Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 1
Cerita Pendahuluan
Di luar kota Gan-bun-kwan,
daerah yang luasnya seratus lie adalah daerah kosong atau no man’s land. Di
dalam kota Gan-bun-kwan berdiam pasukan perang Kerajaan Beng, dan di pihak
sana, di luar kota ada tentara bangsa Mongolia, ialah rombongan suku bangsa
Watzu.
Selama tahun-tahun permulaan
dari Kaisar Eng Cong dari Kerajaan Beng – belum empat puluh tahun dari wafatnya
Beng Thay-couw Cu Goan Ciang, kaisar pendiri Ahala Beng – bangsa Mongolia di
Barat-utara mulai bangkit-bangun pula, dan rombongan suku Watzu adalah yang
terkuat. Rombongan ini setiap tahun maju dengan perlahan-lahan sampai di tahun
Ceng-tong ke-3 – tahun Kaisar Eng Cong – tentaranya telah mendekati kota
Gan-bun-kwan. Demikian terjadilah daerah yang kosong itu.
Pada suatu magrib, selagi
angin barat meniup dengan kerasnya, hingga pasir kuning dan daun-daun rontok
beterbangan, sedangnya kelenengan-kelenengan kuda bercampur-baur dengan
suaranya terompet huchia dari orang Mongolia, maka di daerah kosong itu, ialah
di jalan pegunungan di dalam selat, sebuah kereta keledai asyik lewat dengan
kencangnya.
Kereta itu diiringi satu
penunggang kuda – seorang usia pertengahan yang mengendong kantong busur pada
bebokongnya dan pada pinggangnya tergantung sebatang pedang. Sering sekali
pengiring ini berpaling ke belakang.
Selagi angin bertiup keras,
bercampur dengan suara ringkikan kuda yang tak hentinya dan suara beradunya
senjata-senjata tajam, tiba-tiba terdengar satu seruan panjang dan hebat, lalu
setelah itu – dengan laratnya sang kereta keledai – suara berisik itu
perlahan-lahan berubah menjadi kesunyian.
Dari dalam kereta, seorang tua
menyingkap tenda, memperlihatkan kepalanya dengan rambut ubanan semua.
“Apakah Teng-ji memanggil
aku?” tanya dia. “Apakah dia telah menemui kecelakaannya? Cia Hiapsu, tak usah
kau pedulikan lagi padaku, pergi kau sambut mereka itu! Setelah sampai disini,
mati pun aku akan meram….”
Pengiringnya itu perdengarkan
jawabannya. Ia menunjuk jauh ke belakang.
“Selamat loopeh!” kata dia.
“Lopeh dengar suara kalutnya tindakan kaki kuda itu. Itulah pasti tanda tentara
Tartar telah mundur! Nah, lihat di sana, bukankah itu mereka ang tengah
mendatangi?”
Habis berkata pengiring ini
memutar kudanya, yang terus ia larikan, guna memapaki “mereka” yang katanya tengah
mendatangi mereka.
Si orang tua di dalam kereta
menghela napas, menyusul itu air matanya berlinang-linang, menetes turun.
Di dalam kereta itu, yang
larinya tak tetap, ada satu bocah wanita. Dia bermuka merah kareha hawa yang
dingin sekali, warna merah itu mirip dengan buah apel yang telah matang.
Dikucak-kucaknya matanya seperti dia baru terjaga dari tidurnya.
“Yaya, adakah ini wilayah
Tionggoan?” dia tanya.
Orang yang dipanggil “yaya”
(engkong) itu menahan keretanya. Ia menyingkap pula tenda, untuk melihat ke
tanah tempat sekitarnya.
“ Ya, inilah tanah daerah
Tionggoan,” sahutnya dengan suara dalam. “A Lui, coba kau turun, kau tolongi
yayamu menjemput segumpal tanah!”
Ketika itu dari mulut selat
terlihat tiga ekor kuda kabur mendatangi, salah satu penunggangnya rebah
tengkurap dengan pakaian morat-marit, robek di sana-sini. Yang terdepan adalah
satu hweeshio atau pendeta.
Pengiring usia pertengahan
yang dipanggil Cia Hiapsu oleh yayanya si bocah tadi memapaki hweeshio itu.
“Tiauw Im suheng, bagaimana
dengan In Teng sutee?” dia tanya.
Hweeshio itu menahan kudanya.
“’Dia telah menemui kematiannya,” ia menyahut, wajahnya muram. “Tidak kusangka,
setelah melalui laksaan lie air dan ribuan lie gunung, setelah bisa menyingkir
sampai di sini, selagi bisa menyingkir sampai di sini, selagi kota Gan-bun-kwan
sudah terpandang di depan mata, dia masih tak dapat lolos dari tangan orang
Tartar! Akan tetapi, tak kecewa dia menjadi satu laki-laki, dalam keadaan luka
parah dia masih dapat membinasakan beberapa orang musuh, selagi menghadapi
kematiannya, dia telah berhasil membunuh Tartar yang memimpin pasukannya,
hingga dia membuatnya tentara Mongolia menjadi ketakutan dan kabur, sampai
mereka itu tak berani mengejar terlebih jauh! Manusia siapakah yang tidak mati?
Orang yang matinya seperti dia, matinya berharga! Muridmu juga tidak dapat
dicela, dia pun berhasil membinasakan beberapa musuh, dengan paman gurunya dia
mati bersama!.....”
Orang usia pertengahan itu
membelalakan matanya, dengan mata bersorot kegusaran, dia dongak memandang
udara, habis itu mendadak dia berseru panjang. “Kota Gan-bun-kwan telah berada
di depan mata, kita akhirnya tidak menyia-nyiakan pesan sute In Teng!” katanya.
“Kita telah antar ayahnya pulang, di alam baka In sute bolehlah meramkan matanya.
Cuma In Tayjin pasti sangat berduka, hal ini untuk sementara harus
disembunyikan baginya.”
Lantas ia larikan kembali
kudanya, ke arah kereta keledai. Si orang tua telah duduk di depan kereta
sekarang, tangannya memegang segumpal tanah. Nampaknya ia bersikap luar biasa
sekali.
Si bocah wanita, yang berdiri
diam di tanah, matanya mengawasi engkongnya saja.“In Tayjin, kita telah
kembali,” berkata Tiauw Im Hweesio, yang turut si pengiring usia pertengahan
itu.
“Mana anakku si Teng?” tanya
si orang tua.
“Tentara Tartar telah kita
pukul mundur,” sahut Tiauw Im. “Dia telah mendapat sedikit luka, dia ada di
belakang bersama murid sute Thian Hoa.”
Hweeshio ini telah kuatkan
hatinya, ia mencoba berlaku tenang, tapi tak sanggup ia menahan kedukaannya
yang hebat, ini terutama tampak pada wajahnya yang suram dan suaranya yang
sedikit gemetar.
Wajah si orang tua berubah
dengan segera. Tiauw Im dan Cia Thian Hoa – demikian si hiapsu, orang gagah
bangsa hiapkek – orang-orang kosen, akan tetapi tak sanggup mereka awasi sinar
mata tajam dari orang tua itu, tanpa merasa mereka mundur dua-tiga tindak.
Orang tua itu sudah lantas
tertawa bergelak-gelak. “Ayah adalah tiongsin dan anaknya hauwcu!” mendadak ia
berkata dengan nyaring. “Tiongsin dan hauwcu hidup berkumpul dalam satu
keluarga, maka aku, In Ceng, apa lagi yang aku rasakan kurang? Ha ha ha!”
Itulah tertawa yang mengandung kedukaan hebat sekali. Cia Thian Hoa dan Tiauw
Im Hweeshio berdiam. Keduanya kagum berbareng terharu. Mereka telah saksikan
apa yang dinamakan tiongsin – menteri setia dan hauwcu – anak berbakti.
Si bocah dongak mengawasi
engkongnya itu. “Yaya, kau tertawakan apa?” dia tanya. “Aku takut yaya, jangan
kau tertawa seperti itu……, Yaya, kenapa ayah masih belum datang?”
Orang tua itu berhenti tertawa
dengan tiba-tiba , lantas dia berdiam. Tapi dia berdiam sebentar saja.
“Apa besok pagi-pagi kita bisa
sampai di kota Gan-bun-kwan?” dia tanya, suaranya perlahan.
“Ya.” Sahut Thian Hoa. “Malam
ini adalah malaman Cap-gwee Cap-go, di waktu malam sang rembulan terang sekali
cahayanya. Besok pagi pastilah kita akan tiba di sana.”
Orang tua itu masih
menggenggam tanah, agaknya ia pandang tanah itu bagaikan mestika, ia bawa itu
ke hidungnya, untuk disedot beberapa kali. Tanah tu berbau daun-daun busuk.
Akan tetapi si orang tua merasakannya itu harum sekali.
“Dua puluh tahun sudah!”
katanya pula, tetap perlahan, tetapi suaranya itu tetap perlahan, tetapi
suaranya itu tetap. “Baru sekarang aku dapat mencium lagi baunya tanah tumpah
darahku….”
“Loopeh telah tinggal di
negara asing, kehormatanmu dan kesetiaanmu telah dapat dilindungi,” berkata Cia
Thian Hoa, “malah dibanding dengan Souw Bu, loopeh tinggal di sana satu tahun
lebih lama. Maka itu, orang sebagai loopeh, siapa pun pasti menjunjungnya!”
Tetapi orang tua itu sendiri
mengkerutkan alisnya.Ia ulurkan kedua tangannya, untuk membantu menarik si
bocah naik ke kereta.
“ A Lui, tahun ini kau telah
berumur tujuh tahun,” katanya dengan perlahan, “maka itu sudah seharusnya kau
mulai mengerti urusan. Malam ini yayamu akan ceritakan kau sebuah dongeng, kau
mesti ingat itu baik-baik dalam kalbumu.”
”Apa? Mesti diingat dalam
kalbuku?” si bocah membaliki. “Aku tahu sudah, yaya hendak menutur tentang
cerita yang mengenai diri yaya sendiri!”
Orang tua itu heran, ia awasi
cucunya itu.
“Kau sungguh cerdik!” kata
dia. “Dibanding dengan masa kecilku, kau jauh lebih cerdik!”
Tak ingat engkong ini bahwa
bocah itu, sejak dilahirkannya, baru satu bulan berselang bertemu dengannya.
Waktu baru bertemu sama sang engkong, si bocah telah menanya pada ayahnya
kenapa bolehnya mendadak muncul seorang engkong untuknya, atas mana sang ayah
menjawab,”Bukankah telah sering aku ceritakan kepadamu hal ikhwalnya Souw Bu?
Cerita tentang yayamu ini ada jauh menarik daripada lelakonnya Souw Bu itu.
Tunggu saja nanti, biar yayamu sendiri yang menuturkannya, tapi kau harus ingat
itu baik-baik dalam kalbumu.”
Karena kata-kata ayah ini,
maka bocah itu dapat menduga dongeng si engkong. Cia Thian Hoa dan Tiauw Im
Hweeshio seperti kitarkan kereta keledai itu, mereka berdiam, tetapi dengan
penuh perhatian, seperti si bocah perempuan sendiri.
Orang tua itu jumput sebatang
tongkat bambu, di kepala itu ada beberapa lembar bulunya yang jarang.
“Bulu dari tongkat ini, yang
menjadi barang perhiasan, telah rusak karena salju yang beku bagaikan es dari
tanah utara,” katanya. “Ini adalah tongkat yang dinamakan su-ciat. A Lui,
tahukah kau artinya su-ciat? Nanti aku jelaskan.”
“Su-ciat adalah tongkat
kehormatan, tongkat kepercayaan.”
Bocah itu awasi engkongnya.
“Pada dua puluh tahun yang
lampau, engkongmu ini adalah satu utusan dari Kerajaan Beng yang besar,” yaya
itu mulai dengan ceritanya. “Engkongmu telah diutus ke Mongolia, yaitu negara
dari suku bangsa Watzu untuk mengikat persahabatan. Tongkat ini adalah
pemberian dari Sri Baginda kepadaku, namanya ialah su-ciat. Dan su-ciat ini
mewakilkan Raja, maka itu tongkat ini tak dapat termusnah. Ketika itu Mongolia
terbagi dalam dua rombongan suku bangsa, ialah Watzu dan Tartar. Bangsa itu
masih lemah. Menurut aturan utusan Kerajaan Beng mesti disambut secara hormat,
akan tetapi di luar dugaan, di saat penyerahan surat-surat kepercayaan negara,
telah terjadi satu perubahan. Mulanya raja Watzu tetap berlaku hormat seperti
biasa, sampai tiba-tiba muncul seorang Han dalam pakaian bangsa Tartar. Dia
datang ke istana dengan membawa pedang di pinggangnya, dia lantas menarik raja
Watzu ke samping, untuk diajak berbisik, sambil bicara matanya melirik padaku.
Orang Han itu berumur kurang lebih dua puluh tahun akan tetapi matanya
memperlihatkan sinar kebencian hebat, dia sepertinya bermusuh denganku.”
“Apakah orang itu kenal
loopeh?” Cia Thian Hoa tanya.
“Tidak,” sahut In Ceng. “Aku
pun tidak kenal dia. Aku percaya, aku sebagai satu pembesar yang bersih, seumur
hidupku aku tidak punya musuh, lebih-lebih tak mungkin terjadi ada musuh di
antara bangsa Tartar. Tak tahu aku, mengap dia agaknya sangat membenci aku.
Ketika itu, melihat dia dandan sebagai orang Tartar, tak ingin aku bicara
dengannya. Setelah bicara sekian lama dengan raja Watzu itu, mendadak dia
keluarkan perintah untuk menahanaku, malah dia hendak rampas juga su-ciatku.
Aku menjadi gusar, aku membuat perlawanan. Aku sudah pikir, jiwaku boleh hilang
tetapi tongkat kepercayaan dari Sri Baginda ini tidak. Aku benci dia bila aku
ingat dia adalah orang Han.”
Keras suaranya orang tua ini
sewaktu dia mengatakan demikian.
“Ketika dia dengar aku
menyebut-nyebut Sri Baginda, dia tertawa besar,” dia melanjutkan. Kaisar Beng,
Kaisar Beng!” katanya mengejek. “Haha! Apakah kau telah siap sedia untuk
menjadi menteri setia dari Kaisar Beng? Kau bakal jadi Souw Bu kedua! Souw Bu
menggembala kambing, kau sendiri boleh mengangon kuda!” Dan sejak itu, aku
hidup di tanah Utara yang hawanya sangat dingin, aku tungkuli kuda sampai lamanya
dua puluh tahun …..Mulanya aku masih mengharap pemerintah nanti mengirim
angkatan perang guna menolong aku, akan tetapi bertahun-tahun telah lalu, tetap
tidak ada kabar beritanya. Adalah kemudian aku dengar cerita bahwa Kaisar Tay
Heng, yaitu Baginda Seng-Touw telah mangkat, dia digantikan Baginda Jin Tong.
Habis itu, belum satu tahun, Kaisar Jin Tong juga wafat, ia lantas digantikan
oleh satu Kaisar muda, hingga negara seperti tidak ada rajanya. Sampai di situ,
habislah keangkaran dari Thay-couw dan Seng-couw. Karena itu, habis juga
pengharapanku untuk dapat pulang kembali, dan aku percaya, pasti aku akan mati
di negara asing. Putus harapanku akan dapat kembali ke tanah daerah Han! Siapa
sangka, telah datang hari seperti ini!”
Thian Hoa dan Tiauw Im saling
memandang, mereka bungkam, akan tetapi wajah mereka menunjukkan bahwa mereka
kagum sekali. In Ceng lihat sikapnya dua orang itu, ia tidak ambil tahu, cuma
sikapnya sendiri yang makin pendiam. Ia tekuk-tekuk sepuluh jari tangannya
hingga berbunyi.
“Selama dua puluh tahun itu,
bukan main kesengsaraan yang kuderita,” ia menyambungi ceritanya. “ Di laut
pasir tidak ada air minum, sukar untuk mendapatnya, maka juga, ada kalanya aku
menghilangkan dahaga dengan minum air kencing kuda, sedang di musim rontok dan
dingin, aku minum air salju. Itulah hal biasa, itulah masih tidak berarti. Yang
paling menjemukan adalah itu jahanam, dia sering kirim utusan menemui aku dan
di depanku dia caci-maki kaisar Beng. Selama dua puluh tahun itu, tidak ada
saat yang aku tidak bersedia untuk mati, tetapi menjemukan, dia justeru tidak
hendak membunuh aku, dia Cuma menyiksa batinku!”
In Lui – ialah si A Lui,
sebagaimana ia dipanggil engkongnya – jadi sangat gusar.
“Siapa namanya manusia busuk
itu?” dia tanya. “Katakan padaku, yaya! Nanti, setelah Lui dewasa, Lui gantikan
yaya menuntut balas!”
“Lama kelamaan, tahulah aku
siapa dia,” In Ceng meneruskan lagi. Dengan begitu iapun jawab cucunya itu.
“Dia she Thio, namanya Cong Ciu. Tentu saja, tak pantas dia menjadi manusia
Han. Kenapa dia mencaci raja kita? Jiwi Hiapsu, coba katakan pantas atau tidak
kalau jahanam itu dibinasakan?”
“Memang dia harus
dibinasakan!” sahut Tiauw Im dan Thian Hoa berdua, malah si hweeshio sambil
gedruk tanah dengan tongkatnya yang panjang seperti toya.
Baru sekarang In Ceng
tersenyum. Ia mengusap-usap kepala cucunya.
“Kemudian ternyata, Thio Cong
Ciu itu adalah dari keluarga dorna,” ia melanjutkan “Ayahnya sejak lama
memangku pangkat di Mongolia, sampai kepadanya, dia semakin terpakai. Dia baru
berumur dua puluh lebih, dia sudah menjadi yu-sinsiang, menteri muda.
Bersama-sama cio-sinsiang Toat Hoan dia menjadi orang kepercayaan dari raja
Watzu, Toto Puhwa Khan. Dia bertubuh sehat, mungkin dia masih dapat hidup lagi
dua atau tiga puluh tahun. Siang dan malam selama aku mengembala kuda di tanah
yang berlangit es dan berbumi salju itu, selalu aku mengharap-harapkan dia
tidak mati siang-siang!”
“Kenapa begitu, tayjin?” tanya
Tiauw Im.
In Ceng tertawa dingin. Sudah
lama sekali ia berdendam, sekarang ingin ia melampiaskannya.
In Lui bergidik mendengar
tertawa yang menyeramkan itu.
Engkong itu merogoh sakunya,
dari mana ia keluarkan sepotong kulit kambing, di atas itu ada tertulis
beberapa huruf warna merah. Dengan samar sekali, kulit itu menyiarkan bau
bacin.
Cia Thian Hoa terperanjat
melihat surat kulit kambing itu.
“In Loopeh, adakah ini surat
darahmu?” dia tanya.
“Inilah yang kedua,” sahut In
Ceng. “Seperti aku katakan tadi, mulanya aku katakan tadi, mulanya aku
mengharap Pemerintah Agung mengerahkan angkatan perang untuk menegur dan
menghukum raja Watzu, supaya jahanam itu dibekuk dan dihukum menurut
undang-undang negara, kemudian aku dapat kenyataan, aku tidak mempunyai harapan
lagi.Aku lalu memikir untuk membunuh jahanam itu dengan tanganku sendiri, hanya
sayang bagiku, aku hanya satu sastrawan yang tak punya tenaga sekalipun untuk
menyembelih ayam. Setelah berpikir pulang-pergi, aku jadi mengharap biarlah
anak cucuku semua meninggalkan pelajaran surat, buat pelajari ilmu silat, guna
mereka membalas sakit hatiku. Kemudian ternyata pengharapanku itu telah
terkabul. Selang sepuluh tahun sejak aku menggembala kuda, anakku si Teng telah
datang ke perbatasan, masuk ke dalam negeri Watzu itu. Tentu saja dia telah
sembunyikan she dan namanya. Dengan susah payah dia cari aku. Ketika aku diutus
ke Mongolia, si Teng baru saja lulus sebagai siucai. Dia adalah satu mahasiswa
yang lemah tubuhnya, akan tetapi di tanah asing ini, aku dapatkan ia sebagai
satu orang yang gagah. Nyatalah dia, oleh karena pemerintah agung tidak
berminat menegur raja Watzu, sudah lantas meninggalkan ilmu suratnya, dia
sengaja belajar silat, setelah mana dia menyelundup masuk ke Mongolia. Dia
datang seorang diri. Katanya dia belajar silat pada Hian Kie It-su, ahli pedang
nomor satu. Dia baru belajar tujuh tahun, dia belum lulus, akan tetapi kendati
begitu, tiga sampai lima puluh orang biasa saja tidak nanti mampu dekati
padanya. Demikian keras niatnya menolongi ayahnya, hingga tanpa menunggu sampai
lulus dari perguruan, dia sudah mencari aku.”
In Lui mendengarkan dengan
kedua matanya memain tak hentinya. Ia sangat tertarik tetapi ada sesuatu yang
membuatnya ia tidak mengerti.
“Yaya,” tanyanya. “Ayah
mempunyai kepandaian silat itu, kenapa aku sedikit juga aku tidak tahu? Aku
lihat setiap hari ayah dan mama pergi bersama-sama untuk menggembala kambing,
mereka tidak mempunyai pekerjaan lain. Satu hari ada seorang Tartar yang
hinakan ayah, yang hendak merampas kambingnya, meskipun ia dipukul, sama sekali
ia tidak membalas menyerang….”
Engkong itu menghela napas.
“A Lui, kau masih kecil,”
katanya. “Ada banyak hal, kalau itu diberitahukan kepadamu, kau tidak akan
mengerti. Di kemudian hari, umpama kata aku menutup mata, hingga tidak dapat
aku menanti sampai kau dewasa, itu waktu kedua mamakmu yang akan memberikan
keterangannya.”
Thian Hoa tahu bahwa ceritanya
In Ceng ini, meski dikatakan kepada cucunya, sebenarnya ditujukan terhadap ia
dan Tiauw Im Hweeshio. Cerita orang tua ini mengandung arti dalam. Ia dapat
melihat pada tubuhnya yang bergetar dan napasnya memburu, maka itu ia lekas
menghampiri, untuk memegang padanya.
“Mengasolah, loopeh,” katanya.
“Masih banyak waktu untuk kau bercerita, maka tunggulah sampai kita tiba di
Gan-bun-kwan, baru kau lanjutkan pula. Loopeh, andaikata di kemudian hari kau
hendak menitahkan sesuatu padaku, pasti aku akan melakukannya.”
Orang tua itu batuk-batuk, ia
menghela napas.
“Tidak, aku hendak
melanjutkan,” katanya, suaranya tetap. “Sudah terlalu lama, urusan ini
tersimpan dalam hatiku, jikalau tidak sekarang aku keluarkan, hatiku belum
merasa lega…” Ia berhenti sebentar, kemudian ia lanjutkan,”Anakku Teng telah
memandang urusan ini terlalu gampang. Dia percaya, dengan mengandalkan
kegagahannya, dia sanggup menolongi aku menyingkir dari Mongolia. Dia tidak
tahu, di luar langit ada langit lainnya, di atas manusia, ada manusia lainnya.
Artinya orang gagah ada lagi yang terlebih gagah pula. Demikian di Mongolia,
ada banyak orang kosen. Di bawahannya Thio Cong Ciu tak sedikit orang yang
pandai silat. Selama aku menggembala, diam-diam telah ada orang yang mengintai
aku. Dengan susah payah si Teng telah dapat cari aku, akan tetapi belum sempat
dia mendamaikan daya untuk ajak aku menyingkirkan diri, di sudah dipergoki
musuh. Coba aku tidak suruh dia segera angkat kaki, mungkin dia sudah kena
terbekuk lebih dulu. Habis itu secara diam-diam pernah dia tempur orang-orang
sebawahannya Thio Cong Ciu itu, sekian lama tidak pernah dia peroleh hasil.
Sejak itu barulah dia lepaskan rencananya akan seorang diri saja menolongi aku.
Selanjutnya dia bekerja menurut nasihatku. Dia lantas berdiam diri di Mongolia
dengan bawa diri seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat, dia lewatkan
waktunya sambil memikirkan daya yang sempurna. Dengan aku ia selalu mengadakan
hubungan secara rahasia.”
Ia berhenti sejenak sebelum ia
melanjutkan lagi.
“Telah aku nasihatkan supaya
dia tinggal menetap di Barat utara, berbareng dengan itu, aku pun anjurkan dia
menikah dengan satu nona Mongolia,” orang tua ini bercerita terlebih jauh.
“Tindakanku ini maksudnya agar ia tidak sampai putus turunannya, supaya dia toh
dapat menuntut balas. Aku teringat kepada dongeng dari Gie Kong yang mencoba
memindahkan gunung. Andaikata anakku tidak dapat membalas sakit hati, nanti
masih ada cucuku, nanti masih ada buyutku, demikian seterusnya, asal keluargaku
masih punya turunan. Aku percaya, satu kali sakit hatiku mesti terbalas juga!
Mengenai keluarga Thio itu, umpamanya Thio Cong Ciu sendiri mati, dia juga ada
turunannya, dan turunan itu mesti menggantikan dia menerima pembalasan. Pada
tujuh tahun yang lalu, aku dengar dia telah mendapatkan satu anak lelaki, waktu
itu aku sudah lantas menulis surat darahku yang pertama, sebagai pesan kepada
cucuku, supaya kalau nanti cucuku sudah dewasa, dia mesti membinasakan anak
lelaki itu atau turunannya, tidak peduli lelaki atau perempuan, semua mesti
dihabiskan!”
Orang tua ini menjadi sengit,
sampai Thian Hoa yang kosen merasa bergidik. Hebat pesan itu. Hendak ia bicara,
atau ia membatalkannya. Cuma di dalam hatinya, dia berpikir,”Beginilah dendam
yang hebat! Tidakkah pembalasan ini ada lebih hebat daripada pembalasan dalam
kalangan kaum kang-ouw? Rupanya setelah terbenam dalam penggembalaan kuda dua
puluh tahun di antara es dan salju, saking sengsaranya, orang tua ini telah
berputus asa, sampai dia kehilangan sifatnya yang umum. Biarlah, setelah nanti
dia tiba di tanah daerah Tionggoan, sesudah kesehatannya pulih kembali, dia
diberi hiburan dan nasihat secara perlahan-lahan.”
In Ceng tunjuk surat darah
itu, napasnya sedikit memburu.
“ Si Teng dengar nasihatku
itu, dia simpan surat darahitu dengan dijahit di baju anaknya, lalu anak itu
dikirim pada satu suhengnya untuk diambil sebagai murid,” kembali ia
melanjutkan. “Setelah itu, aku berpindah tempat menggembala, hingga putuslah
perhubunganku dengan anakku itu. Baru pada tiga bulan yang lalu, berhasillah
dia mencari aku, hingga kita dapat bertemu pula. Dia menemui aku secara
rahasia. Dia beritahukan aku bahwa dia sudah bermufakat dengan saudara
seperguruannya untuk datang menolongi aku. Itu waktu, mengingat aku telah
berusia lanjut, aku tidak memikir lagi untuk menyingkirkan diri, maka apa yang
dia katakan itu, tidak begitu kuperhatikan. Aku cuma tanya dia, selama berpisah
tujuh tahun dariku, apakah dia telah mendapat lagi anak atau belum. Dia jawab
bahwa dia telah memperoleh satu anak perempuan – ialah kau, A Lui. Aku lantas
tulis pula surat untuk cucu perempuanku menuntut balas. Maka itu, Lui, kau
mesti ingat, jikalau kau bertemu dengan turunannya Thio Cong Ciu nanti, kau mesti
wakilkan aku membunuh mereka dan bakar mereka hingga tulang-tulangnya menjadi
abu!”
In Lui mendengarkan dengan
penuh perhatian, mendengar pesan yang terakhir ini pada wajahnya yang merah
bagaikan apel terlihat roman ketakutan, dengan tiba-tiba dia menjerit,
menangis.
“Yaya, apa begitu banyak orang
mesti dibunuh?” katanya. “Oh, Lui Lui takut. Mama pun pesan supaya aku jangan
sembarang membunuh orang, malah kambing yang baru dilahirkan juga mesti
disayangi, dilindungi. Oh Mama! Kata ayah, mama hendak datang, kenapa sekarang
mama masih belum kelihatan juga? Ya, kenapa ayah pun tidak kelihatan?”
