Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 75

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 75
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 75
DALAM HUJAN, penjagaan banyak kendur. Dengan mengandalkan ilmu ringan badan dan dengan bantuan sang hujan, Boe Kie bisa maju terus dengan selamat. Ia lihat Goan tin melompati tembok dibelakang kuil dan terus ke utara. "Kalau begitu Giehoe dikurung diluar Siauwlimsie," pikirnya. Ia tidak berani melompat tembok dengan begitu saja. Ia menempelkan badannya ditembok dan kemudian memanjat dengan perlahan. Sesudah tiba diatas, ia menunggu sampai peronda lewat dan sesudah itu, barulah ia melompat turun. Ketika itu Goan tin sudah berada jauh didepan, kira-kira seratus tombak. Lapat-lapat ia lihat manusia itu membiluk kekiri dan menuju kescbuah bukit kecil.

Goan tin adalah gurunya Cia Soen dan waktu itu ia sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi ia masih gagah dan gesit. Selagi memanjat bukit, payungnya tidak bergoyang dan tubuhnya seolah olah ditarik keatas dengan seutas tambang. Boe Kie mempercepat tindakannya. Tapi baru saja ia tiba dikaki bukit, dari antara pohon2 mendadak berkelebat bayangan manusia. Dengan cepat ia menghentikan tindakan. Sesaat kemudian muncul empat orang, tiga didepan satu dibelakang, yang lalu memanjat bukit itu.

Boe Kie mengawasi keatas. Dipuncak hanya terdapat beberapa pohon siong yang sudah tua dan sama sekali tidak terdapat rumah atau gubuk. "Dimana Gihoe dipenjarakan?" tanyanya didalam hati. Dipuncak itu juga tidak terlihat manusia. Dengan menggunakan ilmu ringan badan, ia segera ikut memanjat bukit. Ke empat orang itu memiliki ilmu meringankan badan yang cukup tinggi. Dalam memanjat bukit, mereka seperti juga berjalan di tanah datar. Boe Kie mengempos semangat dan mengudak. Dalam beberapa saat saja ia sudah berada dalam jarak kira-kira dua puluh tombak dari orang-orang itu. Ia mendapat kenyataan bahwa diantara mereka terdapat seorang wanita. Ketiga pria mengenakan pakaian biasa, sehingga bisa dipastikan bahwa mereka itu bukan pendeta Siauw lim sie. Mereka tentu datang untuk mencelakai Gihoe " pikirnya. "Biar mereka bertempur dulu dengan Goan tin dan kemudian barulah aku turun tangan."

Waktu mendekati puncak, keempat orang itu lari makin cepat. Tiba-tiba Boe Kie mongenalinya, antaranya, "Ah! Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham!" katanya didalam hati.

Sekonyong konyong, sambil bersiul nyaring Goan tin memutar tubuh dan turun lagi dari bukit itu dengan berlari-lari. Ternyata ia sudah tahu, bahwa dirinya dikuntit orang. Gerakan Boe Kie cepat luar biasa. Begitu lihat Goan tin memutar tubuh ia melompat ke rumput tinggi dan lalu merangkak kesebelah kiri, sehingga dalam sekejap ia sudah berada di tempat puluhan tombak jauhnya. Dilain saat ia dengar suara beradunya senjata. Dari suara itu, ia tahu, bahwa dua orang mengerubuti Goan tin. "Ah! Yang dua lagi tentu menyateroni Gihoe!" pikirnya. Buru-buru ia merangkak keluar dari rumput tinggi kan mendaki bukit secepat mungkin.

Setibanya dipuncak, ia merasa sangat heran. Seperti dilihat dari bawah, puncak itu hanya merupakan tanah datar. Disitu haaya terdapat tiga pohon siong tua yang tumbuh dalam bentuk segi tiga. “Dimana adanya Gihoe?" tanyanya didalam hati. Sesaat kemudian ia dengar suara orang. "Kita harus lantas turun tangan, Sat Soetee dan Lam Soetee belum tentu bisa melayani pendeta itu." Itulah suara Pan Siok Ham.

"Benar" jawab Ho Thay Ciong.

Mendadak kedua orang itu yang mendaki bukit dengan merangkak bangun berdiri dan lalu menerjang kearah tiga pohon siong. Karena kuatir ayah angkatnya celaka Boe Kie segera mengudak.

Sekonyong-konyong Ho Thay Ciong mengeluarkan suara “huh!" seperti orang terluka. Boe-Kie mengawasi. Ia lihat suami isteri Ho itu memutar pedang sambil berdiri diantara ketiga pohon siong. Mereka seperti juga sedang bertempur tapi lawannya tak kelihatan. Dilain saat terdengar suara "tak tak tak!" seolah-olah pedang kedua suami isteri itu kebentrok dengan semacam senjata. Dengan heran Boe Kie mendekati dan tiba-tiba saja ia terkesiap. Dipongkol dua pohoo siong yang berada didepannya ternyata terdapat sebuah lubang berduduk seorang pendeta tua yang masing-masing memegang seutas tambang untuk menyerang suami isteri Ho. Pohon yang ketiga membelakangi Boe Kie, sehingga tidak bisa lihat keadaannya. Tapi sebab dari samping pohon itu juga keluar seutas tambang, maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa dipangkal pohon itupun terdapat seorang pendeta. Pada malam yang gelap itu, Boe Kie tak bisa lihat tegas gerakan2 tiga tambang itu.

Dalam pertempuran itu Ho Tay Ciong dan isterinya kelihatan repot sekali. Mereka memutar pedang bagaikan kitiran dan membuat garis pembelaan yang sangat rapat. Beberapa kali mereka membentak keras dan coba menerjang keluar, tapi selalu dipukul balik dengan ketiga tambang itu.

Boe Kie kaget tercampur kagum. Tambang hitam itu sama sekali tidak mengeluarkan suara dan kenyataan ini membuktikan, bahwa Lweekang ketiga pendeta itu sudah mencapai puncak kesempurnaan, "Goan tin mengatakan, bahwa Giehoe dijaga oleh tiga Thaysoesioknya,” pikir Boe Kie, "Ketiga pendeta itu tentulah juga paman guru dari Kong koen dan Kong tie. Mereka mempunyai Lweekang yang sudah dilatih selama tujuh-puluh tahun. Kalau aku harus melawan mereka, aku pasti akan kalah."

Mendadak mendengar teriakan menyayat hati. Teriakan itu keluar dari Ho Thay Ciong yang punggungnya terpukul tanbang dan tubuhnya terlempar keluar dari gelanggang. Ia jatuh rebah dan kelihatannya sudah binasa. Pan Siok Ham gusar dan sedih. Dilain detik, karena tidak berwaspada, kepalanya terpukul pecah. Seutas tambang menyambar dan melemparkan mayatnya keluar gelanggang.

Sementara itu Goan-tin berkelahi sembari mundur. "Mari! Mari! Kalau kamu berani, maju terus untuk menerima kebinasaan!" ia berteriak ber-ulang2 untuk memancing lawannya.

Orang she Sat dan she Lam itu adalah jago-jago Koen-loen-pay. Mereka tahu, bahwa si pendeta tengah memancing mereka, tapi mereka tidak takut dan terus mendesak. Dalam ilmu silat, biarpun dikerubuti, Goan-tin tidak kalah. Tapi menurut perhitungannya, paling banyak ia binasakan seorang lawan dan yang lain tentu melarikan diri. Maka itu, ia memancing mereka ke pohon siong supaya kedua-duanya bisa dibunuh oleh Thay-soesioknya. Waktu berada dalam jarak beberapa tombak dari pohon siong, kedua jago Koen-loen itu mendadak lihat mayat Ho Thay Ciong. Dangan serentak mereka berhenti. Tiba-tiba dua utas tambang menyambar dan melibat pinggang mereka. Dengan sekali disentak, tambang-tambang itu melempar tubuh mereka. Ditengah udara mereka berteriak dan jatuh tanpa bernyawa lagi.

Melihat caranya ketiga pendeta itu membinasakan empat tokoh Koen loen pay, Boe Kie meleletkan lidah. Itulah kepandaian yang belum pernah dilihatnya. Kepandaian itu lebih tinggi daripada yang dimiliki Hian beng Jielo. Biarpun belum bisa menyamai Thio Sam Hong kepandaian mereka sudah boleh dikatakan mencapai puncak kesempurnaan. Bahwa Siauw lim pay masih mempunyai tetua yang berkepandaian sedemikian tinggi mungkin tidak diketahui oleh Thio Sam Hong dan Yo Siauw yang berpengetahuan luas. Hati Boe Kie berdebar-debar. Ia terus mendekam di rumput tinggi, tanpa berani bergerak.

Sementara itu, sambil mengeluarkan senyuman mengejek Goan tin menendang mayat Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham kesebuah jurang yarg sangat dalam. Boe Kie berduka. "Biarpun Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham pernah membalas kebaikan dengan kejahatan terhadapku dan biarpun mereka ingin mencelakai Gie hoe, mereka adalah pemimpin-pemimpin sebuah partai besar." Pikirnya, "Bahwa mereka harus mati cara begitu, adalah kejadian yang mendukakan.”

