Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 29
"Jikalau kamu semua masih
dapat melawan dia, siang siang kamu telah membunuh mampus padanya," kata
Ouw Ceng Goe "Apakah perlunya aku mendapatkan lima belas kantong nasi yang
tidak mempunyai guna?"
Kan Ciat menjadi putus asa.
Dari omong keras, ia menjadi merendah, memohon pertolongan tabib pandai itu.
Tetapi Ouw Ceng Goe sudah bertekad dengan keputusannya, bahwa ia tidak mau
ambil perduli.
Akhirnya Kan Ciat menjadi
gusar, hingga ia berjingkrakan.
"Baiklah!" serunya
saking nekad "Ke kiri dan ke kanan toh bakal mampus, maka kalau benar
benar musti mampus, baiklah, aku akan menggunakan api membakar kandang anjingmu
ini. Kami yang biasa memasuki golok putih bersih dan mengeluarkan golok
berdarah merah, biar kami membikin terjungkal kau. pendeta bangsat! Biarlah
kita sama sama mengantarkan jiwa kita di tempat ini!"
Saat itu, dari luar masuk lagi
seorang lain, yaitu orang yang ditolong Boe Kie waktu mau muntahkan darah.
Melihat kekalapan Kan Ciat ia meraba pinggang dan mengeluarkan sebatang Go bie
Kong-cek (senjata semacam pusut). Sambil monotol dada Kan Ciat dengan pusutnya,
ia berkata : "Kau berdosa terhadap Ouw Cianpwee, dan aku si-orang she Sie,
merasa sangat tidak enak. Kau ingin yang masuk pisau putih, yang keluar pisau
merah? Baiklah! Aku akan mengiringi keinginanmu."
Ilmu silat Kan Ciat sebenarnya
tebih tingga daripada si orang she Sie. Tapi karena kedua tangannya diikat
dengan rantai besi, maka ia tak melawan dan hanya mengawasi dengan mata
membelalak.
"Ouw Cianpwee," kata
si orang she Sie dengan suara nyaring, "boanpwee Sie Kong Wan murid Sian
ia Sianseng dari Hoan san memberi hormat." Seraya berkata begitu, ia
menekuk lutut dan manggutkan kepala empat kali.
Melihat begitu, dalam hati Kan
Ciat lantas saja timbul sedikit harapan. Ouw Ceng Goe yang tidak dapat dipaksa
dengan kekerasan, mungkin dapat ditataki dengan kelembekan.
Sesudahnya menjalankan
peradatan besar, Sie Kong Wan berkata pula: "Kami sungguh bernasib sial,
karena justeru pada waktu kami memerlukan pertolongan, Ouw Siashe sakit. Tapi
kami tahu, bahwa disini terdapat seorang saudara kecil yang mempunyai
kepandaian tinggi dalam ilmu pengobatan. Maka itu, kami memohon Ouw Cianpwee
suka memberi permisi supaya saudara kecil itu mengobati luka kami yang sangat
luar biasa. Dikolong langit, kecuali murid Tiap kok le Sian tiada orang lain
yang dapat menyembuh kan luka kami."
"Anak itu bernama Thio
Boe Kie," kata si tabib malaikat dengan suara tawar. "Dia putera Thio
Sam Hong. Aku Ouw Ceng Goe manusia jahat dari agama siluman tak ada sangkut
pautnya dengan murid dari partai yang lurus bersih. Dia sendiri kena racun
dingin dan meminta pertolonganku, Tapi aku sudah bersumpah, bahwa kecuali
anggota Beng kauw, anak she thio itu tak sudi menjadi anggauta agama kami, mana
biasa aku menolongnya?"
Hati Sie Kong Wan mencelos.
Semula ia menduga, Boe Kie murid Tiap kok Ie sian.
Sesudah berdiam sejenak, si
tabib berkata pala. "Mengapa kamu tidak mau lantas berlalu dari situ?
Huh-huh! Apa kamu kira aku akan merasa kasihan? Tanyakanlah anak itu. Tanya dia
berapa lama dia sudah berdiam dirumahku."
Sie Kong Wan dan Kan Ciat
lantas saja mengawasi Boe Kie yang lalu mengacungkan dua jari tangannya.
"Duapuluh hari?"
tanya Sie Kong Wan.
"Dua tahun dua bulan
tepat" jawabnya.
Kan Ciat dan Sie Kong Wan
merasa kepala mereka seperti disiram air es. Mereka saling mengawasi dengan
mulut ternganga.
"Biarpun dia berdiam
disini sepuluh tahun, aku tetap tidak menolongnya," kata Ceng Goa,
"Hanya sayang didalam tempo satu tahun, racun dingin yang mengeram dalam
isi perutnya akan mengamuk, sehingga biar bagaimanapun jua, dia tak bisa hidup
setahun lagi. Aku pernah bersumpah dihadapan leluhur agama kami, bahwa biarpun
ayah sendiri, biarpun anak kandungku sendiri, aku tetap tak akan menolong, jika
ia bukan murid Beng keuw."
Dengan putus harapan Kan Cat
dan Sie Kong Wan menghela napes berulang-ulang. Tapi baru saja mereka mau
berjalan keluar, tiba-tiba Ouw Ceng Goe berkata "Bocah Boe tong pay itu
mengerti juga sedikit ilmu pengobatan. Meskipun ilmu pengobatan Boe tong tidak dapat
menandingi ilmu ketabiban Beng kauw, kurasa dia tidak akan membinasakan kamu
dengan pengobatan yang keliru. Apa dia suka monolong atau tidak, bukan
urusanku"
Sie Kong Wan agak terkelut.
Didengar dari pada suaranya, si tabib malaikat seperti juga memberi isyarat
supaya Boe Kie memberikan pertolongan. Maka itu, ia lantas saja berkata:
"Jika Thio Siauw hiap sudi menolong, kami mempunyai haranan lagi untuk
bisa hidup terus."
"Bukan urusanku!"
bentak Ceng Goa. "Boe Kie kau dengarlah. Aku melarang kau mengobati mereka
dalam rumahku. Kalau kamu tidak berada dalam rumah ini, aku tidak
perduli."
Kan Ciat dan Sie Kong Wan
kaget dan heran. Mereka sungguh tak mengerti apa maksudnya si tabib malaikat
yang beradat aneh.
Tapi Boe Kie yang sangat
pintar lantas saja tahu apa maunya Ceng Goe. "Kalian jangan mengganggu Ouw
Sinshe yang sedang sakit," katanya. "Ikutlah aku."
Mereka lalu mengikutt Boe Kie
keruang depan.
"Pengetahuanku tentang
ilmu ketabiban sebenarnya sangat cetek dan luka kalian sangat luar biasa,"
kata si bocah. "Maka itu.. aku tidak mempunyai pegangan, apa aku akan
berhasil atau tidak. Jika kalian percaya dan rela diobati olehku, bolehlah aku
mencoba-coba. Tapi aku tidak bertanggung jawab akan keselamatan jiwa
kalian."
Waktu itu, mereka sedang menderita
hebat. Rasa sakit gatal, meluang dan kesemutan tercampur menjadi satu. Mereka
mau mati tidak bisa mau hidup pun tidak dapat. Maka itu, begitu mendengar
perkataan Boe Kie, mereka segera menyetujui untuk menerima pertolongan bocah
itu dengan rela hati.
Sesudah mendapat jawaban, Boe
Kie lalu berkata pula: "Sebagaimana kalian tahu, Ouw Sinshe tidak
mengijinkan aku mengobati kalian didalam rumahnya. Ia merasa kuatir, bahwa
kalian mati disini, nama harumnya sebagai Ie Sian (tabib malaikat) akan ternoda.
Maka itu, marilah kita keluar."
Mendengar perkataan Boe Kie,
mereka bersangsi. Apakah kepandaiannya seorang anak-anak yang baru berusia
belasan tahun? Kalau dia salah mengobati, tentu penderitaan akan ditambah
dengan penderitaan lain. Tapi Kan Ciat sudah lantas berteriak. "Kulit
kepalaku gatal bukan main. Saudara kecil, kau boleh mengobati aku lebih
dulu."
Sehabis berkata begitu, ia
segera bertindak keluar.
Boe Kie memikir sejenak dan
lalu masuk kekamar obat, dimana dia mengambil Lam seng, Hong-hong, Pek tit,
Thiam ma, Kiang ho, Pek hoe coe, Cie souw dan lain-lain, semuanya belasan macam
bahan obat. Sesudah itu, ia memerintahkan seorang kacung mengilingnya dan
mencampurnya dengan sedikit arak untuk membuat koyo yang lalu ditempelkan
dikepala Kan Ciat yang gundul.
Begitu kena, dia mengeluarkan
teriakan kesakitan dan melompat-lompat. "Aduh! Aduh!" teriaknya.
"Sakit sungguh... tapi... tapi... mendingan daripada gatal." Sambil
mengertak gigi, ia berlari lari dan berteriak-teriak seperti seorang edan.
Beberapa lama kemudian, kecepatan larinya jadi terlebih perlahan dan
teriakannya mereda. "Enakan... mendingan,.." katanya dengan napas
tersengal sengal. "Bocah itu memiliki kepandaian lumayan.... eh, salah!
Thio Siauw hiap, kau memiliki ilmu yang sangat tinggi dan aku merasa sangat
berterima kasih sekali kepadamu!"
Melihat hasil itu, semua orang
segera memohon pertolongan Boe Kie. Diantara mereka yang paling menderita
adalah seorang yang terus bergulingan ditanah sambil mencekal perut. Dia
ternyata telah dipaksa untuk menelan tiga puluh lebih lintah hidup yang
sekarang menghisap darahnya didalam perut. Untung juga Boe Kie segera ingat,
bahwa dalam salah sebuah kitab, ia pernah membaca lintah dalam harus
ditaklukkan dengan madu.
Buru-buru ia memerintankan
seorang kacung mengambil semangkok madu yang lalu di berikan kepada orang itu.
Dan sekali lagi ia berhasil. Dengan demikian, ia terus bekerja keras sehingga
fajar menyingsing.
Tak lama kemudian, Kie Sianw
Hoe dan putrinya keluar dari kamar. Melihat Boe Kie masih repot mengobati
orang, Siauw Hoe segera memberi bantuan apa yang ia bisa.
Delasan orang ini sebenarnya
jago-jago yang pernah malang-melintang dalam dunia Kangouw, tapi sekarang
mereka jadi jinak sekali. Dengan sabar mereka menunggu giliran dan tak berani
membantah apa yang dikatakan oleh si bocah.
Antara mereka hanya Yo Poet
Hwie yang bebas dari rasa jengkel atau bingung. Sambil mengunyah buah angco ia
berlari lari kian kemari untuk menangkap kupu-kupu yang berterbangan didalam
kebun.
Sesudah lewat tengah hari
barulah Boe Kie mulai mengobati luka diluar. Dengan dibantu Siauw Hoe ia
menghentikan keluarnya darah, memberi obat untuk meredakan rasa sakit, membalut
luka dan sebagainya. Sesudah selesai, ia segera pergi mengasoh dalam kamarnya.
Baru saja pulas beberapa jam,
ia disadarkan oleh suara ribut ribut. Buru-buru ia bangun dan pergi keluar
untuk menengok para penderita. Ternyata keadaan sebagian penderita itu cukup
memuaskan tapi keadaan yang sebagian lagi berbalik menghebat. Boe Kie jadi
bingung, ia tak tahu apa yang harus diperbuat.
Akhirnya, karena tidak
berdaya, ia terpaksa menemui Ouw Ceng Goe dan menceritakan keadaan mereka.
