Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Bagian 3
Waktu itu istri Thio Tan-hong
yaitu bibi In Hou yang bernama In Lui sudah meninggal beberapa tahun, Thio
Tan-hong sudah berniat mengasingkan diri ke Ciok-lin, mendengar isteri In Hou
melahirkan seorang bayi perempuan maka dia hadiahkan pelajaran ilmu pedang ini
sebagai kado, diminta kelak setelah sang bayi menanjak dewasa mengajarkan ilmu
pedang ini kepadanya. Waktu itu Thio Tan-hong sudah jelaskan dimana manfaat dan
kegunaan kedua ilmu pedang gabungan ini kepada In Hou, malah diapun menambahkan
pesan: "Inilah ilmu pedang gabungan yang biasa dimainkan aku bersama
bibimu, bibimu tidak melahirkan putra putri, maka perlu aku meninggalkan
warisan ilmu pedang jerih payahnya ini kepada keponakan perempuannya. Kelak
bila kau mendapatkan menantu bagus, ilmu pedang jantan akan kuturunkan
kepadanya. Kuharap kelak dia adalah muridku, tapi umpama dia bukan muridku,
ilmu pedang gabungan ini juga pasti akan kuacarkan kepadanya."
Setelah In San tumbuh dewasa
sang ayah lantas ajarkan ilmu pedang ini kepadanya, malah sering dia berkelakar
menggoda putrinya: "Murid Thio Tayhiap jauh lebih tua dari kau sejauh ini
dia belum menerima murid penutup, kukira harapannya kelak k;m menikah dengan
murid didiknya bakal menjadi angan-angan kosong belaka. Tapi kado pemberian
Thio Tayhiap terhadapmu ini boleh dikata merupakan hadiah yang tak ternilai
harganya, coba siapa jejaka yang punya rejeki sebesar ini dapat
mewarisinya."
Kini di kala kepepet dan jiwa
terancam bahaya, tanpa sadar In San lantas teringat akan pelajaran ilmu pedang
gabungan yang liehay ini, kebetulan Tan Ciok-sing juga sedang menggunakan
Pek-hong-kiam, maka tanpa banyak pikir secara reflex tangannya bergerak menurut
ajaran ilmu pedang gabungan yang diperoleh dari Thio Tan-hong.
Perbawa ilmu pedang gabungan
ternyata mampu mengatasi kekuatan gabungan ilmu pedang Huwan bersaudara, malah
didalam perkembangan gaya pedangnya jauh di atas ilmu gabungan ke empat
musuhnya.
Bahwa barisan pedang mendadak
tercerai berai, karuan bukan kepalang kejut Huwan bersaudara, lekas mereka
berputar posisi merubah kedudukan, kaki melangkah menurut Ngo-hing-pat-kwa
menyurut mundur, pikirnya hendak ganti napas lalu serempak meronta serta balas
menyerang.
Sudah tentu kejut dan girang
Tan Ciok-sing bukan main, segera dia pegang kencang kesempatan baik ini, tanpa
memberi kesempatan ke empat musuhnya ganti napas, pedang dimainkan sekencang
kiliran, dia rabu musuh dengan tusukan dan tabasan pedang.
Ilmu golok warisan keluarga In
terkenal di seluruh jagat ini dan tiada bandingan, kini dia ganti memakai
pedang yang bobotnya lebih enteng untuk merangsak musuh, maka daya kecepatannya
ternyata mampu menyamai gerakan pedang Tan Ciok-sing. Hakikatnya dia tidak usah
peduli jurus permainan apa yang dilancarkan Tan Ciok-sing, cukup asal dia bekerja
sesuai teori ilmu pedang dan dipraktekkan secara fasih dan betul, ternyata
setiap gerak dan jurus permainannya cocok dan serasi satu dengan yang lain
"Trang", pergelangan
tangan Huwan Riau tertusuk pedang lebih dulu, senjatanya mencelat jatuh. Maka beruntun
terdengar pula suara berisik dari senjata-senjata yang kebentur patah, pedang
panjang Huwan Hou dan Huwan Pau tertabas kutung, sementara pedang panjang Huwan
Liong yang berkepandaian tinggi juga gumpil delapan tempat, selanjutnya jelas
takkan bisa dipakai lagi.
Karuan bukan kepalang kaget
dan jeri Huwan bersaudara, serempak mereka menjerit bersama terus ngacir ke
empat penjuru. Liong Seng-bu si kurcaci ini lebih takut mati pula, begitu
melihat gelagat jelek siang-siang dia sudah menyingkir ketempat jauh dan
melarikan diri lebih dulu.
Kuda tunggangan mereka adalah
kuda-kuda perang yang sudah terlatih baik, mendengar tanda suitan para
majikannya lekas mereka lari mendatangi. Tapi ada seekor larinya agak
terlambat, malah sering berpaling kemari seperti ada sesuatu yang berat
ditinggalkan. Sekali cemplak Tan Ciok-sing mencelat ke punggungnya terus
ditarik kekangnya dan ditundukkan kembali.
Huwan Liong, Huwan Hou dan
Huwan Pau sudah mencemplak kuda tunggangan masing-masing, kuda yang dirampas
Tan Ciok-sing adalah kuda tunggangan Huwan Kiau, sudah tentu dia tak berani
merebutnya lagi, saking ketakutan lekas dia berlari ke arah sang Toako dan
mencemplak di belakang punggung saudaranya, dua orang satu tunggangan terus
ngacir sipat kuping, cepat sekali mereka sudah lari jauh tak kelihatan lagi.
Kuda putih yang dinaiki In San
itu tampak lari keluar dari dalam hutan, kuda yang ditunggangi Tan Ciok-sing
semula masih meronta-ronta, namun begitu melihat kuda putih itu, sikapnya
seketika lembut dan menurut, tanpa dikuasai dia berlari menghampiri kearah kuda
putih lalu saling menggosok kepala dan mendengus-dengus dengan mesranya.
Kiranya kuda putih In San ini kuda jantan, kuda yang dirampas Tan Ciok-sing
adalah kuda betina, maklum laki dan perempuan saling berkasih mesra. Agaknya
kedua kuda ini sekali bertemu hati lantas terpaut dan jatuh cinta.
Sudah tentu jengah muka I n
San, katanya menarik kuda putih: "Kudaku ini bisa lari cepat, masih sempat
aku kejar bangsat she Liong itu."
"Mereka sudah lari, tak
perlu dikejar," ucap Tan Ciok-sing, "kuda yang baru kurampas ini
mungkin belum mau tunduk padaku, biarlah mereka berkasih mesra sebentar."
In San juga tahu kuda
tunggangan Tan Ciok-sing takkan bisa menandingi kecepatan lari kuda putih,
seorang diri dia takkan mampu membekuk Liong Seng-bu, terpaksa dia batalkan
niatnya.
Teringat adegan berbahaya tadi
sungguh jantung Tan Ciok-sing masih berdebar, katanya: "Nona In, tak nyana
ilmu pedangmu ternyata juga seliehay itu."
Semakin merah wajah In San,
katanya: "Memangnya hanya ilmu pedang ini yang pernah kuyakinkan, setelah
dimainkan secara serampangan, tak kira berhasil menggempur mundur musuh. Yang
benar ilmu pedangmu yang liehay, aku toh hanya memperoleh bantuanmu."
Saat mana hari sudah gelap,
tapi di ujung barat di kaki langit sana masih kelihatan selarik sinar
kemerahan, rona jengah di wajah In San jadi kelihatan berpadu, diam-diam
bergetar hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Anak perempuan memang aneh,
sedikit bicara juga mesti merah mukanya. Katanya tertawa: "Nona In, kenapa
kau jadi begini sungkan? Justeru aku yang mendapat bantuan sepenuh tenagamu
baru berhasil lolos dari bahaya. Nona In, kau tidak menyalahkan aku
bukan?"
In San melongo, katanya:
"Menyalahkan kau apa?"
"Tadi kuatir musuh
terlalu kuat, aku tidak ingin kau ikut mengalami bahaya dan terancam jiwamu,
maka kuminta kau lekas lari lebih dulu. Untung kau tidak mendengar nasehatku.
Tapi bukan maksudku hendak memandang rendah dirimu, tentunya kau tidak salah
paham bukan?"
Sungguh malu dan haru pula
hati In San mendengar perkataan Tan Ciok-sing yang tulus ini, katanya:
"Kau selalu memikirkan diriku, berterima kasih toh aku belum sempat, mana
aku berani menyalahkan kau?" dalam hati dia membatin: "Memangnya dia
belum tahu asal-usul dari ilmu pedang gabungan ini, atau sengaja hendak
memancing reaksiku?"
Tan Ciok-sing berkata:
"Hari sudah hampir gelap, marilah kita menempuh perjalanan sejauh mungkin,
atau kau ingin istirahat disini saja?" tiba-tiba dia berhenti bicara
karena mendapatkan In San tengah mengawasinya mendelong.
Baru saja Tan Ciok-sing merasa
heran, tiba-tiba, didengarnya In San berteriak: "Haya."
Karuan Tan Ciok-sing
terperanjat, tanyanya gugup: "Nona In, kenapa kau?"
"Aku tidak apa-apa,"
sahut In San, "Tan-toako, pundakmu terluka, apa kau tidak tahu?"
Pundak Tan Ciok-sing tadi
tergores luka oleh pedang Huwan Kiau, sementara lengannya juga tergores luka
panjang tiga dim oleh pedang Huwan Liong, darah masih merembes keluar, lengan
baju kirinya sudah basah dan lengket, baru sekarang dia sadar akan luka-luka
ini setelah diingatkan oleh In San.
"Luka-luka ringan,
terhitung apa," ucap Tan Ciok-sing.
"Luka-luka meski ringan
tak boleh diremehkan, hentikan dulu darah yang mengucur keluar," demikian
kata In San, "aku membawa Kim-jong-yok, Tan-toako, silakan duduk, biar
kubantu kau membubuhi obat dan membalutnya."
Waktu bertempur tadi Tan
Ciok-sing tidak merasakan luka-luka di lengan dan pundaknya ini. Kini setelah
diingatkan oleh In San baru dia merasakan, katanya: "Begitupun baik,
biarlah merepotkan kau nona In."
"Tan-toako, kau sudah
membantu sebesar itu pada ayah bundaku, urusan sekecil ini, kenapa kau malah
sungkan terhadapku?"
Tapi setelah dia mengeluarkan
Kim-jong-yok, dia sendiri jadi bimbang, maklum untuk membubuhi luka dan
membalut luka Tan Ciok-sing dia harus membuka baju luar dan merobek lengan
bajunya itu, sebagai seorang gadis perawan, kapan dia pernah bergaul dan
bersentuhan kulit dengan jejaka? Mau tidak mau dia jadi malu dan serba kikuk
lagi.
Agaknya Tan Ciok-sing tahu
maksud hatinya, sambil kertak gigi segera dia robek lengan bajunya, katanya:
"Nona In, serahkan Kim-jong-yok itu padaku, aku sendiri bisa membubuhi
luka ini."
Karena Tan Ciok-sing merasa
rikuh, In San malah tak enak hati, katanya: "Tan-toako, dengan sebelah
tangan saja mana bisa kau membubuhi obat dan membalutnya? Dengarlah kataku,
rebahkan."
Pelan-pelan Tan Ciok-sing
turunkan harpa yang digendong di punggungnya, lalu dia duduk berpunggung dahan
pohon, katanya: "Terima kasih nona In. Banyak peristiwa dalam dunia ini
yang tak pernah diduga sebelumnya, beberapa jam yang lalu kau masih
menganggapku musuh, kini kau justru begini baik terhadapku," hatinya
sungguh amat senang, maka tanpa dirasakan dia utarakan isi hatinya.
Merah muka In San, katanya:
"Iya, ya memang banyak persoalan yang sukar diduga sebelumnya. Tan-toako,
kau tidak menyalahkan kecerobohanku bukan?"
"Aku sendiri juga belum
sempat berterima kasih kepadamu, kenapa menyalahkan kau. Em, obatmu memang
lebih mujarab, rasa sakit sudah tak terasakan lagi."
"Masakah begitu cepat
kasiat obat ini," ucap In San tertawa, "hari sudah gelap, bocah she
Liong itu sudah pecah nyalinya, tanggung dia lari ke Tay-tong dan tak berani
balik kesini lagi. Kita tak perlu buru-buru melanjutkan perjalanan, marilah
istirahat disini saja. Kau boleh tidur lebih dulu, biar aku jaga malam."
"Yang benar aku tidak
pernah merasa lelah, malam ini tidak tidur juga boleh."
"Tan-toako," kata In
San lembut, "kepandaianmu amat tinggi, namun badanmu bukan tulang besi
otot kawat, dengarlah perkataanku, istirahatlah dulu."
"Paling sukar menerima
kebaikan perempuan cantik," memangnya kapan Tan Ciok-sing pernah
memperoleh perhatian gadis selembut ini? Seketika badan seperti segar dan
semangat serta semilir dihembus angin sepoi-sepoi, hatinya manis mesra. Katanya:
"Baiklah aku mendengar nasehatmu. Tapi sekarang aku belum ngantuk."
"Tan-toako, bolehkah aku
melihat harpamu!" "Sudah tentu boleh." Kata In San mengelus
harpa: "Harpa antik yang tak ternilai harganya, pastilah ini warisan
keluargamu."
Mendengar harpanya dipuji,
hati Tan Ciok-sing semakin senang. Ternyata dia cukup ahli juga mengenali
nilai-nilai barang antik," katanya: "Ya, warisan kakekku. Mungkin dia
belum terhitung harpa antik yang tak ternilai, namun 'didalam pandanganku, dia
memang jauh lebih berharga dari benda mana saja."
"Apa betul tidak
ada?" tanya In San tertawa.
Tan Ciok-sing tersentak sambil
tepuk dahi, katanya: "Ya, betul, memang ada sesuatu yang jauh lebih
berharga dari harpa ini." "Sesuatu apakah itu?"
"Persahabatan dari kawan terdekat," demikian ucap Tan Ciok¬ sing di
kala mengucapkan kata-katanya ini, tanpa terasa dia teringat kepada Toan
Kiam-ping, dalam hati dia pernah berjanji hendak menghadiahkan harpa ini kepada
Toan Kiam-ping.
Tapi In San salah mengartikan
perkataannya, dan kira kata-kata ini ditujukan kepada dirinya, karuan mukanya
jengah dan panas, katanya: "Tan-toako, kakekmu adalah guru harpa nomor
satu di kolong langit ini, tentunya kau cukup ahli juga main harpa?"
"Terlalu jauh aku
dibanding kakek. Sayang lenganku terluka, nanti setelah luka-lukaku sembuh
kupetik beberapa lagu untuk kau nikmati. Nona In, kau juga suka memetik harpa
bukan?"
"Petikan harpaku bukan
merupakan irama, waktu kecil pernah aku belajar beberapa hari. Aku punya
seorang teman, dia senang memetik harpa."
"Apakah Siau-ongya?"
"Ya, Toan Kiam-ping. Dari
mana kau tahu?"
"Di Tayli pernah aku
mendengar dia memetik harpa, memang bagus petikannya."
"Beberapa tahun lalu
pernah dia tinggal sebulan di rumahku, sering dia memetik harpa untukku. Tapi
aku tahu dan yakin petikannya tidak akan lebih bagus dari kau."
"Kau toh belum pernah
mendengar aku memetik harpa, darimana kau berani mengambil kesimpulan
ini?"
"Kenapa harus pernah
dengar? Seorang guru ahli pasti menelorkan murid teladan, apalagi kakekmu adalah
Ki Harpa yang diakui seluruh jagat, eh, apa yang sedang kau pikirkan
Tan-toako?" tiba-tiba dia memperhatikan Tan Ciok-sing .yang sedang melongo
seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Tiada yang kupikirkan,
aku hanya ingin lekas sembuh supaya dapat memetik beberapa lagu untukmu,"
yang benar dalam hati dia sedang berpikir: "Bila mereka menikah kelak,
harpa ini akan kuhadiahkan sebagai kado untuk mereka suami isteri, kurasa
kadoku ini cukup luar biasa. Em, yang satu pangeran suatu kerajaan, yang lain
adalah putri seorang pendekar besar, mereka memang setimpal, sungguh merupakan
perjodohan yang bahagia."
Mekar seri tawa In San laksana
sekuntum bunga, katanya: "Kalau begitu terima kasih lebih dulu. Toako,
konon irama harpa dapat menenangkan pikiran orang, apa betul?"
"Pernah aku mendengar
cerita kakek, bila kepandaian memetik harpa seseorang telah mencapai tingkatan
yang paling tinggi, rasa senang dan duka seseorang dapat kau kendalikan dengan
alunan irama harpa."
"Sayang aku kurang ahli,
kalau tidak ingin aku memetik sebuah lagu untuk menina bobo kau supaya lekas
tidur. Tan-toako, sehari ini kau sudah cukup lelah, sudah saatnya kau
beristirahat."
"Petikan harpa
Toan-kongcu amat bagus, kau sebagai muridnya dalam hal ini, kenapa merendahkan
diri? Silahkan kau petikan lagunya, ingin aku pulas di tengah alunan
harpamu,"
In San tertawa, katanya:
"Yang benar aku ingin petunjuk dari kau sang guru yang ahli ini, baiklah
kupetikan sebuah lagu, tapi jangan kau tertawakan diriku," lalu dia
letakan harpa di pangkuannya, sambil memetik, diapun tarik suara bernyanyi.
Lagu yang dibawakan adalah lagu yang mengisahkan seorang gadis yang merindukan
sang jejaka, lagu yang cukup populer di kalangan rakyat jelata di Tay-tong.
Lagu ini diajarkan oleh Toan Kiam-ping di kala In San berusia lima belas, yaitu
kali terakhir Toan Kiam-ping bertemu di rumahnya. Waktu itu dia masih kecil dan
belum tahu makna lagu ini, cuma dirasakan lagunya enak dan merdu dinyanyikan.
Kini waktu dia tarik suara di hadapan Tan Ciok-sing, habis lagunya mukanyapun
merah jengah dan lekas-lekas menunduk.
Begitu asyik Tan Ciok-sing
mendengarkan alunan lagu nan merdu dan empuk ini, tiba- tiba dia berpikir:
"Pasti lagu ini diajarkan oleh Toan Kiam-ping, supaya kelak dalam malam
penganten mereka bisa hidup rukun bahagia, eh kenapa aku ngelantur."
Mendengar lagu ini hati Tan Ciok-sing dirundung kesedihan, tapi lebih banyak
ikut bahagia dan mesra. Tanpa terasa dia betul-betul tenggelam dalam alunan
lagu merdu ini dan lelap. Di alam mimpi dia nampak senyum In San bak kembang
mekar tengah bergandengan tangan menghampiri dirinya, harpa antik segera dia
persembahkan sebagai tanda kenang-kenangan bagi pernikahan mereka.
Dalam mimpi Tan Ciok-sing
bertemu dengan Toan Kiam-ping. Diam-diam In San memperhatikan dia memejam mata
dan akhirnya lelap, tanpa terasa diapun terkenang kepada Toan Kiam-ping.
Selama ini dia tidak pernah
berdekatan dengan jejaka siapapun, kecuali Toan Kiam-ping. Pernah beberapa kali
Toan Kiam-ping bermain di rumahnya, sejak dia masih kecil dia sudah berkenalan.
Tapi di kala dia berusia lima belas itu Toan Kiam-ping lantas berpisah selama
tiga tahun sampai sekarang belum pernah bertemu lagi.
Dalam jangka tiga tahun kini
kecuali dia menunggu kedatangan sang ayah yang tidak kunjung pulang, sering
juga dia terkenang padanya selalu membawa kesan-kesan dan menggembirakan.
Malam ini menghadapi Tan
Ciok-sing yang sedang pulas di hadapannya, tanpa terasa dia terkenang pula
kepada Toan Kiam-ping. Namun perasaan yang mengisi sanubarinya sekarang jelas
berbeda lagi dengan kesan yang dirasakan pada saat-saat dulu bila dia terkenang
kepada Toan Kiam-ping. "Tak kira pemuda yang baru saja kukenal ini
sedemikian baiknya terhadapku. Sebaik Toan-toako terhadapku," demikian
batin In San.
Dia adalah anak tunggal, tiada
kakak tak punya adik, maka didalam sanubarinya selamanya dia pandang Toan
Kiam-ping sebagai kakak kandung sendiri. Padahal Tan Ciok-sing baru dua kali
bertemu dengan dia, jadi kalau dinilai secara tepatnya belum ada satu hari dia
berkenalan. Walau baru berkenalan tapi hubungan mereka sekarang tidak layak
diumpamakan baru berkenalan. Betapa mendalam hubungan Tan Ciok-sing terhadap
keluarganya, mungkin jauh melebihi hubungan baiknya dengan Toan Kiam-ping. Dia
pernah menolong ayahnya, setelah ayahnya ajal, dari tempat ribuan lie jauhnya,
tanpa mengenal lelah berani menyerempet bahaya datang ke Tay-tong untuk
mengembalikan barang ayahnya. Diapun tuan penolong ibundanya segala persoalan
keluarganya diapun sudah jelas, malah mungkin lebih jelas dari apa yang dirinya
ketahui. Masih ada satu hal yang sering membikin dia merasa jengah dan malu.
Thio Tan-hong adalah gurunya, Thio Tan-hong sudah menyerahkan pedang jantan dan
betina itu kepada mereka berdua.
Bila sekarang dia terkenang
kepada Toan Kiam-ping, tak lain hanya merupakan kenangan sang adik terhadap
sang kakak belaka. Kenangan itu memangnya menyenangkan, menyejukkan sanubari,
namun asal-usul rasa senang ini tak lebih hanya merasa puas pernah mendapat
perlindungan dan kasih sang kakak.
Dinilai dari kejadian yang dialaminya
sehari hari ini, pemuda yang baru dikenalnya ini ternyata tak bedanya dengan
Toan Kiam-ping, membela dan melindungi dirinya dengan penuh kasih sayang. Namun
kasih sayang yang diterimanya dari Tan Ciok-sing agaknya berbeda dengan kasih
sayang yang pernah diperolehnya dari Toan Kiam-ping, perasaan yang peka ini
sudah tentu sukar dijelaskan dengan kata-kata.
Bila dia terkenang pada Toan
Kiam-ping mukanya takkan merah jengah, kini berhadapan dengan Tan Ciok-sing
tanpa merasa wajahnya terasa panas. Tan Ciok-sing sudah tidur, tidak enak dia
menunggui laki-laki asing yang sedang pulas dengan gayanya yang lucu ini, maka
dengan langkah ringan dia beranjak lewat dari samping orang. Didalam
sanubarinya mulailah timbul perbedaan pendapat tentang laki-laki asing di
hadapannya ini dengan Toan Kiam-ping yang sudah lama dikenalnya.
Toan Kiam-ping berwatak lemah
lembut sebagai mana seorang sekolahan dari keluarga bangsawan, sikapnya ramah
dan terbuka, bukan saja ilmu silatnya tinggi, main harpa, catur, membuat syair
dan menggambar juga serba bisa. Pernah dirinya diajar memain harpa, mengajar
dirinya menulis serta menggambar dirinya serta membuatkan syair lagi. Bicara
sesungguhnya, dia amat suka dan senang kepada "Toan-toako" ini.
Walau belum sehari dan
berkenalan dengan Tan Ciok-sing, tapi perasaan sudah jelas menunjukkan bahwa
dia bukan sejenis laki-laki seperti Toan Kiam-ping. Kepandaian memetik harpa
Tan Ciok-sing mungkin lebih tinggi dari Toan Kiam-ping, tapi meski petikan
harpanya tiada bandingan, sikap dan tindak tanduknya sebagai pemuda kampungan
tetap terlalu menonjol. Akan tetapi bahwasanya
Tan Ciok-sing tidak pernah
berusaha untuk menyembunyikan ke kampungan dirinya, dia tetap menampilkan
keaslian dirinya di hadapan In San.
Memang dia amat menyukai Toan
Kiam-ping, senang akan sikapnya yang ramah dan romantis, senang akan wataknya
yang terbuka dan suka mengambil dirinya, tapi kemurnian dan keaslian Tan
Ciok-sing yang serba kampungan dan sederhana ini justeru menimbulkan kesan yang
mendalam, kesan yang mantap dan dapat dipercaya. Sukar dia memberi jawaban pada
tanda tanya hati sendiri, apakah setelah dia bergaul lama dengan Tan Ciok-sing
dirinya akan menyukainya pula seperti dirinya menyukai Toan Kiam-ping, tapi dia
yakin bahwa Tan Ciok-sing pasti akan membencinya.
Pikir punya pikir tanpa merasa
merah pula muka In San. Angin malam yang berhembus semilir menyegarkan badan,
sesaat dia melongo lalu berpikir: "Kenapa aku harus membandingkan ke dua
orang ini? Toh aku tidak ingin menikah dengan Toan-toako, meski Tan Ciok-sing
membawa pedang jantan, memangnya aku harus kawin dengan dia. Usiaku toh masih
muda, kenapa harus bikin susah diri sendiri? Untuk apa aku pikirkan persoalan
tetek bengek ini sepagi ini?"
Selamanya dia belum pernah
memikirkan soal nikah, soal masa depannya, malam ini baru pertama kali. Dia
tidak akan memikirkan lagi, namun perasaan hatinya tetap gejolak tak mau
tenang. Tanpa merasa dia beranjak semakin jauh kedalam hutan, semakin jauh pula
meninggalkan tempat Tan Ciok-sing mendengkur.
Kuda putih dan kuda rampasan
Tan Ciok-sing itu entah berada dimana, mungkin pergi mencari rumput segar,
sebagaimana sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, entah kemana mereka
sedang bermain cinta di malam nan permai ini.
Tiba-tiba sayup-sayup seperti
didengarnya suara ringkik kuda. Semula dia kira kuda putihnya itu menemukan
kembali tempat istirahat majikannya. Tapi sesaat lagi kuda putih tidak kunjung
muncul, malah dia mendengar langkah kaki orang.
In San sembunyi di belakang
sebuah pohon besar, malam ini bulan purnama, di bawah penerangan bulan purnama
tampak dua bayangan orang muncul di balik lekukan gunung sebelah sana dari
bentuknya kelihatan mereka laki dan perempuan. Keduanya jalan berendeng, tidak
menunggang kuda.
Lekas In San mendekam sambil
pasang kuping, didengarnya yang perempuan sedang berkata: "Aneh, entah
kenapa kuda putih kita punya ini tadi kelihatan gelisah dan tidak tenang, tidak
tunduk perintah lagi, tahu-tahu kita dibawanya kesini.
In San terperanjat, suara
perempuan ini seperti sudah amat dikenalnya.
Disusul seorang laki-laki
berkata: "Sudah sehari penuh dan setengah malam ini kita berkelana, umpama
kuda tidak lelah manusia yang akan keletihan. Siau-moay kau memang harus
beristirahat."
"Ing-piauko." kata
perempuan itu, "kau tidak tahu kenapa aku menguatirkan adik dari keluarga
In itu, bahaya yang mengancam kota Tay-tong sudah tiada, ingin rasanya aku
tumbuh sayap terbang kesana menemuinya."
"Memang aku juga mendapat
titipan Toan Kiam-ping untuk cepat-cepat disampaikan padanya," demikian kata
laki-laki itu, "kuda putih kita berlari secepat terbang, yakin besok juga
kita sudah bisa sampai di Tay-tong, kaupun tidak perlu terburu-buru. Marilah
cari tempat yang bersih supaya kau bisa beristirahat. Aku akan berjaga malam,
besok pagi, aku akan bangunkan kau."
Mendengar pembicaraan mereka
sungguh kejut dan girang hati In San, kini dia sudah tahu siapa kedua orang
laki perempuan ini. Mereka bukan lain adalah Kanglam Sianghiap Kwik Ing-yan dan
Ciong Bin-siu yang ingin ditemuinya di markas Kim-to Cecu. Tak kira sebelum dia
sampai ke tujuan, kedua orang ini sudah mencarinya juga.
"Mereka menempuh
perjalanan malam hanya ingin selekasnya menemukan aku," demikian batin In
San, "biar aku diam dulu, nanti akan kugoda mereka." Kedua muda-mudi
itu sudah memasuki hutan, jaraknya tidak jauh dari tempat In San sembunyi.
Begitu mereka dekat In San sudah siap untuk muncul secara mendadak supaya kedua
orang itu terperanjat dan kesenangan.
Ternyata langkah mereka
berhenti, agaknya sedang celingukan mencari sesuatu tempat cocok dan bersih.
Melihat mereka tidak maju lebih lanjut, In San sudah siap melompat keluar
memberi kejutan, tiba-tiba didengarnya Ciong Bin-siu tertawa, katanya:
"Cara bagaimana kau hendak menyampaikan isi hati Toan Kiam-ping kepada
adik keluarga In itu."
Kali ini berbalik In San yang
terkejut, "Toan Kiam-ping hendak menyampaikan isi hati apa terhadapku?
Kenapa pula harus melalui mereka untuk menyampaikan kepadaku?" sesaat ini
jantung In San berdebar keras, hatinya juga bingung dan gelisah.
Terdengar Kwi Ing-yang berkata
dengan tertawa: "Dia rikuh mengatakan kepadaku, aku sendiri juga rikuh
untuk menyampaikan pesannya itu kepada adik keluarga In. Adik Ciong, untuk hal
ini terpaksa aku memohon bantuanmu. Bukan membantu untuk kepentinganku, tapi membantu
untuk kepentingan Toan-toako."
"Memang Toan-toako harus
dikasihani meski namanya dia seorang pangeran, hidup makmur dan serba
berkecukupan, namun dia kurang mendapat seorang teman sejati, hingga sampai
sekarang dia masih jejaka. Beberapa tahun lagi Siau-ongya yang selalu disanjung
puji rakyatnya ini bukan mustahil akan menjadi Lo-ongya, memang pantas kita
membantu dia."
"Betul, hanya kau yang
bisa membantu dia untuk ini kau tidak bisa menampik lagi."
Agaknya Ciong Bin-siu juga
ingin memuaskan rasa ingin tahunya, katanya tertawa: "Bukan soal bagiku
untuk membantu kesulitannya itu, nah coba kau tuturkan persoalan pribadi apa
yang pernah dia bicarakan dengan kau."
"Terhadapmu boleh aku
katakan terus terang tapi jangan nanti lantas menggoda dia. Mungkin kau belum
tahu Pangeran kita yang satu ini biasanya bergaul bebas dan terbuka, namun
waktu ia bicara soal isi hati sendiri, eh, lucu sekali sikapnya malu-malu
kucing, mukanya merah seperti nona jelita layaknya."
Ciong Bin-siu cekikikan,
katanya: "Tak usah kau ngelantur sejauh itu. Ceritakan saja bagaimana dia
utarakan isi hatinya padamu?"
"Hari itu aku membujuknya
supaya lekas menikah, kukatakan sekarang kau sudah tiba saatnya untuk
berkeluarga, adalah pantas kalau dia sekarang sudah punya calon permaisuri. Dia
hanya diam saja sambil menunduk. Kukatakan kau Bun-bu-coan-cay (serba pandai
silat dan sastra) adalah pantas kalau pandanganmu terlalu tinggi, perempuan
biasa pasti tidak masuk dalam hitunganmu. Tapi untuk menemukan perempuan yang
cocok memang sukar, bolehlah untuk ini kau sedikit mengalah saja."
"Eh setelah kuolok-olok
begini, dia malah mau bicara. Coba terka apa yang dia katakan?"
"Nama pujaan hatinya
lantas dia beritahukan kepadamu?"
"Dia justru tidak sewajar
itu dalam bicara soal ini. Dia menghela napas lebih dulu, lalu dengan suara
selirih nyamuk dia berkata: "Terbalik perkataanmu, bukan aku memandang
orang terlalu tinggi, adalah aku sendiri malah yang kuatir tidak sesuai menjadi
suaminya."
"Mendengar jawabannya ini
saking senang aku berjingkrak sambil keplok tangan, kataku: "Jadi kau
punya pujaan hati, lekas kasih tahu padaku, nona dari keluarga mana dia."
"Sesaat lamanya dengan
suara tersendat baru dia berkata: "Kaupun sudah kenal nona ini, ayahnya
adalah pendekar besar yang tersohor di kolong langit ini, sejak kecil dia sudah
kelihatan cerdik pandai dan lincah Jenaka, ayu diluar iembut didaiam, sejak
beberapa generasi kedua keluarga kita sudah ada hubungan erat, selama ini dia
memandangku sebagai Toako-nya. Waktu kecil dulu pernah aku berkelakar sama dia,
kukatakan kelak aku pasti akan mengawini dia, waktu itu hanya bermain saja,
tapi pada terakhir kali aku bertemu dengan dia, dia sudah merupakan gadis yang
sudah mekar dan jelita, sesampai di rumah aku jadi terserang sakit mala rindu,
tak bisa aku melupakan wajahnya, baru sekarang aku sadar bahwa aku sudah tidak
boleh berkelakar lagi, aku betul-betul ingin mengawininya."
"Sesaat aku masih belum
tahu dan tak teringat siapa nona yang dimaksud, sambil berpikir kukorek pula
keterangannya, tanyaku: "Keluarga kalian sudah berhubungan turun menurun
kenapa tidak kau suruh comblang untuk meminangnya, dengan kedudukan sebagai
pangeran memangnya kuatir pihak perempuan menampik?"
"Dia menghela napas pula,
katanya: "Usiaku belasan tahun lebih tua, selama ini kuanggap dia sebagai
adik cilik, bagaimana tidak rikuh untuk bicara soal jodoh."
"Kukatakan tak perlu kau
sendiri yang menyampaikan isi hatimu, cari seorang comblang untuk meminang
kepada orang tuanya, kan beres."
"Dia bilang ayah si gadis
sudah hilang sejak tiga tahun yang lalu kini dia hanya sebatang kara tinggal di
rumah."
"Sampai disini baru aku
sadar dan tahu, teriakku sambil berjingkrak: "O, jadi yang kau maksud
adalah putri In Tayhiap, kita punya adik dari keluarga In itu."
Kalau Ciong-Bin-siu merasa
diluar dugaan, In San sendiri juga tidak mengira sama sekali, diam-diam dia
mencuri dengar pembicaraan kedua muda-mudi ini, sampai disini tak terasa jengah
dan panas wajahnya, hatinya gundah dan bingung, tak tahu entah apa yang harus
dilakukan.
Kelakar Toan Kiam-ping
terhadap dirinya dulu sebenarnya sudah lama dia lupakan, kini tiba¬tiba
mendengar orang menyinggung kejadian lucu itu masa lalu kembali menggelitik
sanubarinya.
Waktu itu usianya baru
sembilan tahun, masih nona cilik yang suka ingusan, hari itu dia ditemani Toan
Kiam-ping turun ke kali menangkap ikan, maklum kali kecil yang tidak dalam
airnya, airnya warna kuning, berlumpur lagi, sebagai seorang pangeran kapan
Toan Kiam-ping pernah bermain di tempat sekotor ini? Tapi demi menyenangkan
hati In San, dengan rasa was-was dia menggandeng In San turun ke kali yang
berlumpur itu menangkap ikan, pakaiannya yang mewah dan serba baru itu kuatir
kotor, dasar In San memang gadis nakal sengaja dia menciprati pakaian baru
orang dengan air dan lumpur, hingga pakaian orang berlepotan lumpur. Siangnya
In Hou memanggil pulang makan, kebetulan dia saksikan In San membuat kotor
pakaian Toan Kiam-ping, dengan tersenyum dia memberi nasehat kepada putrinya:
"Kau budak liar ini begitu nakal, kelak siapa berani menjadi suamimu? Hm,
kalau kau masih nakal juga kelak bagaimana kau bisa memperoleh suami."
Setelah mendapat tegoran ayahnya ini memang In San merasa takut, setelah makan
diam-diam dia bertanya kepada Toan Kiam-ping:
"Apakah anak perempuan
harus menikah? Bagaimana kalau aku tidak bisa memperoleh suami?" Waktu itu
Toan Kiam-ping terpingkal-pingkal, katanya: "Adik cilik, kau tidak usah
kuatir, kelak akulah yang akan mengawini kau."
Sungguh tak nyana kelakar Toan
Kiam-ping di masa kecil dulu, sekarang sikapnya menjadi serius. Kalau dulu
masih kecil, setelah ditegor ayahnya dia pernah tanya kepada Toan Kiam-ping
bagaimana kalau dia tidak bisa mendapatkan suami. Kini setelah tahu bahwa Toan
Kiam-ping betul-betul hendak mempersunting dirinya diapun tidak tahu bagaimana
baiknya, memangnya kepada siapa sekarang dia harus merundingkan hal ini?
Karena gelisah In San berdiri
terlongong. Tadi dia sudah siap melompat keluar hendak membuat kaget Kwik
Ing-yang berdua, kini karena malu dia malah menyembunyikan diri tak berani
mengunjuk diri. Dia takut Ciong Bin-siu betul-betul menyinggung soal pernikahan
ini, cara bagaimana dia harus menjawab nanti?
Di kala dia kebingungan itulah
tiba-tiba didengarnya ringkik tiga ekor kuda yang bersahutan. Kwik Ing-yang
berjingkrak kaget serunya: "Didalam hutan ada
Ciong Bin-siu juga melompat
berdiri teriaknya senang: "Kwik-piako, coba kau dengar agaknya ringkik
kuda putihku itu."
"Betul, suaranya memang
mirip," sahut Kwik Ing-yang. "Lekas kita tengok kesana."
Ciong Bin-siu sudah lari lebih
dulu ke arah datangnya suara. Lekas Kwik Ing-yang menyusul kencang, tinggal In
San seorang yang masih berdiri menjublek di tempat.
Tak lama kemudian terdengar
suara benturan senjata dan bentakan serta makian dari dalam hutan. In San yang terlongong
tiba-tiba tersentak kaget, pikirnya: "Celaka, mungkin mereka sudah
bertarung dengan Tan-toako, bagaimana aku harus bertindak? Ai, kenapa keadaan
semakin berabe begini?"
Jejaka dan perawan sama-sama
bermalam di hutan nan sepi dan jauh dari keramaian, meski mereka sama-sama suci
bersih dan bergaul secara terang-terangan, betapapun akan menimbulkan kesan
jelek di mata umum. Apalagi kedatangan Kwik dan Ciong justru hendak
menyampaikan kabar bahagia akan pinangan Toan Kiam-ping terhadap dirinya. "Bila
mereka menemukan aku bersama Tan-toako di malam nan gelap ini di hutan, entah
bagaimana mereka memperkirakan diriku?" tanpa kuasa merah dan panas pula
muka In San.
Tapi jikalau dia tidak segera
mengunjuk diri, mungkin urusan bisa lebih payah dan tak karuan jadinya,
terpaksa In San buang segala pikiran yang tidak enak, dengan mengeraskan kepala
lekas dia berlari ke arah datangnya suara.
Apa yang dia tebak memang
tidak salah, Kanglani Sianghiap memang sudah berhantam dengan Tan Ciok-sing.
Tan Ciok-sing juga terjaga oleh suara ringkik kuda, dia kira ada orang hendak
mencuri kudanya, maka bergegas dia bangun, belum lagi dia menemukan kudanya,
jejaknya sudah ditemukan oleh Kanglam Sianghiap. Malam ini bulan purnama
memancarkan sinarnya yang redup; baru saja dia kucek-kucek mata dan belum
melihat siapa kedua pendatang ini, mereka sudah mengenali Tan Ciok-sing lebih
dulu. Kebetulan di kala mereka berhadapan inilah tampak kedua kuda putih itu
juga muncul dari dalam hutan begitu melihat kuda putih miliknya itu tanpa
banyak bicara "Sret" Ciong Bin-siu segera menusuk ke arah Tan
Ciok-sing.
Tan Ciok-sing juga sedang
membentak: "Maling kuda bernyali besar. Hanya kau, kau kiranya
kau...!"
Ciong Bin-siu menghardik:
"Kau maling cilik ini tak nyana kebentur dengan pemiliknya bukan?"
mulut bicara pedang tak berhenti. Terpaksa Tan Ciok-sing cabut pedang
menangkis, dengan jurus Hian-niau-hoat tiba-tiba dia balas menusuk dari posisi
yang tidak terduga oleh Ciong Bin-siu. Jurus serangan ini memaksa lawan untuk
membela diri lebih dulu, sehingga Ciong Bin-siu harus menarik pedang kalau
tidak pasti pedangnya tertabas kutung.
Tan Ciok-sing menarik napas
lega, teriak-teriaknya lekas: "Ciong-lihiap, jangan kau salah paham, aku
sengaja hendak mengembalikan kuda putihmu itu."
Melihat ilmu pedang Tan
Ciok-sing begitu liehay, kejut Kwik Ing-yang bukan main, kuatir sang Piaumoay
kecundang, lekas diapun mencabut senjata. Kungfu Kwik Ing-yang jauh lebih
tinggi dibanding Ciong Bin-siu, begitu ilmu pedang dikembangkan, tipu-tipu
serangannya ternyata bergelombang deras susul menyusul tak kenal putus.
Walaupun permainan ilmu pedangnya ini dalam pandangan Tan Ciok-sing hanya
sepele saja, tapi karena dia tidak bermaksud jahat dan tidak ingin melukai
lawan supaya tidak menimbulkan salah paham lebih mendalam apalagi dia tak boleh
memapas kutung senjata lawan, sehingga Tan Ciok-sing harus sedikit memeras
keringat menghadapi kedua lawan ini." Bahwa dirinya hampir saja kecundang,
sudah tentu Ciong Bin-siu tidak mau percaya akan seruan Tan Ciok-sing. Serunya
gusar: "Kau bangsat cilik ini, waktu di Ang-wa-poh tempo hari, aku sudah
curiga akan tindak-tandukmu yang jahat ini, kuda putihku cara bagaimana bisa
terjatuh ke tanganmu? Jelas kau adalah sekomplotan dengan pembegal di
Ang-wa-poh itu. Masih berani kau membual mengudal mulut manis hendak menipuku
lagi."
Belum habis dia mengamuk,
mendadak didengarnya sebuah suara nyaring berteriak: "Siu-cici (kakak
Siu), dia tidak menipu kau, apa yang dia katakan memang benar."
Karuan Kwik dan Ciong berdua
melengak dan berhenti sambil berpaling, lekas Tan Ciok-sing melompat jauh ke
belakang seraya mengembalikan pedang kedalam sarung, katanya: "Nah, kalau
kalian tidak percaya padaku memangnya kalian tidak percaya kepada nona
In?" bahwa dirinya dituduh semena-mena sebagai anak muda adalah jamak
kalau hatinya agak dongkol, cepat dia menyingkir tanpa bersuara, biar In San
yang membela dirinya.
Sejenak Ciong Bin-siu
tenangkan diri, melihat yang berdiri di depannya benar-benar adalah In San,
sesaat dia melongo tak percaya akan penglihatannya, In San tertawa, katanya:
"Kak Siu, kau sudah tidak mengenalku lagi?"
"Haya," teriak Ciong
Bin-siu kegirangan, "adik San, memang kau ini. Kukira dari mana munculnya
pemuda setampan ini."
"Aku hendak mencari
kalian di tempat Ciu-pepek, kuatir kurang leluasa di perjalanan, maka terpaksa
aku menyamar."
"Kami juga hendak
mencarimu di Tay-tong. Dia, siapa dia?" tanya Ciong Bin-siu. Melihat In
San menyaru pemuda seperjalanan dan bermalam di hutan ini, karuan timbul rasa
curiganya.
"Seperti juga kalian,
Tan-toako ini adalah teman baik Toan Kiam-ping pula, sengaja dia datang ke
Tay-tong mencariku," demikian tutur In San. "Tapi baru hari ini juga
kami berkenalan," lalu dengan tertawa dia menambahkan, "Tidak
berkelahi tidak akan kenal, terus terang akupun pernah salah paham padanya,
malah melabraknya tak karuan. Malah kalian kuperkenalkan."
Tanda tanya mengganjel dalam
benak Kwik dan Ciong, terpaksa mereka memberi hormat kepada Tan Ciok-sing, kata
Ciong Bin-siu: "Kudaku ini tempo hari dirampas oleh kawanan pejahat di
Ang-wa-poh, entah bagaimana bisa berada di tangan Tan-heng?" dalam hati
dia membatin: "Kalau dia teman Toan Kiam-ping, kenapa tidak pernah
diceritakan pada kami?!"
Sementara mereka bicara kedua
ekor kuda itu sudah datang menghampiri, kuda putih itu meringkik perlahan dan
mengelus mukanya ke muka Ciong Bin-siu sejenak lalu berlari pula ke arah Tan
Ciok-sing dan bermesraan. Kuda putih ini memang cerdik dan pandai, tingkahnya
ini seakan ingin memberitahu kepada majikan lamanya bahwa dia bersahabat baik
dengan Tan Ciok-sing.
Kuda putih milik Kwik Ing-yang
juga berlari datang, Kwik Ing-yang berkata dengan tertawa: "Tak heran
sampai disini kau tidak mau pergi, kiranya kau menemukan pasangan disini.
Baiklah, pergilah kalian bermesraan jangan mengganggu aku disini," kedua
kuda ini dapat menangkap perkataan majikannya, berendeng segera mereka berlari
masuk kedalam hutan. Kuda rampasan Tan Ciok-sing baru sekarang mendatangi
dengan lesu dan tunduk kepala, dia tidak berani ikut kesana terpaksa dia
menyingkir kesana sendirian, kasihan melihat keadaannya yang kelihatan sedih.
Kecut hati Tan Ciok-sing
melihat keadaan kudanya, diam-diam dia membatin: "Melihat kawan lama
adalah jamak kalau dia melupakan teman baru. Demikian sang kuda, begitu pula
manusia."
"Adik Siu," ujar
Kwik Ing-yang,
"kudamu itu juga mesra
terhadap Tan-heng, bila Tan-heng tidak pernah menolongnya, pasti dia takkan
bersikap demikian," mau tidak mau dia sedikit percaya akan omongan Tan
Ciok-sing.
"Kak Siu, memang
Tan-toako yang merebut kembali kuda putihmu itu dari tangan kawanan brandal di
Ang-wa-poh. Kudamu itu sedikit terluka, Tan-toako pula yang menyembuhkan.
Begitu baik Tan-toako terhadapnya, adalah jamak kalau dia juga bersahabat
terhadapnya. Demi mengembalikan kuda itu kepada pemiliknya, sepanjang jalan dia
mengejar dan menguntit jejak kalian dari Tayli sampai disini."
Ciong Bin-siu jadi rikuh,
katanya: "Tan-toako tadi aku menuduhmu, mohon dimaafkan."
"Ah, tidak apa."
sahut Tan Ciok-sing tawar, "syukur kuda-ini sudah kukembalikan kepada
pemiliknya, terhitung tercapainya
keinginanku."
"Tan-toako," ucap
Ciong Bin-siu cekikikan, "Kau memang orang baik, pantas adik cilik dari
keluarga In kita ini baru saja kenal sudah begitu percaya padamu."
Sebagai gadis cilik sudah In
San merasakan duri tajam pada perkataan Ciong Bin-siu, seketika merah wajahnya,
katanya tertawa dipaksakan: "Kak Siu, salah omonganmu, aku sendiri juga
pernah kapiran orang baik. Waktu pertama kali aku bertemu dengan Tan-toako,
hampir saja aku membalas budi kebaikannya dengan serangan-serangan
mematikan."
Kwik dan Ciong sama melengak,
kata Ciong Bin-siu: "O, jadi Tan-toako juga tuan penolongmu?"
"O, ya, tadi kau bilang
pernah melabrak Tan-toako, apakah yang telah terjadi?!" tanya Kwik
Ing-yang.
Maka In San ceritakan
pengalaman yang menimpa ayahnya kepada mereka, lalu ditambahkan bahwa demi
melaksanakan pesan ayahnya. Tan Ciok-sing menempuh perjalanan yang jauh,
mengalami berbagai rintangan dan ancaman bahaya sampai di Tay-tong serta
menyerahkan barang peninggalan ayahnya kepada dirinya. Tapi tentang pertemuan
Tan Ciok-sing dengan ibunya tidak diceritakan.
Mendengar betapa gagah perkasa
sepak terjang Tan Ciok-sing, tak ubahnya sebagai kaum pendekar umumnya, timbul
rasa kagum dan hormat Kwik dan Ciong terhadap Tan Ciok-sing. Tapi dalam hati
mereka juga menguatirkan nasib teman mereka Toan Kiam-ping. Mereka pikir betapa
erat dan mendalam hubunganTan Ciok-sing dengan keluarga In, mungkin demi
membalas budi kebaikan orang, In San bisa jatuh hati dan kelak jadi isteri Tan
Ciok-sing malah.
Kini mereka bicara terpencar,
Ciong Bin-siu tarik In San ke samping sana, katanya lirih: "Toan-toako
amat merindukan kau, sebetulnya dia titip pesan pada kami supaya kau mengungsi
ke Tayli soalnya waktu kami tiba disini Tay-tong sudah aman, maka kami putar
jalan langsung menuju ke markas Kim-to Cccu lebih dulu."
"Ya aku sudah tahu,"
ujar In San.
"Lalu kau mau kemana?
Pergi ke Tayli atau mau menemui Kim-to Cecu?"
"Sudah tentu aku akan
ajak kalian menemui Ciu-pepek lebih dulu. Beliau adalah saudara angkat ayahku,
kuduga dia pasti juga merindukan aku."
"Memang dia amat
merindukan kau. Kalau tidak setelah tahu Tay-tong sudah aman, beliau lantas
suruh kami kemari mencari jejak dan beritamu. Tapi bila dia tahu kau selamat
saja pasti lega hatinya, bukan maksudnya supaya kau kesana membantu dia. Bila
kau pergi ke Tayli dulu bukan saja dia tidak akan menyalalahkan kau, malah dia
akan ikut girang." Di hadapan Tan Ciok-sing sudah tentu tak enak Ciong
Bin-siu menjadi mak comblang bagi Toan Kiam-ping, maka secara samar-samar saja
338
dia menyampaikan keinginan
sang pangeran.
"Aku tahu Ciu-pepek tidak
membutuhkan bantuanku, tahu harus kesana secepatnya. Ciong-cici, kapan kau
meninggalkan markas?"
"Baru kemarin dulu?"
"Kalau begitu tahukah kau Tam Tayhiap dengan ibuku apakah sudah sampai di
markas?"
Ciong Bin-siu melengak,
katanya: "Jadi kau sudah tahu bahwa Pek-bo, Pek-bo sudah meninggalkan,
meninggalkan..." tak enak dia meneruskan perkataannya.
"Benar, aku sudah tahu
ibu sudah meninggalkan keluarga Liong. Bagaimana aku bisa tahu kelak akan
kujelaskan padamu. Sekarang beritahu padaku, apakah beliau sudah tiba di markas
Ciu-pepek dengan aman?"
"Sebetulnya ingin aku
memberitahu kepadamu, cuma... entah..." agaknya dia kuatir bila In San
tidak senang dirinya menyinggung perihal ibunya.
"Ibuku ditipu orang
sehingga dia berpisah dengan ayah. Tapi betapapun dia adalah ibu
kandungku."
Maka legalah hati Ciong
Bin-siu, lebih leluasa pula dia bercerita: "Satu jam sebelum kami
meninggalkan markas kebetulan Tam Tayhiap dan ibumu telah tiba, aku juga belum
sempat bicara dengan beliau. Diapun tidak tahu bahwa aku adalah temanmu."
"Ibuku memang sengsara
dan banyak menderita, sudah belasan tahun berpisah dengan dia, kini dia sudah
berada di ambang mata. Kakak Ciong, coba kau pikirkan, tidak pantaskah aku
menemuinya?"
Karena Ciong Bin-siu belum
tahu bahwa In San sudah memaafkan kesalahan ibunya, maka tadi dia membujuk In
San uatuk pergi ke Tayli saja, kini setelah tahu duduk persoalannya, maka tidak
pantas kalau dia mendesaknya supaya pergi ke Tayli menemui Toan Kiam-ping.
Tanpa terasa hari sudah
menjelang fajar.
"Manusia menghadapi
urusan bahagia pasti bangkit semangatnya, pemeo ini memang tidak salah,"
demikian kata Ciong Bin-siu tertawa, "semalam aku tidak tidur, setelah
bertemu kau, kita berangkat sekarang, malam nanti kau akan bertemu dengan
ibumu," bersama In San berdua mereka menunggang satu kuda jalan di depan.
Tan Ciok-sing mencemplak kuda
yang dirampasnya dari pasukan Watsu, bersama Kwik Ing-yang mereka jalan
berendeng. Dalam perjalanan Kwik Ing-yang sengaja bicara tentang Toan
Kiam-ping, katanya: "Toan-toako memang teman sejati yang patut dipuji,
sebagai seorang pangeran, bukan saja serba pandai Kungfu dan sastra, terhadap
teman pun dia tidak pandang bulu, jiwanya besar dan lapang dada tak pernah dia
mengagulkan sebagai keturunan bangsawan."
Tan Ciok-sing berkata tawar:
'"Betul orang macamku yang golongan kroco ini, diapun sudi bersahabat
denganku."
"Tan-heng terlalu
sungkan, orang yang memiliki Kungfu setinggi kau, kami dapat berkenalan adalah
keberuntungan kami. Seperti juga Toan-toako, kau memang kawan yang sukar dicari
bandingannya,"
Getir suara Tan Ciok-sing:
"Mana aku bisa dibanding dengan Siau-ongya?"
"Memang keseluruhannya
Toan-toako serba baik, hanya ada satu bagi kami para temannya ikut merasa
menyesal."
"Soal apa yang harus
disesalkan?" tanya Tan Ciok-sing."
Kata Kwik Ing-yang:
"Usianya sudah hampir tiga puluh, tapi sejauh ini dia belum menikah."
"Betul, rakyat jelata
Tayli bila memperbincangkan Siau-ongya, pasti juga menyinggung soal ini."
Kwik Ing-yang cukup tahu diri,
tak enak dia bicara secara sendirian, maka dia berpikir. "Kelihatannya dia
juga cukup cerdik, kurasa dia sudah dapat merasakan juntrungan
kata-kataku." Tiba-tiba Tan Ciok-sing memutar pokok pembicaraan:
"Tadi seperti kudengar Ciong-lihiap mengatakan, bahwa Kim-to-thi-ciang Tam
Tayhiap sudah sampai di markas Kim-to Cecu, apakah Kwik-hcng sudah bertemu
dengan Tam Tayhiap?"
Teringat sesuatu Kwik Ing-yang
lantas tanya: "Tan-heng, apakah kau juga kenal dengan Tam Locianpwc?"
"Kenal sih tidak. Tapi
dua hari yang lalu pernah aku bertemu dia di rumah keluarga In Tayhiap, dia
pernah menyuruhku menemui dia."
"Betullah kalau begitu,
jadi pendekar muda yang dia ceritakan itu kiranya kau Tan-heng."
"Ah, jadi dia pernah
menyinggung diriku terhadap Kwik-hcng, apakah dia ada pesan untuk aku?"
"Waktu itu kebetulan aku
sudah siap turun gunung hanya sekejap aku bicara dengan beliau. Dia suruh aku
perhatikan di sepanjang jalan seorang pemuda she Tan yang menggendong harpa.
Tapi bila Tan-heng tiba di markas nanti mungkin takkan ketemu dia."
'"Lho, kenapa?"
'"Tam Tayhiap bilang, dia
masih ada janji dengan It-cu-king-thian Lui Tayhiap yang belum dia tepati,
kemarin setelah dia mengantar In-pekbo sampai di markas, lantas pamitan dengan
Kim-to Cecu, hanya menginap semalam, hari ini dia sudah berangkat ke Kwi-lin
untuk menemui Lui Tayhiap."
"Konon It-cu-king-tliian
sudah menghilang sejak tiga tahun lalu, rumah tinggalnya di Kwi-lin juga sudah
di bumi hanguskan. Apakah dia titip kabar untuk Tam Tayhiap, atau Tam Tayhiap
mendengar kabar beritanya dari lain tempat, kini diketahui bahwa dia sudah
kembali ke Kwi-lin?"
"Waktu itu aku sudah siap
meninggalkan markas, jadi tak sempat banyak bicara dengan Tam Tayhiap. Tapi
kudengar pembicaraannya dengan Kim-to Cecu, katanya tiga tahun yang lalu
sebenarnya dia sudah pernah janji dengan Lui Tayhiap karena kematian In
Tayhiap, sehingga
janjian pertemuan kali itu
gagal. Maka janji diperbarui lagi untuk bertemu tiga tahun yang akan
datang."
Tan Ciok-sing diam saja tanpa
bersuara, hatinya bingung dan pikiran kalut.
"Tan-heng, apa yang kau
pikirkan?"
"Tiada apa-apa, aku hanya
mengharap bertemu sekali lagi dengan Tam Tayhiap. Entah Tam Tayhiap ada titip
omongan untukku tidak?"
"Ya, dia ada titipan
omongan untuk disampaikan padamu, dia bilang: 'Bila di tengah jalan kau bertemu
pemuda yang menggendong harpa, katakan padanya, aku akan kembali kesini,
setelah menepati janji pertemuan dengan Liu Tayhiap. Suruh dia menunggu di
markas saja." Tan-heng agaknya dia hanya tahu kau she Tan tapi tidak tahu
namamu."
"Betul, dua kali aku
bertemu dengan dia dalam waktu singkat dan tergesa-gesa, belum aku
memberitahukan namaku
kepadanya," tiba-tiba dia
menarik tali kendali memutar balik kudanya.
"Tan-heng, apa yang kau
lakukan?"
"Tolong sampaikan kepada
nona In, katakan aku tidak bisa mengiringi dia pergi ke markas Kim-to
Cecu."
Kebetulan waktu itu In San
sedang menghentikan kudanya karena mereka berdua tertinggal jauh di belakang,
teriaknya sambil berpaling: "Hai lekas kalian kemari."
Kwik Ing-yang segera tarik
suara: "Nona In. Tan-toako bilang tidak akan pergi ke markas."
In San kaget, teriaknya:
"Tan-toako, tunggulah sebentar."
Kwik Ing-yang tersenyum katanya:
"Tan-toako, umpama benar kau ingin pergi, sepatutnya pamitan dulu
kepadanya."
In San dan Ciong Bin-siu
keprak kudanya putar balik: "Tan-toako kau hendak kemana?"
"Aku akan kembali ke
Kwi-Iin."
"Tiada angin tidak hujan
kenapa tiba-tiba hendak pulang ke rumah? Bukankah kau pernah bilang rumahmu
sudah tiada?"
"Kedatanganku kali ini
mengemban tiga tugas. Pertama mengembalikan barang warisan In Tayhiap. Kedua
membawa pesan Toan Kiam-ping untuk nona In. Ketiga mengembalikan kuda putih ini
kepada Ciong-lihiap. Tiga tugas kulaksanakan kupikir aku harus segera pulang
dulu saja."
Berkerut alis In San, katanya:
"Sudah tiba disini, tinggal sehari perjalanan lagi, kenapa tidak kau
menemui Kim-to Cecu lebih dulu toh kau tiada urusan penting?"
"Justeru baru saja kuketahui
adanya sebuah urusan, maka perlu segera pulang ke rumah. Disini hakikatnya
tiada keperluan lagi untukku."
"Urusan apa yang baru
saja kau ketahui?" tanya In San.
Kwik Ing-yang segera menyela:
"Kim-to-thi-ciang Tam Tayhiap pergi ke Kwi-lin untuk menemui
It-cu-king-thian Lui Tayhiap, pagi hari ini dia berangkat kesana. Baru aku
ketahui akan berita ini."
"O, jadi kau hendak
pulang ke Kwi-lin menemui mereka?"
"Betul, ingin aku
selekasnya bertemu dengan Tam Tayhiap," sahut Tan Ciok-sing.
"Tapi Tam Tayhiap kan
akan kembali kesini bukan?" In San mendesak lagi.
"Ya, betul," sela
Kwik Ing-yang pula, "tadi sudah kujelaskan tentang ini. Tam Tayhiap jelas
akan pulang kesini, kenapa tidak tunggu dia sampai pulang? Paling menunggu
sebulan, dari pada susah payah kau mencarinya ke Kwi-lin kan belum tentu
ketemu."
"Justeru aku kuatir
takkan sabar menunggu selama satu bulan," tegas perkataan Tan Ciok-sing.
Melihat sikap keras Tan
Ciok-sing, In San tahu meski ditahan juga takkan bisa membatalkan niatnya,
kalau dia menahannya secara getol, mungkin bisa menimbulkan salah paham Ciong
Bin-siu, terpaksa dia berkata: "Baiklah, banyak terima kasih atas
bantuanmu kali ini, kalau kau punya urusan penting, akupun tak enak
mengganggumu lagi. Semoga kaupun akan datang kemari."
Tan Ciok-sing tertawa getir,
katanya, "manusia hidup ada kalanya kumpul ada saatnya berpisah, aku juga
mengharap bisa bertemu dengan kalian pula, apakah bisa terkabul kelak sekarang
tak bisa kupastikan."
Ciong Bin-siu cekikikan,
katanya: "Jangan bicara seperti itu, yang pasti kau harus kembali
kesini."
Tan Ciok-sing membalikkan
kudanya pula, tiba-tiba Kwik Ing¬ yang berbisik kepada Ciong Bin-siu:
"Mari kita memberi sebuah kado kepadanya?"
Ciong Bin-siu seketika sadar,
segera dia berteriak: "Tan-toako tunggulah sebentar."
"Ada apa?" tanya Tan
Ciok-sing.
"Marilah saling tukar
kuda tunggangan dengan aku," kata Ciong Bin-siu.
In San sampai melengak oleh
tindakan ini.
"Ah, mana boleh, sengaja
aku kembalikan kepadamu kenapa harus kuterima pula kuda kesayanganmu ini?"
ujar Tan Ciok-sing.
"Anggaplah aku
meminjamkan untukmu," kata Ciong Bin-siu, "kalau bukan kau yang
merebutnya dari tangan kawanan penjahat, sekarang dia juga bukan milikku lagi.
Sekarang kau memerlukan dia, adalah pantas kalau aku meminjamkan padamu. Em,
Tan-toako, memangnya kau saja yang boleh membantu orang, tapi menampik bantuan
orang lain kepadamu?"
Segera Kwik Ing-yang ikut
bicara: "Ciu Cecu pasti juga meminjamkan kuda jempolan untuk tunggangan
Tam Tayhiap ke Kwi-lin, dengan menunggang kuda putih ini, kemungkinan kau bisa
menyusulnya di tengah jalan."
"Maksud mereka baik
Tan¬toako, lekaslah kau terima saja, toh hanya kau pinjam sementara kelak kan
bisa kau kembalikan," demikian In San ikut membujuk.
"Itulah tujuan kami
meminjamkan kuda ini kepadamu dengan harapan supaya kau lekas kembali
kesini," demikian seru Ciong Bin-siu, "supaya adik kecil kita ini
tidak cemas mengharapi kedatanganmu." Kata-kata ini terlalu polos tapi
juga menusuk perasaan, karuan Tan Ciok-sing dan In San sama merah mukanya.
Kata Tan Ciok-sing:
""Kejadian dalam dunia ini sukar diramal sebelumnya, belum tentu aku
bisa kembali kesini. Markas Kim-to Cecu kan juga sering berpindah..."
"Hal itu tak perlu kau
buat kuatir," tukas Ciong Bin-siu, "kalau kau tidak sempat pulang
kesini, boleh kau titipkan kuda putih ini kepada Toan-ongya di Tayli saja. Dia
takkan pindah rumah. Tak lama lagi aku juga akan ajak adik San kesana."
In San tidak pernah bicara
soal ini dan berjanji akan ke Tayli, karuan dia melengak. Tapi tak enak dia
menyangkal di hadapan orang banyak.
Tapi lain bagi perasaan Tan
Ciok-sing, segera dia cemplak kuda putih, katanya: "Baiklah, banyak terima
kasih akan kebaikan kalian meminjamkan kuda ini padaku, kalau aku tak sempat
pergi ke Tayli, pasti akan kusuruh orang mengantarkannya kesana," segera
dia keprak kuda putih terus mencongklang kencang ke depan, cepat sekali
bayangannya sudah lenyap.
"Ciong-cici," kata
In San cemberut, "kapan aku pernah janji akan pergi ke Tayli dengan
kau."
"Kukira setelah kau
menyampaikan sembah sujudmu kepada Pek-bo, kau akan kesana. Baiklah anggap aku
salah menangkap perkataanmu. Tapi Toan-toako begitu kangen padamu, adalah
pantas kalau kau kesana menemuinya."
