Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In) Bagian 1
I
Kabar penting
Itulah kira-kira jam tiga pagi
ketika sang Puteri Malam, yang sudah doyong ke arah barat, masih menyinari
sebuah bangunan yang berukiran dengan jendela-jendela hijau dan pintu-pintu merah
indah. Sang malam pun sunyi sekali. Gedung itu ialah yang dikenal sebagai
Koenmahoe, gedung menantu Bhok Kokkong.
Malam sudah larut demikian
rupa akan tetapi sampai itu waktu di dalam istana itu, di atas lauwteng, ada
seseorang yang masih belum tidur, dia bahkan --- sambil menyender kepada loneng
–tengah memandangi sebilah pedang dengan pikirannya bergelombang.
Siapakah dia?
Tak lain tak bukan, dialah
Koenma, menantu yang manis, dari Bhok Kokkong-ialah Tiat Keng Sim.
Keluarga Bhok itu bertugas melindungi
keselamatan dan kesejahteraan propinsi Inlam, sebuah wilayah di tapal batas,
dan telah turun temurun kedudukannya adalah sebagai kokkong atau hertog.
Semenjak Kaisar Beng Thaytjouw
yang bernama Tjoe Goan Tjiang, Bhok Eng telah dianugerahkan gelaran raja muda
Kimleng Ong, lalu puteranya, yang menjadi generasi kedua, memperoleh gelaran
kokkong itu, terus turun temurun. Hingga tiba pada kokkong yang sekarang ini,
sudah berjalan tujuh turunan. Hertog yang sekarang bernama Tjong dan ia
memangku pangkatnya itu sudah dua puluh tahun.
Bhok Tjong telah berulangkali
mendirikan jasa, hingga dia dihargakan rajanya. Sebab raja pun hendak mengambil
hatinya, walaupun kedudukannya sebagai hertog belum dinaiki, disebabkan
leluhurnya pernah menjadi raja muda (ong), dia diperkenankan menggunai tata
cara sebagai raja muda itu.
Bhok Tjong ini mempunyai dua
orang anak, satu laki-laki, satu lagi wanita. Sang putera diberi namaLin, dan
sang puteri, Yan. Dan Tiat Keng Sim telah menikah sama Bhok Yan. Maka itu.
menurut tata krama kaum pangeran (ong), dia menjadi koenma.
Adalah wajar, siapa menjadi
koenma. mestinya dia berbahagia sekali. Dia berkedudukan mulia, makan pakainya
melebihkan segala kecukupan. Bahkan untuk Keng Sim ada kelebihannya lagi, ialah
isterinya cantik dan sangat menyinta padanya. Kenyataannya tapinya tidaklah
demikian. Dia merasakan suatu kekurangan dan karenanya dia seperti kehilangan
kegembiraannya.
Kenapakah? Adakah dia mencelah
isterinya?
Tidak!
Bhok Yan cantik dan manis
bagaikan bidadari, ia mengarti ilmu surat dan ilmu silat, ia sembabat bila
dibanding sama Keng Sim. Sifat mereka pun hampir bersamaan. Dapat mereka menabu
khim di bawah sinar rembulan atau main catur di ranggon mereka, ataupun
bersama-sama melukis gambar di dalam taman. Lebih daripada itu, mereka pun
saling menyintai. Tapi justeru segala kecukupan itu, semua penghidupan yang
manis itu, yang mengganggu hatinya. Ia merasa, oleh karena hidup bahagia dan
mewah itu, hidup tenteram tetapi menganggur, cita-citanya yang luhur,
semangatnya yang menyala-nyala seperti mendapat rintangan.
Demikianlah seorang diri itu,
di malam yang indah tetapi sunyi itu, ia seperti menggadangi si Puteri Malam.
Ia pun mengawasi pohon-pohon bunga. Sambil menghela napas, ia berkata seorang
diri: "Dengan tahun ini maka sudah tujuh musim semi aku lalui di dalam
istana Koenmahoe ini... Selama tujuh tahun itu, kecuali membuat syair dan
karangan, ada apakah lagi?"
Maka terkenanglah ia kepada
masanya ia masih merdeka, bagaimana ia mundar-mandir dalam dunia kangouw, bagaimana
itu menggembirakannya.
Tengah ia ngelamun itu,
tiba-tiba di otaknya berbayang wajahnya seorang nona. Maka menyeringailah dia.
Katanya di dalam hatinya: "Sin Tjoe menyamakan aku dengan bunga mawar di
Kanglam. Sekarang ini benar bukannya di Kanglam. tetapi dengan berdiam di dalam
istana kokkong, bukankah aku seperti bunga mawar juga?"
Masih koenma ini ngelamun
tatkala ia merasakan hidungnya mengendus bau yang harum, hingga dengan sebat ia
memutar tubuhnya, berbalik ke belakang, karena dari belakang datangnya bau
semerbak itu. Maka itu melihatlah ia isterinya yang berdiri dengan wajah
tersenyum manis serta mata mengawasi kepadanya.
"Ah, adik Yan," ia
menanya, "kenapa kau masih belum tidur?"
Bhok Yan tertawa.
"Karena aku memikirkan
kau!" sahutnya, bunga hatinya. "Sekarang sudah jam tiga, mengapa kau
masih menggadangi rembulan? Eh ya, apakah kau mendapat suatu ilham untuk
membuat sebuah syair yang indah?"
Keng Sim menyeringai.
"Selama yang belakangan
ini aku merasakan kemunduranku," ia menyahut. "Apa yang telah aku
tulis, aku sendiri melihatnya muak. Mana bisa aku mendapat ilham?"
Bhok Yan mengawasi suaminya
itu.
"Keng Sim, adakah sesuatu
yang kau pikirkan?" tanyanya sesaat kemudian. Ia menghela napas perlahan.
"Ada kau yang menemani
aku seumur hidupku, ada apa lagi yang membuatnya aku tidak puas?" si suami
balik menanya.
Bhok Yan masih mengawasi,
tajam. Ia tertawa.
"Keng Sim, jangan kau
dustai aku!" katanya.
"Adik Yan. siapa...
siapakah yang tidak mengagumi kita sebagai keluarga yang sangat berbahagia?"
tanya Keng Sim. "Aku... aku mana mempunyai pikiran lain?"
Isteri itu tertawa.
"Keng Sim, kau salah
mendengar aku!" katanya. "Aku bukannya membilang hatimu berubah.
Hanya selama beberapa tahun ini. kau ada sangat kesepian. Cuma ada aku seorang
yang menemani kau. cuma aku seorang yang dapat berbicara denganmu... Tanpa kau
mengutarakannya, aku sudah tahu kesepian dalam hatimu itu. Kau tunggu sampai
lewat hari raya Tjengbeng nanti, aku akan menemani kau pergi ke Tali, untuk
pesiar, di sana kau nanti dapat pasang omong dengan guruku sekalian kau mencari
tahu tentang sahabat-sahabatmu."
Kiamkek. yaitu ahli pedang,
nomor satu di jaman itu, Thio Tan Hong, pernah mengajarkan ilmu silat selama
tiga bulan kepada Bhok Yan, benar ia tidak diterima resmi sebagai murid, tetapi
puteri pangeran itu selalu memanggil guru kepada gurunya itu. ia menyebut guru
baik di depan maupun di belakang, Tan Hong menjadi Tayhiap, orang gagah dan
penyinta negara juga. akan tetapi waktu itu, kedudukannya beda daripada yang sudah-sudah.
Saking terpaksa, pernah ia mengacau di istana hingga karenanya dia hendak
ditawan raja, karena mana, disebabkan tak dapat menaruh kaki lagi di Kanglam,
dia pergi ke Tali di mana dia menetap di gunung Tjhongsan. Ketika itu wilayah
Tali berada di bawah kekuasaannya Toan Teng Tjhong, kepala suku Pek. Namanya
saja Teng Tjhong menghamba kepada kerajaan Beng, nyatanya ia berdiri sendiri.
Tan Hong bersahabat kekal dengan Teng Tjhong, dia tinggal di Tjhongsan itu,
sebenarnya, atas permintaannya "raja" Tali itu.
Keng Sim ketahui baik tentang
Thio Tan Hong itu, makajuga hatinya bercekat mendengar perkataan isterinya itu,
hingga ia mau menduga apa isteri itu tengah memancing penyahutannya. Ia berdiam
sekian lama, baru ia menyahuti.
"Thio Tayhiap itu tak
bergaul rapat dengan aku," jawabnya bersenyum. "Laginya. ayahmu
menjadi kokkong yang melindungi wilayah Inlam ini. dari itu kuranglah bagus
kalau kita berkunjung ke Tali. Tentang pesiar ini baiklah belakangan saja kita
bicarakan pula."
Di mulut Keng Sim mengatakan
demikian, di hatinya ia berpikir lain. Tak dapat dicegah yang pikirannya itu
melayang pada peristiwa tahun dulu itu di kaki gunung Tjhongsan atau di telaga
besar yang dinamakan "laut" Djie Haj. Di telaga itu, pada suatu malam
terang bulan, ia telah bermain perahu bersama-sama Sin Tjoe. Seng Lim dan
lainnya. Adalah di malam itu yang ia memperoleh kenyataan Sin Tjoe diam-diam
menyiniai Seng Lim sedang Nona Bhok Yan jatuh hati kepadanya.
"Aku tahu kau tidak
puas," berkata pula Bhok Yan sambil tertawa. "Aku tahu guruku itu
sangat menghargai Yap Seng Lim. sebaliknya dengan kau ia kurang perhatian.
Sebenarnya mana dapat Seng Lim nempil denganmu? Seruas syair pun belum tentu ia
mengarti? Aneh adalah entjie Sin Tjoe, ia bolehnya penujui dia!"
Keng Sim merasakan kulit
mukanya panas dan hatinya berdenyutan. Biasanya, kalau ia bicara sama Bhok Yan,
ia selalu menjauhkan diri dari pembicaraan mengenai Sin Tjoe. tak ingin ia
menyebut namanya Nona Ie, siapa tahu kali ini bicara hal niat pesiar ke Tali
itu. justeru Bhok Yan yang menyebutkannya. Tapi hatinya lega juga melihat
isteri itu bicara wajar, bukannya dengan niat menyinggung atau mengejek
padanya.
"Sesuatu orang ada
jodohnya sendiri." ia menyahut sembarangan.
"Benarkah itu?"
tanya Bhok Yan bersenyum. Ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan.
"Sayang entjie Sin Tjoe tidak berada di Tjhongsan. Kabarnya, habis
menikah, ia turut suaminya pesiar tanpa tujuan, bahkan sampai sekarang ini
belum ketentuan tempat tinggalnya lagi juga tidak ada kabar ceritanya Kau tahu.
pada bulan yang lalu adik Lin telah pergi secara diam-diam ke Tali. untuk
menemui soehoe, baru beberapa hari yang lalu ia kembali. Aku belum sempat
menanya dia. hingga belum diketahui ia dapat mendengar kabar atau tidak tentang
entjie Sin Tjoe itu."
Baru si nyonya menutup
mulutnya, atau terlihat datangnya seorang ke arah mereka dan datangnya secara
tergesa-gesa.
Keng Sim dapat melihat orang
itu, ia tertawa.
"Baru kita menyebut Tjo
Tjoh atau Tjo Tjoh telah datang!" katanya. "Kau lihat, apakah itu bukannya
adik Lin?"
Bhok Yan heran.
"Tengah malam buta rata
dia datang ke mari. apakah perlunya?" bilangnya.
Yang datang itu benar Bhok
Lin. Setibanya di taman, ia lantas berlari-lari naik ke lauwteng. Pula segera
terdengar suaranya yang nyaring, yang penuh dengan kegembiraan: "Entjie!
Tjiehoe! Ada warta sangat penting untukmu!"
"Memang biasa kau berisik
tidak keruan!" kata Bhok Yan sang entjie, tertawa. "Ah sampai
kapankah kau bisa buang tabiatmu yang kekanak-kanakan ini?"
Mukanya Bhok Lin bersemu merah.
"Kali ini aku tidak
mendustai kau, entjie!" katanya rada jengah. "Inilah benar satu kabar
sangat penting yang di luar dugaan!"
"Apakah ayah telah
menegurmu?" tanya Bhok Yan.
"Entjie, kau selamanya
suka menggoda aku!" kata sang adik, tidak puas.
"Kau mencuri pergi ke
Tali, apakah ayah tidak memarahi kau?"
"Memang ayah tidak senang
tetapi ia tidak mengatai aku. Apakah entjie kira aku tetap bocah cilik? Sudah,
entjie, jangan kau, memotong perkataanku. Kabar ini benar-benar kabar sangat
penting."
Bhok Yan tertawa.
"Nah kau bilanglah, kabar
sangat penting bagaimana itu!"
"Kabar sangat penting,
sangat besar, hingga menggemparkan dunia!"
Kakak itu menjadi ragu-ragu.
"Mari masuk, duduk di
dalam!" ia panggil adiknya itu. "Baik, sekarang kau bicaralah, hendak
aku mendengar, kabar apa itu yang menggemparkan dunia..."
"Entjie tahu, raja yang
sekarang telah wafat pada bulan yang baru lalu," Bhok Lin memberitahu.
Mendengar itu, Bhok Yan
tertawa geli.
"Matinya seorang raja,
apakah artinya?" katanya. "Itu bukanlah kejadian sangat penting, tak
usah kau kelabakan tidak keruan!" Tapi ia menoleh kepada suaminya dan
membilang: "Hanya kalau kabar ini sampai kepada entjie Sin Tjoe. dia
tentulah akan bergirang luar biasa."
Ayah Sin Tjoe adalah Ie Kiam,
menteri yang pintar, setia dan berjasa, pernah dia menolongi kerajaan Beng dari
keruntuhan, tetapi bukan raja menghargai jasanya itu ia justeru dihukum mati.
Inilah sebabnya kenapa Bhok Yan mengatakan demikian.
Mukanya Bhok Lin merah.
"Entjie, kau belum
mendengar habis omonganku!" ia menegur.
"Nah, kau
bicaralah!" kata entjie itu, acuh tak acuh. Ia mengeringi cawan tehnya.
"Setelah raja wafat,
putera mahkota segera naik di singgasana kerajaan," sang adik berkata
pula, meneruskan kabar yang dia katakan sangat penting itu hingga menggemparkan
dunia. "Putera mahkota ini, sebagai raja baru, lantas mengubah tahun
kerajaan menjadi tahun Senghoa, maka mulai tahun ini ialah tahun Senghoa yang
pertama."
Bhok Yan menganggap kabar itu
sangat lucu hingga ia kesimpatan air tehnya, yang ia terus semburkan, sembari
tertawa, dia berkata: "Kalau raja yang lama wafat, sudah tentu mesti ada
raja yang baru yang naik di tahta setelah raja yang baru naik di tahta, sudah
tentu dia akan mengubah nama tahun kerajaannya. Nah, apakah yang aneh dengan
kabarmu yang sangat penting ini? Sebenarnya apakah yang menggemparkan
dunia?"
"Tapi aku belum bicara
habis entjie!" sang adik berseru. "Jikalau kau tetap main potong
omonganku, aku tidak hendak bicara lagi!..."
Sang entjie menukar lain
cawannya, ia menghirup pula tehnya itu.
"Adikku, apakah aku tidak
kena menyembur bajumu hingga basah?" katanya. "Baiklah, aku tidak
akan memotong lagi omonganmu. Hayo. kau bicara, kau bicaralah!"
"Tentang raja yang baru
naik di tahta, kabarannya baru kemarin sampai di sini," Bhok Lin
melanjuti.
"Tempat kita ini jauh di
selatan, di tapal batas, jalannya banyak gunungnya dan sangat sukar,
perhubungan jadi sulit," menjelaskan Bhok Yan. "Kabar dari kota raja
sampai di sini dalam tempo satu bulan lebih, itu pun sudah lekas sekali."
"Aku bukan bicara dari
hal kecepatan," kata adik itu. "Kau dengar!"
"Memangaku
mendengari!" sang kakak tertawa.
"Kau benar, entjie, akan
membilang perjalanan sukar dan sulit, tetapi aku tidak maksudkan itu. Aku hanya
mau mengatakan, di Tionggoan sendiri, pelbagai propinsi telah menerima pelbagai
laporan."
"Itulah wajar. Semua
propinsi itu, setiap gubernurnya, ada mempunyai wakilnya di kota raja, Pakkhia.
Bahkan mungkin, sebelum tibanya laporan resmi, mereka sudah mengetahui terlebih
dulu. Mereka dapat mengirimkan kabar istimewa cepat."
"Benar! Satu hari kaisar,
satu hari menteri! Siapakah yang tidak hendak mendapat muka dari rajanya yang
baru? Demikian, begitu maklumat diumumkan, gubernur pelbagai propinsi sudah
lantas berlomba mengirimkan pemberian selamat mereka serta bingkisan pula.
bingkisan yang mereka mengumpulinya dengan susah payah, dalam rupa
barang-barang berharga atau batu permata."
Bhok Yan mengangguk.
"Itu pun sudah
wajar," ia membenarkan. "Tak usahlah itu dibuat heran."
"Tak usah dibuat
heran?" kata Bhok Lin, separuh berseru. "Justeru di sinilah
keheranannya! Semua bingkisan dari pelbagai propinsi itu. sebelumnya semua tiba
di kota raja. sudah kena orang rampas!"
Bhok Yan terperanjat.
Keng Sim berdiam saja semenjak
tadi, ia cuma bersenyum-senyum menontoni itu kakak dan adik mengadu mulut, akan
tetapi, mendengar kata-kata yang paling belakang ini, ia pun terperanjat.
"Begitu?" ia
bertanya.
Bhok Lin menunjuki romannya
sangat puas. Ia sudah menang!
"Nah. bilanglah, apakah ini
bukannya urusan sangat besar yang menggemparkan dunia?" ia tanya.
"Sampai sebegitu jauh yang telah diketahui, bingkisan yang telah dirampas
itu ada barang-barang dari sembilan propinsi Shoasay, Siamsay. Kamsiok, Hoolam,
Hoopak. Shoatang, Ouwpak, Anhoei dan Tjiatkang. Yang dari lain-lain propinsi
masih dalam perjalanan, apa semua itu juga telah dibega! atau tidak, masih
belum diketahui..."
"Siapakah perampas
itu?" tanya Keng Sim, "Adakah dia pria atau wanita?"
"Tentang pria atau
wanita, inilah tidak jelas bagiku. Warta itu datangnya dari kota raja, di kirim
sebagai warta kilat yang dinamakan 'kaburnya kuda delapan ratus lie.' Maka juga
warta itu tiba berbareng sama maklumat naik di tahtanya raja yang baru. Yang
dicurigakan pemerintah ialah guru kita, karena mana ayah telah diberikan titah
rahasia untuk secara diam-diam menyelidiki gerak-gerik soehoe, terutama untuk
dicari tahu, benar atau tidak soehoe telah meninggalkan Tali. Pada setengah
bulan yang lalu itu aku masih melihat soehoe di Tjhongsan. kalau dihitung-hitung
dengan saatnya, terang sudah ada hadiah dari beberapa propinsi yang kena
dirampas, dengan begitu nyatalah perampasan itu bukan pekerjaan soehoe. Karena
itu aku telah memberitahukan ayah agar ayah tak usah mencapaikan hati lagi
menyelidikinya soehoe. Memang aku mencuri pergi ke Tali tanpa perkenan ayah,
akan tetapi kebetulan sekali, aku jadi dapat memberikan keterangan yang
berarti, dari itu walaupun ayah tidak puas. ayah toh tidak menegur atau
mendamprat aku."
Bhok Lin berhenti sebentar, lalu
dia menambahkan: "Gubernur dari Hoolam, Hoopak, Shoatang dan Tjiatkang
adalah sahabat-sahabat ayah, mereka itu pun pada mengirimkan kabar kilat,
kabaran mereka itu terlebih jelas daripada kabar dari pihak pemerintah itu.
Hadiah dari Siamsay, Shoasay dan Kamsiok, dirampasnya di Louwkauwkio.
Hadiah-hadiah dari Shoatang. Hoolam dan Hoopak, dibegalnya di Pootong. Dan
hadiah dari Tjiatkang, Ouwpak dan Anhoei, dikerjakannya di Tjio keetjhoeng.
Dalam tempo tiga hari, dan di tiga tempat berbareng, telah dilakukan perampasan
atas barang-barang dari sembilan propinsi itu, maka kabar dari semua kejadian
itu tidak melainkan membikin gempar kota raja juga membuatnya semua gubernur
dari pelbagai propinsi itu jadi kaget dan kelabakan, bingung bukan
buatan!"
Bhok Yan tertawa cekikikan.
"Apakah kau melihatnya
sendiri mereka kelabakan, bingung bukan buatan?" ia menanya, menggoda.
"Sungguh hebat caramu bicara ini!"
Bhok Lin tidak mengambil mumat
yang ia digodai. Ia hanya kata: "Aku berada di kamar tulis ayah, aku
melihatnya sendiri ayah mundar-mandir seraya menghela napas panjang pendek.
Ayah mengatakan, karena raja baru naik di tahta, hadiah itu ialah hadiah yang
tak dapat ditiadakan, bahkan kita. yang menjadi kokkong turun temurun. sudah
layaknya kita mengirim hadiah yang terlebih banyak daripada propinsi-propinsi
lainnya. Tetapi telah terjadi perampasan itu, ayah menjadi bingung sekali.
Bagaimana kalau hadiah kita pun dibegal di tengah jalan? Maka kau lihat,
entjie, apakah aku omong berlebihan? Ayah pernah mengalami pelbagai ancaman
bencana, ayah toh masih berkuatir. apalagi itu segala gubernur, bagaimana
mereka tidak menjadi kelabakan dan bingung bukan buatan?"
Sang kakak itu tertawa pula.
"Agaknya kau girang akan ancaman bahaya itu?" katanya.
Sementara itu, Keng Sim berpikir:
"Memang inilah kabar penting yang menggemparkan dunia. Pada sepuluh tahun
yang lalu Pit Kheng Thian telah merampas uang negara sejumlah tiga puluh laksa
tail. uang dari Ouwlam dan Ouwpak, perampasan itu menerbitkan badai dan
gelombang dahsyat, tetapi kalau itu dibanding sama perampasan sekarang ini.
sungguh tidak ada artinya. Sebenarnya siapakah yang telah makan hati serigala
dan nyali harimau maka dia berani melakukan perampasan yang menggemparkan dunia
ini?"
Tengah ia berpikir demikian,
Keng Sim ditanya iparnya: "Tjiehoe, aku hendak memohon sesuatu
kepadamu!" Ia menjadi heran, hingga ia tercengang. "Engkoe, kau
menghendaki apa?"
Bhok Lin menyahuti dengan
lantas. Katanya. "Hadiah dari ayah bakal lekas diberangkatkan ke kota
raja, maka itu. aku pikir, hendak aku meminta tugas untuk mengantarkan
itu."
Keng Sim heran, sedang Bhok
Yan tertawa lebar.
"Jangan kau ngimpi!"
kata kakak ini. "Mana ayah akan memberikan ijinnya untuk kau satu
Toasiauwya yang manja pergi ke kota raja menempuh bahaya?"
"Ini pun sebabnya kenapa
aku hendak minta bantuan tjiehoe. supaya tjiehoe yang membicarakannya sama
ayah!" sang adik menjelaskan. "Biasanya ayah mendengar katanya
tjiehoe. Di samping itu, bukankah ilmu silatku melebihi segala guru silat atau
pahlawan yang berada di dalam kantor ayah? Cuma kau sendiri yang menyebutnya
aku Toasiauwya yang dimanjakan! Mereka itu sebaliknya membilang, orang dengan
ilmu silat semacamku ini. untuk dunia kangouw sudah langka." Entjie itu
menutupi mulutnya untuk mencegah tertawanya, saking geli ia sampai
terbungkuk-bungkuk.
"Entjie. kau selalu
memandang enteng padaku!" kata adik itu.
"Mana aku berani, mana
aku berani..." berkata entjie itu. "Apakah kau menginginkan aku
memuji kau seperti itu segala guru silat? Baiklah. Nah. kau dengarlah! Di dalam
kokkonghoe. jikalau semua pintu dikunci, kaulah si orang gagah nomor satu di
kolong langit ini, tetapi di sini, di koenmahoe. kau ialah..."
"Tentunya orang gagah
nomor dua di kolong langit ini!" Bhok Lin menambahkan, tertawa. Tapi ia
tertawa hanya sebentaran. lantas ia mengasi lihat roman sungguh-sungguh. Ia
berkata: "Memang benar ilmu silatku tak dapat dibandingkan dengan ilmu
silat tjiehoe. akan tetapi di dalam dunia kangouw, orang dengan kepandaian
sebagai tjiehoe ini, bukankah tak seberapa gelintir? Di samping itu, selama aku
pergi ke Tjhongsan secara diam-diam itu, di sana pun soehoe telah mengajari aku
semacam ilmu silat pedang. Entjie, kau bukannya seorang pria. kau tidak dapat
mengarti. Cita-citanya seorang laki-laki ialah di empat penjuru dunia! Maka itu
kau ijinkanlah aku pergi keluar, untuk merantau, guna mendapatkan
pengalaman!"
"Ah!" seru si kakak
sambil tertawa. "Jadinya kau juga hendak minta bantuanku untuk bicara sama
ayah?"
Di mulut puteri pangeran ini
mengatakan demikian, di hatinya ia berpikir lain. Ia jadi ingat sikap suaminya.
Pikirnya: "Ya. cita-citanya seorang laki-laki ialah di empat penjuru
dunia! Bukankah adik I in pun mengatakan aku tidak tahu hatinya seorang
laki-laki? Keng Sim senantiasa lenyap kegembiraannya, mungkinkah itu disebabkan
dia selalu seperti disekap di dalam rumah?"
Tengah isteri ini ngelamun
demikian itu. Keng Sim menekan meja sambil ia berbangkit berdiri.
"Adik Yan, aku pun hendak
memohon sesuatu dari kau." katanya.
Isteri itu terkejut. Tapi ia
rasanya dapat menerka. Maka ia tertawa.
"Bilanglah."
katanya. "Asal yang aku sanggup, tentu aku bersedia untuk menerimanya
dengan baik."
"Bingkisan ayahmu itu
tidak dapat tidak diantar," berkata Keng Sim. "Tapi sekarang telah
terjadi itu pelbagai perampasan, sungguh itu suatu ancaman bahaya besar dan
sangat menyulitkan kita. Aku berterima kasih kepada ayahmu, yang menghargai
aku. maka itu, mana dapat aku tidak memikirkan soal itu? Ingin aku membagi
kesulitannya itu..."
Bhok Yan tunduk.
"Kiranya kau, seperti
adikku, ingin aku menjadi juru bicaramu." katanya perlahan.
"Benarkah?"
"Oleh karena di sini
tidak ada lain orang yang terlebih cocok," berkata pula Keng Sim,
"maka biarlah aku yang pergi mengantarkan, untuk ini satu kali saja."
Bhok Lin lantas menepuk-nepuk
tangan, ia tertawa.
"Bagus!" katanya.
"Kalau tjiehoe yang pergi mengantar sendiri, pasti ayah akan meluluskan!
Tjiehoe. kaulah pemimpin pengantar itu dan aku wakilmu!"
Selagi sang adik girang bukan
kepalang. kakaknya sendiri mengerutkan kening, landanya ia masgul. Sekian lama
ia berdiam saja. kemudian dengan perlahan ia kata: "Keng Sim, karena kau
telah berkeputusan tetap, baiklah, aku tidak mau menghalang-halangi kau."
"Kau pun tak usah
berkuatir, adik," kata Keng Sim juga perlahan.
"Asal di dalam hatimu ada
aku. mustahil aku berkuatir?" kata isteri itu.
Keng Sim sebenarnya hendak
mengutarakan berbahayanya penghidupan dalam dunia Sungai Telaga, tetapi
mendengar perkataan islerinya itu. ia membatalkan itu. Ia kata perlahan:
"Asal hatimu ditukar menjadi hatiku, kita pasti akan menginsafinya dengan
baik. Suami isteri ada bagaikan satu tubuh, dua hati menjadi satu. dari itu.
apa perlunya hati kita ditukar lagi?"
Bhok Lin sudah membuka
mulutnya, hampir tertawa, baiknya kakaknya keburu mendelik mata kepadanya. Ia
jadi berdiam.
"Kau telah pergi ke
Tjhongsan dan dapat menemui soehoe." berkata Bhok Yan. "habis kau
dengar kabar apa lagi?"
"Baru tahun yang lalu.
Siauw Houw Tjoe telah keluar dari rumah perguruan." sang adik menyahut.
"Dia lelah merantau,
katanya dia sudah mulai mendapat nama..." "Ada apa lagi?"
"Ouw Bong Hoe suami
isteri sudah kembali dari Kanglam. selama di Hayleng mereka lelah melihat Yap
Seng Lim bersama Ie Sin Tjoe berada di antara orang banyak tengah menonton
gelombang laut."
"Sungguh besar nyali
mereka!" kata Keng Sim tanpa merasa, saking heran.
"Memang mereka terlalu
berani!" Bhok Yan tertawa. "Umpama kata mereka ketahuan dan kena
ditawan, bukankah mereka bakal membualnya capai hati pada Tiat Kongtjoe yang
mesti pergi menolonginya?"
Keng Sim bersenyum. Ia tahu ia
tengah digodai isteri itu tetapi ia tidak menjadi gusar atau kurang senang.
Pada tujuh tahun dulu pernah ia menolongi Seng Lim.
II
Keluar pula
Bhok Lin tidak berdiam lama
bersama kakak dan iparnya itu. dengan lekas ia mengundurkan dari, maka itu Bhok
Yan dan Keng Sim kembali berada berduaan. Di antara sinar api. mereka saling
pandang.
Setelah tujuh tahun hidup
bersama, rukun dan manis, sekarang datang saatnya untuk berpisahan. walaupun
itu bukanlah perpisahan untuk selama-lamanya, meskipun benar sang suami mungkin
akan menerjang bahaya..."
Mengamar piauw bukannya suatu
pekerjaan ringan. Maka itu. mereka berpikir masing-masing.
Beberapa saat pula lewat
ketika Bhok Yan berkata dengan perlahan: "Kau hendak membikin perjalanan,
baiklah. Orang dulu pun membilang, membaca kitab selaksa jilid tak sama dengan
membuat perjalanan selaksa lie. Aku harap sedikitnya kau akan memperoleh bahan
untuk membuat syair!"
"Adik Yan, sungguh kau
baik sekali." kata Keng Sim dengan terharu. "Bagaimana aku beruntung
mempunyai isteri semacam kau!"
Isteri itu tertawa dan
berkata: "Ya, sekarang ini mulutmu manis sekali, aku kuatir. setelah
berada di luaran, kau nanti bertemu entah Liehiap siapa..."
"Ah, adik Yan!" Keng
Sim memotong. "Kenapa kau mengucap begini. Apakah kau tidak percaya
aku?..."
Bhok Yan mengulur tangannya
membekap mulut suaminya ilu.
"Aku cuma
main-main," katanya. "Mustahil aku tidak percaya kau? Nah, sekarang
pergilah kau tidur, aku akan mempersiapkan segala keperluanmu."
Suami itu mengangguk.
"Biarlah aku pergi
berlatih samedhi." kata dia. "Hendak aku lihat apakah aku telah tidak
menterlantarkan latihanku..."
Isteri itu mengangguk,
walaupun sebenarnya, hatinya kurang tenteram.
Keng Sim pergi ke kamar latihannya,
di sana ia duduk bersamedhi, seperti isterinya, hatinya pun berpikir. Mereka
bakal berpisahan, entah untuk berapa lama, dari itu, sulit untuknya
mententeramkan hatinya. Ia juga memikirkan soal perampasan hadiah untuk kaisar
itu.
"Hadiah pelbagai propinsi
kena dirampas di tengah jalan, benarlah ini ada soal yang menggemparkan seluruh
negeri," demikian pikirnya. "Apakah Ie Sin Tjoe dan Yap Seng Lim
ambil bagian dalam urusan ini? Dan bagaimana dengan guruku, yang tidak ketahuan
di mana adanya? Apakah soehoe pun ada sangkut pautnya? Pada tiga puluh tahun
dulu, soehoe pernah mencuri pedang di istana kaisar..."
Dengan memikirkan Sin Tjoe,
koenma ini jadi ngelamun.
"Entah Sin Tjoe masih
memikirkan aku atau tidak..." demikian otaknya kacau. Karena ini. latihan
jadi terganggu. Sudah tujuh tahun ia seperti terkeram di dalam koenmahoe, tidak
heran kalau ia seperti putus hubungannya dengan dunia luar. Maka itu sekarang
yang ia bakal keluar pula. hatinya ruwet berbareng berguncang, bergoncang
karena kegembiraan. Ia mengharap nanti dapat bertemu sama Sin Tjoe..."
Tengah ia berpikir banyak itu,
Keng Sim mendapat dengar suara berkelisik di atas genteng, di atas wuwungan.
"Inilah orang yang
membuat perjalanan malam." pikirnya. "Ah. ia berkepandaian tak
rendah... Siapakah ia? Mau apa ia datang ke mari?"
Kaget dan heran. Keng Sim
bersedia untuk berbangkit. Hendak ia pergi keluar, untuk melihat orang itu.
Adakah dia orang jahat atau orang yang dikenal? Demikian ia berpikir terus.
Di saat menantu hertog ini
hendak berlompat ke luar jendela, tiba-tiba ia mendengar satu suara sambaran
senjata rahasia, disusul sama senjata rahasianya sendiri, yang mengasi lihat
cahaya gemirlap, lalu disusul pula dengan suaranya senjata itu nancap di meja!
Segera Keng Sim maju untuk
mencabut senjata itu, ialah sebuah pisau b^ti, yang ujungnya diberikutkan
sehelai kertas.
"Siapakah main-main sama
aku?" ia berpikir. Inilah kebiasaan orang kangouw mengirim surat dengan
perantaraan pisau belati...
Tanpa memperhatikan dulu
kertas itu. Keng Sim menjejak dengan kakinya, untuk mencelat ke jendela, guna
berlompat keluar, maksudnya ialah buat melihat, siapa orang itu. Ketika ia tiba
di luar. ia hanya dapat melihat suatu bayangan tubuh, yang melesat melintasi
gunung-gunungan.
Samar-samar ia menampak
punggungnya seorang perempuan, mungkin seorang wanita muda.
"Sin Tjoe!" demikian
hendak ia berseru atau di saat yang tepat, ia dapat membatalkan niatnya
memanggil itu. Ia mendapat kenyataan, bayangan itu bertubuh kecil dan kurus,
tak miripnya dengan potongan tubuhnya Nona Ie.
"Ah. benar-benar aku
gila!" sejenak kemudian ia berpikir pula. Rupanya karena aku sangat
memikirkan dia. lantas aku menduga sembarangan...
"Tetapi, siapakah dia?
Apa perlunya dia mengirim surat secara begini padaku?" ia berpikir lagi,
menerka-nerka itu surat dan pisaunya. Ia mengingat-ingat wanita, yang mirip
dengan bayangan itu, tetapi ia tidak berhasil mengingatnya siapa juga. Karena
ini, ia lantas lari ke arah gunung-gunung itu, untuk menyusul.
"Aku mesti lewati
dia," pikirnya lebih jauh selagi ia mendekati. Ia hendak pegat orang itu.
Atau mendadak ia mendengar:
"Keng Sim! Keng
Sim!"
Itulah suara panggilannya Bhok
Yan. sang isteri. Suara datangnya dari atas lauwteng dan agaknya puteri kokkong
itu dalam keadaan kaget.
"Ya!" ia menyahuti,
lekas dan keras.
Justeru itu bayangan yang ia
kejar itu terlihat mencelat naik ke atas batu Thayouw tjio di sebelah depan,
gerakannya sangat lincah, lantas dia naik di tembok dari mana terdengar suara
tertawanya, tertawa geli.
"Heran," kata Keng
Sim di dalam hatinya. Sekarang ia dapat melihat terlebih tegas. Paling banyak
dia baru berumur lima belas tahun, kenapa ilmu ringan tubuhnya sudah begini
mahir?... Baru beberapa tahun aku menyekap diri, tidak tahunya dalam dunia
kangouw telah muncul orang-orang baru..."
Ketika itu bayangan itu telah
lenyap, maka Keng Sim. yang tidak mengejar lebih jauh. bahkan ia pun tidak
lantas menghampirkan isterinya, lantas periksa pisau belati di tangannya, untuk
melihat suratnya.
Di kertas itu ada kedapatan enam
baris huruf. Dengan suara tak terdengar, Keng Sim membaca:
"Harimau mengaling, macan
tutul menderum
Burung hong berbunyi di lembah
sunyi
Mulut harimau berbelas kasihan
Macan tutul keramat mendeliki
mata
Kalau lancang memasuki dunia
Sungai Telaga
Menoleh kembali itu artinva
bahagia..."
Dua baris yang paling belakang
itu terang berarti nasihat untuk Keng Sim. supaya ia jangan sembarangan
memasuki dunia Sungai Telaga, dunia kangouw. atau lebih tegas lagi, ia dilarang
mengantar piauw yang berupa hadiah bingkisan untuk kaisar. Hanya tentang dua
baris paling atas. di mana ada disebut-sebut harimau, macan tutul dan burung
hong, entahlah itu diartikan tiga orang atau bukan. Dan. apa artinya dua baris
yang di tengah itu? Kenapa disebut "mulut harimau berbelas kasihan"
dan "Macan tutul mendeliki mata?"
Karena mesti berpikir, Keng
Sim berdiri diam, hingga ia tidak segera pergi kepada isterinya. Di lain pihak,
Bhok Yan sudah lantas tiba padanya.
"Keng Sim, ada terjadi
apakah?" tanya isteri itu. lagu suaranya menandakan hatinya berkuatir.
"Tidak apa-apa,"
sang suami menyahut sambil bersenyum. Surat dan pisau belati itu ia telah
lantas simpan. "Habis bersamedhi, aku mencoba berlatih berlari
pesat."
Seingatnya belum pernah Keng
Sini mendustai isterinya, inilah yang pertama kali dan ia lakukannya pun dengan
terpaksa. Kalau Bhok Yan ketahui tentang adanya si orang-orang jalan malam,
tidak banyak sedikit mesti isteri itu berkuatir, bahkan bisa terjadi. ia bakal
dicegah keberangkatannya. Walaupun ada itu "nasihat." ia tidak
memikir untuk membatalkan niatnya.
Mendengar jawaban suaminya,
isteri yang manis itu tertawa.
"Kau tidak mengabaikan
ilmumu ringan tubuh, aku sebaliknya, hatiku jadi semakin kecil!" katanya.
"Maka itu ingatlah olehmu, nanti di waktu kau mengantar bingkisan ke kota
raja. umpama kata di tengah jalan kau bertemu orang jahat, jikalau jumlah
mereka lebih besar, jangan kau lawan mereka itu. lebih baik barang hilang
daripada kau menempuh bahaya."
"Itulah urusan kaum
kangouw. adikku," sahut Keng Sim menghibur. "Aku tahu apajang aku
harus lakukan, kau baiklah jangan kuatir, kau tetapkan saja hatimu."
Bhok Yan percaya suaminya ini,
maka ia tidak membilang apa-apa lagi hanya ia ajak sang suami pulang.
Besoknya pagi, Kcng Sim pergi
menemui Bhok Kokkong, mentuanya. Ia sudah menduga, ada kemungkinan ia mesti
omong banyak, untuk membujuki mentua itu. Di luar dugaannya, ia menghadapi
kejadian yang melegakan hatinya. Dengan segala senang hati. mentuanya itu
memberikan perkenannya.
Nyatanya ialah tadi pagi-pagi.
Bhok Lin sudah menghadap ayahnya itu, untuk membicarakan urusan mengantar
bingkisan itu. Ia minta supaya tjiehoe-nya. yaitu Keng Sim, diijinkan pergi
melindungi, dengan ia turut bersama. Memang mulanya Bhok Kokkong berkeberatan,
tetapi setelah ia ingat, bingkisan toh mesti di kirim, ia tidak menentangi lagi
puteranya itu. Ia tahu Keng Sim gagah, karena mana, ia mendapat serupa harapan.
Bagaimana bagus andaikata
Keng Sim berhasil tiba di kota
raja dengan tidak kurang suatu apa. Tentu raja melihatnya dan akan menghargai
menantunya itu. Pula, setelah puteranya mulai meningkat usianya, pantaslah
putera ini membuat perjalanan, guna mencari pengalaman. Bhok Lin adalah putera
satu-satunya, yang di belakang hari bakal mewariskan kedudukannya sebagai
Kokkong. Sudah selayaknya saja apabila sang putera dapat menghadap kaisar. Lain
ketika baik sebagai ini sukar dicarinya Satu hal lain lagi iaiah Kokkong ini
tidak menguatirkan keselamatan puteranya itu. Bukankah, sebegitu jauh
diketahui, penjahat cuma merampas bingkisan, tidak mengganggu jiwa? Ada baiknya
sang putera bisa tiba di kota raja. Syukur kalau bingkisan sampai dengan
selamat, kalau tidak, tidak apa hilang barang berharga, ia toh tidak bakal
dipersalahkan. Bukankah ia sudah mengirim bingkisan? Ini saja sudah bukti kuat
yang ia menjunjung dan menghargai junjungannya itu. Oleh karena ia berpikir
begini, Bhok Kokkong jadi bersependapat dengan puterinya, bingkisan boleh
hilang asal diri selamat.
Demikian, setelah memberikan
ijinnya, Bhok Kokkong lantas memberi pesan dan nasihatnya pada mantunya. Ia
bilang bahwa bingkisan sudah disiapkan rapi, dari itu besok dapat mantu dan
puteranya itu mulai berangkat.
Keng Sim girang bukan main.
habis mengucap terima kasih, ia lantas mengundurkan diri. katanya untuk siap
sedia. Di luar ia bertemu Bhok Lin. Sang ipar sudah lantas menarik ia ke
samping.
"Tjiehoe, tadi malam aku
menemui kejadian yang aneh!" demikian kata-katanya yang pertama. Dan tanpa
menantikan orang menanya jelas, ia merogo ke sakunya akan menarik keluar sebatang
pisau belati pada mana ada terlampir sehelai kertas. Ia angsurkan itu.
Keng Sim menyambuti. Ia tidak
usah memeriksa lama akan mendapatkan pisau itu sama dengan pisau belati yang
semalam ia terima.
"Kiranya tadi malam kau
bertemu seorang nona muda belia yang meninggalkan kau pisau belati ini berikut
surat," katanya.
Bhok Lin terkejut.
"Apa, tjiehoe?"
tanyanya. "Kenapa kau ketahui itu? Benarkah nona itu seorang yang masih
muda belia? Cantikkah dia?"
Memang, pengalaman putera
Kokkong itu tadi malam sama dengan pengalamannya Keng Sim, ia pun sudah
lari-lari keluar untuk mengejar, tetapi karena ia kalah lincah, tidak dapat ia
menyandak, ia melainkan melihat punggung orang, bayangan orang itu lenyap di
tempat gelap, hingga tak dapat ia mengenali, orang pria atau wanita.
"Cantik, sungguh
cantik!" menyahut Keng Sim, untuk menggoda.
Agaknya Bhok Lin girang
sekali.
"Ia pun meninggalkan
syair" katanya pula.
"Aku tahu," kata
Keng Sim, memotong. "Tidak usah kau keluarkan, aku sudah tahu
bunyinya" Dan ia membacakan syair itu, yang ia ingat di luar kepala.
Putera Kokkong itu tercengang.
"Ha!" seru ia sesaat
kemudian. "Kau pun tentunya menerima pisau dan surat sama seperti
aku!"
Keng Sim mengangguk.
"Ya. Dan ia menasihati
aku untuk jangan membuat perjalanan mengantar bingkisan itu." ia
menerangkan. "Adik Lin. kau takut atau tidak?"
"Sungguh menarik! Sungguh
menarik!" berseni orang yang ditanya, yang tidak menjawab apa yang
ditanyakan.
"Apakah yang menarik
hati?" menanya Keng Sim, tertawa. Ia menduga orang tergila-gila si nona
tukang keluar malam itu...
"Sebab si perampas piauw
hadiah untuk kaisar itu, suatu hal yang menggemparkan dunia adalah seorang
nona!" sahut si anak muda. "Atau, kalau toh si perampas bukannya dia,
dia mesti salah satu orang yang turut ambil bagian! Tidakkah menarik yang satu
nona dapat merobohkan orang-orang kosen pilihan dari pelbagai propinsi
itu?"
Mendengar begitu, Keng Sim
tertawa.
"Ha, kau lupa satu hal,
engkoe yang baik!" ia berkata. "Kau lupa bahwa semua perampasan telah
terjadi di dalam wilayah propinsi Hoopak! Umpama benar nona itu turut di dalam
perampasan itu, bagaimana dia dapat dengan begini lekas tiba di Inlam sini
untuk mengirimkan nasihatnya itu yang berupa pisau belati dan syair? Lagi pula.
sebenarnya hal itu tidak perlu sama sekali."
Bhok Lin berdiam. Ia berpikir.
"Habis," katanya
kemudian, "apa artinya ia mengirim surat menasihati kitajangan mengantar
piauw itu?"
"Aku tidak dapat berlaku
sebagai kau," ada jawabannya sang tjiehoe, "kau main duga-duga saja.
Aku tidak dapat membade pikiran orang..."
Mukanya putera Kokkong itu
menjadi merah. Tapi tidak lama, ia tertawa pula.
"Sungguh aneh!"
katanya. "Belum lagi kita berangkat, kita sudah menghadapi kejadian aneh
ini. maka itu di belakang hari, sesudah merantau, entah kita bakal menemui
berapa banyak orang aneh dan urusan yang tidak-tidak! Walaupun demikian, aku
percaya, seandai kita tidak dapat mengantar barang sampai di kota raja,
sedikitnya mata kita bakal terbuka! Tidakkah itu akan jadi sangat menarik hati?"
Sifatnya putera Kokkong ini
beda dengan sifat kakaknya, kalau sang kakak puas akan kedudukannya yang
sekarang ini. cukup segala apa, penghidupan tak kekurangan, derajat tinggi,
sang adik bercita-cita, ia dapat berchayal, tak suka diam saja, bahkan ia ketarik
sama segala apa yang aneh. Ini pun sebabnya kenapa sebagai siauwkongtia. ialah
Kokkong cilik, ia minta ayahnya mengijinkan ia pergi ke kota raja, bahkan ia
tak jerikan kisikan pisau belati dan syair dari nona yang tidak dikenal itu.
Keng Sim tidak dapat menemani
lama-lama iparnya itu, maka sampai di situ mereka berpisahan. Ia balik dengan
lekas kepada isterinya. untuk menyampaikan kabar girang yang Kokkong sudah
meluluskan permintaannya, guna bersiap terlebih jauh.
Juga Bhok Lin perlu berkemas.
Besoknya, Bhok Kokkong benar
telah menyiapkan bingkisannya untuk raja, ialah sebuah giokdjieie, dua belas
butir mutiara yabengtjoe serta sepotong batu marmer yang atasnya ada lukisannya
yang wajar, seperti juga ukirannya orang pandai. Batu semacam ini, dalam beberapa
ratus, tak ada sebuah juga, dari itu dapat dimengarti harganya yang tak
terkirakan, sebagaimana harga giokdjieie dan mutiara itu pun mirip dengan
harganya sebuah kota...
Untuk berlaku hati-hati, Bhok
Kokkong titahkan rombongan pengantar bingkisan ini bukan berangkat seperti
kantor piauwkiok lagi mengantar piauw yang berharga, hanya Keng Sim dan Bhok
Lin, puteranya itu, diperintah menyamar sebagai mahasiswa yang hendak pergi ke
kota raja untuk turut dalam ujian ilmu surat. Dua guru silat, atau pahlawan,
dimestikan menyamar sebagai budak atau kacungnya dua mahasiswa itu, dan mereka
mesti memikul peti yang termuatkan pakaian dan buku. Ketiga barang berharga itu
dicampur di dalam peti buku. Kedua pahlawan itu ialah Thio Po dan Yo Gie,
mereka tidak liehay tetapi luas pengetahuannya mengenai dunia kangouw.
Demikianlah Keng Sim berempat
pamitan dari Kokkong semua, untuk meninggalkan kota Koenbeng, guna memulai
dengan perjalanannya ke kota raja. Jalanan yang diambil bukan jalanan yang
memasuki propinsi Soetjoan terus ke Siamsay, terus lagi ke Hoolam, akan tiba di
Hoopak hanyajalanan lain. ialah jalanan dari propinsi Koeitjioe ke Kwiesay dan
Kwietang. sepanjang pesisir laut, sampai di propinsi Hoopak. Jalanan yang
diambil itu ada banyak pegunungannya tetapi di situ telah disiapkan sesuatu
untuk menggampangi perjalanan.
Di sepanjang jalan Bhok Lin
nampak gembira sekali. Ia tidak kenal takut, bahkan ia bersedia andaikata ada
orang jahat yang hendak memegat, untuk merampas bingkisan di bawah
perlindungannya itu. Hari lewat hari, ia tetap bergembira. Selama sepuluh hari,
jangan kata begal besar, begal kecil pun tak ada di tengah jalan itu. Setelah
ini, selagi kedua pahlawan girang bukan main, Bhok Lin sebaliknya menjadi
lenyap kegembiraannya...
Pada suatu hari tibalah mereka
di tapal batas Inlam dan Koeitjioe, di tempat yang disebut kecamatan Thianngo.
Di situ Yo Gie, yang menghela napas lega, berkata: "Untuk Koeitjioe,
jalanan di sini paling sukar, banyak orang jahatnya. Di sini termasuk wilayah
suku bangsa Biauw. Syukur sampai sebegitu jauh kita tidak nampak halangan
apa-apa. Selewatnya Kwiesay, kita akan sampai di Kwietang. Di Kwietang ini.
gubernur jenderalnya adalah sahabat kongtia. Di harian kita mau berangkat,
gubernur jenderal itu telah mengasi warta pada kongtia bahwa bingkisan dari
Koeitjioe dan Kwiesay sudah sampai di Kwietjioe dan tengah menantikan rombongan
dari Inlam ini, untuk nanti dari Kwietjioe mereka berangkat bersama menuju
lebih jauh ke kota raja. Kitalah yang diminta suka berangkat bersama-sama. Dari
itu, tinggal sedikit lagi. maka ke empat rombongan akan bertemu dan berkumpul.
Dengan jalan bersama, kita tak usah takuti lagi segala orang jahat."
"Fui!" Bhok Ling
mengasi dengar suaranya apabila ia telah mendengar perkataannya pahlawan itu.
"Kenapa kamu bernyali kecil sekali? Kenapa kamu mau mengharapi bantuan
tenaga lain orang?"
"Oh. siauwkongtia,"
kata Thio Po. tertawa. "Untuk kami. kami cuma mengharapi barang sampai di
kota raja dengan tidak kurang suatu apa. dengan begitu kau bakal jadi si Enghiong
kecil. Selama di dalam perjalanan, kami minta dengan sangat janganlah
Siauwkongtia membawa tingkah temberang..."
Anak muda itu lagi tidak
gembira, la tidak mau melayani bicara.
Maka mereka berjalan terus.
Di waktu magrib, mereka sudah
mendekati kota kecamatan tinggal kira-kira enam puluh lie lebih. Kedua pahlawan
mengusulkan untuk singgah, supaya mereka tak usah jalan malam. Usul itu
diterima baik. Begitulah mereka mondok di sebuah dusun di situ di mana ada
pondokan dengan tiga kamar atas. kamar yang satu sudah ada penyewanya.
Bhok Lin mengajaki Keng Sim
mengambil sebuah kamar, sebuah kamar lagi buat kedua pahlawan, tetapi mereka
ini menyamar sebagai budak, mereka pun ingin leluasa menjagai piauw, mereka
mengalah, dari itu mereka minta sebuah kamar bawah saja.
Habis bersantap sore, orang
hendak lantas beristirahat. Justeru itu, di luar terdengar berisiknya suara
kuda meringkik dan orang bicara, kemudian terlihat masuknya serombongan orang
yang membawa bendera dari kantor soenboe propinsi Koeitjioe. Mereka itu hendak
menumpang bermalam, jumlah mereka belasan. Orang yang menjadi kepala ialah
seorang Biauw asli, tubuhnya tinggi dan besar, dandanannya ialah seragam
militer kelas empat. Kelihatannya ia keren dan garang. Begitulah setibanya di
dalam, ia mengasi dengar suaranya yang nyaring: "Pemilik pondokan, lekas
bersihkan kamar atas untuk kami beramai!"
Pemilik pondokan muncul dengan
lantas, terus dia menekuk lututnya.
"Kamar kami cuma tiga,
dua sudah ada yang isi, tinggal yang satu lagi." ia berkata, menerangkan.
"Hamba mohon Taydjin suka maklum saja."
Pembesar Biauw itu benar-benar
garang.
"Perduli apa aku dengan
tetamu-tetamu itu!" bentaknya, "Suruh mereka pergi!"
"Hebat ini pembesar
cilik!" kata Bhok Lin.
Keng Sim tidak membilang
apa-apa, hanya ia mengintai di sela pintu. Ia terkejut setelah ia melihat si
pembesar bangsa Biauw itu, sebab ia kenali orang adalah Poan Thian Lo murid
kepala dari Tjie Hee Toodjin. Ia tahu dia gagah, sedang pada belasan tahun yang
lalu bahkan Yang Tjong Hay, adik seperguruannya, terhitung satu di antara
soetay kiamkek. empat ahli silat pedang yang terbesar, yang namanya sama
kesohornya seperti nama Thio Tan Hong, Ouw Bong Hoe dan Tjio Keng To. Sebagai
kakak seperguruan, orang bilang, dia lebih liehay daripada Yang Tjong Hay Ia
pernah ketemu Poan Thian Lo ini di gunung Tjiat Hee Nia di Hangtjioe. ketika
dia membantui Yang Tjong Hay dan rombongannya hendak menangkap Yap Seng Lim,
itu waktu dia telah dua kali digaplok Siauw Houw Tjoe, siapa berbuat begitu
atas titahnya Thio Tan Hong. Tentu sekali. Poan Thian Lo sebaliknya tidak
mengenali ianya.
Melihat murid Tjie Hee ini.
Keng Sim jadi heran sekali.
"Kenapa jahanam ini
memangku pangkat militer?" ia tanya dirinya sendiri. "Dengan
mengandali pengaruh adik seperguruannya, dia dapat menjadi pahlawan kelas satu
di dalam istana, kenapa sekarang dia lebih suka jadi opsir kelas empat, menjadi
orang sebawahan di kantor soenboe di Koeitjioe?"
Di belakang Poan Thian Lo ada
seorang yang romannya luar biasa, macamnya seperti orang asing akan tetapi
dandanannya seperti orang Biauw, sedang di kedua lengannya ada digantungi lima
buah kelenengan perak, selagi dia berjalan, kelenengan itu berbunyi
memperdengarkan suaranya.
"Dialah tentu Bong Goan
Tjoe, adik seperguruan dari Poan Thian Lo," kata Keng Sim dalam hatinya.
Ia telah mendengar dari Sin Tjoe halnya Siauw
Houw Tjoe di wilayah orang
Biauw ditipu hingga menikah sebab muridnya Tjie Hee Toodjin ingin mempelajari
ilmu yoga dari bocah itu. Bong Goan Tjoe ini ber-ibu orang Biauw dan berbapak
orang asing, maka juga demikian macamnya dan dandanannya.
Di belakang Bong Goan Tjoe ada
dua opsir kelas tujuh, sebagaimana ternyata dari seragam mereka. Mereka ini
masing-masing memondong sebuah peti besi ukuran sekaki persegi, rupanya peti
itu berat sekali, sebab jalannya mereka seperti setindak demi setindak.
Keng Sim lantas menduga,
isinya peti mesti logam sebangsa emas dan jumlahnya banyak.
"Dia berpangkat rendah
tetapi tugasnya pasti sama dengan tugas kita," kata si anak muda kepada
Bhok Lin. Iabicara perlahaa sambil tertawa.
Putera Kokkong itu tidak
mengarti maksud orang.
"Siapa sejalan
dengannya?" katanya. "Apakah kau artikan mereka pun hendak pergi ke
kota raja?"
Keng Sim tertawa, ia tidak
menyahuti. Ia lebih memperhatikan suasana di luar. Ia ingat pada kejadian
sepuluh tahun dulu ketika Tjie Hee Toodjin dan kawan-kawannya pergi ke
Tjhongsan di Tali di mana dia hendak mengadu pedang dengan Hian Kie Itsoe
tetapi dia dikalahkan murid-muridnya Hian Kie. sedang setahun kemudian, Yang Tjong
Hay, kena dipecundangi Hok Thian Touw, ahli pedang dari Thiansan. hingga Tjong
Hay kehilangan juga pedangnya, karena mana saking malu orang she Yang ini
meletaki jabatannya sebagai tjongkoan istana kaisar dan ikut guru dan kakak
seperguruannya pulang ke gunungnya untuk belajar lebih jauh. Adalah sekarang,
setelah lewat beberapa tahun, mereka itu mulai bergerak pula. Kebetulan sekali
soenboe dari Koeitjioe hendak mengantar bingkisan untuk kaisar dan lagi mencari
orang kosen sebagai pengantarnya. Tjong Hay ketahui hal itu. tetapi
kesehatannya belum pulih, maka ia ajukan Poan Thian Lo.
Poan Thian Lo ada orang Biauw,
orang Biauw biasanya tidak suka memangku pangkal, tetapi Thian Lo beda. dari
kebanyakan orang bangsanya itu, sudah kurang pikir, ia pun ingin sekali
menjabat pangkat, tidak heran, dengan datangnya ini saat baik. ia lantas terima
usulnya Tjong Hay, hingga kejadian ia bekerja pada soenboe. Sebagai permulaan,
iadikasi kedudukan tingkat ke empat. Ia percaya, dengan kepandaiannya itu, ia
bakal tiba dengan selamat di kota raja bersama harta yang berada di bawah
perlindungannya itu. Ia telah membayangi, bagaimana namanya jadi kesohor
setibanya ia di kota raja, bagaimana ia akan naik pangkat. Untuk kepergiannya
ini. ia ajak Bong Goan Tjoe bersama. Hanya, dasar orang kurang pikir, di
sepanjang jalan dia berlaku temberang Demikian sudah terjadi, di tempat
penginapan ini dia bersikap bengis terhadap pemilik pondokan.
"Aku tidak perduli mereka
siapa!" katanya keren. "Suruh mereka pergi!"
"Tetapi, Taydjin," kata
tuan rumah sambil berlutut dan mengangguk-angguk, suaranya pun menggetar,
"bagi kami pemilik pondokan, tetamu ada bagaikan ayah dan ibu kami, yang
memberi kami makan dan pakai. Ini... ini..."
"Hm!" bersuara Poan
Thian Lo, yang tidak perdulikan keberatan orang, bahkan kakinya lantas melayang
kepada tuan rumah itu. Dia pun berseru: "Anak kamu boleh turun tangan
sendiri!"
Bhok Lin mendongkol sekali.
Justeru itu. pintu kamarnya menjeblak dan dua orang serdadu nerobos masuk, la
menjadi gusar bukan main. Ia menyambuti mereka, setelah mencekal, ia lemparkan
mereka ke luar kamar!
Bong Goan Tjoe. yang mengikuti
kedua serdadu itu, mendapat lihat mereka dilemparkan terpelanting, ia jadi
murka. Lantas ia lompat maju. Tapi ia segera menjadi heran. Sebab di depannya
ia melihat seorang muda belia yang cakap romannya, yang dandan sebagai anak
sekolah, melainkan wajah orang nampak keren.
"Apakah di sini orang
dapat main gila! Mana wet negara?" demikian suara si anak muda, ialah Bhok
Lin, habis dia melontarkan dua serdadu itu. Sebagai siauwkongtia, hertog cilik,
dia mempunyai juga keangkarannya seorang pangeran.
Bong Goan Tjoe tercengang.
Tapi ia berada di depan orang-orangnya, ia malu kalau ia tidak beraksi terus.
Ia pun sudah biasa berlaku galak dan garang. Maka ia kata dengan tertawa
dingin: "Di sini wet negara ----- padaku!" Sambil berkata, ia
menggeraki kedua tangannya, diulur ke arah si anak muda, untuk menyambar anak
muda itu.
Bhok Lin berontak untuk
meloloskan dirinya. Ia menggunai tipu silat "Melepaskan bunga, meloloskan
pakaian perang." Ia pernah belajar silat dari Tan Hong, ilmu silatnya itu
tidak sembarang, tetapi dibanding sama Bong Goan Tjoe. ia masih kalah jauh.
Maka itu, tak dapat ia meronta meloloskan dirinya. Cekalan lawan kuat bagaikan
jepitan besi.
Tiat Keng Sim menyaksikan itu,
ia bersenyum, sembari bersenyum, ia bertindak keluar. Terus ia menjura kepada
Bong Goan Tjoe seraya berkata: "Seorang budiman, dia menggeraki mulutnya,
tidak tangannya, jikalau taydjin hendak ada bicara silahkan bicara dengan
baik-baik. Segala macam urusan masih dapat didamaikan..."
Belum lagi perkataan ini
diucapkan habis, mendadak Bong Goan Tjoe menjerit, cekalannya terlepas.
menyusul mana, Bhok Lin sudah
lantas mengayun tinjunya ke arah muka lawannya itu, mengeluarkan tangan
kirinya, untuk mencegah, sedang dengan tangan kanannya, ia menahan Bong Goan
Tjoe.
"Segala apa dapat
dibicarakan dengan baik-baik," katanya pula, bersenyum. "Dengan
memandang mukaku, aku minta tuan berdua sudilah menahan tangan kamu." Ia
bicara kepada dua Goan Tjoe dan Bhok Lin.
Goan Tjoe mendorong orang yang
menghalanginya itu, ia tidak dapat menolak tangan orang, tubuh siapa pun tidak
bergeming. Ia juga merasakan tangannya sakit. Lekas-lekas ia tunduk, untuk
melihatnya. Di luar tahunya, telapakan tangannya telah terluka tergores. Ia
tidak merasa bahwa tadi, selagi Keng Sim menjura kepadanya, tangan si anak muda
telah menyentuh tangannya itu, kukunya menggoresnya. Ia menjadi kaget berbareng
gusar.
"Kau siapa?" ia
membentak.
Sementara itu Poan Thian Lo
kaget di dalam hatinya. Ia rada sembrono tetapi ia lebih liehay daripada adik
seperguruannya itu, dengan matanya yang tajam ia bisa melihat Keng Sim mestinya
liehay, cuma romannya saja Keng Sim seperti anak sekolah yang lemah. Ia pikir.
"Rasanya aku pun belum tentu dapat mengalahkan dia..."
Tengah Poan Thian Lo
bersangsi, Keng Sim sudah tak menghalangi lagi tangannya Bong Goan Tjoe. Ia
membungkuk dan berkata pula: "Aku adalah sioetjay miskin yang mau pergi ke
kota raja untuk turut dalam ujian, kalau sekarang taydjin mengusir aku,
celakalah aku ini. Aku tidak punya uang untuk menyewa kamar di lain pondokan,
bahkan mungkin aku bakal tidak mendapati lainnya pondokan lagi. Di samping itu
aku bangsa anak sekolah, tidak dapat aku tidur di udara terbuka, maka itu, aku
minta sukalah taydjin mengasihani aku dan memaafkannya."
Poan Thian Lo melirik si anak
muda, lalu mendahului Goan Tjoe, ia berkata: "Dengan memandang kau satu
sioetjay, baiklah, kami tidak usir padamu." ia terus menoleh kepada dua
opsir rendah lainnya, ia kata: "Lekas bereskan itu dua kamar, sore ini
biarlah kita tidur sedapatnya."
Bhok Lin mengawasi orang
dengan mata mendelik tandanya ia masih panas hatinya.
"Adik Lin, jangan kita
menerbitkan gara-gara." Keng Sim membujuk, perlahan, la menarik tangan
orang, untuk diajak masuk. Meski begitu, ia tidak merapati pintu, untuk melihat
apa yang masih dapat terjadi.
Bong Goan Tjoe masih
mendongkol, ia menghampirkan kamar yang kedua dan menendangnya, setelah pintu
menjeblak. dua opsir rendahan yang dititahkan Poan Thian Lo lantas saja nerobos
masuk tanpa perdulikan siapa yang berada di dalam kamar itu.
Tiba-tiba dari dalam kamar itu
terdengar suara plak-plok beruntun-runtun. kemudian terlihat dua nona muda
belia berlompat keluar, gerakannya sangat sebat. belum orang sempat mengawasi
padanya, mereka sudah sampai kepada Bong Goan Tjoe, lalu tahu-tahu
"Plakplok! Plakplok!" terdengarlah suara nyaring, atau si orang galak
itu kena digaplok empat kali oleh mereka itu. mengenai kupingnya, menyusul
mana, mereka memutar tubuh, untuk menendang kedua opsir rendah itu. hingga
keduanya terpelanting setombak jauhnya.
Keng Sim melihat itu semua, ia
kaget dan heran. Kedua nona muda itu dandan serupa, baju mereka berwarna kuning
gading, rambut di kedua pinggirannya dibikin model kupu-kupu. Mereka bertubuh
kurus. Satu di antaranya, mirip dengan potongan tubuh si nona yang meninggalkan
pisau belati berikut surat...
Bong Goan Tjoe bukanlah
seorang lemah, akan tetapi datangnya serangan sangat mendadak dan cepat luar
biasa, maka itu ia menjadi kurban gaplokan berantai itu. Tentu sekali ia
menjadi murka bukan buatan. Dalam murkanya segera ia menyerang dengan
pukulannya ilmu silat Toasoet paytjioe. Bahwa pukulan ini hebat sudah bisa
diduga dari menyambarnya angin yang keras sekali.
Kedua nona itu tidak takut,
bahkan mereka saling memandang dan tertawa. Kata yang satunya: "Apakah kau
hendak menghina orang dengan mengandali saja tenaga kerbaumu? Hm!"
Diserang hebat, mereka lantas
perlihatkan kelincahan mereka. Senantiasa mereka main berkelit indah
gerakannya, bagaikan kupu-kupu selang-seling di antara bunga-bunga atau
cecapung memain di air. Ruang sempit dan di situ pun ada kursi meja akan tetapi
mereka masih dapat bergerak dengan leluasa. Mereka tidak mau berada berduaan saja,
selalu mereka memisahkan diri, tubuh mereka licin seperti ikan berenang pergi
datang di dalam air. Sia-sia belaka Bong Goan Tjoe mengeluarkan Seantero
kepandaiannya, ia tidak memperoleh hasil, bahkan melanggar saja ujung baju si
nona-nona, ia tidak mampu. Celakanya ialah kalau ia diserang berbareng dari
kiri dan kanan. Saking sengitnya, ia tendang kursi meja hingga jadi jumpalitan,
dengan begitu ia membuatnya ruang jadi lebih lega sedikit, tetapi juga sekarang
ini, ia tidak berhasil menghajar nona-nona itu, yang tetap berlaku lincah,
hingga akhirnya ialah yang matanya kabur dan kepalanya pusing...
Poan Thian Lo menyaksikan itu
dengan masgul.
"Soetee, kau
mundur!" akhirnya ia berkata.
Kakak seperguruan ini belum
menutup mulutnya, atau kupingnya mendengar suara plak plok dua kali, suaranya
nyaring-nyaring halus. Sebab Bong Goan Tjoe kembali kena digaplok di kiri dan
kanan!
"Siapa guru kamu?"
Poan Thian Lo menanya nyaring.
"Apakah orang berkelahi
mesti mencari gurunya?" balik tanya nona yang di sebelah kiri.
Nona yang di kanan tertawa, ia
berkata: "Apakah kau hendak memperdayai kami supaya kami mencari guru
kami, supaya kamu dapat ketika untuk lari mengangkat kaki? Haha! Jikalau kau
tidak berani, ya sudah saja, cukup asal kamu menghaturkan maaf sambil berlutut
dan mengangguk-angguk tiga kali. Ingat, kamu mesti membungkuk hingga kepalamu
mengenai batu dan berbunyi nyaring!"
Po Thian Lo tidak niat
memancing nona-nona itu, ia hanya hendak mengetahui guru orang, guru yang
liehay mestinya. Dengan mengajukan pertanyaan, ia tidak berbuat sembrono, ia
bisa menyingkirkan keruwetan di belakang hari. Maka adalah di luar sangkaannya,
ia pun dipermainkan nona-nona itu. hingga ia menjadi gusar. Dengan lantas ia
mengulur kedua tangannya, semua sepuluh jarinya dibuka, untuk menjambak. Kuat
sepuluh jarinya itu, kuat seperti gaetan
Dengan satu gerakan
"Burung Hong menggoyang kepala", nona yang di kiri lompat ke samping,
lalu dari situ ia maju untuk menggaplok. Ia berkelit lincah sekali, ia pun
menyerang dengan dahsyat. Ia percaya dengan kelitannya itu ia akan berhasil
menyelamatkan dirinya. Dan ia benar-benar berhasil. Hanya ketika ia membalas
menyerang, kesudahannya ia kaget luar biasa. Selagi ia menduga, musuh tidak
bakal bisa menyambar pula padanya, sekonyong-konyong tangan lawan sampai
kepadanya. Aneh gerakannya Poan Thian Lo. tangannya seperti terulur lebih
panjang daripada semestinya. Pasti si nona tidak ketahui kepandaian orang itu,
kepandaian yang menjadi warisan istimewa dari Tjie HeeToodjin. Itulah yang
dinamakan "Thongpek Wankang," atau ilmu silat "Orang hutan
tangan panjang."
Syukur untuk si nona. ia tidak
menjadi gugup, ia lantas menyingkirkan diri, sedang kawannya, si nona di
sebelah kanan, membarengi meny erang dengan "Dewi mengantar anak."
yang disusul sama serangan "Bidadari melemparkan torak." Tangan dan
jari tangannya menyerang berbareng.
Poan Thiau Lo repot juga, dari
itu tak sempat ia menyerang terus pada si nona di sebelah kiri itu. hingga nona
itu dapat membebaskan diri!
Kedua nona itu, setelah bebas
dari ancaman berbahaya, pada tertawa.
"Kau nyata terlebih
pandai daripada si tolol dan gerubuk itu!" kata mereka, menggoda, sikapnya
Jenaka. Hanya meski demikian, selanjutnya mereka tidak mau alpa seperti
tadinya. Menghadapi lawan yang kosen, mereka berlaku waspada. Kembali mereka
menggunai kelincahan tubuh mereka, kelit sana dan kelit sini.
Mulanya Poan Thian Lo menelad
adik seperguruannya, ia menggunai kekerasan, ia menggunai tenaga dari Toasoet
paytjioe, habis itu, ia mengubah itu, ia menggunai jurus-jurus dari Kimnahoat,
untuk dapat menangkap kedua nona itu. Ia menang tenaga dalam dari Bong Goan
Tjoe, ia bisa berkelahi dengan ulat. Demikian sudah terjadi, kedua nona kena
didesak, hingga mereka dapat membela diri, tidak bisa mereka melakukan penyerangan
membalas...
Pikirannya Tiat Keng Sim
bersamaan dengan pikirannya Poan Thian Lo. Yang paling penting ialah melindungi
bingkisan hingga di kota raja dengan tidak kurang suatu apa. Di belakang hari,
di kota raja. mereka toh bakal bertemu pula. Jadi dia tidak ingin berkelahi.
Maka dia memikir untuk memperkenalkan diri, untuk menyudahi perselisihan itu.
Siapa tahu, Poan Thian Lo itu si gerubuk, karena murkanya, ia telah menantang,
omongannya tidak menyedapkan telinga yang mendengarnya. Di sebelah itu. dia dibuatnya
panas oleh kata-katanya kedua nona itu.
Terpaksa dia menghunus
pedangnya.
"Kalau begitu,"
berkata Keng Sim, tertawa, "aku harus tidak mengenal diriku, aku mohon
pengajaran dari Poan Taydjin, untuk beberapa jurus saja. Aku mohon sukalah
Taydjin berlaku murah hati."
Poan Thian Lo sebaliknya
membentak.
"Boleh jikalau kita tidak
turun tangan, kalau kita turun tangan juga, tidak ada soal murah hati
lagi!" demikian suaranya yang katak. "Siapa kesudian berdamai
denganmu?"
Dia menyangka benar-benar Keng
Sim jeri. Tapi dia telah melihatnya orang memperlihatkan
kepandaiannya tadi, dia
mengetahui orang bukanlah musuh yang ringan. Maka dia geraki cambuknya,
menyerang ke bawah dengan jurusnya "Laosoe poankin" atau Pohon tua
gempur akarnya," Bahkan dia membulang-baling terus tiga kali, hingga
benar-benar dia tidak mau berlaku murah hati.
Mau atau tidak, Keng Sim
mendongkol juga. Tentu sekali, iajuga ingin mempertunjuki kepandaiannya. Maka
ketika cambuk hampir mengenai kakinya, sesudah ia berkelit beruntun dua kali.
ia membabat ke bawah, memapaki cambuk itu.
Keng Sim menggunai pedangnya
Tjio Keng To, gurunya, pedang curian dari istana kaisar, yang diberi nama
Tjiehong kiam atau Pedang Bianglala, pedang yang tajam luar biasa, dapat
menahas besi dan memutuskan rambut yang ditiupkan ke arah tajamnya. Dari itu,
ketika kedua senjata bentrok, terdengarlah suara "Sret! Sret!" sedang
sinarnya berkelebatan.
Kesudahan dari bentrokan itu
membuatnya Poan Thian Lo kaget dan akhirnya menjadi gusar sekali. Ia bukannya berhasil
menyapu orang, hanya gigi-gigi mirip gergaji dari cambuknya itu kena dipapas
putus. Sambil menjerit, ia menyerang pula dengan hebat, dengan tipu silatnya
"Angin puyu membuatnya pohon lioe menari." cepatnya bagaikan hujan
angin dahsyat.
Keng Sim tidak perdulikan
hebatnya serangan lawan, ia melawan dengan tidak kalah bengisnya. Ia
menggunakan jurus "Hujan angin di empat penjuru," salah sebuah tipu
silat dari Keng To Kiamhoat, ilmu pedang "Keng To" (Gelombang). Di
antara sinarnya yang berkilauan, terdengarlah suara nyaring berirama.
Kedua nona tadi lantas
tertawa, tangannya ditepuk-tepuk.
"Merdu suara tetabuan
ini, sungguh sedep didengarnya!" mereka memuji.
Suara itu ialah suara pedang
yang tajam membabat giginya cambuk, si nona-nona menganggap suara itu merdu...
Untuk Poan Thian Lo, suara itu
sebaliknya mengiris hati.
"Sungguh celaka!"
dia menjerit dalam murkanya yang sangat. Sebab hanya dalam beberapa jurus,
habis sudah semua gigi cambuknya itu. semua habis terpapas pedang lawan. Tj
iehong kiam tidak mengasi hati pada gigi-gigi itu.
Tiat Keng Sim sebaliknya
tertawa.
"Poan Taydjin, suka kau
berlaku murah, bukan?" katanya.
Poan Thian Lo sebaliknya
menjadi seperti kalap.
"Akan aku mengadu jiwa
denganmu!" bentaknya. Dan ia menyerang pula, dengan hebat sekali, dengan
cambuknya yang sudah tidak bergigi lagi. Hebat serangan ini. sebab dalam ilmu
kepandaian, si Taydjin memang tak ada di bawahan Keng Sim.
Keng Sim juga tidak berani
memandang enteng, dengan gigih ia membuat perlawanan, cuma sekarang ia tidak
bisa berbuat seperti tadi. dengan cepat meruntuhkan semua gigi cambuk. Sekarang
cambuk itu, yang dimainkan dengan lincah, tak gampang untuk dibabat kutung.
Cambuk itu memang terbuat dan otot-otot harimau, keras bisa keraskan lempang
bagaikan toya, lunak bisa dilunakkan hingga dapat dililitkan di pinggang. Pula
celaka siapa kena dihajar atau dilibat.
Keng Sim seperti dipaksa
menggunai ilmu silat pedangnya, Keng To Kiamhoat itu, maka ia membikin
pedangnya itu benar-benar seperti "gelombang yang mengagetkan"
(kengto). Karena Tjio
Keng To terhitung salah satu
dari empat kiamkek, ahli silat terbesar, bisa dimengarti dia hanya berada di
bawahan Thio Tan Hong.
Sebagai murid, Keng Sim telah
paham ilmu pedang itu. ditambah sama latihannya sudah tujuh atau delapan tahun,
ia dapat mempergunakannya dengan mahir. Ia pun murid yang paling disayang.
Di mana dua orang bagaikan
berkelahi mati-matian, tidak heran pertempuran merekajadi seru sekali, keadaan
mereka pun berimbang. Maka sampai sekian lama, mereka masih sama tangguhnya,
tidak ada yang mau menyerah kalah.
Kedua nona nonton perkelahian
belum lama, keduanya mendaki bukit, lalu mereka duduk berendeng di atas sebuah
batu besar. Dari atas dengan leluasa mereka dapat memandang ke bawah, sikap
mereka tenang Mereka lalu merundingkan tentang dua orang yang lagi mengadu jiwa
itu. suara tertawa mereka saban-saban dibawa angin gunung hingga ke kupingnya
si anak muda.
Keng Sim menjadi tidak senang
hati.
"Aku berkelahi untuk
mereka, mereka justeru menjauhkan diri," katanya di dalam hati. "Aku
bukannya mengharap bantuan mereka, hanya aku tidak puas untuk sikapnya. Kenapa
mereka menganggapnya enteng sekali kepada orang yang menolongi mereka?"
Poan Thian Lo sendiri sudah
mulai bingung. Sia-sia belaka desakannya itu, ia tidak berhasil mengalahkan
lawannya ini, yang tadinya ia tidak pandang terlalu tinggi.
Juga Keng Sim, ia mulai
mendongkol.
"Dia tidak mengenal
salatan, buat apa aku menaruh belas kasihan terhadapnya?" ia berpikir.
Maka ia berseru, ia menggeraki pedangnya hebat sekali. Ia melawan keras dengan
keras. "Kena!" ia berseru kemudian. Ia bukannya membabat cambuk,
hanya setelah cambuk lewat di atasan kepalanya, untuk mana ia mendak, selagi
bangun berdiri pedangnya diarahkan ke dada orang, di jalan darah Tantiong hiat.
Tidak ampun lagi, Poan Thian
Lo menjerit keras, lalu tubuhnya roboh.
Habis merobohkan musuhnya,
yang membuatnya lega hati. Keng Sim mengangkat kepala, melihat ke atas bukit.
Ia menampak kedua nona tertawa seraya bertepuk-tepuk tangan.
"Terima kasih!"
terdengar suara mereka itu, nyaring tetapi halus.
"Inilah tidak
berarti!" berkata Keng Sim. "Orang Biauw galak ini telah aku
robohkan, kamu boleh turun sekarang!"
"Terima kasih yang kau
telah menolongi kami merobohkan dia!" berkata satu nona. ia tertawa begitu
pun kawannya. "Kedua entjie-ku mungkin sudah berhasil dengan pekerjaan
mereka, kami hendak pergi menyambut mereka itu. dari itu tidak dapat kami
menemanimu lebih lama pula..."
Mendengar itu. Keng Sim
terkejut.
"Oh, jadi benar kamu
berkomplot untuk merampas bingkisan!" katanya.
Dua nona itu kembali tertawa.
"Orang membilangnya Tiat
Kongtjoe cerdas, benarlah dugaanmu itu!" kata mereka.
Keng Sim kaget bukan main.
Hebat jawaban itu, yang melebihkan cacian, la menganggapnya dirinya pintar, ia
toh kena dipermainkan kedua nona-nona itu. Ia telah dipancing dengan tipu daya.
"Memancing harimau turun dari gunung." Bukankah mereka memincuk Poan
Thian Lo keluar dari pondokan, lalu ia pergi menolongi mereka, dengan begitu
pondokan jadi kosong, lalu bekerjalah koncoh mereka? Siapa bisa melawan mereka
itu?
Anak muda ini menjadi serba
salah. Ingin ia mengubar ke atas, kepada kedua nona itu, ia kuatir barangnya
sendiri nanti hilang. Selagi ia diam mengawasi, nona-nona itu tertawa pula,
tertawa geli sekali. Sembari mengulap-ulapkan tangannya, mereka berkata:
"Di dalam gudangnya si raja ada bertumpuk emas dan kumala, segala macam
permata pun ada, toh kamu masih hendak menghadiahkan kepadanya! Maka kalau kami
mengambil bingkisan ini. tidak ada artinya, bukan?"
Segera setelah ucapannya itu,
mereka mengangkat kaki. lari naik semakin tinggi ke atas bukit, hingga sebentar
kemudian, mereka sudah melewati bukit itu.
Karena tidak ada harapan untuk
mengejar. Kcng Sim lari balik ke hotel. Selagi mendekatin, kupingnya sudah
mendengar suara berisik sekali dari arah hotelnya. Ia heran dan kaget, maka ia
berlari-lari keras.
"Rupanya kawanan perampas
belum mengangkat kaki," ia menduga-duga.
Dengan cepat pemuda ini sampai
di depan hotel, di mana ia menampak segala apa kalang kabutan. Serdadu-serdadu
pengiring pada roboh menggelalakan, bekas dihajar perampas. Bong Goan Tjoe,
dengan mulut berkaokan, lagi melayani satu nona muda belia, sedang seorang nona
lainnya lagi menggerayangi kedua peti besi yang memuat bingkisan.
Kedua peti kecil tetapi berat,
sebagai ia mengetahuinya, dua opsir rendahan. yang membawa itu, telah
termege-mege karena mesti menggunai tenaga berlebihan setiap peti itu beratnya
mungkin seratus kati. Sebaliknya nona itu, memegang peti dengan masing-masing
tangannya, dia seperti tidak menggunai tenaga.
Dua-dua nona itu berumur
masing-masing baru empat atau lima belas tahun, mereka mirip dengan dua yang
tadi. hingga mulanya Keng Sim menduga mereka itulah yang telah mendahului ia
tiba di hotel, setelah ia mengawasi, ia mendapat kenyataan mereka ini lebih
gemuk sedikit, cuma pakaian mereka berempat sama. ialah warna kuning gading dan
di kepala mereka ada kupu-kupunya. Juga senjata mereka serupa yaitu golok
pendek dengan kepala naga-nagaan.
Kemudian si nona yang merampas
bingkisan itu tertawa dan berkata sendirinya: "Aku mengira benda apa y ang
berharga luar biasa, kiranya cuma dua patung Buddha dari emas!" Suaranya
itu menyatakan ia sangat tidak memandang mata kepada dua patung emas itu.
Sebenarnya pada waktu itu. Koeitjioe
ialah sebuah propinsi yang miskin, sampai ada pepatah yang berbunyi:
"Langit tidak ada tiga hari yang terang jernih, di bumi tidak ada tiga
hari yang aman tenteram, dan di antara manusia, tak ada yang mempunyai emas
tiga hoen saja." Toh telah terbukti, soenboe dari Koeitjioe telah berhasil
membuat tiga patung Buddha yang berat itu, dari itu dapat dimengarti bagaimana
dia sudah memeras rakyatnya.
Bong Goan Tjoe mencaci
kalang-kabutan, tetapi dia menggunai bahasa liiauw.
Keng Sim melihat ke sekitarnya.
Di mana si nona cuma ada berdua, ia mau percaya barangnya sendiri belum sampai
kena dirampas, karena itu. hatinya menjadi sedikit lega. Karenanya, ia merasa
lucu juga mendengar ocehannya Bong Goan Tjoe itu. Meski begitu, ia beragu-ragu.
Ia memikir-mikir, apa baik ia membantui Bong Goan Tjoe merampas pulang kedua
patung emas itu.
Pertempuran berlangsung terus,
selagi Keng Sim mengawasinya, mendadak ia melihat si nona telah menggores
jidatnya Bong Goan Tjoe, hingga darahnya lantas keluar, mengalir turun.
Atas kejadian itu, yang
membikin ia merasa sakit dan semakin gusar, Bong Goan Tjoe menggeraki kedua
belah tangannya, melontarkan sepuluh gelang perak di lengannya itu. Sebab
gelang-gelang itu adalah senjata rahasia suku bangsa Biauw.
Hebat menyambarnya senjata
rahasia itu, sampai hati Keng Sim terkesiap, karena ia sekarang menguatirkan
keselamatannya si nona tanggung itu...
Si nona kecil tidak menjadi
bingung. Ia mengayunkan tangannya menerbangkan dua batang pisau belati. Segera
terdengar menyusulnya suara tangtingtong, suara yang tak hentinya.
Ternyata sembilan gelang dari
Poan Thian Lo telah terpapas kutung menjadi dua potong, belum lagi buyar, sudah
kena dihajar pisau belati itu. semuanya menjadi kacau tujuannya, menjadi saling
bentrok sendiri. Tidak ada sebuah pecahan juga yang mengenai tubuh si nona.
yang main berkelit dengan lincah.
Nona yang lainnya telah
menyambar kedua peti besi itu, untuk dibawa lari dengan pesat. Diajusteru lari
lewat di sampingnya Keng Sim. Kalau ia mau, Keng Sim bisa mengulur tangannya,
menyambar, merampas peti besi itu, atau ia hanya memegat, untuk merintangi.
Belum dia sempat berpikir, si nona sudah berkata dengan perlahan:
"Masing-masing baiklah menyapui saja salju di depan rumahnya sendiri,
jangan perdulikan es di genting rumah lain orang!"
Tercengang Keng Sim mendengar
suara itu. ialah pemberian ingat untuk ia jangan usilan, supaya ia jangan
mencampuri sepak terjangnya nona-nona itu.
Justeru itu terdengar teriakan
berulang-ulang dari Bhok Lin dari pondokannya: "Tjiehoe, lekas! Lekas ke
mari!" Sebab ipar itu pun telah melihat sesuatu.
Oleh karena menguatirkan
barang yang dilindunginya sendiri nanti lenyap, Keng Sim lantas lari pulang.
Dengan begitu ia menjadi membiarkan si nona lari terus. Ketika ia tiba di muka
pondokan, dengan sekali melirik saja, ia telah melihat muka Bong Goan Tjoe
mandi darah, karena dia telah dihajar roboh si nona cilik.
Di rumah penginapan itu orang
pada bersembunyi dengan tubuh mereka bergemetaran. Tidak ada seorang juga yang
berani mengasi dengar suaranya. Cuma Bhok Lin yang gembira sekali, ia memegang
tangan tjiehoe-nya untuk ditarik masuk ke dalam kamar.
"Tjiehoe," katanya
tertawa setibanya di dalam, "banyak pengalamanmu dalam dunia kangouw
tetapi kali ini kau salah mata, justeru terkaankulah yang benar! Nona-nona itu
benarlah orang-orang yang merampas bingkisan untuk kaisar! Dan terhadap kita,
mereka itu memandang mata, mereka melepas budi!"
Keng Sim menutup pintu kamar.
"Kenapa mereka melepas
budi?" ia tanya iparnya itu.
"Kau lihat!" sahut
Bhok Lin, tangannya menunjuk.
Keng Sim segera memandang ke
arah yang ditunjuk itu, ialah peti buku mereka di dalam mana disimpan bingkisan
mereka. Di situ menancap sebatang pisau belati, yang ditusukkan sehelai kertas.
Tidak usah ditanya lagi, pastilah itu kertas dan pisau belati dari si
nona-nona.
"Mereka itu, begitu
mereka masuk, lantas plak mereka menimpuk dengan pisau belati mereka,"
Bhok Lin menerangkan, "dan mereka mengatakannya supaya kita jangan usilan.
Sebenarnya aku berniat menempur mereka, akan tetapi karena mereka sudah lantas
memakai cara kaum kangouw, aku membatalkan niatku itu, aku membiarkan mereka
merdeka. Bukankah suatu keharusan, jikalau orang menghormati kita satu kaki,
kita membalasnya hormat itu dengan satu tombak?"
Keng Sim tertawa dan
mengatakannya. "Aku kuatir justeru lain oranglah yang membiarkan
kau!"
Lantas pemuda ini mencabut
pisau belati itu. untuk mengambil suratnya. Di situ ada coretan beberapa huruf
yang tak keruan, bunyinya begini: "Kamu membelai apa yang tak adil, kami
suka berbuat baik. Jikalau kamu tidak kenal salatan. ketahuilah, bingkisanmu
sukar sampai di kota raja!"
Habis membaca, Keng Sim
berkata: "Mana ini pemberian muka untuk berlaku baik kepada kita? Inilah
ancaman belaka!"
"Bukankah barang kita tak
disentuh sama sekali?" tanya Bhok Lin.
"Mereka hanya membilang,
kali ini mereka tidak merampas, lain kali mereka akan mengulurkan tangan
mereka," Keng Sim menjelaskan.
"Tapi kita tidak
takut!" berkata Bhok Lin, berani. "Kita empat orang dewasa, mustahil
kita tidak dapat melawan empat orang nona bocah itu?"
Keng Sim berpikir. Melihat
kepandaian si nona, dengan sebatang pedangnya, ia sanggup melayani mereka itu,
ia percaya, ia tidak bakal dikalahkan, tetapi yang ia kuatirkan ialah
orang-orang di belakang nona-nona cerdik itu, mereka itu mestinya orang-orang
yang liehay. Kalau mereka tidak liehay, cara bagaimana mereka berani merampas
bingkisan hadiah untuk raja?
"Tjiehoe, kau pikirkan
apa?" Bhok Lin menanya, melihat tjiehoe itu diam saja. "Apakah benar-benar
kau kasi dirimu kena digertak mereka? Benarkah kau takut?"
Keng Sim tertawa.
"Aku bukannya takuti
mereka itu," ia menyahut, "aku hanya kuatir Poan Thian Lo sadar dan
datang ke mari hingga dia melihat kita. Mana enak menghadapi pertemuan itu?
Maka baiklah kita lekas berangkat!"
Benar-benar orang she Tiat ini
bertindak. Ia menyuruh kedua boesoe siap sedia, ia sendiri melakukan pembayaran
kepada pemilik rumah penginapan. Maka di lain saat mereka sudah mulai dengan
keberangkatan mereka.
III
Ketemu "Harimau
Kumala."
Melihat "Naga
Sakti."
Perjalanan dilakukan Keng Sim
selekas bisa. Ia menginsafi ancaman bahaya di sepanjang jalan itu. Bhok Lin
sebaliknya, dia bahkan gembira sekali membicarakan urusan perampasan itu.
Agaknya dia menyesal yang dia tidak dapat ketika akan mencoba-coba dengan ke
empat nona cilik itu.
"Ah, siauwkongtia-ku yang
baik." berkata Thio Po si guru silat yang usianya sudah lanjut,
"untuk kita paling benar kitajangan bertemu pula dengan mereka itu!"
Di perjalanan itu mereka tidak
menemui sesuatu, maka itu setelah melewati dua puluh hari lebih, mereka sudah
melalui batas propinsi Kwiesay dan sudah memasuki wilayah propinsi Kwietang.
Juga di sini mereka umpama kata tidak bertemu sama "setengah
penjahat" jua.
Kedua guru silat mentaati
pesan Bhok Kokkong, mereka minta Tiat Keng Sim menghadap tjongtok dari
Liangkong, dari propinsi Kwiesay dan Kwietang, yang gubernur jenderalnya hanya
satu orang, supaya mereka dapat menggabungkan diri dan berjalan bersama-sama
rombongan dari Kwiesay ---- Kwietang itu, dengan begitu jumlah mereka jadi
banyakan, tenaga mereka pun bertambah kuat.
Bhok Lin tidak senang dengan
usul itu, akan tetapi itu adalah titah ayahnya, ia tidak berani membantahnya.
Dengan terpaksa ia pergi menjumpai Liangkong tjongtok. Dengan mengunjungi
tjongtok itu, mereka menjadi mendapat tahu rombongan pengantar bingkisan dari
Kwiesay sudah tiba beberapa hari lebih dulu dan mereka itu bahkan tengah
menantikan mereka ini.
Tjongtok menyambut dan
melayani Keng Sim dan Bhok Lin dengan manis budi, karena ia mengetahui mereka
itu, yang satu ialah menantunya Bhok Kokkong dan yang lainnya putera hertog
itu. Sebaliknya ialah sikap dari boesoe atau guru-guru silat yang melindungi
bingkisan dari kedua propinsi itu, di depan mereka menunjuki hormat mereka, di
belakang mereka memandang enteng, hal mana ternyata dari air muka mereka.
Boesoe dari dua propinsi itu
adalah ahli-ahli silat yang kenamaan, di mata mereka itu Keng Sim dan Bhok Lin
adalah dua kongtjoe belaka, yang pasti tidak punya guna dan melainkan
bertingkah saja, untuk menjual lagak. Sebaliknya mereka mau percaya si kedua
guru silat pengantarnya barulah orang-orang yang berarti, maka itu senang
mereka bergaul dengan dua boesoe ini, yang mereka anggap ada sesamanya, gembira
mereka memasang omong.
Keng Sim berdua Bhok Lin
singgah dua hari di kantor tjongtok, lantas mereka pamitan untuk melanjuti
perjalanan. Mereka menjadi tiga rombongan yang menjadi satu. jumlah pengatarnya
atau boesoe ada tujuh delapan orang dan pengiringnya empat atau lima puluh
serdadu. Dengan jumlah yang besar, mereka itu nampaknya mentereng sekali.
Melihat itu. Keng Sim kurang
puas. Itulah terlalu mencolok mata.
Boesoe yang mengepalai
rombongan dari Kwietang bernama Tjoa Hok Tjiang, dialah keluaran Siauwlim Sie,
di masa mudanya pernah dia pesiar ke Utara, ke kota raja. di mana dia pernah
bertempur sama guru-guru silat dari barisan pahlawan Kimiewie, beruntun dalam
satu hari dia berhasil mengalahkan tujuh guru silat. Sekarang dalam usia
mendekati enam puluh, dia nampaknya masih gagah.
Guru silat dari Kwiesay ialah
Wie Kok Tjeng, umurnya lebih kurang empat puluh tahun, kedudukannya sebagai
tjongpiuwtauw, kepala sersi dari kantor soenboe. Ia pandai bersilat di atas
kuda dan menggunai panah, sedang senjatanya sendiri ialah toya tjiebiekoen.
Dalam kalangan Boelim atau Rimba Persilatan di Kwiesay, ia berkenamaan.
Di sepanjang jalan dua guru
silat ini gembira sekali membicarakan urusan ilmu silat, tentang hidup mereka.
Kelihatan nyata mereka sama-sama memamerkan diri sendiri. Bhok Lin tidak senang
mendengar suara orang, kalau bukannya Keng Sim mencegah, tentulah ia sudah
memukul sindir mereka itu.
Pada suatu hari rombongan yang
besar ini tiba di Tjiauwleng, tapal batas propinsi Hokkian. Di sini mereka
memasuki daerah pegunungan, maka dengan sendirinya mereka berlaku tambah
berhati-hati.
Di waktu tengah hari, selagi
Sang Surya ada di tengah-tengah langit, karena panas terik, manusia letih dan
kuda lelah dan berdahaga, mereka mampir di tepi jalan di mana ada sebuah warung
teh. Tjoa Hok Tjiang memberi ijin akan semua pengiring beristirahat, ia sendiri
mengajak Keng Sim semua masuk ke dalam warung akan duduk berkumpul di dua buah
meja.
Wie Kok 'Tjeng, guru silat
dari Kwiesay, ada membekal panah, senjata itu tidak pernah lepas dari
tangannya, selalu ia bawa-bawa. demikian memasuki warung teh, ia terus bawa
busurnya itu. Bhok Lin jail, ia pegang busur itu, untuk mencoba-coba beratnya.
"Hati-hati,
siauwkongtia!" berkata Kok Tjeng, tergesa, "jaga jangan kau merusak
kesehatanmu!"
Bhok Lin tertawa haha-hihi, ia
mengangkatnya.
"Mungkin busur ini
beratnya lima atau enam puluh kati. " katanya. "Untuk mementang busur
yang sangat besar ini, mesti diperlukan tenaga yang besar!"
Wie Kok Tjeng heran
mendapatkan si hertog muda kuat mengangkat busurnya itu.
"Ah, tak usah juga
memakai tenaga besar!" katanya kemudian, tertawa. "Busurku ini ialah
dinamakan ngotjio kiangkong. asal kedua lengan tangan mempunyai tenaga lima
enam ratus kati juga sudah kuat untuk menggunainya!"
Yang disebut ngotjio
kiangkong, atau busur yang berat lima karung adalah busur nomor satu, sengaja
Wie Kok Tjeng menyebut itu, guna membanggakan dirinya bertenaga besar.
Keng Sim bersenyum mendengar
perkataan orang itu.
"Mempunyai tenaga lima
atau enam ratus kati sudah bukannya terhitung tenaga kecil lagi!" berkata
Bhok Lin, yang seperti tak tahu apa-apa.
Wie Kok Tjeng agak tercengang.
"Hertog muda ini besar
mulut," pikirnya. "Tenaga lima enam ratus kati katanya bukan kecil
lagi..." Tapi ia tertawa dan berkata, "Tenaga memanah adalah yang
kedua, yang paling penting yaitu tepatnya incaran. Ada satu waktu yang aku
memasuki sebuah gunung mengejar serombongan berandal, mereka berjumlah sembilan
belas orang, panahku ada delapan belas batang. Satu demi satu anak panahku itu
menemui sasarannya, delapan belas berandal roboh karenanya. Yang ke sembilan
belas lari kabur. Dia beruntung tidak sampai binasa. Kemudian aku mendapat tahu
dialah kepala dari kawanan berandal yang bertempat di selatan Kwiesay. Semenjak
itu bubarlah rombongannya, tidak lagi dia berani melakukan usaha tanpa modal
itu!"
Di sebelah meja mereka ada
sebuah meja lain di mana ada berkumpul beberapa tetamu lainnya, mereka itu
mendengar perkataannya guru silat ini, mereka agaknya heran dan kagum, hingga
kedengaran pujian mereka, hanya nadanya bercampur sama penyesalan.
Tjoa Hok Tjiang luas
pengalamannya, mendengar suara mereka itu, ia merasa hatinya tidak tenang,
tetapi ia dapat mengusai diri, ia tidak menuruti Kok Tjeng bicara besar itu, ia
bahkan sengaja menghela napas. Ia mengangkat cawan tehnya.
"Hebat, hebat!"
katanya. "Mendengar perbuatan gagah itu, marilah dengan secawan teh ini
menggantikan arak aku memberi selamat!"
Ia lantas mengeringi air
tehnya itu, kemudian ia menurunkan cawannya dengan separuh dibanting, mulutnya
masih mengasi dengar pujiannya: "Hebat, hebat!"
Warung teh ini memakai cawan
bukan dari gelas hanya dari logam, yaitu tembaga, sebabnya ialah agar cawannya
tak gampang pecah. Hok Tjiang membanting cawannya itu, maka tempo ia
mengangkatnya pula, di meja ada bekas melesaknya tiga dim.
"Ah!..." katanya,
ketika ia melihat meja celong itu, "aku melupakan diriku hingga aku
membuatnya meja ini rusak, aku menyesal."
Ia lantas merogo sakunya,
mengeluarkan uang dua renceng, katanya sebagai pengganti kerugian.
Wie Kok Tjeng melihat
perbuatannya Tjoa Hok Tjiang ini, diam-diam ia merasa yang rekannya itu
bertenaga lebih besar daripadanya, tetapi ia tidak takut, bahkan ia memikir
nanti satu waktu mencari ketika untuk mempertontonkan ilmu panahnya yang liehay
itu, yang menganggapnya tanpa tandingan. Ingin ia membikin Hok Tjiang turun
derajat...
Orang-orang di meja satunya itu
pada bungkam, sesaat kemudian barulah terdengar seorang mengatakan, "Di
dalam dunia ini ada kepandaian demikian liehay, sunggah kita si orang-orang
desa bisa mati kaget..."
Tapi meskipun mereka
mengatakan demikian, nada mereka mengandung sindiran.
TjoaHok Tjiang lantas melirik.
Ia dapat kenyataan, orang yang berbicara itu adalah seorang muda dengan
sepasang alis gompiok dan bermata besar, sedang tiga yang lain mirip dengan
petani-petani. Habis minum teh, mereka itu berlalu lekas-lekas.
Wie Kok Tjeng mendapat lihat
kelakuan orang itu, ia menjadi curiga, tetapi ia tidak takut, memandangi
belakang orang, ia kata sambil tertawa dingin: "Jikalau aku ketemu orang
jahat, akan aku kasih rasa mereka anak-anak panahku!" Ia bicara dengan
suara keras, ia sengaja supaya mereka itu mendapat dengar.
Sesudah dapat beristirahat,
rombongan pengantar bingkisan ini mulai pula dengan perjalanan mereka.
Wie Kok Tjeng sengaja jalan di
paling depan, tangannya memegang busurnya, sikapnya gagah.
Keng Sim bersama Bhok Lin jalan
di sebelah belakang boesoe itu, sikap mereka biasa saja.
TjoaHok Tjiang jalan di
belakang, selaku pengiring atau pembantu.
Segera juga mereka telah
melalui perjalanan belasan lie. Justeru itu mereka mulai memasuki mulut sebuah
gunung. Mendadak terdengar seman di sebelah depan, lalu seorang penunggang kuda
nampak lari mendatangi ke arah rombongan mereka itu. Dia mendatangi sembari
tertawa berkakak, kepalanya dilenggakkan. Nyata dialah si anak muda alis
gompiok dan mata besar yang di warung teh tadi.
"Eh, kau bikin apa?"
Wie Kok Tjeng menegur. "Jikalau kau tidak lekas turun dari kudamu, nanti
aku panah padamu!"
Anak muda itu tertawa pula, ia
tidak turun dari kudanya.
"Aku justeru hendak
mencoba panahmu!" katanya menantang. "Kau ada membawa berapa batang
anak panah?"
Menyusuli berhentinya
perkataan si anak muda, yang suaranya keras, dari lamping gunung lantas
terdengar suara berisik sekali, lalu tertampak munculnya serombongan orang
jahat. Mereka itu rupanya telah menyembunyikan diri semenjak tadi.
Keng Sim mengawasi, ia melihat
sejumlah empat atau lima puluh orang. Ia lantas berpikir: "Melihat jumlah
kita adalah berimbang, hanya aku kuatir ini beberapa boesoe bukannya lawan
mereka itu..."
Wie Kok Tjeng gusar bukan main
sampai napasnya menghembus dari hidungnya.
"Ini hari tuan besarmu
membawa anak panah cukup untuk kamu menerimanya, satu orang satu!" katanya
nyaring. "Kau juga ada bagianmu!"
Kata-kata ini disusul sama
persiapan, tangan kiri memegang kayu busur, tangan kanan bersama anak panah
menarik talinya, hingga busur itu tertarik melengkung sebagai bulan purnama.
Melihat sikapnya itu, benarlah dia seorang ahli panah. Lantas saja terdengar
suara menjepret dan anak panah itu meluncur ke depan, ke arah tenggorokan si
anak muda penunggang kuda itu.
Luar biasa si anak muda, ia
tertawa dengan tubuhnya tak bergeming. Ketika anak panah hampir pada
sasarannya, barulah sebelah tangannya digeraki. Luar biasa sebat gerakan tangan
itu, belum lagi Kok Tjeng tahu apa-apa, anak panahnya itu telah kena ditangkap
si anak muda, untuk diteruskan dipatahkan!
"Ilmu panah semacam ini
mau dipertontonkan, hm!" mengejek anak muda itu, yang tertawa seraya
menggeleng-geleng kepalanya.
Wie Kok Tjeng jumawa, maka
bisalah dimengarti kalau hatinya jadi panas sekali diperhina secara demikian.
Tanpa mengatakan apa-apa, ia melepaskan anak panahnya yang kedua, disusul sama
yang ketiga!
Bhok Lin menyaksikan cara
orang menggunai panah itu. ia kata dalam hatinya: "Pantas dia jumawa, dia
benar ada mempunyai kepandaian!"
Cepat memanahnya Kok Tjeng,
sebat tangannya si anak muda. Dua batang anak panah itu kena disambuti. kena
terus dibikin patah.
Dalam penasarannya. Kok Tjeng
memanah terus menerus.
"Satu! dua tiga! empat!
lima!" si anak muda berseru-seru selagi ia menyambuti tiap anak panah itu.
"Enam! tujuh! delapan! sembilan! sepuluh'"
Dan ia masih menghitung terus
sebab VVie Kok Tjeng juga memanah dia tak hentinya, dengan kesehatannya yang
luar biasa. Hingga sebentar kemudian ia sudah menghitung hingga tiga puluh
enam, yang mana berarti juga tiga puluh enam batang anak panah telah disanggapi
dan dibikin patah!
Muka dan kupingnya VVie Kok
Tjeng menjadi merah. Ia serba salah.
Anak muda itu tertawa
berkakak.
"Masih ada berapa batang
lagi?" ia menanya, sikapnya menantang.
Dalam murkanya yang sangat.
Kok Tjeng menarik pula tali besarnya, menjepretkan tiga batang anak panahnya
yang terakhir. Ia mengerahkan tenaganya, ia mengincar dengan tepat, bahkan ia
melepaskan berbareng tiga batang panah itu. Inilah kepandaiannya yang istimewa.
Meski dilepaskan berbareng, anak panah itu tetapi menjurus ketiga tempat, ialah
tenggorokan, dada dan pusar.
Selagi dipanah, anak muda itu
tertawa dan berkata: "Demikian anak panah telah dilepaskan, ini tiga yang
terakhir boleh juga!" Kalau tadi dia bertubuh tegak, secara gampang saja
dia menghalau ancaman bahaya, kali ini dia menggeraki tubuhnya. Selagi dia
memutar tubuh, tangannya digeraki berputar juga. Tepat sekali, ketiga batang
anak panah kena dia sambar dan cekal semuanya!
"Apakah kau telah memanah
habis?" bertanya anak muda itu, tertawa. "Jikalau ada kedatangan
tidak ada kepergian. itulah namanya bukan kehormatan, maka itu tiga batang anak
panah ini dengan segala kehormatan aku membayarnya kembali!" Dan ia segera
menggeraki tangannya, bagaikan orang membandering.
Tiga batang anak panah itu
meluncur ke arah pemiliknya.
Wie Kok Tjeng terkejut, tetapi
ia masih sempat berkelit dengan kelitannya "Menyembunyikan diri di dalam
pelana." Meski begitu, ia cuma dapat lolos dari sebatang panah, dua yang
lain terus mengancam padanya. Di saat ia tidak berdaya itu, mendadak
"traang triing!" maka kedua batang panah itu kacau dari tujuannya,
melewati perut kuda, jatuh di tanah.
Kok Tjeng tidak tahu bahwa
secara diam-diam Keng Sim sudah membantu meloloskan jiwanya dari marah bahaya,
karenanya ia mendongkol sekali kepada si anak muda. Setelah duduk pula tetap di
atas kudanya, ia menarik toyanya, toya tjiebiekoen yang terbuat dari tembaga,
ia menyerang si anak muda sambil ia berlompat turun dari kudanya, setelah kudanya
itu ia kasih maju mendekati lawannya. Ia menghajar kepala orang.
Si anak muda mengangkat
tangannya sambil tertawa dan berkata: "Toya ini banyak lebih susah
dibekuknya daripada anak panah..." Dengan sebat tangannya itu menanggapi
toya, yang terus ia cekal keras dan menarik sambil berseru:
"Lepaslah!"
Gagal serangannya Kok Tjeng
itu, toyanya kena dipegang lawan, ketika ia menahan tarikan keras itu, hampir
ia menjerit. Ia kesakitan karena telapakan tangannya itu terluka. Dengan bandel
ia pegang erat-erat toyanya itu, tidak perduli tangannya borboran darah.
Masih si anak muda tertawa.
"Mustika apakah ini
hingga kau sayang melepasnya?" katanya tertawa terus. Ia tidak menarik
lagi seperti tadi, hanya ia kerahkan tenaga dari dua tangannya, maka selagi Kok
Tjeng menahan, toyanya itu lantas perlahan-lahan mulai bengkok melengkung.
Mukanya Kok Tjeng menjadi
merah. Dengan paksakan diri, ia memegang terus dengan keras toyanya itu.
Matanya lantas menjadi berkunang dan kepalanya pusing. Ia tahu, ia bakal roboh
tak sadarkan diri, bahwa ia bakal terluka di dalam, tetapi kepala besarnya
sungkan mengalah, terus ia bertahan. Ia lebih suka terbinasa daripada mendapat
malu, maka ia cekal keras mati-matian toyanya itu.
Keng Sim menjadi bersangsi
walaupun sebenarnya ia hendak maju untuk menolongi boesoe itu. Justeru itu Tjoa
HokTjiang menghampirkan ia untuk memberi hormat sambil menjura seraya berkata:
"Tiat Kongtjoe, pandai kau membawa dirimu, akan tetapi kali ini
barang-barang hadiah ini cuma mengandal kau seorang untuk melindunginya! Di
dalam rombongan begal itu mesti ada orang-orang yang liehay lainnya, dari itu
aku mohon sukalah kau melindungi, nanti aku si orang tua pergi melayani mereka
itu."
Ketika tadi Keng Sim menolongi
Kok Tjeng dengan menimpuk panah dengan butir-butir batu kecil, ia dapat
mengelabuhi semua orang lainnya tetapi tidak boesoe she Tjoa itu seorang.
Karena Hok Tjiang merasa pasti, Keng Sim ada jauh terlebih liehay daripada
mereka semua, ia menjadi sudah minta bantuannya itu.
Keng Sim melihat bahaya mengancam,
ia mengangguk. Ia merasa Tjoa Hok Tj iang cukup tangguh akan melayani musuh,
maka untuk mencegah ada penjahat yang membokong, ia terpaksa memikul tanggung
jawab atas keselamatannya semua bingkisan berharga itu.
Ketika itu toyanya Wie Kok
Tjeng sudah melengkung betul-betul, jiwanya si boesoe yang berkepala batu itu
sudah terancam bahaya maut, tetapi justeru si anak muda tertawa dan berkata
kepadanya: "Melihat kepada kebandalanmu ini, suka aku mengasih ampun. Nah,
kau pergilah!"
Selagi anak muda itu berkata,
dari rombongan boesoe maju dua orang dengan gerakan tubuh mereka gesit sekali.
Itulah Tjoa Hok Tjiang, yang dibarengi Bhok Lin si hertog muda. Putera Bhok
Kokkong ini penasaran untuk tingkah laku si berandal muda itu.
Di antara dua orang ini, Bhok
Lin adalah yang sampai terlebih dulu, maka berkelebatlah pedangnya, bagaimana
bianglala panjang, menyambar tenggorokan si berandal. Putera hertog ini belum
liehay tetapi tusukan pedangnya itu ada buah pengajarannya Thio Tan Hong, maka
itu. hebat penyerangannya itu.
"Traang!" demikian
satu suara nyaring. Sebab dengan mengangkat toya musuh yang bengkok itu, si
anak muda telah menangkis tikaman pedang. Dengan begitu juga, Wie Kok Tjeng
menjadi tertolong dari ancaman bahaya. Hanya celaka untuk ia, tanpa pegangan
toya lagi, tubuhnya menjadi limbung, sambil terhuyung ia memuntahkan darah
hidup. Meski begitu, ia tetap masih mencekal toyanya. Ia tahu Bhok Lin yang
menolongi padanya, ia lantas menjura kepada putera hertog itu seraya berkata.
"Siauwkongtia, terima kasih!"
Biarpun kalah, boesoe ini
tidak mendapat malu besar, sebab senjatanya tak terampas musuh, ia masih
memegangnya erat-erat.
Ketika itu Bhok Lin dan si
penjahat muda sudah bertempur hingga tiga jurus, dan pertempuran mereka masih
dilanjuti.
Tjoa Kok Tjiang tidak terus
maju untuk membantu si hertog muda. ia hanya mempepayang Wie Kok Tjeng, untuk
diajak balik ke dalam rombongan mereka. Ia kaget berbareng girang. Kaget sebab
ia tidak menyangka musuh liehay sekali. Ia girang karena ia tidak menduga putera
hertog itu, yang masih begitu muda nyata gagah perkasa. Demikian juga Tiat Keng
Sim. Tadinya ia melihatnya cuma dua anak sekolah yang lemah.
Tjoa Hok Tjiang menyaksikan
pertempuran itu.
Si berandal muda melayani
dengan sepasang tangan kosong. Benar Bhok Lin bersenjatakan pedang, setelah
beberapa jurus, ternyata ia tidak dapat berbuat banyak, Tjoa Hok Tjiang
mendapat kenyataan, meski hertog muda itu lebih gesit daripada dia ia masih
kurang latihan, kurang pengalaman. Karena ini, boesoe ini menjadi berkuatir.
Bagaimana kalau si hertog muda terlukakan penjahat? Maka terpaksa dia mengambil
putusannya Tapi, selagi dia hendak maju, Tiat Keng Sim menarik lengannya
Kalau Hok Tjiang berkuatir
Bhok Lin nanti terluka Keng Sim sendiri terbenam dalam kesangsian, hingga ia
menjadi heran dan curiga. Ia pun dapat melihat Bhok Lin tidak bisa berbuat
apa-apa terhadap musuh muda dan liehay itu, hertog muda ini kalah di dalam
segala hal. Tapi anehlah si anak muda. Di saat dia mendapat menahan pedang Bhok
Lin ---- yang mana terjadi beberapa kali ----bukannya dia terus membalas
menyerang, untuk menurunkan tangan jahat, hanya dia menyerang depan berdepan,
menurut cara yang biasa Di mata orang biasa, bisa disangka si anak muda takut
menghadapi pedang, di matanya Keng Sim adalah lain. Maka Keng Sim tidak
mengarti, kenapa orang agaknya menaruh belas kasihan kepada kawannya itu.
Bhok Lin sendiri tidak dapat
melihat musuh melayani ia secara separuh bermain-main itu, tetapi ia menginsafi
yang ia menemukan lawan yang tangguh, karena hatinya lantas saja memukul,
karena ia menjadi berkuatir. Tapi ia berkepala besar, di depan orang banyak
itu, tidak suka ia mengalah, maka ia berkelahi terus dengan sengit sekali. Ia
menggunai semua kepandaiannya ia mengarah segala bagian anggauta yang berbahaya
di tubuhnya si anak muda
Sembari berkelahi, si anak
muda bersenyum. Ia terus melayani dengan tenang tetapi gesit. Sekarang ia
berdaya untuk dapat merampas pedangnya si putera hertog.
Bhok Lin bertambah bingung,
serangannya menjadi terlebih cepat. Biar bagaimana ia berdaya, tetap ia tidak
berhasil menikam lawannya itu. Orang ada lincah sekali bagaikan naga tubuhnya
seperti berputaran di depannya. Saking bingung, ia menjadi mulai kacau
permainan pedangnya.
Sekarang hertog muda ini kena
didesak lawan, saking bingung, ia menjadi nekat, maka menyeranglah ia dengan
tipu silatnya, "Menarik gelang berantai." Ia mengarah dada lawannya
tanpa ia menghiraukan lagi pembelaan diri.
Tjoa Hok Tjiang kaget melihat
kenekatannya si hertog muda, lupa pada cegahannya Tiat Keng Sim, ia lompat
untuk memberikan bantuannya.
Si anak muda tapinya tertawa.
Ia bukannya membalas menyerang, ia hanya berkelit dari tikaman dahsyat. Dengan
gampang ia membebaskan dirinya dengan tipu silatnya, "Angin besar meniup
rontok bunga." Tiga kali ia berkelit, lalu mendadak ia merapatkan diri.
kedua tangannya bergerak berbareng, ke sikut lawan, ke arah gagang pedang.
"Lepas!" ia pun
berseru.
Hampir di saat itu juga,
pedang terlepas dari tangan Bhok Lin, pindah ke tangan lawannya, siapa kembali
tertawa. Tapi juga menyusul itu, pedangnya itu diangsurkan ke arahnya.
Bhok Lin kaget dan bingung,
saking tidak mengarti, la terdiri menjublak.
Tjoa Hok Tjiang, yang baru
tiba di dekat mereka, pun heran, hingga ia tercengang. Cuma sebentar saja. ia lantas
maju.
"Siauwkongtia. silahkan
balik," ia berkata. Sambil mengucap itu, ia berlompat maju kepada si anak
muda, tangan kanannya mengancam, mulutnya bersuara: "Tuan, kau liehay
sekali! Sukalah aku si orang tua menerima pengajaran dari kau!"
Pukulan itu ada pukulan
Siauwlim Sie, walaupun itu hanya ancaman belaka, si anak muda telah melihatnya,
maka itu sikapnya segera menjadi lain.
"Pantaslah, jahe makin
tua makin panas!" ia berkata. "Tjoa Soehoe, karena kau yang meminta,
baiklah, aku mengiringinya "
Sembari berkata, ia melesat ke
samping Bhok Lin, sebelum anak hertog ini tahu apa-apa, pedangnya sudah dikasih
masuk ke dalam sarungnya!
Melihat orang berlompat, Hok
Tjiang kaget. Itulah lompatan yang gesit luar biasa. Karena ini ia lantas
menyerang, maksudnya untuk menolongi Bhok Lin.
Si anak muda memutar tubuhnya,
untuk menghadapi boesoe itu. Ia membuka kedua tangannya, tangan kiri untuk
menangkis, tangan kanan untuk menghantam lengan si anak muda. Anak muda itu
sebaliknya berkelit, untuk terus membalas menotok ke nadi. Atas itu Hok Tjiang
menarik tangannya, lalu ia mengajukan dua-duanya, untuk kembali menyerang.
Siauwlim Koen, yaitu ilmu
silat Siauwlim, dipecah dalam enam bagian, yaitu kesatu Tjim Siauwlim, kedua
Teklouw Siauwlim, ketiga Boen Siauwlim, ke empat Yauwpou Siauwlim, ke lima Boe
Siauwlim, dan ke enam, Sinhoa Siauwlim. Di antara itu, yang pertama yang paling
tangguh, ialah Tjim Siauwlim, artinya "Serbuan Siauwlim." Ilmu ini
terdiri daripada tiga puluh tujuh jurus, dan jurus yang pertama yaitu
"Tjhiongthian pauw" atau "Terjangan meriam." Maka itu si
bandit muda tidak berani lawan keras dengan keras, ia berkelit seraya memutar
tubuhnya, sambil mendak juga. tempo ia berbalik, sebelah tangannya bagaikan
angin cepatnya membabat ke lutut lawannya. Itu dia yang dinamakan pukulan
Harimau Mendekam.
Tjoa Hok Tjiang melonjorkan
lutut kiri seraya menekuk lutut kanan, dengan begitu ia bebas dari babatan
lawannya, berbareng dengan itu, ia pun menyerang. Dengan cara ini. berkelit
sambil menyerang, ia bisa menghalau ancaman bahaya itu.
Ketika itu Bhok Lin telah
kembali ke damping Keng Sim. Ia lesu dan tunduk.
"Jangan kecil hati."
sang ipar menghibur. "Inilah pertempuranmu yang pertama kali, biarpun
kesudahannya begini rupa, ialah orang mengalah terhadapmu, lumayan
untukmu."
Bhok Lin heran dan bertambah
malu mendengar sang tjiehoe membilangnya bahwa orang mengalah terhadapnya.
"Sebenarnya ilmu silatmu
tidak buruk," kata pula sang tjiehoe tertawa. "Hanya tadinya kau cuma
berlatih sendirian, itu mirip orang bicara tentang taktik perang di atas
kertas, sekalinya orang berperang, segera ternyata banyak kekosongannya Satu
atau dua kali orang gagal, nanti setelah delapan atau sepuluh kali, orang akan
jadi berpengalaman. Jangan kau berduka. Nah, kau lihat itu Tjoa Soehoe, dia
bersilat dengan ilmu silat Siauwlim Koen yang umum, tetapi tenaganya mantap,
dia membuatnya Kimnatjioe dari si anak muda kewalahan."
Ketika itu Siauwlim Koen
tersiar luas. hampir tak ada orang yang tak mengetahuinya, cuma banyak orang
yang mengenal luarnya saja, baru belajar beberapa j urus, sudah banyak tingkah.
Tidak demikian dengan Tjoa Hok Tjiang. Dia benar telah memahamkan Siauwlim Koen
bagian Tjim Siauwlim itu, latihannya sudah sepuluh tahun lebih, ia mahir
sebenar¬benarnya.
Tiat Keng Sim juga pernah
meyakinkan Tjim Siauwlim itu, maka untuk menghibur terus pada Bhok Lin, sang
engkoe atau ipar, selagi Hok Tjiang bertempur terus, ia memecahkan artinya
beberapa jurus yang telah digunakan.
Bhok Lin memasang mata,
saban-saban ia menyaksikan tepatnya petunjuk tjiehoe-nya itu. ia jadi
menginsafi sarinya ilmu silat itu, bahwa ia sendirinya baru mengarti kulitnya,
belum isinya.
Keng Sim pun menonton dengan
perhatian, maka kemudian ia merasa, sebab kedua pihak berkelahi secara demikian
hati-hati, entah kapan akhirnya perkelahian mereka itu.
Itu waktu, sang matahari turun
terus tanpa memperhatikan mereka yang lagi bertarung, turunnya makin rendah,
hingga datanglah sang magrib. Perubahan sang waktu ini membuatnya semua boesoe
menjadi bingung. Kalau sang malam datang, bukankah keadaan mereka jadi semakin
berbahaya?
Juga Tjoa Hok Tjiang, dia
sendiri bergelisah. Ia menang di atas angin tetapi ia tidak sanggup lantas
merobohkan lawannya itu. Lawan muda itu, lama-lama ia bisa kalah ulat, ia nanti
keburu letih. Di sana pun masih ada banyak kawannya si begal, mereka itu telah
pada mengambil kedudukan mereka dan ada juga yang sudah menyiapkan anak panah,
tinggal dilepaskan saja.
"Tahan!" tiba-tiba
ia berseru seraya lompat keluar dari dalam gelanggang.
"Ada apa, Tjoa
Soehoe?" tanya si begal muda sembari tertawa, sikapnya sangat tenang.
"Kita ada orang-orang
terhormat, kita tidak usah omong dusta," berkata Hok Tjiang. "Tentang
tugas kami ini, tuan-tuan telah mengetahuinya dengan jelas. Juga aku si orang tua,
aku kiranya dapat membade maksud tuan-tuan."
Begal itu tertawa lebar.
"Karena kita kedua pihak
sudah sama-sama mengarti, maka baiklah kitajangan omong mutar-mutar lagi!"
katanya. "Kamu melindungi barang bingkisan untuk kaisar, kami hendak
merampasnya, untuk menyingkirkan pertempuran, silahkan bingkisan untuk kaisar
itu kamu serahkan pada kami. Untuk kami, sebegitu saja cukup!"
"Melihat kepandaian kau,
laotee, tidak dapat aku tidak mengasi muka kepadamu," kata Hok Tjiang,
yang menahan sabar, "cumalah dalam urusan ini, aku tidak dapat berkuasa
sendiri."
Pemuda itu tertawa.
"Bicara pergi pulaug.
kita toh mesti bertempur juga!" katanya.
"Jikalau tuan-tuan paksa
hendak merampasnya," kata Hok Tjiang, "kami sebagai orang-orang
kangouw sejati, tidak berani kami turun tangan, tetapi karena tuan-tuan
memaksa, mari kita mengambil suatu cara."
"Bagaimana itu?" si
begal muda tanya.
"Hari ini kita bertempur
di sini untuk suatu keputusan," berkata Hok Tjiang, "mari kita
bertempur satu sama satu. Dengan kesetujuan kedua pihak, kita menetapkan
beberapa giliran. Kalau apa untung kami yang menang, kami minta tuan-tuan
menaruh belas kasihan untuk membiarkan kami lewat di sini."
Si begal muda tertawa nyaring.
"Jikalau kamu yang kalah?" ia tegaskan.
Hok Tjiang tertawa
menyeringai. Katanya, "Jiwa kami sudah dipertanggungkan kepada bingkisan
yang kami lindungi ini, maka kalau kami yang kalah, terserah kepada keputusan
kamu!"
Tjoa Hok Tjiang telah memikir
dalam ketika ia mengajukan usulnya ini. Ia tidak menghendaki pertempuran kacau.
Kalau satu sama satu, ia harap ia memperoleh kemenangan dan Tiat Keng Sim pun
menang. Beberapa boesoe pun gagah, kalau satu sama satu, mungkin mereka tidak
sampai kalah.
Keng Sim memuji di dalam hati
kepada Tjoa Hok Tjiang, yang ternyata sangat sabar dan pandai memikir jauh.
Permintaan itu pantas sekali, cocok dengan kebiasaan kaum kangouw. permintaan
itu lazimnya tak dapat ditolak.
Memang, kalau mereka berkelahi
secara kacau, gampang saja bingkisan dibawa lari kawanan begal itu.
"Ha, begitu?" kata
si begal muda, tertawa. "Percuma kau menjelaskannya itu padaku. Sebenarnya
aku hanya satu kacung!"
Mendengar itu, Hok Tjiang
heran, hingga ia melengak. Pemuda itu demikian gagah tetapi dia menyebut
dirinya cuma seorang kacung. Siapa sangka bahwa di samping dia masih ada orang
lainnya?
Di antara rombongan berandal
terdengar seorang berseru: "Sang waktu sudah tidak siang lagi, kenapa
mesti banyak omong saja? Kalau orang bertempur satu sama satu, sampai kapan itu
habisnya? Pihak pembesar tentera banyak akal muslihatnya, jangan kamu kena
dipedayakan mereka!"
Penjahat yang berbicara itu
pun bergelisah sendirinya karena si anak muda tidak memperoleh kemenangan, ia
kuatir pihak sana tentu keburu datang bala bantuannya, dari itu ia pikir
baiklah mereka meluruk saja.
Mendengar itu, Tjoa Hok Tjiang
tertawa saja.
"Aku menyangka tuan-tuan
adalah orang-orang Rimba Hijau yang kenamaan, siapa sangka kamu sebenarnya
segala kurcaci!" katanya mengejek. "Baiklah, kalau kamu main keroyok,
aku pun tidak takut! Nah, kamu majulah sebagai tawon gerumutan!"
Kawanan berandal jadi gusar
sekali, mereka merasa dihinakan. Lantas mereka menghunus senjata mereka.
Pihak boesoe pun siap sedia
untuk menyambut serbuan.
Di saat sangat genting itu,
dari atas gunung terdengar teriakan: "Tjongtotjoe datang! Saudara-saudara,
sabar!"
Begitu mendengar teriakan itu,
semua berandal menghentikan tindakannya, sedang si begal muda lompat keluar
dari gelanggang, dengan mengasi turun kedua tangannya, ia berdiri di samping
untuk menyambut dengan hormat pada pemimpinnya itu. Pihak berandal lantas jadi
sunyi senyap.
Semua boesoe dan pengiringnya
berdiri diam, dengan mata dibuka lebar mereka memandang ke depan, untuk
mendapat ketahui siapa itu si kepala penjahat, yang nampaknya demikian dihormati.
Segera juga nampak kabur
mendatanginya tiga penunggang kuda, dua yang di depan sambil membawa sebuah
bendera besar, di bendera mana ada dilukiskan seekor harimau loreng yang bengis
romannya. Bendera itu berkibar-kibar dengan angkatnya.
Melihat bendera itu. hati Keng
Sim bercekat. Mendadak ia ingat kepada ceritera tentang "Sin Liong Giok
Houw," artinya "Naga Sakti dan Harimau Kumala." Ia lantas
menduga kepada Giok Houw, si Harimau Kumala.
Penunggang kuda yang di tengah
itu segera sampai bersama dua pelopornya itu. si pembawa bendera. Begitu
melihat dia. semua boesoe menjadi heran. Mereka menyangka kepala berandal
mestinya bertubuh tinggi besar dan keren romannya. Tidak tahunya, dialah
seorang muda belia, umurnya belum lebih daripada dua puluh tahun, romannya
seperti kekanak-kanakan, cuma dia benar tampan.
Begitu sampai kepala berandal
itu, yang dipanggil tjongtotjoe. atau pemimpin besar, lantas mengangkat tinggi
tangannya dan diulapkan.
"Aku datang
terlambat!" katanya nyaring. "Tjioe Djieko, apakah kamu sudah
berhasil? Semua itu bingkisan dari propinsi-propinsi mana?"
Melihat si pemimpin, Bhok Lin
tercengang, hingga ia berseru, "Oh!" Tadinya ia hendak membuka mulut
lebih jauh, atau mendadak Keng Sim menotok urat gagunya hingga suaranya
berhenti tertahan.
Siapakah si pemimpin berandal
yang muda itu? Dialah orang yang dikenal Bhok Lin dan Keng Sim. maka juga si
hertog muda kaget. Baiknya Keng Sim sabar, ia dapat mengambil sikapnya yang
tenang, ia mencegah kongtia muda itu membuka mulutnya.
Penunggang kuda yang muda itu,
yang baru tiba. adalah Siauw Houw Tjoe. Dialah putera dari bekas Gielimkoen
Tongnia Thio Hong Hoe.
Karena Thio Hong Hoe tidak
sudi membantu Kaisar Kie Tin. yaitu Kaisar EngTjong. ia telah dibinasakan
secara kecewa dan kejam. Mulanya Siauw Houw Tjoe berguru kepada Hek Moko dan
Pek Moko, kedua orang India yang berilmu silat tinggi, yang umumnya dikenal
sebagai Hek Pek Moko, baru kemudian ia menjadi muridnya Thio Tan Hong. Pada
tujuh atau delapan tahun yang lalu. Bhok Lin melihat Siauw Houw Tjoe di gunung
Tjhongsan di Tali, di saat mereka bertemu sama guru mereka. Ketika itu Siauw
Houw Tjoe baru berumur tiga atau empat belas tahun, usianya itu berimbang sama
usia ini putera Bhok Kokkong. Sebenarnya Bhok Lin berusia dua tahun terlebih tua,
akan tetapi menurut peraturan rumah perguruan silat, ia masuk runtunan lebih
muda, maka ia mesti memanggil siauwsoeko. yaitu kakak seperguruan yang kecil.
Sama-sama mereka berdua bergaul, main-main. mereka akrab sekali satu dengan
lain. Semenjak mereka berpisahan, Bhok Lin sangat mengharap-harap soeko cilik
itu, siapa sangka di sini, dalam cara luar biasa ini. mereka dapat bertemu satu
dengan lain, tidak heran ia menjadi heran dan lantas berseru memanggil. Tapi
Keng Sim berpikir lain, dia lantas mencegah dengan totokannya itu pada urat
gagu. Totokan ini tak diketahui yang lainnya, sebab perhatian orang lagi
ditujukan kepada si kepala berandal yang muda dan tampan itu. Bhok Lin
sebaliknya mendongkol, tapi selagi ia bergusar, Keng Sim membisiki kupingnya: "Adik
Lin. ingat kedudukanmu! Kaulah hertog muda dan pula tengah mengantar bingkisan
ke kota raja, sebaliknya di sana, Siauw Houw Tjoe kepala berandal yang hendak
merampas bingkisan ini! Mana dapat kamu saling memperkenalkan diri? Jikalau hal
ini diketahui umum, ayahmu bisa celaka!"
Hertog muda ini dapat dikasih
mengarti, ia mengangguk, lenyaplah kegusarannya.
Sampai di situ. Keng Sim
menotok bebas urat gagu iparnya itu. Karena ia masih berkuatir, ia memesan
pula: "Kelihatannya Siauw Houw Tjoe masih memandang kepada kau, maka kalau
sebentar kita bertempur, aku nanti maju merintangi dia, kau sendiri menyingkir
dengan barang bingkisan kita."
Sementara itu si berandal muda
sudah cecatur kepada pemimpinnya.
"Inilah bingkisan ketiga
propinsi Kwietang, Kwiesav dan Inlam." katanya. Dan itu Toasoehoe
menantang buat bertempur menurut aturan kaum kangouw. yaitu bertempur satu demi
satu. Bagaimana pendapat tjongtotjoe?"
Si pemimpin muda tertawa
terbahak.
"Ah. mengapakah begitu
rumit?" katanya, lantang. "Baiklah setiap propinsi mengajukan satu
wakilnya, dia boleh menempur aku, siapa dapat menyambut seranganku sepuluh
jurus, aku akan lepaskan dia lewat di sini!"
Di waktu ia berusia muda, Tjoa
Hok Tjiang beradat keras, setelah sekarang sudah tua, ia sabar sekali, tidak
gampang ia dibangkitkan hawa amarahnya, akan tetapi mendengar suara jumawa si
anak muda, ia jadi berpikir: "Kau begini muda, berapa tinggi kepandaianmu?
Walaupun kau banyak lipat lebih tangguh dari si berandal tadi, mungkinkah kau
dapat merobohkan aku dalam sepuluh jurus?" Ia tetap berlaku tenang, ia
merangkap kedua tangannya. Katanya, "Benarlah, gelombang yang di belakang
mendampar gelombang yang di depan, orang gagah itu asalnya anak muda, aku
sendiri sudah tua tidak berdaya, tetapi biarlah, dengan mengadu tulang-tulangku
yang sudah tua ini, aku menyambut sepuluh jurusmu!"
Kata-kata itu halus tetapi
sebenarnya menunjuki ketekadan, kepercayaan atas diri sendiri. Siauw Houw Tjoe
ketahui itu. tetapi ia pun pikir dalam hatinya, "Mustahilkah kau dapat melayani
aku sampai sepuluh jurus?"
Segera juga Tjoa Hok Tjiang
memperlihatkan sikap siap sedianya. Lebih dulu ia angkat tangan kirinya, lima
jarinya separuh dikepal, lama jari itu dimadapi ke atas. Inilah tanda
menghormat. Menyusul itu ia mengepal tangan kanannya, diangkat dengan sikap
"tangan mempersilahkan." tanda pembukaan dari ilmu silat Siauwlim
Pay, sembari berbuat mana, mulutnya mengucap, "Silahkan!"
Di dalam Siauwlim Pay, gerakan
tangan kiri itu dinamakan "siantjioe." atau "tangan baik."
dan tangan kanan itu "oktjioe," atau "tangan jahat." Hok
Tjiang berlaku hormat begini, di satu pihak ia menghormati lawan, di lain pihak
ia mau menunjuki ialah orang dari tingkat lebih tua. dari itu ia mengundang
pihak lawan, ialah Siauw Houw Tjoe, turun tangan terlebih dulu.
Siauw Houw Tjoe bersenyum.
"Maaf!" katanya
seraya kedua tangannya diadu bagaikan orang bertepuk tangan. Perlahan
gerakannya itu, agaknya acuh tak acuh, akan tetapi menyusuli tepukan itu,
mendadak tangan yang satu meluncur ke depan, anginnya mendesir, jari tangannya
menyambar ke muka atau ke dada ke arah jalan darah soankiehiat. Sudah gerakan
ini aneh. itu terus dibarengi sama gerakan tangan kiri, yang menuju ke rusuk di
mana ada jalan darah kieboen hiat.
Tjoa Hok Tjiang tangguh dan
berpengalaman. menyaksikan serangan lawan itu. ia bingung juga, tak dapat ia
menduga, lawan sebenarnya hendak menyerang ia di jurus yang mana
Sebetulnya Siauw Houw Tjoe
telah mempergunakan ilmu pedang "Pekpian Hian Kie Kiamhoat," ialah
ilmu pedang Hian Kie Itsoe. yang mempunyai seratus perubahan, hanya ini kali ia
tidak menggunai pedang, ia ubah itu menjadi ilmu silat, bertangan kosong, tanpa
senjata. Sudah tentu Hok Tjiang menjadi bingung karenanya. Syukur ia
berpengalaman, ia lantas melayani dengan ketenangan. Ia menekuk tangan kanan ke
dalam, tangan kiri ke luar, kakinya menindak dengan "Hankee pouhoat."
yaitu tindakan "Ayam kedinginan." lalu ia membebaskan diri dengan
tipu
"Pekhoo liangtjie"
--- "Burung ho mementang sayap." Itulah gerakan membebaskan diri sambil
membela diri juga, sambil separuh menyerang.
"Bagus!" memuji
Siauw Houw Tjoe. yang sambil berseru sambil menyerang, atau "Plak! plak!
plak!" terdengar tiga kali suara tangan yang mengenai tubuh, tahu-tahu
ahli silat yang telah berusia tua itu kena disambar tiga kali beruntun.
Hok Tjiang kaget dan
mendongkol, sambil berseru keras, ia menyerang dengan "Tjiongkoen,"
ialah pukulan rangsakan yang dahsyat sekali.
Apa yang barusan terjadi itu
membuatnya semua boesoe terperanjat. Siapa sangka sekejap saja, Hok Tjiang kena
diserang, hingga boesoe ini jadi seperti kalap.
Siauw Houw Tjoe pun kagum.
Serangannya barusan mengenai
lawannya tetapi tidak secara yang membahayakan, karena serangan itu diperingan
oleh perlawanan. "Pekho liangtjie." Karena ini, ia berlaku waspada
dan gesit.
Tjoa Hok Tjiang sabar tetapi
sekarang ia tidak mau mengandali kesabarannya itu. Ia menginsafi musuhnya ini
muda tetapi liehay, dari itu daripada membela diri. pikirnya, ia lebih baik
mendesak. Demikian ia sudah merangsak hebat, hingga sebentar saja sudah lewat
tiga jurus.
Segera datangnya serangan
dahsyat dari Hok Tjiang, yang terus berkelahi dengan bengis.
Menurut kebiasaan, Siauw Houw
Tjoe mesti menyambuti, untuk keras melawan keras. Untuk berkelit, itulah sulit.
Hanya aneh Hok Tjiang merasakan, selagi ia menyerang itu, mendadak ada
berkelebat sesuatu di depan matanya, disusul sama desiran angin. Yang aneh,
yang berkelebat di depan, angin menyambar dari belakang, sebab sambil dengan
kesehatannya mendahului mengancam, si begal muda sudah melejit ke samping terus
belakang!
Keng Sim melihat gerakan begal
liehay itu, ia pun terkejut.
Kali ini Siauw How Tjoe telah
menggunai ilmu silat ajarannya In Loei, yaitu "Tjoanhoa kiauwsoe."
atau. "Menembusi bunga, menyiram pohon." Itulah ilmu kegesitan tubuh
yang luar biasa. Keng Sim ketahui ini ketika dulu, untuk pertama kali ia
bertemu dan bertempur sama Ie Sin Tjoe. si nona telah mempermainkan ia dengan
itu ilmu silat yang membuatnya kewalahan. Karena ini. ia pun menjadi ingat si
nona...
Bhok Lin menonton pertempuran
dengan mata terbuka lebar dan mulut menganga. Ia kagum bukan main menyaksikan
Siauw Houw Tjoe begitu gesit dan liehay, hampir-hampir ia memperdengarkan
seruan dari pujiannya, syukur Keng Sim keburu mencegahnya.
Selagi menonton terus, Keng
Sim dan Bhok Lin melihat sebelah tangan Tjoa Hok Tjiang melayang, akan tetapi
sebelum hertog muda itu melihat tegas, mendadak ia mendengar Hok Tjiang berseru
keras dengan tubuhnya terhuyung hingga tiga tindak.
Kali ini Siauw Houw Tjoe
menggunai tipu silat "Ittjie Siankang." atau "Tusukan Sebuah
Jari Tangan," yang ia memperolehnya dari Ouw Bong Hoe. Ia memapaki
serangan Hok Tjiang, ia menusuk telapakan tangan penyerangnya itu. Hok Tjiang
tidak menyangka, ia kalah sebat, telapakan tangannya itu kena tertusuk, maka
dia menjadi kesakitan dan kaget, hingga dia mesti mundur. Yang hebat sebelah
tangannya itu menjadi seperti mati, tidak dapat dia menggerakinya pula. Sedang
itu waktu barulah jurus yang ke lima.
Hok Tjiang penasaran sekali,
mukanya merah, romannya sangat gusar, setelah kakinya terpasang tetap, dia
mengawasi dengan bengis.
Siauw Houw Tjoe melenggak,
melihat langit, lalu ia tertawa lebar.
"Sebenarnya hari sudah
malam tetapi masih ada sisa lima jurus lagi." ia berkata, tenang-tenang saja.
"Karena kita sudah menggunai banyak tempo, baiklah, aku memberikan ketika
untuk kau beristirahat dulu, sebentar kita mulai pula. Apakah kau sudi aku
menguruti tanganmu."
Hok Tjiang melengak. Ia
mendongkol kepada lawan muda ini tetapi ia toh mengagumi untuk hati besarnya
dia itu, untuk sifat laki-lakinya.
"Tidak, tidak berani aku
membuatnya kau capai," katanya menyeringai. "Asal kau dapat menyambut
lima seranganku. maka ini bingkisan dari propinsi Kwietang bolehlah kau bawa
pergi!"
"Aku kuatir kau nanti tak
usah menggunai lima jurusmu itu," berkata Siauw Houw Tjoe, menyahuti.
Hok Tjiang tidak menjawab, ia
hanya mengerahkan tenaganya sambil mengusut-usut tangannya yang kaku itu, ia
meluruskan jalan darahnya. Selagi berbuat begitu, dengan mendadak ia menyerang
kepada si anak muda, dengan jurus yang dinamakan Kepalan Meriam Kiri. Itulah
serangan dengan sepenuhnya tenaga, dengan tangan kiri yang tidak terluka,
serangan itu dibarengi desirannya angin keras.
"Luar biasa!" Siauw
Houw Tjoe mengasi dengar pujiannya. Ia bukannya mundur, ia bukannya berkelit
juga, hanya ia mengangsurkan kepalannya, menyambut kepalan lawan itu, maka
kepalan lawan kepalan: "Duk!"
Itulah namanya adu tenaga,
bukan mengadu tipu daya maka siapa yang terlebih kuat dialah yang seharusnya
menang.
Hok Tjiang kaget bukan main.
Ia merasakan sakit pada kepalannya itu, sebab ia seperti bukan memukul tangan
lawan hanya menghajar besi yang berupa martil, sakitnya tidak cuma di lima
jeriji tangan tetapi meresap ke ulu hati, sedang tangannya itu sendiri lantas
mengeluarkan darah. Akan tetapi ia menahan sakit, tanpa menanti lagi, ia
menyerang pula, dengan tangan kanannya yang kaku tadi. Untuk ini ia sampai
mengertak giginya. Ia telah menggunai jurus "Lianhoan twie," atau
"Martil berantai."
Siauw Houw Tjoe seperti juga
tidak menyangka-nyangka bakal diteruskan dihajar secara demikian rupa, dadanya
kena terhajar "Buk!" dan mulutnya mengeluarkan suara tertahan. Sebab
telak sekali serangan itu mengenai sasarannya.
Bhok Lin tadi melihat tegas
sambutan Siauw Houw Tjoe kepada serangannya Tjoa Hok Tjiang, ia kenali namanya
jurus sambutan itu. ialah "Liongkoen" atau "Kepalan Naga"
dari ilmu silat "Loohan Ngoheng Sinkoen" atau Koentauw Arhat. Ilmu
silat itu si anak muda memperolehnya dari Hek Pek Moko, dan selama mereka
berdiam di Tjhongsan, Siauw Houw Tjoe pernah mengajarinya padanya. Maka itu.
bukannya cuma kaget untuk Hok Tjiang, ia pun diam-diam memuji siauwsoeko-nya
itu.
Tidak demikian dengan Tiat
Keng Sim "Celaka Tjoa Hok Tjiang!" keluhnya kaget.
Semua boesoe bersorak. Nyata
sekali mereka melihat telaknya serangan Hok Tjiang, jago mereka itu. Tapi hanya
sejenak, lantas mereka berdiri diam, mata mereka melongo, mulut mereka terbuka.
Sunyi mereka semua
Apakah yang telah terjadi?
Tjoa Hok Tjiang memukul telak
ke dada Siauw Houw Tjoe, hanya aneh, kepalannya itu lantas seperti tak dapat
ditarik pulang, tubuhnya pun terjerunuk ke depan, sebagai kena terbetot, maka
itu leluasa saja kepalan Siauw Houw Tjoe melayang ke pinggangnya hingga segera
dia roboh berlutut.
Beda daripada tadi-tadinya,
sekarang Siauw Houw Tjoe menggunai ilmu yoga dari India, ia membuatnya
tubuhnya, yaitu kulit dan dagingnya ngelepot ke dalam dan jadi licin, maski
kena dihajar, kenanya tidak berbahaya. Bahkan dengan itu ia memancing lawan
hingga tubuhnya maju ke depan, supaya merdeka ia membalas menyerang.
Demikian di jurus ke delapan,
robohlah boesoe yang tangguh itu.
Siauw Houw Tjoe memandang ke
arah pihak lawan.
"Siapa lagi yang hendak
melawan aku sepuluh jurus?" ia menantang.
Keng Sim menghunus pedangnya
ia maju. Tapi justeru itu, ia dibarengi Wie Kok Tjeng. Boesoe ini menjerit
sambil berlompat maju mengajak kawan-kawannya maksudnya untuk menerjang keluar.
Kawanan boesoe itu menginsafi
tanggung jawab besar dari mereka di balik itu, merekajeri terhadap musuh ini
yang tangguh. Bukankah Tjoa Hok Tjiang yang liehay itu roboh secara gampang?
Maka itu mereka pun menyangsikan kesanggupannya Tiat Keng Sim si anak sekolah.
Atau taruh kata Keng Sim dapat bertahan, dia pasti cuma bisa melindungi
bingkisannya sendiri, bingkisan lainnya tak nanti terjamin olehnya. Maka
serentak mereka berpikiran, selagi Keng Sim bertempur, mereka mau nerobos
keluar, membawa kabur bingkisan mereka..
Wie Kok Tjeng maju di depan,
panahnya dikasih bekerja. Dua begal sudah lantas kena dirobohkan.
Siauw Houw Tjoe melihat
aksinya kawanan boesoe itu, ia berlaku tenang. Ketika Kok Tjeng memanah pula ia
mengayun tangannya menerbangkan sebatang golok terbang, maka di lain saat.
biang panah si boesoe lantas saja terpapas kutung.
Menampak kesudahan itu. Siauw
Houw Tjoe berkata sambil tertawa. "Tjioe Djieko, kau bereskanlah ini
kawanan ikan yang mau molos dari dalam jaring! Jaga baik-baik supaya kau tidak
mencelakai jiwa orang..." Kemudian ia memutar tubuhnya, akan menghadapi
Tiat Keng Sim.
"Kau ini dari propinsi
mana?" ia menanya. "Nyalimu bukan kecil eh?"
Sengaja Siauw Houw Tjoe
menanya demikian dan Keng Sim yang cerdik mengetahui itu. Inilah semacam
sandiwara agar orang tidak ketahui yang mereka kenal baik satu dengan lain,
agar di belakang hari tak usahlah Keng Sim dan Bhok Lin menjadi menampak
kesulitan.
Keng Sim berterima kasih
tetapi di dalam hatinya ia berkata: "Dengan kepandaianku ini, aku tidak
percaya yang aku bakal kalah denganmu! Apa perlunya aku menerima budimu?"
Karena ini, ia lantas mengulapkan pedangnya.
"Totjoe, silahkan kau
menghunus senjatamu!" katanya nyaring. "Aku Tiat Keng Sim, ingin aku
belajar kenal denganmu, tak usah dibataskan sampai sepuluh jurus, asal kau
dapat mengalahkan aku maka bingkisan dari lnlam ini akan akupeserahkan dengan
kedua belah tanganku!"
Siauw Houw Tjoe tertawa dengan
di dalam hatinya ia kata: "Pantas kakak seperguruanku tidak menyenangi
dia, kiranya setelah berselang beberapa tahun, dia tetap jumawa, sedikit juga
tak ada perubahannya." Maka dengan kedua mata memandang langit, ia
menyahuti dengan tawar: "Hari sudah sore. tak usahlah kita mengubah batas
sepuluh jurus tadi! Kau boleh menggunai pedangmu, aku tetap dengan sepasang
tangan kosongku!"
Keng Sim heran berbareng
mendongkol. Ia tidak menyangka yang Siauw Houw Tjoe lebih temberang daripadanya
sendiri. Karenanya, ia menjadi tertawa sendirinya.
"Kau memberi batas
sepuluh jurus, ingat, itulah bukan keinginanku!" ia kata. Lantas ia
menyerang, dengan jurusnya "Naga sakti masuk ke laut," atau
"Sinliongdjiphay." Serangan ini berantai tiga kali, ialah setelah
yang pertama gagal, menyusul yang kedua, lalu yang ketiga. Sembari menyerang,
ia kata di dalam hatinya: "Sebenarnya aku menyayangi kau bagaimana
sukarnya kau belajar silat, tetapi anak bau, di depanku kau banyak
tingkah!" Maka hebatlah serangannya itu.
Keng Sim menganggap ia sudah
bergerak dengan sebat sekali, di luar terkaannya, ia masih kalah sebat. Dengan
gesit sekali Siauw Houw Tjoe berkelit, menghalau diri dari ancaman bahaya itu,
setelah mana, ia menunjuki kelincahannya terlebih jauh. untuk mencoba menyerang
sambil mendesak. Setelah memecahkan tikaman-tikaman pedang, ia berbal ik
merangsak. Lincah sekali ia bergerak ke empat penjuru.
Segera Keng Sim heran dan
kaget, hingga ia terkesiap. Inilah ia tidak pernah menduga. Terpaksa ia
perlihatkan ilmu silat pedangnya, Keng To Kiamhoat, hingga pedangnya
bergemirlapan di depannya bagaikan bianglala perak. Ia hendak membataskan
desakannya Siauw Houw Tjoe. Gerakannya ini adalah perubahan dari jurusnya tadi,
"Sinliong djiphay," namanya yaitu "Poyong Kimsan" atau
"Gelombang merendam kuil Kimsan Sie."
Dalam ilmu silat pedang, Tiat
Keng Sim telah mewariskan KengTo Kiamhoat, yaitu ilmu silatnya Tjio Keng To,
gurunya, maka itu ia membuatnya pedangnya itu bagaikan gelombang pedang.
"Bagus!" memuji
Siauw Houw Tjoe. Ia dirangsak tetapi ia tidak membiarkan dirinya kena terdesak.
Untuk membuat perlawanan, ia keluarkan ilmu kelincahannya. "Tjoanhoa
djiauwsie," atau "Menembusi bunga, melibat pohon." Begitu lekas
ia dapat membebaskan diri dari serbuan gelombang pedang itu, ia membalas dengan
totokan Ittjiesian, mengarah lengannya lawan.
Keng Sim tidak mengenal ilmu
totok Ittjie Siankang itu, akau tetapi ia selalu waspada, maka itu ketika ia
ketahui ia ditotok. ia tertawa dingin, pedangnya dipakai menahas jeriji tangan
orang. Hebat serangannya ini hingga Siauw Houw Tjoe mesti lekas-lekas menarik
pulang tangannya itu. Ia menjadi girang sekali, sebab ia telah berhasil. Adalah
di luar sangkaannya, bahwa dengan tabasannya ini di lain pihak ia telah membuat
lowongan tanpa disengaja.
Siauw Houw Tjoe melihat nyata
bagaimana ia ditabas, maka ia mengelit tangannya dengan cepat, begitu lekas
tabasan lewat, ia maju, merangsak dengan serangan membalasnya, sebelum lawan
keburu membalik atau menarik pedangnya itu. Dan ini dilakukan dengan gencar,
satu tinjuan dengan satu tinjuan. untuk membuat lawannya itu repot.
Benar-benar Keng Sim kena
dibikin, hingga dia kewalahan membela diri.
Siauw Houw Tjoe menyerang bertubi-tubi
bukan dengan tinjunya yang serupa, hanya pelbagai macam, pelbagai cara. Kecuali
langsung dari gurunya, dari beberapa sahabat gurunya pun ia telah memperoleh
pelbagai petunjuk yang berharga. Memang benar, selama tujuh tahun tidak pernah
Keng Sim mengabaikan ilmu silatnya tetapi pun benar bagi Houw Tjoe, yang juga
telah memperoleh kemajuan pesat. Maka kemajuannya bocah ini, oleh Keng Sim
diimpikan pun tidak. Segera dia merasa. Siauw Houw Tjoe sekarang beda jauh
dengan Siauw Houw Tjoe yang bengal dan nakal tujuh tahun yang lampau, pula beda
daripada Sin Tjoe.
Dengan beruntun Siauw Houw
Tjoe mcnggunai serangan-serangan dari Liongkoen. Hokoen. Tjoakoen. Pekpian Hian
Kie Tjianghoat. Ittjie Siankang. Taylek Kimkong Tjiang dan yoga, ia membuatnya
Keng Sim mundur terus, setelah mana sambil berseru, ia mengirim serangannya
yang terakhir, yang memutuskan, tubuhnya bergerak begitu cepat hingga mata Keng
Sim berkunang, baru ia angkat pedangnya, untuk menutup diri. atau ia merasakan
lengannya sakit sekali bagaikan dibacok. Adalah di itu waktu, sambil tertawa
nyaring. Siauw Houw Tjoe telah dapat merampas pedang orang, pedang Tjiehong
kiam!
Heran dan kaget, Keng Sim
berdiri menjublak.
Siauw Houw Tjoe mengawasi
lawannya itu, lantas ia berkata, "Aku membilang satu, satu, aku mengatakan
dua, dua, tidak hendak aku memperdaya kau!"
"Pergilah kau ambil
bingkisan itu. tak guna kau banyak omong!" kata Keng Sim setelah sadar. Ia
malu dan putus asa, ia pun mendongkol. Ia pikir, "Aku menyangka dia masih
ingat persahabatan sama adik Lin. siapa tahu setelah menjadi kepala berandal,
dia tidak sungkan-sungkan lagi!"
Siauw Houw Tjoe menggeleng
kepala. Ia membalik pedang rampasanny a, gagangnya ia angsurkan kepada lawannya
itu.
"Tidak!" katanya
tertawa. "Mana dapat aku mengambil bingkisanmu itu? Kau tahu. kau telah
dapat melawan aku hingga sebelas jurus!"
Keng Sim tidak ingat lagi
pertempuran telah berjalan berapa banyak jurus. Ia terdesak hebat hingga ia
merasa kepalanya pusing dan matanya kabur. Setelah mendengar perkataan orang,
baru ia ingat janjinya Siauw Houw Tjoe itu serta perkataannya sendiri, la
sendiri tidak menghendaki batas sepuluh jurus. Ia malu tetapi ia menyambuti
pedangnya itu, lalu tanpa membilang suatu apa, ia memutar tubuh untuk
mengangkat kaki.
Ketika itu pertempuran kacau
sudah sampai di akhirnya, pihak boesoe telah dikalahkan. Keng Sim pun tidak
melihat Bhok Lin, maka tanpa pikir lagi, ia lari keluar dari lembah.
"Tjiehoe. mari!"
tiba-tiba ia mendengar panggilannya Bhok Lin. "Syukur, Tjiehoe. bingkisan
kita tidak lenyap!"
Keng Sim berpaling. Ia melihat
Bhok Lin, iparnya itu. di tepi jalan, tangannya mengangkat bingkisan yang
mereka lindungi. Sambil berlari-lari, dia itu menghampirkan Tjiehoe-nya.
"Sungguh berbahaya
tadi!" katanya pula ipar ini sambil tertawa. "Aku telah nerobos di
antara orang-orang jahat itu. hampir aku kena dibacok hingga dua kali. Syukur
tidak kena!..."
"Sebenarnya kawanan itu
memandang kepada kepalanya." kata Keng Sim, yang dapat menduga.
"Apakah kau kira kau benar mempunyai kepandaian menerobos kepungan mereka
itu?" Bhok Lin tertawa pula. "Sama-sama tahu saja!" katanya.
"Siauw Houw Tjoe pun berbuat baik terhadapmu! Kalau tidak, kau pun mana
bisa nerobos keluar hingga kau tiba di sini?"
Keng Sim jengah. Ia malu akan
memberitahukan iparnya ini duduknya hal yang sebenar-benarnya.
"Sudahlah!" kata
Bhok Lin. lagi-lagi tertawa, "kita jangan perdulikan dia berbuat baik atau
tidak, sekarang kita sudah lolos dari bahaya. Sayangnya untukku, aku tidak
mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan Siauw Houw Tjoe!"
Belum lagi berhenti suaranya
Hertog muda ini atau di sana terdengar suara nyaring dari kelenengan kuda,
ketika ia menoleh, ia melihat seekor kuda lagi dikasih lari larat ke arahnya.
"Ah, Siauw Houw Tjoe!" serunya. Siauw Houw Tjoe. si penunggang kuda,
tiba dengan segera, la tertawa berkakak, tubuhnya mencelat jumpalitan dari atas
kudanya, tiba di depan Hertog muda itu. Nampak nyata kebinalannya seperti dulu
hari. Dia lantas memeluk erat-erat.
"Aku kira," katanya,
tertawa.
"Setelah menjadi Hertog
muda, kau tidak memperdulikan pula padaku!"
"Ah. Siauw Houw
Tjoe!" Bhok Lin pun berkata. "Sungguh kau kosen sekali tadi! Aku
mengira, sesudah menjadi tjongtotjoc. kau tidak kenal aku lagi! Haha, syukur
kau masih mengenal persahabatan!"
Keduanya tertawa bergelak.
Keng Sim berdiri menjublak di
pinggiran, ia serba salah, menanya salah, tidak menanya salah. Orang pun
seperti melupakan padanya. Tapi sedangnya ia likat itu. Siauw Houw Tjoe
berpaling padanya.
"Tiat Kongtjoe, maaf,
tadi aku telah berbuat salah terhadapmu!" katanya.
Keng Sim malu dan mendongkol,
mukanya menjadi merah.
"Di sana ada barang
bingkisan, pergilah kau ambil!" katanya, mengambul.
Siauw I Iouw Tjoe tertawa. Ia
tidak gusar.
"Apakah kau tidak hendak
memberi ketika padaku untuk pasang omong dengan Siauwkongtia yang menjadi
sahabatku?" tanyanya. "Laginya mana dapat aku menelan pula
perkataanku? Kau toh telah dikalahkan sesudah jurus yang ke sebelas! Tidak. aku
tidak menghendaki barang bingkisan, sebaliknya, hendak aku mengundang kamu naik
ke gunungku berdiam sedikitnya dua hari!"
Keng Sim berdiam. Kembali ia
malu. Mestikah ia menampik undangan itu? Atau pantaskah ia berkeras terus?
Bhok Lin segera datang sama
tengah. Dia bertepuk-tepuk tangan.
"Bagus! Bagus!"
katanya. Ia menerima baik undangan itu.
"Laginya," berkata
pula Siauw Houw Tjoe. "kedua boesoe kamu sudah ada di atas gunungku!
Tentunya tidak baik untuk kamu meninggalkan mereka, bukan? Tiat Kongtjoe,
jikalau kau masih hendak mempersalahkan aku, baiklah, di sini aku menghaturkan
maaf kepadamu!"
"T'iehoe." kata Bhok
Lin sebelum orang sempat membilang sesuatu, "kau telah dapat melayani
sampai sepuluh jurus, itulah bagus, kau telah menang banyak daripada Wie Kok
Tjeng dan Tjoa Hok Tjiang!"
Keng Sim dapat menggunai otaknya,
maka di akhirnya, ia tertawa.
"Memang untuk kalangan
Kangouw, menang atau kalah tak ada artinya." demikian katanya. "Kalau
aku menampik undanganmu ini, nanti orang mengatakan aku cupat
pandanganku!"
Siauw Houw Tjoe girang,
begitupun Bhok Lin. Tjongtotjoe itu lantas bersiul panjang dan nyaring, itulah
isyaratnya untuk orangnya membawa datang kuda tunggangan.
"Sungguh aku tidak
menyangka kaulah si perampas pelbagai barang bingkisan dari sembilan
propinsi!" kata pula Bhok Lin kemudian sambil tertaw a.
"Dengan bersendirian
saja, aku pun tidak sanggup melakukan itu!" Siauw Houw Tjoe mengaku. Dia
juga tertawa.
Ketika itu terlihat orang
datang dengan membawa kuda. Lekas-lekas Siauw Houw Tjoe berdiri berendeng sama
Bhok Lin, sembari berbuat begitu, ia kata dengan perlahan-lahan: "Siauw
Bhok, kau perhatikan! Di sini kau boleh panggil aku Siauw Houw Tjoe, tidak ada
halangannya, tetapi sebentar, setibanya di atas gunung, aku minta kau memanggil
aku dengan namaku saja. Aku bernama Thio Giok Houw!"
Bhok Lin tertawa. Bagus nama
kawan ini. Giok Houw berarti Harimau Kumala.
"Benar!" katanya.
"Kau sekarang ialah Tjongtotjoe! Baiklah, di depan orang banyak, aku tidak
akan panggil Siauw Houw Tjoe padamu!"
Siauw Houw Tjoe bersenyum.
Tidak lama dari itu, mereka mulai
mendaki gunung. Keng Sim mendapatkan perkemahan kawanan berandal ini buruk
sekali. Itu hanya belasan petak rumah yang terbuat dari atap, yang rupanya
dibangun secara darurat.
"Siauw... Siauw... eh.
engko Houw," berkata Bhok Lin, "rupanya cuma untuk merampas
barang-barang bingkisan maka kau telah membangun perkemahanmu ini?"
"Sedikitpun tidak
salah," Thio Giok Houw menyahuti. "Kali ini kau membuat perjalanan,
kau lantas mengarti tak sedikit segala sesuatu mengenai kaum Kangouw! Lewat
lagi dua hari, aku bakal meninggalkan tempat ini, aku mesti pergi merampas pula
barang bingkisan dari lain-lain propinsi."
Malam itu Siauw Houw Tjoe
menjamu Bhok Lin dan Keng Sim. I ladir di antara mereka si anak muda she Tjioe,
sebagai kawan.
Setelah menenggak beberapa cawan
arak. Siauw Houw Tjoe tertawa dan berkata: "Sebenarnya sayang sekali
barang bingkisan kamu dihaturkan kepada raja si iblis tua itu! Itu artinya
mengilas-ilas barang yang sangat berharga! Coba kami mengambil itu, faedahnya
bukan main besarnya! Bhok Lin, dapat kau memikir kefaedahannya itu?"
"Cobalah kau
menjelaskannya." meminta Bhok Lin.
Kembali Siauw Houw Tjoe
tertawa.
"Siauw Bhok, kau ingatkah
Yap Seng Lim Yap Toako?" ia tanya.
"Kenapa tidak? Kecuali
kau, dialah yang aku paling ingat! Ya. mana dia entjie Sin Tjoe? Apakah ia ada
bersama-sama Yap Toako?"
"Sabar." kata Giok
Houw. tersenyum, "nanti aku menjelaskannya."
Ia menuang pula araknya dan
mencegluk itu.
"Kami merampas pelbagai
barang bingkisan itu, sebagian untuk Yap Toako." katanya kemudian.
Mendengar itu, hati Keng Sim
bercekat. Ia lantas berkata di dalam hatinya: "Dahulu hari aku telah
menasihati Sin Tjoe supaya sekali-sekali jangan dia hidup dalam dunia Kangouw.
Buktinya Seng Lim itu, dia tetap tidak dapat mengubah cara hidupnya. Menurut
suaranya Siauw Houw Tjoe ini. terang Seng Lim telah menjadi kepala berandal!
Dengan begitu sayang adik Sin Tjoe, dialah sekuntum bunga segar ditancap di
antara najis..."
Bhok Lin sementara itu heran.
"Jadinya Yap Toako yang
menitahkan kau merampas barang-barang bingkisan?" ia tanya.
"Bukan. Dia bahkan tidak
tahu menahu!" sahut Siauw Houw Tjoe. "Siauw Bhok, jangan kau memotong
omenganku." Lalu dia meneruskan. "Dan sebagian lagi. itulah untuk
orang tua dari Tjioe Djieko ini." Ia menunjuk pada si pemuda she Tjioe.
"Kamu dengan saudara Tjioe ini baharu pernah bertemu, sebaliknya soehoe
dan soebo adalah sahabat keluarganya turun temurun. Tahukah kamu ia siapa?
Kakeknya adalah orang yang pernah menggemparkan wilayah asing dan Tionggoan
ialah Kimtoo Tjeetjoe Tjioe Kian! Dan ayahnya ialah kepala ikatan kaum Rimba
Hijau di wilayah Utara sekarang ini yakni Bengtjoe Tjioe San Bin! Dia bernama
Tjie Hiap, yang sekarang ini dikenal di dalam kalangan kangouw sebagai Kimtoo
Siauwhiap. Sayang hari ini kamu belum sempat melihat kepandaiaanya dalam ilmu
golok Kimtoo..."
"Sudahlah!" berkata
Tjioc Tjie Hiap tertawa. "Tjongtotjoe, jangan kau mengangkat-angkat
aku!" Kemudian ia berpaling kepada Keng Sim, akan menambahkan:
"Tentang Tiat Kongtjoe ini, telah lama aku mendengar namanya yang besar
yang menulikan kuping."
Keng Sim senang
diangkat-angkat itu, akan tetapi ia merendahkan diri.
"Itulah pujian yang tidak
berani aku terima," katanya. "Sebenarnya sudah lama aku mengundurkan
diri dari kalangan kangouw, maka aku tidak menyangka masih saja ada orang-orang
yang menyebut-nyebut namaku!"
Ia merendah tetapi ia masih
mengutarakan kebanggaannya
"Ketika aku pertama kali
bertemu sama Toako Yap Seng Lim," berkata Tjie Hiap, "kita telah
merundingkan tentang orang-orang gagah di zaman ini, dan yang pertama disebut
oleh Yap Toako itu ialah kau, kongtjoe, Yap Toako mengatakan bahwa kau pernah
membantunya dengan menempuh bahaya."
Ketika itu Keng Sim membantui
Seng Lim sebenarnya untuk Sin Tjoe, tetapi yang sekarang peristiwa itu ditimbuli,
hal itu membuat hatinya senang juga.
"Itulah urusan kecil,
tidak ada artinya!" katanya. "Aku tidak nyana urusan dari tujuh atau
delapan tahun yang lampau itu masih disebut mereka suami isteri."
Dari kata-katanya ini, nyata
Keng Sim tak bersikap memusuhkan terus pada Seng Lim.
Siauw Houw Tjoe menenggak pula
araknya, kemudian ia berkata lagi: "Sekarang ini bangsa Manchu tengah
membangun di timur laut, sedang bangsa Tartar belum lagi nampak kelemahannya.
Keadaan kita pun mempunyai sifatnya yang lain. Kakek dari Tjioe Djieko ini
telah lama menutup mata, usahanya itu dilanjuti oleh ayahnya. Sekarang Peehoe
Tjioe San Bin mempunyai kekuatan beberapa laksa serdadu, ia tidak berani
dipandang enteng oleh pemerintah, juga oleh bangsa Manchu dan bangsa Tartar
itu. Di timur laut, di barat daya di tempat seluas beberapa ribu lie. Tjioe
Peehoe malang melintang, ia membuatnya bangsa asing tidak berani pergi
menggembala ke selatan. Maka itu meskipun benar Tjioe Peehoe menentang
pemerintah, sebaliknya benar juga nyatanya ia membantu kaizar Beng melindungi
negara bantuan itu lebih berharga daripada pembelaannya tenteranya yang di
tempatkan di tapal batas."
"Kalau begitu,"
berkata Bhok Lin, "sudah sepantasnya kalau pemerintah mengangkat Tjioe
Peehoe menjadi pangeran!"
"Aha, siauwkongtia
kami!" tertawa Siauw Houw Tjoe alias Thio Giok Houw, "sayang Tjioe
Djieko tidak berejeki besar seperti kau, sebab ayahnya itu bukan saja tidak
menerima anugerah bahkan dia sering-sering diserang tentera pemerintah. Sudah
begitu, ada lagi hal yang menyedihkan. Sekarang ini di perbatasan tanah belukar
adanya, rangsum sulit dikumpulkannya maka juga sering kejadian tenteranya Tjioe
Peehoe berperang dengan perut mereka kosong!"
Bhok Lin mementang lebar
matanya. Dalam soal begini, ia tak tahu banyak.
"Oleh karena itu
orang-orang gagah telah berhimpun," berkata Thio Giok Houw terlebih jauh.
"mereka itu telah merundingkan soal memberi bantuan kepada Tjioe Peehoe.
Mengenai itu akulah yang mengajukan usul untuk merampas saja barang-barang bingkisan
dari pelbagai propinsi. Bukankah raja naik di tahta dan pelbagai propinsi akan
menghadiahkan sesuatu kepadanya? Maka inilah ketika kita yang paling baik. Kita
telah mendapat kesetujuan, separuh dari hasil rampasan itu bakal diserahkan
kepada Tjioe Peehoe itu dan yang separuhnya lagi untuk Toako Yap Seng Lim.
Sebab paman dari Yap Toako, ialah Siokhoe Yap Ijong Lioe, seperti Tjioe Peehoe,
sedang berkumpul di ketiga belas kepulauan di Tanghay, di sana Yap Siokhoe
telah menghimpun orang-orang gagah serta nelayan-nelayan yang melarat di
sepanjang pesisir untuk menentang perompak-perompak bangsa kate. Benar perompak
kate itu pernah dilabrak pada sepuluh tahun yang lalu akan tetapi golongannya
kaum ronin besar jumlahnya mereka itu mengumpul diri menjadi perompak pula,
mereka bergerak kembali. Yap Toako adalah pembantu berharga dari Yap Siokhoe,
dia sering bekerja samaentjie Sin Tjoe, bekerja sama di pesisir."
Setelah memberikan
keterangannya itu, Giok Houw menenggak pula tiga cawan, terus ia memandang Bhok
Lin dan tertawa, menanya. "Nah, Siauw Bhok, kau bilanglah, pantas atau
tidak perampasan kami ini atas barang-barang bingkisan untuk raja itu?"
"Pantas! Pantas!"
sahut Hertog muda itu tanpa berpikir lagi.
Keng Sim kaget, ia bergelisah.
Ia melirik tajam pada iparnya itu. Di lain pihak, tidak berani ia mengawasi
Siauw Houw Tjoe. Bukankah ia sendiri lagi bertugas mengantar bingkisan untuk
raja?
Thio Giok Houw mengarti
keadaan orang. Ia tertawa dan berkata: "Sebenarnya aku pun hendak merampas
barang bingkisan kamu, akan tetapi Yap Toako membilangi aku, mengingat yang
Tiat Kongtjoe pernah membantu meloloskan tentera rakyat dari bahaya, baiklah
kau jangan diganggu."
Mendengar ini, Keng Sim
berlega hati, hingga kembali kejumawaannya.
"Dia toh memandang
kepadaku!" pikirnya. Tapi ia tidak memikir terlebih jauh. walaupun adanya
pesan dari Seng Lim itu, jikalau dia bukan berada bersama Bhok Lin, tentulah
Siauw Houw Tjoe tidak ragu-ragu untuk merampasnya juga.
"Di dalam rapat itu juga
telah lantas diambil keputusan," berkata pula Thio Giok Houw, melanjuti,
"karena usul keluar dari aku, akulah yang diminta bekerja. Demikian untuk
pertama kali di dekat kota raja, di luar dugaan mereka itu. aku telah merampas
barang bingkisan dari sembilan propinsi. Berhubung dengan kejadian itu,
sekarang di sekitar beberapa ratus lie di kota raja itu telah di tempatkan
pasukan-pasukan tentera. Tentu saja, karena itu, kami pun tidak turun tangan
dengan menanti barang-barang sudah tiba di wilayah kota raja. Pelbagai propinsi
terpisah jauh dari kota raja, kalau ada bingkisan di kirim, tentu sekali
pengiriman itu tidak dapat diiring oleh pasukan besar, tentulah hanya dipilih
pelindung-pelindung yang kosen. Oleh karena sikap pemerintah itu, aku lantas
merubah rencanaku, ialah aku minta bantuan orang-orang gagah di pelbagai
tempat, untuk mereka memegat dan merampasnya di wilayah mereka masing-masing.
Siauw Bhok, hari ini aku mengundang kau ke gunungku ini, untukmu ada faedahnya
yang besar, kalau tidak, meskipun kau berhasil lewat di daerahku ini, tidak
nanti kau bebas dari wilayah lainnya."
Sembari berkata Siauw Houw
Tjoe mengeluarkan sehelai bendera kecil, ia terus menyerahkan itu pada si
Hertog muda.
"Kau bawalah benderaku
ini." katanya. "Bendera ini ada lebih menang daripada seratus boesoe
pengiring! Dengan aku tanggung, di tengah jalan tidak bakal ada orang yang
berani mengganggu bingkisanmu itu."
Keng Sim melihat bendera itu
di mana ada disulamkan gambar seekor harimau. Itulah benderanya Siauw Houw
Tjoe.
Bhok Lin menyambuti itu
bendera, lalu ia kasihkan pada Keng Sim.
"Tjiehoe," katanya,
"kaulah pengiring bingkisan kita, maka itu bendera ini baiklah kau yang
bawa."
Tapi Keng Sim tidak senang, ia
bahkan mendongkol.
"Siauw Houw Tjoe ini
machluk apa?" katanya dalam hatinya. "Kenapa aku mesti berlindung di
bawah pengaruhnya?" Tapi cuma sejenak ia berpikir demikian, atau segera ia
ingat: "Asal aku sampai dengan selamat di kota raja, apakah artinya urusan
sekecil ini?" Maka ia menyambuti bendera itu.
"Ada beberapa nona-nona
kecil, adakah mereka itu sebawahanmu?" kemudian Bhok Lin menanya. Ia ingat
nona-nona pengirim surat memakai pisau. "Kenapa sekarang aku tidak melihat
mereka itu?"
Semenjak mulai mendaki gunung,
Bhok Lin sudah ingat halnya nona-nona itu dan hendak ia menanyakannya, barang
sekarang datang ketikanya.
Ditanya begitu, Siauw Houw
Tjoe melengak.
"Nona-nona macam apakah
itu?" ia menanya.
Bhok Lin memberi keterangan
halnya semasa di Koenbeng ia menerima surat budek yang ditancapkan pisau belati
di waktu malam serta perampasan barang bingkisan propinsi Koeitjioe oleh
beberapa nona-nona.
Thio Giok Houw heran mendengar
keterangan itu akan tetapi pada paras mukanya ia tidak mengentarakan
keheranannya itu.
"Engko Houw,"
berkata pula Bhok Lin habis berceritera, "ilmu silatnya nona-nona itu
tidak dapat dicela, akan tetapi meski begitu, aku tidak mengarti kenapa kau
berlega hati membiarkan mereka menghadapi Poan Thian Lo? Jikalau bukannya
tjiehoe memberikan bantuannya, mungkin dua nona kecil yang datang paling dulu
bercelaka di bawah cambuk gergajinya Poan Thian Lo..."
"Oh begitu?" kata
Siauw Houw Tjoe tertawa, "Tiat Kongtjoe, kalau begitu aku mesti
menghaturkan terima kasih padamu walaupun aku tidak
kenal mereka itu." Bhok
Lin heran.
"Apa? Kau tidak kenal
mereka?" tanyanya. "Jadi mereka itu bukan sebawahanmu?"
"Aku telah minta
bantuannya orang-orang gagah di pelbagai tempat," sahut Thio Giok Houw
menjelaskan, "mereka itu dapat bekerja sendiri-sendiri, dari itu mungkin
nona-nona itu adalah anak-anak gadis mereka"
Siauw Houw Tjoe mengatakan
demikian meskipun ia tahu siapa-siapa yang ia mintakan bantuannya dan
mengetahui keadaan keluarga mereka tentang nona-nona itu ia tidak tahu sama
sekali, maka ia cuma dapat menduga, mereka mestinya dari suatu rombongan lain.
Hanya, rombongan siapakah itu? Kenapa rombongan itu bernyali demikian besar
berani merampas sendiri barang bingkisan? Bukankah untuk perampasan itu,
keputusannya telah diambil oleh suatu rapat umum dan pelaksanaannya diserahkan
kepadanya sendiri? Seharusnya, siapa hendak membantu, ia mesti ketahui, dan
siapa yang ia tak kenal dan hendak membantu juga, mesti mohon perkenan dulu
daripadanya. Maka itu dari mana munculnya itu beberapa nona-nona?
Tentu sekali Siauw Houw Tjoe
tidak dapat menampakkan segala apa pada Bhok Lin, oleh karena itu setelah
menahan Bhok Lin dua hari di atas gunungnya, ia antarkan sahabat itu bersama
Tiat Keng Sim turun gunung. Bersama mereka pun dibebaskan kedua boesoe yang
ditahan, bahkan mereka diberikan kuda tunggang yang baru.
Dengan adanya bendera kecil dari
Siauw Houw Tjoe itu, perjalanan dapat dilakukan dengan aman. Lima hari kemudian
mereka sudah tiba di wilayah gunung Boeie San, setelah nanti melintasi
Hoentjoeikwan di bukit itu, mereka akan sudah berada di perbatasan kedua
propinsi Kangsee dan Tjiatkang dan memasuki propinsi yang belakangan itu. Di
situlah terletak kampung halamannya Tiat Keng Sim. Sekian lama Keng Sim masgul
dan mendongkol karena ia dikalahkan Siauw Houw Tjoe, baru sekarang ia dapat
melegakan hati.
Boeie San adalah sebuah gunung
yang kenamaan dari Tiongkok. Di situ ada terdapat tiga puluh enam puncak serta
tujuh puluh dua karangnya yang curam, ada kalinya yang berliku-liku hingga
disebut "Boeie Kioekiok," atau Sembilan Tikungan, karena mana, gunung
itu ada kalinya, kali ada gunungnya Maka siapa keluar dari propinsi Hokkian, di
mana gunung Boeie San terletak, di mana adanya Hoentjoeikwan, yang merupakan
sebagai pintu kota di segala penjuru nampak pemandangan-pemandangan alam indah
permai. Ada sangat melegakan hari dan menyenangi untuk bertunggang kuda sambil
jalan perlahan-lahan di situ menikmati semua pemandangan itu. Maka tempat ini
tepat untuk orang sebagai Keng Sim. yang di samping ilmu silat paham juga ilmu
surat, hingga ia pun adalah seorang sasterawan. Boeie San tak terpisah jauh
dari kampung halamannya tetapi belum pernah ia datang ke gunung ini, maka ia
menjadi kagum sekali.
"Jikalau bukannya lagi
mengantar bingkisan, pasti aku akan berdiam beberapa hari di sini,"
katanya sambil tertawa. Senang ia dengan ini gunung terkenal, yang mengeluarkan
teh Tiongkok paling terkenal (bohea tea).
Bhok Lin pun gembira sekali.
Ia bertepuk tangan dan berkata: "Kita mempunyai benderanya Siauw Houw
Tjoe, kita aman di perjalanan, aku lihat tidak ada halangannya untuk berdiam di
sini barang dua hari."
Kedua boesoe pengantar
sebaliknya tidak setuju. Mereka menganggap tugas mengantar bingkisan ada tugas
berat, yang tidak boleh dialpakan.
"Kamu tidak gemar
pesiar," berkata Bhok Lin, "baiklah kamu berangkat lebih dulu
mengatur pondokan di Siangdjiauw, di sana kamu boleh menantikan kami. Umpama
kata kita bertemu sama orang jahat, kamu toh tidak dapat membantui
kami..."
Kedua boesoe itu menjadi
jengah sekali.
"Ya baiklah Djiewie pergi
dulu ke Siangdjiauw untuk beristirahat dua hari di sana," Keng Sim pun
berkata. "Kedua kuda kami pun Djiew ie bawa bersama. Tentang barang
bingkisan, biarlah kami yang membawanya. Kami ada membawa benderanya Siauw Houw
Tjoe, mungkin tak ada orang jahat yang merampasny a. Di kolong langit itu ada
berapakah Siauw Houw Tjoe?"
Mendengar suaranya Keng Sim
itu, kedua boesoe tersebut tidak berani membantah, maka itu dengan membawa kuda
Keng Sim dan Bhok Lin, mereka berangkat lebih dulu ke Siangdjiauw.
Setelah berada berduaan, Bhok
Lin dan Keng Sim masuk jauh ke pedalaman gunung. Di atas itu ada hawa salju,
puncak-puncak bagaikan ketutupan, maka tongkrongannya mirip dengan naga
melingkar atau harimau mendekam. Keindahan pun ditambah sama air mancur dan
kali yang berlugat legot.
Mereka melintasi tikungan
pertama (kiok kesatu) yang disebut Lhio Sian Giam, tikungan kedua Tiat Poan
Tjiang, lalu tikungan yang ketiga Siauw Tjhong Hong. Di sini ada sepotong
papan, yang menjulang ke atas. Menurut dongeng maka di jaman kerajaan Tjin di
sana ada seorang dewa yang bernama Boe Ie Koen yang selama hari raya
Tiongtjioe, pertengahan musim rontok, sudah mengadakan pesta di antara
dewa-dewa, habis berpesta diciptakan bianglala menjadi jembatan untuk masuk ke
guha makajadi adalah sisa peninggalan itu.
Mereka pun pergi ke tikungan
yang ke empat, Tay Tjhong Hong, di bawah mana ada Go Liong Tam atau muara Naga
Tidur. Di samping muara itu, di atas batu. ada ukir-ukiran empat huruf
"Lioe Hee Hoei Tjoei" dari Tjoe Hie, sasterawan jaman Song.
"Tjoe Hie sasterawan
tetapi ia mengenal baik keindahan alam," kata Keng Sim sambil tertawa pada
Bhok Lin. "Pernahkah kau baca syairnya yang memuji keindahan Boeie
Kioekiokini?"
"Aku tidak terpelajar
sebagai kau," sahut sang ipar. "Coba kau bacakan."
Keng Sim menurut, ia
membacakan syair pujian itu. Baru ia mengapal sampai di pujian tikungan yang ke
empat, mendadak ada terdengar suara bagaikan kumandang: "Kalau bukannya
sasterawan, mana dia lancang dapat menjelaskan begini rupa? Hebat, hebat!"
Mendengar suara itu, Keng Sim
menjadi tidak senang. Ia merasa dirinya diejek. Maka ia lantas lari ke arah
dari mana suara itu datang, dari dalam rimba untuk mencari orangnya. Akan
tetapi ia tidak menemukan siapa juga di dalam rimba atau gunung yang luas itu.
"Sudahlah!" berkata
Bhok Lin tertawa. "Kalau nanti kita pulang, tjiehoe tolongi saja aku
menulis syair keindahan gunung ini. Lihat puncak itu, romannya aneh, mari kita
mendakinya."
Ia menunjuk sebuah puncak di
hadapan mereka.
Keng Sim mendongak, untuk
mengawasi. Ia mendapatkan sebuah puncak yang atasnya besar dan bawahnya kecil,
mirip dengan pusut, maka anehlah puncak itu. Di atas itu pun ada sebuah batu
besar. Luasnya puncak itu mungkin sepuluh bauw lebih dan tingginya dua sampai
tiga puluh tombak. Untuk naik ke atas, di tengah-tengah ada renggangan yang ada
tangganya, tangga kayu, tangga mana pasti disediakan untuk orang pesiar naik.
Keng Sim berdua Bhok Lin
lantas naik di tangga itu, yang terdiri dari tujuh undakan, yang berliku-liku.
Baru mereka sampai di tingkat ketiga,, kembali mereka mendapat dengar suara
tertawa manis seperti yang tadi.
"Mesti orang itu berada
di atasan dua undak," Keng Sim menerka. Ia mendapat kenyataan, suara
datang dari atasan mereka. Ia lantas naik terus, karena di situ tidak dapat
orang mengejar seperti di tanah datar. Karena itu, hatinya tegang sendirinya.
Tiba-tiba terdengar pula
suara, kali ini pertanyaan: "Eh, Tjoe Heng, Hee Lian, orang macam apa itu
yang mengantar barang bingkisan dari propinsi Hokkian!"
"Dialah seorang piauwsoe
tua," terdengar suara jawaban, suaranya seorang nona diuga. "Entjie
Hee Lian telah bergurau dengan dia itu, yang kumisnya telah dicabuti! Bingkisan
itulah yang paling gampang dirampasnya"
Kata-kata ini disusuli dengan
tertawa geli.
"Hee Lian, inilah
kekeliruanmu!" berkata suara nona yang pertama. "Sudah cukup yang
barangnya dirampas. Kenapa kau pun menghina dia?"
"Tetapi nona tidak
tahu," berkata nona yang dipanggil Hee Lian itu. "Piauwsoe tua itu
sangat bertingkah, sudah dia tidak memandang pada kami. kami pun dipermainkan,
diganggu olehnya. Karena aku sangat mendongkol, aku cabut kumisnya supaya dia
tahu rasa!"
Keng Sim terkejut. Teranglah
Tjoen Heng dan Hee Lian ini ada kedua nona yang di Koeitjioe telah
mempermainkan Poan Thian Lo. Mendengar suaranya, mestinya merekalah budaknya
nona yang suaranya terdengar paling dulu itu. Inilah heran! Mereka berdua sudah
liehay, entah bagaimana nona majikannya itu! Siapakah ini nona majikan?
Lalu terdengar pula suaranya
si nona, yang tertawa.
"Kamu tidak mengecewakan
aku yang telah mengajari silat beberapa tahun pada kamu!" demikian
katanya. "Satu kali saja kamu turun tangan, kamu telah berhasil merampas
barang bingkisan dari beberapa propinsi! Hanya kenapa kamu mengasi lewat barang
bingkisan dari propinsi Inlam?"
"Harap nona
ketahui." terdengar jawabannya Hee Lian, "bingkisan itu diantar oleh
putera dan menantunya Bhok Kokkong sendiri..."
"Kalau Bhok Kokkong
kenapa?" si nona tanya.
"Tidak kenapa-napa,
nona," menyahut Hee Lian. "Mustahilkah kita takut akan pengaruh
kekuasaannya? Hanya... hanya..."
"Hanya kenapa?"
menegaskan si nona.
"Bocah itu berhati baik.
Menantunya Bhok Kokkong juga pernah membantui kami."
"Tapi sebenarnya dia
bukannya bersungguh-sungguh hati membantui kami!" berkata Tjoen Heng.
"Sebenarnya ialah entjie Hee Lian menggunai tipu daya memancing harimau
meninggalkan gunungnya."
Lantas mereka itu tertawa.
Sebab Tjoen Heng itu menjelaskannya terlebih jauh.
Keng Sim menjadi mendongkol
sekali.
"Aku telah membantu
mereka tetapi sekarang aku ternyata dipermainkan sebagai si tolol!"
pikirnya panas.
"Eh, Hee Lian,"
menanya pula si nona, "sebenarnya kenapa kau mengasihani mereka itu?"
"Bukan, nona," si
Hee Lian menyangkal. "Kami cuma bekerja menuruti aturan kaum kangouw.
Kami memberi ampun satu
kali."
"Bagus!" seru si
nona. "Kau telah melepaskan mereka, kalau nanti untuk kedua kalinya kau
menemukan mereka itu, pastilah sulit."
"Harta yang sudah
dituliskan tidak nanti lenyap, nona!" kata Hee Lian, suaranya pasti.
"Siapa tahu kalau mereka justeru mengantarkannya sendiri?"
Hati Keng Sim terkesiap.
Menurut suaranya Hee Lian, mungkin mereka itu sudah ketahui yang ia berdua Bhok
Lin berada di dekat mereka, dan mereka merasa pasti sekali akan berhasil
mendapatkan barang bingkisan yang dilindunginya itu
Selagi menantu hertog ini
mendongkol, mendadak matanya melihat sinar terang.
Kiranya mereka telah sampai di
batu renggangan, maka itu mereka dapat melihat ke atas. Di situ. di atas sebuah
batu tawas yang besar, terlihat lima nona tengah berkumpul sambil berdiri.
Empat di antaranya ada nona-nona berumur tak lebih daripada lima atau enam
belas tahun. Dan merekalah nona-nona tanggung yang diketemukan di tengah jalan
di propinsi Koeitjioe. Nona yang ke lima berusia lebih tua tetapi lebih kurang
baru dua puluh tahun. Ia berdiri di tengah, bajunya berwarna kuning gading. Ia
cantik sekali, dalam kecantikannya itu ada pengaruh kegagahan.
"Selamat bertemu! Selamat
bertemu!" berkata Keng Sim lantas seraja ia tertawa. "Ketika itu hari
kita bertemu di Koeitjioe. sebenarnya hatiku tak tenang!"
Sengaja ia mengucap begitu
karena ia mendongkol terhadap si nona. Tapi ia bicara kepada ke empat nona yang
ia kenali itu.
Hee Lian adalah nona yang
terjangkung. ia pun paling lincah, bahkan ia segera dapat membade nada suaranya
si anak muda menantu Bhok Kokkong itu.
"Oh. Tiat Kongtjoe!"
katanya tertawa "Sebenarnya kongtjoe. kami belum menghaturkan terima kasih
kepadamu. Jikalau bukannya kau yang menghalau Poan Thian Lo, meskipun mungkin
kami tidak bakal terluka cambuk gergajinya itu, teranglah tak gampang-gampang
dapat kami berhasil dengan usaha kami."
Mendengar itu Keng Sim
berkata: "Sebenarnya kamu masih mesti belajar silat lagi beberapa tahun,
baru kamu boleh masuk dalam dunia kangouw. Aku tidak mengarti kenapa nona kamu
demikian tega membiarkan kamu keluar untuk melakukan pekerjaan yang sangat
berbahaya itu?..."
Satu nona yang ternyata
bernama Hee Ho. berkata sembari tertawa geli: "Aku juga tidak mengarti,
selagi di dalam istana Bhok Kokkong ada banyak sekali sebawahannya yang pandai,
kenapa ia justeru mengutus kamu beberapa anak sekolah yang tidak tahu
apa-apa?"
"Aku mohon menanya,"
berkata Bhok Lin. "kenapa kita dibilang tidak tahu apa-apa?"
"Sebab beberapa kali kami
sudah mengasi nasihat supaya kamu kembali, kamu tidak sudi dengar nasihat
itu." menyahut nona yang bernamaTjoen Heng. "Kenapa kamu masih hendak
mengantarkan barang bingkisaa ke kota raja? Bukankah itu berarti bahwa kamu
hendak membikin dirimu jatuh sendirinya?"
Keng Sim tertawa sambil
melenggak.
"Aku kira tidak
sedemikian gampang!" katanya jumawa. "Jikalau kamu tidak percaya,
nah, kamu coba-cobalah!"
Si nona yang sedari tadi
berdiam saja mendadak mengibas tangannya.
"Kamu semua mundur!"
katanya. Terus ia berpaling pada Keng Sim, untuk mengatakan: "Ajaranmu
benar sekali! Memang mereka masih harus belajar lebih jauh beberapa tahun! Cuma
mereka itu biasanya nakal, mereka gemar bergurau, tidak senang mereka jikalau
mereka tidak membuat keramaian. Aku sendiri tidak sanggup melarang mereka.
Syukur untuk mereka, selama mereka bekerja, mereka belum pernah menemui lawan
yang liehay. karenanya mereka jadi jumawa. di depan matanya seperti tidak ada
orang lainnya lagi!"
Kata-kata ini ada mengandung
sindiran. Di antara orang-orang yang Hee Lian berempat pernah ketemui di dalam
pekerjaan mereka, Keng Sim terhitung satu di antaranya, dengan begitu, Keng Sim
pun tak masuk dalam hitungan orang yang liehay itu. Terdengarnya si nona
menegur budak-budaknya tetapi sebenarnya. Keng Sim disindir untuk kejumawaannya
itu. Tentu sekali Keng Sim mengarti maksud orang. Ia menjadi tidak senang. Ia
hendak membuka mulutnya atau si nona sudah berkata pula.
"Kamu berempat
benar-benar tidak tahu diri!" katanya menegur empat budaknya itu,
"Kenapa kamu berani mau menempurTiat Kongtjoe? Kamu masuk dalam dunia
Kangouw. kamu mesti mengetahui aturan kaum Kangouw! Tahukah kau apakah aturan
Kangouw yang nomor satu? Tong Bwee. kaulah yang bicara!"
"Di dalam dunia Kangouw,
yang diutamakan ialah bertempur satu lawan satu," menyahut budak yang
dipanggil Tong Bwee itu, yang berdiri di paling belakang. "Kalau kita
mengutamakan orang banyak, artinya main keroyok, menang pun tidak ada artinya,
itu menang tak gemilang."
"Entjie Tong Bwee,
keteranganmu belum lengkap, ada satu yang kelupaan!" berkata Hee Ho.
tertawa. "Jikalau tingkat derajat orang tak sama. atau usianya terlalu
lanjut atau terlalu muda. bedanya sangat jauh, maka itulah tak masuk
hitungan."
"Nona benar." Tong
Bwee berkata lagi, "dengan Tiat Kongtjoe mempunyai pedang di pinggangnya
itu. di antara kami berempat, tidak satu jua yang dapat melayani dan memperoleh
kemenangan."
Keng Sim bukan main
mendongkol. Teranglah itu nona dan budak-budaknya lagi mempermainkan ianya Ke
empat budak itu pun mau mengatakan, kalau mereka meluruk berbareng mustahil
mereka tidak menang.
"Aku menghaturkan banyak
terima kasih yang kamu menghargai aku." ia kata sambil tertawa lebar.
"Aku juga bukannya orang tukang menghina! Hanya aku ketahui, di bawahnya
panglima yang kosen tidak ada serdadu yang lemah. Seperti di dalam halnya kamu.
budaknya saja sudah berani merampas barang bingkisan untuk kaizar. maka itu.
tentang si nona sudah dapat diduga sendiri! Baiklah, aku si orang she Tiat, aku
tidak mengukur diriku sendiri, ingin aku meminta pengajaran dari nona
kamu!"
Nona itu melihat orang gusar,
ia tapinya bersenyum. Ia lantas memotes secabang pohon lioe di sampingnya, ia
menekuk itu hingga berkelung bundar.
"Apa?" kata Keng Sim
mendongkol. "Apakah aku si orang she Tiat tidak tepat untuk memohon
pengajaran dari kau?"
Selagi si nona belum
menyahuti.
Tong Bwee sudah berkata:
"Tiat Kongtjoe, aku minta sukalah kau serahkan peti bukumu yang kecil itu
kepada Siauwkongtia!"
Mendengar itu. Keng Sim
melengak.
Tong Bwee tidak
menghiraukannya, ia tertawa
dan berkata pula: "Kalau sampai rusak mustika di dalam peti itu, bukankah
sia-sia belaka nona kami meletihkan dirinya?"
Kata-kata ini berarti
kepastian bahwa ia bakal kalah, maka juga Keng Sim menjadi bertambah murka.
Tapi ia pun ingat, memang celaka kalau sampai isinya peti itu rusak. Maka itu,
ia menahan sabar. Ia lantas menyerahkan peti buku itu kepada Bhok Lin.
"Baiklah!" katanya
seraya terus ia memberi hormat kepada si nona. "Dengan begini kita
sama-sama boleh melegakan hati. Jikalau kau menang, nona, aku akan persembahkan
mustika di dalam peti itu kepadamu!"
Melihat suasana genting itu,
Bhok Lin lompat maju.
"Tjiehoe, kau pun
melupakan aturan kangouw!" ia berkata.
"Kau tahu apa?" kata
tjiehoe itu muram.
"Benderanya Siauw Houw
Tjoe!" Bhok Lin memperingati. Lantas dia mengasi hormat kepada si nona
seraya meneruskan berkata: "Seorang sahabatku telah memberikan kami
selembar bendera kecil, aku ingin untuk memperlihatkan dulu itu kepada nona
Jikalau kedua pihak kenal satu pada lain. kalau kerukunan kita terganggu,
bukankah itu tidak bagus? Mana kita bisa enak hati? Nona, sahabatku itu bernama
Thio Giok Houvv! Nona. apakah she dan namamu yang mulia?"
"Benar, dalam dunia
kangouw memang ada itu aturan!" Hee Ho menyeletuk. "Siauwkongtia,
kali ini kau mengenal aturan. Nona kami she Liong!"
Bhok Lin terperanjat, tanpa
merasa mulutnya mengasi dengar suara perlahan: "Mulut harimau melepas
budi, naga sakti mendelik matanya! ---- Ah, nona kamu she Liong!"
Hertog muda ini ingin
mendamaikan, siapa tahu ia lantas ingat pada bunyinya kata-kata surat
peringatan yang ditancapkan dengan pisau belati. Maka ia menjadi tidak enak
hati.
Si nona she Liong tertawa.
"Tolonglah keluarkan
bendera itu!" katanya nyaring.
Mulanya Keng Sim tidak niat
mengasi lihat bendera Siauw Houw Tjoe itu, tetapi sejenak kemudian, ia
mengambil putusan lain. Ia ingin melihat sikap orang. Ia lantas merogo sakunya,
untuk terus mengibarkan bendera bersulam harimau itu. Ia berkata dengan tawar:
"Sahabatku ini adalah orang yang baru muncul dalam dunia kangouw, maka
jikalau kamu tidak kenal bendera ini, harap kamu tidak mentertawakannya."
Ia mengatakan demikian sedang di hatinya ia pikir: "Siauw Houw Tjoe ialah
pemimpin dari kaum Rimba Persilatan yang mengepalai perampasan barang
bingkisan, kamu beberapa budak bukankah di bawah pimpinan dia?"
Keng Sim bukannya mau
menggunai pengaruh Siauw Houw Tjoe, ia hanya hendak menjengeki supaya orang
menjadi jengah.
Tapi si nona pun berlaku
tawar.
"Benar-benar aku belum
pernah mendengar orang semacam ini dalam dunia kangouw!" demikian katanya.
Ia nampak tenang sekali, tetapi mendadak ia menggeraki tangannya, cabang
yanglioe menyambar, lalu di lain detik, bendera itu kena tergaet dan terampas,
terus saja ia robek menjadi dua potong, robekannya dibuang ke tanah! Setelah
berbuat begitu, ia tertawa dan kata pula dengan nyaring: "Aku tidak
mengambil perduli Kalangan Putih atau Kalangan Hitam! Serahkanlah itu bingkisan
dari propinsi Inlam!"
Keng Sim bukan sembarang
orang, tetapi bendera di tangannya dapat dirampas secara demikian gampang, maka
mau atau tidak, ia terkejut juga. Bhok Lin kaget bukan main "Kau...
kau..." serunya, "kau merusak bendera ini?"
Si nona tidak menggubris
hertog muda itu. ia mengawasi Keng Sim seraya tertawa.
"Apakah kau pernah
bertempur sama Siauw Houvv Tjoe?" ia menanya.
"Kenapa?" tanya Keng
Sim tanpa merasa.
"Dalam berapa jurus dia
mengalahkan kau?" si nona tanya pula.
"Hai, orang perempuan,
buat apa kau banyak rewel!" membentak Keng Sim, yang menjadi panas,
"Sebenarnya kau mau atau tidak mengadu pedang denganku?"
Bhok Lin pun mendongkol.tanpa
pikir lagi, ia berkata: "Siauw Houw Tjoe mengalahkan dia dalam jurus yang
ke sebelas! Untuk apa kau menanyakan itu?"
Nona itu tertawa manis.
"Aku menanya saja, tidak
ada maksudnya!" sahutnya.
Bhok Lin berdiam, atau
mendadak ia berseru: "Aku mengarti sekarang! Secara begini dengan
diam-diam kau hendak mengadu kepandaian sama engko Siauw Houw Tjoe kami itu!
Dia mengalahkan orang dalam sebelas jurus, sekarang aku mau lihat kau menggunai
berapajurus!"
"Sungguh kau
cerdik!" Hee Ho kata tertawa. "Dengan sekali menerka saja kau dapat
membade hati nona kami!"
Nona itu tidak menyangkal atau
mengaku benar, ia memandang si Hertog muda sambil bersenyum. Lalu ia menanya
pula: "Engko Siauw Houw Tjoe dari kamu itu menggunai senjata apa?"
Mendengar itu, darahnya Keng
Sim meluap. Maka juga ia berlompat maju, kedua tangannya disilangkan, matanya
mendelik.
"Pembicaraan kamu ini ada
waktunya habis atau tidak?" ia tanya, bengis. Dengan gerakannya ini, ia
hendak membikin kabur matanya si nona, sebab ia tidak berani datang-datang
menerjang dengan pedangnya. Maksudnya pun untuk menghentikan kata-kata orang.
Si nona Liong seperti dapat
menebak maksud orang, ia tidak berkelit, cuma kepalanya dimiringkan.
"Aku cuma menanya sepatah
kata saja!" katanya pula. "Lekas bilang dia menggunai senjata atau
tidak?"
Bhok Lin lantas menyahuti:
"Dia tidak menggunai senjata! Adalah Tjiehoe-ku yang menggunai pedang
mustika yang dapat menabas besi seperti menabas lumpur!" Ia mengatakan
demikian sedang di hatinya ia berpikir: "Aku mau lihat kau berani atau
tidak berkelahi dengan tangan kosong..."
Segera ia mendengar pula suara
si nona, yang lebih dulu tertawa bergelak.
"Baiklah, aku sudah
tahu!" demikian katanya Lalu dia mengawasi Keng Sim, tangannya menuding,
mulutnya membentak: "Masih kau tidak hendak menghunus pedangmu! Kau hendak
menantikan apa lagi?"
Keng Sim tidak dapat menguasai
lagi dirinya, maka ia maju menyerang dengan kedua tangannya. Ia tidak perduli
lagi bahwa ia lagi berhadapan sama seorang wanita, bahkan satu nona, jerij i
tangannya mencari kedua mata sebagai sasaran!
Serangan ini menjadi lebih
hebat karena mereka berada dekat sekali satu dengan lain.
Di waktu menyerang, Keng Sim
lupa diri, tetapi ketika sudah menyerang, mendadak ia sadar, ia lantas menjadi
menyesal sendirinya. Tapi ia sudah menyerang, ia tidak dapat membatalkan nya.
Di luar dugaan, si nona sangat
celi matanya dan sangat gesit tubuhnya. Hanya dengan satu kaki bergerak, dia
dapat berkelit, tubuhnya melesat ke samping!
Keng Sim kaget bukan main. Ia
kuatiryang ia nanti dibokong. Ia lantas menggeser kakinya, ia menggeraki lebih
jauh kedua tangannya, untuk menutup diri. Ia tapinya kalah gesit. Si nona sudah
berkelebat pula dan segera berada di depannya lagi. tangannya tambah serupa
barang yang berkeredepan! Sebab itulah pedangnya yang telah terhunus! Pedang
Tjiehong kiam!
Ke empat budak wanita itu
lantas serempak menepuk tangan dan bersorak.
"Bagus!" pujinya
Mukanya Keng Sim menjadi
bersemu merah. Ia lantas mengulur tangan kirinya, lima buah jarinya dibuka,
untuk menyengkeram pedang, guna dirampas. Itulah gerakan "Kimpa
tamdjiauw," atau "Macan tutul emas menyengkeram."
"Memangnya pedang ini
hendak aku berikan kepada kau, kenapakah kau tergesa-gesa?" kata si nona
tertawa. Dan dengan memutar pedang itu, ia menyodorkan gagangnya kepada si anak
muda, untuk disesapkan ke dalam telapakan tangan!
Dalam sekejab itu, Keng Sim
sadar. Ia mengarti, karena ia tidak dapat menarik pedang itu. si nona sengaja
membuatnya demikian, supaya ia dapat menarik itu, seperti juga ialah yang
menariknya sendiri. Ia menganggap itulah penghinaan untuk dirinya, yang
dipandang terlalu enteng. Sebenarnya, menurut keangkuhannya, tidak sudi ia
menerima pedang itu, akan tetapi buktinya, ia mengertak diri, dengan mendadak
ia membetot keras, sesudah mana ia menghunusnya cepat sekali. Terhadap Siauw
Houw Tjoe itu hari, ia cuma mengharap mendapat kemenangan, tetapi terhadap si
nona sekarang, ia bagaikan hendak mengadu jiwa. Ketika ia mencabut pedangnya
itu terdengar suaranya "Ser!" keras sekali, sebab gerakannya
dibarengi sama serangannya, ialah jurus "Hoankang tohay" atau
"Membalik sungai, menumpakan laut." Itulah salah satu jurus terliehay
dari Keng To Kiamhoat. Sinar pedangnya pun berkelebat berkilauan.
"Sungguh satu pedang
mustika!" berseru si nona. Agaknya dia terperanjat, tetapi tubuhnya
mencelat ke samping, kedua belah tangannya dikibaskan, mengebut dengan tangan
bajunya, hingga tangan baju itu bagaikan gerakan menari. Tangan baju yang kiri
menyambar ke kanan, dan tangan baju yang kanan bagaikan menggulung ke kiri.
Tiat Keng Sim heran
menyaksikan gerakan itu. Di dalam hatinya ia menjerit kaget dan kagum ketika
tangan baju itu berkelebat di depan matanya, sedang gerakan pedangnya sendiri
tidak mengasi hasil apa-apa. Dengan sebat ia menarik pedangnya itu. untuk
sebaliknya dipakai menutup diri. guna melindungi tubuhnya, sesudah mana barulah
ia menyerang pula. Ia tidak sudi terus menjadi si pembela diri.
Nona Liong menginsafi tajamnya
pedang mustika orang, ia tidak mau berlaku sembrono. Ia mengarti baik sekali,
salah sedikit saja, tangan bajunya bakal terpapas kutung, la lantas mengasi
lihat kelincahannya, untuk senantiasa menyingkir dari papasan atau tikaman
pedang. Maka biarnya Keng Sim bergerak dengan sangat cepat, ia tidak dapat
melanggar saja baju si nona.
"Sungguh ilmu pedang
bukan sembarang!" berkata si nona tertawa.
Tidak enak Keng Sim mendengar
pujian itu, sebab nadanya rada mengandung sindiran. Di dalam keadaan seperti
biasa, tentunya ia sudah melepaskan pedangnya itu, guna melawan dengan tangan
kosong, tetapi sekarang, tidak dapat ia berbuat demikian. Lawannya ini.
walaupun hanya seorang nona, ada liehay luar biasa. Di sini ada bergantung
kehormatannya. Sedang bingkisan yang ia lindungi itu pun istimewa.
Habis tertawa, si nona
bergerak lebih jauh.
Keng Sim penasaran, ia
membabat ke arah pinggang si nona.
Nona itu berkelit, lincah
gerakan pinggangnya, sebat sampokan tangan bajunya. Dan pedang suaminya Bhok
Yan kena di bikin terpental nyamping!
Bukan main herannya Keng Sim.
Ia menjadi kaget ketika ujung tangan baju hampir melanggar nadinya. Syukur ia
cepat menghalau lengannya itu.
"Bagus! Bagus!" si
nona memuji pula, sambil tertawa. "Dengan beruntun kau dapat membebaskan
diri dari tiga j urusku!"
Mendadak tubuhnya nona itu
mencelat, kedua ujung bajunya dikibaskan pula. Ia lantas mendesak.
Agaknya sia-sia belaka Keng
Sim bersenjatakan pedang, ia kena dirangsak si nona. Ia repot membela diri
hingga tidak ada ketikanya untuk ia mencoba melakukan penyerangan membalas.
Saban-saban pedangnya itu kena disampok mental.
Segera juga datang satu
serangan, yang mengenakan pundak si anak muda, hingga ia terhuyung, tetapi
saking sehatnya, dapat ia membalas menabas kutung sedikit dari ujung baju nona
itu, ujung baju yang kanan. Biar bagaimana, dengan bersenjatakan pedang tajam,
sedang ia sebenarnya pun sangat gesit, pemuda ini tidak selamanya jatuh di
bawah angin.
Adalah di luar sangkaan si
nona yang ujung bajunya itu kena dilabas kutung. Pula Keng Sim sendiri tidak
menyangka yang ia bakal berhasil itu.
Segera setelah itu, anak muda
ini kembali didesak lawannya. Ia bagaikan tidak hendak diberikan ketika untuk
bernapas.
Bhok Lin menonton dengan
melongo. Hebat gerakan pedang tjiehoe-nya tetapi tak kurang hebatnya ujung baju
menyambar-nyambar. Ujung baju itu dapat dibikin lemas dan kaku sekehendak si
nona. Saking kagum, ia mengharap-harap pertandingan itu nanti berlangsung
lama...
Lama-lama, hati Keng Sim
menjadi ciut. Ia mendapat kenyataan yang ia telah terdesak hebat sekali. Si
nona sebaliknya tetap lincah. Kalau keadaan terus berlangsung demikian, setelah
letih, mana sanggup ia melayani terlebih jauh? Oleh karena ini, ia terpaksa
mengubah pula ilmu silatnya Keng To Kiamhoat memang bukan sembarang ilmu
pedang. Kalau tidak, gurunya tidak akan tersohor sekali. Kali ini ia mengambil
sikap, daripada kalah baiklah bercelaka berdua!
Karena ini, ia menjadi seperti
mendapat tenaga baru.
Sesudah menonton sekian lama
Bhok Lin dapat melihat kenyataan. Dalam tenaga dalam, nona itu kalah dari Siauw
Houw Tjoe, sebaliknya dalam ringan tubuh, si nona menang daripada Keng Sim.
Dalam halnya gerakan yang luar biasa, nona itu seperti terlebih liehay daripada
Siauw Houw Tjoe. Mungkin si nona tak kalah dengan Sin Tjoe yang pandai dalam
ilmu "Tjoanhoa Djiauwsie." Kemenangan Keng Sim adalah berkat pedang
mustikanya itu.
Lantas saja Bhok Lin mendapat
serupa pikiran: "Kalau nona ini bertempur sama Siauw Houw Tjoe, alangkah
menariknya! Tentu sekali mereka sama unggulnya..."
Tidak lama Keng Sim mengasi
lihat perubahan pedangnya. Sebab ia telah keluarkan jurus "Samhoa
kayteng," atau "Tiga kuntum bunga menutupi batok kepala."
Pedangnya itu seperti saling susun menyerang si nona.
Bhok Lin kaget dan berkuatir.
Kasihan sekali kalau si nona, yang demikian cantik, mesti roboh di ujung pedang.
Kalau dia tidak terbinasa, mestinya dia bercacad. Sungguh sayang... Di lain
pihak, kalau sang tjiehoe yang kalah, hilanglah barang bingkisan itu! Bagaimana
dengan tanggungjawabnya nanti? Bukankah akan gagal kepergian mereka ke kota
raja?
Tengah Bhok Lin bingung,
kupingnya mendengar tertawanya si pelayan yang bernama Tjioe Kiok, yang pun
berseru: "Sungguh indah itu jurus "Tangan baju terbang mega
melayang"!"
Pula si pelayan Tong Bwee,
yang turut tertawa, juga berkata: "Kau lihat gerakan nona! Bukankah indah
jurusnya Tangan Baju Besi itu?"
Baru saja berhenti suaranya
pelayan itu atau Keng Sim sudah mengasi dengar seruan tertahan. Dengan
tiba-tiba saja pedangnya terlepas dari cekalannya pedang itu mencelat ke
tinggi, seperti terbang ke tengah udara!
Sebab berhasillah si nona
dengan jurusnya "Tangan baju besi" itu dengan apa ia mengetok nadi si
anak muda, hingga dia ini terkejut dan tanpa merasa kendorlah cekelan pada
pedangnya, hingga ketika kena disampok ujung baju, lantas pedang itu terbawa
terbang tinggi. Hanya syukur, habis serangannya itu yang berhasil nona itu
tidak mengulanginya menyerang pula.
Keng Sim berdiri menjublak,
tak keruan rasanya, wajahnya pun pucat. Ia kaget dan malu.
Bhok Lin juga berdiam, ia
menyesal bukan main.
Tapi aneh juga si nona,
sesudah menang, dia tidak tertawa, atau bersenyum, dia tidak bergirang,
sebaliknya, dia menghela napas...
Hertog muda itu heran.
"Dia menang secara
cemerlang, kenapa dia justeru bersusah hati?" pikirnya.
Itu waktu lantas terdengar
tertawanya Hee Ho. yang berkata: "Walaupun nona mesti menggunai dua jurus
lebih banyak tetapi itulah karena perbedaannya ilmu silat, maka itu belumlah
dapat dipastikan yang Sin Liong kalah dari Giok Houw!"
Mendengar ini barulah Bhok Lin
mengarti. "Sin Liong" atau si Naga Sakti ialah si nona, dan
"Giok Houw" atau Harimau Kumala, ialah si anak muda atau Siauw Houw
Tjoe, dan mereka itu telah menggunai jurus yang berlainan. Nona itu memperoleh
kemenangan sesudah jurusnya yang ketiga belas.
Setelah berdiam sebentar, nona
itu mengibaskan tangannya seraya berkata dengan tawar: "Ambillah barang
bingkisannya itu!"
Hee Ho tertawa, dia
menghampirkan Bhok Lin.
"Siauwkongtia,
maaf!" katanya seraya tangannya menjambret ke punggung si Herlog muda,
mengambil itu kotak buku yang berwarna merah, sesudah mana ia berlalu bersama
tiga kawannya, mengikuti nonanya.
Bhok Lin tercengang.
Jalan belum terlalu jauh, Hee
Ho menoleh ke belakang kepada pengiring atau pelindung barang bingkisan itu,
sambil tertawa, ia mengacungkan barang rampasannya, kemudian ia melanjuti
perjalanannya.
Ketika itu tengah hari tepat.
Air mantjur tertampak indah tertojoh sinar matahari, bagaikan bianglala. Di
seluruh gunung itu terlihat daun-daun hijau dari pohon teh, yang menghembuskan
bau harum yang halus.
Keng Sim berdiri menyender
pada sebuah pohon teh, ia mirip seorang sakit, yang telah kehabisan tenaganya.
"Tjiehoe, pedangmu!"
berkata Bhok Lin.
Hertog ini memungut pedang
iparnya itu, untuk dikembalikan.
Keng Sim mengawasi air mancur,
ia seperti mendengar dan tidak melihat. bahkan ia bersenandung perlahan:
"Bagaikan perahu
menggeser ke muara,
satu muara lewat lain muara,
bertambah sukar,
demikian habisnya sinar
pedang...
Kalau air mancur mengalir
terus,
maka bayangan matahari telah
membeku..."
Anak muda ini berduka, hingga
ia ingat itu pembilangan, gelombang yang di depan digempur ombak yang di
belakang, bahwa benda itu senantiasa bertukar, sebagai juga anak muda terus
muncul. Rasanya baru beberapa tahun ia hidup merantau, atau sekarang sudah ada
orang yang melomba... Entah masih ada berapa banyak lagi orang yang jauh
terlebih pandai daripadanya..."
"Itulah kejumawaan!"
berkata Bhok Lin tertawa.
Keng Sim berdiam, ia jengah
sekali.
Bhok Lin terus menggoda, dia
tertawa pula.
"Jangan ngaco!"
kemudian ipar itu membentak.
"Sudahlah, mari lekas
kita menuju ke Siangdjiauw," kata Bhok Lin yang masih dapat tertawa.
"Kalau sebentar sang sore datang dan angin dingin meniup keras, hawa bakal
menjadi bertambah dingin!"
Hatinya Keng Sim benar-benar
tawar, akan tetapi ia masih ingat yang kedua guru silat yang menjadi kawannya
tentu tengah menantikan di Siangdjiauw. maka itu, umpama kata ia mesti kembali
ke Koenbeng, dua orang itu mesti diberitahu dulu.
"Baiklah," katanya
terpaksa.
Maka dengan lesu keduanya berangkat.
Tiba di Siangdjiauw, hari
sudah gelap. Keng Sim mencari hotel yang paling besar. Selagi ia menanya
kalau-kalau di situ ada menumpang dua guru silatnya, si guru silat sendiri
sudah lantas muncul. Mereka ini memang tengah menantikan, sebab habis bersantap
malam mereka belum melihat datangnya si Hertog muda dan menantunya Bhok Kokkong
itu.
Heran kedua boesoe itu
menyaksikan roman kucel dari si menantu Hertog.
"Apakah sudah
terjadi?" diam-diam Yo Po menanya Bhok Lin.
"Jangan banyak
omong!" Keng Sim membentak. "Mari kita bicara di dalam!"
"Ya," sahut guru
silat yang kedua. "Kamar sudah disediakan. Di kamar sebelah selatan ada
seorang tetamu tengah menantikan..."
Bhok Lin heran.
"Siapakah dia?" ia
menanya. "Kalau Siauwkongtia sudah menemui dia, nanti kau ketahui
sendiri."
Bhok Lin mengawasi guru silat
itu. yang tertawa secara aneh, hingga ia jadi bertambah heran.
"Di sini di mana aku
mempunyai kenalan?" pikirnya.
Mereka lantas masuk ke dalam.
"Tetamu itu ada di
sini." berkata si guru silat tadi. "Katanya dia mau bicarakan urusan
penting sama Siauwkongtia, karenanya tidak usah kami turut masuk."
Keng Sim mendongkol.
"Siapakah yang main
gila!" katanya. Dengan keras ia menolak daun pintu kamar sebelah selatan
itu.
Pintu tidak dikunci, maka itu,
karena ditolak keras, daunnya lantas menjeblak. Hampir si anak muda terjerunuk
ke dalam karena ia telah menggunai tenaga besar.
Di dalam kamar lantas
terdengar tertawa dingin.
Itulah Siauw Houw Tjoe, yang
tengah duduk bercokol, mukanya tersungging senyuman.
Mau atau tidak, Keng Sim
menjadi melengak.
Bhok Lin lompat masuk.
"Siauw Houw Tjoe!"
katanya berteriak. "Kau bikin kami celaka!..."
Hertog muda ini mendongkol,
maka ia lantas menyerang sahabatnya itu.
Siauw Houw Tjoe menangkap
tangan orang, ia menekan.
"Kenapa aku membikin kau
celaka?" tanyanya.
"Benderamu itu!"
kata si anak muda. "Begitu aku mengasi lihat benderamu, bendera itu lantas
disobek! Barang bingkisan kita juga dirampas! Kalau tidak ada benderamu itu,
mungkin orang masih menimbang-nimbang! Hm!"
"Ha!" bersuara
sahabat itu. "Jadi benar terjadi perampasan! Jadi benarlah, selama dua
hari. mereka sudah merampas barang bingkisan dari Hokkian dan Inlam!"
Memang, baru tadi Siauw Houw
Tjoe mendengar kabar hal bingkisan dari Hokkian telah ada yang rampas di tengah
jalan. Ia datang dengan cepat, maksudnya untuk melindungi Keng Sim dan Bhok Lin
ini, siapa sangka, ia ketinggalan, sebab perampasan sudah terjadi di Boeie San.
Bhok Lin sudah lantas tuturkan
terjadinya perampasan itu.
Siauw Houw Tjoe mendengar
dengan sabar, kemudian ia pentang kedua matanya.
"Sekarang pergilah kamu
terus ke kota raja!" katanya kemudian.
"Untuk apakah?" kata
Siauwkongtia "Apakah untuk orang tertawakan?"
"Bukan. hanya untuk
memperlihatkan muka terang!" kata Siauw Houw Tjoe. "Tentang bingkisan
dari Inlam itu kau serahkan padaku, nanti aku yang merampas pulang! Asal kamu
telah tiba di kota raja. aku ada mempunyai jalan untuk menyerahkan itu kepada
kamu!"
"Benarkah itu?"
tanya Bhok Lin. Dia lantas menjadi girang.
"Mustahil aku bicara
main-main?" Siauw Houw Tjoe membaliki.
"Bagus!" Bhok Lin
berkata pula. "Kau seperti membagi aku obat untuk menenteramkan pikiran!
Kau tahu, dia telah merobohkan Tjiehoe dalam jurusnya yang ketiga belas! Aku
percaya asal kau dapat cari dia kau bakal menang dengan hanya separuh jurus
itu!"
Siauw Houw Tjoe tertawa
"Aku mengarti!"
katanya. Lantas dia tertawa, sambil tertawa, dia lompat menembrak jendela, maka
di lain saat. menghilanglah dia!
III
Harimau Kumala ketemu Naga
Sakti
Seberlalunya dari hotel, Siauw
Houw Tjoe alias Thio Giok Houw telah melangsungkan terus perjalanan-nya maka di
hari kedua tengah hari, tibalah ia sudah di Sianhee Leng, gunung yang menjadi
perbatasan tiga propinsi Tjiatkang, Kangsee dan Hokkian.
Semasa jaman ahala Tong, di
sana pemberontak Hong Tjauw (Oey Tjauw) telah membuka jalanan gunung panjangnya
tujuh ratus lie hingga sampai di Thongtjioe. maka setelah diadakannya sebuah
kota, Sianheekwan namanya itulah jalanan untuk kedua propinsi Tjiatkang dan
Kangsee (Kangsay).
Thio Giok Houw mengatakan
hendak menolongi Bhok Lin mendapati pulang barang bingkisan, sebenarnya di
dalam hatinya ia bingung, la mesti meraba-raba! Siapakah nona she Liong itu?
Kenapa si nona seperti menyaterukannya? Apakah maksud si nona merampas barang
bingkisan itu?
Sia-sia Giok Houw coba mencari
keterangan. Sebaliknya, ia memperoleh endusan, bahwa kiriman bingkisan tiga
propinsi Ouwlam, Kangsee dan Ouwpak, bakal lewat dalam beberapa hari ini. Maka
berpikirlah ia. Ia menerka, sesudah kepalang si Nona Liong tentunya akan
merampasjuga barang bingkisan ketiga propinsi ini.
Oleh karena ini ia menitahkan
Tjioe Tjie Hiap, pembantunya itu, pergi ke Tjiatkang, untuk memimpin perampasan
pada barang bingkisan dari Kanglam. ia sendiri hendak mencari Nona Liong itu,
yang sepak terjangnya bagaikan naga sakti, yang nampak kepalanya, tidak
ekornya...
Jalanan pegunungan ini adalah
jalanan penting di antara kedua propinsi Tjiatkang dan Kangsee, maka itu, di
situ tak sedikit orang yang berlalu lintas, hanya di antara mereka itu. tidak
ada yang Thio Giok Houw melihatnya mencurigai. Bukan saja ia tidak melihat si
Nona Liong, pula tidak ada seorang hamba negeri yang bisa disangka sebagai
pelindung atau pengiring barang bingkisan.
Sampai tengah hari Giok Houw
berjalan, tibalah ia di sebuah lembah di mana pun ada air mengalir. Di sini,
orang yang berlalu lintas menjadi jarang sekali, la lantas mempercepat
jalannya, sampai mendadak kupingnya mendengar suara bentakan di sebelah
depannya. Ia lantas mengangkat kepalanya, memandang ke depan itu, hingga ia
nampak sesuatu yang mendatangkan keheranannya.
Di depan itu ada berjalan dua
orang yang dari kepala hingga di kakinya dibungkus dengan kain minyak. Mereka
itu berjalan sambil berlompat berjingkrak, setiap lompatannya sama dengan dua
tindakan orang biasa, hanya lompatnya perlahan. Di belakang mereka mengikuti
dua orang dengan pakaian serba hitam, yang tangannya mencekal cambuk, yang
saban-saban diayun. Mereka ini berdualah yang terdengar suara bentakannya itu,
seperti orang lagi menggebah, menyuruh orangjalan cepat. Mereka ini pula
menunjuki roman tawar...
"Bukankah ini yang
dinamakan mayat hidup yang jalan selaksa lie?" Thdo Giok Houw
menduga-duga. Ia memang pernah mendengar bahwa di Ouwlam Barat ada semacam
kebiasaan. Ialah kalau ada orang asing, artinya orang dari lain kampung atau
propinsi mati. karena sukarnya pengangkutan mayat, maka digunailah
"ilmu" yang membikin mayat itu bisa berjalan, ada orang atau dukunnya
yang mengantar, yang dapat memerintahkan mayat itu berjalan atau berhenti
sekehendaknya si dukun. Sampai belasan hari, mayat itu tidak akan berbau busuk.
Hanya ilmu itu adalah ilmu yang dirahasiakan dan juga banyak pantangannya. Ada
dibilang, kalau orang menemui mayat hidup itu, dia mesti lekas menjauhkan
dirinya, terutama jangan berbicara sama si pengiring mayat itu.
Orang Kangouw hampir tak ada
yang tak tahu hal kegaiban itu. Thio Giok Houw tidak menjadi kecuali, tetapi ia
barulah kali ini melihatnya dengan mata sendiri. Tentu sekali ia menjadi heran dan
bercuriga, tapi ia berhati besar, ia tidak takut, bahkan karena rasa ingin
tahunya, ia lantas menguntit.
Sesudah mengintil sekian lama.
Giok Houw melihat di sebelah depan ada seorang yang bercokol tepat di tengah
jalan sekali. Orang itu mestinya mengetahui di situ ada mayat hidup tengah
berlewat tapi dia tidak menghiraukannya, dia tidak mau minggir juga. Dia
membawa sikap seperti dia tidak melihatnya.
Juga kedua pengiring mayat
hidup itu seperti tidak melihat ada orang mengandang di tengah jalan itu. seperti
biasa mereka jalan terus, cambuknya tetap sering diayun, bentak-bentakannya
saban-saban terdengar.
Thio Gok Houw mengawasi pada
orang di tengah jalan itu.
"Ah, rasanya aku seperti
mengenal dia..." pikirnya. "Di mana pernah aku menemukannya? Dia bernyali
besar sekali. Coba aku lihat, apa bakal terjadi..."
Segera juga kedua mayat hidup
sudah berlompat sampai di depan orang itu. Mendadak dia berlompat bangun, terus
dia menegur kepada si kedua pengiring: "Eh, apakah kamu berjalan tanpa
membawa mata kamu? Kenapa kamu membiarkan dua machluk sial ini melanggar
aku?" Te guran ini diikuti sama serangan sebelah tangannya!
Dua pengiring itu tetap tidak
meladeni, air mukanya pun tidak berubah sedikit juga. Mereka seperti manusia
yang tak berperasaan, mirip dengan si mayat hidup, yang tidak perdulikan segala
apa.
Tepat di saat tangan menyerang
itu mengenai baju mayat hidup, mendadak dia berteriak keras, bagaikan orang
kalap, dia terus berlompat berjingkrakan seperti mayat hidup itu, lompatnya
lebih tinggi lagi. Dia masih berjingkrakan terus sampai mendadak kakinya
terpeleset, tubuhnya roboh terguling. Celaka untuknya, diatergulingketepi
jalanan di mana ada jurang, tidak ampun lagi, tubuhnya jatuh ke tempat yang
dalam kira seratus tombak. Berbareng dengan jatuhnya itu terdengar jeritannya
yang menyayatkan hati.
Thio G:ok Houw bernyali besar
akan tetapi mendengar jeritan itu, ia bergidik, hatinya berdenyutan. Selagi ia
heran, karena ia tidak tahu kenapa orang itu menjerit dan berjingkrakan, mayat
hidup itu berserta pengiringnya terus berjalan maju seperti biasa, si mayat
hidup berjingkrakan, dua pengiringnya membentak-bentak...
"Apakah benar ada mayat
hidup?" Thio Giok Houw berpikir keras. "Benarkah di kolong langit ini
ada keanehan ini?"
Ia lantas lari ke tepi jurang,
akan melongok ke bawah. Ia melihat orang tadi terbawa hanyut air solokan yang
deras, tubuhnya nyangsang di sebuah batu besar. Solokan itu pun berair dangkal.
Untuk dapat menolongi, ia lari ke hilir itu, terus turun ke bawah. Kemudian
dengan lompat jumpalitan, ia menaruh kaki di batu besar itu, tangannya
menjambret tubuh orang, untuk diangkat dan dibawa lompat lebih jauh pula. Maka
kembalilah ia ke tepian bersama orang itu. Ia lantas meletakinya di tanah,
untuk menatap muka orang, jang pakaiannya telah basah semua. Mendadak ia
terkejut.
"Eh, kaukah Lo
Toako?" tanyanya.
Ia tidak memperoleh jawaban.
Orang itu sudah berhenti bernapas. Sekarang ia mengenali betul, si Lo Toako ini
---- kakak she Lo ---- adalah Lo Tjeng, pemimpin kedua dari kawanan dari
benteng Tjayhong Tjee di gunung Sianhee Nia. Kawanan dari Tjayhong Tjee ialah
salah satu yang bertugas turut memegat dan merampas barang bingkisan pelbagai
propinsi untuk raja di kota raja. Ia memang berniat pergi ke benteng Tjayhong
Tjee itu, untuk menanyakan keterangan hasil mereka siapa tahu di sini ia
menemui pemimpinnya yang kedua yang menerima ajalnya secara aneh dan hebat
sekali.
Selagi bengong mengawasi mayat
orang sedang pikirannya bekerja tiba-tiba Thio Giok Houw merasakan tangannya
gatal-gatal. Ia menjadi heran dan bercuriga, dengan lantas ia merobek baju Lo
Tjeng di betulan dadanya. Maka sekarang ia melihat tubuh orang matang biru
seperti terkena racun.
"Ah!" ia berseru
seorang diri. Lantas ia mengeluarkan senjatanya dengan apa ia menusuk jeriji
tengahnya, untuk memeras keluar darahnya, habis mana ia merogoh saku untuk
mengambil obatnya peranti memunahkan racun, obat mana ia telan dengan cepat. Ia
tahu yang ia telah keracunan karena memegang tubuh Lo Tjeng itu. Sukur untuknya
karena kecebur di air dan terhanyutkan, racun di baju Lo Tjeng itu sudah hampir
habis, maka ia cuma merasa gatal. Kalau tidak, entah bagaimana jadinya, la pun
lantas bersamedhi, guna meluruskan pernapasannya.
Tidak lama, dengan menguatkan
hati, Thio Giok Houw meninggalkan mayat Lo Tjeng itu. Dengan merayap ia mendaki
jurang. Ia bertambah heran dan curiga, ia jadi ingin mengetahui duduknya hal,
maka ia berlari-lari, akan menyusul mayat-mayat hidup itu serta dua
pengiringnya yang aneh. Syukur, belum terlalu lama, ia telah melihat punggung
mereka itu. Maka ia lantas menguntit pula.
Ketika itu sudah magrib, cuaca
telah berubah menjadi guram. Kuping Thio Giok Houw mendengar bentakan-bentakan
yang serupa tadi, dan matanya menampak kedua mayat hidup berjingkrakan, tanpa
merasa, ia merasa seram sendirinya. Mereka sekarang berada di tanah pegunungan
yang sunyi sekali.
"Biarnya kamu mayat hidup
tulen, akan aku mencari tahu terus," Thio Giok Houw telah mengambil
putusan. Maka ia mengikuti, terus sampai di sebuah kuil tua. Sekarang ini jagat
sudah mulai gelap. Ia pergi ke belakang kuil, hatinya bekerja.
"Tidak bisa salah lagi,
Lo Tjeng itu mesti terkena tangan jahat kedua mayat hidup itu," pikirnya.
"Tapi kaki dan tangan mereka tertutup kain minyak, cara bagaimana mereka
menurunkan tangannya? Aku tidak melihat gerakan mereka itu... Kenapa mereka
menyamar sebagai mayat hidup dan begitu bertemu orang lantas menyerang hebat?
Baik di kalangan Hitam maupun di kalangan Putih, belum pernah aku mendengar ada
orang demikian ganas..."
Tidak lama lagi sang Puteri
Malam mulai menaik tinggi, maka itu. Giok Houw lantas melompati tembok masuk ke
pekarangan dalam dari mana dengan hati-hati ia pergi ke depan. Ia masuk ke
dalam pendopo. Di sini ia bersembunyi di belakang sebuah tihang yang besar. Ia mendapat
keleluasaan akan melihat ruang pendopo itu. Segala apa sudah tua dan rusak di
dalam pendopo itu.
Di atas meja ada patungnya
Sang Buddha. Di atas meja itu pun ada pelita, yang apinya berkelak-kelik.
Kelambu patung pun sudah tinggal separuh.
Kedua pengiring mayat hidup
duduk bersila, dan kedua mayat hidup bersender di tihang. Maka suasana di dalam
kuil itu sungguh menjerikan hati.
Selagi Giok Houw terus
mengawasi, mendadak ia mendengar kedua pengiring mayat hidup itu mengasi dengar
suara kaget sendirinya.
"Ah, di sini seperti ada
suara napasnya orang hidup!" berkata satu di antaranya.
Giok Houw terkejut, ia
tercengang.
"Benarkah orang telah
mendengar aku?" pikirnya. Ia heran sekali. Kenapa orang mendapat dengar
suara napas?
Sebagai juga jawaban untuk
pengiring mayat itu, mereka lantas mendapat dengar suara tertawa geli di dalam
ruang itu juga. Mereka menjadi kaget, keduanya lantas berpaling.
"Siapa?" mereka
menegur. "Perlu apa di sini kau main gila seperti malaikat atau
iblis?"
Tiba-tiba kelambu patung
tersingkap, maka di atas meja nampak duduk bercokol seorang nona.
Selain dua orang itu, juga
Giok Houw heran bukan main. Tidak ia pernah menyangka bahwa di situ ada seorang
lainnya lagi. Dua pengiring itu tercengang.
Nona itu tertawa terkekeh.
"Aku justeru hendak
mencari tahu siapa yang sebenarnya main gila seperti malaikat atau iblis!"
katanya, mengejek.
Belum nona itu bicara habis,
di situ telah terdengar bunyi menyambarnya senjata rahasia. Ia lantas
mengibaskan tangan bajunya. Dua batang senjata rahasia menyambar ke arahnya.
Itulah serangan kedua pengiring mayat itu, yang menggunai pusut beracun.
Sesudah menangkis, nona itu
bercokol, tangannya menghunus pedang. Ia berlompat ke depan salah satu mayat
hidup, yang terus ia tikam!
Thio Giok Houw melihat nyata
gerakan si nona, ia kagum sekali. Caranya dia menangkis senjata rahasia,
berlompat seraya menghunus pedang dan menikam, sebat luar biasa.
Seorang pengiring mayat hidup
berseru: "Di sini ada mayat hidup, orang hidup tidak boleh datang dekat!
Kau mencari mampusmu sendiri?" Tapi belum dia menutup mulutnya, pedang si
nona sudah mengenai baju minyak dari si mayat hidup. Berbareng dengan itu
terdengarlah suara pedang mengenai batu atau kayu keras, bukannya mengenai
tubuh yang berdarah daging. Dan membarengi tikaman itu, di situ menghembus asap
berwarna kuning!
Giok Houw kaget bukan main,
dengan sebat ia menahan napas dan memasuki obat pemunah ke dalam mulutnya.
Selagi asap kuning itu
berkebul, di situ pun terus terdengar suara beradunya senjata tajam. Asap itu
tidak berdiam lama, ketika dari luar ada angin bertiup masuk, buyarlah semua.
Thio Giok Houw lantas melihat
suatu sinar terang berkelebat, atau tertampak robohnya dua orang-orangan kayu
disusuli serta jatuh belarakannya batu-batu permata di lantai pendopo itu. Di
situ pun lantas tertampak si nona mulai dikepung oleh dua orang, melihat siapa,
hati bisa berdenyutan keras. Luar biasa dua orang itu. Di leher mereka
tergantung rencengan uang-uangan kertas, baju mereka ialah baju berkabung, sedang
langan mereka memegang senjata yang berupa tangthung. Dilihat seluruhnya,
mereka mirip dengan mayat.
Menyaksikan itu semua, hatinya
Giok Houw berdenyutan. Ia pernah mengikuti Hek Pek Moko dan pernah melihat
banyak macam barang permata tetapi ini yang bergeletakan di depan matanya
benar-benar istimewa, beberapa di antaranya berharga seharganya sebuah kota.
Jadi itu bukanlah barangnya sembarang saudagar permata.
Di antara itu pun ada satu
amplop besar yang tersegel. Dengan matanya yang awas, Giok Houw melihat
ceplokan cap dari pembesar negeri, yang warnanya merah. Adalah setelah melihat
surat itu, ia lantas mengarti duduknya hal.
Teranglah permata itu ada
barang bingkisan dari propinsi Ouwlam dan kedua mayat hidup itu serta kedua
pengiringnya adalah si pelindung. Di dalam kain minyak dari mayat hidup itu ada
disimpan juga dua orang-orangan kayu itu. Sungguh suatu pikiran bagus akan
menyamar menjadi mayat hidup. Memang, siapa berani mengganggu mayat hidup,
sedang untuk melanggar saja orang takut? Siapa akan menduga, barang bingkisan
itu bisa berada di tubuh si mayat hidup itu?
Tapi sekarang ini yang menarik
sangat perhatiannya Thio Giok Houw bukan lagi barang-barang permata atau upeti
yang berharga besar sekali itu hanya si nona yang lagi menempur kedua mayat
hidup. Ia lantas menduga kepada nona yang disebutkan Bhok Lin. Dia ini tentulah
si Nona Liong itu. Ia berdiam terus, ingin ia menyaksikan kesudahannya
pertempuran itu.
Kedua mayat hidup itu
berkelahi dengan tetap berjingkrakan, gerakan tangthung mereka luar biasa,
itulah bukan ilmu silat tongkat atau toya yang biasa.
Sudah kira-kira tiga puluh
jurus mereka bertempur, lalu mendadak si nona berseru: "Apakah kamu masih
tidak mau mengasi lihat wajah kamu yang sebenarnya? Kamu hendak menunggu sampai
kapan lagi?" Terus pedangnya berkelebatan cepat sekali, menikam ke kiri,
membabat ke kanan.
Kedua mayat hidup itu nyata
bukannya orang-orang lemah, mereka melawan dengan tidak kurang hebatnya. Mereka
pula dapat memainkan tangthung mereka dengan sempurna Demikian selagi dirangsek
si nona, mendadak mereka menghajar dengan berbareng.
Kelihatannya si nona sudah
sangat terdesak, untuknya seperti tidak ada ketika lagi buat menangkis atau
berkelit. Benar-benar dia liehay sekali, tubuhnya sangat lincah. Hanya sedetik
saja, dia dapat mengelit diri, kedua tangthung lewat di sampingnya. Sebaliknya,
selagi senjata lawan jatuh di tempat kosong, pedangnya bekerja terus. Celaka
mayat hidup yang di kanan, dia kena tertusuk.
Mayat hidup yang kiri mencoba
menutup diri. ia pakai senjatanya untuk berlindung. Ia berhasil dengan
tangkisannya, hanya berbareng dengan itu, gegamannya itu beradu dengan pedang,
tertabas putus seketika juga.
"Bagus!" berseru
Giok Houw di dalam hatinya memuji ilmu pedang si nona.
Mayat hidup yang di kanan itu
tidak roboh, berbareng sama kawannya, yang tangthungnya putus, dia tertawa
terbahak. Sebab menyusuli kutungnya senjata itu, semacam tongkat hauwlam atau
anak berbakti selama waktu upacara penguburan orang yang menjadi ayah atau
ibunya, dari kutungan senjata menghembus hawa kuning bagaikan asap!
Giok Houw melihat hawa itu,
dia kaget sekali. Tubuh si nona yang lemas menggeliat, lantas dia roboh
terguling!
Mayat hidup yang di kanan itu
tertawa pula, tangthungnya menyusuli menyerang.
Hebat serangan ini, dengan
suara nyaring senjata luar biasa itu mengenai lantai. Oleh karena si nona yang
gesit sekali, telah menggulingkan tubuhnya jauh kira-kira satu tombak.
"Ah!" Giok Houw
menghela napas lega. Si nona syukur tidak terkena hawa beracun itu.
Satu bencana baru lewat, atau
lain bencana menyusul. Nona itu menggulingkan diri justeru ke arah kedua
pengiring mayat hidup itu. yang semenjak tadi berdiri menonton saja. Mereka ini
melihat ketikanya yang baik, dengan lantas mereka menyambuti, menghajar nona itu
dengan cambuk mereka. Itulah cambuk kulit bukan sembarang cambuk.
Lagi-lagi Giok Houw terkejut,
hanya kali ini ia terus turun tangan. Ia menganggap si nona berada dalam
ancaman bahaya Tanpa bersangsi lagi, ia menimpuk dengan dua batang
jarumnyajarum Bweehoatjiam, yang ia telah siapkan di dalam telapakan tangannya.
Si nona terancam bahaya tetapi
mendadak dia tertawa panjang, tubuhnya mencelat dari tanah, menyingkir dari
cambuk. Bagaikan terbang, dia melewati atasan kepalanya dua penyerangnya itu,
yang menghajar ia sambil tubuhnya sedikit membungkuk. Si dua penyerang
sebaliknya kaget dan kesakitan, hingga mereka berkaok. Lengan mereka terkena
jarum. Lantaran ini, cambuk mereka pun nyasar dari sasarannya, terus mengenakan
hiolouw hingga abu hio jadi muncrat berhamburan!
"Ah!" kata Giok Houw
di dalam hatinya, kalau tahu dia begini liehay, tak perlu aku membantu dia
dengan jarumku..."
Sementara itu. gerakan si nona
berlangsung terus. Kembali terdengar tertawanya yang panjang. Kali ini
disebabkan dia berhasil bergantian menyontek mukanya kedua mayat hidup, yang
memakai topeng, hingga tertampaklah wajah mereka yang asli.
"Haha!" demikian
tertawanya si nona. "Aku menyangka siapa, kiranya kamulah kedua Tjiok
Toaya dari Kiangsie Boen dari Sintjioe!"
Kedua mayat hidup itu melengak
sejenak. Mereka memanglah Tjiok Tjiat dan Tjiok Hoe, dua saudara kembar dari
Sintjioe di propinsi Ouwlam. Sintjioe adalah kota di mana terdapat ilmu gaib,
tempatnya dukun-dukun yang biasa disebut tjiokyoeko. Kiangsie Boen berarti
partai Mayat Kaku, atau lebih benar, mayat hidup. Segala keanehan di sana, yang
bersifat tahayul, tentu dilakukan dua saudara ini atau murid-muridnya. Karena
ilmu sesat mereka itu, kaum Rimba Persilatan juga malui mereka. Soenboe dari
Ouwlam hendak mengirim bingkisan ke kota raja, untuk menjamin keselamatan,
tanpa merasa hina diri, ia mengundang dua saudara Tjiok itu, untuk membantu ia
melindungi bingkisannya itu. Mereka ini, yang umumnya disebut tiangloo, atau
ketua, menerima tugas itu. Untuk namanya keselamatan, mereka dapat memikir
akalnya itu yang liehay. Dua pengiringnya itu ialah murid-murid mereka yang
dapat diandali. Mereka sendiri berparas sebagai mayat, karena mereka selalu
membawa dan mengenakan topeng.
"Hai, kedua machluk aneh,
untuk apa kamu melotot saja?" tanya si nona tertawa. "Siapa yang
takut kepada kamu?"
Dua saudara kembar itu menjadi
gusar sekali.
"Oh, nona cilik yang tak
tahu mampus!" membentak mereka yang terus terseru: "Mari!" Maka
bersama kedua murid mereka, mereka mengurung nona itu.
Si nona benar bernyali besar.
Ia tidak menjadi jeri meskipun ia menghadapi empat musuh yang mempunyai senjata
rahasia beracun itu. Ia bahkan tertawa. Dengan tiba-tiba ia membalingkan
pedangnya.
Tjiok Tjiat berempat merasakan
sambarannya hawa dingin dari pedang itu, seperti juga ujung pedang nempel di
muka mereka. Hampir berbareng mereka berlompat mundur. Kemudian baru mereka
maju menyerang. Mereka tidak mendesak tetapi mereka bisa mengepung dengan baik.
karena mereka menggunai senjata panjang terutama kedua murid itu dengan cambuk
mereka.
Nona itu melayani dengan baik.
cuma sebab musuh berjumlah banyak dan tidak dapat dipandang ringan, pertempuran
mengambil tempo yang lama. Dengan cepat telah berlangsung seratus jurus tetapi
mereka masih sama unggulnya.
Thio Giok Houw menonton dengan
kekaguman. Sekarang ia melihat tegas ilmu silat si nona adalah ilmu silat suatu
partai tersendiri, sedang kelincahan tubuhnya tidak usah kalah dengan
kelincahannya sendiri yang didapat dari ilmu "Tjoanhoa djiauwsie," atau
"Menembusi bunga, mengitari pohon."
Tengah mereka berkutat seru,
sekonyong-konyong tubuh si nona mencelat ke belakang dari si kedua pengiring,
yang berbaju hitam. Mereka ini lantas menyambuk ke belakang tanpa memutar tubuh
lagi.
Si nona berkelit seraya
kakinya terus menyambar, membikin belasan mutiara di lantai bergerak
bergelindingan.
Semenjak tadi semua mutiara
itu terletak di tanah, tidak ada seorang yang berani menginjaknya. Barang
bundar dan licin, siapa menginjak itu, dia bisa terpeleset. Sekarang si nona
menendangnya.
"He, kau bikin apa?"
membentak si kedua pengiring. Mereka berlompat, akan menyingkir dari
butir-butir mutiara itu.
Di luar dugaan, nona itu
menyapu dengan kakinya dengan sengaja menyapu belasan butir mutiara itu yang
besar-besar ke arah mereka.
Sebenarnya mutiara itu. kalau
baru satu kali keinjak, tidak nanti pecah, akan tetapi mereka, yang mengiringi
barang bingkisan, cuma memikirkan barang-barang yang dilindunginya itu tidak
rusak, maka itu, tak sempat mereka berpikir, justeru mereka berkelit, justeru
mereka kena melanggar mutiara itu. begitu kakinya menginjak, dua di antaranya
lantas roboh terguling, ke empat kaki mereka menjulang ke atas!
Segera setelah itu, si nona
maju sambil pedangnya berkelebat.
Tjiok Tjiat mengangkat
senjatanya, tongkat koksong pang ialah semacam tangthung. untuk menangkis.
Karena tangkisannya ini, kedua senjata beradu dengan menerbitkan suara.
Kesudahannya, ia kaget sekali. Tongkatnya itu kena terbabat pedang dan kutung!
Menyaksikan itu, Thio Giok
Houw berpikir: "Hebat nona ini, dia baru dipedayakan atau dia telah
bertindak pula!"
Tongkat Tjiok Tjiat yang putus
itu lantas menyemburkan satu sinar terang serta segumpal hawa hitam, menyusul
itu Tjiok Tjiat sendiri mengayun tangannya, untuk menerbangkan songboen teng,
paku rahasianya yang liehay, yang ada racunnya. Ia pun menimpuk dengan beberapa
batang dalam sekali pukul.
Berbareng sama menyemburnya
sinar terang dan hawa hitam itu, si nona mengibaskan tangannya yang panjang,
hingga anginnya menghembus keras. Maka itu sinar dan hawa hitam itu lantas
tersampok balik ke arah Tjiok Tjiat.
Atas itu, tanpa bersuara lagi,
Tjiok Tjiat roboh terguling tak sadarkan diri. sedang tiga barang paku
beracunnya juga berbalik menancap di badannya setiap lawan itu.
Menyaksikan itu barulah Thio
Giok Houw sadar. Jadinya nona itu sudah siap sedia, dia menangkis serangan
beracun itu dengan sampokan Tiatsioe Sinkang, yaitu ilmu silat Tangan Baju Besi
yang langka
Si nona sendiri lantas tertawa
terbahak seraya mengatakan: "Kamu main gila kamu cari mampus sendiri!
Jangan kamu sesalkan aku!"
Dua orang dengan baju hitam
merayap bangun, dengan mata mendelik saking bencinya, ia mengawasi si nona,
akan tetapi setelah mendapat kenyataan nona itu tidak hendak turun tangan
terhadap mereka, lekas-lekas mereka mengangkat tubuh guru mereka, untuk
digendong, buat segera dibawa lari ke luar kuil itu!
Hebat tetapi tak terdugalah
kesudahannya pertempuran ini, sebab pihak Kiangsie Boen, partai Mayat Kaku,
telah terbinasa dua guru dan dua muridnya.
Habis itu si nona menepuk
tangannya dengan perlahan.
"Karena barang toh barang
hanyut, sukalah aku berlaku sedikit dermawan!" ia kata. "Mengingat
kepada kedua batang jarum Bweehoa tjiam itu, sukalah aku membagi dua
bagian!"
Teranglah dengan kata-katanya
itu si nona memaksudkan Thio Giok Houw, yang ia ketahui bersembunyi di luar
kuil dan telah mengguna! jarum rahasianya membantu secara diam-diam kepadanya.
Thio Giok Houw tertawa, ia
bertindak keluar dari tempat sembunyinya la masuk ke dalam kuil.
"Aku datang ke mari
bukannya dengan maksud meminta bagian dari kau!" katanya terus terang.
"Nona bukankah kau she Liong? Aku numpang tanya, gurumu itu ialah
Tjianpwee yang mana?"
Nona Liong tertawa terkekeh.
"Jadinya kau bukan datang
untuk mendapat bagian!" katanya. "Sang tempo masih banyak, maka itu
kau tunggulah sebentar, hendak aku membereskan dulu barang-barang ini!"
Ia lantas bertindak, untuk
mengangkat sambil menyontek dua lembar kain minyak yang ada gambarnya Mayat
Kaku yang terletak di tanah. Ia masih jalan dua tindak lagi ketika ia menoleh
dan berkata sambil tertawa manis: "Aku membuat capai kepada kau! Sukakah
kau menolongi aku membenahkan itu?"
Sembari berkata, tangan
kirinya merogoh ke sakunya, akan mengeluarkan sebuah kantung kulit, yang terus
ia lemparkan kepada Giok Houw sambil ia berkata pula: "Ouwlam ialah sebuah
propinsi yang makmur, barang bingkisannya bukan sedikit! Kau tolong masuki itu
ke dalam kantung ini. Palangan pit dari batu itu serta mutiara dan kopiah
Hongkhoa, tolong kau pisah-p i sahkan!"
Setelah itu, masih ada aksi
yang menyusul dari si nona. Tangannya menyentilkan sebutir obat pulung yang
berwarna merah dadu ke arah pemuda she Thio itu seraya ia berkata pula:
"Kalau sebentar kau merasa dadamu penuh dan muak, aku minta sukalah kau
makan obat ini!"
Giok Houw melengak, tetapi ia
menyambuti obat itu Di dalam hatinya ia berkata: "Pertemuan ini ada
pertemuan yang pertama kali di antara kita berdua, dia sudah menaruh
kepercayaan begini besar kepadaku, sama sekali dia tidak takut aku menyembunyikan
sesuatu!..."
Untuk membuka kantung itu,
supaya terbuka lebar, ia meniup ke mulut kantung. Segera ia mendapatkan, di
dalam situ ada beberapa lapisannya, yang merupakan kantung rahasia, yang
terbuat dari kulit rase yang lemas. Maka itu, kantung itu saja sudah bukan
sembarang kantung. Lantas ia bekerja, memungut dan memasuki barang-barang
permata itu ke dalam kantung. Ia bekerja dengan terliti. seperti juga ia kuatir
nanti membuatnya ada yang hilang.
Nona Liong sendiri pergi ke
luar kuil. ia tumpuk dua helai kain minyak itu di bawah sebuah pohon, lantas ia
menyalakan api untuk menyulutnya buat membakar itu. Begitu api telah bekerja di
sana tersiar bau bacin, bau mana terbawa angin masuk ke dalam kuil. Giok Houw
membaui itu, lekas-lekas ia memasuki obatnya si nona ke dalam mulutnya untuk
ditelan. Cepat sekali ia merasakan hawa harum, yang seperti segera masuk ke
dalam peparunya, makajuga lenyaplah bau bacin itu yang tak sedap.
Dengan begini tahulah Giok
Houw yang kain minyak itu telah direndam di air racun, menjadi tidak heran yang
pemimpin kedua dari Tjiehong Tjee, karena kesentuh sedikit saja kain itu, telah
mesti mengantarkan jiwanya.
Setelah api padam. Nona Liong
menggali sebuah lubang di dekat tempat pembakaran itu, di situ ia pendam abunya
kain minyak yang beracun itu, kemudian baru ia masuk pula ke dalam kuil di mana
ia mendapatkan Thio Giok Houw sudah selesai bekerja.
"Terima kasih! Terima
kasih!" katanya tertawa seraya mengulur tangannya, guna menyambuti
kantungnya.
Akan tetapi Thio Giok Houw
berkata: "Kantung ini tidak dapat lantas dikembalikan kepadamu!"
"He, kenapakah?" si
nona menanya heran. "Bukankah katanya seorang ksatriya ada sebagai kuda
jempolan diberikan satu cambukan? Bukankah kau telah mengatakan padaku bahwa
kau tidak mengharapi barang bingkisan ini? Haha! Jikalau benar kau tak segan
melanggar janjimu, baiklah, barang bingkisan ini suka aku menghadiahkan
padamu!"
"Aku bukan menghendaki
barang bingkisanmu ini," menerangkan Thio Giok Houw. "Aku cuma ingin
menanya kau, kenapa kau merampas ini barang bingkisan?"
Nona itu mengawasi.
"Bukankah dua hari yang
lalu kaulah yang merampas barang bingkisan dari dua propinsi Kwietang dan
Kwiesay?" ia menanya.
"Tidak salah!"
menjawab Giok Houw terus terang. "Bahkan pada bulan yang sudah aku telah
merampas juga barang bingkisan dari sembilan propinsi!"
"Nah, kau lihatlah!"
berkata si nona. "Kau dapat merampas kenapa aku tidak? Sekarang aku mohon
kau sudi memberikan alasannya!"
Giok Houw berdiam, karena ia
bersangsi.
"Tentang asal-usulnya dia
ini aku masih belum tahu." pikirnya, "pantaskah kalau aku menjelaskan
kepadanya bahwa perampasan barang-barang bingkisan itu ada untuk mengumpulkan
rangsum untuk Tjioe Peehoe dan Yap Peehoe?"
Masih anak muda ini berdiam
sekian lama, baru akhirnya ia menyahuti juga.
"Nona," katanya,
"ada apa-apa yang kau masih belum tahu. Aku merampas barang bingkisan itu
bukannya untukku sendiri."
"Habis, untuk apakah
itu?" si nona menanya, mendesak.
"Di dalam ini hal aku
minta nona sukalah percaya aku." Giok Houw menyahut pula. "Pendeknya,
barang bingkisan yang aku rampas itu. sedikit juga bukan untuk keperluan diriku
sendiri."
Nona itu tertawa.
"Jadi kau maksudkan itu
untuk orang banyak?" tanyanya.
"Benar," jawab Giok
Houw cepat. "Nona Liong, maafkan aku omong terus terang. Kita berdua
bukannya manusia-manusia yang kemaruk harta benda maka itu jikalau
barang-barang rampasan ini kau tidak dapat menyerahkan kepada pihak yang sangat
membutuhkannya, baiklah kau serahkan saja padaku."
"Apakah dapat aku
mengandal hanya kepada kata-katamu ini?" si nona menegaskan.
Pemuda itu mulai menjadi tidak
senang.
"Jikalau kau tidak
percaya aku, aku tidak perlu banyak bicara lagi!" ia bilang.
"Sekarang aku hendaktanya singkat padamu Barang ini kau suka serahkan
padaku atau tidak?"
Nona Liong itu mendadak
tertawa geli.
"Kita baru bertemu kali
ini, kau lantas menghendaki barang-barang yang demikian berharga supaya
diserahkan padamu!" katanya. "Ha! Umpamakan aku percaya kau dan aku
pun tidak menanyakan kau, kau hendak gunai itu untuk apa. Tapi... tapi..."
"Tapi apa nona?"
Nona itu tertawa pula.
"Aku ingin ketahui dengan
cara apa kau dapat membuktikan kepadaku bahwa kau tidak mementingkan dirimu
sendiri?" ia tanya.
Giok Houw menjadi gusar.
"Pulang pergi, nyatanya
kau tidak percaya aku!" katanya keras. "Sekarang ini aku tidak
berdaya untuk menerangkannya tetapi lain kali kau bakal ketahui sendiri!"
Sedang lain orang panas
hatinya dan menjadi gusar, si nona tetap sabar, bahkan lagi-lagi ia tertawa
geli.
"Perlu apa menanti hingga
di lain kali?" katanya. "Sekarang juga aku sudah tahu!"
"Kau tahu apa?" Giok
Houw heran.
"Tahu bahwa kau
benar-benar memenangkan dirimu sendiri!"
Parasnya si anak muda menjadi
pucat, tangannya meraba gagang pedangnya.
"Apakah kau sengaja
hendak menghinai aku?" ia menanya, suaranya dalam.
"Mana aku berani? Mana
aku berani?" sahut si nona. "Aku hanya memikir untuk menanyakan satu
hal padamu..."
"Silahkan!"
"Menurut kata-kata kau.
merampas barang-barang
bingkisan karena ada keperluannya yang besar," berkata si nona. "Dan
itu pun bukan untuk kepentingan pribadimu sendiri. Kalau begitu, maka semua
barang bingkisan di kolong langit ini pastilah kau hendak merampasnya, bukan?
Bukankah itu artinya cuma kau yang diijinkan merampas dan lain orang tidak boleh?"
"Tidak salah, nona.
Memang semua barang bingkisan hendak aku merampasnya. Lain orang bukannya tidak
boleh turut merampas, hanya perampasan itu mesti aku ketahui terlebih
dulu!"
"Jikalau kau terlebih
dulu tidak mendapat tahu?"
"Kalau sampai terjadi begitu
maka teranglah sebab-sebab dari perampasan itu tidak sama dengan sebab-sebab
perampasanku. Kalau begitu, tidak dapat aku tidak mencampurinya tahu! Nona, aku
tidak tahu apa perlunya kau merampas barang-barang bingkisan itu, akan tetapi
rasanya perlu aku memberitahukan kau, dengan perbuatanmu ini kau bakal
membangkitkan amarahnya semua orang gagah di seluruh negeri!"
Nona itu masih tetap dengan
sikapnya yang tenang. Ia tertawa pula
"Jangan kau menggertak
aku!" katanya. "Aku tidak takut digertak! Umpama kata benar semua
orang gagah di seluruh negara telah memilih dan mengangkat kau menjadi kepala
perampasan bingkisan ini. itu masih belum dapat membuat aku puas!"
"Bagaimana, eh? Cobalah
kau omong biar jelas! Sebenarnya di bagian manakah yang aku mementingkan diriku
sendiri? Dan bagaimana caranya supaya aku dapat membikin kau puas?"
Nona itu tertawa tawar.
"Kau bilang kau hendak
merampas semua barang bingkisan dari semua propinsi. Baik! Sekarang aku hendak
tanya kau, kenapa kau bersikap lain terhadap barang bingkisan dari propinsi
Inlam? Kenapa kau melepaskannya? Bahkan kenapa kau memberikan orang sehelai
bendera sebagai perlindungan untuk barang bingkisan itu?"
Ditanya begitu, Giok Houw
bungkam.
"Di antara aku dengan
Keng Sim dan Bhok Lin ada hubungan yang sulit, mana dapat di dalam satu saat
seperti ini aku menjelaskannya semua?" pikirnya
Nona Liong tertawa terbahak.
"Bagaimana? Bukankah
pertanyaanku tepat? Nah. cukup sudah! Aku tidak mau memperdulikan kau, maka kau
juga jangan memperdulikan aku! Siapa yang mempunyai kepandaian, dialah yang
merampas!-Eh, eh, dengar itu!
Kembali ada langganan datang
mengantarkan diri! Bagaimana sekarang, kau yang merampas atau aku?"
Giok Houw memasang kuping.
Benar di luar kuil terdengar tindakan kaki orang. Ia segera melirik kepada si
nona.
"Kita melihat dulu biar
terang, baru kita bicara lagi!" sahutnya. Sembari berkata, ia berlompat ke
gorden malaikat di dalam mana ia menyembunyikan dirinya, la mengambil tempat di
belakang patung. Di dalam hatinya, ia kata: "Kenapa di dalam satu malam
beruntun ada datang dua rombongan barang bingkisan dari dua propinsi? Laginya
di dalam kalangan Kangouw cuma ada satu partai Kiangsie Boen yang sesat itu!
Apakah mungkin pengantar-pengantar dari lain-lain propinsi mau berlaku sebagai
partai ini yang mondok justeru di dalam sebuah kuil tua?"
Giok Houw pun berpikir lebih
jauh, karena si Nona Liong tidak mempercayai ia, ia juga sungkan mempercayai
nona itu. Tengah ia berpikir itu, mendadak hidungnya terhembuskan bau yang
harum, hingga ia terperanjat. Ia lantas mendapat tahu yang si Nona Liong pun
turut menyembunyikan diri di belakang patung malaikat itu!
Tubuh patung bukannya kecil,
akan tetapi dua orang mesti bersembunyi di situ, itulah lain. Dengan begitu,
tidak dapat orang tidak berdiri berendeng dan hampir nempel rambut di samping
kuping dengan rambut di samping kuping!
Hati Giok Houw berdenyutan.
mukanya pun dirasakan panas. Dengan lantas ia menggeser sedikit tubuhnya, atau
si nona segera berbisik di kupingnya: "Orang yang datang ini mungkin bukan
sembarang orang. Aku hendak melihat dulu dengan jelas, baru kita bicara
pula."
Adalah di itu waktu, dua orang
terlihat bertindak masuk.
Kapan Thio Giok Houw telah
melihat tegas dua orang itu, ia sedikit terkesiap. Ia tahu mereka itu, seorang
toosoe atau imam, dan seorang mahasiswa usia pertengahan, ialah Ko In Toodjin
serta Koet Kioe Gie. Memang mereka bukan sembarang orang, merekalah murid-murid
paling kesohor dari Boetong Pay. Tjiangboendjin, atau ketua dari partai itu,
Kioe Djie Tootiang, sudah berusia lanjut, kalau ada urusan, selamanya dua
muridnya ini yang mengurusnya. Lebih-lebih si orang she Koet itu, dia paling
dipercaya ketuanya, atau gurunya, hingga dia mirip dengan wakil ketua. Hinggadi
dalam kalangan Rimba Persilatan ada sebutan, "Ingin menghadap Kioe Djie,
bertemu dulu Kioe Gie."
Setibanya di dalam, Ko In
Toodjin memperdengarkan seruan kaget perlahan.
"Koet Soetee.
lihat!" katanya. "Bukankah mereka ini orang-orangan kayu dari Tj iok
Tiangloo dari Kiangsie Boen? Mungkinkah sulap hantu mereka telah ada orang yang
pecahkan?"
Mendengar itu. Nona Liong
menoleh kepada Thio Giok Houw, ia mengasi lihat roman Jenaka, lidahnya pun
diulur. Ialah yang menghajar dua orang itu. Sekarang ia merasa bahwa
pengetahuan atau pengalamannya tentang dunia kangouw masih berbatas, karena
kedua mayat itu ia tidak sempat membereskannya dulu.
Koet Kioe Gie tertawa lebar.
"Permainan sulap kena
dipecahkan masih tidak apa!" katanya. "Hanya dua manusia kayu ini
telah kena didodet perutnya, dengan hilang jantungnya, itulah hebat!"
Memang barang bingkisan dari
propinsi Ouwlam telah disembunyikan di dalam itu manusia kayu, tentulah si
orang she Koet itu maksudkan barang bingkisannya yang berharga besar seumpama
kata seharga sebuah kota.
Thio Giok Houw hampir tertawa
mendengar kata-kata si mahasiswa she Koet itu. Ia kata di dalam hatinya
"Perkataannya Kioe Gie ini menarik hati! Sama-sama mahasiswa tetapi dia
tidak memuakkan seperti Tiat Keng Sim!"
Ketika itu, air mukanya Ko In
Toodjin lantas berubah.
"Soetee, mari kita
pergi!" katanya keras. Agaknya perasaannya tegang sendirinya.
"Eh. soeheng, apakah
artinya ini?" tanya Kioe Gie.
"Apakah kau telah
melupakan urusan yang dijanjikan kita dengan si dua orang she Tjiok dari
Kiangsie Boen itu?" menanya soeheng itu. si kakak seperguruan.
"Biarlah mereka itu jalan
di muka, untuk menolongi kita membuka jalan," sahut Kioe Gie tenang,
"Kita harus membantu mereka, untuk saling membantu, benar begitu,
bukan?"
"Tidak salah!"
berkata Ko In. "Sekarang ini barang bingkisan mereka telah kena orang
rampas, rupa-rupanya si perampas masih belum pergi jauh, maka mungkin sekali,
sedikitnya, kita dapat menyusul mereka. Umpama kata kita tidak dapat menyandak
mereka, kita pasti akan bertemu sama kedua si Tjiok itu, kepada mereka kita
menjadi boleh meminta penjelasan."
"Apakah soeheng memikir
untuk merampas pulang barang bingkisan itu?" Kioe Gie menanya kakak
seperguruannya itu. "Harus diingat dengan si Tjiok tua kita tidak membuat
itu macam perjanjian. Mereka itu menggunakan sulap hantu dari mayat hidup
mereka, untuk melakukan perjalanan selaksa lie, kalau mereka kehilangan barang
bingkisan yang dilindungi mereka, pantas saja!"
"Ah, soetee, tidak dapat
kau bicara secara demikian," berkata Ko In. "Benar partai Kiangsie
Boen itu tidak disukai kaum Rimba Persilatan, akan tetapi karena bersama-sama
mereka kita terhitung orang-orang yang melindunginya, setelah kita memberikan
janji bantuan kita ---- walaupun sebelumnya tidak ada dibikin perjanjian ----
tanggung jawab toh kita mesti menanggungnya bersama."
"Kedua si Tjiok itu
bukannya orang-orang lemah," berkata Kioe Gie, "mereka pun mempunyai
senjata mereka yang beracun, bahkan mereka diiring pula dua murid kepala
mereka, maka kalau mereka toh sampai kena dirampas, pastilah si perampas
mempunyai kepandaian yang tak di sebawahan kepandaian kita..."
"Kita perduli apa siapa
mereka?" kata Ko In, suaranya tetap. "Kita tidak dapat tidak memegang
janji kita sebagai laki-laki, tidak perduli terhadap pihak Kiangsie Boen. Kalau
kita melenyapkan kepercayaan, mana dapat kami disebut partai Boetong Pay?"
Sebenarnya Kioe Gie masih
hendak bicara pula, tetapi melihat ketegakan soeheng itu, ia terpaksa mengalah.
"Jikalau pikiran soeheng
sudah tetap, baiklah, aku menurut," katanya.
Giok Houw kaget juga. Benarlah
mereka ini ada pelindung-pelindung yang diundang untuk barang bingkisan
propinsi Ouwpak itu. Hanya aneh mereka. Kecuali pedang mereka, mereka kelihatan
tidak membawa barang lainnya, dan pakaian mereka juga tidak mencurigakan ----
ditubuh mereka tidak ada sesuatu yang munjul. Maka itu, bingkisan itu terdiri
dari barang apa dan di manakah disembunyikannya?
"Bagus, soetee!"
berkata Ko In Toodjin. "Asal kita berdua bersatu hati dan bersatu tenaga,
tidak perduli musuh bagaimana tangguh, belum tentu mereka sanggup menindih
kita. Maka, apakah yang kita buat takut? Nah, mari kita berpisahan, kita
mencari si perampas itu. Siapa yang melihat musuh, dia mesti memberi isyarat
dengan bersiul panjang!"
Kioe Gie tertawa lebar.
"Buat apa kita mencari
jauh-jauh?" katanya. "Aku kuatir sahabat-sahabat perampas barang
bingkisan itu masih berada di dalam kuil ini..." Dan lantas dia berseru
nyaring: "Sahabat-sahabat, entah sahabat-sahabat dari kalangan mana,
silahkan keluar untuk bertemu sama kita!"
Tidak heran kalau orang she
Koet ini berseru demikian. Giok Houw dan si Nona Liong berdesakan tanpa mereka
merasa, mereka membikin gorden bergerak sedikit, dan Kioe Gie yang waspada dan
matanya jeli lantas saja melihatnya dan menjadi bercuriga.
Hampir berbareng sama seruan
orang itu, tuhuhnya Giok Houw berlompat keluar dengan pesat sekali.
"Sungguh dia sangat
gesit!" pikir Ko In Toodjin dengan kagum. Tapi, setelah melihat rupa
orang. Ia agaknya tercengang. Ia seperti mengenali anak muda ini tetapi tidak
lantas mengingatnya.
Tidak demikian dengan Koet
Kioe Gie, yang menjadi keheran-heranan.
"Kau! Kau Siauw Houw
Tjoe?" tegurnya.
Kioe Gie berotak terang
sekali, ingatannya kuat, dari itu segera ia kenali pemuda itu.
Kira-kira enam atau tujuh
tahun dulu, tengah membuat perjalanan, Thio Tan Hong lewat di gunung Boetong
San. Ketika itu ia ada bersama Siauw Houw Tjoe, yang ia ajak, maka ia ajak
muridnya itu mampir di itu gunung menjenguk Kioe Djie Tootiang, ketua Boetong
Pay. Ko In dan Kioe Gie -senantiasa mendampingi guru mereka, mereka melihat
Siauw Houw Tjoe, maka itu, setelah tercengang sejenak, Kioe Gie segera
mengenalinya.
Thio Giok Houw merangkap kedua
tangannya memberi hormat.
"Sudah lama kita tidak
pernah bertemu, harap dua saudara baik-baik saja!" katanya sambil tertawa.
"Benar akulah Siauw Houw Tjoe yang dulu itu."
Ko In membalas hormat.
"Sekarang ini
lootjianpwee Thio Tayhiap ada di mana?" ia menanya.
Ketika itu usianya Thia Tan
Hong baru empat puluh kurang lebih, dia ada terlebih muda beberapa tahun dari
ini imam, akan tetapi nama Tan Hong sangat terkenal dan dalam tingkat derajat,
dia seimbang dengan Kioe Djie Tootiang, gurunya, dari itu, Ko In memanggil
lootjianpwee terhadapnya.
"Guruku masih ada di
Tjhongsan di Tali," sahut Giok Houvv. "Selama beberapa tahun ini
soehoe tidak pergi ke mana-mana."
"Eh, Thio Siauwhiap,
mengapa kau bersembunyi di sini?" kemudian Ko In menanya pula.
"Bukankah tadi telah terjadi perampasan barang-barang yang dilindungi oleh
Tjiok Tjiat dan Tjiok Hoe?"
"Benar," Giok Houw
menjawab.
"Apakah kau melihatnya
jelas?" Kioe Gie pun bertanya.
"Dari mula hingga di
akhirnya, semua aku melihat tegas sekali," jawab Giok Houw pula.
Mendengar begitu. Ko In
Toodjin berpikir: "Perampas barang bingkisan itu mungkin liehay luar
biasa, Siauw Houw Tjoe ini kebetulan saja melihatnya, karena kaget dia menjadi
menyembunyikan diri..."
Kioe Gie sebaliknya girang.
"Saudara kecil, kau
jadinya telah melihat semua!" katanya. "Nah, siapakah perampas itu?
Kau kenal dia atau tidak?"
Nona Long masih sembunyi di
belakang patung, ia mendengar nyata semua pembicaraan itu, ia terperanjat juga,
maka sambil menggigit giginya, ia kata dalam hatinya: "Kau boleh sebut
namaku, aku tidak takut! Hm, hm, aku tidak menyangka yang kau bakal membantui
mereka menyaterukan aku!"
Lalu terdengar tertawa nyaring
dari Giok Houw. "Aku kenal dia, kenal sekali!" sahutnya.
"Siapakah dia?"
tanya Ko In cepat.
Siauw Houw Tjoe menunjuk pada
hidungnya.
"Dialah aku
sendiri!" sahutnya pula.
Ko In dan soetee-nya, si adik seperguruan,
tercengang. Hanya sedetik, ia lantas tertawa lebar.
"Siauw Houw Tjoe, kau
lagi bergurau!" katanya. "Baiklah kau lekas mengantarkan aku pergi
menyusul perampas itu!"
"Eh, eh, siapa bergurau
denganmu?" berkata si anak muda. "Apakah artinya ini dua machluk aneh
dari partai Kiangsie Boen? Buat bicara terus terang kepada kamu: Semua barang
dari pelbagai propinsi pun aku yang rampas!"
Imam itu menjadi bersangsi.
Benarkah orang omong terus terang?
"Jikalau benar barang
bingkisan itu kau yang rampas," katanya kemudian, sabar, "aku minta
sukalah kau memandang aku, kau kembalikan barang itu kepada mereka."
"Itulah tidak
dapat!" menjawab Giok Houw terus terang.
"Eh, anak, janganlah kau
tidak tahu salatan," berkata Ko In. "Kau berlakulah baik. kau pulangi
itu kepadaku. Suka aku membantu kau merahasiakan perbuatan kau ini, aku tidak
mungkin memberitahukarnya kepada gurumu."
"Walaupun kau mohon
bantuannya guruku, tidak dapat aku menyerahkan barang bangkisan itu kepada
kau!" kata pula Giok Houw.
Hilang sabarnya si imam.
"Bagus betul!"
serunya. "Nama Thio Tan Hong terkenal di seluruh negara, aku tidak
menyangka dia mempunyai murid semacam kau ini!"
"Eh, aku kenapakah?"
Giok Houw tanya.
"Kau berbuat sembarangan
saja, kau tidak dapat membedakan apa yang baik apa yang buruk!" berkata Ko
In. "Apakah kau menyangka aku tidak berani mewakilkan Thio Tan Hong untuk
memberi ajaran kepadamu?"
"Tunggu dulu,
tunggu!" berkata Giok Houw tertawa. "Aku masih ada bicara!"
Imam itu menyangka orang jeri.
"Baiklah!" katanya.
"Asal kau bisa membedakan yang baik dari yang buruk, aku tidak akan
berlaku keterlaluan terhadapmu!"
"Mari aku tanya!"
berkata Giok Houw tanpa memperdulikan sikap orang. "Bukankah barang
bingkisan yang kamu lindungi itu barang bingkisan dari propinsi Ouwpak?
Sebenarnya barang itu barang apakah dan di mana kamu menyembunyikannya?"
Kembali Ko In menjadi gusar.
"Perlu apa kau menanyakan
itu?" ia menegur.
"Maaf!" berkata si
anak muda. "Dengan memandang persahabatan di antara guru-guru kita, aku
minta sukalah kamu mengeluarkan barang bingkisan itu untuk diserahkan padaku.
Dengan begini tak usahlah keakuran kita menjadi terganggu..."
Kemurkaannya Ko In Toodjin tak
kepalang.
"Apa?" teriaknya.
"Juga barang yang dilindungi kami kau hendak rampas?"
"Terang terang itu ada
semacam upeti untuk raja si bocah, kenapa kau membilangnya itu kepunyaan
kamu?" berkata Siauw Houw Tjoe yang lagaknyajenaka itu. "Sebenarnya,
raja pun tidak terlalu menghargakan barang bingkisan dari sebuah propinsimu
itu! Untuk aku. itu justeru ada besar faedahnya! Kau begini ngotot membelai
raja, bagaimanakah kau masih omong tentang persahabatan denganku?"
Ko In Toodjin menjadi sangat
gusar.
"Ha, Siauw Houw
Tjoe!" serunya. "Berapa banyak tahun sudah latihanmu maka kau begini
berani main gila terhadap aku?" Ia mencabut pedangnya dan lantas menikam.
"Baiklah!" jawab
Thio Giok Houw, secara menantang. "Dengan memandang kau adalah pihak yang
terlebih tua, suka aku mengalah untuk tiga jurusmu!"
Dengan satu gerakan
"Hongtiamtauw," atau "Burung hong mengangguk." pemuda ini
membebaskan diri dari tikaman si imam.
Karena serangannya gagal. Ko
In Toodjin maju dengan tindakannya "Tujuh buah bintang menaik,"
pedangnya turut bergerak juga, dengan sabetan dua kali pergi dan pulang. Untuk
partai Boetong Pay. serangan ini serangan sangat berbahaya Itulah salah satu
jurus simpanan.
"Soeheng, jangan!"
berseru Koet Kioe Gic. menasihati. Ia melihat kakak seperguruannya itu naik
darah dan ia mencegah orang lantas menurunkan tangan kematian.
Ko ln sedang murka, tidak
dapat ia menarik pulang serangannya itu. Ia pun percaya serangannya tidak nanti
gagal.
Akan tetapi Siauw Houw Tjoe
dapat menyelamatkan dirinya. Dengan gesit ia berkelit seraya terus menggunai
tipu silat enteng tubuh "Tjoanhoa djiauwsie." ialah ilmu
"Menembusi bunga, mengitari pohon." Itulah ilmu tubuh lincah yang
menjadi keistimewaan ln Loei, yang telah diwariskan kepada Ie Sin Tjoe dan
pemuda ini pun dapat mempelajarinya.
Kemurkaannya Ko In menjadi
bertambah-tambah, bagaikan lupa diri. ia mengulangi serangannya bertubi-tubi.
Ia menjadi sangat mendongkol dan penasaran sekali.
"Sudah cukup tiga
jurus!" berkata Thio Giok Houw sambil tertawa, selama mana ia terus main
berkelit. "Maafkan aku yang aku tidak dapat mengalah pula!..."
Kata-kata ini dibuktikan
dengan segera. Pemuda ini segera menggunai sentilan Ittjie Siankang!
Ko In Toodjin terkejut, dengan
sebat ia menarik pulang, pedangnya, untuk menutup diri. Tapi
"Traang!" maka pedangnya itu telah kena disentil, suaranya pedang
lantas mengalun. Yang hebat, si imam merasai telapakan tangannya sakit. Tapi
dasarnya liehay, ia tidak menghiraukan itu, dengan bengis ia lantas menyerang
pula.
Siauw Houw Tjoe tidak jeri
untuk serangan ini, tidak perduli itu sangat berbahaya. Ia bahkan menyambutinya
dengan satu pukulan Taylek Kimkong Tjiang atau Tangan Arhat yang ia diajarkan
In Tiong. Dengan sambutan ini ia membuatnya pedang lawan itu menjadi kacau
sasarannya. Ia tidak berhenti sampai di situ. Ia membarengi maju satu tindak,
guna meninju langsung ke dada orang. Kali ini ia menggunai tinju Liongkoen atau
koentauw Naga ajarannya Hek Pek Moko.
Kembali terjadi bentrokan di
antara pedang dan tangan kosong, kali ini telah terdengar suara yang jauh lebih
nyaring daripada sentilan tadi. Kesudahannya pun terlebih hebat pula. Tubuh
Siauw Houw Tjoe limbung karenanya Tapi lebih hebat adalah si imam, dia tergolek
mundur tiga tindak!
Sampai di situ. Thio Giok Houw
hendak membuka mulutnya, untuk bicara, atau mendadak ia menampak berkelebatnya
satu sinar hijau. Sebab Koet Kioe Gie telah maju menyerang secara tiba-tiba.
Pula ia terperanjat akan melihat gerakan pedang, yang tak ketentuan tujuannya,
ke kiri atau kanan.
"Ah, dia lebih liehay
daripada kakak seperguruannya," ia berpikir. Ia sempat berkelit dengan
tipunya "Tjoanhoa djiauwsie". Sekarang ia tidak mau memandang ringan
lagi, dengan lantas ia menghunus senjatanya, golok mustika yang menjadi golok
pusaka. Dengan menggunai golok ini, tempo Kioe Gie menyerang pula ianya dengan
jurus "Hoensim kiam" atau "Memecah Perhatian," ia dapat
menghalaunya sambil terus menghalau juga tikamannya Ko In, yang maju menyusuli
soetee-nya. Pedangnya imam itu lantas kena dibikin terpental!
Thio Tan Hong liehay sekali
dengan ilmu pedangnya, tetapi ialah seorang cerdas, karena Siauw Houw Tjoe,
muridnya itu, bersenjatakan golok, ia lantas menciptakan Hian Kie
Toohoat," ilmu silat "Golok Hian Kie," yang dasarnya iaambil
dari Hian Kie Kiamhoat. "Ilmu Pedang Hian Kie."
Biar bagaimana, dengan
menggunai pedang, Ie Sin Tjoe ada terlebih liehay daripada Siauw Houw Tjoe.
Bahkan dia pun menang dalam ilmu ringan tubuh dan kepandaian menggunai senjata
rahasia. Kemenangan Siauw Houw Tjoe atas soetjie, atau kakak seperguruannya
itu. ialah dalam halnya tenaga, yang jauh lebih kuat dan beberapa pukulan istimewa
ajarannya Hek Pek Moko dan juga ilmu yoganya.
Pertempuran itu, satu lawan
dua, atau dua mengepung satu, dengan lantas menjadi seru. Karena di samping
Siauw Houw Tjoe liehay. Ko In Toodjin dan Koet Kioe Gie tidak boleh dipandang
enteng, sebab merekalah jago-jago Boetong Pay dari generasi kedua, orang-orang
yang paling liehay di antara sepantarannya. Kioe Gie sangat mahir dalam
Lianhoan Toatbeng Kiam. atau ilmu pedang berantai "Merampas Jiwa,"
yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Inilah ilmu yang ia keluarkan
untuk melawan muridnya Thio Tan Hong.
Selagi bertempur itu, Thio
Giok Houw tertawa lebar dan berkata dengan nyaring: "Setelah merampas
barang bingkisan belasan propinsi, baru ini hari aku bertemu sama dua orang
yang benar-benar mempunyai kepandaian berarti! Haha! Inilah pertempuran yang
paling menggembirakan, yang paling mempuaskan!"
"Sungguh satu mulut yang
besar!" kata Kioe Gie, sambil ia menyerang.
Itulah serangan sangat
berbahaya, sebab sasarannya adalah tiga anggauta tubuh.
Siauw Houw Tjoe tidak takut,
bahkan dengan berani ia melawan keras dengan keras. Ialah ia menyambut serangan
dengan tangkisan goloknya.
Begitu lekas kedua senjata
beradu hingga menerbitkan suara berisik, begitu lekas juga Koet Kioe Gie
menjadi terkejut. Ia mendapatkan telapakan tangannya sakit sekali dan
nyer-nyaran dan pedangnya pun meninggalkan sebuah cacad. Oleh karena ini, ia
menjadi terlebih waspada.
Pertempuran berlangsung terus,
Siauw Houw Tjoe tetap dikerubuti berdua. Tanpa merasa mereka melalui seratus
jurus tanpa ada kesudahannya.
Koet Kioe Gie tahu, sebagai
muridnya Thio Tan Hong, Siauw Houw Tjoe mestinya liehay, hanya ia tidak
menyangka orang ada liehay demikian rupa. la menjadi penasaran. Ia berpikir:
"Kita berdua, kalau kita tidak dapat mengalahkan satu bocah, sungguh'
inilah suatu malu bagai perguruan kami!" Karena ini, ia mulai menyerang
dengan menggunai pelbagai jurus dari ilmu pedangnya itu.
Siauw Houw Tjoe tahu orang
mendesak keras, ia berlaku sabar dan tenang. Ke mana juga pedang panjang dari
Kioe Gie menuju, ke sana golok pusakanya menangkis. Kelihatannya gerakan
goloknya itu tidak ada yang luar biasanya tetapi hasilnya tidak pernah gagal.
Goloknya itu pun selalu menghalau pedangnya Ko In Toodjin.
Di matanya Kioe Gie, Siauw
Houw Tjoe bergerak sangat lincah seperti tidak menggunai senjata akan tetapi
kenyataannya anak muda itu mesti bersilat dengan sungguh-sungguh dan
mengeluarkan banyak tenaga, sedang matanya dipentang awas dan kupingnya
mendengari dengan saksama.
Lagi seratus jurus telah
lewat.
"Inilah hebat,"
akhirnya Siauw Houw Tjoe berpikir. "Siapa sangka mereka ini benar-benar
liehay sekali. Sayang tadi aku sudah lantas memunculkan diri, kalau
kesudahannya aku tidak bisa mengalahkan mereka ini, tidakkah aku bakal
ditertawai Nona Liong?"
Selagi Thio Giok Houw
berpikir, Koet Kioe Gie melirik kepada soeheng-nya, si kakak seperguruan, terus
ia berseru keras, pedangnya dipakai menyontek ke perut lawannya itu. Berbareng
dengan itu Ko In Toodjin juga membacok, dari atas ke bawah. Maka juga kedua
pedang dua saudara ini bergerak dengan sama cepatnya.
Hebat ancaman bahaya itu yang
bisa merobek perut atau memapas kepala atau pundak. Akan tetapi orang yang
dikepung itu tidak takut bahkan dia tertawa. Sambil berkelit Giok Houw
menangkis pedangnya Kioe Gie. Dengan satu suara nyaring, pedang itu kena
dibikin mental.
Pedangnya Ko In membacok
terus. Pedang ini tidak ada yang mencegahnya, pundaknya yang diarah si imam.
Giok Houw berkelit dengan
mengeluarkan ilmu yoga ajarannya Hek Pek Moko. Ia tidak menyingkirkan diri, ia
cuma menggeraki tubuhnya. Ia membuatnya dagingnya melesak. Maka ketika bacokan
tiba, melainkan bajunya yang menjadi sasaran, jangan kata dagingnya, kulitnya
pun tidak lecet.
Melihat kesudahan bacokannya
itu, Ko In kaget sekali.
"Marilah upeti itu!"
sekonyong-konyong Giok Houw berseru. Ia membarengi melonjorkan tangannya yang
kiri. Kali ini ia menggunai jurus Houwdjiauw Kimna ajaran Tantai Biat Beng ---
Tangkapan Kuku Harimau.
Ko In terancam bahaya. Kalau
dia kena disambar, celakalah dia, sedang Kioe Gie. yang pedangnya mental, tidak
dapat menolongi padanya. Karena ini, ia telah mengeluh di dalam hatinya,
semangatnya bagaikan terbang.
Di saat imam itu hampir
menerima nasibnya, mendadak terdengar suara tertawa nyaring halus dari belakang
patung, lantas satu nona berlompat keluar, tangan kanannya diulur, mencegah
sambaran Giok Houw, tangan kirinya dikibaskan, untuk menangkis pedangnya Kioe
Gie, yang mencoba untuk menolongi soeheng-nya sambil menyerang lawannya.
Itulah Nona Liong, yang
munculnya membuat dua-dua pihak heran. Giok Houw sampai melengak.
Si nona tertawa tanpa
memperdulikan keheranan orang.
"Eh, dua telur dungu,
apakah kau masih tidak mau kabur?" kata nona itu. "Apakah kamu hendak
menunggu sampai orang dapat merampas barang antaran kamu?"
Ko In tersadar, ia
mengeluarkan seman perlahan, habis mana dia lantas lari kabur.
Kioe Gie tapinya masih membuka
mulutnya.
"Kami kaum Boctorig Pay,
kalau ada budi kami membalas budi, kalau ada sakit hati kami membalas sakit hati!"
katanya. "Aku mohon tanya she dan namamu, nona!"
"Aku melepas budi tanpa
mengharapi pembalasan budi!" sahut si nona. "Apakah kau tidak mau
lantas menyusul kakak seperguruanmu itu? Apakah kau masih hendak menerima dua
bacokan dari ini orang yang derajatnya lebih tua daripada kamu?"
Selagi berkata begitu, si nona
sendiri berkelahi terus, tiga kali ia menangkis serangan Giok Houvv, sebab
pemuda ini menyerang kepada lawan yang belum mau menyingkir itu.
Belum pernah Kioe Gie mendapat
ini macam penghinaan, ia jadi panas hati. Terhadap si nona, ia gusar berbareng
bersyukur. Karena sangat terpaksa, dengan sengit ia kata: "Baiklah,
hitunglah hari ini aku roboh!" Terus ia lompat, lari keluar dari kuil
rusak itu.
Giok Houw tidak mengejar
tetapi ia lompat ke samping.
"Apakah artinya
ini?" ia tanya si nona, matanya bersorot gusar.
Nona Liong tertawa.
"Bukankah kau telah
melihatnya jelas sekali?" sahutnya, membaliki. "Bukankah aku telah
melepaskan dua orang barusan?"
"Aku hanya hendak menanya
kau, kenapa kau melepaskan mereka itu," tegaskan si pemuda.
"Dengan itu barang
bingkisan dari Ouwlam aku mau melepas budi kepada murid-murid Boetong
Pay," si nona menjawab.
Giok Houw mendongkol sekali.
"Aku tidak dapat melepas
budi tetapi kau dapat!" katanya. "Apakah hubunganmu dengan partai
Boetong Pay itu?"
Si nona tertawa.
"Hubungan itu pasti tidak
ada terlebih erat daripada hubunganmu itu!" sahutnya. "Sikapku ialah,
bertemu yang lebih tinggi memberi hormat, bertemu yang lebih rendah, menginjak.
Aku merasa dua orang itu mempunyai pengaruh besar dalam Boetong Pay, aku pikir,
pantas kalau aku melepas budi. maka itu, aku telah melakukannya!"
Giok Houw gusar bukan
kepalang.
"Kalau begitu, marilah
kita main-main!" ia menantang.
Nona itu tidak gusar, dia
bahkan tertawa terpinhkal-pingkal, hingga pinggangnya melengking.
"Kau bergusar tanpa
alasan!" katanya. "Apakah cuma kau yang diijinkan melepas budi dan
aku dilarang? Aku menjual muka kepada Boetong Pay, ini jauh terlebih bagus
daripada kau menjual muka kepada Bhok Kokkong!"
Giok Houw mendongkol tetapi
sekarang barulah ia mengarti maksud perkataannya si nona barusan, yang
menyindir padanya.
"Kau tahu apa?"
katanya, keras. "Aku benar melepaskan bingkisan dari Inlam tetapi itu
bukannya untuk Bhok Kokkong!"
"Aku tidak perduli itu
untuk siapa," berkata si nona. "Kau tidak sudi memberi keterangan,
aku juga tidak mempunyai tempo untuk mendengarinya! Maafkan aku, tidak dapat
aku menemani kau!..."
Nona itu menjejak dengan
kakinya, lantas tubuhnya lompat ke luar jendela, selagi keluar, dia berpaling,
tertawa kepada si anak muda, tangannya pun diangkat. Nyata di tangannya itu ada
kantung bingkisan dari Ouwlam!
"Eh, kau pakai aturan
atau tidak?" Giok Houw tanya. "Berhenti dulu, berhenti! Kita mesti
omong jelas!" Ia lantas lari mengejar.
Sambil lari. Nona Liong
tertawa.
"Ah, kau sangat
rewel!" katanya. "Di waktu begini, siapa mempunyai kesabaran akan
mendengarimu?"
Giok Houw tidak menyahuti ia
mengejar terus. Ia dalam hatinya, ia kata: "Biar aku mengejar dulu, bicara
belakangan!"
Boleh dibilang hampir
berbareng dengan itu, terbawa oleh angin gunung, terdengar caciannya Ko In
Toodjin: "Budak mau mampus! Budak mau mampus! Oh, kau bikin aku mati
mendelu!..."
Mendengar itu, Giok Houw heran
hingga ia melengak.
"Dia menolong mereka,
kenapa sekarang mereka mendamprat dia?" tanya ia di dalam hatinya. Selagi
berpikir, ia dengar suara kaki berlari-lari keras, disusul sama suaranya Koet
KioeGie: "Sudah! Buat apa mengejar terus padanya? Seorang laki-laki, dia
dapat bengkok dan dapat lempang! Biarlah bocah yang masih berambut kuning itu
puas sekarang! Biarlah kita bicara pula setelah nanti kita ketahui tentang asal
usulnya!"
"Heran!" pikir pula
Giok Houw. "Jadi dia pun telah merampas bingkisan propinsi Ouwpak itu?
Kenapa aku tidak dapat melihatnya?"
Itu waktu kembali terdengar
suara tertawa terkekeh nyaring dari si nona, yang bayangannya berkelebat di
satu tikungan bukit, karena mana. Giok Houw berlompat untuk mengejar supaya ia
tidak sampai kehilangan nona itu.
Mereka berdua liehay ilmunya
enteng tubuh, dari itu, cepat sekali lari mereka, hingga di lain saat jauh
sudah mereka meninggalkan Ko In Toodjin dan Koet Kioe Gie. Di situ pun ada
banyak pepohonan di kedua samping.
Nona Liong seperti juga
mengandung maksud sengaja mengadu ilmu lari keras dengan Thio Giok Houw, biar
bagaimana anak muda itu memanggil padanya, ia lari terus, tidak mau ia
berhenti. Karena itu, terpaksa Giok Houw mengeluarkan tenaganya untuk dapat
mengejar terus.
Mereka berlari-lari terus
hingga sang fajar menyingsing. Baru sekarang nona itu memperlahankan
tindakannya.
"Kali ini kita mengadu
ilmu ringan tubuh, kita seri!" katanya tertawa, seraya menoleh. "Kau
letih tidak?"
Giok Houw melihat ke
sekitarnya. Tanpa ia merasa, mereka sudah melewati kota Sianheekwan. Jadi
sedikitnya mereka sudah melalui dua ratus lie lebih. Sendirinya, hatinya
bercekat. Kapan ia mengawasi nona itu, ia mendongkol berbareng kagum. Nona itu
tenang-tenang saja sedang ia sendiri, dahinya mengeluarkan sedikit keringat.
Nona itu tertawa, ia berkata
pula: "Ada pepatah yang membilang, 'Mengantar tuan sampai seribu lie.
akhirnya toh mesti berpisah,' maka itu selagi kita adalah sahabat-sahabat yang
baru berkenalan, sedang kau telah mengantari aku beberapa ratus lie, tidak
berani aku membikin kau bercapai lelah lagi. Mengapa kau tidak memberi selamat
berpisah? Apakah kau masih hendak mengantar aku lagi satu rintasan?"
"Sudah, jangan
bergurau!" sahut Giok Houw. "Mari serahkan upeti itu!"
"Upeti dari propinsi yang
mana?" si nona menegasi. Tapi tanpa menanti jawaban, sambil tertawa, ia
mendahului sendirinya. "Benar! Upeti dari Ouwpak itu aku sendiri belum
melihatnya tegas barang apa! Tunggu sebentar, aku lihat dulu, jikalau itu tak
cocok dengan hatiku, nanti aku serahkan pada kau..."
Ia merogoh ke sakunya, ia
mengeluarkan sehelai ikat pinggang yang bertaburkan kumala ikat emas. Melihat
itu, Giok Houw heran.
"Ikat pinggang itu memang
berharga tetapi bukannya mustika." pikirnya. "Mustahilkah upeti dari
Ouwpak cuma barang semacam ini?"
Sambil berpikir, pemuda ini
terus mengawasi. Si nona memencet pada ikat pinggang itu, yang lebih dulu ia
awasi. Nyata di situ ada dipasangi pesawat rahasia. Begitu dipencet, ikat
pinggang itu terbuka, maka dari situ keluarlah sinar mencorong berkilauan.
Sekarang terlihat tegas, isinya ikat pinggang adalah mutiara-mutiara yabengtjoe
yang bundar-bundar dan besar-besar!
"Bagus!" berkata si
nona tertawa.
matanya pun memain.
"Kiranya barang bingkisan dari Ouwpak ini jauh lebih berharga daripada
kepunyaan Ouwlam. Di sini ada semuanya tiga puluh enam butir, kalau ini dijual,
aku lihat sebutirnya mungkin berharga sedikitnya sepuluh laksa tail perak!
Pantaslah soenboe dari Ouwpak telah mengganggu murid-murid dari Boetong Pay
untuk melindunginya..."
Sekarang Giok Houw bisa
menduga. Rupanya selama di kuil tua itu, berbareng menolongi orang, nona ini
sudah meloloskan ikat pinggang itu yang berada di pinggangnya Ko In Toodjin.
Pantas imam itu jadi demikian gusar.
Sebagai muridnya Hek Pek Moko,
Giok Houw pun tahu harga barang. Benar seperti katanya si nona setiap mutiara
mustika itu berharga sepuluh laksa tail perak.
Nona Liong merapikan pula ikat
pinggang itu.
"Semua mutiara ini cocok
sama hatiku." katanya, tertawa, "dari itu tidak dapat aku
menyerahkannya kepada kau. Tentang upeti dari Ouwlam, jikalau kau
menghendakinya, suka aku membagi dua."
"Siapa main tawar menawar
denganmu?" kata Giok Houw gusar. "Semua barang yang kau rampas, tidak
perduli dari propinsi yang mana, ingin aku mendapati semuanya!"
"Aha!" berseru si
nona. "Sungguh suara yang besar! Bagaimana dapat aku serahkan itu padamu!
Mana orang! Tolong! Siang hari bolong ada orang hendak membegal!"
Giok Houw melengak. Ia masih
belum sadar ketika dari samping, di mana ada rimba lebat, ia mendengar suara
jawaban: "Ya, nona, kami datang!"
"Bagus betul!"
teriak Giok Houw. "Kiranya di sini kau menyembunyikan kawanmu! Kau
memanggil kawan, apakah kau kira aku takut?"
Belum habis si anak muda
berbicara, dari dalam rimba sudah muncul dua nona, yang usianya rata-rata baru
empat-atau lima belas tahun. Melihat mereka itu, ia heran hingga ia tercengang.
Si nona tidak memperdulikan
orang heran.
"Mana Tjoen Heng dan Tong
Bwee?" ia menanya dua nona itu.
Nona yang di sebelah kiri
menyahuti: "Entjie Tjoen Heng dan Tong Bwee pergi merampas upeti dari
Kangsee. Katanya, setelah berhasil, mereka akan menanti siotjia di
Tjiatkang."
"Bagus!" menjawab
nona itu, yang dipanggil siotjia --- jadi ialah nona majikan. "Upeti dari
dua propinsi Ouwlam dan Ouwpak ada padaku sekarang, aku letih, pergilah kamu
yang bawa. Kamu juga menantikan aku di Tjiatkang."
Giok Houw tercengang. Ia ingat
keterangannya Bhok Lin. Jadi inilah kedua nona, atau budak, yang telah merampas
upeti dari dua propinsi Inlam dan Koeitjioe.
Selagi anak muda in; berpikir,
kupingnya mendengar suara angin "Ser!" lalu matanya melihat gerakan
kedua tangan si nona. Tangan kirinya melemparkan kantung upeti dari Ouwlam
kepada budaknya yang satu, tangannya yang lain menimpukkan sabuk upeti dari
Ouwpak kepada budaknya yang lainnya.
Karena sangat mendongkol, Giok
Houw menjejak tanah, ia lompat ke arah budak yang mau menyambuti upeti dari
Ouwpak itu. Itulah lompatan "Burung menyambar kelinci."
Si budak kaget, dia berteriak.
"Jangan takut, Hee
Ho!" berseru si nona. "Tidak nanti ada orang dapat merampas
barangmu!"
Kata-kata ini dibarengi sama
lompatnya si nona, yang berbareng pun mengibaskan tangan bajunya, maka itu
belum sempat si pemuda dan si pemudi turun di tanah, tangan mereka sudah
bentrok. Nona itu menggunai kebutan dengan ilmu silatnya "Tiatsioe
kang" atau Tangan Baju Besi," lengan Giok Houw kena dikibas, meski si
anak muda tidak terluka, dia toh merasakan sakit, sedang si anak muda telah
menggaet robek ujung bajunya si pemudi. Maka itu, kesudahannya mereka seri,
cuma Giok Houw gagal merampas sabuk mutiara itu.
Kedua budak itu sangat cerdik
dan tubuh mereka pun sangat enteng dan lincah, selagi muda-mudi itu
"bertempur" keduanya sudah lantas lari kabur, hingga di lain detik,
bayangan mereka juga sudah tidak nampak.
Si nona tertawa geli.
"Semua barang bingkisan
sudah dibawa pergi!" katanya. "Apakah kau masih ingin main-main
denganku?"
"Aku cuma mau minta dari
kau!" sahut Giok Houw kaku.
"Ah," kata si nona
menghela napas, "benar aku lagi malang... Kenapa aku justeru bertemu sama
kau? Sebenarnya pernah aku mendengar di kalangan Kangouw suka terjadi golongan
Hitam makan golongan Hitam, tetapi belum pernah aku mendapatkan orang sebengis
kau ini!"
Bukan main mendongkolnya si
anak muda.
"Kau mau serahkan atau
tidak?" dia menanya singkat. "Aku tidak mempunyai tempo untuk kau
gerembengi!"
"Eh, kau aneh
sekali!" si nona tertawa. "Sebenarnya, kau yang menggerembengi aku
atau aku yang menggerembengi kau? Kau sudah merampas upeti dari belasan
propinsi dan aku tidak minta suatu apa dari kau!"
"Sudah, sudah!" kata
si anak muda, jang kewalahan mengadu omong. "Kita jangan banyak omong
lagi, mari kita lihat siapa menang siapa kalah!"
Nona itu mengawasi, tenang.
"Bicara dari hal peri
kepantasan, kau tidak dapat melawan aku," katanya, "maka kau jadi hendak
bertempur! Benarkah? Baiklah! Kau bicara tentang bertempur, aku bersedia!
Bagaimana? Kau membilang hendak bertempur, kenapa kau tidak mau lantas turun
tangan?"
"Aku seorang laki-laki,
tidak dapat aku menghina wanita!" sahut Giok Houw. "Kau maju lebih
dulu!"
"Kalau pria, bagaimana
sih?" tanya si nona. "Aku toh berdiri di sini! Mana dapat dikatakan
kau menghina aku?"
Nona ini membuat main tangan
bajunya, matanya melirik. Dia telah siap sedia, tetapi selama Giok Houw tidak
bergerak, dia pun berdiam saja.
Pemuda itu kewalahan, terpaksa
ia tidak mau pakai aturan kaum Kangouw lagi.
"Awas!" ia berseru
seraya terus menyerang, dengan tipu silatnya "Tujuh bintang menembusi
bunga," yang menggertak berbareng menyerang benar-benar, datangnya dari
samping. Ia menyerang tetapi tidak dengan Seantero tenaganya dan gerakannya
juga rada lambat. Ia mau bersedia untuk perlawanan si nona.
Selagi anak muda ini menyerang
setengah hati itu, mendadak dua tangan baju si nona sudah bergerak saling
susul, ia pun berteriak: "Awas!" Kedua tangan bajunya itu panjang,
yang kiri dibikin menggulung, yang kanan menyerang.
Giok Houw tidak menyangka,
hampir saja tangannya kena digulung. Ia berkelit dengan menggunai satu jurus
dari Tjoanhoa Djiauwsie. Dengan tangannya terhindar dari bahaya, ia tidak bisa
menolong pundaknya, yang disambar ujung baju, tapi ia tidak mendapat bahaya,
karena dengan ilmu yoganya, ia masih dapat berkelit. Ia segera membalas
menyerang, hanya sasarannya ada tempat kosong, sebab si nona menghalau diri
dengan gesit.
"Terima kasih untuk
mengalahmu!" berkata nona itu, suaranya perlahan. Kata-katanya itu diikuti
tertawanya yang merdu. Nyata Giok Houw mendengar suara itu di kupingnya. Ia
menguasai diri, untuk berlaku tenang. Dengan sebat ia menyambar ke samping
dengan cengkeramannya. Tapi kembali ia menyambar sasaran kosong.
"Hebat nona ini,"
pikirnya. "Kelihatannya dalam ilmu ringan tubuh ia tak kalah dengan entjie
Sin Tjoe." Sedang ia berpikir, kembali ia diserang si nona, yang kedua
tangan bajunya menyambar-nyambar pula.
Giok Houw mempunyai banyak
guru, pelajarannya pelbagai macam, tetapi menghadapi Nona Liong ini, ia heran
sekali. Tidak bisa ia menduga orang ada dari partai mana. Belum pernah ia
melihat ilmu silat orang ini.
Dalam tempo yang pendek, dua
puluh jurus sudah lewat. Pertandingan ini rada kipa. Benar mereka bersama-sama
bertangan kosong tetapi si nona menang karena tangan bajunya terlebih panjang
dan tangan bajunya itu merupakan semacam senjata. Dengan begitu, kedua tangan
si anak muda menjadi seperti terlebih pendek. Beberapa kali hampir ia kena
dihajar.
"Apakah selanjutnya kau
masih berani memandang enteng kepada bangsa wanita?" berkata di pemudi
sambil tertawa geli.
Giok Houw mendongkol sekali.
"Apakah kau menyangka
benar aku tidak sanggup melawan kau?" katanya sengit.
Dengan tiba-tiba ia menyerang
hebat sekali, sampai suara anginnya bersiur keras. Ia telah menggunai satu
pukulan dari Taylek kimkong tjioe. Meski begitu, ia cuma menggunai tenaga lima
bagian.
Benar-benar gesit si nona.
Diserang demikian hebat, ia masih bisa menghalau dirinya, bahkan habis berkelit
itu, ia membalas menyerang dengan sebat.
"Ah, tidak, seberapa
liehay!" katanya tertawa. Lalu kedua tangannya menyerang, pula saling
susul, mengarah dada si pemuda.
Giok Houw menjadi penasaran,
setelah berkelit, ia melanjuti serangannya. Ia terus menambah tenaganya atas
setiap serangannya itu, seperti juga ia tidak mengenal kasihan lagi.
Si nona melayani dengan air
muka terus tersungging senyuman, tetapi di dalam hati, sebenarnya ia terperanjat.
Mulanya, hatinya terkesiap. Ia tidak menyangka orang sebenarnya demikian
liehay.
Sesudah mendesak hingga enam
belas jurus. Nona Liong nampak main mundur saja. meskipun tangan bajunya yang
panjang terus bergerak, ia seperti cuma dapat menangkis tetapi tidak dapat
membalas menyerang. Toh kelihatan tegas lincahnya tubuh dan tangannya serta
tindakan kakinya. Ia dapat mengimbangi serangan-serangan dahsyat itu. Tidak
pernah si anak muda dapat menyerang dengan berhasil.
"Dalam tenaga dalam, ia
kalah dari aku," akhirnya Giok Houw berpikir, "hanya dalam ilmu
ringan tubuh, aku benar harus menyerah."
Lantas pemuda ini mengguna
siasat. Mendadak saja ia menarik pulang tangannya, yang baru dipakai menyerang
hebat itu.
Nona Liong merasakan
kekosongan, karena lenyapnya desakan, tanpa merasa, tubuhnya terjerunuk ke
depan. Ia kehilangan keseimbangan dirinya. Justeru itu, si pemuda mengubah cara
menyerangnya. Telapakan tangannya yang terbuka lantas ditekuk tiga buah
jerijinya, yang sepasang lagi ia pakai menyerang dengan ilmu silat Tiattjiekang
jurus Tiattjiehoei atau Sampokan Jeriji Besi. Ia menyambar tangan bajunya si
pemudi, ketika ia menggores, "Bret!" terdengar suara nyaring. Tangan
baju itu pecah terbelah dua, hingga nampak lengan yang putih halus dari nona
itu!
Mukanya Nona Liong menjadi
merah, ia jengah sekali.
Giok Houw menjadi tidak enak
hati. Ia menang satu jurus sesudah ia bekerja keras. Ia sebenarnya mau
menghaturkan maaf atau si nona sudah mendahului ia. Mulanya nona itu
memperlihat roman sungguh-sungguh, habis itu dia tertawa dan kata dengan
tampan: "Tidak apa! Benar kau menggunai akal tetapi tetap kau menang satu
jurus! Baiklah, sekarang aku mau belajar kenal dengan sen j atamu." Ia
tidak menanti jawaban, ia mendahulukan mencabut pedangnya yang berkeredepan.
"Tunggu, tunggu
dulu!" berkata Giok Houw. "Kita harus omong dulu biar jelas. Umpama
kata kau kalah, bagaimana? Kalau kita main merabu saja, itulah tidak ada
artinya."
"Baiklah." menyahut
si nona. "Mari kita bertaruh."
"Taruhan apakah
itu?" Giok Houw menanya.
"Kita bertaruh dengan
semua barang bingkisan dari semua propinsi," jawab si nona.
Mendengar itu, Giok Houw
tertawa bergelak.
"Taruhan ini cocok dengan
hatiku!" katanya. "Kalau aku kalah, maka semua bingkisan dari belasan
propinsi pun akan aku serahkan padamu!"
Akan tetapi si nona menggeleng
kepala
"Aku tidak menghendaki
kepunyaanmu itu," katanya.
"Bagaimana?" kata
Giok Houw heran. "Kau tidak menghendaki kepunyaanku sebaliknya aku
menginginkan kepunyaanmu! Kalau begini, apakah artinya taruhan kita ini?"
"Kau dengar dulu
aku," berkata si nona sabar. "Sebenarnya malam ini kita sudah
melakukan dua rintasan. Yang pertama itu ialah mengadu ilmu enteng tubuh.
Mulanya dalam seratus lie lebih, kau ketinggalan, kau tidak dapat mengejar aku,
kemudian lagi seratus lie lebih, aku mulai kesusul. Coba kita tidak berhenti
untuk beristirahat, setelah lari-larian lagi seratus lie, ada kemungkinan kau
bakal melombakan aku. Maka itu, aku mau anggap kita seri. Coba bilang,
pertimbanganku ini adil atau tidak?"
Giok Houw berpikir. Sebenarnya
ia kalah cepat, kalau ia toh dapat menyusul, itu disebabkan tenaga dalamnya
yang menang, ia lebih ulet.
"Adil!" ia menyahut,
menyeringai. Biar bagaimana ia rada likat. "Hanya akulah seorang lelaki,
di dalam halnya tenaga, aku menang unggul. Sebenarnya aku malu."
Tapi nona itu tertawa dingin.
"Kalau aku tidak akan
menyebut-nyebut perbedaan di antara pria dan wanita!" katanya. "Hm,
hm! Apakah benar pria selamanya lebih menang dari wanita?" Ia hening
sejenak, lantas ia menambahkan: "Barusan kau menggunai akal, biar begitu,
aku menganggapnya kau yang menang. Maka sekarang tinggal rintasan yang ketiga,
umpama kata aku kalah, aku jadi kalah dua kali, aku tidak akan membilang
apa-apa lagi, semua barang bingkisan dari sembilan propinsi, yang aku telah
rampas, semua akan aku serahkan padamu. Andaikata kau yang kalah, kita anggap
kita seri. Itu artinya, aku tidak menghendaki barangmu, kau jangan menghendaki
barangku. Beginilah cara pertaruhan kita. Apakah kau puas?"
Pertaruhan itu ada menguntungi
Giok Houw, meski begitu, anak muda ini toh berpikir.
"Sudah terang nona ini
ada terlebih kepala gede daripada aku. Bukankah ia sengaja hendak
mengalah?" demikian pikirnya.
Melihat orang berdiam saja,
nona itu menuding dengan pedangnya.
"Kau akur atau
tidak?" dia tanya, sikapnya j umawa. Tapi dia tertawa.
Giok Houw menghunus golok
mustikanya. Ia pun tertawa.
"Akur!" sahutnya.
"Hanyahendak aku memberitahukan kau, golokku ini golok mustika!"
"Aku sudah tahu!"
jawab si nona. "Kau mulailah!"
Nona ini demikian jumawa
hingga ia tak menghiraukan golok mustika.
"Tadi aku yang mulai,
sekarang giliranmu." kata si pemuda. "Aku tidak dapat menang
sendiri."
"Baiklah!" kata si
nona tanpa sungkan lagi. Ia membalingkan pedangnya, pedang Tjengkong kiam,
habis mana ia menikam dengan jurus "Bintang mengejar rembulan." Ia
mengarah muka.
Di dalam hatinya. Giok Houw
tertawa.
"Baru sekarang kau
menggunai kekerasan," pikirnya. "Baik aku melayani dengan
tenang."
Akan tetapi si nona menggunai
akal. ia cuma menggertak, sebelum ujung pedangnya mengenai sasarannya, mendadak
ia mengubahnya menjadi "Mega melintang di atas puncak Tjin Na."
Serangan ini hebat akan tetapi
Giok Houw tidak terlalu menghiraukannya.
"Ah, kiranya dia pun dari
Boetong Pay..." pikirnya.
Serangan si nona itu mestinya
menyambar ke kiri, untuk membabat lengan kanan dari lawanan. Giok Houw
menggunai belakang goloknya, untuk menyampok. Tapi nona itu berlaku cerdik dan
sebat, ia mengubah tujuannya, dari kiri ke kanan, terus ia menikam ke nadi.
Tentu sekali si anak muda menjadi terkejut, repot dia membela diri. Serangan
ini membikin dia mengeluarkan keringat dingin. Dengan sukar saja dia dapat
melindungi nadinya itu.
Setelah itu, si nona mendesak,
menyusuli serangan yang kedua, lalu datang yang ketiga. Yang kedua kali itu ada
jurus dari ilmu silat Khongtong Pay yang dinamakan "Bengto tjianlie,"
atau "Unta lari seribu lie," ujung pedang menikam ke bawah, mencari
dengkul. Giok Houw tidak mengarti banyak tentang ilmu silat Khongtong Pay,
meski ia kenali jurus ini, ia tidak berani berlaku alpa. Ia melindungi
dengkulnya dengan jurus, "Memindahkan gunung menguruk lautan."
Aneh ilmu silat si nona
setelah bekerja, tikaman itu bukan lagi tikaman Khongtong Pay. Sebab datanglah
serangan yang ketiga itu, yang berantai. Kali ini Giok Houw mengenali
"Hokmo Kiamhoat," ilmu pedang "Menakluki Siluman" dari
JSiauwlim Pay Utara Itulah jurus "Wie To hangmo," atau "Malaikat
Wie To menakluki hantu." Ujung pedang membabat ke bawah.
Untuk membela dirinya, Giok
Houw menangkis dengan jurus "Dengan sebuah tihang menahan langit."
Kali ini, pemudi itu cuma
menggertak, pedangnya ditangkis tetapi lolos.
Giok Houw menangkis sambil
memutar tubuh, lalu ia merasakan hawa dingin di bebokongnya. maka lekas-lekas
ia berkelit pula. Hampir saja tulang punggungnya kena disontek pecah!
Si nona tertawa seraya
berkata: "Kalau harimau galak tidak ditaklukkan sekarang, hendak menanti
sampai kapan lagi?"
Tentu sekali ia menjadi gusar,
sebab ia telah dipermainkan. Segera ia menyerang secara bengis, sambil
menyerang ia kata dengan dingin: "Marilah lihat, aku dapat membekuk naga
atau kau dapat mencekuk harimau!"
Giok Houw menang tenaga
daripada si Nona Liong, ia hanya kalah enteng tubuh dan belum mengenal ilmu
silat pedang orang yang luar biasa itu, tetapi sebagai seorang yang. cerdas,
setelah banyak jurus dilewatkan, ia bisa lantas mengambil keputusan. Pikirnya:
"Aku boleh tak usah perdulikan lagi dia dari partai mana, cukup asal aku
melayani dia dengan ilmu golok Hian Kie Toohoat. Pula tidak perlu aku
mencapaikan hati untuk memecah setiap serangannya itu, hanya baiklah aku tonton
dia mempunyai berapa banyak macam jurusnya yang aneh-aneh itu."
Putusan ini lantas diwujudkan.
Hian Kie Toohoat meminta
tenaga besar tetapi Giok Houw dapat melayani itu, maka itu belum lama, kedua
pihak menjadi sebanding. Sama-sama mereka bisa menyerang dan membela diri.
Kedudukan Giok Houw menjadi teguh, bahkan kadangkala dengan golok mustikanya
itu ia dapat mencoba untuk membentur pedang si nona.
Sembilan belasjurus telah
dikasih lewat, selama itu Nona Liong sudah menggunai juga sembilan belas macam
jurus yang berlainan, yang terang ada dari sembilan belas partai, maka itu Giok
Houw heran sekali.
"Nona ini berusia tak
berbedajauh daripada usiaku, kenapa dia dapat menggunai ilmu silat dari
demikian banyak partai dan bahkan banyak pula perubahannya?" ia menanya
dirinya sendiri.
Habis sembilan belas jurus
itu. Nona Liong masih dapat membuat perubahannya.
Giok Houw berpikir keras
sekali.
"Ah!" katanya pula
dalam hatinya. "Sekarang aku ingat, ini macam ilmu silat pedang campuran
pernah aku melihatnya, hanya entah di mana..."
Oleh karena mengingat
demikian, ia berpikir lebih jauh. "Hok Thian Touw!" pikirnya
tiba-tiba. "Ya, Hok Thian Touw! Ketika pertama kali aku bertemu dengannya.
Thian Touw sudah dapat mengumpul ilmu pedang dari tiga belas partai, kemudian
setelah dia memperoleh petunjuk dari guruku, hingga dia menginsafi sarinya Hian
Kie Kiamhoat, dia dapat pula ilmu silatnya empat partai lain. Dengan begitu, sama
sekali, dia telah dapat mencangkok pelajaran dari tujuh belas partai. Dan tahun
yang baru lalu, menurut entjie Sin Tjoe, Tjio Keng To pun telah memberi pinjam
kitab ilmu pedangnya, sedang Tjeng Yang Tjoe telah memberikan dia salinan kitab
pedang Tjengshia Pay. Dengan begitu, semua-semua dia telah mendapatkan
pelajaran dari sembilan belas partai. Maka itu, mungkinkah dia ini ada
hubungannya sama Hok Thian Touw?"
Sampai di situ, pemuda ini
dibuatnya ragu-ragu. Ia ingat satu hal lain.
"Nampaknya tak
cocok," demikian pikirnya pula. "Selama diadakan rapat besar, Hok
Thian Touw suami isteri telah diminta bantuannya, dan mengenai urusan merampas
barang-barang bingkisan pelbagai prooinsi, mereka juga telah memberikan
janjinya. Kalau nona ini ada hubungan sama mereka suami isteri, kenapa sekarang
dia menentangi aku?"
Selama itu pertandingan
berjalan terus. Nona Liong, yang menang gesit, menang juga kedudukan. Dengan
kecerdikannya, dia mengambil tempat yang membelakangi matahari, yang dari fajar
telah menaik tinggi. Dengan pedangnya, dengan kesehatannya dia menyerang
berulang-ulang. Di sesebelahnya, Giok Houw berlaku tenang. Ia menangkis setiap
kali ia diserang. Ia tetap membawa sikap membela diri, ia berlaku waspada agar
tak sampai salah tangan. Kalau sewaktu-waktu ia berhasil membentur pedang si
nona. ia membuatnya tangan nona itu sakit dan sesemutan, nyer-nyeran.
Lama-lama kedua pihak saling
mengetahui kelebihan atau kekurangan mereka tapi umumnya si nona yang kalah
imbangan. maka kalau dia bukannya membelakangi matahari, tentulah dia sudah
kalah.
Giok Houw bisa melihat orang
mulai kalah unggul, ia terus melawan dengan tenang tetapi dengan semangat
terlebih mantap. Adalah si nona yang gede kepala, penasaran kalau dia sampai
kalah, maka dia mencoba untuk merubah keadaan kipa itu. Dia mengeluarkan pula
pelbagai jurusnya yang aneh-aneh.
Dengan begitu, banyak jurus
telah dilewatkan pula. Nona Liong mulai bernapas sengal-sengal. Ia telah
memaksakan tenaganya, maka itu keringan tubuhnya tidak dapat menolong terus
padanya.
Inilah benar pertarungan
"Naga berebutan, Harimau bergulat." She nona itu, Liong, berarti
"naga," dan namanya si pemuda Houw, berarti "harimau."
Biar bagaimana. Giok Houw
mengagumi lawannya ini. Semenjak dia muncul dalam dunia Kangouw, inilah lawannya
satu-satunya yang paling tangguh.
Selama melayani itu, untuk
berlaku waspada, Giok Houw beberapa kali melepaskan ketikanya yang baik, adalah
kemudian, mendadak ia berseru keras, goloknya menyambar ke kiri ke arah mana si
nona berkelit. Itulah serangan dari jurus "Memegat pedang hijau," dan
sasarannya ialah ujung pedang.
Nona Liong itu berkelit seraya
terus mengelit juga pedangnya, setelah itu ia membalas, ia berbalik menikam
jalan darah djiekie hiat di rusuk kiri si pemuda. Ia menggunai jurusnya
"Jarum emas menusuki benang."
Biarnya serangan ada sangat
Iiehay, si Nona Liong masih bisa menghindarkan dirinya. Karena ini, lagi sekali
Giok Houw maju, tangan kirinya menjambak, tangan kanannya membacok. Itulah
bacokan "Burung bangau mementang sayap." Ia percaya, kali ini ia
tidak bakal gagal lagi.
Sudah lama mereka bertanding.
Giok Houw mulai mengarti ilmu silat si nona, maka itu ia telah cari ketikanya
yang baik itu.
Mendadak saja si nona
menjerit, tubuhnya terhuyung ke depan, seperti mau roboh.
Giok Houw kaget.
"Ah, dia tak kenal
jurusku ini!" pikirnya. "Benarkah golokku ini melukai dia?"
"Tentu sekali ia merasa
sayang kalau lengan si nona cantik itu sampai terbabat kutung...
Kejadian itu ada cepat sekali,
bagaikan kilat berkelebat.
Dalam kagetnya, Giok Houw
segera menarik pulang goloknya. Belum sempat ia melihat, si nona terluka di
mana, mendadak nona itu tertawa haha-hihi, tubuhnya bangun berdiri, pedangnya
menyambar! Dan belum sempat Giok Houw mengetahui apa, ujung ikat kepalanya
telah terpapas kutung. Tentu sekali ia kaget bukan main.
"Terima kasih, kau telah
mengalah!" berkata si nona perlahan, kembali tertawa.
"Apa artinya ini?"
tanya Giok Houw setelah dia sadar.
"Maaf, kali ini akulah
yang menang!" berkata si nona, tertawa. "Selanjutnya kita merampas
masing-masing, aku larang kau mengganggu aku pula!"
Giok Houw melongo mengawasi
nona itu. Ia kalah karena diakali, tapi apa ia bisa bikin! Di dalam
pertempuran, orang tidak dapat dilarang menggunai tipu daya. Percuma ia
penasaran.
"Aku tahu kau tentulah
tidak puas!" berkata nona itu. "Maka aku akan berikan kau ketika
sekali lagi! Mari, mari, kita berjanji dengan menepuk tangan!"
"Apakah artinya
itu?"
Si pemuda mendongkol tetapi ia
menanya juga.
Si pemudi tertawa.
"Kau jangan marah,
bisakah?" ia kata, sabar. "Dengan sikapmu ini, kau mensia-siakan
maksud baik orang... Ah, benarkah ini yang disebut, 'Anjing menggigit Lu Tong
Pin karena tak tahu hati baik manusia'?"
"Baiklah!" kata Giok
Houw akhirnya. "Kau bicaralah!"
"Kita menetapkan tempo
tiga bulan, nanti kita bertemu pula di Pakkhia!" berkata si nona.
"Sampai itu waktu kita nanti membuat perhitungan, kita melihat barang
rampasan upeti siapa yang terlebih banyak..."
"Jadi kau tetap hendak
bertaruh denganku?" tanya Giok Houw panas.
"Apakah itu tetap atau
tidak tetap?" kata si nona bersenyum. "Apakah kau masih hendak
memaksa aku. melarang aku merampas upeti?"
"Sebenarnya apa maksudnya
pertaruhanmu ini?"
"Aku artikan, siapa yang
merampas lebih banyak upeti dialah yang menang!"
Giok Houw mendongkol. Kata ia
dalam hatinya: "Bukankah dengan begini kau hendak mempersulit aku? Kau
sudah dapat merampas banyak, masih kau hendak merampas lebih jauh! Bagaimana
aku nanti dapat memberikan pertanggungan jawabku kepada semua orang gagah yang
menghadiri rapat?"
Hampir pemuda ini tak dapat
menguasai dirinya lagi. Baiknya si nona lantas berkata pula setelah dia tertawa
cekikikan.
"Aku lihat kau kelabakan
tidak keruan, maka itu aku hendak bertaruh lagi denganmu..." katanya.
"Aku hendak memberi ketika satu kali lagi. Kalau barang rampasanmu lebih
banyak daripada barang rampasanku, maka semua barang rampasan itu akan aku
serahkan pada kau. Sebaliknya demikian juga!"
Giok Houw mengawasi nona itu.
Ia seperti tidak mau mempercayai kupingnya sendiri.
"Benarkah itu?" ia
menegaskan.
"Jikalau kau tidak
percaya, marilah kita bersumpah dengan menepuk tangan!" berkata si nona.
"Mari memastikan
dulu!" kata Giok Houw. "Kita menetapkan dari harganya semua upeti
atau dari banyaknya setiap propinsi?"
"Dari banyaknya setiap propinsi!"
Giok Houw pikir, pertaruhan
itu menguntungi pihaknya.
"Bagaimana? Kau masih
memikirkan apa?" tanya si pemudi, mendesak. "Apakah kau takut keok
hingga kedua tanganmu menjadi kosong melongpong? Ah, aku tidak menyangka, kau
sangat menghargai barang sampiran melebihkan segala apa!"
"Aku hanya meminta
penetapan," Giok Houw menerangkan. "Aku tidak mau menang
unggul..."
"Nah, kau
bicaralah!"
"Aku mempunyai banyak
kawan dan barang rampasannya itu termasuk atas namaku."
"Siang-siang aku telah
mengetahui itu! Aku sendiri mempunyai empat budak dan semua barang rampasan
mereka terhitung rampasanku juga. Aku hanya kuatir budak-budakku yang kasar itu
belum tentu kalah dari orang-orang gagahmu itu!..."
"Baiklah!" kata Giok
Houw cepat.
"Seorang ksatria tidak
omong main-main! Mari kita berjanji dengan menepuk tangan! Apakah kata-katanya
janji itu?"
Si pemudi melonjorkan kedua
tangannya, sembari tertawa ia kata: "Kata-kata itu ialah: Menang senang,
kalah puas, tak menyesal selama-lamanya!"
Giok Houw menepuk satu kali,
ia menyebutkan janji itu.
Kemudian, memenuhkan tepukan
tangan, mereka saling menepuk tiga kali lagi. Selama tangan mereka beradu, Giok
Houw merasakan ada hawa hangat yang pindah bersalur ke tangannya terus ke
seluruh tubuhnya hingga hatinya goncang.
"Bagus!" berkata si
nona. "Sekarang aku hendak lekas pergi merampas barang-barang bingkisan
beberapa propinsi di Kanglam, kita masing-masing mengeluarkan kepandaian
sendiri-sendiri! Kau jangan ikuti aku ya!"
Ia tertawa, selagi tertawa
tubuhnya berlari pergi, hingga kelihatan bajunya saja berkibar-kibar.
Giok Houw berdiri di atas batu
yang tinggi, mengawasi orang berlalu. Ia bingung, ia tidak tahu ia mesti
berdongkol atau bergirang terhadap nona itu...
Tidak lama, pemuda ini pun
berangkat, menuju kc propinsi Tjiatkang. Di sepanjang jalan ia masih terus
ingat si nona. Ia mengharap-harap di Tjiatkang akan bertemu pula dengan dia
itu. Karena ini, urusan merampas upeti jadi seperti urusan yang nomor dua...
IV
Gelombang di Laut Timur.
Beberapa hari kemudian maka di
tepian telaga Seeouw di Hangtjioe telah terlihat munculnya seorang muda yang
pakaiannya sederhana mirip seorang tani, hanya biar bagaimana, dandanan itu
tidak dapat melenyapkan romannya yang gagah. Sebab ialah Siauw Houw Tjoe alias
Thio Giok Houw yang tengah bertaruh sama Nona Liong, bertaruh siapa lebih
banyak dapat merampas barang bingkisan propinsi untuk kaisar...
Di kota Hangtjioe ini Giok
Houw telah mengatur orangnya hidup bersembunyi guna mencari tahu halnya upeti
propinsi Tjiatkang dan sekarang ia datang untuk menemui pembantunya itu. Ia
ingin ketahui, upeti sudah diberangkatkan atau belum dan siapa pengantarnya. Ia
ingin mendahului Nona Liong merampasnya.
Ketika itu ada di pertengahan
musim semi, di mana-mana di telaga Seeouw itu, bunga-bunga bwee dan lie sedang
mekar dan bunga bwee belum lagi rontok. Maka indahlah pemandangan alam di situ.
Tapi Giok Houw tengah berpikir, ia tidak menghiraukan pemandangan itu, ia
berjalan terus melewati beberapa tempat kesohor, terus menuju ke barat sampai
di bukit Samtay San. Tengah ia berjalan itu, ia mendengar tertawanya
orang-orang yang lagi pesiar.
Seorang yang dandan sebagai
seorang mahasiswa, berkata: "Tahun ini telaga Seeouw tambah satu tempat
kesohor, yang menambahkan bukan sedikit keindahannya telaga."
"Apakah kau maksudkan
kuburannya Ie Kiam?" tanya seorang. "Itukah tepat! Ie Kokloo paling
menyukai Seeouw, maka ia memesan supaya dikubur di sini, untuk ia menemani
kuburan Gak Hoei. Mari kita menjenguk ke sana!"
Setelah matinya Ie Kiam,
karena tahu rakyat tak puas, kaisar Eng Tjong mengijinkan Tjo Thaykam
menguburkannya dengan baik di tepi telaga Seeouw itu. Kemudian setelah tukar
kaizar, kaizar yang baru mencuci penasarannya Ie Kiam itu, dia dianggap berjasa
dan dihormati dan anak angkat Ie Kiam diperkenankan mendirikan rumah abu untuk
Ie Kiam itu, rumah abu yang diberi nama Sengkong Sie. Maka di samping
kuburannya pula ada rumah abunya.
Mendengar itu, Giok Houw
mengingat suatu apa, maka ia kata dalam hatinya: "Meski penasaran Ie Kokloo
dilampiaskan, sekarang toh anak dan menantunya masih terlunta-lunta, maka itu
perbuatan raja ini masih palsu juga!"
Mahasiswa itu lalu
bersenandungkan syairnya Ie Kokloo yang memuji keindahan Seeouw, sedang
kawannya berkata pula: "Setelah menutup mata, Ie Kokloo dapat bersemayam
di Seeouw ini, ia tentu legajuga hatinya."
Diam-diam Giok Houw mengikuti
dua orang itu sampai di kuburan Ie Kiam dan rumah abunya, di depan itu, yang
merupakan lapangan, ada berkerumun banyak orang, entah apa yang dilihat. Supaya
tidak menarik kecurigaan orang. Giok Houw tidak pergi menghunjuk hormat ke
kuburan IeKiam itu. iacumamemuji di dalam hati, ia terus menghampiri orang
banyak itu, yang ternyata lagi menonton tukang jual silat, rupanya kakak dan
adiknya wanita. Mereka itu mau bertanding dengan tangan kosong merebut golok.
Girang Giok Houw melihat dua
orang itu, ialah orang-orang yang ia justeru lagi cari. Mereka itu bernama Tjoe
Poo dan Tjoe Leng. Mereka pun lantas melihat dia tetapi mereka berlagak pilon.
Dua orang itu memang asal
tukang menjual silat, maka bisa sekali mereka berbicara rapi dan hormat, untuk
menyenangkan para penonton. Tjoe Poo kata, kalau pertunjukannya bagus dilihat,
ia minat dibagi sedikit uang, kalau jelek, ia minta dimaafkan. Setelah itu. ia
membacok kepala Tjoe Leng, adiknya.
"Aduh, engko!" si
nona menjerit.
"Tega kau membacok
aku!..." Tapi ia berkelit sebat sekali, hingga bunga bwee saja yang
ditancap di rambutnya ini yang kena terbabat.
Orang banyak kagum, sedang
mereka yang mengarti silat, bersenyum, sebab itu dua sedang bergurau.
Lantas keduanya bertempur
terus, dengan seru.
"Ah, engko, kau kejam
sekali!" kemudian kata pula si nona, si adik, yang terus mencoba merampas
golok orang.
Tjoe Poo melawan, ia
meloloskan diri.
Mereka bertempur puluhan
jurus, sampai banyak mata penonton kabur.
Kembali terdengar si nona
menjerit, sebab goloknya sang kakak mengancam, hanya kali ini berkesudahan
golok itu kena dirampas nona itu. Nona itu berkata: "Kau tidak berhasil
membacok aku!" Ia terus tertawa.
Dan penonton pun pada tertawa,
bersorak memuji.
Sambil tertawa Tjoe Poo lantas
menghadapi orang banyak, untuk memberi hormat dan mengucap terima kasih.
"Semua tuan memuji kau,
lekas kau menghatur terima kasih!" kemudian katanya pada adiknya kepada
siapa ia berpaling.
Tjoe Leng melepaskan sepasang
goloknya, ia mengambil tetampan sebagai gantinya, sambil membawa itu kepada
para penonton, kepada siapa ia pun memberi hormat, ia kata dengan manis:
"Terima kasih! Terima kasih!"
Beberapa penonton melemparkan
uang ke dalam tetampan itu.
Selagi ucapan terima kasih si
nona masih terdengar terus, mendadak seorang yang tubuhnya besar lompat masuk
ke dalam gelanggang, untuk menegur Tjoe Poo: "Kan bernyali besar! Kau
berani melanggar undang-undang!"
Tjoe Poo heran.
"Undang-undang apakah itu
tuan? Benarkah orang dilarang menjual silat?" ia tanya.
"Kita di Hangtjioe
melarang itu!" membentak orang itu.
"Tapi sudah beberapa kali
kami membuka pertunjukan di sini," kata pula Tjoe Poo. "Banyak
penonton di sini yang mengenali kami. Belum pernah aku mendengar ada larangan.
Tuan, kau..."
"Perduli apa kau
terhadapku!" bentak orang itu. "Akulah yang mengurus kau! Mungkin kau
tidak ketahui larangan itu, yang baru diumumkan hari ini!"
"Oh, begitu? Maaf, aku
tidak tahu..."
"Tapi dapat kau lantas
diberi ampun! Kamu berdua turut aku ke kantor!"
Menduga orang ada orang
polisi, Tjoe Poo berkata pula: "Baru hari ini kami datang pula ke mari,
benar-benar kami tidak tahu larangan itu, maka itu, Toako, tolong kau maafkan kami..."
"Ya, siapa tidak tahu dia
tidak bersalah," kata beberapa penonton. "Toako, kau maafkanlah
mereka"
"Tidak bisa!"
membentak orang itu.
"Benar-benarkah Toako mau
paksa membawa kami ke kantor?" tanya Tjoe Poo. "Kau lihat, kami belum
dapat sebanyak satu tail perak! Apa guna membawa kami ke sana? Baik begini
saja, uang ini Toako ambil untuk minum teh!..."
Tjoe Poo menunjuk uang
saweran.
"Hm, siapakesudian uangmu
itu!" kata orang itu, tetap galak. Tapi mendadak dia menyengir dan
menambahkan: "Memandang kepada itu nona, baiklah, aku ampunkan kau kali
ini! Dengan apa kau akan membalas budi?"
"Budimu ini yang besar
tidak nanti kita lupakan." kata Tjoe Poo terpaksa. Bukan main ia menahan
sabar.
"Siapa kesudian ucapan
terima kasih kosong!"
"Habis Toako menghendaki
apa?"
"Aku ingin supaya adikmu
ini menjadi budakku selama tiga bulan. Namanya saja budak, sebenarnya tidak
nanti aku sia-sia dia! Kau jangan takut! Nona, sukakah kau mengikut aku?"
Lalu dengan ceriwis ia ulur tangannya untuk mencolek pipi si nona.
"Plok!" demikian
suara keras, dari tangan Tjoe Leng yang melayang ke pipi orang itu, hingga dia
kaget dan kesakitan dan menjadi gusar sekali.
"Budak kurang ajar!"
teriaknya. "Kau berani memukul aku!" Dia mementang kedua tangannya,
menubruk ke arah si nona.
Tjoe Poo tak ingin berselisih,
toh ia habis sabar.
"Kurang ajar! Kau berani
menghina adikku?" katanya gusar. Dengan tangan kiri menolak tubuh adiknya,
dengan tangan kanan ia meninju.
Orang itu menangkis, hingga
dua-duanya sama-sama mundur tiga tindak.
"Kurang ajar!" dia
mendamprat, terus dia menyerang dengan jurusnya "Harimau hitam mencuri
jantung."
Tjoe Poo menangkis dengan
jurus "Djie Long memanggul gunung." lalu menyerang pula dengan
"Tangan mementil piepee." Tapi orang itu masih dapat berkelit,
kembali dia menyerang. Maka itu, mereka jadi bertarung.
Giok Houw menonton, ia heran.
"Kenapa Tjoe Poo tidak
dapat mengalahkan orang ini?" pikirnya. "Jangan-jangan orang ini
bukan sembarang orang polisi..."
Di tempat ramai itu, tidak
dapat Giok Houw sembarang memperlihatkan diri.
Lagi beberapa jurus, pundak
Tjoe Poo kena tertinju. Tjoe Leng jadi penasaran, ia mau maju membantu kakaknya
itu. Atau ada orang yang mendahului ia. Dari luar kalangan orang itu berlompat
masuk, terus dia kata: "Lepas tukang silat ini! Mari bersamaku pergi
menghadap soenboe!"
Orang itu muda, giginya putih,
bibirnya merah, romannya tampan. Melihat dia itu, Giok Houw girang. Orang
adalah Bhok Lin. Pantas dia segera mengajak pergi pada soenboe yaitu gubernur.
"Bhok Lin biasa tidak
dapat mencegah mulutnya, aku tak boleh terlihat dia," pikir Siauw Houw
Tjoe. Maka ia mencoba menyembunyikan diri.
"Kau siapa, tuan?
Kelihatannya mulutmu besar sekali!" kata si orang bertubuh besar itu, yang
serangannya gagal. Ia mendongkol.
"Perlu apa kau tahu
diriku siapa?" Bhok Lin membaliki. "Kau mau melepaskan orang ini atau
kita menghadap soenboe?"
"Hm! Aku justeru menerima
titah soenboe untuk menangkap dia!" seru orang itu. "Kau jangan
usilan!"
"Jadi kau menerima titah
soenboe untuk menghina wanita muda?" kata Bhok Lin tertawa. "Haha!
Kalau begitu, tidak dapat aku tidak mengurusnya!"
Orang itu penasaran, ia
menyambar pula ke si nona.
Bhok Lin pun tidak tinggal
diam saja ia melindungi si nona dengan satu totokannya. Tepat ia mengenai
sasarannya, hingga orang itu terkejut. Inilah dia tidak sangka, sebab dia
mengira orang muda ini lemah. Dia sengaja menggertak tapi orang tidak kena
digertak. Lekas-lekas dia membebaskan sendiri totokan itu. Selagi dia berbuat
begitu, tangannya si anak muda melayang ke kupingnya, hingga dia merasakan
sakit, kupingnya lantas bengap. Dia pun memuntahkan darah, karena dua giginya
rontok. Hajaran ini lebih hebat daripada gamparan Tjoe Leng tadi.
Bukan main gusarnya orang
bertubuh besar ini. Ia memang guru silat di kantor soenboe. Tidak tempo lagi,
ia menyerang pula. Tangannya yang dijaga Bhok Lin ia telah mendahulukan menarik
pulang.
Bhok Lin menghalau serangan
itu.
Tjoe Poo hendak membantui tapi
Bhok Lin, yang melihatnya, lantas berkata: "Tjoe Toako. jangan kau merusak
aturan kaum kangouw! Kalau kita mengepung dia, dia kalah tak puas!"
Mendengar ini, Giok Houw
tertawa dalam hatinya: "Baru ia dapat beberapajurus dari soehoe, sekarang
dia coba muncul di dunia kangouw. Ah, dia bakal merasakan banyak pahit getir!..."
Mereka lantas bertempur. Benar
seperti dugaan Siauw Houw Tjoe, putera Hertog dari Inlam itu lantas keteter.
Guru silat dari soenboe ternyata liehay, kalau tadi dia kena digaplok, itulah
sebab dia seperti dibokong.
Selagi keadaan kipa itu, orang
bertubuh besar itu menyerang semakin hebat. Dia mendesak sangat kepada bagian
yang lemah dari hertog muda itu. Ketika kemudian dia menghajar bergantian
dengan tangan kiri dan kanan, dan itu disusuli sama satu tendangan, Bhok Lin
menjadi kelabakan. Baru dengan menggunai tipu berkelit "Tjoanhoa
djiauwsie" ajarannya Sin Tjoe, bisa juga ia meloloskan diri dari rangkain
itu di bagian atas, sedang di bagian bawah, ia terus terancam bahaya.
Adalah di saat sangat
berbahaya untuk si hertog muda, ada terdengar seruan: "Pouw Loodjie,
jangan kurang ajar!"
Seruan itu disusul sama
berlompat masuknya satu orang ke dalam kalangan. Dia melompati kepala banyak
penonton. Tepat dia menaruh kaki di antara Bhok Lin dan penyerangnya itu,
ketika dia menolak, si penyerang lantas roboh terlentang!
Giok Houw heran atas kejadian
itu. Orang yang datang sama tengah itu justeru Seng Hay San, adik seperguruan
dari Tiat Keng Sim. Tapi yang terlebih aneh lagi adalah munculnyaTjio Boen Wan,
isterinya Hay San itu, bersama seorang opsir kelas tiga.
"Toako," kata isteri
itu, yang menyesali suaminya, "kenapa kau begini sembrono? Tidak dapatkah
kau memisahkan saja? Kenapa kau lantas membuatnya orang roboh?"
Hay San menyeringai, kulit
mukanya merah.
"Menyesal, aku
terpaksa." sahutnya. "Aku melihat soehoe ini hebat sekali, aku kuatir
Bhok Kongtjoe terluka, terpaksa aku menggunai tenaga sedikit besar. Aku tidak
menyangka dia tidak, dia tidak..."
Ia tidak meneruskan
perkataannya itu, sebenarnya hendak dia meneruskan: "...punya guna."
Orang bertubuh besar itu
bangun dengan berlompat. Ia menjadi gusar sekali.
"Kelinci dari mana berani
menghina Pouw Toaya?" katanya nyaring, dan ia mengawasi dengan bengis
kepada Haj' San. Justeru itu, matanya bentrok sama si opsir kelas tiga, yang
berdiri mendampingi Hay San, maka hatinya jadi terkesiap. Dia mengenali orang
itu adalah Ong Tjiauw, guru silat di kantor soenboe yang berbareng menjadi
tongleng atau komandan dari barisan serdadu pengiringnya soenboe sendiri. Dia
bukan sebawahan opsir itu tetapi dia dapat diperintah ia itu. Pula ialah yang
tadi menyerukan dia jangan kurang ajar.
Untuk sekejab, Ong Tjiauw
memandang bengis kepada sersi itu, habis itu dia tertawa dan mengulurkan
tangannya akan mengusap-usap bajunya Bhok Lin, yang penuh debu.
"He, kau bikin apa?"
ia menanya.
"Bhok Kongtjoe, kau
kaget!" kata Ong Tjiauw tetap tertawa.
Bhok Lin heran.
"Aku tidak kalah, aku
kaget kenapa?" ia menanya pula.
Karena tidak dapat muka, Ong
Tjiauw memandang pula si orang she Pouw.
"Eh, Pouw Loodjie,
tahukah kau siapa tuan muda ini?" ia menanya suaranya bengis. "Dialah
Bhok Siauwkongtia, putera dari Bhok Kokkong dari Inlam! Kau tidak mau
lekas-lekas menghaturkan maaf?"
Sersi itu menjadi ketakutan,
maka juga ketika ia berbicara, suaranya menggetar: "Maaf. Aku yang rendah
Pouw Eng, aku mempunyai mata tetapi tidak mengenali gunung Taysan.
Siauwkongtia, maaf."
"Aku tidak mau
mempersalahkan kau," kata Bhok Lin. "Aku hanya mau minta ini saudara
dan adiknya dimerdekakan."
"Boleh, boleh!"
berkata Pouw Eng, yang terus memberi hormat pada Tjoe Poo berdua, sedang di
atas tetampannya Tjoe Leng ia meletaki sepotong uang perak.
Nona itu tertawa
"Aku toh tak usah lagi
menjadi budakmu, bukan? Terima kasih!" katanya jenaka.
Tjoe Poo lantas membenahkan
segala alat pertunjukkannya, yang ia gendol di pundaknya.
Melihat pertunjukan sudah
berhenti, orang banyak lantas bubaran.
Tjoe Poo tidak membuang tempo,
bersama adiknya dia berlalu dengan cepat. Mereka ambil jalan tanah pegunungan.
Selagi lewat di samping Thio Giok Houw tadi, ia mengangkat pikulannya tiga
kali, memberi tanda rahasianya, tandanya ia berada di Samthian Tiok.
Bhok Lin sendiri sudah lantas
belajar kenal dengan Seng Hay San. Ia kata: "Bagus sekali gerakan tanganmu
barusan. Bolehkah aku mengetahui she dan namamu yang besar?"
Putera Kokkong ini belum tahu
Hay San ialah soetee, adik seperguruan, dari Keng Sim.
"Namaku tidak berharga,
tak usahlah dipikirkan." sahut Hay San.
"Inilah Seng Toako,"
si opsir mengajar kenal. "Ya, ya, ialah sahabatku."
Meski begitu, ia tidak mau
menyebutkan namanya Hay San.
Giok Houw heran.
"Seng Hay San dan
isterinya adalah pembantu yang diandalkan Yap Toako," pikirnya.
"Kenapa mereka berada di kota Hangtjioe ini dan menunjuki diri di tempat
umum bahkan bergaul sama opsir tentera kelas tiga? Inilah heran..."
Tentu sekali, di waktu begitu,
ia tidak dapat menemui Hay San. untuk minta keterangan, bahkan ia lantas
menyingkir dari orang she Seng itu. Ia pergi ke Sengkong Sie, di situ ia pinjam
pit dan kertas dari biokong, penjaga rumah abu itu, kemudian ia lekas keluar
lagi. Ia melihat Hay San belum jalanjauh. Lekas-lekas ia menulis alamatnya,
terus ia meletaki pitnya, kemudian dengan melesaki kopiahnya hingga mukanya tak
nampak nyata, ia menyusul dengan larinya limbung, tetapi lekas. Tepat selagi
lewat di samping Hay San, hingga tubuh mereka saling bentur perlahan, ia
selipkan kertasnya di tangan orang.
"He, kau jalan tanpa
mata?" membentak si opsir kelas tiga. Ia melihat orang jalan
terhuyung-huyung dan melanggar sahabatnya.
Giok Houw tidak meladeni,
sekejab saja ia sudah pergi jauhi menikung di tikungan gunung, hingga opsir itu
menjadi heran. Orang bergerak bagaikan bayangan.
"Eh, orang itu seperti
aku kenal!" mendadak Bhok Lin berseru. Ia pun melihat orang lewat.
"Tidak bisa jadi!"
kata si opsir. "Dia orang tani, mana Siauwkongtia kenal dia?"
Meski begitu, ia agaknya
curiga.
Bhok Lin lantas tertawa. Ia
ingat sekarang.
"Ya, mataku kabur!"
katanya. "Dia mirip budakku. Tentu saja budakku tak dapat datang ke
mari."
"Hanya orang dusun itu
cepat sekali jalannya..." kata si opsir, yang masih curiga
Giok Houw sendiri melintasi
Lengin Sie, dari barat ia mendaki bukit, untuk pergi ke Thianboen San, di mana
di sekitarnya banyak puncak, yang umumnya disebut gunung Thiantiok San. Itulah
gunung yang menjadi pusat dari dua cabang gunung selatan dan utara dari
pegunungan di Seeouw itu.
Samthian Tiok adalah nama
gabungan dari Siangthian Tiok, Tiongthian Tiok dan Heethian Tiok, ketiga kuil
yang berada terpisah di dalam rimba lebat di gunung Thiantiok San. Tjoe Poo
mengangkat pikulannya tiga kali, yang dua kali rendah, yang satu kali tinggi,
itulah isyarat hahwa ia tinggal di dekat kuil Tiongthian Tiok. Mulai dari kuil
Lengin Sie, ke sana Giok Houw menuju. Ia mendaki gunung, melintasi puncak
Hoatin Hong, naik pula di bukit Hongsie Nia, terus ke puncak Tiongin Hong,
sampai di Heethian Tiok. Dari sini ia jalan kira seratus lie, baru tibalah ia
di Tiongthian Tiok, atau kuil Thiantiok Sie Tengah. Di tanah pegunungan ini,
pepohonan tinggi-tinggi,
pemandangan alam indah. Dari
depan Tiongthian Tiok dapat dipandang puncak Goatkoei Hong dari mana tersiar
harumnya bunga koei, sedang bunga-bunga liar tersebar di sana sini.
Menyaksikan keindahan alam
yang mentakjubkan itu. Giok Houw pikir: "Hangtjioe benarlah daerah yang
indah permai, dialah sorga di muka bumi. Pantas Ie Kokloo telah memesan untuk
dikubur di tepinya telaga Seeouw."
Giok Houw berjalan di rimba di
belakang kuil, tidak lama ia menemui sebuah rumah yang di tembok tanahnya ada
dilukiskan sebuah bundaran. Ia menghampirkan rumah itu. Baru ia hendak mengetok
pintu atau Tjoe Poo berdua adiknya sudah muncul.
"Tadi hampir terbit
onar!" kata kawan ini tertawa. "Apakah Totjoe tidak terlihat siapa
juga?"
"Tidak," sahut orang
yang ditanya, yang sebelumnya bertindak masuk menggusak dulu tanda bundaran
itu.
Setelah berduduk, mereka
memasang omong. Nyatalah Tjoe Poo dan adiknya telah mendapat tahu adanya
larangan dari wedana dari Hangtjioe, yang dilarang bukan cuma pertunjukan silat
hanya segala macam pertunjukan lainnya dari orang kaum kangouw sampaipun segala
tukang sulap dan lainnya lagi. Tjoe Poo tahu Giok Houw bakal sampai, dia
memilih muka kuburan Ie Kokloo untuk membuka pertunjukannya itu. Dia sengaja
tidak memperdulikan larangan itu.
Giok Houw heran atas larangan
itu.
"Kenapa kota Hangtjioe
mengadakan larangan sekeras ini?" pikirnya. "Kenapa orang kangouw
dijaga begini keras? Apakah telah terjadi sesuatu? Aku mesti
memperhatikannya."
Lantas ia menanyakan halnya
bingkisan dari Tjiatkang.
"Untuk itu telah diundang
dua guru silat kenamaan," sahut Tjoe Poo. "Cuma sampai sekarang,
barang belum diberangkatkan, entah apa sebabnya."
"Siapakah kedua pelindung
itu?"
"Yang satu ialah Djitgoat
Loen Touw Kong dan yang lainnya Imyang Tjioe Tie Pa," menyahut Tjoe Poo.
"Untuk dunia kangouw,
mereka itu tergolong kelas satu," berkata Giok Houw. "Kalau soenboe
telah mengundang mereka, kenapa keberangkatannya bingkisan diperlambat? Ah,
jangan-jangan dia menggunai akal. Terangnya jalan di Tjiantoo, diam-diamnya
menyeberang di Tintjhong.' Dia
sengaja mengundang kedua guru silat itu sebagai pelabi, agar orang mengetahui
merekalah si pelindung, tetapi sebenarnya dia telah memakai lain orang dan
barangnya sudah diberangkatkan..."
"Ini tidak mungkin,"
menjelaskan Tjoe Poo. "Aku telah mengunjungi pangtjoe dari ketiga partai
Hayyang Pang, Tjengko Pang dan Tjiehoay Pang, mereka itu banyak kupingnya,
semua perahu dan kereta di dalam dan di luar kota Hangtjioe merekalah yang
menguasainya tetapi mereka tidak pernah melihat orang yang mencurigai
meninggalkan kota Hangtjioe. Juga menurut Pangtjoe dari Tjiehoay Pang, di
antara barang hadiah itu ada sebuah sekosol kumala untuk mengukir mana baru dua
hari yang lalu soenboe mengundang beberapa tukang ukir yang pandai untuk
mengerjakannya."
"Raja naik di tahta sudah
hampir tiga bulan, cara bagaimana hadiahnya masih belum di kirimkan?" kata
Giok Houw. "Kalau begitu, terpaksa kita mesti menanti tibanya dua
sahabatku untuk minta keterangan dari mereka, mungkin tahu apa-apa mereka
tentang ini."
"Siapakah itu yang
dijanjikan. Totjoe?"
"Dialah yang tadi
memisahkan pertempuran. Dialah adik seperguruannyaTiat Keng Sim."
Tidak adajalan lain, mereka
lantas menantikan. Sampai magrib, orang yang ditunggu itu belum juga muncul.
Kemudian ada terdengar siulan halus.
Giok Houw segera membukai
pintu.
"Kenapa baru sekarang
kamu datang?" ia menanya.
Itulah SengHay San dan
isterinya. Mereka menemui dulu Tjoe Poo kakak beradik.
"Siauwkongtiaitu
lucu," kataHay San. "Dia menanyakan aku panjang lebar, dia malah
minta aku memberi petunjuk tentang ilmu silat. Maka itu, aku memerlukan waktu
untuk dapat meloloskan diri."
"Memang begitu adatnya
Siauwkongtia!" kata Giok Houw tertawa. "Kalau, tidak begitu, aku pun
tidak nanti menjadi sahabatnya."
Lantas mereka berduduk.
"Siauw Houw Tjoe,"
kata Tjio Boen Wan. "Eh, salah, sekarang kaulah Tjongtotjoe! Ketika
pertama kali aku bertemu denganmu, kaulah seorang kacung yang nakal sekali.
Sekarang?
Kaulah si pemimpin utama
perampasan barang-barang hadiah untuk raja! Sungguh, seorang Enghiong asalnya
ialah si orang muda! Tidak kecewa kau menjadi adik seperguruan dari entjie Ie
kami!"
"Apakah entjie Ie
baik?" Giok Houw tanya.
"Baik! Ia bersama Yap
Toako ketahui kau mengusahakan perampasan barang bingkisan itu, mereka berterima
kasih, kepadamu. Hanya sayang bingkisan dari Tjiatkang, tidak dapat kau
merampasnya."
Giok Houw heran.
"Kenapa?" dia
menanya. "Apakah mereka hendak turun tangan sendiri?"
"Bukan, mereka hanya
tidak mau merampas. Bahkan melarang lain orang merampasnya."
Giok Houw menjadi bertambah
heran.
"Tidakkah dengan begitu
mereka menjadi pelindungnya soenboe dari Tjiatkang?"
"Begitulah kira-kiranya.
Hanya ada satu batasnya, ialah batas laut Tanghay."
"Ah, mengapa
begitu?" Giok Houw tanya untuk ke sekian kalinya
"Kau dengar
keteranganku," berkata Seng Hay San. "Selama beberapa tahun ini,
pekerjaan kita sulit sekali. Di satu pihak kita mesti menangkis perompak kate,
di lain pihak kita mesti juga melayani tentera air dari pemerintah. Bukankah
kau pun ketahui itu? Tapi paling belakang ini Thio Soenboe dari Tjiatkang itu
secara rahasia telah mengutus orangnya kepada kami, mengajaki membuat suatu
perjanjian."
"Inilah aneh!" Giok
Houw tertawa "Bukankah soenboe itu hendak melakukan suatu tukar menukar
dengan kita? Perdagangan apakah itu?"
"Memang! Mulanya kita pun
heran. Kemudian ternyata dia minta supaya kita melindungi barang bingkisannya
sampai di kota raja dengan selamat. Untuk itu dia berjanji, selama satu tahun
dia tidak bakal menyerang kita."
Giok Houw menggeleng kepala.
"Cuma satu tahun?"
tanyanya. "Hm! Jual beli itu tidak dapat dilakukan!"
"Tetapi Yap Toako kami
telah menerimanya!" berkata Seng Hay San.
"Yap Toako terlalu jujur,
kali ini ia salah menghitung!" kata Giok Houw.
"Yap Toako mempunyai hitungan
lain," Hay San menerangkan. "Ia kata kita setiap tahun telah dipaksa
bertempur dengan tentera negeri, dari kedua pihak mesti ada yang binasa
imbangannya yaitu kita satu. pihak tentera sepuluh. Itulah imbangan setiap kali
bertempur. Kalau dijumlah satu tahun, kematian dikedua pihak ialah beberapa
ribujiwa. Menurut Yap Toako. kematian mereka itu sangat kecewa!"
"Mereka itu?" Giok
Houw mengulangi. "Kau hendak mengatakan..."
"Benar! Dengan mereka itu
Yap Toako maksudkan orang pihak kita berikut tentera negeri itu. Menurut toako
serdadu negeri juga ada sama-sama bangsa kita Kita saling bunuh di antara
bangsa sendiri, itulah terlalu menyedihkan. Setiap tahun telah terbinasa
beberapa ribu jiwa. Alangkah baiknya jikalau mereka itu dapat dicegah
kematiannya dan tenaganya dipakai untuk bersama-sama menangkis penghinaan dari
luar?"
Giok Houw tertawa dingin.
"Tetapi pihak pembesar
negeri tidak berpikir secara demikian! Mereka memandangnya dari sudut
lain!"
"Yap Toako membilang
juga, umpama kata mereka tidak dapat dipakai menangkis penghinaan dari luar,
asal jiwa mereka dapat diselamatkan, itu masih lebih menang daripada mereka
membuang jiwa secara sia-sia. Laginya dengan bertempur sama tentera negeri,
meski juga perbandingan kerugiannya ada satu lawan sepuluh, di pihak kita tetap
ada yang berkurban jiwa. Itu artinya kerugian yang sangat tidak berarti!
Makajuga Yap Toako kata kalau pihak pembesar mau berjanji tidak berperang
selama satu tahun, artinya mereka tidak, datang menyerang, itu berarti kita
mendapat keringanan tak kehilangan beberapa ribu jiwa. Barang permata ada
harganya, jiwa manusia tidak! Jiwa manusia tak tertaksirkan harganya! Kita
memberi pinjam jalanan, kita membiarkan pengangkatan barang bingkisan lewat di
wilayah kita. Dengan memberi jalan, kerugian kita cuma beberapa laksa tahil
perak harganya barang-barang bingkisan itu. sebaliknya kita dapat menolong
beberapa ribu jiwa manusia. Nah, bagaimana kau bisa bilang sikap kita ini tak
dapat diambil?"
Giok Houw berdiam sekian lama,
lantas dia menepuk meja.
" Yap Toako sangat mulia
hatinya, aku kalah!" serunya, "Dialah baru satu orang gagah yang
budiman! Nyatalah kalau begini bagaimana cupatnya pandanganku."
"Kalau begitu Thio
Siauwhiap," menegaskan Hay San, "kau toh meluluskan, berjanji tidak
akan merampas barang-barang bingkisan negara itu?"
Anak muda itu tertawa
"Aku masih akan
merampasnya!" jawabnya.
Hay San heran hingga ia
mementang lebar matanya.
Giok Houw tertawa.
"Tetapi aku tidak akan
membikin sulit pada Yap Toako," ia menambahkan. "Bukankah kan telah
membilang bahwa Yap Toako cuma memberikan tanggungannya selama barang hadiah
itu masih berada di dalam bilangan laut Tanghay?"
"Benar. Karena daerah itu
ialah daerah laut di mana kita dapat berkuasa. Selewatnya Laut Kuning maka itu
ialah bilangannya beberapa rombongan bajak lainnya, tidak leluasa untuk pihak
kita turut mencampurinya. Sebenarnya Soenboe dari Tjiatkang itu mempunyai
hitungannya sendiri yang dia jerikan adalah Yap Toako. Pihaknya beberapa
rombongan bajak itu tidak dilihat mata. Soenboe pun telah mengundang dua
piauwsoe yang ilmu silatnya liehay..."
"Aku sudah tahu,"
berkata Giok Houw. "Kedua piauwsoe itu ialah Djitgoat Loen Touw Kong si
Roda Matahari Rembulan serta Kimkong Tjioe Tie Pa si Tangan Arhat."
"Touw Kong bersama Tie Pa
itu bukan melainkan ilmu silatnya liehay juga mereka pandai berenang dan
selulup," Seng Hay San menjelaskan. "Untuk membawa bingkisan itu.
soenboe telah menggunai sebuah perahu perang besar yang dia ambil dari pasukan
laut negara. Katanya anak buah perahu perang itu terdiri dari tiga ratus tukang
panah pilihan serta perahu perangnya diperlengkapi dengan meriam panah. Maka
cobalah pikir, mana kawanan perompak biasa dapat mendekati mereka?"
"Kapankah
keberangkatannya perahu perang itu?"
"Sebentar malam jam
empat. Mungkin setelah terang tanah, dia akan sudah muncul di permukaan laut.
Thio Soenboe sangat berhati-hati.
Teluk Hangtjioe termasuk
wilayah angkatan lautnya tetapi karena kuatir nanti ada bahaya, ia mau keluar
dari wilayahnya itu sebelum fajar."
"Malam ini jam empat aku
menghendaki sebuah perahu." kata Giok Houw pada Tjoe Poo. "Apakah di
antara tukang-tukang perahu di Seeouw ada orang kita?"
"Ada." menjawab Tjoe
Poo. "Dari tepi jembatan Seeleng Kio. kalau kita maju ke kiri, kita
menghitung pohon yanglioe yang ketiga, perahu di bawah pohon itu ialah perahu
orang kita. Anak buahnya bernama Thio Hek. Dia kata dia kenal totjoe."
"Bagus, aku menghendaki
perahunya dia itu!"
"Eh, Thio
Siauwhiap," tanya Seng Hay San, "apakah benar-benar kau hendak merampas
perahu bingkisan itu? Ada situ hal yang aku belum memberitahukan kepada kau.
Yap Toako bilang, karena semua bingkisan dari pelbagai propinsi hendak dirampas
menurut keputusan rapat umum orang-orang gagah, mengenai itu ia telah
memikirnya. Ia mengerti, karena ia melindungi bingkisan dari Tjiatkang ini
pihak kamu tentulah tidak merasa puas, sebaiknya, apabila kamu berhasil,
sebagian dari hasil usaha kamu pasti bakal dibagi separuh kepadanya berhubung
dengan itu. ia hendak memberi penjelasan, katanya sekarang juga ia
menganggapnya ia sudah menerima bagiannya itu untuk mana ia menghaturkan terima
kasihnya. Mengenai ini Yap Toako sudah omong jelas dengan semua saudara kita
dan semua saudara menginsafinya dan rela akan tidak menerima bagian beberapa
laksa tail itu. bahwa mereka relajuga hidup lebih menderita dari sebagaimana
seharusnya asal tidak usahlah terjadi kehilangan beberapa ribu jiwa manusia.
Thio Siauwhiap, Yap Toako telah memikir demikian jauh, dapatkah kau memberi
sedikit muka kepadanya?"
Thio Giok Houw tertawa.
"Di samping itu kau harus
ketahui, umpamakan aku tidak merampasnya, ada lain orang yang akan merampas
juga. Tapi kau jangan kuatir, tetapkan hatimu! Telah aku bilang bahwa aku tidak
bakal membikin sulit Yap Toako, inilah aku akan jaga baik-baik. Aku memikirnya
merampas sebelumnya perahu pengangkut itu keluar dari teluk Hangtjioe. Atau
jikalau perahu itu sudah keburu lewat, aku akan menyusulnya aku nanti turun
tangan sesudah dia keluar dari wilayah laut Tanghay."
Seng Hay San berpikir. Kemudian
ia kata: "Dengan begitu, meskipun pihak pembesar negeri tidak dapat
menyesalkan Yap Toako, peristiwa toh menjadi peristiwa juga!"
"Tidak!" kata Giok
Houw. "Baiklah kau mengerti, kalau aku berhasil merampasnya, bingkisan itu
tetap aku akan peserahkan kepada Yap Toako. hingga ada terdapat alasan bahwa
Yap Toako sudah merampasnya kembali. Bahkan dengan begitu, usaha kau ini jadi
berharga lebih besar lagi. kau dapat menaiki harga, umpama pihak pembesar
negeri itu dipaksa supaya dia tidak menyerang Yap Toako selama tiga
tahun!"
Hay San mendengar alasan orang
itu dan keputusannya pun telah menjadi keputusan, setelah berpikir sebentar, ia
tidak mau mencegah lagi. Ia hanya tanya: "Kabarnya semua bingkisan dari
propinsi Tiangkang ke selatannya kaulah yang mengepalai perampasannya, benarkah
itu?"
Giok Houw tertawa ketika ia
memberikan penyahutannya: "Juga yang di Tiangkang dan utaranya, sampai di
wilayah sungai Honghoo, aku hendak merampasnya. Tugas yang diberikan hanya
tugas belaka berlebihan sedikit tidak ada soalnya. Umpama kata Kimtoo Tjeetjoe
Tjioe San Bin hendak pergi merampas bingkisan ke Selatan, mustahil aku dapat
tidak mengijinkannya?"
"Kimtoo Tjeetjoe mana ada
tempo luang untuk pergi merampas ke Selatan?" kata Hay San. "Kau
barusan membilang, jikalau kau tidak merampas, ada lain orang yang bakal
merampasnya. Pasti orang itu bukannya Kimtoo Tjeetjoe, bukan?"
"Pasti bukan!"
Hay San menjadi heran.
"Siapakah dia?"
tanya ia. "Benarkah dia bukannya orang dari pihakmu?"
"Adakah kau kenal satu
nona semacam begini?" Giok Houw balik menanya. Ia melukiskan potongan nona
itu, tinggi dan romannya, la menanya halnya si Nona Liong.
"Aku tidak kenal dia. Ah.
mungkin kakakmu seperguruan mengenalnya. Dalam satu dua hari ini kakak
seperguruanmu itu bakal tiba di sini, baiklah kau menantikan dia, untak minta
keterangannya."
"Tidak dapat aku menunggu
dia!" kata Giok Houw tertawa. "Biarlah nanti, habis merampas, aku
datang menemui kakakku itu."
Habis bersantap malam, setelah
beristirahat sebentar, belum lagi jam tiga. anak muda ini sudah pamitan, untuk
berlalu dengan cepat.
Hay San dan isterinya tidak
turut, mereka berdiam terus di rumah Tjoe Poo.
Belum Lama Thio Giok Houw
sudah sampai di tepi Seeouw atau Telaga Barat. Ia dongak melihat langit, ia
mendapatkan rembulan ada di tengah-tengah, menjadi masih ada waktu untuknya.
"Aku belum pergi
menyambangi kuburan le Kokloo, untuk mengunjuk hormatku." ia berpikir.
"Justeru masih ada tempo dan malam sunyi, baik aku pergi ke sana
dulu".
Oleh karena ini. ia tidak lantas
mencari perahu dulu hanya pergi ke bukit Samtay San di mana berada kuburannya
Ie Kiam.
Malam itu rembulan indah
sekali. Justeru itu di otaknya Giok Houw berpeta romannya Nona Liong yang
cantik, yang sepak terjangnya membuat ia heran dan kagum. Ia mengelamun:
"Coba aku bisa berdiam bersama ia dengan memain perahu di malam indah
seperti ini, bagaimana menariknya..."
Di malam seperti itu, di
tep'ian Telaga Barat itu pula ada seorang lain yang keisengan seperti pemuda
she Thio ini. Dialah Tiat Keng Sim, koenma atau menantunya Bhok Kokkong dari
Inlam. Bahkan dia kelelap lebih dalam daripada Giok Houw, ia lagi memikirkan
peristiwa-peristiwa yang telah lalu...
Rumah tua dari Keng Sim ini
berada di tepian telaga itu. Mengenai rumahnya itu, ada satu urusan yang ia
sukar untuk melupakannya. Itulah bukan sebab di rumah itu ia telah melewatkan
masa kanak-kanaknya yang menggembirakan, juga bukan karena itulah rumah tua
warisan ayahnya, hingga ia dapat teringat kepada ayahnya yang jujur, hanya di
rumahnya itu pernah satu malam Ie Sin Tjoe menumpangnya. Dan adalah malam itu,
oleh karena Sin Tjoe mendapat tahu ia telah membocorkan rahasia tentera rakyat,
si nona berlalu dengan diam-diam dengan cuma meninggalkan surat...
Malam itu, untuk Keng Sim.
dirasai pahit-pahit manis. Sudah tujuh tahun ia menikah tetapi peristiwa itu
belum pernah lenyap dari otaknya, ia masih merasa tersiksa karenanya Ini
sebabnya, dalam perjalanan ke Pakkhia ini bersama Bhok Lin. sang engkoe atau
iparnya itu, mesti ia mau singgah di kota Hangtjioe ini, supaya ia bisa tinggal
dua malam di rumahnya, supaya ia dapat memimpikan pula peristiwa yang berkesan
dalam itu. Ia seperti ingin mengicipi pula impian yang getir tetapi manis itu,
yang telah lenyap...
Semenjak Keng Sim pergi ke
Koenbeng di mana iamenjadi koenma, menantu hertog, rumah tuanya ini telah
dipercayakan kepada satu bujang tua yang jujur. Segala apa di rumah itu masih
tetap seperti dulu hari itu, tidak ada satu yang dirobah. Kamar tulis tidak
kacau, tamannya terawat baik, bunga mawarnya seperti musim-musim semi
terdahulu, tetap berpusu. Begitu ia sampai di rumahnya, lantas ia ingat
suratnya Sin Tjoe. Sekarang ia kembali berada di rumahnya ini.
Demikian di dalam dua hari.
Keng Sim terus seperti tenggelam dalam kenang-kenangannyayang lama, yang manis
tetapi juga pahit, kecuali satu kali bersama Bhok Lin ia pergi menyambangi Thio
Kie, soenboe dari Tjiatkang. ia lebih banyak mengeram diri di dalam rumah.
Telaga Barat berada di dampingnya, ia tidak ketarik untuk melihatnya. Ia telah
kehilangan kegembiraannya.
Bhok Lin tidak puas dengan
sikap tjiehoe-nja itu, ia tidak mau terus menerus menemaninya, maka itu
seharian suntuk, ia pergi seorang diri pesiar, maiah ada kalanya ia pulang
sampai malam. Dengan begitu, selama dua hari, ia telah menjelajah telaga yang
kesohor itu.
Demikian malam itu-sudah jauh
malam-ia pulang untuk memberitahukan Keng Sim bahwa tadi siang ia telah
menghadapi peristiwa di depan kuburannya Ie Kiam itu di mana ia telah menolong!
dua tukang jual silat, kakak dan adiknya perempuan. Ia pun melukiskan roman dan
potongan tubuhnya orang yang malang sama tengah, untuk mendamaikan peristiwa
itu.
"Apakah dia bukannya Seng
Hay San. adik seperguruanku?" Keng Sim menduga-duga
Begitu ia ingat Hay San,
begitu ia ingat Sin Tjoe, maka kembali ia berduka Tanpa merasa ia menarik
napas.
Bhok Lin heran.
"Kenapa kau berduka,
tjiehoe?" tanya ini ipar.
"Tidak apa-apa,"
menyahut tjiehoe itu. "Untukku susah akan pulang ke rumahku ini. sekarang
kita berada di sini, mengingat bahwa aku bakal lantas meninggalkannya pula, aku
terharu sendiri...
Ipar itu mau percaya
keterangan itu. Ia tertawa.
"Kalau entjie ketahui
lagakmu ini, entjie bisa menegur kau, kau tahu?" katanya. "Apakah
rumah kita bukan rumahmujuga?"
Keng Sim mengangguk.
"Begitu memang benar."
sahutnya.
"Sekarang aku mempunyai
satu kabar yang bagus." sang ipar berkata pula, "maka tak usahlah
tjiehoe saban-saban menghela napas.
"Kabar apakah itu?"
"Soenboe mempunyai sebuah
perahu yang bakal berangkat ke Thiantjin, dia telah menyanggupi untuk mengajak
kita menumpang di atas perahu itu. Seumurku, aku belum pernah melihat laut,
maka itu kali ini aku memperoleh ketika untuk memandangnya. Dengan begini juga
kita menjadi menghimat waktu."
"Kapankah perahu itu
bakal berangkat?"
"Sebentarjam empat.
Sebelum jam tiga akan ada orang yang memapak kita."
Keng Sim berpikir sebentar.
"Naik perahu pun
baik." katanya singkat. Ia tunduk pula, ia berpikir lagi.
"Tak tega meninggalkan
rumah?" kata Bhok Lin tertawa.
"Tidak, hanya aku tidak
sangka bahwa kita bakal berangkat begini cepat..." sahut tjiehoe itu.
"Biar aku melihat dulu telaga, hendak aku pergi ke bukit Kouwsan untuk
memetik dua tangkai bunga bwee."
"Aku turut!"
"Kau sudah keluar satu
harian, baiklah kau beristirahat," kata sang tjiehoe tertawa.
"Sekarang sudah jam dua lewat. Bukankah kau bilang Thio Soenboe akan
menyambut jam tiga? Maka itu baiklah kau menantikan di sini."
"Tjiehoe, kau aneh
sekali!" kata ipar itu. "Sekian lama kau mengeram diri di dalam
rumah, tiba saatnya hendak berangkat kau lantas ingin memandangi telaga!
Baiklah, karena aku sudah pesiar cukup, biar aku berdiam di rumah, biar kau
menggantikan aku keluar!"
Keng Sim lantas bertindak
keluar. Ia tidak pergi ke Kouwsan untuk memetik bunga seperti keterangannya
tadi hanya langsung ia menuju ke kuburan dari Ie Kiam. Ia kata dalam hatinya:
"Aku telah pulang ke Hangtjioe ini, sudah selayaknya aku menyambangi
kuburan ayahnya..."
Berjalan di tepi telaga, Keng
Sim mendapatkan air telaga tenang sekali dan jernih, indah dengan cahayanya si
Puteri Malam. Maka itu ingatlah ia pada saatnya ia bersama Sin Tjoe bermain
perahu di sungai yang disebut laut Djiehay di Tali. Ia merasa, selama ini
beberapa tabun, hidupnya sendiri mirip dengan air telaga Seeouw ini, yang
tenang, indah dan manis, hanya toh, ada sesuatu kekurangannya...
Tanpa merasa tibalah Keng Sim
di bukit Samtay San. Segera ia mendekati kuburannya le Kokloo. Tiba-tiba ia
merandek. Ia mendengar tangisan yang perlahan. Ia lantas memasang mata.
Di depan kuburan Ie Kokloo ada
mendekam seorang wanita. Dialah yang lagi menangis itu. Tetapi dia berkuping
tajam, dia mendengar suara tindakan orang, segera dia menoleh.
Sinar mata mereka berdua
lantas bentrok satu dengan lain.
Hampir Keng Sim tidak percaya
kepada matanya sendiri. Nona itu ialah Ie Sin Tjoe, yang justeru ia buat
kenang-kenangan...
Keduanya saling berdiam hingga
sekian lama, hati si koenma berdebaran.
"Ah!" Sin Tjoe mulai
bicara "Aku tidak menduga akan bertemu denganmu di sini! Apakah selama
beberapa tahun ini kau baik-baik saja?"
"Baik!" sahut Keng
Sim singkat. "Kau sendiri?"
Sin Tjoe tertawa.
"Di dalam beberapa tahun
ini aku terus bertempur di dalam gelombang," sahutnya. "Bukankah kau
telah melihatnya bahwa kulit mukaku telah menjadi sedikit hitam?"
Keng Sim mengawasi. Benar
katanya nona itu-ah, si nyonya muda...
"Penghidupanku pastilah
tidak akan ada sedamai penghidupanmu," kata pula Sin Tjoe. "Hanya,
tentang penghidupan senang atau tidak, itulah bergantung sama pandangan setiap
orang, yang mempunyai pengl ihatannya masing-masing..."
Keng Sim berdiam sekian lama.
"Kau benar."
bilangnya sesaat kemudian. "Memang pandangan hidupmu beda dengan
pandanganku."
Sin Tjoe menyusut air matanya.
Ia bersenyum.
Keng Sim menghela napas.
"Dengan berani kau datang
ke mari. adakah itu cuma untuk menyambangi kuburan ayahmu?" ia tanya.
Sin Tjoe tertawa sebelumnya ia
menyahuti.
"Mustahilkah untuk hanya
memandangi keindahan sang malam dari Seeouw?" sahutnya. "Sekarang
ini, setelah usia bertambah, aku tidak ada seperti kau, kau tetap masih
mempunyai sifatmu yang gemar bersyair."
Sin Tjoe ada mempunyai lainnya
urusan, tetapi ia tidak hendak memberitahukannya kepada itu menantu dari raja
muda dari Inlam.
Semasa belum bertemu sama Nona
Ie, Keng Sim berkeinginan keras untuk dapat menemuinya dan ia telah memikir,
banyak yang ia hendak bicarakan atau utarakan kepada nona itu, akan tetapi
sekarang, setelah ia berhadapan sama orangnya sendiri —— dalam ini cara
tiba-tiba --- semua itu seperti lenyap sendirinya. Ia merasa bahwa ia dan Sin
Tjoe asing satu dengan lain, hingga tidak dapat ia bicara dengan merdeka. Maka
itu, ia lebih banyak berdiam.
Sin Tjoe sebaliknya, ia
agaknya biasa saja.
"Dan kau?" ia
menanya sambil bersenyum. "Apakah kau datang ke mari sengaja untuk
menyambangi kuburan ayahku ini?"
Mukanya koenma itu menjadi
merah.
"Aku ini tengah mengantar
barang bingkisan dari Inlam," ia menjawab terus terang. "Sekalian
lewat di Hangtjioe ini, aku mampir, aku datang ke mari untuk menghunjuk hormat
kepada arwah ayahmu."
"Oh, begitu!" kata
Sin Tjoe agak terperanjat. "Kiranya kau pembesar yang berpangkat tinggi
yang lagi mengantar barang bingkisan! Sungguh pertemuan kita ini pertemuan yang
kebetulan!"
Keng Sim menyeringai.
"Hanya sayang,"
katanya, "aku berangkat belum ada setengah jalan, barang bingkisanku itu
telah dirampas orang!"
Sin Tjoe nampak heran.
"Mustahilkah Siauw Houw
Tjoe tidak memandang muka sedikit juga kepadamu" tanyanya. "Habis,
kau gusar atau tidak? Apakah kau menghendaki aku membantu padamu?"
Sebenarnya Sin Tjoe dan Yap
Seng Lim telah memesan kepada Siauw Houw Tjoe. kalau pengantar barang bingkisan
propinsi Inlam itu Keng Sim adanya koenma ini boleh dikasi lewat, maka itu
sekarang Sin Tjoe heran, menyangka Siauw Houw Tjoe tidak mentaati pesan mereka
"Jikalau Siauw Houw Tjoe
yang merampas, itu masih ada harganya," kata Keng Sim, menyahuti.
"Sayang bukannya."
Sin Tjoe benar-benar heran.
"Apakah artinya ini?" ia menanya "Aku tahu bahwa dia merampas
itu, sebagian untuk kamu," berkata Keng Sim. "Sebenarnya, sampai di
saat ini, aku kurang menyetujui sepak terjang kamu itu, tetapi toh aku
mengarti, barang berharga itu bukan untuk kamu pribadi. Kamu menginginkan itu,
apa aku bisa bilang? Maka kalau barang itu jatuh di tanganmu, aku bilang ada
harganya juga"
Alisnya Sin Tjoe memain.
"Pandangannya Keng Sim
ini sudah berubah sedikit," pikirnya. Lantas ia menanya: "Habis,
siapakah itu yang merampas barangmu?"
"Seorang wanita,"
Keng Sim menjawab. Dan ia mempetakan romannya nona perampas itu, si Nona Liong.
"Oh, kembali dunia
kangouw mempunyai seorang nona yang demikian gagah?" kata Sin Tjoe heran.
"Sungguh, buruk sekali pendengaranku..."
Mendengar perkataan nyonya
muda ini, Keng Sim masgul sekali. Ia percaya, seperti kepercayaannya Siauw Houw
Tjoe, Sin Tjoe akan kenal atau mengetahui Nona Liong itu, siapa nyana, dia
tidak tahu. Maka ia menjadi putus asa.
Selang sesaat. Sin Tjoe
menanya:
"Sudah beberapa tahun kau
tinggal di Inlam, apa selama itu pernah kau melihat guruku?"
"Belum. Adalah Bhok Lin,
yang secara diam-diam pernah pergi satu kali ke Tali."
"Aku sampai melupakan
kedudukanmu!" berkata Sin Tjoe tertawa. "Kaulah menantu Bhok Kokkong,
dengan begitu tidaklah cocok untukmu pergi ke gunung Tjhongsan untuk menemui
guruku."
Mukanya Keng Sim menjadi merah
pula
"Dengan sebenarnya, aku
kangen dengan Tali." katanya "Ketika dulu hari kita main perahu di
laut Djiehay, kenang-kenangannya sekarang masih seperti berpeta di depan
mararEh, aku sampai lupa! Apakah Yap Toako baik-baik?"
"Terima kasih, ia
baik," menjawab Sin Tjoe. "Dia tetap seperti dulu, setiap hari repot
dan tidak mau beristirahat. Kau ketahui sendiri, gelombang dari laut Tanghay
jauh lebih besar daripada gelombangnya laut Djiehay."
"Yap Toako itu sungguh
beruntung!" berkata Keng Sim. "Dengan adanya kau membantu dia biarnya
angin dan gelombang lebih besar lagi, dia tentu dapat menghadapinya dengan
gembira."
"Kau benar juga,"
Sin Tjoe bersenyum. "Memang dia sendiri dapat melayaninya, akan tetapi
kalau ada lebih banyak orang bekerja sama dengannya, itulah terlebih baik lagi,
dia pasti lebih berani pula. Kau pun beruntung, di sana ada entjie Bhok Yan
yang sangat baik terhadapmu."
Keng Sim agaknya likat.
"Memang Bhok Yan baik
sekali terhadap aku," ia menyahut kemudian. "Mulanya aku menyangka
dia tidak bakal mengijinkan aku melakukan perjalananku ini. tetapi dia
membiarkannyajuga. Dia pun sangat kangen kepadamu."
"Begitu?" Sin Tjoe
kata. "Sayang, aku kuatir aku tidak bakal mempunyai ketika untuk melihat
dia. Kau saja tolong menyampaikan teri ma kasihku yang dia memikirkan
aku."
Keng Sim mengangguk, hatinya
tidak keruan rasa. Benar-benar ia ingin bicara banyak akan tetapi tidak dapat,
ia seperti kehabisan omongan. Tapi ia masih memikir dengan cara bagaimana ia
dapat mencegah bekas kekasih itu nanti berlalu dari hadapannya ini. Justeru itu
mendadak Sin Tjoe membungkuk, mulutnya mengeluarkan bentakan dan tangannya
terayun, menyambarkan dua bunga emasnya, atau kimhoa, yang mana disusul sama
suara seperti tubuh orangjatuh terbanting.
"Ada pembokong!"
Keng Sim berseru seraya lantas lari ke arah dari mana datang suara roboh itu.
hingga di sana ia melihat seorang boesoe. atau guru silat, rebah pingsan di
tanah, alis dan kumisnya bangun berdiri. Tidak ada tandanya bahwa orang itu
terluka.
"Heran!" kata Sin
Tjoe. yang matanya mendelong.
Keng Sim mengikuti tujuan
sinar mata wanita muda itu. Di kakinya orang yang roboh itu ada menggeletak
sebuah bunga emas. Sekarangpun terlihat baju orang robek di betulan pinggang,
seperti bekas terobek bunga emas, hingga terlihat senjatanya ialah sepasang
Djitgoat loen atau roda matahari rembulan.
Lagi sekali Keng Sira
memeriksa, ia tetap tidak mendapatkan luka apa-apa. Maka itu ia menjadi heran
dan hatinya tegang sendirinya. Terang bunga emas Sin Tjoe mengenai senjata
model matahari dan rempulan itu dan jatuh sendirinya. Kalau bunga emas tidak
melakukannya habis siapa yang menghajar roboh boesoe itu?
Sin Tjoe tidak berkata suatu
apa hanya matanya mencari, maka juga lekas ia menemui bunga emasnya yang
lainnya, yang menggeletak dekat sebuah thielian tjie atau biji teratai besi.
Setelah itu barulah ia berkata: "Orang ini dapat menggunai senjata yang
langka di dalam kalangan kangouw, ialah sepasang Djitgoat loen, mestinya
kepandaiannya tidak sembarang. Kenapa tidak keruan-keruan dia membokong
kita?" Baru dia kata begitu atau sambil memandang ke popohonan lebat di
sampingnya ia kata dengan nyaring: "Orang pandai siapa telah membantu aku
secara diam-diam. aku minta sukalah datang ke mari untuk kita bertemu!"
Tidak ada jawaban untuk perkataan
itu, melainkan angin halus mendesis membuatnya cabang-cabang bunga bergoyang.
Di dalam halnya ilmu
kepandaian senjata rahasia, Ie Sin Tjoe telah menyampaikan tarap dari seorang
liehay kelas satu, maka itu. biarpun suaranya sangat perlahan, ia mendapat tahu
serangan dengan teratai besi itu, maka juga ia lantas menggunai dua bunga
emasnya, yang satu untuk menangkis serangan, yang lainnya guna terus menyerang
jalan darah djoanmoa hiat dari penyerang itu. Maka ia heran, ada orang yang
telah mendahulukan padanya. Ini dia yang dibilang, tonggeret menangkap bambung,
di belakangnya ada burung gereja. Dari perbuatannya itu, nyata sekali orang itu
sangat liehay.
Mulanya Keng Sim menduga Nona
Liong, kemudian ia lepaskan dugaan itu karena ia menyangsikan nona itu dapat
menyamai Sin Tjoe.
"Berhubung dengan
terjadinya peristiwa aneh ini. tidak dapat aku berdiam lama-lama di sini,"
kemudian Sin Tjoe berkata kepada Keng Sim. "Orang ini terserang jalan
darahnya yang membikin dia pingsan, sebentar kau boleh menotoknya mendusin. Nah
aku pergi!"
"Apakah kau hendak
menyusul orang yang membantu kau secara diam-diam itu?" Keng Sim tanya
"Benar. Aku pun mempunyai
urusan lain. Jangan lupa menyampaikan hormatku kepada entjie Bhok Yan!"
Keng Sim tidak sempat
menyahuti, ia pun terbenam dalam kedukaan. Ia cuma bisa melihat orang
menghilang di antara pohon yanglioe dan bunga-bunga, di antara remang-remangnya
sinar rembulan yang tidak dapat menembusi pepohonan. Lalu ia menghela napas.
"Melihat dia tetapi
seperti tidak melihat, aku cuma dapat mencari cintaku di dalam impian..."
pikirnya. Ia tidak dapat melupakan bekas kekasihnya itu. Kemudian ia menotok si
boesoe, di dalam hatinya ia kata: "Dasar kau. binatang, tidak
keruan-keruan kau membokong hingga entjie Sin Tjoe pergi!..."
Menuruti pesan Sin Tjoe, Keng
Sim menotok jalan darah tjengpek hiat di bawahan pinggang, maka orang itu
lantas menjerit, begitu sadar, begitu dia berlompat bangun, rupanya dia ingat
baik sekali kejadian barusan. Tapi dia terkejut akan mengenali orang muda itu.
"Ah, kiranya kau, Tiat
Kongtjoe!" dia berseru. "Aku disuruh Thio Soenboe memapak kau untuk
naik perahu."
Keng Sim pun terperanjat.
Melihat senjata orang, ia ingat orang ini
"Adakah kau Djitgoat Loen
Touw Kong boesoe kenamaan dari Tjiatkang Timur?" ia tanya, atas mana, ia
memperoleh jawaban yang membenarkan.
Ketika Keng Sim mengunjungi
Thio Soenboe, Touw Kong ada di antara orang-orangnya soenboe itu. boesoe ini
melihat dia dan mengenalinya, ia sendiri tidak memperhatikan orang lain, dari
itu ia tidak kenal boesoe ini.
Touw Kong memandang ke
sekitarnya, matanya mencari sesuatu.
"Barusan aku melihat satu
nona di sini?" katanya.
"Kau telah membuatnya dia
kabur!" sahut Keng Sim mendelu.
"Dia... dia..." kata
Touw Kong gugup.
"Dialah kenalanku!"
sahut Keng Sim, masih mendongkol. "Kau mau menyelidiki tentang dia?"
Touw Kong likat, ia
menyeringai.
"Tidak, tidak,"
sahutnya gugup. "Atas titahnya soenboe aku datang ke mari buat mengundang
kongtjoe dan Bhok Kongtjoe naik perahu, selagi lewat di kuburan Ie Kiam ini,
aku melihat ada orang, aku menduga dialah puterinya Ie Kiam, yang datang
menyambangi kuburan orang tuanya, aku menggunai thielian tjie untuk mencoba
mendapat kepastian. Aku tidak sangka bahwa aku telah keliru menyerang orang...
Kongtjoe. harap kau suka memberi maaf padaku."
Biarnya mulutnya mengatakan
demikian, Touw Kong tetap menyangka pada Ie Sin Tjoe. karena malang kepada
orang muda ini, ia tidak berani omong terus terang. Ia pun tidak mau
memperpanjang urusan itu.
Juga Keng Sim kuatir boesoe
ini nanti tetap mau mencari tahu halnya Sin Tjoe, maka itu ia telah mengasi
dengar suaranya barusan, melihat orang mengalah, ia pun mengalah, hanya ia
masih berkata: "Kalau lain kali kau membokong orang, kau harus memakai
matamu. Syukur kau bertemu aku, kalau kau bertemu sama lain orang, mungkin kau
bakal tidur di sini sampai besok tengah hari bolong! Tidakkah itu bakal
menggagalkan keberangkatannya perahu?"
"Kongtjoe benar."
menyahut Touw Kong, yang paksa tertawa. "Aku mengucap terima kasih yang
kongtjoe telah menotok sadar padaku. Hanya aku heran sekali. Tiat Kongtjoe,
kepada kau... kau berada di kuburannya Ie Kiam ini?"
"Apa?" tanya si anak
muda tajam. "Apakah itu suatu kedosaan untuk menjenguk kuburannya Ie
Kokloo? Bukankah sri baginda yang sekarang telah mencuci nama baiknya dan telah
mendirikan rumah abunya juga? Apakah Thio Soenboe melarang orang datang
menjenguk kuburan ini?"
"Bukan begitu, kongtjoe.
aku hanya tidak menduga sama sekali kongtjoe datang ke mari. Ie Kokloo itu
setia kepada negara, aku pun mengagumi dia." Tapi di dalam hatinya, ia
kata dengan sengit: "Jikalau bukannya aku kenal kau sebagai menantu Bhok
Kokkong, pasti aku akan memandang kau sebagai suami isteri Yap Seng Lim!"
Keng Sim menarik napas lega.
"Sekarang sudah malam,
mari kita cari Bhok Kongtjoe!" ia mengajak.
Touw Kong mengikut, ia memuji
si anak muda gagah. Dengan jalan memutar ia menanya siapa yang barusan menotok
padanya hingga ia roboh.
Keng Sim tidak mau memberi
keterangan, ia pun sengaja membiarkan orang menduga-duga sendirinya.
Tidak lama dari berlalunya
Tiat Keng Sim dan Touw Kong itu, di bukit Samtay San itu muncul satu orang
lain, ialah Thio Giok Houw, yang mempunyai maksud serupa yaitu, sebelum
melanjuti perjalanannja, ia mau menghunjuk hormatnya kepada Ie Kiam. Ia datang
ke belakangan, maka itu ia cuma dapat melihat beberapa tapak kaki, di antaranya
tapak kaki wanita. Ia tidak tahu wanita itu Sin Tjoe, kakak seperguruannya, ia
menjadi heran.
"Mungkinkah dia pun
datang ke mari?" ia tanya dirinya sendiri. Dengan "dia," ia
maksudkan Nona Liong, si nona yang mendapat perhatiannya sepenuhnya.
Ketika ia melihat langit, Giok
Houw mendapatkan sang rembulan telah melintasi garis tengah, ia menjadi tidak
berani ayal-ayalan. Ia lantas memberi hormatnya kepada arwah Ie Kiam. Sebagai
gantinya hio, ia memulung tanah lempung. Ia berlutut dan mengangguk tiga kali.
Dengan perlahan ia memuji: "Ie Peehoe, semoga peehoe memayungi aku agar
aku berhasil merampas barang bingkisan dari Propinsi Tjiatkang, supaya tidak
ada orang yang mendahuluinya.."
Baru ia selesai memuji,
mendadak ia mendengar suara tertawa di belakangnya, hingga terkejut. Dengan
cepat ia lompat bangun. Dari belakang kuburan ia menampak berkelebatnya satu
bayangan, disusul sama terlihat nyatanya sebuah tubuh yang langsing berikut
roman yang eilok. Untuk herannya, ia mengenali orang itu.
Dialah si Nona Liong, yang
berdiri sambil bersenyum.
"Ah, benar-benar
kau!" ia lantas berkata. "Baiklah, mari kita lihat malam ini siapa
yang bakal menang dan siapa yang kalah!"
Nona itu tertawa.
"Sebenarnya aku berkuatir
yang kali ini aku bakal kalah!" katanya. "Tapi mendengar puji kau
barusan, kiranya aku masih mempunyai harapan! Hanya, aku tidak mengarti kau.
Guru silat undangan dari Thio Soenboe telah kau robohkan, kenapa bukannya kau
lantas bekerja merampas bingkisan yang berada di bawah perlindungannya itu, kau
justeru kembali ke mari?"
"Apa kau bilang?" si
anak muda bertanya. Ia heran sekali. "Siapakah yang memukul roboh guru
silatnya Thio Soenboe itu."
Nona Liong mengawasi sinar
mata orang, ia pun menjadi heran.
Giok Houw mengawasi, bahkan ia
hendak menanya pula.
"Kalau bukannya kau,
sudahlah!" berkata si nona, tertawa. Ia lantas dapat menenangkan diri.
"Kapan kau hendak naik perahu?"
"Lekas!" menyahut
Giok Houw, yang terlepasan mulut. Pertanyaan itu terlalu mendadak untuknya.
Nona Liong tertawa.
"Bagus!" katanya.
"Kau maafkan aku, aku hendak berangkat lebih dulu, aku tidak dapat
menantikan kau!"
Kapan nona ini memutar tubuh,
lekas sekali ia menghilang dari hadapan si anak muda.
Nona Liong pun baru tiba. Di
tengah jalan ia bertemu sama Keng Sim dan Touw Kong, yang membicarakan
peristiwa barusan. Ia berlaku hati-hati, tubuhnya pun ringan sekali, ia
membuatnya dua orang itu tidak mengetahui yang ia mencuri dengar pembicaraan
mereka. Ia tidak percaya Keng Sim dapat merobohkan Touw Kong secara demikian
luar biasa. Dari pembicaraan mereka. Touw Kong seperti mau mencurigai menantu
Bhok Kokkong itu. Karena ini. si nona mau menduga kepada Thio Giok Houw. Karena
ia juga mendengar selentingan, barang bingkisan dari Tjiatkang mau
diberangkatkan dengan perahu, dari itu ia memancing Giok Houw. Ia heran, ia
memikirkan siapa sebenarnya penyerangnya Touw Kong itu. Di lain pihak, ia
girang akan mendapat tahu tentang keberangkatannya perahu bingkisan itu. Maka
lantas ia mengangkat kaki.