Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 2

 
Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng) Bagian 2
"Aku tiba di sini karena aku mengikuti tapak kaki kudamu," menyahut si nona, "Kebetulan sekali aku mendapatkan kau dilemparkan ke luar tembok pekarangan. Oh, kiranya itu rumah keluarga In? Kalau begitu, si tua bangka itu mestinya In Boe Yang! Sungguh nyalimu besar, kau membuatnya aku kaget hampir mati. Kau telah bertempur dengannya?"

Hian Kie merebahkan diri pula, ia sangat lesuh saking lenyap kegembiraannya. Ia menghela napas dan mengangguk dengan perlahan. Ia menyesali kepandaiannya, yang belum sempurna. Selama ia belajar silat di bawah pimpinan sekalian pamannya itu selama sepuluh tahun lebih, semua orang memuji ia sebagai pemuda yang berpengharapan, siapa tahu kali ini, begitu menempur In Boe Yang, begitu ia dirobohkan, ia tak berdaya sama sekali. Maka ia merasa sangat malu dan menyesal.

Tetapi Nona Oen Lan tertawa dengan riang sekali, wajahnya ramai dengan senyum simpulnya.

"Sebenarnya kau hebat sekali!" berkata ia, memuji. "Kau telah terhajar Siangkoan Thian Ya, kau tidak terluka, bahkan kau dapat melayani In Boe Yang! Eh, jangan bergerak, jangan, meskipun kau tidak terbanting hebat, kau toh mendapat luka di luar, darahmu belum buyar dan berjalan lurus. Mari aku tumbuki!"

"Mukanya Hian Kie menjadi merah. Ia singkirkan tangan si nona.

"Tak usah," katanya, menampik.

Dengan Oen Lan tidak menyebutkan lukanya si pemuda, tidak apa, tetapi karena disebut itu, Hian Kie segera teringat kepada So So. Nona In itu telah menolongi ia dengan pel mujarab kepunyaan ayahnya, nona itu juga sudah memasaki ia bubur yang wangi dan sayur yang lezat yang menjadi kedoyanannya. Ia pun menghargai kejujuran nona itu, yang membiarkan ia berdiam seorang diri di dalam kamar di mana ada tergantung sebuah pedang mustika yang mahal harganya dan langka. Segala gerak-geriknya So So itu sangat membangkitkan kesannya, semua sangat menarik hatinya, juga sikapnya si nona di waktu si nona menghadapi ayahnya yang bengis itu. Maka itu, semakin Oen Lan bersikap manis dan telaten terhadapnya, makin berbayang semua kebaikannya So So, tak dapat ia melupakan itu. Di matanya, So So ada bagaikan bunga bwee di dalam lembah, sederhana keharumannya, melebihkan bunga tho atau lie yang indah mentereng.

Oen Lan heran menyaksikan sikap orang tawar. "Kau memikirkan apa, eh?" ia menanya.

Hian Kie mencoba menenangkan diri.

"Aku lagi memikirkan Siangkoan Thian Ya," sahutnya, menyampingkan soal. Ia nampaknya berduka.

Oen Lan menghela napas.

"Kamu berdua benar-benar sepasang musuh aneh," katanya. "Begitu bertemu muka, kamu berkelahi, tapi begitu berpisah, kamu saling memikirkan. Memang, Siangkoan Thian Ya juga tengah mencarimu."

"Aku telah bertemu dengannya," Hian Kie memberitahukan.

Oen Lan heran.

"Di mana?" dia menanya.

"Di rumahnya In Boe Yang. Ya, baharu sekarang aku mengetahuinya ia satu pemuda yang jujur lagi." Dan ia tuturkan segala apa yang terjadi di rumah Boe Yang itu.

Oen Lan tertawa seraya menutupi mulutnya.

"Sayang Thian Ya tidak dapat mendengar pujianmu ini!" katanya. "Lebih sayang lagi kau bukannya seorang nona remaja!"

Hian Kie heran, sungguh-sungguh ia memandang si nona.

"Benar!" katanya. "Coba aku seorang nona, niscaya aku menyintai dia!" Ia melirik tajam parasnya nona di hadapannya itu. Tapi Oen Lan tunduk, kelihatannya ia tidak senang.

"Kau terlalu!" katanya. "Lain orang terhadap kau... terhadap kau... kau, kau sebaliknya..." Dan ia tidak dapat meneruskan, karena si pemuda, telah memutuskannya.

"Dengan sebenarnya aku lagi memikirkan Thian Ya," menjelaskannya. "Oleh karena aku, dia terjatuh dalam tangannya In Boe Yang, maka itu mana bisa aku berhati tenang?"

"Tetapi In Boe Yang demikian lihay," berkata si pemudi. "Umpama kita bekerja sama dan dengan nekad melawan dia, kita masih tidak dapat mengalahkannya. Maka itu baiklah kau menyabarkan diri, kau beristirahat, lalu kau pulang ke Boetong San untuk menyampaikan warta. Biarlah itu segala imam dari Boetong San yang melayani In Boe Yang, kau sendiri janganlah menempuh bahaya dengan seorang diri pergi untuk mencoba membinasakan dia...."

Hian Kie menghela napas. Ia tetap memikirkan Thian Ya.

"Thian Ya sangat menyintai kau, mustahilkah hatimu tak tertarik sedikit juga?" pikirnya. Ia maksudkan nona she Siauw itu.

Oen Lan berdiam sekian lama mengawasi orang menjublak saja.

"Apakah kau lapar?" dia menanya, halus, selang sesaat. "Nanti aku matangi dua ekor kelinci untukmu."

Hian Kie menggeraki tubuhnya, untuk bangun berdiri, ia pun hendak membilanginya bahwa tubuhnya sudah sehat, atau si nona cepat sekali sudah keluar dari guha itu. Ia berpikir sejenak, lalu ia membiarkannya.

Guha itu terdiri dari dua potong batu besar yang bergabung menjadi satu, dari dalam guha, dengan memandang ke luar, orang dapat melihat si Puteri Malam dengan cahayanya yang gilang-gemilang. Sebab itu waktu adalah malam yang ke-dua bagi pemuda ini.

Hanya berdiam sebentar, Hian Kie bangun berbangkit. Ia mencoba menggeraki tubuhnya, tangan dan kakinya, habis itu ia bertindak keluar. Ia berjalan dengan perlahan, lalu ia menyenderkan tubuhnya di tamping batu, matanya memandang ke depan, ke gunung di mana tertampak beberapa rumah. Ia lantas seperti mendengar nyanyiannya So So, nyanyian yang menggiurkan hati. Ia berhayal seperti si nona tengah menggapai-gapai terhadapnya, memanggil ia datang...

Sendirinya pemuda ini menghela napas, panjang helahannya itu.

"Sayang ia adalah gadisnya In Boe Yang," ia berpikir pula, ia ngelamun. "Ah, buat apa aku memikirkannya dia? Sebegitu lama ilmu silatku belum sempurna, mana dapat aku menginjak pula rumahnya? Ah, apakah benar aku mesti menanti dulu sampai sepuluh tahun lagi baru aku dapat bertemu pula dengannya? ..."

Dalam keadaan hati tidak tenang itu, bimbang pemuda ini, hingga ia memikirnya juga, sekalipun lagi sepuluh tahun, masih belum tentu ia dapat mengalahkan orang she In yang demikian lihay itu. Maka di akhirnya ia menjadi sangat masgul, pikirannya pepat.

Tapi, adakah dia pun memikirkan aku?" tiba-tiba ia ingat. "Jikalau benar dia memikirkan aku, berani aku menyediakan jiwaku untuk dapat menemui dia pula!"

Ia lantas teringat kepada syairnya Oey Tiong Tjek:

Malam begini dengan bintang-bintangnya bukan malam kemarinnya. Siapakah berdiri di tengah malam antara angin dan embun?

Hian Kie menyender terus. Kecuali So So berpetah dalam otaknya, ia tidak memikirkan lainnya. Malam itu angin dingin sejuk, ia berdiam saja seperti tanpa merasa. Lama ia berdiam secara begitu, sampai tiba-tiba ia dibikin sadar oleh suara nyanyian tinggi jauh di puncak gunung, terbawa sang angin.

"Pulang habis perang seratus kali, arak masih hangat.

Es menerjang rambut di pelipisan mendatangkan rasa dingin.

Mengingat peperangan tahun dulu itu,

Sesungguhnya itu mensia-siakan hati si bunga bwee..."

Hian Kie terkejut karena ia mengenali suaranya In Boe Yang. Tinggi dan dalam nadanya nyanyian itu. Pula aneh, sudah jauh malam, Boe Yang masih belum tidur. Maka ia menduga-duga, mungkin Boe Yang pun tengah memikirkan sesuatu.

Pemuda ini mengangkat pula kepalanya, memandang ke arah puncak tadi. Tiba-tiba ia menampak berkelebatnya satu bayangan orang, yang menghilang di arah selatan, lenyap dalam sekejab. Ia menjadi heran hingga ia menjublak pula.

"Sekarang sudah tengah malam, apakah perlunya In Boe Yang turun gunung?" ia tanya dirinya sendiri. Ia menduga kepada jago she In itu. Tanpa merasa ia bertindak, menuju ke rumahnya So So itu. Sekarang, sebagai gantinya nyanyian, kupingnya menangkap suara tetabuan khim. Dari atas puncak, suara itu turun terbawa angin. Lalu terdengar pula suara nyanyian.

"Itulah So So tengah bernyanyi," pikirnya. "Angin malam telah membawa nyanyian itu ke mari, dapat aku mendengarnya dengan nyata."

Ia memasang kupingnya. So So bernyanyi:

"Kuda putih yang bagus,

makan rumput di ladangku.

Mengikat dia, menambat dia,

Untuk melewati sang hari ini.

Dan itu orang, itu orang,

Dia pernah bersiar bersama...

Kuda putih yang bagus,

Kembali dia ke dalam lembah,

Dia menggayem rumput hijau.

Dan itu orang, cantik bagai kumala,

Jangan lupa membagi aku warta,

Janganlah kau menjauhkan hatiku!"

-xxXXXxx-



BAGIAN III : Satu Lawan Tiga

Suara khim itu, nyanyian itu pula, itulah menandakan So So memikirkan ia. Maka menghelah napaslah Hian Kie.

"Ya, kuda putihku masih ada di rumahmu," katanya dalam hati, "dan besok dia masih memakani rumput hijau di depan pintu rumahmu. Hanya, hanya aku kuatir, tidak dapat aku menginjak pula rumahmu itu..."

Ia dongak memandang langit, sang cakerawala indah tak bermega, hanya sang Sungai Perak yang berpetah berbayang di sana. Rembulan cemerlang bagaikan air jemih malam yang indah luas tak berbatas. Di samping itu si jantung hati, dapat dia dipandang tetapi tak dapat dihampirkan seperti itu bunga bwee di lembah yang dalam...

Dengan sendirinya Hian Ki, terumbang-ambing oleh tetabuan dan nyanyian itu, hatinya tidak keruan rasa, di depan matanya berbayang si nona cantik yang lemah lembut itu. Ia pun lantas mengingat suara tertawa nyaring dari Siangkoan Thian Ya.

"Untuk mereka berdua, mengapa aku mesti menyayangkan diriku? Baiklah aku mencoba lagi sekali menyerbu bahaya!" demikian mendadak ia mengambil keputusan.

Maka tak ayal lagi, ia bertindak mendaki puncak.

Dengan tiba-tiba suara khim berhenti, lenyap suara nyanyian tadi. Puncak itu, lembah itu, kembali menjadi tenang, sunyi dan senyap. Hian Kie berpikir, maka terhentilah tindakan kakinya. Di saat itu, di dalam kesunyian, ia dapat mendengar suatu suara perlahan. Coba tidak sedari kecil ia telah mempelajari mendengar suara anginnya senjata rahasia, ia pun tak nanti dapat mendengarnya.

Ia memasang kupingnya, ia mendapatkan suara datang semakin dekat. Itulah suara tindakan kaki orang dan orangnya bukan bersendiri saja. Tindakan kaki dari orang yang jalan di depan nyata bedanya dengan beberapa di antaranya yang jalan belakangan. Teranglah orang berlari-lari atau saling berkejar-kejaran. Dan karena larinya keras segera juga mereka itu tiba di sebelah depannya.

Hian Kie terkejut akan mengetahui lihaynya ringan tubuh dari orang itu. Lekas-lekas ia menyelinap, untuk menyembunyikan dirinya.

Orang yang di depan itu berpakaian serba hitam, sampai di situ ia bersiul panjang, lalu ia menghentikan larinya. Sebagai gantinya itu, segera terdengar suaranya yang keras dan dingin: "Aku si orang she Tjio masih mengingat akan persahabatan kita dari banyak tahun, maka itu, saudara-saudara, mengapa kamu mengejar-ngejar aku tak hendak berhenti-henti? Mustahilkah kamu benar-benar hendak mengubar aku hingga di rumah Keluarga In? Benar-benarkah kamu menghendaki aku merusak persahabatan kita?"

Atas itu terdengar satu suara nyaring bagaikan gembreng bobrok.

"Tjio Thian Tok, jangan kau terlalu mengandalkan ilmu silatmu yang lihay!" demikian suara menggeletar itu. "Sekalipun kimpay dari junjungan kita yang muda kau tidak menghiraukannya! Apakah kau hendak kerjakan dengan pergi ke rumah Keluarga In?"

Semua kata-kata itu masuk tedas ke dalam telinganya Hian Kie, pemuda ini menjadi tercengang dibuatnya. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang dengan pakaian hitam itu adalah jago Rimba Persilatan dari banyak tahun yang berada di bawahan Pheng Hweeshio tetapi di atasan In Boe Yang, ialah Tjio Thian Tok yang kenamaan. Setelah Thio Soe Seng runtuh dan menerima kebinasaannya dan Pheng Hweeshio pun turut mengurbankan dirinya, Tjio Thian Tok ini lantas tidak ketahuan keruan parannya. Ada yang membilang dia kabur ke gurun pasir Utara dengan membawa kabur puteranya Thio Soe Seng yang berada di bawah perlindungannya, tetapi kebenarannya itu tak ada yang dapat membuktikannya. Maka sungguh aneh, sekarang, di waktu malam begini, dia muncul di gunung Ho lan San dan dia hendak mencari In Boe Yang.

Hian Kie heran dan bingung, hingga ia berpikir keras.

Tjio Thian Tok itu jujur, gagah dan setia. Di harian runtuhnya Thio Soe Seng, yang jiwanya lenyap dan pemerintahannya terjatuh karenanya, dengan melupakan bahaya yang mengancam dirinya, dia merampas puteranya Thio Soe Seng, si junjungan, untuk dibawa lari menyingkir. Rekan-rekan dalam pasukan tentaranya Thio Soe Seng itu pun menjadi paman-pamannya Hian Kie ini dan mereka setiap kali membicarakan Thian Tok, semua rata-rata memuji tinggi, semua sangat mengaguminya. Maka itu aneh, kenapa ini orang-orang yang mengejar mengatakan dia temberang, mengagulkan kepandaian sendiri sampai dia tak menghiraukan kimpay dari siauwtjoe, junjungannya yang muda itu? Mungkinkah junjungan yang muda itu bukan dimaksudkan putera mahkota yang buron dari kerajaan Tay Tjioe? (Tay Tjioe itu, Kerajaan Tjioe yang agung, ada nama kerajaannya Thio Soe Seng).

Segera setelah suara nyaring seperti gembreng pecah itu, terlihatlah orang-orang yang mengejar-ngejar Tjio Thian Tok. Mereka betjumlah tiga orang. Dari tempatnya mengintai, Hian Kie dapat melihat cukup jelas mereka itu. Luar biasa mereka. Yang satu ada seorang toosoe atau imam, penganut agama Too Kauw. Yang kedua dandan sebagai seorang dusun yang lanjut usianya, tangannya panjang, kulit mukanya kekuning-kuningan, wajahnya tawar. Dan yang ketiga ada seorang kosen yang dandan sebagai orang Mongolia. Si suara gembreng pecah itu ialah si imam pengikutnya Loo Tjoe atau Lao Tze.

Hian Kie rasanya seperti kenal imam itu.

"Tjit Sioe Tooheng," terdengar Thian Tok berkata, "jikalau kau menanyakan aku kenapa aku hendak pergi ke rumah keluarga In, maka terlebih dulu ingin aku menanya kau, kenapa kamu mengejar aku sampai di sini?"

Tergetar hatinya Hian Kie. Benar, itulah Tjit Sioe si imam yang ia kenal.

Di masa hidupnya Thio Soe Seng, Tjit Sioe menjadi tetamu yang terhormat dari raja Kerajaan Tjioe itu. Dialah ahli silat yang diundang untuk mendidik Thio Hok Tjee, putera mahkota, dalam pedang. Ketika itu Thio Soe Seng paling menghargai tiga orang, ialah seorang paderi, seorang imam dan seorang pengemis. Si paderi yaitu Pheng Hweeshio yang bemama Eng Giok. Si pengemis ialah Pit Leng Hie, pangtjoe atau ketua Partai Pengemis di Utara. Dan si imam ialah Tjit Sioe Toodjin ini.

Ketika itu Pheng Hweeshio diakui umum sebagai jago silat nomor satu. Tentang yang lainnya, seperti Tjio Thian Tok, In Boe Yang, Pit Leng Hie dan Tjit Sioe, mereka kesohor untuk masing-masing kepandaiannya yang istimewa sendiri-sendiri, sulit untuk menggariskan mereka kepada sesuatu kelas. Karena Tjio Thian Tok dan In Boe Yang bersama Pheng Hweeshio bekerja sama di bawahan Thio Soe Seng dan karena kedudukan mereka, dulu hari itu orang menyebutnya mereka Liong Houw Hong Samkiat, ialah tiga jago Naga (Liong) Harimau (Houw) dan Hong (burung Hong). Hian Kie pernah melihat Tjit Sioe semasa usianya baru enam tahun, tidak heran sekarang ia tidak lantas dapat mengingatnya.

Di antara terangnya rembulan, Tjit Sioe mengangkat tinggi sebuah kimpay, pertanda terbuat dari emas.

"Aku menerima titahnya Siauwtjoe menyusul kau kemari untuk diajak pulang!" berkata dia. "Kita mesti dapat menghargai kehormatan umum dan perasaan pribadi, maka itu kau dilarang mendurhaka kepada junjungan yang lama untuk mendapatkan hadiah dan pangkat tinggi!"

Thian Tok tertawa dingin.

"Jikalau aku mendurhaka kepada junjunganku untuk memperoleh hadiah besar dan pangkat tinggi, tidak usahlah aku menanti sampai pada sekarang ini! Tempo itu hari yang junjungan kita roboh di Tiangkang, akulah yang melindungi putera mahkota menyingkir menyeberangi sungai dengan menaiki hanya seekor kuda tunggang, aku bawa dia buron jauh . luar perbatasan negara ke negeri asing.3) Di sepanjang jalan itu, dengan beruntun aku telah menghajar mampus delapan belas jago silat sebawahannya Tjoe Goan Tjiang. Maka jikalau aku ingin mencari kebahagian di bawahannya Tjoe Goan Tjiang itu, pastilah itu kedudukan mulia tjongtjiehoei dari Kimie wie tidak nanti terjatuh ke dalam tangannya Lo Kim Hong.

"Kita semua telah menerima budinya junjungan yang tua, kalau kita mengurbankan diri untuk membelainya, itulah sudah selayaknya," berkata Tjit Sioe. "Untuk melindungi turunan junjungan kita kau sudah bawa putera mahkota menyingkir jauh-jauh, perbuatanmu itu kita semua mengagumi dan menghargainya. Akan tetapi seorang laki-laki sejati, dia mesti berbuat ada kepala harus ada buntutnya. Dulu kau melindungi almarhum putera mahkota, kenapa kemudian kau mensia-siakan turunannya? Siauwtjoe itu bijaksana, sudah selayaknya kau menunjang padanya dengan seantero tenaga dan kepandaianmu, untuk kita bekerja sama, guna menunjang ia membangun pula negara orang tuanya. Kenapa sekarang kau buron seorang diri? Kenapa kau menyingkir ke mari untuk mencari In Boe Yang? Sebenarnya, aku numpang bertanya, kau ada mengandung maksud apa?"

Mendengar pembicaraan itu, tahulah Hian Kie yang putera mahkota yang ditunjang paman-pamannya telah meninggal di dunia negara asing, maka juga yang dipanggil siauwtjoe ini, junjungan yang muda, mesti ada cucunya Thio Soe Seng.

"Kedua keluarga Tjoe dan Thio memperebutkan negara, pergulatan mereka sekarang tiba kepada turunan yang ketiga," pikir si anak muda. "Entah sampai kapan pergulatan ini akan berakhir? In Boe Yang hendak mendurhaka, ia hendak menjual sahabat-sahabatnya guna mendapati pangkat, dialah seorang yang tidak berbudi, buruk bathinnya, hanya pembilangannya bahwa perebutan negara untuk satu keluarga atau satu she tidak ada perlunya, sedikitnya mengandung kebenaran juga."

Peristiwa di depannya ini membuatnya Hian Kie bertambah bingung. Pantaskah ia terlibat di dalam pergulatan itu? Ia tak tahu!

Lalu terdengar jawabannya Thian Tok.

"Oleh karena Siauwtjoe muda dan bijaksana, maka itu aku tidak rela kamu merusak dia!" ujarnya. "Tahun dulu itu putera mahkota telah memberi nama Tjong Tjioe kepada siauwtjoe, itu artinya ia ingin supaya siauwtjoe terus bergulat dengan tidak melupakan negara yang musnah, tetapi bukan maksudnya putera mahkota menyuruh dia memuja negara Watzu dan menunjung raja asing itu sebagai majikannya."

Hian Kie kembali melengak. Apa itu negara Watzu? Apa itu raja asing? Sebenarnya, bagaimana duduknya urusan ini?

Watzu itu sebuah atau sekelompok bangsa Mongolia, di jaman itu dia belum membangun negara, maka itu namanya tak dikenal oleh sejumlah rakyat Tiongkok asli.

"Hm!" Tjit Sioe bersuara. Tapi belum ia sempat melanjuti, untuk berkata, Tjio Thian Tok telah mendahului padanya.

Kata Thian Tok: "Dengan saudara Boe Yang aku sudah berpisah lamanya duapuluh tahun, sekarang ini aku belum tahu sikap jejaknya, tetapi walaupun demikian, hendak aku berbuat sebisanya untuk membujuk dia agar dia tidak usah terjerumus ke dalam lumpur seperti kamu ini."

"Tjio Thian Tok, kau sudah berontak, kau sudah mendurhaka!" membentak si orang tua pedusunan, yang baharu campur bicara. "Kesalahanmu minggat saja sudah bukannya kesalahan kecil, sekarang kau masih mengandung maksud untuk merusak usaha yang besar!"

Si jago Mongolia juga tidak berdiam saja.

"Buat apa ngoceh saja dengannya?" katanya bengis, memotong Thian Tok. "Sri Baginda telah memerintahnya, jikalau manusia ini tidak mendengar perintah dia mesti segera dibinasakan!"

Ia bukan cuma membentak, ia pun segera mengayun cambuk di tangannya dengan apa ia menyabat pinggangnya Thian Tok, menyabat untuk dilibat dan dilemparkan!

Hebat sabatan itu, anginnya menderuh, dedaunan sampai rontok, pasir pun beterbangan. Dan "Plak!" sebuah pohon di samping Hian Kie kena disambar hingga patah dua cabangnya yang besar. Tentu sekali si anak muda terkejut karenanya, terutama untuk tenaga orang yang besar itu.

Thian Tok tidak menjadi jeri karenanya. Bahkan dengan tenang ia berkata: "Dengan mengingat persahabatan kita untuk banyak tahun, dengan menghargai juga keharusan di antara tuan rumah dan tetamunya, suka aku mengalah untuk tiga cambukmu!"

Benar-benar penyerang itu mengulangi serangannya hingga tiga kali beruntun, hingga Thian Tok seperti terkurung cambuk yang lihay itu, hanya sekejab kemudian, berbareng sama siulannya yang panjang, tubuh orang she Tjio ini mencelat tinggi dengan gerakannya "Burung walet menerjang mega," setelah berlompat tinggi itu, di waktu tubuhnya turun pula, ia membarengi membalas menyerang.

Si orang Mongolia tengah terulur cambuknya, belum ia menariknya pulang ketika pundaknya kena terhajar.

Tjio Thian Tok terkenal untuk Tangan Besinya dan Poankoan pitnya yang dahsyat, hingga kedua kepandaiannya itu menyebabkan dia mendapat gelaran Boelim Siangtjoat itu, maka juga, serangannya kali ini bukannya enteng. Akan tetapi tangguh si orang Mongolia, tubuhnya tidak bergeming, kalau toh ia bergerak, ialah untuk memutar diri dengan gerakannya "Ular naga betjumpalitan," cambuknya itu berbarang disabatkan pulang, menyapu pada Tjio Thian Tok.

Hebat orang she Tjio ini. Ia tidak menangkis atau berkelit. Ia seperti membiarkan tubuhnya dilibat, hanya setelah ia menyambar cambuk itu, untuk dipegang erat-erat, sesudah mana, belum lagi si orang Mongolia sempat melemparkan padanya, ia sudah mendahului menarik, kaget dan keras. Sambil menarik, ia berseru. Kuda-kudanya orang Mongolia itu tergempur, di luar kehendaknya, tubuhnya tertarik, terangkat tinggi, mengikuti cambuknya itu yang terus diputar lawannya. Dia kaget tetapi dia tidak sudi melepaskan cekalannya kepada gagang cambuk, kalau dilepaskan, itu artinya dia bakal terlempar terpelanting. Dengan memegangi terus dia seperti melayang berputaran di udara, sebab kakinya telah terangkat, terpisah dari tanah.

Thian Tok tidak berhenti dengan gerakannya memutar cambuk itu, musuhnya jadi melayang terus berputaran. Sekarang barulah si orang Mongolia kaget dan takut, ia lantas berteriak-teriak. Ia merasakan kepalanya pusing dan matanya kabur.

Menampak kejadian itu, Tjit Sioe Toodjin berseru: "Thian Tok, kita sama-sama bernawung kepada orang lain, tidak dapat kau berlaku begini kurang ajar kepada seorang baturu dari Watzu!"

"Baturu" itu ialah seorang kosen dalam tugas (tentara).

"Baiklah!" menjawab Thian Tok. "Kamu tidak dapat membujuk aku, aku pun tidak dapat menasihati kamu, karena itu mari kita jalan masing-masing! Kamu mesti lekas angkat kaki dari sini, nanti aku beri ampun jiwa dia ini!"

Si orang tua pedusunan itu beda anggapannya daripada si imam.

"Tjio Thian Tok," ia berseru, "kau terlalu mengandalkan kepandaianmu! Kau sudah menentang titahnya junjungan kita, kau merusak usaha besar membangun pula negara, kau juga tidak mengambil mumat Tjit Sioe Tooheng, maka itu, tidak dapat aku melepaskan kau!"

Kata-kata ini disusul sama satu lompatan jauh sambil kedua tangannya diulur.

Hian Kie dapat melihat gerakan orang itu, ia terkejut. Heran ia melihat dua tangan orang yang panjang dengan sepuluh jarinya yang berkuku tajam bagaikan kuku burung, bahkan kuku itu berwarna hitam. Sasaran dari serangan itu pun batok kepalanya Thian Tok.

Orang she Tjio itu mendapat lihat itu penyerangan.

