-------------------------------
-----------------------------
Bagian 22
"Baik!" katanya.
"Sekarang juga aku pergi kepada Shako untuk minta petunjuknya. Aku hanya
kuatir nanti tidak dapat memahaminya dengan baik."
"Jangan kuatir,
enso" kata In Lie Hang: "Itu lah gampang asal kau mengingat baik baik
letak kedudukanmu dan gerakan kaki. Umpama kata kau mendadak lupa, kamipun
dapat menyadarkan kau."
Karena ini, bertujuh mereka
pergi kekamar Jie Thay Giam.
Semenjak pulang ke gunung,
beberapa kali sudah Thio Coei San menemui kakak sepenguruannya itu, tapi untuk
In So So, inilah yang pertama kali, sebab gangguan kesehatannya mencegah dia
lantas menemui iparnya itu.
Melihat si nona muda cantik,
gerak geriknya halus, Thay Giam merasa senang. Tetapi ketika ia mendengar
keterangannya Wan Kiauw hal datangnya musuh pendeta Siauw lim pay yang mau di
lawan dengan Cin boe Cit cay tin, untuk mana ia harus diwakili oleh So So, ia
terharu dan berduka sekali. Pedih hatinya. Tentu sekali ia menyesatkan sangat
cacadnya hingga ia tidak dapat membantu semua saudaranya itu. Tapi ia kuat hatinya.
Ia tertawa. Sembari bersenyum, ia kata pada So So: "Teehoe, Shapeh tidak
dapat memberikan apa apa padamu untuk pertemuan pertama kali ini sebab kesusu.
Maka baiklah, nanti aku mengajar kau tentang 'tin' kita itu. Nanti sesudah
musuh mundur, akan kulatih kau terlebih jauh agar kau paham semuanya."
So So girang sekali.
"Terima kasih,
Shapeh." ucapnya.
Inilah pertama kali Thay Giam
mendengar suara iparnya itu. Ia agaknya terkejut sekali, segera ia menatap muka
orang. Otaknyapun bekerja, memikirkan sesuatu yang telah dilupakan. Wajahnya
menunjuk rasa heran yang luar biasa.
Coei Sanpun heran.
"Shako, apakah kau merasa
tubuhmu tidak enak?" tanyanya.
Thay Giam tidak menyahut, dari
menatap ia bengong. Matanya mendelong kedepan. Mata itu bersinar sangat tajam.
Sekarang terlihat juga perubahan air mukanya yang menandakan ia menderita dan
penasaran.
Habis memandang saudaranya
itu, Coei San berpaling pada isterinya. Juga isteri itu berubah air mukanya. So
So nampaknya sangat berkuatir dan Song Wan Kiauw dan yang lainnya juga turut
merasa heran. Bergantian mereka mengawasi saudara mereka itu serta sang ipar.
Hati mereka tidak tenang lagi.
Kamar menjadi sangat sunyi.
Semua hati orang berdebaran.
Selagi berdiam itu, Thay Giam
nampak napasnya memburu, mukanya yang pucat bersemu merah.
"Ngo teehoe, coba
kemari," katanya perlahan. "Mari aku lihat kau....."
Tubuh So So bengemeteran, ia
tidak berani menghampiri, sebaliknya tangannya menyambar tangan suaminya.
Kamar menjadi sunyi pula.
Selang sesaat, terdengar Thay
Giam menghela napas.
"Kau tidak sudi datang
tidak apa," katanya pula. "Dulu, hari itupun aku tidak melihat
wajahmu. Teehoe, aku minta sukalah kau menyebutkan kata kataku ini: Pertama,
aku minta Congpiauw tauw sendiri yang mengantarkannya. Kedua, dari Lim an
sampai di Sang yang, di propinsi Ouwpak, kau harus berjalan siang hari dan
malam, supaya piauw bisa mencapai tempat tujuannya dalam tempo sepuluh hari.
Syarat ketiga, kalau terjadi sedikit kesalahan saja, huh! huh! jangankan jiwa
Cong piauw tauw sendiri, sedangkan ayam dan anjing dari Liong boen Piauwkiok
pun tak akan terluput dari kebinasaan !"
Thay Giam bicara dengan
perlahan, tetapi mendengar itu orang pada mengeluarkan peluh di punggungnya.
So So maju satu tindak.
"Shapeh, kau benar-benar
hebat!" katanya. "Kau dapat mengenali suaraku.. Memang itu hari,
didalam kantor Liong boen Piauwtiok, orang yang memesan Touw Thay Kim
mengantarkan kau ke Boe tong san yalah adikmu adanya."
"Terima kasih untuk
kebaikan hatimu Teehoe."
"Kemudian pihak Liong boen
Piauw kiok itu telah membuat kegagalan ditengah jalan," So So berkata
pula. "Kegagalan itu menyebabkan kau menjadi bersengsara begini rupa.
Karena itu adikmu ini telah membunuh habis semua keluarga Liong boen Piuaw kiok
itu."
"Demikian rupa kau berlaku
untukku, kenapa kah?" tanya Thay Giam dingin.
Wajah So So menjadi guram. Ia
menghela napas panjang.
"Shapeh, perkara telah
berjalan sampai sebegini jauh. Tidak dapatlah aku menyembunyikan apa-apa
lagi," katanya kemudian. "Hanya terlebih dulu hendak aku menjelaskan.
semua-muanya Coei San tidak tahu menahu. Aku kuatir ... aku takut..... Setelah
dia mengetahui itu, selanjutnya dia bakal tidak memperdulikan lagi
padaku."
"Jikalau begitu, tak
usahlah kau menyebutnya lagi." kata Thay Giam. "Aku telah bercacad
begini rupa, urusan yang sudah-sudah tidak usah ditimbulkan pula. Kejadian itu
tidak perlu mengganggu kamu sebagai suami isteri. Nah, kamu pergilah! Boe tong
Liok hiap melawan pendeta-pendeta dari Siauw lim pay kemenangannya sudah dapat
dipastikan. Jadi tak usahlah aku mendapat nama kosong"
Karena lukanya itu, sebab
keangkuhannya, Thay Giam tidak pernah mengeluh atau mengutarakan penasarannya.
Bahkan bicarapun ia tak dapat, tapi setelah dirawat sungguh sungguh oleh
gurunya selama sepuluh tahun, perlahan-lahan ia bisa juga bicara. Hanya
mengenai urusannya itu atas pengalamannya, ia tetap menutup mulut.
Maka itu ini hari, yalah
disaat ini, kira-kiranya itu membikin semua saudaranya menjadi kaget dan heran,
akan akhirnya semuanya berduka, bahkan ln Lie Heng lantas menangis.
"Shapeh, sebenarnya kau
telah mendapat atau menduga dari siang-siang," berkata So So pula,
"melulu karena kau berat kepada Coei San sebagai Soeteemu, kau menahan
sabar. Kau tidak sudi bicara. Memang itu hari disungai Cian tong, yang sembunyi
didalam perahu, yang melukakan kau dengan jarum, yalah adikmu ini ...."
Coei San terkejut.
"So So!" serunya.
"Benarkah itu? Kau ...... mengapa kau tidak memberitahukan itu
padaku?"
"Biang keladi segala
kejadian dan orang yang mencelakai Soehengmu ini yalah So So isterimu ini. Cara
bagaimana aku berani menerangkannya?" sahut sang isteri. "Shako,
orang yang melukai kau dengan paku Cit seng teng, yang memperdayakan golok To
liong to dari tanganmu, dialah kakakku sendiri, In Ya Ong... Kami dari Peh bie
kauw tidak bermusuhan dengan kamu dari Boe tong pay. Setelah kami mendapatkan
golok mustika itu, sedang kamipun menghargai kau sebagai seorang gagah sejati.
Maka kami telah menugaskan Liong boen Piauw kiok mengantarkan kau pulang ke Boe
tong san. Perihal peristiwa ditengah jalan, sungguh aku tidak duga sama
sekali."
Tubuh Coei San menggigil
keras, matanya seperti menghamburkan marong. Ia lantas menuding isterinya:
"Kau.... kau mendustai
aku hebat sekali!" katanya nyaring.
Mendadak Jie Thay Giam berseru
keras, lantas tubuhnya mencelat dari atas pembaringannya dan roboh. Tubuh itu
jatuh dipapan pembaringan hingga papan itu tak kuat menahannya dan ambruk. Thay
Giam sendiri terus pingsan.
Menampak semua itu, So So
menghunus pedang dipinggangnya. Ia membalik itu gagangnya pedang. Ia angsurkan
pada suaminya.
"Ngo ko," katanya.
"Sudah sepuluh tahun kita menjadi suami isteri, aku bersyukur sekali untuk
kecintaanmu. Maka kalau sekarang aku mati, aku puas. Aku tidak menyesal. Dari
itu kau tikamlah aku supaya dengan begitu kau dapat melindungi dan
mempertahankan kehormatannya Boe tong Cit hiap..... "
Coei San menyambuti pedang
isterinya hendak ia meneruskan menikam dada isterinya. Mendadak ia ingat akan
cinta kasih mereka selama sepuluh tahun. Hatinya menjadi lemah. Segala apa
lantas berbayang didepan matanya itu. Untuk sejenak ia menjublak, diakhirnya ia
berteriak, lalu ia lari keluar dari kamar, menuju kedepan !
So So dan Wan Kiauw semua
tidak tahu apa yang bakal dilakukan. Mereka lari menyusul.
Mereka dapat melihat Coei San
pergi keruangan besar untuk lantas berlutut didepan gurunya untuk mengangguk
angguk beberapa kali seraya berkata "Soehoe, kesalahanku telah menjadi
begini hingga tidak dapat ditarik pulang lagi. Maka itu muridmu hanya memohon satu
hal....."
Thio Sam Hong tidak tahu apa
yang telah terjadi. Karena ia sabar ia berkata dengan tenang: "Apakah itu?
Kau sebutkanlah! Pasti gurumu tidak akan menampik."
Coei San mengangguk pula tiga
kali.
"Terima kasih,
Soehoo," katanya. "Muridmu ada mempunyai seorang anak laki laki,
ialah anak satu satunya. Dia sekarang masih berada didalam tangannya orang
jahat. Maka itu muridmu mohon sukalah Soehoe menolongnya dari tangan iblis itu,
kemudian tolong Soehoe merawatnya hingga dia menjadi besar."
Habis berkata begitu, Coei San
memutar tubuh kearah Kong boen Taysoe dan lain tetamu terhitung Ceng hian Soe
thay dari Go bie pay. Dengan nyaring ia berkata: "Segala kesalahan, aku
Thio Coei San yang melakukannya. Sebagai seorang laki laki, aku sendiri juga
yang menanggungnya. Maka itu sekarang hendak aku membuat tuan tuan puas!"
Kata kata itu diakhiri dengan
tebasan pedang nya kepada lehernya, hingga darahnya lantas muncrat dan tubuhnya
roboh binasa.
Thio Sam Hong kaget bukun
main. Ia melompat untuk menolong. Bersama ia melompat juga Jie Lian Cioe, Thio
Siong kie dan In Lie Heng. Semua mereka pada berseru.
Berbareng dengan mereka
berempat, ada lima orang lain yang turut melompat maju, akan tetapi mereka
telah dibikin terpental dengan sampokan guru dan tiga muridnya. Justeru karena
ini, mereka ini terlambat, Coei San keburu membunuh diri dan tubuhnya roboh.
Song Wan Kiauw, Boh Seng Kok
dan In So So muncul paling belakang.
Justeru itu, dari luar jendela
terdengar teriakan: "Ayah! Ayah!" Suara yang kedua kali itu tertahan
seperti keluar dari mulut yang lantas tersumbat.
Hanya sekelebatan saja, Thio
Sam Hong sudah mencelat keluar jendela, hingga ia dapat melihat seorang laki
laki dengan dandanan seragam tentara Mongolia memeluki seorang bocah umur
delapan atau sembilan tahun, bocah mana dibekap mulutnya tetapi ia coba
meronta.
Hatinya Sam Hong tengah sakit
dan pedih, maka itu tanpa berpikir lagi, ia membentak orang Mongolia itu:
"Kau masuk kedalam !"
Orang itu tidak menurut
perintah, bahkan dia menggerakkan sebelah kakinya untuk menjejak tanah, guna
melompat naik keatas genteng. Selagi menjejak, ia mendak sedikit, si bocah
tetap dipeluk. Tapi ia tidak dapat berlompat. Tubuhnya di rasakan berat. Thio
Sam Hong yang telah melompat kepadanya, telah menekan pundaknya !
Kaget orang itu, rupanya dia
mengerti gelagat, tanpa membuka suara, dia bertindak kedalam, hingga batallah
dia hendak melarikan diri.
Bocah itu memang Boe Kie,
puteranya Coei San dan So So. Ia telah ditotok urat gagunya. Akan tetapi ia
pernah mengikuti Cia Soen belajar silat. Ia telah memperoleh kemajuan luar
biasa, maka juga tidak lama habis ditotok, ia dapat dengan sendirinya
membebaskan diri. Ia melihat ayahnya membunuh diri. Ia kaget luar biasa dan
berteriak memanggil manggil ayahnya itu, atas mana ia segera dibekap pula,
sampai kakek gurunya datang menolongnya.
In So So karam hatinya melihat
suaminya membunuh diri. Meski begitu, mendapatkan anaknya, kegirangannya muncul
juga, maka segera ia menghampirkan, tetapi perkataannya yang pertama ialah pertanyaan
ini: "Anak, kau toh tidak menyebutkan tentang dimana adanya ayah
angkatmu"
"Biarnya dia bunuh mati
padaku, tidak nanti aku beritahu!" sahut si anak.
"Oh, anak yang
baik", seru sang ibu, "Mari aku memelukmu!"
"Serahkan anak itu!"
Sam Hong memerintah orang Mongolia.
Orang itu menurut, tanpa
bersuara, ia menyerahkan si bocah kepada ibunya.
Boe Kie nelusup dalam
rangkulan ibunya. "Ibu," katanya, "Siapa yang memaksa ayah
membunuh diri?"
"Disini ada begini banyak
orang," menyahut sang ibu. "Merekalah yang naik kegunung ini dan
memaksakan kematian ayahmu!"
Matanya Boe Kie lantas
menyapu, dari kiri dan kekanan. Dia masih kecil akan tetapi sinar matanya tajam
sekali. Sinar mata itu mengsandung kebencian dan kemarahan hebat, hingga siapa
yang sinar matanya bentrok, hatinya terkesiap.
"Boe Kie, berjanjilah
kepada ibumu!" kata So So
"Titahkan, ibu!"
sang anak menjawab.
"Kau jangan terburu napsu
menuntut balas" katanya. "Kau harus sabar. Perlahan-lahan saja kau
menantikan, asal seorang jua jangan diberi lolos...."
Mendengar itu, orang pada
merasakan tubuhnya bergidik, punggungnya dingin sendirinya.
"Baik, ibu!" Boe Kie
menjawab. "Aku akan menantikan dengan perlahan-lahan, seorang jua aku
tidak akan kasih lolos!"
Tubuh si nyonya tiba-tiba
menggigil.
"Anak," katanya,
"karena ayahmu sudah mati, baiklah kita menyebutkan tempat kediamannya
ayahmu itu, supaya mereka ini mendapat tahu..."
"Jangan, ibu,
jangan!" Boe Kie mencegah. Tapi So So tidak memperdulikannya.
"Kong boen Taysoe,
mari!" katanya. "Aku hanya akan memberitahukan pada kau seorang. Mari
kupingmu, akan aku bisiki...."
Semua orang heran. Inilah
diluar dugaan mereka.
"Siancay ! Siancay!"
Kong boen memuji. "Nyonya yang budiman, coba kau bicara tadian sedikit,
pastilah Thio Ngo hiap tidak usah binasa...."
Ia lantas menghampiri So So
untuk membungkuk memasang kupingnya.
Nyonya Coei San menggerakkan
kedua bibirnya, tetapi suaranya tidak terdengar.
"Apa?" Kong boen
tanya.
"Kim mo Say ong Cia Soen,
dia bersembunyi di...." kata So So. Kata "bersembunyi di" itu
diucapkan sangat perlahan dan samar samar hingga sukar terdengar tegas.
"Apa!" pendeta dari
Siauw lim sie itu menegas.
"Ya, dia bersembunyi
disana, pergilah kau mencari sendiri." So So berkafa pula.
"Aku tidak mendengar
nyata !" kata Kong boen yang menjadi gelisah sendirinya.
"Aku hanya bisa
memberitahukan secara demikian maka pergilah kau kesana. Kau akan
mendapatkannya sendiri...." katanya pula.
Habis itu, ibu ini merangkul
anaknya untuk berbisik: "Anak, setelah dewasa nanti, jagalah dirimu agar
tidak diperdayakan wanita! Makin seorang cantik dan manis dilihat, makin dia
pandai memperdayakan orang ...."
Kupingnya ibu itu ditaruh
ditelinga puteranya. Ia menambahkan: "Aku tidak membilangi si pendata. aku
cuma mendustakan dia!"
Lalu ia tertawa sendirinya,
tertawa sedih.
"Nyonya yang baik!"
Kong-boen berseru.
Sekonyong-konyong rangkulannya
So So terlepas dengan sendirinya. Tubuhnya terhuyung, terus roboh celentang.
Maka terlihatlah didadanya tertancapnya sebilah pisau belati. Karena selagi
merangkul Boe Kie, puteranya, pisau belatinya sudah dipasang, dari itu tidak
ada seorang juga yang melihat ia membunuh diri.
Boe Kie menubruk tubuh ibunya.
"Ibu! Ibu!" ia memanggil-manggilnya. Tapi sang ibu telah lantas putus
jiwanya.
Kedukaan Boa Kie melampaui
batas, sampai ia tidak dapat menangis. Ia mencabut pisau belati dari dada
ibunya, ia mencekal pisau yang berlumuran darah itu. Sambil memegangnya, ia
memandang Kong boen Taysoe. Ia tanya dengan dingin: "Kaukah yang membunuh
ibuku? Benar atau tidak?"
Kong-boen terperanjat.
Kematiannya sinyonya sampai membuatnya menjublak. Biar bagaimana juga, ia
adalah seorang Ciang boen jin, maka hatinya terharu juga menyaksikan sekaligus
dua peristiwa berdarah yang terjadi secara beruntun dan menyayatkan hati itu.
Tanpa merasa, ia mundur
setindak.
"Bukan....... bukan
aku....... " katanya menyangkal. "Dia membunuh diri..."
Air matanya Boe Kie
mengembang, tetapi ia mencoba menahan mengucurnya itu. Ia kata dalam hatinya:
"Aku tidak boleh menangis! Aku tidak boleh menangis! Aku tidak boleh
mengasi lihat mereka ini aku menangis!"
Dengan tangan mencekal keras
pisau belati berdarah itu, bocah ini lantas bertindak, dari kiri ruangan terus
kesebelah kanan. Dia berjalan dengan tindakan perlahan, matanya mengawasi tajam
pada semua hadirin itu yang berjumlah tiga-ratus orang lebih untuk mengenali
mereka satu demi satu, sedang dibatok kepalanya teringat pesan ibu nya barusan:
" ... perlahan-lahan saja kau menantikan, asal saja seorang juga jangan
diberi lolos!"
Memang yang mendaki gunung Boe
tong san itu, kalau bukannya ketua partai atau perkumpulan, tentu ahli silat
dan bahwa mereka berani mengunjungi kuilnya Thio Sam Hong, menyatakan
keberanian mereka. Akan tetapi sekarang, ditatap Boe Kie demikian rupa, hati
mereka terkesiap dan mencelos. Jantung mereka berdenyutan memukul keras
..."
Akhir-akhirnya Kong boen
Taysoe berbatuk batuk perlahan.
"Thio Cinjin,"
katanya, "peristiwa ini.... ah....sungguh diluar dugaan.... Thio Ngo hiap
suami isteri telah menutup mata sendirinya. Maka itu semua urusan yang telah
lampau, baiklah dibikin habis saja. Sekarang kami meminta diri"
Pendeta itu lantas memberi
hormat.
Thio Sam Hong membalas hormat
itu. "Maaf, tidak dapat aku mengantar sampai jauh" katanya tawar.
Semua pendeta Siauw lim sie
itu lantas bergerak untuk berlalu.
Mendadak In Lie Heng berseru
bengis: "...kamu telah memaksa kematiannya saudaraku ....." Tapi ia
segera berhenti sendirinya, karena ia lantas ingat Ngoko telah membunuh diri
sebab ia malu kepada Shako. Mereka ini tidak ada sangkut pautnya. Maka ia tidak
melanjuti menegur, sebaiknya ia menubruk tubuhnya Coei San dan menangis
menggerung-gerung.
Semua orang menjadi merasa
tidak enak hati. Lantas mereka menghampiri Thio Sam Hong untuk pamitan, sedang
didalam hati mereka, mereka berpikir: "Perkara ini hebat sekali, Boe tong
pay tentulah tidak mau sudahan dengan gampang gampang...."
Hanya Song Wan Kiauw yang
mengantar semua tetamunya sampai diluar pintu. Selama itu mata nya sudah merah,
ketika kemudian ia memutar tubuh, air matanya lantas nerobos keluar, sedang
kupingnya mendengar tangisan riuh dan memedihkan dari ruangan dalam.
Rombongan Go bie pay yang
paling belakang meminta diri. Kie Siauw Hoe melihat In Lie Heng menangis
demikian sedih, matanya menjadi merah sendirinya, lupa malu atau likat, ia
menghampiri pemuda itu.
"Liok ko, aku mau
pengi," katanya perlahan sekali, "Kau..... kau rawatiah dirimu baik
baik."
Dengan air mata masih
mengembang, In Lie Heng mengangkat kepalanya akan memandang si nona. Karena air
matanya itu matanya seperti kabur. Ia masih sesenggukan ketika ia berkata.
"Kamu..... kamu kaum Go bie pay apakah kamupun datang untuk menyeterukan
Ngoko ?"
"Bukan," menyahut
Siauw Hoe cepat. "Hanya guruku mau meminta saudara Thio suka mengunjuk
alamatnya Cia Soen."
Boe Kie mendengar pembicaraan
itu, mendadak ia menyeletuk: "Ibuku sudah memberitahukan itu kepada si
pendeta, pergi kau tanya dia saja! Jikalau pendeta itu tidak sudi memberi tahu,
pergi kamu rewel dengan mereka !"
Dalam kedukaannya, anak ini sudah
mengerti maksud ibunya
"Kau anak yang
baik," berkata Kie Siauw Hoe. "Paman In mu tentulah akan bisa
merawati kau terus ...."
Dengan kata katanya ini si
nona mau maksudkan ia dan In Lie Heng pasti nanti memandang dia sebagai anak
sendiri.
Kemudian ia meloloskan rantai
emasnya dari lehernya. Ia memasuki itu kekepalanya Boo Kie seraya berkata
dengan halus : "Ini untukmu ..."
Mendadak Boe Kie melompat
sambil membentak: "Aku tidak menghendaki barang musuh!"
Nona Kie berdiri menjublak
likat, tangannya tetap memegangi kalungnya itu.
"Kamu lekas pergi !"
kata Boe Kie berteriak. "Aku hendak menangis! Seperginya semua musuh, baru
aku menangis!"
"Anak, kami bukan
musuhmu," kata Kie Siauw Hoe perlahan.
Boe Kie menggertak gigi.
Mendadak ia berkata sengit: "Semakin wanita cantik, semakin dia pandai
menipu orang!"
Mukanya Kie Siatiw Hoe menjadi
merah semua, hampir ia menangis. Wajahnja Ceng hian Soethay menjadi guram.
"Soemoay, buat apa banyak
bicara sama anak kecil !" katanya. "Mari kita pergi!"
Boe Kie mengawasi, ia menanti
sampai Kie Siauw hoe semua sudah lenyap dari pintu ruang itu, baru ia hendak
menangis, atau tiba tiba napasnya berhenti berjalan, tubuhnya roboh terkulai.
Jie Lian Cioe terkejut. Ia
lompat menubruk, untuk membangunkannya. Ia menyangka, saking sedihnya, anak ini
jadi pingsan. Ia kata. "Anak, kau menangislah!" Iapun lantas mengurut
tubuh si bocah.
Luar biala keadaannya Boe Kie.
Ia tidak siuman, bahkan sebaliknya tubuhnya menjadi dingin bagaikan es.
Melainkan dari hidungnya menghembuskan napas yang lemah sekali.
Lian Cioe terus mengurut, tapi
ia tetap tidak tersadar.
Sekarang Wan Kiauw semua
menjadi kaget.
"Anak ini keras hatinya,
iapun telah mengerti segala apa." berkata Thio Sam Hong menghela napas. Ia
lantas menekan jalan darah Leng thay hiat dipunggung anak itu untuk menyalurkan
hawanya sendiri ketubuh si anak.
Menurut tenaganya Thio Sam
Hong, orang luka bagaimana berat juga, asal jiwanya belum putus, asal dia
menyalurkan hawanya, dia bakal mendusin dari pingsannya dan keadaannya lantas
menjadi baikan. Akan tetapi tidak demikian dengan Boe Kie. Anak ini mengasi
lihat akibat yang luar biasa. Mukanya lantas berubah jadi pucat menjadi biru,
dari biru menjadi unggu, dan tubuhnyapun bengemetaran. Ketika jidatnya diraba,
jidat itu dingin seperti es. Maka kagetlah kakek guru ini. Lekas-lekas ia
masuki tangannya kedalam baju di punggung untuk meraba-raba. Disitu ada satu
bagian yang mengeluarkan hawa panas, sedang disekitarnya semua dingin sekali.
Kalau bukannya Sam Hong, mungkin dia turut kedinginan juga.
"Wan Kiauw, lekas cari
itu Tartar yang tadi membawa anak ini kemari!" guru ini menitahkan
muridnya.
"Aku turut?" berkata
Lian Cioe yang pun turut pengi.
Ketika tadi orang bingung,
tanpa ketahuan, orang Mongolia itu telah mengangkat kakinya. Thio Sam Hong
sendiri sampai lupa memperhati kan dia.
Sam Hong lantas merobek baju
Boe Kin, untuk memeriksa tubuhnya yang berkulit halus dan putih. Dipunggung
kedapatan tapak dari lima jari tangan, tapak mana bersemu hijau tua dan
berbahaya. Ketika diraba, tapak itu mengeluarkan hawa panas sekali. Dilain
pihak, disekitar, semua nya berhawa dingin. Pantaslah, karenanya, Boe Kie
pingsan bagaikan mayat.
Wan Kiauw dan Lian Cioe
kembali dengan cepat dengan laporannya bahwa siorang Mongolia tidak kedapatan,
bahwa mereka telah mencari dengan sia sia.Mereka inipun menjadi kaget sekali
melihat tapak tangan dipunggung Boe Kie.
Thio Sam Hoag mengerutkan
alisnya. Tampaknya ia menyesal ketika mengucapkan katanya: "Aku telah
menyangka tigapuluh tahun yang lalu, dengan matinya Pek soe Tauwto, maka
lenyaplah sudah ini ilmu Hian beng Sin cieng yang lihay luar biasa. Siapa
sangka sebenarnya masih ada orang yang mempunyai kepandaian itu"
Wan Kiauw kaget bukan main.
"Jadi anak ini terluka
dengan ilmu Hian beng Sin ciang?" tanyanya. Ia berusia paling tinggi dan
ketahui perihal ilmu pukulan tangan kosong itu, Tangan Malaikat Air, Lian Cioe
dan yang lain nya, mendengar pun belum.
"Warnanya tapak jari ini
yalah tanda utama dari pukulan jahat itu" Thio Sam Hong menerangkan.
"Soehoe perlu obat
apa?" tanya In Lie Heng: "Nanti aku lantas ambil."
Guru itu menghela napas. Ia
tidak menyahut, hanya kedua mata mengucarkan air. Ia mengangkat tubuh Boe Kie
untuk di rangkul erat-erat, sedang matanya mengawasi mayat Coei San.
Ia kata: "Coei San, Coei
San ! Kau mengangkat aku menjadi guru. Ketika kau mau pulang, kau menitipkan
anakmu ini padaku, akan tetapi aku aku tidak sanggup melindungi anakmu ini!
Maka apakah artinya aku hidup sampai umur seratus tahun? Apakah gunanya Boe tong
pay terkenal di seluruh jagat? Lebin baik aku mati saja ...."
Wan Kiauw semua kaget tidak
terkira. Semenjak mengikuti guru ini, mereka selalu mendapatkan si guru
bergembira. Belum pernah ia bersusah hati atau berputus asa seperti ini.
"Soehoe, benarkah anak ini
tidak dapat ditolong lagi ?" tanya Lie Heng penasaran.