"Cukup kalau kau beritahu
padanya bahwa aku selamat dan sehat walafiat. Betapa susah payahnya usaha ibu
untuk datang kesini sehingga bisa berkumpul dengan aku, beliaupun tak pernah
kelana di Kangouw, aku pingin lebih lama merawat dan meladeninya."
"Soal ini boleh
dibicarakan pelan-pelan. Piauko, berikan kudamu kepadaku," mereka tetap
berdua menunggang kuda putih milik Kwik Ing-yang, beberapa kejap kemudian Ciong
Bin-siu berkata pula lirih: "Kita adalah kaum persilatan yang harus
mengutamakan perbedaan budi dan dendam, tapi untuk membalas budi juga harus ada
batasnya bukan. Umpamanya aku meminjamkan kuda putih itu kepada Tan-toako,
itupun termasuk balas budi..."
In San melongo, pipinya jadi
merah seketika katanya: "Kak Siu, apa maksud perkataanmu?"
"Aku membalas budi dan
kesetiaan kawannya terpaksa hanya meminjamkan kuda putih padanya, tapi jiwa
ragaku kan tak mungkin kuserahkan pula. Adik In, kau seorang gadis yang pintar,
perumpamanku ini tentunya kau dapat merabainya?"
Seperti kepiting direbus merah
muka In San, katanya aleman dengan malu-malu: "Aku tidak tahu, tidak tahu,
tak usah bicarakan lagi, perumpamaanmu itu aku juga tidak mau dengar
lagi."
"Baiklah tak usah omong,
jangan kau marah. Nanti setelah pikiranmu jernih, kelak kita bicarakan
lagi."
Kuda segera dibedal berlari
kencang naik turun, demikian pula pikiran In San ikut timbul tenggelam tidak
menentu.
Kim-to Cecu menyambut
kedatangan In San dengan riang gembira, katanya tertawa: "Tak kira secepat
ini kaupun datang," ditariknya tangan orang lalu tanya ini dan itu.
Hati In San amat gelisah,
segera dia bertanya: "Ciu-pepek, soal lain biar bicarakan nanti. Kabarnya
ibuku sudah kemari..."
"O, kau sudah tahu?"
tanya Kim-to Cecu.
"Dia tidak menyalahkan
ibunya, maka aku yang memberitahu," sela Ciong Bin-siu.
"Syukurlah kalau begitu
In-hujin sedang kuatir bila putrinya tidak mau memaafkan kesalahannya.
Sebetulnya aku akan menunda sementara baru akan kujelaskan kepadamu..."
Tak sabar In San bertanya
pula:
"Mana ibuku? Kenapa tidak
kelihatan?"
"Badannya kurang sehat,
dia sedang istirahat didalam, tapi kau tidak usah kuatir penyakit tidak begitu
gawat," Kim-to Cecu menerangkan.
"Harap Pepek lekas bawa
aku menemui beliau," pinta In San.
Berpikir sejenak Kim-to Cecu
lantas memanggil seorang tentara perempuan, tentara perempuan ini yang disuruh
mengantarkan In San katanya tertawa: "Kalian ibu dan anak memang harus
berbincang-bincang, aku tidak akan mengganggu," sebagai orang tua yang
cukup makan garam, dia tahu pertemuan ibu dan anak yang sudah sekian tahun
berpisah ini pasti banyak persoalan pribadi yang akan dibicarakan dan pantang
diketahui orang luar. Maka Kim-to Cecu tetap tinggal menemani Kanglam
Sianghiap.
Dalam pada itu In-hujin memang
belum tidur, dia sedang memikirkan putrinya: "Pemuda yang pandai memainkan
ilmu golok keluarga In yang ditemui Tan Ciok-sing itu pasti anak San adanya,
memang sejak kecil dia senang berpakaian laki-laki. Kalau dia muncul di sekitar
Tay-tong, suatu hari pasti akan menyusulku kesini. Ai, entah sudikah dia
memaafkan ibundanya yang sudah hina apa ini?" lalu dia berpikir pula:
"Tan Ciok-sing memang pemuda idaman, bukan saja perangainya baik, hatinya
jujur dan berilmu silat tinggi, sayang dia keturunan dari keluarga awam, bila
kelak anak San berjodoh dengan dia, lega juga hatiku. Tapi Siau-ongya dari
keluarga Toan di Tayli itu juga calon suami pilihan yang sukar ditemukan
bandingannya, jikalau anak San menjadi isterinya mungkin dia akan lebih
bahagia. Tapi Tan Ciok-sing menanam budi begitu besar terhadap keluarga kami,
membawa pedang Thio Tayhiap sebagai ikatan jodoh pula..." hatinya menjadi
risau dan sukar berkeputusan, akhirnya dia menghela napas dan berpikir pula:
"Pernikahan hanya mengutamakan jodoh, kenapa aku harus kapiran memikirkan
soal 'jodoh' putriku, terserah dia suka mana dan menikah dengan siapa. Apalagi
kemungkinan dia tidak akan mau mengakui aku sebagai 'ibunya', memangnya aku
kuasa memberi putusan soal pernikahannya?"
Dada terasa sakit lagi.
In-hujin tahu ini tanda-tanda penyakitnya bakal kumat, sakit hati sukar
diobati, obat yang paling mujarab adalah mempertahankan
ketenangan hati dan pikiran.
Dia berusaha menekan gejolak pikirannya, namun tak kuasa mengendalikan, hatinya
telah mulai sakit dan penyakit hampir kumat.
Di kala pikirannya kacau dan
ruwet ini, tiba-tiba didengarnya suara pintu didorong orang perlahan. In-hujin
kira Kim-to Cecu suruh pelayan membawakan obat untuk dirinya, tak nyana waktu
dia menoleh dilihatnya yang masuk adalah seorang pemuda yang cakap.
Meski berpisah sudah belasan
tahun. Walau waktu berpisah puterinya baru berusia 7 tahun, walau sekarang
puterinya ini berpakaian laki-laki... peduli ada berapa banyak walau hubungan
ibu dan anak sudah mendarah daging, umpama laut kering dan batu membusuk, benda
berubah bentuk, seorang ibu betapapun takkan bisa melupakan dan pangling
terhadap puterinya sendiri.
Sesaat lamanya In-hujin sampai
menjublek di depan puterinya. Demikian pula In San berdiri terlongong didepan
ibunya, ribuan kata laksaan omongan, tak tahu dari mana dia harus mulai bicara.
"San-ji, betulkah kau
ini. Ini, ini, apakah ini bukan mimpi?"
Segera In San menubruk kedaiam
pelukan ibunya, anak dan ibu saling berpelukan dengan kencang, keduanya saling
bertangisan. "Bu, jangan kau menangis, selanjutnya kita takkan berpisah
lagi."
In-hujin menyeka air mata,
katanya: "San-ji, kau tidak membenciku? Aku, aku salah..."
"Yang sudah lalu
anggaplah sebagai impian, tak usah disinggung lagi Bu, yang kubenci adalah
orang lain, aku tidak pernah menyalahkannya kau."
"San-ji," kata
In-hujin sesenggukan. "Aku tahu kau pasti memaafkan aku. Aku pernah pulang
ke rumah mencarimu."
"Bu, aku tahu. Sayang
hari itu aku kebetulan tak di rumah. Bu, kali ini kau bertindak setegas ini
untuk pulang ke rumah, aku amat senang," dengan erat dia menggelendot
dalam pelukan ibunya, tanpa terasa air matapun bercucuran.
In-hujin tertegun sejenak,
katanya: "Ah, kau sudah tahu. Jadi kau sudah pulang ke Tay-tong?"
"Bu, rumah kita itu sudah
dibakar oleh pasukan pemerintah yang dibawa Liong Seng-bu bocah kurcaci
itu."
Mendengar puterinya
menyinggung keponakan suaminya yang tiri, kembali hati In-hujin merasa dongkol
dan perih pula, hatinya penuh penyesalan, katanya: "Binatang cilik itu,
jangan kau menyinggung nya lagi. Aku ingin bicara tentang seorang yang
lain."
"Siapa?"
"Seorang yang punya
hubungan kental dengan keluarga In kita, ayahmu pernah mendapat budi
pertolongannya, akupun pernah ditolong jiwaku. San-ji, ayahmu, ternyata sudah
meninggal duuia..."
"Bu, semua peristiwa itu
sudah kuketahui jelas, tak perlu kau jelaskan lagi. Bila ayah tahu kini kau
sudah pulang, di alam baka beliau pasti akan senang juga," demikian In San
menghibur ibunya sambil menyeka air matanya.
Kembali In-hujin terlongong,
pikirnya: "Bagaimana dia bisa tahu semuanya? lalu berkata lebih lanjut:
"Orang itu bernama Tan Ciok-sing, dia seorang pemuda yang baik, bukan saja
Kungfunya tinggi, orangnya pun baik dan mengagumkan..."
"Bu, aku tahu,"
tukas In San, mendengar ibunya memuji Tan Ciok-sing, manis mesra rasa hati ln
San, tanpa kuasa merah mukanya, kembali dia mengulang perkataan: "aku
tahu."
In-hujin berhenti bicara,
dengan seksama dia perhatikan putrinya, baru sekarang dia dapati putrinya sudah
menggembol pedang dan golok pusaka. Karuan kejut dan girang hatinya, serunya:
"San-ji, kau sudah bertemu dengan Tan Ciok-sing?"
In San haturkan golok pusaka
ayahnya, katanya: "Bu, golok pusaka ayah sudah dia kembalikan."
"Pedang pusaka ini,
bukankah ini pedang betina yang bernama Ceng-bing-kiam itu."
Jengah muka In San, dengan
suara lirih dia mengiakan.
"Atas perintah Thio
Tayhiap dia menyerahkan pedang ini, kepadamu?"
"Betul," sahut In
San, kepalanya tertunduk semakin rendah.
Tak kuasa In-hujin menekan
rasa senangnya, katanya: "Asal-usul pedang mustika ini, tentunya ayahmu
pernah menjelaskan kepadamu, maksud tujuan Thio Tayhiap menyuruhnya
menyerahkan pedang mustika
ini, kukira juga sudah kau ketahui?"
In San menjawab tahu, tapi
juga tidak menyangka! Tidak tahu. Sesaat lamanya baru dia berkata lirih:
"Bu, bicaralah soal lain saja. Putrimu ingin mendampingimu untuk
selamanya."
"Anak bodoh," ujar
In-hujin tertawa, "bagaimana mungkin kau mendampingi kuselamanya, sampai
disini tiba-tiba mukanya berubah pucat, batuk dua kali.
"Bu adakah kau merasa
kurang enak. Rebahlah istirahat."
"Tidak apa-apa,"
ucap In-hujin setelah mengatur napas, katanya lebih lanjut, "Dua hari ini
aku menguatirkan dua hal. Pertama entah selagi aku masih hidup ini apakah masih
sempat melihatmu, sekarang syukurlah keinginanku terkabul. Kedua aku amat
merindukan Tan Ciok-sing, apakah dia dapat lolos dari bahaya. Dimanakah kau bertemu
dia?"
"Kemarin dulu bertemu di
tengah jalan. Semula kukira jahat, malah pernah aku melabraknya. Akhirnya dia
ceritakan duduk persoalannya dan bicara pernah bertemu dengan ibu baru aku mau
percaya."
"Dia tidak kau ajak
kemari untuk menengok aku?"
"Dia tidak mau datang
kesini." "O, dia tidak datang. Dia kemana?"
"Dia pulang ke
Kwi-lin." In-hujin tertegun, katanya: "Dia sudah tahu tentang
perjanjian Tam Tayhiap dengan It-cu-king-thian?"
"Ya, Ciu-pepek suruh
Kanglam Sianghiap ke Tay-tong mencari jejakku, kebetulan juga petang hari itu
kami bertemu. Setelah tahu tentang berita ini Tan-toako segera putar haluan,
katanya mau pulang ke Kwi-lin saja. Kami sudah membujuknya untuk kemari lebih
dulu, tapi dia tetap tidak mau.
Kutanya dia kenapa dia terburu-buru,
bilang suruh aku tanya kepada ibu."
"O, jadi demikian, kalau
demikian tidak boleh menyalahkan dia," ucap In-hujin. Dia ingin lekas
pulang untuk menyelidiki siapa musuh pembunuh kakeknya. Dia pernah mencurigai
lt-cu-king-thian, tapi dia tetap ragu-ragu."
"Betul, ayah memang
sering menyinggung It-cu-king-thian kepadaku. Walau ayah hanya mengagumi
orangnya dan belum pernah bertemu, tapi dia sudah jelas karakternya. Yakin
pasti bukan dia yang turun tangan sejahat itu."
"Tapi bicara dari
sudutnya itu, adalah pantas kalau untuk menyelidiki peristiwa ini sampai
terang. Dari apa yang dia uraikan akan kejadian itu, kuduga meski
It-cu-king-thian bukan biang keladi di belakang layar yang mencelakai ayahmu,
kemungkinan dia sudah tahu siapa sebetulnya yang menjadi tulang punggung
peristiwa itu." Sampai disini mendadak In-hujin menghela napas.
"Bu, masih ada persoalan
apa yang menyedihkan kau?"
"Entah kau sudah tahu
belum, demi menyelamatkan ayahmu sehingga kakeknya itu dicelakai musuh. Terlalu
banyak hutang budi kita terhadapnya."
Kata In San rawan: "Tak
kira nasibku serupa dia, sama kehilangan orang yang paling dicintai, padahal
dia tidak berdosa, tapi kerembet oleh keluarga kita. Aku yakin musuh yang
membunuh kakeknya."
"Itu jelas sudah pasti.
Umpama bukan karya satu orang, pasti mereka ada hubungan satu dengan yang
lainnya." Sampai disini In-hujin batuk-batuk lagi sambil menekan dada.
"Bu," seru In San
kuatir, "istirahat saja, jangan terlalu membuang tenaga."
"Aku tidak apa-apa, tapi
ada satu hal perlu aku berpesan kepadamu." Demikian kata in-hujin dengan
wajah serius.
Melihat sikap ibunya yang
sesungguhnya, lekas In San bertanya: "Soal apa pula yang harus kukerjakan,
Ibu boleh kau katakan saja."
In-hujin menghela napas,
katanya: "Walau penyakitku tidak jadi soal, entah kapan baru akan sembuh.
Dendam kematian ayahmu, hanya kepadamulah kuserahkan untuk membalasnya."
"Itu sudah menjadi
kewajiban untuk menuntut balas, selama hayat masih di kandung badan, aku
bersumpah pasti membalas sakit hati ayahku. Bu, kau tidak usah kuatir."
"Musuhmu bukan kaum
sembarangan, dua gembong iblis yang mencelakai ayahmu di Cit¬sing-giam itu, apa
kau sudah tahu siapa mereka?"
"Kabarnya mereka bernama
Le Khong-thian dan Siang Po-san."
"Kedua orang ini adalah
jagoan tangguh dari kalangan sesat, seorang lagi yang tak kalah liehaynya
bergelar raja golok Ie Cun-hong," belum diketahuinya bahwa Le Khong-thian
sudah mati di tangan Thio Tan-hong, demikian pula Ie Cun-hong sudah terbunuh
oleh Tan Ciok-sing.
Diam-diam In San berpikir:
"Yang benar biang keladinya sembunyi di belakang layar adalah paman dan
keponakan dari keluarga Liong. Bu, meski kau tidak menjelaskan, kelak aku pasti
akan membuat perhitungan dengan mereka."
In-hujin seperti tahu jalan
pikirannya: "Memang di belakang ketiga orang ini masih ada pula biang
keladinya. Tapi aku minta setelah aku mati baru kau boleh pergi
membunuhnya."
Luluh hati In San mendengar
pesan ibunya, batinnya: "Ibu berkata demikian, maksudnya supaya aku tidak
membunuh Liong Bun-kong dan keponakannya," dia kira ibunya pernah kawin
dengan Liong Bun-kong, mengingat hubungan suami isteri selama belasan tahun
ini, betapapun dia tidak tega. Sudah tentu *hal ini membuat In San kurang
senang.
Tapi tidak enak dia membongkar
kelemahan jiwa ibunya ini. Dengan menggigit bibir akhirnya dia berkata
perlahan: "Bu, tak usah kau bicara soal yang menyedihkan."
"Baiklah mari kita bicara
soal penting saja. Ilmu golok yang kau pelajari meski sudah memperoleh ajaran
murni ayahmu, bekal Kungfu yang kau miliki sekarang masih terlampau jauh
dibanding gembong-gembong iblis itu, kalau kau ingin menuntut balas dengan
tanganmu sendiri, hanya ada satu cara."
In San melongo, tanyanya:
"Cara apa?" Pernah juga dia memikirkan soal ini, tapi menurut
pikirannya ia harus lebih tekun menggembleng diri mencapai tingkat tinggi,
paling cepat juga harus makan waktu sepuluh tahun.
Kata In-hujin: "Bila kau
berhasil meyakinkan ilmu setingkat ayahmu, mungkin musuhmu sudah mati berusia
lanjut. Jikalau kau ingin lekas berhasil menuntut balas, kau harus menggabung
sepasang ilmu pedang dengan Tan Ciok-sing."
Merah muka In San, kepalanya
tertunduk tanpa suara.
"Untung musuhnya adalah
musuhmu juga, kukira umpama dia tidak mempcrsunting kau dia pasti akan
bergabung dengan kau."
"Bu' apa kau ingin supaya
sekarang juga aku menyusulnya ke
Kwi-lin," tanya In San.
In-hujin menghela napas,
katanya: "Pikiranku ruwet sekali, aku harap secepatnya kau menuntut balas
sakit hati ayahmu."
"Menuntut balas memang
penting, bu kau sedang sakit, aku harus merawatmu dulu. Biarlah anak
mendampingmu untuk beberapa waktu lamanya."
In-hujin tertawa getir,
katanya: "Sekarang aku sudah tahu, tak perlu aku membuat kau banyak susah,
bahwa aku bisa bertemu dengan kau terakhir kali ini, sudah puas hatiku. Hari
ini adalah hari yang paling menggembirakan aku, hahaha hahaha..." gelak
ketawanya mendadak terputus.
In San kaget, teriaknya:
"Bu, kau, kenapa kau?" tidak mendapat jawaban dan tidak melihat
reaksi ibunya lekas dia memburu maju meraba pernapasan hidungnya, terasa badan
ibunya sudah mulai dingin, seketika dia menjublek saking kaget.
Selama beberapa tahun ini yang
selalu dibuat ganjalan hati In-hujin hanyalah putrinya dan ingin selekasnya
bertemu dan berkumpul, kini setelah keinginan terlaksana, semangat dan kesehatannya
sudah terlalu lemas, seumpama tanggul yang sudah jebol. Senang, penyesalan,
gembira dan sedih serta pilu pula... berbagai perasaan yang saling bertentangan
seketika menggejolak sanubarinya, sehingga penyakit hatinya mendadak kumat di
tengah gelak tawanya malah mendadak napasnya putus.
Lama sekali In San mematung,
akhirnya dia sadar akan kenyataan ini, barulah dia berteriak dan menangis
gerung-gerung.
000OOO000
Tan Ciok-sing tengah dalam
perjalanan menuju ke Kwi-lin, pikirannyapun gundah-gulana. Betapapun dalam
perjalanan menuju ke kampung halaman, hatinya merasa senang dan hasrat untuk
lekas sampai mengobar semangatnya, tapi di antara semangat yang berkobar ini,
hatinya diselingi perasaan hambar pula.
Perubahan tiga tahun yang
dialami sungguh terlalu besar, terutama dua bulan terakhir ini. Nasib memang
selalu mempermainkan orang, sebetulnya dirinya tiada sangkut paut apa-apa
dengan keluarga In yang jauh letak rumahnya dengan tempat kelahirannya. Tapi
kini kedua keluarga seakan telah bergulat didalam satu arena kehidupan yang
saling ikat mengikat, seumpama benang ruwet yang tidak mungkin dibenarkan
digunting tidak akan habis, disebutkan takkan bisa lurus.
Terbayang percakapannya dengan
In-hujin yang panjang lebar, teringat akan perkenalannya dengan In San yang
semula melabraknya sebagai musuh, nasib keluarga In seolah-olah sudah mendarah
daging dengan kepribadiannya. Terbayang olehnya petikan harpa In San yang
menina bobokkan dirinya didalam hutan, perpisahan di tepi jalan serta pesan In
San masih terngiang di telinganya, diharapkan dirinya lekas pulang menyusulnya
ke markas Kim-to Cecu... sungguh senang tapi juga sedih pula hati Tan
Ciok-sing, akhirnya dia hanya tersenyum pahit belaka.
"Dengan Toan-siau-ongya
dari keluarga Toan di Tayli memang dia pasangan yang setimpal, memangnya siapa
aku ini, memangnya masih berani memikirkan dia. Paling aku hanya bisa berdoa
dan menyampaikan selamat bahagia untuk pernikahan mereka, bila berita bahagia
ini kelak kuterima, biar kuhadiahkan harpa antik ini sebagai kado. Ai, kenapa
aku selalu memikirkan dirinya? Sekenanya Tan Ciok-sing mengayun pecutnya
membedal kuda putih itu supaya berlari lebih cepat. Seakan dia ingin
menghilangkan bayangan In San dari kelopak matanya, sayang bayangan In San
masih terus menggelitik sanubarinya, dia sudah berusaha untuk tidak memikirkan
dia, tapi tidak kuasa dia melupakannya.
Kuda putih memang berlari
kencang, hanya tiga hari Tan Ciok-sing sudah keluar dari wilayah San-he, kini
dia mulai memasuki propinsi Ho-lan.
Hari itu dia tengah
mencongklang kudanya di bawah Ong-ju-san yang berliku-liku, kira-kira tengah
hari, baru dia merasa lapar dan dahaga, kebetulan dilihatnya tak jauh di depan
terdapat sebuah kedai minuman.
Kedai minuman di pinggir jalan
umumnya menyediakan hidangan bagi kaum pedagang atau para pelancongan yang
menempuh perjalanan jauh, bukan saja menyediakan minuman juga menghidangkan
arak dan nyamikan. Maka Tan Ciok-sing menghentikan kudanya, kebetulan tak jauh
di samping kedai terdapat tanah lapang berumput. Dengan tertawa Tan Ciok-sing
berkata: "Aku bisa makan di kedai, kaupun boleh makan rumput
sekenyangmu," dia beri kebebasan kuda putihnya mencari makan di tanah
lapang berumput subur.
Tan Ciok-sing memesan seporsi
daging sampi katanya: "Ada arak apa yang tersedia boleh keluarkan saja,
bawakan dulu setengah kati."
Umumnya kedai minuman di
tengah jalan hanya menyediakan minuman dan makanan yang bertarip rendah, adalah
jamak kalau arak yang dihidangkan juga murahan, nyamikan paling juga kacang
goreng. Tak nyana seteguk dia menghirup arak yang dihidangkan terasa harum dan
segar, ternyata arak bagus yang belum pernah dia rasakan, sudah tentu senang
hati Tan Ciok-sing, serunya memuji: "Arak bagus, arak bagus. Apa nama arak
ini?"
Pemilik kedai adalah laki-laki
tua renta, sahutnya: "Arak kampungan yang bikin sendiri, masa diberi nama
segala. Syukurlah tuan suka menikmatinya, silahkan minum beberapa cangkir
lagi."
Melihat pemilik kedai ramah
dan supel, segera Tan Ciok-sing mengajaknya minum.
"Orang sehobi sukar ditemukan,
kau pandai menikmati arakku, adalah pantas kalau aku yang traktir kau minum,
mana boleh terbalik malah?"
Tan Ciok-sing tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Siapa yang harus mentraktir bukan soal, hayolah
minum sepuasnya."
Pemilik kedai ternyata laki-laki
tua yang suka kelakar, katanya: "Hayolah, biar kuiringi kau sampai
mabuk," • lalu dia masuk mengeluarkan seguci arak, katanya: "Inilah
arak tua yang sudah tersimpan sekian tahun, rasanya tentu lebih kecut, coba kau
rasakan."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya:
"Aku masih harus menempuh perjalanan, kalau banyak minum mungkin
mengganggu."
"Boleh minum sekuat
ukuranmu saja," ucap pemilik kedai, dia penuhi dua cangkir lalu
ditenggaknya habis.
Semula Tan Ciok-sing masih
ragu-ragu melihat orang menghabiskan dua cangkir, dengan lega hati tanpa curiga
segera diapun ikut minum.
"Tuan muda, siapa
she-mu?" tanya pemilik kedai setelah menghabiskan beberapa cangkir.
"Aku yang rendah she Tan,
Lopan, siapa nama besarmu?" tanya Tan Ciok-sing.
"Terima kasih. Aku she Khu
bernama Ti."
"Khu-losiansing fasih
berbahasa, tentunya dulu seorang sekolahan juga?"
"Waktu kecil memang
pernah belajar membaca beberapa tahun, sayang aku terlalu gemar arak sehingga
pelajaran terbengkalai, sampai setua ini aku tidak memperoleh gelar apa-apa.
Oleh karena itu ganti nama 'Ti' (terlambat), maksudku untuk peringatan akan
ketidak becusanku sendiri."
Timbul rasa hormat Tan
Ciok-sing, katanya: "Kiranya Lopek adalah seorang pujangga yang
mengasingkan diri disini, sungguh kurang hormat."
Khu Ti tertawa tergelak-gelak,
katanya: "Karena aku tidak pintar mencari nafkah, hobiku hanya minum dan
suka bikin arak sendiri, maka kubuka kedai minuman di pinggir jalan untuk
sesuap nasi. Soal pujangga apa segala, tuan ini jangan menggodaku."
"Khu-losiansing, kau
terlalu rendah hati."
"Tan-heng, kau membawa
harpa, tentunya kau seorang ahli dalam bidang ini?"
"Ahli sih tidak, hanya
bisa sedikit petikan belaka. Khu-losiansing pernah sekolah, tentu kaupun mahir
memetik harpa?"
"Kau terlalu sungkan.
Memetik harpa aku tidak bisa, tapi dulu aku pernah kenal seorang guru harpa
yang kenamaan. Secara kebetulan guru harpa itupun she Tan."
"Siapakah guru harpa
itu?" tanya Tan Ciok-sing.
"Konon kepandaian memetik
harpa guru harpa ini tiada bandingan di kolong langit, orang banyak menyebutnya
Sian-khim (Dewa Harpa) tapi dia sendiri menamakan dirinya Ki Harpa."
"Yang di maksud ternyata
kakek," demikian batin Tan Ciok-sing.
Kata Khu Ti lebih lanjut:
"Pernah aku sekali bertemu dengan dia, jadi belum boleh dianggap sahabat
baik. Seperti kau suatu hari dia lewat sini dan mampir di kedaiku minum arak,
setelah merasakan arakku timbul rasa senangnya maka dia memetik harpa sambil
bersenandung, begitu indah dan mengasyikan sekali petikan harpanya itu,
selamanya takkan bisa kulupakan. Em, dihitung-hitung kejadian itu kira-kira
sudah dua puluh tahun berselang."
Tan Khim-ang memang guru harpa
yang suka kelana di Kangouw, tidak perlu dibuat heran kalau dia pernah mampir
di kedai ini dan pamer sekedar keahliannya. Karena baru kenal sudah tentu
pantang bagi Tan Ciok-sing untuk menjelaskan tentang dirinya.
Ternyata semakin berkobar
semangat Khu Ti, katanya: "Beruntung hari ini Tan-heng berkunjung dan
membawa harpa pula, bagaimana kalau kaupun petikkan sebuah lagu dengan iringan harpa
seperti kejadian dua puluh tahun yang lampau itu?"
"Petikan harpaku yang
rendah ini mana berani dibanding dengan Dewa Harpa?" ucap Tan Ciok-sing.
"Tan-heng tidak usah
menampik, nah kusuguh secangkir penuh untuk menambah seleramu."
Tan Ciok-sing memang sudah
terpengaruh oleh air kata-kata (arak), katanya: "Baiklah untuk membalas
suguhan arakmu, biarlah aku sekedar pamer kejelekan sendiri," demikian
ujar Tan Ciok-sing. Lalu dia membuka kotak mengeluarkan harpa.
Seketika terbeliak bola mata
Khu Ti mulutpun bersuara heran, katanya: "Tan-heng, harpa milikmu ini kok
mirip sekali dengan harpa yang dibawa Ki Harpa dulu."
"Manusia ada yang mirip
adalah jamak kalau bendapun serupa, meski lagu yang dipetik sama, tapi dengan
harpa yang berbeda petikan lagunya pasti berbeda pula."
Dasar Tan Cok-sing sedang
kasmaran, segera dia memetik lagu yang menggambarkan seorang pemuda yang sedang
sakit mala rindu. Lagunya mengalun lembut, tapi juga memilukan. Lagu sudah
habis, tapi perasaan Tan Ciok-sing masih belum tentram, lama dia duduk
terlongong seperti melupakan kehadiran pemilik kedai di depannya.
Mendadak derap kaki kuda yang
dicongklang pesat mendatangi dengan suara gemuruh, Tan Ciok-sing tersentak dari
lamunannya oleh suara gaduh ini, sebuah suara yang sudah dikenal dan menusuk
kuping berkata: "Petikan harpa yang mengasyikkan. Hm, kau bocah kampung
ini umpama kodok buduk yang kepingin mencaplok burung bangau."
Waktu Tan Ciok-sing berpaling,
tampak lima ekor kuda sudah tiba di tanah lapang berumput di samping kedai,
yang bicara bukan lain adalah Liong Seng-bu. Di kanan kirinya berjajar Huwan
bersaudara.
Kalau Liong Seng-bu
memperhatikan petikan harpa Tan Ciok-sing, adalah Huwan Liong dan
saudara-saudaranya
memperhatikan kuda putih itu.
Katanya: "Bocah ini takkan lolos, Liong-kongcu, sudikah kau menghadiahkan
kuda itu kepadaku."
Segera Tan Ciok-sing bersiul
pendek, kuda putih itu memang cerdik segera dia lari masuk hutan. Karuan Huwan
Liong gusar, bentaknya: "Majikanmu takkan lolos, memangnya kau bisa
melarikan diri," sebelah tangannya terayun, sebatang panah segera meluncur
kencang mengejar kuda putih.
Tan Ciok-sing jemput sebatang
sumpit, dengan gerakan melempar dia susul timpukan panah kecil orang dengan
sambitan sumpitnya, panah timpukan itu kena dipukulnya jatuh di tengah jalan.
Kuda putih itupun sudah lenyap di balik pohon.
Sudah tentu Huwan Liong gusar
dan malu, hardiknya: "Bocah bernyali besar, berani kau bertingkah. Hehe,
mana budak liar keluarga In itu? Kau sudah dilempar dan tak dipedulikan bukan?
Hm, hehe, dengan budak itu kalian menggabung sepasang pedang, mungkin kami
memang bukan tandingan. Tapi kini kau sendirian, memangnya kau bisa lolos dari
tangan kami?" Huwan bersaudara serempak melompat turun terus berbaris
memasuki kedai.
Omongan Huwan Liong memang
bukan gertakan, Tan Ciok-sing pernah merasakan keliehayan barisan pedang
mereka, dia insaf tanpa kehadiran In San tak mungkin dia memainkan ilmu pedang
gabungan, jelas dirinya bukan tandingan mereka. Tapi urusan sudah terlanjur,
gugup juga tak berguna. "Paling adu jiwa, Liong Seng-bu bocah keparat itu
betapapun akan kupersen lobang tusukan di badannya," demikian batin Tan
Ciok-sing. Maka dia tidak hiraukan lagi mati hidup awak sendiri, perasaan yang
gejolak tadipun menjadi tentram dan tenang tanpa takut lagi. Pedang melintang,
kaki pasang kuda-kuda, seluruh perhatian tumplek di ujung pedangnya menunggu
reaksi para musuhnya.
Liong Seng-bu terakhir masuk
kedai, melihat sikap Tan Ciok-sing yang tegang dan bersiaga, hatinya amat
senang dan puas. Katanya setelah bergelak tawa: "Tan-heng, kau memang
pemuda romantis. Irama harpa mengirim rasa rindu, kau belum bisa melupakan nona
In yang jelita itu bukan? Sayang untuk selanjutnya, mungkin kau takkan bisa
bertemu dengan dia."
Pemilik kedai itu tiba-tiba
tampil ke depan katanya dengan tertawa: "Kapan kedaiku yang bobrok ini
pernah dikunjungi tamu sebanyak ini, nah silakan tuan-tuan tamu duduk, minumlah
dulu beberapa cangkir. Kalian ada pertikaian apa sukalah memandang mukaku,
bagaimana kalau aku jadi penengah?"
"Urusan kami tak usah kau
turut campur," semprot Liong Seng-bu.
Huwan Liong malah tertawa,
katanya: "Kongcu, araknya memang wangi. Marilah kita minum dulu sampai
puas, baru nanti kerjai dia."- maklum Huwan bersaudara semua setan arak,
mereka pikir Tan Ciok-sing takkan bisa lolos, maka sengaja mereka hendak
mempermainkannya lebih dulu.
Tanpa permisi Huwan Liong
mengangkat meja kursi memindahkannya kesana kemari menjadi formasi segi tiga,
jalan mundur Tan Ciok-sing berarti sudah dicegat. Mereka berempat berpencar,
Tan Ciok-sing di tengah. Sementara Liong Seng-bu duduk di meja kursi yang dekat
pintu.
Khu Ti berkata:
"Tuan-tuan tentunya masih akan menempuh perjalanan, bagaimana kalau
kusuguh setiap orang dua poci dulu?"
Melihat guci di atas meja Tan
Ciok-sing, Huwan Liong yang setan arak ini sudah tentu tak mau kalah, katanya:
"Jangan kuatir, ambilkan setiap orang satu guci."
Liong Seng-bu segera menyela:
"Aku tidak minum, cukup empat guci saja."
Khu Ti mengiakan terus berlari
masuk, tak lama kemudian dia sudah keluar menjinjing empat guci arak, setiap
guci beratnya sepuluh kati, bersama gucinya, berat kotornya sedikitnya ada enam
puluhan kati. Setiap tangan Khu Ti menyanggah dua guci, mulut guci kecil dan
sempit, pantatnya lebar, maka guci bagian atas kelihatan bergoyang-goyang. Tapi
langkah Khu Ti kelihatan mantap dan berat, mengangkat seberat itu seperti
menjinjing barang enteng.
Dalam hati Huwan Liong
berpikir: "Tenaga kedua tangan kakek ini ternyata besar," mereka
empat bersaudara termasuk jagoan kelas satu, meski merasa sedikit janggal akan
pemilik kedai ini, namun mereka tidak ambil di hati.
Dengan enteng Khu Ti letakkan
guci-guci itu satu persatu tanpa kelihatan napasnya memburu, katanya tertawa:
"Untung Kongcu-ya ini tidak mau minum, sisa arak yang kusimpan kebetulan
tinggal empat guci saja."
Memangnya sudah ngiler Huwan
Liong segera serobot satu guci terus dibuka tutupnya, setelah dicium berkata:
"Arak mi memang bagus, Kongcu, apa kau tidak ingin mencicipi?"
"Nanti dulu,"
tiba-tiba Liong Seng-bu berteriak.
Guci sudah terangkat di atas
kepala, karuan Huwan Liong melengak, tanyanya: "Ada apa Kongcu?"
"Suruh dia minum dulu,
setelah dia mencicipi semua guci itu baru kalian boleh minum," demikian
Liong Seng-bu memberi penugatan.
Huwan Liong sadar katanya:
"Betul, adalah pantas kalau kita berjaga-jaga. Kakek tua, setiap guci ini
lekaslah kau minum secangkir lebih dulu."
Khu Ti kurang senang, katanya
dingin: "Kalian takut aku menaruh racun dalam arak? Meski kecil kedaiku,
modalnya juga sedikit, tapi sudah puluhan tahun aku membuka kedai memangnya kau
kira kedaiku ini warung gelap yang biasa merampok dan membunuh orang."
Liong Seng-bu membentak:
"Suruh kau minum, kenapa cerewet," ternyata waktu datang tadi melihat
Khu Ti duduk semeja dengan Tan Ciok-sing mengiringinya minum arak, dasar suka
curiga maka selalu bertindak keliwat hati-hati.
Tanpa bicara Khu Ti segera
angkat guci pertama .terus dituang di atas kepala, mulut terbuka arak seperti
dicurahkan kedalam mulutnya, tanpa berhenti satu guci arak telah ditenggaknya
habis. Kapan Huwan Liong dan adik-adiknya pernah melihat orang minum arak cara
demikian sesaat mereka melongo di tempat duduk masing-masing.
Khu Ti tidak berhenti, segera
dia angkat guci kedua dengan cara yang sama dia habiskan pula guci kedua,
sambil menepuk perut dia berkata dingin: "Kalian takut isi guci arak
beracun, biarlah seluruhnya kuhabiskan saja," lalu dia menghampiri guci
ketiga serta diangkat terus dituang juga kedalam perutnya.
Bersama Tan Ciok-sing tadi
sedikitnya menghabiskan setengah guci, kini menghabiskan pula dua guci, paling
sedikit Khu Ti sudah menghabiskan dua puluh lima kati arak keras. Mau tidak mau
Tan Ciok-sing terkejut dan girang, pikirnya: "Kiranya bukan saja dia orang
sekolahan, diapun seorang jago kosen yang menyembunyikan dirinya."
Tiba-tiba Huwan Pau teringat
bahwa dalam kedai tinggal ke empat guci arak ini, maka lekas dia berteriak:
"Jangan dihabiskan, aku tidak takut arakmu beracun, celaka kalau kau mati
karena mabuk."
"Memangnya kau kira
begini saja ukuranku, manusia akhirnya pasti mati, peduli mati sakit, atau mati
karena apa, mati kan sama saja?" meletakkan guci kosong ketiga dia
menghampiri pula guci ke empat.
Timbul rasa ingin tahu Huwan
Liong, katanya: "Jangan dicegah biarkan saja, berapa banyak dia kuat
minum?" Perut Khu Ti sudah melembung seperti perut kerbau.
Huwan Pau setan arak paling
berangasan, teriaknya sambil membanting kaki: "Kalau dihabiskan kita akan
minum apa?" tangan diulur sudah hendak merebut.
Di kala mereka terpesona
melihat demontrasi minum arak Khu Ti, mendadak Tan Ciok-sing melompat tinggi ke
atas bagai seekor burung langsung menubruk ke arah Liong Seng-bu yang duduk
membelakangi pintu luar. Di tengah udara pedang sudah terlolos, dengan jurus
In-kik-tiang-khong, dari atas pedangnya menusuk ke bawah.
"Brak" terdengar
suara keras, ternyata pada detik-detik berbahaya ini Liong Seng-bu selulup ke
bawah meja sambil angkat meja menangkis sehingga tusukan pedang Tan Ciok-sing
menusuk tembus permukaan meja. Memang sejak tadi tetap bersikap tenang dan
waspada, akan sergapan mendadak yang dilancarkan Tan Ciok-sing.
"Celaka," tiba-tiba
Huwan Liong berteriak serempak Huwan Hou dan Huwan Kiau menendang meja di
depannya ke arah Tan Ciok-sing. Sementara Huwan Liong sudah mencabut pedang
terus menyerang dengan jurus pedang lilitan, sebelumnya dia sudah perhitungkan
dimana kira-kira Tan Ciok-sing akan tancap kaki di lantai, ke sanalah pedangnya
membabat.
'Tan Ciok-sing cabut
pedangnya, di tengah udara dia jumpalitan laksana burung dara, begitu kedua
kaki terpentang, "Biang, biang" dua meja yang melayang ke arahnya
ditendangnya balik keluar pintu. Dimana ujung pedangnya menutul, secara tepat
dia tangkis babatan pedang Huwan Liong yang mengincar kedua kakinya. Sementara
sambil menyunggi meja tersipu-sipu Liong Seng-bu sudah lari keluar pintu. Huwan
bersaudara segera membentuk barisan pedang mengepung dalam posisi segi empat.
"Disini bukan tempat
berkelahi, hayo diluar saja," tantang Tan Ciok-sing.
Huwan Liong mengejek:
"Kau masih ingin lari, jangan mimpi di siang bolong," serempak empat
pedang mereka bergerak, serangan bertubi-tubi dengan gencar dan mematikan.
"Baik," seru Tan
Ciok-sing, "disini ya disini, memangnya aku takut mati. Aku hanya kuatir
merusak perabot didalam kedai ini."
Khu Ti menghela napas,
katanya: "Ya, aku pasrah nasib saja. Yang terang harta bendaku ini hanya
berharga berapa peser saja, besarkan saja nyalimu, kalau minta ganti akan
kutuntut pada mereka pasti tidak akan merogoh sakumu."
"Kau ini barang apa,
berani menuntut kepada kami?" damprat Huwan Kiau gusar, "nanti jiwa
tuamu biar kumampusi sekalian."
Khu Ti menggeleng kepala,
katanya: "Wah, kau ini memang seekor kerbau dungu, agaknya kau dibesarkan
tanpa makan nasi."
Huwan Kiau mencak-mencak
gusar, dampratnya: "Kakek sontoloyo, kau memaki aku sebagai
binatang."
"Lha, kau sendiri yang
bilang, kapan aku pernah memakimu demikian," debat Khu Ti.
Tanpa merasa mengerutkan
kening Huwan Liong, lekas dia berkata: "Samte, kenapa sih kau, urusan kan
harus dibedakan mana yang lebih penting, buat apa kau ribut dengan tua bangka
ini?"
Dalam pertempuran sengit itu
tusukan pedang Huwan Liong mengenai tempat kosong, kepalan mendadak menjotos
dari bawah pedang dengan deras, boleh dikata Tan Ciok-sing sudah hampir mepet
tembok, jalan mundur sudah tiada, terpaksa dia menggeser langkah dua tindak
sambil berputar, "Biang", tembok di belakangnya kena dijotos ambrol
dan berlobang oleh kepalan Huwan Liong. Untung tembok bukan dibangun dari batu
marmer, namun kepalannya sudah cecel dan berlumuran darah. Dengan gusar Huwan
Liong membentak: "Coba saksikan berapa lama bocah keparat ini kuat
bertahan lagi, bila ketangkap nanti, pasti kubeset kulitmu kupatahkan tulang
kakimu."
Khu Ti yang sejak tadi
sembunyi di pojok sana dengan badan gemetar, kini mendadak berjalan keluar
sempoyongan, seperti langkah orang mabuk yang gentayangan hampir roboh,
teriaknya: "Wah, wah mati aku, mati aku saking jengkel. Sebelum tulang
tuan tamu ini kalian patahkan, salah-salah rumah reyotku ini sudah kalian
bongkar lebih dulu."
Lekas Tan Ciok-sing
memperingatkan: "Lopek, lekas kau menyingkir," walau dia tahu Khu Ti
mungkin memiliki kepandaian silat, tapi barusan pedang pihak musuh terlalu
liehay bagaimana juga dia tidak akan membiarkan Khu Ti menerobos masuk ke
jaring barisan pedang.
Mendadak Khu Ti memukul
perutnya yang gendut seperti gentong itu seraya berteriak-teriak: "Aduh,
celaka, arak harum, arak wangi, empat guci arak bagus, kau sudah masuk kedalam
perutku, aku kan tidak bersalah terhadapmu, kenapa kau mau berontak?"
"Setan pemabukan,"
bentak Huwan Liong, "menyingkirlah ke tempat jauh kalau sudah mabuk
gila."
"Haya kenapa tidak kau
tunggu sebentar, kenapa ingin terjang keluar saja," demikian teriak Khu Ti
pula. Mendadak dia pentang mulutnya, segumpal arak panas seketika menyembur
dari perutnya. Huwan Liong yang berdiri paling dekat keterjang lebih dulu,
sekujur badan dari kepala muka sampai ke tubuhnya basah kuyup, lekas dia pejam
mata terus melompat mundur.
Empat guci arak dihabiskan
berarti ada empat puluhan kati, sekali ditekan dengan tenaga dan menyembur
keluar, sungguh derasnya bagai hujan lebat. Karuan Huwan bersaudara menjadi
kalang kabut, memutar pedang meninju menimbulkan deru angin sambil berlompatan
kian kemari, tapi hujan arak tetap berjatuhan di atas mereka. Kejadian memang
aneh, mereka berempat semuanya ada meyakinkan kekebalan badan, tapi air arak
itu mengenai tubuh rasanya ternyata pedas dan sakit seperti ditusuk jarum.
Lebih celaka lagi pakaian mereka sama berlobang-lobang kecil kena semprotan
arak mirip sarang tawon. Bila lwekang mereka sedikit rendah lagi, pasti kulit
dagingpun terluka dan berdarah. Yang dikuatirkan Huwan bersaudara hanyalah mata
maka mereka sama memejam kencang tidak berani main ngintip, karuan satu dengan
yang lain jadi saling tumbuk. Semula Tan Ciok-sing terkepung di tengah mereka,
anehnya arak Khu Ti seperti punya mata dan memilih sasaran, meski ada yang
menyiprat ke arahnya, tapi ilmu pedangnya dimainkan sekencang kitiran,
setetespun dia tidak kecipratan.
Karena memejam mata, Huwan
bersaudara hanya mengandal ketajaman pendengaran, sambil berkelit mereka harus
mainkan pedang pula. Sejauh ini meski mereka orang dungu juga sudah tahu bahwa
pemilik kedai ini kiranya juga seorang jagoan Kungfu yang memendam diri apa
lagi dalam pandangan Huwan Liong sebagai kawakan Kangouw? Lekas dia memberi
aba-aba pada adik-adiknya: "Angin kencang, lekas menyingkir."
Khu Ti berteriak: "Wah,
kasihan arak wangi seperut ini, sungguh sayang. Tapi rasanya segar juga,
perutku tidak sakit lagi," mendadak
360
tangannya mencengkeram ke baju
kuduk Huwat Pau yang lagi lari keluar pintu. Bentaknya: "Perabotanku yang
rusak belum kalian ganti, mau lari? Tadi kan sudah kubilang, kalian harus
mengganti kerugianku," dicengkram kuduknya ternyata Huwan Pau mati kutu tak
kuasa berontak.
Huwan Liong sudah lari keluar
pintu, lekas dia putar balik seraya menusuk ke belakang, bentaknya:
"Lepaskan adikku,"
kepandaiannya memang paling
tinggi, Khu Ti tidak berani memandang rendah, sedikit menggunakan tenaga dia
dorong dan putar Huwan Pau ke suatu arah sehingga tubuhnya menerjang ke ujung
pedang Huwan Liong yang sedang menusuk tiba, bentaknya: "Tidak kau ganti,
aku tidak akan lepas tangan," maka terdengarlah suara membrebet yang
panjang, pakaian Huwan Pau tertusuk sobek sehingga isi kantong bajunya
berantakan kocar-kacir di lantai.
Untung Huwan Liong bertindak
cukup sigap, sembari menarik pedang, dia tarik adiknya itu ke samping. Cepat
sekali Tan Ciok-sing juga sudah memburu tiba seraya menusuk dengan pedang,
serangan tetap menggunakan jurus Sam-coan-hoat-lun, seorang diri sudah tentu
Huwan Liong tidak kuasa melawan, sekali pelintir dan sendai kedua pedang saling
tindih terus mencelat terbang dan "Trap" pedangnya menancap di atas
belandar. Tapi Huwan Liong berhasil menolong adiknya terus diseret lari keluar.
Khu Ti berteriak: "Biar
kuperiksa dulu, apakah uang-uang yang tercecer ini cukup untuk mengganti
kerugianku, wah masih kurang sedikit."
Entah takut dikejar oleh Khu
Ti, atau karena tidak membawa senjata rahasia, kontan dia ayun tangan
menyambitkan sekerat uang perak seharga sepuluh tahil ke arah Khu Ti yang
tengah berdiri di samping pintu.
Uang perak ini meluncur dengan
menderu kencang, tapi Khu Ti hanya menggape sekali terus ditangkapnya, serunya
tertawa riang: "Ketambah uang perak ini, kira-kira cukuplah uang ganti
kerugianku, nah lekaslah kalian enyah dari sini."
Kuatir dikejar dan dihajar
babak belur sudah tentu Huwan bersaudara seperti berlomba melarikan diri naik
kuda. Sementara Liong Seng-bu sejak tadi sudah ngacir lebih dulu.
Memunguti pecahan uang yang
berserakan di lantai Khu Ti gelak tertawa, katanya: "Tak kira hari ini aku
bisa ketiban rejeki nomplok. Perabotku yang sudah bobrok ini paling seharga dua
tahil, tapi aku memperoleh ganti dua puluh tahil, wah menyenangkan."
Kejut dan girang Tan
Ciok-sing, lekas dia memberi hormat, katanya: "Maaf Wanpwe punya mata
tidak melihat tingginya gunung Taysan, harap Lopek tidak berkecil hati, dan
banyak terima kasih akan bantuan Lopek."
"Kau kan tamuku, tamu
mengalami kesulitan, adalah jamak kalau aku sebagai tuan rumah membantu, kenapa
harus terima kasih? Hehe, sekarang sudah beres, segala persoalan tidak perlu
diperdebatkan, tadi kau hendak mentraktir aku, ini kau sudah memperoleh rejeki,
nah minumlah sepuasmu, tanggung gratis tak usah bayar."
"Mungkin mereka akan
kembali pula," ucap Tan Ciok-sing, "Lopek, kedaimu ini salah-salah
bisa bangkrut karena kedatanganku."
"Memangnya sudah lama aku
pingin menutup kedai ini, ongkos pindahku juga sudah tersedia sekarang, apa
pula yang kukuatirkan? Lebih baik aku cari tempat mengasingkan diri. Sebetulnya
aku tidak akan buru-buru pindah, apa kau tidak perhatikan, mereka lari balik ke
arah datangnya semula?"
"Pemuda itu adalah putra
Kiu-bun-tek-tok yang berkuasa di kota raja, sejak dari Tay-tong mengejarku
sampai disini. Nyali mereka sudah pecah oleh kegagahan paman tadi, yakin dia
pasti pulang membawa pasukan pemerintah untuk menggerebekmu."
"Sedikitnya dua hari baru
mereka akan tiba disini, maka kau boleh tak usah buru-buru, hayolah temani aku
minum sepuasnya."
Tan Ciok-sing mengiakan, dalam
hati dia memang ada sebuah tanda tanya, kalau ada kesempatan sebentar dia ingin
tanya kepada Khu Ti biar jelas.
"Kalau ilmu pedangmu
tidak seliehay itu, arak yang semayam dalam perutku tadi juga tidak akan kuasa
membubarkan barisan pedang mereka. Oh ya, tadi belum sempat kutanya, harpa
antikmu ini..."
"Untung tidak
apa-apa."
"Syukurlah. Meja kursi
rusak tidak jadi sesal, tapi harpamu ini sudah barang antik yang tak ternilai
harganya. Terus terang, tadi aku terpaksa ikut turun tangan bukan lantaran kau
ini adalah tamuku saja, sebab yang utama adalah karena harpa antik ini."
"Maaf Lopek, untuk ini
belum sempat tadi aku memberitahu padamu, Ki Harpa atau guru harpa yang
diceritakan Lopek tadi, beliau adalah kakekku."
Khu Ti terbahak-bahak karanya:
"Memangnya sejak tadi sudah kuduga kau pasti cucu Tan Khim¬ ang, kecuali
keturunan Tan Khim-ang, memangnya siapa lagi yang mahir memetik harpa sebagus
itu? Nah, mari, mari, lekas bantu aku membereskan rumah yang berantakan ini,
nanti kita minum lagi sampai mabuk."
Meja kursi yang patah dan
remuk segera disingkirkan ke pinggir, Tan Ciok-sing segera menyapu bersih ruang
kedai, sementara Khu Ti masuk kedalam membawa keluar seguci arak pula, katanya
tertawa: "Inilah arak tua yang sudah kusimpan selama 30 tahun. Tapi aku
katakan empat guci terakhir, maksudku hendak ngapusi mereka," mangkok
piring dia singkirkan kedalam lalu membawa mangkok besar untuk minum arak
bersama Tan Ciok-sing.
Setelah menenggak dua cawan,
Khu Ti berkata: "Dua puluh tahun sudah aku berpisah dengan kakekmu, selama
ini tak pernah kudengar beritanya, beberapa tahun ini, dia..."
"Sejak aku dilahirkan,
aku diasuh dan dibimbing kakek sampai sebesar ini, bertempat tinggal di
Cit-sing-giam di Kwi-lin. Empat tahun yang lalu kakek sudah mangkat."
"O, lalu ayah
bundamu?"
"Sejak dilahirkan aku
sudah yatim piatu, ayah malah meninggal sebelum aku lahir. Karena sukar
melahirkan ibu juga meninggal.
Mungkin dosaku terlampau besar
sehingga ayah bunda menjadi korban..."
Khu Ti mendadak menggebrak
meja, katanya keras sambil menghela napas: "Sayang, sayang sungguh
kasihan, sungguh menyebalkan."
Tan Ciok-sing kaget, tanyanya
hambar: "Khu-losiansing, apa maksudmu?"
Kalau Khu Ti merasa sayang
karena kematian ayah bunda Tan Ciok-sing sejak dia masih kecil, ini dapat
dimaklumi, tapi kenapa pula harus dibuai kasihan dan menyebalkan?
Khu Ti melengak, katanya:
"Apa kakekmu selamanya tak pernah menerangkan padamu?"
Semakin bingung Tan Ciok-sing
dibuatnya, tanyanya:
"Menerangkan soal
apa?'" diam-diam dia mereka dalam hati: "Memangnya ayah bundaku juga
mati dicelakai orang?" Sejak kecil dia hidup bersama sang kakek, jarang
kakeknya bicara soal ayah bundanya, dia kira karena sejak kecil dia tidak pernah
melihat ayah bundanya, maka kakek tidak ingin dia bersedih hati. Kini mendengar
omongan Khu Ti barulah timbul rasa curiganya.
Seperti tahu isi hatinya, Khu
Ti berkata: "Mungkin ayah bundamu tidak langsung dicelakai orang, tapi
jikalau bukan lantaran pengalaman pahit yang pernah mereka alami itu, aku yakin
mereka takkan mati semuda itu."
"Pengalaman pahit apakah
yang pernah dialami ayah bundaku, kakek tak pernah menerangkan, Apakah Lopek
boleh memberitahu padaku?"
"Kejadian sudah dua puluh
tahun berselang, bahwa kakekmu tidak mau menerangkan padamu pasti ada alasannya
sendiri. Orang yang menjadikan keluargamu berantakan dan mengalami bencana
itupun sudah lama mati, maka kupikir kaupun boleh tak usah mengusut soal
ini."
Tan Ciok-sing berdiri lalu
berlutut di hadapan Khu Ti, katanya: "Meski urusan sudah lama berselang,
sebagai seorang putra yang harus berbakti terhadap orang tua, adalah menjadi
hak dan kewajibanku untuk tahu duduknya persoalannya, kalau tidak betapa hatiku
bisa tenang..."
Lekas Khu Ti memapahnya berdiri,
katanya menghela napas: "Memang sudah kebacut kubicarakan, kau tahu
sedikit adalah logis kalau ingin tahu sejelasnya. Baiklah sebentar kututurkan
padamu," sampai disini dia mengisi secawan penuh lalu ditenggaknya habis,
lalu katanya pula: "Dengan ayahmu aku hanya pernah bertemu sekali, tapi
persahabatan kami sungguh teramat kental dan keliwat intim. Tadi kau tanya
padaku mengapa mengasingkan diri di desa yang sepi dan terpencil ini,
kejadiannya sebetulnya juga ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang
menyangkut kakek dan kedua orang tuamu."
Kejadian yang dibicarakan Khu
Ti separoh di antaranya sudah direka oleh Tan Ciok-sing, tapi separoh
kelebihannya benar-benar diluar dugaannya. Yang sudah diduga adalah Khu Ti
pasti pernah berkenalan dan berhubungan yang intim dengan kakeknya, tapi bahwa
Khu Ti juga ada sangkut pautnya dengan kedua orang tuanya, ini sungguh amat
mengejutkan hatinya, lekas dia tanya tentang seluk beluknya.
Mengenang masa lalu perasaan
Khu Ti kelihatan masgul, setelah menghabiskan secangkir lagi, perlahan-lahan
dia bicara: "Dua puluh tahun yang lalu, adalah seorang perwira dari
pasukan Gi-lim-kun. Orang sering bilang kalangan pejabat kerajaan merupakan
sumber kantong yang paling subur, demikian pula dalam kalangan kemiliteran.
Orang yang berwatak nyentrik sepertiku ini, ternyata dapat hidup dan
berkecimpung sekian tahun lamanya disini. Lote mungkin kaupun takkan pernah
menyangkanya?"
Tan Ciok-sing ikut
menghabiskan secangkir arak, katanya: "Ya, memang tak terduga."
Khu Ti melanjutkan:
"Waktu itu kakekmu sudah tersohor sebagai guru harpa nomor satu di dunia
ini, tahun itu kebetulan dia berada di kota raja, tetapi sebelumnya aku tidak
tahu."
"Aku punya seorang kawan,
bicara soal kedudukan dan Kungfu dia jauh lebih tinggi dari aku, untungnya
pambek dan hobi serta sepak terjangnya ternyata selaras dengan watakku, dalam
kalangan militer hanya dia seoranglah terhitung temanku yang paling dekat.
Kalau kubicarakan kemungkinan kau pun sudah tahu siapa orang ini."
"Aku terlambat
dilahirkan, tokoh-tokoh gagah generasi yang dahulu banyak yang tidak kukenal.
Entah siapa yang Lopeh maksudkan?"
"Dia adalah In Jong.
Bu-conggoan yang amat tersohor di masa lalu. Umumnya tiga tahun sekali diadakan
pemilihan Bu-conggoan, tapi jabatan Bu-conggoan yang digondol In Jong lain dari
yang lain. Bukan saja dia pernah membebaskan Baginda Raja yang terdahulu dari
tawanan bangsa Watsu, diapun mendorong ke Ie Kiam untuk angkat senjata melawan
serbuan pasukan besar
Watsu sehingga negara
terhindar dari jajahan bangsa asing, betapa besar pahala yang direbutnya tapi
belakangan dia membuang pangkat menyibak harta benda, meletakkan jabatan
mengundurkan diri kembali ke kampung halaman terima hidup bercocok tanam sampai
akhir hayatnya."
Senang dan kaget hati Tan
Ciok-sing, serunya: "Bukankah In-conggoan yang Lopeh ceritakan ini adalah
ayah In Tayhiap In Hou dari Tay-tong?"
"Betul. Kuduga kau pasti
kenal dengan keluarga In, ternyata tidak meleset," demikian ujar Khu Ti
lebih lanjut. "Pada suatu malam tiba-tiba In Jong datang ke rumahku, dia
bilang apakah aku sudi melakukan suatu hal bagi seorang yang belum pernah
kukenal, resiko tugas yang kukerjakan kemungkinan bisa mengakibatkan aku
kehilangan jabatan dan pangkatku di kalangan pemerintah?"
Waktu itu aku bilang tugas
yang kau serahkan padaku pasti kerja yang harus ditegakkan kebenarannya, jangan
kata hanya kehilangan pangkat dan kedudukan, umpama kepalaku harus berkorban
juga tidak jadi soal. Tapi boleh kau beritahu kepadaku, siapa orang yang harus
kubantu itu?"
Sampai disini pun Tan
Ciok-sing pun sudah mengerti, katanya: "Orang yang dimaksudkan oleh
In-conggoan pasti kakekku adanya."
"Betul, memang
kakekmu."
Tan Ciok-sing heran, katanya:
"Kakek hanya guru harpa, kesulitan apa yang melibatkan dirinya di kota
raja, sampai In-conggoan harus menampilkan diri minta bantuan orang lain?"
"Kalau peristiwa ini
menyangkut diri orang lain, malahan merupakan urusan baik yang sukar diperoleh,
tapi bagi kakekmu justeru kesulitan yang paling sulit. Waktu itu ada seorang
thaykam Ong Ceng, tentunya kau juga pernah dengar cerita orang-orang tua
tentang dorna jahat itu?"
Tan Ciok-sing berkata:
"Konon dialah biang keladinya yang paling berdosa atas kekalahan besar
peristiwa To-bok-po dulu itu, Karena mendengar hasutannya maka Baginda yang
berkuasa waktu itu hampir saja tewas dan negara hancur."
"Betul, karena katanya
berbuat salah terhadap dorna yang berkuasa ini sehingga kakekmu mengalami
kesulitan."
"Kakek adalah guru harpa
yang kelana di Kangouw, memangnya ada sangkut paut apa dengan dorna durjana
itu, kenapa kesulitan bisa nomplok pada dirinya."
"Setiba kakekmu di kota
raja, entah bagaimana kedatangannya diketahui Ong Ceng. Mendengar dia adalah
ahli harpa nomor satu di dunia ini, maka Ong Ceng mengundangnya ke rumah
pribadinya ingin mendengar permainan harpanya."
"Kakek paling benci
kalangan berkuasa, apalagi pejabat korup dan dorna, dia pasti menolak undangan
Ong Ceng.
"Dugaanmu memang tidak
meleset, kakekmu sembunyi di sebuah hotel kecil, karena tidak berhasil
mengundang kakekmu, maka dia lantas mengutus Kim-ih-wi hendak menangkapnya.
Malahan ayah bundamu juga hendak ditangkapnya pula. Begitu dia mengeluarkan
perintah Kim-ih-wi segera melaksanakan tugas. Berita ini bocor diketahui oleh
In Jong, kedudukan ln Jong amat tinggi, setiap tindak tanduknya selalu di awasi
dan menjadi perhatian orang banyak, maka tidak leluasa dia bertindak atau
bergerak untuk memberi kabar kepada kakekmu."
Sampai disini Tan Ciok-sing
sudah paham katanya: "O, kiranya begitu, maka In-conggoan minta tolong kepada
Lopek."
"Betul, sebetulnya In
Jong juga tidak kenal kakekmu. Tapi dia mengagumi watak keras kakekmu yang
patriotik pula maka dia merasa simpati dan tidak tega melihat kakekmu menjadi
bulan-bulanan Ong Ceng."
Haru hati Tan Ciok-sing,
katanya: "Betapa perkasa dan baik hati In-conggoan dan Lo Pek, sungguh
merupakan teladan bagi kaum muda."
Setelah menenggak arak Khu Ti
berkata pula: "Waktu itu sudah mendekati kentongan ketiga, urusan tidak
boleh ditunda, maka aku berkata pada In Jong, baik soal ini kau serahkan padaku
untuk kukerjakan, lekas kau pulang saja, supaya kaki tangan Ong Ceng tidak
mengetahui jejakmu."
"Setelah In Jong pergi,
secara buru-buru aku menulis sepucuk surat yang kutujukan kepada kakekmu,
maksudnya bahwa Ong Ceng hendak menangkap dia, supaya dia lekas melarikan diri.
Waktu aku tiba di hotel kecil itu kakekmu sedang duduk melamun menyanding dian
agaknya dia tidak bisa tidur. Maka aku gunakan kebiasaan orang Kangouw mengirim
kabar dengan sambitan belati, surat kutusuk di ujung belati terus kusambitkan
kedalam menancap di atas meja?"
"Setelah melihat suratku,
kakekmu tampak kaget dan ragu-ragu, lekas dia membangunkan ayah bundamu, mereka
lantas berunding. Mereka menempati dua kamar yang berdampingan, ada pintu
penghubung. Ayahmu bilang Ong Ceng jahat telengas, siapapun tahu akan
keganasannya. Soal ini lebih baik dipercaya dari pada kapiran. Syukurlah ada
pendekar yang sudi memberitahu dan menolong kesulitan kita ini adalah lebih
baik kalan kita melarikan diri saja."
"Tapi kakekmu bilang
kesehatan isterinya sedang terganggu, harapan semula kalian bisa beristirahat
disini, kini harus pergi secara tergesa-gesa pula, mungkin dia bisa terserang
penyakit yang lebih parah."
"Tapi ayah bundamu tahu
gelagat urusan harus dibedakan yang gawat dan yang ringan, jikalau masih ragu,
bila kaki tangan Ong Ceng datang hendak menangkap mereka, kita bertiga jelas
takkan sudi dihina, memangnya jiwa raga terima dikorbankan secara percuma,
bagaimana kita bisa menyelamatkan diri pula?"
"Kakekmu menghela napas,
katanya: "Apa boleh buat, baiklah segera kita berangkat."
"Melihat mereka pergi,
legalah hatiku. Tak nyana baru saja kaki mereka melangkah keluar dari pintu
belakang, kaki tangan utusan Ong Ceng juga telah melangkah masuk dari pintu
depan."
"Pimpinan kaki tangan Ong
Ceng ternyata seorang yang sudah punya kedudukan tinggi dan berkepandaian
Iiehay, dia adalah pimpinan barisan Kim-ih-wi bernama Ciang Thi-hu, meyakinkan
Thi-sa-ciang, dia terhitung salah satu jago kosen di antara anak buah Ong Ceng.
Dua orang laki yang dibawanya juga pandai menggunakan senjata rahasia.
"Kupikir bila mereka
mendapatkan kakek dan ayah bundamu melarikan diri, apalagi kakekmu belum lari
jauh, pasti bisa terkejar, menolong orang harus menolongnya sampai selamat,
supaya kakek dan ayah bundamu bisa lolos dengan selamat, maka aku perlu
mengulur waktu. Maka secara diam-diam aku menyusup masuk ke kamar kakekmu,
kupakai baju kakekmu yang tidak sempat dibawanya lalu merebahkan diri di atas
ranjang, seluruh tubuh kututup kemul dan pura-pura tidur menggeros.
Ciang Thi-hu ternyata termakan
muslihatku, begitu datang dia menjebol pintu terus membentak: "Tan
Khim-ang, diberi arak suguhan tidak mau, memangnya kau minta dihukum pancung.
Hayo bangun, menyerahkan diri dan ikut aku." Begitu dia menyingkap kemul,
kontan aku memberinya sebuah pukulan.
"Thi-sa-ciang yang
diyakinkannya ternyata memang liehay, tapi dia terpukul juga sampai jungkir
balik keluar pintu, kepalanya bocor hidungnya ringsek."
Tan Ciok-sing keplok tangan
seraya berjingkrak senang, segera dia isi arak penuh dua cangkir, mereka
sama-sama tenggak habis, teriaknya: "Sungguh menyenangkan."
Khu Ti bercerita pula:
"Sungguh menggelikan, dua anak buah Ciang Ti-hu ternyata berani mati turun
tangan serempak menyerangku dengan senjata rahasia ini. Terpaksa kugunakan cara
mereka untuk menghajar mereka, senjata rahasia mereka kupukul balik, bukan aku
yang terluka, tapi senjata rahasia itu makan tuannya malah. Tanpa pedulikan
mereka mati atau hidup segera aku tinggalkan hotel itu. Waktu itu merekapun tak
berhasil menemukan jejak kakekmu."
"Apa mereka tahu akan
perbuatanmu?" tanya Tan Ciok-sing.
"Malam gelap gulita,
hakikatnya mereka tidak melihat dan tidak tahu akan diriku, tapi aku tahu Ciang
Ti-hu seorang ahli, bahwa Thi-sa-ciangnya terpukul pecah olehku, cepat atau
lambat pasti dia tahu akan perbuatanku," sampai disini Khu Ti tertawa
tergelak-gelak, lalu menambahkan: "Begitulah, dari seorang perwira
Gi-lim-kun akhirnya aku berubah jadi pemilik kedai minum di dusun yang sepi dan
terpencil ini, setiap hari aku minum arak buatanku sendiri, senang dan bebas
juga kehidupanku disini."
"Demi keluargaku sampai
Khu-lopek kehilangan jabatan dan masa depan yang gemilang, meski kau menanam
budi tanpa pikirkan balasannya, betapapun Wanpwe merasa rikuh dan hutang
budi."
Khu Ti mengerutkan kening,
katanya: "Kenapa kau bicara demikian, masa depan apa segala, hidup dalam
kalangan pemerintahan yang serba kotor itu, memangnya bisa mengembangkan bakat,
pambek dan cita-citaku? Melakukan kerja yang melanggar hukum Tuhan? Memang
sejak lama aku sudah ingin meletakkan jabatan. Kehidupan sekarang yang
kurasakan ini, ternyata jauh lebih menyenangkan, bebas dan wajar dari pada
menjadi perwira Gi-lim-kun. Hanya satu yang masih kusesalkan, aku tidak sempat
pamitan kepada In Jong. Malam itu juga secara diam-diam aku meninggalkan kota
raja."
"Sayang sekali kehidupan
serba sederhana dan bebas ini hari menjadi berantakan pula lantaran
diriku."
"Kau tidak usah
menguatirkan diriku, walau aku tidak membuka warung minuman, arak bikinanku
sendiri setiap hari tetap bisa kuminum dan kujual."
Lain katanya lebih lanjut:
"Sejak itu tak pernah aku bertemu dengan In Jong. Tapi diluar dugaanku,
belum ada setengah tahun, aku malah bertemu dengan kakekmu."
Seperti sedang mengingat-ingat
kejadian masa lalu, beruntun dia menghabiskan tiga cangkir lagi, baru
meneruskan ceritanya: "Belum lama setelah aku membuka kedai minum ini,
hari itu datang tiga tamu yang bicara dengan logat daerah lain, mereka minta
arak, selintas pandang lantas aku mengenali kakekmu. Waktu di hotel dulu aku
tidak sempat melihat wajahnya, tapi dia memanggul harpanya itu. Dua pengikutnya
adalah sepasang suami istri yang masih muda, merekapun membawa peralatan musik.
Adik cilik, entah kau tahu tidak bahwa ibu kandungmu sebenarnya juga seorang
ahli musik yang pandai memetik harpa. Dan kau, dulu sebetulnya pernah kemari,
cuma kau tak tahu."
Tan Ciok-sing melenggong,
katanya: "Dua puluh tahun yang lalu, akukan belum lahir,"
"Betul, kau memang belum
lahir, tapi kau sudah berada dalam kandungan ibumu."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Betul, usiaku tahun ini memang sembilan belas."
"Hari itu, mereka datang
bersama dan minta arak, aku betul-betul dibuat kaget."
"Kenapa?"
"Kakek dan ayahmu
kelihatan kurus, pucat dan lesu aku dapat melihat keadaan mereka, ayahmu malah
terluka dalam yang cukup parah. Demikian pula ibumu sudah mengandung tiga
bulan, wajahnya juga kelihatan berpenyakitan."
Sedih hati Tan Ciok-sing,
pikirnya: "Mereka diburu-buru oleh menteri dorna itu, meski dunia ini
cukup luas, tapi mereka pasti kehilangan akal dan tak tahu kemana mereka harus
menyingkir, adalah jamak kalau mereka patah semangat dan putus asa, badan sehat
dan kekarpun akhirnya pasti jatuh sakit karena kurang tidur, kurang makan,
kurang istirahat, hati selalu was-was lagi. Ai, tak nyana sebelum aku lahir,
ayah bunda ternyata sudah harus menderita sedemikian rupa."
"Adik cilik, rakyat
jelata masa itu, memangnya siapa yang tidak merasa ditindas oleh kaum penguasa,
kejadian sudah berselang dua puluh tahun, kau tidak perlu bersedih
karenanya," setelah menghela napas panjang, kembali dia menuang secawan
penuh lalu ditenggak habis, katanya pula: "Aku silakan mereka duduk, dalam
hati diam-diam aku menjadi bimbang, apakah perlu aku memperkenalkan diri dan
menjelaskan duduk persoalannya? Tak kira sebelum aku sempat bicara, ternyata
kakekmu sudah mengenali siapa aku ini."
Tan Ciok-sing melengak,
katanya: "Malam itu kakek kan tidak melihatmu, dari mana dia bisa tahu
akan dirimu?"
"Dari seorang perwira Gi-lim-kun
aku berubah jadi menjual minuman, adalah jamak kalau aku sering petingkah.
Waktu aku membuka kedai ini, aku sendiri menulis sebuah syair dari pujangga
Liok Yu untuk hiasan tempel dinding."
Tan Ciok-sing lantas tahu,
katanya: "P, kakek mengenali gaya tulisanmu?"
"Betul, pandangan kakekmu
ternyata tajam dan liehay, surat peringatan yang kutulis itu selama ini dia
simpan baik-baik, padahal berapa huruf saja surat peringatan itu, namun dia
sudah begitu paham dan mengenal gaya tulisanku. Setelah asal-usul diriku
terbongkar, terpaksa aku mengaku terus terang."
"Waktu di kota raja malam
itu, hakikatnya kami tidak pernah bertemu, baru sekarang kami berkenalan secara
akrab. Begitu kenal seperti sahabat lama saja layaknya, kami terus mengobrol
panjang lebar."
"Dalam percakapan itu
baru aku tahu, ternyata kakekmu sekeluarga, bukan saja tak kuasa tinggal di
kota raja karena diburu oleh Ong Ceng, ingin kelana di Kangouw juga selalu
mengalami kesukaran, dua hari sebelumnya, mereka kepergok pula oleh anak buah
Ong Ceng yang masih terus mengejar-ngejar mereka."
"Jadi ayahku terluka
dalam karena bertempur melawan anak buah Ong Ceng," ucap Tan Ciok-sing.
"Untung mereka bukan
kepergok jagoan Kim-ih-wi, dia hendak membekuk kakekmu, ayahmu segera
melabraknya, akhirnya dia terluka, tapi musuh dapat digebah pergi. Tapi karena
peristiwa ini ibumu kaget dan jatuh sakit. Sebetulnya ingin aku menahan mereka
untuk menetap beberapa hari, setelah kesehatan pulih baru berangkat pula. Tapi
mereka kuatir bila anak buah Ong Ceng memburu datang pula, apapun mereka tidak
mau membuat susah aku lagi, maka hari itu kami hanya makan minum sepuasnya,
sebelum berpisah kakekmu memetikkan sebuah lagu untukku."
Diam-diam Tan Ciok-sing
membatin: "Tak heran ayah bunda meninggal di masa muda, kiranya gara-gara
Ong Ceng si durjana itu penyebabnya."
"Setelah peristiwa
To-bok-po, tak lama kemudian Ong Ceng sendiri juga mampus. Mungkin karena
kejadian sudah lama berselang, maka kakekmu tidak pernah menyinggung soal ini
terhadapmu."
"Sayang menteri dorna itu
sudah lama mati, aku tidak bisa menuntut balas sakit hati orang tua dengan
tanganku sendiri. Lalu bagaimana dengan Ciang Thi-hu?"
"Sampai sekarang Ciang
Thi-hu masih hidup. Tapi konon dia sudah berganti seorang majikan lain.
Majikannya yang sekarang adalah Kiu-bun-te-tok Liong Bun-kong."
Tan Ciok-sing berkata geram:
"Liong-kongcu yang datang barusan, bukan lain adalah keponakan Liong
Bun-kong. Sayang kali ini dia hanya membawa Huwan bersaudara, mending kalau
Ciang Thi-hu."
Khu Ti menghela napas,
katanya: "Orang baik di dunia ini takkan habis dibunuh, orang jahatpun
takkan habis diberantas. Adalah pantas kalau selanjutnya kau berkelana sambil
mendarma baktikan dirimu bagi kepentingan umum, jangan selalu kau dirundung
sakit hati orang tuamu melulu. Ai, pamor kerajaan yang semakin guram,
pemerintahan yang kacau balau ini, tak ubahnya seperti dua puluh tahun yang
lalu?" setelah menghela napas, dia melanjutkan: "Sebelum kakekmu
pergi, diapun pernah menulis sebuah syair sebagai kenang-kenangan, apa kau mau
melihatnya?"
"Dimana?" tanya Tan
Ciok-sing.
Maka Khu Ti menurunkan sebuah
lembar kain sutra yang sudah luntur warnanya, di atas kain sutra ini
bertuliskan syair-syair Liok Yu yang lain pula, gayanya kuat tulisannya tegas
Tan Ciok-sing kenal betul akan tulisan kakeknya ini.
Khu Ti berkata: "Waktu
itu kakekmu sudah terpengaruh oleh air kata-kata, pernah ia menyatakan ingin
mencari suatu tempat untuk mengasingkan diri, seperti makna dalam syair Liok Yu
ini, bahwa akhirnya dia bersemayam di bawah Cit-sing-giam, agaknya sudah
terlaksana juga keinginannya," sampai disini dia lantas tanya,
"Tan-siheng, ada sebuah hal yang masih belum jelas bagiku, mohon
penjelasanmu."
"Lopek tak usah sungkan,
entah soal apa yang ingin kau tanyakan?"
"Ilmu pedangmu amat
liehay dan menakjubkan. Agaknya bukan ajaran keluarga bukan?"
"Ilmu pedangku memang
kupelajari dari seorang guru ahli, pujian paman tak berani kuterima."
"Belakangan In Jong juga
meletakkan jabatan mengasingkan diri, entah dia pernah bertemu dengan kakekmu
tidak?"
"Seingatku, mereka tak
pernah bertemu," demikian sahut Tan Ciok-sing, dalam hati dia membatin:
"In Tayhiap In Hou adalah putra In Jong, kematian kakek justru disebabkan
oleh In Hou."
Seperti ada sesuatu yang
dipikirkan sesaat lamanya baru Khu Ti berkata pula: "Aneh kalau
begitu."
"Soal apa yang paman
rasakan aneh?"
"Entah betul tidak
rabaanku, ilmu pedangmu itu bukankah kau pelajari dari Thio Tayhiap Thio
Tan-hong? Thio Tayhiap adalah adik ipar In-conggoan aku pernah menyaksikan ilmu
pedangnya itu."
"Pandangan Lopek memang
jitu aku memang mendapat pelajaran dari Thio Tayhiap."
"Ha, jadi Thio Tayhiap
masih hidup?" tanya Khu Ti terbelalak girang.
"Suhu sudah meninggal
bertepatan dengan pengangkatanku sebagai muridnya," lalu Tan Ciok-sing
menceritakan kematian In Hou dan Thio Tan-hong serta pesan-pesan mereka kepada
dirinya.
Khu Ti menenggak pula
secangkir arak katanya: "Dulu In Jong tidak kenal kakekmu demi menolong
kakekmu dia rela mengorbankan kedudukan melawan menteri dorna yang berkuasa,
kakekmu juga tidak kenal putranya In Jong, tapi sama-sama pula demi orang yanq
tidak dikenalnya rela berkorban sehingga keluarga hancur berantakan. Walau
tidak berhasil menolong orang tapi jiwa patriot dan keperkasaan mereka patut
dipuji."
"Khu-lopek, kau sendiri
juga seorang lain yang tidak tahu apa-apa ikut terjerumus kedalam pertikaian
ini, sepak terjangmu yang gagah dan budiman ini, Wanpwe patut kagum dan
memujamu. Bukan lantaran paman pernah menanam budi untuk keluargaku baru Wanpwe
bilang demikian."
"Memangnya kau sendiri
tidak demikian?" ujar Khu Ti tertawa. "Kau membantu kesulitan yang
menimpa keluarga In, sebelum ini kau kan tidak tahu bahwa In Jong pernah
menanam budi keluargamu. Hehehe, kalau dibicarakan lebih jauh, jadi saling mengumpak
belaka. Hayo minum, minum."
"Aku sudah tak kuat
minum. Waktu amat berharga, aku harus segera melanjutkan perjalanan."
"Tunggu lagi sebentar.
Aku ingin mencari tahu seseorang padamu."
"Siapa?"
"It-cu-king-thian Lui
Tin-gak adalah penduduk Kwi-lin, tentunya kau tahu?"
"Tahu Kakek pernah punya
hubungan cukup baik dengan dia. Apa Khu-lopek kenal dia?"
"Sudah lama kukenal
namanya, tapi belum pernah ketemu. Tapi aku tahu dia seorang gagah yang suka
royal merogoh kantong, maka aku merasa sedikit heran."
"Apa yang
mengherankan?"
"Tadi kau bilang kakekmu
berhubungan baik dengan dia, kini baru kuingat, dulu kakekmu bilang tidak mau
mencari perlindungan pada keluarga Toan di Tayli, dia lebih percaya pada
kawan-kawan Kangouw, kawan yang dia maksud mungkin adalah It-cu-king-thian Lui
Tayhiap. Waktu kalian kebentur peristiwa yang menimpa In Hou itu, kenapa kalian
tidak minta pertolongannya?"
Tawar jawaban Tan Ciok-sing:
"Mungkin kakek tidak ingin merembet orang lain."
"Bicara soal Lui Tayhiap,
aku jadi ingat akan janjiku yang belum terlaksana dulu, selama ini amat gegetun
menyesal sekali."
"Bukankah Khu-lopek tidak
pernah mengenalnya?"
"Betul, aku memang tidak
pernah bertemu muka dengan dia, tapi pernah aku berjanji untuk membantu sesuatu
hal baginya, selama ini belum bisa aku menepati janjiku itu."
"Maaf kalau Siautit
kurang hormat, mohon tanya soal apakah itu?"
"Dua puluh tahun yang
lalu, waktu itu Lui Tin-gak belum lama keluar kandang, di kalangan Kangouw dia
masih terhitung angkatan muda. Sudah tentu niasa itu diapun belum memperoleh
julukan It-cu-king-thian. Pada suatu ketika dia pernah membantu Kim-to Cecu Ciu
Kian (ayah Ciu San-bin, Kim-to Cecu yang sekarang) menghadang serbuan pasukan
Watsu menjaga sebuah selat penting, seluruh laskar rakyat berjuang bersamanya
semuanya gugur, seorang diri dengan golok emas dia membunuh delapan belas busu
musuh, terus bertahan sampai titik darah penghabisan, sehingga bala bantuanpun
tiba sehingga musuh berhasil dipukul mundur, sejak itulah dia terangkat
namanya. Julukan (t-cu-king-thian pun dia peroleh sejak pertempuran besar
itu."
"O, kiranya demikian.
Semula kukira hanya memujikan dirinya ibarat Tok-siu-hong yang terkenal di
daerah Kwi-lin itu."
"Boleh juga dikata
demikian. Sejak dia berdiam di Kwi-lin, karena kedermawanannya tidak sedikit
orang-orang yang tak kuasa berdiam pula di Tionggoan dan lari di Kwi-lin
mendapat perlindungannya, maka tidak sedikit pula yang berpandangan sepertimu
tadi menjulukinya It-cu-king-thian. Tapi asal mula julukan itu sendiri jelas dari
pertempuran besar melawan pasukan Watsu itu.
"Kira-kira tiga bulan
setelah pertempuran besar itu, aku memperoleh tugas untuk menyelesaikan urusan
dinas di Tan¬tong karena selama ini aku amat mengagumi Kim-to Cecu, setelah aku
menunaikan tugas dinasku secara diam-diam aku lari ke Gan-bun-koan menemuinya.
Hubungan In Jong amat intim dengan Kim-to Cecu, dari In Jong Kim-to Cecu sudah
tahu akan diriku meski baru pertama kali bertemu hubungan kami sudah seperti
saudara lama, tiada persoalan yang tidak menjadi topik pembicaraan kami.
"Waktu itu Lui Tin-gak
sudah lama meninggalkan markas Kim-to Cecu, tak urung kami memperbincangkan
soal dirinya juga. Kim-to Cecu bilang Lui Tin-gak punya sesuatu keinginan dia
mengharap suatu ketika dapat berkenalan dengan Thio Tan-hong yang memperoleh
gelar jago pedang nomor satu di dunia. Dia tidak berani mengharapkan Thio
Tan-hong sudi menerimanya sebagai murid dia hanya ingin mohon sedikit petunjuk
beberapa jurus ilmu pedang dari Thio Tan-hong."
"Setelah mendengar hal
ini aku lantas bilang kepada Kim-to Cecu, bahwa cita-citanya yang luhur ini,
kemungkinan aku bisa membantu dia. Waktu itu aku berpikir begini, Thio Tan-hong
adalah suami dari adik perempuan In Jong, mengingat hubungan baikku dengan In
Jong, mohon bantuannya supaya dia membantu kemungkinan bisa memohon pada Thio
Tan-hong untuk menerimanya sebagai murid."
"Tak kira setiba aku di
kota raja dan menemui In Jong, baru tahu bahwa Thio Tan-hong sudah
menghilangkan jejaknya di Kangouw. In Jong sendiri juga tidak tahu dimana
sekarang Thio Tan-hong berada.
Walau aku tidak pernah
berjanji kepada Lui Tin-gak secara langsung, tapi aku sendiri pernah berjanji
kepada Kim-to Cecu sampai sekarang aku belum bisa melaksanakan janjiku itu,
maka terasa olehku masih merasa hutang terhadap It-cu-king-thian," sampai
disini Khu Ti menenggak habis secawan arak terakhir katanya: "Lote, aku
mohon bantuanmu."
Tan Ciok-sing sudah dapat
meraba beberapa bagian tapi dia tetap berkata: "Lopeh adalah tuan penolong
keluargaku, adakah sesuatu tugas yang perlu Siautit lakukan, boleh silahkan
perintahkan saja. Kalau Lopeh main sungkan. Siautit jadi rikuh dan tak enak
memikulnya."
"Kelak bila kau bertemu
dengan It-cu-king-thian sukalah kau mendemontrasikan ilmu pedang ajaran Thio
Tan-hong ini di hadapannya, supaya keinginannya itu terkabul."
Kakek Tan Ciok-sing adalah
sahabat baik It-cu-king-thian, tapi
Tan Ciok-sing sendiri,
hakikatnya tidak pernah kenal dan tidak tahu liku-liku kehidupannya. Kini
setelah mendengar kisah masa lalu It-cu-king-thian dari Khu Ti, hatinya jadi
bingung, pikirannya ruwet: "Ternyata dia pernah berjuang berdampingan
dengan Kim-to Cecu, seorang pahlawan bangsa yang patriotik lagi, mungkin aku
salah mencurigainya. Tapi hati manusia siapa bisa menduga, seorang gagah atau pahlawanpun
mungkin saja melakukan kesalahan. Sesuai apa yang diceritakan paman Khu, Lui
Tin-gak gemar belajar silat, cita-citanya yang terbesar adalah memperoleh
ajaran ilmu pedang suhu. Kejadian itu bukan mustahil lantaran dia tahu bahwa ln
Hou membawa Kiam-boh karya Suhu sementara In Tayhiap menyembuhkan luka-lukanya
di rumahku, karena ingin merebut Kiam-boh maka mengatur tipu daya sehingga
kakekpun ikut menjadi korban? Biarlah aku menyelidiki soal ini lebih dulu,
kalau betul dia adalah musuhku, akan kutantang dia berduel setelah kukembangkan
pelajaran ilmu pedang Suhu di hadapannya baru kubunuh dia, berarti aku telah
menunaikan permintaan paman Khu."
Khu Ti menggulung kain centel
yang bertulisan syair-syair Liok Yu itu terus diserahkan kepada Tan Ciok-sing, katanya:
"Seguci arak terakhir telah habis kuminum tiada sesuatu benda dalam kedai
ini yang perlu kubawa lagi. Setelah kuserahkan padamu, aku boleh pergi dengan
lega hati."
Mereka beranjak keluar
bersama, Tan Ciok-sing bersiul panjang, lekas sekali kuda putih itu sudah
berlari mendatangi. Khu Ti memuji: "Kudamu ini bagus sekali, cerdik
pula."
"Kemana selanjutnya paman
akan mengasingkan diri, semoga Siautit masih ada kesempatan mohon
petunjukmu."
"Di belakang gunung aku
membangun sebuah gubuk, semoga aku dapat melewatkan sisa hidupku ini di tengah
lebatnya awan."
Segera Tan Ciok-sing
menjatuhkan diri menyembah berulang kali setelah pamitan cemplak kuda putih
terus melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan tiada kejadian
apa-apa, tujuh hari kemudian dia sudah memasuki propinsi Kwi-siu, hari itu dia
memasuki sebuah kota kecil, pemandangan kota seperti sudah amat dikenalnya,
ternyata di sinilah letak kampung halaman Liong Seng-bu, waktu pertama kali dia
datang dulu, pernah bentrok dengan kawanan penjahat hampir saja dia terlantar
di perantauan, untung waktu itu dia bertemu dengan Liong Seng-bu.
Waktu hari sudah malam,
sebetulnya Tan Ciok-sing tidak ingin menginap di kota ini, terpaksa dia mencari
hotel. Liong Seng-bu keparat itu masih ada di Tay-tong, kukira tidak akan
terjadi kesulitan atas diriku, apa salahnya kalau aku pergi ke tempat dulu yang
pernah kudatangi, coba apa mereka masih mengenalku!" demikian pikir Tan
Ciok-sing.
Dia menginap di hotel dimana
dulu dia menginap, pemilik hotel ternyata masih mengenalnya. Begitu melihat
kedatangannya, sekilas pemilik hotel melongo tapi lekas sekali dia sudah
berseri tawa sambil menyambut dengan munduk-munduk: "Bukankah kau
Tan-siangkong yang tahun lalu menginap di hotel kami? Angin apa yang meniupmu
kemari, sungguh tamu agung, silahkan, silahkan," seperti ketiban rejeki
dari langit saja, sikap hormatnya yang berkelebihan ini membikin Tan Ciok-sing
merasa risi malah.
Tan Ciok-sing yang sekarang
sudah tentu jauh berbeda dengan empat tahun yang lalu, naiknya kuda jempolan,
meski pakaian yang dia kenakan tidak mewah, warnanya masih baru dan model
mutahir lagi, tapi perubahan sikap dan pelayanan pemilik hotel ini justru jauh
lebih berbeda dari dulu, ini sungguh membuatnya heran dan diluar dugaan.
Diam-diam dia tertawa geli dan merasa kasihan pula, katanya: "Terima
kasih, ternyata kau masih ingat diriku, apa kau tidak kuatir aku tak mampu
membayar rekeningku."
Kikuk dan menyengir kuda
pemilik hotel, katanya tersipu-sipu: "Beruntung Tan-siangkong sudi mampir
pula, memohonpun belum tentu dapat diterima. Semoga Tan-siangkong mengizinkan
kami menyuguhkan hidangan yang paling kami banggakan, berapa lama Siangkong
suka menetap disini, boleh tak usah bicara soal rekening segala."
"Lha, kan aku ini jadi
buaya yang suka makan tidur gratis? Mana boleh?"
"Ah, mungkin pelayanan
kami tidak memuaskan sehingga Siangkong marah. Terserahlah berapa Siangkong
suka bayar."
Dasar anak pegunungan, Tan
Ciok-sing tidak suka main nakal, maka dia berkata: "Baiklah, berikan
sebuah kamar yang bersih pendek kata aku tidak akan makan minum gratis."
Pemilik hotel mengiakan
munduk, segera dia bawa Tan Ciok-sing ke sebuah kamar, katanya: "Inilah
kamar kelas satu yang paling baik dari hotel kami, entah mencocoki selera
Tan-siangkong?"
"Baiklah. Tak ada urusan
lagi untukmu, kau boleh keluar."
Tapi pemilik hotel tidak
segera berlalu, katanya malu-malu: "Tan-siangkong maaf kalau hamba
cerewet, mohon tanya apakah Siangkong pulang sendirian?"
Tan Ciok-sing melengak,
katanya: "Kau kira dengan siapa aku akan kembali?"
"Waktu Siangkong menginap
di hotel kami tahun lalu, maaf kalau kami punya mata tidak bisa membedakan
orang, kami tidak tahu kalau kau adalah sahabat Liong-kongcu. Sejak hari itu
Liong-kongcu meninggalkan desa bersamamu, sampai sekarang belum pulang. Kami
duga, dalam dua hari ini dia pasti sudah kembali."
"Oo, kau kira aku pulang
bersama Liong-kongcu.
Bagaimana kau bisa menerka
kalau dalam dua hari ini dia bakal pulang?" tanya Tan Ciok-sing.
Pemilik hotel agaknya jadi
heran, katanya: "Apakah Tan-siangkong belum tahu bahwa Liong-tetok
Liong-lotayjin sedang cuti dan kembali ke kampung halaman?"
Selama beberapa tahun ini
pengalaman dan pengetahuan Tan Ciok-sing sudah banyak maju maka dengan tawar
dia berkata: "O, kiranya Liong-tayjin sedang cuti, aku tidak menduga kalau
dia sudah tiba di kampung halaman. Kira-kira setengah bulan yang baru lalu aku
bertemu dengan Liong-kongcu, jadi belum tahu bahwa pamannya sudah meninggalkan
kota raja."
Berkata pemilik hotel setelah
berpikir sejenak: "Konon karena bahaya Tay-tong sudah lenyap maka
Liong-tayjin sengaja pulang ke desa untuk membersihkan pusara leluhurnya.
Tan-siangkong kau adalah teman baik keponakan Liong-tayjin, perlukah kuutus
orang pergi ke rumah keluarga Liong."
"Kalau aku mau mencari
Liong-tayjin, aku akan pergi sendiri," demikian tukas Tan Ciok-sing,
"tak usah kau mencapaikan diri," sampai disini dia merogoh keluar dua
butir kacang emas dan berkata pula: "Malam ini aku ingin tidur sepuasku,
jangan ada siapapun yang mengganggu aku. Jikalau ada orang mencari tentang
diriku, jangan kau katakan kalau aku ada disini."
Setelah menerima pembayaran
kedua butir kacang emas, sudah tentu pemilik hotel kesenangan, usaha Tan
Ciok-sing membungkam mulutnya memang berhasil, sementara pemilik hotel sendiri
memang juga tidak ingin mencampuri urusan orang lain.
Setelah mandi dan makan malam,
Tan Ciok-sing lantas tutup pintu kamarnya. Kuatir sesuatu terjadi, dia tidak
berani tidur. Kira¬kira kentongan kedua didengarnya derap lari kuda berhenti di
depan pintu hotel. Ban Liong-tin yang kecil ini penduduknya tidak banyak, bukan
kota penting yang menjadi pusat perdagangan lagi, penduduknya serba sederhana
saja, begitu petang mendatang semua lantas tutup pintu, tapi malam sudah
selarut ini siapa pula yang datang ke kota kecil ini? Demikian batin Tan
Ciok-sing. Kamar yang di tempati kebetulan membelakangi sebuah taman, maka,
pembicaraan orang di ruang tamu luar tak bisa didengarnya, namun diam-diam dia
bersiaga.
Tapi tak lama kemudian, derap
lari kuda terdengar pula, ternyata tamu penunggang kuda itu sudah pergi puia,
hal ini betul-betul diluar dugaannya, agaknya sang tamu hanya bertanya beberapa
patah kata saja dengan pemilik hotel.
Karuan Tan Ciok-sing
keheranan, di saat dia kebingungan, didengarnya pintunya diketuk dari luar,
suara pemilik hotel berkata: "Tan-siangkong tolong buka pintu."
Begitu Tan Ciok-sing membuka
pintu, pemilik hotel berkata: "Maaf aku mengganggu, kulihat masih ada
sinar pelita dalam kamar, kukira Tan-siangkong belum tidur, maka berani aku mengetuk
pintu."
"Apa ada urusan?"
tanya Tan Ciok-sing.
"Ingin kulaporkan suatu
hal. Memang seperti yang diduga Siangkong, tadi ada seorang yang mencari tahu
tentang diri Siangkong."
"Siapa dia?"
"Logatnya luar daerah,
seorang asing yang belum pernah kulihat."
"Orang luar daerah?"
"Betul, aku jadi heran,
semula kukira utusan keluarga Liong yang hendak menjemputmu. Tapi aku yakin
orang yang dia cari pasti Siangkong adanya."
"Bagaimana bentuk dan
wajah orang itu, apa dia menyebut namanya?"
"Seorang pemuda sebaya
dengan Siangkong, dia tidak memberitahu namanya. Tapi kuda putih yang dia naiki
itu, eh aneh juga kalau dikatakan, kudanya itu mirip sekali dengan kuda
tunggangan Siangkong."
Tan Ciok-sing terperanjat,
serunya: "masa begitu kebetulan?"
"Dia tanya padaku, adakah
tamu she Tan yang sebaya dengan dia, menunggang kuda putih yang menginap di
hotelku? Dia bilang hendak mencari temannya itu."
"Bagaimana kau
menjawab?"
"Semula aku jadi serba
susah, jikalau dia betul-betul temanmu, kalau aku tidak bicara sejujurnya,
mungkin kau akan menyalahkan aku."
"Kan sudah kupesan
padamu, peduli siapa yang datang, malam ini aku takkan menemuinya. Maka jangan
kau katakan kalau aku menetap disini."
Mendengar ini pemilik hotel
lega dan bersyukur bahwa apa yang dilakukan memang betul, lekas dia bersikap
mengumpak, katanya sembari tawa: "Memangnya, mana aku melupakan pesanmu.
Maka..."
"Maka kenapa?" tanya
Tan Ciok-sing dalam hati dia merasa was-was.
"Maka kukatakan padanya
bukan saja aku tidak pernah melihat orang yang dia cari, juga kukatakan hotel
kami sudah penuh, sehingga dia tidak jadi menginap disini. Entah betul tidak
tindakanku ini?"
"Bagus, tindakanmu memang
tepat," lalu dirogohnya dua butir kacang emas pula, "nah uang ini
untuk persen jasamu."
Dengan cengar-cengir pemilik
hotel berkata: "Ah, rikuh juga untuk menerimanya," tapi mulut-bicara
tangan sudah disodorkan untuk menerima kedua butir kacang emas itu,
"Siangkong masih ada pesan lainnya?"
"Kuingat dalam kota ini
ada dua hotel bukan?"
"Betul- Ingatan siangkong
memang tajam. Masih ada sebuah lagi adalah Hun-lay-khek-tiam, letaknya di
pojokan jalan di seberang sana. Siangkong apakah kau ingin mencari tahu siapa
pemuda tadi, besok pagi bisa kucari tahu pada pemilik hotel Hun-lay, mungkin
dia menginap disana."
Berkerut alis Tan Ciok-sing,
katanya: "Tidak jangan kau lakukan itu."
"Baiklah, silahkan
Siangkong istirahat, aku mohon diri."
Setelah pemilik hotel pergi,
Tan Ciong-sing menutup pintu kamarnya. Hatinya menjadi bingung dan resah.
Siapakah pemuda dengan logat luar daerah, menunggang kuda putih? Kalau di mulut
pemilik hotel pemuda itu dianggapnya 'asing' tapi dalam benak Tan Ciok-sing
sudah terbayang bentuk wajah seseorang yang sudah amat dikenalnya baik. Bentuk
wajah In San yang menyamar jadi laki-laki.
Pelan-pelan dia membuka daun
jendela, bulan sabit bergantung di atas langit, sinarnya redup, bintang
kelap-kelip tersebar tidak menentu. Kini sudah mendekati kentongan ketiga.
Cuaca seperti ini memang mencocoki selera orang untuk berjalan malam.
"Biar aku pergi
menengoknya, apakah dia In San adanya?" tak kuasa Tan Ciok-sing menahan
gejolak hatinya, akhirnya dia berpakaian ketat, terus berangkat.
"Kalau betul In San, lalu
bagaimana baiknya? Ai, cukup asal aku melihatnya sekali saja, lebih baik kalau
dia tidak sampai melihatku," hati Tan Ciok-sing gundah pikiran ruwet,
sulit dia berkeputusan, dalam keadaan apa boleh buat ini, sementara dia tidak
berkesimpulan, biarlah bekerja melihat gelagat saja.
Di bawah cahaya bulan yang
remang, diam-diam dia ngeluyur keluar hotel, segera dia kembangkan ginkang
langsung lari menuju ke hotel yang lain di pojok jalanan sana.
Baru saja dia tiba di
pengkolan jalan di seberang hotel, tiba-tiba didengarnya suara lambaian pakaian
orang, sebagai seorang yang sudah berpengalaman, sekali dengar Tan Ciok-sing
lantas tahu banwa seorang pejalan malam segeia akan muncul. Lekas dia sembunyi
ke tempat gelap, tapi pejalan malam itu tidak melihat dirinya. Kesiur angin
lekas sekali berkelebat di atas kepalanya. Gerakan pejalan kaki ini ternyata
sebat dan enteng sekali, hanya sekejap saja dia sudah melayang jauh melampaui
beberapa wuwungan rumah penduduk.
Namun dalam sekejap itu Tan
Ciok-sing yang bermata jeli sudah melihat jelas. Walau dia tidak melihat wajah
orang, tapi dari bayangan punggung orang, Tan Ciok-sing yakin dia bukan lain
adalah In San yang menyamar laki-laki. Hampir saja Tan Ciok-sing menjerit
tertahan, untung dia sempat mengerem suaranya. "Aneh," demikian
pikirnya, "kenapa dia lari ke hotel tempatku menginap itu? Memangnya dia
tidak percaya jawaban pemilik hotel, aku kemari mencarinya, diapun kesana
mencariku?"
Maka secara diam-diam Tan
Ciok-sing lantas menguntitnya, ginkangnya jauh lebih tinggi dari In San,
jaraknya dipertahankan seratusan langkah maka In San tidak tahu dan tidak
menyadari bahwa dirinya dibuntuti. Setiba di hotel dimana Tan Ciok-sing
menginap, In San lantas berhenti, Tan Ciok-sing kira orang akan melompat masuk,
t.?k kira hanya berhenti sebentar, tiba-tiba dia angkat langkah pula berlari
lebih kencang, ke arah depan.
Hal ini betul-betul berada
diluar dugaan Tan Ciok-sing pula. "Kemana dia mau pergi?" waktu dia
mendongak, rembulan sudah bercokol di tengah langit, sementara bayangan In San
sudah jauh ratusan langkah di depan. Tergerak hati Tan Ciok-sing, tiba-tiba dia
teringat: "Bukankah rumah keluarga Liong terletak di sebelah barat kota
ini?" dan In San kini jelas berlari ke arah barat.
Yang satu berlari kencang
mengejar waktu, yang lain menguntit dengan ketat, tanpa terasa keduanya sudah
keluar kota, akhirnya tiba di bawah sebuah bukit. Di bawah keremangan cahaya
rembulan, tampak pagar tembok yang berliku-liku di kejauhan depan sana, memang
itulah bentuk bangunan rumah keluarga Liong seperti yang pernah dilukiskan oleh
pemilik hotel.
Baru sekarang Tan Ciok-sing
mengerti, kiranya tujuan In San ke rumah keluarga Liong.
"Pulangnya Liong Bun-kong
ke kampung halaman pasti merupakan berita besar untuk kota kecil ini In San
tentu sudah mendapat tahu dari berita orang di hotelnya. Liong Bun-kong adalah musuh
besarnya, tak heran kalau dia meluruk kemari hendak menuntut balas,"
demikian batin Tan Ciok.sing. "Sebagai Kiu-bun-te-tok, betapa banyak jago
kosen Liong Bun-kong? Seorang diri nona In hendak menutut balas, apakah dia
tidak terlalu-menyepelekan kekuatan lawan?" tengah dia mereka-reka
dilihatnya dari arah hutan lebat sana tiba-tiba muncul sesosok bayangan
kebetulan mencegat jalan In San, kontan dia ulur cakar tangannya terus
mencengkram pundak.
Dalam pada itu Tan Ciok-sing
sudah mempercepat langkahnya, lalu sembunyi di balik pohon tak jauh di belakang
In San, begitu melihat orang itu melancarkan Kim-na-jiu-hoat, dia tahu meski In
San tidak bakal kalah, tapi orang itu akan melibatnya cukup lama juga, bukan
mustahil jejak kedatangan In San bisa konangan. Maka timbul keinginan Tan
Ciok-sing untuk membantu secara diam-diam, sekenanya dia meraih ke tanah
menjemput sebutir krikil terus dijentik ke depan.
Orang itu ternyata terlalu
membanggakan kepandaiannya,, dia kira sekali cengkram lawan pasti berhasil dibekuknya.
Dia pikir dengan berhasil membekuk mata-mata musuh, setelah dikompres baru
diserahkan pada majikan, supaya pahalanya tidak direbut orang lain, maka dia
diam saja tidak bersuara memanggil teman.
Tak nyana cengkramannya
meleset, tahu-tahu golok In San sudah mengancam mukanya, cahaya golok yang
kemilau menyilaukan matanya, tapi kepandaian orang ini memang lumayan juga,
dalam keadaan kritis ini, lekas dia menekuk pinggang sambil membungkuk seperti
petani yang bercocok tanam di tengah ladang, cuma gerakannya terbalik ke
belakang sehingga mirip jembatan besi, secara kekerasan dia hindarkan dirinya
dari bacokan golok, terpaut serambut hidungnya terpapas hilang. Sebat sekali
kaki orang ini kembali berkisar serta menendang, begitu golok lawan berkelebat tubuhnyapun
sudah melejit, ujung kakinya tahu-tahu menggantil berbareng sebelah tangannya
menjojoh ketiak kiri In San dari arah yang tak terduga.
Kepalan lawan belum lagi
mengenai tubuh In San, demikian pula golok In San juga belum membelah tubuh
orang itu, tiba-tiba tubuh orang itu sempoyongan dan "Bluk" jatuh
tersungkur.
Kuatir orang main tipu, kontan
In San layangkan kakinya, tanpa bersuara lagi orang itu terguling, tak bangun
lagi. Sudah tentu In San menjadi heran dan curiga, pikirnya: "Menilai
kepandaian orang ini, kenapa pada detik yang genting tadi tahu-tahu bisa roboh
sendiri?" dia tidak berani menyalakan api untuk memeriksa keadaan orang,
terpaksa dia tambahi sekali tutukan pula, memangnya sudah semaput, ditutuk lagi
sudah tentu keadaan orang itu lebih parah lagi. Padahal tanpa tutukannya ini
jelas orang ini takkan mampu bergerak karena terkena tutukan sambitan krikil
Tan Ciok-sing, maka pada detik-detik yang genting tadi tahu-tahu dia roboh tak
berkutik.
Setelah memilih arah In San
menggeremet maju lewat kebon belakang, dilihatnya di depan pintu kebon ada dua
orang penjaga yang berjalan mondar-mandir, tapi kepandaian kedua orang ini
ternyata jauh lebih rendah dari seorang yang tadi, tiba-tiba In San melompat
keluar dari tempat sembunyinya pada waktu yang tepat, di kala kedua orang
berjalan saling berhadapan, sekaligus dia gunakan kiri kanan membentang
gendewa, dengan gerakan secepat kilat menyambar sehingga sang korban tak kuasa
menutup telinga, dia tutuk hiat-to kedua orang ini. Sebat sekali tanpa hiraukan
kedua korbannya dia melesat masuk laksana seekor burung melampaui pagar tembok.
Setiba didalam baru In San
insaf bahwa dirinya menilai situasi di depannya terlalu ringan. Kebon bunga ini
ternyata luas dan besar sekali, gardu, bangunan loteng serta menara pemandangan
dibangun secara tersebar laksana pion-pion catur entah berapa banyak? Bangunan
didalam pagar ternyata jumlahnya lebih banyak dan mentereng dibanding rumah
penduduk didalam kota. Karuan In San menghirup napas dingin, di antara sekian banyak
bangunan rumah hendak mencari jejak seseorang, betapa sukarnya? Jikalau satu
demi satu menggeledahnya, mungkin tiga hari tiga malam juga takkan selesai.
Di kala dia kebingungan dan
tak tahu dari mana dia harus mulai bekerja tiba-tiba didengarnya langkah kaki
orang di sebelah sana. Lekas In San sembunyi di belakang gunung-gunungan,
dilihatnya dua dayang cantik jelita yang membawa keranjang sedang mendatangi.
Keranjang bambu itu ada
tutupnya, dibuat oleh seorang ahli kerajinan sehingga kelihatan bagus dan
antik, biasanya keranjang macam itu diperuntukkan mengisi makanan bagi kaum
bangsawan, agaknya dayang-dayang cantik ini malam ini bertugas menyediakan
sarapan tengah malam.
Terdengar seorang dayang
berkata: "Jay-ci, bikin susah kau saja. Terus terang, aku agak takut,
begini besar kebon ini, jauh lebih luas dari taman bunga kita di kota raja,
siang hari saja terasa seram, apa lagi malam hari bikin jantung orang dak dik
duk saja, kalau tidak ditemani, seorang diri aku takkan berani mondar mandir disini."
Dayang yang dipanggil Jay-ci
berkata: 'Kita kan kakak adik sendiri, kenapa harus bicara sesungkan ini. Bukan
mustahil besok malam menjadi giliranku untuk menyediakan sarapan malam seperti
kau ini, memangnya aku tidak akan menyeretmu ke mari juga?"
"Loya memang keterlaluan,
tengah malam buta rata masih minta dibuatkan kuah Jinsom segala, celaka adalah
kaum rendah seperti kita ini?"
Jay-ci itu menghela napas,
katanya: "Siapa suruh kita dilahirkan sebagai budak? Tapi Loya setiap
malam harus minum kuah Jinsom, ini memang ada sebabnya, apa kau tahu?"
"Sebab apa?"
Kebetulan kedua orang ini
lewat di bawah gunung-gunungan, Jay-ci berbisik: "Semula Hujin juga
tinggal di rumah tua ini, kedatangan Loya kali ini konon hendak menjemputnya
pulang ke kota raja," sampai disini temannya itu menyeletuk:
"Selamanya belum pernah aku melihat Hujin, kabarnya sejak lima tahun yang
lalu dia sudah pulang kesini, apa betul?"
Jay-ci mengiakan.
Dayang yang satu berkata:
"Kenapa setiba kita disini, seluruh penghuni rumah ini tak ada seorangpun
yang pernah menyinggung Hujin? Sudah sekian lamanya, belum juga pernah kulihat
nyonya besar itu?"
Jay-ci berkata lirih:
"Setengah bulan yang lalu, sebelum Loya tiba disini, Hujin sudah
meninggalkan rumah seorang diri."
Dayang itu kaget, katanya:
"Jadi Hujin minggat?"
"Betul, maka tiada orang
yang berani bicara soal ini."
"Kenapa Hujin
minggat?"
"Mana aku tahu, kalau dia
sudah minggat, tentu karena persoalan yang memalukan."
Dayang itu tertawa dingin,
jengeknya: "Siapa nyana kaum bangsawan juga ada yang melakukan perbuatan
yang memalukan."
"Ssssstt. Jangan
sembarang omong, kalau didengar orang, celakalah kau."
"Tempat ini begini sepi
mana ada orang? Penjaga malam juga berada diluar sana."
"Lebih baik hati-hati,
siapa tahu di balik dinding atau di bawah semak-semak bunga sana ada orang
pasang kuping," demikian kata Jay-ci, "karena kejadian minggatnya
Hujin inilah maka Loya amat marah dan jatuh sakit, kesehatannya jauh menurun
dibanding waktu di kota raja, malam tidak bisa tidur, maka setiap malam kitalah
yang harus menyiapkan kuah Jinsom."
Bahwa mendengar kedua dayang
ini membicarakan ibunya, sudah tentu tak karuan perasaan In San, tapi dia
memperoleh hasil diluar dugaan juga, kini dia yakin "Loya" yang
dimaksud dalam pembicaraan kedua dayang ini pasti adalah musuh besarnya Liong
Bun-kong.
Maka In San lantas melompat
keluar, dia tutuk hiat-to Jay-ci baru mencengkram kuduk dayang yang lain, tajam
goloknya yang kemilau dibuat ngancam di tenggorokan orang, katanya mendesis
rendah: "Berani kau berteriak, kugorok lehermu."
Saking ketakutan serasa arwah
terbang, kaki si dayang sampai lemas lunglai hampir tak kuat berdiri kalau
tidak dijinjing In San, tapi dia masih kuasa bersuara: "Boleh kau
membunuhku saja. Cuma mohon kau tidak melaporkan diriku." -dia kira In San
adalah penjaga malam dalam gedung ini yang mencuri dengar pembicaraan mereka,
kini dirinya diringkus dan hendak diserahkan kepada Loya untuk terima hukuman,
derita siksaan yang cukup berat pernah dia saksikan, maka dia pilih jalan
pendek saja.
In San tahu watak dayang cilik
ini lebih keras dan tegas dari pada Jay-ci, diapun menaruh rasa dendam dan
kurang senang terhadap sang Loya, maka tak tega dia menggertaknya, golok segera
dia turunkan, katanya: "Bukan aku ingin membunuhmu, aku hendak membunuh
Loyamu itu."
Bukan main kaget si dayang,
sekian lama dia melongo mengawasi In San, tanpa kuasa mengeluarkan suara. In
San lantas berbisik di pinggir telinganya: "Jangan takut, kau tidak akan
kerembet. Tapi kau harus menunjukkan jalan, setiba di tempat tinggal Loyamu,
kau akan kubebaskan. Tidak jadi soal kau agak terlambat membawa kuah Jinsom
itu, supaya Loyamu tidak curiga terhadapmu. Tapi kalau kau tetap hendak
melindungi Loyamu, tidak mau menunjukkan tempatnya, terpaksa aku membunuhmu."
Bingung juga si dayang,
akhirnya dia berkeputusan, katanya mengertak gigi: "Kenapa aku harus
melindungi Loya, ayahku mati karena dia tekan dan dihajar sampai luka parah
karena tak kuat membayar pajak. Setelah ayah meninggal, aku diseretnya kemari
untuk melunasi hutang-hutang pajak ayah. Baiklah, mari kutunjukkan
tempatnya."
Jalanan didalam kebon
berliku-liku dan berputar-putar kian kemari, agaknya dayang ini sudah hapal
betul akan seluk beluk kebon besar ini, tanpa banyak mengeluarkan suara mereka
sudah tiba di bilangan kebon yang lain. Tampak gunungan yang dibangun cukup
besar terdiri dari batu-batu karang lautan menjulang di depan sana, di
sekeliling gunungan dipagari batu-batu beraneka ragam, sehingga bentuk bangunan
gedung di sebelah dalam tidak kelihatan, agaknya didalam kebon besar ini ada
pula taman kembang yang lain, setelah berada di sebelah dalam baru ketahuan
bahwa disini lain pula bentuk dan corak bangunannya.
Di tengah taman didalam kebon
ini terdapat sebuah bangunan gedung berloteng, di pojok sana, jendela yang
dihiasi kain paris tampak sinar lampu menyorot keluar. Tak jauh di samping
gedung berloteng tampak sepucuk pohon besar menjulang tinggi ke angkasa,
daunnya lebat, dahan-dahannya yang bercabang menjulur jauh ke arah loteng,
sehingga pandangan In San teraling karenanya.
Dayang cilik itu berkata
lirih: "Loya bertempat di atas loteng yang ada lampunya itu."
In San mengangguk, katanya:
"Baiklah, kau keluar dulu dan sembunyi sebentar. Aku akan bertindak,
setelah kau mendengar suara ribut-ribut di atas loteng, baru kau boleh
keluar."
Pohon tua yang rimbun itu
kebetulan cocok untuk tempat sembunyi, In San segera kembangkan ginkangnya yang
tinggi, melompat naik ke atas pohon, dahan tidak bergeming, daun tidak goyang.
Orang didalam loteng ternyata sedikitpun tidak tahu.
Memandang kedalam melalui
jendela yang terbuka, tampak seorang laki-laki tua kurus tengah sibuk
membalik-balik dan membaca surat-surat di bawah penerangan lampu. Sesaat
lamanya In San melongo, hampir-hampir dia tidak percaya akan apa yang
dilihatnya, dia kira dirinya salah mengenali orang.
Belasan tahun yang lalu, waktu
In San baru berusia lima enam tahun, dia ikut ibunya tinggal di rumah neneknya.
Waktu itu meski ayah bundanya hidup berpisah, tapi belum cerai. Liong Bun-kong
masih berkedudukan rendah, belum menjabat Kiu-bun-te-tok. Demi mempersunting
ibunya, dua tiga hari sekali dia pasti datang, usia Liong Bun-kong kira-kira
sebaya dengan ayahnya, waktu itu baru dua puluh tahun, boleh dikata adalah
pemuda cakap ganteng yang romantis. Usianya masih kecil dan tidak tahu apa-apa
pernah juga dia merasa senang dan punya kesan baik terhadap paman Liong yang
satu ini.
Tak nyana pemuda ganteng dan
gagah serta romantis yang dulu dikenalnya, kini sudah berubah jadi kakek reyot
yang buruk rupa lagi.
Terdengar Liong Bun-kong
menghela napas,' katanya seorang diri: "Belasan tahun sebagai suami
isteri, ternyata selama ini tak pernah aku memiliki hatinya."
In San sudah menggenggam
sebatang Toh-kut-ting, entah kenapa hatinya tidak tega turun tangan, dia akan
lebih senang bila musuh besarnya ini adalah laki-laki kasar yang jahat dan
berwajah bengis, tapi kenyataannya orang adalah kakek kurus yang lemah dan
takkan kuat sekali tonjok.
Tapi rasa tidak tega ini hanya
sebentar saja terbayang olehnya akan keluarga si dayang yang ditindas dan
diperas oleh kakek kurus kering she Liong yang jahat ini, pikirnya:
"Musang berbulu ayam akan lebih keji dan telengas dari pada musang yang
menyeringai buas dan liar, bahwa dayang cilik itu saja sedemikian dendam
terhadapnya, memangnya penderitaanku dan petaka yang menimpa keluargaku tidak
lebih parah dari dayang itu, mana boleh aku mengampuni jiwanya, sehari dia
masih hidup, orang lain akan ketimpa bencana oleh perbuatan jahamya."
Sambil kertak gigi dia sudah
siap menyambitkan Toh-kut-ting (paku penembus tulang), tiba-tiba sebuah suara
serak yang lain terdengar berkata: "Liong-tayjin tidak usah gelisah, nanti
setelah Kongcu keponakan kembali dari Tay-tong pasti bisa diperoleh sedikit
berita."
Ternyata di kamar itu masih
ada seorang lain, karena dia duduk di pinggir sebelah sana tanpa bersuara, dari
arah In San tidak kelihatan. Maka In San urungkan niatnya, didengarnya Liong
Bun-kong berkata: "Ciang-suhu, kemarilah kau, nih kutunjukan sesuatu
padamu."
Orang itu duduk di depan Liong
Bun-kong, baru sekarang In San dapat kelihatan jelas, dia adalah laki-laki tua
berusia enam puluhan, tapi perawakannya jauh lebih gagah dan kekar dari Liong
Bun-kong, meski usianya lebih tua tapi paras dan semangatnya kelihatan lebih
muda dari Liong Bun-kong. Orang itu bermata juling berhidung elang,
Thay-yang-hiat di kedua pelipisnya tampak menonjol, suara perkataannya mirip
kicauan burung kokok beluk, sehingga risi bagi pendengaran orang lain.
Tersirap batin In San
pikirnya: "Orang ini agaknya ahli lwekang yang tangguh. Tapi ilmu yang
diyakinkan pasti ajaran lwekang dari aliran sesat, sudah mencapai taraf yang
cukup tinggi."
Liong Bun-kong menarik laci,
dari dalamnya mengeluarkan sebatang golok yang sudah terkutung jadi tiga, katanya:
"Inilah golok pusaka yang pernah dipakai Raja Golok Ie Cun-hong semasa
hidupnya."
In San tahu raja golok Ie
Cun-Hong adalah salah seorang yang pernah mencelakai ayahnya, keruan hatinya
kaget pula: "Ternyata Ie Cun-hong sudah mampus, julukannya Raja Golok
meski belum tentu betul-betul raja golok, tapi ilmu goloknya yakin sudah amat
tinggi dan liehay, namanya sudah cukup terkenal di Kangouw. Entah siapa yang
membunuhnya?"
Agaknya dia belum tahu bahwa
Tan Ciok-singlah yang telah membunuh Raja Golok ini, Sayang waktunya bergaul
dengan Tan Ciok-sing terlalu pendek sehingga peristiwa ini belum pernah dia
dengar.
"Selama beberapa tahun
ini," demikian Liong Bun-kong bercerita lebih lanjut, "Ie Cun-hong
adalah salah satu pembantuku yang paling setia dan banyak pula jasanya, jarang
orang tahu asal-usul dan kedudukannya sebagai
pembantuku, malah banyak orang
mengira dia adalah tokoh persilatan yang sudah lama mengasingkan diri. Tak
nyana tahun lalu dia terbunuh di Ciok-lin."
Ciang-suhu itu tampak
terkejut, katanya: "Dia terbunuh di Ciok-lin?"
"Betul, maka aku ingin
bantuan pandangan matamu yang tajam," ujar Liong Bun-kong. "Golok
pusakanya ini tertabas kutung oleh pedang lawan, kemarin dulu sudah kuutus
seorang pergi ke rumahnya menyelidiki hal ini, kabarnya putranya yang mengambil
pulang jenazah ayahnya tiga hari setelah peristiwa itu terjadi, menurut cerita
putranya, di tubuh Ie Cun-hong terdapat tujuh luka-luka, dilihat bentuk
luka-lukanya, jelas terluka oleh sejurus ilmu pedang lawan yang teramat cepat gerakannya.
Coba kau periksa apakah senjata lawan bukan sebilah pedang pusaka yang tajam
luar biasa? Dalam jurus permainan dapat melukai tujuh tempat di tubuh musuhnya,
memangnya ilmu pedang apakah itu?"
Semakin kaget Ciang-suhu
mendengar penuturan Liong Bun-kong, katanya: "Kabarnya Thio Tan-hong
mengasingkan diri di Ciok-lin untuk menghabiskan masa tuanya. Walau belum
pernah aku melihat ilmu pedangnya, tapi dia adalah jago pedang nomor satu di
kolong langit ini, menurut apa yang kutahu dia memang memiliki sebilah pedang
pusaka yang dapat mengiris besi memotong emas."
"Jadi kau berkesimpulan
bahwa yang membunuh Ie Cun-hong adalah Thio Tan-hong?"
Ciang-suhu manggut, katanya:
"Kecuali Thio Tan-hong, yakin tiada tokoh kosen lainnya yang mampu
membunuh Ie Cun-hong semudah itu."
"Ciang-suhu, konon
Gun-goan-it-cu-kang yang kau yakinkan sudah berhasil. Pada hal Thi-sa-ciang
yang kaulatih itu sudah terhitung nomor satu di dunia, kini ketambahan
Gun-goan-it-cu-kang, boleh dikata kau sudah sempurna diluar dan didalam,
keduanya sama-sama mencapai tarap tertinggi pula. Tentunya kau tak perlu gentar
menghadapi Thio Tan-hong?"
Karena diumpak, kakek she
Ciang ini menjadi girang mendapat muka, seketika dia' menyeringai senang
seperti kera yang memperoleh buah manis. Tapi In San yang mencuri dengar diluar
betul-betul kaget dan luar biasa, batinnya: "Ciang-suhu ini bukankah yang
dulu sekolega dengan kakekku dulu, namanya Thi-hu? Kukira dia sudah mati,
ternyata dia masih hidup dan kini menjadi pengawal pribadi Liong Bun-kong."
Terkaan In San menang tidak
keliru, laki-laki tua ini memang bukan lain adalah Ciang Thi-hu yang pernah
digenjot oleh Khu-Ti. Setelah Ong Ceng ambruk, dia kehilangan Cukong, maka
terpaksa dia mencari Liong Bun-kong sebagai majikannya yang baru.
Walau Ciang Thi-hu senang
diumpak, tapi dia masih sadar dan dapat mengukur kekuatan awak sendiri. Setelah
lenyap rasa senangnya, diam-diam hatinya merasa jeri juga. Yang ditakutkannya
adalah bila Liong Bun-kong menyuruhnya pergi menghadapi Thio Tan-hong. "Takut
sih tidak," demikian kata Ciang Thi-hu, "Tapi ilmu pedang Thio
Tan-hong tiada tandingannya di kolong langit ini, walau aku sudah berhasil
menyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, belum tentu dapat mengalahkan dia. Kalau
Tayjin ingin membunuhnya, sukalah kau bersabar beberapa waktu lamanya pula,
biar kucari beberapa orang untuk membantu."
Liong Bun-kong tertawa,
katanya: "Kau tak usah kuatir, Thio Tan-hong sudah meninggal?"
Ciang Thi-hu terbelalak
senang, katanya: "Jadi bukan Thio Tan-hong yang membunuh Ie Cun-hong?"
"Sudah tentu bukan. Aku
sudah mendapat berita yang positif, empat tahun yang lalu Thio Tan-hong sudah
mati, padahal kematian Ie Cun-hong belum ada satu tahun."
Lega hati Ciang Thi-hu, segera
dia menyeka keringat dingin, katanya: "Selama belasan tahun aku
mendampingi Tayjin, belum pernah aku keluar dari kota raja, ternyata sudah
empat tahun Thio Tan-hong mati, tapi aku masih belum tahu," sampai disini
timbul rasa ingin tahunya, tanyanya: "Lalu siapakah yang membunuh Ie
Cun-hong? Tentunya Tayjin juga sudah berhasil menyelidikinya?"
Seperti tertawa tidak tertawa
Liong Bun-kong berkata: "Ciang-suhu, jikalau kau menghadapi Thio Tan-hong
mungkin kau tidak punya keyakinan, tapi bagaimana kalau kau harus menghadapi
murid Thio Tan-hong?"
Kembali Ciang Thi-hu kaget
dibuatnya, katanya: "Murid Thio Tan-hong bernama Toh Thian-tok, sekarang
adalah cikal bakal yang menjadi Ciang-bunjin Thian-san-pay..."
"Memangnya kenapa?"
tanya Liong Bun-kong.
"Konon Toh Thian-tok
mencipta sendiri Thian-san-kiam-hoat, kemungkinan belum mencapai tingkatan
seperti gurunya, tapi dia tak boleh dipandang ringan. Apalagi Toh Thian-tok
jauh berada di Thian-san, jika Tayjin ingin menuntut balas sakit hati Ie
Cun-hong, kukira bukan satu pekerjaan yang mudah," dia kira setelah Toh Thian-tok
tahu gurunya meninggal, tahun lalu dia berziarah ke Ciok-lin, kebetulan Ie
Cun-hong si Raja Golok juga tiba disana, maka jiwanya melayang. Tapi sebagai
Ciang-bunjin Thian-san-pay, jelas Toh Thian-tok takkan lama lagi tinggal di
Ciok-lin, maka dapatlah diduga bila sekarang dia pasti sudah pulang ke
Thian-san.
Melihat orang begitu takut
terhadap Thio Tan-hong, hal ini masih dapat dimaklumi oleh Liong Bun-kong, tapi
Ciang Thi-hu juga jeri menghadapi Toh Thian-tok, hal ini membuat dia kurang
senang. Katanya tawar: "Bukan Toh Thian-tok yang membunuh Ie
Cun-hong."
"Memangnya siapa
pula?" tanya Ciang Thi-hu melenggong.
"Seorang murid Thio
Tan-hong yang lain."
"O, Thio Tan-hong masih
punya seorang murid lagi? Kenapa aku tidak tahu?"
"Hal ini sudah
kuselidiki, dia bernama Tan Ciok-sing, usianya kukira belum genap dua puluh,
dia adalah murid penutup Thio Tan-hong."
Ciang Thi-hu menghela napas
lega, batinnya: "Kiranya bocah ingusan yang masih berbau pupuk bawang,
kenapa aku harus jeri padanya. Umpama bocah itu sudah memperoleh ajaran murni
Thio Tan-hong, memangnya dia kuat menghadapi lwekangku yang sudah kuyakinkan
puluhan tahun ini."
"Bahwa bocah itu dapat
membunuh Ie Cun-hong, kukira dia juga bukan lawan enteng. Ciang-suhu,
kau..." Liong Bun-kong gunakan cara mengumpak lalu menghasut, dia yakin
hasilnya akan lebih mantap, meski dia merasa kurang senang, betapapun Ciang
Thi-hu adalah salah satu anak buahnya yang berkepandaian paling tinggi.
Betul juga Ciang Thi-hu segera
berseru: "Ah, hanya bocah yang masih ingusan jikalau aku tidak mampu
membekuknya, betapa malunya untuk menghadap Tayjin lagi," sembari bicara
tangannya menjemput salah satu kutungan golok di atas meja, begitu kedua
telapak tangan terangkap lalu pelan-pelan dia menggosok naik turun, lekas sekali
dia sudah membuka kedua telapak tangannya, tampak kutungan golok itu sudah
menjadi bubuk di telapak tangannya dan jatuh berhamburan di lantai.
"Kukira batok kepala bocah itu tidak akan lebih keras dari besi ini,"
demikian ucap Ciang Thi-hu.
In San yang mencuri dengar
diluar ikut terkejut, batinnya: "Kiranya Tan-toako yang membunuh raja
golok Ie Cun-hong. Tua bangka ini memiliki tenaga tangan yang begini liehay,
mungkin Tan-toako bukan tandingannya? Semoga selekasnya aku dapat menemukan
Tan-toako supaya dapat kuberitahu hal ini padanya sehingga dia dapat
bersiaga," diluar tahunya bahwa Tan Ciok-sing kini juga berada di tempat
itu.
Setelah melihat Ciang Thi-hu
mendemonstrasikan ilmunya, barulah Liong Bun-kong berseri tawa, katanya
tergelak-gelak: "Ciang-suhu ternyata memang belum kropos karena usia yang
tua. Apakah itu Gun-goan-it-cu-kang yang baru berhasil kau yakinkan? Mataku
betul-betul melek hari ini."
Ciang Thi-hu tersenyum senang
dan bangga, katanya sambil membusung dada: "Kepandaian yang biasa saja,
harap Tayjin tidak mentertawakan. Entah dimana bocah she Tan itu sekarang, biar
segera kucari dia menuntut balas kematian Lo-ie."
"Tak perlu
terburu-buru," ujar Liong Bun-kong tertawa, "masih ada yang ingin
kubicarakan dengan kau."
Ciang Thi-hu mengiakan,
"Silakan Tayjin jelaskan."
"Ada berita dari
Tay-tong?"
Ciang Thi-hu tahu
"berita" yang dimaksud Liong' Bun-Kong adalah persoalan yang
menyangkut keponakannya. Maka dengan munduk-munduk segera dia menjawab:
"Berita sih belum ada. Tapi Tayjin tidak usah kuatir, Ciok Khong-goan dan
Sa Thong-hay juga berada di Tay-tong, belakangan kuutus Huwan bersaudara
menyusul pula kesana, kukira Tit-sauya (tuan muda keponakan) takkan kurang
suatu apa. Sudah kupesan wanti-wanti kepada mereka, begitu ada perobahan harus segera
mengirim berita kilat kepada Tayjin."
"Kerjamu memang amat
rapi," puji Long Bun-kong, "bukan aku menguatirkan keselamatan dan
tugas yang kubebankan kepada Seng-bu, betapapun tinggi kepandaian budak she In
itu, memangnya tarafnya bisa melebihi bapaknya -- In Hou, kalau Huwan
bersaudara sudah membantu Seng-bu, pastilah budak jelita itu dapat dibekuknya
dan digusur kemari."
Diam-diam In San menyeringai
dingin: "Kau kira aku tak kuasa lolos dari tangan mereka, sekarang aku
justeru sudah lari ke mari. Hm, kini jiwamu sendiri yang berada di
tanganku." --Tadi begitu melihat Liong Bun-kong yang kurus kering pernah
dia merasa iba, kini setelah melihat tindak tanduknya yang keji dan jahat,
berkobar pula rasa dendamnya.
"Lalu soal apa yang
Tayjin kuatirkan?"
Liong Bun-kong menghela napas,
katanya: "Aku tidak tahu bagaimana maksud Seng-bu sebenarnya, dia justru
kepincut budak keluarga In itu, pada hal dia tahu itu putri musuh besar
kita."
"Tapi nona In belum tentu
tahu kalau ayahnya mati di tangan Tayjin."
"Ya, tapi kertas takkan
bisa membungkus api, bila Seng-bu kejadian mengawini budak she In itu, lama
kelamaan, bukan mustahil rahasia ini terbongkar olehnya. Bukankah itu berarti
menyimpan bibit bencana bagi keluargaku sendiri?"
Gemeratak gigi In San, pikirnya:
"Kau kira aku tidak tahu? Hm, aku justru sudah tahu sejak beberapa waktu
lamanya. Keponakanmu ibarat kodok buduk yang kepingin mencaplok burung bangau,
ingin rasanya aku dapat membelek hatinya, hm, kau malah kuatir bila aku kawin
dengan keponakanmu," pada hal paku penembus tulang sudah disiapkan sejak
tadi, sayang Ciang Thi-hu berdiri di depan Liong Bun-kong, terpaksa dia
menunggu kesempatan.
Agaknya Ciang Thi-hu tidak mau
mencampuri urusan pernikahan Liong Seng-bu, maka dia hanya berdiri diam saja tanpa
memberi komentar.
Setelah menghela napas, Liong
Bun-kong berkata pula: "Sudah tentu aku tidak akan membiarkan budak she In
itu menjadi menantu keponakanku, tapi aku tidak punya keturunan, aku jadi
kuatir tiba suatu ketika Seng-bu dicelakai oleh budak she In itu. Tapi
persoalan keponakan tak mungkin aku terlalu banyak campur. Maka apa yang kubisa
lakukan hanya berusaha sekuat mungkin untuk melenyapkan bibit bencana di kelak
kemudian hari. Ciang-suhu, ingin aku mohon bantuanmu, sukalah kau berangkat ke
Kwi-lin."
"Pergi ke Kwi-lin?"
Ciang Thi-hu menegas agaknya dia merasa diluar dugaan.
"Bocah she Tan yang
membunuh Ie Cun-hong itu, asalnya kelahiran Kwi-lin."
"Apakah bocah itu
sekarang tetap ada di rumah?"
"Itu aku tidak tahu. Tapi
Kwi-lin adalah tempat kelahirannya, cepat atau lambat dia pasti akan
pulang."
"Tidak sukar menangkap
bocah itu, tapi jikalau nasibku jelek, entah kapan baru bisa pulang memberi
laporan kepada Tayjin."
"Waktu tidak akan
kubatasi. Apalagi tugasmu bukan melulu membekuk bocah itu saja."
Kembali Ciang Thi-hu melengak,
tanyanya: "Masih ada orang lainnya?"
"In Hou masih punya
seorang teman, konon kedatangan In Hou ke Kwi-lin dulu itu adalah atas undangan
pertemuan temannya itu. In Hou sudah mati, tapi orang itu lolos dari pengejaran
kita."
"O, jadi yang Tayjin
maksudkan adalah Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun?"
"Betul, Kungfu orang ini
amat tangguh, tidak lebih asor dari In Hou. Kalau dia tidak dilenyapkan, makan
tidur aku tidak akan tentram."
"Tapi Tam Pa-kun kan
bukan penduduk asli Kwi-lin?"
"Aku tahu. Tapi takkan
lama lagi dia pasti akan datang ke Kwi-lin."
In San yang mencuri dengar
diluar diam-diam terperanjat, pikirnya: "Paman Tam hendak ke Kwi-lin,
bagaimana dia bisa mendapat kabar ini begitu cepat?"
Bahwa dirinya bertugas pula
menghadapi Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, diam-diam perasaan Ciang Thi-hu tidak
tentram, diam-diam dia membatin: "Konon 72 jurus Kim-na-jiu-hoat dan 64
jalan Phoan-liong-tonya amat liehay, walau aku sudah meyakinkan
Gun-goan-it-cu-kang, tidak yakin aku dapat mengalahkan dia."
Walau hati merasa kebat-kebit,
tapi lahirnya dia tetap bersikap mengumpak kepada Liong Bun-kong, katanya:
"Berita yang diterima Tayjin memang cepat dan tajam, meski jarang keluar
pintu, tapi kejadian di dunia Kangouw dapat diketahui jelas. Tayjin tak usah
kuatir, asal dia berada di Kwi-lin, dia takkan lolos dari cengkramanku."
Liong Bun-kong tersenyum
sambil mengelus jenggot kambingnya, katanya: "Tak usah kau pergi seorang
diri mengadu jiwa, akupun sudah
mempersiapkan untukmu,"
lalu dia mengeluarkan secarik kertas daftar, katanya lirih: "Yang
terdaftar di sebelah kanan ini adalah orang-orang kita, yang terdaftar di
sebelah kiri adalah musuh-musuh kita. Kali ini tugas pimpinan kuserahkan
kepadamu, mumpung ada kesempatan, babatlah seluruh musuh-musuh kita itu.
Kirimlah kabar kepada orang-orang kita dalam daftar ini supaya bantu mencari
jejak bocah she Tan itu. Nah periksalah dulu daftar ini, coba berapa banyak
yang sudah kau kenal? Atau siapa kiranya yang kau curigai?"
Terbakar dada In San,
pikirnya: "Kau bangsat tua ini, bukan saja membuat keluargaku berantakan,
orang lain yang tidak berdosa juga akan kau celakai."
Mumpung mendapat kesempatan
baik ini, di kala Ciang Thi-hu menunduk memeriksa daftar itu, sekali ayun
tangan menimpuk paku yang digenggamnya sejak tadi ke arah jendela, sasarannya
adalah Thay-yang-hiat Liong Bun-kong.
In San yakin paku penembus
tulangnya itu pasti akan menamatkan jiwa Liong Bun-kong, tak nyana belakang
kepala Ciang Thi-hu seakan tumbuh mata, tanpa menoleh begitu merasa angin
kesiur di belakang kepala, segera dia menjentik balik, ke belakang,
"Cring" tepat dia selentik paku yang menyamber tiba mencelat balik
keluar jendela, dan meluncur kembali ke arah In San pula.
In San menggelantung di atas
pohon, ujung kakinya menggantol dahan pohon, sehingga tubuhnya jungkir balik
dan mendekat ke jendela sambil menimpuk senjata rahasianya.
Lekas In San kerahkan tenaga
di ujung kakinya sehingga dahan dimana dia bergelantung tak kuat menahan berat
badannya begitu tubuhnya anjlok ke bawah dahan pohon itupun patah seketika,
pada hal tindakan In San inipun hanya untung-untungan belaka, dia sendiri tidak
tahu apakah cara yang ditempuhnya ini dapat dihindarkan samberan paku yang
menyerang balik ini, tapi keadaan memang sudah mendesak, tiada cara lain
terpaksa dia gunakan akalnya ini.
Begitu dahan patah paku itupun
sudah menyambar tiba dan menyerempet di atas kepala In San, tapi sasarannya
menceng ke samping In San selamat tidak kurang suatu apapun.
Cepat sekali Ciang Thi-hu
sudah menubruk keluar, bentaknya: "Pembunuh bernyali besar, masih ingin
lari?"
Ginkang In San memang sudah
tinggi, di kala tubuhnya meluncur lurus ke bawah dan hampir menyentuh tanah,
mendadak dia gunakan gerakan Burung Dara Jumpalitan, dengan enteng dan tanpa
mengeluarkan suara kakinya hinggap di muka bumi.
Begitu pukulan Ciang Thi-hu
menyerang tiba, golok pusaka In San juga sudah tercabut, dengan jurus
Ki-hwe-lau-thian, dia memapak kedatangan lawan serta menyerang pergelangan
tangannya.
Deru angin yang kencang
menyapu jatuh topi di atas kepala In San sehingga rambutnya yang panjang
terurai, melihat dia seorang gadis jelita, mau tidak mau Ciang Thi-hu tertegun.
Sudah tentu In San sendiri juga tidak kurang kagetnya, bukan saja golok
pusakanya tak mampu menabas musuh, malah topi sendiri tersapu oleh angin
pukulan lawan, untung dia sudah cukup mahir menggunakan golok ini, lekas dia
memelintir pegangan goloknya berputar setengah lingkaran, tapi hampir saja dia
tergores luka oleh golok sendiri.
Gerakan golok In San yang
lincah dan gesit ini juga membuat Ciang Thi-hu heran pikirnya: "Aneh,
permainan golok ini agaknya pernah aku melihatnya?" Dan lebih mengherankan
lagi lwekang In San ternyata jauh lebih rendah dari pada sebelum dia tahu bahwa
In San adalah perempuan tadi, kiranya paku yang dijentiknya balik itu di tengah
jalan dipukul jatuh oleh timpukan sebutir lempung orang lain, In San tidak tahu
akan kejadian ini, tapi Ciang Thi-hu tahu. Tadi dia kira penimpuk lempung tadi
pasti adalah jagoan bulim yang kosen dan jago kosen ini pasti juga seorang
laki-laki, betapapun tinggi kepandaian seorang perempuan, tak mungkin memiliki
lwekang setangguh ini.
"Haya, celaka, diam-diam
Ciang Thi-hu mengeluh dalam hati setelah teringat masih ada seorang kosen lagi
disekitar sini, secara diam-diam telah membantu In San. Setelah berhamil
meyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, Ciang Thi-hu yakin dirinya boleh mencalonkan
diri dalam deretan 10 jago tangguh di masa ini, bahwa orang itu dapat memukul
jatuh jentikan paku besinya hanya dengan sebutir lempung kecil, jelas
lwekangnya tidak rendah, tapi diapun yakin orang belum tentu dapat mengalahkan
dirinya. Bahwa dia mengeluh bukan karena takut menghadapi orang itu, tapi bila
orang itu ada di sekitar gelanggang, betapapun dia harus hati-hati dan waspada,
karena itu, mending bagi In San, dia masih kuat bertahan untuk beberapa kejap
lamanya.
Lekas sekali belasan jurus
telah berlalu, taraf kepandaian Ciang Thi-hu betapapun memang berlipat ganda
lebih tinggi dari In San, meski hati merasa was-was dan harus pasang mata
kuping terhadap jago lain yang sembunyi, In San toh sudah kepayahan dan
terdesak oleh rabuannya yang gencar. In San tetap mengandalkan ketajaman
goloknya, sekuatnya dia bertahan membela diri.
Di saat-saat genting itu, '"wut"
mendadak Ciang Thi-hu memukul pergi golok In San, diluar dugaan dia
memperlambat gerakannya lalu menghentikan gerakannya, bentaknya: "Kau ini
putri In Hou bukan? Lekas bicara terus terang, supaya aku tidak kesalahan
tangan."
Hanya belasan jurus Ciang
Thi-hu sudah meraba permainan golok In San, maka dia lantas tahu asal-usul In
San.
Maklum selama beberapa tahun
dia pernah sekolega bersama In Jong didalam Gi-lim-kun maka ajaran ilmu golok
keluarga In jelas takkan bisa mengelabui matanya. Tapi lantaran sudah terlalu
lama, baru sekarang dia teringat. Sebaliknya In San sudah berlaku nekad hendak
mengadu jiwa, bentaknya: "Betul, malam ini hendak kutuntut balas kematian
ayah, kau rela menjadi antek Liong Bun-kong si anjing itu, biar kubunuh kau
dulu." Setelah tahu asal-usul In San, Ciang Thi-hu malah tidak berani
membunuhnya, gerak serangannya pun diperhitungkan. Setelah In San didesaknya
mundur dua langkah, dia berseru lantang: "Liong-tayjin, pembunuh gelap ini
adalah putri In Hou, bagaimana aku harus membereskan dia, harap Tayjin memberi
petunjuk."
Suara Liong Bun-kong kumandang
dari atas loteng: "Bujuklah dia supaya mau menyerah. Beritahu padanya, aku
tetap akan memandangnya sebagai putri kandungku sendiri."
Ciang Thi-hu segera menekan
suaranya, katanya: "Nona In, jangan kau tidak tahu kebaikan. Bila kau ikut
Liong-tayjin, kalian ibu beranak akan hidup berkumpul, bukankah itu lebih
baik?" dia kira In San belum tahu bila ibunya sudah minggat dari rumah
keluarga Liong. Diluar tahu Ciang Thi-hu pula bahwa In San sudah bertemu dengan
ibunya, malah ibunya sudah mangkat di malam pertemuan yang menyedihkan dan
memilukan itu.
Kalau Liong dan Ciang tidak
menyinggung ibunya masih mending, seolah-olah bara yang disiram minyak, karuan
berkobar amarah In San dengan jurus Hing-to-it-hong, goloknya bergerak secepat
kilat terus membacok, bentaknya: "Kalau aku tidak berhasil membunuh
keparat she Liong itu, jadi setanpun aku tetap akan menuntut balas,"
serangan golok yang ganas dan nekat ini diluar dugaan Ciang Thi-hu, walau tidak
sampai melukai dirinya, tapi dia kaget dan berjingkrak mundur.
Ciang Thi-hu cukup
mengeluarkan tiga bagian tenaga Gun-goan-it-cu-kang, kembali dia sampuk golok
In San lalu berteriak: "Liong-tayjin, budak ini tidak tahu tingginya
langit dan tebalnya bumi, dia tegas menolak kebaikan Tayjin, bagaimana
baiknya?"
Liong Bun-kong tidak berani
membuka jendela, sembunyi didalam kamar dia tarik suara: "Lebih baik kau
bekuk dia hidup-hidup, kalau tidak bisa membekuknya hidup, kau bunuh diapun aku
tidak akan salahkan kau."
Setelah mendapat persetujuan
hilang keraguan Ciang Thi-hu, maka serangannya lantas bertambah gencar dan
kuat, begitu menyelinap maju jari tangannya segera mencengkram. Gerak
cengkraman ini adalah tipu liehay dari Hun-kin-joh-kut-jiu, dilandasi tiga
puluh persen kekuatan Gun-goan-it-cu-kang, maka perbawanya lebih dahsyat lagi,
jikalau sasarannya kena telak, tulang pundak In San pasti teremas hancur.
Umpama memiliki kepandaian setinggi langit, bila tulang pundak sudah diremas
hancur, berarti Kungfunya sudah punah dan selanjutnya takkan bisa bermain silat
lagi. Tapi Ciang Thi-hu masih kuatir bila dirinya disalahkan oleh keponakan
Liong Bun-kong, maka dia pikir hanya ingin memunahkan ilmu silatnya saja, kalau
tidak bila dia tambah tenaga serangannya, jiwa In San sudah bisa ditamatkan
sejak tadi.
Cengkraman ini kelihatan
ganas, tapi daya kerjanya ternyata lamban. Dia pikir hendak menggertak In San
supaya dia takut dan mundur teratur bukan mustahil akan merubah haluannya, mau
menyerah dan tunduk pada keluarga Liong. Hun kin-joh-kut yang diyakinkan ini
sudah mencapai taraf sempurna, walau gerakan kelihatan lamban, jelas In San
takkan bisa berkelit. Pada hal golok In San sudah terkunci oleh telapak tangan
kirinya, untuk menangkis atau balas menyerang jelas tidak mungkin, di saat-saat
kritis dimana jari-jari tangan Ciang
Thi-hu sudah dekat tulang
pundak In San. Ciang Thi-hu masih sempat membujuk: "Nona In, urusan sudah
kebacut sejauh ini, kenapa kau masih kukuh pendapat? Semutpun ingin hidup,
lekas kau minta maaf kepada Liong-tayjin dan memanggil Liong-tayjin..."
Sebelum dia menyebut
"ayah", sesosok bayangan orang mendadak melompat keluar dari balik
gunungan.
Semula tujuan Tan Ciok-sing
hanya akan membantu secara sembunyi, tapi setelah menyaksikan beberapa jurus,
dia lantas tahu bahwa kepandaian Ciang Thi-hu benar-benar tinggi, tanpa
menggunakan ilmu pedang gabungan, kalau dirinya hanya membantu secara
menggelap, bantuannya tidak akan berarti bagi In San. Di kala cengkraman tangan
Ciang Thi-hu hampir menyentuh pundak In San itulah Tan Ciok-sing dipaksa untuk
menerjang keluar.
Karena tahu ada musuh tangguh
lain yang berada di sekitar gelanggang, Ciang Thi-hu selalu pasang mata kuping,
sejak tadi dia sudah bertindak waspada dan penuh perhitungan, begitu merasa
angin kesiur menyambar dari belakang, dia tahu bahwa musuh tangguh yang
tersembunyi itu tengah membokong dirinya, kuatir dirinya kecundang, mana berani
dia meremas tulang pundak In San?
Lekas dia gunakan
Ih-sing-hoan-wi berkelit sambil melancarkan serangan susulan lainnya, kedua
telapak tangan tergabung menimbulkan suatu rumpun tenaga tiga tambah tiga
berarti enam puluh persen tenaga Gun-goan-it-cu-kang terhimpun dalam serangan
tangannya ini.
Maka terdengarlah suara
"Cret", lengan baju Ciang Thi-hu tertusuk bolong oleh
Pek-hong-po-kiam Tan Ciok-sing, tapi ujung pedang Tan Ciok-singpun menceng dan
tergetar pergi oleh pukulan Gun-goan-it-cu-kang lawan, hanya terpaut dua mili
hampir menusuk hiat-to Ki-ti-hiat. Diam-diam Tan Ciok-sing merasa sayang akan
kegagalan serangan ini.
Sudah tentu bukan kepalang
senang dan kaget In San, seketika dia menjublek di tempatnya. Padahal
pertempuran jago-jago silat kelas tinggi, mana boleh berlaku lena. Walau
Gun-goan-it-cu-kang yang dilontarkan Ciang Thi-hu bukan ditujukan ke arahnya,
namun dia terserempet juga oleh gelombang angin pukulannya. Seketika dia
keterjang mundur sempoyongan, golok yang dipegang sampai jatuh berkerontang di
atas batu.
"Tan-toako, ternyata kau.
Tahukah kau, aku sedang mencarimu," saking girang In San tidak pikirkan
hendak menjemput goloknya.
Dengan ujung kakinya Tan
Ciok-sing menjungkit golok serta ditangkapnya, tapi tidak dia berikan kepada In
San, teriaknya: "Lekas cabut Ceng-bing-po-kiam."
In San tersentak sadar
serunya: "Betul, menghadapi keparat tua ini, memang pantas kita
menghadapinya dengan Siang-kiam-hap-pik."
Begitu Siang-kiam-hap-pik
dijalankan, situasi seketika banyak berubah. Ciang Thi-hu seketika terkurung di
tengah kilatan sinar pedang, gerak-geriknya yang lincah tak ubahnya seperti
tikus yang terjebak didalam kurungan dan lari kian kemari. Insaf akan keadaan
dirinya yang semakin terdesak, demi keselamatan sendiri sudah tentu Ciang
Thi-hu tidak sudi mati konyol, maka diapun bermain tidak kenal kasihan lagi.
Tiba-tiba dia berputar ke kiri, In San langsung dihadapinya. Kedua telapak
tangan bergerak membundar seperti gelang, lalu dirubah gaya seorang pemusik
yang memeluk gitar, telapak tangan kiri pura-pura mencengkeram, sementara
telapak tangan kanan membelah miring Gun-goan-it-cu-kang dia tambah sampai lima
puluh persen kekuatannya sendiri.
Kalau dia tahu diri sejak tadi
melancarkan kekuatan Gun-goan-it-cu-kang untuk menghadapi In San, umpama tidak
mati In San pasti terluka parah, tapi kini keadaan sudah berubah tambah
kekuatanpun sudah terlambat.
Bukan saja permainan
Siang-kiam-hap-pik teramat serasi dan tepat serta ketat, perbawa yang
dikembangkanpun tiga lipat lebih besar dari pada permainan secara individu.
Maka lima bagian kekuatan Gun-goan-it-cu-kang yang dilancarkan Ciang Thi-hu
paling hanya mampu menggeser sedikit ujung pedang In San, sehingga dirinya
tidak sampai tertusuk, tapi pedang lawan tak mampu diputarnya terlepas apalagi
hendak balas melukainya.
Maka Bu-bing-kiam-hoat Tan
Ciok-sing segera menyelinap masuk arena, sudah tentu dia takkan memberi peluang
bagi Ciang Thi-hu untuk melancarkan serangan susulan untuk melukai In San?
Dalam sekejap itu dua larik sinar pedang tahu-tahu tertabur menjadi selarik
cahaya pelangi, untung Ciang Thi-hu lekas mengundurkan diri, terlambat sedetik
saja tubuhnya sudah terbabat menjadi dua.
Lekas Ciang Thi-hu kerahkan
tenaga terus mendorong, Gun-goan-it-cu-kang mencapai tujuh bagian, gerakan Tan
Ciok-sing berhasil dibendungnya sebentar, bentaknya: "Anak bagus siapa
kau? Kalau pemberani sebutkan namamu."
Tan Ciok-sing tertawa dingin,
jengeknya: "Kalau tidak kukatakan, mungkin kau mati takkan meram. Seorang
laki-laki tak perlu takut menyebutkan namanya, aku bukan lain adalah duri dalam
kulit daging kalian Tan Ciok-sing adanya. Hehehe, bukankah Liong Bun-kong
menyuruhmu ke Kwi-lin untuk menghadapi aku? Sekarang aku datang kemari, tak
usah tuan besar macam tampangmu ini susah payah mencari jejakku."
Keruan Ciang Thi-hu kaget,
tanpa merasa bulu kuduknya berdiri, pikirnya: "Ternyata bocah inilah murid
penutup Thio Tan-hong, tak heran ilmu pedangnya begini liehay," cepat
sekali gerakan kedua pedang gabungan Tan dan In sudah merabu kembali Ciang
Thi-hu terkurung didalam libatan cahaya pedang.
Ciang Thi-hu dipaksa
mengerahkan seluruh
kemampuannya, namun dia tetap
bertahan saja tak mampu balas menyerang, diam-diam dia mengeluh, pikirnya:
"Kalau aku tidak nekad menguras hawa murni, mungkin aku bisa kecundang
oleh pedang bocah-bocah keparat ini," akan tetapi meski dia terkurung
seperti binatang dalam perangkap, tapi kekuatan pukulannya masih kelihatan
dahsyat dan mengejutkan, setiap kali pukulan dilontarkan, sayup-sayup terdengar
gemuruh seperti guntur menggelegar di kejauhan, deru anginnya yang kencang
seperti amukan angin lesus, dalam arena pertempuran seluas beberapa tombak,
debu pasir beterbangan.
Lekas sekali beberapa busu
sudah diundang datang oleh suara keributan disini, sekitar gedung berloteng
dimana Liong Bun-kong tinggal telah dijaga ketat, tidak sedikit di antara para
busu itu yang berkepandaian cukup lumayan, tapi mereka hanya mampu menonton
tiga tombak diluar kalangan, berdiripun tak tegak, sering terdesak mundur
sempoyongan.
Kilatan pedang menyambar
simpang siur menyilau mata, deru angin pukulan juga laksana bunyi guntur yang
memekak telinga. Kalau bukan jago silat kelas tinggi, mana mampu menerjunkan
diri kedalam arena? Para busu itu lambat laun didesak mundur semakin jauh dari
kalangan pertempuran, mereka hanya menyaksikan dengan pandangan mendelong dan
kesima.
Tiba-tiba terdengar suara
genta bertalu-talu ternyata dari tempat sembunyinya Liong Bun-kong
memerintahkan seorang busu membunyikan genta tanda bahaya. Maklum dia kuatir
Ciang Thi-hu seorang diri bukan tandingan kawanan penyatron, maka diam-diam dia
sudah melarikan diri melalui jalan rahasia di bawah tanah.
Tak lama kemudian, taman
kembang yang luas ini sudah benderang disinari cahaya obor, bayangan orang
tampak berlari berbondong-bondong mendatangi. Sambil kertak gigi Tan Ciok-sing
membentak: "Bunuh dulu bangsat tua ini," tiba-tiba Pek-hong-kiam
menuding ke timur menusuk ke barat, sekaligus dia melancarkan tujuh jurus
serangan mematikan.
Begitu mengembangkan
Siang-kiam-hap-pik hati In San dan Tan Ciok-sing bersatu padu, pikiran sejalan
gerakanpun serasi. Begitu Tan Ciok-sing mempergencar serangan, serta merta In
Sanpun segera mengimbangi. Dalam sekejap mata lingkaran pertahanan Ciang Thi-hu
ditekan sedemikian rupa menjadi semakin menciut. Dalam keadaan terdesak ini
Ciang Thi-hu sudah maklum, sebelum jago silat tangguh dari pengawal Liong
Bun-kong datang tubuhnya pasti sudah dihiasi tusukan pedang kedua musuhnya ini.
Seperti serigala yang mengamuk
dalam kepungan, bola mata Ciang Thi-hu sudah melotot membara, napasnya
mendengus saperti banteng mengamuk, bentaknya: "Bocah bagus, kau ingin
membunuhku, memangnya segampang keinginanmu. Hem, rasakan keliehayan
Gun-goan-it-cu-kang," berbareng kedua telapak tangannya menari turun naik,
membalik ke kiri memutar ke kanan. Sekonyong-konyong segulung tenaga dahsyat
terlontar keluar dari kibasan kedua telapak tangannya sedahsyat gugur gunung.
Perbawa Siang-kiam-hap-pik
memang aneh, semakin dahsyat menghadapi serangan semakin hebat pula daya tahan
dan perlawanannya, di kala menghadapi rangsangan hebat dari serangan
Gun-goan-it-cu-kang Ciang Thi-hu ini, Siang-kiam-hap-pik pun memperlihatkan
perbawanya yang paling dahsyat. Maka terdengarlah rentetan suara keras dan
memekak, tampak sepasang lengan baju Ciang Thi-hu koyak-koyak beterbangan
seperti kupu-kupu yang menari di tengah udara, sehingga kedua lengannya yang
kurus legam kelihatan telanjang. Pedang yang tajam memang tidak mampu melukai
tubuhnya, tapi hawa pedang yang simpang siur menggencet dan mengoyak hancur
lengan bajunya.
Dalam gebrak ini kedua pihak
sama-sama mengerahkan puncak kekuatannya, bahwa keadaan Ciang Thi-hu kelihatan
, serba mengenaskan, tapi In San sendiripun sedikit menderita oleh getaran
angin pukulan lawan sehingga langkahnya sempoyongan.
Kebetulan ada beberapa busu
berlari tiba, melihat kesempatan yang menguntungkan ini, mereka hendak
menyerang In San dari belakang. Tak nyana belum lagi In San turun tangan
beberapa busu itu sudah sama roboh gedebukan sambil mengeluh kesakitan.
Ternyata pada gebrak terakhir
ini Ciang Thi-hu sudah kerahkan sepuluh bagian kekuatan Gun-goan-it-cu-kang,
perbawa Siang-kiam-hap-pik memang masih mampu menahannya. Tapi beberapa busu
yang masih rendah Kungfunya ini mana kuat menahan getaran dahsyat ini?
Seperti diketahui
Gun-goan-ii-cu-kang yang diyakinkan Ciang Thi-hu baru saja berhasil dilatihnya
sempurna, jikalau sekaligus sekarang dia harus kerahkan setaker kemampuannya,
akibatnya pasti menguras habis hawa murni dan itu berarti luka dalam yang cukup
parah. Oleh karena inilah, dalam pertempuran tadi dia hanya menambah kekuatan
setahap demi setahap, tak berani sekaligus mengerahkan kekuatannya sampai
sembilan bagian tenaga sendiri. Kini terpaksa Ciang Thi-hu lontarkan serangan
sepenuh tenaga meski berhasil meloloskan diri dari kepungan cahaya pedang
lawan, tapi dia sendiri juga sudah lemas lunglai kehabisan tenaga. Lekas dia
memutar tubuh membelakangi musuh, "Huuuaaah" tanpa kuasa dia
menyemburkan sekumur darah segar, tapi dia tidak berani memperlihatkan kepada
Tan Ciok-sing bahwa dirinya sudah terluka.
Situasi semakin tidak
menguntungkan, Tan Ciok-sing juga tak berani bertempur terlalu lama di sarang
musuh, lekas dia memburu ke samping In San, katanya: "Adik San, bagaimana
kau?"
Sebelum dia memapahnya In San
sudah dapat berdiri tegak pula, katanya lirih: "Tidak apa-apa, sayang
gelagat agaknya tidak bisa mengijinkan hari ini kita menuntut balas."
"Syukurlah kalau tidak
apa-apa," ujar Tan Ciok-sing, "seorang laki-laki menuntut balas
sepuluh tahun belum terlambat. Hayolah kita pergi."
Meski banyak jumlah busu dari
keluarga Liong, mana mampu menahan atau merintangi mereka? Apalagi beberapa
busu sudah roboh dan menjadi contoh, mana mereka berani berkorban pula. Pada
hal mereka tidak tahu bahwa kawan-kawannya itu roboh karena Gun-goan-it-cu-kang
yang dilancarkan Ciang Thi-hu, mereka menyangka kedua penyatron ini memiliki
kepandaian tinggi semacam Can-ih-cap-pwe-tiat yang aneh, serta menakjubkan. Di
tengah teriakan para busu yang hanya berkaok-kaok tanpa bertindak ini, dengan
leluasa Tan dan In berdua melesat terbang ke atas wuwungan terus lari meninggalkan
gedung keluarga Liong.
Setelah jauh berada diluar,
Tan Ciok-sing menoleh ke belakang, melihat musuh tidak mengejar baru legalah
hatinya, katanya: "Nona In mimpipun aku tidak menduga bahwa kau bisa
berada disini."
In San menghela napas, katanya:
"Tan-toako aku justru yang tidak menyangka, di saat kritis, di waktu
jiwaku terancam bahaya, mendadak kau muncul dari atas langit."
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Mana aku bisa membiarkan kau masuk ke sarang harimau seorang
diri? Kalau kau sudah kemari, memangnya aku harus berpeluk tangan?
"Semalam aku pernah
mampir ke hotel dimana kau nginap untuk mencari kau, pemilik hotel mengatakan
tiada tamu macam kau ini, ternyata dia ngapusi aku."
"Jangan kau salahkan dia,
akulah yang suruh dia begitu, aku tidak tahu kalau kau bakal datang. Menurut
perhitunganku semula, ingin menghilangkan jejak supaya orang-orang keluarga
Liong tidak tahu akan kedatanganku."
"Aku tidak menyalahkan
dia, tapi aku menyalahkan kau malah. Kalau kau tahu aku sudah datang, kenapa kau
tidak mau menemui aku? Tahukah kau aku sengaja hendak mencarimu?"
"Justru karena itu, mimpi
juga aku tidak sangka kalau kau yang datang."
"Ibu sudah tiada. Aku
tahu kau pulang ke Kwi-lin hendak menuntut balas, musuhmu adalah musuhku juga,
memangnya aku boleh berpeluk tangan membiarkan kau menempuh bahaya."
"Terima kasih akan
perhatianmu, tapi aku tetap tidak duga kau bakal menyusulku."
"Kenapa tetap tidak
menduga? Nasib kita sudah terjerat menjadi satu. Kau kira aku bisa berpeluk
tangan menyaksikan usaha penuntutan balasanmu dan mengharap kau yang menuntut
balas bagiku?"
"Bukan, bukan begitu
maksudku..."
"Lalu apa maksudmu?
Katakan."
Ruwet pikiran Tan Ciok-sing,
tak tahu dengan alasan apa dia harus menjelaskan. Sementara itu mereka sudah
mulai memasuki kota kecil. "Mari kita ambil kuda kita dan segera
meninggalkan kota ini. Nanti bicara saja di tengah jalan," demikian kata
Tan Ciok-sing.
"Baik. Nanti kita bertemu
di perjalanan. Tempatnya di gardu pinggir jalan diluar kota sana, siapa tiba
lebih dulu dia harus menunggu. Tapi watakku kau sudah tahu, kau tadi berjanji
hendak memberi penjelasan, jangan kira setelah kau mengulur waktu lantas anggap
persoalan ini tiada begitu saja." Fajar sudah hampir menyingsing, di ufuk
timur cahaya mentari sudah mulai menongol dengan secercah cahayanya yang
remang-remang, namun toko-toko dalam kota belum ada yang buka.
Setelah mengambil kudanya Tan
Ciok-sing terus mengepraknya kencang, baru saja terang tanah dia sudah tiba di
gardu diluar kota. Ternyata In San sudah menunggunya disana.
"Nah katakan, kenapa kau
bilang tidak menduga kalau aku sengaja mencarimu kemari?" In San
betul-betul menuruti adatnya, begitu bertemu lantas mengajukan pertanyaan
ulang. Apa boleh buat, terpaksa Tan Ciok-sing melontarkan isi hatinya: "Kukira
kau pergi ke Tayli lebih dulu."
"Untuk apa aku ke
Tayli?" In San tahu maksud orang, tapi sengaja dia bertanya.
Karena didesak sedemikian
rupa, tak mungkin Tan Ciok-sing menghindar lagi, katanya kemudian:
"Bukankan Siau-ongya dari keluarga Toan dari Tayli menginginkan kau
mengungsi kesana. Ibumu sudah meninggal, kukira..."
"O, kau kira setelah aku
yatim piatu, tiada orang yang menjadi tulang punggungku, tidak punya rumah
lagi, adalah pantas kalau aku mencari pelindung di rumah keluarga Toan begitu?"
"Bukan begitu maksudku.
Keluarga kalian sudah turun temurun punya ikatan yang intim, Toan-toako juga
sudah kangen padamu."
Tegak alis In San, katanya:
"Jadi dalam pandanganmu, aku ini perempuan yang tidak bisa melihat gelagat
dan tidak punya martabat?"
"O, tidak, nona In, kau
adalah pahlawan gagah kaum wanita, mana berani aku memandang rendah
dirimu?"
"Kenapa kau punya kesan
seburuk itu padaku? Memang Toan-toako baik terhadapku, kalau aku tidak punya
kerja, setelah peperangan ini berakhir mungkin aku bisa kesana menengoknya.
Tapi sekarang, jangan kata aku harus menuntut balas kematian ayah bunda, umpama
tidak, aku juga takkan sudi pergi ke Tayli. Bukankah tenagaku lebih bermanfaat
di markas besar Ciu-pepek yang memerlukan bantuan dan tenaga kaum muda seperti
kita?"
Lama Tan Ciok-sing bungkam
seribu basa, akhirnya dia tertawa menyengir: "Aku memang lugu, mungkin aku
salah omong, harap maaf dan jangan kau berkecil hati."
Tiba-tiba In San
berkata'dengan suara lirih: "Toan-toako baik terhadapku, tapi kau lebih
baik lagi terhadapku. Aku menghargai Toan-toako, aku lebih menghormatimu.
Jangan karena asal-usul kelahiranmu sebagai rakyat biasa lantas kau merasa
rendah diri, memang Toan-toako, keturunan bangsawan, tapi ketahuilah didalam
sanubariku, martabatmu kuanggap lebih tinggi dan lebih agung dari dia, kau
tidak akan asor dibanding dia."
Pertama kali ini In San
mencurahkan sikap dan isi hatinya, meskipun belum boleh dianggap sikap dan
penuangan rasa cintanya, tapi hal ini sudah cukup membuat jantung Tan Ciok-sing
berdetak dan jengah mukanya, tapi hatinya juga senang luar biasa. Lama sekali
baru Tan Ciok-sing angkat kepala dan berbicara: "Nona In, terima kasih
akan penghargaanmu terhadapku."
In San tersenyum, katanya:
"Tan-toako, kita senasib sepenanggungan, aku sudah memanggilmu Toako,
kenapa kau masih begitu sungkan kepadaku? Anggaplah aku sebagai adikmu?"
"Adik San, semalam aku
mencuri dengar diluar, tidak jelas kudengar seluruhnya, kalau tidak salah Liong
Bun-kong pernah menyinggung Tam Pa-kun dengan Ciang Thi-hu?"
"Betul, Liong bangsat itu
sudah tahu bahwa Tam Pa-kun pergi ke Kwi-Iin, dia menyuruh Ciang Thi-hu kesana
untuk membekuknya."
"Adakah dia juga
menyinggung It-cu-king-thian?"
"Agaknya tidak. Tapi, ya,
ada suatu hal sekarang kuingat, sayang aku terburu nafsu turun tangan."
"Soal apa?"
"Liong bangsat itu
menyerahkan secarik dañar kepada Ciang Thi-hu, didalam daftar itu tercantum
nama-nama kawan dan lawan mereka yang ada di Kwi-lin."
"O, daftar itu amat
berguna bagi kita. Kawan mereka adalah musuh kita, bila kita bisa merebut
daftar itu, kita bisa berhati-hati dan sikat mereka satu persatu."
In San berkata:
"It-cu-king-thian adalah tokoh kenamaan di Kwi-lin, kukira nama
It-cu-king-thian Lui Tin-gak pasti tercantum didalam daftar itu. Waktu itu Ciang
Thi-hu sedang memeriksa daftar itu, sayang aku buru-buru turun tangan, kalau
tidak mungkin dia bisa menyinggung It-cu-king-thian."
"Kalau Ciang Thi-hu sudah
menerima tugas itu dari Liong bangsat, cepat atau lambat pasti akan mengikuti
jejak kita mengejar ke Kwi-lin, semoga daftar itu tidak dibuang, kelak bila
ketemu dia, masih ada kesempatan kita merebutnya," demikian kata Tan
Ciok-sing.
"Setelah melontarkan
serangannya terakhir semalam, agaknya Ciang Thi-hu kehabisan tenaga dan luka
cukup parah, kalau dia berani datang ke Kwi-lin juga, dia pasti bukan
tandinganmu."
Sunguh-sungguh sikap Tan
Ciok-sing, katanya: "Gun-koan-it-cu-kang yang diyakinkan Ciang-Thi-hu
tidak boleh diremehkan. Dengan taraf latihannya sekarang, meski lwekangnya
menurun tiga bagian, aku tetap belum pasti dapat mengalahkan dia. Tapi bila
kita tetap Siang-kiam-hap-pik, kurasa lain pula persoalannya."
Lirih suara In San: "Lalu
apa pula yang kau kualirkan, aku tidak akan berpisah dengan kau. Kapan saja,
dimana saja Siang-kiam-hap-pik tetap boleh kita kembangkan."
Bukan kepalang rasa senang dan
terhibur hati Tan Ciok-sing, tanpa merasa mulutnya menyeletuk: "Setelah
berhasil menuntut balas, apakah kau juga takkan berpisah denganku?"
Jengah muka In San, sahutnya:
"Ilmu pedangku masih kuharap petujukmu, kalau kau tidak mengusirku, aku
akan tetap ikut padamu."
Kuda tunggangan mereka adalah
kuda yang dapat menempuh ratusan li sehari, kira-kira 10 hari kemudian, mereka
sudah mulai memasuki perbatasan Ouw-lan dan Khong-say, setelah berada di
karisidenan Hing-an, berarti mereka sudah berada di propinsi Khong-say.
Tampak aliran sungai besar
disini mulai bercabang dua, pemandangan nan permai dengan hawa nan sejuk.
Setelah menempuh perjalanan
sekian hari, maka mereka turun di pinggir sungai, membiarkan kuda minum air dan
makan rumput sepuasnya. Tan Ciok-sing dan In San juga duduk di tanah berumput
melepas lelah. Dua hari lagi Tan Ciok-sing akan tiba di tempat kelahiran entah
bagaimana perasaannya sekarang, senang, duka tapi juga lega, kalau dulu dia
seorang diri meninggalkan kampung halaman, sekarang kembali berduaan, maka
untuk melepas rasa rindu akan kampung halaman dan melimpahkan perasaan hati nan
suka dan duka ini, dia memetik harpanya.
In San asyik mendengarkan
sambil menunduk kepala, wajahnya tampak merah dan malu.
"Petikan harpa yang
bagus," tiba-tiba terdengar seorang memuji. Waktu Tan Ciok-sing angkat
kepala, dilihatnya dua ekor kuda dicongklang pesat di jalan raya ke arah sini.
Kedua penunggang kuda ini
adalah Hwesio dan Tosu. Hwesio itu yang berseru memuji. In San bersuara heran,
katanya lirih: "Hwesio ini dapat menikmati keindahan petikan harpamu,
kiranya dia juga seorang seniman."
Jarak masih cukup jauh, begitu
mendengar irama harpa Tan Ciok-sing, kedua orang ini segera mengeprak kuda
lebih pesat untuk mendengar lebih jelas dari jarak dekat. Terdengar Hwesio itu
berseru pula: "Anak muda, petikan harpamu amat bagus, coba petiklah sebuah
lagu lagi."
Tapi si Tosu malah mengerutkan
kening, katanya: "Kita harus menempuh perjalanan. Kukira cukup kau
menikmati sebuah lagu ini untuk dijadikan kenangan. Bukankah lebih baik?"
Hwesio itu tertawa, katanya:
"Kata-katamu ini mirip filsafat saja, Betul, anak muda ini belum tentu
sudi memetikkan sebuah lagu lagi, hayolah lanjutkan perjalanan."
Sambil mencongklang kudanya si
Hwesio agaknya masih menikmati irama harpa dengan asyiknya, malah di punggung
kuda kaki tangannya menari berjingkrak-jingkrak. Pada hal kuda itu sedang lari
pesat di jalan pegunungan yang naik turun. Mendadak tubuhnya itu mencelat
mumbul seperti dilempar ke atas.
Karuan In San menjerit kaget,
teriaknya: "Aduh, celaka."
Dengan gaya burung dara
jumpalitan si Hwesio dengan enteng meluncur turun dan duduk pula di punggung
kuda. Katanya tertawa: "Terima kasih akan perhatianmu nona, Toa Hwesio
takkan bisa jatuh." Tan Ciok-sing berdua berada di pinggir sungai,
sementara mereka mencongklang kuda di jalan raya jarak di antara mereka ada
satu li, tapi gelak tawa dan perkataan si Hwesio dapat didengar In San sejelas
orang bicara berhadapan, malah terasa pekak telinganya, karuan In San kaget,
pikirnya: "Latihan lwekang Hwesio ini, mungkin tidak lebih asor dari
Kim-to Cecu."
Tan Ciok-sing juga tertawa,
katanya: "Pandangan si Hwesio juga tajam, dia hanya lewat sambil lalu di
jalan raya, ternyata selintas pandang lantas tahu kalau kau perempuan menyamar
laki-laki."
Sayup-sayup mereka masih
sempat mendengar si Tosu berkata dengan tertawa: "Memangnya kau ini orang
beribadat macam apa, orang beribadat macammu ini seharusnya lepas dari segala
urusan duniawi, tapi kau justru terbius oleh irama harpa, bermulut besar
menganggulkan diri takkan bisa jatuh lagi?"
Hwesio itu tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Memangnya aku ini Hwesio sontoloyo, doyan arak
suka daging, siapa bilang aku ini Hwesio agung yang tulen?"
Lekas sekali bayangan
merekapun sudah tidak kelihatan lagi. Tan Ciok-sing berkata: "Hwesio dan
Tosu ini agaknya tokoh-tokoh yang punya bobot, kalau Hwesio itu mau menunggu
beberapa lama, aku sih sudi memetikkan sebuah lagu untuk dia."
In San berkata: "Bukankah
kau dengar mereka harus memburu waktu untuk menyelesaikan urusan penting? Sudah
cukup kita beristirahat, sudah saatnya kita berangkat."
Setelah berada di punggung
kuda lambat-lambat mereka congklang kudanya ke arah depan, belum jauh mereka
menempuh perjalanan, tiba-tiba dilihatnya dua ekor kuda dicongklang cepat
mendatangi dari depan. Kedua penunggangnya gendut kurus, yang gendut tinggi
lima kaki, perawakannya tambun seperti semangka. Yang kurus, tingginya ada
tujuh kaki lebih, kepala kecil leher panjang, tubuhnya mirip genter. Melihat
pasangan manusia yang lucu dan menggelikan ini tanpa terasa mereka tertawa
geli.
Si gendut segera berkata:
"Apa yang kau tawakan, geli karena aku segendut ini?"
"Karena geli aku tertawa,
tiada sangkut pautnya dengan kau," sahut In San.
"Hm. kau bohong."
Jilid 6
"Kak gendut, hayolah tak
usah cari perkara," tukas si kurus.
Si gendut tiba-tiba berkata:
"Kuda mereka jauh lebih baik dari tunggangan kita, waduh, kuda yang begitu
jempol, belum pernah aku melihat kuda sebagus ini."
Cepat sekali kedua kuda itu
mendatangi dan kedua pihak sudah saling berhadapan, diam-diam Tan Ciok-sing
bersiaga, betul juga begitu jarak kedua pihak semakin dekat, di kala kedua
penunggang kuda itu hampir melewati mereka, si gendut mendadak mengulur tangan
hendak merintangi lari kuda Tan Ciok-sing. Begitu kepala kuda tunggangan Tan
Ciok-sing tertekan, seketika dia meringkik dan berdiri dengan kaki belakangnya,
Namun dengan sigap Tan Ciok-sing sudah memukul dengan daya dorongan yang kuat,
serunya: "Apa kehendakmu?"
"Tidak apa-apa,"
seru si gendut tertawa tergelak-gelak, "ingin aku mencoba kekuatan daya
terjangan kudamu," di tengah gelak tawanya, kudanya itu sudah mencongklang
pergi. Si kurus tetap berada di sampingnya, omelnya: "Kak gendut, kenapa
selalu kau mengumbar tabiatmu yang jelek ini, suka mencari gara-gara. Memangnya
kau lupa kita sedang menunaikan tugas penting."
Si gendut tertawa, katanya:
"Tenaga pukulan bocah itu memang hebat, sayang kita sedang bertugas, kalau
tidak ingin aku berkenalan dan bersahabat dengan mereka," lekas sekali
merekapun telah pergi jauh.
Diam-diam In San melelet
lidah, katanya: "Besar sekali tenaga orang itu, dengan sekali tekanan di
punggung kuda, dia mampu menahan daya lari seekor kuda. Tan-toako, kau tidak
apa-apa bukan?"
Telapak tangan Tan Ciok-sing
masih kesemutan dan linu, katanya: "Tidak apa. Tapi kalau mengadu tenaga
pukulan, jelas aku bukan tandingannya. Tapi permainan tenaga dalam orang ini
ternyata sudah terkendali baik sekali, bisa bekerja sesuai keinginan
hati."
"Darimana kau bisa tahu,
kulihat tubuhnya juga tergeliat di punggung kuda."
"Telapak tangannya
menekan kuda, sehingga kuda yang lagi lari berhasil ditekannya berhenti, tapi
kudaku ini sedikitpun tidak terluka, kepandaian semacam ini jelas tidak mampu
kulakukan."
In San sekarang juga cukup
berpengalaman, diam-diam diapun kaget, katanya: "Sungguh aneh dan janggal,
dalam jangka waktu belum ada sejam, beruntun kita bersua empat jagoan silat
kosen."
Dengan rasa ragu dan curiga
mereka terus melanjutkan perjalanan ke depan. Beberapa kejap lagi, terdengar
ringkik kuda di kejauhan sana, tampak dua ekor kuda lari mendatangi pula
penunggang kudanya juga orang-orang aneh yang menimbulkan rasa heran dan kaget.
Dikatakan "aneh"
bukan lantaran tampang kedua orang ini terlalu istimewa, tapi adalah dandanan
mereka. Kedua orang ini mengenakan pakaian rombeng, seorang memanggul kampak,
seorang lagi membawa kepis yang terikat di pinggang, tangannya memegang joran,
joran di tangannya sering digunakan sebagai pecut. Kalau kedua orang ini tidak
menunggang kuda umumnya orang akan mengira mereka adalah tukang kayu dan
pencari ikan yang pulang dari gunung dan sungai. Selintas pandang orang juga
akan tahu bahwa kuda tunggangan mereka pilihan, malah pelananya tampak mewah
dan tersulam indah sekali, jelas penebang kayu dan pengail ikan biasa takkan
mungkin memilikinya. Bahwa tukang penebang kayu dan seorang pengail menaiki
kuda jempolan lagi, bukankah ini agak janggal dan aneh.
Setelah agak dekat dan melihat
jelas mereka, pengail ikan itu bersuara heran dan kaget, katanya: "kuda
yang bagus dan gagah, penunggangnyapun lebih tampan lagi," serta merta
matanya melirik ke arah In San, kembali mulutnya bersuara aneh, katanya seperti
untuk didengar sendiri: "Kulihat bocah ini agak janggal," agaknya dia
juga melihat penyamaran In San, tahu bahwa dia adalah anak perempuan.
Diam-diam In San menggerutu
dan mengumpat dalam hati: "Memangnya kau sendiri yang janggal," baru
saja dia pernah merasakan pelajaran dari pengalaman yang terdahulu, maka kali
ini dia tidak berani banyak usil.
Tapi jawaban penebang kayu
justru merupakan jawaban dalam hati In San juga: "Dalam pandangan orang
lain, kau dan aku justru dipandangnya sebagai mahluk aneh. Kenapa kau peduli
mereka itu gagah, tampan atau buruk rupa, hayolah."
"Kau tidak usah
kuatir," ucap pengail, "aku tidak akan seperti Bui samko (kak gendut
ketiga) yang suka mencari perkara itu."
Diam-diam Tan Ciok-sing
membatin: "Kiranya mereka serombongan dengan kedua orang gendut dan kurus
yang jalan duluan tadi," walau pengail ini sudah berkata tidak akan
mencari gara-gara tapi Tan Ciok-sing berlaku waspada.
Cepat sekali kedua pihak sudah
mendatangi semakin dekat, celakanya Tan dan In berdua kebetulan tiba di jalan
pegunungan yang sempit, hanya cukup tiba untuk jalan seekor kuda. Baru saja Tan
Ciok-sing hendak menyingkir ke gundukan tanah yang lebih tinggi, kedua
penunggang kuda ini sudah mencongklang datang lebih dulu. Agaknya mereka juga
punya maksud yang sama, kuatir saling bertumbukan dengan Tan Ciok-sing berdua.
Tan Ciok-sing menghela napas lega, tapi waktu dia memandang ke depan, diam-diam
dia merasa kuatir bagi kedua orang itu.
Di lereng bukit di sepanjang
jalan sempit itu tumbuh deretan pohon pendek yang rimbun dan dahannya bercabang
simpang siur, seakan-akan banyak lengan orang sengaja diulur keluar untuk
merintangi jalan orang, jelas peluang untuk lewat amat sempit. Dalam keadaan
seperti ini, jalan kaki masih leluasa lewat, tapi menunggang kuda salah-salah
bisa terjungkel jatuh karena kesabet dahan, paling ringan muka cecel dowel,
celaka kalau leher putus atau kepala bocor, maka cara yang paling baik adalah
turun dari punggung kuda, menyibak dahan-dahan pohon serta menuntun kuda, Tapi
kedua penunggang kuda ini bukan saja mencongklang kudanya, merekapun tidak mau
turun.
Di kala Tan Ciok-sing merasa
kuatir, tiba-tiba dilihatnya penebang kayu mengayun kampak yang dipanggulnya,
angin menderu kampak bekerja laksana baling-baling, sementara sang kuda masih
terus membedal kencang. Dahan-dahan pohon yang melintang jalan tampak protol
beterbangan, setelah kudanya mencongklang lewat baru dahan-dahan yang terbabat
beterbangan itu berhamburan jatuh, karuan Tan Ciok-sing melongo menyaksikan
pertunjukan yang menakjubkan ini.
Kalau penebang kayu membuka
jalan dengan caranya yang lucu secara kekerasan ini, adalah pengail ikan juga
menggunakan caranya pula yang aneh. Terdengar mulutnya mengeluh terus
berteriak: "Aku berada di belakangmu, kutungan dahan yang berhamburan ini,
memangnya sengaja kau ingin kepalaku bocor?" mendadak tubuhnya melejit
jumpalitan di atas punggung kuda, joran di tangannya yang panjang itu mendempel
sebatang pohon setinggi beberapa tombak, tubuhnya segera terayun seperti pemain
akrobatik bermain ayunan, secara beruntun dia berjumpalitan turun naik ke
depan, lekas sekali tubuhnya sudah melesat ke depan melampaui daerah yang
berbahaya ini, sementara kudanya tetap mencongklang ke depan. Begitu dia
menarik jorannya, di tengah udara dia jumpalitan sekali lagi lalu melayang
turun dan duduk tegak pula di punggung kudanya.
In San berkata lirih:
"Joran itu adalah senjatanya yang ternama, benang pancingnya itu entah
terbuat dari apa, punya daya tahan sekuat itu."
"Kau tahu siapa
mereka?" tanya Ciok-sing.
"Entah," sahut In San,
"tapi waktu kecil pernah aku mendengar cerita ayah. Di pinggir sungai
Wi-cui terdapat seorang pengail dan penebang kayu, mereka adalah tokoh
pengasingan dari bulim, ayah juga tidak tahu siapa nama mereka, mungkin kedua
orang inilah."
"Wi-cui berada di
Kam-siok yang mengalir masuk ke Siam-say. Kalau mereka tinggal di pinggir
Wi-cui, kalau penduduk Kam-siok pasti kelahiran Siam-say. Untuk apa mereka
berada di tempat nan jauh ini?"
In San tertawa, katanya:
"Mana aku bisa tahu Tapi satu hal dapat kuduga."
"Hal apa?"
"Kira kira sebelum dua
jam lagi, di tengah jalan nanti kita bakal ketemu dua orang kosen pula?"
"Lho, dari mana kau bisa
tahu?"
"Kena tidak tebakanku,
biarlah sebentar lagi kita buktikan, tunggu saja."
Tan Ciok-sing setengah
percaya, tapi hatinya masih ragu-ragu, mereka terus melanjutkan perjalanan ke
depan. Betul juga belum ada setengah jam, dari depan tampak mendatangi pula dua
penunggang kuda. Penunggangnya adalah laki perempuan, usianya masih muda baru
dua puluhan. Pakaian perlente kudapun jempolan, yang laki-laki gagah dan
tampan, yang perempuan ayu jelita. Diam-diam Tan Ciok-sing memuji dalam hati.
Kalau Tan Ciok-sing
memperhatikan mereka, merekapun memperha-tikan Tan Ciok-sing. Waktu itu mereka
sama berjalan di jalan raya, kuda kedua pihak juga dilarikan sesuka hati.
Setelah jarak semakin dekat, kedua muda mudi tampak memperlambat lari kudanya,
setelah lewat di samping mereka ternyata tidak menunjukkan aksi apa-apa.
Kira-kira dalam jarak
sepanahan kemudian, terdengar laki-laki itu berkata lirih: "Harpa yang
dipanggul pemuda itu kemungkinan adalah barang antik."
Tergerak hati Tan Ciok-sing,
lekas dia tarik kendali memperlambat jalan kudanya, diam-diam dia pasang kuping
mendengarkan percakapan mereka. Setelah meyakinkan lwekang ajaran Thio tan hong
pendengaran kupingnya tajam luar biasa, dalam jarak seratus tangkah, meski
orang bicara bisik-bisik juga sayup-sayup dapat didengarnya. Pada hal jarak
kedua pihak sekarang belum ada seratus langkah.
"Darimana kau tahu?"
tanya yang perempuan.
Yang lelaki berkata:
"Kotak itu terbuat dari kayu cendana yang sudah berusia ribuan tahun,
warnanya memang sudah butut dan luntur, bagi yang tidak tahu mungkin disangka
kayu busuk, bagi pecinta seni baru akan tahu bahwa kotak itu betul-betul antik
dan tak ternilai harganya. Coba kau pikir, kalau kotaknya saja sebagus itu maka
harpa di dalamnya pasti lebih antik lagi. Jikalau rekaanku tidak meleset,
kemungkinan yang berada didalam kotak itu adalah Kiau-bwe-khim peninggalan Coa
Pah di jaman dynasti Tang-han dulu."
Harpa warisan keluarga Tan
Ciok-sing ini memang Kiau-bwe-khim, demikian pula kotak itu memang terbuat dari
kayu cendana yang sudah ribuan tahun. "Pemuda ini ternyata pandai menilai
barang, seorang ahli barang-barang antik," diam-diam Tan Ciok-sing
membatin.
Perempuan itu tertawa,
katanya: "Aku tahu maksudmu, bukankah kau ingin mendengar suara petikan
harpa antik ini? Sayang kita harus menempuh perjalanan."
"Memang," ujar si
pemuda, "orang yang bisa memiliki harpa sebagus itu, pasti dia bukan orang
sembarangan, sayang kita sedang bertugas, tiada kesempatan berkenalan dengan
dia." Sampai disini jarak mereka sudah lebih dari seratus langkah,
pembicaraan selanjutnya sudah tidak terdengar lagi.
Maka terdengarlah alunan
tiupan suara seruling dari kejauhan, suaranya yang melengking tajam laksana
pekik bangau di angkasa raya, lembut dan jernih laksana bergema di udara.
Bayangan kedua orang itu sudah tidak kelihatan, tapi mereka masih mendengar
alunan seruling nan merdu. Dapatlah diduga, karena mereka bicara soal harpa
antik, maka timbul hasrat si pemuda meniup serulingnya, mungkin juga karena
atas permintaan gadis seperjalanan itu.
"Tiupan seruling pemuda
itu bagus bukan?" ucap In San.
"Bagus sekali.
Pengetahuannya mengenai harpa, kurasa belum pernah kutemui seorang ahli seperti
dia."
"Belajar harpa lebih
sukar dari seruling, mungkin dia tidak berhasil belajar harpa lalu belajar
meniup seruling. Sayang masing-masing pihak punya urusan sendiri, kalau tidak
harpa dan seruling kalian dapat berpadu."
"Pengetahuan pemuda itu
mengenai harpa cukup mengejutkanku, tapi kaupun mengejutkan aku pula. Adik San
dari mana kau pernah belajar meramal?"
"Kedua orang itu
terhitung jago kosen tidak?" tanya ln San.
"Jago kosen itu luas
artinya, beragam pula macamnya, walau aku tidak tahu berapa tinggi rendah
Kungfu kedua orang ini, tapi aku yakin mereka memiliki kepandaian yang cukup
baik. Tapi lepas dari soal Kungfu, bahwa pemuda itu selayang pandang saja
lantas mengenali Kiau-bwe-khim milikku ini dia sudah termasuk kosen dalam
bidang ini. Adik San, kenapa setengah jam sebelumnya tadi kau sudah lantas
dapat menduga bahwa kita bakal bertemu lagi dengan kedua orang kosen ini?"
"Apakah kau tahu adanya
peradatan yang dinamakan Pat-sian-ing-khek?"
"Maaf pengetahuanku tentang
peradatan terlalu cetek, apa itu Pat-sian-ing-khek?"
"Itulah suatu upacara
besar yang agung dan terhormat bagi penyambutan seorang tamu yang sering
terjadi di kalangan Kangouw. Tuan rumahnya kalau bukan Ketua dari suatu Pay,
Pang atau Hwe, pasti seorang angkatan tua yang tersohor dan mulia. Tapi pamor
sang tamu yang diundang adalah lebih terhormat dan kedudukannya lebih tinggi
dari tuan rumah sendiri. Peradatan seperti ini kadang kala dinamakan
Pat-sian-sau-ing sam-pek-li (delapan dewa menyambut tamu tiga ratus li)."
Tan Ciok-sing manggut,
katanya: "O, jadi delapan jago kosen yang pernah kita pergoki tadi kiranya
adalah delapan dewa yang diartikan dalam peradatan Pat-sian-ing-khek ini? Entah
mereka mewakili tokoh besar mana untuk menyambut tamu agung ini?"
"Betul, delapan orang ini
adalah petugas yang. menyambut tamu agung itu. Menurut peraturan mereka terbagi
empat pasang dari tempat jauh untuk menyambut tamu. Kita sudah bertemu enam
orang, kuduga masih ada dua lagi di belakang."
Diam-diam Tan Ciok-sing kaget,
katanya: "Delapan orang ini semua adalah jago-jago kosen, lalu siapakah
tuan rumahnya, begini banyak jago kosen yang rela menjadi pembantunya?"
"Kau salah. Delapan orang
ini belum tentu pasti anak buah sang tuan rumah itu, apalagi kau artikan ditugaskan,
itu tidak benar."
"Memangnya apa hubungan
mereka dengan si tuan rumah?"
"Kemungkinan merekapun
para tamu yang datang, demi menunjukkan rasa hormat dan mau memberi muka kepada
si tuan rumah dan tamu yang harus disambut itu, maka mereka suka rela
menampilkan diri sebagai penyambut tamu."
"Adik San, banyak juga
urusan yang kau ketahui," puji Tan Ciok-sing.
"Bukan aku yang tahu
banyak, semua ini kudengar dari cerita ayah. Dulu waktu aku berusia tiga tahun,
di rumahku pernah juga terjadi keramaian adanya peradatan Pat-sian-ing-khek
(delapan dewa menyambut tamu) ini. Tahun itu kakek merayakan ulang tahunnya
yang ke 61, murid tertua Thio Tayhiap Thio Tan-hong yaitu cikal bakal
Thian-san-pay Toh Thian-tok juga datang, Kim-to Cecu juga pernah mewakili ayah
menjadi salah satu dari delapan dewa itu menyambut kedatangannya. Sayang, waktu
itu aku masih kecil, tahunya hanya suka melihat keramaian. Lika liku sebenarnya
dari tata cara itu baru kuketahui dari cerita ayah setelah aku menanjak dewasa,"
sampai disini mendadak dia cekikikan.
Tan Ciok-sing melongo,
tanyanya: "Adik San, apa yang kau tertawakan?"
"Thio Tayhiap adalah
famili yang lebih tua dua angkatan dari aku, kau adalah muridnya, jadi kau
lebih tinggi seangkatan dari aku. Ciangbunjin Thian-san-pay Toh Thian-tok
adalah Suhengmu. Kalau dahulu untuk menyambut kedatangan Toh Thian-tok,
keluargaku menggunakan upacara Pat-sian-ing-khek, pada hal kau adalah Sutenya,
kedudukan setingkat, sayang sekali waktu kau datang ke rumahku, waktunya tidak
tepat, bukan saja tiada yang menyambutmu, malah hampir saja kau dihajar
habis-habisan."
Tan Ciok-sing tertawa geli,
katanya: "Masa aku dibanding Toh-suheng? Aku adalah murid penutup Suhu,
jauh sebelum aku berguru Toh-suheng sudah menjadi cikal bakal dari suatu
perguruan besar."
"Untung peraturan Kangouw
memang cukup bebas dan menurut kondisi masing-masing, kalau tidak..."
"Kalau tidak
kenapa?"
Merah muka.In San, tapi dia
tidak mau bicara lagi. Ternyata dia berpikir begini: "Kalau harus menurut
adat dan perbedaan angkatan, selanjutnya aku takkan boleh bergaul lagi dengan
kau."
Tan Ciok-sing juga tidak
mendesak lebih lanjut, dia diam saja sambil menunduk, seolah ada sesuatu yang
sedang dipikirkan.
"Eh, apa yang sedang kau
pikirkan?" tanya In San.
"Tadi kau bilang delapan
dewa menyambut tamu tiga ratus li? Dari Kwi-lin sampai Ling-kik kira-kira dua
ratus li, bila diteruskan memasuki daerah Ouw-lam, kira-kira memang mencapai
tiga ratusan li."
"O, jadi maksudmu mau
bilang bahwa si tuan rumah itu kemungkinan bertempat tinggal di Kwi-lin?"
"Aku hanya menduga saja.
Tapi tokoh besar di Kwi-lin yang setimpal menggunakan peradatan
Pat-sian-ing-khek hanya It-cu-king-thian Lui Ting-gak saja."
"Aku tahu maksudmu.
Dahulu Lui Tin-gak membakar rumah lalu tinggal pergi, pasti ada sebabnya. Kini
berita tersebar luas bahwa dia akan kembali, tapi kuduga kedatangannya kembali
ke rumah ini pasti tidak ingin disiarkan. Kalau tidak buat apa dahulu dia harus
menghilang secara misterius?"
"Maka itu, mau tidak mau
aku jadi curiga siapakah si tuan rumah ini, sungguh aku tidak habis
mengerti."
"Besok juga kita tiba di
Kwi-lin, teka teki ini pasti terjawab disana."
Dirundung berbagai pertanyaan
itu kedua orang ini melanjutkan perjalanan, memang setelah kejadian Pat-sian
ini, selanjutnya mereka tidak pernah bertemu dengan "jago kosen"
lagi. Kuda mereka lari kencang, kira-kira menjelang lohor hari kedua, kota
Kwi-lin yang megah dan paling tersohor di bilangan selatan ini sudah kelihatan
di kejauhan.
Sebelum matahari terbenam mereka
sudah tiba di Kwi-lin. Kata
Tan Ciok-sing: "Kita cari
penginapan diluar pintu timur bagaimana? Rumahku dulu terletak di bawah
Cit-sing-giam diluar pintu timur itu."
"Kau tidak usah tanya
aku, kembali ke kota kelahiranmu, kau adalah tuan rumah, segalanya terserah kau
yang mengatur."
Tan Ciok-sing menemukan sebuah
hotel kecil yang terletak di samping Hoa-kio diluar pintu timur, empat tahun
yang lalu, setiap hari Tan Ciok-sing pasti lewat di depan hotel ini memanggul
kepis, dia masih kenal baik pemilik hotel ini, tapi dia sudah tidak mengenalnya
lagi, maklum dulu dia hanyalah bocah kampung yang kecil dan berpakaian rombeng,
sudah tentu pemilik hotel ini tak pernah memperhatikan dirinya. Dengan berseri
tawa pemilik hotel ini menyambut kedatangan mereka, In San minta dua kamar yang
berdampingan.
Setelah makan malam, haripun
sudah petang. Tan Ciok-sing ajak In San jalan-jalan ke Hoa-kio (jembatan
kembang) terus menuju ke Po-tho-san. Cit-sing-giam terletak di kaki Po-tho-san.
Sementara rumah tinggalnya dulu berada di bawah Cit-sing-giam.
Setiba di letak rumahnya dulu,
tampak puing-puing rumahnya sudah tak karuan, rumput liar menjadikan halaman
rumahnya semak-semak belukar. Menghadapi puing-puing rumahnya, terbayang dahulu
kakeknya mengajarkan memetik harpa, tanpa terasa hati duka nestapa, tanpa kuasa
air mata bercucuran.
Dengan pilu In San berkata
lirih: "Rumahmu hancur, rumahkupun berantakan. Tapi kita masih bisa
membangun lagi sebuah rumah, aku amat suka tempat ini, kelak kita bisa
mendirikan pula sebuah rumah di tempat yang lama ini."
Berdebur jantung Tan
Ciok-sing, katanya: "Apa betul kau punya keinginan itu?"
In San manggut-manggut.
"Baiklah kalau begitu," teriak Tan Ciok-sing tertawa, "Adik San,
banyak terima kasih padamu?"
"Terima kasih apa?"
"Terima kasih bahwa kau
sudi membangun sebuah rumah pula bersamaku."
Merah muka In San selanjutnya
dia bungkam.
"Patah tumbuh hilang
berganti, yang lama rusak baru akan diganti yang baru, tak perlu kita terlalu
berkeluh kesah di tempat ini."
Baru saja dia hendak ajak
pergi, tiba-tiba In San berkata: "Eh, tempat aku berdiri ini, kenapa
tanahnya terasa lunak."
Waktu Tan Ciok-sing
menyingkirkan pecahan genteng dan sisa kayu terbakar, tampak disitu, ada
bekas-bekas galian.
Setelah diperiksa dengan
teliti, bekas-bekas galian itu ternyata ada beberapa tempat. Sejenak Tan
Ciok-sing menepekur, katanya: "Agaknya dalam dua tiga hari yang lalu, ada
orang pernah datang kemari."
Waktu In San membongkar tanah
bekas galian, di dalamnya ternyata memang berlobang, agaknya setelah menggali
tanah orang itu hanya menguruknya dengan pecahan genteng dan sisa-sisa tanah di
sekitarnya, supaya kelihatan tertutup saja, hatinya heran, katanya: "Orang
itu menggali tanah di bekas puing-puing ini apa sih kerjanya?"
Sesaat pula Tan Ciok-sing
berpikir, katanya kemudian: "Jelas dia sedang mencari kotak milik ayahmu
itu, didalam kotak itu tersimpan ajaran ilmu goloknya dan Kiam-boh karya
Suhuku."
"Buku pelajaran ilmu
golok itukan sudah kau kembalikan kepadaku."
"Tapi orang itu tidak
tahu."
"Kalau begitu dia bukan
utusan bangsat she Liong itu? keponakan keparat she Liong itu pernah merebut
kotak itu, dia kan tahu akan hal ini."
"Betul, kemungkinan
rombongan orang lain.
Kemungkinan mereka tidak tahu bahwa rumah ini aku sendiri yang membakarnya.
Mereka kira aku ikut mati terbakar didalam rumah."
"Kalau demikian, aku
yakin mereka pasti akan datang pula. Karena mereka hanya menggali beberapa
tempat ini, belum lagi membongkar puing-puing didalam rumah itu."
"Marilah kita pergi ke
pusara ayahmu dan kakekku, setelah kita memindahkan tulang belulang beliau,
nanti kentongan ketiga kita kemari lagi." Tan Ciok-sing sudah siapkan dua
guci ukuran sedang untuk tempat abu.
"Betul, setelah selesai
mengerjakan urusan ini, kembali dulu ke hotel. Kentongan ketiga nanti diam-diam
kita kemari dan menunggu disini. Aku ingin tahu siapa mereka."
Hari sudah semakin gelap. Tan
Ciok-sing mempercepat langkah membawa In San ke belakang gunung, di suatu
tempat yang sepi dan sembunyi, sekelilingnya adalah batu karang yang
berserakan, kebetulan di tengah-tengah lingkaran batu-batu karang ini terdapat
sebidang tanah datar dan kosong, hanya Ciok-sing saja yang tahu akan tempat
ini.
Kata Tan Ciok-sing:
"Malam itu secara tergesa-gesa aku mengebumikan kakek dan ayahmu di tempat
ini, tak lama kemudian lantas kudengar Tam Tayhiap dikejar oleh kawanan
berandal."
Hati sedih air matapun
bercucuran, In San berkata: "Kematian ayah terlalu mengenaskan, tapi aku
tidak tahu. Baru sekarang aku dapat kemari bersembahyang. Tan-toako, banyak
terima kasih padamu. Lebih menyedihkan lagi kakekmu ikut ajal karenanya."
"Jenazah mereka
kukebumikan di satu tempat, tapi aku ada memberi tanda, takkan bisa keliru,
lalu dia memasuki sela-sela batu, lompat sana putar sini turun naik sekian lamanya,
sembari jalan dia memberi petunjuk kepada In San, tak lama kemudian merekapun
tiba di tempat tujuan. Begitu tiba di tanah lapang, pandangan kedua orang
seketika sama terkesima.
Hari memang sudah petang, tapi
mentari yang terbenam masih memancarkan sisa cahayanya, maka jelas sekali
kelihatan di tanah lapang ini terdapat dua gundukan tanah sebagai kuburan.
Tan Ciok-sing hampir tidak
percaya pada apa yang disaksikan ini, lekas dia memburu maju serta melihat
lebih jelas, ternyata betul kedua kuburan ini memang adalah pusara kakeknya dan
ayah In San.
Kedua pusara ini dibangun dan
dipelihara baik sekali, di depannya malah dipasang batu nisan lagi, batu nisan
di sebelah kiri bertuliskan "Pusara pendekar besar In Hou" sementara
batu nisan sebelah kanan berukir huruf-huruf "Pusara ahli harpa Tan
Hou-lu."
Malam itu Tan Ciok-sing
mengebumikan jenazah kedua orang secara sederhana tanpa layon pula, karena
tergesa-gesa dia hanya memberi tanda tertentu saja terus melarikan diri. Tanda
yang dibuat dulu sudah tiada, tapi kuburan disini telah dibangun sebaik ini.
"Siapakah yang berhati sebaik ini, sudi membangun pusara ini? Memangnya
aku sedang mimpi?" waktu dia gigit jari rasanya sakit, jelas ini bukan
mimpi.
In San bertanya dengan suara
lirih: "Nama Tan Hou-lu yang terukir di atas nisan itu, apakah
kakekmu?"
"Ya, kakek menamakan
dirinya Khim-ang (Ki Harpa), tapi orang lain memanggilnya Sian-khim (Dewa
Harpa) tapi nama aslinya adalah Hou-lu. Nama ini dipakai di waktu masih muda,
jarang yang tahu akan nama ini. Akupun tidak diberi tahu. Suatu hari aku
membalik buku pelajaran memetik harpa karya kakek, kulihat di atas buku ada
tertera cap namanya, setelah kutanyakan baru aku tahu itulah nama aslinya yang
sudah lama tak terpakai."
"Kalau demikian, orang
yang membangun pusara ini pasti adalah kawan dekat kakekmu."
"Betul, kalau tidak bisa
tahu nama asli kakekku."
"Lalu siapa gerangan
orang itu menurut rekaanmu?"
"Aku tidak tahu. Aku
hanya tahu kakek punya seorang kenalan lama bernama Khu Ti. Khu Thi ini dulu
pernah sekolega bersama kakekmu didalam pasukan Gi-Iim-kun."
"Aku juga tahu akan orang
ini, ayah pernah bicara tentang dia kepadaku. Tapi dia sudah lama menghilang
dari kalangan Kangouw."
Tan Ciok-sing lantas ceritakan
pertemuannya dengan Khu Ti di kedai minum serta pertolongan orang akan dirinya
waktu dikeroyok Huwan bersaudara. Sebetulnya dalam benaknya sudah membayangkan
seseorang, tapi orang ini sejauh ini masih merupakan tanda tanya bagi
sanubarinya, entah dia kawan atau lawan, karena itu hal ini tidak ingin dia
bicarakan dengan In San.
In San berkata: "Semula
aku sudah ingin memindah tulang belulang ayah kembali ke kampung halaman, tapi
rumahku di Tay-tong terbakar habis, syukur ada orang yang baik hati
membangunkan pusara ini, biarlah beliau selanjutnya beristirahat selamanya
disini saja. Tan-toako, bagaimana menurut pendapatmu?"
"Semasa -hidup kakek
senang tinggal di tempat ini, aku kembali hanya ingin memperbaiki pusaranya ini
dan sembahyang saja. Lebih baik kalau kita tidak usah bcrsusah payah
lagi."
"Sayang kita tidak tahu
siapa orang itu, sukar kita menyampaikan terima kasih padanya, hal ini biar
kita tunda dulu untuk membalas kebaikannya," teringat ayah bunda sudah
tiada, tanpa kuasa In San berlutut dan menyembah di depan pusara ayahnya serta
menangis gerung-gerung. "Ayah, ada satu hal perlu kuberitahu kepadamu, ibu
sudah insaf dan mengakui kesalahannya dan kembali ke rumah keluarga In kita.
Dia meninggal dalam pelukan putrimu, sayang jaraknya jauh, maka penguburan
bersama kemari biar kutunda untuk beberapa lama lagi. Tapi ayah, inilah
kejadian yang menimbulkan penyesalan paling besar di masa hidupmu, kini
segalanya sudah kujelaskan, semoga di alam baka hatimu terhibur dan
tentram," begitulah sambil terisak-isak In San memanjatkan doa kepada ayahnya.
Tan Ciok-sing tidak menangis,
tapi rasa duka takkan terlampias meski dia menangis gerung-gerung. Dia berlutut
di depan pusara kakeknya lalu harpa warisan dia keluarkan katanya: "Kek,
sebelum mangkat, engkau mengajarkan Khong-ling-san kepadaku, sekarang biarlah
kupetik lagu itu untuk kau dengar."
Waktu itu hari sudah
betul-betul petang, kaum pelancongan jelas sudah sama-sama pulang tak mungkin
ada orang masih berada di sekitar situ. Maka Tan Ciok-sing tidak perlu kuatir
bila petikan harpanya didengar orang, setelah menyetem senarnya, mulailah dia
memetik lagu Khong-ling-san.
Lagu bagian depan dari
Khong-ling-san adalah irama yang riang gembira, perasaan Tan Ciok-sing diliputi
rasa kenangan di masa kecilnya yang hidup senang, maka pantulan irama harpanya seperti
menggambarkan makna
kebahagiaan keluarga,
seolah-olah sekeluarga berkumpul menari menyanyi dengan suka ria sambil
bertepuk dan bersorak. In San yang masih sesenggukan tanpa terasa menyeka air
mata serta mendengarkan dengan seksama.
Di kala dia mendengarkan
dengan penuh perhatian, di kala irama Khong-ling-san hampir berganti nada,
mendadak terdengar suara "Crang creng" dari petikan senar gitar yang
menusuk pendengaran, sehingga ritme-ritme Khong-ling-san yang dibawakan oleh
petikan harpa Tan Ciok-sing menjadi kacau. Keruan Tan Ciok-sing kaget, segera
dia menghentikan mainannya.
Terdengar suara seorang yang
seperti dikenalnya berkata: "Eh mungkin Tan Khim-ang belum mati. Kecuali
Ki Harpa itu siapa pula yang bisa memetik harpa sebagus ini?"
Seorang lagi berkata:
"Para saudara Tok-liong-pang ada yang menyaksikan sendiri kematian
Khim-ang, hal ini jelas takkan salah," suara orang ini juga seperti pernah
didengarnya entah dimana.
Orang ketiga malah membentak:
"Siapa memetik harpa disini, hayo lekas keluar," suaranya juga
seperti sudah dikenal.
Ternyata dihadapan mereka
hanya tampak batu-batu gunung yang berserakan serta berlapis-lapis, hakikatnya
mereka tidak tahu bila di antara sela-sela batu yang berserakan itu ada jalanan
yang bisa tembus kedalam, sudah tentu tak terbayang juga oleh mereka kalau di
tengah batu berserakan itu berbeda pula keadaannya.
Orang keempat terdengar
berkata: "Kau bilang kuburan Tan Khim-ang dan In Hou ada disini, kenapa
tidak kelihatan?"
Orang kelima menjawab:
"Aku dengar dari mulut seorang sanak keluarga Lui, tapi dia juga tidak
tahu letaknya yang tepat, dia hanya tahu berada di sekitar daerah ini."
Suara kedua orang masih asing
bagi pendengaran Tan Ciok-sing.
Orang yang bicara pertama tadi
berkata pula: "Suara harpa kumandang dari arah sini maka pemetik harpa itu
pasti ada di sekitar sini, hayo kita geledah."
Seketika Tan Ciok-sing
teringat akan suara orang ini, serta merta matanya mencorong membayangkan nafsu
membunuh.
"Siapakah mereka?"
tanya In San lirih.
Tan Ciok-sing berbisik di
pinggir telinganya: "Musuh-musuh kita. Dua orang terakhir aku tidak tahu
siapa dia. Yang bicara pertama tadi adalah Thi-bi-pa Siang Po-san, bersama Le
Khong-thian, hari itu mereka menjebak dan membokong ayahmu di Cit-sing-giam.
Tiga tahun lalu Le Khong-thian sudah mati di tangan Suhu. Orang kedua adalah
Thi-ciang Siansu, murid murtad dari Siau-lim, gelarnya yang semula adalah
Ciau-khong. Orang ketiga adalah kepala brandal yang pernah kulabrak di
Ang-wa-poh, bernama Phoa Lat-hong, Kuda putih milik Kanglam Lihiap Ciong
Bin-siu dulu pernah dibegal olehnya, belakangan berhasil kurebut kembali."
Terdengar orang keempat tadi
membentak: "Kusuruh kau menunjuk jalan, kenapa masih berdiri saja?"
Dengan suara gemetar dan
tergagap orang kelima menjawab: "Thi pangcu, kau, ada yang tidak kau
ketahui..."
Yang dipanggil Thi-pangcu
berkata: "Apa yang tidak kuketahui?"
"Menurut cerita orang tua
dari keluarga Lui itu, It-cu-king-thian pernah mengeluarkan perintah larangan,
siapa berani merusak atau membongkar kuburan In Hou dan Tan Khim-ang, dia
bersumpah akan membunuhnya. Siapa saja sebelum memperoleh izinnya dilarang
berada di sekitar sini, kalau sampai diketahui kedua kaki orang itu akan
dipatahkan. Jangan kata aku memang tidak tahu dimana letak kuburan itu, umpama
tahu, aku, aku..."
Thi-pangcu itu menjengek:
"Kau tidak berani menunjukan tempatnya kepada kami, begitu?"
Orang kelima itu menjawab
takut-takut: "Kau orang tua tahu, kepandaianku macam cakar ayam ini betapa
berani mencari perkara kepada It-cu-king-thian. Aku hanya bisa membawa kalian
sampai disini, kalau mau menggeledah dan mencari silakan cari sendiri. Aku
belum menginjak lingkaran kuburan itu, berarti aku belum melanggar larangan
It-cu-king-thian."
"Gentong nasi,"
damprat Thi-pangcu itu. "Baiklah, kau tidak berani cari perkara pada It-
cu-king-thian, lekas kau kembali saja, tak perlu kau bantu kami. Aku justru
ingin cari gara-gara pada It-cu-king-thian. Hm, It-cu-king-thian dan Tam Pa-kun
telah membunuh Engkohku, dendam sakit hati ini aku bersumpah akan
membalasnya."
Mendengar sampai disini Tan
Ciok-sing lantas paham, katanya lirih: "Orang keempat ini adalah pejabat
Pangcu baru dari Tok-liong-pang. Pangcu yang lama bernama Thi Ou. Waktu Tam
Tayhiap datang terlambat dalam perjanjiannya dengan ayahmu, dia terjebak dan
dibokong oleh kawanan Tok-liong-pang di Cit-sing-giam, waktu itu
It-cu-king-thian bersama mereka. Kejadian lebih lanjut waktu itu tidak
kusaksikan, tapi dari nada Thi-pangcu yang satu ini, agaknya Thi Ou malah
dibunuh oleh It-cu-king-thian dan menolong Tam Tayhiap."
"It-cu-king-thian adalah
pendekar besar yang dipercaya oleh ayah bundaku, kini kau dengar sendiri
pembicaraan mereka, tentunya rasa curigaku terhadapnya tidak beralasan
lagi?" lalu dia menambahkan pula. "Jadi orang kelimapun sudah dapat
diterka, dia penduduk setempat yang kebetulan kenal dengan seorang tua dulu
membantu kerja di rumah keluarga Lui."
"Agaknya mereka mulai
bergerak ke arah sini," demikian bisik In San.
"Batu-batu gunung
berserakan disini berlapis dan bersusun, tak ubahnya Pat-tin-toh ciptaan Cukat
Liang yang tersohor di jaman Sam Kok dulu tanpa seorang petunjuk jalan yang
tahu seluk beluk daerah ini, untuk menemukan tempat ini kukira memakan waktu
cukup lama, tapi kita tetap harus berjaga-jaga."
Terdengar Thi-pangcu itu
berkata pula: "Tan Khim-ang jelas takkan hidup kembali dari liang
kuburnya, tapi pemetik harpa pasti punya sangkut paut yang erat dengan Tan
Khim-ang itu, kalau tidak salah terkaanku, tadi dia sedang memetik harpa di
depan pusara Tan Khim-ang."
"Konon It-cu-king-thian
sudah pulang ke Kwi-lin secara diam-diam, aku terima kabar dari rumah keluarga
Liong, yakin kabar ini tidak akan salah," demikian timbrung Thi-ciang
Siansu.
Phoa Lat-hong ikut menyeletuk:
"Kalau orang itu memetik harpa di depan kuburan Tan Khim-ang, dia bisa
menemukan letak kuburan itu, maka dia pasti tahu dimana sekarang
It-cu-king-thian menyembunyikan diri?"
"Betul," ucap
Thi-pangcu, "maka itu kita harus bekuk dulu bocah itu."
"Sayang tadi kita keburu
nafsu, sekarang bocah itu tak berani memetik harpanya lagi," Demikian kata
Thi-ciang Siansu.
"Aku punya akal untuk
memancingnya keluar," demikian timbrung Siang Po-san. Kembali dia petik
senar gitarnya.
Suara gitar ini menusuk
telinga dan tidak enak didengar, kontan In San merasa hati tidak karuan rasanya
seakan-akan sukmanya hendak tersedot keluar dari raganya. Karuan dia kaget,
lekas mengerahkan lwekang serta menghimpun semangat, katanya: "Kenapa
petikan gitar orang ini begini jelek."
Karena Tan Ciok-sing
meyakinkan lwekang ajaran Thio Tan-hong maka dia tidak merasa apa-apa, katanya:
"Inilah ilmu tunggal dari Gitar Besi, waktu berhadapan dengan musuh,
dengan petikan gitarnya itu dia berusaha menggoyahkan pikiran dan meruntuhkan
semangat lawan. Tapi kepandaian dari aliran sesat ini, asal kau sendiri
menenangkan hati dan pikiran, anggap saja tidak mendengarnya, dia tidak akan
mempengaruhi dirimu."
"Walau demikian, amat
menyebalkan juga," kata In San.
"Memang tidak boleh
dibiarkan," demikian kata Tan Ciok-sing, "beruntung musuh datang
sendiri, memangnya kita harus biarkan mereka lari? Marilah kau ikut aku, kita
berputar dari arah lain mencegat jalan mundur mereka, lalu disergap sebelum
mereka siaga," mereka lalu menggeremet keluar dari arah belakang melalui
semak dan sela batu terus berputar satu lingkaran, kini keempat gembong iblis
ini sudah berada di depan mereka, walau kepala mereka celingukan kian kemari,
tapi masih belum juga menemukan jejak mereka.
Adalah laki-laki penunjuk
jalan tadi masih ragu-ragu berdiri di tempatnya, mundur maju susah dia
mengambil keputusan. Dia tahu Thi-pangcu sudah marah, tapi dia juga tidak
berani melanggar larangan It-cu-king-thian, terpaksa dia tetap berdiri saja di
kejauhan, maka waktu Tan dan In berdua muncul, dia lantas melihatnya lebih
dulu? Karuan laki-laki ini amat kaget, tanpa sadar mendadak dia menjerit.
In San lebih cermat, segera
dia pikir hendak menawan laki-laki ini untuk dimintai keterangannya, lekas dia
menjentikan jari menimpuk sekeping uang. Kepandaian orang ini jelas amat rendah,
mana dia mampu menghindar dari serangan senjata gelap In San? Belum lagi
mulutnya terkatup, hiat-tonya telah tersambit telak, kontan dia jatuh terus
menggelundung ke bawah sana.
Tapi jeritannya tadi telah
mengundang perhatian keempat gembong iblis itu, serempak mereka menoleh dengan
kaget. Phoa Lat-hong kepala berandal itu segera mengenali Tan Ciok-sing
bentaknya: "Bagus sekali, kiranya kau bocah ini."
Tan Ciok-sing kenal Siang
Po¬san tapi sebaliknya dia tidak kenal Ciok-sing, tanyanya kepada Phoa
Lat-hong: "Siapa bocah ini?"
"Bocah yang merebut kuda
putihku di Ang wa-poh itu," sahut Phoa Lat-hong. Agaknya peristiwa itu
sudah diceritakan kepada teman-temannya ini.
Diam-diam Siang Po-san kaget,
tapi mulutnya bergelak tawa, katanya: "Tapi kebetulan malah dia kemari,
sekarang dia tidak membawa kuda, jangan harap dia bisa lolos dari tangan
kita."
In San tertawa dingin,
katanya: "Apa betul kuda putih itu milikmu? Tidak tahu malu. Hihi, kau
takut kami melarikan diri, sebaliknya kami yang kuatir kau melarikan
diri."
Ternyata Thi-ciang Siansu juga
sudah mengenali Tan Ciok-sing, tiga tahun yang lalu perjalanan Tan Ciok-sing
menuju ke Ciok-lin, pernah dia kebentur Raja Golok Ie Cun-hong yang membentuk
barisan golok mengepung Hek-pek-moko seperti diketahui Thi-ciang Siansu ini
adalah pembantu Ie Cun-hong yang paling diandalkan, tapi kejadian sudah tiga
tahun yang lampau, kini Tan Ciok-sing sudah dewasa, pakaiannyapun tidak sebutut
dulu, tapi dia memperhatikan harpa antik yang digendong Tan Ciok-sing, maka segera
dia mengenalnya.
Begitu mengenali dia,
Thi-ciang Siansu seperti ketiban rejeki nomplok, serunya tertawa riang:
"Tuhan memang Maha pemurah, agaknya kita bakal diberi hadiah barang
pusaka."
Thi-pangcu bertanya:
"Masakah bocah ini membawa pusaka apa?"
"Dia membawa golok In
Hou, bukan mustahil buku pelajaran ilmu goloknya itu juga berada padanya. Dan
lagi harpa kuno yang digendongnya itu, menurut apa yang kuketahui, dulu
Hek-pek-moko juga pernah mengincarnya. Benda yang dapat menarik perhatian Hek-pek-moko,
dapatlah dibayangkan pasti barang pusaka yang berharga."
Siang Po-san berpikir sejenak,
katanya kemudian: "Tan Khim-ang memang punya seorang cucu, setelah Tan
Khim-ang mati, jejaknya menghilang entah kemana. Kalau kuburan Tan Khim-ang ada
disini, bocah ini membawa harpanya pula, kebetulan tadi memetik lagu pula di
depan kuburannya, mungkin dia inilah cucunya itu."
"Lalu apa pula yang kita
tunggu," seru Thi-pangcu, "hayo bekuk bocah ini," lalu beramai
mereka memburu ke bawah, jarak mereka semakin dekat. Thi-ciang Siansu berlari
paling depan, tongkat besinya sebesar mulut mangkok itu lantas diayunnya sambil
menghardik: "Anak bagus, lekas serahkan golok pusaka milik In Hou, nanti
jiwamu kuampuni," tongkatnya itu segera menjojoh ke dada Tan Ciok-sing.
"Jangan kau salah mencari
orang," tukas In San tertawa, "golok In Tayhiap berada padaku. Tapi,
aku tak boleh serahkan padamu."
In San masih berpakaian
laki-laki, dasar goblok dan kasar Thi-ciang Siansu masih belum dapat membedakan
dirinya, bentaknya: "Siapa kau? Hm, hm, peduli siapa kau, golok berada di
tanganmu, lekas serahkan, kalau tidak kusikat nyawamu."
"Bicara memang gampang,
coba saja kalau mampu," tantang In San tertawa.
Thi-ciang Siansu memang Hwesio
buas yang suka membunuh korbannya, karuan dia berjingkrak gusar, segera dia
menubruk maju seraya mengayun tongkat terus mengemplang ke batok kepala In San.
Siang Po-san lebih hati-hati,
lekas dia berteriak: "Thi-ciang Suheng, jangan kau membunuhnya, kulihat
anak perempuan ini punya asal-usul," kiranya dia sudah tahu akan samaran
In San.
Belum habis dia bicara
mendadak dilihatnya dua larik cahaya pelangi melambung bersama. Ternyata kuatir
In San kecundang tanpa berjanji Tan Ciok-sing berebut maju hendak bantu
menangkis lawan. Bentaknya: "Kalian maju bersama saja, berapa jumlah
kalian, kita tetap akan bersatu padu," karena dia harus bergabung dengan
In San, maka dia memberi suara dulu supaya tidak melanggar aturan Kangouw.
Thi-pangcu tertawa besar,
katanya: "Dua bocah yang masih berbau bawang juga berani ugal-ugalan di
hadapanku," dia kira tongkat baja Thi-ciang Siansu seberat enam puluhan
kati itu sudah lebih dari cukup untuk menghancur leburkan kedua bocah ingusan
ini? Tak nyana akibatnya justru jauh berada diluar perhitungannya.
Dalam sekejap itu sebelum
perkataan Thi-pangcu lenyap suaranya, terdengar dering nyaring benturan senjata
keras, kembang apipun berpijar. Terdengar In San berkata dengan tertawa:
"Golok pusaka tidak akan kuberikan, biarlah kau rasakan dulu keliehayan
pedang pusaka ini, asal kau mampu boleh kau mengambilnya dari tanganku."
Walau Thi-ciang Siansu jago
kosen yang memperoleh ajaran mumi dari Siau-lim, betapapun dia takkan kuat
menghadapi perbawa gabungan permainan sepasang pedang. Di tengah pijaran
kembang api, tampak dia tergetar mundur beberapa langkah, waktu menunduk
dilihatnya tongkatnya tergores dan gumpil sedikit.
Kalau Thi-ciang Siansu gusar,
kaget dan malu, Tan dan In juga sama-sama terkejut. Maklum pedang pusaka mereka
mampu mengiris besi seperti merajang sayur, kalau tenaga dalam Thi-ciang Siansu
tidak lebih unggul dari mereka, tongkatnya itu pasti sudah kutung.
Telapak tangan In San
kesemutan dan linu, pikirnya: "Masih ada tiga gembong iblis belum lagi
terjun ke arena, mungkin aku takkan kuat melawan secara kekerasan."
Thi-pangcu berada di belakang
Thi-ciang Siansu, melihat kesudahan gebrak pertama ini diapun terkejut, sekali
timpuk dia lepaskan tiga batang Tok-liong-cui. Sebagai adik kandung Thi Ou,
Pangcu terdahulu dan pendiri Tok-liong-pang, dia bernama Thi Khong, tapi
kepandaiannya ternyata jauh lebih tinggi dari sang Engkoh. Tiga batang
Tok-liong-cui yang meluncur datang ini ternyata membawa kesiur angin yang
berbau amis memualkan.
Tan Ciok-sing gusar, serunya:
"Senjata rahasia yang ganas, kami tidak mau, nih kukembalikan,"
begitu Siang-kiam-hap-pik, jalan pikiran dan maksud hati mereka cocok satu sama
yang lain, serempak mereka sama mengembangkan jurus Hing-hun-toan-hong, di
bawah libatan dua larik pelangi yang menggulung dan menolak, ketiga batang
Tok-liong-cui itu seketika patah jadi enam potong, celaka adalah ke enam
potongan senjata rahasia ini diritul kembali ke arah pemiliknya.
Karuan kejut Thi Khong bukan
main, lekas dia menjatuhkan diri sambil menggelundung kesana beberapa tombak.
Meski keadaannya amat lucu dan mengenaskan, tapi masih untung karena tidak
terluka oleh senjata rahasia sendiri.
Permainan pedang Tan Ciok-sing
memang amat menakjubkan, tenaga yang dikerahkan juga diperhitungkan, begitu
tiga senjata yang diritul balik itu jatuh di tanah, sisa lagi kutungan yang
lain tiba-tiba terbang membelok di tengah udara, mendadak melesat ke muka
Thi-ciang Siansu. Lekas Thi-ciang Siansu menyembunyikan kepala sambil mengkeret
leher seperti bulus, berbareng tongkat dia angkat tegak berdiri, "Tring,
tring, iring" ketiga kutungan senjata rahasia itu beruntun dapat
ditangkisnya jatuh. Tak urung hidungnya mengendus bau amis, hampir saja dia
tumpah-tumpah, keringat dingin membasahi jubahnya. Sesuai dengan namanya
Tok-liong-pang ternyata pandai menggunakan racun, sebagai Pangcu maka senjata
rahasia yang dipergunakan Thi Khong ternyata dilumur racun jahat,
Tok-liong-cuinya ini malah dilumuri tujuh jenis racun yang jahat.
Baru saja pertempuran di
mulai, Siang Po-san yang cukup cerdik tak mau terjun langsung ke arena, diluar
kalangan segera dia memetik gitarnya, suaranya yang jelek dan menusuk perasaan
ini memang maksudnya hendak mengaburkan pertahanan lawan. Lwekang Ciok-sing
tinggi, dia mahir teori musik menguasai permainan, keadaannya masih baik, tapi
lain dengan In San, dia sudah hampir tidak kuat lagi, hatinya menjadi kalut.
Sehingga permainan Siang-kiam-hap-pik terganggu dan kurang serasi, menunjukkan
beberapa titik kelemahan, kembali senjata rahasia Thi Khong menyusul masuk
kedalam lingkaran, kali ini dia menimpuk dengan tiga batang paku penembus
tulang.
Dengan jurus
Khong-ciok-kay-ping Pek-hong-kiam menggaris ke tengah udara, ketiga paku
beracun itu seketika hancur berhamburan di tengah pelintiran cahaya pedang.
Tapi permainannya ini hanya membantu In San menangkis senjata rahasia, sehingga
gerakan pedang In San tak bisa kerja sama dengan baik. Kesempatan baik ini
dimanfaatkan oleh Siang Po-san, lekas gitarnya diayun membelah ke tengah
sehingga kedua orang ini dipisahkan. Serempak Thi-ciang Siansu dan Phoa Lat-hong
menyergap maju dari kiri kanan, yang dicecar adalah In San. "Sret"
pedang Tan Ciok-sing menusuk kesana, tapi pedangnya tertangkis oleh gitar Siang
Po-san.
Karena terganggu oleh suara
gitar sehingga pikiran kacau permainan In San pun ikut terganggu. Untung Tan
Ciok-sing cukup siaga dan bertindak tepat, mendadak dia melancarkan dua jurus
permainan pedang dari ajaran Bu-bing-kiam-hoat untuk
menambal lobang kelemahan yang
diperlihatkan In San.
"Adik San, jangan
hiraukan suara gitarnya," Tan Ciok-sing memperingatkan. Tapi In San
sendiri memang belum punya ketenangan itu, tak mungkin tak mendengarnya, meski
dia sudah berusaha, tapi suara senar gitar yang jelek itu justru menyusup ke
telinganya.
Melihat gelagat yang tidak
menguntungkan ini, Ciok-sing membatin: "Sayang aku tidak bisa memetik
harpa di waktu melayani musuh, kalau tidak tentu bisa kupecahkan irama petikan
gitar gembong iblis ini."
Bu-bing-kiam-hoat memang
hebat, tapi perbawanya jelas tidak sehebat Siang-kiam-hap-pik. Karena pikiran
In San tak terpusatkan, dalam gebrak sepuluh jurus, ada dua tiga jurus
permainan mereka pasti tidak serasi, itu berarti seperti mereka bertempur
secara individu. Untuk sementara mungkin tidak jadi soal bagi Tan Ciok-sing,
malah sering membantu In San, tapi kalau pertempuran ini berkepanjangan, jelas
pihaknya pasti akan kecundang.
Manusia umumnya timbul akalnya
di kala kepepet atau di saat gugup, mendadak tergerak pikiran Tan Ciok-sing:
"Aku tidak bisa memetik harpa, tapi kan bisa juga mengganggu nada dan not
permainan gitar orang," segera dia mulai bersiul, siulan yang dilandasi
tenaga dalam ini ternyata bisa berbunyi panjang dan naik turun sesuai lagu yang
dia bawakan.
Usahanya memang berhasil,
petikan gitar Siang Po-san menjadi kacau, karuan dia kaget. Tapi In San justru
terbangkit semangatnya, perbawa Siang-kiam-hap-pik seketika berlipat ganda
pula, bukan saja pulih seperti semula malah jauh melebihi sebelumnya.
Seperti diketahui permainan
Siang-kiam-hap-pik ini hakikatnya tidak menggunakan gerak permainan yang ada tata
laksananya, tapi disesuaikan gaya pedang, bergerak secara wajar dan serasi
sehingga kedua pedang cocok dan ketat tanpa lobang sedikitpun. Dasar otaknya
encer Tan Ciok-sing lebih berbakat lagi, permainannya lebih berkembang dan
penuh variasi, bergerak sesuai kebutuhan dan dapat berubah mengikuti situasi,
sehingga intisari Bu-bing-kiam-hoat dapat dia kembangkan dengan sempurna.
Sementara (n San tetap menggunakan ilmu pedang yang pernah dia pelajari,
menurut teori ilmu pedang maju mundur secara teratur. Tidak lama kemudian
cahaya pedang seperti meledak semakin besar dan luas arena lingkungannya, dari
pihak yang diserang kini berbalik dan musuh dicecarnya di bawah angin.
Tiga lawan tangguh ini
lama-kelamaan didesak mundur. Tongkat besar di tangan Thi-ciang Siansu berdiri
tegak terus jempalitan badan, dengan jurus Naga hitam melilit pohon, ujung
tongkatnya mendadak menggulung balik, tujuannya menyapu kedua kaki In San.
Mendadak In San melejit mumbul setinggi satu tombak lebih, dimana sinar pedang
berkelebat, tahu-tahu pundak kiri Thi-ciang Siansu sudah terluka, jubah
Hwesionya yang memang merah semakin merah dan basah oleh darah yang merembes
keluar. Tapi tusukan pedang yang melukai pundaknya ini bukan serangan In San.
Di kala tubuh In San melambung
ke udara, gerak pedang Ciok-sing yang belakangan tapi tibanya lebih dulu,
mendadak dari posisi yang tak terduga menusuk tiba. Perhatian Thi-ciang
ditujukan kepada In San yang menukik dari atas, sungguh tak pernah diduganya
bahwa Tan Ciok-sing mendadak menyerang tiba pula, untung gitar Siang Po-san
segera mengepruk tiba sehingga gerakan pedang itu sedikit terhalang, kalau
tidak tulang pundaknya pasti sudah tertusuk patah, betapapun tinggi ilmu
silatnya akan punah seketika.
Di tengah udara In San
menggunakan gerakan Burung Dara Jumpalitan. Phoa Lat-hong yang berada di
samping Thi-ciang Siansu belum lagi sempat menyingkir, tusukan pedang In San
dengan jurus naga kik-ting-hong tahu-tahu sudah menuding tenggorokannya.
Ternyata secara reflek mereka telah berganti posisi dan merobah kedudukan untuk
menyerang musuh yang berbeda, inilah salah satu jurus liehay dan manunggal dari
Siang-kiam-hap-pik itu.
Pada detik-detik antara hidup
dan mati, di kala elmaut sudah mengancam ini, jelas Phoa Lat-hong takkan mampu
berkelit lagi, terpaksa dia nekat dan tidak hiraukan keselamatan lagi
melancarkan ilmu Tay-cui-pit, dengan tangan kosong dia menangkis pedang secara
keras, "Cras" dua jari Phoa Lat-hong tertabas buntung. Tapi In San
sendiri juga tergentak mundur dua langkah. Untung perlawanan Phoa Lat-hong yang
nekat secara keras ini sehingga kedua tangannya tidak putus tertabas pedang.
Lwekang Phoa Lat-hong cukup
tangguh, tapi dia tak kuat juga menahan rasa kesakitan karena dua jari kutung,
kontan dia menjerit sekeras-kerasnya terus putar tubuh melarikan diri. Bahwa
tulang pundaknya nyaris tertusuk patah, karuan keringat dingin gemerobyos,
sudah tentu Thi-ciang Siansu menjadi keder dan tak berani bertempur lebih lama.
"Mau lari kemana,"
bentak Tan Ciok-sing, sinar pedangnya bagai selarik lembayung terus menusuk
kesana. Lekas Siang Po-san angkat gitarnya menangkis, tapi Ceng-bing-kiam In
San juga menusuk tiba, begitu Siangkiam berpadu, perbawanya berlipat ganda.
Gitar Siang Po-san dibuat dari besi baja yang mengandung sembrani, tapi terserang
sepasang pedang pusaka ini mana kuat menahannya, di tengah suara gaduh yang
memekak telinga, perut gitar yang gelembung kosong itu tahu-tahu sudah tergores
lobang panjang.
Baru saja Tan Ciok-sing hendak
menambahi dengan serangan mematikan, tak nyana di tengah dering beradunya benda
keras terdengar pula selingan suara mencepret, mendadak bintik sinar bintang
gemerdep, seperti diketahui dalam perut gitar Siang Po-san yang kosong ini di
dalamnya ada dipasang alat-alat rahasia untuk menyimpan senjata rahasia, bila
menghadapi bahaya sekali dia tekan tombol, senjata rahasia didalam perut gitar
akan segera menyambar keluar. Demikian pula sekarang ini, Siang Po-san
menggunakan serumpun Bwe-hoa-ciam selembut bulu kerbau, disusul tujuh batang
To-kut-ting yang dilumuri racun.
Karuan Tan Ciok-sing kaget,
teriaknya: "Celaka," lekas dia menolak ke depan menggunakan tenaga
lunak mendorong pergi In San. Untung Tan Ciok-sing memperoleh ajaran lwekang
Thio Tan-hong, ilmu pedang juga memperoleh ajaran murni, meski latihannya baru
tiga tahun tapi taraf latihannya sudah cukup hebat, reaksinya cekatan lagi,
dalam sedetik itu. sebelah tangan mendorong In San, lengan bajunya sekaligus
mengebut pula menggulung jarum-jarum lembut yang menyerang datang.
Pek-hong-kiam di tangan kanan dengan jurus Hing-hun-toan-hong merontokan lima
paku penebus tulang, lalu jari tangan kiri menjentik, "Creng" paku ke
empat ditutulnya kembali. Pada hal Tan Ciok-sing sudah kerahkan segala
kemampuannya, tak urung paku ke tujuh masih lolos juga.dari penjagaannya,
untung dia lekas menunduk sehingga paku beracun itu meluncur lewat hampir
menyerempet jidatnya.
Dengan gusar Ciok-sing
kebutkan pula lengan bajunya, jarum-jarum yang dijaringnya ini dia persembahkan
kembali kepada pemiliknya. Pada hal Siang Po-san melesat beberapa tombak
jauhnya, jarum-jarum lembut itu terang tak mampu melukainya lagi, celaka adalah
Tok-liong-pang Pangcu yang sejak tadi membantu dari luar kalangan dengan
serangan senjata rahasia beracun tiba-tiba menjerit kesakitan.
Ternyata paku ke enam yang
dijentik balik oleh Tan Ciok-sing sasarannya adalah Tok-liong pangcu yang main
licik membokong dengan senjata rahasia beracun. Paku beracun itu sebenarnya
melesat balik mengincar Thay-yang-hiat di pelipisnya. Perubahan yang tak pernah
diduga ini, karuan membikin Thi Khong berjingkrak kaget seperti disengat kala,
pada hal dia cukup tangguh dalam permainan senjata rahasia, tapi toh tak kuasa
berkelit lagi, untung karena berjingkrak kaget ini sasaran Thay-yang-hiat tidak
terkena telak, tapi paku beracun itu tak urung amblas kedalam pundaknya.
Thi Khong adalah ahli pengguna
racun, karena terluka oleh paku beracun ini, bukan saja sakit tapi arwah serasa
terbang ke awan-awan, lekas dia berkaok minta obat pemunah kepada Siang Po-san,
Siang Po-san membentak: "Lekas lari. Nanti kuberi obat di bawah
gunung."
Tan Ciok-sing tidak mengejar,
lekas dia memburu ke samping In San, dilihatnya In San pucat pasi wajahnya,
tanyanya gugup dan kuatir: "Apa kau tidak terluka?"
"Sungguh kebetulan, paku
itu meruntuhkan tusuk kondaiku, untung tidak sampai luka. Sayang aku kurang
cekatan, hingga musuh lari semuanya."
"Untung sebelumnya kau
sudah membekuk seorang tawanan. Sekarang kita bisa mengompres tawanan
itu," demikian kata Tan Ciok-sing.
Tak nyana, tawanan yang tertutuk
hiat-tonya oleh timpukan mata uang In San sudah lenyap Setelah tertimpuk mata
uang tadi orang itu jatuh menggelundung ke bawah lereng sana, semak rumput
tampak tertindih dan awut-awutan, ceceran darah juga tampak di antara daun-daun
pohon kecil yang tumbuh di sekitar situ, mungkin waktu tubuhnya menggelundung
ke bawah badannya terluka oleh benturan batu-batu gunung yang runcing sehingga
mengeluarkan darah. Ciok-sing berdua mengikuti jejak ceceran darah menginjak
semak belukar, tapi bayangan orang itu tetap tidak kelihatan, tapi mereka belum
putus asa, daerah sekitarnya mereka obrak-abrik hingga ke bawah gunung,
bayangan tawanan itu tetap tidak kelihatan.
"Aneh, jelas hiat-to
pelemasnya tadi tertutuk oleh timpukan mata uangku. Ilmu tutuk jalan darah
tunggalku ini, baru akan bebas setelah dua belas jam berselang. Dalam waktu
sesingkat ini, jelas dia takkan bisa bergerak."
"Orang itu hanya menunjuk
jalan ke empat gembong iblis itu, kepandaiannya rendah, jelas tak mungkin mampu
membebaskan sendiri tutukan hiat-tonya itu."
"Umpama ada yang
menolongnya, orang itu pasti mahir menggunakan ilmu tutuk dari keluargaku.
Kalau tidak kecuali dia jago silat kosen dari bulim, lwekangnya sudah mencapai
taraf tinggi, dengan tenaga murni dia bisa bantu menjebol tutukan hiat-to itu.
Em, aneh sekali."
Sembari bicara mereka berjalan
balik ke kota, tanpa terasa mereka sudah tiba di Hoa-kio, tampak sinar pelita
sudah terpasang di empat penjuru kota, bulan sabit tampak bergantung di
cakrawala.
Setiba mereka di hotel,
pemilik hotel segera memburu maju menyambut mereka dengan seri tawa lebar,
katanya: "Aku memang sedang mengharap Siangkong berdua lekas pulang."
"Temanku ingin melihat
pemandangan Po-tho-san nan permai, maka aku menemaninya, sayang hari sudah
petang, kita tak sempat melancong ke Cit-sing-giam, terpaksa besok saja* Maaf
bikin kau lama menunggu kami."
Pemilik hotel tidak hiraukan
keterangan ini, katanya: "Sayang kalian terlambat pulang, baru saja ada
dua orang teman kalian kemari."
Ciok-sing kaget, pikirnya:
"Baru saja aku tiba di Kwi-lin, dari mana datangnya orang bisa mencariku?
Siapa yang punya berita secepat ini?"
"Siapakah kedua orang
itu? Begitu masuk kota aku lantas menginap disini, tiada teman yang kuberitahu,
dari mana mereka bisa tahu aku menginap disini? Apa tidak keliru mereka mencari
orang?" tanya Tan Ciok-sing.
"Tidak mungkin
salah," sahut pemilik hotel, "mereka menggambarkan wajah, usia dan
kuda tunggangan kalian, demikian kotak panjang yang dibawa Tan Kongcu, setiap
hal dapat dilukiskan dengan jelas, yakin dia pasti teman kalian. Tentang dari
mana mereka bisa tahu kalian tinggal disini, wah aku tidak bisa
menjelaskan."
"Sudah panjang lebar kau
bicara, kenapa tidak kau sebut siapa nama mereka?"
"Sudah kutanya mereka,
mereka bilang bila Siangkong berdua kembali, asal kau katakan kedatangan kami,
dia akan tahu siapa kami," berarti kedua orang itu tidak mau menyebut atau
meninggalkan namanya.
"Baiklah, coba kau
terangkan, berapa usia mereka, bagaimana pula tampangnya?" tanya In San.
"Yang datang pemuda dan
pemudi, usianya kira-kira sebaya dengan kalian. Pakaiannya cukup perlente,
agaknya keturunan dari orang berada," ternyata pemuda yang berpakaian
perlente ini ringan tangan untuk mencari tahu diri Tan Ciok-sing berdua dia
sudah menyogok 10 tahil perak kepada pemilik hotel ini.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing ingat
sesuatu tanyanya: "Apakah pemuda itu ada membawa sebatang seruling?"
"Betul," sahut
pemilik hotel, "selama ini belum pernah kulihat seruling sebagus itu.
Waktu bicara dia memang memegang dan mengelus serulingnya itu. Jadi sudah
jelas, bahwa kedua orang itu adalah teman kalian bukan?"
"Belum lama berselang
kami memang pernah melihatnya, tapi belum menjadi kawan karib.
Mereka tidak menyebut nama,
apakah meninggalkan alamat? Supaya kami pergi menyambangi mereka?"
"Tadi bicaraku belum
selesai, karena kalian belum kembali, mereka tampak agak kecewa. Pemuda itu
pinjam pinsil dan minta kertas kepadaku, dia ada meninggalkan sepucuk surat.
Aku tidak berani membukanya, mungkin dalam suratnya ada meninggalkan
pesan."
Setelah menerima sampul surat
Tan Ciok-sing berkata: "Baiklah, terima kasih akan bantuanmu melayani
temanku. Kupikir besok saja aku balas menyambangi mereka, malam ini kami ingin
tidur sepuasnya, jikalau ada orang mencari kami, jangan katakan bahwa aku ada
disini," lalu dia persen sekeping uang perak nilainya kurang lebih 10
tahil.
Sekembali dalam kamar Tan
Ciok-sing berkata: "Kedua orang itu, kemungkinan adalah dua orang terakhir
dari delapan Pat-sian yang bertemu kita di tengah jalan kemarin."
In San mengangguk, katanya:
"Betul, kedua orang itu pemuda pemudi, sang pemuda membawa seruling.
Mungkin karena ingin menikmati petikan harpamu maka dia ingin berkenalan dengan
kau, apa kau ingin menyambangi mereka?"
"Coba periksa dulu apa yang
dia tulis dalam surat ini," demikian kata Tan Ciok-sing.
Waktu dia buka surat itu, di
dalamnya menyatakan kekagumannya terhadap Tan Ciok-sing berdua serta mohon
berkenalan, dan dijanjikan supaya tiga hari yang akan datang bertemu di
Lian-hoa-hong bersama-sama menikmati matahari terbit. Surat ini tertanda nama
Kek Lam-wi. Di bagian bawahnya ditambahkan pula pesan yang berbunyi:
"Orang yang ingin saudara temui, di puncak Lian-hoa-hong akan anda temukan
pula. Harap dimaklumi," setelah membaca tulisan tambahan ini, seketika Tan
Ciok-sing melenggong.
"Lho, kenapa kau melongo
malah?" tanya In San.
Segera Tan Ciok-sing
menyerahkan surat itu padanya, katanya: "Lihatlah sendiri, bukankah amat
aneh?"
"Em, gaya tulisannya
memang bagus. Betul tidak, dia ingin bersahabat dengan kau."
"Aku sih tidak perhatikan
tulisannya, yang kuherankan adalah dari mana dia bisa tahu siapa yang- akan
kucari? Apa kau pernah mendengar nama Kek Lam-wi itu?"
In San geleng-geleng, katanya:
"Waktu ayah masih hidup, banyak juga tokoh-tokoh silat yang pernah dia
sebutkan padaku, tapi orang she Kek ini usianya kira-kira sebaya dengan kita,
ayah pasti tak pernah memberi tahu, bagaimana aku tahu asal-usulnya. Tapi dari
nada surat ini dapat disimpulkan bahwa dia sudah tahu siapa kau adanya, diapun
tahu siapa orang yang hendak kau temui. Tapi aku duga yang dimaksud kalau bukan
It-cu-king-thian Lui Tin-gak, pasti Tam Pa-kun. Apakah Lian-hoa-hong jauh dari
sini?"
Lian-hoa-hong adalah gunung
yang kenamaan di daerah Yang-siok, tak ubahnya Tok-siu-tong yang kenamaan di
daerah Kwi-lin. Yang-siok tiada seratus li dari Kwi-lin, kuda lari cepat dapat
ditempuh satu hari pulang pergi."
"Dari surat ini dapat
kusimpulkan bahwa Lui Tayhiap dan Tam-siok-siok mungkin berada dan bertemu di
Lian-hoa-hong, jadi bukan mengadakan pertemuan di Kwi-lin."
"Menurut pendapatmu,
apakah suratnya ini dapat dipercaya?"
"'Kek Lam-wi adalah salah
satu dari Pat-sian yang kemarin kita temukan di tengah jalan itu, hal ini sudah
dapat dipastikan. Bahwa dia mengundangmu ke Lian-hoa-hong, mungkin akan ada
pertemuan besar di Lian-hoa-hong. Jadi bolehlah diduga kalau It-cu-king-thian
Lui Tayhiap dan Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun pasti hadir dalam pertemuan besar
ini."
"Betul, Pat-sian yang
kita temui di tengah jalan itu semuanya adalah jago-jago silat yang jarang kita
temui di Kangouw, maka dapatlah dibayangkan bahwa tuan rumahnya pasti adalah
tokoh besar yang tersohor pula. Hanya tokoh besar yang mampu mengerahkan
peradatan Pat-sian-ing-khek baru setimpal mengundang kehadiran Tam Tayhiap dan
Lui Tayhiap dalam pertemuan besar yang akan datang itu."
"Bukan mustahil Lui
Tayhiap adalah tuan rumahnya."
"Baiklah, undangan ini
akan kuterima dan aku pasti hadir dalam pertemuan itu. Untung Yang-siok tidak
jauh dari sini, hari terakhir baru kita berangkat juga belum terlambat. Malam
ini kita tetap bekerja sesuai rencana semula, menyelidiki siapakah yang
membongkar puing-puing rumahku dulu. Mumpung masih ada sisa waktu dua jam,
marilah kita menghimpun semangat dan tenaga,"
In San segera kembali ke
kamarnya. Tan Ciok-sing duduk bersimpuh, memejam mata memusatkan pikiran
menghimpun hawa murni, mulailah dia bersamadi, kira-kira menjelang kentongan
ketiga dengan lirih dia menjentik ke arah dinding, kamar mereka berdampingan,
segera In San mempersiapkan diri lalu membuka jendela melompat keluar. Mereka
memiliki ginkang tinggi tanpa diketahui siapapun cepat sekali mereka sudah
meninggalkan hotel.
Kira-kira setengah jam
kemudian mereka sudah tiba di puing-puing rumah Tan Ciok-sing dulu, cuaca masih
gelap suasana sunyi senyap yang terdengar hanya suara jangkrik.
"Agaknya tiada orang
pernah kemari," bisik In San.
"Memangnya kita umpama
menjaga lobang menunggu kelinci, belum tentu kelinci liar itu bakal datang
malam ini, walau harapan nihil umpamanya kita tetap menunggu dengan
sabar."
"Ya, marilah kita cari
tempat untuk sembunyi."
Untung banyak batu besar
dimana-mana, kebetulan tidak jauh dari puing-puing rumah Tan Ciok-sing terdapat
dua batu besar seperti pasangan orang yang lagi berpelukan, di tengah kedua
batu ini ada celah-celah yang kebetulan cukup untuk sembunyi.
Menunggu sesaat lamanya, In
San berbisik di pinggir telinga: "Aih, agaknya ada orang datang."
"Jangan berisik, saksikan
saja siapa yang kemari."
Tak lama kemudian muncul
sesosok bayangan orang di tengah puing-puing sana. Cahaya bulan sabit
remang-remang sehingga dari kejauhan sukar dibedakan bentuk dan tampangnya,
tapi orang ini sudah cukup dikenal oleh Tan Ciok-sing, waktu dia menegas segera
dia kenal siapa orang itu. Setelah tahu siapa orang yang datang ini, tanpa
merasa dia melengak heran dan kaget.
"Siapa?" tanya In
San berbisik. Agaknya dia merasakan sikap dan mimik Tan Ciok-sing yang agak
aneh, seperti sudah tahu siapa orang datang ini.
Tan Ciok-sing menjawab dengan
bisikan pula: "It-cu-king-thian Lui Tin-gak."
Bahwa yang datang adalah
It-cu-king-thian Lui Tin-gak, bukan saja Tan Ciok-sing tak habis mengerti, In
S^n sendiri juga tidak pernah menduganya. Tanyanya lirih: "Apakah perlu
menemuinya?"
"Jangan terburu nafsu.
Lihat dulu apa kerjanya disini?"
Sebetulnya rasa curiga Tan
Ciok-sing terhadap It-cu-king-thian sudah tawar, tapi dia tidak menduga yang
datang kali ini adalah dia, sesaat dia jadi ragu-ragu curiganya timbul lagi dan
malah lebih tebal.
"Khu Ti pernah bilang,
bahwa It-cu-king-thian gemar belajar silat, saking getolnya umpama orang gila
saja layaknya. Semasa mudanya dia punya keinginan mengangkat guru kepada Thio
Tayhiap. Jelas dia tidak tahu kalau buku pelajaran ilmu golok milik In Tayhiap
dan
Kiam-boh Thio Tayhiap itu
sudah diserahkan kepadaku..." tengah dia menduga-duga, dilihatnya Lui
Tin-gak sudah memegang sebuah sekop dan sedang menggali tanah di tengah
puing-puing rumahnya.
Diam-diam Tan Ciok-sing
membatin: "Nah, konangan sekarang. It-cu-king-thian memang laki-laki
munafik, pendekar palsu, manusia rendah. Apakah benar dia sekongkol dengan
Siang Po-san mencelakai kakek belum dapat kubuktikan tapi bahwa dia mengincar
ilmu golok dan Kiam-boh itu kini sudah menjadi kenyataan, bukankah perbuatannya
ini terlalu hina dan rendah. Kalau dia betul manusia yang bermartabat rendah,
bukan mustahil bahwa dia pula yang mencelakai kakek," tapi sebelum dia
berkeputusan tindakan apa yang harus dia lakukan, tiba-tiba dilihatnya
It-cu-king-thian sudah menghentikan kerjanya.
Di keremangan cahaya rembulan,
tampak It-cu-king-thian sedang berjongkok seperti mengeduk tanah atau
mengorek-ngorek dengan tangannya.
In San berbisik di pinggir
telinga Ciok-sing: "Tempat itu tadi pernah kita gali, mungkin dia sudah
tahu bila kita sudah pernah kemari. Aneh kelakuannya malam ini..."
"Apa sulitnya menduga
perbuatan ini. Jelas hendak mencari buku pelajaran ilmu golok dan Kiam-boh
itu."
"Umpama benar, kukira di
belakang persoalan pasti ada sebab musababnya. Aku yakin It-cu-king-thian Lui Tin-gak
pasti takkan sudi mengincar barang orang lain."
"Apa, kau masih percaya
kalau dia orang baik?"
"Tak usah kita main teka
teki sendiri. Saksikan saja apa yang akan dia lakukan lebih lanjut?"
Tampak It-cu-king-thian sudah
berdiri lagi, mulutnya seperti menggumam: "Memangnya aku kuatir kalian
tidak akan datang," lalu dia menengadah seperti pasang kuping mendengarkan
sesuatu suara.
Tan Ciok-sing kaget, batinnya:
"Siapa yang dia maksud dengan 'kalian'? Apakah dia sudah tahu kalau aku
bersama adik San berada di Kwi-lin. Atau dia sudah menemukan jejak dan
percakapan kami?"
Mendadak It-cu-king-thian Lui
Tin-gak berlari keluar dari lingkungan puing-puing Tan Ciok-sing kaget, dia
kira jejaknya sudah diketahui orang cepat dia bersiaga memegang gagang pedang.
Tapi In San berbisik: "Jangan sembrono."
Ternyata sekali berkelebat
It-cu-king-thian menyelinap kesana sembunyi di belakang sebuah batu besar,
letak batu besar ini tidak jauh dari puing-puing rumah, jaraknya hanya beberapa
tombak dari tempat persembunyian Tan dan In.
Sesaat lagi baru Tan Ciok-sing
mendengar suara langkah orang, yang datang adalah dua orang berpakaian hitam,
tangan masing-masing menjinjing sebuah pacul dan sekop.
Baru sekaraug Tan Ciok-sing
mengerti, ternyata It-cu-king-thian mendengar kedatangan kedua orang ini, jadi
"kalian" yang dikatakan tadi yang dimaksud adalah kedua orang ini.
Tak urung Ciok-sing merasa heran dan menyesal pula: "Setelah kedua orang
ini dekat baru aku tahu kedatangan mereka, jelas kepandaian dalam hal ini aku
masih kalah jauh dibanding It-cu-king-thian. Entah siapa gerangan kedua orang
ini? Dari gelagatnya, dia bukan komplotan It-cu-king-thian."
Di saat dia membatin,
dilihatnya kedua orang baju hitam itu sudah melangkah ke arah puing-puing tanpa
berjanji keduanya sama bersuara kaget dan heran. "Dilihat keadaan ini
agaknya barusan ada orang sudah datang," kata seorang.
"Kita harus hati-hati,
entah kenapa, beberapa hari ini jago-jago silat kosen dari berbagai tempat
berbondong-bondong datang ke Kwi-lin. Di antaranya ada Wi-cui-hi-kiau,
Siang-kang-siang-hiap, Sek-in-jin-tok dan Ui-yap Tojin, malah ada juga yang
bilang It-cu-king-thian juga datang," demikian kata orang yang lain.
"Wah, jadi jago-jago
kosen dari aliran sesat dan golongan lurus sama tumplek kemari."
"Maka itu, kita harus
hati-hati. Peduli yang mana diantara mereka, semua lebih hebat dari pada
kita."
"Justru karena itu pula
kita harus bekerja cepat menemukan pusaka itu. Kalau sampai orang lain tahu
akan tempat ini, celakalah kita."
Kedua orang ini segera
mengerjakan pacul dan sekop mulai menggali tanah di dua tempat, sembari kerja
mulut mereka masih terus mengoceh seperti berunding entah apa. Mendadak
It-cu-king-thian melompat keluar dan anjlok di depan mereka. Karuan kedua orang
itu berjingkrak kaget sambil menyusut mundur. "Siapa, siapa kau?"
pacul dan sekop sudah diangkat tapi tidak berani turun tangan.
"Aku Lui Tin-gak, Tan
Khim-ang adalah teman baikku, untuk apa kalian gali tanah dan membongkar
puing-puing disini? Lekas katakan," demikian bentak Lui Tin-gak.
"Hah, kiranya kau orang
tua adalah It-cu-king-thian Lui Tayhiap, sungguh kami kurang hormat. Kami dari
Hek-hou-pang (serikat macan hitam), dengan pihak Tok-liong-pang kami ada
sedikit hubungan."
"Aku tidak peduli kalian
dari
Hek-hou-pang atau
Tok-liong-pang, tiada tempo aku ngobrol dengan kalian, Lekas jawab
pertanyaanku."
"Lui Tayhiap, bolehkah
kami tanya untuk apa kau kemari? Bukan mustahil tujuan kita..."
It-cu-king-thian mendengus,
"kalian barang macam apa, berani mengurus aku? Sekarang aku yang tanya
kalian, lekas kalian jawab, barang apa yang kalian gali? Siapa pula yang
menjadi tulang punggung kalian?"
"Baik, baik, biar
kujelaskan seluruhnya Lui Tayhiap, harap kau bersabar mendengar laporan
kami," kedua orang ini bersikap munduk-munduk supaya It cu-king-thian
tidak bersiaga. Mendadak keduanya angkat pacul dan sekop masing-masing terus
mengepruk ke batok kepala lt-cu-king-thian. Bukan lantaran mereka tidak takut
terhadap It-cu-king-thian, tapi sebaliknya bila mereka bicara sejujurnya, jiwa
mereka malah celaka di tangan It-cu-king-thian, maka mereka nekat bertindak
secara membokong, syukur berhasil membunuh It-cu-king-thian, nama mereka akan
lekas tersiar dan diagulkan di dunia persilatan. Maka terdengarlah suara
"Trang" yang keras sekali It-cu-king-thian menggentak kedua tangan,
pacul dan sekop itu seketika tertangkis terbang ke udara.
Gentakan keras kedua lengan
It-cu-king-thian ternyata bukan hanya menyebabkan pacul dan sekop itu terbang
ke udara, tapi kedua laki-laki itupun seperti digenjot dengan martil dada
masing-masing, darah kontan menyembur dari mulutnya dengan menjerit mereka
bergulingan di tanah.
Berdebar jantung Tan Ciok-sing
menyaksikan dari tempat sembunyinya, pikirnya: "It-cu-king-thian tidak
bernama kosong. Entah dia kawan atau lawan?" dia tahu meski dirinya sudah
berhasil meyakinkan Bu-bing-kiam-hoat, dirinya mungkin masih belum mampu
mengalahkan dia.
Pada saat itulah, mendadak
tampak pula sesosok bayangan orang laksana seekor burung besar melejit turun ke
tengah puing-puing, gerakan tubuhnya gesit dan tangkas, dibanding
It-cu-king-thian tadi mungkin lebih dari pada kurang.
Kedua laki-laki dari
Hek-hou-pang seperti mendapat bintang penolong, lekas mereka merangkak bangun
terus memburu kearah orang itu seraya berteriak bersama: "Ciang-suhu,
tolong."
Pendatang ini bukan lain
adalah jago nomor dua dalam kalangan Gi-lim-kun, sekarang terima menjadi
Cong-kiau-thau di rumah keluarga Liong yaitu Ciang Thi-hu adanya.
Agaknya It-cu-king-thian tidak
mengenalnya, tanpa berhenti dia melangkah maju sambil ulur tangan hendak
mencengkram kedua laki-laki itu, bentaknya: "Orang lain minggir saja,
kalau tidak jangan salahkan kalau aku bertindak kasar."
Ciang Thi-hu terloroh-loroh,
katanya: "Kau hendak membunuh menutup mulut mereka?" di tengah loroh
tawanya kedua telapak tangan terbalik terus menghantam, empat telapak tangan
beradu menimbulkan benturan keras laksana guntur menggelegar, Tan Ciok-sing
berdua yang sembunyi puluhan langkah di sanapun merasa pekak telinganya.
Agaknya kekuatan kedua pihak
setanding, badan It-cu-king-thian tampak limbung dua kali. Sementara Ciang
Thi-hu terdorong mundur tiga langkah baru bisa berdiri tegak.
"Toako," kata In
San. "apa pula yang masih kau ragukan? Kita harus keluar membantu
It-cu-king-thian."
Tan Ciok-sing masih bimbang,
katanya lirih: "It-cu-king-thian tidak akan kalah, kita saksikan saja
nanti bertindak menurut gelagat," tak nyana dalam sekejap itu situasi di
depan mata ternyata mendadak berubah.
Kedua orang tadi sembunyi di
belakang Ciang Thi-hu, pikirnya ada tameng untuk sembunyi, tak kira Ciang
Thi-hu mendadak mengayun tangan ke belakang, kedua laki-laki itu dikepruknya
mati dengan kepala pecah. Jeritan yang menyayat hati menjelang ajal kedua orang
ini membuat In San merinding dan mengkirik.
"Bagus," bentak
It-cu-king-thian, "kiranya kau hendak menutup mulut mereka. Siapa
kau?"
"Lui Tayhiap, aku bukan
turun tangan membantu kau," ucap Siang Thi-hu, "yang terang kedua
orang ini sudah terluka dalam oleh getaran tenaga dalammu, jiwanya takkan
tertolong lagi. Kenapa kau biarkan mereka tersiksa lebih lama?"
"Keji juga caramu
ini," jengek It-cu-king-thian, "orang she Lui masih ingin
menjajalmu," di tengah deru angin pukulannya, debu dan pasir beterbangan.
Dalam sekejap kedua pihak telah mengadu tiga kali pukulan, tapi akhir pukulan
tidak bentrok secara keras karena Ciang Thi-hu menghindar sambil miringkan
tubuh, sehingga dua gelombang pukulan berbareng menyapu ke satu arah.
"Biang" batu besar di sebelah kanan sana terpukul remuk.
Baru saja In San buka mulut
mau mendesak Tan Ciok-sing keluar membantu, ternyata pertempuran tiba-tiba
berhenti. Ciang Thi-hu tampak melompat jauh kesana sambil tertawa
tergelak-gelak.
"Apa yang kau tawakan-''
hardik It-cu-king-thian.
"Sudah lama kudengai
kebesaran nama It-cu-king-thian yang mahir main golok dan ilmu pukulan telapak
tangan, beruntung hari ini bersua disini, kenyataan memang tidak bernama
kosong. Tapi kalau kau ingin mengadu pukulan dengan aku, kukira kau kurang
pandai memilih lawan."
It-cu-king-thian mendengus,
"kau kira aku tidak mampu mengalahkan kau?"
"Bukan begitu maksudku.
Kita sudah mengadu empat pukulan, kukira kau sudah tahu siapa diriku bukan?
Kalau pertandingan dilanjutkan, mungkin aku bukan tandinganmu. tapi untuk
mengalahkan aku, sedikitnya memakan tiga ratusan jurus. Bukankah dua hari lagi
kau hadir dalam pertemuan besar di Lian-hoa-hong. Dalam pertemuan itu mungkin
ada kejadian yang akan mempersulit dirimu. Tapi terhadapmu aku tidak bermaksud
jahat, kenapa kau harus menguras tenagamu kepadaku?"
Sekilas It-cu-king-thian
melengak, katanya: "Gun-goan-it-cu-kang yang tuan yakinkan memang jarang
kusaksikan, kau terlalu sungkan, bila bertempur tiga ratus jurus mungkin aku
yang kau kalahkan malah. Pada jaman ini orang yang memiliki Gun-goan-it-cu-kang
sehebat ini hanya ada seorang, jadi kau inilah Ciang Thi-hu salah satu jagoan
kosen dari Gi-lim-kun yang sejajar dengan Khu Ti pada dua puluh tahun yang
lalu."
"Terima kasih akan pujian
Lui Tayhiap, sebetulnya tak berani aku menerimanya. Sekarang boleh kita bicara
secara santai bukan? Terus terang saja, dua puluh tahun yang lalu, aku sudah
ingin berkenalan dengan kau, sayang tiada kesempatan."
"Terima kasih akan
penghargaanmu, soal apa yang ingin kau bicarakan dengan aku?"
In San heran katanya: "Kenapa
Lui Tayhiap kelihatan semakin sungkan?"
"Tayhiap apa, kukira
mereka memangnya sekomplotan," demikian jengek Tan Ciok-sing.
In San geleng-geleng, agaknya
dia masih tidak percaya bahwa It-cu-king-thian sekomplotan dengan Ciang Thi-hu,
tapi kenyataan di depan mata ini sukar pula untuk dijelaskan. Didengarnya Ciang
Thi-hu berkata: "Kau pasti curiga untuk apa aku datang kemari?"
"Betul," ucap
It-cu-king-thian, "aku memang ingin tanya kepadamu?"
"Lui Tayhiap, kau sendiri
apa pula kerja disini?"
"Kau sudah tahu sengaja
tanya?"
"Jadi Lui Tayhiap mengaku
akan maksud kemari, setujuan dengan kedua orang Hek-hou-pang ini?"
"Kaupun punya maksud yang
sama bukan?"
"Kau keliru Lui
Tayhiap," ujar Ciang Thi-hu tertawa tergelak-gelak. "Agaknya kau
belum tahu."
"Tahu apa?" tanya
It-cu-king-thian tertegun.
"Ilmu pedang Thio
Tan-hong sudah ada pemiliknya, tapi kau masih main gali disini, umpama setiap
jengkal tanah disini kau keduk juga tiada gunanya."
"Siapa yang
memilikinya?" Tanya It-cu-king-thian kaget.
"Seorang pemuda berusia
likuran tahun."
"Pemuda berusia likuran
tahun. Apakah dia she Tan?"
"Aku yakin kau sudah tahu
siapa dia. Tapi akupun baru dua hari yang lalu tahu bahwa dia adalah cucu dari
sahabatmu."
"Darimana kau tahu kalau
dia yang memilikinya?"
"Kira-kira belasan hari
yang lalu, aku pernah bergebrak dengan dia."
"O, jadi kedatanganmu ke
Kwi-lin kali ini, tujuannya hendak mencari anak itu?"
"Bukan seluruhnya
lantaran dia,"
"O ya, kabarnya kau
memperoleh banyak keuntungan dari Liong-tayjin."
Ciang Thi-hu tertawa
tergelak-gelak, tawa yang puas dan bangga, tapi dia tidak menjawab pertanyaan
It-cu-king-thian, katanya sesaat kemudian: "Lui Tayhiap, kau denganku
bukan kawan dari segolongan, tapi ada sebuah urusan, bila kita bisa kerja sama
secara jujur, pasti menguntungkan untuk kedua pihak. Apa kau sudi membicarakan
soal itu denganku?"
"Baik, silakan
menjelaskan."
"Sudah lama aku dengar
betapa nikmatnya Sam-hoa-cui buatan Kwi-lin, sudikah kau mentraktirku
"O ya, disini bukan
tempat bicara. Kau datang ke Kwi-lin sebagai tuan rumah adalah pantas aku
menjamumu, boleh silahkan kau ajak teman-temanmu datang ke tempatku."
"Lui Tayhiap, kau memang
cerdik, sekali tebak lantas tahu bahwa persoalan ini memang masih perlu minta
bantuan teman yang lain. Baiklah, mari sekarang kita berangkat."
Setelah bayangan mereka tidak
kelihatan baru Tan Ciok-sing menghela napas, katanya: "Tahu orangnya tahu
mukanya tidak tahu hatinya, pepatah ini memang betul. Adik San, coba katakan
apa salah aku mencurigai It-cu-king-thian!"
"Ya, aku masih tidak
percaya bahwa Lui Tayhiap sebobrok itu, mustahil ada maksud-maksud tertentu
yang tidak kita ketahui." "Maksud apa?"
"Aku tak bisa
menjelaskan. Tapi dari nada pembicaraan Ciang Thi-hu tadi sudah terbukti bahwa
Lui Tayhiap hakikatnya belum pernah janji atau sekongkol dengan keluarga Liong.
Bukankah dia bilang dia dan Lui Tayhiap, bukan kawan dari segolongan?"
"Tapi mereka hendak
berintrik untuk mencelakai aku."
"Lho, merekakan tidak
bicara begitu?"
"Urusan dagang apa yang Memangnya
masih ada persoalan lain?"
"Walau aku saksikan
sendiri dan mendengar percakapan mereka, kulihat mereka pergi bersama pula,
tapi aku tak mau percaya bahwa It-cu-king-thian sudi berkomplot dengan Ciang
Thi-hu untuk mencelakai kita. Untung masih ada waktu tiga hari, urusan ini
bakal dibereskan."
"Maksudmu pertemuan di
Lian-hoa-hong yang akan diadakan tiga hari lagi itu?"
"Keng Lam-wi bilang, kau
akan bertemu dengan orang yang ingin kau temui di Lian-hoa-hong, aku • yakin
orang yang dimaksud adalah It-cu-king-thian, mungkin paman Tam juga disana.
Boleh nanti kau langsung tanya padanya."
Tan Ciok-sing menghela napas,
katanya: "Ya, bagaimana juga baik dan bajik hati kita, apa salahnya kalau
kita waspada dan siaga terhadap siapapun."
Sebetulnya In San mempercayai
It-cu-king-thian, soalnya dia sendiri juga tidak bisa memberi penjelasan dan
memecahkan kejadian yang baru saja disaksikan, apa lagi Tan Ciok-sing teramat
kukuh akan pendapatnya, mau tidak mau keyakinannya menjadi goyah. Sesaat
kemudian baru dia bersuara: "Lalu apakah kita harus menghadiri pertemuan
Lian-hoa-hong itu?"
"Hadir sih harus. Tapi
kita harus lebih hati-hati. Bagaimana Kek Lam-wi sebetulnya, orang macam apa
dia sebetulnya, hakikatnya masih terlalu asing bagi kita. Walau sepak terjangnya
kelihatan lebih mendekati kaum pendekar."
In San termenung beberapa saat
lamanya, katanya kemudian: "Kau kuatir bila Kek Lam-wi kemungkinan
sekomplotan dengan It-cu-king-thian?"
"Semoga tidak
demikian."
"Bila betul mereka
sekomplotan, bukankah kedatangan kita kesana berarti masuk perangkapnya?"
"Memang aku sedang
berpikir dan mencari akal cara bagaimana kita harus memecahkan persoalan rumit
ini."
In San tidak berani
mengganggunya lagi, setelah menempuh perjalanan beberapa lamanya, tanpa terasa
mereka sudah tiba di Hoa-kio, tak lama lagi mereka sudah akan tiba di hotel,
baru In San bertanya: "Sudah kau temukan caranya."
"Besok saja kujelaskan
kepadamu," sahut Tan Ciok-sing tertawa.
Kontan In San merengut,
dengusnya: "Em, jual mahal segala?"
"Bukan jual mahal, apa
akalku dapat terlaksana, harus kutunggu sampai besok pagi baru bisa
kuketahui."
Tanpa diketahui siapapun
mereka kembali ke kamar masing-masing, saat mana sudah menjelang kentongan
kelima. In San langsung tidur, tapi rasanya hanya sekejap saja, tahu-tahu dia
waktu siuman mentari sudah menyorot masuk lewat jendela.
Setelah membersihkan badan dan
berdandan In San lalu keluar dan mengetok pintu kamar Tan Ciok-sing, tapi tiada
penyahutan. Lekas pemilik hotel sudah lari mendatangi, katanya dengan tertawa:
"Sejak pagi-pagi tadi Tan-siangkong sudah keluar, katanya sebentar dia
akan kembali. Dia bilang suruh kau sarapan pagi lebih dulu."
Setelah makan In San masuk
kamar dan menunggu dengan sabar, kira-kira setengah jam kemudian baru Tan Ciok-sing
kembali.
"Heh, kemana kau?"
tanya In San.
"Aku pergi menyewa
perahu, sebentar kita berangkat ke Yang-siok, rekening hotel sudah kulunasi
seluruhnya. Lekas kau bereskan buntalanmu."
"Segera berangkat? Kenapa
tidak lewat jalan darat?" tanya In San heran.
Tan Ciok-sing tertawa,
katanya: "Dari Kwi-lin ke Yang-siok, perahu berlaju mengikuti arus air,
sepanjang perjalanan kau dapat menikmati pemandangan alam nan permai sepuas
hatimu. Kalau naik kuda lewat jalan darat, bukan saja kecapaian, tak mungkin kau
menikmati kehidupan tentram sepanjang jalan."
"Jangan kau kira aku ini
anak dogol yang ceroboh, aku tahu maksudmu," demikian ucap In San.
"Kek Lam-wi mengundangmu bertemu di Lian-hoa-hong tiga hari lagi, kalau
kita lewat jalan darat, kemungkinan jejak kita dikuntit kaki tangannya. Kau
kuatir akan hal ini bukan?"
"Otakmu memang encer,
sekali tebak kena sasaran. Kalau kita naik perahu lebih dini, mungkin mereka
tidak akan menduga. Apalagi perahu bisa langsung tiba di bawah Lian-hoa-hong.
Waktunya sudah kuperhitungkan, kira-kira hari ketiga malam kita akan tiba di
tempat tujuan. Kita bisa naik ke gunung tanpa diketahui siapapun."
"Kuda kita
bagaimana?" tanya In San.
"Tinggalkan saja di
Kwi-lin."
"Titipkan kepada pemilik
hotel? Berani kau mempercayainya?"
Lirih suara Tan Ciok-sing:
"Pemilik perahu adalah teman karibku sejak kecil, waktu anak-anak dulu
sering kami bermain di sungai menangkap ikan," lalu dengan tertawa dia
menambahkan, "waktu melihatku tadi semula dia masih ragu-ragu tapi rasanya
seperti sudah kenal, akhirnya setelah aku memanggil dengan nama kecilnya, baru
dia berjingkrak girang. Temanku ini seratus persen dapat dipercaya."
"Jadi kedua ekor kuda
kita hendak kau titipkan ke rumahnya? Kuda itu kita pinjam dari Kanglam Sianghiap,
jikalau hilang bagaimana?"
"Kita harus berani
bertaruh. Bicara terjadi sesuatu, umpama kita ke Yang-siok naik kuda, bukan
mustahil persoalan yang akan kita hadapi di tengah jalan mungkin lebih banyak
dan ruwet," akhirnya In San setuju saja, maka Tan Ciok-sing lantas
mengajaknya keluar. Setiba di bawah Hoa-kio, temannya tukang perahu itu memang
sudah menunggu mereka.
Melihat In San berpakaian
sebagus dan berwajah setampan ini, tukang perahu kelihatan heran dan kesima,
tapi dia cukup cerdik, apalagi tadi Tan Ciok-sing sudah jelaskan padanya, maka
dia tidak banyak tanya, sikapnya wajar, sewajar dia melayani tamu-tamu yang
lain. Tan Ciok-sing serahkan kedua ekor kudanya kepada sanak keluarga tukang
perahu untuk dibawa pulang, segera mereka naik ke perahu terus berangkat.
Setelah perahu berlaju di
tengah sungai si tukang perahu baru bersuara dengan tertawa: "Tan-toako,
sudah beberapa tahun kita berpisah, kini kau sudah kaya, selama beberapa tahun
ini kemana dan apa saja usahamu? Baru hari ini kau pulang ke kampung
halaman?"
"Usaha apa? Pulang dengan
kaya segala? Selama beberapa tahun ini aku hanya mengandal harpaku untuk
mencari sesuap nasi di Kangouw. Siau-cu-cu, terus terang, aku amat kagum dan
kepingin hidup setenang dan setentram kau. Kau memiliki perahu sendiri, kerja
tak usah diperintah orang dan tidak perlu jengkel dan malu dimarahi orang,
mencari sesuap nasi secara halal berdasar cucuran keringat sendiri.
Berkecimpung di Kangouw, siksa deritanya luar biasa."
"Betul juga omonganmu,
aku sih mengandal gunung dan air disini untuk mencari sesuap nasi. Ada saja
ikan atau udang yang dapat kutangkap di sungai, meski agak sengsara, namun kita
tetap hidup sederhana dan bersahaja, Siau-ciok-cu, tahun itu waktu rumahmu
habis terbakar, kabarnya kakekmu meninggal, kucari kau kemana-mana, aku tidak
tahu akan mati hidupmu, betapa sedih hatiku. Syukurlah hari ini mendadak kau
muncul, legalah hatiku. Siau-ciok-cu, peduli kau berduit atau kantongmu kempes,
sikapku terhadapmu tetap seperti dahulu. Kembalilah keharibaan kampung halaman,
kita bersaudara tetap bisa hidup berdampingan menangkap ikan di sungai, mencari
kayu bakar di gunung, bukankah lebih baik? Akupun ingin belajar memetik harpa
padamu," katanya diucapkan dengan tulus, tanpa terasa berkaca-kaca kelopak
mata Tan Ciok-sing haru.
"Bukankah sekarang aku
sudah kembali? Kelak aku memang hendak membangun pula rumahku itu, seperti
kakek untuk selamanya aku akan hidup di bawah Cit-sing-giam. Bukan aku saja
yang akan menetap seumur hidup disini, temanku ini pun akan menemaniku tinggal
disini selamanya."
"Apa betul? Em, siapakah
nama besar temanmu ini, kenapa tidak kau perkenalkan padaku?" ujar tukang
perahu.
In San segera menyebut sebuah
nama palsu katanya: "Sudah lama aku kepingin menikmati panorama nan indah
dan molek di desamu ini. Aku memang ingin menetap di Kwi-lin saja. Untuk itu
aku harus pulang dulu ke desa baru akan kemari lagi."
Tukang perahu tertawa,
katanya: "Baik juga kau nikmati dulu pemandangan sepanjang Kwi-lin ke
Yang-siok ini, yakin kau akan lebih mantap tinggal disini. Kau adalah teman
Siau-ciok-cu, maka aku amat senang menyambut kedatanganmu."
"Siau-ciok-cu (si krikil
cilik), em, Tan-toako baru sekarang aku tahu akan nama kecilmu," demikian
kelakar In San.
"Sejak kecil dengan
Tan-toako kami saling memanggil nama kecil. Dia bernama Tan Ciok-sing, maka aku
memanggilnya Siau-ciok-cu. Namaku Lauw Tui-cu, maka dia memanggilku Siau-cu-cu
(si jagak cilik)."
"Siau-cu-cu," tukas
Tan Ciok-sing, "beberapa hari ini adakah pelancongan dari luar daerah yang
menyewa perahumu pergi Yang-siok?"
"Ya, kemarin dulu ada
beberapa orang berlogat utara hendak menyewa perahuku, jumlah mereka terlalu
banyak, perahu kecil, akhirnya mereka menyewa perahu Hou-losam."
"Di Yang-siok adakah
tokoh besar yang diagungkan? Maksudku orang ternama seperti It-cu-king-thian
Lui Tin-gak dan lain-lain."
"Betul, kini
kuingat," ujar Siau-cu-cu. "Di Yang-siok memang ada seorang gagah
yang kaya raya, kabarnya dalam gedungnya memelihara banyak busu, kepandaian
kungfunya sendiri juga tinggi. Memang namanya tidak tersohor sebanding Lui
Tayhiap, tapi daerah sekitarnya dia cukup terkenal dan disegani. Kabarnya
beberapa hari lagi dia akan merayakan hari ulang tahunnya yang ke 60, bukan
mustahil tamu-tamu luar daerah itu semua hendak memberi selamat
kepadanya."
"Siapakah orang itu? Kok
belum pernah kudengar adanya orang gagah macam itu."
"Orang itu she Nyo
bernama Hou Hu. Kabarnya rumahnya berada di atas Bik-lian-hong. Dua tahun
terakhir ini aku sering ke Yang-siok baru kudengar perihal dia."
Dalam hati Tan Ciok-sing
berpikir: "Belum pernah kudengar nama Nyo Hou-hu di kalangan Kangouw,
mungkin hanya raja tanah di sekitar Yang-siok saja? Apakah pantas dia
mengerahkan delapan dewa menyambut tamu segala? Mungkin aku masih cetek
pengalaman, setelah tiba di Yang¬ siok akan kucari tahu saja," lalu dia
bertanya: "Hari ini adakah tamu yang menuju ke Yang-siok?"
"Sejak kemarin sudah
tiada tamu yang menyewa perahu ke Yang-siok. Kau kan tahu, untuk sampai ke
Yang-siok, naik perahu memerlukan waktu tiga hari dua malam, jauh lebih lambat
dari jalan darat. Bagi yang suka menikmati pemandangan alam baru naik perahu
dan mereka berangkat lebih dini, kalau sekarang baru berangkat, naik perahu
lagi, dia tidak akan sempat menghadiri perayaan hari ulang tahun Nyo-toaya."
Seperti ingat sesuatu
tiba-tiba tukang perahu menambahkan: "Tadi kau menyinggung
It-cu-king-thian Lui Tin-gak, kini aku baru ingat. Bukankah kakekmu dulu
sahabatnya? Setelah rumahmu terbakar habis dia pernah datang mencari tahu duduk
persoalannya."
"Lho, kabarnya
It-cu-king-thian juga menghilang pada tahun itu bukan?" tanya Ciok-sing.
"Memangnya, hal itu
memang agak aneh, malam kedua setelah rumahmu terbakar, rumah Lui Tayhiap juga
terbakar habis. Sejak itu tak pernah ada orang melihat Lui Tayhiap pula."
"Kapan dia mencari tahu
kepada kalian?"
"Hari ketiga setelah
rumah keluargamu terbakar habis. Tapi bukan Lui Tayhiap sendiri yang datang,
tapi seorang tua pesuruh yang mencari tahu kalian kakek dan cucu."
"Dia tidak mencari
majikan sendiri malah perhatikan kami, bukankah aneh."
"Lui Tayhiap dijuluki
It-cu-king-thian, apa makna julukannya itu, memangnya kau tidak tahu?"
"Kakek pernah menjelaskan
kepadaku, julukannya itu mengandung dua arti. Pertama diibaratkan Tok-siu-hong
di Kwi-lin, sebagai sebuah tonggak di langit selatan. Kedua, dia suka
melindungi teman, umpama tonggak yang menyanggah langit, melindungi umat
manusia yang menderita kesukaran."
"Lho, kau sudah tahu,
kenapa dibuat heran, Lui Tayhiap adalah laki-laki sejati, seorang kawan setia,
menurut cerita orang tua pesuruh itu, dua hari setelah rumahmu terbakar,
sebetulnya dia sendiri mau datang memeriksa. Tapi setelah lewat lohor baru dia
memperoleh berita, kebetulan rumahnya kedatangan seorang teman lama yang sudah
sekian tahun tak pernah ketemu, maka dia tidak sempat meluangkan waktu. Maka
berpesan kepada pesuruh tua itu untuk menyelidiki persoalan dan mencari tahu
jejak kalian kakek dan cucu. Malam itu juga pesuruh tua itu meninggalkan rumah
keluarga Lui dan tinggal di rumah familinya di pintu timur, besok paginya baru
akan ke Cit-sing-giam memeriksa rumah dan mencari tahu kalian. Tak nyana malam
itu juga rumah keluarga Lui kebakaran, beruntung pesuruh tua ini terhindar dari
petaka ini tapi dia sendiri juga tidak tahu nasib majikannya, karena kejadian
amat mendadak, maka dia terlambat bertindak hingga hari ketiga dia sempat
mencari kalian dan menyelidiki kejadian itu."
"Pesuruh tua itu bilang,
perduli majikannya masih hidup atau sudah mati, dia harus tetap melaksanakan
pesannya itu. Pertama harus mendapat tahu nasib sebenarnya kalian kakek dan
cucu, kalau masih hidup harus ditampung, kalau sudah mati harus kebumikan atau
diperabukan sesuai keinginan sang majikan. Sayang dia mencari tahu kepadaku,
aku sendiri tahu apa. Ai, Lui Tayhiap setia kawan dan berani berkorban demi
kawan, walau kejadian itu tidak terlalu mengherankan bagi aku, tapi aku ikut
menyesal dan gegetun sekali."
Tan Ciok-sing tertawa dingin,
katanya: "Bahwa dia begitu memperhatikan kakek dan aku, akupun merasa
heran dan terharu, entah bagaimana aku harus membalas kebaikannya."
Agaknya tukang perahu itu
tidak memperhatikan sikap nada ganjil Tan Ciok-sing, katanya lebih lanjut:
"Akhir-akhir ini kudengar
berita angin, katanya Lui Tayhiap masih hidup, berapa tahun yang lalu setelah
rumahnya kebakaran dia lantas ngungsi ke lain tempat, kini sudah kembali. Entah
betul atau tidak... semoga Thian melindungi umatnya yang sosial dan
dermawan."
Hari kedua perahu sudah keluar
dari daerah Ling-yang dan mulai masuk keresidenan Yang-siok. Setelah melewati
dua selat, tampak puncak gunung menjulang tinggi di kejauhan sana. Menuding
sebuah puncak yang bentuknya seperti sebuah mahkota tukang perahu berkata:
"Itulah puncak pertama yang paling ternama di Yang-siok bernama Kwan-wan
(karang mahkota)."
Keluar dari Kwan-wan mereka
memasuki daerah Siau-san (gunung sulam), sesuai namanya puncak inipun terdiri
dari batu karang yang beraneka ragam bentuk dan warnanya, coraknya seperti
sebuah kain sulaman yang memiliki warna-warni yang mempesona, tak ubahnya
laksana sebuah lukisan alam nan permai.
Tiba-tiba tukang perahu
berkata: "Siau-ciok-cu sudikah kau memetik harpamu, petiklah sebuah lagu
untukku? Sejak kecil aku suka mendengar petikan harpa, di alam nan permai
dengan hawa nan sejuk ini, betapa nikmatnya mendengarkan himbauan musik yang
santai."
Memang Tan Ciok-sing sendiri
juga menjadi gatal jari-jarinya, segera dia turunkan harpanya serta mulai
memetikkan sebuah lagu tamasya. In San dan tukang perahu berdiri pesona
mendengar perpaduan irama musik dan gemericiknya air sungai. Begitu satu lagu
selesai dipetik tukang perahu segera tepuk tangan sambil memuji:
"Siau-ciok-cu hebat sekali, begitu bagus petikan harpamu kukira tidak
kalah dari kakekmu dulu."
Tengah mereka bicara,
tiba-tiba dari tempat yang amat jauh sayup-sayup terdengar sebuah suitan
panjang, suitan yang memuji oleh himbauan irama harpa yang indah ini. Diam-diam
Tan Ciok-sing kaget, hatinyapun amat menyesal.
"Eh, Siau-ciok-cu, kenapa
kau? Sikapmu kelihatan agak janggal?" tanya tukang perahu.
"Tidak apa. Siau-cu-cu,
apa kau mendengar suara suitan?"
"Aku tidak perhatikan.
Mungkin kau salah dengar."
"Tidak mungkin salah,
yang kudengar betul adalah suitan manusia, bukan suara air." Tan Ciok-sing
tidak tahu dari arah puncak mana datangnya suitan tadi, maka jaraknyapun sukar
diukur, apakah orang yang bersuit memiliki lwekang tinggi juga sukar diduga.
Maka diapun tidak tanya lebih
lanjut.
Hari itu mereka berlayar tanpa
mengalami sesuatu kejadian, hanya perasaan Tan Ciok-sing agak terganggu oleh
suitan tadi, sehingga tiada seleranya lagi menikmati pemandangan sepanjang
perjalanan ini.
Sesuai rencana hari ketiga
menjelang magrib mereka sudah tiba di bawah Bik-Iian-hong. Seperti juga
Tok-siu-hong di Kwi-lin, Bik-lian-hong inipun menjulang tinggi mencakar langit
tak ubahnya sebuah tonggak yang menyanggah langit, tapi kelihatannya lebih
tinggi dibanding Tok-siu-hong. Cuaca sudah remang, dari kejauhan tidak
kelihatan jelas, tapi lapat-Iapat masih kelihatan puncak gunung ini seperti
mekar laksana kelopak kembang teratai yang sedang berkembang.
Setelah perahu menepi tukang
perahu berkata: "Hari sudah gelap, kalian nginap di perahu saja semalam.
Nanti kupancing dua ekor ikan segar untuk lauk pauk makan malam."
"Siau-cu-cu, ingin aku
melihat caramu memancing ikan, tapi setelah makan malam, kami akan naik ke
darat," kata Ciok-sing.
"Kalian mau pergi kemana,
kan siang hari lebih baik. Kenapa malam-malam, apa mau cari hotel?"
"Kita punya tujuan
tertentu, bukan mau cari hotel."
"Kalian mau kemana?"
"Terus terang, ada
seorang teman yang baru kami kenal mengundang kami bertemu disini,"
demikian Tan Ciok-sing menjelaskan. "Siau-cu-cu, sejak kecil kita adalah
teman karib, tidak pantas aku ngapusin kau, kedatanganku ke Yang-siok kali ini
bukan hanya ingin bertamasya, tapi ada urusan lain yang akan kami kerjakan.
Tapi akan merugikan kau bila kau tahu tentang urusan ini, oleh karena itu aku
mohon maaf dan harap kau maklum, hal itu tak bisa kujelaskan kepadamu. Tiga
hari kemudian, aku akan pulang ke rumahmu, tapi andaikata aku tidak bisa
pulang, tolong kau rawat kuda kami itu. Kelak ada orang akan datang
mengambilnya, asal orangnya cocok dan bicaranya benar, boleh kau serahkan
padanya," lalu dia sebutkan nama Kanglam Sianghiap serta melukiskan
perawakan dan muka mereka, Lalu dia merogoh perak seberat 10 tahil diserahkan
kepada tukang perahu sebagai ongkos makan kudanya.
Karuan tukang perahu melongo
kaget, sekian lama baru dia bersuara: "Siau-ciok-cu, uang ini kau harus
tarik kembali. Walau aku miskin, kedua ekor kuda itu aku masih mampu memberinya
makan Tapi aku rada kuatir, kenapa kau punya maksud untuk tidak kembali Terus
teranglah kepadaku, apakah urusan yang hendak kau selesaikan itu mungkin bakal
merenggui jiwamu?"
"Nasib manusia sukar
diramal, aku hanya berusaha untuk berhati-hati dan menjaga segala kemungkinan,
kukira aku tidak akan mengalami bahaya seberat itu. Untuk ini kau tidak perlu
terlalu kuatir."
"Kalau begitu,
Siau-ciok-cu, kau tidak usah pergi saja."
"Pertemuan kali ini
menyangkut masa depanku, betapapun aku harus menepati janji ini. Sekarang tak
bisa kujelaskan, tapi bila aku bisa pulang ke rumahmu, kelak akan kuceritakan
padamu."
"Baiklah, kalau begitu
aku juga tidak akan pulang, biar aku menunggumu di bawah Bik-lian-hong
ini."
"Lho, jangan, jangan kau
terlibat dalam persoalan ini."
Tukang perahu geleng-geleng,
katanya: "Tidak, kau ini sukalah maafkan aku kalau aku tidak menurut
petunjukmu. Sejak kecil kita sudah seia sekata, berat sama dipikul enteng sama
dijinjing bersama, kau masih ingat bukan?"
Melihat sikap tegas dan kukuh
tukang perahu akhirnya Ciok-sing berkata: "Baiklah begini saja, kau tunggu
sampai besok pagi bila mentari sudah terbit, aku belum kembali, kau harus
segera pulang, jangan kau mencari tahu tentang diriku."
Melihat sikap Ciok-sing yang
serius tukang perahu tahu urusan agak genting, maka dia tidak banyak tanya
lagi.
Saat mana sudah mendekati
kentongan kedua Tan Ciok-sing mohon diri kepada Siau-cu-cu, dia ajak In San
meninggalkan perahu terus mendarat, sengaja dia memilih letak dan jurusan utara
yang curam dan berbahaya dari Bik-lian-hong terus manjat ke atas.
Dengan ginkang mereka yang
tinggi, tidak ada kesulitan yang dapat merintangi mereka, lekas sekali mereka
sudah berada di puncak Bik-lian-hong. Pohon siong tampak menjulang tinggi ke
angkasa, batu-batu gunung bercorak ragamnya tersebar disana sini, di bawah
penerangan cahaya bulan sabit, suasana tampak sunyi dan seram. Dari tempat nan
tinggi ini tampak Le-kang legat legot laksana ular putih yang merambat di bumi
nan luas ini.
Tan Ciok-sing selalu
memikirkan pertemuannya dengan Kek Lam-wi, maka dia tidak punya selera
menikmati pemandangan alam di malam hari yang mempersona ini. Batinnya:
"Dia pasti menduga aku baru akan datang setelah lewat tengah malam, maka
dia tidak akan menungguku di puncak ini, bagaimana aku harus mencarinya?"
Tengah dia melamun, tiba-tiba
dilihatnya di tanah berumput di depan sama muncul bayangan dua orang, In San
segera berbisik di pinggir telinganya: "Nah itu mereka datang, bagaimana
kita?" Yang muncul ternyata memang Kek Lam-wi dengan gadis jelita yang
seperjalanan menunggang kuda tempo hari.
"Tunggu dulu perkembangan
selanjutnya," kata Tan Ciok-sing lirih.
Terdengar gadis ita berkata:
'Sudah menjelang kentongan ketiga, kukira sahabat yang kau undang itu takkan
datang kemari."
"Rembulan belum bercokol
di tengah cakrawala, berarti masih termasuk hari ini. Kalau aku mengundangnya
bertemu hari ini, maka kita harus menunggunya pula satu jam," demikian
sahut Kek Lam-wi.
"Untuk menunggu dia disini
kau sampai tidak menghadiri perjamuan ulang tahun yang besar-besaran itu.
Tamu-tamu ternama yang datang dari berbagai tempat tidak sedikit
jumlahnya."
"Aku tahu, namanya saja
tuan rumah perjamuan adalah Nyo Hou-hu, yang betul atas nama dan pamor It-cu-king-thian,
Lui Tayhiap.
Memangnya siapa yang takkan
memberi muka terhadap Lui Tayhiap?"
Tan Ciok-sing kaget, batinnya:
"Kiranya tidak meleset dugaanku, tuan rumah sebetulnya memang
It-cu-king-thian."
Terdengar gadis itu bertanya:
"Apa kau tahu kenapa Lui Tayhiap meminjam kesempatan perayaan hari ulang
tahun Nyo Hou-hu ini mengundang kawan-kawannya sebanyak itu?"
"Walau aku diangkat salah
satu dari Pat-sian menyambut tamu, tapi liku-liku persoalannya juga tidak
tahu?"
"Apa kau beritahukan
perjanjianmu kali ini kepada Lui Tayhiap?"
"Dia terlalu banyak
urusan, sekecil ini kenapa harus diberitahu padanya?" Apalagi asal-usul
sahabat itu aku sendiri juga belum tahu,"
"Tapi dia tanya padaku
tentang dirimu."
"Apa jawabmu?"
"Apa yang kau katakan
kepada Nyo Hou-hu demikian pula kukatakan padanya."
Ternyata sejak pagi-pagi tadi
Kek Lam-wi sudah memberi salam hormat dan menghaturkan selamat hari ulang tahun
kepada Nyo Hou-hu, diapun mohon pamit untuk bertamasya ke Kwan-wan dan
Bik-lian-hong, malamnya baru pulang ikut menghadiri perjamuan. Tapi dikuatirkan
bila pulangnya terlambat, maka dia mohon diri dan harap dimaafkan.
Bagaimana asal-usul Tan
Ciok-sing, Kek Lam-wi sendiri tidak jelas, apakah Tan Ciok-sing mau menepati
undangannya? Juga dia tidak tahu, maka urusan ini tidak berani dia bicarakan
kepada tuan rumah, kuatir kalau terjadi sesuatu yang tak terduga. Dia pikir
setelah bertemu dengan Tan Ciok-sing baru aku berkeputusan apakah patut dia
membawa kawan baru ini hadii dalam perjamuan itu.
Tamu-tamu yang menghadiri
perayaan hari ulang tahun Nyo Hou-hu kebanyakan datang dengan dua tujuan,
pertama ialah ingin bertemu dengan It-cu-king-thian yang telah menghilang sejak
empat tahun yang lalu, kedua ingin bertamasya di daerah sekeliling Yang-siok
yang penuh dengan obyek-obyek wisata. Hari ini perjamuan akan diadakan malam
hari, maka banyak tamu seperti juga Kek Lam-wi sejak pagi-pagi sudah membuat
rencana bersama teman-temannya untuk bertamasya. Soalnya Kek Lam-wi termasuk
salah satu dari Pat-sian, maka dia-memerlukan untuk memberitahu dulu kepada
tuan rumah.
Menurat rencana Kek Lam-wi
semula, sebelum hari gelap dia sudah bakal kembali menghadiri perjamuan besar
di rumah keluarga Nyo tak nyana setelah ditunggu-tunggu sampai kentongan ketiga
Tan Ciok-sing belum juga kunjung tiba. Kini mendengar Lui Tayhiap pernah
menanyakan dirinya, dia jadi rikuh dan agak menyesal.
"Bagaimana Lui Tayhiap
sampai menanyakan diriku?" tanya Kek Lam-wi.
Gadis itu lantas bercerita,
"Tadi ada seorang tamu memetik kecapi sambil minum arak untuk memeriahkan
pertemuan dan menyambut kedatangan para tamu yang lain, tiba-tiba Lui Tayhiap
ingat dirimu."
"Karena mendengar petikan
kecapi itu baru dia teringat akan tiupan serulingku?"
"Betul, malah dia juga
menyinggung seorang lagi. Coba kau tebak siapa?"
"Kenalan Lui Tayhiap
tersebar di seluruh jagat, bagaimana aku bisa menebaknya."
"Yang dia singgung adalah
orang yang kau undang untuk bertemu disini."
"O, jadi sahabat she Tan
itu juga kenalan Lui Tayhiap?"
Tan Ciok-sing yang mencuri
dengar percakapan mereka, diam-diam ikut terkejut.
"Pemuda itu masih
terhitung Wanpwe Lui Tayhiap, kakeknya adalah sahabat baik Lui Tayhiap.
Bukankah kau ingin tahu asal-usulnya? Biar sekarang kuberi tahu padamu,
kakeknya adalah..."
"Nanti dulu coba kutebak.
Kakeknya pasti adalah guru harpa nomor satu di seluruh jagat Tan
Khim-ang."
"Sungguh pintar, sekali
tebak kena sasaran. Menurut cerita Lui Tayhiap, Tan Khim-ang menghabiskan masa
tuanya di bawah Cit-sing-giam, mereka sering berhubungan. Sayang beberapa tahun
yang lalu telah meninggal. Cucunya itu juga meninggalkan Kwi-lin. Kukira cucu
Tan Khim-ang yang dia maksudkan, sembilan puluh persen adalah pemuda she Tan
yang kau undang kemari itu."
"Ya pastilah," ucap
Kek Lam-wi tertawa getir, "kau memujikan pintar, yang benar aku ini
terlalu ceroboh. Seharusnya sejak mula aku sudah menebak kalau dia adalah
keturunan Tan Khim-ang. Kecuali keturunan Tan Khim-ang, siapa pula yang mampu
memetik harpa sebagus itu? Sayang aku tidak tahu bahwa Tan Khim-ang mengasingkan
diri di bawah Cit-sing-giam, kalau tidak tentu sudah kutebak akan dirinya.
Siapakah nama cucu Tan Khim-ang apakah Lui Tayhiap memberitahu padamu? Kukira
nama yang dia pakai di hotel adalah nama palsu."
"Pemuda itu bernama Tan
Ciok-sing. Lui Tayhiap bilang, katanya dia dengar Tan Ciok-sing sudah kembali
ke Kwi-lin, dia minta bantuan kita untuk memperhatikan. Dia ingin bertemu
dengan cucu sahabatnya itu."
"Lalu kau memberitahu
kepadanya tidak?"
"Waktu itu ada beberapa
tamu lain yang ajak dia bicara, kulihat dia terlalu sibuk, maka kupikir biar
setelah kau bertemu dengan sahabat itu, kalau betul dia adalah Tan Ciok-sing,
lalu membawanya menemui Lui Tayhiap biar dia merasa diluar dugaan dan
kesenangan."
Diam-diam Tan Ciok-sing
sembunyi di belakang batu membatin: "Untung aku tidak segera unjuk diri.
Hm, Lui Ting-gak ingin selekasnya bertemu denganku karena ingin bantu
menyelesaikan tugas kerja Ciang Thi-hu, aku hendak dibekuknya dan diserahkan
kepada Liong-tayjin mereka? Kek Lam-wi ini agaknya orang baik, tapi dia belum
tahu kemunafikan Lui Tin-gak, sekarang biar kutunda dulu bertemu dengan dia.
Coba dengarkan percakapan mereka."
Tan Ciok-sing ingin tahu
apakah Ciang Thi-hu sudah datang belum. Tapi Kek Lam-wi dan gadis itu
membicarakan persoalan yang lain, hakikatnya mereka tidak pernah menyinggung
Ciang Thi-hu.
Kek Lam-wi menghela napas,
katanya: "Sayang kini sudah mendekati kentongan ketiga, Tan Ciok-sing
belum juga kunjung tiba, mungkin dia akan datang. Kau menyusulku hendak
mengajak pulang bukan? Memang aku yang bikin kau menunggu dengan hati tidak
tentram."
"Kali ini hanya separo
tebakanmu yang kena," ujar si gadis tertawa.
"Kena separo
bagaimana?" tanya Kek Lam-wi melengak.
"Hatiku gelisah
menunggumu, memang betul. Tapi bukan aku menyusul kemari untuk mengajakmu
pulang. Sebaliknya aku ingin kau tetap berada disini saja, malah kalau bisa
sampai besok pagi setelah fajar menyingsing."
"Setelah kentongan
ketiga, berarti perjanjian hari itu batal, kau kira Tan Ciok-sing masih akan
datang?"
"Bukan untuk menunggu Tan
Ciok-sing, Yang ingin supaya kau tetap berada disini juga bukan aku, aku hanya
menyampaikan pesannya saja."
Semakin heran Kek Lam-wi
tanyanya: "Pesan siapa?"
"Nyo Cengcu yang
merayakan hari ulang tahun."
"Untuk apa dia suruh aku
tetap disini?"
"Aku sendiri juga tidak
tahu. Setelah perjamuan bubar dia mengundangku kedalam sebuah kamar, diam-diam
dia memberitahukan kepadaku supaya sebelum kentongan ketiga sudah berada di
atas Bik-lian-hong, katanya ada sebuah peristiwa besar bakal terjadi. Kutanya
dia peristiwa apa, dia bilang setelah saatnya kau akan tahu. Pendek kata ada
sebuah tontonan baik. Dia tanya kau apa sudah pulang, kalau sudah pulang supaya
mengajakmu pula. Sebetulnya aku ingin bilang bahwa kau memang sudah berada
disini. Tapi dia masih banyak kerjaan, mungkin hendak memberitahu tamu lain
secara pribadi, sikapnya kelihatan buru-buru, maka tak enak aku banyak tanya,
saat itu juga aku lantas berangkat kemari menyusulmu."
"Pesan apa yang dia
sampaikan?"
"Dia suruh aku jangan bersuara
meski melihat kejadian aneh apapun, setelah dia tepuk tangan sebagai tanda,
hadirin baru diharapkan keluar."
"Apa hadirin?"
"Ya, oleh karena itu aku
yakin orang yang diundang kemari untuk melihat tontonan itu bukan kita berdua
saja."
"Kejadian ini sungguh
aneh, sandiwara apa sih yang tengah dirancangnya?"
"Mana aku tahu? Seperti
kau akupun tidak habis mengerti. Pendek kata ada tontonan, marilah kita
menunggu dengan sabar."
Agaknya dia masih tidak tahu,
kecuali Kek Lam-wi tak jauh dari mereka masih ada dua orang lain yang juga
keheranan dan bertanya-tanya dalam hati. Akhirnya Tan Ciok-sing berbisik di
pinggir telinga In San: "Mungkin tidak karena aku?"
"Kukira tidak mungkin.
Kek Lam-wi dan nona itukan tidak membocorkan rahasia pertemuan disini.
Bagaimana Nyo Hou-hu bisa tahu kalau kau berada disini. Apa lagi bila untuk
menghadapi kau, seorang Lui Tayhiap kan sudah cukup berkelebihan, kenapa harus
mengerahkan orang banyak itu?"
"Kalau begitu biarlah
kitapun tunggu disini saja, nanti ikut menonton keramaian."
"Betul, saat ini sudah
hampir kentongan ketiga, sebentar lagi tontonan akan segera dimulai."
Mereka bicara dengan bisik-bisik, ternyata kedua muda mudi disana tidak tahu.
Tiba-tiba didengarnya gadis
itu berkata lirih: "Agaknya ada orang datang, lekas kita sembunyi jangan
bersuara."
Tak lama kemudian, betul juga
tampak dua orang beranjak memasuki tanah rumput, melihat kedua orang ini,
jantung Tan Ciok-sing serasa hendak melonjak keluar. Yang datang ternyata bukan
lain adalah It-cu-king-thian Lui Tin¬gak dan Ciang Thi-hu.
Saking heran In San berbisik
menempel telinga Tan Ciok-sing: "Eh, tak kira Ciang Thi-hu bangsat tua
inipun kemari."
"Kenapa heran, bukankah
tuan rumah pertemuan ini adalah It-cu-king-thian sendiri, mereka memang sedang
berintrik, tidak heran kalau It-cu-king-thian juga mengundangnya,"
demikian Tan Ciok-sing dengan suara tawar.
Bagaimana juga In San masih
tidak percaya kalau It-cu-king-thian sudi bersekongkol dengan Ciang Thi-hu,
katanya: "Kukira Lui Tayhiap punya rencana dan maksud tertentu?"
"Kecuali ingin menjilat
pada bangsat tua ini, apa pula tujuannya?" jengek Ciok-sing.
"Kukira Lui Tayhiap tidak
akan seperti itu, apalagi dalam pertemuan ini betapa banyak kaum pendekar yang
hadir, kalau Lui Tayhiap berani membawa bangsat tua ini kemari, mau tidak mau
memang harus dicurigai, memangnya Nyo Hou- hu tidak tahu akan asal-usul bangsat
tua ini?"
"Kuatirnya kaum pendekar
itu semuanya diapusi oleh It-cu-king-thian. Kapan Nyo Hou-hu keluar dari
daerahnya, sejak dua puluh tahun yang lalu Ciang Thi-hu sudah jadi antek
kerajaan, maka tidak perlu heran kalau Nyo Hou-hu tidak tahu
asal-usulnya."
"Kukira urusan tidak
segampang itu, Nyo Hou-hu mengundang orang banyak menyaksikan tontonan di Lian
hoa-hong yang dimaksud adalah adu kepandaian antara It-cu-king-thian melawan
Ciang Thi-hu."
"Kalau begitu tak perlu
kita berdebat sendiri, lihat saja tontonan apa yang bakal terjadi."
Tatkala It-cu-king-thian dan
Ciang Thi-hu sudah berada di tengah tanah lapang, keduanya lantas duduk di atas
sebuah batu karang sambil bercakap-cakap.
Terdengar It-cu-king-thian
berkata: "Lociang, sekarang kau sudah maklum kenapa aku mengajakmu memberi
selamat ulang tahun kepada Nyo Hou-hu bukan? Semula aku masih kuatir, apakah
kau punya keberanian sebesar ini?"
"Aku sudah tahu kaulah
sebenarnya yang menjadi tuan rumah pertemuan itu, bahwa kau percaya padaku,
maka akupun harus percaya padamu, kau pula yang mengundangku, apa pula yang
harus kutakuti?"
"Aku mengundangmu bukan
lantaran aku tuan rumahnya, maksudku untuk menambah semarak perjamuan besar
itu. Untuk ini kukira kau sudah maklum akan jerih payahku ini."
"Kira-kira aku sudah
dapat meraba, tapi sukalah kau menjelaskan lebih lanjut."
It-cu-king-thian tertawa,
katanya: "Orang-orang yang ingin kau temui, umpama kali ini tidak
seluruhnya hadir, kukira delapan puluh persen juga sudah ada."
"Betul, menurut daftar
yang kuterima dari Liong-tayjin orang-orang dari kawan dan lawan memang banyak
yang hadir pagi tadi."
"Adakah yang mengenali
dirimu."
"Kawan-kawan yang menjadi
spion Liong-tayjin sudah tentu ada yang kenal aku, tapi mereka tidak
membocorkan rahasiaku."
"Kalau orang-orang yang
harus kau tangkap menurut perintah Liong-tayjin?"
"Mungkin mereka juga
belum tahu asal-usulku, kalau tidak di waktu kau memperkenalkan aku meski aku
memakai nama palsu, mereka pasti sudah melabrakku. Hehe bukan aku suka agulkan
diri, kepandaianku merias diri ternyata dapat mengelabuhi mereka, sudah dua
puluh tahun aku tidak berkecimpung di kalangan Kangouw, kecuali tokoh-tokoh
yang sudah tua dan kenal aku, mereka takkan ada yang tahu akan diriku."
"Siapa yang paling
menarik perhatianmu?"
"Memangnya perlu
dikatakan lagi, sudah tentu teman baikmu Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun."
"Kau tidak kira kalau dia
datang bukan?"
"Liong-tayjin sudah
mendapat kabar. Cuma aku tidak kira bahwa kau sampai menggunakan peradatan
Pat-sian-ing-khek untuk menyambut kedatangannya."
Mendengar sampai disini,
sungguh senang hati In San bukan main. Pikirnya: "Ternyata
Pat-sian-ing-kek itu untuk menyambut kedatangan Tam Pa-kun. Lui Tayhiap adalah
sahabat mati hidup Tam Tayhiap, yakin dia tidak akan menjual teman baiknya itu?
Tapi kenapa Lui Tayhiap mengadakan perundingan rahasia dengan bangsat she Ciang
ini?" mau tidak mau goyah juga kepercayaan In San terhadap
It-cu-king-thian.
"Kenapa tidak kau
duga?" It-cu-king-thian menegas.
"Walau dia teman baikmu,
tapi di antara tamu-tamu yang hadir, nama dan pamornya adalah yang paling besar
dan dihormati, tapi menurut hematku dia belum setimpal untuk disambut dengan
cara Pat-sian-ing-kek. Mereka yang menjadi Pat-sian, seperti Wi-cui-hi-kiau,
Ui-yap Tojin, Sia-cin Hwesio dan lain-lain, paling hanya setingkat di bawah
kedudukan dan pamornya di bulim. Bagaimana juga Kim-to-thi-ciang masih terpaut
jauh bila dibanding Thio Tan-hong. Oleh karena itu, Lo-lui, aku jadi heran dan
tidak habis mengerti bagaimana kau bisa mengerahkan Pat-sian untuk
menyambutnya."
Berkata It-cu-king-thian
kalem: "Pat-sian-ing-kek hakikatnya bukan menyambut kedatangan
Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun. Tapi sekaligus untuk menyambut kedatangan duta
khusus yang diutus oleh Kim-to Cecu."
Sebenarnya Ciang Thi-hu juga
sudah meraba ke arah itu, tapi dia sengaja pura-pura tidak tahu, sengaja dia
malah bertanya pula: "Untuk apa Kim-to Cecu mengutusnya kemari?"
"Kini pihak kerajaan
minta damai dengan pihak Watsu, kedua pihak sama-sama ingin memberantas laskar
rakyat yang dikoordinir oleh Kim-to Cecu. Masakah kau tidak tahu, kenapa Kim-to
Cecu khusus mengutus Tam Pa-kun kemari?"
"Ya, dia mewakili Kim-to
Cecu untuk menarik simpati orang-orang gagah dan pahlawan-pahlawan bangsa untuk
membantu perjuangannya?"
"Betul, demikian
halnya."
"Apa kau ada maksud
membantu mereka?"
It-cu-king-thian tidak
menjawab "Ya" atau "tidak" namun dia berkata tawar:
"Apa tidak keterlaluan kau tanyakan hal ini kepadaku?"
Agaknya jawaban ini sudah
diduga oleh Ciang Thi-hu, dia tertawa gelak, katanya: "Kim-to Cecu dengan
gabungan kekuatan laskar yang campur aduk itu hendak melawan pasukan besar
Watsu, bukankah ibarat telur membentur batu. Mereka yang mau bergabung dan
bantu dia berperang, bukan saja harus menderita dan tersiksa lahir batin,
merekapun harus berkorban jiwa raga secara percuma, hanya kaum bodoh saja yang
sudi berbuat demikian, oleh karena itu kita harus menggagalkan rencana gila ini
Lo-lui, biar kuberi tahu suatu kabar baik padamu."
"Kabar baik apa?"
tanya It-cu-king-thian.
"Sekarang Liong-tayjin
sedang jaya, sebelum dia keluar dari kota raja. Baginda Raja telah
mengundangnya, keputusan sudah akan segera diumumkan bahwa dia naik pangkat
menjadi sekretaris militer. Dahulu orang tua Liong-tayjin juga pernah menjabat
sekretaris militer, kini setelah sepuluh tahun berselang, diapun mendapat
jabatan seperti ayahnya dulu, bukankah hal ini amat menggembirakan, sekaligus menguntungkan
kita pula?"
"Ya, pepatah juga bilang
air pasang perahunya tinggi, wah kau patut diberi selamat."
Ciang Thi-hu senang dan
bangga, katanya tertawa: "Kalau aku mendapat keuntungan, memangnya aku
bakal melupakan kau? Tapi tahukah kau kenapa Baginda Raja mengangkat
Liong-tayjin sebagai sekretaris militer, malah bukan mustahil kelak dia bisa
diangkat menjadi perdana menteri?" »
"Liong-tayjin cerdik
pandai dan mahir bekerja, jasanya lebih dari orang tuanya adalah patut kalau
Baginda Raja menggunakan tenaga militan untuk bantu menguasai pemerintahan
kerajaan ini."
"Bahwa Liong-tayjin
cerdik pandai bekerja pula hal ini tidak perlu diragukan, bahwa Baginda Raja
mau memberikan hal dan kekuasaan sebesar itu, memang ada sebab musabab
lainnya."
"Boleh aku tahu
sebab-sebabnya itu?" tanya It-cu-king-thian.
"Sudah tentu boleh.
Tentunya kau tahu pihak kerajaan sedang berusaha mengulur perdamaian dengan
pihak Watsu, politik yang dianut adalah menentramkan dulu dalam negeri baru
akan melawan atau membendung ofensif dari luar. Sementara Liong-tayjin memang
sejak lama sudah ada ikatan dengan pihak Watsu, meski pasukan kedua negara
sudah herbaku hantam di medan laga, duta-duta kedua pihak masih terus hilir
mudik membicarakan perdamaian itu. Jadi peranan Liong-tayjin dalam hal ini
boleh dikata amat besar, tidak heran kalau Baginda mengangkatnya sampai
setinggi itu, maka..."
"Oleh karena itu jangan
kita biarkan tugas utama kedatangan Tam Pa-kun kesini sampai berhasil, betul
tidak?" It-cu-king-thian meneruskan.
"Betul," seru Ciang
Thi-hu keplok tangan, "karena itu bagaimana juga aku mohon bantuanmu untuk
menggagalkan usaha mereka."
Tiba-tiba It-cu-king-thian
berkata: "Tahukah kau kenapa aku mengajakmu ke Lian-hoa-hong?"
Ciang Thi-hu melenggong,
katanya: "Di rumah keluarga Nyo memang tidak leluasa berbicara, kira-kira
ada rahasia apa yang ingin kau beritahukan kepadaku?"
"Betul," suara
It-cu-king-thian kalem, "ada sebuah berita baik yang akan kuberitahukan
kepadamu juga."
Diam-diam bersorak girang hati
Ciang Thi-hu tanyanya cepat: "Kabar baik apa?"
"Belasan orang yang ada
maksud masuk kedalam pasukan laskar rakyat Kim-to Cecu sudah diringkus secara
diam-diam oleh Nyo Hou-hu, di antaranya adalah orang-orang yang sudah terdaftar
oleh Liong-tayjin. Minuman yang diberikan kepada mereka sudah dicampur obat
bius yang khusus dibuat untuk mereka. Orang lain menyangka mereka mabuk, lalu
bagaimana membereskan mereka, untuk ini harap Lo-heng memberi petunjuk."
Dada Tan Ciok-sing hampir
meledak mendengar kata-kata It-cu-king-thian ini, hampir saja dia tak kuat lagi
menahan emosi dan hendak terjang keluar melabraknya. Lekas In San menariknya,
katanya berbisik: "Kalau betul Lui Tin-gak kini sudah berkiblat kepihak
kerajaan, hanya mengantar nyawa saja kau keluar. Sabarlah dan dengarkan
pembicaraan mereka lebih lanjut?"
Sebaliknya Kek lam wi dan
gadis itu saling melongo berpandangan di tempat sembunyi mereka. Kiranya
merekapun sudah siap pergi membantu Kim-to Cecu, malah mereka juga sudah
menyampaikan niatnya ini kepada It-cu-king-thian dan Nyo Hou-hu. Kalau betul
ucapan It-cu-king-thian, kenapa mereka berdua sekarang bebas? Demikian pikir
mereka. Maklum meski Kek Lam-wi tidak mengikuti perjamuan besar tadi, tapi
bilamana It-cu-king-thian dan Nyo Hou-hu mau mencelakai dirinya, dirinya yang
tidak siaga dan tidak pernah menduga pasti bisa celaka. Sementara si gadis,
bukan saja dia hadir dalam perjamuan besar itu, Nyo Hou-hu malah mengundangnya
berbicara secara rahasia, kenyataan sampai sekarang dia masih segar bugar.
"Kabar baik" ini
memang amal menguntungkan Ciang Thi-hu, ha! ini sudah terpikir oleh Ciang
Thi-hu, tapi sampai taraf mana "baik"nya, ternyata masih berada
diluar dugaannya, sesaat dia melengong, katanya kemudian: "Jadi Nyo Hou-hu
juga sehaluan dengan kita?"
"Betul, kubujuk dia,
seorang laki-laki harus bisa melihat gelagai dan memilih jalan yang benar,
untung dia mau tunduk dan menerima bujukanku."
"Dari mana dia bisa tahu
siapa-siapa yang hendak ditangkap tayjin?" tapi lekas sekali dia sudah
tertawa geli sendiri, lalu menyambung dan menjawab pertanyaan sendiri:
"Tentu kau yang memberitahu bukan?"
"Sayang kau hanya
memberitahu beberapa orang yang jadi pentolannya, entah aku melupakan mereka
tidak?" lalu secara hapal dia sebutkan nama beberapa orang.
"Ingatanmu amat bagus.
Tapi ada seorang lagi yang paling penting, entah bagaimana kau akan
menghadapinya?"
"Maksudmu
Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun?"
"Betul, bukankah kau
kawan baiknya?"
"Demi menunjukkan darma
baktiku kepada Liong-tayjin, aku tidak perduli kawan baik segala siapa suruh
dia tidak tahu diri? Tapi lwekangnya amat tangguh, arak beracun pun tidak akan
dapat melumpuhkan dia. Apa boleh buat terpaksa aku sendiri yang harus tampil,
besok akan kuajak dia berunding di kamar rahasia bersama Nyo Hou-hu, di kala
dia tidak siaga akan kututuk hiat-tonya."
"Paling baik akalmu
ini," seru Ciang Thi-hu. "Sebetulnya Kungfumu tidak lebih asor dari
dia, kalau kau membokong secara mendadak, pasti berhasil."
Mendengar sampai disini,
sungguh hati Tan Ciok-sing gugup, kaget, gemes lagi, katanya lirih kepada In
San: "Bagaimana? Mereka hendak mencelakai Tam Tayhiap."
In San juga tidak menyangka
bahwa It-cu-king-thian ternyata betul-betul sebejat itu, sudi berintrik dengan
Ciang Thi-hu hendak melakukan perbuatan kotor dan serendah itu. hatinya jadi
bingung dan hambar, tanyanya pula: "Bagaimana menurut
pendapatmu?"
"Akan kusergap mereka dan
menahannya untuk beberapa lama, lekas kau laporkan hal ini kepada Tam
Tayhiap."
"Tidak jiwamu bisa
melayang."
“Kalau kau tidak memberi kabar
ini, Tam Tayhiaplah yang akan celaka jiwanya."
Sudah tentu In San juga tahu
keselamatan jiwa Tam Pa-kun menyangkut pula kalah menangnya pasukan laskar
rakyat di bawah pimpinan Kim-to Cecu. Tapi dia juga tahu, kalau sekarang Tan
Ciok-sing nekat melabrak kedua orang ini, jiwanya pasti melayang pula.
Memangnya dia tega melihat kekasihnya mati dihadapannya dalam beberapa kejap
ini?
Tengah mereka bimbang,
didengarnya It-cu-king-thian sedang berkata pula: "Kali ini Nyo Hou-hu
banyak membantu kerja kita, sepantasnya jangan kita anggap dia orang luar
pula."
"Sudah tentu, selanjutnya
aku masih perlu minta bantuannya," sembari bicara mereka jalan mondar
mandir di tanah lapang berumput, kebetulan sekarang mereka berada tak jauh dari
tempat persembunyian Tan dan In berdua, jaraknya paling hanya belasan langkah.
Ingin rasanya sekali tusuk Tan
Ciok-sing membunuh kedua orang ini, sayang jarak sedekat ini, umpama dia mau
bekerja sesuai kehendaknya tadi, mungkin dia sendiri nanti takkan sempat lolos
dari telapak tangan kedua jagoan kosen ini, jikalau dirinya bertindak nekad
tapi tidak membawa hasil dan keuntungan berarti sia-sia. Apa boleh buat, untuk
sementara terpaksa dia menahan sabar dan menunggu kesempatan untuk bertindak.
Tengah dia menimang-nimang,
didengarnya It-cu-king-thian berkata pula: "Akupun sedang berpikir,
membabat rumput tidak sampai ke akarnya setelah kehujanan dia akan tumbuh lagi,
kebetulan memperoleh kesempatan baik ini, seharusnya kita menjaring mereka
seluruhnya."
"Maksudmu kita babat
musuh-musuh kita itu?" Ciang Thi-hu menegas.
"Terutama orang-orang
yang ingin dibekuk oleh Liong-tayjin. Sementara orang-orang gagah yang hadir
hari ini kelak juga harus diciduk satu persatu. Cuma untuk minta bantuan Nyo
Hou-hu kau harus betul-betul
mempercayai nya."
"Menurut kau bagaimana
aku harus percaya padanya?"
"Untuk melaksanakan tugas
besar ini hingga sukses, kalau hanya aku dan Nyo Hou-hu saja yang melaksanakan
kukira masih kurang menyeluruh, aku masih ingin bantuan orang lain. Lo-ciang,
kau pernah bilang Liong-tayjin ada memberi sebuah daftar nama kepadamu,
serahkan daftar nama itu kepadaku, biar kutunjukkan kepada Ngo Hou hu,
bagaimana?”
