahuinya itu tidak tepat seperti keadaan sebenarnya,
namun dengan caranya maka Ki Tambak Wedi akan dapat mengira-irakan sampai
berapa jauh kemungkinan yang dimiliki oleh Kiai Gringsing itu.
Maka, ketika orang itu telah
berdiri di sampingnya, Ki Tambak Wedi itupun berkata sambil menepuk bahu Kiai
Gringsing, “Ki sanak, apakah kau benar-benar tidak menghendaki aku ikut serta
dalam permainan itu?”
Tetapi Kiai Gringsingpun bukan
anak-anak yang menundukkan wajahnya apabila seseorang membelai pundaknya.
Ketika Kiai Gringsing melihat tangan Ki Tambak Wedi bergerak untuk menepuk
pundaknya, maka segera orang itu seakan-akan mengerutkan tubuhnya, sehingga
ketika pundaknya tersentuh tangan Ki Tambak Wedi, kedua-duanya menjadi kagum
akan kekuatan masing-masing. Sentuhan itu seolah-olah beradunya dua batang besi
baja yang berlaga.
Ketika Ki Tambak Wedi kemudian
berpaling dan memandang wajah Kiai Gringsing, dilihatnya wajah itu tersenyum.
katanya, “Kau akan mematahkan pundakku. Tanganmu keras seperti batu.”
“Hem” Ki Tambak Wedi
menggeram. Orang ini benar-benar bukan orang yang sekedar menyombongkan diri.
Ketika ia meraba pundak Kiai
Gringsing, seluruh kekuatannya telah dipusatkannya di ujung jari-jarinya.
Seandainya Kiai Gringsing tidak memiliki daya tahan yang seimbang, maka pundak
itu pasti akan luka di dalam. Bahkan mungkin sebelah tangannya akan lumpuh.
Apalagi orang kebanyakan, maka tulang-tulang bahunya pasti akan remuk.
Tetapi orang yang menyebut
dirinya Kiai Gringsing itu, ternyata telah memberikan perlawanan yang wajar
tanpa menggerakkan badannya selain sekedar berkerut. Agaknya Kiai Gringsing itu
telah menyalurkan kekuatan daya tahannya di pundaknya. Sehingga karena itu
ketukan tangan Ki Tambak Wedi tak melukainya.
Dengan demikian maka Ki Tambak
Wedi benar-benar harus berpikir. Di arena, pertempuran menjadi semakin lambat.
Bahkan hampir berhenti sama sekali. Sekali-sekali dilihatnya Sidanti menebarkan
pandangan matanya berkeliling. Agaknya anak itu benar-benar mengharapkan
kehadiran gurunya. Tetapi kini di samping Ki Tambak Wedi, berdiri seorang yang
dapat mengimbangi kekuatannya.
Namun Ki Tambak Wedi agaknya belum
puas dengan percobaannya. Ketukan tangannya itu belum meyakinkannya. Ia ingin
sekali lagi melihat apakah ia harus mempertimbangkan orang itu benar-benar.
Karena itu maka desisnya, “Ki
Sanak. Aku akan mengucapkan selamat atas kesentausaan Ki Sanak. Pundak Ki Sanak
itu benar-benar sekeras baja. Aku kira aku belum pernah melihat seorangpun dari
daerah Gunung Merapi ini yang kuat seperti Ki Sanak. Dan nama Kiai Gringsingpun
merupakan nama baru bagiku.”
Kiai Gringsing itupun
tiba-tiba tertawa, meskipun ia berusaha untuk menahannya, sehingga satu dua
orang berpaling kepadanya. Tetapi karena kemudian suara tertawa itu terputus,
maka orang-orang itupun tidak memperhatikannya lagi.
Kiai Gringsing itu segera
menyadari tantangan Ki Tambak Wedi. Bahkan di dalam hati ia berkata, “Tantangan
yang bijaksana. Kami harus bertempur tanpa seorangpun yang mengetahuinya.”
“Bagaimana ki Sanak?” desak Ki
Tambak Wedi.
“Terima kasih atas ucapan
selamat ini.”
Belum lagi Kiai Gringsing
selesai berkata, dilihatnya Ki Tambak Wedi mengulurkan tangannya. Kiai
Gringsingpun kemudian menyambut tangan itu. Dan keduanya bersalaman.
Namun tak seorangpun yang
mengetahui, bahwa sebenarnya mereka itu sedang bertempur. Masing-masing
mengerahkan segenap kekuatan lahir dan batinnya ke telapak tangannya, yang
sedang bersalaman itu. Masing-masing menekankan jari-jarinya sekuat-kuat tenaga
mereka dan berusaha meremukkan tulang-tulang lawannya.
Namun ternyata mereka berdua
adalah orang-orang yang benar-benar sakti. Kedua tangan itupun seakan-akan
berubah menjadi gumpalan-gumpalan besi baja yang saling himpit menghimpit.
Betapa mereka berjuang untuk melumatkan tangan lawannya. Tetapi mereka akhirnya
harus mengakui bahwa mereka satu sama lain tak akan dapat saling mengalahkan.
Meskipun demikian, keringat
mengalir dari seluruh permukaan kulit mereka, melampaui keringat mereka yang
sedang bertempur, namun mereka harus menyadari, bahwa kekuatan mereka
berimbang.
Sedemikian kuatnya mereka
memeras tenaga lahir dan batin mereka, sehingga terasa tubuh-tubuh mereka
menjadi panas, dan leher mereka serasa kering. Tetapi genggaman mereka tidak
juga menjadi berubah. Keseimbangan itu tetap berlangsung sehingga kemudian
terdengar Ki Tambak Wedi menggeram, “Bukan main.”
“Apa yang bukan main?” sahut
Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
Dicobanya unruk menuntaskan tenaganya, namun Kiai Gringsingpun berbuat serupa.
Sehingga karenanya maka keadaan itupun tidak juga berubah.
Akhirnya Ki Tambak Wedi
melihat, bahwa tidak ada gunanya pertempuran yang aneh itu diteruskan. Karena
itu maka katanya, “Aku sudah menyampaikan ucapan selamat itu.”
Kiai Gringsing masih belum
melemahkan genggamannya. Jawabnya, “Terima kasih atas ucapan selamat yang cukup
hangat ini.”
Akhirnya keduanya sedikit demi
sedikit mengurangi tekanan-tekanan pada telapak-telapak tangan mereka. Sehingga
dengan demikian maka akhirnya tangan mereka itupun terurai.
“Hem” Kiai Gringsing menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Baru sekali ini aku
menerima ucapan selamat yang sedemikian hangatnya melampaui hangatnya api
neraka.”
“Karena itu sebabnya maka kau
berani menghalang-halangi maksudku” berkata Ki Tambak Wedi tanpa menjawab
kata-kata Kiai Gringsing. “Ternyata orang yang menamakan diri Kiai Gringsing
adalah orang yang mampu menyamai kekuatan kita. Namun apakah ilmu kanuragan dan
tata perkelahianmu dapat menyamai Ki Tambak Wedi?”
Kiai Gringsing
menggeleng.“Entahlah, aku belum pernah berkelahi melawan Ki Tambak Wedi.
Sebenarnyalah bahwa aku tidak senang berkelahi seperti anak-anak berebut tulang
tanpa arti.”
“Omong kosong” desak Ki Tambak
Wedi.
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Tetapi kini ia melihat perkelahian di arena. Dan Ki Tambak Wedipun kemudian
melihat ke sana pula.
Sekali-sekali mereka masih
mengayunkan serangan-serangan mereka berganti-ganti. Tetapi perkelahian itu
sudah tidak merupakan perkelahian lagi. Mereka hanya sekedar berdiri
berhadap-hadapan dan kadang-kadang menggerakkan tangan-tangan mereka atau
kaki-kaki mereka, untuk kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah. Kalau
tangan mereka sekali-sekali beradu. Maka mereka kedua-duanya terdorong ke
belakang dan jatuh bersama-sama.
Kini Untara dan Sidanti itu
berdiri berhadap-hadapan. Hanya mata mereka sajalah yang masih tetap menyala.
Sidanti sekali-sekali masih menggeram penuh kemarahan. Namun kemudian terdengar
Untara berkata, “Sidanti, apakah hasil dari perkelahian ini?”
Terdengat gigi Sidanti
gemeretak. Nyala yang memancar dari matanya itu seakan-akan ingin membakar
hangus lawannya. Namun demikian ia menjawab dengan bangganya, “Untara, ternyata
namamu hanya sekedar untuk menakut-nakuti lawan-lawanmu. Disini sekarang orang
dapat melihat bahwa kau tidak lebih dari Sidanti.”
“Ya” sahut Untara. “Itukah
hasil yang memang kau inginkan dari perkelahian ini, sehingga orang dapat
menilai keunggulan Sidanti dari setiap orang di Sangkal Putung?”
“Ya, Sidanti ingin
membuktikan, bahwa Sidanti berhak untuk menamakan dirinya sejajar dengan
Untara.”
“Bagus” berkata Untara. “Kalau
hanya itu yang kau inginkan, kenapa tidak kau katakan sejak tadi? Dengan
demikian kita tidak perlu membuang-buang tenaga. Kau lihat bukan? Tenaga kita
terbuang tanpa arti.”
“Cukup berarti bagiku.”
“Kau menjadi puas karenanya?”
“Belum, aku ingin
menundukkanmu.”
“Apakah kausangka akan berhasil?”
“Kalau tidak sekarang, pada
kesempatan lain.”
“Baik, kalau begitu biarlah
kita bicarakan pada kesempatan lain itu. Sekarang kau sudah puas?”
Sekali lagi Sidanti
menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ya,
apakah ia sudah puas? Kalau tidak, apakah yang akan dilakukan?
Sidanti itu terdiam sesaat.
Tetapi untuk menutupi kegelisahannya ia bertanya, “Apakah perkelahian ini kita
lanjutkan Untara?”
Untara tersenyum pahit.
Jawabnya, “Apakah kau memandang bahwa perkelahian seterusnya akan bermanfaat
bagimu?”
“Persetan. Aku bertanya
kepadamu.”
Sekarang Untara terdiam
sesaat. Tetapi tiba-tiba kemudian ia berkata, “Persoalan antara aku dan Sidanti
telah kami anggap selesai saat ini. Terserahlah apabila pada masa-masa yang akan
datang, persoalan itu akan diungkapkan kembali. Sekarang kembali ke
kademangan.”
“Jangan menganggap soal di
antara kita sudah selesai. Soal itu baru selesai apabila Untara telah mengakui
keunggulan Sidanti daripadanya” berkata Sidanti dengan sombongnya.
Tetapi Untara seakan-akan
tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan sekali lagi ia mengangkat wajahnya sambil
berkata “Paman Widura, kembali ke kademangan.”
Widura itupun seakan-akan
menjadi tersadar dari mimpinya yang dahsyat. Karena itu dengan tergagap ia
menjawab, “Baik, Untara. Kita akan segera kembali.”
Kemudian kepada orang-orangnya
Widura berkata, “Tinggalkan lapangan ini. Kembali ke kademangan.”
Orang-orang Widurapun kemudian
mulai bergerak dari tempat mereka, setelah mereka terpaku beberapa lama.
Orang-orang lainpun kemudian menghambur pula dari lingkaran itu, pulang ke
rumah masing-masing dengan kesan yang aneh di dalam hati mereka.
Mereka melihat perkelahian
yang tanpa ujung dan pangkal itu. Sebagian dari mereka bertanya-tanya pula di
dalam hati mereka, “Apakah Untara benar-benar tak mampu mengalahkan Sidanti?
Sedang orang lain berkata di
dalam hatinya, “Sidanti benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Ternyata
ia mampu melawan Untara dalam perkelahian yang tidak berakhir.”
Tetapi Widura, Agung Sedayu,
Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing melihat apa yang sebenarnya terjadi, bahkan
beberapa orang anak buah Widurapun merasakan sesuatu yang aneh dari pertempuran
itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengerti, apakah yang aneh itu.
Ketika orang-orang di sekitar
arena itu sudah siap meninggalkan lapangan, maka terdengar Sidanti itu berkata
“Aku tinggal disini.”
“Kaupun kembali ke kademangan,
Sidanti” berkata Untara.
“Tidak” jawab Sidanti.
“Kau dengar perintah ini? Kali
ini aku berbicara bukan atas nama pribadiku. Kau dengar?”
Tubuh Sidanti itu menggigil
karena marah. Tetapi tubuhnya benar-benar telah lemah. Sedang gurunya masih
belum juga menampakkan dirinya. Namun Sidanti itu kemudian menduga bahwa
gurunya pasti memperhitungkan juga, hadirnya seseorang yang telah melemparkan
cemeti kuda di arena itu.
Karena Sidanti itu masih tegak
di tempatnya terdengar Untara mengulangi “Sidanti, kembali ke kademangan.
Jangan melawan perintah.”
Sidanti menggeram. Tetapi ia
telah menjadi sedikit puas, bahwa orang-orang Sangkal Putung telah melihat,
bahwa ia mampu melawan Untara yang perkasa dalam perkelahian yang tak berakhir.
Dengan demikian, maka meskipun ia terpaksa menuruti perintahnya, namun itu
adalah karena tugasnya sebagai seorang prajurit. Tetapi nilai seorang-seorang,
ia adalah sejajar dengan Untara.
Dan karena kebanggaannya
itulah, maka ia tidak menjadi terlalu berkeras hati. Betapapun segannya, ia
berjalan juga meninggalkan lapangan itu menuju ke kademangan. Di sepanjang
jalan ia masih dapat menengadahkan wajahnya, seakan-akan berkata kepada setiap
orang yang dijumpainya, “Inilah Sidanti, yang mampu menyamai keperwiraan
Untara, orang yang mendapat kuasa langsung dari pimpinan tertinggi Wira
Tamtama.”
Demikianlah maka satu demi
satu orang-orang yang berada di lapangan itu pergi dengan kesan masing-masing.
Di belakang Sidanti yang sedang menikmati kebanggaannya, berjalan Untara dan
Widura. Di belakang mereka berjalan Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu itu kini
tidak lagi berjalan menunduk, tetapi wajahnyapun tengadah seperti juga Sidanti.
Dan orang-orangpun memandangnya dengan penuh kekaguman. Apabila Sidanti mampu
menyamai keperwiraan Untara, maka Agung Sedayu memiliki ketangkasan memanah
melampaui Sidanti.
Bahkan ada diantara mereka
yang bertanya-tanya di alam hati mereka, “Apakah Agung Sedayu ini melampaui
kakak kandungnya, sehingga iapun akan sanggup mengalahkan Sidanti?”
Namun perlombaan di lapangan
itu telah benar-benar berkesan di hati para penontonnya, orang-orang Sangkal
Putung. Mereka itu kini tahu dengan jelas, bahkan hampir pasti, siapakah
orang-orangnya yang menjadi tiang kademangannya, Sidanti, Agung Sedayu dan
sekarang hadir Untara di samping Widura sendiri. Meskipun mereka ternyata
seakan-akan bersaing satu dengan yang lain, namun berkumpulnya tokoh-tokoh itu
di Sangkal Putung, agaknya telah memberi sedikit ketenangan kepada penduduk
yang menyimpan berbagai macam perbekalan di padukuhan dan kademangan mereka
itu.
Sekar Mirah kini tak dapat
berlari-lari menyusul Agung Sedayu maupun Sidanti. Ayahnya membimbingnya tanpa
melepaskan tangannya, sedang Swandaru berjalan agak jauh di belakang mereka
sambil menuntun kudanya. Tetapi wajahnya kini telah menjadi lebih terang.
Untunglah bahwa di lapangan itu benar-benar tidak jatuh korban. Ia menjadi
menyesal juga atas perbuatannya.
Namun sebenarnya, di sudut
hatinya, terasa juga kekecewaannya atas Untara. Ternyata Untatra itu tidak
mampu untuk melumpuhkan Sidanti. Meskipun kadang-kadang ia berpikir juga,
ketika ia melihat Untara dan Widura lewat di mukanya, langkah Untara itu masih
jauh lebih tegap dari langkah Sidanti yang hampir terhuyung-huyung meskipun
dengan wajah tengadah.
Ketika mereka telah
meninggalkan lapangan, dan berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan, Widura yang
berjalan di samping kemenakannya itu tiba-tiba menggamit pundaknya, “Untara.”
Untara berpaling. “Ya”
katanya.
“Aku belum sempat bertanya
kepadamu, kemana kau selama ini, namun aku masih menyimpan pertanyaan lain yang
ingin aku katakan lebih dahulu kepadamu. Kenapa kau biarkan Sidanti masih
menepuk dadanya?”
Untara tersenyum sambil
menarik nafas. Ketika ia menoleh dilihatnya adiknya berjalan di belakangnya.
Tiba-tiba terbesitlah sesuatu di dalam dadanya. Adiknya kini benar-benar telah
menjadi seorang anak laki-laki.
Karena itu, sebelum ia
menjawab pertanyaan pamannya ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri,
“Hem, Sedayu agaknya telah menemukan dirinya sendiri.”
Agung Sedayu yang berjalan
sambil mengangkat wajahnya itu terkejut. Tiba-tiba saja kepalanya itu ditundukkannya.
Meskipun demikian, ia menjadi terharu juga mendengar kata-kata kakaknya itu.
Namun ia masih berdiam diri saja.
Sesaat kemudian baru Untara
itu menjawab pertanyaan Widura. “Sidanti adalah seorang anak perasa dan
pendendam. Karena itu ia sebenarnya sangat berbahaya. Biarlah ia menikmati
kebanggaan-kebanggaan yang dapat sekedar membujuknya. Kalau anak itu
memberontak terhadap perintah-perintah Paman bersamaan waktunya dengan
kedatangan Tohpati, maka keadaan Paman disini akan menjadi sangat kalut.
Biarlah anak itu mendapat sekedar kepuasan dan besok kalau Tohpati itu datang,
maka kita akan dapat melawannya dengan kekuatan sepenuhnya.”
“Hem” Widura menarik nafas
panjang-panjang. Katanya “Sudah aku usahakan dengan beribu-ribu cara. Aku
biarkan ia berbuat sekehendaknya, meskipun kadang-kadang aku memaksanya dengan
kekerasan. Namun anak itu memang mempunyai tuntutan pribadi yang
berlebih-lebihan. Apalagi agaknya gurunya selalu memberinya harapan-harapan,
sehingga karena itu perbuatan-perbuatannya kadang-kadang melampaui batas.”
“Mudah-mudahan Paman
bijaksana” sahut Untara.
“Tetapi,” tiba-tiba Agung
Sedayu menyela, “apabila Paman telah memanjakannya, maka ia akan bertambah
berani menentang kehendak Paman.”
Widura dan Untara berpaling
bersama-sama. Namun kemudian Widura itu tersenyum. Katanya, “Tentu tidak
mungkin kalau aku sendiri harus memaksanya dalam suatu persoalan. Anak-anak
yang lainpun menganggap demikian. Namun bukankah berkali-kali aku memberi
kesempatan kepadamu, Agung Sedayu? Aku mengharap bahwa kaulah, sebelum
kedatangan kakakmu, seperti juga harapan anak buahku, akan dapat sedikit
memberinya peringatan. Tetapi agaknya kau selama ini terlalu baik hati,
sehingga kau tidak pernah melayaninya, betapapun Sidanti itu menyakiti hatimu.”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya sambil menundukkan wajahnya. Sedang Untarapun tersenyum pula
karenanya. Katanya, “Paman, apakah yang dikerjakan Agung Sedayu selama ini?”
“Ia datang sebagai pahlawan”
sahut pamannya. “Namun seterusnya ia lebih senang duduk di pringgitan siang dan
malam.”
“Ah” desah Agung Sedayu.
Untara tertawa. Kemudian
katanya, “Aku dengar, kau telah berhasil mengalahkan genderuwo bermata satu di
tikungan randu alas, Sedayu?”
Agung Sedayu masih menundukkan
wajahnya. Sudah beberapa lama ia lupa pada genderuwo itu. Dan tiba-tiba ia kini
menjadi geli terhadap dirinya sendiri. Betapa ia takut kepada nama-nama yang
belum pernah dikenal adanya. Genderuwo bermata satu, macan putih dari Lemah
Cengkar, Namun ia lebih geli lagi kalau diingatnya, lututnya dua-duanya menjadi
gemetar ketika tiba-tiba Sidanti marah kepadanya, pada saat ia sedang
bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.
“Sekar Mirah. Ya, Sekar Mirah”
tiba-tiba hatinya berteriak. “Aku kehilangan setiap kesempatan bertemu dengan
gadis itu, bukankah karena aku takut kepada Sidanti? Kini aku tidak takut lagi
kepadanya. Dan aku tidak akan menghindari setiap pertemuan dengan gadis itu.”
Tetapi yang kemudian
didengarnya adalah kata-kata pamannya. “Untara, kedatanganmu aku harap akan
membawa angin baru bagi kademangan ini. Dan malam nanti jangan kau harap kau
akan dapat tidur. Betapapun letihnya, kau harus bercerita kepada kami di sini,
di mana kau selama ini, dan apa yang telah terjadi dengan dirimu. Berhari-hari
aku dan Agung Sedayu mencarimu, namun yang kami ketemukan adalah seorang
bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing.”
Betapapun dinginnya malam,
namun Untara itupun merasa, bahwa keringatnya tidak juga menjadi kering. Ketika
ia sampai di kademangan, maka pertama kali yang dilakukannya adalah mandi.
Tetapi demikian ia selesai berpakaian, peluhnya telah mulai mengaliri tubuhnya
kembali. Sedang dikepalanya selalu berputar-putar berbagai pertanyaan yang
nanti pasti harus dijawabnya. Apakah yang akan dikatakan, seandainya seseorang
bertanya kepadanya, kemanakah ia selama ini, dan apa sajakah yang sudah
dilakukannya?
Tetapi akhirnya yang
dicemaskannya itupun terjadi. Ketika ia duduk di pringgitan bersama-sama dengan
Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung, maka dari pintu bermunculan
para pemimpin laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Satu demi satu,
tanpa dipersilakan. Mereka kemudian duduk melingkar di atas tikar anyaman di
tengah-tengah pringgitan itu.
Di pendapa Sidanti duduk di
tempatnya sambil menimang-nimang senjatanya yang masih terbalut wrangka di
kedua ujungnya, kemudian dengan rapinya senjatanya itu diselubunginya dengan
kain putih.
Keitka ia melihat beberapa
orang masuk ke pringgitan, ia mencibirkan bibirnya. “Buat apa mengerumuni anak
yang sombong itu?” katanya dalam hati. “Aku sangka Untara itu setidak-tidaknya
dapat menyamai kesaktian Macan Kepatihan. Tetapi ternyata ia tidak lebih baik
dari Widura sendiri.”
Dengan mata yang redup ia
memandangi setiap orang yang berjalan di dekatnya. Bahkan kemudian dengan
malasnya ia berbaring sambil menguap keras-keras.
Seorang prajurit yang tidak
jauh daripadanya berkata, “Ah, Kakang Sidanti, kau mengejutkan aku.”
‘Huh” sahut Sidanti. “Kenapa
kau tidak ikut masuk ke pringgitan saja?”
“Hanya para pemimpin kelompok
yang boleh masuk. Pringgitan itu terlalu sempit” jawab orang itu. “Kenapa
Kakang tidak ikut masuk dan mendengarkan cerita Untara itu?”
“Buat apa aku mendengarkan
bualannya? Ternyata aku kecewa setelah aku menilai sendiri kekuatan orang yang
bernama Untara itu. Dahulu aku kagum apabila aku mendengar namanya. Sekarang
ternyata aku sama sekali tidak mempunyai harapan apapun atas kehadirannya.
Kalau Macan Kepatihan itu datang kembali, maka nasib kita masih akan sama saja.
Apalagi agaknya Macan Kepatihan telah melihat kekuatan yang ada di Sangkal
Putung. Ia pasti tidak akan datang dengan kekuatan yang sama dengan pada saat
ia datang dahulu.”
Prajurit itu tidak menjawab.
Iapun mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang dikatakan oleh Sidanti. Ada
juga rasa kecewa di dadanya, setelah ia melihat Untara dan Sidanti bertempur.
Sedang hasilnya, keduanya tak dapat saling mengalahkan. Dengan demikian, maka
apa yang diharapkan dari Untara untuk melawan Macan Kepatihan akan tidak
terpenuhi.
Apabila kelak Macan Kepatihan
itu datang beserta laskarnya yang lebih kuat, serta apabila Macan Kepatihan
berhasil mengumpulkan orang-orang ternama yang tersebar, maka keadaan Sangkal
Putung pasti benar-benar ada dalam bahaya.
Tetapi prajurit itu tidak
bertanya apapun. Perlahan-lahan ia berjalan ke halaman dan duduk termenung di
atas sebuah batu. Dilihatnya beberapa kawannya yang berada di regol halaman,
tampak selalu berwaspada, sedang di muka gandok dilihatnya beberapa orang tidur
mendengkur sambil memeluk pedang-pedang mereka.
Tetapi sebentar kemudian
prajurit itupun menjadi mengantuk pula, sehingga dengan segannya iapun berjalan
ke gandok wetan, dan merebahkan diri di samping kawan-kawannya. Tetapi ia tidak
berhasil memejamkan matanya. Berkali-kali ia tersadar karena kegelisahannya.
Di pringgitan, Untara terpaksa
mendengarkan berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi menghujaninya. Beberapa
pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah. Namun yang lain telah
membingungkannya.
Peluh dingin mengalir di
kening Untara ketika ia mendengar pamannya bertanya, “Untara, aku telah sampai
ke rumah Ki Tanu Metir, sehari setelah kau hilang. Aku tidak dapat menemukan
jejakmu dan Ki Tanu Metir. Seseorang mengatakan bahwa kau telah diculik oleh
gerombolan Alap-Alap Jalatunda. Tetapi sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dengan
segar bugar. Apakah yang sebenarnya telah terjadi di dukuh Pakuwon?”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Sesaat ia berpikir, kemudian ia menjawab, “Ya, aku memang dalam
kesulitan waktu itu. Tetapi seseorang telah menyelamatkan aku.”
“Siapa?” bertanya Widura.
Untara itu kemudian memandang
berkeliling. Satu per satu, wajah-wajah yang penuh minat memperhatikannya itu
ditatapnya. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab, “Aku ditolong oleh seorang
yang tak kukenal, karena wajahnya ditutup oleh sebuah topeng.”
“Kiai Gringsing?” sela Widura.
“Ya.”
Widura tertawa. Agung
Sedayupun tersenyum juga. Tetapi orang lain, yang belum pernah mengenal Kiai
Gringsing menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka berdiam diri. Mereka
menunggu pertanyaan-pertanyaan Widura selanjutnya.
Tetapi yang berkata kemudian
adalah Untara, “Kenapa Paman tertawa?”
“Aku pernah bertemu dengan
Kiai Gringsing.”
“Lalu?”
“Aku pernah melihat
jejak-jejak kuda dari kandang Ki Tanu Metir.”
“Apa hubungannya dengan Kiai
Gringsing?”
“Kiai Gringsing menyangkal
bahwa ia pernah datang ke rumah Ki Tanu Metir.”
Untara mengerutkan keningnya.
Tetapi kemudian iapun tersenyum pula. Katanya, “Kiai Gringsing memang orang
yang aneh. Karena itu biarlah untuk sementara aku tidak bercerita tentang orang
itu.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia memahami jawaban Untara. Kiai Gringsing pasti berpesan kepadanya,
untuk merahasiakan dirinya.
“Tetapi,” berkata Untara
kemudian, “aku mengharap bahwa waktu itu tidak terlalu lama. Syukurlah kalau
Kiai Gringsing sendiri datang kepada kita disini dan bercerita tentang
dirinya.”
“Bukankah Kiai Gringsing hadir
juga di lapangan siang tadi?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Untara. “Aku
melihat ciri-cirinya dilemparkan ke tengah-tengah arena, ketika seseorang
melemparkan ciri-cirinya yang lain, yang agaknya Ki Tambak Wedi.”
Widura mengerutkan keningnya.
Kemudian ia bertanya, “Kau kenal juga ciri Ki Tambak Wedi?”
Untara tidak menjawab. Tetapi
ia tersenyum.
Beberapa orang lain yang
mendengarkan cerita itu, sebagian besar sama sekali tidak tahu ujung
pangkalnya. Karena itu mereka hanya berdiam diri mendengarkan. Swandaru yang
kemudian duduk di belakang ayahnyapun sama sekali tidak mengerti apa saja yang
sedang dipersoalkan.
Tetapi pertemuan itu tidak
berlangsung lebih lama lagi. Beberapa orang menjadi sangat mengantuk dan Untara
sendiri menjadi sangat lelah. Karena itu katanya, “Aku minta maaf, karena aku
sangat lelah, apakah aku boleh meninggalkan pertemuan ini?”
Widura tersenyum. Jawabnya,
“Pertemuan tanpa kau tidak akan ada gunanya. Karena itu, biarlah pertemuan ini
berakhir. Kita harus beristirahat, meskipun kita hampir sampai ke ujung malam.
Sebentar lagi kita harus sudah bangun dan menunaikan kewajiban kita
masing-masing.”
Pringgitan itu sesaat kemudian
menjadi sepi. Untara tidak mau tidur di pembaringan Widura. Ia lebih senang
tidur di atas sehelai tikar bersama adiknya.
Ketika semuanya telah pergi,
dan ketika Untara telah membaringkan dirinya di samping adiknya, maka katanya
perlahan-lahan, “Apakah yang kau kerjakan selama ini?”
Agung Sedayu menarik nafas.
Jawabnya, “Aku hampir mati kecemasan.”
Untara tersenyum. Katanya,
“Kalau tidak karena terpaksa oleh keadaan, aku kira kau masih saja suka
merengek-rengek. Aku turut berbangga dengan keadaanmu sekarang. Mudah-mudahan
penyakitmu tidak kambuh lagi setelah aku datang.”
“Mudah-mudahan” gumam Agung
Sedayu. Dalam pada itu, terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya.
Ia tiba-tiba saja memiliki
perasaan yang asing tentang dirinya. Tentang dunia sekitarnya. Tiba-tiba tanpa
disengaja ia meraba luka dipundaknya yang telah dibalut rapi. Luka itu tidak
seberapa. Tetapi luka itu seakan-akan telah membangunkannya dari tidur yang
nyenyak. Apa yang telah dilakukannya di lapangan, ternyata mampu membangkitkan
kebanggaan atas diri sendiri, sehingga karena itu, Agung Sedayu kini melihat
kemampuan yang dimilikinya. Karena itulah maka kini ia percaya akan dirinya
sendiri.
Di hari berikutnya, hampir
seluruh penduduk Sangkal Putung bercerita sesamanya tentang apa yang mereka
saksikan di lapangan. Mereka menjadi kagum kepada Agung Sedayu, yang dalam
ketangkasan memanah dapat melampaui Sidanti. Mereka menjadi kagum pula, bahwa
sebelumnya Agung Sedayu sama sekali tidak berhasrat untuk ikut serta dalam
perlombaan itu. “Alangkah rendah hatinya anak muda itu” beberapa orang di
antara mereka memujinya.
Namun ada pula yang menjadi
semakin kagum kepada Sidanti, atau yang menjadi kecewa terhadap Untara.
Meskipun demikian, maka mereka menjadi agak tenang juga dengan kehadiran
Untara. Dengan demikian maka kekuatan di Sangkal Putung itu menjadi bertambah.
Tetapi dalam pada itu,
penduduk Sangkal Putung menjadi cemas ketika mereka melihat kesiagaan laskar
Pajang itu meningkat. Setiap hari mereka melihat, peronda-peronda berkuda hilir
mudik di padukuhan mereka. Peronda-peronda berkuda yang menghubungkan satu desa
dengan desa yang lain dalam lingkungan kademangan Sangkal Putung. Bahkan
kesiap-siagaan anak-anak muda Sangkal Putungpun meningkat pula. Gardu-gardu
peronda yang dikhususkan bagi merekapun selalu dipenuhi oleh anak-anak muda
itu. Setiap saat mereka berlatih mempergunakan senjata. Sebab mereka merasa,
bahwa ilmu tata berkelahi yang ada pada mereka, masih belum mencukupi
dibandingkan dengan laskar Pajang, maupun laskar Jipang. Namun tekad merekalah
yang agaknya telah memperkuat ketahanan mereka menghadapi setiap keadaan.
Sebenarnyalah Widura telah
memberikan beberapa peringatan kepada laskarnya, bahwa kemungkinan Macan
Kepatihan akan menyergap mereka setiap saat. Karena itulah maka setiap gardu peronda
di ujung-ujung desa selalu diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang
sebaik-baiknya serta beberapa ekor kuda. Di halaman kademanganpun telah
dikumpulkan beberapa ekor kuda yang cukup baik dari segenap penduduk Sangkal
Putung. Setiap saat laskar Pajang itu harus bergerak cepat ke tempat-tempat
yang dianggap sangat berbahaya.
Sedang pada hari itu pula
Untara sedang mengagumi cara adiknya untuk meningkatkan ilmunya. Untara melihat
beberapa lembar rontal yang telah dilukis oleh Agung Sedayu. Dengan pengetahuan
yang jauh lebih luas, Untara berhasil memberikan beberapa petunjuk kepada
adiknya mengenai lukisan-lukisannya. Beberapa unsur gerak ternyata menjadi
lebih mantap dan lebih sempurna. Untara mencoba mengurangi kelemahan-kelemahan
yang ada di dalam lukisan adiknya. “Nanti malam biarlah aku melihat
ketangkasanmu” berkata Untara kepada adiknya. “Mudah-mudahan Tohpati tidak
menyergap kita hari ini.”
Sehari itu dilalui dengan
berbagai ketegangan di hati anggota laskar Pajang. Dan bahkan oleh segenap
penduduk Sangkal Putung. Pagi-pagi mereka sudah pergi ke warung di ujung desa,
kemudian memasak agak lebih banyak dari biasanya. Apabila sewaktu-waktu datang
keributan, mereka sudah menyimpan makanan di rumahnya. Bahkan beberapa orang
telah mempersiapkan barang-barang yang mereka anggap berharga.
Ketika seorang perempuan sibuk
membungkus barang-barangnya, bertanyalah suaminya, “Untuk apa barang-barang itu
kau kumpulkan?”
“Apakah kita tidak pergi
mengungsi saja kakang?”
“Kemana kita akan mengungsi?”
“Ke kademangan-kademangan
sebelah.”
“Tak ada gunanya. Di
kademangan ini ditempatkan sejumlah laskar Pajang. Di kademangan- kademangan
lain sama sekali tidak, selain hanya kadang-kadang saja dilewati oleh para
peronda dari kademangan ini juga.”
Istrinya termenung sesaat,
namun kemudian jawabnya, “Tetapi aku dengar, kademangan ini menjadi tujuan
penyerbuan dari laskar Jipang, sebab kademangan inilah yang dianggap menjadi
sumber perbekalan. Sedang kademangan lain tidak.”
“Sesudah kademangan ini, akan
datang gilirannya kademangan-kademangan lain. Dan kita akan mengungsi dari satu
kademangan ke lain kademangan.”
Istrinya tidak berkata-kata
lagi. Meloncat dari satu tempat ke tempat lain dengan seluruh anak-anaknya
adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Tetapi tinggal di rumahpun hatinya
selalu gelisah. Sehingga kemudian suaminya berkata, “Yang sebaik-baiknya adalah
mempertahankan kademangan ini bersama-sama dengan laskar Pajang.”
“Sampai berapa tahun laskar
Pajang itu akan tinggal disini? Bukankah dengan demikian akibatnya akan hampir
sama?”
”Kenapa?”
“Mereka makan beras kita yang
kita pertahankan dari sergapan laskar Jipang.”
“Tidak seberapa. Mereka makan
hanya sepenuh-penuh perut mereka. Sedang laskar Jipang akan mengambil semuanya,
bahkan dengan semua benda-benda berharga dari kademangan ini.”
Kembali istrinya berdiam diri.
Ketika suaminya kemudian berkata lagi, hatinya berdebar-debar. Katanya, “Nyai,
sebaiknya kita pertahankan kademangan ini. Sebaiknya setiap laki-laki ikut
serta. Tidak hanya anak-anak muda saja.”
“Kau akan pergi juga?”
“Ya” jawab suaminya. “Seperti
Ranu dan Harda.”
Alangkah cemasnya istrinya
mendengar kata-kata itu. Kenapa timbul perselisihan di pusat kerajaan, sehingga
daerah-daerah yang jauhpun mengalamai akibatnya? Peperangan benar-benar
merupakan sesuatu yang mengerikan sekali. Yang memisahkan suami-suami dari
istri-istri mereka, ayah dari anak-anak mereka, dan anak dari ibu-ibu mereka.
Peperangan telah mematahkan cinta manusia. Cinta sesama.
Tetapi laki-laki itu kemudian
pergi juga ke banjar desa bersama dengan laki-laki yang lain. Mereka mengganti
cangkul, bajak dan garu dengan pedang di genggaman tangannya.
Demikianlah tidak saja
anak-anak muda, kemudian orang-orang yang telah meningkat ke pertengahan
abadpun ikut serta menyerahkan dirinya pada pengabdian bagi tanah kelahirannya,
bagi kampung halamannya. Mereka menempatkan diri di bawah pengawasan langsung
Demang Sangkal Putung. Dan bagi mereka telah dibagikan tugas, untuk menjaga
kademangan dan lumbung-lumbung desa pada saat-saat yang genting. Sedang
anak-anak muda diperkenankan ikut dalam perlawanan langsung apabila musuh-musuh
mereka benar-benar datang.
Tetapi hari itu telah dilewati
dengan aman. Laskar Macan Kepatihan sama sekali tidak menampakkan diri. Tetapi
tidak mustahil bahwa mereka akan menyergap di malam hari.
“Setan itu benar-benar
mengganggu kademangan ini” gerutu Widura, ketika malam turun. “Mereka
barangkali kini sedang tidur dengan nyenyaknya, sedang kita harus selalu
berjaga-jaga menunggu kedatangan mereka.”
“Pada suatu ketika, kitalah
yang mengambil prakarsa. Bukan mereka. Sebab dengan demikian, keadaan merekalah
yang menentukan” sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Seharusnyalah demikian. Apabila datang saatnya, laskar Pajanglah
yang harus mencari sisa-sisa laskar Macan Kepatihan untuk dimusnahkan.
Malam itu seperti yang biasa
dilakukan oleh Widura, adalah pergi berkeliling gardu-gardu peronda. Kali ini
Widura tidak hanya pergi berdua dengan Agung Sedayu, tetapi Untara turut serta
bersama mereka.
Satu persatu Widura
mengunjungi gardu-gardu besar, dan pusat-pusat penjagaan. Ternyata tak
seorangpun dari anak buahnya yang mengabaikan segala perintahnya. Sebab sedikit
kelengahan yang mereka lakukan, maka akibatnya dapat mengerikan sekali. Sehingga
dengan penuh kesadaran mereka melakukan tugas-tugas mereka dengan penuh
tanggung jawab.
Yang terakhir dilakukan oleh
Widura adalah pergi ke Gunung Gowok. Untara ingin melihat, bagaimanakah
perkembangan adiknya selama ini. Karena itu, maka ketika mereka telah
beristirahat sejenak, Untara itupun berkata, “Nah Agung Sedayu. Aku ingin
melihat, apakah kau hanya sekedar pandai melukis di atas rontal-rontal itu,
ataukah kau pandai juga melakukannya.”
“Anak itu luar biasa” berkata
Widura. “Kalau ia memiliki keteguhan hati, maka ia tak akan kalah dengan aku
atau Sidanti.”
Untara tersenyum. Katanya
kepada adiknya, “Hatimu sekecil hati kelinci. Namun agaknya sekarang kau telah
menemukan harga dirimu, sehingga karena itu hatimu akan berkembang. Dengan
demikian maka kau akan dapat menjadi seorang laki-laki yang tidak
menggantungkan nasibmu kepada orang lain.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi ia ingin menunjukkan kepada kakaknya, apakah yang telah yang dimilikinya
selama ini.