Pendekar Wanita Penyebar Bunga (San Hoa Lihiap) Bagian 1
Suara tertawanya sekawanan
anak nakal telah memecahkan kesunyian suatu dusun pegunungan.
Pesta Goan-siauw (Capgomeh)
baru lewat tiga hari, tapi sang bunga sudah mekar di seluruh lembah. Entah
gunung Couwlay san yang menahan angin utara barat, entah musim semi memangnya
datang terlalu siang, tapi kenyataannya adalah daerah pegunungan itu
seakan-akan sudah ditutup dengan rangkaian bunga yang beraneka warna.
Couwlay san terletak di
propinsi Shoatang, sebelah utara Sungai Besar (Tiangkang),akan tetapi keadaannya
pada waktu itu adalah seperti suasana dalam musim semi di daerah Kanglam
(sebelah selatan Sungai
Besar).
Di sana-sini orang dapat
melihat beberapa rumah penduduk yang bersembunyi di antara pohon-pohon yang
rindang daunnya.
Di luar dusun, di sebidang
tanah yang agak datar, terdapat satu empang besar, entah milik siapa.
Kawanan anak nakal itu sedang
bermain-main di pinggir empang, dengan disoroti oleh matahari lohor yang
hawanya hangat.
Ada yang sedang menangkap
kutu-kutu kecil tanpa memakai baju, ada yang berlari-lari main petak dan
sebagainya.
Di antara mereka terdapat
seorang anak yang macamnya agak luar biasa. Anak itu berusia kira-kira dua
belas tahun, mukanya yang hitam agak berminyak di bawah sinar matahari, kedua
kakinya yang telanjang memperlihatkan urat-urat yang berwarna hijau, badannya
tegap, sedang paras mukanya yang seperti jagoan memberi kesan bahwa dia itu
adalah pemimpin
dari kawan-kawannya.
Mendadak ia membuka baju.
"Hei!" ia berseru. "Siapa berani turut aku turun ke empang menangkap
ikan?"
Meskipun dihangatkan sinar
matahari, tapi tanpa baju kapas, hawa dingin masih terlalu hebat. Kawanan anak
nakal itu saling mengawasi, tak satu pun yang berani menurut contohnya si
Hitam. Salah seorang berjongkok dan mencelupkan sebelah tangannya ke dalam air.
"Fui!" ia berseru.
"Siauw Houwcu (si Harimau Kecil), otakmu benar-benar miring!Air luar biasa
dinginnya, kau mau menyebur, nyeburlah sendiri."
Si Hitam yang dina makan
"Siauw Houwcu" senyum tawar, kedua matanya menyapu kawan-kawannya."Setan-setan
pengecut!" ia berteriak. "Tak ada satu yang berani nyebur?"
Kawan-kawannya semua
menggelengkan kepala sembari tertawa.
Siauw Houwcu mengawasi satu
kawannya dan berseru: "Siauw-liong (si Naga Kecil)! Kau saja turut
aku!"
"Aku lebih suka berlutut
tiga kali dihada-panmu!" jawab Siauw-liong.
"Baiklah," kata si
Hitam. "Mari sini kau!" Ia jambret bajunya Siau-wliong yang lantas
didorong. "Plung!",
Siauwliong kecebur, lalu
disusul olehnya. Ia ambil segenggam lumpur yang lalu dipoleskan di mukanya
Siauwliong.
Kawan-kawannya lantas saja
menepuk-nepuk tangan sambil berteriak-teriak kegirangan.
"Dingin! Mati aku!"
berteriak Siauwliong, badannya menggigil.
"Justa!" berteriak
si Hitam sembari nyengir. "Kau pakai baju kapas, mana bisa dingin?"
"Baju ini baju
baru," kata Siauwliong, meringis. "Baru dijahit oleh ibu."
Siauw Houwcu tidak menggubris,
ia terus mengeduk lumpur yang langsung dipoleskan ke muka dan bajunya
Siauwliong.
Selagi ramai bersen-da gurau,
kawanan anak nakal yang
berada di daratan mendadak
menengok ke belakang dan
suara tertawa tiba-tiba
berhenti.
Siauw Houwcu meno-ngolkan
kepalanya dari dalam air dan
melihat, dari dalam selat
gunung muncul tiga orang yang
menunggang kuda.
Di sebelah barat Couwlay san
terdapat jalan raya yang
menerus sampai di kota Ceelam.
Dahulu, antara jalan raya
tersebut dan dusunnya Siauw
Houwcu terdapat sebuah jalan
gunung yang cukup baik. Akan
tetapi, oleh karena diserang
banjir dan lama tak pernah
dibikin betul, maka sekarang jalan
gunung itu sudah jadi rusak
sekali. Penduduk dusun yang
berjalan kaki masih dapat juga
menggunakan jalan itu, akan
tetapi, bagi orang luar,
terutama yang menunggang kuda,
jalan tersebut sungguh sukar
dilewati.
Dusun tersebut yang dikurung
gunung-gunung, sebegitu
jauh belum pernah kedatangan
tetamu. Maka dapatlah di
mengerti, jika kawanan anak
nakal itu menjadi sangat heran
melihat kedatangannya tiga
penunggang kuda itu, dua
antaranya adalah perwira
tentara yang memakai sepatu tinggi,
sedang yang satunya lagi
adalah seorang laki-laki brewokan
yang kedua matanya bersinar
terang dan berusia tiga puluh
tahun lebih.
Sebaliknya ketiga tetamu itu
pun tak kurang herannya
melihat kawanan anak nakal
tersebut, terlebih pula ketika
Siauw Houwcu muncul dari dalam
air dengan celana kuyup.
5
Pakaian ketiga penunggang kuda
itu, walaupun terbuat dari
sutera, kelihatan
compang-camping dan penuh debu, seperti
juga mereka baru habis
berkelahi. Kedua perwira itu agaknya
lelah sekali dan pada bajunya
terlihat noda-noda darah.
Pada jalan gunung di mulut
dusun terdapat lubang akibat
banjir, yang lebarnya
kira-kira dua tombak. Lubang itu belum
ditutup dan di atasnya hanya
dipasangkan beberapa lembar
papan kayu, yang selalu
bergoyang-goyang jika ditiup angin
dan tak mungkin dapat dilewati
kuda yang badannya berat.
Begitu tiba di depan lubang,
mereka loncat turun dari kudanya
dengan niatan turun ke bawah
untuk melewati solokan itu.
Siauw Houwcu yang berdiri di
tengah empang, mengawasi
tiga tetamu itu dengan sorot
mata tajam, tanpa berkata suatu
apa. Melihat sikapnya si
Hitam, perwira yang jalan paling dulu
berpaling ke belakang.
"Loohoan," katanya kepada lelaki
brewokan. "Mula-mula aku
sunguh tak percaya bahwa di
dalam dusun ini bersembunyi
orang pandai. Tapi sekarang
ternyata, bahwa mungkin sekali
di sini terdapat naga atau
harimau yang menyembunyikan
dirinya."
Orang yang dipanggil
"Loohoan" senyum lebar sembari
tuntun kudanya turun ke
solokan.
Tiba-tiba di belakang mereka
terdengar berbengernya
kuda.
Larinya binatang itu luar
biasa cepat. Barusan saja, ditaksir
dari suaranya, dia masih
berada kira-kira setengah lie jauhnya,
tapi di lain detik, binatang
itu tahu-tahu sudah berada di
belakang mereka! Sebelum
sempat menengok, mereka
merasakan kesiuran angin yang
sangat tajam dan satu
bayangan hitam loncati kepala
mereka, akan kemudian
hinggap di seberang solokan!
Ternyata, kuda itu bersama
6
penunggangnya sudah meloncati
solokan itu yang lebarnya
kira-kira dua tombak.
Kedua perwira dan
"Loo-hoan" saling mengawasi dengan
perasaan terkejut, sedang kawanan
anak nakal itu bersoraksorai
dengan girangnya.
Begitu tiba di seberang, si
penunggang kuda lantas saja
turun dari tunggangannya yang
ke empat kakinya putih
bagaikan salju, sedang
badannya penuh dengan totol-totol
putih. Kedua perwira itu
adalah orang-orang yang banyak
pengalamannya dan pernah
melihat beribu-ribu kuda
jempolan, tapi mereka sungguh
belum pernah melihat kuda
yang sebagus itu. Orang yang
dipanggil "Loohoan" lebih-lebih
kaget. "Apakah dia
kembali munculkan diri dalam dunia
Kangouw?" ia menanya
dalam hatinya.
Begitu melihat tegas macamnya
si penunggang kuda,
mereka terkesiap. Ia itu
adalah seorang pemuda yang baru
berusia kira-kira enam belas
tahun, badannya kurus dan
mukanya cakap luar biasa,
dengan kulit yang putih laksana
batu pualam. Sembari menuntun
kuda, perlahan-lahan,
dengan tindakan ayu, ia
menghampiri kawanan anak nakal itu.
Gerakan-gerakan badannya ada
sedemikian rupa, sehingga,
jika ia tidak mengenakan baju
busu (orang yang pandai silat),
orang tentu akan menduga,
bahwa ia itu adalah wanita cantik
yang menyamar sebagai lelaki.
Kawanan bocah nakal yang
barusan lari berpencaran
akibat "terbangnya" si penunggang
kuda, sekarang sudah berkumpul
kembali. Mereka jadi hilang
takutnya oleh karena melihat
penunggang kuda itu adalah
seorang muda yang usianya cuma
lebih tua sedikit dari
mereka dan pada bibirnya yang
merah, tersungging senyuman
ramah tamah.
Sembari menggapai ke tengah
empang, pemuda itu
berkata: "Eh, sahabat
kecil! Kau naiklah!"
7
Siauw Houwcu merangkak naik ke
darat, sikapnya yang
kaku berbeda dengan lain-lain
kawannya. "Eh, aku tidak
mengenal kau, untuk apa kau
panggil-panggil aku?" ia
menanya sembari mendelikkan
matanya. Badan Siauw
Houwcu yang jangkung hanya
lebih kate (pendek) sedikit dari
pemuda itu.
Melihat sikap menantang itu,
si pemuda jadi tertawa,
suaranya merdu nyaring,
bagaikan kelenengan perak.
"Tertawa apa kau?"
menanya Siauw Houwcu, agak kaget.
"Kau tertawai mukaku
jelek, bukan?"
Dengan mukanya yang seperti
pantat kuali dan badannya
yang telanjang, Siauw Houwcu
kelihatan sangat lucu,
terutama ketika ia membetulkan
celananya yang merosot
turun.
Mukanya si pemuda bersemu dadu
dan kemudian ia
berkata pula: "Siapa
kata, mukamu jelek? Sebaliknya,
mukamu sungguh menarik. Apa
tak dingin menangkap ikan di
empang itu?"
"Tidak", jawabnya.
"Hanya kawanan setan pengecut yang
takut dingin. Hm! Aku malahan
kepanasan!"
Pemuda itu senyum-senyum
urung. "Benar," katanya. "Aku
pun merasa gerah. Orang-orang
gagah memang tak takut
dingin." Sehabis berkata
begitu, ia mengeluarkan sebuah kipas
indah dan segera
berkipas-kipas dengan perlahan, sambil
mengusap-usap mukanya yang
berkeringat.
Sikap Siauw Houwcu berobah, ia
mengawasi sembari
tertawa-tawa.
8
"Yah", katanya.
"Boleh juga kau mendapat julukan orang
gagah. Eh, untuk apa kau
panggil aku?"
"Aku mau tanya, di mana
rumahnya Thio Toasiok (Paman
Thio)?" kata si pemuda.
Pertanyaan si pemuda disambut
dengan suara tertawa
oleh kawanan anak nakal itu.
"Thio Toasiok?" berkata salah
seorang anak. "Thio
Toasiok adalah ayahnya sendiri. Kau tak
tahu?"
Pemuda itu jadi girang sekali.
"Ha!" ia berseru. "Kalau
begitu, dugaanku tepat sekali.
Siapa namamu?"
"Namanya Thio Houwcu.
Siauw Houwcu." seorang anak
mendahului.
"Oh, Siauw Houwcu?"
kata si pemuda. "Siauw Houwcu!
Tolong kau antarkan kepada ayahmu."
Siauw Houwcu tidak tertawa
lagi. Ia mengawasi dengan
mata dibuka lebar-lebar.
"Kau ingin bertemu dengan ayahku?"
menanya ia.
"Benar," jawab si
pemuda. "Antarlah aku. Sebentar aku
persen kembang gula."
Mendadak si Hitam angkat kedua
tangannya yang penuh
lumpur, dan sebelum orang
dapat menduga, ia berbuat apa,
kedua tangan itu sudah
me-nyamber ke arah muka si
pemuda! Kawan-kawannya
mengeluarkan seruan tertahan.
Semua orang mengetahui, bahwa
si Hitam nakal luar biasa.
Akan tetapi, bahwa dia berani berlaku
begitu kurang ajar
terhadap seorang tetamu,
adalah di luar dugaan kawankawannya.
9
Si pemuda pun kelihatan agak
terkejut, tapi pada bibirnya
terus tersungging senyuman
manis. "Siauw Houwcu, aku tak
mempunyai tempo buat main-main
dengan kau," katanya
sembari mengipas. Kipasan itu
mengeluarkan sambaran angin
tajam dan air berlumpur lantas
saja berbalik menghantam
mukanya si Hitam.
Kedua perwira dan
"Loohoan" kaget bukan main.
Sedikitpun mereka tidak
menduga, bahwa pemuda itu
mempunyai tenaga dalam yang
begitu kuat dan dapat
mengeluarkan ilmu menimpuk
dengan senjata rahasia yang
sedemikian indah.
"Plung!" Siauw
Houwcu sudah menyebur lagi ke dalam air.
"Aku juga tak mempunyai
tempo untuk mengantar kau," ia
berseru. "Hm! Ayahku tak
sudi menemui siapa juga. Apa pula
kau!"
"Tapi mungkin ayahmu suka
menemui aku," kata si
pemuda sembari tertawa.
"Tidak! Tidak!"
berteriak Siauw Houwcu. "Ayahku tak suka
bertemu dengan siapa juga.
Pergi! Pergi kau!"
"Siauw Houwcu, jangan kau
terlalu nakal," kata si pemuda.
"Antarlah aku. Kau lihat!
Aku mempunyai sebotol kembang
gula."
"Apa anehnya kembang
gula?" menjawab si nakal. "Jangan
ganggu aku! Kalau nyalimu
besar, turun kemari!" Ia tepuktepuk
air yang pada muncrat ke atas.
Si pemuda mengerutkan kedua
alisnya. Ia agaknya merasa
sedikit mendongkol.
"Siauw Houwcu, jika kau membandel, aku
akan paksa kau naik!"
kata ia.
10
"Setan kecil!"
memaki si Hitam, "Jangan sombong!
Kakekmu sekali kata tak naik,
tetap tak naik!"
"Kau tak percaya?"
kata si pemuda sembari tertawa. "Aku
kata kau naik, kau mesti
naik!"
Ia membungkuk dan memungut
beberapa batu kecil. Ia
mengayun tangannya dan
menimpuk air empang dengan
sebutir batu.
Heran sungguh, orangnya begitu
muda, tenaga dalamnya si
pemuda begitu kuat. Begitu
mengenakan air, batu itu
menerbitkan gelombang hebat
dan kemudian air kotor
menyambar ke arah si Hitam.
Buru-buru Siauw Houwcu
menyelam, tapi begitu lekas ia
menongolkan kepala, si
pemuda lalu menimpuk pula
dengan batunya. Dengan cepat,
Siauw Houwcu terdesak ke
pinggir empang, Siauw Houwcu
bukan saja tidak dapat
menyelam terlalu lama, akan tetapi,
walaupun berada di dalam air,
ia selalu harus berjaga-jaga
jangan sampai kesambar batu.
Siauwliong menonton
pertunjukan itu dengan hati
berdebar-debar. Meskipun
batu-batu itu bukan ditujukan
kepadanya, akan tetapi,
sebagai seorang kawan, ia sangat
kuatirkan keselamatannya si
Hitam.
Tiba-tiba Siauw Houwju
menggapai ia. Tanpa perdulikan
sambaran batu, ia berenang
menghampiri kawannya itu. Si
pemuda yang rupanya kuatir
Siauwliong kena tertimpuk,
segera menghentikan
timpukannya. Sesudah berbisik-bisik di
kuping kawannya, Siauw Houwcu
mendadak angkat badannya
Siauwliong yang lalu
dilemparkan ke daratan, sedang ia
sendiri lalu menyelam. Sesudah
berenang kira-kira setombak,
ia menongolkan kepalanya di
atas air seraya berteriak: "Aku
tak akan naik!"
11
"Aku tetap mau kau
naik!" membalas si pemuda. Oleh
karena di empang hanya
ketinggalan Siauw Houwcu seorang,
pemuda itu menimpuk semakin
gencar dan dalam tempo
sekejap, si Hitam sudah
terdesak ke pinggir.
Selagi pemuda itu menimpuk
dengan gembira, tiba-tiba di
belakangnya terdengar
bentakan: "Menghina anak kecil! Benar
tak tahu malu!"
Kedatangan pemuda itu membikin
semua orang jadi
terkejut. Ia berparas sangat
cakap dan menunggang seekor
kuda bulu putih yang sangat
garang. Begitu loncat turun dari
tunggangannya, ia mengga-pe
Siauw Houwcu. "Hei Sahabat
kecil! Kau naiklah." kata
ia. Siauw Houwcu segera merangkak
naik kedarat.