"O, kau ingin mendapat
daftar itu?"
"Tanpa daftar itu
bagaimana kita bisa membedakan mana kawan mana lawan? Lo-ciang orang yang
mencurigakan jangan dipakai, kalau memakai orang jangan curiga padanya. Kalau
kau ingin bantuan Nyo Hou-hu, kau harus anggap dia orang kita sendiri."
Ciang Thi-hu ragu-ragu katanya
kemudian: "Setelah memperoleh daftar ini bagaimana kalau Nyo Hou-hu
berubah hati?"
"Kau tidak percaya pada
Nyo Hou-hu berarti tidak mempercayai aku, baiklah, kalau kau tetap curiga
begini, ya, sudahlah."
Dalam sekejap ini Ciang Thi-hu
sudah berpikir putar balik, otaknya bekerja secara kilat, akhirnya dia
berkeputusan untuk menempuh bahaya, batinnya: "Tanpa bantuan mereka,
jangan kata untuk menjaring musuh sebanyak mungkin hanya Kim-to-thi-ciang Tam
Pa-kun seorang saja, mungkin aku tak mampu menandinginya." Maka dengan
seri tawa segera Ciang Thi-hu berkata: "Lui-heng, jangan kau salah paham,
bagaimana aku tidak mempercayaimu? Cuma daftar itu menyangkut urusan besar,
peranannya amat penting, betapapun aku harus hati-hati bertindak tadi aku
memang usil, jangan berkecil hati. Baiklah, daftar nama ini harap kau serahkan
kepada Nyo Hou-hu."
It-cu-king-thian terima daftar
nama itu serta dibacanya sekali, dengan ' hati-hati dia menyimpannya. Lalu
tertawa tergelak-gelak riang, katanya: "Baiklah segera kuserahkan kepada
Nyo Hou-hu."
Mendengar gelak tertawa orang
yang bernada ganjil sekilas Ciang Thi-hu melengak, pikirnya. "Kenapa dia
bilang segera akan diserahkan kepada Nyo Hou-hu?" tanyanya: "Daftar
sudah kuserahkan masih ada persoalan apa pula yang ingin kau bicarakan
disini?"
Tawar suara It-cu-king-thian:
"Kukira tiada lagi," sikapnya dingin dan kereng.
"Kalau begitu, marilah
kita pulang saja," ajak Ciang Thi-hu.
"Kenapa pulang?"
"Bukankah kau hendak
serahkan daftar itu kepada Nyo Hou-hu?"
"Betul, tapi tak usah
pulang dan serahkan dia di rumahnya."
"O, jadi kaupun mengundang
dia kesini, cobalah suruh dia keluar untuk berkenalan dengan aku?"
It-cu-king-thian berkata:
"Tanah lapang disini kulihat amat bagus dan cukup luas, bagai mana kalau
dibanding gelanggang latihan silat di rumah keluarga Nyo itu," dia bicara
tanpa menjawab pertanyaan.
Karuan Ciang Thi-hu melenggong
tanyanya cepat. "Lo-lui, apa maksud ucapanmu ini?" It-cu-king-thian
berkata dengan kalem: "Tiada omongan yang perlu kubicarakan lagi dengan
kau, tapi ada satu persoalan, betapapun aku harus membereskan dengan kau
disini."
Ciang Thi-hu kaget, serunya:
"Persoalan apa?"
"Malam itu aku telah
mendapat kesempatan belajar dengan kau di puing-puing rumah keluarga Tan,
sayang siapa kalah siapa asor belum ada ketentuan, sejauh ini belum lagi lenyap
seleraku berantam. Maka mumpung sekarang ada kesempatan ingin aku melanjutkan
adu kepandaian, mohon kau suka memberi petunjuk."
"Apa, kau masih ingin
bertanding dengan aku?"
"Bukan lagi bertanding,
aku ingin menentukan siapa jantan atau betina di antara kau dan aku. Atau boleh
juga dikatakan menentukan mati hidup."
Karuan bukan kepalang kaget
Ciang Thi-hu: "Kau, kau, kau tidak berkelakar bukan? Baru saja bicara
baik-baik, kenapa kau..."
It-cu-king-thian menukas
dengan jawaban dingin: "Karena aku orang she Lui ingin berbuat seperti
orang 'bodoh' yang kau katakan tadi."
Orang "bodoh" yang
dimaksud Ciang Thi-hu adalah mereka yang tidak mau harta benda, pangkat dan
jabatan tinggi, tapi lebih suka menjadi pembantu Kim-to Cecu melawan kekuasaan
raja, tepatnya kaum pemberontak. Tak nyana kini It-cu-king-thian Lui Tin-gak
justru rela menjadi orang yang "bodoh".
Bukan Ciang Thi-hu saja yang
kaget mendengar pernyataan tegas ini, In San pun hampir bersorak kegirangan.
Memang sejak mula dia sudah menduga pasti ada latar belakang tertentu sehingga
It-cu-king-thian mengajak Ciang Thi-hu kemari, tapi tak terpikir olehnya bahwa
tujuan It-cu-king-thian adalah hendak ngapusi daftar nama itu, kini setelah
tujuan tercapai segera dia hendak membunuh Ciang Thi-hu.
"Lha, bagaimana. Sudah
kukatakan Lui Tayhiap pasti bukan orang jahat, sekarang kau sudah percaya? Oh,
ya kau pernah bilang..." demikian bisik In San di pinggir telinga Tan
Ciok-sing dengan tertawa.
Tan Ciok-sing sendiri juga
merasa senang dan kaget, tapi juga amat menyesal, tapi dia tetap tidak percaya
akan pendengarannya sendiri, segera dia menukas perkataan In San: "Betul,
tadi kukatakan bila It-cu-king-thian membunuh keparat tua itu, baru aku mau
percaya padanya, kini biar aku menunggu kenyataan."
Tampak Ciang Thi-hu berjingkrak
gusar, suaranya gemetar: "Kau, kau, jadi obrolanmu tadi semua hanya hendak
menipuku?"
It-cu-king-thian
terbahak-bahak, katanya: "Menghadapi sampah persilatan macammu ini, aku
hanya menggunakan cara yang sama untuk membalas kepada orang yang melakukannya.
Tapi aku tidak menipumu seluruhnya, tadi aku berjanji untuk menyerahkan daftar
ini kepada Nyo Hou-hu, nah sekarang juga boleh kau saksikan bahwa ucapanku
dapat dipercaya."
Belum habis It-cu-king-thian
berbicara tahu-tahu terdengar tiga kali tepukan tangan serempak dari gerombolan
batu-batu yang berserakan di sekitar lapangan bermunculan banyak orang dalam
sekejap beberapa orang menyulut obor sehingga keadaan sekelilingnya menjadi
terang benderang. Batu-batu karang dengan berbagai bentuknya yang aneh-aneh dan
besar di atas Lian-hoa-hong berserakan itu memang tempat baik untuk sembunyi.
Orang yang berdiri paling depan adalah tuan rumah Nyo Hou-hu, di belakangnya
lagi adalah Ui-yap Tojin, Sia-cin Hwesio, Wi-cui-hi-kiau dan lain-lain anggota
Pat-sian. Karena Kek Lam-wi dan gadis itu termasuk anggota Pat-sian sudah tentu
merekapun ikut keluar.
Belasan orang yang tadi
dikatakan sudah diringkus dengan arak bius oleh It-cu-king-thian tadi, ternyata
berada dalam rombongan besar yang berdiri mengelilingi tanah lapang ini.
Tiba-tiba terdengar sebuah siulan panjang melengking, begitu keras getaran
suitan ini sampai memekak telinga Ciang Thi-hu, dari pucuk pohon tak jauh di
belakangnya tiba-tiba melompat turun seseorang.
Orang ini adalah
Kim-to-thi-chiang Tam Pa-kun, katanya dengan gelak tertawa: "Lui-toako,
peranan sandiwaramu sungguh baik dan berhasil, Tapi aku harap babak selanjutnya
dari peranan sandiwara ini kau serahkan kepadaku," maksudnya dia hendak
mewakili It-cu-king-thian menempur Ciang Thi-hu.
It-cu-king-thian tersenyum,
katanya: "Tam-toako, biarlah aku lanjutkan saja. Aku tahu banyak
kawan-kawan yang menaruh curiga padaku, entah mengapa aku membawa bangsat tua
ini pada perjamuan tadi. Kalau peranan ini tidak kulanjutkan, bagaimana aku
bisa menunjukkan kebersihan jiwaku," sembari bicara dia serahkan daftar
nama itu kepada Nyo Hou-hu.
Seterima daftar itu sekilas
Nyo Hou-hu membacanya lalu tertawa, katanya: "Ciang Thi-hu, banyak terima
kasih atas pemberian daftar ini, biar kuberitahu kepadamu, kawan-kawanmu yang
tercantum dalam daftar ini, hampir seluruhnya telah kutangkap. Memangnya aku
sedang kuatir bila ada ikan yang lolos dari jaring, hingga kurang bersih aku
menyapu mereka, kini berdasar daftar ini, aku bisa melanjutkan grebekanku,
sesuai apa yang tadi kau katakan membabat rumput harus sampai ke
akar-akarnya." Ciang Thi-hu berdiri lemas dengan muka pucat pias, adalah
orang-orang gagah yang hadir sama tertawa gemuruh.
Lebih lanjut Nyo Hou-hu
berkata pula setelah ikut tertawa lebar: "Para kawan-kawan yang hadir,
kenapa malam ini kuundang kalian ke Lian-hoa-hong ini tentunya tak usah
kujelaskan, kalian sudah maklum sendiri. Haha, kalau mau nonton ya carilah
adegan yang bagus, bahwa Lui Tayhiap adalah jagoan top yang tidak perlu
diragukan lagi, sementara 'Ciang Tayjin' yang berperan sebagai tokoh jahat ini,
sejak dua puluh tahun yang lalu merupakan jagoan paling kosen dalam pasukan
Gi-lim-kun. Hehe, haa, beruntunglah kita semua dapat menyaksikan pertunjukan
yang seru dan ramai ini."
Dengan muka pucat berkeringat
dingin, terpaksa Ciang Thi-hu mengeraskan kepala katanya: "Orang she Ciang
hari ini terjebak dalam permainan licik kalian, tiada yang perlu kukatakan lagi
kalian maju bersama, orang she Ciang dapat gugur di tangan kalian orang-orang
gagah sebanyak ini, setimpal juga kematianku."
"Jangan mengumpak awak
sendiri sebagai orang gagah, tuan besar Ciang," jengek It-cu-king-thian,
"kupingmu kan tidak tuli, memangnya kau tidak dengar apa yang diucapkan
Nyo Cengcu barusan? Untuk menjagalmu kenapa harus membuang banyak tenaga? Cukup
aku orang she Lui seorang saja yang berlaga dengan kau, biar nanti kau mati
dengan tentram,"
Terbetik setitik harapan dalam
benak Ciang Thi-hu, setelah ngakak dipaksa akhirnya dia berkata. "Memang
kata-katamu inilah yang kuharapkan. Tapi perkataanmu belum cukup jelas,
bolehkah aku bertanya supaya persoalan lebih terang."
"Kau ingin omong atau mau
kentut, lekas saja," jengek It-cu-king-thian.
"Bagaimana kalau orang
she Ciang beruntung dapat mengalahkan kau Lui Tayhiap? Hadirin sebanyak ini,
apakah merekapun boleh satu persatu melawanku satu persatu? Hehe, namaku Thi-hu
(tukang besi), tapi badanku yang hampir reyot ini bukan terdiri rangka besi
balung saja, terus terang aku takkan kuat melawan kalian secara giliran."
Karena ucapannya ini
menimbulkan reaksi kemarahan hadirin: "Keparat kau ini barang apa masakah
bisa mengalahkan Lui Tayhiap? Dia memancing kemarahan kita, supaya sudi melepas
dia, kau bilang dia ibarat nelayan yang sudah terbalik perahunya di tengah
lautan, yang diharap dapat menangkap setangkai jerami. Memangnya dia sedang
bermimpi kalau mengharap bisa mengalahkan Lui Tayhiap. Akan tetapi biarlah dia
berhasil menangkap setangkai jerami itu."
It-cu-king-thian angkat kedua
tangan sambil berputar menekan keributan hadirin. Serunya lantang:
"Baiklah, kujelaskan dulu kepadamu, kalau kau mampu mengalahkan aku,
segera kupersilahkan kau turun gunung."
"Apa betul?" teriak
Ciang Thi-hu terbeliak girang.
"Kau kira kita ini
manusia kerdil macammu yang tidak dipercaya ini?" demikian bentak Nyo
Hou-hu, "cara apa yang sudah disebutkan Lui Tayhiap tadi, hadirin pasti
akan mematuhinya."
Mendadak It-cu-king-thian
membentak: "Persoalan sudah jelas, tidak segera dimulai, masih tunggu apa
lagi?"
"Tamu tak boleh
mendahului tuan rumah, harap Lui Tayhiap memberi petunjuk."
"Jangan kau meninggikan
derajatmu, siapa anggap kau sebagai tamu?" damprat It-cu-king-thian Lui
Tin-gak.
"Aturan tetap
aturan," demikian ucap Ciang Thi-hu, hadirin kira dia sengaja hendak
mengulur waktu, tak nyana mendadak dia melontarkan sebuah pukulan mengepruk
batok kepala It-cu-king-thian. Setelah telapak tangannya terayun baru dia
lanjutkan kata-katanya: "Tapi kalau Lui Tayhiap tidak sudi melayaniku
sebagai tamu, terpaksa aku tidak sungkan lagi."
It-cu-king-thian tetap tidak
bergerak, setelah telapak tangan lawan terpaut lima dim dari kepalanya, baru
mendadak dia miringkan tubuh telapak tangan melintang bagai golok, dengan jurus
Hian-niau-hoa-sa, dia menepis pergelangan tangan lawan, jengeknya: "Siapa
suruh kau sungkan?" jurus Hian-niau-hoa-sa ini adalah permainan tunggal
yang pandai melawan serangan lawan dengan tenaga keras dan lunak, jikalau Ciang
Thi-hu tidak merubah permainannya, pergelangan tangannya itu salah-salah bisa
tertabas kutung.
Dalam pada itu, Tan Ciok-sing
dan In San juga sudah keluar dari tempat persembunyiannya, perhatian hadirin
tertuju ke tengah gelanggang, maka tiada perhatikan mereka.
Tan Ciok-sing berkata lirih:
"Lui Tayhiap terkenal bukan karena ilmu pedangnya yang liehay, tapi jurus
Hian-niu-hoa-sa ini adalah perubahan dari cabang ilmu pedang, seakan-akan ada
persamaan yang serasi dengan Bu-bing-kiam-hoat yang diajarkan oleh suhu.
Agaknya Kungfu tingkat tinggi kebanyakan memang terjalin dalam satu sumber yang
sama," tanpa disadarinya kini dia sudah ganti sebutan kepada
It-cu-king-thian, ini menandakan bahwa dia sudah tidak menaruh curiga pula
terhadap Lui Tin-gak.
Di kala Tan Ciok-sing berbisik
bicara dengan In San itu, keadaan pertempuran di tengah arena ternyata sudah
berubah.
Kungfu Ciang Thi-hu memang
liehay dan tinggi, pukulan yang dia lontarkan untuk menyergap It-cu-king-thian
tadi semula kelihatan kuat dan deras, begitu mengadakan perlawanan ternyata
dalam waktu singkat itu mendadak gerakan yang membela itu telah dirobah menjadi
tabasan miring. "Biang" telapak tangan kedua pihak kontan beradu,
keduanya sama limbung dua kali. Bahwa dia mampu mengadu pukulan sampai sepuluh
jurus dengan It-cu-king-thian memang tidak perlu dibuat heran, hal inipun sudah
diduga oleh hadirin. Tapi dalam waktu sependek itu dia bisa bermain sesuka
hati, maju mundur dan keluar masuknya tenaga ternyata terkontrol baik sekali,
ini menandakan bahwa taraf kepandaian silatnya memang sudah tinggi. Tadi
hadirin sudah yakin bahwa It-cu-king-thian pasti akan memenangkan pertempuran
adu jiwa ini, kini mau tidak mau timbul rasa kuatir dalam benak mereka.
Cepat sekali begitu limbung
dan tersurut mundur selangkah, dia tuntun tenaga lawan ke atas berbareng dengan
langkah berantai dia menyelinap maju, tiba-tiba kakinya melayang dengan
tendangan miring. Telapak tangan kanan Ciang Thi-hu melayang miring dia
membalas dengan sejurus Hou-te-jan-hou. Lekas It-cu-king-thian menarik kaki
kanan, tahu-tahu kaki kiri melayang pula, tendangan berantai tiga kali mendesak
Ciang Thi-hu mundur tiga langkah. Hadirin kagum dan memuji: "Kiranya
kepandaian ilmu tendangan Lui Tayhiap juga begini liehay dan mahir."
Hadirin kira It-cu-king-thian sudah merebut posisi yang lebih unggul dan pasti
akan menang, tak nyana mendadak Ciang Thi-hu berputar badan sembari menarikan
kedua telapak tangannya, sekaligus dia lontarkan sepuluh jurus pukulan dengan
kekuatan penuh secara keras, hingga dia berhasil mendesak maju ke depan
It-cu-king-thian sehingga lawannya tak mampu lagi menyerang dengan pukulan yang
dikombinasikan dengan tendangan pula. Para ahli Kungfu yang hadir sama tahu
bahwa dia memainkan Ngo-hing-ciang-hoat, pukulan ini mengutamakan membelah,
menyelinap, menggebuk,
membabat, dan menjojoh, lima
unsur saling isi dan tubuh, ada pula keras ada pula lunak, kekuatan pukulannya
menderu bagai gelombang pasang. Di bawah serangan gencar yang deras dan nekad
seperti mau adu jiwa ini, It-cu-king-thian ternyata terdesak mundur selangkah
demi selangkah.
Angin pukulan bergolak, pasir
terbang batu berguling. Terdengar suara keretekan yang ramai, itulah suara
dahan-dahan pohon yang patah dan runtuh. Pada hal mereka berhantam di tengah
tanah lapang yang cukup luas, pohon yang tumbuh paling dekat juga ada belasan
langkah jauhnya, sudah tentu pukulan mereka takkan mungkin secara telak memukul
ke arah pohon, tapi dahan-dahan itu sama rontok karena kekuatan Bok-khong-ciang
yang dahsyat. Bila mereka bertempur di sebelah timur, dahan pohon di sebelah
timur sama runtuh, kalau berkisar ke barat, pohon-pohon di sebelah barat pun
sama tumbang.
Kalau pohon jadi korban,
adalah manusia yang menonton diluar gelanggang sama menyingkir semakin jauh,
padahal mereka memiliki kepandaian cukup tinggi, namun tak kuasa membendung gelombang
kekuatan pada pukulan kedua jagoan yang kosen ini.
Di tengah pertempuran sengit
itulah, mendadak terdengar suara ledakan dahsyat, disusul batu krikil besar
kecil sama muncrat ke berbagai penjuru, kiranya Ciang Thi-hu terlalu bernafsu
untuk mengalahkan musuh, maka pukulannya sudah terukur lagi kekuatannya, dimana
angin pukulannya menyambar sebuah batu karang sebesar pelukan orang dewasa
dihantamnya hancur lebur. Tapi pukulannya tidak mengenai It-cu-king-thian.
Meski tidak terkena pukulan lawan, tapi It-cu-king-thian terdesak turun seakan
dia hanya mampu menangkis, membela diri dan tak kuasa balas menyerang.
Para ahli silat yang hadir
kini lebih nyata lagi, bahwa Ciang Thi-hu kini sudah getol adu jiwa, pukulannya
dilandasi kekuatan Gun-goan-it-cu-kang.
"Gun-goan-it-cu-kang
ternyata memang Iiehay, agaknya bangsat tua ini sudah melatihnya mencapai
tingkat paling tinggi, taraf ke sembilan," demikian kata seorang busu.
Seorang busu (guru silat) lain
menimbrung; "Tidak menurut pendapatku, tingkat latihannya sekarang paling
baru mencapai taraf ke delapan. Tiga puluh tahun yang lalu aku pernah saksikan
Tiong-pangcu dari Kaypang dalam jarak seratusan langkah mampu memukul hancur
sebuah pilar batu marmer dengan Gun-goan-it-cu-kang, jelas dia punya jauh lebih
Iiehay."
"Umpama betul baru
mencapai taraf ke delapan, perbawanya juga sudah cukup hebat. Aku jadi kuatir,
apakah Lui Tayhiap..." guru silat pertama tadi tidak meneruskan
kata-katanya, tapi orang lain tahu, dia menguatirkan It-cu-king-thian, mungkin
tidak mampu melawan Gun-goan-it-cu-kang Ciang Thi-hu yang mencarai taraf ke
delapan. Teman bicaranya tadipun diam saja tidak memberi tanggapan pula,
agaknya secara diam-diam diapun mengakui kebenaran kata-kata temannya, maka dia
tinggal bungkam saja.
Tiba-tiba didengarnya sebuah
suara serak kasar berkata: "Omong kosong, kalian tahu kentut apa, Lui
Tayhiap menggunakan kelunakan melawan kekerasan, seperti lemah kenyataan kuat,
sebaliknya keparat she Ciang itu sudah hampir kehabisan tenaga. Aku berani bertaruh
dalam seratus jurus, Lui Tayhiap pasti menang, hayo siapa yang berani bertaruh
denganku?"
Pembicara ini adalah seorang
Hwesio, dia bukan lain adalah Hwesio kasar atau salah satu dari Pat-sian yang
pernah bersua di tengah jalan dengan Tan Ciok-sing itu julukannya Sia-cin
Hwesio, suaranya keras maka banyak hadirin yang mendengar kata-katanya.
Kata-katanya diucapkan kasar
seperti tidak kenal aturan, tapi kedua guru silat itu ternyata bungkam
seketika, tidak marah mereka malah girang dan lega. Bahwa Sia-cin Hwesio berani
bicara sekeras dan setandas itu, jelas bahwa It-cu-king-thian sudah punya akal
dan cara untuk mengalahkan dan membekuk musuhnya. "Memangnya kita semua
mengharap Lui Tayhiap yang menang, buat apa harus bertaruh dengan kau,"
demikian seseorang berseru.
Tapi banyak hadirin yang masih
belum tahu akan seluk-beluk dari pertempuran seperti yang dikatakan Sia-cin
Hwesio tadi. Tapi Tan Ciok-sing justeru mengikutinya dengan jelas dan seksama.
"Perhatikan gerak langkah
Lui Tayhiap," bisik Tan Ciok-sing kepada In San, "dia melangkah
dengan posisi Ngo-hing-pat-kwa, setiap langkah gerakannya selalu memunahkan
sebagian tenaga pukulan dahsyat Ciang Thi-hu. Jelas dia betul-betul bisa
mempraktekan ajaran ilmu tingkat tinggi yaitu menghindari yang isi menggempur yang
kosong, dari pihak yang diserang berbalik menyerang, yang hijau mengalahkan
yang sudah matang. Kalau Sia-cin Hwesio menilai dia baru akan menang dalam
seratusan gebrakan, kukira terlalu banyak. Menurut penglihatanku, dalam sepuluh
jurus lagi, Lui Tayhiap sudah akan balas menyerang. Kira-kira tiga puluh jurus
kemudian, jiwa bangsat tua she Ciang ini pasti akan tamat, kau percaya
tidak?"
Maka terlihat Ciang Thi-hu
sedang melontarkan sebuah pukulan, yang digunakan adalah jurus membelah, tapi
jari-jari tangannya terkepal dan terangkat tinggi di atas kepala, gerakannya
seperti martil yang lagi diayun dan siap hendak dipukulkan perbawa serangan ini
memang hebat sekali, tapi kali ini It-cu-king-thian ternyata tidak mundur lagi
kepalannya melintang terus disampokan keluar, sehingga kepalan Ciang Thi-hu
kena dituntun ke samping, sekaligus dia tambahi dengan gerakan mendorong pula.
Lekas Ciang Thi-hu gunakan merubah bentuk memindah kedudukan, sekaligus
serangannya dirobah menjojoh, sasarannya di atas mengancam muka lawan, jurus
ini dinamakan Ciong-thian-bau, atau Meriam Yang Mengincar Ke Udara. Telapak
tangan It-cu-king-thian terayun, gerakan mendorong berubah menggelantung,
dengan jotosan sekaligus dia menggantolnya keluar, maka kepalan dan telapak
tanganpun beradu, kali ini ternyata tidak menimbulkan suara, tapi kenyataan
bahwa Ciang Thi-hu kini yang berganti tertolak mundur selangkah. Perkembangan
selanjutnya memang terlalu cepat, kini It-cu-king-thian sudah lebih
berinisiatip menyerang, kedua telapak tangannya bekerja sekencang angin
kitiran, Ciang Thi-hu balas diserangnya dengan gencar dan ganas.
Diam-diam In San tertawa,
katanya: "Sudah tentu aku percaya akan komentarmu, mungkin kau pun
berkelebihan menilainya," ternyata hanya dalam tiga gebrak saja setelah Tan
Ciok-sing memberikan komentarnya, It-cu-king-thian sudah merubah situasi, dari
pihak terdesak berbalik balas mendesak, lebih banyak menyerang dari pada
bertahan.
Keringat Ciang Thi-hu
gemerobyos, matanya mendelik otot-otot hijau merongkol keluar, sikapnya kini
lebih mirip serigala yang mengamuk didalam kandang, kelihatan betapa liar dan
buas perangainya, secara nekat diapun melawan dengan serangan-serangan gencar
dan mematikan, seolah-olah dia mengharapkan kemenangan meski dalam keadaan
terdesak ini.
Diam-diam It-cu-king-thian
tertawa dalam hati: "Jikalau kau tidak segugup dan emosi seperti ini,
mungkin masih kuat bertempur tiga puluh jurus. Hehe, kini kau masih berani
mengadu serangan dengan aku, itu berarti kau memang ingin lekas tamat riwayatmu."
Di tengah pertempuran sengit
itu, tiba-tiba lengan It-cu-king-thian seperti melengkung, sekonyong-konyong
dengan jurus Wan-kiong-sia-gwat (menarik gendewa memanah rembulan), jarinya
menutuk ke hiat-to di dada Ciang Thi-hu. Pada hal Ciang Thi-hu sedang menarikan
sepasang tangannya sekencang baling-baling, dengan menyerang dia berusaha
mempertahankan posisinya yang terdesak, dia sudah yakin pertahanannya sekarang
sudah amat ketat dan kokoh, tak nyana entah kenapa, tahu-tahu jari
It-cu-king-thian masih juga menyelonong masuk dan dadanya kena tertutuk dengan
telak.
Karuan Ciang Thi-hu kaget
sekali, lekas dia gunakan gerakan Hong-biau-loh-hoa untuk berkelit, sudah tentu
It-cu-king-thian tidak memberikan kesempatan pula padanya, begitu tangan kiri
bergerak naik menyanggah sikut lawan, telapak tangan kanan tiba-tiba menyusup
keluar dari bawah ketiak terus menjojoh ke Ih-gi-hiat di bawah ketiak Ciang
Thi-hu.
Ih-gi-hiat adalah salah satu
hiat-to mematikan di tubuh manusia, berkelit jelas tidak mungkin lagi, dia juga
tahu bahwa tenaga dalamnya kini sudah bukan lagi tandingan It-cu-king-thian,
apa boleh buat terpaksa dia berbuat nekat serta melawan dengan setaker
tenaganya yang masih tersisa.
Betapa dahsyat kekuatan
binatang yang sudah nekat didalam kandang, demi mempertahankan mati dan hidup
lagi. Tampak Ciang Thi-hu mendoyongkan tubuh, sehingga seluruhnya melengkung
miring laksana busur, kedua telapak tangannya didorong lurus ke depan laksana
pucuk panah, tenggorokannya mengeluarkan suara krok krok seperti kodok ngorek,
seolah-olah dia hendak menindihkan seluruh kekuatannya ke tubuh lawannya. Para
penonton diluar gelanggang sama merasakan tenaga gempurannya ini sedahsyat
gugur gunung. Sekejap ini seluruh hadirin menyaksikan dengan mata terbeliak dan
suasana menjadi hening lelap, sedemikian sepinya umpama jarum jatuh juga bisa
terdengar.
Perawakan Ciang Thi-hu tinggi
kekar dan berotot kencang, perawakannya lebih tinggi sekepala dari
It-cu-king-thian, kini dengan serangan menindih dari atas ke bawah ini, seluruh
kekuatan tubuhnya sekaligus menindih turun sehingga kelihatan dia memperoleh
posisi yang menguntungkan. Banyak hadirin yang pernah menyaksikan kedahsyatan
Gun-goan-it-cu-kang, mau tidak mau mereka sama kuatir dan berdegup jantungnya,
mereka kuatir bila It-cu-king-thian tidak kuat melawan gempuran hebat ini.
Di tengah keheningan lelap
itu, mendadak terdengar suara "krak" yang keras, tubuh Ciang Thi-hu
yang gede itu mendadak jungkir balik dan terpental kesana terus
terguling-guling sambil menjerit keras seperti babi hendak disembelih.
Kiranya pada detik-detik yang
menentukan tadi It-cu-king-thian bukan saja tidak menerjang maju, diapun tidak
menangkis atau berusaha mematahkan serangan musuh, tapi dalam posisi yang
menyulitkan dan didalam keadaan yang tidak mungkin menurut penglihatan orang
lain, mendadak dia merebut kecepatan balas menyerang, telapak tangan kanan
menggantol keluar, berbareng dengan jurus Ling-yang-kwa-kak (kambing gembel
menanduk) secepat kilat telapak tangan kiri menempiling ke muka Ciang Thi-hu.
Waktunya tepat sasarannyapun telak sehingga Ciang Thi-hu dipaksa untuk miring
tubuh sambil melontarkan pukulannya, sudah tentu serangannya mengenai tempat
kosong, kelambatan yang sedetik ini sudah memberi peluang untuk
It-cu-king-thian melancarkan serangan liehay dari Hun-kin-joh-kut-jiu, lengan
Ciang Thi-hu kena dipelintirnya patah. Dari jurus Ling-yang-kwa-kak yang
gertakan belaka tahu-tahu dirubah dengan serangan Hun-kin-joh-jiu yang
sesungguhnya, perubahan antara isi dan kosong ini sungguh amat menakjubkan,
kecuali Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun, Ui-yap Tojin, Sia-cin Hwesio dan Tan
Ciok-sing, hadirin yang lain belum lagi melihat jelas, tahu-tahu tampak Ciang
Thi-hu sudah mencelat jatuh berguling-guling seperti bola yang tertendang.
Hening sekejap mendadak
meledaklah sorak sorai dan tepuk tangan yang gegap gempita. Hadirin sama
berjingkrak dan menari-nari dengan senang serta merubung maju.
Nyo Hou-hu tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Tontonan sudah berakhir, kini tiba giliran
adegan selanjutnya, yaitu mengompres keterangan dari mulut tawanan. Lui Tayhiap
silakan kau istirahat di samping, nanti masih kami butuhkan keputusanmu untuk
memberikan hukuman padanya."
Baru saja dia menghampiri
kesana hendak menarik Ciang Thi-hu yang telah patah lengannya, mendadak
didengarnya Ciang Thi-hu meronta-ronta sambil berkuik-kuik mengerikan, darah
tiba-tiba menyembur dari mulutnya, setelah berkelejetan beberapa kali,
tiba-tiba kakinya mengejang lurus, tangannya pun mencakar-cakar tanah, kejap
lain tubuhnya pun menjadi lemas dan tak bergerak lagi untuk selamanya. Kiranya
dengan sisa tenaga Gun-goan-it-cu-kang yang masih tersisa dia menghancurkan
urat nadi sekujur badannya, sehingga jiwanya melayang seketika.
It-cu-king-thian berkata:
"Untung daftar nama itu sudah berada di tangan kita, tidak mengompres
keterangannya juga tidak menjadi soal."
"Kematian keparat tua ini
memang setimpal, sepatutnya dia mati lebih mengenaskan lagi," demikian
ujar Nyo Hou-hu. Segera dia suruh tiga Ceng-sing menyeret Ciang Thi-hu serta
dikuburkan secara sederhana. Baru sekarang hadirin sempat memberi salam kepada
It-cu-king-thian.
Tam Pa-kun juga hendak maju
memberi selamat, tiba-tiba didengarnya seorang
memanggilnya:
"Tam-pepek." — Waktu Tam Pa-kun menoleh, dilihatnya seorang pemuda
berwajah ganteng berdiri di sampingnya, waktu dia menegas dan meneliti, lekas
dia mengenalinya kiranya In San yang menyamar laki-laki. Karuan senang Tam
Pa-kun diluar dugaan, katanya: "Hian-tit-li, kaupun datang juga?"
"Aku datang bersama
seorang kawan," sahut In San.
"Siapa?" tanya Tam
Pa-kun.
"Seorang pemuda gagah
yang sudah kau kenal, kau pernah membantu dia, diapun pernah menolongmu."
Di kala mereka bicara, di
waktu terjadi keramaian dimana para hadirin berlomba memberi selamat kepada
It-cu-king-thian itulah, Tan Ciok-sing melompat maju kesana, teriaknya lantang:
"Lui Tin-gak, kau orang tua keparat ini apa masih kenal padaku?"
Sudah tentu hadirin kaget dan
tertegun, sorot mata mereka sama tertuju ke arah Tan Ciok-sing. "Dari mana
munculnya pemuda bernyali besar ini?" hadirin yang bertabiat kasar segera
mendamprat: "Bocah busuk, kau ini barang apa, berani bermulut kasar
terhadap Lui Tayhiap?" -Ada juga yang mengira dia komplotan Ciang Thi-hu,
bentaknya: "Apa kau hendak menuntut balas kematian Ciang Thi-hu si keparat
itu? Memangnya kau kira Lui Tayhiap sudi bergebrak melawanmu, biar aku saja
yang mengajar adat kau bocah busuk ini."
Melihat dia mendadak muncul,
karuan Kek Lam-wi kaget dan senang, lekas dia berteriak: "Kawan ini akulah
yang mengundangnya kemari, aku tahu dia bukan anak buah Ciang Thi-hu."
"Kalau dia bukan
komplotan Ciang Thi-hu, kenapa sikap dan tutur katanya begini kurang ajar
terhadap Lui Tayhiap? Siapa dia, kau tahu, lekas terangkan," hadirin
berlomba tanya dengan bentakan kasar.
Sudah tentu Kek Lam-wi juga
tidak mampu menjawab pertanyaan ini, dengan tawa getir terpaksa dia berkata:
"Biarlah dia sendiri yang menerangkan. Hai, Tan-heng, apakah kau tidak
kenal It-cu-king-thian Lui Tayhiap? Apa kau tidak salah menemukan orang?"
Dengan sikap pongah Tan
Ciok-sing menjawab: "Sampai terbakar hanguspun aku kenal keparat tua ini,
memangnya aku hendak membuat perhitungan dengan dia."
Sudah tentu hadirin semakin
murka mendengar kata-katanya yang kasar ini. Kek Lam-wipun tak berani bersuara
lagi, apalagi tampil ke depan melerai.
Lekas It-cu-king-thian angkat
sebelah tangannya memberi tanda, hadirin segera tahan sabar, keributanpun
berhenti, katanya: "Betul, aku tahu siapa pemuda ini, dia memang bukan
komplotan Ciang Thi-hu, dia adalah keturunan seorang sahabatku, yaitu cucu dari
guru harpa nomor satu di jagat ini - Tan Khim-ang."
Didalam perjamuan besar siang
tadi It-cuking-thian pernah membuka kata mohon bantuan hadirin yang ikut
mencari jejak Tan Ciok-sing, maka tidak sedikit hadirin yang tahu akan hal ini
menjadi bingung dan keheranan.
Di bawah tatapan hadirin yang
sebanyak itu, sedikitpun Tan Ciok-sing tidak gentar, katanya dengan nada
kereng: "Urusan sudah sejauh ini, kukira para hadirin juga pasti sudah
maklum bukan? Dengan Ciang Thi-hu hakikatnya aku tidak kenal, apalagi menjadi
komplotannya, kedatanganku kemari bukan untuk menuntut balas kematian orang
lain, tapi demi menuntut balas sakit hatiku sendiri."
"Bagus," seru
It-cu-king-thian, "memang aku ingin bicara dengan kau supaya jelas, mohon
tanya ada permusuhan dan sakit hati apa antara aku dengan kau?"
Tan Ciok-sing menyeringai
dingin, katanya: "Masa kau tidak malu mengagulkan diri sebagai sahabat
baik kakekku, pada hal apa yang kau lakukan kukira hanya kau sendiri yang
paham."
"Apa sih maksud
perkataanmu, kau kira akulah yang mencelakai kakekmu?"
"Memangnya kau masih
berani mungkir?"
Pesuruh tua keluarga Lui yang
pernah mencari tahu kepada Siau-cu-cu itu kebetulan juga berada di antara
rombongan hadirin, tak tahan lagi segera dia tampil ke depan, katanya:
"Kau bocah goblok ini, memangnya tidak tahu membalas kebaikan malah
memfitnah orang baik. Tahukah kau siapa yang mengubur dan merawat pusara
kakekmu? Tahukah kau di kala Lui Tayhiap sendiri mengalami bencana, dia masih
tidak lupa memikirkan keselamatan kalian kakek dan cucu, dia suruh aku pergi
membantu kalian, untuk ini aku berani menjadi saksi."
Tan Ciok-sing menyeringai
pula, katanya kalem: "Memangnya sekarang aku hendak membongkar kemunafikan
keparat tua ini, supaya orang-orang gagah di kolong langit ini tidak tertipu
olehnya.
Betapapun sabar dan besar
pambek It-cu-khing-thian, kini dia dibikin naik pitam juga, katanya: "Jadi
didalam benakmu aku ini adalah sedemikian bejatnya?"
"Malam itu kakekku pulang
dari rumahmu, tubuhnya sudah terluka parah, jelas kaulah yang mencelakainya.
Peduli kau bermulut manis dan ludahmu sampai kering, aku tetap takkan mau
percaya padamu, maka tidak perlu kau mengoceh, simpanlah tenagamu."
Disana Tam Pa-kun
geleng-geleng kepala, katanya kepada In San: "Temanmu kenapa begitu keras
kepala dan kukuh pendapat, berangasan lagi, seluk beluk persoalan itu aku tahu
jelas dia keliru kalau menyalahkan Lui Tayhiap," baru saja dia hendak
tampil ke depan tiba-tiba In San menarik lengan bajunya, serta berbisik di pinggir
telinganya: "Paman Tam, jangan kau mencampuri urusan ini. Temanku itu
hendak memerankan sebuah tontonan yang lebih menarik dengan Lui Tayhiap, namun
tujuannya tidak boleh diberitahukan dulu kepada Lui Tayhiap."
Tam Pa-kun melengak, tanyanya:
"Apa tujuannya?"
"Saksikan lebih lanjut,
nanti kau akan tahu," sahut In San, "pendek kata, membawa
keberuntungan dan tidak akan merugikan Lui Tayhiap."
Mendengar penjelasan yang
serba sembunyi ini Tam Pa-kun jadi ketarik dan ingin tahu, maka dia batalkan
niatnya hendak memisah, katanya tertawa: "Baiklah, biarlah aku menonton
saja, ingin aku menyaksikan sandiwara bagus apa yang hendak mereka
perankan."
It-cu-king-thian tidak tahu
maksud tujuan Tan Ciok-sing, namun dia jadi uring-uringan, jengkel tapi juga
geli, katanya: "Hampir empat puluh tahun aku berkecimpung di Kangouw,
belum pernah kulihat pemuda sendablek ini, kesempatan untuk aku memberi
penjelasan juga tidak kau berikan, memangnya apa kehendakmu?"
"Begitu tampil tadi sudah
kukatakan secara blak-blakan, memangnya kau tidak dengar?"
"Jadi kau betul-betul
hendak menuntut balas kematian kakekmu?"
"Jangan cerewet lagi,
keluarkan senjatamu."
"Menghadapi jagoan macam
Ciang Thi-hupun aku bertangan kosong, memangnya melawan kau aku harus pakai
senjata malah?"
"Aku tidak ingin memungut
keuntungan darimu. Tadi kau sudah bergebrak dengan Ciang Thi-hu, kalau kau
tidak pakai senjata, yakinlah akan rugi. Dan lagi golok, pukulan telapak tangan
dan lwekangmu diagulkan sebagai kepandaian tunggal, sepantasnya aku memberi
kesempatan padamu untuk mengembangkan segala kemampuanmu, kalau tidak kau
takkan mati dengan mata meram dan kalah lahir batin," sembari bicara
"Sret" dia sudah melolos pedang pusakanya lebih dulu, ujung pedangnya
memancarkan cahaya kemilau, langsung dituding ke arah It-cu-king-thian.
Hadirin jadi dongkol tapi juga
geli, kembali mereka berebut memaki: "Bocah bodoh yang sinting, berani dia
menjajal tiga jurus ilmu kebanggaan Lui Tayhiap, hajar dia, ganyang saja."
Melihat orang melolos pedang
diam-diam It-cu-king-thian tersirap darahnya, apalagi melihat pedang lawan
senjata pusaka, tak berani dia memandang enteng. Memang Tan Ciok-sing melolos
Pek-hong-po-kiam yang diwariskan Thio Tan-hong kepadanya.
Sudah tentu It-cu-king-thian
cukup ahli untuk menilai senjata, diapun tahu pedang apa yang berada di tangan
Tan Ciok-sing. Hanya Pek-hong-po-kiam yang ujungnya memancarkan cahaya kemilau
dingin berwarna putih biru, dalam jarak sepuluh langkah, orang masih merasakan
hawa pedangnya yang dingin.
Tapi yang membuat darah
It-cu-king-thian tersirap bukan lantaran pedang pusaka ini, tapi gaya orang
memegang pedang. Sikap menuding dengan gerakan seenaknya ini, seolah-olah bukan
jurus permainan pedang, namun kenyataannya merupakan tipu permulaan dari ilmu
pedang tingkat tinggi, tujuh hiat-to di atas tubuh It-cu-king-thian ternyata di
bawah ancaman hawa pedang.
Kalau orang lain tidak melihat
dan merasakan kenyataan ini sebagai ahli Kungfu sudah tentu It¬cu-king-thian
maklum akan ancaman serius ini. Sesaat dia jadi menjublek, hatinya kaget tapi
juga girang. Pengalamannya cukup luas, dia kaget karena ilmu pedang Tan
Ciok-sing ternyata begini aneh dan belum pernah dilihatnya sebelum ini. Senang
karena cucu sahabat lamanya, kini telah berhasil mempelajari ilmu pedang
liehay.
"Tak heran dia begini
temberang, kiranya memang sudah punya bekal. Sudah mendalam salah pahamnya
terhadapku, jelas takkan mau mendengar penjelasanku. Pemuda yang suka membawa
adat sendiri ini memang patut dihajar adat, setelah keok baru dia akan insaf,
hal ini akan membawa manfaat bagi dia. Biar aku menjatuhkan dulu pamornya baru
nanti kuberi penjelasan kepadanya," demikian batin It-cu-king-thian.
"Ha, ha, ha,"
It-cu-king-thian tertawa bergelak tiga kali, katanya: "Tam-toako, tolong
pinjamkan golok pusakamu, biar aku mohon pengajaran dari pemuda perkasa
ini," ternyata waktu berangkat ke Bik-lian-hong dia tidak membawa senjata.
Hadirin melongo. Maklum
hakikatnya Tan Ciok-sing tidak mungkin dijajarkan dengan It-cu-king-thian.
Walau Tan Ciok-sing menantangnya mencabut senjata, tapi dengan kedudukan
It-cu-king¬ thian, biasanya dia hanya tersenyum ejek dan pasti tak sudi memakai
senjata melawan bocah kemarin sore. Tadi diapun hanya bertangan kosong dan
kenyataan berhasil mengalahkan Ciang Thi-hu, apalagi menghadapi bocah kroco
yang masih hijau lagi, tak nyana bukan saja dia menuruti keinginan Tan
Ciok-sing, malah dia meminjam golok pusaka Tam Pa-kun, sudah tentu hadirin
kaget dan diluar dugaan.
Setelah menerima golok pusaka
dari Tam Pa-kun baru It-cu-king-thian berkata: "Sudah 10 tahun aku tak
pernah memakai senjata bergebrak dengan lawan, hari ini biar aku melanggar
pantangan ini untuk dikau. Anak bodoh, walau kau tidak membedakan salah benar,
keberanianmu sungguh
mengagumkan aku. Tapi kau
harus hati-hati, inilah golok pusaka milik Kim-to-thi-ciang Tam Tayhiap, golok
ini jauh lebih tajam dari golok yang dulu pernah kugunakan. Senjata tidak punya
mata, maka kau harus waspada, jangan kau terluka karenanya."
"Memangnya siapa tahu
kalau kau sendiri yang bakal terluka oleh pedang mustikaku?" Tan Ciok-sing
balas mengejek, "sebelum turun tangan tak usah kau mengagulkan diri.
Ketahuilah, kau pakai golok pusaka, akupun menggunakan pedang mustika."
Karuan kata-katanya ini
membakar kemarahan publik, "Lui Tayhiap berbaik hati, kau bocah keparat
ini tidak tahu di untung, memangnya kau bocah bodoh yang hijau pupus ini mampu
melukai Lui Tayhiap?"
Tan Ciok-sing berkata tawar:
"Siapa menang, atau kalah setelah bergebrak baru akan diketahui. Orang she
Lui, jangan cerewet saja, hayo silakan mulai."
Sungguh dongkol, geli dan
gemas pula It-cu-king-thian dibuatnya, katanya: "Kau minta aku menyerangmu
lebih dulu?"
"Tadi aku sudah bilang
tidak akan memungut keuntunganmu, kau sudah bergebrak sebabak, kini biar aku
mengalah tiga jurus lebih dulu."
It-cu-king-thian tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Anak muda, patut dipuji keberanianmu. Baiklah,
kuturuti keinginanmu," golok diangkat tinggi, betul juga dia lantas
membelah ke batok kepala Tan Ciok-sing. Berapa tinggi dan terhormat kedudukan
It-cu-king-thian, tapi kenyataan dia mau menerima tantangan anak muda yang
mengalah tiga jurus pula padanya, sudah tentu hadirin sama kaget dan melongo
keheranan. Terutama kejut In San paling besar. Maklum jawaban It-cu-king-thian
terasa ada maksud sampingan yang berbeda. Maksud yang sebenarnya adalah ingin
membantu lawannya angkat nama supaya tersohor, arti sampingannya adalah hendak
menamatkan jiwanya. Dan umumnya nada sampingan yang sering terjadi di kalangan
Kangouw adalah menjurus pada arti yang kedua ini.
Tam Pa-kun seperti tahu jalan
pikiran In San, katanya tertawa: "Kau tak usah kuatir kurasa Lui Tayhiap
tidak bermaksud jahat kepada temanmu, malah aku kuatir temanmu yang masih
berdarah panas itu tidak tahu mengukur kekuatan sendiri."
Belum selesai dia bicara,
dilihatnya It-cu-king-thian sekaligus telah menyerang tiga bacokan secara
berantai. Kedua orang masih tetap berdiri di tempat masing-masing. Tan
Ciok-sing sama sekali tidak terluka. Kiranya tiga jurus serangan
It-cu-king-thian hanya gerakan gertak sambal belaka, tapi tajam goloknya
betul-betul menyambar di atas kepalanya, pada hal gaya dan tenaga bacokannya
begitu kuat dan mengejutkan.
Kalau para penonton berseru
kaget, adalah Tan Ciok-sing berdiri diam dan tenang, sikapnya wajar. Dia seperti
sudah tahu kalau golok It-cu-king-thian tidak akan melukai tubuhnya, di kala
ketiga jurus serangan golok secara berantai dilancarkan, hakikatnya dia tidak
bergeming sedikitpun. Mau tidak mau It-cu-king-thian merasa kagum dan memuji
akan ketenangan dan ketabahannya. Maklumlah bagi seorang persilatan tidak sukar
untuk meneliti serangan isi kosong lawannya, namun di kala sinar golok yang
gemeredep menyilaukan mata tak urung biasanya secara reflek orang akan
berkelit, sebaliknya kelopak mata Tan Ciok-sing sedikitpun tidak bergerak.
Baru sekarang In San menghela
napas lega, katanya lirih: "Paman Tan, kau juga tidak usah kuatir, aku
tahu Tan-toako tidak akan berbuat sembrono dan kurang ajar."
Disana didengarnya
It-cu-king-thian tengah membentak: "Tiga jurus sudah kulancarkan kau masih
belum juga turun tangan, memangnya apa pula yang kau tunggu?"
Dingin suara Tan Ciok-sing:
"Kau tidak mau turun tangan secara keji adalah salahmu, kesempatan sebaik
ini kau sia-siakan, aku justru tidak akan menerima kebaikanmu ini. Nah lihat
pedang!"
Begitu pedang berkelebat
tahu-tahu dia sudah mendesak maju tiga langkah, dengan jurus Li Khong Memanah
Batu pedangnya lurus laksana anak panah yang meluncur, kira-kira tiga kaki
sebelum mengenai pundak It-cu-king-thian, tahu-tahu membelok balik pula dengan
setengah lingkaran gerakannya berubah menjadi Hing-hun-cin-nia, lalu
Soat-yong-lan-kwan, kalau luncurannya pesat adalah tarikan pedangnyapun teramat
cepat. Inilah ilmu pedang yang serba sempurna dalam tahap menyerang dan tahap membela
diri.
It-cu-king-thian tak mampu
membedakan asal-usul ilmu pedangnya, diam-diam terkejut hatinya, batinnya:
"Li-khong sia-ciok (Li Khong memanah batu) adalah jurus ilmu pedang dari
Kun-lun-pay yang tersohor, sementara jurus Hing-hun-cin-nia dan Soat-yong-lan-kwan
adalah ilmu pedang dari Go-bi-pay, namun tiga jurus yang dia pamerkan tadi
jelas lebih sempurna, bervariasi dari sumber aslinya," tidak berani balas
menyerang secara gegabah, lekas dia melintang golok di depan dada, tujuannya
memunahkan serangan pedang lawan. Dua jurus susulan yang dilancarkan Tan
Ciok-sing memang berjaga bila lawan balas menyerang, karena It-cu-king-thian
tidak menyerang maka gerakan pedangnya ini mengenai tempat kosong.
"Siapa gurumu?"
tanya It-cu-king-thian heran.
"Setelah pertandingan ini
usai, bila kau masih hidup, nanti kau akan tahu. Buat apa gugup?" demikian
jengek Tan Ciok-sing.
"Sret" kembali
pedangnya menusuk tiba. Di antara para penonton ada yang naik pitam segera
berebut memaki: "Bocah kurang ajar yang tidak tahu adat, Lui Tayhiap, buat
apa kau sungkan dan memberi hati padanya."
It-cu-king-thian berseru
lantang: "Baiklah, diberi tidak membalas tidak hormat, sambutlah beberapa
jurus golokku."
Tampak, cahaya emas kemilau
menyilau mata kini It-cu-king-thian betul-betul menggerakan golok emas pinjaman
Tam Pa-kun untuk menyerang secara sungguhan, kanan kiri seperti selulup timbul
di antara rumpun kembang, berputar dan menukik seperti menari, beruntun dia
membacok lima kali.
Tak sedikit ahli silat yang
hadir, banyak di antaranya yang menyaksikan dengan jelas beberapa jurus tadi
bagi It-cu-king-thian paling hanya gerak percobaan belaka, namun kali ini dia
betul-betul melancarkan serangan secara serius. Begitu bermain secara
sungguhan. seketika Tan Ciok-sing seperti terkurung didalam libatan cahaya emas
golok lawan.
Lima jurus bacokan ini memang
dilancarkan dangan gagah dan deras, pada hal orang gagah yang hadir tidak
sedikit yang sering mengalami pertempuran besar dan sengit, namun demikian
mereka toh merasa kaget dan terbalik pandangannya. Demkian pula In San
menyaksikan dengan merinding, keringat dingin gemerobyos. Pada hal dia tahu
bahwa It-cu-king-thian tidak akan melukai Tan Ciok-sing.
Di tengah kurungan cahaya
golok emas lawan, Tan Ciok-sing tak ubahnya seperti sampan di tengah lautan
yang dipermainkan gelombang pasang. Langkahnya bergontai gaya pedangnyapun
berputar kencang. Dalam sekejap itu kalau It-cu-king-thian menyerang lima
jurus, maka diapun menyerang tujuh tusukan pedang, Tapi penonton diluar kalangan
hanya melihat sinar golok tanpa melihat bayangan manusia. Jurus apa yang
digunakan Tan Ciok-sing, ternyata tiada seorangpun yang tahu. Sudah tentu
kecuali Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun.
Berdiri alis Tam Pa-kun,
matanya terbeliak, mulutnya menyungging senyum, tak tertahan akhirnya dia
menghela papas gegetun senang: "Temanmu itu memang hebat dan jempolan,
belum pernah aku saksikan ilmu pedang sehebat dan seaneh ini. Dalam ilmu
senjata selama hidup aku hanya menyakinkan ilmu golok, yakin kemampuanku cukup
melebihi orang lain, tapi dibanding Lui Tayhiap aku jadi merasa rendah diri,
tapi temanmu ini bukan saja mampu bertahan dan mementalkan serangan, dia mampu
pula dua jurus lebih banyak dari Lui Tayhiap, dalam sekejap tadi dia mampu
menyerang tanpa kalah asor dari ilmu golok Lui Tayhiap."
Bayangan dua orang di tengah
gelanggang tiba-tiba berpencar, tanpa sadar keduanya sama menunduk memeriksa
golok dan pedang masing-masing. Tan Ciok-sing melompat keluar kalangan di kala
Tam Pa-kun bicara sampai "lebih dua jurus".
Kejut dan girang In San,
katanya tertawa: "Paman Tam, apa betul dia melancarkan tujuh jurus tusukan
pedang untuk melawan lima bacokan golok? Kenapa sedikitpun aku tidak
melihatnya?" pada hal kejadian tujuh tusukan pedang melawan lima bacokan
golok hanya sekejap saja, tapi dalam perasaan In San seperti telah melampaui
suatu masa yang panjang dan gelap.
Didalam jangka waktu
menghadapi lima bacokan golok lawan secara beruntun ini, Tan Ciok-sing
sendiripun merasakan adanya perbedaan yang menyolok pada gebrakan pertama tadi
terasa olehnya bahwa lwekang It-cu-king-thian tidak seampuh yang dibayangkan
semula, tapi tiga jurus kemudian tenaga lawan ternyata bertambah kuat dan
kokoh. Waktu dia menyambut jurus ke empat, terasa pergelangan tangannya
tergetar, hampir saja Pek-hong¬ kiam tak kuat dipegangnya lagi Tapi di waktu
dia menyambut jurus terakhir, tenaga lawan ternyata jauh lebih lemah lagi,
kebetulan cukup tiba untuk dia tahan secara pas-pasan.
Tan Ciok-sing maklum, agaknya
It-cu-king-thian sengaja
menggunakan tenaga dalamnya
sesuai situasi yang diperlukan saja setelah dia mengukur sampai dimana taraf
lwekang Tan Ciok-sing, sehingga dia cukup mampu melawannya dan tidak sampai
dirugikan. "Baru saja dia berhantam dengan Ciang Thi-hu, namun tenaga
dalamnya masih setangguh ini jelas takkan mampu menandinginya," demikian
batin Tan Ciok-sing, mau tidak mau semakin kagum dan diam-diam dia memuji akan
kebesaran jiwa lawan.
It-cu-king-thian sendiri
setelah mengalami lima bacokan goloknya dibalas tujuh tusukan pedang, dia pun
merasakan adanya gejala-gejala yang mengherankan. Ternyata ke lima jurus
bacokkannya ini dilancarkan sekaligus tanpa ganti napas, namanya
Ngo-gak-tio-yang (lima puncak menghadap mentari), kekuatannya sedahsyat
gelombang samudera yang satu lebih hebat dari yang lain. Supaya Tan Ciok-sing
kuat melawan secara pas-pasan, dia pun telah memeras keringat dan memutar otak,
setelah melancarkan empat kali bacokan dengan tenaga ^ang sedikit lebih besar,
secara kekerasan segera dia menarik dan mengurangi tenaganya sehingga anjlok
sejauh itu, pada detik itulah Tan Ciok-sing lancarkan dua tusukan yang
terakhir, sebetulnya dia punya kesempatan untuk menusuk luka dirinya, tapi Tan
Ciok-sing cukup menutul saja lantas menghentikan gerakannya, tidak meneruskan
serangan dia malah melompat keluar kalangan.
"Anak bocah ini tadi
bilang mau menuntut balas sakit hati kakeknya, kenapa kesempatan sebaik itu dia
sia-siakan? Dengan bekal kepandaiannya sekarang, tak mungkin dia tidak tahu
adanya peluang di waktu aku sedang merubah jurus permainanku tadi?"
demikian batin It-cu-king-thian.
Di nilai kwalitas pedang Tan
Ciok-sing sebetulnya masih lebih unggul dari golok It-cu-king-thian, tapi
lantaran tenaga dalam Tan Ciok-sing tidak setanding lawannya, pedang dan golok
hanya membentur lantas saling mundur, oleh karena itu senjata mereka sama-sama
tidak sampai rusak.
Pertama karena rasa ingin
tahunya, kedua juga ingin menyaksikan sampai kemana taraf kepandaian ilmu
pedang Tan Ciok-sing yang serba baru dan aneh ini, maka setelah golok pinjaman
ini tidak cidra legalah hati It-cu-king¬ thian, segera dia maju pula seraya
membentak: "Ilmu pedangmu belum kau kembangkan sesuai kemampuanmu, tak
usah takut-takut lancarkan saja segala kemahiranmu.
Bahwa Tan Ciok-sing mampu
melawan Ngo-gak-tio yang dilancarkan It-cu-king-thian hadirin sudah sama heran
dan kaget, kini mendengar It-cu-king-thian suruh lawan mudanya ini
mengembangkan segala
kemampuan ilmu pedangnya lagi,
semakin melenggong mereka dibuatnya. Banyak di antaranya yang cerewet mengejek
dan menceroboh Tan Ciok-sing tidak tahu diri, seketika sirep dan suasana
menjadi sunyi senyap.
Gebrak kedua kalinya antara
Tan Ciok-sing kontra It-cu-king-thian ini baru betul-betul merupakan adu
kepandaian sejati yang amat tinggi mutunya. Tampak It-cu-king-thian merubah
gaya permainan ilmu goloknya, golok emasnya berkisar membuat
lingkaran-lingkaran yang
membuka tutup dengan rapat dan
membacok dan membabat ke arah Tan Ciok-sing, sementara gerakan Tan Ciok-sing
mengikuti gaya pedang bergerak secara kilat.
Kalau pedang Tan Ciok-sing
bergerak semakin cepat dan deras, adalah sebaliknya golok It-cu-king-thian
semakin lambat dan berat.
Ujung goloknya seperti
diganduli barang ribuan kati, membacok ke timur membabat ke barat, meski gaya
goloknya kokoh dan mantap, tapi lajunya amat lamban. Tapi keanehan justeru
terletak pada kelambanan ini betapapun serangan kilat pedang Tan Ciok-sing
tetap tak mampu menembus pertahanannya. Setiap kali ujung pedangnya menusuk ke
depan It-cu-king-thian, seolah ditangkis dan membentur dinding baja yang tidak
kelihatan saja, mau tidak mau dia harus lekas menarik pedang merubah permainan.
Setelah melancarkan delapan
belas jurus serangan golok secara lamban, mendadak It-cu-king-thian membentak:
"Anak muda, hati-hatilah, kini aku akan menyerangmu secara gencar,"
tangan terangkat golok membacok turun, mendadak permainan goloknya berubah.
Tampak sinar golok seredup cahaya rembulan, menyilaukan mata terasa dingin
pula, golok digerakkan laksana angin lesus, serangan dengan jurus-jurus yang
liehay sambil melangkah berkisar mengitari Tan Ciok-sing. Maju mundur dengan
silang bersilang, berputar dan menyerobot dengan berbagai perubahan yang sulit
diselami, begitu cepat gerakannya sehingga baru saja kelopak mata terpejam
tahu-tahu kedudukannya sudah berpindah, tiba-tiba di depan kadang-kadang di
kanan. Bayangan tubuhnya bergerak serasi dengan permainan goloknya. Seorang
hadirin yang mengenal betapa hebat permainan ilmu golok ini tak tertahan
bersorak memuji: "Sungguh hebat golok cepat Cap-pwe-ban."
Kiranya ilmu golok ini khusus
cipjaan It-cu-king-thian sendiri, merupakan cangkokan dari delapan belasan
kisaran puncak Thay-san yang terletak di bawah Thian Bun, bentuknya yang ideal
. menimbulkan ilham dibenak Lui Tin-gak sehingga terciptalah ilmu goloknya ini.
Cap-pwe-ban adalah nama tempat yang berbahaya di puncak Thay-san, jalan gunung
berliku dan bolak-balik memutar dari bawah ke atas, setiap lima langkah satu
putaran, sepuluh langkah sekali membelok, semakin berputar semakin tinggi, semakin
tinggi semakin berbahaya. Demikianlah permainan ilmu golok ciptaan
It-cu-king-thian ini gayanya laksana tegaknya gunung Tay-san dengan lingkaran
delapan belas jalan gunungnya yang berbahaya ini, maka dapatlah dibayangkan
betapa hebat dan ganas serta kejinya ilmu golok ini.
Tam Pa-kun segera memberi
penjelasan kepada In San: "Cap-pwe-ban di Tay-san ada perbedaan antara
delapan belas cepat dan delapan belas lamban, delapan belas bagian depan agak
longgar, sebaliknya bagian belakang lebih sempit dan pendek,
keadaannyapun jauh lebih
berbahaya. Bagian depan mengutamakan gaya permainan yang berat dan keras,
bagian belakang justeru mengutamakan gaya permainan yang ganas dan berbahaya.
Dahulu dengan bekal ilmu goloknya ini entah berapa banyak orang-orang gagah
yang kecundang dan dikalahkan olehnya. Memang ada berapa tokoh silat yang mampu
menandingi delapan belas lamban, tapi tiada pernah kudengar ada yang mampu
melawan delapan belas kencang. Untuk menilai ilmu golok ini, yang paling
penting adalah memperhatikan perubahan langkah kakinya."
Ternyata In San tidak ketarik
oleh penjelasan ini, dia tetap menguatirkan keselamatan Tan Ciok-sing, lama
kelamaan dia sendiri sampai ikut memburu napas saking menahan rasa tegang yang
berlebihan, tanpa disadarinya mata berkunang kepalapun berat dan pusing tujuh
keliling, lekas dia memejamkan mata serta bertanya: "Tam-pepek, begitu
liehay permainan ilmu golok Lui Tayhiap, menurut hematmu apakah Ciok-sing
mampu..."
Tiba-tiba didengarnya Tam Pa¬
kun tertawa dan berkata: "Lekas kau buka matamu, bukan saja dia kuat
melawan, kini malah berbalik balas menyerang."
Ternyata dengan bekal
Bu-bing-kiam-hoat yang diselaminya Tan Ciok-sing berhasil
mengembangkannya dalam
praktek, dasar berbakat dan pandai menambah variasi, dengan mudah dia
memunahkan seluruh rangsakan lawan, orang lain tak melihat jelas, yang
kelihatan hanya bayangannya yang bergontai di tengah kurungan cahaya golok,
kelihatannya seperti terdesak di bawah angin, Tapi kenyataan dia justeru adem
ayem dan selamat saja, rangsakan golok lawan dihadapinya secara wajar. Di kala
In San memejam mata itu, sementara rangsakan golok Lui Tin-gak yang telah
mencapai kecepatan gerakan permainannya di bagian belakang delapan belas itupun
sudah selesai dimainkan. Beruntun Tan Ciok-sing hanya mengembangkan tiga jurus
permainan pedang berantai untuk mematahkan jurus serangan lawan yang terakhir.
It-cu-king-thian tertawa
tergelak-gelak, katanya: "Ilmu pedang bagus, hanya kau seorang yang
pertama mampu memunahkan delapan belas kencang dari permainan golok cepatku
ini, hayolah diteruskan."
Karuan hadirin sama melenggong
dan kaget mendengar pernyataan ini.
Kata Tan Ciok-sing:
"Utang piutang memangnya belum selesai perhitungannya, sudah tentu harus
dilanjutkan," di tengah alunan perkataannya cahaya pedang di tangannya
mendadak melebar panjang, dalam sekejap ini situasi berubah seratus delapan
puluh derajat, kalau tadi dia yang dikurung oleh cahaya golok yang kemilau
kuning adalah sekarang Pek-hong-kiam yang kemilau perak itu berbalik membungkus
sinar golok yang kekuning-kuningan.
It-cu-king-thian tak bisa
tertawa lagi, raut wajahnya tampak serius. Jelas bahwa menghadapi gebrak
selanjutnya ini tidak berani lena, memandang enteng. Sikapnya jauh lebih
prihatin dari pada waktu dia menghadapi Ciang Thi-hu, keadaannyapun lebih
payah. Permainan goloknya juga berubah cepat dan lambat, ditarikan naik turun
dengan segala variasi dan kelincahannya. Dalam pertempuran sengit itu, golok
It-cu-king-thian tampak membuat sebuah lingkaran yang mumbul semakin tinggi
dari bawah terus membacok, beruntun tujuh jurus serangan, gaya rangsakannya
kencang, tapi di kala menarik goloknya amat lamban. Penonton tiada yang melihat
jelas berapa jurus serangan yang telah dia lancarkan dan menggunakan tipu apa,
yang tampak hanyalah entah goloknya mengetuk, menangkis dan membacok, semua
adalah gerakan dasar ilnu golok yang menjadi acak-acakan dan tidak teratur.
Namun demikian, kenyataan Tan Ciok-sing didesaknya mundur dalam jarak setombak
lebih.
Kalau penonton tidak merasakan
langsung dimana letak keliehayan dan kehebatan tujuh jurus serangan ini, tapi
bagi Tan Ciok-sing yang menghadapi serangan ini secara langsung diam-diam amat
kaget. Bu-bing-kiam-hoat yang diyakinkan adalah peranti mematahkan dan
memunahkan permainan lawan serta menyergapnya, gerakannya gampang berubah
mengikuti situasi dan kondisi. Tapi dalam menghadapi tujuh jurus rangsakan
golok It-cu-king-thian ini, Tan Ciok-sing betul-betul merasakan seperti
ditindih kekuatan yang berlapis dan bersusun, amat berat dan rapat sekaligus,
hakikatnya tak mampu dijebol atau dibendung.
Kalau dikatakan para penonton
tiada yang menyaksikan jelas jalannya pertempuran seru ini rasanya kurang
tepat, paling tidak Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun dapat menyaksikan secara
terperinci dan jelas sekali, setelah menyaksikan tujuh serangan bacokan golok
It-cu-king-thian, sungguh hatinya kejut dan girang pula, katanya kepada In San:
"Selama 10 tahun ini Lui Toako tak pernah memakai golok lagi, tak nyana
secara diam-diam dia telah meyakinkan ilmu golok sehebat ini permainannya
sekarang jauh lebih tinggi dibanding permainan golok cepat Cap-pwe-ban tadi.
Coba lihat setiap jurus permainannya mengandung makna yang mendalam, setiap
jurus serangannya merupakan intisari yang berhasil dia cangkok dari berbagai
ilmu golok kelas tinggi."
In San tertawa, katanya:
"Penjelasanmu terlalu tinggi untuk kumengerti, manalagi aku tidak mampu
mengikuti jalan permainan mereka. Aku hanya ingin tanya, menurut pendapatmu
apakah Tan Ciok-sing mampu menandinginya?"
Tam Pa-kun tidak berani segera
memberi jawaban, sesaat lamanya lagi dia menyaksikan dengan cermat, akhirnya
dia manggut-manggut dan berkata dengan rasa kagum: "Ilmu pedang temanmu
itu ternyata semakin lama main pedangnya semakin aneh, semakin tinggi dan semakin
mahir dan wajar, mau tidak mau aku jadi merasa apa yang pernah kupelajari juga
hanya demikian saja, terlalu dangkal bila dibanding dengan bekal kepandaiannya
ini. Lalu siapa bakal menang di antara mereka ini aku sendiri belum bisa
menentukan, cuma boleh kukata masing-masing memiliki
kemahiran dan keunggulannya
sendiri-sendiri."
Dalam bicara dengan In San
ini, dia merasa seperti sayang kehilangan kesempatan untuk menikmati
pertarungan hebat dan bermutu tinggi ini, setelah memberi penjelasan ala
kadarnya lekas dia berpaling dan menonton seperti orang kesurupan layaknya,
matanya tak berkesip, seluruh perhatian dia tumplek ke arena pertempuran.
Pertempuran meningkat semakin sengit dan kedua pihak sama-sama memboyong Kungfu
tingkat tinggi, para hadirin kecuali mereka yang memiliki tingkat kepandaian
setaraf dengan Tam Pa-kun yang dapat menyaksikan dan menganalisa jalannya
pertempuran, tapi jumlahnya juga cukup bisa dihitung dengan jari tangan,
kebanyakan terang merasa kabur dan merasa pertempuran babak kedua ini
hakikatnya tidak seseru pertandingan babak pertama tadi Maka terdengar suara
bisik-bisik disana sini. "Aneh, pertandingan macam apa nih, seperti sedang
latihan sendiri-sendiri saja," orang yang diajak bicara memangnya juga
berkepandaian rendah, namun dia pura-pura punya isi dan banyak pengalaman, maka
segera dia menanggapinya: "Masakah seenteng yang kau perkirakan itu? Coba
saja saksikan, bukankah keringat telah membasahi jidat Lui Tayhiap?"
Memang kedua orang yang lagi
berhantam di tengah arena berjarak antara setombak, masing-masing mainkan tipu
jurus senjata masing-masing, hakikatnya golok dan pedang tidak pernah beradu,
ada kalanya Tan Ciok-sing mendadak melompat mumbul. "Sret" pedangnya
menusuk, tapi begitu It-cu-king-thian melintangkan pedang menangkis, seketika
Tan Ciok-sing mencelat balik ke tempatnya pula. Kadang kala It-cu-king-thian
yang membentak sambil melangkah maju setindak, goloknya membacok beberapa kali,
tapi cukup Tan Ciok-sing menudingkan ujung pedangnya ke arahnya, seketika dia
menyurut mundur sambil berkelit. Delapan puluh atau sembilan puluh persen dari
penonton banyak yang tidak tahu apa sebetulnya yang sedang dilakukan oleh kedua
jago yang sedang berhantam di tengah arena ini. Setelah pertempuran semakin
memuncak, mendadak kedua orang sama-sama melejit tinggi ke atas, selarik sinar
emas dan selarik cahaya perak kemilau bagai pelangi putih saling gubat dan
seliweran di tengah udara, "Trang" terdengar sekali bentrokan
nyaring, tampak Pek-hong-kiam di tangan Tan Ciok-sing mencelat terbang ke
angkasa. Bahwa senjata Tan Ciok-sing kena dibentur dan lepas dari cekalannya,
maka pertempuran sengit ini secara kenyataan dan tak boleh digugat lagi,
It-cu-king-thian berada di pihak pemenang. Bahwa pertempuran sengit yang aneh
dan seperti mustahil ini berakhir demikian saja secara mendadak, hadirin masih
melongo dan belum sempat berganti napas, mereka jadi lupa bersorak.
Di kala mereka masih melongo
•dan sudah buka mulut hendak memberi applus kepada It-cu-king-thian, tampak
It-cu-king-thian sudah anjlok turun dan memasukkan golok ke sarungnya, katanya
sambil bersoja: "Suatu kenyataan bahwa gelombang sungai yang di belakang
selalu memang mendorong gelombang yang di depan, patah tumbuh hilang berganti.
Kau dapat mengalahkan aku sejurus, aku betul-betul tunduk lahir dan batin.
Bagaimana keputusanmu terhadap jiwa ragaku ini, orang she Lui boleh terserah
kepada kehendakmu saja."
Ternyata pada gebrak terakhir
tadi, pakaian It-cu-king-thian ternyata bolong tertusuk oleh pedang Tan
Ciok-sing, setelah itu baru pedang pusaka Tan Ciok-sing kena diketuk lepas oleh
getaran tenaga dalam It-cu-king-thian yang hebat sehingga mencelat terbang ke
udara. Jadi jelasnya didalam adu tenaga dalam jelas Tan Ciok-sing ketinggalan
jauh, tapi didalam permainan tipu jurus serangan kedua pihak, It-cu-king-thian
sudah jelas bukan tandingan Tan Ciok-sing.
Serangan pedang Tan Ciok-sing
boleh dikata teramat cepat, di kala berhasil menusuk bolong pakaian lawan, bila
dia mau sedikit tambah tenaga, maka perut lawan bakal ditusuknya tembus. Orang
lain tiada yang tahu, tapi It-cu-king-thian sendiri maklum akan hal ini, bahwa
Tan Ciok-sing telah sengaja menyelamatkan jiwanya. Sudah tentu It-cu-king-thian
sendiri tadi pernah juga menaruh belas kasihan kepada Tan Ciok-sing, bila dia
betul-betul menggunakan kekuatan besarnya, ketukan goloknya itu bukan hanya
menggetar lepas pedangnya, tapi Tan Ciok-sing sendiri juga bakal mengalami luka
dalam yang parah. •
Akan tetapi umpama betul hal
ini menjadi kenyataan It-cu-king-thian sudah terluka lebih dulu, sedang Tan
Ciok-sing terluka belakangan. Kini setelah kedua pihak sama tahu lawan menaruh
belas kasihan, orang sebagai It-cu-king-thian yang lebih tua dan punya
kedudukan dan gengsi di kalangan persilatan, tapi sebagai seorang kesatria,
sebagai pendekar besar, betapa dia takkan secara rela untuk bersoja dan mengaku
kalah terhadap Tan Ciok-sing?
Tadi Tan Ciok-sing menyatakan
hendak menuntut balas atas kematian kakeknya baru dia menantang
It-cu-king-thian berkelahi. Kini setelah It-cu-king-thian mengaku kalah, maka
kejadian sesungguhnya dari duel sengit ini perlu juga segera dibereskan. Oleh
karena itu It-cu-king-thian berpegang pada peraturan dan kebiasaan kaum
persilatan umumnya, setelah mengaku kalah dia terima menyerahkan diri terserah
pada hukuman apa yang dilakukan lawannya yang menang.
Orang-orang gagah yang hadir
seratus persen menjagoi It-cu-king-thian, dan yakin pasti dia yang akan menang,
mendadak mendengar tokoh yang dijagoi mengaku kalah, keruan semua merasa
melongo keheranan, karena lobang kecil di pakaian It-cu-king-thian di bagian
perut itu tiada orang yang memperhatikan.
Nyo Hou-hu yang pertama merasa
tidak terima, serunya: "Hai apa sih yang telah terjadi, umpama kau ingin
memberi muka dan menyempurnakan seorang muda yang gagah ini, kan tidak perlu
kau berbuat sejahat ini?"
It-cu-king-thian tertawa getir
katanya: "Tapi kenyataan memang aku yang kalah."
Tapi sebelum dia sempat
memberi penjelasan lebih lanjut, sementara itu Tan Ciok-sing sudah tangkap
pedangnya yang meluncur jatuh dari udara, langsung dia menghampiri ke depan
It-cu-king-thian, dengan laku hormat dia menjura dan memberi hormat:
"Wanpwe memang kurang ajar dan melakukan kesalahan terhadap Lui Tayhiap.
Yang benar adalah Wanpwe yang harus mendapat hukuman dan hajaran dari Lui
Tayhiap," demikian ucap Tan Ciok-sing.
Keruan hadirin melengak
keheranan pula, mereka bingung menghadapi ulah Tan Ciok-sing yang tidak karuan.
Adalah It-cu-king-thian sendiri merasa senang dan kaget pula, katanya:
"Bukankah kau hendak menuntut balas kematian kakekmu dan ingin membuat
perhitungan dengan aku?"
"Betul, Wanpwe memang
patut mampus, dulu memang aku merasa curiga terhadap Lui Tayhiap, tapi kini aku
tahu bahwa akulah yang salah," sahut Tan Ciok-sing menunduk.
"Apa, kau sudah tahu?
Jadi kau tadi, waktu bertempur dengan aku, hakikatnya kau tidak anggap aku
musuhmu."
"Lui Tayhiap berbuat baik
dan setia kawan untuk ini belum lagi Wanpwe menyatakan terima kasih, mana
berani aku menganggapmu sebagai musuh?"
"Kalau demikian, kenapa
tadi kau menekankan hendak menuntut balas kematian kakekmu, dan paksa aku untuk
bertempur dengan kau?" tanya It-cu-king-thian.
"Mohon Lui Tayhiap
memberi ampun. Wanpwe memang bermaksud paksa Lui Tayhiap untuk berhantam dengan
aku. Kalau aku tidak menggunakan alasan menuntut balas memangnya Lui Tayhiap
sudi bergebrak dengan Wanpwe?"
"O, kiranya begitu. Tapi
aku tetap tidak mengerti, kenapa kau harus paksa aku bergebrak dengan
kau?"
Pelan-pelan Tan Ciok-sing
menegakkan tubuh serta berbicara kalem: "Kira-kira sebulan yang lalu
pernah aku bertemu dengan seorang aneh yang sudah lama mengasingkan diri, cianpwe
ini she Ku bernama Ti."
Kejut dan girang pula
It-cu-king-thian dibuatnya, katanya: "Khu-loenghiong yang ketemu kau ini,
bukankah jagoan ternama dari Gi-lim-kun yang sejajar dengan Bu-conggoan In Jong
pada tiga puluh tahun yang lalu itu?"
Tan Ciok-sing mengangguk,
katanya lebih lanjut: "Khu-locianpwe pernah bercerita akan masa silamnya
dulu, Lui Tayhiap memang benar, memang betul beliau adanya."
It-cu-king-thian berkeplok
senang, katanya: "Khu-loenghiong adalah salah satu cianpwe yang lama sudah
kukagumi, sayang sudah lebih tiga puluhan tahun dia menghilangkan jejaknya dari
percaturan dunia persilatan. Kiranya dia masih hidup sehat walafiat. Tapi aku
masih juga tidak mengerti, apa sangkut pautnya kau bertemu dengan
Khu-loenghiong dengan kejadian hari ini?"
"Kepadaku Khu-loenghiong
pernah menyinggung cita-cita Lui Tayhiap dulu yang pernah dinyatakan terhadap
Lo-kim-to Cecu," demikian Ciok-sing menjelaskan.
Sampai disini baru
It-cu-king-thian mengerti, katanya: "O, jadi ilmu pedangmu ini, adalah ilmu
pedang ciptaan Thio Tan-hong yang diwariskan kepadamu?"
Tan Ciok-sing manggut,
katanya: "Beruntung wanpwe mendapatkan berkah, Thio Tayhiap sudi
menerimaku sebagai murid penutupnya," lalu dia melanjutkan. "Setelah
Khu-Iocianpwe tahu akan keinginan Lui Tayhiap ini, dia bilang dahulu dia ingin
membantu Lui Tayhiap supaya terlaksana cita-citamu, sayang sekali belakangan
dia sendiri mengalami suatu musibah, sehingga dipaksa untuk mengasingkan diri,
selama tiga puluh tahun ini bantuannya jadi tertunda dan belum tercapai."
"Oleh karena itu dia
minta kepadamu untuk membantu aku mencapai keinginanku itu?"
It-cu-king-thian meneruskan.
"Tidak berani. Akan
tetapi mumpung ada kesempatan, terpaksa Wanpwe mohon pengajaran langsung dari
Lui Tayhiap saja."
"Dengan Khu-locianpwe
kami hanya saling kenal nama saja, tak nyana dia begitu simpatik, ingin membatu
aku mencapai cita-cita, sungguh aku amat kagum, terima kasih haru akan
ketulusan hatinya," dia tahu hadirin pasti merasa bingung, maka segera dia
memberi penjelasan: "Cita-citaku itu adalah ingin memohon pelajaran ilmu
pedang kepada Thio Tayhiap Thio Tan-hong. Sejak tiga puluh tahun yang lalu Thio
Tayhiap sudah tidak karuan parannya, kukira keinginanku itu jelas takkan bisa
tercapai lagi, tak nyana cucu sahabat baikku, atau murid Thio Tayhiap sendiri
hari ini menyampaikan cita-citaku dahulu."
Maka setelah Tan Ciok-sing
menjelaskan hal ihwalnya, hadirin menjadi gempar sana sini berbisik, semua
ingin tahu berita terakhir dari Thio Tayhiap Thio Tan-hong.
Tan Ciok-sing jadi serba
susah, apa yang ingin diketahui orang¬orang itu, semuanya adalah persoalan yang
sulit untuk diceritakan, terpaksa akhirnya dia berkata: "Suhu sudah
almarhum, beliau wafat di hari menerima aku sebagai murid penutupnya."
Tam Pa-kun berkata: "Semasa
masih hidup Thio Tayhiap tidak suka diganggu orang, maka dia memilih suatu
tempat untuk pengasingan dirinya,
memperdalam ilmu pedang dan
berhasil menciptakan Kungfu tingkat tinggi. Maka tak perlu kita tahu di tempat
mana terakhir beliau semayam," hadirin semua adalah kaum persilatan.
Umumnya dalam kalangan Kangouw ada pantangan yang sudah mereka ketahui dan
patuhi bersama, tadi karena merasa girang dan lega karena mendengar berita Thio
Tan-hong maka tak kuasa mereka menahan gelora hati untuk menanyakan pendekar
besar pujaan mereka ini. Setelah mendengar penjelasan Tam Pa-kun, barulah
suasana menjadi reda.
Baru sekarang Tam Pa-kun ada
kesempatan maju berkenalan dengan Tan Ciok-sing, katanya: "Waktu di
Tay-tong malam itu, aku masih belum tahu akan dirimu. Kalau tidak pasti aku
sudah memberi penjelasan kepadamu, tentang persoalan Lui Tayhiap itu. Tapi juga
untung aku tidak sempat menjelaskan kepadamu. Jikalau aku turut campur, maka
kau takkan punya alasan untuk bertanding dengan Lui Tayhiap, maka kita semuapun
takkan memperoleh kesempatan sebaik ini untuk menyaksikan pertandingan sehebat
tadi," maka hadirin gemuruh dalam susana gelak tawa dan tepuk tangan.
It-cu-king-thian serahkan
kembali golok emas itu kepada Tam Pa-kun, katanya: "Terima kasih kau telah
meminjamkan golok emasmu ini kalau mengandal sepasang tangan kosongku saja,
jelas aku bukan tandingan Tan-siauhiap yang mahir memakai pedang."
Setelah menerima goloknya Tam
Pa-kun berkata lebih lanjut: "Lui Toako, ada sebuah persoalan lagi yang
ingin kusampaikan kepadamu yakin kau akan amat senang."
"Persoalan apa?"
tanya It-cu-king-thian.
Tam Pa-kun menarik In San ke
depan, katanya tertawa: "Thio Tan-hong dan In Jong adalah dua pendekar
besar dari kaum cianpwe yang kau kagumi. Putra In Jong, In Hou adalah sahabat
yang sejak lama ingin kau kenal, betul tidak?"
"Ya, memangnya
kenapa?" tanya It-cu-king-thian.
"Biar kuberitahu
kepadamu, nona ini adalah putri tunggal dari In Hou In Tayhiap."
Baru sekarang hadirin
memperhatikan In San, dan tahu pula bahwa dia adalah seorang gadis belia yang
menyamar jadi laki-laki, semua mereka heran dan bingung.
Dengan rawan In San berkata:
"Sayang ayah sudah meninggal dicelakai musuh, beberapa hari yang lalu baru
sempat aku sembahyang di depan pusara beliau. Tapi aku harus berterima kasih
kepada Lui Tayhiap yang telah merawat dan membangun kembali pusaranya
itu."
Lekas It-cu-king-thian
membalas hormat, katanya: "Sebetulnya ayahmu sudah berjanji dengan Tam
Tayhiap untuk berkunjung ke rumahku, sayang aku tahu setelah terlambat, bukan
saja tak mampu bertidak selaku tuan rumah akupun tak bisa berbuat banyak
setelah dia dicelakai oleh musuh. Walau aku tidak membunuhnya tapi secara tidak
langsung, kematiannya karena kelalaianku juga. Sungguh aku merasa menyesal dan
mohon maaf kepada nona, aku merasa malu pula untuk berhadapan dengan
orang-orang gagah di dunia ini."
In San membasut air matanya
katanya: "Urusan duka cita ini biarlah berlalu dan tak perlu kita pikirkan
lagi. Hari ini adalah hari bahagia kita semua, dimana orang-orang gagah dari
segala penjuru kumpul disini adalah pantas kalau kita harus bersuka ria
bersama."
Dalam pada itu Kek Lam-wi
menggandeng gadis jelita itu tampil ke depan memperkenalkan diri, akhirnya In
San tahu bahwa gadis jelita teman Kek Lam-wi bernama Toh So-so, adik
seperguruan Kek Lam-wi. Mereka adalah penduduk Kanglam juga, mereka adalah
teman baik dari Kanglam Sianghiap. Kwik Ing-yang dan Ciang Bin-siu.
Mendengar kalau Kanglam
Sianghiap kini berada di markas Kim-to Cecu, bukan main rasa senang mereka,
kata So-so: "Tak heran waktu aku melihat kuda kalian hari itu seperti
sudah kukenal, ternyata memang betul milik Kanglam Sianghiap. Aku sudah kangen
pada mereka."
"Kabarnya kalian juga
hendak pergi ke markas Kim-to Cecu?" tanya In San.
"Betul, bukan kami saja,
semua yang hadir disini hendak kesana," ujar Toh So-so.
"Kalau begitu, berapa
bulan lagi kau akan bertemu lagi dengan mereka." Kata In San.
Di sebelah sana Tan
Ciok-singpun sedang berbicara oengan Kek Lam-wi, keduanya sama riang, kata Kek Lam-wi:
"Hobiku selama hidup ini adalah musik, yang kedua baru belajar kungfu.
Dalam musik terutama adalah harpa, Sayang aku tak berhasil belajar harpa,
belajar ilmu pedang juga gagal. Sebaliknya
Tan-heng ilmu harpa dan ilmu
pedangmu sama mencapai top, untuk selanjutnya aku harap Tan-heng suka memberi
petunjuk kepadaku."
"Kek-heng terlalu
sungkan, aku tahu Kek-heng mahir meniup seruling, akupun ingin mohon petunjuk
dari Kek-heng."
Dari samping It-cu-king-thian
menyeletuk: "Kalian besok masih ada tempo untuk mengadu harpa dan seruling
Ciok-sing Hiantit, masih ada omongan yang ingin kubicarakan dengan
engkau."
Waktu itu sudah menjelang
kentongan ke empat, Nyo Hou-hu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Setelah
menyaksikan dua babak tontonan yang bagus tadi semalam suntuk kita semua tiada
yang tidur, kini tiba saatnya kita pulang beristirahat."
Tahu bahwa It-cu-king-thian
hendak mengajak Tan Ciok-sing bicara, maka Kek Lam-wi segera mohon diri,
bersama Toh So-so mereka berangkat pulang lebih dulu, tapi dia mengundang Tan
Ciok-sing untuk bertamasya naik perahu.
It-cu-king-thian, Tam Pa-kun,
Tan Ciok-sing dan In San berempat berangkat paling akhir, mereka turun gunung
bersama, baru sekarang sambil jalan mereka sempat bicara secara panjang lebar
tentang peristiwa selama empat tahun akhir ini.
Maka It-cu-king-thian lantas
menjelaskan kepada Tan Ciok-sing: "Peristiwa malam itu yang menimpa
kakekmu begini. Waktu dia datang ke rumah dia memberitahu bahwa In Tayhiap
sedang merawat luka-lukanya di rumahnya. Seharusnya aku segera datang ke rumahmu
memberi pertolongan, tapi waktu itu ada sesuatu yang amat kukuatirkan, sehingga
bukan saja tidak bisa segera memberi pertolongan, malah Kakekmu pun kusuruh
segera pulang. Tahukah kenapa sebabnya? Karena di rumah aku juga kedatangan
tiga tamu yang tak kuundang, tamu yang tidak kusenangi. Ketiga tamu itu adalah
Le Khong-thian murid Kiau Pak-bing, gembong iblis besar yang puluhan tahun lalu
pernah sejajar dengan Thio Tan-hong Thio Tayhiap, seorang lagi adalah Siang
Po-san, satu-satunya murid keturunan dari Bi-ba-bun, orang ketiga adalah
Tok-liong-pang Pangcu Thio Ou."
"Ketiga orang inilah yang
mencelakai In Tayhiap," kata Tan Ciok-sing.
"Mereka datang sebelum
kakekmu tiba waktu itu akupun belum tahu kalau In Tayhiap sudah celaka di
tangan mereka. Mungkin mereka belum tahu bagaimana keadaan luka In Tayhiap,
mereka menyebar anak buahnya untuk mencari tahu dimana kira-kira jejak In
Tayhiap."
"Mereka memang kurang
ajar dan petingkah datang lantas secara lantang menyerukan gabungan kekuatan
untuk membunuh In Tayhiap. Diharap aku ikut bergabung dalam komplotan mereka,
pertama bantu mencari tahu dimana kira-kira sekarang In Tayhiap berada, atau
kalau tidak mau menerima uluran tangan, diminta supaya aku tidak menghalangi
aksi mereka."
"Kalau ketiga orang ini
bergabung, waktu itu jelas aku bukan tandingan mereka, oleh karena itu terpaksa
aku bersikap kendor dan mencari akal cara bagaimana untuk mencegah usaha mereka
secara diam-diam."
"Tapi sebelum aku
memperoleh akal untuk menghadapi mereka, kakekmupun datang, aku mohon diri
sebentar, kutinggal ketiga tamu itu di ruang tamu, lalu kutemui kakekmu di
kamar rahasia, waktu itu kakekmu belum terluka."
"Setelah mendapat
keterangan kakekmu baru aku tahu akan berita positip keadaan In Tayhiap, konon
dia punya harapan untuk sembuh dari lukanya yang parah, maka legalah hatiku,
lekas aku suruh kakekmu lekas pulang, supaya tidak kepergok oleh ketiga gembong
iblis yang kini menjadi tamuku."
"Waktu itu memang aku
sudah tahu bahwa ketiga gembong iblis itu adalah biang keladi yang melukai In
Tayhiap, akan tetapi aku masih belum bisa membalas sakit hati In Tayhiap
seorang diri. Terpaksa aku layani mereka secara ala kadarnya, akhirnya aku
antar mereka pergi, kupikir setelah Tam Tayhiap datang nanti, dengan kekuatan
kami berdua, yakin kami akan dapat menuntut balas sakit hati In Tayhiap."
"Tak nyana belum jauh
setelah kekekmu pergi, beliau dibokong dan disergap oleh orang Tok-liong-pang
hingga terluka, tapi hal ini baru kuketahui belakangan setelah ketiga tamu dari
gembong-gembong iblis itu pergi."
"Waktu itu pikiranku
hanya mencari akal untuk memberi bantuan dan menyelamatkan In Tayhiap, supaya
dia dapat merawat lukanya di rumah keluarga Tan dengan tentram tanpa diganggu
siapapun. Siapa nyana bukan saja In Tayhiap akhirnya mengalami nasibnya yang
mengenaskan, malah kakek Tan Ciok-sing juga harus ikut berkorban. Sungguh bukan
kepalang rasa menyesalku, kalau siang-siang aku tahu bakal terjadi peristiwa
ini, pasti malam itu aku berlaku nekad mengadu jiwa dan melabrak ketiga gembong
iblis itu, Ciok-sing Hian-tit, nona In, memang pantas kalian menyalahkan aku
karena kelalaianku bertindak waktu itu."
Lekas Tan Ciok-sing dan In San
berkata bersama: "Lui Tayhiap harap jangan menyalahkan diri sendiri,
bicara soal situasi waktu itu umpama kau nekad dan melabrak mereka, urusanpun
takkan banyak berubah dan membawa manfaat, Lui Tayhiap jiwa pendekarmu dan rasa
setia kawananmu memang patut kita kagumi dan harus menjadi teladan kita semua,
untuk ini kami amat berterima kasih kepadamu."
Berkata It-cu-king-thian lebih
lanjut: "Hari kedua aku datang ke rumah kakekmu, In Tayhiap, dan kakekmu
sudah sama meninggal, seharusnya itu waktu aku memberi penjelasan kepada kau
Ciok-sing, tapi..."
"Semua lantaran
kecorobohan dan kebodohanku," demikian ucap Tan Ciok-sing, "Waktu itu
kuanggap umpama bukan kau yang langsung mencelakai kakekku, paling tidak kau
tersangkut didalam perkara ini, begitu melihatmu, sikapku lantas tegas
memandangmu sebagai musuh besar. Ternyata aku seceroboh ini, akupun pantas mati
saja."
"Kau tidak bisa
disalahkan juga, kakekmu terluka parah setelah pulang dari rumahku, memang
siapapun pasti akan mencurigai diriku. Tapi, bahwa waktu itu aku tak mau
memberi penjelasan kepadamu, memang didalam hal ini masih ada sebab
musababnya."
"Lui Tayhiap, tak perlu
kau jelaskan lagi, hanya akulah yang harus disalahkan karena kebodohanku, kini
urusan sudah jeias, memangnya aku masih tidak percaya padamu?" demikian
kata Tan Ciok-sing.
"Meski kau tidak menaruh
curiga pula kepadaku, tapi aku masih ingin menjelaskan hal ini?" demikiau
lt-cu-king-thian menyatakan.
"In Tayhiap sudah gugur,
tapi kawanan penjahaf'itu belum tahu, sebelum mereka mendapatkan golok pusaka
dan buku pelajaran silat milik In Tayhiap jelas takkan mau berhenti sampai
disini. Waktu kakekmu pulang dari rumahku malam itu, di tengah jalan jejaknya
konangan oleh orang-orang Tok-liong-pang, kakekmu dilukai namun dia berhasil
lolos. Betapa senang hati mereka setelah memperoleh sumber penyelidikan ini,
maka mereka terus mengejar dan menyelidik."
Tan Ciok-sing paham, katanya:
"Lui Tayhiap, secara suka rela kau memanggul nama buruk sehingga mereka
menyangka In Tayhiap sudah terjatuh ke tanganmu, sudah tentu barang
peninggalannya juga terjatuh ke tanganmu. Maka kalau mereka ingin mendapatkan
barang-barang itu, terpaksa harus berhadapan dengan kau, selanjutnya tidak akan
mencari perkara terhadap kami kakek dan cucu. Ya, tak heran malam itu dengan
leluasa aku dapat lolos dari cengkeraman iblis kiranya kaulah yang membantu
secara diam-diam. Ai, Lui Tayhiap, kenapa kau harus bertindak sejauh ini,
sebetulnya kau bisa berusaha supaya aku tahu..."
It-cu-king-thian tersenyum,
katanya: "Aku memang sengaja supaya kaupun menaruh curiga kepadaku,
sehingga orang lainpun lebih curiga lagi. Oleh karena itu, sepulang dari
rumahmu, malam itu juga aku membakar rumah. Aku berbuat demikian, pertama
lantaran seorang diri tak akan mampu menempur beberapa gembong iblis itu, kedua
maksudku ingin memancing mereka pergi, supaya mereka menyangka setelah aku
memperoleh barang-barang yang mereka incar terus merat ke tempat jauh, dan kau
akan selamat dan tidak akan direcoki mereka."
Haru dan sedih hati Tan
Ciok-sing, tanpa terasa air mata berkaca-kaca di kelopak matanya, katanya:
"Lui Tayhiap, karena aku kau rela memikul segala resiko buruk itu, demi
aku pula kau mengorbankan rumah dan harta benda, tapi aku justeru menuduh dan
menyalahkan kau, budi kebaikanmu ini, selama hidup sukar aku membalasnya."
Tam Pa-kun menghela napas,
katanya: "Aku pun harus disalahkan karena terlambat datang empat hari
waktu yang dijanjikan. Sampai detik ini aku masih belum mengerti, entah
bagaimana perjanjianku dengan In Tayhiap bisa bocor. Di tengah jalan aku
kepergok Huwan bersaudara, dua hari lamanya aku dilibat dan dikeroyok mereka,
akhirnya dua di antaranya dapat kulukai dan membobol kepungan dari barisan
golok mereka. Siang dan malam aku menempuh perjalanan, alangkah sayangnya
tenagaku sudah hampir habis. Lebih tak terpikir lagi setelah aku terlambat
empat hari tiba di Cit-sing-giam, orang-orang Tok-liong-pang masih menunggu aku
dan mengatur jebakan sehingga aku terperangkap, begitu tiba aku lantas
terbokong dan terluka parah. Untung Lui Toako bertindak tepat pada saatnya
kalau tidak jiwaku takkan hidup sampai sekarang."
"Rahasia ini dicuri
dengar oleh Liong Seng-bu bangsat kurcaci itu." demikian Tan Ciok-sing
menjelaskan, "lalu pamannya yang bernama Liong Bun-kong mengatur tipu daya
sehingga In Tayhiap celaka dan kita semua mengalami musibah ini," lalu dia
menceritakan pula apa yang dia ketahui dari penuturan In-hujin. Baru sekarang
Tam Pa-kun tahu duduknya perkara.
Dalam pada itu mereka sudah
tiba di bawah gunung, rumah keluarga Nyo. sudah tampak di kejauhan sana,
haripun sudah mendekati fajar.
Teringat sesuatu Tan Ciok-sing
lantas berkata: "Aku hendak menemui seorang teman, kira-kira memerlukan
waktu setengah jam. Adik San, kau boleh ikut Tam Tayhiap dan Lui Tayhiap
menunggu di rumah keluarga Nyo saja."
"Dimana temanmu
berada?" tanya It-cu-king-thian.
"Berada di bawah
Bik-lian-hong, di tepi sungai," sahut Tan Ciok-sing.
"Kau datang bersamanya
kemarin malam?" tanya It-cu-king-thian pula.
"Ya, dialah yang
mengantarku kemari dengan perahunya."
"Kalau dia temanmu,
kenapa tidak kau ajak ke rumah keluarga Nyo saja, supaya kita semua bisa
kumpul."
"Dia bukan kaum
persilatan, dia seorang nelayan cilik yang waktu kecil menjadi teman baikku.
Aku tidak ingin dia ikut terjun kedalam pusaran pertikaian kaum
persilatan."
Waktu Tan Ciok-sing buru-buru
menyusul ke tepi sunyai, tampak perahu Siau-cu-cu masih ditambat di pinggir
sungai, ternyata dia masih menunggu disana.
Siau-cu-cu amat girang,
katanya: "Memangnya aku lagi kuatir, syukurlah kau kembali dengan selamat.
Semalam apa yang terjadi? Mana nona In, kenapa tidak pulang bersamamu?"
Tan Ciok-sing tertegun,
katanya tertawa: "Ternyata kau sudah tahu kalau dia menyaru laki-laki.
Jangan kuatir, dia tidak apa-apa, Dia ketemu dua orang sahabat ayahnya, kini
seperjalanan menuju ke rumah keluarga Nyo."
"Kalau begitu marilah kau
pulang naik perahu kecilku ini? Hari ini angin menghembus kencang, kembalinya
pasti lebih laju."
"Memang aku kemari hendak
memberitahu kepadamu, aku akan tinggal dua hari lagi disini kuharap kau pulang
lebih dulu."
Siau-cu-cu tersentak, katanya
tersenyum: "Ya memang aku yang goblok. Kalau nona In belum pulang,
sepantasnya kaupun tetap berada disini."
Merah muka Tan Ciok-sing,
katanya: "Baru saja aku berkenalan dengan seorang teman she Kek, yaitu
teman yang kuceritakan padamu mengundangku kesini."
"Adakah urusan lain yang
perlu kau pesan padaku?" tanya Siau-cu-cu.
"Tidak ada, cuma tolong
kau rawat kedua ekor kudaku itu."
"Bicara soal kedua ekor
kuda itu, ada sebuah hal perlu kuberitahu padamu."
Melihat sikapnya agak ganjil
Tan Ciok-sing bertanya: "Hal apa?"
"Tadi pagi sebelum fajar
menyingsing, kudengar ada orang yang memperbincangkan kedua ekor kuda putihmu
itu."
Tan Ciok-sing kaget, tanyanya:
"Siapa mereka?"
"Entah siapa, mereka
lewat di pinggir kali, perahuku ini berada di tengah lebatnya daun-daun
welingi, sehingga mereka tidak melihatnya."
"Apa yang mereka
bicarakan?"
Seorang berkata: "Aneh,
bocah itu dan temannya menunggang kuda putih milik Kanglam Sianghiap, bila
mereka muncul di tengah jalan, orang-orang pihak kita pasti dapat mengenalinya.
Tapi tiada seorangpun yang melihat kuda putih itu, tahu-tahu bocah itu sudah
berada disini." Seorang lagi berkata: "Memangnya kau kira dia tidak
bisa datang naik perahu?" Yang duluan berkata pula: "Hal itu sudah
kupikir, sayang sekarang tinggal kita berdua, apa masih ada orang lain yang berhasil
lolos belum diketahui.. Keadaan kita sekarang masih cukup berbahaya, syukur
kalau Liong-tayjin ada mengutus orang untuk membantu kita." -"Sampai
disini pembicaraan mereka, selanjutnya apa pula yang dibicarakan aku tidak
mendengar dengan jelas. Dari nada pembicaraan mereka, agaknya mereka adalah
tawanan yang berhasil meloloskan diri."
Setelah Tan Ciok-sing tiba di
rumah keluarga Nyo, langsung dia bicarakan hal ini kepada Nyo Hou-hu, setelah
diperiksa, memang, ada tiga orang yang berhasil lolos dari orang-orang jahat
yang terdaftar. Itu berarti kecuali dua orang yang ditemui Siau-cu-cu, masih
ada seorang lain pula yang lolos. Tapi ketiga orang ini hanya kaum kroco yang
tidak begitu penting peranannya, semuanya sudah ditangkap dan dijebloskan dalam
tahanan oleh Nyo Hou-hu.
Ternyata Tan Ciok-sing amat
cocok dengan Kek Lam-wi, maka dua pasangan kekasih bertamasya bersama, satu
memetik harpa yang lain meniup seruling, kedua pemudinya bernyanyi, berdendang
dan menari, suasana sungguh amat riang dan menggembirakan. Sehari itu mereka
menjelajah seluruh obyek-obyek turis di Kwan-san tanpa merasakan lelah, maklum
setiap kali berada di suatu tempat yang indah pemandangannya, maka alunan harpa
dan seruling pasti berkumandang di antara alam pegunungan nan permai, dipadu
pula dengan kicauan burung yang merdu, sungguh indah dan mengasyikan sekali.
Akhir kali dari paduan suara harpa dan seruling, dimana gema suaranya masih
berkumandang di antara lembah dan sungai, tiba-tiba terdengar sebuah suitan
panjang, malah sayup-sayup seperti terdengar seorang memuji: "Bagus."
Kek Lam-wi melongo sejenak,
katanya kaget dan senang: "Agaknya orang ini punya hobi jugatialam bidang
musik, mungkin dia ingin berkenalan dengan kita." Suitan itu berkumandang
dari atas puncak sana, kalau bukan seorang yang memiliki lwekang tinggi,
suaranya tak mungkin bisa terdengar sejauh ini.
Teringat sesuatu Tan Ciok-sing
berkata: "Bukan saja orang ini sehobi dengan kita, kemungkinan dia memang
punya maksud tertentu, agaknya dia sengaja hendak menarik perkenalan, kali ini
aku pasti tidak salah dengar."
Kek Lam-wi heran, katanya:
"Soal apa yang kau katakan? Apakah orang itu pernah muncul?"
"Waktu aku datang, di
atas perahu pernah juga kupetik harpaku untuk teman tukang perahuku, waktu itu
sayup-sayup pernah juga kudengar suara suitan. Tapi hanya suaranya saja tanpa
kelihatan bayangannya, kuduga orangnya pasti sama."
"Kemungkinan orang ini
masih ada di atas gunung, mari kita cari dia," demikian ajak Kek Lam-wi.
Tak nyana setiba mereka di
puncak Kwa-san, bayangan seorangpun tiada yang terlihat.
Kek Lam-wi menghela napas,
katanya: "Agaknya orang kosen ini tak sudi bertemu dengan kita
semua."
"Aneh, kenapa dua kali
dia sengaja bersuit?" ujar In San.
Tan Ciok-sing juga tidak habis
mengerti katanya: "Kukira dia sengaja, hendak menarik perhatian kami,
ternyata salah dugaanku." "Tapi aku yakin orang itu tidak ' punya
maksud jahat terhadap kita," timbrung In San.
"Sudah tentu, kalau dia
seorang musikus, seorang seniman, yakin dia bukan orang jahat."
Tapi Tan Ciok-sing tidak
sependapat, batinnya: "Liong Seng-bu juga seorang pelajar pandai main
musik pula, kelihatannya lemah lembut, kenyataannya dia lebih ganas dari
serigala," namun dia tidak ingin berdebat dengan teman baru ini, maka dia
simpan pikirannya dalam hati.
Sepulang ke rumah keluarga Nyo
hari sudah petang, Nyo Hou-hu berkata: "Aku dan Lui Tayhiap sedang
menunggu kalian pulang."
"Apa ada urusan?"
tanya Tan Ciok-sing.
"Hayo masuk dulu, bicara
didalam saja," ucap Nyo Hou-hu.
Nyo Hou-hu membawa mereka
kedalam kamar bukunya, It-cu-king-thian sudah menunggu mereka. Melihat mereka
datang, dia tertawa, katanya: "Hari ini kalian tentu amat riang?"
"Hari ini bertamasya
dengan Kek-heng, sungguh merupakan hari yang paling menyenangkan selama hidupku
ini. Tapi..."
"Tapi apa?" tanya
It-cu-king-thian.
"Entah Nyo Cengcu ada
persoalan apa yang hendak dibicarakan dengan kami, silakan bicarakan lebih
dulu."
"Ada satu urusan yang
perlu kusampaikan kepada Kek-heng, tapi bukan soal penting, silakan kalian dulu
yang bicara."
"Kami juga tiada urusan
apa, cuma ingin kami tanya seseorang kepada Nyo Cengcu."
"Siapa- yang kalian
maksud?"
"Seorang yang belum kami
ketahui nama dan wajahnya," kata Tan Ciok-sing, lalu dia tuturkan kejadian
yang mereka alami di Kwa-san.
Nyo Hou-hu tampak keheranan,
katanya: "Penduduk di sekitar Kwa-san boleh dikata amat kukenal, tapi
tiada orang kosen seperti kalian katakan itu. Kukira dia orang luar yang datang
kesana."
"Kalau dia orang luar
sepantasnya juga kemari memberi selamat kepada Nyo Cengcu. Kalau tidak untuk
apa pula dia berada di sekitar sini?" demikian kata Kek Lam-wi.
Nyo Hou-hu berkata:
"Kalian terlalu memberi muka kepadaku, kalau dia seorang kosen, masakah
berani aku menerima ucapan selamatnya? Tapi secara kebetulan, tadi memang ada
seorang kemari mencari tahu tentang dirimu."
"Siapa?" tanya Kek
Lam-wi.
"Kek-heng, bukankah kau
punya seorang Susiok yang bernama Ti Nio tinggal di kota Khong-gwan di daerah
Jwan-say?" tanya Hou-hu.
"Benar," sahut Kek
Lam-wi, "tapi belum pernah aku bertemu dengan Ti-susiok."
"Dia mengutus seorang
muridnya she Kok kemari, dia mengharap kedatanganmu ke Khong-gwan tanggal lima
belas bulan depan untuk menemuinya."
"Sebetulnya aku ingin
kumpul beberapa hari lagi disini dengan Tan-heng, karena hal ini terpaksa besok
juga aku harus berangkat," demikian ucap Kek Lam-wi.
"Baiklah, karena kau ada
urusan, aku tidak akan menahanmu lebih lama lagi. Tolong sampaikan salamku
kepada Susiokmu."
"Kek-heng besok menuju ke
Kwi-lin lebih dulu?" tanya Tan Ciok-sing.
"Betul, kupikir akan
menempuh perjalanan darat saja dengan nona
Toh, sepanjang jalan bisa
menikmati pemandangan alam, petangnya kebetulan tiba di Kwi-lin."
"Kalau begitu besok kita
bisa seperjalanan," kata Tan Ciok-sing.
"Lho, kau juga mau pergi?
Apa kau tidak menunggu Lui Tayhiap?" Tanya Nyo Hou-hu.
"Temanku tukang perahu
itu tiada pengalaman Kangouw sama sekali, aku menguatirkan
keselamatannya," demikian kata Tan Ciok-sing, "kalau dia kena perkara
lantaran aku, bagaimana hatiku bisa tentram."
Sesaat berpikir akhirnya
It-cu-king-thian berkata: "Ucapanmu betul, hati-hati memang lebih baik.
Kedua ekor ikan yang lolos itu tidak perlu dibuat kuatir, tapi kalau orang aneh
itu sengaja hendak mencari perkara kepadamu, di Kwi-lin aku sudah menyebar
beberapa orang, kuatirnya merekapun tak kuasa menghadapinya."
"Kalau demikian, akupun
takkan menahanmu, kelak kita bertemu saja di markas Kim-to Cecu," kata Nyo
Hou-hu.
Kata It-cu-king-thian lebih
lanjut: "Muridku yang ketiga bernama In Ih, dia kenal kau dan Kek-siheng,
besok setiba kalian di Kwi-lin, boleh menginap di rumahnya demikian pula
temanmu itu bila menghadapi sesuatu persoalan boleh minta bantuan kepadanya.
Temanmu itu walau dari kaum lemah namun punya jiwa ksatria, bila dia suka
belajar silat, boleh aku suruh In Ih menerimanya sebagai murid."
Setelah segala sesuatunya
diatur baik, hari kedua, Tan Ciok-sing, In San, Kek Lam-wi dan Toh So-so
berempat mohon diri, lalu menempuh perjalanan bersama.
Dari Yang-siok ke Kwi-lin
sejauh seratus dua puluh li, sehari perjalanan supaya tidak terlambat, terpaksa
mereka hanya menikmati pemandangan sepanjang jalan sambil lalu belaka. Di
tengah jalan mereka kehujanan dan harus berteduh selama satu jam, karena
jalanan becek, waktu mereka memasuki kota Kwi-lin, hari sudah gelap.
"Seharusnya aku ikut
pergi ke rumah keluarga In, tapi kuatir terlalu malam, tidak leluasa mencari
temanku itu. Tolong sampaikan saja salamku kepada In Ih."
Kek Lam-wi mengiakan katanya:
"Tapi, apa kau tidak makan malam dulu? Marilah, kita makan dulu."
Perut Tan Ciok-sing memang
sudah lapar, dari pada bikin susah Siau-cucu, dia pikir lebih baik mampir ke
warung dulu baru ke rumahnya. Maka katanya: "Baiklah, besok aku tak bisa
mengiringi perjalanan kalian lebih jauh, biar kali ini aku yang traktir, kalian
ingin makan apa boleh pesan saja,"
"Supaya tidak membuang
waktu, kita makan di warung saja. Aku hanya ingin menikmati satu macam makanan
saja."
"Masakan apa?" tanya
Tan Ciok-sing.
"Nasi tim daging
kuda."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya:
"Kau memang pandai mencari makan, nasi tim daging kuda dari Kwi-lin memang
lain dari yang lain, di lain tempat takkan bisa kau nikmati. Di jalan Yong-im
ada sebuah warung tua yang paling baik, mari kuajak kesana. Tapi jangan kau
pandang warung itu sudah reyot dan kotor."
Warung tua ini memang kecil,
kotor lagi, dinding rumahnya sudah hitam hangus oleh asap, agaknya sudah sekian
tahun tidak pernah dibersihkan. Toh So-so dari keluarga besar yang kaya raya,
sudah tentu tak biasa berada di warung sekotor ini, dia masuk dan duduk sambil
menutup hidung.
Melihat ada tamu, pelayan
segera menyilakan duduk, tanpa dipesan segera dia lari kesana mulai mengiris
daging kuda. Secara bisik-bisik In San berkata: "Kenapa tidak kau pesan
beberapa mangkok lebih dulu?"
"Tidak usah pesan,"
kata Tan Ciok-sing, "apalagi orang-orang yang kemari makan nasi tim daging
kuda tiada yang tahu pasti berapa banyak dia menghabiskan."
"Eh, memangnya takeran
makan sendiri tidak tahu?" tanya In San bingung.
"Orang yang takeran
makannya besar sekaligus bisa menghabiskan tiga puluh sampai empat puluh
mangkok, bagi yang takeran kecil sedikitnya juga belasan atau dua puluhan
mangkok. Makan banyak atau sedikit kan tidak menjadi persoalan."
"Apa?" teriak In
San, "seorang bisa menghabiskan empat puluh mangkok? Mangkok apa
itu?"
"Nanti setelah disuguhkan
kau akan tahu sendiri," sahut Tan Ciok-sing. Tak lama kemudian pelayan
sudah membawa nampan menyuguhkan nasi tim daging kuda.
Ternyata mangkok yang berisi
nasi daging kuda hanya sebesar cangkir teh. Seketika In San tertawa, katanya:
"O, kiranya sekali gares dapat melalap satu mangkok, tak heran yang doyan
makan bisa menghabiskan empat puluh mangkok."
"Nasinya juga amat
harum," kata Toh So-so. Setelah dicicipi ternyata daging kudanya empuk wangi
dan manis, nasinyapun lembut dan segar, memang lezat dan nikmat. Semula dia
makan sambil menutup hidung, akhirnya semakin lahap semakin riang dan berseri
tawa.
Sudah menjadi aturan umum,
bila sang tamu tidak suruh berhenti, pelayan masih terus menyuguhkan tanpa
berhenti. Tan Ciok-sing minta Sam-hoa-ciu, dengan Kek Lam-wi dia makan sambil
minum arak. Sebentar saja mangkok kosong sudah bersusun memenuhi meja.
In San berkata: "Aneh,
semakin makan semakin enak."
"Itupun merupakan
peraturan untuk yang suka makan nasi tim daging kuda. Beberapa mangkok
permulaan daging yang disuguhkan adalah daging kuda biasa, kira-kira setelah
lima mangkok, baru kau akan betul-betul merasakan daging kuda yang paling
lezat, bila kau sudah merasakan bagian dalamnya, tanggung kau takkan merasa
kenyang."
Waktu pelayan menghitung
rekening, mereka berempat seluruhnya menghabiskan sembilan puluh delapan
mangkok. Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Kurang dua genap seratus
mangkok, takeran makan kita ternyata biasa saja."
Di tengah jalan mereka
berpisah, Tan Ciok-sing dan In San menuju ke pintu timur, waktu mendongak
ternyata rembulan sudah bercokol di tengah langit, Tan Ciok-sing kaget,
katanya: "Begitu lama kita makan nasi tim daging kuda, sekarang mungkin
sudah menjelang kentongan ketiga."
"Salahmu minum arak
segala, kalau sudah terlambat mau apa lagi, paling mengganggu tidur Siau-cu-cu,
kukira dia tidak akan salahkan kau," demikian kata In San.
Berendeng mereka beranjak di
Hoa-kio terus menuju ke Cit-sing-giam, rumah Siau-cu-cu berada di belakang
Cit-sing-giam, mereka masih harus menempuh perjalanan cukup jauh. Pada saat
itulah di atas lereng sana kedengaran ada suara orang. Lekas Tan Ciok-sing
tarik tangan In San sambil memberi tanda supaya dia berhenti. In San melengak,
lekas diapun mendengar suara orang di atas.
Suara yang terbawa angin lalu
kedengaran jelas, ternyata pembicaraan dua orang yang sudah mereka kenal
suaranya. Seorang adalah Siang Po-san, seorang lagi adalah Phoa Lat-hong.
Terdengar Phoa Lat-hong sedang berkata: "Sungguh sial, tak nyana tak
berhasil mencuri ayam malah kehilangan segenggam beras. Entah siapa kedua
keparat itu?"
"Kalah menang sudah
biasa, suatu ketika gagal juga sudah sering terjadi, untung kita sudah tahu
dimana sembunyinya Tan Ciok-sing bocah keparat itu, besok mungkin dia akan
kembali dari Yang-siok, asal dia tidak bersama It-cu-king-thian, kita masih
bisa mengerjai dia."
Phoa Lat-hong berkata:
"Kuatirnya kedua keparat itu adalah komplotannya, kita kuntit diam-diam,
ternyata mereka juga mengawasi kita.
"Kukira bukan, kalau
kedua orang itu temannya, mana bisa mereka melakukan perbuatan seperti
kita?"
Sampai disini Tan Ciok-sing
tidak tahan lagi, segera dia kembangkan Pat-pou-kan-sian terus melompat keluar
memburu ke atas lereng, bentaknya: "Tak usah tunggu sampai besok bagaimana
kalian hendak menjebakku, sekarang saja," belum habis dia bicara pedang
pusakanya sudah terlolos, tubuh dan pedangnya bagai selarik lembayung menukik
turun terus menggulung tiba, "Trang" pedangnya membentur keras dengan
gitar besi Siang Po-san.
Sebagai murid tunggal
Bi-ba-bun kungfu Siang Po-san memang cukup tinggi, dalam sekejap itu dia sudah
bergebrak tiga jurus dengan Tan Ciok-sing, namun tiada yang dirugikan.
Samentara itu In San terlambat bertindak, maka dia belum menyusul tiba.
Setelah mendesak Tan Ciok-sing
mundur dua langkah tiba-tiba Siang Po-san berteriak: "Angin kencang."
begitu gitar ditekan, "Ting, ting" tiba-tiba dua batang paku penembus
tulang melesat kesana menyerang ke arah In San yang memburu tiba. Tan Ciok-sing
tahu betapa liehay paku orang, kuatir In San tak kuasa menangkisnya, lekas dia
membalik tubuh sambil menyambit dua batang piau besi, sehingga paku penembus
tulang itu dirontokkan di tengah jalan.
Siang dan Phoa berdua pernah
merasakan betapa liehaynya Siang-kiam-hap-pik dari Tan Ciok-sing dan In San,
begitu melihat In San memburu tiba, kontan mereka ngacir mencawat ekor.
Sementara Tan Ciok-sing menguatirkan keselamatan Siau-cu-cu, maka dia tidak
mengejar.
"Dari pembicaraan mereka
tadi dapat disimpulkan, bahwa mereka berada disini hendak melakukan kerja tanpa
modal. Tapi di kala mereka hendak bertindak, ternyata kebentur lawan tangguh
yang bertujuan sama," demikian In San mengutarakan pendapatnya.
"Syukur kalau orang yang
bentrok dengan mereka adalah orang-orang utusan Lui Tayhiap."
"Mungkin hanya tinggal
harapanmu belaka, kan belum tentu kedua orang itu orang baik."
"Betul, agaknya kedua
orang itu juga melakukan perbuatan yang sama, jelas perbuatan mereka terhitung
jahat pula. Entah perbuatan jahat apa yang mereka lakukan?"
Setiba di depan rumah
Siau-cu-cu, tampak sinar api masih menyorot keluar dari jendela. Waktu itu
sudah lewat kentongan ketiga, jantung Tan Ciok-sing jadi berdebar, batinnya:
"Sampai malam begini ternyata Siau-cu-cu belum tidur, jangan-jangan memang
terjadi apa-apa pada dirinya," tengah berpikir dia beranjak lebih dekat,
maka didengarnya Siau-cu-cu sedang berbicara dengan ibunya didalam rumah. Ayah
Siau-cu-cu sudah lama wafat, sejak kecil mereka anak dan ibu hidup berdampingan.
"Aduh, dadamu menghitam
begini, mungkin lukanya tidak ringan, tengah malam buta rata begini, bagaimana
bisa masuk kota mengundang tabib kemari, bagaimana baiknya?"
"Bu, tak usah kau kuatir,
aku sudah jauh lebih baik. Sekarang tidak terlalu sakit lagi."
"Ah, masa iya, kau
ditendang roboh dan jatuh pingsan oleh rampok bengis itu, baru saja siuman,
mana mungkin bisa sembuh secepat ini? Em, ya orang itu memberi sebotol pil obat
ini untukmu, baiklah dicoba saja,"
Mendengar Siau-cu-cu terluka,
karuan Tan Ciok-sing gugup dan gelisah, lekas dia menggedor pintu. Siau-cu-cu
kira kawanan rampok putar balik lagi, serunya murka: "Bu, lekas kau
sembunyi, biar aku adu jiwa dengan kawanan anjing itu," entah dari mana
datangnya tenaga, tiba-tiba dia berjingkrak berdiri.
"Siau-cu-cu, tak usah
takut, inilah aku," lekas Tan Ciok-sing berteriak keluar.
Sudah tentu Siau-cu-cu kaget
dan girang, tapi dia tak percaya akan pendengaran sendiri, tanyanya: "Apa
betul kau Siau-ciok-cu?"
"Coba dengarkan dengan
cermat, memangnya kau tidak mengenal suaraku lagi? Aku pulang bersama nona
In."
Lekas Siau-cu-cu membuka daun
pintu, tanpa terasa air mata berkaca-kaca, katanya: "Siau- ciok-cu, aku
malu berhadapan dengan kau," tubuhnya limbung, hampir saja dia tersungkur
jatuh.
Lekas Tan Ciok-sing
membimbingnya ke atas pembaringan, katanya: "Peduli apa yang telah
terjadi, aku tidak salahkan engkau. Sembuhkan dulu luka-lukamu lebih
penting."
Tapi Sian-cu-cu berkata:
"Kedua ekor kudamu itu dicuri orang."
Hal ini sudah diduga oleh Tan
Ciok-sing, lekas dia menghibur: "Memang sayang kalau kuda itu direbut
kawanan rampok, apapun yang terjadi, jiwa dan keselamatan lebih penting. Jangan
kau ambil dalam hati peristiwa ini mari biar kuperiksa lukamu."
"Kau pernah bilang kuda
itu kau pinjam dari orang lain, mereka bisa menempuh ribuan li sehari, kuda
sebagus itu tapi aku tak mampu melindunginya."
"Memangnya kuda yang
dapat lari ribuan li sehari lebih tebal dari persahabatanmu terhadapku, tak
usah kau pikirkan hal ini, kalau tidak mendengar nasehatku, aku bisa marah
lho."
Tengah mereka bicara ibu
Siau-cu-cu sudah melepas pakaian atas putranya, katanya lembut:
"Siau-ciok-cu, tolong kau periksa, apakah lukanya parah?"
Tampak rona hitam menghiasi
dada Siau-cu-cu, selintas pandang memang menakutkan, Tan Ciok-sing tahu
luka-luka ini memang cukup parah, tapi kini sudah jauh lebih mending. Kulit
yang membengkak hitam itu semula cukup lebar dan luas, kini rona hitamnya sudah
agak luntur. Begitu pakaian Siau-cu-cu dibuka hidung Tan Ciok-sing mengendus
bau Kim-jong-yok. Tanyanya: "Kau pernah memoles obat pada lukamu ini? Lho
kenapa diusap lagi?"
"Kawanan rampok itulah
yang membubuhi obat ini, aku tak percaya ada rampok sebaik itu, maka aku
mengusapnya bersih."
"Rampok itu memang aneh,
kenapa setelah melukai kau membubuhi obat lagi? Tapi inilah Kim-jong-yok tulen
dari kwalitet paling baik."
"Tapi mereka adalah dua
rampok yang lain, bukan dua rampok yang duluan," demikian ibu Siau cu-cu
menerangkan.
Tiba-tiba In San menyeletuk:
"Rampok yang memberi salep kepadamu itu bukankah juga memberi sebotol pil
obat, coba keluarkan supaya kuperiksa."
Lekas ibu Siau-cu-cu angsurkan
botol obat itu kepada In San, katanya: "Lekas nona periksa apakah pil obat
inipun tulen?"
Setelah melihat pil obat itu
seketika In San keheranan, katanya: "Inilah Wi-yang-tan buatan keluargaku
dari resep tunggal warisan leluhur khusus mengobati luka-luka dalam, menurut
ayah Wi-yang-tan dari keluarga kita ini kira-kira sejajar mujarabnya dengan
Siau-hoan-tan buatan Siau-lim-si. Aku juga punya resep rahasia ini, tapi aku
sendiri belum pernah membuatnya."
Mau tak mau Tan Ciok-sing ikut
heran, katanya: "Apa betul?"
"Coba kau buktikan, aku
sekarang juga membawa Wi-yang-tan." In San keluarkan sebuah botol porselin
kecil diangsurkan kepada Tan Ciok-sing, bentuk dan warnanya memang sama
demikian pula baunya yang harum juga tak berbeda.
Kata In San: "Lauw Toako,
luka-luka yang kau derita ini sebutir sudah lebih dari cukup untuk
menyembuhkannya. Tapi rampok itu sekaligus memberi tiga butir padamu, dia
benar-benar seorang rampok yang baik hati."
"Masakah rampok ada yang
berhati baik, wah merupakan berita jadinya. Tapi aku tetap tak percaya."
"Kim-jong-yok itu jelas
tulen, maka pil inipun pasti bukan palsu," ucap Ciok-sing.
"Kalau kau tak percaya
obat pemberian rampok ini, biarlah kutukar saja dengan Wi-yang-tan milikku
ini," demikian kata In San.
Siau-cu-cu segera telan
sebutir Wi-yang-tan tak lama kemudian terasa hawa hangat timbul dalam pusarnya,
seketika semangatnya berkobar dan badan lebih segar.
Waktu Siau-cu-cu makan obat
Tan Ciok-sing bertanya kepada In San: "Apakah Wi-yang-tan ayahmu sering
disumbangkan kepada teman-temannya?"
Cukup lama In San berpikir,
katanya kemudian: "Aku tidak mengerti. Walau ayah takkan mungkin
memberikan obat-obat ini kepada teman-temannya, tapi kawan-kawan dari kaum
ksatria memerlukan ayah akan memberikan dengan sukarela. Teman-temannya yang
paling akrab hanya yakin tahu Tam-pepek dan Kim-to Cecu," sebetulnya dalam
hati dia sudah curiga, tapi sekarang dia tidak leluasa memberitahu kepada Tan
Ciok-sing.
"Dengan kepandaian
ayahmu, orang lain tak mungkin bisa mencuri Wi-yang-tan dari tangannya,"
demikian kata Ciok-sing, aneh juga mungkinkah kawanan rampok ini dari kalangan
ksatria?"
Kesehatan Siau-cu-cu sudah
juga lebih baik, tak tahan dia berteriak: "Kaum ksatria apa? Kau tahu
rampok yang memberi obat inilah yang merebut kudamu. Ai, sayang kedatanganmu
terlambat satu jam, kalau kau bisa datang lebih pagi, kalian akan bentrok
dengan kawanan rampok itu."
"Kawanan rampok? Jadi
bukan hanya dua orang saja yang kemari?" tanya Ciok-sing.
"Semua empat orang, tapi
mereka tidak datang bersama. Dua orang datang lebih dulu lalu datang pula dua
yang lain."
"Dua orang yang datang
duluan apakah berwajah begini begitu? Satu di antaranya membawa gitar?"
lalu dia lukiskan bentuk tampang Siang Po San dan Phoa Lat-hong.
"Sedikitpun tidak salah,
dari mana kau bisa tahu?" tanya Siau-cu-cu terbeliak.
"Aku sudah ketemu mereka
di tengah jalan," ujar Ciok-sing tertawa, lalu dia ceritakan bahwa kedua
gembong iblis itu sudah digebahnya lari mencawat ekor.
Keruan Siau-cu-cu amat senang,
katanya: "Sayang kau tidak merebut balik kuda itu, tapi terlampias juga
rasa penasaranku."
"Kuda kami itu dirampas
oleh kedua rampok yang datang belakangan bukan?" tanya Ciok-sing.
"Ya, betul," sahut Siau-cu-cu.
"Bagaimana pula tampang
perampok yang datang belakangan?"
"Rampok yang datang
duluan sebetulnya sudah hendak membunuh aku. Pada detik-detik genting di kala
jiwaku sudah hampir menghadap Giam-lo-ong itu, tiba-tiba muncul dua sosok
bayangan orang, secepat angin lesus tahu-tahu menubruk tiba. Rampok yang
bersenjata gitar segera berteriak: 'Jangan hiraukan bocah itu, kita sudah
berhasil, lekas pergi saja.' Aku melihat mereka sudah mencemplak ke punggung
kuda, tapi kejadian selanjutnya bagaimana aku tidak tahu. Dadaku kena ditendang
sekali sakitnya bukan main, kontan aku jatuh semaput."
Maka tiba giliran ibu
Siau-cu-cu bercerita: "Aku mengintip dari belakang daun pintu, melihat
Siau-cu-cu ditendang roboh, saking kaget aku gemetar dan tak mampu berdiri
lagi, ingin keluar menolongnya tapi kedua kakiku terasa lunglai tak bertenaga.