Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 70
Melihat Boe Kie yang
berpakaian indah, kepala judi segera menghampiri dan berkata sambil tertawa,
“Kong coe ya, hayolah!” Ia berpaling pada para penjudi dan berkata pula,
“Berikan tempat kepada Kong coe ya!”
Alis Boe Kie berkerut dan
matanya menyapu ke seluruh ruangan. Para penjudi itu bukan orang orang Kang
ouw. Maka itu tanpa meladeni ajakan orang, ia segera berteriak. “Giehoe!
Giehoe!” tapi ia tak mendapat jawaban.
Salah seorang penjudi yang
iseng mulut tertawa dan berkata. “Mau apa kau nak. Giehoe mu berada di sini.”
Para penjudi lantas saja tertawa terbahak bahak.
Sambil menahan sabar Boe Kie
menanya si kepala judi. “Apa kau lihat seorang toa ya yang berambut kuning
bertubuh tinggi besar dan buta matanya?”
“Omong kosong,” jawabnya dengan
suara tawar. “Di kolong langit mana ada si buta yang bisa berjudi?” Kecuali
kalau dia sudah bosan hidup.”
Darah Boe Kie meluap. Ia
melompat dan mencekal si kepala judi dan penjudi yang tadi mengejeknya dan
melontarkannya ke genteng. Walaupun tidak terluka mereka ketakutan setengah
mati dan berteriak teriak minta tolong. Boe Kie menjemput dua potong perak dari
meja judi dan sesudah memasukkannya ke dalam saku ia segera berjalan keluar.
Para penjudi hanya mengawasi dengan mata membelalak dan tidak seorangpun berani
mengubar.
Boe Kie meneruskan perjalanan
ke arah barat. Tak lama kemudian, ia menemukan lagi tanda gambar obor. Di waktu
magrib, ia tiba di Hong jiong, sebuah kota besar di Ho pak utara. Dengan
mengikuti tanda obor, ia pergi ke sebuah gedung yang pintu depannya berwarna
hitam. Dengan cincin pintu yang berkilat dan bunga bunga di dalam tembok yang
sedang mekar, gedung itu memperlihatkan suasana tenang dan damai. Ia mengetuk
ngetuk pintu dan tak lama kemudian terdengar tindakan kaki yang enteng. Hampir
berbareng dengan terendusnya bau harum, pinta dibuka oleh seorang pelayan
wanita yang mengenakan baju kulit warna merah. “Sudah lama Kong coe ya tak
datang dan Ciecie sangat memikiri kau,” katanya sambil tersenyum. “Masuklah.”
Boe Kie bingung. “Bagaimana
kau kenal aku? Siapa Cieciemu?” tanyanya.
Pelayan itu tertawa. “Ah,
jangan berlagak pilon!” jawabnya. “Hayo masuk! Ciecie sudah menunggu nunggu.”
Ia mencekal tangan kanan Boe Kie dan lalu menariknya.
Tak kepalang herannya Boe Kie.
Sesudah memikir sejenak ia berkata di dalam hatinya. “Ah bisa jadi! Bisa jadi
Cie Jiak berada di sini. Apa ia sudah menduga bahwa aku akan menyusul dengan
mengikuti tanda tanda obor, ia memerintahkan pelayan ini untuk menyambut. Hai!
Ia tentu sangat menderita.” Memikir begitu, ia lantas saja mengikuti. Sesudah
melalui sebuah jalanan kecil yang tertutup batu dan melewati sebuah pekarangan,
mereka tiba di depan sebuah kamar. Seekor burung kakaktua tiba-tiba berteriak.
“Kakak yang tercinta datang! Ciecie kakak yang tercinta datang!”
Muka Boe Kie lantas saja
berubah merah.
Kamar itu sangat indah. Semua
kursi teralas bantal sulam dan dengan perapian yang apinya berkobar kobar, hawa
di dalam kamar hangat bagaikan hawa di musim semi. Di atas sebuah meja kecil
menyala hio wangi, di samping tempat hio terletak sebuah khim. Pelayan itu
lantas masuk ke dalam dan keluar lagi dengan tangan menyangga nampan yang
berisi enam piring kecil bebuahan dan sepoci teh. Ia menuang teh dan
mengangsurkan cangkir kepada Boe Kie.
Waktu pemuda itu menyambutnya,
si pelayan tiba tiba menekan pergelangan tangannya dengan perlahan. Alis Boe
Kie berkerut. “Bagaimana pelayan ini bisa berlaku kurang ajar? Bukankah tak
baik jika dilihat Cie Jiak?” katanya di dalam hati. “Mana Cia looya? Cie
Kouwnio berada di mana?” ia bertanya.
Si pelayan tertawa. “Perlu apa
kau tanyakan Cia looya?” jawabnya. “Ciecie akan segera datang. Kau sungguh tak
punya perasaan hati. Sesudah berada di sini, kau masih ingat Cioe Kouwnio, Ong
Kouwnio…”
Boe Kie kaget. “Jangan ngaco
kau! Apa kau kata?” ia menegas.
Pelayan itu tertawa pula dan
segera berlalu. Tidak lama kemudian ia kembali dengan menuntun seorang wanita
muda yang berusia kira kira duapuluh tiga atau duapuluh empat tahun, kulitnya
putih alisnya kecil bengkok dan di sudut mulutnya terdapat sebuah tahi lalat.
Ia cukup cantik, hanya sinar matanya genit sekali dan ia menghampiri dengan
tindakan gemulai. Alis Boe Kie berkerut karena ia mengendus wewangian yang
sangat santer.
Wanita itu tertawa manis.
“Siangkong she apa?” tanyanya. “Duduklah. Kedatangan Siangkong memberi muka
kepadaku.” Seraya berkata begitu, sebelah tangannya memegang pundak Boe Kie.
Dengan muka kemerah merahan
Boe Kie mundur setindak. “Aku she Thio,” jawabnya. “Apakah seorang tua she Cia
dan seorang gadis she Cioe berada di sini?”
“Di sini Lee hiang ih,” sahut
wanita itu. “Kalau Siangkong mau cari Cioe Sian sian, pergilah ke Pek tho kie.
Siangkoan agaknya sudah linglung dan mencari Cioe Sian sian di Lee hiang ih.
Hi..hi..hi…” Ia tertawa geli.
Boe Kie mendusin. Ia berada di
rumah pelacur. Tanpa mengatakan suatu apa lagi, buru buru ia mengangkat kaki.
Si pelayan memburu dan berteriak teriak. “Siangkong!... Siangkong!... apa
nonaku kalah cantik dari Cioe Sian sian? Duduklah sebentaran…”
Boe Kie menggoyang goyangkan tangannya.
Ia mengambil sepotong perak dari sakunya, melontarkannya di tanah dan terus
kabur dengan berlari lari.
Ia terus lari. Ketika itu
matahari sudah menyelam ke barat. Sebab sukar mengikuti tanda tanda obor di
waktu malam, ia mengambil keputusan untuk m beramalam di rumah penginapan.
Sesudah makan, ia mengasah otak, memikir segala pengalamannya. “Mengapa Giehoe
pergi ke rumah judi, ke rumah pelacur?” tanyanya di dalam hati. “Di dalam hal
ini tentu bersembunyi latar belakang yang luar biasa.” Karena letih ia
tertidur. Di tengah malam ia tersadar dan tiba tiba saja di dalam otaknya
berkelebat serupa ingatan. “Giehoe seorang buta, bagaimana ia bisa meninggalkan
tanda tanda di sepanjang jalan?” tanyanya di dalam hati. “Apakah ia dikawani
dan dibantu Cie Jiak? Apakah musuh yang membantunya untuk mempermainkan aku?
Tapi… sudahlah! Biarpun mesti masuk ke sarang harimau, aku harus menyelidiki
teka teki ini sampai seterang terangnya.”
Pada keesokan paginya, diluar
kota Hong ji ong, ia kembali menemukan tanda obor, yang mengunjuk ke arah
barat. Lohor itu ia tiba di Giok ian dan tanda obor menuntunnya ke sebuah
gedung yang besar. Pemilik gedung sedang merayakan pesta pernikahan puterinya.
Sebab sudah mendapat pelajaran getir, Boe Kie tak berani lantas menanyakan hal
Cia Soen. Ia masuk ke tempat pesta dan memasang mata tapi tak bisa mendapatkan
sesuatu yang luar biasa. Dengan rasa masgul ia meninggalkan gedung itu dan
benar saja, di pinggir jalan di sebuah pohon ia menemukan sebuah tanda obor.
Demikianlah tanpa memperdulikan
apa pun jua, ia terus mengikuti tanda tanda obor. Dari Giok tian ia pergi ke
Sam ho membiluk ke selatan, terus ke Hiang ho. Sampai di situ ia mulai menduga
duga bahwa Kay Pang menggunakan tipu “memancing harimau meninggalkan gunung”
untuk menyingkirkannya ke tempat jauh, supaya mereka bisa leluasa melakukan
sesuatu kejahatan. Tapi biarpun menduga begitu, ia tak berani mengikuti terus
tanda obor itu. Bagaimana kalau tanda tanda tersebut benar benar dibuat oleh
ayah angkatnya dan Cie Jiak yang sedang diubar ubar musuh? Sesudah menimbang
nimbang, ia mengambil keputusan untuk mengikuti terus.
Dari Hian ho, ia menguber ke
Po shia, Toa pek chung, Poa chung. Menikung ke jurusan tenggara, tiba di Leng
hoa, membiluk ke utara melewati Hong lam Kay peng Loei chung dan sesudah
bercapai lelah berhari2 ia tiba pula di Louwliong. Ia ternyata sudah membuat
sebuah lingkaran besar dari Louwliong kembali di Louwliong.
Setibanya di Louwliong,
mendadak hatinya tenang. “Bagaimana jadinya jika musuh menyesatkan aku ke
tempat jauh misalnya ke Kwitang Kwisay In Lam atau Kwi coe? Baik juga mereka
menuntun aku balik ke Louwliong. Memikir begitu, sesudah makan kenyang2 ia
membeli jubah panjang warna putih dan membuat gambar obor merah memakai itu. Ia
mau menyatroni pusat Kay Pang secara resmi sebagai seorang Kauwcoe dari Beng
Kauw.
Sesudah berdandan, ia segera
pergi ke gedung si hartawan yang menjadi tempat berkumpulnya tokoh tokoh Kay
Pang. Pintu depan terkunci. Dengan sekali pukul daun pintu terbang menimpa dua
jambangan ikan emas yang lantas saja menjadi hancur.
Sesudah dipermainkan beberapa
hari dia datang dengan darah mendidih. Ia bertekad untuk mengadu kepandaian dan
melampiaskan hawa amarahnya. Begitu pintu terpukul pecah, ia masuk dengan
tindakan lebar. “Orang orang Kay Pang dengarlah!” teriaknya. “Lekas suruh Soe
Hwee Liong keluar untuk menemui aku!”
Di pekarangan terdapat belasan
murid Kay Pang dari tingkatan empat dan lima karung. Hancurnya pintu tentu saja
mengejutkan mereka.
Boe Kie tak mau membuang buang
waktu. Ia mendorong keras dan bagaikan rumput kering tubuh murid murid Kay Pang
itu terpental roboh sesudah membentur tembok atau jendela.
Boe Kie maju terus. Sesudah
menghancurkan pintu tengah ia mendapat kenyataan bahwa tokoh tokoh Kay Pang
sedang makan minum di toa thie, dengan Soe Hwee Liong duduk menghadap keluar.
Para pemimpin Kay Pang sudah
mendengar ribut ribut dan baru saja memerintahkan salah seorang untuk
menyelidiki. Tapi Boe Kie sudah keburu datang. Dengan sekali menjepret ia
cengkeram dada murid Kay Pang tujuh karung yang mau keluar menyelidiki itu dan
terus melemparkannya ke arah Soe Hwee Liong.
Si hartawan pemilik gedung
yang duduk di sebelah bawah buru buru mementang kedua tangannya untuk menangkap
tubuh si pengemis yang “terbang” mendatangi. Tangkapannya tepat, tapi ia
terhuyung tujuh delapan tindak karena tenaga melempar itu hebat luar biasa.
Para pengemis terkesiap, murid
tujuh karung yang dilemparkan itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi sedang
si hartawan berkepandaian lebih tinggi lagi.
Kalau tokoh tokoh partai
pengemis kaget, Boe Kie lebih kaget lagi. Tapi dalam kagetnya Boe Kie tercampur
rasa girang, sebab ia lihat bahwa Cioe Cie Jiak dan Song Ceng Soe sedang duduk
berendeng di meja bundar sebelah kiri. Untuk sejenak ia terpaku dan mengawasi
nona Cioe dengan mata membelalak.
“Boe Kie Koko!” teriak Cie
Jiak. Ia berdiri, tapi tubuhnya bergoyang goyang dan lantas roboh.
Boe Kie melompat, membungkuk
dan memeluk si nona.
Tiba tiba punggungnya dipukul
dua kali beruntun oleh Song Ceng Soe dan oleh seorang pengemis lain. Tapi tidak
bergeming sebab sekujur badannya dilindungi Kioe yang sinkang. Sambil mendukung
si nona, ia melompat keluar dari ruangan perjamuan.
“Mana Giehoe?” tanyanya.
“Aku… aku…” kata nona Cioe
terputus putus.
“Apa Giehoe selamat?”
“Jalan darahku ketotok… aku
tidak bertenaga…”
Tapi Boe Kie yang sangat
memikiri Cia Soen tidak menghiraukan keterangan si nona. “Bagaimana Giehoe?”
tanyanya pula.
“Entahlah, aku tak tahu. Aku
ditangkap mereka dan dibawa kemari. Aku tak tahu di mana adanya Giehoe.”
Boe Kie segera melepaskan Cie
Jiak di tanah dan mengurut betisnya. Tapi totokan atas diri Cie Jiak adalah
totokan istimewa dari Kay Pang dan Boe Kie tidak berhasil dalam usaha
membukanya. Cie Jiak masih tetap tidak bisa berdiri.
Sementara itu semua tokoh Kay
Pang sudah meninggalkan meja perjamuan dan berdiri di atas undakan batu dari
ruangan itu. Sambil merangkap kedua tangannya Soe Hwee Liang bertanya, “Apakah
tuan Kauwcoe dari Beng kauw?”
Dalam menghadapi seorang pemimpin
dari sebuah partai persilatan yang besar, Boe Kie tidak berani melanggar
kesopanan. Ia pun lantas segera merangkap kedua tangannya dan menjawab. “Benar.
Tanpa diundang aku sudah datang di Cong to (pusat kalian). Untuk itu, aku
menghaturkan maaf.”
“Nama Thio Kauwcoe
menggetarkan seluruh Kangouw dan sudah lama aku ingin bertemu dengan tuan,”
kata Soe Hwee Liong. “Kini aku mendapat bukti, bahwa nama itu bukan nama
kosong.”
“Aku datang untuk menemukan
ayah angkatku, Kim mo Say ong,” kata Boe Kie. “Kuharap Pangcoe suka
mengeluarkan Giehoe itu.”
Paras muka Soe Hwee Liong
mendadak berubah merah padam. Sesudah tertawa terbahak-bahak, ia berkata. “Thio
Kauwcoe berusia sangat muda, tapi perkataanmu sangat tak pantas. Dengan maksud
baik aku mengundang Cia Say ong datang kemari untuk menjadi tamu kami selama
beberapa hari. Di luar dugaan Cia Say ong telah berlalu tanpa pamitan. Bukan
saja begitu, dia bahkan membinasakan delapan murid kami. Thio Kauwcoe,
bagaimana perhitungan ini bisa dibereskannya?”
Boe Kie terkejut. “Kalau
begitu delapan pengemis itu benar benar dibinasakan Giehoe,” pikirnya. “Tapi
kemana perginya Giehoe?” Sesudah memikir sejenak, ia berkata. “Tapi bagaimana
dengan Cioe Kouwnio ini? Apa kedosaannya sehingga kalian menahannya disini?”
Soe Hwee Liong tertawa dan
menjawab dengan suara mengejek. “Benar juga kata orang, bahwa biarpun
berkepandaian tinggi, Thio Boe Kie adalah iblis yang tak mengenal aturan.
Ha..ha..ha!..”
“Sebab apa?”
“Sepak terjang Thio Kauwcoe
sudah merupakan bukti yang nyata.”
“Aku tanya, sebab apa kau
mengatakan aku tak tahu aturan?”
“Cioe Kauwnio adalah seorang
Ciangboen dari Go bie pay. Ia adalah pemimpin dari sebuah partai yang lurus
bersih. Ada hubungan apakah ia dengan agama mu yang sesat? Song Ceng Soe, Song
Heng tee, adalah seorang tokoh terkemuka Boe tong pay. Dengan Cioe kauwnio ia
merupakan pasangan yang setimpal. Mereka kebetulan lewat disini dan kami
menjamu mereka. Hal ini sedikitpun tidak ada sangkut pautnya dengan Thio
Kauwcoe. Sungguh lucu!... sungguh menggelikan.” Sehabis berkata begitu ia
tertawa berkakakan diturut oleh kawan-kawannya.
“Kalau benar Cioe Kouwnio tamu
mu mengapa kau totok jalan darahnya sehingga ia tidak bisa berdiri?” tanya Boe
Kie.
Soe hwee Liong tergugu. Ia
tidak dapat menjawab.
Tan Yoe Liang maju setindak
dan berkata, “Siapa bilang Cioe Kouwnio tertotok jalan darahnya?” Kami baru
saja makan minum dengan riang gembira. Semenjak dahulu Kay Pang dan Go bie pay
mempunyai hubungan yang sangat erat. Pendiri Go bie pay adalah Kwee Lie hiap,
puteri Oey Pangcu Oey Yong. Yeh lu Pangcu dari partai kami adalah cie hoe
(suami dari kakak perempuan) Kwee lie hiap. Kenyataan ini diketahui oleh
seluruh anggota Rimba Persilatan. Coba kau pikir. Dengan adanya hubungan yang
erat itu, cara bagaimana cara melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap
seorang ciang boenjin dari Go bie pay? Omongan Thio Kauwcoe seperti omongan
anak anak yang bisa ditertawakan oleh segenap orang gagah di kolong langit.”