Nona cilik ini tidak ketahui,
sekalipun mamanya tidak tahu dia sebenarnya ayahnya, yang tinggal sembunyikan
she dan namanya. Dan pada satu bulan yang lalu di luar tahu isterinya, ayah itu
sudah tinggalkan rumahnya dengan bawa anaknya minggat.
In Ceng singkap kumisnya yang
putih, dengan mendadak nampaknya ia gusar.
“Lui Lui, apakah kau tidak
dengar perkataanku?” dia tanya, suaranya bengis. “Aku beritahu padamu, ayahmu,
ayahmu itu, sudah …”
Bocah itu kaget, ia berhenti
menangis.
Engkong itu awasi cucunya, ia
menghela napas. Tidak dia lanjutkan perkataannya. Tidak tega ia memberitahukan
sang cucu bahwa ayahnya sudah tidak ada lagi di dunia.
Cia Thian Hoa menggeleng-gelengkan
kepalanya, diam-diam ia menghela napas. In Lui tunduk.
“Akan aku dengar perkataan
yaya,” katanya perlahan.
In Ceng masukkan surat darah
itu, yang ia baru tulis tiga bulan yang lalu, ke dalam sakunya si bocah, terus
ia dongak dan tertawa.
“Tidak kusangka bahwa aku, In
Ceng, masih dapat menyingkir dari negara asing dan dapat kembali ke negara
sendiri,” katanya. “Aku harap semoga Thio Cong Ciu si jahanam tidak mati
siang-siang supaya dia sendirilah terima pembalasan sakit hati dari cucuku! Cia
Hiapsu, aku minta sukalah kau memandang mukanya anakku si Teng dengan terima
bocah ini sebagai muridmu.”
Thian Hoa ragu-ragu, maka itu,
ketika ia menjawab, ia menjawab dengan perlahan.
“Hal ini baik nanti saja
dibicarakan lagi,” demikian jawabnya. “Oh, loopeh, aku minta jangan kau salah
mengerti! Sama sekali bukannya aku menampik, tetapi aku sedang berpikir untuk
carikan dia guru yang cakap.”
Thian Hoa dan Tiauw Im bersama
In Teng ada saudara seperguruan, guru mereka adalah Hian Kie It-su yang
bergelar Thian hee Tee it Kiam-kek,” ahli pedang nomor satu di kolong langit.”
Guru itu bukan melainkan pandai ilmu pedang, ia mahir juga lain-lain
kepandaian, yang semua bercampur menjadi satu. Dan dia pun mempunyai tabiat
yang aneh, ialah dia mempunyai lima murid, setiap murid diwariskan semacam ilmu
kepandaian. Umpama Cia Thian Hoa, ia utamakan ilmu pedang, tetapi ilmu pedang
itu diturunkan hanya separuh! Kenapa separuh-separuh. Dia sebenarnya punya dua
rupa ilmu pedang, yang dua ini bertentangan satusama lain. Perbedaan juga
terdapat pada pedangnya. Dia telah bikin sepasang pedang terpisah antara pedang
lelaki dan pedang perempuan, hiong-kiam dan ci-kiam. Pedang yang perempuan
ci-kiam, diberi nama Ceng Beng (Awan Hijau), dan yang lelaki, hiong-kiam,
diberi nama Pek In (Awan Putih). Pek In Kiam diserahkan pada Thian Hoa, dan
Ceng Beng Kiam kepada satu muridnya yang lain, murid wanita. Ilmu silat pedang
itu diciptakan Hian Kie It-su sesudah ia memikirkannya dalam-dalam dan lama.
Jikalau ilmu itu dipakai bertempur berendeng, dapat dibilang “tidak ada
tandingannya di kolong langit ini”. Maka itu, di antara murid-muridnya adalah
Thian Hoa dan si murid wanita itu yang paling lihai, dan di antara mereka
berdua, sukar dibedakan, yang mana yang terlebih mahir. In Teng adalah murid
yang belum lulus, maka itu ia dapat dibilang masih lemah. Tiauw Im Hweeshio ada
murid yang kedua, dia diwariskan ilmu tongkat panjang Hok-mo-thung “Tongkat
Menakluki Iblis”. Kepandaian ini termasuk Gwa-kee, pihak “Luar”.
Thian Hoa dan Tiauw Im telah
memenuhi permintaan In Teng datang ke Mongolia dengan mengajak masing-masing
muridnya, maksudnya untuk menolong In Ceng, ayahnya itu, yang hendak di bawa
buron kembali ke Tionggoan.
Hari yang dipilih kebetulan
ada harian raja Watzu mendapat satu putera, di seluruh negeri diadakan pesta
besar, maka itu, penjagaan atas diri In Ceng menjadi longgar sendirinya. Tiga
saudara it sergap penjaga-penjaga, beberapa diantaranya dapat dibunuh. In Ceng
dibawa minggat. Hanya di luar dugaan, sesudah lari begitu jauh, selagi
mendekati kota Gan-bun-kwan, mereka kena disusul tentara pengejar, hingga
terjadilah satu pertempuran mati-matian dengan kesudahannya In Teng menemui
ajalnya dan murid satu-satunya dari Thian Hoa turut binasa juga. Masih syukur
In Ceng telah kabur terus, hingga ia dapat lolos.
Habis bercerita, orang tua itu
menjadi letih sekali, maka begitu ia rebahkan dirinya, ia lantas tidur pulas.
In Lui dengan menjublak
mengawasi engkongnya.
Menampak demikian, Cia Thian
Hoa ulapkan tangannya, atas mana kereta lantas dijalankan, guna melalui
perjalanan sulit di lembah itu.
Sekarang bulan yang terang
sudah muncul, suasana tenang.
Thian Hoa berikan dengdeng
pada In Lui, dia dahar itu dan lalu minum, habis itu, setelah ditepuk-tepuk,
dia tidur pulas….
Kereta lari terus, rodanya tak
rada di jalannya.
Berselang sekian lama,
mendadak terdengar In Ceng mengigau. “Dingin! Dingin! …Ada serigala!”
Tiauw Im Hweeshio tertawa.
“Orang tua ini menyangka ia
masih ada di tempat penggembalaannya di Mongolia….” Katanya perlahan.
In Lui pun mengigau seperti
engkongnya itu. “Mama, Lui Lui tidak bunuh orang, Lui Lui takut…”
Mendengar itu, Thian Hoa
melengak, lalu ia goyangkan kepalanya.
Hampir berbareng dengan itu,
sekonyong-konyong terdengar suara anak panah mengaung, melintasi selat itu.
Justeru itu, dalam mimpinya,
In Ceng lompat bangun.
“Ada serigala!” dia berseru
dalam mengigaunya. Tapi, ketika dia membuka matanya, dia lihat segumpal api
biru melayang turun.
Menyusul itu, Tiauw Im
Hweeshio lompat maju, untuk menyambut musuh.
“Jangan kuatir, loopeh, Cuma
beberapa orang!” Thian Hoa hiburkan si orang tua.
In Ceng telah benar-benar
sadar dari tidurnya.
“Celaka, inilah berbahaya!”
kata dia. “Yang datang itu adalah pahlawan nomor satu dari Thio Cong Ciu,
shenya Tantai, namanya Mie Ming. Nama itu adalah nama Mongolia, tetapi
sebenarnya dia orang Han asli. Pernah si Teng tempur pahlawan itu, a kena
dikalahkan. Dia memang sangat lihai.”
Orang tua itu kenali panah api
musuh.
Cia Thian Hoa tertawa.
“Sepasang kepalan dan tongkatnya
suhengku itu telah menggetarkan Tionggoan,” dia berkata, “maka itu belum ada
artinya bagi orang kosen nomor satu dari Mongolia. Asal mereka itu tidak
berjumlah banyak, aku tanggung dia bisa datang tetapi tidak bisa pulang.
Biarkan kita tangkap padanya, untuk dibawa pulang oleh loopeh ke kota raja dan
dipersembahkan sebagai jasa! Ingin aku melihat, musuh itu masih berani
memusnahkan Kerajaan Beng atau tidak….”
Nama “Mie Ming” dari pahlawan
Mongolia itu bisa berarti “memusnahkan kerajaan Beng”. Inilah kata-kata yang
dibenci Thian Hoa, yang paling dibencinya ialah pengkhianat penjual negara.
Maka itu, habis berkata, ia hunus pedangnya, dia pun lari ke mulut lembah untuk
membantu Tiauw Im menghajar musuh.
Segera terlihat satu punggawa
bangsa Mongolia dengan seragam perangnya yang bersalutkan emas, senjatanya
ialah sepasang gaetan Hok-ciu-kauw, dan punggawa itu tengah bertempur dengan
seru dengan Tiauw Im Hweeshio.
Pendeta itu memainkan
tongkatnya hingga mengeluarkan angin menderu-deru, tanda hebatnya serangan,
meskipun demikian, Tantai Mie Ming, punggawa Mongolia yang kosen itu, tidak
sudi mundur, dia melawannya dengan gaetannya yang sama dashyatnya. Hingga
beberapa kali tongkat panjang kena disampok terpental.
Menampak demikian, barulah
Thian Hoa terperanjat. Inilah tidak disangka olehnya.
“Benar binatang itu lihai,”
pikirnya. “Pantas In Teng tidak nempil terhadapnya. Mungkin sekali, suheng juga
bukan tandingannya.”
Karena ini, dengan lantas ia
maju, untuk bantui saudara seperguruannya itu. Ia menyerang dengan jurus
Hut-liu-coan-hoa atau Mengebut cabang yangliu, mencari bunga, ujung pedangnya
mencari sasaran ulu hati.
Pedang pun merupakan senjata
yang diperantikan malawan gaetan dan sebangsanya.
Biasanya sulit untuk satu
lawan lolos dari serangan semacam serangan Thian Hoa ini, akan tetapi
kesudahannya, Thian Hoa adalah yang terkejut sendirinya. Waktu pedangnya tiba,
sekalipun dia lagi desak Tiauw Im, Mie Ming dapat menangkis dengan tepat, lalu
berbalik menggaet pedangnya sendiri. Hampir terlepas pedang she Cia itu, karena
itu terkejut, ia segera berbalik kena diserang. Sebab Mie Ming segera melakukan
serangan pembalasan.
Dengan terpaksa Thian Hoa
mesti empos semangatnya, untuk melayani musuhnya dengan sungguh-sungguh. Ia
menyerang dengan tidak kurang hebatnya, akan tetapi di samping itu, sekrang ia
mesti waspada, agar pedangnya tak lagi tergaet seperti tadi. Celaka umpama kata
pedangnya kena dibikin terlepas dari cekalannya. Maka ia mesti keluarkan
seluruh kepandaiannya.
Dalam sekejap saja dapatlah
Thian Hoa mendesak lawannya itu.
“Ilmu pedang yang bagus!”
memuji Tantai Mie Ming walaupun ia terancam bahaya desakan. Kemudian, setelah
tiga serangan yang berbahaya dapat dielakkan, ia berteriak pula. Kali
ini,”Tahan!”
Thian Hoa tidak mau mengerti,
ia lanjutkan serangannya.
Orang Mongolia itu menjadi
gusar, romannya berubah.
“Apakah kau sangka aku jerih
terhadapmu?” dia berser. Dan dia menyerang hebat, hingga pembalasan ini membuat
Thian Hoa jadi seperti kecandak.
Tiauw Im Hweeshio berseru
keras, kalau tadi ia berhenti, akan tonton saudaranya, sekarang ia maju, guna
membantui.
Punggawa Mongolia itu tertawa.
“Melihat ilmu silatmu,
mestinya kau ada ahli-ahli silat kenamaan,” berkata dia. “Menurut apa yang aku
dengar, orang-orang kenamaan dari Rimba Persilatan dari Tionggoan sangat
menghormati aturan bertarung satu lawan satu, maka itu heran aku! Apakah kamu
memikir untuk rebut kemenangan dengan andalkan jumlah yang banyak?”
“Hai, binatang, apakah kau
bukannya Tantai Mie Ming? Tiauw Im balas menegur.
Orang Mongolia itu menangkis
pedangnya Thian Hoa, lalu ia mendesak, setelah mana, ia pandang si pendeta. Ia
tertawa.
“Eh, hweeshio, kau juga tahu
namaku?” tanya dia.
“Kau ada orang Han, tapi kau
menjadi panglima Mongolia! Apakah kau tidak malu?” Tiauw Im menegur. “Terhadap
kau, bangsat pengkhianat bangsa, siapa kesudian bicara tentang aturan kaum
bu-lim dari Tionggoan? Lebih baik kau makan tongkatku ini!”
Benar-benar pendeta ini
menyerang pula.
Mie Ming menangkis, wajahnya
padam. Tapi sebentar saja, atau ia tertawa terbahak-bahak. Panjang tertawanya
itu.
“Telah aku kaburkan kudaku
malang-melintang di laut pasir Utara, hatiku ni dapat dihadapkan kepada Thian!
Maka itu, siapakah pengkhianat?” dia berseru-seru. “Terhadap negara siapa aku
berkhianat? Cu Goan Ciang telah merampas negara dengan gunakan kelicikannya,
tetapi Cuma kamu saja, orang-orang yang tidak bersemangat, yang kesudian
manggut-manggut menjadi hamba-hamba dari anak cucunya!”
Sambil mengucap demikian, ia
berkelit dari serangan tongkatnya si hweeshio, setelah itu, ia tutup dirinya
dengan putar sepasang gaetannya. Ketika ini digunakan olehnya untuk
berkata-kata pula dengan nyaringnya. “Hweeshio sembrono, rupa-rupanya percuma
bicara dengan kau! Baiklah, jikalau benar-benar kau hendak bertempur! Nanti aku
titahkan dua orang muda melayani kau!”
Di belakang Mie Ming ini
memang ada dua punggawa muda. Mereka ini segera maju ketika punggawa itu
mendesak lawannya. Benar mereka masih muda tetapi mereka pun bukan orang
sembarangan, maka itu, dapat mereka kepung Tiauw Im.
Pendeta ini tidak usah kalah,
akan tetapi, untuk mencari kemenangan, itulah sulit untuknya, dengan begitu,
maksudnya membantui Thian Hoa jadi tidak tercapai.
Thian Hoa sendiri heran
mendengar kata-kata Tantai Mie Ming itu.
“Kalau begitu, punggawa ini
bukan orang sembarangan,” pikirnya. “Tapi dia asal orang Han, sekarang dia
bantui bangsa asing menindas orang Han, biar bagaimana, itulah perbuatan tidak
selayaknya!”
Karena ini, ia lantas maju
pula, akan serang pahlawan nomor satu dari Mongolia itu.
Mie Ming melayani bertempur.
“Apakah kau bukan muridnya
Hian Kie It-su?” tanya dia berselang beberapa jurus.
Thian Hoa heran, sampai ia
melengak.
Mie Ming melihat orang heran,
ia tertawa riang.
“Dahulu gurumu telah
mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mengalahkan guruku, dia tetap tidak
berhasil!” demikian dia kata. “Maka itu sekarang kau hendak menandingi aku,
mana bisa? Oleh karena kau tidak kenal aturan, baiklah! Hari ini kita bekerja
untuk tuan masing-masing, mari kita bertempur pula sampai tiga atau lima ratus
jurus!”
Kembali Thian Hoa tercengang.
Sekarang ingat ia kepada omongan gurunya dahulu. Guru itu pernah menceritakan
bahwa pada dua puluh tahun yang lalu dia pernah bertarung dengan satu kepala
iblis untuk memperebutkan kedudukan Bu-lim Beng-cu, kepala dari kaum Rimba
Persilatan, bahwa pertempuran dilakukan di atas gunung Ngo San, selama tiga
hari tiga malam, tetapi selama itu, mereka tak ada yang menang atau yang kalah.
Menurut gurunya itu, iblis itu ada seorang she Siangkoan bernama Thian Ya,
seorang penjahat besar dari kalangan Rimba Hijau. Hanya sejak pertempuran
dashyat itu, Siangkoan Thian Ya lantas sembunyikan diri, entah dimana.
Sekarang, mendengar kata-kata Mie Ming ini, terang sudah, iblis itu telah
menyingkir ke Mongolia, dan punggawa Mongolia ini mesti ada muridnya.
Tadinya Thian Hoa berniat
menunda pertempuran itu, guna mendapat penjelasan dahulu, akan tetapi mendengar
kata-katanya Tantai Mie Ming bahwa mereka berkelahi “untuk tuan masing-masing”,
dia menjadi murka, terus saja dia perhebat serangannya.
Tantai Mie Ming benar-benar
lihai, ia mainkan sepasang gaetannya dengan hebat, yang berkeredepan bagaikan
dua bianglala emas. Ia menutup diri dari pelbagai serangan dashyat, di pihak
lain, ia pun membalas menyerang, maka di samping membela dirinya, ia membuat
lawannya repot juga.
Pertempuran berjalan jurus
lewat jurus, dari belasan menjadi puluhan, lalu seratus jurus, masih tidak ada
yang kalah atau menang. Hal ini membuat Thian Hoa heran bukan main.
“Sayang tak ada sumoi disini,”
pikir hiapsu ini,” jikalau tidak, kita berdua bisa mainkan jurus-jurus dari dua
pedang digabung menjadi satu, dengan begitu, walaupun ada tiga Mie Ming, dia
akan terbinasa di tangan kita…”
Dengan sumoi Thian Hoa
maksudkan adik seperguruannya yang wanita, yang keempat.
Dalam pertarungan selanjutnya,
Me Ming mencoba melakukan penyerangan membalas, beruntun tiga kali ia kirim
kedua gaetannya bergantian, tapi kontan ia dibalas hingga empat kali oleh
lawannya. Setelah itu dengan sekonyong-kongyong ia lompat mundur sampi tertawa
bekakakan.
“Bagaimana?” tegusnya.
“Bukankah kau telah kerahkan seluruh tenagamu? Tapi kau tidak mampu rebut
kemenangan! Maka itu baiklah kau hentikan saja pertempuran ini!…”
“Jangan banyak omong,
pengkhianat bangsa!” damprat Thian Hoa. “Tak dapat kita hidup bersama! Hari
ini, tak dapat tidak, kau mesti binasa!”
Dan ia menusuk dengan
pedangnya.
Tantai Mie Ming tangkis
serangan itu, dia tidak melakukan pembalasan, dia hanya buka mulutnya.
“Inilah yang dibilang tak tahu
kebaikan hati orang!”demikian katanya. “Kau tahu, aku justeru hendak tolong
padamu?!”
Thian Hoa tak mau berhenti, ia
tarik pedangnya, untuk dipakai menyampok gaetan lawannya itu, hingga kedua
gaetan itu terpental.
“Jarak ribuan lie telah kami
lintasi, setelah sampai di sini, bencana apa lagi mengancam kami?” dia bentak.
“Untuk apa kau tolongi aku? Jikalau benar kau insyaf akan kesesatanmu dan
hendak kembali ke jalan yang terang, lekas kau lepaskan sepasang gaetanmu, mari
kau turut kami!”
Punggawa Mongolia itu tertawa
dingin.
“Benar-benar kau tidak tahu
gelagat!” katanya dengan nyaring. “Kau tahu, aku sedang menjalani titah dari
Thio Sinsiang untuk menasihati kamu kembali pulang! Apabila kamu berkeras
hendak pulang ke Tionggoan, maka aku kuatir, belum lagi kamu memasuki kota
Gan-bun-kwan, kamu akan mengalami bencana besar yang tak kamu harap-harapkan!”
Bukan kepalang murkanya Thian
Hoa, ia sangat mendongkol.
“Pengkhianat, kau berani
mempermainkan aku?” dia mendamprat sambil terus menikam pula.
Sampai di situ, Mie Ming pun
menjadi gusar.
“Oleh karena kau sendiri
mencari mampus, jangan kau sesalkan aku!” katanya dengan sengit. Ia tangkis
tikaman itu.
Thian Hoa kertak giginya,
tanpa membuka mulut lagi, ia ulangi serangannya, kali ini dengan bertubi-tubi.
Tidak berani Mie Ming
mengalihkan perhatiannya, dengan waspada ia layani pelbagai serangan itu, yang
setiap kalinya ia halau atau pecahkan. Ia pun kembali perlihatkan permainan
sepasang gaetannya.
Maka pertarungan jadi berjalan
lebih seru daripada tadi.
Jurus-jurus telah berlalu
dengan cepat, tetapi masih saja mereka tak menemui keputusan, keduanya tetap
sama tangguhnya.
Pada saat hebatnya
pertarungan, dengan mendadak Mie Ming perdengarkan seruan keras, menyusul mana,
dia tangkis satu serangan, terus dia berkelit, untuk angkat kaki.
Menelad sikapnya pemimpin ini,
kedua punggawa muda turut menyingkir juga, mereka kabur bersama-sama.
Thian Hoa dan Tiauw Im
Hweeshio sedang murka, mereka tidak mau memberi hati, maka bersama-sama mereka
mengejar. Adalah setelah sampai di satu tikungan bukit, Thian Hoa tiba-tiba
mendapat satu pikiran,” pengkhianat itu belum kalah, kenapa mereka angkat
kaki?” demikian pikirnya. “Mungkinkah dia sedang menggunakan tipu daya? Kita
tinggalkan In Tayjin, dia tidak ada yang melindungi….Ah, jangan-jangan aku
telah terkena akalnya itu!”
Tengah Thian Hoa bersangsi
secara demikian, ia lihat Tantai Mie Ming berlompat turun ke dalam lembah. Ia
jadi kaget dan heran. Itulah lembah yang dalam dan tidak rata. Itu adalah
perbuatan mencari kematian sendiri….
Baru Thian Hoa berpikir
begitu, atau segera ia tampai tangannya Mie Ming – yang sedang berlompat itu –
terayun ke arah seberang, menyusul mana seutas tambang menyambar dan terus
berpegang keras pada sebuah pohon cemara. Nyata tambang itu adalah gaetannya,
karena mana, tubuhnya punggawa itu – bagaikan ayunan – telah berayun ke lain
tepi dari lembah itu dengan tidak kurang suatu apa!
Thian Hoa melengak. Tidak ia
sangka, Mie Ming punyakan semacam daya, pantas dia berani lakukan perbuatan
nekat itu. Tapi tak lama, ia menjadi terperanjat sendirinya. Karena tahulah ia,
dari lembah di tepi seberang itu, ada satu jalan yang membawa orang tepat ke
tempat dimana In Ceng berada bersama kereta keledainya. Ia jadi kaget dan
berkuatir. Ia sendiri tidak bisa lompat ke seberang untuk menyusul Mie Ming.
Untuk lari kembali, ia mesti ambil tempo lebih lama. Tapi terpaksa, ia lari
kembali juga. Ia terbenam dalam kekuatiran In Ceng telah jatuh ke dalam tangan
lawan yang licin itu…
Akhirnya, Thian Hoa
mengeluarkan keringat dingin. Ketika ia kembali, ke tempatnya In Tayjin, di
sana dia dapatkan Tantai Mie Ming berada di depan kereta keledai. In Tayjin
sendiri duduk di depan kereta, di tempat kusir, kedua orang itu tengah
berhadapan satu dengan lain. Hanya yang aneh, tangan Mie Ming tidak bersenjata
sama sekali, sepasang gaetannya tergantung di pinggannya dan dia sedang
menghadapi In Ceng dengan air muka berseri-seri, agaknya dia sedang bicara.
Sebaliknya, In Tayjin tengah memperlihatkan wajah sungguh-sungguh.
“Ngaco belo!” demikian suara
nyaring yang Thian Hoa dengar tegas setelah ia datang mendekati mereka itu.
“Dengan Thio Cong Ciu itu, permusuhanku ada permusuhan sangat hebat, maka
jikalau kau hendak membunuhnya, bunuhlah, tetapi untuk kembali, untuk mengharap
perlindungan dia, tidak nanti!”
Thian Hoa tidak mengerti, ia
jadi heran.
Mie Ming tidak gusar walaupun
dia telah dibentak, malah ketika dia berpaling kepada si orang she Cia, dia
tersenyum.
“Kau telah saksikan sekarang,”
demikian katanya, dengan sabar,”jikalau aku hendak ambil jiwa orang tua she In
ini, dapat aku lakukan itu dengan gampang, seperti membalikkan telapak tangan
saja, tak usah aku menanti sampai kau tiba.” Ia menoleh pula pada In Tayjin
untuk menambahkan,”In Looji, telah aku berikan nasihat kepada kau, maka
sekarang, tentang hidup atau matimu, tentang bencana atau keberuntungan kau,
semua itu terserah kepada kau sendiri!”
In Tayjin gusar tak kepalang,
hingga alisnya bangkit, kumisnya berdiri, tetapi masih dapat ia kendalikan diri.
“Jadi kau inginkan aku kembali
menolongi Thio Tayjinmu menggembala kuda untuk dua puluh tahun di antara tempat
yang ber-es dan bersalju?” demikian ia tegaskan.
Sebagai jawaban, Mie Ming
tertawa bekakakan, nyaring dan panjang. Tetapi mendadak saja, ia perlihatkan
wajah sungguh-sungguh.
“Justeru karena kau telah
menjalankan tugasmu menggembala kuda dengan baik, hingga Thio Tayjin menghargai
kau dan menghendaki kau kembali!”demikian katanya.
“Thio Cong Ciu adalah
pengkhianat penjual negara, dia satu manusia sangat rendah martabatnya, tak
perlu aku dengan penghargaanya itu!” bentak In Ceng. “Kau sangka aku orang
macam apa?”
Tantai Mie Ming tertawa
mengejek.
“Dengan pengutaraan kau ini,
orang tua, nyata tepat apa yang dikatakan Thio Tayjin!” katanya. “Menurut Thio
Tayjin kau ada satu orang tiong yang tolol, maka kau tidak dapat diajak
merundingkan urusan negara yang besar! Kau tahu, Thio Tayjin telah mengatakan
padaku bahwa tidak nanti kau sudi kembali, sekarang kata-katanya itu benar
adanya! Walaupun demikian, Thio Tayjin bilang kau adalah satu laki-laki,
karenanya dia tidak tega tidak menolongi melihat kau terancam bahaya
kebinasaan, karenanya dia tugaskan aku menyusul kau sampai ribuan lie ini,
untuk ajak kau kembali. Sayang kau telah mensia-siakan maksud hati yang baik
dari Thio Tayjin itu….”
Saking murkanya, In Ceng
sampai berpegangan keras kepada keretanya.
“Hm, kau katakana dia niat
menolong aku?” dia berteriak. “Sudah duapuluh tahun aku si orang she In
menggembala kuda, sekarang aku telah sampai di tempat tumpah darahku sendiri,
jikalau di sini aku dapat kubur diriku, aku akan mati dengan mata meram, tetapi
kau telah dapat candak aku, jikalau kau hendak membunuhnya, bunuhlah! Ini
adalah tanah Tionggoan, dengan darahku aku siram tanah daerahku, tidak nanti
aku menyesal!”
Akhirnya, Tantai Mie Ming
menjadi gusar.
“Siapa hendak membunuh kau?”
dia berseru. “Bukannya kami yang hendak membunuh padamu!”
In Ceng juga kertak gigi.
“Kau telah bunuh anakku si
Teng!” dia menjerit. “Kau hendak sangkal? Kau masih hendak permainkan aku?”
gemetar tubuhnya orang tua ini, hampir dia rubuh dari atas kereta, baiknya Mie
Ming keburu pegangi tubuhnya.
“Bukan kami yang membunuh
anakmu itu,” kata Mie Ming. “Kau tentu tidak mengerti apabila aku
menjelaskannya. Marilah kita kembali, untuk menghadap Thio Tayjin, di sana
nanti kau ketahui jelas.”
In Ceng meludah dengan
reaknya, atas mana, punggawa bangsa Mongolia itu berkelit.
“Bukankah kamu yang membunuh
anakku itu?” dia berteriak pula. “Apakah tentara itu ada tentara Beng?”
Tantai Mie Ming menyeringai.
“Mereka itu adalah tentara
Co-sinsiang kami,” ia beritahu.
Co-sinsiang ialah perdana
menteri.
“Apakah bedanya Co-sinsiang
dan Yu-sinsiang!” masih In Ceng berteriak. “Mereka semua adalah Tartar rase!
Sekarang aku telah berada dalam tanganmu, lekas kau bunuh, jangan kau banyak
omong pula!”