Sam Hong memeluk terus tubuh
Boe Kie. Ia berjalan mundar-mandir diruang itu.
"Kecuali .... kecuali
guruku Kak-wan hidup pula dan ia mengajar aku seluruh kitab Kioe yang Cin keng
....."
Semua murid Thio Sam Hong
kaget. Semuanya berdiam. Kak wan Tay soe telah menutup mata pada delapan puluh
tahun yang lampau. Mana dapat ia hidup pula? Itu artinya, Bor Kie tidak bisa
ditolong lagi....
"Soehoe," kata Lion
Cioe tiba tiba "Aku ingat orang Mongolia tadi. Dengannya pernah aku beradu
tangan. Memang tangannya lihay sekali, jarang orang selihay dia. Tanganku telah
terluka karena beradu tangan itu, tetapi sekarang tanganku telah sembuh
seantengnya, rasanya bakal tidak ada akibatnya lebih jauh..."
"Didalam hal itu kau
mengandal kepada nama besar Boe tong Cit hiap," berkata sang guru
"Hian beng Sin Ciang itu luar biasa. Kalau melukai orang, celakalah
korbannya. Sebaliknya, kalau dia kalah tenaga dalam, dia bakal terluka
sendirinya. Ketika dia beradu tangan dengan kau, mungkin dia tidak bersungguh
hati, rupanya dia jeri. Maka ingat, kalau lain kali. kau bertemu dia,
berhati-hatilah."
Lian Cioe bergidik sendirinya.
"Jadi dia jeri kepada
tenaga dalamku? Dia jadi tidak menggunakan seantero ilmunya yang liehay itu,"
pikirnya. "Coba lain kali dia bertemu pula denganku, tentu dia tidak akan
memberi ampun lagi ...."
Keenam orang itu berdiam.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan Boe Kie: "Ayah, ayah, aduh
sakit!" Dan ia membalas merangkul Thio Sam Hong keras-keras, kepalanya
diselusupkan di dada si imam tua.
Hati Sam Hong menggetar. Ia
sangat menyayang anak itu. Dengan mengertak gigi ia berkata: "Mari kita
gunakan semua tenaga kita untuk menolong bocah ini. Sampai berapa lama lagi dia
dapat hidup, terserah kepada kemurahan hati Thian"
Ia lantas mengawasi mayat Coei
San, air mata turun bercucuran ia berkata: "Coei San, Coei San, oh,
bagaimana sengsara anakmu ini!"
Kemudian ia bertindak kedalam,
membawa bocah itu ke kamarnya sendiri, setelah meletakkan tubuh orang ia menotok
berulang ulang delapan macam jalan darahnya.
Setelah ditotok pergi datang
itu, tubuh Boe Kie tidak bergemetaran lebih jauh, hanya warna kulit mukanya,
warna ungu itu, sudah menjadi bertambah gelap. Sam Hong tahu baik sekali, bila
warna itu berubah menjadi hitam, habislah sudah jiwa bocah yang malang ini.
Maka ia lekas-lekas meloloskan semua pakaian Boe Kie, dan membuka jubahnya
sendiri, lalu punggung si anak ditempel rapat rapat pada dadanya sendiri.
Ketika itu diluar, Song Wan
Kiauw beramai mengurus mayat Thio Coei San dan In So So. Kemudian Jie Lian Cioe
bersama Thio Siong Kee dan Boh Seng Kok bertiga menyusul guru mereka hingga
mereka melihat sepak terjang guru itu, yang tengah mengerahkan tenaga dalamnya
menurut ilmu "Soen-yang Boe kek kang" untuk menyedot hawa dingin dari
tubuh Boe Kie. Seumurnya Thio Sam Hong tidak menikah, maka sampai usianya
seratus tahun, dia tetap perjaka sejati, karena mana juga dia berhasil
meyakinkan ilmu tenaga dalamnya itu yang istimewa. Hanya ilmu itu luar biasa
sekali, kalau salah penggunaannya dapat mencelakakan diri sendiri.
Menyaksikan itu, ketiga murid
ini berdebatati hatJnya. Mereka menguatirkan gurunya. Yang di kuatirkan, karena
sudah tinggi usianya, tenaganya mungkin telah berkurang tanpa diketahui.
Selang setengah jam terlihat
muka Thio Sam Hong berwarna semu hijau dan sepuluh jari tangannya bengemetaran.
Kemudian guru itu membuka
matanya dan berkata: "Lian Cioe mari kau gantikan aku. Kalau kau sudah
tidak sanggup, lekas suruh Siong Kee menggantikannya. Ingat, jangan kau
memaksakan diri."
Lian Cioe meloloskan jubahnya,
menyambuti Boe Kie, untuk dipeluk erat erat. Begitu tubuh mereka beradu, ia
merasakan hawa dingin, seakan akan ia memeluk sebalok es. Maka ia berkata
"Cit tee, lekas kau suruh orang menyalakan beberapa dapur, makin marong
apinya makin balik!"
Demikian, dengan mengandalkan
tenaga dalam mereka, guru dan murid-muridnya itu menolong Boe Kie, si bocah
keturunan satu-satunya dari Coei San dan So So. Disini terlihat nyata perbedaan
tingkat tenaga dalam antara guru dan murid itu. Seng Kok tidak dapat bertahan
lama-lama seperti saudara-saudaranya, ia hanya kuat bertahan selama sepanasnya
air teh didalam cangkir, sedang Wan Kiauw kuat bertahan selama dua batang hii.
Ketika In Lie Heng yang menggantikan, seketika itu dia menjerit dan tubuhnya
menggigil.
"Mari serahkan Boe Kie
padaku!" kata Sam Hong kaget. "Pergi kau bersamadhi!"
Ternyata Lie Heng menjadi
lemah karena ia lah yang mendaratkan pukulan batin paling hebat karena kematian
Coei San itu, hingga ia tidak dapat menguasai diri.
Usaha merampas jiwa Boe Kie
dari tangan maut ini dilanjutkan terus dengan bergantian selama tiga hari dan
tiga malam, maka bisalah dimengerti hebatnya penderitaan mereka.
Syukurnya yalah, hawa dingin
ditubuh Boe Kie mulai berkurang, yang berarti juga berkurangnya racun dari Hian
beng Sin ciang. Baru dihari ke empat, mereka dapat senggang sedikit, untuk
beristirahat dan tidur. Sedang pada hari kedelapan, pembagian giliran dapat
diatur lebih rapi, yalah seorang dapat menolong bergantian setiap dua jam.
Dengan begitu, mereka bisa beristiahat dengan baik dan teratur.
Boe Kie memperoleh kemajuan,
hawa dinginnya berkurang setiap hari. Ingatannya pun bertambah sadar, bahkan ia
dapat dahar sedikit-sedikit. Semua orang berlega hati. Itulah bertanda bahwa
anak ini akan dapat ditolong. Maka bukan kepalang kagetnya orang ketika tiba
pada hari yang ketigapuluh enam, Lian Cioe yang pertama mengetahui datangnya
perubahan luar biasa mendapatkan bahwa hawa dingin ditubuh Boe Kie tidak dapat
disedot pula. Lian Cioe heran, ia menyangka bahwa tenaganya sendiri yang sudah
habis, maka ia memberitahukan gurunya.
Thio Sam Hong segera mencoba
sendiri, iapun gagal. Semua orang menjadi gelisah lagi. Lima hari dan lima
malam mereka mencoba terus, tetapi hasilnya tetap tidak ada.
"Thay soe hoe,"
berkata Boe Kie yang masih tetap sadar, "tangan dan kakiku telah terasakan
hangat, hanya embun-embunanku, hati dan perut ku bertambah dingin..."
Didalam hatinya, Thio Sam Hong
kaget bukan
"Lukamu telah sembuh
banyak," ia berkata meaghibur.
"Kamipun rasanya tidak
usah selalu harus mendampingimu. Pergilah kau rebahkan diri sebentar
dipembaringanku."
"baik, thaysoehoe,"
kata bocah itu.
Jilid 19
Boe Kie terus berlutut didepan
kakek gurunya, begitupun didepan Wan Kiauw berlima, untuk manggut-manggut
beberapa kali. Ia berkata pula: "Thay soehoe bersama paman semua telah
menolong jiwa Boe Kie, maka selanjutnya Boe Kie mohon diajarkan ilmu silat
supaya Boe Kie dapat membalaskan sakit hati ayah dan ibu kelak"
Sam Hong mengajak semua
muridnya keruang dalam, disini ia berkata kepada mereka itu: "Hawa dingin
sudah masuk ke embun-embunan, hati dan perut, tak tertolong dengan tenaga luar.
Kelihatannya sia sia belaka pengorbanan kita selama hampir empat puluh hari.
Kenapa bisa terjadi begini, sungguh aku tidak mengerti...."
Semua orang mengasah otak,
tapi sesudah sekian lama, belum juga ada yang bisa menebak sebab musababnya
perubahan itu. Jika mau dikatakan, bahwa Soen yang Boe kek kang tidak dapat
mengusir hawa dingin itu, mengapa ilmu tersebut memperlihatkan kefaedahannya
selama tiga puluh enam hari dan baru gagal pada hari ke tiga puluh tujuh?
Mengapa sedang lain-lain
bagian tubuhnya hangat hanya di embun-embunan, hati, dan tantian (perut, tiga
dim dibawah pusar) yang dingin luar biasa?
Selang beberapa saat lagi,
tiba-tiba Jie Lian Cioe berkata: "Soehoe, apa tidak bisa jadi, sesudah
kena pukulan Hian beng Sin ciang, Boe Kie mengerahkan Lweekang untuk melawannya
dan karena salah menggunakan tenaga dalam, racun dingin itu dan tenaga dalamnya
melekat satu sama lain, sehingga tidak dapat disedot lagi?"