"Mereka bukan anggauta
Bang kauw, perduli apa mereka mampus," kata Tiap kok Ie sian dengan suara
tawar.
Mendadak Boe Me mendapat
serupa ingatan dan ia lantas saja berkata: "Andaikata ada seorang murid
Beng kauw yang sedangkan diluar badannya tidak terdapat luka, perutnya kembung
bengkak, warna kulitnya hitam biru dan terus menerus berada dalam keadaan
pingsan, cara bagaimana Sinshe akan mengobatinya?"
"Kalau benar dia murid
Beng kauw, aku akan mengobatinya dengan menggunakan San ka, Liong bwee, Ang
hoa, Seng tee, Leng sian, To Ouw " kata Ceng Goe. "Obat-obatan itu
aku masak dengan arak encer dan kemudian menambahkannya dengan sedikit To pian.
Sesudah minum godokan tersebut si sakit akan buang buang air dan mengeluarkan
darah beracun dari kotorannya."
"Ouw Sinshe bagaimana aku
akan berbuat jika kuping kiri seorang muiid Beng kauw dituangi timah cair,
kuping kanan dituangi dengan air perak dan kedua matanya dilabur dengan cat,
sehingga ia menderita kesakitan hebat dan matanya tak bisa melihat lagi"'
tanya pula si bocah. (Air perak = Air raksa)
Ouw Ceng Goe naik darah.
"Siapa berani berlaku begitu kejam terhadap murid Beng kauw?" bentaknya.
"Musuhnya itu memang
kejam luar biasa," kata Boe Kie. "Tapi menurut pendapatku, yang
paling perlu yalah mengobati lebih dulu dan kemudian barulah kita menanyakan
siapa adanya musuh itu."
Sesudah memikir sejenak, Tiap
kok Ie sian ber kata: "Kalau dia memang murid Beng kauw, aku akan menuang
air perak kedalam kuping kiri nya. Timah akan lumer dan bercampur dengan air
perak, sehingga cairan itu akan mengalir ke luar dari kupingnya. Kemudian, aku
akan memasukkan jarum emas kedalam kuping kanannya. Air perak akan menempel
pada jarum itu yang dengan perlahan bisa ditarik keluar. Mengenai cat yang
masuk dikedua matanya, kurasa akan dapat dipunahkan dengan kepiting yang
ditumbuk hancur dan kemudian dibalut pada matanya itu."
Demikianlah, untuk setiap luka
yang aneh, Boe Kie meminta pertolongan Ouw Ceng Goe dengan menggunakan nama
"murid Beng kauw" dan sang tabibpun memberikan bantuannya dengan
segala senang hati. Jika lukanya terlampau aneh dan si penderita tidak jadi
mendingan dengan pertolongan pertama, Boe Kie segera menanyakan lagi pendapat
Tiap-kok Ie-sian yang lalu mengasah otak dan mencoba pula dengan lain cara
pengobatan. Sesudah berselang lima enam hari, semua orang dapat dikatakan sudah
mulai sembuh seluruhnya.
Luka yang diderita Kie Siauw
Hoe adalah luka di dalam, tercampur dengan racun. Tenaga pukulan musuh sudah
melukakan perutnya, sedang racunpun sudah masuk kedalam tubuhnya. Sesudah
memeriksa dengan teliti, Boe Kie segera memberi obat pemunah racun kepadanya
dan selang beberapa hari, keadaannya sudah banyak baik.
Sementara itu, para penderita
telah mendirikan sebuah gubuk di depan rumah Ouw Ceng Goe dan mereka tidur
menggeletak di tanah dengan hanya dialaskan dengan rumput kering. Beberapa
tombak dari gubuk itu, Kie Siauw Hoe juga membuat sebuah gubuk yang lebih kecil
untuk ia dan puterinya.
Boe Me capai dan lelah. Tapi
ia sangat bergembira dan bersemangat, karena ia bukan saja bisa menolong sesama
manusia, tapi juga sudah memperoleh resep-resep mujijat dan cara-cara
pengobatan yang biasa dari Tiap kok Ie sian.
Tapi pagi itu ia kaget bukan
main, sebab waktu bertemu dengan Kie Siauw Hoe, ia melihat sinar hitam pada
alis nona Kie. Apa penyakitnya kumat lagi? Apa racun mengamuk pula? Cepat-cepat
ia memeriksa nadi Siauw Hoe. Sesudah itu, ia mencampur ludah Siauw Hoe dengan
bubuk obat Pek hap san dan begitu lekas melihat campuran itu, ia bisa lantas
memberi kepastian bahwa benar racun mengamuk lagi.
Ia mengasah otak mati matian,
tapi tidak bisa memecahkan sebab musabab dari perubahan itu. Maka itu, ia
selalu meminta pertolongan Ouw Ceng Goe yang segera memberitahukan lain cara
pengobatan kepadanya. Benar saja, sesudah diobati menurut petunjuk baru itu,
keadaan Siauw Hoe jadi terlebih baik.
Tapi, sungguh heran, sehabis
Siauw Hoe, perubahan luar biasa mendadak datang kepada dirinya Kan Ciat. Kepala
gundulnya yang sudah mulai sembuh mendadak borokan lagi dan mengeluarkan bau
yang tak sedap. Perubahan itu terjadi silih berganti atas dirinya kelimabelas
orang itu: yang satu mendingan, yang lain menghebat lagi penyakitnya.!
Boe Kie bingung bukan main. Ia
pergi menemui Tiap kok Ia sian dan menuturkad kejadian yang luar biasa itu.
"Sebab musabab dari perubahan itu yalah karena luka mereka sangat aneh,
berbeda dengan luka biasa," menerangkan sang tabib malaikat. "Kalau
mereka dapat disembuhkan oleb tabib biasa, tak perlu mereka datang
kemari."
Malam itu Boa Kie tak bisa
pules. Ia berduka dan coba memecahkan teka-teki yang rumit "Perubahan
penyakit itu adalah kejadian biasa," pikirnya. "Tapi walaupun begitu
tak bisa jadi semua penderita itu mengalami perubahan sampai berkali-kali,
sebentar baik, sebentar hebat," Ia gelisah dan bergolak gulik diatas
pembaringan.
Kira-kira tengah maiam,
tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki yang sangat enteng dan lewat didepan
kamarnya. Ia melompat bangun dam mengintip dari cela-cela jendela. Ia melihat
berkelebatnya bayangan manusia yang segera menghilang dibelakang pohon kuil.
Dilihat dari pakaian dan gerak-geriknya orang itu bulan lain dari pada Ouw Ceng
Goe.
"Eh-eh! .. Mengapa Ouw
Sinahe berkeliaran ditengah malam buta?" tanyanya didalam hati. "Apa
cacarnya sudah sembuh?" Sesaat kemudian, ia melihat masuknya Tiap kok Ie
sian kedalam gubuk Kie Siauw Hoe. Jantungnya berdebar keras dan jiwa
kesatrianya tampil kemuka. "Apa dia mau menganiaya atau menghina Kie Kouw
kouw?" tanyanya pada diri sendiri. "Meskipun aku bukan tandingannya,
tak dapat aku mengawasi dengan berpeluk tangan. Ia melompat keluar jendela dan
indap indap, ia mendekatii gubuk Kie Siauw hoe.
Gubuk tersebut yang terbuat
dari alang-alang hanya untuk menedeng angin dan embun, didalamnya kosong
melompong, tiada sekosol, tiada aling aling apapun jua. Dengan hati bergoncang,
Boe Kie mengintip dari belakang gubuk. Ia melihat sang bibi bersama puterinya
sedang pulas nyenyak diatas setumpuk rumput rumput kering.
Sekonyong Ouw Ceng Goe merogo
saku dan mengeluarkan sebutir pel, yang lalu dicemplungkan kedalam mangkok obat
Siauw Hoe. Sesudah itu ia memutar badan dan terus berjalan keluar. Sekelebatan
Boe Kie melihat, bahwa muka orang tua itu masih ditutup dengan topeng kain
hijau.
Boe Kie mengeluarkan keringat
dingin. Baru sekarang ia tahu, bahwa Ouw Ceng Goe lah yang sudah menaruh racun,
sehingga para penderita tak bisa menjadi sembuh.
Sesudah keluar dari gubuk
Siauw Hoe, Ceng Goe masuk kegubuk yang lain, dimana dia berdiam agak lama. Boe
Kie mengerti, bahwa untuk meracuni keempatbelas orang dengan racun yang
berbeda-beda, si tua memerlukan tempo yang lebih banyak. Dilain saat si bocah
sudah masuk kedalam gubuk dan mencium mangkok obat Siauw Hoe. Di dalam mangkok
terisi godokan Pat sian thung dan ia telah memesan supaya begitu bangun tidur,
Kouw-kouw segera minum obat itu. Tapi sekarang godokan itu mengeluarkan
bau-bauan yang masuk hidung. Sekonyong-konyong terdengar pula suara tindakan
kaki. Buru buru Boe Kie merebahkan diri diatas tanah. Ia tahu, bahwa Ouw Ceng
Goe sudah kembali kekamar tidurnya.
Sesudah menunggu beberapa
lama, ia segera menaruh mangkuk obat keluar dari gubuk itu. "Kie
Kouw-kouw! Kie Kouw-kouw!" ia memanggil manggil dengan suara perlahan.
Sebagai seorang ahli silat,
menurut pantas Siauw Hoe mudah tersadar, tapi sesudah si bocah memanggil
berulang-ulang, ia masih pulas terus. Karena terpaksa, Boe Kie lalu masuk pula
dan menggoyang-goyangkan badan bibinya berulang kali. Dengan kaget Siauw Hoe
tersadar. "Siapa?" tanyanya.
"Kouw-kouw, aku....
" bisiknya. "Mari kita keluar."
Siauw Hoe mengerti, bahwa
kedatangan Boe Kie ditengah malam tentulah disebabkan oleh kejadian penting.
Perlahan-lahan ia menarik lengannya yang ditandalkan dibawah kepala puterinya
dan kemudian keluar dari gubuknya bersama sama si bocah.
"Kie Kouw-kouw,"
bisik Boe Kie, "orang telah menaruh racun dimangkok obatmu. Buanglah obat
itu, tapi jagalah, jangan sampai diketahui orang. Besok aku akan memberi
penjelasan kepadamu"
Siauw Hoe manggutkan kepalanya
dan Boe Kie segera kembali kekamarnya. Karena kuatir ketahuan, ia masuk dengan
melompati jendela.
Pada esokan paginya, sesudah
sarapan. Boe Kie mengajak Yo Poet Hwie pergi menangkap kupu kupu. Mereka
berlari lari, makin lama makin jauh dari rumah Ouw Ceng Goe. Siauw Hoe yang
mengerti maksud si bocah, lantas saja mengikuti dari belakang. Selama beberapa
bari, Boe Kie sering bermain-main dengan sinona ciiik, sehingga perginya ketiga
orang itu sama sekali tak menimbulkan kecurigaan.
Sesudah melalui kira kira satu
li mereka tiba disatu tanjakan gunung. Boe Kie menghentikan tindakannya dan
segera duduk diatas rumput, sedang Siauw Hoe segera berkata kepada puterinya:
"Poet-jie sekarang jangan mengubar kupu kupu lagi. Pergi petik bunga-bunga
dan buatlah tiga buah topi bunga untuk kita bertiga. Si nona kecil jadi girang
sekali dan sambil tertawa nyaring, ia berlari-lari untuk mencari bunga.
"Kouw kouw," Boe Kie
mulai, "apakah kau mempunyai permusuhan dengan Ouw Ceng Goe? Dialah yang
sudah menaruh racun kedalam mangkok obatmu."
Siauw Hoe terkejut. "Aku
belum pernah mengenal Ouw Ceng Goe dan sehingga hari ini aku belum pernah
bertemu muka dengannya," jawabnya. Ia berdiam sejenak seperti orang sedang
berpikir dan kemudian berkata pu1a. "Saban kali bicara mengenai Ouw
Sinshe, Thia thia (ayah) dan Soehoe selalu mengatakan, bahwa dia adalah seorang
tabib nomor satu didalam dunia pada jaman ini. Merekapun tidak mengenal Ouw
Sinshe. Aku sungguh tidak mengerti, mengapa Ouw Sinshe coba mencelakakan
aku."
Sibocah lalu menuturkan
kejadian semalam dan menambahkan. "Dalam godokan Pat sian thung itu, aku
mengendus bau rumput Pat sian co dan Touw koet koen yang sangat tajam. Kedua
daun obat itu memang dapat mengobati luka, tapi racun nya sangat hebat dan
tidak boleh digunakan terlalu banyak."
"Selain begitu, sifat
kedua daun obat tersebut juga bertentangan dengan delapan macam obat yang
terdapat dalam Pat sian thung. Maka itu biarpun tidak membahayakan jiwa, luka
Kouw kouw jadi makin sukar disembuhkannya."
Siauw Hoe bersenyum. "Kau
mengatakan bahwa Ouw Sinshe juga meracuni empat belas penderita yang
lain," katanya. "Hal ini lebih mengherankan lagi. Terhadap aku, kita
dapat mengandalkan saja, bahwa secara tidak disengaja, ayah atau Go bie pay
pernah menyinggung Ouw Sinshe. Tapi bagaimana terhadap yang lainnya? Apa
mungkin keempat belas orang itu semuanya berdosa terhadap Ouw Sinshe?"
Boe Kie mengangouk.
"Memang! Memang sangat mengherankan," katanya sambil menghela napas.
"Kie Kouwkouw, selat Ouw tiap kok adalah sebuah tempat yang mencil dan
tidak banyak diketahui orang. Cara bagaimana kau dan yang lain-lain bisa datang
kemari? Siapa adanya Kim hoa Coe jin (Majikan Bunga emas) yang telah melukakan
kau? Urusan ini sebenarnya tiada sangkut pautnya dengan aku dan menurut pantas,
aku sebenarnya tidak boleh menanya melit-melit. Akan tetapi, karena persoalan
berbelit-belit, maka aku harap kau tidak menjadi kecil hatinya"
Paras mukanya Siauw Hoe lantas
saja berubah merah. Ia mengerti maksud si bocah yang rupa rupanya kuatir, bahwa
pertanyaan itu akan menyentuh persoalan puterinya. Persoalan mengapa sebelum
menikah ia sudah mempunyai anak. Sesudah memikir sejenak, ia berkata dengan
suara parau. "Kau sudah menolong jiwaku, tak dapat aku menyembunyikan
sesuatu terhadapmu. Disamping itu, meskipun masih kanak-kanak, kau
memperlakukan aku dan Poet jie luar biasa baik. Baiklah, aku akan menceritakan
segala penderitaanku kepadamu, orang satu-satunya didalam dunia yang boleh mendengar
rahasiaku."
Sehabis berkata begitu, air
matanya mengucur. Ia mengambil saputangan dan sesudah menyusut air mata, ia
berkata pula, "Sedari aku kebentrok dengan seorang kakak seperguruan pada
dua tahun lebih yang lalu, aku tidak berani menemui Soe hoe lagi... aku tidak
berani pulang..."
"Hmm! Teng Bin Koen!
...... Kouwkouw kau tidak usah takut," kata Boe Kie.
"Bagaimana kau tau?"
tanya Siauw Hoe dengan rasa terkejut dan heran.
Boe Me segera memberitahukan,
bahwa pada malam itu, bersama Siang Gie Coen ia telah menyaksikan peristiwa
menolong Pheng Hweeshio.
Siauw Hoe menghela napas.
"Memang.... rahasia memang tak mungkin ditutup," katanya.
"Kouwkouw, kau tak usah
terlalu berduka." kata Boe Kie, "In Lioksiok adalah seorang baik.
Kalau kau tidak suka menikah dengannya, urusan itu bukan urusan yang terlalu
besar. Begini saja, kalau bertemu dengan Lioksiok, aku akan memberitahukannya,
bahwa kau tidak suka menikah dan dia merdeka untuk mencari lain isteri!"
Mendengar perkataan yang
polos-jujur itu, yang keluar dari otak sederhana, Siauw Hoe tertawa getir.
"Anak," katanya dengan suara bergemetar. "Percayalah, bahwa aku
bukan sengaja berbuat kedosaan terhadap pamanmu. Waktu itu aku...aku.... tidak
ada lain jalan.... dan akupun sudah merasa menyesal sekali...." Ia tidak
meneruskan perkataannya dan air matanya kembali mengucur.
Ia mengawasi si bocah dan
berkata dalam hatinya "Anak ini masih suci bersih, bagaikan selembar
kertas putih. Ah Lebih baik aku tidak menceriterakan segala hal percintaan
kepadanya. Apa pula urusan pribadi ini tiada sangkut pautnya dengan dia."
Memikir begitu, ia lantas saja berkata : "Sesudah bercekcok dengan Teng
Soecie, dengan membawa Poet jie aku bertani dan hidup mengasingkan diri disuatu
tempat yang terpisah kira-kira tiga ratus lie disebelah barat Ouw tiap kok ini.
Selama dua tahun lebih aku hanya bergaul dengan kaum petani dan aku dapat
melewati hari dengan tidak banyak pikiran. Setengah bulan yang lalu, aku
mengajak Poet jie kekota untuk membeli kain guna pakaian anakku itu. Di luar
dugaan, di atas sebuah tembok, secara kebetulan aku melihat gambar sebuah
lingkaran Hoed kong (lingkaran sinar Buddha yang suci) dan sebatang
pedang."
"Itulah tanda rahasia
memanggil kawan dari partai Go bie pay. Aku binguog dan sangat bersangsi. Sesudah
menimbang-nimbang aku menganggap, bahwa meskipun aku telah kebentrok dengan
Teng Soecie, tapi aku belum pernah me lakukan perbuatan yang menghina guru atau
menghianati partai. Disamping itu, bentrokan tersebut juga tak ada sangkut
pautnya dengan Soehoe dan lain-lain saudara seperguruan. Tanda itu mungkim
diberikan oleh salah seorang saudara seperguruanku yang tengah menghadapi
bahaya besar dan jika benar begitu, aku merasa tidak pantas untuk berpeluk
tangan. Demikianlah, dengan menuruti petunjuk dari tanda rahasia itu, aku pergi
ke Hong yang."
"Di kota Hong yang aku
kembali melihat tanda itu yang memberi petunjuk, supaya kawan-kawan datang di
rumah makan Lim hway kok. Sudah ketelanjuran datang, aku segera menyusul
kesitu. Ternyata dalam rumah makan sudah berkumpul tujuh delapan orang,
antaranya terdapat Seng cioe Ka lam Kan ciat dari Khong tong pay, Sie Kong Wan
dari Hwa san pay dan lain-lain. Anggauta Goe bie pay hanya aku seorang. Aku
mengenal Kan Ciat dan Sie Kong Wan dan lalu menanyakan sebab musabab dari
berkumpulnya mereka dirumah makan itu. Mereka memberitahukan, bahwa mereka
datang karena melihat tanda rahasia partainya, tapi seperti juga aku mereka tak
tahu sebab musabab dari panggilan itu. Sehari suntuk kami menunggu tapi tak ada
yang datang lagi. Pada esokan harinya, dengan beruntun datang pula beberapa
orang lain, ada orang Sin koen boen, ada orang Siauw lim pay bagian selatan dan
lain lain. Mereka juga mengatakan bahwa kedatangan mereka adalah karena melihat
tanda rahasia. Tak satupun diantara mereka yang mendapat urusan secara
langsung. Semua orang heran dan bercuriga. Apa tidak bisa jadi kami semua
tengah dipermainkan oleh seorang musuh?"
"Ketika itu, diloteng
rumah makan berkumpul lima belas orang dari sembilan buah partai. Tanda rahasia
setiap partai bukan saja berbeda satu sama lain, tapi juga sangat dirahasiakan,
sehingga kalau bukan murid partai yang tersangkut, seorang luar tentu tak
mengerti artinya tanda itu. Jika seseorang ingin main gila, apakah ia bisa tahu
tanda rahasia dari sembilan partai? Mengingat bahwa aku membawa Poet jie dan
kalau bisa, aku tak mau anak itu menghadapi bahaya dan mengingat puta bahwa
panggilan itu bukan tantaran saudara seperguruanku ada yang tengah menghadapi
bencana besar, maka aku segera mengambil keputusan untuk pulang saja. Tapi baru
saja aku mau turun tangan, tiba-tiba ditangga loteng terdengar suara keras,
seperti juga undakan tangga dipukul orang dengan menggunakan toya. Suara itu
disusul denggn suara batuk-batuk dan seorang nenek yang rambutnya sudah putih
semua, mendaki undakan tangga. Ia naik setindak demi setindak sambil
batuk-batuk dan kelihatannya lelah sekali. Disampingnya terdapat seorang nona
kecil yang berusia kira kira dua belas tahun dan yang memapah si nenek."
"Melihat nenek yang sudah
bagitu tigggi usianya dan juga kelihatannya sedang sakit, aku segera minggir,
supaya ia bisa naik lebih dulu. Nona kecil itu ternyata cantik sekali, meskipun
usianya masih sangat muda, belum pernah aku melihat wanita yang seayu dia,
sehingga tanpa merasa aku mengawasinya beberapa kali. Tangan kanan si nenek
mencekal sebatang tongkat dari kayu Pek bok dan dari pakaiannya, ia seperti
juga seorang wanita miskin. Tangan kirinya memegang serenceng biji tasbih yang
mengeluarkan sinar kuning berkilauan. Ketika aku memperhatikan, rencengan itu
ternyata bukan biji biji tasbih, tapi bunga bunga bwee yang terbuat dari pada
emas tulen..."
"Aha!" memutus Boe
Kie. "Perempuan tuaa itu tidak bisa lain dari pada majikan Kim hoa."
"Benar. Tapi pada waktu
itu, siapakah yang bisa menduga jelek kepadanya?" kata Siauw Hoe. Sehabis
berkata begitu, ia merogoh saku dan mengeluarkan sekuntum bunga bwee emas yang
menyerupai Kim Hoa yang pernah diserahkan kepada Ceng Goe oleh Boa Kie.
Si bocah tertegun. Tadinya ia
menduga, bahwa Kim hoa Coe jie adalah saorang lelaki yang bertubuh tinggi besar
dan bermuka menakutkan. Tak dinyana, majikan bunga emas itu hanyalah seorang
nenek tua.
"Sesudah berada di atas
loteng, nenek itu kembali batuk batuk. Siauw Hoe melanjutkan penuturannya,
"Sinona cilik berbisik: "Popo makan obat ya?" Sinenek mengangguk
dan nona kecil itu selanjutnya sudah mengeluarkan sebutir yo-wan dari dalam
sebuah peles kristal.
Sambil mengunyah yo-wan, nenek
itu berkata. "O mie to hoed..... O mie to hoed ..." Dengan mata separuh
tertutup, ia mengawasi kami dan berkata pula dengan suara perlahan: "Hm
... hanya lima belas orang. Coba tanya, apakah orang Koen loen pay dan Boe tong
pay sudah pada datang semuanya?"
"Kedatangan kedua wanita
itu tidak diperhatikan oleh kami. Tapi, begitu sinenek mengucapkan perkataan
itu, beberapa orang yang kupingnya lebih tajam segera menengok dan
mengawasinya. Melihat nenek itu, hati mereka lega dan menganggap mereka salah
dengar.
"Tiba-tiba si nona cilik
berkata dengan suara nyaring: "Hai! Popoku menanya kepada kalian. Apakah
orang-orang Koen loen pay dan Boe tong pay sudah pada datang semuanya?"
Semua orang terkejut, untuk
sejenak mereka tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Sesaat kemudian, barulah
Kan Ciat berkata: "Adik kecil, apa katamu?" Jawab nona itu:
"Popoku menanya: Mengapa ia tidak melihat murid Boe tong dan Koen
loen?" Alis Kan Ciat berkerut dan lalu menanya pula "Siapa kalian
?"
"Nenek itu kembali
batuk-batuk sambil membungkuk-bungkuk. Mendadak.... mendadak saja, aku merasa
semacam angin menyambar dadaku, entah dari mana. Sambaran itu hebat luar biasa
dan buru buru aku mengibaskan tangan untuk menangkis. Tiba tiba aku merasa
dadaku menyesak, darahku bergolak golak, kedua lututku lemas dan aku jatuh
duduk sambil muntahkan darah."
"Dalam keadaan setengah
pingsan, aku melihat badan si nenek bergrrak gerak, ia menggaplok atau meninju
seraya batuk batuk tak hentinya. Dalam sekejap, empat belas orang sudah rebah
di atas loteng Kecepatan bergeraknya dan hebatnya tenaganya tak dapat dilukiskan
dengan kata-kata. Seumur hidup, belum pernah kulihat manusia yang bisa bergerak
begitu cepat dan mempunyai tenaga Lweekang yang sedemikian hebat. Di antara
kami, sejurus pun tak ada yang mampu melawan. Kalau bukan tertotok jalan darah,
isi perut mereka terluka karena pukulan Lweekang."
"Tiba-tiba si nenek
mengayun tangan kirinya dan lima belas bunga emas menyambar kebahu atau tangan
kelimabelas orang. Kali ini dia tidak mencelakakan orang, sebab meskipun
limabelas bunga emas itu mengenai tepat pada sasarannya, tak seorangpun yang
mendapat luka. Sesudah itu, dia memutar tubuh dan dengan dipapah oleh si nona
kecil, ia berkata "O mie to hoed! O mie to hoed !" Tanpa menengok
lagi mereka turun kebawah loteng. Beberapa saat kemudian, kami men dengar suara
totokan tongkat ditanah, diseling seling dengan suara batuk-batuk"
Bicara sampai disitu, Yo Poet
Hwie mendatangi dengan tangan mencekal sebuah karangan bunga yang merupakan
topi. Sambil tertawa ha ha hi hi, ia berkata. "bu, kau pakailah topi
ini," dengan sikap aleman, ia lalu menaruh topi bunga itu dikepala sang
ibu.
Siauw Hoe tertawa sambil
manggut manggutkan kepalanya dan kemudian melanjutkan penuturannya. "Kami
semua rebah diatas papan loteng tanpa berkutik, sebagian pingsan, sebagian
bernapas sengal-sengal dan sebagian pula merintih dengan perlahan...."
"Ibu," memutus Poet
Hwie. "Apakah kau sedang menceritakan perempuan jahat itu ? Jangan! Aku
takut."
"Nak," kata sang ibu
sambil bersenyum, "Pergilah kau memetik bunga lagi dan buatlah sebuah topi
untuk kakak Boe Kie"
Poet Hwie mengawasi Boe Kie.
"Waena apa yang kau suka ?" tanyanya.
"Merah dan campur sedikit
dengan warna putih, lebih besar topinya lebih baik lagi," jawabnya.
"Sebesar ini?"
tanyanya pula si nona sambil membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannyaa.
"Ya, sebesar itu,"
jawabnya.
Poet Hwie segera berlari-lari
dengan menepuk nepuk tangan sambil tertawa-tawa. "Kalau sudah jadi kau
harus memakainya !" teriaknya.
"Beberapa lama kemudian,
dalam keadaan lupa ingat, aku melihat belasan orang naik keloteng,"' Siauw
Hoe melanjutkan penuturannya. "Mereke itu adalah pelayan, tukang masak dan
pengurus rumah makan. Mereka menggotong kami kedapur. Tak usah dikatakan lagi,
Poet jie ketakutan setengah mati dan sambil menangis keras, ia mengikuti orang-orang
yang menggotong aku. Setibanya didapur, si pengurus rumah makan membaca tulisan
diselembar kertas. Seraya menuding Kan Ciat, ia memerintah: Labur koyo
dikepalanya. Seorang pelayan segera membuka sebuah kotak koyo dan melebur
isinya dikepala Kan Ciat. Sesudah itu, sambil membaca pula tulisan itu, dia
menuding seorang lain dan berkata: Putuskan tangan kanannya dan tempelkan
lengan itu dikaki kirinya! Siksaan itu lantas saja dijalankan oleh dua orang
pelayan. Waktu giliranku tiba, untung juga aku tidak mendapat hukuman aneh. Aku
hanya diperintah minum semangkoh air yang rasanya manis. Aku mengerti, bahwa
air itu tentu mengandung racun, tapi aku tidak berdaya."
"Sesudah kami semua
mendapat hukuman yang luar biasa, si pengurus rumah makan berkata. "Kamu
semua sudah mendapat luka yang tak mungkin disembuhkan lagi. Tak seorangpun
diantara kamu yang bisa hidup sepuluh hari atau setengah bulan lagi. Tapi
pemilik bunga emas mengatakan, bahwa ia sama sekali tidak bermusuhan dengan
kamu. Maka itu, ia menaruh rasa belas kasihan dan membuka suatu jalan hidup
untuk kamu. Sekarang pergilah kamu lekas-lekas ke Ouw tiap kok yang terletak
ditepi telaga Lie san Ouw dan mintalah pertolongan dari Ouw Ceng Goe yang
bergelar Tiap kok Ie sian. Kalau dia sudi menotong, maka kamu semua ada harapan
hidup, tapi manakala dia menolak, dalam dunia tak ada orang yang bisa menolong
kamu lagi. Tapi Ouw Ceng Goe mempunyai lain julukan, yaitu Kian sie Poet kioe.
Kalau kamu tidak berusaha mati matian, dia pasti tak akan mengulurkan tangan.
Jika kamu bertemu dengan Ouw Ceng Goe katakanlah bahwa tak lama lagi Kim hoa
Coejin aku akan mencari dia dan dia harus siang siang mempersiapkan penguburan
mayatnya sendiri. Sesudah berkata begitu dia segera menyediakan kerata dan
kudakuda, memberi petunjuk mengenai jalanan yang harus diambil, dan kemudian
mengusir kami."
Boe Kie mendengari cerita itu
dengan mata tidak berkedip. "Kie Kouwkouw," katanya, "Didengar
dari penuturanmu, pengurus Lim hway kok, tukang masak dan pelayan-pelayannya
semua kaki tangan perempuan jahat itu,"
"Akupun menduga
begitu," kata Siauw Hoe. "Si pengurus rumah makan memerintahkan
dijalankannya siksaan itu menurut surat catatan yang rasanya ditinggalkan oleh
perempuan kejam itu. Tapi dalam peristiwa terdapat beberapa teka teki yang
sehingga sekarang masih belum dapat dipecahkan olehku. Mengapa nenek itu
melakukan perbuatan yang begitu kejam? Kalau dia mendendam sakit hati dan mau
mengambil jiwa kami, dia dapat melakukannya dengan mudah sekali. Jika dia hanya
ingin menyiksa orang orang dengan rupa-rupa jalan yang kejam mengapa dia
mengirim kami kepada Ouw Sinshe ? Dia mengatakan bahwa tak lama lagi dia akan
mencari Ouw Sinshe untuk membalas sakit hati, Apakah penyiksaannya terhadap
kami hanya untuk menjajal kepandaiannya Ouw Sinshe?"
Boe Kie menundukkan kepala,
memikir sejenak, ia berkata. "Menurut katanya Siang Gie Coen Toako, Ouw
Sinshe mempunyai seorang musuh yang akan datang untuk membalas sakit hati.
Musuh itulah Kim hoa Coejie. Menurut pantas Ouw Sinshe seharusnya mengobati kalian
dengan sungguh hati, supaya kalian bisa membantu dia dalam menghadapi musuh
berat itu. Sesuai dengan julukan Kian sie Poet kioe, ia menolak untuk
mengobati. Tapi mengapa, sesudah menolak, ia memberi berbagai resep kepadaku
dan mengajarkan aku macam macam cara pengobatan untuk menolong kalian? Resep
obat itu manjur sekali. Tapi mengapa ditengah malam buta ia menggerayang dan
memberi racun kepada kalian? Ah! Sikap Ouw Sinshe sungguh aneh? Dalam peristiwa
ini muncul banyak cangkriman yang tak akan bisa ditembus olehku."
Lama sekali mereka berunding,
tapi mereka tak juga dapat menebak artinya banyak teka teki itu.
Tak lama kemudian, Poet Hwie
kembali dengan sebuah topi bunga yang lalu ditaruhnya diatas kepala Boe Kie dan
kemudian pergi lagi untuk membuat topinya sendiri.
"Kie kouwkouw," kata
pula Boe Kie. "Mulai dari sekarang kau tidak boleh minum apapun juga
kecuali jika obat itu diberikan olehku sendiri. Diwaktu malam sebaiknya kau
siap sedia dengan senjata untuk menjaga sesuatu yang tidak diinginkan. Sekarang
kau masih belum boleh pulang karena aku masih perlu memberi obat untuk
menyembuhkan luka didalam badanmu. Begitu lekas lukamu tidak berbahaya lagi,
kau harus buru buru pulang dengan membawa Poet Hwie."
Siauw Hoe mengangguk dengan
rasa sangat ber terima kasih. "Manusia she Ouw itu sungguh aneh dan
hatinya sukar ditebak," katanya, "Boe Kie, akupun merasa kuatir akan
keselamatanmu jika kau berdiam lama-lama disini. Lebih baik kita menyingkir
bersama sama."
"Kim mo Say ong adalah
ayah angkatku." jawabnya "Tapi biar bagaimanapun jua, aku tak akan
memberitahukan kepada siapapun jua."
Mendadak si nenek membalik
tangannya dan mencekal kedua tangan Boe Kie yang lalu dipijit keras-keras. Si
bocah berteriak keras, matanya berkurang kunang. Pijitan itu bukan saja hebat,
tapi dari tangan si nenek juga keluar semacam hawa dingin yang menyerang
dadanya. Hawa dingin itu berbeda dengea hawa Hian beng Sin ciang, tapi sama
hebatnya.
"Anak baik," kata
Kim Hoa Popo, "Beritahukanlah dimana adanya Cia Soen? Sesudah kau
memberitahukan, aku akan mengusir racun dari tubuhmu dan juga akan memberikan
semacam ilmu silat yang tiada keduanya kepadamu."
Sambil menahan sakit, Boe Kie
menjawab dengan suara tetap. "Kedua orang tuaku telah mengorbankan jiwa
karena tidak mau menjual sahabat. Kim Hoa Popo, apakah kau memandang aku
sebagai manusia yang bisa menjual ayah ibunya?"