Cia Thian Hoa juga anggap
Tantai Mie Ming omong dengan diputar balik. Dia adalah punggawa dari negeri
Watzu, tentara Watzu sudah membinasakan anak orang, sekarang dia masih hendak
perhina dan permainkan orang tua ini, malah orang tua yang sudah menderita
selama dua puluh tahun, dengan banyak sengsara….
Bukan main tegangnya kedua
orang itu.
Akhirnya, Tantai Mie Ming
rangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat kepada In Tayjin. Ia berkata
dengan suara keras dan tegas,” In Tayjin, telah aku bicara, kau sudi dengar
atau tidak, sekarang terserah kepada kau!”
Dalam murkanya itu, In Ceng
tak dapat bilang suatu apa.
Cia Thian Hoa jadi sangat
murka, ia membentak.
“Apakah artinya perbuatanmu
ini mempermainkan orang tua yang umpama kata tidak punya tenaga untuk hanya
menyembelih ayam? Jika kau berani, mari kita bertempur pula tiga atau lima
ratus jurus!”
Tantai Mie Ming tidak melayani
tantangan itu, ia bicara pula dengan In Tayjin, suaranya sangat perlahan.
“Jikalau begini sikapmu, apa
boleh buat, hendak aku pergi,” demikian katanya. “Thio Sinsiang bilang, ia
telah membuat kau bercape lelah menggembala kuda selama dua puluh tahun, ia
merasa tak enak hati, ia menyesal. Memang telah ia menduganya, kau tidak bakal
kembali, maka itu ia telah bekalkan aku tiga buah kimlong. Sinsiang bilang,
dengan turuti bunyinya kimlong itu, jiwamu masih dapat ditolong. Thio sinsiang
juga mengatakan tiga kimlong itu anggap saja sebagai pembalasan budi yang kau
telah gembalai kudanya selama dua puluh tahun.”
Lantas punggawa ini
mengibaskan tangannya, setelah mana terus ia putar tubuhnya, untuk berjalan
pergi.
Thian Hoa heran, hingga ia
tercengang, di saat mana, Mie Ming lewat di sampingnya.
Berbareng dengan itu,
terdengar suara tubuh terbanting keras, terlihat In Tayjin rubuh di atas
keretanya, rupanya disebabkan karena meluap hawa amarahnya dan lelah.
Dalam murkanya, Thian Hoa
melakukan gerakan menimpuk ke arah Tantai Mie Ming atas mana lima batang Cu-ngo
Toat-hun-teng (paku merampas roh) menyambar ke arah punggawa Mongolia itu.
Tanpa berpaling pula, Mie Ming
menangkis ke belakang dengan dua batang gaetannya, maka berurutan lima kali
terdengar suara tang-ting-tong, lantas kelima batang senjata rahasia itu terlempar
jatuh ke tanah. Ia tertawa mengejek, tubuhnya melesat pergi, lalu tubuh itu
lenyap di antara pohon-pohon cemara yang lebat yang bercampur batu-batu besar
yang merupakan tikungan bukit.
Thian Hoa terkejut. Bukan
maksudnya akan membunuh mati Mie Ming dengan timpukannya itu, itulah bukan
tujuannya, tetapi yang heran adalah caranya punggawa itu menghalau kelima paku
untuk menyelamatkan dirinya. Itulah suatu kepandaian luar biasa. Ia tidak
mengejar, ia hanya lantas lompat ke kereta.
In Ceng tiak kurang suatu apa,
ia Cuma bernapas tersengal-sengal. Ia lantas diusap-usap dadanya, setelah mana,
ia muntahkan reak yang menggumpal, habis itu, ia berseru yang membuat napasnya
lega. Ia lantas dapat duduk pula.
Hatinya Thian Hoa pun lega.
Tadinya ia hendak hiburkan Tayjin ini atau mendadak ia dengar suara berisik
dari Tiauw Im Hweeshio, yang muncul sambil berlari-lari keras dan menenteng
tongkatnya. Mau atau tidak, ia menjadi heran dan kaget.
“Kau kenapa suhen?” ia Tanya
saudara seperguruan itu.
“Ji-tee aku telah membuat suhu
malu!” sahut pendeta itu. “Selama hidupku ini, jikalau aku tak hajar Tantai Mie
Ming dengan tiga ratus kali tongkatku, tak bisa aku lampiaskan penasaranku!…”
“Mari duduk, suheng,” kata
Thian Hoa, yang tahu tabiat dari saudaranya itu, tangan siapa ia tarik dan
tubuhnya ia tekan. “Mari minum!”
Ia pun lantas menyuguhkan air.
“Sabar, suheng, mari kita
omong dengan perlahan-lahat,” ia tambahkan kemudian. “Dengan mengandal kepada
kita, empat saudara, sekalipun si kepala iblis Siangkoan sendiri yang datang
kemari, pasti dapat kita balas sakit hati ini, apapula baru satu Tantai Mie
Ming!”
Dengan bergerugukan, Tiauw Im
hirup airnya.
“Aku juga jahanam itu hendak
mencelakai Tayjin, maka keras niatku untuk kembali guna mencegah dia,” katanya
kemudian, “apa celaka itu dua bangsat cilik libat aku, tak mau mereka
melepaskan aku. Coba pada hari-hari biasa, dua bangsat itu tidak aku sambil
mumat, sayang sekarang, setelah bertempur dua gebrakan, tenagaku telah
berkurang. Terpaksa aku berkelahi sambil mundur, sambil berlari, meski begitu,
selang dua ratus jurus, di saat aku mulai menang di atas angin, sungguh celaka,
Mie Ming telah muncul di antara kita! Aku menyangka dia telah berhasil
mencelakai Tayjin, aku lantas caci padanya, aku terus serang dengan hebat, tapi
apa lacur, dengan dua gaetannya, ia sampok tongkatku hingga mental, menyusul
mana, dengan akalnya, dia membuatnya aku rubuh terpelanting. Tapi itu belum
semua! Dia masih rangsak aku, untuk menggampar kupingku seraya mencaci aku
sebagai hweeshio gerubukan. Dia kata aku sudah ngaco belo tidak keruan, bahwa
aku telah memutar lidah, karenanya dia gaplok aku, untuk ajar adat padaku!
Habis mencaci aku, dia ajak kedua bangsat cilik angkat kaki. Sudah beberapa
puluh tahun aku merantau, belum pernah aku dihina sedemikian rupa, coba kau
piker, masa aku tidak jadi mendongkol?”
Dia berhenti sebentar, dia
memandang sekitarnya.
“Eh, eh!” katanya kemudian,
suaranya berisik, “bagaimana sebenarnya telah terjadi? Dia telah bertempur
dengan kau atau tidak? Syukur Tayjin tidak kurang suatu apa! Eh, apa artinya
tiga kimlong ini?”
Ia lihat tiga buah kimlong,
surat yang berisikan rahasia, menggeletak di atas tanah, yang ia segera
hampiri, untuk dijumput.
“Ah, indah benar sulamannya.”
Katanya memuji. “Disini ada gambar sulaman unta-untaan. Bukankan ini sulaman
bangsa Mongolia? Kimlong siapa ini?”
In Ceng dengar kata-katanya
pendeta ini, ia lihat tiga kimlong itu, ia menjadi murka pula.
“Segala barangnya si Tartar
busuk!” serunya. “Bikin hancur sudah! Lemparkan ke Lumpur!”
Tiauw Im melengak, tapi ia
gunakan tenaganya untuk merobek kimlong itu, atas mana, ia rasakan tangannya
sakit. Sebab sebat luar biasa Thian Hoa ketok lengannya, untuk merampas kimlong
itu, guna mencegah kimlong itu dirobek.
“Sutee, kau…”ia berseru, kaget
dan heran.
“Sabar,” kata sutee itu.
“Bukankah tidak ada halangannya untuk In Tayjin untuk melihat dulu kimlong ini,
untuk diketahui apa bunyinya? Masih ada ketikanya untuk kita merobek-robeknya
apabila bunyinya ada ocehan belaka!”
Cia Thian Hoa heran atas
sikapnya Tantai Mie Ming. Punggawa itu lihai, jikalau dia tidak niat
membinasakan In Ceng, habis apa maksudnya perbuatan ini, mengejar-ngejar sampai
sekian jauh? Mereka sudah menghadapi kota Gan-bun-kwan, mereka boleh dibilang
telah menginjak tanah daerah Tionggoan, maka di dalam daerah ini, ada siapa
lagi yang hendak mencelakai orang she In itu? Apakah itu bukan obrolan belaka,
untuk memperdayakan orang? Tapi, apakah masuk di akal yang Mie Ming melakukan
perjalanan demikian jauh cuma untuk menyampaikan kata-katanya? Nasihatnya?
Kimlongnya? Pun aneh, walau dia kosen dan galak, agak jumawa juga, tapi dia
bisa berlaku demikian baik budi? Kalau tidak, mana dapat Tiauw Im Hweeshio bisa
lolos dari kematian?
Thian Hoa benar-benar sangat
tidak mengerti.
Selagi orang she Cia ini
terbenam dalam keraguannya, In Ceng telah menyambuti kimlong itu dan dia
pandang dengan sikap yang sangat membenci.
Kimlong yang pertama diberi
tanda dengan kata-kata “Buka dengan lantas”. Tanpa bilang suatu apa, In Ceng
merobeknya dengan segera, hingga ia dapatkan sehelai kertas, atau sepucuk surat
di dalamnya. Di situ tertulis:
“Sekarang lekas balik kembali
ke Mongolia, dengan lantas kembali, bakal tidak ada urusan apa-apa. Tantai
Ciangkun menanti bersama pasukan tentaranya di Co-in, dia dapat menyambut”
In Ceng mendongkol, habis
membaca, ia robek surat itu dan melemparnya.
Thian Hoa lihat kumisnya yang
ubanan bergerak-gerak dan air mukanya berubah menjadi kuning pucat, meskipun
demikian, ia tiak berani menanyakan.
“Kimlong apa! Tak lain
daripada ocehan belaka!” kata orang tua ini sambil mengawasi robekan kertas
terbang melayang jatuh ke tanah.
Tapi, kendati ia mengucap
demikian, ia toh baca tulisan di atas kimlong yang kedua. Disitu, dengan
mendongkol, ia baca “Buka kimlong ini setibanya di tempat sejauh tujuh lie dari
kota Gan-bun-kwan”.
“Tak sudi aku mendengarnya!”
kata In Tayjin dengan sengit. Tapi ia toh robek kimlong itu, untuk membaca
surat di dalamnya.
Kali ini bunyi surat rahasia
itu begini:
“Keadaan berbahaya sudah
sangat mengancam. Ketika ini tentulah di kota Gan-bun-kwan ada orang yang
datang menyambut. Jikalau pemimpin pasukan terdepan bukannya Congpeng Ciu Kian,
mesti kau segera kaburkan kudamu sebagai terbang untuk menyingkirkan diri.
Suruhlah Cia Thian Hoa dan Tiauw Im menjaga di belakang, untuk cegat tentara
itu, mungkin masih dapat kau lindungi kepalamu.”
Congpeng, atau brigadir
jenderal, dari kota Gan-bun-kwan, benar bernama Ciu Kian. Dia dengan In Ceng
adalah orang-orang asal satu kampung dan bersahabat, Cuma bedanya, yang satu
mempelajari ilmu surat, yang lain meyakinkan ilmu silat, malah ketika membuat
ujian, mereka sama-sama lulus sebagai cinsu, bun-cinsu dan bu-cinsu.
Persahabatan itu berlangsung sampai In Ceng diutus ke Mongolia, sampai In
Tayjin ini menderita, maka juga ketika In Teng, sang putera, berangkat untuk
menolongi ayahnya, diam-diam dia peroleh bantuan dari Ciu Congpeng, yalah
daya-daya pertolongan diatur bersama. In Teng telah mengirim kabar lebih dahulu
kepada Ciu Kian tentang ia sudah berhasil kabur bersama ayahnya, ia minta
congpeng itu memberi kabar terlebih dahulu kepada pemerintah agung, supaya
pemerintah dapat mengetahuinya. Meskipun selama dalam perjalanan, perhubungan
dengan Ciu Congpeng masih disambung terus. Maka itu, heran In Ceng membaca
kimlong yang kedua itu.
“Kalau Ciu Kian lihat aku
datang, mustahil dia tidak sambut aku?” berkata dia dalam hatinya. “Dalam
halnya kehormatan, aku dapat dibandingkan dengan Souw Bu, maka itu, setelah
sekarang aku kembali dari negara asing, andaikata Sri Baginda tidak mendirikan
patung peringatan untuk aku, sedikitnya dia menghargai aku dengan memberi
pangkat besar padaku. Tapi gilanya orang Tartar itu, dia mencoba merenggangkan
aku dari Ciu Congpeng!…”
Karenanya, kimlong kedua inipun
dirobek dan dibuang.
Waktu In Tayjin membaca, Thian
Hoa berada di sampingnya, dari itu ia turut melihat kimlong itu. Ia menjadi
heran mengetahui namanya disebut-sebut dalam surat rahasia itu. Sayangnya, ia
tak sempat membaca sampai habis.
“Apa yang tertulis dalam
kimlong itu?” dia Tanya.
“Masih sama saja, ocehan
belaka!” sahun In Tayjin. “Tapi pengkhianat itu benar-benar lihai! Dia seperti
sudah ketahui lebih dahulu yang kamu berdua telah turut memasuki Mongolia untuk
menolongi aku. Hanya anehnya mengapa dia tidak membuat persiapan untuk mencegah
aku kabur?”
Thian Hoa kerutkan alis, dia
tunduk. Dia jadi semakin heran dan curiga.
In Ceng sudah lantas periksa
kimlong ketiga. Ia sebenarnya berniat segera merobek itu, untuk membaca isinya,
tapi tiba-tiba ia batalkan niatnya itu.
Cia Thian Hoa juga lihat
tulisan di atas kimlong itu, yang mana membuatnya heran bukan kepalang. Tulisan
itu ada berupa alamat, bunyinya adalah : “Surat ini harus disampaikan kepada
Cia Thian Hoa untuk dibuka dan dibaca”.
In Tayjin segera melirik pada
hiapsu itu, ia agaknya heran. Ia memang terbenam dalam kesangsian.
Thian Hoa adalah seorang
kangouw yang ulung, ia pun teliti, maka itu, manampak roman Tayjin itu, ia
tersenyum.
“Dorna itu sangat banyak
akalnya,” kata ia, silakan In Tayjin buka kimlong itu dan baca, untuk
mengetahui apa yang ditulisnya.”
Mula-mula In Ceng ragu-ragu
kemudian dengan tak ayal ia robek sampul kimlong, dengan perlahan ia tarik
keluar suratnya, lalu ia baca:
“Pada saat ini maka pastilah
In Tayjin sudah kena tertawan. Di dalam sampul masih ada isinya, sebuah obat
pulung. Obat itu mesti disimpan rahasia, jangan lantas dibuka. Habis itu,
segera kau berangkat ke kota raja, untuk menghadap sendiri pada Ie Kiam, guna
mendakwa Ong Cin.
Apa In Tayjin akan tertolong
atau tidak, itu tergantung pada tindakan kau ini.”
“Hm!” In Ceng perdengarkan
ejekannya. Karena ia sangat murka, maka surat itu ia lantas robek-robek,
sampulnya pun dibuang sambil terus ia berseru,”Benar-benar ngaco belo! Aku
adalah satu tiong-sin terbesar, mustahil aku bakal ditangkap!”
Thian Hoa lompat untuk
menyambar sampul itu, dan ia dapatkan di dalamnya benar ada satu obat pulung,
ialah yang terbungkus dengan lilin bundar sebesar gundu. Ia lantas simpan dalam
sakunya.
Wajah In Ceng berubah melihat
sikapnya hiapsu itu.
“Hendak aku simpan ini seperti
barang mainan saja,” kata Thian Hoa, “Untuk menyimpannya pun tidak memakai
banyak tempat…”
“Hm!” seru pula In Tayjin.
Lalu ia kata dengan perlahan,” Barang itu pun dikirim untukmu jikalau kau
hendak simpan, simpanlah. Aku bermusuh besar dengan pengkhianat itu, sekalipun
tubuhku bakal hancur lebur, tidak sudi aku ditolongi olehnya!”
Sampai disitu, perjalanan
lantas dilanjutkan, sampai rembulan muncul di antara jagat yang gelap.
Semangatnya In Ceng terbangun
selagi mendekati tembok kota kupingnya mendengar suara terompet dari tentara
penjaga kota tapal batas, hilang letihnya bekas perjalanan jauh dan lenyap rasa
ngantuknya, lalu dengan tiba-tiba ia bersenandung sambil mendongakkan kepalanya.
”Girang aku dengan sisa
hidupku ini dapat pulang pula ke tempat tumpah darahku.
Di kota yang kokoh kuat yang
memisahkan neteri Tartar dengan negara Tionggoan.
Maka aku si orang she In besok
akan memakai pula jubah dan kopiah.
Untuk sambil memegang tanda
kehormatan memberi hormat pada junjunganku yang bijaksana”
Thian Hoa timpali menteri
setia itu dengan berkata,” Tayjin sangat setia, di dalam seratus abad jarang di
dapat seorang sebagai Tayjin, maka sudah pasti Sri Baginda akan memberi anugerah
terhadap Tayjin. Semua itu sebenarnya masih belum cukup dikatakan sebagai
hadian…”
Mendengar itu, In Ceng
tersenyum.
“Apa yang aku lakukan adalah
kewajiban satu menteri, dari itu aku tidak mengharap hadiah kerajaan untuk
membalas budiku.” Tiba-tiba saja ia berhenti, akan kemudian meneruskan
berkata,” Ketika aku meninggalkan negara, waktu itu adalah di tahun kerajaan
Eng Lok kesepuluh, maka sekarang, sesudah berselang dua puluh tahun dan
kerajaan berganti tiga kaisar, mengenai urusan pemerintah, sama sekali aku tak
tahu suatu apa. Sebenarnya, sekarang ini siapakah yang memegang pucuk pimpinan
pemerintahan?”
“Sekarang adalah Ong Cin yang
berkuasa,” sahut Thian Hoa.
In Ceng segera ingat bunyinya
kimlong yang ketiga.
“Semoga Thian melindungi
pemerintah kita,” memuji dia,” Ong Cin itu pasti ada satu tiongsin terbesar dan
Ie Kiam adalah satu dorna!”
Justeru itu Tiauw Im sedang
mengendarai kudanya di samping kereta, ketika ia dengar perkataannya menteri
setia ini, ia hajarkan tongkatnya ke tanah sambil berkata dengan keras,”Tayjin,
aku keliru! Ong Cin itu justru satu dorna terbesar! Jikalau dia sampai
bersomplokan dengan aku si orang beribadat, nanti aku beri dia pelajaran dengan
tongkatku ini!”
In Ceng melengak bahna
herannya.
“Apa? Dia satu dorna?”
tanyanya. “Aku rasa tak bisa! Kalau dia benar dorna, mengapa orang Tartar
menganjurkan untuk Ie Kiam mendakwa terhadapnya?”
Cia Thian Hoa tahu
kekeliruannya menteri itu, dia campur omong.
“Dengan sebenarnya, Tayjin,”
kata dia,” Ong Cin itu adalah satu dorna, ya dorna kebiri!”
“Apa?Apakah dia satu thaykam?”
kembali In Ceng menegaskan (Thaykam = orang kebiri).
“Benar,” Thian Hoa pastikan,
“Turut apa yang didengar, dia asal kecamatan Oet-ciu, setelah bersekolah, dia
turut dalam ujian dan berhasil mendapat pangkat tiekoan, tetapi belakangan dia
berbuat salah, dia dihukum buang, hanya belum sampai dia menjalankan
hukumannya, raja membutuhkan sejumlah thaykam, dia serahkan dirinya, dan
diterima. Dalam istana dia diberi tugas melayani putera mahkota, ialah kaisar
yang sekarang ini, yang waktu itu masih bersekolah. Ketika kemudian kaisar
wafat, putera mahkota menggantikannya. Dengan sendirinya Ong Cin diangkat
menjadi Su-lu thaykam, hingga dia berkuasa untuk mengurus surat-surat negara,
bagian luar dan dalam istana, dengan berserikat sama menteri-menteri dorna,
dengan cepat dia peroleh kekuasaan besar, hingga beranilah dia berbuat
sewenang-wenang. Belum tiga tahun, dia telah dibenci juga oleh rakyat negeri.
Maka itu, Tayjin, kalau nanti Tayjin pulang ke istana, baiklah Tayjin
berhati-hati daripadanya itu.”
Masih In Ceng melengak, karena
ia ragu-ragu.
“Ie Kiam itu adalah Peng-pou
Sie-long,” Cia Thian Hoa memberi keterangan lebih jauh, mengenai Ie Kiam,
Menteri Perang (Pengpou Sielong). “Turut pendengaran, Ie Pengpou adalah satu
menteri yang jujur dan setia.”
Mendengar itu, In Tayjin
berdiam. Ia hanya menutup mulut, tapi hatinya berpikir. Di dalam hatinya, ia
kata,”Dua orang ini adalah orang-orang kangouw yang kasar, kata-katanya mereka
tak dapat lantas dipercaya penuh. Baiklah nanti saja, sepulangnya ke istana,
aku coba membuktikannya.”
Ia baru berpikir demikian,
atau ia telah memikir pula,” Menurut ilmu perang, yang kosong itu berisi,
demikian juga kedua orang ini, andaikata benar perkataan mereka, mestinya semua
itu berdasarkan siasat Thio Cong Ciu untuk membantu aku menaruh kepercayaan,
maka di dalamnya mesti ada tersembunyi sesuatu…”
Dalam kereta, In Lui tidur
nyenyak. Terharu engkong ini mengawasi kedua pipi cucunya yang merah jambu itu,
wajah yang menunjukkan kejujuran, kepolosan. Anak itu memang belum mengerti
apa-apa. Tapi kepada cucu ini, engkong ini meletakkan harapannya. Ia telah
mengharap, bila In Lui telah berusia dewasa, mesti dia pergi jauh ke negerinya
bangsa Tartar, untuk menerjang es dan menjelajah salju, guna menuntut balas
untuknya. Maka pada akhirnya, ia menghela napas. Teringat ia pada
kesengsaraannya selama dua puluh tahun, mesti minum air dengan mengunyah salju
dan es, mesti menderita kedinginan hebat. Ingat semua itu, panas hatinya. Tapi ia
telah berusia lanjut, disebabkan terlalu banyak berpikir, ia menjadi letih
sendirinya, hingga tanpa merasa, ia pun jatuh pulas seperti cucunya itu….”
Pada hari kedua, pagi-pagi In
Ceng mendusin. Sekarang dapat ia saksikan samar-samar bendera berkibar-kibar di
atas tembok kota Gan-bun-kwan.
“Inilah Cit-lie-pouw,”
berkatan Tiauw Im Hweeshio. “Kita terpisah dari kota hanya tujuh lie lagi. Di
sebelah depan sana ada pos tentara penjagaan di luar kota Gan-bun-kwan, untuk
memeriksa lalu lintas.”
In Tayjin dengar itu, ia
berbangkit dengan mencelat. Ia singkap tenda kereta, untuk melongok keluar.
Apakah Ciu Congpeng telah
datang?” dia Tanya.
“Sutee Thian Hoa sudah pergi
untuk memberi laporan akan tetapi belum terdengar kedatangannya tentara Ciu
Congpeng,” jawab Tiauw Im.
In Ceng melengak, lalu ia
tertawa sendirinya.
“Ah, aku juga telah dibikin
pusing oleh kimlong itu!” katanya seorang diri. “Mana Ciu Congpeng bisa
mengetahui yang hari ini aku balak sampai disini? Sebentar kemudian, sesudahnya
ia diberitahukan, barulah dia pasti akan datang sendiri.”
Lantas ia perintahkan kereta
dihentikan di muka pos penjagaan tentara, sedang tentaranya, sejumlah serdadu,
mengawasi dari dalam tembok kota tanpa mereka membuat sesuatu gerakan.
Cia Thian Hoa ada seorang yang
teliti, dia pergi lebih dahulu ke kota untuk melaporkan. Dengan Ciu Congpeng
pernah beberapa kali dia bertemu, dia ketahui baik punggawa penjaga kota
Gan-bun-kwan itu di samping sebagai sahabatnya In Ceng, ia pun jujur dan
laki-laki, ia mirip dengan orang bangsa kangouw, maka dia mempercayainya dan
suka membuat laporan itu. Sebentar saja dia telah sampai di kota dimana tak
tampak apa-apa yang mencurigakan, maka tanpa ragu-ragu dia ikut Kie-pay-khoa
yang menyambut padanya masuk ke dalam kantoran.
“Lucu juga,” kata ia dalam
hatinya, hingga ia tersenyum sendiri, “sampaipun aku kena dipermainkan akal
muslihatnya Tantai Mie Ming! Asal Ciu Congpeng yang tetap membelai kota ini,
siapakah yang berani mencelakai In Tayjin?”
Setelah dipersilahkan duduk,
Thian Hoa disuguhkan air the.
“Ciu Congpeng akan segera
keluar,” berkata Kie-pay-khoa itu, maka silahkan Cia Hiapsu beristirahat dulu.”
Thian Hoa hirup air teh,
setelah mana, ia loloskan pakaian luarnya, pakaian untuk berperang. Ia tengah
duduk menanti ketika dengan sekonyong-konyong ia rasakan kepalanya pusing dan
matanya kabur.
“Celaka!” dia menjerit. Dia
lompat untuk sambar pedangnya, tetapi kiepay-khoa tadi mendahului jumput
pedangnya itu, menyusul mana dari luar terlempar dua lembar tambang, maka di
lain saat, orang she Cia ini sudah kena teringkus rubuh.
Thian Hoa telah sempurna
latihan Iwee-kangnya, ilmu dalam, walaupun dia telah diperdayakan ingatannya
masih belum kusut, dari itu, dia coba kerahkan tenaganya, untuk berontak, akan
tetapi sangat menyesal, nyata dia telah kehilangan seantero tenaganya, hingga
tidak berhasil dia dengan percobaannya itu, malah sebaliknya dia merasakan
kepalanya semakin pusing. Lantas dia ingin tidur saja. Celakanya kedua matanya
pun lantas tertutup rapat, walaupun dia ingin membukanya, tetapi dia tidak
mampu. Berkat keuletan Iweekangny, dia masih kuatkan hati, dia tetap membuat
perlawanan batin, maka terasalah olehnya, bahwa orang telah menggotong padanya,
untuk dibawa di suatu tempat. Ia dengar suara pintu dikunci, maka ia menduga bahwa
ia tengah dikunci di sebuah kamar gelap.
Memang, the yang diminum Thian
Hoa telah dicampuri bonghanyoh, obat pulas, saking ulatnya ia, ia tak rubuh
tanpa sadarkan diri lagi seperti korban-korban lainnya, masih terang
ingatannya, cuma sia-sia saja perlawanannya untuk menjadi sadar, akan pulihkan
tenaganya, yang habis seketika.
Berapa lama sang waktu sudah
lewat, inilah Thian Hoa tidak ketahui, tetapi ia masih tetap sadar ketika ia
dengar suara daun pintu ditolak terbuka, lalu seorang melongok masuk. Sekarang
Thian Hoa dapat buka kedua matanya, segera ia kenali Ciu Kian, congpeng dari
Gan-bun-kwan. Dengan tiba-tiba saja meluap hawa amarahnya, dengan sekuat
tenaganya ia coba lompat bangun, untuk menyambar dengan tangannya pada muka
orang.
“Inilah aku!” beritahu Ciu
Congpeng sambil menangkis.
Masih belum pulih tenaganya
Thian Hoa, atas tangkisan itu, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak,
sampai ia membentur tembok. Tentu saja murkanya bertambah.
“Bagus!” serunya. “Ini dia
yang dibuang, kenal manusia, kenal cecongornya, tak kenal hatinya! Oh, Congpeng
tayjin, kau telah gunakan siasat rendah yang hina-dina, sungguh kau pandai!”
Tapi Congpeng itu maju
menghampiri, untuk cekal lengan orang.
“Diam, keadaan sangat
berbahaya!” katanya seperti berbisik. “Lekas makan ini obat pemunah! Mari kita
pergi bersama untuk menolongi In Tayjin! Ini pedangmu, yang telah aku ambilkan.
Lekas!”
Than Hoa tercengang.
“Apa?” tanyanya “Kau? Apakah
artinya ini?”
Di dalam kamar tahanan yang
gelap itu hanya terlihat sinar kedua matanya bergemerlapan dari Ciu Congpeng,
sinar mata yang berpengaruh.
“Ciu Kian ada orang macam apa,
mustahil kau masih belum ketahui!” katanya dengan perlahan. “Keadaan sekarang
sangat genting, baiklah kita bicara nanti saja! Lekas kau turut aku!”
Mau atau tidak, Thian Hoa buka
mulutnya untuk telan obat pemunah. Ia memang sadar, maka setelah makan obat
itu, lenyaplah keinginan untuk tidur saja. Ia terima pedang yang disodorkan si
congpeng itu, lantas ia lompat keluar kamarnya akan ikuti punggawa perang itu.
Di luar kota Gan-bun-kwan
terdengar suara terompet yang panjang.
Sesampai mereka di luar kamar,
mereka dihalangi kiepay-khoa yang menyuguhkan teh yang bercampur obat pulas.
Ciu Tayjin, kau mesti berpikir
masak-masak berulang-ulang!” kata hamba pelayan ini. “Jangan tayjin sampai
merusak hari depanmu….”
“Ciu Congpeng tidak menjawab
nasehat itu, dia melainkan lompat kepada si kiepay-khoa sambil menyabet dengan
goloknya, atas mana tubuh hamba itu kutung menjadi dua potong!
Sebagai tindakan terlebih
jauh, Ciu Congpeng rampas dua ekor kuda dengan apa ia bersama Thian Hoa lantas
kabur ke depan kantor, untuk menerobos keluar kota.
Tidak ada opsir lainnya atau
serdadu-serdadu yang berani merintangi congpeng itu serta kawannya.
Ciu Kian memang tampak sangat
keren. Di atas kudanya, dengan cambuknya, dia menuding ke arah Citlie-pouw.
“Diluar Citlie-pouw sana,
mereka asyik bertempur!” katanya dengan nyaring. “Mari kita ambil jalan
memotong!”
Dan ia kaburkan kudanya di
sebelah depan, menuju ke sebuah jalan kecil, dari mana mereka lantas dengar
suara berisik dari bergeraknya pasukan tentara di jalan besar, antaranya
terdengar teriakan-teriakan “Ciu Congpeng kembali! Ciu Congpeng kembali!”
Akan tetapi congpeng itu tidak
memperdulikannya.
Di Citlie-pouw, setelah dengar
keterangannya Tiauw Im, In Ceng nantikan kembalinya Cia Thian Hoa. Ia masih
saja mendongkol, kegusarannya tak dapat segera dilenyapkan. Ia pun mesti
menantikan lama. Justeru begitu, mendadak terlihat mengepulnya debu yang
diakibatkan oleh berlari-larinya belasan penunggang kuda mendatangi, menyusul
mana pintu pos penjagaan segera dipentang lebar, perwira penjaga pos itu segera
keluar untuk membikin penyambutan, suaranya yang nyaring pun terdengar
mengundang masuk belasan penunggang kuda yang baru tiba itu.
In Ceng dari keretanya dapat
melihat dengan nyata, hingga dia tahu, di antara belasan penunggang kuda itu,
tidak ada Congpeng Ciu Kian, hingga ia jadi tidak puas. Walaupun demikian, ia
berlaku tenang, ia bawa sikap agung. Ketika ia sampai di muka pos, ia bertindak
masuk dengan pegangi su-ciatnya, tanda kebesarannya.
Di dalam pos tentara tapal
batas itu ada ruang untuk duduk, di kedua tepi berdiri berbaris enam belas
serdadu Gi-lim-kun, pengawal atau pahlawan raja. Mereka berada di undakan
bawah.
Dua kimcee atau utusan raja,
dengan pakaian resminya menyambut In Tayjin.
Melihat penyambutan itu In
Ceng girang, Di dalam hatinya, ia berkata,”Nyata Sri Baginda Raja telah memberi
berkahnya, ingat dia akan kesetiaanku dua puluh tahun, hari ini dia telah utus
wakilnya ke tapal batas ini untuk memapak aku!” Maka itu, ia bilang kepada
kedua kimcee itu. “Apakah karena jasaku, si orang she In, hingga kedua kimcee
menyambutnya di tempat yang sejauh ini…”
Baru In Tayjin mengucap
demikian, atau tiba-tiba, kedua kimcee itu perlihatkan wajah keren dan bengis,
keduanya segera perdengarkan seruan, “In Ceng, menteri pengkhianat, berlututlah
untuk menyambut firman Sri Baginda Raja!”
In Tayjin kaget bukan main, ia
heran tak kepalang, sampai ketika ia angkat su-ciatnya, tangannya bergetar.
“Tidak berani aku menyambut
firman ini!” katanya, untuk melawan. “Aku si orang she In telah diutus ke
negera asing, selama dua puluh tahun aku hidup menggembala kuda di daerah
bangsa Tartar, selama itu aku tetap bersetia, aku tahu diriku tidak bersalah
dan berdosa!…”
Belum sampai menteri setia itu
menutup mulutnya atau dua pahlawan sudah menyambar ia, untuk dibikin rubuh,
sedang satu di antara kedua kimcee segera beberkan firman raja, untuk dibacakan
dengan nyaring.
“Menteri yang berdosa, In
Ceng, oleh mendiang Sri Baginda telah diberi kepercayaan, diutus ke negeri
Watzu, tetapi bukannya dia bekerja dengan setia dan membalas budi negara, dia
justeru memusuhinya, hingga dia melupakan negeri dari ayah bundanya. Begitulah
hari ini In Ceng pulang secara diam-diam untuk maksudnya yang berbahaya guna
menjadi penyambut sebelah dalam. Sebenarnya, mengingat dosanya, In Ceng tak
mestinya mendapat ampun, akan tetapi karena mengingat ia adalah menteri dari
mendiang Sri Baginda Raja, ia diberi kemerdekaan untuk minum obat guna
menghabiskan jiwanya sendiri supaya dengan begitu tubuhnya utuh. Sekian!”
In Ceng kaget bukan kepalang,
tubuhnya sampai gemetar keras. Inilah hal yang ia tidak pernah duga. Sampai
saat terakhir, ia masih percaya rajanya menghargai jasanya…
Satu pahlawan, dengan gelas
perak di tangannya, menghampiri menteri yang bercelaka ini. Gelas itu berisi
air obat yang merah warnanya. Dia berkata dengan nyaring,” Menteri In Ceng yang
berdosa, apakah kau masih tidak mau menghaturkan terima kasihmu untuk menaati
bunyinya firman Sri Baginda!”
In Ceng rasakan kepalanya
hendak meledak. Mendongkol dan gusar bercampur jadi satu. Bukan main panas
hatinya. Tapi ia mesti kendalikan diri. Ia sambar gelas racun sambil berseru,”
Kasih aku lihat firman itu! Aku tidak percaya!”
Kimcee yang membacakan firman
tertawa dingin.
“Sungguh besar nyalimu!” kata
dia dengan nyaring. “Apakah kau kira kau berhak melihat firman?”
Menyusul kata-katanya kimcee
ini, terdengar suara kedua daun pintu kantor menjeblak, setelah mana terlihat
masuk satu pendeta dengan tongkatnya di tangan, dengan tongkat itu terus
menerjang.
Keenam belas pahlawan segera
turun tangan, guna melabrak pendeta ini, yaitu Tiauw Im Hweeshio. Maka itu,
mereka jadi bertarung dengan hebat sekali.
Tiauw Im mengamuk ke kiri dan
kanan, tongkatnya yang besar dan berat tiap-tiap kali meminta korban.
Kedua kimcee menjadi
ketakutan, muka mereka pucat, kaki mereka lemas.
Tiauw Im berhasil dengan
serbuannya itu, ia mendesak sampai di ruang sekali, dengan sebelah tangannya ia
cekuk kimcee yang membacakan firman tadi.
“Dengan susah payah In Tayjin
kabur dari tempat pembuangannya, dia berhasil pulang kemari, kenapa sekarang
kamu hendak membinasakan dia?” dia berteriak. “Aturan dari mana ini?”
Dan dengan satu gerakan
tongkat, di antara suara nyaring, hancurlah kepala si kimcee yang galak,
setelah mana sambil tertawa, pendeta itu cekuk kimcee yang kedua.
“Lepas! Lepas!” kimcee ini
berteriak-teriak. “Kau berani melawan kimcee, kau tahu apa hukumanmu?”
Tiauw Im tancap tongkatnya di
lantai, dengan dibantu tangannya yang lain, ia angkat tinggi tubuh kimcee itu.
“Jahanam!” dampratnya. “Berapa
sih harga sekalinya satu kimcee?”
Ia pegang kedua kakinya kimcee
itu yang ia lantas beset.
Semua serdadu Gi-lim-kun
terkesiap, tidak ragu-ragu lagi, mereka lari keluar. Mereka memang sudah jeri
terhadap pendeta ini, yang tadi memberikan labrakan pada mereka. Mereka lari
untuk bunyikan terompet, mereka tidak pedulikan lagi kawan-kawan yang telah
menjadi mayat.
In Ceng berdiri tercengang, ia
terpagut. Di situ, kecuali beberapa mayat, tinggal ia bersama Tiauw Im. Ia
berdiri diam seperti sedang bermimpi. Ketika Tiauw Im bertindak menghampirkan,
baru dia sadar.
“Mari firman itu, hendak aku
melihatnya!” dia berseru. Dia baru ingat kepada firman yang mengharuskan ia
meminum racun, untuk menghabiskan nyawanya.
“Peduli apa segala firman
begituan!” sahut si pendeta. “Mari turut aku menyingkir!”
In Ceng duduk numprah.
“Mari firman itu, kasih aku
lihat!” dia kata pula, suaranya tetap.
Tiaum Im mendelik terhadap
orang bandel itu, tetapi ia mengalah, ia ulurkan tangannya ke meja, untuk
mengambil firman tadi, terus ia lemparkan.
“Nah, lihatlah!” katanya
sengit. “Lekas baca! Lekas!”
Berbareng dengan itu, ia tak
mengerti atas kebandelan orang itu.
In Ceng pungut firman itu,
untuk dibuka dan dibaca, setelah mana, mukanya menjadi pucat seperti mayat.
Dengan tertera cap kerajaan,
firman itu memang firman tulen. Masih ingat ia dahulu, ketika Kaisar Seng Couw
merampas mahkota, pernah ia rampas cap kerajaan dari tangan Thaykam, lalu
dibuangnya cap itu ke lantai hingga pecah ujungnya, kemudian ia menyuruh tukang
menambal cacat itu. Sekarang ia dapat kenyataan, itulah cap yang ia kenal.
“Apakah kau telah melihat
cukup!” tegus Tiauw Im menampak orang diam saja.
Masih In Ceng mengawasi firman
itu, ia seperti tak dengar teguran itu. Dalam sekejap, ingat ia pada
penderitaanya di tanah asing, tapi penderitaan itu kalah hebatnya dengan
penderitaan sekarang. Sekarang habislah harapannya, lamunan sekian lama bahwa
ia bakal dihargai rajanya. Ia dapat bertahan dua puluh tahun karena
kesetiaannya, siapa sangka, bukan kenaikan pangkat yang ia peroleh, rajanya
justeru menghendaki jiwanya.
Tiauw Im ulangi tegurannya, ia
masih tidak dengar jawaban, hingga ia jadi sangat heran, selagi ia awasi
menteri itu, mendadak ia tampak orang membanting su-ciat yang selama dua puluh
tahun tak pernah terpisah daripadanya. Maka, karena terbanting keras, su-ciat
itu patah menjadi dua potong.
Pada saat itu, kosonglah hati
In Ceng, lenyap keinginannya untuk hidup terus, maka dengan tiba-tiba saja ia
angkat gelas racun, untuk tenggak isinya.
“Hai, kau berbuat apa?” teriak
Tiauw Im, yang terus melompat maju.
Akan tetapi orang kosen ini
sudah terlambat, tubuh In Ceng rubuh seketika, dari hidungnya, mulutnya,
matanya, kupingnya, dan setiap lobang keringatnya, darah mengucur keluar.
Menteri setia ini telah menemui ajalnya dalam tempo yang cepat sekali, saking
kerasnya racun raja, arak beracun yang dinamakan Hoo-teng-ang, apalagi racun
itu sampai satu gelas.
Tiauw Im melengak menyaksikan
kejadian itu, ia baru sadar ketika ia dengar suara ribut-ribut dari arah luar,
ialah suaranya senjata beradu bercampur dengan tangisan In Lui.
Sebab diluar, kereta In Ceng
sudah dikurung sisa pahlawan serta tentara pos penjaga, hingga mereka jadi
bentrok dengan dua muridnya si pendeta.
Tidak tempo lagi, sambil
berseru, Tiauw Im lari keluar, untuk menyerbu ke depan. Sejumlah serdadu maju,
untuk mencegat, merintangi, tetapi ia serang mereka, hingga mereka menjadi
bertempur, tetapi tidak lama, ia berhasil merangsak sampai ke kereta dimana
segera ia sambar In Lui, untuk ditolongi.
“Jangan takut! Jangan takut!”
ia hibur bocah itu sambil menepuk-nepuk, kemudian dengan sebelah tangan ia pondong
bocah itu, lalu ia bekelahi pula, guna menoblos kurungan.
In Lui mendekam di bebokong si
hweeshio, ia diam saja, tidak menangis atau menjerit, malah dengan mata
bercelingukan, ia memandang ke sekitarnya. Rupanya, di tangan si pendeta,
hatinya jadi tenang.
Bersama dua muridnya, Tiauw Im
pecahkan kurungan, lantas mereka merampas kuda dengan apa mereka kabur bersama.
Tentara Beng mengejar, malah
mereka lantas melepaskan anak panah.
Tiauw Im dan dua muridnya
repot juga membuat penangkisan, kaburnya mereka jadi terhalang, dengan begitu,
tentara pengejar jadi datang semakin hebat.
“Hebat!” keluh Tiauw Im dalam
hatinya. Ia lihat bahaya mengancam. Sulitnya bagi dia, ia mesti lindungi In
Lui, hingga sebelah tangannya tak dapat digunakan.
Sekonyong-konyong dua anak
panah menyambar dan kedua muridnya si pendeta rubuh terguling, karena anak
panah itu nancap di tenggorokan mereka.
Tiauw Im murka hingga ia
menjerit. Ia putar tongkatnya untuk balik menyerang.
“Daripada mesti binasa, lebih
baik aku binasakan dulu beberapa dari mereka!” demikian ia piker. Tapi, belum
sempat ia mengamuk, ketika ia menoleh ke belakang, ia tampak mata jeli si
bocah, mata itu hidup, tidak bersinar takut. Melihat ini, ia menghela napas.
Justeru itu, sebatang panah menyambar
kepalanya, ia menangkis. Ia rasakan serangan panah yang hebat, maka ia menduga
penyerangnya pasti bukan orang sembarangan.
Di saat tentara pengejar
hampir sampai, Tiauw Im lihat bagian belakang pasukan itu kalut dengan
tiba-tiba hingga hujan anak panah pun jadi berhenti sendirinya, lalu dari dalam
barisan itu keluarlah dua orang yang ia kenali adalah Cia Thian Hoa dan Ciu
Kian. Karena girangnya hampir ia tak mau percaya kepada matanya sendiri.
Mendadak satu punggawa musuh
mencegat Thian Hoa, dia mainkan goloknya, atas mana Thian Hoa desak dia dengan
tikaman pedang berulang-ulang hingga dia menjadi repot.
Selagi dua orang itu bertempur
hebat, Ciu Kian berseru kepada punggawa itu,” Ouw Ciangkun, aku telah
perlakukan baik padamu, sekarang aku mohon kebaikan kau!”
Punggawa itu tidak berkata
suatu apa, ia cuma putar kudanya untuk meninggalkan musuhnya, hingga semua
serdadu, meskipun mereka berteriak-teriak, tidak lagi ada yang menyerang,
mencegat, atau mengejar.
Ciu Kian pandang tentaranya
itu dengan siapa ia telah hidup bersama-sama bertahun-tahun, habis itu bersama
Thian Hoa ia gabungi diri untuk angkat kaki menuju ke utara. Diam-diam ia
mengucurkan air mata…
Di utara, musim ada lebih
dingin, maka juga sampai tengah hari, sang batara surya masih belum muncul,
dari itu, di bawah udara bagaikan mendung, bertiga mereka larikan kuda mereka.
Thian Hoa telah mengucurkan
air mata, dari suhengnya ia ketahui nasibnya In Ceng. Dengan susah payah mereka
kabur dari negara asing, siapa sangka, sesudah sampai di tanah tumpah darah
sendiri, menteri itu mesti menemui ajalnya secara demikian kecewa dan
mengenaskan. Di pihak lain, ia menyesal untuk Ciu Congpeng, yang guna membelai
sahabat, sudah tinggalkan jabatannya, pangkatnya. Malah dengan perbuatannya
itu, Ciu Kian telah memberontak terhadap pemerintahnya.
“Sudah, Ciu Congpeng,” kata
dia kemudian, suaranya perlahan, “setelah kejadian ini, biar kita nanti berdaya
perlahan-lahan saja untuk hidup kita. Aku menyesal yang aku telah membikin kau
celaka.”
Tapi Congpeng itu tertawa,
tertawanya sedih.
“Aku bukannya congpeng lagi!”
demikian katanya. “Sudah sejak setengah bulan yang lalu, aku dipindahkan tempat
jawatan, Cuma karena congpeng yang baru masih belum sampai, untuk sementara aku
masih tetap mewakilkannya. Ouw Ciangkun itu adalah congpeng yang tulen>”
“Ciu Congpeng,” katanya, “kau
telah berulang kali mendirikan pahala, mengapa kau dipindahkan? Anehnya, In
Tayjin ada demikian setia, kenapa dia bolehnya diberik hadiah kematian?”
Bekas brigadir jenderal itu
menggeleng-geleng kepala.
“Urusan pemerintah baiklah
kita jangan pedulikan pula.” Katanya. Tapi ia berhenti sebentar, lantas ia
melanjutkan,” Sekarang ini dorna yang berkuasa, melainkan orang-orang
kepercayaannya yang menjabat pangkat. Aku bukan kepercayaannya Ong Cin, pasti
sekali dia bedaya untuk pindahkan aku. Tentang sebabnya mengapa pemerintah
membinasakan In Tayjin, inilah aku tidak mengerti, Cuma karena raja yang
sekarang masih berusia sangat muda, sedang kekuasaan besar berada di tangan Ong
Cin, kebinasaan In Tayjin tentulah kehendak Ong Cin itu.
Thian Hoa tutup mulunya, ia
bungkam. Tapi kemudian.
“Apa pernah congpeng bertempur
sama Thio Cong Ciu dari negeri Watzu?” dia Tanya.
“Apakah kau maksudkan itu
pengkhianat she Thio?” Ciu Kian tegaskan. “Pada sepuluh tahun yang lalu, pernah
dia datang kemari bersama tentaranya, sampai dua kali kita bertempur, kemudian
diadakan perdamaian, sejak itu tidak pernah dia datang pula.”
“Satu hal membuat aku heran,”
kata Thian Hoa. “Dia tahu betul tentang tindak-tanduk pemerintah kita, seperti
ia mengetahui jari-jari tangannya sendiri, apa tak mungkin dia mempunyai
perhubungan rahasia dengan salah satu menteri atau panglima kita?”
Ciu Kian awasi Thian Hoa
dengan mendelong.
“Bagaimana dapat kau menerka
demikian?” katanya. “Coba kau tidak mengatakannya, pastilah aku lupa! Ong Cin
dan Co-sinsiang To Huan dari negeri Watzu adalah sahabat kekal, malah kabarnya,
dia juga mempunyai hubungan dengan Thio Cong Ciu.”
Thian Hoa jadi tambah curiga.
Lantas ia ingat pada obat pulung dari Thio Cong Ciu, yang dibawa Tantai Mie
Ming. Ia keluarkan obatnya, ialah secarik kertas yang dipulung-pulung. Bersama
Ciu Kian, ia baca kertas itu yang bertuliskan huruf-huruf yang menjadi buah
kalamnya Ong Cin sendiri.
Nyata surat itu berasal dari Ong
Cin untuk To Huan berdua Cong Ciu, bunyinya adalah mendamaikan urusan menukar
barang-barang besi Tionggoan, buat ditukar dengan kuda Mongolia.
Thian Hoa menghela napas.
“Mongolia kekurangan besi,
tanpa besi dari Tionggoan, sampai pun busur mereka tidak sanggup bikin,”
katanya. “Bukankah ini terang-terang ada satu jalan untuk membantu musuh?”
“Benar,” sahut Ciu Kian. “Aku
pun lupa satu hal. Kedua kimcee tadi, mereka tiba beberapa hari yang lalu,
selama itu ada utusan Mongolia yang telah mengadakan perhubungan dengan mereka,
entah apa yang mereka bicarakan, tetapi aku curigai sekongkolan untuk membikin
celaka pada In Tayjin. Mungkin itu adalah dayanya To Huan atau Cong Ciu.”
“Kalau begitu.” Tanya Thian
Hoa heran,” habis apa artinya Cong Ciu utus Tantai Mie Ming menyampaikan
suratnya dalam obat pulung ini?”
Dan ia tuturkan halnya kimlong
yang dibawa Mie Ming yang tadinya mengejar-ngejar mereka yang lagi buron.
Ciu Kian dan Tiauw Im turut
menerka-nerka, tetapi mereka tak peroleh pemecahannya.
“Jahanam Cong Ciu itu mana
punya maksud baik?” kata Ciu Kian kemudian. “Dari perbuatannya saja menyiksa In
Tayjin selama dua puluh tahun, aku penasaran sudah tidak dapat membinasakan
dia!”
Justeru itu, In Lui angkat
kepalanya.
“Yaya? Mana yaya?” tanyanya.
“Yaya suruh aku binasakan orang, kamu juga hendak binasakan orang, aku takut,
takut!”
Thian Hoa usap-usap rambut
orang.
“Membunuh orang jahat tak usah
dibuat takut.” katanya perlahan.
Habis mengucap demikian,
tiba-tiba saja orang she Cia ini lompat turun dari kudanya, untuk segera
menghampiri Tiauw Im.
“Pergi kau bawa nona cilik ini
kepada sumoay!” katanya. “Aku sendiri hendak kembali ke Mongolia.”
“Untuk apa kau kembali ke
sana?” dia Tanya.
“Untuk bunuh Thio Cong Ciu!”
sahut sang sutee.
Tiauw Im angkat tongkatnya.
“Itu benar!” ucapnya. “Dengan
binasakan Cong Ciu, di belakang hari tak usah lagi nona cilik ini membinasakan
dia! Baiklah, kita masing-masing yang satu merawat anak yatim piatu, yang lain
membuat pembalasan! Nanti, lagi sepuluh tahun, kita boleh saling bertemu pula
di kota Gan-bun-kwan!”
Maka itu berpisahlah mereka
berdua, juga Ciu Kian.
I
Bagaikan melesatnya anak
panah, demikian sang waktu. Sepuluh tahun telah berlalu atau orang berada dalam
tahun Ceng Tong ke-XIII dari ahala Beng. Maka itu berubahlah pelbagai peristiwa
dari sepuluh tahun yang telah silam itu, pasti orang telah lupa akan
perbuatannya congpeng Ciu Kian dari kota Gan-bun-kwan, tentu orang tak ingat
lagi riwayat sedih dari Tayjin In Ceng di daerah perbatasan itu. Meskipun
demikian, di luar kota Gan-bun-kwan, di daerah seratus lie yang kosong, yang
dinamakan no mans’s land itu, suasana bukannya tak tetap ramai.
Keramaian-keramaian itu terjadi sejak beberapa tahun yang lampau.
Apa yang dinamakan keramaian
itu adalah aksinya kawanan Lioklim atau Rimba Hijau, karena sikap mereka ini
yang istimewa. Jumlah mereka tidak besar, akan tetapi mereka tidak takut
terhadap tentara Beng, mereka tak jeri terhadap pasukan bangsa Mongolia,
tentara Watzu. Mereka jarang keluar membegal atau merampok orang pelancongan,
mereka cari mangsa di antara rombongan pembesar rakus, terutama mereka tak mau
ganggu tentara kota Gan-bun-kwan. Rombongan ini terkenal dari benderanya Jit
Goat Siang Kie atau sepasang Matahari dan Rembulan. Dan yang luar biasa, umum
tidak ketahui siapa nama pemimpin mereka, apa yang diketahui, pemimpin itu ada
seorang tua dengan potongan kepala macan tutul dan mata harimau. Sebab selagi
menyerbu, di dalam pertempuran, dia selalu memakai topeng. Mak dia dikenal
hanya dari goloknya, golok Kim-too hingga dia peroleh gelar Kim Too Loo-cat
atau bangsat tua bergolok emas. Anehnya, apabila bentrok dengan pasukan
tentara, bila dia peroleh kemenangan, tidak pernah ia kejar tentara pencundang
itu.
Begitu terkenal rombongan
berandal ini tetapi satu punggawa bernama Pui Keng belum pernah mendengarnya,
hingga ia tak tahu keamanan yang terganggu di daerah tanah kosong itu.
Itulah terjadi pada musim semi
ketika serombongan tentara yang mengiring angkutan mahal menuju kota
Gan-bun-kwan. Yang jadi pemimpin tentara itu adalah Pui Keng tersebut, satu
punggawa asal Bu-ki-jin, yang menyebut dirinya Sin-cian Pui Keng atau Pui Keng
si Malaikat Panah sebab lihainya ia mainkan busur melepaskan anak panah, hingga
ia berjumawa karenanya.
Pada musim itu Pui Keng
mendapat tugas mengiring uang negara sebanyak empat puluh laksa tail, uang
terdiri dari uang goanpo, setiap petinya berjumlah lima ratus tail. Seratus
keledai dipakai guna menggendol harta besar itu. Tapi si Malaikat Panah tidak
hanya membawa uang negara saja. Berbareng dengan seratus keledai itu, ada lagi
empat belas ekor, yang bebokongnya dimuatkan dengan barang-barang kepunyaan
pribadi dari Teng Toa Ko, congpeng dari Gan-bun-kwan.
Sama sekali Pui Keng cuma
pimpin seratus serdadu, inilah sebabnya sampai sebegitu jauh belum pernah ia
mengalami kegagalan.
Di bulan ketiga, daerah
Kanglam mempunyai banyak rumput panjang, tapi di luar kota Kie-yong-kwan, salju
masih belum cair, maka hawa udara jadi dingin sekali. Tapi melalui perjalanan
yang jauh, hari itu, keseratus serdadu itu merasa gerah karena hawa yang panas,
sedang mereka pun sudah letih, apapula ketika itu adalah tengah hari, matahari
sedang memancarkan sinarnya.
Di atas kudanya, sambil
menunjuk dengan cambuknya, Pui Keng berkata,” Besok tengah hari, kita akan
sampai di kota Gan-bun-kwan! Kita berangkat cuma dengan seratus orang, angkutan
kita banyak dan berat, kita juga mesti lintasi gunung melalui bukit-bukit, kita
mesti melakoni perjalanan ribuan lie, maka syukur sekali, kita tak nampak sesuatu!
Sesungguhnya, kita harus memuji diri!”
Pui Keng didampingi dua
hu-khoa, pembantunya, mereka ini lantas berkata,” Tayjin kesohor dengan
panahnya, di kolong langit ini siapakah yang tidak mengetahuinya? Umpama kata
di tengah jalan ada rombongan bangsat kurcaci, dengan mendengar nama tayjin
saja, angkat kepala pun mereka tidak berani!”
Pui Keng tertawa
bergelak-gelak.
“Kamu memuji! Kamu memuji!”
katanya riang gembira.
Tapi, mendengar itu,
serdadu-serdadu tertawa di dalam hati, sebab mereka tahu hu-khoa hanya
mengangkat-angkat saja.
Segera mereka berada di jalan
di tepi mana ada sebuah warung arak, tempat untuk orang-orang pelancong singgah
untuk membasahkan tenggorokan, melihat itu, Pui Keng girang.