"Hm, Pouw Kian!" serunya, dingin. "Kita ada kawan-kawan seperti kaki dan tangan untuk banyak tahun, kenapa kau begini kejam menurunkan tanganmu yang beracun? Baiklah, jangan kau nanti sesalkan aku tidak mengenal aturan!"

Sembari berkata begitu, tanpa menoleh lagi, Thian Tok menyerang ke belakang.

Si orang tua pedusunan yang dipanggil Pouw Kian itu gesit gerakannya, atas itu penyambutan, ia berlompat mundur, tetapi bukannya untuk pergi menyingkir, hanya untuk terus menyerang pula buat ke dua kalinya. Lagi-lagi ia mengulur kedua tangannya dengan sepuluh jarinya yang berkuku tajam itu.

Ketika itu, dengan mengeluarkan suara "Buk!" keras sekali, tubuh si orang Mongolia teijatuh keras di tanah, sebab untuk melayani Pouw Kian, terpaksa Thian Tok melepaskan cambuk yang tadi ia pegang dan putar terus-terusan. Tapi orang Mongolia itu lihay, ketika ia roboh terbanting, ia tidak roboh rebah, hanya begitu mengenai tanah, ia lompat mencelat pula dengan gerakannya 'Ikan gabus meleti'k. Ia terus lompat menjumput cambuknya, untuk kembali dipakai menyerang musuhnya!

Thian Tok membuka kedua tangannya, tangan yang kiri dipakai untuk menghindarkan cambuk, tangan yang kanan digunai untuk memecahkan serangannya Pouw Kian. Lebih dulu ia mengambil sikap 'Memeluk harimau pulang ke gunung', lalu itu disusul dengan 'Garuda emas mementang sayap'. Maka gagallah serangan si orang dusun.

Keduanya lantas bertempur terlebih jauh.

Thian Tok berani dan lihay, dengan satu melawan dua, ia masih lebih banyak menyerang daripada membela diri, hanya biarpun begitu, ia berwaspada untuk sepuluh jari tangan atau kukunya Pouw Kian. Karena ini, si orang Mongolia yang bergelar baturu itu dapat leluasa memainkan cambuknya, saban-saban ia menyabet ke pinggang dan kaki.

Baru sekarang Hian Kie ingat kepada Pouw Kian itu. Bukannya ia kenal, hanya ia pernah mendengar nama orang itu. Menurut paman-pamannya, Pouw Kian ini ada seorang dari suku bangsa Ie di Seeliang dan ilmu silatnya itu didapat di gunung Seeliang San dari seorang berilmu yang hidup menyendiri, ilmu silat itu dinamakan Ngokim Tjianghoat, artinya ilmu silat Lima Binatang Bersayap, karena mana, sepuluh buah kukunya itu tajam dan beracun, siapa kena dicengkeram, dalam tempo duabelas jam, akan terbinasalah kurban itu. Thio Soe Seng tahu orang lihay, ia ambil sebagai kawan seperjuangan, tetapi karena ilmu silatnya itu bukan dari kalangan yang lurus, namanya Pouw Kian kalah tersohornya seperti Pheng Hweeshio, Tjio Thian Tok dan lainnya.

Pouw Kian sangat mengandalkan ilmu kepandaiannya itu, semasa bekerja sama di bawah perintahnya Thio Soe Seng, ia sudah berkesan tak puas terhadap Thian Tok semua, tak sudi ia mengalah, maka itu sekarang, setelah pecah persahabatan, dalam bentrokan, ia hendak perlihatkan kelihayannya itu. Hebat semua penyerangannya.

Thian Tok jeri kepada kuku orang tetapi ia tidak takut, bahkan kalau orang Ie itu tidak lincah gerakannya, beberapa kali tentulah dia sudah merasakan tangannya.

Hanya, tidak perduli dia sangat lincah dan gesit, dia toh seperti terkurung tangan Thian Tok. Maka, mau atau tidak, orang Ie ini menyedot juga hawa dingin saking gentar hatinya. Diam-diam akhirnya dia mengaku dalam hatinya: "Nama Tjio Thian Tok ini cuma di sebawahan Pheng Hweeshio, dengan sebenarnya ia lihay sekali, namanya tak kosong belaka."

Selagi bertempur terus, mendadak terdengar Thian Tok berseru nyaring. Kesudahannya itu sebuah pohon cemara di dekatnya kena dihajar roboh hingga daunnya rontok mengganggu mata orang. Adalah di saat itu, sebelah kakinya melayang, menyebabkan tubuh si orang Mongolia jatuh berjumpalitan, Pouw Kian terkejut, ia menyingkir untuk menjauhkan diri, tetapi Thian Tok lompat memburu kepadanya, tidak ampun lagi sebelah pundaknya kena dihajar, hingga di sebelah merasakan sakit dan panas, tubuhnya pun terhuyung sepuluh tindak.

Di saat itu, Thian Tok hendak membuka mulut tetapi ia batal. Tahu-tahu satu sinar terang berkelebat menyambar kepadanya. Ia melihat itulah Tjit Sioe, yang telah menghunus pedang dan berlompat menyerang kepadanya.

"Oh, saudara Tjit Sioe, kau juga maju?" ia menegur.

"Inilah terpaksa!" menyahut si imam. "Kami telah menerima tugas, aku sudah membawa kimpay dari Siauwtjoe, terpaksa aku mesti mengadu jiwa denganmu!"

Perkataan ini dibarengi tikaman ke jalan darah di tujuh tempat, sebab Tjit Sioe lantas menyerang bertubi-tubi.

Thian Tok berkelit berulang-ulang. Satu kali sambil mendak tangannya diangkat dan sebuah jerijinya menyentil, maka mentallah pedangnya si imam, dari itu ia jadi mendapat ketika akan berlompat kepada Pouw Kian, hingga ini musuh kena terdesak mundur.

Melihat cara berkelahinya jago tua ini, Hian Kie kagum dan takjub, tanpa merasa sendirinya ia mengeluarkan keringat.

"Bagus!" Tjit Sioe memuji, pedangnya terpental tetapi tidak terlepas dari cekalannya. "Lihat pedang!" serunya pula, membarengi terputarnya pedangnya untuk membabat.

Tjit Sioe ini bersama-sama Pheng Hweeshio dan Pit Leng Hie, dulu hari telah mendapat nama sama tersohornya, kalau barusan pedangnya kena disentil Thian Tok, itu disebabkan mereka berdua baru saja bertempur, setelah ini, ia waspada. Setiap kali ia menyerang, pedangnya bergerak dalam tujuh perubahan. Inilah tepat dengan namanya, yang memakai huruf 'Tjit' yang berarti 'tujuh'. Dalam ilmu pedang, ia tidak dapat menandingi Bouw Tok It dari Boetong Pay, akan tetapi di sebelah Tok It itu, ialah ahli pedang nomor satu.

Segera juga Thian Tok mesti memeras keringat akan melayani satu Tjit Sioe, sebab sampai sebegitu jauh ia tetap dengan bertangan kosong, maka dengan adanya Pouw Kian di sampingnya si imam, dengan mereka itu pun dibantu si orang Mongolia, yang maju pula setelah terbantingnya, ia kena terdesak.

Tjio Thian Tok sedang dikerubuti oleh Tjit Sioe Toodjin, Pouw Kian dan seorang baturu dari Mongol.



Menggigil rasanya Hian Kie akan menyaksikan pertempuran itu, ia tidak tahu ia mesti turun tangan atau tidak, ia sangsi untuk membantui pihak yang mana. Ia melainkan ketahui merekalah sahabat-sahabat ayahnya almarhum tetapi siapa benar siapa salah, gelap untuknya. Bahkan untuk membuka suara, ia tidak berani.

Tidak lama mendadak Thian Tok berseru panjang, tubuhnya mencelat tinggi, atau kapan ia sudah turun pula menginjak tanah, sebelah tangannya sudah mencekal sebatang poankoan pit panjang dua kaki, ialah senjata semacam pit, alat tulis.

"Tjit Sioe Tooheng, kau membuatnya saudaramu mempertaruhkan jiwa!" ia berteriak. Suaranya itu nyaring dan tajam, mengandung hawa amarah hebat dan penasaran sangat.

Setelah itu maka bergeraklah senjatanya si orang she Tjio ini, ke sana ke mari, mengikuti tubuhnya yang gesit dan lincah.

Tjit Sioe segera menutup diri dengan pedangnya, atas mana poankoan pit menyambar ke alisnya Pouw Kian, hingga dia ini menjerit tajam, terhuyung beberapa tindak. Si orang Mongolia merangsak, tetapi ia juga disambut hingga lengannya kena tertikam, hingga lengan itu borboran darah.

Hian Kie kaget dan heran menyaksikan kegagahan orang, yang dalam segebrakan saja telah dapat melukai musuh-musuhnya. Ia kagum bukan main.

Tjit Sioe melayani dengan perhatian sepenuhnya menyaksikan lihaynya poankoan pit itu. Ia pun mengeluarkan kepandaiannya ilmu pedang, membalas menyerang ke pelbagai arah, tubuhnya saban-saban berlompat ke sana ke mari, atau kadang-kadang ia berlompat mengapungi diri, untuk menikam atau membacok dari atas. Ia menyerang sambil menutup dirinya.

Tjio Thian Tok dikenal sebagai "Tiattjiang Sinpit," atau si Tangan Besi dan Poankoan pit Keramat, tepat sebutan itu. Lain orang biasa menggunai poankoan pit sepasang, ia hanya sebatang, tangan kirinya dipakai membantu di mana perlu. Pula beda dari lain orang, yang tangguh tenaganya yang dan lemah tenaganya im, ia menggabung kedua-duanya, im dan yang itu, maka di mana perlu, dapat ia berlaku keras atau lembek. Juga hebat caranya ia menotok jalan darah, sebagaimana poankoan pit memang diperuntukkan totokan itu.

Tjit Sioe dibantu dua jago, ia tetap tidak dapat berbuat banyak.

Hian Kie terus menonton dengan saban mendengar mendengungnya senjata-senjata beradu. Ia memang telah meyakinkan ilmu mendengari suara senjata, maka tahulah ia, sudah tujuh kali mereka berempat bentrok senjatanya. Tidak perduli lihaynya pedang Tjit Sioe, pemuda ini mengetahui Thian Tok adalah yang terlebih unggul.

Tjit Sioe Toodjin sudah menggunai tipu pedangnya "Lianhoan Twiehoen Toatbeng," ilmu pedang "Mengejar arwah Merampas jiwa," yang beruntun tiga kali tujuh, tidak kurang setiap penyerangannya itu kena dihalau Thian Tok, diam-diam ia mengagumi dan memuji lawannya ini.

"Tjit Sioe Tooheng, apakah tetap kau tidak hendak melepaskan aku pergi?" menanya Thian Tok selagi berkelahi.

Si imam mengertak giginya.

"Kau sambutlah lagi dua jurus!" serunya, keras dan sengit, nadanya seram. Itulah tanda kemendongkolan dan penasaran yang hebat. Ia benar-benar menyerang ke kiri dan ke kanan, di kiri dengan tipu silat "Di Liongboen gelombang menggempur," di kanan dengan jurus "Di gurun besar, pasir berterbangan." Namanya dua kali penyerangan, sebenarnya itu menjadi berjumlah empat belas kali, sebab seperti telah diketahui, setiap penyerangannya berulang tujuh kali. Dengan itu pun berarti semua tikamannya itu mencari empat belas jalan darah dari Thian Tok.

"Tooheng, kau sangat mendesak aku, maka tidak lain, terpaksa aku mesti menemani kau!" berkata Thian Tok, keras tetapi bernada putus asa. Maka bergeraklah pula senjatanya diimbangi tangan kirinya yang kosong.

"Tingtong! Tingtong!" demikian beruntun terdengar suara nyaring.

Tjit Sioe terperanjat, ia berlompat mundur, dengan ini ia mengambil kesempatan untuk memeriksa pedangnya. Untuk kagetnya ia mendapatkan pedangnya itu gompal di satu tempat. Itu pun menyatakan hebatnya serangan dari Thian Tok. Hendak ia membuka mulutnya ketika Pouw Kian mendahului ia dengan tertawanya yang menyeramkan, disusul sama sambaran sebelah tangannya. Karena menggunai Thian Tok menghajar pedang Tjit Sioe, ia menyengkeram dengan lima jeriji dari tangan kirinya. Maka robeklah baju di pundaknya Thian Tok!

"Thian Tok, pada hari ini dari lain tahun, itulah hari sembahyang kematianmu satu tahun!" Pouw Kian berseru mengejek. Kemudian ia menambahkan: "Sioe Tooheng, mari maju bersama, mari kita mampusi dia!"

Sebaliknya daripada maju menyerang, Tjit Sioe menarik pulang pedangnya. Kata ia dengan suaranya tak lancar: "Kita adalah orang-orang nomor satu dari dunia Rimba Persilatan, kalau dengan cara begini kita mengalahkan dia, itu bukannya kemenangan yang cemerlang! Saudara Pouw Kian, mari!"

Kata-kata ini, ajakan untuk berlalu pergi, disusul sama seruan panjang dan keras dari Tjio Thian Tok, seruan umpama kata "menembusi mega, menghancurkan batu." Itulah tanda dari lweekang, tenaga dalam, yang menyampaikan puncaknya. Seruan itu tak mengentarakan sedikit jua bahwa orang telah kena dilukai.

Pouw Kian tengah berlompat maju untuk mengulangi serangannya tatkala di kupingnya mendengung seruan itu, ia kaget bukan kepalang, hingga mukanya menjadi pucat. Justeru itu Thian Tok tertawa lebar dan mengatakannya! "Jari tanganmu yang berbisa tak dapat melukakan aku!" berbareng dengan mana, sebelah tangannya melayang!

Tanpa ia berdaya, Pouw Kian terpelanting hingga setombak lebih.