Si pemuda memutar badan dan
dihadapan-nya berdiri
seorang lelaki brewokan yang
bukan lain daripada "Loohoan".
Barusan, kedua perwira itu
terkejut ketika lihat "Loohoan"
menghampiri si pemuda dengan
paras muka gusar. Mereka
mau mencegah, tapi sudah tidak
keburu lagi.
"Aku hanya main-main,
kenapa kau begitu usilan?" si
pemuda balas membentak.
"Kau lihat, apa aku lukakan
seujung rambutnya?"
"Dia memang anak nakal,
tapi apa kau juga bukan bocah
liar?" kata
"Loohoan". "Hei, Siauw Houwcu! Gebuk padanya
atau jangan?"
Si pemuda mengeluarkan suara
di hidung. "Hm!" katanya.
"Orang gagah dari mana
unjuk lagak di sini? Masih basah
kuyup, sudah berani berkokok
lagi. Dasar ayam!"
12
Mukanya "Loohoan"
lantas saja berobah merah. "Binatang
kecil! Jangan rewel!" ia
membentak sembari menjotos dengan
ilmu pukulan Siauwlim pay.
Si pemuda menutup kipasnya
yang segera digunakan untuk
menyampok sang lawan.
"Loohoan" pasang kuda-kuda dan
mengecas dengan lengannya.
Buru-buru si pemuda membuat
satu lingkaran dengan kipasnya
dan kemudian secara
mendadak menyodok ke depan.
"Loohoan" mundur setindak
dan dengan menggunakan tenaga
dalam, tangan kirinya
menyodok dengan gerakan
Tuikho-eng bonggoat (Mendorong
jendela melihat bulan). Dalam
segeb-rakan itu, kedua belah
pihak mengetahui, bahwa sang
lawan bukan sembarang
orang. Tapi jika dibandingkan,
ilmunya "Loohoan" masih
sedikit lebih rendah dari si
pemuda dan itulah sebabnya,
kenapa barusan ia sudah
menggunakan tenaga dalamnya.
Melihat kedua orang sudah
bertempur, kawanan anak nakal
itu pada berpencaran dan
menonton dari tempat yang agak
jauh. Mereka bersorak-sorai dan
menepuk-nepuk tangan
untuk menambah semangatnya
kedua orang yang sedang
bertempur.
Siauwliong yang basah kuyup
juga turut berdiri menonton
di antara kawan-kawannya.
Tiba-tiba Siauw Houwcu yang
masih merendam di air,
mendeliki ia.
Siauwliong mendadak menangis
keras. "Aku pulang!" ia
berseru. "Aku pulang
beritahukan ibu. Siauw Houwcu mesti
ganti pakaianku!" Sembari
berteriak-teriak begitu, ia lari
pulang.
Kawan-kawannya merasa heran.
Mereka tahu, meskipun
Siauwliong tidak begitu kepala
batu seperti Siauw Houwcu,
tapi dia sedikitnya bukan satu
pengecut "cengeng" yang
sedikit-sedikit segera
mengeluarkan air mata. Sungguh
13
mereka belum pernah melihat
Siauwliong berlaku begitu rupa.
Tapi mereka tak dapat memikir
banyak-banyak, perhatian
mereka sudah tertarik kembali
oleh jalannya pertempuran.
Ketika itu, tiga serangan
berantai dari "Loohoan" semuanya
sudah dapat dipunahkan oleh si
pemuda, sedang beberapa
totokan si pemuda pun telah
diegos oleh "Loohoan". Setiap
kali "Loohoan" maju
dua tindak, ia terpaksa mundur kembali
tiga tindak, sedang si pemuda
pun begitu juga, saban-saban
menyerang selalu dipukul
mundur kembali.
Kedudukannya si pemuda berada
di atas angin, tapi ia
belum berhasil mendapat
kemenangan yang memutuskan.
Diam-diam "Loohoan"
mengeluh. Sebagai seorang
kenamaan dalam kalangan
Kangouw, ia merasa malu sekali
masih belum dapat menjatuhkan
satu bocah sesudah
bertempur begitu lama. Dalam
jengkel nya, lantas saja ia
mengambil putusan untuk
mengeluarkan ilmu silat Lohan kun
guna bertarung mati hidup dengan
pemuda itu.
Tapi sebelum ia me-robah cara
bersilatnya, si pemuda
mendadak menutup kipasnya dan
berkata dengan suara
nyaring: "Aku sungkan
berpemandangan seperti
Kedatangan pemuda itu membikin
semua orang jadi
terkejut. Ia berparas sangat
cakap dan menunggang seekor
kuda bulu putih yang sangat
garang. Begitu loncat turun dari
tunggangannya, ia menggape
Siauw-houw-cu. "Hei Sahabat
kecil! Kau naiklah", kata
ia. Siauw-houw-cu segera merangkak
naik ke darat. ”kau! Aku tak
mempunyai tempo lagi untuk
meladeni kau!" Dengan
sekali mengenjot badan, ia sudah
duduk di atas punggung kuda
yang lantas dilarikan keras
sekali.
14
Kedua perwira itu dan
"Loohoan" sendiri merasa sangat
heran. Terang-terangan, si
pemuda berada di atas angin.
Tapi, kenapa ia mabur dengan
begitu saja?
Siauw Houwcu sudah merangkak
naik ke daratan. Ia
menepuk-nepuk tangan dan
berkata sembari tertawa: "Bagus!
Pertempuran bagus
sekali!"
Mukanya "Loohoan"
jadi berobah merah. "Siauw Houwcu,"
kata ia. "Apa ayahmu ada
di rumah?"
"Kau pun tanyakan ayah?"
kata si Hitam sembari mendelik
dan menepuk dadanya
"Loohoan" dengan tangannya yang
kotor.
"Loohoan" menyampok
dengan tangannya, berbareng
menggaet dengan kakinya dan si
Hitam segera jatuh
celentang. Tapi, begitu jatuh,
dengan gerakan Leehie Tateng
(Ikan gabus meletik), begitu
ia loncat berdiri kembali.
"Apa kau Hoan
Toa-ko?" menanya Siauw Houwcu.
Si brewok manggut-manggutkan
kepalanya. "Benar,"
katanya sembari tertawa.
"Kau masih ingat?"
Yah, si Hitam masih ingat
padanya. Pada empat tahun
berselang, ia pernah menginap
semalaman di rumah ayahnya
Siauw Houwcu. Ketika itu, ia
pernah mengajarkan ilmu
menggaet Houw-wiekak (Ilmu
menggaet buntut harimau)
kepada Siauw
Houwcu. Barusan, waktu digaet
dengan ilmu Houwwiekak,
ingatlah Siauw Houwcu kepada
Hoan Toako, si kakak
berewokan yang pada empat
tahun berselang, brewoknya
tidak setebal sekarang.
15
Si Hitam lantas saja tertawa
haha hihi. "Hoan Toako,"
katanya. "Bagus betul kau
punya pukulan berantai tiga kali
beruntun. Hoan Toako, tolong
kau ajarkan aku tiga pukulan
itu."
"Loohoan" mengawasi
cap tangan lumpur di dadanya
akibat pukulan Siauw Houwcu.
Ia terbahak-bahak seraya
berkata: "Siauw Houwcu!
Kau benar jempol! Lagi dua tahun,
Hoan Toako tak dapat mengajar
kau lagi. Baiklah. Mari kita
berangkat sekarang." "Kalian
bertiga?" menanya si Hitam.
"Benar," jawab
"Loohoan". "Kedua Tayjin (panggilan
menghormat untuk orang
berpangkat) ini adalah sahabatku."
Mendengar pembicaraan itu,
kedua perwira itu merasa
kagum oleh karena si Hitam
yang masih begitu kecil rupanya
sudah mengerti baik ilmu
silat. Mereka menghampiri dan
sembari senyum-senyum, mereka
mengangsurkan tangan.
Tapi sambutannya si nakal tak
diduga-duga. Ia hanya melirik
dan tidak meladeni.
"Baiklah," katanya kepada "Loohoan".
"Dengan memandang mukamu,
aku akan antarkan kalian.
Akan tetapi, kalau ayahku tak
suka menemui, jangan kau
menyalahkan aku."
"Loohoan" merasa geli dalam hatinya
mendengar perkataan si Hitam,
yang meskipun masih begitu
kecil, sudah berbicara seperti
seorang Kangouw kawakan. Di
lain pihak, kedua perwira itu
yang kena "membentur tembok",
sudah merasa mendongkol
sekali, tapi mereka tentu saja tak
dapat melampiaskan rasa
gusarnya terhadap satu bocah cilik.
Sambil menuntun kuda, ketiga
tetamu itu lantas saja jalan
mengikuti Siauw Houwcu. Sesudah
berjalan kira-kira sejam
dengan melewati jalanan gunung
yang sukar dan berbilukbiluk,
tibalah mereka di depan sebuah
rumah batu yang dibuat
di lamping gunung. Rumah batu
itu ber-bentuk sebagai
benteng dan tingginya hampir
dua tombak, pekarangannya
16
cukup luas, sedang di depannya
terdapat beberapa pohon
siong tua.
Sesudah menambat tunggangan
mereka, "Loohoan" dan
kedua kawannya segera
menghampiri pintu,
yang dirapati. Siauw Houwcu
sudah mendahului masuk
dengan berlari-lari.
"Thia!" ia berseru. "Si Brewok, Hoan
Toako, datang
berkunjung." Tapi dari dalam sama sekali tidak
terdengar jawaban. "Hoan
Toako!" si Hitam berseru sembari
menggapai. "Mari! Mari
sini!"
Hoan Toako dan kedua perwira
itu lantas saja masuk ke
ruangan depan. Pada tembok
batu, di ruangan itu, mereka
lihat tiga kuntum bunga bwee
yang berwarna merah. Bunga
ternyata merupakan ukiran,
beberapa dim dalamnya di dalam
batu itu. "Loohoan"
terkesiap. Ia masuk ke beberapa kamar,
tapi tak dapat menemui tuan
rumah atau tanda-tanda lain.
Segala perabotan tetap berada
di tempatnya, sama sekali
tidak terdapat tanda-tanda
bekas diganggu.
"Mungkin tanda itu adalah
tandanya seorang Kangouw,"
berkata salah seorang perwira.
"Mungkin penjahat yang liehay
sekali."
Siauw Houwcu men-jebi, seperti
juga mau mengatakan,
bahwa hal itu tak usah
disebutkan lagi, sebab sudahlah terang
bagaikan siang.
"Mungkin tanda yang
ditinggalkan oleh pemuda tadi," kata
perwira yang satunya lagi.
"Loohoan" mendadak
menepuk kedua tangannya. "Benar,"
berseru ia. "Sepuluh
sembilan mestinya dia!"
17
"Pemuda itu sangat
liehay," berkata pula perwira yang
pertama. "Apakah tak bisa
jadi, sahabatmu sudah kena
dibinasakan olehnya?"
"Kentut!" berteriak
Siauw Houwcu sembari mendelik.
"Ayahku sudah binasakan
entah berapa banyak orang gagah!
Walaupun kepandaiannya bocah
itu dua kali lipat lebih tinggi,
ayahku tak pandang sebelah
mata. Berani benar kau ngaco
belo!"
Perwira itu jadi naik darah,
tapi sebelum ia unjuk
kegusarannya,
"Loohoan" buru-buru menarik Siauw Houwcu
ke samping dan berkata dengan
suara membujuk:
"Maksudnya Tayjin baik
sekali. Ia tak pernah katakan, ayahmu
tidak mempunyai kepandaian
tinggi."
Siauw Houwcu tetap merengut,
hatinya tetap
mendongkol.
"Siauw Houwcu," kata
"Loohoan" sembari tertawa. "Coba
lihat! Lihat apa ayahmu sudah
pulang atau belum. Kami
menunggu di sini. Besok pagi,
aku akan ajarkan kau pukulan
berantai tiga kali. Eh, Siauw
Houwcu! Toako datang, kau tak
menyuguhkan apa-apa? Kalau kau
terus main marahmarahan,
lain kali aku tak akan datang
lagi di sini."
Mendengar omongan itu, Siauw
Houwcu jadi tertawa.
"Hoan Toako,"
katanya. "Aku ingat, kau suka sekali minum
arak. Waktu itu, diam-diam kau
ajarkan aku minum, hampirhampir
diketahui ayah. Baiklah. Aku
akan menyuguhkan dua
botol arak dan tiga kati
daging macan. Macan itu adalah hasil
perburuanku, kau tahu?"
"Aduh! Macan Kecil
binasakan macan tua!" memuji
"Loohoan" sambil
mengacungkan jempolnya. "Benar-benar
jempol!"
18
Si Hitam jadi bunga sekali
hatinya, sembari haha hihi ia
berjalan keluar.
"Kerbau kecil itu besar benar
ambeknya!" kata salah
seorang perwira sembari
menggeleng-gelengkan kepala. "Eh,
Loohoan, kau kata, Lounghiong
itu adalah ayahnya?"
"Tak salah,"
sahutnya. "Coba kau lihat. Anaknya saja sudah
begitu liehay! Kau boleh
legakan hati."
"Siapa namanya?" menanya
perwira yang satunya lagi.
"Kenapa kau masih belum
mau memberitahukan?" "Sedari
delapan tahun berselang, jago
tua itu sudah menutup pintu
dan menyimpan golok,"
menerangkan "Loohoan". “a tak suka
orang menyebut-nyebut pula
namanya. Sebentar, sesudah
mendapat permisi, ia sendiri
bisa memberitahukan namanya
pada kalian."
"Kalau ia sudah menutup
pintu, guna apa kau mengajak
kami ke sini?" menanya
perwira itu. "Urusan kita perlu
pertolongan lekas. Jika ia
menampik, bukankah seanteronya
akan menjadi gagal?"
"Mungkin sekali, dengan
memandang mukaku, ia suka
mengadakan kecualian,"
kata "Loohoan". "Manakala jiwie
Tayjin merasa kurang tepat,
baiklah kalian mencari orang lain
saja. Aku, si orang she Hoan,
tak dapat melihat jalan yang
lain."
Kedua perwira itu saling
mengawasi tanpa berkata apa-apa
lagi.
Sesudah menunggu sekian lama
Siauw Houwcu belum juga
muncul, kedua perwira lalu
membuka baju luarnya untuk
menukar obat pada luka di
pundak mereka.
19
"Penjahat bertopeng itu
sungguh liehay," kata satu
antaranya. "Loohoan,
antara beberapa ratus orang, mungkin
hanya kau seorang yang tidak
mendapat luka."
"Aku pun hampir-hampir
kesabet toyanya," jawab si
Brewok.
"Apa dengan seorang diri
Lounghiong itu bisa berhasil?"
menanya pula perwira itu
dengan perasaan sangsi.
"Jika ia sudi meluluskan,
tenaganya melebihi laksaan
tentara." sahut
"Loohoan" dengan suara tetap.
Kedua perwira itu lalu saling
menceritakan liehaynya
penjahat bertopeng itu.
"Jika gagal, habislah
jiwa kita serumah tangga," kata satu
antaranya.
"Sekarang tak ada lain
jalan daripada mengandalkan
padanya," kata yang lain,
“e Toako, dalam keadaan begini,
janganlah kau mengeluarkan
kata-kata yang kurang baik."
"Loohoan" tutup
mulutnya. Ia merasa agak mendongkol
melihat sikap kedua orang itu.
Mendadak pintu yang hanya
dirapati itu, didorong orang
dan Siauw Houwcu meloncat
masuk ke dalam. Mulut bocah itu
ditutup rapat-rapat, parasnya
sangat tak enak dilihatnya.
"Loohoan" terkejut.
Siauw Houwcu kembali dengan tangan
kosong, tidak membawa arak dan
daging yang dijanjikan
olehnya.
20
"Hoan Toako! Apa kau
cinta sahabat atau tidak?" menanya
ia.
"Kenapa, Siauw
Houwcu?" tanya "Loohoan".
"Jika kau menyinta
sahabat, beritahukanlah maksud
kedatanganmu," sahut si
Hitam. "Kalau tidak, aku akan beritahukan
ayah, supaya ia tidak meladeni
kau."
"Kau tahu, ayahmu berada
di mana?" menanya pula
"Loohoan."
"Tentu saja,"
jawabnya. "Lekas katakan! Dengan siapa kau
mau ajak ia bertempur?"
Sebenar-benarnya, Siauw Houwcu
tidak mengetahui,
kenapa ayahnya mendadak
menghilang. Selama tujuh delapan
tahun, ayahnya tidak pernah
keluar dari rumah pada waktu
begitu. Dalam otak kecilnya,
Siauw Houwcu merasa bahwa
menghilangnya sang ayah
mempunyai hubungan rapat
dengan beberapa orang asing
yang baru datang itu, antaranya
si pemuda yang bersenjata kipas.
Barusan ia telah mencuri
dengar pembicaraan antara
"Loohoan" dengan kedua perwira
itu dan ia merasa, bahwa
kedatangan mereka dapat
mendatangkan akibat jelek bagi
ayahnya. Itulab sebabnya
kenapa ia sudah menjustai si
Brewok.
Untuk sementara,
"Loohoan" kelihatan bersangsi. Beberapa
kali ia melirik kedua perwira
itu. "Baiklah," katanya sesudah
berselang beberapa saat.
"Siauw Houwcu, kau bukan seperti
bocah yang kebanyakan. Aku
akan beritahukan kau secara
terus terang."