Dilain saat, Goan tin menghampiri Thay soesioknya dan berkata sambil membungkuk. "Sam wie Thay soesiok mempunyai kepandaian yang tidak terbatas. Dalam sekejap Thay soesiok sudah binasakan empat tokoh Koen-loen pay. Rasa kagum Goan tin tak dapat dilukiskan lagi.

Salah seorang mengeluarkan suara di hidung. Mereka tidak menjawab perkataan si penjilat.

"Atas perintah Hong thio Soe siok, Goan-tin datang untuk menanyakan kewarasan Sam-wie Thay soesiok," katanya pula. "Disamping itu, Goan tin juga diperintahkan untuk berbicara dengan orang yang dipenjarakan".

"Kong kian Soetie seorang mulia dan berkepandaian tinggi," kata salah seorang pendeta tua. "Kami sangat mencintai dan kann mengharap ia akan bisa memperkembang ilmu silat kita. Tak dinyana ia binasa dalam tangan penjahat itu. Selama puluhan tahun kami menutup diri dan tidak mencampuri lagi urusan dunia. Hanyalah karena memandang muka Kong kian Soetie, kami rela menjaga tempat ini. Penjahat itu pantas mendapat hukuman mati, maka perlu apa rewel-rewel lagi ?"

Perkataan Thay soesiok memang tidak salah," kata Goan tin seraya membungkuk. ''Tapi

Hong thio Soesiok mengatakan, bahwa biarpun In soe benar dibunuh oleh penjahat itu, tapi mengingat kepandaian In soe yang sangat tinggi, maka timbullah pertanyaan, apa benar dengan seseorang diri penjahat itu bisa membunuh In-soe ? Sekarang kita penjarakan dia disini dan meminta bantuan Sam wie Thay soesiok untuk menjaganya. Maksud kita pertama ialah untuk memancing kawan-kawan penjahat itu supaya kita bisa membasmi musuh-musuh yang mencelakai In soe dengan sekali pukul dan kedua, untuk memaksa dia supaya menyerahkan To liong to supaya golok mustika itu tidak jatuh ke tangan lain partai. Apabila To liong to direbut oleh partai lain, maka partai itu juga akan merebut julukan "Boelim Cie coeh” ( yang termulia dalam Rimba Persiiatan), sehingga dengan demikian, derajat Siauw lim pay yang sudah dipertahankan selama ribuan tahun akan merosot." (In soe: Guruku yang budinya besar).

Mendengar itu, bukan main gusarnya Boe Kie. "Goan tin benar-benar jahat!" katanya di dalam hati. "Dengan lidahnya yang beracun, dia lagui ketiga pendeta itu yang selama puluhan tahun menutup diri. Hmm ! .... Dia coba menggunakan tangan mereka untuk membinasakan tokoh-tokoh Rimba Persilatan."

Salah seorang pendeta tua itu mengeluarkan suara di hidung. "Ya, kau boleh bicara dengan dia," katanya."

Ketika itu hujan belum berhenti dan guntur saban-saban bergemuruh, sehingga keadaan jadi lebih menyeramkan. Goan tin pergi ke antara tiga pohon siong itu, berlutut dan berkata "Cia Soen, apa kau sudah pikir masak-masak? Begitu lantas kau beritahukan, dimana To liong-to disembunyikan, aku akan segera melepaskan kau."

Boe Kie heran,"Apa Giehoe dikurung dalam penjara di bawah tanah?" tanyanya didalam hati."

Mendadak salah seorang pendeta tua membentak dengan gusar. "Goan tin! Seorang beribadat tidak boleh berjusta! Mengapa kau justai dia? Kalau dia beritahukan dimana adanya To liong to, apakah kau akan benar-benar melepaskan dia?"

"Biarlah Thay soesiok mengetahui, bahwa menurut pendapat teecoe, meskipun sakit hati kita karena binasanya In-soe sangat mendalam, tapi kalau ditimbang-timbang antara dua soal, soal nama dan derajat partai kita adalah terlebih penting," jawabnya. "Asal dia beritahukan dimana adanya To liong to dan partai kita dapat memiliki golok mustika itu, kita boleh melepaskan dia. Dalam waktu tiga tahun, teecoe pasti akan bisa membalas sakit hatinya In soe."

"Baiklah," kata pendeta tua itu. “Dalam Rimba Persilatan, kita harus mengutamakan kesatriaan. Perkataan itu yang sudah diucapkan adalah seperti melesatnya anak panah yang tidak bisa ditarik kembali. Biarpun terhadap orang jahat, murid Siauw lim sie tidak boleh hilang kepercayaan."

Mendengar perkataan itu, Boe Kie mengakui bahwa, ketiga pendeta tersebut bukan saja

berkepandaian tinggi, tapi juga luhur wataknya. Hanya sayang, tanpa merasa mereka sudah kena ditipu Goan tin.

“Cia Soen!" bentak Goan tin. "Apa kau dengar perkataan Thay-soesiokku? Ketiga tetua kami ini sudah bersedia untuk melepaskan kau."

Tiba-tiba dari bawah tanah keluar suara yang nyaring dan angker. "Seng koen, apakah kau masih ada muka untuk bicara dengan aku?"

Jautung Boe Kie melonjak. Itulah suara ayah angkatnya! Kalau turut batinnya, seketika itu juga ia akan menerjang, membinasakan Seng Koen dan menolong sang ayah. Tapi sebisa-bisa ia menahan sabar. Ia yakin, bahwa ia tak akan bisa melawan ketiga pendeta tua itu. "Biarlah sesudah penjahat Goan tin pergi, aku akan menemui ketiga pendeta itu,” pikirnya. "Aku akan jelaskan latar belakang urusan ini. Mereka berilmu tinggi dan mereka tentu bisa membedakan, siapa yang salah, siapa yang benar.”

Sementara itu, sesudah menghela napas Goan tin berkata pula. “Cia Soen, kita sama-sama sudah berusia lanjut. Perlu apa kau selalu ingat kejadian yang dulu-dulu? Paling lama dua puluh tahun lagi, kita akan berpulang ke alam baka. Aku bersalah terhadap kau, tapi kau pun bersalah terhadap aku. Biarlah kita sama-sawa coret kejadian di masa lampau."

Cia Soen tidak menghiraukan. Ia hanya berkata. "Seng Koen, apa kau masih ada muka untuk bicara dengan aku?”

Goan-tin membujuk berulang-ulang, tapi Cia Soen tetap tidak meladeni. Akhirnya ia bergusar dan berkata. "Dengan mengingat kecintaan dahulu, aku belum pernah turunkan tangan jahat terhadapmu Apa kau masih ingat totokanku yang dinamakan Ban-gie Can sim cie?" (Ban gie Can sim cie-Totokan berlaksa semut berkumpul dijantung).

Begitu mendengar "Ban-gie Can sim cie," darah Boe Kie bergolak. Dari ayah angkatnya ia tahu, bahwa totokan itu salah satu ilmu paling beracun dalam kalangan persilatan. Siapa yang tertotok, isi perutnya seperti juga digigit berlaksa semut sakit dan gatal bercampur menjadi satu. Ia lantas saja mengambil keputusan, bahwa andaikata Goan tin benar-benar coba menurunkan tangan jahat itu, ia akan mengadu jiwa untuk menolong ayah angkatnya. Tapi Cia Soen sendiri hanya menjawab. "Seng koen, apa kau masih ada muka untuk bicara dengan aku?"

“Aku beri batas waktu tiga hari kepadamu," kata Goan tin dengan suara dingin.

"Kalau dalam tiga hari kau tetap membandel, rasakanlah Ban gie Can sim cie!" Sehabis berkata begitu ia memberi hormat kepada ketiga pendeta tua dan kemudian turun dari bukit itu.

Sesudah pendeta jahat itu berlalu, selagi Boe Kia mau muncul untuk menemui tiga pendeta tiba-tiba saja ia merasakan ketidak beresan pada aliran hawanya. Ia tahu, bahwa ia diserang orang. tapi sedikitpun ia tidak merasakan sambaran serangan itu. Bagaikan kilat ia menggulingkan diri dan dua utas tambang lewat didepan mukanya. Baru ia berguling setombak lebih, seutas tambang yang tegak bagaikan toya menyambar dadanya hampir berbareng, dua tambang, lainnya menyambar punggungnya.

Sesudah menyaksikan keempat jago Koen-loen pay, ia mengerti bahwa jiwanya tergantung pada selembar rambut. Pada detik berbahaya, ia membalik tangan kirinya dan menangkap tambang yang menotok dada. Baru saja ia mau mendorong tambang itu, ia mendadak tambang tersebut dikerut dan semacam tenaga yang dahsyat luar biasa menindih dadanya. Kalau tindihan itu kena jitu, maka tulang-tulang dadanya akan menjadi remuk. Pada saat yang genting, dengan kecepatan yang tak mungkin dilukiskan, dengan tangan kanan ia menyampok dua tambang yang menyambar punggungnya dan berbareng dengan Kian koen Tay lo ie dan Kioe yang Sin kang tangan kirinya yang mencekal tambang mendorong dan melepaskan tambang , sehingga pada detik itu juga tubuhnya melesat ke tengah angkasa.