Boe Kie tertawa dingin. “Kalau
menurut perkataanmu, apakah Cioe Kouwnio telah menotok jalan darahnya sendiri?”
tanyanya.
Tan Yoe Liang mengeluarkan
suara di hidung. “Belum tentu begitu,” jawabnya.
“Semua orang menyaksikan
dengan mata sendiri, bahwa Thio Kauwcoe lah yang telah merampasnya secara
paksa. Cioe Kouwnio coba memberontak dan Thio Kauwcoe segera menotoknya. Thio
Kauwcoe meskipun benar seorang agah sering sukar mengatasi diri dalam
menghadapi seorang wanita cantik, tapi janganlah kau melakukan perbuatan kurang
ajar itu di hadapan orang banyak. Thio Kauwcoe, kau sungguh tak ingat
kedudukanmu yang sangat tinggi.”
Dalam mengadu lidah, Boe Kie
memang bukan tandingan Tan Yoe Liang. Tak dapat ia menangkis serangan si orang
she Tan. Paras mukanya merah padam dan ia hanya mengawasi lawannya. Beberapa
saat kemudian barulah ia bisa membuka mulut. “Apa benar benar kau tidak mau
memberitahukan dimana adanya ayah angkatku?” tanyanya dengan suara gemetar.
“Thio Kauwcoe,” kata Tan Yoe
Liang dengan suara tawar, “Kong beng Soecie Yo Siauw dari agama mu dahulu
pernah merusak kehormatan Kie Siauw Hoe dari Go bie pay. Sebab perbuatan itu,
dia dikutuk oleh semua orang di kolong langit. Maka itu aku sekarang ingin
menasihati kau, supaya janganlah kau meneladan contoh Yo Siauw itu. Dengan
setulus hati aku memberi nasehat. Terserah kepada kau, apa kau sudi dengar atau
tidak.”
Boe Kie tidak meladeni. Ia
menengok kepada Cie Jiak, “Beritahukan aku cara bagaimana mereka bawa kau
sampai di sini?”
Nona Cioe menjawab dengan
terputus-putus. “Aku… aku… aku…,” mendadak tubuhnya bergemetaran dan roboh
pingsan.
Orang orang Kay Pang lantas
saja mencaci maki.
“Iblis Beng Kauw bunuh orang!”
“Thio Boe Kie bunuh Ciang boen
jin Go bie pay!”
“Binasakan penjahat cabul Thio
Boe Kie!”
dan sebagainya.
Tak kepalang gusarnya Boe Kie.
“Tangkap penjahat harus ditangkap rajanya, pikirnya. Dengan membekuk Soe hwee
liong, aku bisa mengorek rahasia dimana adanya Giehoe.” Memikir begitu, ia
segera menerjang pangcu Kay Pang itu.
Tapi baru mau bergerak, Ciang
pang Liong tauw dan Cie hoat Tiang loo sudah menghadang di depannya. Ciang pang
Liong tauw menyapu dengan tongkatnya, sedang Cie hoat Tiangloo yang tangan
kanannya bersenjata gaetan baja dan tangan kirinya memegang tongkat besi turut
menyerang dengan pukulan yang membinasakan.
Sambil membentak, Boe Kie menyambut
dengan Kian koen Tay lo ie. “Trang!” gaetan Cie hoat Tiangloo menangkis tongkat
Ciang pang Liong tauw.
“Semua orang awas!” teriak
Coan kang Tiang loo. “Bocah itu memiliki ilmu silat aneh.” Seraya berkata
begitu, ia mengirim tiga serangan dengan pedangnya. Setiap serangan diajukan ke
arah “hiat” besar, di bagian dada dan kempungan.
“Bagus!” seru Boe Kie sambil
melompat. Hampir berbareng jari tangannya menotok Hoan tiauw hiat di paha
lawan. Bagaikan kilat pedang Coan kang membuat lingkaran dan ujung pedang
menyambar ujung jari tangan Boe Kie. Sambutan itu yang dikirim secara indah dan
tepat membuktikan kelihaian Coan kang Tiangloo sehingga Boe Kie sendiri merasa
kagum sekali. Buru2 ia menarik pulang tangannya untuk mengelakkan tusukan
pedang itu.
Hari itu di kelenteng Bie lek
hoed, Boe Kie pernah menyaksikan pertempuran antara Hiang beng Jieloo dan jago
jago Kay Pang. Tapi sebab bersembunyi di pohon dan tidak berani menonjolkan
kepala, maka itu ia tidak melihat tegas jalannya pertempuran. Sekarang ia harus
mengakui, bahwa Coan kang dan Cie hoat Tiangloo adalah tokoh tokoh persilatan
kelas utama, sedang kepandaian Ciang pang Liong tauw hanya kalah setingkat.
Dalam sekejap, ketiga ketua
Kay Pang sudah bertanding kurang lebih dua puluh jurus melawan Boe Kie.
Tiba-tiba Tan Yoe Liang
berteriak, “Kepung dengan Sat-kauw-tin!” (Sat kauw tin – barisan membunuh
anjing).
Sambil berteriak teriak, dua
puluh satu jago Kay Pang yang masing masing bersenjatakan golok bengkok, lantas
saja mengurung Boe Kie. Teriakan dan kelakuan mereka sangat aneh. Ada yang
berteriak, “Looya, minta nasi!” Ada pula, “Tai-tai, mohon belas kasihan!” Ada
yang menjerit jerit kesakitan, ada yang memukul dada dan sebagainya. Semula Boe
Kie merasa terkejut, tapi ia lantas saja mengerti bahwa teriakan dan kelakuan
itu bertujuan untuk membingungkan pikirannya. Ia mendapat kenyataan, bahwa
walaupun kelihatannya kalut, tindakan kaki para pengepung itu sesuai dengan
peraturan tertentu.
Baru saja Boe Kie terkepung,
sekonyong-konyong Coan kang Tiangloo membentak. “Tahan!” Sambil melintangkan
pedangnya di dada, ia melompat mundur, diikuti oleh Cie hoat Tiangloo dan Ciang
pang Liong tauw. Tapi dua puluh satu pengemis yang merupakan anggota Sat kauw
tin masih terus mempertahankan tin tersebut dengan berlari lari terputar putar.
“Thio Kauwcoe,” kata Coan
kang. “Dalam sejumlah besar kami mengepung kau seorang. Pada hakekatnya
andaikata kami menang, kemenangan itu bukan kemenangan yang boleh dibanggakan.
Tapi di dalam partai kami tidak seorangpun bisa menandingi Thio Kauwcoe. Maka
itu, dalam usaha menumpas kejahatan, kami tidak bisa lagi mempertahankan
kebiasaan Rimba Persilatan yang penuh kehormatan, yaitu satu melawan satu.”
Boe Kie tersenyum. “Bagus,
bagus!” katanya.
“Kami semua bersenjata, sedang
Thio Kauwcoe bertangan kosong,” kata pula Coan kang Tiangloo. “Dalam menarik
keuntungan, Kay Pang tidak pantas menarik keuntungan terlampau besar. Thio
Kauwcoe, kau beritahukanlah, senjata apa ayng diinginkan olehmu. Kami akan
segera menyerahkannya.”
Mendengar itu, diam diam Boe
Kie memuji tetua itu yang berbeda wataknya dari manusia semacam Tan Yoe Liang.
Ia tersenyum dan menjawab, “Di dalam Kay Pang, tidak ada senjata yang cocok
bagiku. Untuk main main dengan kalian sebenarnya aku tidak memerlukan senjata.
Dan andaikata perlu, aku sendiri bisa mengambilnya.”
Hampir berbareng, tubuhnya
berkelebat dan ia sudah melompat keluar dari Sat kauw tin. Bagaikan kilat ia
menekan pundak Tan Yoe Liang dan Song Ceng Soe, merampas pedang kedua orang itu
dan kemudian melompat masuk pula ke dalam Sat kauw tin. Kesemuanya itu
dilakukan dengan gerakan yang sangat indah dan kecepatan yang sukar dilukiskan.
Sebelum para pengemis hilang
kagetnya, Boe Kie sudah berkata dengan suara nyaring. “Orang Kay Pang memang
biasa mencuri ayam dan menangkap anjing. Nama Sat kauw tin memang tepat sekali.
Membunuh anjing memang tak sukar. Tapi kalau ingin menakluki naga atau harimau,
barisan ini tak dapat digunakan.” Sehabis berkata begitu ia mengibaskan kedua
pedang yang dicekalnya sambil mengirim tenaga dalam ke badan pedang. “Tak!”
kedua senjata itu patah dengan berbareng.
“Majulah!” bentak Ciang pang
Liong tauw sambil menotok dada Boe Kie dengan tongkatnya. Cie hoat juga lantas
menyerang. Boe Kie bersiul nyaring. Ia mengegos, melompat dan menerjang kian
kemari dengan menggunakan Kian koen Tay lo ie. Di lain saat sinar putih
menyambar nyambar ke arah tiang di tengah tengah ruangan itu. Sinar putih itu
adalah golok bengkok yang dirampas Boe Kie dan dilemparkan ke tiang. Dalam
sekejap, dua puluh satu batang golok sudah menancap di tiang tersebut.
Sekonyong-konyong terdengar
bentakan Tan Yoe Liang. “Thio Boe Kie! Apa kau belum mau berhenti?”
Boe Kie menengok dan melihat
si orang she Tan tengah menuding punggung Cie Jiak dengan ujung pedang. Sebab
kuatir tunangannya celaka, ia segera menghentikan serangannya. “Selama kurang
lebih seratus tahun dunia Kang ouw menyebut nyebut nama Beng kauw, Kay Pang dan
Siauw lim pay,” katanya dengan suara dingin. “Dalam kalangan pang, Kay Pang
dipandang paling tinggi. Dengan melakukan perbuatan yang seperti ini, apakah
kalian tidak menodai nama besarnya Ang Cit Kong loohiap?”
Paras muka Coan kang Tiangloo
berubah merah. “Tan Tiangloo!” teriaknya dengan gusar. “Lepaskan Cioe Kauwnio!
Hari ini kita harus melakukan jalan suatu pertempuran mati hidup dengan Thio
Kauwcoe. Dimana kita mau menaruh muka jika seluruh tenaga Kay Pang tak dapat
menjatuhkan tokoh Beng Kauw yang seorang diri.”
Tan Yoe Liang tertawa,
“Seorang gagah tak mengadu tenaga, tapi mengadu kepintaran,” katanya. “Thio Boe
Kie, apa kau belum mau menyerah?”
“Baiklah,” jawabnya. “Hari ini
aku belajar kenal dengan keangkeran Kay Pang.” Ia mundur dua tindak dan
mendadak saja ia berjungkir balik ke belakang. Selagi tubuhnya melayang turun
ke bawah secara tepat sekali ia jatuh duduk di pundak Soe hwee liong, dengan
tangan kanan menekan batok kepala dan tangan kiri mencengkeram leher pemimpin
partai pengemis itu.
Itulah salah satu jurus dari
ilmu Seng hwee leng. Bahwa ia sudah berhasil begitu mudah bahkan di luar dugaan
Boe Kie sendiri. Sebelum berjungkir balik, ia telah menghitung hitung untuk
coba membekuk Soe hwee liong dengan menggunakan tiga pukulan berantai. Di luar
dugaan, dengan sekali jurus ia berhasil. Ia sekarang menunggang Soe hwee liong
seperti kanak kanak main kuda kudaan.
Melihat pangcu mereka
tertawan, para pengemis mengeluarkan seruan tertahan. Boe Kie tersenyum, jari
tangannya menempel pada Pek hwee hiat di batok kepala Soe hwee liong. Pek hwee
hiat adalah hiat yang sangat penting. Asal Boe Kie mengeluarkan sedikit tenaga,
pangcu itu akan binasa tanpa bisa ditolong lagi. Di lain saat ruangan itu
berubah sunyi senyap. Bagaikan patung para pengemis mengawasi Boe Kie dan
pemimpin mereka.
Pada saat itulah tiba tiba
terdengar suara khim dan seruling. Suara itu sayup sayup dan datang dari atas
atap gedung. Didengar dari suaranya, jumlah khim dan seruling lebih dari satu.
Suara itu sebentar hilang, tapi semua orang dapat mendengarnya dengan jelas
sekali.
Boe Kie kaget dan heran.
“Tokoh darimana yang datang
mengunjungi Kay Pang?” teriak Tan Yoe Liang. “Kalau kau iblis Beng kauw,
perlihatkan dirimu!”
Teriakan si orang she Tan
disambut dengan tiga kali suara “Cring” dari tali khim dan hampir berbarengan
empat orang wanita muda yang mengenakan baju putih melompat turun dari payon
timur dan barat. Kedua tangan setiap wanita itu memeluk sebuah yauw khim yang
ukurannya lebih pendek dan lebih kecil separuh dari cit hiam khim (khim tujuh
tali). Tapi biarpun lebih kecil khim itu mempunyai tujuh tali. Begitu hinggap
di bumi mereka lantas saja berdiri di empat penjuru di ruangan toa thiam itu.
Sesaat kemudian dari luar pintu masuk empat orang wanita muda yang mengenakan
baju hitam dan masing masih memegang sebatang seruling yang berwarna hitam
pula. Seruling itu lebih panjang daripada seruling biasa. Mereka pun lantas
berdiri di empat sudut ruangan.
Boe Kie tak punya pengertian
cukup dalam ilmu susiang Pat kwa kedudukan delapan wanita itu mengherankan
hatinya. Mereka seolah olah menduduki kedudukan Pat kwa, tapi bukan Pat kwa
yang tulen. Tapi biar bagaimanapun jua, Boe Kie merasa bahwa kedudukan mereka
sesuai dengan peraturan tertentu.
Sementara itu, kedelapan
wanita itu sudah mulai memperdengarkan sebuah lagu yang luar biasa. Meskipun
Boe Kie tidak mengerti musik, ia bisa merasai bahwa lagu itu bersifat merdu,
tenang dan damai.
Beberapa saat kemudian dengan
iringan lagu itu, masuklah seorang wanita yang mengenakan baju kuning dengan
tangan kiri menuntun seorang gadis cilik yang berusia kurang lebih dua belas
tahun. Wanita yang berusia kira kira dua puluh tujuh tahun itu sangat cantik,
hanya kulit mukanya terlampau putih seolah olah tak punya darah. Si gadis cilik
beroman jelek, hidungnya dongak ke atas, mulutnya lebar memperlihatkan deretan
dua gigi yang besar. Ia mengikuti si cantik dengan sebelah tangan memegang
tongkat bambu hijau.
Begitu mereka masuk, mata
semua pengemis serentak ditujukan kepada tongkat bambu itu.
Boe Kie sebenarnya merasa tak
enak untuk terus menunggang Soe hwee liong di hadapan begitu banyak wanita.
Tapi ia tidak berani lantas turun sebab pedang Tan Yoe Liang masih terus
ditudingkan ke punggung Cie Jiak. Ia heran tak kepalang karena mendapat
kenyataan bahwa semua pengemis menumplek seluruh perhatian mereka kepada
tongkat bambu itu yang seolah olah dipandang sebagai barang terpenting dalam
dunia ini. Tongkat ini berwarna hijau biru dan mengkilap luar biasa. Di samping
itu Boe Kie tak melihat keistimewaan apapun jua.
Dengan sinar mata yang seperti
kilat si baju kuning menyapu seluruh ruangan. Akhirnya ia mengawasi Boe Kie.
“Thio Kauwcoe,” katanya, “kau bukan kanak kanak lagi. Mengapa kau masih
memperlihatkan lagak bocah nakal?” Suaranya menegur tapi nadanya hangat,
seperti nada seorang kakak yang bicara dengan adiknya.
Muka Boe Kie lantas saja
berubah menjadi merah. “Tan Tiangloo sangat licik dan mengancam… kawanku,”
jawabnya. “Maka itu aku tidak bisa berbuat lain daripada menangkap pangcu
mereka.”
Si nona tersenyum. “Menunggang
seorang pangcu agak keterlaluan,” katanya. “Dalam perjalanan dari Tiang an aku
sudah mendengar bahwa kauwcoe dari Beng kauw adalah satu iblis kecil. Hari
ini…ha!...ha!..,” ia menggeleng gelengkan kepalanya.
Sekonyong konyong Soe hwee
liong berteriak, “Thio Boe Kie penjahat cabul! Lepaskan aku!” Ia mau
memberontak tapi tak bertenaga.
Dimaki sebagai penjahat cabul
di hadapan begitu banyak wanita, Boe Kie malu bercampur gusar. Tanpa merasa
tenaga dalamnya keluar dan Soe hwee liong berteriak teriak kesakitan.
Semua pengemis meluap
darahnya. Mereka gusar bercampur malu. Mereka malu karena pangcu mereka
memperlihatkan kelemahan di hadapan orang luar. Jangankan seorang pangcu,
sedang seorang anggota Kay Pang yang biasapun tak akan berteriak teriak
kesakitan di hadapan lawan.
“Thio Boe Kie,” kata Tan Yoe
Liang, “Lepaskan Soe pangcu.” Sehabis berkata begitu tanpa menunggu jawaban ia
memasukkan pedangnya ke dalam sarung. Ia manusia licik, tapi ia tahu Boe Kie
tak akan menarik keuntungan secara licik. Benar saja Boe Kie segera melompat
turun dari punggung Soe hwee liong dan dengan sekali lompat ia sudah berada di
samping Cie Jiak. Nona Cioe baru saja tersadar, kedua matanya tertutup. Dengan
rasa kasihan Boe Kie lalu mendukungnya dan mendudukkannya di sebuah kursi batu
di ruangan itu.
Sementara itu sambil merangkap
kedua tangannya Tan Yoe Liang berkata kepada si nona baju kuning, “Pelajaran
apakah yang nona mau berikan kepada kami? Bolehkan kami mendapat tahu she dan
nama nona yang mulia?” Sambil mengajukan pertanyaan yang sopan santun itu, dia
mengasah otaknya. Si baju kuning sudah cukup dewasa, tapi ia masih mengenakan
pakaian seorang gadis. Para pengiringnya dan cara kedatangannya mengunjuk bahwa
ia bukan sembarangan orang. Tapi siapakah dia? Si gadis cilik yang bermuka
jelek juga merupakan sebuah teka teki. Dia memegang tongkat Tah kauw pang
(tongkat pemukul anjing) dan Tah kauw pang adalah tanda kepercayaan atau tanda
kekuasaan seorang pangcu partai Kay Pang. Cara bagaimana tongkat itu bisa
berada dalam tangan si muka jelek? Inilah pertanyaan2 yang berkelebat di otak Tan
Yoe Liang.
“Dimana adanya Hoen goan Pek
lek chio Seng koen?” tanya si baju kuning dengan suara dingin. “Suruh dia
keluar untuk menemui aku.”
Boe Kie terkesiap.
Tan Yoe Liang berubah paras
mukanya. Tapi perubahan itu hanya untuk sejenak. Di lain detik ia menjawab
dengan tenang. “Hoen goan Pek lek chioe Seng koen?” Dia adalah guru Kim mo Say
ong Cia Soen. Pertanyaan nona seharusnya diajukan kepada Kauwcoe dari Beng
kauw”.
“Siapa tuan?” tanya si nona
“Aku she Tan, namaku Yoe Liang, tiangloo
delapan karung dari Kay pang.”
Sambil menuding Soe Hwee
Liong, si baju kuning bertanya pula. “Siapa manusia itu? Macamnya begitu keren,
kenapa dia begitu tolol? Dipijit sedikit saja sudah berteriak teriak!”
Tak kepalang rasa malunya para
tokoh pengemis. Sebagian di antara mereka memang memandang rendah kepada Soe
Hwee Liong.
“Ia adalah Soe Pangcoe dari
partai kami,” jawab Tan Yoe Liang. “Beliau habis sembuh dari penyakit dan
badannya masih sangat lemah. Nona, sebagai tamu dari tempat jauh, sedapat
mungkin aku akan memperlakukan kau secara sopan. Tapi jika kau masih
mengeluarkan omongan yang tidak-tidak, kami takkan merasa segan segan untuk
bertindak terhadapmu.”
Si nona tidak menghiraukan
ancaman itu. Ia berpaling kepada seorang berbaju hitam dan berkata, “Siauw Coei,
pulangkan suratnya!”
Si baju hitam mengangguk,
merogoh saku dan mengeluarkan sepucuk surat.
Boe Kie yang bermata jeli
lantas saja lihat huruf huruf yang bertuliskan di atas amplop yang berbunyi
sebagai berikut. “Dipersembahkan kepada Han Toa ya San Tong pribadi dari Beng
Kauw.” Di sebelah bawahnya terdapat huruf huruf yang lebih kecil. “Dari Soe
dari Kay pang.”
Begitu melihat surat itu,
darah Ciang pang Liong tauw mendidih. “Perempuan hina dina!” cacinya. “Kalau
begitu kaulah pencuri surat!” Ia mengangkat tongkatnya dan bersiap untuk
menerjang.
Siauw Coei tertawa geli. “Kau
tua bangka tolol!” ia balas mencaci. “Surat saja kau tak mampu jaga. Apa kau
tak malu?” Seraya ia berkata lantas saja terbang ke arah Ciang pang Liong tauw.
Jarak antara mereka kurang lebih tiga tombak. Bahwa si baju hitam bisa
melemparkan sepucuk surat yang begitu enteng pada jarak tiga tombak merupakan
bukti, bahwa dia memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Ciang pang Liong tauw
mengangkat tangannya untuk menyambuti. Di luar dugaan, pada jarak tiga kaki,
surat ini mendadak membelok ke kiri dan jatuh di lantai. Ciang pang Liong tauw
kaget dan lalu membungkuk untuk menjemputnya. Sekonyong konyong Boe Kie
mengibaskan tangannya dan mengirim tenaga angin, sehingga surat itu terbang ke
atas.
Hampir berbareng, ia
mengerahkan Kian koen Tay lo ie Sin kang, sehingga di lain detik surat itu
sudah berada di dalam tangannya. Semua pengemis pucat mukanya. Mereka yang tak
tahu sebab musababnya menduga bahwa Boe Kie memiliki ilmu gaib.
Sebagai hasil mengintainya,
Boe Kie sudah mengetahui bahwa Ciang pang Liong tauw telah diperintahkan oleh
Soe Hwee Han San Tong yang mau dipaksa supaya menakluk kepada Kay pang, dengan
menggunakan Han Lim Jie sebagai tunggangan. Kini, dengan mendengar pembicaraan
antara Ciang pang Liong tauw dan Siauw Coei, ia tahu bahwa di tengah jalan,
nona nona baju putih hitam itu telah mempermainkan dan mencuri surat si
pengemis tua yang terpaksa pulang ke Louw liong sebelum dapat menunaikan
tugasnya. Waktu suratnya tercuri, si pengemis ternyata tak tahu siapa yang
mencurinya, sehingga dengan demikian dapatlah dibayangkan kelihayannya nona2
itu, yang dipimpin si baju kuning. Mengingat itu, diam diam Boe Kie merasa
berterima kasih terhadap si baju kuning.
Sementara itu, sambil
tersenyum si baju kuning berkata. “Han San Tong mengangkat senjata di daerah
Hway see untuk mengusir Tat coe dari negara kita. Di sepanjang jalan kudengar
dia seorang gagah budiman yang sangat memperhatikan kepentingan rakyat jelata.
Maka itu, sangatlah tak bisa jadi, bahwa dia akan mau mengkhianati Beng kauw
dan menekuk lutut kepada Kay pang, sebab puteranya ditahan oleh Kay pang. Thio
Kauwcoe, pulangkanlah surat itu. Andaikata surat itu benar-benar jatuh ke
tangan Han toaya, akibatnya yang buruk hanya dirasakan oleh Kay pang sendiri.
Aku sudah mencuri surat itu karena melihat ketololan Liong tauw Toako dan juga
karena di dalam Kay pang terdapat suatu soal besar yang memerlukan kedatangan
di tempat ini.”
“Terima kasih atas bantuan
Toacie,” kata Boe Kie sambil merangkap kedua tangannya. “Terimalah hormatnya
Boe Kie.”
Si nona membalas hormat. “Thio
Kauwcoe, tak usah kau memakai banyak peradatan,” katanya sambil tersenyum.
Boe Kie mengibaskan tangan
kanannya dan surat itu lantas saja terbang ke arah Ciang pang Liong tauw.
Sesudah itu, diam diam ia mengirim “am kin” (tenaga gelap atau tenaga yang
dikirim dari jarak jauh), yang biarpun dikirim belakangan, tiba terlebih dulu,
kira-kira dua kaki di sebelah depan surat tersebut.
Demikianlah, pada saat Ciang
pang Liong tauw mengangsurkan tangannya untuk menyambut surat itu, tiba-tiba ia
didorong dengan semacam tenaga yang tidak kelihatan, sehingga mau tak mau, ia
terhuyung tiga langkah ke belakang hampir hampir ia jatuh terguling di lantai.
Sedetik kemudian surat itu jatuh di lantai.
Si tua kaget tercampur gusar.
Sambil membungkuk dan menjemput surat itu, ia berteriak. “Perempuan binatang
mana yang menyerang dengan anak panah gelap?” Ia mencaci begitu sebab menduga
dirinya diserang dengan senjata rahasia luar biasa oleh salah seorang wanita
tersebut.
Si baju kuning
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sungguh cuma-cuma kau menjadi salah seorang
tokoh Kay pang,” katanya dengan suara menyesal. “Kau bahkan tak tahu pukulan
Khek-shoa Peh goe dari Thio Kauwcoe.” (Khek shoa Peh goe – memukul kerbau dari
tempat yang teraling gunung).
Para pengemis terkejut. Mereka
sudah dengar bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat semacam ilmu yang bisa
merobohkan musuh dari jarak jauh, tapi belum pernah menyaksikan dengan mata
sendiri. Di luar dugaan, hari ini mereka membuktikan kebenaran cerita itu.
“Orang pintar sering melakukan
perbuatan tolol karena kepintarannya itu,” kata pula si baju kuning. “Dunia
memang begitu. Kamu merasa bahwa dengan menawan Han Lam Jie, kamu akan bisa memaksakan
takluknya Han San Tong? Hari itu, sebab beberapa kali menemui rintangan kau
sudah mengambil jalanan kecil untuk menyingkir dari segala ganggugan. Tapi kau
tidak tahu, bahwa andaikata surat itu bisa didengar oleh Han San Tong, bagi
Kay-pang sedikitpun tidak ada faedahnya.”
Mendengar perkataan si nona,
mendadak Tan Yoe Liang ingat sesuatu. Buru buru ia mengambil surat itu dari
tangan Ciang pang Liong tauw. Amplop surat kelihatannya masih utuh. Ia lalu
merobek amplop, mengeluarkan suratnya dan lalu membacanya. Begitu membaca,
paras mukanya berubah pucat. Mengapa? Sebab surat itu yang semula isinya untuk
memaksakan menakluknya Han San Tong kepada Kay pang, sekarang berubah menjadi
surat minta menakluknya Kay pang kepada Beng kauw! Surat itu penuh dengan
perkataan perkataan merendahkan diri, memohon-mohon supaya Beng kauw sudi
menerima menakluknya Kay pang.
Si baju kuning tertawa dingin.
“Benar!” katanya. “Surat itu telah aku baca, tetapi bukan aku yang mengubahnya.
Sesudah membaca kutahu, bahwa Ciang pang Liong tauw telah dikerjai oleh seorang
yang berkepandaian tinggi. Dengan mengingat, bahwa leluhurku mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan Kay pang, aku sudah curi surat itu, supaya ‘pang’ yang
terbesar dalam dunia tak usah mendapat malu yang sedemikian hebat. Coba kau
pikir. Kalau surat itu diserahkan oleh Ciang pang Liong tauw kepada Han San
Tong, apakah Kay pang masih ada muka untuk berdiri lebih lama lagi dalam dunia
Kang ouw?”
Dengan bergantian Coan kang
dan Cie hoat Tiang loo, Ciang poen dan Ciang pang Liong tauw membaca surat itu.
Seperti Tan Yoe Liang paras muka mereka segera berubah pucat. Mereka malu
bercampur gusar. Memang benar, andaikata surat takluk itu dicoba Han San Tong
habislah nama Kay pang. Segenap murid Kay pang tak akan bisa berdiri lagi di
muka bumi. Ditinjau dari sudut ini, dengan mencuri surat itu, si baju kuning
sudah berbuat kebaikan terhadap partai pengemis. Tapi siapakah yang sudah main
gila, yang sudah mengubah surat itu?
Seluruh ruangan berubah sunyi.
Tiba-tiba Siauw Coei tertawa.
“Kalian ingin tahu siapa yang menukar surat itu bukan?” tanyanya.
Semua pengemis lantas saja
memperlihatkan paras muka yang tidak sabaran.
“Ciang pang Liong tauw,
bukalah jubah luarmu,” kata pula Siauw Coei.
Ciang pang Liong tauw seorang yang
beradat polos dan berangasan. Tanpa membuka kancing ia menarik jubahnya.
“Bret!” semua kancing putus. Nah sekarang bagaimana?” bentaknya sambil
melontarkan jubahnya di lantai.
Tiba-tiba para pengemis di
belakangnya mengeluarkan teriakan ‘ih’, seperti juga mereka melihat sesuatu
yang mengejutkan.
“Ada apa?” tanya Ciang pang
Liong tauw sambil memutar tubuh. Enam tujuh orang menuding ke arah punggungnya.
Dengan tidak sabar ia merobek baju dalamnya, sehingga terlihatlah daging dan
otot otot badannya yang menonjol keluar. Ia mengawasi baju dalamnya. Ternyata
di bagian punggung baju itu terlukis sebuah gambar kelelawar hijau dengan warna
menakutkan, mulut berlepotan warna merah darah dan sepasang sayap yang sangat
besar, itulah gambar kelelawar pengisap darah.
“Ceng ek Hok ong Wie It
Siauw!” seru Coan kang dan Cie hoat Tiangloo dengan berbareng.
Dahulu Wie It Siauw jarang
datang di Tianggoan dan namanya tidak begitu dikenal. Selama waktu-waktu
belakangan ia berkelana di dunia Kang ouw dengan saban-saban memperlihatkan
kepandaiannya, sehingga namanya termashyur, bahkan lebih cemerlang daripada Peh
bie Eng Ong In Thian Ceng.
Melihat gambar itu bukan main
girangnya Boe Kie.
Di lain pihak dengan kegusaran
yang meluap-luap, Ciang pang Liong tauw menimpuk Boe Kie dengan baju dalamnya
itu sambil mencaci. “Bagus! Kalau begitu loohoe telah dipermainkan oleh kawanan
siluman dari agamamu!”
Boe Kie mengibaskan tangan
bajunya dan baju dalam itu lantas saja terapung ke atas dan akhirnya menyangkut
cabang tertinggi dari sebuah pohon beng.
Tan Yoe Liang mulai bingung.
Ia merasa bahwa jalan paling baik ialah coba menyampingkan urusan surat itu.
Maka itu, ia lantas menanya si baju kuning. “Apakah kami boleh mendapat tahu
she dan nama nona yang mulia? Hubungan apakah yang dipunyai nona dengan kami
semua?”
“Dengan kamu?” menegas si nona
dengan suara dingin. “Aku hanya mempunyai sedikit hubungan dengan tongkat Tah
kauw pang ini.”
Semua pengemis tahu, bahwa Tah
kauw pang adalah tongkat tanda kekuasaan dari seorang pangcoe dan mereka adalah
sungguh tak mengerti mengapa tongkat itu bisa berada di tangan orang lain.
Semua mata ditujukan kepada Soe Hwee Liong yang mukanya pucat pasi dan
kelihatannya bingung sekali.
“Pangcoe, apakah Tah Kauw pang
yang dipegang oleh wanita itu tulen atau palsu?” tanya Coan kang Tiangloo.
“Aku… aku… kukira palsu,”
jawabnya.
“Baiklah,” kata si baju
kuning. Sekarang keluarkan yang tulen, supaya bisa dibandingkan.”
“Tah kauw pang adalah mustika
dari partai kami,” kata Soe Hwee Liong. “Tak dapat aku memperlihatkannya kepada
sembarang orang. Lagipula aku sekarang tidak membawa tongkat itu, sebab kuatir
hilang.”
Para pengemis merasa bahwa
alasan itu tak masuk akal. Cara bagaimana seorang Pangcoe bisa tak membawa Tah
kauw pang sebab takut tongkat itu hilang?
Sekonyong konyong si gadis
cilik mengangkat tongkat itu tinggi dan berkata dengan suara nyaring. “Para
Tiangloo! Para murid Kaypang lihatlah Tah kauw pang adalah mustika partai kita
yang sudah turun temurun. Mana bisa tongkat ini palsu?”
Mendengar si cilik menggunakan
istilah “partai kita”, semua orang merasa heran. Mereka meneliti tongkat itu
yang mengkilap bagaikan giok dan keras melebihi besi. Tak usah disangsikan
lagi, tongkat itu adalah Tah kauw pang yang tulen. Semua pengemis saling
mengawasi. Mereka tak dapat menangkap apa itu artinya semua.
Si baju kuning tersenyum tawar
dan berkata dengan suara tawar pula. “Kudengar pangcoe dari Kaypang memiliki
dua rupa ilmu yang sangat istimewa, yaitu Han Liong Sip pat Ciang dan Tah kauw
pang hoat. Siauw Hong, cobalah kau meminta pelajaran Han Liong Sip pat Ciang
dari Coan kang Tiangloo. Siauw leng, sesudah Siauw Hong Cie cie memperoleh
kemenangan, kau boleh minta pelajaran Tah kauw pang hoat dari Soe pangcoe.” Dua
wanita yang memegang seruling lantas saja melompat keluar dan berdiri di kiri
kanan.
“Nona!” bentak Tan Yoe Liang
dengan suara gusar. “Bahwa kau tak sudi memberitahukan she dan namamu saja, kau
sudah tidak memandang sebelah mata kepada kami semua. Sekarang bahkan kau
menyuruh kedua pelayanmu untuk menantang Pemimpin kami. Di dalam dunia Kang
ouw, mana ada kekurang ajaran yang seperti itu? Soe Pangcoe biarlah teecoe yang
bereskan kedua pelayan itu dan kemudian teecoe akan menjajal kepandaiannya
perempuan yang sudah menghina partai kita.”
“Baiklah,” kata Soe hwee
liong.
Tan Yoe Liang segera menghunus
pedang dan maju ke tengah ruangan.
“Nonaku menyuruh aku meminta
pelajaran dalam ilmu Hang liong Sip pat ciang,” kata Siauw Hong. “Apa kau mahir
dalam ilmu itu?” Apa Hang liong Sip pat ciang menggunakan pedang?”
“Soe Pangcu seorang yang
berkedudukan sangat tinggi dan bukan lawan sebangsa pelayan,” kata Tan Yoe
Liang dengan suara menghina. Juga tak mungkin seorang pelayan memiliki Hang
liong Sip pat ciang. Sudahlah. Terimalah kebinasaanmu di bawah pedangku!”
“Thio Kauwcoe, kata si baju
kuning kepada Boe Kie, “bolehkah kuminta bantuanmu?”
“Tentu saja,” jawabnya.
“Kuminta kau lemparkan manusia
she Tan itu dan bekuk penipu itu yang menyamar sebagai Soe Pangcu,” kata pula
si nona.
Tadi, waktu menawan Soe hwee
liong, Boe Kie sudah bercuriga, sebab orang itu ternyata tak punya kepandaian
tinggi yang sesuai kedudukannya. Kecurigaannya jadi makin lebih besar karena
melihat orang itu tak punya pendirian dan selalu menurut perkataan Tan Yoe
Liang. Maka itu, begitu mendengar perkataan si baju kuning yang menamakan orang
itu sebagai ‘penipu yang menyamar sebagai Soe pangcoe’, ia tidak bersangsi
lagi. Ia mengangguk dan lalu melompat ke arah Soe hwee liong. Soe hwee liong
meninju dengan pukulan Tiong tian pauw. Boe Kie tertawa terbahak bahak.
“Apa ini Hang liong Sip pat
ciang?” teriaknya seraya mencengkeram baju di dada Soe Hwee liong yang lalu
diangkat tinggi tinggi. Tan Yoe Liang tahu, bahwa ia bukan tandingan Boe Kie.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mundur dan menghilang di antara para
pengemis.
Sekonyong konyong si nona
cilik menangis keras. Ia menubruk dan mencengkeram baju Soe hwee liong, dan
bagaikan kalap memukulnya berulang ulang. “Binatang!” teriaknya. Kau sudah
membinasakan ayahku! Kau membunuh ayahku! Aku akan cincang badanmu!” Ia
menjambret rambut Soe hwee liong dan… rambut itu terlepas dan terlihatlah
kepala yang gundul.
Rambut palsu!
Dengan punggung ditekan Boe
Kie, orang itu tidak berdaya. Si nona cilik terus memukul. Beberapa tinju
menimpa hidungnya, tapi hidung itu tidak mengeluarkan darah. Hidungnya juga
hidung palsu!
Para pengemis lantas saja
berteriak-teriak.
“Siapa kau?” tanya yang satu.
“Binatang! Mengapa kau berani
menyamar sebagai Soe pangcoe?” caci yang lain.
“Dimana Soe pangcoe?” dan
sebagainya.
Sambil tersenyum Boe Kie
mengangkat tubuh orang itu tinggi tinggi yang kemudian dibanting ke lantai. Dia
berteriak kesakitan dan tidak bisa bangun lagi. Ia merasa bahwa urusan itu
adalah urusan pribadi Kay pang yang harus diselesaikan oleh orang orang Kay
pang sendiri.
Ciang pang Liong tauw yang
berangasan lantas saja mengirim tinju delapan gaplokan ke pipi si penipu yang
lantas saja menjadi bengkak.
“Bukan aku!…” ia sesambat.
“Aku… aku diperintah oleh Tan… Tan… Tiangloo!...”
Cie hoat Tiangloo terkejut,
“Mana Tan Yoe Liang?” tanyanya.
Tapi Tan Yoe Liang tak
kelihatan mata hidungnya. Begitu dia lihat gelagat jelek, begitu dia kabur.
“Kejar!” bentak Cie hoat
Tiangloo. Beberapa murid tujuh karung lantas saja mengiakan dan berlari lari keluar
dari gedung itu untuk mencari manusia yang kabur itu.
“Bangsat!” caci Ciang pang
Liong tauw. “Sungguh penasaran aku musti berlutut di hadapanmu dan memanggil
kau sebagai Soe pangcoe.” Ia mengangkat tangannya dan mau menggapelok lagi.
“Pang Heng tee, tahan!” cegah
Cie hoat Tiang loo. “Kalau dia mati, kita sukar mencari keterangan.” Ia memutar
badan dan berkata kepada si baju kuning sambil merangkap kedua tangannya.
“Kalau tak mendapat petunjuk Kouwnio, sampai sekarang kami masih dikelabui oleh
manusia itu. Bolehkah kami mendapat tahu she dan nama Kouwnio yang harum?
Seluruh Kaypang sangat berhutang budi kepada Kouwnio.”
Si nona tertawa tawar dan
berkata, “Aku sudah biasa hidup di gunung dan tak pernah berhubungan dengan
dunia luar. Aku sendiri sudah lupa she dan namaku. Tapi apakah benar-benar di
antara kalian tiada yang mengenali adik ini?”
Semua pengemis lantas saja
mengawasi si gadis cilik. Tiba-tiba Coan kang Tiangloo maju beberapa tindak dan
berkata dengan suara parau. “Dia… dia… seperti Soe pangcoe Hoejin.. apa…apa…”
“Benar,” kata si baju kuning.
“Dia Soe Hong Sek, puteri tunggal dari Soe Hwee Liong Pangcoe. Waktu menghadapi
kebinasaan Soe Pangcoe telah memerintahkan murid kepalanya, Ong Siauw Thian
untuk membawa lari anak itu dan Tah Kauw pang mencari aku supaya di kemudian
hari sakit hatinya bisa dibalas. Hanya sayang sebab terluka berat dalam
pertempuran, jiwa Ong Siauw Thian tak dapat ditolong. Tapi ia sedikitnya sudah
bisa mengantarkan Hong Sek kepadaku.”
“Kouw… kouw… nio,” kata Coan
kang Tiang loo suara terputus-putus. “Kau kata Soe Pangco sudah meninggal
dunia…? Bagaimana matinya Soe Pangcoe?”
* * * * *
Pada dua puluh tahun lebih
yang lalu, karena tenaga dalamnya tidak mencukupi dalam latihan Hang liong Sip
pat ciang, badan Soe Hwee liong lumpuh separoh dan tidak bisa menggerakkan
kedua lengannya. Dengan mengajak isterinya, ia pergi ke gunung gunung untuk
mencari obat dan menyerahkan urusan Kay pang kepada Coan kang dan Cie hoat
Tiangloo, Ciang poen dan Ciang pang Liong tauw. Karena kekurangan seorang
pemimpin yang pandai dan keempat tetua itu hanya mengurus bidang masing-masing
dan tidak bekerja sesama keras, maka kian lama Kay pang yang besar jadi kian
lemah.
Waktu Pangcoe palsu mendadak
muncul, murid-murid yang berusia muda tentu saja tidak mengenalnya, sedang para
tetua juga kena dikelabui sebab mereka sudah berpisahan selama bertahun-tahun
dan muka si penipu memang sangat mirip dengan muka Soe Pangcoe.
* * * * *
Si baju kuning menghela napas
dan berkata dengan suara perlahan. “Soe Pangcoe binasa dalam tangan Hoen goan
Pek lek chioe Seng Koen!”
“Hah!” Boe Kie mengeluarkan
seruan tertahan. Dalam pertempuran di Kong beng teng, dengan mata sendiri ia
menyaksikan bagaimana Seng Koen dipukul mati oleh pamannya. Maka itu, ia lantas
saja bertanya. “Kouwnio, lagi kapan Soe Pangcu dibinasakan?”
“Tahun yang lalu, tanggal enam
bulan sepuluh,” jawabnya. “Sampai sekarang sudah dua bulan lebih.”
“Heran sungguh!” kata pula Boe
Kie. “Cara bagaimana Kouwnio tahu bahwa yang turunkan tangan jahat adalah
bangsat Seng Koen?”
“Ong Siauw Thian yang
memberitahukan kepadaku,” jawabnya. “Ong Siauw Thian mengatakan, bahwa Soe
Pangcoe telah beradu tangan dua belas kali dengan seorang kakek. Kakek ini
muntah darah dan lari. Soe Pangcoe pun mendapat luka di dalam dan ia tahu
lukanya tak dapat disembuhkan laagi. Ia menduga, bahwa tiga hari kemudian,
sesudah sembuh, si kakek akan menyateroni lagi. Maka itu ia segera memberi
pesanan terakhir kepada Ong Siauw Thian dan memberitahukan, bahwa musuh itu
adalah Hoe goan Pek lek Thioe Seng Koen. Pada waktu itu lumpuhnya Soe pangcoe
sudah hampir sembuh. Ia memiliki dua belas pukulan dari Hang liong Sip pat
ciang dan di dalam dunia, ia sudah jarang tandingan. Dalam pertempuran melawan
Seng Koen, ia sudah menggunakan kedua belas pukulan itu dan sesudah itu, ia
tidak bisa menyelamatkan diri lagi dari tangan jahatnya musuh.” Mendengar itu
Soe Hong Sek menangis lagi.
Dengan paras muka berduka Coan
kang Tiang loo mengeluarkan sapu tangannya yang kotor dan menyusut air mata si
nona. “Siauw sumoay,” katanya. “Sakit hati Pangcoe adalah sakit hati berlaksa
murid Kay pang. Kami akan membekuk Seng Koen dan mencincang badannya jadi
laksaan potong. Kami pasti akan membalas sakit hati mendiang ayahmu. Tapi
dimanakah adanya ibumu?”
“Ibu sedang berobat ke rumah
Yo Cie ci,” jawabnya sambil mengunjuk si baju kuning. Sekarang baru orang tahu
bahwa gadis itu seorang she Yo.
“Soe hoejin juga kena dipukul
Seng Koen dan mendapat luka yang sangat berat,” kata si baju kuning sambil
menghela nafas. “Ia datang di rumahku sesudah melalui perjalanan jauh dan
sampai kini ia belum tersadar dari pingsannya. Apa ia masih bisa ditolong…
sukar dikatakan.”
“Tapi… apa dosanya pangcoe,
sehingga binatang Seng Koen sudah menurunkan tangan jahatnya?” tanya Cie hoat
tiangloo dengan suara penasaran. “Sakit hati apa sudah terjadi di antara
mereka?”
“Menurut perasaan Soe pangcoe,
ia sama sekali belum pernah mengenal Seng Koen,” menerangkan si baju kuning.
“Sama sekali tidak ada soal sakit hati. Sampai pada detik terakhir, Soe pangcoe
juga tak tahu sebab musababnya. Menurut dugaan Soe pangcoe, mungkin sekali ada
orang Kay pang yang berbuat suatu kesalahan dan Seng Koen mencari Soe pangcoe
untuk membalas sakit hati.”
Cie hoat menundukkan
kepalanya. Sesudah berpikir beberapa saat, ia berkata pula. “Untuk
menyingkirkan diri dari kejaran Cia Soen, selama beberapa puluh tahun Seng Koen
tidak pernah muncul dalam dunia Kang ouw. Mana bisa jadi murid Kay pang
kebentrok dengan dia? Dalam hal ini mungkin terselip salah mengerti yang sangat
hebat.”
Ciang poen Liong tauw yang
sedari tadi tak pernah mengeluarkan sepatah kata, tiba2 mengambil sebatang
golok bengkok dan menandalkan senjata itu di lehernya si penipu. “Binatang!”
bentaknya. “Siapa namamu? Mengapa kau menyamar sebagai Soe pangcoe? Lekas
mengaku! Kalau kau berdusta… huh… huh… Ia mengangkat goloknya dan menyabet
sebuah kursi yang lantas saja terbelah dua.
Dengan badan bergemetaran, si
gundul berkata, “Aku… aku… siauw jin Lay tauw goan Lauw Ngauw (Lauw Ngauw, si
kura-kura kepala buduk), salah seorang tauwbak (kepala kelompok) perampok dari
kawanan perampok di Loan sek kang, kota Kay koan, propinsi Soa say. Apa mau,
waktu merampok, Siauwjin bertemu dengan Tan toaya dan guru Tan toaya menendang
Siauwjin sehingga roboh dan selagi Tan toaya mengangkat pedangnya, siauwjin
meminta ampun. Setelah mengawasi siauwjin, tiba2 Tan Toaya berkata, “Soe hoe,
roman bangsat kecil ini mirip orang yang kita temui kemarin dulu.” Gurunya
menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, “Huh..huh… lain, tidak sama. Usianya
tak cocok, hidungnya terlalu kecil, kepalanya gundul.’ Tan toaya tertawa dan
berkata, “Soe hoe jangan kuatir, teecu mempunyai daya untuk mengubah itu
semua.” Tan toaya lalu mengajak siauwjin ke sebuah rumah penginapan di Kay
koan. Ia menggunakan sek-ko untuk meninggikan hidung Siauwjin dan memberi
rambut palsu… sehingga siauwjin beroman seperti sekarang. Para loya, andaikata
siauwjin punya nyali sebesar langit, siauwjin takkan berani mempermalukan para
looya. Siauwjin sudah melakukan ini semua karena diperintah oleh Tan toaya.
Jiwa anjing siauwjin berada dalam tangannya. Siauwjin tidak berani tidak
menurut. Siauwjin mempunyai seorang ibu sudah berusia delapan puluh tahun…
siauwjin mohon para looya sudi mengampuni jiwa anjing Siauwjin.” Sehabis
berkata begitu, sambil berlutut ia manggut manggutkan kepalanya.
Cie hoat Tiangloo mengerutkan
alisnya. Tan Yoe Liang murid Siauw lim pay dan gurunya pendeta Siauw lim sie,”
katanya. “Apa dia mempunyai lain guru?”
Pertanyaan itu menyadarkan Boe
Kie. “Benar,” ia menyambungi. “Seng Koen adalah gurunya.” Ia lalu memberi tahu,
bahwa dengan menggunakan nama Goan tin, Seng Koen masuk ke Siauw lim sie dan
berguru kepada pendeta suci Kong kian. Selanjutnya ia menceritakan cara
bagaimana di waktu kecil ia pernah dicelakakan oleh Goan tin di dalam kuil
Siauw lim sie, cara bagaimana Goan tin turut menyerang Kong beng teng dan
akhirnya binasa dalam tangan pamannya, In Ya Ong. Ia menambahkan, bahwa memang
benar mayat Goan tin sekonyong konyong hilang.
“Kalau begitu, kita boleh tak
usah bersangsi lagi, bahwa di waktu itu Seng Koen pura pura mati dan kemudian
kabur,” kata Cie hoat Tiangloo.
“Tapi penjahat yang paling
besar dan yang paling jadi dalangnya adalah bangsat Tan Yoe Liang,” kata Coan
kang Tiangloo. “Mereka berdua, guru dan murid, mempunyai angan angan untuk
merajai di kolong langit. Mereka membunuh Soe pangcoe, menyuruh buaya kecil ini
menyamar sebagai Pangcoe, coba mempengaruhi Beng kauw, berusaha untuk menguasai
Siauw lim, Boe tong dan Go Bie pay. Huh..huh..! Angan angan mereka benar benar
tak kecil… Eeh!… mana Song Ceng Soe?”
Ternyata pada waktu perhatian
semua orang ditujukan kepada Pangcoe tetiron, si baju kuning dan Soe Hong Sek,
diam diam Song Ceng Soe turut menghilang.
Sesudah rahasia kejahatan Tan
Yoe Liang terbuka, sambil menyoja si baju kuning, Coan kang Tiangloo berkata,
“Kouwnio telah membuang budi yang sangat besar kepada Kay pang dan kami tak
tahu cara bagaimana untuk membalasnya.”
Si nona tertawa tawar. “Orang
tuaku punya hubungan erat dengan Pangcoe yang dulu,” katanya. “Bantuan yang
tiada artinya ini tidak berharga untuk disebut sebut. Aku hanya mengharap
kalian suka merawat baik baik adik Soe ini.” Ia membungkuk dan dengan
berkelebat, ia sudah berada di atas genteng.
“Kouwnio tunggu dulu!” teriak
Coan kang tiangloo.
Hampir berbareng, empat wanita
baju hitam dan empat baju putih turun melompat ke atap gedung, diiringi dengan
suara khim dan seruling. Dalam sekejap suara tetabuhan itu telah terdengar
sayup sayup di tempat jauh dan kemudian menghilang dari pendengaran. Dengan
mulut ternganga semua orang mengawasi ke atas genteng.
Sambil menuntun tangan Soe
Hong Sek, Coan kang Tiangloo berkata kepada Boe Kie. “Thio Kauwcoe, mari
masuk.”
Ia mempersilahkan Boe Kie
berjalan lebih dahulu dan tanpa sungkan2 Boe Kie segera bertindak masuk dengan
melewati dua baris pengemis yang berdiri sebagai pengawal kehormatan. Setelah
berduduk dengan Cie Jiak di sampingnya, Boe Kie segera berkenalan dengan para
tetua Kay pang dan lalu menanyakan halnya Cia Soen.
“Coan Tiangloo,” katanya.
“Jika ayah angkatku, Kim mo Say ong berada di tempat kalian, kuminta bertemu.”
Coan kang tiangloo menghela
nafas. “Karena perbuatan bangsat Tan Yoe Liang, Kay pang mendapat malu besar
terhadap segenap orang gagah,” katanya. “Memang benar, waktu berada di Kwan
gwa, Cia tayhiap dan Cioe kouwnio diundang oleh kami. Ketika itu Cia Tayhiap
sakit, ia selalu di pembaringan. Kami belum pernah bertempur dengannya.
Belakangan aku membawa beliau ke gedung ini. Pada malam yang lalu, Cia tayhiap
telah membinasakan murid murid kami yang menjaganya dan lalu kabur. Peti peti
mati para korban masih berada di belakang gedung ini dan belum dikuburkan. Jika
tak percaya, Thio Kauwcoe boleh lihat dengan mata sendiri.”
Mendengar keterangan yang diucapkan
dengan sungguh sungguh dan juga memang telah menyaksikan sendiri terbinasanya
beberapa murid Kay pang, Boe Kie segera berkata, “Perkataan Coan Tiangloo tidak
bisa tidak dipercaya.”
Ia menundukkan kepala dan coba
menebak nebak kemana perginya sang ayah angkat. Dia ingat, bahwa pada malam
kaburnya Cia Soen, ia melihat bayangan seorang wanita yang melompat turun dari
atas tembok. Apakah wanita itu si baju kuning? Mengingat itu, ia lantas menanya
Soe Hong Sek. “Tiauw moay moay, dimana rumah Yo Ciecie? Apa dahulu memang telah
mengenal dia?”
Si nona cilik menggelengkan
kepala. “Tidak, aku tidak pernah mengenal Yo Ciecie sebelum pertemuan di hari
itu,” jawabnya. “Sesudah mendapat pesanan Thia thia, dengan membawa tongkat
bambu ini Ong tiangloo membawa ibu dan aku dengan naik kereta. Di tengah jalan
aku bertemu dengan orang jahat. Dalam pertempuran, Ong tiangloo terluka.
Beberapa hari kami naik kereta, naik gunung Ong toako tidak bisa berjalan lagi
dan merangkak di tanah. Belakangan kami tiba di luar sebuah hutan. Ong tiangloo
berteriak teriak. Belakangan datang seorang ciecie kecil yang memakai baju
hitam. Belakangan datang Yo ciecie yang berbicara lama dengan Ong toako dan
meneliti tongkat bambu ini. Belakangan Ong tiangloo mati dan ibu pingsan. Yo
ciecie lalu membawa aku ke kereta, bersama sama delapan ciecie kecil yang
memakai baju putih dan baju hitam.” Sebab masih kecil, keterangan Soe Hong Sek
tak terang dan Boe Kie tidak bisa mengorek sesuatu yang diinginkan dari
mulutnya.