Ia mendehem dan kemudian
menyambung perkataannya
sambil menunjuk kedua perwira
itu: "Tayjin itu adalah Ie
Tongleng, yang ini adalah Liok
Koantay. Aku telah bantu
21
mereka melindungi barang
angkutan. Dari Ouwpak, kami
antar tiga puluh laksa tahil
perak, ke kota raja. Setibanya di
Shoatang, yaitu kemarin dulu,
di sebelah selatan gunung
Thay-san, perak itu sudah kena
dirampok oleh seorang
penjahat bertopeng."
"Hoan Toako, kau tak
dapat melawan padanya?" menanya
Siauw Houwcu.
"Kalau aku dapat melawan
ia, tak perlu kami datang
kemari," sahutnya.
"Kedua Tayjin ini kena dibikin luka.
Beberapa ratus serdadu sudah
disapu bersih olehnya, ditawan
atau dibunuh. Hanya kami
bertiga yang dapat meloloskan
diri."
"Ha! Liehay benar
penjahat itu!" kata si Hitam yang jadi
ketarik sekali.
"Benar," kata
"Loohoan". "Jika bukan begitu, aku tentu
tidak berani sembarangan
mengganggu ayahmu. Aku datang
kemari untuk memohon bantuan
ayahmu guna membekuk
penjahat itu dan ambil pulang
perak yang sudah dirampas
itu."
Begitu habis
"Loohoan" menutur, Siauw Houwcu menarik
tangannya yang dipegang oleh
si Brewok.
"Hoan Toako,"
katanya. "Kau ternyata tidak cinta sahabat!"
"Kenapa tak menyinta
sahabat?" si Brewok balas menanya
dengan perasaan heran.
Siauw Houwcu tertawa dingin.
"Hm! ” Katanya dengan
suara di hidung."Thia
thia paling benci segala pembesar
anjing!Sekarang kau mau ajak
ia keluar untuk menjadi budak
22
pula dari kawanan pembesar.
Hm! Tidak! Aku tak dapat
meluluskan!"
"Loohoan" dan kedua
perwira itu menjadi bengong, mereka
kesi-ma mendengar kata-kata
yang tidak diduga-duga itu.
Tiba-tiba dengan satu suara
keras, kedua daun pintu batu
ditutup oleh Siauw Houwcu yang
sudah meloncat keluar
sebelum tiga tetamunya sadar
dari kagetnya. Daun pintu itu
dibuat dari batu yang tebalnya
tidak kurang dari satu kaki,
sehingga satu orang yang tidak
mempunyai kekuatan kira-kira
lima ratus kati, tidak akan
dapat menutupnya.
Di lain saat, di luar kamar
terdengar suara tindakannya
Siauw Houwcu yang berlari-lari
dengan cepat sekali.
"Penjahat cilik!"
memaki kedua perwira itu sembari coba
mendorong pintu. Tapi
percobaan itu sia-sia belaka, oleh
karena sudah dikunci dari luar
oleh si Hitam. Kamar batu itu
tak mempunyai jendela, hanya
di atasnya terdapat beberapa
lubang kecil untuk keluar
masuknya hawa. Kedua perwira itu
gusar bukan main, mereka
memaki kalang kabut, sambil
menyesalkan juga si Brewok
yang sudah mengajak mereka
datang kesitu. "Kau sudah
tahu sahabatmu sangat membenci
pembesar negeri, tapi kau toh
sudah mengajak juga kami
datang ke sini," kata
salah satu antaranya.
"Dia juga tentu bangsa
penjahat!" kata yang lain. "Eh,
Loohoan! Apa sih maksudmu yang
sebenarnya?"
Paras mukanya
"Loohoan" berubah gusar. "Jiewie Tayjin
tak usah mencaci,"
katanya dengan suara keras. "Majikan
rumah ini pernah menjabat
pangkat yang lebih tinggi dari
atasanmu!"
Kedua perwira itu berhenti
serentak.
23
"Siapa ia?" mereka
menanya hampir berbareng. Mereka
kaget, tercampur sangsi.
"Loohoan" senyum.
"Majikan rumah ini pernah menjadi
Tongleng (pemimpin) barisan
Gielimkun (barisan yang
menjaga keselamatan pribadi
kaizar)," menerangkan ia
dengan suara perlahan. “a pun
pernah menjabat pangkat
Ciongciehui (pemimpin) dari
pasukan Kimiewie (pasukan
pahlawan kaizar yang
mengenakan seragam sulam) dan pada
sepuluh tahun berselang, ia
dikenal sebagai ahli silat nomor
satu di seluruh kota raja. Ia
bukan lain daripada Thio Hong
Hu, Thio Tayjin!"
"Thio Hong Hu, ahli silat
utama di seluruh kota raja?"
menegasi kedua perwira itu
dengan suara terkejut.
"Tak salah! Ahli silat
nomor satu di seluruh kota raja!"
mengulangi "Loohoan".
Mukanya kedua perwira itu berubah
pucat dan keringat dingin
mengucur dari dahinya.
Thio Hong Hu adalah pahlawan
utama yang paling
diandalkan oleh Kie Tin,
Kaizar Engcong dari kerajaan Beng. Ia
pernah berkuasa atas barisan
Gielimkun dan Kimiewie dan
beberapa kali pernah berjasa
besar dalam medan peperang.
Berhubung dengan kegagahannya,
namanya sudah
menggetarkan seluruh Tiongkok.
Dahulu, dalam peperangan
dengan negeri Watzu di
Tobok-po, seantero tentara Beng
boleh dibilang musnah
semuanya, sedang Kie Tin sendiri telah
ditawan musuh.
Dalam kekalahan yang hebat
itu, seorang diri dan dengan
menunggang seekor kuda, tujuh
kali Thio Hong Hu menerjang
masuk ke dalam tentara musuh
dan tujuh kali ia dapat
menoblos keluar pula dengan
selamat.
24
Walaupun gagal dalam usaha
menolong kaizar, namanya
sudah berhasil membikin pecah
nyali musuh dan orang-orang
gagah di seluruh negara tidak
ada satupun yang tidak kagum
padanya.
Belakangan, Ie Kiam, seorang
menteri yang sudah berhasil
menolong kerajaan Beng dari
kemusnahan, telah mengirim In
Tiong ke Watzu sebagai utusan
istimewa guna mengadakan
perdamaian. In Tiong berhasil
dan Kie Tin dapat dibawa
pulang ke Tiongkok dengan
selamat. Akan tetapi adiknya Kie
Tin yang bernama Kie Giok,
atau Kaizar Bengtay-cong,
sungkan menyerahkan kembali
takhta kerajaan kepada
kakaknya itu. Ia penjarakan
sang kakak di Istana Lamkiong
dan memberi gelar kehormatan
Thaysianghong kepada Kie
Tin.
Mulai waktu itulah, Thio Hong
Hu menghilang.Ada yang
mengatakan, ia tak dapat
melupakan majikan yang lama (Kie
Tin) dan sungkan bekerja di
bawah perintah kaizar baru. Ada
juga yang bercerita, ia sudah
merasa tawar akan segala
keduniawian dan pergi bertapa
di pegunungan yang sunyi.
Tapi hal yang sebenarnya
adalah: Ia sudah mengundurkan diri
atas nasehat sahabatnya yang
bernama Thio Tan Hong.
Dengan rasa sakit dalam
hatinya, ia telah menyaksikan segala
keburukan dalam kalangan
pemerintahan kaizar yang baru.
Segala penghianat dan dorna
memegang kekuasaan besar,
sedang orang-orang pandai dan
bijaksana tidak mendapat
kedudukan yang sesuai dengan
kepandaiannya. Bahkan Ie
Kiam sendiri, seorang menteri
yang jasanya luar biasa besar
dalam membangun kembali
kerajaan Beng, hanya mendapat
pangkat Pengpo Siangsie
(Menteri Pertahanan), tanpa
kekuasaan yang sebenarnya. Itulah
sebabnya, sesudah
mendapat nasehat Thio Tan
Hong, ia segera menutup pintu
dan menyimpan golok, lalu
hidup mengasingkan diri di
pegunungan Couwlay san.
25
Kedua perwira itu sama sekali
tidak pernah mengimpi,
bahwa majikan dari rumah itu
adalah Thio Hong Hu yang
namanya menggetarkan seluruh
kerajaan Beng. Mengingat
sikapnya tadi dan cacian
"penjahat" yang barusan diucapkan,
hati mereka benar-benar merasa
tidak enak. "Loohoan" hanya
senyum-senyum melihat laga
mereka dan lalu menyandar
pada tembok tanpa bicara lagi.
Sesudah melirik beberapa kali,
hati mereka jadi semakin
tidak enak.
"Saudara Hoan," kata
satu antaranya. "Kami mempunyai
mata, tapi tak dapat melihat
gunung Thaysan yang besar.
Kami tak tahu, bahwa Hoan-heng
(Saudara Hoan) sebenarnya
adalah seorang Cinjin (orang
berilmu) yang sungkan
menonjolkan muka. Kami sungguh
merasa menyesal, bahwa
di sepanjang jalan, kami sudah
berlaku kurang hormat
terhadap Saudara."
Permintaan maaf itu mempunyai
latar belakang. Untuk
mengangkut tiga puluh laksa
tahil perak uang negara itu,
Khoan Kie, Yamun-su (pembesar
yang berkuasa atas
pengangkutan garam) dari
Ouwpak-Ouwlam, telah minta
bantuan Sunbu Ouwpak, yang
segera perintahkan dua
panglimanya yang paling dibuat
andelan pergi menjalankan
tugas tersebut. Kedua perwira
itu lantas saja menyiapkan lima
ratus serdadu pilihan untuk
bantu mengantar, dan menurut
dugaan mereka, dengan pasukan
sekuat itu, tugas tersebut
akan dapat diselesaikan secara
mudah. Tak dinyana, sebelum
berangkat, Yamunsu Khoan Kie
sudah pujikan seorang
piauwsu (ahli silat yang biasa
mengantar barang angkutan)
dan piauwsu itu adalah Hoan
Eng. Kedua perwira itu lantas
saja jadi mendongkol lantaran
menganggap Hoan Eng sebagai
saingan yang mau merebut
sebagian jasa mereka yang sudah
kelihatan di depan mata.
26
Secara diam-diam kedua perwira
itu menyelidiki. Mereka
mendapat kenyataan, bahwa
dalam sejumlah piauwkiok
(perusahaan yang mengantar
barang dari satu ke lain tempat)
di beberapa propinsi Tiongkok
Selatan, sama sekali tidak
terdapat orang yang bernama
Hoan Eng. Oleh karena itu,
mereka menyangsikan, apakah
Hoan Eng benar-benar adalah
seorang piauwsu. Akan tetapi,
walaupun merasa kurang
senang, mereka tidak dapat
menolak, oleh karena Hoan Eng
adalah orang yang dipujikan
oleh Yamunsu.
Di luar dugaan, Hoan Eng
mempunyai kepandaian yang
sangat tinggi. Pada waktu
terjadinya perampokan, hanya dia
seorang yang dapat bertempur
sehingga puluhan jurus
dengan si perampok bertopeng,
tanpa dapat dilakukan.
Sekarang, ia pun ternyata
mempunyai hubungan rapat dengan
Thio Hong Hu. Mengingat itu,
kedua perwira itu saling
mengawasi dengan perasaan
sangsi dan berkuatir. Mereka tak
dapat menebak asal usulnya si
Brewok.
Hoan Eng senyum mendengar
penghaturan maaf kedua
perwira itu. "Jiewie
Tayjin janganlah bicara begitu," katanya.
"Aku hanya seorang
piauwsu biasa. Mana berani menganggap
diri sebagai Cinjin?"
Sehabis berkata begitu, ia menyandar
pula pada tembok dan meramkan
kedua matanya.
Kedua perwira itu merasa lebih
tidak enak. Mereka
sebenarnya ingin menanyakan
hubungan antara Hoan Eng
dan Hong Hu, akan tetapi,
sesudah mendapat jawaban yang
tawar itu, mereka tak berani
membuka mulut lagi.
Sembari menyandar, otak Hoan
Eng bekerja keras. Ia tidak
nyana, bahwa sesudah
mengundurkan diri, Thio Hong Hu jadi
begitu membenci segala apa
yang berbau pembesar negeri. Ia
merasa menyesal sudah
meluluskan permintaan Khoan Kie
untuk bantu melindungi perak
negara itu. Ia berkuatir, bukan
saja kawan-kawan kalangan
Kangouw akan mencurigai
27
dirinya, tapi Thio Hong Hu pun
akan menganggap ia sebagai
seorang manusia yang mengejar
harta dan pangkat.
"Hai!" katanya di
dalam hati, sembari menghela napas
panjang. "Kenapa juga aku
mencari penyakit sendiri? Kedua
manusia ini tak mengetahui
asal-usulku, tapi kawan-kawan
Kangouw sedikit banyak
mengenal namanya Soanhoahu Hoan
Eng. Yah, kenapa juga aku rela
menjadi orang suruhannya
pembesar negeri? Siapa suruh
aku menjadi keponakannya
Hoan Tiong? Siapa suruh aku
menjadi saudara angkatnya
Yamunsu Khoan Kie?"
* * *
Dahulu, Thio Hong Hu, Hoan Tiong
dan Khoan Tiong
dikenal sebagai tiga serangkai
jagoan utama di kota raja.
Belakangan, Thio Hong Hu telah
mengikat tali persahabatan
dengan musuh besar kaizar
Beng, yaitu Thio Tan Hong.
Secara diam-diam, Khoan Tiong
telah menjual saudara
angkatnya dan memberitahukan
rahasia itu kepada kaizar.
Thio Tan Hong yang mengetahui
penghianatan itu, sudah
turun tangan dan membinasakan
Khoan Tiong, sehingga
menimbulkan salah mengerti di
pihaknya Thio Hong Hu.
Dalam pertempuran di Tobokpo,
Hoan Tiong telah
membinasakan menteri dorna
penjual negara yang bernama
Ong Cin, tapi ia juga harus
mengorbankan jiwa dalam
pertempuran itu. Khoan Kie,
pute-ranya Khoan Tiong,
belakangan berkecimpung dalam
kalangan pembesar negeri,
dan berkat bantuan
sahabat-sahabat mendiang ayahnya, ia
mendapat pangkat Yamunsu
bagian wilayah Ouw-pak-
Ouwlam. Pangkat Yamunsu, atau
pengurus garam, adalah
pangkat yang mendatangkan
keuntungan besar. Adiknya Hoan
Tiong yang bernama Hoan Cun
dahulu pernah menjadi
pahlawan istana. Sesudah
kakaknya mengorbankan jiwa untuk
negara, ia lalu menurut
contohnya Thio Hong Hu dan
28
menyembunyikan diri di rumah
leluhurnya di Ouwpak. Thio
Hong Hu, Hoan Tiong dan Khoan
Tiong adalah saudarasaudara
angkat, sedang hal
penghianatan Khoan Tiong hanya
diketahui oleh Thio Tan Hong
dan Thio Hong Hu berdua.
Mereka adalah ksatria-ksatria
yang sungkan menguarkan
kejelekan orang, sehingga
kejadian itu jadi tertutup rapat.
Itulah sebabnya kenapa
perhubungan baik antara ketiga
keluarga tetap tidak berubah.
Sebagai Yamunsu, Khoan Kie
berkedudukan di kota
Buciang. Dalam pengiriman tiga
puluh laksa tahil perak ke
kota raja, satu jumlah yang
bukan main besarnya, hatinya
tetap menyangsikan kepandaian
dua panglima Sunbu Ouwpak
itu. Oleh karena itu, beberapa
kali ia memohon bantuannya
Hoan Cun. Berhubung dengan
usianya yang sudah lanjut,
Hoan Cun menolak permohonan
itu dan mengirim saja
puteranya, yaitu Hoan Eng,
untuk memberi bantuan.
Dalam kalangan Hek-to (Jalanan
hitam, atau kalangan
penjahat), Hoan Eng mempunyai
banyak hubungan. Secara
diam-diam ia sudah mengadakan
hubungan dengan sahabat
dan kenalannya di sepanjang
jalan, sehingga sebegitu jauh
pengangkutan itu dapat
berlangsung dengan selamat. Tapi,
siapa nyana, baru saja
menginjak wilayah propinsi Shoatang,
di sebelah selatan gunung
Thaysan, mereka telah dicegat oleh
seorang penjahat bertopeng
yang sudah berhasil menyikat
bersih Seantero angkutan.
Waktu itu, "Perayaan
Tahun Baru" baru saja lewat. Di
sepanjang jalan, dengan riang
gembira, kedua perwira itu
terus mengagul-agulkan diri
sendiri. Secara temberang mereka
mengatakan, bahwa kawanan
penjahat pada lari sipat kuping
akibat keangkeran tentara
negeri. Mereka tidak mengetahui,
bahwa keselamatan mereka sudah
terjamin sampai di situ,
berkat perlindungan Hoan Eng.
Tapi mereka pun sebenarnya
mempunyai alasan untuk merasa
gembira. Sesudah melewati
29
Shoatang, mereka akan segera
masuk ke propinsi Hopak yang
berada dalam wilayah kekuasaan
tentara kaizar dan
perjalanan antara Hopak dan
kota raja boleh tidak usah
dikuatirkan lagi.
Hari itu, mereka bermalam di
satu kota kecil yang terpisah
kira-kira lima puluh lie dari
kota Bongim. Pada malamnya,
beberapa pengemis datang ke
tempat penginapan dan minta
sedekah. Liok Koantay segera
perintah beberapa serdadu
untuk gebuk dan mengusir mereka.
Apa yang agak luar biasa,
adalah ketika mau berlalu,
beberapa pengemis itu tertawa
terbahak-bahak. Hoan Eng yang
sudah kawakan dalam
kalangan Kangouw, lantas saja
merasa tidak enak dalam
hatinya. Dan benar saja, pada
besok harinya, ketika mereka
tiba di sebelah selatan
Thaysan, tiba-tiba terdengar suara
tertawa dan segerom-bolann
perampok menerjang keluar,
dengan, di kepalai oleh
beberapa pengemis itu. Kawanan
perampok itu semuanya
menunggang kuda dan dengan sekali
menyerbu, pasukan negeri
lantas saja menjadi kalut.
Sebelum Hoan Eng sempat
membuka mulut, beberapa
pengemis itu sudah dapat
merubuhkan kedua perwira itu.
Oleh karena terpaksa, Hoan Eng
turun tangan juga dan
melukakan dua orang pengemis.
Tiba-tiba, diiringi dengan
tertawa nyaring, seorang penjahat
bertopeng kaburkan
kudanya dan menerjang bagaikan
kilat.
Dengan sekali menyabet dengan
toya-nya, seorang perwira
rendahan rubuh binasa. Perwira
Ie dan Liok, yang ilmu
silatnya lebih tinggi dan
otaknya lebih cerdik, buru-buru
panjangkan langkah, tapi meskipun
begitu, tak urung pundak
mereka kena juga dihantam
toya. Hoan Eng majukan kudanya
dan menyambut toya musuh
dengan kampaknya yang dibuat
dari logam-logam pilihan.
Begitu kedua senjata itu berbentrok,
satu suara nyaring segera
terdengar. Sesudah bertempur kiraTiraikasih
Website
30
kira tiga puluh jurus,
kampaknya Hoan Eng sudah menjadi
gompal.
Penjahat itu tertawa
terbahak-bahak. "Kau boleh dihitung
sebagai orang gagah,"
katanya.
"Pergilah!"
Sehabis berkata begitu, ia
mengedut kendali kuda untuk
menyingkir dari hadapan Hoan
Eng dan menghampiri keretakereta
besi yang terisi perak.
Setelah tiga kali menghantam
dengan toyanya, lapisan besi
setebal beberapa dim menjadi
pecah dan isinya jatuh
berhamburan di atas tanah. Dengan
beruntun ia merusakkan tiga
kereta dan kemudian perintah
anak buahnya mengumpulkan dan
mengisi perak itu dalam
karung-karung yang lalu di
tempatkan di atas punggung kuda.
Antara lima ratus serdadu
negeri itu, yang binasa ada kira-kira
enam tujuh bagian, yang luka
dua tiga bagian, sedang
sisanya, yaitu serdadu-serdadu
yang paling gagah, telah
ditawan.
Hanya perwira Ie dan Liok
serta Hoan Eng yang dapat
meloloskan diri.
Hoan Eng memutar otaknya, tapi
ia tidak dapat menebak
siapa adanya penjahat
bertopeng itu. Ia ingat, antara begitu
banyak orang-orang gagah yang
ia kenal, hanya Thio Hong Hu
yang mungkin dapat menaklukkan
penjahat itu. Tetapi
sekarang, bukan saja Thio Hong
Hu tak ketahuan ke mana
perginya, tapi ia sendiri pun
sudah kena dikurung dalam
kamar batu oleh si nakal.
* * *
Selagi melamun sambil
bersandar, kuping Hoan Eng
mendadak mendengar suaranya si
perwira: "Si... si nakal
31
belum juga balik. Bisa-bisa
kita mati kelaparan!" Ia
sebenarnya mau menggunakan
istilah "si penjahat", tapi
urungkan niatannya dan
menggunakan saja perkataan "si
nakal".
Hoan Eng tertawa dan membuka
matanya. Keadaan dalam
kamar gelap gulita, di
lubang-lubang kecil juga tidak kelihatan
sinar terang, mungkin siang
sudah berganti malam. Ia pun
merasa lapar, tapi berbeda
dengan kedua perwira itu yang tak
hentinya menggerutu, ia lalu
bersila dan melatih Iweekangnya.
Diam-diam Hoan Eng berkuatir.
Dusun itu tidak berapa
besar. Kenapa Siauw Houwcu
pergi begitu lama? Apa ia tidak
dapat mencari ayahnya? Dan
apakah Thio Hong Hu menemui
bencana? Tapi segera juga ia
membantah sendiri pertanyaan
itu, oleh karena mengingat
kegagahannya orang tua itu.
Sebaliknya, kenapa ia belum
juga pulang ke rumah?
Sesudah berselang beberapa
jam, hawa udara jadi semakin
dingin, sebagai tanda sudah
jauh malam. Kedua perwira itu
mepet di sudut tembok dengan
kelaparan dan kedinginan.
"Hoan Toako!"
berbisik perwira yang satu.
"Ada apa?" menanya
Hoan Eng.
"Bagaimana sih hubunganmu
dengan Thio Tayjin?"
menanya perwira she Ie.
"Empat tahun berselang,
aku pernah berjumpa dengan ia,"
jawabnya.
"Celaka!" Ie Koantay
mengeluh. "Kalau begitu, kau tidak
mempunyai hubungan rapat! Aku
kuatir, bukan saja ia
sungkan menolong, malahan kita
sendiri bisa mati kelaparan
32
di sini. Kenapa ia begitu
membenci kaizar? Mungkin ia ingin
mencelakakan kita."
Hoan Eng mendongkol tercampur
geli."Thio Tayjin adalah
ksatria sejati," katanya
dengan suara tawar. "Jika ia maui jiwa
kalian, tak nanti ia
menggunakan segala akal bulus."
Kedua perwira itu jadi
ketakutan setengah mati dan
gemetar sekujur badannya.
"Kau... kau maksudkan, ia benarbenar
maui jiwa kita?" mereka
menanya dengan suara
terputus-putus.
Hoan Eng tertawa besar.
"Orang-orang yang binasa dalam
tangannya adalah orang yang
namanya besar," katanya.
"Orang-orang seperti kita
ini mungkin belum cukup berharga
untuk mati dalam
tangannya!"
"Tapi kenapa ia tak mau
pulang untuk melepaskan kita?"
menanya perwira she Liok.
"Malahan si bocah nakal juga tak
kelihatan mata
hidungnya."
"Bagaimana aku bisa
tahu?" Hoan Eng balas menanya
dengan hati mendeluh.
Baru saja kedua perwira itu
mau membuka mulut, di
lubang-lubang kecil mendadak
kelihatan sinar terang.
Semangat mereka lantas saja
terbangun. Tiba-tiba terdengar
suara tertawa aneh yang
kedengarannya seperti juga jeritan
setan, sehingga bulu badan
mereka menjadi bangun.
"Thio Tayjin,"
demikian terdengar suara satu orang. "Enak
benar kau hidup sembunyi di
tempat yang nyaman ini! Tapi
sungguh sengsara kami berdua
saudara mencari kau."
33
Hoan Eng tahu Thio Hong Hu
sudah pulang. "Kenapa suara
orang itu begitu tak sedap didengarnya?
Apa ia musuh Thio
Siepeh (Paman Thio)?"
menanya ia dalam hatinya.
Sebagai seorang yang
berpengalaman dalam dunia
Kangouw, ia mengetahui adanya
mara bahaya. Ia menekan
tangan kedua perwira itu,
supaya mereka jangan
mengeluarkan suara, dan kemudian
ia merayap ke atas
dengan menggunakan ilmu
Pekhouw yuciang (Cecak merayap
di tembok). Ia menempelkan
matanya pada sebuah lubang
dan mengintip ke kamar
sebelah.
Kamar itu adalah kamar buku.
Di tengah-tengah kamar
terdapat sebuah meja batu
bundar di mana kelihatan
berduduk tiga orang, satu
antaranya, yang menghadap ke
arah Hoan Eng, adalah Thio
Hong Hu sendiri. Waktu itu Thio
Hong Hu sudah berusia lima
puluh tahun lebih, akan tetapi,
keangkerannya masih tetap
seperti di waktu muda. Orang
yang duduk di sebelah kiri
mempunyai kepala yang luar biasa
besarnya, tapi badannya kate
(pendek) dan kecil, sehingga
kelihatannya aneh sekali. Yang
duduk di sebelah kanan adalah
seorang yang berparas tawar
dan kedua pipinya menonjol ke
atas. Dilihat dari parasnya,
dapat diketahui, bahwa ia
mempunyai Iweekang (tenaga
dalam) yang sangat kuat. Di
sebelah belakang meja itu
terdapat dua lemari besar yang
penuh dengan buku-buku.
Dahulu, Thio
Hong Hu hanya mengenal sedikit
mata surat, akan tetapi,
berkat pengaruhnya Thio Tan
Hong, semen- jak hidup
menyendiri, ia banyak
mempelajari ilmu surat.
"Apakah maksud kedatangan
kedua Tayjin?" menanya Thio
Hong Hu sesudah mendehem
beberapa kali.
"Tayjin sudah hidup
menyendiri delapan tahun lamanya,
dan selama itu, Hongsiang
(kaizar) selalu memikirkan kau,"
34
kata orang yang paras mukanya
tawar. "Tiga kali aku coba
mencari, tiga kali gagal. Tak
tahunya, Tayjin hidup senang di
tempat ini. Aku mengetahui,
tanpa ikatan pangkat, Tayjin
dapat hidup bebas, akan
tetapi, sesudah delapan tahun hidup
bahagia, rasanya kini sudah
tiba saatnya akan Tayjin
membantu Hongsiang."
Thio Hong Hu mengawasi dengan
mata berkilat, seakanakan
ingin melihat isi perut dua
orang itu.
Orang yang kepalanya besar
tertawa haha hehe dan lalu
menyambung perkataan kawannya
"Benar. Sekarang negara
sedang menghadapi banyak
sekali urusan. Mendengar tambur
perang, Hongsiang jadi ingat
panglimanya dan aku kuatir
beliau tak dapat mengijinkan
Tayjin terus hidup secara
begini."
"Jiewie Tayjin mungkin
keliru," menjawab Thio Hong Hu
dengan sikap tenang. "Aku
mengetahui, bahwa kini dalam
dewan kerajaan berjejer penuh
menteri-menteri sipil dan
militer yang berkepandaian
tinggi, seperti Jiewie Tayjin yang
merupakan tihangnya negara.
Apakah kegunaannya manusia
seperti aku, yang sudah tua
dan jompo, sehingga Hongsiang
mau mencapekan hati untuk
memikirinya? Di sebelahnya itu,
aku pun mengetahui, bahwa pada
waktu ini, seluruh negara
sudah aman, sedang di dalam
negeri Watzu justru lagi timbul
kerusuhan dan Yasian sendiri
sudah disingkirkan. Maka itu,
menurut pendapatku, adalah
keliru jika dikatakan, bahwa
negara tengah menghadapi
banyak urusan.
Sungguh aku kurang mengerti
maksud omongan Jiewie
Tayjin."
Kata-kata itu yang dikeluarkan
secara sopan santun, bukan
main tajamnya.
35
Orang yang bermuka tawar
lantas saja tertawa terbahakbahak.
"Thio Tayjin,"
katanya sembari mendongakkan kepala.
"Kami adalah orang-orang
yang isi perutnya lurus dan tidak
biasa bicara terputar-putar.
Apakah Tayjin mengetahui, bahwa
sekarang Thay-sianghong (Kie
Tin) sedang bersekutu untuk
merebut takhta? Apakah Tayjin
mengetahui, bahwa dalam
tempo belakangan ini, ia sudah
membentuk suatu
persekutuan yang cukup
kuat?"
"Selama delapan tahun,
semenjak menuntut penghidupan
sebagai seorang rakyat
pengunungan. aku tak pernah
mencampuri urusan luar,
lebih-lebih urusan keluarga kaizar,"
jawab Thio Hong Hu. "Oleh
karena itu, urusan ini sama sekali
berada di luar
pengetahuanku."
"Ada yang kata, Tay-jin
mengundurkan diri oleh karena tak
dapat melupakan majikan lama
dan tak sudi mengeluarkan
tenaga untuk kepentingan
Hong-siang," kata pula si muka
tawar. "Apa benar omongan
itu?"
Paras muka Thio Hong Hu lantas
saja berubah. Dengan
satu tangan menyekal pinggir
meja, ia menyahut dengan
suara menyeramkan: "Jika
Hongsiang menyangsikan aku,
dengan secarik firman, ia
dapat menghadiahkan kebinasaan
pada diriku! Guna apa mengirim
Jiewie Tayjin datang ke sini
untuk mengadakan penyelidikan
menggelap!"
Selagi berkata begitu, Hong Hu
teringat riwayat In Ceng,
seorang menteri setia yang
sudah "dihadiahkan" hukuman
mati oleh kaizarnya, dan
mengingat itu, suaranya yang penuh
perasaan mendongkol menjadi
keras dan sedikit ge-meter.
"Thio Tayjin bicara
terlampau berat," kata si muka tawar.
"Adalah karena percaya
kepadamu, maka Hongsiang sudah
perintah kami pergi mencari
Tayjin. Itulah merupakan
tindakan mulia dari seorang
junjungan dalam usaha mencari
36
menteri yang pandai, dan oleh
karena itu, tidaklah dapat
Tayjin menggunakan istilah
penyelidikan menggelap."
Sesudah berdiam beberapa saat,
si muka tawar lantas
sambung pula perkataannya:
"Barusan Bun Tongleng telah
mengatakan, bahwa negara
sedang menghadapi banyak
urusan. Yang dimaksudkan
bukannya urusan dari luar, akan
tetap sebagai orangnya, sudah
tentu beliau akan melarang
aku memberikan keterangan ini
kepada Tayjin."
Thio Hong Hu yang darahnya
semakin lama naik semakin
tinggi, duduk menjublek tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Hanya kedua matanya semakin
berkilat-kilat!
Si kepala gede lantas saja
tertawa haha hehe dan berkata
dengan suara dibuat-buat:
"Dahulu, ketika Tayjin
menyembunyikan diri, kami berdua
saudara terpaksa memikul
tanggungan yang sangat berat.
Kini, setelah Tayjin keluar
pula, kami dapat melepaskan
pikulan itu. Sungguh
beruntung! Thio Tayjin! Janganlah Tayjin
berlaku sungkan dan menolak
jabatan yang diserahkannya.
Lihatlah! Inilah firman
rahasia dari Hongsiang! Di atas firman,
terang-terangan ditulis:
'Mengangkat Thio Hong Hu ke dalam
jabatannya yang semula, yaitu
Tongleng barisan Gielimkun
merangkap Ciongcie-hui pasukan
Kimiewie. Lihatlah, Thio
Tayjin! Kami tak berjusta.
Terhadap Tayjin, budinya
Hongsiang besar bagaikan
gunung!"
Hoan Eng yang mendengarkan
pembicaraan tersebut,
menjadi kaget. Kedua orang itu
ternyata adalah pemimpinpemimpin
Gielimkun dan Kimiewie.
Memang juga, mereka berdua
adalah ahli-ahli silat kelas
berat pada jaman itu. Orang
yang paras mukanya tawar
bernama Cian Sam San,
Ciongciehui dari pasukan Kimiewie,
37
atau pasukan ahli-ahli silat
yang menjaga keselamatan pribadi
kaizar. Ia mahir dalam ilmu
Hun-kin cokut khiu (ilmu memecah
otot memindahkan tulang),
serupa ilmu tunggal dalam Rimba
Persilatan. Ketika baru datang
di kota raja, ia pernah mengadu
silat di Giewan (taman dalam
istana kaizar). Dalam tempo
sehari, dengan menggunakan
Hunkin cokut khiu, ia berhasil
mematahkan lengannya dua belas
busu (pahlawan) kelas
satu, dan berhubung dengan
itu, namanya sudah
menggetarkan seluruh kerajaan.
Si kepala gede yang bernama
Bun Tiat Seng juga tidak
kurang liehaynya, meskipun
potongan badannya agak aneh
dan lucu. Ia mahir dalam ilmu pedang
Ngoheng kiam yang
bukan saja dapat menikam, tapi
juga dapat menotok jalan
darah musuh. Ia pun pandai
melepaskan senjata rahasia
beracun dan paham ilmu silat
tangan kosong Teetong kun dari
Pakpay (Partai Utara). Kini ia
menjabat pangkat Tongleng,
atau pemimpin, barisan
Gielimkun, yaitu tentara yang
menjaga istana kaizar. Bahwa
kaizar sudah perintah mereka
membujuk Thio Hong Hu, adalah
kejadian yang sebenarnya.
Paras muka Thio Hong Hu segera
berubah menjadi merah
padam.
"Firman itu aku tak
berani menerima," katanya dengan
suara perlahan.
"Apa pangkatnya terlalu
rendah?" menanya Bun Tiat Seng.
"Seorang menteri tak
boleh menuruti kekeliruan rajanya,
tapi haruslah menuntun rajanya
ke jalanan yang benar,"
menyahut Hong Hu. "Aku
mohon menanya Jiewie Tayjin. Bila
Tayjin melihat 'tulang dan
daging' (saudara-saudara
sekandung) saling bunuh
membunuh, apakah kalian akan
membujuk agar mereka rukun
kembali, ataukah kalian akan
38
mengipas api yang sedang
berkobar-kobar dan membantu
salah satu pihak?"
Kedua pembesar itu terkejut.
Mereka tak menduga, Thio
Hong Hu berani berkata begitu,
yang sedalam-dalamnya
merupakan kritik terhadap
kaizar yang masih bertakhta.
Begitu hilang kagetnya, Bun
Tiat Seng lantas saja tertawa
terbahak-bahak seraya berkata:
"Aku tak duga, Thio Tayjin
sudah meninggalkan bu (silat)
dan mengambil bun (ilmu
surat) serta sudah dapat
berbicara seperti seorang sasterawan
lemah. Thio Tayjin! Jangan
gusar jika aku berterus
terang. Perundinganmu yang
barusan menyeleweng jauh dari
kepantasan."
"Apa?" membentak
Thio Hong Hu sembari mendelik.
"Perebutan takhta antara
Thaysianghong dan Hongsiang
merupakan kenyataan yang tak
dapat dicegah, baik olehmu,
maupun olehku," menjawab
Bun Tiat Seng dengan suara
keras. "Menurut
kebiasaan, seorang menteri haruslah
bersetia kepada satu majikan.
Thio Hong Hu! Sekarang aku
mau menanya: Siapakah yang kau
anggap sebagai
majikanmu?"
"Aku ini tak lebih dan
tak kurang hanya seorang rakyat
kecil dari daerah
pegunungan," sahut Hong Hu dengan suara
dingin. "Bagiku, siapa
yang menjadi kaizar tak merupakan
soal. Siapa juga yang bercokol
di singgasana, aku tetap
membayar pajak."
Bun Tiat Seng garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Ia
benar-benar kewalahan
menghadapi orang gagah yang
adatnya keras itu. Akhirnya,
dengan suara terpaksa ia berkata
pula: "Thio Tayjin, kau
memang mempunyai hak sepenuhnya
untuk mengambil keputusan
sendiri. Tapi cara bagaimana
39
kami berdua saudara harus
memberi laporan kepada
Hongsiang?"
Sebelum Hong Hu menyahut, Cian
Sam San tiba-tiba
tertawa sembari berkata:
"Lain hal aku tak dapat meramalkan,
hanya satu yang aku berani
pastikan sedari sekarang. Jika
Thaysianghong berhasil dalam
usahanya, ada seorang besar
yang tak akan dapat
menyelamatkan jiwanya!"
"Siapa?" tanya Hong
Hu.
“e Kokloo," sahutnya.
(Kokloo adalah panggilan
menghormat kepada seorang
perdana menteri. Dengan Ie
Kokloo dimaksudkan Ie Kiam).
"Sungai dan gunung
(negara) dari kerajaan Beng sudah
tertolong dari kemusnahan
berkat jasanya Ie Kokloo seorang,"
berkata Hong Hu.
"Siapakah yang tidak mengetahui kenyataan
ini?"
Bun Tiat Seng tertawa
bergelak-gelak. "Hongsiang yang
sekarang sudah dinaikkan ke
atas takhta oleh Ie Kiam dan
oleh karena tindakan Ie Kiam
itu, Thaysianghong jadi
kehilangan takhtanya,"
kata Bun Tiat Seng. "Siapakah yang
tidak mengetahui kenyataan
ini?"
"Akan tetapi tindakan itu
sudah diambil lantaran keadaan
yang memaksa dan hal ini sudah
dimaklumi oleh seantero
rakyat di seluruh
negeri," berkata pula Thio Hong Hu. "Waktu
itu Thaysianghong masih jadi
tawanan di negara lain, sedang
di dalam negeri tidak boleh
ada satu hari tanpa jungjungan."
"Hanya aku kuatir ada
satu manusia yang sungkan
mengerti," berkata Cian
Sam San. "Dan orang itu adalah
Thaysianghong sendiri."
40
Bun Tiat Seng tertawa dan
menyambung perkataan
rekannya: "Thio Tayjin!
Tak gunanya kau membela Ie Kokloo
di tempat ini. Jalan
satu-satunya adalah menerima baik
panggilan Hongsiang dan dengan
segala kesetiaan, mencegah
usahanya Thaysianghong. Hanya
dengan begitu saja barulah
Tayjin dapat menolong jiwanya
Ie Kokloo."
Hatinya Hong Hu berdebar-debar
dan mukanya segera
berubah pucat. Ia tak
mengucapkan sepatah kata, rupa-rupa
pikiran datang ke dalam
otaknya. "Sebagai seorang yang
sudah menolong negara dari
kemusnahan, Ie Kokloo dipuja
oleh rakyat seluruh
negeri," katanya di dalam hati. "Andaikata
Thaysianghong berhasil dalam
usaha merebut takhta, belum
tentu ia berani menentang
rakyat dengan membunuh Ie
Kokloo." Tapi memikir
sampai di situ, tiba-tiba ia ingat
perkataan Thio Tan Hong dahulu
hari. Waktu itu, adalah Thio
Tan Hong bersama In Tiong yang
telah pergi ke Watzu untuk
mengambil pulang
Thaysianghong. Menurut pendapat Thio
Tan Hong, Thaysiang- hong
adalah seorang manusia "bongim
pweegie" (manusia yang
tak ingat budi orang), sehingga apa
yang dikatakan oleh Cian Sam
San dan Bun Tiat Seng
bukanlah suatu hal yang
mustahil. Sementara itu, Hong Hu
pun mengetahui, bahwa kaizar
yang sekarang juga bukannya
manusia baik-baik. Sebagai
seorang yang pernah berdiam
lama di istana, ia mengetahui
betapa kejamnya seorang
kaizar. Dari kata-katanya Cian
Sam San dan Bun Tiat Seng, ia
mengetahui, bahwa mereka
berusaha memaksa padanya
dengan menggunakan keselamatan
Ie Kokloo sebagai alasan.
Mengingat itu, ia jadi
bergidik dan tak dapat mengambil
keputusan.
"Thio Tayjin," kata
Cian Sam San sembari mendorong
firman yang terletak di atas
meja. "Lebih baik kau menerima
saja."
41
Tiba-tiba paras muka Hong Hu
berubah, sedang Cian Sam
San memasang kupingnya.
"Ah, tak dinyana
semalaman ini aku harus menerima dua
rombongan tetamu," kata
Hong Hu sambil menghela napas.
Hoan Eng yang sedang
mendengarkan dengan penuh
perhatian, sekonyong-konyong
melihat Cian Sam San dan Bun
Tiat Seng sambar firman itu
yang lalu dimasukkan ke dalam
saku dan kemudian berkata
dengan suara berbisik: "Thio
Tayjin, celaka atau selamat,
semua terserah kepadamu."
Sehabis berbisik begitu,
buru-buru mereka lari ke belakang
lemari buku.
Hoan Eng merasa sangat heran.
Ketika itu, Thio Hong Hu
sudah membuka pintu dan di
bawah sinarnya obor kayu siong,
mukanya kelihatan menyeramkan
sekali.
Sekonyong-konyong, berbareng
dengan suara kresekan,
dari luar pintu meloncat masuk
dua orang yang mengenakan
seragam busu (pahlawan istana)
berwarna hitam. Gerakan
mereka luar biasa cepatnya dan
kepandaian mereka juga tidak
berada di sebelah bawah Cian
Sam San atau Bun Tiat Seng.
Thio Hong Hu rangkapkan kedua
tangannya dan memberi
hormat. Kedua tamu itu tertawa
terbahak-banak. "Antara
sahabat lama, buat apa
menggunakan segala pera-datan,"
kata yang satu.
"Lama sekali aku sudah
mendapat dengar nama besarnya
Thio Tayjin dan baru sekarang
dapat kesempatan untuk
bertemu muka," kata yang
lain.
Sembari menyekal lubang
tembok, Hoan Eng mengangkat
naik badannya sedikit dan
mengintip keluar. Orang yang
masuk lebih dulu berbadan
langsing dan mukanya cakap.
42
"Liok-heng," kata
Thio Hong Hu. "Siapakah adanya sahabat
ini? Mataku yang lamur tak
dapat mengenali."
Orang yang kedua itu berbadan
tinggi besar, justru
sebaliknya dari kawannya.
Sembari merangkapkan kedua
tangannya, ia berkata:
"Saudara Tian Peng adalah sahabat
lamaku. Dengan Thio Tayjin,
baru kali ini aku bertemu muka.
Mungkin sekali saudara Tian
Peng pernah menyebutkan
namaku yang rendah."
Thio Hong Hu tertawa seraya
berkata: "Ah! Tak dinyana,
Peklek khiu (si Tangan
Geledek) Tong Samko yang aku sudah
dengar lama nama
besarnya."
Hoan Eng kembali terkejut.
Kedua orang itu sama-sama
mempunyai nama besar. Orang
yang berbadan langsing
bernama Liok Tian Peng,
sutee-nya (adik seperguruan) Kong
Tiauw Hay, Congkoan (kepala
pengurus) istana. Pada
Cengtong tahun kel3. Ia pernah
turut dalam ujian Butjonggoan.
Dalam babakan-babakan
pendahuluan, ia telah
menjatuhkan banyak sekali
ahli-ahli silat ternama dan akhirnya
harus berhadapan dengan In
Tiong dalam perebutan gelar
Buconggoan. Sesudah bertempur
ratusan jurus, mereka tetap
setanding, sampai akhirnya,
berkat bantuan Thio Tan Hong, In
Tiong dapat menjatuhkan orang
she Liok ini dan merebut
gelar tersebut. Berhubung
dengan pertandingan itu, walaupun
kalah, namanya Liok Tian Peng
jadi kesohor dan belakangan ia
ditarik ke istana sebagai
pahlawan. Jika di hitung-hitung, ia
adalah rekannya Thio Hong Hu.
Orang yang bertubuh tinggi
besar adalah Tong Kee Cun.
Sebelum Liok Tian Peng masuk
ke istana, mereka berdua
sudah berkawan lama dan pernah
bersama-sama malang
melintang di daerah Kanghoay
dan mendapat julukan
Kanghoay Jiepa (Dua jago dari
daerah Kanghoay). Ilmu
43
silatnya Tong Kee Cun cukup
tinggi dengan mempunyai
Tokseeciang dan Kimkong ciu,
sehingga dalam kalangan hekto
(penjahat), ia terkenal
sebagai manusia yang tangannya
sangat beracun.
Tong Kee Cun kembali tertawa.
"Thio Tayjin," katanya.
"Mulai dari sekarang,
kita adalah menteri-menteri dari satu
kerajaan dan aku mengharap
bisa mendapat banyak petunjuk
dari Tayjin. Sekarang
ijin-kanlah aku memberi hormat."
Thio Hong Hu terkesiap dan
meloncat ke samping untuk
menolak pemberian hormatnya.
"Tong Suhu! Apa artinya
ini?" ia menanya.
"Firman rahasia Hongsiang
ada di sini Harap Thio Tayjin
suka menerima," berkata
Liok Tian Peng dengan suara
nyaring.
Hoan Eng menjadi bingung.
"Eh, eh! Kenapa ada lagi
firman rahasia?" katanya
di dalam hati. "Bukankah tadi Cian
Sam San dan Bun Tiat Seng
sudah membawa firman?"
Ketika itu, dengan kedua
tangannya Thio Hong Hu
menjunjung firman tersebut dan
dengan sikap menghormat
lalu berlutut tiga kali.
"Aku mengharap kalian sudi memaafkan,
bahwa aku tidak dapat menerima
firman ini," katanya. "Dan
aku memohon Liok-heng sudi
memberi penjelasan yang
baik dihadapan
Thaysianghong."
Sekarang Hoan Eng sadar. Orang
yang dipanggil
"Hongsiang" (kaizar)
oleh Liok Tian Peng bukannya Kaizar Kie
Giok yang sekarang memerintah,
akan tetapi Thaysianghong
Kie Tin yang telah ditahan
dalam istana Lamkiong oleh Kie
Giok.
44
Liok Tian Peng lantas saja
membuat lagu seperti orang
terkejut dan berkata:
"Orang kata: Satu hari menjadi menteri,
mengabdi seumur hidup.
Sekarang Cukong (majikan) sedang
memerlukan tenaga Thio-heng,
kenapa Thio-heng menolak
firman?"
Harus diketahui, bahwa pada
jaman itu, ialah jaman
kerajaan Beng, dalam
perhubungan antara raja dan menteri
terdapat suatu peraturan yang
sangat keras. Thio Hong Hu
adalah menteri lama dari
Kaizar Kie Tin dan di samping itu,
tugas melindungi keselamatan
Kie Tin jatuh di atas pundaknya
sebagai Ciongciehui pasukan
Kimiewie dan Tongleng barisan
Gielimkun. Menurut peraturan
waktu itu, walaupun Thio Hong
Hu sudah meletakkan
jabatannya, ia tak dapat menolak firman
kaizarnya.
"Sekarang ini Cukong
adalah orang yang paling dihormati di
seluruh negeri dan telah
dirawat secara baik oleh Hongtee
(kaizar)," kata Hong Hu.
"Ada ketidak puasan apakah,
sehingga beliau perintah
Jiewie mengunjungi rumah gubuk ini
di tengah malam buta?"
Liok Tian Peng tertawa
dingin."Aku tak tahu, apa Thio
Tayjin benar-benar tidak
mengetahui, atau hanya berlaga
tidak mengetahui," ia
menyindir. "Takhta kerajaan sebenarnya
adalah miliknya Cukong, tapi
Ek-ong (gelaran Kie Giok
sebelum menjadi kaizar)
sungkan mengundurkan diri dan
secara tidak patut terus
menduduki takhta dan perbuatannya
itu, tidaklah beda dengan
merebut takhta secara paksa. Lebih
hebat lagi, Cukong sendiri
telah di penjarakan di istana
Lamkiong. Apakah orang bisa
bersabar terhadap perlakuan
itu? Kita semua adalah
menteri-menteri tua dan menurut
kepantasan, kita haruslah
membantu Cukong untuk merampas
pulang takhta kerajaan. Hanya
dengan begitu saja barulah kita
tidak melanggar peraturan
antara raja dan menterinya."
45
Thio Hong Hu kerutkan alisnya
dengan perasaan
mendongkol sekali. Sungguh ia
merasa sangat sebal jika harus
mencampur urusan perebutan
takhta dalan satu keluarga.
Memikir begitu segera ia
berkata dengan suara tawar: "Bukan
sekali-kali Hong Hu melupakan
budinya Cukong dahulu hari,
akan tetapi dengan
sungguh-sungguh aku tak dapat
mencampuri urusan pribadi dari
keluarga kaizar."
"Apa ini urusan
pribadi?" Tong Kee Cun menyindir.
Liok Tian Peng membuka firman
itu seraya berkata: "Thio
Tayjin, baca dulu firman
ini."
Dengan terpaksa, Hong Hu
membaca firman tersebut yang
mengatakan, bahwa ia diberi
pangkatnya yang lama dengan
ditambah pangkat Engbupek dan
bahwa ia harus segera
berangkat ke kota raja untuk
melaporkan diri.
"Thio Tayjin, apa kau
sudah mengerti maksudnya?"
menanya Liok Tian Peng.
Thio Hong Hu membungkuk dan
menjawab dengan sikap
menghormat: "Banyak
terima kasih untuk budi Thaysianghong
yang sangat besar, akan tetap
hamba tak berani menerima
firman."
"Masih kau menolak?"
menegasi Liok Tian Peng dengan
suara keras.
"Hong Hu tak berani
mengacau," jawabnya dengan suara
tetap. "Pangkat
Ciongciehui dari Kimiewie dan pangkat
Tongleng dari barisan
Gielimkun sudah ada lain orang yang
memegangnya." (Hong Hu
berkata begitu, oleh karena
dalam firman tersebut di
tulis, bahwa ia diberi pangkatnya
yang lama yaitu pangkat
Ciongciehui Kimiewie merangkap
46
Tongleng dari Gielimkun.
Sepengetahuan Hong Hu sampai
pada saat itu, kedua pangkat
tersebut dijabat oleh Cian Sam
San dan Bun Tiat Seng yang
sedang bersembunyi di belakang
lemari buku.)
"Thio Tayjin,"
berkata Tong Kee Cun. "Apa benar-benar kau
sudah baca firman itu dengan
teliti!"
Mendengar pertanyaan begitu
diajukan berulang-ulang,
Hong Hu jadi bercuriga.
"Apa?" ia menegasi.
Liok Tian Peng tertawa dingin
dan menyahut: "Cukong
sekarang sudah bukan
Thaysianghong lagi! Aku
memberitahukan kau
sebenar-benarnya: Dengan didukung
oleh para menteri, kemarin
Cukong sudah kembali pada
takhtanya!"
Itulah pernyataan tak
diduga-duga, bagaikan halilintar di
tengah hari bolong! Thio Hong
Hu jadi kesima dan untuk
beberapa saat, tak dapat
mengeluarkan sepatah kata. Kedua
matanya yang berkilat-kilat
mengawasi Liok Tian Peng dan
Tong Kee Cun, seolah-olah
ingin menembuskan isi perutnya
kedua orang itu.
"Kau tak percaya?"
menanya Liok Tian Peng. "Di dalam
hati, mungkin kau berkata:
Dari kota raja ke sini, dengan
menunggang kuda masih harus
menggunakan tempo tiga hari.
Cara bagaimana kamu berdua
dapat mengetahui kejadian
yang terjadi kemarin?"
Benar! Bukan saja Hong Hu,
tapi Hoan Eng pun memikir
begitu.
47
Sesudah berkata begitu, Tian
Peng mengawasi Hong Hu
dengan mata tajam dan kemudian
menyambung pula
perkataannya: "Akan
tetapi, perhitungan Hongsiang adalah
tepat bagaikan perhitungan
malaikat, yang tak akan dapat
ditaksir oleh orang-orang
sebangsa kau. Siang-siang beliau
sudah membuat persiapan yang
tak dapat meleset lagi.
Sesudah itu, barulah beliau
perintah aku pergi mencari kau.
Jika Hongsiang masih merasa sangsi,
beliau tentu tak akan
menulis terang-terangan, bahwa
kau dikasi kembali
pangkatmu yang dulu. Thio Hong
Hu! Sesudah memberi
keterangan jelas, apakah kau
masih tak mau menerima
firman?"
Tong Kee Cun dan Liok Tian
Peng lantas saja membentang
firman itu dan menunggu
jawaban Hong Hu.
Hong Hu berdiri tegak bagaikan
patung, seakan-akan
kehilangan semangatnya.
Diam-diam Liok Tian Peng tertawa
dalam hatinya. "Hm! Ada
juga takutnya, kau!" pikir ia.
Tiba-tiba Hong Hu membuka
mulutnya. "Bagaimana
dengan Ie Kokloo?" ia
menanya.
Liok Tian Peng kaget, tapi
lantas saja ia tertawa tengal.
"Oh! Kalau begitu, di
matamu hanya ada Ie Kiam seorang?"
katanya. Ia saling melirik
dengan Tong Kee Cun dan lalu
berkata pula: "Urusan
ini, kau tanya saja sendiri kepada
Hongsiang. Kami hanya ingin
mendapat kepastian, kau
menerima atau tidak menerima
firman ini."
Thio Hong Hu dongakkan
kepalanya."Tidak terima!"
jawabnya.
"Thio Toako adalah
laki-laki yang sekali kata satu tidak
berubah dua," kata Liok
Tian Peng dengan suara lunak. "Kalau
48
begitu putusan Toako, kami
berdua ingin pamitan saja dengan
mengharap supaya Toako menjaga
kesehatan baik-baik."
Heran benar Thio Hong Hu
mendengar perkataan itu. Itulah
kata-kata berpisahan antara
sahabat-sahabat kekal, sedang ia
dan Liok Tian Peng sedari dulu
tak dapat hidup rukun.
Dengan perlahan Liok Tian Peng
menggulung firman itu.
Hong Hu merasa terharu,
sehingga kedua matanya
mengembeng air.
"Liok-heng," katanya.
"Aku memohon
pertolonganmu untuk menanyakan
kesehatannya Ie Tayjin. Di
samping itu, aku pun memohon
supaya dihadapan Hongsiang,
kau sudi bicara baik untuk
alamatnya Ie Tayjin."
"Tentu saja," kata
Tian Peng sembari menyoja, sedang
Hong Hu pun segera membalas
pemberian hormat itu.
Pada saat itulah, tangannya
Tong Kee Cun mendadak
berkelebat dan menghantam
pundak Thio Hong Hu!
Ternyata, kedua orang itu
sudah menerima perintah
rahasia Kie Tin untuk
membinasakan Thio Hong Hu, jika ia
menolak firman!
Sebagai seorang yang ilmu
silatnya tinggi, walaupun
dibokong, secara otomatis Hong
Hu dapat mengerahkan
tenaga dalamnya. Dengan satu
suara "buk!", si pembokong
terpelanting di atas lantai!
"Manusia tak mengenal
malu!" membentak Hong Hu.
"Berani benar kau
membokong aku!"
49
Sementara itu, Liok Tian Peng
sudah mencabut keluar
Kimsie Joanpian (Pecut lemas)
yang segera disabetkan ke
pundak Hong Hu.
Melihat serangan pengecut itu,
Hoan Eng gusar bukan
main. Ia hanya menyesal tak
dapat mendobrak pintu untuk
membantu pamannya.
Begitu terguling, Tong Kee Cun
meloncat bangun dengan
gerakan Leehie Tateng (Ikan
gabus meletik) dan lalu
mengayun kedua tangannya.
Dengan suara-suara "srr, srr,
srr" yang sangat halus,
belasan jarum Ngotok ciam beracun
menyambar Hong Hu."Thio
Hong Hu!" ia berseru. "Meskipun
kau mempunyai kepandaian
menembus langit, malam ini kau
jangan harap dapat meloloskan
diri!"
Dengan tangan kiri menindih
pecut musuh, Hong Hu
mengebas dengan tangan
kanannya dan belasan jarum lantas
saja berbalik menghantam pihak
tuannya.
Pecut Liok Tian Peng adalah
senjata istimewa, dibuat dari
benang emas yang dililitkan
kepada urat harimau dan rotan
gunung yang usianya ribuan
tahun, sehingga senjata itu
mempunyai keulatan dan
kekuatan yang luar biasa. Sesudah
menindih, Hong Hu membetot
pecut itu, tetapi senjata ini tak
menjadi putus, meskipun tangan
Liok Tian Peng sampai
terbeset dan berdarah akibat
betotan yang sangat hebat itu.
Dalam kagetnya, Tian Peng
mendengar suara menyambarnya
jarum dan buru-buru ia
menundukkan kepala dengan gerakan
Honghong Tiamtauw (Burung Hong
manggutkan kepala).
Belasan jarum lewat di atas
kepalanya, tetapi satu antaranya
sudah menembuskan lengannya!
Bukan main kagetnya Liok Tian
Peng. Ia tak menyana, jika
dalam tempo belum cukup
delapan tahun, tenaga dalamnya
Hong Hu sudah mendapat
kemajuan begitu jauh.
50
"Liok-heng!" berseru
Tong Kee Cun. "Tempel pundak! Dia
sudah kena Toksee ciang
(Tangan pasir beracun). Desak terus
sampai dia mampus."
Sesaat itu Hong Hu merasakan
pundaknya kesemutan dan
lengannya agak kaku. Buru-buru
ia bernapas dalam-dalam
untuk menahan naiknya racun.
Tong Kee Cun membuat satu
"loncatan harimau" dan
sembari berseru
"heh!", ia menghantam pula dengan tangan
beracunnya. Tapi kali ini Hong
Hu sudah siap sedia. Ia berlaga
kebingungan dan membiarkan
musuhnya datang dekat
padanya. Mendadak, ia
membalikkan tangannya dan
menghantam sambil mengerahkan
tenaga dalamnya. Dengan
kaget, Tong Kee Cun coba
mundur, tapi sudah terlambat.
Pada pergelangan tangannya
yang kena dihajar dengan
kontan timbul lima tapak jari
yang berwarna merah dan
tangan itu tak dapat digunakan
lagi.
Dengan beruntun Liok Tian Peng
menyabet tiga kali dengan
pecutnya dan kemudian
memutarkan badan untuk melarikan
diri.
"Jangan kasi dia
bernapas!" berseru Tong Kee Cun. "Kalau
hari ini dia tak mampus, kita
berdua sukar menyelamatkan
jiwa di belakang hari."
Sehabis berkata begitu, ia
melemparkan dua butir yowan
(pel) dan menyambung
perkataannya: "Sambut ini
obat pemunah!"
Hong Hu menggeram bagaikan
harimau terluka, tangan
kanannya memapas, tangan
kirinya menyambut yo wan
itu.Liok Tian Peng menyampok
dengan pecutnya, sembari
menyambut yo wan itu dengan
sebelah tangannya, tapi ia
hanya dapat satu butir, sedang
sebutir lainnya sudah kena
dirampas Hong Hu. Tian Peng
yang lengannya ditembuskan
51
Ngotok ciam buru-buru menelan
yo wan itu, sedang Hong Hu
pun segera caplok obat
rampasannya.
Sesaat itu, Hong Hu sudah
berdiri di tengah pintu dan
mencegat jalan mundur kedua
musuhnya. "Binatang!" ia
membentak. "Kenapa kau
orang membokong aku? Lekas
bilang! Jika tidak, jangan
harap kau orang bisa meloloskan
diri!"
Liok Tian Peng ketakutan
setengah mati, mukanya pucat
bagaikan kertas. Tiba-tiba
Tong Kee Cun mengeluarkan
teriakan "aduh!"
Ternyata, pukulan Hong Hu tadi yang luar
biasa hebatnya sudah
mencopotkan tulang pergelangan
tangannya, dan barusan, ia
menggeser tulang itu ketempat
asalnya.
Dapat di mengerti, bahwa
penggeseran itu sudah
menerbitkan kesakitan yang
sangat hebat, sehingga tanpa
merasa ia mengeluarkan
teriakan "aduh!"
Liok Tian Peng memberi tanda
kepada kawannya dengan
lirikan mata, supaya mereka
segera angkat kaki.
"Liok-heng," berkata
Kee Cun. "Tak dapat kita melepaskan
dia. Lebih baik mati bertiga.
Obatku adalah pemunah Ngotok
ciam, bukan obat Toksee ciang.
Hayolah! Kita desak terus
sampai dia mampus!"
Tian Peng menganggap perkataan
kawannya memang ada
benarnya. Thio Hong Hu bukan
main liehay-nya. Dengan
Iweekang-nya yang sudah
sempurna, dalam sepuluh hari saja
ia sudah akan dapat
menyembuhkan luka akibat pukulan
Toksee ciang. Sesudah sembuh,
Hong Hu tentu akan
membalas sakit hatinya.
Meskipun Toksee ciang dan Ngotok
ciam menggunakan racun yang
sama, akan tetapi cara
bekerjanya berlainan sekali.
Jarum Ngotok ciam yang halus
52
terutama digunakan untuk
menyerang jalan darah. Pukulan
Toksee ciang, dapat
mengakibatkan luka di dalam dan di luar
pada tubuh musuh. Di samping
itu, sebuah tangan adalah
beberapa puluh kali lebih
besar daripada jarum, sehingga
racunnya pun puluhan kali
lebih hebat. Oleh karena itu, yo
wan yang dimaksudkan untuk
memunahkan racun jarum dan
yang sudah ditelan sebutir
oleh Hong Hu, tak akan menolong
banyak.
Dalam pada itu, Hong Hu
sendiri sudah mengerahkan
tenaga dalamnya untuk menahan
naiknya racun. Dapat di
mengerti, bahwa usaha itu
sudah sangat mengurangkan
tenaganya yang harus digunakan
untuk melawan dua
musuhnya. Maka sebab itulah,
dengan dua lawan satu,
walaupun Liok Tian Peng dan
Tong Kee Cun masih jatuh di
bawah angin, Hong Hu sendiri
merasa sangat kepayahan.
Mati-matian mereka bertempur.
Sesuatu pukulan adalah
pukulan yang membinasakan.
Dalam sekejap, belasan jurus
sudah lewat.
Liok Tian Peng berkelahi
secara licik sekali. Ia tak berani
datang dekat dan menggunakan
siasat "gerilya". "Thio Hong
Hu!" ia berseru.
"Jika benar kau seorang gagah, kau harus
membunuh diri sendiri jangan
sampai ditertawai oleh orangorang
gagah di kolong langit."
"Kentut!" membentak
Hong Hu. "Satu hoohan (orang
gagah) harus menyerah
disembelih olehmu? Bagus!"
"Thio Hong Hu!"
berteriak pula Liok Tian Peng dengan
suara mengejek. "Malam
ini kami berdua menjalankan
perintah Hongsiang. Sebagai
seorang menteri, jika raja
perintah kau mampus, kau mesti
mampus. Kau mengerti?"
53
Perkataan Liok Tian Peng,
walaupun ejekan, bukannya
tidak beralasan. Pada jaman
itu, kekuasaan kaizar tiada
batasnya. Jika kaizar
menghendaki jiwa menterinya, menteri
itu harus segera menyerahkan
jiwanya, tanpa banyak rewel.
Akan tetapi, Liok Tian Peng
tidak mengetahui, bahwa sesudah
bergaul dengan Thio Tan Hong,
alam pikiran Hong Hu sudah
sangat dipengaruhi oleh
sahabatnya itu. Ia sudah menjadi
sadar dan sungkan mengorbankan
jiwanya untuk satu
keluarga yang sedang berebut
kekayaan dunia, walaupun
keluarga itu adalah keluarga
kaizar.
Mendengar ejekan itu, darahnya
Hong Hu naik tinggi. "Liok
Tian Peng!" ia membentak.
"Manusia rendah yang tak
mengenal malu! Kau ingin
menggunakan darahku untuk
menaikkan pangkatmu? Bagus!
Tak malu kau, mengatakan
begitu!" Sembari memaki,
kedua tangannya menghantam
bagaikan hujan dan angin.
Mendadak terdengar suara "buk!"
dan badannya Tong Kee Cun
terpental menubruk tembok,
sampai hampir-hampir dia
pingsan.
Liok Tian Peng buru-buru
menghadang di tengah jalan
guna menolong kawannya.
"Thio Hong Hu!" ia pentang
bacotnya lagi. Hongsiang benar
cerdik. Siang-siang beliau
sudah tahu, kau mempunyai
tulang penghianat. Thio Hong
Hu! Kau tahu satu penghianat
harus mendapat hukuman apa?
Jika kau menyerah dibelenggu,
hanya kau seorang yang
mampus. Tapi jika kau melawan,
serumah tanggamu akan
dibasmi habis!"
Mendengar perkataan itu, Hong
Hu merasakan dadanya
mau meledak. Belasan tahun ia
melindungi Kie Tin. Dalam
peperangan di Tobokpo, ia bela
kaizar itu tanpa
memperdulikan keselamatan
jiwanya sendiri. Kesetiaannya
sudah tak dapat disangkal pula
dan kegagahannya dikagumi
orang sejagat. Maka, oleh
sebab itu cara bagaimana ia tidak
gusar ketika mendapat cap
"penghianat"?
54
Dengan hebat ia mengirim tiga
pukulan berantai, sehingga
Kee Cun dan Tian Peng terpaksa
mundur beberapa tindak.
"Waktu Yasian menyerang,
di mana kau? Hm! Sekarang,
kaulah menteri setia, sedang
aku satu penghianat. Bagus!
Bagus betul!"
"Thio Hong Hu, kau tak
rela dicap penghianat?"Tian Peng
mengejek terus. "Kau kira
orang tak tahu segala gerakgerikmu?
Perhubunganmu dengan Thio Tan
Hong sudah
diketahui Hongsiang. Siapa
Thio Tan Hong? Apa kau tak tahu?
Dalam undang-undang kerajaan
terang-terang ditulis: Siapa
juga yang bersekutu dengan
pemberontak, mendapat
hukuman yang sama dengan
pemberontak itu. Apa lagi kau
mau kata? Selainnya itu,
ketika Ie Kiam menco-kolkan kaizar
baru, kau menjadi isi perutnya
(orang sebawahan yang setia)
Ie Kiam. Apa itu bukannya
berhianat?"
Baru habis perkataan itu
diucapkan, biji mata Hong Hu
berputar dan rambutnya
berdiri, bahna gusarnya.
"Kalau begitu, Ie Kokloo
juga penghianat?" ia membentak
sekuat suaranya.
"Apa lagi?" jawab
Liok Tian Peng sembari senyum-senyum
dingin. "Hongsiang sudah mengatur
rapih. Begitu ia naik
takha, begitu Ie Kiam masuk
penjara. Diserahkan kepada
Makamah Agung, diumumkan
kedosaannya dan dicabut
jiwanya! Haha! Thio Hong Hu!
Sekarang juga, aku kuatir kau
punya Ie Kokloo sudah hilang
kepalanya!"
Mata Hong Hu berkunang-kunang,
hampir-hampir ia rubuh
pingsan. Melihat kesempatan
baik, Tong Kee Cun dan Liok
Tian Peng lantas saja
menyerang sehebat-hebatnya.
55
Tiba-tiba Thio Hong Hu
mendelik. "Sudahlah! Sudahlah!" ia
berteriak. "Jika Ie
Kokloo dianggap penghianat, guna apa aku
hidup terus? Baiklah! Aku
sekarang memberontak! Hm!
Tindakan pertama adalah ambil
jiwa anjingmu!"
Berbareng dengan perkataannya,
Thio Hong Hu, jago
nomor satu di kerajaan Beng,
segera menerjang dengan
menggunakan seantero
kepandaiannya dan seluruh tenaga
dalamnya! Seram benar
terjangan itu!
Tong Kee Cun yang belum
mengenai sampai di mana
liehaynya Hong Hu, segera
merangkap kedua tangannya di
depan dada untuk coba
menyampok sambaran tangannya
Hong Hu. Begitu kebentrok,
tulang lengan Kee Cun di bawah
pundak, kontan patah dua!
Tapi Tong Kee Cun benar-benar
bandel. Sesudah
lengannya patah dan darah
mengalir tak hentinya, mulutnya
masih berteriak: "Jangan
kasi dia bernapas. Racunku sudah
bekerja!"
Panjang pecut Liok Tian Peng
ada lebih dari setombak.
Dengan mengandalkan senjatanya
yang panjang, ia terus
berkelahi secara licik, lari
berputar-putar di seluruh kamar dan
menyerang bila mendapat
kesempatan baik. Dilawan secara
itu, sedikitnya untuk
sementara, Hong Hu tak dapat
menghantam si licik ini.
Toksee ciangnya Tong Kee Cun
liehay luar biasa. Waktu
baru kena, berkat Iweekang-nya
yang dalam, Hong Hu masih
dapat menahan menjalarnya
racun tersebut. Akan tetapi,
sesudah lewat berapa lama,
lengan kanannya mulai
kesemutan dan semakin lama
jadi semakin kaku.
Melihat musuhnya mulai
kepayahan, Liok Tian Peng lantas
saja tertawa terbahak-bahak.
"Thio Hong Hu!" ia berteriak.
56
"Kalau kau mempunyai
pesanan apa-apa, lekas-lekas
beritahukan kepadaku.
Mengingat kecintaan sebagai rekan
untuk banyak tahun, aku pasti
akan menolong kau!"
Ejek-ejekan yang tak
henti-hentinya itu mempunyai satu
tujuan berbahaya. Jika seorang
yang terkena racun, naik
darahnya, racun itu akan
menjalar terlebih cepat dan sang
korban akan rubuh terlebih
siang pula.
Dalam gusarnya, Thio Hong Hu
menendang meja batu,
yang lantas saja terpental dan
melintang di tengah pintu.
Sesudah itu, ia menghantam
kalang kabut segala perabotan,
seperti sekosol, meja, kursi
dan sebagainya, sehingga barangbarang
itu pada menggeletak di atas
lantai. Setelah
menyingkirkan rintangan-tangan
itu, sembari menggeram,
Thio Hong Hu menubruk Tian
Peng, yang jadi terbang
semangatnya dan coba menolong
jiwanya dengan lari
berputar-putar, bagaikan tikus
diubar kucing.
Dengan satu bentakan keras,
Hong Hu berhasil menyekal
pecut musuh. Tian Peng
melepaskan senjatanya dan
menggulingkan diri sampai di
bawah lemari buku.
Thio Hong Hu menendang dengan
sekuat tenaga. Dengan
suara gedubrakan, kakinya
mampir di lemari buku yang
menjadi dobrak dan roboh. Di
antara ramai suara itu,
terdengar teriakan:
"Awas!" Dan hampir berbareng, Cian Sam
San dan Bun Tiat Seng
munculkan diri.
Sembari tertawa seram,
tangannya Cian Sam San
mendadak menyambar tulang
pundaknya Hong Hu. "Saudara
Bun! Mampuskan padanya!"
ia berseru.
Hong Hu benar-benar kaget. Ia
tak pernah mengimpi bisa
terjadi peristiwa begitu.
Sebagai pemimpin Gielimkun dan
Kimiewie dari Kie Gok, Cian
Sam San dan Bun Tiat Seng
57
adalah musuh-musuh Liok Tian
Peng dan Tong Kee Cun yang
menjadi orang kepercayaannya
Kie Tin. Menurut dugaan Hong
Hu, walaupun tidak membantu
padanya, Cian Sam San dan
Bun Tiat Seng sedikitnya tidak
akan membantu pihak musuh.
Hunkin cokut khiu dari Cian
Sam San adalah ilmu silat kelas
utama dalam Rimba Persilatan.
Dengan lima jerijinya yang
seperti jepitan besi, ia
menyengkeram tulang pundak Hong Hu
yang lantas saja merasakan
bagian atas badannya lemah tidak
bertenaga.
Sementara itu, Bun Tiat Seng
sudah mengeluarkan Joankiam
(pedang lemas) dari
pinggangnya. "Thio Tayjin, hari ini
adalah hari
kebinasaanmu!" katanya sembari tertawa dan
menyabetkan pedangnya ke arah
kepala Hong Hu. Hampir
berbareng, Liok Tian Peng pun
sudah bangun dan pungut lagi
pecutnya. "Cian-heng dan
Bun-heng," kata ia sembari tertawa
benar. "Seorang gagah
memang harus bisa melihat salatan.
Mulai dari sekarang, kita
semua adalah menteri dari satu
kerajaan." Sembari
berkata begitu, ia menyabet Hong Hu
dengan senjatanya.
Selama beberapa detik, Hong Hu
coba menggunakan
beberapa macam ilmu silat
untuk meloloskan diri. Akan tetapi,
Hunkin cokut thjiu sungguh-sungguh
ilmu istimewa. Lima
jerijinya Cian Sam San seperti
juga lengket pada tulang
pundak Hong Hu dan tak dapat
dibikin terlepas. Sesaat itu,
Joankiam dan Joanpian
menyambar hampir berbareng.
Pada detik yang sangat
berbahaya itu, tiba-tiba saja Thio
Hong Hu membentak. Hebat
sungguh bentakan itu! Bagaikan
guntur atau bagaikan geram
harimau yang masuk dalam
jebakan! Pada detik-detik itu,
keangkerannya Thio Hong Hu
berkumpul menjadi satu.
Bun Tiat Seng dan Liok Tian
Peng jadi kesima. Tanpa
merasa, pecut dan pedang
terhenti di tengah udara. Pada saat
58
itulah, kaki kiri dan kaki
kanannya Hong Hu menendang
dengan berbareng dan dengan
kontan kedua musuhnya jatuh
terpelanting!
Sehabis menendang, ia menyikut
dengan sikut kiri dan
menyengkeram musuh dengan
tangan kanan.
* * *
Cian Sam San adalah seorang
manusia licik. Tadi, selagi
bersembunyi di belakang
lemari, ia sudah dapat mendengar
segala pembicaraan dan
mengetahui, bahwa Kie Tin sudah
berhasil merebut takhta. Pada
saat itu juga, ia segera
mengambil putusan buat tinggalkan
majikan lama (Kie Giok)
dan menghamba kepada majikan
baru (Kie
Tin)."Thaysianghong
paling membenci Ie Kiam, Thio Tan Hong
dan Thio Hong Hu," pikir
dia. “e Kiam sudah dibekuk, Thio Tan
Hong yang berkepandaian paling
tinggi tak ketahuan berada di
mana, maka yang ketinggalan
hanya Thio Hong Hu seorang.
Thaysianghong coba pancing dia
dengan pangkat tinggi, tapi
dia menolak, sehingga tidaklah
heran jika beliau maui
jiwanya.Jika aku bisa
membinasakan Hong Hu, pahala itu akan
dapat digunakan untuk menebus
dosa dihada-pan majikan
baru." Akan tetapi, ia
pun merasa jeri terhadap Hong Hu yang
kepandaiannya tinggi. Sesudah
mengasah otak liciknya
beberapa detik, lantas saja ia
mendapat jalan yang sangat
baik. "Lebih baik
menonton dulu perkelahian antara harimauharimau
itu," katanya di dalam
hati. "Sesudah mereka rusak,
barulah aku turun tangan. Jika
tidak mampus, Liok Tian Peng
dan Tong Kee Cun tentu mesti
luka berat. Dan siapa lagi yang
bakal kantongi pangkat
Tongleng Gielimkun? Ha-ha! Inilah
yang dinamakan sebutir batu
menghasilkan tiga ekor burung!"
Demikianlah ia menunggu sambil
memasang mata. Apa
mau, gelanggang pertempuran
pindah ke tempat
bersembunyinya dan lemari buku
kena ditendang oleh Thio
59
Hong Hu, sehingga mau tidak
mau ia mesti keluar juga. Ia
mengetahui, bahwa pundak kanan
Hong Hu sudah terkena
pukulan Toksee ciang, sehingga
lengan kanannya tak dapat
digunakan lagi. Maka itu, ia
menyengkeram tulang pundak kiri
Hong Hu, supaya dua-dua
lengannya tak dapat bergerak dan
dengan gampang dapat dibinasakan.
* * *
Akan tetapi, perhitungannya
Cian Sam San ternyata
meleset, oleh karena, dalam
detik yang sangat berbahaya,
Hong Hu masih mempunyai tenaga
untuk balas menyerang.
Begitu kena disikut, ia
merasakan kesakitan hebat pada
dadanya, dan hampir berbareng,
tangannya Hong Hu
menyengkeram nadinya. Dengan
satu teriakan hebat, ia
berontak sembari melepaskan
cengkeramannya pada tulang
pundak Hong Hu, dan di lain
saat, mereka berdua sudah jatuh
terguling di atas lantai.
Pada detik yang sama, dalam
kamar sebelah terdengar
suara gedubrakan, seperti juga
ada orang jatuh dari atas ke
bawah.
Suara itu adalah akibat
jatuhnya Hoan Eng. Teriakan
"Awas!" tadi adalah
teriakan Hoan Eng. Tak dinyana, oleh
karena teriakannya itu, tempat
bersembunyinya sudah
diketahui oleh Tong Kee Cun.
Walaupun satu lengannya
patah, Tong Kee Cun masih
dapat menggunakan tangan yang
satunya lagi. Sebagai seorang
ahli senjata rahasia yang dapat
mencari musuhnya dengan hanya
mendengar suaranya musuh
itu, ia segera mengayun
tangannya dan melepaskan sebatang
Ngotok ciam ke arah lubang
tembok. Meskipun Hoan Eng
masih keburu miringkan
kepalanya sehingga jarum itu tidak
mengenakan matanya, tapi satu
jerijinya yang memegang
pinggir tembok, tak urung
menjadi korban.
60
Sesudah bertahan beberapa saat,
ia roboh terguling ke
bawah.
"Dikamar sebelah ada
orang!" berseru Tong Kee Cun
sesudah menimpuk.
Dengan gerakan Lee-hie Tateng
(Ikan gabus meletik), Tian
Peng loncat bangun. Tapi,
sebelum ia dapat bergerak, Hong
Hu sudah menghadang di tengah
jendela seraya membentak:
"Mau lari ke mana,
kau!" Berbareng dengan bentakannya, ia
menyapu dengan tangannya.
Dengan cepat Tian Peng
berkelit, tapi Hong Hu
terlebih cepat lagi dan tangannya
mengenakan jitu pada pinggang
musuh. Di waktu biasa,
tenaga tangan Hong Hu dapat
membelah batu besar, maka
tidaklah heran, begitu
kehantam, mata Tian Peng berkunangkunang.
"Matilah aku!" ia
berteriak.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawanya Bun Tiat Seng. "Liokheng,"
katanya. "Jangan takut.
Dia sudah terluka hebat.
Tenaganya sangat berkurang.
Mari kita kepung padanya!"
Mendengar perkataan itu, Liok
Tian Peng menjadi sadar.
Benar juga, biarpun sakit
bukan main, badannya masih dapat
bergerak.
Buru-buru ia menarik napas
dalam-dalam dan merangkak
bangun.
Ia melihat lengan kanan Hong
Hu sudah seperti tergantung
pada pundaknya dan tidak dapat
bergerak-gerak lagi, sedang
bajunya penuh darah. Lengan
kirinya masih dapat digunakan,
tapi gerakannya sudah sangat
kaku.
61
Sesudah terkena pukulan Toksee
ciang, tangan kanan Hong
Hu memang sudah menjadi kaku.
Tadi, dalam keadaan mati
hidup, bagaikan api lilin yang
bersinar terang sebelum padam,
tangan itu dapat memecahkan
cengkeraman Hunkin cokut
khiu. Tapi, oleh karena
gerakan itu, lengan tersebut copot dari
tempatnya dan tak dapat
bergerak lagi.
Waktu kena dicengkeram,
beberapa lembar urat lengan kiri
Hong Hu telah menjadi putus,
sehingga tenaganya jadi sangat
berkurang. Itulah sebabnya
kenapa, walaupun mendapat
pukulan telak, Liok Tian Peng
tidak sampai menjadi binasa.
Sambil menahan sakit, Tian Peng
segera pungut lagi
pecutnya dan kembali maju
menerjang. Sesaat itu, muka Cian
Sam San kelihatan pucat
bagaikan mayat, sedang badannya
bergoyang-goyang. Bun Tiat
Seng pun pincang-pincang
jalannya dan tidak berani
loncat menyerang.
Lima orang yang berada di
dalam kamar itu, sebenarnya
sudah terluka semua. Tong Kee
Cun patah sebelah lengannya
dan keadaannya payah sekali.
Bun Tiat Seng terluka kakinya
akibat tendangan, Cian Sam San
patah tulang dadanya
lantaran kena disikut, sedang
Liok Tian Peng sendiri mendapat
luka berat pada isi perutnya.
Akan tetapi, jika dibandingkan,
Thio Hong Hu-lah yang mendapat
luka paling berat.
Di lain saat, mereka sudah
bertempur pula untuk mendapat
ke-putusan mati atau hidup.
Sesudah melayani belasan jurus,
Hong Hu merasa tak dapat
bertahan lebih lama lagi. Di antara
kawan-kawannya, adalah Bun
Tiat Seng yang lukanya paling
ringan. Oleh karena kakinya
sakit, lantas saja ia
menggulingkan diri dan
menyerang dengan ilmu Kuntee-tong
dari Partai Utara. Sembari
bergulingan, Joankiam-nya diputar
bagaikan titiran untuk
menyabet kedua kaki Hong Hu.
62
Hong Hu jejek kedua kakinya
dan badannya melesat tinggi
untuk meloloskan diri dari
babatan pedang, dan ketika
melayang turun, ia menubruk
Cian Sam San yang lantas saja
terpental. Cian Sam San
mementang kedua tangannya dengan
niatan memeluk musuhnya dengan
menggunakan ilmu Hunkin
cokut khiu. Akan tetapi,
tangan Hong Hu cepat luar biasa.
Bagaikan kilat, ia cekal
pergelangan tangan musuhnya sambil
membentak: "Rasakan
bagaimana enaknya lengan copot!"
Cian Sam San mengeluarkan
teriakan menyayatkan hati,
badannya berguling-guling
sampai di kaki tembok, dengan
satu tangannya memegang tangan
yang lain, yang sudah
putus hubungan dengan
lengannya!
Sementara itu, badan Thio Hong
Hu kembali melesat tinggi
dan sebelah tangannya sudah
menyekal sebatang golok
mustika yang mengeluarkan
sinar dan hawa dingin. Semenjak
mengundurkan diri, ia tak
pernah menggunakan goloknya,
yaitu golok Bianto, yang
selalu digantung dalam lemari buku.
Sekarang, dalam pertarungan
mati hidup, ia mengambil
goloknya itu, dan dalam
sekejap, keadaannya jadi berobah,
bagaikan harimau bertambah
sayap.
Bukan main kagetnya Liok Tian
Peng. Dengan muka pucat,
ia mundur beberapa tindak.
"Binatang!"
membentak Hong Hu. "Jika hari ini kau orang
bisa keluar dari pintuku, aku
akan menulis terbalik nama Thio
Hong Hu!"
Baru saja Liok Tian Peng
memutar badan untuk coba
melarikan diri, kesiuran angin
tajam menyambar punggungnya
dan bajunya sudah kena dirobek
golok. Pada detik mati hidup,
selagi Liok Tian Peng mau
membalikkan badan untuk
menangkis serangan yang
menyusul, tiba-tiba Thio Hong Hu
berteriak dan mundur beberapa
tindak dengan sempoyongan.
63
"Tikus!" membentak
Hong Hu. "Kau belum mampus?"
Sembari berteriak, ia
menendang. Hampir berbareng, Tong
Kee Cun mengeluarkan jeritan
hebat, tubuhnya bergulingan
beberapa kali dan terus tidak
bergerak lagi, rokhnya pulang ke
alam baka! Ternyata, barusan
waktu mengubar Liok Tian
Peng, Hong Hu sudah tidak
memperhatikan Tong Kee Cun
yang sudah menggeletak di atas
lantai dengan luka berat.
Meskipun sebelah lengannya
patah, ia ternyata masih dapat
menggunakan tangan yang
satunya lagi. Demikianlah, ketika
Hong Hu lewat di dekatnya,
dengan sekuat tenaga ia
menimpuk dengan sepuluh batang
jarum beracun, yang
semuanya menancap pada lutut
Hong Hu!
Melihat musuhnya sudah tinggal
matinya, Bun Tiat Seng
jadi girang. "Cian-heng!
Cian-heng!" ia berseru. "Hayo bantu
sepukulan lagi!"
Dengan terpaksa, Cian Sam San,
yang sudah copot sebelah
tangannya, maju menyerang.
Keadaan Hong Hu benar-benar
sudah payah sekali. Kaki
tangannya terluka berat, ditambah
dengan racun hebat yang sudah
mulai naik sampai di
jantungnya.
Sambil kertek gigi, dengan
menggunakan seantero tenaga
yang masih ketinggalan, ia
terjang tiga musuhnya dengan ilmu
golok Ngohouw toanbun tohoat
(ilmu golok lima harimau).
Sungguh tak usah malu Thio
Hong Hu bergelar Jagoan Nomor
Satu di seluruh kota raja.
Walaupun sudah empas-empis,
serangannya masih tetap hebat
dan ketiga musuhnya terpaksa
mundur dengan terpencar.
"Jangan melawan
rapat!" berseru Cian Sam San. "Paling
lama dia bisa tahan setengah
jam lagi!"
64
Thio Hong Hu tentu saja
mengetahui keadaannya sendiri.
Tapi ketika itu ia sudah
menghitung dirinya mati dan
tujuannya adalah mati
bersama-sama tiga musuhnya. Maka
itulah, tanpa menjaga diri, ia
menyerang bagaikan harimau
edan.
Antara ketiga musuhnya, adalah
Bun Tiat Seng yang
lukanya paling ringan. Dengan
dilindungi oleh orang she Bun
itu, Cian Sam San dan Liok
Tian Peng berkelahi sembari lari
berputar-putar dan menyerang
apabila ada lowongan. Tujuan
mereka adalah
"mengikat" Hong Hu dengan seranganserangan
"gerilya", sampai
musuh itu rubuh sendirinya.
Semakin lama, kedua matanya
Hong Hu jadi semakin
kabur. Sekarang ia sudah tak
dapat melihat tegas musuhmusuhnya,
yang dilihatnya hanya seperti
gundukan-gundukan
bayangan hitam.
Sekarang marilah kita tengok
Hoan Eng yang jatuh dari
atas tembok lantaran jerijinya
disambar jarum beracun. Sesaat
kemudian, ia merasa jerijinya
kesemutan dan sebagai seorang
yang banyak pengalaman, lantas
saja ia mengetahui, bahwa ia
sudah dilanggar senjata
beracun.
Buru-buru ia mencabut goloknya
dan menggurat ujung
jerijinya, akan kemudian
memencet keluar darah beracun
yang berwarna hitam. Sesudah
itu ia beset bajunya untuk
membalut lukanya.
"Loohoan, bagaimana
kita?" menanya perwira yang satu.
"Thio Hong Hu sudah
memberontak. Bagaimana kita?"
menanya yang lain.
Hoan Eng tak meladeni mereka.
Ia tempelkan kupingnya di
tembok, mendengarkan suara
beradunya senjata. Ia bingung
65
sekali, tak tahu siapa yang
menang siapa yang kalah.
Mengingat kekejaman kaizar,
mengingat di pengarakannya Ie
Kiam dan dikepungnya Hong Hu,
darahnya jadi meluap.
Bagaikan kalap, ia angkat
goloknya dan membacok tembok
berulang-ulang.
Suara bacokan itu terdengar di
gelanggang pertempuran.
Bun Tiat Seng dan dua kawannya
tentu saja tak tahu, bahwa
kamar sebelah sudah dikunci
oleh Siauw Houwcu. Mereka
menduga, bahwa pembantu Thio
Hong Hu sedang membuka
pintu untuk memberi bantuan.
Antara mereka, adalah Liok
Tian Peng yang nyalinya paling
kecil. Dialah yang paling dulu
loncat keluar dari gelanggang
dan sambil menyeret pecut, ia
coba melompati jendela. Hong
Hu menarik napas dalam-dalam.
Buat sesaat, kedua matanya
terang kembali. Sambil
membentak keras, ia membacok.
Sekali ini orang she Liok itu
tak dapat singkirkan dirinya lagi.
Golok Hong Hu mampir tepat di
pundaknya dan ia roboh
dengan tidak bernyawa lagi!
Cian Sam San bengong sedetik,
saking kagetnya. Sebelum
mencabut Bianto dari tubuh
musuhnya, Hong Hu mengirim
satu tendangan dengan kaki
kirinya. Kali ini pun ia berhasil,
kakinya mengenakan tepat pada
dadanya Cian Sam San.
"Bun-heng..."
berseru Cian Sam San dengan suara lemah
dan rubuh tanpa berkutik lagi.
Selagi Hong Hu
"membereskan" kedua musuhnya. Bun Tiat
Seng loncat dan menikam
punggungnya Hong Hu dengan
Joankiam-nya. Pada saat ujung
pedang menempel pada
punggung musuhnya dan selagi
ia mau menyodok ke depan,
mendadak ia dengar teriakannya
Cian Sam San yang
menyayatkan hati. Ia
terkesiap, sehingga gerakan Joankiam
66
jadi agak lambat. Pada detik
itu, Hong Hu sudah meloncat ke
depan, akan kemudian
memutarkan badannya.
"Hm! Sekarang hanya
ketinggalan kau seorang!"
membentak Hong Hu dengan suara
menyeramkan.
"Thio Tayjin, ampuni
aku!" memohon Bun Tiat Seng
dengan suara gemetar. Thio
Hong Hu mendelik sambil
menimpuk dengan goloknya.
Dengan disertai sinar dingin,
Bianto menyambar ke uluatinya
Bun Tiat Seng dan terus
menembus sampai di
punggungnya! Tanpa mengeluarkan
suara, dia roboh celentang.
Sembari tertawa
terbahak-bahak, Hong Hu memungut
senjatanya dan menyingkirkan
meja batu yang melintang di
tengah pintu. Ia menghampiri
pintu batu dan membentak:
"Siapa di dalam? Keluar
semuanya!"
Hoan Eng dorong keluar kedua
perwira itu dan ia sendiri
pun mengikuti dari belakang.
Melihat Hoan Eng, sambil
melintangkan senjata, Hong Hu
menanya: "Hoan Eng, ada
urusan apa kau datang ke sini?
Siapa yang kirim dua perwira
ini?"
Kedua perwira itu pucat
mukanya.
"Kami... kami datang
untuk memohon pertolongan Tayjin,"
jawab salah satu antaranya dengan
suara terputus-putus.
"Apa?" membentak
Hong Hu. "Kau rasa boleh keluar masuk
sesukamu di rumahku?"
Sedang kedua perwira itu
gemetar sekujur badan, Hoan
Eng mengawasi jago tua itu
dengan hati duka. Ketika itu,
seluruh badannya Hong Hu
berlumuran darah, tapi
67
keangkerannya masih tetap
seperti sediakala. Tanpa merasa,
Hoan Eng mengucurkan air mata
dan menyekal tangannya
orang tua itu. "Thio
Pehpeh, bagaimana keadaanmu?" ia
menanya dengan suara terharu.
"Kenapa kau?"
membentak Hong Hu. "Kenapa kau ajak
orang luar datang ke
sini?"
"Pehpeh," jawabnya.
"Kau mengaso dulu. Sebentar aku
akan ceritakan."
"Baiklah," kata Thio
Hong Hu yang lantas masuk ke kamar
batu dan duduk bersila.
Buru-buru Hoan Eng
mengeluarkan obat luka untuk
mengobati pamannya. Hong Hu mendelik.
"Taroh!" ia
memerintah. "Siapa
perintah kau bikin laga seperti neneknenek.
Lekas bilang! Siapa dua
pembesar itu?"
"Apa yang dikatakan
mereka adalah hal yang sebenarnya,"
menjawab Hoan Eng sesudah
menjalankan kehormatan. "Dari
Ouwpak, mereka mengantar uang
negara sebanyak tiga puluh
laksa tahil perak. Di tengah
jalan, perak itu kena dirampok.
Mereka datang ke sini buat
memohon pertolongan Pehpeh."
"Ada sangkut paut apa
dengan kau?" menanya sang
paman.
"Aku turut melindungi
uang itu," sahutnya.
"Kenapa kau begitu
tolol!" membentak Hong Hu.
Hoan Eng buru-buru berlutut
dan berkata: "Uang itu adalah
kiriman Khoan Samtee. Aku tak
dapat menolak mengingat
hubungan mendiang ayahanda...
Pehpeh, bagaimana kau
rasakan?"
68
Tadi, ketika belum mengetahui
maksud kedatangan Hoan
Eng dan kedua perwira itu,
untuk sementara, Hong Hu dapat
mempertahankan dirinya.
Sekarang, sesudah mengetahui
mereka tak bermaksud jahat,
perasaan tegangnya hilang dan
mukanya lantas saja berobah
pucat dan badannya bergoyanggoyang.
Hoan Eng bangun dan coba
memberi pertolongan.
"Tak usah," berkata
Hong Hu. "Selagi aku masih dapat
bicara, kau dengarlah
omonganku."
Hoan Eng merasa tak tega dan
mau juga coba
memegang badannya orang tua
itu.
"Kau mau dengar
perintahku atau tidak!" membentak sang
paman. "Hm! Kau kena
Ngotok ciam. Lekas ambil obat
pemunah dari badannya Tong Kee
Cun."
Hoan Eng mengawasi lukanya.
Warna merah ternyata
sudah melebar sampai di
telapakan tangannya. Ia terkejut
oleh karena tidak menduga
racun Ngotok ciam sedemikian
liehay. Mengingat, bahwa Hong
Hu pun kena racun serupa,
buru-buru ia menggeledah
mayatnya Tong Kee Cun dan
mendapat sebungkus yowan, yang
lantas saja diserahkan
kepada Hong Hu.
"Benar," kata sang
paman. "Kau telan tiga butir."
"Thio Pehpeh, kau juga
harus makan obat itu," kata Hoan
Eng.
Hong Hu tertawa sedih seraya
berkata: "Jika satu jam lebih
siang, mungkin masih ada
harapan. Tapi sekarang, meskipun
mendapat obat dewa, sudah
tidak menolong lagi!"
69
Sebagai seorang yang sudah
kawakan dalam dunia
Kangouw, Hoan Eng tak
membantah omongan pamannya.
Dengan hati bergoncang ia
mengawasi mukanya jago tua
itu, yang dari berwarna
abu-abu sekarang sudah berobah
menjadi hitam. Tanpa merasa,
bungkusan obat itu terlepas
dari cekalannya dan jatuh di
atas lantai. "Thio Pehpeh,"
katanya sembari berlutut.
"Pesanan apakah yang Pehpeh
hendak berikan kepada siauwtit
(keponakan)?"
Thio Hong Hu tertawa
bergelak-gelak."Budi dan sakit hati
sudah terbalas semuanya, ada
apa lagi yang aku dapat
memesan?" kata ia.
"Hm! Hanya satu! Kau dengarlah!"
"Bret!" ia membeset
bajunya yang penuh darah. "Bawalah
sobekan baju ini dan golokku
dan pergilah kau mencari Thio
Tan Hong!" kata sang
paman. "Sesudah perak dapat diambil
pulang, suruh Khoan Kie segera
meletakkan jabatannya!"
Dengan air mata bercucuran.
Hoan Eng menyambuti
sobekan baju dan golok mustika
itu. "Ada apa lagi?" ia
menanya.
"Ketika datang di sini,
apakah kau tidak bertemu Siauw
Houwcu?" menanya Hong Hu.
"Siauw Houwcu pergi
mencari Pehpeh," jawabnya.
Tubuhnya Hong Hu bergemetar,
tapi parasnya tetap
tenang. Dalam menghadapi maut,
orang gagah itu sama sekali
tak menjadi gentar dan Hoan
Eng merasa kagum sekali.
Bagaikan api lilin yang
mendadak terang sebelum padam
sama sekali, Hong Hu tiba-tiba
membuka kedua matanya.
"Jika Siauw Houwcu masih
hidup," katanya dengan suara
terburu-buru, seolah-olah
kuatir keburu mati. "Serahkanlah
70
golokku kepadanya dan suruhlah
ia mengangkat Thio Tan
Hong sebagai guru."
Sehabis berkata begitu, ia mengebas
tangannya dan menyambung
perkataannya: "Dengan
penduduk dusun, aku mempunyai
hubungan yang sangat baik.
Jenazahku tentu dirawat
baik-baik oleh mereka. Kau sendiri
boleh segera berangkat. Dengan
tangan sendiri, aku telah
membalas segala sakit hatiku,
sehingga meskipun mati, aku
mati dengan mata meram. Hanya...
satu... penyesalan... aku
tak dapat... bertemu pula...
dengan Ie Kokloo... Thio Tan
Hong..."
Suaranya semakin lama, semakin
lemah dan sesudah
mengucapkan perkataan
"Hong", ia meramkan kedua
matanya. Hoan Eng loncat dan
meraba dadanya. Ahli Silat
Nomor Satu di seluruh kota
raja sudah tiada lagi dalam dunia!
Hoan Eng menangis
tersedu-sedu. Ia tak nyana, bahwa jago
yang begitu disegani orang,
harus menutup mata dalam
sebuah kamar batu, tanpa
disaksikan oleh puteranya sendiri.
Sesudah kenyang menangis, Hoan
Eng segera berlutut
diha-dapan jenazahnya sang
paman, sebagai pemberian
hormat yang penghabisan kali.
Mendadak, kupingnya jang tajam
mendengar suara
kresekan. "Ah, memang
juga aku tak boleh berdiam lamalama
di sini." katanya di
dalam hati. Buru-buru ia masukkan
sobekkan bajunya Hong Hu ke
dalam saku dan sambil
menenteng Bianto, ia berjalan
keluar dari kamar itu.
Suara yang didengar Hoan Eng,
ternyata adalah suaranya
kedua perwira itu, yang
sesudah menunggu lama di luar
dengan tidak sabaran, coba
melongok-longok ke dalam buat
mencari tahu, bagaimana
kesudahan pertemuan Hoan Eng
dengan Thio Hong Hu. Melihat
Hoan Eng berjalan keluar
dengan menenteng golok yang
sinarnya berkilauan, mereka
terkejut.
71
"Loohoan,
bagaimana?" menanya satu antaranya.
"Sebulan kemudian, kalian
tunggui aku di tepi telaga
Thayouw," jawabnya dengan
pendek.
"Apa?" menegasi
mereka.
"Thio Tayjin sudah
meluluskan permohonanmu," sahutnya.
"Satu bulan kemudian,
dihitung dari hari ini, kalian berdua
tunggui aku di tepi telaga
Thayouw untuk mendapat tahu
kesudahannya."
"Sebulan kemudian?
Bagaimana kami dapat menunggu
begitu lama?" kata
mereka.
Hoan Eng jadi naik darah.
"Jika kalian tak dapat menunggu,
aku pun tak dapat menolong
lagi," katanya dengan suara
keras. Sehabis berkata begitu,
ia lantas berjalan dengan
tindakan cepat.
Kedua perwira itu mengudak
sembari berteriak-teriak, tapi,
sesaat kemudian, di bawah
sinar rembulan, mereka hanya
dapat melihat bayangan Hoan
Eng yang kaburkan kudanya
keras sekali.
Mereka tak berani balik ke
rumah Hong Hu dan dengan
menunggang kuda, mereka coba
menyusul, tapi Hoan Eng
sudah meninggalkan mereka jauh
sekali dan terus kaburkan
tunggangannya ke arah utara.
Mereka kaget tercampur heran.
"Dia kata, di pinggir
Thayouw, tapi kenapa dia pergi
ke utara dan bukan ke
selatan?" kata satu
antaranya. "Apa bukan dia guyon-guyon?"
Mereka tahan tunggangannya
dengan perasaan duka sekali.
Sungguh mereka tak mengerti
perkataan Hoan Eng.
72
* * *
Empat hari kemudian, kota raja
mendapat kunjungan
seorang tamu yang pakaiannya
penuh debu. Orang itu adalah
Hoan Eng. Dengan membedal
kudanya siang malam, dalam
empat hari, ia sudah tiba di
kota raja.
Di jalan-jalan di seluruh kota
Pakkhia, ia melihat berdiri
pintu-pintu gerbang indah
dengan tengloleng beraneka warna.
Pada saban pintu gerbang,
terdapat tulisan yang bunyinya seperti berikut: "Sianghong kembali ke atas
takhta, seantero rakyat memberi selamat."
Akan tetapi, paja-ngannya
adalah pajangan pesta, suasananya adalah suasana kesedihan.
Siapa yang tak buta akan dapat
melihat paras duka pada mukanya setiap orang.
Hoan Eng naik ke loteng sebuah
rumah makan besar. Di atas tembok, ia melihat pemberiantahu dengan tulisan:
"Jangan bicarakan urusan
negara."
Di situ hanya terdapat
beberapa tamu yang sedang bicara satu dengan yang lain sambil berbisik-bisik.
Hoan Eng teriaki pelayan dan
minta arak putih dengan dua kati daging sapi. Sambil makan, ia memasang
kupingnya.
Beberapa tamu itu ternyata
sedang membicarakan halnya Ie Kiam. Pem-beriantahu di atas tembok ternyata tidak
digubris mereka.
Dari rumah makan itu, Hoan Eng
pergi ke beberapa tempat yang biasanya ramai. Dari penyelidikannya itu,
kasar-kasar ia sudah mendapat satu gambaran tentang keadaan di kota raja pada
waktu itu.
Apa yang dikatakan oleh Liok
Tian Peng, adalah benar.
Sesuai dengan rencananya, Kie
Tin sudah berhasil merebut kembali takhta kerajaan.
Sebagaimana diketahui, sedari
pulang ke Tiongkok, ia sudah di penjarakan di Lamkiong oleh adiknya (Kie Giok),
yang sungkan mengembalikan takhta itu kepadanya.
Untuk menjaga kakaknya, Kie
Giok merasa perlu menggunakan tenaganya seorang jenderal yang berpangkat
Cengwanpek, Ong Kie namanya.
Tapi, tak dinyana, semua
kewaspadaan itu tak dapat mencegah persekutuan Kie Tin. Perlahan-lahan, Kie Tin
bersekutu dengan para menteri dan pada akhirnya, ia malahan berhasil menarik
Ong Kie ke dalam persekutuannya.
Demikianlah, pada Kengthay
tahun ke-8, yaitu tahun ke delapan semenjak Kie Giok naik ke takhta, pada malam
kedua dari perayaan Goansiauw (Capgomeh), Ong Kie membuka pintu Lamkiong
lebar-lebar dan membiarkan tentaranya Kie Tin masuk, yang lantas saja mengepung
keraton kaizar.
Pada besok hari, Kie Tin sudah
kembali ke takhtanya dengan didukung oleh menteri-menteri yang sudah bersekutu
dengan ia. Berbareng dengan itu, ia mengumumkan, bahwa Kie Giok sudah
"wafat".
Kie Tin bertindak cepat. Ia
mengumumkan nama "Thiansun" sebagai nama pemerintahannya, member
pengampunan umum kepada persakitan di seluruh negeri, dan pada hari pengampunan
itu, ia jebluskan Ie Kiam ke dalam penjara istana!
Rakyat di kota raja berduka
bukan main.
Banyak, banyak sekali rakyat,
secara diam-diam memasang meja sembahyang di rumahnya untuk memohon kepada
Tuhan, agar keselamatan Ie Kiam dilindungi.
Macam-macam desas-desus
tersiar di seluruh kota.
Banyak orang mengatakan, bahwa
sejumlah hiapsu (pendekar) sedang bersiap-siap untuk membongkar penjara.