Si orang Mongolia tidak kenal bahaya, justeru itu waktu ia maju seraya menyapu dengan cambuknya.

Kembali Thian Tok berseru: "Mengingat kepada bekas rekan, aku melepaskannya kau, Pouw Kian, tetapi tidak ini jahanam!" Ia maksudkan si orang asing ini dan kata-katanya itu dibarengi sama bergeraknya pula tangan kirinya, maka di itu saat juga, cambuk kena disambar dan ditarik, selagi tubuh orang terbetot, poankoan pit di tangan kanan nancap di dadanya lawan itu!

Menyaksikan itu, Tjit Sioe berseru berulang-ulang, seruan dari putus asa: "Habis sudah, habislah! Kau telah membunuh orang ini, hatinya pasti tak dapat diubah lagi, maka kita yang bersaudara satu dengan lain, putuslah hubungan kita!"

Habis mengucapkan demikian, imam ini menghampirkan Pouw Kian, untuk diangkat tubuhnya, buat dipanggul, untuk dibawa lari seperti terbang turun gunung.

Thian Tok menghela napas panjang.

"Sudah terpaksa, tidak bisa lain," katanya seorang diri, menyesal.

Setelah pertempuran mati hidup yang dahsyat itu, gunung menjadi sunyi senyap pula, tetapi Hian Kie, hatinya masih berjenutan keras. Sebab untuknya, peristiwa itu sangat hebat, sangat mengesankan.

Di antara cahaya rembulan yang permai itu, Thian Tok mendongak memandang ke atas gunung, lalu terdengar suaranya yang perlahan: "Siapakah yang menyangka dalam hidupku ini kembali aku dapat tiba di rumah Keluarga In... Ya, aku pergi terus atau aku kembali saja?..."

Hian Kie heran bukan main.

"Tadi dia nekat, dia melarang orang menyegahnya," pikirnya. "Sekarang musuh-musuhnya yang tangguh sudah roboh dan mengangkat kaki, kenapa justeru menjadi beragu-ragu?"

-xxXXXxx-

BAGIAN IV : Suatu pertemuan

Masih Hian Kie mengintai dari balik pohonnya itu. Ia mendapatkan Thian Tok lesuh sekali, bagaikan hilang semangatnya, tak ada tanda sedikit jua bahwa ia bergirang dengan kemenangannya itu. Di bawah sinarnya si Puteri Malam, ia berdiri menjublak saja, tak ada suaranya sama sekali. Hingga ia mirip dengan sebuah patung marmer.

Kembali Hian Kie menggigil sendirinya. Sekarang ini Thian Tok nampaknya lebih menyeramkan daripada waktu ia berkelahi mati-matian barusan.

Lewat sesaat, kembali Tjio Thian Tok mengasi dengar helahan napas yang panjang, lalu terdengar suaranya yang perlahan: "Untuk duapuluh tahun aku terumbang-ambing di antara telaga dan lautan, rontok kuyup bagaikan bunga bwee di musim semi di negara Utara!... Lalu tangannya merogo ke dalam sakunya, mengeluarkan serupa benda, apabila ia sudah angkat itu maka terlihatlah sebuah dompet sulam. Kembali ia mengatakannya dengan perlahan: "Dompet ini disulam dengan huruf-huruf wanyoh, daun yang hijau yang meneduh menghadapi orang yang lama..."

Tak tahu Hian Kie artinya kata-kata itu tetapi ia merasakan nadanya yang sedih. Itulah pengutaraan dari penyesalan hati. Mungkinkah jago ini, yang demikian kesohor, ada mempunyakan kesulitan yang tak dapat dia mengutarakannya?

Tak lama, Tjio Thian Tok menyimpan pula dompetnya itu. Lagi sekali ia mengoceh seorang diri: "Peristiwa-peristiwa di dalam dunia ini berubah-ubah, bagaikan mega dan asap melintas di depan mata, maka apakah perlunya aku memikir-mikirkan pula semua itu yang telah lewat?..."

Segera juga tubuh jago itu bergerak, atau di lain saat ia seperti sudah menghilang, entah ia terus pergi ke rumah si orang she In itu atau ia kembali ke tempat dari mana ia datang...

Baharu sekarang Hian Kie berani keluar dari tempatnya sembunyi. Ia mendapatkan si Puteri Malam sudah melintasi garis tengah dari sang langit. Di situ, di sekitarnya, tak ada satu bayangan jua dari manusia kecuali mayatnya si orang asing Mongolia yang menggeletak di tanah pegunungan itu. Sunyi dan senyap, suasana itu menciutkan hati. Di saat sesunyi itu, ia teringat pula kepada So So si nona manis.

"Tentulah dia sudah tidur sekarang," pikirnya.

"Tahukah dia bahwa di kaki gunungnya telah terjadi pertempuran mati hidup ini?"

Bimbang pemuda ini. Ia ingin sekali menemui So So secara rahasia, ia pula ingin mencari tahu tentang Siangkoan Thian Ya. Di samping itu, bahna herannya, ia juga ingin mendapat kepastian apa benar Thian Tok telah pergi ke rumah keluarga In itu. Untuk apakah Thian Tok mencari In Boe Yang? Ada hubungan apakah di antara mereka itu berdua?

Tidak ada setengah jam tempo, kembalilah sudah Hian Kie di depan rumahnya Boe Yang. Ia berlaku dengan waspada sekali. Ia memasang kuping tetapi tidak dapat mendengar sesuatu. Rupanya Boe Yang masih belum pulang. Ia ragu-ragu sebentar, lantas ia mengambil keputusan. Maka ia menjejaklah dengan kedua kakinya, membuat dirinya terapung tinggi lompat melintasi tembok yang rendah. Itulah gerakan enteng tubuh "Seekor burung bangau mencelat kelangit."

Di pekarangan dalam, daun-daun pohon bwee bagaikan menghalang-halangi cahaya si Puteri Malam, tetapi harumnya bunga-bunga mendesaki hidung, membuatnya hati lega. Maka malam itu sama dengan malam kemarinnya. Melainkan sekarang pemuda ini tidak menampak si pemudi kemarin malam itu...

Hian Kie berduka dan bimbang hati. Ia telah datang dengan napsu besar, tetapi sekarang tak tahu ia mesti berbuat apa. Ia berpikir, "Mustahilkah di malam buta rata seperti ini aku lancang memasuki rumah orang, ke kamarnya gadis orang itu? Ah, So So, So So, semoga dewa-dewi memberi mimpi kepadamu, memberitahukan kau bahwa aku telah datang kemari..."

Inilah lamunan. Kapan Hian Kie menginsafinya, ia tertawa sendirinya. Taruh kata benar ada dewa-dewi, tidak nanti mengetahui rahasia hatinya itu...

Dalam saat sesunyi itu, tiba-tiba Hian Kie mendengar helahan napas yang perlahan, yang dibawa silirnya sang angin. Itulah helahan dari penasaran dan kedukaan. Tanpa merasa, ia menggigil. Itulah bukan suaranya So So, bukan juga suaranya Thian Tok.

Cepat luar biasa, pemuda ini menyembunyikan dirinya di dalam kamar tulis. Ia masih sempat melihat berkelebatnya bayangan satu tubuh di kaca jendela. Itulah seorang yang datang dari timur, yang meloncati tembok. Tembok itu menyambung dengan bagian dalam. Jadinya orang itu keluar dari dalam rumah, bukannya datang dari luar. Ia menjadi melengak, matanya mengawasi. Atau kembali ia berdiri menjublak.

Di bawahnya sebuah pohon bwee yang tua terlihat seorang berdiri dengan rambutnya yang panjang terurai di pundaknya. Ialah seorang wanita dari usia pertengahan, yang parasnya pucat pasi. Dengan tubuh dimiringkan sedikit, ia memandangi si Puteri malam. Ia mirip seorang wanita yang kehilangan cinta suaminya.

Setelah mengintai terlebih lama, Hian Kie merasakan wajah orang mirip wajah So So. Maka maulah ia menduga, kecuali Nyonya In, ibunya si nona manis itu, dialah pasti bukan orang lainnya lagi.

Kembali pemuda ini terbenam dalam ragu-ragu, hingga ia menerka-nerka.

Nyonya In Boe Yang ini berada di dalam rumahnya sendiri, mengapa dia keluar secara diam-diam, bahkan dengan meloncati tembok? Bukankah dengan begitu dia tak mirip-miripnya sebagai nyonya dari rumah itu? Bukankah dia lebih mirip dengan seorang kangouw tukang ngelayap malam untuk menyelidi sesuatu? Dan lebih aneh lagi, dari mulutnya Boe Yang dan gadisnya, dialah seorang nyonya yang berpenyakitan yang tengah rebah di pembaringan di dalam kamarnya sendiri, yang tak pernah melangkah setindak jua dari ambang pintu! Sekarang di tengah malam sunyi ini dia keluar seorang diri! Adakah dia hendak mengicipi harumnya bunga sambil menggadangi si Puteri malam? Pula aneh sekali, gerakan tubuhnya demikian gesit, tak mirip-miripnya dengan orang yang lagi menderita sakit...

Belum lama maka sejumlah lembaran bunga bwee terbang jatuh, disusul sama lompat turunnya satu bayangan manusia, ringan jatuhnya, tak ada suaranya sedikit jua.

Hian Kie heran. Tak tahu ia, kapan datangnya orang itu ? ialah Tjio Thian Tok!

"Thian Tok, benar-benar kau!" berkata Nyonya In perlahan. Ia tak kaget karena munculnya bayangan itu secara demikian tiba.

"Ya, Poo Tjoe!" menjawab Thian Tok. "Kau menantikan aku di sini?"



"Thian Tok, benar-benar kau!" berkata Nyonya In perlahan. Ia tak kaget karena munculnya bayangan itu secara demikian tiba-tiba.



Perlahan suara lelaki ini tetapi dari nadanya nyata hatinya memukul keras.

"Ya," menyahut nyonya itu. "Barusan aku mendengar suara pertarungan di kaki gunung. Orang yang dapat mengalahkan ilmu pedang Tjit Sioe Toodjin, yang sekali bergerak dapat menjalankan tujuh jurus, menurut setahuku, di jaman ini, kecuali Boe Yang dan kau, tidak ada orang yang ketiganya."

Hian Kie terkejut. Sungguh lihay kupingnya Nyonya In Boe Yang ini. Dia tidak menyaksikan pertempuran dengan matanya sendiri, dia cuma mendengar, toh dia mengetahuinya pertarungan itu demikian jelas, tahu dia bahwa pihak musuh ada Tjit Sioe imam yang lihay itu. Dia hanya membedakan suara bentroknya senjata saja. Nyata sekali, ilmu mendengarnya nyonya itu berlipat ganda mahirnya kepandaiannya sendiri.

Thian Tok tertawa tetapi lagunya sedih.

"Terima kasih untuk pujianmu," katanya. "Oh, kiranya saudara Boe Yang tidak ada di rumah."

"Apakah kau tidak bersomplokan dengan dia?" si nyonya bertanya.

"Tidak. Aku justeru hendak mencari dia. Aku menduga, jikalau dia ada di rumah, pasti dia telah ketahui datangku ini."

"Tadi tengah malam dia turun gunung," berkata si nyonya. "Untuk urusan apa, aku tidak tahu. Aku tadinya menduga ia ketahui kau datang dan pergi untuk memapakmu."

Thian Tok berdiam sebentar, lalu ia tertawa menyeringai.

"Oleh karena saudara Boe Yang tidak ada di rumah, tidak leluasa untuk aku berdiam lama-lama di sini," katanya kemudian. "Baik besok saja aku datang berkunjung pula."

Ia mengucapkannya demikian tetapi kedua kakinya tak berkutik.

Nyonya In menghela papas panjang.

"Kau sudah datang, perlu apa kau lantas pergi pula?" katanya. "Kita sudah sama-sama tua, apakah di antara kita mesti ada pula kelikatan hingga kita mesti saling menyingkir? Kalau sekarang kau pergi, aku kuatir, untuk selanjutnya bakal tidak ada ketikanya lagi akan kita bertemu berduaan saja..."

Perlahan sekali suaranya si nyonya, kepalanya pun ditunduki, seperti tak berani ia memandang sinar matanya Thian Tok. Hingga ia mirip lagi bicara sama dirinya sendiri, bukan kepada priya di hadapannya itu.

Hatinya Thian Tok goncang keras. Ia maju satu tindak.

"Poo Tjoe, kau..." katanya, suaranya perlahan tetapi tajam.

"Perlahan sedikit," memperingati si nyonya. "Jangan kau membikin kaget So So."

Parasnya Thian Tok merah, ia mundur pula. Ia terus menyender di pohon bwee.

"So So?" ia menanya.

"So So ialah anakku perempuan, sekarang ia baru berusia delapan belas tahun."

Thian Tok menghela napas.

"Sudah delapan belas tahun..." katanya. "Ya sang hari lewat pesat sekali. Anak-anak kita telah menjadi besar..."

"Ah! kapannya kau menikah? Mengapa isterimu tidak datang bersama?"

Nyonya In agaknya heran.

"Ketika aku mendapat dengar kabar girang dari kau dengan saudara Boe Yang," menjelaskan Thian Tok, waktu itu aku lagi rebah sakit di Mongolia. Selama aku sakit, dialah yang merawati aku. Mulanya aku tidak memikir untuk menikah dia, hanya kemudian aku berbalik pikir. Aku terlunta-lunta di negara orang, sudah seharusnya aku mendapatkan turunan untuk penyambung keluarga Tjio. Demikian di tahun ke-dua, bagaikan tanpa merasa, dengan cara sederhana, menikahlah kita. Isteriku itu tidak mengerti ilmu silat maka itu sebelumnya aku mengangkat kaki dari Watzu, siang-siang, aku telah kirim isteri dan anakku itu pulang ke kampung halamanku di Shoasay. Poo Tjoe, kau toh tidak menyesalkan aku, bukan?"

Nyonya itu menggeleng kepala.

"Mana dapat aku menyesalkanmu!" sahutnya. "Tentulah puteramu itu sudah dewasa!"

Tanpa ia kehendak, Tan Hian Kie dapat mendengar          pembicaraan orang itu. Itulah pembicaraan biasa, yang terdapat umum sehari-hari, tetapi pada ini ada tergenggam lakon asmara yang tersembunyi. Maka makin heranlah ia.

"Nyonya In ini gagah perkasa, kalau dulu hari itu bukan karena kehendaknya sendiri, siapa dapat memaksa ia menikah sama In Boe Yang?" pikirnya. "Ia sudah menikah, kenapa sekarang ia agaknya menyintai Tjio Thian Tok?"

Maka maulah ia menduga, di antara kedua ini, dua jago jantan dan betina, mesti ada tersembunyi suatu apa, yang tak dapat mereka umumkan di muka kalayak ramai. Dan In Boe Yang itu, tahukah dia tentang rahasia hati isterinya ini? Mengingat begitu, Hian Kie membayangi ancaman bencana untuk itu nyonya dan kekasihnya ini, ia menjadi berkuatir sendirinya, sampai ia lupa bahwa ia sendiri pun turut terancam bahaya...

"Anakku itu sekarang sudah berusia enam belas tahun," menerangkan Thian Tok. "Aku beri nama Eng kepadanya. Ia bertabiat keras hingga sering ia menyebabkan onar untukku. Sahabat-sahabatnya menyebut dia Hongthianloei, si Guntur."4)

"So So-ku sebaliknya alim," kata Nyonya In tertawa, "kadang-kadang saja ia berjenaka, tetapi ia bersifat seperti ayahnya, apa yang ia pikir, ia lakukan, walaupun salah, ia tidak menyesal."

"Ah, kau lebih beruntung daripada aku. Suamimu gagah, gadismu lembut, dan ini rumah kamu telah mengaturnya seperti guha dewa-dewi, di mana gunung ini indah, lengkaplah dua-duanya. Dengan hidupnya manusia begini rupa, apalagi yang dikehendak? Aku telah datang ke mari, aku menyaksikan, legalah hatiku."

Ia mengangkat kepalanya, ia masih nampak si nyonya bersenyum, hanya pada kedua matanya, airnya mengembeng, berlinang-linang.

Heran orang she Tjio ini.

"Adakah saudara Boe Yang perlakukan kau buruk?" ia menanya.

"Baik, terlalu baik!" menjawab si nyonya. "Setiap hari dia memaksai aku makan obat!"

Thian Tok semakin heran.

"Memaksai kau makan obat? Kau sakit apakah?"

"Setelah menikah dengannya, untuk beberapa tahun aku sehat-sehat saja, hanya belasan tahun kemudian, sering jantungku sakit, sebentar baik, sebentar kumat. Di sini tidak ada orang dengan siapa aku dapat memasang omong untuk melegakan hati. Demikian apa yang terjadi, musim semi datang, musim semi pergi, aku tidak niat untuk memperdulikannya. Di dalam tahun ini juga baru kali ini aku keluar ke mari."

Thian Tok tercengang saking heran.

"Kenapa begitu?" tanyanya.

"Hal itu barulah kemudian aku mendapat ketahuinya. Sebenarnya Boe Yang menikah aku bukan karena cintanya..."

"Apakah bukannya kau terlalu banyak berpikir?"

"Bukan, hanya dia, selama belasan tahun, dia terus-menerus ingat saja isterinya yang dulu. Nama kecil isterinya itu dipanggil Bwee, maka juga semua pohon bwee di sini ada untuk memperingati isteri itu."

"Isterinya Boe Yang itu telah menutup mata di Tiangkang, sampai sekarang ini sudah berselang duapuluh tahun. Kalau begitu, aku harus memuji dan menghormati dia."

"Kenapakah?"

Thian Tok memaksakan diri untuk tertawa.

"Kalau dia memikirkan lain orang, aku tidak sesalkan kau, tetapi dia memikirkan almarhum isterinya, bukankah itu menandakan cintanya yang satu, mati atau hidup ia tak melupakannya? Dengan mengingat yang dulu, dapat ia mencurahkan cinta pada orang yang sekarang berada di hadapannya. Seorang duda, apabila dia lekas-lekas melupakan isterinya yang lama, terhadap isterinya yang baru, belum tentu ia dapat menyintanya sungguh-sungguh dan kekal."

Terang Thian Tok berbicara untuk menghibur tetapi itu pun beralasan.

Hanya, di luar dugaannya, air matanya Nyonya In bercucuran semakin deras.

"Aku tidak pandai bicara, kalau aku salah omong, maafkan aku," Thian Tok minta.

Nyonya In tidak menjawab, hanya ia balik menanya.

"Tahukah kau kenapa dia nikah aku?" demikian tanyanya.

"Kau berilmu silat tinggi, kau cantik, hatimu pun baik," menyahut Thian Tok. "Kaulah wanita gagah dan cantik tak ada bandingannya. Semasa hidupnya isteri Boe Yang itu, asal kau dibicarakan, dia memuji dan sangat mengaguminya."

Nyonya In sebaliknya tertawa tawar.

"Siapa bilang dia menikah karena menyintai aku?" katanya. "Sebenarnya dia menikah denganku untuk kitab ilmu pedang kepunyaan ayahku."

Inilah heran, maka Thian Tok terkejut.

"Ah!" serunya tertahan, tak berani ia lantas mengucap kata.

"Ayahku berhasil mencari dapat kitab tua ilmu pedang Boetong Pay yang telah lama lenyap dari guru besar Tat Mo," Nyonya In menerangkan, "belum lagi ayah memahamkan sempurna semua, dia telah mencurinya dan dibawa lari menyingkir. Aku tidak gusar atau menyesali yang dia senantiasa masih ingat isterinya yang lama itu, hanya aku mendongkol dia menyebabkan kami ayah dan anaknya terpisah, untuk selama-lamanya kami tak dapat bertemu pula. Dia sangat mementingkan diri sendiri, supaya dirinya menjadi jago pedang nomor satu di kolong langit ini, dia mensia-siakan isterinya hingga aku jadi menderita!"

Sebenarnya keterangan Nyonya In masih belum lengkap, ada satu bagiannya yang ia sembunyikan. Memang benar In Boe Yang, suaminya itu, ingin mendapati kitab ilmu pedang ayahnya itu atau mertuanya, tetapi bukanlah dia yang mencurinya, hanya Nyonya In sendiri yang mengambilnya secara diam-diam. Ketika itu belum lama mereka menikah, Nyonya In sangat menyintai suaminya tanpa ia mengetahui sifat si suami, maka itu apa juga yang suaminya minta ia lakukan, ia melakukannya. Demikian sudah terjadi. Sebelumnya, ia tak memikir apa yang bakal terjadi kemudian.

Pada duapuluh tahun dahulu itu, Bouw Poo Tjoe sebagai gadis remaja lagi menanti lamaran. Dan Tjio Thian Tok dan In Boe Yang itu adalah orang-orang muda dari tingkatan lebih muda daripada Bouw Tok It, ayahnya si nona. Berdua mereka sering datang berkunjung. Tok It sama menghargainya mereka berdua. Hanya ketika itu Boe Yang sudah menikah, Thian Tok belum karena itu Poo Tjoe lebih banyak bergaul dengan si pemuda she Tjio. Kemudian isterinya Boe Yang terbinasa di medan perang di sungai Tiangkang, ketika ia pulang, ia menunjuki ketekunannya. Ia pernah menikah, tahulah ia bagaimana harus melayani seorang wanita. Pula ia masih muda, romannya tampan, ilmu silatnya sempurna, sikapnya halus, maka bukan saja Tok It senang padanya, Poo Tjoe sendiri kemudian jatuh hati terhadapnya, maka di akhirnya si nona meninggalkan Thian Tok, menikah sama si duda.

Sesudah Poo Tjoe membantui suaminya mencuri kitab pedang ayahnya itu, ia turut buron ke gunung Holan San ini. Di tahun-tahun pertama, mereka hidup rukun dan mana. Mereka seperti tengah berbulan madu. Baharu kemudian, Poo Tjoe ingat juga rumah tangganya. Lalu, dengan lewatnya sang tahun, ia merasakan cinta suaminya terhadapnya mulai berkurang, bahkan itu seperti disengaja, dibuat-buatnya. Di lain pihak, suami itu nyata sekali selalu mengingat almarhum isterinya. Tentu saja Poo Tjoe menjadi bersusah hati, hingga kesehatannya jadi terganggu. Semenjak itu, ia jadi ingat Thian Tok yang ia lepaskan itu. Baharu sekarang ia menginsafinya, cintanya Thian Tok cinta sejati, melebihkan cintanya Boe Yang. Tapi sekarang, sang ketika telah hilang lenyap.

Tentu sekali Thian Tok tidak mengetahui perubahan cinta Nyonya In ini, ia menyangka orang tetap menyintai ia, bahwa kalau toh Poo Tjoe menikah sama Boe Yang, itu disebabkan buronnya ia ke luar negeri untuk melindungi putera mahkota, junjungannya yang muda. Ia menyesal waktu ia mendapat dengar Poo Tjoe sudah menikah dengan In Boe Yang.

Sambil menangis sesegukan, Nyonya In melanjuti keterangannya: "Atas lenyapnya kitab ilmu pedang itu, ayahku tidak membuat banyak berisik. Ia tidak sudi membikin orang luar ketahui keburukan yang terjadi di dalam keluarganya, ia tidak pernah mengutarakan kemurkahannya. Hanya karena itu, putuslah hubungan di antara ayah dan puterinya. Belakangan ayah mendapat tahu yang kami tinggal menyendiri di sini, tapi ia tidak pernah mengirim orang untuk menanyakan tentang aku. Akulah anaknya satu-satunya, tetapi aku, bukan aku ingat budi orangtua, yang merawat dan memelihara aku semenjak bayi, aku justeru membantui suamiku mencuri kitabnya, kitab yang sangat dimustikakan. Ayah berduka karenanya, tidak sampai dua tahun, ia meninggalkan dunia yang fana ini. Sungguh menyedihkan, kami ayah dan anak tak pernah bertemu pula. Sekarang ini kakak sepupuku, yang menggantikan ayah menjadi ketua Boetong Pay, juga telah menutup mata. Inilah untuk pertama kali aku melihat ada orang luar datang ke mari..."

Hian Kie menduga yang dimaksudkan si nyonya ialah Siangkoan Thian Ya utusannya Bouw It Siok. Karena ini, ia ingat pula Thian Ya itu. Bagaimana dengan sahabat itu? Ia mengharap-harap si nyonya menyebutkannya pula pemuda itu tetapi harapannya sia-sia.

Nyonya Boe Yang menghela napas, baru ia berkata pula: "Setelah berselang delapan belas tahun, berhasil sudah Boe Yang dengan peryakinan ilmu pedangnya, tetapi meski demikian, kitab pedang itu dia masih sungkan memulangkannya. Dia cuma mengutamakan diri untuk menjadi ahli pedang nomor satu, tidak pernah dia memikirkan aku lagi. Maka aku kuatir sekali, seumur hidupku, tidak nanti aku memperoleh maaf dari keluargaku. Ya, akulah yang bersalah. Delapan belas tahun aku menderita, tidak ada seorang juga kepada siapa dapat aku melampiaskan kemenyesalanku ini. Setiap hari Boe Yang memaksa aku minum obat. Tapi, mana penyakitku dapat sembuh hanya dengan obat saja? Sebenarnya pun, dengan memaksai aku minum obat, itu melulu untuk ia mempertontonkan kepada puterinya. Setiap waktu setiap saat, dia tetap memikirkan isterinya yang dulu, dia sangka aku tidak mengetahuinya!"

Mendengar keluhannya si nyonya, yang mengutarakan penasaran dan penyesalannya, hati Thian Tok seperti diiris-iris.

"Poo Tjoe! Poo Tjoe!" katanya tiba-tiba sambil menubruk.

Poo Tjoe menolak tangan orang.

"Thian Tok, kau pergilah, lekas," katanya. "Kalau Boe Yang pulang dan ia melihat sikap kita ini, mungkin dia bakal membunuhmu!"

Thian Tok mengasi dengar suara tidak nyata, ia mundur pula. Tapi tetap ia tidak mau mengangkat kaki.

"Benar kau tidak takut terhadapnya, tetapi dia... dia...."

Perkataannya nyonya ini berhenti tiba-tiba. Sebenarnya hendak ia mengatakannya, "Siapa juga yang terbinasa di antara kamu, cuma itu akan membuatnya aku berduka." Kata-kata itu tidak dapat diucapkan.

"Setelah bertemu dengan kau, sebenarnya sudah puas hatiku," berkata Thian Tok. "Sebenarnya aku dapat lantas pergi pula. Tapi tidak dapat aku pergi dulu. Aku ingin bertemu sama Boe Yang."

"Ah! Kau benar-benar mencari Boe Yang?" si nyonya menegasi.

"Ya, untuk mencari kau juga untuk mencari Boe Yang," jawab Thian Tok seraya menarik keluar dompet sulamnya. Ia menghela napas ketika ia menambahkan: "Baiklah kita jangan menimbulkan segala kejadian yang sudah-sudah, tetapi dompet ini hendak aku membayar pulang padamu. Penghidupan manusia benar seperti kata-katanya pepatah, dalam hidupnya manusia, delapan atau sembilan keinginan kita biasa tak tercapai. Saudara Boe Yang gagah dan pintar, dialah satu jago, baiklah kau maklum saja."

Poo Tjoe menyambuti dompet itu, lalu ia berdiam, air matanya turun tak hentinya. Di dalam hatinya ia berkata, "Kalau Boe Yang ada sebaik kau ini, pastilah aku tidak usah menderita..."

Thian Tok membujuki orang untuk melupakan segala kejadian dulu-dulu akan tetapi ia sendiri tidak dapat melupakannya. Setelah hening sejenak, ia berkata pula dengan perlahan: "Sudah delapan belas tahun aku tidak bertemu sama saudara Boe Yang, entah bagaimana pikirannya sekarang. Biar bagaimana, ingin aku bertemu dengannya."

"Ya, aku pun belum menanyakan kau bagaimana keadaanmu semenjak delapan belas tahun yang lalu," berkata Nyonya In.

"Sekalipun kau tidak menanyakan, aku sendiri ingin menuturkannya," menjawab Thian Tok. "Ketika tahun itu Sri Baginda marhum kalah perang di Tiangkang dan ia tertawan hingga menerima kebinasaannya, dengan melindungi putera mahkota aku menyingkir ke Mongolia. Syukur sekali, di sana kami diterima dengan baik oleh satu kepala suku bangsa. Itulah suku Tartar dan kepalanya itu ialah Arudai. Dialah suatu kepala yang bercita-cita besar, kami diterima dan kami pun membantu padanya. Belum ada sepuluh tahun, dia dapat menaklukkan suku-suku lain di sekitarnya, maka setelah itu dia dapat mendirikan negaranya yaitu negara Watzu. Pada tiga tahun yang baharu lalu Arudai wafat, ia digantikan oleh puteranya ialah Toto Puhwa. Karena Toto Puhwa masih berusia muda, ia ditilik oleh pamannya yaitu Tohuan yang mengangkat dirinya menjadi Thaysoe, Guru Agung. Dua-dua Toto Puhwa dan Tohuan itu bercita-cita besar dan pintar, mereka bukan sembarang orang, dalam beberapa tahun saja mereka telah berhasil mengatur angkatan perangnya, yang sekarang semakin maju. Nampaknya dipersatukannya seluruh Mongolia tinggal menanti waktunya saja."

"Walaupun Mongolia terpisah jauh dari sini," berkata Thian Tok pula, "aku kuatir, setelah Tohuan berhasil mempersatukannya, ada kemungkinannya ia ada sangkutannya dengan kita bangsa Han. Baiklah, akan aku memberitahukan kau kenapa malam ini aku datang kemari."

Nyonya In mengangguk, ia memasang kupingnya.

"Setelah tiba di Mongolia, almarhum putera mahkota telah mendapat satu putera," Thian Tok menerangkan lebih jauh. "Putera itu diberi nama Tjong Tjioe, sekarang ia sudah berumur tujuh belas tahun. Ia bersamaan usia dengan Khan besar Toto Puhwa itu. Oleh karena putera mahkota menutup mata di perantauan, aku terus melindungi puteranya itu. Ia pintar dan pula besar ambekannya, lebih bersemangat daripada marhum ayahnya. Kami, sebab aku tidak bersendirian, membantu dan mendidik ia dalam ilmu surat dan ilmu silat, dengan otaknya yang tajam, sekali diajari saja, ia lantas mengerti. Diam-diam aku bergirang sekali yang Sri Baginda almarhum mempunyai turunan yang berbakat itu."

"Junjungan muda ini menyintai sangat negaranya, walaupun usianya masih begitu muda, ia ingin sekali lekas-lekas membangun pula kerajaannya," Thian Tok melanjuti sesaat kemudian. "Karena usianya itu yang muda, aku kuatir sekali ia nanti salah pikir. Pergaulan Tjong Tjioe dengan Toto Puhwa erat sekali, maka juga Khan Watzu itu telah memberikan janjinya, satu kali seluruh Mongolia sudah dipersatukan, dia akan membantu junjungan muda ini membangun negaranya. Di mulut Toto Puhwa mengatakan begitu, tetapi hatinya dapat aku menerkanya. Dia sedang memperkuat diri, dengan sadar dia menuruti pimpinan pamannya. Aku percaya, setelah Mongolia bersatu, dia bakal berpaling ke Tionggoan. Itulah hebat dan berbahaya. Aku tahu betul, semenjak dulu hingga sekarang ini, tidak pernah ada orang yang meminjam tenaga asing membangun negaranya dengan berhasil dan kalau toh berhasil juga, ia sendiri menjadi semacam raja-rajaan. Aku menyesal yang rekan-rekanku tidak ada yang pandangannya jauh, mereka itu sebaliknya memuji tindakannya junjungan muda itu, mereka mimpikan meminjam tenaga bangsa Watzu untuk bergulat pula melawan Tjoe Goan Tjiang!"

Hian Kie dari tempatnya sembunyi terkejut sendirinya.

"Jikalau benar Thio Tjong Tjioe meminjam tenaga asing menyerang balik ke Tionggoan ini, bukankah ia seperti membukai pintu untuk harimau galak?" pikirnya. "Aku kuatir bukan saja ia gagal membangun negara, sebaliknya negara yang indah ini bakal diserahkan ke tangan lain orang... Semua pamanku, selama ini duapuluh tahun, memikirkan saja junjungannya yang lama, ingin mereka membangun pula kerajaan Tjioe itu, kalau mereka mendengar warta genting ini, entah bagaimana pendapat mereka."

Thian Tok menghela napas ketika ia melanjuti ceritanya: "Niatnya junjungan muda itu sudah tidak dapat ditarik pulang, ia sudah mengeluarkan kimpay dari junjungan almarhum diserahkan pada Tjit Sioe Toodjin siapa bersama Pouw Kian ditugaskan kembali ke Tionggoan untuk mengumpulkan orang-orangnya junjungan almarhum untuk mereka pada pergi ke Watzu guna menyusun tenaga, untuk bekerja sama. Yang pertama-tama hendak dipanggil itu ialah saudara Boe Yang. Karena itu pulangku ini pun dengan niat membujuk saudara Boe Yang lekas memberi kabar kepada semua rekan agar mereka itu lekas-lekas mengatur daya perlawanan. Aku hanya tidak ketahui selama tahun-tahun yang belakangan ini, bagaimana keadaannya saudara Boe Yang serta bagaimana pendiriannya."

"Sudah belasan tahun Boe Yang hidup menyendiri di sini, telah putus pergaulannya dengan bekas rekan-rekannya itu," berkata Nyonya In, "Hanya melihat peryakinan ilmu pedangnya sudah rampung, ia toh memikir untuk kembali turun gunung, supaya dunia persilatan mengakui ia sebagai ahli pedang nomor satu, Tee it Kiamkek. Tapi niat ini ia tunda, disebabkan aku masih mempunyai kakak sepupu yang ia malui. Sekarang, ini ayah dan kakakku itu telah meninggal dunia, aku percaya, hal turun gunungnya tinggal menanti waktunya saja."

"Macan tutul mati meninggalkan kulit, manusia wafat meninggalkan nama," berkata Thian Tok, "Saudara Boe Yang sudah berhasil menyempurnakan ilmu pedangnya, sekarang ia hendak muncul pula supaya orang ingat dan kenal padanya, itu pun baik."

"Dia besar maksudnya," berkata Nyonya In, "aku kuatir dia tidak dapat menerima kimpay dari Siauwtjoe untuk pergi ke Watzu dan juga tidak bakal mendengar nasihatmu supaya dia menyampaikan kabar terlebih jauh pada bekas kawan-kawannya."

"Kenapa begitu?" tanya Thian Tok tak mengerti.

"Tjongtjiehoei dari Kimie wie dari Tjoe Goan Tjiang, ialah Lo Kim Hong jago nomor satu dari kotaraja, beberapa hari yang lalu telah datang ke mari membuat pembicaraan dengannya."

"Begitu?" Thian Tok benar-benar heran.

"Samar-samar saja aku mendengar pembicaraan mereka itu. Dia hendak menerima undangan dari Tjoe Goan Tjiang untuk membujuki bekas orang-orangnya Sri Baginda almarhum untuk menghamba pada Tjoe Goan Tjiang itu."

"Mereka itu setia semuanya, mungkin ia mesti bercapai lelah untuk membujuknya," Thian Tok menyatakan.

"Jikalau benar mereka tidak sudi menakluk maka Lo Kim Hong bakal mengambil tindakan keras dengan membekuk mereka satu demi satu."

Thian Tok melengak, akan akhirnya keterlepasan membilang: "Apakah itu bukan namanya menjual sahabat-sahabat untuk memperoleh pangkat besar?"

"Boe Yang pun tidak sudi omong terus terang padaku. Pernah aku menanya dia, dia tidak mengucapkan setengah patah kata saja. Apa yang aku ketahui, di dalam beberapa hari ini dia seperti tertindih berlapis-lapis kekusutan hati hingga aku tidak dapat membade sikapnya."

"Mudah-mudahan saudara Boe Yang tidak kena makan pancing," berkata Thian Tok. "Aku harap kau suka membujuk dan menasihati dia."

In Hoedjin tertawa sedih.

"Aku dan dia adalah suami isteri tetapi sebenarnya kita ada seperti orang-orang di tengah jalan," ia mengaku. "Selama ini beberapa tahun kami hidup menurut cara sendiri-sendiri, kami seperti bersandiwara saja..."

Thian Tok menyesal sekali, ia berduka dan berbareng merasa kasihan terhadap si nyonya.

"Poo Tjoe," katanya perlahan, "kau..."

Tiba-tiba si nyonya mengangkat kepalanya.

"Mungkin Boe Yang tak pulang malam ini," katanya. "Sekarang sudah jam empat, sedang So So biasa bangun jam lima untuk meyakinkan ilmu pedang akan kemudian paginya mempelajari ilmu suratnya, maka kau, baiklah kau pergi saja. Besok kau datang pula."

Dengan perasaan berat, Thian Tok membalik tubuh untuk berlalu. Baru dua tindak, ia sudah menoleh, seperti ada apa-apa yang ia lupakan.

"Poo Tjoe," katanya, "pernahkah kau melihat satu pigura dengan lukisan suasana rembulan musim rontok di sungai Tiangkang?"

"Untuk apa kau menanyakan gambar itu?" si nyonya balik menanya. "Gambar itu digantung di kamar tulis itu."

"Begitu? Bagus! Nanti aku lihat."

Nyonya In heran, ia bertindak mengikuti ke kamar tulis.

Hian Kie lekas juga sembunyikan diri di belakang almari.

"Siapakah berada di dalam kamar-tulis ini?" terdengar suara dalam dari Thian Tok.

Hian Kie heran sekali. Tapi ia berani, hendak ia memperlihatkan dirinya. Tapi: "Mana ada orang di dalam kamar ini," terdengar Nyonya In. "Umpama kata Boe Yang pulang, tidak nanti ia bersembunyi di sini untuk mencuri dengar pembicaraan kita."

"Barusan aku seperti mendengar sesuatu suara, mungkin tikus yang sedang menggeratak."

Hian Kie menyingkir dari jendela ke almari cuma beberapa tindak, ia pun bertindak sangat cepat dan enteng, maka heran Thian Tok masih dapat mendengar tindakannya itu. Maka itu ia sangat mengagumi orang she Tjio ini.

Hanya setelah mendengar suara si nyonya, Thian Tok tidak berkata pula.

Segera juga api dinyalakan dan lilin disulut. Hal itu membuatnya si anak muda lega hatinya.

"Hanya benar pada dua hari yang lalu, kamar ini pernah ditinggalkan orang!" kemudian terdengar suara Nyonya In sambil tertawa.

"Siapakah dia?" Thian Tok tanya.

"Dialah satu anak muda yang ditolongi So So. Kabarnya ayah dia itu adalah bekas rekanmu. Setahu apa sebabnya, dia dilukai orang, So So tolongi dia dengan kasi dia makan obat yang ayahnya paling sayang. Bocah itu bernyali sangat besar, dia datang ke mari dengan maksud membunuh Boe Yang. Ketika Boe Yang pulang, dia lantas diusir pergi. Sayang aku tidak dapat melihat anak itu tetapi So So nampaknya berkesan baik sekali terhadapnya, ia membuatnya pikiran. Di depan aku So So puji dia, katanya dia halus budi pekertinya, bagus ilmu silatnya, bahkan Boe Yang katanya turut memuji juga ilmu pedangnya. So So polos sekali, sampai terhadap seorang asing ia berpendapat demikian macam, tak sedikit kecurigaannya. Kau lihat itu pedangnya yang digantung di tembok. Coba si bocah curi itu, tentulah ia tak dapat diampuni ayahnya..."

Senang hatinya Hian Kie mendengar bahwa So So demikian memperhatikan padanya.

Selagi Nyonya In berkata-kata, Tjio Thian Tok mengawasi gambar, agaknya ia sangat tertarik hatinya hingga ia berdiri menjublak.

"Bagaimana, adakah apa-apa yang aneh dalam gambar itu?" si nyonya menanya, heran.

"Cocok, inilah gambar itu!" mendadak kata Thian Tok berseru. Lalu ia menghela napas. Ketika ia berkata pula, suaranya perlahan: "Inilah gambar yang Sri Baginda almarhum menitahkan melukiskannya semalam sebelum ia mengurbankan diri untuk negaranya. Di dalam lukisan itu ada rahasianya, yang cuma diketahui oleh Boe Yang dan aku. Menurut kau, jadinya Boe Yang tidak memberitahukan hal itu padamu."5)

"Banyak sekali yang Boe Yang umpatkan kepadaku, bukan cuma ini gambar," si nyonya aku.

"Ketika pada duapuluh tahun itu kita berperang di sungai Tiangkang, malam sebelumnya Sri Baginda almarhum telah merasa pengharapannya sudah ludas, maka itu semua hartanya yang terdiri dari pelbagai barang permata dia telah sembunyikan di suatu tempat rahasia di Souwtjioe. Tapi bukan cuma harta itu, berikut itu ada peta bumi yang dibikin oleh Pheng Hweeshio. Itulah peta militer, siapa mendapatkan itu, dia boleh menjagoi. Di dalam lukisan inilah ditandakan tempat menyimpan harta dan peta penting itu."

Nyonya In menunjuki herannya. Ia tidak menyangka seorang raja yang bakal runtuh dapat bersedia seperti itu, jauh pandangannya.

"Sebenarnya ketika itu Sri Baginda menghendaki aku membawa pergi gambar ini," Thian Tok menjelaskan, "tetapi saudara Boe Yang bilang, tugas melindungi putera mahkota tugas sangat berat, maka tugas untuk melindungi gambar ini baiklah diserahkan saja padanya. Dengan itu ia kata ia hendak membantu meringankan tugasku itu. Sekarang Siauwtjoe memanggil saudara Boe Yang, itulah tentu disebabkan selainnya tenaganya dibutuhkan juga mesti ada hubungannya sama gambar ini."

"Turut penglihatanku, kebanyakan Boe Yang tidak bakal pergi ke Watzu," berkata Nyonya In. "Maka gambar ini, gambar ini..."

Thian Tok melengak begitu lekas mendengar si nyonya walaupun nyonya itu tidak meneruskan kata-katanya. Ia sadar, dengan Boe Yang menerima undangannya Tjoe Goan Tjiang, peta ini akan jadi barang yang berharga bukan main.

Nyonya In menghela napas.

"Aku lihat Boe Yang, bukan saja dia tidak bakal pergi ke Watzu dia juga tidak nanti sudi dengar perkataanmu," katanya kemudian. "maka itu gambar ini baiklah kau bawa pergi..."

Belum berhenti suaranya si nyonya, mendadak terdengar satu suara tertawa dingin. Ketika keduanya berpaling, di ambang pintu terlihat In Boe Yang lagi berdiri mengawasi mereka, dengan senyumannya tawar.

-xxXXXxx-

BAGIAN V : Bertempurnya naga dengan harimau

Kamar diterangi                dengan api lilin yang bergoyang-goyang, tetapi nampak nyata wajah mengejek dari Boe Yang itu, yang terus bertindak masuk dengan ayal-ayalan.

Nyonya In mengawasi suaminya, hatinya goncang, akan tetapi pada parasnya, ia tidak mengentarakan sesuatu, bahkan terus ia menggulung gambar itu.

"Saudara Boe Yang, kau sudah pulang!" Thian Tok menyambut.

"Kau tentu tidak menyangka aku pulang dengan begini cepat?" jawab orang yang ditanya, dingin.

"Aku datang mencari kau untuk satu urusan penting," kata Thian Tok tanpa memperdulikan ejekan, "sudah lama aku menantikan kau Saudara Boe Yang, kau, kau dengar aku..."

Boe Yang maju satu tindak, dengan tajam ia menatap isterinya.

"Poo Tjoe, aku mengucap terima kasih yang kau telah mewakilkan aku menyambut tetamuku yang mulia," katanya. "Sekarang kau letakilah itu gambar dan pergi kau masuk ke dalam untuk makan obatmu."

Nyonya In tidak membilang suatu apa, ia meletaki gambar di tangannya, tetapi kedua kakinya tidak bergerak.

Boe Yang mengawasi pula isteri itu.

"Baiklah," katanya pula, "karena kau menyesali aku yang sudah mendustakan kau, tidak apa kau tidak mau pergi masuk. Kau boleh berdiam di sini untuk mendengari."

"Saudara Boe Yang, kau dengar aku!" kata pula Thian Tok.

"Tidak usah kau mengatakannya lagi," berkata Boe Yang. "Aku telah ketahui maksud kedatanganmu ini."

"Saudara Boe Yang, jangan kau bercuriga. Aku si orang she Tjio satu laki-laki sejati, tidak nanti aku melakukan apa-apa yang tak bagus terhadap sahabatnya."

Boe Yang memperlihatkan roman sungguh-sungguh.

"Kau hendak pergi ke mana?" ia menanya.

"Kau... kau hendak membilang..."

"Aku berterima kasih untuk kebaikanmu. Bukankah kau datang untuk ini?"

Tangannya tuan rumah merogo ke dalam sakunya, ketika ia menariknya keluar maka berkelebatlah sebuah sinar kuning emas.

Itulah kimpay.

"Kau telah bertemu dengan Tjit Sioe Tooheng dan Pouw Kian?" Thian Tok tanya.

Bahkan aku telah usir mereka berlalu dari gunung ini!" sahutnya Boe Yang. "Dan kimpay ini sengaja aku tahan, supaya dengan begitu mereka tak usah pergi membujuki lagi lain-lain sahabat kita." Thian Tok girang mendengar itu.

"Saudara Boe Yang, nyatalah kau telah ketahui semua! Tepat perbuatan kau ini! Aku puji padamu."

Boe Yang tertawa dingin, kedua tangannya dirapatkan kepada kimpay itu, atas mana kimpay tersebut lantas saja merupakan sepotong emas mumi, ketika ia menimpuk, emas itu nancap di tanah. Sungguh suatu kepandaian istimewa!

Di tempatnya sembunyi, Hian Kie bergoncang hatinya.

"Coba kemarin ini bukannya So So yang mencegah, tentulah tubuhku sudah hancur luluh..." katanya dalam hati.

Boe Yang tidak menyahuti Thian Tok, hanya dengan dingin ia berkata: "Dulu hari orang-orang gagah bagaikan mengepung-ngepung manjangan, aku berada sama Sri Baginda almarhum, aku mengalami perang ratusan kali, atas itu semua, menanya diri sendiri, tak usah aku malu untuk kerajaan kita itu. Sekarang lain. Sekarang ini dunia sudah berubah, seperti benda bertukar dan bintang berpindah, sekarang ini aku si orang she In membenci peperangan, maka ingin aku hidup merdeka seperti burung bangau liar terbang di udara terbuka, untuk melewati hari-hari yang tenteram dan aman. Sri Baginda sudah wafat, kerajaan Tjioe sudah musnah, maka aku dengan Keluarga Thio itu sudah tidak lagi mempunyai hubungan seperti raja dengan menterinya. Thio Tjong Tjioe si bocah cilik, cara bagaimana dia berani menggunai kimpay untuk memanggil aku?"

Thian Tok terperanjat. Itulah kata-kata yang ia tidak sangka-sangka. Memang ia tidak setuju dengan sepak terjangnya Siauwtjoe, si junjungan muda, yang hendak meminjam tenaga negara akan tetapi menghadapi anak cucunya Thio Soe Seng, si raja almarhum, ia masih menganggap dirinya sebagai menteri, sebagai hamba, maka heranlah Boe Yang, yang putusannya demikian getas. Ia merasakan hatinya menggetar.

"Jikalau begitu," katanya, menanya, "Tjoe Goan Tjiang memanggil kau, kau juga tidak akan pergi, bukankah?"

Boe Yang menjawab dengan temberang sekali.

"Aku menjadi tuan atas diriku sendiri, aku pergi dan aku datang dengan merdeka, ? aku pergi, putusannya ada padaku, aku tidak pergi, putusannya ada pada aku juga! Perlu apa kau mencampurinya tahu?"

"Kalau begitu bagaimana dengan semua sahabat-sahabat lama kita? Kau masih memandang mereka atau tidak?" Thian Tok menanya pula.

In Boe Yang mementang kedua matanya, mata itu bersinar tajam.

"Apakah katanya Poo Tjoe terhadap kau?" dia balik menanya.

"Katanya kau telah bertemu dengan Lo Kim Hong!"

"Memang!" kata pula Boe Yang dengan kejumawaannya. "Siapa aku senang melihatnya, aku menemuinya! Dan malam ini tidak senang aku melihat kau!"

Thian Tok menyeringai.

"Karena saudara jemu terhadapku, baiklah, aku meminta diri!" katanya.

"Eh, tunggu dulu!" Boe Yang mencegah, suaranya tetap dingin. "Kau tidak menghendakikah gambar ini?"

Thian Tok telah mengangkat dadanya, ketika segera juga ia berbalik pikir. Maka menyahutlah ia dengan suaranya yang pasti: "Dulu hari itu Sri Baginda almarhum telah menyerahkan gambar ini padaku, karena sekarang saudara sudah memerdekakan diri, kau hendak perbuat apa yang kau sukai, hingga telah putus hubunganmu dengan Kerajaan Tjioe, baik juga gambar ini diserahkan padaku, untuk nanti diserahkan lebih jauh kepada junjungan yang muda itu. Inilah memang baik sekali!"

Boe Yang melirik ke samping.

"Poo Tjoe, mari gambar itu kau serahkan padaku," katanya perlahan. Suaranya tenang akan tetapi sinar matanya berapi.

Dengan sendirinya Nyonya In menggigil.

"Boe Yang," katanya, "kau..."

"Bukankah kau hendak menyerahkan gambar kepadanya?" tanya suami itu dingin. Ia menunjuk kepada Thian Tok. "Tapi gambar ini, dulu hari akulah yang mengambil dengan tanganku sendiri, maka sekarang sudah seharusnya aku mengembalikannya dengan tanganku sendiri juga." Ia menggeraki tangannya, menyambar gambar itu dari tangan isterinya. "Hm!" kembali suaranya yang dingin dan menyeramkan. Terus ia memandang Thian Tok dan mengatakannya dengan keras. "Kau ambillah! Pheng Hweeshio telah mati maka kau, Tjio Thian Tok, kaulah sekarang orang kosen yang nomor satu! Dengan berani tengah malam buta rata kau datang kemari, mustahil kau tidak punyakan nyali untuk mengambil ini?"

Thian Tok mementang lebar kedua matanya, tetapi ia masih dapat mengendalikan diri.

"Saudara Boe Yang," katanya sabar, "apakah maksudmu dengan kata-katamu ini? Bukankah kita ada sahabat-sahabat dari puluhan tahun? Jikalau kau menghendaki gambar ini, aku pun tidak ingin memaksa mengambilnya."

Boe Yang tertawa terbahak.

"Bagus kau masih menyebut-nyebut tentang persahabatan! Aku In Boe Yang, aku menerimanya dengan baik. Kau tidak hendak mengambil gambar ini, tapi kau juga tidak hendak pergi dari sini! Hm! Kau harus ketahui, rumah ini ialah rumahku! Kau tidak hendak berlalu dari sini, apakah kau anggap aku dapat dipermainkan?"

Sekarang Thian Tok tak dapat mengendalikan diri lagi.

"Boe Yang, kau omonglah biar jelas!" bentaknya. "Aku segera akan berlalu! Hm! Kau menghina aku, masih tidak apa, kau, kau..." Ia hendak menyebutkannya "kau merusak Poo Tjoe, bukankah?" tapi kata-kata ini tak dapat dikeluarkan. Boe Yang tidak menanti orang bicara habis, dengan wajahnya bermuram durja, dia menuding.

"Hari ini kita bicara berlebih-lebihan!" katanya nyaring. "Karena kau tidak hendak lantas mengangkat kaki, baiklah, sekarang aku si orang she In mau minta pengajaran kau punya Tangan Besi dan Pit Sakti!"

Dengan melemparkan gambar di tangannya, Boe Yang lantas menurunkan pedang Koengo kiam dari tembok.

"Boe Yang!" berseru Nyonya In. "Kalau dua harimau berkelahi, salah satu mesti celaka, maka dengan tidak ada sebab musababnya, perlu apa kamu hendak mengadu jiwa?"

Sang suami dongak, ia tertawa terbahak.

"Oh, Poo Tjoe, kiranya kau masih memperhatikan aku?" katanya. "Seorang laki-laki tak dapat kepercayaan dari isterinya, dia juga dicurigai sahabatnya, karena itu, apakah artinya dia masih tinggal hidup di dalam dunia ini? Maka ingin aku terbinasa di tangannya, tetapi aku kuatir, tidak dapat dia melukakan aku! Thian Tok, kau cabut, poankoan pit-mu, mari kita pergi keluar!"

Mukanya Nyonya In menjadi sangat pucat. Ia mencelos hatinya mengingat suami itu untuk belasan tahun telah memperlakukan ia dengan tawar sekali, bahkan sekarang ini ia tidak diperdulikannya. Ia berdiri menjublak, dadanya dirasakan sangat sesak. Itulah kedukaan dan kemendongkolan yang bercampur menjadi satu. Ia merasakan hatinya diam, seluruh tubuhnya lemas. Maka tak dapat ia membuka mulutnya.

Segera terdengar tertawa lebar dari Thian Tok.

"Aku tahu kau telah berhasil meyakinkan ilmu silat Tat Mo Kiamsoet," katanya tawar, "karena kau sangat mendesak untuk mencoba padaku, baiklah, aku si orang she Tjio terpaksa suka menemani kau!"

Tjio Thian Tok seorang ksatria di jamannya itu, apabila tetap ia mengalah, nama baiknya bisa tercemar karenanya. Bukankah In Boe Yang telah membuatnya tak dapat berkutik lagi?

Sang rembulan sudah turun ke arah barat, jam sudah jam lima. Kedua orang itu, dengan sama-sama bungkam, bertindak ke luar. Cepat sekali terdengar suara "Sret!" dan In Boe Yang telah menghunus pedangnya, yang sinarnya berkelebat seperti halilintar.

"Thian Tok, bukan keinginanku yang sebenarnya akan menang unggul sendiri," kata Boe Yang dengan perlahan, "karena dalam ilmu silat tangan kosong kau lebih menang daripada aku, aku terpaksa mesti menggunai senjata tajam. Pedang ini ada pedang mustika yang dapat menabas kutung emas atau kumala, maka kau berhati-hatilah!"

"Terima kasih untuk petunjukmu ini," bilang Thian Tok. "Tetamu tidak mendahulukan tuan rumah, maka kau mulailah!"

In Boe Yang meletaki tangan kirinya di atas pedangnya, lalu ia berseru panjang, menyusul mana Koengo kiam bergerak keatas dalam gerakannya "Bintang sapu mengejar rembulan," hingga tiga kali sinarnya berkelebatan. Ia telah menikam saling susul, di kiri ke jalan darah pekhay hiat, di kanan ke jalan darah lengkioe hiat, dan di tengah ke jalan darah soankie hiat. Ia tidak dapat menjalankan satu serangan seperti Tjit Sioe Toodjin yang dapat menjurus ke tujuh arah, tetapi ini tiga tidak kalah hebatnya, karena sukar diduga arahnya yang tepat.

Di dalam hatinya, Thian Tok terperanjat.

"Benar-benar lihay Tat Mo Kiam-soet," pikirnya. Ia lantas menutup dirinya. Maka "Traang," terdengarlah satu suara nyaring, dari bentroknya kedua senjata. Ia tidak memakai tangan kosong hanya poankoan pit, senjatanya yang semacam alat tulis itu (pit). Ia menangkis dengan maksud menempel pedang lawannya. Hebat serangan si lawan, walaupun serangan itu tak mengenai sasarannya, toh ia merasakan telapakan tangannya sakit, hampir saja pitnya itu terlepas dari cekalannya. Ini pun menambah keinsafannya akan lihaynya lawan ini.

Dengan gerakan yang sangat sebat, Boe Yang menarik pedangnya, untuk membebaskan diri dari tempelan, lalu dengan sama gesitnya juga, ia membabat ke arah pinggang. Itulah jurus "Ikat pinggang kumala melibat pinggang."

Thian Tok menangkis dengan cepat, bahkan kali ini ia menangkis seraya terus menyerang, untuk membuat penyerangan membalas. Ia juga menyerang saling susul tiga kali.

Hebat desirannya kedua senjata, berkilau-kilau pedang mustika itu, hingga seumpama suramnya cahaya bintang dan rembulan.

Nyonya In menonton pertempuran itu sambil menyenderkan tubuh di jendela. Ia berduka sangat. Yang satu adalah suaminya, yang lain sahabat karib semenjak masih kanak-kanak. Sekarang mereka itu mengadu jiwa, pada itu ia kena terlibat. Jikalau ia maju sama tengah, ia akan seperti menuang minyak kepada api yang lagi berkobar, ia malah akan menambah merusak. Kalau ia berdiam saja, ialah yang menderita sangat. Makin ia berdiam, makin ia rasakan hatinya sakit. Hingga seperti kosonglah otaknya, tak tahu bagaimana harus berpikir. Ia diam menyender, tubuhnya bagaikan sepotong balok, hatinya bagaikan abu. Di akhirnya, ia merapatkan kedua matanya, membiarkan mereka itu bagaikan naga menempur harimau.

Kembali terdengar bentrokan hebat, mau atau tidak Nyonya In membuka juga matanya. Nyata Boe Yang, dengan gerakannya "Naga sakti masuk ke laut," sudah memaksa Thian Tok menangkis pula serangannya yang sangat dahsyat. Poankoan pit terbuat dari besi pilihan dan pemiliknya pun lihay, tetapi bentrokan itu membuat juga cacat di tiga tempat.

Tidak melainkan Nyonya In yang terkejut sekali, juga Hian Kie dari tempatnya bersembunyi, dia hampir tak bernapas. Dalam kengerihan itu, ia pun merasa sangat menyayangi, menyayangi kedua jago itu andaikata salah satu mesti roboh. Bukankah mereka sama-sama tersohornya? Tjio Thian Tok semenjak sekian lama, dan In Boe Yang baharu saja? Hanya sayang lagi untuk pemuda ini, ia cuma bisa mendengar, ia tak dapat melihat, sebab tidak berani ia muncul dari tempat mengumpatkan diri itu. Ia hanya "melihat" dari suara bentrokan senjata

Nyonya In tidak ingin menyaksikan tapi tanpa merasa, ia mengikuti setiap gerakan pedang dari suaminya, sejurus demi sejurus, hingga lekas juga tigapuluh jurus sudah berlalu, hingga sekarang nampak tubuh Thian Tok seperti terkurung sinar pedang mustika itu.

Dalam kuatirnya itu, Poo Tjoe pun heran dan kagum. Cuma ia yang mengenal baik kepandaiannya dua orang itu. Ia kagum untuk lihaynya suaminya, ia heran yang Thian Tok dapat terkurung hanya dalam tigapuluh jurus itu.

Lagi-lagi terdengar suara "Traang!" berulang-ulang. Lagi-lagi poankoan pit Thian Tok kena dipapas bercacat.

"Tjio Thian Tok," katanya, "ketika kau mulai kau tidak bersungguh-sungguh, tetapi sekarang tahulah kau bagaimana ilmu pedangku ini! Apakah kau kira aku In Boe Yang sudi menyerah kepadamu? Mari maju pula, kau berlakulah hati-hati!"

Boe Yang menantang sambil terus bekerja, mulanya pedangnya diputar bundar, lalu ia menikam.

Dua orang ini ada sahabat dan kawan-sejabat, bersama-sama mereka menghamba kepada satu junjungan, bersama-sama mereka menghadapi musuh, pernah mereka sama-sama menderita, pergaulan mereka bagaikan saudara kandung. Ini juga sebabnya mengapa, walaupun ia sangat jemu terhadap In Boe Yang, Thian Tok tidak lantas berkelahi dengan sungguh-sungguh. Tapi kelemahan hatinya itu mendatangkan kerugian untuk dirinya. Nyata ilmu pedang Boe Yang lihay luar biasa dan ia kena didesak. Insaflah ia sekarang, tidak dapat ia main-main pula, tak dapat ia mundur lagi. Sekonyong-konyong ia menyambar dengan tangan kiri yang kosong, terus itu disusul sama pitnya, bahkan terus-menerus enam kali, ujung senjatanya itu mencari tigapuluh enam jalan darah lawan. Maka pertempuran menjadi hebat luar biasa.

Hian Kie cuma mendengar, ia tidak melihat, tentu sekali tak tahu ia apa yang terkandung dalam hatinya Boe Yang.

Nyonya In, yang mengenal kedua pihak, menghela napas. Ia mengerti yang Thian Tok sudah mencoba untuk mengalah. Itulah menandakan si orang she Tjio tidak melupakan persahabatan mereka. Di pihak lain, Boe Yang berkeinginan membinasakan sahabatnya ini. Dengan cara berkelahinya itu, Boe Yang pun hendak mempertontonkan kepandaiannya pada isterinya itu. Hanyalah karena kecerdikannya, ia menunda pertempuran sebentaran, untuk menunjuki kebaikan hatinya...

Yang hebat untuk Thian Tok, bukan saja pitnya bercacat, bahkan ujungnyapun kena dibabat kutung. Maka poankoan pit tidak lagi menjadi Sin Pit, Poankoan pit Sakti...

Tapi Boe Yang gagal untuk mendustai isterinya, Nyonya In dapat melihat isi perutnya.

Setelah keunggulannya itu, Boe Yang menjadi besar hati. Ia percaya taklah sukar untuk merobohkan Thian Tok. Tapi Thian Tok adalah jago tua, ia beda daripada duapuluh tahun yang lalu, maka juga bagaimana pun ia didesak, dapat ia bertahan.

Si Kelinci Kumala telah turun semakin rendah, gelanggang pertempuran itu menjadi semakin guram, untuk kemudian diganti sinar sang fajar. Selama itu, seratus jurus telah berlalu, tetap mereka sama tangguhnya.

"Shatjaplaktjioe Thiankong Tjianghoat benar-benar lihay!" In Boe Yang memuji sambil berseru panjang, suaranya nyaring. "Tapi untuk harap!" Shatjaplaktjioe Thiankong Tjianghoat itu ialah ilmu silat Thiankong tjiang yang terdiri dari tigapuluh enam jurus, yang merupakan ilmu silat istimewa dari Tjio Thian Tok. Dengan suaranya itu, Boe Yang memuji berbareng mengejek. Setelah itu, ia mencoba untuk mendesak pula. Kali ini ia mengubah gerakannya. Nampaknya pedangnya menjadi ayal, tetapi sebenarnya setiap serangannya bertambah berat. Dengan begitu agaknya Thian Tok cuma dapat bertahan saja.

Pertarungan berlanjut terus, makin lama bertambah dahsyat. Hebat beberapa pohon di dekat mereka, cabang-cabangnya terbabat pedang, daunnya rontok belarakan, hingga pohon itu menjadi gundul.

Nyonya In menyedot napas dingin.

"Itulah pohon yang Boe Yang paling menyayangi, sekarang ia membabatnya dengan pedangnya," pikirnya. "Rusaknya pohon itu menandakan pada hatinya sudah timbul napsu membunuh."



Boe Yang menyerang dengan hebat, Thian Tok menangkis. Tepat kedua senjata beradu, tepat Poankoan pit terbabat bagian tengahnya dan putus kutung!



Tentu saja nyonya ini menjadi bergelisah, sebab untuk mencegah, ia tidak berdaya.

Lagi duapuluh jurus telah dikasi berlalu. Thian Tok masih belum menggunai tiga jurusnya yang terakhir.

Boe Yang terkejut ketika satu kali ia diserang, karena ia berkelit, serangan itu meminta mangsa patahnya sebuah cabang besar di sampingnya. Ia lantas saja ingat: "Dia bersahabat erat dengan Pheng Hweeshio, kabarnya paderi itu telah mengajari dia ilmu Hiankong Yauwkoat, inilah rupanya ilmu itu. Nyata dia tak lebih lemah dari Pheng Hweeshio..."

Justeru Boe Yang berpikir, justeru serangannya Thian Tok datang pula. Ia menangkis dengan pedangnya tetapi pedang itu kena tersampok mental.

Itulah serangan yang ke dua dari Thian Tok, yang segera disusul dengan yang ke tiga. Serangan yang pertama dahsyat, yang ke dua lebih dahsyat pula, tetapi ke tiga ini aneh, hingga Boe Yang tercengang. Beda daripada yang dua tadi, kali ini tidak ada suara anginnya. Dalam kagetnya, Boe Yang memberatkan tubuhnya dengan pasangan Tjiankin twie. Toh ketika serangan datang, tubuhnya terputar, kakinya limbung, tanpa merasa lagi, ia roboh terguling.

Nyonya In kaget, hingga dia menjerit, akan tetapi belum lagi suaranya berhenti, tubuh Boe Yang bergerak, memutar beberapa kali, akan di lain saat dia berlompat bangun seraya pedangnya menyontek ke atas. Bahkan anehnya ia terus bisa menyerang hingga tujuh kali, hingga punahlah ancamannya Thian Tok.

Sekarang terlihat cara berkelahi yang aneh dari Boe Yang. Tubuhnya berputar dan terhuyung, ia bagaikan satu pemabokan yang sinting, pedangnya menikam ke pelbagai arah, seperti tidak keruan junterungannya, tetapi di matanya isterinya, ia mendatangkan keheranan dan kekaguman. Baru ini pertama kali isteri itu melihat suaminya jadi demikian lihay.

Segera juga Thian Tok terdesak mundur, tetapi baik tindakan kakinya, maupun gerakan tangannya, tidak menjadi kalut. Maka itu, ia dapat bertahan hingga lagi duapuluh jurus lebih.

Boe Yang menginsafi lawannya mahir tenaga dalamnya, ia melayani di bagian ini. Ia hendak membikin lawan itu letih. Kelihatannya ia berhasil, desakannya telah menciutkan kalangannya Thian Tok.

Lagi beberapa jurus, mendadak pundak Thian Tok kena tertikam, di lain pihak, kepalan Thian Tok pun mengenai sasarannya, hingga terdengar satu suara yang nyaring.

Nyonya In terkejut. Ia tahu, suaminya terhajar terlebih hebat. Tapi, ketika kedua orang itu bertempur terlebih jauh, lalu tertampak perbedaannya. Gerakan pedang menjadi terlebih kendor, sedang gerakannya tangan Thian Tok menjadi terlebih ayal pula.

Hati Nyonya In menjadi kecil. Sekarang ia ingat isterinya Thian Tok itu. Ia ketahui nyonya Thian Tok tak pernah mendapat cinta suaminya. Maka kalau Thian Tok terbinasa, janda itu akan hidup sunyi dan menderita bersama anaknya yang piatu... Siapa yang akan didik anak itu, karena ibunya tidak mengerti ilmu silat?

Sampai di saat itu, Nyonya In lantas berpikir untuk datang sama tengah. Tapi ia terlambat.

Boe Yang menyerang dengan hebat, Thian Tok menangkis. Tepat kedua senjata beradu, tepat poankoan pit terbabat bagian tengahnya dan putus kutung!

"Boe Yang!" teriak si isteri.

Tapi pedang Boe Yang sudah berkelebat, tubuh Thian Tok terus roboh, ketika dia dapat bangun pula, tubuhnya itu berlumuran darah. Sebab pedangnya orang she In itu telah melukai delapan belas lubang. Ia terhuyung-huyung.

"Saudara Boe Yang," ia berkata seraya menyeringai, "mulai saat ini, kaulah yang ilmu silatnya nomor satu di kolong langit ini, tidak akan ada yang dapat menandingi lagi. Saudara, aku beri selamat padamu!"

Habis mengucap, kembali jago ini roboh.

Boe Yang mengawasi, akan mendadak ia menjadi sangat kaget. Pada pundak Thian Tok yang bajunya robek itu, ia melihat kulit yang hitam.

"Ah, ah, kau terkena kuku beracun dari Pouw Kian!..." jeritnya. Baharu sekarang ia ketahui, Thian Tok menjadi lemah karena bekerjanya tangan beracun dari Pouw Kian itu, racun mana dapat Thian Tok lawan untuk sementara waktu, karena dia mesti berkelahi mati-matian, racun itu tak dapat dipertahankan terlebih lama pula, maka ditambah sama luka-luka pedang, habislah tenaganya.

Dua kali lagi Boe Yang memanggil namanya rekan itu. Thian Tok tetap tidak menjawab, maka itu, ia menjadi berdiri menjublak dengan pedang di tangan. Ia merasa segala apa menjadi sunyi...

-xXXXxx-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar