Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 1
Mentari sudah lewat pucuk
langit, hari sudah lewat lohor, berdiri di pucuk Cit-sing-giam, In Hou
menikmati pemandangan alam semesta nan permai dan molek, sejak beberapa jam
tadi dia telah berada di atas Cit-sing-giam yang terletak di Pu-tho-san di
wilayah Kwi-lin yang terkenal itu. Sebagai pendekar kenamaan yang tersohor di
empat lautan, dari keluarga besar persilatan, ayahnya In Jong dulu pernah
meraih Bu-cong-goan di kala Dynasti Bing-ing-cong bertahta.
Sejak lama memang dia sudah mengagumi
keindahan alam semesta di daerah Kwi-lin, namun baru kini dia berkesempatan
berkunjung kemari, tapi kedatangannya kali ini bukan lantaran ingin bertamasya
di daerah Kwi-lin. Tapi maksudnya hendak bersua dengan seorang bekas kenalannya
dan berkenalan dengan seorang sahabat baru.
Kawan lama yang di maksud
adalah Tam Pa-kun yang sudah dikenalnya baik sejak 20 tahun yang lalu. Tam
Pa-kun berjuluk Kim-to-thi-ciang, terkenal dengan 64 jalan Phoan-liong-to dan
Tay-kin-na-jiu yang meliputi 72 jurus itu. Meski sudah dua puluhan tahun
bersahabat dengan Tam Pa-kun, tapi pertemuan terakhir juga terjadi pada lima
tahun yang lalu. Justru karena telah lama tidak bertemu itulah, maka kali ini
begitu Tam Pa-kun mengundangnya ke Kwi-lin, maka dari tempat jauh ribuan li dia
datang kemari memenuhi undangan temannya.
Sahabat baru yang hendak
dikenalkan padanya adalah penduduk Kwi-lin, walau ketenaran namanya tidak
segemilang Tam Pa-kun di Tionggoan, tapi di lima propinsi di daerah Say-lam dia
merupakan tokoh yang diagulkan dalam kalangan bulim, orang memberi julukan
It-cu-king-thian Lui Tin-gak.
Tunggu punya tunggu sang kawan
belum juga kunjung tiba, lambat laun lenyap juga selera In Hou menikmati
panorama di depan matanya, dengan risau dia berpikir: “Orang yang hendak
dikenalkan oleh Tam-toako tentunya bukan tokoh yang bernama kosong. Pernah
kudengar cerita orang, bahwa Lui Tin-gak suka royal membuang uang untuk
membantu sesama kaum persilatan, tidak sedikit tamu-tamu kaum persilatan yang
bermukim di kediamannya. Sayang kali ini aku mengemban tugas yang cukup berat,
kalau tidak, ingin juga aku beristirahat beberapa lama di tempat
kediamannya."
Teringat bahwa tidak lama lagi
dia bakal diperkenalkan kepada Lui Tin-gak oleh Tam Pa-kun. hatinya menjadi
bergairah. Tapi kenapa sejauh ini Tam Pa-kun belum juga tiba? Pada hal matahari
sudah doyong ke barat, sebentar lagi magrib baka! tiba. Dalam suratnya Tam
Pa-kuri mengatakan supaya aku berada disini sebelum lohor dan bersama-sama
tamasya dulu ke Cit-sing-giam. Tapi kini beberapa jam telah berselang, kenapa
Tam Pa-kun belum kunjung tiba?
Sebagai teman akrab yang telah
berhubungan selama 20 tahun. In Hou cukup tahu watak temannya itu, kecuali dia
tidak pernah mengatakan, tapi sekali janji pasti dilaksanakan. Tapi kenapa kali
ini dia ingkar janji? "Mungkinkah di tengah jalan dia mengalami sesuatu
diluar dugaan?" mau tidak mau gundah pikiran In Hou, tapi lebih jauh dia
membatin: "Tahun lalu Tam-toako baru kembali dari Thian-san, belum lagi
sampai di rumah sudah berangkat pula menuju ke Liang-san. Mungkin kali ini dia
langsung datang kemari dari Liang-san. Pada hal betapa jauhnya perjalanan ini,
kalau dia tertunda satu dua hari di perjalanan juga jamak. Sesuatu mungkin
memang terjadi atas dirinya, tapi belum tentu membahayakan keselamatannya,
apalagi dengan bekal ilmu silatnya yang tinggi, buat apa harus berkuatir bagi
dirinya?" setelah menghibur diri terasa lega dan lapang perasaannya.
Di kala pikirannya
melayang¬layang itulah, tiba-tiba didengarnya suara petikan kecapi yang sayup-sayup
sampai dibawa semilirnya hembusan angin lalu, suara "tang, ting' itu
mengalun tinggi rendah tidak menentu, kadang-kadang terdengar jelas, tiba-tiba
lenyap tak terdengar. Kalau In Hou tidak pernah meyakinkan ilmu senjata rahasia
semacam Bwe-hoa-ciam, sehingga pendengarannya jeli dan tajam, lain orang tentu
mengira itu suara percikan air.
In Hou mendekam di atas tanah
mendengarkan dengan seksama, seolah-olah irama kecapi berkumandang dari perut
bumi, dipantulkan oleh gema suaranya yang terpendam di lapisan bumi sehingga
irama kecapi ini kedengarannya agak misterius. Semula In Hou keheranan dan
bingung, tapi akhirnya dia mengerti: "Ya, pasti ada seseorang tengah
memetik kecapi didalam
Cit-sing-giam." tanpa
terasa In Hou beranjak turun dari puncak gunung menuju ke arah datangnya irama
kecapi.
Tengah dia mengayun langkah,
tiba-tiba didengarnya seseorang berteriak: "Tuan ini, apakah kau ingin
tamasya kedalam Cit-sing-giam?" In Hou tersentak sadar
dari lamunannya, waktu dia
berpaling dilihatnya seorang laki-laki kampungan yang memegang sebatang obor
tengah menyapa dirinya di samping gunung sana. Pada saat itu pula irama kecapi
itu ternyata berhenti dan lenyap tak terdengar lagi. Cit-sing-giam memang
sering dikunjungi wisatawan, oleh karena itu penduduk setempat banyak yang
mencari nafkah sebagai petunjuk jalan untuk mencari sesuap nasi. Belum lagi In
Hou bersuara, orang kampung penunjuk jalan itu sudah berkata pula: "Hari
sudah menjelang senja, kalau tuan ingin bertamasya kedalam Cit-sing-giam harus
sekarang juga."
Dalam hati In Hou berpikir:
'Entah Tam-toako apakah bakal datang hari ini? Pemetik kecapi yang liehay dalam
gua sana patut diajak berkenalan," memangnya dia seorang penggemar musik,
selama ini belum pernah dia mendengar petikan kecapi semerdu ini, setelah
mendengar ucapan petunjuk jalan ini, tergerak hatinya, maka segera dia berseru:
"Baiklah, kau tunggu sebentar."
In Hou memutar badan
membelakangi petunjuk jalan itu, dia ulur jari tengahnya lalu menggores ke
dinding gunung di tempat yang menyolok pandangan, menggores sebuah garis tanda
panah ke arah mana dirinya akan pergi. Tenaga dikerahkan ke jarinya, seketika
amblas tiga mili dan serbuk batupun bertaburan. Tapi petunjuk jalan itu
kebetulan berdiri di bawah lamping gunung sana, maka dia tidak melihat apa yang
dilakukan In Hou.
Dalam hati In Hou membatin:
"Tam-toako pasti kenal Kim-kong-cay-latku ini, melihat tanda panah yang
kugores ini, dengan kecerdikannya, tentu dia bisa menduga bahwa aku sedang
tamasya kedalam Cit-sing-giam."
Setelah meninggalkan tanda
goresan jarinya, dengan lega In Hou lantas minta petunjuk jalan itu mengantar
dirinya serta bertanya: “Apakah kau baru keluar dari dalam gua?"
"Betul, kira-kira
sesulutan dupa saja, baru saja aku mengantar dua wisatawan," demikian
jawab petunjuk jalan itu.
"Apa kau dengar seseorang
memetik kecapi didalam gua?"
Petunjuk jalan itu heran,
katanya: "Ah, tidak, apa kau mendengar?"
In Hou menjadi bingung,
katanya: "Takkan salah, baru saja suara kecapi berhenti, bagaimana kau
tidak mendengarnya?"
Petunjuk jalan itu berpikir
sejenak, akhirnya dia tertawa geli. "Apa yang kau tertawakan?"
demikian tanya In Hou.
"Mengerti aku
sekarang,"' demikian ucap petunjuk jalan, "didalam Cit-sing-giam ada
terdapat sebuah rawa-rawa yang tak terukur dalamnya, konon rawa itu
bisa tembus ke Le-kiang, suara
arus airnya bergema dalam gua mirip irama kecapi, maka apa yang kau dengar tadi
pasti suara air."
In Hou bingung, pikirnya:
"Suara air masa begitu merdu?" Tapi keajaiban dalam dunia ini memang
tak terukur oleh akal sehat manusia, biar setelah berada didalam nanti
kuperiksa dengan seksama."
Tanpa terasa mereka sudah tiba
di ambang pintu gua Cit-sing-giam. Ternyata mulut gua amat lebar, tingginya ada
dua puluhan tombak, lebar tujuh puluhan tombak. Karuan In Hou berjingkat kaget,
pikirnya: "Gua sebesar ini, selama hidup baru pertama kali ini aku
melihatnya."
"Konon menurut cerita
orang-orang tua," demikian tutur petunjuk jalan. "Untuk menghindari
peperangan yang berkecamuk, seluruh penduduk kota Kwi-lin mengungsi kedalam
Cit-sing-giam, ternyata Cit-sing-giam cukup muat
ribuan penduduk." Lebih
lanjut dia berkata pula, "Cit-sing-giam ini terbagi atas enam gua dan dua
ruangan. Sejak dari gua pertama bisa terbagi dua jalur untuk memasuki gua yang
lain, ke sebelah kiri masuk ke Toa-giam, sebelah kanan masuk ke Ci-giam, pada
masing-masing tempat itu memiliki pemandangan dengan bentuknya yang berbeda
pula, kedua jurusan ini akhirnya bisa bersua kembali pada lapisan gua kedua
yang terletak di bawah Si-mi-san. Lalu keluar dari gua ketiga yang dinamakan
Hoa-koh-san. Tuan, waktu sudah tidak mengidzinkan, mungkin hari ini kau takkan
sempat bertamasya ke seluruh obyek yang ada didalam gua ini. lalu ke arah mana
kau ingin pergi?"
"Boleh terserah kepadamu,
tunjukkan saja jalannya," demikian ucap In Hou.
Tahu orang baru pertama kali
ini berkunjung ke Cit-sing-giam, maka petunjukjalan itu berkata: "Baiklah,
kutunjukkan jalan utama dari gua permulaan yang menembus ke Toa-giam saja,
nanti akan keluar dari Giok-khe-tong-hu."
Baru saja mereka beranjak
memasuki gua, petunjuk jalan itu berkata pula sambil tertawa lebar: "Tuan,
mari kuceritakan pemandangan aneh yang ada dalam gua ini, harap kau tidak salah
mengerti."
"Ah, kenapa salah
mengerti?" tanya In Hou heran.
"Baiklah, silahkan kau
angkat kepalamu," kata petunjuk jalan.
Dengan heran In Hou mendongak,
didengarnya petunjuk jalan itu berkata: "'Inilah bagian pertama dari
pemandangan yang mempesona dari Cit-sing-giam yang bernama 'kura-kura angkat
kepala'."
Waktu In Hou mendongak dan melihat
ke arah yang ditunjuk, memang mirip dan sesuai namanya, hampir saja dia tertawa
geli. Setelah beranjak kedalam gua lebih lanjut, betapapun luas pengalaman In
Hou, sebagai pelancongan yang sering bertamasya ke berbagai obyek turispun
seketika takjub dan terpesona menghadapi keajaiban alam di depan matanya,
terasa seolah-olah dirinya kini berada di dunia mithos.
Didalam gua penuh dengan
beraneka warna stalaktit yang bercahaya menyilaukan mata, seperti karang merah,
jamrut, amber atau batu giok, bentuknyapun aneh-aneh, seperti tiang penahan
langit-langit gua, ada juga yang seperti rumpun rebung bambu. Seluruh gua itu
seolah-olah terbentuk dari ratna mutu manikam.
Petunjuk jalan itu tuding sana
tunjuk sini sambil menerangkan dengan lancar dan hafal sekali, dimana ada
Lo-kun-tai, disini adalah ikan le lompat ke pintu naga, dan disana adalah Lohan
penunggu mulut gua, dan tiang batu yang berbentuk seperti rebung bambu itu
dinamakan Loh-ti-ciok-kek, memang bentuk-bentuk stalaktit yang satu lebih aneh
dan ajaib dari yang lain, siapapun takkan bosan dan segan untuk menikmatinya.
Agaknya petunjuk jalan ini
memang sudah berpengalaman dan tahu seluk beluk Cit-sing-giam, sembari
bercerita dan menjelaskan dia mengeluarkan beberapa biji permen, katanya:
"Tuan, coba kau cicipi permen buatan Kwi-lin ini."
"Oh, ya, terima kasih,
rikuh juga menerima suguhanmu," ucap In Hou tertawa.
'Suguhan apa, kan tidak
seberapa harganya? Sekeping uang tembaga juga mendapat beberapa bungkus. Meski
permen ini murah harganya, tapi rasanya memang enak dan nikmat. Permen inipun
dapat menahan lapar. Sering kali tengah hari tak sempat aku makan, maka permen
inilah ganti penangsel perutku."
Memang In Hou sering dengar
akan permen buatan Kwi-lin yang termashur ini, maka dia menerimanya sebungkus
sambil menyatakan terima kasih, permen yang empuk ini kiranya dibungkuji oleh
daun bambu bagian dalamnya dan dibungkus kertas kaca pula di bagian luarnya,
begitu kertas dibuka, terangsang bau harum yang menyejukkan. Petunjuk jalan
itupun membuka sebungkus terus di masukkan kedalam mulut sertu dikunyah dengan
lahapnya. In Hou meniru perbuatan orang, semakin dikunyah terasa semakin
lembut, rasanya wangi tapi juga sedikit kecut, tanpa terasa dia memuji:
"Memang enak rasanya."
Petunjuk jalan tertawa, katanya:
"Orang luar daerah hanya tahu kalau Kwi-lin ada tiga macam makanan yang
terkenal, yaitu Ho-yok (susu kental), Be-thi (buah-buahan) dan Sam-hoa-ciu
(arak sari tiga kembang), tapi jarang orang tahu akan permen ini."
"Betul, permen inipun
boleh terhitung nyamikan yang menyegarkan dari Kwi-lin," ujar In Hou.
Agaknya petunjuk jalan ini
merasa senang karena In Hou menyukai permen yang diberikan, katanya:
"Tuan, syukurlah kau menyukainya, silahkan ambil lagi sebutir."
"Makan enak tidak boleh
makan terlalu banyak supaya tidak muak. Hari ini kau belum makan siang bukan?
Biarlah kau makan sendiri saja." demikian kata In Hou.
Petunjuk jalan tertawa:
"Aku masih punya banyak, silahkan makan saja. makan dua bungkus juga belum
terhitung banyak."
Merasa rikuh untuk menolaknya,
terpaksa In Hou makan lagi sebungkus.
Dalam pada itu mereka tengah
membelok ke sebelah kiri, tiba-tiba pandangan mata menjadi benderang, tampak
dinding merah di bagian depan sana muncul sekelompok ukiran batu yang berwarna
putih susu,, di bagian luar kelompok ukiran batu putih ini ditutupi kain gordyn
sutra merah Jingga dilempit bundar rriembundar kedua samping. Setelah dekat
kelompok ukiran batu putih itu, petunjuk jalan mengangkat obor serta berkata
dengan tertawa: "Silahkan kau saksikan tokoh di balik gordyn itu."
Waktu In Hou melongok kedalam
sebelah atas, seketika dia berdiri melongo, kiranya tokoh yang dimaksud di
balik gordyn bila dibanding ukiran batu di bagian luarnya bedanya laksana
langit dan bumi, kiranya tokoh yang dimaksud di balik gordyn adalah palung
seorang wanita cantik rupawan seayu bidadari, duduk dengan gaya lembut dan
seperti manusia hidup layaknya di atas sebuah singgasana yang terbuat dari
kursi batu putih pula, pakaiannya melambai lembut terurai ke bawah, begitu anggun
dan asri sekali.
Sekian lama In Hou mematung
diam, batinnya: "Konon dahulu Kokoh (Bibi) adalah perempuan tercantik di
seluruh bulim,. sayang aku tidak pernah melihat Kokoh di masa mudanya."
mendadak dia terkenang akan putrinya In San, tahun ini putrinya genap 16 tahun,
diapun termasuk gadis rupawan, selama hidup ini In Hou hanya dikaruniai seorang
anak perempuan yang satu ini, bukan kepalang dia sayang dan memanjakan
putrinya:
"Ayah sering bilang bahwa
anak San mirip duplikat Kokoh di masa mudanya dulu, mungkin anak San tidak
secantik perempuan batu putih ini, betapapun dia hanya seonggok patung besi
saja, tidak selincah dan senakal anak San yang menyenangkan." ....teringat
akan putrinya yang nakal dan Jenaka, tanpa terasa In Hou mengulum senyum dan terkenang
kampung halaman serta keluarganya.
Petunjuk jalan itu tampak
terperanjat, lekas dia pegang lengan In Hou serta digoncangkan, serunya: “Tuan,
kenapa kau?”
In Hou tersentak sadar,
katanya: "Ah, tidak apa-apa, kau kira aku..."
Lega hati petunjuk jalan,
katanya tertawa: "Tuan, kukira kau jadi linglung saking pesona. Dulu
beberapa kali pernah terjadi pelancongan yang tergila-gila kepada patung batu
ini."
"Masakan diriku kau
samakan mereka. Kalau kau kuatir, hayolah ke lain tempat."
"Memang di sebelah depan
masih banyak keanehan yang dapat kau nikmati."
Sembari jalan otak In Hou
berputar: "Patung gadis ini memang mulus, tapi kecantikannya paling
menimbulkan rasa agung dan suci, memangnya siapa yang bakal timbul pikiran
jahat terhadapnya? Tapi bicara soal cinta sejati. Kohu (paman) boleh terhitung
laki-laki sejati yang jarang ada bandingnya dalam dunia ini. Dulu entah betapa
besar siksa deritanya sebelum dia menjadi suami isteri dengan Kokoh. Setelah
Kokoh meninggal, seorang diri dia menyepi di hutan batu, selama belasan tahun
belakangan ini belum pernah dia keluar dari hutan batu itu, kerjanya
sehari-hari hanya memperdalam ilmu silat dan ilmu pedang. Em, kalau kali ini
aku bisa bertemu dengan Tam-toako ingin rasanya aku menunaikan pesan paman."
Bahwa In Hou memang seorang
pendekar gagah perkasa yang tersohor di empat lautan, tapi kalau dibanding
pamannya, peduli soal nama atau kepandaian Kungfunya, masih terpaut jauh
sekali. Karena pamannya itu adalah Thio Tan-hong yang diakui secara aklamasi oleh
seluruh lapisan kaum persilatan sebagai jago nomor satu di seluruh dunia. Sejak
40 tahun yang silam bersama isterinya In Lui. ilmu pedang gabungan mereka
berdua sudah tiada bandingan di kolong langit ini.
Murid Thio Tan-hong yang
tertua Toh Thian-tok merupakan seorang genius persilatan pula, bukan saja dia
memperoleh ajaran murni gurunya, malah dengan kepintarannya sendiri diapun
mencipta dan mengkombinasikan ajaran gurunya serta membuka aliran baru yang
lain dari yang lain. Toh Thian-tok bersemayam di Thian-san, demi menyempurnakan
cita-cita muridnya serta demi kejayaan alirannya di kelak kemudian hari. Thio
Tan-hong malah mengangkat muridnya yang satu ini sebagai cikal bakal suatu
aliran tersendiri, aliran baru dengan bekal ilmu pedang hasil ciptaan baru pula
ini akhirnya dinamakan Thian-san-pay. Di bawah pimpinan dan asuhan Toh
Thian-tok selama dua puluhan tahun, sehari demi sehari Thian-san-pay maju pesat
dan menjulang semakin tenar dan disegani, meski Thian-san-pay bercokol jauh di
daerah barat, namun murid-murid didiknya sama berkepandaian tinggi, sehingga
cukup setimpal untuk berjajar dengan Siau-lim, Bu-tong, Go-bi dan Ceng-seng
empat partai besar di daerah Tionggoan. Tapi lantaran letaknya yang jauh di
daerah barat itu pula, sehingga nama Thian-san-pay tidak setenar ke empat
partai besar yang ada di Tionggoan. Mending bagi Thio Tan-hong yang dapat hidup
bebas berlanglang buana kemana dia suka. Isterinya In Lui paling suka akan
hutan dan batu di daerah Kwi-lin ini, maka setelah isterinya meninggal, seorang
diri Thio Tan-hong lantas bersemayam disini, pertama untuk mengenang isteri
tercinta, kedua karena letak hutan batu ini yang terasing dari dunia luar, maka
dia bisa lebih tekun memperdalam ilmu pedang. Jarak antara Thian-san dengan
hutan batu di Kwi-lin ini entah berapa laksa li jauhnya, setelah mengasingkan
diri di Ciok-lin (hutan batu), belum pernah dia pulang ke Thian-san.
Tahun lalu In Hou pernah
datang ke hutan batu menemui pamannya, Thio Tan-hong yang memberitahu kepadanya
bahwa dia tengah memperdalam semacam ilmu pedang tingkat tinggi, ilmu pedang
yang diciptakannya ini tidak membawakan gerakan dan jurus yang menentu, juga
tidak mengikuti teori ilmu pedang umumnya, tapi merupakan himpunan dari sari
pedang berbagai aliran yang aneh-aneh dan menembus ke suatu aliran yang
menyimpang. Waktu itu pernah In Hou bertanya apa nama ilmu pedang yang bakal
diciptakannya itu. Thio Tan-hong tertawa, katanya: "Kalau toh tanpa jurus
tipu yang menentu, maka tidak perlu harus memberikan nama kepadanya Kalau kau suka,
boleh dinamakan Bu-bing-kiam-hoat (ilmu pedang tanpa nama) saja. Sayang meski
sudah sepuluh tahun aku menyelaminya, rangkaian ilmu pedang ciptaanku ini belum
juga selesai. Semoga Thian memberkati, kira-kira dalam jangka tiga tahun lagi,
kemungkinan baru aku bisa menyempurnakan seluruh ajaran ilmu pedang ciptaanku
ini."
Waktu itu belum jadi
seluruhnya ilmu pedang ciptaannya, tapi In Hou beruntung dapat melihat
demontrasi secara petilan yang ditunjukkan Thio Tan-hong, meski masih merupakan
petilan yang belum lengkap tapi apa yang dilihatnya betul-betul membuatnya
kagum dan memuji tak terhingga. Pada hal saat mana Thio Tan-hong sudah berusia
tujuh puluh tahun lebih, mau tidak mau In Hou berpikir: "Kalau Thio
Tan-hong mengalami sesuatu kejadian diluar dugaan, bukankah Bu-bing-kiam-hoat
ini bakal putus turunan?" -maka dengan rendah hati dia utarakan isi
hatinya, dia tanya kenapa Thio Tan-hong tidak memanggil muridnya kemari?
Thio Tan-hong berkata:
''Waktuku sendiri mungkin tidak banyak lagi, setua ini lagi mana mungkin
meluruk ke Thian-san? Thian-tok sudah menjadi Ciangbunjin dari suatu aliran,
tak mungkin dia meninggalkan kedudukannya untuk datang kemari Dan lagi bila
minta tolong orang lain untuk menyampaikan kabar, susah juga mencari orangnya
yang dapat dipercaya." Oleh karena itu In Hou mengajukan dirinya, dia suka
terima tugas untuk menyampaikan kabar ini ke Thian-san. Thio Tan-hong berkata:
"Aku tahu urusanmu sendiri juga banyak, pergi ke Thian-san bukan suatu
kerja yang mudah. Palagi Bu-bing-kiam-hoat yang kuciptakan juga belum sempurna,
lebih baik begini saja, rangkaian yang telah kususun sebagian ini biar nanti
kubuatkan duplikatnya untukmu. Kelak bila telah lengkap seluruhnya, sementara
Thian-tok tetap tak berada di dampingku, biar kusembunyikan didalam Ciok-lin di
pucuk Kiam-hong (puncak pedang) di pinggir danau itu.
Waktu In Hou pamitan maka Thio
Tan-hong serahkan duplikat jurus-jurus ilmu pedang ciptaannya yang masih
merupakan petilan itu kepadanya, di samping itu diapun telah beritahukan
kirarkira dimana dia bakal menyimpan Kiam-boh jerih payahnya dengan lukisan
sebuah peta sederhana. Katanya: "'Soal ini kau tidak perlu tergesa-gesa
untuk menyelesaikannya, cukup asal ada kesempatan pergi ke Thian-san serahkan
kepada muridku, duplikat yang kubuat ini boleh dijadikan bukti dan tanda
pengenalmu, begitu melihatnya Thian-tok pasti tahu bahwa ilmu pedang ini adalah
hasil ciptaanku selama ini."
Ternyata Bu-bing-kiam-hoat
ciptaannya ini bukan saja ruwet dan banyak ragamnya tapi juga aneh dan
menakjubkan, ada gambar tapi tiada gaya jurusnya, kalau bukan seorang tokoh
silat yang betul-betul sudah punya dasar latihan dan pengetahuan tinggi, meski
membaca dan mempelajari buku pelajaran ilmu pedang ini, mungkin bisa
dianggapnya sebagai hasil tulisan guru silat kelas kampungan belaka. Setelah
mendapat titipan Thio Tan-hong sebetulnya In Hou sudah akan berangkat sendiri
ke Thian-san, tapi isi hatinya dapat diterka oleh Thio Tan-hong, maklumlah
sebagai pendekar kenamaan, masih banyak urusan yang menyangkut kaum bulim di
Tionggoan yang harus segera dibereskan, tak mungkin dia memecah diri untuk
menunaikan dua tugas sekaligus.
Tam Pa-kun sudah bersahabat
puluhan tahun dengannya, bagaimana karakter Tam Pa-kun sudah dikenalnya baik
dan dapat dipercaya, palagi Tam Pa-kun adalah kenalan baik Toh Thian-tok lagi.
tahun lalu baru saja dia kembali dari Thian-san. Oleh karena itu mumpung kali
ini Tam Pa-kun mengundangnya kemari, dia hendak titip tugas yang diserahkan
Thio Tan-hong ini kepada Tam Pa-kun untuk menyelesaikan. Maklum Tam Pa-kun
bebas kelana, laki-laki bujangan lagi boleh sesuka hati kemana dia mau pergi,
untuk berangkat Thian-san jelas jauh lebih gampang dari dirinya.
Berada didalam Cit-sing-giam
tak bisa melihat cuaca matahari, tapi dapat diduga bahwa sekarang kira-kira
sudah menjelang magrib, sambil mendengarkan penjelasan petunjuk jalan, dalam
hati dia berpikir: "Entah Tam-toako sudah datang belum, bila dia melihat
tanda panah yang kugores di atas dinding, pasti sudah masuk ke gua ini. Katanya
dia pernah beberapa kali datang didalam Cit-sing-giam ini, tanpa petunjuk jalan
pasti juga sudah tahu jalan. Ha, jikalau mendadak dia muncul dari balik gua
sana, sungguh mengagetkan dan menggirangkan."
Tiba-tiba didengarnya suara
air bergema, ternyata memang mirip irama harpa. Petunjuk jalan segera berkata:
"Hati-hatilah tuan, jangan sampai terpeleset. Di bawah adalah telaga rawa
yang tak terukur dalamnya." In Hou coba melemparkan sebutir batu, betul
juga ditunggu sekian lama baru terdengar suara batu kecemplung kedalam air.
Petunjuk jalan ini memang
pandai bercerita dan suka ngobrol seperti mulutnya tak pernah kering. Tiba-tiba
terasa oleh In Hou perutnya rada mules, pada hal lwekangnya cukup tinggi,
selama dua puluh tahun tak pernah jatuh sakit, mau tidak mau dia menjadi heran,
pikirnya: "Mungkinkah aku terkena hawa beracun? Tapi gua ini rasanya tiada
hawa beracun, kalau ada mana mungkin kaum pelancongan mau tamasya kemari?"
Untung hanya mules sedikit saja, jadi bukan sakit seperti dipelintir, setelah
dia menarik napas dan mengatur jalan darah semangatnya seketika pulih kembali.
Tanya In Hou: "Apakah dasar rawa ini ada mengeluarkan hawa beracun?"
"Di tempat pelancongan
seperti ini mana mungkin ada hawa beracun?" ujar petunjuk jalan,
"setiap hari boleh dikata aku sering mondar-mandir di pinggir rawa, tuan
apa kau merasa ada sesuatu yang ganjil? Mungkin kau tidak biasa dan terlalu
lama didalam gua, dada terasa sesak dan mual?"
In Hou tidak berani memastikan
bahwa dirinya keracunan, batinnya: "Dengan bekal latihan lwekangku, umpama
makan racun juga takkan kuasa mencelakai diriku, apalagi hanya hawa beracun?
Mungkin secara kebetulan saja perutku sakit?"
Di kala hatinya bimbang
itulah, tiba-tiba didengarnya irama harpa bergema pula. Kali ini bukan lagi
suara air, tapi betul-betul suara petikan senar harpa, iramanya kalem mengalun
lembut, seolah-olah jari jemari seorang tukang sulap yang membawa pikirannya
tenggelam ke dunia mithos, begitu asyik dan pesona dia mendengarkan suara
harpa, bukankah irama harpa inikah yang didengarnya tadi?
"Eh, dengarkan,"
seru In Hou tanpa sadar, "bukankah ada seseorang sedang memetik harpa? Nah
disana itu, disana. Lekas bawa aku menemui orang itu," belum lenyap akhir
suaranya, mendadak pandangannya menjadi gelap. Ternyata obor yang dipegang
petunjuk jalan mendadak padam. In Hou berpengalaman menghadapi berbagai
peristiwa. meski menghadapi kejadian mendadak dia tetap tenang, mata kuping
dipertajam, maka didengarnya dari arah belakang menyamber datang senjata
rahasia, lekas dia menjentik balik tangannya, dengan Tam-ci-sin-thong dia
menjentik jatuh sebutir Toh-kut-ting ke dasar rawa di bawah sana.
Tiba-tiba didengarnya petunjuk
jalan berteriak: "Hai, siapa main-main memadamkan oborku? Aduh, tolong,
tolong," lalu terdengar suara terpeleset dan jatuh gedebukan. Kejadian
mendadak dan urusan cukup gawat, tak sempat banyak pikir bagi In Hou, namun dia
tahu bahwa petunjuk jalan itu telah dikerjai oleh orang. Pada hal jurang rawa
di bawah sana dalamnya luar biasa, kalau sampai terjatuh kesana. memangnya jiwa
tidak melayang? Sebagai pendekar yang berbudi luhur, sudah tentu In Hou tidak
bisa berpeluk tangan membiarkan petunjuk jalan itu melayang jiwanya secara
percuma.
Mendengar suara, In Hou dapat
membedakan arah, segera dia menubruk kesana sambil ulur tangan menangkap tumit
kaki petunjuk jalan serta ditariknya ke atas. Tak nyana perubahan mendadak
terjadi, petunjuk jalan itu ternyata jatuh kedalam pelukannya, berbareng kedua
telapak tangannya menggempur, karuan In Hou rasakan dadanya seperti dipukul
palu godam, kontan dia terjungkir balik.
Terdengar petunjuk jalan itu
terkekeh, katanya: "Turunlah menjadi santapan ikan,"" kembali
kakinya melayang, dia tendang In Hou supaya terjerumus kedalam rawa.
"Coba lihat kau yang
jatuh atau aku yang terjerumus," In Hou menghardik. Mendadak tubuhnya
melejit terbalik sembari melontarkan Kim-kong-ciang-lat.
"Pyaar", telapak
tangan kedua pihak saling gempur mengeluarkan ledakan bagai bunyi guntur.
Kontan In Hou sempoyongan mundur sambil berkelit ke samping, Demikian pula petunjuk
jalan itu berseru tertahan sekali sambil loncat ke samping terus menyelinap ke
balik batu, agaknya dia apal seluk beluk disini, maka lekas-lekas
menyembunyikan diri. Dari belakang batu dia bergelak tertawa, katanya:
"Kim-kong-ciang keluarga In memang tak bernama kosong, tapi hari ini
jangan harap kau bisa lolos dari telapak tanganku." Suaranya mendadak juga
berubah, logatnya jelas bukan penduduk asli kota Kwi-lin lagi, kedengarannya
suara serak pecah seperti gesekan benda keras yang menusuk pendengaran. Kini
baru jelas duduknya perkara, kiranya orang ini menyamar sebagai penduduk
setempat menjadi petunjuk jalan In Hou didalam Cit-sing-giam.
Setelah adu pukulan sekaii
dengan lawan, seketika In Hou merasakan dada terasa sesak dan mual, beberapa
kali dia ingin tumpah, lekas dia menarik napas sambil mengerahkan hawa murni,
sehingga pernapasannya segar kembali, serta bersiaga menanti sergapan musuh.
"In Tayhiap," seru
orang itu bergelak tawa. "Kembang gula yang kuberikan tadi enak rasanya
bukan? Sayang kembang gula itu rasanya semula manis akhirnya pahit getir. Hehe,
sekarang tentu kau sudah mengerti bukan, untuk keluar dari gua ini dengan nyawa
tetap hidup, terpaksa kau harus mendengar perintahku saja."
Baru sekarang In Hou sadar
bahwa kembang gula yang dimakannya tadi kiranya beracun.
Setelah menghembuskan sekulum
napas berat, In Hou berkata: "Aku tak pernah bermusuhan dan tidak berbuat
salah terhadapmu, kenapa kau membokong aku?"
Orang itu terloroh-loroh pula,
suaranya seperti benturan benda kasar, katanya: "Dengan kau memang aku
tidak bermusuhan, tapi dengan Thio Tan-hong, dendamku justru sedalam
lautan."
"Siapa kau?" hardik
In Hou.
Sembunyi di belakang batu,
kalem suara orang itu: "Kau belum pernah melihatku, tapi pasti pernah
dengar namaku. Aku bernama Le Khong thian”.
In Hou terperanjat, bentaknya:
"Jadi kau Le Khong-thian murid Kiau Pak-bing itu?" dalam hati dia
berpikir: "Tak heran dia mampu membokongku dengan permen beracun."
Perlu diketahui Kiau Pak-bing
tenyata adalah Toa-mo-thau (gembong iblis) yang pernah menggetarkan dunia pada
puluhan tahun yang lalu, bukan saja Kungfunya tinggi dan liehay diapun mahir
menggunakan racun. Dengan bekal lwekang In Hou sekarang, racun biasa semestinya
takkan mampu mencelakai jiwanya, tapi Le Khong-thian adalah satu-satunya murid
Kiau Pak-bing yang mewarisi kepandaiannya, dia pula yang turun tangan, jelas
berbeda sekali perbawanya.
"Betul, sekarang kau
sudah tahu siapa aku ini," demikian seru Le Khong-thian pongah.
"Terbayang masa lalu, di kala guruku te:luka parah di bawah pedang Thio
Tan-hong, jiwakupun hampir saja melayang. Kami guru dan murid tak kuasa
bercokol di Tionggoan, terpaksa ngacir keluar lautan. Coba katakan dendam
kesumat sedalam ini, tidakkah pantas aku menuntut balas?"
In Hou jadi berpikir:
"Mendengar ucapannya ini, memangnya Kiau Pak-bing iblis tua dan laknat itu
belum mampus?"
Kiranya pada empat puluh tahun
lalu Thio Tan-hong adalah ahli pedang nomor satu di seluruh jagat, sementara
Kiau Pak-bing gembong iblis nomor satu di kolong langit, yang sesat jelas tak
mau jajar dengan yang lurus, pernah beberapa kali kedua tokoh besar ini
bentrok, masing-masing pernah menang dan kalah. Akhir kali mereka adu tanding
di puncak Lao-san, dengan Thian-san-kiam-hoat ciptaannya yang baru Thio
Tan-hong berhasil mengalahkan Kiau Pak-bing. Beruntun Kiau Pak-bing tujuh kali
terluka dan akhirnya jatuh menggelinding ke lamping gunung, Le Khong-thian ini
merebut jenazah gurunya terus lompat turun dan terjun kedalam laut. Pada hal
waktu Kiau Pak-bing roboh terjungkal badannya sudah terluka parah dan sudah
empas-empis, apalagi gelombang lautan sedang pasang dan mengamuk dahsyat, maka
para penonton yang sebagian besar juga tokoh-tokoh persilatan itu sama
menyangka umpama Le Khong-thian akhirnya lolos dari renggutan elmaut, Riau
Pak-bing jelas pasti mati. Memang setelah peristiwa besar itu, Kiau Pak-bing
guru dan murid tak pernah terdengar lagi beritanya. Sang waktu berlalu bagai
air mengalir tak pernah kembali, tak nyana hari ini setelah empat puluh tahun
kemudian, bukan saja peristiwa besar itu sudah sama dilupakan orang, malah nama
Kiau Pak-bing dan Le Khong-thian juga sudah lama dilupakan oleh kaum
persilatan, apalagi tahu dimana jejak mereka selama ini. "
Agaknya Le Khong-thian dapat
meraba jalan pikiran In Hou, katanya setelah tergelak-gelak: "Thio
Tan-hong kira guruku sudah mati, diluar tahunya bahwa guruku panjang umur dan
mendapat karunia Tuhan, sampai sekarang beliau masih hidup di dunia ini. Biar
kuberitahu kepadamu, kali ini aku justru mendapat perintah guru untuk kembali
menuntut balas."
In Hou memaki: "Kalau
begitu lebih betul kalau kau menuntut balas langsung kepada Thio
Tan-hong."
"Apakah Thio Tan-hong dia
masih hidup?" seru Le Khong-thian. "Dimanakah dia sekarang."
"Umpama tahu juga takkan
kuberitahu kepadamu," demikian jengek In Hou, "kau ingin menuntut
balas, boleh silahkan cari sendiri. Hm, aku kuatir kau tak punya nyali meluruk
ke tempat
kediamannya."--perlu
diketahui kini Thio Tan-hong
sedang menyelami pelajaran ilmu silat yang belum rampung dia ciptakan, dalam
keadaan segenting ini dia pantang diganggu oleh orang luar, apa lagi musuhnya.
Andaikata tempat pengasingannya diketahui orang, mungkin musuh bisa meluruk
kesana mencari setori padanya, meski dengan bekal kepandaiannya sekarang tak
takut menghadapi musuh, tapi In Hou tak berani memberitahu tempat itu kepada
lawan.
Le Khong-thian terloroh-loroh,
katanya: "Ucapanmu memang betul. Pertama memang aku tak bisa menemukan
Thio Tan-hong. Kedua umpama benar menemukan dia, mungkin aku tetap bukan tandingannya,
terpaksa sasaran kupilih dirimu. Siapa suruh kau pernah keponakannya? Hehe,
menurut apa yang kutahu, setelah isteri Thio Tan-hong mampus, hanya kau
seoranglah familinya yang terdekat. Muridnya Toh Thian-tok jauh berada di
Thian-san, jelas dia tidak lebih dekat dan akrab dari dirimu."
"Mentang-mentang kau ini
terhitung seorang tokoh juga, tidak berani menghadapi Thio Tan-hong, tapi
dengan akal licik dan memalukan membokong diriku malah."
"Untuk menghindari gugur
bersama dengan kau," demikian ujar Le Khong-thian dengan nada tengik,
"kan tiada manfaatnya. Kini kau telah makan kembang gulaku, didalam
kembang gula itu aku sudah mencampur dengan Hap-kut-san. Tentunya kau juga tahu,
setelah makan Hap-kut-san, tulangmu akan lemas ototpun linu, jelas kau takkan
mungkin adu jiwa pula dengan aku. Nah segalanya sudah kuterangkan, kini kau
ingin hidup atau mau mati terserah kepada dirimu, asal kau mau tunduk akan
segala perintahku, akan kuberi obat penawarnya."
Memang Le Khong-thian sudah
matang dalam rencana, dia kira pihaknya sudah berada di tempat yang unggul,
setelah menunggu racun bekerja dalam tubuh In Hou, baru dia akan turun tangan.
Tak tahunya diam-diam In Hou
juga sedang mengarahkan hawa muminya menghimpun lwekang, sekaligus mencegah
racun menjalar kumat, maka sengaja dia ajak lawan putar lidah sekian lamanya.
Kini In Hou sudah berhasil kerahkan hawa murninya berputar tiga keliling dan
terhimpun di pusar, dia yakin dalam jangka sejam, dirinya pasti tidak akan mati
keracunan, maka dia lantas tertawa mengejek: "Kau punya syarat apa, kenapa
tidak berani keluar dan bicara berhadapan dengan aku!" habis berkata
mendadak dia bersuit panjang, suaranya melengking tinggi dan keras bergema didalam
gua, Le Khong-thian sampai pekak dan tergetar jantungnya.
Bahwasanya tujuan In Hou
bersuit bukan untuk pamer di hadapan Le Khong-thian, yang dia harap hanyalah
supaya Tam Pa-kun mendengar suitannya ini. Dalam hati dia membatin: "Entah
Tam-toako sudah datang belum, jikalau dia sudah berada disini, pasti akan
mendengar suaraku ini."
Karena kupingnya pekak dan
mendengung, karuan Le Khong-thian kaget, baru sekarang dia insaf bahwa lwekang
In Hou ternyata tinggi dan diluar perhitungannya. Tapi meski hati merasa kaget
dan waswas, tapi dia masih yakin akan tipu dayanya, segera dia balas menjengek:
"Lwekang gerungan singamu ini memang hebat luar biasa, tapi jangan kira
dapat menggertak diriku. Baiklah, kalau kau ingin tahu syarat yang kuajukan,
pasang kuping dan dengarkan."
Begitu melihat bayangan orang
muncul segera In Hou menyergapnya. Sejak tadi golok pusaka yang selalu
disandingnya sudah terhunus, dengan-golok di tangan kiri dan telapak tangan
kanan, golok membabat paha lawan, sementara telapak tangan membelah ke dadanya.
"Trang" terdengar benturan keras, kembang api berptjar dalam
kegelapan gua yang pekat ini.
Ternyata golok pusaka In Hou
membacok di atas Tok-kak-tong-jin yang terbikin dari baja murni.
To-kak-tong-jin ini dahulu adalah senjata andalan Kiau Pak-bing, kini
diwariskan kepada Le Khong-thian. Sebelum ini Le Kong-thian sudah sembunyikan
senjatanya itu di balik batu, setelah memancing In Hou tiba di pinggir rawa
baru dia mulai turun tangan, salah satu sebab yang utama adalah sembarang waktu
dia bisa memungut senjatanya yang disembunyikan di balik batu di pinggir rawa
ini.
Bahwa senjatanya mampu menahan
bacokan golok pusaka In Hou, lega juga hati Le Khong-thian, jengeknya dingin:
"In-keh-to-hoat (ilmu golok keluarga In) memang hebat, tapi manusia bajaku
ini belum tentu terkalahkan oleh golokmu," sembari bicara dia dorong
manusia baja di tangannya, lengan panjang manusia baja itu mendadak terjulur
keluar menutuk ke Hian-ki-hiat di depan dada In
Hou, meski gelap gulita, tapi
sasaran yang dia incar ternyata tepat sekali.
Betapa tinggi taraf kepandaian
silat In Hou, mana mungkin dia bisa tertutuk? Meski berada didalam gerombolan
batu-batu yang berserakan dengan gesit dia gunakan langkah Naga Melingkar
Melangkah Kaki, mendengar angin membedakan arah, maka dengan leluasa dia
berkelit sambil balas menyerang.
Le Khong-thian menarikan
senjata bajanya sekencang kitiran, angin menderu kencang terus mengepruk dan
menjojoh. Dengan mengerahkan lwekang, In Hou kerjakan golok pusaka sekali garis
dan iris di atas senjata baja lawan, maka terdengarlah suara keras bagai gema
lonceng dan tambur, percikan api berpijar, tampak beberapa luka goresan di atas
senjata manusia baja Le Khong-thian bertambah banyak. Namun demikian, In Hou
sendiri juga merasakan sejalur hawa dingin tahu-tahu merembes kedalam telapak
tangan terus merembes ke Sau-yang-king-meh. Karuan In Hou terkejut, pikirnya:
"Konon Kiau Pak-bing dulu menjagoi bulim dengan ilmu Siu-lo-im-sat-kang
yang telah diyakinkan sampai ke tingkat sembilan, ilmunya mampu disalurkan ke
senjata untuk melukai lawan, agaknya Le Khong-thian juga telah mewarisi kedua
macam ilmu gurunya yang lichay ini." — apa yang diduga In Hou memang tidak
meleset, tapi terkaannya hanya betul sebagian, Siu-lo-im-sat-kang yang
diyakinkan Le Khong-thian sejauh
ini hanya sampai tingkat ke tujuh, demikian pula ilmu menyalurkan lwekang
melalui senjata hanya separuh dari kemampuan gurunya dulu. Jikalau sekarang dia
sudah memiliki Kungfu setingkat gurunya dulu, meski kepandaian In Hou sekarang
berlipat dua juga takkan kuasa menghadapinya. Walau demikian ilmu menyalurkan
lwekang dingin melalui senjata yang dilancarkan Le Khong-thian juga sudah cukup
membuat In Hou kepayahan, hawa dingin sudah merembes kedalam Sau-yang-king-meh,
celaka karena In Hou sebelumnya sudah makan Hap-kut-san, kadar racun yang
semula sudah dikeram oleh kemurnian Iwekangnya, kini jadi buyar dan kumat
malah.
Sembari kerahkan lwekang
menahan racun, terpaksa In Hou harus menghadapi serbuan musuh, lambat laun
terasa mata berkunang-kunang, kepalapun mulai pening, batinnya: "Kalau aku
bersemadi didalam sebuah kamar kosong tanpa gangguan menyembuhkan keracunan
ini, paling tidak aku masih kuat bertahan satu jam lagi, kini di samping harus
melawan racun dalam tubuh harus menghalang serbuan musuh lagi, paling lama aku
hanya mampu bertahan setengah jam, aku harus lekas mengakhiri pertempuran
ini."
"Huuu," tiba-tiba In
Hou menghembuskan serumpun napas dari mulutnya, kontan Le Khong-thian merasakan
mukanya tertiup dingin, tapi begitu rasa dingin lenyap lalu disusul hembusan
angin sepoi hangat seperti di musim semi, seketika dia menjadi kantuk dan malas
rasanya. Karuan Le Khong-thian berjingkat kaget, pikirnya: "Tak nyana
lwekang In Hou ternyata setangguh ini."
Ternyata hawa dingin yang
merembes kedalam tubuh telah berhasil ditekan dan dihimpun oleh lwekang In Hou
terus dihembuskan keluar melalui mulut. Bahwa Le Khong-thian pertama merasa
dingin lalu merasa hangat, yang dingin adalah Siu-lo-im-sat-kangnya sendiri
yang merembes ke tubuh In Hou, sedang hembusan hangat itu adalah hawa murni In
Hou sendiri.
Maka In Hou sekarang bergerak
lebih cepat untuk segera mengakhiri pertempuran, goloknya bergerak jurus yang
satu lebih cepat dari jurus yang lain, terpaksa Le Khong-thian juga tarikan
manusia baja senjatanya itu sekencang baling-baling seumpama hujan deras juga
takkan tembus membasahi badan.
Terdengarlah dering keras
beradunya kedua senjata, gema suaranya sampai mengalun bergelombang didalam
gua. Golok In Hou itu mampu mengiris emas atau memotong batu giok, tajamnya
luar biasa, hanya sekali iris, maka manusia baja lawan telah dihiasi goresan
memutih yang kelihatan tajam. Hanya sekejap saja manusia baja itu sudah babak
belur dan gumpil sebagian besar.
Akan tetapi kepandaian Le
Kong-thian memang cukup tangguh, dibanding In Hou paling lebih asor setingkat,
ketambah dia lebih paham seluk beluk Cit-sing-giam, maka dengan leluasa dia
bisa lompat sana nyelinap sini sesuka hati, tanpa kuatir ketumbuk batu runcing.
Meski In Hou berada di atas angin, sementara tak mampu melukai lawan.
Di kala kedua orang ini lagi
bertempur mengadu jiwa sambil memboyong seluruh kemampuan masing-masing, dari
kegelapan di bawah dasar rawa sana tiba-tiba terdengar suara "Crang,
ering" bergema didalam gua, semula In Hou kira orang didalam gua itu
memetik harpanya lagi, tapi setelah didengarkan lebih lanjut, jelas itu bukan
suara air, juga bukan irama harpa, melainkan adalah petikan senar gitar,
umumnya petikan gitar yang membawakan lagu apapun cukup mengasyikan, tapi
petikan senar gitar yang satu ini justru menimbulkan rasa sebal dan bosan dalam
hati. In Hou lantas tahu bahwa pemetik gitar ini pasti seorang jago kosen dari
aliran sesat, dan boleh dipastikan dia pasti komplotan Le Khong-thian. Yang dia
harapkan adalah kawannya Tam Pa-kun bisa lekas datang tepat pada waktunya, tak
kira yang datang lebih dulu malah bala bantuan musuh. Betul juga belum lagi
petikan gitar itu berhenti, cepat sekali mendadak terasa kesiur angin kencang,
dalam kegelapan terasa ada sesuatu benda menyamber kearah In Hou. Pandangan In
Hou terbentang keempat penjuru, pendengarannya pun dipasang tajam, sekali
tegakkan golok pusaka, "Tring" dia pukul jatuh senjata rahasia itu,
kiranya sebatang Toh-kut-ting, paku penembus tulang.
"Siapa kau, pintarnya
main bokong secara licik," hardik In Hou.
Orang itu berkakakan, katanya:
"Sia-sia kau diagulkan sebagai pendekar yang banyak pengalaman, memangnya
masih tidak tahu akan Thi-bi-pa (gitar besi) yang kugunakan beserta senjata
rahasia di dalamnya?"
"Gitar besi, gitar
besi?" mendadak In Hou terjngat akan cerita seorang bulim cianpwe yang
menceritakan tokoh-tokoh aneh dalam kalangan Kangouw, orang ini bernama Siang
Ho-yang, tokoh yang sudah kenamaan sebelum Thio Tan-hong angkat nama, orang ini
tidak lurus tapi juga tidak sesat, setelah nama Thio Tan-hong malang melintang,
tahu-tahu dia sudah menghilangkan jejaknya, Siang Ho-yang menciptakan ilmu
gitar besinya ini dengan gaya permainan yang lebih khusus, selama ini dia belum
pernah menerima murid, apakah dia pernah bermusuhan dengan Thio Tan-hong, In
Hou juga tidak tahu. Kalau orang ini menggunakan gitar besi, jelas bukan
muridnya yang dia angkat setelah masa tuanya di waktu dia mengasingkan diri.
Lekas sekali orang inipun
telah melejit keluar dari balik batu, gitar besi di tangannya menderu kencang,
dari tempat yang lebih atas menindih turun terus mengepruk ke batok kepala ln
Hou. Pendengaran In Hou cukup tajam, secara reflek diapun ayun golok menangkis
dan saling bentur dengan gitar besi musuh, maka terdengarlah suara benturan yang
mengusik pendengaran, terasa rasa sebal dan mual di dada In Hou bertambah
berat. Ternyata golok pusakanya tidak kuasa membelah gitar besi lawan, tapi
gitar besi musuh juga tidak mampu merusak golok pusakanya. Begitu kedua pihak
saling bentur dengan kekuatan lwekang masing-masing, kedua pihak sama bergontai
sempoyongan, jelas taraf lwekang orang ini masih lebih unggul dari Le
Khong-thian, kira-kira setanding dengan In Hou.
Karena itu ln Hou harus
melawan keroyokan dua musuh tangguh, karuan dia semakin kerepotan. Palagi dia
sudah keracunan, sedetik lebih lama, berarti posisinya lebih tidak
menguntungkan.
Lambat laun In Hou merasakan
dirinya susah bertahan lagi, kondisinya semakin parah. Seperti umumnya gitar
bagian dalam adalah kosong, dan didalam gitar musuh ini ada tersimpan pegas
rahasia yang menyimpan berbagai senjata rahasia, seperti Toh-kut-ting,
Bwe-hoa-ciam dan lain-lain senjata rahasia yang berbentuk kecil, dengan cara
tempur berkisar dan berputar kian kemari, tahu-tahu melejit dekat, kejap lain melompat
jauh, senjata rahasiapun bekerja setiap ada peluang. "Cret" sebatang
paku penembus tulang tiba-tiba menyamber keluar menyerempet pundak, untung
hanya pakaian In Hou saja yang ketembus bolong.
Le Khong-thian membentak:
"Jangan kata kau bukan tandingan kami berdua, meski kuat melawan, racun
dalam tubuhmu juga akan segera bekerja. Memangnya kau tidak ingin hidup? Tak
ada faedahnya kau melawan, lebih baik kau menyerah dan tunduk akan
perintahku."
"Dalam hal apa aku harus
tunduk kepadamu?" seru In Hou dengan suara sumbang.
"Siang-heng," ucap
Le Khong-thian, "sudah jelas dia takkan lolos dari telapak tangan kita,
biarlah beri kesempatan untuk dia menimbang-nimbang."
Orang itu berkata:
"Baiklah, jelaskan kepadanya, coba lihat apakah dia tahu diri." Maka kedua
orang ini menarik senjata dan berdiri di kiri kanan In Hou, sikap mereka tetap
garang dan mengepung.
Pelan-pelan Le Khong-thian
berkata: "Thio Tan-hong tak berada di Thian-san, pasti dia semayam di
suatu tempat untuk memperdalam dan mencipta ilmu pedang lagi. Aku sudah
memperoleh berita, belakangan ini kau pernah bertemu dengan Thio Tan-hong,
bukankah dia ada menyerahkan buku pelajaran ilmu pedang kepadamu?"
Baru sekarang In Hou sadar
bahwa tujuan mereka adalah hendak merebut Bu-bing-kiam-hoat. Karuan berjingkat
dia dibuatnya, batinnya: "Bagaimana mungkin mereka bisa tahu akan hal ini?
Tentang kunjunganku ke Ciok-lin mengunjungi paman hanya pernah kuberitahu
kepada Tam-toako saja, itupun terjadi pada beberapa tahun yang lalu, pada hal
kunjunganku itu pun baru kulaksanakan tahun lalu, umpama Tam-toako tidak lupa
tentang hal ini, yakin dia pasti takkan membocorkan hal ini kepada orang lain,
lalu siapa yang memberitahu mereka?"
"Bagaimana?" desak
Le Khong-thian, "kau hendak mempertahankan buku pelajaran ilmu pedang itu
atau ingin hidup?"
In Hou berkata dengan suara
tawar: "Aku kan bukan murid didik Thian-san-pay, umpama benar dia memiliki
buku pelajaran ilmu pedang yang terbaru, kan lebih pantas kalau diwariskan
kepada muridnya Toh Thian-tok."
Le Khong-thian menyeringai
dingin, katanya: "Dia bukan mewariskan kepadamu, tapi titip dan suruh kau
serahkan kepada muridnya kelak. Soalnya kau adalah keponakannya yang terdekat,
dia pasti mempercayaimu. Jangan kau kira kami tidak tahu?"
"Bagaimana mungkin dia bisa
tahu akan rahasia ini? Pada hal Tam-toako sendiri juga tidak tahu akan hal
ini," mau tidak mau In Hou bingung dan keheranan. Kala itu kepalanya
pening tidak sempat memikirkan soal-soal rumit ini.
Sebetulnya bukan ada seseorang
tahu akan rahasia ini, soalnya Kiau Pak-bing dan Le Khong-thian guru dan murid
selama hidup bermusuhan dengan Thio Tan-hong, mereka tahu betul karakter dan
wataknya, bahwa Le Khong-thian tahu kalau In Hou adalah satu-satunya orang yang
akhir kali bertemu dengan Thio Tan-hong, maka dia menduga dan yakin bahwa Thio
Tan-hong pasti titip dan serahkan buku pelajaran ilmu pedang ciptaannya yang
terbaru kepada In Hou untuk disampaikan kepada muridnya, karena sudah jelas
bahwa Thio Tan-hong pasti tidak akan merelakan pelajaran Kungfu ciptaannya
putus turunan, itu berarti sia-sia jerih payahnya selama ini.
Mendapat kesempatan ini
diam-diam In Hou kerahkan lwekang membendung kadar racun menjalar lebih jauh,
maka sengaja dia berusaha mengulur waktu, katanya: "Peduli gurumu itu,
orang baik atau jahat, konon dulu diapun mengagulkan diri sebagai jago kosen
nomor satu di kolong langit ini, betul tidak?"
"Ilmu silat beliau
memangnya nomor satu di jagat raya ini, pada pertempuran terakhir dengan Thio
Tan-hong dulu itu, karena terlebih dulu dia sudah menghadapi tiga padri sakti
Siau-lim-pay, maka Thio Tan-hong beruntung dapat menang setengah jurus."
In Hou menjengek dingin:
"Kalau begitu jadi aku
yang salah omong, bukan gurumu terlalu mengagulkan diri, tapi memang kenyataan
ilmu silatnya nomor satu di dunia ini?"
"Memangnya perlu
dijelaskan lagi?" kata Le Khong-thian dengan angkuh, "dulu kalau dia
tidak terluka parah, pasti sejak lama dia sudah mencari Thio Tan-hong menuntut
balas. Dulu Thio Tan-hong beruntung memperoleh bantuan tiga padri sakti itu
baru menang secara kebetulan. Kalau mau bicara soal latihan dan pelajaran
Kungfu sejati bagaimana mungkin Thio Tan-hong bisa dibandingkan dia orang
tua?"
In Hou terbahak-bahak.
"Apa yang kau tertawakan?" Semprot Le Khong-thian murka.
"Aku jadi geli, masakah
manusia yang mengagulkan diri sebagai jago nomor satu di kolong langit ini,
mengatur tipu daya main bokong lagi untuk merebut buku pelajaran ilmu pedang
musuhnya."
"Kau tahu apa?"
sentak Le Khong-thian, "maksud beliau hanyalah mendapatkan buku pelajaran
ilmu pedang Thio Tan-hong serta mengoreksi kesalahannya, supaya para orang
gagah di kolong langit ini tahu, hakikatnya Thio Tan-hong hanya bernama kosong
belaka."
In Hou terbahak-bahak lagi,
katanya: "Sayang, sayang, sayang pilumu tak berada disini."
"Kalau berada disini
memangnya kenapa?" Le Khong-thian naik pitam, "memangnya kau berani
bertanding dengan beliau?"
"Aku mana berani
dibandingkan dengan dia? Tapi jikalau dia berada disini, kukira dia patut
dibandingkan dengan dinding batu disini, ingin aku saksikan kulit mukanya pasti
jauh lebih tebal dari dinding batu ini."
Dari malu Le Khong-thian jadi
gusar, baru saja dia hendak mengumbar adat, laki-laki she Siang itu tiba-tiba
berkata: "Le-toako, jangan kau kena ditipu olehnya, jangan biarkan dia
mengulur waktu lagi."
Le Khong-thian tersentak
sadar, katanya: "Betul, mari kita bicarakan soal di depan mata."
Orang she Siang itu memetik
senar gitarnya, mengeluarkan irama musik yang tidak enak didengar kuping,
katanya: "Orang she In, waktunya sudah tiba, kau mau tunduk atau
tidak?"
Mendadak suara irama harpa
berkumandang pula dari pojok gua sana, meski suaranya sayup-sayup, namun irama
harpa yang mengalun lembut mengasyikan ini seketika membuyarkan petikan gitar
yang menusuk pendengaran itu, seketika In Hou seperti dicekoki obat penawar
yang menyejukan perasaan, dada lapang sanubari tentram, kembali dia berada
dalam ketenangan semula.
Le Khong-thian mendadak
menghardik: "Jangan memetik harpa lagi, kalau tidak dengar peringatanku
jangan salahkan kalau nanti kulempar kau kedalam rawa."
Pemetik harpa agaknya jeri
terhadap Le Khong-thian, irama harpa seketika sirap.
Lekas In Hou menarik napas,
hawa murni dalam tubuhnya sudah berputar tiga keliling, katanya tawar:
"Soal apa yang kalian ingin aku tunduk?"
Iblis she Siang itu berkata:
"Kuharap kau punahkan Kungfu sendiri, lalu serahkan buku pelajaran ilmu
pedang ciptaan Thio Tan-hong itu."
"O, aku harus memunahkan
Kungfu sendiri? Syarat yang kalian ajukan kok bertambah keji dan
telengas."
"Punahkan ilmu silat
sendiri kan lebih mending dari jiwa melayang," jengek iblis she Siang itu.
"In Hou," sentak Le
Khong-thian, "kau harus tahu diri, untuk menamatkan jiwamu, segampang aku
membalik telapak tangan. Kau sudah terjatuh di tanganku, ada delapan belas macam
kompesan untuk menyiksamu, setiap macam siksaan itu jelas lebih menderita
daripada kau punahkan ilmu silat sendiri, kau percaya tidak?"
Iblis she Siang itu berkata
pula: "Sekarang mulai kuhitung, sampai hitungan ketiga, kalau kau belum
juga punahkan Kungfu sendiri, biarlah aku saja yang turun tangan. Satu ... dua
..." dia cukup kawakan bersama Le Khong-thian dalam hal ilmu silat,
betapapun In Hou takkan mampu mengelabui pandangan mereka dalam soal memunahkan
ilmu silat sendiri ini.
Nekad mengadu jiwa dan
berkorban atau terima menyerah memunahkan ilmu silat sendiri In Hou harus lekas
ambil putusan. Katanya setelah menghela napas: "Baiklah, aku menyerah
saja."
"Nah kan begitu,"
seru Le Khong-thian terloroh-loroh, "seorang laki-laki harus pandai
melihat gelagat."
"Buku pelajaran pedang
akan kuserahkan lebih dulu baru kupunahkan Kungfu sendiri, boleh tidak?"
tanya In Hou.
Le Khong-thian berpikir:
"Memangnya kau mampu lolos dari telapak tanganku," tujuan utama
memang merebut buku pelajaran ilmu pedang, maka dia berkata: "Baik,
begitupun boleh, taruh Kiam-boh (buku pelajaran ilmu pedang) itu di atas
tanah."
"Baik, nah
ambillah," seru In Hou, mendadak dia ayun tangan, kelihatannya seperti
melempar sejilid buku tipis ke arah rawa. Keadaan gelap pekat betapapun tinggi
lwekang seseorang serta tajam pandangannya, paling juga bisa melihat
samar-samar saja, karuan Le Khong-thian dan iblis she Siang itu mengira dia
betul-betul melemparkan Kiam-boh itu.
Jarak iblis she Siang itu
lebih dekat, dalam gugupnya tak sempat dia banyak pikir, sigap sekali dia
melejit maju hendak menyamber Kiam-boh itu. Tapi pada waktu yang sama In Hou
juga menubruk maju sambil membentak:
"Turunlah,"
"Wut" telapak
tangannya segera memukul satu jurus.
Dalam gugupnya iblis she Siang
itu ternyata cukup cermat juga, agaknya dia sudah siaga dan menduga bahwa In
Hou mungkin bisa menyergap dirinya. Tapi sungguh dia tidak sangka setelah
keracunan ilmu silat In Hou masih begini tinggi.
Tangan kirinya segera mengayun
ikat pinggang, ujung ikat pinggangnya berhasil menggulung Kiamboh yang masih
melayang di tengah udara, sementara gitar besi di tangan kanan menyapu ke
pinggang In Hou. Dia kira In Hou pasti akan melejit ke samping, tak nyana
telapak tangan In Hou tetap menggempur ke mukanya. "Tang", seperti
gada memukul genta, gitar yang terbuat dari besi murni itu ternyata terpukul
dekok oleh In Hou, maka senjata rahasia rahasia yang tersimpan di dalamnya
seketika berhambur rontok selebat hujan. Betapapun tangguh ilmu si iblis she
Siang ini, dia tetap tak kuat melawan pukulan Kim kong-ciang-lat yang dahsyat
ini, seperti tayangan putus benang badannya seketika melayang kedalam rawa.
Dalam saat genting yang
menentukan mati hidup sendiri, lekas iblis she Siang ini gunakan ikat
pinggangnya menggantol sebatang batu runcing yang menongol keluar di tengah
udara, maka dirinya bergelantungan di tengah udara, saking gugup dia berteriak:
"Le-heng, lekas, tolong aku."
Pada hal Le Khong-thian sedang
mengayun senjata mengepruk ke batok kepala In Hou, mana dia sempat hiraukan
mati hidup kawannya. In Hou putar golok pusakanya sekencang angin lesus, Le
Khong-thian dicecarnya mencak-mencak dan keripuhan, hanya mampu membela diri
tak kuasa balas menyerang, sekonyong-konyong dia melejit maju lebih dekat serta
menyelinap ke kiri, telapak tangan kiri berbareng tegak membelah, hardiknya:
"Kaupun turunlah."
Jelas pukulannya sudah hampir
mengenai Le Khong-thian dan memukul lawan terjungkal dalam rawa, tak nyana pada
detik-detik yang menentukan ini, mendadak In Hou rasakan pergelangan tangan
mengejang linu, ternyata tenaga tidak mampu dikerahkan lagi.
Ternyata waktu memukul gitar
besi lawan tadi, telapak tangannya pun terkena sebatang Bwe-hoa-ciam, kini di
kala dia kerahkan setaker tenaga yang penghabisan ini, bukan saja racun didalam
jarum itu bekerja, sekaligus Hap-kut-san didalam tubuh pun kumat. Begitu
telapak tangan kedua orang saling bentur, Le Khong-thian bergontai saja, tapi
In Hou sempoyongan mundur, terasa sekujur badan lemas lunglai, langkah enteng
mengambang, kakipun menginjak tempat kosong, kontan diapun terjungkal jatuh
seperti iblis she Siang tadi terjerumus kedalam rawa.
Sejenak Le Khong-thian
melenggong, akhirnya bergelak tertawa: "Akhirnya kau yang menjadi umpan
ikan didalam rawa. Sayang sekali buku pelajaran ilmu pedang ciptaan Thio
Tan-hong ikut menjadi santapan ikan."
Walau terjerumus kedalam rawa,
namun dalam hati In Hou merasa lega malah, pikirnya: "Betapapun kalian tak
berhasil mendapatkan Bu-bing-kiam-hoat, syukurlah aku tidak menyia-nyiakan
harapan
paman atas diriku."
–ternyata yang dilempar kedalam rawa tadi adalah surat Tam Pa-kun yang
menjanjikan dirinya bertemu di Cit-sing-giam. Tapi tugas yang diserahkan
kepadanya oleh Thio Tan-hong jelas tak mampu diselesaikan lagi.
"Byuuuur", jatuh dari ketinggian puluhan tombak, In Hou jungkir
balik, kepala di bawah kaki di atas, begitu menyentuh air dan tenggelam,
seketika In Hou tidak sadarkan diri.
000OOO000
Entah berselang berapa lama,
lambat laun In Hou mulai siuman, mata tak mampu dipentang, namun kupingnya
mendengar petikan harpa yang mengasyikkan, dan merdu, itulah irama harpa yang
memancingnya untuk masuk kedalam Cit-sing-giam.
In Hou coba menggerakkan kaki
tangan namun sedikit tenagapun tak mampu dikerahkan, sekujur badan seperti kaku
dan keras. Ingin bicara, namun tenggorokan seperti kejang tak kuasa
mengeluarkan suara. Tak terasa In Hou tertawa getir dalam hati, batinnya:
"Keadaanku ini bukankah mirip orang mati?" namun kesadarannya semakin
pulih dan nyata, kini dia teringat bahwa dirinya terjebur kedalam rawa, namun
sekarang sedang rebah di atas ranjang. Maka dia berpikir: "Mungkin orang
sakti yang menabuh harpa itu telah menolongku, sayang aku tak kuasa melihatnya,
tak kuasa berbicara pula."
Di dengarnya sambil memetik
harpa orang itu bersenandung pula membawakan syair-syair pujangga dynasti Tong,
ln Hou asyik mendengarkan, pikirnya: "Orang sedih memang punya dunianya
sendiri. Agaknya pemetik harpa ini seorang tokoh yang punya asal-usul."
Akhirnya kelopak matanya bisa
bergerak dan bisa sedikit terbuka, yang terlihat dalam pandangannya adalah
seorang kakek tua dengan rambut beruban, di sampingnya berdiri tegak seorang
bocah laki-laki berusia lima belasan.
Terdengar bocah itu berkata:
"Kakek, agaknya orang ini sudah siuman, coba lihat, kelopak matanya sedang
bergerak-gerak."
Kakek jtu berkata:
"Mungkin seperti kemarin, walau matanya terpentang, namun dia tetap tidak
sadar dan tak punya rasa. Mungkin dia sendiri tidak tahu siapa dirinya yang
sebenarnya."
Kini In Hou tahu bahwa dirinya
sudah sekian hari rebah di tempat ini, jadi dia pernah membuka kelopak matanya.
Dalam hati dia mengeluh dan tertawa getir: "Aku tahu siapa diriku, namun
tidak tahu siapa kau."
"Sungguh
menakutkan," suara bocah itu berkata, "Sudah tiga hari tiga malam dia
rebah dalam keadaan seperti ini. Kakek, kau pandai mengobati, apa kau bisa
menolongnya?"
Kakek itu menghela napas,
katanya: "Jarum beracun di tubuhnya sudah kucabuti, tapi jenis racun lain
yang berada didalam tubuhnya, aku tidak mampu memunahkan."
Bocah itu jadi gelisah,
katanya: "Kalau demikian, jadi dia takkan bisa hidup?"
"Entah," ujar kakek
itu, "untung dia memiliki Iwekang tangguh, semoga lambat laun dia bisa
sembuh sendiri. Sing-ji, jangan kau banyak tanya lagi, biar kupetik harpa untuk
dia dengar, irama harpaku mungkin membantunya untuk berjuang membangkitkan daya
hidupnya."
Terdengar musik mengalun
hangat dan tentram, itulah musik yang didengarnya di kala In Hou dalam keadaan
genting melawan keroyokan Le Khong-thian berdua. Tapi yang didengarnya waktu itu
hanya sebagian mukanya saja, Le Khong-thian sudah melarangnya memetik lebih
lanjut.
Perasaan In Hou damai dan
sentosa, lambat laun diapun tenggelam dalam alunan musik dan mencapai taraf
semadi, segala kerisauan hati, seolah menjadi buyar oleh alunan musik yang
menentramkan ini.
Nada lagu tanpa disadari
mendadak berubah, berubah lebih enteng dan riang gembira. Bak sepasang kekasih
yang sedang bercumbu rayu, seperti pula sepasang kawan yang lagi asyik bicara,
bagai pula putra putri yang sedang bersenda gurau di bawah pelita, sekeluarga
hidup bahagia penuh diliputi kenikmatan ini.
Mendadak irama harpa berhenti,
seperti baru sadar dari impian, kontan terasa oleh In Hou dirinya sudah pulih
perasaannya, sungguh bukan kepalang rasa segar dan nyaman, hawa murni meski
lambat sudah terasa mulai mengalir dalam tubuhnya. Tapi dia tetap tak mampu
bergeming, tetap tak kuasa bersuara, apalagi berbicara.
"Kakek," kata bocah
itu, "apakah yang kau petik barusan adalah Khong-ling-san?"
In Hou terkejut, batinnya:
"Apa, mungkinkah Khong-ling-san belum putus turunan?"
Ternyata Khong-ling-san adalah
judul sebuah lagu petikan harpa, konon sejak lama Khong-ling-san ini sudah
lenyap dan putus turunan, tak nyana kakek ubanan ini ternyata pandai memetik
lagu ini.
"Betul," didengarnya
kakek itu berkata, "memang inilah Khong ling-san."
"Kakek, kenapa tidak kau
petik lagu bagian belakang?" tanya si bocah.
Pada hal ln Hou sedang
berpikir: "Sebelum ajalnya pencipta lagu ini masih sempat membawakan lagu
ciptaannya, tentunya mengandung duka cita yang tak terperikan, namun kenapa
yang dipetik kakek itu barusan bernada riang gembira?"
Belum habis hatinya menerka,
didengarnya kakek itu menjawab pertanyaan cucunya: "Bagian belakang
teramat menyedihkan, bukan saja tiada manfaatnya untuk dia, malah mungkin
menjadikan dia celaka."
"O, kiranya begitu,"
ucap si bocah, "aku sendiri juga tak tega mendengar bagian belakang itu.
Tapi nada lagunya yang betul-betul menyentuh sanubari orang terletak di bagian
belakangnya itu. Di kala kau melagukannya, ingin rasanya tidak mendengarkan,
tapi tak kuasa aku pasang kuping juga. Kakek, kapan kau sudi mengajarkan
kepadaku?"
"Biarlah kelak
saja," ujar sang kakek, lalu dia menghela napas. "Yang benar, biarlah
Khong-ling-san putus turunan saja."
"Lho, kenapa?" tanya
si bocah.
Tidak menjawab pertanyaan
cucunya, kakek itu berkata lebih lanjut: "Kaum pelajar umumnya sama
menyangka bahwa Khong-ling-san pasti memilukan dan merawankan hati, yang benar
bukan demikian seluruhnya. Ada gunung tinggi baru kelihatan tanah datar, adanya
kesenangan baru timbul rasa duka cita pula. Waktu Pit-khong terbunuh dulu, yang
dikenangnya adalah para sahabatnya, terbayang akan kehidupan riang bahagia
sebelumnya, barulah tercipta pula nada-nada sedih di bagian belakangnya, itulah
sebabnya kenapa jauh berbeda bagian depan dan belakang dari lagu harpa
ciptaannya itu."
"Eh, kakek, begitu asyik
kau bercerita, kenapa tahu-tahu melelehkan air mata?"
"Meski aku bukan
pembunuh, tapi dia mati lantaran aku. Karena tertarik oleh lagu harpaku, maka
hari itu dia meluruk kedalam Cin-sing-giam. Bila tak kuasa menolongnya, sampai
matipun aku akan menyesal."
"Kakek, aku tidak suka
mendengarkan kata-kata yang menyedihkan ini. Orang bilang kau adalah Dewa
Harpa, baru sekarang aku maklum, ternyata dengan memetik harpa kau pandai
mengobati penyakit orang pula. Kakek setiap hari boleh kau petik lagu-lagu
harpa itu untuk didengarnya, bantulah dia selekasnya memulihkan kesehatan, dia
pasti tidak akan mati."
"Semoga seperti yang kau
harapkan," demikian ucap sang kakek, lalu dia periksa urat nadi In Hou,
sesaat kemudian baru berkata: "Kelihaiannya lebih baik sedikit, tapi
mungkin belum pulih perasaannya."
"Kakek, kalau kau
berhasil menolongnya, dia pasti suka bersahabat dengan kau."
"Memangnya ada sangkut
paut apa dengan dirimu?"
"Bukankah tadi kau bilang
ilmu silatnya tinggi? Bila kami bersahabat, akan kuminta dia mengajarkan
beberapa jurus Kungfu kepadaku, kuduga dia pasti meluluskan permintaanku."
"Kiranya kau punya
tujuan," ujar sang kakek tertawa, "tapi apa kau sudah lupa akan
wejanganku, menolong orang jangan mengharap balas budinya. Apalagi terhadap dia
aku tidak terhitung menanam budi, hanya boleh dikatakan menebus
kesalahan."
"Aku tahu. Karena itu
semula aku ingin angkat guru kepadanya, kini aku tak berani mengharapkan lagi.
Tapi sesama teman, kalau satu sama lain saling membantu, itu kan lepas dari
soal balas budi segala."
Mendengar orang bicara soal
persahabatan, tanpa terasa In Hou teringat: "Entah Tam-toako sudah datang
belum? Tapi It-cu-king-thian Lu Tin-gak adalah penduduk setempat, untuk
mencarinya jauh lebih mudah. Dia paling suka bersahabat, teman akrab Tam-toako
pula, jikalau dia tahu aku sedang terluka, pasti dia datang kemari merawatku.
Sayang sekarang aku tidak mampu mohon bantuan mereka untuk mengantarku ke rumah
keluarga Lui. Jikalau aku memperoleh perlindungan keluarga Lui, mereka kakek
dan cucu ini tentu takkan kerembet perkara."
"Ah, omongan bocah,"
ucap sang kakek tertawa. "Jadi muridnya saja kau tidak setimpal, apalagi
menjadi sahabatnya."
"Kakek, bukankah kau
sering bilang, persahabatan antar manusia terletak pada saling pengertian yang
mendalam? Soal perbedaan umur, kaya atau miskin dan tinggi rendah kedudukan
seseorang tidak menjadikan halangan persahabatan sejati."
Diam-diam In Hou membatin:
"Bocah ini terlalu Jenaka, apa yang dikatakan ternyata cukup beralasan dan
masuk akal. Pendek kata, bila orang lain mendengar apa yang diucapkannya
barusan, orang pasti tertawa geli."
"Oh, ya kakek," seru
si bocah, "kau belum beritahu kepadaku, siapakah orang ini?"
"Pada waktu berada di
Cit-sing-giam hari itu baru aku tahu siapa dia ini, dia adalah In Tayhiap yang
kesohor di kolong langit itu," demikian sang kakek menjelaskan.
Agaknya bocah itu terkejut,
katanya: "Apakah In Tayhiap yang dulu pernah membantu Kim-to Cecu di
Gan-bun-koan memukul mundur pasukan Watsu itu?"
Kim-to Cecu Ciu Kian
sebetulnya adalah komandan besar pasukan kerajaan Bing yang berkuasa di
Gan-bun-koan, belakangan karena dia difitnah oleh kaum durna, terpaksa dia
tinggalkan jabatan dan membawa pasukan melarikan diri, diluar Gan-bun-koan dia
menduduki sebuah gunung serta mengangkat dirinya sebagai raja penyamun, tapi
dia tetap setia kepada Dynasti Bing, pernah beberapa kali dia membantu pihak
kerajaan mematahkan serbuan musuh yang membahayakan keselamatan negara.
Dua puluh tahun yang lalu, In
Hou pernah membantunya memukul dan mengalahkan pasukan Watsu yang menyerbu
tiba. Peristiwa besar itu, boleh dikata banyak diketahui oleh kaum persilatan.
Dalam hati In Hou membatin: "Dia bisa tahu akan peristiwa besar itu,
kuduga kakeknya ini pasti pernah berhubungan dengan kaum persilatan."
"Kalau bukan In Tayhiap
itu memangnya siapa lagi?" ujar sang kakek tertawa.
"Tak heran kakek ingin
menolongnya."
"Aku ingin menolongnya
bukan lantaran dia adalah In Tayhiap."
"Memangnya lantaran
apa?"
"Pertama karena aku
sehingga dia menderita dan jiwa hampir melayang, hal ini- tadi sudah kukatakan.
Kedua, ai, kalau Khong-ling-san boleh putus turunan, tapi Khong-ling-kiam tidak
boleh tanpa pewaris."
Bocah itu kebingungan,
katanya: "Khong-ling-kiam apakah itu?"
"Aku hanya berumpama
saja, seperti juga Khong-ling-san dalam musik petikan harpa. Bagi kaum
persilatan yang diimpikan dan kuatir putus turunan adalah pelajaran ilmu pedang
tingkat tinggi, oleh karena itulah kuberanikan diri menamakan
Khong-ling-kiam."
'Kakek, aku masih belum paham
akan keteranganmu."
Maka sang kakek menjelaskan
lebih lanjut: "In Tayhiap memiliki sejilid buku pelajaran silat yang
diwarisi dari jago pedang nomor satu di jagat raya ini, seperti gajah mati
karena taringnya, demikianlah keadaannya sekarang, dia terluka oleh dua musuh
tangguh yang hendak merebut buku pelajaran ilmu pedang itu. Jikalau dia tak
tertolong, maka Kiam-boh itu mungkin betul-betul akan menjadi
Khong-ling-kiam."
Terharu In Hou dibuatnya,
batinnya: "Yang benar paman tidak mewariskan Kiam-boh itu kepadaku, tapi
demi menyelamatkan Kiam-boh ini, dia tidak takut kerembet perkara, jikalau
beruntung aku tidak mati, kelak aku harus berusaha membalas budi
kebaikannya," lalu dia berpikir pula: "Aku kecemplung ke rawa, entah
Kiam-boh itu hilang tidak?" Sayang dia tidak mampu bergerak, juga tidak
mampu bersuara, terpaksa dia tekan rasa kuatirnya ini didalam hati.
Bocah itu bertanya pula:
"Apakah kedua orang jahat itu liehay juga?"
"Sudah tentu liehay.
Kalau tidak masakah In Tayhiap sampai dikerjai mereka?"
"Kakek, apakah kedua
orang jahat itu tahu kau telah menolong In Tayhiap?"
"Entah mereka tahu atau
tidak, semoga saja mereka kira In Tayhiap sudah mati."
"Tapi kecuali mereka,
didalam Cit-sing-giam hanya ada kau seorang, seumpama mereka curiga..."
"Kau takut mereka meluruk
kesini?"
Si bocah tunduk kepala, sesaat
baru berkata perlahan: "Aku betul-betul merasa kuatir."
In Hou takut kalau urusannya
merembet kakek dan cucunya ini, maka rasa kuatirnya lebih besar dari si bocah,
pikirnya: "Keparat she Siang itu kena sekali pukulanku, lukanya pasti
tidak ringan, Le Khong-thian memang lebih mending, tapi untuk menyembuhkan luka
mereka paling cepat juga sepuluh hari, namun demikian luka mereka tidak akan
separah lukaku. Jikalau timbul rasa curiga mereka, perduli aku masih hidup atau
sudah mati, mereka pasti akan membuat penyelidikan, urusan jadi berabe. Cara
terbaik sekarang adalah biar aku berlindung ke rumah keluarga Lui, mereka kakek
dan cucu sekaligus juga akan terlindung. Sayang aku tak mampu bersuara, tak
kuasa memberitahu mereka."
Kedengarannya sang kakek
kurang senang, katanya: "Sing-ji, biasanya bagaimana aku mendidikmu,
memangnya sudah kau lupakan semua? Jadi manusia harus mengutamakan kesetiaan
dan kebenaran, umpama benar elmaut bakal menimpa, betapapun kita tak boleh
berpeluk tangan.”
Kontan bocah itu membantah:
"Kakek, kau salah paham akan ucapanku."
"O. lalu bagaimana
maksudmu?"
"Kakek, aku tidak takut
urusan ln Tayhiap bakal merembet kita, tapi sebaliknya aku kuatir kita tidak
mampu melindungi In Tayhiap. Kakek, bukankah kau punya teman yang memiliki
Kungfu tinggi, meski kepandaian mereka tidak setinggi InTayhiap, tapi mereka lebih
tangguh dari kita, umpamanya..."
Belum habis dia bicara sang
kakek telah menukas: "Kau tidak tahu. urusan ini sekali-kali tidak boleh
minta bantuan orang lain," sikap dan suaranya kelihatan kereng dan bengis,
katanya lebih lanjut: "Sing-ji, kau harus ingat, urusan In Tayhiap
sekali-kali tidak boleh bocor. Walau terhadap seorang yang paling kau hormati
dan kau kagumi, sekali-kali jangan kau bicarakan soal ini."-rupa-rupanya
dia sudah maklum siapa orangnya yang di maksud oleh cucunya itu.
Si bocah melongo keheranan,
tapi melihat sikap kakeknya yang kereng berwibawa, terpaksa dia simpan
unek-unek hatinya, katanya: "Baik, kakek, kau tak usah kuatir, aku takkan
lupa."
Tiba-tiba sang kakek bertanya:
"Khong-ling-san bagian depan apakah sudah pandai kau memetiknya?"
"Mungkin petikanku masih
kurang mahir."
"Biarlah kupetik sekali
sebagai contoh, perhatikan liku-liku ritmenya." Bahwa dia tidak suruh
cucunya memperhatikan gerakan petikan tangan, ini menandakan bahwa kepandaian
memetik harpa si bocah sudah cukup mahir.
Kembali In Hou terhanyut ke
alam tanpa bobot dan rasa oleh merdunya petikan harpa, selesai dia mendengar
petikan Khong-ling-san bagian depan ini, mendadak terasakan di bagian pusarnya
seperti timbul hawa hangat, hawa murninya lambat laun menjadi lancar, rasa
sesak dan mual di dada juga semakin tawar. Karuan bukan main girang In Hou, dia
coba-coba kerahkan hawa murni menghimpun lwekang, walaupun teramat sukar untuk
menghimpun hawa murni, tapi toh sudah bisa mengerahkan hawa murni. Akan tetapi
sejauh ini dia tetap tak mampu bergeming dan tak mampu bicara.
"Apa kau sudah
mengingatnya?"
"Sudah kuingat
betul." "Baiklah, sekarang giliranmu, ingin aku mendengar
petikanmu."
Diam-diam In Hou mendengarkan
pula petikan harpa si bocah, meski tidak seindah dan sebagus petikan sang
kakek, namun cukup juga membuatnya terpesona, meminjam nada irama Harpa inilah
sedikit demi sedikit In Hou berhasil menghimpun hawa murni kedalam pusar. Tanpa
disadarinya, Khong-ling-san bagian depan telah berakhir dipetik oleh si bocah.
Sang kakek menghela napas,
katanya: "Meski kurang mendalam, tapi kira-kira sudah cukup memuaskan,
tapi kau harus lebih giat berlatih"
Agaknya bocah merasa heran,
tanyanya: "Kakek, kenapa kau terburu-buru menyuruhku memetik
khong-ling-san bagian depan ini?"
Sang kakek menghela napas,
katanya: "Kejadian dalam dunia susah diramal, untung rugi manusia sukar
diraba, jikalau aku mengalami sesuatu, maka tugas berat untuk menolong jiwa In
Tayhiap terpaksa harus kau sendiri yang memikulnya."
Si bocah melenggong, katanya:
"Kakek, jangan kau berkata demikian lagi. Siapa tidak tahu kalau kau orang
baik, semogalah Thian selalu melindungi orang baik. Kakek semoga kau panjang
umur, In Tayhiap juga pasti takkan mati.
"Semoga seperti apa yang
kau harapkan, tapi tiada ruginya kau berjaga-jaga menghadapi segala
kemungkinan.'"
Baru sampai disini pembicaraan
mereka, tiba-tiba terdengar "Tok, tok, tok," suara ketukan pinju
diluar. Seketika berubah air muka sang kakek dan si bocah. Lekas-lekas sang
kakek berkata lirih: "'Biar kutengok siapa tamu yang datang, bila kau
mendengar sesuatu yang ganjil, lekas kau bawa In Tayhiap sembunyi di kamar
bawah tanah, apa pun yang terjadi disini jangan kau keluar lagi."
Sembari mengetuk pintu orang
diluar itu pun berteriak: "Apakah Ki Harpa ada di rumah?"
Sang kakek menghela napas
lega, katanya lirih: "Bukan suara
kedua gembong iblis."
–Segera dia bersuara: "Ya, ya, sebentar." — — dia tahu perduli siapa
yang datang, mau sembunyi juga tidak sempat lagi, terpaksa dia keluar membuka
pintu menyambut kedatangan sang tamu.
Sang kakek terima tamunya di
ruang tamu di depan, sementara In Hou dan cucunya berada di kamar belakang.
Mereka mendengar suara daun pintu ditutup, tapi tidak mendengar percakapan di
ruang tamu. Jantung si bocah berdetak keras, In Hou sendiri juga tidak mampu
bergerak, hatinya pun tegang. Mereka menunggu dengan perasaan tak karuan,
untung tak terdengar suara gaduh atau keganjilan lainnya. Belum mereka
mendengar suara pintu ditutup mengantar tamu pulang, tiba-tiba sang kakek sudah
melangkah masuk ke kamar.
Lekas si bocah bertanya gugup:
"Siapakah tamunya?"
Sang kakek goyang-goyang
tangan, katanya lirih: "'Perlahan dikit, tamunya belum pulang. Dia orang
keluarga Lui Tayhiap.""
Tampak betapa girang si cucu.
hampir saja dia berteriak kegirangan. Tapi sang kakek melotot kepadanya, baru
dia tersentak sadar. Pikirnya: '"Betul, yang datang hanyalah orang
suruhan, bukan Lui Tayhiap sendiri. Walau orang suruhan Lui Tayhiap boleh
dianggap orang baik, lebih baik kalau aku berhati-hati, buat apa harus
memberitahu kepadanya akan rahasia kehadiran In Tayhiap disini." Maka
dengan suara tertekan dia berkata: "Kakek, untuk apa Lui Tayhiap suruh
orangnya ke mari?"
Sang kakek menjawab: "Lui
Tayhiap mengundangku ke rumahnya, entah ada urusan penting apa?" sungguh
aneh, kalau cucunya kelihatan girang, dia justru mengerutkan kening seperti ada
sesuatu yang mengusik pikirannya.
Dengan masgul si bocah
berkata: "Kakek, bukankah kebetulan malah? Kau boleh memberitahu kepada
Lui Tayhiap..."
Bertaut alis sang kakek,
tukasnya dengan suara rendah: "Setelah berhadapan dengan Lui Tayhiap, aku
bisa bertindak melihat gelagat. Kau harus ingat pesanku, jagalah In Tayhiap
dengan baik. Dan lagi, kau harus ingat dan perhatikan, waktu aku kembali nanti,
ketukan pintu dua cepat satu lambat. Jikalau bukan ketukan rahasia yang
kulakukan ini, kau harus lekas-lekas bawa In Tayhiap menyingkir," habis
meninggalkan pesannya, sang kakek bergegas mengambil harpa di atas meja, tapi
segera ditaruh kembali di atas meja, katanya: "Inilah pusaka warisan
keluarga kita, biarlah kutinggalkan untuk kau saja," lalu dia ambil harpa
yang lain terus melangkah keluar.
Tak sempat si bocah bertanya
pula kepada kakeknya, tapi dalam hati dia membatin: "Mungkin Lui Tayhiap
mengundang kakek kesana untuk pertunjukan memetik harpa, tapi orang suruhannya
itu justru anggap bulu ayam sebagai panah perintah, dikatakan ada urusan
penting segala," ternyata kejadian serupa sudah sering terjadi.
In Hou yang celentang kaku di
atas ranjang juga merasa senang tapi juga heran, dalam hati dia berpikir:
"Entah Lui Tayhiap yang dimaksud apakah It-cu-king-thian Lui Tin-gak? Tapi
di daerah Kwi-lin ini yang pantas disebut Tayhiap kukira tiada orang lain.
Kenapa nada percakapan Ki Harpa ini masih kelihatan bimbang apakah persoalanku
perlu diberitahukan kepadanya? Apakah dia belum mau percaya kepada Lui Tayhiap.
Kukira dia terlalu berprasangka."
Pepatah ada bilang:
"Menghadapi suasana girang semangat orang akan bergairah." In Hou
tahu sang kakek yang menolong jiwanya ini ternyata bersahabat baik dengan
It-cu-king¬ thian Lui Tin-gak, hatinya senang bukan main, tanpa disadarinya
kelopak matanya kini sudah bisa terpentang seluruhnya. Waktu dia coba-coba
pula, eh, jari jemarinya ternyata juga sudah bisa bergerak.
Agaknya si bocah melihat gerak
geriknya, serunya kegirangan: “In Tayhiap, kau sudah siuman. Apakah kau sudah
ada perasaan?" tapi lekas sekali dia tepuk jidat sendiri sambil berkata
pula tertawa geli: "Saking senang aku jadi pikun, aku lupa bahwa kau belum
bisa bersuara. Tapi kalau kau sudah punya perasaan dan teringat akan
pengalamanmu, harap kau berkedip tiga kali”
Beruntun In Hou mengedip tiga
kali, si bocah berjingkrak girang, katanya: "In Tayhiap, ternyata kau
sudah sadar benar, sayang kakek sedang pergi. Lebih baik aku tidak banyak
ngobrol dengan kau, kau sudah sadar, perutmu tentu lapar, makanlah ala kadarnya
dulu," lekas dia lari ke dapur serta membawa semangkok bubur, lalu dengan
sabar dan teliti dia pentang mulut In Hou serta menyuapi, melihat In Hou mampu
menghabiskan semangkok bubur, senangnya bukan main, katanya: ""Apa
kau masih lapar? Tapi kakek pernah pesan, kau dilarang sekaligus makan terlalu
banyak, nanti setelah hari menjadi gelap kusuapi semangkok lagi. Sekarang biar
kupetik harpa untuk kau dengar, aku tidak semahir kakek, kuharap kau pun suka
mendengarkan."
Perasaan enteng, hati girang,
maka semangat In Hou jauh lebih baik, pikirnya: "Bocah ini sungguh baik,
usianya paling baru 15, usianya sebaya dengan putriku, jikalau aku bisa
terhindar dari musibah kali ini, biar kuangkat dia sebagai murid, supaya anak
San punya seorang Sute sebagai teman bermain. Cuma kakeknya tega tidak
menyerahkan cucunya ini kepadaku?"
Keadaan In Hou
tak ubahnya sesosok mayat,
meski hanya makan semangkok bubur, namun daya hidupnya sudah mulai bersemi, di
tengah alunan irama harpa, sedikit demi sedikit dia menghimpun hawa murninya ke
pusar, lambat laun hawa murni sudah berhasil dihimpun dan berjalan lancar.
"Creng" suara harpa
berhenti pada petikan lima senar bersama. In Hou menarik napas panjang, tanpa
dirasakan dia menggeliat serta membalik miring. Si bocah kegirangan, serunya:
"Wah kau betul-betul jauh lebih baik sekarang. Banyak kejadian pasti ingin
kau ketahui, biarlah kututurkan kepadamu." lalu dia duduk di samping In
Hou, katanya perlahan: "Aku she Tan bernama Ciok-sing, Kakekku bernama Tan
Kiat-gih, tapi kemungkinan ini bukan nama aslinya, siapa nama aslinya aku pun
tidak tahu. Masih ada, dia menamakan dirinya Ki Harpa, namun orang lain justru
menyebutnya Dewa Harpa."
Terkulum senyuman di ujung
mulut In Hou, pikirnya: "Julukan Dewa Harpa memang setimpal buat orang tua
ini."
Lebih lanjut Tan Ciok-sing
berkata: "Di samping pandai memetik harpa, kakekku juga pandai berenang.
Tiga hari yang lalu kau terjerumus kedalam rawa, kakekku yang menolongmu ke
mari, eh, kau sudah sadar, hal ini tidak "erlu kuceritakan tentu kau
sendiri juga sudah ingat. Em, coba kupikir dulu, apa saja yang harus kuberitahu
kepadamu."
Tenggorokan In Hou berbunyi
kerutukan,"dengan seksama Tan Ciok-sing mendengarkan, saking senang dia
berjingkrak berdiri, serunya: "In Tayhiap, kau sudah bisa bicara."
Bibir In Hou bergerak, namun
suara yang keluar selirih bunyi nyamuk, dia sendiri pun tidak mendengar. Lekas
Tan Ciok-sing dekatkan kupingnya ke mulut orang, sesaat kemudian baru dia paham
orang berkata demikian: "Lui, Lui Tayhiap yang dimaksud itu, apakah
It-cu-king-thian Lui Tin-gak?"
Semakin girang Tan Ciok-sing,
katanya: "Betul, apa kau juga kenal
Lui Tayhiap? Apa dia
kawanmu?"
Hanya beberapa, patah kata
tadi, In Hou sudah kehabisan tenaga, terpaksa dia hanya mengangguk.
"Bagus, kau tidak perlu
banyak bicara, biar kuberitahu kepadamu," demikian kata Tan Ciok-sing.
"Lui Tayhiap, adalah teman karib kakek, dia senang mendengar petikan harpa
kakek. Pada waktu kau ketimpa musibah itu, Lui Tayhiaplah yang mengundangnya
untuk menabuh harpa di C't-sing-giam."
Tanpa terasa seperti anjlok
perasaan hati In Hou. Baru sekarang dia tahu, bahwa Ki Harpa bukan secara
kebetulan memetik harpa didalam gua pelancongan itu, namun atas undangan
It-cu-king-thian Lui Tin-gak. Urusan ini sungguh terlalu aneh dan
membingungkan. Kenapa dia mengundang Ki Harpa memetik harpa didalam gua itu?
Justru kedua gembong iblis itu juga mencelakai dirinya dalam gua.itu. Memang In
Hou sudah berjanji dengan Tam Pa-kun untuk melancong juga kedalam
Cit-sing-giam, tapi andaikata dia hari itu tidak mendengar suara petikan harpa
nan merdu mengasyikkan itu. In Hou takkan tergesa-gesa masuk kesana sebelum
kawan yang dijanjikan datang. Dia pasti akan menunggunya di puncak gunung
sesuai perjanjian.
Jilid 2
Suara harpa, pembokongan, Lui
Tin-gak, Le Khong-thian... tentang kesatria dan perbuatan jahat, antara
pendekar dan gembong iblis, mendadak semuanya ini menjadikan suatu mata rantai
yang menjadi ruwet didalam benak In Hou. Bahwasanya In Hou sudah tak berani
berpikir lebih lanjut. Tapi urusan besar yang menyangkut nasib dan jiwanya, mau
tak mau In Hou harus memikirkan dan berusaha memecahkan persoalannya ini.
Terasa betapa dingin
perasaannya sekarang, rasa dingin yang timbul dari lubuk hatinya yang paling
dalam, lebih dingin dan mengenaskan dari pada jatuh kedalam lumpur salju di
jurang es, tanpa terasa dia bergidik seram, tanpa terasa otaknya bekerja pula:
"Mungkinkah semua ini memang merupakan jebakan yang sudah direncanakan
lebih dulu. orang sengaja memancingnya dengan suara harpa sehingga aku terjatuh
kedalam jaringan perangkap mereka?" Terbayang lagi betapa sedih dan pilu
kata-kata Ki Harpa yang penuh penyesalan tadi, terasa bahwa dugaannya lebih
meyakinkan lagi. Sementara Ki Harpa diperalat tanpa sebelumnya dia menyadari
perbuatannya.
Apakah semua ini mungkin?
Sesaat In Hou menjadi hambar, dia tak berani percaya akan analisanya ini, dalam
hati dia berteriak: "Tidak tidak mungkin, dengan karakter Lui Tayhiap,
bagaimana mungkin dia bisa melakukan perbuatan serendah dan hina ini? Apalagi
dia kan teman karib Tam-toako."
Dan satu hal lagi, dengan Lui
Tin-gak, In Hou hanyalah teman yang baru kenal nama masing-masing jadi bukan
kenalan karib. "Dari mana dia bisa tahu kalau aku gemar mendengar musik
dan pecandu harpa? Kalau dia tidak tahu, bagaimana mungkin dia bisa mengatur
semua jebakan itu?" Ai, kalau dipikirkan lebih lanjut, bukankah teman
karib sendiri pun patut dicurigai juga? Tidak dingin tapi In Hou bergidik
sendiri, lubuk hatinya berteriak: "Tidak, tidak, mana boleh aku mencurigai
Tam-toako? Lui Tin-gak adalah orang yang dikagumi Tam-toako, julukannya adalah
It-cu-king-thian, julukan yang sudah kesohor di kolong langit, memangnya julukannya
itu hanya nama kosong belaka?"
Setelah tenangkan diri, lebih
lanjut In Hou berpikir: "Dalam hal ini pasti ada latar belakangnya, bahwa
Tam-toako memuji Lui Tin-gak sebagai kesatria sejati, mestinya dia bukan
laki-laki rendah yang berbudi rendah." Akan tetapi kenapa Lui Tin-gak
mengundang Ki Harpa memetik harpa didalam Cit-sing-giam? Kenapa pula Ki Harpa
berkata:
"Walau aku tidak secara
langsung membunuhnya, tapi dia mati lantaran diriku." Apa maksud
kata-katanya ini?
Melihat wajah orang mendadak
pucat pias, bibirnya juga bergerak, Tan Ciok-sing terkejut, teriaknya: “In
Tayhiap, apa yang ingin kau katakan? Aku tidak mendengarnya."
Tenggorokan In Hou berbunyi,
tapi tidak mengeluarkan suara. Lapat-lapat di antara setengah sadar, tiba-tiba
didengarnya suara harpa berbunyi pula.
Ternyata Tan Ciok-sing kaget
dan kebingungan, maka untuk ketiga kalinya segera dia memetik harpa membawakan
lagu Khong-ling-san. Dalam hati Tan Ciok-sing berpikir: "Aku tidak mampu
menyembuhkan penyakitnya, semoga petikan harpa ini dapat membantu
kesehatannya."
Pikiran In Hou yang gundah dan
ruwet lambat laun menjadi tenang dan damai di tengah keasyikkan irama harpa nan
merdu, melihat air muka orang semakin merah dan tidak seburuk tadi, barulah
lega perasaan Tan Ciok-sing.
Habis lagunya, cepat Tan
Ciok-sing dekatkan pula kuping sendiri ke mulut orang, katanya: "in
Tayhiap, apakah kau sudah lebih segar? Tadi apa yang ingin kau katakan?"
In Hou tenangkan diri,
batinnya: "Untung aku belum mati, soal ini pasti akan datang saatnya dapat
dibikin terang."
"Golok pusakaku itu,
apakah hilang terjatuh kedalam rawa?" akhirnya In Hou kuasa mengeluarkan
suara pula, suaranya malah terdengar sedikit lebih keras.
Sebetulnya dia ingin tanya
tentang Kiam-boh tulisan Thio Tan-hong yang dititipkan padanya itu, tapi
mengingat bila dirinya tanya hal ini, mungkin si bocah bisa salah paham
menyangka dirinya mencurigai kakeknya, betapa pun dia tidak suka menyakiti
sanubari bocah yang masih hijau dan jujur serta polos ini.
Menepuk jidat Tan Ciok-sing
berseru dengan tertawa: "Betul, coba lihat betapa cerobohnya aku ini.
Sejak tadi pantasnya sudah kuterangkan padamu. Pakaianmu seluruhnya ada disini,
biar kuambil supaya kau periksa, apakah ada barang milikmu yang hilang."
"inilah golok pusakamu,
maaf, karena ingin tahu, pernah aku meloloskannya keluar, memang tajam luar
biasa, pernah juga kucoba membacok batu, ternyata batu terbelah rata menjadi
dua."
Lebih lanjut Tan Ciok-sing
mengeluarkan sebuah bungkusan kain, dibuka di hadapan In Hou, katanya:
"Inilah pakaian yang kau kenakan pada hari itu, aku sudah mencucinya
bersih, baju yang kau pakai sekarang adalah milik kakek, kau tidak usah rikuh.
Beberapa tahil uang perak ini juga tidak hilang."
Setelah memperlihatkan isi
buntalan kain Tan Ciok-sing membuntalnya pula. Lalu dimana Kiam-boh? Melihat
orang tidak menyinggungnya, karuan In Hou menjadi gelisah. Di saat dia
berkuatir itulah tiba-tiba Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Masih ada
sebuah kotak kuletakkan di bawah bantalmu, kakek melarang aku menyentuhnya, aku
memang tidak berani membuka dan melihat isinya." Lalu dari bawah bantal
dia merogoh keluar kotak itu, tanyanya: "Apa kau ingin aku membukanya
untuk kau periksa?"
In Hou menghela napas lega,
katanya: "Baiklah. Tapi kotak ini tak boleh dibuka sembarangan, kau harus
kuajarkan dulu cara membukanya. Letakkan kotak itu di atas meja, ibu jari
menekan tutup kotak, ke kiri kau putar tiga kali, lalu ke kanan dua kali,
setelah itu kau harus lekas minggir."
Tan Ciok-sing bekerja menurut
petunjuknya, maka terdengar suara jeplakan, tutup kotak itu tiba-tiba mencelat
terbuka, dari dalamnya menjulur keluar enam batang pisau kecil, posisi keenam
pisau kecil ini saling silang menjadikan sebuah jala yang kebetulan
menggantikan tutup kotak tadi.
Tan Ciok-sing menjulurkan lidah,
katanya: "Liehay betul, untung aku patuh akan peringatan kakek, tidak
berani membukanya secara diam-diam, kalau tidak jari-jariku pasti sudah protol
seluruhnya."
Ternyata kotak milik Thio
Tan-hong ini adalah pemberian Hek-pek-mo-ko, dua teman kakak beradik dari
negeri Thian-tok, waktu In Hou meninggalkan Ciok-lin, Thio Tan-hong gunakan
kotak ini untuk menyimpan Kiam-boh tulisannya itu serta dititipkan kepadanya.
Tan Ciok-sing maju mendekat,
tampak dalam kotak memancarkan cahaya kemilau kuning, ternyata ada beberapa
biji kacang "emas menindih di atas lempitan kertas. Didengarnya In Hou
berkata: "Keluarkan kacang emas itu dan simpan di tempat lain. Lalu kau
putar dan balikkan kotak itu, tepat pada tengah-tengah kotak kau gunakan tenaga
beruntun mengetuk tujuh kali, tak boleh lebih dan jangan kurang, pisau-pisau
kecil itu akan segera mengkeret masuk.ke tempat asalnya."
Setelah mengerjakan seperti
apa yang ditunjukkan, Tan Ciok-sing tertawa, katanya: '"Kotakmu ini
sungguh menyenangkan."
"Kalau kau suka boleh
kuberikan kepadamu. Kacang emas itu boleh kau serahkan kepada kakekmu."
Terunjuk rasa kurang senang
pada mimik muka Tan Ciok-sing, katanya: "In Tayhiap, aku dan kakek sama
pandang kau sebagai kawan, memangnya berani kami mengharap imbalan? Kau, tindakanmu
ini berarti tidak memandang kami berdua."
Lekas In Hou mohon maaf:
""Adik kecil, jangan kau salah paham, sekali-kali tak pernah aku
berpikir demikian, aku hanya berpikir, kalian telah berusaha mengobati aku,
paling tidak kan juga memerlukan uang."
"Obat yang digunakan
kakek semuanya tersedia lengkap disini, sementara memetik harpa setiap hari
juga tidak perlu pakai uang."
"'Baiklah, kalau kau
tidak mau tolong kau simpankan dulu. Keluarkan beberapa lempitan kertas itu,
aku ingin melihatnya."
Didalam kotak ada tersimpan
tiga lempitan kertas, kertas pertama adalah peta lukisan Thio Tan-hong yang
menunjukkan dimana letak pusaka yang dia sembunyikan di pucuk gunung, sementara
dua lempitan yang lain adalah hasil karya Thio Tan-hong sendiri, yaitu tulisan
tangan Bu-bing-kiam-hoat.
Di hadapan In Hou, satu demi
satu Tan Ciok-sing beber ketiga lempitan kertas itu. Dalam melempit ketiga
kertas itu In Hou menggunakan cara khusus yang khas pula, sekali pandang lantas
dapat diketahui bahwa lempitan ini belum pernah dijamah orang. Maka dia berkata
dengan tertawa: "Coba kau lihat, itulah Khong-ling-kiam yang dibicarakan
kakekmu tadi, lantaran kedua benda inilah maka kedua iblis laknat itu hendak
mencelakai jiwaku."
Melihat In Hou mempercayai
dirinya, Tan Ciok-sing senang sekali, katanya: "In Tayhiap, banyak terima
kasih bahwa kau pandang aku sebagai sahabatmu," lalu dia menyambung:
"Jadi sejak tadi kau sudah sadar, pembicaraanku tadi dengan kakek tentu
juga kau dengar bukan. Tapi ketiga huruf Khong-ling-kiam tidak boleh sembarang
digunakan, itulah pesan kakek, maklum dia tidak pernah menduga bahwa Kiam-boh
milikmu ini mungkin saja berubah jadi Khong-ling-kiam."
In Hou suruh dia melempitnya
pula serta dimasukkan kedalam kotak, lalu disimpan di bawah bantal pula, katanya:
"Kau ingin jadi muridku bukan?"
Bersinar bola mata Tan
Ciok-sing, tapi lekas dia menggeleng kepala, katanya: "Tidak, kalau aku
memohon kau menerimaku sebagai murid, kakek tentu bilang aku mengharapkan balas
budi."
"Bagaimana kalau
sebaliknya, aku yang minta kau jadi muridku?" ujar In Hou tersenyum.
Berpikir sebentar Tan
Ciok-sing berkata: "Tetap kurang baik, aku hanya mengharap kau memandangku
sebagai sahabat."
Tergerak hati In Hou,
tiba-tiba dia mendapat akal, baru saja dia hendak bicara. Tiba-tiba terdengar
ketukan pintu, dua kali cepat sekali lambat, saking senang Tan Ciok-sing
berjingkrak, teriaknya: "Kakek kembali."
Waktu Tan Ciok-sing lari
keluar membuka pintu, hati In Hou pun kaget bercampur senang, pikirnya:
"It-cu-king-thian membiarkan dia pulang sendiri, agaknya aku terlalu
banyak curiga."
Belum habis dia berpikir,
tiba-tiba didengarnya suara Tan Ciok-sing yang penuh ketakutan dan panik:
"Kakek, kenapa kau?"
Membelalak mata In Hou, tampak
Tan Ciok-sing memapah kakeknya berjalan masuk dengan sempoyongan, Ki Harpa
tampak pucat pasi, darah pun meleleh keluar dari ujung mulutnya.
“Tidak apa-apa, aku terjatuh
di tengah jalan," sahut Ki Harpa.
"Kakek, kau ngapusi
aku," teriak Tan Ciok-sing, "air mukamu seburuk ini, mungkin kau pun
terluka dalam?"
Tidak menjawab pertanyaan
cucunya, Ki Harpa malah menoleh ke arah In Hou, katanya: "Ah. agaknya In
Tayhiap sudah jauh lebih baik."
"Kakek, kau memang harus
senang. In Tayhiap memang jauh lebih baik, dia sudah sadar dan punya perasaan,
barusan dia pun sudah bicara. Tapi kakek, kau..."
In Hou berkata dengan suara
lemah: "Ki Harpa, budi pertolonganmu atas jiwaku, sungguh tak terlukiskan
besarnya. Lui Tayhiap juga terhitung kenalanku, entah kenapa, dia bertindak
begini kepadamu?" sebagai ahli persilatan, sekali pandang dia sudah tahu
bahwa Ki Harpa terluka dalam yang cukup parah. Maka dalam hati In Hou berpikir:
"Entah dia terluka di rumah It-cu-king-thian Lui Tin-gak? Ai, memangnya
Lui Tin-gak tega turun tangan sekeji ini? Kukira dia terluka di tengah
perjalanan pulang waktu bersua dengan komplotan Le Khong-thian. Apa pun yang
terjadi, bilamana dia menyebut nama Tam-toako di hadapannya, sehingga Lui
Tin-gak tahu tentang hubunganku dengan Tam-toako, Lui Tin-gak pasti akan
membantu dan mengobatinya?"
Setelah memeriksa urat nadi In
Hou. Ki Harpa menghela napas lega, katanya: 'in Tayhiap kau ada harapan sembuh,
legalah hatiku. Tapi sekarang keadaan cukup genting, bukan saja kau tidak boleh
banyak bicara dan mengeluarkan banyak tenaga, aku pun tiada kesempatan lagi
menjelaskan kepadamu. Ada sebuah hal, rasanya perlu segera aku berpesan kepada
cucuku ini."
Tan Ciok-sing belum tahu kalau
kakeknya terluka parah, dengan rasa was-was dia bertanya: "Kakek,
sebetulnya apakah yang telah terjadi?"
Ki Harpa menarik napas
panjang, katanya: "Sing-ji, lekas bersama In Tayhiap kau sembunyi ke ruang
bawah tanah, nanti apa pun yang terjadi di atas, kularang kau keluar."
Baru sekarang Tan Ciok-sing
betul-betul kaget katanya: "Kakek, orang jahat hendak mencelakai kau? Kakek,
kalau tidak kau jelaskan duduk persoalannya, aku takkan meninggalkan
dirimu."
Bengis sikap Ki Harpa:
"Secepat ini kau sudah melupakan pesanku? Umpama aku gugur, kau harus
melindungi jiwa dan raga In Tayhiap, tapi kalau kau tidak patuh akan pesanku,
mati pun aku tidak akan meram. Apalagi dengan kehadiranmu disini kau takkan
mampu membantu apa pun, hayo lekas masuk."
Apa boleh buat terpaksa Tan
Ciok-sing membopong In Hou, tapi langkahnya terasa berat. Pada saat itulah In
Hou sudah mendengar diluar seperti ada derap langkah kaki orang, tapi Tan
Ciok-sing belum mendengarnya.
Ki Harpa pura-pura tenangkan
diri, katanya tersenyum: "Sing-ji. dengarkan petuah kakek, lekaslah masuk.
Kakek tadi hanya guyon saja, memangnya belum tentu kalau jiwaku bakal melayang."
Terpaksa Tan Ciok-sing gendong
In Hou serta membuka pintu rahasia di balik dinding. Tiba-tiba Ki Harpa
teringat, lekas dia ambil kotak itu terus dimasukkan kedalam baju In Hou lalu
dorong mereka masuk kedalam kamar rahasia serta lekas-lekas menutup pula
pintunya.
Baru saja mereka masuk ke
kamar bawah tanah, diluar sudah didengarnya suara gaduh, jelas pintu besar
rumahnya telah digedor dan hendak dijebol oleh penyatron. Musuh memang sudah
masuk, yang datang ternyata tidak seorang saja.
Saking kaget serasa jantung
Tan Ciok-sing hampir mencelat keluar dari rongga dadanya, entah dari mana
datangnya tenaga, tiba-tiba tangan In Hou sudah dapat bergerak, dalam kegelapan
dia meraba-raba akhirnya
menggenggam tangan Tan
Ciok-sing, katanya lirih: "Jangan takut, orang baik pasti dilindungi
Thian."
Walau In Hou terkena racun
jahat tak mampu bergerak, namun daya latihan ilmu silatnya selama beberapa
tahun ini,
pendengarannya masih jauh
lebih tajam dari orang biasa, percakapan orang diluar dia masih bisa mendengarkan
dengan jelas, meski itu suara Ki Harpa yang sudah terluka parah dan lemah.
Terdengar beberapa orang
sedang menghardik tanya kepada Ki Harpa: "Dimana In Hou kau
sembunyikan?"
"Mana Kiam-boh yang
digembol In Hou itu, hayo serahkan."
"Hm, jangan kau menipuku,
aku tahu kau telah menolongnya, maka Kiam-boh itu pasti terjatuh di
tanganmu."
Bukan kepalang sedih hati In
Hou, orang-orang itu jelas sedang mencari dirinya, tapi di antara logat bicara
orang-orang ini, tiada suara Le Khong-thian dan iblis she Siang itu. Dalam hati
In Hou tertawa getir, batinnya: "Tak nyana Bu-bing-kiam-hoat ciptaan Thio
Tan-hong baru saja keluar sudah menimbulkan bencana, semoga jiwa raga Ki Harpa
jangan menjadi korban karenanya."
Terdengar suara serak dan
lemah Ki Harpa berkata: "Sayang kalian datang terlambat, Kiam-boh itu
memang ada, tapi sudah diambil oleh It-cu-king-thian."
"Apa betul?"
"Untuk apa aku menipu
kalian? Coba lihat, bukankah aku terluka parah?"
"Apa kau dipukul oleh
It-cu-king-thian?"
"Aku baru saja pulang
dari rumah keluarga Lui, tentunya kalian sudah tahu. Kalau aku tidak serahkan
Kiam-boh itu kepada It-cu-king-thian, apakah aku bisa pulang dengan
hidup?" Dia tidak menjelaskan apakah benar Lui Tin-gak yang melukainya,
namun maksud perkataannya itu memang mau mengatakan bahwa Lui Tin-gaklah yang
melukai dirinya.
Saking gemas gigi In Hou
sampai berkerutukan, pikirnya: "Sungguh tak kira, Lui Tin-gak yang
dijuluki It-cu-king-thian ternyata adalah manusia berhati binatang."
Di antara orang-orang itu
seorang berkata: "Omongannya memang betul, menurut apa yang kutahu, kakek
ini barusan memang pernah berkunjung ke rumah keluarga Lui. Ada seorang saudara
angkatku yang kupendam di rumah keluarga Lui."
"Lalu dimana In
Hou?" bentak seorang yang lain lagi.
"In Hou pun sudah direbut
dan dibawa pergi oleh orang-orang utusan Lui Tin-gak."
"Hm, bukan mustahil kakek
keparat ini menipu kita, hayo kita geledah rumahnya."
Di bawah kamar rahasia In Hou
membelakangi dinding, dengan kencang dia pegang tangan Tan Ciok-sing. Tadi dia
suruh Tan Ciok-sing tak usah takut, tanpa terasa hati sendiri juga gugup.
Maklumlah selama hidupnya ini entah betapa banyak pengalaman tegang dan
berbahaya, namun tak pernah dia mengalami bahaya seperti hari ini. Dia bukan
kuatir jiwa raga sendiri, tapi dia kuatir urusannya merembet keluarga Tan,
kakek dan cucu ini ikut menjadi korban.
Terdengar suara gaduh dan
ribut di sebelah atas, jelas orang-orang itu sudah bongkar sana geledah sini.
Dalam hati Tan Ciok-sing berteriak: "Semoga Thian Yang Maha Kuasa memberi
perlindungan kepada hambanya ini, jangan biarkan orang-orang jahat itu berbuat
keji terhadap kakekku."
Sudah tentu orang-orang itu
tak berhasil menemukan Kiam-boh atau In Hou, seorang yang agaknya jadi pemimpin
mereka berkata: "Agaknya apa yang dikatakan kakek ini memang tidak bohong,
In Hou sudah terluka parah, jelas takkan mungkin merat sendiri, mungkin memang
sudah direbut oleh It-cu-king-thian."
"Toako," sela
seorang lain, "lalu bagaimana kita selanjutnya?"
Orang yang dipanggil 'Toako'
berkata: "Biarlah setelah kita menemukan Le Khong-thian bicara lebih
lanjut, demi Kiam-boh itu, terpaksa kita harus menghapus permusuhan menjadi
sahabat dengan dia untuk menghadapi It-cu-king-thian bersama."
Orang yang bicara tadi
mendengus, jengeknya: "It-cu-king-thian sudah mencelakai In Hou, kini
pura-pura jadi orang baik lagi melindunginya. Kukira rahasia ini sekali-sekali
tak berani It-cu-king-thian bicarakan dengan orang luar, bagaimana kalau kita
bocorkan sedikit rahasia ini, supaya dia tahu bahwa kita sudah tahu akan
rahasianya, dengan alasan ini kita dapat mengancam dan memerasnya."
"Akal bagus," seru
seorang lagi, "Toako, begitu sajalah. Kalau berintrik dengan Le
Khong-thian, siapa tahu diluar tahu kita diam-diam dia sudah sekongkol dengan
It-cu-king-thian? Kalau betul demikian, bukan saja dia tidak akan bergabung
dengan kita, celakanya kita sendiri yang menjadi kecundang."
Orang yang dipanggil Toako
tertawa dingin, katanya: "Memangnya kau kira It-cu-king-thian gampang
diusik? Berani kau hendak mengancam dan memeras dia?"
"Lalu bagaimana menurut
pendapatmu Toako?" tanya orang itu.
Si Toako berkata:
"Sebelum jelas duduknya persoalan, jangan kita sembarang bertindak.
Bagaimana selanjutnya kita harus bertindak, setelah pulang nanti kita rundingkan
lagi," agaknya dia sudah tahu kecuali Ki Harpa yang sudah empas empis
menunggu ajal ini, tiada manusia lain di rumah ini, di samping itu dia juga
takut bila di balik dinding ada kuping yang mencuri dengar percakapan mereka.
Diam-diam Tan Ciok-sing
menghela napas lega. dalam hati dia berdoa: "Semoga Thian bermurah hati,
semoga kawanan penjahat ini lekas pergi. Syukur mereka tidak menemukan pintu
rahasia di balik dinding ini."
In Hou kawakan Kangouw,
pengalamannya luas, setelah mendengar percakapan kawanan penjahat itu mau tidak
mau hatinya amat kaget, pikirnya: "Semoga Thian memberi perlindungan,
janganlah Ki Harpa dibunuh oleh kawanan penjahat ini untuk
menutup mulutnya."-Baru
dia
berpikir sampai disini,
tiba-tiba didengarnya suara "Bluk" yang cukup keras, seperti ada
seseorang yang roboh ke lantai. Suara serak Ki Harpa terdengar berteriak:
"Mohon kalian suka bermurah hati, jangan harpa itu kalian rusak."
"Huh, siapa sudi ambil
harpamu yang bobrok itu, simpanlah sendiri dan boleh kau serahkan kepada
It-cu-king-thian, hm, kuatirnya mungkin kau takkan bisa memetik harpamu lagi
untuk dia." Itulah suara sang Toako yang kedengaran ketus dan bengis.
Saking kaget Tan Ciok-sing
sudah berjingkrak berdiri dan hendak menerjang keluar. Entah dari mana datangnya
tenaga, lekas In Hou menariknya, serta berbisik di pinggir telinganya:
"Jangan keluar."
Dari sang kakek sedikit banyak
Tan Ciok-sing pernah juga diajarkan Kungfu, tenaganya jelas jauh lebih kuat
dari orang dewasa biasa, tapi dia toh tidak kuasa berontak karena tarikan In
Hou. Untung Tan Ciok-sing lekas sadar, dengan bekal kepandaiannya sekarang,
keluar hanya mengantar jiwa percuma, terpaksa dengan lunglai dia duduk di
samping In Hou.
Tarikan In Hou juga dilakukan
saking gugupnya, gerakan tanpa pikir secara reflek lagi, sungguh tak nyana
bahwa dia mampu menahan Tan Ciok-sing, karuan hatinya senang dan kaget pula:
"Eh, kenapa mendadak aku sudah punya tenaga?" tapi waktu dia coba
berusaha berdiri, kaki masih terasa lemas dan lumpuh tak mampu keluarkan tenaga.
Sebagai ahli Kungfu sejenak dia melenggong, lantas dia paham duduknya
persoalan. Ternyata siapa saja bila dalam keadaan gugup atau berbahaya dapat
saja mengeluarkan tenaga besar diluar sadar. Padahal dia sudah terkena racun
jahat, bilamana hawa murni dalam tubuh sudah buyar dan tak mungkin dihimpun
lagi, tenaga terpendam didalam tubuh jelas takkan mampu dikembangkan. Kini
bahwa dia mampu mengerahkan tenaga terpendam itu, ini membuktikan bahwa lwekang
yang dia kerahkan sudah membawa hasil.
Dalam hati In Hou tertawa
getir: "Ternyata aku masih sebagai orang lumpuh, si lumpuh yang harus
dilindungi seorang bocah. Ai, cukup asal aku dapat memulihkan sedikit tenagaku,
betapa baiknya. Kini hawa murniku sudah ludes, terpaksa aku harus mulai dari
permulaan lagi, tapi untuk mencapai apa yang kuharapkan paling tidak memerlukan
waktu satu jam. Umpama benar aku dapat mengumpulkan sedikit tenaga itu, apa
pula manfaatnya."
Maklum enam tujuh musuh yang
ada diluar semuanya berkepandaian cukup tangguh, umpama betul In Hou dapat
memulihkan beberapa bagian tenaganya, juga takkan mampu menandingi mereka.
Apalagi tenaga yang dikerahkan In Hou untuk menarik Tan Ciok-sing hanyalah
tenaga alamiah yang dimiliki juga oleh manusia umumnya, hakikatnya belum
terhitung tenaga lwekang. Maka setelah sekian saat dia berdiam diri sambil
pasang kuping, didengarnya Ki Harpa sedang merintih-rintih, serta derap langkah
orang banyak yang berlalu tergesa-gesa, lekas sekali suara ribut diluar sudah
tak terdengar lagi.
Musuh akhirnya sudah pergi,
namun nasib Ki Harpa mungkin celaka dari pada selamat. Setelah mendengar musuh
pergi jauh, tapi tidak mendengar suara Ki Harpa minta tolong, sungguh tak
kepalang pilu hati In Hou, lekas dia lepas pegangan tangan Tan Ciok-sing,
katanya: "Lekas, lekas keluar dan papah kakekmu masuk ke mari."
Waktu Tan Ciok-sing memburu
keluar, dilihatnya sang kakek rebah di antara ceceran darah, harpa
kesayangannya itu masih dipeluknya dengan kencang.
"Oh, kakek," teriak
Tan Ciok-sing dengan kalap dan panik, lekas dia memayang kakeknya. Ki Harpa
merintih lemah, bibirnya berada di pinggir telinga cucunya, katanya lirih:
"Jangan gembar gembor, jagalah kalau penjahat datang lagi," suaranya
lembut seperti bunyi nyamuk, tapi mendengar sang kakek masih mampu bicara, lega
juga hati Tan Ciok-sing, lekas dia bopong sang kakek masuk kedalam kamar
rahasia.
"Sing-ji, sulutlah
pelita, biar kulihat keadaan In Tayhiap, dia, apakah dia sudah baik?"
Begitu masuk kamar rahasia Ki
Harpa segara berpesan demikian.
Tan Ciok-sing menurunkan Ki
Harpa di pinggir In Hou, lalu menyulut pelita, katanya: "In Tayhiap sudah
jauh lebih baik, tapi kau kek..."
In Hou pegang tangan Ki Harpa
serta meraba nadinya. Walau In Hou tidak mahir pengobatan, namun mendengar
denyut nadi dia bisa juga, terasa denyut nadi Ki Harpa sudah kalut, luka-luka
yang diidapnya agaknya sukar tersembuhkan lagi. Karuan seperti tenggelam
sanubari In Hou, rasanya lebih dingin waktu terjatuh kedalam rawa hari itu,
yakin bahwa dirinya pasti mati, namun penderitaan batin sekarang ternyata jauh
lebih menyedihkan.
Tapi Ki Harpa justru mengulum
senyum, katanya: "In Tayhiap, keadaanmu memang jauh lebih baik. Tapi
jangan kau banyak membuang tenaga percuma," suaranya lebih lantang.
Timbul setitik harapan dalam
benak Tan Ciok-sing, tanyanya: "In Tayhiap, apakah kakek masih bisa
ditolong?" -sudah tentu dia tidak tahu bahwa semangat kakeknya memang
kelihatan lebih segar, padahal itulah tanda-tanda akhir hayatnya.
Menghibur dengan membohonginya
atau bicara terus terang? Di kala In Hou sukar berkeputusan ini, Ki Harpa sudah
tertawa getir, katanya: "Manusia akhirnya pasti mati, kakekmu sudah
berusia tujuh puluh tahun lebih, mati pun tidak perlu menyesal."
Maka pecahlah tangis Tan
Ciok-sing, katanya: "Kakek, kau tidak boleh mati dan tidak akan mati,
jangan kau tinggalkan aku."
Entah dari mana datangnya
tenaga tiba-tiba Ki Harpa membentak: "Sekarang bukan saatnya menangis.
Sing-ji, dengarkan pesanku, setelah aku mati, bakar saja rumah ini, selekasnya
kau harus menyingkir jauh ke tempat lain."
Sambil menahan air mata Tan
Ciok-sing meratap: "Kakek, beritahu padaku, siapakah musuhmu?"
Berkata Ki Harpa dengan suara
serak: "Aku tidak tahu, aku tidak mengharap kau menuntut balas sakit
hatiku. Yang kuharapkan semoga kau dapat menunaikan keinginanku, lekas tolong
In Tayhiap dari tempat bahaya ini bersama harpa kuno itu," suaranya
semakin lemah.
"Tidak, kek," teriak
Tan Ciok-sing, "aku ingin tahu, kakek, kepada mereka kau bilang,
It-cu-king-thian yang melukai kau, apa itu betul?" sebetulnya dia tidak
mendengar jelas apa yang dikatakan kakeknya, tapi dari percakapan orang-orang
jahat itu tahu tentang keadaan kakeknya. Kini dia tahu bahwa Kiam-boh yang
dibicarakan kakeknya dikatakan sudah direbut It-cu-king¬ thian adalah untuk
menipu para penjahat, lalu tentang It-cu-king-thian melukai dirinya, apakah
juga bukan untuk mengelabui musuh?
Seperti teringat sesuatu,
sesaat dengan suara terputus-putus Ki Harpa mengeluarkan tiga patah kata:
"Bukan, bukan dia."
Legalah hati Tan Ciok-sing,
dalam hati dia membatin: "Kiranya betul hanya untuk menipu musuh.
Sebenarnya aku tidak pantas curiga kepada lt-cu-king-thian.
Memangnya mungkin Lui Tayhiap
tega mencelakai kakek?"
Tapi In Hou yang sudah kenyang
makan asam garamnya kehidupan lain pula kesimpulannya, setelah mendengar
omongan Ki Harpa bertambah tebal rasa curiganya. Pikirnya: "Kalau
It-cu-king-thian orang baik, kenapa Ki Harpa memberitahu kepada para penjahat
itu bahwa dialah yang merebut Kiam-boh? Memangnya tujuannya hendak melimpahkan
petaka kepada lt-cu-king-thian?"
"Lalu siapa yang melukai
kau waktu kakek pulang dari rumah keluarga Lui?" tanya Tan Ciok-sing
menegas.
Ki Harpa jadi marah, serunya:
"Aku tidak ingin kau menuntut balas, maka kau tak usah turut campur."
Tan Ciok-sing mengiakan, namun mimik wajahnya masih menampilkan rasa curiga dan
penasaran.
Ki Harpa menjadi luluh
perasaannya, agaknya dia ingin memberi penjelasan, maka rahasia yang ingin
disimpannya terpaksa dia jelaskan setelah menghela napas panjang: "Memang
aku terluka di rumah keluarga Lui, tapi urusan tiada sangkut pautnya dengan Lui
Tayhiap. Ai, sayang sekali, aku sudah tiada kesempatan menjelaskan
kepadamu."
Tan Ciok-sing berkata:
"Kakek, apakah aku bersama In Tayhiap boleh sembunyi ke rumah keluarga
Lui?"--Ternyata dia tidak
curiga kepada
lt-cu-king-thian, namun hanya merasa heran, bahwa kakeknya terluka parah di
rumah keluarga Lui, kenapa tidak menyuruh dirinya pergi kesana minta penjelasan
kepada Lui Tayhiap, tapi malah suruh dia membawa In Hou pergi ke tempat jauh.
Lekas Ki Harpa berkata:
"Tidak, jangan. Jangan kita bikin sengsara orang lain, tak perlu kau
mencari keterangan kepada Lui Tayhiap."
In Hou membatin: "Tadi
kau bilang Kiam-boh dan diriku telah direbut oleh Lui Tin-gak, bukankah
keterangan bohong ini sudah membikin susah mereka?" tapi tidak enak dia
utarakan isi hatinya ini. Apalagi dalam hati dia sudah maklum: "Dia suruh
cucunya pergi ke tempat jauh, pasti kuatir It-cu-king-thian bertindak diluar
batas, cucu yang satu-satunya ini pun dibunuh It-cu-king-thian sekalian."
Agaknya Ki Harpa sudah meraba
isi hatinya ini, katanya: "Kukatakan bahwa Kiam-boh terjatuh ke tangan
It-cu-king-thian, karena memenuhi permintaan Lui Tayhiap sendiri."
Sudah tentu In Hou takkan mau
percaya akan keterangan ini, tapi Tan Ciok-sing cukup tahu akan watak kakeknya,
dia percaya sebelum ajalnya sang kakek pasti tidak akan mengapusi dirinya, maka
dia bertanya: "Kenapa?"
"Lui Tayhiap sudah
menduga bahwa peristiwa barusan pasti akan terjadi selekas mungkin. Kalau dia
memaksaku untuk berkata demikian, terpaksa aku memenuhi pesannya itu."
Diam-diam Tan Ciok-sing
berpikir: "Lui Tayhiap menyuruh kakek berbuat demikian, mungkin untuk
menarik perhatian para penjahat itu untuk menghadapinya, sehingga orang-orang
jahat itu mengendorkan perhatiannya untuk mencari jejak In Tayhiap?"
Suara Ki Harpa semakin lemah,
katanya: "Sing-ji, jangan kau banyak tanya, aku juga tidak punya banyak
waktu untuk bicara dengan kau. Aku, aku, aku ..." akhir katanya suaranya
sudah lirih dan tidak terdengar lagi.
"Kakek," teriak Tan
Ciok-sing dengan tersirap, "masih ada pesan apa lagi?" Perlahan
jari-jarinya mengelus dada sang kakek, "Huuaah" tiba-tiba Ki Harpa
memuntahkan sekujur riak kental yang berdarah.
Seperti ada sesuatu yang masih
belum diselesaikan kalau tidak dikatakan rasanya hati belum puas, tiba-tiba dia
menarik napas panjang membangkitkan semangat, katanya: "Setelah aku mati,
bakar saja rumah ini, biar aku ikut diperabukan disini. Dan lagi..."
Sampai disini pelan-pelan dia
berpaling ke arah In Hou, katanya perlahan: "In Tayhiap, kau akan segera
sembuh, kumohon sukalah kau merawat cucuku ini."
Menahan sedih In Hou berkata:
"In-kong (tuan penolong), legakan hatimu. Aku tidak punya putra, cucumu
akan kuanggap sebagai putraku sendiri."
Ki Harpa tersenyum simpul,
katanya: "Baik, syukurlah, puaslah hatiku." Pelan-pelan mata pun
terpejam.
Lekas Tan Ciok-sing meraba
hidung sang kakek, pernapasannya telah berhenti, badannya pun sudah mulai
dingin. Seketika terasa dunia seperti berputar jungkir balik, sambil memeluk
jenazah sang kakek, ingin menangis tapi tak keluar suara, sekian lama dia
mematung.
"Nak," ujar In Hou
tersendat haru, "nangislah, nangislah sepuas hatimu."
Sesaat lamanya baru Tan
Ciok-sing memekik dan meratap gerung-gerung, air matanya bercucuran menetes di
atas jazat sang kakek, tercampur dengan darah yang berlepotan di badannya.
Betapa haru dan pilu hati In
Hou, namun dia tidak menangis. Dalam hati dia berkata: "Duduk perkara yang
sebenarnya memang belum jelas, tapi It-cu-king-thian tak terhindar dari
kecurigaan. Jikalau Kungfuku bisa pulih kembali, pasti akan kubuat perhitungan
dengan dia, jikalau kodrat telah menentukan beginilah nasibku selanjutnya,
terpaksa kuturunkan kepandaianku kepada Ciok-sing. It-cu-king-thian jelas bukan
tokoh sembarang tokoh, bukan mustahil seperti yang dikatakan kawanan penjahat
itu, dia memang berintrik dengan Le Khong-thian untuk mencelakai diriku. Umpama
Ciok-sing dapat belajar setingkat kepandaianku sekarang, mungkin dia tetap
takkan mampu menuntut balas sakit hati kakeknya. Lalu bagaimana baiknya?"
Tiba-tiba didengarnya diluar
seperti ada suara orang, In Hou terkejut, katanya gugup: "Jangan menangis
Sing-ji, seperti ada orang datang."
Maka terdengar seorang
bergelak tawa diluar, katanya:
"Ternyata di balik
dinding ini ada pintu rahasianya, untung aku cukup cerdik, diluar tahu Toako
diam-diam aku putar balik ke mari lagi." -kiranya orang ini cukup ahli
juga dalam bidang bangunan, tapi Toako yang dia katakan tadi tidak tahu akan
kemahirannya ini. Sebetulnya tadi dia sudah merasa curiga bahwa di balik
dinding pasti ada apa-apanya, karena tamak dan ingin mengangkangi Kiam-boh itu,
sengaja dia diam saja. Setelah semua orang pergi, dia mencari alasan
meninggalkan rombongan terus lari balik kesini secara diam-diam.
Sungguh tak terperikan rasa
kaget Tan Ciok-sing, setelah berjingkrak dia sudah siap meniup padam pelita,
pikirnya hendak melabrak penyatron di tempat gelap. Tapi In Hou mendadak
berseru: "Jangan padamkan pelita. Lekas petik harpa, lekas bawakan irama harpa."
Tan Ciok-sing bingung, tapi
dalam keadaan mendesak ini, dia sudah tidak banyak pikir lagi, nada suara In
Hou seperti membawa tenaga yang tak dapat ditolaknya, dalam keadaan kebingungan
itu, dia hanya menurut petunjuk In Hou.
Lekas petikan senar harpa
berkumandang, tapi In Hou mengerutkan kening, katanya lirih: "Kau harus
bersikap tenang terhadap keadaan sekitarmu, anggaplah kau tidak melihat dan
mendengar apa-apa, pusatkan konsentrasimu untuk memetik Khong-ling-san bagian
pertama."
Tan Ciok-sing tahu dengan
bantuan irama harpa baru In Hou akan dapat mengumpulkan tenaga, lekas dia
tenangkan diri dan pusatkan pikiran, maka petikan harpanya kini jauh lebih
mantap dan lebih merdu.
Di tengah alunan irama harpa
yang syahdu itulah mendadak terdengar suara gedubrakan keras, pintu rahasia
yang terpasang di atas dinding dijebol secara kasar oleh orang jahat itu.
"Anak bagus, jangan
takut, teruskan petikan harpamu," demikian ln Hou memberi dorongan mental.
Langkah kaki dari jauh semakin
mendekat, setelah melewati tujuh tombak lorong di sebelah kiri sana, akhirnya
orang jahat itu melangkah masuk ke kamar rahasia ini. Sementara itu
Khong-ling-san kebetulan tengah membawakan kisah pertemuan antara dua sahabat
yang telah lama dimadu cinta dan kangen lalu bertamasya dalam suasana manis
madu, iramanya enteng lincah dan jenaka meriangkan hati.
In Hou tenggelam dalam suasana
riang terhanyut oleh merdunya irama harpa, hatinya tenang pikiran mantap,
seolah-olah dia tidak mendengar dan melihat akan kedatangan orang asing ini,
perlahan setitik demi setitik hawa murninya mulai dihimpun kedalam pusar.
Langkah kaki pendatang itu
mengganggu juga ketentraman hati Tan Ciok-sing, tanpa terasa dia menoleh ke
arah In Hou, sedikit lena, jari jemarinya kelihatan sedikit gemetar lagi, maka
irama yang semula riang lembut dan cepat itu mendadak menjulang tinggi seperti
melengking.
Semula In Hou mengerutkan
kening, tapi lekas sekali dia unjuk senyum seperti menghibur Tan Ciok-sing,
katanya: "Nak, tak usah takut, teruskan petikanmu."
Tan Ciok-sing tersentak sadar,
sadar bahwa detik-detik genting antara mati hidup ini sekali-sekali dirinya
tidak boleh lena, maka dia menuruti pesan In Hou. Kembali irama harpanya
mengalun lembut dan ringan cepat seperti semula dalam tempo yang sama.
Begitu masuk ke kamar rahasia,
melihat keadaan ini, orang itu melenggong sejenak, mau tidak mau hatinya ragu
dan was-was. Jazat Ki Harpa, jelas terkapar di atas lantai. Sementara In Hou
duduk membelakangi dinding, tidak bergerak tidak menunjukkan suatu perubahan
mimik mukanya yang pucat, jelas yang satu mampus yang lain luka parah. Tapi
pemuda itu justru setenang itu memetik harpanya seperti tidak terjadi apa-apa
disini.
"Sandiwara apa yang
tengah mereka lakukan?" Demikian batin orang itu. "Apakah kakek ini
pura-pura mati? Apakah luka-luka In Hou tidak separah apa yang kita duga?"
Setelah melenggong sejenak akhirnya dia berpikir pula: "Betapa taraf
Kungfu In Hou, kalau dia tidak terluka parah dan mampu bergerak leluasa, mana
mungkin dia membiarkan aku masuk ke mari? Hm, agaknya dia sengaja hendak menipu
dan menggertak aku, kenapa aku harus jeri. Umpama kakek keparat ini betul
pura-pura mati, tingkat kepandaiannya jelas bukan tandinganku, apa yang harus
kutakuti?" Dalam keadaan kebat kebit ini akhirnya bertambah besar nyali
orang itu, dua langkah dia maju, kakinya menendang jenazah Ki Harpa, dia ingin
tahu apakah Ki Harpa pura-pura mati atau betul-betul sudah mati, sekaligus dia
pun ingin melihat reaksi In Hou.
In Hou tetap tidak bergeming,
malah akhirnya memejamkan mata.
Irama harpa tiba-tiba
terhenti, Tan Ciok-sing membentak: "Jangan sentuh kakekku." Agaknya
dia tidak kuasa menahan emosi. Padahal orang itu sudah menendang jenazah Ki
Harpa sampai membalik celentang, sekali coba ternyata sudah kenyataan bahwa dia
sudah mati.
Mendadak Tan Ciok-sing
berjingkrak berdiri, hardiknya: "Bangsat, aku, aku..." dia ingin
bilang 'aku akan adu jiwa dengan kau', tiba-tiba didengarnya In Hou menghela
napas perlahan.
Helaan napas perlahan, tapi
bagi pendengaran Tan Ciok-sing seperti palu godam yang mengemplang kepalanya,
hatinya tersirap, lekas dia membatin: "Apa gunanya aku adu jiwa dengan
dia? Aku berkorban tidak jadi soal, tapi In Tayhiap akan ikut menjadi
korban." Sekilas dia menenangkan pikiran dan hati, lalu duduk kembali
mulai memetik harpanya.
Orang itu terbahak-bahak,
katanya: "Kau, kau kenapa? Baik, kau larang aku menyentuh kakekmu, biar
aku menyentuhmu saja."
Kali ini Tan Ciok-sing seperti
tidak mendengar gertakan, dengan sepenuh hati dia lanjutkan petikan lagu Khong-ling-san
bagian pertama sampai ritme terakhir.
Karuan orang itu marah karena
merasa disepelekan: "Setan cilik, apa yang sedang kau lakukan? Berani kau
tidak hiraukan pertanyaanku, biar kucekik kau sampai mampus," kedua tangan
sudah terpentang dengan gaya hendak menubruk maju dan ma mencekik leher Tan
Ciok-sing.
Mendadak In Hou membuka mata,
katanya dingin: "Ada pertanyaan apa boleh kau tanya padaku, kau ingin
memiliki barang yang kau incar, hanya kepadaku saja kau boleh tanya. Jangan kau
sentuh bocah ini, kalau tidak jangan harap kau bisa berhasil."
Orang itu terbahak-bahak
senang, katanya menoleh: "Bagus, biar kutanya kau saja. Asal kau bicara
jujur, memangnya aku sudi cari perkara dengan setan cilik ini. Nah katakan,
dimana Kiam-boh yang diberikan kepadamu oleh Thio Tan-hong?"
"Ke marilah dan ambil
sendiri," ucap In Hou.
Sudah tentu orang itu tidak
menduga bahwa In Hou mau memberikan Kiam-boh itu segampang ini kepadanya,
karuan hatinya kaget dan senang, pikirnya: "Agaknya kakek keparat ini
memang menipu kita, hakikatnya Kiam-boh itu tidak dirampas oleh
It-cu-king-thian. Tapi kenapa It-cu-king-thian tidak membunuh dan merebut
Kiam-bohnya itu? Menurut dugaan, kakek ini jelas terluka parah setelah keluar
dari rumah keluarga Lui, terang terluka waktu It-cu-king-thian
mengompres keterangannya,
memangnya It-cu-king-thian tidak tahu kalau In Hou berada di rumahnya?"
Beranjak dua langkah orang itu
segera menyeringai dingin: "Ambil ya ambil, memangnya aku takut kau
menipuku," di tengah tawa sinisnya mendadak dia ayun sebelah tangannya,
sebatang Kong-piau tahu-tahu melesat ke arah In Hou.
Terendus bau amis oleh ln Hou,
dia tahu piau baja ini berlumur racun. Karuan mencelos hatinya: "Akhirnya
aku tak mampu
melindungi bocah
ini."-jelas
piau baja itu sudah hampir
mengenai In Hou, dalam jarak yang sudah dekat itu mendadak menjulang naik
melesat ke atas, ujung piau yang runcing tajam boleh dikata menyerempet hidung
In Hou dan "Trap" menancap di atas dinding. Ternyata sambitan piau
ini hanya bertujuan memancing reaksi In Hou apakah dia masih memiliki
kepandaian sejati. Cara sambitannya tadi pun menggunakan kepandaian khusus,
merupakan timpukan piau kelas tinggi.
In Hou menekan perasaan, kini
dia lebih yakin bahwa taruhan kali ini dirinya telah memungut kemenangan.
Ternyata dia sudah mengira bahwa orang ini pasti takkan berani segera
membunuhnya, karena belum memperoleh Kiam-boh yang diincarnya.
Mendengar suara
"Trap" yang cukup keras itu Tan Ciok-sing terkejut, sebelum dia
berpaling In Hou sudah keburu membentak: "Jangan hiraukan dia, teruskan
petikanmu."
Orang itu tergelak-gelak,
katanya: "In Tayhiap memang bernyali besar, sungguh kagum, sungguh
kagum."
In Hou mendengus ejek,
katanya: "Tempat dimana Kiam-boh itu disimpan, hanya aku saja yang tahu,
dengan maksud baik aku ingin berikan kepadamu, kau sebaliknya hendak mencelakai
aku."
Orang itu segera unjuk seri
tawa ramah, katanya: "In Tayhiap, aku hanya mencoba keberanianmu, harap
maaf dan tidak berkecil hati."
"Di hadapan orang jujur
tidak perlu kau membual," jengek In Hou pula. "Jelas kau tidak akan
membiarkan aku hidup, memang aku juga sudah berkeputusan untuk mati. Tapi
jangan kau mengusik bocah inj, kalau tidak paling aku mati lebih cepat dan
Kiam-boh itu jangan harap dapat kau miliki."
Orang itu pun sudah cukup
berpengalaman sebagai insan persilatan, semula dia masih menaruh curiga, kenapa
seramah ini ln Hou sudi memberikan Kiam-boh itu kepadanya, setelah mendengar
permintaan In Hou baru dia tahu persoalannya. Pikirnya: "Jadi Kiam-boh itu
ingin dia tukar dengan jiwa si bocah. He, he, biarlah aku sekedar memberi muka
kepadanya, setelah Kiam-boh berada di tanganku, memangnya bocah ini mampu
terbang ke langit?" dengan tawa dibuat-buat segera dia berkata: "In
Tayhiap, jangan terlalu curiga, aku Oh Lo-Sam walau bukan tokoh kenamaan,
dikalangan Kangouw namaku cukup cemerlang juga, memangnya aku sudi mengurus
seorang bocah? Dari pada itu hadiah pemberianmu nanti sungguh tak terhingga
nilainya, oleh karena itu aku berjanji akan bantu mengobati luka-lukamu."
ln Hou pura-pura percaya akan
obrolannya, katanya perlahan: "Kuharap omonganmu dapat dipercaya. Baiklah,
dukunglah aku berdiri, antarkan aku ambil Kiam-boh itu."
Bagi insan persilatan yang
memiliki kepandaian tinggi, dikala jiwa terancam, secara reflek akan timbul
reaksinya untuk menyelamatkan diri. Tadi pisau baja timpukan orang boleh dikata
menyerempet hidungnya, bukan saja tubuhnya tidak kelihatan bergeming dia pun
tidak berusaha menangkap piau, maka Oh Lo-sam mengira bahwa In Hou memang sudah
kehabisan tenaga, legalah hatinya, bergegas dia memburu maju hendak memapah
orang. Tak nyana dalam waktu sedetik saja,tiba-tiba Oh Lo-sam merasa
pergelangan tangannya linu pegal, tahu-tahu urat nadinya sudah dicengkram oleh
In Hou. Sekali meronta usaha Oh Lo-sam gagal membebaskan diri, baru sekarang
dia insaf bahwa dirinya telah tertipu lawan, saking kagetnya, kontan dia angkat
sebelah kakinya terus menendang.
Diam-diam In Hou juga
mengeluh: "Celaka, aku memang tidak berguna lagi."
Mendengar suara pergumulan mereka,
Tan Ciok-sing tak tahan sabar lagi, tanpa merasa petikan jarinya pada
senar-senar harpa menjadi kacau, sehingga nada irama harpanya meninggi satu
nada. Untung In Hou segera berteriak: "Teruskan petikanmu."
Di tengah alunan suara harpa
itulah mendadak In Hou gerakkan telapak tangan mengenjot, pukulan telapak
tangan ini merupakan sisa-sisa tenaga dalamnya yang terpendam, bagaimanapun
liehaynya Oh Lo-sam, mana dia mampu menerimanya? Lengking jeritannya terdengar
mengerikan, seperti bola yang dilempar tubuhnya jungkir balik ke belakang. Tapi
tendangan kakinya ternyata juga berhasil mengenai ulu hati In Hou.
Seperti bola yang dilemparkan
tubuh Oh Lo-sam melayang lewat dari atas kepala Tan Ciok-sing.
"Bluk" menumbuk
dinding, kepalanya pecah, darah dan otaknya berceceran, mayatnya rebah
celentang di kaki tembok sana.
Tahu-tahu irama harpa pun
berhenti. Ternyata pada detik-detik menentukan ini Tan Ciok-sing berakhir pula
membawakan lagu Khong-ling-san.
Waktu dia menoleh dilihatnya
darah meleleh dari ujung mulut In Hou, mukanya pucat seperti kertas putih.
Bergegas Tan Ciok-sing taruh harpanya terus memburu maju ke depan In Hou,
tanyanya dengan
Suara gemetar: In Tayhiap,
kenapa kau?"
In Hou menarik napas
perlahan-lahan, lalu berkata: "Anak bagus, dengarkan kata-kataku, jangan
banyak tanya," sisa-sisa hawa murni yang berhasil dihimpunnya boleh dikata
sudah berantakan, racun yang mengeram dalam tubuhnya juga sudah kumat, umpama
barusan tidak tertendang ulu hatinya oleh Oh Lo Sam, diapun sudah tahu bahwa
jiwanya takkan dapat ditolong lagi.
"Anak bagus, aku takkan
bisa menuntut balas sakit hati kakekmu. Selanjutnya tergantung usahamu sendiri
untuk menuntut balas."
Mendengar kata-kata ini Tan
Ciok-sing terperanjat. Wajah In Hou mengulum senyum lebar, katanya: "Anak
baik,-tak usah sedih, kini bukan saatnya kau bersedih, dengarlah pesanku yang
terakhir."
"Anak baik, kau adalah
sahabatku yang terakhir, sahabat yang paling dapat kupercaya," sampai
disini tiba-tiba teringat olehnya akan Tam Pa-kun, kalau dua jam sebelum ini
ada orang tanya dia siapa temannya yang terakhir, tanpa ragu-ragu dia pasti
menyebut nama Tam Pa-kun. Tapi setelah dia mendengar percakapan kawanan
penjahat dengan Ki Harpa tadi, meski kenyataan belum bisa membuktikan bahwa Tam
Pa-kun dan It-cu-king-thian berintrik mencelakai dirinya, namun kepercayaannya
kepada kedua orang ini sudah luntur.
Betapa takkan menyedihkan,
bila seseorang di saat-saat ajalnya mendadak menyadari bahwa kawan yang
dianggapnya paling karib ternyata mengatur tipu daya untuk mencelakai jiwanya.
Pandangan In Hou menjadi gelap, hatinya seperti disayat-sayat, lekas dia
menghirup napas, kepada diri sendiri dia menghibur dengan pikiran begini:
"Tidak, bagaimana boleh aku mencurigai Tam-toako, Tam-toako pasti bukan
manusia serendah itu. Kalau It-cu-king-thian memang sukar dikatakan." Lalu
dia berpikir pula: "Bagi diriku, soal yang terpenting Sekarang adalah
selekasnya memberi pesan apa yang perlu kupesan kepada anak ini. Jangan kata
Tam-toako, meski It-cu-king-thian itu baik atau jahat, sekarang tak perlu aku
menghabiskan tenaga dan pikiran untuk mempersoalkan hal ini."
"Aku tahu kau ingin
belajar Kungfu, tapi aku kurang setimpal menjadi gurumu, karena umpama benar
kau berhasil belajar setingkat diriku, mungkin kau tetap takkan mampu menuntut
balas," sejenak berhenti dia lalu melanjutkan: "Tapi, aku bisa
mewakili seseorang menerima kau sebagai murid, dia adalah Thio Tan-hong yang
diakui secara mutlak oleh kaum persilatan sebagai jago nomor Satu ui jagai ini.
Dia adalah pamanku."
Tan Ciok-sing sesenggukkan,
katanya: "In Tayhiap, aku hanya ingin kau hidup, biar tak usah aku belajar
Kungfu."
In Hou tertawa sedih, katanya:
"Siapa tidak ingin hidup? Tapi kalau aku tidak panjang umur, anak bodoh,
kalau kau tidak mau belajar Kungfu, lalu siapa yang akan menuntut balas
kematian kakekmu? Aku, aku ingin kau mendengar petunjukku..." tanpa terasa
suaranya semakin lemah, napaspun mulai memburu.
Memeluk badan orang, Tan
Ciok-sing menggoyang-goyang tubuh In Hou, teriaknya: "In Tayhiap sadarlah
kau."
Tiba- tiba In Hou membuka
mata, katanya lemah: "Tak usah kuatir, aku tidak akan segera mati. Tadi
sampai dimana aku bicara?"
"Katamu kau hendak
mewakili Thio Tan-hong menerimaku sebagai murid," sementara dalam hati dia
membatin: "Siapa tahu apakah Thio Tan-hong sudi menerima diriku sebagai
murid?"
In Hou seperti dapat meraba
jalan pikiranya, katanya lebih lanjut: "Thio Tan-hong semayam di Ciok-lin,
kau harus mencarinya kesana, setelah menghadapinya, tuturkan kejadian yang
menimpa diriku kepadanya, barang-barang peninggalanku juga harus kau tunjukkan
kepadanya, pasti dia percaya kepadamu dan menerimamu sebagai murid. Kau pernah
meyakinkan Iwekang tidak?"
"Kakek pernah mengajarkan
cara bersemedhi dan mengatur napas," sahut Tan Ciok-sing.
"Bagus, itu sudah cukup.
Dalam kotak itu terdapat pelajaran pukulan ilmu golok, di samping itu ada pula
beberapa lembar tulisan tangan Thio Tan-hong, yaitu pelajaran
Bu-bing-kiam-hoat. Didalam buku pelajaran ilmu pukulan itu, tercantum pula
pelajaran inti sari cara mempelajari Iwekang, kau harus mempelajarinya dengan
rajin dan tekun, baru selanjutnya maju lebih jauh mempelajari ilmu yang
lain."
"Besok juga kau harus
meninggalkan tempat ini langsung menuju ke Ciok-lin," demikian ucap In Hou
lebih lanjut, "tapi, usia Thio Tan-hong sudah lanjut, aku kuatir mungkin
kau takkan bisa menemuinya lagi. Oleh karena itu kuminta kau mempersiapkan diri
untuk mempelajari ilmu Iwekang tingkat tinggi itu seorang diri. Thio Tan-hong
juga meninggalkan sebuah gambar peta yang menerangkan dimana dia bakal
menyimpan Kiam-boh ciptaannya, tadi ada kuselipkan didalam lempitan pelajaran
Bu-bing-kiam-hoat dan semuanya sudah kuserahkan kepadamu. Umpama Thio Tan-hong
sudah meninggal, kau boleh mencarinya sesuai petunjuk peta itu. Dengan bakat
dan kemampuanmu, aku yakin tanpa bimbingan guru kau pun akan dapat menyelami
dan mempelajarinya dengan baik dan berhasil.
Setelah berhasil meyakinkan
ilmu dan menuntut balas sakit hati kakek, bawalah Kiam-boh milik Thio Tan-hong
itu ke Thian-san dan serahkan kepada Ciangbunjin Thian-san-pay Toh Thian-tok.
Dia adalah murid besar Thio Tan-hong, atau juga Toa-subengmu. Tuturkan
kepadanya apa yang terjadi, aku percaya bahwa dia akan mengakui kau sebagai
Sutenya, sampai disini napasnya sudah semakin memburu dan megap-megap, setelah
menguras tenaga baru dia mampu bersuara.
"Tapi bagaimana aku bisa
tahu siapa musuhku?" demikian dalam hati Tan Ciok-sing berpikir. Melihat
In Hou sudah menderita begitu, walau masih banyak pertanyaan yang ingin
dikemukakan, karena tidak tega dia batalkan niatnya.
Tiba-tiba In Hou gigit ujung
lidah sendiri membangkitkan semangat pula, katanya meninggikan suara: "Ada
satu hal perlu kuperingatkan kepadamu, kau harus selalu ingat, hati manusia
sukar diraba, sekali-kali jangan kau mudah percaya kepada orang lain, meski dia
seorang pendekar besar yang tersohor di seluruh jagat ini."
Mencelos hati Tan Ciok-sing,
teriaknya: "In Tayhiap, apakah It-cu-king-thian maksudmu?"
"Betul, musuhku sudah
jelas yaitu Le Khong-thian dan seorang gembong iblis she Siang, siapa kawanan
penjahat yang meluruk datang tadi belum diketahui, tapi kedua kelompok orang
itu mungkin punya hubungan dengan It-cu-king-thian, dari pesan kakekmu tadi
sebelum ajal, kemungkin In It-cu-king-thian lah yang menjadi biang keladinya. Tapi
lantaran kuatir kau juga ketimpa bencana, maka dia tidak berani menjelaskan
kepadamu."
Beberapa patah kata ini
laksana halilintar yang menggelegar sampai
Tan Ciok-sing
berkunang-kunang, hatinya menjadi risau dan gundah. It-cu-king-thian kan teman baik
kakek, mana mungkin, mana bisa mungkin? Tapi kakek suruh aku merat ke tempat
jauh, aku dilarang minta perlindungan kepadanya? Kakek bilang tidak ingin dia
terseret dalam peristiwa ini, apakah ini kata-kata setulus hatinya? Ai, mungkin
keterangan In Tayhiap lebih bisa dipercaya.
Rintihan In Hou seketika
menyadarkan lamunan Tan Ciok-sing, katanya kaget: "In Tayhiap, kau
..."
Dengan suara terputus-putus In
Hou berkata: "Golok pusakaku kuberikan kepadamu, kacang emas itu kau boleh
ambil sebagai ongkos perjalanan, bagaimana juga harus pergi ke Ciok-lin,
yakinilah ilmu, tuntutlah kematian kakek dan sakit hatiku."
"In Tayhiap," teriak
Tan Ciok-sing, "aku pasti menuntut sakit hatimu. Masih ada pesan apa pula
kepadaku?" lalu dia dekatkan kuping di depan bibir In Hou.
Didengarnya suara In Hou
selirih nyamuk berkata: "Aku punya seorang putri, bernama In San, usianya
sebaya kau, kau adalah sahabatku, tak berani aku menganggapmu sebagai anakku,
tapi aku harap kau menganggapnya sebagai kakak, kalian... kalian..." tiba-tiba
suaranya tak terdengar lagi.
"Baiklah, aku akan
mencari In-cici," seru Tan Ciok-sing. Waktu dia meraba hidung In Hou
ternyata napasnya sudah berhenti.
Kakek sudah meninggal, In
Tayhiap yang harus dia lindungi atas perintah sang kakek kini juga berangkat
menyusul kakek. Sekian lama Tan Ciok-sing mematung mengawasi kedua sosok
jenazah yang terkapar di hadapannya, seolah-olah sedang bermimpi buruk yang
tidak ada gunanya. Seumpama sebuah perahu tanpa nakoda yang terombang-ambing di
tengah lautan. Tan Ciok-sing sudah kehabisan akal sehat, tidak tahu apa yang
harus dia lakukan, sampai rasa takut, sedihpun telah dilupakan, perasaannya
hambar, ingin dia menangis, tapi air mata seperti kering. Sebetulnya kakek
menyuruh dia menolong jiwa In Hou, tapi kenyataan justru ln Hou yang telah
menyelamatkan jiwanya dan berkorban jiwa, pendekar besar yang kenamaan, demi
menyelamatkan jiwa anak gunung yang miskin ini, rela berkorban jiwa raga,
sampai achir hayatnya dia masih belum tahu siapa sebetulnya biang keladi yang
mencelakainya. Detik-detik terakhir hayatnya, hanya bisa menganggap dirinya — —
bocah yang baru saja dikenalnya - sebagai sahabat karibnya yang terdekat.
"Ai, mungkin sampai akhir hayatnya dia takkan mati dengan meram dan
tentram."
"Kakek tugas yang kau
serahkan kepadaku tak mampu kulaksanakan, aku telah menyia-nyiakan harapanmu.
Kakek, makilah aku, hajarlah aku!" memeluk jenazah kakeknya, Tan Ciok-sing
menggoyang-goyangnya sambil meratap dan menangis. Sungguh kasihan, jazat sang
kakek yang sudah dingin itu, bagaimana bisa mendengar ratapannya dan memakinya?
"Klotak" tiba-tiba
didengar sesuatu benda jatuh di atas lantai. Ternyata itulah sejilid buku
pelajaran lagu Khong-ling-san yang disimpan dan dipandang sebagai pusaka oleh
kakeknya.
Dengan pandangan nanar Tan
Ciok-sing jemput buku itu, di balik beberapa lembar, lalu berkata: "Kakek
inilah Gim-boh (buku harpa) milikmu yang berharga, hanya bagian pertama yang
kau ajarkan kepadaku. Kini aku harus berpisah dengan kau, selanjutnya tiada
orang yang akan mengajar aku memetik harpa lagi Aku maklum kau tidak ingin
mengajarkan Khong-ling-san bagian belakang, tapi kalau Khong-ling-san putus
turunan, matipun kau tidak akan meram dengan tenang. Kakek sekarang biar
kupetikkan sebuah lagu, lagu Khong-ling-san bagian belakang inilah untuk
mengantar keberangkatanmu," setelah membetulkan letak harpa, dia membuka
halaman buku serta mulai memetik lagu Khong-ling-san bagian belakang.
Sang kakek memang tidak pernah
mengajarkan tapi dalam keadaan sedih dan pilu sekarang, hatinya dirundung duka
nestapa lagi, makna lagu Khong-ling-san bagian belakang justru cocok dan serasi
dengan keadaannya sekarang.
Belum pernah belajar tapi dia
bisa membawakan lagu itu dengan baik sekali, mungkin ini merupakan pengalaman
yang mengesankan selama hidupnya. Bila sang kakek masih hidup entah dirinya
akan dipuji atau ditegor. Betapa kontrasnya suasana yang serba terbalik ini,
pada hal usianya baru lima belas, pemuda bak kembang baru mekar. Tapi petikan
lagunya adalah sedemikian mempesona dan mengetuk sanubari, sehingga seseorang
pendatang yang tidak diundang sampai mendengarkan dengan berdiri kesima.
Sedangkan Tan Ciok-sing tenggelam dalam petikan lagunya yang mengenaskan,
hakikatnya dia tidak tahu bahwa seseorang telah berada didalam kamar rahasia
itu.
Pada bait terakhir dari
petikan lagunya tiba-tiba terdengar suara "Tring" salah satu dari
lima senar harpanya putus, Tan Ciok-sing kaget dan tersentak sadar, waktu dia
angkat kepala baru dilihatnya seorang laki-laki besar dengan jambang bauk lebat
telah berdiri di hadapannya.
Bagai mimpi buruk yang
bergelombang, tamu yang tak diundang ini ternyata adalah It-eu-king-thian Lui
Tin-gak. Sesaat Tan Ciok-sing tercengang, tiba-tiba teringat pesan In Hou
sebelum ajalnya tadi bahwa It-cu-king-thian yang satu ini kemungkinan sekongkol
dengan para penjahat itu, atau lebih jelasnya dialah biang keladi dari musibah
yang menimpa kakeknya dan In Tayhiap.
"Untuk apa dia ke mari?
Mungkinkah dia tidak tahu kalau In Tayhiap sudah mati dan hendak membunuhnya?
Apakah dia akan melepas dan mengampuni aku?" darah seperti bergolak dalam
tubuh Tan Ciok-sing, emosinya sudah berkobar, hampir saja dia memaki:
"Bagus sekali, kau pendekar besar palsu yang pura-pura baik hati ini,
belum cukup kau mencelakai kakekku dan In Tayhiap, nah sekarang giliranku,
bunuhlah aku," tapi entah kenapa, mungkin karena terlalu berduka, seperti
mimpi buruk saja, tenggorokannya tersumbat mulut sudah terpentang tapi suaranya
tidak keluar.
It-cu-king-thian sendiri juga
berdiri melenggong sekian saat, seperti dalam alam mimpi yang buruk juga,
tiba-tiba dia tersentak mengawasi tiga jenazah yang menggeletak didalam kamar
ini, lalu menoleh mengawasi Tan Ciok-sing dengan pandangan lengang, dia kenal
Ki Harpa, kenal Oh Lo-sam yang tadi terpukul mati oleh In Hou, tapi dia tidak
pernah kenal siapa In Hou adanya.
Akhirnya Lui Tin-gak dapat
menguasai suasana, setelah perasaannya tenang,
pandangannya yang hambar
teralih dari jenazah In Hou ke arah Tan Ciok-sing, tanyanya dengan suara
gemetar: "Kakekmu sudah mati?"
Tan Ciok-sing tidak menjawab.
Dari sorot matanya Lui Tin-gak dapat merasakan betapa besar dendam dan rasa
permusuhan bocah ini terhadap dirinya.
Dia menarik napas dingin,
sedih dan pilu hati Lui Tin-gak, "perlukah kujelaskan kepada anak
ini?" sesaat dia bimbang, akhirnya tidak menjelaskan, lalu bertanya:
"Apakah orang ini In Tayhiap? Bagaimana dia bisa mati?"
Akhirnya meledak juga emosi
Tan Ciok-sing, serunya beringas: "Bagaimana kematian In Tayhiap, memangnya
kau sendiri belum tahu?"
Berkaca-kaca mata Lui Tin-gak,
"Biang" tiba-tiba dia memukul dada sendiri keras-keras, teriaknya:
"In Tayhiap, akulah yang salah dan berdosa terhadapmu, aku datang
terlambat. Ki Harpa, langkahku kali ini pun juga salah, seharusnya aku tidak
menyuruhmu pulang, pendekar macam apa aku ini, sahabat tuaku sendiri tidak
mampu aku melindunginya."
"Kucing menangisi tikus,
pura-pura welas asih," dalam hati Tan Ciok-sing memaki, dilihatnya Lui
Tin-gak menghampiri jenazah kakeknya terus membungkuk, agaknya hendak membopong
kakeknya.
"Jangan kau sentuh
kakekku," walau tahu dengan seujung jari Lui Tin-gak saja orang mampu
menamatkan riwayatnya, tapi entah dari mana datangnya keberanian, dengan tegas
dia larang Lui Tin-gak menyentuh kakek yang dicintainya.
Betapa tenar dan besar wibawa
It-cu-king-thian didalam bulim, biasanya hanya dia yang memerintah dan memberi
petunjuk, orang lain tiada yang berani membangkang perintahnya, kapan dia
pernah dibentak seperti ini? Tapi hari ini dia seperti menciut nyalinya
berhadapan dengan sikap keren dan beringas Tan Ciok-sing, dengan tawa getir dia
menarik balik kedua tangan serta mundur dua langkah.
"Nak, pasti kau menyangka
akulah yang mencelakai kakekmu," dengan tawa kecut It-cu-king-thian
berkata.
Tan Ciok-sing menatapnya
dengan pandangan mendelik, jengeknya: "Tak perlu kau menjelaskan padaku,
jikalau kau tidak pernah berbuat kesalahan, tak perlu kau merasa gugup atau
menyesal."
"Bukankah kau ingin
menuntut balas sakit hati kakekmu?" tanya Lui Tin-gak.
Tan Ciok-sing pasrah nasib,
serunya membusung dada: "Betul, aku bersumpah menuntut balas sakit hati
kakek, kalau kau takut kelak aku menuntut balas, sekarang kau bunuh aku, kalau
tidak..."
"Kalau tidak
kenapa?" terpukul sanubari Lui Tin-gak, meski dirundung duka, agaknya dia
merasa kagum juga berhadapan dengan anak yang pemberani.
"Kelak aku akan belajar
Kungfu, datang suatu hari dengan kedua tanganku ini akan kupenggal kepala biang
keladi yang membunuh kakek dan In Tayhiap," demikian sahut Tan Ciok-sing
lantang.
Agaknya Lui Tin-gak hendak
berkata, namun dia tampak ragu-ragu. Sesaat lamanya baru dia berkata:
"Bagus, semoga terlaksana cita-citamu, aku tidak akan membela diri, kalau
kau anggap aku sebagai musuh boleh silakan saja. Tapi untuk membunuhku tidak
akan segampang yang kau kira, oleh karena itu seperti apa yang kau katakan
tadi, belajarlah Kungfu dengan rajin. Ai..." dari nada bicaranya, terasa
masih ada omongan yang ingin di ucapkan,tapi mendadak dia urungkan, lalu
sikapnya kentara seperti tengah pasang kuping mendengarkan sesuatu.
Memang betul, dia mendengarkan
sesuatu, mendengar suitan panjang yang melengking di kejauhan. Letak rumah
keluarga Tan ini berada di puncak gunung di belakang Cit-sing-giam, suitan
panjang itu terdengar berkumandang dari arah Cit-sing-giam.
Suitan keras bak pekik naga
gerungan harimau, mengalun tinggi melampaui puncak gunung melintasi sungai
masuk ke rumah terdengar oleh kuping It-cu-king-thian. Tapi terdengar dari
jarak yang begitu jauh, hanya tokoh macam Lui Tin-gak yang melatih mendengar
angin membedakan benda, memiliki lwekang tinggi lagi baru bisa mendengarnya
dengan jelas. Tan Ciok-sing hanya menerka-nerka dalam hati melihat sikap orang
yang aneh, namun dia membadek orang tentu mendengar apa-apa.
Suitan itu sendiri agaknya
berada diluar dugaannya, tapi tidak merasa asing mendengar suitan seperti ini.
Sungguh kaget dan senang hati It-cu-king-thian, pikirnya: "Apakah itu
Say-cu-hong-kang Tam Pa-kun? Kukira dia tidak akan ke mari. Tapi suitannya itu
terdengar bergelombang putus-putus bernada sedih pula, dengan kadar lwekangnya
tidak sepantasnya sampai begitu? Wah, celaka, mungkin Tam-toako juga
terluka."
Belum habis dia berpikir,
terdengar pula suara gelak tawa gemuruh beberapa orang, letaknya tidak jauh di
belakang rumah keluarga Tan ini. Lekas sekali langkah kaki orang-orang ini pun
sudah terdengar. Seketika mendelik mata Lui Tin-gak, air muka pun berubah,
tiba-tiba dia menerobos lari keluar.
Gerak gerik Lui Tin-gak yang
tenburu-buru secara mendadak lagi, Tan Ciok-sing kaget dibuatnya. Tapi lega
pula hatinya, agaknya kejadian berada diluar dugaannya Semula dia sangka Lui
Tin-gak takkan membiarkan dirinya hidup, suruh dirinya belajar Kungfu hanyalah
kata cemoohan belaka, bak umpama kucing yang mempermainkan tikus yang hampir
dicaploknya. Tak kira tiba-tiba Lui Tin-gak lari pergi.
"Mungkin mendengar musuh
yang lebih liehay akan datang, maka dia buru-buru melarikan diri, tapi kalau
dia hendak membunuhku, segampang membalik telapak tangan, sedetik juga jiwaku
sudah tamat, kenapa tidak dia bunuh aku dulu baru pergi?" pikir punya
pikir Tan Ciok-sing tidak habis mengerti, dia menjadi bingung bahwa Lui Tin-gak
betul-betul meninggalkan dirinya dengan segar bugar. Tapi lekas sekali dia pun
sudah mendengar suara banyak orang di belakang rumahnya.
Yang paling menusuk
pendengaran adalah gelak tawa yang keras seperti benda keras beradu. Itulah
suara tawa sang "Toako" yang semalam menggeledah rumahnya itu.
Maka terdengar suara Lui
Tin-gak berkata: "Aku sudah memeriksanya. Ki Harpa sudah mati tapi In Hou
tidak kutemukan, Oh Lo-sam pun tidak ada disana."
Kata-kata Lui Tin-gak dapat
didengarnya jelas, tapi percakapan orang-orang lain justru tidak didengarnya
jelas, yang kedengaran hanyalah gelak tawa mereka. Sudah tentu Tan Ciok-sing
tdak tahu, bahwa Lui Tin-gak sengaja menggunakan ilmu mengirim suara gelombang
panjang untuk didengar olehnya.
Sayang dalam sanubarinya sudah
diliputi rasa permusuhan dan dendam terhadap Lui Tin-gak, sudah tentu tak
pernah terpikir oleh Tan Ciok-sing bahwa Lui Tin-gak telah membantu dirinya terhindar
dari bencana lain yang bakal menimpa dirinya, sengaja dia memancing para
penjahat itu ke tempat lain.
"Hmmm, memang tidak
meleset dugaan In Tayhiap, bukti sudah nyata bahwa It-cu-king-thian ternyata
berkomplot dengan para penjahat pembunuh kakek, hubungan mereka terdengar
begitu intim, agaknya memang segolongan," demikian pikir Tan Ciok-sing.
Entah apa yang dikatakan sang
"Toako", lalu terdengar pula suara Lui Tin-gak: "Jadi sekarang
Tam Pa-kun sudah kecundang di tangan kalian? Memangnya apa pula yang kalian
takuti atas dirinya? He? Hee, kalian takut balas digigit sebelum ajalnya?
Baiklah, aku ikut kalian kesan a, bekerja lebih baik hati-hati, jangan sampai
dia di tolong orang lagi seperti ln Hou. Umpama sudah mati, kita harus temukan
jenazahnya baru hati merasa lega," sampai disini percakapan selanjutnya
tidak terdengar lagi. Waktu itu sudah mendekati kentongan ke empat, suasana
malam nan sunyi lengang, terdengar suara jengkrik dan kodok bersahutan.
"Betapa jahatnya
It-cu-king-thian ini," demikian batin Tan Ciok-sing, "entah siapa
pula orang she Tam yang dibicarakan itu, kalau dianiaya kawanan penjahat ini,
pasti dia dari golongan pendekar sejati. Dari nada suara It-cu-king-thian,
bukan mustahil dia teman baik In Tayhiap."
Urusan selanjutnya yang harus
diselesaikan Tan Ciok-sing sudah cukup merisaukan hatinya, memangnya dia juga
tahu dirinya tidak punya kepandaian untuk mencampuri urusan orang lain. Setelah
menenangkan hati, teringat pesan kakek dan In Hou dia harus meninggalkan rumah
sebelum terang tanah.
"Tugas yang terpenting
sekarang adalah mengebumikan kakek," demikian pikir Tan Ciok-sing,
"kakek paling suka dolan di Cit-sing-giam, aku harus mengebumikan kakek
disana." Tapi masih ada In Hou, tak mungkin sekaligus dia membawa dua jenazah
keluar pintu. Kalau sekarang dia mengubur In Hou lebih dulu, jelas waktunya
tidak keburu lagi. Teringat pesan In Hou segera dia berjongkok dan menyembah
kepada jenazah In Hou, katanya: "In Tayhiap, mohon maaf bahwa terpaksa aku
merabukan dirimu, abumu kelak akan aku antarkan ke rumahmu dan kuserahkan
langsung kepada putrimu." Setelah jenazah In Hou diperabukan, abu tulang
belulangnya dia simpan didalam sebuah guci kecil, lalu dia panggul sang kakek
dan menyelundup keluar dari jalanan rahasia lain yang menembus diluar rumahnya.
Api masih berkobar di rumahnya, malah tambah besar, sesuai pesan kakeknya dia
bakar habis rumahnya yang dicintainya.
Tak berani dia berpaling
mengawasi kobaran api yang menyala terang, dengan menggendong sang kakek sambil
memeluk harpa peninggalannya serta membawa abu In Hou, dia lewat jalanan kecil
yang lebih pendek menuju ke Cit-sing-giam.
000OOO000
Dugaan Lui Tin-gak memang
tidak meleset, orang yang bersuit panjang dari arah Cit-sing-giam memang Tam
Pa-kun adanya. Kira-kira mendekati tengah malam tadi baru dia tiba di tempat
perjanjian dengan In Hou. Sudah tentu dia tidak bertemu dengan siapa saja.
Dalam hati Tam Pa-kun tertawa
getir: "Aku terlambat tiga hari, memangnya In Toako harus menunggu terus
disini? Hm, selama hidup baru sekali ini aku ingkar janji, untung terhadap
sahabat karib, In Toako pasti juga menduga bahwa di tengah jalan mungkin
terjadi sesuatu atas diriku, y ah apa boleh buat."
Justru hubungannya teramat
intim dengan In Hou, walau orang sudah pergi, dia yakin In Hou pasti ada
meninggalkan tanda apa-apa, supaya dirinya lekas dapat menemukan In Hou.
Waktu dia mengetik batu api,
betul juga dilihatnya di atas dinding karang ada goresan panah yang
ditinggalkan In Hou dengan Kim-kong-cay-lat.
Sesaat dia masih belum bisa
menangkap arti dari goresan panah itu bahwa kini In Hou berada didalam
Cit-sing-giam, apalagi percikan api dari goresan batu api itu pun hanya
samar-samar saja sehingga kurang jelas, maka dia kira In Hou masih meninggalkan
tulisan di dinding karang ini, maka dia maju mendekat dan mengamati.
Baru saja dia tiba di bawah
dinding, tiba tiba kakinya menginjak tempat kosong, kiranya dia menginjak
lobang jebakan yang di atasnya hanya ditutupi rumput-rumput kering, karena
tidak menduga dan kurang waspada maka Tam Pa-kun terjeblos jatuh kedalam
lobang. Tapi Tam Pa-kun memang jago kelas satu yang liehay, meski kejadian amat
mendadak dan kaget pula, tapi dia tidak menjadi gugup atau bingung, belum lagi
kakinya menyentuh dasar lobang, sebelah kakinya segera menendang ke samping,
"Biang" dengan menjejak dinding lobang tubuhnya yang sudah amblas itu
mendadak melejit ke atas, di tengah hamburan debu dan pasir, tangkas sekali dia
sudah melompat keluar dari lobang jebakan.
Pada detik-detik yang hampir
menentukan mati hidupnya ini, terasa hawa dan gemerdep sinar dingin menyolok
mata, ternyata di dasar lobang jebakan ada tertancap enam puluh batang golok
yang mengkilap tajam, ujung golok yang runcing tajam menghadap ke atas siap
menyambut badan mangsanya, kalau Tam Pa-kun betul-betul jatuh ke bawah,
bagaimana akibatnya dapatlah dibayangkan. Tapi meski dia terhindar dari hutan
golok di bawah lobang, namun tak kuasa menghindar dari hujan panah yang
serabutan. Di kala tubuhnya melambung ke atas keluar lobang itulah belum kakinya
menginjak bumi, dari atas batu-batu cadas sekitarnya telah berhamburan anak
panah selebat hujan. Pada hal tubuhnya masih terapung, betapapun tinggi
kepandaiannya, tak mungkin menangkis dan menghindar. Namun menghadapi saat-saat
kritis ini Tam Pa-kun jumpalitan mundur ke belakang, berbareng kedua telapak
tangan memukul dan menepuk, puluhan batang panah kena dirontokkan oleh angin
pukulan. Namun demikian, masih ada tiga batang panah yang mengenai tubuhnya.
Sebatang menembus telapak tangan kiri, sebatang menancap di pundak kanan, daif
sebatang lagi lebih berbahaya, mengincar mukanya, hanya beberapa senti saja
hampir matanya terpanah buta.
Begitu kedua tangan
menggentak, panah yang menancap di pundak tergetar lepas dan mencelat jatuh.
Lalu dia cabut pula panah yang menancap di mukanya, darah bercucuran membasahi
selebar muka dan tubuhnya, hardiknya murka! "Bangsat keparat rendah, yang
punya nyali hayo keluar," meski terkena tiga batang panah, lukanya cukup
parah, namun perbawanya masih kelihatan garang dan perkasa.
Dari tengah gerombolan rumput
tiba-tiba menjulur sebatang tombak panjang, seorang membentak: "Orang she
Tam, kematian di depan mata, masih berani bertingkah," ujung tombak kontan
menusuk ke arah Tam Pa-kun. Sasaran tusukan tombak adalah pusar, serangannya
keji, tenaganya besar.
Tam Pa-kun balas membentak:
"Serangan bagus," sekali pegang dia tangkap ujung tombak lawan.
Diluar tahunya di rumpun pohon sebelah kiri ada seorang musuh pula yang
sembunyi, tanpa banyak mengeluarkan suara tiba-tiba dia menyergap maju seraya
membacok dengan golok, paha kanan Tam Pa-kun terkena bacokan. Para pemanah yang
berada di atas cadas melihat musuh luka lagi sama bersorak kegirangan.
Di tengah sorak gembira
kawanan penjahat itu terdengar Tam Pa-kun menggerung keras disusul dua kali
jeritan orang yang meregang jiwa. Ternyata dalam keadaan terluka itu, Tam
Pa-kun masih sempat angkat kaki kirinya menendang penjahat yang bersenjatakan
golok itu kena ditendangnya terjungkel kedalam jurang. Sekali cengkram lagi,
penjahat yang bersenjata tombak kena dijinjing terus dilempar beberapa tombak
jauhnya, untung kawanan penjahat yang lain sempat menangkapnya beramai-ramai
sehingga jiwanya tidak melayang, tapi tulang pundaknya telah teremas hancur
oleh Tam Pa-kun. Sigap sekali Tam Pa-kun juga telah mengeluarkan golok pusaka,
dengan jurus. Me-can-pat-hong (bertempur delapan penjuru di waktu malam),
goloknya menimbulkan segulungan sinar perak untuk menyampok dan merontokkan
hujan panah terus menerjang ke atas batu cadas.
Sudah tentu kawanan penjahat
sama panik dan ribut. Tam Pa-kun sudah puluhan tahun malang melintang di
Kangouw mengandalkan tujuh puluh dua jurus Kim-na-jiu dan enam puluh empat
jurus Phoan-liong-to-hoat, nama besarnya memang tidak kosong. Karuan kawanan
penjahat itu sama ketakutan dan berteriak: "Minggir, jangan melawan secara
kekerasan."
"Kurcaci yang hina
dina..." hardik Tam Pa-kun, tapi belum habis dia memaki, terdengar suara
"Tang" kembang api berpijar, ternyata golok Tam Pa-kun membacok batu,
untung dia juga sempat kendalikan diri, kalau tidak hampir saja dia menumbuk
batu.
Pentolan penjahat menjadi
girang, teriaknya: "Tam Pa-kun, kau sudah terkena panah kita yang beracun,
racun sudah bekerja dalam tubuh, coba sampai kapan kau masih segarang
ini."
Tam Pa-kun menahan emosi dan
kendalikan pernapasan
mengerahkan lwekang, betul
juga terasa mukanya mulai kebal dan gatal sekali, pandangannya pun sudah
menjadi gelap.
Waktu itu kira-kira sudah
menjelang kentongan ketiga, ada sinar bintang, biasanya mata Tam Pa-kun amat tajam,
waktu dia melompat keluar dari lobang jebakan tadi, lapat-lapat masih bisa di
lihatnya bayangan beberapa orang. Tapi sekarang segalanya serba gelap. Karuan
mencelos hati Tam Pa-kun: "Mungkinkah mataku sudah buta?"
Saking senang pentolan
penjahat itu tertawa pula, oloknya: "Supaya kau tidak menjadi setan
gentayangan, mati jangan penasaran, biarlah kujelaskan. Hehe, Tam Pa-kun, kali
ini kau salah menilai, kita dari Tok-liong-pang meski bukan terhitung
perserikatan besar, namun di kalangan persilatan juga ada sedikit nama, kenapa
kau begitu memandang kami serendah ini."
Tam Pa-kun menyeringai dingin,
katanya: "O, kiranya kau inilah Thi Ou Pangcu dari Tok-liong-pang? Sungguh
aku kurang hormat."
Thi Ou tergelak-gelak,
katanya: "Tidak berani. Tapi orang she Thi ini bukan terhitung penjahat
rendah kelas kambing bukan?"
Tam Pa-kun tertawa dingin,
jengeknya: "Aku tahu Tok-Iiong-pang kalian malang melintang dan banyak
membuat kejahatan di daerah tenggara, belakangan memperoleh tulang punggung
macam Le Khong-thian. Hm, hm, ketahuilah, dalam pandangan aku orang she Tan,
Tok-liong Pangcu macam tampangmu ini tidak lebih hanya segelintir belut
belaka."
Saking gusar Thi Ou malah
tertawa bergelak, katanya: "Tam Pa-kun, matamu sudah picak tak perlu aku
memakimu, kenyataan kau sudah punya mata tidak bisa melihat. Sekarang biar kau
bertingkah beberapa kejap lagi, akhirnya jiwamu toh tergenggam di tanganku.
Bidik dia," anak buah Tok-liong-pang segera berpencar, maka anak panah
kembali beterbangan.
Mendadak Tam Pa-kun membentak:
"Apa yang kau tertawakan? Memangnya tidak terima? Baiklah, diberi tidak
membalas kurang hormat, sekarang sambutlah senjata rahasiaku. Kalau kau mampu
menangkap krikil kecil ini, kuangkat jempol dan kuakui kau adalah Hohan."
Golok dipindah ke tangan kiri
Tam Pa-kun mainkan senjatanya sekencang kitiran sampai hujan deraspun takkan
tembus, berbareng , tangan kanan terayun, sebutir krikil yang tadi dijemputnya
ditimpukkan ke atas pucuk batu cadas.
Puncak batu karang tingginya
ada tujuh delapan tombak, kerikil sekecil itu ditimpukkan dari bawah ke atas,
namun daya luncurnya ternyata menderu kencang. Thi Ou terhitung tokoh
persilatan juga, begitu mendengar deru luncuran krikil kecil ini, mau tidak mau
hatinya terkejut juga, tak pernah terbayang dalam benaknya, bahwa setelah
terpanah tiga batang panah beracun, Tam Pa-kun masih memiliki lwekang sekuat
ini. Dia tahu dengan bekal lwekang yang dimilikinya sekarang jelas takkan mampu
menyambut krikil kecil ini, lekas dia ayun tameng besi yang dipegangnya, "Tang"
krikil kecil itu kena disampuknya pergi.
Tak nyana daya luncuran krikil
kecil itu masih belum lenyap, ditangkis lagi maka mencelat miring kesana dan
kebetulan mengenai seorang penjahat yang berdiri di samping Thi Ou. Kepandaian
orang ini sebetulnya juga tidak rendah, jabatannya adalah Toa-thaubak didalam
Tok-liong-pang, namun dia tidak meniru perbuatan sang Pangcu untuk menyampuk
pergi krikil itu, karuan kepalanya seketika bocor keluar kecap, saking
kesakitan dia menjerit sambil menjengking merintih-rintih. Sudah tentu kejadian
ini menimbulkan kegemparan di antara kawanan penjahat, yang bernyali kecil
seketika mengkeret dan sembunyi di belakang batu tanpa berani mengintip, apa
lagi melongok keluar. Tapi ada juga seorang penjahat yang menyangka Tam Pa-kun
sudah buta, maka dia membidik serta memanah. Diluar tahunya, meski matanya
sudah buta, namun pendengaran Tam Pa-kun dapat membedakan datangnya serangan.
Begitu mendengar suara busur dipentang, kontan dia timpuk sebutir krikil lagi
ke arah penjahat itu.
Kungfu penjahat yang satu ini
jauh lebih rendah dari Toa-thaubak tadi, mana dia mampu menahan
Tam-ci-sin-thong Tam Pa-kun yang dilandasi lwekang tingkat tinggi? Tahu akan
datangnya mara bahaya mulutnya terpentang hendak menjerit, kebetulan dua gigi
depannya seketika protol, darah memenuhi seluruh mulutnya, tapi keadaannya jauh
lebih mending dibanding luka-luka yang diderita Thaubak tadi.
Saking ketakutan, kawanan
penjahat itu tak berani lepas panah lagi, Tam Pa-kun menarik napas,
perlahan-lahan dia memanjat ke lamping gunung, maksudnya pura-pura hendak
menghadang jalan mundur kawanan penjahat itu. Pimpinan kawanan penjahat segera
memberi tanda gerakan tangan menyuruh anak buahnya lekas mengundurkan diri.
Tanpa perintahnya sebetulnya kawanan penjahat itu sudah sama ngacir. Pimpinan
itu lari sembunyi ke suatu tempat yang menurut perkiraannya tak mungkin dicapai
oleh Tam Pa-kun terus pentang mulut memaki: "Orang she Tam, silakan kau
main gagah-gagahan disini, sebelum hari terang tanah nanti, aku akan kembali mengubur
tulang belulangmu."
Tam Pa-kun mendengarkan dengan
cermat, didapatinya bahwa kawanan penjahat sudah pergi jauh, tanpa merasa dia
menghela napas lega, namun setelah perasaan longgar, seketika kepala terasa
pusing tujuh keliling, tak kuat dia bertahan lebih lama lagi.
Untung mengandalkan kekuatan
Iwekangnya dia mampu melindungi jantung supaya tidak keracunan, dalam waktu
singkat terang jiwanya belum ajal. Tapi rasa gatal dimukanya sungguh sukar
ditahan lagi, matapun sudah tak mampu terbuka.
Mau tak mau Tam Pa-kun tertawa
getir sendiri, pikirnya: "Agaknya aku akan jadi buta, jikalau aku dapat
bertemu dengan Lui-toako, mungkin jiwaku bisa tertolong, tapi mataku sudah
buta, bagaimana bisa pergi mencarinya? Hehe, tak nyana setengah umur aku malang
melintang di Kangouw, hari ini terjungkal dan menemui ajal di tangan penjahat
rendah." Dengan pilu dia tertawa panjang, dia yakin jiwanya pasti takkan
tertolong lagi.
Mendadak tei gerak pikirannya,
tanpa kuasa dia menjerit tertahan, "Celaka, goresan arah panah di dinding
batu tadi pasti peninggalan In-toako dengan tenaga jarinya yang hebat, musuh
justru menggunakan tanda goresannya itu untuk menjebakku masuk perangkap. Bukan
mustahil In-toako juga telah celaka dibokong mereka," lalu dia berpikir
pula: "Tak jadi soal aku mati, namun nasib .In-toako belum kuketahui,
matipun takkan meram. Bagaimana juga aku harus berusaha memberifahu kepada
It-cu-king-thian. Em, kini kira-kira sudah menjelang kentongan keempat."
Karena tekadnya ini Tam Pa-kun
segera mengerahkan, sisa tenaganya, golok dimasukkan ke sarungnya, dengan golok
panjang sebagai tongkat dia menggeremet turun dari Cit-sing-giam, yang
diharapkan sebelum terang tanah, dirinya belum mati karena keracunan, bila di
jalan pegunungan bisa bertemu dengan penduduk, dia bisa minta bantuan untuk
mengantar dirinya ke rumah keluarga Lui.
Entah berapa lama dan jauh Tam
Pa-kun berjalan, yang nyata tenaganya sudah semakin lemah, untuk melangkah
setindak juga terasa berat dan sukar. Akhirnya dia menghela napas panjang, pikirnya:
"Tak kira akhirnya aku harus mati dan terkubur di gunung kenamaan ini.
Tapi sekarang aku belum boleh mati, kalau aku mati, siapa akan memberi kabar
kepada It-cu-king-thian? Siapa pula yang bisa mewakili aku mencari jejak
In-toako?" tiba-tiba kupingnya menangkap suara sesenggukan, entah siapa
sedang menangis tak jauh di depan sana. Karuan hati Tam Pa-kun kaget dan
girang, batinnya: "Thian yang maha kuasa memang adil, akhirnya kutemukan
juga seseorang disini. Tapi entah siapa dia, kenapa menangis begitu sedih di
tempat ini?"
Orang yang menangis ini bukan
lain adalah Tan Ciok-sing yang sedang mengebumikan kakeknya di bawah
Cit-sing-giam. Dengan golok pusaka milik In Hou, dia menggali liang lahat,
dengan cara sederhana dia mengubur kakeknya, lalu berlutut serta berdoa:
"Kakek di alam baka semoga kau melindungiku sehingga berhasil kuyakinkan
ilmu tinggi, kelak aku akan kembali menuntut balas sakit hatimu, waktu itu baru
akan kubangun pula pusaramu."
Sebetulnya dia kuatir bila di
atas Cit-sing-giam masih ada musuh yang ketinggalan, maka dia tidak berani
menangis, namun sebelum berpisah ini, tak kuasa dia membendung duka nestapa
ini, air matapun bercucuran.
Tiba-tiba dia mendengar
langkah orang yang mendatangi ke arahnya, sudah tentu Tan Ciok-sing kaget, bergegas
dia melompat berdiri seraya berpaling, kebetulan didengarnya pula suara
gedebukan, seseorang berlepotan darah roboh terkapar tak jauh di sebelah sana.
Mendadak tergerak benak Tan Ciok-sing, teriaknya sambil memburu maju:
"Apakah she Tam?
Tam Pa-kun sudah tidak tahan
lagi, namun mendengar pertanyaan Tan Ciok-sing, tercekat hatinya, lekas dia
meronta bangun dengan siku menahan badan lalu berduduk melolos golok
melintangkan di depan dada, katanya: "Siapa kau! Dari mana kau tahu akan
diriku?"
Maklum meski Tam Pa-kun amat
terkenal di kalangan Kangouw, tapi dia yakin seorang penduduk pegunungan takkan
mungkin kenal dirinya maka timbul rasa curiganya, kuatir kawanan penjahat
meluruk datang pula, maka dia bersiaga.
"Jawab dulu pertanyaanku.
Kau kenal In Hou, In Tayhiap tidak?" tanya Tan Ciok-sing.
Tam Pa-kun ragu dan bingung,
katanya: "Kalau kenal kenapa, kalau tidak kenal bagaimana? Siapa kau
sebetulnya?"
"Aku adalah sahabat In
Tayhiap, jikalau kau kenal dia, sukalah kau percaya padaku, bicaralah sejujurnya."
Kaget dan girang hati Tam
Pa-kun, namun dia juga tidak berani percaya seratus persen. Dari suara Tan
Ciok-sing dia yakin bahwa usianya masih terlalu muda, logat suaranya tidak
mirip orang dewasa, pikirnya: "Kedengarannya usianya baru lima belas, bagaimana
mungkin dia adalah sahabat In Tayhiap?"
Namun dalam menghadapi jalan
buntu seperti dirinya sekarang, meski memperoleh setitik harapan juga tak boleh
disia-siakan, mau tidak mau dia harus percaya. Maka katanya: "Baik, aku
mempercayaimu. Memang aku she
Tam bernama Pa-kun, sahabat In Tayhiap sejak puluhan tahun yang lalu. Siapa
namamu?"
Tan Ciok-sing segera menyebut
namanya. Tam Pa-kun melenggong, pikirnya: "Tan Ciok-sing, belum pernah aku
mendengar nama ini."
Tan Ciok-sing berkata:
"Tam Tayhiap, apakah kau pun dibokong dan teraniaya oleh kawanan penjahat
itu?"
Kembali Tam Pa-kun kaget
dibuatnya, gagang golok digenggamnya lebih kencang, tanyanya: "Darimana
kau tahu?"
"Lukamu parah, aku
sendiri tak bisa lama berada disini, harap sukalah kau percaya kepadaku,
turunkan golokmu, biar kuperiksa apakah aku mampu menolong dan mengobati
luka-lukamu?"
Mendengar orang bicara secara
jujur dan tulus, Tam Pa-kun berpikir: "Terang aku takkan bisa mencapai
rumah keluarga Lui, apa boleh buat, biarlah kupertaruhkan jiwaku ini,"
lalu dia turunkan golok, katanya: "Tak perlu kau keburu nafsu mengobati
lukaku, kalau kau adalah sahabat In Tayhiap, lekas kau beritahu kepadaku,
bagaimana keadaannya sekarang?"
Serba susah untuk menerangkan,
Tan Ciok-sing berpikir: "Lukanya begini parah, bila kuberitahu In Tayhiap
sudah ajal, mungkin..."
Tidak mendengar jawabannya,
Tam Pa-kun membentak: "Bagaimana keadaan In Tayhiap, kenapa kau tidak
bersuara?"
Tan Ciok-sing kertak gigi,
katanya: "Seperti keadaanmu sekarang In Tayhiap juga dibokong dan terluka
oleh musuh."
"Dimana dia
sekarang?" tanya Tam Pa-kun, bahwa In Hou juga terbokong memang sudah
diduganya, maka dia tidak begitu kaget dan heran.
"Aku tidak tahu, Tam
Tayhiap, sukalah kau beri kesempatan supaya aku menyembuhkan luka-lukamu dulu,
setelah kau menyembuhkan iuka-iuka ini baru mampu mencarinya bukan?"
Tam Pa-kun cukup luas
pengetahuannya, dia tahu bahwa Tan Ciok-sing belum bicara sejujurnya, namun
kini dia sudah percaya bahwa Tan Ciok-sing tidak akan mencelakainya, batinnya:
"Mungkin dia tahu bahwa kawanan penjahat itu memang liehay, maka dia tidak
berani banyak bicara," lalu katanya: "Aku tidak akan segera mati,
tolong pergilah kau mengundang It-cu-king-thian ke mari."
Ganti Tan Ciok-sing yang
berjingkat kaget, katanya: "Apa itu It-cu-king-thian, aku tidak
tahu."
"Kalau kau sahabat In
Hou, mana mungkin tidak tahu nama besar It-cu-king-thian Lui Tin-gak?"
"Kalau kau tidak percaya,
yah apa boleh buat. Tapi bagaimana juga, luka-lukamu harus disembuhkan
dulu," tanpa hiraukan reaksi Tam Pa-kun, lekas dia maju membersihkan
noda-noda darah di muka orang serta membubuhi Kim-jong-yok.
Kakek Tan Ciok-sing pernah
belajar pengobatan, maka dia pernah membuat sendiri Kim-jong-yok dan ohat-obat
pemunah racun umumnya, walau dalam hal pengobatan Tan Ciok-sing belum mendapat
ajaran langsung dari sang kakek, sedikit banyak juga sudah pernah menyelaminya,
waktu dia meninggalkan rumah, obat-obatan yang diperlukan juga dibawanya serta.
Luka-luka Tam Pa-kun sudah
membengkak besar dan berwarna hitam berbau amis lagi, setelah menjejalkan
sebutir pil penawar racun ke mulut orang, Tan Ciok-sing berpikir: "Semoga
racun yang mengeram dalam tubuhnya tidak sejahat racun yang mengenai In
Tayhiap, syukurlah kalau pil penawar racun bikinan kakek ini dapat menyembuhkan
luka-lukanya."
Apa yang diterka Tan Ciok-sing
memang tidak meleset, Tok-liong-pang atau sindikat naga beracun meski
menggunakan nama "racun", betapapun dia perserikatan dari aliran
kelas dua, panah beracun yang mereka pergunakan terang tidak sejahat racun yang
digunakan gembong iblis she Siang yang digunakan melukai In Hou. Setelah menelan
pil penawar itu, lekas Tam Pa-kun kerahkan hawa murni membantu khasiat obat
bekerja lebih cepat, terasa dada lebih enteng dan wangi, dia tahu meski pil
obat ini bukan obat penawar yang tepat untuk memunahkan kadar racun panah,
namun jiwanya jelas tertolong, paling tidak dapat dipertahankan untuk beberapa
kejap lagi.
Akhirnya Tam Pa-kun menghela
napas lega, katanya: "Adik cilik, banyak terima kasih. Sekarang sudah
terang tanah belum?"
"Belum, tapi tidak akan
lama lagi."
"Baiklah, keadaanku
sekarang tidak berbahaya lagi, tolonglah kau pergi mengundang It-cu-king-thian
ke mari, aku yakin kau pasti mengenalnya."
"Tidak, jangan kau
mencari It-cu-king-thian," kata Tan Ciok-sing prihatin.
"Kenapa?" Tam Pa-kun
menegasi.
Sampai disini percakapan
mereka, tiba-tiba dari lereng gunung sebelah sana terdengar langkah kaki
serombongan orang yang turun ke mari, lekas sekali suara percakapan merekapun
terdengar, dan yang sedang bicara kebetulan justru It-cu-king-thian Lui
Tin-gak.
Lekas Tam Pa-kun merebahkan
diri serta menempelkan telinga di atas tanah, didengarnya It-cu-king-thian Lui
Tin-gak sedang berkata: "Kenapa bayangan setanpun tidak kelihatan, kemana
Tam Pa-kun menyembunyikan diri?"
Bukan kepalang girang hati Tam
Pa-kun, pikirnya: "Sungguh kebetulan, orang yang kuharapkan kebetulan
telah datang." Baru saja mulutnya terpentang dan hendak berteriak
memanggil Lui Tin-gak, mendadak mulutnya didekap tangan orang sehingga suaranya
tak terdengar. Tam Pa-kun boleh dikata sudah kehabisan tenaga, meronta juga tak
berhasil. Tapi dia tahu yang mendekap mulutnya jelas adalah Tan Ciok-sing.
Didengarnya Tan Ciok-sing berbisik di pinggir telinganya: "Tam Tayhiap,
jangan kau bersuara."
"Kenapa? Kenapa?"
Timbul tanda tanya dalam benak Tam Pa-kun, namun lekas sekali dia sudah
mendengar suara seorang yang sudah amat dikenalnya berkata tertawa: "Tak
usah kuatir, Tam Pa-kun terkena panah beracun kita, memangnya berapa jauh dia
melarikan diri, kita cari perlahan-lahan saja."
Suara orang ini bukan lain
adalah Thi Ou Pangcu dari Tok-liong pang yang membokong Tam
Pa-kun tadi. Karuan Tam Pa-kun
jadi bingung dan tak habis mengerti, sesaat dia melenggong. Tan Ciok-sing
berbisik pula di pinggir telinganya: "Tam Tayhiap, sudah dengar bukan?
lt-cu-king-thian sekomplotan dengan kawanan penjahat itu."
Langkah mereka semakin dekat,
cepat sekali mereka sudah berada di bawah gunung, cahaya oborpun telah
kelihatan. Seorang penjahat mendadak berteriak: "Coba lihat, disini ada
noda darah, kita ikuti ceceran darah ini, pasti dapat menemukan jejak Tam Pa-kun."
Detak jantung Tan Ciok-sing
seperti bandulan lonceng yang terayun pergi datang. "Bagaimana
baiknya?" Saking kepepet dan kebingungan dia sampai kehabisan akal, namun
dia insyaf bila jejak mereka disini ketemu oleh musuh maka akibatnya susah dibayangkan.
Di kala Tan Ciok-sing bimbang
dan gemetar inilah, mendadak Tam Pa-kun meronta menggentak kepalanya, telapak
tangan Tan Ciok-sing yang mendekap mulutnya terlepas, dengan suara lirih Tam
Pa-kun berkata: "Jangan hiraukan diriku, lekas kau pergi."
Langkah orang-orang itu sudah
semakin dekat lagi.
Sekilas Tan Ciok-sing
menenangkan pikiran, pikirnya: "Sakit hati kakek dan In Tayhiap kelak
harus aku yang membalasnya. Dari pada aku disini tidak bisa berbuat apa-apa.
Bukan mustahil Tam Tayhiap juga celaka di tangan musuh, apalagi aku tentu
dengan mudah menyerahkan jiwa raga ini," karena itu dia kertak gigi, Tam
Pa-kun berusaha dipapahnya bangun terus diseretnya kedalam semak-semak rumput,
lalu berbisik: "Tam Tayaiap, aku akan pergi. Semoga Thian melindungimu
terhindar dari petaka ini. Ada sepatah kata perlu kusampaikan kepadamu, In
Tayhiap sudah meninggal, yang mencelakai In Tayhiap juga
It-cu-king-thian," habis bicara segera dia mendekam terus menggeremet
kesana menyusup pergi di antara semak-semak rumput.
Hampir Tam Pa-kun tidak
percaya akan pendengarannya. "Bagaimana mungkin? Lui-toako mana mungkin
melukai In-toako? Tapi apa pula maksudnya mencari aku dengan Tok-liong
Pangcu?"
Maklumlah Tam Pa-kun dengan
Lui Tin-gak adalah sahabat karib bak kakak beradik, secara mutlak dia percaya
kepada Lui Tin-gak. Bahwa dia suruh Tan Ciok-sing pergi, bukan lantaran kuatir
Lui Tin-gak bakal turun tangan keji terhadapnya, tapi dia kuatir Tok-liong
Pangcu yang akan berbuat jahat kepadanya. Walaupun hakikatnya dia belum lagi sempat
mencari tahu kenapa Lui Tin-gak bisa bergaul dan berada dalam rombongan Thi Ou.
Tan Ciok-sing menggeremet
pergi di tengah semak rumput, meski dia sudah bertindak hati-hati, betapapun
akhirnya mengeluarkan suara keresekan, begitu Thi Ou pasang kuping lalu
berkata: "Disana seperti ada suara orang, hayo coba kita periksa
kesana," seorang Thaubak berkata: "Pangcu harus hati-hati. Entah
racun dalam tubuh Tam Pa-kun sudah kumat belum?"
Thi Ou tertawa, katanya:
"Ada Lui Tayhiap di antara kita, perlu apa takut?"
"Betul, kalian tidak usah
kuatir," terdengar Lui Tin-gak berkata, "kalau benar Tam Pa-kun
sembunyi disini, biar aku menghadapinya. Kalau dia sudah terluka separah itu,
yakin aku masih dapat melayaninya."
Thi Ou segera mengumpak,
katanya: "Umpama Tam Pa-kun belum terluka juga belum tentu tandingan Lui
Tayhiap. Kalau Lui Tayhiap harus menghadapinya, itu berarti membunuh ayam pakai
golok kerbau."
Lui Tin-gak tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Ah, kau terlalu memuji," suaranya amat
jumawa.
Diam-diam Tam Pa-kun berpikir
pula: "Lui-toako pasti bukan manusia serendah itu, mungkin urusan ini
masih ada latar belakang yang tidak kuketahui?" mendadak dia berjingkrak
berdiri seraya membentak: "Orang she Tam ada disini, tak usah kalian susah
payah mencariku, siapa ingin membunuhku, silahkan maju."
Dia sudah nekad mempertaruhkan
jiwanya, kalau Lui Tin-gak tidak seperti apa yang dia duga jelas jiwanya pasti
melayang. Tapi dia sudah bertekad untuk melabrak musuh habis-habisan, tujuannya
tak lain demi melindungi Tan Ciok-sing melarikan diri.
Melihat Tam Pa-kun mendadak
muncul di hadapan mereka, karuan Thi Ou dan anak buahnya sama kaget, perhatian
semuanya tertuju kepada Tam Pa-kun, tiada yang tahu kalau di semak rumput sana
ada seorang lagi menyembunyikan diri.
Terdengar suara Lui Tin-gak
yang berat keren berkata: "Nah, coba kalian lihat, aku akan
membunuhnya," pada akhir kata-katanya mendadak telapak tangannya terayun
balik memukul ke belakang, "Biang", diluar dugaan orang banyak, yang
jadi sasaran pukulannya itu justru dada Tok-liong Pangcu.
Semula Thi Ou berdiri jajar
dengan dia, mimpipun tak pernah terbayang olehnya bahwa Lui Tin-gak bakal
membunuhnya, kontan tubuh Thi Ou mencelat jauh'seperti bola tertendang jatuh
beberapa tombak jauhnya. Padahal Bian-ciang yang dilancarkan Lui Tin-gak ini
dapat memukul remuk batu, mana Thi Ou kuat menerima pukulan dahsyat ini?
"Huuaaah..." di tengah jerit lengking yang menyayat hati, darah
berhamburan dari mulutnya, setelah terguling beberapa kali, akhirnya meringkel
diam. Karuan seluruh anak buah Thi Ou terkesima dan pecah nyalinya.
Tam Pa-kun sendiri juga amat
haru dan senang pula, akhirnya dialah yang menang dalam pertaruhan jiwa ini.
"Tam-toako," seru
Lui Tin-gak, "aku datang terlambat."
Baru sekarang anak buah Thi Ou
tersentak sadar, tanpa komando serempak mereka melarikan diri. Hanya seorang
pengawalnya yang memburu maju hendak memapah Thi Ou.
Mendadak Thi Ou membalikkan
tubuh, tiga batang panah beracun tahu-tahvi meluncur mengincar punggung Lui
Tin-gak. Lekas-lekas Tam Pa-kun berteriak: "Awas Lui-toako, ada serangan
senjata rahasia," karena berhadapan dengan Tam Pa-kun, berarti Lui Tin-gak
membelakangi Thi Ou.
"Bagus," bentak Lui
Tin-gak, "kebetulan aku bisa pinjam panah beracun ini," sekali
menggapai ke belakang, tiga batang panah beracun itu kena di tangkapnya,
langsung dia sambitkan pula. Pengawal Thi Ou baru saja sampai di sampingnya,
begitu kena timpukan panah beracun kontan dia terjungkal roboh binasa.
Dua batang panah lagi melesat
ke arah dua penjahat yang lari paling jauh, seorang lari ke selatan yang lain
lari ke utara, jarak mereka sudah seratusan langkah, tak nyana jiwa mereka tak
terhindar dari renggutan maut.
Sisa beberapa penjahat yang
tak mampu melarikan diri sama meratap minta ampun sambil berlutut. Lui Tin-gak
kebacut gemes, sambil kertak gigi dia membentak: "Tok-liong-pang sudah
keliwat batas kejahatannya, matipun kalian setimpal," mengembangkan
ketangkasan gerak tubuhnya, ke kiri menyapu ke kanan menendang, kepalan disusul
tendangan maut, menutuk dan menjojoh pula, dalam sekejap saja mayat
bergelimpangan, seluruh anak buah Thi Ou habis dibabatnya.
Setelah memberantas kawanan
penjahat, It-cu-king-thian menghela napas gegetun, katanya: "Tuhan memang
maha pengasih, sebetulnya aku tidak ingin membabat habis mereka, tapi menilai
perbuatan mereka hari ini, terpaksa aku harus bunuh mereka."
Tam Pa-kun tahu meski
Tok-liong-pang merupakan sindikat kelas dua dalam Kangouw, tapi anggotanya
rata-rata pandai menggunakan racun, suka main licik dan sukar dilayani. Kalau
mereka tahu sang Pangcu mati di tangan Lui-toako, pasti berusaha menuntut batas
dengan cara keji luar biasa. "Ai, demi menyelamatkan diriku, Lui-toako
tidak segan mencari permusuhan, tadi hampir saja aku mencurigainya,"
sungguh bukan kepalang haru dan menyesal hatinya, tanpa kuasa air mata
berlinang.
"Tam-toako, bagaimana
luka-lukamu?" seru Lui Tin-gak sambil menghampiri. "Haya, kenapa
matamu..." setelah dekat baru dia melihat jelas, kedua biji mata Tam
Pa-kun membengkak besar berwarna merah seperti buah apel.
Tam Pa-kun tertawa sedih,
katanya: "Meski menderita aku terhitung beruntung juga, tadi ada orang
yang telah memberi obat kepadaku, jiwaku mungkin takkan berbahaya."
"Mana orang itu?"
tanya Lui Tin-gak melengak.
"Sudah lari pergi,"
sahut Tam Pa-kun.
Lui Tin-gak semakin heran,
tanyanya: "Siapakah dia?"
"Aku tidak tahu siapa
dia, tapi soal ini kita bicarakan nanti, ada urusan penting yang perlu
kutanyakan kepadamu."
"Betapapun kedua matamu
harus lekas diobati, hayolah dicuci dulu di sungai sana."
"Mata menjadi buta juga
tidak jadi soal, Lui toako, kenapa urusan penting tidak kau bicarakan
dulu?"
Lui Tin-gak tahu soal apa yang
hendak dibicarakan, hatinya perih seperti disayat-sayat, katanya dengan tertawa
dibuat-buat: "Urusan penting apa?"
"In Hou sudah tiba di
Kwi-lin, apakah kau sudah bertemu dia?"
"Ya, sudah ketemu."
"Syukurlah. Tadi aku
hampir percaya omongan orang lain, kukira dia betul-betul sudah mati,"
sesaat dia berdiam tidak memperoleh jawaban Lui Tin-gak, walau dia tidak bisa
melihat perubahan mimik muka orang, tapi dia sudah merasakan firasat jelek,
tanyanya lekas: "Lui-toako, ada yang tidak beres?"
Tersendat suara Lui Tin-gak:
"Orang itu memang tidak menipumu. In Tayhiap memang sudah mati."
Mengejang tubuh Tam Pa-kun,
sekujur badan menjadi dingin, derita batinnya jauh lebih parah dari siksaan
racun panah tadi, lama dia mematung, akhirnya tersentak sadar, teriaknya tak
tertahan: "Sudah mati? Bagaimana matinya?"
"Dia dibokong oleh
kawanan penjahat di atas Cit-sing-giam."
Tam Pa-kun sudah menduga bahwa
In Hou pasti juga mengalami nasib seperti dirinya, tapi mendapat keterangan
langsung dari Lui Tin-gak, hatinya tetap kaget dan heran, tanyanya:
"Siapakah yang membokongnya?"
"Kabarnya Le Khong-thian
dan Siang Po-san."
Gemeretak gigi Tam Pa-kun,
katanya: "Kiranya kedua orang ini, apakah mereka masih berada di
Kwi-lin?"
"Entah, kukira mereka
belum pergi. Karena belum mendapatkan barang yang mereka incar, In Tayhiap mati
atau hidup, mereka pasti ingin menyelidiki juga."
"Kalau demikian, jadi
mereka juga terluka?"
"Ya, kabarnya mereka juga
terluka, beberapa hari ini entah mereka sembunyi dimana menyembuhkan luka-luka
itu."
"Tak heran, waktu kawanan
Tok-liong-pang mencelakai aku semalam, kedua gembong iblis ini tidak muncul,
kalau mereka ikut datang, masakah aku bisa hidup sampai sekarang? Ai, In-toako
aku datang terlambat empat hari, sehingga kau menjadi korban, tak nyana lagi
bahwa jiwaku ini kau pula yang menolongku."
"Memangnya aku ingin
tanyakan Tam-toako," kata Lui Tin¬ gak, "biasanya kau paling tepat
janji, kenapa kali ini sampai terlambat empat hari. Dari percakapanmu barusan
agaknya kau sudah menduga bahwa yang mencelakai In-toako adalah kedua gembong
iblis itu, apa pula yang terjadi?"
"Di tengah jalan,
kudengar berita bahwa kedua gembong iblis ini datang hendak mencelakai
In-toako, maka aku terus menempuh perjalanan siang malam, pikirku hendak
menghadang mereka. Tak nyana di tengah jalan beruntun malah aku yang dicegat
dan disergap kaki tangan mereka. Walau beruntung aku dapat lobos, namun aku
sudah terlambat empat hari dari waktu yang dijanjikan."
"Bahwa In Tayhiap hendak
datang ke Kwi-lin, cara bagaimana mereka bisa tahu?" tanya Lui Tin-gak.
"Aku juga heran,
selamanya tak pernah kubicarakan hal ini dengan orang lain, kukira In Hou juga
tidak akan sembarang bicara dengan orang."
"Ya, beberapa tahun yang
lalu pernah kudengar bahwa In Hou ingin tamasya di Kwi-lin, tapi kedatangannya
ke Kwi-lin kali ini kuketahui setelah dia terbokong musuh," lalu dengan
tertawa getir dia melanjutkan: "Kalau dikatakan sebetulnya sedikit banyak
aku juga sudah mendengar kabar angin, tapi dalam perkiraan In Tayhiap, mungkin
dia merasa curiga kepadaku. Sayang di kala dia masih hidup tak sempat aku
memberi penjelasan kepadanya," waktu berkata mimiknya kelihatan aneh,
sayang Tam Pa-kun tidak bisa melihat keanehan ini.
"Lui-toako, kenapa kau
bilang begitu, kau adalah teman karibku yang paling kental, memangnya aku bakal
curiga kepadamu? Menurut hematku, In Hou juga tidak pantas bercuriga
kepadamu."
Lui Tin-gak geleng-geleng
kepala, katanya getir: "Tam-toako, kau tidak tahu."
"Tidak tahu apa?"
"Aku memang pantas
dicurigai, karena terhadap orang pernah aku mengakui bahwa aku sekongkol dengan
kawanan penjahat untuk mencelakainya."
"Kenapa kau bilang
demikian?"
"Panjang kalau
dituturkan, hayolah sambil jalan sambil bicara."
"Betul, aku juga ingin
tanya kepadamu. Katamu kau pernah melihat In Hou. Kapan dan dimana?" .
"Kemarin malam kira-kira
kcntongan ketiga di rumah seorang teman. Sayang sekali yang kulihat hanyalah
jenazah In Tayhiap."
"Temanmu itu bukankah
seorang pemuda tanggung berusia lima belasan, she Tan bernama Ciok-sing?"
"Betul, darimana kau
tahu?"
"Sahabat kecil itulah
yang tadi mengobati luka-lukaku."
"Apa yang dia katakan
terhadapmu?"
"Memang betul dugaanmu,
dia memang menaruh prasangka terhadapmu, dia yakin bahwa kaulah biang keladi
dari kematian In Hou."
Waktu itu mereka sudah tiba di
pinggir sungai, Lui Tin-gak segera membersihkan muka dan badan Tam Pa-kun yang
berlepotan darah, serta membubuhi obat pula. Air sungai yang bening dingin
untuk mencuci mata, Tam Pa-kun merasa jauh lebih segar dan nyaman, matanya
memang bisa terbuka, tapi yang kelihatan hanya samar-samar.
"Apa kau tahu Dewa
Harpa?" tanya Lui Tin-gak.
"Dewa Harpa?" Tam
Pa-kun seperti sadar, "apa maksudmu Tan Kiat-gih locianpwe itu? Apa dia
juga berada di Kwi-lin?"
"Sudah dua puluh tahun
dia mengasingkan diri di bawah Cit-sing-giam, tapi dia sudah mengikat janji
dengan aku, aku dilarang membocorkan asal-usulnya, maka sejauh ini aku tidak
pernah bercerita kepadamu tentang dirinya."
"Kepandaian memetik harpa
cianpwe ini katanya tidak bandingan di kolong langit ini, sudah lama aku
mengagumi namanya. Tapi untuk apa kau menyinggung dia?"
"Pemuda bernama Tan Ciok-sing
yang menolong jiwamu itu adalah cucunya. In Hou dibokong oleh kedua gembong
iblis itu didalam Cit-sing-giam dan terluka parah jatuh kedalam rawa untung Ki
Harpa inilah yang menolongnya, tapi keadaannya waktu itu memang amat
menguatirkan. Peristiwa ini baru kuketahui kemarin, maka kusuruh Ki Harpa
bersandiwara bahwa akulah biang keladi pembunuh In Hou, malah kuminta dia
berusaha supaya orang lain percaya."
Tam Pa-kun paham, katanya:
"Karena waktu itu mati hidup In Hou masih merupakan teka teki, kau kuatir
ada kelompok lain yang berusaha mencelakai In Hou pula, maka sengaja kau terima
memikul tuduhan jahat ini, supaya perhatian orang-orang itu teralih atas
dirimu. Ai, maksud tujuanmu kiranya cukup pahit juga..."
"Banyak terima kasih
Tam-toako atas pengertianmu kepadaku. Sayang In Tayhiap sudah mati, jelas aku
tak kuasa mcmbelek hatiku untuk kutunjukkan kepadanya."
"Lui-toako, urusan sudah
terlanjur sejauh ini, sedihpun tak berguna, yang penting sekarang kita harus
lekas mengurus jenazah In Hou."
"Betul, Ciok-sing bocah
itu, seharusnya aku memberikan perlindungan dan tempat berteduh." Lui
Tin-gak kira sekarang Tan Ciok-sing tentu sudah lari pulang, hatinya masih
ragu-ragu, apakah perlu dia menjelaskan duduknya persoalan?
Rumah kediaman keluarga Tan
berada di Yau-kong-hong di sebelah selatan Po-tho-san, Po-tho-san memiliki
empat puncak yang bernama Thian-sut, Thian-bian, Thian-ki dan Thian-cwan.
Cit-sing-giam berada di puncak Thian-ki-hong.
Kalau Lui Tin-gak mengira Tan
Ciok-sing lari pulang, tak kira waktu dia mengitari lamping gunung Po-tho-san,
tampak di bawah Yau-kong-hong sana, api tampak berkobar-kobar, tempat kebakaran
adalah di rumah keluarga Tan. Sekilas Lui Tin-gak melengak akhirnya menarik
napas panjang.
Walau kedua mata Tam Pa-kun
tak terpentang, namun dia merasakan juga gemeredepnya cahaya panasnya api.
Tanyanya kaget: "Lui-toako, apa yang terjadi?"
"Rumah keluarga Tan sudah
di bumi hanguskan."
"Lalu cucu Ki Harpa
itu..."
"Ciok-sing bocah itu baru
saja melarikan diri dari sini, padahal rumahnya sudah tinggal puing-puing
belaka, agaknya dia sengaja membakar rumah sendiri sebelum meninggalkan
rumahnya tadi. Tadi aku kira dia bakal lari pulang, kiranya dugaanku
meleset."
"Begitu lebih mending,
semoga bocah ini selamat dan walafiat."
"Tapi aku tidak tahu
entah kapan baru akan bisa bertemu dengan dia, dia tentu menganggap aku sebagai
musuh besarnya."
Tiba-tiba Tam Pa-kun teringat
suatu hal, katanya: "Soal ini mungkin kelak masih bisa dibikin terang,
tapi dalam saat-saat genting ini kukira Lui-toako, kau harus meninggalkan
Kwi-lin sementara. Kedua gembong iblis itu..."
Sebelum habis penjelasannya,
Lui Tin-gak sudah tahu maksudnya, katanya tertawa getir: "Betul, setelah
luka-luka kedua gembong iblis ini sembuh, mereka jelas takkan membiarkan aku.
Tadi waktu aku memberantas orang-orang Tok-liong-pang memang sudah ambil
putusan."
"Putusan apa?"
"Meniru Tan Ciok-sing,
membakar rumah tinggal, lalu pergi."
Sedih sekali Tam Pa-kun,
katanya: "Sayang mataku sudah buta, bikin susah kau pula untuk menyembuhkannya,
jelas aku tak mampu membantu kau."
"Harta benda terhitung
apa, yang penting asal diri tidak berbuat salah, setia terhadap kawan sudah
cukup dan tak perlu menyesal."
Dalam pada itu Tan Ciok-sing
sudah dalam perjalanan meninggalkan tempat kelahiran, meninggalkan kampung
halaman dimana dia pernah dibesarkan, berat memang rasanya, tapi mengingat masa
depan, demi menuntut balas sakit hati kakek dan In Tayhiap, dia harus belajar
Kungfu. Pikirnya: "In Tayhiap suruh aku menemui Thio Tan-hong Thio Tayhiap
yang bergelar pendekar nomor satu di jagat ini, semogalah Thian memberikan
wahyunya supaya cita-citaku tercapai. Hm, persetan dengan It-cu-king-thian
segala, tunggu saja, setelah aku kembali kelak, sekali tabas akan kupenggal
kepalanya," sudah tentu mimpipun Tan Ciok-sing tidak menduga, di kala dia
bersumpah dalam hati ini, rumah keluarga Lui juga sudah terbakar habis.
It-cu-king-thian Lui Tin-gak juga tidak akan menunggu dia pulang ke Kwi-lin
lagi.
Tiga bulan kemudian, Tan
Ciok-sing mulai memasuki daratan tinggi di perbatasan Hun-lam dan Kwi-ciu.
Dalam perjalanan selama tiga bulan ini, begitu senggang dia lantas mempelajari
ilmu pukulan dan ajaran golok pemberian In Hou. Dalam ajaran ilmu pukulan juga
tertera pelajaran lwekang, maka setiap pagi dan malam, sehari dua kali Tan
Ciok-sing pasti belajar dan latihan sesuai petunjuk dalam buku. Untung dari
kakeknya dia telah diajarkan dasar latihan pernapasan, dibekali bakatnya yang
baik lagi, untuk belajar lwekang tingkat tinggi, meski tanpa bimbingan guru,
akhirnya dia berhasil juga. Setelah tiga bulan meski dia baru mencapai kulitnya
dalam pelajaran lwekang tingkat tinggi ini, tapi dibanding sebelumnya, jelas
bedanya teramat jauh. Tapi beberapa jurus pelajaran ilmu pedang yang tertulis
didalam Kiam-boh karya Thio Tan-hong itu, sejauh ini masih belum berhasil
diselaminya.
Hari itu dia tiba di sebuah
kota kecil, hari sudah mulai gelap, dalam kota ini hanya terdapat sebuah hotel
kecil, maka Tan Ciok-sing menginap di hotel ini. Waktu meninggalkan rumah, Tan
Ciok-sing hanya membawa dua perangkat pakaian selama menempuh perjalanan tiga
bulan ini, tak sempat dia membuat atau membeli pakaian baru, maka pakaian yang
dipakainya sekarang bukan saja warnanya sudah luntur, kotor dan butut lagi. Apa
lagi usianya yang masih terlalu muda, muka kotor kena debu, menggendong sebuah
kotak kayu yang sudah rombeng dan buntalan kecil yang enteng saja, keadaannya
memang rada lucu.
Pemilik hotel seorang yang
mata duitan, melihat keadaannya minta kamar lagi, seketika dia mengerutkan
alis, katanya: "Menurut peraturan hotel kami, uang makan dan uang nginap
harus dibayar dimuka."
"Boleh saja, berapa aku
harus membayar," kata Tan Ciok-sing. Tak nyana waktu dia merogoh kantong,
seketika dia berdiri tertegun, ternyata uang pecahan yang dibawanya telah
habis, sisanya hanya beberapa keping uang tembaga dan kacang emas pemberian In
Hou.
Pemilik hotel
menghitung-hitung: "Tarip kamar biar kuhitung tiga ketip saja, ditambah
ongkos makan dua kali dan lain-lain biarlah dihitung genap satu tail saja. Hayo
segera bayar."
"Aku tidak punya uang
perak, tapi..."
Belum habis dia bicara pemilik
hotel sudah mendelik gusar, serunya: "Uangmu hanya beberapa keping tembaga
ini, memangnya kau hendak makan dan nginap gratis. Makanya, masa ada urusan segampang
ini?"
"Bukan begitu, walau aku
tidak punya uang perak, tapi aku punya emas," seru Tan Ciok-sing. Pemilik
hotel mendelik kaget, serunya terbeliak: "Kau punya emas, coba
keluarkan."
Tan Ciok-sing keluarkan
sebutir kacang emas, katanya: "Nah terimalah kacang emas ini, nilainya
kukira lebih dari satu tail perak?"
Kota ini terletak di dataran
tinggi, penduduknya rata-rata kaum miskin, yang menginap di hotel ini
kebanyakan adalah kaum pesuruh atau pedagang kelilingan, kapan pernah melihat
tamu yang memiliki emas? Demikian pula pemilik hotel yang kemaruk uang ini, dia
pun belum pernah melihat emas.
Sekian lama dia mengawasi
pemuda tanggung yang kotor dan butut ini, mana berani dia percaya bahwa uang
yang dikeluarkan ini emas tulen, segera dia menjengek dingin: "Sebutir
tembaga kuning hendak kau gunakan menipuku, kau kira aku ini goblok?"
"Ini emas murni, tidak
percaya boleh kau bawa ke toko emas atau tukarkan ke bank."
"Memangnya kau kira aku
punya banyak waktu lari ke kota besar menukarkan tembagamu ini," ternyata
kota kecil ini tiada bank.
"Tapi emasku ini
betul-betul murni, kalau ada tempo kan bisa kau pergi menukarnya."
Pemilik hotel mendengus ejek,
katanya: "Umpama benar emas murni, aku kan tidak tahu dari mana kau bisa
memilikinya. Orang kecil seperti kami ingin berdagang secara halal, jangan
nanti kami terembet urusan dengan opas."
Tan Ciok-sing geregetan,
katanya: "Kau kira aku mencuri?"
"Kau sendiri yang bilang.
Pendek kata aku minta pembayaran uang perak, kalau tanpa uang perak lekas kau enyah
dari sini, jangan membuat ribut saja."
Malu dan jengkel Tan Ciok-sing
dibuatnya, namun mengingat pemilik hotel ini memang manusia kampungan terpaksa
dia menahan amarah, katanya: "Baiklah, kau tidak percaya bahwa uangku ini
emas, biarlah aku pergi saja."
Tiba-tiba seorang berkata:
"Engkoh cilik, buat apa kau marah-marah? Di kota ini hanya ada hotel ini
saja, kemana kau hendak menginap? Penduduk juga takkan mau menerima orang yang
tidak dikenal asal-usulnya. Marilah coba kubantu membereskan."
Kiranya dua tamu yang sudah
menginap lebih dulu keluar dari kamar mendengar keributan ini, seorang
laki-laki,setengah umur berbadan pendek kekar, seorang lagi berhidung betet,
mata cekung dan berjambang bauk, perawakannya tinggi keren, dilihat tampangnya
jelas dia bukan orang bangsa Han. Yang bicara tadi adalah laki-laki setengah
umur itu.
"Aku toh bukan pengemis,
kenapa harus minta-minta kepadanya," demikian kata Tan Ciok-sing.
"Tentu, tentu," ucap
laki-laki pendek, "siapa berani memandang rendah kau? Tapi Laopan tidak
mau terima emas, kau pun tidak boleh memaksanya, betul tidak? Lebih baik begini
saja, kau keluarkan salah satu barangmu sebagai tanggungan bagaimana? Emasmu
itu kan bisa ditukarkan sembarang waktu untuk menebusnya. Bukankah ini cara
yang paling baik untuk kedua pihak?"
"Aku tidak punya barang
apa untuk dibuat tanggungan disini," ujar Tan Ciok-sing.
"Lalu apa isi kotakmu
ini?" tanya laki-laki pendek.
Dalam kotak berisi harpa kuno
warisan kakek Tan Ciok-sing, mana boleh barang berharga ini untuk barang
tanggungan, maka dia berkata: "Ah, hanya sebuah harpa bobrok, kukira Toa
laopan ini juga tidak akan mau menerimanya."
"Coba dikeluarkan supaya
dilihat, kan tidak apa-apa?" pinta laki-laki pendek.
Betapapun Tan Ciok-sing masih
merupakan pemuda tanggung, gampang dipancing dan suka ngumbar emosi, pikirnya:
"Kalau tidak kuperlihatkan, mungkin mereka kira yang tersimpan didalam
kotak ini barang curian."
Laki-laki brewok seperti orang
asing itu menatap tajam tanpa berkedip pada kotak harpanya ini. Demikian pula
tergerak hati laki-laki pendek, namun mimik mukanya tidak menunjukkan ketamakan
hatinya.
Pemilik hotel mendengus lagi,
katanya: "Harpa bobrokmu ini, paling dinilai belasan keping uang tembaga
atau dimasukkan dapur untuk kayu bakar. Em, lalu apa pula isi buntalanmu itu?
Barang lain tidak jadi soal,
tapi dalam buntalannya ini dia simpan golok pusaka In Hou. Karena kalau golok
digantung di pinggang bisa menarik perhatian orang, maka sengaja Ciok-sing
menyimpan dalam buntalannya. "Harpa kuno boleh dilihat orang, tapi golok
pusaka ini sekali-kali tak boleh diketahui orang," maka sengaja dia
pura-pura naik pitam, katanya: "Aku lebih suka nginap di emperan toko,
dari pada kau hina disini. Batal saja."
Pemilik hotel mengejek:
"Buntalanmu itu paling berisi satu stel pakaian rombeng, memangnya kau
kira aku sudi menerima, enyahlah."
Baru saja Tan Ciok-sing putar
badan, laki-laki brewok hidung betet itu tiba-tiba menahannya, katanya:
"Adik cilik, kenapa kau sepandangan seperti dia?" dia bicara bahasa
Han, cuma logatnya kaku, jelas memang bukan orang Han.
Dalam waktu yang sama
laki-laki pendek itu sudah merogoh kantong mengeluarkan sebutir uang perak
terus disodorkan kepada pemilik hotel, katanya:
"Coba kau timbang, uang
perak ini tentu lebih setahil? Kelebihannya boleh untukmu."
"Pemilik hotel tertegun,
tanyanya: 'Kau yang mentraktir?"
"Aturan hotelmu ini
tentunya tidak melarang orang lain mentraktir temannya bukan?"
"Tuan ini jangan
menggoda, bagi kaum pedagang seperti kita ini, memangnya menolak rejeki
malah?" bahwa dia hitung uang makan dan penginapan Tan Ciok-sing setahil
perak sudah menggorok beberapa lipat dari tarip biasanya, agaknya dia memang
sengaja hendak mempersulit Tan Ciok-sing.
"Tuan ini justru pembawa
rejeki, lekaslah kau panggil dia kembali, sediakan sebuah kamar untuk
dia," demikian kata laki-laki pendek.
Setelah menerima uang sikap
pemilik hotel ternyata berubah, sambil berseri tawa munduk-munduk lagi,
katanya: "Siangkong mohon maaf akan kekurang ajaranku tadi, harap tidak
berkecil hati. Kebetulan masih ada sebuah kamar kelas satu, letaknya
berdampingan dengan kamar kedua tuan ini, silahkan masuk dan
beristirahat."
Tan Ciok-sing tidak mau terima
kebaikan orang, kacang emas itu dia keluarkan lagi dan berkata pada laki-laki
pendek: "Terima kasih kau membayar rekening hotelku, nah terimalah uang
emasku ini."
"Uang setahil perak
terhitung apa?" ucap laki-laki pendek, "kalau kau kembalikan padaku
berarti kau tidak pandang kami sebagai sahabat."
"Selama ini kita belum
kenal, mana boleh merogoh kantongmu untuk keperluanku," kata Tan Ciok-sing
rikuh.
Laki-laki pendek bergelak
tawa, katanya: "Di empat penjuru lautan semuanya saudara. Setulus hati aku
ingin bersahabat dengan kau."
Tan Ciok-sing jadi rikuh untuk
paksa orang menerima uang emasnya, tapi kuatir kedua orang ini terus ajak dia
ngobrol, dia pura-pura menggeliat dan menguap terus minta diri.
Laki-laki pendek itu berkata:
"Saudara cilik, sehari ini agaknya kau menempuh perjalanan, badan tentu
sudah penat, silahkan beristirahat."
Setelah makan malam Tan
Ciok-sing tutup pintu kamarnya terus merebahkan diri di atas ranjang. Waktu
makan tadi dia kuatir kedua orang di sebelah akan datang ajak dia ngobrol pula,
tak kira kedua orang itu lebih pagi menutup pintu kamarnya, tidak mengganggunya
lagi.
Rebah di atas ranjang, Tan
Ciok-sing berpikir, "Kedua orang itu agaknya orang baik hati sekali-kali
aku tak boleh menerima kebaikan orang secara percuma. Nanti setelah mereka
tidur nyenyak, secara diam-diam biar kumasukkan sebuah kacang emas kedalam
buntalan mereka," lebih lanjut dia berpikir pula, "Tapi apakah caraku
itu tidak terlalu kasar. Mereka anggap aku sebagai sahabat, aku membalasnya
dengan cara yang kurang sportif apakah tidak memalukan."
Karena tak berhasil
menyimpulkan cara untuk membalas kebaikan orang, lama kelamaan Tan Ciok-sing
merasa kelelahan, di saat dia layap-layap hendak tertidur, tiba-tiba hidungnya
mengendus bau wangi, rasa kantuknya seketika bertambah berat, karuan hatinya
kaget, lekas-lekas dia gigit ujung lidah, rasa sakit membuat
semangatnya.bangkit, waktu dia melongok kesana didapatinya kertas jendela telah
berlobang, diluar lobang tampak setitik sinar api, asap wangi tampak dihembus
masuk melalui lobang kecil itu.
"Kurcaci, kiranya berani
bertingkah disini hendak mencelakai aku si rudin ini," demikian batin Tan
Ciok-sing.
Untung Tan Ciok-sing sudah
meyakinkan lwekang selama tiga bulan, meski dupa wangi yang memabukkan ini
liehay, dalam waktu singkat ini masih belum membuatnya pingsan. Setelah
menggigit ujung lidah rasa kantuk seketika lenyap, lekas dia keluarkan sebutir
pil penawar racun terus ditelannya. Pikirnya, "Orang tua sering berwejang
harta dan uang jangan suka dipamer di muka umum, mungkin penjahat ini melihat
si rudin macamku ini memiliki kacang emas, maka mau menggerayang aku."
Tengah dia membatin tiba-tiba
terdengar suara yang sudah dikenalnya berbisik diluar jendela. "Mengerjai
bocah yang masih berbau pupuk bawang kukira tak perlu banyak susah, kukira
sudah
Cukuplah.”
Seorang lain berkata:
"Berhati-hati kan lebih baik, bocah itu pandai Kungfu, tunggu lagi
sebentar," percakapan mereka amat lirih merubah suara lagi, maka Tan
Ciok-sing tidak yakin apakah kedua orang itu adalah tamu di sebelah yang tadi
membantu dirinya
Sesaat lagi, mungkin kedua
penjahat ini sangka Tan Ciok-sing sudah pulas, pelan-pelan mereka mendorong
jendela terus melompat masuk. Langkahnya ringan tidak mengeluarkan suara.
Ginkang mereka ternyata tidak rendah.
Golok milik In Hou memang
sudah disiapkan di bawah bantalnya, kalau dengan golok ini secara mendadak dia
bacok kedua maling ini, memang tidak sukar untuk membunuhnya, dasar dia bocah
gunung yang berhati bajik, mana berani dia membunuh orang, buntalanpun dia
dorong ke sebelah dalam, batinnya, "Kalau betul mereka tamu di kamar sebelah,
mereka pernah membantu aku, cukup bila aku menggertak mereka saja."
Cepat sekali kedua maling itu
sudah tiba di depan ranjangnya, tangan di ulur terus mencengkram ke pundaknya,
tapi cengkramannya luput, tahu-tahu Tan Ciok-sing bangun berduduk, katanya:
"Kawan, kau perlu uang, ada beberapa kacang emas ini, nah, ambillah,"
sembari bicara dengan suatu gerakan cepat yang liehay dan cekatan dia sisipkan
ketiga butir kacang emas itu ke telapak tangan sang maling terus didorongnya
pergi.
Kalau dia berhati bajik
sebaliknya maling ini bermaksud jahat padanya. Maling yang lain sebat sekali
telah menubruk maju, kelima jarinya bagai cakar mencengkram ke tenggorokannya.
Maling yang didorongaya pergi itu lebih jahat lagi, ternyata dia mencabut golok
terus membacok.
Karuan Tan Ciok-sing gusar,
kontan dia layangkan kakinya, meski dalam kegelapan tapi tendangannya ternyata
telak sekali, yang ditendang pergelangan musuh, "Trang" golok lawan
mencelat terbang keluar jendela dan jatuh berkerontang di tanah.
Tak berhasil mencengkram
tenggorokannya penjahat yang lain merubah gerakan terus mencengkram ke pundak,
tulang pundak merupakan titik kelemahan manusia, kalau sampai diremas hancur,
betapapun tinggi ilmu silat orang, tenaga takkan mampu dikerahkan lagi. Saat
mana Tan Ciok-sing sudah lompat turun dari atas ranjang, sedikit miringkan
tubuh dengan jurus Thi-bun-san (palang pintu besi), lengan lawan hendak
ditelikungnya. Tapi
Kbpailuaian pvnjciiiat yang
itu
ternyata jauh lebih tinggi
dari temannya, lekas dia merendahkan pundak menyurutkan lengan, tahu-tahu
tangannya terbalik melancarkan Kim-na-jiu, "Bret* baju Tan Ciok-sing kena
dicengkramnya robek. Sementara kawannya yang kehilangan senjata telah menubruk
maju pula, "Wut" sebuah pukulan mengincar punggung Tan Ciok-sing. Sekaligus
menghadapi keroyokan ' dua musuh, bagi Tan Ciok-sing yang belum punya
pengalaman tempur ini menjadi kerepotan juga, di saat-saat genting itu,
penjahat yang berkepandaian lebih tinggi itu mendadak menjerit
"aduh", agaknya terluka.
Tangan Tan Ciok-sing terayun
balik dengan telak menggenjot dada penjahat yang lain, sambil mengeluarkan
gerangan tertahan dia sempoyongan mundur, kebetulan tiba di depan pintu, sekali
tendang daun pintu ditendangnya roboh berantakan, tanpa janji keduanya terus
ngacir angkat kaki seribu.
Diam-diam Tan Ciok-sing merasa
bersyukur dan beruntung, pikirnya, "Penjahat yang satu berkepandaian
lemah, tapi kawannya itu tinggi ilmunya, mungkin lebih unggul dariku. Aneh, aku
yakin tadi tidak melukai dia, memangnya ada orang yang membantuku secara
diam-diam?”
Tujuannya memang hanya memukul
mundur penjahat, setelah tujuan tercapai, diapun tidak keluar mengejar. Segera
dia sulut pelita dan memeriksa, apakah ada barangnya yang hilang.
Setelah keadaan jadi terang,
pertama dia temukan kotak kayu terjatuh di lantai, kotak pemberian In Hou
dimana tersimpan Kiam-boh karya Thio Tan-hong. Seperti diketahui kotak ini ada
dipasang alat rahasia, kalau tidak tahu cara membukanya, tutup kotak bisa
menjeplak dan di dalamnya menjulur enam batang pisau kecil yang berposisi
saling silang merupakan jala pisau. Tutup kotak itu kini juga sudah terbuka,
tapi pisau-pisau kecil itu sudah mengkeret ke tempatnya.
Baru sekarang Tan Ciok-sing
paham, "Jadi kotak inilah-yang telah membantuku," dia duga penjahat
itu telah mencuri kotaknya ini, tapi jari tangannya terluka oleh pisau-pisau
kecil yang dipasang didalam kotak.
Untung Kiam-boh karya Thio
Tan-hong dan pelajaran ilmu golok serta pukulan peninggalan In Hou tiada yang
hilang. Tan Ciok-sing menghela napas lega, setelah ditutup, kotak dimasukkan
kedalam bajunya. Pelita dijinjingnya memeriksa ranjang, kali ini dia
betul-betul kaget, ternyata buntalannya telah lenyap.
Pakaian rombeng dalam buntalan
itu tidak jadi soal, tapi golok pusaka milik In Hou itu berada dalam buntalan
juga, sekali-sekali golok itu tidak boleh hilang.
Padahal buntalannya tadi dia
dorong ke belakang ranjang serta ditutupi selimut. Tak nyana meski telah
berlaku hati-hati tetap hilang, lebih baik kalau tadi dia sembunyikan ke bawah
ranjang bersama harpanya. Untung harpa warisan kakeknya tidak ikut hilang.
Dalam perjalanan dia ada
membawa tiga macam barang pusaka, pertama harpa peninggalan kakeknya, kedua
Kiam-boh karya Thio Tan-hong dan ketiga golok pusaka peninggalan In Hou, bahwa
hanya satu yang hilang dari ketiga pusakanya itu, boleh dikata dia sudah cukup
beruntung. Namun demikian dia sudah merasa sayang dan gegetun.
Sudah tentu keributan ini
membuat kaget pemilik hotel dan tamu-tamu lainnya, beruntun mereka berbondong
mendatangi kamar Tan Ciok-sing. Hotel kecil ini hanya memiliki lima kamar, hari
itu tamu yang menginap hanya lima orang, ditambah pemilik hotel dan pembantunya
seluruhnya ada tujuh orang, tapi kamar Tan Ciok-sing sudah menjadi sesak dan
bejubel. Para tamu itu seperti berlomba tanya apa yang terjadi, sudah tentu Tan
Ciok-sing segan menceritakan apa yang terjadi sebenarnya, secara gampang dia
memberi jawaban, sembari melayani mereka diam-diam iapun perhatikan kedua tamu
yang sore tadi membantu dirinya.
Perhatian ini ternyata membawa
hasil, tampak laki-laki brewok berhidung betet itu jari tengah tangan kanannya
dibalut kain putih, darah kelihatan masih merembes keluar. Sementara laki
pendek itu bila bicara napasnya kelihatan tersengal, setiap beberapa patah kata
pasti batuk-batuk sambil meraba dada.
Rasa curiga Tan Ciok-sing
bertambah besar, pikirnya, "Suara kedua penjahat tadi mirip mereka,
perawakannya juga satu tinggi yang lain pendek, naga-naganya pasti
mereka."
Mendengar bahwa dia hanya
kehilangan sebuah buntalan berisi pakaian lama dan barang yang tidak berharga,
para tamu itu lantas tidak ambil perhatian lebih lanjut, malah ada yang
berolok. "Sebal juga maling kecil itu, kukira kau kehilangan barang
berharga apa," secara tidak langsung nadanya seperti mau menyalahkan Tan
Ciok-sing hanya kehilangan barang-barang sepele kok bikin geger.
Pemilik hotel juga tertawa
dingin. "Dalam hotel kecil kami ini selamanya belum pernah terjadi
pencurian, kalau benar ada peristiwa pencurian disini, aneh juga kenapa maling
itu tidak mengincar barang milik siapa yang berharga, tapi malah mencuri
pakaian rombengmu."
Seorang tamu yang baik hati
menimbrung, "Mungkin maling itu datang dari luar daerah, malam-malam dia
kesasar masuk ke hotel ini, mana dia tahu tamu mana punya uang. Engkoh cilik,
coba kau periksa lagi apakah kau ada kehilangan uang?"
Pemilik hotel menyeringai
dingin, katanya, "Kalau dia membawa uang, memangnya perlu orang lain
mentraktir dia makan dan menginap disini," bahwa kejadian kedua tamu tadi
membayar uang penginapan Tan Ciok-sing belum ada yang tahu, sengaja pemilik
hotel membeber keburukannya ini dihadapan orang banyak.
Mendengar peringatan tamu yang
baik hati tadi, maka Tan Ciok-sing ingat akan kacang emasnya itu, lekas dia
merogoh kantong, ternyata kantong berisi kacang emas itupun telah terbang entah
kemana. Mungkin waktu pencuri tadi sempat menjambret robek, pakaiannya, kantong
kecil itupun kena direbutnya. Tanpa sadar dia menjerit tertahan, serunya,
"Ya, kacang emasku juga hilang."
Tamu yang baik hati itu melengak,
serunya, "Apa? Kau punya kacang emas? Berapa jumlahnya?" karena Tan
Ciok-sing berpakaian butut dalam hati dia tidak mau percaya.
"Kira-kira ada dua puluh
atau tiga puluh butir," sahut Tan Ciok-sing.
"Berapa kira-kira?"
tanya tamu yang baik hati itu.
"Aku tidak pernah
menghitungnya dengan pasti," sahut Tan Ciok-sing.
Tamu itu mengerutkan kening,
katanya, "Kalau demikian, engkoh cilik ini orang yang pandai
menyembunyikan diri. Belum pernah aku melihat orang yang punya uang suka
berlaku rudin seperti ini," nadanya sudah jelas bahwa dia lebih tidak
percaya akan omongan Tan Ciok-sing.
Pemilik hotel tertawa dingin,
katanya, "Kalian dengar? Dia mana punya kacang emas segala? Tadi dia
memang pernah membayar sebuah kacang warna kuning mengkilap, katanya kacang
emas untuk membayar ongkos menginap. Hehe, setelah kuperiksa kiranya adalah
mainan yang terbuat dari tembaga."
Tan Ciok-sing naik pitam,
serunya, "Barangku sudah hilang, kalau kau katakan itu tembaga, akupun
tidak perlu berdebat dengan kau."
Tamu perawakan pendek menyela,
"Kau kehilangan kacang emas sebanyak itu, apa tidak perlu lapor kepada
opas?"
Tan Ciok-sing menatapnya,
katanya, "Buat apa aku laporkan kepada opas, aku hanya mengharap pencuri
itu suka kembalikan barang-barangku itu secara diam-diam. Kacang emas tidak
dikembalikan tidak jadi soal, asal dia kembalikan buntalanku itu."
"Bagus ya," semprot
pemilik hotel, "memangnya aku sudah tidak sabar lagi, agaknya harus
kubongkar tampang aslimu, kau bocah rudin ini pura-pura kehilangan barang, memangnya
kau hendak memeras aku untuk mengganti kehilanganmu?"
Jengkel dan keki Tan Ciok-sing
dibuatnya, katanya, "Aku kan tidak minta kepadamu."
"Sebanyak itu uangmu
hilang di hotelku, kalau dilaporkan, memang hotelku ini tidak tersangkut paut?
Maka urusan ini harus dibikin beres sekarang juga."
"Tadi sudah kukatakan,
aku tidak akan lapor," seru Tan Ciok-sing.
Tamu baik hati itu juga kira
Tan Ciok-sing memang membual, maka sikapnya kini berubah kurang simpatik,
katanya, "Mendengar kata-katamu tadi, seolah-olah kau mencurigai semua
tamu yang menginap di hotel ini, hayolah bicara terus terang saja siapa yang
kau curigai?"
"Tidak berani," kata
Tan Ciok-sing, "maksudku mungkin pencuri tadi tidak sempat membawa kabur
barang-barangku dan disimpan entah dimana dalam hotel ini. Bilamana tuan-tuan
melihatnya sudilah mengembalikan kepadaku, sungguh tak terhingga terima
kasihku."
Dasar Tan Ciok-sing adalah
pemuda tanggung yang cetek pengalaman dan belum pernah bergaul dalam
masyarakat, dia kira kata-katanya tadi sudah cukup sopan dan masuk di akal,
sehingga sang pencuri tahu diri dan tidak kehilangan muka, secara diam-diam
minta damai padanya. Tak kira ucapannya ini justru menimbulkan reaksi masai.
Tamu-tamu yang lain ikut gusar
dan gempar jadinya. "Keparat, kau bilang begitu, kan berarti kami juga
dicurigai, memangnya kau hendak menggeledah kamar kami?" —--"Bagus
ya, kau bocah rudin ini, memangnya kau jadi gila karena tak punya uang, tak
berhasil memeras pemilik hotel, lalu hendak mengancam kami?"
"Hayo gusur saja bocah
rudin ini ke kantor polisi, jangan biarkan dia main tipu disini," cuma
kedua tamu tadi tidak ikut memaki terhadap Tan Ciok-sing.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing
berpaling ke arah laki-laki tinggi berhidung betet itu, katanya, "Harap
tanya, cara bagaimana jarimu itu sampai terluka?"
Berubah air muka si brewok,
katanya, "Jariku terluka, perduli amat dengan kau?"
"Tidak apa-apa, hanya
tanya sambil lalu saja, kalau kau tidak mau jelaskan, ya sudah. Buat apa
marah-marah?"
Laki-laki brewok itu naik
pitam, serunya, "Baiklah bicara blak-blakan saja, apakah kau mencurigai
aku yang mencuri barangmu?"
"Siapa mencuri barangku
dia tahu sendiri. Aku kan tidak menyebut dirimu," demikian ujar Tan
Ciok-sing.
Saking marah membesi muka si
brewok, dampratnya, "Jelas kau telah menuduhku, kurang ajar melihat kau
tak punya uang, kami kasihan dan menolongmu membayar rekening hotel, sekarang
kau malah menuduhku sebagai maling."
Hadirin sama memaki dan
menyalahkan Tan Ciok-sing. Pemilik hotel bersuara paling lantang. "Bocah
kurcaci yang membalas budi kebaikan dengan kejahatan begini, buat apa banyak
bacot sama dia, gusur ke kantor polisi saja."
Laki-laki pendek itu
berpura-pura jadi penengah, lekas dia menyabarkan kemarahan hadirin, katanya,
"Belum tentu dia ini penipu, mungkin karena sudah kehabisan ongkos lalu
cari akal, supaya ditraktir orang. Kita orang dewasa tidak perlu membuat ribut
dengan bocah rudin yang masih ingusan ini, biar aku bujuk dan jelaskan
padanya," lalu dia berpaling katanya setelah batuk-batuk dua kali,
"Jari temanku ini teriris pisau waktu mengiris buah mangga, kenapa kau
ingin tahu sebab musababnya?"
Tak tahan lagi Tan Ciok-sing
bicara lebih keras, "Tadi aku gebrak dengan kedua penjahat itu, salah
seorang kena kulukai jarinya. Kalau temanmu teriris pisau waktu menguliti
mangga, terang bukan dia adanya, harap tidak berkecil hati," dia suruh
orang lain tidak berkecil hati, hakikatnya kata-katanya tadi berarti menuding
hwesio memakinya gundul.
Karuan hadirin dibuatnya marah
lagi, pemilik hotel berjingkrak lebih gusar, "Nah coba semakin temberang
seperti anjing gila, main gigit saja, orang yang memberinya makan juga
digigitnya malah, bicara soal keadilan apa lagi dengan dia?"
"Dia tidak tahu keadilan
adalah urusannya, kita kan orang dewasa, harus dapat memaafkan keteledorannya.
Adik cilik, aku tidur sekamar dengan temanku ini, kau mencurigai dia, apakah
kau juga mencurigai aku?"
Kata Tan Ciok-sing,
"Seorang pencuri yang lain kena kugenjot dadanya," waktu dia bicara,
kebetulan laki-laki pendek ini sedang batuk-batuk dan menahan dada.
Karuan laki-laki pendek
berubah air mukanya, katanya, "Aku kena pilek dan batuk, jadi kau
mencurigai aku. Baiklah, tuan-tuan sekalian harap menjadi saksi, biarlah bocah
ini menggeledah kamarku, apakah dia dapat menunjukkan barangnya yang dicuri
orang."
Tamu yang baik hati tadi
berkata, "Betul, semula aku simpatik terhadapnya, kini kurasakan juga dia
memang keterlaluan. Kalau bukti tidak dapat ditemukan, kita harus menghajarnya
sebagai peringatan.
Tapi tak perlu membikinnya banyak
susah, soal dilaporkan polisi, kukira boleh tidak usah."
Tan Ciok-sing tahu kalau orang
berani suruh dirinya menggeledah kamar, tentu golok dan uang emasnya sudah
disembunyikan di tempat lain, kata dia tertawa dingin, "Barang yang telah
hilang mana dapat ditemukan lagi, biarlah aku terima nasib saja."
"Kau tidak berani
memeriksa, berarti kau sendirilah pencurinya," damprat pemilik hotel.
Laki-laki pendek itu mengunjuk
sikap belas kasihan, katanya, "Bocah ini saking rudin sepeser uangpun
tidak punya, memang harus dikasihani. Biarlah aku membantumu sekali lagi,
harpamu ini boleh kau serahkan padaku, kubayar sepuluh tahil perak untuk sangu
kau pulang ke rumah," hadirin sama memuji kebaikan hatinya yang jarang ada
di dunia ini.
"Mujur juga kau bocah rudin
ini, hayo lekas ucapkan banyak terima kasih," seru pemilik hotel.
"Meski aku mati kelaparan
juga tidak akan menjual harpaku ini," sahut Tan Ciok-sing tegas.
Tamu baik hati itu berkata,
"Kau ini memang tidak tahu kebaikan, memangnya kau suka gegares nasi orang
dan terima uang orang lain secara percuma?"
"Kenapa dia harus kasihan
padaku, harpa warisan keluargaku ini sekali-kali tidak boleh terjatuh ke tangan
orang-orang jahat," sahut Tan Ciok-sing.
Tamu-tamu lain yang menonton
keramaian jadi ikut naik pitam dan menaruh simpatik akan kebaikan laki-laki
pendek, seorang tamu berkata, "Anjing saja masih bisa membedakan kebaikan.
Hidup setua ini, belum pernah aku melihat bocah goblok dan sebandel ini."
"Padahal tuan tamu ini
tadi sudah membayar setahil perak untuk ongkos kamar dan makannya, harpa bobrok
ini paling seharga belasan keping tembaga, tuan ini sudah punya hak merampas
harpanya itu sebagai tumbal," demikian seru pemilik hotel.
Tan Ciok-sing mundur selangkah
sambil memeluk harpa, katanya dingin, "Siapa berani merebut harpaku, biar
aku adu jiwa dengan dia."
"Kau bocah ini memangnya
sudah gila, makan tidur gratis masih bersikap kasar terhadap orang yang
menolongmu," demikian damprat pemilik hotel, "agaknya kalau tidak
dihajar dia tidak akan kapok, hayo gusur ke kantor polisi biar dihajar
bokongnya," sembari bicara dia sudah menggulung lengan baju serta bergaya
hendak menubruk maju.
Tan Ciok-sing pun sudah marah
betul, matanya mendelik beringas, agaknya laki-laki pendek itu jadi jeri,
bujuknya, "Sudahlah, akupun bukan mengincar harpanya itu, anggaplah aku
lagi sial, setahil perak anggap saja memberi sedekah pada pengemis."
Bahwasanya pemilik hotel juga
takut kalau berurusan dengan polisi, segera dia membentak, "Betapa besar
jiwa tuan tamu ini, memandang mukanya, aku tidak akan menarik panjang peristiwa
ini. Sekarang enyah kau bocah gila ini."
"Pergi ya pergi,"
seru Tan Ciok-cing, lalu dia menuding ke dua tamu itu, katanya,
"Tinggalkan alamat dan nama kalian."
"Untuk apa?" tanya
laki-laki pendek.
"Kalian sudah membayar
satu tahil untuk ongkos nginap dan makanku, kelak pasti akan kuganti dua kali
lipat."
"Laki-laki pendek
bergelak tawa, katanya, "Siapa minta balasanmu? Sudah kukatakan
kuanggap..."
Mendelik bundar bola mata Tan
Ciok-sing, serunya, "Anggap apa?" serasa hampir meledak dadanya,
kalau laki-laki ini berani mencemoohnya lagi, dia sudah siap adu jiwa tanpa
hiraukan apa akibat yang bakal menimpanya, paling tidak laki-laki ini harus
dihajar.
Jeri juga laki-laki pendek
itu, katanya, "Ah, tidak apa-apa, kau harus tahu aku sudah membantu tanpa
ingin menuntut balasan. Lekas kau pergi saja."
"Bocah ini memang
sinting," hadirin sama memaki, "kalau bikin geger lagi, tuan tamu ini
mengampuni kau, biar kami nanti yang menghajarmu."
Tan Ciok-sing tidak gentar
menghadapi dua lawan ini, tapi dia tidak ingin berkelahi dengan tamu-tamu lain
yang tidak pandai main silat, terpaksa dia beranjak keluar sambil menggerundel,
harpa dipeluknya kencang-kencang. Setiba di ambang pintu keluar dia berpaling,
"Hm, menanam budi tidak mengharap balasannya, kuingat kebaikan kalian hari
ini." Di belakang terdengar gemuruh gelak tawa dan cemoohan orang banyak.
Tahu dirinya takkan bisa
berpijak lagi di kota kecil ini, terpaksa Tan Ciok-sing menunggu kedua tamu itu
keluar di ujung jalan raya, pikirnya, "Harta dan uang tidak jadi soal,
tapi golok pusaka In Tayhiap sekali-kali tidak boleh terjatuh ke tangan
mereka."
Tak tahunya setelah tunggu
punya tunggu, belum juga kelihatan kedua tamu itu keluar, tanpa terasa hari
sudah mendekati tengah hari, perut Tan Ciok-sing sudah kelaparan. Akhirnya dia
sadar juga, batinnya, "Pasti mereka sudah pergi menempuh jurusan
lain."
Akhirnya dia nekad kembali ke
hotel, ternyata kuda tunggangan kedua tamu itu memang sudah tidak ada. Pemilik
hotel berlari keluar mengusirnya. Saking jengkel Tan Ciok-sing segera
meninggalkan kota kecil ini, entah berapa jauh dia menempuh perjalanan, rasa
lapar perutnya sungguh tak tertahan lagi.
Untung tak berapa lama lagi
dia tiba di sebuah kota kecil yang berdekatan. Kota kecil yang ini agaknya
lebih ramai dibandingkan kota kecil yang semalam dia menginap. Kebetulan Tan
Ciok-sing lewat di depan sebuah warung makan, mencium harumnya masakan sedap
perutnya betul-betul memberontak, tanpa pikir segera dia melangkah masuk.
Lima meja dalam warung itu
sudah terisi tamu, satu di antaranya di sebelah atas duduk seoraug berpakaian
perwira, seorang majikan kaya ditemani beberapa orang sekolahan dan terpandang
dari penduduk setempat. Mereka tengah ngobrol panjang lebar sambil makan minum
seperti dalam rumah sendiri, tak perduli kehadiran orang lain.
Waktu Tan Ciok-sing yang
berpakaian rombeng memasuki warung, seorang tamu segera mengerutkan kening,
katanya, "Kau pengemis ini memangnya tidak tahu aturan minta-minta? Hayo
tunggu sedekah diluar."
Merah muka Tan Ciok-sing,
katanya, "Aku bukan pengemis."
"Bukan pengemis?
Memangnya kau tamu yang hendak makan minum disini?" kata seorang tamu
lain. Kata-katanya ini mendapat sambutan gelak tawa tamu-tamu yang ada.
Menahan gusar dan lapar Tan
Ciok-sing berkata, "Aku tak punya uang untuk makan minum tapi aku bukan
pengemis, aku hanya menjual bakat."
Laki-laki perut gendut mirip
majikan itu mungkin sudah setengah sinting karena kebanyakan minum arak, diapun
berolok dengan tertawa, "Maaf, maaf, kiranya kau ini seorang seniman. Kau
bisa main apa?"
"Aku bisa memetik
harpa," sahut Tan Ciok-sing.
Perwira itu menimbrung,
"O, kau bocah ini juga bisa main harpa? Coba mainkan."
Tan Ciok-sing segera membuka
kotak panjangnya, katanya, "Tolong berikan aku sebuah meja kecil."
Melihat harpa yang dikeluarkan
sudah luntur dan bobrok hadirin sama geli dan tertawa terpingkal-pingkal.
Majikan gendut itu berkata, "Entah dari mana dia memperoleh harpa bobrok
ini."
Tan Ciok-sing menahan sabar,
katanya, "Meski bobrok harpa ini masih bisa untuk memainkan beberapa lagu,
bila tuan-tuan berkenan sukalah memberi persen ala kadarnya," entah karena
saking kelaparan, atau karena mangkel, waktu menyetem senar harpanya, jari-jari
tangannya kelihatan gemetar.
Pemilik warung ternyata
seorang yang baik hati, katanya, "Engkoh cilik, mirunilah dulu kuah kaldu
ini untuk menghangatkan perut."
Setelah minum kuah kaldu, rasa
lapar sedikit demi sedikit berkurang, setelah selesai menyetem, mulailah dia
memetik harpanya sambil bernyanyi membawakan syair pujangga So Tong-poh.
Laki-laki sekolahan itu adalah
seorang tuan tanah yang pernah belajar beberapa huruf, si perwira berpaling
padanya dan bertanya, "Li-ang, lagu apa yang dinyanyikan bocah ini?"
Laki-laki itu bersikap
mencemooh, katanya, "Aku hanya paham syairnya, siapa tahu lagu sedekah
(lagu pengamis) apa yang dinyanyikan?"
Perwira itu geleng-geleng
kepala, katanya, "Tapi lagu sedekah yang dinyanyikan kaum pengemis masih
lebih enak didengar."
Laki-laki gendut itu juga
berseru, "Wah, jelek sekali, kupingku sakit rasanya."
Karuan hampir meledak perut
Tan Ciok-sing mendengar ejekan-ejekan itu. Pikirnya, "Percuma aku
bernyanyi di hadapan manusia-manusia kasar tak kenal huruf ini. Bikin kotor
harpaku saja. Hm, lebih baik aku mati kelaparan dari pada disini terhina begini
rupa."
Baru saja dia hendak menyimpan
harpa dalam kotaknya, tiba-tiba didengarnya seorang berkata, "Kurasa
petikan harpanya justeru patut didengarkan."
Waktu Tan Ciok-sing angkat
kepala, pembicara adalah pemuda yang berpakaian pelajar, sejak tadi dia duduk
di meja pojokan sana seorang diri. Setelah memuji permainan Tan Ciok-sing dia
merogoh kantong keluarkan sekeping perak kira-kira senilai dua tahil, suruh
pelayan warung diberikan kepada Tan Ciok-sing.
Demi gengsi terpaksa tuan
tanah majikan kaya dan perwira itu juga merogoh kantong persen beberapa keping
uang tembaga.
Tan Ciok-sing hendak menampik
pemberian mereka, tapi kuatir mereka kehilangan muka dan membuat geger lagi
disini. Di kala dia bimbang pemuda pelajar itu sudah berseru padanya,
"Kebetulan bertemu disini, silahkan kemari duduk disini sambil minum
beberapa cangkir."
Tan Ciok-sing tinggalkan uang
perak itu di atas meja lalu menghampiri dan menyatakan terima kasih kepada
pemuda pelajar itu. Karuan tuan tanah, majikan kaya dan perwira itu sama
mendongkol karena Tan Ciok-sing tidak berterima kasih pada mereka.
"Engkoh cilik," kata
pelajar itu, "siapa yang mengajar kau main harpa?"
"Bocah rudin macamku ini
mana mampu mengundang guru segala, sejak kecil aku belajar ala kadarnya dari
kakek." .
"O, kakekmu pasti seorang
kenamaan?" tanya si pelajar.
"Kecuali bisa main harpa
kerja kakek menangkap ikan, sejak lahir aku hidup di gunung, entah dia ternama
atau tidak?"
"Engkoh cilik, kau punya
bakat tapi tidak terkembang, tak heran kalau kau suka uring-uringan. Mumpung
panas makanlah paha ayam ini, minum lagi secangkir. Kalau kau sudi aku ingin
bersahabat denganmu."
Setelah minum dua cawan Tan
Ciok-sing berdiri, katanya. "Terima kasih, kau sudi menghargaiku, biar
kupetikkan satu lagu. Bicara soal bersahabat, sungguh aku tidak berani
menerimanya."
Kali ini Tan Ciok-sing
membawakan syair Sim Pin, pujangga pada dynasti Tong. Pelajar itu mendengarkan
sambil manggut dan memuji berulang kali.
Akhirnya dia melongo saking
asyik dan terbuai oleh alunan harpa yang merdu dan syahdu.
Belum lagi Tan Ciok-sing habis
membawakan lagunya ini, datang pula seorang tamu. Melihat Tan Ciok-sing sedang
petik harpa sambil nyanyi sesaat dia merasa heran, lalu dia menyapa majikan
gendut itu. "Lau-ang, kiranya kau gemar juga mendengar irama harpa?"
"Bukan aku yang suka
dengar, Lo-ho, kebetulan kau datang, kemarilah ikut minum," lalu dia
perkenalkan kepada tuan tanah dan perwira serta yang lain. Lo-ho adalah penduduk
Hek-ciok-tin yang tidak punya gawe (pekerjaan), kerjanya suka luntang-lantung
dan menyebar berita. "Lo-ho ada berita apa tidak?"
Setelah duduk Lo-ho berkata
lirih. "Semalam terjadi kejadian aneh di Hek-ciok-tin, seorang pemuda
tanggung berpakaian rombeng menginap di Hun-lay, tapi tak punya uang membayar
rekening, untung ada tamu yang suka menolongnya, tak kira tengah malam dia
membuat keributan, katanya barangnya kecurian. Pemuda itu juga membawa harpa
bobrok."
Hek-ciok-tin adalah kota kecil
dimana semalam Tan Ciok-sing menginap, jaraknya kira-kira tiga puluhan li dari
kota ini, peristiwa semalam yang menimpa Tan Ciok-sing, ternyata diketahui oleh
Lo-ho ini, sehari ini entah sudah berapa kali dia bercerita kepada orang.
Tuan tanah itu berpaling
kearah Tan Ciok-sing, katanya, "Kok bisa terjadi begitu, kukira bocah itu
sengaja hendak memeras hotel Hun-lay itu."
"Pendapat Li-ang memang
tepat, bukan saja bocah rudin itu hendak memeras Hun-lay, diapun memeras tamu
yang membantu bayar rekeningnya," lalu dia bercerita panjang lebar akan
kejadian yang didengarnya, sudah tentu dalam ceritanya ditambahi bumbu dan
kecap sehingga ceritanya kedengaran lebih menarik.
Akhirnya Lo-ho menambahkan,
"Sayang kedua tamu baik hati itu melepasnya pergi. Kalau waktu itu aku hadir,
mungkin sudah kugusur dia ke kantor polisi. Tapi aku sudah mencari tahu bahwa
penipu itu berusia belasan tahun, pakaian rombeng, membawa harpa dan jual lagak
dimana-mana. Haha, kukira orangnya sekarang jauh di langit dekat di depan
mata."
Tuan tanah itu berkata,
"Orang orang Hek-ciok-tin tiada yang tertipu, mungkin tidak sedikit
pelajar-pelajar bodoh di dunia ini yang akan digoroknya."
"Sayang Lo-ho tidak
melihat tampangnya, kalau ada saksinya, pasti kuringkus dia," demikian
kata si perwira.
Pada saat itulah terdengar
derap lari kuda yang mendatangi, dua penunggang kuda itu seketika menarik
kendali waktu mendengar suara harpa dari warung makan. Lo-ho segera bertepuk
tangan girang seraya berseru. "Nah itu dia saksinya telah tiba,"
kiranya penunggang kuda itu adalah dua tamu yang pernah membantu Tan Ciok-sing.
Laki-laki pendek itu segera
membentak. "Bagus, ternyata kau bocah rudin ini mau menipu orang lagi
disini, tuan-tuan, semalam bocah keparat ini hendak memeras pemilik hotel
Hun-lay di Hek-ciok-tin, kamipun kena tertipu setahil perak olehnya."
"Peristiwa itu sudah kita
ketahui," kata Lo-ho, suaranya lantang, "untung yang berwenang di
kota ini kebetulan ada disini, biarlah urusan ini kuselesaikan disini."
Perwira itu menggebrak meja,
serunya sambil berdiri. "Betul, disini ada undang-undang raja, aku yang
berwenang menegakkan keadilan di daerah ini, siapapun kularang berbuat curang
di daerah kekuasaanku, kawanan opas, tangkap dia," agaknya dia lupa bahwa
kini dia seorang diri sedang jajan di warung ini, hakikatnya tidak membawa anak
buah, apa lagi di warung makan, setelah membentak baru dia sadar telah
kelepasan omong.
Pelajar itu mengerutkan
kening, bujuknya. "Kulihat adik cilik ini pasti bukan penipu, kuharap
persoalannya dibikin terang lebih dulu."
"Saksi sudah di depan
mata, apa pula yang harus ditanyakan?' seru si perwira. "Liong-siucay, kau
belum jadi penggede, pulanglah belajar lagi beberapa tahun, soal dinasku tak
perlu kau ikut campur, Hm, bocah keparat ini berani mendelik padaku, biar kuringkus
kau."
Sungguh tak tertahan lagi
emosi Tan Ciok-sing, mendadak dia raih pecahan perak di atas meja terus
dilempar ke arah dua tamu diluar sana sambil membentak, "Semalam kau
mentraktir setahil perak, kini dibayar sekali lipat. Kau mencuri golokku, lekas
kembalikan padaku," lalu dia berpaling serta meraih beberapa keping uang
tembaga itu terus ditimpuk ke meja si perwira. "Uang kalian yang bau ini,
akupun tidak sudi,"
Kepandaian laki-laki hidung
betet tidak lebih asor dari Tan Ciok-sing, sekali gerakan dengan enteng dia
tangkap pecahan uang perak yang ditimpukkan Tan Ciok-sing, jengeknya dingin,
"Kau membayar hutang memang sudah seharusnya tapi jangan kau menuduh aku
yang mencuri golokmu." Celaka adalah laki-laki pendek yang berkepandaian rendah,
mukanya terluka dan berdarah oleh timpukan uang pecahan Tan Ciok-sing.
Laki-laki usil mulut yang
dipanggil Lo-ho berteriak. "Celaka dua belas, pencuri cilik yang galak ini
berani melukai orang lagi," mendadak dia merasa ada gejala yang kurang
beres, waktu berpaling seketika dia terkesima.
Ternyata kepingan uang tembaga
yang ditimpukan Ciok-sing ke meja sini semuanya melesak amblas setengah
berjajar di atas meja, si perwira tampak pucat dan ketakutan. Malah tuan tanah
dan majikan kaya yang bernyali kecil sudah sembunyi di kolong meja.
Tan Ciok-sing panggul harpanya
terus menerjang keluar ke arah dua tamu itu, bentaknya, "Kalian inilah
penipu, kembalikan tidak golokku?"
Laki-laki brewok itu sudah
siap menghajar Tan Ciok-sing, tapi sekilas pandangannya melirik ke arah
Liong-siucay yang sedang menatapnya tajam seperti tertawa tidak tertawa.
Mencelos hati si brewok, bergegas dia lompat ke punggung kudanya, teriaknya.
"Bocah ini sudah jadi gila, hayolah pergi saja."
Dua kali laki-laki pendek itu
kecundang oleh Tan Ciok-sing, nyalinya sudah pecah, tanpa diperingati dia sudah
bedal kudanya lebih dulu.
Ginkang Tan Ciok-sing sekarang
paling cepat, sudah tentu dia tidak kuasa mengejar kecepatan lari kuda, waktu
dia tiba diluar kota, kedua musuh itupun sudah tidak kelihatan bayangannya.
Setelah terlampias rasa dongkolnya lega juga perasaan Tan Ciok-sing, untuk
menempuh perjalanan dia tidak berani lewat jalan raya, terpaksa dia lari ke
atas gunung. Semakin jauh dia meninggalkan kota kecil itu, haripun sudah
semakin gelap, tanpa terasa senja menjelang.
Kuah kaldu semangkok dan paha
ayam yang diganyangnya tadi kini sudah tidak berbekas dalam perutnya, perutnya
mulai berontak lagi. Saking lelah akhirnya dia mendeprok di bawah pohon lalu
merebahkan diri beristirahat.
Angin malam berhembus agak
kencang, Tan Ciok-sing yang memang kelaparan jadi bergidik kedinginan. Untung
dia membawa ketikan batu, segera dia mengumpulkan dahan dan daun kering lalu
membuat api unggun. Mendadak pandangannya terbeliak seperti menemukan sesuatu, dilihatnya
di depan sana penuh tumbuh pohon-pohon ubi liar, segera dia mengeduk tanah
membongkar ubi terus dibakarnya.
Setelah makan beberapa kerat
ubi, sungguh tak kepalang rasa senang hati Tan Ciok-sing, tenaga pulih
semangatpun bangkit.
Lalu bagaimana selanjutnya dia
harus menempuh kehidupan ini? Masuk kota takut ditangkap opas, hidup di atas
pegunungan hanya makan ubi liar melulu, semakin dipikir hati Tan Ciok-sing
semakin risau, akhirnya dia turunkan kotak buntalannya lalu memetik harpa di
bawah pohon. Tanpa sadar lagu yang dibawakan adalah Khong-ling-san yang pernah
dibawakannya waktu berpisah terakhir kali dengan jenazah kakeknya.
"Petikan harpa yang
bagus," tiba-tiba terdengar seseorang memuji. Tan Ciok-sing berjingkrak
kaget, entah kapan tahu-tahu dihadapannya sudah berdiri empat orang, semuanya
mengelilingi pohon dimana dia duduk di bawahnya.
Dua orang di depan adalah
kakek yang berparas aneh, padahal tampang kedua kakek ini mirip satu dengan
yang lain, seperti pinang dibelah dua, cuma kulit badannya saja yang berbeda.
Seorang berpakaian serba putih, yang lain berpakaian hitam. Kakek baju putih
kulitnya putih bersih seperti salju, kakek baju hitam berkulit hitam legam,
jadi pakaian dan kulit badan mereka serasi, hitam putih kelihatan menyolok sekali.
Rambut kedua kakek ini sudah sama beruban, bola matanya gelap kebiruan, sekali
pandang orang akan tahu kalau mereka bukan Oh-jin dari daerah barat pasti orang
asing. Kedua kakek ini sama memegang sebuah tongkat coklat yang mengkilap,
entah terbuat dari apa.
Yang membuat Tan Ciok-sing
lebih heran adalah dua laki-laki yang berdiri di belakang sana, mereka bukan
lain adalah dua pencuri yang menista dirinya sebagai penipu.
Laki-laki brewok itu berkata
beberapa patah kata yang tak dimengerti kepada kedua kakek hitam putih, Tan
Ciok-sing tidak tahu apa yang dipercakapkan, tapi mereka bicara sambil menuding
harpa miliknya, jelas mereka mengincar dan hendak merebut harpa warisan
keluarganya.
Laki-laki pendek itu berkata
dengan tertawa, "Sungguh amat kebetulan, tak kira kau bocah ini sedang
sembunyi disini."
Gusar Tan Ciok-sing dibuatnya,
bentaknya, "Memang aku hendak cari kalian guna membuat perhitungan, uang
sudah kukembalikan, kenapa kalian tidak kembalikan golokku?"
"Kau masih berani minta
kembali golok pusaka?" ejek laki-laki pendek, "besar juga nyalimu,
ketahuilah, kami juga ingin merebut harpamu itu. Tapi kami tidak akan merebut
secara percuma..."
Memangnya Ciok-sing sudah
dongkpl sejak kemarin, mana dia sabar mendengar obrolan orang, segera dia menerjang
maju sambil memaki, "Kurang ajar, kalian kawanan rampok ini. Sudah mencuri
golokku mau merebut harpaku pula."
Lekas kakek tua putih mengulap
tangan, katanya, "Jangan berkelahi, kami bukan perampok."
Terasa serumpun tenaga lunak
yang kuat tiba-tiba menahan dirinya seperti ada sebuah telapak tangan tidak
kelihatan yang mendorong dadanya, walau lunak tenaganya tapi sukar ditahan dan
dilawan, tanpa kuasa dia terdorong mundur beberapa langkah.
Habis bicara kakek tua putih
itu lantas berpaling setelah mendengus dia memaki kedua laki-laki itu,
"Kalian membantu aku berdagang, bukankah sudah pernah kuberitahu kepada
kalian? Kita boleh menarik keuntungan dalam perdagangan, tapi kularang main
rebut barang milik orang lain? Bukankah kalian mempermainkan dan menyakiti
bocah ini?" bahasa
pembicaraannya menggunakan
bahasa Han yang fasih dan jelas, logatnya jauh lebih baik dibandingkan
laki-laki brewok itu.
Lekas laki-laki brewok bantu
temannya membela diri, katanya,
"Kami bukan merampas,
tapi kami membeli dengan uang."
"Pembual," damprat
Tan Ciok-sing, "kalian pura-pura jadi orang baik mentraktir aku segala,
siapa bilang aku menjual barangku kepada kalian?"
Mimik laki-laki pendek tampak
menjilat kepada kedua orang tua hitam putih, katanya, "Aku tahu kalian orang
tua segala barang antik apapun sudah punya, tapi sejauh ini belum pernah
memiliki harpa kuno, oleh karena itu aku ingin memperdayanya untuk
kupersembahkan pada kalian
sebagai kado ulang tahun. Silahkan kalian orang tua perhatikan, bukankah harpa
itu sangat baik."
Perlahan kakek hitam berkata,
"Bagus memang bagus, tapi tak boleh merebut secara paksa. Tentang golok
pusaka ini..."
Si brewok kuatir kakek hitam
kembalikan golok pusaka itu kepada Tan Ciok-sing, lekas dia bertanya,
"Golok pusaka ini bagaimana?"
"Sulit aku memberikan
putusan atas golok pusaka ini," ucap kakek hitam, "biar kutanyakan
dulu biar jelas."
Diam-diam si brewok membatin.
"Kaum persilatan, memangnya siapa yang tidak menyukai golok pusaka?” dia
kira kakek, hitam sudah menaruh perhatian, tidak lagi mengukuhi aturan biasanya
bila dia berdagang. Maka lekas dia berkata, "Loya-cu, merebut barang orang
sudah tentu tidak baik, tapi, tapi..."
"Tapi apa?" kakek
hitam menatapnya tajam.
Kata si brewok, "Kuingat
kalau tidak salah Lo-ya-cu pernah bilang, hitam makan hitam kan boleh juga.
Entah salahkah aku mengingat akan hal ini?"
"Maksudmu golok pusaka
milik bocah ini juga hasil curian?" tanya kakek hitam, "darimana kau
tahu?"
Mendapat bantuan dan kisikan
temannya, laki-laki pendek segera menimbrung, "Bagaimana asal-usul bocah
ini meski.belum kami ketahui. Tapi uang sepeserpun dia tidak punya untuk
membeli pakaian bekas, lalu dari mana dia bisa memiliki kedua benda
pusaka?"
Kakek hitam manggut, katanya,
"Ucapanmu ini memang beralasan, asal-usul bocah ini memang agak
mencurigakan."
Tan Ciok-sing berseru gusar,
"Bagaimana asal-usulku perduli amat dengan kalian. Tapi ke dua anak buahmu
itu jelas pembual."
"O, membual
bagaimana?" tanya kakek putih.
"Mereka mengatakan aku
rudin memang tidak salah, tapi semalam aku masih menggembol puluhan butir
kacang emas. Waktu mereka mencuri golok pusakak*U ini, kacang emas itupun
berhasil mereka gondol pula."
Laki-laki pendek itu tertawa
lebar, katanya, "Omonganmu ini memangnya bisa menipu orang?"
Belum habis dia bicara
tiba-tiba cahaya kuning emas berkelebat menyilaukan mata waktu kakek hitam
membuka telapak tangannya di depan matanya, puluhan butir kacang emas ternyata
sudah berada dalam genggamannya. Padahal laki-laki pendek ini menyimpan
kacang-kacang emas ini didalam kantong baju lapisan dalam, tapi hanya dengan
satu gerakan enteng dan cepat, semuanya sudah dirogohnya keluar, baju bagian
luar tidak terbuka. Jangan kata laki-laki pendek ini kaget dan ketakutan, Tan
Ciok-sing pun takjub dibuatnya.
Gemetar sekujur badan
laki-laki pendek, katanya, "Aku hanya ingin mendapatkan kado yang kalian
sukai, sekedar sebagai penghormatan pada kalian orang tua, tujuannya jelas
bukan untuk kepentingan pribadi. Soalnya bocah ini tidak mau menjual pada kami,
terpaksa kugunakan akal ini, bila dia tidak ada sepeser uangpun, mungkin dia
mau menjualnya kepadaku."
"Plak, plok",
beruntun terdengar suara keras dua kali, laki-laki brewok dan laki-laki pendek
sama dipersen satu kali tamparan. Setelah menggampar mulut kedua anak buahnya,
kakek hitam berkata dingin, "Tutup bacot kalian yang kotor, muka kami
kalian bikin malu."
Melihat kakek hitam menghajar
anak buahnya, dalam hati Tan Ciok-sing berpikir, "Tandang kedua orang
asing ini memang angker dan menakutkan, tapi hati mereka ternyata baik. Mungkin
mereka sudi kembalikan golok pusakaku itu."
Tak kira pelan-pelan kekek
hitam melolos golok serta menjentiknya dua kali, tiba-tiba dia berkata,
"Aku tidak akan membela anak buah sendiri, tapi kaupun harus bicara jujur.
Cara bagaimana kau memperoleh golok pusaka ini?"
Sudah tentu tak mungkin Tan
Ciok-sing ceritakan peristiwa yang menimpa In Hou kepada orang asing yang tidak
dikenalnya ini? Tapi diapun tidak bisa berbohong, terpaksa dia menjawab,
"Pendek kata golok ini milikku, cara bagaimana aku memilikinya, orang lain
tidak perlu urus."
"Urusan lain aku boleh
tidak perlu turut campur," kata kakek hitam, "tapi bicara soal
asal-usul golok pusaka ini betapapun aku harus mencampurinya. Lekas katakan
secara jujur, golok pusaka milik In Hou ini, cara bagaimana bisa terjatuh ke
tanganmu?"
Tan Ciok-sing terperanjat,
pikirnya heran, "Mungkinkah mereka sahabat In Tayhiap? Hm, hati manusia
susah diduga, siapa tahu kedua kakek ini pura-pura jadi orang baik, tujuannya
hendak mengorek keteranganku tentang In Tayhiap?"
"Apakah kau murid In
Tayhiap?" tanya kakek hitam.
"Hakikatnya aku tidak
kenal dan tidak tahu siapa itu In Tayhiap." sahut Tan Ciok-sing masa
bodoh.
Tiba-tiba kakek hitam memutar
golok mengangsurkan gagang golok ke arah Tan Ciok-sing, katanya,
"Terimalah."
Sekilas Tan Ciok-sing
melenggong, tak pernah terbayang olehnya bahwa kakek hitam ini akan kembalikan
golok pusaka ini begini mudah. Baru saja dia hendak minta kembali sarung
goloknya sekalian, kakek hitam sudah serahkan tongkat coklat mengkilap di
tangannya kepada kakek putih, bentaknya, "Golok pusaka sudah kembali di
tanganmu, hayolah bacokan ke arahku."
Kembali Tan Ciok-sing
tertegun, katanya kemudian, "Bicara baik-baik kenapa aku harus membacok
kau?" maklum golok pusaka ini tajam luar biasa, mengiris emas dan besi
seperti merajang sayur, rambut yang ditiup di tajam goloknya pun putus
seketika, sudah tentu Tan Ciok-sing tidak berani memakainya membacok kakek
hitam yang bertangan kosong.
Kakek hitam tertawa dingin,
katanya, "Jangan kau kira dengan bersenjata golok pusaka, kau mampu
melukai seujung rambutku. Biar kubicara terus terang, kusuruh kau membacok
dengan golok itu karena aku punya semacam peraturan, bila orang bertindak kasar
terhadapku, baru aku punya alasan untuk merebut golok lawan. Kini sudah
kujelaskan padamu, mau atau tidak kau menyerangku, aku tetap ingin memiliki
harpa kunomu ini."
Sembari bicara kakek hitam
ulur telapak tangannya yang segede kipas hendak merampas harpa kuno itu. Kuatir
orang merusak harpanya, sudah tentu gusar hati Tan Ciok-sing. Pikirnya,
"Kiranya hanya mulutnya saja yang manis, jelas diapun pentolan
rampok," tanpa pikir segera dia ayun golok terus membacok.
Kakek hitam tertawa
tergelak-gelak, katanya, "Kau tertipu, setelah kau bergebrak, maka aku
boleh turun tangan mengambil barangmu tanpa malu-malu lagi."
Bacokan Tan Ciok-sing
bertujuan menggertak saja, tak nyana kakek hitam membalik tangan, jarinya
menjentik dan tepat menyelentik punggung golok, seketika telapak tangan Tan
Ciok-sing terasa pedas linu, pergelangan tangannya tergetar keras, hampir saja
dia tidak kuat pegang goloknya lagi. Di tengah gelak tawa kakek hitam, kembali
tangannya yang besar itu meraih ke arah harpa.
Bentak Tan Ciok-sing gusar,
"Kau mau merampas harpa ini, kecuali kau bunuh aku lebih dulu,"
amarahnya memuncak, bola matanya sampai mencorong merah, langkahnya sebat
menubruk maju, golok pusaka diobat abitkan membacok ke tangan kakek hitam yang
sedang menjamah harpanya itu.
Tan Ciok-sing tahu bahwa
kepandaian silat kakek hitam berapa lipat lebih tinggi dari kemampuannya, maka
dia turun tangan tak kenal ampun. Jurus bacokannya itu sudah menggunakan ajaran
ilmu golok yang tercantum dalam buku, cahaya golok laksana bianglala, keras dan
ganas sekali.
Kakek hitam terloroh-loroh,
katanya, "Bocah bagus, memangnya kau hendak adu jiwa," aneh bin
ajaib, lengannya itu seperti bisa ditelikung seenaknya, tahu-tahu bacokan golok
Tan Ciok-sing mengenai tempat kosong dan "Bluk" pundak kirinya malah
yang kena digenjot lawan. Genjotan cukup keras, tapi Tan Ciok-sing sedikitpun
tidak merasa sakit.
Sesaat ini Tan Ciok-sing
melengak dibuatnya. Maklum pukulan kakek hitam mengenai telak pundak kirinya,
ini betul-betul diluar dugaannya. Semula dia kira dirinya pasti terpukul
jungkel balik, tapi kenyataan tidak apa-apa, malah rasa pedas dan linu di
tangannya seketika lenyap.
"Masakah hanya latihan
tiga bulan lwekang, hasilnya sudah begini luar biasa?" demikian batin Tan
Ciok-sing.
Cepat sekali kakek hitam sudah
menubruk maju lagi sambil pentang kedua tangannya, gayanya hendak merebut golok
yang dipegangnya. Tak sempat lagi Tan Ciok-sing pikirkan keanehan diri sendiri
yang sudah memiliki lwekang secara menakjubkan atau mungkinkah lawan yang
menaruh belas kasihan, lekas goloknya bergerak dengan jurus Heng-in-toan-hoan
(mega melintang memutus puncak) membendung sergapan lawan Lalu disusul jurus
Sam-yang-kay-thay, Gua-hou-ting-san, Liong-yau-sim-gan, beruntun tiga jurus
dari pembela diri balas menyerang. Sudah tentu ketiga jurus ini juga merupakan
ajaran ilmu golok keluarga In.
Kakek hitam melayang ke kiri
lompat ke kanan seperti bermain petak dengan dia, sekaligus Tan Ciok-sing
memberondong dengan belasan jurus, tapi jangan kata melukai lawan, menyentuh
ujung jarinya saja tidak mampu. Terdengar kakek hitam berseru tertawa,
"Adu jiwa tiada gunanya untukmu, menyerah saja dan serahkan golok dan
harpa itu, aku tidak akan membunuhmu."
Tapi Tan Cok-sing sudah
bertekad, "orang hidup harpa ada, harpa hilang orangnya gugur",
sambil kertak gigi tanpa berhenti golok di tangannya terus menghujani serangan
gencar ke tubuh lawan. Seluruh ajaran ilmu golok yang dia pelajari dari buku
peninggalan In Hou telah di praktekkan seluruhnya.
Sekejap saja belasan jurus
telah lewat, Tan Ciok-sing tetap tidak mampu menyentuh baju lawan, apa lagi
melukainya.
Mendadak kakek hitam tertawa
pula, katanya, "Jurus Thi-hu-san yang kau lancarkan ini kurang betul,
jurus ini sebetulnya guna bertahan sepenuhnya, jurus selanjutnya baru untuk
balas menyerang mengincar bagian bawah lawan, kau justru bertahan sambil
menyerang, ini tidak betul. Coba kau buktikan sendiri bukankah jurus Terbalik
Menunggang Keledai ini menunjukkan lobang kosong? Jikalau telapak tanganku
menepuk Hong-hu-hiat di tubuhmu, lalu cara bagaimana kau akan membela
diri?" di kala dia membongkar jurus gerakan Tan Ciok-sing selanjutnya,
memang Tan Ciok-sing baru saja melancarkan jurus ‘Terbalik Menunggang Keledai’.
Tan Ciok-sing kaget sekali,
dia pun heran bagaimana kakek hitam ini begitu apal dan mahir sekali akan
permainan ilmu golok ajaran In Hou ini? Tapi dia pikir Hong-hu-hiat terletak di
belakang punggung, lawan bertempur berhadapan, bagaimana mungkin dia bisa
menyerang punggungku yang memang kosong? Ilmu golok keluarga In memang
mengutamakan mantap keras dan enteng lincah, kedua unsur ini dikombinasikan
dalam jurus-jurus ilmu golok yang liehay itu, latihan Tan Ciok-sing jelas belum
matang dan mencapai taraf yang dapat bergerak sesuai keinginan hati, dalam
gerakan yang cepat ini, mana mungkin dia mampu merubah gerakan secara mendadak?
Apalagi dia yakin lawan tak mungkin dapat mencapai Hong-hu-hiat di belakang
punggungnya, maka jurus 'Terbalik Menunggang Keledai’ tetap dia kembangkan
sesuai petunjuk yang dia pelajari dari buku, "sret" goloknya menyilang
dari atas ke bawah terus membabat ke dua kaki kakek hitam.
Mendadak dia kehilangan
bayangan kakek hitam, ternyata selicin belut kakek hitam telah menyelinap pergi
dari bawah selangkangan. Gerakan aneh dan tangkas kakek hitam ini memang aneh
dan lucu, gerakannya cepat lagi, hakikatnya tak pernah terpikir oleh Tan
Ciok-sing bahwa lawan bakal menyelinap ke belakang.
Sebetulnya gerakan aneh kakek
hitam yang aneh ini, bukan saja berada diluar dugaan Tan Ciok-sing, umpama
lawan seorang gembong persilatan yang memiliki kepandaian puluhan lipat lebih
liehay dari Tan Ciok-sing juga pasti dibuat keheranan dan tidak menduga
sebelumnya. Maklum sebagai tokob persilatan yang kenamaan dan punya kedudukan
tinggi, memangnya siapa yang sudi menyelinap ke bawah selangkangan lawan, oleh
karena itu tiada ajaran gerakan aneh semacam itu dalam kalangan persilatan di
Tionggoan ini.
Ternyata kakek hitam iui
adalah orang Thian-tok (India). Gerakannya itu merupakan kembangan dari ilmu
Yogya. Adat dan kebudayaan bangsa Tionghoa berbeda dengan orang India, bagi
mereka menyelinap dari bawah selangkangan lawan bukanlah merupakan suatu
penghinaan atau sesuatu yang memalukan. Apa lagi taraf kepandaian Tan Ciok-sing
belum mencapai tingkatan yang sempurna, gerakan jurus permainannya belum
terkendali oleh daya pikirannya, bahwa bayangan kakek hitam mendadak lenyap
dari pandangannya, maka gerakan bacokan goloknya tetap terayun ke depan
"Trang" goloknya membacok batu di atas tanah.
Dalam kejap itu pula, Tan
Ciok-sing merasakan Hong-hu-hiat di belakang punggungnya tiba-tiba kesemutan,
telapak tangan kakek hitam menepuk punggungnya terus mendorongnya pergi.
Hong-hu-hiat adalah salah satu
hiat-to dari tiga puluh enam hiat-to penting di tubuh manusia, jikalau hiat-to
yang satu ini kena ditutuk dengan Jong-jiu-hiat lawan, kalau tidak mati
seketika juga pasti luka parah. Tapi Tan Ciok-sing hanya merasa kesemutan saja,
setelah dia terdorong maju beberapa langkah, begitu berdiri tegak lagi rasa
kesemutan itupun telah lenyap tak berbekas. Hiat-tonyapun tidak tertutuk, gerak
geriknya tetap leluasa, malah mampu mengayun goloknya pula.
Kembali kakek hitam tertawa
tergelak-gelak, katanya, "Tadi sudah kuperingatkan, tapi kau tidak
percaya, sekarang kau mau tunduk tidak?"
"Mau bunuh boleh bunuh,
selama hayat masih di kandung badan, takkan kubiarkan kau merebut
barangku."
"Bocah yang bandel,"
ujar kakek hitam tertawa, "baiklah, masih ada delapan belas jurus ilmu
golokmu yang belum kau lancarkan, sekarang boleh kau habiskan setelah habis kau
kembangkan ilmu golokmu baru kubunuh kau, supaya kau mati meram."
Sudah tentu Tan Ciok-sing
sudah tidak pikirkan mati hidupnya sendiri, golok terayun dia menyerbu lagi,
tanpa disadarinya sekaligus dia telah kembangkan ilmu golok keluarga In sampai
habis.
Kakek hitam mendadak jungkir
balik, kepala di bawah kaki di atas, dengan jurus kecapung tegak terbalik,
ujung kakinya menjungkir ke atas, "Tang" golok di tangan Tan
Ciok-sing kena di tendangnya terbang ke udara. Kembali lawan mengembangkan
semacam jurus permainan aneh yang tak pernah terpikir oleh Tan Ciok-sing.
Sigap sekali tahu-tahu kakek
hitam telah melompat berdiri pula, gerakannya teramat tangkas sebelum Tan
Ciok-sing sempat berbuat apa-apa dia sudah mendahului melejit kesana menangkap
golok pusaka yang melayang turun.
Begitu menangkap golok kontan
dia putar balik gagangnya pula serta disesapkan ke tangan Tan Ciok-sing,
katanya tertawa, "Selanjutnya kau harus lebih hati-hati, jangan sampai
golok pusaka ini hilang lagi."
Sekian lama Tan Ciok-sing
terlongong. Kakek hitam tadi bilang setelah dirinya habis melancarkan delapan
jurus ilmu goloknya lantas akan membunuhnya. Tak nyana kini bukan saja lawan
tidak membunuh dirinya, malah golok pusaka ini dikembalikan padanya.
Kini tatapan mata kakek hitam
setajam sembilu, katanya dingin, "Katamu kau bukan murid In Hou, lalu
siapa yang mengajarkan ilmu golok ini?"
Tan Ciok-sing naik pitam pula,
serunya, "Kalian ini kawanan rampok, kenapa aku harus jelaskan kepada
kalian?"
Kakek hitam tertawa, katanya,
"Golok pusaka sudah kukembalikan, harpa itupun tidak akan kurebut. Kenapa
masih dianggap rampok juga." Ternyata tadi dia hanya menggertak Tan
Ciok-sing, berpura-pura hendak merebut harpanya, tujuannya hanya memaksa Tan
Ciok-sing mengembangkan ilmu golok keluarga In.
Bimbang hati Tan Ciok-sing,
pikirnya, "Mungkin mereka mengincar Kiam-boh karya Thio Tan-hong,
tujuannya adalah rahasia yang kuketahui dari In Hou semasa masih hidup,"
maka dia balas bertanya, "Kalau kau bukan rampok, siapa kau?"
Berkerut kening kakek hitam,
katanya, "Masa kau tidak pernah dengar nama Hek-pek-moko?"
"Apa itu Hek-pek-moko,
aku tidak pernah dengar," ujar Tan Ciok-sing.
Kakek putih yang sejak tadi
menonton di pinggiran kini geleng-geleng kepala, katanya, 'Tak usah ditanyai
lagi, ilmu golok bocah ini kukira bukan diajarkan langsung oleh In Hou, kalau
tidak masakah masih begitu kaku?"
"Betul," demikian
batin kakek hitam, "kalau dia murid In Hou, kenapa tidak kenal
Hek-pek-moko? Sejak tadi begitu melihat tampang kami berdua, seharusnya dia
sudah kenal. Tapi cara bagaimana golok pusaka In Hou ini bisa berada di
tangannya? Dari mana dan cara bagaimana dia bisa mempelajari ilmu golok
keluarga In? Walau permainannya masih kaku, tapi jelas itulah ilmu golok
keluarga In."
Di kala dia kebingungan dan
tidak tahu cara bagaimana harus menghadapi bocah bandel ini, mendadak
didengarnya dua kali suitan yang gugup dan melengking tajam, kejap lain tampak
laki-laki brewok anak buah mereka itu mengeluh tertahan lalu sempoyongan sambil
memeluk dada, "Bluk" akhirnya tersungkur jatuh. Laki-laki pendek itu
masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak, tapi darah tampak menetes dari
lehernya. Ternyata tanpa mengeluarkan suara, tahu¬-tahu jiwanya sudah melayang
terbokong musuh, sesaat lagi baru tubuhnya roboh berdentam seperti kayu.
Lekas sekali dari dalam hutan
tampak bermunculan bayangan beberapa orang, oborpun menyala terang benderang.
Tiga orang yang berdiri terdepan dengan langkah gontai, pelan-pelan mendekati
Hek-pek-moko.
Satu di antara ketiga orang
ini sudah dikenal oleh Tan Ciok-sing, yaitu laki-laki yang memeluk gitar, dia
bukan lain adalah gembong iblis she Siang yang ikut mencelakai In Hou didalam
Cit-sing-giam tempo hari.
Padahal hari itu dia tidak
berada disana, tapi "kenal" yang dia maksud lantaran pernah dengar
keterangan kakeknya tentang tampang gembong iblis ini dan Le Khong-thian, serta
senjata apa yang dia gunakan. Le Khong-thian bersenjata Tok-kang-tong-jin,
sedang gembong iblis she Siang . bersenjata gitar besi, senjata yang jarang
terlihat dan digunakan oleh kaum persilatan. Maka Tan Ciok-sing tahu bahwa
laki-laki ini pasti adalah gembong iblis yang pernah mencelakai In Hou itu.
Baru pikirannya bekerja, maka
didengarnya kakek hitam berkata dingin, "Siang Po-san, berani kau membunuh
kedua anak buahku, memangnya kau pamer di hadapanku?"
"Ternyata gembong iblis
ini bernama Siang po-san," demikian pikir Tan Ciok-sing. "Dia salah
satu musuh In Tayhiap, akan kucatat namanya."
"Tidak berani," ujar
Siang Po-san, "mengurangi dua musuh kan lebih leluasa untuk
berbicara."
Kini jarak ketiga orang ini
tinggal belasan langkah saja dari Hek-pek-moko, kelihatannya merekapun segan
terhadap Hek-pek-moko, tiga orang berdiri dalam formasi segi tiga, semuanya
menatap tajam penuh perhatian, Hek-pek-moko tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak.
Dua orang yang lain itu
terdiri kakek bertubuh kurus kering, seorang lagi adalah Hwesio berkepala besar
dan bertelinga besar pula. Kalau kakek kurus menggantung golok di pinggangnya,
sementara si Hwesio bersenjata tongkat besi.
Anak buah mereka ada belasan
orang, semuanya kini sudah keluar dari hutan, Hek-pek-moko berdua sudah
terkepung. Tan Ciok-sing berdiri di bawah sana, letaknya di sebelah kiri bawah
Hek-pek-moko, jaraknya tiga puluhan langkah, golok masih tergenggam di tangan,
pikirnya, "Gembong iblis she Siang ini mungkin sudah ^hu bahwa In Tayhiap
meninggal di rumahku, kalau dia mengincar diriku, biar aku adu jiwa."
Didengarnya kakek hitam
berkata, "Ie-cengcu, kawan undanganmu ini ternyata punya asal-usul juga
ya, yang gundul ini adalah Thi-ciang Siansu bukan?"
Hwesio itu bersuara dengan
pongah, "Betul, berkat kawan-kawan Kangouw yang sudi memandang diriku
serta memberi gelar itu padaku. Hehe, aku tahu kalian adalah Hek-pek-moko,
walau kita belum pernah berhadapan, kukira masing-masing sudah pernah dengar
nama masing-masing."
Hwesio yang satu ini
sebetulnya murid Siau-lim-pay, gelarannya Cau-hong, dua puluh tahun yang lalu
karena melanggar disiplin perguruan, dia diusir dari Siau-lim-si oleh ketuanya
Thong-sian Siang-jin. Tapi kepandaian ajaran Siau-lim-si yang pernah dia
pelajari memang amat liehay, terutama enam puluh empat jurus Hong-mo-cang-hoat
merupakan bekal kepandaiannya yang hebat, konon seluruh penghuni biara Siau-lim
tiada yang menjadi tandingannya. Oleh karena itu dia dijuluki Thi-ciang Siansu,
gelarannya yang semula sudah dilupakan orang malah.
"Kan masih ada Le
Khong-thian?" ujar kakek hitam, "Kabarnya dua tahun yang lalu dia
sudah kembali ke Tionggoan, selalu keluntang keluntung dengan kau orang she
Siang ini. Ie-cengcu, kau mengundang orang she Siang, kenapa tidak memanggil
orang she Le itu?"
Ie-cengcu tertawa
tergelak-gelak, katanya, "Hek-pek-moko, apa kalian tidak terlalu
mengagulkan diri? Le Khong-thian sedang ada urusan, tapi menurut hematku, kami
yang hadir ini sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan urusan disini."
Dalam hati Tan Ciok-sing
membatin, "Ie-cengcu ini mungkin yang dijuluki raja golok cepat le
Cun-hong itu, kalau benar dia adanya, kakek hitam putih ini mungkin bisa
celaka." Perlu diketahui, dulu Tan Ciok-sing pernah dengar percakapan Lui
Tin-gak dengan kakeknya membicarakan le Cun-hong ini, waktu itu
It-cu-king-thian tentu tiada bandingan di kolong langit ini, namun dia boleh
terhitung tokoh ternama dalam permainan golok, hanya ilmu golok In Hou yang mungkin
bisa menandinginya.
Meski sebelum ini tidak kenal
dan sekarang tidak menaruh rasa simpati terhadap kakek hitam putih, namun dalam
hati Tan Ciok-sing, diam-diam mengharap kedua kakek ini nanti yang menang.
Maklum pendatang baru ini termasuk musuh pembunuh In Hou sudah tentu bencinya
terhadap orang-orang ini setengah mati, mau tidak mau dia kuatir juga akan
keselamatan kakek hitam putih.
Kakek putih ternyata berwatak
lebih berangasan dari kakaknya, segera dia gcdrukkan tongkatnya ke tanah,
serunya lantang, "le Cun-hong, bicara blak-blakan saja, apa maksud tujuan
kalian mencari kami?"
Laki-laki kurus itu memang si
cepat raja golok le Cun-hong, dengan kalem dia berkata, "Kalian tak usah
kuatir dan jangan marah, memang kedatanganku ada tujuan, untuk ini mohon kalian
suka memaafkan."
Bentak kakek putih, "Ada
omongan apa lekas katakan."
Berubah air muka Le Cun-hong
disemprot kasar, "bukan aku tidak bisa memaki orang, tapi kita akan
berusaha secara hormat, kalau terpaksa apa boleh buat baru menggunakan kekerasan.
Hek-pek-mo-ko, selama puluhan tahun ini, harta benda yang telah kalian
kumpulkan di Tiongkok ini tentu tidak sedikit jumlahnya, kalau seluruhnya
diboyong keluar tentu berabe. Oleh karena itu mohon kau suka beritahu dimana
kalian menyimpan harta benda itu, kami tidak akan mengangkangi seluruhnya,
cukup separoh saja. Sisanya yang separoh menjadi tanggungan kami untuk
mengirimnya ke perbatasan."
Kakek putih menyeringai
dingin, katanya, "Enak juga kalian membuat perhitungan, sayang sekali
sekarang kami sudah rudin, jangan kata harta segala, uang sangupun kita tidak
punya lagi, terpaksa biar kami merogoh kantong kalian saja."
Hwesio gede itu juga
menggedrukkan tongkatnya ke tanah, katanya dingin, "Genta yang tidak
dipalu tidak akan bunyi, lampu tidak disulut tidak akan nyala. Kalau demikian
terpaksa Pinceng harus menggunakan tongkatku ini untuk
menyempurnakan kalian."
"Eh, mau berkelahi juga
boleh, memangnya aku takut kepadamu?" tantang kakek putih.
Kakek hitam justru mengulap
tangan, katanya, "Tunggu sebentar, aku tak percaya bahwa kalian ke mari
hanya mengejar harta dan uang. Adakah maksud tujuan lain, silahkan katakan
saja."
"Hek-moko," kata le
Cun-hong, "otakmu memang lebih encer dari adikmu. Memang seorang teman
minta aku tanya pada kalian, kalian kan teman baik Thio Tan-hong, tentunya tahu
dimana sekarang tempat tinggalnya, temanku itu akan mencarinya."
Mendengar kakek hitam putih
ini adalah teman baik Thio Tan-hong, bukan kepalang kaget hati Tan Ciok-sing,
batinnya,