“Kali ini kita melakukan
perjalanan selamat tidak kurang suatu apa, ini bukan melulu karena tenagaku
satu orang,” berkata dia, yang ingat kepada pahalanya semua serdadu,” ini
adalah jasa kita beramai! Gan-bun-kwan sudah ada di depan mata, tidak usah kita
terlalu terburu-buru, mari kita singgah di sini! Aku undang hu-khoa berdua
minum arak!”
Lantas dia lompat turun dari
kudanya, untuk masuk ke dalam warung arak itu, diikuti kedua pembantunya yang
pandai sekali mengangkat-angkat.
Setelah menenggak beberapa
cawan, penyakit jumawa dari Pui Keng kumat, terus ia bicara banyak, akan
kepulkan kekosenannya. Ia bercerita ketika dulu ia masih menjadi polisi di kota
Tongpeng, dengan panahnya, ia telah takluki serombongan orang jahat.
“Sayang sekarang tayjin sedang
menjabat pangkat,” kata satu hu-khoa,” kalau tidak, tahun ini tayjin boleh
turut ujian militer, niscaya sekali tayjin tidak akan lulus sebagai
Bu-conggoan!”
Bu-conggoan atau conggoan
militer adalah gelar tertinggi di dalam ujian yang dibikin di kota raja. Gelar
kedua adalah ponggan dan gelar ketiga tam-hoa.
Hu-khoa yang kedua pun
berkata,” Hari ini udara terang, dengan memberanikan diri aku mohon tayjin
mencoba memperlihatkan kepandaian memanah supaya kami dapat lihat!”
Pui Keng tenggak kering satu
cawan besar, ia tertawa, habis mana ia turunkan busurnya.
“Mari semua kamu turut aku!”
katanya, mengajak orang kelataran. Ia segera siapkan dua batang anak panah.
“Kamu semua lihat biar tegas!”
katanya pula, lalu dengan cepat dan lincah, ia memanah.
Dengan menerbitkan suara
mengaung, sebatang anak panah melesat ke udara, kemudian, selagi anak panah itu
mulai turun, dia disambar oleh yang kedua, yang dilepas hampir menyusul, dan
tepat sekali, anak panah pertama itu menjadi sasaran yang kedua, lantas
keduanya jatuh bersama.
Kedua hu-khoa berseru dengan pujiannya,
dituruti oleh pujian sekalian serdadu. Di dalam hatinya, kedua hu-khoa tukang
mengumpak itu berkata,” Benar-benar dia lihai, dia bukan cuma ngoceh saja.”
Selagi serdadu-serdadu itu
memuji, di antara suara derapnya kaki kuda, tampak satu penunggang asyik
mendatangi, dari mulutnya itu juga terdengar pujian, “Panah yang bagus! Panah
yang bagus!”
Pui Keng menoleh dengan
segera. Ia lihat seorang dengan dandanan sebagai siucay, ikat kepalanya hijau,
romannya lemah lembut, akan tetapi di bebokongnya tergemblok sebuah busur
hitam. Kudanya pun kecil dan kurus. Malah busur itu lebih kecil dari busur yang
umum, apabila itu disbanding dengan busurnya punggawa ini, besar bedanya.
“Mestinya anak sekolah ini
kuatirkan jalanan yang tidak aman!” Pui Keng tertawa di dalam hati. “Dia
menggendol biang panah untuk membesar-besarkan nyalinya! …Sebenarnya percuma
saja dia bawa biang panah itu! Umpama kata benar ada begal, pasti begal itu
siang-siang ketahui dia adalah satu mahasiswa yang lemah dan tak berguna…”
Orang macam siucay itu sudah
lantas tambat kudanya di sebuah pohon di tepi jalan, ia terus bertindak masuk
ke dalam warung arak.
Pui Keng menduga orang ini
ternama juga, ia memberi hormat sambil mengangkat tangannya.
“Kau she apa,
hengtay,”tanyanya. “Kenapa kau jalan sendiri? Apa kau tidak takut kepada orang
jahat?”
“Siauwtee she Beng nama Kie,”
sahut siucay itu, yang bahasakan dirinya siauwtee (adik kecil). “Congpeng dari
Gan-bun-kwan ada sanak jauh dari siauwtee. Dalam ujian tahun ini, siauwtee
gagal, tetapi siauwtee tak ingin berdiam di rumah saja, maka itu siauwtee pergi
jauh ke tapal batas ini dengan mengharap pertolongan dari sanakku itu, supaya
ia beri sesuatu jabatan kecil di dalam kantornya.”
Mendengar begitu, Pui Keng
mengawasi.
“Oh, kiranya kau siucay
melarat yang mengharap pertolongan orang…”pikirnya. Lantas ia berkata,” Inilah
bagus! Congpeng yang menjadi sanak jauhmu itu adalah besan dari Pengpou
Siangsie kami dan dalam perjalananku ini mengangkut uang tentara, aku sekalian
membawa sesuatu untuk sanakmu itu.”
Siucay Beng Kie itu pun lantas
berkata,” Sungguh kebetulan! Nyata aku telah bertemu dengan satu tuan penolong!
Aku dengar di bilangan sini ada ancaman kawanan penjahat, aku memang takut.
Aku….aku…”
Pui Keng tahu hati orang, dia
justeru sudah mulai terpengaruh susu macan, maka lantas ia tepuk dadanya.
:Kau telah bertemu dengan aku,
hengtay, tak usah kau takut lagi!” katanya dengan jumawa. “Dengan andalkan
busur ini, selama perjalanan yang jauh, kawanan penjahat bagikan menghadap
angin dan menyingkir. Hengtay hendak pergi ke Gan-bun-kwan kepada sanakmu, mari
kita jalan bersama!”
Mahasiswa itu perlihatkan air
muka terang.
“Terima kasih, terima kasih!”
ucapnya berulang-ulang. Dengan matanya, tak henti-hentinya ia awasi busur besi
itu.
Kembali Pui Keng tertawa.
“Busur ini istimewa
buatannya!” katanya tetap terkebur.
“Siapa tidak punya tenaga dari
lima ratus kati, jangan harap dia sanggup pentang busur ini!”
“Hebat! Hebat!” Beng Kie
memuji.
“Mari minum!” Pui Keng
mengajak dalam kegembiraannya, dan ia tenggak pula araknya hingga kering
beberapa cawan besar. Dan kemudian, sambil berbangkit ia berseru,” Mari kita
lanjutkan perjalanan kita!”
Mereka lantas berlerot pergi.
Angin dingin membuatnya Pui
Keng merasa kepalanya rada berat, tanda dari terlalu banyaknya ia menenggak air
kata-kata.
Tidak lama, kemudian mereka
telah berada di lamping gunung arah barat, jalanan di situ sukar, dari atas
gunung terdengar pekiknya sang kera dan burung-burung belibis, dan
binatang-binatang itu, yang berada di pohon-pohon dekat, lari menyingkir dan
terbang pergi.
“Tempat ini agak berbahaya,
aku kuatir ada penjahat di sini,” kata Beng Kie.
Pui Keng sebaliknya tertawa
besar.
“Kalau penjahat muncul, itu
artinya mereka cari mampus sendiri!” katanya.
Dengan cepat Beng Kie turunkan
busurnya, wajahnya pucat.
Lagi-lagi Pui Keng tertawa.
“Kau takut, hengtay?”
tanyanya.
“Sebenarnya aku agak jeri,”
Beng Kie akui. “Di luar keinginanku, aku turunkan busurku, untuk bersiap sedia,
guna menjaga diri. Ah, sungguh satu perbuatan gila, membikin tayjin tertawa
saja!”
Pui Keng tertawa
terbahak-bahak.
“Kau lupa bahwa kau tengah
berjalan bersama-sama aku!” katanya. “Ha ha ha! Kalau benar penjahat muncul,
apa gunanya busurmu itu?” Dan, terbenam dalam pengaruhnya susu macan, ia ulur
sebelah tangannya. “Coba kau perlihatkan permainanmu itu!” ia menambahkan.
Beng Kie tersenyum.
“Aku bikin tayjin ketawa
saja!” katanya. Tapi ia tidak menolak, ia turunkan busurnya untuk dihaturkan.
Pui Keng menyambutnya, ketika
ia telah pegang busur hitam legam itu, ia terperanjat sendirinya. Di luar
dugaannya, biang panah yang ia pandang enteng itu sebenarnya berat.
“Dari apa terbuatnya ini?”
tanyanya separuh mengoceh. Lantas ia menarik, tetapi ia tak kuat menariknya
hingga busur terpentang, sedang ia tahu, ia mempunyai tenaga kekuatan lima
ratus kati. Dengan sendirinya, wajahnya berubah merah, ia kaget berbareng malu,
hingga mulai sadar ia dari pusingnya akibat pengaruh arak.
“Kau….kau..”katanya suaranya
terputus-putus.
Beng Kie ambil kembali
busurnya itu, ia tertawa.
“Rupanya tayjin telah minum
arak terlau banyak hingga kau tak dapat gunakan tenagamu,” kata dia. “Siauwtee
membesarkan nyali, siawtee juga ingin mohon diberi ketika melihat busur
tayjin.”
Dalam keragu-raguan, Pui Keng
serahkan busurnya yang beratnya lima ratus kati.
Si siucay kurus itu mencekal
dengan kedua tangannya, tangan kirinya menahan bagaikan “menahan gunung
Taysan”, tangan kanannya ditarik melengkung bagaikan “mengempo bayi”, maka
sekejap saja, busur itu telah terpentang bundar bagaikan bulan penuh “bulan
purnama”.
“Sungguh bagus busur ini!”
katanya sambil memuji. Tapi ia memuji keenakan, ia menarik terus, atau
tahu-tahu. “Trak!” busur itu patah menjadi dua potong!
Hilanglah pengaruh arak di
otaknya Pui Keng.
“Siapa kau?” dia tanya dengan
bentakannya, dengan bengis.
Si mahasiswa melemparkan busur
rusak itu ke tanah, habis itu ia berdongak ke arah langit sambil tertawa
bekakakan, sama sekali ia tidak jawab teguran itu, sebaliknya, ia lari kepada
kudanya yang kecil kurus, dengan sebat ia melepaskan tambatan, terus ia lompat
naik ke bebokong binatang itu, yang terus kabur laksana terbang, meninggalkan
debu di belakangnya.
“Panah!” teriak Pui Keng
dengan titahnya.
Sejumlah serdadu taati titah
itu, akan tetapi sudah kasip, orang sudah pergi terlalu jauh, anak panah
menyambar tanpa mengenai sasarannya. Sebaliknya serangan anak panah itu seperti
undangan belaka, sebab dari sana-sini dimana terdapat semak-semak, segera
muncul sejumlah orang jahat, menyusul mana, Beng Kie juga kembali bersama
kudanya.
“Busur lihai Cuma sebegitu
saja!” kata si mahasiswa sambil tertawa di atas bebokong kudanya, tertawanya
nyaring. “Kita justeru adalah orang-orang jahat yang hendak merampas uang
angkutanmu! Beranikah kau bertanding denganku?”
Pui Keng bungkam. Ia telah
dijumput busurnya, tetapi busur itu telah patah dan tidak ada gunanya lagi.
Tapi ia mesti lindungi angkutannya, maka ia beri tanda kepada orang-orangnya
untuk siap.
Tiba-tiba terdengar tertawa
nyaring dari Beng Kie, lalu panahnya mengaung.
“Biar kamu tahu bahaya!”
katanya dengan jumawa.
Tiba-tiba satu satu hu-khoa
menjerit keras, jeritan dari kesakitan, lalu tubuhnya rubuh, karena sebatang
panah menancap di tenggorokannya sekali, jiwanya melayang segera.
Kembali si mahasiswa kurus
berseru, lagi sekali panahnya mengaung, lantas hu-khoa yang kedua rubuh
menjerit seperti rekannya tadi, tubuhnya terguling dan binasa, sebab anak panah
nancap di dadanya tembus ke bebokongnya.
Semua serdadu menjadi kaget,
dengan satu teriakan, mereka lari kabur.
“Kau juga, mari rasakan
sebatang panah!” seru Beng Kie akhirnya kepada punggawa pengantar harta besar
itu.
Dan sret!
Beng Kie mencekal busurnya, ia
menangkis, hingga terdengar satu suara nyaring dibarengi dengan meletiknya
lelatu api.
Menyusul itu kembali terdengar
suara mengaung yang kedua kali.
Bukan main kagetnya Pui Keng,
ia berkelit begitu rupa hingga ia terguling dari atas kudanya. Anak panah lewat
sedikit di atasan kepalanya.
“Habislah aku!” dia mengeluh.
Tapi anak panah yang ketiga,
yang dikuatirkan, tidak datang menyerang, apa yang terdengar adalah gelak
tertawanya si orang she Beng itu.
“Dua kali dapat kau kelit
panahku, kau boleh dibilang kosen juga!” demikian katanya. “Sekarang aku suka
memberi ampun padamu!”
Kata-kata itu ditutup dengan
satu seruan nyaring, atas mana di jalanan di muka kereta segera meluruk jatuh
banyak batu besar, batu-batu yang digulingkan dari atas gunung, mencegat
jalanan itu. Menyusul itu muncul lagi satu rombongan begal.
Pui Keng kaget dan takut, ia
gulingkan tubuhnya untuk terus lari. Ia masih dengar panah mengaung di
kupingnya, ia bersyukur, tubuhnya tidak menjadi sasaran. Dengan terpaksa ia
nelusup dalam semak-semak di dalam lembah, dari situ ia dengar suara berisik
dan kalut, sampai sekian lama barulah ia dengar merata dari tindakannya lerotan
kuda.
Akhirnya, ketika Pui Keng
muncul dari tempat sembunyinya, ia lihta sang rembulan memancar di atas langit,
di sekitarnya tidak ada orang lainnya, cuma kupingnya dengar suaranya kutu-kutu
malam saling sahut. Dengan gunakan kaki dan tangannya, ia merayap naik, sampai
di tempat tadi dimana ia tampak mayatnya kedua hu-khoa, tidak ada lain orang
lagi.
Masih ia takut, hatinya masih
goncang.
“Rupa-rupanya semua serdadu
kena ditawan musuh.” pikirnya.
Tapi disitu, di sekelilingnya,
tidak ada musuh juga.
Sekarang hatinya punggawa ini
mulai tetap, akan tetapi, setelah itu, kedukaan datang berganti. Empat puluh
laksa tail telah lenyap, itulah tanggung jawab yang berat. Hukuman yang berat
sekali akan menimpa padanya. Ia usap-usap kepalanya, ia menjadi bingung. Mau
menangis ia, tapi air matanya tidak ada.
“Sebenarnya lebih baik
berandal panah saja aku hingga mati,” pikirnya kemudian, karena pepatnya. Ia
duduk menjublak, akan awasi sang rembulan naik makin tinggi, makin tinggi.
“Tak dapat aku lolos dari
kematian,” katanya pula di dalam hati sesudah ia piker dalam-dalam. Maka ia
ambil suatu putusan, sesudah mana, ia menghela napas. Ia lantas cari selembar
tambang, ia membuat buntalan, sesudah ikat itu kepada cabang pohon, ia kalak
lehernya sendiri, lalu ia lepaskan cekalannya kepada tambang itu.
Menggantung diri adalah suatu
siksaan hebat, inilah Pui Keng rasakan ketika tenggorokannya terjirat dan
napasnya mulai susah jalannya. Untuk sedetik masih ia ingat, kenapa ia tidak
terjun ke air saja, akan lelapkan diri.
Dalam keadaan itu, habis sudah
dayanya Pui Keng, malah untuk menjerit saja, ia sudah tidak punya kemampuan. Di
lain detik, ia rasakan kedua matanya gelap, segera ia tak ingat suatu apa lagi.
Tapi tidak lama, ia rasakan tubuhnya enteng, samar-samar ia rasakan ada orang
memeluk tubuhnya, yang diangkat turun, lalu di lain saat, napasnya berjalan
pula.
Akhirnya dapatlah Pui Keng
membuka matanya, hingga ia tampak satu pemuda, yang pakaiannya terdiri atas kain
kasar, sedang berdiri di sampingnya, mengawasi dia sambil tersenyum. Ia menjadi
heran. Ia menghela napas, ia merasa lega.
“Kenapa, kau tolongi aku!” ia
tanya ketika ia sadar dari pingsannya.
“Adakah aturan untuk
menyaksikan kematian orang, tapinya tidak menolongi?” tanya si anak muda sambil
tertawa.
Masih Pui Keng mengawasi.
Setelah sadar, ia ingat kepada urusannya, kepada tanggung jawabnya. Ia menjadi
bingung pula. Ia tahu, ia mesti menghadapi hukuman berat, mungkin hukuman mati.
Bukankah ia telah dibegal habis-habisan?
“Percuma kau tolongi aku!”
katanya kemudian. Dan ia lompat bangun. Ia berniat melanjutkan membunuh diri.
“Sabar,” kata si anak mua.
“Kenapa kau bunuh diri? Katakanlah padaku.”
Anak muda ini cekal lengan
orang, sampai Pui Keng, yang hendak berontak, tidak sanggup mewujudkan niatnya
itu. Ia jadi semakin bingung, ia menjadi gelisah.
“Lepaskan aku!” ia berteriak.
Ia pun berjingkrak. “Jangan kau ganggu aku! Percuma diceritakan juga.”
Anak muda itu tertawa, ia
lepaskan cekalannya.
“Melihat romanmu, kau adalah
satu punggawa negeri,” katanya. “Ah, tahulah aku! Kau tentu sedang mengangkut
rangsum tentara, lalu kau kena dibegal! Lantas kau cari matimu sendiri!
Benarkah?”
Pui Keng heran, ia melengak.
“Kenapa kau ketahui itu?”
tanyanya sambil berjingkrak.
“Kamu tentara negeri, setiap
tahun sedikitnya dua kali kamu angkut rangsum,” sahut si anak muda. “Dan setiap
kali kamu lewat angkut rangsum, tentu kamu membuatnya ayam terbang anjing
kabur, maka siapakah yang tidak tahu?”
Pui Keng meringis.
“Karena kau sudah tahu,
sudahlah, jangan kau halangi aku,” kata dia.
Si anak muda tidak
menggubrisnya, hanya, seorang diri, dia berkata,” Meskipun kamu membuatnya ayam
terbang anjing kabur, hingga rakyat menjadi tidak aman, sedikitnya kamu telah mengangkut
rangsum tentara pelindung perbatasan, tanpat tentara tapal batas, mungkin
bangsa Tartar sudah datang menyerang, maka itu pikirku, masih lebih baik kau
jangan cari mampusmu sendiri.”
Heran Pui Keng, dari
mengawasi, ia sambar lengan orang. Akan tetapi ia menyambar sasaran kosong.
“Kau bikin apa?” tanya si anak
muda.
“Kau siapa?” bentak punggawa
itu. “Darimana kau ketahui barangku dirampas begal?”
Anak muda itu tersenyum.
“Aku adalah penduduk tani di
tanah pegunungan ini,” dia menyahut. “Tadi malam aku saksikan lewatnya
serombongan berandal. Mereka itu menggiring banyak kereta serta sejumlah
serdadu tawanan, mereka lewat di depan rumahku, mereka menuju ke arah gunung.
Aku bukannya si tolol, menampak keadaan, mustahil aku tidak dapat menerka?”
Pui Keng anggap benar juga.
“Apakah kau tahu dimana
sarangnya kawanan berandal itu?” dia tanya.
“Aku bukan koncohnya berandal,
mana aku tahu?”
Pui Keng melengak.
“Ya, taruh kata aku tahu
sarang berandal itu, apa yang aku dapat berbuat?” pikirnya kemudian. Karena
ini, timbul pula kenekatannya.
“Biarlah aku cari kematianku!”
ia berseru.
Si anak muda mengawasi.
“Jikalau barangmu didapat
kembali, kau tentu tidak akan mencari mati, bukankah begitu?” tanya dia.
“Mencari barangmu ada lebih berharga daripada cari mati, maka baiklah kau cari
barangmu itu! Bukankah itu uang?”
Dengan tiba-tiba saja, Pui
Keng ingat suatu apa. Ia sadar.
“Aku kuat pentang busur
seberat lima ratus kati, itu artinya tenagaku ada di atas tenaga sembarang
orang,” demikian ia berpikir,”akan tetapi barusan dia cekal aku, aku tidak
mampu berontak, sebaliknya dia, tak dapat aku sambar tangannya. Mestinya dia
bukan sembarang orang.”
Kalau tadi dia sangat jumawa,
sekarang dia isnyaf. Tanpa merasa, dia beri hormat sambil menjura pada anak
muda itu.
“Aku Pui Keng, insyaf bahwa
kepandaianku tidak berarti,” dia akui. “Memang aku tidak sanggup melawan
kawanan berandal itu. Hiapsu, sukakah kau menolong jiwaku?”
Tanpa ragu-ragu lagi, ia
memanggil hiapsu (orang gagah) terhadap pemuda itu.
Si anak muda tertawa
terbahak-bahak.
“Siapa kata aku satu hiapsu?”
katanya. “Aku adalah orang sesama kampungku, mereka bisa tertawa
terpingkal-pingkal hingga sakit perutnya.”
Pui Keng menjadi putus asa.
Tapi, masih ia mengharap.
“Melihat kau, yang harus
dikasihani,” kata si anak muda kemudian, sebelum orang sempat bicara, “aku suka
memberi petunjuk pada jalan terang padamu.”
Mendengar ini, terbangunlah
harapan si punggawa.
“Silahkan, tunjukkan aku
jalan, hengtay,” katanya. Sekarang ia ubah bahasa panggilannya. (Hengtay =
kakak yang mulia)
“Sabar,” kata si anak muda.
“Aku sendiri tidak dapat menolong kau, aku cuma ingin memberi petunjuk. Tidak
jauh dari sini ada seorang luar biasa, apabila kau mohon pertolongannya dan dia
suka membantu, tentu sekali kau akan mendapatkan barangmu kembali.”
“Siapa she dan namanya orang
luar biasa itu, hengtay?” tanya Pui Keng. “Dimanakah tinggalnya? Maukah hengtay
memberitahukan kepadaku?”
“Tentu sekali,” sahut si anak
muda. “Hanya ingin aku beritahu juga, karena dia ada seorang luar biasa, luar
biasa juga perangainya. Kau tahu, bila dia mengetahui bahwa kau menanyakan she
dan namanya, pasti kau bakal kehilangan nyawamu.”
Kaget Pui Keng hingga dia
melongo.
“Sulit kalau begitu,” katanya.
“Baiklah, nanti aku tidak cari tahu tentang dia. Aku minta hengtay saja yang
perkenalkan aku dengannya.”
“Apakah kau sangka urusan
sedemikian gampang?” si pemuda tegaskan.
Kembali Pui Keng melengak.
“Habis bagaimana?” dia tanya.
Anak muda itu tersenyum. Dia
pungut tambang di tanah, yang tadi Pui Keng pakai untuk gantung diri.
Pui Keng tidak mengerti, dia
mengawasi.
“Kau mesti sekali lagi mencari
mati!” kata si anak muda.
“Besok pagi-pagi kau berangkat
dari sini, pergi kau ke lembah sebelah barat sana sampai jauhnya tujuh atau delapan
lie, sampai kau lihat sebuah rimbah pohon toh yang bercampur dengan pohon bunga
lainnya. Itulah Ouw Tiap Kok, lembah kupu-kupu. Kira-kira seratus tindak ke
muka hutan pohon toh itu ada sebuah batu besar, yang warnanya merah hingga
mudah dikenal. Kau mesti sembunyi di batu itu sebelumnya matahari terbit. Orang
luar biasa itu tinggal di belakang hutan toh itu, tidak dapat kau lantas
menemui dia untuk mohon pertolongan. Biar kau lihat orang, tidak boleh kau
keluar dari tempatmu sembunyi, kecuali bila sinar matahari sudah keluar di
celah-celah tempat kau sembunyi itu sambil kau memasang mata. Kau mesti cari
sebuah pohon toh, di situ kau mesti berpura-pura menggantung diri. Namanya
berpura-pura, sebenarnya kau mesti gantung dirimu seperti barusan kau telah
melakukannya. Nanti orang luar biasa itu akan menolongi kau. Ingat, jangan kau
kalak diri tanggung-tanggung, mesti secara sungguh-sungguh. Aku pesan, kalau
orang itu bertanya, jangan sekali-kali kau menyebut aku yang memberi petunjuk
kepadamu!”
Pui Keng bersangsi.
Si anak muda mengawasi, dia
tertawa.
“Bisa atau tidaknya kau
menolong jiwamu, itu bergantung pada untungmu kali ini,” katanya. “Sekarang kau
tidurlah, aku hendak pergi”
“Eh, hengtay, tunggu
sebentar,” kata Pui Keng setelah bersangsi sesaat. Dia sambar tangan orang,
untuk ditarik, akan tetapi dia telah kehilangan pemuda itu, yang menyingkir
dengan sangat cepat.
Segera punggawa itu berpikir.
“Kata-katanya si anak muda ini
aneh,” demikian pikirnya. “Daripada mesti mati terhukum, lebih baik aku turut
nasihatnya itu, aku coba.”
Dengan lantas ia ambil
putusan. Untuk menaati nasihat itu, supaya bisa menjaga waktu, ia tidak berani
tidur. Ia lewatkan malam dengan gadangi sang rembulan. Begtu putri malam mulai
condong, ia lantas berangkat ke arah barat. Beberapa lie ia telah jalan,
rembulan mulai sirna, tinggal bintang-bintang yang berkelap-kelip, tetapi di
samping itu, samar-samar sang fajar mulai muncul. Lagi dua lie, cuaca sudah
mulai agak terang.
Sekarang Pui Keng dapat
mencium harumnya bunga, hingga pikirannya jadi terbuka. Benar-benar ia lihat
banyak pohon toh di sebelah depan, di antaranya ada banyak macam pohon bunga,
merah dan putih campur aduk. Dan benar, di depan rimbah toh itu, ada sebuah
batu besar, yang berwarna merah darah, tingginya kira-kira tiga orang berdiri.
Batu besar itu bercelah, yang muat satu tubuh manusia. Tanpa sangsi lagi, Pui
Keng hampiri batu itu, terus ia sembunyikan diri, tetapi matanya dibuka lebar,
dipakai mengintip. Hatinya bekerja berdebar-debar. Sambil menanti ia pikirkan
kata-kata si anak muda, benar atau tidak, berbukti atau tidak.
Sekian lama waktu telah lewat,
tidak ada gerakan apa-apa di situ. Pui Keng sabarkan diri, ia menanti terus.
Cuaca telah menjadi semakin terang. Masih ia menanti, sampai ia tampak sinar matahari
muncul dari remang-remang merah menjadi merah, memberi pemandangan dari
keindahan alam. Tanpa merasa, banyak kupu-kupu muncul dan terbang berseliweran,
seperti memain di antara bunga-bunga.
Biar ia seorang militer, yang
umumnya dianggap kasar, Pui Keng tertarik pada keindahan itu, hingga ia
mengawasi dengan tersengsam.
Sebentar lagi, cahaya matahari
mulai menembus hutan toh itu.
Matanya Pui Keng seperti
terang, ketika mendadak, ia tampak satu orang di antara bunga-bunga itu, ialah
satu nona muda dengan baju dan kunnya berwarna putih, hingga si nona mirip satu
dewi. Tak tahu ia, dari mana munculnya anak dara itu.
Selagi mengawasi, Pui Keng
heran atas kelakuan si nona. Nona itu menggerak-gerakkan tangannya, lalu
pinggangnya, habis itu ia lari mengitari pohon-pohonan, terus dia berlari-lari,
makin lama makin keras, hingga akhirnya, punggawa itu seperti kabur
penglihatannya. Karena ia mengawasi terus, ia seperti merasa tubuhnya turut
lari berputar-putar. Benar di saat ia mulai pusing, nona itu berhenti berlari,
tetapi dia bukan berhenti untuk beristirahat, perlahan-lahan dia hampirkan
sebuah pohon, dan dengan sekonyong-konyong lompat mencelat naik ke atas, guna
berlompatan pula, dari pohon yang satu ke pohon yang lain, gerakannya cepat
bagaikan burung terbang, gesit seperti kera.
Karena kagumnya, Pui Keng
mengawasi dengan mulut ternganga.
“Benarkah dia ini si orang
luar biasa seperti dikatakan si pemuda?” akhirnya dia menduga-duga.
Selagi mengawasi terus, Pui
Keng lihat si nona lompat turun, tangan bajunya melayang, tertiup angin, hingga
nona itu bagaikan dewi tengah menari.
Berbareng dengan turunnya si
nona, bagaikan tertiup angin musim semi, bunga-bunga to itu pada rontok,
melihat mana, si nona tertawa panjang, dengan tangan bajunya ia mengebut ke
arah rontokan bunga, hingga banyak bunga yang teraup masuk ke dalam tangan
bajunya itu!
Pui Keng menjadi menjublak.
“Apakah benar di kolong langit
ini ada nona begini elok?” dia tanya dirinya sendiri.
Rombongan kupu-kupu, yang tadi
terbang pergi karena aksinya si nona, sekarang datang pula, akan bermain di
antara pohon-pohon bunga itu, menampak demikian, si nona mengebut dengan tangan
bajunya dan rontokan bunga tadi terbang berhamburan, mengenai banyak kupu-kupu,
yang menerbitkan suara dan rubuh.
Pui Keng heran dan kagum. Ia
tidak sangka, rontokan bunga bisa dipakai sebagai senjata rahasia. Ia pun
berkasihan terhadap kupu-kupu itu, yang ia sangka rubuh binasa, tidak tahunya,
selang beberapa saat, semua kupu-kupu itu mengerakkan tubuhnya dan terbang pula.
“Oh, kupu!” kata si nona.
“Kasihan, aku menyebabkan kamu kaget, aku telah mengganggu padamu.” Dan dia
tertawa merdu. Habis itu, dia bertindak pergi, akan masuk ke dalam rumah kecil.
Berbareng dengan itu, Pui Keng
terperanjat. Kalau tadinya ia berhati lega, sekarang hatinya menjadi tegang.
Sebab berbareng dengan itu, sinar matahari pun menyerang ke celah-celah batu
tempat ia mengintai.
“Tepat benar dugaan si anak
muda,” pikir ia. “Baru si nona masuk atau matahari menyerbu ke celah-celah
ini.”
Sekalipun ia masih ragu-ragu
Pui Keng toh keluar dari tempat sembunyinya. Ia tahu benar, inilah saatnya ia
mati atau hidup. Ia berlaku sebat, ia hampirkan sebuah pohon, untuk naik ke
atasnya, guna mengikat tambang, buat mengalak lehernya, setelah mana ia gantung
diri.
Lagi sekali punggawa yang
bercelaka ini rasakan lehernya sakit dan terkancing, ia mulai susah bernapas.
Selagi berbuat begitu, ia mengawasi ke arah rumah, ia harap si nona muncul,
untuk menolongi padanya. Celakanya, untuk menjerit, ia sudah tak punyakan
kemampuan.
“Mati aku sekarang!” keluhnya,
matanya berkunang-kunang. Maka ia menyesal bukan main, ia antarkan jiwa
percuma. Dalam keadaaan seperti itu, masih sempat ia menduga apa bukannya si
anak mudah telah permainkan padanya.
Lalu kedua kakinya seperti
berjingkrakan, sampai bunga-bunga pada rontok.
Karena ia bergerak, lehernya
terjerat semakin keras, hingga matanya gelap, pikirannya lenyap. Di saat itu,
ia masih merasa seperti ada angin meniup tubuhnya, lalu ia rasakan lehernya
lega, sampai ia sanggup bernapas pula. Kemudian, ia buka mulutnya tetapi belum
dapat ia berbicara.
Berbareng dengan pulihnya
napasnya, Pui Keng buka kedua matanya maka di depannya ia tampak si nona cantik
tadi, yang sedang mengawasi padanya.
“Terima kasih,” ia mengucap dengan
perlahan, karena ia tahu, pasti si nona cantik tadi, yang sedang mengawasi
padanya.
“Terima kasih,” ia mengucap
dengan perlahan, karena ia tahu, pasti si nona cantik tadi, yang sedang
mengawasi padanya.
Dengan sinar mata yang tajam,
nona itu masih mengawasi.
“Eh, punggawa perang, mengapa
kau nekat?” tanyanya sambil menatap terus.
Pui Keng memberi hormat sambil
paykui.
“Aku sedang dalam kesulitan
besar,” sahutnya. Dan ia tuturkan pembegalan harta antaran yang besar sekali
itu. “Menurut undang-undang tentara, aku dapat dihukum picis.”
Nona itu kerutkan alisnya.
Tiba-tiba ia kibaskan tangannya.
“Itulah urusan yang tak dapat
aku mengurusnya!” katanya.
Pui Keng kaget, hatinya
tegang. Ia sambar kun si nona.
“Tolong aku, nona,” katanya
terus ia menangis,” aku masih mempunyai ibu yang sudah tua serta anak yang
masih kecil, jikalau kau tidak menolongi aku, tiga jiwa yang penasaran akan
melayang bersama.”
Nona itu berpaling.
“Benarkah itu?” dia tanya.
“Jikalau aku mendusta, biarlah
aku digantung pula,” sahut Pui Keng.
Air muka si nona berubah
menjadi keren.
“Kebetulan aku niat cari
mereka, baiklah, aku nanti coba mencampuri urusanmu ini!” katanya kemudian.
Pui Keng girang tak kepalang.
“Terima kasih, nona, terima
kasih!” katanya sambil manggut-manggut.
“Eh, kau bikin apa?” nona itu
menegur. “Aku bukannya orang mati, mau apa kau manggut-manggut tak hentinya?
Ah, apakah kau ingin merasai pula enaknya orang gantung diri? Ya, siapakah yang
menganjurkan kau datang minta bantuanku?”
“Tidak, tidak ada yang
menganjurkan,” Pui Keng menyangkal. Ia ingat baik pesan orang.
“Berapa kali sudah kau mencoba
menggantung diri?” si nona tanya
“Baru kali ini,” punggawa itu
menyangkal pula.
“Memangnya sebenarnya, aku
peduli apa kau sudah gantung dirimu berapa kali!” katanya pula.
Mendengar ini, tercekat
hatinya Pui Keng. Baiknya si nona segera tambahkan kata-katanya itu.
“Telah aku katakan, aku hendak
menolongi kau,” katanya,” tidak perduli ada orang telah tunjukkan kau jalan,
aku toh an menolong kamu. Menggantung diri itu tidak enak, lain kali jangan kau
mencoba pula.”
Lantas ia tertawa dengan manis
sampai dua kondenya memain.
Menurut Pui Keng, nona ini
baru berumur enam atau tujuh belas tahun, yang tampak dari wajahnya yang masih
kekanak-kanakan, tanpa merasa ia jadi berkuatir. Ia sangsi. “Dapatkah nona muda
belia ini, seorang diri melawan kawanan berandal yang besar jumlahnya?”
Tapi si nona tak beri
kesempatan akan dia berpikir banyak.
“Nah, mari kau turut aku!” dia
mengajak.
Pui Keng berbangkit, dia ikut
memasuki rumah kecil.
“Kau tentu telah lapar, mari
dahar dulu daging harimau,” kata si nona itu.
Belum Pui Keng menyahuti, atau
ia sudah terperanjat. Di pojok ia tampak seekor harimau besar sedang rebah.
Si nona lihat orang kaget.
“Itulah bangkai harimau!”
katanya sambil tertawa. “Mengapa kau takut? Apa kau dapat keset kulit harimau?”
“Pernah aku lihat pemburu
melakukannya,” jawab Pui Keng.
“Kalau begitu, coba kau tolong
kesetkan,” kata si nona. “Tadi aku lihat tendangan kau kepada pohon toh, kau
tentu kuat angkat harimau ini yang beratnya tiga ratus kati.”
Pui Keng hera. Tidak aneh si
nona bisa rubuhkan harimau, tapi ia tidak mengerti si nona dapat menerka
kekuatan tendangannya tadi cuma dengan melihat saja.
“Benar, dia satu ahli silat,”
pikirnya.
Tidak lama, sehabis dahar
daging harimau, Pui Keng lihat sang waktu sudah tengah hari.
Dari tembok, si nona turunkan
sebatang pedang.
“Mari turut aku, kita pergi
cari si orang jahat,” dia kata. “Kita minta kembali uangmu itu.”
Pui Keng menurut.
Mereka mendaki gunung sampai
di tempat yang rimbanya lebat dan di kedua pihak terdapat puncak-puncak yang
tinggi. Di situ ada sebuah guha, yang menghadap tanah datar lebar.
“Mungkin ini ada tempat dimana
penjahat menyimpan harta itu,’ kata si nona. “Mari!”
Dan ia maju terus.
Pui Keng pun ikut nona itu.
Belum jauh mereka maju, atau
tiba-tiba.
“Tahan!”
Dan menyusul itu, dari antara
semak-semak lompat keluar dua orang dengan masing-masing memegang sebatang toya
di tangannya, malah dengan senjata panjang itu, mereka sudah lantas
mengemplang. Hebat serangan itu.
Nona itu lompat ke samping,
kedua pentungan itu menyerang tempat yang kosong. Sambil lompat, nona itu
gerakkan tangannya, atas mana, dua orang itu nyelonong ngrusuk, pertama karena
serangan mereka hebat, kedua toya mereka kena ditarik. Keduanya rubuh
terbanting dan terus terjengkang, keempat kaki mereka menjulang ke atas.
“Hm!” si nona mengejek, ia
tertawa dingin. Lalu, tanpa menoleh lagi, ia maju terus, dengan berlari-lari.
Di depan guha terdapat banyak
batu-batu besar yang malang melintang, dengan tongkrongannya agak mirip dengan
singa atau harimau atau kuda atau kerbau, yang mengitari sebuah tanah lapang
dan rata.
Tanpa ragu-ragu nona itu lari
masuk ke dalam tanah lapang itu, yang mirip dengan barisan batu rahasia.
“Tahan!” mendadak terdengar
pula bentakan nyaring.
Itulah bentakannya dua orang,
sebab dari belakang batu-batu besar, muncul dua orang dengan serangan golok dan
tombak mereka kepada dada dan lutut.
Dengan berlompatan, si nona
mengelak, kedua tangannya pun dikibaskan.
“Tak dapat kamu mencegat aku!”
katanya dengan tawar. Ia tertawa.
Dua penyerang itu tidak rubuh
ngusruk seperti dua kawannya tadi, tapi mereka tercengang, hingga mereka diam
menatap.
“Mari!” si nona menggape, kepada
Pui Keng. “Kau adalah pemilik harta, tanpa kau datang, kepada siapa harus aku
kembalikan uang itu?”
Pui Keng belum masuk ke dalam
lapangan itu, mendengar suara si nona, ia besarkan hati, ia bertindak maju.
Justeru waktu itu, si nona
sudah tempur dua penyerang yang pertama, yang dibantu dua kawannya, yang muncul
belakangan, yang bersenjatakan golok dan tombak. Si nona tidak hunus pedangnya,
ia hanya berkelahi dengan tangan kosong, karenanya ia banyak berkelit atau
lompat menyingkir, tubuhnya lincah sekali, hingga ia mirip kupu-kupu di antara
bunga-bunga atau capung bermain di air.
Pui Keng mengerti silat,
tetapi mengawasi gerakan si nona, ia tidak berani mengawasi terus-menerus.
Dengan cepat matanya berkunang-kunang dan kabur. Ia mesti mengaso sebentar,
baru berani mengawasi pula.
Setelah bertempur sekian lama,
si nona berseru, tangannya menyambar lawannya yang kiri, yang bersenjatakan
tombak. Lawan itu berada di sebelah depan kawannya.
Melihat itu, tiga kawannya
yang lain segera datang. Yang maju terdepan adalah kawannya yang kanan, yang
mencekal golok, disusul yang kiri, yang menggenggam tombak, lalu yang memegang
toya.
Orang yang diserang itu kaget,
untuk membela dirinya, dia jatuhkan dirinya bergulingan. Si nona tidak dapat
menyusul, sebab tiga senjata datang saling-susul, maka dia menyambut dengan
mendahului kakinya. Penyerang itu terpaksa lompat mundur.
Kembali si nona kena dikurung,
tapi ia tidak berada dalam bahaya. Ia malah waspada, hingga ia lihat satu orang
berdiri di antara batu sedang menarik busur mengarah padanya.
Pui Keng pun lihat orang itu
ialah Beng Kie yang kemarin ini mematahkan busurnya, karena kagetnya, ia
berteriak,”Awas panah gelap!” Tapi belum sampai ia menutupm mulutnya, atau
busurnya si mahasiswa kurus sudah menjepret dan anak panahnya melesat.
Seperti juga ia tidak melihat
bokongan, si nona tetap melayani musuh-musuhnya, akan tetapi ketika panah itu
sampai, dengan tenang ia menyambuti dengan tangannya.
Panah Beng Kie yang kedua
sudah segera menyambar pula.
Gentar hatinya Pui Keng, ia
sangat berkuatir pada si nona dalam kurungan musuh, ia insyaf si kurus, sebagai
ahli panah, pandai melepaskan tanah beruntun. Itulah berbahaya.
Tapi si nona walaupun sedang
repot, ia masih dapat sanggapi panah yang kedua ini, tapi ia bukan sanggapi
dengan tangan, hanya dengan panah di tangannya, yang ia pakai menimpuk, hingga
dua anak panah bentrok satu pada lain, lalu mental dan jatuh ke tanah.
“Bagus!” teriak Pui Keng, yang
lupa pada kagetnya.
Panah yang ketiga yang sudah
meleset pula, sasarannya adalah tenggorokan si nona, hingga punggawa itu
menjadi terkejut pula.
Kali ini si nona tidak gunakan
tangannya, ia hanya sambuti anak panah itu sambil membuka mulutnya, guna
menggigit panah itu. Sebab ia gunakan kepandaiannya yang paling lihai dalam hal
menyanggapi panah.
Baru sekarang, setelah
dibokong beruntun, si nona perlihatkan roman murka.
“Kehormatan tidak dibalas
kehormatan adalah terlalu!” katanya nyaring, lalu tangan kirinya dipakai
menyambit dengan enam batang senjata rahasia yang romannya mirip dengan bunga
bwee.
II
Pui Keng belum melihat nyata
akan tetapi kupingnya telah mendengar jeritan saling susul, sesudah mana ia
dapat kenyataan, kecuali Beng Kie si kurus itu, empat lawan si nona telah rubuh
semua. Beng Kie sendiri dapat mengelakkan diri dua kali dari dua batang senjata
rahasia si nona itu.
“San-hoa Lie-hiap, namamu
masyhur tidak kecewa!” demikian ia berseru setelah ia mendapat serangan
pembalasan.
Menyusul pujiannya Beng Kie
itu, empat lawan yang tadi menjerit dan rubuh, telah lompat bangun pula dengan
masing-masing tangannya menggenggam senjata rahasia yang dipakai menyerang
mereka, sambil bangkit berdiri hampir berbareng mereka berkata,” Kami
menghaturkan terima kasih untuk kebaikan liehiap! Kami semua takluk!”
Nyata mereka telah terserang
senjata rahasia yang digunakan dengan ilmu Thian-lie san-hoa (Puteri kayangan
menyebar bunga), mereka terkena jalan darah begitu rupa, hingga setelah rubuh
dan beristirahat sebentar, lantas mereka sadar pula akan dirinya, karena mana
mereka jadi insyaf bahwa si nona telah berlaku murah hati terhadap mereka. Maka
mereka mengucap terima kasih.
Nona berbaju putih itu
tersenyum.
“Kiranya kamu sedang
mencoba-coba aku, untuk mengetahui aku siapa!” berkata dia. “Sekarang tentunya kamu
suka mengembalikan hartanya sahabat ini, bukan?” tanyanya sambil menunjuk Pui
Keng.
Beng Kie menunjuk ke arah
guha.
“Sayang kamu datang
terlambat!” katanya. “Sekarang harta itu sudah dibawa pindah!”
Padam wajah si nona. Baru ia
hendak menanya, si kurus telah dahului dia.
“Kamu mesti melakukan
perjalanan lebih jauh!” katanya. “Untuk itu kami telah menyediakan kudanya. Pui
Tayjin, tadi malam au telah merasakan kaget.”
Merah muka Pui Keng.
“Kalau begitu, hendak aku
mengunjungi ceecu kamu,” kata si nona, yang menyebut-nyebut nama pemimpinnya
(ceecu). “Nah, mari, kita berangkat sekarang!”
Beng Kie perdengarkan suitan
mulut yang nyaring, atas mana dari belakang batu keluar seorang dengan menuntun
empat ekor kuda.
Tanpa berkata suatu apa, si
nona lompat naik ke atas seekor kuda, dan segera pula ia ikuti pengantarnya,
yang pun telah naik kudanya seperti ia, begitupun Pui Keng.
Mereka lakukan perjalanan di
gunung yang sukar, kuda mereka dilarikan keras, hingga si punggawa, sekalipun
dia serang peperangan, hatinya goncang juga. Syukur baginya, keempat ekor kuda
itu, sudah biasa dengan jalanan itu, mereka lari tetap di tanah datar.
Mereka berlari-lari sampai
matahari sudah berada di atas kepala mereka, lalu Beng Kie sambil mengayun
cambuknya, menunjuk dan berkata,”Di bawah ini ada kota Gan-bun-kwan. Teng
Congpeng telah bersiap-siap untuk besok membayar gaji, karena uangnya tidak
ada, sekarang entah bagaimana sibuknya dia.”
Pui Keng heran.
“Apakah kita sudah melalui
Gan-bun-kwan?” tanyanya. “Apakah kamu bukannya orang-orangnya Kim Too Ceecu
dari rombongan Jit Goat Kie?”
“Kau cuma tahu uangmu apa, tak
usah kau banyak tanya!” Beng Kie senggapi.
Pui Keng terdiam, hatinya
memukul. Di dalam hatinya dia berpikir,”Si bangsat tua Kim Too Ceecu itu tidak
biasanya merampas angkutan negara, kenapa kali ini dia tentangi kebiasaan itu?
Inilah hebat, sebab sebegitu jauh aku tahu, Kim Too ada bangsat tak takut
langit tak jeri bumi, sampai tentara Beng dan pasukan Tartar juga tidak berani
mengganggu padanya. Jikalau dia kehendaki harta besar itu, pastilah aku tidak
akan mendapat kembali angkutanku itu. Jangan-jangan kepergian ini lebih banyak
bahayanya daripada kebaikannya.”
Kuda berlari-lari terus sampai
mereka tiba di suatu tempat terbuka yang merupakan tanah subur, di sana ada
sawah-sawah dimana terdapat sejumlah orang tani yang tengah bekerja. Dilihat
sepintas lalu, tempat itu miripdengna apa yang disebut dongeng To Hoa Goan
(Sumber Bunga Toh).
“Disini tentu adalah sarang
kawanan Kim Too itu.” Pui Keng menduga-duga.
Masih kuda dilarikan terus,
sekarang di jalan pegunungan, sebab di kedua tepi ada lamping gunung dimana
sering-sering terlihat bayangan orang berkelebat begitupun berkibarnya
bendera-bendera.
Tidak lama kemudian, sampailah
mereka di muka pesanggrahan.
Benteng berandal itu, dengan
didampingi gunung, nampaknya bagus dan kuat. Disitu ada sarang berandal tapi
suasananya tenang.
Dengan pikiran ragu-ragu Pui
Keng, yang telah turun dari kudanya, ikut si nona berjalan kaki. Si nona telah
mendahului dia turun dari kuda, ia meniru perbuatan pengantar mereka.
Segera juga ada orang yang
papak mereka, untuk memimpin masuk ke dalam pesanggarahan dimana lantas
terdengar suara genta yang nyaring serta ramainya bunyi tambur dan terompet
tanda penyambutan.
Pintu pesanggarahan sudah
lantas dipentang lebar-lebar, disitu lantas tampak dua baris serdadu berandal
lengkap dengan alat senjata mereka, golok dan tombak yang berkilauan, sedang
seragam mereka mentereng.
Disambut secara demikian
garang si nona berbaju putih perlihatkan wajah berseri-seri, seperti juga bukan
menghadapi ancaman, ia bertindak tenang.
Pui Keng sebaliknya beda dari
si nona, walaupun ia seorang peperangan, cuma dengan tabahkan seberapa bisa,
bisalah ia ikuti teladan si nona, mengikuti nona itu terus sampai di
tiong-tong, ruang tengah, dari sarang berandal itu.
Di dalam ruang telah diatur
rapi meja serta kursi-kursinya yang berlapis kulit harimau, tetapi disitu tidak
ada orang yang menyambut atau menantikan. Artinya ruang itu adalah ruang
kosong.
Menampak demikian, si nona
memperlihatkan roman tak puas.
“Mana ceecu kamu?” tanyanya
dengan suara tak senang.
Beng Kie tersenyum. Dia tidak
menjawab, hanya dua orang, yang tubuhnya tegap, lantas menyingkap tirai untuk
bertindak keluar sambil membawa satu guci arak yang besar serta nampan terisi
makanan.
Guci itu bersinar kuning
keemasan, rupanya terbuat dari tembaga dan beratnya mungkin ada lima sampai
tujuh puluh kati. Sedang barang hidangannya, asapnya masih mengepul-ngepul,
tapi pada tiap dagingnya ada ditancapkan pisau belati yang tajam mengkilap.
Kedua orang itu segera membuka
mulutnya, sambil menjura, yang satu berkata dengan nyaring,”Tamu agung datang
dari tempat yang jauh, menyesal kami tidak dapat menyuguhkan apa-apa, maka itu
silahkan minum barang satu cawan arak!”
Kata-kata itu belum diucapkan
habis atau orang itu sudah melemparkan guci araknya, dilemparkan kepada tetamu
yang agung itu.
Si nona tidak jadi gentar
hatinya, wajahnya pun tidak berubah.
“Jangan sungkan!” sahutnya
sambil mengangkat tangannya, sedang tubuhnya digeser ke samping. Dengan cara
itu dia sambuti guci arak, gucinya tidak miring, isi araknya tidak tumpah.
Sedang menurut perkiraan, timpukan orang itu ditaksir ada dua tiga ratus kati
beratnya.
Si nona tersenyum, dia
tundukkan kepalanya, akan irup arak dari guci itu.
“Sungguh arak yang wangi, arak
yang wangi!” dia memuji.
Kedua orang itu menjadi kaget,
tapi yang di belakang, yang membawa barang hidangan, menjadi penasaran.
“Nah inilah temannya arak!”
dia berseru, menyusul mana, sebatang pisau belati melayang, menyambar si nona.
Si nona tersenyum. Dia tidak
berkelit atau menangkis, hanya, membuka mulutnya, dia tanggapi pisau belati
itu, untuk digigit, setelah mana, dia buka pula mulutnya, akan semburkan pisau
itu, yang terus melesat ke atas, nancap di penglari.
Kedua orang itu heran dan
kaget, muka mereka menjadi pucat. Mereka saling memandang dengan menjublak.
“Nah ini aku balas arak satu
cawan pada kamu!” kata si nona, suaranya keras, tangannya yang memegang guci
segera digerakkan. Maka guci itu lantas melayang ke arah kedua orang itu,
hingga mereka terkejut dan ketakutan bukan main. Mereka terpagut untuk berkelit
atau menyingkir.
Di saat yang sehebat itu,
mendadak satu anak muda lompat keluar, sebelah tangannya digerakkan, guna
menyambut guci yang dibantu dengan gerakan sebelah kakinya, lalu diturunkan
dengan perlahan-lahan hingga guci tidak terbalik, araknya tidak tumpah.
“Hai, dua kutu!” bentak si
anak muda itu. “Untuk melayani tetamu saja kamu tidak becus, tapi masih kamu berani
lama-lama berdiri di sini!” Habis berkata, terus dia hadapi si nona, untuk
memberi hormat, untuk terus berkata,”Maaf, maaf, nona!”
Ketika Pui Keng lihat si anak
muda, ia terkejut, hatinya tercekat. Dia kenali si anak muda yang telah
menolongi jiwanya tadi malam, yang menasehati dan menganjurkan dia mohon
bantuan si nona, si orang luar biasa, cuma kalau tadi malam orang dandan
sebagai orang tani, sekarang ia dandan sebagai satu pemuda hartawan atau
terpelajar, sikapnya halus.
“Kau lihai, kongcu!” kata si
nona, yang membalas hormat.
Kedua orang itu, dengan tangan
mereka diturunkan, menyapa pemuda itu dengan berkata,”Siauw-ceecu!”
Itulah tandanya pemuda itu
adalah ceecu atau ketua mereka, yang muda.
Setelah unjuk hormatnya itu,
sambil tertawa, si nona tambahkan,” Nah, sekarang barulah aku bertemu orang
yang tepat! Aku mohon sukalah siauw-ceecu mengembalikan harta angkutan sahabat
ini!”
“Uang sejumlah itu, tak
usahlah dibuat pikiran,” sahut si anak muda. “Nona, silahkan duduk!” Terus ia
memanggil,” Mana orang?” Segera ia melirik pada Pui Keng, yang ia silahkan
duduk juga, hanya selagi melirik, matanya memain, mata itu mengandung arti. Ia
seperti hendak berkata,”Kau lihat, petunjukku toh tidak keliru!”
Pui Keng duduk menjublak, ia
benar-benar tidak mengerti.
“Kalau si anak muda ada
pemimpin berandal yang muda, kenapa ia begal angkutanku dan berbareng juga
menolong padaku? Kenapa anak muda itu membuatnya hingga si nona baju putih
datang ke sarang berandal itu? Adakah itu tipu daya belaka dari si anak muda?”
demikian ia ragu-ragu. Ia pun kuatir sekali, karena mereka berada dalam sarang
harimau, di dalam dan di luar ada banyak musuh.
Punggawa ini tidak usah
menantikan lama atau datang orang-orang yang mengangkut harta yang menjadi
tanggung jawabnya itu, hingga harga itu bertumpuk di lorak.
“Sungguh kau baik,
siauw-ceecu!” memuji si nona. “Terima kasih!”
Anak muda itu tertawa.
“Eh, tunggu dulu!” katanya.
Si nona tercengang.
Satu berandal sudah lantas
tancapkan bendera pada tumpukan harta, itulah bendera dengan matahari merah
serta bulan sabit. Itulah Jit Goan Kie, bendera Matahari dan Rembulan, tanda
dari kawanan di atas gunung itu.
Anak muda tersenyum, lalu dari
atas meja ia angkat poci arak yang kecil, ia tuang isinya ke dalam dua cawan,
sesudah mana, cawan yang satu segera ia tenggak. Habis minum ia tertawa.
“Jumlah uang empat puluh laksa
tail ini benar tak usah dibuat pikiran, tetapi bendara Jit Goat Kie berharga
mahal bagaikan harga sebuath kota!”katanya.
Kedua mata si nona menyapu
sekitarnya hingga ia tampak banyaknya kawanan berandal di dalam ruang itu,
mereka itu tenang tetapi terang sekali mereka semua memperhatikan padanya.
Tentu saja ia measa heran hingga rasa heran itu tertera pada wajahnya.
“Apakah artinya kata-katamu
ini, siauw-ceecu?” dia tanya.
Pemuda itu tidak lantas
menyahuti, ia hanya tersenyum pula.
Si nona berpikir, ia seperti
ingat suatu apa.
“Oh, ya, bendera ini adalah
bendera rombonganmu,”katanya. “Memang bendera ini mahal yang tak dapat diukur
dengan uang puluhan ribu tail! Tapi, apakah hubungannya dengan urusan kita?”
Anak muda itu menjawab, dia
hanya tertawa. Sebaliknya hampir semua berandal telah perlihatkan roman dari
kemurkaan.
Pui Keng dengar semua
pembicaraan ini, ia saksikan sikapnya si anak muda dan romannya kawanan
berandal itu, ia berkuatir bukan main, hingga di dalam hatinya, ia mengeluh.
“Nona ini benar lihai ilmu
silatnya,” ia berpikir,” tapi ia adalah satu anak dara yang mirip dengan anak
pitik, buktinya, tanda-tanda dari kaum kangouw, ia tidak mengerti sama sekali!
Bendera ditancap berarti “jikalau kau mempunyai kepandaian untuk mencabutnya,
baru harta itu kau boleh ambil, jikalau tidak, baiklah kau mundur!” Terang
inilah satu tantangan, maka kali ini, bahaya sungguh mengancam!”
Si nona ulangi pertanyaannya,
ia tetap tidak peroleh jawaban, karena mana, wajahnya berubah menjadi merah,
suatu tanda ia sudah mulai habis sabar. Begitulah, dengan alis berdiri, ia
bangkit.
“Harta telah ada di sini,
masihkah kau tidak hendak menghitungnya?” dia berkata pada Pui Keng sambil
melambaikan tangannya. “Bendera itu adalah kepunyaan mereka jangan kau ambil,
kau biarkan saja!”
Habis berkata, si nona putar
tubuhnya, untuk bertindak, atau segera ia dengar tertawanya si anak muda, siapa
dengan menenteng poci arak, dengan gerakan tubuhnya yang gesit, sudah maju
menghalang di hadapannya.
“Nona, baiklah kau duduk dulu
untuk minum arak!”
Si nona menjadi gusar.
“Tak sudi aku minum arak!
Siapa dapat memaksa aku?” dia kata. Dan dia bertindak terus maju.
Si anak muda tolak poci arak
ke depan, tangan kirinya mengangkat cawan arak.
“Apakah muka terang ini tak
hendak diberikan padaku?” ia tanya.
Poci dan cawan segera juga
mendesak dada dan muka si nona. Itulah semacam serangan yang lihai sekali.
Akan tetapi, begitu si nona berkelit,
si anak muda telah menubruk tempat kosong, maka juga cawan lantas jatuh dan
pecah hancur berserakan, araknya berhamburan. Si nona, dengan kegesitannya,
telah membentur tangannya.
Si anak muda nyata lihai,
setelah cawannya terlepas dan jatuh, ia tidak mundur, sebaliknya, ia maju terus
menghalang dengan pocinya, mulut poci diarahkan ke buah dada si nona.
Masih si nona dapat berkelit,
berbareng dengan itu dia mendorong dengan kedua jari tangannya, hingga poci
arak tertolak miring, araknya tumpah di lantai, baunya tersiar memenuhi
ruangan.
Hal itu membuat semua orang
heran dan kaget, tetapi poci arak tetap dicekal oleh si anak muda.
Dua kali mereka mengadu
kepandaian, nyatanya si nona masih menang satu tingkat.
Si anak muda, yang ilmu
silatnya tidak lemah, tidak berhenti sampai di situ. Dengan teruskan menindak
satu kaki, ia putar tubuhnya, hingga tetap berada di muka nona.
“Biar bagaimana, arak ini
mesti kau minum!” katanya tegas. Kali ini ia majukan pocinya dengan gerakan
Liu-seng kan-goat (Bintang meteor menguber). “Kau harus memberi muka padaku!”
Si nona mundur dua tindak,
untuk berkelit. Sepasang alisnya berdiri, romannya berubah. Berbareng dengan
itu, ia hunus pedang di pinggangnya, hingga sinarnya berkilauan.
Mau atau tidak, anak muda itu pun
mundur dua tindak, poci araknya dipakai melindungi dadanya. Dengan cara itu, ia
menutup dirinya.
“Kau sangat tidak tahu
aturan!” serunya. “Mari kita main-main!”
Semua berandal segera mundur
sampai empat tindak, untuk membikin ruangan jadi terbuka lebar. Tapi berbareng
dengan tu, mereka pererat kurungan mereka, supaya mereka bisa meluruk begitu
lekas si anak muda keteter.
Hati Pui Keng menggetar,
mukanya pucat. Ia jadi sangat berkuatir.
“Biar ia lihai, mana dapat si
nona lolos dari kedung naga dan guha harimau ini?” pikirnya. Ia merasa, kalau
nanti mereka berdua diserbu tentara berandal, tubuh mereka mesti dicincang
habis.
Sementara itu, ruang jadi
sangat sunyi, tapi suasana menyeramkan. Si pemuda dan pemudi tetap berdiam,
karena pemuda itu tetap bersiap diri saja.
Diluar, dari kejauhan,
terdengar suara terompet.
Si anak muda segera lompat
mundur.
Itu waktu juga dari luar
terlihat masuknya serombongan orang, yang jalan di muka adalah seorang tua
dengan kumis jenggot panjang, usianya sudah enam puluh lebih, akan tetapi
tubuhnya, romannya, masih gagah.
Si nona mengawasi, lalu ia
memberi hormat.
“Apakah aku berhadapan dengan
loo-ceecu?” dia tanya.
Si orang tua tersenyum.
“Telah kudengar nona datang,
menyesal aku terlambat menyambut,”sahutnya. Sambil mengucap, ia tatap si nona,
sikapnya agak luar biasa memperhatikannya.
Tak enak hati si nona di tatap
secara demikian. Tapi tak alpa ia dengan pedangnya.
“Telah lama aku dengar nama
masyhur dari ceecu,” katanya, ceecu yang mulia tak timpalan, maka itu hari ini
beruntung aku telah datang berkunjung. Adalah maksudku untuk sekalian memohon
sesuatu dari ceecu.”
“Kau memuji nona,” kata si
orang tua dengan jawabannya. Lalu dengan tiba-tiba ia menanya,” Berapa usia
nona tahun ini? Apakah kau shio Yo?”
Si nona tidak sangka ia balak
ditanya begitu rupa, tidak heran ia jadi melengak. Berbareng dengan itu, ia pun
merasa kurang enak.
“Apakah loo-ceecu maksudkan
usiaku masih terlalu muda dan pengetahuanku cetek sekali hingga tak pantas
mendaki gunung ini?” dia tanya. “Apakah tak pantas aku memohon sesuatu?”
Ditanya begitu, orang tua itu
usap-usap kumisnya, ia tertawa terbahak-bahak.
“Harap kau tidak mengatakan
demikian, nona,” sahutnya.
Tapi si nona mendesak, dia
menuding kepada harta yang bertumpuk.
“Harta empat puluh laksa tail
perak ini ada uang tentara kota Gan-bun-kwan.” katanya,” dengan turun tangannya
loo-ceecu, bukan saja mencelakakan jiwa tuan punggawa ini kau pun membuat
beberapa laksa jiwa serdadu di dalam kota, hanya minum angin barat daya!”
Kembali si orang tua tertawa
terbahak-bahak.
“Mustahil aku tak ketahui itu
nona.” Sahutnya pula ringkas.
Masih si nona mendesak.
“Jikalau loo-ceecu telah
ketahui bahayanya, sudah selayaknya kau kembalikan harta itu,” kata dia.
Si orang tua urut-urut kumis
jenggotnya.
“Ah, nona, ada sesuatu yang
kau belum ketahui,” katanya.
“Kalau begitu, tolong ceecu
beri penjelasan kepadaku.”
Si orang tua tunjuk
benderanya.
“Menurut aturan kaum Rimba
Hijau,” katanya menjelaskan,”jikalau perampasan telah dilakukan, apa yang
dirampas tak dapat dikembalikan cuma dengan kata-kata saja. Harta adalah urusan
kecil, adalah keangkeran bendera yang harus dilindungi. Nona, karena kau hendak
membela tuan punggawa ini, untuk itu silahkan kau berikan beberapa jurus dari
kepandaianmu guna membuka mata saudara-saudara di sini. Kalau tidak, andaikata
harta itu aku kembalikan, mereka tentu tidak puas.”
Kembali si nona perlihatkan
kemurkaannya.
“Aku melainkan tahu, mendengar
nama kalah dengan bertemu muka,” katanya kaku,”siapa tahu ternyata sekali,
bertemu muka kalah dengan mendengar nama! Baiklah, sekarang loo-ceecu
menyebutkannya!”
Lagi-lagi si orang tua
tertawa.
“Oh, nona kecil,” katanya.
“Memang di dalam dunia ini lebih banyak bertemu muka kalah dengan mendengar
nama! Demikian juga dengan aku si tua bangka ini! Bukankah kau sesalkan aku
yang tidak lekas-lekas dan dengan rela menyerahkan kembali harta ini?”
Nona itu mengawasi, ia tidak
berikan penyahutannya. Ia benar-benar seperti membawa perangai satu bocah
cilik.
Untuk kesekian kalinya orang
tua itu, si kepala berandal tertawa.
“Akan aku berikan keterangan
yang jelas kepadamu!” katanya kemudian. “Kau mendaki gunungku dengan
membawa-bawa pedang, tentunya dalam ilmu pedang kau telah berlatih dengan
seksama, maka sekarang, baiklah dengan golok Kim-too ku ini, aku layani
pedangmu untuk beberapa jurus. Di dalam ilmu silat, tidak ada orang yang
terlebih dahulu belajar atau belakangan, hanya ada siapa yang tekun dan
sungguh-sungguh, dialah yang berhasil, kaerna itu, aku minta janganlah karena
kau pandang usiaku yang lanjut, nanti kau menaruh belas kasihan atas diriku.
Nona, jikalau kau yang menang, harta empat puluh laksa tail ini akan aku
kembalikan dan aku yang akan mengantarkan sendiri, aku tanggung satu tail juga
tidak kurang!”
Aneh nampaknya orang tua ini,
sambil bicara, ia minta arak, ketika ia habis bicara, dua cawan telah ditenggak
kering. Ia menantang tetapi suaranya tetap hormat dan manis, cuma sikapnya
tegas. Habis minum, ia lemparkan cawannya ke arah penglari, hinga ia lihat pisau
belati nancap di situ, segera ia menanya dengan bengis,”Penglari yang tidak
kurang suatu apa, siapakah yang tancapkan pisau di atasnya?” Hampir berbareng
dengan hancurnya cawan, yang jatuh meluruk ke tanah, pisau belati itu pun turut
jatuh.
Mau atau tidak, si nona
terkejut juga. Si orang tua telah perlihatkan tenaga dalamnya. Tanpa latihan
yang sempurna, tidak nanti pisau itu kena dilempar jatuh. Karena ini, ia ubah
maksudnya untuk melayani si orang tua dengan tangan kosong, tanpa ragu-ragu
lagi, ia hunus pedangnyaa, terus lompat ke tengah ruangan dimana ia berdiri
sambil merangkapkan kedua tangannya.
“Silahkan ceecu beri ajaran
padaku!” ia mengundang.
Orang tua itu awasi senjata si
nona.
“Pedang yang bagus!” ia
memuji. Terus ia lambaikan tangannya, atas mana muncul dua serdadunya, yang
datang membawa golok Kim-too yang besar dan cahayanya bersinar berkeredepan.
Setelah ia terima, ia lonjorkan golok itu, yang ia cekal dengan kedua
tangannya.
“Kim-too, kali ini kau bertemu
tandinganmu!” ia kata. Terus ia tertawa. Setelah orang tua ini bersiap,
keduanya sudah lantas berhadapan.
Si nona tahu ia menghadapi
seorang tua, tiak mau ia turun tangan terlebih dahulu, malah ujung pedangnya
diturunkan, sebagai tanda menghormat dari si muda terhadap si tua yang ia
hendak lawan.
Orang tua itu mundur satu
tindak.
Menampak orang mundur, si nona
gerakkan pedangnya, dengan gerakan “Cay tiap coan hoa” atau Kupu-kupu belang
tembusi bunga, melihat mana si orang tua berseru dengan pujiannya,” Bagus!”
Lantas ia maju dengan gerakan
Hong hong toat ho atau Burung hong merampas sarang, hingga ia rampas tempatnya
si nona.
Si nona kaget dan heran. Ia
tidak sangka, orang tua itu sangat gesit, tak kalah dengan orang muda. Secara
begitu, ia dapat dipengaruhi.
Semua rakyat berandal lantas
bertepuk tangan.
Tapi dalam sekejap saja,
kesunyian datang pula. Karena tubuh si nona mencelat tinggi, pedangnya
berkelebat, dengan kesudahannya terdengar satu suara nyaring dari bentroknya
dua macam senjata, lelatu apinya pun muncrat berhamburan, suara nyaring itu
seperti memekakkan telinga.
Segera orang nampak si nona
mundur kira-kira satu tombak dan si orang tua berdiri sambil melintangkan
goloknya di depan dada.
“Pedang yang bagus! Ilmu
pedang yang sempurna!” memuji orang tua itu. “Tidak ada yang kalah di antara
kita, maka itu, mari kita mencoba pula!”
Pui Keng masih rendah ilmu
silatnya, ia tidak melihat tegas, tidak dapat ia membuat perbedaan, ia cuma
tetap berkuatir, akan tetapi, di antara berandal-berandal, ada yang hatinya
gelisah. Walaupun si nona nampaknya kalah desak, tapi tampak golok besar dan
berat dari ketua mereka somplak sedikit.
Si nona berdiri diam dengan
napasnya sedikit memburu, benar ia telah lukai golok si orang tua, tetapi ia
sendiri telah tertolak mundur satu tombak, hampir tak sanggup pertahankan
tubuhnya. Ia insyaf, dalam hal tenaga dalam, iweekang, ia telah kalah dari jago
tua itu.
Oleh karena ini, ketika kedua
pihak sama-sama maju, untuk melanjutkan pertempuran, mereka sama-sama waspada.
Si nona berkelahi dengan
lincah, tubuhnya melesat ke kiri dan kanan, cepat seperti sang kupu-kupu
beterbangan di antara bunga-bunga, pedangnya berkilauan tak hentinya. Terang ia
bekelahi dengan andalkan keentengan tubuhnya. Di samping dia, Kim-too ceecu berdiri
tegak bagaikan gunung, ia tidak membiarkan dirinya dipengaruhi, ia cuma memutar
tubuh seperlunya, guna lindungi diri.
Beberapa kali si nona berseru,
pedangnya menikam, setiap kali si raja gunung dapat hindarkan diri dari bahaya,
ia bisa menghalau sesuatu ancaman bahaya. Maka itu, hebat dan luar biasa cara
mereka bertarung.
Lima puluh jurus sudah
berlalu, si nona tidak peroleh hasil dengan pelbagai serangannya itu, ia cuma
membuat kawanan berandal menahan napas. Tadinya mereka menyangka pemimpin mereka
dapat segera memperoleh kemenangan, tidak tahunya, banyak waktu telah
dilewatkan tanpa sesuatu hasil.
Pui Keng pun berkuatir sangat,
hingga ia dipengaruhi rasa tegang di antara kawanan penjahat itu.
“Pergi!” sekonyong-konyong si
orang tua berteriak nyaring, dibarengi dengan berkilaunya goloknya, atas mana
tubuh si nona mencelat mundur kira-kira satu tombak. Semua berandal pun berseru
riuh.
Si nona mundur beberapa
tindak, ia berdiri tenang, melihat mana, si orang tua heran dan kagum, karena
tadinya dia percaya dia dapat membikin si nona terpental dan rubuh.
Tanpa berkata suatu apa, nona
itu maju pula. Sekarang berubahlah cara ia bersilat. Ia masih berlompatan, akan
tetapi serangannya bertambah gencar, ia bagaikan angin badai menggempur
daun-daun atau topan hujan merusak bunga hingga di empat penjuru seperti
terlihat ia sendiri beserta bekeredepnya cahaya pedangnya. Kali ini si nona
membuat mata penonton berkunang-kunang.
Manampak demikian, gentar juga
hati Kim-too Ceecu. Ia kagum melihat ilmu pedang yang luar biasa itu. Untuk
mencari keselamatan, terpaksa ia tutup dirinya seperti tadi, dengan memasang
mata dan berlaku waspada. Ia melayani kegesitan dengan ketenangan.
Lagi lima puluh jurus telah
berlalu, setelah itu, si orang tua merasa bahwa ia mulai kena terdesak pengaruh
pedang lawan. Tentu saja, ia menjadi penasaran. Maka kali ini, dengan hebat, ia
kirim satu bacokan, guna membalas budi si nona yang menyerang tak hentinya.
Justeru itu, si nona menggunakan pedangnya, untuk mendampingi golok orang tua itu,
hingga ia menyerang tempat kosong, dan tubuhnya condong ke depan. Ia menjadi
kaget. Itu berarti ia telah membuka pembelaan dirinya.
Si nona tidak dapat pengaruhi
terus golok si orang tua, ia tidak dapat gunakan ketika yang baik itu, sebab si
orang tua dengan lekas telah perbaiki diri, malah setelah itu, kembali ia
didesak, hingga ia main mundur. Tidak mau ia sembarang membentrok golok besar
dan berat itu.
Lagi-lagi Pui Keng jadi
kuatir. Terang ia tampak si nona terdesak mundur, itu artinya ancaman bencana.
Ia berdiam, ia mencoba menenangkan diri. Semua berandalpun bungkam. Maka itu,
ruang jadi sunyi senyap. Bungkamnya kawanan berandal itu menandakan si orang
tua bukannya telah menang di atas angin.
Herannya pihak berandal,
setelah mereka saksikan ilmu pedang dari si nona seperti banyak macamnya, yang
mirip ilmu pedang Bu-tong-pay, yang mirip ilmu pedang Tat-mo-kiam, yang mirip
Thay-kek-kiam dan juga Sam-yang-kiam.
Si orang tua masih mendesak,
si nona terus main mundur.
“Ceecu, hati-hati!” teriak seorang
berandal waktu ia lihat si nona membuat gerakan ke belakang, tetapi hampir
berbareng dengan itu, si nona sudah apungkan diri, untuk dari atas menikam ke
bawah.
Kim-too Ceecu lihat gerakan
lawannya, ia dengar teriakan peringatan itu, meski begitu, ia justeru tertawa
bekakakan sambil terus berseru,”Lepas tanganmu!” Karena sambil mendak, ia
membalas membacok ke pinggang si nona. Ia dapat berkelit, tapi goloknya hendak
meminta korban.
“Bagus!” teriak pula pihak
berandal, lenyaplah kaget mereka.
Selagi mereka itu
berteriak-teriak, suasana telah berganti rupa dengan cepat.
Si nona tidak lompat mundur,
ia tidak lepaskan pedangnya, tidak perduli ancaman bahaya sangat hebat,
sebaliknya ia juga berteriak,”Lepas tangan!” Nyata ia sangat jeli matanya dan
sangat sebat gerakan tangannya. Ia tampak ancaman bahaya itu, tapi ia tidak
jadi gentar. Dengan kesebatannya, ia tekan ujung golok itu, setelah mana,
dengan jalan di atasan golok, ia serosotkan pedangnya dengan membabat jeriji
tangan orang tua yang mencekal golok. Itu waktu, ia barengi perdengarkan
teriakannya. Tentu saja Kim-too Ceecu menjadi kaget hingga dia, yang mengerti
bahaya, jadi dengar kata, dengan lantas dia lemparkan goloknya, karena kalau
tidak jari tangannya bisa kutung.
Begitu rupa kepala berandal ini
membuang goloknya, hingga golok itu terlempar ke atas, nancap di penglari
rumah. Kejadian ini di luar dugaan si nona demikian lihai, ancaman bahaya dapat
diubah jadi keselamatan, jadi kemenangan. Maka itu, ia jadi berdiri menjublak.
Habis itu, si nona tidak
ulangi serangannya, malah ia hadapi tuan rumahnya, untuk memberi hormat, dengan
niatnya mengucapkan,” Terima kasih, ceecu, kau telah mengalah!” Akan tetapi,
ketika ia tampak wajah kepala berandal itu, ia tertegun, hingga batal ia
membuka mulutnya.
Kim-too Ceecu perlihatkan
tertawa meringis, air matanya berlinang.
“Heran,” pikir si nona. “Ia
ada satu jago, mustahil karena kalah bertanding, dia menangis?” Karena ini, ia
jadi mengawasi saja.
Kim-too Ceecu juga awasi si
nona, ia menyeringai, kemudian ia merogoh sakunya, dari mana dia keluarkan
sebatang bamboo pendek mirip sebuah tongkat, yang ujung bawahnya bercacat,
rupanya seperti sisa tongkat bekar terbabat kutung.
Waktu si nona lihat bambu
pendek itu, air mukanya berubah menjadi pucat, dengan tiba-tiba ia menjerit
menangis, terus ia jatuh berlutut di tanah.
Itulah kejadian sangat aneh,
maka semua orang menjadi tercengang.
Dengan tangan kirinya mencekal
bambu itu, Kim-too Ceecu gunakan tangan kanannya mengangkat si nona berdiri,
setelah mana dengan tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.
“In Ceng punya cucu perempuan
semacam ini, di tempat baka niscaya ia meramkan mata!” katanya dengan puas.
Si nona menangis tersedu-sedu
air matanya bercucuran deras. Karena, melihat tongkat itu, teringatlah ia akan
kejadian pada sepuluh tahun yang lalu, yang menjadi pengalaman hebat baginya.
Ketika itu ia baru berumur tujuh tahun, bersama engkongnya, In Ceng, ia buron
dari Mongolia, selama di atas kereta, ia telah lihat su-ciat, tanda kehormatan
dari engkongnya itu. Ia pun teringat cerita dari engkongnya bagaimana si
engkong menderita sebagai pengangon kuda di negara asing. Kejadian itu membuat
ia berduka dan sedih. Dan sekarang ia lihat sisanya su-ciat itu, ialah potongan
tongkat di tangan si kepala kampak.
Kim-too Ceecu susut kering air
matanya yang berlinang itu, habis itu ia tertawa berkakakan.
“Sekarang ini kau bukan lagi
satu bocah!” ia kata dengan gembira. “Ini hari kau adalah satu wanita gagah
yang mendaki gunung untuk minta kembali harta besar! Maka tak perlu kau
menangis! Lekas seka air matamu! Kau tahu, urusan kita masih belum selesai.”
Nona itu menyeka air matanya,
mendadak saja ia putar tubuhnya, untuk terus lompat mencelat, ke atas penglari,
dari mana ia cabut golok si orang tua itu, lalu ia bawa ke hadapan si kepala
kampak. Ia berlutut pula. Ia persembahkan golok dengan bawa itu ke atasan
kepalanya.
“Segala apa terserah kepada
putusan susiok-couw,” ia kata.
Mendengar perkataan si nona
Pui Keng menjadi kaget, sampai semangatnya seolah-olah pergi terbang.
“Celaka, celaka!” ia mengeluh.
“Aku andalkan si nona, siapa tahu mereka adalah orang-orang sendiri.”
Si orang tua terima goloknya.
“Kau bangun,” katanya.
“Sepotong bambu ini kau boleh simpan. Memang bambu ini membuat orang berduka,
tetapi ini adalah warisan yayamu.”
Si nona terima warisan itu, ia
seka air matanya.
“Pui Keng, kemari kau!” si
kepala berandal memanggil.
Gemetar tubuhnya punggawa itu,
kedua kakinya lemas.
Kim-too Ceecu tertawa.
“Coba bantu dia,” ia titahkan
dua serdadu gunung.
“Inilah angkutanmu seharga
empat puluh laksa tail perak, sekarang kau boleh bawa pergi!” kata pula si
kepala berandal.
Inilah di luar dugaan, Pui
Keng jadi girang bukan kepalang.
“Terima kasih, terima kasih,”
ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Baru setelah itu, ia menjadi bingung. Ia
berada sendirian, mana bisa ia angkut harta besar itu?
Kim-too Ceecu bisa terka hati
orang, ia bicara berbisik pada satu orangnya, atas mana pintu pesanggrahan
dipentang, kemudian di muka masing-masing pesanggrahan itu muncul sebarisan
keledai bersama serdadu pengiringnya.
“Semua harta dan orang-orangmu
aku kembalikan,” berkata Kim-too Ceecu sambil tertawa pada punggawa itu.
“Sekarang hitung dulu uangmu supaya tidak ada yang kurang.”
Kembali Pui Keng mengucap
terima kasih. Kejadian itu membikin ia sangat bergirang. Sekarang ia jadi
bernyali besar, hingga ia berani menanyakan kepala kampak itu.
“Di samping uang empat puluh
laksa tail ini masih ada lagi empat belas kereta keledai,” kata dia. “Itulah
barang-barangnya Teng Congpeng. Aku mohon sukalah ceecu mengembalikan sekalian
barang-barang itu.”
Sang ceecu tertawa
bergelak-gelak.
“Barang pribadi dari Teng
Congpeng?” kata dia, menegaskan. “Itulah barang-barang yang cocok sekali untuk
keperluan pesanggarahanku ini, hendak aku menahannya!”
Pui Keng kaget. Uang negara
didapat kembali, tapi barangnya dari Teng Congpeng lenyap, itu masih berarti
kesulitan baginya. Mungkin itu tetap berarti hukuman mati. Maka ia lantas tekuk
lutut di depan raja gunung itu, ia manggut-manggut.
“Aku mohon belas kasihan
ceecu, sukalah ceecu tolong jiwaku,” ia mohon.
Kim-too Ceecu tertawa pula.
“Teng Congpeng sendiri rela
menyerahkannya padaku, kenapa kau tidak?” katanya. Ia terus rogoh sakunya, akan
keluarkan satu sampul, dari dalam mana ia keluarkan pula sepucuk surat warna
merah.
Pui Keng lihat surat itu, ia
baca, bunyinya,” Dengan hormat aku persembahkan barang-barang tidak berarti
ini, aku mohon sudilah Ciu Tayjin menerimanya. Dari Teng Tay Ko.”
Pasti sekali Pui Keng menjadi
kaget, heran dan bingung. Mustahil satu congpeng dari Gan-bun-kwan, satu
panglima kerajaan, yang dipercayakan keselamatan tapal batas negara, boleh
mempersembahkan sesuatu kepada kepala berandal? Inilah benar-benar tak dapat
dimengerti. Tentu saja tidak dapat ia memikirnya, karena kepala berandal ini,
yaitu Kim-too Ceecu, ada bekas congpeng Ciu Kian dari kota Gan-bun-kwan,
congpeng dari sepuluh tahun yang lampau, dan Congpeng Teng Tay Ko yang sekarang
ini adalah bekas hu-ciang sebawahannya.
Melihat orang mendelong, Ciu
Kian tertawa.
“Rupa-rupanya kau masih kurang
percaya,” ia kata. “Baik aku nanti suruh satu orang keluar.” Dan ia beri
titahnya.
Tidak lama di antaranya dari
dalam muncul satu opsir, ialah pembesar tentara yang diwajibkan oleh Teng
Congpeng untuk nanti menerima harta angkutannya punggawa she Pui itu.
Ciu Kian tertawa pula dan
berkata,” Ini uang empat puluh laksa tail sudah diperiksa betul oleh perwira
ini, sama sekali tidak kurang, maka bolehlah kau tetapkan hatimu.”
Baru sekarang lega hatinya Pui
Keng. Ia kenal baik opsir itu. Dengan demikian ia tidak usah khawatir lagi.
Sampai disitu, Ciu Kian
silahkan kedua punggawa itu berangkat dan ia wajibkan beberapa orangnya pergi
mengantarkan.
Pui Keng dan si opsir
menghaturkan terima kasih.
Selagi orang hendak berangkat,
Ciu Kian pesan si opsir,” Tolong kau sampaikan kepada Teng Congpeng, karena
musuh luar ada di hadapan kita, kita seharusnya tetap bekarja sama untuk
menghadapinya! Tentang perjanjian kemarin, harap kau tidak melupakannya.”
Opsir itu menyahuti bahwa ia
mengerti.
“Beng Kie, kau wakilkan aku
mengantar mereka turun gunung,” kata Ciu Kian pada si orang she Beng. “Bendera
Jit Goat Kie kita itu biarlah ditancap terus sampai di kota Gan-bun-kwan.”
Pui Keng tahu, bendera itu ada
suatu tanggungan, adanya bendera itu, sama saja seperti Kim-too Ceecu yang
mengantarkannya sendiri. Maka lagi sekali ia haturkan terima kasihnya.
Ciu Kian tertawa.
Beng Kie pun tertawa, lantas
ia jalan berendeng dengan Pui Keng untuk bertindak keluar, sedang harta besar
itu lantas diangkut oleh serdadu-serdadu dan ditilik oleh si opsir.
“Pui Tayjin, kalau nanti kau
sudah pulang, perlu kau yakinkan pula ilmu panahmu dan menunggang kuda!” kata
Beng Kie sambil jalan.
Pui Keng merah mukanya, sebab
ia ingat itu hari ia pentang mulut besar tapi akhirnya ia dirubuhkan si kurus
kering ini.
Ciu Kian tunggu sampai orang
sudah pergi semua, lalu ia menoleh pada si nona baju putih.
“Bagus kau datang, In Lui!”
katanya.
Biar bagaimana, si nona masih
ragu-ragu, hatinya belum tenang betul. Ketika sepuluh tahun yang lampau ia
bertemu bekas congpeng ini di muka kota Gan-bun-kwan, ia masih kecil dan itu
waktu pun sedang terbit pertempuran, ia tidak ingat betul akan roman orang itu.
Ia heran Ciu Kian masih kenali dirinya.
Rupanya orang she Ciu itu bisa
terka hati orang, ia tertawa.
“Jikalau hari ini aku tidak
pancing kau mendaki gunung dan paksa kau keluarkan ilmu pedang istimewa ajaran
Han Kie It-su, aku pun tidak nanti berani sembarang akui padamu!” katanya.
In Lui bisa mengerti
keterangan itu, tapi ia tetap heran.
“Untuk memancing aku, dia
berlaku begini hebat dan jenaka, susiok-couw ini agak keterlaluan,” pikirnya.
“Terang sudah bahwa ia bertabiat aneh.”
Karena ini, meski di mulut ia
tidak berkata suatu apa, di hati ia merasa kurang puas. Ia ada satu pemudi yang
baru muncul dalam dunia kangouw, lihai ilmu silatnya, tapi masih hijau
pengalamannya.
Ciu Kian tertawa nyaring.
“Cucu keponakan yang baik,
tahukah kau kenapa aku coba merampas uang negara itu?” tanya ia kemudian.
“Bukankah, seperti kata
susiok-couw, kau hendak pancing aku mendaki gunung?” si nona baliki.
“Sebenarnya, sekalipun kau tidak memancing, hendak aku datang kemari.”
“Kenapa begitu?” Ciu Kian
tegaskan.
“Kita harus kembali pada
sepuluh tahun yang lampau,” sahut si nona. “Pada waktu itu Tiauw Im Taysu telah
menolongi aku menyingkir dari Gan-bun-kwan dia sudah bawa aku ke gunung Siauw
Cee San di Sucoan Utara dimana aku diserahkan pada guruku untuk dirawat dan
dididik.”
“Bukankah gurumu itu Yap Eng
Eng, yang bergelar Hui-thian Liong-li?” Ciu Kian memotong.
“Benar,” In Lui manggut. Lalu
ia meneruskan keterangannya,” Sepuluh tahun aku telah belajar silat lantas suhu
titahkan aku turun gunung. Lebih dahulu dia telah serahkan padaku surat darah
dari yaya. Suhu kata, orang yang paling yaya benci adalah Thio Cong Ciu yang
membikin yaya menderita dua puluh tahun mengangon kuda, akan tetapi yang
mencelakai hingga ayah menutup mata adalah Ong Cin, itu hamba pemerintah, hanya
duduknya perkara yang benar, suhu tidak ketahui jelas. Suhu kata, susiok-couw
adalah sahabat paling kekal dari yaya, katanya justeru disebabkan kematian
menyedihkan dari yaya, susiok-couw jadi meninggalkan pangkatnya di kota
Gan-bun-kwan. Belakangan suhu kata lebih jauh, suhu dengar susiok-couw telah
tuntut penghidupan sebagai berandal, cuma ia tidak tahu pasti kebenarannya itu,
maka suhu titahkan aku turun gunung dengan tugas paling pertama pergi cari
kau.”
Mendengar itu, Ciu Kian
menggeleng-gelengkan kepala , ia menyeringai.
In Lui heran.
“Sudah sepuluh tahun sejak
yayamu menutup mata, perkaranya itu masih perkara gantung,” kata si orang tua.
Ia tuturkan kejadian sepuluh tahun yang lampau itu, lalu ia meneruskan,” Thio
Cong Ciu dengan Ong Cin itu memang mempunyai hubungan satu sama lain, akan
tetapi, apabila dilihat duduk perkaranya waktu itu, soal masih gelap, maka itu
sampai sekarang juga masih belum diketahui, di antar mereka berdua, siapa
sebenarnya penjahat asli.”
“Sekarang ini aku anggap
mereka berdua adalah musuh-musuhku!” kata In Lui. “Dan di antara mereka, aku
anggap Thio Cong Ciu sebagai musuh nomor satu!”
Ciu Kian manggut.
“Memang, sakit hati itu tidak
dapat tidak dibalas!” katanya.
“Aku dibebankan permusuhan dua
turunan, aku nanti habiskan tenagaku untuk itu!” berkata pula In Lui. “Sampai
mati baru aku mau berhenti.”
Si orang tua menghela napas.
‘Ketika pertama aku sampai di
Gan-bun-kwan,” In Lui meneruskan pula,” segera aku dengar nama besar dari
Kim-too Ceecu beserta benderanya Matahari dan Rembulan. Lantas aku menduga pada
susiok-couw yang telah mendirikan pesanggrahan di atas gunung, tetapi karena
aku belum peroleh kepastian, aku sengaja membuat gubuk di selat Ouw Tiap Kok.
Adalah maksudku untuk perlahan-lahan membuat penyelidikan.”
Ciu Kian tertawa.
“Itulah hal yang aku ketahui,”
katanya. “Masih ingatkah kau, begitu lekas kau turun gunung kau lantas sudah
melabrak beberapa rombongan berandal dengan menggunakan senjata rahasiamu yang
mirip bunga bwee? Karena itu dalam dunia kangouw kau peroleh julukan San-hoa
Lie-hiap, si Wanita Gagah Penyebar Bunga.
“Julukan itu enak juga
didengarnya,” kata In Lui, “hanya aku tidak dapat mengetahuinya.”
“Ketika kau bertempat tinggal
di Ouw Tiap Kok, orang-orangku sudah dari siang-siang memasang mata. Cuma,
berikut aku di dalamnya, kita maish belum ketahui jelas tentang dirimu.
Begitulah aku gunakan akal untuk pancing kau mendaki gunungku ini, maksudku
adalah untuk mencoba ilmu silatmu guna memastikan, siapakah engkau.”
“Justeru karena pancingan
susiok-couw ini, dugaan semula menjadi meleset,” berkata si nona. “Aku pikir,
kalau kau benar ada susiok-couw, tidak nanti kau rampas uang tentara kota
Gan-bun-kwan. Inilah sebabnya kenapa aku jadi berani melayani susiok-couw
bertanding.”
Ciu Kian tertawa
terbahak-bahak.
“Sejak dulu tidak pernah aku
merampas uang tentara kota Gan-bun-kwan,” ia berikan keterangan, “kalau kali
ini aku membuatnya meski barusan aku berkata untuk pancing kau, sebenarnya itu
tidak betul seluruhnya. Dalam pada ini masih ada hubungan yang sangat besar.”
In Lui tidak mengerti.
“Apakah itu, susiok-couw?” dia
tanya.
“Soalnya adalah,” sahut si
orang tua, ”kecilnya mengenai hidup-matinya kota Gan-bun-kwan dan
pesanggrahanku ini, besarnya mengenai keselamatan kerajaan Beng serta tanah
daerahnya yang besar dan luas.”
Kaget si nona, hingga ia
mengawasi dengan mendelong.
“Apakah itu, susiok-couw?” dia
tegaskan.
Ciu Kian tidak lantas
menjawab, dia hanya dongak akan melihat langit.
“Sekarang sudah malam,”
katanya perlahan, romannya berduka,” pergi kau tidur, untuk pelihara dirimu.
Sebentar malam hendak aku mohon bantuan kau untuk satu urusan besar.”
Ia lantas beri tanda dengan
tangannya. Berbareng dengan itu terdengarlah sambutan suara tambur dan
gembreng, setelah mana si anak muda yang semula tempur In Lui serta satu
tauwbak, maju menghadap, untuk berkata,” silahkan ceecu berikan titahmu.”
Ciu Kian manggut.
“Dia Ciu San Bin,” katanya
menunjuk si anak muda. “Dia adalah pamanmu. Umurnya tidak berbeda jauh dengan
kau.”
In Lui beri hormat pada anak
muda itu.
“Maaf,” ia menghaturkan.
Ciu San Bin tertawa.
“Di dalam kalangan wanita
muncul orang gagah, si orang gagah masih sangat muda,” katanya, “oh,
keponakanku, kau jauh terlebih kosen daripada pamanmu.”
In Lui tersenyum.
“Sekarang silahkan kau
beristirahat,” kata San Bin yang terus titahkan saru liauwlo (serdadu gunung)
antar nona itu ke kamar yang sudah disediakan untuknya.
In Lui menurut, ia undurkan
diri, akan tetapi tak dapat ia tidur pulas. Ia terganggu berisiknya gerakan
tentara gunung.
Habis bersantap malam,
pesanggrahan seperti kosong dari tentaranya, yang ada hanya beberapa orang saja
yang menjadi penjaga.
“Apakah kita akan berperang
dengan tentara negeri?” tanya In Lui.
“Bukan,” Ciu Kian menjawab.
“Apakah dengan bangsa Tartar?”
si nona tanya pula.
“Masih belum pasti,” jawab si
orang tua.
Heran anak dara ini.
“Habis untuk apa susiok-couw
berikan titah pada tentaramu?” ia masih menanya.
“Baik kau jangan tanya-tanya
dulu,” jawab Ciu Kian sambil tertawa. “Lebih baik mari kau turut aku pergi ke
suatu tempat!”
In Lui bersedia, segera ia
salin pakaian dengan ya-heng-ie, pakaian untuk jalan malam.
Berdua mereka keluar dari
pesanggrahan, di luar mereka saksikan langit penuh bintang, jam pada waktu itu
menunjukkan kira-kira pukul tiga.
Kim-too Ceecu ajak cucu
keponakannya itu berlari-lari di jalanan gunung untuk mendaki puncak sebelah
timur yang lebat dengan pohon-pohon dan pohon-pohon oyot, makin dalam makin
lebat, makin jauh keadaannya makin berbahaya. In Lui mengikuti terus dengan
ragu-ragu, ia berpikir keras dengan sia-sia, tak dapat ia terka maksud bekas
congpeng ini. Ia pun heran,” Susiok-couw adalah kepala sebuah gunung, dia telah
atur tentaranya keluar, kenapa tangsinya dikosongkan dan dia sendiri tidak
menjaganya? Kenapa ia keluar malam-malam seorang diri?”
Nona ini terbenam dalam
keanehan.
Pada malam yang sunyi itu,
tiba-tiba terdengar suara air, makin lama makin tegas suaranya. Lalu terdengar
juga suara bagaikan orang berseru panjang atau bagaikan suara terompet huchia.
Mendengar itu, si orang tua tarik tangan si nona, untuk diajak bersembunyi di
belakang sebuah batu besar.
Dalam keheranannya itu, In Lui
menurut saja, ia memasang mata.
Di antara sinar rembulan layu
dan bintang-bintang, In Lui lihat wajahnya si orang tua. Itulah roman tenang
tetapi tegang. Jago tua ini pun lantas mendekam di tanah, untuk pasang
kupingnya.
“Ah!” tiba-tiba ia bersuara
seorang diri, “Mustahil aku menduga keliru?”
In Lui pasang kupingnya, ia
tidak dengar suatu apa.
“Kau dengar apa susiok-couw?”
tanyanya heran.
Ciu Kian tidak segera
menjawab, ia hanya menunjuk.
“Lihat!” katanya kemudian. Ia
menunjuk ke arah bawah, ke lembah, di sana tampak sawah lading yang luas dan
gemuk yang dibuka oleh tentara gunung, di samping itu, bagaikan rintangan, adas
gili-gili atau bendungan air yang tinggi dan besar buatan manusia. Gili-gili
itu terbuat dari batu, tingginya mungkin sama dengan dua buah loteng. Di
sebelah sana terdapat telaga, luasnya tidak terlalu besar, mungkin beberapa
ratus bahu. Air telaga itu menggenang dan hitam berkilauan.
“Sawah ladang itu mendapat air
dari telaga yang terbendung itu,” kata si raja gunung kemudian. “Telaga itu
menyebabkan kami dapat hidup bertani di sini, maka telaga itu adalah jiwa
kami.”
Ia lantas tuturkan bagaimana
selama sepuluh tahun ia bangunkan bendungan dan kerjakan sawah ladang itu.
Menutur itu, ia nampaknya gembira dan puas.Tapi, ia lantas menghela napas.
“Akant tetapi bangsa Tartar
dan tentara negeri kita tidak mengijinkan kita tinggal di sini,” ia tambahkan.
“Baru kemarin dulu aku terima laporan bahwa bangsa Tartar hendak mengirim
orang-orangnya yang lihai mencuri masuk kemari untuk merusak bendungan ini.”
“Kelihatannya bendungan ini
tak dapat dirusak tenaga manusia,” kata In Lui. “Baru beberapa orang saja tidak
nanti dapat berbuat apa-apa.”
“Kau tidak tahu,” Ciu Kian
terangkan. “Sekarang adalah musim semi dan biasanya, setiap musim semi, air
bisa melanda secara hebat.”
Di sebelah atas kita masih
membuat beberapa bendungan, untuk menjaga gempuran, sebab satu kali bendungan
hancur, telaga ini akan meluap airnya, dan begitu air telaga meluap, celakalah
kita yang berada di dalam lembah, terutama sawah ladang kita musnah tergenang
air.”
“Sungguh hebat,
menjemukan!”kata In Lui, yang menjadi sengit. “Jikalau mereka itu datang, nanti
kuberi pelajaran dengan pedangku!”
“Tetapi kejahatan mereka tak
sampai disini saja,” kata pula Ciu Kian. Tiba-tiba, ia dengar suara yang
mengherankan padanya.
“Aneh!” katanya.
“Apakah yang aneh,
susiok-couw?”
Ciu Kian pasang pula
kupingnya.
“Turut pendengaranku seperti
ada belasan penunggang kuda yang mengejar satu orang buronan,” dia
menerangkan,” tadi mereka menuju ke arah barat akan tetapi sekarang mereka
menuju arah kita! Ah, mereka itu tidak kenal jalanan, mereka tengah berputaran.
Suaranya pun menjadi terlebih perlahan. Kau dengar tidak?”
In Lui menggelengkan kepala.
Orang tua itu tertawa.
“Selanjutnya kau akan hidup di
kalangan kang-ouw, kepandaian mendengar suara ini harus kau yakinkan,” ia kata.
Ia terus tambahkan,” Aku taksir pasti malam ini mereka akan datang merusak
gili-gili tetapi mendengar suara itu, mereka tengah mengepung orang. Mungkinkah
di antara mereka itu telah terbit perubahan?”
Baru In Lui mau menanya kenapa
jago tua itu ketahui demikian pasti tentang sepak terjang musuh, atau mendadak
Ciu Kian memberi isyarat supaya ia menutup mulut, hingga ia batalkan niatnya.
Ciu Kian juga sudah lantas menunjuk dengan jari tangannya.
Di atas puncak kira-kira tujuh
atau delapan tombak terpisah dari mereka muncul dua orang yang merupakan
bayangan hitam. Pasti mereka itu ada orang-orang lihai, sebab demikian terang
kuping Ciu Kian, sesudah orang dekat baru dia mengetahuinya.
Dua orang itu berdiri
berendeng.
“Besok tengah hari,” kata yang
seorang, sambil tangannya menunjuk ke arah lembah,” maka pesanggrahan itu yang
luasnya seratus lie lebih akan tergenang air hingga merupakan suatu tanah
datar! Haha! Tuhan memberkati negara kita, apa mau congpeng dari Gan-bun-kwan
telah memohon bantuan kita. Sesudah kita tumpas si bangsat tua Kim-too, untuk
merampas kota Gan-bun-kwan mudah saja, seperti orang membalikkan telapak
tangan. Satu kali Gan-bun-kwan sudah rubuh, jalan ke kota raja sudah tidak ada
rintangannya lagi, hingga negara seluas sembilan laksa lie dari kerajaan Beng
akan menjadi kepunyaan kita. Tantai Ciangkun, jasamu kali ini bukan main
besar!”
Terus orang itu tertawa
terbahak-bahak, suaranya mendengung di lembah.
Mendengar itu, In Lui
terkejut.
“Tepat sekali taksiran
Paduka,” berkata orang yang satunya. “Paduka tak ada bandingannya! Meski
demikian adanya, tak dapat kita tidak berlaku waspada. Jikalau besok tentara
kota Gan-bun-kwan tidak dapat datang menyambut, apakah tentara kita yang
terpecah di empat penjuru tidak akan menghadapi ancaman bahaya? Aku anggap
adalah terlebih sempurna jikalau empat pasukan itu diperkecil menjadi dua
barisan.”
Orang yang pertama tertawa
pula.
“Raja Beng ingin sangat
menindas bangsat tua Kim-too itu,” dia kata, “untuk itu tenaga tentara di
Gan-bun-kwan tidak cukup, dia jadi tidak berdaya, karenanya dia bertindak
memohon kita bekerja sama, maka itu, aku tak kuatir jika dia nanti melanggar
janji. Ini adalah ketika yang paling baik! Satu kepala perang mengatur tentara,
apakah perlu dia memandang ke kepala atau ke ekor?”
Dan lagi-lagi dia tertawa,
tertawa besar.
In Lui ingat suatu apa, ia
jadi berpikir,” Bukankah Tantai Ciangkun ini yang disebut Tantai Mie Ming oleh
ji-supeh?” dia menduga-duga. “Jikalau benar dia adanya, dialah musuhku yang
telah membinasakan ayahku, malam ini tak dapat dia dibiarkan lolos!”
Orang yang dipanggil Tantai
Ciangkun itu berbicara pula.
“Lebih baik Paduka berlaku
hati-hati,” demikian katanya. “Tempat ini masuk lingkungan bangsat tua Kim-too
itu.”
Si paduka itu yang terang ada
bangsa Ouw atau Tartar, kembali tertawa besar.
“Aku justeru khawatirkan
mereka tidak muncul!” ujarnya. “Kita sedang bersiap menggempur gili-gili, kita
hendak serang tempat yang mereka harus tolongi itu, maka jikalau mereka datang
mengurung kita, kita yang berjumlah belasan dapat menarik perhatian mereka itu,
dengan begitu pasukan-pasukan kita yang menerjang di empat penjuru di luar akan
masuk di tempat yang seperti tidak ada orangnya. Dengan punyakan kepandaian,
mana bisa mereka membekuk kita? Paling juga kita korbankan jiwa belasan serdadu
yang menggempur gili-gili.”
“Sungguh busuk!” In Lui mendamprat
dalam hatinya, mendengar tipu daya yang licik itu. Karena ini mengerti telah ia
akan sepak terjangnya Ciu Kian malam ini.
“Kiranya susiok-couw mengatur
tentaranya untuk menghadapi empat pasukan musuh di luar itu,” pikirnya.
“Susiok-couw ajak aku datang kemari dengan maksud menghadapi musuh-musuh gelap
yang hendak menggempur gili-gili ini. Sungguh tak tercela susiok-couw menjadi
satu panglima perang! Tadinya aku menyangka dia keluar seorang diri untuk
menempuh ancaman bencana, tidak tahunya, tindakan ini ada tindakan yang wajar!”
Lantas nona ini cekal keras
gagang pedangnya, ia segera bersiap sedia.
Ciu Kian juga tampaknya
tegang, akan tetapi dia masih menggeleng-gelengkan kepala mengisyaratkan agar
kawannya sabarkan diri, supaya si nona jangan sembrono turun tangan. Maka In
Lui berdiam, terus ia pasang kupingnya.
“Eh,” terdengar Tantai
Ciangkun,” kenapa mereka masih belum datang?”
Si paduka atau ongya, juga
berjalan mundar mandir, dia pun nampaknya sibuk tidak keruan.
“Eh!” seru Tantai Ciangkun itu
kemudian. “Lihat mereka itu tengah mengepung siapa hah?”
Segera terdengar tindakan
laratnya kuda yang mendatangi, lantas nampak satu penunggang kuda kabur di
dalam lembah yang sempit, di belakangnya mengejar belasan penunggang kuda
lainnya. Mereka itu merantau ke sawah ladang.
“Segala bantong!” si ongya
mencaci, terus ia siapkan busurnya.
“Jangan binasakan dia,
paduka!” Tantai Ciangkun mencegah. Tapi baru dia buka mulutnya atau busurnya
sudah menjeprat, anak panahnya melesat menyambar.
Justeru itu, berbareng dengan
bekerjanya panah, Ciu Kian tepuk pundak In Lui sambil berseru,” Serang raja
muda Tartar itu!”
In Lui memang sudah siap, maka
itu dapat ia dengan berbareng lompat bersama si orang tua, untuk menghampirkan
Tantai Ciangkun dan ongyanya.
Si nona entengkan tubuhnya,
pesat gerakannya, ia dapat mendahului, malah sambil memburu, ia pun sudah
lantas lepaskan enam buah senjata rahasianya yang diberi mana Bwee-hoa
Ouw-tiap-piauw (piauw kupu-kupu), menyerang ketiga arah, atas, tengah, dan
bawah dari si ongya dan si ciangkun.
Ciangkun atau jenderal itu,
memang Tantai Mie Ming adanya. Dia adalah orang yang sangat dibenci In Lui,
tidak heran kalau si nona menyerang dengan luar biasa ganas. Dengan menggunakan
piauwnya, dia sampai tak minta perkenan lagi dari si orang tua.
Mendapat serangan bokongan
itu, Tantai Mie Ming tertawa bekakakan. Ia seperti dapat lihat tegas ketiga
batang piauw itu, ia sampok tiga-tiganya hingga terlempar mental.
Sebaliknya, si ongya telah
perdengarkan jeritan,”Aduh!” dan busurnya terlepas, jatuh di tanah, tubuhnya
pun terhuyung dua tindak, hampir dia rubuh terguling, lalu dapat dia
pertahankan diri.
Piauw si nona adalah piauw
yang ia terima dari gurunya Hui-thian Liong Lie Yap Eng Eng, piauw itu dapat
dipakai menyerang jalan darah. Si ongya benar lihai tetapi ketika dibokong, ia
pun sedang membokong orang lain dengan panahnya, maka datangnya serangan gelap
membuat ia terperanjat. Masih dapat ia tangkis satu piauw dan berkelit dari
yang kedua, tetapi yang ketiga mengenai dengkulnya. Syukur untuknya, ia
punyakan tenaga dalam yang lihai, ia tidak sampai terhuyung rubuh. Untung tidak
enam panah dipakai menyerang, kalau tidak, tentu jiwanya tak dapat dihindarkan
dari bahaya maut.
In Lui terkejut mendapatkan
keenam piauwnya tidak memberikan hasil yang memuaskan, malah menyusul herannya,
tahu-tahu Tantai Mie Ming yang berseru keras, telah lompat melesat ke
hadapannya. Kembali ia terkejut. Dari gerakan ciangkun ini, ia ketahui, orang
ada terlebih lihai daripadanya. Akan tetapi, ia kertak giginya, tak gentar ia
menghadapi musuh tangguh. Maka jug “Sret!” pedangnya segera dihunus guna
memapaki lawan itu.
III
Tantai Mie Ming bersenjatakan
sepasang gaetan. Ia lihat penyerangnya ada satu nona, ia memandang enteng.
“Suruhlah orang tuamu yang
keluar!” ia menantang. “Gaetanku tidak biasa membinasakan segala orang tak
ternama!”
In Lui tidak gubris kata-kata
jumawa itu, ia menerjang, terus sampai dua kali ketika tikamannya yang pertama
ditangkis lawan itu. Tentu saja ia menjadi tambah gusar dan sengit.
“Hai, budak, apakah kau cari
mampus?” bentak jenderal itu setelah ia sampok mental pedangnya. Kedua tikaman
itu dapat dia elakkan. In Lui tidak mundur, dia malah maju mendesak. Dia
membungkam ketika dia menyerang pula dengan Pek-hong koat jit (Bianglala
menutupi matahari).
Mie Ming melayani dengan
sungguh-sungguh, dengan sepasang gaetannya ia coba mengurung pedang si nona,
tetapi In Lui tidak mau mengerti, ia bebaskan diri, ia menyerang pula, demikian
hebat, hingga lawannya berseru,” Eh!”
Orang Mongolia yang tangguh
ini heran, mau atau tidak, ia mesti bekerja keras, setelah kedua gaetannya
membuka ke kiri dan kanan, lantas ia desak si nona hingga orang mundur tiga
tindak, tindakannya hampir kacau.
Gadisnya In Ceng menjadi
penasaran sekali, tanpa pedulikan desakan, ia lompat, ia balas menyerang secara
hebat.
Tantai Mie Ming kerutkan alis.
“Siapa yang mengajarkan kau
ilmu menyerang?” dia tanya. “Kau berkelahi secara nekat begini, mana kau bisa
layani musuh yang tangguh?”
“Memang niat aku adu jiwa
denganmu!” jawab si nona dengan kaku. Dan ia perhebat serangannya.
Mie Ming menyeringai.
“Nanti aku desak dia, supaya
aku bisa tegaskan kenapa di nekat begini,” dia pikir. Terus ia mainkan sepasang
gaetannya, untuk mengurung pula pedang si nona.
In Lui licin, satu kali ia
telah dipedayakan, ia jadi waspada. Nampaknya ia sembrono, sebenarnya ia dapat
berlaku hati-hati dan cerdik. Begitulah, selagi didesak, dengan tenang ia
gerak-gerakkan pedangnya untuk memberi perlawanan, sambil berbuat begitu, ia
cari ketika yang baik. Demikian waktu ketikanya telah sampai, ia menyontek ke
atas, akan membentur langsung gaetannya.
Satu suara nyaring dari
bentroknya senjata segera terdengar.
“Pedang yang bagus!” seru
Tantai Mie Ming. Ia tidak menjadi kaget meski ujung gaetannya kena dipapas
sempoak pedang si nona. Ia malah mendesak pula dengan dorongannya.
In Lui terkejut. Ia merasakan
telapak tangannya kaku, ia lihat ujung gaetan menyambar ke dadanya. Tidak
sempat ia memutar pedangnya untuk menangkis.
Tapi Tantai Mie Ming tidak
meneruskan menyerang.
“Hian Kie It-su pernah apa
denganmu?” dia tanya.
Justeru orang berseru. In Lui
gunakan ketikanya akan lepaskan diri dari ancaman bahaya. Tentu saja ia jadi
semakin mendongkol.
“Apakah pantas kau menyebut
nama couwsuku?” dia menghina.
“Ha ha ha ha!” Tan Tai Mie
Ming tertawa dan kembali dia ulangi desakannya.
In Lui mundur, dia sangat
terdesak, repot dia membela diri. Pernah ia mendesak dengan nekat, tapi ia
tidak peroleh hasil.
“Sekalipun gurumu, dia bukan tandinganku,
kau tahu?” kata Mie Ming.
In Lui tidak perdulikan orang
berjumawa, ia tetap berikan perlawanannya, beberapa kali lia membuat
penyerangan balasan yang tak kurang hebatnya, walaupun ia mesti menempuh
bahaya.
Mendongkol juga Mie Ming
karena si nona terus mendesak padanya. Selang dua puluh jurus, In Lui mati
daya, tak sanggup dia menangkis terlebih jauh. Ketika gaetan kiri musuh
menyantel pedangnya, dan gaetan kanan mengancam dari atas kepada batok
kepalanya, ia berseru dengan keluhannya,”Ayah, tak dapat anakmu membalas sakit
hatimu.” Sambil mengucap demikian ia tarik pedangnya sekuat tenaga, karena ia
masih mencoba untuk menangkis.
“He, budak cilik, apakah kau
cucunya In Ceng?” tanya Tantai Mie Ming. Karena ini, tertundalah turunnya
gaetan kematian itu.
In Lui lolos dari bahaya,
segera ia menikam.
“Pemberontak, kau masih
punyakan muka menyebut nama yayaku?” dia mengejek.
Mie Ming gusar mendengar
hinaan itu.
“Memang telah cukup aku Tantai
Mie Ming dicaci orang sebangsamu yang anggap dirinya kosen, setia, dan mulia
hati. Baiklah, mari aku binasakan kau turunan orang-orang kosen, setia, dan
mulia itu!”
Jenderal ini menyerang dengan
hebat, maka itu, baru beberapa jurus, kembali In Lui mati kutu.
Selagi dua orang ini bertempur
hebat, di pihak sana terdengar jeritan-jeritan hebat, sebab Ciu Kian yang
melawan belasan musuh, telah peroleh hasil. Lega hati In Lui mendengar
kemenangan susiok-couw itu.
Segera setelah itu terdengar
seruan si ongya,” Tantai Ciangkun, jangan perlambat waktu! Si bangsat tua
Kim-too sedang mendatangi!”