Sekonyong-konyong kilat berkeredepan. Karena kaget dan kagum melihat kepandaian Boe Kie, salah seorang pendeta mengeluarkan seruan tertahan. Ketiga pendeta itu menengadah dan dengan bantuan sinar kilat, mereka melihat wajah Boe Kie yang ternyata pemuda dusun dengan muka kotor. Bukan main rasa heran mereka.

Dilain saat, bagaikan naga hitam, tiga utas tambang menyambar keatas dan coba menggulung tubuh Boe Kie dari tiga penjuru.

Dengan bantuan sinar kilat, Boe Kie bisa melihat wajah tiga pendeta itu. Yang duduk disudut timur laut bermuka hitam, yang dibarat laut bermuka kuning dan yang disebelah selatan bermuka putih seperti kertas. Mereka ketiga-tiganya kurus kering, seperti tak punya daging, sedang pendeta yang bermuka kuning hanya bermata satu. Ditengah malam yang gelap itu, lima sinar mata mereka mengeluarkan sinar berkilauan.

Melihat sambaran tiga tambang itu, selagi tubuhnya melayang di udara, Boe Kie mengibas menarik dan menggulung. Dengan meminjam tenaga lawan ia menggulung tiga tambang itu menjadi satu. Itulah ilmu Thay-kek dari Boe-tong pay yang tenaganya merupakan sebuah lingkaran. Dengan ilmu itu Boe Kie menggulung tenaga tambang itu menjadi satu.

Tiba-tiba sesudah kilat yang tadi, guntur berbunyi berulang-ulang, sehingga bumi seolah-olah bergetar. Diantara keangkeran Langit dan Bumi itu, Boe Kie berjungkir balik di tengah udara dan kemudian kaki kirinya hinggap di sebatang siong. "Boan pwee Thio Boe Kie, Kauw coe dari Beng kauw, menghadap Sin wie Koceng,” serunya sambil membungkuk. Ia berdiri diatas sebelah kaki, ketika ia menyoja, ranting siong itu membal beberapa kali, sehingga tubuhnya terayun-ayun dan memberi sebuah pemandangan yang sangat indah. Tapi biarpun ia menjalankan kehormatan sebagai seorang muda terhadap orang tua ia berdiri disebelah atas, sehingga dengan demikian ia mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin Beng kauw.

Dengan mengedut beberapa kali, ketiga pendeta itu melepaskan tambang mereka yang tergulung. Tadi mereka menyerang dengan Sam cauw Kioe sit ( Tiga jurus sembilan pukulan ). Dalam setiap pukulan mengandung perubahan yang terdiri dari sepuluh jurus dan walaupun namanya "Sam cauw Kioe sit," serangan itu sebenarnya merupakan beberapa puluh serangan berantai yang membinasakan. Diluar dugaan, semua serangan itu sudah dapat dipatahkan olen Boe Kie. Pada hakekatnya, setiap serangan berarti kebinasaan dan salah sedikit saja, tulang-tulang Boe Kie akan terpukul remuk. Tapi sesudah lolos dari lubang jarum, pemuda itu, kelihatan tenang tenang saja dan paras mukanya sedikit pun tidak berubah. Inilah kejadian yang belum pernah dialami ketiga pendeta itu. Tapi mereka tak tahu, bahwa selagi badannya terayun-ayun diranting pohon, diam-diam Boe Kie mengerahkan pernapasannya untuk mengatur hawanya yang sudah kalang kabutan.

Jurus silat yang tadi digunakan oleh Boe Kie terdiri dari Kioe yang Sin kang, Kian koen Thay lo ie, Tay kek koen dan paling belakang untuk berjungkir balik, ia menggunakan ilmu dari seng bwee leng. Biarpun memiliki kepandaian sangat tinggi, tapi karena sudah rnenutup diri selama beberapa puluh tahun, ketiga pendeta Siauw lim itu tidak mengenal ilmu2 tersebut, mereka hanya merasakan bahwa Lwee kang Boe Kie agak menyerupai Siauw lim kioe yang kang, meskipun tenaga dalam itu banyak lebih kuat daripada Kioe yang kang mereka. Mereka kagum tercampur kaget. Tapi sesudah Boe Kie memperkenalkan diri sebagai Kauwcoe dari Beng kauw, rasa kagum itu, lantas berubah jadi (amarah).

Pendeta yang bermuka putih berkata dengan suara menyeramkan. "Loolap kira siapa, tak tahunya iblis besar dari Mo Kauw! Sejak beberapa puluh tahun yang lalu loolap bertiga menutup diri dan tak pernah mencampuri urusan luar. Kami bahkan tak pemah menghiraukan urusan Siauw lim sie sendiri. Tak dinyana hari ini kami bertemu dengan Kauw coe dari Mo kauw dan oleh karenanya kami merasa syukur."

Mendengar perkataan "Mo kauw" (Agama iblis ), Boe Kie jadi bingung. Ia tak tahu, bagaimana harus menjawab pendeta tua itu. Sebelum ia membuka suara, pendeta yang bermuka kuning bertanya. "Dimana adanya Yo po Thian?”

“Yo Kauw coe sudah meninggal dunia pada tiga puluh tahun yang lalu," jawabnya.

Mendengar jawaban Boe Kie, pendeta itu mengeluarkan seruan"ah!” Nada seruan itu mengandung rasa kaget, duka dan putus harapan.

“Mendengar meninggalnya Yo Kauwcoe, dia kelihatannya sangat berduka," kata Boe Kie di dalam hati. "Tak salah lagi, ia tentu mempunyat hubungan erat dengan Yo Kauwcoe. Giehoe orang sebawahan Yo Kauwcoe. Biarlah aku coba menggerakan hatinya dengan menyebutkan persahabatan dahulu dan kemudian menceriterakan cara bagaimana Yo Kauwcoe meninggal dunia sebab perbuatan Goan tin." Memikir begitu, ia lantas saja berkata. "Kalau begitu, Taysoe mengenal Yo Kauwcoe, bukan?"

"Tcntu saja," jawab pendeta yang bermuka kuning. "Apabila loolap tidak mengenal poaenghiong Yo Po Thian, cara bagaimana loolap menjadi manusia bermata satu? Dan perlu apa kami bertiga bersamadhi tiga puluh tahun lebih?" (Bersamadhi dalam artiannya mempertinggi ilmu silat). Kata-kata itu yang diucapkan secara tawar mengandung nada sakit hati dan kebencian yang sangat berat.

"Celaka," Boo Kie mengeluh didalam hati. "Didengar dari perkataannya, sebelah mata pendeta itu telah dibutakan oleh Yo Kauwcoe dan mereka menutup diri untuk mencari ilmu yang lebih tinggi guna membalas sakit hati. Dan kecewa putus harapan waktu mendengar Yo Kauwcoe sudah meninggal dunia."

Tiba-tiba pendeta muka kuning itu mengeluarkan siulan nyaring dan berkata dengan suara keras, "Sesudah Yo Po Thian meninggal dunia, jalan satu-satunya hanyalah menumplek sakit hati kami diatas pundak Kauwcoe yang sekarang, Thio Kauwcoe, hoat-mia (nama sebagai orang beribadat) loolap Touw-ok, soetee ku yang putih mukanya bernama Touw ciat, sedang soetee yang bermuka hitam adalah Touw lan. Kong kian, Kong boen, Kong tie dan Kong seng adalah keponakan murid kami. Kong kian dan Kongtie binasa dalam tangan Mokauw. Tipu busuk apa yang digunakan Mokauw, kami pun tak ingin tahu. Kunjungan Kauwcoe mengunjuk, bahwa Kauwcoe tidak merasa gentar terhadap kami. Maka itu, hutang-piutang dahulu baiklah kita selesaikan sekarang dengan mengadu ilmu. (Touw ok = Menyeberangi penderitaan. Touw-ciat = Menyeberangi kecelakaan. Touw lan = Menyeberangi Kesengsaraan ).

“Kedatanganku hanyalah untuk menolong Gie hoe Kim mo Say ong Cia Tayhiap," kata Boe Kie. "Boanpwee sendiri tak punya ganjelan dengan Siauw lim pay dan dalam soalnya Giehoe terdapat latar belakang yang berbelit-belit. Meninggalnya Kong seng Seng ceng sedikitpun tiada sangkut-pautnya dengan agama kami. Sam wie tak boleh hanya mendengar keterangan dari satu pihak dan Sam wie sebaiknya menyelidiki persoalan itu sampai seterang-terangnya.

“Coba kau bilang siapa yang binasakan Kong-seng?” tanya Touw ciat yang bermuka putih.

Alis Boe Kie berkerut. "Menurut pengetahuan boanpwee, Kong Seng ceng telah dibinasakan oleh boesoe dari Jie lam ong!” jawabnya.

"Siapa yang memimpin boesoe Jie lam ong?" tanya pula Touw ciat.

“Tio beng, putera Jie lam ong."

"Goan tin telah memberitahukan aku bahwa perempuan itu telah kerja sama dengan agamamu. Dia mengkhianati kaizarnya dan memberontak terhadap ayahnya akan kemudian masuk kedalam Mo kauw. Apa benar begitu?”

Desakan Touw ciat hebat sekali. Boe Kie yang tak biasa berjusta, terpaksa menyahut, "Benar. Dia- - - dia telah meninggalkan tempat gelap dan pergi ke tempat terang."

Touw ciat mengeluarkan suara di hidung. "Yang membunuh Kong kian, Kim mo Say ong dari Mo kauw, yang membunuh Kong ceng Tio beng dari agamamu!"' katanya dengan suara kaku. "Tio beng adalah orang yang sudah memukul pecah Siauw lim sie dan menangkap murid-murid partai kami. Yang paling tak bisa diampuni ialah dia sudah menulis perkataan2 menghina dipatung Couwsoe Tat mo Loocouw, Semua sakit hati itu ditambah pula dengan sebuah biji mata dari soehengku, Thio Kauwcoe kalau piutang tak diperhitungkan dengan kau, dengan siapa lagi kami bisa memperhitungkannya?”

Boe Kie menghela napas. Ia merasa perkataan Touw ciat ada benarnya juga. Kalau ia sebagai kauwcoe dari Beng kauw tak mau bertanggung jawab atas semua itu, siapa lagi yang bisa bertanggung jawab?”

Maka itu, ia segera mengerahkan Lweekang ke ujung kaki sehingga bergoyang-goyang ranting siong, lantas saja berkata, "Jika Sam wie Loosiansoe berpendapat begitu, boanpwee tak bisa berkelit lagi," katanya dengan suara nyaring "Biarlah boanpwee memikul kedosaan itu. Tapi dalam kebinasaan Kong kian Seng ceng terdapat hal-hal yang mendukakan. Biar bagaimana pun juga, dalam peristiwa itu boanpwee memohon pengampunan Sam wie Loosiansoe."

"Apa yang diandalkan olehmu, sehingga kau berani minta pengampunan untuk Cia Soen?" tanya Touw ciat. "Apa kau rasa kami bertiga tidak mampu mengambil jiwamu?"

Boe Kie yakin, bahwa kali ini ia bertempur, ia mesti mengadu jiwa. “Kalau, satu melawan tiga, boanpwee tak akan bisa menandingi Sam wie," katanya. "Loosiansoe yang mana yang lebih dulu mau memberi pelajaran kepada boanpwee?"

"SATU lawan satu belum tentu kita menang,” kata Touw ciat. "Dalam sakit hati yang hebat ini, kami tidak bisa mempertahankan peraturan Kang ouw. Kepala iblis terimalah kebinasaanmu! Omie tohoed!"

"Sang Buddha berbelas kasihan!" menyambung Touw ok dan Touw lan.

Hampir berbareng tiga tambang menyambar kearah Boe Kie. Sambil mengegos tali, Boe Kie melompat turun. Sebelum kakinya hinggap di tanah ia memutar badan dan menubruk Touw-?

Touw lan mengibaskan tangan kiri dan Boe Kie merasa semacam tenaga dalam yang hebat menyambar ke punggungnya. Ia berkelebat dan memunahkan pukulan itu dengan Kian koen Tay-lo ie. Pada saat itu, dua tambang dari Touw ok dan Touw lan menyapu dengan datang berbareng.

Baru saja Boe Kie mengegos, Touw ciat sudah meninju dengan pukulan yang tak ada anginnya. Boe Kie menangkis dan membalas menyerang. Demikianlah, dengan berdiri di tengah-tengah tiga pohon siong, Kauwcoe dari Beng kauw itu melakukan pertempuran mati hidup melawan tiga tetua Siauw lim pay.

Sesudah lewat sekian jurus tiba-tiba Boe Kie memukul dengan telapak tangannya sambil menggetarkan tubuh, sehingga ratusan butir air yang menempel pada badannya menyambar Touw ok. Pendeta itu memiringkan kepalanya, tapi tak urung mukanya disambar juga oleh beberapa puluh butir air sehingga kulitnya dirasakan pedas perih. "Kurang ajar!" bentaknya seraya mengedut tambang yang lantas saja menghantam kepala Boe Kie. Bagaikan kilat, Boe Kie melompat mundur akan kemudian menyerang Touw ciat dengan tenaga dalam yang tidak kurang hebatnya.

Makin lama Boe Kie makin bingung. Semenjak memiliki ilmu silat tinggi, belum pernah ia bertemu dengan lawan yang sedemikian berat. Ketiga pendeta itu bukan saja lihay pukulan-pukulannya, tapi juga mempunyai Lwee-kang yang sangat dahyat. Semula ia masih bisa menggunakan tujuh bagian kepandaiannya untuk membela diri dan tiga bagian untuk menyerang. Tapi sesudah lewat seratus jurus, hawa tulennya mulai merosot dan hanya mampu membela diri.

Menurut pengalamannya, yang berada dalam tubuhnya bukan saja tidak bisa habis, bahkan semakin digunakan jadi makin kuat. Tapi dalam menghadapi ketiga pendeta itu setiap gerakan meminta Lweekang yang sedemikian kuat dengan gerakan-gerakan demikian, perlahan-lahan ia merasa datangnya tenaga susulan tidak begitu lancar lagi. Inilah kejadian yang belum pernah dialaminya.

Sesudah bertanding lagi beberapa puluh jurus, ia berkata didalam hati. "Kalau terus begini, jiwaku akan melayang. Sebegitu lama gunung masih berdiri, kayu bakar tak akan habis. Kini aku mesti kabur. Biarlah dilain hari aku datang lagi bersama Gwa kong, Yo Coe soe, Hian Yoesoe dan Wie Hok ong. Dengan berlima, ketiga pendeta itu pasti akan bisa dikalahkan dan aku akan menolong Giehoe." Memikir begitu ia lantas saja mengirim serangan-serangan hebat dan coba melompat keluar dari gelanggang. Diluar dugaan, tiga tambang itu membuat sebuah lingkaran yang teguh bagaikan tembok tembaga. Berulang ia menerjang, tapi selalu terpukul mundur. Sebaliknya dari terlolos, pinggangnya kena disapu tambang Touw lan sehingga terluka.

Boe Kie jadi bingung. Ia tak tahu, bahwa dalam melatih ilmu selalu tiga puluh tahun lebih dengan bersemedhi dalam kamar tertutup, ketiga pendeta itu telah mencapai sebuah "Perpaduan pikiran." Dengan demikian apa yang dipikir oleh seorang pendeta lantas saja bisa di rasakan oleh kedua pendeta lainnya. Adanya perpaduan pikiran itu memungkinkan sebuah kerja sama yang sangat sempurna.

Boe Kie mulai putus harapan. “Dilihat begini, biarpun mendapat bantuan Gwakong dan yang lain-lainnya, belum tentu aku bisa mengalahkan mereka," pikirnya. "Apakah Giehoe tak akan bisa ditolong? Apa hari ini aku harus mati di tempat ini?"

Karena bingung, pemusatan semangatnya lantas saja terpecah. Dilain detik, pundaknya tertotok lima jari tangan Touw ciat dan rasa sakit masuk di sumsum. Tiba-tiba ia ingat sesuatu, “Kalau mesti mati, aku rela mati. Tapi sebelum mati, aku harus menyampaikan rasa penasaran Gie-hoe. Giehoe seorang yang beradat tinggi. Sesudah dapat ditangkap, ia menjadi lebih-lebih sungkannya untuk mengeluarkan sepatah kata membela diri."

Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Sam wie Loosiansoe! Boanpwee sudah terkurung dan boan pwee akan binasa. Seorang lelaki sejati tak takut. Tapi sebelum berpulang ke alam baka boan pwee ingin lebih dulu memberitahukan...” Dua tambang menyambar dan sesudah memunahkan dua senjata itu, ia berkata pula, "Nama Goan-tin yang sebenarnya, yaitu nama pada sebelum ia menjadi murid Siauw lim sie, ialah Seng-koen, bergelar Hoe goan Pek lek chioe. Dia adalah guru dari Gihoe."

Mendengar bicaranya Boe Kie, ketiga pendeta itu kaget bukan main. Mereka kaget sebab menurut kebiasaan, seorang yang sedang bertempur dengan menggerahkan Lweekang, tak boleh bicara. Sekali bicara tenaga dalamnya buyar. Bahwa Boe Kie bicara selagi bertempur merupakan bukti bahwa pemuda itu memiliki Lweekang lain dari yang lain. Sebab dikelabui Goan tin, ketiga tetua itu beranggapan bahwa Boe Kie manusia jahat. Makin tinggi kepandaiannya, makin besar bahayanya untuk masyarakat. Maka itu mereka berpendapat, bahwa dengan membinasakan pemuda itu, mereka berbuat kebaikan untuk umat manusia. Sebab adanya anggapan itu, mereka tak menghiraukan dan terus menyerang sehebat-hebatnya.

Boe Kie berkata pula, "Sam wie Loosiansoe harus tahu, bahwa Seng koen dan Yo Kauwcoe dari Beng kauw adalah saudara seperguruan. Mereka berdua sama-sama jatuh cinta kepada seorang Sumoay (saudari seperguruan) yang belakangan menjadi isteri Yo Kauwcoe. Seng koen sakit hati dan ia lantas memusuhi Beng kauw." Dengan suara lantang Boe Kie terus menceritakan segala rahasia yang meliputi sepak terjangnya Seng koen. Ia menuturkan cara bagaimana Yo Hoejin mengadakan pertemuan rahasia dengan Seng koen, sehingga lantaran gusar, Yo po Thian meninggal dunia, cara bagaimana dengan berlagak mabuk, Seng koen coba merusak kehormatan isterinya Cia Soen dan lalu membasmi keluarga Kim mo Say ong, cara Seng koen mengatur tipu sehingga Cia Soen jadi kalap dan membunuh banyak orang dalam Rimba persilatan, cara bagaimana ia mengangkat Kong kian menjadi guru dan belakangan memancing guru itu supaya menerima pukulan Cia SOEN, tapi dia sendiri tak muncul sehingga Kong-kian meninggal dunia dengan penuh rasa penasaran...

Makin mendengar ceritera itu, Touw ok bertiga jadi makin kaget. Walaupun hebat ceritera itu kedengarannya sangat beralasan dan sesuai dengan beberapa kenyataan. Gerakan tambang Touw ok lantas saja berubah perlahan.

"Boanpwee tak tahu sebab musabab permusuhan antara Yo Kauwcoe dan Touw ok Taysu," kata pula Boe Kie. Tapi Boanpwee merasa pasti, bahwa permusuhan itupun sudah terjadi karena siasat Seng Koen. Cobalah Touw ok Tay-su mengingat-ingat lagi kejadian yang lampau itu."

Touw ok menundukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian, ia berkata; "Mungkin, memang mungkin kerjaan Seng-koen. Dalam permusuhan antara Yo Kauwcoe dan loolap, Seng koen telah mengeluarkan banyak tenaga untukku. Belakangan ini ia minta berguru kepada loo-lap, tapi sebab belum pernah menerima murid, maka loolap lantas memujikan dia kepada Soe tit. Memang mungkin sekali kejadian itu sudah terjadi karena siasat Seng koen.”

"Bukan saja begitu," menyambung Boe Kie, “dia sekarang berusaha untuk merebut kedudukan hong thio dari Siauw lim sie. Diam-diam ia menerima murid sembarangan dan bersekutu dengan orang kangauw yang tidak baik. Dia berusaha untuk mencelakai Kong boen Seng ceng...!"

Perkataan Boe Kie itu terputus sebab dengan mendadak ia mendengar suara keras dan sebuah batu raksasa yang menggelinding ke arah tiga pohon siong itu. "Siapa?" bentak Touw ok sambil menghantam dengan tambangnya sehingga batu itu somplak, sekonyong-konyong dari belakang batu berkelebat bayangan manusia yang lantas menubruk Boe Kie dan sebilah golok pendek menyambar ke tenggorokan pemuda itu.

Itulah serangan yang tak diduga-duga!

Pada detik itu seantero tenaga di kedua tangan Boe Kie sedang menyambut tambang Touw ciat dan Touw lan. Ia tak pernah mimpi bahwa ia bakal dibokong.

Waktu ia mendusin adanya serangan itu, ujung golok sudah hampir menyentuh kulit tenggorokan. Tapi detik penghabisan, mati-matian ia mengegos. Golok lewat dan merobek baju di bagian dadanya. Terlambat sedikit saja, jiwanya pasti melayang. Sesudah serangannya gagal, dengan ditedeng batu besar yang tengah menggelinding, pembokong itu menggulingkan diri sampai diluar kalangan tambang.

"Sungguh berbahaya!” kata Boe Kie. "Binatang Seng Koen ! Kalau kau punya nyali datanglah kesini untuk dipadu denganku! Huh huh!- - - Kau coba membunuh aku untuk menutup mulutku." Biarpun tak melihat tegas muka penyerang itu, dengan memperhatikan gerakannya dan Lweekang, Boe Kie tahu, bahwa penyerang itu bukan lain daripada Seng Koen.

Semeatara itu, dengan tambang mereka ketiga tetua Siau lim itu sudah berhasil mengalihkan sambaran batu raksasa itu ke jurusan lain.

"Apa benar Goan tin?" tanya Touw ok. "Benar dia," jawab Touw lan.

"Ya," kata pula Touw ok, "kalau dia tak berdosa, perlu apa...”

Perkataan itu mendadak terputus sebab tiba-tiba saja beberapa bayangan manusia berkelebat. Orang yang paling dulu membentak, “Pendeta Siauw lim adalah murid Sang Budha tapi mereka telah membunuh begitu banyak orang, apa mereka tak takut dosa? Kawan-kawan, seranglah!"

Delapan orang lantas saja menerjang. Boe Kie yang segera berduduk diantara

ketiga pendeta itu mendapat kenyaataan, bahwa tiga orang bersenjata pedang dan yang lain menggunakan macam-macam senjata. Mereka semua berkepandaian tinggi dan dilain detik, mereka sudah bertempur hebat dengan ketiga tetua Siauw lim. Sesudah memperhatikan sesaat, ia lihat, bahwa ketiga orang yang bersenjata pedang memiliki ilmu silat yang bersamaan dengan ilmu Cenghay Sam kiam yang sudah binasa dalam tangan pendeta Siauw lim. Ia lantas saja menarik kesimpulan, bahwa ketiga orang itu tetua dari Ceng hay pay. Mereka bertiga mengepung Touw ok. Tiga orang lain mengerubuti Touw ciat. Sisanya, dua orang, menyerang Touw lan. Meskipun hanya dikerubuti dua orang, sesudah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, Touw lan mulai jatuh dibawah angin sebab dua orang itu berkepandaian tinggi dari lain-lain kawannya. Dalam tiga rombongan, pendeta yang berada di atas angin adalah Touw ok.

Sesudah bertempur belasan jurus lagi, Touw ok mendapat kenyataan, bahwa Touw-lan terdesak. Ia mengedut tambangnya yang lantas saja menyambar lawannya Touw lan. Mereka bertubuh jangkung, berjenggot hitam dan meskipun sudah berusia lanjut, gerakannya masih sangat gesit. Yang satu bersenjata poan-koan pit (senjata yang berbentuk pena Tiong-hoa), yang lain memegang pah hiat-koat ("pacul" untuk menotok jalan darah). Kedua senjata itu untuk menotok "hiat". Touw ok dan Touw lan tahu, bahwa mereka bukan lawan enteng. Ketika itu, mereka masih berada dalam jarak beberapa tombak, tapi sambaran angin senjata mereka sudah dapat dirasakan. Kalau mereka bisa merangsek lebih dekat, serangan kedua senjata pendek itu akan lebih berbahaya.

Sementara itu, ketiga jago Ceng hay pay mulai menyerang lagi dengan hebatnya, sekarang Touw ciat melawan tiga orang, sedang Touw ok dan Touw lan melayani lima lawan. Untuk sementara waktu, keadaan berimbang dan kedua belah pihak dapat mempertahankan diri.


Boe Kie heran. "Ilmu silat kedelapan orang itu rata-rata bisa melayani Ceng ok Hok-ong,” pikirnya. "Mereka kelihatannya lebih unggul daripada Ho Thay Ciong dan hanya setingkat lebih rendah dari Biat coat Soethay. Tapi kecuali tiga anggauta Ceng hay pay, yang lain aku tak kenal. Dari sini bisa dilihat, bahwa dalam dunia yang lebar ini, bagaikan harimau yang mendekam di rumput-rumput tinggi, bersembunyi banyak orang gagah yang namanya tidak dikenal.”

Sesudah bertanding kira-kira seratus jurus, tambang ketiga pendeta itu menjadi lebih pendek. Dengan lebih pendeknya tambang itu, mereka bisa menghemat tenaga. Tapi dilain pihak kelincahan tambang dalam serangan juga agak berkurang. Sesudah lewat beberapa puluh jurus lagi, tambang-tambang itu jadi makin pendek.

Kedua kakek jenggot hitam menyerang sehehat-hebatnya dalam usaha untuk mendekati ketiga pendeta itu. Tapi sesudah menjadi pendek, garis pembelaan tambang lebih rapat dan padat. Ketiga tambang itu membuat sebuah lingkaran yang terisi dengan tenaga memukul yang sangat dahsyat. Kedua kakek berjenggot berulang-ulang menerjang, tapi mereka selalu terpukul mundur.

Sambil bertempur, ketiga pendeta itu mengeluh di dalam hati. Mereka bukan takut kena dikalahkan. Asal mereka menarik tambang-tambang itu sampai panjangnya delapan kaki, maka akan bisa membuat garis Kim kong Hok mo co an.

Dengan garis pembelaan itu, jangankan delapan orang sekalipun, enam belas atau tiga puluh orang, mereka masih sanggup menahan. Apa yang mereka takuti ialah dalam lingkaran mereka bersembunyi seorang lawan yang hebat. Lawan itu adalah Boe Kie. Jika pemuda itu turun tangan menggencet dari dalam, habislah jiwa mereka. Mereka lihat Boe Kie bersila. Mereka itu menduga pemuda itu sedang menunggu waktu yang baik untuk menyerang. Mungkin sekali Boe Kie mau menunggu, sampai kedua belah pihak payah dan kemudian, dengan sekali pukul ia bisa merobohkan semua orang.

Waktu itu ketiga pendeta tersebut sedang menggunakan seantero tenaga dalamnya. Mereka mau berteriak meminta bantuan, tapi mereka tidak bisa berbuat begitu. Kalau mereka membuka suara, andaikata tidak mati, mereka pasti terluka berat dan akan menjadi manusia bercacad. Sekarang mereka menyesal, bahwa mereka terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Kalau tadi mereka meminta pertolongan, semua musuh tentu sudah dapat dikalahkan.

Kenyataan ini juga sudah dilihat Boe Kie, kalau ia mau mengambil jiwa ketiga pendeta itu ia dapat berbuat begitu dengan mudah sekali. Tapi ia merasa bahwa seorang laki-laki sejati tidak boleh menarik keuntungan pada waktu pihak lawan berada dalam bahaya. Apapula mereka hanya menjadi korban dari tipu busuknya Goan tin dan mereka tidak pantas menemui kebinasaan. Disamping itu andaikata ia membunuh ketiga pendeta itu ia masih harus menghadapi delapan lawan yang berat, yang belum tentu dapat dikalahkan olehnya. Ia tahu, bahwa kekuatan kedua belah pihak kira-kira berimbang dan bagaimana kesudahannya masih meminta waktu.

Sekarang ia lihat bahwa sebuah batu menutup pintu penjara dibawah tanah dan di pinggir batu hanya terbuka sebuah lubang kecil untuk bernapas dan memasukkas makanan. Batu itu yang beratnya ribuan kati, tak akan bisa digerakkan oleh seorang dua orang. Tapi sebagaimana diketahui, waktn berada dijalanan rahasia di Kong beng teng, sesudah mempelajari Kian koen Tay lo ie Sin kang, Boe Kie pernah membuka pintu batu yang tebalnya setombak lebih. Kalau dibandingkan dengan pintu itu, batu tersebut agaknya tak terlalu berat. Tapi batu itu terletak diatas tanah gundul sehingga didorongnya banyak lebih sukar dari pada mendorong pintu. Tapi biar bagaimanapun juga, ia harus berdaya. Ia yakin, bahwa kalau salah satu pihak sudah memperoleh kemenangan atau dari kuil Siauw lim sie sudah datang bala bantuan ia takkan bisa menolong lagi ayah angkatnya.

Maka itu ia segera berlutut disamping batu dan mendorongnya dengan mempergunakan Kian koen Tay lo ie Sinkang. Begitu tenaganya dikerahkan dan dikirim, batu tersebut lantas bergerak dengan perlahan.

Tapi baru saja batu itu terdorong satu kaki, punggungnya sudah disambar dengan pukulan Touw lan. Bagaikan kilat ia menggunakan ilmu "memindahkan tenaga, meminjam tenaga." "Buk” punggungnya terpukul, bajunya hancur dan keping-keping kain berterbangan diantara hujan dan angin. Tapi tenaga pukulan itu sudah dialihkan ke batu raksasa yang lantas saja terdorong kira-kira satu kaki. Walaupun tak mendapat luka didalam, pukulan tersebut mengakibatkan rasa sakit yang hebat. Sebab waktu terpukul, Boe Kie adalah menggunakan seantero tenaga dalamnya untuk mendorong batu.

Karena Touw lan memukul Boe Kie, pada garis pembelaan tambang terbuka sebuah lowongan. Pihak lawan sungkan menyia-nyiakan kesempatan itu dan seorang kakek jenggot hitam lantas saja menerjang kedalam garisan.

Senjata tambang dari ketiga pendeta itu sangat lihay jika digunakan pada jarak jauh dan kurang kelihayannya pada jarak yang dekat. Begitu menerobos ke dalam garis pembelaan si jenggot hitam menotok bawah tetek Touw lan dengan pah hiat koat. Touw lan menangkis dengan tangan kirinya. Selagi senjata ditangkis, seperti kilat jari tangan kiri si jenggot menotok Tao-tiong hiat. "Celaka!” seru Touw lan. Ia tak duga, totokan It cie sian si jenggot lebih lihay daripada pah-hiat-koatnya. Dalam keadaan berbahaya, mau tak mau ia melepaskan tambangnya dan balas menyerang dengan jari-jari kedua tangannya. Walaupun si jenggot kena ditahan namun seutas tambang sudah jatuh di tanah, kakek yang bersenjata poan koan pit lantas saja menerjang masuk. Ketiga pendeta Siauw lim sie sekarang menghadapi bencana. Antara tiga tambang, satu sudah jatuh dan Kim kong Hok mo coan sudah jadi pecah!

Mendadak bagaikan seekor ular yang mau hidup kembali, tambang hitam yang menggeletak di tanah itu mendongak ke atas dan menyambar muka si kakek yang bersenjata poan koan-pit. Tambangnya belum sampai anginnya sudah berkesiur seperti pisau. Si-kakek buru-buru menangkis dan begitu lekas tambang kebentrok dengan poan koan pit, kedua lengannya kesemutan.sehingga poan kit yang dipegang dengan tangan kirinya hampir-hampir terpental, sedang poan koan pit yang dicekal dengan tangan kanan terlepas dan jatuh di batu gunung.

Tambang itu kemudian menyambar ketiga jago Ceng hay pay yang lantas saja terdesak mundur setombak lebih. Demikianlah Kim-kong Hok mo coan pulih kembali--bukan saja pulih kembali, bahkan sekarang lebih kuat dari pada semula.

Ketiga pendeta Siauw lim sie kaget tercampur girang. Mereka mendapat kenyataan, bahwa lain ujung tali tambang itu dipegang oleh Thio Boe Kie. Pemuda itu belum pernah berlatih dalam ilmu Kim kong Hok mo coan. Dalam kerja sama, ia tentu tidak bisa menyamai Touw-lan. Akan tetapi dalam Lweekang, ia tak kalah. Tenaga dalam yang keluar dari tambang yang dicekalnya seolah-olah tenaga robohnya gunung atau terbaliknya lautan yang menyambar-nyambar ke delapan penjuru. Dengan bantuan tambang Touw ok dan Touw ciat, tujuh lawan yang berada diluar garis pembelaan terpaksa mundur jauh-jauh.

Sekarang, dengan hati mantep Touw lan melayani si jenggot hitam itu yang berada di dalam garis pertahanan. Baik dalam ilmu silat, maupun dalam Lweekang, ia lebih unggul setingkat. Dengan tetap berduduk didalam lubang pohon sepuluh jari tangannya menyerang dengan rupa-rupa pukulan yang dahsyat, sehingga dalam sekejap si jenggot sudah keteter. Melihat tujuh kawannya terpukul mundur, sambil membentak keras dia melompat keluar dari garis pembelaan tambang.

Sesudah si jenggot terpukul mundur, Boe-Kie segera mengembalikan tambang yang dipegangnya kepada Touw lan dan kemudian mendorong lagi batu raksasa penutup lubang. Sekarang lubang itu sudah cukup besar untuk tubuh manusia. "Gie hoe!" teriak Boe Kie. "Anak terlambat dalam memberi pertolongan. Apa Gie-hoe bisa keluar sendiri?"

“Aku tak mau keluar," jawab Cia Soen. "Anak baik, kau pergilah!"

Boe Kie heran dan kaget. "Giehoe apa kau ditotok orang?" tanyanya. "Atau dirantai?"

Tanpa menunggu jawaban, ia melompat ke lubang "Pruk," kakinya menginjak air. Ternyata lubang itu terisi air sampai sebatas pinggang.

Dengan hati tersayat pisau, pemuda itu merangkul ayah angkatnya. Ia meraba-raba tangan kaki orang itu tapi tidak dapatkan rantai atau lain alat pengikat. Kemudian ia meraba-raba beberapa"hiat," tapi jalan-jalan darah itupun tak ada yang tertotok. Tanpa menanya lagi ia memeluk sang ayah erat-erat dan melompat ke atas. Cia Soen tidak mengucapkan sepatah kata. Sesudah berada diatas, mereka berduduk di atas sebuah batu besar.

"Sekarang mereka baru bertempur dan kesempatan iai, tidak boleh disia-siakan," kata Boe Kie. "Giehoe, mari kita berangkatl" Seraya berkata begitu, ia menuntun tangan ayah angkatnya.

Tapi Cie Soen tidak bergerak. Sambil menepuk lutut ia berkata. "Nak, kedosaanku yang

paling besar ialah membunuh Kong Kian Taysoe. Apabila Giehoemu jatuh ditangan orang lain, dia tentu akan melawan mati-matian. Tapi di Siauw lim sie, aku rela binasa untuk membayar hutang kepada Kong kiansoe."

"Karena kesalahan tangan Giehoe telah mencelakai Kong kian Tay soe," kata Boe Kie dengan suara bingung. "Tapi itu semua adalah akibat dari tipunya Seng Koen. Sedang ini sakit hati Giehoe belum terbalas, mana bisa Giehoe mati dalam tangan Seng Koen?"

Cia Soen menghela napas. "Selama sebulan setiap hari kudengar Sam wie Koceng menghafal kitab suci," katanya, “Saban pagi kudengar suara lonceng dan saban sore suara tambur dari kuil Siauw lim sie. Mengingat kejadian-kejadian dahulu, aku harus mengakui bahwa kedua tanganku berlepotan terlalu banyak darah dan sebenar-benarnya, biarpun mati seratus kali, aku masih belum bisa membayar hutang. Dalam dunia ini, siapa yang berdosa harus bertanggung jawab akan segala akibatnya. Kedosaanku banyak lebih berat daripada Seng koen. Anakku, jangan kau perdulikan aku lagi. Pergilah!"

Boe Kie jadi makin bingung. "Giehoe!" teriaknya dengan suara duka. "Jika kau tidak mau berangkat juga anak akan menggunakan kekerasan." Sesudah berkata begitu, ia mencekal kedua tangan Cia Soen dan coba menggendongnya.

Sekonyong-konyong terdengar suara ribut-ribut dan beberapa orang berteriak-teriak: "Siapa berani jual lagak di Siauw lim sie?" Dilain saat belasan orang mendatangi dengan menggunakan ilmu ringan badan.

Boe Kie memegang kedua paha Cia Soen erat-erat, tapi baru saja ia bertindak, mendadak Tio hiatnya tertotok dan kedua tangannya lemas sehingga mau tak mau ia melepaskan orang tua itu. Tak kepalang dukanya Boe Kie hampir-hampir ia menangis, "Gieboe! ... Mengapa... mengapa... kau begitu?" teriaknya dengan suara parau.

"Nak, hal ihwal sakit hatiku, kau sudah beritahukan kepada ketiga pendeta suci itu,” jawabnya. "Untuk segala kedosaanku, akulah yang harus menerima segala hukumannya. Kalau sekarang kau tidak berlalu, siapakah yang akan balas sakit hatiku?” Kata-kata yang terakhir diucapkan dengan suara keras, sehingga Boe Kie jadi kaget.

Sementara itu, belasan pendeta yang membekal rupa-rupa senjata sudah menerjang delapan orang yang sedang mengerubuti tiga tetua Siauw lim sie. Si jenggot yang bersenjata Poan koan pit tahu bahwa jika pertempuran dilangsungkan, pihaknya bakal celaka. Ia merasa sangat penasaran bahwa kemenangannya yang sudah berada di depan mata dirusak oleh seorang pemuda yang macamnya sepertinya orang kampung. Maka itu ia lantas saja berteriak, "Bolehkah kami mendapat tahu she dan nama besar dari pemuda yang berada di pohon siong? Homi dan Kathay dari Hokian ingin mengenal orang yang sudah campur urusan kami."

Sebelum Bae Kie menjawab, Touw lan mengedut tambangnya dan berkata dengan suara nyaring. "Apakah Ho kian Siang sat-sin tak pernah mengenal Beng kauw Thio Kauwcu, ahli silat nomor satu dikolong langit?"

Homi mengeluarkan seruan kaget. Sambil mengibaskan kedua pitnya, ia melompat keluar dari gelanggang. diluar oleh tujuh kawannya. Belasan pendeta itu sebenarnya mau coba menghalangi, tapi kepandaian mereka kalah setingkat, sehingga dengan demikian kedelapan orang itu segera turun gunung tanpa rintangan.

Selain bertempur, Touw ok bertiga sudah dengar pembicaraan antara Cia Soen dan Boe Kie. Disamping itu, Boe Kie bukan saja tidak menyerang waktu mereka menghadapi bencana, tapi juga sudah dianya itu, memberi pertolongan. Andaikata pemuda itu berpeluk tangan, mereka tentu sudah binasa didalam tangannya Ho kian Siang-sat.

Sekarang sesudah musuh kabur, semua ketiga pendeta itu melepaskan tambang mereka, bangun berdiri dan memberi hormat dengan merangkap tangan. "Terima kasih banyak atas pertolongan Thio Kauwcoe ini," kata mereka.

Boe Kie buru-buru memberi hormat.

“Itulah hanya kewajiban sebagai sesama manusia dan tiada harganya untuk disebut-sebut,” jawabnya.

"Hari ini sebenarnya loolap harus membiarkan Cia Soen berlalu bersama-sama Thio Kauw coe," kata Touw ok. “Kalau tadi Thio Kauw-coe menolong dia, kami tak akan bisa mencegah. Tapi pada waktu menerima perintah Hong-thio untuk menjaga Cia Soen. Di hadapan tangan Buddha, loolap bertiga telah bersumpah bahwa sebegitu kami masih bernyawa, kami tak akan membiarkan larinya Cia Soen. Hal ini, mengenai nama baik partai kami, dan kami memohon Thio Kauwcoe suka memaafkan."

Boe Kie tidak menyahut, ia hanya mengeluarkan suara di hidung.

Sesudah berdiam sejenak, Touw-ok berkata pula. "Sekarang loolap sudah tahu, siapa gara-gara rusaknya sebelah mata loolap. Mana kala Thio Kauwcoe main menolong Cia Soen, Thio Kauwcoe pula datang di lain waktu asalkan bisa mengalahkan kami, Thio Kauwcoe dapat membawa Say ong pergi. Thio Kauwcoe dapat membawa banyak kawan, boleh menyerang kami dengan berganti atau mengerubuti kami. Yang akan melawan hanya kami bertiga. Kami takkan minta bala bantuan. Pada sebelum Thio Kauwcoe tiba, kami akan berjanji untuk melindungi Cia Soen. Kami tak akan membiarkan dia dihina atau digangggu selembar rambutnya oleh Goan tin."

Boe Kie milirik ayah angkatnya. Diantara gelapnya sang malam, Kim mo Say ong yang bertubuh tinggi besar dan rambut terurai, berdiri sambil menundukan kepala. Dihadapan ketiga pendeta suci itu, dia bersikap sebagai seorang yang berdosa yang rela menerima hukuman.

Boe Kie mengawasi ayah angkatnya dengan air mata berlinang linang. Ia insyaf, bahwa sekarang ia tidak bisa berbuat banyak. Bukan saja dengan seorang diri dia tidak dapat mengalahkan ketiga pendeta itu, tapi ayah angkatnya sendiri juga menolak untuk diajak lari. "Jalan satu-satunya ialah mengajak Gwa kong, Yo Cosoe, HoanYo soe dan yang lain lainnya datang kemari,” pikirnya. Tapi garis pembelaan itu teguh bagaikan tembok tembaga. Kalau tadi Touw lan tidak memukul punggungku dan aku memindahkan tenaganya ke batu raksasa, Kathay pasti tak akan bisa merangsek. Masih merupakan sebuah pertanyaan, apakah kau dan kawan-kawan akan bisa memecahkan garis pertahanan mereka.

“Hai... Tapi jalan lain tidak ada lagi,” memikir begitu ia lantas saja berkata: "Baiklah, beberapa hari lagi aku akan datang berkunjung pula untuk meminta pelajaran."

Sesudah itu, dengan berduka, ia memeluk Cia Soen. "Giehoe, anak mau pergi ..." bisik dengan suara parau.

Cia Soen manggut-manggutkan kepalanya. Dengan penuh kasih sayang, ia mengusap-usap kepala Boe Kie. "Kau tak usah datang lagi, aku sudah mengambil keputusan untuk tidak berlalu dari tempat ini,” katanya, "Nak, aku berdoa supaya kau selalu berada dalam keselamatan, supaya kau tidak menyia-nyiakan harapan ayah dan ibumu dan harapanku sendiri. Kau harus menelad ayahandamu. Janganlah turut ayah angkat mu.”

“Thia-thia dan Giehoe sama-sama eng hiong,” kata Boe Kie. "Hanyalah nasib ayah lebih bagus dari Giehoe."

Di lain detik ia melompat keluar dari lingkaran pohon siong dan sesudah menyoja kepada ketiga pendeta itu, badannya berkelebat dan mendadak hilang dari pemandangan. Orang hanya mendengar teriakan nyaring ditempat kira-kira satu li jauhnya. Semua pendeta kaget tercampur kagum. Sudah lama mereka dengar kepandaian Kauwcoe dari Beng kauw tapi mereka tak pernah menduga bahwa Boe Kie memiliki ilmu ringan badan yang begitu lihai.

Sesudah orang tahu kedatangannya, Boe Kie memang sengaja memperlihatkan kepandaiannya. Di tengah hujan lebat, teriakannya yang saling susul seperti juga pekik naga yang terbang di tengah angkasa. Ia lari dengan ilmu ringan badan yang tertinggi makin lama makin cepat, sedang teriakan kian lama kian nyaring. Di kuil Siauw lim sie, seribu lebih pendeta tersadar dari tidurnya. Sesudah teriakannya itu tidak terdengar lagi, barulah mereka saling mengutarakan pendapat mengenai peristiwa itu. Kong boen dan Kong tie segera mendapat laporan tentang kedatangan Boe Kie dan mereka jadi berkuatir.

Sesudah lari beberapa li, dari belakang sebuah pohon lioe tiba-tiba Boe Kie mendengar bentakan “hai!" dan satu bayangan manusia melompat keluar. Orang itu bukan lain daripada Tio Beng. Boe Kie menghentikan tindakannya dan mencekal tangan si nona yang pakaiannya basah kuyup.

"Kau sudah bertempur dengan pendeta Siauw lim sie?" tanya Tio Beng.

“Benar."

"Bagaimana Cia Tayhiap? Apa kau sudah bertemu dengannya?"

Sambil menuntun tangan si nona, di bawah hujin, Boe Kie segera menceriterakan segala pengalamannya yang tadi.

"Apa kau tidak tanya cara bagaimana ia tertangkap?" tanya pula Tio Beng.

"Aku hanya ingat hal soal menolong Giehoe. Tapi ada waktu untuk menanyakan itu?"

Si nona menghela napas dan tidak berkata apa-apa lagi.

"Mengapa kau jengkel?"

"Bagimu soal itu soal remeh, bagiku soal besar. Sudahlah! Nanti saja, sesudah tertolong,

baru kita tanyakan Cia Tayhiap. Hanya... kukuatir ...”

“Kuatir apa? Apa kau kuatir aku tak bisa meenolong Giehoe ?"

"Beng kauw lebih kuat daripada Siauw lim-pay. Kalau mau, kita tentu bisa menolong Cia Tay hiap. Aku hanya kuatir Cia Tay hiap sudah mengambil keputusan untuk mati guna membayar hutang kepada Kong kian Taysoe."

Boe Kie pun mempanyai dugaan itu. "Apa kau rasa akan terjadi kejadian itu?" tanyanya.

"Harap saja tidak" jawabnya.

Ketika tiba di depan gubuk suami siteri Touw, Tio Beng tertawa dan berkata, “Rahasiamu sudah terbuka. Kau tak bisa menjustai mereka lagi." Seraya berkata begitu, ia menolak pintu bertindak masuk.

Mendadak mereka mengendus bau darah. Boe Kie kaget dan secepat kilat mendorong Tio beng keluar pintu. Hampir berbareng di tempat yang gelap itu tangan seorang coba mencengkeram dia. Cengkeraman itu dikirim seperti kilat sama sekali tak mengeluarkan suara dan tahu-tahu lima jari tangan sudah menyentuh kulit muka. Boe Kie tak keburu berkelit lagi.

Ia segera menendang dada si penyerang. Orang itu menyambut dengan menyikut Hoantiauw hiat dibetis Boe Kie. Ditempat gelap Boe Kie tak bisa lihat gerakan lawan tapi perasaan nya sangat tajam. Ia merasa bahwa jika menarik pulang tendangannya orang itu akan merengsek dan akan coba mengorek biji matanya dengan tangan kiri. Maka itu, dia meneruskan tendangannya dan tangan nya menyambut gerakan mencengkram. Dugaannya sangat jitu. Tangannya menangkap tangan lawan. Tapi pada detik itu, Hoan Tiauw hiatnya tersikut kaki kanannya lemas dan ia berlutut dengan sebuah kaki.

Sebenarnya, ia sudah mengerahkan tenaga untuk mematahkan tangan yg dicekalnya. Tapi sebab tangan itu kecil lemas dan ia berlutut dengan sebuah kaki.

Sebenarnya, ia sudah mengerahkan tenaga untuk mematahkan tangan yg dicekalnya. Tapi sebab tangan itu kecil lemas dan tak salah lagi tangan seorang wanita, ia tak tega. Ia hanya mengangkat dan melontarkan tubuh orang itu. Tiba2 ia merasa pundak kanannya merasa sakit tertusuk senjata tajam.

Sementara itu sudah dilontarkan Boe Kie penyerang tersebut kabur, tapi selagi ia melompat keluar dari gubuk itu, tangannya menghantam muka Tio Beng yg berdiri diluar pintu. Boe Kie tahu, si nona takkan kuat menangkis pukulan itu. Dengan menahan sakit, ia turut melompat dan mengayun tangannya. Kedua tangan kebentrok tanpa mengeluarkan suara. Tenaga Yang Kong (tenaga keras) dari Boe Kie telah dipunahkan seluruhnya oelh Im jioe (tenaga lembek) dari orang itu. Dia tidak berani menyerang lagi. Dengan meminjam tenaga pukulan Boe Kie, tubuhnya melesat beberapa tombak dan kemudian menghilang ditempat gelap.

“Siapa dia?” tanya Tio Beng dengan suara kaget.

Boe Kie tidak menjawab. Ia merogoh saku dan mengeluarkan bibit api, tapi tidak bisa menyalakannya karena basah. Ia tahu bahwa pundaknya tertancap pisau dan sebab kuatir pisau itu beracun, ia tidak berani lantas mencabutnya. “Lekas nyalakan lampu,” katanya kepada Tio Beng.

Si nona pergi ke dapur, mengambil bibit api dan menyulut sebuah lampu minyak lalu melihat pisau yang tertancap di pundak Boe Kie, ia kaget tak kepalang. Boe Kie sendiri merasa lega sebab mendapat kenyataan, bahwa pisau itu, atau lebih benar golok pendek tidak beracun. “Tak apa, hanya diluar,” katanya seraya mencabut pisau itu.

Tiba-tiba ia lihat Touw Pek Tong dan Ek Sam Nio duduk bersandar disatu sudut.

Tanpa memperdulikan darah yang mengucur dari lukanya, ia memburu kesitu. Ia terkejut sebab kakek dan nenek itu sudah jadi mayat.

“Waktu aku keluar, mereka masih segar bugar,” kata Tio Beng.

Boe Kie manggut2kan kepalanya. Sesudah si nona membalut lukanya, ia memeriksa golok itu ternyata adalah senjatanya suami istri Touw. Ia pun mendapat kenyataan, bahwa di tiang, di meja dan di lantai tertancap golol2 semacam itu. Rupanya musuh telah bertempur dengan suami istri Touw dan kedua suami istri itu menggunakan semua senjatanya, barulah ia turun tangan.

“Orang itu berkepandaian sangat tinggi!” kata Tio Beng.

Boe Kie mengangguk, mengingat pengalamannya yang tadi ia bergidik. Biarpun ia hanya bertempur satu dua gebrakan pertempuran itu hebat luar biasa dan dapat dikatakan hanya dari lubang jarum. Kalau tadai, didalam kegelapan ia tdiak menduga, bahwa musuh bakal coba mengorek matanya, maka sekarang ia dan Tio Beng tentu sudah menjadi mayat. Ia lalu memeriksa jenazah Touw Hok Tong Ek Sam Nio. Beberapa puluh tulang dada kakek dan nenek hancur remuk. Bahkan tulang dibagian punggungnya juga turut patah. Itulah akibat dari pukulan yang sangat lihai.

Boe Kie sudah sering bertempur melawan musuh2 tangguh dan pernah mengalami macam2 bahaya. Tapi sebuah pengalaman itu belum ada yang menyamai hebatnya bahaya seperti gebrakan digubuk suami istri Touw itu. Malam itu, dua kali ia bertempur. Yang pertama pertempuran dahsyat melawan tiga tokoh persilatan kelas utama. Tapi kalau dibandingkan dengan pertempuran kedua yang memakai waktu yang sangat singkat, pertempuran yang kedua lah yang lebih berbahaya.

“Siapa dia?” tanya Tio Beng.

Boe Kie tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala.

Tiba-tiba si nona mendusin. Ia menebak orang itu. Mulanya mengeluarkan sinar ketakutan dan sesudah tertegun sejenak ia menubruk memeluk Boe Kie, akan kemudian mengangis dengan badan gemetaran. Tanpa bicara kedua2nya mengerti apabila Tio Beng tak dengar teriakan Boe Kie dan apabila si nano tidak keluar menyambut kekasihnya tanpa memperdulikan hujan, maka mayat yang akan ditemukan Boe Kie itu akan berjumlah tiga.

Dengan lemah lembut Boe Kie membujuk si nona.

“Tujuannya untuk membunuh aku, tapi yang menjadi korban suami istri Touw,” kata Tio Beng.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar